HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL
I.
Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan
menjadi 5 tahap yaitu GV (Germinal Vesicle), GVBD (Germinal Vesicle Break Down), M-I (Metafase I), A/T (Anafase/Telofase) dan M-II (Metafase II). Status inti maturasi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan dengan suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda seperti terlihat pada gambar 3.
A
B
Cromosome Plate Pb
C
D
Gambar 3. Status inti sel oosit setelah maturasi in vitro: A. Germinal Vesicle (GV), B. Metaphase I (MI), C. Anaphase-Telophase (A/T), D. Metaphase II (MII), Pb: Polar body
19
Hasil tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda disajikan pada tabel 1. Penyimpanan ovarium selama 24 jam tidak menunjukkan perbedaan dalam kemampuan oosit untuk mencapai tahap metaphase II antara oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 2728°C dengan suhu 36-37°C. Tingkat maturasi oosit yang koleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28°C adalah sebesar 69,23% dan 70,83% untuk oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 36-37°C (P>0,05). Akan tetapi hasil sebaliknya ditunjukkan oleh tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu 4°C yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan tingkat maturasi oosit yang disimpan pada kedua kelompok suhu lainnya yaitu sebesar 45,65% (P<0,05). Fenomena yang sama juga terlihat pada waktu penyimpanan ovarium selama 5-7 jam. Tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu 27-28°C (59,61%) dan 36-37°C (64,58%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat maturasi oosit domba yang disimpan pada suhu 4°C (36,36%) (P<0,05). Tabel 1. Status inti maturasi oosit domba secara in vitro yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda. Kelompok Waktu Suhu (jam) (°C) 2-4
5-7
8-10
jlh oosit
Status inti (%) GV
GVBD
MI
A/T
MII
36-37
48
1 (2,08)a
2 (4,16)a
10 (20,83)abc
1 (2,08)a
34 (70,83)a
27-28
52
1 (1,92)a
1 (1,92)a
12 (23,07)abc
0 (0,00)a
36 (69,23)ab
4
46
4 (8,69)a
4 (8,69)a
13 (28,26)bc
0 (0,00)a
21 (45,65)c
36-37
48
1 (2,08)a
3 (6,25)a
8 (16,66)ab
1 (2,08)a
31 (64,58)abcd
27-28
52
4 (7,69)a
2 (3,84)a
9 (17,30)ab
0 (0,00)a
31 (59,61)abcd
4
55
6 (10,90)a
8 (14,54)ab
14 (25,45)bc
0 (0,00)a
20 (36,36)ce
36-37
51
20 (39,21)b
17 (33,33)b
4 (7,84)a
0 (0,00)a
4 (7,84)cf
27-28
43
15 (40,54)b
11 (29,72)b
7 (18,91)abc
1 (2,70)a
9 (24,32)f
4
42
2 (4,76)a
6 (14,28)ab
14 (33,33)c
0 (0,00)a
19 (45,23)ce
Ket: Germinal vesicle (GV), Germinal Vesicle Breakdown (GVBD), Metafase I (MI), Metafase II (MII), Anafase/Telofase (A/T), Metafase II (MII). Angka dengan hurup kecil superskrip berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap perlakuan (P < 0,05). Proporsi tingkat maturasi oosit domba yang disimpan selama 8-10 jam setelah pemotongan secara signifikan mulai mengalami penurunan. Tingkat
20
maturasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28°C dan 3637°C masing-masing sebesar 24,32% dan 7,48% (P<0,05). Hasil yang menarik ditunjukkan oleh tingkat oosit yang diperoleh dari ovarium yang disimpan pada suhu 4°C yang justru menunjukkan tingkat maturasi yang lebih tinggi dibandingkan dua kelompok penyimpanan suhu yang lain. Tingkat maturasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan selama 8-10 jam pada suhu 4°C mencapai 45,23%. II. Tingkat fertilisasi oosit domba dengan suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tingkat fertilisasi oosit domba diamati dengan melihat pembentukan pronukleus pada oosit (gambar 4).
