27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerob, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen akan menggambarkan seberapa besar perairan menerima beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan bagi organisme hidup. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada bulan September 2009 di salah satu keramba jaring apung Waduk Cirata, distribusi kandungan oksigen terlarut cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini diduga karena di lapisan dasar perairan terjadi akumulasi bahan organik dari sisa pakan dan feses ikan juga ketersediaan cahaya yang masuk ke dalam perairan tidak ada.
Cahaya merupakan salah satu faktor pembatas yang mempengaruhi proses
fotosintesis oleh fitoplankton, sehingga hal ini akan menyebabkan rendahnya kadar oksigen terlarut pada lapisan dasar perairan. Berdasarkan hasil pengamatan oksigen terlarut (Tabel 6), diperoleh nilai oksigen terlarut yang bervariasi di setiap kedalaman berkisar antara 0,38-8,20 mg/l. Dari data tersebut dapat diketahui semakin dalam perairan maka konsentrasi oksigen cenderung menurun. Pada hasil pengamatan oksigen terlarut terbesar berada pada kedalaman 0 meter sebesar 8,20 mg/l begitu, sebaliknya kandungan oksigen terlarut terkecil pada berada pada kedalaman 51 meter sebesar 0,38 mg/l.
Permukaan
perairan memiliki konsentrasi oksigen yang tinggi disebabkan karena cahaya matahari masih sangat besar sehingga proses fotosintesis juga berjalan dengan baik. Selain fotosintesis kandungan oksigen pada permukaan perairan juga berasal dari difusi udara. Difusi oksigen dari udara terjadi ketika berlangsung kontak antara campuran gas atmospheric dengan air, baik secara langsung dalam keadaan diam maupun saat terjadi agitasi. Kejadian ini akan mempengaruhi konsentrasi oksigen dipermukaan perairan. Pada bagian dasar perairan proses yang terjadi adalah respirasi dan dekomposisi. Hal ini disebabkan karena pada bagian dasar perairan tidak terdapat cahaya matahari sehingga proses fotosintesis sangat minim bahkan tidak ada. Adanya akumulasi bahan organik yang berupa sisa pakan, feses ikan dan limbah dari
28
pemukiman di sekitar keramba jaring apung akan menyebabkan kebutuhan akan oksigen semakin tinggi, sedangkan pada dasar perairan kandungan oksigennya sangat rendah dan proses dekomposisi bahan organik terjadi secara anerobik. Apabila tetap dibiarkan akan menambah lapisan anoksik pada perairan tersebut.
Tabel 6. Distribusi vertikal DO (mg/l) di lokasi pengamatan Kedalaman (m) DO (mg/l) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 27 30 36 42 48 Dasar*
8,20 7,60 6,66 5,85 5,68 4,79 3,93 3,65 3,35 2,48 2,40 2,28 2,14 1,63 1,17 0,98 0,72 0,51 0,38
Keterangan : * kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 m
Kedalaman suatu perairan yang bersifat eutrofik dapat menunjukkan kandungan oksigen terlarut yang ada pada perairan tersebut. Semakin dalam suatu perairan jumlah kandungan oksigennya juga menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman, hal ini didukung dengan kecerahan suatu perairan yang berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Pada daerah perairan yang tidak mendapatkan pasokan cahaya matahari, proses yang terjadi berupa respirasi dan dekomposisi, dimana proses ini membutuhkan lebih banyak oksigen. Pada daerah kedalaman tersebut proses fotosintsesis tidak ada sehingga terjadi deplesi oksigen. Berdasarkan distribusi vertikal oksigen terlarut (Gambar 4), ditunjukkan bahwa konsentrasi oksigen terlarut cenderung menurun seiring dengan bertambahnya
29
kedalaman. Menurut Goldman dan Horne (1983) tipe distribusi oksigen terlarut (Gambar 4) yang diperoleh dari hasil pengamatan termasuk tipe clinograde. Tipe clinograde pada umumnya terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini oksigen semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman karena adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme.
