BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Ketenagakerjaan merupakan isu penting dalam sebuah aktivitas bisnis dan perekonomian Indonesia. Angkatan kerja, penduduk yang bekerja, dan angka pengangguran merupakan faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kepadatan penduduk yang terus meningkat di Pulau Jawa, perlu menjadi perhatian khusus. Wilayah Pulau Jawa yang meliputi Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi penduduk di luar Pulau Jawa. Peluang kerja yang lebih besar di wilayah perkotaan di Pulau Jawa menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun. Berdasarkan data strategis BPS (2011c), penduduk di Pulau Jawa meningkat dari 121,3 juta tahun 2000 menjadi 136,6 juta pada tahun 2010. Pertambahan
jumlah
penduduk
tersebut
secara
tidak
langsung
memengaruhi komposisi tenaga kerja di Pulau Jawa. Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas, tidak mampu menyerap para pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Jumlah tenaga kerja yang terserap pada masing-masing sektor ekonomi dapat menjadi salah satu indikator untuk mengukur penyerapan tenaga kerja. Komposisi tenaga kerja terserap berdasarkan lapangan usaha utama di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 1. Sektor industri menempati urutan ketiga dalam memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja di Pulau Jawa. Kontribusi terhadap penyerapan tenaga
39
kerja lebih besar pada sektor pertanian dan perdagangan. Sektor industri pengolahan menyerap tenaga kerja sebesar 10,7 Juta orang tahun 2010 meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 9,9 Juta orang. Tenaga kerja pada sektor perdagangan meningkat dari 14,6 Juta orang tahun 2009 menjadi 14,7 Juta orang pada tahun 2010. Sektor pertanian mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja selama tiga tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan sudah terjadi transformasi struktural dari masyarakat yang bertumpu pada pertanian tradisional menjadi masyarakat yang bekerja di sektor-sektor lain yang lebih modern. Tabel 1. Penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Pulau Jawa tahun 2008-2010 Lapangan Usaha orang 1. Pertanian
Tahun 2009
2008 Persen
orang
19.544.313
32,26
19.749.603
437.017
0,72
422.769
9.682.322
15,98
108.628
2. Pertambangan
2010 persen 31,9 8
orang 18.811.094 426.755
persen 30,10
9.864.699
0,68 15,97
10.743.142
0,68 17,19
0,18
128.331
0,21
139.458
0,22
3.493.704
5,77
3.469.040
3.476.882
5,56
14.204.811
23,45
14.640.629
5,62 23,7 1
7. Angkutan
3.889.173
6,42
3.925.542
8. Keuangan
1.087.612
1,80
1.051.439
1,70
1.253.080 9.396.840 62.497.993
3. Industri 4. Listrik, Gas dan Air 5. Bangunan 6. Perdagangan
9. Jasa Total
6,36
8.131.816
13,42
8.508.632
13,7 8
60.579.396
100,00
61.760.684
100,00
14.744.746 3.505.996
23,59 5,61 2,00 15,04 100,0 0
Sumber: BPS, diolah.
Penyerapan tenaga kerja pada sektor industri masih belum memberikan hasil yang menggembirakan. PDRB sektor industri yang tinggi di Pulau Jawa diharapkan akan menghasilkan kesempatan kerja yang cukup luas. Namun pada
40
kenyataannya, sektor industri yang memiliki kontribusi yang paling tinggi dibandingkan sektor lainnya di Pulau Jawa, hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 17,19 persen terhadap total tenaga kerja pada tahun 2010. Gambar 5. menunjukkan perkembangan kontribusi tenaga kerja sektor industri dan total penyerapan tenaga kerja di Pulau Jawa. Penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan pada tahun 2004, 2008, dan 2009. Penurunan yang terjadi pada tahun 2004 merupakan dampak krisis tahun 1998 yang menunjukkan bahwa pada saat itu stabilitas ekonomi masih belum berjalan dengan baik. Tahun 2005 sampai dengan 2007, kondisi perekonomian mulai stabil, investor mulai menanamkan modalnya di Pulau Jawa. Namun, kondisi ekonomi memburuk lagi akibat terjadinya krisis global pada tahun 2008 yang menyebabkan penyerapan tenaga kerja turun sampai dengan tahun 2009. Pada tahun 2010, perekonomian mulai pulih, dan menunjukkan peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor industri yang cukup tinggi pencapai 17,19 persen.