A
B
C
Gambar 4. Pembentukan pronukleus (PN) pada oosit setelah proses fertilisasi. A: Oosit dengan 1 Pronukleus (1PN), B: Oosit dengan 2 pronukleus (2PN), C: Oosit dengan lebih dari 2 pronukleus (>2PN), tanda panah menunjukkan pronukleus.
21
Tabel 2. Tingkat fertilisasi oosit domba yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Kelompok Pembentukan Pronukleus Jmlh Tingkat Waktu Suhu Oosit Fertilisasi (jam) °C 1PN 2 PN > 2 PN a 2-4 36-37 44 6 (13,63) 21 (47,72) 8 (18,18)ab 29 (66,66)a 27-28 42 7 (16,66) 18 (42,85)ab 4 (9,52)ab 22 (53,00)ab 4 55 5 (7,81) 19 (27,14)bc 13 (18,57)a 36 (63,00)ab 5-7 36-37 51 3 (5,88) 16 (31,37)b 11 (21,56)a 26 (50,00)ab 27-28 52 3 (5,76) 9 (36,53)ab 7 (13,46)ab 26 (50,00)ab 4 49 5 (10,20) 15 (30,61)bc 5 (10,20)ab 20 (40,81)b 8-10 36-37 54 0 (0,00) 7 (12,96)cd 5 (9,25)ab 12 (22,22)c 27-28 51 5 (9,80) 4 (7,84)d 1 (1,96)b 5 (9,80)c 4 49 0 (0,00) 5 (10,20)d 1 (2,04)b 6 (12,24)c Ket: Pronukleus (PN). Angka dengan hurup kecil superskrip berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap perlakuan (P < 0,05). Tingkat fertilisasi oosit domba yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda ditampilkan pada Tabel 2. Penyimpanan ovarium selama 2-4 jam tidak menunjukkan perbedaan tingkat fertilisasi meskipun tingkat fertilisasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28°C lebih rendah yaitu sebesar 53% tetapi tidak berbeda dengan tingkat fertilisasi baik pada penyimpanan 36-37°C sebesar 66,66% maupun penyimpanan pada suhu rendah 4°C yaitu sebesar 63% (P>0,05). Begitu juga waktu penyimpanan ovarium selama 5-7 jam, tidak menunjukkan perbedaan tingkat fertilisasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada ketiga kelompok suhu penyimpanan. Tingkat fertilisasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28°C sama dengan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 36-37°C yaitu sebesar 50%, sedangkan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 4°C adalah sebesar 40,81% (P>0,05). Tingkat fertilisasi oosit domba tidak mengalami penurunan tingkat fertilisasi hingga 5-7 jam penyimpanan. Perbedaan tingkat fertilisasi hanya terlihat pada tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 36-37°C selama 2-4 jam yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat fertilisasi oosit yang disimpan pada suhu 4°C selama 5-7 jam. Tingkat fertilisasi oosit mulai mengalami penurunan yang signifikan setelah ovarium disimpan selama 8-10 jam. Penurunan ini terjadi pada ketiga kelompok 22
penyimpanan suhu dan terlihat tidak ada perbedaan tingkat fertilisasi oosit baik yang disimpan pada suhu 27-28°C, 36-37°C maupun pada suhu 4°C. Persentase tingkat maturasi oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28°C adalah sebesar 9,8%, penyimpanan suhu 36-37°C adalah sebesar 22,22% sedangkan 12,24% untuk oosit yang berasal dari ovarium yang disimpan pada suhu 4°C.
