4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Abnormalitas Bentuk Telur dan Larva Ae. aegypti
4.1.1 Abnormalitas bentuk telur Ae. aegypti Pada kondisi normal telur Ae. aegypti berukuran kecil (50µ), sepintas lalu tampak bulat panjang dan berbentuk lonjong (oval). Pada dinding luar (exochorion) telur nyamuk ini tampak adanya garis-garis dan terdapat bahan lengket (glikoprotein) yang mengeras bila kering (Christophers, 1960).
Kontrol KL25
Normal, bentuk oval telur rapuh, mudah pecah
KL0 KL50
piph KL75 KL90 Telur terpotong
Gambar 12. Abnormalitas morfologi telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandingkan dengan kontrol
23
Temefos merupakan racun kontak yang dapat masuk ke dalam tubuh larva melalui spirakel, segmen tubuh pada abdomen, dan mulut. Akumulasi temefos terbesar di dalam otot. Pemaparan temefos pada larva instar 3 (L3) terakumulasi paling besar dalam otot dan beredar keseluruh tubuh melalui hemolim. Penetrasi insektisida dipengaruhi oleh daya larutnya dalam lemak, semakin larut suatu insektisida dalam lemak maka semakin mudah insektisida tersebut masuk kedalam tubuh serangga (Matsumura, 1978). Temefos terpenetrasi ke dalam ovum pada proses embriogenesis yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis protein ke kuning telur. Terakumulasinya temefos didalam folikel ovum menyebabkan pertumbuhan telur atau kesuburan telur menurun dan kerapuhan pada dinding telur (Inwang, 1968 dalam Kumar et al. (2009). Pemaparan temefos konsentrasi KL0, KL25 dan KL50 menyebabkan kerapuhan dinding telur sehingga telur mudah pecah, bentuk telur pipih (KL50), salah satu ujung yang tidak sempurna (KL75) dan telur yang membelah secara melintang (KL90) (Gambar 12).
4.1.2 Abnormalitas bentuk larva Ae. aegypti Secara normal larva nyamuk Ae. aegypti memiliki comb scale pada ruas abdomen kedelapan sebanyak 8-21 yang berjajar 1-3 baris. Bentuk individu dari comb scale seperti duri dengan lekukan yang jelas yang merupakan ciri dari larva Ae. aegypti. Larva normal juga dan memiliki corong udara atau sifon. Pada sifon terdapat pekten serta sepasang rambut yang berjumbai. Selain itu, larva juga memiliki rambut-rambut berbentuk kipas (palmate hairs) di sepanjang sisi tubuh (Christophers, 1960; Dekpes, 2008). Temefos merupakan insektisida organofosfat yang merupakan racun syaraf pada serangga dengan akumulasi terbesar adalah di dalam otot (Matsumura, 1978). Larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos mengalami perubahan morfologi. Beberapa kerusakan larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos antara lain rambut seta (palmate hairs) yang terdapat di sepanjang sisi tubuh menjadi rontok, abdomen mengkerut, kepala, torak, sifon dan ruas abdomen bagian belakang menghitam (Gambar 13).
24 Larva normal
Kontrol
Kepala, torak dan sifon, ruas abdomen belakang yang menghitam KL25
rambut seta rontok KL0
Abdomen yang mengkerut dan memendek
Abdomen yang memanjang
KL50
KL75
KL90
Gambar 13. Abnormalitas morfologi larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos dibandingkan dengan kontrol
Secara umum, pengaruh temefos terhadap larva diawali oleh kejadian kejang-kejang atau tremor. Tremor atau kejang-kejang menyebabkan larva memerlukan energi yang lebih besar akibatnya larva kehabisan energi sehingga menyebabkan larva paralisis (lumpuh) atau bahkan kematian. Proses paralisis pada larva terjadi akibat penimbunan asetilkolin pada syaraf, asetilkolin merupakan neurotransmiter pada sistim syaraf larva serangga. Penimbunan asetilkolin pada syaraf disebabkan oleh kerja temefos yang menghambat enzim
25
asetilkolinterase sehingga enzim ini tidak dapat menghidrolisis asetilkolin. Hal ini yang menyebabkan paralisis atau kelumpuhan dan kematian larva. Pemaparan temefos KL0 menyebabkan kerontokan seta. Pemaparan temefos KL25 menyebabkan tubuh larva yang semakin memanjang. Proses pemanjangan dan pemendekan tubuh larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos diduga akibat perbedaan kandungan air dalam tubuh larva dengan lingkungan. Pengaturan keseimbangan air merupakan kesetimbangan kimia larutan (Murray et al. 1995). Penentuan kandungan air tubuh larva dihitung menggunakan rumus di bawah ini (Sudjatmiko, 2000) :
Kadar air =
x 100%
Kandungan air rata-rata dalam tubuh larva setelah terpapar temefos pada konsentrasi normal (kontrol), KL0 dan KL25 adalah adalah 35% (Kontrol) dalam keadaan larva hidup, 37% (KL0), 36% (KL25), 61% (KL50), 55% (KL75) dan 72% (KL90) dalam keadaan larva sudah mati. Semakin tinggi kandungan temefos pada media air menyebabkan kadar air pada tubuh larva semakin tinggi akibatnya terjadi perbedaan tekanan osmotik. Tekanan osmotik merupakan tekanan koligatif larutan yang dapat menghentikan perpindahan molekul-molekul pelarut ke dalam larutan melalui membran sel semi-permeabel. Perpindahan molekul larutan dan melalui membran semi-permeabel lebih dikenal dengan istilah osmosis. Kesetimbangan larutan kimia osmosis dapat terjadi dengan cara difusi. Larutan yang berpindah secara osmosis adalah larutan yang mengandung kepadatan molekul lebih tinggi ke larutan yang kepadatan molekul lebih rendah. Difusi merupakan proses perpindahan kandungan air dari larutan yang memiliki kandungan air tinggi ke rendah. Pada larva yang mati terjadi perpindahan air dari kandungan molekul air yang tinggi pada lingkungan ke dalam tubuh larva Ae. aegypti yang mempunyai tekanan osmotik lebih rendah, hal ini terlihat pada kondisi larva yang terpapar dengan temefos pada perlakuan KL25, sehingga tubuh larva menjadi lebih panjang.