Profil Sebaran Vertikal DO (mg/l) 0
2
4
6
8
0 5 10 Kedalaman (m)
15 20
DO (mg/l)
25 30 35 40 45 50
Gambar 4. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen terlarut. Distribusi vertikal oksigen terlarut pada saat pengamatan menunjukkan bahwa pada lokasi pengamatan tidak terjadi penurunan oksigen hingga mencapai nol karena oksigen masih ditemukan hingga dasar perairan. Pada dasarnya penumpukan limbah organik yang berasal dari sisa pakan dan hasil metabolisme ikan pasti akan membutuhkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi, namun pada kenyataannya oksigen terlarut di lokasi pengamatan masih tersedia hingga dasar perairan meskipun dalam jumlah yang sangat minim. Hal ini didukung hasil penelitian Sukimin (2003) yang menyebutkan bahwa kandungan DO dari permukaan hingga dasar perairan adalah sebesar 1,99-8,47 mg/l. Selain itu, adanya arus balik (upwelling) yang terjadi di Waduk Cirata pada bulan Juni 2009 mengakibatkan oksigen terlarut di
30
dasar perairan menjadi terangkat dan tercampur ke permukaan sehingga oksigen masih tersedia hingga lapisan hipolimnion. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui pula bahwa hingga kedalaman 16 meter konsentrasi oksigen terlarut masih dianggap layak bagi kegiatan perikanan karena memiliki kisaran nilai DO 3,35-8,20 mg/l. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 tahun 2001 kelas III yang menganjurkan batas minimal konsentrasi oksigen terlarut untuk kepentingan perikanan sebesar 3 mg/l, sedangkan pada kedalaman 18 meter hingga dasar perairan konsentrasi oksigen terlarut sudah tidak layak bagi kegiatan perikanan karena nilai oksigen terlarut pada kedalaman tersebut kurang dari 3 mg/l yaitu berada pada kisaran 0,38-2,48 mg/l. Hal tersebut menandakan kondisi perairan dari kedalaman 18 meter hingga dasar cenderung mendekati kondisi anoksik. Kondisi oksigen terlarut yang minim tersebut dapat membahayakan kehidupan ikan, baik ikan yang berada di dalam keramba maupun yang berada di luar keramba apabila pada nantinya terjadi proses pembalikkan massa air ke lapisan permukaan.
4.2. Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Oksigen Terlarut Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian melalui beberapa perlakuan (Tabel 7), diperoleh nilai Dissolved Oxygen (DO) rata-rata tertinggi adalah perlakuan 1 yaitu 7,21 mg/l. Pada perlakuan 2 konsentrasi DO rata-rata yang diperoleh adalah 5,38 mg/l; dan nilai DO rata-rata pada perlakuan 3 yaitu 2,64 mg/l. Perlakuan 1 memiliki nilai konsentrasi DO yang dianggap masih baik bagi kegiatan perikanan berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 yang menganjurkan nilai DO untuk kegiatan perikanan tidak kurang dari 3 mg/l. Pada perlakuan 2 nilai DO di stasiun pengamatan masih berada pada baku mutu sehingga ikan mampu mentolerir kondisi perairan tersebut. Nilai DO terendah di stasiun pengamatan berada pada perlakuan 3 dan mendekati kondisi anoksik yang berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan. Perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran sempurna (holomitic) di alam. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian massal ikan budidaya akibat upwelling di Waduk Cirata yang pada umumnya terjadi ketika terjadi pergantian musim antara musim kemarau ke musim hujan.
31
Tabel 7. Konsentrasi rata-rata DO (mg/l) dari hasil pencampuran air di beberapa kedalaman Perlakuan Stasiun 1 2 3 1 7,41 5,48 2,84 2 7,00 5,28 2,44 Rata-rata 7,21 5,38 2,64 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Berbeda dengan hasil pengamatan Pratiwi (2009) di Waduk Jatiluhur yang memiliki nilai konsentrasi DO untuk perlakuan 1 masih memenuhi baku mutu (> 3 mg/l) yaitu 4,03 mg/l sedangkan perlakuan 2 dan 3 sudah berada di bawah nilai baku mutu yaitu 2,65 mg/l dan 2,02 mg/l, dan pada hasil pengamatan Nugroho (2009) nilai DO pada perlakuan 1 dan 2 masih memenuhi baku mutu yaitu 4,40 mg/l dan 3,21 mg/l, sedangkan pada perlakuan 3 sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan yaitu 2,20 mg/l.
Hal ini disebabkan karena perbedaan
kandungan awal oksigen,
karakteristik perairan seperti kedalaman, kepadatan KJA dan waktu pengamatan juga perbedaan titik kedalaman yang akan dicampurkan. Umbalan atau upwelling merupakan suatu peristiwa alam yang tidak dapat diduga dengan pasti waktu terjadinya.