17.19
17.50
Persen
17.00
16.59
16.47 16.39 16.54
16.50
15.98 15.97
15.73
16.00 15.50 15.00 14.50 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun Sumber: BPS, diolah.
2008
2009
2010
41
Gambar 5. Perkembangan kontribusi tenaga kerja sektor industri terhadap total tenaga kerja di Pulau Jawa tahun 2003-3010. Penyerapan tenaga kerja sektor industri paling besar di Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat memiliki wilayah kawasan industri yang lebih luas dibandingkan provinsi lainnya. Hal ini yang menyebabkan industri di wilayah tersebut dapat berkembang dan pada akhirnya dapat menciptakan peluang kerja yang lebih besar. Jumlah tenaga kerja sektor industri di provinsi ini mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari tahun 2009 sebesar 3.073.499 orang menjadi 3.389.287 orang pada tahun 2010. Namun, jika dilihat dari rata-rata pertumbuhan selama tahun 2003 sampai dengan 2010, pertumbuhan tenaga kerja sektor industri paling tinggi terjadi di Provinsi Banten mencapai 7,33 persen per tahun dan paling rendah di Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,12 persen per tahun. Tabel 2. Penyerapan tenaga kerja sektor industri di Pulau Jawa menurut provinsi tahun 2009 dan 2010. Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Total Sumber: BPS, diolah.
2009 orang 667.883 3.073.499 2.656.673 237.240 2.385.686 843.718 9.864.699
2010 persen 6,77 31,16 26,93 0,24 24,18 8,55 100,00
orang 754.985 3.389.287 2.815.292 247.093 2.482.563 1.053.922 10.743.142
persen 7,03 31,55 26,21 2,30 23,11 9,81 100,00
Keberhasilan dalam menciptakan lapangan pekerjaan tidak terlepas dari peranan pemerintah. Berbagai macam kebijakan yang diambil pemerintah setempat sangat memengaruhi pertumbuhan sektor industri dan penyediaan lapangan kerja yang memadai. Penggarapan proyek yang menyerap investasi baik asing maupun domestik meningkatkan jumlah tenaga kerja terserap. Perbaikan
42
infrastruktur yang selalu dilakukan setiap tahun mendorong tumbuhnya perekonomian yang pada akhirnya dapat mengurangi tingkat pengangguran. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan standar upah minimun juga akan memengaruhi penyerapan tenaga kerja. Upah minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi (UMP). Menurut Permen no.1 Th. 1999 Pasal 1 ayat 1, upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun, berfungsi sebagai jaring pengaman, ditetapkan melalui Keputusan Gubernur berdasarkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan berlaku selama 1 tahun berjalan. UMP secara keseluruhan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. UMP paling tinggi adalah UMP DKI Jakarta yang mencapai Rp 1.118.000 per
orang
per
bulan
pada
tahun
2010.
Tingginya
angka
tersebut
mempertimbangkan biaya hidup di Jakarta lebih tinggi dibandingkan biaya hidup di provinsi-provinsi lain di pulau Jawa. Peningkatan standar upah menunjukkan peningkatan yang cukup tajam di DKI Jakarta dan Banten dari tahun 2000 sampai 2011. UMP Jawa Timur dan Jawa Tengah masih relatif lebih rendah dibandingkan provinsi lainnya. UMP riil merupakan UMP nominal dibagi dengan Indeks Harga Konsumen
(IHK).
UMP
riil
adalah
standar
upah
minimum
dengan
43
mempertimbangkan harga-harga yang berlaku. Perubahan upah riil akan memengaruhi permintaan terhadap tenaga kerja. Jika upah riil naik, biaya produksi yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk menjadi lebih tinggi, akibatnya output yang dihasilkan berkurang dan berdampak pada berkurangnya permintaan terhadap tenaga kerja. Perkembangan UMP riil di enam provinsi di Pulau Jawa menunjukkan peningkatan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. UMP riil Provinsi DKI Jakarta lebih tinggi dibandingkat provinsi provinsi lainnya. Upah riil DKI Jakarta turun pada tahun 2006, berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 9,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun berbeda dengan keadaan tenaga kerja pada sektor industri, pada tahun tersebut penyerapan tenaga kerja sektor industri turun sebesar 2,14 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya walaupun UMP riil di provinsi tersebut turun. 700000 600000
Rupiah
500000 400000 300000
200000 100000 0
Tahun DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Sumber: BPS (2005, 2009, dan 2010), diolah.