PEMBAHASAN Tingkat maturasi oosit yang diperoleh dari ovarium yang disimpan selama 2-4 jam setelah pemotongan pada suhu 27-28°C dan 36-37°C memperlihatkan persentase yang tinggi dan tetap dapat dipertahankan hingga penyimpanan 5-7 jam setelah pemotongan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penyimpanan ovarium pada suhu hangat dapat menjaga keadaan yang baik di dalam folikel sehingga kualitas oosit masih dapat terjaga. Seperti yang dilaporkan oleh Sirad & Blondin (1996) yang mengemukakan bahwa kompetensi perkembangan oosit dapat ditingkatkan dengan menempatkan ovarium pada kondisi inkubasi yang hangat beberapa jam sebelum dilakukan proses koleksi oosit. Tingkat maturasi oosit yang tinggi seperti yang disebutkan di atas juga diperkuat dengan tingkat fertilisasi yang tinggi hingga penyimpanan 5-7 jam setelah pemotongan pada suhu 27-37°C dan 36-37°C (Tabel 2). Kondisi ini memperlihatkan bahwa suhu 27-28°C dan 36-37°C dapat mempertahankan kualitas oosit tetap baik hingga 5-7 jam setelah pemotongan. Blondin et al. (1995) melaporkan bahwa penyimpanan ovarium pada suhu hangat (30°C) selama 3-4 jam setelah pemotongan secara signifikan dapat meningkatkan kompetensi perkembangan oosit. Hal ini dapat terjadi karena 4 jam setelah waktu pemotongan dapat menciptakan lingkungan mikro yang baik pada folikel yang spesifik dimana terjadi perubahan pada oosit yang menyerupai kondisi normal didalam tubuh hewan pada saat terjadi proses preovulatori folikel ketika akan terjadi proses ovulasi. Meskipun penyimpanan ovarium selama 5-7 jam setelah pemotongan pada suhu 27-28°C dan 36-37°C masih mampu mempertahankan kemampuan oosit untuk mencapai tahap metafase II, namun persentasenya mulai mengalami
23
penurunan setelah disimpan selama 8-10 jam seperti terlihat pada Tabel 1. Beberapa penelitian Elder & Dale (2000); Yang et al. (1990); Nakano & Nakatsuji (1992) menyatakan bahwa waktu perjalanan yang digunakan dapat memberikan pengaruh buruk terhadap tingkat pematangan oosit. Pengaruh buruk tersebut diduga disebabkan selama transportasi yang memerlukan waktu yang lama, ovarium kehilangan suplai oksigen dan energi akibat dari terputusnya aliran darah yang pada akhirnya menempatkan ovarium pada kondisi ischemia (Lopes et al. 2009). Kondisi ini memicu perubahan metabolisme aerobic menjadi anaerobic dan lebih lanjut menyebabkan terjadinya akumulasi asam sebagai hasil ikutan dari metabolisme sel seperti asam laktat dan asam phospor yang kemudian meningkatkan jumlah ion H+. Plasma membran oosit memiliki permeabilitas yang tinggi bagi ion H+ dan tidak memiliki regulasi pada konsentrasi H+ yang terjadi. Sehingga, apabila oosit berada pada lingkungan yang lebih asam dibandingkan dengan lingkungan sitoplasma maka pH oosit akan menurun. Selain hal tersebut terjadi pula depolarisasi sel yang memicu gangguan pada keseimbangan ion (Taylor 2006). Lebih lanjut Holt & Picard (1999) juga menyebutkan bahwa selama periode perjalanan dengan waktu yang lama dapat menyebabakan autolysis selular pada ovarium. Menurunnya kemampuan oosit mencapai metafase II mengindikasikan telah terjadi kerusakan pada oosit yang disimpan selama 8-10 jam. Hal ini diperkuat dengan tingginya jumlah oosit yang berada pada fase GV (Tabel 1). Diduga telah terjadi kerusakan pada matriks mitokondria sehingga oosit tidak mampu berkembang ke fase berikutnya. Seperti yang dilaporkan oleh Wongsrikeao et