perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian utama adalah kantor Yayasan Pangudi Luhur Surakarta. Yayasan Pangudi Luhur merupakan yayasan resmi yang saat ini mewadahi pengelolaan dan kegiatan Wayang Wahyu. Selain itu lokasi tempat kantor ini berada juga menjadi pusat administrasi dan perencanaan kegiatan Wayang Wahyu. Saat ini ‘kothak’ Wayang Wahyu pun tersimpan di lokasi tersebut, sehingga lokasi ini merupakan lokasi yang paling relevan dalam rangka menggali informasi terkait Wayang Wahyu. Kantor Yayasan Pangudi Luhur terletak di Kebruderan FIC, Jalan Sugiyapranata no.5, Keprabon, Surakarta. Kebruderan FIC merupakan sebuah bangunan berarsitektur eropa yang difungsikan sebagai biara atau tempat tinggal para bruder FIC di Surakarta. FIC merupakan salah satu kongregasi brotherhood atau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi kebruderan. Sementara nama panjang dari kongregasi FIC adalah ‘Kongregasi Para Bruder Santa Maria yang Terkandung Tak Bernoda’. Dalam bahasa latin yaitu Congregatio Frates Immaculatae Conceptionis (FIC) (Theo Riyanto, 2004). Perencanaan dan pengelolaan kegiatan Wayang Wahyu, baik itu pentas maupun perawatan, dikoordinasikan dari lokasi ini. Rapat persiapan dan evaluasi juga digelar disini. Bukan hanya tim inti Wayang Wahyu, beberapa bruder yang tinggal di kebruderan FIC juga turut serta membantu mengelola dan menaruh perhatian pada perkembangan Wayang Wahyu. Kantor Yayasan Pangudi Luhur sendiri hanya menempati 3 ruangan dari keseluruhan bangunan. Satu ruangan untuk administrasi, satu untuk unit koperasi cabang milik Yayasan Pangudi Luhur dan satu lagi untuk gudang.
commit to user
41
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Deskripsi Temuan Penelitian 1. Sejarah Wayang Wahyu a. Katolik dan Budaya Jawa Agama Katolik masuk ke Indonesia pada abad ke XVI, dibawa dan disebarkan oleh bangsa Portugis. Portugis merupakan pendukung agama Katolik Roma dengan Kepausan Vatikan sebagai pemegang otoritas tertinggi. Portugis mencapai wilayah Nusantara sebagai hasil dari penjelajahan samudra yang mereka lakukan. Tujuan utama dari penjelajahan yang Portugis lakukan adalah untuk mencari kekayaan, menambah kejayaan imperiumnya dan menyebarkan agama Katolik sebagai amanat dari Paus (Heuken, 2002). Katolik berkembang di beberapa wilayah barat dan timur Nusantara, seperti Batak, Nusa Tenggara dan Maluku. Sementara di Pulau Jawa yang notabene merupakan pusat kolonial, agama ini justru lambat berkembang. Penyebabnya adalah Portugis tak pernah mampu menguasai Pulau Jawa. Jawa dikuasai oleh Belanda yang menganut dan menyebarkan agama Kristen Protestan. Terlebih saat VOC menjajah Nusantara abad XVI-XVIII, agama Katolik mengalami masa stagnasi karena pemerintahan kolonial melarang keberadaan agama Katolik dan memaksa pengikutnya pindah agama Kristen Protestan (Heuken, 2003). Baru setelah pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan dari VOC di awal abad XIX, Katolik kembali mendapatkan kesempatan untuk berkembang lagi. Para misionaris mulai berdatangan ke seluruh wilayah Nusantara, termasuk Jawa. Salah satunya adalah Pastor F. Van Lith. Elisabeth Wulanjari dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Van Lith merupakan misionaris yang berbeda dari yang pernah datang ke tanah Jawa. Sebelum bertugas, Van Lith terlebih dulu mempelajari Bahasa Jawa dan budaya setempat. Van Lith menemukan bahwa sulitnya Katolik berkembang di Jawa bukan hanya karena faktor keterlambatan penyebaran, melainkan juga karena perbedaan budaya yang terlalu jauh, commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
serta kuatnya stigma Katolik sebagai agama ‘landa’ atau agama orang asing atau agama penjajah (Elisabeth Wulanjari, 1996) Selain mendirikan sekolah guru, mengutamakan pendidikan dan kesehatan bagi pribumi sebagaimana yang dilakukan para misionaris lain, Van Lith juga mempelajari budaya dan kesenian Jawa. Van Lith mengawali sebuah proses adaptasi gereja terhadap kehidupan berbudaya di daerah yang kemudian dikenal dengan istilah inkulturasi budaya. Istilah ini semakin berkembang setelah dibahas dan dilegalkan dalam Konsili Vatikan II (1960-1962), sebagai usaha yang bisa dilakukan oleh gerejagereja Katolik diseluruh dunia. Usaha
untuk
mengembangkan
inkulturasi
di
Indonesia
didukung penuh oleh gereja. Terutama setelah hirarki gereja Indonesia di resmikan dan diakui oleh kepausan pada tahun 1960. Mgr. Soegijapranata SJ, ditunjuk sebagai cardinal pribumi pertama di Indonesia yang keuskupannya berpusat di Semarang. Uskup Soegijapranata juga turut meresmikan nama Wayang Wahyu (Heuken, 2002). b. Gagasan Awal Pembuatan Wayang Wahyu Pada tanggal 13 Oktober di gedung Himpunan Budayawan Surakarta (HBS), digelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon ‘Dawud mendapat wahyu kraton’. Lakon ini memang asing didengar, awalnya bahkan terdengar seperti judul lakon karangan. Pertunjukan ini merupakan sebuah pertunjukan eksperimen dalam rangka untuk memperkenalkan kisah dalam kitab perjanjian lama ini melalui media wayang kulit. Lakon ini sendiri diambil dari kisah epik ‘David versus Goliath’ (Yayasan Wayang Wahyu, 1975:19). Berkisah tentang perjalanan Dawud yang mendapatkan wahyu Tuhan
untuk
menghentikan
kesengsaraan
kaum
yahudi
dengan
mengalahkan Goliath, raja tiran yang digambarkan dengan fisik serupa raksasa. Dalang dalam pertunjukan ini adalah M.M. Atmowijoyo. Pertunjukan wayang tersebut dihadiri oleh para Romo, pastor, para bruder to user serta suster di kevikepan commit Surakarta. Salah satu yang hadir di antaranya
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah Broeder Timothius L. Wignyosoebroto, FIC. Br. Timothius yang kala itu bertugas sebagai staf pengajar di SD Pangudi Luhur Surakarta, juga merupakan seorang budayawan. Baginya pertunjukan wayang kulit sebagai media untuk mendekatkan ajaran Katolik dengan masyarakat Jawa merupakan sebuah Ide yang brilian. Akan tetapi ada perasaan ganjil yang ditangkap oleh Br. Timothius. Contohnya dalam pertunjukan wayang kulit dengan lakon ‘Dawud mendapat wahyu kraton’ tersebut. Peran David atau Dawud dalam pementasan ini diwakili wayang Bambang Wijanarko, sementara Goliath diwakili oleh wayang Kumbokarno. Keduanya merupakan wayang dari epik Ramayana. Ditambah tokoh-tokoh lain, termasuk punokawan yang sudah familiar dengan dunia wayang kulit purwa, dirubah namanya menjadi nama-nama yahudi. Hal ini dinilai Br. Timothius belum memenuhi standar estetika (’50 Tahun Wayang Wahyu’, 2010). Gagasan untuk membentuk wayang kulit jenis baru ini kemudian disampaikan
kepada:
Dalang
M.M.
Atmowijoyo;
R.
Roesradi
Wijoyosawarna, seorang guru sekaligus seniman lukis; dan J. Soetarmo, seorang guru di SD Pangudi Luhur yang menangani bidang karawitan. Di kemudian hari, 4 nama tersebut akan dikenal sebagai pendiri utama Wayang Wahyu. Berempat mereka merundingkan gagasan ini hingga diperoleh kesepakatan sebagai berikut (Tim Wayang Wahyu, 1975): 1) Membuat wayang corak baru, dibuat dari kulit berbentuk manusia yang digambar miring, dua dumensi, dengan wajah atau praupan serta perwatakan orang-orang yang menjadi peranan dalam suatu lakon atau cerita. 2) Membuat lakon yang sumbernya dari Kitab Suci Perjanjian Lama atau Baru yang di dalamnya tertulis Wahyu/ Firman Tuhan. Dasar-dasar pemikiran serta tujuan yang menguatkan dorongan untuk menciptakan Wayang Wahyu ini adalah : 1) Menyadari bahwa setiap warga negara Indonesia berkewajiban turut commit tonasional user serta mewujudkan kebudayaan yang dapat menjadi ciri khas,
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dasar dan terciptanya kepribadian bangsa Indonesia yang luhur berlandaskan Pancasila yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Kuasa. 2) Menciptakan wayang baru dengan cerita yang bersumber dari Alkitab, berarti sambil mengadakan hiburan, mengenal atau menyebarkan wahyu-wahyu Tuhan kepada masyarakat yang akan dapat membuka jalan ke arah hidup beriman kepada Tuhan yang Maha Esa secara lebih konkret. 3) Usaha ini juga akan memperbanyak perbendaharaan corak wayang dalam dunia pewayangan atau seni pedalangan disamping wayangwayang yang sudah ada dan hidup berkembang di Tanah Air. 4) Usaha ini merupakan suatu bukti pengabdian kepada negara, bangsa dan agama dalam bidang pembangunan mental dan spiritual (1975). c. Realisasi Penggarapan Wayang Wahyu Ide Br. Timotheus ini terwujud dalam pembuatan tokoh-tokoh dengan lakon: 1) Malaikat Mbalela 2) Manusia Pertama Jatuh Dalam Dosa 3) Kelahiran Tuhan Yesus Kristus Untuk melengkapi tokoh-tokoh tersebut di atas, R. Roesradi Wijoyosawarno merealisasikan dengan membuat gunungan/kayon, tokoh malaikat-malaikat, setan-setan, Adam, Hawa, hewan-hewan, api neraka, pohon, Yusuf, Maria, kanak-kanak Yesus, para gembala, juru penginapan, gua Natal dan gaman-gaman. Bahan dasar figur tokoh wayang baru ini awalnya tidak terbuat dari kulit tetapi dari karton. Tokoh-tokoh ini disungging dan distilir dalam wujud dua dimensi, berwajah manusia sebenarnya (rai wong), tangan lebih pendek daripada tangan di wayang purwa dengan tangkai dari bambu. Tahun 1966 terjadi bencana banjir besar di Surakarta yang telah merusakkan wayang terbuat dari karton tersebut. Bencana ini mendorong to user kesadaran bahwa perlu commit dilakukan penyempurnaan bentuk, tatahan,
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sunggingan, cempurit dan tangan dengan bahan dari kulit kerbau dan tanduk kerbau seperti halnya pada wayang purwa. Sehingga sejak tahun 1963, pembuatan wayang wahyu ini tidak dari karton tetapi sudah dengan kulit kerbau/sapi dengan desain dari para bruder dan seniman iman Katolik. Pakeliran dan gamelan sementara masih berpola wayang purwa dengan
pola
iringan
gamelan
serta
gending
Jawa.
