4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Lingkungan Waduk Koto Panjang 4.1.1. Suhu air Suhu air perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan berkisar antara 25,0 – 32,7oC, pada bulan Maret 2007 berkisar antara 25,0 – 32,7oC, bulan Juni 2007 berkisar antara 25,1 – 31,2oC, dan bulan Desember 2007 berkisar antara 25,0 – 29,9oC. Suhu air tertinggi di daerah permukaan berkisar antara 26,3 – 32,7oC dan terendah berkisar antara 25,0 – 28,6oC di daerah dasar perairan (Gambar 3 dan Lampiran 1). Gambar 3 menunjukkan suhu air menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan. Kecenderungan suhu air yang demikian disebabkan adanya perbedaan intensitas cahaya matahari yang mampu diserap pada setiap kedalaman, seiring dengan bertambahnya kedalaman, pemanasan air oleh sinar matahari akan semakin berkurang. Menurut Henderson-Sellers dan Markland (1987) suhu air yang cenderung tinggi sepanjang tahun, umumnya jarang terjadi pengadukan, dan berada di daerah tropik menjadikan Waduk Koto Panjang berpola oligomictic. Berdasarkan hasil pengamatan, lapisan termoklin tidak terdapat pada perairan Waduk Koto Panjang, karena perubahan suhu setiap penambahan satu meter kedalaman rata-rata kurang dari 1°C. Lapisan termoklin merupakan lapisan yang memiliki perubahan panas dan suhu yang relatif besar secara vertikal, yaitu sekurang-kurangnya terjadi perubahan 1°C setiap penambahan kedalaman satu meter. Lapisan termoklin memungkinkan keadaan perairan lebih stabil (sangat kecil kemungkinan terjadi pengadukan). Kondisi suhu perairan yang didapatkan masih dalam batas toleransi dan merupakan suhu yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Effendi (2003) bahwa kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20˚C - 30˚C. Suhu air dapat mempengaruhi produktivitas primer perairan, dengan meningkatnya suhu yang masih dapat ditolerir oleh organisme nabati, akan diikuti oleh kenaikan derajat metabolisme dan aktifitas fotosintesis yang ada di dalamnya. Menurut Schwoerbel
18 1987 in Musa 1992 suhu air erat kaitannya dengan pembentukan produktivitas primer di suatu perairan.
Gambar 3. Suhu perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan 4.1.2. Kecerahan Nilai kecerahan perairan yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara 0,6 – 2,0 m, dimana pada bulan Maret 2007 nilai kecerahan berkisar antara 1,4 – 2,0 m, pada bulan Juni 2007 berkisar antara 1,0 – 1,8 m, dan pada bulan Desember 2007 berkisar antara 0,6 – 1,4 m (Gambar 4 dan Lampiran 1). Nilai kecerahan tertinggi diperoleh pada pengamatan bulan Maret 2007 di stasiun Pongkey dan terendah diperoleh pada pengamatan bulan Desember 2007 di stasiun Muara Takus. Rendahnya nilai kecerahan pada pengamatan bulan Desember 2007 di stasiun Muara Takus diduga karena letak stasiun Muara Takus berada pada aliran sungai utama, kedalaman perairan yang dangkal (4 m) memungkinkan terjadinya pengadukan massa air di seluruh lapisan perairan menyebabkan kecerahan perairan menjadi rendah. Selain itu, bulan Desember 2007 merupakan musim hujan, masukan dari
19 aliran sungai maupun run-off
lebih banyak sehingga perairan menjadi keruh.
Berdasarkan kriteria status trofik menurut OECD (1982) in Henderson-Sellers dan Markland (1987), kecerahan perairan Waduk Koto Panjang selama pengamatan yang berkisar antara 0,6 – 2 m berada dalam status eutrof.
Gambar 4. Nilai kecerahan perairan pada setiap stasiun dan waktu pengamatan 4.1.3. pH Nilai pH perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan disajikan pada Tabel 4 dan Lampiran 1. Gambar 5 menunjukkan nilai pH tertinggi terdapat di daerah permukaan berkisar antara 6,5 – 7,5 dan terendah pada dasar waduk berkisar antara 5,5 – 7,0. Nilai pH 5,5 yang diperoleh pada dasar waduk diduga disebabkan oleh konsentrasi CO2 yang tinggi. Hasil penelitian Nastiti et al. (2007) memperoleh rata-rata konsentrasi CO2 bebas di dasar perairan pada stasiun dan waktu pengamatan yang sama di Waduk Koto Panjang sebesar 5,6 mg/l. Menurut Mackereth et al. (1989) in Effendi (2003) pH suatu perairan berakitan erat dengan konsentrasi CO2 bebas dan nilai alklinitas. Semakin rendah nilai pH, semakin rendah pula nilai alkalinitas dan semakin tinggi kadar karbondioksida bebas. Berdasarkan kriteria status trofik menurut Coesel dalam Maha (1995), ratarata pH pada setiap stasiun dan waktu pengamatan hampir sama yaitu berada dalam status mesotrof.
