HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus riset aksi (Kemmis and McTaggart, 1988a) akan dijadikan rujukan untuk menguraikan hasil yang telah diperoleh, sekaligus akan dibahas. Hasil dan pembahasan akan diuraikan dalam beberapa siklus, dimana satu siklus mencakup (a) refleksi (b) penyusunan rencana, (c) tindakan, serta (d) monitoring dan kembali lagi ke refleksi untuk memulai siklus berikutnya, dan seterusnya. Ada 2 siklus riset aksi yang telah dilalui dalam penelitian ini, sesuai dengan Kemmis and McTaggart (1998a). Kedua siklus riset aksi tersebut adalah: •
Siklusi I : Konflik yang terjadi ketika status Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai diubah menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai, mulai dari proses terjadinya konflik sampai penyelesaian konflik
•
Siklus II :
Pengembangan kolaborasi yang dilakukan setelah proses
penyelesaian konflik selesai
Hasil Penelitian Siklus I: Konflika dan Penyelesaiannya Siklus pertama yang akan digambarkan dimulai dari masalah yang terjadi ketika status Gunung Ciremai diubah menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Setelah itu dilakukan proses refleksi.
Salah satu hal yang
direfleksikan adalah dampak dari perubahan status kawasan hutan terhadap masyarakat yang tinggal di desa-desa di lereng Gunung Ciremai.
Tahap
selanjutnya adalah menyusun rencana, melakukan aksi dan diakhiri dengan monitoring. Setelah itu, dimulai siklus 2 dengan proses refleksi.
42
MASALAH: Hilangnya akses masyarakat ke kawasan hutan Negara, akibat perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional
REFLEKSI: Lebih kurang 30.000 keluarga yang tinggal di 26 desa tidak bisa mengakses 8.645 ha kawasan hutan yang sudah disepakati dengan Perhutani
REFLEKSI
RENCANA: Memahami konflik Analisis stakeholder Menyusun strategi penyelesaian konflik
MONITORING: Perubahan dalam organisasi LPI PHBM:
• •
Mencegah konflik menjadi anarkis Perbedaan pendapat yang tajam sehingga menimbulkan perpecahan
Perubahan dalam wadah Para Penggiat PHBM
• • •
Perubahan sikap dari konfrontatif menjadi kolaboratif Meningkatnya pemahaman terhadap gambar besar dari konflik yang terjadi Meningkatnya kesadaran untuk membangun aliansi
AKSI:
1. Memperjelas informasi perubahan status kawasan 2. Analisis stakeholder 3. Negosiasi dengan Departemen Kehutanan
Gambar 8. Siklus 1. Konflik dan Penyelesaiannya Masalah: Perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai yang semula dikelola oleh Perum Perhutani menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No. SK.424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 (Lampiran 2), memunculkan konflik. Sebagian kawasan hutan Gunung Ciremai yang berada di wilayah Kabupaten Kuningan, terdapat 26 desa yang telah melaksanakan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) (Lampiran 3 dan Lampiran 4). Sebagian di antaranya telah melaksanakan negosiasi dan penandatanganan Nota Kesepatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) dengan Perum Perhutani, serta melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Dengan perubahan fungsi kawasan menjadi Taman Nasional, berarti pengelola kawasan hutan akan berganti (tidak lagi Perhutani) dan kesepakatan kerja sama yang telah dibuat menjadi tidak berlaku lagi. Inilah yang memicu konflik. 43
Refleksi: Refleksi dilakukan oleh para pihak yang tergabung dalam LPI PHBM (Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Kuningan. Refleksi dilakukan oleh sebagian anggota LPI PHBM pada tanggal 25 Oktober 2004 dalam bentuk diskusi (Lampiran 5). Peserta diskusi adalah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, Perhutani dan LSM AKAR. Setelah itu proses refleksi juga dilakukan pada tanggal 30 Oktober 2011 dalam bentuk diskusi informal di rumah Ketua LPI PHBM, dan dihadiri oleh LSM Kanopi, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, serta 4 orang wakil petani yang juga pengurus Paguyuban Masyarakat Tani Hutan (PMTH). Refleksi yang dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2011 membahas kebutuhan untuk klarifikasi dari pihak-pihak yang mengusulkan perubahan status kawasan Ciremai menjadi Taman Nasional, sikap stakeholder Kuningan terhadap perubahan status tersebut, serta meminta LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) 1 untuk menjadi mediator. Dalam proses refleksi tersebut juga muncul kebutuhan untuk memperjelas hal-hal apa yang boleh dilakukan di Taman Nasional, serta kejelasan proses pengusulan Taman Nasional sesuai peraturan yang ada. Dalam proses refleksi itu, peneliti belum terlibat dalam diskusi tetapi peneliti selalu diberi informasi tentang perkembangan yang terjadi di Kuningan, termasuk hasil dari kedua diskusi yang disebut di atas. Oleh karena itu, peneliti menanggapi
perkembangan yang terjadi di Kuningan, dengan
memberi informasi yang relevan dengan perubahan status kawasan hutan lindung menjadi taman nasional.
Informasi yang diberikan adalah
perbandingan pola pengelolaan taman nasional dan hutan lindung (Lampiran 7) dan proses usulan kawasan konservasi (Lampiran 6), sesuai dengan Undangundang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Kepmenhut No. 70/Kpts-II/2001 1
LATIN adalah LSM yang berkantor di Bogor dan sudah bekerja di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001 untuk mengembangkan kolaborasi multi-pihak dalam pengelolaan hutan. Peneliti adalah staf LATIN yang ditugaskan sebagai fasilitator pengembangan kolaborasi dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001.
44
jo No. SK.48/Kpts-II/2004. Informasi pola pengelolaan taman nasional dan hutan lindung yang disampaikan adalah definisi, kriteria, tujuan pengelolaan, lembaga pengelola, peraturan yang terkait, hal-hal yang dilarang, serta hal-hal yang diperbolehkan. Proses refleksi selanjutnya pada tanggal 30 Oktober 2004, menegaskan sikap untuk menolak Taman Nasional dan konsolidasi sikap para petani untuk menolak Taman Nasional. Proses penolakan ini muncul setelah mendiskusikan dampak dari perubahan status kawasan hutan terhadap masyarakat yang tinggal di desa-desa sekitar Gunung Ciremai, pola pengelolaan taman nasional dan proses pengusulan kawasan konservasi. Oleh karena itu, LPI PHBM dan masyarakat yang melakukan proses refleksi mempunyai 3 peran, (dari 7 peran yang diidentifikasi oleh Dick (1997)), yaitu (a) peran sebagai informan untuk menyediakan data, (b) peran sebagai interpreter untuk menginterpretasikan data, (c) peran sebagai perencana dan pengambil keputusan, dan (d) peran sebagai pelaksana. Setelah mendiskusikan informasi taman nasional dan hutan lindung, maka masyarakat menolak perubahan status dari hutan lindung menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Alasan yang dikemukakan oleh masyarakat adalah: •
pertama , proses penetapan TNGC tidak partisipatif, karena tidak melibatkan masyarakat di desa-desa hutan di Gunung Ciremai; Hal ini tidak sesuai dengan proses usulan kawasan konservasi, yang salah satu tahapnya komunikasi dan sosialisasi untuk membangun persepsi, pengertian, kesepakatan dan dukungan terhadap usulan kawasan konservasi.
•
kedua,
perjanjian kerjasama PHBM dengan Perhutani yang dicapai
melalui proses yang panjang dan melelahkan dan sudah mulai dilaksanakan akan batal karena Perhutani akan keluar dari TN Gunung Ciremai diganti oleh pengelola TN Gunung Ciremai yang baru. Ada 26 desa di lereng Gunung Ciremai yang termasuk Kabupaten Kuningan. Seluruh 26 desa tersebut telah membuat kesepakatan dengan Perhutani wilayah Kuningan. Ada dua kesepakatan yang dibuat. Pertama NKB (Nota Kesepakatan Bersama) yang menyatakan wilayah kerjasama yang 45
merupakan hutan negara tetapi ada di wilayah administrasi desa. Luas total area kerjasama yang ada di 26 desa mencapai 8.645 ha. Perjanjian kedua adalah NPK (Nota Perjanjian Kerjasama) yang menyatakan kegiatan apa saja yang akan dilakukan sampai kepada pembagian tanggung jawab dan manfaat. Sampai bulan Desember 2004, ada 8 desa yang sudah membuat kesepakatan NPK dengan Perhutani. Bentuk-bentuk kegiatan berupa pengelolaan lahan menjadi kebun campuran (agro-forestri). Informasi tentang kesepakatan masyarakat dengan Perhutani berupa NKB dan NPK yang dikemukakan oleh LPI PHBM dan masyarakat menunjukkan peran keduanya sebagai informan. •
ketiga, tidak ada jaminan kepastian bahwa kesepakatan PHBM yang telah dibuat dengan Perhutani
akan bisa dilanjutkan, mengingat dalam
pengelolaan TN aktifitas yang boleh dilakukan masyarakat lebih terbatas. Hal ini muncul setelah pembahasan kegiatan-kegiatan yang boleh dilakukan di Taman Nasional dan Hutan Lindung. Kegiatan yang terkait dengan PHBM yang boleh dilakukan adalah penunjang budidaya, sementara kegiatan budidaya di hutan lindung masih dapat dilakukan dengan tetap memelihara fungsi lindung kawasan yang bersangkutan. •
keempat, masyarakat sudah menanam investasi yang cukup besar dalam program PHBM di Gunung Ciremai, baik dalam bentuk tenaga kerja, waktu, pikiran, dana, maupun bibit tanaman, dll. Dari berbagai pertimbangan tersebut, tampaknya
yang paling
mengkhawatirkan masyarakat adalah kelanjutan peran serta mereka dalam pengelolaan hutan sebagaimana sudah dimulai melalui kerjasama PHBM dengan Perhutani.
Masyarakat kuatir kalau mereka akan dikeluarkan dari
kawasan hutan Gunung Ciremai, karena mereka melihat bahwa Perhutani yang merupakan BUMN bisa dikeluarkan. Situasi di masyarakat pada waktu itu sebenarnya sudah cukup panas, bahkan beberapa tokoh masyarakat desa di lereng Gunung Ciremai yang menolak penetapan TN Gunung Ciremai sempat hendak melaksanakan demonstrasi ke kabupaten, namun berhasil dicegah oleh LPI PHBM dan LSM Kanopi yang merupakan pendamping masyarakat. 46
Rencana: Berdasarkan proses refleksi yang dilakukan, LPI PHBM dan masyarakat menyusun rencana penyelesaian masalah atas konflik yang terjadi. Rencana yang disusun adalah mencari kejelasan tentang perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai kepada para pihak yang berkepentingan terhadap Kepmenhut tsb., serta sikap mereka terhadap perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Untuk mencari kejelasan informasi tentang perubahan status kawasan hutan, LPI PHBM
telah menyusun
bahan dialog berupa pertanyaan-
pertanyaan untuk stakeholder yang dianggap berkepentingan (Lampiran 8). Informasi yang terkumpul, diharapkan dapat menggambarkan situasi konflik yang terjadi, paling tidak kronologis terjadinya konflik akibat perubahan status kawasan hutan lindung Gunung Ciremai. Rencana di atas juga akan didukung dengan rencana untuk melakukan analisis stakeholder. Setelah memahami konflik dan sikap para pihak, perlu dikaji lebih jauh pihak mana yang mempunyai otoritas dan kewenangan yang paling besar untuk diajak bernegosiasi menyelesaikan konflik. Apabila sudah diidentifikasi, maka negosiasi adalah langkah berikutnya yang harus dilakukan. Pada saat penyusunan rencana, maka peran LPI PHBM dan masyarakat adalah peran sebagai perencana dan pengambil keputusan.
Sementara itu,
peran peneliti adalah sebagai fasilitator. Namun ketika menyusun rencana untuk analisis stakeholder dan negosiasi, maka peneliti menawarkan kerangka analisis stakeholder yang dapat digunakan, serta menjelaskan tahapan negosiasi.
Dengan demikian peneliti juga berperan dalam meningkatkan
kapasitas LPI PHBM dan masyarakat. Analisis stakeholder menggunakan kerangka teori DFID (2005) yang bertujuan untuk memetakan stakeholder berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingannya. Sedangkan tahapan negosiasi menggunakan kerangka teori Fisher (1995).
47
Aksi Aksi 1: Memperjelas informasi perubahan status Gunung Ciremai Aksi untuk melaksanakan rencana yang telah disusun dimulai dari memperjelas informasi perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.
Kegiatan ini dilakukan oleh LPI PHBM dan peneliti.
Dengan
demikian peran LPI PHBM maupun peneliti adalah pelaksana. LPI PHBM mendapat tugas untuk melakukan dialog dengan para pihak di Kabupaten Kuningan yang dianggap bertanggung jawab dalam proses perubahan status kawasan hutan lindung Ciremai menjadi Taman Nasional. Kegiatan ini dilakukan oleh LPI PHBM pada rentang waktu akhir Oktober sampai November 2004. Sedangkan peneliti mencari informasi di Departemen Kehutanan, baik di pusat (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam/Ditjen PHKA) maupun Unit Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen PHKA, yaitu Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II (BKSDA Jabar II) yang pada saat itu masih diberi kewenangan oleh Departemen Kehutanan untuk mengelola TN Gunung Ciremai, sampai dibentuk Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah mengadakan pertemuan dengan Kepala Sub Direktorat Pengembangan Kawasan Konservasi, Ditjen PHKA Dephut) pada tanggal 22 Oktober 2004 (Lampiran 9). Setelah itu peneliti juga berdiskusi dengan Kepala BKSDA Jabar II pada tanggal 14 Desember 2004 (Lampiran 10).