Pada pengamatan ini, perlakuan 1 dan
perlakuan 2 merupakan salah satu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai DO di perairan jika terjadi pencampuran air sebagian (meromictic), sedangkan perlakuan 3 merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai DO jika perairan mengalami pencampuran massa air sempurna (holomictic). Pencampuran massa air sebagian pada umumnya lebih sering terjadi dibandingkan dengan pencampuran massa air sempurna (holomictic).
Meromictic pada umumnya disebabkan oleh
pergerakan angin, suhu, dan masukan aliran air sungai atau masukan inlet dari waduk yang berada diatasnya. Dari data diatas dapat diketahui bahwa konsentrasi rata-rata oksigen terlarut pada perlakuan 1 memiliki nilai oksigen 7,21 mg/l. Nilai konsentrasi oksigen tersebut terbilang masih tinggi, hal ini disebabkan karena perlakuan 1 masih mendapatkan pengaruh yang besar dari komposisi air pada kedalaman 2 meter yang nilai oksigennya masih sangat tinggi. Pada perlakuan 2 memiliki nilai oksigen terlarut sebesar 5,38 mg/l, kandungan oksigen terlarut pada perlakuan 2 lebih kecil
32
dibandingkan perlakuan 1. Perlakuan 3 di stasiun pengamatan memiliki nilai oksigen paling rendah dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2 dengan nilai 2,64 mg/l, hal ini diduga akibat komposisi dari pencampuran pada kedalaman 42 m lebih dominan daripada kedalaman 2, 12, dan 24 m. Pada kedalaman 42 m nilai oksigen terlarut sangat rendah karena tingginya dekomposisi dan respirasi, sedangkan fotosíntesis tidak ada. Hal ini yang menyebabkan rendahnya nilai oksigen terlarut pada perlakuan 3. Perlakuan 3 merupakan pencampuran sempurna (holomitic) di mana pencampuran ini dianggap mewakili umbalan di alam yang mengalami pencampuran hingga ke dasar perairan. Nilai konsentrasi oksigen terlarut pada perlakuan 3 di stasiun pengamatan berada di bawah baku mutu yaitu > 3 mg/l menurut Effendie (2003), sehingga pada perlakuan 3 kondisi perairan tidak baik untuk budidaya perikanan. Apabila dilihat dari ketiga perlakuan maka yang berpotensi berakibat buruk ketika terjadi pembalikan masa air adalah perlakuan 3.
Dimana perlakuan ini
mewakili pencampuran secara sempurna (holomitic), bahan-bahan organik dari proses dekomposisi yang bersifat toksik yang memilki nilai sufida dan amonia yang berlebih akan terangkat ke permukaan perairan sehingga dapat menyebabkan kematian massal pada ikan. Pada hasil pengamatan (Tabel 7) juga terlihat bahwa nilai oksigen terlarut sangat kecil dan berada di bawah batas baku mutu untuk perikanan (Effendi 2003). 4.3. Persen Saturasi Oksigen Berdasarkan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh dari hasil pengamatan, didapatkan kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh disebut lewat jenuh (supersaturasi).
Effendi
(2003)
menyatakan
bahwa
kondisi
supersaturasi
menggambarkan kadar oksigen terlarut di perairan lebih besar daripada kadar oksigen yang terlarut secara teoritis berdasarkan nilai suhu pada tekanan udara 760 mmHg (Tabel 2). Kondisi supersaturasi pada saat pengamatan diperoleh pada kedalaman 0 meter (permukaan perairan) dengan nilai saturasi sebesar 110,03% (Gambar 5). Kondisi supersaturasi ini terjadi karena pada saat pengamatan kondisi cuaca sangat cerah (waktu pengamatan pukul 11.30 WIB) dan cahaya matahari bersinar terik hingga ke permukaan perairan sehingga pada kondisi ini proses fotosintesis dari fitoplankton berjalan dengan cepat dan difusi pun tetap berjalan pada permukaan hingga kadar oksigen mencapai titik jenuh. Pada kondisi jenuh tersebut tidak ada lagi oksigen yang mengalami difusi dari udara ke dalam air.
Hal ini didukung oleh
penelitian Pratiwi (2009) nilai persen saturasi yang didapatkan tidak berbeda jauh
33
yaitu 102,29%, dimana terdapat persamaan pada saat pengamatan yaitu waktu dan kondisi cuaca sangat cerah, berbeda dengan Nugroho (2009) nilai persen saturasi yang didapatkan 86,65%, dimana adanya perbedaan waktu pengambilan sampel pada saat pengamatan. Kondisi saturasi yang diperoleh dari ketiga hasil pengamatan ini sesuai dengan Goldman dan Horne (1983) yang menyatakan bahwa perairan yang mengalami penyuburan memiliki kejenuhan oksigen berkisar antara 80-250% saturasi.
