perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Objek Penelitian 1. Proses Kreatif Pengarang Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di kota Surakarta Jawa Tengah. Ia adalah seorang pujangga Indonesisa yang terkenal melalui berbagai puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat popular baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Masa mudanya dihabiskan di Surakarta. Damono lulus dari SMP Negeri 2 Surakarta pada tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta pada tahun 1958. Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah karya yang dikirmkannya ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, namun kini ia telah pensiun. Berikut adalah karya-karya Damono berupa kumpulan puisi, serta beberapa esai dan novel: a. Duka-Mu Abadi (1969) b. Lelaki Tua dan Laut terjemahan karya Ernest Hemingway (1973) c. Mata Pisau (1974) d. Sepilihan Sajak George Seferis terjemahan karya George Seferis (1975) e. Puisi Klasik Cina (1969) f. Lirik Klasik Parsi (1977) g. Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982) h. Perahu Kertas (1983) i. Sihir Hujan (1984) j. Water Colour Poems (1986; translated by J.H. McGlynn) k. Suddenly the Night: the Poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn) commit to user
45
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
l. Afrika yang Resah (1988) m. Mendorong Jack Kuntikunti: Serpihan Sajak dari Australia (1991) n. Hujan Bulan Juni (1994) o. Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling) p. Arloji (1998) q. Ayat-ayat Api (2000) r. Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen) s. Maja Jendela (2002) t. Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002) u. Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen) v. Nona Koelit Koetjing: Antologi Cerita Pendek Indonesia peiode awal (1870an – 1910an)(2005) w. Mantra Orang Jawa (2005) x. Before Dawn: the poetry of Sapardi Djoko Damono (2005) y. Kolam (2009; kumpulan puisi) z. Sutradara itu Menghapus Dialog Kita (2012) aa. Namaku Sita (2012; kumpulan puisi) bb. The Birth of I Lagaligo – terjemahan Muhammad Salim cc. Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak 1959, 2013; kumpulan puisi) dd. Trilogi Soekram (2015, novel) ee. Hujan Bulan Juni (2015, novel) ff. Suti (2015, novel) Selain tiga puluh dua karya yang sudah dihasilkan di atas, Damono juga masih memiliki karya nonfiksi maupun dalam bentuk musikalisasi puisi. Novel SUTI adalah karya Damono yang paling baru. Novel SUTI terdiri dari 192 halaman ini memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan karya Damono yang lainnya. Keunikan ini terletak pada beberapa kosa kata Jawa yang dihadirkan dalam percakapan antar tokoh di dalamnya. commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Kedudukan Pengarang dalam Sastra Indonesia Kedudukan Damono dalam lingkup sastra di Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Hasil karyanya yang banyak serta populer di kalangan sastrawan maupun masyarakat umum membuat Damono memiliki tempat di hati penggemarnya. Tak heran, bila Damono juga dijadikan panutan sastrawan lain dalam berkarya. Damono juga kerap menerima penghargaan. Tahun 1978 ia menerima penghargaan Cultural Award dari Australia, 1983 menerima Anugerah Puisi Putra dari Malaysia, dan tahun 1985 ia menerima penghargaan Mataram Award. Pada tahun 1986 Damono mendapat anugerah SEA Write Award dari Thailand. Setelah itu pada tahun 1990 Damono mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia yang diberi nama Anugerah Seni. Di tahun 1996 Damono menerima penghargaan dari Menristek RI berupa Kalyana Kretya. Selanjutnya ia juga pernerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Damono merupakan salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Pada tahun 2013 Damono juga menerima Penghargaan Akademi Jakarta atas kontribusi karya baik nasional atau internasional serta tetap konsisten berkarya dalam jangka waktu cukup panjang dengan pencapaian di atas rata-rata, serta masih banyak lagi penghargaan yang ia peroleh. Hal lain yang membuat jasanya besar untuk sastra adalah ia merintis dan memprakarsai Himpunan Sarjana kesusastraan Indonesia (HISKI). Damono juga pernah menjadi dekan dan guru besar di Fakultas Ilmu Budaya UI. Selain itu, Damono pernah menjadi redaktur pada majalah Horison, Basis, dan Kalam sebelum kini ia pensiun.
B. Hasil Penelitian Hasil penelitian yang didapat setelah menganalisis novel SUTI karya Damono adalah sebagai berikut: 1. Unsur Intrinsik Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono Pengkajian struktural termasuk dalam hal yang penting untuk dibahas jika akan menganalisis sebuah novel. Hal ini dikarenakan novel memiliki unsur-unsur commitpembangun to user yang saling berkaitan sebagai totalitas makna. Unsur-unsur tersebut
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
berfungsi untuk memaparkan keterkaitan antara tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Namun, dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas mengenai unsur intrinsik yang terdapat dalam novel tersebut. a. Tema Tema adalah salah satu bagian yang penting dalam suatu cerita. Novel SUTI karya Damono menurut peneliti mengangkat tema tentang kesabaran, ketabahan, dan ketegaran dalam menjalani hidup dan perubahan hidup yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut terjadi tidak hanya pada tokoh utama yaitu Suti, tetapi juga pada tokoh tambahan, Bu Sastro. Mereka berdua adalah perempuan yang sering disebut dalam cerita dan memiliki peran yang seimbang. Cerita hidup Suti sebagai tokoh utama yang digambarkan dengan masalah kehidupannya dengan suami pilihan ibunya ternyata cukup dilematis. Itu disebabkan karena Sarno suami Suti ternyata justru menjadi miliki ibunya, bukan Suti. Ketabahan yang ditunjukkan Suti lainnya juga ketika ia pada akhirnya harus memiliki anak hasil buah cintanya dengan Pak Sastro. Keruwetan masalah yang ditimbulkan menjadikan pembaca bersimpati dengan sikap Suti yang tetap menjalani hidup bersama anaknya. Pendapat peneliti tentang uraian tema berikut dapat dibuktikan pada beberapa kutipan berikut: Sudah lama Suti harus menerima kenyataan bahwa lelaki itu sebenarnya „pacar‟ ibunya. Beberapa kali dipergokinya mereka melakukan adegan yang hanya pantas untuk suami istri (Damono, 2015: 51 – 52). “Orang-orang suka ngrasani,” kata ibu Suti. “Lha aku kan beberapa kali diajak sama Den Sastro ke sana.” “Iya tau. Tapi kan kamu belum tahu apa kata tetangga,” sahut mertuanya. “Lha aku „kan suka ikut ronda.” “Iya tau. Tapi kamu ikut ronda „kan hanya biar bisa ikut minum ciu.” “Gundhul-mu!” “Ya, ayo. Kita gundhul-gundhul-an saja,” kata mertuanya tenang. Dan tata cara antara mertua dan menantu itu biasanya berakhir di kamar, dan Suti pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak mendengar (Damono, 2015: 75). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
Suti mengatakan ia baru dari Jakarta dengan niat untuk menetap lagi di Solo, di rumah yang ditinggalkannya. Dikatakannya, selama ini ia bersama ibunya tinggak di Jakarta bekerja srabutan. Sudah sejak sampai Jakarta Sarno tidak menjadi bagian hidup mereka lagi, sekarang entah di mana (Damono, 2015: 185). “Ketika Ibu bilang mau ke Kalimantan dengan laki-laki entah siapa, aku memutuskan untuk kembali ke Solo saja. Siapa tahu ada yang mau ngasih kerjaan. Di sini kan masih ada rumah, di sana repot banget cari rumah.” Berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya. “Pernah ada yang mau mengawini aku, tetapi aku kapok kawin. Takut seperti Sarno dulu.” (Damono, 2015: 185 – 186). Sosok Bu Sastro tak dapat dilepaskan dari cerita dalam novel SUTI ini. Ia juga digambarkan sebagai perempuan yang sabar dan tegar menghadapi sifat masing-masing anggota keluarganya yang berbeda-beda. Pak Sastro yang suka main perempuan, Kunto yang penurut namun berada jauh di Yogyakarta, dan juga Dewo anak bungsunya yang keras kepala, dihadapinya dengan tenang. Belum lagi dengan omongan para tetangga yang terkadang juga menggunjingnya gara-gara masalah yang dibawa oleh keluarganya. Pendapat peneliti tentang uraian tema berikut dapat dibuktikan pada beberapa kutipan berikut: Di rumah pun demikian. Pak Sastro dan Bu Sastro harus ekstra hatihati menghadapi bontotnya itu. Pernah suatu hari Pak Sastro marah besar, membanting gelas sampai berkeping-keping, Dewo menjawabnya dengan melempar gelas juga ke pintu – lebih berkepingkeping. Bu Sastro pun muncul, dan langsung menangis tidak tahu harus berbuat apa (Damono, 2015: 44). Pak Sastro tidak suka anaknya menjadi berandalan seperti itu, tetapi Bu Sastro netral saja sikapnya, mungkin karena mengetahui bahwa sebenarnya suaminya yang jantan itu sejenis berandal juga, terutama dalam urusannya dengan perempuan (Damono, 2015: 45). Sehabis mendengar penjelasan Tomblok, Bu Sastro untuk pertama kalinya merasa agak susah tidur. Ia selama ini mencoba memahami hubungan-hubungan yang ada dalam keluarganya, tetapi keterangan Tomblok tentang peristiwa itu membuatnya meragukan sikap tetangga commit toselama user ini. Ia tiba-tiba merasa bahwa terhadapnya dan keluarganya
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sikap menghargai dan menghormati keluarganya sebenarnya basa-basi saja. Namun, apa pula bedanya dengan yang dulu terjadi di Ngadijayan? Tanyanya menentramkan diri sendiri. Dan pertanyaan retorik itu ternyata berhasil membuatnya lebih nyenyak tidur, membuatnya berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengubah sikap dan tingkah lakunya terhadap siapapun, keluarga maupun tetangga (Damono, 2015: 122). b. Penokohan Tokoh merupakan salah satu unsur yang penting dalam suatu cerita. Setiap tokoh dalam cerita memiliki sifat dan wataknya masingmasing. Tokoh dalam cerita memiliki dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Namun, di sini peneliti hanya akan membahas tokoh yang memiliki peran penting dalam cerita, dan berikut adalah beberapa tokoh dan penokohannya yang terdapat dalam novel SUTI :
1) Suti Suti adalah anak satu-satunya dari yang lahir dari rahim seorang Ibu bernama Parni. Tak dijelaskan siapa sebenarnya Bapak kandung Suti. Gambaran tokoh Suti dimulai penulis dengan menceritakan
latar
belakang
keluarga,
usia
Suti
dan
juga
pembawaannya dalam keseharian. Berikut adalah kutipannya: Perempuan muda itu yatim, dan itu mungkin sebabnya orang desa cenderung menerima sebagai hal yang wajar-sewajar-wajarnya kalau ada berita aneh tentangnya, meskipun mereka tentu juga tahu bahwa orang yatim tidak harus aneh tingkah lakunya. Suti, nama lengkapnya Sutini, masih di ujung belasan tahun umurnya, dan sifatnya yang masih konyal-kanyil bisa ditafsirkan macam-macam. Kalau lagi senang ia suka menepuk-nepukkan tangannya dengan irama yang sangat cepat sambil loncat-loncat kecil (Damono, 2015: 5). Selain itu, tokoh Suti juga digambarkan penulis melalui ciri fisiknya. Hal itu dibuktikan pada kutipan berikut: commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
… meskipun kadang-kadang terdengar juga bisik-bisik tentang kulit Suti yang tidak gelap dan matanya yang tidak begitu lebar tetapi tidak pernah ada yang berani menannyakan asal-usul Suti kepada ibunya (Damono, 2015: 10). Tokoh Suti juga memiliki sifat yang supel atau mudah bergaul. Ini dibuktikan dalam kutipan berikut: … anaknya tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang gampang bergaul dengan anak lain. Orang-orang sayang kepada anak itu, selalu tampak riang dan hampir tidak pernah kedengaran menangis (Damono, 2015: 11). 2) Sarno Sarno dalam cerita ini berperan sebagai suami Suti. Sebelumnya Sarno pernah menikah dengan seorang perempuan, namun pernikahannya gagal karena tidak memiliki anak dan sialnya, ia justru ditinggal kabur oleh istrinya. Sampai pada akhirnya, ia berhasil menikahi Suti, gadis muda yang usianya jauh di bawahnya. Tokoh Sarno digambarkan sebagai seseorang yang cuek terhadap kabar negatif tentang istrinya yang ia dengar dari tetangga. Ia juga digambarkan bekerja serabutan. Berikut adalah kutipan ceritanya: Suami Suti kerjanya serabutan, malah kadang-kadang kerja beberapa bulan di Sragen membantu pemborong membangun kantor sebuah jawatan. Sekali seminggu pulang dan pernah mendengar kabar istrinya berbuat tidak lurus, tetapi ia idak bertindak apa-apa (Damono, 2015: 4). Penokohan sarno juga digambarkan sebagai sosok yang terampil dalam bekerja dan suka minum ciu (minuman keras). Hal itu dibuktikan dalam kutipan berikut: Pak Sastro suka padanya: ia trampil dan tidak banyak cing-cong, hanya sesekali suka nenggak ciu – tetapi tidak sampai benar-benar teler (Damono, 2015: 36). commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Parni Parni adalah ibu dari Suti. Dalam cerita, Parni digambarkan sebagai orang yang cuek. Sikap itu muncul karena kehidupan kota lah yang mengajarkannya untuk bersikap demikian. Bukti dari gambaran sikap tesebut terdapat dalam kutipan berikut: Namun, tidak pernah pikiran semacam itu menjadi bahan gunjingan terbuka di kampung. Seandainya pun tahu ada yang menggunjingkannya, Parni tentu akan membiarkannya saja. Kehidupan di kota telah mengajarkannta untuk bersikap demikian (Damono, 2015: 11). 4) Tomblok Tomblok adalah sahabat baik Suti. Dari kecil hingga besar mereka adalah teman baik yang tak terpisahkan. Penokohan Tomblok dalam cerita ini digambarkan memiliki sifat yang suka bergujing. Hal itu dibuktikan pada kutipan berikut: Pikirannya yang melayang-layang mendadak terhenti ketika Tomblok melanjutkan kabar burung gagak. “Kamu „kan tahu, Sarno beberapa kali nganter Den Sastro ke kota. Nah, waktu itulah ia bicara tentang sosoknya sebagai jagoan di kampungnya yang lama. Ia, katanya pernah ribut dengan tukang cukur yang istrinya jadi pelatih anak-anak menari.” (Damono, 2015: 88). Dan sekarang giliran Bu Sastro yang menjadi sasaran kabar burung Tomblok. Waktu dan kesempatan bagi mereka jauh lebih lapang sebab di rumah tidak ada siapa-siapa kecuali Dewo yang kalau malam lebih suka ngluyur bersama gengnya tinimbang berada di rumah tidak tahu harus mengerjakan apa. Bu Sastro pada dasarnya tidak suka mendengarkan cerita burung, tetapi karena cara Tomblok menyampaikannya menarik, dibiarkannya burung itu ngoceh terus sementara ia membuka telinga sambil memasang filter yang bisa menghalangi sampah masuk ke otaknya (Damono, 2015: 120). … dan diam-diam disampaikannya sikap itu kepada Mbah Parmin ketika malam Jumat itu ia mengajak Tomblok ke makam. Tomblok gembira luar biasa karena mendapatkan bumbu lagi untuk kisah commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang tentu akan disebarkannya dalam posisinya sebagai burung (Damono, 2015: 122). Segera saja penilaiannya atas orang baru di kampungnya itu, tentu karena Tomblok telah ngoceh ke mana-mana, menjadikannya bahan ocehan yang menarik (Damono, 2015: 140). Itu sebabnya pada suatu malam ia mengajak Tomblok menemaninya ke makam, Mau sowan Mbah Parmin, katanya. Peristiwa itu dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap bagi Tomblok untuk menyedapkan obrolannya ke tetangga (Damono, 2015: 151152). 5) Pak Sastro Tokoh Pak Sastro digambarkan melalui deskripsi fisiknya, yaitu seorang laki-laki yang memiliki paras yang ganteng. Sifatnya juga supel suka berkomunikasi dengan banyak orang. Hal itu dibuktikan dalam kutipan berikut: Pak Sastro cakep tampangnya dan gampang diajak omong … (Damono, 2015: 31). Selain memiliki sikap yang komunikatif, tokoh Pak Sastro juga digambarkan sebagai laki-laki yang suka main perempuan. Sifat buruk Pak Sastro ini dibuktikan dalam kutipan berikut: Bu Sasro netral saja sikapnya, mungkin karena mengetahui bahwa sebenarnya suaminya yang jantan itu sejenis berandal juga, terutama dalam urusannya dengan perempuan (Damono, 2015: 45). 6) Bu Sastro Tokoh Bu Sastro digambarkan sebagai seorang perempuan yang rendah hati dan sederhana meskipun ia adalah priayi. Bu Sastro juga memiliki kegemaran memasak. Berikut adalah bukti kutipannya: … Bu Sastro seorang priayi tulen yang tidak pernah menyimpan gagasan tentang kasta atau silsilah usul atau kekayaan (Damono, 2015: 31). commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bu Sastro suka sekali memasak, menikmati asyiknya bara kayu yang berkedip-kedip kalau ia menggerak-gerakkan kipas bambunya. Kebiasaan sejak tinggal di Ngadijayan ituterus berlanjut meskipun berkali-kali disarankan untuk memakai kompor minyak saja. Ia selalu bilang tidak suka setiap hari harus membersihkan sumbu kompor karena tangannya menjadi berminyak, mencucinya bisa menjengkelkan. Katanya juga, rasa masakan kompor dan kayu berbeda jauh (Damono, 2015: 37). Selain memiliki sikap yang sederhana, Bu Sasro juga merupakan perempuan yang sabar. Hal itu dbuktikan dalam kutipan berikut: Diam-diam perempuan sabar itu tahu, antara lain dari bisikan Suti, bahwa anaknya malah sudah menjadi panutan anak-anak desa sebayanya … (Damono, 2015: 44). 7) Kunto Kunto adalah anak sulung Pak Sastro dan Bu Sastro. Sifatnya digambarkan sebagai anak yang penurut. Hal itu dibuktikan dalam kutipan berikut: Di sekolah Kunto memang penurut sehingga sekolahnya lancer dan disayang banyak guru (Damono, 2015: 43). Penokohan Kunto juga digambarkan sebagai lak-laki yang memiliki tanggung jawab. Hal itu dibuktikan pada saat Kunto harus segera kembali ke Yogyakarta, namun pada saat itu ia memilih untuk mengantarkan Suti terlebih dahulu sampai ke rumah. Kutipan sebagai buktinya yaitu: “Saya harus segera ke Yogya, Bu. Sebenarnya mau turun di Yogya saja tadi, tetapi kasihan Suti sendiri.” (Damono, 2015: 150). 8) Dewo Dewo adalah anak Pak Sastro yang terakhir. Tokoh Dewo digambarkan sebagai anak yang keras kepala. Hal itu dibuktikan dalam commit to user kutipan berikut:
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adik Kunto masih duduk di kelas tiga SMP, sering nunggak kelas sama sekali tidak karena bodoh tetapi lebih karena anak itu suka terbuka membantah Pak Guru. Ternyata guru tidak boleh dibantah, ya, katanya dalam hati (Damono, 2015: 42). Keluarga Pak Sastro sudah bosan memintanya untuk tidak usah meledek orang lain, tetapi jawaban si bungsu itu selalu sama. Katanya anak-anak itu memang harus diejek, goblok, dan sok jago, beraninya hanya mengeroyok, tidak berani maju satu lawan satu (Damono, 2015: 43). Sifat Dewo juga digambarkan sebagai anak yang tegas. Berikut adalah bukti kutipannya: … laki-laki sepeti adiknya itulah yang sebenarnya diharapkan ada di dunia ini. Sikapnya yang tegas sangat sesuai untuk menjadi pemimpin, menjadi panutan (Damono, 2015: 43 – 44). Selain memiliki sifat yang keras kepala dan tegas, sifat lain yang ada pada diri Dewo adalah penyayang dan memiliki kedewasaan dalam bertindak. Rasa sayangnya ditunjukkan kepada ibunya pada saat ia menceritakan hal-hal mengenai Bapaknya yang selama ini ia pendam. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut: Sampai pada suatu batas yang tidak kasat mata, Dewo akhirnya menundukkan kepalanya tampak sangat letih jiwa raga, menatap ibunya dengan pandangan yang belum pernah dikenal ibunya – pandangan yang harus ditafsirkan sebagai ungkapan ketidakpahaman sekaligus kekaguman atas sikap perempuan yang telah melahirkannya itu. “Ibu, atas nama Bapak, Dewo meminta maaf atas segala yang selama ini terjadi di keluarga kita.” Bu Sastro tidak menampakkan rasa kaget; ia malah merasa lega bahwa akhirnya bontotnya sudah mencapai kedewasaan sikap yang selama ini diinginkannya… “Dewo akan selalu menjaga Ibu, apapun yang terjadi,” lanjutnya (Damono, 2015: 108 – 109). Dewo ternyata juga digambarkan sebagai seorang yang perhatian. Hal itu dibuktikan commit dalam kutipan to userberikut:
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
Meskipun tampaknya tidak pernah memperhatikan hal-hal kecil, Dewo ternyata tahu benar bahwa ibunya perlu dibantu untuk mengurus rumah (Damono, 2015: 112). c. Alur Alur yang terdapat dalam novel SUTI karya Damono adalah alur progresif atau alur maju. Hal ini karena awal mula cerita tersebut sudah dibuka dengan percakapan tokoh utama, yaitu Suti dengan sahabatnya Tomblok, yang membicarakan mengenai kedatangan keluarga priayi ke kampungnya. Cerita itu bergulir hingga menggambarkan kehidupan Suti dan kehidupan warga desa. Pada bagian berikutnya, penulis sempat menceritakan tentang masa kecil Suti, namun hal tersebut bukanlah sebuah flashback melainkan hanya berupa selingan cerita saja. Kemudian cerita dalam novel SUTI ini kembali lagi ke waktu di mana cerita tersebut dimulai. Alur dalam sebuah cerita menurut Waluyo (2011: 10) dirumuskan ke dalam beberapa langkah yaitu: (1) eksposisi, paparan awal cerita; (2) inciting moment, mulainya problem cerita muncul; (3) rising action, konflik dalam cerita meningkat; (4) complication, koflik dalam cerita semakin ruwet; (5) climax, puncak penggawatan; (6) falling action, peleraian; dan (7) denouement, penyelesaian. 1) Eksposisi Bagian awal cerita yang dipaparkan dalam novel SUTI karya Damono bermula pada percakapan antara Suti dan Tomblok yang membicarakan mengenai kedatangan warga baru di kampungnya yaitu keluarga priayi dari Ngadijayan. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut: “Mblok, dah dengar ada orang baru?” “Udah. Yang namanya Den Sastro itu, kan? Yang katanya dulu tinggal di Ngadijayan itu, kan?” “Kemarin lakiku dipanggil, disuruh bikin sumur. Kerja bapak itu di mana, sih?” “Mana aku tahu?” “Ganteng banget priayinya, edan tenan! Cakrak seperti Prabu Kresno commit to user hehehe.”
