perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Saat penulisan hukum ini dibuat, kasus sengketa antara Churchill Mining Plc dengan Pemerintah Republik Indonesia statusnya masih merupakan on going case atau dalam ICSID dikenal dengan pending case, terkait dengan kasus yang masih berstatus on going case, dokumen yang menyangkut kasus tersebut belum dipublikasikan untuk umum. “Under several arbitration systems the existence of a dispute, its documents and pleadings, and often its decisions, are not made public. This situation is due to the fact that the investor-State dispute settlement system is based on international commercial arbitration, which came into existence as a tool for the settling of international commercial disputes between private parties, mainly on technical legal grounds not involving public policy issues” (United Nations, 2005 : 22). Dari hasil penelitian yang Penulis lakukan, Penulis mendapatkan kronologis kasus sengketa antara Churchill Mining Plc dengan Pemerintah Republik Indonesia dari surat yang dikirimkan oleh Churchill Miining kepada Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, dalam perihal untuk permohonan perlindungan hukum bagi Churchill Mining Plc. Berikut kronologis antara Churchill Mining Plc dengan Pemerintah Republik Indonesia: (http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita1042 .pdf) a. Tanggal 26 Februari 2007, Dinas Pertambangan Kutai Timur menerbitkan laporan yang menyimpulkan bahwa wilayah kuasa pertambangan yang dimohon perusahaanperusahaan Ridlatama adalah wilayah “terbuka” dan tidak tercakup dalam izin (usaha pertambangan) lain.
Laporan tersebut selanjutnya menyimpulkan bahwa izin-izin
usaha pertambangan milik pemegang kuasa pertambangan sebelumnya atas wilayah dimaksud (PT Kaltim Nusantara Coal, PT Nusantara Wahau Coal, PT Batubara Nusantara Kaltim), yaitu beberapa perusahaan nasional milik Nusantara Group (selanjutnya disebut “Nusantara”), telah habis masa berlakunya tanggal 10 Maret 2006. b. Tanggal 24 Mei 2007, kira-kira tiga bulan setelah pemerintah daerah mengumumkan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah terbuka dan tersedia, Bupati Kutai Timur, commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bapak Awang Faroek Ishak, menerbitkan dua izin usaha pertambangan (Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum) kepada perusahaan nasional milik Ridlatama Group yaitu: 1) PT. Ridlatama Trade Powerindo (“RTP”); 2) PT. Ridlatama Tambang Mineral (“RTM”); dan pada tanggal 29 November 2007, kira-kira sembilan bulan setelah pemerintah daerah mengumumkan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah terbuka dan tersedia, Bupati Kutai Timur, Bapak Awang Faroek Ishak, menerbitkan lagi dua izin usaha pertambangan (Kuasa Pertambangan penyelidikan Umum) kepada perusahaan nasional milik Ridlatama Group yaitu: 1) PT. Investmine Nusa Persada (“INP”); 2) PT. Investama Resources (“IR”); Keempat kuasa pertambangan yang saling berdekatan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan Ridlatama mencakup wilayah seluas 35.000 hektar di Kabupaten Kutai Timur. c. Atas dasar keterangan, baik dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur maupun dari Dinas Pertambangan Kutai Timur tersebut, yang menyatakan bahwa wilayah yang tercakup dalam izin usaha pertambangan perusahaan-perusahaan Ridlatama tidak tercakup dalam izin (usaha pertambangan) lain, Churchill mengambil alih 75% manfaat dari izin-izin yang dimiliki Perusahaan-perusahaan Ridlatama. d. Churchill kemudian menggalang dana besar dari para investor internasional dan membiayai program eksplorasi besar di wilayah kuasa pertambangan perusahaanperusahaan Ridlatama tersebut. e. Selama masa program eksplorasi Kutai Timur, perusahaan-perusahaan Ridlatama telah mengajukan permohonan peningkatan izin usaha pertambangan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Tanggal 8 April 2008, Bupati Kutai Timur membuat Surat Keterangan bagi perusahaan-perusahaan Ridlatama tersebut yang secara resmi mengakui keabsahan izin yang diterbitkan bagi masing-masing perusahaan tersebut. Tanggal 9 April 2008, Bupati Kutai Timur menyetujui peningkatan Kuasa commitmenjadi to user Kuasa Pertambangan Eksplorasi Pertambangan Penyelidikan Umum 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perusahaan-perusahaan
Ridlatama
dan
menerbitkan
surat
keputusan
terkait
peningkatan izin-izin tersebut. f. Tanggal 27 Mei 2008, Churchill mengumumkan secara terbuka bahwa perusahaan telah menemukan cadangan batubara sebesar sekitar 150 juta ton dan masih mengharapkan penemuan kandungan yang lebih besar. Melalui eksplorasi lebih jauh selama dua tahun kemudian terbukti adanya kandungan batubara sebesar 2.7 milyar ton. g. Tanggal 17 Juli 2008, hanya tujuh pekan setelah Churchill mengumumkan penemuannya di Kutai Timur dan hanya empat belas pekan setelah Bupati Kutai Timur menyetujui peningkatan izin dari Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum menjadi Kuasa Pertambangan Eksplorasi milik perusahaan-perusahaan Ridlatama dan tanpa sepengetahuan Ridlatama Group (dan dengan demikian Churchill), Bupati Kutai Timur memberikan persetujuan perpanjangan izin usaha pertambangan Nusantara yang belum diperpanjang (yaitu izin yang sudah tidak berlaku sejak tanggal 10 maret 2006). Wilayah Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang diberikan kepada Nusantara tumpang tindih seluas 24.467 hektar dengan wilayah yang dicakup dalam Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan Ridlatama. h. Tanggal 7 Januari 2009 PT. Nusantara membuat laporan polisi (No. Pol: LP/K/04/I/2009/SPK) tentang dugaan pemalsuan penerbitan izin usaha pertambangan perusahaan-perusahaan Ridlatama untuk Proyek Batubara Kutai Timur. Oleh sebab itulah, Kepolisian Resor Kutai Timur melakukan penyidikan (Surat Perintah Penyidikan No. Pol.: SP.Sidik/39/I/2009/Reskrim tanggal 7 Januari 2009) untuk membuktikan tuduhan Nusantara tersebut. Kemudian Kepolisian Resor Kutai Timur menyampaikan hasil penyidikannya sebagai berikut. 1) Tanggal 4 Mei 2009, Kepolisian Resor Kutai Timur menyampaikan hasil penyidikan
kepada
Kepala
Kejaksaan
Negeri
Sangatta
(Surat
SP3/35/V/2009/Reskrim) bahwa tidak ditemukan tindak pidana dan terhitung tanggal 4 Mei 2009 penyidikan sudah dihentikan. 2) Tanggal 6 Mei 2009, Kepolisian Resor Kutai Timur menyampaikan hasil penyidikan
kepada
Drs.
Herawan Krida commit to user 60
Asmara
(Nusantara)
(surat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SP2HP/33/V/2009/Reskrim) bahwa tidak terdapat tindak pidana dan bahwa penyidikannya sudah dihentikan. 3) Tanggal 28 Desember 2009, Kepolisian Resor Kutai Timur menyampaikan hasil penyidikan
kepada
Direksi
perusahaan-perusahaan
Ridlatama
(surat
B/2276/XII/2009/Reskrim) bahwa tidak ditemukan adanya tindak pidana pemalsuan atau penipuan dan bahwa seluruh izin usaha pertambangan dimaksud terdaftar dengan benar pada Direktorat Tambang dan Batubara. i. Tanggal 23 Februari 2009, Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berjudul “Pengelolaan Pertambangan Batubara Tahun Anggaran 2006 dan 2007” juga mengindikasikan bahwa izin yang dimiliki Perusahaan-perusahaan Ridlatama adalah palsu. Menanggapi dugaan ini, Bupati Kutai Timur memerintahkan Kepala Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Kutai Timur untuk melakukan pemeriksaan atas indikasi tersebut. Menanggapi temuan dalam laporan BPK tersebut, tanggal 18 Maret 2010 Kepala Badan Pengawas Daerah Kutai Timur memberikan laporan atas pemeriksaan masalah tersebut. Laporan Bawasda tersebut menyimpulkan bahwa: 1) izin-izin yang dimiliki Perusahaan-perusahaan Ridlatama adalah “sah dan dapat dipertanggung jawabkan”; 2) bukti-bukti menguatkan bahwa izin-izin Nusantara atas wilayah yang sekarang dicakup izin-izin milik Perusahaan-perusahaan Ridlatama sudah kadaluwarsa; dan 3) konflik nyata timbul akibat Bupati Kutai Timur menerbitkan persetujuan perpanjangan izin Nusantara yang sudah kadaluwarsa tersebut. j. Tanggal 27 Maret 2009 (setelah diumumkannya revisi Undang-undang Republik Indonesia tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada bulan Januari 2009), Bupati Kutai Timur, Isran Noor, menyetujui perubahan dan peningkatan empat KP Eksplorasi milik Perusahaan-perusahaan Ridlatama sesuai dengan format baru yaitu menjadi IUP Eksploitasi: 1) IUP
Eksploitasi
PT.
Ridlatama
Tambang
Mineral
(PT
RTM)
Powerindo
(PT
RTP)
No.188.4.45/118/HK/III/2009 (27 Maret 2009); 2) IUP
Eksploitasi
PT.
Ridlatama
Trade
No.188.4.45/119/HK/III/2009 (27 Maret 2009); commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) IUP Eksploitasi PT. Investama Resources (PT IR) No.188.4.45/116/HK/III/2009 (27 Maret 2009); 4) IUP
Eksploitasi
PT.
Investmine
Nusa
Persada
(PT
INP)
No.188.4.45/117/HK/III/2009 (27 Maret 2009) Bupati Kutai Timur menerbitkan surat keputusan izin usaha pertambangan eksploitasi tersebut di saat pemeriksaan Bawasda maupun penyidikan polisi masih berlangsung. k. Tanggal 10 Mei 2010, Churchill mendapatkan, dari Credit Suisse Cabang Singapura, foto kopi empat keputusan (tertanggal 4 Mei 2010) yang harusnya ditanda tangani Bupati Kutai Timur yang mencabut IUP Eksploitasi atas nama Perusahaan-perusahaan Ridlatama. Tanggal 14 Mei 2010 perwakilan Perusahaan perusahaan Ridlatama memberitahukan Churchill bahwa Bupati Kutai Timur mengkonfirmasi bahwa IUP Eksploitasi yang sudah diterbitkannya untuk perusahaan-perusahaanRidlatama adalah sah dan bahwa dirinya tidak tahu menahu asal dari dokumen yang foto kopinya diberikan kepada Churchill tersebut. Setelah Bupati Kutai Timur menegaskan keabsahan izin-izin milik Perusahaan-perusahaan Ridlatama, Churchill kemudian menanyakan perihal tersebut kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kenyatakan bahwa tidak ada catatan penerimaan keputusan pencabutan dari Bupati Kutai Timur pada Kementerian ESDM. Dengan demikian, izin-izin dimaksud masih sah terdaftar (pada Kementerian ESDM). l. Tanggal 27 Agustus 2010, perusahaan-perusahaan Ridlatama mengambil langkah hukum pada Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda untuk memohon agar surat keputusan pencabutan tertanggal 4 Mei 2010 tersebut dinyatakan tidak sah karena proses pencabutan izin-izin dimaksud tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku. m. Tanggal 27 Januari 2011, Kepala Bagian Hukum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan kesaksian dibawah sumpah kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda bahwa izin-izin milik Perusahaan-perusahaan Ridlatama masih tercatat secara sah dan bahwa, pada saat pengambilan kesaksiannya tersebut, tidak pernah ada surat keputusan pencabutan izin dimaksud yang disampaikan kepada Kementerian ESDM. n. Selama proses hukum pada Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda, perusahaanperusahaan Ridlatama menemukan adanya commit to Surat user No. S.10/Menhut-III/RHS/2010 dari 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menteri Kehutanan kepada Bupati Kutai Timur tertanggal 21 April 2010 tentang dugaan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Ridlatama dan dengan demikian perusahaan-perusahaan Ridlatama tersebut telah melakukan tindak pidana dalam wilayah hutan. Dugaan dalam surat tanggal 21 April 2010 disebutkan timbul berdasarkan pengaduan dari Suku Dayak.