Gambar 6. Perkembangan UMP rill di Pulau Jawa tahun 2003-2010.
Banten
44
4.2 Pertumbuhan Ekonomi Sektor Industri Pertumbuhan ekonomi
merupakan salah satu
ukuran dari hasil
pembangunan. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan pertumbuhan produksi barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dan dalam selang waktu tertentu. Produksi tersebut diukur dalam nilai tambah (value added) yang diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi di wilayah bersangkutan yang secara total dikenal sebagai Produk
Domestik
Regional
Bruto
(PDRB).
Peningkatan
PDRB
akan
meningkatkan jumlah tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi pada sektor industri di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa yang menciptakan kontribusi sebesar 63.94 persen terhadap total pendapatan nasional sektor industri. Kontribusi Pulau Jawa mulai menurun pada tahun 2008, seiring dengan kebijakan pemerintah yang mulai mengembangkan industri-industri di luar Pulau Jawa. Perkembangan kontribusi
Persen
sektor industri di Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 7. 65.50 65.00 64.50 64.00 63.50 63.00 62.50 62.00 61.50
65.13 64.22
63.95
62.72
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber: BPS (2011b), diolah.
Gambar 7. Perkembangan kontribusi PDRB sektor industri atas dasar harga konstan tahun 2000 di Pulau Jawa terhadap PDB sektor industri tahun 2007-2010.
45
Pertumbuhan ekonomi sektor industri di Pulau Jawa selama kurun waktu 2003 sampai dengan 2010 memperlihatkan pertumbuhan yang selalu positif meskipun pola pertumbuhan fluktuatif. Pertumbuhan mengalami beberapa periode peningkatan dan penurunan. Pertumbuhan naik dari tahun 2003 sampai dengan 2005 karena stabilitas ekonomi Indonesia terjaga dengan baik. Namun tahun 2006 dan 2007 menurun akibat adanya kenaikan harga minyak dunia pada akhir tahun 2005. Kondisi ini memengaruhi produksi pada sektor industri. Pertumbuhan mulai naik pada tahun 2008 kemudian turun pada tahun 2009 yang merupakan dampak terjadinya krisis global. Krisis global menyebabkan volume perdagangan dunia berkurang sehingga berdampak pada menurunnya permintaan terhadap barangbarang ekspor Indonesia. Keadaan tersebut memaksa industri di Indonesia termasuk industri-industri yang berada di Pulau Jawa mengurangi produksi dan akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Tahun 2010, industri mulai kembali bangkit dan masih tetap menjadi salah satu prioritas pembangunan dengan strategi-strategi pembangunan industri yang sustainable dan tahan terhadap krisis seperti terlihat pada Gambar 8. Strategi pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini masih memberikan prioritas pembangunan pada sektor industri. Hal ini tertuang dalam dalam RPJM 2010-2014 dengan fokus sebagai berikut: 1. Penumbuhan populasi usaha industri 2. Penguatan struktur industri 3. Peningkatan produktivitas usaha industri
46
8.00 7.00
Persen
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00
0.00 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun PDRB PDRB Sektor Industri
Sumber: BPS, diolah
Gambar 8. Pertumbuhan ekonomi dan industri atas dasar harga konstan tahun 2000 di Pulau Jawa tahun 2003-2010
Dalam RPJM 2010-2014 dituangkan juga tujuan dan sasaran strategis yang terkait dengan Kementrian Perindustrian. Salah satu tujuannya adalah tumbuhnya industri yang mampu menciptakan lapangan kerja yang besar dengan sasaran strategis yaitu bertambahnya investasi di industri-industri yang mempekerjakan banyak tenaga kerja. PDRB sektor industri tahun 2010 paling besar di Provinsi Jawa Barat dengan sebesar 135,2 Trilyun rupiah menyumbang kontribusi sebesar 34 persen terhadap total PDRB sektor industri. Kontribusi paling rendah di Provinsi D. I. Yogyakarta sebesar 2.7 Trilyun seperti terlihat pada Tabel 3.