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
“Kok kamu tahu? Pernah liat dia?” “Waktu ke rumah manggil suamiku aku kan ketemu. Cakrak dan bening kulitnya. Edan tenan! … (Damono, 2015: 1 – 2). 2) Inciting moment (permasalahan muncul) Inciting moment adalah satu bagian dalam cerita yang menunjukan bagian permasalahan mulai muncul. Munculnya permasalahan dalam novel SUTI adalah ketika diceritakan tentang peihal pernikahan Suti dengan Sarno. Pada saat dinikahkan usia Suti masih belasan tahun, sedangkan Sarno adalah laki-laki yang usianya sebaya dengan ibunya. Sarno adalah laki-laki yang tidak memiliki pekerjaan tetap. ibu Suti mengizinkan anaknya dinikahi Sarno karena ibunya malu kalau anaknya tidak lekas dikawinkan dan dianggap tidak laku. Berikut adalah bukti kutipan yang terdapat dalam novel SUTI: Dan keberhasilannya mendapatkan Suti tentu saja menjadi bahan gunjingan, Kok mau-maunya prawan kencur bening gitu kawin sama Sarno. Mereka sebenarnya tahu bahwa ibu Suti suka malu kalau anaknya tidak lekas-lekas dikawinkan, takut kalau oleh orang kampung dianggap tidak laku, takut kalau dianggap ibunya tidak becus mencarikan suami untuk anaknya. Juga khawatir kalau anak perempuannya yang suka omong aneh-aneh itu nanti tersesat entah ke mana, terbawa masuk ke film yang ditontonnya dan tersesat tak bisa pulang… … Ketika Sarno bilang ma saja mengawini Suti, langsung ucapan itu diterima. Dan laki-laki yang sebenarnya tidak jelas apa kerjanya itu cepat-cepat mengawininya … (Damono, 2015: 3) 3) Rising action (permasalahan naik) Alur yang ketiga yakni permasalahan yang sudah ada menjadi naik. Dalam cerita di novel SUTI ini, permasalahan naik ketika Suti mengetahui bahwa suami dan ibunya menjalin hubungan yang lebih dari sekadar menantu dan mertua. Hal itu dibuktikan pada kutipan berikut: Sudah lama Suti harus menerima kenyataan bahwa lelaki itu sebenarnya „pacar‟ ibunya. Beberapa kali dipergokinya mereka melakukan adegan yang hanya pantas untuk suami istri (Damono, commit to user 2015: 51 – 52).
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
Bukti lain dari permasalan yang mulai naik juga terjadi pada kutipan berikut: ... sejak semula ia yakin bahwa ibunya yang sebenarnya menginginkan laki-laki itu. Laki-laki itu sama sekali tidak pernah memberikan apa yang diinginkannya tetapi teman-teman berandalnya itu sebenarnya yang membentuknya menjadi perempuan dewasa (Damono, 2015: 68 – 69). Tidak hanya itu, dalam cerita penulis juga memberikan percakapan yang menguatkan antara Sarno dan Parni bahwa antara mereka memang terdapat hubungan yang spesial. Bukti kutipannya terdapat pada: “Orang-orang suka ngrasani,” kata ibu Suti. “Lha aku kan beberapa kali diajak sama Den Sastro ke sana.” “Iya tau. Tapi kan kamu belum tahu apa kata tetangga,” sahut mertuanya. “Lha aku „kan suka ikut ronda.” “Iya tau. Tapi kamu ikut ronda „kan hanya biar bisa ikut minum ciu.” “Gundhul-mu!” “Ya, ayo. Kita gundhul-gundhul-an saja,” kata mertuanya tenang. Dan tata cara antara mertua dan menantu itu biasanya berakhir di kamar, dan Suti pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak mendengar (Damono, 2015: 75). 4) Complication (permasalahan lebih naik) Complication adalah semakin meningkatnya masalah yang ada. Permasalahan yang lebih naik ini terjadi ketika Pak Sastro yang sedang berada di rumah untuk berlibur ketika pulang dari Jakarta tiba-tiba dikeroyok oleh orang-orang yang sepenuhnya tidak Suti kenali. Pada saat itu hanya ada Suti dan Pak Sastro di rumah, karena Bu Sastro dan Dewo sedang berada di Pati ke rumah kakak Pak Sastro. Peristiwa pemukulan yang dialami Pak Sastro membuat Suti khawatir dan memutuskan untuk merawat Pak Sastro. Dalam kejadian tersebut digambarkan Suti berada di kamar berdua dengan Pak Sastro dan menciumi Pak Sastro. Hal itu dibuktikan pada kutipan berikut: commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setelah sepenuhnya sadar, Sastro dipapahnya masuk kamar. Suti menciumnya beberapa kali, mengambl air untuk melap darah yang berceceran dari mulutnya. Ia tahu, ini bukan kethoprak bukan wayang bukan film. Ini tindakan sewenang-wenang atas seorang ksatria yang mungkin telah berbuat keliru dalam hidupnya (Damono, 2015: 78). Lelaki itu menatapnya dengan pandangan yang aneh, yang sulit ditebak maksudnya. Namun, perempuan yang kini sudah dewasa itu mulai menerima kenyataan bahwa memang ternyata ada hal-hal yang tidak mungkin bisa dipahami (Damono, 2015: 79). Sastro hanya menggeleng ketika ditawari makan, tetapi menerima ciuman Suti bertubi-tubi dan segera memejamkan matanya berusaha tidur (Damono, 2015: 80). Bukti lain yang dapat menguatkan pikiran pembaca ketika penulis tidak begitu jelas melukiskan hubungan seperti apa yang terjadi antara Suti dan Pak Sastro ketika pengeroyokan selesai terdapat pada kutipan berikut ini: Dan ketika kemudian dia menyadari kenyataan bahwa Pak Sastro ternyata juga diam-diam ingin mendapatkannya, dan berhasil – terbukti dari apa yang terjadi malamnya sehabis Prabu Kresno kena pukul rema-rame hari itu … (Damono, 2015: 87 – 88). Anak muda itu ternyata sama sekali berbeda wataknya dengan bapaknya, lelaki setengah baya yang dengan sigap memahami apa yang diharapkan oleh perempuan kalau sedang berdua saja dengan laki-laki – meskipun waktu itu tentu masih merasakan kesakitan akibat pukulan gerombolan laki-laki yang datang tanpa diundang. Suti menerima keinginanan Pak Satro begitu saja, tanpa menimbangnimbang apakah penerimaannya itu merupakan ungkapan rasa kasihan atau lebih karena naluri perempuan yang selama ini tidak pernah bisa dituntaskannya dengan Sarno (Damono, 2015: 91).
5) Climax (puncak masalah) Puncak masalah muncul saat tiba-tiba Tomblok datang menemui Bu Sastro dan memberikan informasi mengejutkan tentang kepergian Suti dan ibunya secara tiba-tiba tanpa diketahui ke mana. Ini dibuktikan pada kutipan berikut:
commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Bu, saya mau melaporkan sesuatu, tetapu Ibu jangan gusar,” kata Tomblok. “Tentang gagak juga? Ada apa lagi?” “Tidak, Bu. Begini,” kata Tomblok memulai. Sangat ragu-ragu. Dan tumpahlah dongeng Tomblok itu di hadapan Bu Sastro, baunya sengit. Suti yang sudah dua hari ini tidak muncul tanpa melapor ke Bu Sastro ternyata pergi diantar ibunya. Tidak ada tetangga yang tahu. “Kang Sarno pun tidak tahu, Bu.” Bau berita itu sengit, terutama karena Parni tidak memberi tahu masalah itu. Bu Sastro segera mencari suami Suti. Sekarang benarbenar disadarinya bahwa apa yang dilakukannya selama ini keliru, sebuah dosa yang tidak bisa dimaafkan (Damono, 2015: 161). 6) Falling action (peleraian) Alur cerita berikutnya yaitu peleraian. Tahap ini merupakan tahap di mana konflik cerita mengalami penurunan dengan diimbangi oleh kejadian-kejadian yang mengarah ke penyelesaian masalah. Pada cerita yang terdapat dalam novel SUTI peleraian terjadi pada saat Pak Sastro akhirnya meninggal dunia, disusul dengan Kunto yang setelah bapaknya meninggal ia kemudian menikah dengan mindho-nya di Surabaya. Ini dibuktikan pada kutipan berikut: Ternyata Pak Sastro tidak bisa bertahan lama di Jakarta dan harus pulang ke Solo menunggu masa pensiunnya. Waktu itulah ia mulai sakit-sakitan tetapi sama sekali tidak mau menuruti nasihat dokter, terutama dalam hal makanan. Belum sampai satu tahun ia pulang ke Solo ketika dokter menyatakan kesehatan Pak Sastro dan harus berhatihati dengan makanan. Thengkleng jugalah yang akhirnya mengantarkan Prabu Kresno itu ke haribaan-Nya sekitar setahun setelah tugasnya sebagai pegawai negeri berakhir (Damono, 2015: 168 – 169). Bu Sastro yakin telah mendapat restu dari almarhum suaminya untuk menyelenggarakan pesta kawin Kunto secepatnya di Surabaya. Ia senang dan merasa ringan bahwa yang menjadi penyelenggara adalah besannya, yakni sepupunya sendiri, yang kawin dengan seorang pria Sangihe dan mempunyai seorang anak tunggal (Damono, 2015: 173). commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7) Denoument (penyelesaian) Alur terakhir dalam sebuah cerita yaitu adanya penyelesaian. Penyelesaian dalam novel SUTI karya Damono ini yakni diceritakan pada saat Suti tiba-tiba kembali lagi ke desa Tungkal. Kembalinya Suti ke sana tidak sendiri, ia membawa seorang anak. Anak tersebut bernama Nur. Nur adalah anak kandung nya hasil hubungannya dengan Pak Sastro saat itu. Suti kembali ke desa Tungkal untuk kembali menata hidup bersama Nur dan tentu juga untuk menemui Bu Sastro. Berikut adalah kutipan ceritanya: Tomblok sedang mencuci pakaian ketika merasa ada yang menepuk bahunya dari belakang. Ketika menoleh dilihatnya Suti berdiri menggandeng seorang anak perempuan memandangnya, tersenyum persis seperti beberapa tahun lalu. Perempuan itu tidak tampak surut kecantikannya, kulitnya saja yang menjadi agak kecoklatan. Sebelum ia bangkit, Suti berkata kepada anak itu untuk mencium tangan Tomblok sambil memperkenalkannya sebagai anaknya (Damono, 2015: 184). Kalimat pertama yang diucapkan Bu Sastro ketika melihat Suti berdiri di depan pintu menggandeng anaknya, Itu anakmu, Sut? Nadanya sama sekali tidak menunjukkan kekagetan. Suti ingat akan adegan yang baginya menegangkan ketika dulu Bu Sastro menghadapi Bu Mayor soal anjing hilang (Damono, 2015: 188). Bu Sastro bangkit, memegang tangan anak itu, mencium dan membisikkannya. Saat itulah Suti seperti mendengar suara bisikan itu, Bapak telah memenuhi janjinya memberiku anak perempuan (Damono, 2015: 191). d. Latar Dalam novel SUTI terdapat latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. Latar dalam suatu cerita digunakan sebagai bahan informasi kapan peristiwa itu terjadi, dan di mana peristiwa itu berlangsung, sehingga pembaca dapat memahami isi cerita dengan baik. Berikut adalah berbagai latar kejadian yang terdapat dalam novel SUTI yang dapat dikutip: commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Latar Tempat a) Sungai Latar tempat yang mulanya diceritakan adalah berada di sungai pada saat Tomblok dan Suti mencuci pakaian. Berikut adalah kutipannya: Suti dan Tomblok, yang nama lengkapnya Pariyem, biasa ngobrol di pinggir sungai setiap pagi ketika mereka sedang mencuci pakaian di sungai (Damono, 2015: 3). b) Desa Tungkal Desa tungkal adalah salah satu tempat terjadinya peristiwa dalam cerita tersebut. desa ini terletak di pinggiran kota Solo. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut: Panggung dongeng ini adalah sebuah kampung di pinggiran kota Solo, tepatnya di desa Tungkal (Damono, 2015: 14). c) Dapur Latar tempat yang digunakan dalam cerita ini juga terjadi di dapur. Tepatnya di dapur rumah Bu Sastro. Hal itu dibuktikan dalam kutipan berikut ini: “Suti kan bisa bantu membersihkan kompor, Bu,” kata anaknya pada suatu pagi ketika ibunya tampak repot menyalakan kayu api. Suti jongkok di dekat Bu Sastro, sehabis mengisi bak mandi. Tiap hari sekarang ia ada di rumah Pak Sastro, bantu-bantu apa saja seperti juga suaminya (Damono, 2015: 37). “Hahaha, malah marah!” kata anak sulungnya yang kebetulan melongok ke dapur menyaksikan adegan pagi itu (Damono, 2015: 40). Percakapan lain yang juga terjadi di dapur adalah antara Bu Satro dan Suti yang pada saat itu sedang membicarakan tentang rencana kepergian Kunto ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah di commit to user UGM. Berikut adalah bukti kutipannya:
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sudah setahun ia ngenger Keluarga Sastro ketika Bu Sastro memberi tahu hal yang selama ini tidak diketahuinya. Dua perempuan itu sedang berada di dapur, salah satu tempat penting untuk adegan penting di babak ini. “Cah Ayu, kakakmu Kunto mau sekolah di Gadjah Mada.” (Damono, 2015: 60). d) Meja makan Peristiwa dalam cerita juga terjadi di meja makan. Hal itu dibuktikan dalam kutipan berikut: Anaknya tampak tahu maksud ibunya, segera setelah ganti baju duduk di meja makan, mengucapkan sesuatu yang tidak begitu jelas, Yang ini bukan daging gug-gug, kan, Bu? (Damono, 2015: 51). Sesudah masuk rumah, duduk di meja makan, Kunto berkata kepada ibunya, “Saya harus segera ke Yogya, Bu. Sebenarnya mau turun di Yogya saja tadi, tetapi kasihan Suti sendiri.” (Damono, 2015: 150). e) Emperan toko Latar tempat selanjutnya yang terjadi dalam cerita adalah di emperan toko. Hal itu terjadi saat Suti, Kunto, dan temannya pulang dari bioskop dan mampir membeli tape ayu yang terletak di emperan toko. Berikut adalah bukti kutipannya: “Suti ini apamu, Kun?” “Adikku,” jawab Kunto lebih enteng lagi. Tanpa menunjukkan rasa kaget, Kuswanto melanjutkan selidiknya, “Adikmu kan Cuma si semprul itu!” Semprul adalah nama popular Dewo di kampungnya yang lama. “Ya biar saja, pokoknya ini adikku. Ya, kan, Sut?” Suti diam saja, tampak sibuk mengunyah tape di emperan toko meskipun merasa semakin bangga merasa diakui sebagai keluarga Den Sastro (Damono, 2015: 54). f) Stasiun Balapan Pada bagian yang lain, latar tempat dalam cerita berlangsung di Stasiun Balapan ketika Suti dan Bu Sastro mengantar Kunto menuju commit to user Yogyakarta. Berikut adalah bukti kutipannya:
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan dua becak mereka sampai di Stasiun Balapan, dengus dan suit kereta api seperti memberi awas-awas Suti, Hati-hati selama Kunto di Yogya, Cah Ayu (Damono, 2015: 65). g) Makam Latar makam dalam certa ini diceritakan beberapa kali oleh penulis. Bukti bahwa terjadi peristiwa di makam terdapat pada kutipan berikut ini: Sambil menyapu guguran daun dan bunga kamboja di makam, Tomblok bercerita tentang Pak Sastro yang sudah sejak pindah ke desa itu berhubungan dengan banyak perempuan (Damono, 2015: 85). h) Jakarta Latar tempat yang juga diceritakan dalam novel SUTI selain terjadi di pinggiran kota Solo dan sekitarnya, cerita juga terjadi di Jakarta. Bukti kutipannya terdapat pada: Menjelang maghrib kereta api baru sampai Jakarta. Dalam keadaan capek mereka bertiga masih harus berebut lagi naik bis arah Kampung Minangkabau (Damono, 2015: 127). i) Di dalam kereta Salah satu tempat yang menjadi bagian dalam cerita terjadi di dalam kereta pada saat Suti dan Kunto melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Solo. Itu dibuktikan pada kutipan berikut: Dalam kereta malam ke Solo Kunto tidak banyak bicara, hanya sesekali cerita tentang Bandung dan Tan (Damono, 2015: 147). j) Kos di Yogyakarta Latar
tempat
berikutnya
yang
menjadi
bagian
dari