Pementasan
diiaksanakan selama empat (4) jam dengan sistematika seperti wayang purwa, tetapi materi sulukan, pathetan, ada-ada dalam pathet 6, pathet 9 dan pathet manyura disesuaikan dengan lagu pujian daru Kitab Suci sekaligus memperkenalkan firman/ wahyu tersebut dapat diwujudkan melalui karya seni. Biaya untuk membentuk sebuah karya wayang lengkap ditanggung bersama dengan dukungan biaya terbesar ditanggung oleh Rama J. Darmoyuwono Pr (Tim YPL, 1975: 21). . Setelah melalui banyak usaha dan persiapan, akhirnya Wayang jenis baru ini diresmikan melalui pagelaran perdana pada tanggal 2 Februari 1960. Kemudian wayang ini dikenal dengan nama Wayang Katolik. Uskup Agung Semarang saat itu, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, tidak menghendaki nama Wayang Katolik. Alasannya karena hal ini dapat menimbulkan kesan eksklusif. Rama PC Soetapanitro SJ memberikan usul nama yaitu WAHYU. Nama Wahyu dipilih dengan pertimbangan lakon yang diangkat merupakan kisah-kisah dalam Alkitab, untuk menyampaikan firman dan wahyu Tuhan. Nama ini mendapat restu dari Uskup Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Sejak saat itulah jenis wayang ini dikenal sebagai WAYANG WAHYU (Setyo Budi, 2002). Pada tahun 1975 pengelolaan Wayang Wahyu ditetapkan dalam bentuk yayasan. Ketetapan tersebut diresmikan melalui akta pendirian Yayasan Wayang Wahyu tertanggal 11 November 1975 (terlampir). Perekrutan dalang tidak dilakukan secara massif, hal ini dikarenakan untuk menjadi dalang Wayang Wahyu diperlukan panggilan commit to user jiwa dan niat yang tulus sesuai iman Katolik. Selain itu calon dalang juga
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
melalui proses wisuda yang dilakukan langsung oleh Br. Timothius selaku ketua yayasan saat itu. Sebagaimana disampaikan oleh ibu Lucia Siti Aminah: “Jadi pada waktu ulang tahun (wayang wahyu) ke-12, istilahnya di takbishkan dulu, atau di wisuda jadi dalang wayang wahyu. Dulu tidak semua orang bisa ndalang langsung bisa jadi dalang wayang wahyu. Jaman dulu sebelum ditahbiskan saya sudah mengikuti kegiatan dan mendalang wayang wahyu di beberapa tempat. Setelah terbukti ternyata saya bisa mendalang wayang wahyu dengan sumber cerita dari kitab suci. Baik itu perjanjian lama maupun perjanjian baru. Baru setelah itu saya ditahbishkan langsung oleh bruder timothius. Jadi saat ini saya termasuk dalang yang tertua, karena yang lain kan baru-baru saja bergabung.” 2. Eksistensi Wayang Wahyu a. Kepengurusan Wayang Wahyu Pengelolaan Wayang Wahyu dibawah kepengurusan Yayasan Wayang Wahyu tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Yayasan Wayang Wahyu dibubarkan. Pembubaran tersebut dikarenakan kelemahan Yayasan dalam menghasilkan pemasukan dan pengelolaan manajemen yang kekurangan sumber daya. Selanjutnya kepengurusan Wayang Wahyu dialihkan kepada Yayasan Pangudi Luhur. Yayasan Pangudi Luhur mewadahi
dan
mendanai
aktivitas
Wayang
Wahyu.
Sementara
kepengurusannya ditetapkan langsung dari pusat Yayasan Pangudi Luhur di Semarang dan sirkulasi dilakukan 5 tahun sekali. Kepengurusan terakhir memiliki masa periode jabatan mulai dari Februari 2010 hingga Desember 2014 (terlampir). Berikut struktur kepengurusan Wayang Wahyu saat ini : Pemerhati
: Br. Frans Sugi FIC
Ketua
: Br. Yohanes Sudaryono
Sekretaris
: Antonius Ismawan Sadmoko
Bendahara I
: Br. Petrus Radjiman herunugroho FIC
Bendahara II
: Ch. Musilah commit to user :
Anggota
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Br. F.A. Dwiyanto FIC 2. V. Indarti H.S. 3. C. Sri Mulyani 4. Agnes Sismilihana 5. B. Lasiyanto 6. Blasius Paryana 7. Ag. Wawan Agung Nugroho 8. Dwi Padma Indawati 9. Ant. Suramto b. Pementasan Wayang Wahyu Wayang Wahyu digelar minimal hanya 2 kali pentas tiap tahun, yaitu saat peringatan Paskah dan Natal. Sementara di tahun 2014, intensitas pementasan meningkat signifikan. Dalam catatan peneliti pentas Wayang Wahyu telah dilaksanakan sebanyak 7 kali sepanjang tahun 2014. a. “Pralaya Mukti”. Berkisah tentang hidup, kematian dan kebangkitan kembali Yesus Kristus. Tentang bagaimana ia bersabar dalam menghadapi
penolakan
dan
penyiksaan
yang
berawal
dari
pengkhianatan salah satu muridnya, Judas Iskariot. Serta tentang bagaimana ia dibangkitkan pada hari ketiga setelah dimakamkan juga wasiat yang ditinggalkannya (Observasi Pentas Paskah di Auditorium RRI, 20 April 2014). b. “Brayat Minulya jilid 1”. Berkisah tentang kehidupan perawan Maria saat menerima wahyu Tuhan. Sebagai seorang gadis biasa yang akan membina rumah tangga bersama Yoseph (kemudian dikenal sebagai Santo Yoseph), Maria mengalami pergolakan batin manakala malaikat Gabriel menyampaikan bahwa Yesus Kristus akan lahir dari rahimnya. Disatu sisi ia adalah hamba yang taat, disisi lain ia takut dengan semua reaksi Yoseph, keluarga dan masyarakatnya tentang keadaannya yang memiliki anak tanpa ayah. Namun, kemudian ia memantapkan hati untuk mengemban tugas mulia sebagai penerima titah Tuhan commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Observasi pentas Wayang Wahyu Paroki Gereja Kristus Raja, 25 Juni 2014). c. “Brayat Minulya jilid 2”. Kisah lanjutan kehidupan keluarga kudus. St. Yoseph telah menerima perintah Tuhan untuk melindungi Yesus dan Maria dengan status anak dan istrinya. Namun, ia juga mengalami kegundahan karena dalam pengabdiannya ia harus menjaga kesucian Maria dan membesarkan Yesus yang bukan anak kandungnya. Sementara itu Yesus yang beranjak remaja mulai memperlihatkan tanda-tanda mukjizatnya (Observasi Pentas Wayang Wahyu Paroki Kerten, Juli 2014). d. “Ha Na Ca Ra Ka Nabi Elliya”. Berkisah tentang nabi Elliya yang menjalankan perintah Tuhan untuk menumpas penguasa tiran (Observasi Pentas Wayang Wahyu Paroki Purbayan, September 2014. ). e. “Yusup Kinasih”. Merupakan lakon yang dikembangkan dari lakon awal berjudul Yusup Sang Pinunjul. Diadaptasi dari kitab perjanjian lama tentang kehidupan Nabi Yusuf. Yusuf adalah putra Yakub yang dibuang oleh saudara-saudaranya karena rasa iri. Ia menjalani hidup yang berat dengan diperjualbelikan sebagai budak, difitnah oleh nyonya rumah tempat ia bekerja dan dipenjara selama bertahun-bertahun. Yusuf akhirnya mampu melewati semua cobaan. Ia memakmurkan negeri Mesir dan berkumpul kembali dengan keluarganya (Observasi Pentas Wayang Wahyu di Jogja, 13 Agustus 2014). f. “Sang Juru Selamat”. Lakon yang menceritakan kelahiran Yesus Kristus dan tujuannya lahir di muka bumi (Observasi Pentas wayang Wahyu Sambut Natal 2014, 22 desember 2014). c. Penerimaan Masyarakat Surakarta Perkembangan sebuah karya atau seni budaya baru tentunya tak lepas dari penerimaan masyarakat setempat terhadap karya tersebut. Menurut Br. Ignatius Dalimin (63 th) selaku koordinator pelaksana Wayang Wahyu, selama ini tidak ada reaksi negatif dari masyarakat commit to user terhadap keberadaan Wayang Wahyu.
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Sejauh ini tidak ada yang seperti itu (reaksi negatif). Mungkin karena lingkup promosi dan publikasinya juga masih kecil sehingga belum banyak yang tahu. Tapi sejauh pengamatan kami selama ini reaksi masyarakat juga positif. Waktu kami gelar pertunjukan Wayang Wahyu untuk umum di Balai Sudjatmoko pun banyak yang nonton. Malah banyak yang nonKatolik dan mereka semua takjub. Kok ada ya wayang seperti itu gitu”. Sementara menurut Blasius Soebono (60 th), ada reaksi menolak tetapi hanya melalui uneg-uneg individu atau wacana kelompok tertentu saja. Tidak frontal maupun sarkastik. Meski demikian lebih banyak reaksi positif dari berbagai pihak. Bahkan, dari pegiat seni mancanegara. “Dalam perkembangannya, ada orang-orang yang tidak sependapat dengan keberadaan wayang wahyu karena ceritanya tentang Nasrani. Ketika saya menjadi ketua jurusan pedalangan, saya membaut perbandingan antara wayang wahyu dan wayang purwa. Kalau wayang wakyu, bentuknya itu dekat dengan figur orang, sedangkan wayang purwa itu abstrak. Terus ada rekan saya ketika sekolah S2 di ISI, namanya Frank (orang Amerika), dia juga membuat wayang. Ia mengambil karakter dari wayang kulit namun dengan ornamen yang baru sehingga tampilannya berbeda”. 3. Konsep Wayang Wahyu sebagai Media Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah a. Lakon ‘Yusup Kinasih’ Lakon ‘Yusup Kinasih’ diangkat dari kisah Nabi Yusuf. Kisah Nabi Yusuf bersifat universal karena telah banyak yang mendengarnya. Dalam Alkitab, kisah Nabi Yusuf atau Yosef terdapat dalam bagian akhir Kitab Kejadian. Sementara dalam Al Quran, kisahnya dimuat dalam Surat Yusuf yang terdiri dari 111 ayat. Berikut beberapa adegan kisah Yusuf dalam Alkitab dan Al Quran. Tabel 4. 1 Adegan Kisah Yusuf dalam Alkitab dan Al Quran No. 1.
Kisah Nabi Yusuf Dalam Alkitab Dalam Al Quran ‘Pada suatu kali mimpilah commityusuf, to user (Ingatlah), ketika Yusuf berkata lalu mimpinya ia ceritakan pada kepada ayahnya: "Wahai ayahku
perpustakaan.uns.ac.id
para saudara—dan bertambah benci mereka padanya—karena katanya pada mereka: “coba dengarkan mimpiku. Tampak kita sedang di ladang mengikat berkas-berkas gandum, lalu bangkitlah berkasku tegak berdiri; lalu datang berkasberkasmu kamu sekalian mengelilingi dan sujud pada berkasku.”(Kejadian 37: 5-7) Lalu ia memimpikan pula mimpi yang lain, yang diceritakannya kepada saudara-saudaranya. Katanya: "Aku bermimpi pula: Tampak matahari, bulan dan sebelas bintang sujud menyembah kepadaku."(37:9) Setelah hal ini diceritakannya kepada ayah dan saudarasaudaranya, maka ia ditegor oleh ayahnya: "Mimpi apa mimpimu itu? Masakan aku dan ibumu serta saudara-saudaramu sujud menyembah kepadamu sampai ke tanah?"(Kejadian 37:10)
2
51 digilib.uns.ac.id
[Yaqub], sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."(QS.12:4) “Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudarasaudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."(QS.12:5) “Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya ni'mat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan ni'mat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS.12:6)
Ket. Ayat-ayat diatas mengandung pelajaran bahwa Yusuf adalah seseorang yang memang telah diberkati kemuliaan sejak masa mudanya. Dan tanda-tanda kemuliaannya itu tampak nyata. Namun, justru tanda-tanda itulah yang memicu perasaan benci dari saudaranya. Selang beberapa waktu isteri Dan wanita (Zulaikha) yang tuannya memandang Yusuf Yusuf tinggal di rumahnya dengan berahi, lalu katanya: menggoda Yusuf untuk "Marilah tidur dengan aku." menundukkan dirinya Tetapi Yusuf menolak dan (kepadanya) dan dia menutup berkata kepada isteri tuannya pintu-pintu, seraya berkata: itu: "Dengan bantuanku tuanku "Marilah ke sini". Yusuf berkata: itu tidak lagi mengatur apa yang "Aku berlindung kepada Allah, ada di rumah ini dan ia telah sungguh tuanku telah menyerahkan segala miliknya memperlakukan aku dengan pada kekuasaanku, baik." Sesungguhnya orangcommit to user bahkan di rumah ini ia tidak orang yang zalim tiada akan
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3
lebih besar kuasanya dari beruntung” (QS.12:23) padaku, dan tiada yang tidak diserahkannya kepadaku selain dari pada engkau, sebab engkau isterinya. Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?"(Kejadian 39:7-9) Ket. Ayat-ayat diatas menerangkan bagaimana Yusuf bertahan dari godaan Istri Potifar (Alkitab) atau Zualaekha(Al Quran) dengan mengingat kebaikan tuannya dan rasa takut pada Tuhannya. “Kata Firaun kepada Yusuf: “Dan raja berkata: "Bawalah "Oleh karena Allah telah Yusuf kepadaku, agar aku memberitahukan semuanya ini memilih dia sebagai orang yang kepadamu, tidaklah ada orang rapat kepadaku". Maka tatkala yang demikian berakal budi dan raja telah bercakap-cakap bijaksana seperti dengan dia, dia berkata: engkau.”(Kejadian 41:39) "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami". (QS.12: 54) Ket. Setelah melalui banyak cobaan, ayat-ayat diatas memperlihatkan bagaimana Yusuf menerima kemuliaan. Firaun mempercayainya karena kejujuran, akhlak mulia dan ilmu yang dimilikinya.
