39
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Proses pembuatan tepung ikan Tahapan pertama dalam proses penelitian ini adalah pembuatan tepung kepala dan badan ikan yang merupakan bahan dasar dalam pembuatan formula biskuit. Tahapan yang dilakukan dalam proses pembuatan tepung ikan dimulai dengan pemilihan bahan baku ikan lele, dan dilanjutkan dengan proses pengolahan ikan lele hingga menjadi tepung kepala dan tepung badan yang terpisah. 4.1.1 Pemilihan bahan baku Bahan baku utama yang digunakan adalah ikan lele segar yang diambil langsung dari kolam pembesaran, jenis ikan yang digunakan adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) varietas sangkuriang. Pemilihan penggunaan varietas sangkuriang didasarkan karena lele dumbo jenis ini merupakan salah satu varietas unggulan yang memiliki nilai produktifitas tinggi. potret ikan lele jenis sangkuriang yang dipergunakan dalam penelitian dicantumkan dalam Gambar 4.
Gambar 4 Ikan lele dumbo segar varietas sangkuriang. Ikan lele yang digunakan adalah ikan lele dengan kisaran 6-8 ekor per kilo gram, dengan umur panen 3-4 bulan dan berat rata-rata per ekor 125-150 dengan panjang 25-32 cm. 4.1.2 Pembuatan tepung ikan Tahapan pembuatan tepung ikan lele diawali dengan sortasi ikan, sortasi ukuran ikan dilakukan pada saat ikan diangkat dari kolam pembesaran. Ikan-ikan yang telah melalui tahapan sortasi kemudian dimatikan dan dibuang isi perut (jeroan) dan insang. Pembuatan tepung ikan yang biasa digunakan untuk bahan dasar pakan ternak seluruh bagian ikan digunakan (Anonim 2011a), tetapi dalam
40
penelitian ini tidak menggunakan jeroan dan insang karena produk akhir dari proses penelitian ini berupa makanan pendamping bagi wanita hamil dengan yang mengimplementasikan formula biskuit. Bagian-bagian dari ikan lele yang diolah menjadi tepung dicantumkan dalam Gambar 5. A
B
Gambar 5 Kepala dan badan ikan lele dumbo segar. Setelah dibersihkan, lalu dipisahkan antara bagian kepala dan bagian badan (Gambar 5) bagian kepala yang digunakan adalah kepala utuh tanpa insang, dan bagian badan yang dipakai adalah badan utuh tanpa jeroan, tanpa pembuangan kulit, sirip, patil, ekor dan lain-lain. Presentase rendemen bagian tubuh ikan yang diperoleh dalam proses pemisahan bahan baku ikan segar dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 18 Persentase bagian tubuh ikan lele dumbo varietas sangkuriang Bagian Ikan Insang Jeroan Kepala Badan Total
Jumlah Berat (g)
Persentase (%)
9,03 9,71 35,81 93,46 148,00
6,10 6,56 24,19 63,15 100,00
Berdasarkan Tabel 19 di atas, diketahui bahwa rendemen ikan lele dumbo segar varietas sangkuriang adalah sebesar 87,34 persen. Hasil analisis kandungan kimia ikan lele dumbo segar varietas sangkuriang dengan menggunakan analisis proksimat disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis proksimat ikan lele dumbo varietas sangkuriang Bagian Ikan Kepala Badan
Air 67,74 69,36
Abu 11,58 1,82
Lemak 5,23 9,13
Protein 14,11 13,78
Karbohidrat
1,34 5,91
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan air mendominasi komposisi ikan lele yaitu sebesar 67,74 persen untuk kepala dan 69,36 persen untuk badan. Perbedaan signifikan juga dapat ditemui pada kadar abu ikan
41
segar, dimana kadar abu kepala 11,58 dan kadar abu pada badan ikan segar sebesar 1,82, hal ini dipengaruhi oleh komposisi penyusun kepala ikan yang dominan berbentuk tulang. Proses selanjutnya adalah lele segar yang telah dipisahkan antara kepala dan badan di masak. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) menggunakan Autoklaf. Proses pengukusan menggunakan tekanan tinggi ditujukan untuk melunakkan tulang-tulang ikan sehingga mudah dihancurkan menjadi tepung dan dapat meningkatkan rendemen tepung, selain itu diharapkan juga tulang ikan dapat memberikan tambahan mineral pada tepung yang dihasilkan. Bentuk ikan lele setelah proses pengukusan dapat dilihat pada Gambar 6. A
B
Gambar 6 Kepala dan badan ikan setelah dikukus. Tujuan
lain
dari
pemasakan
adalah
untuk
menghentikan
proses
pembusukan, baik oleh bakteri, jamur maupun enzim sehingga dapat mencegah pembentukan off-flavour. Proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup, sehingga pada penelitian ini menggunakan pemanasan menggunakan suhu 121 0C selama 2 jam untuk kepala ikan dan 1,5 jam untuk badan ikan. Proses pemasakan antara kepala dan badan ikan dilakukan secara terpisah, agar keempukan ikan yang dihasilkan dapat seragam (Mervina 2009). Proses pemanasan juga memiliki beberapa efek yang menguntungkan (Fennema 1996): (1) in-aktifasi toksin dalam dalam bentuk protein, seperti toksin botulium yang dihasilkan oleh clostridium botulium dan enterotoksin yang dihasilkan oleh staphylococcus aureus; (2) denaturasi protein yang meningkatkan daya cerna pangan; (3) meng-inaktifkan beberapa enzim yang berperan dalam kerusakan produk pangan seperti protease, lipase, serta enzim yang bersifat oksidatif dan hidrolisis.
42
Inti dari pembuatan tepung yang berbahan dasar ikan adalah pengurangan kadar air. Kadar air yang tinggi dalam daging ikan merupakan faktor penentu dalam proses pembusukan ikan (Muljanto 1982). Bila kadar air dikurangi, maka akan menghambat pembusukan ikan. Pengurangan kadar air ikan adalah untuk mempersingkat waktu pengeringan daging basah menjadi daging kering. Oleh karena itu, setelah dilakukan pemasakan, badan dan kepala ikan matang kemudian dipres dengan alat hidrolik untuk mengurangi sebagian besar air dan minyak didalamnya. Tahapan berikutnya, badan dan kepala ikan dikeringkan lebih lanjut mengunakan oven dengan suhu 80
0
C selama 12 jam. Setelah menjalani
pengeringan di oven selama 12 jam, maka daging ikan yang dihasilkan akan benar-benar kering dan garing. Selain menggunakan oven ada cara lain yang biasa digunakan dalam mengeringkan daging ikan dalam pembuatan tepung, yaitu menggunakan drum dryer. Penggunaan drum dryer memiliki beberapa kelebihan, diantaranya kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Penggunaan drum dryer dinilai lebih efisien untuk pengeringan skala besar. Tahapan terakhir dalam membuat tepung kepala dan badan lele dalam penelitian ini adalah proses penghalusan. Proses penghalusan dilakukan menggunakan blender. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tepung yang berbahan dasar badan ikan relatif berwarna lebih putih dibandingkan dengan kepala ikan yang berwarna agak gelap seperti yang disajikan pada Gambar 7. A
B
Gambar 7 Tepung kepala dan tepung badan ikan lele. Perbedaan warna tepung ikan disebabkan komposisi daging ikan yang berwarna putih lebih dominan pada badan ikan, selain itu pada proses pengeringan juga mempengaruhi warna tepung yang dihasilkan, pengeringan yang dilakukan memnggunakan waktu yang sama antara badan dan kepala ikan,
43
sementara itu komposisi air didalam daging pada badan ikan lebih banyak, sehingga kecepatan mengeringnya juga berbeda, kepala ikan lebih cepat kering dan terjadi proses pencoklatan. 4.1.3 Analisis sifat fisik tepung ikan Sifat fisik tepung ikan yang dianalisis meliputi: uji aktivitas air (aw); uji rendemen dari tepung kepala dan tepung badan ikan lele yang dihasilkan. 4.1.3.1 Aktivitas air (aw ) Aktivitas air (aw) adalah perbandingan antara tekanan uap larutan dengan tekanan uap air solven murni pada temperatur yang sama (aw = p/po ). aw juga dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan mikrobia dalam pangan.