berlangsungnya cerita dalam novel SUTI ini berada di kos Kunto yang berada di Yogyakarta. Ini dibuktikan pada kutipan berikut: commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Namun, ia merasa harus menyusun kembali pikirannya ketika sampai di tempat kos diberi tahu Bu Budiman bahwa Kunto sejak dua hari pergi ke Bandung. “Temannya yang di Bandung itu datang, Jeng Sastro. Mengajak Kunto ke Bandung.” Bu Sastro berusaha untuk tidak menunujukkan reaksi apa pun ketika dalam pikirannya mendadak tercipta awal kisah yang tampaknya menakutkan (Damono, 2015: 163). k) Surabaya Latar tempat selanjutnya berlangsung di Surabaya pada saat hari pernikahan Kunto. Itu dibuktikan pada kutipan berikut: Bu Sastro yakin telah mendapat restu dari almarhum suaminya untuk menyelenggarakan pesta kawin Kunto secepatnya di Surabaya (Damono, 2015: 173). 2) Latar Waktu a) Pagi hari Latar waktu pagi hari terjadi pada saat Suti dan Tomblok melakukan rutinitas harian mereka yaitu, mencuci pakaian di sungai sambil bercakap-cakap. Berikut adalah kutipannya: Suti dan Tomblok, yang nama lengkapnya Pariyem, biasa ngobrol di pinggir sungai setiap pagi ketika mereka sedang mencuci pakaian di sungai. Kali ini hanya mereka berdua. Orang-orang lain suda pagi-pagi tadi ke sungai sebelum ke pasar atau kerja atau ke sekolah (Damono, 2015: 3). Bukti lain yang menggambarkan suasana atau waktu yang berlangsung adalah pagi hari, terdapat dalam kutipan berikut ini: “Suti kan bisa bantu membersihkan kompor, Bu,” kata anaknya pada suatu pagi ketika ibunya tampak repot menyalakan kayu api (Damono, 2015: 37). “Hahaha, malah marah!” kata anak sulungnya yang kebetulan melongok ke dapur menyaksikan adegan pagi itu (Damono, 2015: 40). commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Waktu pagi hari juga ditunjukkan pada saat Kunto mengajak Suti keliling kota Jakarta dipagi hari. Buktinya terdapat pada kutipan berikut ini: “Sut, kamu siap-siap. Kita antar Bapak ke kantor, ya. Kita nanti naik bis keliling kota.” Perempuan muda itu tidak tahu mengapa ia tidak begitu tenang pagi itu (Damono, 2015: 131). b) Tahun 1960-an Peristiwa yang diceritakan dalam novel tersebut dikisahkan terjadi pada tahun 1960-an. Berikut adalah bukti kutipannya: Waktu itu, tahun 1960-an, desa tersebut (atau kampung?) mulai kedatangan orang yang berasal dari pusat kota… (Damono, 2015: 14 – 15). c) Sore hari Latar waktu yang terdapat dalam cerita pada novel SUTI juga dilukiskan berlangsung pada saat sore hari di mana Bu Sastro memanggil Tomblok ke rumahnya untuk menyampaikan maksudnya agar Tomblok mau bekerja sementara di rumahnya menggantikan posisi Suti yang masih berada di Jakarta. Hal itu dibuktikan pada kutipan: Sorenya ia memanggil Tomblok ke rumah, menanyakan apa bersedia membantunya, “Setidaknya sementara saja, Mblok, selama Suti masih di Jakarta,” katanya. Sama sekali tidak kelihatan kalau dia memohon, meskipun sebenarnya sangat mengharapkan jawaban „ya‟ dari Tomblok. Dan memang jawaban itu yang didengarnya (Damono, 2015: 113). Waktu sore hari juga terdapat pada kutipan yang menyatakan kedatangan Suti, Kunto, dan Pak Sastro di Jakarta dengan bukti sebagai berikut: Menjelang maghrib kereta api baru sampai Jakarta. Dalam keadaan capek mereka bertiga masih harus berebut lagi naik bis arah Kampung Minangkabau (Damono, 2015: 127). commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bukti lain mengenai latar waktu sore hari juga terdapat saat kejadian Kunto baru saja tiba dari Bandung ke Jakarta. Bukti tersebut terdapat pada: Kunto baru kembali ke Jakarta hari berikutnya selepas maghrib. Meminta maaf kepada Suti, ia bercerita tentang pertemuannya dengan Tan (Damono, 2015: 141). d) Malam hari Latar waktu malam hari dalam cerita pada novel SUTI berlangsung saat Kunto dan Suti berada di dalam kereta dari Jakarta menuju Solo. Hal itu dibuktikan pada kutipan berikut: Dalam kereta malam ke Solo Kunto tidak banyak bicara, hanya sesekali cerita tentang Bandung dan Tan (Damono, 2015: 147). e) Latar Sosial Latar sosial menggambarkan adanya adat istiadat yang terjadi dalam masyarakat, gambaran mengenai kehidupan masyarakat, serta bagaimana interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Latar sosial dalam cerita yang terdapat pada novel SUTI pada bagian awal, menggambarkan kehidupan masyarakat di desa Tungkal. Hai ini di buktikan dalam kutipan berikut: Mereka bekerja sebagai penarik becak, tukang jual jajanan malam hari, pencari pasir, pemanjat kelapa, pembantu, dan kerja serabutan – kerja apa saja diambil (Damono, 2015: 19). Beberapa keluarga memiliki kuda yang dipekerjakan sebagai pengangkut karung pasir, mendaki tebing sungai. Ada juga keluarga yang disebut Juragan Pasir sebab memiliki gerobak kuda yang membawa karung-karung pasir ke kota (Damono, 2015: 20). Gambaran tentang bagaimana latar sosial yang ada dalam cerita tersebut dapat dibilang jelas. Kehidupan masyarakat yang kental dengan segala kebiasaan yang dilakukan oleh penduduknya menambah commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
warna dalam cerita yang terdapat di novel SUTI karya Damono. Salah satunya adalah yang terdapat dalam kutipan berikut: Warga benar-benar bangga pada makam itu dan dengan cerdik memanfaatkannya sebagai salah satu sumber penghasilan. Orang jauh yang keluarganya dimakamkan di situ suka minta bantuan warga desa untuk mengurusnya. Dan yang lebih penting, setiap kali ada orang berziarah orang-orang tua dan anak-anak mengerumuni peziarah untuk meminta uang jasa (Damono, 2015: 23). Kebiasaan tentang kehidupan masyarakat Tungkal juga digambarkan pada setiap bulan menjelang puasa, mereka selalu panen rezeki dari warga luar daerah yang berziarah ke makam. Berikut adalah kutipannya: Rezeki mereka sangat menyegarkan kalau bulan ruwah tiba; menjelang Bulan Puasa setiap hari makam kedatangan ribuan orang, semuanya ikhlas membagi uang. Beberapa warga desa mendadak menjadi tukang becak untuk mengangkut yang berdatangan, menyewa dari tauke becak yang tinggalnya dekat Pasar Kukusan, sekitar tiga kilometer dari kampung itu (Damono, 2015: 24). Kejelasan tentang gambaran kehidupan sosial masyarakat desa Tungkal juga sampai pada kebiasaan laki-laki desa yang suka minum ciu sejak kecil hal itu digambarkan pada kutipan berikut: … kebanyakan anak laki-laki di desa itu kenal ciu sejak kecil. Bahkan ada satu dua anak muda yang kalau sedang bekerja biasa minum barang yang dianggap haram itu sebagai salah satu cara untuk melepaskan dahaga di samping melupakan rasa capek (Damono, 2015: 36 – 37). Selain latar sosial tentang kehidupan masyarakat yang dibahas dalam cerita tersebut, juga terdapat latar sosial mengenai adat istiadat dalam masyarakat Jawa yaitu, pemberian gelar atau tambahan nama bagi keluarga keturunan keraton atau warga yang bekerja di commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lingkungan Kasunanan atau keraton sebagai tanda status sosial. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan berkiut: Tugas Sumadi di Kasunanan sebagai Kerani menghasilkan gelar Sastro: namanya menjadi Sastrosumadi. Lelaki Jawa yang sudah kawin biasanya mendapat nama tua sebagai penanda status. Orang kemudian cenderung tidak mengenal lagi nama kecilnya (Damono, 2015: 39). Kehidupan warga desa Tungkal tergolong unik karena mereka mempercayai adanya kekuatan pada sebuah makam milik Mbah Parmin. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut: Rupanya kalau ada sesuatu yang tidak bisa dipecahkanoleh kelugasan berpikir warga kampung itu, dengan yakin mereka putuskan saja bahwa semua sudah diatur oleh yang di sana, lha yang „di sana‟ itu tidak lain Mbah Parmin. Itu tidak berarti bahwa banyak di antara mereka tidak suka ke masjid, misalnya, tetapi karena selama ini Mbah Parmin adalah bagian penting dari kesejahteraan hidup mereka (Damono, 2015: 86). e. Sudut Pandang Menurut Shipley (dalam Waluyo dan Nugraheni, 2009: 37) menyebutkan adanya dua jenis point of view yaitu, internal point of view dan external point of view. Internal point of view ada empat macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada dua jenis, yaitu: (1) gaya dia-an; dan (2) penampilan gagasan dari luar tokohtokohnya. Berdasarkan pengertian di atas, menurut peneliti sudut pandang yang digambarkan oleh pengarang yaitu menggunakan gaya eksternal yang menampilkan gagasan dari luar tokoh-tokohnya. Dibuktikan pada kutipan berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
Sarno suami Suti, oleh orang kampung dianggap ketiban pulung ketika mengawini Suti. Laki-laki yang umurnya hampir setengah baya itu pernah kawin tetapi tidak pernah punya anak sesudah menunggu sekitar tiga tahun (Damono, 2015: 2). Di sebelah timur jalan desa ada makam yang menyimpan baik-baik entah berapa ratus mayat. Yang dimakamkan tidak hanya berasal dari desa itu tetapi juga dari desa lain, bahkan kota lain – kalau kebetulan punya kerabat di situ (Damono, 2015: 23). Setelah sepenuhnya sadar, Suti mendengar suara ibunya yang datang atas panggilan Bu Sastro. Setelah beberapa kalimat basa-basi, Parni minta pamit (Damono, 2015: 96). Perjalanan belasan jam dari Solo ke Jakarta bisa menjadi malapetaka, tetapi Suti justru meghayatinya seperti kalau ia nonton wayang kulit atau film. Yang bermain dalam benaknya adalah film koboi, adegan dalam sebuah kereta kuda, ia duduk di sebelah John Wayne yang memacu kuda-kudanya menempuh jalan menyusur dataran berdebu – di pinggir sebelah sana tampak gerombolan penjahat memporakporandakan kereta yang ditumpanginya (Damono, 2015: 103). Kutipan di atas membuktikan bahwa pencerita sebagai orang yang serba tahu di luar tokoh. Pencerita mengemukakan gagasan-gagasan tentang tokoh, namun pencerita sendiri tidak ikut menjadi bagian dari cerita tersebut.
f. Amanat Amanat adalah pesan yang terkandung dalam suatu cerita baik secara tersurat maupun tersirat. Amanat dalam novel SUTI karya Damono ini adalah dapat disimpulkan menjadi beberapa pesan yang dapat diambil manfaatnya bagi pembaca. Amanat pertama, jadilah orang yang tidak begitu memikirkan omongan atau gunjingan orang lain. Hal tersebut dibuktikan pada kutipan berikut: Namun, tidak pernah pikiran semacam itu menjadi bahan gunjingan terbuka di Kampung. Seandainya pun tahu ada yang menggunjingkannya, Parni tentu akan membiarkannya saja. Kehidupan di kota telah mengajarkannya untuk bersikap demikian (Damono, commit to user 2015: 11).
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
Amanat kedua, ketika kita sebagai manusia khususnya yang tinggal di Jawa, sering memercayai adat istiadat di masyarakat, kita tetap harus menjalankan ibadah sesuai agama kita. Jangan jadikan kepercayaan kita terhadap benda atau hal-hal duniawi menjadikan kita terjerumus dalam limbah dosa. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan berikut: Rupanya kalau ada sesuatu yang tidak bisa dipecahkan oleh kelugasan berpikir warga kampong itu, dengan yakin mereka putuskan saja bahwa semua sudah diatur oleh yang di sana, lha yang „di sana‟ itu tidak lain Mbah Parmin. Itu tidak berarti bahwa banyak di antara mereka tidak suka ke masjid … (Damono, 2015: 86). Sore itu menjelang maghrib Suti pergi ke makam, langsung menuju cungkup Mbah Parmin, duduk bersila dengan tertib dan mengucap doa yang pernah dipelajarinya dari guru agama di sekolah dulu. (Damono, 2015: 100). Amanat terakhir yang dapat peneliti ambil dari perjalanan kisah hidup tokoh utama, yaitu Suti. Diceritakan bahwa Suti adalah perempuan yang dari tidak diketahui siapa Bapaknya. Menginjak remaja, ia dinikahkan oleh ibunya dengan Sarno yang usianya sebaya dengan ibunya. Sarno tidak memiliki pekerjaan tetap. Dan, ternyata Suti mengetahui ada hubungan yang lebih dari hubungan menantu dan mertua antara ibunya dan Sarno. Kisahnya berlanjut dramatis ketika Suti jatuh dipelukan pak Sastro, dan akhirnya ia menghilang dan kembali lagi ke Solo dengan membawa anak perempuan yang cantil setelah beberapa tahun tinggal di Jakarta. Dengan cerita hidup yang sedemikian rumit Suti tetap berusaha untuk bersyukur dan tegar dalam menghadapi kehiupan yang dijalaninya. Jadi, kita sebagai manusia hendaklah tetap tegar dan menjalani kehidupan yang berlangsung meskipun masalalu kita burukatau kita menganggap bahwa hidup kita telah hancur. Kutipan yang dapat mendukung pendapat tersebut adalah: “Ketika Ibu bilang mau ke Kalimantan dengan laki-laki entah siapa, to ke user aku memutuskan untukcommit kembali Solo saja. Siapa tahu ada yang mau
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
ngasih kerjaan. Di sini kan masih ada rumah, di sana repot banget cari rumah.” (Damono, 2015: 185).
2. Karakteristik Kejiwaan Tokoh Utama dalam Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono Suatu karya sastra pasti tak lepas dari peran penting tokoh utama dalam cerita. Karakter yang dibawakannya pun akan melekat dalam benak pembaca. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai unsur kejiwaan yang terdapat pada tokoh. Sastra juga tak lepas dari ilmu psikologi sebagai pelengkap dan pendukung kajiannya. Psikologi sastra menurut Endraswara (2008: 16) adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra. Mempelajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya mempelajari psikologi sastra amat indah, karena kita dapat memahami sisi kedalaman jiwa manusia, jelas amat luas dan amat dalam (Endraswara, 2008: 14). Daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Minderop (2010: 59) menyatakan bahwa tanpa psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Pembahasan karakteristik kejiwaan pada tokoh utama dalam novel SUTI karya Damono merupakan pengembangan dari analisis unsur intrinsik yang ada pada pembahasan sebelumnya. Karakteristik kejiwaan pada tokoh utama dalam novel SUTI akan diteliti dengan pelaksanaan perwatakan yang digambarkan memiliki perkembangan konflik yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Dalam pembahasan karakteristik kejiwaan pada tokoh dalam novel SUTI karya Damono, tidak semua tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut diteliti, melainkan hanya karakteristik kejiwaan pada tokoh utama, yaitu Suti saja. Seperti telah dijabarkan pada bab sebelumnya, analisis psikologi untuk karakteristik kejiwaan ini menggunakan teori analisis Sigmund Freud yang meliputi tiga unsur kepribadian yaitu id, ego, dan superego. Id adalah karakteristik kepribadian dalam bawah sadar commit manusiatoyang user berisi insting-insting dan nafsu-
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
nafsu manusiawi. Ego bersifat menjembatani keinginan pada id dengan mempertimbangkan kenyataan dan keadaan/fakta-fakta. Superego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai aturan yang bersifat evaluatif. Superego bertindak sebagai hati nurani yang berkaitan dengan moral. Novel ini bercerita tentang kehidupan seorang perempuan bernama Suti yang tinggal di pinggiran kota Solo tepatnya di desa Tungkal. Suti adalah gadis lugu yang selalu tampak ceria dan mudah bergaul dengan orang lain. Ia adalah anak yang pintar dan memiliki paras yang cantik. Lahir dari seorang Ibu bernama Parni, namun tidak diketahui secara jelas siapa Bapak Suti. Sifat Suti yang mudah bergaul dengan teman-temannya memaksa dia kenal dengan segerombolan berandal cilik yang tinggal di desa itu juga. Kehidupan desa yang dekat dengan kota membuat terjadinya proses perubahan masyarakat dari pramodern ke modern. Karena pergaulan Suti yang dianggap mengkhawatirkan oleh Ibunya, akhirnya Ibu Suti memutuskan untuk menikahkan anaknya itu dengan seorang laki-laki bernama Sarno. Saat itu usia Suti masih belasan tahun, sedangkan Sarno berusia sebaya dengan Ibunya. Tanpa perlawanan, pernikahan Suti pun digelar. Sejatinya, dahulu Sarno pernah menikah, namun ia tidak memiliki anak dan malah istrinya pergi meninggalkannya. Kehidupan rumah tangga Suti dengan Sarno ternyata tidak seperti yang dibayangkan Suti. Hingga pada suatu hari datanglah keluarga priayi dari kraton Kasunanan yang memutuskan tinggal di desa Tungkal dan merubah hidup Suti. Ia dipekerjakan oleh Bu Sastro untuk membantu mengurus segala keperluan rumah tangganya. Dalam keluarga itu Suti mengenal bu Sastro, seorang perempuan yang sabar dan baik hati yang sangat dikaguminya. Ada juga Pak Sastro, laki-laki yang menarik perhatian Suti untuk pertama kalinya ketika keluarga itu pindah ke Tungkal. Pak Sastro baik dan gagah serta memiliki paras yang tampan. Pak Sastro dan Bu Sastro memiliki dua anak, yaitu Kunto dan Dewo, namun tingkah laku keduanya sungguh berbeda. Kunto adalah anak yang rajin, baik, dan penurut, sedangkan Dewo adalah anak yang bandel, nakal, dan pembangkang. Namun, sejatinya Dewo memiliki sifat yang tegas dan penyayang, terutama kepada commit to user Ibunya.