Namun, ketika
mengetahui hal ini, Kepala Suku Dayak, Ajang Linjau, mengirim surat yang dilegalisir kepada Menteri Kehutanan yang menyangkal pernah mengirim surat pengaduan atas Perusahaan-perusahaan Ridlatama dan lebih banyak menjelaskan bahwa Perusahaanperusahaan Ridlatama tidak pernah melakukan penambangan liar di wilayah tersebut. Surat tanggal 21 April 2010 tersebut juga menyatakan bahwa surat pengaduan Suku Dayak tanggal 19 April 2010 sudah “ditindaklanjuti dengan Identifikasi Khusus berdasarkan Surat Tugas Inspektur Jenderal Kementerian Kehutanan Nomor PT.53/IIISET.1RHS/2009 tanggal 12 Maret 2010 untuk pemeriksaan dugaan kegiatan penambangan di wilayah hutan.” Churchill mencatat bahwa “Surat Tugas” tersebut tertanggal 12 Maret yaitu lebih dari satu bulan sebelum surat pengaduan dari Suku Dayak dikirim yaitu tanggal 19 April 2010. Dalam suratnya tanggal 21 April 2010 tersebut, Menteri Kehutanan juga meminta Bupati Kutai Timur membatalkan Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan Penyelidikan Umum atas nama Perusahaan-perusahaan Ridlatama yaitu PT Ridlatama Trade Power Indo dan PT Investama Resources dengan alasan bahwa perusahaan-perusahaan ini “diduga” telah melakukan tindak pidana di wilayah hutan. Kedua perusahaan Ridlatama yang disebutkan pada paragraf di atas (yaitu PT IR dan PT RTP) yakin Bupati Kutai Timur tidak pernah benar-benar melakukan pemeriksaan atas kebenaran dugaan yang dilansir sebelum mencabut izinizin mereka. Selanjutnya, perusahaan-perusahaan Ridlatama beranggapan bahwa tanpa pemeriksaan atas kebenaran tuduhan terhadap kedua perusahaan tersebut, Bupati Kutai Timur memakai tuduhan sebagai alasan pencabutan izin milik keempat Perusahaanperusahaan Ridlatama tersebut. Perusahaan-perusahaan Ridlatama menganggap pencabutan izin-izin yang mereka miliki dengan cara sebagaimana disebutkan di atas merupakan pelanggaran “azas praduga tak bersalah” yang dijunjung oleh hukum Indonesia. commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
o. Tanggal 14 Februari 2011, perusahaan-perusahaan Ridlatama menemukan lagi surat keputusan lain tertanggal 7 Oktober 2010 yang diterbitkan oleh Bupati Kutai Timur yang juga mengenai pencabutan izin-izin mereka. (Surat Keputusan Bupati No 500/548/EKO1 yang dirujuk pada Peta Informasi Wilayah Pertambangan). Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam paragraf 'm' di atas, Kepala Bagian Hukum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah memberikan kesaksian dibawah sumpah di Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda bahwa Kementerian ESDM tidak pernah menerima kedua surat keputusan tersebut sebagaimana disyaratkan oleh tata laksana administrasi untuk memberlakukan (surat keputusan) pencabutan secara sah. p. Tanggal 3 Maret 2011, Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda memutuskan bahwa Bupati Kutai Timur tidak bertindak menyalahi prosedur terkait ketika menerbitkan surat keputusan pencabutan tertanggal 4 Mei 2010. q. Tanggal 9 Maret 2011 perusahaan-perusahaan Ridlatama mengajukan permohonan banding atas keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta karena kami tidak dapat menerima Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda.
Namun, tanggal 8 Agustus 2011
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Samarinda. r. Tanggal 26 September 2011 perusahaan-perusahaan Ridlatama
mengajukan
permohonan kasasi atas keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia karena kami tidak dapat menerima keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang menguatkan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda. Saat ini Keputusan Mahkamah Agung belum terbit. s. Tanggal 3 Februari 2012 Lembaga Adat Besar Dayak Kenyah di Kecamatan Busang melalui suratnya No. 03/LADK/LL-BSG/KT/II/2012 telah menjelaskan kembali kepada Menteri Kehutanan bahwa masyarakat setempat tidak pernah mengadukan kegiatan negatif yang dilakukan oleh Perusahaan-perusahaan Ridlatama, dengan menyatakan hal berikut:
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Masyarakat setempat tidak pernah melaporkan kegiatan melanggar hukum yang memang tidak pernah dilakukan oleh manajemen Proyek Batubara Kutai Timur baik di kawasan kehutanan maupun non-kehutanan; 2) Masyarakat setempat menganggap laporan tersebut adalah fitnah; 3) Masyarakat setempat mengakui dan menjelaskan bahwa pimpinan East Kutai Coal Project (EKCP) selalu melakukan koordinasi dan kerjasama dengan setiap komponen masyarakat di wilayah kerja East Kutai Coal Project (EKCP); 4) Masyarakat akan tetap mendukung Perusahaan-perusahaan Ridlatama beserta pimpinannya. t. Tanggal 5 Maret 2012, perusahaan-perusahaan Ridlatama menerima surat dari Menteri Kehutanan, Bapak Zulkifli Hasan, yang dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang beberapa pernyataan yang dibuat dalam surat beliau tanggal 21 April 2010 kepada Bupati Kutai Timur. Dua hal yang dijelaskan sebagai berikut. 1) Kegiatan ekplorasi Ridlatama Group dilakukan sebelum IKKPH diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan.
Akan tetapi IUP yang diterbitkan oleh Bupati Kutai
Timur mencantumkan lokasi izin-izin milik keempat Perusahaan-perusahaan Ridlatama berada dalam Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Timur; dan 2) Keputusan Bupati Kutai Timur untuk mencabut izin usaha pertambangan Perusahaan-perusahaan Ridlatama hanya berdasarkan Surat Menteri Kehutanan tanggal 21 April 2010 adalah tidak tepat. Nampaknya Menteri Kehutanan ingin mengembalikan pertanggung-jawaban masalah tersebut kepada Bupati Kutai Timur. (Lampiran 1) Demikian kronologis versi Churchill Mining yang dicantumkan dalam surat kepada presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, dalam perihal untuk permohonan perlindungan hukum bagi Churchill Mining Plc, dalam kronologis tersebut Churchill berpendapat bahwa apabila izin-izin pertambangan milik Perusahaanperusahaan Ridlatama tidak benar, Bupati Kutai Timur tidak perlu mencabutnya tetapi cukup melaporkannya kepada Polisi. Churchill menganggap telah diperlakukan tidak adil. Selain kronologis diatas, Penulis juga mendapatkan kronologis pencabutan Izin Usaha
Pertambangan
PT.
Ridlatama yang commit to user 65
dijabarkan
sebagai
berikut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(http://merdekainfo.com/kajian-utama/item/482-churchill-klaim-batubara-di-hutanlindung) Perseteruan antara Churchill Mining dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang akhirnya berujung pada gugatan ke ICSID itu bermula dari dicabutnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dimiliki oleh Grup Ridlatama oleh Bupati Kutai Timur, Isran Noor. Pencabutan IUP itu bukan tanpa sebab, antara lain ditemukannya sejumlah kejanggalan dalam IUP yang dimiliki oleh Grup Ridlatama. Maka Bupati pun meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa sejumlah kejanggalan itu. BPK pada September 2008 melakukan audit atas IUP tahun 2006-2008 atas permintaan dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Hasil audit BPK yang diumukan tanggal 23 Februari 2009 menyimpulkan adanya empat IUP palsu yang dipegang oleh Grup Ridllatama. IUP palsu itu terungkap dari kejanggalan kode penomoran yang terbalik. Selain itu, pencabutan 4 IUP milik Ridlatama Grup yang disebut-sebut telah diakuisisi 75% sahamnya oleh Churchill, karena kepemilikan ke-4 IUP itu dianggap melanggar ketentuan dan peraturan yang berlaku. Diantaranya adalah penyelundupan hukum, dugaan pemalsuan dokumen, pelanggaran ketentuan kehutanan dengan melakukan kegiatan eksplorasi tanpa ijin Menteri Kehutanan. Berdasarkan audit investigasi ditemukan kejanggalan, antara lain IUP yang dipegang Grup Ridlatama tidak terdaftar di Dinas Pertambangan maupun Planologi Kabupaten Kutai Timur. Selain itu, wilayah kerja IUP yang diklaim Grup Ridlatama ternyata tumpang tindih dengan Nusantara Grup. Di lain pihak Nusantara Grup sudah mendapatkan izin perpanjangan IUP dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Departemen Kehutanan selaku pemegang kebijakan ternyata belum memberikan izin kepada Churchill Mining Plc untuk melakukan penambangan di kawasan hutan produksi. Sementara perusahaan yang diakuisisinya, PT. Ridlatama sudah beroperasi di atas kawasan hutan produksi terhitung sejak tahun 2008. Diduga, PT. Ridlatama memanfaatkan IUP itu untuk kegiatan pembalakan liar (illegal logging). Persoalan bertambah rumit, terkesan ada tumpang tindih antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya. Tumpah tindih itu yang dimanfaatkan Churchill menggugat ke Arbitrase Internasional. Karena, Churchill merasa benar, sebab pada tanggal 26 Februari 2007 Dinas Pertambangan Kutai Timur commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menerbitkan laporan yang menyimpulkan, wilayah kuasa pertambangan (KP) yang dimohon Grup Ridlatama merupakan wilayah terbuka dan tidak tercakup dalam izin usaha pertambangan lain. Laporan juga menyimpulkan, izin-izin usaha pertambangan milik pemegang KP sebelumnya, yaitu PT Kaltim Nusantara Coal, PT Nusantara Wahau Coal, dan PT Batubara Nusantara Kaltim dan beberapa perusahaan nasional milik Nusantara Group telah habis masa berlakunya sejak 10 Maret 2006. Namun pencabutan ke-4 IUP yang dimiliki oleh Grup Ridlatama juga bukan tanpa alasan. Berdasarkan hasil investigasi Tim dari Inspektorat Jenderal Kementrian Kehutanan yang diturunkan ke lapangan juga menemukan fakta, IUP berada di Kawasan Budidaya Kehutanan. Alhasil, ini tentu berakibat keluarnya rekomendasi Menteri Kehutanan agar ke-4 IUP milik Ridlatama itu dicabut tahun 2010. Churchill Mining Plc menggugat pemerintah Republik Indonesia untuk membayar biaya ganti rugi sebesar US$ 2 miliar atau sebesar Rp 18 triliun melalui International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) di Washington DC. Pemerintah Republik Indonesia yang turut digugat oleh Churchill Mining Plc antara lain adalah Presiden Republik Indonesia, Bupati Kutai Timur, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Kehutanan, Menteri Luar Negeri, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Hal yang mendasari gugatan Churchill Mining tersebut berdasarkan doktrin imputabilitas yang menyatakan bahwa suatu negara bertanggung jawab atas kesalahan yang ditimbulkan organnya, sebagaimana yang tercantum dalam buku yang ditulis oleh Huala Adolf (Huala Adolf, 2003 : 173). B. Pembahasan 1. Sengketa Investasi Pertambangan Antara Churchill Mining Plc Dengan Kabupaten Kutai Timur Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara Setelah menjabarkan kedua kronologis diatas, berikut ini merupakan tinjauan yuridis atas kasus sengketa investasi pertambangan antara Churchill Mining Plc dengan Kabupaten Kutai Timur ditinjau berdasarkan perspektif peraturan perundang-undangan yang pertama yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Undang-undang tersebut dijadikan dasar dan pedoman dalam kegiatan commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertambangan khususnya mineral dan batubara. Undang-undang tersebut disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2009 oleh Presiden Republik Indonesia, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara terdiri dari 26 bab dan 175 pasal. Apabila merujuk kepada undang-undang ini, terdapat beberapa pasal yang berhubungan dengan kasus sengketa antara Churchill Mining Plc dengan Pemerintah Republik Indonesia. Penulis akan mencoba menjabarkannya satu-persatu. 1.
