4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji Konsentrasi Ambang Uji konsentrasi ambang bertujuan mengetahui tingkat konsentrasi ekstrak biji pala yang akan digunakan pada uji selanjutnya yaitu uji toksisitas letal akut. Konsentrasi yang menjadi ambang batas bawah adalah konsentrasi tertinggi yang tidak menyebabkan kematian bagi lobster, sedangkan konsentrasi yang menjadi ambang batas atas adalah konsentrasi terendah yang menyebabkan kematian lobster hingga 100%. Uji konsentrasi ambang dilakukan selama 24 jam. Hasil pengamatan uji konsentrasi ambang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Mortalitas lobster pada uji konsentrasi ambang Konsentrasi (ppt) tanpa ekstrak
Jumlah kematian (%) 0
2,5
0
5
50
7,5
50
10
100
12,5
100
15
100
Tabel 4 mengindikasikan bahwa konsentrasi tertinggi yang menyebabkan mortalitas lobster sebesar 0% dalam waktu 24 jam (LC0-24 jam) terjadi pada perlakuan kontrol dan pemberian ekstrak biji pala sebesar 2,5 ppt. Mortalitas lobster sebesar 50% dalam waktu 24 jam (LC50-24 jam) terjadi pada konsentrasi 5 ppt dan mortalitas lobster hingga 100% (LC100-24 jam) terjadi pada konsentrasi 10 ppt, 12,5 ppt, dan 15 ppt. Maka selanjutnya, konsentrasi yang akan digunakan dalam uji toksisitas letal akut adalah konsentrasi antara 2,5 - 10 ppt. Biji pala mengandung beberapa senyawa yang dalam kadar tertentu bersifat toksik bagi lobster. Senyawa berbahaya yang diketahui terdapat pada ekstrak biji pala terutama pada fixed oil (nutmeg oil) adalah myristicin, senyawa ini berwarna oranye, sangat wangi dan mempunyai konsistensi seperti mentega pada suhu kamar (Guenther 1972 diacu dalam Pratiwi 2000). Gejala yang ditimbulkan akibat keracunan senyawa myristicin adalah dilatasi mata dan detak jantung yang lebih cepat. Mengacu pada sifat
myristicin tersebut, diduga pada konsentrasi lebih dari 10 ppt merupakan konsentrasi yang bersifat sangat toksik bagi kelangsungan hidup lobster. 4.2 Uji Toksisitas Toksisitas suatu bahan dapat ditentukan dengan mengkaji persentase kematian populasi organisme uji. Salah satunya dengan menggunakan uji toksisitas bahan uji terhadap hewan uji yaitu pada konsentrasi terkecil yang mengakibatkan 100% mortalitas hewan uji. Waktu pengujian toksisitas minimal adalah selama 24 jam dan berlaku kelipatannya yaitu 48 jam, 96 jam, dan seterusnya. Lama waktu uji toksisitas disesuaikan dengan tujuannya. Dalam penelitian, untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu bahan sering digunakan tingkat kematian populasi 50% hewan uji pada berbagai waktu dedah (LC50)
(Cassaret dan Donev 1975).