Peneliti bersama sebagian anggota LPI PHBM berdiskusi
dengan KaSubdit Pengembangan Kawasan Konservasi pada tanggal 15 Desember 2004 (Lampiran 11). Hasil dari Aksi untuk memperjelas informasi tentang perubahan status kawasan hutan adalah tersusunnya kronologis perubahan status kawasan (Lampiran 12).
Apabila dibandingkan dengan teori Doucet (2006) tentang
tahapan terbentuknya konflik, maka kronologis perubahan status kawasan Gunung Ciremai bisa diringkas sesuai dengan tahapan terjadinya konflik, dimulai dari tahap formasi, diikuti dengan tahapan eskalasi atau memuncaknya 48
konflik, dan dilanjutkan dengan tahapan bertahan, yaitu situasi dimana konflik terus terjadi dan belum ada tanda-tanda konflik akan selesai atau bisa mencapai solusi yang diinginkan. Tabel 6. Tahapan Formasi
Tahapan Terjadinya Konflik Nasional Gunung Ciremai
dalam
Peristiwa
Ciri-ciri Tahapan Konflik
5 Juli 2003 – 19 Oktober 2004
Seminar tentang Kawasan Gunung Ciremai oleh STIKKU di Gedung DPRD Kuningan
Konflik masih tersembunyi ketika Seminar dan Kajian Pengelolaan Gunung Ciremai dilakukan. Para pihak mulai menyadari bahwa usulan Bupati dan DPRD Kuningan yang berbeda dapat memicu konflik.
Usulan Bupati Kuningan kepada Menteri Kehutanan untuk mengkaji kemungkinan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam Rekomendasi DPRD Kuningan tentang usulan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Pelestarian Alam
19 Oktober 2004
8 Oktober 2004, pertemuan stakeholder Kuningan dengan Departemen Kehutanan di Departemen Kehutanan membahas tim terpadu mengkaji kemungkinan perubahan status kawasan Gunung Ciremai (Lampiran 13). 19 Oktober keluar Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/ Menhut-II/2004 2004 Tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) Hektar terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.
Endurance (Bertahan)
Taman
Waktu
Kajian Pengelolaan Kawasan Lindung Gunung Ciremai
Eskalasi
Penetapan
November 2004
LPI PHBM mengusulkan dialog publik kepada Bupati untuk membahas kedua surat tersebut tapi tidak ditanggapi. Hal ini menimbulkan kecurigaan. Konflik mulai mencuat dan meningkat. Kecurigaan dari LPI PHBM semakin menguat ketika mereka diajak ikut pertemuan tanggal 8 Oktober. Ternyata pertemuan tersebut diklaim oleh Departemen Kehutanan sebagai konsultasi publik multi stakeholder. Hal ini menimbulkan kemarahan. Kemarahan semakin memuncak ketika Kepmenhut No. 424 terbit. Masyarakat semakin marah dan mereka berencana untuk demo ke Bupati. Anggota LPI PHBM ada yang membangun opini publikdi media massa tentang penolakan Kepmenhut No. 424
Perdebatan antara pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap perubahan fungsi Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.
Opini di media massa memicu polarisasi yang semakin tajam di antara pihak-pihak yang setuju dan tidak terhadap Kepmenhut No. 424.
Bupati Kuningan mengundang kepala-kepala desa dan menginstruksikan untuk mengamankan Kepmenhut No. 424.
Opini publik di media massa mendorong Pemkab Kuningan membuka dialog. Dialog dilakukan beberapa kali tetapi tidak mencapai kesepakatan. Masing-masing pihak mempertahankan posisi.
Petani yang tinggal di desa-desa sekitar TN Gunung Ciremai berkonsolidasi untuk menolak TNGC, antara lain dengan demo
Perbedaan pendapat yang tajam di dalam LPI PHBM membuat sebagian anggota yang tidak setuju dengan Kemenhut bersepakat membentuk wadah sendiri yang disebut dengan Para Penggiat PHBM
49
Tahap formasi atau terbentuknya konflik dimulai sejak ada Seminar yang membahas masa depan pengelolaan kawasan hutan Gunung Ciremai. Seminar tersebut ditindak lanjuti oleh UNIKU (Universitas Kuningan, yang sebelumnya masih berupa STIKKU/Sekolah
Tinggi
Ilmu Kehutanan
Kuningan). Dalam laporan kajian tsb. dipaparkan tentang potensi, ancaman dan kemungkinan perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi Taman Hutan Raya (Tahura), Taman Wisata alam dan Taman Nasional. Laporan kajian diserahkan kepada Bupati Kuningan, dan selanjutnya Bupati Kuningan bersikap untuk menindaklanjuti laporan tersebut dengan membuat usulan kepada Menteri Kehutanan agar mengkaji kemungkinan perubahan status kawasan Gunung Ciremai, sesuai dengan rekomendasi hasil kajian dari UNIKU. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Gubernur Jawa Barat. Sampai pada tahap ini, konflik masih belum terlihat. Tahap berikutnya, konflik mulai terlihat dan bergerak menuju eskalasi. Pada tahap eskalasi ini, tercatat ada beberapa peristiwa. Pertama, pihak DPRD Kabupaten Kuningan yang setuju dengan Bupati Kuningan untuk membuat usulan kepada Menteri Kehutanan, ternyata mengeluarkan rekomendasi yang dikirim kepada Menteri Kehutanan. Namun surat rekomendasi dari DPRD Kuningan menyatakan bahwa kawasan Gunung Ciremai perlu diubah statusnya menjadi Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Jadi surat DPRD Kuningan bukan untuk mengkaji kemungkinan untuk mengubah status tetapi langsung mengusulkan perubahan status.
Peristiwa berikutnya adalah pertemuan
stakeholder Kuningan dengan Departemen Kehutanan pada tanggal 8 Oktober 2004 di Jakarta. Ternyata pertemuan ini dianggap sebagai proses sosialisasi dan konsultasi publik untuk mendukung perubahan status kawasan Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Berdasarkan surat dari Bupati dan DPRD Kuningan, serta pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 itu, maka Departemen Kehutanan langsung meresponnya dengan mengubah status Gunung Ciremai pada tanggal 19 Oktober 2004, melalui Kepmenhut No. SK 424/MenhutII/2004. Proses perubahan status tersebut membuat kaget banyak pihak di Kuningan, terutama para petani yang tinggal di desa-desa sekitar Gunung Ciremai. Pada tahap inilah konflik mencapai tahap eskalasi. Tahap eskalasi 50
merupakan proses berjalannya konflik mencapai puncak (Doucet, 2006). Puncak dari konflik adalah tahap endurance (bertahan), yang ditandai dengan semakin tajamnya perdebatan para pihak yang setuju dan tidak setuju terhadap perubahan status Gunung Ciremai. Perbedaan pendapat yang semakin tajam juga menyebabkan semakin terpolarisasinya kedua belah pihak. Selain itu muncul pula tanda-tanda kekerasan, seperti yang direncanakan oleh para petani.
Para petani melakukan konsolidasi untuk menolak Kepmenhut
tsb.antara lain melalui surat penolakan dan demonstrasi di jalan. Sementara para pihak yang mendukung Kepmenhut semakin kuat bertahan dengan segala argumentasinya. Sikap di dalam LPI PHBM terbelah menjadi dua, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak Kepmenhut.
Masalah TN Gunung Ciremai
menjadi pro-kontra, mengingat lembaga ini merupakan lembaga kerja sama multi pihak yang personilnya terdiri dari berbagai unsur, antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Lingkungan Hidup, Perum Perhutani, beberapa LSM, dan perorangan.
Ketua LPI PHBM mengakui bahwa
perbedaan dalam tubuh LPI-PHBM Kuningan mengenai masalah TN Gunung Ciremai sangat tajam. Beberapa pokok perbedaan pandangan antara
pihak yang pro dan
kontra di LPI-PHBM Kuningan terhadap TNGC adalah: •
Pertama, mengenai prosedural atau tidak proseduralnya proses terbitnya SK Menhut No. 424/Kpts-II/2004 mengenai perubahan fungsi menjadi TNGC. Satu pihak mengatakan bahwa prosesnya sudah prosedural sedangkan pihak yang kontra menganggap itu tidak prosedural karena tidak didahului oleh proses yang lazim;
•
Kedua, mengenai Surat Rekomendasi Gubernur Jawa Barat yang baru disampaikan tanggal 22 Oktober 2004 sedangkan SK menhut sudah diterbitkan tanggal 19 Oktober 2004. Satu pihak menganggap hal itu tidak masalah karena toh substansinya sama, sedangkan pihak lain menganggap hal itu merupakan masalah;
•
Ketiga, mengenai kajian tim terpadu yang harus dilakukan sebelum penetapan TN. Satu pihak mengatakan kajian itu belum dilakukan, 51
sedangkan pihak lain mengatakan kajian yang dilakukan UNIKU dianggap sebagai hasil kajian dimaksud ; •
Keempat,
kajian yang mendasari usulan Bupati, yakni kajian yang
dilakukan oleh UNIKU. Satu pihak menilai kajian tersebut tidak lengkap sedangkan pihak lain mengatakan sudah lengkap.; •
Kelima, kepastian akses masyarakat yang sudah menandatangani nota perjanjian kerjasama (NPK). Satu pihak mamandang bahwa tidak ada jaminan kepastian bahwa TN akan mengakomodasi hal tersebut, sedangkan pihak yang lain menganggap bahwa pengelolaan model PHBM bisa dilaksanakan di TN;
•
Keenam, surat usulan Bupati kepada Menhut No 522/1480/Dishutbun tanggal 26 Juli 2004 meminta agar dilaksanakan pengkajian oleh tim terpadu, tetapi ternyata hal itu belum dilakukan sudah terbit SK Menhut tersebut. Satu pihak mengusulkan agar Bupati mengirim surat lagi ke Menhut, sedangkan yang lain menganggap itu tidak perlu. Masalah dan pro-kontra penetapan TN Gunung Ciremai merupakan
ujian bagi LPI PHBM yang merupakan lembaga multi-pihak. Hal itu dapat dipahami karena perbedaan pandangan yang tajam mengenai masalah TN Gunung Ciremai tentu sedikit banyak berpengaruh pada suasana kerja sama secara keseluruhan. Akhirnya pada bulan November 2004, sebagian anggota LPI PHBM yang tidak setuju dengan Kepmenhut No. 424, memilih untuk mendirikan wadah baru yang disebut dengan Para Penggiat PHBM. Para Penggiat PHBM terdiri atas beberapa orang atau individu, yaitu Avo Juhartono, Komarudin, Sanusi K. Wijaya, Frederik Amallo, Rachmat Firmansyah, dan Usep Sumirat. Sebenarnya beberapa orang di antara Para Penggiat PHBM berasal dari organisasi seperti Usep Sumirat dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, Komarudin dari Perhutani KPH Kuningan, Avo Juhartono dan Frederik Amallo dari LSM AKAR, dan Rachmat Firmansyah dari LSM KANOPI. Namun kecuali individu yang berasal dari LSM, maka Usep Sumirat dan Komarudin tidak mengatas namakan lembaga, tetapi atas nama individu.
52
Para Penggiat PHBM langsung bekerja dan berdiskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan. Hasil diskusi dikirim kepada Departemen Kehutanan (Lampiran 14).
Aksi 2: Analisis stakeholder Setelah kronologis perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional diketahui dan dipahami sebagai tahapan terbentuknya konflik, maka peneliti memfasilitasi analisis stakeholder.
Tujuan analisis stakeholder
terutama untuk mengetahui siapa pihak yang mempunyai pengaruh paling besar dan kepentingan paling tinggi dalam perubahan status kawasan Gunung Ciremai. Pihak ini adalah pihak yang paling penting dalam bernegosiasi. Analisis stakeholder dilakukan oleh Para Penggiat PHBM dengan difasilitasi
oleh peneliti.
Peran Para Penggiat PHBM
adalah penyedia
informasi, yaitu siapa saja stakeholder yang terkait dengan perubahan status kawasan
hutan
Gunung
Ciremai,
serta
peran
menginterpretasi
data
stakeholder. Sedangkan peran peneliti adalah sebagai fasilitator. Analisis stakeholder mengacu pada DFID (2005), yang dimulai dengan mengidentifikasi siapa saja stakeholders, dilanjutkan dengan pemetaan stakeholders berdasarkan matriks 2 x 2 berdasarkan kriteria pengaruh dan kepentingan. Stakeholders
yang
berhasil
diidentifikasi
adalah
Departemen
Kehutanan, Perum Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuninga, masyarakat lokal,
BKSDA Jabar II, Bupati Kuningan, Bappeda
Kuningan, Dinas Pertanian, Dinas Pendapatan Daerah,
Dinas Pariwisata
Daerah, PDAM, Perusahaan Air Minum Kemasan, Pecinta Alam, Badan Pemberdayaan Masyarakat, PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), LPI PHBM, LSM, Universitas Kuningan, TNI, DPRD, dan Donor Internasional (Lampiran 15). Seluruh stakeholder yang telah diidentifikasi kemudian dipetakan berdasarkan pengaruh dan kepentingannya. Hasil pemetaan stakeholder dapat dilihat pada Gambar ....