al. (2005) penyimpanan ovarium babi selama 6-12 jam dapat menyebabkan penurunan pH pada cairan folikel yang dapat mengakibatkan induksi asidosis pada cairan folikel didalam ovarium dan menyebabkan fragmentasi DNA sebagai akibat dari terjadinya kondisi ischemia. Penurunan pH terjadi sebagai konsekuensi dari terjadinya produksi lactic pada keadaan asidosis yang dapat merusak dan menginaktifkan mitokondria. Selain itu juga terjadi degradasi NADH yang disebabkan oleh kehadiran asam laktat dan diduga juga dapat menggangu tingkat kecukupan ATP setelah terjadinya ischemia (Lowry et al. 1961). Asam laktat juga dapat meningkatkan decompartmentalisasi zat besi yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan jumlah radikal bebas dan dapat menjadi pemicu kerusakan sel
24
(Seisjo et al. 1985). Lebih lanjut dijelaskan oleh Silva et al. (2001) yang melakukan observasi pada ovarium kambing, bahwa kerusakan pada mitokondria merupakan pertanda awal terjadinya degenerasi pada folikel selama penyimpanan secara in vitro. Kenaikan suhu dan waktu penyimpanan dapat menyebabkan perubahan struktur yang menyebabkan peningkatan degenerasi sel. Disamping itu, kondisi ischemia dapat mengganggu energi metabolisme seluler yang menurunkan aktifitas pompa Na+ /K+-ATPase (Bonz et al. 1998) dan selanjutnya akan menyebabkan terjadinya pembengkakan pada matriks mitokondria yang disebabkan oleh penyerapan sodium (Garlid 1996). Hasil yang berbeda ditunjukkan pada ovarium yang disimpan pada suhu 4°C dimana tidak terjadi perubahan sejak awal waktu penyimpanan yaitu 2-4 jam hingga akhir waktu penyimpanan 8-10 jam setelah pemotongan (P>0,05). Akan tetapi, tingkat maturasinya yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat maturasi oosit kedua kelompok penyimpanan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan kemampuan oosit untuk mencapai tahap maturasi. Metode pendinginan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kemampuan sel untuk tetap hidup karena dengan penyimpanan dingin akan dapat memperlambat metabolisme sel. Sehingga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dan dapat memperlambat akumulasi asam sebagai hasil dari proses apoptosis. Dasar dari semua proses biologi dan kimia yang terjadi di dalam sel adalah aktifitas molekuler dan mobilitas ion yang diatur oleh energi termal maka apabila terjadi penurunan suhu maka pergerakan molekul akan diperlambat. Proses biokimia juga tidak terlepas dari proses interaksi antar molekul dalam reaksi-reaksi katalis oleh enzim dan metode pendinginan sangat berpengaruh pada semua komponen reaksi tersebut (Taylor 2006). Akan tetapi seperti dikemukakan oleh Gardner et al. (2001) bahwa oosit dan embrio hewan dan manusia sangat rentan terhadap suhu dingin dan pembekuan. Özdaş et al. (2006) menyatakan bahwa oosit domba lebih rentan terhadap penyimpanan suhu dingin karena lingkungan folikuler disekitar oosit tidak mampu melindungi oosit dari kerusakan akibat suhu yang dingin. Meskipun Matsushita et al. (2004) menyebutkan bahwa lingkungan intrafolikel disekeliling oosit sapi mampu melindungi kerusakan oosit yang terjadi akibat penyimpanan
25