Persen saturasi DO (%) 0.00
50.00
100.00
0 5 10
Kedalaman (m)
15 20 25
Persen saturasi
30 35 40 45 50
Gambar 5. Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata Pada saat matahari bersinar terang menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003), pelepasan oksigen oleh proses fotosíntesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi untuk proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh (saturasi) sehingga perairan mengalami supersaturasi. Menurut Effendi (2003) oksigen yang mencapai titik jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat seiring dengan peningkatan unsur hara. Hal ini dapat membahayakan kelangsungan hidup
34
ikan, karena dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi perairan sehingga pada saat malam hari oksigen menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol.
4.4. Parameter Fisika-Kimia penunjang 4.4.1. Suhu Suhu merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi kondisi ekosistem perairan. Perubahan suhu akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi di perairan seperti kimia, fisika, dan biologi. Hasil pengamatan menunjukkan nilai suhu yang menurun seiring bertambahnya kedalaman (Tabel 8) dengan kisaran ratarata adalah 26,0–30,6 0C. Berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 kelas III, suhu yang diperoleh masih layak untuk budidaya perikanan karena berada pada baku mutu yang dianjurkan yaitu 28±3 0C sehingga sebaran suhu di waduk ini masih dapat mendukung kehidupan ikan. Pada saat pengamatan tidak diperoleh lapisan termoklin yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar yaitu lebih dari 1 0C/m (Tabel 8 dan Gambar 6) yang memungkinan adanya stratifikasi sangatlah kecil. Lapisan hipolimnion diduga berkisar dari kedalaman 18 meter hingga dasar perairan. Menurut Goldman dan Horne (1983), lapisan hipolimnion merupakan lapisan dengan perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil, massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar. Lapisan ini cenderung mengandung kadar oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil. Pada hasil pengamatan (Tabel 8) yang telah dilakukan terjadi penurunan suhu seiring bertambahnya kedalaman, sehingga Waduk Cirata memiliki stratifikasi suhu. Cahaya matahari yang masuk ke perairan mengalami penyerapan dan berubah menjadi energi panas sehingga pada permukaan suhunya lebih tinggi dan cenderung lebih panas dan densitas air di permukaan lebih rendah dibandingkan dengan kedalaman dibawahnya. Hal ini disebabkan karena ketika pengamatan kondisi cuaca sangat terik dan panas. Kondisi inilah menyebabkan stratifikasi panas pada kolom air. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Cahaya yang mencapai perairan yang diubah menjadi energi panas tersebut akan meningkatkan suhu air sehingga jika suhu dipermukaan menurun secara tiba-tiba maka akan menyebabkan terjadinya pencampuran massa air.
35
Tabel 8. Distribusi vertikal suhu ( 0C) di lokasi pengamatan Kedalaman Suhu 0
30,6
2
30,3
4
30,1
6
29,8
8
29,4
10
29,2
12
28,8
14
28,7
16
28,5
18
28,3
20
27,9
22
27,8
24
27,6
27
27,4
30
27,0
36
26,8
42
26,5
48 Dasar*
26,2 26,0
Keterangan : * kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 meter
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan melalui tiga perlakuan, didapatkan nilai suhu rata-rata pada perlakuan 1 adalah 29,60C. Pencampuran yang dilakukan pada perlakuan 1 merupakan pencampuran antara kedalaman 2 dan 12, sehingga suhu permukaan masih sangat berpengaruh pada perlakuan 1 di lokasi pengamatan.
Komposisi kedalaman 2 meter lebih besar dibandingkan dengan
kedalaman 12 meter berturut-turut adalah 60 ml dan 40 ml, hal ini juga menjadi salah satu penyebab suhu pada perlakuan 1 masih tinggi. Pada perlakuan 2 nilai suhu yang didapatkan di lokasi pengamatan adalah 28,2 0C dimana tidak terjadi penurunan suhu secara signifikan pada perlakuan 2. Perlakuan 2 adalah pencampuran antara kedalaman 2, 12, dan 24, dengan komposisi masing-masing dari setiap kedalaman adalah 22,22 ml, 37,04 ml dan 40,74 ml. Komposisi ketiga kedalaman ini tidak memiliki perbedaan yang jauh sehingga suhu pada perlakuan 2 tidak terlalu berbeda dengan perlakuan 1.