b. Nilai dan Fungsi Wayang Wahyu 1) Wayang Wahyu sebagai media pewartaan iman Katolik. Ini merupakan tujuan awal diciptakannya Wayang Wahyu, yaitu untuk menjadi media syiar agama Katolik. Terlepas dari berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut, keberadaan Wayang Wahyu sebagai media pewartaan iman Katolik menjadi bukti sejarah perkembangan agama Katolik di Nusantara, khususnya Surakarta, Jawa Tengah. (Setyo Budi, 2002). 2) Wayang Wahyu sebagai media pendidikan nilai yang terjaga. Dalang Wayang Wahyu tidak bisa mementaskan lakon to userdalam lakon yang dibawakan, sesuai kemauannya. commit Percakapan
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berdasar pada naskah yang telah disusun bersama antara dalang, penulis naskah dan rohaniawan. Sebagaimana diungkapkan oleh Agustinus Handi (34 th): “Perbedaan paling jelas dari Wayang Wahyu dengan wayang kulit lain terletak pada naskahnya. Penulis naskah maupun dalang tak bisa sesuka hati berimprovisasi dengan percakapan maupun adegan dalam pentasnya. Naskah dikawal ketat sejak pembuatan dan pembahasannya, bukan hanya
oleh
rohaniawan.
kalangan Hal
ini
budayawan,
tapi
juga
oleh
dimaksudkan
agar
tidak
ada
percakapan maupun adegan melenceng dari Alkitab. Selain itu juga dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai yang baik tersampaikan dengan kata-kata yang baik. Tidak terlalu vulgar sebagaimana yang kini marak terjadi dalam pagelaran wayang kulit.” (Wawancara Agustinus Handi, 4 Desember 2014).
3) Wayang Wahyu sebagai wujud akulturasi antara budaya Jawa dan Eropa. Wayang merupakan kesenian asli Jawa. Sementara Wayang Wahyu mengadaptasi budaya eropa dalam berbagai sisi, mulai dari bentuk praupan, pakaian, maupun kisah yang diangkat. Van Lith memulai
langkah
ini
dengan
melakukan
inkulturasi
budaya,
menggunakan gendhing dan gamelan untuk mengiringi misa. Sementara Bruder Timothius dan kawan-kawan, menciptakan jenis wayang baru yang sama sekali berbeda dari wayang kulit purwa karena mengambil kisah-kisah dalam Alkitab. Selain itu bentuk dan praupan wayang serta nama-nama tokoh wayang sangat khas bernuansa Eropa. (Rosriyanto SJ, 2009; Yayasan Wayang Wahyu, 1975). commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Wayang Wahyu sebagai sebuah kesenian. Wayang Wahyu merupakan kesenian yang telah setengah abad berkembang, tetapi belum banyak dikenal khalayak luas. Minimnya kesadaran akan pentingnya menjaga hasil-hasil kebudayaan, khususnya kesenian, berdampak pada lemahnya usaha pelestarian. Keterbatasan pengelolaan Wayang Wahyu ada pada segi pendanaan, regenerasi serta publikasi (‘Wayang Wahyu’, 1975) c. Wayang Wahyu sebagai Media Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah Wayang Wahyu sebagai media pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah merupakan sebuah bentuk inovasi. Tujuannya untuk memberikan keleluasaan pada peserta didik untuk bereksplorasi dan berinterpretasi. Terlebih untuk memberikan nuansa baru dalam rutinitas kediatan pembelajaran sejarah yang biasanya terkurung dalam ruang kelas dan terbatas pada materi buku teks. Sehingga mampu memenuhi tujuan dari pelaksanaan pendidikan sejarah. Pengembangan Wayang Wahyu sebagai media pendidikan karakter juga diakui Agustinus Handi (34th) relevan dengan masa kini. “Saya ngomong jujur saja ya, kadang hidup menjadi katholik di Indonesia itu serba susah ya, dibayang-bayangi kami minoritas, tapi kami ingin menunjukkan bahwa meskipun kami minoritas kami mampu memberikan sumbangsih untuk Indonesia dengan menjadi tokoh-tokoh yang berkualitas, Wayang Wahyu ini juga untuk membawa wayang wahyu untuk menjadi cara syiar ini kok tidak lagi relevan kayak jaman dulu maka wayang wahyu ini kalau saya katakan ya mengajar umat katholik sendiri secara intern. Jadi inkulturasi gereja kan ada macem-macem, hidup gereja kan ada lima bidangnya di bidang peribadatan kami menyebutnya liturki, ini juga kita pakai inkulturasi sembahyang dengan bahasa Jawa, kitab suci diterjemahkan, lalu iringan musik tidak seperti di Vatikan di Eropa tapi kita pakai gamelan ini soal ibadat. Lalu soal syiar atau katekese menurut kami ini juga butuh inkulturasi, lalu pelayanan pelayanan bagi sesama, yang, miskin, kurang mampu, yang membutuhkan, soal kesatuan umat dan yang terakhir tentang kemartiran atau bisa dikatakan jihad ya, atau upaya yang sungguh-sungguh kalau commit to wayang user ditanyakan bagaimana wahyu itu sebagai media
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendidikan karakter saya kira sangat relevan untuk situasi Indonesia yang sangat plural maka kalau saya berpikir untuk pentas wayang wahyu, apalagi yang mengiringi saya itu semua orang muslim gitu kan? Meski menjadikan wayang wahyu itu menjadi klik juga sama yang nonton, jangan sampai menjadi eksklusif wayangnya orang Kristen tetapi saya berupaya untuk menjadi mencakup ajaran yang universal, karena ngomong soal mana yang baik dan mana yang jahat, ngomong soal nilai-nilai tinggi yang harus dicapai manusia, apalagi wayang wahyu kan mengutamakan nilai2 manusia yang tidak boleh sembrono…” Garis besar pembelajaran Sejarah Kebudayaan di Prodi Pendidikan Sejarah juga memberikan peluang penggunaan Wayang Wahyu sebagai media dalam pembelajaran sejarah. Hal tersebut dapat dilihat pada materi yang akan dibahas pada mata kuliah ini, yaitu: 1) Masa Prasejarah (jaman batu kuno, madya dan baru, serta jaman tembaga dan perunggu) 2) Masa mendapat pengaruh kebudayaan dari India (Hindu Budha) 3) Masa mendapat pengaruh dari kebudayaan Islam 4) Masa mendapat pengaruh dari kebudayaan Barat (Belanda) 5) Masa hubungan global Penggunaan Wayang Wahyu sebagai media dapat diterapkan pada materi ke 4. Tiap materi memiliki jatah 4 kali pertemuan untuk pendalaman materi. C. Pokok-Pokok Temuan Penelitian 1. Sejarah Wayang Wahyu a. Usaha
mendekatkan
agama
Katolik
dengan
masyarakat
melalui
pendekatan budaya telah dilakukan sejak berabad-abad lalu. Di Jawa usaha ini dimulai oleh seorang misionaris yang dikenal sebagai pastor F. Van Lith. Ia melakukan pendekatan budaya dengan syiar menggunakan Bahasa Jawa dan mengkreasikan gendhing Jawa dalam misa gereja. Van Lith mengukir namanya sebagai tokoh penyebaran Katolik yang berpusat di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. b. Pada tahun 1959 Br. Timothius L. Wignyosoebroto melakukan terobosan yang sama di Surakarta dengan media wayang kulit. Br. commit memanfaatkan to user
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
Timothius dan kawan-kawan menggagas dan merealisasikan sebuah jenis wayang kulit baru dengan tujuan mewartakan iman Katolik. Wayang tersebut diresmikan pada tanggan 2 Februari 1960. Wayang tersebut kemudian dikenal dengan nama Wayang Wahyu. c. Tahun 1960 menjadi momen peresmian hirarki gereja Indonesia oleh Kepausan Vatikan. Tahun 1960-1962 diselenggarakan Konsili Vatikan II yang mendukung pendekatan dan adaptasi budaya dalam rangka mendekatkan gereja dengan masyarakat setempat. Selain itu di tahun 1960 juga menjadi tahun peresmian Wayang Wahyu sebagai media pewartaan iman Katolik. Dengan demikian dekade 1960an menjadi titik sejarah penting perkembangan agama Katolik di Indonesia dan Wayang Wahyu menjadi bagian dari sejarah tersebut. 2. Eksistensi Wayang Wahyu a. Sejak awal kemunculannya Wayang Wahyu dikelola dibawah payung yayasan. Yayasan tersebut diresmikan 11 November 1975 dengan nama Yayasan Wayang Wahyu ‘Ngajab Rahayu’. Namun, permasalahan dana dan minimnya sumber daya akhirnya memaksa yayasan ini dibubarkan pada tahun 1995. Bubarnya Yayasan Wayang Wahyu ‘Ngajab Rahayu’ bukan berarti musnahnya Wayang Wahyu. Wayang Wahyu tetap terjaga eksistensinya dibawah naungan perlindungan dan pendanaan Yayasan Pangudi Luhur. b. Umumnya pementasan Wayang Wahyu dilakukan minimal 2 kali dalam setahun. Namun, saat ini tengah digiatkan usaha untuk melestarikan Wayang Wahyu dengan meningkatkan intensitas pentas Wayang Wahyu. Sepanjang tahun 2014 pentas Wayang Wahyu telah digelar sebanyak 7 kali pentas. 3. Konsep Wayang Wahyu sebagai Media Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah a. Lakon memegang peranan penting dalam memuat nilai-nilai yang ingin disampaikan. Dalam penelitian ini dipilih lakon Yusup Kinasih. Lakon commit to user Yusup Kinasih mengisahkan tentang kehidupan nabi Yusuf. Lakon ini
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersifat universal karena berasal bukan hanya dari Al kitab tetapi juga Al Quran. b. Nilai dan fungsi Wayang Wahyu turut mendukung potensi Wayang Wahyu sebagai media pendidikan karakter. Di antaranya adalah Wayang Wahyu sebagai media pewartaan iman Katolik, sebagai wujud akulturasi antara budaya Jawa dan Eropa, sebagai media pendidikan nilai yang terjaga serta sebagai sebuah karya seni. c. Penggunaan Wayang Wahyu sebagai media pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah dapat diterapkan di mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia. Tepatnya pada materi pengaruh kebudayaan barat. D. Pembahasan 1. Sejarah Wayang Wahyu a. Gagasan awal penciptaan Wayang Wahyu Agama Katolik telah berkembang di Jawa jauh sebelum negara ini merdeka. Meski demikian tetap sulit bagi agama ini untuk memperoleh tempat di hati masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Selain karena agama Islam telah lebih dahulu mendominasi, keberadaan Katolik yang dianggap sebagai agama asing juga menjadi salah satu penyebab lemahnya penyebaran agama Katolik di masyarakat. Katolik lebih dulu dibawa oleh para penjajah atau kaum kolonial beserta para misionaris yang berasal dari eropa, maka Katolik kemudian lebih dikenal dengan citra sebagai agama landa. Perbedaan budaya yang jelas menonjol antara para misionaris dengan masyarakat Hindia-Belanda menjadikan agama ini terasa semakin jauh dari masyarakat Jawa di awal perkembangannya. Kemudian muncul usaha-usaha untuk menjadikan Katolik lebih fleksibel agar dapat diterima oleh masyarakat. Di Jawa, usaha ini telah dirintis mulai dari region Muntilan oleh Romo Van Lith. Van Lith memang berbeda dengan para misionaris pendahulunya. Jika para misionaris sebelumnya hanya menyebarkan ajaran Katolik secara ala kadarnya sebagaimana yang commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mereka lakukan di negara asalnya, Van Lith memulai langkah perubahan dengan mempelajari budaya Jawa (Rosariyanto SJ, 2009). Van Lith memulai pendekatannya pada masyarakat Jawa dengan mempelajari bahasa Jawa. Ini merupakan langkah yang efektif mengingat bahasa merupakan modal utama agar kedua belah pihak dapat saling memahami dan dipahami. Ditambah dengan perilaku welas asih yang ditunjukkan oleh para misionaris, perlahan Katolik mulai bisa diterima masyarakat Jawa. Penerimaan ini semakin meluas ketika Van Lith melakukan pendekatan budaya dengan mengijinkan nyanyian misa gereja dirubah dengan bahasa dan instrumen laiknya gending-gending Jawa. Hampir seabad berlalu setelah usaha Van Lith ini, tepatnya pada tahun 1960-1962, melalui Konsili Vatikan II, Paus mengumumkan sebuah langkah resmi yang dapat dilakukan oleh gereja-gereja Katolik diseluruh dunia dalam rangka untuk mendekatkan diri dengan masyarakat pribumi. Langkah ini dilakukan guna menjadikan gereja lebih fleksibel, yaitu dengan memasukkan unsur-unsur budaya masyarakat setempat kedalam kegiatan-kegiatan gereja. Selanjutnya langkah ini dikenal dengan istilah inkulturasi budaya. Bersamaan dengan digelarnya Konsili Vatikan II, di kota Surakarta tengah berlangsung sebuah usaha untuk memperkenalkan ajaran dan nilai-nilai keimanan Katolik kedalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya Surakarta. Berawal pada tahun 1957, tepatnya pada tanggal 13 Oktober di gedung Himpunan Budayawan Surakarta (HBS), digelar pertunjukan wayang kulit dengan lakon ‘Dawud mendapat wahyu kraton’. Lakon ini memang asing didengar, awalnya bahkan terdengar seperti judul lakon
karangan.