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
Setelah beberapa hari bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kediaman Pak Sastro, selama itu pula Suti semakin mengenal keluarga itu, termasuk orang-orang yang ada dalam keluarga itu. Hari-hari Suti dihabiskan lebih banyak berada di rumah Pak Sastro. Sementara, ia hanya pulang selepas makan malam ketika pekerjaannya telah selesai. Di rumah ia hanya numpang tidur. Sarno tak pernah menemani Suti untuk tidur di kamar, ia lebih memilih tidur di lincak. Segala permasalahan tentang dirinya dan Sarno memunculkan id dalam diri Suti. Id atau keinginan yang benar-benar ingin untuk segera dituntaskan adalah bercerai dengan suaminya, Sarno. Sudah sejak awal pernikahan Suti tidak mencintai Sarno, ditambah lagi dengan kenyataan yang harus diterima Suti bahwa selama ini Sarno lebih menjadi urusan Ibunya daripada Suti. Suti masih makan di dapur, dalam benaknya bergantian muncul wajah-wajah Pak Sastro, Kunto, dan kini tambah Dewo sedang main koboi-koboian bersama John Wayne – persis seperti dalam film yang pernah ditontonnya dengan Kunto di gedung bioskop. Tetapi Mas Dewo gak suka nonton, pikirnya. Ia merasa ada yang terbakar dalam dirinya. Bukan, bukan Sarno yang menyulut apinya. Sudah lama Suti harus menerima kenyataan bahwa lelaki itu sebenarnya „pacar‟ ibunya. Beberapa kali dipergokinya mereka melakukan adegan yang hanya pantas untuk suami istri. Kepada Tomblok ia pernah bilang akan minta diceraikan saja oleh Sarno (Damono, 2015: 51 – 52). Hubungan Suti dan keluarga Sastro bisa dikatakan bukan lagi hubungan antara pembantu dan majikan. Keluarga Sastro telah menganggap Suti sebagai bagian dari keluarganya juga. Suti sering diajak pergi oleh Bu Sastro. Ia juga sering dibelikan berbagai macam barang oleh Bu Sastro. Seringnya Suti berada di rumah itu, Suti mulai merasakan perasaan yang berbeda dengan anak sulung Bu Sastro yaitu Kunto. Perhatian Kunto kepada Suti membuat Suti berharap Kunto menyukainya, dan begitu pula sebaliknya perasaan Suti ke Kunto. Ia merasa telah jatuh cinta kepada Kunto. Kunto yang saat itu telah lulus SMA ingin melanjutkan kuliah di UGM Yogyakarta. Hari-hari sebelum keberangkatan Kunto ke Yogya sering dimanfaatkan Suti dan Kunto untuk pergi berdua sekadar berkeliling kota commit to user atau nonton bioskop. Hingga pada akhirnya hari keberangkatan Kunto ke Yogya
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
pun tiba. Suti diminta Bu Sastro untuk menemaninya mengantarkan Kunto ke kos barunya di Yogya. Setibanya di kos baru, Bu Sastro dan Suti tak lama kemudian memutuskan untuk segera pulang kembali ke Solo. Dalam perjalanan pulang ke Solo yang ditempuh dengan kereta api, Suti berdua dengan Bu Sastro membicarakan banyak hal tentang Kunto. Bu Sastro memeluk Suti dengan menangis. Dalam keadaan itu pula, id untuk melupakan dan lepas dari Sarno yang ada di dalam diri Suti muncul. Bioskop, Tape Ayu, Balekambang, dan Sriwedari berkeliaran dalam pikirannya – Sarno tidak tampak meskipun kadang-kadang ia berusaha juga mencarinya, sekadar membayangkan sedang berbuat apa lelaki itu dengan ibunya. Laki-laki itu sudah menjadi benda asing dalam hidupnya. Ketika dipeluk Bu Sastro itulah disadarinya bahwa sebenarnya Sarno tidak pernah dikenalnya. Lelaki itu milik ibunya meskipun tak bisa dijelaskannya, bahkan kepada dirinya sendiri, mengapa demikian. Yang kadang-kadang lamatlamat terbayang olehnya ialah bahwa desanya adalah dunia yang bertolak belakang dengan negeri mahaluas miliki John Wayne, sang koboi yang duduk di atas kuda sehabis menuntaskan tugasnya, lalu memacunya di jalan berdebu di tanah tandus dan kering (Damono, 2015: 67). Dari kutipan-kutipan di atas, id yang muncul dari dalam diri Suti sangatlah kuat. Keinginan untuk segera bercerai juga dikuatkan karena ia menyadari bahwa ibunyalah yang lebih menginginkan Sarno sebagai suaminya, bukan dirinya. Dalam perjalan dari Yogya menuju Solo itu, pikiran Suti juga menerawang pada kejadian-kejadian yang pernah dialaminya bersama Kunto. Dulu ia pernah diajak Kunto ke Boyolali membonceng sepeda. Suti merasa nyaman dan bahagia bisa berdua dibonceng oleh Kunto. Kedekatan Suti dan Kunto sering menjadi bahan ledekan teman-teman Kunto, mereka menganggap bahwa Kunto dan Suti sebenarnya berpacaran. Hal-hal demikianlah yang juga ikut menguatkan keinginan atau id yang ada pada diri Suti untuk berpisah dari Sarno karena selama ini Sarno tidak pernah bisa memberikan apa yang Suti inginkan sebagai kebutuhan perempuan. Suti sama sekali tidak merasa sebagai pembantu sejak saat itu, dan ia sedikit-sedikit merasa belajar mengenal manusia yang bernama laik-laki, commit todiuser yang berbeda dengan anak-anak kampungnya. Sarno tidak pernah
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
memberikan perasaan demikian, sejak semula ia yakin bahwa ibunya yang sebenarnya menginginkan laki-laki itu. Laki-laki itu sama sekali tidak pernah memberikan apa yang diinginkannya tetapi teman-teman berandalnya itu sebenarnya yang membentuknya menjadi perempuan dewasa (Damono, 2015: 68 – 69).
Kepergian Kunto ke Yogyakarta semakin membuat Suti lebih mengenal Bu Sastro, Dewo, dan tentu saja Pak Sastro. Suatu ketika Suti berada seorang diri di rumah keluarga Sastro. Bu Sastro pergi ke rumah saudara Pak Sastro di Purwodadi diantar oleh Dewo. Tanpa diduga Pak Sastro yang bekerja di Jakarta tiba-tiba saja pulang ke rumah. Ia mengambil cuti seminggu usai mengerjakan pekerjaannya di Jakarta. Pak Sastro tau bahwa istrinya dan Dewo pergi ke rumah saudaranya di purwodadi. Selama berada di rumah, Pak Sastro kadang mengajak Suti untuk pergi nonton wayang, mereka pergi diantar oleh Sarno naik becak. Suti juga diajak Pak Sastro untuk berkumpul menemui teman-temannya usai nonton wayang. Mereka sering berbicara hal-hal yang kadang tak dapat dipahami oleh Suti. Dalam keadaan seperti itu, Suti semakin merasa mengagumi sosok Pak Sastro. Selama beberapa hari Pak Sastro dan Suti hanya berdua berada di rumah. Kondisi seperti ini kadang menimbulkan keinginan Suti untuk bisa memiliki Pak Sastro sepenuhnya. Rasa kagum yang dimiliki Suti mungkin sudah melebihi batasannya. Namun, Suti selalu berusaha untuk melawan bayang-bayang dalam dirinya bersama Pak Sastro. Setiap kali sendirian bersama ayah Kunto di rumah, Suti berusaha matimatian untuk mengusir bayangan-bayangan yang terus memburunya sejak kecil ketika ia suka menonton upacara patilan kuda Kang Mangun. Pak Sastro bukan pejantan, dia benar-benar priayi jantan! Begitu selalu katanya pada dirinya sendiri sambil mengusap peluh. Tidak pernah dimasalahkannya apakah tidak adanya orang rumah yang lain merupakan dosa yang pasti akan menyeretnya ke neraka atau justru berkah yang sudah sepantasnya disyukuri (Damono, 2015: 76). Perlawanan dalam kutipan di atas merupakan wujud munculnya id dalam diri Suti. to sewajarnya user Id tersebut muncul agar Suti dapatcommit bersikap saja dengan Pak Sastro.
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pak Sastro hanya seminggu berada di rumah, menunggu istrinya pulang tetapi tidak juga pulang, yang ia tahu sebenarnya istrinya sudah pulang, tetapi malah mampir ke Pati dulu untuk menemui saudaranya juga di sana. Sehari sebelum Pak Sastro kembali ke Jakarta, segerombolan orang datang tiba-tiba ke rumah Pak Sasro dan langsung memukulinya. Suti yang menyaksikan kejadian itu tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada tetangga yang datang, mungkin mereka tidak mengetahui kejadian itu, atau malah puara-pura tak mengetahuinya. Suti tak tega melihat kondisi Pak Sastro yang babak belur, kemudian Suti memutuskan untuk merawat Pak Sastro. Dibawanya Pak Sastro ke dalam kamar, dan Suti membersihkan luka Pak Sastro sambil menangis. Dalam kondisi seperti itu tenyata dorongan id yang dimiliki Suti sebagai perempuan yang selama ini tidak bisa dituntaskan dengan Sarno justru semakin kuat. Hal ini mendorong munculnya ego dalam diri Suti. Ego adalah wujud nyata dari id, dan kali ini ego yang muncul dalam diri Suti tidak berhasil menekan id yang ada. Ia merasa bahwa Pak Sastro juga sebenarnya menginkannya. Hal itu terbukti pada malam setelah pengeroyokan bahwa nyatanya Pak Sastro berhasil mendapatkan Suti, begitupun sebaliknya. Apa aku ini memang goblok? Tanya Suti kepada dirinya sendiri. Kalau dipikir bahwa ia diam-diam mencintai Kunto, orang boleh bilang ia memang goblok. Pepatah jadul menjelaskan hal itu sebagai pungung merindukan bulan. Tetapi kalau dalam kenyataannya Kunto mungkin diam-diam mencintainyajuga, tidaklah sepenuhnya benar bahwa ia goblok. Mungkin goblok dan goblok adalah dua hal berbeda. Tetapi Suti tidak pernah sekilas pun memikirkannya. Dan ketika kemudian dia menyadari kenyataan bahwa Pak Sastro ternyata juga menginginkannya, dan berhasil – terbukti dari apa yang terjadi malamnya sehabis Prabu Kresno kena pukul rame-rame hari itu – maka tema „goblok‟, mungkin harus dihapus dari kamus Tomblok (Damono, 2015: 87 – 88). Suti mencoba mengumpulakan kenyatan-kenyataan yang coba dirangkai oleh Suti sendiri bahwa memang benar Pak Sastro juga menginginkan Suti. Id yang dimiliki oleh Suti mengalahkan hubungan sebab akibat yang mungkin akan terjadi bila setelah perbuatannya dengan Pak Sastro malam itu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
Sesekali Suti mencoba membandingkan antara Pak Sastro dengan Kunto. Dua laki-laki itu memiliki sifat yang berbeda. Pak Sastro paham benar ketika mereka hanya berdua saja, ia dengan sigap melayani apa yang menjadi naluri Suti sebagai perempuan. Sementara Kunto tidak, begitupun juga Sarno yang tak pernah memberikan apa yang Suti inginkan. Namun ia merasa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan dibalik hubungan yang dirasanya sulit ditebak itu. Anak muda itu ternyata sama sekali berbeda wataknya dengan bapaknya, lelaki setengah baya yang dengan sigap memahami apa yang diharapkan oleh perempuan kalau sedang berdua saja bersama laki-laki – meskipun waktu itu tentu masih merasakan kesakitan akibat pukulan gerombolan laki-laki yang datang tanpa diundang. Suti menerima keinginan Pak Sastro begitu saja, tanpa menimbang-nimbang apakah penerimaannya itu merupakan ungkapan rasa kasihan atau lebih karena naluri perempuan yang selama ini tidak pernah bisa dituntaskannya dengan Sarno (Damono, 2015: 91). Dari kutipan tersebut, suti mencoba mengumpulkan fakta-fakta yang memperkuat adanya ego yang disebabkan dari kekuatan id yang lebih besar. Hari berikutnya, Bu Sastro dan Dewo pulang ke rumah. Suti dalam keadaan yang serba kacau saat itu merasa bingung harus mengatakan dan bercerita bagaimana dengan Bu Sastro. Hati dan pikirannya bergejolak. Konflik batin yang dialami dirinya sendiri akan perbuatannya semakin membuatnya merasa bingung. Hari itu ia seperti menyesali perbuatannya, mengapa ketika dipeluk Pak Sastro ia tidak bersikap seperti kuda betina Kang Mangun yang menyepak-nyepakkan kaki karena menolak untuk dipatil. … saat itulah Suti merasa menjadi orang yang sama sekali asing di rumah itu., merasa bahwa apa yang telah dilakukannya selama dua-tiga hari itu dengan Pak Sastro tidak mengikuti jalan lurus. Merasa bahwa ia terpelanting kembali ke adegan di depan rumah Kang Mangun ketika ada acara patilan kuda. Ia tiba-tiba berpikir mengapa ketika hanya berdua saja dengan Pak Sastro yang memeluknya malam itu ia tidak bertindak seperti kuda betina Kang Mangun yang terus menerus berusaha menyepak-nyepak pejantannya Karena menolak dipatil (Damono, 2015: 94). Keadaan id dan ego ini yang akhirnya memunculkan aspek kejiwaan user kejiwaan yang berkaitan dengan ketiga yaitu superego. Superego commit adalah to aspek
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
moral. Ia mempertimbangan sikap baik dan buruk. Kalimat terakhir yang terdapat dalam kutipan tersebut menunjukan rasa penyesalan yang ada dalam diri Suti. Superego Suti baru bekerja pada bagian ini, dia menyadari bahwa perbuatannya adalah suatu kesalahan. Superego yang muncul dalam diri Suti juga berdampak pada kepergian Suti, ibunya, dan juga Sarno. Kala itu menurut tetangganya Suti menangis, muntah-muntah, dan terdengar suara keributan dari rumahnya. Sarno tidak bisa dijumpai di mana pun. Tetangga dekat ibu Suti pun tampaknya tidak mau membukakan apa pun kepada Bu Sastro. Yang disampaikan hanya sekelumit berita saja, yakni bahwa Suti sakit, muntahmuntah, dan bahwa selama dua malam itu terdengar ribut-ribut di rumahnya. Tetangga itu bilang baru malam itu mendengar Suti menangis (Damono, 2015: 162). 3. Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono Sebuah karya sastra memiliki fungsi untuk dapat menghibur dan mendidik pembaca melalui isi cerita dan pesan yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, sebuah karya sastra yang baik adalah yang di dalamnya selain dapat menghibur pembaca juga mengandung unsur atau nilai-nilai pendidikan. Seorang pengarang atau penulis, dapat menyisipkan nilai pendidikan karakter di dalam karyanya secara tersurat maupun tersirat, sehingga hal ini dapat bermanfaat pula bagi pembaca. Berbicara mengenai nilai pendidikan karakter, di dalam novel SUTI karya Damono juga terdapat nilai pendidikan karakter yang dapat diteladani dari para tokohnya. Nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel SUTI di antaranya, religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, peduli sosial, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, dan tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut dapat disimak melalui karakter tokoh yang tampak pada narasi cerita. Berikut adalah uraian temuan data yang mempresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter. commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Religius Religus adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Sikap religius memang sudah seharusnya melekat pada setiap manusia, hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang harus patuh dan mengabdikan dirinya untuk pencipta dan agama yang dianutnya. Dalam cerita yang terdapat dalam novel SUTI karya Damono, sikap religius ini juga dimiliki oleh tokoh yang ada di dalamnya khususnya pada warga Tungkal secara keseluruhan, termasuk di dalamnya, Suti. Hal ini dibuktikan dalam kalimat: Rupanya kalau ada sesuatu yang tidak bisa dipecahkan oleh kelugasan berpikir warga kampung itu, dengan yakin mereka putuskan saja bahwa semua sudah diatur oleh yang di sana, lha yang „di sana‟ itu tidak lain Mbah Parmin. Itu tidak berarti bahwa banyak di antara mereka tidak suka ke masjid … (Damono, 2015: 86). Sore itu menjelang maghrib Suti pergi ke makam, langsung menuju cungkup Mbah Parmin, duduk bersila dengan tertib dan mengucap doa yang pernah dipelajarinya dari guru agama di sekolah dulu. (Damono, 2015: 100). b. Jujur Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap ini sangat diperlukan dalam kehidupan di masyarakat. Jujur menyatakan sikap yang apa adanya., terbuka, konsisten antara apa yang dikatakan dan dilakukan (berintegrasi), berani karena benar, dan tidak curang. Perwujudan sikap seperti inilah yang baik untuk diteladani dari sikap para tokoh yang ada pada sebuah cerita. Gambaran sikap jujur dalam novel SUTI karya Damono, terletak dalam kalimat berikut: commit to user
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Ibu, atas nama Bapak, Dewo meminta maaf atas segala yang selama ini terjadi di keluarga kita.” (Damono, 2015: 109). Sebelum ia bangkit, Suti berkata kepada anak itu untuk mencium tangan Tomblok sambil memperkenalkannya sebagai anaknya. “Kau ini benar Suti? Ini anakmu?” Suti mengangguk. (Damono, 2015: 184). c. Toleransi Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lainyang berbeda dengan dirinya. Sikap toleransi yang terdapat dalam novel SUTI
ini
dibuktikan pada pemikiran warga Tungkal yang menerima orang Kota untuk singgah dan menetap di Desanya. Pengaruh yang dibawa oleh warga Kota yang memiliki perbedaan budaya dengan warga Desa, tidak membuat warga Desa memusuhi kedatangan orang-orang Kota ke Desa tersebut. Hal ini dapat dibuktikan pada kalimat: … orang kota yang masuk ke desa itu sering malah berfungsi sebagai sumber perubahan, dan perubahan diperlukan. Mereka tahu itu dan bersikap arif menerimanya antara lain sebab kehidupan yang begitubegitu saja semakin terasa membosankan. (Damono, 2015: 16). d. Disiplin Disiplin adalah tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Hal ini dapat dijadikan teladan yang baik karena dapat melatih diri menjadi lebih teratur. Wujud dari sikap disiplin dalam cerita ini melekat pada tokoh Kunto. Kunto adalah anak yang penurut dan disiplin. Ia tidak pernah membangkang pada peraturan sekolah maupun pada orangtuanya. Di sekolah Kunto memang penurut sehingga sekolahnya lancar dan disayang banyak guru. (Damono, 2015: 43).
commit to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. Kerja Keras Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan
tugas
dengan
sebaik-baiknya.