26 Pemaparan temefos dengan konsentrasi KL50 memperlihatkan perubahan
warna pada sifon dan ruas abdomen belakang menjadi kehitaman. sifon dan ruas abdomen belakang menghitam kemungkinan disebabkan oleh proses oksidasi biologis yang terhambat di dalam tubuh larva Ae. aegypti. Kelangsungan hidup larva dipengaruhi oleh pH atau tingkat keasaman. Perbedaan sifat kimia air berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva. Larva Ae. aegypti dapat hidup pada lingkungan dengan pH antara 5,8-8,6 (Chan et al. 1971), penelitian Hidayat et al. 1997 menemukan bahwa larva nyamuk Ae. aegypti dapat hidup pada pH 5-9. pH lambung atau usus larva adalah 5,5-5,8 (Christophers, 1960). Keasamaan atau pH ekstraseluler lingkungan yang normal makhluk hidup adalah 7,35-7,45 (Murray, 1995). Hasil pengukuran pH larutan normal adalah 7,5 (kontrol) dan larutan temefos KL0, KL25, KL50, KL75 dan KL90 secara berurutan adalah 6,8; 7,1; 7,4; 8,3 dan 9,5. Perbedaan pH tubuh larva dengan pH lingkungan berpengaruh terhadap transportasi oksigen dalam tubuh larva. Akumulasi temefos menghambat masuknya oksigen sehingga proses oksidasi biologis (pembakaran) di dalam otot ikut terhambat (Tarumingkeng, 1992). Terhambatnya transportasi oksigen menyebabkan terganggunya
pembentukan enzim
sitokromoksidase, enzim
sitokromoksidase merupakan enzim respirasi dalam proses oksidasi biologi atau metabolisme (Murray et al. 1995). Perubahan warna ini diduga akibat akumulasi temefos yang masuk melalui sifon sehingga aliran oksigen terhambat. Pemaparan temefos KL75 dan KL90 menyebabkan tubuh larva Ae. aegypti memendek diduga akibat kandungan air dari tubuh larva keluar melalui ruas-ruas abdomen ke dalam lingkungan. Perpindahan air dari tubuh larva ke lingkungan adalah akibat kandungan temefos yang tinggi (0,433 ppm atau KL90) di dalam larutan, hal ini menyebabkan tekanan osmotik lingkungan lebih tinggi. Akibat air keluar dari tubuh larva maka tubuh larva mengkerut dan memendek.
4.2
Aktivitas Gerak Larva Nyamuk Ae. aegypti Rata-rata waktu yang diperlukan oleh larva Ae. aegypti setelah terpapar
dengan temefos untuk menempuh jarak 30 cm (Tabel 3) adalah 2 menit 39 detik (KL0), 3 menit 49 detik (KL25), 9 menit 2 detik (KL50), 14 menit 36 detik (KL75),
27
dan 24 menit 35 detik (KL90) sedangkan waktu tempuh larva Ae. aegypti yang tidak terpapar dengan temefos (kontrol) adalah 2 menit 57 detik.
Tabel 3. Rata-rata waktu tempuh larva nyamuk Ae. aegypti sejauh 30 cm setelah terpapar temefos Konsentrasi Kontrol KL0 KL 25 KL 50 KL75 KL90
Waktu tempuh (menit, detik) a 2,57 a 2,39 a 3,49 b 9,2 c 14,36 d 24,35
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%. 24,35
25,00
20,00 14,36
(menit, detik)
15,00
10,00
9,20
2,395 3,49
5,00
2,57
0,00
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Waktu Tempuh
Gambar 14. Rata-rata waktu tempuh larva (L3) Ae. aegypti sejauh 30 cm setelah terpapar temefos
Waktu tempuh yang dibutuhkan oleh larva Ae. aegypti yang terpapar temefos KL0 dan KL25
bila dibandingkan dengan kontrol tidak terdapat
perbedaan yang nyata (P>0,05). Perbedaan yang nyata terlihat pada waktu tempuh yang diperlukan oleh larva Ae. aegypti
KL50, KL75, KL90 dengan kontrol,
sedangkan antara KL50, KL75, dan KL90 masing-masing berbeda nyata (P<0,05). Larva Ae. aegypti menyukai habitat yang tenang tanpa aliran air (genangan air dalam wadah) dan terlindungi dari cahaya secara langsung karena sifat larva menjauhi cahaya atau dengan kata lain bersifat fototropisme negatif.
28 Larva lincah dan aktif bergerak dengan memperlihatkan gerakan-gerakan
naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah secara berulang atau zig-zag. Gerakan yang dilakukan oleh larva adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, dengan tujuan untuk memperoleh makan dan oksigen. Larva mengambil makanan di dasar wadah, oleh karena itu larva Ae. aegypti disebut pemakan makanan di dasar atau bottom feeder. Pada saat larva mengambil oksigen dari udara, larva bergerak menempatkan corong udara (sifon) pada permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut dengan permukaan air (Christophers, 1960). Pada penelitian ini adanya cahaya lampu TL 5 watt yang dipasang pada salah satu ujung pipa memaksa larva Ae. aegypti untuk bergerak menjauhi arah cahaya lampu. Gerakan menjauhi cahaya lampu membuktikan bahwa larva Ae. aegypti berusaha untuk memepertahankan diri meskipun dalam kondisi lemah akibat cekaman temefos. Semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan semakin lambat aktivitas larva, hal ini terlihat dari semakin lamanya waktu yang diperlukan oleh larva untuk bergerak sejauh 30 cm. Waktu yang semula diperlukan 2 menit 57 detik menjadi 24 menit 35 detik setelah terpapar temefos dengan konsentrasi tertinggi yaitu 0,433 ppm (KL90). Keracunan temefos menyebabkan gangguan transmisi impuls pada ujung syaraf akibatnya terjadi gangguan pada aktivitas larva sehingga larva menjadi kejang-kejang dan aktivitas geraknya semakin lambat.
4.3
Jangka Hidup Nyamuk Ae. aegypti
4.3.1 Jangka hidup larva dan pupa nyamuk Ae. aegypti Jangka hidup larva (L3 sampai menjadi pupa) adalah 54 jam 12 menit (KL0), 86 jam 14 menit (KL25), 87 jam 21 menit (KL50), 87 jam 24 menit (KL75), dan 126 jam (KL90), sedangkan yang tidak terpapar temefos (kontrol) adalah 45 jam 54 menit. Jangka hidup larva (L3 sampai menjadi pupa) tidak berbeda nyata antara KL0, KL25, KL50, KL75 (P>0,05). Perbedaan yang nyata terdapat antara KL90 dengan KL0 dan kontrol (P<0,05).
29
Jangka hidup pupa Ae. aegypti setelah terpapar temefos adalah 36 jam 24 menit (KL0), 46 jam 6 menit (KL25), 57 jam 35 menit (KL50), 66 jam 32 menit (KL75) dan 69 jam 44 menit (KL90), sedangkan kontrol 32 jam 41 menit. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dengan KL0 dan KL25. Perbedaan yang nyata terdapat antara kontrol dengan KL50, KL75 dan KL90 (P<0,05), sedangkan diantara KL25, KL50, KL75 dan KL90 tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05).
Tabel 4. Rata-rata jangka hidup pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi
Pupa-Dewasa (jam, menit) a 32,41 ab 36,24 abc 46,6 bc 57,35 c 66,32 c 69,44
L3-Pupa (jam, menit) a 45,54 54,12 a ab 86,14 ab 87,21 ab 87,24 126b
Kontrol KL 0 KL 25 KL 50 KL 75 90 KL
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%
140
126
120
100
86,22 87,35
87,23
80 (Jam, Menit)
66,53
60
54,20
45,87
76,73
57,58
46,10
40
32,68
36,40
20
0
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Larva L3-Pupa
Pupa-Dewasa
Gambar 15. Rata-rata jangka hidup pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
30
4.3.2 Jangka hidup nyamuk jantan dan betina Ae. aegypti Jangka hidup nyamuk Ae. aegypti jantan setelah terpapar temefos adalah 39 hari (KL0); 24,2 hari (KL25); 23,8 hari (KL50); 23,14 hari (KL75); 22 hari (KL90), sedangkan secara normal nyamuk jantan dapat hidup rata-rata 42,6 hari (kontrol). Perbedaan yang tidak nyata terdapat pada KL0, KL25, KL50 dengan kontrol (P>0,05). Perbedaan yang tidak nyata juga terdapat pada KL0, KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P>0,05), tetapi terdapat perbedaan yang nyata bila dibandingkan antara kontrol dengan KL75 dan KL90(P<0,05).