Pasal 3 huruf f Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara Pasal ini merupakan poin yang dipertanyakan oleh pihak Churchill Mining Plc terkait dengan pencabutan IUP milik Ridlatama Group secara sepihak oleh Pemerintah
Daerah
Kutai
Timur.
Penjaminan
kepastian
hukum
dalam
penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara ini terkait dengan asas fair and equitable treatment or full protection and security. Asas ini lazim digunakan pada perjanjian investasi yang dituangkan dalam BIT maupun NAFTA. Tidak ada definisi yang pasti mengenai asas fair and equitable treatment ini sehingga pengertian mengenai asas ini masih menjadi perdebatan dan bahkan seringkali dijadikan alasan pelanggaran yang dilakukan oleh home country terhadap host country. Dalam buku yang berjudul Investor-State Disputes Arising From Investment Treaties: A Review tertulis “One of the most debated issues in arbitral disputes under investment agreements is the meaning of the standards of fair and equitable treatment. The fair and equitable treatment standard has been applied in BITs and NAFTA cases. Indeed, this standard has recently emerged as a significant ground for a finding of breaches of the investment agreement by the host country” (United Nations, 2005: 37). Jadi dikarenakan belum adanya definisi yang jelas tentang pengertian asas fair and equitable treatment ini, maka Churchill Mining Plc tidak bisa begitu saja mengatakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak dapat menjamin kepastian hukum investor asing di Indonesia dan melanggar asas fair and equitable treatment. commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut prinsip hukum internasional sendiri, “fair and equitable treatment is a recognized legal standard separate from the host country’s domestic laws”. Yang berarti asas fair and equitable treatment itu mengakui atau memiliki standarisasi hukum sendiri yang terpisah dari hukum domestik negara tuan rumah (George M. von Mehren, 2004 : 72). Definisi asas fair and equitable treatment berdasarkan yurisprudensi adalah sebagai berikut. Pertama dalam sengketa antara Tecnicas Medioambientales S.A v. United Mexican
States
(https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet/TecnicasMedio
ambientalesS.AvUnitedMexicanStates), pengadilan tersebut menitikberatkan pada pelanggaran terhadap asas fair and equitable treatment. Menurut hakim, definisi dari asas fair and equitable treatment sebagai berikut. ”The tribunal considered the fair and equitable provision as a principle of good faith conduct, adding that it required host countries to act in a manner that is consistent, totally transparent and free from ambiguity. Several administrative law principles were considered to be particularly relevant, most notably that laws must be applied that respect the purposes of those laws, and that decisions and permits cannot be arbitrarily revoked” (United Nations, 2005 : 39). Kedua dalam kasus sengketa Genin v. Republic of Estonia. Sengketa tersebut terjadi dikarenakan pencabutan izin Estonian Bank oleh pemerintah dimana pemegang saham terbesar adalah investor dari Amerika. Pemerintah digugat karena dianggap telah melanggar asas fair and equitable treatment.Pengadilan Genin tersebut menyatakan bahwa, “a violation could be established by acts showing willful neglect of duty, an insufficiency of action falling far below international standards, or even subjective bad faith”. Menurut pengadilan di Genin, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran apabila melakukan tindakan yang menunjukkan suatu kelalaian dalam melaksanakan tugas yang disengaja, tindakan yang jauh di bawah standar internasional, atau suatu itikad buruk yang subyektif. Dalam kedua putusan hakim terdahulu (yurisprudensi) terkait dengan definisi asas fair and equitable teratment tersebut terdapat kata-kata “…as a principle of good faith conduct…”, “…subjective bad faith.” dan “…in a manner that is consistent, totally transparent and free from ambiguity”. Itu berarti fair and equitable treatment didasarkan atas itikad baik serta perilaku yang konsisten, terbuka dan bebas dari ambiguitas.
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia telah melaksanakan itikad baik dan bebas dari ambiguitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ambigu adalah bermakna lebih dari satu (sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan); bermakna ganda. Maka untuk menghindari adanya penafsiran ganda, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas kegiatan penanaman modal dan pertambangan mineral dan batubara sehubungan dengan kegiatan investasi pertambangan yang dilakukan oleh Churchill Mining Plc di Indonesia. Peraturan perundang-undangan tersebut sudah secara jelas dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Segala sesuatu yang terkait dengan kegiatan penanaman modal dan penambangan mineral dan batubara terdapat pengaturannya dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga Pemerintah Indonesia menurut Penulis sudah menjalankan asas itikad baik dan bebas dari ambiguitas karena peraturannya sudah jelas dan tidak ada yang disembunyikan, semua orang dapat mengaksesnya di berbagai media termasuk internet. Seharusnya Churchill Mining Plc yang akan melakukan investasi pertambangan di Indonsia mempelajari mengenai peraturan terkait secara detail karena tentu saja peraturan tersebut akan mempengaruhi perlindungan hukum investasi mereka di Indonesia. Dalam definisi tersebut juga tercantum kata-kata “…and that decisions and permits cannot be arbitrarily revoked.” atau keputusan dan izin tidak dapat dicabut secara sewenangwenang. Pemerintah Daerah Kutai Timur mencabut IUP milik Ridlatama Group secara sepihak, namun hal tersebut tidak dilakukan tanpa alasan. Menurut Penulis, Churchill Mining Plc yang tidak melaksanakan asas itikad baik. Dalam melakukan kegiatan investasinya, Churchill Mining Plc tidak melakukan izin ke pemerintah daerah Kutai Timur dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, saat IUP milik Ridlatama Group dicabut, barulah muncul Churchill Mining Plc yang tidak jelas dari mana asalnya dan menimbulkan kebingungan bagi Pemerintah Daerah Kutai Timur maupun pemerintah pusat. Dari hal tersebut sudah terlihat bahwa Churchill Mining commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Plc tidak melaksanakan asas itikad baik dalam melakukan kegiatan investasinya di Indonesia. 2.
Pasal 8 ayat (1) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah: a. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah; b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; c. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; d. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara; e. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota; f. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota; g. pengembangan dan pemberdayan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; h. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal; i. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan eksploitasi kepada Menteri dan gubernur; j. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur; k. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan l. peningkatan
kemampuan
aparatur
pemerintah
penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan. commit to user 71
kabupaten/kota
dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 8 ayat (1) tersebut terkait dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Mengenai pembagian kewenangan ini telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota disebutkan bahwa pembagian urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota dibagi menjadi dua, yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Penjelasan mengenai urusan wajib dan urusan pilihan tersebut dijabarkan di dalam Pasal 7 Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan PemerintahanAntara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yaitu sebagai berikut.
(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. (2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pendidikan; b. kesehatan; c. lingkungan hidup; d. pekerjaan umum; e. penataan ruang; f. perencanaan pembangunan; g. perumahan; h. kepemudaan dan olahraga; i. penanaman modal; j. koperasi dan usaha kecil dan menengah; k. kependudukan dan catatan sipil; l. ketenagakerjaan;
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
m. ketahanan pangan; n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera; p. perhubungan; q. komunikasi dan informatika; r. pertanahan; s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,dan persandian; u. pemberdayaan masyarakat dan desa; v. sosial; w. kebudayaan; x. statistik; y. kearsipan; dan z. perpustakaan. (3) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. (4) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pertanian; c. kehutanan; d. energi dan sumber daya mineral; e. pariwisata; f. industri; g. perdagangan; dan h. ketransmigrasian. (5) Penentuan
urusan
pilihan
ditetapkan
commit to user 73
oleh
pemerintahan
daerah.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 7 ayat (4) tersebut dijelaskan bahwa urusan yang terkait dengan energi dan sumber daya mineral merupakan urusan pilihan pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota
yang
berpotensi
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah tersebut.
Energi dan sumber daya mineral juga termasuk urusan
pertambangan, sehingga terkait masalah pertambangan di Kabupaten Kutai Timur ini merupakan kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Kutai Timur karena peraturan yang menjelaskan mengenai kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota sudah jelas sebagaimana yang tercantum di Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
3.
Pasal 37 huruf a IUP diberikan oleh bupati/walikota apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) berada didalam satu wilayah kabupaten/kota; Pasal ini menyangkut kewenangan bupati/walikota dalam menerbitkan IUP. Pasal ini masih berkaitan dengan Pasal 8 ayat (1) udang-undang ini dan Pasal 7 Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana yang telah Penulis jelaskan diatas namun hanya lebih khusus mengatur mengenai kewenangan pemberian IUP saja.
4.