Sikap
kerja
keras
melambangkan keseriusan dan kegigihan untuk meraih apa yang ia impikan. Sebagai manusia, sikap kerja keras sudah seharusnya ada jika ingin mendapatkan sesuatu. Kalimat yang membuktikan bahwa tokoh novel ini memiliki sikap kerja keras adalah pada: Setelah menikah, Sarno tinggal di rumah Parni dan lebih giat mencari rupa-rupa jenis kerja lain lagi. Tidak sebatas memanjat kelapa atau menggali sumur, tetapi juga nukang. (Damono, 2015: 12). Sikap Sarno yang tergambar dalam kutipan tersebut, menunjukkan bahwa ia bekerja dengan keras agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, terlebih ketika Sarno memutuskan untuk menikahi Suti maka ia lebih giat lagi untuk bekerja agar dapat menafkahi istrinya. Karakter kerja keras juga dipresentasikan oleh sikap warga Desa Tungkal yang rata-rata memiliki pekerjaan lebih dari satu profesi. Hal ini dibuktikan pada kutipan berikut: … Mereka bekerja sebagai penarik becak, tukang jual jajanan malam hari, pencari pasir, pemecah batu, pembakar bata, pencari ikan, pencari pasir, pemanjat kelapa, pembantu, dan kerja srabutan – kerja apa saja diambil. (Damono, 2015: 19). f. Kreatif Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atauhasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Karakter kreatif dalam novel SUTI ini dipresentasikan melalui tokoh Kunto. Kunto kecil memiliki hobi membaca komik. Dari hobinya itu, Kunto berhasil memiliki bermacam-macam komik. Hingga suatu ketika Kunto berpikiran untuk menyewakan komik koleksinya kepada teman-temannya. Dari bisnis persewaan komik itu, Kunto mendapatkan uang, dan ia mempergunakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
uang itu untuk kembali membeli komik-komik baru untuk menambah koleksinya. Dayang Sumbi tidak pernah muncul di kepala Kunto. Tokoh itu hanya pernah dibacanya ketika masih SMP dulu suka mengumpulkan komik dan menyewakannya kepada teman-temannya di kampung. Uang sewa yang terkumpul dibelikan komik baru sehingga terkumpul ratusan buku. (Damono, 2015: 153). g. Mandiri Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Sikap ini tercermin dari perilaku Pak Sastro yang tidak mudah bergantung kepada orang lain. Ia memiliki prinsip, jika masih bisa dilakukan sendiri, ia akan melakukannya sendiri.Sikap ini adalah contoh perilaku yang baik dipelajari. Wujudnya dibuktikan dalam kalimat: Dalam kesulitan apa pun, keluarga itu tidak pernah mengeluh kepada sanak saudara, apalagi meminta bantuan. Pak Sastro selalu menjelaskan alasannya itu sebagai menjaga martabat. (Damono, 2015: 35). Perwujudan karakter mandiri yang lain dipresentasikan oleh tokoh Dewo. Sama seperti Bapaknya, Pak Sastro, Dewo juga memilki sikap yang tidak mudah bergantung pada orang lain. Ia lebih senang melakukan apapun oleh dirinya sendiri selagi ia masih mampu melakukannya. Hubungannya dengan Suti selama ini memang berjarak, dan ketika Tomblok muncul dalam keluarganya ia pun tidak berusaha membuat hubungan yang menyebabkannya merasa tergantung. Ia bisa mengerjakan apa saja, tidak seperti kakaknya yang kalau disuruh mencuci pakaian suka mencari alasan macam-macam. (Damono, 2015: 155). h. Demokratis Demokratis adalah cara berpikir, bertindak, dan bersikap yang menilai sama hak dan kewajibandirinya commit to user dan orang lain. Sikap ini adalah
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
baik dimiliki oleh setiap orang agar kita dapat menghargai pula hak orang lain serta mengetahui apa kewajibannya. Tokoh yang memiliki sikap demokratis adalah Bu Sastro. Ia membiarkan warga Desa bebas berpendapat apa saja tentang dirinya. Ia tidak mempermasalahkan apa yang akan mereka gunjingkan tentang dirinya. Dalam novel ini, sikap demokratis ditunjukkan pada kalimat berikut: Bu Sastro tampaknya sudah meraba hal itu, tetapi tidak merasakan sesuatu yang buruk tentang itu. Ia merasa berpikir sebaliknya, itu akan membuatnya semakin dikenal tetangganya. Ia tidak ingin orang-orang mendudukkannya di suatu ketinggian yang membuatnya merasa berkunang-kunang memandang ke bawah, ia ingin tetap berada di tengah-tengah orang yang dicintainya. Dan cara itulah yang dianggap paling sesuai untuk melaksanakan keinginannya itu. (Damono, 2015: 152). Sikap
demokratis
yang
ditunjukkan
oleh
tokoh
lain,
dipresentasikan oleh Suti. Sikap ini tergambar pada saat Suti mengetahui bahwa selama ia berada di Jakarta menemani Pak Sastro bersama Kunto, Bu Sastro mempekerjakan Tomblok untuk membantunya selama Suti tidak ada di rumah. Ketika Suti sudah kembali, Suti melarang Tomblok untuk meninggalkan pekerjaannya. Ia menyadari adanya hak dan kewajiban yang sama antara dirinya dan Tomblok sebagai pembantu di rumah Bu Sastro. … rupanya Suti menyadari bahwa Bu Sastro sekarang tidak begitu tergantung padanya. Ia malah melarang Tomblok minta pamit saja kepada Bu Sastro, “Jangan, Mblok, kalau perlu kita gentian saja. Ibu akan merasa tidak enak kalau kamu meninggalkannya,” katanya. (Damono, 2015: 155). Sikap demokratis lainnya tercermin oleh tokoh Pak Sastro. Hal itu digambarkan pada saat pak Sastro memberikan kebebasan pilihan untuk Kunto memilih calon istri yang akan ia jadikan pendamping hidup. “Aku tidak punya hak memilihkan calon istri untukmu, Kun,” katanya melanjutkan sebelum Kunto sempat membuka mulut menyampaikan apa pun, “pilihan penuh-penuh ada di tanganmu.” Kunto tetap diam. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
“Hanya saja ibumu pernah bilang ia khawatir kamu nanti telat kawin,” lanjut Pak Sastro yang tampaknya tidak bisa menahan tawa lantaran rasa gelinya berkaitan dengan sikap istrinya. (Damono, 2015: 182). i. Rasa Ingin Tahu Rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Dalam novel SUTI karya Damono, pendidikan karakter rasa ingin tahu terdapat pada tokoh Suti saat menanyakan kedatangan keluarga Pak Sastro ke Desa Tungkal yang akan membuat sumur di rumahnya. Hal ini dibuktikan pada kalimat: “orang baru itu bikin sumur senggot, Mblok?” “Bukan, katanya sumur kerekan.” “Uenuak buanget!” (Damono, 2015: 8) Tokoh lain yang memiliki sikap rasa ingin tahu digambarkan oleh tokoh Bu Sastro. Hal tersebut terdapat pada percakapan antara Pak Sastro dan Bu Sastro yang pada saat itu sedang membahas rencana kedatangan keponakan Pak Sastro untuk tinggal bersama keluarga mereka di Desa Tungkal. “Kemenakan Bapak jadi ikut kita? Kapan?” “Katanya ya, tetapi tidak tahu persis kapan datang …” “… Kok tidak dititipkan kita saja dulu-dulu ketika masih di Ngadijayan?” “Siapa yang bisa menebak pikiran Yu Mantri, ya ndak?” “Lha ya itu!” “Apanya yang „lha ya itu‟?” “Itulah, Pak.” “Lho, kok „itulah‟?” “Ya, itulah.” (Damono, 2015: 28). Sikap rasa ingin tahu yang lain juga ditunjukkan oleh Bu Sastro ketika ia sedang mencari keberadaan Kunto di Yogya bersama Dewo. Bu Sastro pergi ke kos Kunto dan mencari tahu tentangnya kepada Ibu Kos yang merupakan temannya sendiri. Berikut adalah percakapan sebagai commit to user bukti:
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
“Kunto bilang berapa lama ke Bandung, Bu?”. Bu Budiaman mengatakan tidak tahu. Katanya, Kunto akan mengantarkan sahabatnya itu berangkat ke Jerman. “Kok ke Bandung? Dia bilang ke Bandung atau Jakarta Bu?” tanya Bu Sastro. Awal kisah yang ada dalam pikirannya itu bergeser lagi. “Iya, ya, Jeng. Kalau mau ke luar negeri kan harusnya ke Jakarta, ya. Tetapi Kunto bilangmau ke Bandung, Jeng.” (Damono, 2015: 163 – 164). j. Menghargai Prestasi Menghargai prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. Tidak hanya itu, maksud dari pendidikan karakter menghargai prestasi berarti ia mau untuk terus belajar meraih prestasi baik pada bidang akademik maupun non akademik. Sikap menghargai prestasi ini ditunjukkan oleh Suti yang memiliki sikap ingin sekolah dan belajar. Hal ini dibuktikan pada: Suti sejak awal kelihatan menikmati sekolahnya., bahkan merengekrengek minta disekolahkan. (Damono, 2015: 9). Suti berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya, malah pernah masuk SMP tetapi ibunya tidak kuat membiayai sampai tamat. (Damono, 2015: 10). Perwujudan sikap menghargai prestasi juga ditunjjukan oleh pemikiran warga Tungkal yang sudah sadar untuk menyekolahkan anakanak mereka. Selain karena tuntutan zaman yang memaksa mereka untuk melakukan hal demikian, mereka juga berpikir bahwa anak-anak mereka haruslah memiliki keadaan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik dibanding mereka pada saat ini. Tentu saja anak-anak disekolahkan, zaman menuntut demikian. Mereka toh kepengin anak-anak itu kelak menjadi apa begitu – dokter atau insinyur atau guru. Atau apa sajalah, asal tidak menjadi pencari pasir – jenis pekerjaan yang lebih dikenal dengan nama penggali pasir commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
– profesi utama warga kampung itu karena sungai pembatas desa selalu membawa pasir dari arah utara … (Damono, 2015: 19). k.
Bersahabat/Komunikatif Karakter bersahabat atau komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Dalam novel SUTI wujud sikap dari sikap bersahabat terdapat pada tokoh Parni dan Suti. Parni merupakan ibu dari Suti. Dahulu ia pernah bekerja di Jakarta dan kota-kota lainnya. Saat ia kembali lagi ke Tungkal, Parni membawa sikap komunikatif atau senang berbicara dan mudah bergaul yang ia dapatkan dari orang-orang kota ke Desa, begitu pula dengan Suti yang juga memiliki sikap turunan tersebut dari ibunya. Parni dengan mudah berbaur dengan penduduk setempat dan anaknya tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang gampang bergaul dengan anak-anak lain. Orang-orang sayang dengan anak itu, selalu tampak riang hampir tidak pernah kedengaran menangis. (Damono, 2015: 11). Pendidikan karakter bersahabat/komunikatif juga ditunjukkan oleh Pak Sastro. Sebagai orang keturunan darah biru atau dikenal sebagai priayi, Pak Satro memiliki sikap yang mudah bergaul dengan orang lain. Keluarga Sastro dikenal luas di kampung itu: Pak Sastro cakep tampangnya dan gampang diajak omong, Bu Sastro seorang priayi tulen yang tidak pernah menyimpan gagasan tentang kasta atau silsilah usul atau kekayaan. (Damono, 2015: 31).
l. Cinta Damai Cinta damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senag dan aman atas kehadiran dirinya.Pendidikan karakter cinta damai dalam novel SUTIdiperlihatkan melalui karakter tokoh yang mengutamakan perdamaian. Dalam novel ini sikap cinta damai tergambar pada sikap, perkataan, dan tindakan tokoh. Hal ini dibuktikan pada sikap Bu Sastro yang tidak suka mentang-mentang pada hal-hal yang mungkin tidak ia senangi. Kalimat dalam novel yang to useradalah pada: membuktikan adanya sikapcommit cinta damai
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
… Waktu itu mereka bisik-bisik, “Bu Sastro juga priayi, malah lebih tinggi ‘kali pangkatnya. Tapi gak suka mentang-mentang seperti Bu Mayor.” (Damono, 2015: 123). m. Gemar Membaca Gemar membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Hal ini adalah suatu kebiasaan yang baik dan juga dapat dijadikan contoh baik bagi orang lain. Membaca merupakan salah satu aktivitas kultural yang positif. Dengan membaca, seseorang mampu menguasai pengetahuan tentang berbagai hal. Dalam novel SUTI karya Damono, sikap gemar membaca tercermin pada hampir pada semua tokoh-tokohnya. Termasuk warga Tungkal secara keseluruhan yang juga memiliki sikap gemar membaca. Kalimat yang membuktikan bahwa dalam novel ini terdapat pendidikan karakter gemar membaca ini terdapat pada: … Koran? Ya ada tentu saja, tetapi orang harus ke kota untuk membeli atau membaca koran yang dipajang di depan Kantor Penerangan. (Damono, 2015: 20) Pendidikan karakter gemar membaca ditunjukkan pula pada tokoh Pak Sastro, Bu Sastro, juga Suti. Mereka gemar membaca koran dan majalah. Bu Sastro juga berlangganan koran mingguan di rumahnya. … di rumah kontrakan Pak Sastro ia melahap segala macam informasi dari koran dan majalah yang menumpuk. Tampaknya Pak Sastro selalu menyempatkan diri membelinya dari kios sebelah rumah. Di Solo, Pak Sastro hanya melanggan Suara Merdeka yang sering diantar oleh tetangga yang jadi loper koran. Bu Sastro lebih suka membaca Penyebar Semangat, sebuah mingguan berbahasa Jawa. Terutama dari koran dan majalah itu Suti mengetahui banyak hal, jauh melampaui teman-teman sekampungnya. (Damono, 2015: 136). Film, wayang, dan buku dibacanya selama ini menggodanya untuk berpikir bahwa tidak ada yang mustahil dalam hidup. (Damono, 2015: 144). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
Sikap gemar membaca juga dimiliki oleh tokoh Kunto. Kunto yang digambarkan penurut, disiplin, dan juga pandai memang memiliki kegemaran membaca buku. Tak hanya buku pelajaran, Kunto juga gemar membaca komik. Kunto merasa paling bahagia kalau berada di antara buku-buku di perpustakaan. (Damono, 2015: 153). … tokoh itu hanya pernah muncul di komik yang pernah dibacanya ketika masih SMP dulu … (Damono, 2015: 153). n. Peduli Sosial Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.Sikap tolongmenolong dan menghargai tersebut adalah suatu sikap sosial yang mencerminkan moral yang baik. Sebagai manusia yang hidup di lingkungan masyarakat, memang sudah sepantasnya memiliki sikap peduli terhadap keadaan lingkungan sosial. Peduli sosial memiliki kesejajaran dengan peduli terhadap sesama, baik sesama manusia maupun sesama makhluk ciptaan Tuhan. Sikap kepedulian inilah yang nantinya akan menggugah manusia untuk saling tolong menolong kepada orang lain ketika mengalami kesulitan atau permasalahan. Wujud dari pendidikan karakter peduli sosial dalam novel SUTI karya Damono terletak pada sifat tokoh-tokohnya, antara lain Suti. Sikap peduli sosial yang ditunjukkan Suti berawal dari kedatangan keluarga Pak Sastro ke Desa Tungkal yang pada saat itu akan merencanakan menggali sumur di dekat rumahnya. Kala itu Suti mengatakan kepada Tomblok bahwa ia mau untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah keluarga Sastro apabila dibutuhkan. “O, itu. Ya, moga-moga saja. Kita dapet satu sumur lagi ya. Aku ndak keberatan bantu-bantu ngangsu untuk kamar mandi mereka.” (Damono, 2015: 6). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
Selain Suti, tokoh lain yang mempunyai sikap peduli sosial adalah keluarga Sastro dan tentunya Pak Sastro. Dari awal kedatangannya Pak Sastro dan keluarganya memang dikenal sebagai orang yang ramah. Pak Sastro dan keluarganya mengizinkan siapa saja untuk menimba air di sumur miliknya. Selain itu, Pak Sastro memiliki pekarangan yang ditumbuhi pohon bambu. Ketika ada tetangganya yang membutuhkan bambu, dengan ikhlas Pak Sastro menyilakannya untuk mengambil. Keluarga Sastro segera dikenal luas di desa itu sebagai keluarga baikbaik sebab mengizinkan sumurnya ditimba para tetangganya. (Damono, 2015: 30). Kalau ada tetangga yang perlu bambu, disilahkannya memotong beberapa batang; ia hanya minta dicarikan rebungnya. (Damono, 2015: 34). Tokoh Bu Sastro juga dikenal sebagai orang yang memiliki kepedulian sosial. Hal itu tercermin pada saat ia membela dan melindungi Suti. Ia berpesan kepada Suti agar ia mengadukan kepadanya jika ada yang macam-macam dengan Suti, termasuk dengan teman-teman berandal si Dewo. “Kalau kamu ada apa-apa, kalau ada yang ngapa-ngapain kamu. Bilang sama Ibu, ya.” Kata Bu Sastro tiba-tiba. “Nggih, Bu.” “Kalau ada teman-teman Dewo yang mengganggu kamu, jangan diam saja. Bilang sama aku atau Kunto, biar kapok anak-anak gemblung itu.” (Damono, 2015: 50). Pendidikan karakter peduli sosial juga tercermin dari tokoh Dewo. Sebelumnya, Dewo dikenal sebagai anak yang nakal dan tidak penurut. Namun, dibalik semua sifat negatifnya itu, ternyata Dewo adalah anak yang penyayang dan memiliki sikap peduli sosial. Hal itu dibuktikan sejak peristiwa pemukulan yang dialami oleh Bapaknya. Tak lama setelah itu pula Suti dan Kunto pergi ke Jakarta untuk mengantarkan Bapaknya commityang to user kembali bekerja. Bu Sastro merasa tak mampu mengerjakan
perpustakaan.uns.ac.id
91 digilib.uns.ac.id
pekerjaan rumah sendiri, akhirnya mempekerjakan Tomblok untuk membantunya. Namun, kehadiran Tomblok tidak lantas membuat Dewo justru bergantung dengan keadaan dan membiarkan Tomblok bekerja sendiri. Sejak saat itu, Dewo justru lebih peka dengan keadaan rumah. Ia mulai membantu mengerjakan apa saja yang ia bisa kerjakan. Sejak hanya ada Tomblok di rumah, perangai Dewo berubah. Ia semakin menjauhi teman-teman berandalnya dan semakin dekat dengan segala sesuatu yang berada di rumah: Bu Sastro, pekarangan, dapur, sumur, dan Tomblok. Setiap hari ia membantu membersihkan lampu minyak, menyalakan kayu api di dapur, dan menyeterika. (Damono, 2015: 156). o. Tanggung Jawab Tanggung jawabadalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan karakter tanggung jawab digambarkan oleh tokoh Dewo yang merasa bertanggung jawab atas Ibunya. Hal ini dibuktikan pada: “Dewo akan selalu menjaga Ibu, apa pun yang terjadi,” lanjutnya (Damono, 2015: 109). Sikap tanggung jawab yang lain tercermin pada diri Pak Sastro. Pak Sastro yang kala itu diceritakan telah dipukuli oleh orang-orang dari Desa sebelah, meski lukanya belum sembuh namun ia memaksakan dirinya untuk dapat masuk kerja, karena masa cuti yang hanya seminggu sudah habis ia ambil. Sikap tanggung jawab ini adalah wujud tanggung jawab kepada pekerjaan.Hal tersebut dibuktikan dalam percakapannya dengan Suti berikut ini: Esoknya Pak Sastro memaksakan diri ke kantor.“Kalau bolos terlalu lama bisa repot, Sut.”“Tetapi luka-luka Bapak masih belum sembuh benar.”“Ya malah bisa dipakai alasan kenapa bolos. Aku tidak lama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
lagi di Jakarta, sebelum pensiun dipindahkan ke kota lain lagi biar bisa naik pangkat.” (Damono, 2015: 130). Perwujudan sikap tanggung jawab yang lain tergambar dari tokoh Kunto. Pada saat itu Kunto sedang berada di kereta malam dari Jakarta menuju Solo bersama Suti.