Tabel 5. Rata-rata jangka hidup nyamuk dewasa Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi
Dewasa (hari) Jantan a 42,6 ab 39 ab 24,2 ab 23,8 b 23,14 b 22
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Betina a 54,2 ab 46,7 abc 37,9 abc 36,9 bc 32,71 c 27
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
60,00 50,00
54,20
39,00
40,00 (hari) 30,00
36,90
37,90
32,71
23,80 23,14 22,00
27,00
24,20
20,00 10,00 0,00
46,70
42,60
KL0 KL25 KL50 KL75 KL90 Jantan Betina
Kontrol
Gambar 16. Rata-rata jangka hidup nyamuk dewasa Ae. aegypti (jantan dan betina) setelah terpapar temefos
31
Rata-rata jangka hidup nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos adalah 46,7 hari (KL0); 37,9 hari (KL25); 36,9 hari (KL50); 32,71 hari (KL75); 27 hari (KL90) dan rata-rata jangka hidup nyamuk betina normal adalah 54,2 hari. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol, KL0, KL25 dan KL50, demikian pula antara KLo, KL25, KL50 dan KL75 (P>0,05). Perbedaan yang nyata terdapat antara kontrol dengan KL90 (P<0,05), sedangkan antara KL25, KL50 KL75 dan KL90 tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05). Data ditampilkan dalam Tabel 5 dan Gambar 16. Tidak terdapat perbedaan antara konsentrasi temefos paling rendah (0,180 mg/liter pada KL0) dengan konsentrasi yang tinggi (0,433 mg/liter pada KL90). Hal ini menunjukkan bahwa dibawah cekaman temefos, nyamuk jantan Ae. aegypti masih berusaha untuk mempertahankan hidupnya walaupun jangka hidupnya lebih pendek. Demikian juga halnya dengan jangka hidup betina, tidak terdapat perbedaan antara konsentrasi temefos KL0 dengan KL75. Hal ini juga membuktikan bahwa, nyamuk Ae. aegypti yang hidup pada lingkungan yang kurang optimal masih berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan meneruskan keturunannya. Semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka jangka hidup larva dan pupa Ae. aegypti memiliki kecenderungan semakin lambat. Larva dan pupa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan tahapan dalam daur hidupnya akibat alokasi energi yang seharusnya digunakan untuk jangka hidup secara normal dialihkan untuk mempertahankan diri dibawah cekaman insektisida. Larva dan pupa melakukan penghematan energi agar tujuan hidup meneruskan generasi berikutnya tercapai. Sebaliknya jangka hidup nyamuk dewasa jantan dan betina Ae. aegypti menjadi lebih singkat dibandingkan dengan normal, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Gunandini (2002) yang menyatakan bahwa Ae. aegypti mengalami pertumbuhan yang lebih lama pada stadium pradewasa dan memperpendek stadium dewasa setelah diseleksi dengan malation. Pada pengamatan ini telihat bahwa nyamuk Ae. aegypti
melakukan
“trade-off” energi. Fenomena “trade-off” yang ditunjukkan oleh oleh nyamuk Ae. aegypti dengan memperpanjang jangka hidup pradewasa, sebaliknya memperpendek jangka hidup dewasa. Suatu hubungan antara dua sifat yang
32
dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan akibat jumlah energi yang digunakan sangat terbatas (Begon et al. 1996).
4.4
Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti Semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan menyebabkan berat
basah maupun berat kering larva dan pupa menjadi semakin ringan. Tabel 6 dan Gambar 17 menampilkan data berat larva nyamuk Ae. aegypti. Berat basah larva Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos adalah 0,0268 mg (KL0); 0,1933 mg (KL25); 0,1167 mg (KL50); 0,0108 mg (KL75); 0,0108 mg (KL90) sedangkan berat basah larva yang tidak terkontaminasi adalah 0,0280 mg. Berat kering larva Ae. aegypti yang normal adalah 0,0177 mg, sedangkan berat basah rata-rata larva yang dipaparkan temefos adalah 0,0175 mg (KL0); 0,0123 mg (KL25); 0,0045 mg (KL50); 0,0048 mg (KL75); 0,0030 mg (KL90). Berat basah dan berat kering larva antara kontrol dan KL0 tidak berbeda nyata (P>0,05), demikian juga antara KL50, KL75 dan KL90 tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 6. Rata-rata berat basah dan berat kering pradewasa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos Konsentrasi Kontrol KL 0 KL 25 KL 50 KL 75 KL 90
Larva (mg) Berat basah Berat kering a a 0,0280 0,0177 a a 0,0268 0,0175 b b 0,1933 0,0123 c c 0,1167 0,0045 c c 0,0108 0,0048 c c 0,0108 0,0030
Pupa (mg) Berat basah Berat kering a a 0,0375 0,0170 b b 0,0200 0,0093 b b 0,0195 0,0080 c b 0,0113 0,0075 d c 0,0073 0,0022 e c 0,0032 0,0012
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
Tabel 6 dan Gambar 18 menunjukkan rata-rata berat pupa. Pemaparan temefos menyebabkan berat basah pupa Ae. aegypti semula 0,0375 mg (kontrol) menjadi 0,0200 mg (KL0); 0,0195 mg (KL25); 0,0113 mg (KL50); 0,0073 mg (KL75); 0,0032 mg (KL90). Rata-rata berat kering pupa Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos adalah 0,0093 mg (KL0); 0,0080 mg (KL25); 0,0075 mg (KL50);
33
0,0022 mg (KL75); 0,0012 mg (KL90) dan yang tidak terpapar temefos adalah 0,0170 mg (kontrol). Perbedaan yang nyata pada berat basah dan berat kering terdapat antara kontrol dengan semua perlakuan (P<0,05). 0,03 0,025
0.0268
0,028
0.0177
0,02
0.0193
0,0175
0.0117
0.0123
0,01 0,005 0
(mg) 0,015
0.0108 0.0108
0.0048
0,0045
0.003
KL KL KL KL KL
Kontrol
0
25
50
75
90
Berat Basah Larva
Berat Kering Larva
Gambar 17. Rata-rata berat basah dan berat kering larva nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
0,04
0,0375
0,035 0,03 0,025 (mg)
0,02 0,015 0,01 0,005 0
0,0195
0,02 0,017
0.0113
0.0093
0,0075 0.0073
0,008
0.0022
0.0032
KL KL KL KL KL Berat Basah Pupa Berat Kering Pupa Kontrol
0
25
50
75
0.0012
90
Gambar 18. Rata-rata berat basah dan berat kering pupa nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Tabel 7 dan Gambar 19 menampilkan rata-rata berat badan nyamuk jantan Ae. aegypti. Rata-rata berat basah nyamuk jantan Ae. aegypti semula 0,0227 mg (kontrol) menjadi 0,0123 mg (KL0); 0,0115 mg (KL25); 0,0105 mg (KL50);
34
0,0077 mg (KL75) dan 0,0044 mg (KL90). Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara KL0, KL25, KL50, KL75, demikian juga antara KL75 dan KL90 (P>0,05). Perbedaan yang nyata terdapat antara kontrol dengan semua perlakuan (P<0,05). Data berat kering jantan dari semula 0,0117 mg (kontrol) menjadi 0,0090 mg (KL0); 0,0085 mg (KL25); 0,0068 mg (KL50); 0, 0027 mg (KL75) dan 0,0013 mg (KL90). Tidak terdapat perbedaan nyata pada berat kering nyamuk jantan Ae. aegypti antara kontrol dengan KL0, KL25 dan KL50, demikian juga antara KL50 dengan KL75 dan antara KL75 dan KL90 (P>0,05). Sebaliknya terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol, KL0, KL25, KL50 dengan KL75 dan KL90 (P<0,05).