pada suhu yang rendah. Metabolisme yang berbeda pada struktur oosit menyebabkan perbedaan reaksi sebagai akibat pengaruh suhu dingin pada oosit. Faktor yang berperan dalam pematangan oosit adalah protein pada oosit yaitu mitogen-activated proteinkinase (MAP) dan maturation promoting factor (MPF) cdc2-kinase. Akan tetapi jumlah protein yang spesifik ini berbeda-beda pada tiap spesies sehingga terjadi perbedaan metabolisme pada tiap oosit (Gardner et al. 2004). Lebih lanjut Matsushita et al. (2004) juga menyatakan bahwa penyimpanan ovarium pada suhu dingin telah menyebabkan degenerasi struktur protein dan enzim. Kerusakan akibat penyimpanan pada suhu dingin pada penelitian ini juga diperkuat dengan rendahnya tingkat fertilisasi oosit setelah penyimpanan 8-10 jam setelah pemotongan (Tabel 2). Menurut Taylor (2006) perubahan lingkungan oosit yang disebabkan oleh akumulasi hasil metabolisme dapat dicegah dengan proses pendinginan. Upaya penempatan sel pada suhu yang rendah dilakukan karena dapat memperlambat metabolisme, menurukan kebutuhan oksigen, hasil metabolisme dapat dikurangi dan dapat menghemat energi. Akan tetapi menurut Arav et al. (1996) sensitivitas oosit terhadap pendinginan menunjukkan tingkat yang berbeda. Pada oosit yang immature, sensitivitas plasma membran terhadap pendinginan lebih tinggi dibandingkan dengan plasma membrane oosit pada tahap metafase-II. Sedangkan pada oosit yang mature menunjukkan kerusakan pada bagian microtubule dan microfilament. Selain itu rendahnya tingkat fertilisasi diduga karena beberapa efek samping yang terjadi akibat penyimpanan pada suhu rendah seperti terjadinya pengerasan zona pellucida, kerusakan pada mikrotubulus dan sitoskeleton, dan kerusakan pada membran sitoplasma, juga diamati pada oosit terkena suhu rendah selama transportasi ovarium (Lee et al. 2006). Menurut Wang et al. (2009) yang melaporkan bahwa sitoplasma dan nukleus rentan terhadap cekaman panas maupun dingin. Lebih lanjut disebutkan bahwa penyimpanan ovarium in vitro dapat menyebabkan disorganisasi dari mikrotubulus, kerusakan kromosom, akumulasi metabolit, kenaikan indeks apoptosis sel granulosa, dan perubahan struktur membran cytoplastic (Pedersen et al. 2004; Wongsrikeao et al. 2005; Sakamoto et al. 2006).
26
Spindel meiosis yang merupakan penyusun dari mikrotubulus dan memiliki fungsi penting untuk menyelaraskan kromosom dan pemisahan kromosom induk baik selama tahap maturasi maupun tahap fertilisasi. Selain itu juga oosit terdiri dari mikrofilamen aktin yang berfungsi mengontrol kejadian yang terjadi pada sitoplasma seperti orientasi spindel dan migrasi periphery, migrasi kortikal granulosa dan pembentukan polar body. Baik mikrotubulus maupun mikrofilamen bekerja bersama-sama untuk mengontrol fungsi spindel meiosis. Akan tetapi spindel meiosis diketahui sangat sensitif terhadap suhu dingin. Penyimpanan pada suhu dingin menyebabkan depolimerisasi mikrotubulus (Brunet & Maro 2005 dan Calarco 2005). Aman & Parks (1994) melaporkan bahwa penurunan tingkat fertilisasi oosit berhubungan dengan depolimerisasi tubulin yang terjadi selama penyimpanan pada suhu dingin yang memicu kerusakan mikrotubulus dari spindel meiosis. Seperti yang dilaporkan oleh Parks et al. (1992) yang menyatakan bahwa depolimerisasi mikrotubulus juga terjadi pada oosit yang disimpan pada suhu kamar. Lebih lajut Parks et al. (1992) juga menyatakan bahwa penyimpanan oosit pada suhu dingin menyebabkan pengerasan pada zona pelusida yang dapat menyebabkan permasalahan pada rendahnya tingkat fertilisasi. Block & Hansen (2007) melaporkan bahwa penelitian fertilisasi in vitro pada ovarium sapi menunjukkan bahwa kondisi optimal untuk