36
Gambar 6. Distribusi vertikal vertika suhu di lokasi pengamatan Selanjutnya, perlakuan 3 yang merupakan pencampuran antara kedalaman 2, 12, 24, 42, dimana perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran sempurna (holomitic) ( dengan komposisi masing masing-masing adalah 11,76 ml; 19,61 ml; 21, 57 ml; da dan 47,06 ml. Pada perlakuan 3 nilai suhu rata rata-rata dari stasiun pengamatan adalah 26, 26,70 C. Suhu pada perlakuan ini lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan perlakuan 1 dan 2 2. Hal ini disebabkan karena pencampuran yang dilakukan mencapai kedalaman 42 meter, yang suhunya unya lebih rendah dibandingkan dengan kedalaman yang lainnya.. Komposisi air sampel dari perlakuan ini lebih banyak pada kedalaman 42 meter.
Tabel 9. Hasil pengukuran rata-rata suhu (0C) melalui pencampuran air beberapa kedalaman Perlakuan Stasiun 1 2 3 1 29,5 28,1 26,8 2 29,6 28,3 26,6 Rata-rata
29,6
28,2
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
26,7
37
Hasil pengukuran dari ketiga perlakuan yang dilakukan merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai suhu pada saat terjadi pencampuran massa air sebagian (meromictic) dan pencampuran sempurna (holomictic). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari ketiga perlakuan menunjukkan bahwa nilai rata-rata suhu yang diperoleh masih berada dalam ambang batas baku mutu suhu untuk perikanan menurut PP RI No. 82 tahun 2001 yang menganjurkan kisaran suhu untuk kegiatan perikanan adalah 28±3 0C. Hal ini disebabkan adanya pengaruh suhu di permukaan pada saat pengukuran. Pada saat dilakukan percobaan, suhu di permukaan masih tinggi (Tabel 9) karena pengaruh sinar matahari sehingga hasil pengukuran suhu yang diperoleh pun masih cukup besar.
4.4.2. Kecerahan Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan oksigen pada perairan. Jumlah cahaya yang masuk ke perairan akan mempengaruhi proses laju fotosintesis. Dalam suatu perairan, fotosintesis meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan didapat nilai rata-rata kecerahan di stasiun pengamatan sebesar 124-126 cm. Rendahnya nilai kecerahan di dalam KJA disebabkan oleh kandungan bahan organik karena sisa pakan dan sisa metabolisme. Kedalaman zona eufotik pada perairan ini berkisar antara 3,71-3,78 m yaitu 3 kali kedalaman secchi disk. Nilai kecerahan yang baik untuk kelangsungan hidup ikan (Asmawi 1983) adalah lebih besar dari 45 cm sehingga nilai kecerahan dari hasil pengamatan pada stasiun pengamatan masih baik untuk budidaya perikanan. Kecerahan merupakan ukuran tranparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk yang mekanismenya mengkuantitatifkan kekeruhan dalam suatu nilai yang disebut dengan kecerahan secchi disk (Boyd, 1990). Status waduk Cirata dilihat dari nilai kecerahannya tergolong eutrofik. Hal ini didasarkan pada Henderson dan Markland (1976) in Widiyastuti (2004) dimana nilai kecerahan yang kurang dari 3 meter dapat digolongkan kedalam status waduk eutrofik.
4.4.3. Amonia (NH3) Pembusukan bahan organik terutama yang banyak mengandung protein akan menghasilkan amonia (NH3). Amonia yang berlebih di perairan bersifat toksik pada
38
ikan. Berdasarkan data pada Tabel 10, kisaran amonia yang diperoleh di stasiun pengamatan pada perlakuan 1 adalah 0,0081-0,0275 mg/l; pada perlakuan 2 memiliki kisaran amonia 0,0087–0,0267 mg/l; dan kisaran amonia yang diperoleh pada perlakuan 3 adalah 0,0116–0,0292 mg/l. Nilai amonia rata-rata tertinggi pada saat pengamatan di lokasi penelitian terdapat pada perlakuan 3, dengan nilai 0,0222 mg/l; nilai amonia rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 pada stasiun pengamatan adalah 0,0181 mg/l; sedangkan amonia rata-rata pada perlakuan 1 adalah 0,0170 mg/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai amonia bebas yang diperoleh cenderung meningkat. Berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai amonia pada stasiun pengamatan yang melebihi baku mutu adalah perlakuan 3. Nilai rata-rata amonia yang diperoleh lebih dari 0,02 mg/l dianggap sudah melebihi ambang batas kadar amonia untuk perikanan. Tingginya nilai amonia pada perlakuan tiga adalah disebabkan karena
komposisi
pencampuran
kedalaman
42
meter
lebih
berpengaruhi
dibandingkan kedalaman lain yang ikut tercampur, sehingga nilai amonia lebih tinggi. Berbeda dengan hasil pengamtan Nugroho (2009) dimana nilai amonia yang paling tinggi berada pada perlakuan 1 yaitu 0,042 mg/l sedangkan pada perlakuan 2 dan 3 nilai amonianya lebih rendah yaitu 0,036 mg/l dan 0,019 mg/l. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pH yang tinggi pada lokasi pengamatan di Waduk Saguling dan tipe pakan yang diberikan sehingga nilai amonia berbeda dengan Waduk Cirata. Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran amonia bebas di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal amonia di lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi amonia yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat menunjukkan bahwa konsentrasi amonia di permukaan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan lapisan di bawahnya.