Air murni mempunyai aw 1,0 dan bahan makanan yang
sepenuhnya terdehidrasi memiliki aw = 0. Bakteri gram negatif lebih sensitif terhadap penurunan aw dibandingkan bakteri lain. Batas aw minimum untuk multiplikasi sebagian besar bakteri adalah 0,90. Escherichia coli membutuhkan aw minimum sebesar 0,96, sedangkan penicillium 0,81. aw minimum untuk staphylococcus aureus adalah 0,85. Mikroba mempunyai kebutuhan aw minimal yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Di bawah aw minimal mikroba tidak dapat tumbuh atau berkembang biak. Oleh karena itu salah satu cara untuk mengawetkan pangan adalah dengan menurunkan aw dari bahan. Beberapa cara pengawetan pangan yang menggunakan prinsip penurunan a w bahan misalnya pengeringan dan penambahan bahan pengikat air seperti gula, garam, pati serta gliserol. Analisis aktivitas air menunjukkan hasil tepung kepala ikan lele dumbo sebesar 0,428 ±0,0015 dan tepung badan ikan
lele dumbo sebesar 0,408
±0,0012 Angka ini menunjukkan bahwa kedua jenis tepung memiliki kualitas yang baik dan tidak rentan terhadap pertumbuhan berbagai macam bakteri, kamir maupun kapang. Dalam kondisi ini, tepung kepala dan badan ikan lele yang dihasilkan dapat bertahan dalam penyimpanan pada suhu ruangan. Secara diagram, perbandingan hasil uji aktivitas air (aw) pada Gambar 8.
44
0,43
0,4283
0,425 0,42 0,415 0,4077
0,41 0,405
0,4 0,395
Gambar 8 Diagram uji aktivitas air (aw)
Kepala
Badan.
Kebutuhan aw untuk pertumbuhan mikroba umumnya adalah sebagai berikut: 1) bakteri pada umumnya membutuhkan aw sekitar 0,91 atau lebih untuk pertumbuhannya Akan tetapi beberapa bakteri tertentu dapat tumbuh sampai aw 0,75; 2) kebanyakan kamir tumbuh pada aw sekitar 0,88 dan beberapa dapat tumbuh pada aw sampai 0,6; 3) Kebanyakan kapang tumbuh pada minimal 0,8. 4.1.3.2 Rendemen Penghitungan rendemen bertujuan untuk mengetahui berat produk yang dihasilkan dari sejumlah berat bahan baku yang digunakan untuk membuat suatu produk. Angka rendemen yang digunakan untuk menghitung hasil dari pembuatan tepung kepala dan badan ikan adalah ratio antara bobot tepung yang dihasilkan dengan bobot bahan baku yaitu ikan segar yang disebut rendemen nyata. Perhitungan rendemen dilakukan dengan rumus sebagai berikut: Rendemen nyata = Bobot tepung ikan Bobot ikan segar Berdasarkan
analisis
rendemen
yang
x 100 %
dilakukan,
dihasilkan
nilai
rendemen tepung kepala adalah sebesar 26,97 % dari berat bahan awal,artinya dari 1kg kepala ikan lele segar akan menghasilkan tepung kepala ikan lele sebanyak 269,7 gram. Nilai rendemen tepung badan adalah sebesar 15,70 % dari berat bahan awal, angka ini menunjukkan dari 1kg badan ikan lele segar akan menghasilkan 157 gram tepung badan ikan. Data perolehan hasil perhitungan rendemen dapat dilihat pada Tabel 20.
45
Tabel 20 Rendemen tepung Komponen Tepung
Ikan 277 723 1000
Kepala Badan Total
Berat (g) Tepung 74,70 113,50 188,20
Rendemen (%) 26,97 15,70 42,67
Hasil perbandingan antara rendemen tepung kepala dan tepung badan menunjukkan nilai rendemen tepung kepala lebih besar dibandingkan dengan rendemen tepung badan ikan, hal ini disebabkan karena komponen penyusun kepala ikan lebih didominasi oleh tulang. 4.1.4 Analisis sifat kimia tepung ikan Analisis sifat kimia pada tepung ikan dilakukan terhadap kedua jenis tepung yang dihasilkan, adapun analisis yang dilakukan meliputi: (1) kadar air; (2) kadar lemak; (3) kadar abu; (4) kadar protein dan; (5) kadar karbohidrat. Data analisis sifat kimia tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 21. dan standar mutu nasional Indonesia untuk tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 21 Hasil uji proksimat pada tepung Jumlah Kadar (%)
Jenis Tepung Kepala Badan
Air
Abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
5,07 5,72
26,99 6,58
21,66 26,23
40,09 43,29
6,19 18,18
Tabel 22 Standar mutu tepung ikan sebagai bahan pangan Jumlah Kadar (%)
Kualitas
Air
Mutu 1* ≤ 10 Mutu 2* ≤ 12 Mutu 3* ≤ 15 Sumber : * DSNI (1996)
Abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
≤ 20 ≤ 25 ≤ 30
≤ 8 ≤ 10 ≤ 12
≥ 65 ≥ 55 ≥ 45
≤ 19**
** LIPI (1999)
4.1.4.1 Kadar air Tabel 21 menunjukkan hasil analisis kadar air dari tepung kepala dan badan ikan lele dumbo. Kadar air tepung kepala sebesar 5,07% sedangkan kadar air pada tepung badan sebesar 5,72%, perbedaan antara kedua jenis tepung menunjukkan bahwa kadar air dari tepung kepala lebih rendah, hal ini dipengaruhi oleh komposisi kepala ikan yang dominan tulang, sedangkan tepung badan ikan lebih tinggi, hal ini disebabkan karena komposisi badan ikan didominasi oleh daging yang mengandung kadar air yang relatif tinggi (70-80%).
46
Diagram analisis kadar air pada tepung ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 9. 5,72
5,8 5,6 persen
5,4 5,2
5,07
5 4,8 4,6
Gambar 9 Diagram analisis kadar air
Kepala
Badan.
Kadar air pada kedua jenis tepung yang dihasilkan menunjukkan mutu yang baik dan sudah sesuai dengan SNI yang mensyaratkan standar maksimal kadar air pada tepung ikan maksimal 10%. Proses pengeringan pada tepung dapat mengurangi kadar air sampai batas tertentu hingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dapat terhambat. Batas kadar air minimum dimana mikroba dapat tumbuh adalah 14-15%. Kadar air kedua jenis tepung yang dianalisis berada dibawah kisaran kadar air minimum untuk pertumbuhan mikroba, sehingga dapat dikatakan tepung yang dihasilkan berkualitas baik dan tidak mudah rusak. 4.1.4.2 Kadar abu Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat anorganik yang terkandung dalam bahan pangan selain air dan zat organik. Data analisis yang diperoleh menunjukkan nilai kadar abu pada tepung kepala ikan adalah sebesar 26,99%, sedangkan nilai kadar abu pada tepung badan ikan adalah sebesar 6,58%. Kadar abu pada tepung ikan yang disyaratkan oleh SNI adalah minimum 20% untuk kualitas mutu 1, minimum 25% untuk kualitas mutu 2 hingga minimum 30% untuk kualitas mutu 3. Dari hasil analisis menunjukkan kadar abu pada tepung kepala ikan masuk kategori mutu 3, sedangkan kadar abu untuk tepung badan masuk kategori mutu 1.
47
30
26,99
25
persen
20 15 10
6,58
5 0
Gambar 10 Diagram analisis kadar abu
Kepala
Badan.