Pertunjukan
ini
merupakan
sebuah
pertunjukan
eksperimen dalam rangka untuk memperkenalkan kisah dalam kitab perjanjian lama ini melalui media wayang kulit. Lakon ini sendiri diambil dari kisah epik ‘David versus Goliath’ (Yayasan Wayang Wahyu, 1975:19). Berkisah tentang perjalanan Dawud yang mendapatkan wahyu commit kesengsaraan to user Tuhan untuk menghentikan kaum yahudi dengan
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengalahkan Goliath, raja tiran yang digambarkan dengan fisik serupa raksasa . Dalang dalam pertunjukan ini adalah M.M. Atmowijoyo. Pertunjukan wayang tersebut dihadiri oleh para Romo, pastor, para broeder (Br.) serta suster di kevikepan Surakarta. Salah satu yang hadir di antaranya adalah Broeder Timothius L. Wignyosoebroto, FIC. Br. Timothius yang kala itu bertugas sebagai staf pengajar di SD Pangudi Luhur
Surakarta,
juga
merupakan
seorang
budayawan.
Baginya
pertunjukan wayang kulit sebagai media untuk mendekatkan ajaran Katolik dengan masyarakat Jawa merupakan sebuah Ide yang brilian. Akan tetapi ada perasaan ganjil yang ditangkap oleh Br. Timothius. Contohnya dalam pertunjukan wayang kulit dengan lakon ‘Dawud mendapat wahyu kraton’ tersebut. Peran David atau Dawud dalam pementasan ini diwakili wayang Bambang Wijanarko, sementara Goliath diwakili oleh wayang Kumbokarno. Keduanya merupakan wayang dari epik Ramayana. Ditambah tokoh-tokoh lain, termasuk punokawan yang sudah familiar dengan dunia wayang kulit purwa, dirubah namanya menjadi nama-nama yahudi. Hal ini dinilai Br. Timothius belum memenuhi standar estetika (’50 Tahun Wayang Wahyu’, 2010). Fakta bahwa Katolik merupakan agama yang berasal dari wilayah dan budaya yang jauh berbeda dari nusantara, merupakan hal yang tidak bisa disangkal. Ini menjadi alasan sulitnya untuk menggunakan wayang kulit purwa sebagai media pengenalan ajaran Katolik. Melalui kesadaran tersebut, Br. Timothius kemudian menggagas penciptaan suatu jenis wayang baru. Wayang yang jauh berbeda dan jelas terpisah dari pakem wayang kulit purwa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan syiar ajaran Katolik serta mengikis anggapan masyarakat Jawa terhadap Katolik sebagai agama ‘Landa’. Gagasan untuk membentuk wayang kulit jenis baru ini kemudian disampaikan kepada: Dalang M.M. Atmowijoyo; R. Roesradi commit to user seniman lukis; dan J. Soetarmo, Wijoyosawarna, seorang guru sekaligus
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seorang guru di SD Pangudi Luhur yang menangani bidang karawitan. Di kemudian hari, 4 nama tersebut akan dikenal sebagai pendiri utama Wayang Wahyu. Berempat mereka merundingkan gagasan ini hingga diperoleh kesepakatan sebagai berikut (Tim Wayang Wahyu, 1975): 3) Membuat wayang corak baru, dibuat dari kulit berbentuk manusia yang digambar miring, dua dumensi, dengan wajah atau praupan serta perwatakan orang-orang yang menjadi peranan dalam suatu lakon atau cerita. 4) Membuat lakon yang sumbernya dari Kitab Suci Perjanjian Lama atau Baru yang di dalamnya tertulis Wahyu/ Firman Tuhan. Dasar-dasar pemikiran serta tujuan yang menguatkan dorongan untuk menciptakan Wayang Wahyu ini adalah : 5) Menyadari bahwa setiap warga negara Indonesia berkewajiban turut serta mewujudkan kebudayaan nasional yang dapat menjadi ciri khas, dasar dan terciptanya kepribadian bangsa Indonesia yang luhur berlandaskan Pancasila yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Kuasa. 6) Menciptakan wayang baru dengan cerita yang bersumber dari Alkitab, berarti sambil mengadakan hiburan, mengenal atau menyebarkan wahyu-wahyu Tuhan kepada masyarakat yang akan dapat membuka jalan ke arah hidup beriman kepada Tuhan yang Maha Esa secara lebih konkret. 7) Usaha ini juga akan memperbanyak perbendaharaan corak wayang dalam dunia pewayangan atau seni pedalangan disamping wayangwayang yang sudah ada dan hidup berkembang di Tanah Air. 8) Usaha ini merupakan suatu bukti pengabdian kepada negara, bangsa dan agama dalam bidang pembangunan mental dan spiritual (1975). b. Realisasi dan Penggarapan Wayang Wahyu Terbentuknya kesepakatan untuk menciptakan sebuah jenis wayang baru, dilanjutkan dengan tahap realisasi gagasan tersebut. Langkah commit to user restu dari para Romo dan pastor pertama yang dilakukan adalah memohon
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kevikepan Surakarta. Proses penggarapan segera dilaksanakan setelah memperoleh restu serta dukungan dari Pastor Purwosari kala itu Romo Adisoedjono MSF, Romo Justinus Darmoyuwono Pr., selaku pastor kepala paroki Purbayan, serta Rama PC Soetopanitro SJ yang saat itu bertugas di paroki Gedangan Semarang. Saat itu nama resmi dari jenis wayang ini belum ditentukan. Terbatasnya pentas hanya pada lingkungan tertentu, mengakibatkan banyak yang menyebutnya sebagai Wayang Katolik (Setyo Budi, 2002: 46). Tahap awal penggarapan adalah penentuan lakon yang akan dipentaskan. Dengan usulan dari Br. Timothius saat berunding dengan para pendiri utama, pementasan pertama akan menampilkan 3 lakon secara berurutan dalam satu pagelaran (Setyo Budi, 2002). Lakon-lakon yang disepakati adalah: a.
“Malaekat Mbalela” : mengisahkan tentang Lucifer, sang pemimpin malaikat yang merasa lebih hebat dari tuhan sehingga ia melakukan pemberontakan yang berujung pada terusirnya dia dari surga dan jatuh ke neraka.
b.
“Wiyosan Dalem” : Lucifer yang jatuh ke neraka dan menjadi iblis, menyimpan dendam atas keadaannya. Ia melampiaskannya dengan menjerumuskan ciptaan tuhan yaitu manusia yang pertama, sehingga terusir dari surga dan turun ke bumi.
c.