39
Tabel 10. Hasil pengukuran rata-rata amonia (mg/l) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Perlakuan Stasiun 1 2 3 1 0,0067 0,0083 0,0144 2 0,0273 0,0278 0,0300 Rata-rata 0,0170 0,0181 0,0222 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Hal tersebut dapat dilihat dari perlakuan 1 yang memiliki konsentrasi amonia lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 2 dan 3 yang pencampurannya berasal dari lapisan dibawahnya bahkan mencapai lapisan dasar. Kondisi ini terjadi karena proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan yang menghasilkan amonia pada kondisi anaerob, sehingga konsentrasi amonia bebas di dasar lebih besar dan hal tersebut mengakibatkan hasil dari pencampuran massa air pada perlakuan 3 lebih besar dibandingkan perlakuan 1 dan 2. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia dan kadar amonia bebas juga akan semakin meningkat dengan meningkatnya pH. Kadar amonia juga dipengaruhi oleh oksigen terlarut, dimana pada perlakuan 3 nilai oksigen terlarut juga semakin kecil sehingga akan menyebabkan dekomposisi secara anaerobik hal ini akan menambah kandungan amonia pada perairan tersebut. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa perlakuan 3 yang diumpamakan sebagai pencampuran sempurna (holomictic) memiliki potensi buruk bagi kehidupan ikan budidaya.
Hal tersebut terjadi karena konsentrasi amonia maupun konsentrasi
oksigen terlarut pada perlakuan 3 tidak berada pada baku mutu yang dianjurkan. Sedangkan pada perlakuan 1 dan 2 nilai amonia yang terukur masih sesuai baku mutu. Hal ini mengindikasikan bahwa pencampuran massa air sempurna cenderung memberi pengaruh lebih buruk bagi budidaya perikanan. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu (Effendi 2003). Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah.
40
4.4.4.
pH Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, aktivitas biologis
misalnya fotosintesis dan respirasi organisme perairan (Pescod 1973). Pada bagian permukaan nilai pH lebih tinggi dari kedalaman yang lainnya karena di permukaan proses fotosintesis tinggi sehingga menghasilkan oksigen terlarut lebih banyak dan respirasi yang meghasilkan CO2 akan dipakai oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis, sehingga jumlah CO2 pada permukaan akan lebih sedikit karena dipakai oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. Rendahnya nilai pH di suatu perairan dapat disebabkan oleh tingginya jumlah bahan organik, dimana turunnya pH disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi CO2 karena aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik. Kandungan bahan organik sangat besar jumlahnya pada dasar perairan. Tingginya bahan organik pada dasar perairan akan menyebabkan proses dekomposisi bahan organik juga akan tinggi, proeses dekomposisi ini menghasilkan CO2 dan zat yang lain yang dapat bersifat toksik sehingga pH pada dasar perairan akan lebih rendah dibandingkan dengan permukaan maupun pada kolom perairan.
Tabel 11. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan Kedalaman (m) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 27 30 36 42 48 Dasar*
pH 7,09 7,08 7,06 7,03 6,99 6,97 6,95 6,93 6,92 6,89 6,84 6,82 6,78 6,76 6,72 6,66 6,63 6,59 6,52
Keterangan : * kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 meter
41
Nilai pH memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan organisme serta mempengaruhi kadar toksisitas pada perairan. Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata pH pada stasiun pengamatan adalah 6,52. Nilai pH tertinggi berada pada permukaan yaitu sebesar 7,09, sedangkan nilai pH yang paling rendah berada pada bagian perairan yang paling dasar yaitu sebesar 6,52 (Tabel 11).