53
A Tinggi
A1
A3 A4
B
A2
Kepentingan
B6
A6
B2
Rendah
D
D3 D4
C
D6
D5 D1 D2
Kecil
B1
B7
A5
C1
B5 B4
B3
C2 C3
Pengaruh
Besar
Keterangan Gambar ... A1: Dinas Pertanian A2: PDAM A3: Pengusaha Air Minum Kemasan A4: Dinas LHK A5: Pecinta Alam A6: Dinas Pariwisata Daerah D1: Bappeda D2: Dispenda D3: Badan Pemberdayaan Masyarakat D4: PHRI D5: TNI D6: Donor Internasional
B1: Departemen Kehutanan B2: Dinas Kehutanan dan Perkebunan B3: Masyarakat Lokal B4: BKSDA Jabar II B5: Bupati B6: LPI B7: LSM C1: Perguruan Tinggi (UNIKU) C2: DPRD C3: Perum Perhutani
Gambar 9. Klasifikasi Para Pihak Berdasarkan tingkat kepentingan pelibatan (importance) dan Pengaruh (influence) Berdasarkan hasil analisis stakeholder, dapat dilihat bahwa stakeholder yang memiliki pengaruh besar dan kepentingan yang tinggi, yaitu kelompok stakeholder yang masuk dalam kotak B. Ada 7 stakeholder yang masuk dalam kotak B,
dan di antara ketujuh stakeholder di dalam Kotak B, maka
stakeholder yang memiliki pengaruh paling besar dan kepentingan paling tinggi adalah Departemen Kehutanan.
Dengan demikian pada tahap
selanjutnya, pihak yang Hasil ini penting karena akan digunakan untuk menentukan proses selanjutnya, yaitu negosiasi. 54
Aksi 3: Negosiasi Negosiasi dilakukan oleh Para Penggiat PHBM dan difasilitasi oleh peneliti. Peran para penggiat PHBM adalah sebagai perencana dan pengambil keputusan.
Sedangkan peneliti berperan sebagai (a) menghubungi pihak
Departemen Kehutanan yang akan diajak bernegosiasi, yaitu Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan, (b) fasilitator untuk memfasilitasi diskusi persiapan negosiasi, (c) mediator dalam proses negosiasi dengan Departemen Kehutanan, (d) memfasilitasi diskusi untuk merumuskan hasil negosiasi. Peneliti menghubungi Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan jalur informal secara langsung yaitu sms dan telepon.
Komunikasi ini dapat
dilakukan karena antara peneliti dengan Sekjen Dephut sudah terjalin hubungan baik, sehingga Sekjen Dephut menanggapi permintaan audiensi dengan cepat. Hubungan baik merupakan salah satu alasan memilih Sekjen Dephut sebagai pihak yang diajak bernegosiasi. Selain itu, Sekjen Dephut juga merupakan orang yang memiliki kewenangan cukup tinggi dalam proses pengambilan keputusan, dan bisa menjadi perantara untuk menyampaikan aspirasi kepada Menteri Kehutanan. Proses negosiasi dilakukan dalam 3 tahap yaitu persiapan negosiasi, pelaksanaan negosiasi dan pasca negosiasi. Pada tahap persiapan negosiasi, peneliti sebagai fasilitator menggali pendapat Para Penggiat PHBM tentang tawaran solusi atas konflik yang terjadi dalam penetapan TN Gunung Ciremai.
Tujuan dari diskusi adalah
mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi dalam negosiasi, mulai dari kemungkinan terburuk yaitu dead-lock, sampai kemungkinan terbaik yaitu diterimanya tuntutan masyarakat sepenuhnya. kemungkinan-kemungkinan
tersebut,
maka
Untuk mengantisipasi Para
Penggiat
PHBM
mendiskusikan dan menyusun beberapa tawaran yang akan dinegosiasikan. Metode menggali pilihan solusi dilakukan dengan role-play atau bermain peran. Dalam bermain peran, maka sebagian Para Penggiat PHBM diminta untuk berperan sebagai Sekretaris Jenderal Dephut. Dengan berperan sebagai Sekjen Dephut, maka mereka akan berpikir tentang bagaimana 55
mempertahankan kebijakan Departemen Kehutanan, yaitu Kepmenhut No. 424. Sementara itu, sebagian Para Penggiat PHBM tetap mengajukan tuntutan kepada Departemen Kehutanan. Dari proses diskusi dengan metode bermain peran ini muncul kesadaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses negosiasi. Faktor-faktor tersebut adalah (a) tidak mempertahankan posisi, (b) jangan hanya memiliki satu tawaran solusi saja. Dalam konteks perubahan status Gunung Ciremai, posisi Para Penggiat PHBM adalah menolak Kepmenhut No. 424.
Apabila posisi ini dipertahankan maka akan terjadi dead-lock atau
negosiasi mengalami jalan buntu.
Sementara itu, tawaran solusi yang
dihasilkan juga lebih dari satu. Beberapa tawaran solusi antara lain (a) masyarakat menolak TN Gunung Ciremai, SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai harus dicabut, (b) SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai tidak perlu dicabut, tetapi proses penetapan TN Gunung Ciremai harus diulang dari awal karena tidak ada proses konsultasi publik yang transparan, (c) SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai tidak perlu dicabut, proses tidak perlu diulang tetapi untuk menjamin PHBM bisa diakomodir dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai, maka LPI PHBM harus terlibat dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai.
Ketiga tawaran tsb. tidak dikeluarkan
sekaligus tetapi satu per satu, tergantung situasi pada saat diskusi. Setelah tahap persiapan selesai, maka selanjutnya adalah pelaksanaan negosiasi.
Negosiasi dengan Sekjen Departemen Kehutanan dilakukan di
Manggala Wanabhakti tanggal 27 Desember 2004. Dalam kesempatan tersebut Para Penggiat PHBM Kuningan menyampaikan tiga tawaran solusi yang telah didiskusikan sebelumnya, secara satu per satu. Pihak Departemen Kehutanan tampaknya merespon aspirasi para pihak di Kuningan tersebut, yakni dengan diterbitkannya Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 yang ditujukan kepada Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka. Dalam surat Dirjen PHKA tersebut disebutkan beberapa hal penting dalam rangka tindak lanjut TNGC, yakni : (1) Perlu dilakukan kajian lebih lengkap dan 56
komprehensif; (2) Kajian melibatkan para pihak secara partisipatif; (3) Pelaksanaan kajian difasilitasi Pemda; (4) Perlunya pembahasan multi pihak mengenai bentuk pengelolaan TNGC secara kolaboratif sesuai Permenhut No P. 19/Menhut-II/2004 yang berbasis masyarakat, termasuk PHBM; (5) program PHBM yang sudah berjalan dapat dilanjutkan selama sesuai dengan fungsi taman nasional. Hasil negosiasi cukup memuaskan bagi Para Penggiat PHBM. Oleh karena itu, setelah Para Penggiat PHBM kembali ke Kuningan, mereka melakukan konsolidasi melalui dialog multi-pihak.
Dialog ini merupakan
tahap pasca negosiasi. Dialog dimaksudkan untuk membangun kesamaan pemahaman dan komitmen yang dikristalkan dalam Rencana Tindak Lanjut. Hasil keluaran dari pertemuan tersebut adalah Rencana Aksi, yang kemudian menjadi keputusan Bupati Kuningan: SK Nomor 522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Taman Nasional Gunung Ciremai. Tim dibagi kedalam 3 (tiga) kelompok Kerja (Pokja). Pokja I bertugas mengkaji kebijakan, Pokja II bertugas membentuk format kelembagaan dan mekanismenya dan Pokja III bertugas menyiapkan konsep penataan zonasi.
Monitoring: Ada dua hal yang diamati dan dipantau. Pertama, LPI PHBM sebagai lembaga yang selama ini mendampingi masyarakat dalam pelaksanaan Program PHBM dan kedua sikap para pihak terhadap perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. Pengaduan masyarakat tentang kasus Ciremai menunjukkan bahwa masyarakat menaruh kepercayaan kepada LPI PHBM. Kepercayaan ini diraih LPI PHBM karena peran lembaga ini dalam memfasilitasi masyarakat untuk bernegosiasi dengan Perhutani dalam membuat kesepakatan kerjasama, dianggap netral dan membantu masyarakat, terutama untuk mendiskusikan implikasi dari kesepakatan yang dibuat.
Selama bekerja memfasilitasi
57
masyarakat LPI PHBM selalu mendorong terjadinya dialog dan menghindari kekerasan. Ketika organisasi LPI PHBM terpecah, dan di antaranya membentuk Para Penggiat PHBM, maka monitoring dilakukan terhadap Para Penggiat PHBM. Para Penggiat PHBM menjalankan peran mediasi. Para Penggiat PHBM secara sadar berusaha untuk mengembangkan pilihan-pilihan solusi dan setiap pilihan solusi telah dipertimbangkan manfaat dan resikonya. Upaya Para Penggiat PHBM juga menunjukkan sikap berpikir terbuka, artinya mereka tidak terpaku hanya pada pola menang-kalah atau terpatok pada satu solusi saja. Sikap berpikir terbuka ini merupakan sikap yang penting untuk dimiliki oleh Para Penggiat PHBM. Upaya yang dilakukan oleh Para Penggiat PHBM, secara sadar atau tidak juga merupakan upaya untuk membangun kredibilitas dan kepercayaan dari pihak-pihak yang berkonflik, terutama masyarakat atau petani maupun Pemerintah Kabupaten Kuningan serta Departemen Kehutanan. Proses negosiasi dengan Departemen Kehutanan telah meningkatkan kapasitas Para Penggiat PHBM dalam memandang suatu persoalan. Kapasitas yang dimaksud adalah meningkatnya pemahaman tentang ”gambar besar” dari persoalan yang dihadapi.
Yang dimaksud dengan ”gambar besar” adalah
keterkaitan peristiwa yang terjadi di tingkat Kabupaten Kuningan dengan peritiwa yang terjadi di tingkat nasional berupa dikeluarkannya Kepmenhut No. 424. Gambar besar ini berimplikasi pada semakin tingginya kerumitan penyelesaian masalah dan ketidak pastian.
Hal ini jauh berbeda dengan
pengalaman sebelumnya ketika LPI PHBM membangun kolaborasi dalam pengelolaan hutan dengan Perhutani KPH Kuningan. Pengalaman tersebut hanya terkait dengan peristiwa di Kabupaten Kuningan, sehingga proses penyelesaian masalah bisa dilakukan hanya di tingkat Kabupaten Kuningan. Keluarnya Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005 tanggal 26 Januari 2005 cukup berhasil meredam konflik dan mengurangi ketegangan para pihak yang berbeda pendapat. Bahkan SK Bupati Kuningan untuk membentuk Tim Pengkajian 58
Taman Nasional Gunung Ciremai, adalah hasil dari dialog dari para pihak yang semula berbeda pendapat dan akhirnya menemukan kesamaan pandangan dalam konflik ini.
Siklus II : Strategi Kolaborasi
Gambar 10. Siklus 2: Strategi Kolaborasi Refleksi: Strategi jangka pendek untuk meredam konflik cukup berhasil dilaksanakan.
Keberhasilan ini merupakan momentum untuk merancang
strategi berikutnya. Ada dua hal penting dari Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005. Salah satu butir penting dari Surat Dirjen tsb. adalah perlunya pembahasan multi pihak mengenai bentuk pengelolaan TNGC secara kolaboratif sesuai Permenhut No P. 19/Menhut-II/2004 yang berbasis masyarakat, termasuk PHBM.
Butir ini
adalah langkah maju harus dibangun setelah konflik bisa diselesaikan, yaitu membangun kolaborasi pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai.
59
Proses refleksi dilakukan melalui dialog multi-pihak yang bertujuan untuk membangun kesamaan pemahaman dan komitmen yang dikristalkan dalam strategi kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, ”Strategi kolaborasi seperti apa yang harus dikembangkan untuk mengelola Taman Nasional Gunung Ciremai?” Rencana: Rencana yang disusun untuk tahap ini adalah mengembangkan Strategi Kolaborasi. Strategi kolaborasi yang disusun meliputi lima tahap, yaitu (a) konseptualisasi kolaborasi pengelolaan TN Gunung Ciremai, (b) advokasi kebijakan pengelolaan TN Gunung Ciremai, (c) mendiskusikan payung hukum yang tepat untuk menjalankan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai, serta (d) membuat pedoman kolaborasi dan (e) melaksanakan kolaborasi.
Setiap tahapan dalam pengembangan kolaborasi melibatkan
peneliti dan Para Penggiat PHBM dengan peran yang berbeda-beda. Tabel 7.
Peran Peneliti dan Para Penggiat PHBM dalam Pengembangan Kolaborasi
Tahapan
Peran Peneliti
Peran Para Penggiat PHBM
Konseptualisasi
Memfasilitasi aliansi Para Penggiat PHBM dengan akademisi yang tergabung dalam INFRONT
Peran Peneliti: Melakukan kajian kebijakan, kelembagaan, dan zonasi untuk masukan draft RP TNGC
Advokasi
Menyediakan kerangka proses penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya alam desa, untuk bahan negosiasi tingkat desa
Peran Fasilitator: • Mendorong konsultasi publik dalam penyusunan RP TNGC • Memfasilitasi perjanjian tingkat desa
Diskusi payung hukum
Menerima informasi
Peran Pelaksana: • Menyusun draft MoU • Menghubungi Ditjen PHKA • Diskusi dengan Ka BTNGC Peran Fasilitator: Memfasilitasi kesepakatan Bupati dengan Ka BTNGC
Membuat pedoman kolaborasi
Menerima informasi
Peran Perencana: • Menyusun PKKBM
Melakukan kolaborasi
Menerima informasi
Peran Penerima Informasi
60
Aksi: Aksi dilakukan sesuai dengan tahapan pengembangan kolaborasi yang telah direncanakan sebelumnya.
