72
V. PEMBAHASAN
5.1. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan salah satu Pulau di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar. Jumlah penduduk di Indonesia kurang lebih sekitar 60 persen masih terpusat di Pulau Jawa yang luas daerahnya kurang lebih sekitar 7 persen dari luas total Nusantara. Perkembangan ekonomi dan perkotaan yang pesat serta sebagai pusat pemerintahan yang dapat memberikan segala kemudahan dalam akses kebutuhan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perpindahan penduduk dari Pulau lain ke Pulau Jawa. Berdasarkan data sensus BPS, penduduk Pulau Jawa meningkat dari tahun 2001 sebesar 121.293.200 orang menjadi 136.610.590 orang. Akibat dari meningkatnya jumlah penduduk tersebut secara tidak langsung juga berdampak pada masalah ketenagakerjaan seperti adanya peningkatan jumlah angkatan kerja (penduduk usia kerja). Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), tahun 2001 hingga 2010 terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja di Pulau Jawa dari sejumlah 59.818.765 orang menjadi 67.741.578 orang. Struktur perekonomian suatu daerah umumnya dapat dilihat dari komposisi produk regional menurut sektor-sektor perekonomian (Nachrowi, 2004). Berdasarkan penjelasan sebelumnya telah dikemukakan bahwa kemampuan sektor pertanian di Pulau Jawa dalam menghasilkan output semakin menurun, tetapi sebaliknya kemampuan sektor sekunder dan tersier seperti industri dan perdagangan, hotel dan restoran semakin meningkat. Kondisi tersebut bahkan telah berhasil membawa struktur ekonomi yang bertumpu pada sektor pertanian
73
kepada ekonomi yang bertumpu pada sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Disamping itu, pergeseran struktur ekonomi juga memberikan dampak pada struktur penyerapan tenaga keja di Pulau Jawa.
40 35 30 Persentase
1 25
2
20
3 4
15
5
10
6 7
5
8
0
9
Tahun
Sumber : BPS, SAKERNAS 2001-2010 (diolah)
Keterangan : 1. Sektor Pertanian 2. Sektor Pertambangan dan Galian 3. Sektor Industri Pengolahan 4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Sektor Bangunan 6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Sektor Transportasi dan Komunikasi 8. Sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan 9. Sektor Jasa-Jasa Gambar 5.1 Proporsi Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2001-2010 (persen) Komposisi tenaga kerja yang terserap berdasarkan lapangan usaha di Pulau Jawa dapat dilihat pada gambar 4.1. Selama kurun waktu 2001-2010 Kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja paling besar masih ada pada sektor pertanian
74
yang memiliki produktivitas rendah. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menempati urutan kedua dalam memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja di Pulau Jawa, sedangkan sektor industri menempati urutan ketiga. Pada tahun 2001, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor industri masing-masing menyerap tenaga kerja sebesar 21,44 persen dan 17,02 persen. Pada kurun waktu sepuluh tahun yaitu tahun 2010, kedua sektor mengalami peningkatan dalam menyerap tenaga kerja menjadi sebesar 23,60 dan 17,19 persen. Penyerapan tenaga kerja dikedua sektor tersebut memiliki rata-rata setiap tahunnya sebesar 22,87 persen dan 16,49 persen. Sektor pertanian terlihat relatif cenderung
mengalami
penurunan
penyerapan
tenaga
kerja.