“Kelahiran Yesus Kristus”: Berabad-abad setelah manusia pertama turun ke bumi, mereka terus berkembang dan banyak Di antaranya melakukan kejahatan dan keburukan. Tuhan memutuskan untuk menurunkan juru selamat di muka bumi yang akan lahir dari rahim perawan suci, Maria (2002). Setelah lakon disepakati, selanjutnya MM Atmowijoyo mulai
menyusun naskah untuk pentas pertama dari Wayang Wahyu ini. Tahapan ini merupakan bagian vital, mengingat naskah pementasan wayang bukan hanya tentang kumpulan percakapan. Naskah juga mencakup tokoh-tokoh commit to lakon, user beserta penggambaran gending siapa saja yang akan muncul dalam
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang mewakili suasana adegan. Sementara J. Soetarno, bertugas untuk menyusun gendhing-gendhing dan melatih para pengrawit. Tokoh-tokoh
yang
telah
ditetapkan
kemudian
menjadi
pedoman bagi Roesradi Wijiyosawarno untuk mulai membentuk wayang. Awalnya Wayang Wahyu digambar dan pola-polanya disesuaikan dengan akulturasi barat dan timur. Dengan ciri khas tubuh Wayang Purwa yang dimodifikasi dengan pakaian warna-warni. Blasius Soebono, dalang Wayang Wahyu, dalam wawancaranya dengan peneliti mengungkapkan bahwa saat awal pembuatan, perupaan tokoh-tokoh wayang meniru dari komik-komik kisah Alkitab yang telah ada saat itu. Sehingga praupan-nya dengan jelas membentuk gambar wajah manusia. Bukan seperti praupan wayang kulit purwa yang abstrak. Selanjutnya wayang pun mulai diukir diatas kertas karton. Pembuatan tokoh-tokoh wayang diatas media kertas karton bukan tanpa alasan. Dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan pada ukiran atau sunggingan, masih terbuka lebar kemungkinan penyempurnaan gambar Wayang Wahyu. Selain itu pertimbangan dana yang minim juga menjadi salah satu faktornya. Meski sangat sederhana, penggarapan Wayang Katolik ini cukup menelan banyak biaya. Sementara untuk persiapan pementasan pertama, mendapat banyak bantuan termasuk sumbangan dana dari Romo J. Darmono Pr (Yayasan Wayang Wahyu, 1975). Gagasan yang muncul ditahun 1957 ini melalui proses penggarapan secara teknis mulai dari tahun 1959. Satu tahun setelahnya, tepatnya tanggal 2 Februari 1960 ditetapkan sebagai hari peresmian yang ditandai dengan pagelaran perdana Wayang Katolik tersebut. Pagelaran wayang yang dilakukan di gedung SKKP susteran Purbayan tersebut dihadiri oleh para romo, pastor, suster, budayawan, serta pejabat kota madya dan jajaran instansi kebudayaan di Surakarta (Yayasan Wayang Wahyu, 1975). commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keberhasilan pagelaran awal ini memberikan respon positif dari sejumlah pemirsa yang hadir pada waktu itu. Pagelaran pertama mendapat dukungan untuk terus mengembangkan wayang tersebut dengan merealisasikan gagasan membuat wayang yang berciri dan bernafaskan iman Katolik. Keempat tokoh pemrakarsa wayang baru ini bekerja keras membuat, mengembangkan dan menyempurnakan karakteristik khusus wayang yang bersumber dari Alkitab. Banyak kritik dan saran serta dukungan yang diberikan dalam rangka mendorong pengembangan wayang jenis baru ini. Selanjutnya Wayang Katolik dipentaskan secara rutin untuk memperingati momenmomen tertentu seperti natal dan paskah. Wayang ini masih dikenal sebagai Wayang Katolik. Pasca pementasan yang ke-3, baru muncul desakan untuk menentukan nama resmi dari wayang jenis baru ini. Uskup Agung Semarang saat itu, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, tidak menghendaki nama Wayang Katolik. Alasannya karena hal ini dapat menimbulkan kesan eksklusif dan justru bertolak belakang dengan tujuan awal penciptaannya yang ingin lebih dekat dengan masyarakat Jawa serta menghilangkan citra Katolik sebagai agama ‘Landa’. Rama PC Soetapanitro SJ memberikan usul nama yaitu WAHYU. Nama Wahyu dinilai tepat mewakili wayang jenis baru ini, mengingat lakon yang diangkat merupakan kisah-kisah dalam Alkitab, baik itu perjanjian lama serta penjanjian baru yang ditujukan untuk menyampaikan firman dan wahyu Tuhan. Nama ini mendapat restu dari Uskup Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Sejak saat itulah jenis wayang ini dikenal sebagai WAYANG WAHYU. Sementara untuk hari jadi Wayang Wahyu, tetap menggunakan tanggal pagelaran perdana yaitu 2 Februari 1960 (Setyo Budi, 2002). 2. Eksistensi Wayang Wahyu a. Kepengurusan Wayang Wahyu Sebuah sanggar atau padhepokan wayang kulit biasanya commit user komunitas seni. Tujuannya pun dimiliki oleh seorang seniman atautosebuah
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbeda-beda, ada yang murni nguri-uri budaya Jawa, ada pula yang menjalankannya sebagai sebuah bisnis seni mengingat animo masyarakat terhadap wayang kulit masih tinggi. Namun, hal serupa tidak berlaku dalam perkembangan Wayang Wahyu. Sejak pagelaran perdana pada tahun 1960, Wayang Wahyu memang mengalami banyak pengembangan. Berbeda dengan sanggarsanggar kesenian yang umumnya ada di Surakarta, Wayang Wahyu dirintis dan dikembangkan bukan hanya oleh para seniman, tapi juga para rohaniawan dan berada dibawah perlindungan keuskupan. Wayang Wahyu tidak dimiliki oleh Individu atau komunitas tertentu, tidak pula ditujukan untuk kepentingan komersil (Wawancara Br. Yohanes Sudaryono, 21 Februari 2014). Hal tersebut menjadi salah satu faktor Wayang Wahyu tumbuh dibawah kepengurusan yang terorganisasi. Wayang Wahyu awalnya dirintis oleh Br. Timothius L. Wignyosoebroto bersama tiga rekan lainnya yaitu M.M. Atmowijoyo selaku dalang dan penulis naskah; R. Roesradi Wijoyosawarna sebagai pembuat wayang, dan J. Soetarmo yang bertugas di bagian gendhing dan karawitan. Keempatnya kemudian disebut sebagai pendiri utama. Sebelum pageralan perdana, turut bergabung 2 orang lagi yaitu Kapten Tituler A.P. Soeradi, seorang pembina rohani Katolik di BRIGIF 6 serta R.Ng. Martosoedirjo yang ketika itu menjabat kepala sekolah di SD Kanisius Pucang Sawit. Keduanya memiliki keahlian sebagai dalang. Enam nama ini kemudian tercatat sebagai pendiri Wayang Wahyu. Struktur kepengurusan Wayang Wahyu yang lengkap baru resmi terbentuk pasca pementasan yang ke tiga, bersamaan dengan diresmikannya nama Wayang Wahyu. Kepengurusan awal yang terdiri dari para pendiri, kemudian ditambah dengan beberapa penasihat rohani. Sehingga struktur kepengurusannya adalah seperti berikut (’50 Tahun Wayang Wahyu’, 2010): Pelindung Umum
commit to user : Mgr. Soegijapranata SJ.
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pelindung Setempat : Rama J. Damarjuwono Pr. Penasihat Rohani
: Rama D. Adi Soejono MSF. Rama PC Soetopanitro SJ.
Ketua
: Br. Timothius L. Wignyosoebroto SJ.
Sekretaris
: J. Soetarmo (merangkap bagian karawitan)
Penulis Naskah
: MM. Atmowijoyo
(merangkap dalang)
AP Soeradi R.Ng. Th. Martosoedirjo
Pembuat Wayang
: R. Roesradi Wijoyosawarno (2010)
Lima belas tahun sejak pendirian Wayang Wahyu, tepatnya pada tahun 1975, organisasi ini semakin berkembang. Pada tahun ini pula organisasi Wayang Wahyu mulai mentasbihkan diri membentuk wadah baru yang berupa yayasan. Kemudian organisasi ini dikenal dengan nama Yayasan Wayang Wahyu. Perkembangan Wayang Wahyu dikenal oleh masyarakat secara luas mendorong dibuatkan akta tertanggal 11 November 1975 dengan nomor 41/75 oleh notaries Maria Theresia Budisantoso, SH. Melalui akta notaries tersebut maka identitas wayang baru ini disebut “Wayang Wahyu Ngajab Rahayu”. Penamaan “Ngajab Rahayu” ini disebabkan oleh bentuk pakeliran atas (pelangitan kelir) bertuliskan “Wayang Wahyu Ngajab Rahayu”, sehingga tulisan ini menjadi motto pagelaran yang memiliki arti “Wayang Wahyu mendambakan keselamatan”(‘Wayang Wahyu’, 1970). Hal ini sesuai dengan harapan bahwa kehidupan beriman merupakan sebuah proses kehidupan yang mendambakan keselamatan. Wayang Wahyu menjadi bentuk realisasi pendekatan ajaran Kristiani dengan muatan lokal (kesenian tradisional/Jawa). Pihak gereja tetap dominan sebagai penentu keputusan akhir dengan memberikan batasan dogmatis. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan ada kesalahan penyampaian konsep maupun bentuk figur Wayang Wahyu tersebut. Kehati-hatian gereja dalam setiap sketsa to user rancangan tokoh wayangcommit akan disungging tersebut mendorong terjadi
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
proses diskusi untuk memunculkan status atau karakteristik tokoh tersebut. Diskusi ini menjadi sangat penting karena konsepsi dogmatis gereja sebagai agen pewartaan iman terwujud melalui pencitraan figur Wayang Wahyu sebagai media tontonan, tuntunan dan tatanan hidup beragama dan bermasyarakat. Sejak tahun 1960 sampai 1998 kondisi paguyuban Wayang Wahyu ini langsung menjadi milik umat Katolik Surakarta dan milik bangsa Indonesia sebagai wujud pelestarian budaya daerah dan budaya nasional. Keberadaan Wayang Wahyu “Ngajab Rahayu” Surakarta ini berada di bawah naungan lingkungan gereja Universal. Hal ini dimaksudkan untuk tetap melestarikan keberadaan Wayang Wahyu sebagai milik gereja, masyarakat dan bangsa, yang memerlukan perhatian seksama serta menjadi tanggung Jawab bersama untuk melestarikan dan mengembangkan karya suci sebagai sebuah misi luhur bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan falsafah Pancasila (Wawancara Br. Yohanes Sudaryono, 21 Februari 2014). Berdasarkan
arsip
yayasan
Pangudi
Luhur
Surakarta
(terlampir), tahun 2014 ini kepengurusan Wayang Wahyu masih aktif dan berkembang meski tidak dalam skala masif. Pengurusnya terdiri dari tokoh-tokoh yang berpengalaman di bidangnya. Berikut struktur kepengurusan Wayang Wahyu saat ini : Pemerhati
: Br. Frans Sugi FIC
Ketua
: Br. Yohanes Sudaryono
Sekretaris
: Antonius Ismawan Sadmoko
Bendahara I
: Br. Petrus Radjiman herunugroho FIC
Bendahara II
: Ch. Musilah
Anggota
: 1. Br. Al. Istiyanto 5)
Br. F.A. Dwiyanto FIC
6)
V. Indarti H.S.
7) C. Sri Mulyani to user 8)commit Agnes Sismilihana
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
9)
B. Lasiyanto
10) Blasius Paryana 11) Ag. Wawan Agung Nugroho 12) Dwi Padma Indawati 13) Ant. Suramto Sementara berdasar hasil observasi peneliti, dalam hal teknis, pementasan wayang Wahyu digawangi oleh para pakar dibidangnya yaitu: Rohaniawan/
: Br. Ignatius Dalimin
koordinator Penulis Naskah
: Sudarko
Dalang
: Sujani M.Kar Blasius Subono, M.Kar Bambang Winarno, S.Kar Lucia Siti Aminah Subanto Ernest Udayana(2014) Berada dibawah kepengurusan dari para ahli dan tokoh-tokoh
yang
berpengalaman,
memberikan
dampak
positif
bagi
kualitas
pementasan Wayang Wahyu. Meski demikian bukan berarti pengelolaan Wayang Wahyu saat ini bebas dari masalah. Permasalahan krusial yang dialami oleh kepengurusan Wayang Wahyu ini adalah pada regenerasi dan pendanaan. Meski saat ini telah ada dalang muda dan mahasiswa jurusan pedalangan yang membantu dalam pementasan, hal tersebut belum menjamin eksistensi dan pelestarian Wayang Wahyu di masa yang akan datang. Pendanaan pentas Wayang Wahyu saat ini masih bergantung pada yayasan Pangudi Luhur. Selain menjadi pelindung yang menaungi segala kegiatan Wayang Wahyu, yayasan ini juga berperan penting dalam menutup pengeluaran finansial dari pementasan Wayang Wahyu. Sementara untuk kebutuhan selain pementasan, seperti peremajaan instrumen, wayang, kelir dan lain-lain, seringkali menggunakan dana committak to user pribadi pengurus atau bahkan ada sama sekali. Tentu saja hal ini