Mereka terlibat percakapan tentang apa
rencana Kunto setelah lulus dari kuliahnya. Kunto menjelaskan ingin bekerja saja. Keputusan Kunto untuk memilih segera bekerja adalah wujud tanggung jawabnya kepada keluarga, terlebih tak lama lagi Pak Sastro akan pensiun. Ia ingin membantu ibunya meringankan beban keluarga. … Kunto menarik nafas panjang, mengatakan lebih suka kerja saja, kalau bisa di Bandung. Pak Sastro segera akan pensiun dan ia harus membantu ibunya. (Damono, 2015: 147). Sikap tanggung jawab yang dimiliki Kunto tidak hanya ia tunjukkan kepada keluarganya saja. Namun, kepada Suti ia juga memiliki sikap demikian. Saat itu setelah perjalanan ke Solo dari Jakarta menggunakan kereta, Kunto memutuskan untuk mengantar Suti dahulu pulang ke Solo, meskipun sebenarnya ia bisa langsung melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. “Saya harus segera ke Yogya, Bu. Sebenarnya mau turun di Yogya saja tadi, tetapi kasihan Suti sendiri.” (Damono, 2015: 150).
4. Relevansi Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono sebagai Materi Ajar Sastra di SMA Secara garis besar tujuan pengajaran sastra dapat dipilah menjadi dua bagian yakni tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah agar siswa mengenal cipta sastra dan dapat menjawab pertanyaanpertanyaan yang terkait dengannya. Di samping itu, siswa dapat memberi tanggapan, menanyakan, tentang cipta sastra yang dibacanya, siswa dapat menyelesaikan tugas-tugas pengajaran sastra, mengunjungi kegiatan sastra, menyatakan tertarik dengan kegiatan pengajaran sastra dan memilih kegiatan commit to user sastra antara kegiatan lain yang disediakan. Berkaitan dengan tujuan pengajaran
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sastra jangka panjang adalah terbentuknya sikap positif terhadap sastra dengan ciri siswa mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap karya sastra dan dapat membuat indah dalam setiap fase kehidupannya. Pembelajaran sastra diarahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif terhadap karya sastra, yaitu sikap menghargai karya sastra. Menurut Wibowo (2013: 136) dalam pembelajaran sastra ditanamkan tentang pengetahuan karya sastra (kognitif), ditumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra (afektif), dan dilatih keterampilan menghasilkan karya sastra (psikomotor). Kegiatan apresiatif sastra dilakukan melalui kegiatan (1) reseptif seperti membaca dan mendengarkan karya sastra; (2) produktif, seperti mengarang, bercerita, dan mementaskan karya sastra; dan (3) dokumentatif, misalnya mengumpulkan puisi cerpen, membuat kliping tentang informasi kegiatan sastra. Menurut Nurhayati (dalam Wibowo, 2013: 19) pengajaran sastra memiliki pertautan erat dengan pendidikan karakter, karena pengajaran sastra dan sastra pada umumnya, secara hakiki membicarakan nilai hidup dan kehidupan
yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan
pembentukan karakter manusia. Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya di SMA, pengajaran sastra erat kaitannya dengan materi ajar yang terdapat dalam kurikulum. Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembelajaran sastra berupa novel termasuk dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang diajarkan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI semester I dengan standar kompetensi (SK) memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar (KD) antara lain: (a) menemukan unsurunsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat, (b) menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Novel SUTI karya Damono yang sebagian besar inti ceritanya mengisahkan tentang perjuangan hidup tokoh utamanya yaitu Suti dalam menjalani kehidupan desa yang mulai mengalami perubahan ke arah modernisasi tentu saja dapat dijadikan sebagai materi ajar sastra di SMA. Novel yang hanya terdiri dari 192 halaman ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami serta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
memuat cerita yang ringan dan bagus. Hal ini sesuai dengan pendapat Lestari, guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 2 Salatiga. Secara keseluruhan bahasanya santun, menggunakan percakapan yang mengalir, sehingga untuk orang jawa itu gampang menangkap apa yang dimaksud oleh Damono. Karena itu bentuknya novel, dan harus bisa dikonsumsi secara luas bukan hanya orang Jawa saja, saya lihat di sana ada translate kamus kecil Bahasa Jawanya, istilah-istilah yang dipakai di situ jadi mempermudah meskipun tidak sama persis antara yang biasa kita ucapkan di Jawa dengan makna yang terdapat di sana (Lampiran 3, halaman 149). Nilai pendidikan karakter pun juga dihadirkan dalam novel ini, sehingga pembaca juga akan mendapat manfaatnya melalui pesan yang tersirat maupun tersurat sehingga novel garapan Damono ini dapat dijadikan referensi sebagai materi ajar sastra di SMA. Hal tersebut senada dengan hasil wawancara beberapa guru dan murid tentang relevansi novel SUTI karya Damono dan nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalamnya sebagai materi ajar sastra di sekolah. Berikut hasil wawancaranya a. Menurut Setiyoningsih, guru Bahasa Indonesia di Sragen Bilingual Boarding School (SBBS) yang juga merupakan seorang penulis novel mengatakan bahwa novel Suti karya Sapardi Djoko Damono ini dapat dijadikan materi ajar sastra di SMA. Menurut saya ini bisa dijadikan sebagai bahan materi ajar. Kalau Mbak Sekar tahu di SMA Banjarnegara itu guru-gurunya malah sudah mengenalkan murid-muridnya itu dengan novel SAMAN karya Ayu Utami, yang pasti novel itu lebih ekstrim kan daripada novel SUTI. Ya memang dalam novel SUTI ini terdapat beberapa hal-hal yang masih tabu di dunia remaja, nah di sinilah peran guru untuk menjelaskan bagaimana sih yang baik dan yang benar. Jadi, novel ini bisa dijadikan bahan ajar, asal ada pengarahan atau nasihat, dan memberikan keterangan-keterangan dari gurunya. Jadi, novel ini bisa asal ada pengawasan dari guru (Lampiran 3, halaman 161). b. Menurut Ariyah, guru Bahasa Indonesia SMA N 3 Salatiga novel ini bisa untuk bahan pembelajarancommit selagitodiuser situ bahasanya tidak begitu vulgar.
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
Atau kalaupun ada bahasa-bahasa yang seperti itu kita sebagai orang tua sudah seharusnya mendidiknya. Semua bahan jika untuk pembelajaran pada dasarnya adalah baik, tinggal cara kita untuk mengemasnya, memberikannya bagaimana, kan tidak semuanya kita harus pakai, tapi bisa kita pilah-pilah, tapi sebetulnya ya bagus (Lampiran 3, halaman 139). c. Menurut Nisa siswi kelas XI IPA 2 SMA Negeri 3 Salatiga juga mengungkapkan bahwa novel tersebut cocok dijadikan materi ajar sastra di SMA. Menurutnya, Suti juga masih remaja jadi kita juga merasakan bagaimana karakter yang dapat diteladani dari tokoh Suti (Lampiran 3, halaman 134). Tidak dipungkiri bahwa dalam novel SUTI
karya Damono ini, di
dalamnya terdapat beberapa kata dan kalimat yang sedikit vulgar dan dirasa tabu bila diajarkan kepada peserta didik kelas XI. Namun, hal itu bukanlah menjadi masalah untuk tidak menjadikan novel ini sebagai referensi materi ajar sastra di SMA. Beberapa pendapat dari guru, murid, dan dosen berikut juga mengatakan bahwa novel SUTI tersebut masih dapat dijadikan sebagai referensi materi ajar sastra di SMA dengan catatan guru pengajarnya harus dapat berinovasi atau memberikan penyampaian yang mudah dipahami siswa dan memberikan materi pengajaran tentang apresiasi sastra kepada siswa. Berikut adalah hasil wawancara sebagai bukti pendukung kalimat di atas. a. Menurut Lestari, guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 2 Salatiga menyatakan bahwa berbicara mengenai sastra, sastra itu kan bertujuan untuk menghaluskan rasa, sastra itu bukan pelajaran eksak yang harus begini harus begitu, tidak. Tapi dia itu mampu untuk menumbuhkan apresiasi bagi anak didik sehingga kalau dipandang perlu juga perlu, tapi kalau dipandang tidak juga karena di dalam novel itu juga ada muatan yang menurut saya kurang sesuai untuk anak-anak kelas XI. Namun, jika novel itu ingin dijadikan sebagai materi ajar sastra di SMA saya rasa tetap bisa diajarkan. Tugas gurulah nantinya yang akan menjelaskan kepada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
siswa tentang hal-hal yang mungkin dirasa belum dapat dimengerti oleh siswa (Lampiran 3, halaman 148). b. Menurut Mujiyanto, seorang dosen sastra di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS, mengatakan bahwa novel SUTI karya Damono saya pikir bisa diajarkan di SMA, apalagi Perguruan Tinggi. Namun, seyogyanya dengan bimbingan guru Bahasa Indonesia dan sastra karena ada episode-episode dan pendiksian yang tergolong dewasa untuk anakanak sekolah menengah. Adegan itu misalnya waktu berlangsung perkawinan kuda jantan dan kuda betina. Juga saat Suti mengetahui Sarno, suaminya melakukan sesuatu yang hanya boleh dilakukan antara suami istri dengan ibu kandungnya. Tentang hubungan sangat mendalam antara Pak Sastro dengan Suti, setelah Pak Sastro dianiaya orang tidak dikenal disampaikan sangat halus sehingga anak-anak tidak merasa disuguhi halhal yang vulgar. Akan halnya kedatangan Nur bersama Suti, yang tidak lain adalah buah asmara Suti dengan Pak Sastro, tidak perlu diterangjelaskan biarlah anak-anak mengetahui sendiri peristiwa tersebut lewat pemahaman yang mereka miliki (Lampiran 3, halaman (Lampiran 3, halaman 155). c. Menurut Putriani, siswi kelas XI IPA 1 SMA Negeri 2 Salatiga mengatakan bahwa konflik yang dihadirkan dalam novel Suti masih terlalu berat, kalau misalkan itu digunakan untuk materi ajar ya mungkin kita akan mengalami kesulitan dalam menganalisis. Namun, mungkin dapat dibantu dengan penjelasan yang dipaparkan oleh guru nantinya (Lampiran 3, halaman 142).
Nilai pendidikan karakter yang dapat diteladani dari novel SUTI juga banyak. Sesuai dengan pendapat Setiyoningsih yang menyatakan bahwa, Nilai pendidikan banyak sekali, seperti misalnya Suti. Suti sebenarnya walaupun dia lugu dan tidak berpendidikan namun dia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan dia cerdas. Selain itu ada juga Bu Sastro. Bu Sastro lebih bersikap demokratis ya menurut saya tidak mengekang tingkah laku Dewo. Lalu ada nilai pendidikan karakter bisa dibilang apa ya, emm commit tomungkin user tanggung jawab, toleransi dan sebagainya. Banyak sih ya sebenarnya nilai
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pendidikan karakter yang bisa diambil dari setiap tokoh itu (Lampiran 3, halaman 160). Selain itu, Setiyoningsih juga mengungkapkan bahwa karakter yang diperankan oleh Suti sebagai tokoh utama dalam cerita tersebut cukup bagus. Hal ini dibuktikan pada hasil wawancara sebagai berikut, Karakter, ya Sapardi Djoko Damono menggambarkan karakter Suti itu memang lewat pemikiran-pemikiran atau batinnya Suti. Bagaimana ia menyikapi suatu masalah, bagaimana dia akhirnya sadar bahwa tumbuh kembangnya Suti, dan Suti memang sudah menikah tetapi secara psikologis dia itu masih anak-anak dan masih terlalu muda, bagaimana ia berinteraksi dengan teman-temannya itu, bagaimana ia ketakutan ketika melihat orangorang yang mengeroyok Pak Sastro sampai dia menangis, itu kan menunjukkan bahwa sebenarnya ia masih anak-anak. dalam novel tersebut, Suti juga menyadari bahwa tumbuh kembangnya dia sebagai seorang perempuan dimulai sejak ia mengenal si Kunto. Kunto yang mengajaknya ke kota, melewati ini itu, dan mereka pergi ke mana-mana, si situlah akhirnya Suti sadar bahwa dia mulai tumbuh menjadi seorang perempuan. Karakternya di situ juga tidak tersirat langsung, tapi kita bisa menyimpulkan bahwa Suti itu tipe orang yang lembut, lugu, namun cerdas (Lampiran 3, halaman 160). Hal senada juga diungkapkan oleh dosen sekaligus sastrawan Mujiyanto yang mengatakan bahwa, Aku melihatnya dia sebagai orang desa yang punya wawasan yang luas, mudah bergaul, tidak minder dengan kedesaannya, dan saya kira dia orangnya rajin. Dia menurutku kayak PRT plus. Maksudnya dia adalah pembantu rumah tangga yang bisa diajak ngbrol dengan majikannya, di situ posisinya dia bukan PRT banget. Bahkan bisa bergaul dekat dengan Kunto, hubungan mereka cair tak ada batasan. Sapardi saya kira menampilkan cerita yang legaliter atau menjunjung persamaan (Lampiran 3, halaman 153). Berdasarkan dengan hasil wawancara di atas, novel SUTI karya Damono dapat disimpulkan bahwa novel tersebut dapat dijadikan sebagai materi ajar sastra di SMA. Nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam peran tokoh-tokohnya dapat dijadikan sebagai teladan yang dapat dicontoh siswa. Selain itu, bahasa novel yang ringan dan mengalir juga dapat membuat siswa atau pembaca tidak cepat bosan dengan novel tersebut. commit to user
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Pembahasan Novel SUTI adalah novel ketiga karya sastrawan Sapardi Djoko Damono. Sebelumnya, ia lebih dikenal sebagai seorang penyair yang sudah menghasilkan puluhan karya baik puisi, sajak, maupun kumpulan cerpen yang selalu dapat membius pembaca melalui susunan kata-kata romantiknya. Novel SUTI ini bercerita tentang perjuangan seorang perempuan bernama Suti yang tinggal di desa pinggiran kota Solo. Perjuangan hidupnya dimulai dari keputusan ibunya untuk menikahkannya dengan seorang laki-laki setengah baya bernama Sarno. Dari pernikahan itu Suti tidak mendapat kebahagiaan. Dilanjutkan dengan kedatangan keluarga priayi dari kota Solo yang mulai mempengaruhi kehidupan desa terutama cara berpikir Suti. Hingga akhirnya Suti bekerja di keluarga tersebut dan di situ pulalah Suti merasakan arti cinta dan kasih sayang sesungguhnya yang selama ini tak pernah ia dapat baik dari Ibunya maupun dari suaminya. Hingga akhirnya suti terjebak pada cinta terlarang karena ia masih memiliki suami namun ia jatuh cinta dengan Kunto, salah satu anak dari keluara Sastro. Kisahnya semakin dramatis tatkala ia juga harus berjuang untuk dapat menahan diri dari godaan cinta Pak Sastro yang pada akhirnya tak dapat dilawan oleh Suti.