Tabel 7. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk Ae. aegypti dewasa setelah terpapar temefos Konsentrasi Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Jantan Berat basah Berat kering a a 0,0227 0,0117 a b 0,0090 0,0123 a b 0,0085 0,0115 ab b 0,0068 0,0105 bc bc 0,0077 0,0027 c c 0,0044 0,0013
Betina Berat basah Berat kering a a 0,0323 0,0173 b b 0,0193 0,0125 b b 0,0180 0,0122 c b 0,0137 0,0107 d c 0,0092 0,0057 e d 0,0050 0,0018
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
(%)
0,0250 0,0200 0,0150 0,0100 0,0050 0,0000
0,0227
0,01170,0123 0,0115
0,0105
0,0085
0,0090
0,0068
0,0077
0,0027
0,0044 0,0013
KL KL KL KL KL
Kontrol
0
Berat Basah Jantan
25
50
75
90
Berat Kering Jantan
Gambar 19. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk jantan Ae. aegypti setelah terpapar temefos
35 Rata-rata berat basah betina yang tidak mendapatkan perlakuan adalah
0,0323 mg (kontrol), sedangkan yang mendapat perlakuan temefos adalah 0,0193 mg (KL0); 0,0180 mg (KL25); 0,0137 mg (KL50); 0,0092 mg (KL75) dan 0,0050 mg (KL90). Data ini menunjukkan perbedaan yang tidak nyata antara KL0 dengan KL25 (P>0,05). Perbedaan yang nyata terdapat antara KL0, KL25 dengan kontrol, dan juga dengan KL50, KL75, KL90, perbedaan yang nyata juga terdapat diantara KL50, KL75 dan KL90 (P<0,05). Rata-rata berat kering nyamuk betina Ae. aegypti yang tidak terpapar temefos (kontrol) semula 0,0173 mg menjadi
0,0125 mg (KL0); 0,0122 mg
(KL25); 0,0107 mg (KL50); 0,0057 mg (KL75) dan 0,0018 mg (KL90) setelah dipaparkan dengan temefos. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara KL0, KL25, KL50 (P>0,05). Berat kering nyamuk betina antara kontrol dengan KL0, KL25, KL50 berbeda nyata, demikian juga antara kontrol dengan KL75 dan KL90, perbedaan yang nyata juga terdapat antara KL75 dan KL90 (P<0,05) (Tabel 7 dan Gambar 20).
0,0350 0,0300 0,0250 0,0200
0,0323
0,0173
(mg) 0,0150 0,0100 0,0050 0,0000
0,0193
0,0180
0,0122
0,0125
0,0137
0,0107
0,0092 0,0057
KL KL KL KL KL
Kontrol
0
Berat Basah Betina
25
50
75
0,0050
0,0018
90
Berat Kering Betina
Gambar 20. Rata-rata berat basah dan berat kering nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka berat badan pradewasa dan dewasa nyamuk Ae. ageypti semakin rendah. Dibawah cekaman temefos nyamuk Ae. aegypti stadium larva, pupa maupun dewasa berusaha untuk bertahan hidup. Kondisi nyamuk Ae. aegypti pradewasa dan stadium dewasa
36
yang gerakannya semakin lemah mempengaruhi kemampuan larva untuk mencari makan. Jumlah pakan yang dimakan menjadi sedikit akibatnya energi yang dimiliki oleh larva, pupa dan stadium dewasa Ae. aegypti menjadi terbatas, sehingga ukuran tubuh menjadi lebih kecil dibandingkan dengan normal. Hal inilah yang menyebabkan penurunan berat badan pada stadium pradewasa maupun dewasa nyamuk Ae. aegypti. Bentuk adaptasi yang ditampakkan oleh Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos adalah dengan memperkecil ukuran tubuhnya, secara tidak langsung hal ini mengakibatkan efisiensi atau penghematan energi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup (Yan et al.1998). Penurunan berat badan Ae. aegypti merupakan respon negatif terhadap kerja insektisida temefos. Sibly & Calow (1988) dalam Gunandini (2002) menyatakan jumlah energi yang tersedia sangat terbatas sehingga untuk kelangsungan hidup organisme di dalam lingkungan yang tidak normal, akan terjadi pengalokasikan energi untuk mempertahankan hidup.
4.5
Jumlah telur dan Kelompok Telur Ae. aegypti Rata-rata jumble telur per individu nyamuk Ae. aegypti yang terpapar
temefos adalah 63 butir (KL0), 64 butir (KL25), 76 butir (KL50), 93 butir (KL75) dan 34 (KL90) serta 64 butir pada nyamuk yang tidak terpapar oleh temefos (Kontrol). Jumlah telur nyamuk Ae. aegypti betina ternyata tidak berbeda nyata antara kontrol dengan KL0, KL25, KL50 dan KL75 (P>0,05), perbedaan yang nyata hanya terdapat antara KL90 dengan kontrol, KL0, KL25, KL50 dan KL75 (P<0,05). Tabel 8 dan Gambar 21. Rata-rata jumlah kelompok telur selama hidup nyamuk Ae. aegypti betina setelah terpapar temefos yaitu 17 batch (KL0), 16 batch (KL25), 15 batch (KL50), 12 batch (KL75) dan 11 batch (KL90), sedangkan yang tidak terpapar temefos adalah 16 batch (kontrol). Data menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara KL0, KL25, KL50 dengan kontrol, demikian juga KL75 dan KL90 (P>0,05). Perbedaan yang nyata hanya pada KL75, KL90 dengan kontrol (P<0,05). Tabel 8 dan Gambar 22. Semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka kemampuan oviposisi Ae. aegypti betina semakin rendah. Penetrasi temefos menyebabkan
37
terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis protein ke kuning telur selama embriogenesis (Kumar et al. 2009). Belinato et al. (2009) menyatakan bahwa Ae. aegypti yang hidup dibawah cekaman triflumuron, kemampuan menghisap darahnya semakin rendah. Jumlah telur dan jumlah kelompok telur dipengaruhi oleh kemampuan betina menghisap darah, volume darah yang masuk, dan banyaknya siklus gonotropik yang dilewati selama hidup nyamuk. Nyamuk Ae. aegypti betina mampu menghisap darah sebanyak 17-40 kali dengan oviposisi sampai 17 kelompok.