20 Tabel 4. Nilai pH perairan pada setiap stasiun dan waktu pengamatan Stasiun Pongkey Muara Takus Koto Tuo Gulamo Osang Batang Mahat
Maret 2007 Kisaran Rata-rata 6,0 – 7,0 6,88 6,5 – 7,0 6,75 6,5 – 7,0 6,70 6,0 – 7,0 6,50 6,0 – 6,5 6,20 6,0 – 6,5 6,20
Juni 2007 Kisaran 6,0 – 7,0 6,0 – 7,0 6,5 – 7,26 5,5 – 7,0 5,5 – 6,5 6,0 – 7,5
Rata-rata 6,6 6,8 6,9 6,3 5,9 7,1
Desember 2007 Kisaran Rata-rata 7,0 – 7,0 7,0 7,0 – 7,0 7,0 7,0 – 7,5 7,3 6,5 – 7,0 6,6 6,0 – 7,0 6,5 6,5 – 7,0 6,75
Gambar 5. Nilai pH perairan pada setiap stasiun, kedalaman, dan waktu pengamatan 4.1.4. Nitrat Kandungan nitrat perairan pada setiap stasiun dan kedalaman selama pengamatan disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 1.
21 Tabel 5. Kandungan nitrat perairan pada setiap stasiun dan waktu pengamatan Maret 2007 Kisaran Pongkey 0.06 - 0.18 Muara Takus 0.12 - 0.25 Koto Tuo 0.08 - 0.21 Gulamo 0.05 - 0.20 Osang 0.06 - 0.11 Batang Mahat 0.05 - 0.11 Stasiun
Juni 2007 Rata-rata Kisaran 0.10 0.70 - 1.24 0.19 0.76 - 1.70 0.13 0.96 - 2.05 0.13 0.40 - 1.51 0.09 0.36 - 0.78 0.08 0.60 - 1.20
Desember 2007 Rata-rata Kisaran Rata-rata 0.91 0.68 - 3.77 1.99 1.34 0.78 - 2.20 1.54 1.38 1.13 - 2.13 1.76 0.84 1.44 - 2.16 1.80 0.56 1.75 - 2.40 2.14 0.81 1.03 - 1.94 1.47
Menurut Goldman dan Horne (1983) penyebaran nitrat akan berbeda di tiap kedalaman, idealnya kandungan nitrat akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Namun dari hasil pengamatan juga diperoleh kandungan nitrat yang semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kandungan nitrat yang cenderung meningkat seiring bertambahnya kedalaman terdapat pada stasiun Pongkey dan Gulamo. Sedangkan kandungan nitrat
yang cenderung menurun
seiring bertambahnya kedalaman terdapat pada stasiun Muara Takus, Koto Tuo, Osang, dan Batang Mahat (Gambar 6). Berdasarkan kriteria status trofik yang dikemukakan oleh Vollenweider (1969) in Wetzel (1975), kandungan nitrat rata-rata selama pengamatan berada dalam status oligotrof – mesotrof, berturut-turut pada bulan Maret 2007 berada dalam status oligotrof, pada bulan Juni dan Desember 2007 berada dalam status mesotrof. Kandungan nitrat yang berada dalam status oligotrof – mesotrof diduga adanya pemanfaatan nitrat yang lebih banyak di permukaan oleh fitoplankton sehingga kandungan nitrat menjadi sedikit (oligotrof – mesotrof), sedangkan kandungan nitrat di dasar perairan yang berada dalam status oligotrof – mesotrof diduga disebabkan oleh kandungan oksigen terlarut yang sedikit sehingga proses nitrifikasi terhambat. Hasil penelitian Nastiti et al. (2007) memperoleh rata-rata konsentrasi O2 terlarut di dasar perairan pada stasiun dan waktu pengamatan yang sama di Waduk Koto Panjang sebesar 2,52 mg/l.