Persentase kadar abu pada tepung kepala ikan lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase kadar abu tepung badan ikan. Hal ini dipengaruhi oleh komposisi kepala ikan yang didominasi oleh tulang. Karena sebagian besar abu dan mineral yang terdapat di dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang ikan, sedangkan pada tepung badan ikan tulang hanya berasal dari tulang tengah saja, sehingga kandungan abu pada tepung badan ikan lebih rendah (Moeljanto 1982). 4.1.4.3 Kadar lemak Kadar lemak dalam suatu produk tepung yang berasal dari bahan baku ikan diharapkan bernilai rendah, karena semakin rendah kadar lemak suatu produk maka semakin kuat daya simpan produk tersebut. Menurut LIPI (1999) kadar lemak suatu produk pangan yang ideal berkisar antara 8-12 %. Hasil uji terhadap tepung ikan lele menunjukkan nilai kadar lemak yang tinggi berkisar antara 21,66 hingga 26,33 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa tepung ikan lele baik tepung kepala maupun tepung badan memiliki kualitas yang kurang baik terutama terhadap daya simpan, karena pada kadar lemak diatas 12% akan mudah ditumbuhi mikroba . Diagram hasil uji kadar lemak dapat dilihat pada Gambar 11. 30 25
26,23 21,66
persen
20 15 10 5 0
Gambar 11 Diagram analisis kadar lemak
Kepala
Badan.
48
Gambar 11 menunjukkan nilai kadar lemak pada tepung badan ikan lebih tinggi dibandingkan dengan tepung kepala ikan. Hal ini disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibandingkan dengan kepala ikan. Selain itu, kandungan asam lemak tak jenuh pada ikan lebih tinggi sehingga tepung ikan yang dihasilkan dari bahan baku daging ikan akan menghasilkan kadar lemak yang lebih tinggi. 4.1.4.4 Kadar protein Hasil
analisis
kadar
protein
yang
dilakukan
pada
tepung
ikan
menunjukkan bahwa kadar protein tepung kepala lebih besar daripada tepung badan. Tepung badan ikan lele memiliki kadar protein sebesar 43,29 %, sedangkan tepung kepala memiliki kadar protein sebesar 40,09%. Perbedaan kadar protein kedua bahan ini dipengaruhi oleh susunan bahan baku, dimana tepung yang dihasilkan dari daging ikan akan lebih besar kadar proteinnya. Hal ini disebabkan daging ikan sebagian besar tersusun oleh protein miofibrilar, yang merupakan 60-75% protein dalam otot yang digunakan untuk pergerakan ikan. Diagram uji kadar protein dapat dilahat pada Gambar 12. 40,09
43,29
40
persen
35 30 25 20 15
Gambar 12 Grafik analisis kadar protein
Kepala
Badan.
Perbedaan antara kadar protein pada tepung kepala dan tepung badan tidak signifikan. Hal ini dipengaruhi oleh cara pemisahan antara kepala dan badan pada saat sortasi bahan baku tepung, dimana masih terdapat kandungan daging yang menempel pada kepala ikan yang tidak dibuang. Kadar protein tepung badan dan tepung kepala ikan lele yang dihasilkan berada dibawah nilai standar minimum yang ditetapkan oleh SNI yaitu minimal 45% hingga 65%. Kondisi ini dipengaruhi oleh metode pembuatan tepung yang dilakukan, dimana proses pemasakan menggunakan autoklaf pada suhu tinggi dan pengepresan menggunakan hidrolik mengakibatkan proses koagulasi pada bahan yang mengakibatkan protein dalam bahan terlarut.
49
4.1.4.5 Kadar karbohidrat Penghitungan kadar karbohidrat dalam penelitian ini menggunakan metode by-difference yang merupakan metode penghitungan kadar karbohidrat secara kasar. Menurut LIPI (1999) kadar karbohidrat pada tepung ikan yang baik maksimal sebesar 19 %. Kadar karbohidrat hasil analisis pada tepung kepala ikan sebesar 6,19% dan tepung badan ikan sebesar 18,18%. Kedua jenis tepung hasil pengolahan tersebut masih berada dibawah standar maksimum. Kondisi ini menunjukkan kualitas karbohidrat pada tepung kepala dan badan ikan lele belum memenuhi standar kualitas LIPI (1999). Diagram
persen
hasil uji kadar karbohidrat pada tepung dapat dilihat pada Gambar 13. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
18,18
6,19
Gambar 13 Grafik analisis kadar karbohidrat
Kepala
Badan.
Kandungan karbohidrat dalam daging ikan berupa polisakarida, yaitu karbohidrat yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat pada ikan segar. Hal ini dikarenakan terjadi pengurangan sejumlah besar air dan lemak pada proses pengolahan (Adawyah 2007). 4.2 Proses pembuatan formula biskuit Proses pembuatan formula biskuit merupakan tahapan awal dalam penelitian utama. Produk akhir pada penelitian pendahuluan berupa tepung kepala dan tepung badan ikan lele (Gambar 10 dan 11) dicampur dengan bahan tambahan komposisi pembuat formula biskuit (Tabel 8) yang merupakan komposisi bahan baku pembuatan biskuit, pemilihan penggunaan komposisi ini didasarkan pada proses pembuatan yang mudah, daya simpan produk yang tahan lama, serta mudah dikonsumsi.
50
4.2.1 Tahap pengolahan formula biskuit Tahap pengolahan formula biskuit pada dasarnya dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu formula biskuit dengan bahan utama tepung kepala dan formula biskuit dengan bahan utama tepung badan. Kemudian dari kedua bagian ini dikembangkan masing-masing dengan penambahan fortifikan dan tanpa penambahan fortifikan. Proses pembuatan formula biskuit dimulai dengan mencampurkan bahan baku yang berbentuk serbuk (tepung). Tujuan dari proses ini adalah untuk memastikan agar semua bahan tercampur secara rata, karena beberapa jenis bahan baku bervolume sangat kecil. Pada pembuatan formula biskuit dengan bahan dasar tepung badan ikan lele diawali dengan mencampurkan tepung badan ikan lele sebanyak 242 gram, tepung terigu sebanyak 161 gram, tepung gula/gula bubuk sebanyak 202 gram, susu skim sebanyak 60 gram serta baking powder pengembang sebanyak 10 gram. Semua jenis bahan yang berupa serbuk ini diaduk menggunakan blender sampai seluruh bahan tercampur rata dan homogen. Bahan-bahan yang telah tercampur kemudian dibagi menjadi dua bagian sebanyak 337,5 gram. Proses pengolahan ini disajikan dalam bentuk diagram seperti pada Gambar 14. Tepung kepala
242 g
Tepung terigu
161 g
Tepung gula
202 g
Susu skim
60 g
Baking powder
10 g
Bahan serbuk
338,056 g
+
Bahan serbuk /2
Bahan serbuk
337,5 g
Fort- Vit A
112 mg
+ Fort- Asam Folat
Margarin
Bahan serbuk Margarin
337,5 g 265 g
11 mg Kuning telur
265 g Fort- Zat Besi
Kuning telur
675 g
60 g
433 mg
60 g Formula 1 (F1)
Formula 2 (F2)
Tepung Kepala Dengan Fortifikan
Tepung Kepala Tanpa Fortifikan
Gambar 14 Diagram alir proses pengolahan pakan formula F1 dan F2.