penyimpanan ovarium sapi adalah 25-30°C dan hanya mampu mempertahankan tingkat fertilisasi yang optimal selama 3-6 jam. Hasil tersebut tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan saat ini dimana tingkat fertilisasi oosit domba masih dapat dipertahankan hingga penyimpanan selama 5-7 jam. Penghitungan persentase tingkat fertilisasi pada penelitian ini didasarkan oleh pembentukan pronukleus yaitu terdiri dari 2 pronukleus atau lebih dari 2 pronukleus. Persentase oosit dengan pembentukan lebih dari dua pronukleus pada penelitian ini menunjukkan jumlah yang cukup tinggi. Persentase kejadian polispermia pada oosit yang disimpan selama 2-4 jam pada suhu 27-28°C sebesar 9,52% dan tidak ada perbedaan yang nyata baik dengan oosit yang disimpan pada suhu 36-37°C (18,18%) maupun dengan penyimpanan 4°C (18,57%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata persentase kejadian polispermia pada oosit yang
27
disimpan selama 5-7 jam pada ketiga kelompok penyimpanan. Persentase polispermia mengalami penurunan setelah disimpan selama 8-10 jam. Hal ini disebabakan telah terjadi penurunan kompetensi oosit untuk difertilisasi. Kejadian terbentuknya 2 atau lebih pronukleus atau yang dikenal dengan polispermia merupakan kejadian abnormal pada proses fertilisasi karena dapat menyebabkan kegagalan pada perkembangan zigot. Zona pelusida adalah 3 selubung glikoprotein utama yaitu ZPA, ZPB dan ZPC. Reseptor yang bekerja pada saat fusi antara sperma dan sel telur adalah ZPC. Penetrasi oleh spermatozoa pada zona pelusida merupakan tahap terpenting pada fertilisasi. Saat terjadinya ikatan antara sperma dan zona pelusida, komponen pada bagian akrosom sperma yaitu akrosin dilepaskan dan berikatan dengan glikoprotein pada zona pelusida dan menyebabkan terjadinya fusi antara membran plasma sperma dan membran plasma oosit. Reaksi ini dikenal dengan reaksi akrosom. Penyatuan membran plasma sperma dan membran plasma oosit menginduksi Ca2+ dan bersamaan dengan itu pada oosit terjadi reaksi kortikal (Florman & Wassarman 1985) Reaksi kortikal menyebabkan penghentian pengeluaran dari oosit yang terjadi setelah fusi dan aktivasi oleh sperma dan bertindak sebagai blok untuk mencegah terjadinya polisprmia. Reaksi kortikal menyababkan hilangnya reseptor untuk spermatozoa pada permukaan ZPC sehingga dengan cara demikian maka dapat mecegah terjadinya reaksi akrosom pada permukaan lainnya pada oosit. Blok untuk mencegah terjadinya polispermia terutama terjadi 2 tahap pada oosit yaitu pada membran plasma oosit dan pada zona pelusida. Blok pada zona pelusida yang dikenal dengan blok lambat pada banyak spesies melibatkan exocytosis pada granulosa kortikal dari korteks sel telur. Beberapa faktor dapat menjadi penyebab peningkatan terjadinya kejadian polispemia. Menurut Wortsmas & Evans (2005) melaporkan bahwa umur sel telur dapat menjadi penyebab terjadinya peningkatan pada kejadian polispermia dimana sel telur yang telah mengalami penuaan akan mengalami penurunan kemampuan untuk terjadinya membran blok yang dapat mencegah terjadinya polispermia. Sel telur yang telah mengalami penuaan akan mempengaruhi exocytosis kortikal granulosa dimana kortikal granulosa dapat hilang secara spontan pada oosit yang telah mengalami
28
proses penuaan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya abnormalitas osilasi Ca2+ pada oosit yang mengalami penuaan (Xu et al. 1997).
29