Profil sebaran vertikal pH
Kedalaman (m)
6.09
6.85 pH
7.61
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50
pH
Gambar 8. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan melalui beberapa perlakuan di stasiun pengamatan (Tabel 12), nilai rata-rata pH tertinggi pada stasiun pengamatan adalah perlakuan 1 yaitu sebesar 7,02. Pada perlakuan 2 nilai pH rata-rata adalah 6,84, sedangkan nilai rata-rata pH terendah berada pada stasiun pengamatan adalah pada perlakuan 3 dengan nilai pH 6,61.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dari
perlakuan 1 sampai 3 nilai pH cenderung menurun. Perlakuan 3 merupakan hasil pencampuran dari 4 kedalaman yang berbeda termasuk kedalaman di dasar dengan pH yang cenderung rendah (asam). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi pencampuran air sempurna, maka perairan akan cenderung bersifat asam.
42
Tabel 12. Hasil pengukuran rata-rata pH melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Perlakuan Stasiun 1 2 3 1 2
6,93 7,10
6,79 6,90
6,62 6,60
Rata-rata
7,02
6,84
6,61
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Nilai pH pada siang hari relatif lebih tinggi dibandingkan pH pada malam hari. Hal tersebut dikarenakan adanya proses fotosíntesis pada siang hari yang banyak menyerap CO2 bebas. Pada kondisi ini, CO2 diperoleh dari HCO3 dengan melepaskan ion hidroksil (OH-) yang akan meningkatkan pH ke arah basa. Oleh karena itu pula nilai pH di permukaan pada lokasi pengamatan cenderung bersifat basa. Keberadaan karbondioksida akan mempengaruhi kadar pH pada perairan menyebabkan perairan semakin asam.
Namun, seluruh perlakuan menunjukkan bahwa nilai pH yang
diperoleh masih layak bagi kegiatan perikanan.
4.4.5. Hidrogen Sulfida (H2S) Sulfida berasal dari limbah industri atau dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob. Sulfida dalam bentuk H2S tak terionisasi bersifat sangat toksik dan korosif terutama terhadap bahan-bahannya yang tersusun dari logam. Kadar H2S tak terionisasi yang tinggi dalam perairan menimbulkan bau telur busuk (Boyd 1989). Berdasarkan data (Tabel 13) dapat ditunjukkan bahwa nilai sulfida rata-rata tertinggi pada lokasi pengamatan terdapat pada perlakuan 3 dengan nilai 1,6956 mg/l; nilai sulfida rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 0,3189; dan sulfida rata-rata pada perlakuan 1 di stasiun pengamatan adalah 0,0538 mg/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai rata-rata sulfida yang terukur cenderung meningkat.
43
Tabel 13. Hasil pengukuran rata-rata Hidrogen Sulfida (H2S) melalui pencampuran air dibeberapa kedalaman Perlakuan Ulangan 1 2 3 1 0,0556 0,3506 1,8036 2 0,0520 0,2871 1,5876 Rata-rata 0,0538 0,3189 1,6956 Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Sama halnya dengan pengamatan yang dilakukan oleh Nugroho (2009) dan Pratiwi (2009) di Waduk Saguling dan Jatiluhur, dimana nilai H2S yang didapatkan pada perlakuan 3 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2. Hal ini terjadi karena adanya proses dekomposisi bahan organik yang banyak menggunakan oksigen sehingga pada kondisi anoksik hasil dari proses dekomposisi tersebut akan membentuk sulfida (H2S). Dapat dilihat dari nilai oksigen terlarut pada stasiun pengamatan, dimana nilainya semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran konsentrasi sulfida di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal sulfida di lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat diduga bahwa konsentrasi sulfida cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai sulfida yang diperoleh pada ketiga perlakuan tersebut tidak memenuhi baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan tawar karena konsentrasi sulfida yang dianjurkan <0,002 mg/l. Secara umum kandungan H2S tersebut berbahaya bagi kelangsungan ikan di keramba jaring apung karena melebihi baku mutu. Kandungan H2S yang melebihi batas ambang yang diperkenankan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan, sebab gas H2S yang naik kepermukaan perairan dapat menyebabkan kematian ikan secara massal. Namun mengingat adanya parameter lain (DO, pH, dan suhu) yang mampu mendukung kelangsungan hidup ikan budidaya di keramba jaring apung maka tingginya konsentrasi sulfida pada perlakuan 1 diduga masih dapat di tolerir oleh ikan budidaya. Berbeda dengan perlakuan 3, pada perlakuan 1 tingginya konsentrasi sulfida tidak diiringi dengan rendahnya DO dan meningkatnya amonia. Nilai suhu dan pH
44
yang diperoleh pun masih berada pada baku mutu yang dianjurkan sehingga jika dilihat dari keempat parameter tersebut maka untuk perlakuan 1 masih dianggap layak untuk kegiatan budidaya ikan, sedangkan tingginya sulfida menunjukkan bahwa perlakuan 1 tidak aman bagi kegiatan budidaya perikanan berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001. Jika konsentrasi sulfida tidak memenuhi baku mutu kegiatan perikanan, diiringi dengan kondisi perairan yang miskin oksigen seperti hasil yang diperoleh pada perlakuan 3, maka ikan budidaya yang berada pada keramba jaring apung tersebut cenderung akan mati karena tidak mampu untuk meloloskan diri dari kondisi air yang buruk. Keadaan ini biasanya terjadi pada saat terjadi umbalan sempurna (holomictic) yang mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di lokasi keramba jaring apung.