51
Bahan baku tepung dengan berat 337,5 gram tersebut kemudian dicampur kembali dengan bahan fortifikan vitamin A, zat besi dan asam folat (ketiga jenis fortifikan ini dalam bentuk serbuk) menggunakan blender hingga tercampur rata. Tahapan selanjutnya adalah menggabungkan campuran tepung ini dengan margarin sebanyak 265 gram dan kuning telur sebanyak 60 gram hingga menjadi adonan yang kalis dengan menggunakan mixer, adonan kemudian dicetak menggunakan grinder sehingga terbentuklah formula biskuit jenis tepung kepala ikan dengan fortifikan (F1). Bagian lain dari bahan serbuk seberat 337,5 gram langsung dicampurkan dengan margarin sebanyak 265 gram dan kuning telur sebanyak 60 gram lalu bahan diaduk dengan menggunakan mixer hingga adonan menjadi kalis, sehingga terbentuklah formula formula biskuit F2 (tepung kepala tanpa fortifikan). Produk formula F1 dan F2 dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Produk jadi pakan formulasi F1 dan F2. Proses pengolahan formula biskuit tepung badan dengan fortifikan (F3) dan formulasi tepung badan tanpa fortifikan (F4) sama saja dengan proses pengolahan formula biskuit F1 dan F2 seperti Gambar 18 diatas. Perbedaan terletak pada bahan baku utamanya, dimana tepung kepala untuk formulasi F1 dan F2 sedangkan untuk formulasi formula biskuit F3 dan F4 menggunakan bahan baku tepung badan ikan lele. 4.2.2 Rendemen formula biskuit Penentuan rendemen formula biskuit pada penelitian ini menggunakan perbandingan berat produk hasil/ produk jadi dalam bentuk formula biskuit terhadap bahan dasar adonan awal. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan menunjukkan nilai rendeman formula biskuit adalah sebesar 87,95%
52
dari berat awal. angka ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan bahan adonan sebanyak 1000gr akan menghasilkan formula biskuit jadi seberat 8795 gram. Penurunan berat produk ini disebabkan karena terjadi proses penguapan pada saat pengeringan yang mengakibatkan hilangnya kadar air dari beberapa jenis bahan baku yang mengandung air seperti telur dan margarin. 4.2.3 Analisis sifat kimia formula biskuit Analisis sifat kimia pada formula biskuit dilakukan terhadap kedua jenis formula biskuit dari dua bahan baku utama yaitu tepung kepala dan tepung badan ikan lele. Proses pengukuran sifat kimia pada formula biskuit menggunakan metode : (1) Analisis proksimat dan (2) Analisis kandungan energi pada formula biskuit. 4.2.3.1 Analisis proksimat Analisis proksimat yang diuji dalam penelitian ini meliputi : (a) kadar air; (b) kadar lemak; (c) kadar abu; (d) kadar protein dan (e) kadar karbohidrat. Hasil uji proksimat pada formula biskuit dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil uji proksimat pada formula biskuit Bahan Baku Biskuit Tepung Kepala Tepung Badan Standar Pakan Ikan* Standar Biskuit **
Air 5,13 5,14 ≤ 12 ≤5
Jumlah kadar (%) Abu Lemak Protein 10,55 20,49 18,05 3,85 21,34 15,15 ≤ 15 ≥5 ≥ 25 ≤ 1,6 ≥ 9,5 ≥9
Karbohidrat 45,78 54,52 ≥ 43 ≥ 70
Sumber : * BSNI (2006) ** BSNI (1992)
Pada di atas menunjukkan hasil analisis proksimat dari kedua jenis formula biskuit dengan bahan baku tepung kepala dan tepung badan ikan lele. Pada Tabel 25 juga terdapat standar pembanding yang merupakan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-7242-2006) yang merupakan standar nasional untuk produk pakan ikan dengan pemeliharaan intensif, sedangkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2973-1992) merupakan standar nasional untuk produk biskuit. Dari kedua data SNI tersebut diharapkan dapat menggambarkan standar kualitas dari produk yang diolah dalam bentuk formula biskuit yang menggunakan komposisi produk biskuit.
53
1. Kadar air Proses pengurangan kadar air pada saat pengolahan formula biskuit terjadi pada tahapan pengeringan menggunakan oven pada suhu 800C selama kurun waktu 12 jam. Kadar air pada produk pangan berpengaruh pada daya simpan dan kerenyahan produk, dimana semakin kecil kadar air maka produk tersebut memiliki daya simpan yang lebih baik, begitu juga terhadap kerenyahan produk tersebut. Kadar air yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan nilai 5,13 untuk formula biskuit dengan bahan dasar tepung kepala dan 5,14 untuk formula biskuit dengan bahan dasar tepung badan. Kedua jenis formula biskuit ini dapat dikatakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan untuk nilai kadar air. Jika ditinjau dari standar yang ditetapkan SNI sebesar maksimal 12%, kedua jenis formula biskuit ini dapat dikategorikan memiliki kualitas yang baik. Diagram hasil analisis kadar air pada pakan dapat dilihat pada Gambar 16. 5,5
5,13
5,14
5
persen
4,5 4 3,5 3 2,5 2
Gambar 16 Diagram analisis kadar air pada pakan
Kepala
Badan.
Tetapi jika dibandingkan dengan SNI untuk produk biskuit, kedua produk ini telah melampaui batas maksimal yaitu 5 %. Biskuit relatif memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan formula biskuit dalam bentuk pelet, hal ini dipengaruhi oleh proses pengolahan biskuit melalui tahap pemanggangan dengan suhu yang sangat tinggi yang mencapai 150 0C (Mervina, 2009) sedangkan pengolahan formula biskuit ini menggunakan suhu 80 0C. 2. Kadar abu Pada dasarnya, kadar abu merupakan unsur mineral yang merupakan sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bahan bebas dari unsur karbon. Kadar abu juga dapat dikatakan sebagai komponen yang tetap
54
tinggal yang tidak mudah menguap dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Data analisis yang diperoleh menunjukkan nilai kadar abu pada formula biskuit dengan bahan dasar tepung kepala ikan adalah sebesar 10,55%, sedangkan nilai kadar abu pada formula biskuit dengan bahan dasar tepung badan ikan adalah sebesar 3,85 %. Perbedaan yang cukup signifikan ini tidak terlepas dari kadar abu bahan dasar yang digunakan, dimana kadar abu tepung kepala sebesar 26,99 % sedangkan kadar abu tepung badan hanya sebesar 6,58 %. Diagram hasil analisis kadar abu pada pakan dapat dilihat pada Gambar 17. 12
10,55
10
persen
8 6 4
3,85
2 0
Gambar 17 Diagram analisis kadar abu pada pakan
Kepala
Badan.
Kadar abu pada formula biskuit ternak yang disyaratkan SNI 2006 adalah maksimal 15%, dengan demikian produk formula biskuit yang dihasilkan dalam penelitian ini masuk dalam kategori bermutu baik menurut standar SNI 2006. Tetapi jika dibandingkan dengan standar SNI 1992 untuk biskuit yang bernilai 1,6% produk yang dihasilkan masuk dalam kategori kurang baik, hal ini tentunya dipengaruhi oleh bahan baku tepung yang digunakan, dimana pada pembuatan biskuit dominan menggunakan tepung terigu, sedangkan proses pembuatan formula biskuit ini menggunakan bahan yang didominasi oleh tepung ikan yang pada dasarnya memiliki kadar abu tinggi terutama pada tepung kepala. 3. Kadar lemak Lemak merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembuatan formula biskuit, fungsi utama lemak dalam pengolahan ini adalah sebagai pengemulsi, selain itu lemak juga berfungsi sebagai pembentuk rasa serta pembentuk tekstur. Lemak dalam formula biskuit dominan dihasilkan dari
55
bahan dasar tepung ikan dan margarin. Hasil analisis kadar lemak pada formula biskuit dicantumkan dalam Gambar 18. 21,6 21,34
21,4
persen
21,2 21 20,8
20,6
20,49
20,4 20,2 20
Gambar 18 Diagram analisis Kadar lemak pada pakan
Kepala
Badan.
Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa kedua jenis formula biskuit memiliki kadar lemak diatas standar minimum yang ditetapkan dalam SNI 2006 yaitu sebesar minimum 5%. Sementara hasil yang diperoleh pada formula biskuit berbahan dasar tepung kepala ikan sebesar 20,49% dan formula biskuit dengan bahan dasar tepung badan ikan sebesar 21,43%. Menurut LIPI (1999) kadar lemak suatu produk pangan yang ideal berkisar antara maksimal 8-12 %. Hasil uji terhadap tepung ikan lele menunjukkan nilai diatas standar SNI 2006 maupun (LIPI 1999) Kondisi ini menunjukkan bahwa formula biskuit hasil olahan baik yang berbahan dasar tepung kepala maupun tepung badan memiliki kualitas yang kurang baik terutama terhadap daya simpan. 4. Kadar protein Protein merupakan zat gizi yang penting bagi tubuh, dimana zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi, juga berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Hasil analisis menunjukkan kadar protein yang diperoleh adalah sebesar 18,05% pada formula biskuit dengan bahan dasar tepung kepala ikan, dan 15,15% untuk formula biskuit dengan bahan tepung badan ikan, sedangkan stadar minimum yang ditetapkan oleh SNI 2006 sebagai syarat minimum produk pakan berkualitas baik memiliki kadar protein minimal 25%. Standar nasional untuk produk biskuit mensyaratkan minimal 9% produk biskuit dikategorikan berkualitas baik. Hasil analisis kadar protein dapat dilihat pada Gambar 19.
56
19
18,05
18 Persen
17 16
15,15
15 14 13
Gambar 19 Diagram analisis kadar protein pada pakan
Kepala
Badan.
5. Kadar karbohidrat Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI SNI 01-7242-2006) standar minimal untuk kadar karbohidrat suatu produk pakan adalah sebesar 43 persen. Menurut SNI 01-2973-1992, standar minimal kandungan karbohidrat untuk produk biskuit adalah sebesar minimal 70%. Berikut adalah hasil analisis kadar karbohidrat sebagaimana tercantum dalam Gambar 20. 56
54,52
54
Persen
52 50 48 46
45,78
44 42 40
Gambar 20 Diagram analisis kadar karbohidrat pada pakan Hasil
analisis
kadar
karbohidrat
pada
formula
Kepala biskuit
Badan.
dengan
menggunakan metode by-difference menunjukkan kadar karbohidrat pada formula biskuit dengan bahan dasar tepung kepala adalah sebesar 45,78% dan kadar karbohidrat pada formula biskuit dengan bahan dasar tepung badan ikan sebesar 54,52%, angka ini menunjukkan bahwa formula biskuit telah memenuhi standar SNI 2006 untuk produk pakan. Untuk standar SNI 1992 biskuit yang mensyaratkan minimum 70%, jadi kadar protein formula biskuit masih dibawah standar yang ditetapkan. Kondisi ini dipengaruhi oleh bahan baku utama pada biskuit adalah tepung terigu yang memiliki kadar karbohidrat yang sangat tinggi, sedangkan pada pembuatan formula biskuit ini menggunakan bahan baku utama tepung ikan yang tinggi lemak dan protein.
57
4.2.3.2 Kandungan energi formula biskuit Proses penghitungan kandungan energi pada formula biskuit dengan bahan baku tepung ikan lele ini dilakukan dengan metode mengkonversi kandungan protein, lemak dan karbohidrat kedalam satuan energi. Lemak merupakan sumber enegi paling besar, dimana 1 gram lemak dikonversi menjadi 9 kkal, sedangkan protein dan karbohidrat memiliki porsi yang sama, yaitu 1 gram karbohidrat/protein dikonversi menjadi 4 kkal (fennema 1996). Standar nasional produk biskuit (SNI 01-2973-1992), mensyaratkan kandungan energi minimum dalam 100 gram biskuit adalah sebesar 400 kkal. Sedangkan hasil yang diperoleh menunjukkan kandungan energi yang dihasilkan dari formula biskuit dengan bahan baku tepung kepala ikan adalah sebesar 439,73 kkal, dan formula biskuit dengan bahan baku utama tepung badan ikan memiliki kandungan kalori sebesar 470,74%. Jika ditinjau dari standar minimal yang ditetapkan, produk formula biskuit ini dapat dikatakan bermutu baik dalam pemenuhan kebutuhan energi. 4.3 Pengujian terhadap mencit Formula biskuit yang telah dihasilkan yang terdiri dari: Formula 1 (F1) yaitu formula biskuit dari tepung kepala dengan fortifikan; Formula 2 (F2) yaitu formula biskuit dari tepung kepala tanpa fortifikan; Formula 3 (F3) yaitu formula biskuit dari tepung badan dengan fortifikan; Formula 4 (F4) yaitu formula biskuit dari tepung badan tampa fortifikan dan; Formula 5 (F5) yang merupakan pakan komersil ayam ras pedaging, kemudian diaplikasikan terhadap hewan percobaan (mencit). Tahapan analisi yang dilakukan pada penelitian ini terbagi kedalam empat tahapan besar yaitu: (1) Perubahan berat badan pada induk; (2) Perubahan berat badan pada anak mencit yang dilahirkan oleh induk; (3) Analisis daya cerna protein dan (4) Analisis status metabolisme total serum. 4.3.1 Perubahan induk mencit Setelah memberi perlakuan pada mencit dengan pemberian ransum yang berbeda selama 15 hari maka didapatkan data perubahan berat badan pada induk mencit seperti yang terlihat pada Tabel 24.
58
Tabel 24 Perubahan berat badan induk Hari keFormula
Perubahan Berat Badan (gram)
1
3
5
7
9
11
13
F1
30,73
32,52
34,39
36,24
38,17
39,90
42,06
11,33
F2
31,06
32,98
35,00
36,95
38,92
40,87
42,64
11,58
F3
31,53
33,39
35,13
36,82
38,65
40,24
41,80
10,27
F4
31,24
32,96
34,75
36,40
38,22
39,93
41,59
10,35
F5
30,62
32,10
33,52
34,96
36,31
37,75
39,09
8,47
Tabel 24 menunjukkan perubahan berat badan induk mencit selama periode waktu perlakuan pemberian formula biskuit. Berat badan pada hari ke-15 merupakan berat badan setelah induk mencit melahirkan, sehingga terlihat penurunan yang signifikan dari berat pada hari sebelumnya. Perubahan berat badan induk dengan perlakuan formula biskuit F1 sebesar 11,33 dan F2 sebesar 11,58. Kedua jenis formula ini adalah formula biskuit dengan bahan dasar tepung kepala ikan. Sedangkan F3 dan F4 yang merupakan formula biskuit dengan bahan dasar tepung kepala ikan secara berturut-turut memiliki perubahan berat badan sebesar 10,27 dan 10,35. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perubahan berat badan pada mencit yang diberikan perlakuan formula biskuit dengan bahan dasar tepung kepala ikan lele memiliki perubahan peningkatan berat badan yang lebih besar dibandingkan dengan mencit dengan perlakuan formula biskuit berbahan dasar tepung badan. Secara grafis, perubahan berat badan mencit selama perlakuan formula biskuit dapat dilihat pada Gambar 21. Tabel 25 Selisih pertumbuhan berat badan induk Hari keFormula
Rata-rata pertumbuhan berat badan/hari
3
5
7
9
11
13
F1
1,79
1,87
1,85
1,93
1,74
2,16
0,944
F2
1,92
2,02
1,95
1,97
1,95
1,77
0,965
F3
1,86
1,75
1,68
1,83
1,59
1,56
0,856
F4
1,72
1,79
1,65
1,82
1,71
1,66
0,862
F5
1,48
1,42
1,45
1,34
1,45
1,34
0,706
Tabel 25 menggambarkan selisih pertumbuhan berat badan induk mencit selama perlakuan. Rata-rata pertumbuhan formula F1 adalah sebesar 0,944 gram/haari, formula F2 sebesar 0,965 gram/hari, formula F3 sebesar 0,856 gram/hari dan pada formula F4 pertumbuhan rata-rata perhari sebesar 0,862 gram/hari, sedangkan formula F5 sebagai kontrol menunjukkan perubahan rata-
59
rata berat badan sebesar 0,706 gram/hari. Pertumbuhan berat badan harian pada induk mencit menunjukkan bahwa formula F1-F4 yang merupakan formula pakan dengan bahan dasar tepung ikan lele rata-rata sebesar 0,907 gram/hari, danformula F5 dengan pertumbuhan rata-rata harian sebesar 0,706 gram/hari. Selisih pertumbuhan berat badan induk mencit selama perlakuan formula pakan menunjukkan bahwa formula F1-F4 memeiliki perubahan pertumbuhan rata-rata harian lebih besar 22,13 persen dibandingkan dengan formula F5. Kurva pertumbuhan berat badan mencit selama perlakuan formula biskuit dapat dilihat pada Gambar 21, sedangkan kurva pertumbuhan berat badan harian anak mencit dapat dilihat pada Gambar 22.