1. Unsur Intrinsik Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono Sebuah novel sudah barang tentu memiliki struktur pembangun atau sering dikenal dengan unsur-unsur pembangun novel. Unsur yang terdapat di dalam novel terdiri dari dua hal yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem commit to user organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya (Nurgiyantoro, 2005: 23). Tema merupakan hal yang penting dalam karya sastra karena melalui tema kita dapat melihat ide dan gagasan pengarang. Kenney (dalam Pujiharto, 2012: 76) menyimpulkan bahwa tema berarti implikasi yang perlu dari cerita keseluruhan bukan bagian yang terpisah dari cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema. Tema dalam novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono adalah tentang kesabaran, ketabahan, dan ketegaran dalam menjalani hidup dan perubahan hidup yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut terjadi tidak hanya pada tokoh utama yaitu Suti, tetapi juga pada tokoh tambahan, Bu Sastro. Mereka berdua adalah perempuan yang sering disebut dalam cerita dan memiliki peran yang seimbang. Cerita hidup Suti sebagai tokoh utama yang digambarkan dengan masalah kehidupannya dengan suami pilihan ibunya ternyata cukup dilematis. Itu disebabkan karena Sarno suami Suti ternyata justru menjadi miliki ibunya, bukan Suti. Ketabahan yang ditunjukkan Suti lainnya juga ketika ia pada akhirnya harus memiliki anak hasil buah cintanya dengan Pak Sastro. Keruwetan masalah yang ditimbulkan menjadikan pembaca bersimpati dengan sikap Suti yang tetap menjalani hidup bersama anaknya. Tokoh dan penokohan yang terdapat dalam suatu karya sastra novel merupakan unsur yang penting, sebab tanpa adanya tokoh dalam suatu cerita maka cerita tersebut tidak dapat dikisahkan. Tokoh menurut Sudjiman (dalam Ismawati, 2013: 70) adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh dibagi menjadi dua jenis, yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Terkait dengan tokoh menurut Ismawati (2013: 70) adalah adanya penokohan, yakni penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh oleh pengarangnya. Tokoh dalam novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono antara lain Suti, Tomblok, Sarno, Parni, Pak Sastro, Bu Sastro, Kunto, dan Dewo. Suti sebagai tokoh utama dalam cerita tersebut digambarkan sebagai commit toIauser seorang yang supel dan mudah bergaul. ramah kepada siapa saja. Suti juga
perpustakaan.uns.ac.id
100 digilib.uns.ac.id
seorang perempuan yang cerdas dan penyayang serta memiliki sifat periang. Gambaran fisik Suti sebagai orang desa pun terlihat cantik. Ia memiliki kulit yang tidak gelap dan mata yang tak terlalu lebar. Sarno adalah suami Suti dalam cerita tersebut. ia memiliki sikap yamg cuek. Sikap ini ia tunjukkan ketika seringnya ia pergi bekerja di luar kota, dan ketika sampai ke rumah ia sering mendengar kabar burung yang mengatakan bahwa istrinya sering berbuat tidak lurus. Namun, Sarno hanya menanggapinya dengan biasa saja. Selain itu, Sarno juga pekerja keras. Ia mau untuk melakukan pekerjaan apa saja seperti sebagai kuli bangunan, tukang becak, dan semacamnya. Parni merupakan ibu dari Suti. Tokoh Parni juga digambarkan sebagai perempuan yang cuek. Sebelum tinggal di desa, Parni bekerja di kota. Menurutnya kehidupan kotalah yang mengajarkan kepadanya untuk bersikap demkian. Hal itu ditunjukkan Parni ketika banyak tetangga yang sering menggunjingkan kehidupannya di kota dulu yang bekerja sebagai wanita tidak benar. Tomblok adalah sahabat baik Suti. Dalam cerita tersebut karakter Tomblok digambarkan sebagai seseorang yang suka menggunjing. Ia sering menjadi penyambung mulut warga desa untuk menyebarkan kabar berita apa saja yang telah ia dengar. Pak Sastro merupakan seorang priayi yang datang dari kota Solo dan akhirnya menetap tinggal di desa Tungkal pinggiran kota Solo. Tokoh ini digambarkan sebagai tokoh yang memiliki paras gagah dan menarik. Sifatnya yang baik dan supel serta mudah bergaul membuat Pak Sastro disegani banyak orang di kampung tersebut. Namun, di balik pembawaannya yang ramah dan mudah bergaul, tenyata sifat buruk Pak Sastro muncul. Ia juga merupakan seorang laki-laki yang gemar main perempuan. Bu Sastro adalah istri dari Pak Sastro. Tokoh Bu Sastro digambarkan memiliki sikap yang baik, ramah, mudah bergaul, pemberani, dan juga penyabar. Segala sikap Bu Sastro itu dibuktikan pada semua masalah yang ia hadapi yang kemudian ia selesaikan dengan begitu tenang. Seperti misalnya ketika Bu Sastro dilabrak oleh Bu Mayor karena ulah Dewo yang membunuh anjingnya, di situ Bu commit to user
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sastro menghadapinya dengan tenang dan tanpa kekerasan. Bu Sastro juga peremuan yang sederhana. Kunto adalah anak sulung Pak Sastro dan Bu Sastro. Perwatakannya digambarkan sebagai laki-laki yang penurut dan tanggung jawab. Sikapnya itu dibuktikan ketika Kunto tak pernah menentang perintah orang tua dan gurunya, juga pada saat Kunto merasa memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan Suti pulang ke rumah usai perjalanan dari Jakarta. Dewo merupakan anak terakhir dari Pak Sastro dan Bu Sastro. Tokoh Dewo digambarkan sebagai anak yang keras kepala dan tidak penurut. Namun dibalik sikapnya yang tidak patut dicontoh itu, Dewo juga sebenarnya memiliki sikap tegas dan penyayang terlebih kepada Ibunya. Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain (Nurgiyantoro, 2005: 110). Plot menurut Ismawati (2013: 72) adalah cerita yang berisi urutan kejadian, tiap kejadian dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa satu disebabkan oleh peristiwa lain atau peristiwa satu menyebabkan peristiwa lain. Alur yang terdapat dalam novel SUTI karya Damono adalah alur progresif atau alur maju. Hal ini karena awal mula cerita tersebut sudah dibuka dengan percakapan tokoh utama yaitu Suti dengan sahabatnya Tomblok, yang membicarakan mengenai kedatangan keluarga priayi ke kampungnya. Cerita itu bergulir hingga menggambarkan kehidupan Suti dan kehidupan warga desa. Pada bagian berikutnya, penulis sempat menceritakan tentang masa kecil Suti, namun hal tersebut bukanlah sebuah flashback melainkan hanya berupa selingan cerita saja. Kemudian cerita dalam novel SUTI ini kembali lagi ke waktu di mana cerita tersebut dimulai. Bagian awal cerita yang dipaparkan dalam novel SUTI karya Damono bermula pada percakapan antara Suti dan Tomblok yang membicarakan mengenai kedatangan
warga
baru
di
kampungnya
yaitu
keluarga
priayi
dari
Ngadijayan.Inciting moment adalah satu bagian dalam cerita yang menunjukan bagian permasalahan mulai muncul. Munculnya permasalahan dalam novel SUTI to user adalah ketika diceritakan tentang commit perihal pernikahan Suti dengan Sarno. Pada saat
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
dinikahkan usia Suti masih belasan tahun, sedangkan Sarno adalah laki-laki yang usianya sebaya dengan ibunya. Sarno adalah laki-laki yang tidak memiliki pekerjaan tetap. ibu Suti mengizinkan anaknya dinikahi Sarno karena ibunya malu kalau anaknya tidak lekas dikawinkan dan dianggap tidak laku.Alur yang ketiga yakni permasalahan yang sudah ada menjadi naik. Dalam cerita di novel SUTI ini, permasalahan naik ketika Suti mengetahui bahwa suami dan ibunya menjalin hubungan yang lebih dari sekadar menantu dan mertua. Alur cerita berikutnya yaitu peleraian. Tahap ini merupakan tahap di mana konflik cerita mengalami penurunan dengan diimbangi oleh kejadian-kejadian yang mengarah ke penyelesaian masalah. Pada cerita yang terdapat dalam novel SUTI peleraian terjadi pada saat Pak Sastro akhirnya meninggal dunia, disusul dengan Kunto yang setelah bapaknya meninggal ia kemudian menikah dengan mindho-nya di Surabaya. Alur terakhir dalam sebuah cerita yaitu adanya penyelesaian. Penyelesaian dalam novel SUTI karya Damono ini yakni diceritakan pada saat Suti tiba-tiba kembali lagi ke desa Tungkal. Kembalinya Suti ke sana tidak sendiri, ia membawa seorang anak. Anak tersebut bernama Nur. Nur adalah anak kandungnya hasil hubungannya dengan Pak Sastro saat itu. Suti kembali ke desa Tungkal untuk kembali menata hidup bersama Nur dan tentu juga untuk menemui Bu Sastro. Latar atau setting adalah tempat kejadian dan waktu kejadian sebuah cerita. setting juga bisa menunjukkan tempat, waktu, suasana batin, saat cerita itu terjadi. Latar adalah elemen fiksi yang menyatakan pada pembaca di mana dan kapan terjadinya peristiwa (Pujiharto, 2012: 47). Bila dijabarkan secara lebih detail, menurut Kenney (dalam Pujiharto, 2012: 48) latar bisa mengacu pada (1) lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan, bahkan detail-detail interior ruang; (2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari; (3) waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode historis, musim, tahun, dan sebagainya; dan (4) lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya. Latar tempat yang terjadi dalam novel SUTI karya Damono meliputi sungai, Tungkal, dapur, meja makan, emperan toko, stasiun commit to user Balapan, makam, Jakarta, di dalam kereta, kos di Jogja, dan Surabaya. Adapun
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
latar waktu yang terjadi dalam novel tersebut meliputi pagi hari, setting waktu tahun 1960-an, sore hari, dan malam hari. Selain latar tempat dan waktu, dalam novel SUTI karya Damono juga terdapat latar sosial. Latar sosial menggambarkan adanya adat istiadat yang terjadi dalam masyarakat, gambaran mengenai kehidupan masyarakat, serta bagaimana interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Latar sosial dalam cerita yang terdapat pada novel SUTI pada bagian awal, menggambarkan kehidupan masyarakat di desa Tungkal. Gambaran tentang bagaimana latar sosial yang ada dalam cerita tersebut dapat dibilang jelas. Kehidupan masyarakat yang kental dengan segala kebiasaan yang dilakukan oleh penduduknya menambah warna dalam cerita yang terdapat di novel SUTI karya Damono. Kebiasaan tentang kehidupan masyarakat Tungkal juga digambarkan pada setiap bulan menjelang puasa, mereka selalu panen rezeki dari warga luar daerah yang berziarah ke makam. Selain latar sosial tentang kehidupan masyarakat yang dibahas dalam cerita tersebut, juga terdapat latar sosial mengenai adat istiadat dalam masyarakat Jawa, yaitu pemberian gelar atau tambahan nama bagi keluarga keturunan keraton atau warga yang bekerja di lingkungan Kasunanan atau keraton sebagai tanda status sosial. Selain itu, kehidupan warga Tungkal tergolong unik karena mereka mempercayai adanya kekuatan pada sebuah makam milik Mbah Parmin. Menurut Shipley (dalam Waluyo dan Nugraheni, 2009: 37) menyebutkan adanya dua jenis point of view yaitu, internal point of view dan external point of view. Internal point of view ada empat macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada dua jenis, yaitu: (1) gaya dia-an; dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya. Berdasarkan pengertian di atas, menurut peneliti sudut pandang yang digambarkan oleh pengarang yaitu menggunakan gaya eksternal yang menampilkan gagasan dari luar tokoh-tokohnya. Amanat menurut Ismawati (2013: 73) adalah pesan yang akan disampaikan melalui cerita. Amanat baru dapat ditemukan setelah pembaca to user menyelesaikan seluruh cerita yangcommit dibacanya. Amanat biasanya berupa nilai-nilai
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
yang dititipkan penulis cerita kepada pembacanya. Terdapat beberapa amanat yang dapat diambil dalam novel SUTI karya Damono antara lain, pertama yaitu jadilah orang yang tidak begitu memikirkan omongan atau gunjingan orang lain. Amanat kedua adalah ketika kita sebagai manusia khususnya yang tinggal di Jawa, sering memercayai adat istiadat di masyarakat, kita tetap harus menjalankan ibadah sesuai agama kita. Jangan jadikan kepercayaan kita terhadap benda atau hal-hal duniawi menjadikan kita terjerumus dalam limbah dosa. Amanat terakhir yang dapat peneliti ambil dari perjalanan kisah hidup tokoh utama, yaitu Suti. Diceritakan bahwa Suti adalah perempuan yang tidak diketahui siapa Bapaknya. Menginjak remaja ia dinikahkan oleh ibunya dengan Sarno yang usianya sebaya dengan ibunya. Sarno tidak memiliki pekerjaan tetap. Dan ternyata Suti mengetahui ada hubungan yang lebih dari hubungan menantu dan mertua antara ibunya dan Sarno. Kisahnya berlanjut dramatis ketika Suti jatuh dipelukan pak Sastro, dan akhirnya ia menghilang dan kembali lagi ke Solo dengan membawa anak perempuan yang cantik setelah beberapa tahun tinggal di Jakarta. Dengan cerita hidup yang sedemikian rumit Suti tetap berusaha untuk bersyukur dan tegar dalam menghadapi kehiupan yang dijalaninya. Jadi, kita sebagai manusia hendaklah tetap tegar dan menjalani kehidupan yang berlangsung meskipun masalalu kita burukatau kita menganggap bahwa hidup kita telah hancur. Setiap unsur yang terdapat dalam cerita tersebut saling melengkapi dan memiliki keterpaduan antar unsur yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang, dan amanat. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan menyatu sehingga membentuk kesatuan makna yang indah. 2. Karakteristik Kejiwaan Tokoh Utama Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono Suatu karya sastra pasti tak lepas dari peran penting tokoh utama dalam cerita. Karakter yang dibawakannya pun akan melekat dalam benak pembaca. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai unsur kejiwaan yang terdapat pada tokoh. Sastra juga tak lepas dari ilmu psikologi sebagai pelengkap dan pendukung kajiannya. Psikologi sastra menurut (2008: 16) adalah sebuah commitEndraswara to user
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
interdisiplin antara psikologi dan sastra. Menurut Semi (1993: 66) prinsip pokok fiksi psikologi adalah eksplorasi segi-segi pemikiran dan kejiwaan tokoh-tokoh utama cerita, terutama menyangkut alam pikiran pada tingkat yang lebih dalam, di tingkat alam bawah sadar. Mempelajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Minderop (2010: 59) menyatakan bahwa tanpa psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Karakteristik kejiwaan pada tokoh utama dalam novel SUTI akan diteliti dengan pelaksanaan perwatakan yang digambarkan memiliki perkembangan konflik yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Dalam pembahasan karakteristik kejiwaan pada tokoh dalam novel SUTI karya Damono, tidak semua tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut diteliti, melainkan hanya karakteristik kejiwaan pada tokoh utama yaitu Suti saja. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa analisis kejiwaan dalam penelitian ini menggunakan analisis kejiwaan Sigmund Freud. Freud mengemukakan tiga struktur mental atau psikis, yaitu: (1) id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologik yang diturunkan. Bagi id, kenikmatan adalah keadaan yang relatif inaktif atau tingkat energi yang rendah dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan energi yang mendambakan kepuasan; (2) ego adalah perkembangan dari id agar mampu menangani realita, sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita, usaha memperoleh kepuasan yang dituntut id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata dan dapat memuaskan kebutuhan; dan (3) superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip idealistik sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego. Suti sebagai tokoh utama dalam cerita yang terdapat di novel SUTI memiliki id untuk dapat bercerai dengan suaminya Sarno. Hal itu karena selama ini Sarno tidak bisa memenuhi kebutuhan naluri perempuan Suti, juga karena Sarno ternyata menjalin hubungan terlarang dengan ibunya. Id yang dimiliki oleh commit user wujud realisasi dari id untuk bisa Suti ini mendorong munculnya ego. Ego to adalah
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
mendapatkan kepuasan, hingga Suti akhirnya jatuh kepelukan Pak Sastro. Suti merasa bahwa Pak Sastro juga mengingkannya. Dorongan id yang kuat yang dimiliki oleh Suti diwujudkan dengan egonya oleh Pak Sastro tanpa memikirkan hal itu akan menimbulkan akibat pada akhirnya nanti. Keadaan id yang kuat, dan ego yang menjembataninya memunculkan adanya sikap aspek kejiwaan superego. Superego Suti muncul ketika ia merasa bahwa perbuatannya dengan Pak Sastro beberapa hari ini bukanlah hal yang lurus. Ia menyesal dan tidak tahu harus bersikap seperti apa untuk menghadapi Bu Sastro. Superego yang berkaitan dengan moralitas dan mempertimbangkan baik dan buruk, akhirnya ikut mendorong Suti dan ibunya untuk mengambil keputusan meninggalkan desa Tungkal tanpa pamit ke siapa pun termasuk juga dengan keluarga Sastro. Konflik batin yang dialami pada Suti sebagai tokoh utama yang meliputi id, ego dan superego, sejatinya tidak lepas dari penokohan yang diperankan pula oleh tokoh-tokoh lain. Adanya pengaruh dari masalalunya yang menyebabkan ia memiliki keinginan untuk bisa mendapatkan kebahagiaan dalam hidup dan percintaan adalah hal yang lumrah karena sedari kecil Suti tidak merasakan sebuah kasih sayang yang nyata dan utuh dari orangtuanya. Ditambah lagi dengan kehidupan pernikahan yang bahagia yang selalu ia bayangkan tidak didapatnya dari Sarno, suaminya. Hal-hal itulah yang menguatkan munculnya aspek id, ego, dan superego.
3. Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono Pendidikan menurut John Dewey (dalam Muslich, 2014: 67) adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam hal ini agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilainilai atau norma-norma tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai dan commitSementara to user norma-norma hidup dan kehidupan. itu, Koesoema (2007: 80)
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyatakan bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik, atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima lingkungan misalnya keluarga. Adapun proses pendidikan karakter itu sendiri didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Menurut Nurhayati (dalam Wibowo, 2013: 19) pengajaran sastra memiliki pertautan erat dengan pendidikan karakter, karena pengajaran sastra dan sastra pada umunya secara hakiki membiarkan nilai hidup dan kehidupan yang mau tidak mau berkaitan langsung dengan pembentukkan karakter manusia. Sastra bukan hanya berfungsi sebagai agen pendidikan, membentuk pribadi keinsanan seseorang, tetapi juga memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat yang berperadaban. Berbicara mengenai nilai pendidikan karakter, di dalam novel SUTI karya Damono juga terdapat nilai pendidikan karakter yang dapat diteladani dari para tokohnya.
1) Religius Religus adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Menurut Salahudin dan Alkrienciehie (2013: 113) religius sama dengan relasi manusia Tuhan yang diposisikan sebagai relasi ibadah (‘alaqah ta’abbudiya) dan diorientasikan untuk melahirkan peserta didik yang ikhlas, taat, dan tekun beribadah. Sikap religius memang sudah seharusnya melekat pada setiap manusia, hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang harus patuh dan mengabdikan dirinya untuk pencipta dan agama yang dianutnya. Dalam cerita yang terdapat dalam novel SUTI karya Damono, sikap religius ini juga dimiliki oleh tokoh yang ada di dalamnya khususnya pada warga Tungkal secara keseluruhan, termasuk di dalamnya, Suti. commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Jujur Jujur menurut Kemendiknas (2010: 9) adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap ini sangat diperlukan dalam kehidupan di masyarakat. Nilai kejujuran menurut Damayanti (2014: 43) adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain. Jujur menyatakan sikap yang apa adanya., terbuka, konsisten antara apa yang dikatakan dan dilakukan (berintegrasi), berani karena benar, dan tidak curang. Perwujudan sikap seperti inilah yang baik untuk diteladani dari sikap para tokoh yang ada pada sebuah cerita. Gambaran sikap jujur dalam novel SUTI karya Damono, terdapat pada saat Dewo mengutarakan isi hatinya kepada Ibunya atas kelakuan Ayahnya yang telah menyakiti hati Ibunya. Dewo juga meminta maaf kepada Ibunya. Tokoh lain yang memiliki sikap jujur yaitu Suti, yang pada saat itu tidak menyembunyikan anaknya Nur dari orang-orang di desa Tungkal. Ia justru memperkenalkannya sebagai anaknya.