4.2.1 Uji toksisitas letal akut Pengujian toksisitas akut bertujuan mengetahui selang konsentrasi ekstrak biji pala yang dianggap efektif untuk anestesi pada lobster. Pengujian dilakukan selama 24 jam dan 48 jam sehingga diperoleh hasil yang dapat menunjukkan korelasi antara tingkat konsentrasi ekstrak biji pala terhadap persentase kematian lobster. Seperti disajikan pada
persentase kematian (%)
Gambar 5. 120 100 80 60 40 20 0
24 jam 48 jam 0
3
4
5
6
7
8
konsentrasi (ppt)
Gambar 5 Mortalitas lobster air tawar pada uji toksisitas letal akut selama 24 jam dan 48 jam. Ekstrak biji pala memiliki senyawa myristicin dan elemicin, keduanya bersifat halusinogen dan berpotensi sebagai zat penenang (Leon 1991), namun pada kadar tertentu terutama myristicin dapat menjadi bersifat toksik bagi lobster. Hal ini berkaitan dengan terganggunya keseimbangan kationik tertentu dalam otak sehingga lobster mati (Wilfford 1970). Selama pengamatan 24 jam, dapat diidentifikasi bahwa konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 7 ppt dan 8 ppt, masing-masing mengakibatkan mortalitas lobster sebesar 75% dan 62,5% (Gambar 5). Kematian terendah, terjadi pada perlakuan menggunakan konsenstrasi ekstrak biji pala sebesar 4 ppt (LC0-24 jam). LC50-24 jam terjadi pada
perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5 ppt. Pada pengujian toksisitas akut ekstrak biji pala dalam kurun waktu 48 jam, mortalitas terendah berada pada konsentrasi 3 ppt, yaitu sebesar 37,5 %. Perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala 5 - 8 ppt memberikan nilai LC 100-48. 4.2.2 Uji kualitas air sebelum dan setelah uji toksisitas letal akut Secara umum kualitas air berhubungan dengan kandungan bahan terlarut didalamnya. Tingkat kandungan dari bahan terlarut tersebut akan menentukan kelayakannya untuk kehidupan biota didalamnya. Setiap makhluk hidup memerlukan kandungan bahan terlarut yang berbeda sehingga kualitas air juga bersifat relatif bagi setiap makhluk hidup (Lukito dan Prayugo 2007). 4.2.2.1 pH Keasaman
(pH)
merupakan
ukuran
konsentrasi
ion
hidrogen
yang
mengindikasikan tingkat asam dan basa suatu perairan. Tingkat asam dan basa yang menyebabkan organisme seperti ikan menjadi mati diperkirakan berada pada
pH 4 dan
pH 11 (Boyd dan Lichtkoppler 1979). Pengaruh konsentrasi ekstrak biji pala terhadap
pH
perubahan pH media uji dapat dilihat pada Gambar 6. 7,60 7,40 7,20 7,00 6,80 6,60 6,40 6,20 6,00
7,37
7,35
7,34
7,25
7,14
7,35
7,24
7,02 6,88 6,62
6,61
6,56
sebelum
6,61
sesudah
0
3
4
5
6
7
8
konsentrasi (ppt)
Gambar 6 pH media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut. Sebelum dilakukan uji toksisitas letal akut, pH berkisar antara 7,24 – 7,35. Setelah uji toksisitas, pH media uji berkisar antara 6,62 – 7,02. pH media uji pada perlakuan kontrol sebesar 7,14. Terlihat penurunan pH yang tidak signifikan antara sebelum dengan sesudah uji toksisitas. Nilai pH media sebelum dan sesudah uji toksisitas masih pada kisaran toleransi untuk kehidupan organisme akuatik. Penurunan pH terjadi akibat adanya hasil metabolisme lobster yang kemudian terlarut dalam perairan. Menurut Boyd dan Lichtkoppler (1979), pH yang ideal bagi kelangsungan hidup organisme akuatik (khusunya golongan ikan) adalah 6,5 hingga 9. Senada dengan pernyataan tersebut, Lukito dan Prayugo (2007) menyebutkan kisaran pH yang baik untuk
6,5 – 9 dengan pH ideal adalah 8. Hal ini sesuai dengan
pertumbuhan lobster adalah
habitatnya yaitu sungai yang memiliki pH cenderung netral. pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak terdapat pada perairan yang memiliki pH rendah. Amonium bersifat tidak toksik (innocuos). Namun pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemukan amoniak yang tidak terionisasi dan bersifat toksik. Amonia tak terionisasi ini lebih mudah terserap ke dalam tubuh organisme akuatik dibandingkan dengan amonium (Tebut 1992 diacu dalam Effendi 2003). 4.2.2.2 Suhu Suhu merupakan salah satu parameter fisika yang penting diamati untuk kelangsungan hidup organisme perairan. Hampir semua biota perairan bersifat poikilotermal sehingga memerlukan suhu air yang ambien (Sneddon 2012). Perubahan suhu pada media uji sebelum dan sesudah dilakukan uji toksisitas letal akut dapat dilihat pada Gambar 7.