Pasal 93 ayat (1) Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain Dalam hal ini, yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah PT. Ridlatama yang diberikan pada tahun 2007 oleh Bupati Kutai Timur yang menjabat pada saat itu yaitu H. Awang Faroek Ishak. Bentuknya adalah Surat Keputusan Bupati Timur Nomor: 210/02.188.45/HK/V/2007 tentang Izin Usaha Pertambangan commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penyelidikan Umum. Ridlatama juga memiliki Surat Keputusan Bupati Kutai Timur Nomor:
37/02.188.45/HK/IV/2008
tentang
Pemberian
Kuasa
Pertambangan
Eksplorasi Atas Nama PT. Ridlatama Tambang Mineral yang diberikan oleh Bupati Kutai Timur yang menjabat saat itu yaitu H. Awang Faroek Ishak pada 9 April 2008. Dari keterangan tersebut diatas maka Churchill Mining Plc tidak berhak dan tidak dapat menggunakan IUP milik Ridlatama Group sebagai dasar hukum atas kegiatan investasi pertambangan yang dilakukan di Kabupaten Kutai Timur, apalagi menggugat Pemerintah Republik Indonesia atas dicabutnya IUP milik Ridlatama Group karena memang Churchill Mining sama sekali tidak ada hubungannya dengan IUP milik Ridlatama tersebut. Dalam lampiran kedua IUP tersebut juga terdapat sepuluh poin kewajiban pemegang IUP di Kabupaten Kutai Timur. Dari sepuluh poin kewajiban pemegang IUP tersebut terdapat dua poin yang berhubungan dengan sengketa ini, yaitu poin IV dan poin IX yang isinya adalah sebagai berikut. IV. Pemegang IUP yang bermaksud mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga/modal asing, perubahan komposisi saham, mengalihkan ijin sebagian maupun seluruhnya wajib memperoleh ijin tertulis dari Bupati Kutai Timur Cq. Kepala Dinas Pertambangan Kutai Timur. IX. Bupati Kutai Timur berwenang untuk membatalkan IUP walaupun masa berlakunya belum habis 1) Apabila usaha ini tidak memberikan hasil sebagaimana mestinya. 2) Apabila pemegang IUP tidak memenuhi ketentuan-ketentuan/kewajiban yang tercantum dalam surat keputusan ini. 3) Kelalaian atas ketentuan tersebut diatas mengakibatkan IUP ini berakhir menurut hukum. (Lampiran 2) Pertama, kita melihat poin IV tertulis bahwa Pemegang IUP yang bermaksud mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga/modal asing, perubahan komposisi saham, mengalihkan ijin sebagian maupun seluruhnya wajib memperoleh ijin tertulis dari Bupati Kutai Timur Cq. Kepala Dinas Pertambangan Kutai Timur. Dari informasi yang Penulis peroleh bahwa Pemerintah Kabupaten Kutai Timur baru mengetahui adanya Churchill Mining Plc pada tahun 2009, setelah perusahaan itu mengumumkan telah berinvestasi di sektor tambang dengan potensi cadangan commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
batubara terbesar kedua di Kutai Timur. Padahal perusahaan itu tidak pernah terdaftar di Dinas Pertambangan Kutai Timur. Isran Noor selaku Bupati Kutai Timur mengaku heran dengan gugatan dari Churchill kepada Pemkab Kutai Timur. Sebab, dalam catatannya, Churchill tidak pernah terdaftar berinvestasi di Kutai Timur. Bupati Kutai Timur menerbitkan IUP untuk Ridlatama Group, bukan Churchill Mining Plc. Isran Noor mengaku tidak pernah mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) untuk Churchill Mining Plc. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Bupati Kutai Timur dalam jumpa pers di Jakarta tertanggal 25 September 2012 lalu (http://regional.kompas.com/read/2012/09/25/19554276/bupati.kutai.timur.bantah.ter bitkan.IUP.kepada.Churchill). Kesimpulannya Ridlatama Group melakukan kerjasama dengan pihak ketiga yaitu Churchill Mining Plc tanpa adanya ijin tertulis dari Bupati Kutai Timur karena Bupati Kutai Timur pun tidak mengetahui adanya kegiatan investasi yang dilakukan oleh Churchill Mining di Kabupaten Kutai Timur. Kedua, menurut poin IX bahwa Bupati Kutai Timur berwenang untuk membatalkan IUP walaupun masa berlakunya belum habis apabila pemegang IUP tidak memenuhi ketentuan-ketentuan/kewajiban yang tercantum dalam surat keputusan ini. Merujuk kepada poin IV diatas maka menurut Penulis tindakan yang dilakukan oleh Bupati Kutai Timur mencabut IUP milik Ridlatama Group karena Ridlatama tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam IUP tersebut. Tindakan tersebut dilakukan karena ada dasar hukum yang jelas dan mengikat bagi para pihaknya, bukan merupakan tindakan sepihak seperti gugatan yang diajukan oleh Churchill Mining Plc terhadap Pemerintah Indonesia dan tidak melanggar asas fair and equitable treatment seperti yang sudah Penulis jelaskan sebelumnya.
5.
Pasal 119 huruf a dan huruf b IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atauIUPK serta peraturan perundang-undangan; b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pasal ini menunjukan kewenangan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota untuk mencabut IUP atau IUPK yang tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan dan telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut pasal ini yang menjadi dasar pencabutan IUP milik Ridlatama Group oleh Bupati Kutai Timur karena Ridlatama dianggap tidak dapat memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam IUP maupun peraturan perundang-undangan dan adanya indikasi Ridlatama telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara yaitu IUP yang dimiliki oleh Ridlatama Group adalah palsu. Terkait huruf a, pertama, Ridlatama dianggap melanggar ketentuan dalam kewajiban-kewajiban pemegang IUP di Kabupaten Kutai Timur seperti yang telah Penulis jabarkan sebelumnya, yaitu Ridlatama mengadakan kerjasama dengan pihak ketiga, dalam hal ini Churchill Mining Plc, tanpa adanya pemberitahuan secara tertulis kepada Bupati Kutai Timur Cq. Kepala Dinas Pertambangan Kutai Timur. Kedua, Ridlatama juga telah melanggar ketentuan dalam Pasal 93 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara seperti yang sudah Penulis jabarkan juga di poin sebelumnya bahwa pemegang IUP dilarang memindahkan IUP kepada pihak lain. Dari dua alasan tersebut maka menurut Penulis tindakan yang dilakukan oleh Bupati Kutai Timur memang memiliki dasar hukum dan bukan merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Sedangkan untuk huruf b, yaitu terkait dengan ketentuan pidana, akan Penulis jelaskan di poin berikutnya.
6.
Pasal 158 Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) Pasal ini berkaitan dengan Pasal 119 huruf b seperti yang sudah Penulis jabarkan diatas. Pasal 158 ini memuat ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Alasan Bupati Kutai Timur mencabut IUP milik Ridlatama Group adalah setelah adanya laporan audit dari Badan Pengawas Keuangan (BPK) ditemukan adanya indikasi empat IUP palsu milik Ridlatama Group yang terbit pada 2006-2008, hal tersebut terlihat dari kode penomoran yang terbalik. (Lampiran 3) Selanjutnya keterangan dari Menteri Kehutanan kepada Irsan Noor selaku Bupati Kutai Timur terkait dengan kegiatan empat perusahaan yang tergabung dalam Grup Ridlatama untuk melakukan penambangan di atas kawasan hutan produksi. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Bupati Kutai Timur, Isran Noor yang dimuat dalam
sebuah
artikel
hukum
di
website
hukumonline.com
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fec2ddb4e659/presiden-tanggapigugatan-churchill-mining). Selanjutnya thejakartaglobe.com, dalam berita di media elektroniknya pun menyatakan bahwa “District head Isran Noor did not technically revoke the permits, Wijaya claimed, but rather claimed they had been improperly obtained in the first place because the would-be mining sites overlapped with forest conservation areas. He said a 2008 Supreme Audit Agency (BPK) report found irregularities in five mining permits issued between 2006 and 2008, four of which were owned by Ridlatama. A Forestry Ministry recommendation on the matter cited the BPK audit” (http://www.thejakartaglobe.com/news/dont-blame-us-in-churchillmining-dispute-east-kutai-says/527974). Isran Noor selaku Bupati Kutai Timur menyatakan alasan pencabutan IUP milik Ridlatama Group adalah karena alasan adanya indikasi lima IUP palsu dan lokasi tambang yang berada di atas hutan produksi, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan sehingga harus ada izin dari Menteri Kehutanan. commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Terkait penggunaan hutan produksi, Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Selanjutnya Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mengingat Chucill Mining Plc belum memiliki izin dari Menteri Kehutanan dalam penggunaan kawasan hutan produksi maka perusahaan tersebut harus mengurus izin pelepasan kawasan hutan yang telah digunakan. Pasal 51 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan menyatakan bahwa pelepasan kawasan hutan yang belum memperoleh persetujuan, prinsip penyelesaiannya diproses sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010, hutan tersebut dapat dilepas apabila masuk dalam kategori hutan produksi yang dapat dikonversi. Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010, hutan produksi yang dapat dikonversi adalah kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 33/MenhutII/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi jo. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.44/Menhut-II/2011, Permohonan pelepasan kawasan hutan produksi diajukan kepada Menteri, dengan tembusan disampaikan kepada Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, dan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan (http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/07/Izin-Dicabut-ChurcilMining-Gugat-Pemerintah-USD2-Miliar.pdf). Hal-hal tersebut diatas didapatkan dari hasil laporan audit BPK. Audit khusus tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dikenal sebagai pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keuangan, dan pemeriksaan kinerja. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, jenis pemeriksaan terdiri dari pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Berhubungan dengan hal tersebut, menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Rudi Rubiandini, apabila memang lima IUP milik Ridlatama tersebut adalah palsu maka sengketa izin tambang Churchill di Kalimantan Timur bukan kesalahan pemerintah daerah, melainkan masalah bisnis antara Churchill dengan PT Ridlatama. Duduk masalahnya ini bukan dengan pemerintah, tetapi urusan bisnis antara Churchill dengan perusahaan nasional Ridlatama. Sehingga apabila terjadi masalah antara keduanya seperti pemalsuan atau informasi yang salah, seharusnya antara keduanya diselesaikan secara perdata. Namun kalaupun surat-surat yang dipegang keduanya benar dan bukan palsu, Rudi mempersilakan pihak Ridlatama yang berperkara dengan Bupati Kutai Timur. Churchill tidak bisa serta merta muncul apalagi menggugat presiden Republik Indonesia ke ICSID, karena IUP yang dicabut adalah
IUP
milik
Ridlatama
bukan
milik
Churchill
(http://finance.detik.com/read/2012/07/03/150635/1956650/4/wamen-esdm-salahalamat-churchill-gugat-presiden-sby-rp-18-triliun). Apabila IUP yang dimiliki oleh PT. Ridlatama adalah palsu, maka PT. Ridlatama juga dapat dikenakan sanksi sesuai yang tercantum pada Pasal 158 dan Churchill Mining tidak dapat menggugat pemerintah Indonesia begitu saja. Seharusnya apabila memang terbukti IUP tersebut palsu, maka sengketa ini harus diselesaikan antara Churchill Mining dengan PT. Ridlatama, pemerintah Indonesia tidak ada hubungannya dengan sengketa tersebut. Demikian beberapa poin analisis Penulis mengenai kasus sengketa Churchill Mining apabila ditinjau dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Kesimpulannya menurut Penulis, semua pengaturan mengenai pertambangan mineral dan batubara sudah secara jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Mengenai kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, kewenangan bupati untuk memberikan dan mencabut IUP, sampai dengan sanksi apabila tidak memiliki IUP dalam melakukan commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kegiatan pertambangan semuanya telah diatur dalam undang-undang tersebut. Sehingga tidak ada alasan yang kuat bagi Churchill Mining untuk menggugat pemerintah Indonesia terkait dengan asas fair and equitable treatment. Dari beberapa pasal yang terkait dengan kasus sengketa ini sudah memberikan dasar-dasar bagi Indonesia untuk melaksanakan hukumnya. Pasal-pasal tersebut juga menjadi dasar yang cukup kuat untuk menjawab gugatan yang diajukan oleh Churchill Mining Plc terhadap pemerintah Indonesia.