Tabel 8. Rata-rata jumlah telur dan jumlah kelompok telur selama hidup nyamuk Ae. aegypti betina setelah terpapar temefos
Konsentrasi
Jumlah telur / nyamuk (butir) 64a 67a 64a 76a 93a 34b
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Jumlah kelompok telur / nyamuk (batch) 16a 17a 16a 15a 12b 11b
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
93
100
(butir)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
76
64 67 64
KL KL KL KL KL Jumlah Telur / Nyamuk
Kontrol
0
25
50
75
34
90
Gambar 21. Rata-rata jumlah telur/nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos
38
Periode menghisap darah selama sekali siklus gonotropik antara 3-4 hari. Siklus gonotropik dimulai sejak betina menghisap darah, meletakkan telur dan menghisap darah kembali (Christophers, 1960; Bahang, 1978). Kemampuan betina menghisap darah dan volume darah yang masuk dipengaruhi oleh berat badan. Temefos mengakibatkan penurunan berat badan betina Ae. aegypti. Berat badan dan ukuran tubuh nyamuk yang lebih kecil menyebabkan volume darah yang dihisap akan semakin berkurang. Volume darah yang sedikit dapat menyebabkan kemampuan bertelur menurun sehingga jumlah telur dan jumlah kelompok telurpun menjadi lebih sedikit. Banyaknya siklus gonotropik dipengaruhi oleh jangka hidup nyamuk betina Ae. aegypti. Dari pengamatan terbukti bahwa jangka hidup nyamuk ini semakin pendek dengan semakin tingginya konsentrasi temefos. Sejalan dengan semakin singkatnya umur nyamuk maka banyaknya siklus gonotropik semakin berkurang. Pemaparan malation pada fase larva Ae. aegypti menyebabkan jumlah telur yang dihasilkan oleh nyamuk betina selama hidupnya menurun, semula 117,65 butir (F0) menjadi 139,05 butir (F5); 133,02 butir (F10); 89,88 butir (F15) dan 78,33 butir (F20) (Gunandini, 2002).
18
16
17
16
16
15
14
11
12
12 (batch)
10 8 6 4 2 0
KL KL KL KL KL Jumlah Kelompok Telur / Nyamuk
Kontrol
0
25
50
75
90
Gambar 22. Rata-rata jumlah kelompok telur/nyamuk betina Ae. aegypti setelah terpapar temefos
39
Penurunan jumlah telur juga terjadi pada nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan deltametrin pada fase larva dan dewasa. Jumlah telur Ae. aegypti semula 104,5 butir (F0) menjadi 95 butir (F20) dan 65,67 butir (F40) akibat. Pemaparan deltametrin pada stadium pupa juga menyebabkan penurunan jumlah telur semula 94,5 butir (F0) menjadi 68,91 butir (F20) dan 70 butir (F40). Demikian juga pemaparan deltametrin pada stadium dewasa mengakibatkan penurunan jumlah telur, rata-rata jumlah telur berubah dari 108, 4 butir per betina menjadi 78,50 butir (F20) dan 68 butir(F40) (Kumar et al. 2009). Pemaparan temefos mengakibatkan penurunan jumlah telur (Tabel 8). Jumlah telur nyamuk Ae. aegypti yang terpapar temefos dengan konsentrasi KL0, KL25, KL50, KL75 tidak berbeda dengan kontrol, hal ini menunjukkan bahwa dibawah cekaman temefos nyamuk Ae. aegypti betina masih berusaha untuk mempertahankan diri. Kemampuan bertelur yang masih sama dengan kontrol sampai KL75 merupakan usaha maksimal trade-off yang dilakukan oleh nyamuk Ae. aegypti. Gunandini (2002) juga menyatakan bahwa jumlah rata-rata telur yang dihasilkan oleh seekor nyamuk Ae. aegypti setelah diseleksi oleh malation sampai generasi ke-20 (F20) tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan kontrol (F0). Jumlah telur yang dihasilkan oleh nyamuk betina Ae. aegypti selama hidup secara normal tanpa ada cekaman insektisida menurut Niendria (2011); Antonio et al. (2009); Adanan et al. (2005); Gunandini (2002); Bahang (1978) dan Clements (1963) secara berurutan adalah 284,6 butir; 108,5 butir; 117,65 butir; 117,35 butir; 128 butir dan 100 butir sedangkan jumlah telur Ae. aegypti normal dalam penelitian ini adalah 64 butir. Jumlah telur perindividu yang berbeda diantara peneliti lain kemungkinan juga dipengaruhi oleh luas kandang yang digunakan. Luasan kandang yang optimal untuk tempat istirahat (density site resting) seekor Ae. aegypti adalah 1,82 cm2, (Gerberg et al. 1994). Dalam penelitian ini luas kandang perlakuan yang digunakan adalah 2.400 cm2 (rusuk kandang 20x20x20 cm3) sehingga tempat istirahat per ekor nyamuk hanya 1,25 cm2. Sempitnya luasan kandang ini berakibat secara normalpun nyamuk terganggu dalam beraktivitas, keadaan ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab jumlah telur rata-rata yang dihasilkan berada dibawah standar.
40
Banyaknya kelompok telur yang dihasilkan oleh seekor nyamuk betina Ae. aegypti sangat tergantung dari lamanya jangka hidup nyamuk itu sendiri, meskipun jumlah kelompok telur pada setiap kelompok tidaklah sama. Gunandini (2002) menyatakan bahwa akibat seleksi malation terjadi penurunan jumlah kelompok telur nyamuk Ae. aegypti selama hidup seekor betina yaitu 6,83 (F0); 6,49 (F5); 4,85 (F10); 3,57 (F15) dan 2,04 (F20). Hasil penelitian menunjukkan jumlah kelompok telur nyamuk Ae. aegypti yang terpapar temefos dengan konsentrasi KL0, KL25, KL50 tidak berbeda dengan kontrol. Usaha yang dilakukan oleh nyamuk Ae. aegypti untuk meneruskan generasi selanjutnya dengan mempertahankan jumlah telur maupun kelompok telur merupakan fenomena adaptasi yang dikenal dengan istilah “plastisitas fenotip”.
4.6
Daya Tetas Telur Nyamuk Ae aegypti Daya tetas telur dipengaruhi oleh kemampuan betina menghisap darah,
volume darah yang masuk, dan periode menghisap darah. Kemampuan betina menghisap darah dan volume darah yang masuk dipengaruhi oleh berat badan. Penurunan kesuburan atau penurunan daya tetas telur dapat terjadi akibat cekaman insektisida. Insektisida temefos yang masukke ke dalam ovum menyebabkan efek racun terakumulasi dalam folikel ovum. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan telur atau kesuburan telur berkurang, penetrasi organofosfat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis protein ke kuning telur selama embriogenesis (Kumar et al. 2009).