22
Gambar 6. Kandungan nitrat perairan berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan 4.1.5. Ortofosfat Kandungan ortofosfat perairan pada setiap stasiun dan kedalaman selama pengamatan disajikan pada Tabel 6 dan Lampiran 1. Tabel 6. Kandungan ortofosfat perairan pada setiap stasiun dan waktu pengamatan Stasiun Pongkey Muara Takus Koto Tuo Gulamo Osang Batang Mahat
Maret 2007 Kisaran Rata-rata 0.03 - 0.09 0.06 0.04 - 0.11 0.07 0.03 - 0.10 0.07 0.03 - 0.11 0.07 0.03 - 0.08 0.06 0.06 - 0.11 0.08
Juni 2007 Kisaran 0.02 - 0.08 0.02 - 0.11 0.01 - 0.09 0.01 - 0.11 0.02 - 0.06 0.03 - 0.10
Rata-rata 0.05 0.06 0.05 0.04 0.04 0.06
Desember 2007 Kisaran Rata-rata 0.08 - 0.34 0.17 0.09 - 0.10 0.09 0.09 - 0.34 0.17 0.17 - 0.29 0.20 0.08 - 0.11 0.11 0.12 - 0.42 0.28
23 Gambar 7 menunjukkan distribusi vertikal kandungan ortofosfat cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman. Hal ini diduga karena fitoplankton yang pada umumnya berada pada kolom perairan bagian atas memanfaatkan ortofosfat untuk pertumbuhannya, sehingga ketersediannya di permukaan perairan cenderung menjadi sedikit. Sedangkan tingginya kandungan ortofosfat di dasar perairan diduga adanya penambahan ortofosfat akibat pelepasan dari sedimen, sehingga kandungan ortofosfat di dasar perairan menjadi lebih besar. Berdasarkan kriteria status trofik yang dikemukakan oleh Vollenweider (1969) in Wetzel (1975), rata-rata kandungan ortofosfat pada setiap waktu pengamatan berada dalam status eutrof.
Gambar 7. Kandungan ortofosfat perairan berdasarkan kedalaman pada setiap stasiun dan waktu pengamatan
24 4.2. Deskripsi Status Trofik Waduk Koto Panjang Berdasarkan Klorofil-a Kandungan klorofil-a perairan pada setiap stasiun selama pengamatan berkisar antara 4,00 – 25,52 mg/m3 dengan rata-rata 9,73 mg/m3 (Gambar 8 dan Lampiran 1). Pada pengamatan bulan Maret 2007 diperoleh kandungan klorofil-a berkisar antara 2,65 – 23,84 mg/m3 dengan rata-rata 11,28 mg/m3. Pada pengamatan bulan Juni 2007 diperoleh kandungan klorofil-a berkisar antara 2,99 – 6,33 mg/m3 dengan ratarata 4,06 mg/m3. Pada pengamatan bulan Desember 2007 diperoleh kandungan klorofil-a berkisar antara 6,13 – 25,52 mg/m3 dengan rata-rata 13,86 mg/m3.
Gambar 8. Kandungan klorofil-a perairan pada setiap stasiun dan waktu pengamatan Perbedaan kandungan klorofil-a antar waktu pengamatan di atas diduga berkaitan dengan kesuburan perairannya. Berdasarkan uji analisa koefisien korelasi peringkat Spearman (rs) pada taraf nyata α = 0.05 menunjukkan hubungan yang berbeda nyata antara ortofosfat dengan kandungan klorofil-a. Jika rata-rata kandungan ortofosfat tinggi maka rata-rata kandungan klorofil-a akan ditemukan tinggi pula dan sebaliknya (Lampiran 2). Hasil penelitian Liu et al. (2010) pada Danau Qilu yang sudah eutrof juga menunjukkan bahwa TP memiliki pengaruh yang besar terhadap klorofil-a. Keadaan ini sesuai dengan ciri kesuburan perairan yang dikemukakan oleh Henderson-Sellers dan Markland (1987), perairan yang subur (ortofosfat tinggi) mempunyai jumlah jenis sedikit akan tetapi biomassa
25 fitoplanktonnya besar demikian sebaliknya pada perairan yang kurang subur (ortofosfat rendah) mempunyai jumlah jenis yang banyak akan tetapi biomassa fitoplanktonnya kecil. Kohl dan Nicklisch (1988) in Kapsrzak et al. (2008) mengemukakan bahwa biomassa fitoplankton tinggi ditemukan pada alga hijau, menengah pada chromophyta dan rendah pada cyanobacteria. Pada penelitian lain, kondisi yang berbeda dikemukakan oleh Parinet et al. (2004) bahwa konsentrasi fosfat tidak terkait dengan klorofil-a. Hal ini terlihat pada danau dengan biomassa fitoplankton tinggi umumnya ditandai dengan tingkat fosfat yang rendah. Namun kondisi tersebut dapat dijelaskan bahwa ketersediaan fosfat pada danau yang eutrof telah dimanfaatkan oleh fitoplankton sehingga konsentrasinya di perairan menjadi rendah. Berdasarkan kriteria status trofik yang dikemukakan oleh OECD (1982) in Henderson-Sellers dan Markland (1987), rata-rata kandungan klorofil-a di Waduk Koto Panjang pada setiap waktu pengamatan berada dalam status mesotrof – eutrof, berturut-turut pada bulan Maret 2007 berada dalam status eutrof, pada bulan Juni 2007 berada dalam status mesotrof dan pada bulan Desember 2007 berada dalam status eutrof. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nur (2006) dan Hatta (2007) juga menunjukkan kandungan klorofil-a telah mencapai eutrof yaitu berturutturut 12 – 33,9 mg/m3 dan 18,29 – 23,21 mg/m3. Beberapa perairan memiliki karakteristik yang berbeda pada suatu status trofik yang sama. Kondisi ini dapat digambarkan dari penelitian di Danau Froyland dan Danau Aker (Bechmann et al. 2005), Danau Pamvotis (Kagalou et al. 2008), dan Waduk Saladito (Averhoff et al. 2007) yang menunjukkan bahwa perairan tersebut termasuk ke dalam kategori eutrof tetapi memiliki karakteristik perairan yang berbeda. Perbedaan kondisi tersebut disajikan pada Tabel 7.
26 Tabel 7. Karakteristik dan status trofik beberapa perairan
Parameter
Fosfat total (mg/l)
Jenis Perairan Danau Danau Danau Froyland Aker Pamvotis (Kagalou et al. (Bechmann et al. 2005) 2008) 0,035 0,057 -
Waduk Saladito (Averhoff et al. 2007) 1,44
PO4-P (mg/l)
-
-
0,19
-
NO3-N (mg/l)
-
-
0,76
0,7
21
28
79,23
84,33
eutrof
eutrof
eutrof
eutrof
Klorofil-a (mg/m3) Status trofik
Keterangan: - tidak tercantum Danau Froyland dan Danau Aker memiliki konsentrasi fosfat total dan klorofil-a yang lebih rendah. Hal ini dipengaruhi oleh masukan eksternal berupa nutrien terutama P. Di sekitar Danau Froyland merupakan daerah pertanian yang didominasi oleh tanaman rumput untuk makanan ternak sapi perah yang digembala. 90% areal pertaniannya diolah dengan cara dibajak. Pada Danau Aker merupakan daerah pertanian yang didominasi oleh tanaman sereal untuk makanan ternak babi, kambing dan unggas. 35% areal pertaniannya diolah dengan cara dibajak. Perbedaan aktifitas pertanian dan cara pengolahan tanah di sekitar danau membuat masukan nutrien terutama P ke dalam danau juga berbeda. Pada Danau Pamvotis, konsentrasi ortofosfat dan klorofil-a yang diperoleh juga dipengaruhi oleh masukan eksternal berupa nutrien terutama P. Penerapan penggunaan pupuk dalam jumlah besar dan bahan kimia pertanian serta buangan limbah domestik telah meningkatkan nutrien terutama P di perairan. Diketahui bahwa sekitar 40% dari daerah tangkapan air digunakan untuk aktifitas pertanian dan peningkatan daerah perkotaan sekitar 26%. Uji analisa korelasi peringkat Spearman pada Danau Pamvotis juga menunjukkan hubungan yang positif antara ortofosfat dan klorofil-a. Pada Waduk Saladito memiliki konsentrasi fosfat total dan klorofil-a yang lebih besar dibandingkan dengan ketiga perairan lainnya. Hal ini juga dipengaruhi oleh masukan nutrien terutama P ke dalam peraiaran. Sumber utama pencemaran waduk berasal dari limbah perkotaan, rumah potong ayam, dan peternakan, serta
27 areal pertanian tebu yang terbawa oleh aliran Sungai Saladito ke dalam waduk. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa tingkat pemanfaatan daerah sekitar danau/waduk akan berpengaruh terhadap status trofik suatu perairan. 4.3. Deskripsi Status Trofik Waduk Koto Panjang Berdasarkan Beberapa Parameter Antar Waktu Pengamatan Status trofik Waduk Koto Panjang berdasarkan beberapa parameter antar waktu pengamatan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Status trofik Waduk Koto Panjang berdasarkan beberapa parameter antar waktu pengamatan Parameter Kecerahan pH Nitrat Ortofosfat Klorofil-a Status