Hal
ini
mengindikasikan telah terjadi transformasi struktural di Pulau Jawa dari masyarakat yang bertumpu pada sektor pertanian (tradisional) menjadi masyarakat yang bekerja di sektor-sektor lain yang lebih modern seperti industri dan perdagangan, hotel dan restoran. Pergeseran dari lapangan kerja sektor pertanian ke sektor non-pertanian khususnya ke sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan salah satu usaha untuk mengatasi jumlah angkatan kerja yang terus meningkat. Berdasarkan data (SAKERNAS, 2001-2010), sektor industri mengalami perkembangan yang cenderung menurun dalam menyerap tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja sektor industri terbesar pada tahun 2010 yaitu sebesar 17,19 persen, sedangkan terendah tahun 2004 sebesar 15,73 persen. Pada tahun 2003 hingga 2009 terlihat mengalami penurunan. Penurunan di tahun tersebut dapat dikarenakan imbas dari krisis berkepanjangan tahun 1997/1998, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada bulan Oktober tahun 2005, adanya
75
kenaikkan UMP, dan krisis keuangan global 2008 yang menyebabkan tingginya biaya ekonomi sehingga meningkatkan biaya bahan baku dan tenaga kerja serta menurunnya daya saing sektor industri. Tingginya biaya ekonomi yang dikeluarkan juga dapat mengakibatkan setiap produsen semakin ingin meningkatkan efisiensi dalam proses produksi yaitu menggunakan substitusi tenaga kerja dengan teknologi (mesin-mesin) untuk menghasilkan output industri. Hal ini sesuai dengan karakteristik sektor industri yang lebih identik dengan adanya perubahan dalam penggunaan teknologi sebagai alat bantu proses produksi sehingga secara tidak langsung juga berdampak pada penggunaan tenaga kerja di sektor tersebut. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam menyerap tenaga kerja terlihat cenderung meningkat dan lebih stabil, akan tetapi tidak signifikan. Kontribusi tertinggi dalam menyerap tenaga kerja ada pada tahun 2009 sebesar 23,70 persen, sedangkan terendah pada tahun 2003 sebesar 21,44 persen. Penurunan penyerapan tenaga hanya terjadi pada tahun 2003, 2005, dan 2010. Sektor perdagangan, hotel dan restoran lebih terlihat cenderung meningkat dalam menyerap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan pada dasarnya sektor tersebut memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan sektor industri. Sektor ini memiliki karakteristik yang dominan akan penggunaan jasa tenaga kerja murni dalam menghasilkan sebuah output dalam bentuk jasa serta tidak adanya efek substitusi dalam menghasilkan sebuah output seperti adanya penggunaan teknologi (mesin-mesin) seperti halnya sektor industri. Sehingga disisi lain peran akan tenaga kerja menjadi lebih dominan. Stabilnya penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan, hotel dan restoran dapat dikarenakan juga
76
semakin berkembangnya pusat-pusat perdagangan, rekreasi, hiburan dan kuliner di Pulau Jawa sehingga secara tidak langsung berdampak pada peningkatan kontribusi dalam menyerap tenaga kerja. Tabel 5.1.
Jumlah Tenaga Kerja Sektor Industri Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2001, 2005 dan 2010
Provinsi DKI Jakarta
2001 Jumlah (%) Orang 731.890 7,87
2005 Jumlah (%) Orang 650.392 7,01
2010 Jumlah Orang 754.985
(%) 7,03
Jawa Barat
2.577.908
27,74 2.616.946
28,19
3.389.287
31,55
Jawa Tengah
2.740.780
29,49 2.782.008
29,97
2.815.292
26,21
223.818
2,41
247.093
2,30
24,56 2.323.652
25,03
2.482.563
23,11
7,39
1.053.922
9,81
100,00 9.283.026 100,00 10.743.142
100,00
DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Jumlah
210.244 2.282.963 750.218 9.294.003
2,26 8,07
686.21
Sumber : BPS, SAKERNAS 2001-2010 (diolah) Penyerapan tenagakerja sektor industri menurut provinsi di Pulau Jawa dapat dilihat dalam tabel 4.1. Pada tahun 2001 dan 2005 provinsi Jawa Tengah menyerap tenaga kerja terbesar dibandingkan dengan provinsi lainnya yaitu dengan presentase 29,49 persen dan 29,97 persen. Namun, pada tahun 2010 terjadi penurunan presentase tenaga kerja sektor industri di provinsi Jawa Tengah menjadi sebesar 26,21 persen dan bergeser pada provinsi Jawa Barat menjadi provinsi terbesar dalam menyerap tenaga kerja di sektor industri sebesar 31,55 persen. Penurunan penyerapan tenagakerja sektor industri di Jawa Tengah dapat dikarenakan menurunnya aktivitas di sektor industri atau bahkan industri tersebut lebih mengutamakan dalam penggunaan teknologi seperti mesin-mesin (capital intensif) sehingga berdampak pada menurunnya jumlah tenaga kerja yang
77
digunakan, atau hal lain dapat dikarenakan menurunnya aktivitas sektor industri sehingga berdampak dalam penggunaan tenaga kerjanya. Demikian sebaliknya untuk provinsi Jawa Barat yang mengalami peningkatan penyerapan tenagakerja di sektor industri dapat dikarenakan sektor industri di wilayah tersebut terus mengalami perkembangan dalam aktivitasnya sehingga dapat menciptakan peluang kerja yang lebih besar. Jumlah tenagakerja sektor industri di provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan yang cukup besar dari tahun 2005 sebesar 2.616.946 orang menjadi 3.389.287 orang pada tahun 2010. Namun rata-rata pertumbuhan tertinggi selama tahun 2001 hingga 2010 terjadi di provinsi Banten sebesar 4,45 persen, dan terendah di Jawa Tengah 0,59 persen. Tabel 5.2.