Tabel 9. Rata-rata persentase daya tetas telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Daya tetas telur (%) a 80.09 ab 66.37 bc 48.60 bc 46.96 c 41.71 c 41.00
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
41
Rata-rata persentase daya tetas telur Ae. aegypti setelah terpapar temefos adalah 66,37% (KL0); 48,60% (KL25); 46,96% (KL50); 41,71% (KL75); 41,00% (KL90), sedangkan rata-rata daya tetas telur yang normal adalah 80,09%. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara KL0, KL25 dan KL50 demikian juga antara KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P>0,05). Bila dibandingkan dengan kontrol, maka terdapat perbedaan yang nyata antara kontrol dengan KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P<0,05). Dari penjelasan ini terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka semakin rendah persentase kemampuan daya tetas telur. Perbedaan yang tidak nyata dengan kontrol hanya terdapat pada KL0 (P>0,05). Semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka semakin kecil daya tetas telur hal ini kemungkinan disebabkan oleh suplai protein dalam darah tidak mencukupi sehingga menurunkan daya tetas telur. Protein yang sangat dibutuhkan oleh nyamuk dalam proses vitelogenesis adalah protein yang berasal dari darah sehingga darah merupakan nutrisi utama dalam proses pembentukan telur. Nyamuk Ae. aegypti betina bersifat antropofilik, artinya nyamuk lebih menyukai darah manusia dibandingkan dengan darah hewan (Clements, 1963). 90,00 80,00
87,06 76,49
70,00
55,89
48,27
50,00
(%)
53,68
60,00
44,95
40,00 30,00 20,00 10,00 -
KL KL KL KL KL Daya Tetas Telur
Kontrol
0
25
50
75
90
Gambar 23. Rata-rata persentase daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Periode menghisap darah dipengaruhi oleh jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina, rata-rata jangka hidup betina yang normal tanpa cekaman temefos adalah 54,2 hari sedangkan yang terpapar temefos dengan konsentrasi tertinggi
42
(KL90) yaitu 27 hari (KL90), akibat pendeknya jangka hidup maka kesempatan menghisap darahpun semakin berkurang (Christophers, 1960). Kumar et al. (2009) melakukan penelitian efek pemberian insektisida deltamethrin dan kombinasi deltamethrin terhadap nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan pada stadium larva, pupa dan dewasa. Pemamparan deltametrin stadium larva menghasilkan rata-rata persentase daya tetas telur semula 82,5% (F0) menjadi 67,8% (F20) dan 57,2% (F40). Pemaparan deltametrin pada stadium pupa mengakibatkan jumlah persentase daya tetas telur pada awalnya 84,56% menjadi 66,50% (F20) dan 67,90% (F40), sedangkan pemaparan deltametrin pada stadium dewasa rata-rata persentase daya tetas telur semula sebesar 77,50% (F0) menjadi 66,40% (F20) dan 63,60% (F40). Perez et al. (2007) menyatakan bahwa senyawa nabati spinosad yang merupakan insektisida nabati dari jamur kelas Actomycotina. Spinosad diberikan pada nyamuk betina Ae. aegypti dewasa yang sedang gravid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata daya tetas telur semula adalah 86,90% pada nyamuk kontrol menjadi 58,40% (5 ppm spinosad). Antonio et al. (2009) menggunakan spinosad dengan konsentrasi 0,06 ppm, dari hasil penelitian diperoleh rata-rata daya tetas telur dari semula 84,90% (kontrol) menjadi 72,60%.
4.7
Kemampuan Ekdisis dan Eklosi Nyamuk Ae. aegypti Persentase kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan
dengan temefos adalah 72,38% (KL0); 61,56% (KL25); 54,43% (KL50); 44,23% (KL75) dan 42,66 (KL90) sedangkan yang tidak terpapar temefos (kontrol) adalah 75,50%. Perbedan yang tidak nyata terdapat pada KL0, KL25 dan KL50 dan kontrol, demikian juga antara KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P>0,05). Perbedaan yang nyata hanya pada KL75 dan KL90 bila dibandingkan dengan kontrol (P<0,05) (Tabel 10 dan Gambar 24). Pemaparan temefos mengakibatkan persentase kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos dari 89,61% (kontrol) berubah menjadi 76,53 (KL0); 57,36 (KL25); 56,69 (KL50); 51,29 (KL75) dan 53,21 (KL90). Perbedaan yang nyata antara kontrol dan KL0 dengan KL25, KL50, KL90 (P<0,05). Kemampuan ekdisis KL0 tidak berbeda nyata dengan kontrol, demikian juga KL0,
43
KL25, KL50, KL90, dan juga antara KL25, KL50, KL75, KL90 (P>0,05). Data ditampilkan dalam Tabel 10 dan Gambar 25.
Tabel 10. Kemampuan ekdisis dan eklosi nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi Kontrol KL 0 KL 25 KL 50 KL 75 KL 90
Kemampuan ekdisis (%) a 77,50 a 72,38 ab 61,56 ab 54,43 b 44,23 b 42,66
Kemampuan eklosi (%) a 89,61 ab 76,53 bc 57,36 bc 56,69 c 51,29 bc 53,21
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
76,19
75,95
80,00
64,52
70,00
60,70
53,28
60,00
46,29
50,00 (%)
40,00 30,00 20,00 10,00
KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
-
Kontrol
Kemampuan Ekdisis
Gambar 24. Rata-rata kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Secara keseluruhan dapat dikatakan temefos tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pesentase kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti pada konsentrasi KL0, KL25, KL50. Semakin tinggi konsentrasi temefos semakin menurun persentase kemampuan ekdisis dan eklosi nyamuk Ae. aegypti. Keberhasilan nyamuk Ae. aegypti dalam mempertahankan kemampuan larva untuk berkembang menjadi pupa dan kemampuan pupa menjadi imago menunjukkan suatu kerjasama seluruh komponen sifat yang dimiliki nyamuk
44
demi keberhasilan meneruskan keturunan, meskipun disisi lain terjadi penurunan sifat yang lain. Hal ini dimungkinkan karena pengalokasian energi dalam kelangsungan hidup dan kepentingan generasi selanjutnya lebih diprioritaskan dibandingkan dengan kebutuhan energi yang digunakan untuk pertumbuhan diri sendiri. Fenomena ini menunjukkan bahwa kehidupan bukanlah suatu hal yang kaku, sehingga adanya suatu kelenturan proses akibat interaksi nyamuk Ae. aegypti dengan lingkungannya dapat menyebabkan nyamuk bertahan hidup dan meneruskan keturunan.
100,00
(%)
90,67
85,83
80,00 60,00 40,00 20,00
63,80
63,35
68,10
64,08
-
KL KL KL KL KL
Kontrol
0
25
50
75
90
Kemampuan Eklosi
Gambar 25. Rata-rata kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Penelitian yang dilakukan oleh Perez et al. (2007) menggunakan temefos dan vectobac menunjukkan bahwa rata-rata persentase kemampuan eklosi akibat cekaman temefos semula 41,20% menjadi 38,70% (temefos 0,1 gr) sedangkan pemaparan vectobac mengakibatkan penurunan eklosi dari 41,20% menjadi 38,70% (Vectobac 1 µl). Penurunan persentase ekdisis dan eklosi akibat pengaruh insektisida juga dilaporkan oleh Gunandini (2002), pemaparan malation terhadap nyamuk Ae. aegypti mampu menurunkan kemampuan ekdisis dan eklosi yang semula 91% dan 93% (F0) menjadi 84% dan 91% (F20). Hoe et al. (1983) menyatakan bahwa pemaparan malation mempengaruhi kemampuan ekdisi Ischiodon scutellaris Fabr (Diptera:Syrphidae) yang semula 73,95% (kontrol)
45
menjadi 55,38% (25 µg/ml); 66,86% (100 µg/ml); 47,77% (150 µg/ml); 54,98% (200 µg/ml) dan 33,46% (250 µg/ml).