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilakukan semampunya serta tak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan. Masalah sumber daya pendanaan menjadi salah satu faktor penting yang menghambat pengelolaan, perkembangan dan pelestarian Wayang Wahyu ini (Wawancara Lucia Siti Aminah S., 28 November 2014). 2. Pementasan Wayang Wahyu Pengelolaan dan pelestarian Wayang Wahyu berbeda dengan Wayang Purwa biasa. Minimnya sumber daya pendukung menjadi faktor penghambat pelestarian wayang ini. Biasanya Wayang Wahyu digelar minimal hanya 2 kali pentas tiap tahun, yaitu saat peringatan paskah dan Natal. Sementara di tahun 2014, intensitas pementasan meningkat signifikan. Dalam catatan peneliti pentas Wayang Wahyu telah dilaksanakan sebanyak 7 kali sepanjang tahun 2014. Pentas-pentas yang telah dilakukan sepanjang tahun 2014 menggunakan naskah-naskah yang baru disusun. Beberapa di antaranya bahkan sama sekali baru dan belum pernah dipentaskan di tahun-tahun sebelumnya. Lakon-lakon yang dipentaskan antara lain: a. “Pralaya Mukti”. Berkisah tentang hidup, kematian dan kebangkitan kembali Yesus Kristus. Tentang bagaimana ia bersabar dalam menghadapi
penolakan
dan
penyiksaan
yang
berawal
dari
pengkhianatan salah satu muridnya, Judas Iskariot. Serta tentang bagaimana ia dibangkitkan pada hari ketiga setelah dimakamkan juga wasiat yang ditinggalkannya (Observasi Pentas Paskah di Auditorium RRI, 20 April 2014). b. “Brayat Minulya jilid 1”. Berkisah tentang kehidupan perawan Maria saat menerima wahyu Tuhan. Sebagai seorang gadis biasa yang akan membina rumah tangga bersama Yoseph (kemudian dikenal sebagai Santo Yoseph), Maria mengalami pergolakan batin manakala malaikat Gabriel menyampaikan bahwa Yesus Kristus akan lahir dari rahimnya. Disatu sisi ia adalah hamba yang taat, disisi lain ia takut dengan semua commit to user reaksi Yoseph, keluarga dan masyarakatnya tentang keadaannya yang
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki anak tanpa ayah. Namun, kemudian ia memantapkan hati untuk mengemban tugas mulia sebagai penerima titah Tuhan (Observasi pentas Wayang Wahyu Paroki Gereja Kristus Raja, 25 Juni 2014). c. “Brayat Minulya jilid 2”. Kisah lanjutan kehidupan keluarga kudus. St. Yoseph telah menerima perintah Tuhan untuk melindungi Yesus dan Maria dengan status anak dan istrinya. Namun, ia juga mengalami kegundahan karena dalam pengabdiannya ia harus menjaga kesucian Maria dan membesarkan Yesus yang bukan anak kandungnya. Sementara itu Yesus yang beranjak remaja mulai memperlihatkan tanda-tanda mukjizatnya (Observasi Pentas Wayang Wahyu Paroki Kerten, Juli 2014). d. “Ha Na Ca Ra Ka Nabi Elliya”. Berkisah tentang nabi Elliya yang menjalankan perintah tuhan untuk menumpas penguasa tiran (Observasi Pentas Wayang Wahyu Paroki Purbayan, September 2014. ). e. “Yusup Kinasih”. Merupakan lakon yang dikembangkan dari lakon awal berjudul Yusup Sang Pinunjul. Diadaptasi dari kitab perjanjian lama tentang kehidupan Nabi Yusuf. Yusuf adalah putra Yakub yang dibuang oleh saudara-saudaranya karena rasa iri. Ia menjalani hidup yang berat dengan diperjualbelikan sebagai budak, difitnah oleh nyonya rumah tempat ia bekerja dan dipenjara selama bertahun-bertahun. Yusuf akhirnya mampu melewati semua cobaan. Ia memakmurkan negeri Mesir dan berkumpul kembali dengan keluarganya (Observasi Pentas Wayang Wahyu di Jogja, 13 Agustus 2014). f. “Sang Juru Selamat”. Lakon yang menceritakan kelahiran Yesus Kristus dan tujuannya lahir di muka bumi (Observasi Pentas wayang Wahyu Sambut Natal 2014, 22 desember 2014) Setiap pentas meliputi tahap persiapan, pementasan dan evaluasi. Selain pentas untuk natal dan paskah, biasanya pentas bersifat occasional. Hanya jika ada acara atau undangan untuk pentas saja, baru commit topentas. user Langkah awal dalam tahap kemudian dilakukan persiapan
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
persiapan adalah berkoordinasi dengan yayasan pangudi luhur, karena aktivitas Wayang Wahyu sendiri saat ini didanai dan berada di bawah naungan Yayasan Pangudi luhur. Ciri khas yang jelas membedakan pentas Wayang Wahyu dengan wayang lainnya adalah pada naskahnya. Dalang pada pertunjukan wayang kulit biasanya hanya cukup memuat kerangka inti adegan. Selanjutnya dalang dapat berimprovisasi dengan percakapan dan dagelan dalam penampilannya. Sementara dalam Wayang Wahyu, penyusunan naskah selain oleh penulis naskah dan dalang, juga perlu dikawal ketat oleh rohaniawan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar lakon yang dibawakan tidak melenceng dari Alkitab (Wawancara Agustinus Handi, 4 Desember 2014). Naskah awal yang telah disusun kemudian dibahas bersama dalam rapat persiapan atau koordinasi lanjutan. Koordinasi lanjutan tersebut berupa rapat terpadu yang terdiri dari perwakilan Yayasan pangudi luhur, rohaniawan yang diwakili oleh pastor atau brueder, penulis naskah serta para dalang Wayang Wahyu. Dalam rapat ini dibahas apa yang kurang dan perlu dirubah dari naskah yang sudah anda. Selain itu juga ditentukan dalang yang akan mementaskan lakon serta gendinggending apa saja yang akan digunakan (Observasi Proses Persiapan Pentas Wayang Wahyu ‘’Brayat Minulya jilid I’). Tanggung Jawab untuk mengelola bagian gendhing biasanya diserahkan pada dalang Blasius Subono yang juga ahli dalam bidang karawitan dan gendhing. Langkah selanjutnya adalah mulai latihan untuk pementasan. Latihan biasanya dilakukan 2-3 kali atau sesuai dengan kebutuhan. Ditambah dengan 1 kali latihan gladi bersih. Pada awal perkembangannya Wayang Wahyu dipentaskan sama seperti Wayang Purwa. Durasi pementasannya semalam suntuk dan gendhing-gendhing
yang
digunakan
pun
sama.
Namun,
seiring
perkembangan dan tuntutan fleksibilitas, saat ini durasi pementasan commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Wayang Wahyu hanya berkisar 1-4 jam (Wawancara Lucia Siti Aminah S., 28 November 2014). Menurut Blasius Soebono, pada dasarnya teknik pementasan Wayang Wahyu sangat kental dengan pengaruh dari wayang kulit purwa. Pada umumnya dalang-dalang Wayang Wahyu juga memiliki basis wayang kulit purwa. Antara dalang satu dengan dalang lainnya akan berbeda dalam mementaskannya, sangat tergantung dari latar belakangnya. Latar belakang wayang kulit ini, berpengaruh pada struktur, adeg-adeg, dan pathet (dalam gendhingnya) sama dengan Wayang Purwa. Sementara pengembangannya lebih pada inti cerita serta gendhing-gendhing. Dibuat gendhing-gendhing gereja dengan sulukan yang sama (Wawancara Blasius Subono, 13 Februari 2014). Tahap terakhir adalah evaluasi. Rapat evaluasi dihadiri oleh anggota-anggota yang sama seperti dalam rapat koordinasi. Sesuai namanya rapat ini bertujuan untuk mengevaluasi kekurangan dari pementasan yang telah dilakukan. Selain itu juga untuk menganalisis bagian mana yang perlu dikembangkan dan dipertahankan dalam pementasan Wayang Wahyu. Selama tahun 2014, intensitas pentas Wayang Wahyu meningkat pesat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahap evaluasi biasanya dilakukan bersamaan dengan rapat persiapan pentas selanjutnya.
3. Konsep Wayang Wahyu Sebagai Media Pendidikan karakter Dalam Pembelajaran Sejarah a. Pendidikan karakter dalam lakon Yusup Kinasih Pada usianya yang telah menginjak 54 tahun, Wayang Wahyu bertransformasi dari media syiar agama menjadi media hiburan sekaligus pembelajaran berbasis non-profit. Wayang Wahyu tak lagi memiliki kekuatan sebagai media pewartaan iman Katolik untuk khalayak umum. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat yang telah berubah. Wayang tak commit user sebagaimana pada masa Sunan lagi mampu menjadi media syiartoagama
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kalijaga dulu. Sehingga pergeseran fungsi dan tujuan Wayang Wahyu bukanlah hal yang perlu dihindari. Hal tersebut diungkapkan oleh Agustinus Handi yang menyebutkan bahwa wayang berbasis syiar agama tertentu akan sulit berkembang di masa ini (Wawancara Agustinus Handi, 4 desember 2014). Salah satu fungsi wayang, khususnya Wayang Wahyu yang dapat dikembangkan saat ini adalah sebagai media pendidikan karakter. Penanaman karakter serta nilai-nilai dapat disematkan melalui lakon-lakon yang dimainkan. Saat menonton pentas wayang kulit sebenarnya yang disaksikan adalah lakon yang dimainkan. Lakon memegang peranan penting sebagai nyawa dari pertunjukan wayang kulit. Pagelaran wayang biasanya dikenal melalui judul lakon. Judul lakon adalah suatu nama untuk menunjuk rentetan peristiwa tertentu. Fungsinya sebagai pembatas atau pembeda antara satu kelompok peristiwa, dengan kelompok peristiwa yang lain. Nilai-nilai dan ajaran serta etika disampaikan pada penonton melalui lakon yang dipentaskan. Sangat penting bagi penulis naskah untuk menanamkan nilai-nilai karakter tersebut dalam karya yang ia tulis. Begitu pula dengan dalang. Dalang berperan untuk menghidupkan kisah yang tertuang dalam lembaran tersebut agar menjadi lebih hidup (Wawancara Lucia Siti Aminah, 28 November 2014). Perbedaan mendasar antara Wayang Purwa dengan Wayang Wahyu bukan hanya terletak pada tokoh-tokohnya, melainkan juga pada lakonnya. Lakon dalam Wayang Wahyu sama sekali tidak menyentuh dunia mahabarata dan ramayana. Sumber lakon wayang diambil dari kisah-kisah dalam kitab perjanjian lama dan perjanjian baru. Wayang Wahyu menjadi sebuah perwujudan akulturasi dan perpaduan dari berbagai budaya yang berbeda (Wawancara Blasius Subono, 13 Februari 2014). Penelitian ini mengangkat satu sampel lakon yang mewakili commit to user fleksibilitas Wayang Wahyu sebagai media pendidikan karakter. Lakon
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang diangkat adalah ‘Yusup Kinasih’. Yusup Kinasih merupakan satu pembabagan pentas yang diadaptasi dari kisah perjalanan hidup nabi Yosef dalam kitab perjanjian lama. Pementasan lakon ini dibagi menjadi 3 bagian dan dibawakan oleh 3 orang dalang dengan durasi selama kurang lebih 4 jam (Observasi Pentas Wayang Wahyu ‘Yusup Kinasih’, 13 Agustus 2014). Alasan yang mendasari dipilihnya lakon ini sebagai sampel adalah karena lakon ini diangkat dari kisah yang terdapat bukan hanya di Alkitab atau Perjanjian lama. Kisah ini juga terdapat dalam Al-Quran yang merupakan kitab suci umat islam. Dalam Al Quran kisah Yusuf terdapat dalam surat kedua belas, yaitu surat Yusuf. Sementara dalam Alkitab, kisah Yusuf atau Yosef dapat ditemui pada bab terakhir kitab Kejadian. Sehingga dalam pandangan peneliti, lakon ini lebih fleksibel dan akan dengan mudah diterima masyarakat umum karena kisahnya sudah banyak diketahui orang. Perbedaannya tentu saja terletak pada penyampaian dari pentas Wayang Wahyu itu sendiri. Kisah Yusuf mengajarkan tentang kesabaran dan ketaatan yang dimiliki Yusuf, meski cobaan datang bertubi-tubi dalam kehidupannya. Dengan dasar kisah yang sudah familiar dan kuat dari segi karakter, lakon yang mengangkat kisah ini semestinya mampu menjabarkan lebih detail tentang karakter dan nilai-nilai yang dibawakan. Dalam penelitian ini peneliti menganalisis adegan maupun percakapan dari naskah lakon ‘Yusup Kinasih’ yang dibawakan oleh dalang Agustinus Handi. Lakon Yusup Kinasih, bercerita tentang kehidupan Yusup a.k.a Yosef a.k.a. Nabi Yusuf. Berdasar pada Alkitab kitab Kejadian 36-50, Yusup adalah putra Yakub, ia tinggal bersama ayah, saudara kandungnya Benjamin dan saudara-saudara tirinya antara lain Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Isakhar, Zebulon, Dan, Naftali, Gad serta Asyer. Saudara-saudara tirinya menyimpan rasa iri pada Yusup karena ia lebih disayang oleh sang ayah (Kitab kejadian, 46). commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Suatu hari Yusup bercerita pada ayahnya bahwa ia bermimpi keluarga mereka sedang mengikat karung-karung gandum. Karung miliknya berdiri tegak, sementara karung-karung gandum milik yang lain tertunduk kearahnya. Di mimpinya yang lain ia melihat matahari, bulan, dan sebelas bintang sujud menyembahnya. Ayahnya berkata itu berarti ayah ibu dan saudara-saudaranya akan berada dibawah Yusuf. Saudara Yusuf
mendengar hal ini dan bertambah kebenciannya pada Yusuf.