Jumlah Tenagakerja Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2001, 2005 dan 2010
(%)
DKI Jakarta
2001 Jumlah Orang 1.206.318
(%)
10,31
2005 Jumlah Orang 1.349.998
10,66
2010 Jumlah (%) Orang 1.733.631 11,76
Jawa Barat
3.261.370
27,86
3.594.234
28,37
4.206.889
28,53
Jawa Tengah
3.071.860
26,24
3.195.527
25,23
3.388.450
22,98
332.644
2,84
413.359
3,26
438.282
2,97
3.124.022
26,69
3.374.600
26,64
3.787.780
25,69
Banten
709.08
6,06
739.712
5,84
1.189.714
8,07
Jumlah
11.705.294
100
12.667.430
100
14.744.746
100
Provinsi
DI Yogyakarta Jawa Timur
Sumber : BPS : SAKERNAS, 2001-2010 (diolah) Untuk penyerapan tenagakerja sektor perdagangan, hotel dan restoran berdasarkan provinsi dapat dilihat pada tabel 4.2. Pada tahun 2001, 2005 dan 2010 terbesar ada di Provinsi Jawa Barat. Selain memiliki kawasan industri yang luas, potensi lain yang dimiliki Jawa Barat yaitu pusat-pusat perdagangan baik
78
perdagangan kecil maupun besar yang berkembang pesat seperti pusat perbelanjaan, pertokoan, pariwisata serta restoran dan kuliner yang berkembang pesat dibandingkan provinsi lainnya. Hal ini yang menyebabkan sektor perdagangan, hotel dan restoran di wilayah tersebut terus berkembang dan pada akhirnya dapat menciptakan peluang kerja yang lebih besar. Jumlah tenagakerja sektor perdagangan, hotel dan restoran di provinsi ini mengalami peningkatan dari tahun 2001 sebesar 27,86 persen menjadi 28,53 persen pada tahun 2010. Akan tetapi, rata-rata pertumbuhan selama tahun 2001 hingga 2010 paling tinggi sama halnya dengan penyerapan tenaga kerja sektor industri yaitu masih terjadi di Provinsi Banten mencapai 6,45 persen per tahun dan paling rendah di Provinsi Jawa Tengah sebesar 1,36 persen per tahun. 5.2.
Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Penyerapan Tenagakerja Sektor Industri di Pulau Jawa Tahun 2001 – 2010 Berdasarkan uji chow dan uji Hausman model penyerapan tenaga kerja
sektor industri menunjukkan probabilitas lebih kecil dari taraf nyata (α) 5 persen, maka model terbaik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu fixed effect model diboboti dengan metode GLS (generalized least square) cross section SUR (Seemingly Unrelated Regressions). Pada sub bab ini akan dibahas mengenai hasil estimasi dari model penyerapan tenaga kerja pada sektor industri tahun 2001 – 2010. Pembahasan diawali dengan hasil estimasi model dan analisis kriteria statistika, dilanjutkan dengan interpretasi secara ekonomi.
79
Tabel 5.3.
Hasil Estimasi Model Penyerapan Tenagakerja Pada Sektor Industri di Pulau Jawa tahun 2001 – 2010
Variabel LNUMP_IND LNPDRB_IND LNPMA_IND LNPMDN_IND C
Koefisien Std. Error -0,025037 0,011180 0,333758 0,055710 0,010873 0,005198 -0,002127 0,001655 8,219450 0,837219 Fixed Effect (Cross)
t-Statistik -2,239434 5,990947 2,091588 -1,285167 9,817562
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) R-squared Sum squared resid Sumber : Lampiran 1
Prob. 0,0296* 0,0000** 0,0416* 0,2047 0,0000 -0,629903 0,474693 0,775135 -0,727728 0,479899 -0,372095
Weighted Statistics Mean dependent var 0,998412 S.D. dependent var 0,998126 Sum squared resid 1,035713 Durbin-Watson stat 3493,473 0,000000 Unweighted Statistics Mean dependent var 0,993525 Durbin-Watson stat 0,341200
40,55018 458,9505 53,63506 1,805312
13,92870 1,170519
Keterangan : *) Signifikan pada taraf nyata 5 % (α = 5 %) **) Signifikan pada taraf nyata 1 % (α = 1 %) Berdasarkan Tabel 4.10 didapat uji-F yang signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,05), karena nilai probabilitas Fstat sama dengan 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata 0,05. Hal ini berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata dalam model penyerapan tenaga kerja sektor industri. Kemudian nilai koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh sebesar 99,8412 persen yang menunjukkan tingkat kecocokan model yang tinggi. Interpretasi dari nilai R-squared ini adalah sebesar 99,8412 persen keragaman model penyerapan
80