2. Sengketa Investasi Pertambangan Antara Churchill Mining Plc Dengan Kabupaten Kutai Timur Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Apabila merujuk undang-undang ini, terdapat beberapa pasal yang berhubungan dengan kasus sengketa antara Churchill Mining Plc dengan Pemerintah Republik Indonesia yang dijabarkan sebagai berikut. 1.
Pasal 7 (1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. (2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. (3) Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Pasal 7 diatas terkait dengan masalah nasionalisasi yang merupakan salah satu gugatan yang diajukan Churchill Mining Plc terhadap pemerintah Republik Indonesia. Hal tersebut tercantum pada surat yang dikirimkan oleh kuasa hukum Churchill Mining, Hogan Lovells, kepada pemerintah Republik Indonesia yaitu Presiden RI, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono; Bupati Kutai Timur, H. Isran Noor; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik; Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Zulkifli Hasan; Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Marty commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Muliana Natalegawa; dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.(Lampiran 4) Dalam surat tersebut tertulis bahwa pembatalan ijin EKCP merupakan nasionalisasi berdasarkan UK-RI BIT, oleh karena itu membutuhkan pembayaran kompensasi kepada Churchill dengan segera, memadai dan efektif atas nasionalisasi tersebut. Republik Indonesia dianggap telah melanggar kewajiban-kewajibannya berdasarkan UK-RI BIT menurut surat dari kuasa hukum Churchill Mining tersebut. Nasionalisasi secara harfiah diartikan sebagai usaha pengambilalihan aset oleh negara berdasarkan motif politik atau ekonomi. Berdasarkan metode yang dilakukan, setidaknya ada 2 jenis nasionalisasi: 1. Pengambilalihan aset swasta oleh negara tanpa imbalan apapun kepada pemilik terdahulu, atau lebih dikenal dengan istilah ekspropriasi; 2. Pengambilalihan aset swasta, baik melalui re-negosiasi ulang kontrak kerjasama, pengambilalihan dengan ganti rugi ataupun melalui pembelian langsung sharing perusahaan
swasta
oleh
pemerintah
(http://geologi.iagi.or.id/2008/08/09/
nasionalisasi-asset-migas-bagian-pertama/). Dalam pelaksanaan nasionalisasi oleh suatu negara terhadap hak milik atau bendabenda yang berkaitan dengan suatu perusahaan asing di negara yang hendak melakukan
tindakan
hukum
nasionalisasi
harus
memperhatikan
prinsip
“teritorialiteit”. Artinya Objek yang akan di nasionaliasasi berada di dalam batasbatas teritorial negara yang melakukan nasionalisasi. Istilah nasionalisasi paling tidak mencakup tiga pengertian “Konfiskasi”, “Onteigening” dan “Pencabutan Hak”. L. Erades memberikan arti nasionalisasi, yakni suatu peraturan dengan mana pihak penguasa memaksakan semua atau segolongan tertentu untuk
menerima
(dwingt te godegen), bahwa hak-hak mereka atas semua atau beberapa macam benda tertentu beralih kepada negara. Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu cara peralihan hak dari pihak partekelir kepada negara secara paksa. Dalam rangka tinjauan tersebut maka nasionalisasi dipandang sebagai “Species” dari “Genus” pencabutan hak (Onteigening). Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada “onteigening” pada to user prinsipnya harus diikuti dengancommit ganti rugi. Sementara itu jika tidak disertai dengan 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ganti rugi maka dia dapat disebut dengan "konfiskasi”. Konfiskasi ini mirip dengan pencabutan hak (semacam onteigening), tetapi dengan corak khusus tanpa ganti rugi.Selanjutnya confiscatie, biasanya dilakukan dalam permusuhan perang tanpa mempertimbangkan unsur penggantian kerugian. Di Indonesia pada masa kabinet Karya Republik Indonesia ketentuan tentang nasionalisasi diatur dalam UndangUndang Nomor 86 Tahun 1958. Dalam istilah nasionalisasi termasuk didalamnya “expropriation” atau “Confiscatie”. Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu perusahaan menjadi milik negara (Budiman Ginting, 2007 : 102). Berdasarkan penjelasan terkait dengan definisi nasionalisasi tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nasionalisasi merupakan pengambilalihan aset perusahan swasta menjadi milik negara. Apabila dikaitkan dengan kasus sengketa Churchill Mining, menurut Penulis tidak ada indikasi nasionalisasi terhadap aset milik Churchill Mining oleh pemerintah Republik Indonesia. Tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa Indonesia akan mengambil alih aset milik Churchill Mining menjadi aset negara. Pencabutan lima izin usaha pertambangan di daerah Kutai Timur, empat dari lima izin usaha pertambangan itu milik PT. Ridlatama yang diakui oleh Churchill Mining Plc sebagai anak usahanya tersebut dikarenakan adanya indikasi bahwa izin usaha pertambangan milik PT. Ridlatama adalah tidak benar. Pencabutan ini juga dilakukan atas rekomendasi Pemerintah Pusat berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada September 2008 saat melakukan audit atas KP yang dibuat tahun 2006-2008. Jadi bukan karena negara ingin mengambil aset milik Churchill Mining seperti yang dikatakan oleh Chairman Churchill Mining Plc, David F. Quinlivan, pada New York Times edisi 6 Juni 2012, yang menuding bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyita aset miliknya tanpa kompensasi yang layak. Plc. Hal tersebut tentu harus dibuktikan oleh Churchill
Mining
lebih
lanjut
dengan
bukti-bukti
yang
kuat
(http://www.nytimes.com/2012/06/07/business/global/british-mining-company-suesindonesia-over-1-8-billion-coal-project.html?pagewanted=all&_r=0). 2.
Pasal 14 Setiap penanam modal berhak mendapat: commit to user a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan; 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; c. hak pelayanan; dan d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pada Pasal 14 ini, yang terkait dengan sengketa Churchill Mining adalah huruf a pada Pasal 14 tersebut, disebutkan bahwa setiap penanam modal berhak mendapat kepastian hak, hukum dan perlindungan. Menurut Churchill Mining, mereka tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum terkait masalah perizinannya di Indonesia, pernyataan tersebut dicantumkan didalam surat yang dikirimkan kepada Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 April 2012 lalu. Mereka merasa tidak mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum karena izin usaha pertambangan milik PT. Ridlatama yang dicabut oleh bupati Kutai Timur secara sepihak. Perlindungan dan kepastian hukum merupakan suatu hal yang sangat diinginkan oleh para investor asing guna mendukung dunia usaha di Indonesia. Kepastian hukum merupakan instrumen utama dalam menciptakan pertumbuhan investasi para PMA. Tanpa kepastian hukum yang jelas akan membuat iklim usaha yang tak sehat.Di Indonesia sendiri tidak dapat dipungkiri masih banyak kekurangan terkait kepastian hukum tersebut. Saat ini ada tiga hal yang menjadi perhatian utama PMA. Pertama yaitu produk hukum yang menciptakan kebingungan karena multitafsir.Jika produk hukumnya multitafsir, maka apalagi yang harus dijadikan acuan. Yang kedua yaitu, sistem hukum peradilan dimana Indonesia itu menganut pada hukum Belanda, tetapi ketika ada perkara, banyak menggunakan dasar hukum dan berubah-rubah. Sedangkan yang ketiga yaitu resiko politik. Di mana setiap pergantian pejabat maka kebijakan yang dibuat juga mengalami perubahan sehingga membingungkan investor. Sengketa Churchill Mining ini juga dapat menjadi contoh sekaligus pelajaran bagi Indonesia karena masih banyak kekurangan mengenai perlindungan hukum. Sebagai contoh kasus ketidakpastian hukum yang dikemukakan oleh PMA antara lain mengenai dimenangkannya gugatan Renaissance Capital Management Investment Pte Ltd terhadap Merrill Lynch International Bank Ltd.Di mana Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan Renaissance dimiliki Prem Harjani berhak mendapat commityang to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ganti sebesar Rp251 miliar. Padahal sebelumnya di Pengadilan Tinggi Singapura, telah memutuskan bahwa Prem Harjani telah melakukan penipuan dan Renaissance telah mengakui utangnya kepada Merrill Lynch.Tak heran jika banyak kasus PMA yang lebih memilih menghindari berperkara di pengadilan Indonesia. Seperti kasus yang dialami Medley Opportunity Fund di tahun 2012. Ketika berperkara dengan pengusaha lokal, perusahaan asal AS ini lebih memilih pengadilan di Inggris dan Singapura. Dan yang terakhir tentu saja kasus Churchill Mining yang memilih mengajukan gugatan ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Itu masih merupakan sebagian dari contoh kasus akibat ketidakpastian hukum di negara kita Indonesia (http://jakarta.okezone.com/ read/2013/01/22/320/749848/investor-asing-inginkan-kepastian-hukum). Penulis tidak sepenuhnya menyalahkan Churchill Mining terkait kepastian dan perlindungan hukum, memang di Indonesia masih banyak sekali kekurangannya dan harus diperbaiki. Untuk kedepannya pemerintah daerah harus lebih berhati-hati mengeluarkan izin usaha pertambangan. Pemerintah pusat juga harus bisa membina daerah agar tidak salah dalam membuat kebijakan. Sekarang gugatan telah diajukan oleh Churchill Mining kepada pemerintah Indonesia, maka yang perlu diperhatikan untuk saat ini adalah bagaimana upaya pemerintah dalam rangka menghadapi gugatan yang diajukan oleh Churchill Mining tersebut. Bupati Kutai Timur Isran Noor menyatakan bahwa pemerintah telah membentuk tim yang dikoordinasi Menteri Hukum dan HAM serta melengkapi dokumen untuk menghadapi gugatan Churchill Mining. Menanggapi gugatan yang terkait perlindungan dan kepastian hukum tersebut, Isran Noor menyatakan bahwa Churchill Mining tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Pihaknya menerbitkan IUP untuk empat perusahaan yang tergabung dalam kelompok usaha PT. Ridlatama, bukan untuk Churchill Mining. Sejauh ini, Churchill tidak pernah terdaftar berinvestasi atau mengakuisisi saham PT. Ridlatama. Belakangan, pihaknya baru mendengar nama Churchill tahun 2009 setelah perusahaan itu mengumumkan telah berinvestasi di sektor tambang dengan potensi cadangan batubara terbesar kedua di Kutai Timur. Padahal, perusahaan itu tidak pernah terdaftar di Dinas Pertambangan Kutai Timur. Hal tersebut yang dijadikan dasar oleh Bupati Kutai commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Timur untuk melawan gugatan Churchill Mining. Pihak Indonesia merasa tidak perlu memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada Churchill Mining karena memang perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Yang mempunyai hubungan hukum dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur adalah PT. Ridlatama bukan Churchill Mining. Dan yang paling penting menurut Isran Noor bahwa Churchill Mining tidak pernah terdaftar di Dinas Pertambangan Kutai Timur. Jadi kesimpulannya Indonesia tidak perlu memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada Churchill Mining dengan
alasan
yang
telah
Penulis
jabarkan
diatas
(http://materikuliahfhunibraw.files.wordpress.com/2009/09/churchill-mining-vspemerintah.pdf). 3.