suhu (oC)
27,50 27,00
27,10
26,50
26,60 26,27 26,30
26,20
26,20
25,40 25,40 25,40
25,47
25,47
26,00 25,50
26,90 26,70
sebelum sesudah
25,00 24,50 0
3
4
5
6
7
8
konsentrasi (ppt)
Gambar 7 Suhu media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut. Suhu media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut berkisar antara 25,40 – 27,10 oC . Rentang suhu tersebut masih dapat dikatakan sebagai suhu normal bagi lobster, yaitu 26 – 29 oC (Lukito dan Prayugo 2007). Suhu mempunyai efek yang krusial terhadap proses – proses kimia dan biologi dalam perairan. Pada umumnya reaksi kimia rata-rata meningkat setiap adanya kenaikan suhu 10 oC (Boyd dan Lichtkoppler 1979). 4.2.2.3 DO (Dissolved Oxygen) DO (dissoved oxygen) atau oksigen terlarut merupakan kualitas air yang bersifat kritis dalam pemeliharaan organisme akuatik. Kelarutan oksigen menurun seiring dengan meningkatnya suhu perairan (Boyd dan Lichtkoppler 1979). Fluktuasi DO pada media uji sebelum dan setelah uji toksisitas dapat dilihat pada Gambar 8. Sebelum uji toksisitas letal akut, DO berkisar antara 3,39 – 3,81 mg/L. DO media sesudah uji toksisitas letal
akut berkisar antara 0,14 – 1,10 mg/L. DO media uji pada perlakuan kontrol sebesar 4,16 mg/L. Perubahan DO antara sebelum dan sesudah uji toksisitas akut terjadi sangat
DO (mg/L)
signifikan. 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
4,16 3,66
3,74 3,39
3,51
3,81 3,44
sebelum 1,10
0,62 0,14 0
3
0,25
4
5
sesudah
0,62 0,18
6
7
8
konsentrasi (ppt)
Gambar 8 DO media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut. Selama pengujian toksisitas, ketersediaan DO dalam media uji dimanfaatkan oleh lobster untuk melangsungkan serangkaian proses metabolisme. Oksigen terlarut juga dibutuhkan dalam proses dekomposisi sisa metabolisme. Penurunan nilai DO dipengaruhi oleh sifat bahan anestesi yang digunakan. Ekstrak biji pala terdiri dari komponen fixed oil (Guenther 1972 diacu dalam Pratiwi 2000) yang bersifat tidak larut air, misalnya myristat. Pada suhu ruang, myristat berbentuk butiran-butiran padat. Komponen ini akan menempati permukaan perairan pada media uji sehingga lapisan minyak yang terbentuk akan menghambat proses penetrasi oksigen dari atmosfer. Dengan demikian, ketersediaan oksigen terlarut pada media uji menurun sehingga dalam waktu tertentu lobster tidak dapat mempertahankan respirasi secara normal dan akhirnya mengalami fase kematian. 4.2.1.4 TAN (total ammonia nitrogen) Total Ammonia Nitrogen (TAN) merupakan jumlah amonia total yang terdapat dalam perairan. TAN meliputi amonia yang terionisasi (NH4+) dan amonia yang tidak terionisasi (NH3) (Effendi 2003). Menurut Boyd dan Lichtkoppler (1979), amonia (NH3) bersifat toksik bagi organisme akuatik apabila berada pada kadar antara 0,6 hingga 2 mg/L dan mempunyai efek subletal pada konsentrasi 0,1 hingga 0,3 mg/L. pH dan temperatur air akan mengatur proporsi amonia total yang terdapat pada perairan. Berikut adalah grafik nilai TAN media uji sebelum dan sesudah pengujian toksisitas akut (Gambar 9).