4.8
Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti Persentase kemunculan jantan dan betina tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata antara kontrol dan KL0, juga antara KL25, KL50, KL75 dan KL90 (P>0,05). Perbedaan ratio kelamin jantan dan betina yang nyata terdapat antara KL25, KL50, KL75, KL90 bila dibandingkan dengan kontrol (P<0,05).
Tabel 11. Rata-rata persentase ratio kelamin nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Konsentrasi
Perbandingan nisbah kelamin (%) Jantan Betina a a 56,83 43,17 a a 57,81 42,19 b b 52,38 47,62 b b 60,06 39,94 b b 70,70 29,30 b b 82,73 17,27
Kontrol KL0 KL 25 KL 50 KL 75 KL90
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%.
80,00 70,00 60,00 50,00 (%)
40,00 30,00 20,00 10,00 -
Kontrol
KL KL KL KL KL 0
Jantan
25
50
75
90
Betina
Gambar 26. Rata-rata persentase kelamin jantan dan betina nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos
46 Setiap organisme memiliki kemampuan untuk tetap mempertahankan
hidup dan keturunannya walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal dibawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011). Hal ini terlihat dari semakin tinggi konsentrasi temefos yang digunakan maka cenderung semakin rendah persentase kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti. Saling keterkaitan antar komponen dalam kelangsungan hidup nyamuk Ae. aegypti, mengakibatkan bila satu komponen terganggu maka mempengaruhi komponen yang lain. Penurunan persentase eklosi nyamuk Ae. aegypti akibat cekaman temefos menyebabkan terjadinya perubahan ratio kelamin jantan dan betina bila dibandingkan dengan normal. Secara normal eklosi pupa menjadi dewasa pada awalnya didominasi oleh jenis kelamin jantan, hal ini menunjukkan bahwa lebih mudah bagi nyamuk menghasilkan jenis kelamin jantan dibandingkan betina (Christophers, 1960). Terbukti dari penelitian ini bahwa nyamuk yang semakin lemah karena paparan temefos lebih banyak menghasilkan jenis kelamin jantan untuk generasi selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan efek temefos menyebabkan perubahan ratio jenis kelamin jantan dibandingkan dengan betina dari 56,83% : 43,17% (kontrol) menjadi 82,73% : 17,27% (KL90). Gunandini (2002) menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi oleh malation merubah komposisi ratio jenis kelamin antara jantan dan betina. Ratio jenis kelamin yang semula jantan dan betina yang semula 46% : 54% (F0) menjadi sebaliknya 54% : 46 % (F20).
4.9. Pembahasan Umum Lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida temefos memaksa nyamuk Ae. aegypti beradaptasi untuk menggunakan jumlah energi sebaik mungkin. Jumlah energi yang terbatas ini akan dialokasikan untuk berbagai keperluan hidup, terutama untuk meneruskan keturunan. Nyamuk Ae. aegypti berhasil bertahan di bawah cekaman temefos apabila dapat memanfaatkan energi dengan baik. Kemampuan nyamuk Ae. aegypti beradaptasi dengan lingkungan yang tidak optimal menunjukkan adanya kelenturan sifat yang dimiliki sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, kelenturan sifat ini dikenal dengan istilah plastisitas fenotip (Uvarov, 1961).
47
Setiap makhluk hidup dapat beradaptasi dalam lingkungan yang tidak optimal dengan berbagai perubahan fisiologis. Nyamuk Ae. aegypti merupakan serangga dengan daur hidup yang kompleks sehingga memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungannya. Fase pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Ae. aegypti
merupakan komponen sifat yang saling
berkaitan. Suatu hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas, peristiwa ini dikenal dengan istilah “trade-off” (Begon et al. 1996, Bedhomme et al. 2003, Schneider et al. 2011).
Tabel 12. Jangka hidup larva Ae. aegypti setelah terpapar temefos
Jangka hidup Pradewasa (jam, menit) Pupa - Dewasa L3 – Pupa a a 45,54 32,41 ab 54,12 a 36,24 ab abc 46,6 86,14 bc ab 87,21 57,35 c ab 66,32 87,24 c 126b 69,44
Konsen Trasi Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Dewasa (hari) Jantan Betina a a 42,6 54,2 ab 39ab 46,7 ab abc 37,9 24,2 abc ab 23,8 36,9 bc b 32,71 23,14 27c 22b
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%. Tidak berbeda nyata dengan kontrol. Berbeda dengan kontrol.
Fenomena yang ditunjukkan oleh nyamuk Ae. aegypti akibat cekaman temefos terlihat pada Tabel 12. Pertumbuhan dan perkembangan larva nyamuk Ae. aegypti setelah dipaparkan temefos menunjukkan jangka hidup yang berubah, stadium pradewasa semakin lambat sedangkan stadium dewasa menjadi semakin singkat. Dalam keadaan tercekam tersebut jangka hidup L3-pupa pada perlakuan KL75 masih terlihat sama dengan normal. Jangka hidup pupa-dewasa sampai perlakuan KL25 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol. Dari penjelasan ini terlihat bahwa sampai KL75 untuk perkembangan L3-pupa, larva Ae. aegypti mampu menunjukkan kelenturan sifat yang dimiliki (plastisitas
48
fenotip), tetapi pada perkembangan pupa-dewasa plastisitas yang dimiliki hanya sampai perlakuan KL25. Semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan terlihat jangka hidup jantan dan betina semakin singkat. Nyamuk Ae. aegypti masih mampu menyamai jangka hidup nyamuk normal sampai perlakuan KL50. Dalam hal ini kemampuan nyamuk jantan maupun betina masih bisa menyamai nyamuk kontrol, artinya kelenturan sifat yang dimiliki kedua jenis kelamin ini relatif sama. Pada parameter jangka hidup nyamuk pradewasa dan dewasa setelah tercekam temefos terlihat adanya pertukaran energi di antara kedua stadium. Di satu sisi stadium pradewasa menjadi semakin lambat, sebaliknya stadium dewasa menjadi semakin singkat. Disinilah terjadi peristiwa pertukaran energi yang dikenal dengan istilah trade-off. Suatu hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas. Keadaan ini memaksa nyamuk untuk menghemat energi yang terbatas, contoh nyata yang terlihat adalah aktivitas gerakan larva yang semakin lemah. Pada keadaan normal larva Ae. aegypti mampu menempuh jarak 30 cm selama 2 menit 57 detik, tetapi pada perlakuan KL90 untuk menempuh jarak yang sama larva memerlukan waktu 24 menit 35 detik. Hal ini menunjukkan jumlah energi yang dimiliki oleh nyamuk semakin berkurang karena bertahan terhadap cekaman temefos. Berat badan (berat basah dan berat kering) nyamuk Ae. aegypti stadium pradewasa dan dewasa setelah terpapar temefos semakin rendah (Tabel 13). Secara umum larva, pupa maupun dewasa (jantan dan betina) nyamuk Ae. aegypti bertahan terhadap cekaman temefos dengan menggunakan energi secara efisien. Energi yang ada sedapat mungkin digunakan untuk keperluan yang vital dengan mengabaikan kebutuhan dirinya sendiri (nyamuk tidak mampu menyamakan berat badannya dengan nyamuk normal). Keadaan ini terlihat pada terjadinya penurunan berat badan seiring dengan semakin tinggi konsentrasi temefos yang diujikan.