Secara ringkas, tahapan pengembangan
kolaborasi dan kegiatan yang dilakukan dalam setiap tahapan bisa dilihat pada Gambar 11. Konseptualisasi Tim Kajian Kolaboratif Draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai
Aliansi dengan INFRONT Buku berjudul “Model Pemanfaatan lahan di TN Gunung Ciremai”
Advokasi Kebijakan Pengelolaan TN Gunung Ciremai
Mendorong proses konsultasi publik untuk memberi masukan untuk revisi Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai yang disusun oleh konsultan TN GUnung Ciremai
• Masyarakat desa diposisikan sebagai mitra • Pelibatan para pihak dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai • Penentuan zonasi harus mempertimbangkan aspek sosial
Uji coba kolaborasi di tingkat desa
Desa Pajambon berhasil membuat kesepakatan dengan TN G Ci i Desa Seda dan Trijaya berhasil menyusun rencana pengelolaan sumberda alam desa tetapi tidak berhasil membuat kesepakatan dengan pengelola TN Gunung
Mendiskusikan Payung Hukung Kolaborasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai dan menghasilkan MoU yang ditandatangani oleh Bupati Kuningan dan Kepala Balai TN Gunung Ciremai Penyusunan Pokok-pokok Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat (PKKBM) sebagai pedoman untuk melaksanakan kolaborasi yang dimandatkan dalam MoU
Melaksanakan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai : Pembentukan Desa-desa Konservasi
Pembentukan Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai (FKKLGC), pada 25 Maret 2010.
Penegakan hokum dan rehabilitasi kawasan hutan
Gambar 11. Strategi Kolaborasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai
61
Tahap pertama: Konseptualisasi Dua kegiatan yang dilakukan
dalam tahap Konseptualisasi adalah
pembentukan Tim Kajian Kolaboratif dan membangun aliansi dengan INFRONT (Institute for Forest and Environment), yaitu wadah atau forum bagi dosen muda dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Tim Kajian Kolaboratif dibentuk berdasar Surat Keputusan Nomor 522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Taman Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan SK tersebut Tim yang telah terbentuk dibagai kedalam 3 (tiga) kelompok Kerja (Pokja). Pokja I bertugas mengkaji kebijakan, Pokja II bertugas membentuk format kelembagaan dan mekanismenya dan Pokja III bertugas menyiapkan konsep penataan zonasi. Hasil yang telah dicapai kelompok kerja tersebut ditulis dalam Hasil Rumusan Tim Formatur Dewan Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai, yang berisi (a) Konsep Nota Kesepahaman antara Direktur Jenderal PHKA dengan Bupati Kuningan tentang Pengelolaan TN Gunung Ciremai Kolaboratif; (b) Konsep Pembentukan Organisasi dan Mekanisme Kerja Lembaga Kolaborasi TN Gunung Ciremai dan (c) Konsep Penataan Zonasi TN Gunung Ciremai.
Secara keseluruhan hasil dari Tim
Kajian Kolaboratif adalah draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai versi stakeholders Kuningan. Aliansi yang dibangun dengan INFRONT menghasilkan laporan kajian pemanfaatan lahan di TN Gunung Ciremai, yang diterbitkan oleh Pustaka Latin pada tahun 2005.
Tahap kedua: Advokasi Kebijakan Pengelolaan TN Gunung Ciremai Tahap advokasi kebijakan bertujuan untuk meyakinkan pengelola TN Gunung Ciremai terhadap PHBM. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan uji coba kolaborasi di tingkat desa, yaitu Desa Pajambon, Trijaya dan Seda, serta mendorong konsultasi publik dalam menyusun Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Pada tahap uji coba ini, kesepakatan kolaborasi berhasil dicapai di Desa Pajambon
berupa kesepakatan dalam bentuk Nota Kesepakatan Bersama 62
(NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (Lampiran 16 dan 17) sedangkan desa Seda dan Trijaya tidak berhasil mencapai kesepakatan. Desa Pajambon bisa diterima karena: •
Obyek perjanjian adalah pengembangan ekowisata berupa air terjun.
•
Adanya rencana pengelolaan ekowisata yang disusun masyarakat yang terdiri atas hasil inventarisasi potensi ekowisata antara lain air terjun, tumbuhan obat dan tanaman penunjang ekowisata berupa buah-buahan, rencana pengembangan kapasitas pengelola ekowisa, rencana rehabilitasi lahan, rencana pembibitan,
rencana pembangunan fasiltias, rencana
pembagian hasil usaha, kelembagaan yang jelas (struktur organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga). •
Masyarakat mau melakukan pembibitan tanaman endemik yang bibitnya berasal dari dalam TN Gunung Ciremai, dan hasil pembibitan akan digunakan untuk mengganti tanaman semusim yang ditanam masyarakat melalui pola agroforestri
•
Pengelola TN Gunung Ciremai mau mengakomodir tanaman buah-buahan masyarakat dan menyebutnya sebagai tanaman pendukung ekowisata Praktek penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya alam Desa Seda
telah meningkatkan kesadaran masyarakat Desa Seda tentang potensi sumberdaya alam yang ada di desanya, baik yang termasuk di dalam kawasan hutan Negara maupun yang berada di luar. Selain itu, mereka juga mempunyai pemahaman yang lebih luas tentang stakeholders yang bisa diundang untuk mendukung atau membantu masyarakat Desa Seda untuk menjalankan program yang telah disusun.
Artinya, mereka juga mempunyai pilihan sumberdaya
alam yang lebih banyak untuk dikelola. Ketika rencana pengelolaan Desa Seda mulai disusun, ada asumsi bahwa rencana yang dihasilkan akan dapat digunakan untuk membangun kesepakatan dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Namun setelah rencana pengelolaan Desa Seda selesai disusun, maka kesepakatan dengan pengelola TN Gunung Ciremai menjadi tidak mutlak. Yang lebih penting bagi masyarakat Desa Seda adalah mengelola semua potensi sumberdaya alam dengan optimal untuk kesejahteraan masyarakat secara lestari. 63
Pola pemanfaatan lahan (pengelolaan berbasis lahan) yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan TN Gunung Ciremai merupakan salah satu hal yang membuat pihak Balai TN Gunung Ciremai belum merespon keinginan masyarakat untuk mengkaji ulang NKB dan NPK yang baru. Sikap kaku dan pemahaman yang masih konvensional dari pihak Balai TN Gunung Ciremai terhadap aturan yang ada bahwa taman nasional harus steril dari akses manusia merupakan salah satu alasannya. Sementara masyarakat sudah eksis di dalam kawasan jauh sebelum Gunung Ciremai menjadi taman nasional dan secara legal diakui keberadaannya sejak adanya PHBM. Kegiatan pengelolaan kawasan oleh masyarakat melalui penerapan PHBM sebetulnya sudah banyak yang sesuai dengan fungsi kawasan. Salah satu contoh adalah pengembangan agroforestry tanaman kayu hutan dengan jenis MPTS (multi purpose trees species) buah-buahan dan tanaman bawah tegakan seperti lada, nilam, dan lain-lain. Contoh lain adalah pemanfaatan potensi alam sebagai obyek wisata alam. Memang masih ada masyarakat di beberapa desa yang pola pemanfaatan lahannya belum sesuai dengan fungsi kawasannya, yakni dengan kegiatan pertanian sayuran. Namun secara bertahap mereka telah mulai beralih komoditi dengan menanam jenis MPTS buahbuahan sebagai pengganti sayuran, walaupun masih dengan skala-skala kecil karena keterbatasan kemampuan secara swadaya. Masyarakat sebetulnya sudah menyatakan siap dan berkomitmen bila NKB dan NPK segera dikaji ulang dan ditandatangani, maka mereka akan segera beralih komoditi dari sayuran menjadi jenis MPTS buah-buahan, termasuk menanam jenis tanaman tumbuhan endemik asal kawasan hutan Ciremai. Apalagi bila ada fasilitasi pendanaan atau dukungan program dari pihak Balai TN Gunung Ciremai maupun pemerintah daerah.
Hanya
masyarakat mengusulkan agar mereka diberi waktu atau masa tenggang (transisi) sekitar 5 tahun untuk peralihan tersebut.
Masyarkat juga meminta
agar komposisi jenis tanaman adalah 40% : 60%, dimana 40% adalah tumbuhan endemik Ciremai dan 60% adalah tanaman buah-buahan. Pihak Balai TN Gunung Ciremai hanya memberikan masa transisi 3 tahun dan komposisi jenis tanaman 70% : 30% antara tanaman endemik dan 64
buah-buahan. Namun proses transisi tidak bisa berjalan karena (a) pernyataan ini diungkapkan hanya secara lisan (tidak dituangkan menjadi kebijakan tertulis Balai TN Gunung Ciremai), (b) lemahnya proses pengawalan pelaksanaan kebijakan di lapangan, serta (c) tidak segera dilakukannya kaji ulang NKB dan NPK. Faktor lain yang menyebabkan tidak berjalannya proses transisi adalah tidak adanya aturan yang memayungi pemanfaatan kawasan Taman Nasional berbasis lahan serta penanaman dengan jenis MPTS buah-buahan. Guna mengisi kekosongan aturan-aturan yang selalu dijadikan alasan yang akhirnya dirasakan menghambat kegiatan-kegiatan di lapangan, para pihak di Kabupaten Kuningan mendorong untuk dibuatnya kesepakatan bersama antara Balai TN Gunung Ciremai dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan. Kegiatan lain yang dilakukan dalam advokasi kebijakan adalah mendorong konsultasi publik dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Tujuan konsultasi publik adalah mensinergikan hasil Tim Kajian Kolaboratif yang dibentuk oleh Bupati Kuningan dengan hasil Rencana Pengelolaan yang disusun oleh konsultan TN Gunung Ciremai.
Proses
konsutasi publik dilakukan pada tanggal 16 dan 31 Mei 2006 pihak BKSDA Jabar II mengundang para pihak dari Kabupaten Kuningan dan Majalengka untuk membahas Draft Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai (RPTNGC). Secara keseluruhan materi draft tersebut masih mencerminkan sistem pengelolaan Taman Nasional konvensional. Hasil penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai jauh dari harapan para pihak khususnya di Kabupaten Kuningan yang sedang berproses mencari bentuk pengelolaan TN Gunung Ciremai secara kolaboratif. Berdasarkan hal tersebut disepakati untuk membentuk Tim yang anggotanya terdiri atas unsur para pihak Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, BKSDA Jabar II dan konsultan, untuk memperbaiki draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai, agar dalam implementasinya dapat diterima dan didukung para pihak di kedua kabupaten tersebut.
65
Perubahan mendasar yang dihasilkan dalam perbaikan draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai antara lain yaitu : 1. Keberadaan masyarakat desa sekitar hutan beserta kearifan
lokalnya,
diposisikan sebagai potensi dalam perlindungan dan pengamanan hutan serta memberikan peluang kepada masyarakat sebagai mitra Balai TN Gunung Ciremai dengan menerapkan manajemen kolaborasi dan berbagi/sharing sesuai tanggung jawabnya. 2. Mengakomodasi
pelibatan
para pihak
secara partisipatif sebagai
perwujudan pengelolaan TN Gunung Ciremai secara kolaboratif, terutama dalam proses penyusunan Rencana Pengelolaan, penataan zonasi kawasan dan penataan kelembagaan. 3. Dalam analisa penentuan zonasi selain mendasarkan pada aspek potensi sumberdaya alam dan ekosistemnya serta karakteristik biofisik wilayah, juga memperhatikan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar TN Gunung Ciremai. Perbaikan draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai tersebut dilakukan melalui serangkaian focus group discussion dan workshop yang dilakukan di Kabupaten Kuningan maupun Majalengka selama kurun waktu bulan Juni-September 2006. Rangkaian pertemuan para pihak tersebut pada intinya adalah untuk mengintegrasikan hasil kajian pokja-pokja dari Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai, terutama integrasi sistem pengelolaan yang telah ada yakni PHBM ke dalam rumusan hasil tim konsultan. Rencana
Pengelolaan
TN
Gunung
Ciremai
ternyata
tidak
mengakomodir hasil kajian Tim Pengakajian TN Gunung Ciremai yang dibentuk oleh Bupati.
Ternyata hal ini terjadi karena proses penyusunan
Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai harus dilakukan oleh pihak ketiga (konsultan), dan tidak bisa dilakukan oleh Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai. Hasil dari Tim Pengkajian hanya sebatas masukan dan rekomendasi yang belum tentu diterima oleh konsultan. Di sisi lain, konsultan bekerja berdasarkan perintah dari pemberi pekerjaan atau TN Gunung Ciremai. Dengan demikian apa pun masukan yang diberikan oleh pihak lain, pihak konsultan pasti akan berkonsultasi terlebih 66
dahulu kepada pemberi pekerjaan, apakah setuju atau tidak. Dalam hal ini, setelah melihat hasil pekerjaan konsultan, maka ternyata banyak usulan atau masukan dari Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai yang tidak diakomodir dalam Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Kendala lain dalam memantau revisi draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai adalah keterbatasan akses dalam memperoleh informasi dari pengelola TN Gunung Ciremai, termasuk dari konsultan TN Gunung Ciremai. Hal ini bisa saja terjadi karena memang tidak ada kewajiban dari pengelola TN Gunung CIremai untuk memberi akses kepada pihak lain dalam memantau proses revisi.
Tahap ketiga: Diskusi Payung Hukum Kolaborasi Tahap ketiga adalah mendiskusikan payung hukum, yang menghasilkan kesepakatan
atau MoU (Memorandum of Understanding) antara Bupati
Kuningan dengan Kepala Balai TN Gunung Ciremai. Mulai pertengahan tahun 2007, pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kuningan, LSM Kanopi, dan personal-personal yang tergabung dalam LPI PHBM beserta Balai TN Gunung Ciremai kemudian merancang draft kesepakatan bersamanya. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya nota kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Kepala Balai TN Gunung Ciremai dan Bupati Kuningan pada tanggal 2 Februari 2008 tentang Optimalisasi Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Salah satu tujuan dari pembuat Kesepakatan bersama tersebut untuk memayungi kegiatan-kegiatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan Gunung Ciremai melalui PHBM, terutama yang telah sesuai dengan aspek-aspek konservasi. Kesepakatan ini dimaksudkan untuk mengharmoniskan harapan dan kepentingan para pihak di daerah dengan kepentingan pusat beserta aturanaturan pengelolaannya.
Tahap keempat: Menyusun Pedoman Kolaborasi Tahap keempat menyusun pedoman kolaborasi sesuai dengan MoU yang telah ditanda tangani.
Pedoman kolaborasi yang dihasilkan adalah 67
PKKBM (Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat). Konsep PKKBM diharapkan dapat menjadi payung untuk sistem pengelolaan yang akan diimplementasikan di kawasan TN Gunung Ciremai. Konsep ini disusun untuk mengintegrasikan sistem pengelolaan yang telah ada sebelumnya yakni PHBM ke dalam sistem pengelolaan taman nasional yang diatur berdasarkan aturan-aturan yang ada sebelumnya. Pengintegrasian PHBM ini tentu saja melalui penyesuaian-penyesuaian dengan fungsi kawasan konservasi saat ini, misalnya tidak lagi berorientasi pada hasil kayu melainkan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, serta tidak mengokupasi lahan baru melainkan mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang telah ada secara lestari dengan tanaman MPTS buah-buahan maupun tanaman bawah tegakan.
Tahap kelima: Melaksanakan Kolaborasi Tahap kelima adalah melaksanakan kolaborasi.
Salah satu bentuk
kolaborasi adalah pemanfaatan jasa lingkungan berupa air.
Produk air
merupakan sumberdaya yang potensial karena banyak mata air di Gunung Ciremai memasok air ke Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon. Mata air di wilayah Gunung Ciremai berjumlah 156 buah dan sungai sebanyak 43 buah digunakan untuk irigasi dan kegiatan pariwisata, diantaranya Waduk Darma, Darmaloka, Balong Cigugur, Balong Dalem dan Telaga Remis. Potensi air dari wilayah Gunung Ciremai yang dimanfaatkan untuk industri dan perekonomian, yaitu : 1.
Suplai air untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Cirebon sebesar 200 l / detik dengan imbalan Rp 12.000.000,- per tahun
2.
Suplai air untuk PDAM Kota Cirebon sebesar 800 l / detik dengan imbalan Rp 384.000.000,- per tahun
3.
Suplai air untuk Pertamina Cirebon sebesar 50 l / detik dengan imbalan Rp 12.000.000,- per tahun
4.
Suplai air untuk PT. Indocement Cirebon sebesar 36 l / detik dengan imbalan Rp 96.000.000,- per tahun
5.
PDAM Kabupaten Kuningan tahun 2002 berkontribusi pada PAD sekitar Rp 51.000.000,68
6.
Kegiatan pertanian, perkebunan tebu dan pabrik gula memerlukan suplai air sebesar 2.500 l / detik Berawal dari kebutuhan untuk adanya mekanisme kerjasama pengelolaan
jasa lingkungan air dan wisata alam antara hulu-hilir, saat ini telah disepakati oleh para pihak di CIAYUMAJAKUNING (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan) untuk membentuk kelembagaan kolaborasi multipihak. Kesepakatan ini dibangun secara bersama oleh Balai TNGC, pemerintah kabupaten/ kota, LSM, perguruan tinggi, masyarakat desa maupun pihak swasta di Ciayumajakuning melalui dua kali workshop dan rangkaian FGD lanjutannya yang telah difasilitasi Balai TNGC dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Mengingat pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam hanyalah bagian kecil saja dari sistem pengelolaan TN Gunung Ciremai, para pihak tersebut sepakat bahwa kelembagaan kolaborasi ini nantinya tidak hanya mengurusi persoalan kerjasama hulu-hilir kedua potensi itu saja. Kelembagaan tersebut diharapkan dapat mengawal juga kolaborasi pengelolaan TN Gunung Ciremai secara keseluruhan, misalnya kerjasama pemanfaatan jasa lingkungan lainnya (karbon dan keanekaragaman hayati), harmonisasi pemanfaatan lahan secara lestari, penanganan dan penanggulangan bencana seperti kebakaran hutan dan illegal logging, maupun sinergitas kebijakan dan program pembangunan pemerintah pusat dan daerah). Setelah workshop tanggal 6 Juli 2009 yang difasilitasi Balai TNGC dan tanggal 22 Juli 2009 yang difasilitasi Dishut Provinsi Jawa Barat serta serangkaian FGD lanjutannya, disepakati nama (sementara) kelembagaan kolaborasi tersebut adalah Dewan Kemitraan Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Keanggotaannya terdiri dari perwakilan unsur Balai TNGC, Pemprov Jawa Barat, Pemkab dan Pemkot, perguruan tinggi, LSM, masyarakat desa, serta swasta/perusahaan yang ada di Ciayumajakuning. Direncanakan dewan kemitraan ini akan dilegalkan melalui SK Gubernur Jawa Barat, namun masih dalam proses pembahasan kelembagaannya. Beberapa kekhawatiran masih ada terutama dari institusi pemerintah, baik Balai TN Gunung Ciremai maupun dinas/instansi pemerintah daerah. 69
Kekuatiran mereka adalah dewan kemitraan ini akan menjadi super body yang akan mengambil alih dan menghilangkan kewenangan
pemerintah.
Kekhawatiran lain datang dari pihak swasta terutama dalam pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam. Pengusaha kuatir akan ada pungutan baru yang dibebankan kepada mereka selaku pengguna jasa-jasa tersebut. Sehingga sampai saat ini dewan kemitraan tersebut belum definitif karena masih terus dibahas dan disusun oleh tim kecil kedalaman kelembagaannya agar kekhawatiran para pihak tadi tidak terjadi atau paling tidak diminimalisir.
Monitoring: Beberapa capaian Para Penggiat PHBM adalah (a) berhasil mendorong adanya konsultasi publik dalam penyusunan Rencana Pengelolaaan TN Gunung Ciremai; (b) berhasil menunjukkan contoh Pajambon dan sekarang menjadi salah satu Model Desa Konservasi yang dipromosikan oleh pengelola TN Gunung Ciremai untuk dijadikan sebagai contoh bagi desa-desa lain; dan (c) MoU Bupati dan Kepala Balai TN Gunung Ciremai berhasil ditanda tangani. Sementara itu, sikap para pihak/nilai-nilai yang berhasil dibangun dalam proses dan praktek kolaborasi adalah (a) berusaha mencari win-win solution; (b) mencari solusi konflik tanpa kekerasan dan selalu melalui dialog; (c) membangun contoh lembaga atau pranata sosial sebagai tempat mengadu yang dapat dipercaya oleh masyarakat; (d) berpikir terbuka dan berusaha mencari pilihan-pilihan solusi;
Perubahan
sikap
tersebut
mengindikasikan berubahnya pendekatan konfrontatif yang terjadi ketika konflik mulai mencuat, menjadi pendekatan kolaboratif.
70
Pembahasan Metode Riset Aksi Metode Riset Aksi yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan yang dirasakan selama melakukan penelitian adalah: •
Riset Aksi bersifat responsif.
Riset Aksi dilakukan dalam suatu situasi
yang tidak pasti atau tidak menentu.
Dalam kasus perubahan status
Gunung Ciremai, tanggapan dari masyarakat yang menolak perubahan status dan tanggapan dari para pihak yang setuju dengan perubahan status bersifat dinamis dan tidak pasti. Penelitian konvensional mungkin dapat menangkap fenomena pada suatu waktu tertentu yang pendek, misalnya siapa saja pihak yang saling bertentangan pendapat dan apa motivasinya ketika perubahan status Gunung Ciremai baru terjadi.
Namun dalam
beberapa bulan berikutnya, situasi bisa berubah. Hal ini terjadi ketika Surat Dirjen PHKA yang mengakomodir PHBM dan mendorong partisipasi stakeholder dalam menyusun Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai dikeluarkan. Hal ini mendorong perubahan sikap para pihak, sehingga terjadi konsolidasi. Para pihak yang semula bertentangan bisa bersatu dan mendorong pengelola TN Gunung Ciremai untuk membuka ruang partisipasi bagi stakeholders. Situasi seperti ini yang dapat direspon dengan Riset Aksi. •
Riset Aksi meningkatkan kesadaran pengguna untuk belajar dari pengalaman. Baik peneliti, LPI PHBM dan Para Penggiat PHBM sebagai pihak yang menggunakan Riset Aksi mempunyai banyak kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan mengambil pembelajaran (lessons learned), yang kemudian digunakan untuk memperbaiki kesalahan atas tindakan yang telah lalu. Pengalaman seperti ini telah dilakukan selama Riset Aksi berjalan lebih kurang empat tahun, sehingga memungkinkan terjadinya proses internalisasi di dalam individu pelaku Riset Aksi. Internalisasi akan mendorong pelaku Riset Aksi untuk melakukan proses
71
yang sama, ketika menghadapi masalah setelah Riset Aksi ini selesai dilakukan. •
Riset Aksi bersifat partisipatif.
Berbagai bentuk partisipasi telah
dilakukan, baik oleh peneliti, LPI PHBM maupun Para Penggiat PHBM. Hal ini dapat meningkatkan rasa kepemilikan terhadap proses penelitian, sehingga para pelaku Riset Aksi secara sukarela mengumpulkan informasi yang dibutuhkan.
Contoh pada Siklus I, di dalam Aksi I untuk
memperjelas informasi tentang perubahan status Gunung Ciremai, peran LPI PHBM adalah melakukan dialog dengan para pihak di Kabupaten Kuningan yang dianggap bertanggung jawab dalam proses perubahan status Gunung Ciremai. informasi
di
Sementara itu, peran peneliti adalah mencari
Departemen
Kehutanan.
Pembagian
peran
untuk
mengumpulkan informasi ini juga meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam mencari data. Pada Aksi 2 di Siklus 1 tentang analisis stakeholder, peran LPI PHBM adalah pelaku yang melakukan analisis stakeholder, sedangkan peneliti sebagai fasilitator. Peran LPI PHBM sebagai pelaku analisis stakeholder dapat menghasilkan analisis yang kaya karena mereka betul-betul paham siapa stakeholder. •
Berorientasi pada solusi. Riset Aksi mementingkan solusi atas masalah yang dihadapi. Jadi Riset Aksi tidak hanya memotret masalah, menyusun laporan dan memberi rekomendasi, seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian konvensional. Selain kelebihan dari metode Riset Aksi, selama penelitian dijumpai
pula kekurangan dari Riset Aksi, yaitu: •
Riset Aksi membutuhkan trust atau kepercayaan dari mitra yang akan diajak menjadi pelaku Riset Aksi. Tanpa kepercayaan, sulit bagi peneliti untuk mengajak orang agar mau terlibat dalam Riset Aksi. Trust dapat diraih dengan cara menunjukkan kredibilitas dan komitmennya dalam membantu stakeholders untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti telah bekerja bersama dengan stakeholder
di
Kabupaten
Kuningan
sejak
tahun
2001
untuk 72
mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan hutan, yang melibatkan masyarakat sekitar hutan, Perhutani dan Pemerintah Kabupaten Kuningan. •
Riset Aksi tidak banyak diketahui dan tidak diajarkan di perguruan tinggi, sehingga informasi tentang Riset Aksi harus dipelajari sendiri.
•
Berbeda dengan riset konvensional, dimana studi pustaka dilakukan sebelum riset dilakukan untuk membangun argumentasi terhadap hipotesis, maka Riset Aksi baru mencari literatur setelah Riset Aksi dilakukan, karena literatur yang dicari haruts disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi
•
Riset Aksi lebih lama pelaksanaannya dibanding riset konvensional. Hal ini wajar karena orientasi dari Riset Aksi adalah solusi, yang tidak mungkin diperoleh dalam waktu singkat.
Proses Riset Aksi yang
dilaksanakan oleh peneliti berjalan lebih kurang empat tahun.