42,50 41,00 39,50 38,00 36,50 35,00 33,50 32,00 30,50 29,00 27,50 26,00 24,50 Hari ke-
1
3
5
7
9
11
13
Gambar 21 Pertumbuhan berat badan induk mencit selama perlakuan
Berat badan (gram)
2,50 2,25 2,00 1,75 1,50 1,25 1,00 Hari ke-
3
5
7
9
11
13
Gambar 22 Perubahan berat badan harian induk mencit
Perbedaan ratio peningkatan perubahan berat badan ini dipengaruhi oleh kandungan protein yang terdapat pada tepung kepala ikan yaitu sebesar 18,05%
60
sedangkan pada tepung badan sebesar 15,15%. Kandungan protein dalam tubuh selain sebagai penghasil energi, juga berfungsi sebagai zat pengatur dan pembangun yang membentuk jaringan baru dalam tubuh. Kriteria lain untuk perkembangan dan pertumbuhan mencit adalah kecukupan
nutrisi
dalam
ransum
sehingga
berpengaruh
positif
pada
pertambahan berat badan tikus. Selain tingginya kandungan protein dari bahan, faktor lain yang mempengaruhi adalah jumlah ransum yang dikonsumsi. Adanya perbedaan peningkatan berat badan mencit dipengaruhi juga oleh kesukaan terhadap ransum yang diberikan dan nafsu makan mencit. Dengan sedikitnya konsumsi ransum, akan mengakibatkan cadangan energi serta pembentukan sel-sel tubuh tikus cenderung lebih sedikit sehingga pertambahan berat badan tikus menjadi lebih rendah. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa daya konsumsi tikus terhadap formula biskuit yang berbahan dasar tepung kepala selama perlakuan (15 hari) adalah sebanyak 104.36 gram, jumlah konsumsi ini lebih banyak dari jumlah konsumsi pada formula biskuit dengan bahan baku tepung badan yang sebesar 98 gram. 4.3.2 Perubahan anak mencit Proses penimbangan berat badan anak mencit dilakukan dua hari sekali pada sore hari, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya stres pada anak mencit. Jumlah anak mencit yang dihasilkan dari kelahiran dalam penelitian ini rata-rata berjumlah 9 ekor per kandang, sedangkan menurut Malole dan Pramono (1989) kelahiran anak mencit (Mus musculus) rata-rata 6 ekor bisa sampai 15 ekor setiap kali melahirkan. Jumlah total anak mencit yang dihasilkan dalam penelitian ini sebanyak 676 ekor. Dari total tersebut, sebanyak 492 ekor mati selama masa perlakuan (21 hari) sebelum anak mencit siap disapih dari induk. Higga akhir masa perlakuan pengamatan terhadap anak mencit, jumlah anak mencit yang mampu hidup sebanyak 184 ekor. Sebaran dan jumlah kematian anak mencit selama masa perlakuan dapat dilihat pada Gambar 23.
61
120
jumlah aak mencit
100
99 92
86
80 64 60 40
33 26
20
12
17
9 11 7
3 3 5
10 0
6
6 0 3
0 Hari ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Gambar 23 Jumlah kematian anak mencit.
4.3.2.1 Berat badan anak mencit saat lahir Berat badan rata-rata kelahiran anak mencit yang ditimbang pada hari pertama penimbangan sebesar 0,852 gram untuk formula biskuit F1–F4 (formula biskuit berbahan dasar tepung ikan lele dumbo), sedangkan pada kontrol F5 (pakan komersil) seberat 0,673 gram per ekor. Data berat rata-rata kelahiran mencit dapat dilihat pada Tabel 26 dan Gambar 24. Tabel 26 Rata-rata berat badan mencit awal kelahiran (g) Formula biskuit
Rata-rata
F1
0,848 ± 0,02
F2 F3 F4 F5
0,866 0,837 0,855 0,673
0,900 0,848
Berat badan (gram)
0,850
0,866 0,837
± 0,05 ± 0,03 ± 0,02 ± 0,02
0,855
0,800 0,750 0,700
0,673
0,650 0,600 0,550 0,500
TIPE FORMULASI PAKAN F1 Gambar 24 Rata-rata berat badan anak mencit
F2
F3
F4
F5.
62
Nilai yang diperoleh antara formula biskuit F1-F4 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang mendasar terhadap berat badan lahir anak mencit terhadap formula biskuit yang difortifikasi (F1 dan F3) dengan formula biskuit yang tidak difortifikasi (F2 dan F4), begitu juga terhadap formula
biskuit yang berbahan dasar tepung
kepala ikan lele (F1 dan F2) dan formula biskuit dengan bahan baku utama tepung badan lele (F3 dan F4). Tetapi, perbedaan yang signifikan dapat dilihat antara formula biskuit dengan bahan baku utama tepung ikan lele dan formula biskuit kontrol (F5) yang memiliki bobot lahir rata-rata 0,673 gram. Jika dibandingkan, maka akan diperoleh persentase perbedaan sebesar 11,72%. Persentase ini menunjukkan bahwa jika dinilai dari segi kualitas berdasarkan bobot badan lahir, maka mencit yang diberi
formula biskuit buatan dengan
formulasi yang digunakan dalam penelitian ini lebih unggul sebesar 11,72% dibandingkan dengan formula biskuit kontrol. 4.3.2.2 Pertumbuhan berat badan anak mencit Dari hasil pengamatan pertumbuhan rambut pada sekujur tubuh anak mencit dimulai pada umur 3-4 hari, pada hari ke 5 sekujur tubuh sudah mulai dipenuhi rambut dan mencit sudah nampak berwarna putih, telinga mulai terbuka pada saat mencit usia 4 hari sedangkan mata mulai membuka pada usia 911hari. Anak-anak mencit mulai aktif berlarian dikandang pada umur 12 hari. Pada umur 11 hari selain masih mengkonsumsi susu induk, anak-anak mencit juga sudah mulai memakan makanan padat (pelet) dan belajar minum dari botol. Data pertumbuhan berat badan mencit selama 21 hari perlakuan formula biskuit dapat dilihat pada Tabel 27 berikut ini. Tabel 27 Perubahan berat badan anak mencit (g) Formula
Hari ke-
Rata-rata pertumbuhan
1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
F1
0,86
2,00
3,31
4,74
6,40
8,24
10,14
12,06
13,94
15,71
17,47
0,71
F2
0,80
2,11
3,57
5,18
6,90
8,84
10,77
12,69
14,54
16,35
18,14
0,74
F3
0,77
1,94
3,46
5,06
6,85
8,68
10,62
12,51
14,38
16,25
18,04
0,74
F4
0,82
1,98
3,58
5,26
7,11
8,99
10,86
12,76
14,58
16,47
18,23
0,75
F5
0,67
1,68
2,74
3,76
4,83
5,98
7,35
8,78
10,12
11,39
12,76
0,51
Dari data pada di atas, menunjukkan peningkatan berat badan anak mencit selama 21 hari perlakuan. Rata-rata berat anak mencit pada awal kelahiran adalah 0,852 gram untuk formula biskuit F1–F4 (biskuit berbahan dasar
63
tepung ikan lele dumbo), sedangkan pada kontrol F5 (pakan komersil) seberat 0,673 gram per ekor. Berat badan anak mencit terus meningkat hingga hari ke 21 mencapai berat rata-rata 17,97 gram untuk mencit dengan perlakuan formula biskuit F1–F4 (formula biskuit berbahan dasar tepung ikan lele dumbo), sedangkan pada kontrol F5 (pakan komersil) sebesar 12,76 gram per ekor. Diagram perkembangan berat badan anak mencit selama perlakuan dapat dilihat pada Gambar 25. 20,00 18,00
Berat badan (gram)
16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 -
Hari ke-
1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
Gambar 25 Perkembangan berat badan anak mencit
Pertumbuhan rata-rata anak mencit dengan perlakuan formula biskuit F1-F4 berkisan antara 0,71-0,74gram/hari, sedangkan pada anak mencit dengan biskuit formula F5 (pakan komersil) pertumbuhan berat badan rata-rata sebesar 0,51gram/hari. Puncak produktivitas pertumbuhan anak mencit dimulai pada hari ke-11 masa perlakuan, pada umur ini pertumbuhan mencapai 0,90 gram/hari, peningkatan ini terus berlanjut hingga hari 19 perlakuan, dimana pertumbuhan pada hari ke 19 mencapai 0,96 gram/hari. Menurut LIPI, rata-rata perkembangan mencit bisa mencapai maksimall 1 gram/hari selama masa pertumbuhan. Adapun kurva pertumbuhan berat anak mencit dapat dilihat pada Gambar 26 berikut.