Pasal 15 huruf e Setiap penanam modal berkewajiban: a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 15 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ini, setiap penanam modal baik dalam negeri maupun asing wajib wajib untuk mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Seperti yang sudah Penulis jabarkan sebelumnya, izin kuasa pertambangan milik PT. Ridlatama dicabut oleh Bupati Kutai Timur dikarenakan adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Ridlatama, salah satunya adalah adanya indikasi pemalsuan surat izin kuasa pertambangan. Menurut Isran Noor, Kabupaten Kutai Timur menerbitkan surat izin kepada Ridlatama Group, bukan untuk Churchill dan kemudian mencabutnya karena telah melanggar berbagai peraturan di Indonesia. Ia menjelaskan pelanggaran yang dimaksud yaitu pelanggaran pemalsuan surat, dimana berdasarkan surat laporan commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
audit khusus yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan semester II Tahun 2008 atas pengelolaan Pertambangan Batubara Tahun anggaran 2006-2007 di Kutai Timur terhadap Pemegang Kuasa Pertambangan. Dalam laporan hasil audit khusus itu, BPK mengindikasikan adanya lima Kuasa Pertambangan yang berdasarkan data-data yang mereka temukan di lapangan adalah palsu, uraian dalam laporan BPK itu sangat jelas, salah satu alasannya karena kode penomoran yang terbalik. Maka PT. Ridlatama berarti telah memenuhi ketentuan pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara yang intinya mereka melakukan kegiatan pertambangan tanpa memiliki IUP seperti yang sudah Penulis jabarkan sebelumnya. Churchill Mining juga melanggar ketentuan perhutanan dengan adanya keterangan dari Menteri Kehutanan kepada Bupati Kutai Timur, yang menyatakan bahwa kegiatan perusahan tersebut dilakukan di kawasan hutan produksi, yang berdasarkan peraturan perundangan berlaku, hanya dapat dilakukan apabila sudah dapat izin dari Menteri Kehutanan padahal Menteri Kehutanan tidak pernah memberikan izin tersebut.Mengingat Chucill Mining Plc belum memiliki izin dari Menteri Kehutanan dalam penggunaan kawasan hutan produksi maka perusahaan tersebut harus mengurus izin pelepasan kawasan hutan yang telah digunakan. Terkait izin tersebut telah diatur pada Pasal 51 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Lalu terkait penggunaan hutan produksi telah diatur pada Pasal 38 ayat (3) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu
tertentu
serta
tetap
memperhatikan
kelestarian
dari
lingkungan(http://www.antaranews.com/berita/342675/bupati-kutai-timur-sesalkanbkpm-soal-churchill-mining-plc). Churchill Mining juga melanggar ketentuan pada Pasal 38 ayat (4) UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam UU itu disebutkan adanya larangan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Peraturan itu juga dipertegas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang Tata Cara commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Dalam kedua Peraturan Pemerintah itu jelas disebutkan adanya larangan pertambangan apapun sebelum mendapatkan Izin Penggunaan Kawasan Hutan untuk tahap eksplorasi 4 dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk tahap produksi. Ketentuan lainnya yang dilanggar adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Dalam Peraturan Pemerintah itu diatur, pertambangan terbuka hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi. Sedangkan di kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah. Tidak hanya itu saja masih ada peraturan yang wajib untuk ditaati, misal tentang penerbitan IUP mesti disesuaikan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (Perda RTRW), baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Peraturan itu tertulis jelas dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Setelah itu juga harus disesuaikan dengan UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Di undang-undang itu sudah diatur tentang kegiatan perkebunan dan pertambangan di hutan produksi atau hutan produksi yang dapat dikonversi, mesti melalui izin pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan oleh menteri Kehutanan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah juga telah diatur bahwa penambangan bawah tanah harus mendapatkan izin dari menteri Kehutanan. Izin pinjam pakai yang diberikan paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu perizinan dan perjanjian di bidang pertambangan. Peraturan-peraturan tersebut tampaknya tidak diindahkan oleh Churchill Mining sehingga dari keterangan diatas dapat disimpulkan oleh Penulis bahwa PT. Ridlatama yang merupakan anak perusahaan dari Churchill Mining tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Hal tersebut berarti Churchill Mining tidak dapat memenuhi Pasal 15 huruf eUndang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (http://merdekainfo.com/kajianutama/item/479-kandas-di-ptun-berlanjut-ke-icsid). commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
4.
digilib.uns.ac.id
Pasal 32 (1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan
jika penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. (4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Pasal 32 diatas mengatur tentang penyelesaian sengketa (dispute settlement) pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pada kasus Churchill Mining, penyelesaian sengketa melalui tahap musyawarah seperti yang diatur pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi dikarenakan Bupati Kutai Timur, Isran Noor, menyatakan tidak akan melakukan negosiasi atau musyawarah dengan Churchill Mining karena menurut Isran Noor, Churchill Mining tidak memiliki dasar yang
kuat,
sehingga
Indonesia
tidak
perlu
takut
(http://www.apkasi.or.id/read/311591/isran-noor--tak-akan-ada-negosiasi-denganchurchill-mining). Gagal melalui jalur negosiasi maka Churchill Mining mengupayakan melalui jalur pengadilan seperti yang diatur pada ayat (2). Gugatan yang diajukan oleh Churchill Mining melalu jalur pengadilan selalu kalah. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda atas surat pembatalan IUP yang dikeluarkan oleh Bupati Isran Noor. Hasil Putusan PTUN Samarinda memutuskan bahwa pembatalan izin tersebut sudah sesuai dengan prosedur dan Churchill Mining commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah dinyatakan kalah.Tidak terima dengan putusan tata usaha negara di tingkat pertama, Churchill mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta pada Agustus 2011. Putusan Pengadilan Tinggi tersebut masih serupa dengan putusan sebelumnya dan selanjutnya kasasi di Mahkamah Agung (MA) Churchill Mining masih dinyatakan kalah sehingga Pemkab Kutai Timur telah dinyatakan menang
dan
putusan
sudah
berkekuatan
hukum
tetap
(http://www.tempo.co/read/news/2012/06/20/090411868/Sengketa-TambangChurchill-Dibawa-ke-Jaksa-Agung). Setelah gagal menempuh jalur litigasi, Churchill Mining akhirnya mengambil jalur terakhir yaitu melalu arbitrase internasional seperti yang diatur dalam ayat (4) Pasal 32 tersebut. Churchill Mining menggugat Indonesia di International Center For Settlement of Investment Disputes (ICSID) pada 27 November 2012 (http://www.tambangnews.com/berita/2497.html?joscclean=1&comment_id). Pemerintah Kabupaten Kutai Timur juga menegaskan bahwa mereka siap menghadapi gugatan Churchill Minning Plc di International Center For Settlement of Investment Disputes (ICSID) terkait dengan gugatannya terhadap Republik Indonesia senilai USD 2 miliar karena menurut Kepala Dinas Pertambangan Kutai Timur, Wijaya Rahman, Churchill Mining tidak memiliki dasar hukum yang kuat (http://kaltim.tribunnews.com/2012/07/13/gugatan-churchill-mining-disebut-salahalamat). Sehubungan dengan jalur arbitrase internasional di International Center For Settlement of Investment Disputes (ICSID) pada 27 November 2012 lalu. Sidang perdana tersebut dilaksanakan via video conference. Dalam "sidang segitiga" tersebut pihak Indonesia berada di Jakarta, pihak Churchill Mining berada di London,
sedangkan
pihak
ICSID
di
Washington
(http://kaltim.tribunnews.com/mobile/index.php/2012/12/03/bupati-kutai-timurtolak-langkah-diluar-arbitrase). Penyelesaian melalui arbitrase internasional hanya dapat dilakukan bila sebelumnya para pihak telah menyepakati perjanjian arbitrase. Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) dinyatakan bahwa Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesepakatan para pihak. Obyek sengketa arbitrase juga dibatasi, yaitu di bidang perdagangan. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syaratsyarat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu: a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan e. Putusan Arbitrase Intemasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri commit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
Jakarta
Pusat
digilib.uns.ac.id
(http://jdih.bpk.go.id/wp-content/uploads/2012/07/Izin-Dicabut-
Churcil-Mining-Gugat-Pemerintah-USD2-Miliar.pdf). Jadi mengenai arbitrase ini memang telah diatur dalam Pasal 32 ayat (4) Undangundang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jalur inilah yang saat ini ditempuh oleh Churchill Mining Plc untuk menggugat Indonesia di ICSID. Selain diatur dalam Pasal 32 tersebut, penyelesaian sengketa melalui pengadilan arbitrase internasional atau ICSID juga telah diatur dalam artikel 7 paragraf (1) United Kingdom – Republic Of Indonesia BIT, yaitu tentang Reference to International Centre for Settlement of Investment Dispute. Dalam artikel 7 paragraf (1) tersebut dituliskan “The Contracting Party in the territory of which a national or company of the other Contracting Party makes or intends to make an investment shall assent to any request on the part of such national or company to submit, for conciliation or arbitration, to the Centre established by the Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States opened for signature at Washington on 18 March 1965 any disputes that may arise in connection with e investment”. Itu berarti para pihak dalam BIT, yang dalam hal ini adalah United Kingdom dan Republik Indonesia, setuju apabila ada sengketa yang timbul untuk diselesaikan di International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID). Tim kuasa hukum Indonesia juga telah menyiapkan arbiter untuk menghadapi Churchill Mining di ICSID, yaitu seorang arbiter asal Singapura, Michael Hwang, terkait dengan gugatannya terhadap Republik Indonesia senilai USD 2 miliar atau sekitar Rp 18 triliun. Pihak Churchill menunjuk seorang arbiter asal Belanda, Albert Van Den Berg sebagai arbiternya, sedangkan ketua tribunalnya adalah Prof Gabriel Kaufmann-Kohler
seorang
arbiter
dari
negara
Selandia
Baru
(http://www.tribunnews.com/2012/10/16/jelang-sidang-perdana-gugatan-churchillmining). 5.