47
Tabel 3. PDRB sektor industri atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2009 dan 2010. Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Total
2009 milyar rupiah 58.448 131.433 57.444 2.611 83.300 32.708 365.944
persen 15,97 35,92 15,70 0,71 22,76 8,94 100,00
2010 milyar rupiah 60.568 135.247 61.390 2.794 86.901 33.779 380.679
persen 15,91 35,53 16,13 0,73 22,83 8,87 100,00
Sumber: BPS (2011b), diolah.
Pertumbuhan ekonomi sektor industri di masing-masing provinsi di Pulau Jawa ditunjukkan dalam Gambar 9. Jawa Barat mengalami pertumbuhan yang tinggi pada tahun 2008 dibandingkan dengan provinsi lainnya namun juga merosot lebih tajam pada tahun 2009. DI Yogyakarta cenderung tidak terpengaruh krisis global pada tahun 2008, gambar menunjukkan saat provinsi lain mengalami kemerosotan pertumbuhan ekonomi yang cukup tajam, pertumbuhan ekonomi provinsi ini mampu bertahan bahkan mengalami peningkatan. Hal ini dindikasikan karena industri yang berkembang di provinsi tersebut adalah industri kecil dengan pangsa pasar lokal dengan modal domestik sehingga tidak terpengaruh gejolak yang terjadi akibat krisis tahun 2008.
48
10.00 8.00
Persen
6.00 4.00 2.00 0.00 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
-2.00 -4.00
Tahun DKI Jakarta Jawa Tengah Jawa Timur
Jawa Barat DI. Yogyakarta Banten
Sumber: BPS, diolah.
Gambar 9. Pertumbuhan PDRB sektor industri atas dasar harga konstan tahun 2000 di Pulau Jawa tahun 2003-2010. Pertumbuhan paling tinggi terjadi di provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 sebesar 9,01 persen tetapi kemudian pertumbuhan menjadi negatif pada tahun 2009 karena pengaruh krisis. Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan paling rendah diantara provinsi lainnya di Pulau Jawa pada tahun 2009. Rata-rata pertumbuhan paling tinggi di provinsi Jawa Tengah sebesar 5.76 persen. Tabel 4. Nilai terendah, tertinggi, dan rata-rata pertumbuhan PDRB sektor industri tahun 2003-2010. Provinsi Kategori Terrendah Tertinggi Rata-rata
DKI Jakarta 0.14 5.74 4.13
Sumber: BPS, diolah.
Jawa Barat -1.74 9.01 5.21
Jawa DI Tengah Yogyakarta 3.79 2.80 8.80 6.39 5.76 4.36
Jawa Banten Timur 1.50 0.73 5.43 6.86 3.48 4.73
49
Pengembangan sektor industri di Pulau Jawa sebagai sektor unggulan yang diharapkan dapat menciptakan kesempatan kerja yang luas tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Mendorong tumbuhnya industri yang padat tenaga kerja merupakan sesuatu yang penting untuk mengatasi masalah pengangguran dan ketidakseimbangan penawaran dan permintaan terhadap tenaga kerja.
4.3 Perkembangan Investasi Sektor Industri Untuk memperoleh suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam proses pembangunan di Indonesia, terkumpulnya modal dalam bentuk investasi menduduki peranan yang sangat penting. Investasi bisa berasal dari dalam negeri yang dikenal dengan PMDN maupun pihak asing atau PMA. Komposisi PMDN yang semula lebih memprioritaskan pada industri kecil, saat ini mulai diarahkan pada usaha untuk memperkokoh struktur industri dalam negeri, menciptakan mesin-mesin produksi dalam negeri, penyerapan tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya, dan mengarahkan pembangunan industri yang merata di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Peran pihak asing juga diperlukan untuk menutupi kekurangan terhadap kebutuhan modal di Indonesia. Konsentrasi penanaman modal masih terjadi di pulau jawa. Berdasarkan data realisasi investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal tahun 2010, lebih dari 50 persen PMA dan PMDN berlokasi di Pulau Jawa. Beberapa faktor yang menyebabkan investor lebih memilih menanamkan modalnya di Pulau Jawa antara lain: 1.