4.5. Pengelolaan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diketahui konsentrasi oksigen terlarut di perairan Waduk Cirata, khususnya pada lokasi pengamatan secara teoritis mengalami defisit oksigen mulai dari 18 meter sampai dasar perairan. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Waduk Cirata khususnya pada lokasi pengamatan, berisiko tidak dapat memnuhi kebutuhan oksigen untuk respirasi organisme akuatik dan juga proses-proses yang terjadi di dalam perairan yang membutuhkan oksigen terutama di dasar perairan. Selain itu, pencampuran secara holomitic menghasilkan konsentrasi oksigen yang rendah dan H2S yang tinggi. Tingginya konsentrasi amonia bebas dan hidrogen sulfida (H2S) juga berakibat fatal bagi ikan karena amonia bebas dan H2S bersifat toksik pada ikan. Rendahnya konsentrasi oksigen akibat peningkatan pemanfaatan oksigen di Waduk Cirata khususnya di lokasi pengamatan, disebabkan pemanfaatan oksigen terlarut untuk proses-proses dekomposisi. Bahan-bahan organik yang terdapat di kolom perairan yang terakumulasi di dasar perairan berasal dari kegiatan budidaya KJA.
Jumlah kandungan bahan organik pada waduk cirata terutama pada lokasi
pengamatan sudah melebihi daya dukung perairan. Salah satu solusi pengelolaanya adalah dengan mengurangi jumlah KJA yang beroperasi, namun pengurangan KJA yang dilakukan secara drastis akan menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi bagi penduduk di sekitar Waduk Cirata, sehingga pengurangan dapat dilakukan secara bertahap, salah satunya dengan tidak memberi izin kepada pengusaha yang ingin menambah Keramba jaring apung di Waduk Cirata. Selain itu, pengendalian jumlah
45
KJA di Waduk Cirata, alternatif pengelolaan yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1. Pengendalian pemberian pakan Pemberian pakan didasarkan kepada bobot ikan, pertambahan pemberian pakan harus sesuai dengan pertambahan bobot ikan. 2. Memberikan pengarahan kepada petani untuk tidak melakukan budidaya pada saat peralihan musim kemarau ke musim hujan karena potensi terjadinya umbalan sangat besar, dengan pencampuran dari permukaan hingga ke dasar perairan (holomitic) akan memiliki potensi terjadinya kematian ikan secara masal yang mengakibatkan kerugian pada petani keramba jaring apung. 3. Penggunaan sistem aerasi untuk meningkatkan DO cadangan Peningkatan konsentrasi oksigen terlarut di perairan dengan sistem aerasi dapat menggunakan kincir yang dapat di pasang di setiap unit KJA atau pada satu lokasi KJA apabila dan kurang memadai 4. Penyedotan sedimen yang merupakan akumulasi semua bahan organik, yang pada kondisi tidak ada oksigen akan menghasilkan gas-gas beracun, seperti H2S, CO2 dan amonia. Alternatif pengelolaan ini membutuhkan biaya yang cukup besar, namun sedimen yang telah disedot dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk lahan pertanian. 5. Prinsip budidaya KJA intensif akan berdampak terhadap penambahan bahan organik ke perairan yang mengakibatkan terjadinya eutrofikasi sehingga menyebabkan fitoplankton melimpah yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan kualitas air menurun jika tidak ada yang memanfaatkan. Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dilakukan restocking atau penebaran ikanikan pemakan plankton (plankton feeder) yang tidak bersifat kompetitor dengan ikan lainnya seperti ikan tawes, nilem, nila, bandeng, dan sebagainya.