1,20 1,05 1,00 TAN (mg/L)
0,83 0,80 0,65
0,62 0,60
0,56
0,51
0,40
sesudah sebelum
0,20 0,01
0,00 0
3
0,08 0,06 0,06 0,04 0,05 0,02 4
5
6
7
8
konsentrasi (ppt)
Gambar 9 Nilai TAN media sebelum dan sesudah uji toksisitas letal akut. Data yang disajikan pada Gambar 9 merupakan hasil perhitungan amonia total yang terdiri dari material toksik (NH3) dan material tidak toksik (NH4+). Nilai TAN media uji sebelum perlakuan berkisar antara 0,01 – 0,08 mg/L. Nilai TAN setelah perlakuan berkisar antara 0,51 – 1,05 mg/L. Semakin besar
nilai TAN, maka semakin besar
pula kadar amonia yang tidak terionisasi. Hal ini dipengaruhi oleh suhu dan pH (Effendi 2003). Avertebrata air lebih toleran terhadap toksisitas amonia daripada ikan. Apabila nilai amonia tertinggi yaitu 1,05 mg/L dikonversi ke dalam nilai amonia, akan menjadi ± 0,01 mg/L (Lampiran 2). Menurut Lukito dan Prayugo (2007), nilai amonia untuk pemeliharaan lobster sebaiknya tidak lebih dari 0,05 mg/L. Dengan demikian, kadar amonia pada media uji masih berada pada nilai toleransi untuk kehidupan lobster. 4.3 Uji Waktu Induksi Ikan (organisme akuatik) dapat menyerap bahan anestesi melalui jaringan otot, saluran pencernaan atau melalui insang. Pada tingkat pemingsanan deep sedation cara induksi melalui jaringan otot akan memberikan hasil lebih baik. Kualitas air yang digunakan untuk anestesi diusahakan mendekati kualitas air yang digunakan untuk pemeliharaan (Farstad et al. 2008). Waktu induksi pada penelitian ini merupakan waktu yang dibutuhkan agar ekstrak biji pala dapat memingsankan lobster. Korelasi antara konsentrasi ekstrak biji pala dengan waktu induksinya pada lobster dapat dilihat pada Gambar 10.
350
331,67
waktu induksi (menit)
300
298,67
281,5
250 218,5
200 150 100 50 0 5
6
7
8
konsentrasi (ppt)
Gambar 10 Hubungan antara konsentrasi ekstrak biji pala dengan waktu Induksinya pada lobster. Ekstrak biji pala dengan konsentrasi 5 ppt menyebabkan waktu induksi terlama, dengan rata-rata selama 331,67 menit. Konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 8 ppt memiliki waktu induksi tersingkat, yaitu selama 218,5 menit (Lampiran 3). Terdapat kecenderungan semakin tinggi konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan maka semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk memingsankan lobster air tawar. Namun berdasarkan uji statistik pada selang kepercayaan 95 %, konsentrasi ekstrak biji pala 5 ppt – 8 ppt yang digunakan untuk uji waktu induksi tidak berbeda nyata terhadap waktu induksinya pada lobster (Lampiran 4). Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa konsentrasi ekstrak biji pala antara 5 ppt – 8 ppt tidak memengaruhi waktu induksinya pada lobster. Pala mempunyai senyawa tertentu yang berpotensi untuk dijadikan sebagai obat penenang (psychotropic). Senyawa yang dimaksud adalah myristicin (C12H16O3) dan elemicin (C12H16O3) (Leon 1991). Kedua senyawa tersebut paling banyak terdapat pada bijinya (Guenther 1967 diacu dalam Pratiwi 2000).
Pada mamalia, myristicin
mengalami metabolisme dalam tubuh sehingga menjadi MMDA (3-methoxy-4,5methylenedioxy-amphetamine). Elemicin dapat mengoksidasi oleficin pada rantai molekulnya. Senyawa yang terbentuk akibat reaksi tersebut adalah vinil alkohol yang diduga dapat menyebabkan transaminasi untuk produksi TMA (3,4,5,-trimethoxy amphetamine). MMDA diketahui mempunyai potensi yang lebih besar dibandingkan TMA sebagai obat pshychotropic. TMA dan MMDA mempunyai efek halusinogen (Leon 1991).