Investor lebih berorientasi terhadap pasar. Pulau Jawa dinilai memiliki kriteria tersebut mengingat sebagian besar penduduk Indoneia nerada di
50
pulau ini dan memiliki daya beli yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya. 2.
Pulau Jawa relatif memiliki fasilitas dan infrastruktur yang lebih baik yang akan berdampak pada biaya transportasi yang lebih murah dibandingkan wilayah di luar Pulau Jawa. Pertumbuhan PMDN sektor industri selama 10 tahun terakhir
menunjukkan nilai yang fluktuatif. Fluktuasi yang relatif lebih kecil sejak tahun 2006 menunjukkan iklim investasi di Indonesia lebih stabil dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Penurunan yang cukup tajam pada saat krisis tahun 2008, namun investasi kembali tumbuh membaik seiring pemulihan perekonomian pasca krisis. Perkembangan PMA sektor industri di Pulau Jawa pada dua tahun terakhir menunjukkan nilai yang semakin menurun. Penurunan investasi asing ini merupakan dampak terjadinya krisis global pada tahun 2008 yang berlanjut dengan terjadinya krisis Eropa yang masih terjadi sampai saat ini. Pada tahun 2005, tercatat pertumbuhan investasi sektor industri yang tinggi.
51
200.00 150.00
Persen
100.00
50.00 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
-50.00 Tahun -100.00
PMDN
PMA
Sumber: BKPM, diolah.
Gambar 10. Pertumbuhan PMA dan PMDN sektor industri di Pulau Jawa tahun 2003-2010. Pada tahun 2009 PMDN tertinggi di Provinsi Banten sebesar 4.373,8 milyar rupiah dan pada tahun 2010 PMDN tertinggi bergeser ke Provinsi Jawa Timur sebesar 7.506,8 milyar rupiah. PMA sektor industri dialokasikan paling besar di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2010, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta hanya mendapatkan investasi asing sebesar 1 persen dari total investasi yang ditanamkan pada sektor industri di Pulau Jawa. Rendahnya investasi sektor industri di Jawa Tengah dan Provinsi DI Yogyakarta pada tahun 2010 mengindikasikan bahwa industri-industri yang berkembang di wilayah ini merupakan industri kecil yang hanya membutuhkan investasi sedikit namun dapat menggerakkan perekonomian sektor industri sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang cukup banyak. Hal ini dibuktikan dengan adanya pertumbuhan industri pada tahun 2010 meskipun investasi yang ditanamkan sangat sedikit. Angka pengangguran kedua provinsi tersebut juga
52
yang relatif rendah. Tingkat pengangguran DI Yogyakarta sebesar 6,02 persen dan Jawa Tengah sebesar 6,86 persen. Tabel 5. Jumlah PMA dan PMDN sektor industri menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2009 dan 2010 2009 Provinsi DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Total Sumber: BKPM, diolah.
2010
PMA
PMDN
PMA
PMDN
(US$. Juta)
(Rp. Milyar)
(US$. Juta)
(Rp. Milyar)
363,0 1493,0 167,9 1183,9 75,5 1,7 3285,0
501,4 4233,3 2642,6 32,5 2830,5 4373,8 14614,1
759,3 1160,3 138,2 386,9 29,2 0,4 2474,3
280,8 5555,6 391,7 0 7506,8 4130,7 17865,6
Industri yang paling banyak mendapatkan modal dari dalam negeri dalam dua tahun terakhir adalah industri makanan. Pada tahun 2010, sebesar 63 persen PMDN sektor industri dialokasikan untuk industri makanan. Nilai PMDN untuk industri makanan meningkat cukup tajam dari 3304,20 milyar rupiah tahun 2009 menjadi 11409,20 milyar rupiah pada tahun 2010. Sedangkan industri yang lain, hampir seluruhnya mengalami penurunan nilai investasi antara lain industri tekstil, industri logam dasar, dan industri kimia dasar. Investor dalam negeri lebih memilih menanamkan investasi pada industri makanan. Industri lainnya yang cukup diminati investor domestik adalah industri kertas, kimia dasar dan farmasi, serta industri non logam mineral.