tenaga kerja sektor industri dapat dijelaskan oleh variabel upah minimum provinsi riil sektor industri, PDRB riil sektor industri, PMA sektor industri dan PMDN sektor industri, sedangkan sisanya 0,1588 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil uji normalitas diperlihatkan dalam tabel 4.11. Berdasarkan tabel tersebut didapatkan hasil probabilitas Jarque Bera lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,998412 > 0,05). Berdasarkan hal tersebut maka sudah cukup bukti untuk menerima H0 yang artinya residual dalam model sudah menyebar normal. Adanya penggunaan data time series diduga dapat menimbulkan pelanggaran asumsi yaitu autokorelasi. Ada atau tidaknya autokorelasi pada model dapat dilihat pada nilai Durbin Watsonstat. Dari hasil pengolahan data terlihat bahwa nilai Durbin Watsonstat (weighted) adalah sebesar 1,805312. Jika Durbin Watsonstat tersebut berkisar antara 1,55-2,46 maka model yang diestimasi dapat dikatakan terbebas dari pelanggaran autokorelasi. Dari hasil estimasi (Tabel 4.10) terlihat bahwa Sum Square Residual pada Weighted Statistics lebih besar dari Sum Square Residual pada Unweighted Statistics (53,63506> 0,341200), hal ini berarti model sudah terbebas dari pelanggaran heteroskedastisitas. Selain itu, indikasi adanya multikolinieritas atau korelasi antar variabel pada sebuah model adalah jika dalam uji-F disimpulkan signifikan dan R-squared yang tinggi namun hanya sedikit variabel yang signifikan. Dari hasil pengolahan data terlihat hanya satu variabel yang tidak signifikan pada taraf nyata 0,05. Variabel tersebut adalah PMDN sektor industri. Hal ini berarti dalam model tidak terjadi pelanggaran asumsi multikolinearitas.
81
Tabel 5.4
Hasil Uji Normalitas Model Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri
Model Tenaga Kerja Sektor Industri Sumber : Lampiran 4
Jarque-Bera 0,003179
Probabilitas 0,998412
5.2.1. Interpretasi Model Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Pulau Jawa tahun 2001 – 2010 Berdasarkan hasil analisis yang ditunjukkan dengan nilai t-statistik (uji-t) di atas, dari empat variabel yang digunakan hanya ada satu variabel yang tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,05). Variabel tersebut adalah PMDN sektor industri (PMDN_IND) yang memiliki probabilitas t-statistik sebesar 0,2047. Koefisien variabel menunjukkan hubungan yang negatif dan tidak sesuai dengan hipotesis, yaitu sebesar -0,002127. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis diduga investasi PMDN sektor industri di Pulau Jawa lebih besar dialokasikan pada subsektor industri yang lebih padat modal atau subsektor yang lebih dominan dalam menggunakan teknologi (mesin-mesin) dalam melakukan aktivitas produksinya. Berdasarkan data pada tabel 4.6 persentase untuk nilai PMDN paling besar terserap pada subsektor industri makanan. Persentase nilainya meningkat cukup signifikan dari sebesar 19,83 persen tahun 2005 menjadi 63,87 persen di tahun 2010. Pada subsektor industri makanan, dalam melakukan aktivitas produksi (pengolahan hingga tahap pengemasan) lebih didominasi oleh penggunaan teknologi (mesinmesin) modern yang lebih cepat dan efisien ketimbang menggunakan banyak jasa tenaga kerja. Maka dari itu, adanya investasi PMDN di subsektor tersebut diduga lebih besar digunakan untuk belanja mesin-mesin baru atau adanya peremajaan mesin-
82
mesin untuk meningkatkan efisiensi produksi. Akan tetapi, pengaruh yang tidak signifikan dalam hasil estimasi diduga karena seiring dengan adanya perubahan teknologi yang cukup besar, subsektor industri makanan juga menyerap tenaga kerja yang juga relatif besar. Hal ini dikarenakan memang tenaga kerja tersebut juga dibutuhkan untuk menggerakkan tenaga mesin selama proses produksi hingga distribusi barang. Tenaga kerja yang terserap pada subsektor industri makanan pada tahun 2005 sebesar 35,09 persen, kemudian meningkat pada tahun 2010 yaitu sebesar 45,63 persen. Variabel upah minimum provinsi riil sektor industri (UMP_IND) berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja sektor industri. Hal ini karena nilai probabilitas t-statistik tersebut yaitu 0,0296 yang lebih kecil dari 0,05 (taraf nyata 5 persen). Koefisien variabel menunjukkan hubungan yang negatif dan sesuai dengan hipotesis, yaitu sebesar -0,035252. Nilai tersebut memberikan arti bahwa jika UMP riil sektor industri mengalami penurunan sebesar 1 persen maka tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut akan meningkat sebesar 0,035252 (cateris paribus). Hasil penelitian ini sejalan dengan dengan penelitian Akmal (2010) dan Nila (2011). Sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam teori permintaan tenaga kerja bahwa pada saat tingkat upah tenaga kerja menurun maka akan terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja yang diminta bila diasumsikan meningkatnya jumlah permintaan barang oleh konsumen (derived demand), demikian pula sebaliknya. Upah dari sisi produsen merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar jasa tenaga kerja. Apabila biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan produktivitas yang dihasilkan oleh pekerja, terjadinya
83