4.4
Pengamatan
Kondisi
Fisiologis
Lobster
Selama
Anestesi
dan
Masa
Pemulihannya Crustacean hyperglicemic hormone (CHH) diperkirakan merupakan indikator tingkat stres pada crustacea. Efek utamanya adalah peningkatan glukosa haemolymph dan laktat melalui mobilisasi cadangan glikogen intraseluler yang diindikasikan sebagai salah satu gejala stres. CHH neuropeptida disintesis oleh ganglion medulla terminalis pada organ X yang tersusun dari kelenjar sinus yang terletak pada tangkai mata (eyestalk) (Lorenzon et al. 2005 diacu dalam Elwood 2009). Anestesi berguna untuk mereduksi aktivitas dan mengurangi stres pada ikan (Iversen et al. 2003 diacu dalam Farstad et al. 2008). Anestesi dapat mengurangi laju metabolisme dan memperkecil kebutuhan oksigen, mengurangi aktivitas, mengoptimalkan penanganan dan mengurangi respon stres (Cookie et al. 2004 diacu dalam Farstad et al. 2008). Pengamatan kondisi fisiologis lobster diamati pada dua kondisi berbeda, yaitu selama anestesi dan pasca anestesi (pemulihan). 4.4.1 Pengamatan kondisi fisiologis lobter selama anestesi Jika induksi berjalan cepat, maka sulit untuk mengamati perubahan kondisi fisiologis pada hewan uji dari satu ke tahap ke tahap berikutnya pada saat anestesi. Selain itu penggunaan dosis yang tepat merupakan bagian penting untuk menghindari over dosis. Penggunaan beberapa zat anestesi diketahui dapat meningkatkan detak jantung, hiperglikemia, dan peningkatan laju pernafasan hewan uji. Gejala tersebut tergantung dari penggunaan dosis dan keberagaman spesies (Sneddon 2012). Perubahan kondisi fisiologis lobster yang diamati selama anestesi menggunakan ekstrak biji pala pada konsentrasi 5, 6, 7, dan 8 ppt dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perubahan aktivitas lobster selama anestesi
Kriteria A1 A2 A3 A4 A5 A6
8 ppt (menit ke-) 0 – 16 16 – 30 30 – 72 72 – 102 102 – 113 113 - 121
Keterangan: A1 :aktivitas normal A2 : tenang A3 : panik
7 ppt (menit ke-) 0 – 23 23 – 37 77 – 104 104 – 117 117 – 147 147 - 161
6 ppt (menit ke-) 0 – 16 16 – 30 30 – 95 95 – 188 188 – 194 194 – 312
5 ppt (menit ke-) 0 – 16 16 - 30 30 – 116 116 – 124 124 – 197 197 - 280
A4 : awal disorientasi A5 : disorientasi A6 : pingsan
Secara umum, dapat diketahui bahwa semakin kecil konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan maka lobster akan lebih lama berada pada tahap panik. Selain itu untuk menuju tahap awal disorientasi, lobster juga mengalami waktu tunggu yang relatif lama
seiring dengan menurunnya konsentrasi (8, 7, dan 6 ppt). Kondisi ini diduga dapat mengakibatkan stres yang tinggi terhadap lobster. Stres yang terjadi diindikasikan dengan pengamatan secara visual pada beberapa gejala, yaitu adanya metabolisme yang terlampau berlebihan. Hal ini terlihat dari hasil ekskresi berupa feses dan urin lobster yang lebih banyak pada media uji ketika pengamatan waktu induksi ekstrak biji pala terhadap lobster berakhir. Perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 7 ppt menyebabkan lobster mengalami diuresis, yaitu keluarnya urin secara berlebihan. Indikasinya adalah warna media anestesi menjadi kekuningan. Sedangkan pada perlakuan dengan konsentrasi
5 ppt akan menyebabkan