Maret Eutrof Mesotrof Oligotrof Eutrof Eutrof Eutrof
Tahun 2007 Juni Eutrof Mesotrof Oligotrof Eutrof Mesotrof Mesotrof
Desember Eutrof Mesotrof Mesotrof Eutrof Eutrof Eutrof
Tabel 8 menunjukkan perubahan status trofik pada setiap bulan pengamatan. Pada bulan Maret 2007 status trofik Waduk Koto Panjang cenderung eutrof, pada bulan Juni 2007 cenderung mesotrof, dan pada bulan Desember 2007 cenderung eutrof. Perubahan status trofik tersebut diduga adanya pengaruh musim, yaitu bulan Maret 2007 merupakan awal musim kemarau, bulan Juni 2007 merupakan musim kemarau, dan bulan Desember 2007 merupakan awal musim hujan. Sehingga masukan nutrien yang berasal dari lahan pertanian dan perkebunan di sekitar Waduk Koto Panjang dan limbah domestik yang terbawa aliran sungai maupun aliran permukaan (run-off) ke dalam waduk cenderung meningkat pada bulan Maret dan Desember 2007. Selain itu juga didukung oleh kandungan klorofil-a yang cenderung tinggi pada bulan Maret dan Desember 2007 dibanding bulan Juni 2007. Hasil penelitian An dan Seok (2002) juga menunjukkan bahwa hujan telah menyebabkan pembilasan yang cepat dan kekeruhan anorganik yang tinggi sehingga secara tidak langsung mempengaruhi kandungan klorofi-a di perairan. Zapata et al. (2006) mengemukakan bahwa peranan curah hujan terkait dalam proses pencampuran danau. Penurunan suhu dan peningkatan kecepatan angin selama periode hujan akan
28 meningkatkan pencampuran lapisan yang kemudian akan meningkatkan konsentrasi pigmen klorofil-a. 4.4. Hubungan Antara Parameter Lingkungan dengan Kandungan Klorofil-a 4.4.1. Hubungan antara kecerahan dengan klorofil-a Berdasarkan uji koefisien korelasi peringkat Spearman antara nilai kecerahan dengan klorofil-a diperoleh nilai koefisien korelasi
sebesar -0,309
(Lampiran 7). Kondisi ini menunjukkan hubungan yang kurang erat antara nilai kecerahan dengan kandungan klorofil-a, sedangkan tanda (-) menunjukkan pemberian peringkat yang bertolak belakang, yaitu semakin tinggi nilai kecerahan yang diperoleh maka kandungan klorofil-a akan semakin rendah. 4.4.2. Hubungan antara pH dengan kandungan klorofil-a Berdasarkan uji koefisien korelasi peringkat Spearman antara pH dengan kandungan klorofil-a diperoleh nilai koefisien korelasi
sebesar 0,12
(Lampiran 7). Kondisi ini menunjukkan hubungan yang kurang erat antara pH dengan kandungan klorofil-a, sedangkan tanda (+) menunjukkan pemberian peringkat yang sejalan, yaitu semakin tinggi nilai pH yang diperoleh maka kandungan klorofil-a akan semakin tinggi pula. 4.4.3. Hubungan antara nitrat dengan kandungan klorofil-a Berdasarkan uji koefisien korelasi peringkat Spearman antara kandungan nitrat dengan kandungan klorofil-a diperoleh nilai koefisien korelasi
sebesar
0,272 (Lampiran 7). Kondisi ini menunjukkan hubungan yang kurang erat antara pH dengan kandungan klorofil-a, sedangkan tanda (+) menunjukkan pemberian peringkat yang sejalan, yaitu semakin tinggi kandungan nitrat yang diperoleh maka kandungan klorofil-a akan semakin tinggi pula. 4.4.4. Hubungan antara ortofosfat dengan kandungan klorofil-a Berdasarkan uji koefisien korelasi peringkat Spearman antara kandungan ortofosfat dengan kandungan klorofil-a diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,536 (Lampiran 7). Kondisi ini menunjukkan hubungan yang erat antara pH dengan kandungan klorofil-a, sedangkan tanda (+) menunjukkan pemberian
29 peringkat yang sejalan, yaitu semakin tinggi kandungan ortofosfat yang diperoleh maka kandungan klorofil-a akan semakin tinggi pula. 4.5
Upaya Pengelolaan Waduk Koto Panjang Waduk Koto Panjang dibangun pada tahun 1993, mulai digenangi tahun 1996
dan resmi dioperasikan pada tahun 1997(PLN 2000 in Hatta 2007). Relokasi penduduk yang sebelumnya berada pada lokasi yang akan terendam pada saat selesainya pembangunan waduk PLTA Koto Panjang