peningkatan tingkat upah di sektor industri akan menyebabkan pihak perusahaan mengurangi penggunaan tenaga kerja dan lebih memilih untuk menggantikan dengan alat produksi (mesin-mesin) yang lebih dianggap efisien (efek subtitusi). Hal ini sangat sesuai dengan karakteristik sektor industri yang identik dengan adanya perubahan teknologi yang digunakan dalam proses produksi output (barang). Variabel PDRB riil sektor industri (PDRB_IND) berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja sektor industri. Hal ini karena nilai probabilitas t-statistik tersebut yaitu 0,0000 yang lebih kecil dari 0,01 (taraf nyata 1 persen). Koefisien variabel menunjukkan hubungan yang positif dan sesuai hipotesis, yaitu sebesar 0,333758. Nilai tersebut memberikan arti bahwa jika terjadi kenaikan PDRB sektor industri sebesar 1 persen maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor industri sebesar 0,333758 persen (ceteris paribus). Hasil pengujian ini sesuai dengan teori Okun yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara PDB riil dengan tingkat pengangguran. Pertumbuhan PDB riil dalam hal ini akan menyerap tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran (Mankiw, 2007). Hasil pengujian ini juga sejalan dengan penelitian (Nachrowi dan Sitanggang, 2004), (Sianturi, 2008), (Akmal, 2010), dan (Nila, 2011). Variabel PDRB riil sektor industri dalam hasil estimasi model memberikan pengaruh yang paling besar dalam menyerap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan adanya efek pendapatan yang terus meningkat dari nilai tambah yang dihasilkan oleh para tenaga kerja di sektor industri. Berdasarkan teori jika produk fisik marginal (marginal productivity of labour) dari hasil tambahan satu-satuan
84
tenaga kerja meningkat dalam jumlah tertentu, maka akan meningkatkan permintaan tenaga kerja untuk meningkatkan jumlah produksi sehingga penyerapan tenaga kerja baru juga meningkat dan tingkat pengangguran akan menurun. Hal ini didasari dengan asumsi bahwa adanya peningkatan jumlah produksi dikarenakan juga oleh adanya peningkatan dalam permintaan barang hasil produksi oleh konsumen (derived demand).
Variabel PMA sektor industri (PMA_IND) berpengaruh nyata pada taraf
5 persen dengan probabilitas 0,0416 dan berhubungan positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri dengan nilai koefisien sebesar 0,010873. Artinya jika terjadi peningkatan PMA sektor industri sebesar 1 persen maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,010873 persen, ceteris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis dan sejalan dengan penelitian (Rakhman, 2011). Secara teoritis semakin besar nilai PMA dengan asumsi investasi yang banyak menyerap tenaga kerja (padat karya), maka akan tercipta kesempatan kerja yang semakin tinggi sehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran di Pulau Jawa. Berdasarkan data pada tabel 4.4, besarnya nilai investasi PMA di sektor industri di Pulau Jawa setiap tahunnya juga berdampak pada besarnya tenaga kerja yang diserap oleh sektor tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa investasi PMA yang diserap oleh sektor industri bersifat padat karya. Dari hasil estimasi (Tabel 5.3) terdapat Fixed Effect (Cross) yang memperlihatkan pembeda dari setiap cross section (provinsi). Terlihat bahwa Jawa Tengah memiliki nilai pembeda yang paling tinggi yaitu sebesar 0,775135. Hal ini berarti Provinsi Jawa Tengah memiliki kemampuan dalam menyerap
85
tenaga kerja sektor industri paling besar. Sedangkan DI Yogyakarta memiliki efek yang paling kecil, yaitu -0,727728 sehingga dapat dikatakan provinsi tersebut memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja lebih rendah. Kemampuan dalam menyerap tenaga kerja yang lebih besar dalam hal ini tidak hanya dilihat dari seberapa besar orang yang bekerja pada sektor tersebut, akan tetapi disisi lain juga mampu dalam mengurangi tingkat pengangguran yang ada. Provinsi Jawa Tengah dalam hal ini memiliki jumlah terbesar kedua dalam menyerap tenaga kerja di sektor industri setelah Jawa Barat, akan tetapi provinsi Jawa Tengah memiliki rata-rata tingkat pengangguran per tahunnya yang relatif lebih rendah dibandingkan Jawa Barat yaitu sebesar 7,69 persen, sedangkan Jawa Barat sebesar 12,96 persen. Rendahnya tingkat pengangguran di Jawa Tengah dapat dikarenakan juga oleh laju pertumbuhan penduduk yang relatif lebih rendah diantara provinsi lainnya yaitu sebesar 0,37 persen selama tahun 2000-2010. Dengan memiliki laju pertumbuhan penduduk yang lebih rendah dari provinsi lainnya, Jawa Tengah secara tidak langsung memiliki permasalahan yang relatif kecil terhadap pengangguran. Sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi Jawa Tengah mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa. 5.3.
Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Tahun 2001 – 2010 Berdasarkan uji chow dan uji Hausman model penyerapan tenaga kerja
sektor perdagangan, hotel dan restoran menunjukkan probabilitas lebih kecil dari taraf nyata (α) 5 persen, maka model terbaik yang digunakan yaitu fixed effect model diboboti dengan metode GLS (generalized least square) cross section SUR
86
(Seemingly Unrelated Regressions). Pada sub bab ini akan dibahas mengenai hasil estimasi dari model penyerapan tenaga kerja pada sektor perdagangan, hotel dan restoran tahun 2001 – 2010. Pembahasan diawali dengan hasil estimasi model dan analisis kriteria statistika, dan dilanjutkan dengan interpretasi secara ekonomi. Tabel 5.5.
Hasil Estimasi Model Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Tahun 20012010
Variabel LNUMP_TRADE LNPDRB_TRADE LNPMA_TRADE LNPMDN_TRADE C
Koefisien Std. Error -0,059128 0,019685 0,572228 0,049715 0,004149 0,000310 0,000716 0,000354 5,209184 0,625310 Fixed Effect (Cross)
t-Statistik -3,003728 11,51011 13,38949 2,024081 8,330560
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0,0042** 0,0000** 0,0000** 0,0483* 0,0000 -0,698000 0,435000 0,572201 -0,232014 0,126856 -0,204042
Weighted Statistics Mean dependent var 0,999587 S.D. dependent var 0,999513 Sum squared resid 1,007414 Durbin-Watson stat 13443,14
448,1980 388,3205 50,74415 1,886352
0,000000 Unweighted Statistics Mean dependent var 0,996821 Durbin-Watson stat 0,135429
14,31508 1,850787
R-squared Sum squared resid Sumber : Lampiran 5 Keterangan : *) Signifikan pada taraf nyata 5 persen (α = 5 %) **) Signifikan pada taraf nyata 1 persen (α = 1%)
Berdasarkan Tabel 4.12 didapat uji-F yang signifikan pada taraf nyata 5 persen (0,05), karena nilai probabilitas Fstat sama dengan 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata 0,05. Hal ini berarti minimal ada satu peubah bebas yang
87
berpengaruh nyata dalam model penyerapan tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kemudian nilai koefisien determinasi (R-squared) yang diperoleh sebesar 99,9587 persen yang menunjukkan tingkat kecocokan model yang tinggi. Interpretasi dari nilai R-squared ini adalah sebesar 99,9587 persen keragaman model penyerapan tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran dapat dijelaskan oleh variabel upah minimum provinsi riil, PDRB riil, PMA, dan PMDN sektor perdagangan, hotel dan restoran sedangkan sisanya 0,0413 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar model. Hasil uji normalitas diperlihatkan dalam Tabel 5.6. Berdasarkan tabel tersebut didapatkan hasil probabilitas Jarque Bera lebih besar daripada taraf nyata yang digunakan (0,561982 > 0,05). Berdasarkan hal tersebut maka sudah cukup bukti untuk menerima H0 yang artinya residual dalam model sudah menyebar normal. Adanya penggunaan data time series diduga dapat menimbulkan pelanggaran asumsi yaitu autokorelasi. Ada atau tidaknya autokorelasi pada model dapat dilihat pada nilai Durbin Watsonstat. Dari hasil pengolahan data terlihat bahwa nilai Durbin Watsonstat (weighted) adalah sebesar 1,886352. Jika Durbin Watsonstat tersebut berkisar antara 1,55-2,46 maka model yang diestimasi dapat dikatakan terbebas dari pelanggaran autokorelasi. Dari hasil estimasi (Tabel 5.5) terlihat bahwa Sum Square Residual pada Weighted Statistics lebih besar daripada Sum Square Residual pada Unweighted Statistics (54,47578 > 0,141038), hal ini berarti model sudah terbebas dari pelanggaran heteroskedastisitas. Selain itu, indikasi adanya multikolinieritas atau korelasi antar variabel pada sebuah model adalah jika dalam uji-F disimpulkan signifikan dan R-squared yang tinggi namun hanya sedikit variabel yang
88
signifikan. Dari hasil pengolahan data terlihat semua variabel signifikan pada taraf nyata 0,05. Hal ini berarti dalam model tidak terjadi pelanggaran asumsi multikolinearitas. Tabel 5.6.