Pasal 33 (1) Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. (2) Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. (3) Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhir perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diatas mengatur mengenai sanksi yang diberlakukan baik kepada penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing. Pada ayat (1) Pasal 33 tersebut tertera bahwa penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. Klausula tersebut terkait dengan Nominee Clause. Maka dalam hal ini, PT. Ridlatama tidak dapat membuat perjanjian atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama Churchill Mining karena hal tersebut tentu melanggar ketentuan pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Implikasinya adalah Churchill Mining tidak dapat begitu saja menggugat Indonesia di ICSID karena Churchill Mining tidak memiliki hubungan hukum dengan Indonesia. Churchill hanya memiliki hubungan hukum dengan PT. Ridlatama, sehingga apabila ada sengketa di dalamnya maka hendakanya diselesaikan oleh PT. Ridlatama dengan Churchill Mining, bukan diselesaikan antara Churchill Mining denga Indonesia. Selanjutnya pada ayat (2) Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tertera bahwa apabila penanam modal asing tersebut commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum. Kesimpulannya apabila PT. Ridlatama membuat perjanjian atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama Churchill Mining maka perjanjian atau pernyataan tersebut telah batal demi hukum. Nominee Clause ini juga dapat menjadi dasar bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadapi gugatan yang diajukan oleh Churchill Mining di ICSID. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap penanam modal baik dalam negeri maupun asing bertanggung jawab untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, apabila PT. Ridlatama dan Churchill Mining melanggar ketentuan pada Pasal 33 ayat (1) dan (2) maka itu berarti PT. Ridlatama dan Churchill Mining tidak mematuhi mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 6.
Pasal 34 ayat (1) (1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa: a.
peringatan tertulis;
b.
pembatasan kegiatan usaha;
c.
pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
d.
pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ini mengatur tentang sanksi administratif. Seperti yang telah Penulis jabarkan sebelumnya bahwa pada Pasal 15 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah diatur bahwa setiap penanam modal berkewajiban mematuhi semua ketentuan perundang-undangan, apabila penanam modal tersebut tidak mematuhi peraturan perundang-undangan maka sanksinya diatur pada Pasal 34 ini. Sanksi administratif tersebut ada empat macam, yaitu peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatancommit usaha to dan/atau user fasilitas penanaman modal. Apabila 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PT. ridlatama dan Churchill Mining tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku maka dapat dijatuhkan sanksi bahkan sampai pencabutan kegiatan usaha pertambangan yang mereka lakukan. Dan hal tersebutmemiliki dasar hukum yang kuat karena dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 3. Sengketa Investasi Pertambangan Antara Churchill Mining Plc Dengan Kabupaten Kutai Timur Ditinjau Berdasarkan United Kingdom – Republic of Indonesia Bilateral Investment Treaty (UK-RI BIT) United Kingdom – Republic of Indonesia Bilateral Investment Treaty (UK-RI BIT) merupakan sebuah perjanjian mengenai peningkatan dan perlindungan penanaman modal yang disepakati oleh dua negara, yaitu United Kingdom dan Republik Indonesia di London, 27 April 1976 dan baru mulai berlaku pada 24 Maret 1977. UK-RI BIT terdiri dari 11 artikel dan dijadikan sebagai salah satu dasar gugatan dalam perjanjian penanaman modal oleh Churchill Mining dalam kasus sengketa dengan Republik Indonesia ini. Artikel 1 mengatur tentang definisi-definisi, artikel 2 mengatur tentang ruang lingkup perjanjian, artikel 3 mengatur tentang peningkatan dan perlindungan penanaman modal, artikel 4 mengatur tentang ketentuan tentang mostfavoured-nation, artikel 5 mengatur tentang ekspropriasi, artikel 6 mengatur tentang repatriasi, artikel 7 mengatur tentang perujukan kepada International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) untuk melakukan arbitrase atau konsiliasi apabila terjadi sengketa, artikel 8 mengatur tentang procedural apabila terjadi sengketa antara kedua belah pihak, artikel 9 mengatur tentang subrogasi, artikel 10 mengatur tentang perluasan wilayah, dan artikel 11 mengatur tentang masa berlaku dan berakhirnya perjanjian. (Lampiran 5) Pengertian lain dari BIT ini adalah perjanjian antara dua negara (bilateral) yang isinya mencakup perjanjian tentang peningkatan dan perlindungan penanaman modal antara negara yang satu dengan negara lainnya. Perjanjian ini mencakup bidang-bidang berikut: ruang lingkup dan definisi dari investasi, penerimaan dan pembentukan, perlakuan nasional, penyelesaian sengketa yang diperlukan oleh suatu negara, perlakuan yang adil dan merata, kompensasi dalam hal terjadi pengambilalihan atau kerusakan dengan investasi, jaminan dan transfer commit dana to usergratis, dan mekanisme penyelesaian 95
perpustakaan.uns.ac.id
sengketa,
baik
digilib.uns.ac.id
antara
negara-negara
maupun
investor
dengan
negara
(http://www.unctadxi.org). Seperti yang telah Penulis jabarkan sebelumnya, Churchill Mining terlebih dahulu mengambil jalur pengadilan di Indonesia, dimana gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda. Hasil Putusan PTUN Samarinda memutuskan bahwa pembatalan izin tersebut sudah sesuai dengan prosedur dan Churchill Mining telah dinyatakan kalah. Tidak terima dengan putusan tata usaha negara di tingkat pertama, Churchill mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta pada Agustus 2011. Putusan Pengadilan Tinggi tersebut masih serupa dengan putusan sebelumnya dan selanjutnya kasasi di Mahkamah Agung (MA) Churchill Mining masih dinyatakan kalah sehingga Pemkab Kutai Timur telah dinyatakan menang dan putusan sudah berkekuatan hukum tetap. Setelah kalah di pengadilan Indonesia, Churchill Mining barulah kemudian menggugat Pemerintah Indonesia di pengadilan arbitrase internasional, yaitu International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. ICSID merupakan badan yang dibentuk oleh Bank Dunia (world bank). Tujuan utama dari ICSID adalah untuk menyediakan fasilitas konsiliasi dan arbitrase sengketa investasi internasional. Churchill Mining menggugat Pemerintah Republik Indonesia di ICSID pada tanggal 22 Mei 2012 dengan tuntutan sebesar 2 Milyar Dollar Amerika atau setara dengan 18 Trilyun Rupiah. Churchill Mining dapat menggugat Pemerintah Republik Indonesia di pengadilan arbitrase internasional ICSID karena sebelumnya telah diatur dalam artikel 7 terkait perujukan kepada ICSID apabila terdapat sengketa antara kedua pihak. Jadi dalam hal ini ICSID berwenang untuk menyelesaikan sengketa antara Churchill Mining dengan Pemerintah Republik Indonesia karena telah disepakati dan diatur dalam artikel 7 UK-RI BIT. Pemerintah Republik Indonesia digugat di pengadilan arbitrase internasional oleh Churchill Mining Plc karena adanya perbuatan yang dilakukan oleh salah satu organ negara, yang mana menurut Churchill Mining organ tersebut telah melanggar hukum internasional, yang dalam hal ini adalah UK-RI BIT tersebut. Dasar suatu negara atau suatu
pihak
dapat
menuntut
adanya
kewajiban
commit to user 96
dari
negara
pelaku
untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempertanggungjawabkan perbuatannya terlebih dahulu harus dilihat kewajiban yang timbul dari perjanjian. Hal tersebut sesuai dengan teori imputabilitas yang menyatakan bahwa suatu negara bertanggung jawab atas kesalahan yang ditimbulkan organnya. Dalam hal ini Bupati Kutai Timur merupakan organ yang termasuk di dalam satu kesatuan Pemerintah Republik Indonesia. Bupati memiliki wewenang untuk memberikan dan mencabut IUP sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 37 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangaan Mineral dan Batubara. Sehingga perbuatan pencabutan yang dilakukan oleh Bupati Kutai Timur tersebut dianggap telah merepresentasikan perbuatan yang dilakukan oleh negara, maka apabila terdapat kesalahan di dalamnya maka negara harus bertanggung jawab. Kesalahan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu sesuai dengan teori kesalahan. Teori Kesalahan (fault theory) merupakan prinsip yang melahirkan tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu. Hal tesebut telah memberikan dasar bagi Churchill Mining untuk menggugat Pemerintah Republik Indonesia, mulai dari Presiden Republik Indonesia, Bupati Kutai Timur, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Kehutanan, Menteri Luar Negeri, hingga Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di pengadilan arbitrase internasional di Washington. Menurut Churchill Mining, Pemerintah Indonesia telah melanggar ketentuanketentuan yang telah disepakati di dalam BIT ini sehingga perusahaan ini menggugat Pemerintah Indonesia ke pengadilan arbitrase internasional yaitu ICSID di Washington karena menurut Churchill pengadilan arbitrase internasional tersebut merupakan pihak yang netral untuk dapat mengadili sengketa tersebut dan sesuai dengan article 7 United Kingdom – Republic of Indonesia BIT yaitu tentang Reference to International Centre for Settlement of Investment Disputes. Penulis akan menjabarkan satu-persatu mengenai artikel mana sajakah yang terkait dengan kasus sengketa ini dan artikel mana sajakah yang menurut Churchill Mining telah dilanggar oleh Pemerintah Republik Indonesia. Penjabarannya adalah sebagai berikut. commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Article 3 Paragraph (2): Promotion and Protection of Investment (2) Investments of nationals or companies of either Contracting Party shall at all times be accorded fair and equitable treatment and shall enjoy full protection and security in the territory of the other Contracting Party. Each Contracting Party shall ensure that the management, maintenance, use, enjoyment or disposal of investments in its territory of nationals or companies of the other Contracting Party are not in any way impaired by unreasonable or discriminatory measures. Each Contracting Party shall observe any obligation it may have entered into with regard to investments of nationals or companies of the other Contracting Party. Pada Artikel 3 Paragraf (2) tersebut terdapat klausula “accorded fair and equitable treatment”. Mengenai fair and equitable inilah yang selalu dipermasalahkan oleh Churcill Mining. Menurut Churchill, Indonesia tidak dapat memenuhi asas fair and equitable treatment yang telah disepakati sebelumnya di BIT. Hal tersebut disampaikan di dalam surat yang disampaikan oleh kuasa hukum Churchill Mining, Hogan Lovells kepada Pemerintah Republik Indonesia. (Lampiran 4) Dalam surat tersebut tertulis “The UK-Indonesia BIT provides that Churchill’s investment in Indonesia must be afforded “fair and equitable treatment” and “full protection and security”, as well as protection against “unreasonable or discriminatory measures”. The Republic of Indonesia is also in breach of these guaranteed and enforceable standarts