53
Tabel 6. Jumlah PMDN menurut jenis industri di Pulau Jawa tahun 2009 dan 2010 Jenis industri Industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronik Industri instrumen kedokteran, Presisi, optik dan jam Industri kayu Industri kertas, barang dari kertas dan percetakan Industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi Industri karet, barang dari karet dan plastik Industri non logam mineral Industri alat angkutan dan transportasi lainnya Industri makanan Industri tekstil Industri kulit, barang dari kulit, dan sepatu Industri lainnya Jumlah Sumber: BKPM, diolah.
2009 Rp. Milyar
2010 persen
Rp. Milyar
persen
1367,80
9,36
362,10
2,03
0,00
0,00
0,00
0,00
2,20
0,02
0,00
0,00
968,80
6,63
1064,90
5,96
3972,70
27,18
2312,20
12,94
1231,50
8,43
503,40
2,82
786,10
5,38
1522,80
8,52
66,50
0,46
278,40
1,56
22,61 11409,20 18,10 396,40
63,86 2,22
3304,20 2645,70 4,00 264,60 14614,10
0,03
12,50
0,07
1,81 3,70 100,00 17865,60
0,02 100,00
Seperti halnya pada investasi domestik, investor asing juga lebih memilih menanamkan modalnya pada industri makanan. Industri makanan dinilai memiliki prospek yang cukup baik. Banyak investor tertarik pada industri makanan di Indonesia karena melihat peluang pasar domestik dan tingginya konsumsi masyarakat Indonesia. Industri yang juga menarik bagi investor asing adalah industri logam dasar, kimia dan farmasi, serta alat angkutan. Nilai investasi asing pada industri-industri tersebut cukup tinggi dibandingkan jenis industri lainnya.
54
Tabel 7. Jumlah PMA menurut jenis industri di Pulau Jawa tahun 2009 dan 2010 Jenis industri Industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronik Industri instrumen kedokteran, Presisi, optik dan jam Industri kayu Industri kertas, barang dari kertas dan percetakan Industri kimia dasar, barang kimia, dan farmasi Industri karet, barang dari karet dan plastik Industri non logam mineral Industri alat angkutan dan transportasi lainnya Industri makanan Industri tekstil Industri kulit, barang dari kulit, dan sepatu Industri lainnya Jumlah Sumber: BKPM, diolah.
2009 US$. Juta
2010 persen
US$. Juta
persen
507.9
16.03
507.9
20.75
4.9
0.15
1.3
0.05
29.8
0.94
6.3
0.26
30.4
0.96
39.2
1.60
1125.4
35.52
396.4
16.19
137.7
4.35
94.8
3.87
16.6
0.52
28.4
1.16
541.3
17.08
370.9
15.15
403.2 249.7
12.72 7.88
705.2 153.8
28.80 6.28
121.8
3.84
144
5.88
116.3 3168.70
3.67 100.00
26.1 2448.20
1.07 100.00
Berdasarkan data investasi yang sudah disajikan, industri tekstil menunjukkan angka yang menurun baik pada investasi asing maupun investasi domestik. Industri tekstil yang pernah menjadi salah satu industri yang dapat menyerap tenaga kerja banyak, saat ini sudah mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan permasalahan penciptaan lapangan pekerjaan menjadi semakin penting. Pemerintah perlu mendorong industri ini agar tetap menjadi industri yang dapat diandalkan dengan melakukan strategi-strategi industri yang memanfaatkan
55
bahan baku dalam negeri sehingga industri ini tahan terhadap krisis dan pada akhirnya akan menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas.
4.4 Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu upah minimum provinsi riil (UMP_RIIL), PDRB sektor industri (PDRB_IND), proporsi investasi asing sektor industri terhadap total investasi asing (PMA_IND), proporsi investasi dalam negeri sektor industri terhadap total investasi dalam negeri (PMDN_IND). Penyusunan
model
data
panel
dilakukan
dalam
tiga
membandingkan pooled model dengan fixed effects model
tahap.
Pertama,
menggunakan uji
Chow. Kedua membandingkan fixed effects model dengan random effects model menggunakan uji Hausman. Ketiga, membuat estimasi model atau persamaan dengan menentukan koefisien masing-masing variabel bebas. Software yang dipergunakan dalam pengolahan data penelitian adalah Eviews 6.0.