Hasil Uji Normalitas Model Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran
Model Tenaga Kerja Sektor Perdagangan, hotel dan restoran Sumber : Lampiran 8
Jarque-Bera
Probabilitas
1,152572
0,561982
5.3.1 Interpretasi Model Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa Tahun 2001 – 2010 Variabel upah minimum provinsi riil sektor perdagangan, hotel dan restoran (UMP_TRADE) berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini karena nilai probabilitas t-statistik tersebut yaitu 0,0042yang lebih kecil dari 0,01 (α = 1%). Nilai koefisien variabel menunjukkan hubungan yang negatif sesuai hipotesis, yaitu sebesar -0,059128. Nilai tersebut memberikan arti bahwa jika terjadi penurunan upah minimum provinsi disektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1 persen maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,059128 persen (ceteris paribus), demikian sebaliknya. Sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam teori permintaan tenaga kerja bahwa pada saat tingkat upah tenaga kerja menurun maka akan terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja yang diminta bila diasumsikan meningkatnya jumlah permintaan jasa oleh konsumen (derived demand), demikian pula sebaliknya. Upah dari sisi produsen merupakan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar jasa tenaga kerja. Apabila biaya yang dikeluarkan tidak
89
sebanding dengan produktivitas yang dihasilkan oleh pekerja, terjadinya peningkatan tingkat upah minimum di sektor perdagangan, hotel dan restoran akan menyebabkan pihak perusahaan mengurangi porsi penggunaan penggunaan tenaga kerja sehingga permintaan tenaga kerja menurun. Berdasarkan data seiring dengan meningkatnya upah minimum provinsi, permintaan tenaga kerja yang digunakan di sektor perdagangan, hotel dan restoran tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan sektor formal lainnya. Variabel
PDRB
riil
sektor
perdagangan,
hotel
dan
restoran
(PDRB_TRADE) berpengaruh nyata pada taraf 1 persen (α = 1%) terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini karena nilai probabilitas t-statistik tersebut yaitu 0,0000 yang lebih kecil dari 0,01 (taraf nyata 1 persen). Koefisien variabel menunjukkan hubungan yang positif dan sesuai hipotesis, yaitu sebesar 0,572228. Nilai tersebut memberikan arti bahwa jika terjadi kenaikan PDRB sektor industri sebesar 1 persen maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor industri sebesar 0,572228 persen (ceteris paribus). Hasil pengujian ini sesuai dengan teori Okun yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara PDB riil dengan tingkat pengangguran. Pertumbuhan PDB riil dalam hal ini akan menyerap tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran (Mankiw, 2006). Teori Harod-Domar secara tidak langsung juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dengan lebih mengutamakan perkembangan sektor-sektor ekonomi yang padat karya. Berdasarkan data juga menyatakan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki kontribusi terbesar kedua setelah sektor
90
pertanian yaitu sebesar 22,78 persen pertahunnya. Hasil pengujian sejalan dengan penelitian (Nachrowi dan Sitanggang, 2004), (Sianturi, 2008), (Akmal, 2010), dan (Nila, 2011). Pada variabel PDRB riil ini jika dibandingkan dengan model penyerapan tenaga kerja sektor industri sebelumnya tidaklah jauh berbeda. Kedua variabel ini memiliki pengaruh yang positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan sesuai dengan hipotesis. Hanya saja jika dilihat pada nilai koefisiennya, terlihat bahwa pengaruh PDRB riil sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap penyerapan tenaga kerjanya memiliki nilai yang relatif lebih besar dibanding model penyerapan tenaga kerja sektor industri. Hal ini dikarenakan kontribusi nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki pertumbuhan (growth) yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan sektor industri. Pada dasarnya, jika produk fisik marginal (marginal productivity of labour) dari hasil tambahan satu-satuan tenaga kerja meningkat dalam jumlah tertentu, maka akan meningkatkan permintaan tenaga kerja untuk meningkatkan jumlah produksi sehingga penyerapan tenaga kerja baru juga meningkat dan tingkat pengangguran akan menurun. Hal ini didasari dengan asumsi bahwa adanya peningkatan dalam permintaan barang hasil produksi oleh konsumen (derived demand). Variabel PMA sektor perdagangan, hotel dan restoran (PMA_TRADE) berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1 persen (α = 1 %) dengan probabilitas 0,0000 dan berhubungan positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor perdagangan dengan nilai koefisien sebesar 0,004149. Artinya jika terjadi peningkatan PMA sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1 persen maka