64
2,10
berat badan (gram)
1,90 1,70 1,50 1,30 1,10 0,90
Hari ke-
3
5
7
9
11
13
15
19
21
Gambar 26 Pertumbuhan berat badan anak mencit
Dari hasil penelitian, menunjukkan produktivitas mencit dengan formula biskuit yang difortifikasi (F1 dan F3) dengan formula biskuit yang tidak difortifikasi (F2 dan F4) tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan berat badan anak mencit begitu juga terhadap formula biskuit yang berbahan dasar tepung kepala ikan lele (F1 dan F2) dan biskuit dengan bahan baku utama tepung badan lele (F3 dan F4). Tetapi, jika formula biskuit F1-F4 dibandingkan dengan formula biskuit F5 (pakan kontrol) perbedaan terlihat nyata. 4.3.3 Analisis daya cerna protein formula biskuit Fennema (1996) mendefinisikan daya cerna sebagai proporsi nitrogen yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna protein dalam tubuh, diantaranya: (1) konformasi protein; (2) faktor antinutrisi; (3) ikatan protein dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat, dan; (4) proses pengolahan. Analisis daya cerna protein bisa dilakukan melaui dua cara, yaitu kimia (in vitro) dan biologis (in vivo). Pada penelitian ini daya cerna protein dihitung menggunakan metode biologis dengan menggunakan indikator Protein Efficiency Ratio (PER). PER adalah perbandingan anatara kenaikan berat badan dengan jumlah protein yang dimakan, penentuan ini biasanya dilakukan pada tikus yang masih tumbuh. Prinsip dari penentuan PER adalah menganggap bahwa semua protein yang dimakan digunakan untuk pertumbuhan. Data hasil analisis PER dapat dilihat pada Tabel 28.
65
Tabel 28 Analisis Protein Efficiency Ratio (PER) Formula F1 F2 F3 F4 F5
Perubahan Berat Badan 11,33 11,58 10,27 10,35 8,47
Konsumsi Protein 18,05 18,05 15,15 15,15 20,00
PER 0,628 0,641 0,678 0,683 0,424
Rata-rata PER 0,635 0,424
Dari hasil analisis PER diatas diketahui bahwa nilai tertinggi terdapat pada formula F4 yaitu sebesar 0,683, dimana nilai ini diperoleh dari penghitungan konsumsi protein sebesar 15,15% berpengaruh pada peningkatan berat badan sebesar 10,35. Nilai ratio 0,683 menggambarkan bahwa setiap satuan protein yang dikonsumsi mencit berpengaruh pada peningkatan berat badan sebesar 0,683 gram selama masa perlakuan formula biskuit. Pada formula biskuit dengan bahan baku utama tepung kepala (F1 dan F2) diperoleh nilai rata-rata PER sebesar 0,635 sedangkan formula biskuit dengan bahan baku utama tepung badan (F3 dan F4) nilai rata-rata PER sebesar 0,681 dan formula biskuit komersil (F5) sebesar 0,424. Nilai ini menggambarkan bahwa daya serap protein pada pakan dengan bahan baku tepung badan lebih tinggi dibandingkan dengan daya serap protein pada formula biskuit dengan bahan baku tepung kepala dan formula biskuit komersil yang digunakan dalam penelitian. 4.3.4 Analisis status metabolisme total serum induk mencit Pengambilan serum darah pada mencit dilakukan sebanyak dua kali, pengambilan darah pertama dilakukan pada saat induk mencit belum diberikan perlakuan padan dan kedua setelah induk mencit melahirkan atau pada akhir perlakuan pemberian ransum. Proses pengambilan serum dilakukan dengan membius mencit dengan dietil eter, kemudian darah diambil melalui ekor. Darah diambil menggunakan jarum suntik bervolume spuit 3ml, kemudian dilakukan proses disentrifugasi selama 20 menit dengan kecepatan 1000 rpm pada suhu 4 0
C sehingga dihasilkan serum (cairan jernih) pada bagian atas dan bekuan darah
terpisah dibagian bawah tabung. Serum darah dipisahkan kemudian dilakukan analisis kadar asam folat, vitamin A dan zat besi.
66
4.3.4.1 Status metabolisme asam folat serum Pada awal perlakuan formula biskuit menunjukkan kondisi hewan percobaan berada pada kelompok antara marjinal dan defisit. Nilai kadar folat pada awal penelitian ini bisa dikatakan rawan bagi kecukupan folat ibu hamil, karena asam folat sangat penting terutama pada masa-masa awal kehamilan, karena pada masa itu sistem saraf bayi sedang terbentuk. Asam folat akan mencegah terjadinya cacat bawaan seperti cacat tabung syaraf (Neural Tube Defects), spina bifida, anenchepaly. Kekurangan konsumsi asam folat bisa berdampak lahirnya bayi-bayi cacat yang sudah terbentuk sejak dua sampai empat minggu kehamilan. Cacat ini sudah muncul bahkan sebelum si ibu menyadari dirinya hamil. Standar pengelompokan status metabolisme asam folat menurut WHO dibedakan atas tiga kelompok, yaitu defisit asam folat (<3ng/ml), marjinal (3-6ng/ml) dan cukup (>6ng/ml). Gambaran hasil analisis asam folat pada serum darah mencit dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Hasil analisis dan perubahan kadar asam folat serum (ng/ml) Formula
Awal 6,048 6,117 5,777 6,360 6,017
F1 F2 F3 F4 F5
Asam Folat (ng/ml) Akhir 10,109 6,326 10,244 6,619 6,166
Perubahan 4,062 0,208 4,468 0,259 0,149
Pada akhir perlakuan hasil uji terhadap kadar folat serum pada formula biskuit yang ditambahkan fortifikan yaitu formula F1 menunjukkan peningkatan sebesar 4,062 ng/ml menjadi 10,109 ng/ml, pada formula F2 menunjukkan peningkatan sebesar 4,468 ng/ml menjadi 10,244 ng/ml. Sedangkan formula biskuit non fortifikan, formula F2 meningkat sebesar 0,208 ng/ml menjadi 6,326 ng/ml dan formula F4 meningkat sebesar 0,259 ng/ml menjadi 6,619. Formula kontrol meningkat sebesar 0,149 menjadi 6,166 ng/ml. Peningkatan signifikan terjadi pada formula biskuit yang difortifikasi dengan asam folat, hal ini menunjukkan
bahwa
penambahan
fortifikan
asam
folat
dalam
biskuit
memberikan pengaruh nyata dalam peningkatan kadar folat serum dalam darah. Pada formula non fortifikan dan formula kontrol kadar asam folat mendekati kelompok marjinal (3-6ng/ml). Kondisi ini masih rawan terjadi gangguan pada fisik bayi yang dilahirkan, karena kadar asam folat dalam darah
67