of protection.” Untuk mengetahui apakah benar Pemerintah Indonesia tidak dapat memenuhi asas fair and equitable treatment, tentu perlu mengetahui apakah yang dimaksud dengan asas fair and equitable treatment itu sendiri. Secara harfiah fair and equitable treatment berarti perlakuan yang adil dan merata. Tidak ada indikator yang pasti bagaimana suatu perbuatan dapat dikatakan telah memenuhi ataupun melanggar asas fair and equitable treatment tersebut sehingga asas ini kerap kali menjadi isu yang diperdebatkan di sengketa tentang arbitrase. Dalam buku “Investor-State Disputes Arising From Investment Treaties: A Review”yang dikeluarkan oleh salah satu badan PBB yaitu UNCTAD (United Nations Conference On Trade and Development) tertulis bahwa “One of the most debated issues in arbitral disputes under investment agreements is the meaning of the standards of fair and equitable treatment and full protection and security commit to user 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(UNCTAD, 1999d). The fair and equitable treatment standard has been applied in BITs and NAFTA cases. Indeed, this standard has recently emerged as a significant ground for a finding of breaches of the investment agreement by the host country”(UNCTAD, 2005 : 37). Hal tersebut berarti arti dari standards of fair and equitable treatment masih selalu diperdebatkan meskipun sudah diterapkan di BIT dan NAFTA (North American Free Trade Agreement). Sehingga fair and equitable treatment ini sering kali dijadikan alasan pelanggaran perjanjian penanaman modal oleh host country. Seperti yang telah Penulis jelaskan sebelumnya, Penulis menjadikan putusan hakim terdahulu (yurisprudensi) sebagai acuan dalam kasus sengketa yang diselesaikan oleh pengadilan arbitrase mengenai pengertian fair and equitable treatment tersebut. Pertama kasus yang merupakan sengketa antara Tecnicas Medioambientales Tecmed (Tecmed) melawan Meksiko. Tecmed yang merupakan perusahaan milik Spanyol memiliki perjanjian penanaman modal dengan Cytrar, S.A. DE C.V (Cytrar) dan memiliki 99% saham
di
perusahaan
milik
Meksiko
tersebut
(https://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=CasesRH&actionVal=sho wDoc&docId=DC602_En&caseId=C186).Dalam buku yang dikeluarkan oleh UNCTAD tersebut tercantum bahwa “In the case of Tecmed v. Mexico, the tribunal focused on the breach of expectations of the investor as being subject to the fair and equitable treatment rule. The tribunal considered the fair and equitable provision as a principle of good faith conduct, adding that it required host countries to act in a manner that is consistent, totally transparent and free from ambiguity. Several administrative law principles were considered to be particularly relevant, most notably that laws must be applied that respect the purposes of those laws, and that decisions and permits cannot be arbitrarily revoked”(UNCTAD, 2005 : 39). Klausula tersebut yang akan dijadikan dasar bagi Penulis untuk menafsirkan pengertian dari asas fair and equitable treatment. Kedua, kasus sengketa Genin v. Republic of Estonia. Sengketa akibat pencabutan izin Estonian Bank oleh pemerintah dimana pemegang saham terbesar adalah investor dari Amerika. Pemerintah digugat karena dianggap telah melanggar asas fair and equitable treatment. Dalam sengketa tersebut, pengadilan Genin tersebut menyatakan bahwa, “a violation could be established by acts showing willful neglect of duty, an insufficiency of commit to user 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
action falling far below international standards, or even subjective bad faith”. Menurut pengadilan di Genin, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran apabila melakukan tindakan yang menunjukkan suatu kelalaian dalam melaksanakan tugas yang disengaja, tindakan yang jauh di bawah standar internasional, atau suatu itikad buruk yang subyektif (George M. von Mehren, 2004 : 72). Dalam dua kasus terdahulu tersebut, pengadilan memfokuskan kepada pelanggaran terhadap asas fair and equitable treatment. Pengadilan menganggap bahwa asas fair and equitable treatment merupakan sebuah prinsip perilaku itikad baik, transparan dan bebas dari ambiguitas. Hukum harus diterapkan, yakni dengan menghormati tujuan dari hukum itu sendiri. Berdasarkan penafsiran atas asas fair and equitable treatment tersebut, menurut Penulis Pemerintah Indonesia tidak melanggar asas tersebut. Pertama mengenai perilaku itikad baik, menurut Penulis yang tidak beritikad baik adalah Churchill Mining itu sendiri dan bukan Pemerintah Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat dari Churchill Mining yang tidak melakukan izin kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur saat akan melakukan penanaman modal ke anak perusahaannya yaitu PT. Ridlatama. Isran Noor selaku Bupati Kutai Timur yang menyatakan bahwa perusahaan tambang tersebut tidak pernah terdaftar di Dinas Pertambangan Kutai Timur. Isran juga mengaku baru mengetahui nama Churchill Mining pada 2009 setelah perusahaan tersebut mengumumkan telah berinvestasi batubara di Kutai Timur. Ia mengatakan perusahaan asing tidak boleh menggunakan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) namun harus menggunakan Kontrak Kerja (KK) atau Perjanjian Kontrak Penambangan Batubara (PKP2B). Jadi tidak beralasan apabila Churchill Mining mempermasalahkan IUP yang dicabut oleh Bupati Kutai Timur, karena IUP bukan untuk perusahaan asing melainkan untuk perusahaan dalam negeri. Selain itu, Churchill Mining juga tidak melakukan izin kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tidak ada catatan di Kementerian ESDM mengenai Churchill Mining. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri ESDM, Jero Wacik. Penulis mengutip pernyataan Jero Wacik kepada media bahwa Investasi Churchill Mining ke Ridlatama Grup tanpa sepengetahuan dan persetujuan Kementerian ESDM. Menurut Jero Wacik di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 28 Juni 2012, perusahaan asing yang menanamkan investasi di pertambangan harus memperoleh persetujuan commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ESDM. Ia menduga bahwa investasi yang dilakukan oleh Churchill Mining dilakukan secara
diam-diam
tanpa
sepengetahuan
Pemerintah
Kabupaten
Kutai
Timur
(http://www.antaranews.com/berita/318754/jero-investasi-churchill-mining-tanpapersetujuan-esdm). Kedua, mengenai transparan dan bebas dari ambiguitas. Indonesia juga telah sangat transparan dan bebas dari ambiguitas. Yang dimaksud dengan transparan dan bebas dari ambiguitas disini adalah mengenai peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Semua peraturan perundang-undangan yang terkait mengenai penanaman modal baik untuk perusahaan dalam negeri maupun perusahaan asing telah dipublikasikan di berbagai media pada era tekhnologi seperti sekarang ini. Kita dapat mengakses segala macam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan di media internet dengan mudah. Pemerintah Republik Indonesia telah secara jelas mencantumkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan penanaman modal terutama di bidang pertambangan tersebut dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Semua peraturan perundang-undangan yang terkait tersebut telah dipublikasikan secara jelas oleh Pemerintah Indonesia dan tidak ada peraturan yang ditutupi, sehingga dapat dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah transparan dan bebas dari ambiguitas dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Ketiga, terkait dengan keputusan dan izin yang tidak dapat dicabut secara sewenangwenang. Tindakan Bupati Kutai Timur yang mencabut empat izin usaha pertambangan milik PT. Ridlatama bukanlah suatu tindakan yang dilakukan secara sewenang-wenang. Tindakan tersebut dilakukan oleh Bupati Kutai Timur karena PT. Ridlatama telah melakukan beberapa pelanggaran. Diantaranya adalah adanya indikasi pemalsuan surat izin kuasa pertambangan oleh PT. Ridlatama dan pelanggaran ketentuan perhutanan dengan adanya keterangan dari Menteri Kehutanan kepada Bupati Kutai Timur, yang menyatakan bahwa kegiatan perusahan tersebut dilakukan di kawasan hutan produksi, yang berdasarkan peraturan perundangan berlaku, hanya dapat dilakukan apabila sudah dapat izin dari Menteri Kehutanan. Jadi tindakan pencabutan tersebut semata-mata commit to user 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan bukan tanpa dasar dan sewenang-wenang, melainkan karena alasan pelanggaran yang telah dilakukan oleh PT. Ridlatama. Jadi, kesimpulan menurut Penulis terkait asas fair and equitable treatment secara keseluruhan adalah bahwa Indonesia telah memenuhi asas tersebut sehingga tidak ada alasan bagi Churchill Mining menggugat Pemerintah Republik Indonesia dengan alasan pelanggaran terhadap asas fair and equitable treatmentpada UK-RI BIT. 2. Article 5 Paragraph (1): Expropriation (1) Investments of nationals or companies of either Contracting Party shall not be nationalized, expropriated or subjected to measures having effect equivalent to' nationalization or expropriation (hereinafter referred to as " expropriation ") in the territory of the other Contracting Party except for a public purpose related to the internal needs of the expropriating Party and against compensation. Such compensation shall amount to the market value of the investment expropriated immediately before the expropriation or impending expropriation became public knowledge, shall be made without undue delay, shall be effectively realizable and shall be freely transferable. Appropriate provision shall be made for the determination and payment of such compensation. The legality of any expropriation and the amount and method of payment of compensation shall be subject to review by due process of law Hal kedua yang dipermasalahkan oleh Churchill Mining adalah tentang ekspropriasi atau nasionalisasi ini. Terkait nasionalisasi ini juga disampaikan oleh kuasa hukum Churchill Mining, Hogan Lovells kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dalam surat tersebut teertulis sebagai berikut “The revocation of the EKCP Licenses constitutes an expropriation under the UK-Indonesia BIT, thus requiring payment to Churchill of Prompt, adequate and effective compensation for the expropriation of its investment, and therefore the Republic of Indonesia is in breach of its obligation under the UK-RI BIT”. Sebelumnya Penulis telah menjelaskan mengenai nasionalisasi karena hal ini juga terkait dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Pada intinya adalah Indonesia tidak melakukan nasionalisasi karena definisi dari nasionalisasi itu sendiri merupakan pengambilalihan aset perusahan swasta menjadi milik negara. Tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa Indonesia akan mengambil alih aset milik Churchill Mining menjadi aset negara. Pencabutan empat izin usaha pertambangan commit to user 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut dilakukan karena adanya indikasi izin usaha pertambangan milik PT. Ridlatama yang tidak benar. Jadi bukan karena negara ingin mengambil aset milik Churchill Mining. Sehingga Pemerintah Indonesia tidak perlu membayarkan kompensasi dalam bentuk apapun kepada Churchill Mining. Hal tersebut telah Penulis jelaskan secara lengkap pada penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal di poin sebelumnya.
commit to user 103