3) Toleransi Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lainyang berbeda dengan dirinya. Nilai toleransi sama halnya dengan nilai menghargai keberagaman, menurut Damayanti (2014: 46) sikap ini memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama. Sikap toleransi yang terdapat dalam novel SUTI ini dibuktikan pada pemikiran warga Tungkal yang menerima orang Kota untuk singgah dan menetap di Desanya. Pengaruh yang dibawa oleh warga Kota yang memiliki pebedaan budaya dengan warga Desa, tidak membuat warga Desa memusuhi kedatangan orang-orang Kota ke Desa tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
4) Disiplin Disiplin menurut Kemendiknas (2010: 9) adalah tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Nilai disiplin menurut Setiyoningsih (2015: 124) dapat dipresentasikan dengan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib pada aturan yang berlaku. Disiplin akan melahirkan tindakan berpola pada diri manusia. Hal ini dapat dijadikan teladan yang baik karena dapat melatih diri menjadi lebih teratur. Wujud dari sikap disiplin dalam cerita ini melekat pada tokoh Kunto. Kunto adalah anak yang penurut dan disiplin. Ia tidak pernah membangkang pada perauturan sekolah maupun pada orangtuanya. 5) Kerja Keras Kerja keras menurut Kemendiknas (2010: 9) adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Sikap kerja keras melambangkan keseriusan dan kegigihan untuk meraih apa yang ia impikan. Sebagai manusia, sikap kerja keras sudah seharusnya ada jika ingin mendapatkan sesuatu.Sikap kerja keras ini ditunjukkan oleh Sarno yang menunjukkan bahwa ia bekerja dengan keras agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, terlebih ketika Sarno memutuskan untuk menikahi Suti maka ia lebih giat lagi untuk bekerja agar dapat menafkahi istrinya. Karakter kerja keras juga dipresentasikan oleh sikap warga Desa Tungkal yang rata-rata memiliki pekerjaan lebih dari satu profesi. 6) Kreatif Kreatif menurut Salahudin dan Alkrienciehie (2013: 111) adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atauhasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Karakter kreatif dalam novel SUTI ini dipresentasikan melalui tokoh Kunto. Kunto kecil memiliki hobi membaca komik. Dari hobinya itu, Kunto berhasil memiliki bermacam-macam komik. Hingga suatu ketika Kunto berpikiran untuk menyewakan komik koleksinya kepada teman-temannya. Dari bisnis persewaan komik itu, Kunto mendapatkan uang, dan ia mempergunakan uang itu commit to user untuk kembali membeli komik-komik baru untuk menambah koleksinya.
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
7) Mandiri Mandiri menurut Damayanti (2014: 44) adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Sikap ini tercermin dari perilaku Pak Sastro yang tidak mudah bergantung kepada orang lain. Ia memiliki prinsip, jika masih bisa dilakukan sendiri, ia akan melakukannya sendiri. Sikap ini adalah contoh perilaku yang baik dipelajari. Perwujudan karakter mandiri yang lain dipresentasikan oleh tokoh Dewo. Sama seperti Bapaknya, Pak Sastro, Dewo juga memilki sikap yang tidak mudah bergantung pada orang lain. Ia lebih senang melakukan apapun oleh dirinya sendiri selagi ia masih mampu melakukannya. Hal itu ditunjukkan Dewo ketika ia membantu pekerjaan Ibunya di rumah meskipun sudah ada Tomblok yang sudah pasti akan mengerjakan pekerjaan rumah, namun Dewo tidak memangku tangan begitu saja.
8) Demokratis Demokratis adalah cara berpikir, bertindak, dan bersikap yang menilai sama hak dan kewajibandirinya dan orang lain (Gunawan, 2012: 34). Sikap ini adalah baik dimiliki oleh setiap orang agar kita dapat menghargai pula hak orang lain serta mengetahui apa kewajibannya. Tokoh yang memiliki sikap demokratis adalah Bu Sastro. Ia membiarkan warga Desa bebas berpendapat apa saja tentang dirinya. Ia tidak mempermasalahkan apa yang akan mereka gunjingkan tentang dirinya. Sikap demokratis yang ditunjukkan oleh tokoh lain, dipresentasikan oleh Suti. Sikap ini tergambar pada saat Suti mengetahui bahwa selama ia berada di Jakarta menemani Pak Sastro bersama Kunto, Bu Sastro mempekerjakan Tomblok untuk membantunya selama Suti tidak ada di rumah. Ketika Suti sudah kembali, Suti melarang Tomblok untuk meninggalkan pekerjaannya. Ia menyadari adanya hak dan kewajiban yang sama antara dirinya dan Tomblok sebagai pembantu di rumah Bu Sastro. Sikap demokratis lainnya tercermin oleh tokoh Pak Sastro. Hal itu digambarkan pada saat pak Sastro memberikan kebebasan pilihan untuk Kunto memilih calon istri yang akan ia jadikan pendamping hidup. commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
9) Rasa Ingin Tahu Rasa ingin tahu menurut Gunawan (2012: 34) adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Dalam novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono, pendidikan karakter rasa ingin tahu terdapat pada tokoh Suti saat menanyakan kedatangan keluarga Pak Sastro ke Desa Tungkal yang akan membuat sumur di rumahnya. Tokoh lain yang memiliki sikap rasa ingn tahu digambarkan oleh tokoh Bu Sastro. Hal tersebut terdapat pada percakapan antara Pak Sastro dan Bu Sastro yang pada saat itu sedang membahas rencana kedatangan keponakan Pak Sastro untuk tinggal bersama keluarga mereka di Desa Tungkal. Sikap rasa ingin tahu yang lain juga ditunjukkan oleh Bu Sastro ketika ia sedang mencari keberadaan Kunto di yogya bersama Dewo. Bu Sastro pergi ke kos Kunto dan mencari tahu tentangnya kepada Ibu Kos yang merupakan temannya sendiri. Berikut adalah percakapan sebagai bukti: 10) Menghargai Prestasi Menghargai prestasi menurut Kemendiknas (2010: 10) adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. Tidak hanya itu, maksud dari pendidikan karakter menghargai prestasi berarti ia mau untuk terus belajar meraih prestasi baik pada bidang akademik maupun non akademik. Sikap menghargai prestasi ini ditunjjukan oleh Suti yang memiliki sikap ingin sekolah dan belajar. Perwujudan sikap menghargai prestasi juga ditunjukkan
oleh
pemikiran
warga
Tungkal
yang sudah
sadar
untuk
menyekolahkan anak-anak mereka. Selain karena tuntutan zaman yang memaksa mereka untuk melakukan hal demikian, mereka juga berpikir bahwa anak-anak mereka haruslah memiliki keadaan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik dibanding mereka pada saat ini. commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
11) Bersahabat/Komunikatif Karakter bersahabat atau komunikatif menurut Kemendiknas (2010: 10) adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Dalam novel SUTI wujud sikap dari sikap bersahabat terdapat pada tokoh Parni dan Suti. Parni merupakan ibu dari Suti. Dahulu ia pernah bekerja di Jakarta dan kota-kota lainnya. Saat ia kembali lagi ke Tungkal, Parni membawa sikap komunikatif atau senang berbicara dan mudah bergaul yang ia dapatkan dari orang-orang kota ke Desa, begitu pula dengan Suti yang juga memiliki
sikap
turunan
tersebut
dari
ibunya.Pendidikan
karakter
bersahabat/komunikatif juga ditunjukkan oleh Pak Sastro. Sebagai orang keturunan darah biru atau dikenal sebagai priayi, Pak Satro memiliki sikap yang mudah bergaul dengan orang lain.
12) Cinta Damai Cinta damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Pendidikan karakter cinta damai dalam novel SUTIdiperlihatkan melalui karakter tokoh yang mengutamakan perdamaian. Dalam novel ini sikap cinta damai tergambar pada sikap, perkataan, dan tindakan tokoh. Hal ini dibuktikan pada sikap Bu Sastro yang tidak suka mentang-mentang pada hal-hal yang mungkin tidak ia senangi.
13) Gemar Membaca Gemar membaca menurut Kemendiknas (2010: 10) adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Hal ini adalah suatu kebiasaan yang baik dan juga dapat dijadikan contoh baik bagi orang lain. Membaca merupakan salah satu aktivitas kultural yang positif. Dengan membaca, seseorang mampu menguasai pengetahuan tentang berbagai hal. Dalam novel SUTI karya Damono, sikap pendidikan karakter gemar membaca tercermin pada hampir pada semua tokoh-tokohnya. Termasuk warga Tungkal secara keseluruhan yang juga memiliki sikap gemar commit to user ditunjukkan pula pada tokoh Pak membaca. Pendidikan karakter gemar membaca
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sastro, Bu Sastro, juga Suti. Mereka gemar membaca Koran dan majalah. Bu Sastro juga berlangganan koran mingguan di rumahnya. Sikap gemar membaca juga dimiliki oleh tokoh Kunto. Kunto yang dgambarkan penurut, disiplin, dan juga pandai memang memiliki kegemaran membaca buku. Tak hanya buku pelajaran, Kunto juga gemar membaca komik.
14) Peduli Sosial Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Menurut Damayanti (2014: 43) nilai kepedulian adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan manusia, alam, dan tatanan di sekitar dirinya. Sikap tolong-menolong dan menghargai tersebut adalah suatu sikap sosial yang mencerminkan moral yang baik. Sebagai manusia yang hidup di lingkungan masyarakat, memang sudah sepantasnya memiliki sikap peduli terhadap keadaan lingkungan sosial. Peduli sosial memiliki kesejajaran dengan peduli terhadap sesama, baik sesama manusia maupun sesama makhluk ciptaan Tuhan. Sikap kepedulian inilah yang nantinya akan menggugah manusia untuk saling tolong-menolong kepada orang lain ketika mengalami kesulitan atau permasalahan. Wujud dari pendidikan karakter peduli sosial dalam novel SUTI karya Damono terletak pada sifat tokoh-tokohnya, antara lain Suti. Sikap peduli sosial yang ditunjukkan Suti berawal dari kedatangan keluarga Pak Sastro ke Desa Tungkal yang pada saat itu akan merencanakan menggali sumur di dekat rumahnya. Kala itu Suti mengatakan kepada Tomblok bahwa ia mau untuk membantu
mengerjakan
pekerjaan
rumah
keluarga
Sastro
apabila
dibutuhkan.Selain Suti, tokoh lain yang mempunyai sikap peduli sosial adalah keluarga Sastro dan tentunya Pak Sastro. Dari awal kedatangannya Pak Sastro dan keluarganya memang dikenal sebagai orang yang ramah. Pak Sastro dan keluarganya mengizinkan siapa saja untuk menimba air di sumur miliknya. Selain itu, Pak Sastro memiliki pekarangan yang ditumbuhi pohon bambu. Ketika ada commit dengan to user ikhlas Pak Sastro menyilakannya tetangganya yang membutuhkan bambu,
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
untuk mengambil. Tokoh Bu Sastro juga dikenal sebagai orang yang memiliki kepedulian sosial. Hal itu tercermin pada saat ia membela dan melindungi Suti. Ia berpesan kepada Suti agar ia mengadukan kepadanya jika ada yang macammacam dengan Suti, termasuk dengan teman-teman berandal si Dewo. Pendidikan karakter peduli sosial juga tercermin dari tokoh Dewo. Sebelumnya, Dewo dikenal sebagai anak yang nakal dan tidak penurut. Namun, dibalik semua sifat negatifnya itu, ternyata Dewo adalah anak yang penyayang dan memiliki sikap peduli sosial. Hal itu dibuktikan sejak peristiwa pemukulan yang dialami oleh Bapaknya. Tak lama setelah itu pula Suti dan Kunto pergi ke Jakarta untuk mengantarkan Bapaknya kembali bekerja. Bu Sastro yang merasa tak mampu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, akhirnya mempekerjakan Tomblok untuk membantunya. Namun, kehadiran Tomblok tidak lantas membuat Dewo justru bergantung. Sejak saat itu, Dewo justru lebih peka dengan keadaan rumah. Ia mulai membantu mengerjakan apa saja yang ia bisa kerjakan.
15) Tanggung Jawab Tanggung jawabadalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan karakter tanggung jawab digambarkan oleh tokoh Dewo yang merasabertanggung jawab atas Ibunya ketika Ayahnya berada di Jakarta dan Kunto di Yogya. Sikap tanggung jawab yang lain tercermin pada diri Pak Sastro. Pak Sastro yang kala itu diceritakan telah dipukuli oleh orang-orang dari Desa sebelah, meski lukanya belum sembuh namun ia memaksakan dirinya untuk dapat masuk kerja, karena masa cuti yang hanya seminggu sudah habis ia ambil. Sikap tanggung jawab ini adalah wujud tanggung jawab kepada pekerjaan. Perwujudan sikap tanggung jawab yang lain tergambar dari tokoh Kunto. Pada saat itu Kunto sedang berada di kereta malam dari Jakarta menuju Solo bersama Suti. Mereka terlibat percakapan tentang apa rencana Kunto setelah lulus dari kuliahnya. Kunto menjelaskan ingin bekerja saja. Keputusan Kunto untuk user memilih segera bekerja adalah commit wujud totanggung jawabnya kepada keluarga,
perpustakaan.uns.ac.id
115 digilib.uns.ac.id
terlebih tak lama lagi Pak Sastro akan pensiun. Ia ingin membantu ibunya meringankan beban keluarga.Sikap tanggung jawab yang dimiliki Kunto tidak hanya ia tunjukkan kepada keluarganya saja. Namun, kepada Suti ia juga memiliki sikap demikian. Saat itu setelah perjalanan ke Solo dari Jakarta menggunakan kereta, Kunto memutuskan untuk mengantar Suti dahulu pulang ke Solo, meskipun sebenarnya ia bisa langsung melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Dari lima belas nilai pendidikan karakter yang terdapat pada cerita di dalam novel SUTI karya Damono, terdapat empat nilai pendidikan karakter yang menjadi nilai dominan yang ada dalam cerita tersebut. Keempat nulai pendidikan karakter tersebut antara lain: (1) mandiri; (2) komunikatif; (3) gemar membaca; dan (4) peduli sosial. Nilai-nilai tersebut saling melebur dalam cerita yang dimainkan oleh setiap tokoh-tokohnya. 4. Relevansi Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono sebagai Materi Ajar Sastra di SMA Pendidikan idealnya merupakan sarana humanisasi bagi anak didik. Hal itu karena pendidikan memberikan ruang bagi pengajaran etika, moral, dan segenap aturan luhur yang membimbing anak didik mencapai humanisasi. Melalui proses itu anak didik menjadi terbimbing, tercerahkan, sementara tabir ketidaktahuannya terbuka lebar-lebar sehingga mereka mampu mengikis bahkan meniadakan aspekaspek yang mendorong ke arah dehumanisasi. Pengajaran sastra membutuhkan keterampilan yang memadai dalam hal cara menyampaikan pesan yang terkandung di dalamnya untuk bisa ditransfer kepada peserta didik sebagai penikmat. Pembelajaran sastra di arahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif terhadap karya sastra, yaitu sikap menghargai karya sastra. Menurut Wibowo (2013: 136) dalam pembelajaran sastra ditanamkan tentang pengetahuan karya sastra (kognitif), ditumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra (afektif), dan dilatih keterampilan menghasilkan karya sastra (psikomotor). Kegiatan apresiatif sastra dilakukan melalui kegiatan (1) reseptif seperti membaca dan mendengarkan to userbercerita, dan mementaskan karya karya sastra; (2) produktif, seperticommit mengarang,
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sastra; dan (3) dokumentatif, misalnya mengumpulkan puisi cerpen, membuat kliping tentang informasi kegiatan sastra. Materi ajar merupakan segala bentuk materi yang digunakan guru untuk membantu melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Materi ajar yang baik yaitu materi yang mampu mencakup segala kompetensi yang akan dicapai, serta relevan dengan tujuan pembelajaran yang ada. Hal ini juga disampaikan oleh Winkle (2009: 331 – 332) pemilihan bahan ajar atau materi pengajaran harus sesuai dengan beberapa kriteria sebagai berikut: (1) materi atau bahan pelajaran harus relevan terhadap tujuan instruksional yang harus dicapai, yaitu dari segi isi maupun jenis perilaku yang dituntut siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik; (2) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah materi itu; (3) materi atau bahan pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa, sejauh hal itu masih memungkinkan; (4) materi atau bahan pelajaran harus membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan; (5) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan prosedur didaktis yang diikuti. Misalnya, materi pelajaran akan lain bila guru menggunakan bentuk ceramah, dibandingkan dengan pelajaran bentuk diskusi kelompok; dan (6) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan media pengajaran yang tersedia misalnya perangkat lunak seperti videocassette dan film hanya dapat digunakan bila tersedia alat perangkat keras yang sesuai. Peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif
pun
sarat
dengan
pendidikan
karakter.
Kegiatan
membaca,
mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran. Menurut Ismawati (2013: 117) proses menuju apresiasi sastra yang ideal dapat dibagi menjadi beberpa tingkatan yakni, tingkat to user menggemari cipta sastra, tingkat commit menikmati cipta sastra, tingkat mereaksi yakni
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
menyatakan pendapat tentang cipta sastra yang dibacanya, dan tingkat produksi yakni menghasilkan cipta sastra. Pengajaran sastra yang ideal tidak hanya menekankan pada penguasaan aspek kognitif semata tetapi pada aspek penghayatan dan pemahaman terhadap cipta sastra. Menurut Rahmanto (1988: 18) pengajaran sastra jika dilaksanakan dengan baik makan dapat mengantarkan para siswa untuk berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir-pemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman. Rahmanto (1988: 19) juga mengungkapkan bahwa dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, dan sosial, serta dapat ditambahkan lagi yang bersifat religius. Sesuai dengan pendapat Ismawati yang juga dikuatkan oleh pendapat Rahmanto bahwa pengajaran karya sastra tidak hanya sebatas pada aspek kognitif saja melainkan akan membuka pikiran siswa melalui aspek penghayatan, penalaran, yang kemudian akan dikembangakan dalam pribadi masing-masing siswa. Maka, objek penelitian ini yaitu novel SUTI karya Damono dapat dikatakan relevan bila diajarkan kepada siswa SMA kelas XI semester I dengan standar kompetensi (SK) memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar (KD), antara lain: (a) menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat; dan (b) menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Di dalam novel SUTI terdapat berbagai nilai pendidikan karakter yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Selain itu nilai sosial, budaya, dan agama yang ada mampu dijadikan tambahan wawasan agar siswa dapat menelisik atau membandingkan pemikiran yang berkembang dari tokoh yang ada dalam novel tersebut di mana latar waktu pada novel tersebut diambil pada tahun 1960-an. Selain pendapat dari Ismawati dan Rahmanto yang dapat dijadikan penguatan bahwa novel SUTI relevan bila dijadikan materi ajar sastra di SMA, ada pula pendapat Winkle yang telah disebutkan di atas bahwa pembelajaran sastra yang baik di antaranya bahwa materi pembelajaran harus relevan dengan user dari segi isi maupun jenis yang tujuan instruksional yang harus commit dicapai,toyaitu
118 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dituntut siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Berkaitan dengan tersebut, novel SUTI karya Damono adalah novel yang relevan bila dijadikan sebagai materi ajar sastra karena di dalamnya juga memuat aspek kognitif, dan afektif serta psikomotorik yang akan muncul bila siswa telah ditugasi untuk menganalisis novel tersebut. Winkle juga menyebutkan bahwa materi pelajaran harus sesuai dengan taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah materi itu. Novel SUTI adalah novel yang bahasa dan isinya ringan serta mudah untuk dipahami siswa, sehingga taraf kesulitannya pun sesuai. Dari berbagai ulasan di atas, dapat disimpulkan sekali lagi bahwa novel SUTI karya Damono adalah novel yang relevan bisa dijadikan materi ajar sastra di SMA kelas XI semster I.
commit to user