yang rendah dapat menyebabkan: (1) Kelainan Janin seperti rheumatoid arthritis, lupus, psoriasis, asthma, sarcoidosis, dan inflammatory bowel disease; (2) Mengurangi risiko neural tube defects (kelainan pada sumsum tulang belakang) pada bayi baru lahir; (3) kerusakan DNA dan dapat memicu kanker (Sapin 2000). 4.3.4.2 Status metabolisme retinol serum Humphrey et al. (1992) diacu dalam Sayuti (2002) menyatakan bahwa Vitamin A merupakan zat gizi mikro mikro larut lemak yang berperan pada penglihatan, reproduksi, pertumbuhan dan pengaturan proliferasi sel. Oleh karena itu, vitamin A esensial saat kehamilan akan sangat berpengaruh pada fetus serta bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dalam kondisi konsentrasi vitamin A rendah akan lebih beresiko sakit karena status imunnya lemah. Ketidaknormalan kandungan retinol dalam darah pada saat kehamilan juga memberikan dampak pada gangguan penyakit kandungan (IUGR dan gangguan plasenta) Sapin et al. (2000). Menurut ketentuan yang ditetapkan oleh WHO (1994), klasifikasi kadar vitamin A (retinol serum) dalam darah dibedakan sebagai berikut: (1) retinol serum <10 µg/dl = defisiensi; (2) retinol serum antara 10-20 µg/dl = marjinal; (3) antara 20-30 µg/dl = cukup; dan (4) >30 µg/dl = baik. Analisis vitamin A (retinol serum) pada penelitian dilakuan pada tahapan sebelum intervensi (perlakuan biskuit) dan sesudah perlakuan. Hasil analisis retinol serum disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Hasil analisis dan perubahan kadar retinol serum (µg/dl) Formula F1 F2 F3 F4 F5
Awal 17,508 20,441 18,896 18,124 18,421
retinol serum (µg/dl) Akhir 30,706 22,203 30,075 21,690 20,790
Perubahan 13,197 1,762 11,179 3,566 2,369
Dari hasil analisis yang dilakukan pada awal sebelum perlakuan formula biskuit, kondisi retinol serum hewan percobaan tidak berbeda signifikan antara satu dengan lainnya. Rata-tara kadar retinol serum masuk dalam kategori marjinal (10-20 µg/dl). Pada kadar retinol <20 µg/dl (status defisiensi dan marjinal) perbaikan dengan penambahan konsumsi vitamin A dapat membantu memperbaiki kadar retinol serum, tetapi dalam kondisi ini terdapat kemungkinan
68
kerusakan jaringan yang tidak dapat diperbaiki lagi. Sedangkan pada kadar 2030 µg/dl (cukup), penambahan konsumsi vitamin A dapat memperbaiki status retinol serum tanpa meninggalkan kerusakan fungsi jaringan, kecuali pada beberapa individu (Gibson, 1990). Analisis kadar retinol serum pada akhir perlakuan menunjukkan peningkatan. Peningkatan paling signifikan terjadi pada formula biskuit yang difortifikasi dengan vitamin A yaitu formula F1 yang meningkat sebesar 12,197 µg/dl menjadi 30,706 µg/dl, formula F3 yang meningkat sebesar 11,179 µg/dl menjadi 30,075 µg/dl, kedua formula ini termasuk dalam kategori baik. Pada formulasi biskuit non fortifikan yaitu formula F2 yang meningkat sebesar 1,762 µg/dl menjadi 22,203 µg/dl, formula F4 yang meningkat sebesar 3,566 µg/dl menjadi 21,690 µg/dl, dan formula kontrol juga meningkat sebesar 2,369 µg/dl menjadi sebesar 20,790 µg/dl. Pada formula biskuit non fortifikan dan formula kontrol juga mengalami peningkatan kadar retinol serum, tetapi nilai peningkatan keduanya formula tersebut tidak menunjukkan nilai nyata. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan fortifikan vitamin A dalam formulasi biskuit ini memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan status metabolisme retinol serum dalam tubuh. 4.3.4.3 Status metabolisme feritin serum Zat besi dalam tubuh disimpan sebagai feritin atau hemosiderin dalam beberapa jaringan organ tubuh, terutama pada hati, limpa dan sumsum tulang belakang. Pada laki-laki dewasa, simpanan besi berkisar antara 500-1000mg, sedangkan pada wanita lebih rendah dan jarang mencapai 500mg. Banyak wanita di negara industri dan negara sedang berkembang tidak memiliki simpanan besi sama sekali (Hallberg 1988). Zat besi atau feritin dapat menggambarkan banyaknya simpanan besi (Fe) dalam darah. Gibson (1990) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar feritin serum dengan cadangan besi sebagai berikut: (1) Terdapat hubungan positif antara kadar feritin serum dengan cadangan besi sumsum tulang belakang; (2) turunnya kadar feritin serum, sejalan dengan perubahan cadangan besi dalam hati; (3) terapi zat besi dan transfusi dapat meningkatkan kadar feritin serum.
69
Pengelompokan feritin berdasarkan pada ketentuan WHO (1994) yaitu ≤12µg/l didefinisikan sebagai defisiensi Fe, sedangkan kadar feritin >12µg/l di adalah normal. Kekurangan feritin membawa resiko pada kehamilan, karena besi sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, selain itu zat besi juga diperlukan untuk mempertahankan kesehatan ibu hamil itu sendiri baik selama kehamilan maupun pasca melahirkan. Simpanan besi sangat diperlukan bagi ibu hamil dalam persiapan menghadapi persalinan, karena dalam proses persalinan kadang memerlukan ekstra tambahan darah guna mengganti kehilangan besi yang merupakan komponen sel darah merah yang hilang pada saat melahirkan. Hallberg (1988) menyatakan pada saat proses kelahiran, seorang ibu bisa kehilangan darah hingga 200 mg besi. Analisis zat besi (feritin serum) pada penelitian dilakuan pada tahapan sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan formula biskuit. Hasil analisis feritin serum disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Hasil analisis dan perubahan kadar feritin serum (µg/liter) Formula F1 F2 F3 F4 F5
Awal 16,103 15,877 17,554 19,146 17,200
Feritin serum (µg/liter) Akhir 28,159 23,118 31,352 21,232 21,796
Perubahan 12,056 7,241 13,798 2,086 4,596
Data yang diperoleh pada Tabel 31 menunjukkan rata-rata nilai awal kandungan feritin serum pada formula fortifikan F1 adalah sebesar 16,103 µg/liter, formula F3 sebesar 17,554 µg/liter, sedangkan untuk non fortifikan sebesar 15,877 µg/liter dan formula F4 sebesar 19,146 µg/liter. Pada kontrol (F5) adalah sebesar 17,200 µg/liter. Dari formula yang diuji pada awal sebelum diberikan perlakuan formula biskuit, diperoleh gambaran kandungan feritin serum dari kelima perlakuan tidak ada perbedaan nyata. Hal ini dipengaruhi oleh pola pemeliharaan, jenis dan jumlah formula biskuit yang diberikan sebelum perlakuan, kondisi ruang perlakuan, dan asal indukan biskuit adalah seragam.
70
Pada akhir perlakuan, rata-rata nilai feritin serum pada kelompok formula biskuit fortifikan F1 meningkat sebesar 12,056 µg/liter, formula F3 meningkat sebesar 13,797 µg/liter. Sedangkan pada kelompok non fortifikan formula F2 meningkat sebesar 7,241 µg/liter dan formula F4 sebesar 2,086 µg/liter. Formula biskuit kontrol sebesar 4,596 µg/liter. Hasil analisis menggambarkan bahwa kadar feritin serum pada awal pengamatan dalam kondisi normal, dan pada akhir perlakuan kadar feritin serum juga dalam keadaan normal, tetapi terjadi peningkatan yang signifikan pada formula biskuit yang difortifikasi dengan zat besi (F1 dan F3) kondisi ini secara nyata menggambarkan bahwa ada pengaruh penambahan fortifikan zat besi (Fe) terhadap perubahan kadar feritin serum.