Akhirnya saudara-saudara Yusuf, kecuali Benyamin, berkonspirasi untuk menyingkirkan Yusuf. Yusuf di buang ke sumur dan di temukan oleh saudagarsaudagar yang kemudian menjualnya sebagai budak di Mesir. Sementara ayahnya, Yakub, jatuh dalam kedukaan selama bertahun-tahun karena kehilangan Yusuf. Di Mesir Yusuf menjadi budak dari pejabat kerajaan, Potifar. Namun, sebaik dan sejujur apapun Yusuf bekerja, paras tampannya justru menyebabkan musibah baginya. Istri dari Potifar menaruh hati padanya dan saat Yusuf menolak untuk melayani nafsu wanita itu, ia justru di fitnah dan dijebloskan ke penjara. Penjara justru menjadi peluang menuju kemuliaan bagi Yusuf. Ia bertemu dengan juru minuman dan juru roti yang dihukum padahal salah satu Di antaranya tak bersalah. Mereka memiliki mimpi dan Yusuf bisa menafsirkan mimpi itu. Juru minuman bermimpi memeras minuman dari pohon anggur yang bercabang 3 untuk Firaun. Sementara juru roti bermimpi membawa 3 keranjang makanan untuk Firaun di kepalanya, tetapi burung-burung memakan makanan itu. Yusuf menerangkan bahwa dalam waktu 3 hari yang akan datang, juru minuman akan mendapatkan kembali pangkat dan kemuliaannya. Sementara juru roti akan dihukum gantung atas kesalahannya. Yusuf berpesan pada juru minuman jika nanti keluar dari penjara, agar membantunya bebas dengan meminta keadilan untuk dirinya kepada Firaun. Namun, juru minuman lupa akan pesan Yusuf. commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adegan ini dapat dikembangkan lagi dengan menitikberatkan pada Yusuf yang diuji kembali kesabarannya. Juru minuman yang semestinya menyampaikan pada Firaun tentang ketidakadilan yang menimpanya,
justru
melupakannya.
Akibatnya
Yusuf
pun
harus
mendekam lebih lama dalam penjara. Meski demikian Yusuf tetap memegang teguh imannya. Ia menjadi penafsir mimpi bagi siapapun yang memintanya. Apabila ada yang memujinya, ia selalu merendah dengan mengatakan bahwa semua ilmu yang dimilikinya adalah atas berkah Tuhan. Dua tahun setelahnya Firaun bermimpi dan tak seorang pun mampu menafsirkan mimpinya. Firaun bermimpi tentang 7 ekor lembu gemuk yang keluar dari sungai nil dan merumput di tepian sungai. Lalu muncul 7 lembu lain yang buruk dan kurus memakan 7 ekor lembu yang gemuk tadi. Saat itu juru minuman teringat pada Yusuf dan menceritakannya pada Firaun. Firaun memanggil Yusuf. Adegan kesebelas menggambarkan perjumpaan awal Yusuf dan Firaun. Terjadi percakapan antara Firaun dan yusuf yang di dalamnya terkandung nilai falsafah kehidupan sekaligus pendidikan karakter (Naskah terlampir). Berikut uraiannya. Pirngon :
Yusup. Jeneng sira wis sun uwali saka pakunjaran! He, Yusup, ingsun ndangu marang sira. Pawarta kang ndak tampa saka juru pangunjukan, kowe kuwi wong kang sugih micara, lantip lan sugih sanggit. Apa ta tegese brata sumpena yekti waskita?(Yusuf. Kau sudah ku keluarkan dari penjara. Wahai Yusuf, aku tanya padamu. Berita yang kuterima dari juru minuman, kau adalah orang yang yang pandai bicara, benar, jujur dan berilmu. Apa artinya brata sumpena yekti waskita ?)
Yusup
:
Sinuwun, brata sumpena yekti waskita: Menawi boten klentu brata menika laku. Sumpena menika impi, yekti commit tolan user waskitha menika titis ing menika temen,
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pamawas.(Yang mulia, brata sumpena yekti waskita, jika hamba tak keliru, brata berarti perilaku, sumpena berarti mimpi, yekti artinya sungguh-sungguh san waskitha adalah mampu peka/waspada). Pirngon :
Gancare piye?(Apa maksudnya?)
Yusup
Tiyang ingkang remen prihatin badhe antuk wangsiting
:
Hyang Agung. Menawi saged mbabar wangsit, ingkang sinedya bakal tumeka, ingkang ginayuh badhe saged kinawasa kasembadan ing sedya.(Orang yang berlaku prihatin/hidup
dalam
kesederhanaan
akan
mendapat
wangsit/wahyu dari Tuhan. Apabila dapat menafsirkan wangsit, yang diharapkan akan datang. Yang ingin dicapai akan mendapatkan kesempatan yang diharapkan ). Firaun kemudian menceritakan pada Yusuf perihal mimpinya. Yusuf menjelaskan perihal datangnya 7 tahun penuh kemakmuran dan 7 tahun kekeringan. Yusuf memberi saran Firaun untuk menimbun bahan makanan yang melimpah selama 7 tahun untuk mencukupi kebutuhan 7 tahun
selanjutnya.
Firaun
kemudian
membebaskan
Yusuf
dari
hukumannya dan mengangkatnya menjadi pejabat yang bertanggung Jawab untuk memastikan kebutuhan pangan 14 tahun yang akan datang. Firaun mengangkat Yusuf sebagai penguasa di tanah mesir. Setelah lewat 7 tahun kemakmuran datanglah 7 tahun penuh kekeringan. Namun, mesir tetap makmur karena telah menyimpan gandum selama masa 7 tahun yang berlimpah. Hidup penuh kesederhanaan dan diselingi banyak penderitaan, menjadikan Yusuf lebih mawas diri. Ini merupakan pelajaran yang dapat diambil dari adegan dalam lakon Yusup Kinasih. Kekuatan naskah memegang peranan penting dalam menyampaikan nilai-nilai kebajikan melalui Wayang Wahyu. Dalam adegan percakapan atara Firaun dan Yusuf tersebut, pembuat naskah memasukkan falsafah Jawa tentang hidup commit to userkesempatan yang diperoleh dalam yang sederhana. Yusuf memanfaatkan
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masa kemakmuran dengan membuat aturan yang membuat penduduk Mesir hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Sehingga saat kekeringan melanda, mereka masih dapat menikmati apa yang selama ini mereka simpan. Kisah berlanjut dengan kekeringan yang melanda seluruh negeri hingga ke daerah Kanaan, tempat asal Yusuf dan keluarganya. Yakub menyuruh anak-anaknya, selain Benyamin, agar pergi ke Mesir untuk menebus gandum bagi keluarga mereka. Sesampainya di Mesir mereka bertemu dengan Yusuf, bersujud hormat padanya, tapi mereka sudah tidak mengenalinya. Sementara Yusuf yang masih mengenali mereka. Yusuf menuduh mereka adalah mata-mata. Saudara-saudaranya mengelak dan menceritakan asal-usulnya, juga tentang saudara Yusuf, Benyamin yang tinggal bersama ayahnya. Lalu sebagai jaminan atas katakatanya Yusuf menahan salah satu di antara saudaranya dan meminta saudaranya yang lain untuk membawa Benyamin kehadapannya. Para saudara tiri Yusuf pun pulang dengan rasa takut karena harus menghadap ayahnya dengan rasa bersalah akan apa yang terjadi di Mesir. Yakub begitu bersedih karena sejak kehilanyan Yusuf ia tak pernah melepas Benyamin pergi bersama saudara-saudara tirinya. Sesampainya di Mesir mereka bertemu kembali dengan Yusuf, setelah membebaskan saudaranya mereka diijinkan untuk pulang. Namun, saat hendak keluar dari gerbang, penjaga memeriksa bawaan mereka dan menemukan piala emas milik Yusuf dalam kantung gandum yang dibawa Benyamin. Benyamin dituduh sebagai pencuri dan akan ditahan. Di hadapan Yusuf, saudara-saudara tirinya sujud dan memohon pengampunan pada Yusuf. Mereka menawarkan salah satu Di antaranya untuk dijadikan tahanan menggantikan Benyamin. Mereka menceritakan perihal ayahnya yang telah lama terlarut dalam kedukaan karena ditinggal oleh anaknya, yusuf. Jika benyamin tak pulang bersama mereka, maka ayahnya akan mati karena tak mampu lagi menanggung kesedihan untuk kedua kalinya. commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berikut ini merupakan adegan klimaks yang mampu menguras emosi. Ketika Yehuda, saudara Yusuf yang dahulu paling bernafsu untuk menyingkirkannya, berlutut minta maaf dihadapan Yusuf. Ia belum tahu bahwa yang berdiri dihadapannya adalah Yusuf, adiknya. Ketakutan dan rasa bersalah yang begitu besar terhadap ayah dan adiknya, membuat Yehuda mengakui perbuatannya dihadapan orang asing yang tak lain adalah adiknya sendiri, Yusuf. Yusup
:
Aku wis dhawuh, wis wanti-wanti. Sing sapa katutan tuwungku emas... Kudu keri neng kene. Kudu ditinggal! Nyatane tuwung emasku neng gonine Benyamin. Mula Benyamin
tak
kuperintahkan.
kersakke. Barang
siapa
Liyane yang
mulih!( membawa
Sudah piala
emasku..haris tinggal disini. Harus ditinggal! Kenyataannya piala emasku ada dalam karung Benyamin. Karena itu benyamin yang kuinginkan. Yang lain pulanglah!). Yehuda
:
Ooooo, Gusti!
Aduh, menawi Benyamin dipun tilar!
Tegesipun Bapak kula badhe nandhang gerah awrat! Mesakaken Bapa kula. Bapa Yakub punika sampun sepuh sanget! Kamangka Bapa Yakub taksih nggrantes amargi kecalan adhi kula Yusup. Adhi kula Yusup sampun dangu boten wonten! Kula rumaos bilih Yusup ical punika amargi kula! Lajeng menawi Benyamin paduka pundhut, kula kuatos Bapa Yakub boten kiyat nandhang sisah, lajeng seda!(Ooo..gusti. Aduh. Jika benyamin ditinggal artinya ayah hamba akan menderita sakit yang amat sangat. Kasihanilah ayah hamba. Bapa Yakub itu sudah sangat renta. Terlebih Bapa Yakub masih sangat bersedih karena kehilangan adik hamba Yusud. Adik hamba Yusuf sudah lama tiada. Hamba mengakui bahwa hilangnya Yusuf adalah karena ulah hamba. Lalu apabila Benyamin paduka commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ambil,,hamba khawatir Bapa yakub tak akan kuat menahan kesedihan lalu meninggal!). (Yusup mbalik paningal-sedih)(Yusuf berbalik—sedih) Adhuh Gusti! Kula nyuwun Benyamin supados wangsul amargi kula sampun janji kaliyan Bapa Yakub supados Benyamin saged mantuk! Pramila kula aturi ngluwari Benyamin! Kula mawon ingkang dipun pidana! Kapejahana kula ugi ndherek watonipun Bapa Yakub saged panjang yuswa!(Aduuh..gustii! Hamba mohon agar Benyamin bisa pulang, karena hamba sudah berjanji pada Bapa Yakub untuk membawa Benyamin pulang. Karena itu hamba mohon bebaskan Benyamin. Hamba saja yang dipenjara! Kematian hamba juga bisa membuat Bapa yakub panjang umur. ) Oh, amarga adhiku Yusup ora ana, Bapa Yakub dadi gampang gerah!(Oh, karena adik hamba yusuf tak ada, Bapa Yakub jadi sakit-sakitan!). Gusti, kula sagah nebus dosa kula dhateng adhi kula Yusup ingkang sampun boten wonten! Oh Gusti, saumpami, saumpami Yusup tasih, kula sagah nyembah dlamakanipun lan sagah dados kesedipun!(Gusti..hamba bersedia menebus dosa hamba pada adik hamba Yusuf yang sudah tiada! Oh, Gusti, seandainya,, seandainya Yusuf masih ada..hamba pun bersedia menyembah kakinya!) Mendengar
penderitaan
ayahnya,
Yusuf
tak
mampu
bersandiwara dan menahan perasaan lagi. Ia pun meminta saudarasaudaranya mendekat dan membeitahu kebenarannya pada mereka. Bahwa ia adalah Yusuf, saudara yang dulu mereka buang ke sumur dan dijual ke Mesir (Alkitab ‘Kitab Kejadian’ 36-45, Al Quran 12: 1-111 ). commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Konsep Pembelajaran Sejarah dengan Media Wayang Wahyu Bapak pendidikan Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, memiliki perspektif sendiri dalam pendidikan karakter. Kecerdasan adalah hal utama dalam pendidikan. Namun, bagaimana budi pekerti dan jalan apa yang ditempuh anak dalam menyikapi masalah merupakan tujuan utama dari pendidikan. Ia merumuskan azas-azas pendidikan untuk diterapkan di negara ini. Azas tersebut antara lain: Kodrat alam, azas kemerdekaan, azas kebudayaan, azas
kebangsaan
dan
azas
kemanusiaan.