Peran Peneliti dalam Riset Aksi Peneliti dalam Riset Aksi menjalankan peran yang bermacam-macam. Ada persamaan dan perbedaan peran antara peneliti Riset Aksi dengan peneliti konvensional. Peran yang sama dengan peran peneliti konvensional, yaitu peran sebagai pengumpul data, analisis data dan penyusun laporan penelitian. Sedangkan peran yang tidak dilakukan oleh peneliti konvensional adalah peran sebagai fasilitator dan mediator. Menurut Braakman dan Edward (2002), kata fasilitasi mempunyai arti “membuat sesuatu menjadi mudah”. Dari segi proses, fasilitasi didefinisikan sebagai suatu proses dimana seseorang membantu pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaannya dan memperbaiki cara mereka bekerja bersama. Sedangkan sebagai keahlian,
fasilitasi
adalah keahlian mengelola suatu
pertemuan (a meeting management skill). Oleh karena itu, fasilitasi juga dikatakan sebagai cara membantu kelompok bekerja bersama di dalam pertemuan. Dalam konteks Riset Aksi yang telah dilakukan, peran peneliti sebagai fasilitator di antaranya dilakukan ketika memfasilitasi proses analisis 73
stakeholder dan persiapan negosiasi.
Dalam proses analisis stakeholder,
peneliti membantu LPI PHBM dengan menyediakan kerangka teori analisis stakeholder dan memfasilitasi proses analisis stakeholder. Sementara itu, dalam proses negosiasi, peran fasilitator dilakukan ketika persiapan negosiasi. Peneliti memfasilitasi diskusi untuk merumuskan tawaran-tawaran solusi dengan teknik bermain peran. Teknik bermain peran adalah salah satu keterampilan teknik diskusi yang harus dikuasai oleh fasilitator. Ada berbagai keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang fasilitator. Menurut Braakman dan Edwards (2002), keterampilan fasilitasi terdiri atas 3 tingkat, yaitu (a) keterampilan fasilitasi dasar, misalnya mendengar, menyimak, bertanya, mengamati, merangkum, (b) keterampilan memfasilitasi suatu pertemuan, dan (c) keterampilan memfasilitasi suatu kesepakatan. Semua keterampilan tersebut sebenarnya bisa dilatih melalui suatu pelatihan yang terstruktur, dan selanjutnya bisa diasah atau dipertajam selama Riset Aksi berlangsung. Peran peneliti dalam Riset Aksi, selain sebagai fasilitator juga sebagai mediator.
Menurut Moore (1996), mediator membantu para pihak yang
secara sukarela bersedia mencapai suatu
penyelesaian yang dapat saling
diterima atas isu-su yang disengketakan. Peran mediator dilakukan oleh peneliti ketika memediasi pertemuan antara Para Penggiat PHBM dengan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan pada bulan Desember 2004 di Jakarta. Sebagai mediator, peneliti melakukan dua hal, yaitu membuka komunikasi dengan pihak Departemen Kehutanan, dan memfasilitasi proses negosiasi.
Dua hal ini adalah peran
mediator dari 9 peran mediator yang diidentifikasi oleh Moore (1996). Berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari metode Riset Aksi serta peran peneliti dalam Riset Aksi, maka ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan apabila ingin menggunakan metode Riset Aksi, yaitu: • Apabila peneliti ingin membantu mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh sekelompok orang, maka Riset Aksi bisa digunakan. Namun, apabila peneliti hanya ingin memotret atau menggambarkan 74
suatu fenomena tertentu dan setelah itu memberikan rekomendasi, maka Riset Aksi tidak perlu digunakan. • Sebaiknya telah memperoleh trust dari orang-orang yang akan dilibatkan melakukan Riset Aksi • Penelitian tidak dibatasi oleh waktu yang singkat • Peneliti memiliki keterampilan sebagai fasilitator
Netralitas Peneliti Peneliti sejak awal tidak bersikap netral. Peneliti berpihak terhadap masyarakat yang kehilangan akses terhadap kawasan Taman Nasional. Keberpihakan ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: •
Keberpihakan terhadap masyarakat yang kehilangan akses ke kawasan Taman Nasional merupakan keberpihakan terhadap masyarakat yang hakhaknya dilanggar. Keberpihakan ini bersifat universal.
•
Peneliti yang juga menjadi staf LATIN telah bekerja mengembangkan program kolaborasi dalam pengelolaan hutan di Kabupaten Kuningan sejak tahun 2001.
Pengalaman ini telah menimbulkan hubungan
emosional yang dekat antara peneliti dengan masyarakat. •
Program kolaborasi yang dibangun sejak tahun 2001 juga telah menimbulkan kepercayaan para pihak terhadap peneliti, karena salah satu mitra kerja LATIN sejak 2002 adalah LPI PHBM.
Jenis Konflik Menurut Moore (1996),
ada 5 jenis konflik berdasarkan sumber
penyebab, yaitu konflik nilai, konflik kepentingan, konflik data,
konflik
hubungan, dan konflik struktural. Kelima jenis konflik tersebut juga terjadi dalam perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai.
1. Konflik Nilai Konflik nilai tercermin dalam kasus perubahan status kawasan Gunung Ciremai. Konflik nilai terjadi antara dua paradigm konservasi, yaitu paradigm
75
preservatism dalam pengelolaan taman nasional, dengan paradima Human Welfare Ecology . Nilai konservasi yang sudah berkembang di Indonesia sebenarnya dipengaruhi oleh konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic, yang salah satu tokohnya adalah John Muir.
Dia mempengaruhi pandangan
konservasi sebagian orang-orang Eropa
(Noss dan Cooperrider, 1994),
termasuk bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic yang berkembang di Eropa itulah yang dianut Belanda dan diterapkan di Indonesia. Dalam konsep ini keberadaan manusia diabaikan, yang dipentingkan adalah kelestarian spesies tumbuhan dan satwa. Pandangan seperti ini mencerminkan paradigma konservasi yang disebut dengan preservationisme (Eckersley (1992). Paradigma ini ditandai dengan pembentukan kawasan Taman Nasional sebanyak-banyaknya (WCMC, 1992). Dalam kasus perubahan status kawasan Gunung Ciremai, jelas sekali terlihat bahwa Departemen Kehutanan juga berupaya untuk memperbanyak kawasan Taman Nasional. Keputusan Menteri Kehutanan No. 424/MenhutII/2004 yang mengubah status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional bersama dengan 11 taman nasional lainnya, pada tahun 2004 adalah contoh nyata gambaran paradigm preservationism. Paradigma preservationism sebenarnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia, karena terbukti banyak kegiatan masyarakat di sekitar hutan yang sesuai dengan tujuan konservasi.
Contoh kegiatan
masyarakat yang sesuai dengan konservasi genetik dilaporkan oleh Dolvina Damus (1992) dalam Nasution et.al., (1995). Untuk konservasi tingkat jenis, contoh diberikan oleh Purwantoro (1992) dan Darnaedi (1992). Sedangkan contoh kegiatan masyarakat yang sesuai dengan konservasi tingkat ekosistem cukup banyak dijumpai, antara lain dilaporkan oleh de Foresta, Kusworo, Michon, Djatmiko (2000), Darusman (2000), Purwanto dan Walujo (1992), Hilwan (1995), dan Soedjito (1995). Fakta berupa contoh-contoh kegiatan masyarakat yang sesuai dengan tujuan konservasi, baik untuk pelestarian tingkat genetik, tingkat jenis, maupun 76
tingkat ekosistem, sesungguhnya menuntut perubahan paradigm konservasi yang diterapkan di Indonesia.
Paradigma konservasi yang mungkin sesuai
dengan situasi di Indonesia adalah paradigm Human Welfare Ecology (Eckersley, 1992) yang mementingkan kualitas lingkungan dan isu-isu sosial yang selama ini diabaikan, seperti hak-hak masyarakat, keseimbangan akses ke sumberdaya
alam,
rekreasi
dan
religi,
serta
kebutuhan
psikologis.
Implementasi paradigm Human Welfare Ecology mendasari pengelolaan ekosistem yang menuntut keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan. Menurut Pimbert (1994), keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan kawasan konservasi dapat dibedakan menjadi 7 tingkat. Tingkat partisipasi stakeholder tersebut adalah (1) passive participation, (2) participation in information giving, (3) participation by consultation, (4) participation for material incentives, (5) functional participation, (6) interactive participation, (7) self-participation. Dalam kasus perubahan status kawasan Gunung Ciremai, keterlibatan publik, baik masyarakat maupun stakeholders di Kabupaten Kuningan masih rendah. Tidak ada proses konsultasi publik yang dilakukan oleh pemerintah sebelum keputusan dibuat, walaupun ada pertemuan tanggal 8 Oktober 2004 yang dianggap sebagai konsultasi publik. Namun sesungguhnya pertemuan itu bukanlah konsultasi publik, karena hanya melibatkan beberapa orang dan tidak bisa mewakili seluruh stakeholder di Kabupaten Kuningan.
Berdasarkan
kerangka teori partisipasi Pimbert (1994), tingkat partisipasi seperti itu masih berada pada tingkat yang paling rendah, yaitu Passive Participation. Tingkat partisipasi yang agak maju terjadi ketika proses penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional. Stakeholder di Kabupaten Kuningan membuat draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai, sementara itu pihak pengelola TN Gunung Ciremai juga telah menyewa konsultan untuk menyusun Rencana Pengelolaan. Secara ideal, hasil dari kedua belah pihak dapat saling melengkapi. Oleh karena itulah diadakan konsultasi publik yang bertujuan untuk mensinergikan draft Rencana Pengelolaan yang dihasilkan baik oleh stakeholder Kuningan maupun konsultan TN Gunung Ciremai.
Pada saat
konsultasi publik, berbagai masukan yang substansial dikemukakan oleh 77
stakeholder Kuningan.
Namun hasil akhir dari Rencana Pengelolaan TN
Gunung Ciremai, ternyata tidak mengakomodir masukan tersebut. Mengacu pada Pimbert (1994), maka partisipasi yang seperti ini termasuk dalam tingkat ketiga, yaitu Participation by Consultation. Tingkat partisipasi yang lebih tinggi terjadi ketika ada proses negosiasi untuk membuat kesepakatan kerjasama pengelolaan obyek wisata di Desa Pajambon. Dalam proses negosiasi tersebut, masyarakat difasilitasi oleh Para Penggiat PHBM untuk mempersiapkan substansi dan proses negosiasi. Namun dalam proses negosiasi, masyarakat sendiri yang mengambil keputusan. Menurut Pimbert (1994), tingkat partisipasi seperti itu sudah mencapai tahap functional participatipation. Berdasarkan analisis di atas, ternyata konflik nilai berimplikasi pada tingkat partisipasi stakeholder dalam pengambilan keputusan, baik untuk penetapan suatu kawasan taman nasional sampai pada pengelolaan taman nasional. 2. Konflik Data Pada tahap awal, ketika ada usulan dari Bupati Kuningan (yang direkomendasikan oleh UNIKU), konflik yang terjadi adalah konflik data. Konflik ini disebabkan oleh perbedaan jenis data yang diungkap dalam usulan tersebut. Di dalam proposal hanya diungkapkan hasil studi UNIKU tentang potensi Gunung Ciremai untuk menjadi taman nasional, seperti potensi keanekaragaman hayati, situs-situs bersejarah, sumber-sumber mata air, serta ancaman terhadap Gunung Ciremai. Sementara itu, para pihak yang menolak penetapan usulan, mempertanyakan tentang tidak adanya data petani yang telah menandatangani kesepakatan PHBM dengan Perum Perhutani KPH Kuningan.
3. Konflik Hubungan Dalam proses selanjutnya, terjadi konflik hubungan karena muncul stereotype bagi para pihak yang mendukung dan yang menolak pengusulan Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Para pendukung menanggap bahwa para pihak yang menolak usulan adalah orang-orang yang tidak setuju dengan 78
konservasi dan malah mendorong ekspansi atau perluasan perambahan hutan di Gunung Ciremai, dengan cara melegalkan pola-pola pemanfaatan lahan di kawasan hutan. Pandangan ini juga ada di Ditjen PHKA, yang menganggap bahwa PHBM selain berbasis lahan, juga berorientasi pada pemanfaatan kayu, dimana kedua hal ini tidak boleh dilakukan di kawasan taman nasional. Sementara itu, para pihak yang menolak usulan, lebih melihat keterlibatan UNIKU sebagai tokoh atau pihak di balik proses pengusulan Gunung Ciremai menjadi taman nasional.
Dengan demikian mereka berpandangan bahwa
UNIKU memiliki agenda tersembunyi dalam proses tersebut, misalnya UNIKU ingin memperoleh proyek-proyek konsultasi dan penelitian setelah Gunung Ciremai menjadi taman nasional, baik dari pemerintah, pengelola taman nasional maupun dari donor luar negeri. UNIKU dianggap tidak pro-rakyat dan hanya memprioritaskan kepentingan sendiri. Sesungguhnya, kedua jenis konflik yang terjadi di atas dapat diselesaikan melalui beberapa kegiatan. Konflik data yang terjadi diselesaikan dengan cara menyampaikan data kesepakatan PHBM antara masyarakat dengan Perum Perhutani KPH Kuningan. Data disampaikan secara tertulis kepada Bupati Kuningan. Para pihak yang menolak usulan juga mengirim surat klarifikasi kepada Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Sementara itu, konflik hubungan diselesaikan dengan cara dialog dan penyampaian data tertulis.
Sasaran utama dari dialog adalah Ditjen PHKA Departemen
Kehutanan dan Sekjen Departemen Kehutanan.
Sasaran ini dipilih karena
selain untuk mengklarifikasi pandangan Departemen Kehutanan tentang PHBM, juga untuk menyampaikan pernyataan sikap dan juga mendiskusikan solusi. Sementara itu, pihak UNIKU tidak diajak berdialog, tetapi para pihak yang menolak usulan lebih mementingkan dialog dengan Bupati Kuningan, yang bertujuan untuk membangun kepercayaan Bupati terhadap kelompok yang menolak usulan Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Cara yang dilakukan adalah melakukan silaturahmi sambil menyampaikan data dan argumentasi.