ke daerah tangkapan air
waduk telah menyebabkan peningkatan pemanfaatan lahan pada daerah tangkapan air dan di buffer zone waduk oleh masyarakat sehingga menyebabkan hilangnya fungsi daerah tangkapan air dan fungsi buffer zone sebagai sarana untuk mengurangi polusi, penyedia bahan makanan, habitat, estetika, thermal protection bagi ikan dan hewan lainnya, penghambat dan penyaring nutrien serta sedimen yang akan masuk ke badan perairan. Peningkatan pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan pemukiman serta penebangan hutan yang dilakukan masyarakat telah menyebabkan penurunan kualitas perairan yaitu sedimentasi dan eutrofikasi yang merupakan hasil dari akumulasi bahan organik yang terbawa aliran sungai atau aliran permukaan ke dalam waduk. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kecerahan, nutrien (ortofosfat), dan klorofil-a yang mencapai status eutrof pada musim hujan. Hasil penelitian Nur (2006) dan Hatta (2007) juga menunjukkan kandungan klorofil-a telah mencapai eutrof yaitu berturut-turut 12 – 33,9 mg/m3 dan 18,29 – 23,21 mg/m3. Gambaran kandungan klorofil-a tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan kesuburan perairan dari tahun ke tahun. Peningkatan kesuburan yang terus-menerus dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya dampak yang tidak diinginkan bagi keberlanjutan fungsi waduk, pendangkalan, penurunan kualitas perairan, dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup biota yang mendiami perairan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya pengelolaan demi keberlanjutan fungsi waduk tersebut diantaranya: 1. Pengelolaan daerah buffer zone waduk sebagai daerah tangkapan air dan daerah pelindung kestabilan eutrofikasi waduk yang mengacu pada USDA (1997). USDA (1997) membagi zonasi buffer zone menjadi tiga bagian yaitu zona yang paling atas dari bagian perairan sebagai zona penyaring dengan rumput (grass
30 filter strip), zona pertengahan adalah zona hutan yang dikelola (managed forest), dan zona terakhir adalah zona yang berbatasan langsung dengan perairan sebagai zona hutan alami yang toleran terhadap air (native species if available; little or no wood harvesting; water loving or water tolerant species), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Zonasi buffer zone waduk (USDA 1997) 2. Upaya mengendalikan perkembangan fitoplankton sebagai hasil peningkatan nutrien di perairan melalui biomanipulasi dengan cara introduksi ikan piscivor serta pengurangan atau penghilangan ikan planktivor dan benthivor. Secara alami, ikan piscivor akan memakan ikan planktivor dan benthivor. Namun, untuk mempercepat pengurangan populasi ikan planktivor dan benthivor dapat dilakukan melalui penangkapan. Hasil penelitian Jayaweera dan Takashi (1995) menunjukkan bahwa penurunan kepadatan ikan planktivor dan benthivor akan diikuti oleh penurunan biomassa klorofil-a. Starling et al. (2002) juga mengemukakan peranan ikan nila dalam meningkatkan beban internal P secara langsung melalui P eksresi ikan. Sehingga beban internal P dari eksresi ikan dan pelepasan P dari sedimen dapat memicu peningkatan TP dan klorofil-a di perairan. Skema proses eutrofikasi dan proses biomanipulasi disajikan pada gambar 10.
31
(a)
Low transparency More algae
Less light for plant
Less zooplankton
Less macrophytes
More plaktivores&benthivore ss
Less vegetation
Less piscivores
(b)
Less algae
High transparency
More light for plant
More zooplankton
Less plaktivores & benthivoress
More vegetation
More piscivores
Gambar 10. (a) Skema proses eutrofikasi di danau eutrof, (b) Skema proses biomanipulasi di danau eutrof (Jayaweera dan Takashi 1995)