4.4.1
Pemilihan Model Terbaik Hasil Uji Chow menunjukkan probability 0,0009 maka fixed effects model
lebih sesuai digunakan dibandingkan pooled model. Hasil Uji Hausman menunjukkan nilai p-value sebesar 0,0000 maka fixed effects model lebih sesuai digunakan dibandingkan random effects model.
56
4.4.2 1.
Uji Asumsi Klasik Uji Normalitas Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data residual yang
diteliti berdistribusi normal atau tidak. Dengan asumsi kenormalan ini, maka akan didapatkan koefisien regresi yang bersifat linier tak bias terbaik (BLUE). Asumsi normalitas ini diperlukan dalam penelitian yang mempunyai tujuan untuk penaksiran dan pengujian hipotesis. Berdasarkan hasil Jarque-Bera test diperoleh nilai Probability (P-Value) sebesar 0,067 pada Lampiran 2. Nilai Probability (PValue) > 0,05 maka H0 diterima sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data residual yang diteliti berdistribusi normal. 2.
Uji Multikolinearitas Salah satu asumsi dasar model regresi adalah tidak ada hubungan linear
antara variabel-variabel bebas dalam model. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinieritas antar variabel bebas salah satu caranya adalah dengan melihat nilai Correlation Matrix antar variabel bebas. Berdasarkan hasil analisis yang dapat dilihat pada Tabel 6, diperoleh nilai Correlation Matrix antar masingmasing variabel bebas sebesar kurang dari 0,8. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa
antar
variabel
bebas
yang
diteliti
tidak
terjadi
multikolinearitas. Tabel 8. Hasil uji multikolinearitas Variabel PDRB_IND PMA_IND UMP_RIIL PMDN_IND
PDRB_IND 1 0,53 0,02 0,25
Sumber: Hasil Pengolahan Eviews 6.0
PMA_IND 0,53 1 -0,58 0,64
UMP_RIIL 0,02 -0,58 1 -0,53
PMDN_IND 0,25 0,64 -0,53 1
57
3.
Uji Heteroskedastisitas Asumsi heteroskedastisitas adalah asumsi dalam regresi dimana varians
dari residual tidak sama untuk pengamatan satu ke pengamatan yang lain. Heteroskedastisitas dapat dilihat dengan membandingkan nilai sum squared resid pada weighted statistics dan unweight statistics. Nilai sum squared resid pada weighted statistics yang lebih kecil dari sum squared resid pada unweighted statistics maka terjadi heteroskedastisitas. Pada paket program Eviews 6.0, terdapat opsi yang memungkinkan untuk menghasilkan penduga yang dapat mengatasi
masalah
heteroskedastisity
dalam
data
yaitu
dengan
white
heteroskedastisity. Dengan menggunakan metode estimasi ini, hasil estimasi yang didapat sudah terlepas dari masalah heteroskedastisity. 4.
Uji Autokorelasi Asumsi yang terakhir adalah tidak adanya korelasi antar error yang
dihasilkan. Cara mendeteksi Autocorelation adalah dengan uji Durbin Watson. Hasil Uji Durbin Watson dilakukan melalui program Eviews 6.0 dan menghasilkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,96. Jika nilai berada antara 1,727 dan 2,273 maka data tersebut dinyatakan tidak ada korelasi antar error yang dihasilkan. Dengan demikian secara statistik, secara statistik dapat dinyatakan bahwa tidak ada pelanggaran asumsi autokorelasi.