79
4. Konflik Struktural Jenis konflik yang ketiga, dan ini konflik yang paling mendasar adalah konflik struktural. Sumber penyebab konflik adalah kontrol, kepemilikan atau distribusi atas sumberdaya yang timpang, serta kekuasaan dan kewenangan yang tidak setara.
Dengan adanya penetapan TN Gunung Ciremai pada
Oktober 2004, maka masyarakat yang sudah mengelola lahan dengan pola PHBM menjadi kehilangan kontrol dan akses atas lahan yang dikelola. Hal ini senada dengan pendapat Firmansyah (2004) yang menyatakan bahwa sejak awal dilakukannya inisiatif pengelolaan hutan, terjadi penggusuran besarbesaran terhadap hak atas sumberdaya hutan (tenurial rights) yang disandang oleh masyarakat lokal. Kesepakatan yang dibangun menjadi tidak berlaku lagi.
Hal ini
menunjukkan terjadinya kekuasaan atau kewenangan yang tidak setara. Pemerintah pusat (Departemen Kehutanan) dengan kekuasaannya telah menunjuk Gunung Ciremai menjadi taman nasional, sementara itu pengelola hutan sebelumnya, yaitu Perum Perhutani KPH Kuningan, tidak mempunyai kekuasaan untuk menolak kebijakan itu. Akibatnya, masyarakat yang menjadi mitra Perhutani juga terkena dampaknya.
Mereka sama sekali tidak bisa
menolak walaupun mereka telah membuat kesepakatan dengan Perhutani. Setelah Gunung Ciremai menjadi taman nasional dan dikelola oleh BKSDA Jabar II dan kemudian diganti oleh Balai TN Gunung Ciremai, maka ketimpangan dan ketidak setaraan masih terjadi. Tuntutan masyarakat agar Balai TN Gunung Ciremai mengkaji ulang kesepakatan yang dulu dibuat antara masyarakat
dengan
Perum
Perhutani
KPH
Kuningan,
tidak
pernah
dilaksanakan. Padahal kajian ini bisa meningkatkan posisi masyarakat menjadi lebih setara dengan Balai TN Gunung Ciremai. Selain itu, review terhadap kesepakatan juga dapat mendorong munculnya kesepakatan baru, sehingga dapat memimalkan ketimpangan dalam hal kontrol atau akses terhadap sumberdaya alam. Demikian pula yang terjadi ketika upaya untuk terlibat dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai tidak bisa dilakukan,
80
maka ini menunjukkan bahwa Balai TN Gunung Ciremai mempunyai kewenangan yang lebih besar daripada Pemerintah Kabupaten Kuningan. Solusi untuk konflik struktural inilah yang masih terus dicari sampai sekarang. Upaya yang dilakukan berupa mendorong lahirnya “pengecualian kebijakan” telah dilakukan, misalnya dalam bentuk SK Dirjen PHKA dan MoU antara Bupati Kuningan dengan Balai TN Gunung Ciremai.
Proses Penyelesaian Konflik Langkah-langkah yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai adalah: 1.
Memperjelas informasi tentang perubahan status Gunung Ciremai dan proses terjadinya konfllik. Upaya ini dilakukan oleh LPI PHBM Kuningan dan bertujuan untuk mempelajari proses terjadinya konflik dan jenis konflik yang muncul. Kegiatan yang dilakukan adalah meminta klarifikasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kuningan dan UNIKU, serta Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II dan Kepala Sub-Direktorat Pengelolaan
Kawasan
Konservasi,
dan
mencari
surat-surat
yang
berhubungan dengan perubahan status hutan lindung Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.
Proses investigasi ini
memperoleh informasi yang cukup jelas. Hal ini bisa dilakukan karena di dalam organisasi LPI PHBM ada anggota yang berasal dari instansi pemerintah kabupaten Kuningan yang bisa meminta informasi atau mengcopy surat yang dicari. Selain itu hubungan dengan BKSDA Jabar II juga dijaga supaya tidak konfrontatif, sehingga proses klarifikasi bisa dilakukan dengan terbuka. 2.
Analisis stakeholder untuk melihat posisi dan kepentingan para stakeholder, serta melihat peluang dan kesamaan pandangan dari para pihak yang bisa dijadikan sebagai titik masuk untuk menyelesaikan konflik.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa stakeholder utama
yang diharapkan bisa menjadi titik awal untuk menyelesaikan konflik adalah pemerintah pusat, Departemen Kehutanan. Dalam proses analisis stakeholder terlihat polarisasi antara kelompok yang setuju dan yang tidak 81
setuju dengan perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional. Hasil lain yang diperoleh dari analisis stakeholder adalah titik temu atau kesamaan pandangan bahwa Gunung Ciremai harus dilindungi apa pun statusnya, asalkan tetap mempertimbangkan aspek social.
Selain itu
proses perubahan status diprotes karena tidak dilakukan melalui proses konsultasi seperti yang diatur dalam peraturan. Satu hal yang penting adalah sikap para pihak di Kabupaten Kuningan untuk tidak saling menyalahkan satu sama lain tetapi berorientasi pada mencari penyelesaian konflik. 3.
Persiapan negosiasi. Dalam persiapan negosiasi dengan Departemen Kehutanan didiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dalam negosiasi. Hal ini dilakukan dengan metode permainan peran atau “role play”.
Melalui “role play”, Para Penggiat PHBM yang akan
bernegosiasi dengan Departemen Kehutanan, diminta berpikir dan menyatakan pendapat atau berposisi sebagai pejabat Departemen Kehutanan. Dari “role play” diperkirakan isu-isu yang mungkin dan tidak mungkin untuk dinegosiasikan. adalah
mencabut
Surat
SK.424/Menhut-II/2004
dan
Isu yang tidak mungkin dinegosiasikan
Keputusan mengulang
Menteri proses
Kehutanan konsultasi
No. publik.
Departemen Kehutanan tidak mungkin mencabut keputusan atau mengulangi proses yang sudah terjadi. Hal ini akan mengurangi wibawa Departemen Kehutanan. Sedangkan isu yang mungkin bisa dinegosiasikan adalah pertimbangan sosial atau keberadaan PHBM dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. 4.
Mendiskusikan pilihan-pilihan solusi dan menyusun skenario. Upaya ini dilakukan oleh Para Penggiat PHBM yang akan bernegosiasi dengan Departemen Kehutanan. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan kisaran solusi, mulai dari solusi yang paling diinginkan oleh Para Penggiat PHBM sampai solusi yang paling diinginkan oleh Departemen Kehutanan. Cara untuk menyampaikan pilihan-pilihan solusi atau skenario negosiasi juga didiskusikan.
Skenario yang dimaksud meliputi cara dan urutan
penyampaian dan membuat suasana atau situasi negosiasi atau perdebatan. 82
Pilihan solusi ini ternyata efektif dalam proses negosiasi karena proses diskusi dapat berlangsung dengan kemungkinan dead-lock yang kecil. Kemungkinan dead-lock akan besar apabila salah satu pihak hanya berpikir hanya satu solusi saja.
Dan ini tidak diinginkan oleh Para
Penggiat PHBM. 5.
Negosiasi.
Proses negosiasi dilakukan di ruangan kantor Sekretaris
Jenderal Departemen Kehutanan di Jakarta. Pihak yang diajak negosiasi adalah Sekjen Dephut pada waktu itu, yaitu Ir. Wahyudi Wardoyo, MS. Beberapa alasan dipilihnya Sekjen untuk bernegosiasi adalah (a) Sekjen adalah pejabat di bawah Menteri Kehutanan yang diharapkan dapat membuat keputusan, (b) Sekjen dikenal sebagai mantan pejabat di bidang konservasi namun memiliki kepedulian terhadap aspek social sehingga diharapkan dapat berpikir cukup terbuka dalam menerima usulan solusi. Dalam proses negosiasi ternyata Sekjen juga memanggil Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi sehingga selain negosiasi dapat dilakukan klarifikasi tentang alasan dan proses perubahan status Gunung Ciremai oleh Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi, dan klarifikasi Para Penggiat PHBM tentang keberadaan PHBM di kawasan TN Gunung Ciremai. Proses klarifikasi ini menjadi penting karena masing-masing pihak dapat menerima informasi langsung dari pihak yang paling berkepentingan. Proses klarifikasi membuat negosiasi menjadi berjalan lebih lancar karena masing-masing pihak memiliki informasi yang sama. 6.
Bersikap pro-aktif dalam mengantisipasi hasil negosiasi. Setelah melalui perdebatan tentang solusi-solusi yang ditawarkan, akhirnya disepakati solusi yang menjadi jalan tengah. Bagi Para Penggiat PHBM, solusi jalan tengah inipun sebenarnya sudah didiskusikan menjadi salah satu pilihan. Dengan demikian mereka siap untuk mengantisipasi keluarnya solusi jalan tengah. Dan setelah disepakati secara lisan dan negosiasi selesai, maka Para Penggiat PHBM langsung berkumpul kembali hari itu juga untuk merumuskan hasil negosiasi secara tertulis dan sekaligus membuat draft surat keputusan dari Departemen Kehutanan tentang hasil negosiasi. Draft 83
surat keputusan tersebut diserahkan pada hari yang sama kepada Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi. Dan draft surat keputusan itulah yang kemudian menjadi Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No S.56/IV-KK/2005. 7.
Konsolidasi para pihak. Surat Dirjen PHKA No. S.56/IV-KK/2005 dapat membuat situasi konflik di TN Gunung Ciremai yang tegang menjadi mereda.
Kesempatan ini digunakan oleh Para Penggiat PHBM untuk
melakukan konsolidasi, antara lain melalui dialog multi-pihak. Dialog tersebut dimaksudkan untuk membangun kesamaan pemahaman dan komitmen yang dikristalkan dalam Rencana Tindak Lanjut. Hasil keluaran dari pertemuan tersebut adalah Rencana Aksi, yang kemudian menjadi keputusan Bupati Kuningan. 8.
Formalisasi melalui keputusan Bupati. Proses konsolidasi para pihak di Kabupaten Kuningan diperkuat dengan Surat Keputusan Bupati Kuningan SK Nomor 522.81/KPTS.251-Dishutbun/2005 tanggal
11 Juli 2005
tentang Pembentukan Tim Pengkajian Taman Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan SK tersebut Tim yang telah terbentuk dibagai kedalam 3 (tiga) kelompok Kerja (Pokja).
Pokja I bertugas mengkaji kebijakan,
Pokja II bertugas membentuk format kelembagaan dan mekanismenya dan Pokja III bertugas menyiapkan konsep penataan zonasi. Proses penyelesaian konflik yang telah dilakukan, merupakan upaya untuk mencapai konsensus.
Menurut Fisher (2005), ada 3 tahap untuk
mencapai konsensus yaitu pra-negosiasi, negosiasi, dan pasca negosiasi. Apabila mengacu pada teori Fisher (2005), maka proses pra-negosiasi yang telah dilakukan mencakup langkah 1 sampai dengan 3; tahap negosiasi adalah langkah 4, 5, 6 dan 7; dan tahap pasca negosiasi adalah langkah 8. Namun, sebenarnya langkah yang dilakukan untuk setiap tahap, tidak seratur persen sesuai dengan teori Fisher (2005).
Langkah pra-negosiasi
menurut Fisher mencakup (a) memulai inisiatif, (b) menentukan keperwakilan, (c) menyusun aturan main dan agenda bersama, dan (d) pencarian fakta bersama.
Apabila dilihat dari kegiatan yang dilakukan dalam tahap pra-
84
negosiasi, maka terlihat bahwa ada dua pihak yang terlibat.
Berbeda dengan
Fisher (2005), di dalam pelaksanaan pra-negosiasi dalam kasus perubahan status Gunung Ciremai dilakukan secara sepihak. Proses mencari kejelasan informasi dan konflik yang terjadi, analisis stakeholder, dan persiapan negosiasi, dilakukan oleh LPI PHBM dan Para Penggiat PHBM. Pihak yang akan diajak berunding, yaitu Departemen Kehutanan tidak dilibatkan. Pada pelaksanaannya,
proses
yang
dilakukan
sepihak
ini
cukup
berhasil
mempersiapkan Para Penggiat PHBM dalam bernegosiasi dengan Departemen Kehutanan. Pada tahap negosiasi, Fisher (2005) menyebutkan ada 5 kegiatan yang dilakukan, yaitu (a) menemukan pilihan yang saling menguntungkan, (b) mengemas kesepakatan, (c) memproduksi kesepakatan, (d) mengikat para pihak untuk berkomitmen, dan (e) ratifikasi. Sementara itu, dalam pelaksanaan negosiasi dilakukan 3 kegiatan, yaitu persiapan negosiasi,
mendiskusikan
pilihan-pilihan solusi dan menyusun scenario, melaksanakan negosiasi, serta konsolidasi stakeholder di Kabupten Kuningan. Apabila dibandingkan antara pelaksanaan negosiasi dengan teori negosiasi Fisher (2005), maka ada kesesuaian kegiatan yaitu kegiatan menemukan pilihan yang saling menguntungkan, mengemas kesepakatan, dan memproduksi kesepakatan, serta kegiatan untuk mengikat para pihak berkomitmen dalam melaksanakan kesepakatan. Namun tidak ada kegiatan ratifikasi. Pada tahap pasca negosiasi, Fisher (2005) menyatakan ada 3 kegiatan yang dilakukan, yaitu mencari keterkaitan
kesepakatan dengan kebijakan
formal, monitoring dan menegosiasikan kembali kesepakatan, jika diperlukan. Yang dilakukan dalam tahap pasca negosiasi adalah internalisasi.