terdapat lebih banyak feses dalam media uji dibandingkan dengan ketiga perlakuan konsentrasi lainnya. Hal ini diduga akibat induksi ekstrak biji pala secara berlebihan sehingga metabolisme lobster menjadi lebih cepat dibandingkan dengan keadaan normal, selain itu juga ditandai dengan pergerakan lobster yang semakin agresif. Hal ini juga senada dengan Pratiwi (2000), bahwa konsumsi pala yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya gejala diuresis. Pergerakan agresif ditandai dengan adanya pergerakan capit, pelipatan ekor, pergerakan antena dan antenula, serta posisi lobster yang sering berpindah pada media uji yang mengindikasikan adanya kepanikan. Sneddon (2012) juga menyatakan stres dapat memicu peningkatan respon kardiovaskular dan mempercepat laju aliran darah pada insang. Karena itu sangat penting untuk mengurangi stres sebelum dan selama proses anestesi, diantaranya dengan melakukan pemuasaan biota sebelum anestesi sehingga metabolisme sedikit berjalan lebih lambat, akibatnya kebutuhan oksigen juga berkurang. Dalam penelitian ini lobster dipuasakan selama 24 jam sebelum dianestesi dengan asumsi bahwa waktu tersebut merupakan waktu biologis makhluk hidup untuk menjalani serangkaian proses metabolisme, meskipun demikian hal ini perlu menjadi kajian tersendiri. Schapker et al. (2002) diacu dalam Elwood (2009) merekam adanya peningkatan detak jantung dan laju pernafasan pada Procambarus clarckii dalam hal membedakan sensori menggunakan stimulus. Peneliti tersebut mengamati adanya penurunan detak jantung diikuti dengan pergerakan capit dan diduga bahwa hal itu merupakan usaha untuk menghindari kehilangan banyak darah. Sistem cardiac dan aktivitas pernafasan pada crustacea diketahui sangat sensitif pada perubahan kondisi lingkungan (tingkat oksigen terlarut, fluktuasi suhu
dan pH) ; pemberian zat kimia; penanganan atau pemberian
stimulan yang bersifat ekstrem. Induksi ekstrak biji pala pada Cherax quadricarinatus diduga berkaitan dengan penerimaan rangsang (stimulan) pada lobster oleh chemoreceptor. Pada crustacea,
reseptor neuron dikemas dalam kutikula pada eksoskeleton yang disebut sensilla (Derby dan Steullet 2001 diacu dalam Elwood 2009). Chemosensilla (sensilla pendeteksi stimulan yang bersifat kimia) terdapat pada hampir seluruh permukaan eksoskeleton dan memungkinkan pendeteksian terhadap perubahan-perubahan kimia pada lingkungan (Derby dan Steullet 2001 diacu dalam Elwood 2009). Chemosensilla akan mendistribusikan pesan berupa stimulan kimia ke seluruh permukaan tubuh lobster, termasuk antenna, antenulla, mulut, lengan (capit dan kaki), chepalothorax, abdomen dan telson (Derby 1982,1989; Derby dan Atema 1982a; Spencer 1986; Tierney et al. 1988; Hallberg et al 1997; Cate dan Derby 2000, 2001 diacu dalam Steullet et al. 2001). Sejauh ini mekanisme dari aksi zat anestesi yang berbeda pada crustacea masih belum menemukan titik terang (Saydmohammed et al. 2009). Faktor biologis seperti umur, jenis kelamin, kondisi fisiologis dan bobot, tahap perkembangan, pertumbuhan dan status fisiologis, kesehatan, dan kondisi reproduksi, begitu pula dengan faktor abiotik seperti kualitas air, temperatur, dan oksigenasi, akan mempengaruhi efikasi zat anestesi pada biota (Sneddon 2012). 4.4.2 Pengamatan kondisi fisiologis saat pemulihan lobster pasca anestesi Stres berdampak negatif terhadap biota yang terdeteksi melalui beberapa efek fisiologis seperti penurunan daya imunitas, peningkatan kemungkinan terjadinya penyakit, penurunan kualitas telur, penghambatan laju pertumbuhan dan penurunan terhadap nilai jualnya (Saydmohammed et al. 2009). Perubahan fisiologis lobster selama tahap pemulihan pasca anestesi menggunakan ekstrak biji pala dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Tahap-tahap pemulihan lobster pasca anestesi 8 ppt menit tahap kepemulihan 0 P1 10 P2 17 P3 42 P4 Keterangan :