Tabel 13. Berat badan nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos pada fase L3 Berat Badan (mg) Konsentrasi Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
Pradewasa Larva (mg) Berat basah Berat kering a a 0,0280 0,0177 a a 0,0268 0,0175 b b 0,1933 0,0123 c c 0,1167 0,0045 c c 0,0108 0,0048 c c 0,0108 0,0030
Pupa (mg) Berat basah Berat kering a a 0,0375 0,0170 b b 0,0200 0,0093 b b 0,0195 0,0080 c b 0,0113 0,0075 d c 0,0073 0,0022 e c 0,0032 0,0012
Dewasa Jantan Berat basah Berat kering a a 0,0227 0,0117 a b 0,0090 0,0123 a b 0,0085 0,0115 ab b 0,0068 0,0105 bc bc 0,0077 0,0027 c c 0,0044 0,0013
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%. Tidak berbeda nyata dengan kontrol. Berbeda dengan kontrol.
Betina Berat basah Bera a 0,0323 0,0 b 0,0193 0,0 b 0,0180 0,0 c 0,0137 0,0 d 0,0092 0,0 e 0,0050 0,0
Tabel 14. Fekunditas nyamuk Ae. aegypti setelah terpapar temefos pada fase L3 Konsentrasi
Jumlah telur/nyamuk (butir)
Kontrol KL0 KL25 KL50 KL75 KL90
64a 67a 64a 76a 93a 34b
Jumlah kelompok telur/nyamuk (batch) 16a 17a 16a 15a 12b 11b
Daya tetas telur (%) a
80.09 ab 66.37 bc 48.60 bc 46.96 c 41.71 c 41.00
Kemampuan ekdisis (%) a
77,50 a 72,38 ab 61,56 ab 54,43 b 44,23 b 42,66
Kemampuan eklosi (%) a
89,61 ab 76,53 bc 57,36 bc 56,69 c 51,29 bc 53,21
Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan pada taraf 5%. Tidak berbeda nyata dengan kontrol. Berbeda dengan kontrol.
Perbandingan nisba kelamin (%) Jantan Betin a
56,83 a 57,81 b 52,38 b 60,06 b 70,70 b 82,73
43,17 42,19 47,62 39,94 29,30 17,27
Usaha untuk mempertahankan keturunannya diperlihatkan oleh nyamuk Ae. aegypti yang telah terpapar oleh temefos. Pada perlakuan KL75 jumlah telur yang dihasilkan tidak berbeda dengan kontrol, demikian pula jumlah kelompok telur sampai KL50 masih sama dengan normal (Tabel 14). Hal ini membuktikan bahwa dibawah cekaman temefos nyamuk berusaha untuk mempertahankan keturunannya dengan menggunakan energi yang terbatas secara efisisen. Daya tetas telur yang dimiliki nyamuk setelah terpapar temefos tidak sebaik keberhasilan jumlah telur dan kelompok telur, daya tetas telur hanya menyamai kontrol sampai perlakuan KL0. Kemampuan ekdisis dapat menyamai kontrol sampai pada perlakuan KL50 tetapi kemampuan eklosi kembali hanya bertahan sampai pada perlakuan KL0..Kemampuan ekdisis dapat menyamai kontrol sampai pada perlakuan KL50 tetapi kemampuan eklosi kembali hanya bertahan sampai pada perlakuan KL0. Hal ini menggambarkan bahwa nyamuk dengan energi yang terbatas berusaha menghasilkan telur sebanyak-banyaknya, tetapi pada kenyataannya energi yang dimiliki tidak mampu memaksimalkan daya tetas telur. Temefos yang masuk ke dalam ovum menyebabkan efek racun terakumulasi dalam folikel. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan telur atau kesuburan telur berkurang, penetrasi temefos menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan terganggunya sintesis protein ke kuning telur selama embriogenesis (Kumar et al. 2009). Nyamuk Ae. aegypti dalam penelitian ini hanya mampu menyamai normal sampai KL75 (jumlah telur) dan KL50 (jumlah kelompok telur), sebaliknya nyamuk gagal menyamai normal pada kemampuan daya tetas telur. Gunandini (2002) menyatakan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation sampai generasi ke-20 dapat menyamai nyamuk normal dalam hal jumlah telur, jumlah kelompok telur, daya tetas telur, kemampuan ekdisi dan kemampuan eklosi. Fenomena ini menunjukkan bahwa Ae. aegypti yang diseleksi secara bertahap oleh insektisida akan memiliki kelenturan sifat dan pertukaran energi yang lebih baik. Hal ini membuktikan bahwa di bawah cekaman insektisida nyamuk
berusaha
menggunakan
energi
semaksimal
mungkin
untuk
mempertahankan keturunannya. Dalam penelitian ini, daya tetas telur nyamuk Ae.
aegypti tidak mampu menyamai kontrol disebabkan temefos dipaparkan hanya pada satu generasi dan pada konsentrasi yang relatif tinggi. Perbandingan nisbah kelamin jantan dan betina menunjukkan semakin tinggi konsentrasi temefos yang dipaparkan maka persentase kelamin jantan lebih tinggi dibandingkan betina (Tabel 14). Nyamuk Ae. aegypti dibawah cekaman temefos berusaha untuk mempertahankan keturunannya dengan mengalokasikan energi semaksimal mungkin. Pemanfaatan energi dilakuan dengan meningkatkan jumlah kelamin jantan dan menurunkan terbentuknya jenis kelamin betina. Pengalokasian energi dalam proses pembentukan jantan dan betina merupakan usaha “trade-off” yang dilakukan oleh nyamuk Ae. aegypti. Suatu hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas. Terlihat bahwa nyamuk Ae. aegypti dibawah cekaman temefos lebih mampu menhasilkan jenis kelamin jantan dibandingkan betina. Hal ini menmbuktikan bahwa nyamuk Ae. aegypti tetap berusha meneruskan keturunannya, meskipun hanya mampu menghasilkan jenis kelamin jantan yang semakin banyak dibandingkan betina. Proses pemebentukan kelamin jantan memerlukan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan membentuk jenis kelamin betina, hal ini sesuai dengan pendapat Christophers (1960). Hasil penelitian ini juga menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Gunandini (2002) pada nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation, dalam penelitian tersebut perbandingan jumlah jantan dan betina semula 46 : 54 (F0) menjadi 54 : 46 (F20).