Proses
internalisasi dilakukan dengan mendorong keluarnya SK Bupati Kuningan untuk melegitimasi kesepakatan yang telah dibuat. Berdasarkan pelaksanaan negosiasi dalam kasus perubahan status kawasan hutan Gunung Ciremai, maka dapat disimpulkan bahwa hasil negosiasi cukup berhasil, tetapi pelaksanaan hasil negosiasi ternyata kurang berhasil. Apabila kenyataan tersebut dibandingkan dengan teori Fisher (2005), 85
maka beberapa hal yang penting dilakukan adalah keterlibatan kedua belah pihak sedari awal negosiasi, ratifikasi hasil negosiasi, monitoring pelaksanaan negosiasi, serta menegosiasikan kembali kesepakatan. Keterlibatan para pihak yang bernegosiasi sedari awal tidak dilakukan oleh Para Penggiat PHBM. Pada tahap negosiasi tampaknya hal itu tidak menjadi masalah, karena proses negosiasi ternyata membawa hasil yang cukup baik. Namun apabila dilihat secara keseluruhan, terutama pasca negosiasi dan pelaksanaan hasil negosiasi, maka tidak terlibatnya kedua pihak sejak awal mungkin menjadi penyebab hasil negosiasi sulit untuk dilaksanakan.
Oleh
karena itu apabila akan dilaksanakan negosiasi ulang, maka proses pranegosiasi dari Fisher (2005) lebih baik diikuti. Ratifikasi hasil atau kesepakatan yang dibuat perlu dilakukan, antara lain dalam bentuk penanda tanganan dokumen kesepakatan oleh Departemen Kehutanan dan Bupati Kuningan. Proses ratifikasi juga harus memasukkan kegiatan sosialisasi hasil kesepakatan yang diratifikasi, baik kepada pengelola TN Gunung Ciremai, maupun stakeholder di Kuningan termasuk masyarakat. Monitoring
pelaksanaan
kesepakatan
yang
tidak
dilakukan
menyebabkan pengingkaran hasil kesepakatan dilakukan tanpa ada sangsi, dan tanpa ada upaya untuk memperbaiki penyimpangan tersebut. Monitoring perlu dilakukan oleh kedua belah pihak, dengan menyepakati kriteria dan indikator yang akan digunakan dalam monitoring. Peluang untuk menegosiasikan ulang kesepakatan harus tetap dibuka. Hal ini yang tidak dilakukan dalam pelaksanaan negosiasi di lapangan. Akibatnya, hasil negosiasi menjadi tidak berarti dan tidak berjalan. Apabila diperlukan, proses negosiasi ulang dapat mengundang pihak ketiga yang disepakati.
Pembelajaran dari Proses Penyelesaian Konflik Proses penyelesaian konflik dalam 8 langkah merupakan proses yang dihasilkan dari proses riset aksi dan menghasilkan beberapa pembelajaran (lessons learned). Pembelajaran pertama, dalam analisis stakeholder, selain memahami siapa saja pihak yang berkepentingan dan apa kepentingan serta 86
bagaimana pengaruh mereka, maka analisis stakeholder juga mengidentifikasi kekuatiran pihak lawan dan bagaimana mengantisipasinya.
Kedua, dalam
proses analisis stakeholder tidak boleh memunculkan sikap saling menyalahkan tetapi mencari kesamaan yang bisa ditindak lanjuti. Ketiga, kesamaan bisa diidentifikasi ketika para pihak mau mendiskusikan tujuan dan bukannya posisi. Keempat, dalam proses negosiasi harus menemukan orang yang tepat dan bisa mengambil keputusan sehingga proses dapat dilakukan lebih cepat. Kelima mengantisipasi kemungkinan hasil negosiasi dengan menyiapkan berbagai pilihan solusi yang mungkin dilakukan.
Keenam, formalisasi hasil
negosiasi melalui keputusan Bupati dapat melegitimasi proses konsolidasi para pihak. Pembelajaran yang diperoleh dari proses penyelesaian konflik sebenarnya merupakan sikap kolaboratif. Sikap kolaboratif ini menjadi penting dalam mengembangkan kolaborasi dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai.
Tingkat Kolaborasi Kolaborasi yang terjadi di Taman Nasional Gunung Ciremai berdasarkan Borrini-Fayerabend (1996) berada pada tahap yang berbeda-beda, berdasarkan tingkatan dan para pihak yang berinteraksi. Kolaborasi yang cukup sukses terjadi di tingkat desa, khususnya di Desa Pajambon yang berhasil membuat kesepakatan kerjasama dengan pengelola TN Gunung Ciremai. Kesepakatan berisi tentang pengelolaan obyek wisata air terjun Cilengkrang, termasuk pembagian tugas, tanggung jawab dan wewenang, sampai kepada pembagian keuntungan. Menurut BorriniFayerabend (1996), kondisi tersebut menunjukkan kolaborasi yang cukup maju karena telah berada pada tahap “Berbagi otoritas dan tanggung jawab dalam bentuk formal”. Contoh di Desa Pajambon menunjukkan bahwa pengelola TN Gunung Ciremai telah mengubah peran dari pengawasan penuh oleh pengelola menjadi kerjasama antara pengelola TN Gunung Ciremai dengan masyarakat dalam mengontrol
sumberdaya
alam
bahkan
dalam
beberapa
hal
telah
mendelegasikan sebagian pengawasan kepada stakeholder. 87
Dalam konteks kerjasama antara pengelola TN Gunung Ciremai dengan masyarakat, telah dilakukan upaya mencari kesepakatan atau konsensus tentang isu-isu yang relevan, yaitu obyek wisata yang akan dikelola dan lahan yang sudah digarap oleh masyarakat dengan system agroforestri.
Hal ini
menggambarkan bahwa konsensus yang ingin dicapai terkait dengan akses masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam di dalam kawasan TN Gunung Ciremai. Sementara itu, dalam konteks pembagian otoritas dan tanggung jawab, kolaborasi yang telah berjalan di Desa Pajambon telah melalui tahap negosiasi. Pada tahap negosiasi ini dibahas dengan lebih detail tentang sejauh mana akses masyarakat yang bisa disepakati, baik untuk obyek wisata maupun lahan agroforestri. Obyek wisata alam berupa air terjun bisa disepakati tanpa perdebatan yang terlalu panjang. Hal ini disebabkan karena masyarakat telah berhasil menunjukkan kapasitas dan pengalamannya dalam mengelola obyek wisata ini. Kedua, obyek air terjun merupakan bagian dari jasa lingkungan berupa wisata, yang juga diperbolehkan untuk dikelola sesuai dengan peraturan perundangundangan tentang konservasi. Di sisi lain, pemanfaatan lahan berupa agroforestri yang terletak di sepanjang jalan setapak menuju obyek wisata air terjun, diperdebatkan cukup panjang.
Hal ini disebabkan pemanfaatan lahan di dalam kawasan taman
nasional tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang konservasi, bahkan cenderung untuk dilarang. Selain itu, jenis tanaman yang ditanam melalui system agroforestri lebih banyak tanaman buah-buahan yang dikombinasikan dengan tanaman palawija. Jenis tanaman inilah yang menjadi keberatan pengelola TN Gunung Ciremai.
Pihak pengelola TN Gunung
Ciremai lebih menginginkan tanaman endemik sebagai pengganti tanaman buah-buahan.
Akhirnya masyarakat berhasil meyakinkan bahwa tanaman
buah-buahan bisa menjadi penunjang obyek wisata karena dapat dimanfaatkan pula oleh pengunjung, dan pohon buah-buahan juga berfungsi untuk melindungi tanah dari erosi dan menjaga fungsi tata air. Sedangkan tanaman
88
palawija secara perlahan-lahan akan diganti dengan empon-empon dan tanaman lain yang tahan naungan yang juga bernilai ekonomi. Negosiasi akhirnya menyepakati bahwa tanaman yang ditanam melalui system agroforestri dapat diterima dengan menyatakan bahwa tanaman tersebut adalah tanaman penunjang wisata. Selain itu negosiasi juga membahas tentang pembagian tugas, tanggung jawab dan wewenang, sampai kepada pembagian keuntungan. Kondisi ini semakin memperjelas bahwa tahap kolaborasi di Desa Pajambon berada pada tahap “Berbagi otoritas dan tanggung jawab dalam bentuk formal”. Hal ini menarik karena contoh kolaborasi yang dibangun di Desa Pajambon ternyata tidak diikuti dengan pengembangan kolaborasi di desa-desa lain. Dan bahkan perkembangan terakhir (Maret 2011), pengelola TN Gunung Ciremai menghendaki agar kesepakatan yang dibangun diubah menjadi Ijin Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Dengan demikian kelompok masyarakat harus mengikuti prosedur untuk memperoleh Ijin tersebut. Masyarakat keberatan dengan usulan dari pengelola TN Gunung Ciremai, karena pihak yang berhak meminta ijin adalah perorangan, bukan kelompok tani atau koperasi. Ketua kelompok pengelola ekowisata menolak karena selama ini perjanjian sudah diusulkan, dibahas dan dinegosiasikan secara berkelompok. Dengan demikian sudah ada kesepakatan dan pembagian tugas dengan anggota kelompok. Apabila permohonan ijin dilakukan hanya oleh perorangan, maka dikuatirkan anggota kelompok tidak akan merasa terlibat dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan ekowisata. Kolaborasi yang terjadi di tingkat kawasan diharapkan dapat membangun kesepakatan tentang kerjasama para pihak untuk mengelola seluruh kawasan TN Gunung Ciremai secara kolaboratif.
Kegiatan yang
dilakukan adalah mendorong konsultasi public untuk memberi masukan terhadap Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai.
Masukan dari hasil
konsultasi public memang dicatat tetapi tidak dijamin menjadi perbaikan Rencan Pengelolaan TN Gunung Ciremai.
Satu isu yang masih menjadi
persoalan adalah PHBM dalam konteks pemanfaatan kawasan berbasis lahan. Belum tuntasnya isu ini menunjukkan bahwa proses kolaborasi yang dibangun 89
baru pada tahap mencari consensus, dengan demikian proses selanjutnya tidak bisa berjalan. Isu pemanfaatan kawasan berbasis lahan sesungguhnya juga menjadi persoalan ketika bicara kolaborasi di tingkat desa. Desa Pajambon berhasil mencapai kesepakatan karena obyek kerjasama adalah wisata air terjun, bukan pemanfaatan lahan. Sementara itu Desa Seda dan Trijaya mengusulkan PHBM berbasis lahan. Kegiatan kolaborasi baik di tingkat desa maupun tingkat kawasan akan lebih berkelanjutan apabila masalah akses masyarakat untuk memanfaatkan lahan di dalam kawasan TN Gunung Ciremai bisa dituntaskan.
Masalah
pemanfaatan berbasis lahan merupakan akar konflik yang diidentifikasi sejak awal dan sempat dianggap tuntas ketika keluar Surat Dirjen PHKA pada tahun 2005, yang mengakui adanya PHBM. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, ternyata Surat Dirjen PHKA ini masih belum memiliki kekuatan untuk mendorong pengelola Balai TN Gunung Ciremai untuk mengakomodir PHBM. Perlu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya Peraturan Menteri Kehutanan bahkan Peraturan Pemerintah. Namun, pada waktu itu belum ada peraturan yang bisa menjadi payung hukum yang bisa digunakan.
Pengelolaan TN Gunung Ciremai di Masa Depan Pengelola TN Gunung Ciremai telah menunjukkan langkah-langkah kolaborasi dengan mengembangkan desa-desa konservasi dan membentuk Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai.
Kolaborasi yang
dilaksanakan akan lebih berarti apabila dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Mengubah paradigm pengelolaan Taman Nasional, dari Preservatism menjadi Human Welfare Ecology. Perubahan paradigm ini harus diikuti oleh kemampuan atau kapasitas pengelola TN Gunung Ciremai untuk tidak hanya mengelola ekosistem tetapi juga mengelola isu-isu sosial yang selama ini diabaikan. Selain itu, pelaksanaan paradigm Human Welfare Ecology juga menuntut keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan.
90
2.
Membuka ruang partisipasi publik dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai. Hal ini dapat dilakukan dengan mengakomodir hak masyarakat untuk dapat memanfaatkan kebun campuran yang berada di dalam kawasan TN Gunung Ciremai. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah melakukan negosiasi ulang tentang kesepakatan yang telah dibuat dan dituangkan dalam Surat Dirjen PHKA No. S.56/IV-KK/2005. Hal ini dapat dilakukan, sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memberikan peluang bagi masyarkat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Taman Nasional. Dalam Pasal 35 PP No. 28 tahun 2011 tentang Pemanfaatan Taman Nasional disebutkan pada ayat (1) bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemanfaatan tradisional. Pada ayat (2) disebutkan yang dimaksud dengan pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Selanjutnya dalam Pasal 49 tentang Pemberdayaan Masyarakat disebutkan pada ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan KSA atau KPA.
Pada ayat (3) disebutkan bahwa
Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui (a) pengembangan desa konservasi, (b) pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam; dan (c) fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.
91