7 ppt menit tahap kepemulihan 0 P1 7 P2 12 P3 24
P4
6 ppt menit ke0 9 16
tahap pemulihan P1 P2 P3
22
P4
5 ppt menit tahap kepemulihan 0 P1 0 P2 0 P3 10
P4
P1 : Kaki jalan lobster bergerak lemah seperti meronta, posisi terbalik, respon terhadap rangsang tidak ada. P2 : Lobster dapat membalikkan tubuhnya ke posisi semula, respon terhadap rangsang sangat lemah, ekor melipat ke dalam. P3 : Kondisi lobster lemah, sedikit gerakan, ekor melipat ke dalam, capit tidak menerima respon bila diusik. P4 : Reaktif terhadap rangsang, capit dan antena bergerak menerima respon bila diusik.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan, maka terdapat kecenderungan akan semakin lama waktu yang diperlukan untuk pemulihan lobster. Berdasarkan pengamatan frekuensi pola perubahan tingkah laku selama proses pemulihan pasca anestesi, terdapat empat kategori perubahan perilaku fisiologis pada lobster yang sering terdeteksi yaitu disimbolkan dengan P1, P2, P3, dan P4. Fase pemulihan yang meliputi empat kategori tersebut terjadi pada proses pemulihan lobster dengan anestesi menggunakan ekstrak biji pala sebesar 6, 7, dan 8 ppt. Fase tidak lengkap ditunjukkan oleh lobster pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5 ppt yaitu hanya menunjukkan kategori P4 dengan ciri reaktif terhadap rangsang, capit dan antena bergerak menerima respon bila diusik. Menurut Barrento et al. (2010), pada penelitian mengenai penggunaan AQUI-S sebagai zat anestesi pada Cancer pagurus, dapat diketahui dari perubahan fisiologis selama proeses pemulihannya yang dicirikan oleh respon tangkai mata dan pergerakan capit. Terdapatnya respon pada tangkai mata ketika diberi stimulan dan pergerakan capit yang agresif dikatakan sebagai kondisi normal. Perbedaan respon fisiologis pada perlakuan konsentrasi tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisi individu lobster dan kerja zat anestesi pada sistem sarafnya yang perlu diketahui lebih jauh berkaitan dengan mekanismenya pada sistem saraf. Unit-unit sensori berkembang seiring dengan frekuensi moulting dan faktor-faktor yang berpengaruh selama masa pertumbuhan. Hal tersebut dipengaruhi oleh masa hidup dari regenerasi sel saraf (Beltz dan Sandeman 2003 diacu dalam Elwood 2009). Selama ecdysis, crustacea berada dalam kondisi yang rawan, dan sebagai penyesuaian maka terjadi tambahan fungsi sensor yang baru
(Ali 1987 diacu dalam Elwood 2009). Ecdysis
merupakan tahap pelepasan diri dari kerangka lama. Pada saat baru melepaskan diri, kutikel lobster air tawar masih dalam keadaan lembut. Pada fase ini, terjadi penyerapan air dalam jumlah banyak dan secara cepat oleh tubuh lobster. Ion-ion kalsium dari dalam tubuh lobster akan diangkut untuk memenuhi jaringan kulit (Lukito dan Prayugo 2007). Zat anestesi umumnya digunakan di labaoratorium untuk keperluan penelitian, veterinary, dan akuakultur (Sneddon 2012). Pada aplikasi ilmu kedokteran, zat anestesi bekerja pada saraf penerima rasa sakit (nociceptor).
Zat anestesi akan menghambat
respon penerima rasa sakit pada saraf periferal atau organ yang luka dengan menghalangi transmisi sodium menuju sel neuron.
Zat anestesi bekerja dengan prinsip
memblokade ion sodium sehingga saraf pusat tidak menerjamahkan luka sebagai rasa sakit (Elwood 2009).