Kodrat
alam
berarti
mengembalikan anak pada potensi dan bakat sesungguhnya. Semua manusia terlahir sama, tetapi memiliki potensi masing-masing untuk mencapai sesuatu sesuai kemampuannya. Azas kemerdekaan bukan hanya dilatarbelakangi kondisi saat itu yang berada dibawah penjajahan, melainkan juga karena kesadaran dari Ki Hajar bahwa setiap anak lahir sebagai individu yang merdeka. Mereka mereka harus dididik untuk menjadi merdeka, baik itu pikirannya, batinnya maupun tenaganya (H.A.R. Tilaar, 2007). Azas kebudayaan menitikberatkan pada perlunya membimbing anak agar tetap menghargai serta mengembangkan kebudayaan bangsanya sendiri. Tujuannya untuk mengenal budaya dan jatidiri bangsa ini sendiri. Azas kebangsaan yang diinginkan oleh Ki Hajar dimaksudkan untuk membawa anak agar memiliki jiwa nasionalisme. Dalam rangka memperoleh kemajuan, jiwa kebangsaan ini bukan berarti indonesia harus mengucilkan diri. Sebaliknya, kita harus bergaul dengan bangsa-bangsa lain dengan tetap menjaga diri agar tak kehilangan jatidiri. Azas yang telah disebutkan tidak boleh bertentangan dengan azas kemanusiaan. Azas kemanusiaan didasari oleh rasa cinta kasih dan toleransi terhadap sesama manusia. Pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Sementara pembelajaran sejarah memiliki arti commit to user dan peradaban bangsa yang strategis dalam pembentukan watak
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini karena pengetahuan masa lampau yang diakomodasi oleh mata pelajaran sejarah mengandung nilainilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian peserta didik. Tujuan dari pelaksanaan pendidikan sejarah seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut,: a.
Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
b.
Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan.
c.
Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
d.
Menumbuhkan
pemahaman
peserta
didik
terhadap
proses
terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang, e.
Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. Pembelajaran sejarah tak lepas dari bagaimana dan dengan
metode apa ia diajarkan. Karakteristik metode yang baik sebagaimana disampaikan oleh S.K. Kochhar (2008), Di antaranya adalah: a.
Mampu membangkitkan minat yang besar dalam benak siswa.
b.
Menanamkan nilai-nilai yang diperlukan, perilaku yang pantas, dan commit to user kebasaan kerja di antara para siswa.
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Mengubah tekanan dari pembelajaran secara lisan dan penghafalan ke pembelajaran melalui situasi yang bertujuan, konkret, dan nyata.
d.
Mengembangkan eksperimen guru dalam situasi kelas yang sesungguhnya.
e.
Memiliki keleluasaan untuk aktivitas dan partisipasi siswa.
f.
Menstimulasi keinginan untuk melakukan studi dan eksplorasi lebih lanjut.
g.
Membangkitkan minat tentang materi dan teknik yang digunakan oleh para sejarawan agar siswa dapat memahami ‘bagaimana kami menulis sejarah’. Metode ini sebaiknya memberi mereka kesempatan untuk melihat kedalam ruang kerja para sejarawan agar mereka mengetahui berbagai macam interpretasi peristiwa-peristiwa bersejarah dan karakter-karakter yang saling bertentangan (2008). Berdasarkan uraian diatas, Wayang Wahyu mampu memenuhi
kriteria yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi tujuan pendidikan sejarah dan azas-azaz yang dirumuskan Ki Hajar Dewantara. Wayang Wahyu memiliki kandungan nilai historis bukan hanya pada kisah-kisah yang diangkat. Namun, juga terdapat dalam bentuk fisik dan perjalanan perkembangan Wayang Wahyu itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai dan fungsi yang dimiliki Wayang Wahyu: a. Wayang Wahyu memiliki fungsi sebagai media pewartaan iman Katolik. Ini merupakan tujuan awal diciptakannya Wayang Wahyu, yaitu untuk menjadi media syiar agama Katolik. Terlepas dari berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut, keberadaan Wayang Wahyu sebagai media pewartaan iman Katolik menjadi bukti sejarah perkembangan agama Katolik di Nusantara, khususnya Surakarta, Jawa Tengah. Hal ini memenuhi kriteria untuk menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau (Setyo Budi, 2002). b. Wayang Wahyu sebagai media pendidikan karakter. Perbedaan commit to userwayang kulit lain terletak pada mendasar Wayang Wahyu dengan
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
naskahnya. Penulis naskah maupun dalang tak bisa sesuka hati berimprovisasi dengan percakapan maupun adegan dalam pentasnya. Naskah dikawal ketat sejak pembuatan dan pembahasannya, bukan hanya oleh kalangan budayawan, tapi juga oleh rohaniawan. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada percakapan maupun adegan melenceng dari Alkitab. Selain itu juga dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai yang baik tersampaikan dengan kata-kata yang baik. Tidak terlalu vulgar sebagaimana yang kini marak terjadi dalam pagelaran wayang kulit. Naskah Wayang Wahyu memiliki peranan penting dalam menanamkan nilai (Wawancara Agustinus Handi, 4 Desember 2014). c. Wayang Wahyu merupakan perwujudan akulturasi antara budaya Jawa dan Eropa. Wayang Wahyu diciptakan untuk memperkenalkan dan mendekatkan masyarakat Jawa dengan agama Katolik. Faktor yang turut menyebabkan agama Katolik sulit berkembang adalah karena agama Katolik dianggap begitu asing. Hingga sempat muncul idiom agama Katolik adalah agama ‘landa’, karena dibawa oleh bangsa asing. Adanya perbedaan budaya barat dan timur, mendorong para misionaris dan rohaniawan untuk menemukan sarana guna mendekatkan diri dengan masyarakat. Van Lith memulai langkah ini dengan melakukan inkulturasi budaya, menggunakan gendhing dan gamelan untuk mengiringi misa. Sementara Bruder Timothius dan kawan-kawan, menciptakan jenis wayang baru yang sama sekali berbeda dari wayang kulit purwa karena mengambil kisah-kisah dalam Alkitab. Selain itu bentuk dan praupan wayang serta nama-nama tokoh wayang sangat khas bernuansa Eropa. Wayang Wahyu merupakan objek tepat untuk dipelajari sebagai hasil dari sebuah akulturasi budaya (Rosriyanto SJ, 2009; Yayasan Wayang Wahyu, 1975). d. Wayang Wahyu sebagai sebuah kesenian. Wayang Wahyu merupakan kesenian yang telah setengah abad berkembang, tetapi belum banyak dikenal khalayak luas. Minimnya kesadaran akan pentingnya menjaga to user hasil-hasil kebudayaan,commit khususnya kesenian, berdampak pada lemahnya
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
usaha pelestarian. Keterbatasan pengelolaan Wayang Wahyu ada pada segi pendanaan, regenerasi serta publikasi. Dengan menjadikan sebuah kesenian budaya sebagai media dalam pembelajaran sejarah, instansi penyelenggara dan peserta didik bukan hanya mempelajari nilai historis maupun pendidikan karakternya saja, tetapi juga membantu usaha pelestarian warisan budaya ini (Doni Kusuma, 2010). e. Wayang
Wahyu
sebagai
media
pendidikan
karakter
dalam
pembelajaran sejarah merupakan sebuah bentuk inovasi. Tujuannya untuk memberikan keleluasaan pada peserta didik untuk bereksplorasi dan berinterpretasi. Terlebih untuk memberikan nuansa baru dalam rutinitas kediatan pembelajaran sejarah yang biasanya terkurung dalam ruang kelas dan terbatas pada materi buku teks. Sehingga mampu memenuhi tujuan dari pelaksanaan pendidikan sejarah. f. Tujuan utama dari pembiasaan pembelajaran dengan media Wayang Wahyu adalah untuk mengembangkan rasa toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman. Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Meski demikian Indonesia
juga
dikenal
dengan
keberagamannya,
termasuk
keberagaman beragama. Katolik merupakan salah satu agama minoritas yang ada di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Keberagaman bukan hanya memiliki keindahan, melainkan juga memiliki potensi pertikaian. Ketiadaan toleransi dan penghargaan atas perbedaan merupakan pemicu lahirnya benih-benih kebencian dan perdebatan antar agama, suku, maupun ras. Kunci inti dari penerimaan akan perbedaan itu adalah pembiasaan atau kebiasaan untuk membiasakan diri. Masyarakat minoritas terbiasa dengan prosedur keagamaan dan budaya masyarakat mayoritas. Sementara masyarakat dari kelompok mayoritas seringkali justru belum terbiasa dengan budaya yang dimiliki kelompok minoritas. Sehingga keberadaan kelompok lain terasa asing dan aneh. Wayang Wahyu dapat menjadi langkah awal dan sarana bagi peserta didik untuk commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membiasakan diri dengan perbedaan, mampu menerima keragaman budaya yang dimiliki kelompok lain (Choirul Mahfud, 2011). Konsep penggunaan Wayang Wahyu sebagai media pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah, lebih tepat digunakan dalam lingkungan pembelajaran tingkat perguruan tinggi. Dikutip dalam Djumhur dan Danu, Ki Hajar Dewantara menjelaskan dalam bukunya Bagian Satu: Pendidikan, bahwa usia dewasa, diatas 17 tahun merupakan usia yang matang. Siswa yang telah memasuki usia tersebut belajar di Taman Madya. Mereka dianggap telah memasuki periode ma’rifat. Materi yang diberikan haruslah berkaitan dengan etika dan kesusilaan, termasuk dasar-dasar kebangsaan, kemanusiaan, kebudayaan dan lain sebagainya (Djumhur dan Danu, 1976:23). Penggunaan Wayang Wahyu sebagai media pendidikan karakter dalam institusi pendidikan sejarah dapat dimasukkan dalam materi sejarah kebudayaan dengan tujuan untuk mempelajari pengaruh kebudayaan barat di Indonesia. Sejarah kebudayaan merupakan mata kuliah yang bertujuan untuk memberikan pemahaman pada mahasiswa terhadap sejarah perkembangan kebudayaan Indonesia dalam berbagai babagan sejarah. Konsep pengembangan praktek pembelajaran dapat melalui 2 metode, yaitu: a. Metode Tugas Metode ini berprinsip pada keyakinan bahwa tugas meulis dan mengumpulkan data akan meningkatkan pengetahuan, metode ini sering diterapkan di tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Kochhar, 2008: 324). Pendidik dapat memberikan tugas pada mahasiswa untuk menyaksikan pementasan Wayang Wahyu sebagai objek observasi. Kemudian sebagai hasil akhirnya berupa esay mengenai hasil analisis terhadap nilai-nilai dan keunikan yang dimiliki oleh Wayang Wahyu. b. Metode Proyek Metode ini memberikan pengalaman belajar yang sesuai untuk pribadi commit user ini adalah aktivitas, tujuan dan yang berbeda. Prinsip dasar daritometode
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengalaman (Kocchar, 2008:341). Dibutuhkan kerjasama resmi antara institusi penyelenggara pendidikan dengan yayasan pengelola Wayang Wahyu. Bentuk kerjasamanya adalah dengan usaha bersama untuk menyelenggarakan sebuah pentas Wayang Wahyu. Mahasiswa harus berperan aktif dalam persiapan pementasan, mulai dari latihan bersama, pencarian sponsorship dan publikasi. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa mendapatkan pengalaman konkrit tentang urgensi dan kesulitan pelestarian sebuah peninggalan budaya, dalam konteks ini yang dimaksud adalah Wayang Wahyu. Selain itu melalui latihan bersama dan pembahasan naskah, mahasiswa dapat lebih memahami keberagaman serta toleransi antar umat beragama.
commit to user