4.4.3
Uji Statistik Hasil penghitungan menunjukkan nilai R2 sebesar 0,9943 yang berarti
bahwa upah minimum provinsi riil, PDRB sektor industri, proporsi investasi asing
58
sektor industri terhadap total investasi asing, proporsi investasi dalam negeri sektor industri terhadap total investasi dalam negeri terhadap variabel tidak bebas penyerapan tenaga kerja sebesar 99,43 persen sedang sisanya sebesar 0,57 persen lainnya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk dalam model. Hasil pengujian pengaruh variabel bebas secara serempak terhadap varaiabel tidak bebas dengan menggunakan uji F menunjukkan nilai F hitung sebesar 282,64 jauh lebih besar dibandingkan dengan F tabel yang mencapai nilai 2,44. Secara keseluruhan dari hasil uji F diketahui bahwa upah minimum provinsi riil, PDRB sektor industri, investasi asing sektor industri, investasi dalam negeri sektor industri signifikan berpengaruh terhadap variabel penyerapan tenaga kerja sektor industri. Tabel 9. Hasil uji t Variabel Koefisien Standar Error C 2,697411 2,489998 PDRB_IND 0,254648 0,081384 UMP_RIIL 0,663339 0,237935 PMA_IND -0,000134 0,000905 PMDN_IND -0,000342 0,000465 Sumber: Hasil Pengolahan Eviews 6.0
t-Statistik 1,083298 3,128967 2,787895 -0,148290 -0,735942
Probabilitas 0,2855 0,0034 0,0082 0,8829 0,4663
Hasil uji t menunjukkan bahwa tingkat signifikansi pengaruh dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel tidak bebas menunjukkan bahwa PDRB sektor industri dan upah minimum provinsi secara signifikan berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Sedangkan investasi asing dan domestik tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri.
59
Hasil pengujian untuk variable PMA_IND dan PMDN_IND tidak memperoleh hasil yang sesuai dengan harapan. Investasi yang diduga memengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor industri tidak memiliki pengaruh yang signifikan dengan hubungan yang menunjukkan nilai negatif. Hal ini dapat disebabkan oleh data yang dipakai pada penelitian ini adalah data realisasi investasi berdasarkan ijin usaha. Sehingga data hanya dapat menunjukkan perubahan proporsi investasi yang ditanamkan per tahun tanpa melihat akumulasi modal yang telah diinvestasikan pada tahun-tahun sebelumnya.
Model Penduga Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri
4.4.4
Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan maka dihasilkan persamaan model penduga untuk penyerapan tenaga kerja sektor industri adalah sebagai berikut: Ln(TK_IND) = 2 + 0,25 Ln(PDRB_IND)+ 0,66 Ln(UMP_RIIL) – 0,0001 * PMA_IND – 0,0003 * PMDN_IND Nilai koefisien regresi pada variabel PDRB_IND sebesar 0,25. Hal ini berarti apabila variabel bebas lain selain variabel PDRB_IND dengan asumsi dalam keadaan tetap/konstan maka peningkatan PDRB sektor industri sebesar 1 (satu) persen akan menyebabkan peningkatan pada penyerapan tenaga kerja sebesar 0,25 persen. Peningkatan PDRB sektor industri menunjukkan peningkatan output atau produksi terhadap barang-barang industri. Peningkatan produksi akan memberikan dampak pada peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja pada sektor ini sehingga terciptalah kesempatan kerja baru. Hasil pengujian ini sesuai dengan teori Okun yang menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara PDB riil
60
dengan tingkat pengangguran. Pertumbuhan PDB riil akan mengurangi tingkat pengangguran. (Mankiw, 2007). Nilai koefisien regresi pada variabel UMP_RIIL sebesar 0,66. Hal ini berarti apabila variabel bebas lain selain variabel UMP_RIIL dengan asumsi dalam keadaan tetap/konstan maka peningkatan UMP riil sebesar 1 (satu) persen akan menyebabkan peningkatan pada penyerapan tenaga kerja sebesar 0,66 persen. Hasil pengujian ini sejalan dengan penelitian Wicaksono (2009) yang menunjukkan bahwa upah riil berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri di Indonesia. Peningkatan pendapatan dari kenaikan upah akan meningkatkan konsumsi dari tenaga kerja tersebut, sehingga akan meningkatkan permintaan agregat. Hubungan yang positif antara upah minimum provinsi dan penyerapan tenaga kerja sesuai dengan model pembangunan Lewis. Model pembangunan menurut Lewis, perekonomian terdiri dari dua sektor yaitu sektor tradisional di pedesaan dan sektor industri di perkotaan. Sektor industri memiliki tingkat produktivitas yang tinggi sehingga menjadi tingkat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsisten. Model tersebut menekankan pada proses peralihan tenaga kerja, pertumbuhan pada output, dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor modern (Todaro dan Smith, 2006). Dengan tingkat upah di sektor modern perkotaan yang lebih tinggi, maka para penyedia lapangan pekerjaan dapat merekrut tenaga kerja lebih banyak dari sektor tradisional di pedesaan.