4.5 Uji Penyimpanan Lobster Air Tawar Menurut Gregory et al. (1998) diacu Anonim (2005), ketika biota sampai di pabrik (kepiting dan lobster), kebanyakan diantaranya berada dalam kondisi yang memprihatinkan, bahkan banyak yang kehilangan sebagian organ tubuhnya. Beberapa kondisi biota tersebut ada yang hidup namun dalam keadaan lemah, kritis, bahkan mati. Rata-rata sebesar 20% spesies australian rock lobster (Panulirus cygnus) yang sampai di industri berada dalam keadaan lemah sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan untuk menerapkan sistem transportasi hidup pada lobster. Selain itu, terdapat studi di Kanada bahwa 19% dari lobster yang sampai di pabrik telah kehilangan capitnya. Merujuk pada kasus tersebut, penggunaan bahan anestesi diharapkan dapat mengurangi tingkat stres pada saat penanganan maupun transportasi biota (Barrento et al. 2011; Farstad et al. 2008; Fotader dan Evans 2010; Saydmohammed 2009; Sneddon 2012). Konsentrasi ekstrak biji pala yang digunakan untuk memingsankan lobster dalam aplikasi uji penyimpanan adalah 5, 7, dan 8 ppt. Konsentrasi tersebut disesuaikan dengan pengamatan konsentrasi ekstrak biji pala sesuai dengan perhitungan waktu induksi dan pengaruh tingkat toksisitas ekstrak biji pala terhadap mortalitas lobster (uji toksisitas letal akut). Konsentrasi ekstrak biji pala 5 ppt diuji untuk mengetahui efektifitasnya terkait dengan LC50–24 jam, sedangkan konsentrasi biji pala sebesar 7 ppt dan 8 ppt diuji untuk mengetahui efektifitasnya karena merupakan dua konsentrasi tertinggi yang digunakan pada uji toksisitas akut. Pengamatan mengenai pengaruh konsentrasi ekstrak biji pala terhadap survival rate lobster pada lama penyimpanan 12, 24, 36, dan 48 jam terdapat pada Tabel 7. Penggunaan bahan anestesi dengan konsentrasi 5, 7, dan 8 ppt, tidak memberikan hasil yang berbeda. Pada penyimpanan selama 12 dan 24 jam, survival rate lobster sebesar 100 %, kemudian terjadi penurunan pada penyimpanan 36 dan 48 jam sehingga survival rate lobster menjadi 90 %. Kematian lobster yang terjadi pada penyimpanan 36 jam dan 48 jam disebabkan karena lobster tidak mampu membentuk ATP untuk metabolisme basal. Metabolisme basal merupakan metabolisme yang berlangsung ketika kondisi lobster pingsan atau dalam keadaan sedang tidak beraktivitas. Hal ini diduga akibat kenaikan suhu selama uji penyimpanan. Suhu awal media saat pengemasan berkisar antara 13 – 16 oC, sesuai dengan Suryaningrum (2007) suhu media diusahakan tidak melebihi 20 oC. Suhu akhir media kemasan saat pembongkaran setelah 12 jam penyimpanan berkisar pada 22 - 23 oC dan setelah 24, 36, dan 48 jam, suhu media berkisar antara 23 – 24 oC (Lampiran 5). Kenaikan suhu pada kemasan selama uji penyimpanan menyebabkan lobster tersadar. Ketika lobster sadar, lobster membutuhkan oksigen untuk melangsungkan metabolisme,
sedangkan ketersediaan oksigen dalam media berkurang (hipoksia) bahkan hingga tidak terdapat oksigen (anoksia) karena kemasan tertutup sehingga lobster melakukan respirasi secara anaerob. Respirasi anaerob menyebabkan akumulasi laktat. Akumulasi laktat yang terlampau tinggi dapat menyebabkan kematian lobster. Tabel 7 Survival rate lobster pada uji penyimpanan lobster Konsentrasi ekstrak biji pala (ppt) 5
7
8
lama penyimpanan (jam)
survival rate (%)
12 24 36 48 12 24 36 48 12 24 36 48
100 100 90 90 100 100 90 90 100 100 90 90
Kondisi deep sedation dapat dipertahankan hanya dalam waktu singkat, dibuktikan dengan kondisi lobster yang sudah bergerak saat dilakukan pembongkaran. Keadaan ini tejadi pada semua kondisi pada perlakuan konsentrasi ekstrak biji pala sebesar 5, 7, dan 8 ppt. Hal ini disebabkan ekstrak biji pala hanya mampu mempertahankan kondisi pingsan lobster dalam waktu yang relatif singkat. Dalam kajian mengenai penggunaan bahan anestesi untuk kepentingan waktu pingsan yang lama, Sneddon (2012) menganjurkan adanya penggunaan dua bahan anestesi yang dapat bekerja berkesinambungan sehingga diperoleh kondisi dan waktu pingsan yang ideal untuk biota.