91
akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut sebesar 0,004149 persen, ceteris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis serta sejalan dengan penelitian (Rakhman, 2011). Meningkatnya penyerapan tenaga kerja dari adanya PMA di sektor perdagangan, hotel dan restoran dapat dikarenakan investasi tersebut lebih dialokasikan pada subsektor yang lebih bersifat padat karya dan lebih mengutamakan jasa tenaga kerja ketimbang dengan adanya alokasi dalam perubahan teknologi seperti halnya pada sektor industri. Data pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa alokasi PMA terbesar ada pada subsektor perdagangan yang terdiri dari perdagangan besar dan eceran. Besarnya nilai PMA tersebut juga diiringi oleh besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap di subsektor tersebut. Selain itu, besarnya subsektor hotel dan restoran juga diiringi oleh besarnya tenaga kerja yang terserap di kedua subsektor tersebut. Semakin besarnya nilai PMA di sektor perdagangan, hotel dan restoran ini diharapkan mampu menyerap tenaga kerja lebih besar pula sehingga menurunkan angka pengangguran di Pulau Jawa. Variabel PMDN sektor perdagangan, hotel dan restoran (PMDN_TRADE) berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen (α = 5 %) dengan probabilitas 0,0483 dan berhubungan positif terhadap penyerapan tenaga kerjanya dengan nilai koefisien sebesar 0,000716. Artinya jika terjadi peningkatan PMDN sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1 persen maka akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut sebesar 0,000716 persen, ceteris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis serta sejalan dengan penelitian (Rakhman, 2011).
92
Pada variabel PMDN memiliki pengaruh dan hubungan yang sama dengan PMA. Kedua variabel ini memiliki pengaruh yang positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan sesuai dengan hipotesis. Hanya saja jika dilihat pada nilai koefisiennya, terlihat bahwa pengaruh PMDN sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap penyerapan tenaga kerjanya memiliki nilai yang lebih kecil dibanding PMA. Hal ini karena nilai PMDN memiliki proporsi atau nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan PMA di sektor perdagangan, hotel dan restoran. Untuk itu, bagi investor dalam negeri diharapkan untuk meningkatkan nilai investasi di sektor ini sehingga tenaga kerja dapat terserap lebih tinggi lagi dan masalah pengagguran di Pulau Jawa akan mampu dikurangi Dari hasil estimasi (Tabel 5.5) terdapat Fixed Effect (Cross) yang memperlihatkan pembeda dari setiap cross section (provinsi). Sama halnya dengan sektor industri, terlihat bahwa Jawa Tengah memiliki nilai pembeda yang paling tinggi. Hal ini berarti Provinsi Jawa Tengah memiliki kemampuan dalam menyerap tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran terbesar, yaitu sebesar 0,572201. Hal ini berarti Provinsi Jawa Tengah memiliki kemampuan dalam menyerap tenaga kerja sektor perdagangan, hotel dan restoran paling besar. Sedangkan DKI Jakarta memiliki efek yang paling kecil, yaitu -0,698000 sehingga dapat dikatakan provinsi tersebut memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja lebih rendah. Kemampuan dalam menyerap tenaga kerja yang lebih besar dalam hal ini tidak hanya dilihat dari seberapa besar orang yang bekerja pada sektor tersebut, akan tetapi disisi lain juga mampu dalam mengurangi tingkat pengangguran yang ada. Provinsi Jawa Tengah dalam hal ini memiliki jumlah terbesar kedua dalam
93
menyerap tenaga kerja di sektor industri setelah Jawa Barat, akan tetapi provinsi Jawa Tengah memiliki rata-rata tingkat pengangguran per tahunnya yang relatif lebih rendah dibandingkan Jawa Barat yaitu sebesar 7,69 persen, sedangkan Jawa Barat sebesar 12,96 persen. Rendahnya tingkat pengangguran di Jawa Tengah dapat dikarenakan juga oleh laju pertumbuhan penduduk yang relatif lebih rendah diantara provinsi lainnya yaitu sebesar 0,37 persen selama tahun 2000-2010. Dengan memiliki laju pertumbuhan penduduk yang lebih rendah dari provinsi lainnya, Jawa Tengah secara tidak langsung memiliki permasalahan yang relatif kecil terhadap pengangguran. Sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi Jawa Tengah mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa.