Katalog BPS: 7104008.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
KAJIAN KOMODITAS UNGGULAN 2008
Badan Pusat Statistik, Jakarta - Indonesia
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
KAJIAN KOMODITAS UNGGULAN 2008
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
i
KAJIAN KOMODITAS UNGGULAN 2008
.id
ISBN: Nomor Publikasi: Katalog
.b p w
tp :// w
w
Naskah: Sub Direktorat Konsistensi Statistik
s. go
Ukuran buku: 176 x 250 cm Jumlah halaman: xxv + 400 halaman
ht
Diterbitkan oleh: Badan Pusat Statistik,
Dicetak oleh:
Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya
ii
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Tim Penyu su n Pengarah Penanggung Jawab Ketua T im penulis
: : : :
Dr. Slamet Sutomo Wiwiek Arumwaty , M.Si Ir. Bagus Sumargo, M.Si BPS dan IPB
Komoditas Miny ak T anah, Tepung T erigu, Pulp dan Kertas, Semen :
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa'id, MADev Prof. Dr. Ir Hermanto Siregar, M.Sc Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA Dr. Ir. Arief Dary anto, M.Ec Dr. Ir. D.S. Priy arsono, M.Sc Dr. Ono Suparno, S.TP, MT
Dr. Suhariy anto Ir. Sri Indray anti, MAP Sodikin Baidowi, M.Stats Dr. Budiasih Harmawanti Marhaeni, MA Ahmad Av enzora, SE Windhiarso Ponco Adi Putranto, M.Eng Agus Marzuki, S.Si Bambang Tribudhi Muly anto, S.Si
:
Chairul Anam
ht
Peny iapan Naskah
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komoditas Beras, Kedelai, Kelapa Sawit dan Miny ak Goreng, Perikanan Laut, Ay am Pedaging dan Ay am Petelur, Sapi Pedaging :
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
iii
.id s. go .b p w w tp :// w ht iv
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
KATA PENGANTAR
.id
Publikasi berjudul “kajian Komoditas Unggulan” yang terbit tahun 2008” merupakan seri kedua setelah yang pertama berjudul “kajian komoditas unggulan dan kaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat” terbit tahun 2007. Pemilihan komoditas unggulan seri kedua menggunakan tiga pendekatan, yaitu dengan teknik Input-Output (I-O), teknik Location Quotient (LQ) dan pendekatan isu politis. Sebanyak 10 komoditas unggulan yang dikaji, 6 komoditas diantaranya merupakan komoditas penting subsektor pertanian yang meliputi beras, kedelai, daging sapi, ayam pedaging dan ayam petelur, perikanan laut, kelapa sawit dan minyak goreng dan sisanya 4 komoditas non pertanian yang meliputi minyak tanah, tepung terigu, pulp dan kertas, serta semen.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Kajian komoditas ini dimaksudkan untuk memetakan berbagai potensi setiap komoditas untuk pengembangan lebih lanjut dalam rangka peningkatan produksi menuju kemandirian. Dengan tercapainya kemandirian, maka ketergantungan terhadap komoditas tertentu dari negara lain dapat dikurangi, terhindar dari ancaman krisis pangan dan ketahanan pangan akan terjamin. Kajian ini menggunakan analisis deskriptif dengan pendekatan mikro maupun makro. Selain itu penggunaan tabel, grafik, diagram batang, pie chart serta gambar lain dari lapangan terkait dengan komoditas yang diteliti juga ditampilkan sebagai keseluruhan penyajian.
ht
Diharapkan kajian dapat memberikan informasi yang utuh dan lengkap tentang berbagai potensi dan peluang dari setiap komoditas yang diteliti, sehingga para pengguna dapat memperoleh manfaat dan dapat menggunakannya sebagai bahan rujukan untuk pengambilan keputusan. Penghargaan yang tinggi disampaikan kepada Tim IPB dan BPS yang telah bekerja keras mengkaji setiap komoditas unggulan sehingga publikasi kajian komoditas unggulan ini dapat diselesaikan tepat waktu. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pihakpihak yang telah memberikan saran dan masukan untuk perbaikan publikasi ini. Jakarta, Desember 2008 Badan Pusat Statistik, Kepala,
Rusman Heriawan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
v
.id s. go .b p w w tp :// w ht vi
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Ringkasan Eksekutif
w
w
.b p
s. go
.id
Sejak krisis ekonomi tahun 1997, perekonomian nasional sebenarnya masih belum menunjukkan kondisi pulih. Sektorsektor ekonomi yang digunakan sebagai dasar penghitungan pertumbuhan ekonomi masih mengalami pasang surut dalam pertumbuhannya. Sebagian sektor ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, sebagian sektor lainnya melambat, stagnasi bahkan pertumbuhan minus. Sektor industri dengan berbagai jenis produk dan ikutannya di era tahun 80-an pernah mengalami perkembangan pesat. Pada saat yang sama, industri yang berbasis rumah tangga (home industry) dengan aneka produk yang dihasilkan baik makanan maupun non makanan juga tumbuh dengan pesat, sehingga sektor industri menjadi andalan karena kontribusinya terhadap PDB paling besar. Namun, sejak krisis terjadi, satu persatu sektor industri mulai berguguran (colapse) karena berbagai faktor penyebab seperti kurangnya modal, harga bahan baku meningkat, dan daya beli masyarakat menurun.
ht
tp :// w
Sejalan dengan semakin membaiknya perekonomian nasional, sektor-sektor ekonomi mulai pulih, Nilai Tambah Bruto (NTB) meningkat sehingga mendorong laju pertumbuhan ekonomi setiap tahun. Namun demikian, gejala membaiknya perekonomian nasional tampaknya tidak berlangsung lama mengingat perekonomian global saat ini sedang memburuk akibat krisis keuangan global. Dipastikan dampak negatif dari memburuknya perkonomian global akan menyebabkan terganggunya kinerja ekspor nasional. Sementara itu, impor komoditas tertentu tidak dapat dihindari karena alasan stock dalam negeri tidak mencukupi ataupun tidak diproduksi di dalam negeri. Akibatnya nilai impor jauh lebih besar daripada nilai ekspor dan selanjutnya akan mengurangi cadangan devisa Negara. Dalam jangka panjang, situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi perekonomian nasional. Untuk itu, diperlukan suatu upaya mengatasi kelangkaan beberapa
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
vii
Ringkasan Eksekutif komoditas maupun bahan baku tertentu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Kemandirian merupakan salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap suatu komoditas atau bahan baku tertentu dari negara lain. Dalam konteks kemandirian kecukupan pangan, peningkatan produksi pangan dalam negeri menjadi sangat penting sejak dampak krisis pangan dan energi telah dirasakan di semua negara pada tahun 2007. Atas dasar pertimbangan tersebut, berbagai permasalahan dan hambatan untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri perlu segera ditangani, mengingat (1) permintaan domestik terhadap komoditas pangan jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat penyediaannya, (2) adanya fenomena hambatan pasokan beberapa komoditas penting di dunia telah mengakibatkan ketidakpastian ekonomi pangan dan naiknya harga pangan dunia. Untuk itu, strategi peningkatan produksi pangan dalam negeri harus diperluas tidak hanya bertumpu pada perluasan areal penananam saja, tetapi juga melalui beragam aspek yang menyangkut inovasi, pemanfaatan teknologi, pengembangan sektor hilir, maupun usaha lainnya yang terkait. Selain itu, akselerasi peningkatan produksi dan nilai tambah usaha pertanian melalui peningkatan kapasitas produksi lahan melalui restrukturisasi dan revitalisasi pertanian juga wajib dilaksanakan dengan konsekwen dan konsisten. Dengan demikian, penerapan strategi peningkatan produksi pangan secara menyeluruh, kemandirian kecukupan pangan dalam negeri akan terlaksana di masa datang dan ketergantungan terhadap komoditas tertentu dari negara lain dapat dikurangi, negara akan terhindar dari acaman krisis pangan dan selanjutnya ketahanan pangan dalam negeri akan terjamin. Bertitiktolak dari peningkatan produksi menuju kemandirian kecukupan pangan, maka paling tidak terdapat enam komoditas pangan utama dari subsektor pertanian yang perlu ditingkatkan. Empat komoditas diantaranya mencakup beras, kedelai, daging sapi, serta daging dan telur ayam merupakan komoditas strategis
viii
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Ringkasan Eksekutif yang memiliki permintaan domestik yang tinggi, namun kemandirian penyediaan dalam negeri masih kurang sehingga masih bergantung dari impor. Sedangkan dua komoditas lainnya perikanan laut, kelapa sawit dan minyak sawit merupakan komoditas unggulan yang memiliki pasokan jauh lebih besar daripada permintaan domestik, memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta sumber devisa Negara.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Perlakuan yang sama semestinya juga dapat diterapkan pada komoditas penting non pertanian lainnya. Banyak ragam komoditas non pertanian yang berpotensi dapat dikembangkan di Indonesia menjadi komoditas yang bernilai tinggi, misalnya Gandum. Biji gandum merupakan bahan baku untuk pembuatan tepung yang selanjutnya dapat dibuat berbagai macam produk seperti mie (instan, kering, basah), biscuit, bakery. Selama ini kebutuhan gandum dalam negeri untuk pembuatan tepung terigu dipenuhi melalui impor, padahal konsumsi tepung terigu dari tahun ke tahun terus meningkat dari 7,21 kg per kapita tahun 2003 menjadi 11,34 kg per kapita tahun 2007. Peningkatan konsumsi tepung terigu yang pesat ini perlu diwaspadai mengingat gandum sebagai bahan baku tepung terigu seluruhnya diperoleh dari impor dan tidak diproduksi di Indonesia. Untuk itu, pengembangan tanaman gandum di Indonesia mutlak harus dilakukan dimulai dengan pemetaan wilayah-wilayah yang dianggap memenuhi syarat untuk ditanami tanaman gandum. Kemungkinan lain, perlu diversifikasi tanaman lainnya yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan baku utama tepung terigu. Demikian halnya dengan komoditas minyak tanah, kertas dan semen, memerlukan penanganan yang serius mengingat ketiga komoditas tersebut disamping memiliki nilai strategis namun juga memiliki nilai politis.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
ix
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran
...................................................................................................... ...................................................................................................... ...................................................................................................... ...................................................................................................... ...................................................................................................... ......................................................................................................
.id
1. Pendahuluan ................................................................................................. 1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1.2. Penentuan Komoditas Unggulan ....................................................................
tp :// w
w
w
.b p
s. go
2. Kajian Kinerja Dan Strategi Pengembangan Komoditas Beras .................... 2.1. Pendahuluan ................................................................................................. 2.2. Kondisi Pasokan Beras Nasional .................................................................... 2.3. Permasalahan dan Tantangan Perberasan Nasional .................................. 2.4. Deskripsi Khusus Potensi Pengembangan Budiaya Padi di Kabupaten Merauke Untuk Penyediaan Pangan Nasional ...................... 2.5. Strategi Pengembangan Produksi Beras Nasional .......................................
v vii xi xv xxi xxv 1 3 5 15 17 19 32 43 51 67 69 71 84 88
4. Kajian Kinerja Dan Strategi Pengembangan Komoditas Daging Sapi ....... 4.1. Pendahuluan ................................................................................................. 4.2. Kinerja Pengembangan Produksi Daging Sapi ............................................. 4.3. Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Komoditas Daging Sapi ................................................................................................. 4.4. Strategi Pengembangan Komoditas Daging Sapi ........................................
97 101 102
ht
3. Kajian Kinerja Dan Strategi Pengembangan Komoditas Kedelai ................ 3.1. Pendahuluan ................................................................................................. 3.2. Kinerja Pengembangan Produksi Komoditas Kedelai .................................. 3.3. Permasalahan dan Tantangan Peningkatan Produksi Kedelai ................... 3.4. Strategi Pengembangan Produksi Kedelai Nasional ....................................
114 123
5. Kajian Kinerja Dan Strategi Pengembangan Komoditas Daging Dan Telur Ayam Ras ................................................................................................. 137 5.1. Pendahuluan ................................................................................................. 139 Kajian Komoditas Unggulan, 2008
xi
DAFTAR ISI 5.2. Kinerja Pengembangan Produksi Daging dan Telur Ayam Ras .................. 140 5.3. Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Komoditas Daging dan Telur Ayam .................................................................................... 153 5.4. Strategi Pengembangan Produksi Daging dan Telur Ayam Ras ................. 159
s. go
.id
6. Kajian Kinerja Dan Strategi Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit Dan Minyak Goreng ................................................................................................. 6.1. Pendahuluan ................................................................................................. 6.2. Kinerja Peningkatan Produksi Kelapa Sawit Serta Produk Olahannya ....... 6.3. Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit ................................................................................................. 6.4. Strategi Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit dan Produk Olahannya ............................................................................................
169 171 173 192 200
241
8. Pengkajian Komodotis Strategis Minyak Tanah Di Indonesia ..................... 8.1. Pendahuluan ................................................................................................. 8.2. Metodologi ................................................................................................. 8.3. Kondisi Produksi Dan Distribusi Minyak Tanah ............................................ 8.4. Kebijakan Konversi Minyak Tanah ................................................................. 8.5. Kesimpulan .................................................................................................
257 259 262 263 282 284
9. Kajian Komoditas Tepung Terigu ......................................................................... 9.1. Pendahuluan …… .......................................................................................... 9.2. Situasi Pangan Dunia ....................................................................................... 9.3. Kondisi Tepung Terigu Nasional ..................................................................... 9.4. Kebijakan dan Tantangan Pengembangan ................................................... 9.5. Kesimpulan …..............................................................................................
287 289 290 293 312 319
ht
tp :// w
w
w
.b p
7. Kajian Kinerja Dan Strategi Pengembangan Komoditas Perikanan Laut .. 7.1. Pendahuluan ................................................................................................. 7.2. Kinerja Pengembangan Produksi Komoditas Perikanan Laut ..................... 7.3. Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Ekspor Komoditas dan Produk Perikanan Laut .......................................................... 7.4. Strategi Pengembangan Nilai Tambah Produk dan Ekspor Perikanan Laut Indonesia ................................................................................
xii
213 215 216 232
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
DAFTAR ISI 323 325 328 342 356
11. Komoditas Semen ................................................................................................. 11.1. Pendahuluan ................................................................................................. 11.2. Kondisi Pasokan Semen Nasional .................................................................. 11.3. Permasalahan dan Tantangan Industri Semen Nasional ............................ 11.4. Strategi Pengembangan Produksi Semen ..................................................... 11.5. Kesimpulan .................................................................................................
359 361 367 388 392 398
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
10. Komoditas Pulp Dan Kertas Di Indonesia .......................................................... 10.1 Pendahuluan ................................................................................................. 10.2. Kinerja Industri Pulp dan Kertas ...................................................................... 10.3. Permasalahan, Tantangan serta Prospek Komoditas Pulp dan Kertas ...... 10.4. Kesimpulan .................................................................................................
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
xiii
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
DAFTAR ISI
xiv
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
DAFTAR TABEL Halaman
Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Indonesia Tahun 2005 .............................................................................................. 12
Tabel 2-1.
Luas Areal Panen Padi Per Propinsi Indonesia, Tahun 2006-2008 .................................................................................... Skenario Pencapaian Swasembada Beras Berkelanjutan, Tahun 2005-2010 (Dalam Gkg) ............................................................. Luas Panen Padi di Dunia, Periode 2000/2001-2006/2007 ............... Volume Produksi Beras di Dunia, Periode 2000/2001-2006/2007 ..... Volume Produksi Beras Per Propinsi Tahun 2006-2008 (Ton) ........... Volume Konsumsi Beras di Dunia, Periode 2000/2001-2006/2007 ... Volume Impor Beras di Dunia, Periode 2000/2001-2006/2007 .......... Volume Ekspor Beras di Dunia, Periode 2000/2001-2006/2007 ........ Perkembangan Ekspor Impor Beras Indonesia Tahun 2003-2007 ... Luas Panen Padi dan Jumlah Penduduk Negara-negara di Asia Tenggara, Tahun 2002 .............................................................. Perbandingan Pertumbuhan Produktivitas Padi di Indonesia, RR Cina, Thailand dan Vietnam ............................................................ Volume Penggunaan Pupuk Kimia Untuk Budidaya Padi Per Satuan Luas Lahan .......................................................................... Teknologi Penggilingan Gabah Menjadi Beras yang Umum Digunakan di Beberapa Daerah di Indonesia ...................................... Potensi Pengembangan Lahan Pertanian Per Distrik Kabupaten Merauke ................................................................................ Kondisi Penggunaan Lahan di Kabupaten Merauke ........................... Fokus Kawasan Sentra Produksi Kabupaten Merauke ....................... Strategi Pengembangan Produksi Padi/Beras .....................................
Tabel 2-12. Tabel 2-13. Tabel 2-14. Tabel 2-15. Tabel 2-16. Tabel 2-17. Tabel 3-1. Tabel 3-2.
s. go
.b p
w
Tabel 2-11.
w
2-3. 2-4. 2-5. 2-6. 2-7. 2-8. 2-9. 2-10.
tp :// w
Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
ht
Tabel 2-2.
.id
Tabel 1-1.
20 22 23 24 25 26 28 29 30 33 35 36 39 46 47 49 57
Luas Areal Panen Kedelai Tahun 2006-2008 Berdasarkan Propinsi .............................................................................. 72 Lahan yang Berpotensi Untuk Pengembangan Kedelai di 17 Propinsi di Indonesia ..................................................................... 73
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
xv
DAFTAR TABEL Tabel 3-3. Tabel 3-4. Tabel 3-5. Tabel 3-6. Tabel 3-7. Tabel 3-8. Tabel 3-9.
Luas Jenis Areal Lahan yang Dapat Digunakan Untuk Penanaman Kedelai di Indonesia .......................................................... Perkembangan Produksi Kedelai Nasional dan Dunia Tahun 1990 – 2006 ................................................................................. Perkembangan Produksi dan Produktivitas Lahan Kedelai Tahun 2007-2008 .................................................................................... Perkembangan Konsumsi Kedelai Nasional Tahun 1999 – 2006 ..... Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia, Tahun 1996–2006 ................................................................ Lokasi SL-PTT Kedelai Tahun 2008 ..................................................... Strategi Pengembangan Produksi Kedelai Nasional ..........................
s. go
.b p
w
w
Tabel
Tabel 5-1. Tabel 5-2. Tabel 5-3. Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
5-4. 5-5. 5-6. 5-7. 5-8.
Tabel 5-9. Tabel 6-1.
xvi
tp :// w
Tabel
Populasi Ternak Ayam di Indonesia Tahun 2006 ................................. Perkembangan Produksi Daging dan Telur Ayam Indonesia Tahun 2003-2007 .................................................................................... Penyediaan Daging dan Telur Masyarakat Indonesia Per Kapita/Hari Tahun 2003-2007 ......................................................... Nilai Ekspor Komoditas Ayam Indonesia Tahun 2002-2006 ............... Volume Impor Komoditas Ayam .............................................................. Nilai Impor Komoditas Daging Ayam dan Telur ................................... Proyeksi Kebutuhan Bahan Baku Pakan 2008-2010 ........................... Perkembangan Produksi dan Impor Bibit Ayam DOC Tahun 2005-2007 .................................................................................... Strategi Pengembangan Komoditas Daging dan Telur Ayam ............
ht
Tabel Tabel
Jumlah Populasi Sapi Pedaging Per Propinsi Tahun 2003-2007 (Ekor) ......................................................................... 4-2. Produksi Daging Sapi Nasional Tahun 2003-2007 (Ton) ................... 4-3. Perkembangan Ekspor Impor Komoditas Sapi Pedaging Tahun 2002-2006 .................................................................................... 4-4. Penilaian Aspek Penerapan Teknologi Sapi Pedaging di Indonesia dan Perbandingannya Dengan Australia dan India ........ 4-5. Strategi Pengembangan Komoditas Sapi Pedaging ...........................
.id
Tabel 4-1.
75 76 77 78 81 83 91
104 108 112 118 128 141 147 148 152 152 153 154 157 161
Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Berdasarkan Daerah Penanamannya Pada Tahun 2003-2005 .............................................. 175
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
DAFTAR TABEL
Tabel 6-8. Tabel 6-9. Tabel 6-10. Tabel 6-11. Tabel 6-12. Tabel 6-13.
ht
Tabel 6-14.
.id
Tabel 6-7.
s. go
Tabel 6-6.
.b p
Tabel 6-5.
w
Tabel 6-4.
w
Tabel 6-3.
Alokasi Luas Lahan Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit dan Penanaman Kembali Perkebunan yang Telah Ada Berdasarkan Target Revitalisasi Perkebunan ............................................................. Produksi Minyak Sawit Indonesia Serta Perbandingannya dengan Produksi Minyak Sawit Malaysia dan Dunia Tahun 2001-2007 ......................................................................... Perkembangan Produksi CPO (Juta Ton) menurut Pengusahaannya ..................................................................................... Jumlah Pabrik CPO dan Kapasitas Produksinya Berdasarkan Propinsi, Tahun 2005 .............................................................................. Penggunaan CPO Bagi Industri Pengolahan di Dalam Negeri dan Pendugaannya Hingga Tahun 2010 (1.000 Ton) ......................... Konsumsi dan Produksi Minyak Goreng Sawit Indonesia, 2002-2006 ................................................................................................ Jumlah Industri Minyak Goreng dan Kapasitas Produksinya .............. Perkembangan Tiga Jenis Industri Oleokimia Dasar, Tahun 2006-2007 .................................................................................... Keragaman Jenis Minyak Sawit dan Produk Turunan yang Diekspor, Tahun 2005 .................................................................... Negara-negara Tujuan Ekspor Sawit Utama Pada Tahun 2006 ....... Ekspor Minyak Goreng Indonesia Tahun 2002-2006 .......................... Beberapa Peraturan Daerah Yang Menghambat Industri Kelapa Sawit Dan Investasi ....................................................... Strategi Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit dan Produk Olahannya ...................................................................................
tp :// w
Tabel 6-2.
Tabel 7-1. Tabel 7-2. Tabel 7-3. Tabel Tabel Tabel Tabel
7-4. 7-5. 7-6. 7-7.
Potensi dan Pemanfaatan Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Indonesia ......................................................................................... Produksi Perikanan Tangkap Laut dan Budidaya Laut Indonesia, Tahun 2004-2005 ................................................................. Perkembangan Ekspor Perikanan Indonesia, Tahun 2005-2007 .................................................................................... Pendugaan Pertumbuhan Jumlah Konsumsi Ikan Dunia ................... Kawasan Pengolahan Ikan di Indonesia ............................................... Perkembangan Armada Perkapalan Perikanan Indonesia ................. Notifikasi Rasff Pada Produk Perikanan Indonesia, Tahun 2004-2006 ....................................................................................
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
176
178 179 179 183 184 186 189 191 191 192 195 203
217 219 221 224 227 233 239 xvii
DAFTAR TABEL Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas dan Produk Perikanan Laut Indonesia ....................................................................... 244
Tabel 8.1.
Kuota Minyak Tanah menurut Wilayah Distribusi Niaga (WDN) Berdasarkan APBN 2006 ......................................................................... 277
Tabel 9.1.
Penggunaan Tepung Terigu Nasional Menurut Pengguna (Mt/bulan) .................................................................................................. Perkembangan Konsumsi Pangan Pokok Penduduk Indonesia Tahun 2002-2007 (Kg/kapita/tahun) ...................................................... Konsumsi Rata-rata per Kapita Seminggu Produk Olahan Gandum di Indonesia, 2002-2007 ....................................................... Sumbangan Beberapa Komoditi Makanan Terhadap Garis Kemiskinan 2007 dan 2008 (persen) ..........................................
Tabel 9.2. Tabel 9.3.
s. go
Tabel 9.4.
.id
Tabel 7-8.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Tabel 10.1a. Kontribusi PDB Sektor Industri Pengolahan terhadap PDB atas Dasar Harga Berlaku menurut Jenis Industri ........................................ Tabel 10.1b. Laju Pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Jenis Industri ............................. Tabel 10.2. Indeks Bakward Linkage dan Forward Linkage, Tahun 2005 ............ Tabel 10.3. Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang pada Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Tahun 2002-2006 .................................................................................... Tabel 10.4. Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang pada Industri Kertas dan barang dari Kertas menurut Jenis barang Tahun 2006 ....................................................... Tabel 10.5. Jumlah Perusahaan Pulp dan Kertas, 2005 dan 2007 ........................ Tabel 10.6. Produksi Pulp dan Kertas, 1997-2007 ................................................... Tabel 10.7. Ekspor Pulp dan Kertas, 1997-2007 ...................................................... Tabel 10.8. Impor Pulp dan Kertas, 1997-2007 ........................................................ Tabel 10.9. Neraca Perdagangan Komoditas Pulp dan Kertas, 1997-2007 ......... Tabel 10.10. Konsumsi Pulp dan Kertas, 1997-2007 ................................................ Tabel 10.11. Produksi Kayu bulat berdasarkan sumber produksi (dalam ribu m3) ....................................................................................... Tabel 10.12. Produksi Pulp dan Konsumsi Kayu Bulat pada Industri Pulp, 2000-2005 ................................................................................................
xviii
296 299 301 307
329 330 331
333
334 335 337 338 339 340 341 350 351
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
DAFTAR TABEL
Tabel Tabel Tabel
362 366 372 373 374 375 375 376 378 379 381 382 383 397
ht
tp :// w
w
Tabel
.id
Tabel
s. go
Tabel
.b p
Tabel
11.1. Komposisi Input Antara Industri Semen Tahun 2002-2005 ................. 11.2. Keadaan Perusahaan Semen di Indonesia .......................................... 11.3. Transaksi Total Semen atas dasar harga pembeli (juta rupiah) .......... 11.4. Transaksi Total Semen atas Dasar Harga Produsen (juta rupiah) .... 11.5. Transaksi Ddomestik atas Dasar Harga Pembeli (juta rupiah) .......... 11.6. Transaksi Domestik atas Dasar Harga Produsen (juta rupiah) .......... 11.7. Alokasi Output Sektor Semen Terhadap Permintaan Antara Sektor Lain atas Dasar Harga Produsen (juta rupiah) ......................... 11.8. Alokasi Input Permintaan Antara sektor Semen Terhadap Output Sektor Lain atas Dasar Harga Produsen (juta rupiah) ............ 11.9. Sepuluh Sektor Terbesar Indeks Daya Penyebaran (Backward Linkage) menurut 175 Sektor I-O 2005 ................................................. 11.10. Sepuluh Sektor Terbesar Indeks Derajat Kepekaan (Forward Linkage) menurut 175 Sektor I-O 2005 ................................................. 11.11. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Semen di Indonesia ........... 11.12. Penjualan Domestik (Ton) ...................................................................... 11.13. Pemasok Konsumsi Semen Domestik menurut Provinsi, 2003-2007 ............................................................................................... 11.14. Jumlah Loops Masing-masing Variabel ................................................
w
Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
xix
.id s. go .b p w w tp :// w ht xx
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar
2-1.
Pohon Industri Padi ............................................................................
27
Gambar Gambar
3-1. 3-2.
Pohon Industri Kedelai ....................................................................... Rantai Tata Niaga Kedelai di Indonesia ..........................................
80 88
Gambar
4-1.
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
.id
s. go
.b p
w
Gambar
w
Gambar
5-1.
tp :// w
Gambar Gambar Gambar
Perkembangan Jumlah Usaha Budidaya Ayam Ras Tahun 2000-2004 ............................................................................... Struktur Usaha Ayam Pedaging di Indonesia ................................... Perbandingan Perubahan Pola Pengeluaran Masyarakat Tahun 2001 dan Tahun 2006 ............................................................ Pohon Industri Ayam ........................................................................... Peningkatan Harga Bahan Baku Pakan Antara Bulan November 2006 Hingga Oktober 2007 .................................
ht
Gambar
Perkembangan Jumlah Sapi Potong Yang Dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Maupun di Luar RPH, Tahun 2000-2005 ............................................................................... 4-2. Proyeksi Kesenjangan Produksi dan Konsumsi Komoditas Daging Indonesia Tahun 2005-2010 ................................................ 4-3. Pohon Industri Sapi Pedaging ........................................................... 4-4. Perkembangan Nilai Impor Sapi Indonesia Tahun 1997-2005 ..... 4-5. Jaringan Proses Bisnis dan Distribusi Sapi Pedaging Dalam Manajemen Rantai Pasokan Daging Sapi di DKI Jakarta .............. 4-6a. Tata Niaga Sapi Pedaging (Daging dan Sapi Hidup) di Pulau Jawa ...................................................................................... 4-6b. Tata Niaga Sapi Pedaging (Daging dan Sapi Hidup) di Luar Pulau Jawa .............................................................................
5-2. 5-3.
5-4. 5-5.
Gambar
6-1.
Gambar Gambar
6-2. 6-3.
109 110 111 113 120 122 122
143 145 149 151 155
Perkembangan Areal Lahan Perkebunan Kelapa Sawit, Tahun 2003-2007 ............................................................................... 174 Pohon Industri Tandan Buah Segar Kelapa Sawit .......................... 181 Estimasi Produksi Domestik dan Konsumsi CPO di Indonesia Tahun 1997-2009 ............................................................................... 182
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
xxi
DAFTAR GAMBAR Gambar
6-4.
Gambar
6-5.
Gambar
6-6.
Pola Perkembangan Industri Minyak Goreng Domestik, 1990-2006 ........................................................................................... Perkembangan Konsumsi CPO Industri Minyak Goreng Sawit Indonesia, 1996-2006 ............................................................. Perkembangan Total Volume Ekspor CPO dan Poduk Turunannya ......................................................................................... Perkembangan Harga CPO Dunia, Tahun 2004-mei 2007 ..........
185 187 190 197
6-7.
Gambar Gambar
7-1. Perkembangan Produksi Perikanan Laut Indonesia ...................... 7-2. Sepuluh Besar Negara-negara Produsen Utama Ikan Tangkapan Laut .................................................................................. 7-3. Perbandingan Persentase Nilai Ekspor Perikanan Laut Negara-negara Pengekspor Utama Dunia ...................................... 7-4. Pohon Industri Ikan ............................................................................. 7-5. Skema Aliran Pasokan Komoditas Perikanan Laut Di Jawa .......... 7-6. Perkembangan Penangkapan Armada Kapal Pelaku Illegal Fishing ......................................................................................
220
8.1. 8.2. 8.3. 8.4. 8.5.
267 267 273 274
Gambar
Gambar
Gambar Gambar Gambar
xxii
9.1.
9.2. 9.3. 9.4.
.b p
s. go
8.6.
w
Proses Operasi di dalam Kilang Minyak .......................................... Proses Distilasi .................................................................................... Peta Lokasi Kilang Minyak di Indonesia ........................................... Kilang Minyak Pertamina di Cepu, Jawa Tengah ........................... Produksi BBM Indonesia Triwulan I Tahun 2006 – Triwulan I 2008 ..................................................................................................... Proporsi Kuota Minyak Tanah menurut Wilayah Distribusi Niaga Berdasarkan APBN 2006 ........................................................
w
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
tp :// w
Gambar Gambar Gambar
ht
Gambar
.id
Gambar
Perkembangan Indeks Harga Pangan Dunia, Jan 2005-Juli 2008 dan Indeks Harga Komoditas Pangan Juli 2007-Juli 2008 ............................................................................. Perkembangan Harga Beras Putih (15% FOB Bangkok) dan Gandum (Australia) di Pasar Dunia, 2005-2008 ............................. Perkembangan Harga Tepung Terigu di Indonesia Januari 2006-Agustus 2008 (Rp/Kg) ................................................. Trend Penjualan Tepung Terigu di Indonesia menurut Produsen, 2000-2007 (000 Mt) .........................................................
220 222 225 228 235
274 278
292 293 293 294
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Gambar Gambar Gambar Gambar
10.1. PDB Sektor Industri Pengolahan Atas Dasar Harga Berlaku (miliar rupiah), Kontribusi (%) dan Laju Pertumbuhan (%) menurut Jenis Industri, tahun 2007 ................................................... 10.2. Kerangka Keterkaitan Industri Pulp dan Kertas ............................... 10.3. Peta Lokasi Industri Pulp dan Kertas Indonesia .............................. 10.4. Diagram CLD Industri Pulp dan Kertas ............................................ 10.5. Produksi Kayu Bulat Berdasarkan Sumber Produksi, 1994 - 2005 .......................................................................................... 10.6. Penggunaan Kayu Bulat menurut Sumber Produksi pada Industri Pulp, 2000 - 2005 ........................................................ 11.1. 11.2. 11.3. 11.4.
Penyebaran industri semen di Indonesia, Tahun 2007 .................. Pohon Industri Batu Kapur ................................................................. Pohon industri batuan phosphate ..................................................... Causal Loops Diagram Produksi Industri Semen Nasional ...........
ht
Gambar Gambar Gambar Gambar
tp :// w
w
Gambar
9.9.
.id
Gambar
9.8.
s. go
Gambar
9.6. 9.7.
Perkembangan Impor Gandum dan Meslin Indonesia, 2005-2007 ........................................................................................... Perkembangan Impor Tepung Terigu Indonesia, 2005-2007 ...... Jumlah dan Indeks Daya Penyebaran 10 Sektor Terbesar dan Sektor Tepung Terigu ........................................................................ Jumlah dan Indeks Daya Kepekaan 10 Sektor Terbesar dan Sektor Tepung Terigu ........................................................................ Skema Pemanfaatan Ubikayu Untuk Berbagai Produk Pangan .................................................................................................
.b p
Gambar Gambar
9.5.
w
Gambar
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
304 305 309 310 317
328 332 336 348 350 352 365 386 387 396
xxiii
.id s. go .b p w w tp :// w ht xxiv
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 2-1. Lampiran 2-2.
Hasil Dokmentasi Kunjungan Tim IPB-BPS Pada Pengkajian Agribisnis Padi-Beras bulan Juli 2008 .................................................... 62 Dokumentasi Kunjungan Kajian Padi-beras di Merauke 17 – 19 Juni 2008 ...................................................................................... 64 Dokumentasi Kunjungan Tim IPB-BPS Dalam Kajian Agribisnis Kedelai di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur ........................ 96
Lampiran 4-1.
Gambaran Umum Kondisi Usaha Peternakan Sapi dan Penyediaan Daging Sapi di Indonesia (Lokasi Kandang Sapi Pedaging di Lampung) .................................................................... 133 Gambaran Umum Penerapan Teknologi Pada Proses Pengolahan Industri Daging Sapi (Lokasi Perusahaan Pemasok Daging Sapi Impor Untuk Perhotelan, Industri Katering, dan Lain-Lain di Luar Negeri) .................................................................. 135
Lampiran 6-1.
Lampiran 6-2.
Lampiran 7-1. Lampiran 7-2.
w
tp :// w
Lampiran 5-2.
Hasil Dokumentasi Kunjungan Tim IPB-BPS Pada Pengkajian Agribisnis Ayam Pedaging di Salah Satu Industri Ayam Pedaging di Pasuruan, Jawa Timur. ....................................................... 167 Hasil Dokumentasi Kunjungan Tim IPB-BPS Bulan Juli 2008 Pada Pengkajian Agribisnis Ayam Petelur .............................................. 168
ht
Lampiran 5-1.
w
.b p
Lampiran 4-2.
s. go
.id
Lampiran 3-1.
Nama-nama Perusahaan Industri Minyak Goreng Sawit Berdasarkan Jenis Produk Yang Dihasilkannya (Minyak Goreng Kemasan Bermerk dan Minyak Goreng Curah) .................................... 208 Gambaran Umum Pada Usaha Industri Minyak Sawit dan Minyak Goreng .......................................................................................... 210 Jenis Ikan Laut Bernilai Ekonomi Penting Di Indonesia ....................... 249 Dokumentasi Kajian Komoditas Perikanan Laut di Tiga Wilayah Produsen Ikan Laut Tangkap Utama Utara Jawa Barat ......... 253
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
xxv
w
tp :// w
ht .b p
w .id
s. go
Pendahuluan
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Perekonomian Indonesia dipengaruhi perkembangan lingkungan eksternal dan internal, yaitu semakin meningkatnya intergrasi perekonomian dunia yang pada satu pihak akan menciptakan peluang yang lebih besar bagi perekonomian nasional, tetapi di lain pihak juga menuntut daya saing perekonomian nasional yang lebih tinggi serta semakin membaiknya perekonomian dunia yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara maju (AS dan Jepang). Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2006 – 2007 mengalami peningkatan dari 5,5 persen menjadi 6,3 persen. Pertumbuhan ini didorong oleh pertumbuhan konsumsi, ekspor barang dan jasa, serta pembentukan modal tetap bruto. Pertumbuhan konsumsi meningkat dari 3,2 persen pada 2006 menjadi 5,0 persen pada 2007. Pertumbuhan ekspor barang dan jasa menurun dari 9,6 persen pada 2006 menjadi 8,0 persen pada 2007. Sedangkan pembentukan modal tetap bruto tumbuh sebesar 2,5 persen pada 2006 untuk kemudian meningkat tajam menjadi 9,2 persen pada 2007. Pada saat yang sama pengeluaran pemerintah menurun dari 9,6 pesrsen menjadi 3,9 persen. Indonesia mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dalam tahun 2007. Meski pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh 4,9 persen lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,0 persen, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh hingga 6,3 persen atau tertinggi sejak krisis tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan II/2008 mencapai 2,4 persen dibanding triwulan I/2008 (q-to-q) dan apabila dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2007 mengalami pertumbuhan 6,4 persen (y-to-y). Secara
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
3
Pendahuluan
kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I/2008 dibandingkan dengan semester I/2007 sebesar 6,4 persen. Struktur PDB triwulan II/2008 masih didominasi oleh sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran masing-masing memberikan kontribusi sebesar 27,3 persen; 14,7 persen; dan 14,3 persen. Dua sektor ekonomi seperti Pertanian dan Industri Pengolahan merupakan sektor-sektor andalan penyumbang terbesar terhadap PDB.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Tujuan utama pembangunan nasional adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu telah dilakukan berbagai upaya, salah satunya melalui pengembangan potensi di sektor pertanian. Pengembangan ini sangat dimungkinkan mengingat Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar dengan berbagai komoditas yang dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan. Banyak ragam komoditas pertanian serta turunannya yang dapat dikembangkan berpotensi menjadi produk unggulan. Disamping komoditas pertanian masih banyak komoditas lain non pertanian yang perlu dikembangkan seperti batu bara yang berpotensi menjadi sumber energi alternatif selain energi dari sumber minyak bumi. Semua komoditas tersebut mempunyai peranan strategis yang tidak hanya dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri saja, tetapi juga dapat diekspor ke berbagai negara untuk menambah sumber devisa negara yang pada gilirannya dapat menggerakan perekonomian nasional. Menarik ditelaah untuk pengkajian komoditas-komoditas unggulan yang ada di dalamnya. Hal ini penting sejalan dengan reformasi peyelenggaraan pemerintah daerah yang telah bergulir (otonomi daerah). Tahun Lahirnya UU No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dapat diterjemahkan sebagai keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya
4
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Pendahuluan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
untuk mengatur pemerintahan sendiri. Salah satu kewenangan yang dimaksud terkait dengan bagaimana pemerintah daerah sepenuhnya menata sendiri ekonominya untuk kepentingan kemakmuran masyarakatnya. Penataan ekonomi untuk kemakmuran masyarakat sangat dimungkinkan mengingat sumber daya alam yang dimiliki hampir setiap daerah otonom sangat besar dengan berbagai potensi komoditas yang dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan. Banyak ragam komoditas pertanian maupun non pertanian dengan spesifik lokal berikut turunannya dapat dikembangkan menjadi produk unggulan yang tidak hanya menghasilkan devisa negara tetapi juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan dan selanjutnya dapat menggerakkan perekonomian nasional. Namun demikian, tidak mudah menentukan suatu komoditas menjadi produk unggulan mengingat banyak ragam komoditas dari berbagai aspek memiliki potensi dan prospek yang relatif sama. Untuk itu, diperlukan kajian terhadap berbagai jenis komoditas melalui berbagai cara pendekatan untuk menentukan komoditas mana yang terpilih untuk dikembangkan lebih lanjut. Banyak cara yang dapat digunakan untuk menentukan komoditas yang dianggap unggulan. Diantara cara yang digunakan adalah Teknik Input Output (I-O) dan Location Quotient (LQ). 1.2. Penentuan Komoditas Unggulan Terdapat dua cara pendekatan yang digunakan untuk menyeleksi komoditas unggulan, Pendekatan pertama dengan menggunakan analisis Input-Output (teknik I-O), sedangkan pendekatan kedua menggunakan analisis Location Quotient (teknik LQ).
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
5
Pendahuluan
1.2.1. Analisis Input-Output
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Analisis Input-Output (I-O) berdasarkan data tabel InputOutput Nasional tahun 2005 klasifikasi 66 sektor terbaru yang ada ketika penelitian ini dilakukan. Tabel I-O Nasional tahun 2005 disajikan dalam tiga sub matriks yang selanjutnya disebut sebagai kuadran I, II dan III. Setiap sel pada kuadran I merupakan transaksi antara, yaitu transaksi barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kuadran inilah yang akan digunakan dalam melakukan analisis lebih lanjut. Salah satu analisis yang dapat dilakukan dari tabel Input-Output yakni analisis backward linkages dan forward linkages. Backward linkages (kaitan ke belakang) dan forward linkages (kaitan ke depan) adalah alat analisis yang digunakan untuk mengetahui tingkat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor/sub-sub sektor lainnya dalam suatu perekonomian. Kaitan ke belakang merupakan alat analisis untuk mengetahui derajat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor-sektor lain yang menyumbangkan input kepadanya. Kaitan kedepan merupakan alat analisis untuk mengetahui derajat keterkaitan antara suatu sektor yang menghasilkan output untuk digunakan sebagai input bagi sektor-sektor yang lain.
ht
Besaran angka yang ditunjukkan oleh backward dan forward linkages digunakan sebagai salah satu acuan untuk mengetahui sektor mana yang menjadi unggulan dan dapat dijadikan prioritas pengembangan di suatu provinsi. Semakin besar angka linkages suatu sektor di suatu provinsi akan menunjukan semakin pentingnya sektor tersebut di provinsi tersebut karena memiliki potensi menghasilkan output yang tinggi. Peningkatan yang terjadi di sektor unggulan tersebut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perekonomian provinsi dan juga perekonomian Indonesia.
6
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Pendahuluan
Adapun langkah-langkah penghitungan backward dan forward linkages adalah sebagai berikut : 1). Menghitung Matriks Pengganda
.b p
s. go
.id
Matriks pengganda pada tabel I-O menjelaskan perubahan yang terjadi pada berbagai peubah endogen sebagai akibat perubahan pada suatu atau beberapa peubah eksogen. Dari matriks pengganda nantinya dapat diperoleh dampak pengganda yang diartikan sebagai suatu dampak yang terjadi baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap berbagai kegiatan ekonomi di dalam negeri sebagai akibat dari adanya perubahan pada variabel-variabel eksogen perekonomian nasional. Untuk memperoleh matriks pengganda dari tabel I-O, pada umumnya dihasilkan dari tabel I-O transaksi domestik atas dasar harga produsen.
tp :// w
w
w
• Menghitung matriks koefisien input ( A d )
ht
dimana :
aij : koefisien input sektor ke-i oleh sektor ke-j xij : penggunaan input sektor ke-i oleh sektor ke-j (dalam nilai rupiah)
X j : output sektor ke-j (dalam rupiah)
• Mengurangkan matriks I (matriks identitas) dengan matriks Ad.
• Matriks pengganda (B) didefinisikan sebagai matriks kebalikan (inverse matrix) dari (I-Ad).
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
7
Pendahuluan
Dari matriks pengganda tabel I-O, dapat didefinisikan hubungan antara output dan permintaan akhir yang dapat dijabarkan dengan persamaan:
s. go
.id
Jika diuraikan dalam bentuk matriks, hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai:
sel matriks pengganda (B) pada baris i dan kolom j
ij
: 1, 2, ... n
tp :// w
w
Xi : output sektor i d Fi : permintaan akhir sektor i
w
bij :
.b p
dimana :
ht
2). Daya Penyebaran (Backward Linkages) Konsep ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan industri hulunya. Daya penyebaran mencerminkan permintaan suatu sektor terhadap sektor-sektor produksi lainnya. Jumlah daya penyebaran menunjukkan dampak dari satu unit permintaan akhir suatu sektor terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing sektor secara keseluruhan. Jumlah daya penyebaran merupakan salah satu ukuran untuk melihat keterkaitan kebelakang (backward linkages). Sektor j dikatakan mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi apabila jmempunyai nilai lebih besar dari satu. Rumus
8
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Pendahuluan
yang digunakan untuk mencari nilai indeks total keterkaitan ke belakang adalah :
dimana
j : indeks daya penyebaran sektor j bij : sel matriks pengganda (B) pada baris i dan kolom j n : jumlah sektor.
w
.b p
s. go
.id
Besaran j dapat mempunyai nilai sama dengan, lebih besar atau lebih kecil dari satu. Bila j = 1, hal tersebut berarti bahwa daya penyebaran sektor j sama dengan rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi. Nilai j > 1 berarti bahwa daya penyebaran sektor j berada di atas rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi, sementara j < 1 berarti daya penyebaran sektor j lebih rendah.
ht
tp :// w
w
3). Derajat Kepekaan (Forward Linkages) Derajat kepekaan mencerminkan kemampuan suatu sektor dalam mensuplai sektor-sektor produksi lainnya. Jumlah derajat kepekaan menunjukkan pembentukan output di suatu sektor yang dipengaruhi oleh permintaan akhir masing-masing sektor perekonomian. Jumlah derajat kepekaan merupakan salah satu ukuran untuk melihat keterkaitan ke depan (forward linkages). Sektor i dikatakan mempunyai indeks total keterkaitan ke depan yang tinggi apabila nilai lebih besar dari satu. Rumus yang digunakan untuk mencari nilai indeks total keterkaitan ke depan adalah:
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
9
Pendahuluan
dimana :
i : indeks derajat kepekaan sektor i bij : sel matriks pengganda (B) pada baris i dan kolom j n
: jumlah sektor.
Analisis Location Quotient (LQ)
s. go
1.2.2.
.id
Nilai i > 1 berarti bahwa derajat kepekaan sektor i lebih tinggi dari rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor, sedangkan i < 1 berarti derajat kepekaan sektor i lebih rendah dari ratarata.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Analisis LQ merupakan teknik untuk mengukur kegiatan ekonomi dalam suatu daerah. Teknik yang dilakukan ialah dengan membandingkan peranannya di dalam perekonomian daerah yang bersangkutan terhadap peranan kegiatan sejenis dalam perekonomian regional (tingkatan daerah diatasnya) atau nasional. Analisis ini dapat digunakan untuk menentukan subsektor unggulan perekonomian daerah, yang penghitungannya mengacu pada formulasi Bendavid-Val (1991:74) berikut:
LQ
Xr / RVr Xn / RVn
atau
LQ
Xr / Xn RVr / RVn
Keterangan: Xr RVr Xn RVn
10
: Nilai produksi sektor r pada daerah kabupaten/kota : Total PDRB kabupaten/kota : Nilai produksi sektor r pada daerah provinsi : Total PDRB provinsi
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Pendahuluan
Kriteria: • LQ > 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu di tingkat daerah lebih besar dari sektor yang sama di tingkat provinsi. • LQ = 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu di tingkat daerah sama dengan sektor yang sama di tingkat provinsi. • LQ < 1, berarti sektor tersebut bukan merupakan sektor unggulan dan kurang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian daerah.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Dalam publikasi ini, sektor yang dibahas merupakan komoditas dan besaran yang diukur merupakan nilai produksinya. Nilai LQ berasal dari share komoditas tertentu di suatu daerah kabupaten/kota terhadap total produksi provinsinya yang ditimbang dengan nilai PDRB-nya sehingga angka ini menggambarkan peranan (share) komoditas tersebut dalam perekonomian kabupaten/kota yang bersangkutan. Jika nilai LQ lebih besar dari satu maka dapat disimpulkan bahwa komoditas tersebut mempunyai andil atau menjadi unggulan di daerahnya. Langkah selanjutnya adalah membandingkan nilai LQ komoditas tersebut dengan daerah lain yang menghasilkan komoditas sejenis secara nasional. Penggunaan analisis LQ memiliki kelemahan diantaranya asumsi bahwa permintaan di setiap daerah identik dengan pola permintaan nasional.
Berikut beberapa komoditas unggulan dengan kategori α dan β > 1, seperti; minyak goreng; daging sapi; Industri pupuk; Industri Barang-barang elektronik (ekspor turun); dan Industri Kertas (ekspor turun), sedangkan kategori α > 1, seperti: Industri Tepung Terigu; IndustriTekstil; Industri Semen; Tembakau; Telur; Susu; Perikanan darat; udang dan tuna/cakalang; Industri baja; dan Industri Furniture. Khusus katrgoi β > 1 meliputi: Kedelai; Kopi; Teh; Ubi Kayu; dan Rotan. Dengan mempertimbangkan kendala biaya waktu, biaya dan tenaga, serta atas dasar pertimbangan bahwa komoditas yang terpilih telah menjadi isu
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
11
Pendahuluan
aktual di masyarakat serta menjadi perhatian serius pemerintah, maka dalam kajian ini dibatasi pada komoditas tertentu, untuk sektor Pertanian dengan kategori α dan β > 1 meliputi; kelapa sawit dan minyak goreng, daging sapi, dan kategori α >1 adalah komoditas daging dan telur ayam ras. Sedangkan untuk sektor Non Pertanian dengan α dan β >1 adalah kertas, kategori α >1 meliputi; Tepung Terigu (Gandum), Semen, kategori β > 1 adalah komoditas minyak tanah.
.b p
s. go
.id
Untuk pemilihan komoditas beras, pengkajiannya dikarenakan komoditas ini merupakan kebutuhan pokok dan mempunyai masalah yaitu gap potensi swasembada dan pengadaan impor. Pemilihan komoditi kedelai karena isu berkurangnya penyediaan kedelai dalam negeri.
Komoditas
(1)
(2)
12
Be ras Ke delai Daging Sapi Daging dan Telur Ayam Ke lapa Sawit dan Minyak Goreng Pe rikanan Laut Tepung Terigu Minyak Tanah Ke rtas Se men
ht
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tp :// w
No.
w
w
Tabel 1.1. Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Indonesia, Tahun 2005 Indeks (α)
Indeks (β)
(3)
(4)
0.8457 0.7858 0.8927 1.0785 1.3562 0.7984 1.1937 0.7802 1.1512 1.1127
1.2830 0.7413 0.9378 0.8348 1.0462 0.8981 0.9054 2.1016 1.1831 0.6939
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
s. go
.id
Kajian Kinerja dan Strategi Pengembangan Komoditas Beras
.b p
Penulis :
ht
tp :// w
w
w
Tim IPB
Komoditas Beras
2.1. Pendahuluan
w
w
.b p
s. go
.id
Mengingat peranannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang memengaruhi terwujudnya ketahanan pangan nasional. Dalam keadaan terpaksa harus melakukan impor, karena seringnya produksi beras nasional yang tidak mampu mencukupi kebutuhan beras dalam negeri, maka oleh FAO Indonesia masih sering dikategorikan sebagai negara berketahanan pangan rendah, dalam arti rentan terhadap gejolak sosial dan kenaikan harga pangan global. Dalam keadaan harus melakukan impor, jumlah impor beras Indonesia berkisar antara lima hingga sepuluh persen dari total kebutuhan beras nasional (Adnyana, 2005). Selain berpengaruh terhadap ketahanan pangan, ketersediaan beras di pasar domestik juga mempengaruhi kondisi ekonomi dan politik, terutama inflasi, stabilitas sosial, serta stabilitas politik di dalam negeri.
ht
tp :// w
Dengan demikian, saat ini peningkatan produksi beras dalam negeri menjadi salah satu prioritas pembangunan pertanian nasional, salah satunya melalui revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan sejak bulan Juni tahun 2005. Tujuan mencapai kembali swasembada beras secara berkelanjutan merupakan hal yang harus dilakukan karena merupakan suatu resiko yang sangat tinggi bila Indonesia masih harus mengandalkan impor beras untuk mencukupi kebutuhan beras masyarakatnya. Dana yang besar diperlukan untuk membiayai penyediaan beras impor, dimana setiap tahunnya jumlah permintaan beras dalam negeri terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk. Resiko impor beras saat ini juga semakin meningkat karena impor beras hampir tidak mungkin dilakukan akibat tidak adanya stok beras di pasar global sejak akhir tahun 2007. Seluruh produsen besar dan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
17
Komoditas Beras
.b p
s. go
.id
eksportir terbesar beras dunia, yakni Thailand dan Vietnam melakukan kebijakan menahan berasnya untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya masing-masing. Negara penyumbang utama persediaan atau stok perdagangan beras lainnya di pasar global seperti Myanmar, Amerika Serikat, Australia, Laos dan RR Cina juga menahan ketersediaan berasnya dalam upaya mengantisipasi kelangkaan beras dan peningkatan harga beras di negaranya masing-masing. Harga beras dunia meningkat sejak tahun 2007. Berdasarkan kondisi tingkat produksi bahan pangan dunia yang lebih rendah dari tingkat konsumsinya, dan terjadinya konversi bahan pangan menjadi bahan bakar nabati, diperkirakan akan terjadi krisis pangan global hingga waktu yang tidak dapat diramalkan, apabila harga bahan bakar minyak bumi global tidak dapat dikendalikan (Gumbira-Sa’id, 2008).
ht
tp :// w
w
w
Berdasarkan situasi perdagangan beras dunia yang telah dikemukakan di atas, maka pembangunan pertanian komoditas beras menuju swasembada dan kemandirian sangat diperlukan. Di lain pihak, pembangunan tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan perbaikan kesejahteraan ekonomi petani yang selama ini menjadi pihak yang kurang beruntung dalam distribusi maupun tata niaga beras. Dengan peningkatan kesejahteraan petani, beban pemerintah dalam menangani kemiskinan pun akan berkurang karena sebagian besar petani tersebut tergolong kelas masyarakat miskin. Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 2003, jumlah keluarga tani yang mengusahakan padi dan palawija adalah sekitar 18,12 juta keluarga (70,84 persen dari total keluarga petani nasional (25,58 juta keluarga) atau sekitar 34,46 persen dari total keluarga nasional yang berjumlah 52,56 juta keluarga (Deptan, 2005). Dalam usaha mencapai keberhasilan swasembada dan kemandirian produksi komoditas beras nasional, masih terdapat
18
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
beragam permasalahan yang menghambat maupun yang menjadi ancaman. Keberhasilan produksi beras diduga akan sulit dicapai dengan mudah dan dalam waktu yang singkat, oleh karena itu diperlukan kegiatan untuk mengidentifikasi permasalahan, perumusan solusi bagi penyelesaian masalah serta strategi penunjang yang tepat bagi pengembangan produksi beras nasional. 2.2. Kondisi Pasokan Beras Nasional
.id
2.2.1. Potensi Pengembangan Lahan Budidaya Padi
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Indonesia masih memiliki potensi ketersediaan lahan yang sangat baik untuk pengembangan tanaman padi. Hampir di seluruh provinsi di Indonesia masih memiliki potensi lahan yang dapat dikembangkan untuk areal penanaman padi. Tiga Provinsi utama dengan areal panen padi terluas berada di wilayah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Pulau Sumatera, tiga provinsi dengan luas areal panen padi terluas adalah Sumatera Utara kemudian Sumatera Selatan dan Lampung. Di pulau Kalimantan, Provinsi Kalimantan Selatan memiliki luas areal panen padi ter luas, sedangkan di Pulau Sulawesi kawasan terluas berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Pada Tabel 2-1 diperlihatkan luas area pemanenan padi di seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2006 dan angka perkiraannya pada tahun 2008. Ketersediaan lahan untuk perluasan areal penanaman padi masih dimiliki Indonesia. Potensi pengembangan lahan padi tersebut terdiri dari sekitar 24,5 juta ha lahan basah (sawah) dan 76,3 juta ha lahan kering bagi penanaman padi (Deptan, 2005). - Lahan sawah Potensi lahan sawah non-rawa pasang surut dengan kelas yang sesuai menurut klasifikasi kesesuaian lahan memiliki
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
19
Komoditas Beras
Tabel 2-1. Luas Areal Panen Padi per Provinsi Indonesia, Tahun 2006-2008 (ha)
w
w
2008 (4) 375.332 777.909 427.149 143.321 152.26 693.023 113.921 521.273 9.209 125 1.643 1.870.334 1.681.872 137.413 1.745.295 364.592 141.591 332.015 178.474 425.581 199.171 500.221 156.059 104.879 200.233 766.511 107.574 44.377 68.173 16.845 12.592 6.970 23.454 12.299.391
s. go
.id
2007 (3) 358.726 748.048 423.655 147.882 149.888 691.467 123.830 524.955 9.010 119 1.544 1.829.085 1.614.098 133.369 1.736.048 356.803 145.030 331.916 166.444 399.832 228.758 505.155 154.301 103.189 200.273 761.075 110.498 43.763 66.630 15.352 14.497 6.630 22.957 12.124.827
.b p
2006 (2) 320.789 705.023 417.846 136.177 140.613 646.927 100.991 494.102 5.741 116 1.323 1.798.260 1.672.315 132.374 1.750.903 348.414 150.557 341.418 173.208 378.042 202.664 462.672 150.549 94.717 179.078 719.846 93.826 43.953 64.462 13.866 17.355 8.405 19.898 11.786.430
tp :// w
ht
Propinsi (1) NA. Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat R ia u J am bi Sumatera Selatan Bengkulu L ampung Bangka Belitung Riau Kepulauan D.K.I. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten B a li Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia *Angka ramalan pertama (BPS, 2008)
luas sekitar 13,26 juta hektar. Lahan tersebut tersebar di Sumatera (2,01 juta ha), Jawa (1,12 juta ha), Bali dan Nusa Tenggara (0,85 juta ha), Kalimantan (1,03 juta ha), Sulawesi 20
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
(1,11 juta ha), serta Maluku dan Papua (7,89 juta ha). Dari total luas potensi lahan sawah tersebut, luas lahan telah digunakan baru mencapai 6,86 juta ha (51%). Walaupun masih terdapat peluang peningkatan pemanfaatan potensi lahan sawah, namun terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu (1) aspek investasi yang mungkin mahal; (2) kelanggengan fungsi dari lahan pertanian yang baru dibuka; (3) aspek ketersediaan tenaga kerja untuk pertanian; dan (4) dampak lingkungan atau perubahan ekosistem, serta degradasi lingkungan.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
- Lahan rawa dan pasang surut Luas potensi lahan rawa dan pasang surut yang sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan sawah mencapai 3,51 juta hektar, yang tersebar di Sumatera (1,92 juta ha), Jawa (0,12 juta ha), Kalimantan (1,01 juta ha), Sulawesi (0,31 juta ha), serta Maluku dan Papua (3,51 juta ha). Dari total luas potensi lahan rawa dan pasang surut tersebut, yang telah digunakan untuk lahan sawah baru sekitar 0,93 juta ha, sehingga masih terdapat 2,57 juta hektar lahan yang berpotensi dikembangkan menjadi lahan sawah. - Lahan kering Luas potensi lahan kering yang dapat dikembangkan untuk tanaman semusim, khususnya padi mencapai sekitar 25,33 juta ha. Dari total luas potensi lahan kering tersebut, lahan yang sudah dimanfaatkan masih relatif sangat kecil sehingga masih terdapat peluang yang baik untuk pengembangan tanaman padi pada lahan kering yang terdapat di Indonesia. Untuk mencapai swasembada beras yang berkelanjutan, Departemen Pertanian telah memperhitungkan diperlukannya peningkatan areal panen sekitar 0,77 persen per tahun. Dengan pertimbangan kondisi agribisnis padi saat ini dan peluang peningkatan produksi berdasarkan potensi sumberdaya dan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
21
Komoditas Beras
teknologi, produktivitas panen padi diperkirakan tumbuh 0,48 persen per tahun. Berdasarkan kondisi tersebut, pada tahun 2010 target luas panen padi diperkirakan mencapai sekitar 12,14 juta hektar dengan produktivitas sekitar 4,67 ton GKG/ha. Diperkirakan hingga tahun 2010 Indonesia dapat mencapai swasembada beras bila target jumlah produksi yang telah diperkirakan tercapai dan jumlah permintaan beras tidak jauh melebihi jumlah permintaan yang diperkirakan (Tabel 2-2). Tabel 2-2. S kenario Pencap aian S wasembad a Beras Berkelan ju tan , Tah un 2005-2010 (d alam GKG) P ermintaan
S urplus
(1)
(ton/ha) (3)
(000 ton) (4)
(000 ton) (5)
(1000 ton) (6)
2004
11.874
4,54
53.907
52.259
+ 1.648
2005
11.918
4.56
54.366
52.837
+ 1.529
2006
11.963
4,58
54.829
53.421
+ 1.408
2007
12.007
4,61
55.296
54.012
+ 1.284
2008
12.051
4,63
55.767
54.610
+ 1.157
2009
12.096
4,65
56.242
55.214
+ 1.028
2010
12.141
56.721
55.825
896
s. go
.b p w w
tp :// w
ht
(Deptan, 2005)
4,67
.id
Produksi
(000 ha) (2)
T ahun
Luas P anen Produktivitas
2.2.2. Perkembangan Kondisi Produksi dan Konsumsi Beras Dibandingkan dengan negara-negara penghasil beras utama dunia, luas panen padi Indonesia berada pada posisi ke tiga terluas setelah India dan RR Cina. Hingga akhir tahun 2006, luas panen padi di India mencapai sekitar 28,9 persen (44 juta Ha) dari total luas panen padi di dunia (152,5 juta Ha). Posisi berikutnya adalah RR Cina, Indonesia, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Birma dan Kamboja, dengan kontribusi masing-masing
22
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
terhadap total luasan panen padi dunia secara berturut-turut adalah 19,1 persen; 7,8 persen; 7,1 persen; 6,7 persen; 4,8 persen; 4,1 persen; dan 1,4 persen. Dalam periode waktu yang sama, hingga periode tahun 2006-2007 secara umum tidak tampak banyak perubahan terhadap total luasan panen padi di Indonesia maupun dunia (Tabel 2-3). Tabel 2-3. Luas Panen Padi di Dunia, Periode 2000/2001-2006/2007
Birma Kamboja
(5) 42.400
29.962 11.600 10.887 9.891 7.493
28.812 11.600 10.666 10.125 7.471
28.200 11.500 10.777 10.158 7.463
26.508 11.900 10.902 10.315 7.468
6.000 1.903 29.444 151.541
6.200 1.980 29.047 150.501
6.200 2.000 29.101 145.799
6.300 2.240 30.093 148.126
ht
Negara Lain Total Dunia (USDA, 2006)
(6) 42.300
(7) 43.400
(8) 44.000
.id
Thailand Vietnam
(4) 40.400
.b p
Indonesia Bangladesh
(3) 44.600
w
India RR Cina
(2) 44.361
w
(1)
s. go
Luas Panen (000 Ha) 2000/ 2001 2001/ 2002 2002/ 2003 2003/ 2004 2004/ 2005 2005/ 2006 2006/ 2007
28.379 11.650 11.000 9.995 7.450
28.847 11.800 11.100 10.215 7.265
29.200 11.860 11.200 10.250 7.360
6.000 2.100 30.762 149.636
7.000 2.150 30.436 152.213
6.250 2.200 30.178 152.498
tp :// w
Negara
Berdasarkan jumlah beras yang diproduksi, Indonesia termasuk sebagai produsen beras dunia ke-3 terbesar setelah RR Cina dan India. Hingga akhir tahun 2006, volume beras yang dihasilkan RR Cina mencapai 128 juta MT, atau 31 persen dari total produksi beras dunia. Dilain pihak, India, Indonesia, Bangladesh, Vietnam, Thailand dan Birma sebagai kelompok penghasil beras utama di dunia, kontribusinya masing-masing mencapai 22 persen (91 juta MT), 8 persen (35 juta MT), 7 persen (29 juta MT), 5 persen (22 juta MT), 4 persen (18 juta MT) dan 3 persen (10 juta MT) dari total volume produksi beras dunia (Tabel 2-4). Bila dibandingkan dengan negara-negara produsen beras utama dunia lainnya Vietnam, India dan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
23
Komoditas Beras
Bangladesh muncul sebagai tiga negara yang peningkatan produksinya lebih tinggi (rata-rata 2 persen per tahun).
T ab e l 2-4. V olu m e Pr od uk s i Be r as di Du nia, Pe r io de 2000/2001-2006/2007 V o lum e Pr o du k s i (000 M T ) 2002/ 2003/ 2004/ 2003 2004 2005 (4) (5) (6) 122.180 112.462 125.363 71.820 88.530 83.130 33.411 35.024 34.830 25.187 26.152 25.600 21.527 22.082 22.716 17.198 18.011 17.360 10.788 10.730 9.570 75.394 78.798 81.918 377.505 391.789 400.487
2005/ 2006 (7) 126.414 91.040 34.959 28.758 22.000 18.200 10.440 83.642 415.453
.id
2001/ 2002 (3) 124.306 93.340 32.960 24.310 21.036 17.499 10.440 75.242 399.133
2006/ 2007 (8) 128.000 91.000 35.088 29.100 22.536 18.250 10.500 82.049 41.523
.b p
(1) RR Cina India Indones ia Banglades h V ietnam Thailand Birma Negara Lain Total Dunia (USDA , 2006)
2000/ 2001 (2) 131.536 84.980 32.960 25.086 20.473 17.057 10.771 75.823 398.686
s. go
Ne gar a
ht
tp :// w
w
w
Provinsi dengan jumlah produksi padi tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat, kemudian diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah. Provinsi lainnya dengan jumlah produksi padi di atas satu juta ton per tahun adalah Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, NAD, NTB, Banten, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Jumlah produksi padi nasional pada tahun 2008 diperkirakan mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan luas areal penanaman, serta adanya peningkatan rata-rata produktivitas lahan padi nasional dari 47,05 kuintal/ha pada tahun 2007 menjadi 47,38 kuntal/ha pada tahun 2008 (Tabel 2-5). Pada Lampiran I-1 diperlihatkan beberapa foto gambaran umum agribisnis padi hasil dokumentasi kunjungan tim kerjasama IPBBPS di daerah sentra produksi beras utama wilayah Pantai Utara Jawa Barat (Kabupaten Subang dan Indramayu) pada bulan Juli 2008.
24
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
T abel 2-5. V olum e produksi beras per propinsi tahun 2006-2008 (ton) P ropinsi
2006
2007
(1) N anggroe A ceh D.
(2) 1.350.748
(3) 1.526.979
(4) 1.594.253
S umatera U tara S umatera Barat
3.007.636 1.889.489
3.257.823 1.938.120
3.379.461 1.957.208
429.380 544.597
491.636 586.630
486.734 598.805
S umatera Selatan B engkulu
2.456.251 378.377
2.753.044 470.377
2.815.904 435.596
Lampung B angka Belitung
2.129.914 16.506
2.299.772 24.390
2.301.500 24.765
Riau K epulauan D.K.I. Jakarta
332 6.197
346 8.002
365 8.421
9.418.572 8.729.291
9.914.019 8.616.855
10.046.877 9.138.383
708.163 9.346.947
709.294 9.402.029
726.955 9.441.176
1.751.468 840.891
1.816.140 839.775
1.838.363 822.343
N usa Tenggara B arat N usa Tenggara Timur
1.552.627 511.911
1.526.347 504.577
1.542.788 530.431
K alimantan Barat K alimantan Tengah
1.107.661 491.712
1.225.259 560.766
1.337.213 500.155
K alimantan Selatan K alimantan Timur
1.636.840 541.171
1.950.656 561.979
1.958.449 572.670
454.902 739.777
494.95 839.944
506.107 849.907
3.365.509 349.429
3.589.740 423.316
3.697.990 420.411
192.583 301.616
195.901 312.676
201.443 321.002
M aluku M aluku U tara
49.833 59.215
57.132 49.856
62.303 42.866
P apua B arat P apua
27.073 68.319
21.671 81.678
23.032 84.920
54.454.937
57.051.679
58.268.796
.id
R iau Jambi
s. go
Jaw a Barat Jaw a Tengah
.b p
D.I. Y ogy akarta Jaw a Timur
tp :// w
w
w
B anten B ali
ht
S ulaw esi U tara S ulaw esi Tengah S ulaw esi S elatan S ulaw esi Tenggara G orontalo S ulaw esi B arat
Indonesia
2008*
(BPS, 2008)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
25
Komoditas Beras
.id
Volume konsumsi beras di Indonesia cukup tinggi dengan angka konsumsi beras per kapita berkisar antara 110-139 kg per tahun. Indonesia merupakan konsumen beras ke tiga besar dunia setelah RR Cina dan India. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir hingga periode 2006/2007, konsumsi beras Indonesia cukup stabil di level 36 juta MT. Sampai periode 2006/2007 walaupun tingkat konsumsi beras cukup stabil, kejadian impor beras kadang-kadang masih diperlukan untuk menutupi kekurangan pasokan beras dalam negeri yang tidak mencukupi. Kondisi konsumsi beras nasional dan dunia hingga periode 2006/2007 dperlihatkan pada (Tabel 2-6).
s. go
T abel 2-6. Volume konsumsi beras di dunia, periode 2000/2001-2006/2007 Volume Konsumsi (000 MT ) 2002/ 2003
2003/ 2004
(3) 25.553
(4) 26.100
B irma RR C ina
9.700 134.300
9.900 136.500
India Indonesia
75.960 35.877
Filipina V ietnam
2005/ 2006
2006/ 2007
(6) 26.900
(7) 29.000
(8) 29.750
10.100 135.700
10.200 132.100
10.300 130.300
10.400 128.000
10.500 127.800
87.611 36.382
79.860 36.500
85.630 36.000
80.743 35.850
85.220 35.800
87.500 35.800
8.750 16.500
9.040 17.000
9.550 17.500
10.250 17.850
10.400 18.000
11.000 18.250
11.250 18.500
86.219 392.264
89.110 411.096
89.590 404.900
91.663 410.393
93.174 405.667
94.162 411.832
95.186 416.286
ht
N egara Lain Total Dunia
2004/ 2005
(5) 26.700
w
w
(2) 24.958
tp :// w
(1) B angladesh
2001/ 2002
.b p
Negara
2000/ 2001
Sum ber :USD A , 2006
2.2.3. Pengembangan Produk Olahan Beras Manfaat utama dari tanaman padi terdapat pada beras sebagai sumber karbohidrat pangan. Walupun demikian berbagai bagian tanaman padi memiliki manfaat dan dapat menghasilkan nilai tambah dari beragam produk olahan yang
26
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
.id
dihasilkannya. Untuk penyediaan pangan, produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku beras meliputi beraneka ragam jenis beras dengan fungsi tambahan, produk olahan untuk konsumsi langsung seperti kue basah dan kering, tepung beras yang digunakan oleh industri lain maupun untuk memproduksi pangan olahan, serta pati. Sebagai penyedia bahan baku pakan, bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan adalah jerami dan dedak. Sekam yang diperoleh dari pengolahan gabah dapat digunakan sebagai bahan bakar maupun karbon aktif. Skema pemanfaatan bagian tanaman padi diperlihatkan pada pohon industri padi di bawah ini (Gambar 2-1).
s. go
Gambar 2-1. Pohon Industri Padi (Deptan, 2005) Beras Kepala Beras Giling Berkualitas Beras Aritmatik Beras Instan Beras Kristal
Pangan Fungsional
-
Beras Yodium Beras IG Rendah Beras Nutrisi Tinggi Beras Berlembaga Beras Fe Tinggi
Penganan
- Kue Basah - Kue Kering
w
.b p
-
- Beras - Menir
ht
Padi
tp :// w
w
Jerami
- Kompos - Pakan/Silase - Bahan Bakar - Media Jamur - Kertas - Papan Partikel
Pangan Pokok
Tepung Bahan Baku Industri
Beras Pecah Kulit
Gabah
Pati
Dedak
Sekam
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
-
-
Tepung BKP Tepung Instan Industri Tekstil Pangan Olahan
- Pangan Olahan - Modified Starch - Gum/Perekat
- Pakan - Pangan Serat - Minyak
Arang Sekam Abu Gosok Bahan Bakar Silikat Karbon Aktif
27
Komoditas Beras
2.2.4. Kondisi Ekspor-Impor Beras
w
.b p
s. go
.id
Konsumsi beras meluas hingga ke seluruh dunia, baik di negara-negara yang mengkonsumsi beras sebagai pangan utama, maupun di negara-negara yang menjadikan beras sebagai bahan pangan sekunder. Pada akhir tahun 2006, volume beras impor dunia mencapai 26 juta MT, dengan negara-negara pengimpor beras utama adalah Filipina (6,7 persen), Nigeria (6,1 persen), Irak (4,6 persen), Saudi Arabia (3,8 persen), Iran (3,4 persen), Malaysia (3,2 persen), Senegal (3,2 persen), Afrika Selatan (3,1 persen), Cote d’Ivoire (3,1 persen), RR Cina (3,1 persen), Brazil (2,9 persen), dan Kuba (2,7 persen). Kenaikan volume impor beras dunia, yang rata-rata mencapai 3 persen per tahun, telah menunjukkan adanya peningkatan permintaan akan beras yang harus diantisipasi, mengingat peningkatan volume produksi beras dunia hanya mampu mencapai satu persen per tahun (Tabel 2-7).
w
T abel 2-7. V olum e im por beras di dunia, periode 2000/2001-2006/2007
2001/
2001
2002
2003
2005
2005/
2006/
2006
2007
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
1.200 1.906
1.500 1.897
1.290 1.448
1.500 1.369
1.900 1.777
1.750 1.600
Irak S audi Arabia
959 992
1.178 1.053
672 938
889 1.150
786 1.500
1.200 1.357
1.200 1.000
Iran M alay sia
765 596
964 633
900 480
950 500
983 700
1.200 850
900 850
S enegal A frika Selatan
735 523
916 572
875 800
825 725
1.225 818
750 850
850 800
C ote d'Iv oire RR C ina
496 270
700 304
700 258
850 1.122
743 609
800 700
800 800
B razil K uba
654 481
625 538
1.117 371
813 639
550 736
600 600
750 700
12.718 21.849
15.396 25.985
15.682 26.190
13.629 24.830
14.786 26.305
14.135 26.719
14.158 26.158
N egara Lain Total Dunia
(2)
2004
1.410 1.250
Filipina N igeria
ht
(1)
2000/
tp :// w
Negara
Volum e Impor (000 MT ) 2002/ 2003/ 2004/
(U S DA , 2006)
28
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
s. go
.id
Total ekspor beras dunia pada periode tahun 2006/2007 mencapai 28 juta MT. Negara-negara utama pengekspor beras adalah Thailand (29,3%), Amerika Serikat (10,9%), India (15,3%), Pakistan (10,3%), dan RR Cina (3,5%). Rata-rata pertumbuhan ekspor beras dunia dari periode 2000/2001 hingga periode 2006/2007 adalah sekitar 2,7% per tahun. Tingkat pertumbuhan ekspor tersebut lebih rendah dari tingkat perumbuhan impor beras. Dengan demikian, tampak bahwa distribusi beras dari daerah-daerah surplus beras menuju daerah-daerah defisit, serta volume persediaan akhir menjadi kunci dari pemenuhan kebutuhan konsumsi beras dunia secara optimal. Kondisi ekspor beras dunia periode 2000/2001 hingga 2006/2007 diperlihatkan pada Tabel 2-8.
.b p
T abel2I-8. Volum e ekspor beras di dunia, periode 2000/2001-2006/2007 Volume Ekspor (000 MT )
Negara
w
(3) 1.963
(4) 2.583
(5) 880
(6) 656
(7) 1.100
(8) 1.000
1.685 2.429
6.300 1.628
5.440 1.992
3.100 1.868
4.687 2.801
3.800 2.900
4.300 2.900
7.521 2.590
7.245 2.954
7.552 3.860
10.137 3.310
7.274 3.496
7.300 3.689
8.250 3.080
8.045 24.117
6.792 26.882
7.233 28.660
8.059 27.354
9.464 28.378
9.113 27.902
8.605 28.135
ht
Thailand U nited States
w
India P akistan
(2) 1.847
tp :// w
(1) RR C ina
2000/ 2001 2001/ 2002 2002/ 2003 2003/ 2004 2004/ 2005 2005/ 2006 2006/ 2007
N egara Lain Total Dunia
(U SDA, 2006)
Indonesia sebagai negara penghasil beras terbesar ke tiga dunia kadang-kadang masih mengalami kekurangan beras untuk memenuhi seluruh kebutuhan konsumsi beras di dalam negerinya sehingga impor beras kadang-kadang perlu dilakukan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Deptan (2007), jumlah impor beras Indonesia mengalami tren penurunan. Selama tahun 2003-2006 tingkat impor beras Indonesia menurun dengan rata-rata 33,6 persen per tahun. Hal tersebut merupakan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
29
Komoditas Beras
kondisi yang cukup menggembirakan karena terdapat kecenderungan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap beras impor mulai berkurang. Pada periode Januari-September volume impor beras meningkat sekitar 64,2 persen dari tahun 2005 pada periode bulan yang sama, namun hal tersebut disebabkan oleh bencana yang mengakibatkan tingginya tingkat kegagalan panen padi.
s. go
.id
Walaupun produksi beras dalam negeri belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri, terdapat juga beras yang diekspor dari Indonesia. Kondisi perkembangan ekspor produk beras dari tahun 2003-2006 secara keseluruhan mengalami fluktuasi pertumbuhan yang cenderung menurun.
.b p
T abel 2-9. Perkembangan ekspor impor beras Indonesia tahun 2003-2007
V olume (ton) N ilai (1000 U S D) 2004 V olume (ton)
Ekspor
Beras
(4)
(5)
w
T otal
tp :// w
2003
(2)
1.428.506 291.423
ht
(1)
Beras
Beras O lahan (3)
w
Impor Rincian
236.867
N ilai (1000 U S D) 2005
61.753
V olume (ton) N ilai (1000 U S D)
189.617 51.499
Beras O lahan (6)
T otal (7)
9.251 1.437.757 3.187 294.610
676 319
559 401
1.234 721
9.390 246.256
904
3.588
4.493
3.195
64.948
457
1.006
1.462
5.398 195.015 2.254 53.753
42.286 8.658
2.628 430
44.914 9.087
4.584 122.183
2006* V olume (ton)
117.599
N ilai (1000 U S D) 2007*
31.683
V olume (ton) N ilai (1000 U S D)
199.124 57.301
42.209
2.573
44.782
33.448
8.602
412
9.014
1.516 200.640 1.167 58.468
840 448
167 65
1.006 513
1.765
Keterangan : *) Data k um ulatif s am pai dengan bulan Septem ber (Deptan, 2007)
30
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
Jumlah dan nilai ekspor-impor beras Indonesia tahun 2003 hingga periode Januari-September 2007 diperlihatkan pada Tabel 2-9.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Mengurangi tingkat impor beras merupakan hal yang sangat penting saat ini. Ketergantungan bahan pangan impor yang tinggi menjadi sangat membahayakan ketahanan pangan Indonesia, terutama dengan munculnya isu lingkungan bisnis yang semakin kompleks dan perdagangan global seperti yang sedang terjadi saat ini. Setelah terjadinya kenaikkan harga minyak bumi dunia hingga di atas USD 100 per barrel sejak awal tahun 2008, semakin banyak negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Inggris, dan Italia yang melakukan investasi besar-besaran pada industri yang mengkonversi bahan pangan berbasis karbohidrat atau gula menjadi bahan bakar nabati. Konversi berbagai komoditas bahan pangan berbasis karbohidrat atau gula (terutama jagung, gandum, dan gula tebu di negara-negara maju; serta ubi kayu dan ubi jalar serta beras stok lama di Asia (RR Cina, dan Thailand) telah menyebabkan terjadinya persaingan yang sangat sengit antara penggunaan komoditas-komoditas yang kaya karbohidrat dan gula tersebut menjadi pangan atau bioetanol, selain menjadi pakan. Kondisi tersebut kemudian memacu kenaikan harga komoditas tanaman pangan utama dunia. Khusus untuk komoditas beras, harga beras berkualitas sedang (misalnya Thai 5 % broken), yang mencapai USD 500 per ton pada Maret 2008, (yang meningkat harganya mencapai 96 % sejak Maret 2007 setahun lalu), pada akhir Maret 2008 meningkat lagi mencapai USD 550 per ton (FOB). Bahkan harga beras dunia pada akhir minggu pertama April 2008 dilaporkan mencapai USD 745 per ton (C $ F) di Filipina, karena stok beras dalam pasar global hampir tidak tersedia, mengingat seluruh produsen besar dan eksportir terbesar beras dunia, yakni Thailand dan Vietnam
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
31
Komoditas Beras
.id
melakukan kebijakan menahan berasnya untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya masing-masing (Gumbira-Sa’id, 2008). Selain itu negara-negara lainnya yang biasanya ikut menyumbang pada sediaan atau stok perdagangan beras di pasar global seperti Myanmar, Amerika Serikat, Australia, Laos dan dalam batas-batas tertentu RR Cina juga ikut menahan sediaan berasnya dalam upaya mengantisipasi kelangkaan beras dan peningkatan harga beras di negaranya masingmasing. Dengan demikian, saat ini secara praktis hampir tidak ada stok beras yang tersedia di pasar global walaupun untuk kesediaan harga pembelian yang mahal.
s. go
2.3. Permasalahan Dan Tantangan Perberasan Nasional
2.3.1. a.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Dalam bahasan di bawah ini dikemukakan beragam permasalahan maupun tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan agribisnis beras nasional. Permasalahan maupun tantangan tersebut dikelompokkan ke dalam dua kelompok permasalahan, yaitu kelompok permasalahan produksi padi/beras serta kelompok permasalahan distribusi dan pemasaran beras. Permasalahan Dalam Produksi Beras
Penurunan luas areal penanaman padi
Permasalahan perberasan utama, yang selalu mengancam ketahanan pangan Indonesia adalah terjadinya penurunan luas lahan penanaman padi akibat terjadinya konversi lahan sawah yang produktif untuk penggunaan lainnya seperti areal pemukiman, industri, atau kawasan perdagangan. Walaupun terdapat intensifikasi produksi padi seperti penggunaan varietas unggul, namun akibat disertai adanya penyusutan areal
32
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
persawahan, kenaikan produksi beras nasional yang terjadi selama ini tidak menunjukkan adanya kenaikan yang nyata walaupun saat ini Indonesia merupakan produsen beras terbanyak di Asia Tenggara (bahkan di atas produksi dua negara eksportir beras utama dunia, yaitu Thailand dan Vietnam), dengan luas areal padi yang terbatas dan jumlah konsumen masyarakat yang sangat banyak, indeks luas panen perkapita Indonesia rendah, yaitu 531 m2/kapita (Tabel 2-10).
T abel 2-10. Luas Panen P adi dan Jumlah P enduduk Negara-negara di Asia T enggara,
(ribuan ton)
(ribuan)
692 6.000
P hilippina Thailand
3.978 10.000
V ietnam Indonesia
7.650 11.352
(5) 11 2
22.000 46.694
315 1.285
68 72
77.000 62.628
516 1.606
89 68
82.354 217.000
929 531
80 77
ht
(S umarno, 2006)
ditanam Varietas Unggul
(4) 1.783 1.391
.b p
M alay sia M y anmar
2
(M /kapita)
% Areal yang
(3) 1.000 5.163
w
(2) 1.961 718
tp :// w
(1) K amboja Laos
Indeks luas panen per kapita
s. go
Jumlah P enduduk
w
Negara
Luas P anen Padi
.id
T ahun 2002
b.
Tingkat produksi dan produktivitas gabah yang dihasilkan petani, masih relatif rendah.
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat produksi dan produktivitas gabah petani. • Terdapatnya kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan untuk alat dan mesin budidaya padi maupun produksi gabah. Sebagai contoh di Jawa Barat, secara berturut-turut kekurangan terbanyak adalah untuk mesin pengering, perontok, hand tractor, pompa air dan pengilingan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
33
Komoditas Beras
padi. Perbedaan lokasi dan agroekosistem menyebabkan keperluan alsintan di suatu daerah berbeda dengan daerah lainnya, sehingga penetapan alokasi bantuan peralatan dan mesin perlu dilakukan dengan cermat.
w
.b p
s. go
.id
• Ditinjau dari aspek teknologi pengelolaan lahan, kegiatan budidaya padi pada umumnya di Indonesia memiliki kelemahan karena masih menggunakan teknologi konvensional. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indraningsih et al. (2005), teknologi padi yang dibutuhkan oleh petani seyogyanya memenuhi sifat-sifa teknis (mudah diterapkan sesuai dengan kondisi lahan, ketersediaan air dan iklim), ekonomis (menguntungkan, mampu meningkatkan volume produksi, serta menghemat penggunaan tenaga kerja), ramah lingkungan, serta berkelanjutan (tahan terhadap hama dan penyakit, perubahan cuaca, dan memiliki produktivitas yang tinggi).
ht
tp :// w
w
• Ketersediaan input budidaya atau produksi padi di saat yang tepat sering tidak tercapai. Salah satu isu ketersediaan input budidaya atau produksi padi yang sering diberitakan adalah kelangkaan pupuk pada musim tanam. • Belum semua petani menggunakan varietas unggul. Pada umumnya bibit padi yang digunakan petani di Indonesia adalah padi varietas IR. Dibandingkan dengan beberapa negara produsen dan eksportir beras dunia seperti Thailand, Vietnam dan RR Cina, produktivitas padi Indonesia sama baiknya dengan produktivitas padi di Vietnam, bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan Thailand. Meskipun demikian produktivitas padi Indonesia masih lebih rendah dari produktivitas padi RR Cina (Tabel 2-11). salah satu penyebab tingginya prodktivitas padi di RR Cina adalah keberhasilan komersialisasi penggunaan bibit padi hibrida
34
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
Tab el 2-11. Perban dingan Pertumb uh an Pro du ktivitas Padi di I nd on esia, RR Cin a, Th ailand dan Vietn am Perio de
RR Cin a
Pro du ktivitas (ton /h a) Thailan d Vietnam
I n do nesia
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1961-1970 1971-1980 1981-1990 1991-2000 2001-2004
2,89 3,66 5,21 6,06 6,19
1,81 1,84 2,03 2,37 2,66
1,93 2,1 2,77 3,71 4,58
1,91 2,74 3,96 4,34 4,48
(F AO, 2004)
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
oleh para petani lokal. Hingga saat ini teknologi benih padi masih terus dikembangkan di Indonesia. Sejumlah varietas lokal padi unggul telah dihasilkan oleh BALITPA (BALITPA, 2003) yang karakteristik varietas padi dikembangkan sesuai dengan kondisi lahan, dan produktivitasnya cukup tinggi berkisar antara 5-9 ton. Varietas padi unggul yang dihasilkan oleh BALITPA terdiri dari empat kelompok yaitu 1) kelompok padi sawah (varietas Cibodas, Ciherang, Cisantana, Cimelati, Cigeulis, Cibogo, Fatmawati, dan lainnya); 2) kelompok padi hibrida (untuk lahan di luar jawa yaitu Maro dan Rokan); 3) kelompok padi gogo (varietas Situ Patenggang, Situ Bagendit, dan lainnya); dan 4) kelompok padi rawa pasang surut (untuk lahan di luar Jawa, yaitu varietas Banyuasin, Batanghari dan Siak Raya). Meskipun demikian, aspek komersialisasi atau pengenalan hasil pengembangan varietas padi lokal baru tersebut seogyanya semakin ditingkatkan sehingga selain para petani dapat dirangsang menggunakan bibit padi lokal yang unggul untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi, karakteristik mutunya pun diharapkan dapat menjadi lebih baik.
• Harga pupuk yang tinggi terutama serta sering terjadinya kelangkaan pupuk menyebabkan petani menggunakan takaran pupuk di bawah takaran yang dianjurkan. Bila ditelaah
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
35
Komoditas Beras
Tabel 2-12. Volume Penggunaan Pupuk Kimia Untuk Budidaya Padi per S atuan Luas Lahan.
No
W ilayah
Volume Penggunaan (kg/ha/tahun)
No
W ilayah
Volume Penggunaan (kg/ha/tahun)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
417.67 352.31 464.53 323.33 465.43
B
Luar Jawa Sumatera Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Indonesia*
185.32 198.5 228.06 81.38 202.84 300.22
A
Jawa Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
.id
Sum ber : BPS (2003) * tidak term asuk w ilay ah DKI Jakarta, M aluku, dan Irian Jay a
.b p
s. go
dari penggunaan pupuk untuk budidaya sawah di daerah, penggunaan pupuk di pulau Jawa lebih intensif digunakan daripada di wilayah lainnya (Tabel 2-12).
ht
tp :// w
w
w
• Kemampuan petani dalam mengidentifikasi dan mengendalikan hama dan penyakit tanaman masih rendah • Infrastruktur irigasi di Pulau Jawa relatif cukup tersedia, meskipun demikian saluran tersier kurang terpelihara dan saluran cacing banyak yang hilang. Dalam hal penggunaan air irigasi, terdapat pemborosan dimana pengairan dilakukan secara terus menerus padahal hasil yang sama dapat diperoleh dengan pengairan secara berselang. • Kelembagaan petani khususnya kelompok tani makin lemah karena pembinaan dan konsolidasi anggota lemah. Kondisi tersebut menyebabkan jarang ditemukan kelompok tani yang mampu melayani kebutuhan saprodi serta alsintan bagi anggotanya. Kelembagaan KUD banyak yang mengalami kebangkrutan sejak subsidi pupuk dihapus dan distribusi pupuk diserahkan ke mekanisme pasar bebas, kecuali kelembagaan KUD yang sebelumnya telah melakukan diversifikasi usaha.
36
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
s. go
.id
• Kondisi sumberdaya manusia Kondisi sumberdaya manusia di lahan on-farm ditunjukkan melalui kondisi petani padi. Dengan kualitas sumberdaya manusia yang rendah (tidak memiliki pengetahuan, keahlian dan tingkat pendidikan yang memadai), petani mengalami kesulitan dalam mengatasi permasalahan keterbatasan aksesnya terhadap sumber-sumber pembiayaan operasi produksi maupun peningkatan produktivitas lahan melalui penggunaan teknologi tepat guna (misalnya teknologi benih teknologi panen, dan teknologi pasca panen) (TPKPN, 2001). Dengan demikian, keberadaan tenaga-tenaga penyuluh pertanian menjadi sangat penting dalam menjalankan fungsinya sebagai agen penyebar informasi budidaya padi.
ht
tp :// w
w
w
.b p
• Sebagian besar petani di Indonesia adalah petani gurem (56,5 % dari 25,4 juta keluarga petani), dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 Ha (BPS, 2003). Petani-petani tersebut sulit mencapai nilai ekonomis produksi karena biaya yang dikeluarkan cukup tinggi bila dibandingkan dengan keuntungan yang diperolehnya. Agar memperoleh keuntungan dalam budidaya padi, petani minimal harus memiliki lahan satu Ha. Sekitar 60 % dari petani Indonesia termasuk kategori miskin (pendapatan di bawah $US 2 per hari). Biaya produksi yang tinggi dengan sulitnya akses petani terhadap suberdaya permodalan menyebabkan tingginya penjualan lahan yang kemudian dikonversi untuk penggunaan non pertanian. Banyak petani bermigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan baru dan terjadi penurunan tenaga kerja petani di sentra produksi padi. • Tingginya tingkat bencana seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan yang dipengaruhi perubahan kondisi iklim dan cuaca yang kini menjadi sulit diprediksikan berpotensi menggangu dan menurunkan produksi serta produktivitas padi.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
37
Komoditas Beras
c. Mutu beras yang dihasilkan bervariasi dan standar beras berkualitas sangat jarang dihasilkan
s. go
.id
Saat ini belum ada pelaksanaan keterkaitan antara proses Good Agricultural Practices (GAP), Good Post-Harvesting Practices (GPHP) dan Good Manufacturing Practices (GMP). Proses GAP masih ditangani petani secara manual, GPHP ditangani kelompok pemanen gabungan cara manual dan pengguna power thresher, dan proses GMP ditangani industri pengolahan swasta yang sebagian belum mampu menghasilkan beras berkualitas. Akibatnya tidak ada jaminan mutu dan harga gabah bagi petani, dan harga beras yang diterima penggilingan swasta murah.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Keberhasilan memproduksi beras yang bermutu tinggi sangat ditentukan oleh proses penanganan dan pengeringan gabah di lahan. Fakta adanya peningkatan persentase gabah yang ditolak di gudang Bulog akibat mutu gabah yang masih rendah diduga dipengaruhi oleh teknologi pengeringan di level petani/KUD yang masih dilakukan secara tradisional. Hanya beberapa daerah saja yang telah menggunakan mesin perontok (power tresher), pengering mekanis, lini penggilingan gabah dan silo untuk penyimpanan. Buruknya penanganan lepas panen padi mengakibatkan mutu beras yang dihasilkan menjadi rendah.
Sebagai gambaran pada tahun 2002 yang lalu jumlah fasilitas penggilingan padi di Indonesia mencapai 110.611 unit, terdiri dari penggilingan padi besar, penggilingan padi kecil, rice milling unit (RMU), penggilingan padi Engelberg, huller dan penyosoh (Patiwiri, 2004). Sekitar 32,25 persen dari jumlah tersebut merupakan fasilitas penggilingan padi berskala kecil, sedangkan 34,43 persen didirikan dalam bentuk unit-unit penggilingan padi (rice milling unit) (Tabel 2-13).
38
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
T abel 2-13. T eknologi P enggilingan Gabah Menjadi Beras yang Um um Digunakan di Beberapa Daerah di Indonesia Jen is Pen g g ilin g an Pad i (U n it) Pen g g ilin g an Pen g g ilin g an R ice M illin g
W ilayah
(1)
Pad i B esar
Pad i kecil
(2)
(3)
U n it (R M U ) (4)
Pen g g ilin g an Pad i En g elb erg (5)
H u ller
Pen yo so h
M asyarakat (p o lish er )
Ju m lah
(6)
(7)
Sum atera
1 291
5 047
12 318
391
1842
1 614
22 503
(8)
Jaw a
2 739
28 112
11 056
129
10 049
9 440
61 525
Bali dan N usa T enggara
353
632
2 818
3
235
525
4 566
Kalim antan
205
3 051
1 634
1 107
834
800
7 631
Sulaw esi
423
2 022
10 155
878
361
284
14 123
148
115
5 011
39 012
28 096
2 508
13 321
12 663
110 611
12.04
11.44
100
M aluku dan Irian T otal Persentas e
4.53
35.25
34.43
263 2.26
.id
Sum ber: Dinas Pertanian T anam an Pangan Propinsi dalam Patiw iri (2004)
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Patiwiri (2004) melaporkan bahwa penggilingan padi berskala besar pada umumnya memiliki beberapa jenis mesin pengolahan, yang terdiri dari mesin pemecah gabah (husker), ayakan sederhana dan penyosoh, yang pemindahan bahannya dari satu unit ke unit pengolahan berikutnya masih memanfaatkan tenaga manusia. Di lain pihak, fasilitas RMU di Indonesia telah memanfaatkan teknologi yang masih lebih baik dibandingkan dengan penggilingan padi berskala kecil, karena penanganan aliran produksinya telah dilakukan oleh tenaga mesin, meskipun kapasitasnya masih rendah atau prosesnya masih sederhana. Berdasarkan kondisi tersebut kinerja proses pengolahan gabah, dalam hal ini dititikberatkan pada proses pengeringan, seyogyanya mulai diperbaiki dengan memanfaatkan teknologi pengeringan mekanis sejak level petani. d.
Lemahnya data-rata riil terbaru yang dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan dalam menangani permasalahan perberasan
Indonesia masih belum memiliki angka konsumsi beras per kapita yang riil, karena selama ini angka yang digunakan berkisar antara 110 kg – 139 kg per kapita per tahun. Dengan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
39
Komoditas Beras
kisaran angka-angka di atas, maka kebutuhan konsumsi beras nasional berarti berada diantara 31– 32 juta ton setara beras, bila jumlah populasi Indonesia dianggap 220 juta jiwa. Taksiran angka-angka di atas sangat tidak dapat diandalkan karena data yang diperoleh dari Survei Ekonomi Nasional dianggap kurang akurat, karena sering melenceng dari kebutuhan yang sesungguhnya.
Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang tinggi
tp :// w
e.
w
w
.b p
s. go
.id
Selain data kebutuhan untuk konsumsi beras, data untuk kebutuhan benih padi, susut gabah dan beras, dan berbagai kegunaan lain yang sejak lama ditetapkan 10 – 12 %, kemungkinan sudah tidak akurat lagi, sehingga semakin sulit meramalkan kebutuhan nasional untuk konsumsi beras dan benih padi yang akurat (Arifin, 2008). Dengan demikian, diperlukan suatu pengkajian rantai pasok beras yang komprehensif, yang dapat memperbaharui dan menyempurnakan semua angka kebutuhan dan konversi padiberas yang lebih akurat dan terkini statusnya
ht
Saat ini pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih didominasi dari sumber pangan nabati terutama beras. Pengeluaran masyarakat untuk beras mencapai 25% dari total pendapatan rumah tangga. Dengan peningkatan penduduk Indonesia sekitar 1,34% pertahun, maka terdapat peningkatan konsumsi beras yang cukup signifikan. Hal tersebut merupakan tantangan yang semakin berat bagi pemerintah untuk mencukupi ketersediaan pangan seluruh penduduknya.
40
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
2.3.2. Permasalahan Distribusi dan Perdagangan Beras a. Masalah fluktuasi harga beras
w
w
.b p
s. go
.id
Terdapat beragam faktor yang memengaruhi fluktuasi harga beras dalam negeri yaitu pengaruh musim, ketidaklancaran pasokan beras dalam negeri, serta harga beras dunia. • Fluktuasi harga beras domestik akibat pengaruh perubahan musim. Pada musim panen raya (Februari-April) yang mencapai 60-65% produksi nasional, harga gabah/beras akan merosot oleh mekanisme pasar dan merugikan petani. Sebaliknya harga musim paceklik (Oktober-Januari) harga beras akan melonjak dan sangat menyusahkan konsumen. Fluktuasi harga beras di dalam negeri juga dipengaruhi oleh adanya jurang perbedaan (gap) antara harga dasar pembelian gabah pemerintah dengan harga yang ada di tingkat petani (Soekartawi, 2006).
ht
tp :// w
• Fluktuasi harga beras domestik akibat harga beras dunia. Beras yang diperdagangkan pada perdagangan internasional hanya berkisar antara 7 % - 10 % dari total produksi - konsumsi beras global sehingga harga beras internasional sangat mudah bergejolak. Dengan adanya impor beras maka gejolak harga beras internasional ikut berpengaruh pada timbulnya resiko ketidakpastian harga yang khususnya sangat berpengaruh terhadap kemandulan ketetapan harga dasar dan penurunan produksi beras oleh petani (Gumbira-Sa’id, 2008). • Fluktuasi harga beras akibat tidak teraturnya pasokan beras domestik. Dengan tidak teraturnya pasokan beras, pedagang mengalami kesulitan menentukan harga jual atau menaksir
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
41
Komoditas Beras
keuntungan. Dalam mengatasi kekurangan pasokan, para pedagang biasanya mengambil sikap diam selama menunggu kembali lancarnya pasokan beras nasional. Pada saat tersebut harga beras dapat meningkat tinggi. Untuk mencapai keseimbangan semula biasanya dilakukan pengimporan beras, khususnya untuk iron stock (Soekartawi, 2006). b Kebijakan impor beras yang dikeluarkan pemerintah selalu bersamaan (atau hampir bersamaan) dengan saat panen raya
w
.b p
s. go
.id
Kebijakan di atas sangat sering menyulitkan semua pelaku agribisnis, sehingga kebiasaan yang tidak kondusif tersebut harus dihilangkan. Dengan demikian prognosa hasil produksi nasional dan kebutuhan beras masyarakat harus dapat dihitung secara akurat, sehingga pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat dan tidak menyusahkan pihak manapun.
tp :// w
w
c. Masalah yang berkaitan dengan kebijakan tarif, kredit dan sistem persediaan beras
ht
Masalah tersebut hampir selalu menjadi permasalahan nasional yang terus menerus terjadi setiap tahun, sehingga diperlukan pengkajian nasional yang komprehensif dan mampu menjawab ketiga permasalahan di atas dengan baik. Peranan Wakil Presiden dan Menteri Koordinator Ekonomi sangat penting dalam menyelesaikan ketiga permasalahan di atas. d. Adanya penyelundupan beras yang hampir terjadi setiap tahun Adanya penyelundupan beras merupakan masalah yang serius, apalagi bila hal tersebut terjadi pada saat terjadinya kelangkaan pasokan di dalam negeri. Oleh karena itu
42
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
pemerintah melalui satuan tugas pertahanan dan keamanan serta Departemen Perdagangan wajib melakukan pemantauan dan pengamanan beras dari penyelundupan ke luar negeri. e. Kendala dalam distribusi pasokan beras dalam negeri.
s. go
.id
Sekitar 60% lebih beras diproduksi di wilayah Jawa. Untuk memenuhi kebutuhan beras nasional khususnya bagi wilayah luar Jawa yang mengalami kekurangan pasokan beras, kondisi tersebut merupakan masalah karena saluran distribusi panjang dan biaya distribusi yang tinggi mempengaruhi harga jual dalam pemasaran beras yang juga akan tinggi di wilayah yang kekurangan.
.b p
f. Panjangnya rantai pemasaran beras dan kerugian di pihak petani dalam sistem pemasaran beras
ht
tp :// w
w
w
Berkaitan dengan pola pemasaran gabah dan beras, hingga saat ini pola pemasaran gabah dan beras di tingkat petani tidak mengalami perubahan yang berarti bila dibandingkan dengan periode perdagangan beras harga terkendali (periode orde baru). Kesamaan pada periode tersebut adalah rentannya posisi tawar petani dalam menjual gabah dan beras. Terdapat beberapa kebiasaan yang tidak tepat di kalangan petani khususnya dalam penyimpanan padi yang menyebabkan kerugian petani dalam struktur perdagangan beras domestik. Sebagian petani langsung menjual seluruh hasil panennya dan memberi dalam bentuk beras atau menyimpan sebagian hasil panen, sedangkan sebagian lagi dijual atau dikonsumsi sendiri seluruhnya. Pola penyimpanan gabah petani dipengaruhi oleh tingkat harga gabah yang berlaku di pasaran, kemampuan penanganan pasca panen yang rendah dan kebutuhan uang kontan untuk keperluan sehari-hari termasuh untuk membiayai usaha taninya.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
43
Komoditas Beras
.id
Pada perdagangan beras periode harga terkendali, stabilitas harga beras merupakan kebijakan utama. Untuk mengatasi fluktuasi harga beras, berbagai instrumen kebijakan digunakan untuk mengamankan harga gabah dan beras. Di tingkat usaha tani, kebijakan terpenting adalah subsidi harga output (jaminan harga dasar), subsidi harga input (benih, pupuk, pestisida) dan subsidi bunga kredit usaha tani. Di tingkat pasar kebijakan dilaksanakan berupa manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan kredit likuiditas Bank Indonesia untuk operasionalisasi pengadaan beras oleh Bulog, kredit pengadaan pangan bagi koperasi (KUD) dan operasi pasar oleh Bulog saat harga beras tinggi.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Dalam periode perdagangan beras pasar bebas, pola pemasaran beras tidak berubah secara signifikan. Menurut Natawidjaja (2001) dan Rusastra et al. dalam Mardianto et al. (2005) kebiasaan petani untuk menjual gabahnya secara tebasan atau melalui pedagang pengumpul masih tetap berlangsung. Kelembagaan pemasaran yang diharapkan lebih efisien pada periode pasar bebas tidak terjadi. Jalur pemasaran gabah dan beras tetap panjang seperti pada periode pasar terkendali hanya saja peran KUD dan Bulog semakin berkurang. Hasil studi awal Mardianto et al. (2005) menyatakan bahwa tingkat perdagangan gabah terdiri dari pedagang desa, pedagang tingkat kecamatan, pedagang tingkat kebupaten, pedagang besar yang akan memproses gabah menjadi beras dan menjualnya pada konsumen. Kondisi perdangan beras periode pasar bebas juga belum mampu memberikan tingkat harga yang lebih baik bagi petani, dan perilaku pedagang dalam pasar beras tetap tidak berubah. Hasil studi Natawidjaja (2001) menunjukkan bahwa para pelaku tata niaga di sebagian besar provinsi penghasil beras utama mampu meningkatkan marjin keuntungan yang diterimanya
44
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
.b p
s. go
.id
pada saat terjadi kenaikan harga di pasar konsumen dengan cara menangguhkan kenaikan harga yang diterima pada harga yang seharusnya dibayarkan pada petani. Sebaliknya pelaku tata niaga tersebut juga mampu menjaga marjin keuntungan yang sama walaupun pada saat harga ditingkat konsumen sedang turun, dengan cara mempercepat penurunan harga beli pada petani sehingga resiko pasar dibebankan seluruhnya pada petani. Perilaku pedagang tersebut menunjukkan adanya kekuatan monopsonistik karena memiliki aksesibilitas dan informasi yang cepat ke pasar konsumen. Dengan pengasaan pasar tersebut, para pelaku tata niaga dapat meneruskan resikoresiko fluktuasi pasar pada tingkat di bawahnya dan akhirnya sampai ke petani sebaggai penerima residual dari resiko tersebut tanpa memiliki kemampuan untuk menolak atau menghindar (Mardianto et al., 2005).
ht
tp :// w
w
w
Kondisi pemasaran gabah dan beras di atas memperlihatkan adanya keterpisahaan antara petani dengan pasar, dimana para pedagang merupakan pelaku tata niaga yang berhadapan langsung dengan konsumen. Dengan kondisi tersebut, insentif pasar dan usaha untuk mensejahterakan petani melalui kebijakannya tidak akan efektif dirasakan petani karena akan lebih banyak dinikmati oleh pelaku tata niaga. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani sebaiknya dilakukan mekanisme kebijakan yang dapat langsung dinikmati petani dan keluarganya tanpa mengintervensi mekanisme pasar.
2.4. Deskripsi Khusus Potensi Pengembangan Budidaya Padi Di Kabupaten Merauke Untuk Penyediaan Pangan Nasional Pada saat terjadinya krisi global pangan dan enerji, kabupaten Merauke mendapat perhatian yang khusus dari para
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
45
Komoditas Beras
s. go
.id
penentu kebijakan pangan nasional dan internasional, sebagai salah satu lahan potensial. Kabupaten Merauke memiliki potensi lahan yang sangat besar untuk pengembangan pertanian tanaman pangan. Sekitar 2,49 juta ha lahan di Kabupaten Merauke berpotensi sebagai lahan budidaya pertanian. Saat ini lahan tergunakan di Kabupaten Merauke baru mencapai 36,1 ribu ha atau 1,45% dari total lahan yang dimiliki sedangkan sisanya yaitu 2,45 juta ha belum dimanfaatkan. Dari potensi lahan budidaya yang dimiliki, sekitar 1,9 juta ha berpotensi sebagai lahan pertanian basah dan 554 ribu ha berpotensi sebagai lahan pertanian kering. Pada Tabel 2-14 diperlihatkan potensi pengembangan lahan pertanian per distrik di Kabupaten Merauke.
tp :// w
w
w
.b p
Pengembangan pertanian tanaman pangan di Kabupaten Merauke telah dilakukan dimana penggunaan lahan untuk sawah telah mencapai 22,9 ribu ha, sedangkan untuk ladang mencapai 12,3 ribu ha. Kawasan sentra produksi untuk tanaman padi di Kabupaten Merauke terdiri dari distrik Merauke,
No
Distrik
(1)
(2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
ht
Tabel 2-14. Po ten si Peng emb an gan Lahan Pertanian per Distrik Kabu paten Merauke
Merauke Semangga Tanah Miring Jagebob Sota Kurik Muting Ulilin Elikobel Kimaam Okaba Jumlah
Basah
Po ten si (Ha) Kering
(3)
(4)
39.582,26 31.735 37.341 1.150 133 53.753 3.609 2.926 3.219 1.100.432 663.411 1.937.291,26
Ju mlah (5)
29.720,73 13.224 62.555 53.540 84.192 45.622 36.992 40.690 187.995 554.530,73
69.303,99 31.375 50.565 63.705 53.673 137.945 49.231 39.918 43.909 1.100.432 851.406 2.491.821,99
Dinas Pertanian M erauke (2008)
46
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
Semangga, Kurik, Tanah Miring, dan, Malind. Kondisi penggunaan lahan di masing-masing distrik Kabupaten Merauke untuk areal sawah maupun ladang serta lahan rawa yang dimanfaatkan diperlihatkan pada Tabel 2-15. Varitas padi yang telah dikembangkan untuk penanaman di Kabupaten Merauke adalah varietas Ciliwung, Mambramo, Way Apoburu, Celebes, Towuti, Sintanur, Begawan Solo, IR-64, IR-66, dan IR74. Pada Tahun 2006 produksi beras Kabupaten Merauke mencapai 73,16 ribu ton dengan produktivitas lahan mencapai 4,2 ton/ha.
.b p
(2) Merauke Semangga T anah Miring Jagebob Sota Kurik Muting Ulilin Elikobel Kimaam Okaba Jumlah
ht
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan Lahan (Ha) Sawah Ladang Rawa (3) (4) (5) 997 88 4.000 141 7.038 207 200 978 5.030 325 60 700 9.117 800 325 295 3.000 900 269 1.380 100 170 100 22.954 12.386 850
w
(1)
w
Distrik
tp :// w
No
s. go
.id
Tabel 2-15. Ko nd isi Pen gg un aan L ah an d i Kab up aten Merauke Jumlah (6) 1.085 4.141 7.445 6.333 760 10.242 3.295 900 1.649 270 100 36.190
Dinas Pertanian M erauk e (2008)
Padi menjadi salah satu tanaman pangan yang menjadi fokus utama pengembangan pertanian di Kabupaten Merauke saat ini. Pemerintah Kabupaten Merauke memiliki target untuk menjadikan Merauke sebagai kawasan Agropolitan dan lumbung pangan nasional. Untuk mendukung pengembangan pertanian pangan di Kabupaten Merauke, Pemerintah Daerah Kabupaten
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
47
Komoditas Beras
Merauke merumuskan konsep Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan mengupayakan pengembangan berdasarkan konsep pertanian terpadu yang disebut Merauke Integrated Rice Estate (MIRE). 2.4.1. Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP)
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Berikut ini merupakan beberapa aspek di dalam konsep pengembangan PUAP: a. Manajemen lahan Penggunaan lahan seluas 2-6 Ha untuk padi sawah (50%), palawija (20%), sayur-sayuran (5%), buah-buahan (10%), ternak (5%), perikanan darat (5%), dan untuk penggunaan lainnya adalah sekitar 5%. b. Pelibatan seluruh stakeholder agribisnis Stakeholder yang terlibat meliputi pemerintah sebagai penentu regulasi/kebijakan dan pelaku pembiayaan infrastruktur; Perguruan tinggi / badan riset sebagai pelaku pengembangan teknologi; Sektor swasta yang memiliki kekuatan dalam manajemen usaha; pihak perbankan yang berperan dalam pembiayaan; Bulog yang memiliki pasar dan mengendalikan kondisi pasar ; serta petani yang memiliki sumber daya tenaga kerja pertanian dan keteramplian bertani. c. Fokus pada delapan distrik kawasan sentra produksi (KSP) Kabupaten Merauke Pada Tabel 2-16 diperlihatkan kawasan sentra produksi pangan Kabupaten Merauke yang menjadi fokus wilayah program PUAP. d. Pelibatan pihak swasta besar seperti Bangun Tjipta, Comexindo Internasional; Medco Group, Korindo Group, Buana Agrotama Group, dan Wolo Agro Makmur. e. Penerapan manajemen pertanian modern dengan pola mekanisasi dan orientasi pasar. Penggunan teknologi
48
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
Tab el 2-16. Fo ku s Kawasan S en tra Prod uksi Kabu paten Merau ke Potensi (Ha) S u dah Tergarap Belum Terg arap (2) (3) 1.055 68.249 10.242 137.945 7.445 43.120 4.141 27.594 6.333 57.372 760 52.913 3.295 45.936 1.649 42.260 34.920 475.389
Distrik 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
(1) Merauke Kurik/Malind Tanah Miring Semangga Jagebob Sota Muting Elikobel Jumlah
.id
Dinas Pertanian M erauk e (2008)
w
.b p
s. go
mekanisasi yang kemudian berlanjut pada heavy mekanisasi diterapkan untuk pengolahan lahan hingga panen. f. Link and match antara stakeholder dengan dunia usaha, BLK, dan Perguruan Tinggi/Sekolah Menengah Kejuruan.
ht
tp :// w
w
2.4.2. Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) Perencanaan kerja jangka pendek MIRE adalah menjadikan Merauke pada tahun 2010 sebagai lumbung pangan di Kawasan Timur Indonesia yang memasok Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara melalui kawasan pertanian MIRE sebesar 200.000 ha yang diproyeksikan diselesaikan dalam kurun waktu 10 tahun. Untuk pencapaian target perencanaan kerja jangka pendek akan didukung oleh program Saptayasa sebagai berikut (Pemda Merauke, 2008). a. Penyusunan perencanaan utama (master plan), perencanaan bisnis dan perencanaan kawasan (site plan) bagi MIRE. b. Peningkatan dan pembangunan infrastruktur (jalan, irigasi, bengkel, pabrik pengolahan dan fasilitas lainnya) c. Penanganan ketersediaan saprotan (benih, pupuk, alat mesin pertanian, alat angkut) dan perluasan areal
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
49
Komoditas Beras
d. Pemberdayaan kelembagaan petani (capacity building terutama dalam sistem informasi ilmu pengetahuan dan teknologi dan pasar input ouput) e. Penguatan modal dan skim pembayaran (pembangunan bank BPR dan pertanian) f. Revitalisasi penyuluhan pertanian g. Pengembangan pasar dan jaringan pemasaran
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Di lain pihak, perencanaan kerja jangka panjang 20 tahun adalah menjadikan Merauke lumbung pangan Asia Pasifik. Pada rencana pajang 20 tahun tersebut akan dilakukan pengelolaan lahan seluas satu juta ha lebih yang diproyeksikan menghasilkan lima juta ton beras per tahun. Dalam pengembangan MIRE distribusi lahan MIRE per 5000 ha akan meliputi beberapa sektor pegembangan sebagai berikut. a. Padi sawah: 4.000 ha b. Perikanan darat : 100 ha c. Peternakan: 100 ha d. Agroindustri: 100 ha e. Infrastruktur: 100 ha f. Pemukiman dan fasilitas sosial: 100 ha g. Tanaman jangka pendek: 200 ha h. Tanaman jangka panjang: 200 ha i. Pengelolaan limbah: 100 ha
Dalam usaha pencapaian target MIRE di Kabupaten Merauke, maka akan terdapat peningkatan peluang investasi sektor usaha yang diantaranya terkait dengan pengadaan sarana pertanian, penampungan hasil pertanian, pengolahan hasil-hasil pertanian, pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi, serta pembuatan pakan ternak. Selain hal tersebut, sejumlah besar tambahan SDM pendukung yang sesuai akan diperlukan. Dengan demikian dampak dari program MIRE selain meningkatkan jumlah produksi pangan di Kabupaten Merauke
50
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
juga dapat meningkatkan terciptanya lapangan kerja baru. Tidak hanya lapangan kerja sebagai petani yang akan menjalankan aktivitas operasi produksi padi, tetapi juga pedagang, mekanik, operator alat dan mesin, para manajer lembaga-lembaga baru, maupun tenaga pendidik seperti guru sekolah. 2.5. Strategi Pengembangan Produksi Beras Nasional 2.5.1. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Pengembangan Produksi Beras Nasional
.id
a. Kekuatan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Terdapat beberapa aspek yang berpengaruh besar sebagai kekuatan dalam pengembangan produksi beras nasional. Aspek-aspek tersebut adalah tersedianya potensi lahan bagi perluasan areal penanaman padi; beragam hasil penelitian varietas padi unggulan yang dapat dikembangkan pada beragam karakteristik lahan dan kondisi wilayah yang berbeda telah mampu dihasilkan oleh lembaga peneliti tanaman padi domestik; serta budaya kerja petani domestik yang baik dalam menanam padi. b. Kelemahan Aspek kelemahan yang memberikan pengaruh cukup besar bagi pengembangan produksi beras nasional adalah kesulitan petani dalam memperoleh akses yang mudah terhadap sumber modal, peralatan pertanian yang memadai, serta input produksi seperti pupuk dan pengendali hama penyakit. Kelemahan lainnya adalah struktur distribusi dan perdagangan beras domestik yang rawan dalam menimbulkan fluktuasi harga beras domestik.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
51
Komoditas Beras
c. Peluang Peluang yang memberikan pengaruh cukup baik bagi pengembangan produksi padi/beras nasional adalah dukungan pemerintah melalui program revitalisasi pertanian yang mendorong adanya pertumbuhan tingkat produksi padi; berkembangnya penelitian dan pengembangan varietas unggul benih padi serta input produksi padi lainnya. d. Ancaman
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Ancaman yang berpengaruh besar terhadap pengembangan produksi beras nasional adalah tingginya laju konversi lahan sawah untuk tujuan lain di luar pertanian; perubahan iklim dan cuaca yang sulit diprediksi memengaruhi musim tanam padi serta dapat menimbulkan bahaya kegagalan panen serta serangan hama; menurunnya minat petani untuk menanam padi yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah tidak mendukung diperolehnya keuntungan yang cukup bagi petani dalam menanam padi dan memproduksi beras.
ht
2.5.2. Strategi Pengembangan Produksi Beras Nasional Indonesia harus memperkuat kedaulatan beras nasional melalui swasembada beras nasional, dengan tujuan jangka panjang memperkuat ketahanan pangan nasional, dan memanfaatkan pasar beras global sebagai eksportir, dengan cara memperluas lahan budidaya dan areal panen, peningkatan hasil potensial dan aktual varietas padi melalui perbaikan potensi genetik dan ketahanan terhadap kendala biotik (hama dan penyakit) dan abiotik (kekeringan dan keracunan), perbaikan budidaya spesifik lokasi (pengelolaan tanaman terpadu dan prescription farming) serta percepatan dan perluasan diseminasi serta adopsi inovasi teknologi. Diluncurkannya kebijakan
52
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) tahun 2005 yang lalu harusnya dijadikan momentum untuk melakukan reinvestasi pertanian dalam skala masif, misalnya USD 10 – 20 milyar. Hal ini menjadi semakin penting karena era pangan murah sudah berlalu, sedangkan era pangan mahal belum jelas strukturnya untuk dapat diantisipasi dengan akurat.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Upaya swasembada beras nasional harus dapat dijamin melalui kegiatan-kegiatan di bawah ini (Sopiandie et al., 2008): a. Peningkatan luas panen, termasuk lahan kering, pasang surut dll. b. Menekan laju konversi lahan sawah menjadi peruntukan yang lain. c. Penggunaan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB), diantaranya yang telah dihasilkan oleh Dr.Ir. Hajrial Aswidinnur (FapertaIPB), dengan tingkat produktivitas yang mencapai 9 - 11 ton GKG/Ha. d. Pendekatan rekayasa sosial, teknologi dan pendampingan melalui konsep Komunitas Estat Padi yang diajukan FapertaIPB ke Departemen Pertanian. Karakteristik Komunitas Estat Padi (KEP) yang diajukan oleh Faperta – IPB diharapkan dapat memberikan fitur-fitur di bawah ini - Teknologi budidaya lebih baik (produksi naik secara bertahap dari 4,8 ton/ha menjadi 6 – 8 ton/ha. - Rekayasa sosial lebih baik, artinya pengelolaan agribisnis padi dilakukan secara terpadu, dan efisien dalam suatu unit ekonomi (adanya konsolidasi manajemen area (bukan konsolidasi lahan) serta gabungan kelompok tani; sebuah model pengelolaan sawah (komunitas) menggunakan sarana produksi dan alsintani yang efisien, pengelolaan irigasi yang lebih baik, serta pengendalian hama terpadu yang efektif; Posisi tawar yang lebih baik karena dilakukannya pengawalan dan pendampingan)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
53
Komoditas Beras
-
Manajer estat padi adalah sarjana pertanian dan memperoleh pendampingan oleh perguruan Tinggi, Balai Penyelidikan Teknologi Pertanian (BPTP), dunia agribisnis, pemerintah daerah dan para penyuluh.
Perlindungan Fungsi Lahan Pertanian
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Pencegahan penggunaan tanah pertanian pangan untuk penggunaan non pertanian harus dioptimalkan agar laju penyusutan areal pertanian dapat dihambat. Identifikasi tanahtanah baru yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanah pertanian pangan juga harus dilaksanakan. Dukungan yang kuat berbagai pihak diperlukan agar tersusunnya UU Lahan Pertanian Abadi (LPPA) dalam rangka ketahanan pangan, dimana pada rancangan undang-undang tersebut tanah-tanah pertanian pangan yang telah ada dan tanah-tanah yang diidentifikasikan berpotensi bagi pengembangan pertanian pangan akan dipertahankan hanya diperuntukan bagi usaha pertanian pangan. Undang-undang tersebut juga akan mengenakan sanksi material dan pidana bagi pihak yang melanggar. Hal penting lainnya yang juga harus diperhatikan dalam penysunan UU LPPA adalah terpenuhinya aspirasi seluruh pihak yang terkait misalnya petani dan terutama yang telah memiliki kepastian hukum dalam menggunakan tanah untuk kehidupan dan penghidupan sehingga UU LPPA dapat diterima dengan baik di masyarakat. Peningkatan penggunaan varietas padi unggul oleh petani Diperlukan kebijakan pemerintah yang segera terhadap penggunaan benih padi hibrida atau hasil rekayasa genetika, karena padi hibrida dianggap akan dapat membantu menyelesaikan permasalahan krisis pangan atau beras. Penggunaan beras hibrida telah dilaksanakan secara berhasil
54
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
di RR Cina, dan saat inipun FAO (2008) telah menghimbau dilakukannya analisa dan sintesa tentang penggunaan padi hibrida. Kebijakan penggunaan benih padi hibrida tersebut perlu pula disosialisasikan secara efektif kepada petani sehingga penyebaran penggunaannya dapat dioptimalkan. Perbaikan Penanganan Pasca Panen
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Penggunaan teknologi pasca panen yang tepat diiringi oleh tumbuhnya kesadaran pentingnya menghindari krisis pangan sangat diperlukan untuk menangani tingkat kehilangan yang masih cukup tinggi di berbagai kegiatan pasca panen padi. Hasil survei BPS (tahun 1996) menunjukkan bahwa susut padi di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 20,42%. Pada saat panen, susut padi mencapai 9,5%, pada proses perontokan mencapai 4,8%, pengeringan mencapai 2,1%, penggilingan 2,2%, penyimpanan 1,6% dan pengangkutan 0,2%. Penanganan pasca panen yang baik dan tepat selain akan menekan susut juga akan menghasilkan kualitas gabah/beras yang tinggi sehingga dapat meningkatkan harga jual gabah/beras petani. Gerakan penurunan pasca panen secara nasional perlu dimunculkan untuk menumbuhkan kesadaran petani, pengusaha penggilingan, buruh tani, dan orang-orang yang terkait dalam proses produksi termasuk konsumen. Peningkatan penanganan panen dan pasca panen dilaksanakan melalui (a) Menekan tingkat kehilangan hasil dilakukan melalui pengembangan teknologi pengolahan primer (pengeringan, penyimpanan dan penggilingan), alat-mesin pengolahan, standarisasi, informasi pasar, dan pengaturan tataniaga (pengendalian impor, insentif harga, bea masuk), (b) Meningkatkan nilai tambah beras dilakukan melalui pengembangan teknologi agroindustri pengolahan untuk peningkatan mutu.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
55
Komoditas Beras
Usaha Mengatasi Fluktuasi Harga Beras
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Untuk mengatasi pengaruh gejolak harga beras dunia terhadap resiko ketidakpastian harga dalam perdagangan beras yang juga berdampak luas terhadap kestabilan ekonomi, maka ketergantungan terhadap impor beras harus dihindari. Oleh karena itu diperlukan mengkampanyekan kembali agar masyarakat petani gurem semakin dapat menahan stok padiberas untuk kebutuhan konsumsinya sendiri, pada saat terjadi kelangkaan stok beras nasional ataupun global. Pemerintah perlu mempertahankan komitmennya terhadap gerakan peningkatan produksi beras 2 juta ton pada tahun 2007 dan peningkatan produksi beras 5% pertahun sampai tahun 2009. Dukungandukungan kebijakan pemerintah terhadap perbaikan kinerja pertanian sangat diperlukan terhadap beragam hal berikut (Nainggolan, 2007). a. Optimalisasi potensi sumber daya pertanian b. Penerapan teknologi maju dan spesifik lokasi c. Dukungan sarana produksi dan permodalan d. Jaminan harga gabah yang memberikan insentif produksi e. Dukungan penyuluhan pertanian dan pendampingan f. Peran aktif kepemimpinan formal dan non formal Pengembangan ketahanan pangan daerah berdasarkan keunggulan potensi sumber bahan pangan daerah Masing-masing pemerintah provinsi perlu menghitung secara cermat kebutuhan pangan pokok masyarakatnya di tambah dengan kebutuhan cadangan guna penanggulangan resiko bencana alam. Pengembangan potensi sumber pangan daerah terutama sumber pangan pokok perlu dikembangkan agar ketergantungan terhadap beras dapat dikurangi. Dengan demikian beban nasional dalam memenuhi kebutuhan konsumsi beras diomestik dapat berkurang. Perubahan pola
56
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
konsumsi masyarakat secara umum di Indonesia juga diperlukan dimana konsumsi beras turun 1% per tahun; konsumsi umbi-umbian naik 1-2% per tahun; konsumsi sayuran naik 4,5% per tahun; konsumsi buah-buahan naik 5% per tahun; dan konsumsi pangan hewani naik 2% per tahun (Nainggolan, 2007). Secara lebih rinci rumusan strategi pengembangan produksi beras nasional diperlihatkan pada Tabel 2-17.
Tab el 2-17. S trateg i Pen g emb an g an Pro d u ksi Pad i/B eras (Ad ap tasi d ari B erb ag ai Ru ju kan )
Peny ediaan input produksi mandiri dan berkelanjutan
L an g kah -lan g kah
.id
Pro g ram Aksi
M engurangi ketergantungan penggunaan pupuk kimiawi dengan mengembangkan pupuk organik y ang dapat diproduksi di daerah sentra produksi masing-masing
s. go
S trateg i Op erasio n al 1 Peningkatan produktivitas budiday a padi
tp :// w
w
w
.b p
No
ht
Peny ediaan kemudahan petani terhadap akses mendapatkan peralatan produksi dan modal
M engembangkan teknologi lokal bagi produksi peralatan pertanian sehingga tercapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan peralatan budiday a pertanian. Peny ediaan dukungan modal y ang memadai bagi petani kecil
Ketersediaan y ang memadai bagi peralatan dan mesin budidaya padi dan produksi beras di seluruh wilay ah Indonesia
Penanggulangan H ama M engembangkan penerapan biokontrol Peny akit Padi untuk mengatasi hama dan peny akit tanaman padi lokal Pengembangan teknologi pengendalian hama dan peny akit secara terpadu
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
57
Komoditas Beras
T abel I-17. Lanjutan S trat eg i No Op erasio n al
Pro g ram Aksi
L an g kah -lan g kah
Aplikasi bioteknologi untuk pengembangan Pengembangan bibit unggul baru T eknologi budiday a Padi dan produksi ber as Pengembangan teknologi produksi benih unggul
Per luasan lahan penanaman padi
Pemanfaatan potensi lahan menganggur untuk areal per saw ahan seperti pada lahan raw a, lahan pasang surut, dan lahan kering
Pener apan proses produksi beras y ang baik dan benar
Sosialisasi pedoman cara budiday a padi y ang baik dan benar
.b p
s. go
.id
Peny ediaan sarana dan pr asarana y ang mampu memperlancar kegiatan produksi padi dan ber as seperti sarana ir igasi, gudang peny impanan gabah dan beras y ang memadai, keter sediaan tempat pengilingan gabah y ang efisien dan efektif, serta sarana dan prasar ana pe
tp :// w
w
w
2 Peningkatan mutu ber as
Pembangunan sarana dan infrastruktur penunjang
Peningkatan teknologi mesin, sarana budiday a dan pengolahan hasil terbaik y ang mendukung pener apan cara budiday a y ang baik dan benar
ht
Pener apan Standar Sosialisasi pedoman GM P, GPH P , dan GM P Pr osedur bagi kegiatan budiday a padi hingga kegiatan produksi ber as Pembinaan dan pengaw asan oleh instansi berw enang untuk menangani ketidakpedulian atau sikap mental pelaku usaha y ang bur uk ter hadap etika bisnis y ang meny angkut mutu beras y ang dihasilkan Standarisasi mutu produk Peningkatan nilai tambah produk
58
Penetapan standar mutu pr oduk beras Insentif bagi pengembangan pr oduk y ang dihasilkan oleh petani, koper asi, U K M atau industri kecil
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
Tabel 2-17. Lanjutan S trategi No Op erasional 3 Perbaikan kebijakan
Prog ram Aksi Kebijakan y ang mendukung inv estasi perberasan nasional
Lan gkah-lang kah Kebijakan y ang mendukung pembentukan lingkungan inv estasi y ang kondusif
M erumuskan mekanisme kebijakan y ang dapat langsung dinikmati petani dan keluargany a tanpa menginterv ensi mekanisme pasar M enegaskan hukuman bagi pelaku konv ersi tanah pertanian pangan nagi penggunaan non pertanian.
tp :// w
w
w
.b p
Kebijakan dalam pemasaran beras nasional y ang menguntungkan petani Kebijakan y ang mempertahankan lahan padi dari konv ersiny a untuk penggunaan non pertanian Peningkatan keterampilan, teknis, keahlian dan manajemen budiday a pertanian
s. go
.id
Kebijakan bagi kemitraan agribisnis perberasan yang adil baik bagi pelaku M elindungi pertanian padi dan produksi beras dalam negeri dari pengaruh tekanan persaingan pasar global M engurangi pungutan-pungutan biay a y ang menghambat inv estasi pengembangan produksi beras naisonal maupun distribusi pemasaran beras
ht
4 Peningkatan efsiensi biay a produksi melalui peningkatan keterampilan kinerja sumberday a manusia, penguasaan teknologi serta penguatan kelembagaan pertanian.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
M eningkatkan keterampilan petani dalam kegiatan usaha pembibitan maupun budiday a tanaman padi M eningkatkan peran Litbang di bidang budiday a, penanganan hama dan peny akit padi serta penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida Pengembangan sistem peny uluhan serta perekrutan dan pemberday aan peny uluh Pemberday aan petani dalam kelembagaan usaha pertanian padi secara partisipatoris
59
Komoditas Beras
T abel 2-17. Lanjutan S trat eg i No Op erasio n al
Pro g ram Aksi
L an g kah -lan g kah
Penguatan Pelatihan kemampuan manajerial pengurus kelembagaan kelompok kelompok/koper asi pelaku usaha pertanian produsen (asosiasi atau koperasi) Penguasaan teknologi M empermudah akses pelaku usaha terhadap informasi teknologi Peningkatan sinergi Pengembangan jejaring pengusaha dengan lembaga penunjang univ er sitas dan lembaga penelitian untuk inov asi budiday a, serta pengembangan produksi padi/beras bernilai tambah M encegah persaingan tidak sehat antar pelaku usaha dalam bisnis per ber asan di pasar dalam negeri
.id
5 M emperbaiki kondisi pemasaran per berasan dalam neger i
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
M ew ujudkan keadlian bagi seluruh sektor pelaku usaha dalam mengatasi permasalahan bisnis pada r antai distribusi atau pemasaran beras
60
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
DAFTAR PUSTAKA Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. 2007. Penelitian Untuk Dukung Perkembangan Kelapa Sawit.http://www.depkominfo.go.id/porta l/?act= detail&mod=berita&view=1&id=BRT070719144501. Downloaed : Rabu, 24 Oktober 2007. Goenadi, D.H., L. Erningpradja, A. Kurniawan, B. Dradjat, B. Hutabarat. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
s. go
.id
Hadi, P.U., A.H. Malian, A. Djulin, A. Agustian, S.H. Suhartini, S.H. Susilowati. 2002. Kajian Perdagangan Internaional Komoditas Pertanian Indonesia Tahun 2001. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian.
.b p
Pramulya, R.2007. Spirit Baru Dewan Kelapa Sawit Nasional. http://www.lpp.ac.id/berita_detail.php?act=view&id=187 Downloaded : Rabu, 24 Oktober 2007.
ht
tp :// w
w
w
Sugema, I., M.F. Hasan, Aviliani, U. Hidayat dan Sugiyono. 2007. Strategi Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit. INDEF. Jakarta. Syafa’at, N., P.U. Hadi, D.K.S. Swastika, E.M. Lokollo, A. Purwoto, J. Situmorang, F.B.M. Dabukke. 2005. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Syafa’at, N., M. Maulana dan K. Kariyasa. 2006. Dinamika Perdagangan Dan Analisis Dampak Penerapan Kebijakan Pungutan Ekspor Crude Palm Oil Terhadap Pendapatan Petani Tahun 2005 dalam Analisis Kebijakan Pertanian : Respon Terhadap Isu-Isu Aktual. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. Udrekh. 2007. Melirik Perkembangan Industri Kelapa Sawit Indonesia. http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek2007-08-03-Melirik-Perkembangan-Industri-KelapaSawit-Indonesia.shtml. Downloaded : Rabu, 24 Oktober 2007.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
61
Komoditas Beras
Lampiran 2-1.
Hasil dokumentasi kunjungan tim IPB-BPS pada pengkajian agribisnis padi-beras bulan Juli 2008
1. Instansi pendukung pengembangan produksi padi-beras nasional
b.
Industri benih PT Sanghyang Seri, Sukamandi-Subang, Jawa Barat
.id
a. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi-Subang, Jawa Barat
Produk benih padi yang dihasilkan oleh Balai Benih Pembantu Barongan, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, Yogyakarta
3.
Produksi pupuk organik dari sekam padi yang diproduksi oleh Balai Benih Pembantu Barongan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
2.
62
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
Lampiran 2-1. Lanjutan 4. Kondisi areal lahan sawah di daerah Pantai Utara Jawa Barat
b.
Areal persawahan di daerah Pantai Utara, Indramayu, Jawa Barat
s. go
.id
a. Areal persawahan di daerah Sukamandi-Subang, Jawa Barat
tp :// w
w
w
.b p
5. Kegiatan pemanenan padi
ht
a. Kegiatan pemanenan padi di daerah Indramayu, Jawa Barat
b. Kegiatan pemanenan padi di daerah Subang, Jawa Barat
6. Pengeringan gabah padi sebelum proses penggilingan gabah di daerah Indramayu
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
63
Komoditas Beras
Lampiran 2-1. Lanjutan
.id
7. Gudang penyimpanan beras milik Bulog
.b p
ht
tp :// w
w
w
8. Sarana transportasi distribusi beras dari Bulog
b. Gudang penyimpanan beras Bulog Subdivre Subang, Jawa Barat
s. go
a. Gudang penimpanan beras Bulog Subdivre Indramayu, GSP Pekandangan-Indramayu, Jawa Barat
Lampiran 2-2.
Dokumentasi kunjungan kajian padi-beras di Merauke 17 – 19 Juni 2008 yang lalu (Gumbira-Sa’id, 2008) .
a. Irigasi semi teknis
64
b. Air cukup tersedia
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Beras
d. Habis panen dan siap tanam
w
w
.b p
s. go
.id
c. Persemaian padi
f. Traktor
ht
tp :// w
e. Salah satu Infrastuktur penunjang (jembatan sepanjang 560 m)
g. Penggilingan beras Bulog Merauke
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
h. Gudang hasil pertanian
65
.b p
Penulis :
s. go
.id
Kajian Kinerja dan Strategi Pengembangan Komoditas Kedelai
ht
tp :// w
w
w
Tim IPB
Komoditas Kedelai
3.1. Pendahuluan
.b p
s. go
.id
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama Indonesia setelah padi dan jagung. Kandungan protein pada kedelai yang cukup tinggi, merupakan keutamaan kedelai sebagai bahan pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat. Tidak hanya bagi kebutuhan manusia, kedelai juga dibutuhkan oleh industri peternakan sebagai salah satu bahan pakan. Saat ini dengan berkembangnya industri pangan dan pakan berbahan baku kedelai yang dipacu oleh semakin tingginya tingkat permintaan pangan, permintaan kedelai di Indonesia meningkat tajam. Di lain pihak, tingkat produksi kedelai dalam negeri cenderung menurun, sehingga defisit kedelai yang terus meningkat dicukupi dari kedelai impor. Hal tersebut membuat ketergantungan impor kedelai Indonesia semakin tinggi.
ht
tp :// w
w
w
Masih tingginya ketergantungan impor kedelai Indonesia saat ini merupakan bahaya bagi ketahanan pangan maupun kestabilan ekonomi nasional. Indonesia telah mengalami berbagai permasalahan akibat krisis kedelai yang dipicu oleh kelangkaan pasokan dan tingginya harga kedelai dunia. Tingginya tingkat permintaan kedelai dunia untuk pangan serta berkurangnya pasokan kedelai dari negara-negara produsen kedelai utama dunia sebagai dampak aktivitas produksi biofuel di negara tersebut, merupakan pemacu peningkatan harga kedelai dunia. Dengan tingginya tingkat persaingan penggunaan kedelai terutama untuk pangan, pakan, dan bahan bakar serta penggunaan non pangan lainnya yaitu biommedicine dan kosmetik, harga kedelai dunia meningkat tajam dari yang biasanya sekitar US$ 300 per ton menjadi US$ 600 per ton. Kenaikan harga kedelai dunia tersebut berdampak pada kenaikan harga kedelai dalam negeri sejak awal September 2007 dari Rp. 4.000 per kg menjadi Rp. 4.800 per kg. kemudian
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
69
Komoditas Kedelai
meningkat kembali pada Oktober 2007 menjadi Rp. 5.300 dan Rp. 7.600 per kg pada tahun 2008 (Pamuji, 2008).
.b p
s. go
.id
Kenaikan harga kedelai hingga lebih dari 100 persen menyebabkan sejumlah pengusaha kecil mengalami kerugian, sementara untuk meningkatkan harga produk olahan kedelai seperti tahu dan tempe juga tidak memungkinkan dilakukan oleh pengusaha karena daya beli masyarakat yang masih lemah. Selain itu, produk pangan tersebut di masyarakat telah identik sebagai sumber pangan protein yang murah. Peningkatan harga kedelai juga meningkatkan harga pakan ternak unggas. Pada pakan ternak terkandung 18% bungkil kedelai serta 51,4% jagung. Sebagai konsekwensinya terjadinya peningkatan harga pakan menyebabkan harga daging maupun telur unggas sebagai sumber protein hewani yang cukup murah juga meningkat.
ht
tp :// w
w
w
Dampak peningkatan harga kedelai yang sangat tinggi secara langsung berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya yang terkait langsung dengan rantai distribusi komoditas kedelai. Saat ini, diperkirakan masyarakat Indonesia yang terlibat dalam ekonomi kedelai adalah sekitar 6 juta orang (Munawir, 2008). Dari jumlah tersebut, agroindustri pengguna komoditas kedelai beserta seluruh mata rantainya di Indonesia menyerap tenaga kerja dalam jumlah cukup besar, yaitu sekitar 3,2 juta orang. Sebagian besar dari tenaga kerja tersebut yaitu sekitar 2,5 juta orang (78,13 persen) bekerja pada usaha pengolahan kedelai skala kecil dan rumah tangga (www.suarapembaruan.com) Mengingat pentingnya komoditas kedelai, maka strategi yang tepat bagi pengembangan produksi kedelai nasional sangat diperlukan. Dengan pengembangan produksi kedelai dan semakin membaiknya agribisnis kedelai, diperkirakan akan terjadi efek ganda yang besar. Bila enam juta petani kedelai
70
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
hidupnya semakin sejahtera, kondisi tersebut dapat memacu jutaan warga miskin lainnya untuk terlibat dalam perputaran ekonomi kedelai, dimana semakin banyak tenaga kerja dapat terserap pada industri kedelai. Di lain pihak, pengembangan komoditas kedelai diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah kedelai dan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar lagi terhadap product domestic bruto (PDB).
3.2. Kinerja Pengembangan Produksi Komoditas Kedelai
.id
3.2.1. Potensi Pengembangan Lahan Budidaya Kedelai
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Hampir seluruh provinsi di Indonesia memiliki areal lahan penanaman kedelai. Dalam tiga tahun terakhir, Jawa Timur merupakan provinsi dengan areal panen kedelai terluas (38,54% dari total luas panen). Provinsi penghasil kedelai utama lainnya dengan areal panen yang cukup luas adalah Jawa Tengah (17,9%), Nusa Tenggara Barat (15,29%), NAD (4,67%), Jawa Barat (4,51%), dan Sulawesi Selatan (2,79%) (Tabel 3-1). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, luas tanam kedelai nasional mencapai puncaknya hingga tahun 1992 yaitu seluas 1,6 juta ha. Tetapi setelah tahun tersebut luas penanaman kedelai maupun luas panennya terus menurun. Pada tahun 2006 luas panen kedelai adalah 580.534 ha dan kembali menurun pada tahun 2007 yaitu menjadi 458.000 ha (BPS, 2008). Pada tahun 2008 diperkirakan terdapat peningkatan luas areal panen kedelai mencapai 535.135 ha. Pada tahun berikutnya diperkirakan luas areal panen kedelai terus bertambah setelah pemerintah menerapkan program peningkatan produksi kedelai, dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan menargetkan luas panen kedelai pada tahun 2008 mencapai 1,04 juta ha dan pada tahun 2010 sekitar 1,44 juta ha.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
71
Komoditas Kedelai
T abel 3-1. Luas Areal Panen Kedelai T ahun 2006-2008 Berdasarkan Propinsi T ahun
72
s. go
.id
2008* (4) 24,98 3,516 950 3,098 3,539 2,633 2,221 3,348 - - 24,148 95,792 29,914 206,364 2,376 5,739 81,831 3,412 658 1,198 2,521 1,871 4,472 2,325 14,955 2,718 2,472 1,041 1,236 1,078 1,045 3,682 535,135
w
.b p
2007 (3) 14,733 3,747 883 2,266 3,406 1,99 1,88 3,008 12,429 84,098 27,628 199,493 2,041 5,753 56,901 1,529 693 703 1,806 1,482 2,662 2,299 12,024 3,719 4,004 793 1,227 966 1,086 3,601 458,85
tp :// w
ht
(1) N A. Darussalam Sumatera U tara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Riau Kepulauan D.K.I. Jakarta Jaw a B arat Jaw a Tengah D.I. Yogy akarta Jaw a Timur Banten B ali N usa Tenggara Barat N usa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulaw esi U tara Sulaw esi Tengah Sulaw esi Selatan Sulaw esi Tenggara Gorontalo Sulaw esi Barat M aluku M aluku U tara Papua Barat Papua Indonesia * angka ramalan pertama (BPS, 2008)
2006 (2) 19,638 6,311 1,176 3,994 2,637 2,733 1,449 3,158 17,878 91,265 33,419 246,534 1,472 7,574 95,278 2,694 1,515 625 1,84 2,152 3,321 2,441 14,189 3,499 5,134 783 1,191 994 1,795 3,845 580,534
w
Propinsi
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
s. go
.id
Indonesia masih memiliki potensi lahan yang tersedia dan sesuai untuk penanaman kedelai. Dengan potensi tersebut target peningkatan luas panen 1,4 juta ha pada tahun 2010 masih memungkinkan untuk dilakukan. Potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan kedelai menurut Mulyani (2008) terdapat pada 17 provinsi dengan total luas mencapai 17,7 juta ha. Dari seluruh potensi luas lahan tersebut sekitar 5,3 juta ha merupakan lahan berpotensi tinggi, 3,1 juta ha lahan berpotensi sedang, dan 9,3 juta ha lahan berpotensi rendah (Tabel 3-2). Provinsi Papua memiliki potensi luas lahan untuk pengembangan kedelai terluas yaitu mencapai 2,7 juta ha, namun luas lahan terebut didominasi oleh lahan berpotensi rendah (93%). Provinsi lainnya
.b p
Tabel 3-2. Lahan yang Berpotensi Untuk Pengembangan Kedelai di 17 Propinsi di Indonesia
w
ht
tp :// w
(1) N A. Darussalam Sumatera Barat Jambi Sumatra Selatan Lampung Bangka Belitung
Jaw a Barat Jaw a Tengah Jaw a Timur Banten Bali N usa Tenggara Barat Sulaw esi Selatan Sulaw esi Barat Sulaw esi Tenggara Papua Papua Barat Jumlah
Luas (ha)
Potensi tinggi (2) 6,821 861,22 0 20,339 58,213 0
Potensi sedang (3) 185,988 78,011 16,287 0 214,479 0
Potensi rendah (4) 173,051 360,487 774,916 1.216.946 590,085 190,431
412,608 1.054.842 1.494.942 0 127,725 184,21 327,362 610 49,9 171,381 562,349 5.332.522
774,136 541,227 337,775 183,104 48,055 158,812 403,519 18,424 144,582 0 2,466 3.106.865
325,675 158,228 486,976 206,935 34,368 53,828 448,231 29,724 474,587 2.576.646 1.198.951 9.300.065
w
Provinsi
Jumlah (ha) (5) 365,86 1.299.718 791,203 1.237.285 862,778 190,431 1.512.419 1.754.297 2.319.693 390,039 210,148 396,85 1.179.112 48,758 669,069 2.748.027 1.763.766 17.739.452
(Mulyani, 2008)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
73
Komoditas Kedelai
dengan potensi pengembangan lahan kedelai yang cukup luas adalah Jawa Timur (2,3 juta ha) dengan dominasi lahan berpotensi tinggi (64%).
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Berdasarkan jenis lahannya, pengembangan kedelai dapat dilakukan pada lahan sawah, lahan kering (tegal, kebun campuran, dan perkebunan) dan lahan kering terlantar (hutan belukar, semak belukar, dan padang alang-alang/rumput), serta lahan pasang surut. • Lahan sawah. Luas lahan sawah yang sesuai untuk pengembangan kedelai mencapai 4,4 juta ha (Mulyani, 2008). Pengembangan kedelai pada lahan sawah dapat dilakukan dengan mengikuti pola tanam a) padi-padi-kedelai, b) padi-kedelai-bera, c) padikedelai-bawang merah, dan d) padi-kedelai-jagung. Lahan sawah yang sesuai untuk kedelai dengan area yang sangat luas terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan NAD (Tabel 3-3). • Lahan kering masam. Pengembangan kedelai pada lahan kering masam diarahkan dengan sistem tumpangsari pada areal pertanaman ubi kayu, areal perkebunan sawit dan karet muda, serta lahan yang belum diusahakan untuk usaha tani. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk usaha tani mencapai 4,3 juta ha, sedangkan lahan kering yang belum dimanfaatkan (hutan belukar, semak belukar, dan padang alang-alang/rumput) mencapai 4,4 juta ha (Tabel 3-3). • Lahan pasang surut. Pengembangan kedelai pada lahan pasang surut diarahkan pada lahan tanah mineral yang tidak tergenang pada pasang besar. Masalah kecocokan tanah terhadap tanaman kedelai dapat diatasi dengan penerapan teknologi ameliorasi lahan dan pemupukan.
74
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
Tabel 3-3. Luas Jenis Areal Lahan yan g Dapat Digunakan Untuk Penanaman Kedelai di I ndonesia
tp :// w
w
w
Lahan Kering (ha) Pertanian Non Pertanian (3) (4) 97,36 108,201 210,712 114,772 518,37 136,831 557,283 481,386 26,996 159,429 580,264 263,033 9,648 0 464,863 61,543 783,064 77,24 204,68 0 119,073 0 37,289 148,688 298,597 333,291 17,956 11,711 143,765 465,942 119,049 1.256.358 107,704 803,3 4.296.673 4.421.725
.id
.b p
(1) N A. Darussalam Sumatera Barat Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Banten Jaw a Barat Jaw a Tengah Jaw a Timur Bali N usa Tenggara Barat Sulaw esi Selatan Sulaw esi Barat Sulaw esi Tenggara Papua Papua Barat Jumlah
Lahan Sawah (ha) (2) 141,171 186,692 76,037 144,326 0 109,05 134,558 881,51 887,525 1.172.223 91,128 208,197 354,421 10,46 18,421 494 2,513 4.418.726
s. go
Propinsi
ht
(Mulyani, 2008)
3.2.2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Kedelai
Kondisi perkembangan produksi kedelai nasional dapat dibagi dalam dua periode besar, yaitu pertumbuhan yang menurun dan stagnan. Pertumbuhan menurun terjadi selama tahun 1992-2003. Total produksi pada tahun 1992 yang mencapai 1,8 juta ton menurun dengan rata-rata laju penurunan 5,8 % per tahun sehingga pada tahun 2003 produksi kedelai nasional hanya mencapai 671 ribu ton. Produksi stagnan terjadi pada 2004-2006, dimana pertumbuhan produksi rendah yaitu hanya 0,4 % per tahun. Pada Tabel 3-4 diperlihatkan kondisi perkembangan produksi kedelai naisonal dan perbandingannya
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
75
Komoditas Kedelai
terhadap produksi kedelai dunia. Selama periode 1990-2006 persentase produksi nasional terhadap dunia mengecil. Hal tersebut mengindikasikan adanya penghambat produksi kedelai dalam negeri harus ditangani dengan baik agar produksi kedelai nasional dapat meningkat kembali. Tabel 3-4. Perkembangan Poduksi Kedelai Nasional dan Dunia Tahun 1990 – 2006 Produksi Kedelai (Ton) Dunia Persentase (%)
(2) 1.487.433 1.555.453 1.869.713 1.708.530 1.564.847 1.680.010 1.517.180 1.356.891
(3) 108.464.511 103.320.158 114.460.616 115.176.710 136.483.471 126.997.618 130.223.250 144.418.185
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
1.305.640 1.382.848 1.018.000 826,932 673,056 671,6 723,483 808,353 749,038
160.103.858 157.796.852 161.400.626 177.923.563 181.815.725 187.514.812 206.289.954 214.909.669 221.500.938
ht
tp :// w
w
w
.b p
(1) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997
(4) 1,37 1,51 1,63 1,48 1,15 1,32 1,17 0,94
.id
Indonesia
s. go
Tahun
0,82 0,88 0,63 0,46 0,37 0,36 0,35 0,38 0,34
Sumber: BPS (2007).
Pada tahun 2007 terjadi penurunan produksi kedelai dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 592.381 ton, namun pada tahun 2008 diperkirakan terjadi peningkatan produksi kedelai seiring dengan perluasan areal penanaman kedelai dan dukungan pemerintah untuk mengatasi kekurangan pasokan kedelai nasional. Kondisi produktivitas lahan kedelai mengalami peningkatan tahun 2006 hingga tahun 2008 yaitu dari 12,88
76
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
kuintal/ha menjadi 13,06 kuintal/ha (BPS, 2008). Pada tahun 2009 sasaran produksi kedelai mencapai 1,17 juta ton melalui perluasan areal penanaman satu juta ha yang dilakukan pada Tabel 3-5. Perkembangan Produktivitas dan Produksi Lahan Kedelai Tahun 2007-2008 2007
Produktivitas
Produksi
(Ku/Ha)
(Ton)
(Ku/Ha)
(Ton)
(2) 12,99 11,60 12,81 10,68 12,67 14,44 9,29 11,29 14,03 14,65 10,75 12,63 12,84 14,63 12,02 10,21 11,57 10,90 11,41 13,25 17,14 11,26 15,77 9,08 14,22 13,62 12,06 12,09 10,50 11,06 12,91
(3) 19.145 4.345 1.131 2.419 4.316 2.873 1.747 3.396 17.438 123.209 29.692 252.027 2.62 8.417 68.419 1.561 802 766 2.06 1.964 4.562 2.589 18.964 3.375 5.694 1.08 1.48 1.168 1.14 3.982 592.381
(4) 13,16 11,57 12,82 10,82 12,76 14,61 9,28 11,29 10,00 14,38 14,90 11,53 12,64 12,87 14,62 12,24 10,61 11,61 10,99 12,23 13,07 13,91 11,30 15,64 9,36 13,64 13,85 12,21 12,00 10,35 11,10 13,06
(5) 32.884 4.068 1.218 3.351 4.516 3.847 2.062 3.779 2 34.715 142.773 34.502 260.799 3.059 8.39 100.175 3.621 764 1.317 3.083 2.446 6.222 2.627 23.39 2.543 3.372 1.442 1.509 1.294 1.082 4.087 698.939
.b p
w
tp :// w ht
.id
Produksi
w
(1) N anggroe Aceh D. Sumatera U tara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Riau Kepulauan D.K.I. Jakarta Jaw a Barat Jaw a Tengah D.I. Yogy akarta Jaw a Timur Banten B ali N usa Tenggara Barat N usa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulaw esi U tara Sulaw esi Tengah Sulaw esi Selatan Sulaw esi Tenggara Gorontalo Sulaw esi Barat M aluku M aluku U tara Papua Barat Papua Indonesia
2008
Produktivitas
s. go
Propinsi
(BPS, 2008)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
77
Komoditas Kedelai
.id
tahun 2008 dengan perkiraan luas panen 760 ribu ha dan produktivitas mencapai 15,4 kuintal/ha (Deptan, 2008). Berdasarkan data produksi kedelai nasional tahun 2007, provinsi utama penghasil kedelai terdiri dari Jawa Timur (42,54% dari total produksi nasional), Jawa Tengah (20,8%), NTB (11,55%), Sulawesi Selatan (3,2%), dan Jawa Barat (2,94%). Lima provinsi dengan produktivitas lahan yang tinggi terdiri dari Sulawesi Utara (17,7 ku/ha), Sulawesi Selatan (15,77 ku/ha), Jawa Tengah (14,65 ku/ha), Bali (14,63%), dan Sumatera Selatan (14,22 ku/ha), sedangkan Jawa Timur sebagai produsen kedelai terbesar nasional tingkat produktivitas lahannya hanya 12,63% (Tabel 35).
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Berbeda dengan kondisi produksi kedelai nasional, jumlah permintaan terhadap kedelai di dalam negeri terus meningkat setiap tahunnya dengan pertumbuhan 4,3 % per tahun. Kedelai sebagai bahan pangan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan protein yang murah bagi masyarakat. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, permintaan kedelai semakin meningkat. Walaupun kondisi konsumsi kedelai masyarakat Indonesia per kepita per tahun berfluktuasi namun pada beberapa tahun terakhir ini menunjukan adanya peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2003 terjadi penurunan rata-rata
Tabel 3-6. Perkembangan Kon sumsi Kedelai Nasio nal Tahun 1999 – 2006 Tahu n
Konsumsi (kg/kapita/tah un)
Pertumbuhan (%)
(1)
(2)
(3)
1999
5,7
2002
7,1
2003
6,93
-2%
2004
7,22
4%
2005
7,78
8%
2006
8,31
7%
Sumber: Neraca Bahan Makanan, BPS (2007)
78
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
konsumsi per kapita sekitar 2% dari tahun sebelumnya, namun selanjutnya meningkat dengan laju rata-rata 6,3 % per tahun. Pada tahun 2006 konsumsi kedelai per kapita per tahun mencapai 8,31 kg dan saat ini diperkirakan mencapai 10 kg/ tahun (Tabel 3-6).
w
.b p
s. go
.id
Dengan jumlah penduduk 220 juta dan konsumsi perkapita kedelai rata-rata 10 kg/tahun maka diperlukan kedelai untuk kebutuhan pangan minimal dua juta ton per tahun. Sekitar 1,2 juta ton digunakan untuk produksi tempe dan tahu, 0,65 juta ton digunakan untuk produksi kecap dan susu kedelai, satu juta ton untuk pakan ternak, serta untuk benih sekitar 0,05 juta ton. Kondisi produksi kedelai dalam negeri yang hanya mampu memasok 30% kebutuhan nasional, mengakibatkan Indonesia sangat tergantung pada impor. Berdasarkan hal tersebut, program khusus bagi peningkatan produksi kedelai dalam negeri diperlukan.
ht
tp :// w
w
Berdasarkan peningkatan kebutuhan kedelai yang terus meningkat, diperkirakan kebutuhan kedelai nasional tahun 2015 mencapai 2,71 juta ton dan 3,35 juta ton pada tahun 2025. Bila sasaran produktivitas kedelai nasional yaitu rata-rata 1,5 ton/ha dapat dicapai, maka untuk memenuhi seluruh kebtuhan kedelai nasional kebutuhan areal yang diperlukan untuk penanaman kedelai pada tahun 2015 dan 2025 masing-masing adalah 1,81 juta ha dan 2,24 juta ha. Hal tersebut merupakan tantangan bagi usaha perluasan lahan penanaman kedelai karena lahan yang tersedia terbatas dan digunakan untuk berbagai usaha tani terutama komoditas yang lebih kompetitif. Pemanfaatan kedelai bagi industri pangan dan non pangan sangat luas. Berdasarkan kelompok manfaat utamanya, kedelai dimanfaatan sebagai protein kedelai dan minyak kedelai oleh industri. Kedelai sebagai protein kedelai dapat digunakan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
79
Komoditas Kedelai
sebagai bahan baku industri makanan yang menghasilkan susu, kue-kue, permen dan daging nabati. Pada industri pangan, minyak kedelai digunakan dalam bentuk gliserida sebagai bahan untuk pembuatan minyak goreng, margarin dan bahan lemak lainnya. Pemanfaatan kedelai lainnya diantaranya adalah sebagai bahan baku pada industri kertas, cat cair, tinta cetak, tekstil, kosmetika, dan farmasi. Beragam pemanfaatan kedelai diperlihatkan pada gambar pohon industri kedelai (Gambar 31).
Tempe; Kecap; Tauco, Natto, dll
Pangan Non Fermentasi
Tahu; Susu Kedelai; dll
.b p
s. go
.id
Pangan Fermentasi
Kedelai
tp :// w
w
Minyak Kasar
w
Pangan Miyak Salad; Minyak Goreng; Mentega Putih; Margarine
ht
Lesitin
Konsentrat Protein
Bungkil
Teknik Weting agent; pelarut; pengemulsi; penstabil; pelumas; dll Pangan Es krim; yoghurt; makanan bayi-infant formula; kembang gula
Farmasi (Obat-Obatan; Kecantikan)
Pakan Ternak
Gambar 3-1. Pohon Industri Kedelai (Deptan, 2005)
80
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
3.2.3. Kondisi Ekspor Impor Kedelai
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Tingkat produksi kedelai dalam negeri yang tidak seimbang dengan tingkat konsumsi kedelai memaksa pemenuhan konsumsi kedelai berasal dari kedelai impor. Rata-rata tingkat produksi kedelai nasional hanya dapat memasok 30% dari total kebutuhan kedelai nasional. Sebelum terjadinya kenaikan harga pada tahun 2007, harga kedelai impor lebih murah dan keberlanjutan pasokan kedelai impor lebih terjamin dibandingkan dengan kedelai nasional. Setiap tahunnya ratarata Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,3 juta ton (selama periode 1996-2005), dengan Amerika Serikat sebagai negara pemasok utama (memasok hampir 50 % dari total impor kedelai Indonesia setiap tahunnya). Negara pengekspor kedelai utama ke Indonesia lainnya adalah India, Brazil, dan Argentina. Pertumbuhan impor kedelai dari negara maju dan negara berkembang setiap tahunnya, masing-masing mencapai 8% dan 9% (Nuryanti dan Kustiari, 2007). Tabel 3-7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor dan I mpor Kedelai Indonesia, Tahun 1996–2006 Ekspor
ht
I mpor
Tahun
Volume (ton)
Nilai (000 US D)
Volume (ton)
Nilai (000 US D)
(1) 1996 1997 1998 1999
(2) 1.705.583 1.532.112 1.033.802 2.227.321
(3) 530,582 518,86 273,776 475,158
(4)
(5)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
2.568.565 2.728.358 2.716.641 2.773.668 2.881.735 2.982.986 3.121.334
558,737 611,14 591,121 706,753 967,957 801,779 838,39
7,596
3,606
12,013 21,987 13,812 13,474 17,109 8,276
4,49 5,808 6,569 6,018 6,211 6,08
Sumber: BPS, diolah.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
81
Komoditas Kedelai
Volume dan nilai impor kedelai Indonesia masing-masing tumbuh sebesar 8,4 dan 7,9% per tahun (1996-2006). Di lain pihak, volume ekspor pada periode 1999-2005 tumbuh rendah, yaitu 1,7 % per tahun. Namun nilai ekspor tumbuh tinggi mencapai sekitar 8 % per tahun (Tabel 3-7). Tingginya pertumbuhan nilai ekspor kedelai nasional disebabkan jenis produk yang diekspor adalah produk olahan, sehingga terjadi peningkatan nilai tambah yang tinggi.
.id
3.2.4. Dukungan Pemerintah Terhadap Peningkatan Produksi Kedelai Nasional
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Dalam mengatasi krisis kedelai nasional, pemerintah mendukung peningkatan produksi kedelai nasional melalui strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan penguatan kelembagaan serta dukungan pembiayaan yang mulai dilaksanakan tahun 2008 (Deptan, 2008). Pada tahun 2006 usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai nasional juga telah dilakukan melalui program Bangkit Kedelai. Walaupun demikian tersebut hingga September 2007 program tersebut dinilai belum berhasil. Berikut ini merupakan penilaian kurang berhasilnya program peningkatan produksi kedelai Indonesia tahun 2007 (Kompas, 2008). a. Target peningkatan produktivitas tanaman kedelai di lahan seluas 313.498 ha hanya terealisasi 67.970 ha atau hanya 21,68%. b. Penggunaan benih unggul dengan menggunakan sistem pengolahan tanaman terpadu (PTT) juga hanya tercapai sebagian yaitu 31.820 ha dari target lahan penanaman kedelai seluas 100.000 ha. c. Peningkatan produksi kedelai di lahan seluas 213.498 ha melalui pendekatan non-PTT juga tercapai sebagian yaitu 36.120 ha. 82
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
d. Penerapan teknologi produksi pupuk bio juga tidak berjalan. e. Perluasan areal penanaman kedelai 700.000 ha di luar Pulau Jawa (1.600 ha lahan tidur PTPN II di sumatera Utara serta rencana perluasan lahan melalui indeks pertanaman (IP) seluas 68.400 ha) belum terealisasi. f. Pencapaian target penanaman kedelai melalui program swadaya baru tercapai 82% (294.420 ha) dari sasaran 357.242 ha.
.id
Pada tahun 2008 ditargetkan terdapat peningkatan produktivitas pada 670.000 ha lahan kedelai. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah memberikan bantuan benih melalui
(2) 1 N A. Darussalam 2 Sumatera U tara 3 Sumatera Selatan
w
w
(1)
Propinsi
.b p
No.
s. go
Tabel 3-8. Lokasi S L-PTT Kedelai Tahun 2008 Luas Areal (ha)
Jumlah S L-PTT
Jumlah Kabupaten
(3) 8,5 2,2 1,4
(4) 850 220 140
(5) 4 4 2
Lampung Jaw a Barat Jaw a Tengah DI.Yogy akarta Jaw a Timur Banten Bali N TB Sulaw esi Selatan Gorontalo Riau Jambi
1,5 10 38 7 82,4 2 1 22 8,5 2 1,2 5,3
150 1 3,8 700 8,24 200 100 2,2 850 200 120 530
3 4 9 2 13 1 1 4 5 2 4 5
16 17 18 19 20
Bengkulu Kalimantan Timur Sulaw esi U tara Sulaw esi Tengah Papua Barat Total
2,5 500 2,5 1 500 200
250 50 250 100 50 20
2 2 1 1 1 70
ht
tp :// w
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
(Deptan, 2008)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
83
Komoditas Kedelai
cadangan benih nasional sebanyak 2.000 ton benih serta bantuan langsung benih unggul sebanyak 4.400 ton. Total bantuan benih tersebut diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas 160.000 ha lahan kedelai. Peningkatan produktivitas 510.000 ha lahan kedelai lainnya diusahakan melalui dukungan optimalisasi pembinaan budidaya kedelai. Optimalisasi pembinaan meliputi pemanfaatan pupuk, infrastrukur, peralatan dan mesin pertanian, dan skim pembiayaan. Optimalisasi pembinaan dilakukan pula dengan pendampingan atau pengawalan dari Departemen Pertanian secara intensif.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Usaha perluasan areal tanam dilakukan melalui pembukaan areal Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) seluas 200.000 ha di daerah yang pernah ditanami kedelai (terdiri dari 20 provinsi) (Tabel 3-8), peningkatan penanaman kedelai secara tumpangsari dengan jagung, serta penanaman pada hutan tanaman industri (HTI). Usaha pengembangan penanaman kedelai dilakukan juga dengan kemitraan antara swasta, BUMN, dan perbankan. Pada SL-PTT 10 hektar lahan kedelai dikelola oleh satu kelompok tani, sehingga terdapat 20.000 kelompok tani untuk 200.000 ha. Pendampingan kelompok tani dilakukan oleh penyuluh pertanian, peneliti, POPT, dan PBT. Setiap kelompok tani memperoleh paket bantuan yang terdiri dari benih (40 kg per ha), pupuk hayati, pupuk anorganik, kapur pertanian, dan pestisida.
3.3. Permasalahan Dan Tantangan Peningkatan Produksi Kedelai Permasalahan dan tantangan utama dalam pengembangan produksi kedelai nasional dikelompokkan dalam dua kelompok utama yaitu permasalahan produksi dan perdagangan kedelai. 84
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
3.3.1. Permasalahan dan Tantangan Sektor Produksi Kedelai Nasional
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
a. Kondisi produktivitas kedelai nasional belum optimal. Rata-rata produktivitas kedelai nasional baru mencapai 1,3 ton/ha dengan kisaran 0,6-2,0 ton/ha di tingkat petani, sementara di tingkat penelitian mencapai 1,7-3,0 ton/ha, beragam tergantung pada kondisi Iahan/lingkungan. b. Tingkat implementasi teknologi inovatif sangat lambat. Belum optimalnya tingkat produktivitas kedelai petani berkaitan dengan masih rendahnya tingkat penerapan teknologi dalam hal penggunaan benih bermutu varietas unggul, teknik budidaya (populasi tanaman, ameliorasi lahan, pemupukan, pengelolaan air) dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (hama, penyakit, gulma). c. Keterbatasan pasokan benih unggul bermutu. Badan Litbang Pertanian telah melepas 64 varietas unggul kedelai dan sebagian di antaranya telah dikembangkan petani. Sekitar 90% areal pertanaman kedelai dewasa ini telah ditanami dengan varietas unggul seperti Wilis, Burangrang, Kaba, Anjasmoro, Sinabung, Ijen, Taggamus, dan Lawit (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008). Walaupun demikian benih unggul yang digunakan petani pada umumnya tidak berkualitas baik. Penggunaan benih unggul berkualitas baik baru sekitar 10% dan benih yang bersertifikat hanya sekitar 3 persen saja (Subandi, 2007). d. Penanganan hama penyakit tanaman kedelai oleh petani masih lemah. Kedelai merupakan tanaman yang paling besar menghadapi ancaman serangan hama atau penyakit. Dalam pengendalian hama petani mengandalkan penggunaan pestisida buatan yang banyak dijual di pasaran/kios-kios di kota hingga pedesaan. Kelemahan atau kekurangan petani dalam mengendalikan hama kedelai adalah: (a) umumnya
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
85
Komoditas Kedelai
tp :// w
ht
g. h. i.
w
w
.b p
s. go
f.
.id
e.
petani terlambat mengambil tindakan karena kurang mengamati perkembangan hama dan/atau tidak mengetahui saat yang tepat dalam aplikasi insektisida dalam kaitannya dengan fase pertumbuhan hama, (b) jenis pestisida yang diaplikasikan tidak sesuai dengan hama sasaran, serta (c) dosis dan/atau volume semprotnya rendah, hal ini dilakukan karena petani tidak tahu atau ingin menghemat pestisida sebab harga pestisida semakin mahal. Alat dan sarana produksi yang memadai belum secara merata memenuhi kebutuhan petani kedelai di seluruh daerah berdasarkan jumlahnya, jenis, mutu, dan harga. Keterampilan petani dalam budidaya kedelai dan penggunaan teknologi masih rendah Pembimbingan petani masih sangat diperlukan dalam melaksanakan usaha taninya meliputi penerapan teknologi, pemeliharaan tanaman terutama terhadap antisipasi serangan hama dan penyakit tanaman, serta dalam penerapan teknologi panen dan pasca panen kedelai masih belum optimal. Kemitraan agribisnis kedelai belum berkembang Ketersediaan modal petani lemah Minat petani dalam menanam kedelai
Menurut Mulyani (2008), dalam pengembangan produksi kedelai nasional perlu memperhatikan jumlah rumah tangga petani, ketersediaan tenaga kerja, serta minat masyarakat setempat untuk menanam kedelai. Di setiap daerah kondisi minat petani untuk menanam kedelai bervariasi. Minat petani untuk menanam kedelai cukup tinggi di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan NAD. Sementara itu, usaha tani kedelai yang cukup intensif ditemui di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan Lampung. Minat petani dalam menanam kedelai dipengaruhi oleh tingkat keuntungan yang akan diperolehnya. Saat ini harga kedelai
86
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
nasional dan dunia yang tinggi menjadi pemacu minat petani untuk menanam kedelai, namun kendala biaya produksi kedelai yang juga tinggi akibat masalah kelancaran pasokan pupuk dan harganya yang juga meningkat mengaibatkan biaya produksi kedelai juga cukup tinggi. Petani masih lebih berminat menanam jagung yang dapat memberikan keuntungan lebih tinggi per hektar lahan bila dibandingkan dengan menanam kedelai. 3.3.2. Permasalahan dalam perdagangan kedelai nasional
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Harga kedelai hampir tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah, karena lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar yang dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan persediaan. Harga nominal kedelai di tingkat petani berfluktuatif dimana pada saat panen raya harga kedelai di tingkat petani akan jatuh. Mekanisme penentuan harga tersebut juga yang mengakibatkan minat petani menanam kedelai sebelum tahun 2006 terus menurun terutama akibat kedelai impor yang memiliki harga lebih murah dari harga kedelai dalam negeri. Rantai pemasaran kedelai yang cukup panjang dan posisi tawar petani yang lemah juga merupakan tantangan untuk meningkatkan minat petani menanam kedelai. Harga kedelai di tingkat petani lebih banyak ditentukan oleh pedagang, sehingga harga yang diperoleh petani tidak menguntugkan. Pada Gambar 2 diperlihakan alur pasokan kedelai di dalam negeri. Kedelai yang dihasilkan oleh petani dipasok kepada grosir maupun industri pengolah oleh pedagang pengumpul desa. Pedagang grosir kemudian memasarkan kedelai kepada pedagang pengecer dan atau koperasi yang kemudian akan memasarkannya kepada konsumen industri maupun konsumen akhir. Kedelai impor umumnya dibeli oleh koperasi dan memasarkannya kepada pengrajin tahu dan tempe serta industri pengolahan kedelai lainnya.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
87
Komoditas Kedelai
Importir
Petani
KOPTI
Pedagang Pengumpul Desa
Pengecer
Grosir
Pengolah Konsumen Akhir
s. go
.id
Gambar 3-2. Rantai Tata Niaga Kedelai di Indonesia (Deptan, 2005)
ht
tp :// w
w
w
.b p
Saat harga kedelai impor tinggi, kondisi harga pasar kedelai dalam negeri masih belum memuaskan petani. Tata niaga kedelai yang dikuasai oleh pedagang kedelai impor menyebabkan nilai tawar petani tetap sangat lemah. Pada saat harga kedelai di pasar mencapai Rp. 6.000 per kg, harga di tingkat petani rata-rata hanya mencapai Rp. 3.000 (Kompas, 2008). Berdasarkan kondisi tersebut dukungan pemerintah dalam memperbaiki tata niaga kedelai termasuk kebijakan penetapan harga dasar kedelai bagi petani sangat diperlukan
3.4. Strategi Pengembangan Produksi Kedelai Nasional 3.4.1. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Pengembangan Produksi Kedelai Nasional a.
Kekuatan (Strength)
Beberapa aspek kekuatan yang berpengaruh besar terhadap produksi dan daya saing komoditas kedelai Indonesia adalah tersedianya potensi lahan yang dapat dikembangkan
88
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
untuk penanaman kedelai dengan jumlah luas areal yang cukup besar; Indonesia memiliki keanekaragaman varietas kedelai unggulan hasil penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang dapat dibudidayakan; jumlah tenaga kerja dalam usaha tani kedelai memadai; dan terdapat dukungan regulasi maupun kebijakan dari pemerintah yang kuat untuk pengembangan produksi kedelai nasional. b.
Kelemahan (Weakness)
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Aspek kelemahan yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap produksi dan daya saing kedelai domestik adalah berkaitan dengan aspek budidaya dan tata niaga kedelai dalam negeri. Pada aspek budidaya faktor-faktor kelemahan meliputi kurangnya pasokan benih unggul berkualitas, belum tercapainya optimalisasi penerapan teknologi tepat guna, imlementasi teknologi inovatif masih lambat, keterbatasan jumlah sarana dan peralatan pertanian, masih rendahnya keterampilan dan pengetahuan petani dalam penanganan hama penyakit tanaman maupun penerapan teknologi, serta rendahnya ketersediaan modal petani. c.
Peluang/Kesempatan (Opportunity)
Peluang yang cukup baik dan memberikan pengaruh positif bagi peningkatan produksi dan daya saing kedelai adalah kondisi permintaan kedelai dalam negeri maupun luar negeri yang terus meningkat; adanya penurunan pasokan kedelai dunia memaksa Indonesia memacu produksi kedelai dalam negeri; dapat terlaksanakannya sebagian program-program peningkatan produksi kedelai nasional pemerintah; terdapat dinas-dinas pertanian di setiap provinsi Indonesia dengan kinerja cukup baik sebagai pemacu dan pembimbing peningkatan produksi kedelai di wilayahnya masing-masing; pengembangan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
89
Komoditas Kedelai
teknologi budidaya dan pengolahan kedelai masih terus dikembangkan oleh institusi penelitian pertanian dalam negeri. d.Ancaman (Threat)
s. go
.id
Ancaman yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap pengembangan produksi kedelai dalam negeri adalah adanya peningkatan pasokan kedelai dari luar negeri; mutu kedelai impor yang lebih baik dari kedelai lokal; berkurangnya areal lahan penanaman kedelai di Indonesia untuk penggunaan non pertanian; gagal panen akibat serangan hama penyakit dan bencana alam; sulitnya bantuan penyediaan modal bagi para petani kedelai.
.b p
3.4.2. Strategi Pengembangan Produksi dan Daya Saing Komoditas Kedelai Indonesia
ht
tp :// w
w
w
Peningkatan produksi kedelai nasional dipengaruhi oleh tiga faktor utama yang saling berkaitan yaitu faktor kinerja produksi kedelai dalam negeri, kebijakan pemerintah, dan kekuatan struktur pasar kedelai. Untuk meningkatkan produksi kedelai nasional maka berdasarkan hasil analisa permasalahan dalam agribisnis kedelai strategi utama bagi pengembangan produksi kedelai nasional meliputi strategi peningkatan diperlukan strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, penguatan kelembagaan agribisnis kedelai, dukungan pembiayaan, serta penjagaan hasil produksi maupun kinerja produksi petani. Secara lebih lengkap strategi pengembangan produksi kedelai Indonesia didaftar pada Tabel 3-9.
90
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
Tabel 3-9. S trategi Pengembangan Produksi Kedelai Nasional
1
S trategi operasional Peningkatan Produktivitas
Program Aksi
Langah-Langkah
Penyediaan benih kedelai
Mempercepat transfer teknologi produksi benih pada petani melalui program pembimbingan dan pelatihan. Aplikasi bioteknologi untuk pengembangan bibit unggul baru Pengembangan teknologi produksi benih unggul Mengurangi ketergantungan penggunaan pupuk kimiawi dengan mengembangkan pupuk organik yang dapat diproduksi di daerah sentra produksi masing-masing Mengembangkan teknologi lokal bagi produksi peralatan pertanian sehingga tercapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan peralatan budidaya pertanian.
s. go
Pengembangan mutu benih unggul kedelai
Menciptakan kemudahan akses petani terhadap benih unggul bermutu melalui pengembangan saluran distribusi benih unggul bermutu di setiap sentra produksi kedelai.
.id
No
ht
tp :// w
w
w
.b p
Penyediaan input produksi mandiri dan berkelanjutan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
91
Komoditas Kedelai
Tabel 3-9. Lanjutan S trategi No Operasional
Program Aksi Penanggulangan Hama Penyakit Kedelai
Langah-Langkah Mengembangkan penerapan biokontrol untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman kedelai lokal Pengembangan teknologi pengendalian hama dan penyakit secara terpadu
Penyediaan sarana dan prasarana yang mampu memperlancar kegiatan produksi kedelai seperti sarana irigasi dan akses transporatsi yang baik Mempermudah akses pelaku usaha terhadap informasi teknologi Optimalisasi pembinaan petani Memberikan pembinaan atau pelatihan bagi produsen atau penangkar benih dalam aspek teknis (produksi benih), manajemen usaha perbenihan serta pengembangan pemasaran benih. Pembinaan terhadap penerapan pengelolaan tanaman terpadu yang merupakan merupakan pendekatan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan pendapatan petani melalui penerapan teknologi pengelolaan lahan (tanah, air, hara), tanaman, dan organisme pengganggu
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Pembangunan sarana dan infrastruktur penunjang
2
92
Perluasan Areal Tanam
Pengembangan sistem penyuluhan serta perekrutan dan pemberdayaan penyuluh Pengelolaan areal lahan penanaman kedelai baru melalui kerjasama kemitraan antara pihak swasta dan BUMN sebagai program CSR perusahaan serta pihak perbankan dengan petani Pemanfaatan lahan potensial untuk penanaman kedelai, serta mempertahankan luas areal penanaman kedelai yang ada.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
Tabel 3-9. Lanjutan S trategi No operasional 3
Program Aksi
Langah-Langkah
Pengamanan H asil Perbaikan penanganan
M eningkatkan nilai tambah dan day a saing
Produksi Kedelai
produksi dengan meningkatkan mutu polong dan
kedelai pasca panen
dalam negeri
biji kedelai untuk makanan segar maupun olahan, memperbaiki penanganan pasca panen M embangun unit-unit peny impanan kedelai di sentra-sentra produksi untuk mempertahankan mutu kedelai dan menjaga pasokan kedelai sepanjang tahun.
4
Penguatan
Pelatihan kemampuan manajerial pengurus
Penguatan kelembagaan
kelompok produsen (asosiasi kelompok/koperasi pelaku usaha pertanian
Kelembagaan
atau koperasi)
.id
M emperbaiki dan mengontrol birokrasi pertanian, bantuan benih, alat pertanian maupun permodalan
s. go
pada petani dari peny alahgunaan.
Peningkatan sinergi lembaga
Pengembangan jejaring pengusaha dengan
penunjang
univ ersitas dan lembaga penelitian untuk inov asi
.b p
budiday a, serta pengembangan produksi kedelai bernilai tambah
w
Perbaikan kebijakan
M emperbaiki
ht
6
tp :// w
w
5
Adany a konsistensi dan sinkronisasi kebijakan antar dan dalam departemen untuk mew ujudkan pembangunan pertanian dan sw asembada pangan serta adany a kerjasama terkoordinasi antar berbagai instansi untuk menerapkan berbagai kebijakan-kebijakan pertanian. M emperbaiki dan memperpendek rantai tata niaga
kondisi pemasaran
produsen ke konsumen y ang dapat meningkatkan
kedelai dalam negeri
efisiensi biay a pemasaran serta mendukung pada sw asembada kedelai. Perbaikan tata niaga kedelai y ang mampu memberikan intensif kepada produsen/petani kedelai akan
Penetapan harga dasar kedelai y ang ideal oleh pemerintah dan mengaktifkan BU LOG sebagai lembaga penampung produksi kedelai petani saat panen ray a.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
93
Komoditas Kedelai
DAFTAR PUSTAKA
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Food Crops Statistics. http:// bps.go.id/sector/agri/ pangan/ tables.shtml [6/3/2008] [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Rangkuman Kebutuhan Investasi. Deptan. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Kedelai. http:// www.litbang.deptan.go.id/special/ komoditas/files/00KEDELAI.pdf [13-4-2008]. [Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Ekspor Impor Komoditas Pertanian. http://deptan.go.id. Gumbira-Sa’id, E. 2008. Permasalahan Komoditas Kedelai Terkini dan Formulasi Strategi untuk Penanggulangan nya. Makalah disampaikan pada pertemuan Gatra, Husein Sawit, M., Sjaiful Bachri, Sri Nuryanti, dan Frans B.M. Dabukke. 2006. “Fleksibelitas Penerapanan Special Safeguard Mechanism (SSM) dan Kaji Ulang Kebijakan Domestik Support (DS) untuk Special Product (SP) Indonesia”, Laporan Hasil Penelitian, Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Kompas, 2008. Produksi Kedelai Mesti Ditingkatkan, Bea Masuk Impor Turun Jadi 0 Persen. Kompas, 2008. Apa Sulitnya Menaikkan Produksi?. Kompas, 14 Januari 2008. Munawir, W. 2008. Di Balik Mahalnya Harga Kedelai. http:// minangkabau newsopini.blogspot.com/2008/01/di-balikmahalnya-harga-kedelai.html. [12/05/2008]. Mulyani, A. 2008. Potensi dan Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Kedelai di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 30, No. 1, 2008. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Nuryanti, S. dan Kustiari, R. 2008. meningkatan Kesejahteraan petani kedelai dengan kebijakan Tarif Optimal. p se .l i tb a ng .d e ptan .go .i d /i n d/pd ffi le s /S e mn as 4 Des07_MP_A_RENI.pdf. [12/05/2008]. Pamuji, Heru. 2008. Tahu-Tempe di Meja Presiden. Gatra, 25 Januari 2008. Jakarta. Roja, A. 2006. Bangkit Kedelai. Harian Umum Independen Singgalang, Senin 26 Juni 2006.
94
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kedelai
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Subandi, 2007. Strategi Pengembangan Kedelai. Sinar Tani edisi 30 Mei-5 Juni 2007. Swastika, D.K.S. 2005. The Frontier of Soybean Development Policy. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No. 2. Juni 2005. Tempo Interaktif . 2008. Pemerintah Turunkan Bea Masuk Kedelai.. Edisi Selasa, 15 Januari 2008.http:// www.tempointeraktif.com/ [3-4-2008]. USDA. 2008. USDA Agricultural Projection to 2017. USDA, Economic Research Service. Waspada Online. 2008. Kedelai Resmi Bebas Bea Masuk.. Edisi Selasa 22 Januari 2008. http://www.waspada.co.id/ [114-2008].
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
95
Komoditas Kedelai
Lampiran 3-1. Dokumentasi kunjungan tim IPB-BPS dalam kajian agribisnis kedelai di
.id
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
a. Areal lahan penanaman kedelai di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur
b. Kondisi areal lahan penanaman kedelai yang terserang hama
96
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
.id
Komoditas Kedelai
c. Ragam produk tahu sebagai produk berbahan baku kedelai yang
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
menjadi makanan khas produksi UKM di Kota Kediri
d. Keripik tempe sebagai produk olahan berbahan baku kedelai yang menjadi makanan khas produksi UKM di daerah Jawa Timur
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
97
s. go
.id
Kajian Kinerja dan Strategi Pengembangan Komoditas Daging Sapi
w
.b p
Penulis :
ht
tp :// w
w
Tim IPB
Komoditas Daging Sapi
4.1. Pendahuluan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Daging sapi merupakan salah satu komoditas pertanian penting dan strategis di Indonesia. Terdapat berbagai alasan yang membuat daging sapi memiliki peran penting dan strategis yaitu 1) pengembangan komoditas daging sapi sebagai bagian dari subsektor peternakan berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru bagi peningkatan PDB sektor pertanian; 2) terdapat pertumbuhan jumlah rumah tangga yang terlibat dalam usaha peternakan dimana usaha sapi potong memberikan kontribusi terbesar (Ditjennak, 2008). Pada tahun 1993, jumlah rumah tangga yang terlibat dalam usaha peternakan terus bertambah mencapai 5,62 juta dari 4,45 juta pada tahun 1983. Jumlah tersebut bertambah menjadi 6,51 juta pada tahun 2003 (BPS 2004); 3) sentra produksi daging sapi tersebar di banyak daerah, sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian regional dan 4) pengembangan produksi komoditas daging sapi mendukung upaya peningkatan ketahanan pangan baik sebagai penyedia bahan pangan maupun sebagai sumber pendapatan, yang keduanya berperan meningkatkan ketersediaan dan aksebilitas pangan (Ilham, 2004). Pemerintah menetapkan daging sapi sebagai salah satu komoditas yang diharapkan mampu mencapai swasembada melalui revitalisasi pertanian. Swasembada daging untuk mencapai kemandirian dalam pemenuhan kebutuhan pangan sangat diperlukan terutama pada saat menghadapi dampak kesepakatan GATT tahun 2010 dan 2020. Dampak kesepakatan GATT akan menyebabkan negara-negara yang kekurangan pangan dan terbelakang sulit melakukan impor daging karena terhambat oleh mahalnya harga produk dari negara asalnya, karena dicabutnya subsidi ekspor yang diterima oleh para peternak. Hingga saat ini kebutuhan daging sapi Indonesia
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
101
Komoditas Daging Sapi
masih belum dapat tercukupi dari hasil produksi daging sapi dalam negeri. Konsumsi daging sapi domestik saat ini mencapai 300.000 ton pertahun dan terdapat kecenderungan pertumbuhan konsumsi yang meningkat setiap tahunnya. Kekurangan kebutuhan daging sapi domestik, hingga saat ini masih dipenuhi dari sapi impor berupa daging maupun sapi hidup (Deptan, 2005).
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Untuk mencapai swasembada sapi, diperlukan perumusan strategi yang baik dan tepat bagi peningkatan produksi sapi pedaging. Terdapat beragam permasalahan maupun hambatan yang merintangi kemajuan pengembangan usaha komoditas daging sapi menuju swasembada sapi. Beberapa permasalahan seperti kurangnya pengadaan bibit sapi potong unggul, permasalahan ketersediaan pakan hewan yang memadai, dan lemahnya penerapan teknologi oleh peternak merupakan permasalahan yang harus segera ditangani untuk mempercepat pencapaian swasembada daging sapi.
4.2. Kinerja Pengembangan Produksi Daging Sapi
ht
4.2.1. Perkembangan Populasi Sapi Pedaging Sapi pedaging secara umum terdiri dari dua jenis sapi utama yaitu Bos taurus (sapi Eropa, sebagian sapi Afrika, dan Asia) dan Bos indicus (sapi Brahman, India). Jenis-jenis sapi lainnya di luar jenis sapi utama saat ini berasal dari hasil perkawinan silang antara sapi dengan spesies lainnya seperti banteng, bison, dan kerbau. Di Australia jenis sapi pedaging yang diternakkan meliputi jenis Bos taurus (Hereford, Shorthorn) dan Bos indicus yang dikawinsilangkan dengan Bos taurus. Sapi jenis Bos taurus banyak dikembangkan di bagian selatan Australia, karena jenis tersebut memiliki kualitas daging yang
102
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
.id
baik (lean & marble) serta cocok untuk daerah berudara dingin. Spesies kawin silang Bos indicus dan Bos taurus banyak dikembangkan di bagian utara Australia yang bersuhu panas dan memiliki kondisi lebih keras (miskin padang rumput). Berbeda dengan Australia, di India jenis sapi yang terdapat paling banyak adalah sapi Brahman (jenis Bos indicus). India merupakan daerah asal sapi Bos Indicus dan menjadi negara dengan jumlah populasi sapi terbesar di dunia. Ukuran sapi Brahman yang besar, meruapkan daya tarik pemanfaatan sapi tersebut sebagai spesies sapi pedaging unggulan (Ditjennak dalam Alam, 2008).
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Sapi pedaging yang terdapat di Indonesia terdiri dari sapi lokal dan sapi impor. Sapi impor didatangkan dari Australia dan Selandia Baru sedangkan sapi lokal Indonesia merupakan sapi variasi hasil perkawinan silang antara sapi Bos indicus dan kerbau. Sapi-sapi Indonesia yang dijadikan sumber daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole) dan sapi Madura. Selain itu terdapat juga sapi Aceh yang banyak diekspor ke Malaysia. Dari populasi sapi pedaging yang terdapat di Indonesia, jenis sapi yang penyebarannya merata di berbagai wilayah Indonesia adalah sapi Bali, sapi PO, Madura dan Brahman. Secara keseluruhan, populasi sapi pedaging di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pertumbuhan jumlah populasi sapi dari tahun 2003 hingga 2007 mencapai 2% per tahun. Propinsi dengan jumlah populasi sapi pedaging terbanyak pada tahun 2007 adalah Propinsi Jawa Timur. Propinsi lainnya dengan jumlah populasi sapi pedaging yang besar (lebih dari 400 ribu ekor) terdapat di propinsi Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Selatan, NTT, NTB, Smatera Barat, dan Lampung. Masing-masing propinsi tersebut mengalami pertumbuhan jumlah populasi ternak sapi pedaging
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
103
Komoditas Daging Sapi
setiap tahunnya. Jumlah populasi sapi pedaging per propinsi pada tahun 2003-2007 diperlihatkan pada Tabel 4-1.
T abel 4-1. Jumlah Populasi Sapi Pedaging per Propinsi T ahun 2003-2007 (ekor)
Jumlah
2004
2007 *)
(5) 718,623 251,488 440,641 108,223 118,16 450,3 85,429 401,636 0 254,243 1.392.590 251,335 2.584.441 613,241 481,376 544,482 160,527 63,3 193,92 73,878 114,816 189,145 637,128 221,975 67,948 51,054 5,272 20,509 210,694 41,115 7,204 29,906 90,526
(6) 763,895 267,333 463,027 120,01 126,5 583,986 87,223 412,228 0 277,894 1.401.781 253,848 2.646.071 618,576 491,004 555,293 176,574 66,465 202,452 75,356 116,536 197,794 646,796 247,12 70,014 56,016 5,588 21,567 235,798 42,841 7,348 33,886 95,053
10.569.312
10.875.125
11.365.873
.id
10.532.889
2006
(4) 625,134 288,931 419,353 102,352 113,678 449,5 83,196 417,129 0 234,84 1.390.408 247,01 2.524.476 590,949 451,165 533,71 158,791 61,259 182,639 69,024 118,931 187,514 594,316 213,84 66,578 48,271 4,559 18,838 205,993 40,537 10,027 30,149 86,215
s. go
10.504.128
2005
.b p
(3) 655,811 248,971 597,294 107,954 147,917 438,666 80,371 391,846 0 232,949 1.357.125 236 726 2.519.030 576,586 426,033 522,929 156,569 55,599 173,648 60,784 98,741 197,692 627,981 208,74 76,864 74,298 3,181 22,872 201,678 34,034 0 0 0
w
(2) 701,777 248,673 583,85 112,861 145,845 419,937 77,953 387,35 0 223,818 1.345.153 224,247 2.516.777 539,781 419,569 512,999 148,303 42,095 166,469 56,145 124,262 194,099 737,538 208,227 62,727 70,089 15,407 9,936 174,46 33,781 0 0 0
w
2003
tp :// w
(1) NA. D arussalam Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jabar Jateng DI Yogy akarta Jatim Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultra Maluku Papua Babel Banten Gorontalo Malut Kepri Irjabar Sulbar
ht
Propinsi
* Angka sementara (Ditjennak, 2008)
104
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
Di dalam pengembangan peternakan sapi pedaging dan produksi daging sapi, terdapat empat hal teknologi sapi pedaging yang perlu diperhatikan yaitu teknologi genetik dan reproduksi, teknologi pakan dan nutrisi, teknologi pemeliharaan, dan teknologi pemotongan serta pengolahan. Berikut ini merupakan perkembangan pada industri sapi pedaging yang berkaitan dengan empat teknologi sapi pedaging di atas (Alam, 2008). a.
Teknologi Genetik dan Reproduksi
w
w
.b p
s. go
.id
Teknologi paling sederhana yang diterapkan dalam pengembangan teknik reproduksi adalah perkawinan silang dan purebreed. Teknologi tersebut digunakan untuk menghaislkan bibit sapi berkualitas unggul dari karakteristik jjumlah karkas, rasa daging, ketahanan terhadap penyakit, pakan, perawatan yang mudah, dan lainnya. Setelah bibit unggul dihasilkan, dilakukan pemurnian darah (purebreed) agar bibit-bibit sapi setelahnya memiliki keunggulan yang sama dengan induknya.
ht
tp :// w
Saat ini rekayasa genetika menjadi teknologi terkini bagi industri sapi pedaging. Teknologi embryo transfer dan kloning – di luar kontroversi yang dihasilkan- merupakan terobosan teknologi. Teknologi kloning dapat menghasilkan anak-anak sapi yang identik 100% dengan induknya. Teknologi tersebut dapat mempersingkat proses penemuan jenis sapi baru yang dilakukan melalui teknik kawin silang, dari 15 tahun menjadi hanya satu tahun. b. Teknologi Pakan dan Nutrisi Teknologi pakan dan nutrisi dikembangkan agar sapi pedaging memiliki bobot badan yang tinggi, daya tahan tubuh baik, hingga rasa daging tertentu. Pakan tambahan menjadi salah satu sasaran pengembangan teknologi pakan. Riset
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
105
Komoditas Daging Sapi
mengenai komposisi pakan yang efektif untuk sapi tertentu, dapat menghasilkan formula pakan yang efektif bagi sapi tersebut. Nutrisi dihubungkan dnegan daya tahan tubuh sapi selama masa pertumbuhannya. Pemberian vitamin tambahan pada sapi pedaging dapat dilakukan untuk mendapatkan sapi berdaya tahan tubuh tinggi. c.
Teknologi Pemeliharaan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Feedlots merupakan terobosan teknologi bagi pada indsutri sapi. Di masa kini, semua industri sapi pedaging mengunakan feedlots bagi sapi mereka sebelum sapi tersebut di potong. Metode tersebut memberikan hasil daging terbaik dari segi jumlah karkas, rasa, dan kualitas produk potong. Teknologi pemeliharaan seperti manajemen pasokan air, organisasi kandang, pemberian pakan dan lai-lain menjadi mudah dilakukan karena dilakukan sebagai kesatuan kegiatan manajemen kandang. Metode pemeliharaan sapi dalam kandang tersebut memerlukan aplikasi teknologi terkini sehubungan dengan konstruksi kandang, manajemen pasokan air, pemberian pakan, kebersihan kandang dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan biaya investasi lebih mahal dari cara konvensional, namun hasilnya memberikan produk sapi dengan kualitas tinggi. d.
Teknologi Pemotongan dan Proses Pengolahan
Teknologi pemotongan yang lebih modern dilakukan dengan menggunakan mesin pemotong untuk mempermudah proses pemotongan. Dalam hal teknologi pengolahan, perkembangan meliputi penggunaan kemasan vaccuum bag, pengembangan teknologi pengalengan daging, dan lainnya. Perkembangan teknologi tersebut ditujukan untuk lebih menjamin bahwa daging yang diproduksi dapat tiba hingga
106
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
konsumen masih dalam kondisi terbaik dan daging yang telah menjalani proses pengolahan diharapkan dapat memiliki masa kadaluwarsa yang panjang (tahan lama).
.b p
s. go
.id
Perkembangan teknologi sapi pedaging berkembang mengikuti pertambahan jumlah permintaan pasar terhadap daging sapi. Peningkatan persaingan antara industri dan peternak sapi mengakibatkan perlu dicapainya efisiensi dan efektifitas produksi melalui penerapan teknologi sepanjang prosesnya. Dengan demikian peran teknologi sapi pedaging menjadi sangat penting untuk diterapkan. Pada Lampiran III-1 diperlihatkan salah satu gambaran usaha peternakan sapi pedaging di Indoensia dan pada Lampiran III-2 diperlihatkan beberapa ilustrasi penerapan teknologi pada usaha peternakan sapi pedaging.
w
w
4.2.2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Daging Sapi Nasional
ht
tp :// w
Data jumlah produksi daging sapi Indonesia menunjukkan adanya peningkatan setiap tahunnya. Rata-rata pertumbuhan jumlah produksi daging sapi selama tahun 2003-2007 mencapai 3,9% per tahun. Propinsi dengan jumlah produksi daging sapi terbanyak pada tahun 2007 adalah Jawa Barat (460.868 ton). Propinsi lainnya dengan jumlah produksi daging sapi yang besar (lebih dari 100.000 ton) adalah Jawa Timur (371.993 ton), Jawa Tengah (214.978 ton), DKI Jakarta (128.462 ton), dan Sumatera Utara (120533 ton). Perkembangan produksi daging sapi domestik tahun 2003-2007 diperlihatkan pada Tabel 4-2.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
107
Komoditas Daging Sapi
T abel 4-2. Produksi Daging Sapi Nasional T ahun 2003-2007 (ton) 2005
2006 (5) 41,483 112,28 41,673 38,287 18,87 50,967 5,441 48,533 123,521 451,832 211,666 66,505 318,848 107,671 36,821 47,563 46,499 10,721 39,164 33,618 22,001 12,666 69,417 13,582 7,592 9,802 9,914 39,859 2,418 4,108 10,221 1,804 7,514 2.062.860
s. go
(4) 26,485 115,533 41,725 36,504 19,974 44,676 6,03 50,205 102,338 407,959 180,65 34,396 301,506 103,939 19,546 36,174 35,685 14,205 33,264 33,286 25,485 10,433 37,057 13,551 6,633 7,463 8,108 46,022 2,952 2,829 3,82 1,434 7,156 1.817.027
.b p
(3) 25,814 125,358 45,589 41,188 19,55 44,665 6,373 49,368 130,869 439,632 195,052 37,818 334,106 131,905 18,582 34,151 34,09 13,893 31,547 30,316 20,446 9,73 34,513 13,793 5,503 11,188 5,353 51,59 73,078 5,296 0 0 0 2.020.356
.id
2004
w
(2) 27,66 116,188 37,31 51,123 19,605 44,65 21,526 47,408 127,729 419,374 201,08 36,143 311,856 117,781 16,135 31,455 24,134 11,382 24,767 31,606 20,428 8,934 35,816 13,078 5,413 8,909 7,71 46,29 1,792 5,284 0 0 0 1.872.566
w
2003
tp :// w
(1) N A. D arussalam Sumatera U tara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jaw a Barat Jaw a Tengah DI Yogy akarta Jaw a Timur Bali N TB N TT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulaw esi U tara Sulaw esi Tengah Sulaw si Selatan Sulaw esi Tenggara M aluku Papua Bangka Belitung Banten Gorontalo M aluku U tara Kep. Riau Irjan Barat Sulaw esi Barat Jumlah * Angka sementara (Ditjennak, 2008)
ht
Propinsi
2007 *) (6) 42,266 120,533 42,416 44,674 21,459 50,324 5,839 47,217 128,462 460,868 214,978 67,17 371,993 109,56 38,103 49,254 47,52 12,483 42,86 34,576 22,365 13,274 68,773 12,519 8,01 9,736 13,156 43,404 2,625 4,259 8,541 2,554 7,989 2.169.763
Bila dibandingkan dengan data nasional jumlah sapi yang dipotong di rumah pemotongan hewan (RPH) maupun di luar RPH, gambaran peningkatan produksi daging sapi yang terjadi
108
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
1600 1500 1400 1300 1200 1100 2000
2001
2002
2003
.id
Jumlah Sapi yang Dipotong (1000 ekor)
setiap tahunnya tidak selalu sama dengan peningkatan jumlah sapi yang dipotong setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS (2008) jumlah sapi potong yang dipotong selama periode 20002005 mengalami fluktuasi (Gambar 4-1).
2004
2005
s. go
Tahun
w
.b p
Gambar 4-1. Perkembangan Jumlah Sapi Potong yang Dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) maupun di Luar RPH Tahun 2000-2005 (diolah dari BPS (2008) [data diakses dari http://bps.go.id/ tanggal 6/3/2008])
ht
tp :// w
w
Pertumbuhan produksi daging sapi meningkat seiring dengan peningkatan permintaan daging sapi. Dibandingkan dengan daging hewan ternak lainnya, permintaan terhadap daging sapi memiliki persentase terbesar (84,83 %) dari permintaan daging ternak ruminansia. Peningkatan permintaan daging sapi juga ditandai oleh peningkatan konsumsi pangan hewani per kapita Indonesia. Pada tahun 2005, konsumsi pangan daging sapi per kapita adalah 1,08 kg/kapita/tahun. Pada tahun 2006, konsumsi daging sapi per kapita mencapai 1,13 kg/kapita/ tahun dan 1,20 kg/kapita/tahun di tahun 2007 (Ditjennak, 2008). Walaupun terdapat peningkatan produksi daging sapi nasional, kondisi tersebut belum mampu memenuhi seluruh permintaan daging sapi domestik. Berdasarkan data Bapenas di dalam Ilham (2006), kecukupan daging sapi domestik hingga tahun 2010 belum akan dapat dipenuhi oleh produksi sapi dalam
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
109
Komoditas Daging Sapi
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Kesenjangan Konsumsi dan Produksi (ribu ton)
.id
negeri, berbeda halnya dengan daging unggas maupun non sapi (Gambar 4-2). Kebutuhan daging sapi pada tahun 2010 diduga akan bertambah 115,67 ribu ton dari kebutuhan tahun 2005 (378,93 ribu ton). Dengan menggunakan asumsi satu ekor sapi lokal menghasilkan 123,91 kg daging dan sapi impor menghasilkan daging 198,85 kg, maka angka tersebut setara dengan 933.500 ekor sapi lokal hidup lebih banyak dari tahun 2005 atau setara dengan 581.695 ekor sapi impor. Mengingat impor sapi pada tahun 2005 adalah 350.000 ekor maka total impor pada tahun 2010 akan mencapai 931.695 ekor (Nurrudin, 2007).
ht
Tahun
Gambar 4-2. Proyeksi Kesenjangan Produksi dan Konsumsi Komoditas Daging Indonesia Tahun 2005-2010 (Ilham, 2006)
Pemanfaatan komoditas sapi pedaging tidak hanya untuk kebutuhan pangan tetapi juga untuk kebutuhan non pangan seperti kosmetik, farmasi, dan kerajinan kulit. Pada Gambar 4-3 diperlihatkan skema pohon industri sapi pedaging. Komoditas daging sapi digunakan sebagai bahan baku di industri pangan untuk diolah menjadi produk pangan olahan seperti daging kaleng, abon sapi, dendeng, dan bakso. Bagian tulang sapi dapat
110
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
dimanfaatkan menjadi tepung tulang untuk pakan ternak dan gelatin untuk bahan baku industri kosmetik, farmasi, maupun bahan tambahan industri pangan. Darah sapi yang diperoleh dari RPH dapat diolah menjadi tepung darah untuk pakan hewan. Kulit sapi dapat digunakan sebagai bahan baku industri kerajinan kulit.
Kerupuk Kulit Kulit Produk Kerajinan Kulit
Segar
Sapi Pedaging
Daging
Pakan ternak
.id
Tepung Darah
s. go
Darah
Pasar
w
.b p
Olahan
Tepung Tulang
tp :// w
w
Tulang
Pakan Ternak Kosmetik
Gelatin
Farmasi Bahan Tambahan Makanan
Pupuk
ht
Kotoran
Daging Beku Dendeng Daging Giling Daging Corned Sosis Bakso Daging Kalengan
Gambar 4-3. Pohon Industri Sapi Pedaging (www.dprin, [14/12/2005])
4.2.3. Perkembangan Ekspor-Impor Terdapat kegiatan ekspor maupun impor pada perdagangan komoditas sapi pedaging Indonesia. Dari beragam jenis komoditas daging sapi yang diperdagangkan, jumlah maupun nilai impor sapi potong Indonesia lebih besar dari jumlah dan nilai ekspornya. Ekspor sapi Indonesia adalah berupa ternak
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
111
Komoditas Daging Sapi
sapi serta daging sapi. Walaupun demikian terdapat penurunan setiap tahunnya selama periode 2002-2006. Impor komoditas sapi di Indonesia terdiri dari daging sapi, hati sapi, sapi bibit, dan sapi bakalan. Jumlah impor komoditas tersebut selama periode 2002-2006 mengalami peningkatan setiap tahunnya. T abel 4-3. Perkembangan Ekspor Impor Komoditas Sapi Pedaging T ahun 2002-2006 Ekspor Nilai (000 US$)
Volume (ton)
Nilai (000 US$)
(3)
(4)
(5)
(6)
(2) 2002
333,2
2003
14,0
2004
3,2
2005
0,5
2006
Daging sapi
T ahun
4,8
Ekspor Volume (000 ekor)
2002
w
2003 2004
2002 2003 2004
-
ht
2005
tp :// w
H ati sapi
w
2005 2006
2006 Komoditas Sapi bibit
Sapi Bakalan
T ahun
Nilai (000 US$)
.b p
Komoditas
Impor
Volume (000 ekor)
.id
(1) Ternak sapi
T ahun
s. go
Komoditas
Impor
Volume (ton)
Nilai (000 US$)
134,5
11.473,8
18.586,2
449,9
10.671,4
18.566,0
126,4
11.772,0
27.113,0
113,2
21.484,5
43.646,4
23,8
25.949,2
49.077,2
-
31.400,5
22.730,9
-
-
35.778,5
23.142,3
-
-
36.277,2
24.837,9
-
-
34.436,4
31.090,2
-
36.207,7
35.759,8
Ekspor
Impor
Volume (000 ekor)
Nilai (000 US$)
Volume (ton)
Nilai (000 US$)
2002
-
-
6,5
3.054,3
2003
-
-
5,8
2.843,8
2004
-
-
4,2
2.291,8
2005
-
-
4,6
1.921,6
2006
-
-
6,2
2.545,1
2002
-
-
141,7
44.517,5
2003
-
-
208,8
66.543,8
2004
-
-
235,8
88.989,6
2005
-
-
245,2
107.731,3
2006
-
-
265,7
108.596,7
(Ditjennak, 2008)
112
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
Daging – Negara lain Daging – New Zealand Daging – Australia Sapi Hidup -Australia
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Kekurangan daging sapi Indonesia dipenuhi oleh daging sapi impor yang didatangkan terutama dari Australia berupa hewan hidup maupun daging. Negara pengekspor utama lainnya adalah New Zealand. Pada Gambar 4-4 diperlihatkan perkembangan nilai impor sapi Indonesia dari asal negara pengekspor sapi tahun 1997 hingga tahun 2005. Pada tahun 2006 kebutuhan daging sapi dan kerbau nasional mencapai sekitar 388.000 ton atau setara 2,37 juta ekor. Ternak lokal mampu memenuhi kebutuhan tersebut sekitar 1,7 juta ekor, sedangkan kekurangannya dipenuhi dari impor daging dan jeroan beku sekitar 700.000 ton dan impor sapi bakalan 218.000 ekor. Pada tahun 2007, kebutuhan daging sapi mencapai 370.800 ton. Produksi daging sapi dalam negeri pada tahun 2007 hanya mampu memenuhi permintaan daging sapi nasional sekitar 245.200 ton. Impor daging sapi pada tahun tersebut mencapai 125.600 ton atau 33,9% dari total permintaan daging sapi nasional.
US$ juta
Gambar 4-4. Perkembangan Nilai Impor Sapi Indonesia Tahun 1997-2005 (ABARE, 2007)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
113
Komoditas Daging Sapi
4.3. Permasalahan Dan Tantangan Pengem-bangan Komoditas Daging Sapi
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Belum berkembangnya peternakan sapi pedaging di Indonesia disebabkan karena banyaknya kendala dalam pengembangan sapi pedaging. Sebagian besar peternak sapi di Indonesia merupakan peternak tradisional dengan sistem peternakan tradisional yang dicirikan oleh skala usaha kecil dengan jumlah sapi satu hingga tiga ekor per rumah tangga peternak. Ternak sapi dipelihara sebagai sumber tenaga kerja untuk pengolahan lahan serta sebagai tabungan, bukan untuk tujuan memproduksi daging. Pemeliharaan dilakukan secara tradisional dengan kualitas pakan yang rendah sehingga kualitas hasil ternak juga rendah (Soedjana, 2005). Menurut Jumi (2007), sarana dan prasarana yang berhubungan langsung dengan pengembangan usaha sapi berupa air bersih, padang penggembalaan maupun lokasi lahan kering masih terbatas, perkandangan dan pabrik pakan ternak potong juga belum terpenuhi dengan baik. Selain berbagai kendala tersebut masih terdapat permasalahan utama lainnya menurut Riady (2004) yang masih menghambat pencapaian produktivitas dan efisiensi usaha ternak sapi, antara lain menyangkut sumberdaya ternak, sumberdaya manusia, sumberdaya pakan, dan sumberdaya teknologi. 4.3.1. Sumberdaya Ternak Masalah produksi dan reproduksi pada sapi pedaging belum optimal. Peran ternak sapi pedaging lokal belum dimanfaatkan secara optimal, karena sentra-sentra produksi ternak tersebut belum berkembang secara maksimal. Waktu rata-rata umur beranak pertama sapi Indonesia lambat yaitu lebih dari 4,5 tahun dan jarak beranak antar kelahiran juga masih sangat panjang yaitu lebih dari 18 bulan. Hal tersebut disebabkan
114
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
oleh manajamen dan perawatan ternak yang kurang baik. Diperlukan perbaikan manajemen dan perawatan ternak yang dapat mempercepat umur beranak sapi menjadi 3,5 tahun. Perawatan yang baik dapat menghasilkan satu ekor anak sapi setiap tahunnya dari satu ekor sapi produktif. Sapi betina produktif yang dipelihara dengan baik sedikitnya menghasilkan anak 2-3 ekor sepanjang masa hidupnya (Dwiyanto, 2006).
w
w
.b p
s. go
.id
Walaupun sapi-sapi lokal belum dimanfaatkan secara optimal, namun terdapat permasalahan lain yang mengancam penggunaan sapi lokal. Degradasi produksi telah terjadi pada sapi dan sapi lokal cenderung mengalami pengecilan bentuk ukuran tubuh. Penurunan karakteristik sapi lokal disebabkan oleh turunnya mutu genetik sapi potong lokal. Hal tersebut dipengaruhi oleh pemotongan ternak dengan kondisi baik yang digunakan sebagai standar pasar ternak sapi potong dan jumlah pemotongan induk/betina produktif yang mencapai 40 % (Suryana, 2000).
ht
tp :// w
Rendahnya produksi sapi domestik menyebabkan rendahnya pemenuhan kebutuhan akan daging sapi. Usaha yang dilakukan untuk menangani kekurangan sapi yang telah dilakukan diantaranya adalah mengimpor sapi bakalan yang dilakukan sejak awal tahun 1990 dan terus meningkat hingga puncaknya tahun 1997, yaitu sebanyak 428 ribu ekor. Saat ini impor sapi bakalan diperkirakan berjumlah 350-400 ribu ekor pertahun. Menurut kajian para peneliti Australia impor daging sapi dan sapi bakalan Indonesia akan meningkat pada tahun 2020 menjadi 70% dari semula yang hanya 30%. Bila impor daging, jeroan dan sapi bakalan setara 700 ribu sapi lokal, maka untuk mencukupi kebutuhan daging dalam negeri pada tahun 2020 diperlukan tambahan sedikitnya 1,5 juta induk bunting. Induk tersebut diharapkan dapat menghasilkan 1,4 juta ekor anak sapi dan 700 ribu ekor diantaranya merupakan anak sapi jantan sebagai sapi bakalan (Dwiyanto, 2006).
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
115
Komoditas Daging Sapi
Permasalahan dalam ketersediaan sumberdaya sapi terdapat pula dalam penyediaan bibit sapi pedaging. Menurut Djoko (2007), industri pembibitan sapi pedaging maupun sapi perah tidak tumbuh akibat pengaruh krisis moneter. Perusahaan pembibit sapi pedaging tidak berminat berinvestasi membangun industri pembibitan karena tingginya suku bunga bank di Indonesia. Saat ini usaha pembibitan yang masih berkembang adalah usaha pembibitan milik swasta yaitu PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) dan PT Juang Jaya Abadi Alam (JJAA).
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Permasalahan lainnya pada sumberdaya sapi pedaging adalah pada penggunaan turunan sapi hasil persilangan terbaik. Penyilangan dapat menghasilkan performa generasi pertama yang baik, namun penyilangan pada generasi selanjutnya akan mengarah pada grading up yang mengubah bangsa lokal menjadi bangsa eksotik. Bangsa eksotik belum tentu cocok dengan kondisi dan iklim di Indonesia. Dampak penyilangan yang dilakukan terus menerus di Indonesia adalah sapi eksotik menuntut pakan yang baik, sedangkan tidak semua petani mampu menyediakan pakan yang berlimpah dan berkualitas baik. Sapi hasil persilangan menuntut kondisi lingkungan asal sapi eksotik. Sapi tersebut tidak kuat terhadap lingkungan yang berbeda dengan lingkungan asalnya akibatnya kemampuan reproduksi sapi menurun (Hardjosubroto, 2007). 4.3.2. Sumberdaya Manusia Usaha budidaya sapi pedaging pada sebagian besar peternak masih bersifat sambilan dengan skala usaha yang rendah (di bawah 10 ekor). Orientasi peternak untuk menghasilkan ternak yang sesuai permintaan pasar masih rendah. Hanya sedikit kelompok tani ternak sapi pedaging yang mengembangkan sistem dan usaha agribisnis berbasis sapi pedaging.
116
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
4.3.3. Sumberdaya Pakan
s. go
.id
Penyediaan pakan hijauan sampai saat ini masih tergantung pada musim dan pemanfaatan limbah/hasil samping tanaman pertanian. Kendala utama khususnya di Kawasan Indonesia Timur adalah kekurangan pakan hijauan pada musim kering yang panjang. Model penyediaan pakan hijauan sepanjang tahun (sistem tiga strata, sistem pastura unggul, pola integrasi ternak dengan tanaman pangan/perkebunan, dsb) belum diterapkan dengan baik. Ketersediaan pakan yang baik sangat penting karena keberhasilan peternakan di negara maju dilandasi oleh pertanian (tanaman pangan dan pakan) serta pembibitan yang baik.
.b p
4.3.4. Sumberdaya Lahan
ht
tp :// w
w
w
Semakin terbatasnya penyediaan lahan untuk penanaman rumput unggul, menyebabkan ketergantungan kepada limbah tanaman pertanian/pangan yang nilai nutrisinya relatif lebih rendah semakin meningkat. Namun demikian, keterbatasan lahan ini hanya terdapat di Pulau Jawa, sementara permintaan terhadap daging sapi terbesar berasal dari masyarakat di Pulau Jawa. 4.3.5. Sumberdaya Teknologi Pemanfaatan teknologi tepat guna belum optimal, mengingat keterbatasan peternak untuk memanfaatkannya terutama bila dikaitkan dengan biaya dan aplikasi di lapangan. Pada Tabel 4-5 diperlihatkan penilaian kondisi teknologi sapi pedaging di Indoensia dan perbandingannya dengan Australia sebagai negara produsen daging sapi utama dunia dan India yang memiliki populasi sapi terbanyak dunia (Alam, 2008).
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
117
Komoditas Daging Sapi
Selain pada aspek budidaya dan produksi ternak, aplikasi teknologi perlu diperhatikan pula dalam proses pemotongan dan penanganan daging sapi hingga transportasi pemasarannya T abel 4-4. Penilaian Aspek Penerapan T eknologi Sapi Pedaging di Indonesia dan Perbandingannya Dengan Australia dan India a. T eknologi Genetika dan Reproduksi Indonesia
Keterangan
ST
Keterangan
ST
(2) Bos Taurus
(3) N /A
(4) Sapi Ongole
(5) N /A
(6) Bos indicus
(7) N /A
(H ereford) Jumlah populasi sapi Berat potong rata-rata Jumlah populasi sapi y ang menjalani
India
ST
(lokal)
(Brahman)
23.000.000
N /A
12.000.000
N /A
226.000.000
N /A
650 kg Tinggi
N /A 5
300 kg Rendah
N /A 1
600 kg Rendah
N /A 1
Sedang
3
Sedang
3
Sedang
3
Sedang
2
proses pemilihan genetik/kaw in
Tinggi
Inseminasi
Tinggi
5
w
w
Purebreed (galur murni) dari jenis sapi unggul
.b p
silang s.d. mendapatkan bibit unggul
.id
(1) Jenis Sapi y ang dominan
Australia
Keterangan
s. go
Aspek Penilaian
5
tp :// w
Transfer embrio Tinggi 5 Rendah 0 rendah 0 Penerapan teknologi genetik dan reproduksi di Australia sangat unggul dengan memberikan prioritas bagi setiap
Pakan kasar
Biji-bijian Biji sumber miny ak
ht
aspek teknologi genetika dan reproduksi. Walaupun memiliki tingkat populasi sapi y ang lebih rendah dari India, namun jumlah populasi per setiap p
Rumput
N /A
Rumput
N /A
Rumput
kering/jerami;
kering/jerami;
kering/jerami;
tumput hijauan; sekam
tumput hijauan;
tumput hijauan;
Jagung -
N /A
N /A
sekam Jagung,
N /A
sekam Jagung
N /A
N /A
Barley , Oats Kedelai;
N /A
-
N /A
sortasi biji-
N /A
pakan biji Limbah pertanian
Sortasi bijibijian (grains sreening )
N /A
kanola Biji-bijian hasil peny ulingan; sortasi biji-
N /A
bijian (grains sreening )
bijian (grains sreening )
118
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
Ta b el 4 -4. L an juta n Indone s ia
A us tr al ia
K e te ra nga n
ST
K e te ra ng a n
(2 )
(3 )
(4 )
K om p o sisi p aka n dib e rika n be rda sa rk an a na lisis k eb ut uh a n d a n d ib ua t s am p el p en d ah ulu a n d i la bo rat orium
R en da h
1
P en g gu na a n pa kan t am b ah a n// kh usu s u nt uk m en g ha silka n je nis da g ing te rte ntu
R en da h
Je n is n ut risi dib erika n b e rd a sarka n an a li s is ke b ut uh an d an d ibu a t sa m pe l p en d ah ulu a n d i la bo ra to rium Fre ku en si p em b eria n p a kan
Ind ia Kete ra ngan
ST
(5 )
(6)
(7 )
T in g gi
5
Re nd a h
1
1
T in g gi
5
Re nd a h
1
R en da h
1
T in g gi
5
Re nd a h
1
R en da h
1
T in g gi
5
Re nd a h
1
P em e liha raa n ra n ge raisin g /pa st ure (p ad an g rum p ut )
Se da n g
N /A
T in g gi
N/A
Re nd a h
N /A
P em e liha raa n fa rm /d ry lo t ra is ing (ka nd a ng )
Se da n g
N /A
R e nd a h
N/A
N /A
P em e liha raa n kom b ina si p a stu re & fa rm A rea p ad an g rum p ut pe r sa tu e kor s ap i
Se da n g 1 ha
P en g gu na a n Fee dlo ts P em e liha raa n te rsp e sialisa si (u nt uk m e ng h asilka n lea n m ea t/m a rblin g me a t )
R en da h R en da h
s. go
A s pek P eni la ian
P ere nc an aa n pa so ka n a ir (m an aje m en a ir ya n g ba ik)
Se da n g
(1 ) P ak a n
N utri si
S e da ng
N /A N /A
T in g gi 1 5 ha
N/A N/A
S e da ng 0 ,5 h a
N /A N /A
1 1
T in g gi T in g gi
5 5
Re nd a h Re nd a h
1 1
3
T in g gi
5
S e da ng
2
w
w
.b p
.id
c . T ek nolo gi P em el iha ra an
tp :// w
I nd on e sia da n In dia m em iliki t ing ka t a plika si t ekn o og i p em e lih a ra an y an g re lat iif sa m a. M et od e pe m e lih a ra an d ido m ina si o leh m e to de ko n ven sio na l, y aitu m e lep as sa pi d i p ad a ng rum p ut u nt uk m en ca ri m a ka n sen d iri. S eb a gia n pe m ili k sa pi a d ala h pe te rn a k tra disi
ht
d. T e kno logi Pe mo tong an dan Pr ose s Pe ngol aha n Je n is sa pi yan g d ip o ton g
S ap i o ng ole
N /A
B os ta urus (Here ford )
N/A
B o s in dicu s (Bra hm a n)
N /A
B era t k arka s
17 0 kg
N /A
370 k g
N/A
3 42 k g
N /A
B era t p o ton g
30 0 kg
N /A
650 k g
N/A
6 00 k g
N /A
Tida k
0
Ya
5
T id a k
0
M e ka nisa si p em o to ng a n
R en da h
1
T in g gi
5
Re nd a h
1
Tin g kat ke be rsiha n (h ig ie n itas ) te mp a t p ot on g
R en da h
1
T in g gi
5
Re nd a h
1
P ros es P en gola han P rose s p e ng go lon g an d ag ing b e rd as arka n je nis da n ku alita s
Se da n g
2
T in g gi
5
Re nd a h
1
Te kn olo gi pe ng e m asa n
Se da n g
2
T in g gi
5
Re nd a h
1
I nd us tri pe n go lah an terint eg rasi Se da n g 2 T in g gi 5 Re nd a h K et era ng an : S T: S ka la t ekn o log i (5 ska la t ertin gg i; 1 sk ala te ren da h ) N/ A: n ot av ailab le , tid a k a da tin g kat an ska la te kn olo gi u n tuk b ida n g t erse bu t (A la m , 20 08 )
1
P em otong a n A da n ya as osia si kh u sus un tu k s tan d arisa si m u tu d ag ing p ot on g
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
119
Komoditas Daging Sapi
kepada konsumen. Mutu daging merupakan salah satu aspek penting bagi penerimaan daging oleh konsumen. Penggunaan teknologi yang baik sangat diperlukan dalam penanganan distribusi sapi berupa sapi hidup maupun daging sapi. Pada Gambar 4-5 diperlihatkan skema distribusi sapi pedaging untuk wilayah DKI Jakarta beserta pihak yang terkait dengan distribusinya. Pada setiap aliran distribusi sapi hidup maupun daging sapi diperlukan dukungan teknologi yang baik untuk menunjang ketersediaan dan jaminan mutu pasokan daging sapi.
s. go
PD Dharma Jaya - RPH Cakung - RPH Pulogadung - RPH Tanjung priok
Toko Daging
Pasar Swalayan
Distributor/ Grosir Daging Sistem Transportasi (cold strotage)
Sistem Transportasi (tanpa cold strotage)
TPH Liar
Tempat yang memiliki cold storage
Penting dan berkolaborasi
Sistem Transportasi (dengan dan tanpa Cold Storage)
.b p
Sistem Transportasi (Cold Storage)
Sistem Transportasi (Cold Storage)
tp :// w
w
w
Importir Daging
ht
Sistem Transportasi (Cold Storage) untuk daging sapi
Daerah Pasokan 1. Lampung 2. Jawa Barat 3. Jawa Tengah 4. DI Yogyakarta 5. Jawa Timur 6. Bali 7. NTB 8. NTT
Sistem Transportasi (tanpa cold storage) untuk sapi hidup
Impor 1. Australia 2. Selandia Baru
Sistem Transportasi (Cold Storage)
.id
Hambatan lain yang dihadapi dalam pengembangan sapi pedaging Indonesia adalah kesulitan peternak memperoleh
Restoran, Hotel, Kapal
Industri Pengolahan
Rumah Tangga
Pasar Tradisional
Penting dan tidak begitu aktif terlibat
Tidak penting dan tidak aktif terlibat
Gambar 4-5. Jaringan proses bisnis dan distribusi sapi pedaging dalam manajemen rantai pasokan daging sapi di DKI Jakarta (Kusumadewi, 2008) 120
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
pinjaman dari bank umum. Namun saat ini terdapat perkembangan kemudahan perolehan kredit pinjaman yang bersumber dari lembaga keuangan mikro maupun alokasi sebagian keuntungan perusahaan BUMN dalam bentuk CSR (Corporate Social Responsibility). Berkut ini merupakan beberapa perusahaan maupun lembaga keuangan mikro yang memberkan pinjaman kredit pada peternak sapi pedaging (Nurrudin, 2007). • Tahun 2002 Bogasari mencairkan kredit Rp. 1 Milyar kepada 200 peternak sapi pedaging pantai selatan kabupaten Bantul. Dana pinjaman tersebut berkembang menjadi Rp.1,63 Milyar atau setara dengan 326 ekor sapi. Pada Oktober 2006 total induk dan anak berkembang menjadi 1.100 ekor. Jangka pengembalian berbunga 12% menurun selama lima tahun, dengan periode angsuran 6 bulan. • PT Jamsostek mengalirkan kredit pada tahun 2003 sebanyak Rp. 1 Milyar bagi 200 peternak sapi pedaging dengan bunga 12%/tahun. Pada tahun ke dua dana ditambah Rp. 600 juta dan 720 juta. Terakhir pada oktober 2006 sebanyak Rp. 1,5 Milyar. • Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memberikan kredit permodalan sapi pedaging bervariasi antara Rp. 20 – Rp. 87,5 juta. Dana yang dikucurkan oleh BMT antara tahun 2005-2006 adalah Rp. 375 juta untuk 24 nasabah peternak yang terdiri dari peternak sapi, kelinci burung puyuh, dan ikan nila. Dalam hal perdagangan dalam negeri masih terdapat berbagai penghambat pengembangan sapi pedaging. Menurut Jumi (2007) serta Hadi et al. (2002), hambatan pengembangan usaha sapi meliputi hal-hal berikut. • Transportasi inter regional terutama antar pulau mahal • Sejak otonomi daerah tahun 2000, seluruh pemerintah lokal mengenakan pajak dan retribusi ternak yang memasuki wilayahnya sehingga retribusi selama transportasi ternak berjumlah besar.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
121
Komoditas Daging Sapi
• Tata niaga sapi pedaging memiliki rantai yang panjang. Peternak menghadapi akses yang sulit untuk memasuki pasar ternak sehingga kebanyakan peternak menjual ternaknya pada pengumpul. Pada Gambar 4-6a dan 6b diperlihatkan tata niaga sapi pedaging di wilayah Jawa dan luar Jawa (ACIAR, 2002).
Konsumen Daging Sapi
Konsumen Daging Sapi Pedagang Pengecer (Supermarket)
Pedagang Pengecer (Toko Daging)
Pedagang Besar Daging
Pedagang Antar Kabupaten
Kabupaten Lain
.b p
Propinsi Lain
tp :// w
w
w
Pedagang Antar Propinsi
Pedagang Antar Propinsi
Propinsi Lain
Pedagang Antar Kabupaten
Kabupaten Lain
ht
Pengumpul Desa Peternak Skala Kecil
Peternak Skala Kecil
Peternak Pembibitan Sapi
Pedagang Pengecer (Supermarket)
Pedagang Besar Daging
Pasar Hewan
Pengumpul Desa
Pedagang Pengecer (Pasar Tradisional)
.id
Pedagang Pengecer (Pasar Tradisional)
s. go
Pedagang Pengecer (Toko Daging)
Peternak Pembibitan Sapi
Gambar 4-6a. Tata Niaga Sapi Pedaging (Daging dan Sapi Hidup) di Pulau Jawa 4-6b. Tata Niaga Sapi Pedaging (Daging dan Sapi Hidup) di Luar Pulau Jawa.
122
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
4.4. Strategi Pengembangan Komoditas Daging Sapi 4.4.1. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Pengembangan Komoditas Daging Sapi a.
Kekuatan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Beberapa aspek yang menjadi faktor kekuatan bagi pengembangan komoditas daging sapi adalah sebaran daerah produksi yang luas, serta potensi pengembangan volume produksi yang besar. Aspek lainnya yang menjadi kekuatan pengembangan komoditas daging sapi adalah terdapatnya jenis sapi pedaging lokal yang memiliki keunggulan daya adaptasi lebih baik terhadap lingkungan di Indonesia dari pada sapi impor. • Potensi agroklimat dan tersedianya lahan yang masih cukup luas Potensi agroklimat Indonesia sangat mendukung perkembangan ternak sapi pedaging, baik sapi lokal maupun sapi ex impor. Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternak adalah lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat, dengan tingkat kepadatan ternak tergantung kepada keragaman dan intensitas tanaman, ketersediaan air, serta jenis sapi pedaging yang dipelihara (Riady, 2004). • Potensi sumberdaya genetik sapi pedaging Berdasarkan data tahun 1984, populasi sapi Bali termasuk jenis sapi terbanyak di Indonesia, yaitu 23,81%, diikuti sapi Madura (11,28%), dan sisanya terdiri dari sapi Ongole, Peranakan Ongole, Brahman Cross, dan persilangan sapi lokal dengan sapi impor (Simmental, Limousin, Hereford, dll). Sapi Bali merupakan sapi unggulan Indonesia yang paling mudah dikembangkan karena mudah beradaptasi. Wilayah yang layak menjadi sumber bibit sapi pedaging menurut Departemen Pertanian adalah wilayah timur
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
123
Komoditas Daging Sapi
Indonesia meliputi Sulawesi Selatan, Bali, NTT, NTB, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo (Jumi, 2007). b. Kelemahan
.b p
s. go
.id
Faktor-faktor yang merupakan kelemahan bagi pengembangan komoditas daging sapi adalah biaya produksi yang tinggi, belum mampunya penyediaan bahan baku pakan ternak sapi dengan kontinyuitas dan mutu yang baik. Faktorfaktor kelemahan lainnya adalah masih sulitnya peternak kecil memperoleh bantuan modal, peralatan dan sarana produksi yang memadai, penyediaan infrastruktur dan sarana produksi bagi peternak pembibitan maupun budidaya, serta tingginya biaya-biaya di luar kegiatan produksi seperti pungutan, retribusi, dll.
w
c. Peluang
ht
tp :// w
w
Indonesia masih memiliki peluang mengembangkan sapi pedagingnya untuk mencapai kecukupan dan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan daging sapi domestik. Menurut Riady (2004) beberapa peluang yang menunjang pengembangan sapi pedaging di Indonesia adalah sebagai berikut. • Permintaan terhadap daging sapi yang terus meningkat Dengan mengambil contoh kasus pertumbuhan penduduk yang meningkat rata-rata 1,5% per tahun dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,5% sampai 5,0% pada tahun 2005, diperkirakan konsumsi daging sapi meningkat dari 1,9 kg/ kapita/tahun menjadi 2,8 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 dan seterusnya. • Indonesia bebas dari penyakit menular berbahaya Indonesia merupakan negara yang bebas 10 dari 12 Penyakit Hewan Menular (List A OIE), sehingga memberikan iklim
124
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
investasi sektor peternakan yang lebih baik dan memiliki kesempatan dan kemampuan untuk ekspor di masa depan. • Potensi kelembagaan petani ternak dan petugas teknis Sebagian besar petani peternak membentuk kelompokkelompok tani ternak, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan kesehatan hewan, penyuluhan, serta pelayanan inseminasi buatan (IB), yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak. d. Ancaman
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Beberapa faktor yang menjadi ancaman bagi pengembangan komoditas daging sapi adalah berkurangnya areal lahan bagi sumber pakan hijauan, kesulitan dalam penyediaan modal bagi usaha pembibitan sapi dan produsen, serta hambatan biaya yang tinggi pada akses pasar domestik. Ancaman lainnya yang menjadi tantangan dalam pengembangan komoditas sapi pedaging maupun pemasarannya adalah peningkatan biaya produksi akibat kenaikan harga mahan bakar minyak serta perubahan iklim dan cuaca yang menghambat transportasi perdagangan sapi. 4.4.2. Strategi Pengembangan Komoditas Daging Sapi Indonesia Berikut ini dipaparkan mengenai perbaikan sumberdaya ternak dan sumberdaya pakan ternak sebagai perbaikan utama yang diperlukan untuk mencapai peningkatan produktivitas dan efisiensi pengembangan sapi pedaging. a.
Sumberdaya Ternak
Masalah produksi dan reproduksi sapi potong yang belum optimal dapat ditangani dengan penyediaan bibit sapi yang baik.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
125
Komoditas Daging Sapi
Seleksi bibit diperlukan untuk mendapatkan sapi bakalan sebagai bibit yang mempunyai mutu/produktivitas tinggi. Salah satu karakteristik utama sapi pedaging unggulan adalah ketahanan pada kondisi lingkungan. Menurut Romjali et al. (2007), hasil-hasil penelitian terhadap karakteristik sapi pedaging menunjukkan bahwa sekitar 70% produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sedangkan faktor genetik hanya mempengaruhi sekitar 30%.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Beberapa jenis sapi unggulan yang dapat dikembangkan adalah sapi peranakan maupun sapi lokal. Jenis sapi peranakan yang dapat dikembangkan adalah peranakan Simmental, peranakan Charolise, peranakan Hereford, dan bangsa sapi PFH. Keunggulan sapi tersebut adalah pertambahan bobot badan harian, tingkat konversi pakan, dan komposisi karkas lebih tinggi dengan komponen tulang lebih rendah (Hadi dan Ilham, 2002). Sapi pedaging lokal antara lain adalah sapi peranakan Ongole, Bali, dan Madura. Selama ini, bibit sapi banyak diperoleh dari sapi bakalan yang diimpor dari Australia daripada sapi bakalan hasil pembibitan di dalam negeri. Hal tersebut dilakukan karena sapi bakalan impor lebih murah daripada sapi bakalan dalam negeri, untuk memperoleh sapi bakalan dalam jumlah besar cara impor lebih cepat, dan waktu serta biaya transportasi dari Australia lebih murah daripada transportasi dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan Pengadaan bibit sapi pedaging impor lebih mudah dilakukan namun memiliki kelemahan dalam pengembangannya. Kondisi suhu dan kelembaban udara yang tinggi, kualitas dan kuantitas pakan yang kurang mencukupi kebutuhan ternak serta sistem pemeliharaan yang ekstensif, dapat berdampak negatif terhadap produktivitas sapi hasil silangan. Berbeda dengan sapi bakalan impor, sapi pedaging lokal yang ada walaupun tidak mempunyai laju pertumbuhan sebesar sapi
126
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
silangan, pada berbagai kondisi keterbatasan masih mampu menunjukkan produktivitas dan efisiensi ekonomi yang maksimal. Sapi potong lokal memiliki beberapa keunggulan sebagai sapi pedaging, antara lain efisien dalam penggunaan pakan, kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan di Indonesia (panas, lembab, pakan mutu rendah dan caplak), serta bobot potong lebih sesuai untuk kebutuhan pasar lokal (Romjali et al., 2007). b. Sumberdaya Pakan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Diantara aspek-aspek yang terdapat pada faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas sapi pedaging, aspek pakan memberikan pengaruh paling besar yaitu sekitar 60%. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Di samping pengaruhnya yang besar terhadap produktivitas ternak, faktor pakan juga merupakan sumber biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan. Biaya pakan tersebut dapat mencapai 60-80% dari keseluruhan biaya produksi (Romjali et al., 2007). Teknologi tepat guna masih perlu dikembangkan untuk penyediaan dan kecukupan sumberdaya pakan sapi pedaging. Teknologi tepat guna tersebut adalah teknologi yang berhubungan dengan upaya penyediaan pakan ternak yang cukup, sesuai dengan kebutuhan ternak, serta berkualitas tinggi. Untuk mengatasi masalah penyediaan bahan pakan ternak dapat diatasi dengan penggunaan pakan lokal. Pakan lokal adalah setiap bahan baku yang merupakan sumberdaya lokal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efisien, baik sebagai suplemen, komponen konsentrat atau pakan dasar. Sumber bahan baku pakan lokal dapat berupa hasil sisa
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
127
Komoditas Daging Sapi
tanaman (crop residues), hasil ikutan/samping/limbah tanaman (crop-by products), dan hasil ikutan atau limbah industri agro (agroindustry by products). Selain penggunaan pakan lokal, pengembangan teknologi pengawetan pakan ternak lokal diperlukan agar ketersediaan pakan tersebut tidak bersifat kontinyu, tidak tergantung oleh musim maupun iklim. Salah satu contoh pengawetan dan peningkatan kualitas pakan adalah penggunaan Probion pada jerami padi (Bakrie et al., 2004).
s. go
.id
Secara lebih lengkap strategi pengembangan usaha produksi komoditas dan produk sapi pedaging Indonesia didaftar pada Tabel 4-5.
S trategi O perasional P rogram Aksi 1 P eningkatan produksi dan P eny ediaan pakan ternak produktiv itas budiday a sapi pedaging P enanggulangan peny akit ternak ruminansia
ht
tp :// w
w
w
No
.b p
T abel 4-5. S trategi pengem bangan kom oditas sapi pedaging
P embangunan sarana dan infrastruktur penunjang
P engembangan Teknologi budiday a dan produksi ternak
128
Langkah-langkah P engembangan teknologi produksi pakan ternak berbahan baku lokal. P engembangan teknologi pengendalian peny akit secara terpadu. P engembangan sistem pencegahan dan penanggulangan w abah peny akit menular. P erlindungan ternak dari pengurasan dan ancaman peny akit berbahay a. P engaw asan dan peny uluhan terutama dalam aspek biosekuriti pada peternakan kecil. P eny ediaan sarana dan prasarana y ang mampu memperlancar arus barang input maupun output, serta pengurangan berbagai pungutan atau kemudahan dalam hal perijinan. A plikasi bioteknologi untuk pengembangan bibit sapi unggul baru P engembangan teknologi produksi ternak
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
Tabel 4-5. Lanjutan S trategi O perasional No 2 P eningkatan mutu, kemanan pangan dan kehalalan komoditas dan produk daging sapi
P rogram Aksi
Langkah-langkah
Dukungan kepastian usaha peternakan sapi pedaging
P eny ediaan dukungan modal memadai bagi peternak kecil
y ang
P enerapan budiday a sapi pedaging y ang baik dan benar
P enciptaan suasana kondusif agar usaha dapat bersaing dengan pasar global secara lebih adil melalui kebijakan tarif maupun nontarif (S P S ), sehingga terhindar dari ancaman produk ilegal, tidak A S U H atau barang dumping,
.b p
s. go
.id
S osialisasi pedoman cara budiday a ternak ruminansia y ang baik dan benar P engembangan teknologi peralatan dan sarana budiday a serta pengolahan hasil sapi potong y ang mendukung penerapan cara budiday a y ang baik dan benar serta H ACC P P enerapan G ood M anufacturing S osialisasi pedoman G M P dan H A C C P P ractices (G M P ) dan H A C C P pada industri pengolahan daging
ht
tp :// w
w
w
sapi serta rumah pemotongan hew an
S tandarisasi mutu produk
P embinaan dan pengaw asan oleh instansi berw enang untuk menangani ketidakpedulian atau sikap mental pelaku usaha y ang buruk terhadap etika bisnis y ang meny angkut mutu dan keamanan produk olahan daging sapi y ang dihasilkan P enetapan standar mutu produk peternakan sapi
3 P erbaikan kebijakan
P eningkatan nilai tambah produk Insentif bagi pengembangan produk olahan y ang dihasilkan oleh U K M atau industri kecil K ebijakan y ang mendukung K ebijakan y ang mendukung pembentukan inv estasi ternak sapi potong lingkungan inv estasi y ang kondusif bagi usaha pembibitan maupun penggemukan sapi K ebijakan bagi kemitraan agribisnis ternak sapi pedaging y ang adil baik bagi mitra maupun bagi inti melalui pembagian resiko dan keuntungan y ang adil.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
129
Komoditas Daging Sapi
Tabel 4-5. Lanjutan No S trateg i O p erasio n al
P ro g ram A ksi
L an g kah -lan g kah M elindungi us aha peternak an s api pedaging dalam negeri dari tek anan pers aingan pas ar global y ang tidak adil M engurangi pungutan-pungutan biay a y ang m engham bat inv es tas i pengem bangan indus tri peternak an m aupun dis tribus i pem as aran produk olahan daging s api
K ebijak an penanganan
D uk ungan k ebijak an dan inov as i dalam hal
k es ehatan dan peny ak it ternak rum inans ia
tata-ruang, k es ehatan hew an dan k es ehatan m as y arak at v eteriner, s erta penegak an aturan y ang terk ait dengan lalulintas ternak dalam k aitanny a dengan pelak s anaan
.id
otonom i daerah dan perdagangan global K ebijak an penduk ung dalam rangk a
s. go
penc egahan peny ak it, utam any a dalam m em perk uat pelay anan laboratorium dan pos -pos k es ehatan hew an, s erta k ebijak an peny uluhan tentang bahay a dan
.b p
penc egahan penularan peny ak it pada hew an rum inans ia M eningk atk an k eteram pilan peternak dalam
tek nis , k eahlian dan m anajem en k egiatan us aha budiday a pem bibitan us aha m aupun penggem uk an ternak
w
produk s i m elalui peningk atan k eteram pilan
w
4 P eningk atan efs iens i biay a P eningk atan k eteram pilan,
tp :// w
k inerja s um berday a m anus ia, penguas aan
ht
tek nologi s erta penguatan k elem bagaan peternak an.
M eningk atk an peran Litbang di bidang budiday a, k es ehatan hew an ternak , dan pengem bangan pak an ternak P engem bangan s is tem peny uluhan s erta perek rutan dan pem berday aan peny uluh
P enguatan k elem bagaan k elom pok produs en perik anan
P em berday aan peternak dalam k elem bagaan us aha ternak s api
(as os ias i atau k operas i)
P elatihan k em am puan m anajerial pengurus k elom pok /k operas i pelak u us aha peternak an
P enguas aan tek nologi
M em perm udah ak s es pelak u us aha
P eningk atan s inergi lem baga
terhadap inform as i tek nologi P engem bangan jejaring indus tri dengan
penunjang 5 M em perbaik i k ondis i pem as aran k om oditas s api pedaging dalam negeri
130
univ ers itas dan lem baga penelitian untuk inov as i budiday a, k es ehatan ternak dan M enc egah pers aingan tidak s ehat antar perus ahaan di pas ar dalam negeri
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
DAFTAR PUSTAKA
Alam, PS. 2008. Kemajuan Teknologi Sapi Pedaging di Asia. Laporan Manajemen Teknologi Agribisnis. Magister Manajemen Agribisnis. Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis. IPB. Bogor (Tidak dipublikasikan) [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Animal Husbandry Statistics. http://bps.go.id/sector/agri/ternak/tables.shtml. (6/3/2008)
.id
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian. 2008. Statistik Peternakan. [http://ditjennak.go.id/]
s. go
Dwiyanto, K. 2006. Kecukupan daging 2010 tantangan sekaligus peluang. Majalah Trobos, Desember 2006
w
.b p
Hadi PU, N Ilham, A Thahar, B Winarso, D Vincent dan D Quirke. 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, Australia.
tp :// w
w
Gumbira-Sa’id, E (2007). Business foresight agribisnis sapi pedaging. Makalah pada diskusi teknis PT. Agro Farmaka Nusantara, Jakarta
ht
Hardjosubroto, W. 2007. Crossing : cukup di generasi 1. Majalah Trobos, Januari 2007. Ilham, N. Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi Pencapaian Swasembada Daging 2010. Makalah dipresentasikan pada pertemuan Koordinasi Teknis Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Ditjen Peternakan, Bogor 27 April 2006. Jumi. 2007. Infrastruktur lagi....retribusi lagi........ Majalah Trobos, Deseber, 2007 Kompas. 2007. Industri Pembibitan Sapi Tidak Berkembang. Kompas, 5 Mei 2007. Kompas. 2007. Impor Sapi Bisa Lebih Dari 1 Juta. Kompas, 7 Mei 2007.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
131
Komoditas Daging Sapi
Kusumadewi, SE. 2008. Rancang Bangun Sistem Manajemen Logistik Daging Sapi Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ringkasan Disertasi. Sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mariyono, DB Wijono dan H Loka. 2007. Rakitan Teknologi Pembibitan Sapi Potong. BPTP Jawa Timur. [http:// www.jatim.litbang.deptan.go.id] Martin P, T Van Mellor, S Hooper, dan ABARE. 2007. Live Cattle Export Trade Importance to Northern and Southern Australian Beef Industries. www.abareconomics.com
.id
Nurrudin, J. 2007. CSR & BMT: pundi uang alternatif. Majalah Trobos. Februari 2007.
s. go
Riady, M. 2004. Tantangan Dan Peluang Peningkatan Produksi Sapi Potong Menuju 2020. Makalah Pada Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Romjali E, Mariyono, DB Wijono dan H Loka. 2007. Rakitan Teknologi Pembibitan Sapi Potong. BPTP Jawa Timur. http://www.jatim.litbang.deptan.go.idSoedjana, TD. 2005. Prevalensi usaha ternak tradisional dalam perspektif peningkatan produksi ternak nasional. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005.
132
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
Lampiran 4-1.
Peternakan sapi usaha menengah Kondisi peternakan sudah cukup baik dengan adanya penempatan ternak sapi pada kandang dengan pemberian pakan hijauan kering dan pakan ternak buatan secara teratur. Walaupun demikian kandang masih berupa bangunan semi permanen yang terbuat dari kayu dan lantai kandang adalah tanah tanpa plester semen.
.b p
b. Pemberian pakan buatan
ht
tp :// w
w
w
a.Pemberian pakan hijauan kering
s. go
.id
1.
Gambaran umum kondisi usaha peternakan sapi dan penyediaan daging sapi di Indonesia (lokasi kandang sapi pedaging di Lampung)
c. Kondisi di dalam kandang penggemukan ternak sapi
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
133
Komoditas Daging Sapi
Peternakan sapi usaha besar Kondisi peternakan sudah sangat baik dengan pelaksanaan manajemen yang baik ditunjang dengan fasilitas sarana yang memadai seperti air, penanganan limbah dan memiliki lahan penanaman jagung yang merupakan sumber pakan hijauan maupun biji-bijian bagi sapi.
.id
2.
.b p
tp :// w
w
w
Tempat pengistirahatan sapi yang didatangkan dari lokasi penggemukan (perusahaan feedlots) sebelum dilakukan penyembelihan di salah satu Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di daerah Bogor, Jawa Barat.
ht
3.
b. Kondisi kandang anak sapi
s. go
a. Kondisi kandang penggemukan ternak sapi
134
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging Sapi
Lampiran 4-2.
Penerapan mekanisasi pada RPH dan proses penanangan daging sapi yang sesuai dengan GMP serta HACCP. Produk disortasi berdasarkan jenisnya, dikemas dengan baik, dan didistribusikan menggunakan sarana mobil berpendingin sehingga mutu daging tetap terjaga.
b.
Hasil proses pengulitan sapi yang dilakukan secara higienis
ht
tp :// w
w
w
a. Penyembelihan sapi secara otomatis
.b p
s. go
.id
1.
Gambaran umum penerapan teknologi pada proses pengolahan industri daging sapi (lokasi perusahaan pemasok daging sapi impor untuk perhotelan, industri katering, dll di luar negeri)
c. Proses pemotongan bagian daging sapi
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
d. Penyortiran bagian-bagian daging
135
Komoditas Daging Sapi
f.
Penyimpanan produk daging sapi di dalam mobil berpendingin sebelum didistribusikan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
e. Proses pengemasan daging
136
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
s. go
.id
Kajian Kinerja dan Strategi Pengembangan Komoditas Daging dan Telur Ayam
w
.b p
Penulis :
ht
tp :// w
w
Tim IPB
Komoditas Daging dan Telur Ayam
5.1. Pendahuluan
s. go
.id
Pengembangan agribisnis perunggasan khususnya ayam ras pedaging dan petelur memiliki peran yang strategis bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Komoditas yang dihasilkan oleh ayam ras pedaging dan petelur merupakan penyedia protein hewani utama dalam negeri. Sekitar 90% komoditas unggas dihasilkan dari ayam ras dan pemenuhan kebutuhan konsumsi daging nasional sekitar 62% berasal dari daging ayam. Harga komoditas ayam adalah ras yang paling murah dibandingkan dengan komoditas sumber protein hewani lainnya, menyebabkan komoditas yang diperoleh dari budidaya ayam ras menjadi pilihan utama masyarakat untuk memperoleh sumber protein hewani (Hadiwibowo, 2007).
ht
tp :// w
w
w
.b p
Peran strategis sektor perunggasan lainnya adalah kontribusi yang cukup penting bagi produk domestik bruto (PDB). Sektor perunggasan merupakan pemicu utama perkembangan usaha di sub sektor peternakan. Terdapat sekitar dua juta tenaga kerja yang dapat diserap oleh industri perunggasan dan 80 ribu peternak unggas tersebar di seluruh Indonesia (Deptan, 2005). Sumbangan produk domestik bruto (PDB) sub sektor peternakan terhadap sektor pertanian pada tahun 2007 (atas dasar harga berlaku) adalah 11% dengan nilai Rp 62 triliun, atau 1,5% dari total nilai PDB tahun 2007 dengan rata-rata pertumbuhan nilai PDB sekitar 10% pertahun (BI, 2008). Pengembangan sektor peternakan unggas diperlukan untuk mempertahankan peran strategis yang dimilikinya. Kebutuhan komoditas daging dan telur ayam domestik telah dapat terpenuhi secara mandiri dan Indonesia memiliki peluang pengembangan sektor peternakan unggas untuk memanfaatkan peluang ekspor. Walaupun demikian, beberapa masalah utama yang muncul saat ini dalam pengembangan sektor perunggasan yakni
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
139
Komoditas Daging dan Telur Ayam
mewabahnya flu burung dan peningkatan harga pakan ternak menjadi hambatan pengembangan sektor peternakan unggas, yang secara khusus dapat menurunkan kinerjanya serta lebih luas lagi dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu diperlukan suatu kegiatan perumusan strategi yang tepat untuk mengatasi beragam permasalahan yang menghambat pengembangan sektor peternakan ayam pedaging dan petelur serta peran strategisnya terhadap perekonomian nasional.
s. go
.id
5.2. Kinerja Pengembangan Produksi Daging Dan Telur Ayam Ras
.b p
5.2.1. Perkembangan Populasi Ayam Ras Pedaging dan Petelur
ht
tp :// w
w
w
Setiap provinsi di Indonesia memiliki potensi pengembangan peternakan ayam. Jenis ayam ras pedaging, ayam ras petelur dan ayam lokal dapat dibudidayakan di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah total populasi stok akhir ternak ayam pada tahun 2006 mencapai 1.176 juta ekor dengan jumlah populasi ayam ras pedaging paling banyak bila dibandingkan dengan jumlah populasi ayam petelur maupun ayam lokal. Wilayah dengan populasi ayam ras pedaging dalam jumlah besar adalah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan masing-masing persentase populasi ayam dari total populasi ayam ternak adalah 44%, 15% dan 8%. Jumlah populasi ayam ras petelur terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur (31%), kemudian Jawa Tengah (13%), dan Jawa Barat (10%). Ayam lokal dengan jumlah populasi yang terbanyak terdapat di Jawa Timur (14%), Jawa Tengah (12%) kemudian Jawa Barat (10%). Berdasarkan kelompok wilayah, populasi ternak ayam terbesar berada di Jawa (64%) dan Sumatera (20%) (Deptan, 2007).
140
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
Populasi ternak ayam setiap provinsi di Indonesia pada tahun 2006 diperlihatkan pada Tabel 5-1. T abel 5-1. Populasi T ernak Ayam di Indonesia T ahun 2006
(3) 23.392.070 170,03 8.080.510 6.177.250 404,34 509,62 5.134.000 102,51 2.426.900 386,91 61.067.990 0 10.351.110 13.160.590 2.471.720 30.364.220 4.720.350 3.842.690 3.680.530 70,87 91,29 5.479.880 2.793.360 39,4 1.983.320 663,8 5.496.380 613,65 376,73 4.324.550 60,62 120,83 150,92 8,94 128,75 13,23 99.429.930
w
.b p
s. go
(2) 133.612.810 1.538.310 42.763.530 12.748.990 20.965.810 11.539.190 15.842.000 1.833.000 21.094.570 5.287.410 557.906.580 124,3 343.954.090 61.258.120 25.360.260 119.525.120 7.684.690 15.167.850 5.317.160 9.804.860 45,83 65.006.480 14.889.750 3.200.400 20.624.130 26.292.200 17.371.110 1.406.880 2.358.000 12.325.960 896,05 384,22 1.362.280 111,2 981,16 269,92 790.427.110
w
ht
tp :// w
(1) Sumatera N angroe Aceh Darussalam Sumatera U tara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Jawa DKI Jakarta Jaw a Barat Jaw a Tengah DI Yogy akarta Jaw a Timur Banten Bali & Nusa T enggara Bali N usa Tenggara Barat N usa Tenggara Timur Kalimantan Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Sulaw esi U tara Sulaw esi Tengah Sulaw esi Selatan Sulaw esi Tenggara Gorontalo Maluku & Papua M aluku Papua M aluku U tara Jumlah (Deptan, 2007)
Ayam ras Petelur (ekor)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Ayam Lokal (ekor)
T otal (ekor)
(4) (5) 80.448,990 237.453.870 15.643.850 17.352.190 20.175.270 71.019.310 5.266.240 24.192.480 6.181.620 27.551.770 3.646.340 15.695.150 11.875.000 32.851.000 2.676.080 4.611.590 12.240.880 35.762.350 2.743.710 8.418.030 134.323.550 753.298.120 54,19 178,49 29.319.160 383.624.360 33.158.070 107.576.780 23.824.020 51.656.000 40.058.280 189.947.620 7.909.830 20.314.870 18.416.980 37.427.520 4.508.250 13.505.940 4.176.450 14.052.180 9.732.280 9.869.400 23.188.230 93.674.590 4.589.280 22.272.390 5.740.900 8.980.700 9.984.020 32.591.470 2.874.030 29.830.030 25.895.830 48.763.320 1.875.300 3.895.830 2.120.290 4.855.020 13.960.330 30.610.840 6.815.640 7.772.310 1.124.270 1.629.320 4.016.570 5.529.770 2.047.950 2.168.090 1.434.960 2.544.870 533,66 816,81 286.290.150 1.176.147.190
.id
Ayam ras Pedaging (ekor)
Propinsi
141
Komoditas Daging dan Telur Ayam
w
w
.b p
s. go
.id
Lokasi pengembangan budidaya ayam ras lebih diutamakan dekat dengan konsumen dan sumber penyediaan pakan. Oleh karena hal tersebut jumlah populasi ayam ras terbanyak berada di Jawa. Untuk lebih memudahkan seluruh konsumen domestik terhadap produk ayam ras, pengembangan budidaya ayam ras berpotensi dilakukan pada berbagai daerah, namun harus didukung oleh sarana pendukung industri ayam ras dan pakan. Daerah-daerah potensial baru yang dapat dikembangkan untuk ayam ras pedaging adalah Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Untuk ayam ras petelur, wilayah potensial baru adalah Bali, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Wilayah-wilayah potensial baru tersebut memiliki potensi pasar yang baik, namun potensi pasokan bagi pakan ternak kurang mendukung. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan industri pakan ternak lokal dengan dukungan bahan baku yang dapat diperoleh secara mandiri oleh wilayah potensi diperlukan (Ilham, 2007).
ht
tp :// w
Pada tahun 2007, total populasi ternak ayam nasional mencapai 1.366,1 juta ekor dengan jumlah populasi ayam lokal, ayam petelur, dan ayam pedaging masing-masing mencapai 298,4 juta ekor, 95,5 juta ekor, dan 972,2 juta ekor. Pada tahun 2008 jumlah populasi ayam ditargetkan meningkat mencapai 1.549,13 juta ekor dengan jumlah populasi ayam lokal, ayam petelur, dan ayam pedaging masing-masing mencapai 294,12 juta ekor, 122,84 juta ekor dan 1.132,17 juta ekor (BPS dan Deptan (2008) di dalam Agrina, 2008). Perkembangan jumlah ternak ayam pada tahun 2000-2004 memiliki laju pertumbuhan 11% per tahun. Tingkat pertumbuhan populasi ayam tertinggi dihasilkan oleh pertumbuhan populasi ayam ras pedaging dengan laju pertumbuhan populasi ratarata 17% per tahun sedangkan ayam ras petelur 4% per tahun.
142
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800
Budidaya ayam pedaging Budidaya ayam petelur
.id
600 400 200 0 2000
2001
s. go
Jumlah perusahaan budidaya
Adanya peningkatan populasi tersebut didukung pula oleh pertumbuhan usaha budidaya ayam ras selama tahun 20002004 (BPS, 2008). Perkembangan jumlah usaha budidaya ayam ras tersebut diperlihatkan pada Gambar 5-1.
2002
2003
2004
.b p
Tahun
tp :// w
w
w
Gambar 5-1. Perkembangan jumlah usaha budidaya ayam ras tahun 2000-2004 (http://bps.go.id/ [7/3/2008])
ht
5.2.2. Karakteristik Peternakan Ayam Ras di Indonesia
Usaha peternakan ayam di Indonesia dilakukan oleh peternak tradisional (non komersial) serta peternak komersial dengan berbagai skala usaha. Hampir semua peternak komersial memelihara ayam ras (broiler dan petelur), namun sebaliknya hampir semua peternak tradisional memelihara ayam kampung. Peternak komersial secara fungsional terbagi atas peternak pembibitan (breeder) sebagai penghasil bibit/benih dan peternak budidaya sebagai penghasil ayam siap potong dan telur konsumsi. Walaupun demikian, sebagian besar breeder juga berfungsi sebagai peternak budidaya untuk menciptakan pasar oligopoli. Hampir semua peternak komersial dari skala kecil (1.000 ekor) sampai sedang (20.000 ekor) sangat
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
143
Komoditas Daging dan Telur Ayam
bergantung pada bibit/benih dan sarana produksi (saprodi) dari perusahaan besar baik secara langsung maupun tidak langsung (Talib, 2007).
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Pemahaman terhadap struktur usaha peternak komersial di Indonesia, khususnya peternak ayam pedaging, merupakan langkah awal untuk menentukan strategi dalam penataan usaha. Struktur usaha ayam pedaging tersebut mencakup sektor hulu, on farm, dan sektor hilir. Dalam struktur tersebut sektor hulu mencakup: bibit Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS), pakan (feed mill), obat dan sarana produksi ternak. Sektor on farm berupa aktivitas budidaya Final Stock (FS). Sektor hilir mencakup Rumah Potong Ayam (RPA) dan Tempat Pemotongan Ayam (TPA) serta Unit Pengolahan Daging (UPD). Jembatan yang menghubungkan antara sektor on farm dan sektor hilir adalah usaha Tempat Penampungan Ayam (TPnA) atau sering disebut pangkalan. Dari pangkalan di atas, distribusi ayam peading hidup dan produknya masuk ke berbagai sasaran konsumen (Muladno et al., 2008).
ht
Hal yang perlu ditekankan pula dalam pengembangan agribisnis ayam pedaging dan petelur adalah peran pemerintah sebagai regulator dan fasilitator yang meliputi: Direktorat Jenderal Peternakan, Badan Karantina, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP), Dinas Teknis di Provinsi Kabupaten/Kota; maupun Asosiasi yang terlibat yang terkait dalam struktur tersebut, yaitu: Gabungan Pengusaha Perunggsasan Indonesia (GAPPI), Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Asosiasi Perusahaan Obat Hewan Indonesia, Pusat Informasi Pasar (PINSAR), NAMPA dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Secara umum struktur usaha peternak komersial dalam konteks agribisnis tersebut dapat dilihat pada Gambar 5-2.
144
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
hulu
Bibit Grand Parent Stock (GPS) Pabrik/importir Farmasi veteriner dan Sapronak
Bibit Parent Stock (PS) Pabrik Pakan (feedmill)
on farm
Final Stock Poultry shop
Distributor hilir
RPA/TPA
.id
DAGING AYAM MURAH ASUH
s. go
Instansi pemerintah ( teknis)
Unit pengolahan
Ditjennak, Badan Karantina , Ditjen P2HP, Dinas di Prop/
Asosiasi GAPPI; GPPU, GOPAN, GPMT,ASOHI, NAMPA, YLKI
Produk olahan daging ayam
.b p
Kab/kota; Ditjen SaranaPrasarana;
akhir
w
w
Konsumen
ht
tp :// w
Gambar 5-2. Struktur usaha ayam pedaging di Indonesia (Muladno et al., 2008)
Sebelum tahun 1997, lebih dari 70% produsen ayam pedaging terdiri dari pembudidaya independen dan berasal dari sektor pedesaan. Setelah terjadinya krisis ekonomi, struktur industri unggas Indonesia berubah. Industri peternakan unggas kecil mengalami penurunan keuntungan dan kemampuan memperoleh modal kerja sehingga banyak peternakan unggas berhenti berproduksi atau menjadi pembudidaya ayam bagi peternakan besar terintegrasi. Pada tahun 1999, sekitar 60% peternak ayam pedaging dengan unit usaha berkisar 2.000 hingga 15.000 ekor telah melakukan perjanjian kontrak dengan perusahan peternakan besar terintegrasi. Pada tahun 2000, jumlah persentase tersebut meningkat menjadi 70% (Talib, 2007).
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
145
Komoditas Daging dan Telur Ayam
.id
Peternak ayam independen memasarkan produknya langsung kepada pedagang penampung di pasar-pasar tradisional. Bagi peternak yang menjadi plasma perusahaan besar dalam sistem inti-plasma, hasil produksinya wajib dijual pada perusahaan besar (inti) dengan harga pasar, yang sebenarnya harga tersebut sudah terikat dalam sistem oligopoli. Perusahaan ayam besar terintegrasi penuh di Indonesia terdiri dari Charoen Pokphand Indonesia, Japfa Comfeed Indonesia, Sierad Produce dan Wonokoyo Jaya Corporindo. Perusahaan unggas utama lainnya yang memproduksi pakan serta stok bibit adalah CJ Feed Indonesia dan Leong Ayam Satu Primadona (US Grains Council, 2007).
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Kelembagaan dan jejaring yang terbentuk dalam agribisnis ayam di Indonesia terbangun oleh suatu sistem tersendiri yang disetujui oleh para peternak. Hal ini terjadi karena sistem tersebut mampu memberikan nilai tambah langsung untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, yang merupakan salah satu nilai lebih dari industri unggas di dalam negeri. Hal-hal yang menunjang perkembangan peternakan unggas adalah (i) tersedia akses untuk mendapatkan bibit/benih dan pakan berkualitas, (ii) obat-obatan, (iii) informasi standar manajemen pemeliharaan, (iv) pasar yang siap tampung setiap produk yang dihasilkan serta (v) besaran usaha yang cukup memberikan keuntungan yang dianggap baik bagi peternak.
Berbeda dengan ayam ras, perkembangan ayam kampung tidak ditujukan untuk produksi daging dan telur secara optimal. Peternak pembibit menyeleksi ternaknya lebih ditujukan untuk menghasilkan bibit spesifik yang lebih banyak berfungsi sebagai hiburan atau hobi seperti ayam Pelung dengan suaranya yang merdu, ayam Bangkok untuk ayam aduan dan ayam hias karena warna dan keunikannya. Sangat sedikit yang mengarahkan seleksi untuk produksi telur seperti ayam Arab, sehingga ayam
146
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
kampung tidak memungkinkan ditujukan bagi penyediaan telur dan daging yang banyak. Di lain pihak, peternak budidaya ayam kampung lebih memfungsikan ayamnya sebagai tabungan yang dapat dijual ketika membutuhkan dana kontan. Peran peternak pembibit ayam kampung secara tidak langsung telah menjaga plasma nutfah ayam lokal. 5.2.3. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Daging dan Telur Ayam Ras
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Jumlah produksi daging dan telur ayam selama tahun 2003 hingga tahun 2007 mengalami peningkatan setiap tahunnya, walaupun pada tahun 2005 produksi daging maupun telur ayam mengalami penurunan. Peningkatan produksi rata-rata tertinggi selama tahun 2003-2007 untuk daging ayam dihasilkan oleh ayam ras petelur dengan rata-rata peningkatan produksi 8% per tahun, sedangkan rata-rata peningkatan produksi daging dari ayam ras pedaging mencapai 4.7% per tahun. Rata-rata peningkatan produksi telur ayam selama tahun 2003-2007
Uraian
ht
T abel 5-2. Perkembangan Produksi Daging dan T elur Ayam Indonesia T ahun 2003-2007
2003
2004
Rata-rata pertumbuhan 2005
2006
2007*
produksi tahun 20032007 (%/ tahun)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
298,5
296,4
301,4
341,3
349,0
4,2
48,1
48,4
45,2
57,6
63,5
8,0
Daging (1000 ton) Ay am lokal Ay am ras petelur Ay am ras pedaging Jumlah
771,1
846,1
779,1
861,3
918,5
4,7
1.117,7
1.190,9
1.125,7
1.260,2
1.331,0
4,7
177
172,1
175,4
194
212,5
5,0
611,5
762
681,1
816,8
882,2
11
788,5
934,1
856,5
1.010,8
1.094,7
9,7
T elur (1000 ton) Ay am lokal Ay am ras Jumlah * angka sementara (Ditjennak, 2008)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
147
Komoditas Daging dan Telur Ayam
adalah sekitar 9,7% per tahun dengan rata-rata peningkatan produksi telur ayam ras 11% per tahun sedangkan telur ayam buras 5% per tahun (Ditjennak, 2008). Kondisi perkembangan produksi daging dan telur ayam Indonesia tahun 2003-2007 diperlihatkan pada Tabel 5-2.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Konsumsi daging dan telur ayam memiliki kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah penduduk dan adanya peningkatan pendapatan per kapita. Berdasarkan penyediaan daging dan telur ayam untuk konsumsi per kapita/hari, terdapat peningkatan selama tahun 2003-2007 (Tabel 5-3). Adanya peningkatan konsumsi daging dan telur ayam per kapita perhari merupakan peluang bagi pengembangan agribisnis ayam pedaging dan petelur. Walaupun demikian, permintaan terhadap daging dan telur ayam bersifat sangat elastis, dimana tingkat konsumsi komoditas peternakan unggas sangat dipengaruhi oleh perubahan pendapatan. Dengan demikian kondisi pendapatan dan pola konsumsi masyarakat mempengaruhi peningkatan atau penurunan permintaan daging dan telur ayam.
ht
Tabel 5-3. Penyed iaan Daging dan Telur Masyarakat Indonesia per Kapita/hari (g)Tahun 2003-2007 Rincian
2003
2004
2005
2006*
2007*
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Daging
16,0
17,1
15,9
17,4
18,0
Telur
11,3
12,8
11,9
13,6
14,5
Penyediaan per kapita/hari (g)
(Ditjennak, 2008) Berdasarkan perbandingan pendapatan perkapita tahun 2006 dengan tahun 2001 dan persentase pengeluaran untuk konsumsi masyarakat, dapat diketahui bahwa terdapat perubahan pola konsumsi masyarakat. Perubahan pola
148
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
konsumsi tersebut adalah menurunnya pengeluaran untuk kebutuhan pangan, di lain pihak pengeluaran untuk barang dan jasa non pangan meningkat. Pengeluaran untuk konsumsi daging mengalami penurunan dari 8% menjadi 2% (Gambar 53). Kondisi tersebut juga merupakan tantangan yang dihadapi oleh industri peternakan.
ht
Gambar 5.3. Perbandingan Perubahan Pola Pengeluaran Masyarakat Tahun 2001 dan Tahun 2006 (Wiyono dan Sanjaya, 2008)
Di Indonesia sebagian besar produk ayam dan telur diperdagangkan dalam bentuk segar. Mayoritas masyarakat masih lebih banyak memilih daging ayam segar yang dapat dengan mudah diperoleh di tempat penjualan terdekat dengan harga terjangkau, daripada produk daging beku atau produk yang didinginkan. Sebagian besar daging ayam dipasarkan pada konsumen rumah tangga dan sekitar 20% daging ayam dipasarkan untuk restoran franchise yang menyajikan ayam goreng.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
149
Komoditas Daging dan Telur Ayam
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Produk olahan yang dapat diterima diantaranya adalah nugget yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan dan merupakan produk yang mudah diterima dengan luas oleh masyarakat domestik. Dukungan infrastruktur rantai dingin yang dibangun oleh perusahaan produsen produk olahan unggas cukup mendukung distribusi produk olahan ayam tersebut. Selain hal tersebut, meningkatnya ekspansi industri ritel sebagai bagian dari rantai distribusi produk pangan beku, juga mendukung aliran distribusi produk ayam olahan. Walaupun fasilitas rantai dingin pada umumnya terdapat di wilayah perkotaan (terutama dengan adanya hyper dan supermarket), pada saluran distribusi tradisional kebanyakan produk beku dijual tanpa adanya pengendalian suhu yang baik. Dengan modal pedagang yang terbatas, kepedulian yang rendah terhadap pentingnya rantai dingin, serta masih banyaknya pembelian– penjualan untuk konsumsi harian merupakan faktor-faktor yang cenderung membatasi pengembangan jaringan rantai dingin untuk pengembangan distribusi produk olahan ayam (Vanzetti, 2007).
ht
Beragam produk daging dan telur ayam yang dapat dikembangkan diperlihatkan pada Gambar 5-4. Pengembangan produk daging ayam dengan nilai tambah lebih tinggi adalah berupa abon ayam, nuget, dan bakso ayam. Bagian kuning dan putih telur ayam dapat diolah menjadi tepung telur sebagai bahan baku industri pangan olahan maupun dapat digunakan pula oleh konsumen akhir. Bulu ayam, darah, dan cangkang telur limbah produksi tepung telur masing-masing diolah menjadi tepung bulu, tepung darah, dan tepung cangkang telur yang dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pakan ternak.
150
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
Tepung Bulu
Pakan Ternak
Bulu Produk Kerajinan; Peralatan Olah Raga
Darah
Tepung Darah
Pakan Ternak
Daging Olahan
Daging Beku; Bakso; Abon; Sosis; Nugget
Ayam Daging Segar
Tepung Cangkang
Bahan Pangan Olahan Pakan Ternak
.b p
Cangkang Telur
Tepung Telur
s. go
Putih & Kuning Telur
Telur
.id
Telur Asin
w
w
Gambar 5-4. Pohon Industri Ayam (Deptan, 2005)
ht
tp :// w
5.2.4. Perkembangan Ekspor-Impor
Pemanfaatan utama daging dan telur ayam produksi domestik diutamakan untuk memenuhi kebutuhan kosumsi dalam negeri. Walaupun demikian, terdapat pula ekspor daging dan telur dengan jumlah tidak banyak. Selain daging dan telur ayam, jenis komoditas ekspor ayam lainnya adalah berupa ayam bibit (day old chick/DOC) PS dan FS, serta ayam hidup. Berdasarkan nilai ekspor komoditas ayam tahun 2002-2006 terjadi penurunan ekspor setiap tahunnya. Ekspor bibit ayam DOC (PS) dilakukan hingga tahun 2003. Unggas hidup tidak lagi diekspor pada tahun 2006. Ekspor daging ayam dan telur konsumsi sejak tahun 2004 mengalami penurunan drastis. Ratarata penurunan nilai ekspor daging ayam dan telur konsumsi per tahun masing-masing adalah 25% dan 20%. Penurunan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
151
Komoditas Daging dan Telur Ayam
ekspor daging dan telur ayam yang drastis dipengaruhi oleh adanya larangan impor ayam dari Indonesia oleh beberapa negara pengimpor, terkait wabah flu burung yang menjangkit Indonesia sejak awal tahun 2004. Nilai ekspor komoditas ayam Indonesia tahun 2002-2006 diperlihatkan pada Tabel 5-4.
Tabel 5-4. Nilai Ekspor Komoditas Ayam I ndonesia Tahun 2002-2006 (1.000 US $)
(1) DOC ay am bibit (Parent stock/ PS)
2002
2003
2004
2005
2006
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1.190,5
858,4 2,8 95,6 2,3 4.964,5 161,2 312,2 133,3
0
0
0 7,5 92,1 84,3
0,3 0 43,2 90,5
s. go
390,5 12,3 4.827,8 540,2
0
.b p
DOC ay am bibit (Final stock/FS ) U nggas (poultry ) Daging ay am Telur konsumsi
294,8
.id
Rincian
w
(Ditjennak, 2008)
ht
tp :// w
w
Berkebalikan dengan menurunnya nilai ekspor daging ayam dan telur, jumlah dan nilai impor daging unggas dan telur konsumsi menunjukkan adanya peningkatan selama tahun 2002-2006. Di lain pihak, jumlah dan nilai impor bibit DOC dan unggas hidup mengalami penurunan. Nilai dan jumlah impor komoditas ayam Indonesia tahun 2002-2006 diperlihatkan pada Tabel 5-5 dan Tabel 5-6. T abel 5-5. Volume Impor Komoditas Ayam
T ahun (1)
DOC Bibit (PS) DOC Bibit (FS) Unggas (poultry ) T elur konsumsi Daging unggas (1000 ekor) (1000 ekor) (1000 ekor) (T on) (T on) (2) (3) (4) (5) (6)
2002 2003 2004 2005 2006 (Ditjennak, 2008)
152
677 52,3 191,3 234,7 122,6
20,4 8,3 6 3 0
20,2 6 516,7 0,3 26,3
32,6 68,7 245,1 707,0 943,9
949,8 546,0 1.313,9 3.978,4 3.468,4
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
T abel 5-6. Nilai Impor Komoditas Daging Ayam dan T elur (1.000 US$) DOC Bibit
DOC Bibit
Unggas
T elur
Daging
(PS) (2) 11.129,8 10.900,4 8.496,3
(FS) (3) 21,6 35,7 11,2
(poultry ) (4) 437,2 147,7 153,5
konsumsi (5) 400,8 417,5 130,4
unggas (6) 899,7 754,1 1.032,6
2005 8.209,3 2006 5.779,4 (Ditjennak, 2008)
2,3 0
1.865,5 2.363,3
3.803,8 4.661,7
T ahun (1) 2002 2003 2004
0,6 65,7
s. go
.id
5.3. Permasalahan Dan Tantangan Pengembangan Komoditas Daging Dan Telur Ayam Ras
ht
tp :// w
w
w
.b p
Di dalam pengembangan agribisnis peternakan ayam masih terdapat beragam permasalahan yang menjadi penghambat tercapainya sasaran pengembangan agribisnis ayam sebagai penyedia sumber protein hewani yang dapat menjaga ketahanan pangan hewani, mencapai usaha peternakan yang mandiri dan berkelanjutan serta menciptakan produk berdaya saing. Dua permasalahan utama yang dihadapi agribisnis ayam adalah kenaikan harga pakan unggas serta wabah penyakit flu burung yang penanganannya belum tuntas. Industri peternakan ayam di Indonesia juga dinilai belum bersifat kompetitif seperti Thailand dan produsen ayam negara-negara Asia lainnya (Vanzetti, 2007). 5.3.1. Peningkatan Harga Pakan Ternak dan Dampak yang Ditimbulkan Persentase biaya pakan terhadap total biaya produksi daging ayam ras mencapai 70%, sedangkan pangsa biaya lainnya seperti DOC (bibit) hanya sebesar 13%. Berdasarkan hal tersebut, maka adanya perubahan perilaku pada pasar pakan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
153
Komoditas Daging dan Telur Ayam
w
.b p
s. go
.id
akan sangat berdampak terhadap kinerja pasar daging ayam (Kariasa dan Sinaga, 2005). Hingga akhir tahun 2007 konsumsi pakan ternak nasional mencapai 7,6 juta ton. Untuk memenuhi produksi pakan ternak tersebut diperlukan jagung sekitar 4,07 juta ton yang berasal dari jagung lokal maupun impor. Bahan baku pakan lainnya adalah bungkil kedelai dengan jumlah 1,62 juta ton, tepung tulang dan daging (meat bone meal/MBM) serta tepung daging unggas (poultry meat meal/PMM) 400 ribu ton, dan premix 50 ribu ton (Infovet, 2008). Bahan baku tersebut juga sebagian besar merupakan bahan impor. Masih tingginya tingkat impor bahan baku pakan, menurut pihak perusahaan karena perusahaan sulit memperoleh pasokan bahan baku pakan lokal dengan pasokan yang kontinyu dan mutu yang baik. Permasalahan pasokan pakan ternak merupakan hal penting yang harus segera ditangani, mengingat kebutuhan terhadap pakan ternak hingga tahun 2010 diprediksi mengalami peningkatan (Tabel 5-7).
(1) 1 2
Jenis Bahan Baku (2) Jagung Bungkil Kedelai
3 Dedak 4 Pollard 5 Tepung Ikan 6 M BM & PM M 7 Premix (Subiy anto, 2007)
ht
No
tp :// w
w
T abel 5-7. Proyeksi Kebutuhan Bahan Baku Pakan 2008-2010
Volume (juta ton)
2008 (3) 4,07 1,62
2010 (4) 5,33 2,13
1,21 0,81 0,40 0,40 0,05
1,58 1,06 0,53 0,64 0,06
Meningkatnya harga bahan baku impor berpengaruh terhadap harga pakan ternak. Kenaikan harga yang telah terjadi sejak tahun 2007 menyebabkan harga jagung impor telah mencapai Rp. 2.600/kg, dan harga bungkil kedelai (soybean
154
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
.id
meal/SBM) dari India menjadi US$ 500/ton. Di lain pihak, harga tepung tulang (meat & bone meal/MBM) mencapai US$ 625/ ton, dedak padi Rp. 1.700/kg dan ampas kelapa Rp. 1.400/kg (Suhendar, 2008). Dengan adanya kenaikan harga bahan baku pakan dengan rata-rata lebih dari 30%, harga pakan meningkat Rp. 300 per kg menjadi rata-rata Rp. 3.675 untuk pakan ayam pedaging (broiler), dan Rp. 2.950 per kilogram untuk pakan ayam petelur (Infovet, 2008). Pada Gambar 5-5 diperlihakan peningkatan harga bahan baku pakan antara bulan November 2006 hingga Oktober 2007 (Subiyanto, 2007).
7000
48,9%
.b p
6000
45,0%
5000
45,3% 50,6%
w
4000 3000
19,5%
w
Harga (Rp/kg)
73,3%
s. go
8000
Persentase pertumbuhan periode Nov ’06-Okt ‘07
tp :// w
2000 1000 0
ht
Nov '06
Jagung
Feb '07
SBM
15,4%
Juli '07
MBM
Agust '07 Sept '07
Okt '07
Periode
CGM
Dedak
PMM
CPO
Gambar 5-5. Peningkatan harga bahan baku pakan antara bulan November 2006 hingga Oktober 2007 (Subiyanto, 2007)
Bila tidak ada upaya mengatasi permasalahan harga pakan yang tinggi, harga produk ayam untuk dipasarkan pada konsumen juga akan tinggi. Diperkirakan harga untuk daging ayam akan berada di atas Rp. 20.000 per kg dari harga rata-rata
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
155
Komoditas Daging dan Telur Ayam
sebelumnya yang berkisar Rp. 16.000 per kg. Walupun demikian, peternak masih dapat mempertahankan harga komoditas ayam dengan peningkatan harga yang tidak terlalu tinggi karena harga bibit ayam (DOC) yang masih berlaku berkisar antara Rp. 250300 per ekor. Dengan kondisi tersebut BEP biaya produksi masih bersifat rasional yaitu Rp 8.650 per kg.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Di lain pihak, nilai BEP biaya produksi ayam saat ini tidak dapat dipertahankan dalam waktu lama karena harga bibit ayam (DOC) juga akan meningkat. Menurut Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) di dalam Suhendar (2008), nilai BEP produksi seekor DOC mencapai Rp. 2.000-2.500. Kenaikan harga DOC disertai harga pakan akan membawa peningkatan harga yang tinggi untuk komoditas ayam. Dengan harga komoditas ayam yang tinggi dan kondisi daya beli masyarakat yang melemah akibat kenaikan harga BBM, jumlah permintaan komoditas ayam akan menurun. Hal tersebut akan berdampak pula pada penurunan tingkat produksi komoditas ayam dalam negeri dan kemunduran usaha perunggasan di Indonesia.
ht
5.3.2. Permasalahan Flu Burung
Pada tahun 2004, diperkirakan kerugian akibat infeksi flu burung berkisar antara Rp 488 miliar (US$ 53 juta) dan Rp 7,7 triliun (US$ 836 triliun) bila pemerintah gagal menangani flu burung. Menurut laporan FAO (2004), dampak flu burung pada sektor bisnis unggas adalah penurunan bibit ayam DOC di wilayah terinfeksi sekitar 57,9% untuk broiler dan 40,4 % untuk bibit ayam petelur. Dampak lainnya adalah penurunan permintaan untuk pakan unggas sekitar 45%, penurungan pasokan ayam sekitar 40,7 % untuk broiler dan 52,6 % untuk ayam petelur. Kesempatan kerja di daerah terinfeksi juga menurun hingga 39,5 %. Permasalahan flu burung juga menjadi
156
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
penyebab menurunnya ekspor komoditas unggas Indonesia. Jepang, Singapura, dan Malaysia sebagai daerah tujuan ekspor unggas Indonesia menunda impor hingga mesalah infeksi flu burung dapat ditangani hingga tuntas (US Embassy Jakarta, 2005). 5.3.3. Pasokan dan Harga Bibit Ayam DOC
w
w
.b p
s. go
.id
Penyediaan bibit induk ayam pedaging dan petelur masih tergantung pada impor. Pada Tabel 5-8 diperlihatkan kondisi produksi dan impor bibit ayam (DOC) pedaging dan petelur tahun 2005-2007. Ketidaktepatan memprediksi permintaan produk menyebabkan tidak terjadinya keseimbangan antara DOC yang ditawarkan dengan yang diminta di pasar, akibatnya terjadi fluktuasi harga DOC yang juga berpengaruh terhadap fluktuasi harga produk daging ayam. Hal tersebut dapat dihindari jika informasi pasokan dan permintaan bibit ayam dan produk ayam dapat diakses dengan mudah oleh produsen (Ilham, 2007).
tp :// w
T abel 5-8. Perkembangan Produksi dan Impor Bibit Ayam DOC T ahun 2005-2007
ht
Produksi
Rincian
2005
2006
2007
(1)
(2)
(3)
(4)
DOC Pedaging (Broiler )
1,01
1,075
1,15
(juta ekor) Petelur (Layer )
Impor (ekor)
57
60
64
GPS-Broiler
311,769
386,164
42,46
GPS-Lay er
26,488
20,523
33,388
PS-Broiler
293,867
351,24
395,11
PS-Lay er
12,948
26,7
21,5
H E-PS Broiler
-
467,999
435,96
H E-PS Lay er
-
39,591
-
Keterangan: H E = H atching egg (telur tetas) (Setiabudi, 2007)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
157
Komoditas Daging dan Telur Ayam
5.3.4. Kurangnya Daya Tarik dan Rasa Aman-Nyaman Kurangnya daya tarik dan rasa aman-nyaman bagi investor untuk masuk ke dalam bisnis peternakan nasional. Hal tersebut dipengaruhi oleh undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Keswan) yang dinilai masih cenderung menonjolkan pada ancaman hukuman bagi pelaku usaha, banyaknya sanksisanksi yang sifatnya kurang mendidik atau berlebihan menyebabkan terjadinya penurunan minat investor.
.id
5.3.5. Biaya Ekonomi Agribisnis Komoditas Unggas Tinggi
w
w
.b p
s. go
Biaya ekonomi agribisnis komoditas unggas tinggi akibat terdapatnya peraturan-peraturan yang eksesif, perda-perda bersifat tumpang tindih, tingginya bea masuk impor input produksi, tingginya biaya pengawasan mutu, biaya karantina antar area, dan berbagai pungutan dan retribusi di berbagai daerah.
tp :// w
5.3.6. Kendala Dalam Sistem Pembiayaan (Permodalan)
ht
Kendala dalam sistem pembiayaan (permodalan) bagi pengusaha kecil, kemudahan akses erhadap saprodi dan ketersediaan pasar menyulitkan pengembangan skala usaha peternakan kecil menuju skala usaha komersial yang lebih besar. Ancaman masuknya chicken leg quarter (CLQ) dan mechanically deboned meal (MDM) dari impor • Biaya pajak pertambahan nilai (PPN) yang cukup tinggi untuk produk peternakan • Tata ruang yang belum jelas sering menjadi penghambat dalam mengembangkan usaha agribisnis unggas. • Infrastruktur yang kurang memadai seperti tersedianya jalan yang baik, sarana trasportasi, dan komunikasi juga dapat berdampak menyulitkan kegiatan operasional peternak. 158
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
5.4. Strategi Produksi Komoditas Daging Dan Telur Ayam Ras 5.4.1. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Pengembangan Produksi Daging dan Telur Ayam Ras a. Kekuatan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Beberapa aspek yang menjadi faktor kekuatan bagi pengembangan komoditas daging dan telur ayam adalah sebaran daerah produksi yang luas, serta volume produksi yang besar. Aspek lainnya yang menjadi kekuatan pengembangan komoditas daging dan telur ayam adalah adanya perkembangan genetis ayam yang menunjukkan tren positif. Sebagai contoh, pada tahun 1925, untuk mencapai berat badan ayam 1 kilogram (kg) diperlukan pakan 4,7 kg dalam usia 112 hari sedangkan pada tahun 1965, untuk mencapai berat ayam 1,6 kg diperlukan 2,4 kg pakan dalam waktu 63 hari. Tahun 2005 untuk mencapai berat ayam 2,4 kg butuh diperlukan pakan 1,7 kg hingga usia 42 hari (Kompas, 2007). Keragaman jenis ayam lokal yang dimiliki juga merupakan faktor kekuatan pengembangan komoditas daging dan telur walaupun dengan peran yang tidak besar. b. Kelemahan Faktor-faktor yang merupakan kelemahan bagi pengembangan komoditas daging dan telur ayam adalah biaya produksi yang tinggi, terdapat ketergantungan pakan ternak terhadap bahan baku impor akibat belum mampunya penyediaan bahan baku pakan dari dalam negeri dengan kontinyuitas dan mutu yang baik. Faktor-faktor kelemahan lainnya adalah masih sulitnya peternak kecil memperoleh bantuan modal, peralatan dan sarana produksi yang memadai,
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
159
Komoditas Daging dan Telur Ayam
penyediaan infrastruktur dan sarana produksi bagi peternak pembibitan maupun budidaya, serta tingginya biaya-biaya di luar kegiatan produksi seperti pungutan, restribusi, dll. c. Peluang
.b p
s. go
.id
Prospek pasar domestik daging dan telur ayam dalam negeri cukup baik. Komoditas unggas memiliki prospek pasar domestik yang sangat baik yang didukung oleh bertambahnya tingkat permintaan masyarakat yang dipacu peningkatan populasi, adanya perbaikan pendapatan, serta perbaikan pemahaman gizi di masyarakat. Di lain pihak, komoditas unggas juga masih memiliki harga relatif murah dari komoditas hewani lainnya dan mudah diperoleh. Hal-hal tersebut merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi peluang pengembangan komoditas daging dan telur ayam.
w
w
d. Ancaman
ht
tp :// w
Beberapa faktor yang menjadi ancaman bagi pengembangan komoditas daging dan telur ayam lokal adalah adanya peningkatan produksi daging dan telur pada negaranegara produsen dengan harga dan mutu lebih baik, berkurangnya areal produksi, kesulitan dalam penyediaan modal produsen, serta hambatan pada akses pasar domestik maupun internasional. 5.4.2. Strategi Pengembangan Komoditas Daging dan Telur Ayam Ras Indonesia Faktor utama yang sangat berpengaruh bagi pengembangan sektor peternakan ayam adalah faktor produksi, persaingan usaha dan kebijakan pemerintah. Di mana aktor yang berpengaruh terhadap faktor-faktor tersebut adalah
160
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
.b p
s. go
.id
produsen dan asosiasi, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Berdasarkan hasil analisa permasalahan dalam agribisnis peternakan ayam ras, strategi utama bagi adalah pengembangan komoditas daging dan telur ayam adalah peningkatan produksi dan produktivitas industri peternakan dan indsutri pengolahan hasil ternak ayam melalui berbagai perbaikan teknologi, peningkatan keterampilan sumberdaya manusia dan ketersediaan peralatan yang memadai; peningkatan mutu komoditas dan produk-produk hasil olahan; diikuti oleh perbaikan kebijakan; peningkatan efisiensi biaya poduksi serta memperbaiki kondisi pemasaran perunggasan dalam negeri dan untuk peluang ekspor. Secara lebih lengkap strategi pengembangan usaha produksi komoditas dan produk daging dan telur ayam Indonesia didaftar pada Tabel 5-9.
1
Strategi Operasional Peningkatan
Program Aksi
tp :// w
No
w
w
Tabel 5-9. Strategi Pengembangan Komoditas Daging dan Telur Ayam
Langkah-langkah
Peny ediaan pakan ay am Pengembangan teknologi produksi pakan ternak berbahan
produksi dan
mandiri dan berkelanjutan baku lokal
ht
produktiv itas budiday a ay am
Mengembangkan industri pakan ay am ras y ang berbasis bahan baku domestik Mengurangi ketergantungan bahan baku pakan impor dengan cara a) Pengembangan daerah produksi jagung dan tingkat produksi jagung yang disertai sistem distribusi y ang efisien dan pengembangan sistem peny impanan modern (silo), b) Pengembangan industri tepung ikan pada sentra produksi perikanan nasional, dan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
161
Komoditas Daging dan Telur Ayam
Tabel 5-9. Lanjutan No
Strategi Operasional
Program Aksi
Langkah-langkah c) Mendorong pihak industri pakan melakukan penelitian dan pengembangan untuk menggunakan bahan baku pakan lokal.
Penanggulangan
Pengembangan teknologi pengendalian penyakit secara
Penyakit Unggas
terpadu Pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular Perlindungan ternak dari pengurasan dan ancaman penyakit berbahaya, penyakit eksotik maupun zoonosis seperti flu burung
.id
Pengawasan dan penyuluhan terutama dalam aspek
ekor).
s. go
biosekuriti pada peternakan kecil (dengan jumlah unggas sekitar 5000 ekor) dan yang dipelihara di sekitar rumah (1-20
.b p
Ke dua sektor tersebut umumnya tersebar di pemukiman penduduk dengan jumlah dan keberadaannya yang sulit
w
dikontrol dan pemeliharaannya belum secara efektif mengikuti
tp :// w
w
teknologi yang benar.
Penyediaan sarana dan prasarana yang mampu
dan infrastruktur
memperlancar arus barang input maupun output, serta
penunjang
pengurangan berbagai pungutan atau kemudahan dalam hal
ht
Pembangunan sarana
perijinan.
Pengembangan Teknologi Pemuliaan ternak unggas secara konvensional dan atau budidaya dan produksi
aplikasi bioteknologi untuk pengembangan bibit unggul baru
ternak Pengembangan teknologi produksi ternak Dukungan kepastian
Perlindungan investasi masyarakat atau swasta dari
usaha peternakan ayam
ancaman pencurian, penjarahan dan kejadian lain yang merugikan Membuat mekanisme yang menjamin transparansi dalam hal informasi produksi DOC, biaya bahan-bahan input, serta kondisi pasar (permintaan, produksi, dan harga).
162
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
Tabel 5-9. Lanjutan Strategi No Operasional
Program Aksi
Langkah-langkah Penyediaan dukungan modal yang memadai bagi peternak kecil Penciptaan suasana kondusif agar usaha dapat bersaing dengan pasar global secara lebih adil melalui kebijakan tarif maupun non-tarif (SPS), sehingga terhindar dari ancaman
Penerapan budidaya unggas yang baik dan
dan kehalalan komoditas dan produk ayam
benar
Peningkatan teknologi mesin, sarana budidaya dan pengolahan hasil terbak unggas yang mendukung penerapan cara budidaya yang baik dan benar serta HACCP
Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan HACC P
Sosialisasi pedoman GMP dan H AC CP
tp :// w
w
w
.b p
pada industri pengolahan hasil unggas serta rumah pemotongan unggas
.id
Peningkatan mutu, kemanan pangan
s. go
2
produk ilegal, tidak ASUH atau barang dumping, Sosialisasi pedoman cara budidaya unggas yang baik dan benar
Pembinaan dan pengawasan oleh instansi berwenang untuk menangani ketidakpedulian atau sikap mental pelaku usaha yang buruk terhadap etika bisnis yang menyangkut mutu dan keamanan produk olahan unggas yang dihasilkan
ht
Standarisasi mutu produk Penetapan standar mutu produk peternakan unggas Peningkatan nilai tambah Insentif bagi pengembangan produk olahan yang dihasilkan produk oleh UKM atau industri kecil
3
Perbaikan kebijakan Kebijakan yang mendukung investasi perunggasan
Kebijakan yang mendukung pembentukan lingkungan investasi yang kondusif Kebijakan bagi kemitraan agribisnis perunggasan yang adil baik bagi mitra maupun bagi inti melalui pembagian resiko dan keuntungan yang adil. Kebijakan dalam hal mempromosikan produk unggas Melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil Mengurangi pungutan-pungutan biaya yang menghambat investasi pengembangan industri peternakan maupun distribusi pemasaran produk olahan unggas
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
163
Komoditas Daging dan Telur Ayam
Tabel 5-9. Lanjutan Strategi Operasional
No
Program Aksi
Langkah-langkah
Kebijakan penanganan
Dukungan kebijakan dan inovasi dalam hal tata-ruang,
kesehatan dan penyakit unggas
kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, serta penegakan aturan yang terkait dengan lalulintas ternak dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah dan perdagangan global Kebijakan pendukung dalam rangka pencegahan penyakit, utamanya dalam memperkuat pelayanan laboratorium dan pos-pos kesehatan hewan, serta kebijakan penyuluhan tentang bahaya dan pencegahan penularan penyakit unggas Meningkatkan keterampilan peternak dalam kegiatan usaha budidaya pembibitan maupun penggemukan ternak
Peningkatan efsiensi Peningkatan biaya produksi keterampilan, teknis,
.id
4
.b p
s. go
melalui peningkatan keahlian dan manajemen Meningkatkan peran Litbang di bidang budidaya, kesehatan hewan ternak, dan pengembangan pakan ternak keterampilan kinerja usaha Pengembangan sistem penyuluhan serta perekrutan dan sumberdaya pemberdayaan penyuluh Pemberdayaan peternak dalam kelembagaan usaha ternak
manusia, penguasaan
unggas secara partisipatoris Penguatan kelembagaan Pelatihan kemampuan manajerial pengurus
w
w
teknologi serta
ht
tp :// w
kelompok produsen (asosiasi atau koperasi)
5
kelompok/koperasi pelaku usaha peternakan Peningkatan peran BDS (Business Development Services ) bagi peningkatan kemampuan bisnis industri unggas
Penguasaan teknologi
Mempermudah akses pelaku usaha terhadap informasi
Peningkatan sinergi lembaga penunjang
teknologi Pengembangan jejaring industri dengan universitas dan lembaga penelitian untuk inovasi budidaya, kesehatan ternak
Memperbaiki kondisi
dan pengembangan produk bernilai tambah Mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar
pemasaran perunggasan dalam
dalam negeri Membangun citra budidaya dan produk perunggasan
negeri dan untuk
domestik yang baik di pasar internasional
164
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
DAFTAR PUSTAKA
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
_____. 2007. Perbaiki Sistem Produksi dan Distribusi Jagung: Penghapusan BM Jagung Bukan Jaminan Harga Turun. Kompas, 11 September 2007. _____. 2007. Tahun 2008, Target Pertumbuhan Industri Unggas 5-8 Persen. Kompas, 8 November 2007. _____. 2008. Pakan Ternak Tumbuh 7% Pertahun Capai 8,13 Juta Ton. Infovet. 2008. http://www.infovet.blogspot.com/ Agrina, 2008. Realisasi Pangan 2007 dan Target 2008. http:// www.agrina-online.com/ Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Departemen Pertanian. Jakarta. [BI] Bank Indonesia. 2008. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha. http:/ /www.bi.go.id/ [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Animal Husbandry Statistics. http://www.bps.go.id/ Dadang WI,Yan Suhendar, Tri Mardi,Selamet R.,Peni SP,Enny PT. 2008. Membumikan Tiga Jurus. Agrina. 7 januari 2008. [Deptan] Departemen Pertanian, 2005. Prosepek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan, Deartemen Pertanian. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta. Hadiwibowo, F. 2007. Business Prediction and Analysis of National Poultry Health Industries in 2008. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Prospek Bisnis Perunggasan 2008. Hotel Peninsula, Jakarta, 7 November 2007. Infovet. 2008. Broiler naik 8,7% dan Layer meningkat 7,7%. http:/ /infovet.blogspot.com/2007/12/broiler -naik-87-persendan layer.html
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
165
Komoditas Daging dan Telur Ayam
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Ilham, N. 2007. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan Di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Kariyasa, K dan BM Sinaga. 2005. Analisis Perilaku Pasar Pakan Dan Daging Ayam Ras di Indonesia: Pendekatan Model Ekonomerika Simultan. Muladno, et al (2008). Struktur Broiler di Indonesia. Permata Wacana Lestari. Pondok Gede Talib, C., I. Inounu, dan A. Bamualim. 2007. Restrukturisasi Peternakan Di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1, Maret 2007: 1-14. http:// pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ISU5-1a.pdf Setiabudi, P. 2007. Overview on Poultry Breeding Industry and Business Outlook in 2008. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Prospek Bisnis Perunggasan 2008. Hotel Peninsula, Jakarta, 7 November 2007. Subiyanto, B. 2007. Prospek Pakan 2008 Akankah Lebih Menarik ? Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Prospek Bisnis Perunggasan 2008. Hotel Peninsula, Jakarta, 7 November 2007. US Grain Council. 2007. Impact of Avian Influenza on Poultry Industry Case Study 1: Indonesia.http:// b2b.menapoultry.org/menapoultry.org/Portals/0/ IMPACT%20OF%20AVIAN%20INFLUENZA%20ON%20POULTRY%20INDUSTRY_INDONESIA.pdf US Embassy Jakarta. 2005. More Avian Flu Outbreaks Indonesia. http ://www.u se mb ass yjak ar ta .o rg /e co n/ Avian%20Flu%20Rep%20(3-24-05)%20Website%20 Version.pdf. Vanzetti, D. 2007. Chicken Supreme: How The Indonesian Poultry Sector Can Survive The Avian Influenza. Working Papers. http://www.crawford.anu.edu.au Wiyono, IE dan MR Sanjaya. 2008. Tantangan bisnis perunggasan di 2008. Economic and Business Research. Charoen Pokphand Indonesia.
166
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Daging dan Telur Ayam
Lampiran 5-1.
Hasil dokumentasi kunjungan tim IPB-BPS pada pengkajian agribisnis ayam pedaging di salah satu industri ayam pedaging di Pasuruan, Jawa Timur.
a. Di depan gerbang masuk industri ayam pedaging
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
b. Ayam pedaging yang dipasok oleh peternak untuk dipotong
ht
c. Proses pemotongan ayam pedaging
d. Ayam yang telah dipotong dan akan memasuki proses pembuangan bulu
e. Daging ayam yang telah dikemas plastik untuk dipasarkan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
167
Komoditas Daging dan Telur Ayam
Lampiran 5-2.
Hasil dokumentasi kunjungan tim IPB-BPS Tahun 2008 pada pengkajian agribisnis Ayam petelur
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
a. Bagian depan pilot project peternakan ayam ras di Blitar, Jawa Timur
ht
b. Kondisi kandang ayam ras petelur
c. Telur ayam ras yang dihasilkan
168
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
.b p
Penulis :
s. go
.id
Kajian Kinerja dan Strategi Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit dan Minyak Goreng
ht
tp :// w
w
w
Tim IPB
Komoditas Kelapa Sawit
6.1. Pendahuluan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Kelapa sawit merupakan komoditas utama sektor perkebunan dan salah satu komoditas unggulan Indonesia karena kontribusinya terhadap perolehan devisa, peluang pengembangan pasar serta penyerapan tenaga kerja. Perdagangan minyak sawit maupun produk olahannya menjadi sumber pendapatan negara ke dua terbesar dari sektor non migas. Pada tahun 2005 nilai ekspor minyak sawit kasar (CPO) serta berbagai produk minyak sawit lainnya mencapai US$ 4,67 miliar, tahun 2006 US$ 5,43 miliar, tahun 2007 US$ 6,20 miliar dan tahun 2008 diharapkan mencapai US$ 7,60 miliar (GAPKI, 2008). Peran penting komoditas kelapa sawit menurut Susila (2001), adalah memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (adanya pertumbuhan investasi, output dan pendapatan perdagangan ekspor), pengurangan kemiskinan (kondisi distribusi pendapatan di wilayah pusat perkelapasawitan baik) dan perbaikan ekonomi yang merata. Minyak sawit sebagai produk olahan pertama yang dihasilkan dari buah kelapa sawit merupakan minyak nabati dengan jumlah perdagangan yang paling besar dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, dan pemanfaatan dari beragam produk olahannya masih terus dapat berkembang. Dari total minyak nabati yang diperdagangkan di dunia pada tahun 2006, persentase jumlah perdagangan minyak kelapa sawit mencapai 60% (USDA, 2006). Tidak hanya pada perdagangan internasional, komoditas kelapa sawit juga memiliki peranan yang penting dalam memasok kebutuhan pasar dalam negeri. Kebutuhan dalam negeri terhadap minyak sawit cukup tinggi dimana saat ini hampir 90 % pangsa pasar minyak sawit dalam negeri, yaitu sekitar 4,5 - 5 juta ton minyak sawit dipenuhi dari pasokan produsen kelapa sawit dalam negeri (Soeharto, 2007).
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
171
Komoditas Kelapa Sawit
s. go
.id
Berdasarkan tingkat penyerapan tenaga kerja, perkebunan kelapa sawit mempekerjakan sekitar 4,5 juta kepala keluarga (Soeharto, 2007). Jumlah tenaga kerja yang terserap dari pengembangan komoditas kelapa sawit terdapat dalam jumlah lebih banyak lagi dari usaha yang terkait di sektor on farm hingga off farm. Dengan adanya pembangunan komoditas kelapa sawit, masih terdapat peluang terwujudnya peningkatan kesempatan kerja. Berdasarkan program revitalisasi perkebunan, rencana pembangunan kelapa sawit terus dilakukan hingga tahun 2025. Kebijakan jangka menengah maupun panjang mencakup peningkatan jumlah produksi minyak sawit melalui peningkatan produktivitas lahan, pengembangan industri hulu maupun hilir, serta pengembangan produk olahan kelapa sawit.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Bila dicermati berdasarkan kondisi kestabilan perekonomian nasional, perubahan tingkat produksi maupun perdagangan minyak sawit memberikan dampak yang nyata. Minyak goreng sebagai produk olahan minyak sawit dengan tingkat konsumsi di dalam negeri paling besar bila dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, merupakan salah satu produk dengan pengaruh yang kuat untuk mengubah tingkat inflasi. Peningkatan harga minyak sawit dunia hingga sekitar 200% pada tahun 2007 yang dipengaruhi peningkatan kebutuhan minyak sawit dunia berdampak pada kenaikan harga bahan baku industri minyak goreng (meningkat 8-15 %) serta kurangnya pasokan minyak sawit untuk industri minyak goreng karena perdagangan ekspor minyak sawit dianggap lebih menguntungkan. Kondisi tersebut berakibat pada peningkatan harga minyak goreng pada awal bulan Mei 2007 dari Rp. 5.300 - 5.550/kg menjadi Rp. 8.000 - 9.000/kg. Kenaikan harga minyak goreng pada periode tersebut mempengaruhi laju inflasi dimana bila dibandingkan dengan bulan Juni 2006, terdapat peningkatan laju inflasi pada bulan Juni 2007 menjadi 3,87% (BI, 2007).
172
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
.id
Walaupun kinerja produksi maupun perdagangan komoditas minyak sawit dan produk olahannya menunjukkan kondisi terbaik di sektor perkebunan, namun masih terdapat baragam kendala yang dihadapi dalam usaha pengembangan komoditas minyak sawit dan produknya untuk menjalankan rencana program revitalisasi perkebunan. Potensi yang besar dari komoditas kelapa sawit dan produk olahannya, terutama minyak goreng, terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai dengan mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan kelapa sawit melalui penetapan strategi yang tepat.
.b p
s. go
6.2. Kinerja Peningkatan Produksi Kelapa Sawit Serta Produk Olahannya
w
w
6.2.1. Perkembangan Areal Perkebunan Kelapa Sawit Nasional
ht
tp :// w
Pada tahun 2006 luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 6,07 juta Ha dengan areal lahan terbesar dimiliki oleh perkebunan swasta yang mencapai 2,74 juta ha (45,13%), dimana sekitar 20-30% dari total areal perkebunan sawit swasta merupakan perkebunan plasma. Di lain pihak, luas perkebunan sawit rakyat mencapai 2,63 juta ha (43,4%) sedangkan luas perkebunan negara mencapai 0,69 juta ha (11,47%). Perkebunan kelapa sawit rakyat sejak tahun 2003 hingga tahun 2006 menunjukkan adanya peningkatan setiap tahunnya, sedangkan pada perkebunan swasta dan negara terjadi penurunan areal lahan pada tahun 2004, namun meningkat kembali tahun 2005 serta 2006 (Gambar 6-1). Pertumbuhan areal lahan perkebunan pada tahun 2006 dari tahun sebelumnya adalah 11,8% untuk perkebunan rakyat, 31,4 % untuk perkebunan negara dan 6,8 % untuk perkebunan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
173
Komoditas Kelapa Sawit
swasta. Pada tahun 2007 peningkatan luas lahan terbesar terjadi pada perkebunan swasta (meningkat 18% dari tahun sebelumnya). Pemilik perkebunan kelapa sawit swasta dalam jumlah besar terdiri dari PT Astra Agro Lestari, PT. Sinar Mas Group, PT London Sumatera, PT Minimas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta Palma, PT Bakrie Sumatera Plant, PT Salim Ivomas Pratama, dan PT Surya Dumai. Gambar 6-1. Perkembangan areal lahan perkebunan kelapa sawit tahun 2003-2007 3.5
.id s. go
2.5 2.0
.b p
1.5 1.0
w
0.5 0.0 2004
2005
tp :// w
2003
w
Luas Lahan (juta ha)
3.0
2006
2007
Tahun
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta
ht
Sumber: data tahun 2003-2006, Ditjenbun (2007), data tahun 2007, Salim (2008)
Wilayah perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia terdapat di pulau Sumatera dimana kepemilikan lahan dimiliki oleh rakyat, negara, maupun swasta. Di daerah Kalimantan dan Sulawesi, kepemilikan lahan kebun didominasi oleh swasta dan rakyat. Pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan dua wilayah yang mendominasi areal perkebunan kelapa sawit yang masingmasing memiliki 76,5% dan 19,8% dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional. Lima propinsi dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit utama di Indonesia terdiri dari Riau (25%), Sumatera Utara (17,5 %), Sumatera Selatan (9,5%), Jambi (8,4%), dan Kalimantan Barat (8,4%). Perkembangan luas
174
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
areal perkebunan kelapa sawit berdasarkan daerah penanamannya pada tahun 2003-2005 diperlihatkan pada Tabel 6-1 (Ditjen Perkebunan, 2006). Tabel 6-1. Luas Areal Perkebunan Kelapa S awit Berdasarkan Daerah Penanamannya pada Tah un 2003-2005 Luas Areal (ha) Propinsi
2004
2005
(2) (3) 262,161 268,329 919,68 954,854 306,496 307,166 1.319.659 1.370.284 456,327 457,452 502,481 515,371 94,886 96,702 80,218 82,496 137,721 138,196
(4) 261,101 964,257 324,331 1.383.477 466,709 532,365 100,681 83,583 163,589
Banten Jaw a B arat Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Sulaw esi Tengah Sulaw esi Selatan Sulaw esi Tenggara Papua Jumlah (Ditjenbun, 2006)
19,2 19,548 6,242 6,242 416,807 455,814 241,615 244,281 141,638 143,321 201,871 206,137 43,743 43,762 78,932 80,63 4,078 4,106 49,812 52,872 5.283.557 5.447.562
19,639 6,406 466,901 269,043 150,211 222,132 44,215 80,991 4,149 53,375 5.597.157
s. go
w
w
tp :// w
ht
.id
(1) N A. Darussalam Sumatera U tara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung
.b p
2003
Rata-Rata Persentase Pertmbuhan per Luas Areal T ahun Periode T ahun 2005 2003-2005 (5) (6) -0,20% 4,70% 2,31% 17,20% 2,75% 5,80% 2,31% 24,70% 1,11% 8,30% 2,81% 9,50% 2,88% 1,80% 2,01% 1,50% 7,91% 2,90% 1,12% 1,28% 5,36% 5,10% 2,85% 4,56% 0,53% 1,27% 0,86% 3,34% 2,80%
0,40% 0,10% 8,30% 4,80% 2,70% 4,00% 0,80% 1,40% 0,10% 1,00%
Peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit masih memungkinkan untuk dilakukan. Areal dengan potensi kesesuaian yang tinggi untuk perkebunan kelapa sawit terdapat di Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Sumatera Utara, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan (LRPI, 2007). Menurut Hasibuan (2006)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
175
Komoditas Kelapa Sawit
total luas areal yang berpotensi untuk pengembangan kelapa sawit mencapai 26 juta ha. Berdasarkan program revitalisasi perkebunan kelapa sawit yang dilaksanakan oleh pemerintah hingga tahun 2010, perluasan dan penanaman kembali perkebunan kelapa sawit yang telah ada ditargetkan masingmasing mencapai 1,35 juta ha dan 125 ribu ha. Kalimantan merupakan wilayah dengan rencana pembukaan lahan baru kelapa sawit terluas dengan total 829.100 ha hingga tahun 2010. Hal tersebut mengindikasikan program pembangunan kelapa sawit beralih ke indonesia bagian timur, dimana masih tersedia
.id
T abel 6-2. Alokasi Luas Lahan Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit dan Penanaman Kembali
s. go
Perkebunan yang T elah Ada Berdasarkan T arget Revitalisasi Perkebunan Luas Area (ha) Alokasi Perluasan Areal
Propinsi
(2)
w
40 10,4 15,2 12,4 21 200 117 5,5 8,2 2 302,41 147,5 77,996 310,194 1,8 12,2 10 7,2 58 25 1.375.000
ht
tp :// w
NA. Darussalam Sumatera U tara Sumatera Barat Riau Kep. Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulaw esi Tengah Sulaw esi Selatan Sulaw esi Timur Sulaw aesi Tenggara Papua Irian Jay a Timur Banten Jumlah (Indonesia Palm Oil Board, 2007)
w
(1)
176
.b p
Perkebunan Sawit
Alokasi Penanaman Kembali Areal Perkebunan Kelapa Sawit (3) 40 10,4 15,2 12,4 200 117 5,5 8,2 8,262 10,67 4,2 1,914 2,9 6,364 125
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
lahan yang cukup luas. Di lain pihak program penanaman kembali kelapa sawit lebih difokuskan di pulau Sumatera, terutama propinsi Riau dan Sumatera Selatan, mengingat telah banyak areal kelapa sawit di daerah tersebut yang tidak ekonomis lagi karena telah berusia lebih dari 20 tahun. Pada Tabel 6-2 diperlihatkan alokasi lahan perluasan kelapa sawit berdasarkan propinsi yang termasuk di dalam program revitalisasi perkebunan kelapa sawit.
.id
6.2.2. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Komoditas Olahan Kelapa Sawit Nasional
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Tanaman kelapa sawit memiliki seluruh bagian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, mulai dari batang, daun, buah hingga biji. Namun demikian hingga saat ini di Indonesia pemanfaatan kelapa sawit terbesar adalah bagian buahnya yang dapat menghasilkan minyak sawit. Jumlah produksi minyak sawit diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah industri atau usaha yang mengolah tandan buah segar (TBS) menjadi CPO dan ditunjang dengan peningkatan luas areal dan produksi TBS. Hingga saat ini jumlah unit pengolahan TBS di Indonesia mencapai 320 unit dengan kapasitas olah 13.520 ton TBS per jam. Kemungkinan terwujudnya peningkatan produksi minyak sawit Indonesia ditunjang pula oleh adanya daya dukung seperti kesesuaian dan ketersediaan lahan, teknologi, dan kebijakan pemerintah (LRPI, 2007). Sejak tahun 2001 kondisi produksi minyak sawit nasional terus mengalami peningkatan (Tabel 6-3). Pada tahun 2007 diperkirakan jumlah produksi CPO nasional mencapai 17 juta ton, dan mampu melebihi jumlah produksi CPO Malaysia yang selalu menjadi produsen CPO terbesar pada tahun-tahun sebelumnya. Indonesia dan Malaysia masing-masing
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
177
Komoditas Kelapa Sawit
memproduksi 43,91% dan 42,5% dari total produksi CPO dunia pada tahun 2007. Negara lain dengan jumlah produksi CPO cukup besar adalah Nigeria, Thailand, dan Kolombia. T abel 6-3. Produksi Minyak S awit Indonesia Serta Perbandingannya Dengan
Keterangan
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007 *
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(Juta ton)
11,80
11,90
13,35
13,98
14,96
16,05
16,55
P ersentase (% )
48,54
46,41
47,56
45,60
44,76
43,49
42,50
8,86
0,93
12,09
4,72
7,01
7,29
3,12
8,40
9,62
10,44
.id
Produksi Minyak Sawit Malaysia dan Dunia T ahun 2001-2007
12,23
13,10
15,90
17,10
P ersentase (% )
34,55
37,49
37,19
39,89
39,23
43,09
43,91
P ertumbuhan (% )
20,00
14,52
8,52
17,15
7,20
21,37
7,55
P roduksi Malaysia
P ertumbuhan (% )
Indonesia
(Juta ton)
(Juta ton) P ersentase (% ) P ertumbuhan (% ) (Juta ton)
P ersentase (% )
P ertumbuhan (% )
4,45
5,35
4,95
5,29
14,51
16,01
13,4
13,6
3,63
3,97
20,22
-7,42
6,90 38,95
3,01
0,49
24,31
25,66
28,07
30,66
33,42
36,90
100
100
100
100
100
100
100
11,36
25,66
28,07
30,66
33,42
10,42
5,53%
ht
(Oil World, 2006)
4,28
15,25
tp :// w
Dunia
4,13 16,10
w
P roduksi
4,11 16,91
w
Lainnya
.b p
P roduksi
s. go
P roduksi
Di Indonesia jumlah minyak sawit terbanyak diperoleh dari tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan oleh perkebunan swasta. Perkebunan rakyat menyumbang 38 % produksi CPO nasional, sedangkan perkebunan swasta dan perkebunan negara masing-masing menyumbang 48 % dan 14 %. Walaupun luas areal perkebunan sawit negara sangat kecil dibandingkan dengan perkebunan rakyat dan swasta, namun tingkat produktivitas yang dihasilkan paling tinggi yaitu mencapai 3,36 ton CPO/ha, sedangkan perkebunan swasta dan rakyat masingmasing baru mencapai 2,75 ton /ha dan 2,26 ton/ha. Pada Tabel 6-4 diperlihatkan perkembangan produksi CPO dari jenis kepemilikan kebun tahun 2003-2007. 178
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
T abel 6-4. Perkembangan Produksi CPO (juta ton) menurut Pengusahaannya Produksi CPO (juta ton) T ahun
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta
(1)
(2)
(3)
(4)
2003
3,54
1,75
5,17
2004 2005
4,34 4,97
1,82 1,60
6,06 6,54
2006
6,09
2,34
7,50
2007*
5,80
2,34
9,00
Sumber : Ditjenbun (2007) * Salim (2008)
s. go
.id
Pada tahun 2005 terdapat 320 industri CPO di Indonesia dengan total kapasitas produksi 13.520 ton TBS/jam. Sebagian besar industri CPO terdapat di Sumatera (78%) dan Kalimantan
.b p
Tabel 6-5. Jumlah Pabrik CPO dan Kapasitas Produksinya Berdasarkan Propinsi, Tahun 2005
w
w
Propinsi
ht
tp :// w
(1) Nangroe Aceh Darussalam Sumatera U tara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu & Bangka Belitung Lampung Jawa Barat & Banten Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulaw esi Tengah Sulaw esi Selatan Papua Sulaw esi Tenggara Sulaw esi Utara Jumlah
Jumlah Pabrik CPO
Kapasitas Produktsi (ton T BS/jam)
(2) 21 86 8 84 19 23 3 7 7 1 1 15 18 7 9 5 5 1
(3) 540 2,95 525 4,035 815 1,27 120 240 185 30 60 745 900 360 300 180 235 30
320
13,52
(Ditjenbun, 2006)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
179
Komoditas Kelapa Sawit
(10%). Pada Tabel 6-5 diperlihatkan jumlah pabrik CPO dan kapasitas produksinya berdasarkan propinsi pada tahun 2005.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Pemanfaatan CPO bagi industri antara lain adalah sebagai bahan baku pada industri minyak dan lemak pangan serta minyak non pangan. Minyak sawit yang dipergunakan untuk bahan makanan dan industri diolah terlebih dahulu melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau. CPO kemudian dapat diuraikan menjadi minyak sawit padat (RBD stearin) dan minyak sawit cair (RBD olein). RBD olein merupakan bahan utama dalam pembuatan minyak goreng. Minyak goreng termasuk kebutuhan pokok konsumsi masyarakat sehari-hari yang sejak awal perkembangan industri minyak goreng sawit (awal tahun 90-an) hingga sekarang mengalami peningkatan seiring beralihnya pola konsumsi minyak nabati masyarakat dari minyak goreng kelapa menjadi minyak goreng kelapa sawit. Di Indonesia, pemanfaatan CPO paling banyak digunakan sebagai bahan baku industri minyak goreng bila dibandingkan untuk pemanfaatan yang lainnya.
ht
Industri pangan berbasis CPO lainnya diantaranya adalah industri penghasil margarin, shortening, vanaspati, dan cocoa butter substitute (CBS). Di lain pihak, pemanfaatan CPO bagi industri non pangan adalah untuk industri yang menghasilkan produk-produk oleokimia meliputi fatty acid, fatty alcohol, stearin, glyserin, dan metalic soap. Pada Gambar 6-2 diperlihatkan skema pohon industri yang menunjukkan beragam produk yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan tandan buah segar kelapa sawit.
180
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komoditas Kelapa Sawit
Gambar 6-2. Pohon industri tandan buah segar kelapa sawit (htp://www.deprin.go.id/, [22/8/2008]) Kajian Komoditas Unggulan, 2008
181
Komoditas Kelapa Sawit
10000 5000 0
tp :// w
15000
Produksi
Konsumsi
% Konsumsi
ht
20000
w
w
.b p
s. go
.id
Pada tahun 2006 sekitar 41% dari 16 juta ton CPO yang diproduksi digunakan untuk konsumsi di dalam negeri, sedangkan 59% (termasuk juga didalamnya telah diolah menjadi produk turunannya) ditujukan untuk pasar ekspor (Gambar 6-3). Pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri mencapai sekitar 5,5% pertahun dengan penggunaan terbesar adalah untuk bahan baku industri pangan 80-85%. Penggunaan CPO produksi di dalam negeri untuk industri nonpangan adalah sekitar 15-20%. Pada tahun 2006 jumlah CPO yang digunakan untuk memproduksi minyak goreng mencapai 3,3 juta ton sedangkan untuk produk turunan CPO lainnya adalah sebesar 0,5 juta ton (Tambunan, 2006). Diperkirakan penggunaan CPO dalam negeri pada tahun 2010 sekitar 5,21 juta ton. Pada periode 2006-2010, konsumsi minyak kelapa sawit Indonesia diproyeksikan sekitar 4-6,86 juta ton, kenaikan terbesar diperkirakan berasal dari industri biodiesel (LRPI, 2007).
70% 60% 50% 40% 30% 20%
Tahun
Gambar 6-3. Estimasi Produksi Domestik dan Konsumsi CPO di Indonesia Tahun 1997-2009 (Janurianto, 2006)
Pemanfaatan terbesar CPO bagi industri pangan di Indonesia adalah sebagai bahan baku industri minyak goreng. Pada tahun 2005 penggunaan CPO untuk minyak goreng mencapai 76,75% dari total CPO yang diolah di dalam negeri. Pasar minyak goreng di Indonesia merupakan pasar yang besar
182
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
.b p
s. go
.id
dimana minyak goreng sawit hampir dikonsumsi oleh seluruh masyarakat, baik di tingkat rumah tangga maupun industri makanan. Kebutuhan minyak goreng untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dari tahun ke tahun mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan konsumsi per kapita dan pertumbuhan penduduk. Selain untuk pangan, kebutuhan untuk biodiesel yang dalam beberapa tahhun terakhir ini meningkat, mengakibatkan kebutuhan konsumsi CPO domestik juga meningkat. diperkirakan pada tahun 2010kebutuhan CPO untuk pangan adalah 11,5 juta ton, sedangkan untuk kebutuhan biodiesel dan industri oleokimia adalah 3,7 juta ton. Beberapa tahun terakhir konsumsi minyak goreng sawit di dalam negeri menunjukkan perkembangan yang baik. Porsi pemanfaatan CPO bagi industri pengolahan di dalam negeri pada tahun 2006 dan perkiraannya hingga tahun 2010 diperlihatkan pada Tabel 6- 6.
w
T abel 6-6. Penggunaan CPO Bagi Industri Pengolahan di Dalam Negeri dan
tp :// w
w
Pendugaannya Hingga T ahun 2010 (1.000 ton) Deskripsi
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
16
16,5
17,8
11,16
11,66
12,86
14,06
15,26
10,4
10,4
10,782
11.154,76
11.527,6
- biodiesel
-
490,4
1.290,4
2.090,4
2.890,4
- oleokimia
760
769,6
787,6
814,84
842
Produksi C PO
ht
Pemrosesan C PO untuk kebutuhan domestik a. C PO untuk industri pangan
19,1
20,4
b. C PO untuk industri non pangan:
(Indonesia Palm Oil C ommission, 2007)
Pertumbuhan konsumsi minyak goreng sawit domestik periode 2002-2006 mencapai 1,7% per tahun. Pada tahun 2002 konsumsi mencapai 1,35 juta ton, dan pada tahun 2005 mencapai 1,45 juta ton. Pada tahun 2006 terjadi penurunan menjadi 1,45 juta ton. Hal tersebut dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak yang ditetapkan pemerintah pada
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
183
Komoditas Kelapa Sawit
akhir tahun 2005. Adanya peningkatan harga minyak goreng sawit pada waktu yang bersamaan juga menjadi penyebab turunnya konsumsi minyak goreng pada tahun 2006. Kondisi konsumsi minyak goreng di dalam negeri sangat dipengaruhi oleh faktor daya beli masyarakat. Pada Tabel 6-7 diperlihatkan perkembangan produksi dan konsumsi minyak goreng sawit Indonesia tahun 2002-2006. Tabel 6-7. Konsumsi dan Produksi Minyak Goreng S awit Indonesia, 2002-2006 Konsumsi (juta ton)
Produksi (juta ton)
(2)
(3)
1,35 1,34 1,45 1,47 1,45
3,73 3,70 3,96 4,17 4,51
.b p
s. go
(1)
2002 2003 2004 2005 2006
.id
Tahun
w
w
(BPS, 2007; Warta Ekonomi, 2007)
ht
tp :// w
Perkembangan produksi minyak sawit dipengaruhi oleh aktivitas produksi industri minyak goreng sawit yang saat ini didominasi oleh pabrik dengan skala besar. Indsutri minyak goreng sawit di Indonesia memiliki struktur oligopoli dengan penyebaran industri paling banyak terdapat di pulau Sumatera. Realita yang terjadi di lapangan, perusahaan-perusahaan pengolahan CPO, berdasarkan informasi dari BPS, memiliki fleksibilitas yang tinggi terhadap pilihan apakah memproduksi minyak goreng sawit atau produk lainnya ataupun anya memproduksi CPO. Hal tersebut didukung oleh kondisi pengusaha industri minyak goreng sawit juga cenderung untuk memilik unit pengolah dan kebun sendiri agar pasokan bahan baku dapat terjamin. Kondisi tersebut yang menyebabkan industri minyak goreng dari hulu ke hilit bersifat integratif. Berdasarkan hal tersebut, setiap tahunnya jumlah perusahaan-perusahaan
184
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
148
160 140
.id
120 80 60 40 20
11
19
25
28
36
37
s. go
100
36
37
48
26
52
53 41
35
28 9
.b p
Jumlah Industri Minyak Goreng
pengolahan CPO yang menghasilkan minyak goreng mengalami fluktuatif yang cukup signifikan. Pada tahun 2004, terlaporkan hanya sembilan perusahaan pengolah CPO yang diperkirakan memproduksi minyak goreng sawit. Tentunya hal tersenut belum dapat mencerminkan kondisi ril di lapangan, karena banya faktorfaktor yang dapat mengakibatkan kesenjangan informasi tersebut. Berikut ini pola data perkembangan industri minyak goreng sawit domestik (Gambar 6-4).
0
Tahun
w
w
90 9 91 9 92 9 93 9 94 9 95 9 96 9 97 9 98 9 99 0 00 0 01 0 02 0 03 0 04 0 05 0 06 19 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2
ht
tp :// w
Gambar 6-4. Pola perkembangan industri minyak goreng domestik 1990-2006 (BPS, 2007)
Walaupun jumlah industri yang menghasilkan minyak goreng tidak tetap, namun berdasarkan data CIC (2006), kapasitas produksi industri pengolahan minyak goreng sawit di Indonesia mencapai 9,9 juta ton/tahun. Di Indonesia industri minyak goreng sawit pada umumnya berada di kota-kota besar yang dilengkapi dengan fasilitas pelabuhan. Penyebaran lokasi industri minyak goreng berada di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat dan Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (CIC, 2006). Jumlah industri minyak goreng beserta kapasitas produksinya di daerah lokasi penyebaran industri minyak goreng diperlihatkan pada Tabel 6-8, sedangkan namanama industri minyak goreng diperlihatkan pada Lampiran 6-1.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
185
Komoditas Kelapa Sawit
Tabel 6-8. Jumlah Industri Minyak Goreng dan Kapasitas Produksinya
Propinsi
Jumlah industri minyak goreng
Kapasitas Produksi (ton/tahun)
(2) 19
(3) 2.713.477
Sumatera Barat Riau Sumatera Selatan Lampung DKI Jakarta Jaw a B arat Banten Jaw a Tengah
1 4 2 5 13 7 1 2
35 1.520.250 531 417 1.698.905 887,656 143,64 290
Jaw a Timur Kalimantan Barat Jumlah
8 3 65
1.554.600 110 9.901.528
s. go
.id
(1) Sumatera U tara
.b p
(CAPRICORN Indonesia Consult Inc, 2006)
ht
tp :// w
w
w
Walaupun terdapat peningkatan produksi dan permintaan CPO dalam negeri untuk industri minyak goreng sawit, namun proporsi CPO yang diperuntukan bagi industri minyak goreng sawit mulai menurun sejak tahun 2003. Pada tahun 2006, proporsi konsumsi CPO untuk industri minyak goreng sawit diperkirakan hanya 7,3% dari total produksi PCO Indonesia dan 29,45% dari total pasokan CPO domestik. Tentunya jumlah tersebut sangat kecil sekali karena dengan kebutuhan konsumsi pada tahun tersebut karena pasokan CPO yang dibutuhkan untuk industri minyak goreng sawit adalah 39,28% dari total pasokan CPO domestik. Pola data konsumsi CPO oleh industri MGS diperlihatkan pada Gambar 6-5.
186
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
Konsumsi CPO (ribu ton)
5000 4000 3000 2000 1000 0 96 997 998 999 000 001 0 02 003 004 005 006 19 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2
Tahun
s. go
.id
Gambar 6-5. Perkembangan Konsumsi CPO Industri Minyak Goreng Sawit Indonesia, 1996-2006 (Dewan Ketahanan Pangan-Deptan), 2007
ht
tp :// w
w
w
.b p
Berkurangnya pasokan CPO untuk industri minyak goreng sawit dipengaruhi oleh lebih banyaknya volume CPO yang ditujukan untuk ekspor. Berkurangnya pasokan CPO tersebut berpengaruh terhadap kelangkaan pasokan bahan baku industri minyak goreng dan timbulnya lonjakan harga minyak goreng sawit di pasaran. Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi gejolak harga minyak goreng dan meningkatkan pasokan CPO untuk industri minyak goreng, namun pengaruh kebijakan tersebut masih sulit diterapkan karena CPO yang diekspor masih cukup tinggi. Selain karena faktor permintaan dunia terhadap CPO yang cukup tinggi terdapat beberapa alasan yang mendukung tetap tingginya ekspor CPO sebagai berikut (Dewan Ketahanan Pangan-Depan, 2007). 1. Pajak ekspor CPO masih relatif lebih rendah dibandingkan turunannya sehingga ekspor CPO masih tetap menarik. 2. Ada tenggang waktu antara penentuan pajak ekspor dengan harga CPO yag berlaku di pasar internasional. Harga CPO di pasar internaisonal cukup tinggi dan berubah cepat, sedangkan penentuan pajak ekspor tidak fleksibel dan tidak
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
187
Komoditas Kelapa Sawit
s. go
.id
cepat diubah sesuai dengan kenaikan harga CPO di pasar internasional. Perubahan tingkat ekspor harus dilaksanakan melalui surat keputusan menteri keuangan yang tidak mudah dibah setiap saat, sehingga masih ada peluang bahwa ekspor CPO cukup menguntungkan. 3. Pasar pengekspor CPO melihat kepentingan jangka panjang dalam merebut pangsa pasar dunia. Aabila pangsa pasar berkurang karena kontrak dibatalkan, maka akan sangat sulit memperoleh pangsa pasar kembali di masa mendatang pada saat pajak ekspor telah dicabut. 4. Porsi biaya pengolahan CPO menjadi minyak goreng masih tetap cukup besar sehingga ekspor CPO masih lebih menguntungkan daripada dijual sebagai minyak goreng di dalam negeri.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Selain minyak goreng, terdapat produk lahan CPO berupa oleokimia sawit yang saat ini variasi produk turunannya yang telah diproduksi di Indonesia lebih dari 20 jenis. Jenis oleokimia yang diproduksi oleh industri oleokimia di wilayah Jawa sudah sampai turunan tingkat II yaitu fatty acid dan fatty alcohol, di lain pihak di wilayah Jawa dan Batam yang telah memproduksi surfaktan. Untuk produksi fatty alcohol, industri oleokimia di wilayah Sumatera telah memproduksi produk turunan alkohol sulfat, etoksilat dan beberapa surfaktan primer lain yang berbasis alkohol yaitu alkohol etersulfat, sodium alkyl, eterosulfat, fatty alkohol etoksilat, fatty alkohol sulfat dan metilester (Hadisoebroto di dalam Bisnis Indonesia, 2006). Pada tahun 2005 kapasitas industri oleokimia mencapai 700.000 ton. Sekitar 500.000 ton kapasitas industri oelokimia berada di wilayah Sumatera sedangkan sisanya berada di wilayah Jawa. Sekitar 90% dari total produk yang dihasilkan industri oleokimia tersebut didistribusikan untuk pasar ekspor (Hadisoebroto di dalam Bisnis Indonesia, 2006). Dengan adanya
188
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
s. go
.id
pertumbuhan permintaan produk oleokimian dunia yang mencapai 2-3% per tahun jumlah kapasitas produksi oleookimia Indonesia bertambah bersamaan dengan bertambahnya jumlah industri oleokimia. Pada tahun 2007 kapasitas produksi industri oleokimia mencapai 870 ribu ton dari sembilan perusahaan oleokimia (Yuliawati, 2007). Di Indonesia industri oleokimia hanya berkembang di beberapa daerah, yang pada umumnya berada di kota besar yang dilengkapi dengan fasilitas pelabuhan. Industri oleokimia tersebar di Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (www.LIPI.go.id). Pada Tabel 6-9 diperlihatkan perkembangan tiga jenis industri oleokimia dasar (fatty acid, fatty alcohol, dan glycerol).
Fatty Acid
Uraian
tp :// w
887,270 745,307
U tilisasi Kapasitas (% ) Kebutuhan DN (ton)
84 186,327
Glycerol
2006 (4)
2007 (5)
2006 (6)
2007 (7)
887,270 754,180
160,800 120,600
300,000 237,000
84,956 43,328
131,919 71,236
85 188,545
75 49,037
79 60,139
51 13,337
54 14,137
w
(1) Kapasitas (Ton) Produksi (Ton)
Fatty Alcohol
2007 (3)
w
2006 (2)
.b p
Tabel 6-9. Perkembangan Tiga Jenis I ndustri Oleokimia Dasar, Tahun 2006-2007
ht
(Departemen Perindustrian, 2007)
6.2.3. Perkembangan Ekspor-Impor Komoditas Kelapa Sawit Nasional Ekspor CPO nasional dan produk turunannya mengalami peningkatan setiap tahunnya (Gambar 6-6). Dalam enam tahun terakhir volume ekspor meningkat 186%. Total volume ekspor pada tahun 2006 mencapai 12,54 juta ton dengan nilai 5,43 miliar US$. Dari total nilai tersebut, nilai ekspor CPO mencapai US$ 1,99 miliar dan US$ 2,82 miliar untuk produk turunannya. Dilain pihak nilai ekspor PKO pada tahun 2006 adalah 506 juta
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
189
Komoditas Kelapa Sawit
US$ dan produk turunannya US$ 110 juta (GAPKI, 2007). Pada tahun 2007 total volume ekspor minyak sawit mengalami penurunan dari tahun sebelumnya menjadi 12,40 juta ton. Penurunan ekspor tersebut diduga akibat diterapkannya kebijakan yang menaikkan pajak ekspor. Pada tahun 2008 ekspor ditargetkan total volume ekspor dapat melebihi 13 juta ton dengan target nilai ekspor menapai US$ 7,6 miliar, meningkat 22,45% dari tahun sebelumnya yang bernilai US$ 6,2 miliar (Sihombing, 2008).
.id
12
s. go
10 8 6 4 2 0 2003
2004 2005 Tahun
2006
w
2002
2007
w
2001
.b p
Volume (juta ton)
14
tp :// w
Gambar 6-6. Perkembangan total volume ekspor CPO dan poduk turunannya (GAPKI, 2007)
ht
Keragaman jenis ekspor minyak sawit dan produk turunannya serta persentase perbandingan jumlah maupun nilai ekspornya pada tahun 2005 diperlihatkan pada Tabel 6-10. Seluruh produk tersebut diekspor dengan negara tujuan utama adalah India, Belanda, Cina, Pakistanm Bangladesh. Pada Tabel 6-11 diperlihatkan negara-ngeara tujuan ekspor minyak sawit utama dengan volume ekspornya.
190
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
Tabel 6-10. Keragaman Jenis Minyak S awit dan Produk Turunan yang Diekspor Tahun 2005
Volume
Jenis Produk
(ton)
Persentase
dari T ahun Sebelumnya
(2)
(3)
(4)
Nilai: FOB (000 US$)
Pertumbuhan Persentase
(5)
dari T ahun Sebelumnya
(6)
(7)
C PO
4.565.625
37,66%
15,09%
1.593.295
34,05%
10,31%
Other palm oil
5.810.565
47,93%
15,53%
2.162.988
46,23%
8,29%
C rude palm kernel oil
812,326
6,70%
14,81%
448,955
9,60%
16,31%
Other palm kernel oil
230,869
1,90%
16,46%
138,791
2,97%
18,95%
Palm nuts and kernels
73,149
0,60%
109,84%
18,305
0,39%
98,95%
Industrial stearic acid Oleic acid
189,23 11,921
1,56% 0,10%
3,47% 69,67%
90,602 8,149
1,94% 0,17%
-6,76% 68,68%
Acid oils from refining
102,258
0,84%
2,14%
0,71%
-6,14%
Other industrial acids
250,272
2,06%
39,04%
.id
(1)
Pertumbuhan
85,301
1,82%
27,31%
77,761
0,64%
10,45%
99,519
2,13%
27,38%
12.123.979
100,00%
15,71%
4.679.038
100,00%
5,63%
Jumlah
.b p
(Suharto, 2006)
s. go
Industrial fatty alcohols
33,13
w
w
T abel 6-11. Negara-Negara T ujuan Ekspor Sawit Utama pada T ahun 2006 Minyak Sawit Selain CPO dan Produk T urunaannya
tp :// w
CPO
Persentase T ahun 2006 (%)
Negara
Volume (ton)
ht
Negara T ujuan
Volume (ton) (2) 1.893.813 834,256 309,121 469,106
(3) 36,44 16,05 5,95 9,03
(4) C hina India Pakistan Bangladesh
(5) 1.552.584 1.035.501 646,23 385,219
Singapura Lainny a Jumlah (Soeharto, 2006)
489,37 1.201.621 5.197.287
9,42 23,12 100,00
Belanda Lainny a Jumlah
663,146 2.618.954 6.901.634
(1)
India Belanda C ina M alay sia
Persentase T ahun 2006 (%) (6) 22,50 15,00 9,36 5,58 9,61 37,95 100,00
Ekspor produk industri pangan berbasis minyak sawit utama adalah minyak goreng. Pada periode 2002-2006 neraca perdagangan luar negeri minyak goreng Indonesia relatif
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
191
Komoditas Kelapa Sawit
s. go
.id
meningkat. Kondisi tersebut didorong pula oleh tren permintaan minyak goreng dunia yang juga meningkat. Pada periode 20022006 peningkatan rata-rata volume ekspor minyak goreng mencapai 6,78 % per tahun. Nilai rata-rata ekspor meningkat 16,18 % dari tahun 2002. Adanya peningkatan ekspor minyak goreng, menyebabkan ketersediaan minyak goreng dalam negeri tidak dapat memenuhi pasar dalam negeri sehingga impor minyak goreng dilakukan. Peningkatan tersebut akibat adanya kenaikan kapasitas ekspor dari CPO sebagai bahan baku yang lebih sering digunakan dalam produksi minyak goreng sehingga kekurangan tersebut ditutup oleh dibukanya impor minyak goreng. T abel 6-12. Ekspor Minyak Goreng Indonesia T ahun 2002-2006
.b p
Produksi (3) 3,73 3,7 3,96
Kekurangan (5) - 1,25 - 1,22 - 1,37
2,83 3,21
- 1,34 - 1,3
ht
2005 1,47 4,17 2006 1,45 4,51 (B PS, 2007; Warta Ekonomi, 2007)
Ekspor (4) 2,48 2,48 2,59
w
Konsumsi (2) 1,35 1,34 1,45
w
(1) 2002 2003 2004
V olume (juta ton)
tp :// w
T ahun
6.3. Permasalahan Dan Tantangan Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit Faktor-faktor yang menjadi kendala penghambat bisnis kelapa sawit Indonesia terdapat pada sektor ekonomi, sosial, sains dan teknologi, globalisasi, budaya, lingkungan dan politik. Berikut ini adalah kendala-kendala yang menjadi tantangan dalam bisnis kelapa sawit.
192
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
1.
Isu-isu Lingkungan.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Tekanan LSM, lembaga konsumen dan lembaga pencinta lingkungan internasional yang gencar menyuarakan pembangunan perkebunan kelapa sawit lestari mempengaruhi perbankan dan lembaga keuangan multilateral untuk membatasi atau menghentikan sama sekali investasi dan pembiayaan di sektor sawit Indonesia karena argumen lingkungan dan sosial. Perambahan hutan konservasi untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit telah banyak terjadi. Salah satu kasusnya adalah pembukaan lahan pada hutan konservasi seluas 49.948 Ha di Sumatera Selatan. Pengembangan lahan tersebut mengakibatkan kerusakan hutan, erosi, dan rusaknya biodiversity. Satu batang pohon sawit yang menyerap 10 liter air perhari mengakibatkan perkebunan kelapa sawit dapat memicu kekeringan di kawasan sekitarnya (Khoiri, 2006). Berdasarkan Paul de Clerck dalam Corporate Campaigner at FoE (2007), beberapa permasalahan lingkungan yang ditimbulkan dari pengembangan kelapa sawit adalah sebagai berikut: a. Pengrusakan hutan pada skala besar: hampir seluruh kebun berada di area hutan tropis, dan semua area hutan tersebut disiapkan dnegan cara penebangan atau pembakaran. b. Hilangnya satwa liar: dengan pembebasan hutan, maka lebih dari 80% hewan kehilangan tempat tinggal dan musnah karena kehilangan habitat yang sesuai. c. Kerusakan lingkungan karena penggunaan pupuk dan pestisida, erosi tanah dan polusi air serta tanah. d. Masalah sosial/masyarakat: lebih dari 60 juta orang kehilangan penghidupan dari usaha dan hasil hutan; hak kepemilikan tanah sering dilanggar e. Masalah kesehatan: kebakaran hutan dan penggunaan pestisida menyebabkan masalah kesehatan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
193
Komoditas Kelapa Sawit
2.
Iklim Usaha dan Investasi
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Iklim usaha dan investasi yang kurang kondusif sebagai akibat dari beberapa faktor berikut; a. Resiko konflik sosial seperti ketidakharmonisan hubungan antara pekebun, masyarakat sekitar, dan instasi terkait membuat takut investor baru. Masalah-masalah sosial tersebut dapat berlanjut menjadi masalah lainnya seperti okupasi lahan, masalah ketersediaan lahan dan perizinan, serta tindakan kriminal seperti penjarahan produk. b. Kurangnya kepastian hukum pertanahan yang membuat investor lambat merespon potensi yang ada c. Keterpaduan lintas sektor dalam perizinan usaha perkebunan masih belum terjalin secara optimal d. Pungutan resmi/tidak resmi, seperti retribusi ijin pengelolaan perkebunan, retribusi teaga kerja dan lain-lain yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Menurut Direktur Eksekutif KPPOD, dari 1.600 peraturan daerah (perda) yang diteliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), sebanyak 500 atau 31% diusulkan untuk dicabut karena masih menghambat masuknya investasi di daerah dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Beberapa peraturan pemerintah daerah yang dianggap memberatkan industri minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 6-13. 3. Lemahnya Strategi Pengembangan Industri
Lemahnya strategi pengembangan industri dan kemampuan membangun industri hilir yang masih rendah. Regulasi pemerintah, komitmen lembaga pembiayaan, pelaku bisnis dan sinkronisasi pengembangan industri hulu dan hilir belum berjalan dengan baik. Industri hulu masih mendominasi. Pengembangan industri hulu dan hilir sawit masih belum memperoleh dukungan yang baik oleh industri jasa dan logistik.
194
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
Tabel 6-13. Beberapa peraturan daerah yang menghambat industri kelapa sawit dan investasi No. Beberapa Perda yang Dipersoalkan (1) (2) 1 SK Bupati 054/2001 Pemkab M usi Bay uasin mengenai Penerimaan Sumbangan pihak pengusaha dari kelapa saw it Rp1.000 per ton TBS. 2 Perda N o. 56/2002 Pemkab Pelalaw an tentang Kontribusi pengusaha perkebunan kepada pemerintah Rp1 per kg TBS. 3 Perda N o.22/2000 Pemkab Kampar mengenai Sumbangan pihak ketiga 4
Perda N o. 15/2002 Pemkab Indragiri H ulu mengenai Rretribusi lalu lintas hasil: a. H utan Rp. 1/kg; b. Perkebunan Rp. 1/kg;
.id
c. C PO Rp. 2.5/kg; d. Kernel Rp. 0,5/kg;
s. go
tp :// w
w
7
.b p
6
e. Bibit kelapa saw it Rp. 100/batang Di Kab. M orow ali, Sulteng, pungutan sebesar Rp15 per kg untuk TBS inti dan Rp5 per kg untuk TBS plasma, serta Rp100 per kg untuk C PO. Di Kab. Kotaw aringin Timur, ada Perda N o. 13 Tahun 2000 mengenai sumbangan pihak ketiga kepada daerah. Perda N o. 6 Tahun 2004 mengenai retribusi hasil perkebunan dan hasil penjualan bibit tanaman: a. C PO produksi Kota Waringin Timur Rp10 per kg, b. C PO produksi di luar Kota Waringin Timur Rp. 5 per kg, c. PKO (palm kernel oil) Rp3 per kg (produksi Kotaw aringin Timur), d. PKO Rp1,5 per kg (produksi di luar Kotaw aringin Timur),
w
5
9
ht
8
e. TBS Rp3 per kg, f. Kernel Rp1 per kg Perda N o. 7/2000 di Kab. Deli Serdang, Prov . Sumut mengenai Pajak produksi hasil tanaman perkebunan negara/daerah, sw asta, dan perkebunan raky at: a. Karet Rp2/kg , b. C oklat Rp3/kg, c. Tembakau Rp2/kg, d. Kelapa saw it Rp2/kg, e. Tebu Rp1.000/ton Pembay aran dan pemungutan retribusi izin penggunaan jalan kabupaten terhadap kendaraan khusus pengakutan TBS kelapa saw it: a.Rp1 per kg di Kab. Langkat,Sumut, b.Rp1 per kg di Kab.Asahan,Sumut (Sihombing, 2006)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
195
Komoditas Kelapa Sawit
4. Penerapan Kultur Teknis Penerapan kultur teknis tidak tepat seperti penanaman, pemeliharaan, aplikasi pupuk, manajemen panen, kesalahan dalam interpretasi kelas kesesuaian lahan. Rendahnya adopsi teknologi pemeliharaan tanaman (Darmosarkoro, 2006). Kondisi tersebut mengakibatkan masih rendahnya produktivitas kebun sawit nasional yaitu 1,3-8,7 ton TBS/ha atau setengah lebih rendah dari Malaysia.
.id
5. Lemahnya Dukungan
w
Persoalan Klasik dan Struktural
tp :// w
6.
w
.b p
s. go
Lemahnya dukungandari lembaga penelitian (termasuk pembangunan riset yang kuat secara nasional), serta kurangnya penggalian informasi untuk memperkokoh strategi pengembangan industri kelapa sawit baik dari hulu mapun ke hilir.
ht
Persoalan klasik dan strukturalyang masih membelit usaha perkebunan dan industri perkelapasawitan Indonesia dan belum teratasi sampai sekarang antara lain persoalan ketersediaan input produksi (seperti bibit yang baik, pupuk dan pestisida) sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas lahan sawit. Bibit sawit palsu hanya menghasilkan sekitar 60% dari potensi yang dihasilkan bibit unggul (Samhadi, 2006). Saat ini Indonesia masih kekurangan bibit sawit unggul sehingga masih harus mengimpor sekitar 20 juta butir benih sawit unggul. Jumlah benih unggul yang mampu diproduksi dalam negeri adalah 120 juta butir benih sedangkan kebutuhan nasional mencapai 149 juta butir benih. Seluruh bibit unggul yang diproduksi di dalam negeri dipasok dari tujuh perusahaan yaitu Socfindo, PPKS, Lonsum, Sinar Mas, Asian Agri, Selapan Jaya, dan Tania Selapan.
196
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
7. Mutu Panen Mutu panen masih perlu ditingkatkan dalam rangka menghasilkn mutu CPO yang memenuhi tuntutan konsumen yang semakn tinggi terhadap standar mutu maupn kesehatan dan keamanan lingkungan. 8.
Buruknya Infrastruktur
.b p
s. go
.id
Infrastruktur pendukung masih kurang terutama masih terbatasnya pabrik dan teknologi pengolahan sawit, buruknya sarana transportasi khususnya jalan raya baik dari area perkebunan menuju tempat pengolahan dan tujuan pemasaran serta tidak memadainya kapasitas pelabuhan ekspor yang ada sehingga berakibat pada peningkatan biaya antrian (demorrhage).
w
w
9. Harga CPO Dunia
ht
tp :// w
Dalam beberapa tahun terakhir harga CPO dunia berfluktuasi dengan kecenderungan yang akan terus meningkat (Gambar 6-7). Harga CPO dunia pada tahun 2007 mencapai US$ 600 per ton pada awal tahun telah meningkat menjadi US$
CPO, cif Rott (US$/ton)
800 750 700 650 600 550 500 450 400 350 n Ja
b Fe
ar M
r Ap
ei M
li Ju
ni Ju
us Ag
pt Se
kt O
v No
s De
Bulan 2004
2005
2006
2007
Gambar 6-7. Perkembangan Harga CPO Dunia, Tahun 2004-Mei 2007 (IOPRI, 2007)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
197
Komoditas Kelapa Sawit
758 per ton pada bulan Mei 2007. Tingginya harga CPO dunia memacu produksi CPO domestik untuk tujuan ekspor namun menjadi ancaman industri berbahan baku CPO dalam negeri yang akan mengalami kekurangan bahan baku. 10. Kebijakan Pemerintah
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Kebijakan pemerintah menyangkut kelapa sawit tidak terorganisasi dengan baik. • Kebijakan fiskal belum mendorong pertumbuhan investasi seperti kebijakan penerapan pungutan ekspor serta ketentuan domestic market obligation (DMO). Kebijakan tersebut dinilai tidak akan efektif ditengah tren harga internasional yang terus meningkat tajam, sebaliknya kebijakan tersebut akan menimbulkan dampak negatif seperti mendorong penyelundupan, menurunkan kinerja kepsor Indonesia sekaligus menguntungkan eksportir Malaysia, dan menurunkan pendapatan petani sebagai akibat pengalihan beban PE oleh eksportir kepada petani kebun. • Berkaitan dengan masalah tingkat harga minyak goreng yang tinggi di dalam negeri, pemerintah menerapkan kebijakan progressive tax system mulai tahun 2007 untuk mendorong naiknya pasokan CPO untuk industri minyak goreng di domestik guna menstabilkan harga minyak goreng. Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah akan mengenakan tax rate 25% jika harga CPO dunia mencapai US$ 1.300 per ton dan bila harga CPO di bawah US$ 1.200 per ton, pemerintah akan mengenakan pajak ekspor 15%. Pajak ekspor menjadi 20% jika rata-rata harga CPO berada di level US$ 1.200-US$ 1.300 per ton. Walaupun demikian, berdasarkan suatu hasil kajian yang dilakukan IPB (Sihombing, 2008) menyatakan bahwa penerapan kebijakan tersebut tidak memberikan dampak yang lebih baik bagi bisnis perkelapasawitan. Peningkatan 1%dari pajak ekspor
198
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
akan menurunkan 0,19% area penanaman atau investasi dan menurunkan hasil produksi 0,81%. Lebih dari itu, kebijakan tersebut juga menurunkan pendapatan dari ekspor 0,41%. Di level petani, penambahan pajak 1% akan menurunkan income petani 1,53%. Bahkan menurunkan nilai tambah industri 1,22%. • Tidak tercapainya keefektifan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendukung pajak ekspor, kuota, dan HET dalam menanganani permasalahan harga dan ketersediaan minyak goreng nasional diindikasikan pula akibat pengaruh kartel yang kuat antara produsen CPO dan prosesor minyak goreng yang menguasai tata niaga minyak goreng. Industri CPO dan turunannya diindikasikan membentuk kartel dimana pangsa pasar yang dikuasai oleh 6 perusahaan besar mencapai 67% dari total produksi CPO dan 86% dari total produksi minyak sawit olahan. Kebijakan Pajak Ekspor (PE) pada industri CPO yang membentuk kartel tidak akan dapat meredam harga minyak goreng dalam negeri, karena kartel tersebut dapat mengatur besar kecilnya pasokan CPO ke dalam negeri yang digunakan untuk produksi minyak goreng. Kartel tersebut juga dapat mengatur harga minyak goreng didalam negeri. • Dari segi pembiayaan, tingkat bunga investasi di Indonesia relatif tinggi (13-16%) bila dibandingkan dengan Malaysia (6-7%), dan di negara maju Jepang dan Amerika Serikat (2%). 11. Hambatan Eksternal yang Menjadi Permasalahan Ekspor
Salah satu contoh hambatan ekspor kelapa sawit adalah persyaratan negara pengimpor (misalnya ketentuan kandungan beta karoten yang diberlakukan India), atau tarif bea masuk (BM). Di pasar Uni Eropa (UE), CPO Indonesia dikenai tarif BM 3,8 persen, refined palm oil (olein) 9 persen, dan stearin 10,9 persen.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
199
Komoditas Kelapa Sawit
Sementara Papua Nugini, Pantai Gading, Nigeria, Ekuador, dan Kolombia dikenai BM nol persen untuk ketiga jenis produk itu (Samhadi, 2006). Negara-negara importir juga menginginkan sistem ekspor menggunakan sistem DNF (eksportir hanya bertanggung jawab terhadap biaya pengiriman saja), sementara Indonesia memakai sistem FOB (free on board) (Media Indonesia, 2004).
.id
6.4. Strategi Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit Dan Produk Olahannya
s. go
6.4.1. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit
tp :// w
w
w
.b p
Materi di bawah merupakan hasil analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan agribisnis kelapa sawit Indonesia berdasarkan informasi dari stakeholder melalui Focused Group Discussion (FGD), wawancara mendalam (in depth interview) serta informasi yang digali dalam berbagai forum dan pertemuan sawit dan hasil kajian pustaka (Depdag, 2006).
ht
a. Kekuatan Komoditas kelapa sawit memiliki beragam aspek yang menjadi kekuatan terhadap daya saingnya. Aspek yang memberikan pengaruh besar terhadap daya saing adalah sebaran daerah produksi dan calon lahan pengembangan kelapa sawit yang sangat luas (dari Sumatera, Jawa, Sulawesi sampai Papua); volume produksi tinggi, terdapat kemudahan penanganan, keterlibatan tenaga kerja, kemudahan rantai pemasaran, teknologi pengolahan, serta keberadaan asosiasi produsen (GAPKI), Asosiasi Oleokimia (APOLIN) dan Dewan Kelapa Sawit Indonesia. Selain itu kelapa sawit memiliki lembaga penelitian dan pengembangan yang sangat intensif
200
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
melakukan berbagai inovasi dalam bidang kelapa sawit, yakni Pusat Penelitian Kelapa Sawit di Medan, selain memiliki Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI). Kelapa sawit juga adalah komoditas primadona para perbankan nasional dan internasional dalam bidang agribisnis, sehingga akses ke pembiayaan bisnis kelapa sawit relatif baik.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
b. Kelemahan Kelemahan yang berpengaruh terhadap daya saing kelapa sawit adalah adanya komoditas-komoditas pesaing sebagai bahan substitusi, walaupun pengaruhnya terhadap daya saing kecil., tetapi ikut menentukan pembentukan harga pasar dunia Aspek-aspek kelemahan lainnya yang pengaruhnya harus cukup diperhitungkan adalah terbatasnya keanekaragaman jenis produk, pengaturan masa panen, tingkat kerusakan pasca panen yang cukup tinggi, keseragaman mutu yang terbatas, ketersediaan pranata dasar, ketersediaan pabrik pengolah (PKS) serta regulasi pemerintah kurang optimal. Aspek kelemahan lainnya dengan pengaruh kecil adalah promosi, ketersediaan informasi, penyediaan modal produsen, serta penyediaaan sarana produksi dalam meningkatkan dayasaing ekspor kelapa sawit Indonesia yang kurang memadai. c. Peluang Peluang yang sangat besar terhadap daya saing kelapa sawit adalah adanya peningkatan permintaan, penurunan laju produksi negara pesaing utama, perluasan areal produksi, pengembangan produk yang sangat beragam, pengembangan wilayah, serta teknologi pengolahan yang memungkinkan bagi industri kelapa sawit untuk mendapatkan nilai tambah produk yang besar, serta devisa yang semakin meningkat. Peluang lainnya yang mendukung daya saing ekspor kelapa sawit namun pengaruhnya tidak terlalu besar adalah regulasi pemerintah yang mendorong ekspor, akses ke pasar internasional yang sangat
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
201
Komoditas Kelapa Sawit
luas, serta kekhasan produk yang fleksibel untuk berbagai ragam kegunaan. Dilain pihak peluang lainnya yang teridentifikasi walaupun pengaruhnya cukup kecil adalah adanya usaha penyediaan sarana produksi yang semakin canggih, serta investasi luar negeri di Indonensia, yang ikut mempercepat pembangunan industri kelapa sawit nasional.
w
.b p
s. go
.id
d. Ancaman Ancaman-ancaman terhadap daya saing kelapa sawit yang cukup menonjol akhir-akhir ini adalah permasalahan lingkungan, tuduhan pembalakan hutan dan perubahan iklim dunia serta advokasi negatif mengenai bisnis kelapa sawit yang dapat mengganggu keharmonisan bisnis di masa depan. Selain itu, berbagai ancaman yang mengemuka lainnya adalah adalah peningkatan produksi pesaing, sertifikasi mutu, hambatan non tarif, penyediaan modal produsen dan kondisi kepastian investasi Indonesia.
tp :// w
w
6.4.2. Strategi Pengembangan Komoditas Kelapa Sawit dan Produk Olahannya
ht
Faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap pencapaian pemantapan dan peningkatan ekspor komoditas kelapa sawit adalah faktor produksi serta faktor hambatan non tarif. Kedua faktor tersebut merupakan permasalahan utama yang perlu mendapat prioritas penyelesaian masalah atau perbaikan untuk pemantapan dan peningkatan ekspor komodias kelapa sawit dan produk-produknya di masa depan. Secara lebih lengkap strategi pengembangan usaha produksi komoditas dan produk kelapa sawit dan minyak goreng Indonesia didaftar pada Tabel 6-14.
202
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
Tabel 6-14. Strategi Pengem bangan Kom oditas Kelapa Sawit dan Produk Olahannya No 1
Strategi Operasional
Program Aksi
Langkah-langkah
Peningkatan produksi dan Peningkatan kinerja sektor Peningkatan produktiv itas kelapa saw it produktiv itas budiday a
on farm
secara bertahap mencapai 15 TBS/ha hingga 20 TBS/ha Pengaw asan dan pengujian mutu benih Penumbuhan dan peny ediaan bibit kelapa saw it y ang baik di sentra produksi miny ak kelapa saw it
Adany a jaminan
Pembangunan kemitraan industri dengan
ketersediaan bahan baku
petani/produsen kelapa saw it untuk
bagi industri olahan
mem peroleh bahan baku
y ang baik dan kontiny u
.id
dengan mutu dan jumlah Pengembangan
industri pengolahan
industri miny ak saw it
miny ak saw it
infrastruktur
pendukung
s. go
Peningkatan produktiv itas
.b p
Pengembangan teknologi pengolahan miny ak saw it
Peningkatan kem ampuan dan kapasitas
proses produksi m iny ak
produsen peralatan produksi m iny ak saw it
w
Modernisasi peralatan
w
saw it dan produk
y ang berkualitas
ht
tp :// w
olahanny a
Penumbuhan industri mesin dan peralatan produksi m iny ak saw it dan produk olahanny a
Peningkatan sinergi
Pengembangan jejaring industri dengan
lembaga penunjang
univ ersitas dan lem baga penelitian untuk inov asi produk/teknologi
Pengembangan teknologi
Pengembangan teknologi dengan efisiensi
produksi y ang hemat
energi y ang tinggi
energi dan pemafaatan energi alternatif 2
Peningkatan mutu
Penerapan Good
komoditas dan produk
Agricultural Practices
miny ak saw it
(GAP) dan Good
Sosialisasi pedoman GAP dan GMP
Manufacturing Practices (GMP) pada industri miny ak saw it Standarisasi mutu produk
Penetapan standar mutu miny ak saw it sesuai SNI Sertifikasi dan apresiasi mutu produk m iny ak saw it dan produk olahanny a
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
203
Komoditas Kelapa Sawit
Tabel 6-14. Lanjutan No
Strategi Operasional
Program Aksi
Langkah-langkah
Peningkatan nilai tambah
Div ersifikasi produk hilir pangan dan non
pada komoditas miny ak
pangan
saw it Pengembangan biomassa dan bioteknologi untuk pengembangan produk antibiotik, v itamin, dll Pengembangan industri biodiesel 3
Peningkatan efisiensi
Peningkatan keterampilan, Pelatihan/magang pelaku usaha di bidang
biay a produksi m elalui
teknis, keahlian dan
budiday a, produksi miny ak saw it, serta
peningkatan keterampilan
manajemen usaha
pengolahan miny ak saw it m enjadi produk
kinerja sum berday a
turunanny a
manusia, serta penguatan
.id
kelembagaan kelapa saw it.
s. go
Pelatihan kemam puan m anajerial pelaku usaha miny ak saw it Untuk peningkatan kemampuan m elakukan
.b p
perbaikan/ modifikasi/pemeliharaan peralatan produksi Pelatihan kemam puan m anajerial pengurus
w
Penguatan kelembagaan
kelompok produsen kelapa kelom pok/koperasi pelaku usaha miny ak
tp :// w
koperasi)
w
saw it (asosiasi petani atau saw it Peningkatan peran BDS (Business Developm ent Services ) bagi peningkatan kem ampuan bisnis industri miny ak saw it Pengembangan dan peningkatan peran dan
Gabungan Pengusaha
fungsi GAPKI
ht
Peningkatan kapasitas Kelapa Saw it Indonesia (GAPKI) Peningkatan kapasitas
Pengembangan dan peningkatan peran dan
Pusat Penelitian Kelapa
fungsi PPKS
Saw it (PPKS) Peningkatan kapasitas
Pengembangan dan peningkatan peran dan
Masy arakat
fungsi M aksi
Perkelapasaw itan Indonesia (M aksi) 4
Perbaikan kebijakan dan
Kebijakan y ang menarik
Insentif perpajakan untuk inv estasi baru
penurunan biay a ekspor
inv estasi pengembangan
selam a tiga tahun pertama
industri kelapa saw it Menghilangkan peraturan y ang m emuat pungutan y ang mem beratkan pengembangan industri hilir
204
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
Tabel 6-14. Lanjutan No
Strategi Operasional
Program Aksi
Langkah-langkah Penerapan hukum y ang adil dan tegas berkaitan dengan perebutan lahan, peny alahgunaan lahan, dan lainny a Peny ediaan skema kredit inv estasi dan modal kerja bagi industri CPO dan olahanny a
5
Kebijakan y ang
Ketetapan pajak ekspor y ang m eringankan
meningkatkan ekspor
ekspor CPO dan produk olahanny a
Perluasan pem asaran dan Peningkatan ekspor
Peningkatan v olume ekspor produk turunan
peny ediaan dana subsidi
CPO
untuk ekspor Pengembangan merek lokal di pasar
.id
internasional Peningkatan pangsa pasar Perluasan pasar ekspor produk berbasis CPO
s. go
ekspor
Bilateral agreem ent dengan pasar utama produk turunan kelapa saw it untuk
w
.b p
meningkatkan pasar ekspor Peningkatkan akses pasar ekspor, tradisional maupun non tradisional Peny elenggaraan
internasional
sem inar/lokakary a/konferensi dan pameran
tp :// w
w
Peningkatan kerjasam a
produk m iny ak saw it dan olahanny a di tingkat internasional Sosialisasi dan peny ediaan dana perbankan
ekspor
dan dana subsidi ekspor
ht
Peny ediaan dana subsidi
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
205
Komoditas Kelapa Sawit
DAFTAR PUSTAKA
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
[BPS] Badan Pusat Statistik. 1990-2005. Statistik Industri Besar dan Sedang. BPS, Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2006. BPS, Jakarta. [CIC] Capricorn Indonesia Consult, PT. 2003. Prospek Industri dan Pemasaran Minyak Goreng di Indonesia. CIC. Jakarta. Darmosarkoro, W. 2006. Usaha Sawit Banyak Tantangan. Kompas, 25 Februari 2006. [Deprin] Departemen Perindustrian. 2007. Laporan pengembangan sektor industri tahun 2007. Departemen Perindustrian, Jakarta. Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perdagangan. 2006. Portofolio Komoditas Kelapa Sawit. Deperindag, Jakarta. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006 Statistik Perkebunan. Direktorat Jendral Balai Penelitian Perkebunan. Jakarta. [Ditjenbun] Direktorat jenderal perkebuanan. 2007. Road Map Kelapa Sawit. Departemen pertanian. Direktoran Jenderal Perkebunan, Jakarta. Hasibuan, A (2006), “Industri Kelapa Sawit sebagai Motor Penggerak Pembangunan Ekonomi Nasional” , Juli, Jakarta: Kadin Indonesia. [IOPB] Indonesian Oil Palm Board, 2007. Indonesia Palm Oil Statistics 2006. IOPB. Jakarta. [IOPRI] Indonesian Oil Palm Research Institute, 2007. Perkembangan Harga CPO dan Olein Lokal Tahun 20062007. [http://www. infosawit.iopri.org/files/ data%20sawit%20 Indonesia%202006.doc] Janurianto, A. 2006. Industri Pengolahan Kelapa Sawit Indonesia Sebagai Bahan Diskusi Roadmap Industri 2010. Kadin Indonesia, Jakarta. Khoiri, 2006. Kebun sawit versus hutan konversi. Kompas, 25 Februari 2006. 206
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
[LRPI] Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2007. Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Masih Berpotensi Dikembangkan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29 N.2 2007. Samhadi, 2006. Ironi sawit dan ambisi nomor satu dunia. Kompas, 25 Februari 2006. Sihombing, M. 2008. Industri Sawit di Antara Dua Keinginan. Bisnis Indonesia, Kamis, 03/07/2008 Suharto, R. 2006. “Tantangan Industri Minyak Sawit Indonesia”, Juli, Jakarta: Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI). Suharto, R. 2007. Palm Biodiesel and Sustainability. http://,........ KMSI_RSPO%20 Forum%20on%20Biofuels_15 Mei07.pdf. Tambunan, T, 2006. Indonesian Crude Palm Oil Production, Export Performance and Competitiveness. Kadin-Jetro, September 2006. Kadin, Jakarta. Yuliawati, 2007. Investasi Baru Industri Oleokimia. Koran Tempo. http://209.85.175.104/search?q=cache:KeL0o1 mNn5kJ: wap. korantempo.com/view_details.php %3Fidedisi%3D2562%26idcategory%3D2%26idkoran% 3D102462%26y% 3D2007%26m%3D5%26d%3D28+ produksi+oleokimia&hl =id&ct=clnk&cd=31&gl=id &client=firefox-a
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
207
Komoditas Kelapa Sawit
Lampiran 6-1. Nama-nama perusahaan industri minyak goreng sawit berdasarkan jenis produk yang dihasilkannya (minyak goreng kemasan bermerk dan minyak goreng curah) Perusahaan dengan produk minyak goreng bermerk (pangsa pasar : 20%) No Nama Perusahaan Merk Produk (1) (2) (3) 1 PT Intiboga Sejahtera Bimoli, Bimoli spesial, Delima, Sunrise 2 PT Smart Tbk Filma, Filma Gold, Kunci M as, Palmv ita dan Saw it M as 3 PT Bina Kary a Prima Tropical dan forVita 4 PT Astra Agro Lestari Tbk C ap Sendok 5 PT Darmex Oil & Fat Palma 6 PT Ikan Dorang Dorang M as 7 PT H asil Kesatuan Vetcomas dan 999
w
w
.b p
s. go
.id
Av ena dan M adina Palmolin, C amar dan M arunda Delisis dan Berkah Sinar Laut Sarinah Sunco Rose Brand K-Vita Askolina Familie Kencana Sania Inoline M alinda Fortun
tp :// w
PT Pacific M edang Industri PT Asianagro Agungjay a PT C engkareng Jay a C V Sinar Laut PT Priscolin PT M ikie Oleo N abati PT Tunas Baru Lampung Tbk PT Kilang Vecolina Tbk PT H asil Abadi Perdana PT Bintang Era Sinar Tama PT Kusum Product InDonesia PT M ultimas N abati Asahan PT Pamina Adolina PT Saw it M alinda PT Sinar Alam Permai
ht
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
(Capricorn Indonesia Consult, 2003)
208
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
Perusahaan dengan produk minyak goreng tanpa merk
PT Astra Agro Lestari PT Pamina Adolina PT Sumatera Oil Industries PT M itra Saw it Kumala Abadi PT Singamas Jay a pErdana PT Pacific Palmindo PT Saw it M alinda PT Sinar Alam Permai PT Incasi Ray a
No (3) 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Perusahaan (4) C V Sinar Laut PT Bukit Kapur Perkasa PT intibenua Perkasa PT Intiboga Perkasa PT H asil Kesatuan PD M ajuan PT C engkareng Jay a PT Bina Kary a P rima PT M iki Oleo PT M ega Baru Lampung PT Damai Sentosa C ooking Oil
.id
6 7 8 9 10 11 12 13 14
Perusahaan (2) PT Salim Oil Grains PT M usim mas PT Berlian Eka Sakti Teguh PT Asianagro Agungjay a PT Bintang Tenera
s. go
No (1) 1 2 3 4 5
ht
tp :// w
w
w
.b p
(Capricorn Indonesia Consult, 2003)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
209
Komoditas Kelapa Sawit
Lampiran 6-2. Gambaran umum pada usaha industri minyak sawit dan minyak goreng
[
b. Tandan buah sawit segar
w
w
.b p
s. go
.id
a. Pohon kelapa sawit
ht
tp :// w
c. Pabrik CPO dan minyak goreng
d. Proses pemindahan CPO dari tangki CPO ke mobil tangki pengangkut CPO
210
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Kelapa Sawit
Lampiran 6-2. Lanjutan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
e. Beragam produk turunan CPO
g. Produk minyak goreng kemasan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
211
.id
s. go
Kajian Kinerja dan Strategi Pengembangan Komoditas Perikanan Laut
.b p
Penulis :
ht
tp :// w
w
w
Tim IPB
Komoditas Perikanan
7.1. Pendahuluan
.b p
s. go
.id
Sebagai negara kepulauan dengan 17.502 pulau dan dengan garis pantai yang panjang mencapai 81.000 km, Indonesia memiliki potensi perikanan dan kelautan yang sangat besar. Beragam komoditas perikanan dengan nilai ekonomi yang sangat baik merupakan sumber daya yang pemanfaatannya sangat berguna bagi pengembangan perekonomian negara, khususnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan memiliki peran yang cukup besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2007 jumlah tenaga kerja di bidang perikanan dalam negeri adalah 5,58 juta orang. Secara relatif serapan tenaga kerja tersebut mengalami peningkatan sebesar 4,64% dari tahun 2006 yang lalu (Numberi, 2008).
ht
tp :// w
w
w
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dari subsektor perikanan pada tahun 2006 mencapai Rp. 73 trilyun atau sekitar 17% dari PDB total sektor pertanian. Selama periode 2004-2005, subsektor perikanan mengalami pertumbuhan sebesar 8,78%. Produksi perikanan meningkat rata-rata sekitar 6,05% per tahun selama periode 2000-2005. Sebagian besar produksi perikanan nasional tersebut masih didominasi oleh usaha penangkapan ikan laut dimana kontribusinya mencapai 79,49% dari total produksi perikanan pada tahun 2005 (BPS, 2005). Mengingat potensi ekonomi perikanan dan kelautan yang sangat besar, sektor perikanan seharusnya mampu memberikan kontribusi yang lebih besar lagi terhadap PDB. Selama ini komoditas perikanan yang diekspor sebagian besar berupa ikan segar atau beku dengan nilai tambah yang kecil. Peningkatan nilai tambah produk otommatis akan meningkatkan nilai harga jual produk atau ekspor, sehingga diperlukan pengembangan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
215
Komoditas Perikanan
Komoditas
s. go
Produksi
.b p
7.2. Kinerja Pengembangan Perikanan Laut
.id
perikanan yang mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Secara khusus, kegiatan pengembangan perikanan laut memiliki potensi untuk lebih meningkatkan perekonomian masyarakat terutama yang bermukim di wilayah pesisir. Oleh karena itu strategi yang tepat diperlukan untuk mengembangkan sektor perikanan dan kelautan di Indonesia. Pengembangan sektor perikanan dan kelautan Indonesia tidak hanya ditekankan pada perbaikan kinerja perikanan tangkap saja tetapi juga pada pengembangan perikanan laut budidaya serta pengembangan industri perikanan yang menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dan produk bermutu tinggi.
w
7.2.1. Potensi Perikanan Laut Indonesia
ht
tp :// w
w
Terdapat sembilan zona penangkapan ikan atau disebut juga sebagai Wilayah Pengelolaan Perikanan ( Fishery Management Area) yang terdapat di Indonesia (Kadin Batam, 2006). Zona penangkapan ikan tersebut terdiri dari perairan teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan perairan tepi (inland water) seperti didaftar di bawah ini. (1) Selat Malaka (2) Laut Cina Selatan, Laut Natuna dan Selat Karimata (3) Laut Jawa dan Selat Sunda (4) Laut Flores dan Selat Makasar (5) Laut Banda (6) Laut Arafura, Laut Aru dan Laut Timor (bagian timur) (7) Laut Maluku, Teluk Tomini dan Laut Seram (8) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (9) Samudera Hindia, Laut Timor (bagian barat), Selat Bali dan Laut Sawu.
216
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
.id
Dari seluruh wilayah perairan laut Indonesia, diperkirakan potensi sumberdaya ikan yang dimiliki mencapai 6,4 juta ton pertahun. Potensi tersebut terdiri dari ikan pelagis besar (1,65 juta ton), ikan demersal (1,36 juta ton), ikan pelagis kecil (3,6 juta ton), ikan karang (145 ribu ton), lobster (4,8 ribu ton), dan cumi-cumi (28,5 ribu ton). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari seluruh perairan Indonesia adalah 80% dari potensi lestari, setara dengan 5,12 juta ton pertahun (DKP, 2006). Walaupun demikian, pemanfaatan potensi perikanan laut yang berlebihan telah terjadi seperti di Laut Jawa dan Selat Malaka (Tabel 7-1).
Wilayah Pengelolaan Perikanan
s. go
T abel 7-1. Potensi dan Pemanfaatan Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Indonesia Potensi
.b p
3
(1)
3
(10 ton/tahun)
(10 ton/tahun)
(2)
(3)
Pemanfaatan (%) (4)
76,03
389,28
>100
1.057,05 96,64
379,90 1.094,41
35,94 >100
Selat M akasar dan Laut Flores
929,72
655,45
70,50
Laut Banda
277,99
228,48
82,19
Laut Seram dan Teluk Tomini
590,62
197,64
33,46
Laut Sulaw esi dan Samudera Pasifik
632,72
237,11
7,47
Laut Arafura
771,56
263,37
34,14
Samudera H india
1.076,89
623,78
57,92
Perairan Indonesia (rata-rata)
6.409,21
4.089,42
63,49
w
ht
tp :// w
Laut C ina Selatan Laut Jaw a
w
Selat M alaka
Produksi
(Suboko, 2005)
Sumber daya ikan di Indonesia memiliki keragaman hayati yang sangat tinggi. Tidak kurang dari 3 000 jenis ikan terdapat di Indonesia dimana 90% dari jenis tersebut merupakan ikan laut. Dari potensi keragaman sumber ikan di perairan Indonesia besar, pemanfaatannya baru sekitar 58%. Hanya beberapa ikan dengan nilai ekonomis tinggi yang dimanfaatkan seperti tuna,
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
217
Komoditas Perikanan
cakalang, tongkol, tenggiri, kakap, kerapu, cumi-cumi, ikan karang (kerapu, baronang, lobster), dan ikan hias. Di lain pihak, Indonesia memiliki lebih dari 80 jenis ikan laut ekonomis penting seperti yang diperlihatkan pada Lampiran 7-1. 7.2.2. Produksi Perikanan Laut Indonesia
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Produksi perikanan laut Indonesia pada periode 1999-2005 mengalami peningkatan setiap tahunnya (Gambar 7-1). Berdasarkan jumlah produksi ikan per wilayah perairan di Indonesia, volume hasil tangkapan ikan laut dalam jumlah besar dihasilkan oleh Sumatera, Maluku dan Papua, kemudian Jawa. Di wilayah Sumatera, jumlah perikanan laut terbesar dihasilkan oleh Provinsi Sumatera Utara. Di wilayah Jawa, Jawa Timur merupakan penghasil ikan laut terbesar. Walaupun daerah Sumatera menghasilkan jumlah ikan yang terbanyak, namun jumlah tersebut pada tahun 2005 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi di wilayah Jawa. Berbeda dengan Sumatera dan Jawa, wilayah Indonesia lainnya mengalami peningkatan hasil tangkapan ikan laut pada tahun 2005 (Tabel 7-2) (BPS, 2008).
ht
Pertumbuhan produksi perikanan laut nasional hingga tahun 2005 dipengaruhi juga oleh perkembangan produksi budidaya perikanan laut. Produksi perikanan budidaya laut baru mencapai 8,8% dari total produksi perikanan laut pada tahun 2004, namun pada tahun 2005 meningkat menjadi 16,8% dari total produksi perikanan laut. Peningkatan perikanan budidaya laut pada tahun 2005 mencapai 111% dari tahun 2004 sedangkan produksi ikan tangkapan laut hanya mengalami peningkatan 2% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 jumlah produksi perikanan laut Indonesia menempati posisi ke empat besar setelah RR Cina, Peru, dan Amerika Serikat (Gambar 7-2) (FAO, 2007).
218
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
T abel 7-2. P ro du ksi P erikan an T an g kap L au t dan B u d id aya L au t Ind o n esia, T ah un 2004-2005 P ro du ksi P erikan an B ud id aya P rod u ksi P erikanan T ang kap W ilayah
L au t (ton )
P erairan L au t (ton ) 2004 2005 (1) (4) (5) S u m atera 1.256.624 1.162.586 9,534 6,401 N anggroe A ceh D aruss alam 102,555 81,163 S um atera U tara 323,794 326,336 496 548 S um atera B arat 102,368 108,912 120 126 R iau 308,304 97,782 7,488 26 J am bi 47,078 43,121 S um atera S elatan 54,041 27,831 B engkulu 27,615 38,75 Lam pung 146,863 137,728 1,399 821 K ep B angk a B elitung 144,006 119,845 31 24 K epulauan R iau 181,118 4,856 Jaw a 904,168 862,728 14,409 48,378 D K I Jakarta 123,869 132,024 1,093 1,909 J aw a B arat 160,24 155,341 10 10,089 J aw a Tengah 244,389 192,586 25,983 D I Y ogy akarta 1,444 1,773 J aw a Tim ur 320,691 322,292 359 4,556 B anten 53,535 58,712 2,957 5,84 B ali d an N usa T en g g ara 241,36 285,185 261,51 469,426 B ali 65,768 78,703 156,054 161,121 N TB 79,45 81,61 39,048 36,425 N TT 96,142 124,872 66,408 271,88 K alim an tan 321,465 342,822 610 9,633 K alim antan B arat 65,414 60,616 58 9,047 K alim antan Tengah 46,286 45,994 K alim antan S elatan 116,254 136,52 496 505 K alim antan Tim ur 93,511 99,692 56 81 S u law esi 817,331 850,97 131,402 351,67 S ulaw es i U tara 192,433 191,868 7,705 7,739 S ulaw es i Tengah 87,565 92,088 13,78 124,512 S ulaw es i S elatan 314,678 277,433 20,141 201,406 S ulaw es i Tenggara 187,658 213,61 84,544 12,359 G orontalo 34,997 37,036 5,232 5,654 S ulaw es i B arat 38,935 M alu ku d an P ap u a 779,293 904,208 3,454 4,566 M aluk u 424,736 481,848 2,892 265 M aluk u U tara 79,963 107 524 834 P apua B arat 100,498 38 3,467 P apua 274,594 214,862 Jum lah 4.320.241 4.408.499 420,919 890,074 * perik anan budiday a laut dan air taw ar [http://w w w .bps.go.id[6-3-2008] 2005 (3)
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
2004 (2)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
219
Jumlah Produksi (juta ton)
Komoditas Perikanan
6 5 4.01
4.12
4.28
1999
2000
2001
4.38
4.69
4.88
4.97
2003
2004
2005*
4 3 2 1 0 2002 Tahun
s. go
.id
Gambar 7-1. Perkembangan produksi perikanan laut Indonesia (FAO, 2007)
RR Cina
17.1
9.4
Peru USA
4.9 4.4
Chili
.b p
Indonesia
4.3 4.1
Jepang
w
3.5
India
3.2
Rusia
w
2.6
Thailand
0
2
4
tp :// w
2.4
Norw egia
6
8
10
12
14
16
18
Juta ton
ht
Gambar 7-2. Sepuluh besar negara-negara produsen utama ikan tangkapan laut (FAO, 2007)
7.2.3. Perkembangan Ekspor-Impor Komoditas dan Produk Perikanan Laut Indonesia Negara-negara tujuan ekspor komoditas dan produk ikan utama Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, dan negaranegara Uni Eropa. Nilai ekspor perikanan Indonesia pada tahun 2007 mengalami peningkatan 10,03% dari nilai ekspor tahun 2005, namun berdasarkan jumlah volume ekspor terjadi penurunan 1,15% menjadi 831.000 ton. Dari tiga negara tujuan ekspor utama (Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa), jumlah
220
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
s. go
.id
maupun nilai ekspor ikan Indonesia ke Jepang pada periode 2002-2006 mengalami kecenderungan menurun. Di lain pihak pertumbuhan ekspor ikan yang cukup baik di negara tujuan ekspor utama dihasilkan dari ekspor ikan ke negara-negara Uni Eropa. Selama tahun 2000-2005 pertumbuhan ekspor ikan Indonesia ke Uni Eropa rata-rata mencapai 7% per tahun (DKP, 2007), dan pada tahun 2007 terdapat peningkatan volume dan nilai ekspor dari tahun 2006 masing-masing 4,1% dan 12,7%. Peningkatan konsumsi komoditas perikanan di negara-negara Uni Eropa merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan volume impor ikan negara-negata Uni Eropa dari Indonesia.
.b p
T abel 7-3. Perkembangan Ekspor Perikanan Indonesia Tahun 2005-2007
Jepang U dang Tuna/Cakalang Ikan lainny a 2 Amerika U dang Tuna/Cakalang Ikan lainny a 3 Uni Eropa U dang Tuna/Cakalang Ikan lainny a 4 Negara lainnya U dang Tuna/Cakalang Ikan lainny a 5 T otal U dang Tuna/Cakalang Ikan lainny a (Grahady arini, 2008)
NIlai
(ton) (3)
($ AS) (4)
109.871 588.841 46.051 373.534 30.256 108.835 33.564 106.472 109.129 591.627 50.698 327.819 21.773 60.925 36.658 202.993 87.924 281.015 27.129 159.292 16.708 32.468 44.037 89.255 550.998 450.822 29.978 87.485 22.894 44.075 498.126 319.262 857.922 1.912.305 153.906 948.13 91.631 246.303 612.385 717.872
ht
1
(2)
Volume
Volume
w
(1)
Negara T ujuan
tp :// w
No
2006
w
2005
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
(ton) (5)
2007*
NIlai
Volume
NIlai
($ AS) (6)
(ton) (7)
($ AS) (8)
116.006 630.791 117.979 587.75 50.581 420.252 50.581 337.058 21.657 76.25 28.723 104.942 43.768 134.289 38.665 145.75 121.291 689.882 126.269 777.512 61.235 418.556 60.297 430.093 4.182 14.946 20.161 67.428 55.874 256.38 45.911 279.991 80.105 294.951 84.588 301.247 35.121 196.43 29.087 182.474 2.416 7.151 15.783 34.76 42.457 91.37 39.718 84.013 609.076 487.847 528.957 633.491 22.281 80.725 20.832 98.656 63.567 152.22 45.367 73.688 523.228 254.902 462.758 461.147 926.478 2.103.470 857.783 2.300.000 169.329 1.115.963 160.797 1.048.281 91.822 250.567 110.034 280.818 665.327 736.94 586.952 970.901
Kenaikan rata-rata (%) 2006-2007 Volume NIlai (ton) (9) 1,69 0,00 32,63 -11,66 4,10 -1,53 382,09 -18,01 5,60 -17,44 553,27 -6,45 -13,15 -6,50 -28,63 -11,56 -7,41 -5,04 19,83 -11,78
($ AS) (10) -6,82 -19,80 37,63 8,53 12,70 2,76 351,14 9,21 2,13 - 7,10 386,09 -8,05 29,85 22,21 -51,59 80,91 9,34 -6,06 12,07 31,75
221
Komoditas Perikanan
RR Cina 10%
Norw egia 6%
Thailand 6% USA
s. go
5% Kanada 4%
.id
Walaupun Indonesia merupakan produsen perikanan laut ke empat terbesar dunia, namun nilai ekspor perikanan laut yang diperoleh Indonesia lebih kecil dari negara-negara lain yang jumlah produksi ikannya tidak sebanyak Indonesia. Pada tahun 2005 nilai ekspor parikanan laut Indonesia mencapai sekitar 2% dari total nilai komoditas ikan yang diekspor dunia. Nilai ekspor perikanan laut negara Uni Eropa memiliki nilai tambah paling besar karena negara-negara Uni Eropa mengolah ikan impornya untuk kemudian diekspor kembali.
Viet Nam 4%
.b p
Chili Taiw an3% Indonesia 1% 2%
w
EU (25) 25%
tp :// w
w
Gambar 7-3. Perbandingan Persentase Nilai Ekspor Perikanan Laut Negara-negara Pengekspor Utama Dunia (FAO, 2007)
ht
Rendahnya nilai ekspor komoditas perikanan laut Indonesia dibandingkan dengan negara-negara yang diperbandingkan pada Gambar 7-3 disebabkan oleh masih rendahnya nilai tambah komoditas perikanan laut yang diekspor. Salah satu contohnya pada tahun 2005, Indonesia sebagai salah satu produsen tuna utama dunia memproduksi ikan tuna segar dan beku dengan jumlah 40 872 ton dan bernilai US$ 117,66 juta. Di lain pihak, untuk memenuhi pasar tuna kaleng yang memiliki nilai tambah lebih tinggi di Uni Eropa, kontribusi ekspor tuna kaleng Indonesia hanya sekitar 3%. Jumlah tersebut lebih rendah dari Thailand yang memasok 15% tuna kaleng Uni Eropa dan Filipina yang memasok 10% tuna kaleng Uni Eropa walaupun sebagian bahan bakunya diperoleh dari Indonesia (Kompas,
222
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
2008). Peningkatan jumlah komoditas perikanan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi akan mampu meningkatkan nilai ekspor seperti pada perkembangan nilai ekspor perikanan laut Indonesia pada tahun 2007. Walaupun jumlah komoditas yang diekspor menurun, pada saat tersebut terdapat peningkatan jumlah produk dengan nilai tambah lebih tinggi sekitar 20% (DKP, 2008). Peningkatan jumlah komoditas perikanan dengan nilai tambah yang lebih tinggi tersebut menjadi salah satu faktor peningkatan nilai ekspor pada tahun 2007.
.id
7.2.4. Potensi Bisnis Komoditas dan Produk Hasil Perikanan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Permintaan dunia untuk konsumsi ikan memiliki kecenderungan terus meningkat. Dengan peningkatan jumlah penduduk di berbagai belahan dunia, permintaan atau perdagangan ikan dunia cenderung tetap tinggi. Negara-negara Uni Eropa dengan nilai impor perikanan lebih dari US$ 1 milyar/ tahun terdiri dari negara-negara Spanyol, Perancis, Italia, Inggris, Jerman, Denmark, Belanda, dan Belgia. Sejak bergabung dengan Uni Eropa, 10 (sepuluh) negara yang terdiri dari Estonia, Latvia, Lithuania, Polandia, Chechnya, Slovakia, Hungaria, Slovenia, Malta, dan Cyprus, membutuhkan tambahan impor produk perikanan dengan volume 619 339 ton dan nilai US$ 926 juta pertahunnya (FAO, 2006). Selain negara-negara Uni Eropa, wilayah ASEAN, Australia, Timur Tengah, Asia Timur, dan Rusia merupakan potensi pasar perikanan negara tetangga yang paling menjanjikan. Negaranegara Asia Timur (tidak termasuk Jepang) dan RR Cina, mengimpor hasil perikanan untuk diolah atau diproses kembali menjadi barang siap saji dan siap disantap, kemudian diekspor ke luar negeri. Pengembangan usaha sub-sektor pengolahan dan pemasaran hasil perikanan memberikan nilai tambah yang
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
223
Komoditas Perikanan
cukup besar, serta dapat memperluas kesempatan kerja dan berusaha yang menjanjikan. Pertumbuhan pasar perikanan yang paling tinggi dalam kebutuhan hasil perikanan padalah Rusia (60%), dan RR Cina (35%).
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Diperkirakan hingga tahun 2010 pasokan ikan dunia mengalami kekurangan dua juta ton pertahun dan perdagangan ikan dunia mencapai sekitar USD 100 milyar per tahun. Beberapa negara maju diperkirakan akan menjadi importir bersih produk perikanan pada tahun 2030 dengan volume impor mencapai 21 juta ton. Pasar ekspor Cina juga dinilai potensial dengan jumlah konsumsi diprediksi meningkat dari 33 juta ton pada tahun 1997 menjadi 53 juta ton pada tahun 2020. Hal tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkan potensi perikanan yang dimilikinya dalam perdagangan perikanan global karena pasar ekspor komoditas dan produk ikan masih sangat menguntungkan. Pada Tabel 4 diperlihatkan prediksi pertumbuhan jumlah konsumsi ikan dunia hingga tahun 2015.
Rincian
ht
T abel 7-4. Pendugaan Pertumbuhan Jumlah Konsumsi Ikan Dunia T ingkat pertumbuhan
Volume (juta ton)
(persen per tahun)
2001
2010
2015
1991-2001
1991-1011
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
67,5
93,3
104,0
5,5
3,3
2,2
Afrika
5,9
7,5
8,7
2,1
2,4
3,0
Amerika Latin & Karibia
4,5
5,5
6,2
1,5
2,0
2,5
Asia
56,9
80,1
88,9
6,4
3,5
2,1
Oseania Berkembang
0,2
0,2
0,2
1,6
1,1
1,3
(1) Negara berkembang
Negara Maju
2010-2015
30,2
32,3
33,3
-0,6
0,7
0,6
Amerika U tara
6,8
7,8
8,3
1,1
1,4
1,3
Eropa Barat
9,5
10,3
10,7
1,2
0,6
0,7
N egara maju Oseania
0,5
0,6
0,7
3,1
1,9
1,6
Lainny a
8,8
9,1
9,1
-0,4
0,0
0,0
97,7
124,6
137,3
3,2
2,5
1,8
Dunia (Suboko, 2005)
224
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
7.2.5. Produk Hasil Perikanan dan Perkembangan Industri Perikanan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Jenis komoditas atau produk ikan yang diperdagangkan dikelompokkan dalam kelompok ikan hidup (misalnya ikan kerapu); ikan segar/dingin; ikan beku; ikan yang diolah kering; ikan olahan dalam kaleng; serta produk olahan ikan siap saji. Sebagian besar ragam produk industri pengolahan ikan merupakan produk pangan, sedangkan produk olahan ikan non pangan berupa produk pakan maupun farmasi. Berdasarkan produk yang dapat dihasilkan dari bagian-bagian ikan, berikut ini didaftar beragam jenis produk hasil pengolahan ikan. • Fillet, surimi, ikan kaleng, ikan beku, tepung ikan, ikan asap, kerupuk, ikan pindang, abon, dendeng, ikan asin, dan petis dihasilkan dari pengolahan daging ikan segar. • Minyak ikan bagi industri farmasi diproduksi dari hasil pengolahan hati ikan • Tepung ikan dari pengolahan kepala ikan • Produk pangan dari sirip ikan • Kulit ikan dapat diolah menjadi kulit samak yang merupakan bahan baku pembuatan barang dari kulit • Silase ikan dapat diolah menjadi makanan ternak • Kerajinan tulang atau gelatin dari tulang ikan Beragam produk olahan pangan dan non pangan yang dihasilkan oleh agroindustri ikan diperlihatkan dalam pohon industri ikan pada Gambar 7-4.
Gambar 7-4. Pohon Industri Ikan (http://depperin.go.id, diakses [22/8/2008])
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
225
Komoditas Perikanan
s. go
.id
Kegiatan pengolahan ikan laut terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sebagian besar usaha pengolahan ikan dilakukan pada skala rumah tangga atau industri kecil yang menghasilkan produk olahan ikan berupa ikan asin, ikan asap, ikan pindang, kerupuk, terasi, petis, dendeng dan abon. Kegiatan pengolahan tersebut merupakan sumber pendapatan bagi keluarga nelayan dan masyarakat pantai pada umumnya. Industri berskala besar pada umumnya bergerak di bidang usaha pengalengan ikan, pembekuan, pengeringan ikan, serta pembuatan makanan olahan beragam bahan baku ikan dan hasil laut lainnya seperti nugget, seafood dumpling, springroll, dan yang lainnya. Pada Tabel 7-5 diperlihatkan kawasan pengolahan ikan di berbagai propinsi di Indonesia serta jenis pengolahan yang dilakukan di wilayah tersebut.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Walaupun telah terdapat beragam alternatif pengolahan dan produk ikan olahan yang dapat diproduksi oleh Indonesia, namun sebagian besar komoditas ikan laut Indonesia masih diperdagangkan sebagai ikan segar. Sekitar 57,05% dari total ikan hasil tangkapan laut dimanfaatkan dalam bentuk segar, sedangkan sekitar 30,19% digunakan untuk produk olahan tradisional. Hasil perikanan Indonesia yang dimanfaatkan untuk produk bernilai tambah tinggi masih kurang. Produksi produk ikan olahan modern dan olahan lainnya masing-masing baru mencapai 10,90% dan 1,86% dari total hasil tangkapan. Beragam hambatan dan permasalahan yang terdapat di dalam negeri menjadi faktor yang memengaruhi pengembangan industri pengolahan ikan yang mampu menghasilkan produk olahan ikan laut bernilai tambah tinggi.
226
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
T abel 7-5. Kawasan Pengolahan Ikan di Indonesia No
Propinsi
Kota/Kawasan
Keterangan
(1) 1
(2) Sumatera U tara
Bagan Siapi-api
Pengeringan ikan, dll
2
Kep. Riau
Pulau Batam dan sekitarny a
Budiday a laut untuk ikan kerapu, dll
3
Lampung
Lubuk M alinggau, Kab. Lampung Timur Budiday a udang untuk ekspor; pengolahan hasil-hasil laut oleh industri kecil dan industri
4
Banten
Serang
5
Jakarta
M uara Baru
Pengalengan ikan, pembekuan ikan dan udang, produk olahan, dll
6
Jaw a Barat
Indramay u, C irebon
Ikan kering dan pengolahan ikan
7 8
Jaw a Tengah Jaw a Timur
Pemalang, Kendal. Demak. Rembang Tuban, Gresik, surabay a, Sidoarjo,
Ikan kering dan pengolahan ikan Pengolahan ikan dan udang
Bali
Pulau M adura, Bany uw angi, M uncar Pengambengan_Kab. Jembrana,
pengalengan ikan Pengalengan ikan lemuru, produksi ikan
Benoa, Tabanan, Gondol-Bali U tara
olahan, budiday a ikan kerapu, budiday a laut tuna sirip kuning
.id
s. go
Kota Tual-Kaw asan industri Perikanan
Penangkapan
Papua
N gadi Sorong
kaleng, pengolahan jenis ikan kay u. Terdapat pabrik-pabrik pengolahan ikan dan
Sulaw esi Selatan
tp :// w
12
serta
M aluku Tenggara
udang,
pengolahan
ikan
udang (dingin, beku & kering). Kegiatan meliputi industri pengolahan ikan tangkap,
w
11
rumah tangga Ikan teri kering & pengolahan ikan lainny a.
.b p
10
(4)
w
9
(3)
budiday a
M aminasata, M etro M akassar M aros-
ikan,
peningkatan
pelabuhan
penunjang industri perikanan Industri pengolahan ikan
ht
Sungguminasa-Takalar M amuju, Parepare, Barru,
13
Sulaw esi U tara
Pangkajene, Palopo, Watampone Bitung
14 15
Gorontalo Sulaw esi Tengah
Gorontalo, Limboto Luw uk, Kolonodale
16
Sulaw esi Selatan, Kendari, Sulaw esi Tenggara Waw oni
Pengolahan bahan baku perikanan dan ikan tangkap
Kolaka,
Pengolahan bahan baku ikan tangkap Pengolahan ikan tangkap Bau-bau,
Pulau Industri pengolahan ikan tangkap. M ay oritas ikan y ang diekspor : tuna, cakalang dan kerapu
(Sumary anto, 2006)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
227
Komoditas Perikanan
7.2.6. Rantai Pasokan Komoditas Perikanan Laut Domestik
s. go
.id
Ketentuan pada Peraturan Daerah no 5 tahun 2005 pasal 3 mengharuskan setiap komoditas perikanan laut bernilai ekonomis hasil tangkapan nelayan yang akan diperdagangkan kepada pedagang maupun industri pengolah dilelang di tempat pelelangan ikan (TPI), kecuali komoditas perikanan yang dimanfaatkan oleh konsumen untuk langsung dikonsumsi. Berdasarkan peraturan tersebut, penyediaan pasokan komoditas atau produk perikanan laut dalam negeri meliputi pasokan komoditas perikan dari nelayan menuju pengelola TPI kemudian pedagang pengumpul, industri pengolahan, pedagang pengecer hingga konsumen akhir. Melalui mekanisme pelelangan pada TPI, harga dasar ikan pada rantai pemasaran
w
Pengolah
tp :// w Lembaga Pelelangan
Grosir
ht
Konsumen Akhir (Rumah Tangga)
Pengumpul Lokal
w
Pedagang Eceran
.b p
Produsen
Grosir
Agen Grosir
Pasar Institusional
Grosir
Pedagang Eceran
Pedagang Eceran
Konsumen Akhir (Rumah Tangga)
Gambar 7-5. Skema aliran pasokan komoditas perikanan laut di Jawa (Hanafiah, 1986) 228
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
pertama ditentukan. Komoditas perikanan yang berhasil dilelang dan diperoleh oleh pedagang pengumpul/bakul akan dipasarkan kepada industri pengolahan ikan atau pedagang ikan segar. Pada Gambar 7-5 diperlihatkan skema rantai pasokan komoditas perikanan laut yang pada umumnya terjadi di pulau Jawa (Hanafiah, 1986).
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Berdasarkan hasil pengamatan Tim IPB-BPS bulan Juni dan Juli 2008 di tiga wilayah produsen ikan tangkap laut utama bagian utara Jawa Barat yaitu Kabupaten Subang, Indramayu, dan Cirebon mekanisme lelang komoditas perikanan pada TPI dilakukan. Harga dasar yang ditawarkan untuk komoditas ikan lelang kepada pembeli ditentukan oleh pihak pengelola TPI berdasarkan perkiraan dan pengamatan terhadap kondisi permintaan dan harga ikan yang berada di pasar. Ikan yang ditawarkan oleh pelelang akan dibeli oleh pembeli yang mampu membeli ikan dengan harga tertinggi dari pesaingnya. Pihak pengelola TPI pada umumnya berbadan usaha koperasi. Pada Lampiran 7-2 diperlihatkan hasil dokumentasi pengamatan Tim IPB-BPS di tiga wilayah produsen ikan tangkap laut utama bagian utara Jawa Barat. 7.2.7. Permasalahan Mutu pada Rantai Pasokan Komoditas Perikanan Laut Permasalahan mutu utama pada ikan yang dipasok di TPI dan pemasarannya adalah masalah kesegaran ikan. Kondisi mutu ikan yang dipasok tidak selalu baik. Permasalahan mutu ikan pada kegiatan pelelangan di TPI dan pemasarannya dipengaruhi oleh mutu ikan yang rendah dari nelayan, perlengkapan penyimpanan ikan sementara di TPI serta perilaku, keterampilan dan tanggung jawab pihak yang terkait dalam penanganan ikan selama berada di TPI dan rantai pemasaran. Dari tiga faktor tersebut, mutu ikan yang rendah
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
229
Komoditas Perikanan
dari nelayan merupakan faktor utama yang mempengaruhi permasalahan mutu pada ikan yang dilelang di TPI maupun pemasarannya.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Nelayan telah memiliki pengetahuan terhadap mutu ikan sehingga sortasi berdasarkan tingkat mutu ikan dilakukan oleh nelayan. Nelayan juga akan memilih dan mengelompokkan ikan yang akan dilelang berdasarkan jenis ikan dan karakteristik fisik ikan. Beberapa faktor yang mempengaruhi mutu ikan tangkapan nelayan adalah kecukupan es atau garam yang dibawa untuk mempertahankan mutu ikan yang ditangkap serta lama waktu melaut. Teknologi yang digunakan dalam penangkapan ikan, teknik penangkapan ikan, kondisi transportasi selama penangkapan ikan dan sarana penunjang penanganan ikan di kapal seperti ketersediaan cool box yang memadai, air bersih dan es termasuk faktor yang mempengaruhi timbulnya permasalahan mutu ikan pada aktifitas penangkapan ikan di laut. Dari ke empat faktor tersebut, kondisi ketersediaan sarana penunjang penanganan ikan tangkapan di kapal merupakan faktor yang sangat memengaruhi timbulnya permasalahan mutu pada aktifitas nelayan.
ht
Di berbagai TPI yang berada di Kabupaten Subang dan Indramayu belum terdapat standar mutu yang diterapkan bagi ikan yang dipasok oleh nelayan untuk dilelang. Pihak pengelola TPI telah mengetahui dan memahami standar mutu ikan yang baik namun penetapan ketentuan standar mutu pada nelayan masih sulit untuk diterapkan. Hingga saat ini seluruh ikan dengan beragam kondisi mutu ikan yang dipasok dapat diterima oleh TPI maupun pihak pembeli. Proses pengelompokan mutu oleh pihak KUD juga tidak dilakukan karena sortasi ikan telah dilakukan oleh nelayan dan pihak pembeli telah dapat menilai mutu ikan yang dilelangkan. Bagi ikan bermutu rendah nilai lelangnya juga rendah.
230
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
.id
Kelengkapan fasilitas yang mendukung kondisi kebersihan ataupun kehigienisan penanganan komoditas perikanan di TPI berupa pasokan air bersih, kondisi drainase, tempat sampah, lantai TPI, dan peralatan sanitasi telah dimiliki oleh masingmasing TPI. Setiap TPI telah menerapkan prosedur pengelolaan kebersihan TPI seperti pembersihan lokasi pelelangan setelah lelang selesai dengan menyapu kotoran dan penyemprotan lantai TPI dengan air. Walaupun demikian, kebiasaan nelayan maupun pedagang serta kondisi pengelolaan kebersihan TPI yang beragam menyebabkan kondisi kebersihan dan kehigienisan antar TPI berbeda.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Dalam menangani permasalahan mutu dan keamanan pangan komoditas dan produk ikan laut tangkap, Dinas Perikanan Daerah telah menjalankan program penyuluhan mutu maupun bantuan perlengkapan yang menunjang perbaikan mutu ikan seperti pemberian cool box kepada nelayan secara gratis. Program penyuluhan mutu oleh Ddinas Perikanan ditujukan kepada manajemen industri pengolahan ikan dan pengelola TPI atau KUD dan kelompok nelayan. Agar program perbaikan mutu komoditas dan produk perikanan melalui penyebaran informasi mutu dan keamanan produk perikanan dilakukan secara efektif dan efisien, dinas perikanan daerah menekankan agar pihak industri maupun pengelola TPI terus menerus menekankan pentingnya mutu kepada para pemasok maupun pembelinya. Dinas perikanan juga menyebarkan posterposter yang menginformasikan pentingnya mutu komoditas dan produk ikan serta keamanan pangan. Permasalahan keamanan pangan komoditas perikanan laut yang berkaitan dengan cemaran kimia atau kandungan logam berat yang terkandung pada ikan yang dipasok ke TPI masih belum menjadi sasaran dalam perbaikan mutu dan keamanan pangan komoditas perikanan laut daerah. Kondisi lembaga
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
231
Komoditas Perikanan
pengawasan mutu maupun fasilitas dan sarana pengujian mutu di daerah yang belum tersedia menjadi salah satu alasan belum memungkinkannya pengujian mutu dan pengawasan mutu secara berkala. Salah satu program Dinas Perikanan terhadap pengawasan bahaya keamanan pangan komoditas dan produk perikanan yang telah diterapkan masih terfokus pada penggunaan pengawet berbahaya seperti formalin dan borax oleh nelayan maupun pedagang.
.id
7.3. Permasalahan Dan Tantangan Pengembangan Ekspor Komoditas Dan Produk Perikanan Laut
s. go
7.3.1. Permasalahan Internal
ht
tp :// w
w
w
.b p
Permasalahan ataupun tantangan internal Indonesia untuk mengembangkan ekspor komoditas produk ikan laut meliputi beragam aktivitas yang terdapat pada sektor on farm perikanan laut hingga industri pengolahan ikan. Beragam aktivitas perbaikan kinerja produksi perikanan di sektor on farm masih sulit dilakukan karena masih terdapat banyak kendala sebagai berikut. • Sulitnya nelayan memperoleh ketersediaan peralatan dan permesinan dengan harga terjangkau. • Lemahnya tata ruang budidaya menjadi penghambat pengembangan budidaya ikan laut. • Armada perkapalan perikanan Indonesia masih didominasi oleh perahu atau kapal ukuran kecil walaupun telah terdapat peningkatan jumlah armada dan adanya pertumbuhan penggunaan armada kapal dengan bobot yang lebih besar pada periode 2001-2005 (Tabel 7-6). Armada perkapalan perikanan Indonesia juga belum didukung oleh sarana pendingin yang memadai maupun sarana pengolahan di atas kapal. Masih banyak nelayan dan pelaku bisnis yang
232
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
T abel 7-6.Perkembangan Armada Perkapalan Perikanan Indonesia Jumlah Kapal
2001
2002
2003
2004
2005
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
% Pertumbuhan (7)
T otal jumlah perahu
468,521 460,298 528,717
531,67
472,38
1,35
Perahu tanpa motor
241,714 219,079 250,469
245,92
195,08
-2,57
Perahu dengan motor
120,054 130,185 158,411
162,56
150,38
4,89
Kapal motor
106,753 111,034 119,837
123,19
126,92
5,41 3,94
KM < 5 GT
70,925
74,292
79,218
80,89
79,76
KM 5-10GT
22,641
20,208
24,358
25,56
24,44
5,34
KM 10-20GT
6,006
5,866
5,764
5,87
7,7
7,24
KM 20-30GT
3,008
3,382
3,131
3,32
4,89
11,90
781
2,685
2,338
2,49
4,33
52,38
KM 50-100GT
1,602
2,43
2,698
2,71
3,12
24,04
KM 100-200GT
1,295
1,612
1,731
1,74
2
24,04
495
559
599
610
680
17,05
s. go
KM > 200GT
.id
KM 30-50GT
(DKP, 2006)
tp :// w
w
w
.b p
berpendapat bahwa armada kapal besar yang mengolah produk perikanan di atas laut tidak akan ekonomis karena mahalnya biaya BBM, banyaknya tenaga kerja manusia yang terlibat, dan sulitnya melakukan rantai pasokan bahan bakar pembantu untuk operasi produk perikanan terpadu di atas kapal. Pengetahuan nelayan dan pengolah, maupun petugas TPI/ PPI terhadap cara penanganan dan pengolahan ikan yang baik (Good Manufacturing Practice/GMP) masih rendah sehingga tingkat kehilangan (losses) hasil tangkapan tinggi yaitu sekitar 27,8%. Terbatasnya sarana penanganan ikan di atas kapal, TPI/PPI, dan distribusi. Terbatasnya sarana pabrik es dan air bersih di TPI/PPI, serta aplikasi rantai dingin yang belum baik. Proses penguasaan dan difusi teknologi pada nelayan dan industri kecil relatif lamba Kemampuan lembaga litbang dan lembaga pengujian mutu ikan masih terbatas
ht
•
•
• •
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
233
Komoditas Perikanan
• Akses nelayan maupun industri kecil untuk memperoleh
•
•
ht
•
tp :// w
w
w
•
.b p
s. go
•
.id
•
bantuan pinjaman modal dari lembaga keuangan tidak mudah. Jaringan dan infrastruktur fisik yang mendukung industri pengolahan ikan belum sepenuhnya memadai. Dorongan terhadap penyuluhan perikanan, pelatihan dan penerapan teknologi kepada pelaku usaha budidaya untuk meningkatkan mutu dan keamanan produk perikanan belum optimal. Kurangnya dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan serta perekayasaan yang mendukung peningkatan produksi tangkapan ikan dan budidaya ikan laut. Iklim yang sulit diperkirakan menyebabkan pendugaan perikanan tangkap sulit dilakukan. Gangguan iklim dan cuaca juga merusak sejumlah peralatan nelayan dan lahan budidaya perikanan. Pengaruh gejolak harga bahan bakar minyak (BBM) memengaruhi hasil tangkapan perikanan laut, karena berdampak pada tingginya biaya operasional penangkapan ikan. Indonesia menghadapi permasalahan stok perikanan nasional. Pemanfaatan perikanan pada tahun 2007 telah mencapai 5,8 juta ton dari stok sekitar 6,4 juta ton (90,6%) yang melampaui batas pemanfaatan 80% dari total stok. Walhi memperkirakan pada tahun 2015 Indonesia memasuki krisis ikan bila ekosistem laut tidak diselamatkan. Illegal fishing di Indonesia banyak dilakukan oleh nelayan China, Filipina, dan Taiwan. Titik rawan pencurian ikan di Indonesia berada di perairan Aru, Arafuru, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Natuna. Indonesia telah aktif mengawasi perairan Indoensia, namun jumlah armada pengawas dengan kapal nelayan asing yang melakukan illegal fishing kurang memadai untuk pengawasan yang lebih optimal. Pada Gambar 7-6 diperlihatkan perkembangan
•
234
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
184 Kapal pelaku Illegal fishing yang tertangkap
128 112
Kapal pengawas
85 40 1
12
2002
6
11
2003
2004
14
16
20
2005
2006
2007
Tahun
.id
Gambar 7-6. Perkembangan penangkapan armada kapal pelaku illegal fishing (DKP, 2008)
.b p
s. go
penangkapan armada kapal asing yang melakukan illegal fishing di perairan Indonesia serta jumlah kapal pengawas illegal fishing.
ht
tp :// w
w
w
Berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh industri pengolahan ikan, dan dikompilasi dari berbagai rujukan, didaftar di bawah ini. a. Terjadinya overfishing dan banyaknya ikan tangkapan yang tidak diolah di Indonesia menyebabkan industri pengolahan ikan dalam negeri kesulitan memperoleh bahan baku. b. Kurangnya insentif dan dukungan kebijakan makro untuk pengembangan industri pengolahan dalam negeri serta adanya pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% untuk penjualan ikan kepada industri dalam negeri. Kondisi tersebut juga mendorong sulitnya bahan baku diperoleh industri pengolahan ikan. c. Bahan baku bagi industri pengolahan belum sesuai dengan standar. Sekitar 85% produksi perikanan tangkap dihasilkan oleh nelayan skala kecil dan pada umumnya kurang memenuhi standar bahan baku industri pengolahan. d. Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
235
Komoditas Perikanan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
e.
Bahan kimia berbahaya dalam penanganan dan pengolahan ikan diantaranya adalah formalin, borax, zat pewarna, CO, antiseptik, pestisida, antibiotik (chloramphenol, Nitro Furans, OTC). Substitusi bahan pengganti tersebut kurang tersedia dan peredaran bahan kimia berbahaya bebas, murah dan sangat mudah diperoleh. Daya tarik pengembangan investasi rendah. Menurut laporan LPPM-FEUI (2006) penyebab lemahnya daya tarik investasi di sektor perikanan adalah sebagai berikut. • Kemudahan dalam pengurusan impor belum ada kemajuan (Arus barang yang masuk di jalur merah relaif tinggi; keterlambatan pengiriman dokumen impor kepada bea cukai; fasilitas pelabuhan tidak memadai sehingga terjadi penumpukan antrian ke luar pabean) • Waktu untuk memperoleh restitusi ppn lama; banyak waktu tersita untuk mengurus administrasi pajak. Ratarata responden harus menyerahkan tujuh jenis tax return perbulan sedangkan di banyak negara penyerahan tax return dilakukan secara triwulan. • Infrastruktur tidak memadai dan perbaikan infrastruktur oleh pemerintah tidak pernah tuntas. • Waktu perolehan surat persetujuan dari BKPM masih cukup lama dengan rata-rata 20 hari kerja. • Hambatan makro yang menjadi faktor utama yang dipertimbangkan dalam keputusan investasi adalah makroekonomi, ketidakpastian kebijakan dan korupsi. Promosi yang dilakukan, baik promosi dagang maupun produk, masih terpaku pada event dan pasar tradisional sehingga akses ke pasar potensial lainnya belum optimal. Dalam hal ini termasuk kurangnya aliansi dengan mitra dagang di pasar potensial karena mayoritas ekspor dilakukan melalui pihak ketiga.
f.
236
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
g.
ht
.b p
tp :// w
w
w
i.
s. go
.id
h.
Informasi teknologi terbatas Terbatasnya informasi dan teknologi penanganan dan motivasi serta keinginan untuk meningkatkan pengetahuan/ ketrampilan para nelayan dan pengolah ikan masih rendah. Lemahnya jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan (quality assurance dan food safety). Sistematika kontrol dalam sistem mutu dan jaminan keamanan pada produkproduk perikanan sejak produksi ikan sampai unit pengolahan pada umumnya belum dimiliki. Pihak pengimpor produk dan komoditas perikanan Indonesia menekankan agar produk-produk perikanan yang dihasilkan memenuhi ketentuan-ketentuan seperti penerapan HACCP, Bioterorism Act, sanitasi, identifikasi cemaran logam berat dan histamin seperti pada tuna dan certificate eco labelling selain health certificate. Kurangnya intensitas promosi dan rendahnya partisipasi stakeholders. Produk perikanan yang bernilai tambah (value added products) di masyarakat belum populer. Hal tersebut disebabkan oleh masih kurangnya intensitas promosi serta rendahnya partisipasi stakeholders (khususnya produsen produk perikanan) dalam mengembangkan program promosi. Adanya kesenjangan antara kemampuan teknologi dengan sertifikasi dan standar proses yang dituntut oleh pembeli (buyer). Komitmen beberapa negara dalam mengatasi perikanan ilegal berlum efektif. Pengawasan perikanan tangkap dan penegakan hukum terhadap penangkapan ikan ilegal hingga kini belum optimal dan laju kejahatan perikanan lebih cepat dari tindakan hukum.
j.
k.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
237
Komoditas Perikanan
7.3.2.
Permasalahan Eksternal
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Persoalan mendasar dan isu-isu yang berkaitan dengan penyelenggaraan ekspor perikanan Indonesia adalah sebagai berikut. a. Hingga kini, ekspor masih difokuskan pada pasar potensial, seperti Jepang (50%), Amerika Serikat (19%), dan Uni Eropa (15%), sedangkan pasar tradisional seperti RR Cina dan Timur Tengah masih belum tergarap optimal. Kondisi tersebut dipicu kurangnya akses pasar dan promosi. Promosi yang dilakukan, baik promosi dagang maupun produk, masih terpaku pada event dan pasar tradisional sehingga akses ke pasar potensial lainnya belum optimal. Dalam hal ini termasuk kurangnya aliansi dengan mitra dagang di pasar potensial karena mayoritas ekspor dilakukan melalui pihak ketiga. b. Berkenaan dengan isu mutu produk yang terkait dengan keamanan pangan, saat ini isu yang hangat adalah soal residu antibiotik pada produk perikanan budi daya, isu “malachite green” serta kandungan logam berat pada produk ekspor. • Pada tahun 2005, Uni Eropa mengeluarkan The EU General Food Law yang salah satu isinya adalah kerangka jaminan keamanan pangan. • Di Amerika Serikat, tahun 2001 sudah dikeluarkan The Bio Terrorism Act yang melindungi warga Amerika Serikat dari produk pangan impor yang berbahaya. • Di Jepang juga ada Food Sanitary Law and The Quarantine Law yang melarang masuknya produk impor yang tidak sehat, atau berpotensi menyebabkan penderitaan bagi konsumennya. Usaha menuju perbaikan mutu produk ekspor telah diusahakan oleh pememrintah maupun industri pengekspor produk olahan perikanan. Hal tersebut dapat dicermati dari menurunnya kasus ketidaksesuaian mutu produk ekspor 238
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
perikanan Indonesia ke Eropa (Tabel 7-7) berdasarkan hasil penilaian badan komisi Uni Eropa dalam The Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) periode 2003-2006. Penegasan pemerintah terhadap tercapainya jaminan mutu dan keamanan pangan dilakukan dengan menghentikan izin ekspor perusahaan eksportir yang menghasilkan produk tidak memenuhi standar produk ekspor terutama ke wilayah negara-negara Uni Eropa.
H istamin Logam Berat
21 20
3 4
5 17
CO M ikrobiologi
4 6
Komoditas Senyawa Spesifik (5) (6) Udang Nitrofuran, Chloramfenikol Ikan Lele/Patin, Ikan Bandeng, Malachite Green Ikan Mas, Ikan Nila Belut/Sidat Malachite Green + Crystal Violet Ikan Tuna Ikan Marlin, C umi-cumi, Lobster, Ikan Hiu, Ikan Setan (Butterfish)
s. go
2006 (4) 9
.b p
Tahun 2005 (3) 5
w
2004 (2) 10
tp :// w
w
Parameter (1) Obat-obatan
.id
Tabel 7-7. Notifikasi RASFF Pada Produk Perikanan Indonesia Tahun 2004-2006
3
ht
21 6
TOTAL (DKP, 2007)
61
39
Ikan Tuna Udang
Ikan Tuna
TPC, Salmonella sp., V. parahaemolyticus , V. cholerae , Pseudomonas sp., Shigella sp. TPC
34
Selama 2007 pemerintah telah mencabut izin ekspor komoditas perikanan ke Uni Eropa (UE) kepada lebih dari 250 perusahaan perikanan karena tidak memenuhi standar kualitas yang ditentukan. Dari sekitar 400 perusahaan perikanan saat ini hanya 133 perusahaan yang dapat melakukan ekspor ke UE. Penanganan dan perbaikan jaminan dan keamanan mutu produk perikanan Indonesia
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
239
Komoditas Perikanan
w
w
tp :// w
ht
d.
.b p
s. go
.id
c.
telah mulai diterapkan, namun akibat beragam kasus mutu dan keamanan pangan produk perikanan Indonesia sebelumnya telah berdampak pada belum pulihnya kepercayaan negara pengimpor terutama UE terhadap mutu produk perikanan Indonesia saat ini. Isu tarif dan anti dumping • Tuduhan dumping di pasar Amerika Serikat terhadap berbagai produk perikanan Indonesia • Pada tahun Adanya diskriminasi tarif bea masuk (BM) produk perikanan di pasar AS dan Uni Eropa. Uni Eropa mengenakan tarif bea masuk untuk produk perikanan Indonesia sebesar 7-24 persen, sementara untuk negaranegara ACP (Africa, Carribea, and Pacific) ditetapkan nol persen. Tarif BM tuna Indonesia ke AS besarnya 8 persen. Tarif BM di Uni Eropa untuk tuna sebesar 12 persen untuk volume kuota 2.750 ton. Namun, jika melebihi kuota, tarifnya menjadi 24 persen. Berbagai isu yang terkait dengan lingkungan Isu-isu yang terkait dengan masalah lingkungan berfokus pada usaha perikanan yang berkelanjutan. Isu tersebut memiliki implikasi yang luas, tidak semata adanya tuntutan teknis seperti adanya statistik perikanan yang dapat dipercaya (reliable), pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang teratur, menghindari praktik penangkapan ikan yang merusak, tetapi juga tuntutan politis seperti keharusan untuk ikut serta berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya perikanan regional dan internasional. Berikut ini merupakan hal-hal yang terkait dengan isu-isu lingkungan industri perikanan. • Proses produksi perikanan harus ramah lingkungan. • FAO telah mengeluarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). • Telah ditetapkan International Plan of Action for IUU Fishing untuk mencegah praktik perikanan illegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan. 240
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
• Ecolabelling untuk produk perikanan melalui Marine e.
w
.b p
s. go
.id
f.
Steward Council (MSC). Isu strategi dan taktik perdagangan • Selama ini Indonesia sangat tergantung pada pasar Jepang, yakni sekitar 50 persen dari total ekspor perikanan Indonesia, sisanya adalah pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa. • Primadona ekspor Indonesia juga masih bergantung pada udang dan tuna. Isu etika Isu tersebut terkait dengan siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam promosi ekspor perikanan. Promosi ekspor perikanan seharusnya terkait dengan desain pemberdayaan nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil, sehingga mereka pun dapat menikmati keuntungan dari promosi ekspor tersebut.
ht
tp :// w
w
7.4. Strategi Pengembangan Nilai Tambah Produk Dan Ekspor Perikanan Laut Indonesia 7.4.1. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Pengembangan Ekspor Komoditas Ikan Laut Indonesia
a.
Kekuatan (Strength)
Terdapat beberapa aspek yang berpengaruh besar terhadap daya saing komoditas ikan laut Indonesia untuk ekspor, yaitu sebaran daerah produksi yang luas, volume produksi besar, dan terdapat keanekaragaman jenis ikan yang dapat dihasilkan. Aspek yang menjadi kekuatan lainnya yang memberikan pengaruh cukup besar teradahap daya saing ikan adalah kekhasan atau eksotisme spesies-spesies ikan yang dimiliki,
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
241
Komoditas Perikanan
keterlibatan tenaga kerja yang memadai, serta dukungan regulasi pemerintah. b. Kelemahan (Weakness)
s. go
.id
Aspek kelemahan yang memberikan pengaruh cukup besar terhadap daya saing adalah tingkat kerusakan atau kehilangan pasca panen masih tinggi, biaya produksi atau operasional pada kegiatan penangkapan ikan maupun industri pengolahan ikan tinggi, serta ketersediaan pranata dasar yang masih lemah. Aspek kelemahan lain terdiri dari belum memadainya sarana penunjang kemudahan penanganan pasca panen, mutu produk tidak seragam, penyediaan infrastruktur dan sarana produksi bagi industri kurang memadai, serta biaya ekspor yang cukup tinggi walaupun pengaruhnya terhadap daya saing kecil.
.b p
c. Peluang/Kesempatan (Opportunity)
ht
tp :// w
w
w
Peluang yang memberikan pengaruh pada daya saing yang cukup besar adalah adanya peningkatan permintaan produk ikan dunia maupun dalam negeri serta peluang pengembangan produk yang besar. Peluang lain yang dimiliki namun pengaruhnya terhadap daya saing ikan tidak terlalu besar adalah adanya perluasan areal produksi, perencanaan pengembangan wilayah produksi, pengembangan teknologi pengolahan, serta kekhasan dan eksotisme ikan yang dimiliki. d. Ancaman (Threat) Ancaman yang berpengaruh besar terhadap daya saing ikan adalah terjadinya peningkatan produksi pesaing dan sertifikasi mutu produk ekspor ikan. Ancaman yang berpengaruh kecil adalah berkurangnya areal produksi, terjadinya perubahan iklim, hambatan non tarif, kesulitan dalam penyediaan modal produsen, serta hambatan pada akses pasar internasional.
242
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
7.4.2. Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas Perikanan Laut Indonesia Faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap pencapaian pemantapan dan peningkatan ekspor komoditas ikan adalah faktor produksi, persaingan, faktor hambatan non tarif dan kebijakan ekspor. Urutan pengaruh faktor lainnya yaitu transportasi dan hambatan non tarif. Dengan tingginya nilai faktor produksi, persaingan, kebijakan ekspor dan faktor hambatan non tarif, maka keempat faktor tersebut merupakan permasalahan utama yang perlu mendapat prioritas perbaikan.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Berdasarkan subfaktor pelaku atau aktor yang berpengaruh terhadap faktor utama yang mempengaruhi pencapaian pemantapan dan peningkatan ekspor komoditas, maka aktor yang sangat berpengaruh adalah produsen dan asosiasi. Untuk faktor produksi, selain produsen dan asosiasi, urutan pengaruh peran aktor berikutnya adalah eksportir, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan importir. Pada faktor kebijakan ekspor, selain produsen dan asosiasi, urutan pengauh peran aktor berikutnya adalah eksportir, importir, pemerintah pusat, kemudian pemerintah daerah. Aktor yang mempengaruhi faktor persaingan setelah produsen dan asosiasi adalah eksportir, pemerintah pusat, pemerintah daerah, kemudian importir. Urutan pengaruh aktor yang sama juga terdapat pada faktor transportasi, hambatan tarif dan hambatan non tarif (Deperin, 2007). Dari hasil analisa yang diperoleh, strategi utama untuk pengembangan ekspor produk perikanan adalah peningkatan produksi ikan dan hasil-hasil olahan ikan melalui berbagai perbaikan teknologi, keterampilan sumberdaya manusia dan peralatan penangkapan ikan; peningkatan mutu komoditas dan produk-produk hasil olahan ikan; disusul oleh strategi perbaikan kebijakan dan penurunan biaya ekspor; peningkatan efisiensi biaya poduksi melalui berbagai perbaikan kinerja ekspor; serta perluasan pemasaran dan penyediaan dana subsidi ekspor. Secara lebih lengkap strategi pengembangan ekspor komoditas dan produk perikanan laut Indonesia didaftar pada Tabel 7-8.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
243
Komoditas Perikanan
T abel 7-8. Strategi Pengembangan Ekspor Komoditas dan Produk Perikanan Laut Indonesia (Adaptasi dari Deprin (2007) dan DKP (2007)) No 1
Strategi Operasional Program Aksi Peningkatan produksi Peningkatan produktiv itas hasil tangkapan
Langkah-langkah Mendorong tumbuhnya modifikasi dan inov asi
tangkapan perikanan dan perbaikan teknologi
teknologi penangkapan dan pengolahan hasil laut
produksi serta peralatan budidaya perikanan laut dan industri
Subsidi BBM atau penyediaan bahan bakar alternatif y ang lebih murah bagi nelayan Bantuan kredit lunak bagi nelayan Meningkatkan jumlah kapal dalam negeri berukuran besar (di atas 100GT) untuk memasuki w ilayah ZEE Mendorong industri pendukung dalam negeri untuk memproduksi mesin peralatan
.id
penangkapan Mendorong kemitraan antara nelayan dengan industri pengolahan hasil laut
s. go
Adany a jaminan ketersediaan bahan baku bagi industri olahan dengan mutu dan jumlah
Pengembangan klaster industri perikanan Pemberian ijin penangkapan ikan y ang
.b p
y ang baik dan kontiny u
tp :// w
w
w
Pengembangan infrastruktur pendukung perikanan dan industri pengolahan
ht
Pengembangan teknologi kelautan Pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan Pengembangan budiday a perikanan laut
disertai ijin pengolahan ikan di dalam negeri Pembangunan infrastruktur dan sarana pelabuhan serta pengolahan hasil laut dan pengolahan limbahnya Pembangunan pabrik es di sentra penangkapan ikan serta sarana penunjang bagi penerapan sistem rantai dingin Peny ediaan SPBU kapal di sentra penangkapan ikan Penerapan Bio-teknologi kelautan Pengembangan Industri Deep Sea Water Peny ediaan insentif dari pemerintah untuk kemudahan budiday a Peningkatan kemampuan teknologi, memperluas akses terhadap informasi, serta
2
Peningkatan mutu
Penerapan Good Aquaculture Practices
komoditas dan produk perikanan
(GAP)
akses pendanaan bagi pengembangan budiday a laut Sosialisasi pedoman GAP
Peningkatan teknologi mesin, perkapalan, sarana penangkapan dan pengawetan hasil laut y ang mendukung penerapan GMP dan HAC CP
244
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
Program Aksi Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan HACCP pada industri
Langkah-langkah Sosialisasi pedoman GMP dan HACCP Pembinaan dan pengawasan oleh instansi
pengolahan hasil perikanan
berwenang untuk menangani ketidakpedulian atau sikap mental pelaku usaha yang buruk terhadap etika bisnis yang menyangkut mutu dan keamanan produk olahan perikanan yang dihasilkan Penetapan standar mutu produk perikanan sesuai SNI dan standar internasional Sertifikasi dan apresiasi mutu produk
Standarisasi mutu produk
w
(farmasi, kosmetik) Perbaikan kebijakan dan Kebijakan perlindungan tata ruang dan daerah Pemberantasan illegal fishing dan penurunan biaya ekspor penangkapan transhipment
ht
tp :// w
3
w
.b p
s. go
Peningkatan nilai tambah produk
perikanan dan produk olahannya Pengembangan lembaga sertifikasi mutu produk perikanan Insentif bagi pengembangan produk olahan yang dihasilkan oleh UKM atau industri kecil Pengembangan ragam olahan produk perikanan melalui kegiatan litbang Pengembangan produk perikanan untuk produk pangan fungsional dan non pangan
.id
Tabel 7-8. Lanjutan No Strategi Operasional
4
Peningkatan efsiensi biaya produksi melalui peningkatan keterampilan kinerja sumberdaya manusia, penguasaan teknologi serta penguatan
Peningkatan keterampilan, teknis, keahlian dan manajemen usaha
kelembagaan perikanan.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Penetapan zona tangkapan ikan Penegakkan hukum tata ruang wilayah pesisir dan kepulauan Perbaikan Sistem dan Manajemen Ekspor Menggalakkan produksi perikanan dan kelautan melalui pembangunan berkelanjutan Meningkatkan keterampilan nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan maupun pasca panen Meningkatkan peran Litbang di bidang pengawetan, pengolahan dan kemasan Pengembangan sistem penyuluhan serta perekrutan dan pemberdayaan penyuluh Pemberdayaan nelayan dalam kelembagaan perikanan secara partisipatoris
245
Komoditas Perikanan
Tabel 7-8. Lanjutan No
Strategi Operasional
Program Aksi Langkah-langkah Penguatan kelembagaan kelompok produsen Pelatihan kemampuan manajerial pengurus perikanan (asosiasi atau koperasi) kelompok/koperasi pelaku usaha perikanan Peningkatan peran BDS (Business Development Services ) bagi peningkatan kemampuan bisnis industri pengolahan hasil perikanan Mempermudah akses pelaku usaha terhadap informasi teknologi
Penguasaan teknologi
Peningkatan kapasitas Gabungan Pengusaha Pengembangan dan peningkatan peran dan Perikanan Indonesia (GAPPINDO) fungsi GAPPINDO
inovasi produk Meningkatnya ekspor rata-rata 5,0% per tahun
s. go
Perluasan pemasaran dan penyediaan dana
Peningkatan ekspor
.b p
5
Pengembangan jejaring industri dengan universitas dan lembaga penelitian untuk
.id
Peningkatan sinergi lembaga penunjang
tp :// w
w
w
subsidi untuk ekspor
Aliansi strategis dengan importir utama produk perikanan dunia Meningkatkan jaringan pemasaran Diversifikasi pasar ekspor produk perikanan
ht
Peningkatan pangsa pasar ekspor
Membangun merek lokal di pasar internasional
246
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
DAFTAR PUSTAKA
______. 2008. Izin 250 Perusahaan Ekspor Ke UE Dicabut. Waspada Online. Rabu, 27 Pebruari 2008. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap tahun 2004-2005. http:// www.bps.go.id [6-3-2008] Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perdagangan. 2006. Portofolio Komoditas Perikanan. Deperindag, Jakarta.
s. go
.id
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2006. Analisa Pasar Perikanan Luar Negeri Periode Januari 2006. http://www.dkp.go.id/
tp :// w
w
w
.b p
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Posisi Terkini Perdagangan Hasil Perikanan Indonesia di Uni Eropa Dan Rencana Kunjungan Menteri Kelautan Dan Perikanan. Berita Pengolahan dan Pemasaran 11/04/07. http://www.dkp.go.id/ content.php? c=3838 [6-3-2008].
ht
European Communities, 2007. The Rapid Alert System for Food & Feed (RASFF) Anual Report 2006. [FAO] Food and Agriculture Organization. 20007. Seafood production and international trade: Global trends. FAO-CIHEAM course, Zaragoza, Spain. November 2007. http://www.fao.org. Genisa, A.S. 1999. Pengenalan Jenis-Jenis Ikan Laut Ekonomis Penting di Indonesia. Oseania Vol. XIV:1 pp 17-38. Grahadyarini, BML. 2008. Menyikapi Kemelut Perikanan. Kompas, 10 April 2008. Huseini, M. 2007. Masalah Dan Kebijakan Peningkatan Produk Perikanan Untuk Pemenuhan Gizi Masyarakat.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
247
Komoditas Perikanan
Makalah pada Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia, Kamis, 21 November 2007. Kompas, 2008. Industri Perikanan Tertinggal Jauh. Kompas, Jumat 8 Februari 2008. Suboko. B. 2005. Indonesian Fishery Industry: Development Road Map, Jakarta: Indonesian Fisheries Federation (GAPPINDO)
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Sumaryanto, H.Y Rosadi, P Darmoyuwono. Editor. 2006. Kebijakan Peningkatan Kemampuan Teknologi di Industri Pengolahan Ikan. Penerbit BPPT. Jakarta.
248
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
Lam piran 7-1. Jenis Ikan Laut Bernilai Ekonom i P enting di Indonesia No 1
Jenis Ikan M any ung
Daerah P enyebaran di Indonesia Lepas pantai S umatera, Jaw a, K alimantan, S ulaw esi S elatan, dan A rafura
2
Triger cepluk
B any uw angi dan N usa P enida
3
C endro
S elatan Jaw a B arat, S umatera dan S elat Sunda
4
P uka Putih
P erairan karang seluruh Indonesia
5
Ikan K uw e
P erairan dangkal dan perairan karang Indonesia
6
Ikan K w ee
Terumbu karang Indonesia
7
K w ee ramping
Terumbu karang Indonesia
8
K w ee rombeh
P antai seluruh Indonesia
9 10
K w ee mancan Lay ang
P antai dan terumbu karang Indonesia Laut Jaw a, S elat M akassar, S elay ar , A mbon, S elat B ali, S elat S unda, S elat
11
Lay ang deles
S elat B ali, Laut B anda, A mbon, S elat M akassar, S angihe
12
S elar kuning
P antai seluruh Indonesia
13
S elar tetengkek
P antai dan perairan karang seluruh Indonesia
14
S elar bentong
P erairan pantai seluruh Indonesia
15
C ipa-cipa
P erairan pantai seluruh Indonesia
16 17
Daun bambu B aji-baji
P erairan pantai seluruh Indonesia P erairan pantai seluruh Indonesia
18
Talang-talang
P erairan pantai seluruh Indonesia
19
S alem
P erairan pantai, terumbu karang Indonesia
20
C ucut
P erairan seluruh Indonesia
21
C ucut malam
P erairan pantai, lepas pantai seluruh Indonesia
22
P arang-parang
P erairan pantai seluruh Indonesia
23
K akap
24
Terubuk
25
S elangat
26
Gemprang
27
S ardin
S eluruh perairan Indonesia
28
Tembang
S eluruh perairan Indonesia
29
Lemuru
S elat B ali, Selatan S umbaw a, K alimantan U tara
30
Japuh
S eluruh perairan Indonesia
31
Teri
S eluruh perairan pantai Indonesia
32
Lemadang
P antai lepas, seluruh perairan Indonesia
33 34
K etang-ketang B andeng lelaki
P erairan karang seluruh Indonesia S eluruh pantai Jaw a, Sumatera, seluruh Indonesia
35
B ulan-bulan
P erairan pantai terutama Jaw a, S umatera, K alimantan, S ulaw esi S elatan, A rafuru
36
B ulu ay am bangkok
P antai Jaw a, S umatera bagian Timur, sepanjang K alimantan, S ulaw esi S elatan, A rafuru
37
B ulu ay am cakang
P antai Jaw a, S umatera bagian Timur, sepanjang K alimantan, S ulaw esi S elatan,
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
M adura, S elat M alaka, Laut Flores, A rafuru
P antai utara Jaw a, S umatera bagian timur, K alimantan, S ulaw esi S elatan, A rafuru P antai dan muara sungai Laut Jaw a, S umatera bagian Timur, S epanjang pantai
ht
K alimantan, A rafuru S eluruh Indonesia kecuali S elatan Jaw a dan barat S umatera P antai dan muara sungai Laut Jaw a, S umatera, S ulaw esi S elatan, K alimantan, dan A rafuru
A rafuru
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
249
Komoditas Perikanan
Lampiran 7-1. Lanjutan Jenis Ikan Bulu ay am geleberang Ikan terbang
M uara sungai Selat Makasar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda, Laut Flores, Laut Sawu
40
Bawal hitam
Laut Jawa, Selat Malaka, perairan Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru
41
Kapas-kapas
Laut Jawa, bagian timur Sumatera, pantai Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru
42
Nomei
M uara sungai Laut Jawa, bagian timur Sumatera, pantai Kalimantan, Sulawesi
43
Julung-julung
Selatan Lepas pantai Indonesia timur (Laut Flores, Selat Makssar, Laut Maluku, Laut
44
Layaran
Banda), dan perairan perbatasan Samudera Indonesia Selat Bali, Selatan Jawa-Pelabuhan Ratu, Laut Flores, Selat M akassar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, Barat Sumatera
45 46
Setuhuk putih Setuhuk hitam
Pantai, lepas pantai, laut dalam perairan Indonesia Selat Sunda, Barat Sumatera, Selatan Jawa, Selat Makassar, Laut Flores, Laut
47
Kasin madu
Banda, Laut M aluku, Laut Sulawesi, Laut Sawu, Selat Bali Pantai timur Sumatera, U tara Jawa, sepanjang pantai Kalimantan, Sulawesi
48
Kakap iodi
Selatan, Arafuru Perairan dangkal/karang
49
Ikan lemah
Laut Jawa, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru ke utara Australia
50 51
Peperek cina Peperek topang
Laut Jawa, bagian timur Sumatera, Laut Cina Selatan, utara Australia Laut Jawa, pantai Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru
52 53
Peperek bondolan Lencam merah
Laut jawa, pantai timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Laut Cina Selatan Pantai, karang seluruh Indonesia
54 55
Lencam matahari Sikuda
56 57 58
Kakap merah Tanda-tanda Tanda-tanda batu
59 60
Ikan merah Bambangan
Perairan pantai seluruh Indonesia sampai Teluk Benggala Perairan pantai seluruh Indonesia sampai Teluk Benggala
61 62
Tambangan Jenaha
Hutan bakau perairan panrai seluruh Indonesia Perairan karang seluruh Indonesia
63 64
Jambian Gorara
M uara sungai pantai seluruh Indonesia Perairan pantai seluruh Indonesia sampai Teluk Benggala
65 66
Gorara gigi anjing Ekor kuning
Perairan karang seluruh Indonesia, sampai Teluk Benggala Perairan karang, dangkal seluruh Indonesia
67 68
Pisang-pisang merah Pisang-pisang biru
Perairan karang, dangkal seluruh Indonesia Seluruh perairan Indonesia hingga Teluk Benggala
69 70
Belanak Biji nangka
Seluruh perairan pantai Indonesia Pantai karang seluruh perairan Indoneisa
71
Kuniran
Perairan karang seluruh Indonesia
250
Daerah Penyebaran di Indonesia
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
No 38 39
Perairan pantai seluruh Indonesia, melebar ke Teluk Siam Perairan pantai seluruh Indonesia, sampai ke Teluk Benggala
ht
Perairan Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru dan Indo Pasifik Pantai karang Indonesia meluas ke Teluk Benggala Pantai karang Indonesia dan Indo Pasifik
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Perikanan
Lampiran 7-1. Lanjutan No Jenis Ikan 72 Kerondong 73 Remang 74 Kurisi Kurisi cambuk ganda Sembilang
77
Senangin
78 79 80 81 82
Kambing-kambing tutul Krot-krot M ata besar C ucut gergaji Langkau
83
Pari kekeh
84 85 86 87
Pari burung Kakatua Gulamah Tiga w aja
88
Samgeh
89
Samgeh gogokan
90
Jarang gigi
91 92
Kerokot Kembung lelaki
93
Kembung betina
94 95 96 97 98 99
Tongkol Komo C akalang Tengggiri Tenggiri batang Tenggiri papan
100 101 102
Slengseng Albakora M adidihang
103
Tuna mata besar
H ampir seluruh perairan Indonesia terus ke utara hingga Tteluk Siam Di dasar lumpur panrai laut Jaw a, Selat M alaka sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Tenggara, Laut Arafuru, ke Laut C ina Selatan Laut Jaw a, Sumatera bagian timur, sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Arafuru ke U tara Perairan dangkal / karang seluruh Indonesia Laut Jaw a, pantai timur Sumatera, Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Arafuru Laut Jaw a, pantai Sumatera, Kalimantan, Sulaw esi, M aluku, Arafuru ke Selatan Di dasar seluruh perairan Indonesia, kadang masuk ke muara sungai Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Arafuru ke utara Pantai dan lepas pantai perairan Indonesia
.id
75 76
Daerah Penyebaran di Indonesia Perairan karang seluruh Indonesia Pantai, lepas pantai, pantai karang seluruh Indoneisa Laut Jaw a, patai timur Sumatera sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Arafuru
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Seluruh perairan tropis Indonesia Perairan pantai dan terumbu karang seluruh Indonesia Perairan pantai Indonesia Patai laut Jaw a, bagian timur Sumatera, Sulaw esi Selatan, sepanjang pantai Kalimantan, Arafuru Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Arafuru Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Arafuru Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Arafuru Pantai seluruh Indonesia H ampir seluruh pantai Indonesia, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Laut Jaw a, Selat M alaka, Sulaw esi Selatan, Arafuru H ampir seluruh pantai Indonesia, Kalimantan, Sumatera barat, Laut Jaw a, Selat M alaka, Sulaw esi Selatan, M una-Button, Arafuru Seluruh perairan Indonesia Perairan Indoneisa Timur dan Samudera Indonesia Indonesia timur, Selatan Jaw a, Barat Sumatera Seluruh perairan Indoensia Pantai dan lepas pantai seluruh Indonesia Perairan pantai seluruh Indoensia Selat Bali Samudera Indonesia, Samudera Pasifik Tengah Barat Samudera Pasifik Tengah, Laut Banda, Laut Sulaw esi, Samudera Indoensia, Selat Sunda, Laut M aluku, Barat Sumatera Laut Banda, Laut M aluku, Laut flores, Laut Sulaw esi, Samudera Indoensia, U tara Papua
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
251
Komoditas Perikanan
Lampiran 7-1. Lanjutan No Jenis Ikan 104 Abu-abu
Daerah Penyebaran di Indonesia Seluruh daerah pantai dan lepas pantai Indoensia
Kerapu bebek Kerapu karang Kerapu baling Kerapu lumpur Baronang
Perairan dangkal dan karang seluruh Indonesia Perairan pantai karang seluruh Indonesia Pantai dan karang seluruh Indonesia Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, Arafuru Seluruh perairan dangkal dan karang Indonesia
110 111 112 113 114
Baronang kuning Lingkis Rejum Alu-alu Kucul
Seluruh perairan dangkal dan karang Indonesia Seluruh perairan dangkal dan karang Indonesia Seluruh perairan dangkal dan karang Indonesia Pantai dan lepas pantai seluruh Indonesia Seluruh perairan Indonesia
115 116 117
C ucut marti Baw al putih Beloso
118
Kepala busuk
Seluruh perairan Indonesia Laut Jaw a, Bagian Timur Sumatera, Sulaw esi Selatan, Selat Tow oro, Arafuru Laut Jaw a, Sumatera bagian Timur, sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Arafuru, Teluk Kelono, sampai pantai India Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Selat
119
Kerong-kerong
120 121
Layur Pari kelapa
122
Pari kembang
123
Pari kampret
124
Pari totol
125
Ikan pedang
252
s. go
.id
105 106 107 108 109
w
w
.b p
Tow oro, Laut Arafuru Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Selat Tow orom Laut Arafuru Seluruh perairan pantai Indonesia Laut Jaw a, Sumatera, Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Arafuru
ht
tp :// w
Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Selat Tow oro, Laut Arafuru Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulaw esi Selatan, Selat Tow oro, Laut Arafuru Laut Jaw a, bagian timur Sumatera, sepanjang Kalimantan Sulaw esi Selatan, Selat Tow oro, Laut Arafuru Laut dalam perairan Indonesia
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komoditas Perikanan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
253
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komoditas Perikanan
254
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
s. go
.id
Pengkajian Komoditas Strategis Minyak Tanah di Indonesia
.b p
Penulis:
ht
tp :// w
w
w
DR. Budiasih Erni Tri Astuti Agung Priyo Utomo
Komoditas Minyak Tanah
8.1. Pendahuluan 8.1.1. Latar Belakang
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Sejak tahun 2006 isu kelangkaan BBM khususnya minyak tanah terus menjadi berita di koran-koran di tanah air. Kenapa BBM menjadi isu paling menarik dan strategis yang memiliki kekuatan besar didalam politik pemerintahan? Karena komoditas tersebut adalah faktor produksi primer untuk melaksanakan aktvitas rutin. Sebagai faktor produksi, komoditas itu akan berkorelasi dengan efisiensi dan efektivitas hasil yang dapat diperoleh dari proses aktivitas individu ataupun institusi. Semakin tinggi nilai faktor produksi maka semakin minimal juga output yang dapat dihasilkan dari proses aktivitas. Sehingga setiap individu akan berharap pada kondisi optimum dimana nilai komoditas tersebut berada pada titik efisien sehingga hasil yang diperoleh dari proses aktivitas pun menjadi maksimal. Logika sosial ekonomi ini juga menjadi input model yang mempengaruhi logika sosial politik dalam negara, dimana komoditas inti tersebut berhubungan dengan kebutuhan alamiah setiap individu dan organisasi. Karenanya konsumsi atas BBM tersebut menjadi satu hal yang tidak dapat tergantikan, sekalipun harganya meningkat. Produksi minyak mentah dunia yang cenderung menurun, sedangkan konsumsi terus meningkat, secara teori mengakibatkan harga minyak mentah terus merangkak naik. Tekanan harga tersebut dinilai tidak cukup efektif untuk mengerem konsumsi, terutama karena adanya kebijakan subsidi di negara-negara berkembang. Sementara itu, BP Statistical Review of World Energy yang diterbitkan Juni 2008 menyebutkan, konsumsi minyak dunia tumbuh 1,1 persen pada 2007. Sementara produksi minyak untuk pertama kali turun 0,2 persen atau 130.000 barrel per hari. Penurunan produksi ini terjadi pertama kalinya sejak tahun 2002.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
259
Komoditas Minyak Tanah
Konsumsi minyak terutama tumbuh di negara-negara produsen dan pengekspor minyak, seperti Timur Tengah, Amerika tengah dan selatan, Afrika, dan kawasan perekonomian yang sedang tumbuh, seperti China. Sebaliknya, di negaranegara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), antara lain Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Jepang, konsumsi minyak turun.
.b p
s. go
.id
Pada 2007 konsumsi minyak di kawasan OECD turun 390.000 barrel per hari, sedangkan di kawasan non-OECD tumbuh 1,4 juta barrel per hari. Kawasan non-OECD memang menyumbang lebih dari 40 persen pertumbuhan ekonomi global. Ruehl menjelaskan, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang relatif lebih menyedot energi dibandingkan dengan pertumbuhan di negara maju.
ht
tp :// w
w
w
Tren konsumsi di negara berkembang tidak sensitif terhadap kenaikan harga minyak dunia. Menurut Chief Economist BP Plc Christof Ruehl, hal ini disebabkan pola subsidi harga minyak yang diterapkan banyak pemerintah negara berkembang. Kondisi ini antara lain tampak di India, Thailand, dan Indonesia. Di Indonesia, konsumsi BBM terus mengalami peningkatan. BPH Migas mengungkapkan hasil verifikasi menunjukan konsumsi BBM sebesar 10,4 persen diatas kuota APBN-P hingga akhir Juni 2008. Menurut Kepala BPH Migas, ada beberapa penyebab kenaikan konsumsi BBM tersebut. Pertama adalah terjadinya pertumbuhan kendaraan bermotor yang mengkonsumsi BBM. Kedua beralihnya pengguna Pertamax ke Premium. Ketiga terjadi penyalahgunaan pada sektor industri dan pertambangan. Hal ini pula yang memicu adanya kebijakan menaikan harga BBM, sementara itu dengan harga minyak dunia yang semakin meningkat maka biaya subsidi atas harga
260
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
BBM untuk konsumsi dalam negeri juga semakin meningkat dan membebani APBN. Pada tahun 2006 produksi minyak tanah dalam negeri sebesar 8,545 juta sedangkan kebutuhan minyak tanah dalam negeri mencapai 10,023 juta sehingga saat ini masih dilakukan impor sebesar 2,111 juta termasuk untuk cadangan sebesar 633,881 ribu kilo liter.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Permasalahan yang saat ini dihadapi Indonesia dalam penyediaan energi, khususnya bahan bakar minyak adalah tingginya subsidi yang harus ditanggung pemerintah, khususnya subsidi terhadap minyak tanah. Hal ini menyebabkan adanya pemborosan yang sangat besar jika subsidi bahan bakar minyak diteruskan (subsidi bahan bakar minyak pada tahun 2006 sebesar Rp. 64,212 trilyun, khususnya minyak tanah sebesar Rp. 31,58 trilyun). Alasan ini pula yang memicu adanya Kebijakan Energi Nasional antara lain melalui diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap Bahan Bakar Minyak, khususnya minyak tanah, untuk dialihkan ke LPG. Alasan lainnya adalah bahwa pengeluaran subsidi untuk LPG jauh dibawah minyak tanah. Disamping alasan-alasan tersebut, penggunaan LPG dinilai dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan minyak tanah dan mempunyai gas buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Pemerintah berharap bahwa pengurangan penggunaan minyak tanah akan bermanfaat karena: Pertama, Peningkatan potensi nilai tambah minyak tanah menjadi bahan bakar avtur; Kedua, pengurangan penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi; Ketiga, penataan sistem penyediaan dan pendistribusian bahan bakar bersubsidi untuk mengamankan APBN akibat penyalahgunaan serta kelangkaan.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
261
Komoditas Minyak Tanah
8.1.2.
Pertanyaan Penelitian
Perumusan masalah penelitian ini dituangkan dalam beberapa pertanyaan penelitian berikut: a. Bagaimana sebenarnya gambaran umum dari komoditas minyak tanah di Indonesia ? b. Bagaimana perbandingan antara antara ketersediaan dan kebutuhan minyak tanah di Indonesia? c. Apa yang menyebabkan terjadinya kelangkaan minyak tanah di Indonesia? Tujuan Penelitian
.id
8.1.3.
8.2.1.
ht
8.2. Metodologi
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai komiditas minyak tanah, mulai dari proses produksi sampai dengan distribusi dan konsumsi komoditas tersebut. b. Memperoleh gambaran secara umum mengenai konversi minyak tanah c. Mengetahui sumber terjadinya kelangkaan minyak tanah.
Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh pada saat peneliti melakukan penelitian ke lapangan. Sampel wilayah yang menjadi perhatian peneliti adalah, Cepu (Jawa Tengah), Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Plaju (Sumatera Selatan). Data sekunder berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah: Pertamina, Departemen Energi dan Sumberdaya
262
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
Mineral (ESDM), BPH Migas, BP Migas, dan Sumber lain yang relevan. 8.2.2.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, dengan menggunakan teknik tabel dan grafik untuk memperjelas hasil dan pembahasan.
.id
8.3. Kondisi Produksi Dan Distribusi Minyak Tanah Komposisi dan Proses Produksi Minyak Tanah
s. go
8.3.1.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Minyak tanah (kerosene) berasal dari minyak bumi yang telah melalui beberapa proses. Minyak tanah (bahasa Inggris: kerosene atau paraffin) adalah cairan hidrokarbon yang tak berwarna dan mudah terbakar. Dia diperoleh dengan cara distilasi fraksional dari minyak bumi pada 150°C and 275°C (rantai karbon dari C12 sampai C15). Pada suatu waktu dia banyak digunakan dalam lampu minyak tanah tetapi sekarang utamanya digunakan sebagai bahan bakar mesin jet (lebih teknikal Avtur, Jet-A, Jet-B, JP-4 atau JP-8). Sebuah bentuk dari kerosene dikenal sebagai RP-1 dibakar dengan oksigen cair sebagai bahan bakar roket. Nama kerosene diturunkan dari bahasa Yunani keros (êåñùó, wax). Biasanya, kerosene didistilasi langsung dari minyak mentah dan membutuhkan perawatan khusus dalam sebuah unit Merox atau hidrotreater, untuk mengurangi kadar belerangnya dan pengaratannya. Kerosene dapat juga diproduksi oleh hidrocracker, yang digunakan untuk mengupgrade bagian dari minyak mentah yang akan bagus untuk bahan bakar minyak. Penggunaanya sebagai bahan bakar untuk memasak terbatas
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
263
Komoditas Minyak Tanah
di negara berkembang, di mana dia kurang disuling dan mengandung ketidakmurnian dan bahkan “debris”.
.id
Sedangkan minyak bumi (bahasa Inggris: petroleum, dari bahasa Latin petrus – karang dan oleum – minyak), dijuluki juga sebagai emas hitam, adalah cairan kental, coklat gelap, atau kehijauan yang mudah terbakar, yang berada di lapisan atas dari beberapa area di kerak Bumi. Minyak bumi terdiri dari campuran kompleks dari berbagai hidrokarbon, sebagian besar seri alkana, tetapi bervariasi dalam penampilan, komposisi, dan kemurniannya.
s. go
a. Komposisi
ht
tp :// w
w
w
.b p
Komponen kimia dari minyak bumi dipisahkan oleh proses distilasi, yang kemudian, setelah diolah lagi, menjadi minyak tanah, bensin, lilin, aspal, dll. Minyak bumi terdiri dari hidrokarbon, senyawaan hidrogen dan karbon. Empat alkana teringan- CH4 (metana), C2H6 (etana), C3H8 (propana), dan C4H10 (butana) semuanya adalah gas yang mendidih pada -161.6°C, -88.6°C, -42°C, dan -0.5°C, berturut-turut (-258.9°, -127.5°, -43.6°, dan +31.1° F). Rantai dalam wilayah C5-7 semuanya ringan, dan mudah menguap, nafta jernih. Senyawaan tersebut digunakan sebagai pelarut, cairan pencuci kering (dry clean), dan produk cepat-kering lainnya. Rantai dari C6H14 sampai C12H26 dicampur bersama dan digunakan untuk bensin. Minyak tanah terbuat dari rantai di wilayah C10 Minyak pelumas dan gemuk setengah-padat (termasuk Vaseline®) berada di antara C16 sampai ke C20. Rantai di atas C20 berwujud padat, dimulai dari “lilin, kemudian tar, dan bitumen aspal. Titik pendidihan dalam tekanan atmosfer fraksi distilasi dalam derajat Celcius: • minyak eter: 40 - 70 °C (digunakan sebagai pelarut)
264
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
• minyak ringan: 60 - 100 °C (bahan bakar mobil) • minyak berat: 100 - 150 °C (bahan bakar mobil) • minyak tanah ringan: 120 - 150 °C (pelarut dan bahan bakar • • • •
untuk rumah tangga) kerosene: 150 - 300 °C (bahan bakar mesin jet) minyak gas: 250 - 350 °C (minyak diesel/pemanas) minyak pelumas: > 300 °C (minyak mesin) sisanya: tar, aspal, bahan bakar residu
s. go
.id
Beberapa ilmuwan menyatakan bahwa minyak adalah zat abiotik, yang berarti zat ini tidak berasal dari fosil tetapi berasal dari zat anorganik yang dihasilkan secara alami dalam perut bumi. Namun, pandangan ini diragukan dalam lingkungan ilmiah.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Kilang minyak (oil refinery) adalah pabrik/fasilitas industri yang mengolah minyak mentah menjadi produk petroleum yang bisa langsung digunakan maupun produk-produk lain yang menjadi bahan baku bagi industri petrokimia. Produk-produk utama yang dihasilkan dari kilang minyak antara lain: minyak bensin (gasoline), minyak disel, minyak tanah (kerosene). Kilang minyak merupakan fasilitas industri yang sangat kompleks dengan berbagai jenis peralatan proses dan fasilitas pendukungnya. Selain itu, pembangunannya juga membutuhkan biaya yang sangat besar. b. Proses Operasi di dalam Kilang Minyak Minyak mentah yang baru dipompakan ke luar dari tanah dan belum diproses umumnya tidak begitu bermanfaat. Agar dapat dimanfaatkan secara optimal, minyak mentah tersebut harus diproses terlebih dahulu di dalam kilang minyak. Minyak mentah merupakan campuran yang amat kompleks yang tersusun dari berbagai senyawa hidrokarbon. Di dalam kilang
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
265
Komoditas Minyak Tanah
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
minyak tersebut, minyak mentah akan mengalami sejumlah proses yang akan memurnikan dan mengubah struktur dan komposisinya sehingga diperoleh produk yang bermanfaat. Secara garis besar, proses yang berlangsung di dalam kilang minyak dapat digolongkan menjadi 5 bagian, yaitu: • Proses Distilasi, yaitu proses penyulingan berdasarkan perbedaan titik didih; Proses ini berlangsung di Kolom Distilasi Atmosferik dan Kolom Destilasi Vakum. • Proses Konversi, yaitu proses untuk mengubah ukuran dan struktur senyawa hidrokarbon. Termasuk dalam proses ini adalah: • Dekomposisi dengan cara perengkahan termal dan katalis (thermal and catalytic cracking) • Unifikasi melalui proses alkilasi dan polimerisasi • Alterasi melalui proses isomerisasi dan catalytic reforming • Proses Pengolahan (treatment). Proses ini dimaksudkan untuk menyiapkan fraksi-fraksi hidrokarbon untuk diolah lebih lanjut, juga untuk diolah menjadi produk akhir. • Formulasi dan Pencampuran (Blending), yaitu proses pencampuran fraksi-fraksi hidrokarbon dan penambahan bahan aditif untuk mendapatkan produk akhir dengan spesikasi tertentu. • Proses-proses lainnya, antara lain meliputi: pengolahan limbah, proses penghilangan air asin (sour-water stripping), proses pemerolehan kembali sulfur (sulphur recovery), proses pemanasan, proses pendinginan, proses pembuatan hidrogen, dan proses-proses pendukung lainnya.
266
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komoditas Minyak Tanah
Gambar 8.1. Proses Operasi di dalam Kilang Minyak
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
267
Komoditas Minyak Tanah
c. Proses Distilasi Tahap awal proses pengilangan berupa proses distilasi (penyulingan) yang berlangsung di dalam Kolom Distilasi Atmosferik dan Kolom Distilasi Vacuum. Di kedua unit proses ini minyak mentah disuling menjadi fraksi-fraksinya, yaitu gas, distilat ringan (seperti minyak bensin), distilat menengah (seperti minyak tanah, minyak solar), minyak bakar (gas oil), dan residu. Pemisahan fraksi tersebut didasarkan pada titik didihnya.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Kolom distilasi berupa bejana tekan silindris yang tinggi (sekitar 40 m) dan di dalamnya terdapat tray-tray yang berfungsi memisahkan dan mengumpulkan fluida panas yang menguap ke atas. Fraksi hidrokarbon berat mengumpul di bagian bawah kolom, sementara fraksi-fraksi yang lebih ringan akan mengumpul di bagian-bagian kolom yang lebih atas. Fraksifraksi hidrokarbon yang diperoleh dari kolom distilasi ini akan diproses lebih lanjut di unit-unit proses yang lain, seperti: Fluid Catalytic Cracker, dll.
Gambar 8.2. Proses Distilasi 268
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
8.3.2. Produk-produk Kilang Minyak Produk-produk utama kilang minyak adalah: a
Avgas ( Aviation Gasoline)
Avtur (Aviation Turbine)
.b p
b.
s. go
.id
Bahan Bakar Minyak ini merupakan BBM jenis khusus yang dihasilkan dari fraksi minyak bumi. Avgas didisain untuk bahan bakar pesawat udara dengan tipe mesin sistem pembakaran dalam (internal combution), mesin piston dengan sistem pengapian. Performa BBM ini ditentukan dengan nilai octane number antara nilai dibawah 100 dan juga diatas nilai 100 . Nilai octane jenis Avgas yang beredar di Indonesia memiliki nilai 100/130.
ht
tp :// w
w
w
Bahan Bakar Minyak ini merupakan BBM jenis khusus yang dihasilkan dari fraksi minyak bumi. Avtur didisain untuk bahan bakar pesawat udara dengan tipe mesin turbin (external combution). performa atau nilai mutu jenis bahan bakar avtur ditentukan oleh karakteristik kemurnian bahan bakar, model pembakaran turbin dan daya tahan struktur pada suhu yang rendah. c.
Bensin
Jenis Bahan Bakar Minyak Bensin merupakan nama umum untuk beberapa jenis BBM yang diperuntukkan untuk mesin dengan pembakaran dengan pengapian. Di Indonesia terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu pembakaran berbeda. Nilai mutu jenis BBM bensin ini dihitung berdasarkan nilai RON (Randon Otcane Number).
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
269
Komoditas Minyak Tanah
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Berdasarkan RON tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi 3 jenis yaitu: 1) Premium (RON 88) Premium adalah bahan bakar minyak jenis distilat berwarna kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin bensin, seperti : mobil, sepeda motor, motor tempel dan lain-lain. Bahan bakar ini sering juga disebut motor gasoline atau petrol. 2) Pertamax (RON 92) Ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan tanpa timbal (unleaded). Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan yang diproduksi diatas tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi setara dengan electronic fuel injection dan catalytic converters. 3) Pertamax Plus (RON 95) Jenis BBM ini telah memenuhi standar performance International World Wide Fuel Charter (WWFC). Ditujukan untuk kendaraan yang berteknologi mutakhir yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan ramah lingkungan. Pertamax Plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang memiliki kompresi ratio > 10,5 dan juga yang menggunakan teknologi Electronic Fuel Injection (EFI), Variable Valve Timing Intelligent (VVTI), (VTI), Turbochargers dan catalytic converters. d.
Minyak Tanah (Kerosene)
Minyak tanah atau kerosene merupakan bagian dari minyak mentah yang memiliki titik didih antara 150 °C dan 300 °C dan tidak berwarna. Digunakan selama bertahun-tahun sebagai alat
270
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
bantu penerangan, memasak, water heating, dll. Umumnya merupakan pemakaian domestik (rumahan), usaha kecil. e.
Minyak Solar (HSD)
Minyak Diesel (MDF)
s. go
f.
.id
High Speed Diesel (HSD) merupakan BBM jenis solar yang memiliki angka performa cetane number 45, jenis BBM ini umumnya digunakan untuk mesin trasportasi mesin diesel yang umum dipakai dengan sistem injeksi pompa mekanik (injection pump) dan electronic injection, jenis BBM ini diperuntukkan untuk jenis kendaraan bermotor trasportasi dan mesin industri.
tp :// w
w
w
.b p
Minyak Diesel adalah hasil penyulingan minyak yang berwarna hitam yang berbentuk cair pada temperatur rendah. Biasanya memiliki kandungan sulfur yang rendah dan dapat diterima oleh Medium Speed Diesel Engine di sektor industri. Oleh karena itulah, diesel oil disebut juga Industrial Diesel Oil (IDO) atau Marine Diesel Fuel (MDF).
ht
g.
Minyak Bakar (MFO)
Minyak Bakar bukan merupakan produk hasil destilasi tetapi hasil dari jenis residu yang berwarna hitam. Minyak jenis ini memiliki tingkat kekentalan yang tinggi dibandingkan minyak diesel. Pemakaian BBM jenis ini umumnya untuk pembakaran langsung pada industri besar dan digunakan sebagai bahan bakar untuk steam power station dan beberapa penggunaan yang dari segi ekonomi lebih murah dengan penggunaan minyak bakar. Minyak Bakar tidak jauh berbeda dengan Marine Fuel Oil (MFO).
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
271
Komoditas Minyak Tanah
h.
Biodiesel
Pertamina Dex
s. go
i.
.id
Jenis Bahan Bakar ini merupakan alternatif bagi bahan bakar diesel berdasar-petroleum dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak nebati atau hewan. Secara kimia, ia merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl ester dari rantai panjang asam lemak. Jenis Produk yang dipasarkan saat ini merupakan produk biodiesel dengan campuran 95 persen diesel petrolium dan mengandung 5 persenCPO yang telah dibentuk menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME).
ht
tp :// w
w
w
.b p
Adalah bahan bakar mesin diesel modern yang telah memenuhi dan mencapai standar emisi gas buang EURO 2, memiliki angka performa tinggi dengan cetane number 53 keatas, memiliki kualitas tinggi dengan kandungan sulfur di bawah 300 ppm, jenis BBM ini direkomendasikan untuk mesin diesel teknologi injeksi terbaru (Diesel Common Rail System), sehingga pemakaian bahan bakarnya lebih irit dan ekonomis serta menghasilkan tenaga yang lebih besar. 8.3.3. Kilang Minyak di Indonesia
Di Indonesia terdapat sejumlah kilang minyak, antara lain: • Pertamina Unit Pengolahan I Pangkalan Brandan, Sumatera Utara (Kapasitas 5 ribu barel/hari). Kilang minyak pangkalan brandan sudah ditutup sejak awal tahun 2007 • Pertamina Unit Pengolahan II Dumai/Sei Pakning, Riau (Kapasitas Kilang Dumai 127 ribu barel/hari, Kilang Sungai Pakning 50 ribu barel/hari) • Pertamina Unit Pengolahan III Plaju, Sumatera Selatan (Kapasitas 145 ribu barel/hari)
272
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
• Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap (Kapasitas 348 ribu
.id
barel/hari) • Pertamina Unit Pengolahan V Balikpapan, Kalimantan Timur (Kapasitas 266 ribu barel/hari) • Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan, Jawa Barat (Kapasitas 125 ribu barel/hari) • Pertamina Unit Pengolahan VII Sorong, Irian Jaya Barat (Kapasitas 10 ribu barel/hari) • Pusdiklat Migas Cepu, Jawa Tengah (Kapasitas 5 ribu barel/ hari) Semua kilang minyak di atas dioperasikan oleh Pertamina.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Salah satu kilang minyak tertua di Indonesia yang masih beroperasi sampai dengan saat ini adalah kilang minyak yang ada di Cepu, Jawa Tengah. Kilang tersebut berada di lingkungan Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Pertamina.
Sumber: BPH Migas, 2008
Gambar 8.3. Peta Lokasi Kilang Minyak di Indonesia
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
273
Komoditas Minyak Tanah
s. go
.id
Gambar 8.4. Kilang Minyak Pertamina di Cepu, Jawa Tengah
.b p
8.3.4. Produksi Bahan Bakar Minyak (BBM)
tp :// w
w
w
Adapun produksi BBM Indonesia dari tahun 2006 sampai dengan triwulan I tahun 2008 adalah sebagai berikut:
70.000.000
60.000.000
ht
50.000.000
40.000.000
30.000.000
20.000.000
10.000.000
-
2006 - I
2006 - II
2006 - III
2006 - IV
2007 - I
2007 - II
2007 - III
2007 - IV
2008 - I
Non Kerosene 48.895.619 50.224.504 48.486.465 49.700.295 43.999.125 47.469.620 46.428.360 51.031.138 49.892.942 Kerosene
13.166.437 13.269.722 13.738.212 13.571.326 11.756.269 13.324.175 12.248.996 13.211.902 12.285.182
Sumber: Departemen ESDM, 2008
Gambar 8.5. Produksi BBM Indonesia Triwulan I Tahun 2006 – Triwulan I 2008
274
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
.b p
s. go
.id
Dari gambar 4 diatas dapat diketahui bahwa meskipun pada triwulan I tahun 2007 produksi BBM mengalami penurunan dibandingkan triwulan yang sama tahun 2006, namun pada triwulan I tahun 2008, produksi BBM mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yaitu mencapai 62.178.124 barrels. Namun demikian, secara agregat produksi BBM pada tahun 2007 menyusut menjadi 239.469.585 barrels atau turun sekitar 5 persen dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 251.052.580 barrels. Seperti halnya produksi BBM yang mengalami fluktuasi, produksi kerosene (minyak tanah) pun mengalami naik turun. Meskipun secara agregat produksi BBM pada triwulan I tahun 2008 lebih besar dibandingkan triwulan yang sama tahun 2006, namun produksi kerosene mengalami penurunan, dengan produksi kerosene sebesar 12.285.182 barrels atau lebih rendah sekitar 6,7 persen dibandingkan triwulan I tahun 2006.
w
8.3.5. Distribusi Minyak Tanah (Kerosene)
ht
tp :// w
w
Industri Minyak dan Gas Bumi merupakan sektor penting di dalam pembangunan nasional baik dalam hal pemenuhan kebutuhan energi dan bahan baku industri di dalam negeri maupun sebagai penghasil devisa negara sehingga pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin. Dalam upaya menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian fungsi lingkungan serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional sehingga mampu mendukung kesinambungan pembangunan nasional guna mewujudkan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, maka pemerintah telah menetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undangundang tersebut memberikan landasan hukum bagi pembaharuan dan penataan kembali kegiatan usaha Migas nasional mengingat peraturan perundang-undangan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
275
Komoditas Minyak Tanah
s. go
.id
sebelumnya (UU Prp. No.44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan gas Bumi Negara) sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan sekarang maupun tantangan yang akan dihadapi di masa yang akan datang. Sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 22/2001, Kegiatan Usaha Hilir Migas berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Namun Pemerintah tetap berkewajiban menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Didalam melaksanakan tanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian BBM guna menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM di seluruh wilayah NKRI, Pemerintah telah membentuk suatu badan independen yaitu Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa (Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 2002 dan Keputusan Presiden No. 86 Tahun 2002). Badan ini disebut BPH Migas.
Selanjutnya penyediaan dan pendistribusian minyak tanah bersubsidi saat ini dilakukan oleh Badan Usaha pemegang izin Usaha Niaga Umum BBM yang telah mendapatkan Penugasan dari Pemerintah (PSO) melalui proses penunjukkan langsung ataupun melalui mekanisme lelang. Sedangkan harga minyak tanah bersubsidi ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) dan harga eceran tertingginya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Namun pada umumnya permasalahan yang timbul adalah pada mekanisme
276
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
distribusi Minyak Tanah bersubsidi, dimana titik serahnya berada pada depo, bukan pada konsumen akhir. Hal ini memberi peluang terjadinya praktik kecurangan dalam distribusi kepada konsumen akhir seperti pengoplosan Minyak Tanah bersubsidi ataupun penyalahgunaan penggunaannya kepada Industri yang seharusnya tidak berhak atas subsidi tersebut.
s. go
.id
Distribusi BBM, termasuk minyak tanah di dalamnya, dilakukan berdasarkan Wilayah Distribusi Niaga (WDN) dengan volume sesuai dengan kuota yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Distribusi tersebut dilaksanakan oleh PT. Pertamina. Berdasarkan APBN tahun 2006, kuota distribusi minyak tanah adalah sebagai berikut:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
(4)
w
No
w
(2) W DN I N AD Sumatera Utara Sumatera Barat R iau Kepulauan R iau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka W DN II D KI Jakarta Jaw a Barat Banten Jaw a T engah D IY Jaw a T imur Bali
K ER OS EN E (K L)
(3) 1.883.344 138.747 648.803 143.764 194.567 82.303 84.243 250.764 46.572 247.452 46.131 6.487.589 853.861 2.019.752 433.596 1.014.015 260.047 1.769.117 137.200
tp :// w
(1)
W ilayah – Pro pin si
ht
No
.b p
Tab el 8.1. Ku o ta Minyak Tan ah menu ru t W ilayah Distribu si N iag a (W D N ) B erd asarkan APB N 2006
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
W ilayah - Pro pinsi (5) W DN III Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Sulaw esi Selatan Sulaw esi T enggara Sulaw esi T engah Sulaw esi U tara Gorontalo Sulaw esi Barat Maluku Papua Maluku U tara Irja Barat W DN IV N TB N TT To tal
K ER OS EN E (K L ) (6) 1.442.999 184.225 193.213 122.199 184.459 260.755 64.610 80.127 111.377 28.115 4.572 70.903 62.668 43.317 32.458 186.067 157.940 28.127 10.000.000
S umber: B PH M igas
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
277
Komoditas Minyak Tanah
Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa kuota terbesar adalah WDN II, yang meliputi wilayah Jawa dan Bali. Hal ini patut dimaklumi karena wilayah ini memiliki penduduk terbanyak diantara wilayah lain dan sebagian besar aktifitas ekonomi berada di wilayah ini. Secara proporsional dapat dilihat bahwa WDN II memiiliki kuota sebesar 64,88 persen, sedangkan WDN IV yang meliputi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki kuota yang paling kecil, yaitu hanya sebesar 1,6 persen. 1,86% 14,43%
s. go
.id
18,83%
.b p
WDN I WDN II WDN III
64,88%
tp :// w
w
w
WDN IV
ht
Gambar 8.6. Proporsi Kuota Minyak Tanah menurut Wilayah Distribusi Niaga Berdasarkan APBN 2006
Kuota tersebut turun menjadi 9.900.000 kiloliter pada APBN Perubahan tahun 2006 atau turun sekitar 1 persen. Kuota minyak tanah tersebut terus diturunkan dan pada tahun 2007, kuota minyak tanah menjadi 9,51 juta kiloliter atau turun 4,9 persen dibandingkan tahun 2006 yang 10 juta kiloliter. Kuota tersebut akan terus diturunkan bahkan pada tahun 2008 ditargetkan menjadi 7,9 juta kiloliter.
278
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
8.3.6. Permasalahan Produksi dan Konsumsi Minyak Tanah (Kerosene)
w
w
.b p
s. go
.id
Pada tahun 2006 produksi minyak tanah dalam negeri sebesar 8,545 juta sedangkan kebutuhan minyak tanah dalam negeri mencapai 10,023 juta sehingga saat ini masih dilakukan impor sebesar 2,111 juta termasuk untuk cadangan sebesar 633,881 ribu. Hal ini merupakan permasalahan yang saat ini dihadapi Indonesia dalam penyediaan energi, khususnya bahan bakar minyak, yaitu tingginya subsidi yang harus ditanggung pemerintah, khususnya minyak tanah. Hal ini akan menyebabkan adanya pemborosan yang sangat besar jika subsidi bahan bakar minyak diteruskan (subsidi bahan bakar minyak pada tahun 2006 sebesar Rp. 64,212 trilyun, khususnya minyak tanah sebesar Rp. 31,58 trilyun). Subsidi terhadap harga minyak tanah tersebut ditetapkan berdasarkan selisih antara harga jual eceran yang ditetapkan Pemerintah dengan harga patokan minyak tanah, dengan formula :
ht
tp :// w
Subsidi = Volume Minyak tanah × (Harga Patokan Minyak tanah – Harga Jual Eceran Minyak tanah)
Pada tahun 2006 subsidi minyak tanah mencapai Rp. 31,58 triliun atau sekitar 50% total subsidi Bahan Bakar Minyak. Kapasitas konsumsi BBM dalam negeri yang semakin meningkat tersebut pula yang menjadi latar kebijakan menaikan harga BBM, sementara itu dengan harga minyak dunia yang semakin meningkat maka biaya subsidi atas harga BBM untuk konsumsi dalam negeri juga semakin meningkat dan membebani APBN. Konsumsi atas BBM yang meningkat pada saat ini pula yang mendorong lahirnya program energi alternatif, meski kemudian belum nampak keberhasilan dalam skala besar atas program tersebut. Persoalan keputusan ekonomi berkaitan secara runtut dari dimensi produksi hingga dimensi konsumsi.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
279
Komoditas Minyak Tanah
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Menurut Simon S. Hutagalung (dosen FISIP Universitas Lampung), dalam dimensi produksi migas Indonesia terlihat adanya pengelolaan produksi migas yang kurang baik. Problem dalam pengelolaan ini terjadi dalam bentuk produksi migas dan kontrak produksi dengan perusahaan asing migas. Dalam hal produksi migas yang berpangkal dari menurunnya kuantitas produksi minyak mentah dari 1.600 juta barel hingga 900 juta barel per hari. Adapun penyebab dari turunnya cadangan minyak tersebut adalah, pertama kondisi ladang minyak Indonesia yang dikelola oleh Pertamina sudah sangat tua dan memiliki teknologi yang sudah ketinggalan zaman. Ditambah dengan persoalan politik dan struktural dalam perusahaan Migas juga mempengaruhi kemampuan untuk penerimaan pemerintah yang mengecil. Laba bersih PT Pertamina (Persero) yang turun 27,3 % dengan nilai Rp. 17,8 Trilyun dibandingkan laba tahun 2007 sebesar 24,5 trilyun. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan perusahaan migas asing yang juga bereksplorasi di wilayah Indonesia. Penyebab kedua, berhubungan dengan peran perusahaan migas asing yang lebih dominan dalam eksplorasi dan produksi migas Indonesia. Kendali pemerintah Indonesia yang lemah atas perusahaan-perusahaan asing ini justru memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan tindakan sendiri dalam alokasi dan distribusi migas Indonesia. Misalnya dalam pembangunan jalur pipa yang mengalirkan hasil eksplorasi dari berbagai blok minyak di Indonesia ke Singapura, justru menyebabkan potensi hilangnya minyak Indonesia semakin besar. Sementara itu jika melihat tingkat konsumsi minyak dalam negeri sudah sangat tinggi yaitu 1.084.000 barrel per hari maka selisih kuantitas migas yang diekspor dan menjadi pendapatan bagi negara sangat minimal. Jika saja produksi migas tersebut bisa di maksimalkan menjadi 1,5 juta barel saja maka pendapatan ekspor migas yang ada tersebut bisa menutupi
280
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
harga minyak dalam negeri. Memang hal tersebut mensyaratkan dilakukannya dengan eksplorasi atas potensi cadangan minyak baru di wilayah Indonesia. Jika melihat besaran cadangan minyak baru di wilayah Indonesia yang sudah terbukti sebesar 4.7 Milliar barrel dan cadangan yang potensial berkisar 5 milliar barel maka eksplorasi tersebut menjadi salah satu jalan yang dapat mengurangi beban biaya migas di masa depan.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Problem produksi migas tersebut diikuti oleh masalah kontrak produksi migas, jika merujuk kepada UU Migas Nomor 22/2001, pembagian keuntungan antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing dilakukan melalui skema Production Sharing Contract (PSC). Dalam skema PSC tersebut, Cost Recovery sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia. Cost recovery tersebut mencapai US$9, 03 per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar US$4-US$6 per barel. Jadi, cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 – 125 persen per barel, dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia. Kondisi itu menunjukkan keuntungan atas produksi migas di Indonesia justru dinikmati oleh grupgrup korporasi dan Negara induknya. Hal ini bisa dibuktikan jika melihat data total produksi minyak Indonesia yang rata-rata 900 juta barel per-hari, dimana sekitar 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah. Namun dibalik besarnya kuantitas tersebut ternyata hampir 90% dari total produksi tersebut berasal dari 6 MNC (Multinational Corporation), yakni; Total (30%), ExxonMobil (17%), Vico (BP-Eni joint venture, 11%), ConocoPhillips (11%), BP (6%), and Chevron (4%). Fakta-fakta tersebut menyimpulkan agar pendekatan pemerintah dalam menangani krisis migas di Indonesia tidak hanya pada dimensi konsumsi namun juga mencakup pada dimensi produksi. Dengan masih luas dan besarnya potensi minyak bumi di wilayah Indonesia semestinya menjadi salah
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
281
Komoditas Minyak Tanah
w
8.4. Kebijakan Konversi Minyak Tanah
.b p
s. go
.id
satu prioritas investasi pemerintah. Pada sisi yang lain pengelolaan migas yang dijalin dengan perusahaan migas asing di wilayah Indonesia juga dilakukan dengan skema yang juga menguntungkan pihak Indonesia secara langsung, toh pemilik syah dari kandungan migas itu adalah bangsa Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia sebaiknya memiliki kemampuan negosiasi dan manajemen kebijakan migas yang kuat di mata perusahaan migas internasional tersebut. Kontrak ulang atau bahkan nasionalisasi atas beberapa kontrak yang ternyata merugikan pihak Indonesia dapat menjadi pilihan kebijakan yang realistis. Melalui peningkatan produksi migas di masa datang setidaknya setiap dibalik kenaikan harga minyak dunia ini, Indonesia justru dapat menjadi negara yang bisa menikmati kenaikan harga minyak dunia.
ht
tp :// w
w
Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk mengurangi beban subsidi yang harus ditanggung anggaran pemerintah. Seperti diketahui, besarnya subsidi terhadap komoditas minyak tanah jauh lebih besar dibandingkan terhadap komoditas LPG. Selama ini dinilai oleh para pengamat ekonomi bahwa subsidi yang diberikan pemerintah terhadap minyak tanah, manfaatnya lebih banyak dinikmati oleh kalangan industri pengguna minyak tanah dibandingkan manfaat yang dapat dinikmati oleh konsumen rumahtangga. Melalui kajian yang mendalam tentang beban subsidi yang ditanggung pemerintah dan manfaat yang diterima terhadap sasaran awal subsidi yaitu rumahtangga pengguna minyak tanah, maka mulai tahun 2006 secara bertahap mulai pemerintah mulai mengurangi besarnya subsidi terhadap
282
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
minyak tanah. Pelaksanaan konversi minyak tanah dilakukan secara bertahap ke beberapa daerah. Berdasarkan data april 2008 jumlah KK yang sudah menerima paket konversi minyak tanah (mitan) ke LPG sebanyak 2.667.426 dengan volume LPG sebesar 78.725 Ton. Jumlah ini setara dengan penghematan Mitan sebesar 322.018 Kilo Liter.
w
.b p
s. go
.id
Disamping penerima rumah tangga, program konversi juga ditujukan pada usaha kecil seperti warung makan dan pedagang makanan keliling. Sampai dengan bulan April 2008 jumlak Usaha Kecil yang sudah menerima paket konversi sebesar 39.912 unit, menyerap 112.152 Ton LPG menggantikan pemakaian 338.400 Kilo Liter minyak tanah. Apabila dijumlahkan dengan pelaksanaan kegiatan tahun 2007 maka jumlah penyerahan paket kepada rumah tangga sudah mencapai 6.501.810 dan usaha kecil sebanyak 181.317 menyerap LPG sebesar 112.152 Ton menghemat mitan sebesar 338.400 Kilo Liter.
ht
tp :// w
w
Wilayah penerima paket meliputi DKI Jakarta, Palembang, Serang, Tanggerang, Cilgon, Bandung, Bekasi, Bpgor, Cimahi. Depok. Sleman, Yogyakarta, Semarang, Salatiga, Gresik, Malang, Sidoarjo, Surabaya dan Denpasar. Sedang target wilayah penyebaran paket sampai dengan akhir tahun 2008 mencakup seluruh Jawa, Bali dan Sumatera Selatan. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan konversi minyak tanah ke LPG ini tidak semulus yang diharapkan. Banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya, seperti rumahtangga penerima penerima paket konversi minyak tanah ke LPG tidak tepat sasaran. Pelaksanaan paket konversi minyak tanah ke LPG 15 kg yang merupakan subsidi pemerintah terhadap rumahtangga pengguna minyak tanah, menyebabkan terjadinya gap harga LPG antara LPG 15 kg dengan LPG 60 kg, sehingga mendorong
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
283
Komoditas Minyak Tanah
penimbunan LPG. Akibatnya LPG susah diperoleh (terjadi kelangkaan) di pasar baik yang ukuran 15 kg maupun 60 kg, sehingga harga LPG melambung. Dampak lanjutnya adalah rumahtangga-rumahtangga yang semula pengguna minyak tanah mengalami kesulitan untuk mendapatkan LPG 15 kg maupun minyak tanah. Harga minyak tanah yang terjadi di pasar bahkan sangat bervariasi dan jauh diatas harga yang ditetapkan pemerintah.
.b p
s. go
.id
Menurut sumber BPH Migas, kelangkaan minyak tanah maupun LPG yang terjadi di masyarakat karena perbedaan harga minyak tanah/ LPG antara yang bersubsidi dengan yang non subsidi. Menurut sumber BPH Migas, jumlah berapapun yang dilempar ke pasar, pasti habis terserap karena ada spekulan minyak tanah maupun LPG yang akan menimbunnya sehingga menyebabkan harga minyak tanah maupun LPG meningkat.
w
w
8.5. Kesimpulan
ht
tp :// w
Berdasarkan hasil analisis deskriptif diatas, maka beberapa kesimpulan adalah sebagai berikut: 1. Secara umum produksi minyak tanah memiliki kecenderungan menurun, sebaliknya konsumsi minyak tanah cenderung terus meningkat. Akibat yang terjadi adalah beban yang harus ditanggung pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM khususnya minyak tanah di dalam negeri menjadi berat. 2. Kelangkaan minyak tanah maupun LPG yang terjadi di pasar banyak disebabkan oleh berbagai faktor yaitu: a. Perbedaan (gap) antara supply dengan demand dari komoditas bersangkutan. b. Adanya masalah pada pendistribusian minyak tanah/ LPG.
284
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Minyak Tanah
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
3.
c. Diskriminasi harga minyak tanah/LPG antara yang disubsidi dengan non subsidi, sehingga menciptakan spekulan untuk komoditas bersangkutan. Dalam menerapkan suatu kebijakan terhadap komoditas minyak tanah seharusnya pemerintah lebih berhati-hati, khususnya yang bisa menciptakan spekulan penimbun minyak tanah, sehingga tujuan kebijakan yang diterapkan bisa mencapai sasaran.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
285
Komoditas Minyak Tanah
DAFTAR PUSTAKA Pusdiklat Migas, Flow Diagram Crude Distilling Unit, Cepu, 2008 BP Migas, http://www.bpmigas.com/ BPH Migas, Blue Print BPH Migas, diakses dari http:// www.bphmigas.go.id/ pada tanggal 6 Agustus 2008
.id
IATMI (Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia), http:// www.iatmi.or.id/ PT. Pertamina (Persero), http://www.pertamina.com/
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, http:// www.esdm.go.id/
286
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
s. go
Penulis :
.id
Komoditas Tepung Terigu
ht
tp :// w
w
w
.b p
DR. Suhariyanto Agus Marzuki, S.Si Bambang Tribudhi Mulyanto, S.Si
Komoditas Tepung Terigu
9.1. Pendahuluan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Tepung terigu merupakan salah satu bahan pokok pangan non-beras yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia disamping kedelai, daging ayam ras, telur ayam ras, jagung, daging sapi, dan susu. Tepung yang terbuat dari biji gandum melalui proses penggilingan ini merupakan bahan baku utama untuk pembuatan mie (instant, kering, basah), biscuit (cookies, wafer, marie, snack), bakery (roti tawar dan manis, cake & pastry) dan lainnya. Konsumsi tepung terigu di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat karena peningkatan jumlah penduduk maupun tingkat konsumsi per kapita sehingga menyebabkan naiknya permintaan (demand). Pada tahun 2003 konsumsi tepung terigu sebesar 7,21 kg per kapita, tetapi pada tahun 2007 sudah meningkat 57,3 persen menjadi 11,34 kg per kapita (Badan Ketahanan Pangan, 2008). Peningkatan konsumsi tepung terigu yang pesat ini perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan masalah yang pelik dikemudian hari. Bahan baku untuk membuat tepung terigu adalah gandum yang seluruhnya diimpor dari negara lain karena Indonesia tidak memproduksinya. Ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum dan tiga komoditas lainnya (kedelai, daging ayam ras, telur ayam ras) sudah mencapai titik kritis sehingga Indonesia sebagai negara agraris sudah masuk dalam “perangkap pangan” (food trap) negara maju dan kapitalisme global (Kompas, 2008). Ketergantungan pangan dari impor ini harus diwaspadai karena akan memudahkan campur tangan negara lain dalam bidang ekonomi dan politik. Selama dua tahun terakhir, harga tepung terigu melambung tinggi karena dipicu oleh naiknya harga gandum di pasaran dunia. Produk-produk yang berbasis bahan baku tepung terigu ikut meroket harganya. Bukan hanya konsumen rumah tangga yang menghadapi masalah tetapi industri-industri yang berbahan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
289
Komoditas Tepung Terigu
w
w
.b p
s. go
.id
baku tepung terigu, baik industri besar maupun industri kecil, juga mengalami kesulitan karena tak mampu lagi membeli bahan baku. Banyak diantara mereka yang terpaksa gulung tikar sehingga para pekerjanya menjadi pengangguran. Tak berlebihan kalau ada yang berpendapat bahwa tepung terigu di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai komoditas pangan, tetapi juga berfungsi sebagai komoditas politik (political goods), dimana harga dan ketersediaannya dapat memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (Alexandi, 2008). Untuk meredam gejolak harga tepung terigu di pasar dalam jangka pendek, Pemerintah mengambil beberapa langkah kebijakan seperti penurunan bea masuk untuk impor terigu menjadi nol persen, PPN 10% atas impor gandum ditanggung Pemerintah (DTP), dan penundaan penerapan sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Tepung Terigu bagi impor terigu. Langkah-langkah yang diambil Pemerintah ini mengundang pro-kontra dari berbagai pihak karena dinilai sebagai langkah instan yang diragukan keefektifannya.
ht
tp :// w
Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan pesatnya peningkatan konsumsi tepung terigu dan produk olahannya. Masalah-masalah yang dibahas meliputi situasi pangan dunia, perkembangan produksi, konsumsi, dan impor tepung terigu, kaitan antara tepung terigu dan kemiskinan, sorotan terhadap beberapa kebijakan yang diambil Pemerintah dalam usaha stabilisasi harga tepung terigu serta kemungkinan budidaya gandum di Indonesia. 9.2. Situasi Pangan Dunia Selama dua tahun terakhir, harga komoditas pangan dunia mengalami kenaikan yang sangat tajam sehingga menimbulkan berbagai masalah di banyak negara termasuk Indonesia.
290
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Menurut FAO (2008), kenaikan harga pangan dunia terjadi karena beberapa faktor. Pertama, stok pangan dunia rendah, terutama untuk jagung dan gandum, karena hasil panen di Eropa dibawah rata-rata dalam tahun 2006 dan 2007. Kedua, pada tahun 2006 dan 2007 terjadi kegagalan panen di negara-negara produsen utama seperti Australia karena perubahan iklim global. Pada saat bersamaan, permintaan pangan dari negara-negara berkembang yang padat penduduknya namun tinggi pertumbuhan ekonominya meningkat karena mereka ingin mempertinggi cadangan pangannya. Ketiga, adanya konversi bahan pangan menjadi energi (biofuel) yg dipicu oleh kenaikan harga minyak bumi. Permintaan untuk produksi biofuel yang didukung oleh subsidi ini tumbuh lebih cepat dari yang diprediksi. Pada tahun 2007, sekitar 12 persen produksi jagung dunia digunakan untuk pembuatan ethanol. Di Amerika Serikat, yang merupakan produsen dan pengekspor jagung terbesar, penggunaan jagung untuk pembuatan ethanol bahkan mencapai 30 persen dari produksi domestiknya. Keempat, adanya perubahan dalam kebijakan pertanian di negara-negara OECD, dimana penurunan tingkat subsidi menyebabkan menurunnya surplus produksi. Keadaan ini semakin diperburuk oleh ulah spekulan yang bermain di pasar komoditas pertanian. Dalam beberapa tahun terakhir, beras misalnya, sudah menjadi komoditas pertanian yang diincar oleh para investor di bursa komoditas seperti di bursa Chicago AS (Prabowo, 2008). Kenaikan harga pangan mulai terjadi pada akhir tahun 2006. Indeks Harga Pangan naik dari 117 pada tahun 2005 menjadi 127 pada tahun 2006 dan mencapai 156 pada tahun 2007. Indeks ini terus merambat naik hingga mencapai 219 pada bulan Juni 2008. Pada bulan Juli 2008 nilai indeks harga pangan sedikit menurun tetapi nilainya masih 37 persen diatas nilai indeks Juli 2007. Penurunan indeks harga pangan pada bulan Juli 2008 terjadi karena adanya penurunan harga sereal
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
291
Komoditas Tepung Terigu
ht
Sumber: FAO (2008)
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
dan minyak sayur. Rata-rata indeks harga sereal sebesar 256 pada bulan Juli 2008, turun 6 persen dari bulan sebelumnya dan 8 persen dari indeks harga tertinggi pada bulan April 2008. Penurunan indeks harga sereal ini merefleksikan persediaan gandum dunia yang lebih besar dan juga peningkatan prospek produktivitas untuk tanaman jagung di Amerika Serikat (Gambar 9.1).
Gambar 9.1. Perkembangan Indeks Harga Pangan Dunia Jan 2005-Juli 2008 dan Indeks Harga Komoditas Pangan Juli 2007-Juli 2008
Mulai bulan Januari 2007, harga gandum di pasar dunia terus merambat naik. Selama periode 2005-April 2008, harga gandum Australia naik sebesar 127 persen, yaitu dari 180 US$/ ton menjadi 409,7 US$/ton pada minggu pertama April 2008. Kenaikan harga beras Thai patahan 15% di Bangkok lebih tinggi lagi yaitu 185 persen, dari 274,7 US$/ton menjadi 600 US$/ton pada minggu pertama April 2008 (Gambar 9.2). Kenaikan harga gandum di pasar dunia menyebabkan harga tepung terigu di
292
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
650
7500
600 7000
550
USD/ton
500
6500
450 6000
400 350
5500
300 5000
250 200
4500
M3
4000 J
Gandum
F
M
A
M
J
2006
J 2007
A
S
O
N
D
2008
Gambar 9.3. Perkembangan Harga Tepung Terigu di Indonesia Januari 2006-Agustus 2008 (Rp/Kg)
.b p
Gambar 9.2. Perkembangan Harga Beras Putih (15% FOB Bangkok) dan Gandum (Australia) di Pasar Dunia, 2005-2008
.id
Sumber: BPS
Sumber: Bank Indonesia (2008)
s. go
Beras
F4
N
F1
A
M
F
20
05
150
ht
tp :// w
w
w
Indonesia juga melonjak tinggi. Januari 2007 harga tepung terigu Rp.4.328,- per kg, namun pada bulan Agustus 2008 sudah mencapai Rp.7.105,- per kg, naik sebesar 64 persen (Gambar 9.3). Kenaikan harga yang tinggi ini membuat industri-industri berbasis tepung terigu mengalami pukulan hebat. Mereka kesulitan untuk membeli bahan baku dan margin keuntungan industri hilir semakin menipis. Rentetan panjangnya berakibat pada merosotnya pendapatan usaha-usaha kecil seperti penjaja mie ayam dan tukang roti eceran. 9.3. Kondisi Tepung Terigu Nasional
9.3.1. Produksi Tepung Terigu Produksi tepung terigu di Indonesia hanya dikuasai oleh empat produsen besar yaitu PT. Bogasari Flour Mills yang berlokasi di Jakarta dan Surabaya, PT. Berdikari Sari Utama yang berlokasi di Ujung Pandang, PT.Sriboga Raturaya yang
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
293
Komoditas Tepung Terigu
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
berlokasi di Semarang dan PT. Panganmas Inti Persada yang berlokasi di Cilacap. Keempat produsen tersebut menyerap 4.287 orang tenaga kerja dengan total aset sekitar Rp.11.900 milyar. Dengan memerhatikan kapasitas produksinya yang sebesar 7.400 Mt/hari, PT. Bogasari Jakarta merupakan produsen terigu terbesar didunia, sementara PT. Bogasari Surabaya menempati posisi kedua (kapasitas 4.366 Mt/hari). PT. Berdikari Sari Utama (kapasitas 2.146 Mt/hari) berada diposisi 4 dan PT Sriboga Raturaya (kapasitas 1.110 Mt/hari) berada di posisi ke 9 dari 10 produsen tepung terigu terbesar di dunia. Dibandingkan dengan industri tepung terigu di negara lain, industri terigu Indonesia mempunyai keunggulan. Pertama, produsen tepung terigu Indonesia memiliki fasilitas terpadu seperti pelabuhan bongkar muat, silo gandum, dan lini produksi skala besar. Kedua, industri tepung terigu Indonesia mempunyai “competitive advantage” dibanding dengan negara lain karena upah tenaga kerja dan biaya energi yang relatif lebih rendah sehingga terigu Indonesia cukup kompetitif di kawasan Asia Pasifik (Aptindo, 2007).
ht
Seiring dengan peningkatan konsumsi terigu dari waktu ke waktu, penjualan tepung terigu di Indonesia juga mengalami kenaikan. Pada tahun 2007 pangsa tepung terigu nasional sebesar 3,61 juta ton, naik sekitar 20 persen dari 3,01 juta ton pada tahun 2000 (Gambar 9.4). Dilihat dari sumber pengadaannya, produksi tepung terigu dalam negeri telah mampu memasok 85,03 persen dari total kebutuhan konsumsi tepung terigu nasional, sementara sisanya (14,97 persen) dipenuhi dari impor. Produksi PT. Bogasari menyumbang 64,91 persen dari total kebutuhan konsumsi nasional, PT. Berdikari Sari Utama 13,14 persen, PT.Sriboga Raturaya 4,29 persen dan PT. Panganmas Inti Persada 2,68 persen.
294
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
4000 3500
(000 Mt)
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2000
2001 2002
Bogasari
Berdikari
2003
2004
Sriboga
2005 2006 Panganmas
2007 Impor
.id
Sumber: Aptindo (2007)
s. go
Gambar 9.4. Trend Penjualan Tepung Terigu di Indonesia menurut Produsen, 2000-2007 (000 Mt)
ht
tp :// w
w
w
.b p
Tepung terigu digunakan sebagai bahan baku oleh berbagai industri, baik industri besar, UKM maupun oleh industri rumah tangga untuk memproduksi mie, biskuit dan bakery. Menurut penggunaannya, sekitar 54,20 persen tepung terigu digunakan untuk membuat mie (instant, kering, basah), 27,46 persen untuk membuat bakery (roti tawar dan manis, cake dan pastry, dan lainnya), 13,74 persen untuk membuat biskuit dan sisanya untuk produk lainnya. Menurut jenis industri pemakainya, sekitar 59,62 persen digunakan oleh UKM yang jumlahnya mencapai sekitar 30.000 usaha, 31,79 persen oleh industri besar/modern dengan jumlah 200 perusahaan, 4,0 persen digunakan oleh industri rumah tangga dan sisanya oleh rumah tangga (Tabel 9.1). Dari gambaran ini terlihat bahwa komoditas tepung terigu mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian karena menyerap banyak tenaga kerja, baik di industri-industri penggilingan tepung terigu, industri pangan pengguna terigu, maupun UKM makanan berbasis terigu. Dengan demikian, gejolak harga tepung terigu akan membawa dampak yang cukup besar pada perekonomian dan situasi ketenagakerjaan di Indonesia.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
295
Komoditas Tepung Terigu
Tabel 9.1. Penggunaan Tepung Terigu Nasional Menurut Pengguna (Mt/bulan) Jenis Produk (1) Mie Instan Mie Kering Mie Basah MIE
Industri Besar Mt/bln Jumlah (2) (3) 61 230 45 7 981 23 250 5 69 461 73
UKM Industri RT RT Mt/bln Jumlah Mt/bln Mt/bln (4) (5) (6) (7) 739 273 50 61 250 4 705 4 106 61 989 4 978 4 156 -
4 255 2 570 674 220 7 719
32 22 15 10 79
24 633 350 24 983
10 318 30 10 348
1 652 23 1 675
Roti tawar & manis Cake & pastry Lain-lain BAKERY
2 192 166
31 17
2 358
48
51 793 55 10 334 62 182
11 655 35 2 748 14 438
-
-
-
79 538
200
149 154
Jumlah
10 350 22 15 40 10 427
3 472 4 693 4 169
-
57 457 225 11 027 68 709
11 686 52 2 748 14 486
-
-
11 500
11 500
-
29 764
10 000
11 500
250 192
29 964
s. go
w
Keterangan:
30 540 2 570 674 593 34 377
.b p
LAIN-LAIN
-
.id
Cookies Wafer Marie Snack BISKUIT
Total Mt/bln Jumlah (8) (9) 61 230 45 8 770 296 65 606 4 710 135 606 5 051
w
a. Industri besar/modern: mesin & managemen modern, berbadan hukum, konsumsi terigu 10-6000 Mt/bulan
tp :// w
b. UKM: mesin & managemen tradisional, umumny a usaha keluarga dan tidak berbadan hukum [UKM besar > 45 Mt/bulan, UKM menengah 11-45 Mt/bulan, UKM kecil1,5-11 Mt/bulan c. Industri rumah tangga: di baw ah 1,5 Mt/bulan
ht
Sumber: Aptindo (2007)
9.3.2. Perkembangan Konsumsi Tepung Terigu dan Produk Olahannya Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan pemenuhannya menjadi hak asasi setiap orang. Pentingnya kedudukan pangan ini membuat pangan tidak hanya dipandang sebagai komoditas ekonomi namun juga sebagai komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang sangat luas. Kelangkaan dan kenaikan harga pangan dengan mudah bisa memicu keresahan sosial yang pada akhirnya dapat
296
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
.b p
s. go
.id
mengganggu kestabilan ekonomi dan politik. Tak mengherankan kalau masalah ketahanan pangan selalu menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan Pasal 1 Ayat 17, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman dikonsumsi, dan terdistribusi secara merata dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Dilihat dari perbandingan antara jumlah produksi dan konsumsi total, ketahanan pangan ditingkat nasional bisa dikatakan relatif aman, namun di beberapa daerah tertentu dan di tingkat rumah tangga, kondisi ketahanan pangan masih sangat memprihatinkan. Laporan berbagai media massa mengenai kasus rawan pangan dan gizi buruk membuktikan rapuhnya ketahanan pangan di beberapa daerah.
ht
tp :// w
w
w
Salah satu pondasi utama dari ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan yang ditujukan untuk meningkatkan pola pangan masyarakat melalui konsumsi pangan yang beragam dan bergizi seimbang serta aman, sesuai kondisi dan situasi daerah dengan mengutamakan sumber pangan lokal untuk mencegah ketergantungan terhadap satu jenis pangan tertentu. Upaya diversifikasi pangan sudah menjadi agenda pemerintah Indonesia sejak awal tahun 1960-an, namun sampai sekarang keberagaman pangan yang diinginkan masih belum terwujud. Apabila dinilai menurut standar Pola Pangan Harapan (PPH) yang merupakan ukuran tingkat keragaman ketersediaan pangan, nilai skor PPH meningkat dari 79,1 pada tahun 2005 menjadi 82,8 pada tahun 2007 sehingga pola konsumsi pangan mengalami pergeseran dari semula berbasis karbohidrat ke komposisi yang sedikit lebih berimbang. Meskipun demikian, nilai skor PPH tersebut masih jauh dari nilai ideal PPH yang sebesar 100 (Badan Ketahanan Pangan, 2008).
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
297
Komoditas Tepung Terigu
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Berbagai penelitian tentang pergeseran pola konsumsi pangan juga menunjukkan bahwa upaya diversifikasi pangan masih jauh dari harapan, bahkan cenderung salah arah. Mengutip hasil analisis dengan menggunakan series data Susenas yang dilakukan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian serta Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Ariani (2008) menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia bergeser kearah yang mengkhawatirkan. Pada tahun 1979, di Kawasan Timur Indonesia (KTI) pola pangan tunggal berupa beras hanya terjadi di satu propinsi (Kalsel), namun pada tahun 1996 sudah menjadi 8 provinsi (Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng); Pada tahun 1993, sebagian besar provinsi di Indonesia mempunyai pola pangan pokok yang sudah mengarah ke pola tunggal yaitu beras. Kecenderungan ini terjadi pada masyarakat kaya dan miskin. Pada tahun 2002, pangan pokok kedua masyarakat sudah tidak dari umbi-umbian atau jagung tetapi dari mie. Perubahan ini semakin signifikan pada tahun 2005, sehingga semua masyarakat di kota atau desa, kaya atau miskin hanya mempunyai satu pola pangan pokok yaitu beras + mie.
ht
Perkembangan konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia mulai tahun 2002-2007 dapat dilihat pada Tabel 9.2. Konsumsi rata-rata per kapita untuk beras menurun dari 115,5 kg pada tahun 2002 menjadi 100,0 kg pada tahun 2007. Sebaliknya, konsumsi tepung terigu meningkat cukup berarti selama tahun 2002-2007. Pada tahun 2002, konsumsi rata-rata per kapita untuk tepung terigu sebesar 8,5 kg dan meningkat 33 persen menjadi 11,3 kg pada tahun 2007. Konsumsi rata-rata per kapita jagung juga menunjukkan peningkatan pada tahun 2007 sementara konsumsi umbi-umbian tidak menunjukkan perubahan yang berarti atau relatif stabil. Pada tahun 2007 pola konsumsi pangan sumber karbohidrat masih didominasi oleh
298
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
kelompok padi-padian yang menyumbang sekitar 95,23 persen dari total konsumsi energi sumber karbohidrat yang berasal dari padi-padian dan umbi-umbian, sementara kontribusi umbiumbian dalam menyumbang energi masih sangat rendah yaitu hanya sekitar 4,77 persen. Komoditas dalam kelompok padipadian yang dominan adalah beras (978,5 kkal/kap/hari atau sekitar 74,92 persen dari total konsumsi energi sumber karbohidrat) dan terigu (235,02 kkal/kap/hari atau sekitar 18,00 persen).
Keterang an:
Ubijalar Kentang (6) (7) 2.8 1.8 3.3 1.6 5.4 1.8 4.0 1.7 3.2 1.7 2.5 2.1 (8.1) (3.0)
w
.b p
s. go
Terigu Singkong (4) (5) 8.5 12.8 7.2 12.0 7.7 15.1 8.4 15.0 8.2 12.6 11.3 13.5 (235.0) (43.4)
w
Beras Jagung (2) (3) 115.5 3.4 109.7 2.8 107.0 3.2 105.2 3.3 104.0 3.0 100.0 4.2 (978.5) (30.2)
tp :// w
Tahun (1) 2002 2003 2004 2005 2006 2007
.id
Tabel 9.2. Perkembangan Konsum si Pangan Pokok Penduduk Indonesia Tahun 2002 -2007 (Kg/kapita/tahun) Sagu (8) 0.3 0.3 0.4 0.5 0.5 0.8 (6.4)
Umbi lainnya (9) 0.5 0.6 0.7 0.6 0.6 0.5 (1.4)
· Konsumsi beras = beras yang dimasak di ruma h tangga + be ras dari makanan jadi (na si rames, nasi goreng)
ht
· Te pung terigu= tepung terigu yang dim asak di rumah tangga + produk olaha nnya (m ie, dll) · Angka dalam kurung dalam kkal/kapita/ha ri Sumber: Data Su senas BPS, diolah Badan Ketahanan Pan gan-Dep artem en Pertanian (2008)
Data komposisi konsumsi pangan pokok penduduk Indonesia ini mengindikasikan bahwa program diversifikasi pangan tidak berjalan semestinya. Program diversifikasi konsumsi pangan bertujuan untuk memanfaatkan sumber pangan domestik yang sangat kaya dan beragam seperti singkong, jagung, ubi jalar, sagu dan sebagainya, tetapi yang terjadi justru diversifikasi ke produk-produk pangan yang berbasis
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
299
Komoditas Tepung Terigu
.b p
s. go
.id
tepung terigu seperti mie, biskuit dan roti. Disatu sisi, tepung terigu dan produk olahannya telah berhasil menjadi sumber karbohidrat penting setelah beras sehingga berhasil mengurangi tekanan terhadap beras, namun disisi lain ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum dari negara lain semakin tinggi. Menurut Ariani dan Purwantini, meningkatnya konsumsi produk-produk olahan yang terbuat dari bahan dasar terigu seperti mie instan ini terjadi di semua elemen masyarakat, tidak hanya pada rumah tangga menurut wilayah dan daerah (kota dan desa) tetapi juga menurut kelompok pendapatan. Mie instan tidak hanya dikonsumsi oleh kelompok pendapatan sedang dan tinggi tetapi juga oleh kelompok pendapatan rendah. Pada kelompok pendapatan rendah dan menengah di Indonesia, pergeseran pola konsumsi pangan dari non terigu ke terigu dan produk olahannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan negaranegara Asia lainnya (Sawit, 2003).
ht
tp :// w
w
w
Dari Tabel 9.3 terlihat bahwa konsumsi rata-rata per kapita seminggu tepung terigu dan produk olahannya menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan paling mencolok terjadi pada konsumsi mie instan kemasan 80 gram, yang meningkat sebesar 120 persen selama periode 2002-2007, yaitu dari 0,502 pada tahun 2002 menjadi 1,106 pada tahun 2007. Konsumsi roti tawar juga meningkat pesat sebesar 55 persen pada periode yang sama, demikian juga dengan konsumsi mie (bakso/rebus/goreng) dan mie instan dalam bentuk makanan jadi. Terkait pertumbuhan konsumsi di masa mendatang, Welirang (dalam Radar Palembang, 2008) menyatakan bahwa pertumbuhan konsumsi tepung terigu akan sama dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu di kisaran 6,3 persen. Pada tahun 2009 konsumsi terigu diperkirakan akan meningkat karena adanya perhelatan besar yaitu pemilihan umum.
300
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
Tab el 9,3. Ko nsu msi Rata-rata p er Kap ita S emin gg u Pro du k Olahan Gan du m, d i I nd o nesia, 2002-2007 Produk O lahan Gandum (1) 1. Tepung terigu 2. M ie instan 3. M ie basah 4. M akaroni/mie kering
S atuan (2)
2002 (3)
2003 (4)
2004 (5)
2005 (6)
2006 (7)
2007 (8)
Kg
0.023
0.02
0.023
0.027
0.025
0.036
80 gr Kg
0.502 0.004
0.518 0.003
0.538 0.003
0.762 0.004
0.712 0.003
1,106 0.002
O ns
0.011
0.011
0.011
0.011
0.008
0.012
5. Roti taw ar 6. M ie (bakso/rebus/goreng)
B ks kecil P orsi
0.044 0.369
0.037 0.38
0.04 0.382
0.046 0.417
0.046 0.344
0.068 0.402
7. M ie instan (makanan jadi)
P orsi
0.024
0.017
0.021
0.025
0.02
0.026
.id
Sum ber : Susenas Panel 2002-2007, BPS
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Dari tren konsumsi yang terjadi selama tahun 2002-2007, tidak dapat dipungkiri bahwa tepung terigu dan produk olahannya, khususnya mie instan, memang sudah menjadi bagian penting dalam pola makan rumahtangga. Hal ini bisa dimaklumi karena mie instan sangat praktis, dapat dimasak dengan mudah dan cepat serta dapat memenuhi selera berbagai lapisan masyarakat, kaya dan miskin, dewasa maupun anak-anak, lelaki dan wanita, di kota maupun di desa. Selain itu, mie tidak hanya berfungsi sebagai makanan pokok, tetapi juga dapat berperan sebagai lauk-pauk. Variasi dan rasa mie instan juga sangat beragam dengan mengakomodir cita rasa daerah sehingga muncul produk mie rasa soto, mie rasa bakso, mie rasa soto betawi, dan lain-lain. Promosi yang sangat gencar di media cetak dan elektronik membuat mie instan cepat dikenal oleh masyarakat dan menjadi salah satu makanan paling populer di Indonesia. Dengan semakin menguatnya peranan mie dalam pola konsumsi pangan pokok, Simatupang (dalam Azahari, 2008) melihat ada dua masalah besar yang akan dihadapi Indonesia. Pertama, ketergantungan terhadap bahan pangan impor. Dilihat dari konteks ketahanan pangan, hal ini tidak baik karena dapat
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
301
Komoditas Tepung Terigu
terjadi kerawanan pangan akibat ketergantungan terhadap negara lain. Kedua, semakin tinggi impor terhadap barang yang sama sekali tidak dihasilkan di dalam negeri, secara langsung akan menggeser pasar bagi produk dalam negeri yang menjadi substitusinya. Dominannya peranan beras dan terigu dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia ini menunjukkan bahwa Pemerintah harus berupaya lebih keras lagi agar masyarakat lebih mengkonsumsi sumber pangan karbohidrat lainnya seperti umbi-umbian dan sagu.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Meningkatnya konsumsi mie instan dalam pola pangan pokok masyarakat Indonesia juga perlu diwaspadai apabila ditinjau dari segi kesehatan. Menurut Buletin Kesehatan Keluarga Anda, Edisi 97, tahun 2008, mie instan belum dapat dianggap sebagai makanan penuh (wholesome food) karena belum mencukupi kebutuhan gizi yang seimbang bagi tubuh. Mie yang terbuat dari terigu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi kandungan protein, vitamin, dan mineralnya hanya sedikit. Sifat karbohidrat dalam mie berbeda dengan sifat karbohidrat yang terkandung di dalam nasi. Sebagian karbohidrat dalam nasi merupakan karbohidrat kompleks yang memberi efek rasa kenyang lebih lama, sedangkan karbohidrat dalam mie instan sifatnya lebih sederhana sehingga mudah diserap. Akibatnya, mie instan memberi efek lapar lebih cepat dibanding nasi. Pemenuhan kebutuhan gizi mie instan hanya dapat diperoleh jika ada penambahan sayuran seperti wortel, sawi, tomat, kol, atau tauge dan sumber protein berupa telur, daging, ikan, tempe, atau tahu. Hal lain yang kurang disadari adalah kandungan minyak dalam mie instan yang dapat mencapai 30 persen dari bobot kering. Selain kandungan nutrisinya yang kurang, mie instan juga bisa merugikan bagi mereka yang mengkonsumsi karena dapat menyebabkan obesitas (kegemukan). Menurut seorang
302
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
ahli gizi klinik, Juniarta Alidjaja, orang yang kebanyakan makan mie instan tanpa diimbangi makanan berserat berpotensi mengalami gangguan kesehatan misalnya obesitas, kenaikan kadar gula darah, kenaikan tensi tubuh dan lain-lain. Hal ini karena mie mengandung karbohidrat sederhana, lemak, dan kadar natrium tinggi.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Kadar natrium tinggi yang terkandung dalam mie instan berasal dari garam (NaCl) dan bahan pengembangnya. Bahan pengembang yang umum digunakan adalah natrium tripolifosfat, yang mencapai 1 persen dari bobot total mie instan per takaran saji. Natrium memiliki efek yang kurang menguntungkan bagi penderita maag dan hipertensi. Bagi penderita maag, kandungan natrium yang tinggi akan menetralkan lambung, sehingga lambung akan mensekresi asam yang lebih banyak untuk mencerna makanan. Keadaan asam lambung yang tinggi akan berakibat pada pengikisan dinding lambung dan menyebabkan rasa perih. Sedangkan bagi penderita hipertensi, natrium akan meningkatkan tekanan darah karena ketidakseimbangan antara natrium dan kalium (Na dan K) di dalam darah dan jaringan. Perkembangan Impor Gandum dan Tepung Terigu Sebelum tahun 1970-an, Indonesia mengimpor terigu langsung dalam bentuk tepung, karena industri pengolahan tepung terigu belum berkembang. Namun, sejak tahun 1971 Indonesia mengimpor dalam bentuk gandum dan tepung terigu. Dari tahun ke tahun impor dalam bentuk butiran gandum ini semakin meningkat dan proporsinya jauh lebih tinggi dibandingkan impor dalam bentuk tepung terigu. Berbeda dengan kedelai yang dikategorikan sebagai bahan pokok pangan yang dibutuhkan oleh rakyat banyak sehingga terbebas dari pajak impor, dalam PP. No.4 144 tahun 2000
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
303
Komoditas Tepung Terigu
s. go
.id
tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, pasal 1 Huruf b, gandum tidak termasuk dalam kategori ini sehingga dikenakan PPN impor gandum sebesar 10%. Pada tahun 2001, untuk mengatasi persoalan defisiensi (kekurangan) gizi mikro di Indonesia, dikeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 153/MPP/Kep/5/2001 dan nomor 323/MPP/ Kep/11/2001 tentang wajib fortifikasi tepung terigu sehingga tepung terigu yang diimpor juga harus memenuhi kualifikasi tersebut. Fortifikasi pada‘dasarnya adalah upaya untuk meningkatkan mutu gizi makanan dengan menambahkan zat gizi tertentu pada makanan. Untuk terigu, SNI mensyaratkan fortifikasi zat besi (Fe), seng (Za), vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat dengan ukuran tertentu.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Seiring dengan peningkatan konsumsi tepung terigu dari waktu ke waktu, volume dan nilai impor gandum dan tepung terigu Indonesia juga terus meningkat (Gambar 9.5 dan 9.6).
Sumber : Badan Pusat Statistik
Gambar 9.5. Perkembangan Impor Gandum dan Meslin Indonesia, 2005-2007 304
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Pada tahun 2005, Indonesia mengimpor gandum sebanyak 4.429 ribu ton (senilai 799 juta US$), dan pada tahun 2007, jumlahnya meningkat menjadi 4.617 ribu ton (senilai 1.182 juta US$). Dengan demikian, pada periode 2005-2007, volume impor gandum Indonesia meningkat sebesar 4,2 persen. Begitu juga dengan tepung terigu, Indonesia mengimpor sebanyak 478 ribu ton (senilai 128 juta US$) pada tahun 2005, dan meningkat menjadi 584 ribu ton (senilai 181 juta US$) pada tahun 2007. Artinya terjadi kenaikan sebesar 22,1 persen selama tahun 20052007, suatu lonjakan yang cukup berarti. Impor gandum yang sebesar 4,6 juta ton per tahun ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu pengimpor gandum terbesar di dunia.
Sumber : Badan Pusat Statistik Gambar 6. Perkembangan Impor Tepung Terigu Indonesia, 2005-2007
Tingginya lonjakan kenaikan impor gandum dan tepung terigu nampaknya erat kaitannya dengan pergeseran pola konsumsi pangan akibat perubahan pola dan gaya hidup masyarakat Indonesia. Meningkatnya status ekonomi
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
305
Komoditas Tepung Terigu
masyarakat dan semakin gencarnya iklan produk pangan yang berbasis terigu telah berhasil membentuk gaya hidup baru sehingga konsumsi terhadap terigu dan produk olahannya meningkat dengan pesat di kalangan masyarakat Indonesia. Di supermarket, masyarakat dengan leluasa bisa memilih mie instan dari berbagai merek dan biskuit dengan aneka rasa sebagai makanan cemilan di waktu senggang. Restoran fastfood dengan burger-nya juga laris diserbu pengunjung. Makanan-makanan tersebut semuanya terbuat dari bahan dasar tepung terigu.
.id
9.3.3. Mie Instan dan Kemiskinan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Kemiskinan dan ketahanan pangan memiliki hubungan sebab akibat. Kondisi ketahanan pangan yang rentan menjadi sumber kemiskinan, dan sebaliknya karena miskin maka seseorang tidak memiliki ketahanan pangan. Dengan demikian kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, karena satu sama lain saling berinteraksi (Hendayana dan Dewi). Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Menurut definisi BPS, yang mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan demikian, Garis Kemiskinan (GK) dapat dibagi menjadi dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan NonMakanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
306
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum dari 52 komoditi makanan yang disetarakan dengan 2.100 kkalori per kapita perhari, sementara Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Pada bulan Maret 2008, besaran Garis Kemiskinan di tingkat nasional adalah Rp.182.636,- per kapita per bulan. Dengan memerhatikan komponen Garis Kemiskinan, terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Maret 2008, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 74,07 persen, artinya gejolak harga bahan makanan akan berpengaruh besar terhadap perubahan jumlah dan persentase penduduk miskin sehingga kestabilan harga bahan makanan harus benar-benar dijaga. Komoditi makanan yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada bulan Maret 2008, sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 38,97 persen di perdesaan dan 28,06 persen di perkotaan (Tabel 9.4). Selain beras, barang-barang kebutuhan pokok lain yang berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (4,18 persen di perdesaan, 3,10 persen di perkotaan), mie instan (2,82 persen di perdesaan,
Tabel 9.4. Sumbangan Beberapa Komoditi Makanan Terhadap Garis Kemiskinan 2007 dan 2008 (persen) Komoditi
2007
2008
Perdesaan
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
Beras Gula Pasir Mie Instan Telur Tempe Tahu
32.51 2.78 1.48 1.04 1.44 1.18
25.22 2.04 1.54 1.44 1.75 1.63
38.97 4.18 2.82 2.43 2.14 1.65
28.06 3.1 3.39 3.38 2.56 2.27
Sumber: Susenas Panel Maret 2007 dan 2008, BPS
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
307
Komoditas Tepung Terigu
3,39 persen di perkotaan), telur (2,43 persen di perdesaan, 3,38 persen di perkotaan), tempe (2,14 persen di perdesaan, 2,56 persen di perkotaan) dan tahu (1,65 persen di perdesaan, 2,27 persen di perkotaan).
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Munculnya mie instan dalam kelompok bahan makanan yang cukup berpengaruh terhadap besaran Garis Kemiskinan ini memperkuat temuan-temuan sebelumnya yang menyatakan mie instan sudah menjadi bagian penting dalam pola makan rumah tangga di semua lapisan masyarakat Indonesia, termasuk penduduk miskin. Dengan demikian, gejolak harga tepung terigu yang berimbas pada naiknya harga mie instan akan berpengaruh terhadap perubahan jumlah dan persentase penduduk miskin. Untuk saat ini, pengaruh fluktuasi harga mie instan belum terlalu signifikan seperti beras, namun dimasa mendatang pengaruhnya akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi. Tak dapat tidak, program diversifikasi konsumsi pangan harus terus ditingkatkan. Menurut Endah Murtiningtyas, Direktur Masalah Kemiskinan Bappenas, ada dua hal yang harus dijalankan pada masa datang dalam usaha peningkatan kesejahtaraan rakyat miskin, yaitu program diversifikasi pangan dan penjangkauan ke rakyat miskin. Diversifikasi pangan akan dibagi dalam tiga kategori, yaitu diversifikasi horisontal, vertikal, dan desentralisasi kebijakan pangan dan implementasinya. Intinya, peragaman pangan tidak hanya menyangkut masalah kualitas, namun harus ditingkatkan juga cara pengolahannya, jumlah karbohidrat yang terkandung dalam pangan tersebut, serta makanan pelengkapnya. Usaha tersebut harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan sehingga tujuan akhir dari diversifikasi yaitu meningkatnya ketahanan pangan yang berbasis sumber daya lokal tercapai.
308
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
9.3.4. Analisis Input-Output
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Gambar 9.7 menyajikan perbandingan 10 sektor perekonomian di Indonesia yang memiliki jumlah dan nilai indeks daya penyebaran (backward linkages index) terbesar dengan sektor tepung terigu. Jumlah daya penyebaran menunjukkan dampak dari satu unit permintaan akhir suatu sektor terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing sektor secara keseluruhan. Sedangkan nilai indeks daya penyebaran menunjukkan kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan pertumbuhan industri hulunya. Indeks daya penyebaran mencerminkan permintaan suatu sektor terhadap sektor-sektor produksi lainnya.
Catatan : Makanan & minuman terbuat dari susu (51), daging olahan & awetan (50), bubur kertas (90), makanan lainnya (68), minyak hewani dan nabati (56), roti, biskuit & sejenisnya (60), tekstil jadi kecuali pakaian (77), barang lainnya dari karet (108), kulit samakan & olahan (81), jamu (100), tepung terigu (58) Sumber : Tabel Input Output Indonesia 2005, BPS
Gambar 9.7. Jumlah dan Indeks Daya Penyebaran 10 Sektor Terbesar dan Sektor Tepung Terigu
Sektor tepung terigu yang hanya menempati peringkat ke 174 dari 175 sektor, memiliki jumlah daya penyebaran sebesar 1,0797 dan nilai indeks daya penyebaran sebesar 0,6580. Artinya
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
309
Komoditas Tepung Terigu
.id
setiap satu-satuan peningkatan permintaan akhir pada sektor tepung terigu akan mendorong peningkatan output pada sektorsektor yang digunakan sebagai input oleh tepung terigu sebesar 1,0797 satuan. Sedangkan nilai indeks penyebaran tepung terigu sebesar 0,6580 (dibawah rata-rata), menunjukkan bahwa sektor tepung terigu kurang kuat dalam menarik pertumbuhan output sektor hulunya. Meski sektor tepung terigu memiliki nilai indeks daya penyebaran yang rendah, namun ada sektor yang berbasis tepung terigu termasuk dalam 10 sektor perekonomian terkuat dalam menarik pertumbuhan output di sektor hulu yaitu sektor roti, biskuit dan sejenisnya (60).
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Gambar 9.8 menyajikan perbandingan 10 sektor perekonomian di Indonesia yang memiliki jumlah dan nilai
Catatan : Jasa perdagangan (149), barang-barang hasil kilang minyak (104), bank (159), jasa angkutan jalan raya (153), minyak bumi (36), listrik dan gas (142), jasa perbengkelan (173), jasa perusahaan (163), gas bumi dan gas panas bumi (37), mesin dan perlengkapannya (124), tepung terigu (58) Sumber : Tabel Input Output 2005, BPS
Gambar 9.8. Jumlah dan Indeks Daya Kepekaan 10 Sektor Terbesar dan Sektor Tepung Terigu
310
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
indeks daya kepekaan (forward linkages index) terbesar dengan sektor tepung terigu. Jumlah derajat kepekaan menunjukkan pembentukan output di suatu sektor yang dipengaruhi oleh permintaan akhir masing-masing sektor perekonomian. Sedangkan nilai indeks daya kepekaan mencerminkan kemampuan suatu sektor dalam mensuplai sektor-sektor produksi lainnya.
.b p
s. go
.id
Sektor tepung terigu yang hanya menempati peringkat ke 41 dari 175 sektor, memiliki jumlah daya kepekaan sebesar 1,7699 dan nilai indeks daya penyebaran sebesar 1,0786. Nilai indeks kepekaan sektor tepung terigu lebih besar dari satu, artinya sektor tepung terigu mempunyai kemampuan yang kuat untuk mendorong pertumbuhan output industri hilirnya. Nilai tersebut juga menunjukkan besarnya peranan sektor tepung terigu dalam mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.
ht
tp :// w
w
w
Berdasarkan Tabel Input Output 2005, sektor tepung terigu paling banyak menyerap input dari sektor jasa perdagangan sebesar 33,5 persen, kemudian sektor padi-padian dan bahan makanan lainnya sebesar 14,8 persen dan sektor listrik dan gas sebesar 12,7 persen. Sektor lainnya yang inputnya cukup banyak diserap oleh sektor tepung terigu adalah sektor bank dan jasa angkutan jalan raya, masing-masing sebesar 7,6 persen dan 7,2 persen. Sisanya, sektor tepung terigu menyerap sektor-sektor lainnya masing-masing dibawah 5 persen. Sementara berdasarkan struktur output, sektor tepung terigu paling banyak diserap atau dijadikan input oleh sektor mie, makaroni dan sejenisnya sebesar 50,6 persen dan oleh sektor roti, biskuit dan sejenisnya sebesar 28 persen. Sektor jasa restoran dan sektor makanan lainnya berada di urutan berikutnya dengan penyerapan sebesar 9,1 persen dan 5,8 persen. Sementara sektor-sektor lainnya (seperti sektor jasa perhotelan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
311
Komoditas Tepung Terigu
dan lain-lain) hanya mampu menyerap sektor tepung terigu dibawah 5 persen. 9.4. Kebijakan Dan Tantangan Pengembangan 9.4.1. Paket Kebijakan Pangan Pemerintah dan Usaha Pengembangan Gandum
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Untuk mengatasi lonjakan harga pangan, awal tahun 2008 Pemerintah menggulirkan paket kebijakan pangan untuk beras, minyak goreng, kedelai dan terigu. Kebijakan ini ditempuh dengan tujuan untuk meredam gejolak harga di pasar dalam jangka pendek. Untuk tepung terigu, kebijakan yang diterapkan meliputi penurunan bea masuk untuk impor terigu menjadi nol persen, PPN 10% atas impor gandum ditanggung Pemerintah (DTP), dan penundaan penerapan sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Tepung Terigu bagi impor terigu sehingga membolehkan impor tepung terigu yang tidak difortifikasi. Kebijakan Pemerintah ini mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak dengan berbagai alasan. Aptindo (2007), UNICEF (2008) dan berbagai pihak lainnya mengkritisi kebijaksanaan ini dari berbagai sudut pandang, yang pada dasarnya dapat diringkas sebagai berikut.
Pertama, kebijakan pembebasan bea masuk untuk impor terigu hingga nol persen tidak akan berdampak terhadap penurunan harga karena terigu impor hanya digunakan oleh industri-industri besar. Pasokan tepung terigu impor terhadap total konsumsi domestik juga relatif kecil, hanya berkisar 14 persen. Tepung terigu merupakan komoditi yang tidak tahan lama, mudah berkutu dan berbau apek, sehingga industri kecil dan konsumen lebih suka menggunakan terigu lokal karena lebih fresh. Dengan demikian kebijakan ini tidak akan dinikmati oleh industri kecil dan konsumen tetapi hanya akan
312
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
w
w
.b p
s. go
.id
menguntungkan para importir dan industri besar pengguna terigu impor. Selain itu, dalam masa krisis pangan, impor terigu akan sulit dilakukan karena negara-negara produsen akan mengurangi ekspornya untuk memproteksi stok pangan nasionalnya. Untuk menghindari gejolak harga tepung terigu, Aptindo mengusulkan penghapusan Pajak Penambahan Nilai (PPN) atas impor gandum. Menurut Aptindo, bagi industri penggiling terigu PPN merupakan cash flow karena PPN yang dipungut di impor gandum kemudian dipungut lagi ditingkat distributor, yang selanjutnya memungut lagi di tingkat grosir sehingga pada akhirnya pungutan PPN dibebankan pada konsumen akhir. Selain menuntut penghapusan PPN, Aptindo sekaligus meminta komoditi gandum supaya dimasukkan dalam kategori bahan pokok kebutuhan rakyat banyak seperti halnya komoditi kedelai. Hal ini perlu karena kebutuhan gandum nasional tergolong tinggi, yakni mencapai 4,5 juta ton per tahun, sementara kebutuhan kedelai hanya mencapai 1,9 juta ton per tahun.
ht
tp :// w
Kedua, paket kebijakan pencabutan SNI wajib tepung terigu selain akan merugikan kesehatan anak dan perempuan Indonesia juga akan menghilangkan reputasi baik Indonesia dimata internasional. SNI wajib tepung terigu adalah hasil recomendasi UNICEF atas kajiannya dimana 60% rakyat Indonesia gizinya dibawah rata-rata. Fortifikasi tepung terigu merupakan salah satu cara yang paling hemat biaya dan mudah dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro. Fortifikasi tepung terigu hanya menelan biaya Rp.15,- per kg, sangat kecil bila dibandingkan dengan harga tepung terigu yang berkisar Rp.7000,- per kg, tetapi untuk manfaat yang amat besar bagi masa depan anak bangsa. UNICEF mengatakan, resiko kekurangan zat gizi mikro di kalangan anak-anak akan menjadi lebih besar jika tepung terigu tidak difortifikasi. Biaya fortifikasi tepung terigu per metrik ton cukup murah dan penambahan zat
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
313
Komoditas Tepung Terigu
s. go
.id
gizi mikro merupakan investasi yang manfaaatnya jauh melampaui biaya yang dikeluarkan. Membolehkan masuknya tepung terigu impor yang tidak difortifikasi tidak menjamin bahwa harga tepung terigu di pasaran akan turun. UNICEF menilai penghapusan kewajiban fortifikasi tepung terigu ini akan membuat Indonesia kurang melindungi kelompok-kelompok yang rawan terhadap kekurangan zat gizi mikro, yang pada akhirnya bisa menimbulkan kerawanan terhadap penyakit dan kematian, menghambat perkembangan mental dan fisik, serta mempertinggi prevalensi gangguan syaraf bayi pada saat dilahirkan. Pada akhir Juli 2008, Pemerintah Indonesia akhirnya memberlakukan kembali kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Tepung Terigu.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Dalam usaha menekan impor gandum, berbagai uji coba pembudidayaan gandum di Indonesia sudah dilakukan tetapi hasilnya belum maksimal. Untuk menangkal mitos bahwa gandum tidak dapat ditanam di Indonesia, Handoko (2007) melakukan uji coba penanaman gandum di 5 lokasi yaitu Mojosari, Bogor, Malang, Nongkojajar, dan Cangar. Ia menyimpulkan bahwa gandum dapat ditanam di Indonesia. Hasil panen gandum meningkat dengan altitude (ketinggian tempat) akibat penurunan suhu udara. Dengan menggunakan model simulasi komputer, penelitian ini juga menghasilkan peta perwilayahan gandum di Indonesia pada berbagai waktu tanam. Berdasarkan peta tersebut dapat ditentukan wilayah-wilayah potensial untuk mengembangkan tanaman gandum di Indonesia. Secara umum peta perwilayahan tersebut menunjukkan adanya dua faktor pembatas utama yaitu (1) ketinggian tempat yang menentukan suhu udara yang berhubungan dengan sebaran lokasi (spasial). (2) curah hujan yang menentukan ketersediaan air yang berhubungan dengan waktu tanam (temporal). Berbagai uji coba lainnya nampaknya masih perlu dilakukan, sehingga niat untuk dapat
314
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
membudidayakan gandum di Indonesia dalam skala besar masih perlu waktu yang panjang. 9.4.2. Kebijakan Diversifikasi Pangan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Menurut Budijanto (2008), untuk mengatasi persoalan tepung terigu di Indonesia, Pemerintah harus memikirkan kebijakan yang komprehensif yang mencakup kebijakan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, pemerintah harus bisa menekan kenaikan harga tepung terigu dengan mengeluarkan kebijakan yang cepat dan berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak. Untuk bisa mengontrol dan menentukan harga tepung terigu, Pemerintah perlu melakukan pengkajian untuk mempertimbangkan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) tepung terigu supaya importir tidak seenaknya menetapkan harga tepung terigu. Meskipun demikian, penetapan HET ini harus diperhitungkan dengan cermat supaya tidak merugikan importir. Dalam jangka menengah, perlu dibuat berbagai kebijakan untuk mensubtitusi tepung terigu dengan tepung lokal secara bertahap dengan memperhatikan karakteristik produk yang dibuat. Dalam jangka panjang, diharapkan tepung lokal dapat digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai industri sehingga perlu dilakukan pembatasan impor terigu. Kalau kebijakan ini bisa diwujudkan, tepung lokal betul-betul bisa menjadi pilihan sehingga bukan hanya menjadi subtitusi. Diharapkan industri yang berbahan baku tepung terigu sudah beralih ke tepung lokal, begitu juga dengan UKM dan konsumen pengguna langsung. Dilihat dari ketersediaan dan keragamannya, potensi pangan lokal di Indonesia seperti umbi-umbian, jagung atau sagu cukup berlimpah dan dapat dijadikan produk pangan yang unggul apabila diolah dan dikemas dengan baik. Salah satu contohnya adalah ubikayu. Menurut Suprapti (2005), ubikayu
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
315
Komoditas Tepung Terigu
mempunyai potensi baik untuk dikembangkan menjadi bahan pangan pokok selain beras. Ubi kayu umum dikonsumsi dalam bentuk ubi rebus, tiwul (gaplek),i campuran beras (dalam bentuk oyek) maupun keripik singkong. Penggunaan ubikayu sebagai campuran beras (oyek) ditemukan di sebagian Jawa, Sumatera dan Kalimantan, gaplek sangat populer di daerah Jawa yang kekurangan air sebagai bahan makanan pokok, sementara keripik singkong ditemukan di hampir semua kabupaten.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Dalam bentuk pati asli (native starch), pati ubikayu (tapioka) dapat diolah menjadi berbagai makanan ringan (snack food) modern, seperti aneka biskuit/crackers, juga bubur bayi instan, produk-produk olahan daging (bakso, sosis, nugget), tepung bumbu, dan sebagainya. Pati ubikayu juga dapat diproses menjadi bentuk lanjut menjadi pati termodifikasi (modified starch) yang dapat menjadi bahan pembuatan makanan modern seperti makanan instan (instant food), permen, dan produk olahan daging seperti chicken nugget. Pati ubikayu juga dapat dihidrolisis menjadi turunan-turunannya seperti dekstrin, maltodekstrin, sirup glukosa, high fructose syrup (HFS), sorbitol, dan lain sebagainya, yang digunakan dalam pembuatan/ formulasi susu formula, bubur bayi instan, permen, jam/jelly, minuman ringan, saus, dan sebagainya. Skema pemanfaatan ubikayu untuk berbagai produk pangan dapat dilihat pada Gambar 9.9. Dari Gambar 9.9 terlihat bahwa ubikayu dapat dibuat menjadi berbagai macam tepung yang dapat dijadikan sebagai bahan baku berbagai produk makanan. Selain ubikayu, masih banyak produk lokal yang dapat dijadikan tepung seperti tepung beras, tepung maizena (terbuat dari jagung), tepung ketan, tepung sagu, tepung hunkwe (terbuat dari kacang hijau), tepung custard (terbuat dari campuran kentang atau jagung) dan tepung garut (terbuat dari umbi garut). Melihat potensi pangan lokal Indonesia,
316
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
ProdukMakanan (keripik/kerupuk, tape, lemet, dll)
Ubikayu Segar Ubikayu Produk Antara
Produk Makanan (nasi oyek, dll)
Tepung Gaplek
ProdukMakanan (tiwul, kue kering, dll)
Tepung Kasava
ProdukMakanan (roti, mie, biskuit, dll)
.id
Tepung Oyek
s. go
ProdukMakanan Tradisional (biji salak, kue lapis, kerupuk, dll)
.b p
ProdukMakananModern (bubur susu instan, tepung bumbu, biskuit/snack, meat product, dll) - Roti (Bakery) - Es krim - Meat product - Permen - dll.
Hidrolisat Pati
- Dekstrin - Maltodekstrin - Sirup Glukosa - High Fructose Syrup(HFS) - Sorbitol - dll.
- Susu formula - Bubur susuinstan - Minumanringan - Saus - Permen - Jam/jelly - dll.
tp :// w
w
w
Pati Termodifikasi
- Pati Pragelatinisasi - Pati Teroksidasi - Pati Posfat - dll.
ht
Tepung Tapioka
Monosodium Glutamat (MSG)
Sumber: Supriadi (2007)
Gambar 9.9. Skema Pemanfaatan Ubikayu Untuk Berbagai Produk Pangan
harusnya prospek industri pangan di Indonesia cukup cerah karena tersedianya sumberdaya alam yang melimpah.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
317
Komoditas Tepung Terigu
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Dengan belajar dari pengalaman keberhasilan tepung terigu dan produk turunannya dalam menggeser pola konsumsi masyarakat Indonesia, program diversifikasi pangan yang mulai memudar harus kembali ditingkatkan dengan berbasis pangan lokal, kemandirian dan dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani dan pelaku agribisnis lainnya. Program diversifikasi konsumsi pangan perlu dilakukan melalui berbagai kampanye, penyuluhan dan demonstrasi pengolahan pangan lokal. Idealnya, pengenalan diversifikasi konsumsi pangan dilakukan sejak anak-anak usia dini dan dilakukan per komoditas sesuai dengan kondisi dan potensi daerah. Pengembangan konsumsi jagung dan produk turunannya perlu dilakukan di daerah produsen jagung seperti Gorontalo, sementara pengembangan konsumsi ubi kayu dan produk turunannya perlu dilakukan di daerah Wonogiri dan Gunungkidul yang areanya didominasi lahan kering. Semua usaha ini perlu dilakukan dengan sabar dan berkesinambungan karena usaha diversifikasi konsumsi pangan terkait erat dengan upaya mengubah selera dan kebiasaan makan sehingga tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu yang cepat dan memerlukan proses yang panjang. Pada saat yang sama perlu dilakukan upaya untuk merubah persepsi masyarakat. Selama ini ada persepsi bahwa beras merupakan barang superior sementara jagung, umbi-umbian dan sagu merupakan barang inferior sehingga masyarakat lebih suka mengonsumsi beras. Perlu dilakukan sosialisasi yang gencar supaya posisi jagung, umbiumbian dan sagu sebagai bahan makanan adalah sama dengan beras dan kandungan gizinyapun cukup tinggi. Untuk itu, kebijakan pengembangan program diversifikasi pangan di masa mendatang perlu dilakukan dengan lebih seksama, didukung oleh pengkajian-pengkajian yang lebih mendalam tentang perilaku konsumen.
318
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
9.5. Kesimpulan
.b p
s. go
.id
Tepung terigu merupakan salah satu bahan pokok pangan non-beras yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Bahan baku untuk membuat tepung terigu adalah gandum yang seluruhnya diimpor dari negara lain karena Indonesia tidak memproduksinya. Dari waktu ke waktu, konsumsi tepung terigu dan produk olahannya meningkat sangat pesat sehingga pola pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beras+mie. Seiring dengan peningkatan konsumsi tepung terigu, volume dan nilai impor gandum juga meningkat pesat. Ketergantungan Indonesia terhadap impor gandum dinilai sudah mencapai titik kritis. Dalam usaha menekan impor gandum, berbagai uji coba pembudidayaan gandum di Indonesia sudah dilakukan tetapi hasilnya belum maksimal.
ht
tp :// w
w
w
Peningkatan konsumsi tepung terigu dan produk olahannya, terutama mie instan, terjadi di semua lapisan masyarakat, termasuk penduduk miskin. Mie instan merupakan salah satu komoditi makanan yang cukup berpengaruh terhadap besarnya Garis Kemiskinan. Saat ini, pengaruh mie instan terhadap pengeluaran makanan bagi penduduk miskin belum terlalu signifikan seperti beras, namun ada kecenderungan terus meningkat. Dimasa mendatang, pengaruh mie instan akan meningkat seiring dengan naiknya konsumsi sehingga gejolak harga mie instan dapat berpengaruh terhadap perubahan jumlah dan persentase penduduk miskin. Dominannya konsumsi tepung terigu dan produk olahannya dalam pola pangan pokok masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa upaya diversifikasi pangan masih jauh dari harapan, bahkan cenderung bergeser kearah yang mengkhawatirkan. Program diversifikasi konsumsi pangan bertujuan untuk memanfaatkan sumber pangan domestik yang sangat kaya dan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
319
Komoditas Tepung Terigu
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
beragam, tetapi yang terjadi justru diversifikasi ke produk-produk pangan yang berbasis tepung terigu yang seluruh bahan bakunya diimpor. Untuk mengatasi persoalan tepung terigu di Indonesia, Pemerintah harus memikirkan kebijakan yang komprehensif. Dengan belajar dari pengalaman keberhasilan tepung terigu dan produk olahannya dalam menggeser pola konsumsi masyarakat Indonesia, program diversifikasi pangan yang mulai memudar harus kembali ditingkatkan dengan berbasis pangan lokal, kemandirian dan dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani dan pelaku agribisnis lainnya. Program diversifikasi pangan di masa mendatang perlu dilakukan dengan lebih seksama, didukung oleh pengkajianpengkajian yang lebih mendalam tentang perilaku konsumen.
320
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Tepung Terigu
DAFTAR BACAAN Alexandi, M. F (2008). Negara dan Pengusaha Pada Era Reformasi di Indonesia: Ekonomi Politik Kebijakan Persaingan Usaha Pada Industri Tepung Terigu Nasional (Periode 1999-2008), Disertasi, Universitas Indonesia. Aptindo (2007). Laporan Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia, Jakarta.
s. go
.id
Ariani, M. (2008). Keberhasilan Diversifikasi Pangan Tanggung Jawab Bersama, Badak Pos – Banten, 16 – 22 Juni 2008, Hal. 2.
.b p
Ariani, M. dan Purwantini, T.B. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi Di Propinsi Jawa Barat
ht
tp :// w
w
w
Azahari, Delima Hasri (2008). Membangun Kemandirian Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Ketahanan Pangan, Deptan (2008). Gambaran Situasi Konsumsi Pangan Penduduk Tahun 2007 Berdasar Susenas.
Budijanto, Slamet (2008). Tinggalkan Tepung Terigu, Pilihlah Tepung Lokal. Artikel Iptek, 20 Februari 2008 03:46:17 Buletin Kesehatan Keluarga Anda (2008). Efek Makan Mie Bagi Kesehatan, Edisi 97, 2008. Endah Murtiningtyas. Seminar On Impact of High International Commodity Prices: Evidence, Challenges and Opportunities. FAO (2008). World Food Situation: High Food Prices, Agustus 2008.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
321
Komoditas Tepung Terigu
Handoko, I. (2007). Gandum 2000: Penelitian Pengembangan Gandum di Indonesia, SEAMEO BIOTROP, Bogor, Indonesia. Hendayana, R. dan Dewi, Y.A. Anatomi Ketahanan Pangan Pada Rumah Tangga Miskin Dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Inovasi Pertanian, Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi. Kompas (2008). Indonesia Masuk “Perangkap Pangan”, Kompas, Laporan Utama, Senin, 1 September 2008:1
s. go
.id
Prabowo, Hermas E. (2008), “Ketahanan Pangan Tinggalkan Pendekatan Komoditas”, Kompas, Bisnis & Keuangan, Kamis, 24 April: 21.
w
.b p
Radar Palembang (2008). Konsumsi Terigu Melorot, Properti & Finansial, Radar Palembang, Kamis, 25 September 2008.
ht
tp :// w
w
Sawit, M.H. (2003). Kebijakan Gandum/Terigu: Harus Mampu Menumbuh-kembangkan Industri Pangan Dalam Negeri, Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 1 (2): 100109, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Suprapti, M.L. (2005). Tepung Tapioka: Pembuatan dan Pemanfaatannya, Kanisius, Yogyakarta. Supriadi, Herman (2007). Potensi, Kendala dan Peluang Pengembangan Agroindustri Berbasis Pangan Lokal Ubikayu, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. UNICEF (2008). UNICEF Menyayangkan Pencabutan Keputusan Menteri Mengenai Wajib Fortifikasi Tepung Terigu Di Indonesia, JAKARTA, 8 Februari 2008
322
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
.b p
s. go
Penulis :
.id
Komoditas Pulp dan Kertas
ht
tp :// w
w
w
Ir. Sri Indrayanti, MAP Ahmad Avenzora, SE Windhiarso Ponco AP, M. Eng
Komoditas Pulp dan Kertas
10.1. Pendahuluan
.id
Sumber daya hutan menjadikan Indonesia dijuluki sebagai salah satu negara yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Dengan kekayaan hutan yang dimiliki, sektor kehutanan menjadi sangat berperan sebagai penyedia bahan baku untuk menghasilkan produk-produk yang berkontribusi penting dalam perolehan devisa negara khususnya yang berasal dari sektor non migas. Industri –industri pengolahan kayu di Indonesia yang mengandalkan sumber daya hutan antara lain: industri penggergajian, plywood, pulp dan kertas.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri yang termasuk dalam 10 klaster industri inti yang mendapat fokus penguatan dan penumbuhan didalam arah kebijakan sektor industri. Arah kebijakan tersebut mengacu kepada agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 melalui Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005. Klaster industri adalah upaya mengelompokkan industri inti yang saling berhubungan, baik dengan industri pendukung (supporting industries) maupun dengan industri terkait (related industries). Manfaat dari klaster ini selain untuk mengurangi biaya transportasi dan transaksi, juga dapat meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif, dan memungkinkan terciptanya inovasi. Selengkapnya ke sepuluh jenis industri tersebut adalah : industri makanan dan minuman, industri pengolahan hasil laut, industri tekstil dan produk tekstil, industri alas kaki, industri kelapa sawit, industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu), industri karet dan barang karet, industri pulp dan kertas, industri mesin listrik dan peralatan listrik dan industri petrokimia.
Dengan luas hutan mencapai 137,09 juta hektar pada tahun 2006 (Statistik Indonesia, 2008), Indonesia merupakan negara
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
325
Komoditas Pulp dan Kertas
yang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo. Luas hutan Indonesia terbagi dalam hutan lindung 31,60 juta hektar, hutan suaka alam dan pelestarian alam 23,30 juta hektar, hutan produksi 59,14 juta hektar, hutan konservasi 22,80 juta hektar, dan sisanya adalah hutan buru. Sebagai industri yang bahan bakunya sangat mengandalkan sumber daya hutan, industri pulp dan kertas berada dalam posisi yang prospektif mengingat luas hutan yang dimiliki Indonesia relatif dapat diandalkan, disamping itu juga karena semakin tingginya permintaan kertas dunia.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Meskipun demikian, bahan baku industri pulp dan kertas seharusnya bukan bersumber dari hutan alam, melainkan dari hutan tanaman industri (HTI), khususnya HTI-pulp. Menurut Probosutedjo, salah satu pengusaha Indonesia (Agribisnis, 2004), mengatakan bahwa mengingat produksi hutan alam Indonesia yang semakin menipis, maka hutan tanaman memiliki potensi sebagai sumber bahan baku bagi industri kehutanan yang sedang mengalami krisis. Selain kondisi hutan alam yang rusak parah sehingga menyebabkan berkurangnya pasokan bahan baku industri perkayuan, kondisi ini diperparah pula dengan diberlakukannya kebijakan soft landing. Adanya pembatasan jatah produksi tebangan kayu di hutan alam menyebabkan pasokan bahan baku semakin sedikit sehingga akhirnya terjadi pembalakan atau pencurian kayu di hutan alam. Apabila kondisi tersebut tidak segera diatasi melalui pembangunan HTI, maka hutan alam akan punah dalam beberapa tahun. HTI dapat dijadikan motor penggerak perekonomian nasional disamping pemanfaatan lahan kritis yang dijadikan hutan. Hal ini dikarenakan HTI merupakan sumber alternatif bahan baku industri kehutanan termasuk industri pulp dan kertas. Menteri Kehutanan MS Kaban dalam satu kesempatan menyatakan akan membatasi penggunaan
326
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
s. go
.id
kayu yang berasal dari hutan alam untuk bahan baku industri kertas sampai tahun 2009 (Pusgrafin, 18 September 2008). Disebutkan, bahwa pihak pengusaha industri pulp dan kertas agar menanam HTI sebagai pengganti hutan tanaman alam untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya. Dengan demikian kelestarian hutan alam dapat terus dijaga. Salah satu keunggulan industri pulp di Indonesia dibanding negara sub tropis adalah daur hidup yang lebih cepat, HTI pulp sudah bisa dipanen saat berumur delapan tahun. Oleh karena itu, bila pasokan bahan baku dapat dipenuhi dari HTI maka selain Indonesia berpotensi menguasai pasar pulp dunia, Indonesia juga dapat mengatasi punahnya hutan alam yang berfungsi sebagai salah satu paru-paru dunia.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Kajian mengenai industri pulp dan kertas ini akan membahas tentang kinerja industri pulp dan kertas yang diantaranya mencakup kontribusi nilai tambahnya terhadap pembentukan PDB, laju pertumbuhan nilai tambahnya, jumlah perusahaan, penyerapan tenaga kerja, produksi, ekspor, impor dan konsumsi pulp dan kertas. Di samping itu, kajian ini juga membahas tentang permasalahan yang dihadapi industri pulp dan kertas, termasuk tantangan dan prospeknya. Jenis permasalahan yang dihadapi industri pulp dan kertas akan dilakukan dengan menggunakan Causal Loop Diagram (CLD) atau Diagram Loop Sebab-Akibat. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan penyusunan kebijakan yang terkait dengan peningkatan industri pulp dan kertas dengan memperhatikan kelestarian hutan Indonesia sebagai penyedia bahan baku.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
327
Komoditas Pulp dan Kertas
10.2. Kinerja Industri Pulp dan Kertas 10.2.1. Kontribusi dan Pertumbuhan Industri Kertas dan Barang Cetakan
w
.b p
s. go
.id
Sektor industri pengolahan memegang peran penting dalam perekonomian Indonesia, baik dilihat dari kontribusi nilai tambahnya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku maupun dari laju pertumbuhan PDB sektor industri pengolahan atas dasar harga konstan tahun 2000. Industri kertas dan barang cetakan (termasuk pulp) yang telah ditetapkan sebagai salah satu industri yang mendapat mendapat fokus penguatan dan penumbuhan didalam arah kebijakan sektor industri terlihat berada pada urutan ke empat bila dibandingkan dengan 8 (delapan) jenis industri lainnya baik dari kontribusi maupun dari laju pertumbuhannya. Pada tahun 2007, dengan nilai tambah industri kertas dan barang cetakan atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 45.404,2 miliar,
w
12
8
Kertas dan Barang cetakan; 45.404,2
Pupuk, Kimia & Barang dari karet; 110.769,3
ht
6
Pertumbuhan (%)
Alat Angk., Mesin & Peralatannya; 254.468,3
tp :// w
10
4
Makanan, Minuman dan Tembakau; 264.080,3
Semen & Brg. Galian bukan logam; 32.816,6
2
Logam Dasar Besi & Baja; 22.907,9
0 Brg. kayu & Hasil hutan lainnya.; 54.884,6
-2
Tekstil, Brg. kulit & Alas kaki; 93.605,5 Barang lainnya; 7.573,4 -4
-6 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Kontribusi thd PDB (%)
Gambar 10.1. PDB Sektor Industri Pengolahan Atas Dasar Harga Berlaku (miliar rupiah), Kontribusi (%) dan Laju Pertumbuhan (%) menurut Jenis Industri, tahun 2007 328
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
memberikan kontribusi sebesar 1,1 persen terhadap PDB dan laju pertumbuhan sebesar 5,8 persen (Gambar 10.1)
.b p
s. go
.id
Bila dibandingkan antara periode sebelum krisis ekonomi, masa krisis, dan pasca krisis, kontribusi nilai tambah industri kertas dan barang cetakan terhadap PDB atas dasar harga berlaku cenderung stagnan, yaitu hanya sekitar 1 persen. Kecenderungan ini juga dialami oleh kontribusi PDB sektor industri pengolahan, yaitu sekitar 27 persen. Kontribusi nilai tambah industri kertas dan barang cetakan pada periode sebelum krisis (1990-1996) sekitar 1,2 persen, periode krisis (1997-1999) sebesar 1,4 persen, dan periode pasca krisis (2000-2004) sekitar 1,3 persen. Sedangkan dalam 3 tahun terakhir, kontribusi industri kertas dan barang cetakan justru cenderung turun (Tabel 10.1a). Namun, bila dilihat dari laju
tp :// w
w
w
T abel 10.1.a. Kontribusi PDB S ektor Industri P engolahan terhadap P DB atas Dasar Harga Berlaku m enurut Jenis Industri
LAPANGAN US AHA
Rata-rata Rata-rata Rata-rata 1990-1996 1997-1999 2000-2004
(2) Industri P engolahan 28,3 a. Industri M i g a s 2,5 1). Pengilangan M iny ak Bumi 1,3 2). G as A lam C air 1,2 b. Industri bukan M igas 25,8 1). M akanan, M inuman dan Tembakau 5,4 2). Tekstil, B rg. kulit & A las kaki 3,5 3). Brg. kay u & H asil hutan lainny a. 2,4 4). Kertas dan Barang cetakan 1,2 5). Pupuk, K imia & Barang dari karet 2,8 6). Semen & B rg. Galian bukan logam 0,8 7). Logam Dasar Besi & B aja 1,1 8). Alat A ngk., M esin & Peralatanny a 8,3 9). Barang lainny a 0,3 P RO DU K DOM ES TIK B RU TO 100 P RO DU K DOM ES TIK B RU TO TAN PA M IG A S 91,5 S umber : B PS
ht
(1)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Kontribusi terhadap PDB (% )
(3) 26,5 2,6 1,1 1,5 23,8 7,6 3,1 1,6 1,4 3,1 0,8 0,8 5,2 0,2 100 91,8
(4) 28,4 3,9 2,2 1,7 24,5 7,7 3,3 1,6 1,3 2,9 0,9 0,7 5,8 0,2 100 90
2005
2006
2007
(5) 27,4 5 3,2 1,8 22,4 6,4 2,8 1,3 1,2 2,7 0,9 0,7 6,2 0,2 100 88,6
(6) 27,5 5,2 3,5 1,6 22,4 6,4 2,7 1,3 1,2 2,8 0,9 0,6 6,3 0,2 100 88,9
(7) 27 4,6 3,1 1,5 22,4 6,7 2,4 1,4 1,1 2,8 0,8 0,6 6,4 0,2 100 89,5
329
Komoditas Pulp dan Kertas
s. go
.id
pertumbuhan nilai tambah industri kertas dan barang cetakan telah terjadi suatu perlambatan. Bila pada periode sebelum krisis, industri ini dapat tumbuh rata-rata 11,6 persen per tahun, maka rata-rata laju pertumbuhan pada masa krisis hanya tumbuh sekitar 2,2 persen. Pada periode pasca krisis industri ini mampu bangkit sehingga laju pertumbuhannya menjadi 4,4 persen per tahun, meskipun masih berada jauh di bawah rata-rata pertumbuhan sebelum terjadinya krisis ekonomi. Pertumbuhan industri kertas dan barang cetakan pada tahun 2005 dan 2006 kembali melambat, masing-masing 2,4 persen dan 2,1 persen. Pada tahun 2007, industri kertas dan barang cetakan kembali mengalami percepatan pertumbuhan yaitu sebesar 5,8 persen (Tabel 10.1b).
T abel 10.1b. Laju Pertum buhan S ektor Industri P engolahan atas
.b p
Dasar Harga Konstan 2000 menurut Jenis Industri
Rata-rata Rata-rata Rata-rata
w
LAPANGAN US AHA
w
Laju P ertum buhan (%)
(1)
tp :// w
1990-1996 1997-1999 2000-2004
2006
2007
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
9,2 3,5
-5,3 2,2
5,8 -1,9
4,6 -5,7
4,6 -1,7
4,7 -0,1
3,1 3,9
-0,7 4,4
0,1 -3,1
-5 -6,2
-1,9 -1,5
-0,1 0
b. Industri bukan M igas 1). M akanan, M inuman dan Tembakau
10,3 13,1
-6,4 5,6
7,1 1,7
5,9 2,8
5,3 7,2
5,2 5,1
2). Tekstil, B rg. kulit & A las kaki 3). Brg. kay u & H asil hutan lainny a.
10,5 3,2
-3,4 -14
5 1,5
1,3 -0,9
1,2 -0,7
-3,7 -1,7
4). Kertas dan Barang cetakan 5). Pupuk, K imia & Barang dari karet
11,6 12,1
2,2 -0,8
4,4 6,3
2,4 8,8
2,1 4,5
5,8 5,7
6). Semen & B rg. Galian bukan logam 7). Logam Dasar Besi & B aja
12,5 9,9
-7,1 -9,2
9,6 0,6
3,8 -3,7
0,5 4,7
3,4 1,7
8). Alat A ngk., M esin & Peralatanny a 9). Barang lainny a
9,4 15,8
-21,2 -10,3
20,5 9,4
12,4 2,6
7,5 3,6
9,7 -2,8
P RO DU K DOM ES TIK B RU TO 8,0 P RO DU K DOM ES TIK B RU TO TAN PA M IG A S 9,0
-3,6 -3,9
4,9 5,9
5,7 6,6
5,5 6,1
6,3 6,9
ht
Industri P engolahan a. Industri M i g a s
1). Pengilangan M iny ak Bumi 2). G as A lam C air
(2)
2005
S umber : B PS
330
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
10.2.2. Backward dan Forward Linkage Industri Pulp serta Industri Kertas dan Karton
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Analisis Input-Output dapat digunakan untuk melihat keterkaitan suatu sektor terhadap sektor lainnya dalam suatu perekonomian, baik keterkaitan ke depan (Forward Linkage) maupun keterkaitan ke belakang (Backward Linkage). Indeks Daya Penyebaran digunakan untuk melihat keterkaitan ke depan, yaitu keterkaitan antara suatu sektor yang menghasilkan output, untuk digunakan sebagai input bagi sektor yang lain. Sementara Indeks Derajat Kepekaan digunakan untuk melihat keterkaitan ke belakang, yaitu keterkaitan antara suatu sektor terhadap sektorsektor lain yang menyumbangkan input kepadanya. Sektor yang memiliki daya penyebaran tinggi memberikan indikasi bahwa sektor tersebut mempunyai keterkaitan ke depan atau daya dorong cukup kuat dibandingkan sektor lainnya. Sebaliknya, sektor yang mempunyai derajat kepekaan tinggi mengindikasikan bahwa sektor tersebut mempunyai ketergantungan (kepekaan) yang tinggi terhadap sektor lain. Secara teori, apabila Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan memiliki nilai lebih besar dari satu (> 1) mengindikasikan bahwa sektor tersebut mempunyai daya penyebaran dan derajat kepekaan di atas rata-rata penyebaran/ kepekaan secara keseluruhan.
Tabel 10.2 . Indeks Bak ward Linkage dan Forward Linkage, tahun 2005
Kode
Sektor Uraian
Daya Penyebaran Forward Linkage
Derajat Kepekaan Backward Linkage
(1) 29 30 90
(2) Kayu Hasil hutan lainnya Bubur kertas
(3) 0,74 0,75 1,37
(4) 1,36 0,9 1,2
91
Kertas dan karton
1,02
1,46
92 93 94
Barang-barang dari kertas dan karton Barang cetakan Kimia dasar k ecuali pupuk
1,21 1,07 0,91
0,87 0,88 1,57
124
Mesin dan perlengkapannya
0,81
1,78
Sum ber : BPS, Tab el In put Output,Transaksi Dome stik Atas Dasar Harga Pro dusen 2005, 175 Se ktor
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
331
Komoditas Pulp dan Kertas
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Berdasarkan Tabel Input Output tahun 2005, sektor bubur kertas (pulp) mempunyai Indeks Daya Penyebaran sebesar 1,37, sementara sektor kertas dan karton sebesar 1,02. Sedangkan Indeks Derajat Kepekaan sektor pulp sebesar 1,20 lebih rendah dibanding Indeks Derajat Kepekaan sektor kertas dan karton yang sebesar 1,46. Besaran indeks-indeks yang lebih besar dari 1 (satu) ini mengindikasikan bahwa kedua sektor tersebut mempunyai daya penyebaran dan derajat kepekaaan di atas rata-rata keseluruhan sektor. Dengan kata lain, sektor pulp maupun sektor kertas dan karton sangat bergantung pada input produksinya dalam hal ini kayu, demikian juga faktor harga produk kedua sektor ini akan mempengaruhi produk-produk lain yang menggunakan kertas sebagai bahan baku, seperti industri barang-barang dari kertas dan karton serta industri barang cetakan. Sedangkan sektor barang-barang dari kertas dan karton serta sektor barang cetakan memiliki daya penyebaran yang tinggi, masing-masing 1,21 dan 1,07, namun memiliki derajat kepekaan di bawah rata-rata (0,87 dan 0,88). Kerkaitan antara industri pulp serta industri kertas dan karton dengan industri lainnya disajikan pada Gambar 10.2.
Importir
Kayu Hasil hutan lainnya
Bubur kertas/ Pulp
Kertas dan Karton
Kimia dasar
Barangbarang dari kertas dan karton
Barang cetakan
Mesin dan perlengkap annya Eksportir
Gambar 10.2. Kerangka Keterkaitan Industri Pulp dan Kertas 332
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
10.2.3.Jumlah Perusahaan dan Penyerapan Tenaga Kerja Industri Pulp dan Kertas
s. go
.id
Berdasarkan survei Industri Besar Sedang (IBS) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2006 terdapat 526 perusahaan industri kertas dan barang dari kertas (kode industri 21) berskala besar dan sedang dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 126 430 orang (Tabel 10.3). Selama periode 2002-2006 jumlah perusahaan industri kertas dan barang dari kertas terus meningkat, dari 340 perusahaan menjadi 526 perusahaan. Demikian juga dengan penyerapan tenaga kerjanya mengalami peningkatan dari 105 627 orang menjadi 126 430 orang pada periode yang sama.
Jumlah Perusahaan
w
T ahun
.b p
Tabel 10.3. Ju mlah Peru sah aan dan Ten ag a Kerja I n du stri Besar dan S ed ang pad a I nd ustriKertas dan Barang dari Kertas, Tah un 2002-2006
tp :// w
2002 2003 2004 2005 2006
(2)
w
(1)
340 375 391 413 526
Jumlah T enaga Kerja (3)
105 119 117 119 126
627 631 871 469 430
ht
S umber: B PS , S tatistik Industri Besar dan S edang
Jika dirinci menurut jenis industrinya (kode industri 5 digit), jumlah perusahaan industri pulp (kode 21011) pada tahun 2006 hanya sebanyak 10 perusahaan, sementara industri kertas budaya (kode 21012) sebanyak 40 perusahaan, serta industri yang menghasilkan pulp, kertas dan karton/paper board (kode 21013) sebanyak 3 perusahaan. Pada umumnya jumlah perusahaan industri kertas dan barang dari kertas terkonsentrasi pada industri kemas dan kotak dari kertas dan karton (kode 21020), yaitu sebanyak 280 perusahaan atau sekitar 53 persen dari seluruh perusahaan industri kertas dan barang dari kertas.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
333
Komoditas Pulp dan Kertas
.id
Meskipun jumlah perusahaan industri pulp, industri kertas budaya, serta industri pulp, kertas dan karton/paper board hanya 53 perusahaan atau 10,8 persen dari total industri kertas dan barang dari kertas namun mampu menyerap tenaga kerja sekitar 57 109 orang atau sekitar 45,17 persen dari seluruh tenaga kerja industri kertas dan barang dari kertas. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan proporsi tenaga kerja pada industri kemas dan kotak dari kertas dan karton yaitu sekitar 31,5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa jenis industri pulp, industri kertas budaya, serta industri pulp, kertas dan karton/paper board , khususnya industri kertas budaya merupakan industri yang padat karya, dengan jumlah tenaga kerja 37 423 orang (Tabel 10.4).
s. go
Tab el 10.4. Jumlah Peru sah aan dan Ten ag a Kerja I n du stri Besar dan S ed ang p ada I n du stri Kertas d an barang dari Kertas men uru t Jenis baran g Tah u n 2006 Perusahaan Jumlah %
.b p
Jenis Industri (1)
ht
tp :// w
w
w
Bubur kertas (pulp) Kertas buday a Bubur kertas (pulp), kertas dan karton/paper board Kertas khusus Kertas industri Kertas tissue Kertas lainny a Industri kotak dan kemas dari kertas dan karton Kertas dan karton lainny a. T otal Industri
(2)
(3)
10 40 3 17 36 28 48 280 64 526
1.90 7.60 0.57 3.23 6.84 5.32 9.13 53.23 12.17 100.00
T enaga Kerja Jumlah % 16 37 2 5 10 3 5 39 4 126
(4)
(5)
890 423 796 063 153 905 709 775 716 430
13.36 29.60 2.21 4.00 8.03 3.09 4.52 31.46 3.73 100.00
S umber: B PS , S tatistikIndustri B esar dan S edang
Sementara itu, berdasarkan data Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) seperti yang disajikan pada Tabel 10.5, jumlah perusahaan industri pulp dan kertas yang menjadi anggota APKI pada tahun 2005 sebanyak 80 perusahaan. Pada tahun 2007, jumlah tersebut bertambah 4 perusahaan hingga menjadi 84 perusahaan yang tersebar sebanyak 66 perusahaan di Pulau
334
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
Tabel 10.5. Ju mlah Peru sah aan Pu lp dan Kertas, 2005 d an 2007 Rincian
2005
2007
(1)
(2)
(3)
3 12 69
64 14 2
66 16 2
10
10
3 67 80
3 71 84
.id
3 13 64
s. go
Menu ru t S tatu s Permo dalan - Perusahaan Negara - PM A - PM DN Menu ru t L okasi - Jawa - Sumatera - Kalimantan Menu ru t Jenis Perusah aan - Terintegrasi antara Pulp dan Kertas - Tidak terintegrasi - Pulp - Kertas To tal Perusahaan S umber: A PK I
ht
tp :// w
w
w
.b p
Jawa, 16 di Pulau Sumatera dan 2 perusahaan di Pulau Kalimantan (Gambar 10.3). Sementara jika dirinci menurut status permodalan, pada tahun 2007 terdapat 3 perusahaan milik negara, 69 perusahaan dengan modal dalam negeri (PMDN) dan 12 perusahaan dengan modal asing (PMA). Dari 84 perusahaan pulp dan kertas yang tercatat di APKI pada tahun 2007, diantaranya terdapat 10 perusahaan yang kegiatannya terintegrasi antara dua jenis komoditas pulp dan kertas. Sementara ada 71 perusahaan yang hanya bergerak pada komoditas kertas dan sisanya hanya bergerak pada komoditas pulp.
Jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan industri kertas dan barang dari kertas (termasuk pulp) berdasarkan hasil survei Industri Besar dan Sedang, jumlah yang tercatat di APKI baru sebagian kecil industri pulp dan kertas yang sudah menjadi anggota asosiasi. Pada tahun 2005, baru 80 perusahaan yang terdaftar dalam APKI atau hanya 19,37 persen dari jumlah perusahaan hasil pendataan BPS melalui Survei Industri Besar dan Sedang. Kajian Komoditas Unggulan, 2008
335
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komoditas Pulp dan Kertas
Sumber : Buku Indonesian Pulp and Paper Industry, Direktory, 2007
Gambar 10.3. Peta Lokasi Industri Pulp dan Kertas Indonesia
10.2.4. Produksi Pulp dan Kertas Jenis kertas yang diproduksi di Indonesia dikelompokkan dalam 10 (sepuluh) jenis kertas, yaitu: newsprint paper (kertas koran), writing-printing paper (kertas tulis-cetak), sack kraft paper (kertas kantong semen), kraft liner & fluting, boards, wrapping paper (kertas pembungkus), cigarette paper (kertas rokok), tissue
336
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
paper (kertas tisue), specialty paper dan joss paper. Produksi terbanyak adalah writing and printing paper, sementara jenis kertas yang paling sedikit diproduksi adalah specialty paper (APKI, Direktori 2007).
ht
tp :// w
(1) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 *)
.b p
Tah un
Tab el 10.6. Prod uksi Pulp d an Kertas, 1997-2007 Produ ksi (M.To n) Pertu mbu han per tahu n (%) Pulp Kertas Pulp Kertas (2) (3) (4) (5) 3 058 450 4 821 600 3 430 000 5 487 260 12.15 13.81 3 694 630 6 720 560 7.72 22.48 4 089 550 6 849 000 10.69 1.91 4 665 920 6 951 240 14.09 1.49 4 969 000 7 212 970 6.50 3.77 5 194 310 7 267 880 4.53 0.76 5 208 680 7 679 820 0.28 5.67 5 467 540 8 207 620 4.97 6.87 5 672 210 8 853 280 3.74 7.87 5 875 000 9 569 260 3.58 8.09
w
w
s. go
.id
Tabel 10.6 menyajikan perkembangan produksi pulp dan kertas selama periode tahun 1997-2007. Pertumbuhan produksi pulp dan kertas selama periode tersebut terlihat berfluktuasi. Selama periode 10 tahun terakhir (1998-2007) rata-rata pertumbuhan produksi per tahun untuk pulp dan kertas masingmasing sebesar 6,82 persen dan 7,27 persen dimana untuk pulp yang tertinggi tercatat pada tahun 2001 sebesar 14,1 persen dan untuk kertas terjadi pada tahun 1999 sebesar 22,5 persen.
Sum ber: BPS (diolah) dan APKI C atatan: * ) Angk a perkiraan.
Namun, pada periode 5 (lima) tahun terakhir (2003-2007) pertumbuhan produksi pulp dan kertas cenderung menurun dibandingkan periode lima tahun sebelumnya. Pada periode 2003-2007, rata-rata pertumbuhan per tahun untuk pulp tercatat sebesar 3,42 persen dimana yang terendah terjadi pada tahun
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
337
Komoditas Pulp dan Kertas
2004 yaitu sebesar 0,28 persen dan yang tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 4,97 persen. Sementara untuk produksi kertas rata-rata pertumbuhan per tahun selama periode tersebut adalah sebesar 5,85 persen dimana yang terendah terjadi pada tahun 2003 (0,76 persen) dan tertinggi diperkirakan akan terjadi pada tahun 2007 dengan kenaikan 8,09 persen dari produksi tahun sebalumnya.
a. Perkembangan Ekspor Komoditas Pulp dan Kertas
.id
10.2.5.Perdagangan Luar Negeri Komoditas Pulp dan Kertas
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Ekspor kertas Indonesia mencakup seluruh jenis kertas, dengan volume dan nilai ekspor tertinggi adalah writing-printing paper, sementara jenis specialty paper mencatat volume dan nilai ekspor terendah (APKI, Direktori 2007). Selama periode 1997-2007, ekspor pulp menunjukkan volume yang meningkat setiap tahunnya kecuali tahun 1999 yang menurun sebesar 28,81 persen (Tabel 10.7). Peningkatan tersebut nampak berfluktuasi setiap tahunnya dimana kenaikan tertinggi tercatat
ht
Tab el 10.7. Ekspo r Pulp dan Kertas, 1997-2007 Tah un (1) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 *)
1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2
Eksp or (M .Ton ) Pu lp Kertas (2) (3) 186 020 1 800 000 656 740 2 833 960 179 400 2 950 800 329 460 2 837 210 698 580 2 345 135 245 200 2 446 730 375 250 2 160 380 476 960 2 576 640 562 970 2 994 860 800 680 3 540 460 998 931 3 644 588
Pertumbu han per tahu n (%) Pu lp Kertas (4) (5) 39.69 57.44 -28.81 4.12 12.72 -3.85 27.76 -17.34 32.18 4.33 5.79 -11.70 4.28 19.27 3.47 16.23 9.27 18.22 7.08 2.94
Sum ber: BPS (diolah) dan APKIC atatan: * ) Angk a perk iraan
338
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
pada tahun 1998 yang meningkat 39,69 persen dibanding tahun sebelumnya dan terendah pada tahun 2005 yang meningkat sebesar 3,47 persen dibanding tahun sebelumnya.
s. go
.id
Pada tahun 2007, pertumbuhan ekspor diperkirakan akan melambat dibanding tahun sebelumnya. Untuk ekspor pulp pertumbuhan pada tahun 2007 diperkirakan menurun menjadi sekitar 7,08 persen dari yang sebelumnya yang sebesar 9,27 persen. Sementara itu,pertumbuhan ekspor kertas tahun 2007 diperkirakan menurun dibanding pertumbuhan tahun sebelumnya, yaitu dari 18,22 persen menjadi 2,94 persen. Pasar utama ekspor pulp Indonesia adalah Cina, Korea, Jepang, Italia dan India.
.b p
b. Perkembangan Impor Pulp dan Kertas
tp :// w
w
w
Selama periode 1997-2007, impor komoditas pulp dan kertas menunjukkan tren yang berfluktuasi (Tabel 10.8). Pada tahun 1997, volume impor pulp tercatat sebesar 943,97 ribu metrik ton dan angka ini menurun menjadi 922,52 ribu metrik ton pada tahun 2006. Akan tetapi, pada tahun 2007 impor pulp
ht
Tabel 10.8. I mp or Pu lp d an Kertas, 1997-2007
Tah un (1) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 *)
I mp or (M .Ton ) Pu lp Kertas (2) (3) 943 970 261 000 839 510 130 130 956 960 143 800 768 590 212 630 564 130 199 840 825 700 249 695 735 560 206 880 899 050 306 970 885 580 301 340 922 520 290 020 1 001 909 299 272
Pertumbu han per tahu n (%) Pu lp Kertas (4) (5) -11.07 -50.14 13.99 10.50 -19.68 47.87 -26.60 -6.02 46.37 24.95 -10.92 -17.15 22.23 48.38 -1.50 -1.83 4.17 -3.76 8.61 3.19
Sum ber: BPS (diolah) dan APKIC atatan: * ) Angk a perk iraan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
339
Komoditas Pulp dan Kertas
s. go
Neraca Perdagangan Luar Negeri Komoditas Pulp dan Kertas
.b p
c.
.id
diperkirakan meningkat kembali. Impor pulp Indonesia utamanya didatangkan dari Kanada, Afrika Selatan, Brasil, Chili dan Selandia Baru. Dilain pihak, pada periode 1997-2007 impor kertas juga menunjukkan tren yang berfluktuasi. Kenaikan impor tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu naik sebesar 48,38 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara itu, impor kertas tahun 2007 diperkirakan meningkat sebesar 3,19 persen dibanding tahun sebelumnya. Bila dilihat dari jenis kertasnya, impor dilakukan untuk seluruh jenis kertas kecuali joss paper. Sementara volume dan nilai impor jenis kertas writing-printing paper tercatat sebagai yang tertinggi, sedangkan yang terendah adalah jenis tissue paper (APKI, Direktori 2007).
tp :// w
w
w
Selama periode 1997-2007, neraca perdagangan komoditas pulp dan kertas selalu menunjukkan neraca perdagangan yang positif yang berarti ekspor pulp dan kertas Indonesia selalu lebih tinggi dibandingkan dengan impornya. Untuk komoditas pulp, nilai neraca perdagangan tertinggi pada
Tah un (1) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 *)
ht
T abel 10.9. Neraca Perdagangan Kom oditas Pulp dan Kertas, 1997-2007
N eraca Perd agan g an Pu lp K ertas (2) (3) 242 050 1 539 817 230 2 703 222 440 2 807 560 870 2 624 1 134 450 2 145 1 419 500 2 197 1 639 690 1 953 1 577 910 2 269 1 677 390 2 693 1 878 160 3 250 1 997 021 3 345
000 830 000 580 295 035 500 670 520 440 316
Sum ber: BPS (diolah) dan APKIC atatan: * ) Angk a perk iraan
340
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
periode 1997-2007 tercatat pada tahun 2007 dan terendah pada tahun 1999. Demikian pula untuk komoditas kertas nilai neraca perdagangan tertinggi tercatat pada tahun 2007, namun yang terendah terjadi pada tahun 1997 (Tabel 10.9). 10.2.6. Konsumsi Pulp dan Kertas
w
.b p
s. go
.id
Tabel 10.10 menyajikan perkembangan konsumsi komoditas pulp dan kertas selama periode tahun 1997-2007. Setelah sempat mengalami penurunan konsumsi pulp dan kertas pada tahun 1998, sejak tahun 1999 konsumsi pulp dan kertas mengalami peningkatan hingga tahun 2007, meskipun dengan intensitas pertumbuhan yang rendah. Peningkatan konsumsi ini seiring dengan meningkatnya produksi pulp dan kertas. Pada tahun 1999, pertumbuhan konsumsi pulp dan kertas menunjukkan intensitas yang tinggi dimana masing-masing tercatat 32,89 persen untuk pulp dan 40,60 persen untuk kertas.
tp :// w
w
Selama periode 2000-2007, pertumbuhan konsumsi pulp kurang dari lima persen untuk setiap tahunnya. Hal ini terjadi Tab el 10.10. Kon sumsi Pulp dan Kertas, 1997-2007
ht
Tah un (1) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 *)
2 2 3 3 3 -3 3 3 3 3 3
Ko nsumsi (M.Ton ) Pu lp Kertas (2) (3) 816 400 3 282 600 612 770 2 783 430 472 190 3 913 560 528 680 4 224 420 531 470 4 805 945 549 500 5 015 935 554 620 5 314 380 630 770 5 410 150 790 150 5 514 100 794 050 5 602 840 877 978 6 223 944
Pertumbu han per tahu n (%) Pu lp Kertas (4) (5) -7.23 -15.21 32.89 40.60 1.63 7.94 0.08 13.77 0.51 4.37 0.14 5.95 2.14 1.80 4.39 1.92 0.10 1.61 2.21 11.09
Sum ber: BPS (diolah) dan APKI C atatan: * ) Angk a perk iraan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
341
Komoditas Pulp dan Kertas
.id
terutama pada tahun 2001, 2002, 2003 dan 2006 dimana pertumbuhan konsumsi pulp ada dibawah satu persen. Untuk konsumsi kertas kondisinya masih lebih baik dimana setiap tahunnya masih menunjukkan angka pertumbuhan diatas satu persen dimana yang tertinggi terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 13,77 persen dan terendah pada tahun 2006 sebesar 1,61 persen. Meningkatnya konsumsi kertas terutama dipicu oleh bertambahnya industri pers, pencetakan, dan penerbitan, meningkatnya kebutuhan kertas industri, kemajuan teknologi informasi yang membutuhkan media keluaran dalam bentuk kertas, dan diversifikasi penggunaan kertas yang semakin melebar.
.b p
s. go
10.3. Permasalahan, Tantangan serta Prospek Komoditas Pulp dan Kertas
ht
tp :// w
w
w
Untuk meningkatkan kinerja industri pulp dan kertas sebagai penghasil devisa, perlu dilakukan identifikasi dan inventarisir permasalahan dalam bentuk meta masalah. Dengan memahami masalah-masalah yang timbul maka tantangannya adalah bagaimana permasalahan tersebut dapat dikurangi atau jika mungkin dihilangkan, sehingga prospek komoditas pulp dan kertas sebagai salah satu primadona komoditas ekspor dapat terus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan. Sebagai salah satu industri yang mendapat fokus penguatan dan penumbuhan didalam arah kebijakan sektor industri, permasalahan yang dihadapi industri pulp dan kertas tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi dalam rangka pembangunan sektor industri pengolahan, bahkan pembangunan nasional. Oleh karenanya, dalam penentuan tujuan pembangunan sektor industri bukan hanya ditujukan untuk mengatasi permasalahan dan kelemahan di sektor industri saja, tetapi sekaligus juga harus mampu turut mengatasi permasalahan nasional. 342
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
10.3.1. Permasalahan dalam Industri Pulp dan Kertas
.id
Dalam pengembangan industri pulp dan kertas, ada empat pokok permasalahan yang diidentifikasi muncul disamping masalah-masalah umum yang terkait dengan pembangunan nasional. Pertama adalah masalah-masalah yang juga menjadi masalah pokok pada industri pengolahan secara umum, kedua adalah masalah yang menjadi ciri khas industri pulp dan kertas, ketiga adalah masalah-masalah yang terkait dengan industri kehutanan dan yang terakhir tetapi juga sangat penting adalah masalah lingkungan hidup. Berikut ini beberapa identifikasi masalah menurut kelompoknya:
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
a. Masalah Sektor Industri Pengolahan: 1. Ketergantungan yang tinggi terhadap impor baik berupa bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi dan komponen. 2. Keterkaitan antar sektor industri dan antara sektor industri dengan sektor ekonomi lainnya relatif masih lemah. 3. Struktur industri hanya didominasi oleh beberapa cabang industri yang tahapan proses industrinya pendek. 4. Ekspor produk industri didominasi oleh hanya beberapa cabang industri, dan lebih dari 60 persen kegiatan sektor industri terletak di Pulau Jawa. 5. Masih lemahnya peranan kelompok industri kecil dan industri menengah dalam sektor perekonomian. b. Masalah Industri Pulp dan Kertas: 1. Masih rendahnya tingkat efisiensi dan produktivitas industri 2. Masih terbatasnya penggunaan bahan baku yang berasal dari non-hutan alam. 3. Terbatasnya tenaga ahli dibidang pulp dan kertas 4. Kurangnya inovasi untuk menghasilkan produk-produk kertas hilir
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
343
Komoditas Pulp dan Kertas
5. Adanya kesenjangan pasokan bahan baku kayu.
.id
c. Masalah Industri Kehutanan 1. Konsumsi bahan baku utama dari alam mendorong timbulnya masalah kehutanan (kurangnya penggunaan kertas bekas). 2. Melambatnya pertumbuhan industri perkayuan 3. Bahan baku pulp tidak hanya bersumber dari Hutan Tanaman Industri (HTI) Pulp tetapi juga dari sumber lainnya 4. Penggunaan kayu illegal pada industri pulp. 5. Deforestasi dan degradasi hutan bukan saja di Kawasan Hutan Produksi, tapi juga kawasan-kawasan hutan lainnya.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
d. Masalah Lingkungan Hidup 1. Limbah buangan dari penggunaan zat-zat kimia dalam proses produksi pulp dan kertas mencemari lingkungan air dan udara. 2. Kebutuhan air dalam jumlah besar dapat mengancam kelestarian habitat sekitarnya. 3. Organisme air dan bahkan manusia menjadi korban dari limbah pencemaran 4. Masalah dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
ht
Suatu model kebijakan yang komprehensif dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan industri pulp dan kertas. Berdasarkam meta masalah yang merupakan inventarisasi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam industri pulp dan kertas, selanjutnya adalah melakukan identifikasi variabel-variabel yang diiduga mempunyai peran yang sangat luas dan signifikan yang dapat menjadi pengungkit utama permasalahan. Permasalahanpermasalahan tersebut dikelompokkan ke dalam tiga dimensi, yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi lingkungan termasuk faktor teknologi.
344
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
Dalam dimensi ekonomi, variabel-variabel yang terkait menyangkut variabel konsumsi, produksi, modal dan investasi. Ketiga faktor utama dalam dimensi ekonomi ini amat dipengaruhi oleh variabel ekspor, impor, dan konsumsi domestik, sedangkan variabel modal/investasi dipengaruhi oleh asal modal/investasi apakah dari dalam negeri atau luar negeri. Pada akhirnya seluruh variabel ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan industri pulp dan kertas.
w
w
.b p
s. go
.id
Sementara dalam dimensi sosial, industri pulp dan kertas sangat terkait dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan. Karena sifat industri ini, disamping padat modal juga padat tenaga kerja. Namun demikian, tuntutan kualitas sumber daya manusia juga amat penting untuk masuk disektor ini. Hal ini berkaitan dengan faktor produktifitas dan efesiensi perusahaan. Sedangkan variabel sosial lain yang juga berkaitan dengan industri ini secara umum adalah masalah kemiskinan, pengangguran, tingkat keamanan dan lainnya.
ht
tp :// w
Kemudian dalam dimensi lingkungan, keterbatasan bahan baku yang selama ini belum mampu dipenuhi dari Hutan Tanaman Industri khususnya HTI pulp menimbulkan masalah tersendiri karena bahan baku kayu juga diambil dari hutan lainnya termasuk hutan alam, apalagi ditengarai industri pulp dan kertas menggunakan bahan baku kayu ilegal. Hal lain yang juga terkait dengan masalah lingkungan adalah pengendalian laju deforestrasi dan degradasi lahan hutan serta penanganan pencemaran lingkungan baik darat, air maupun udara. Kontrol terhadap masalah-masalah ini amat berkaitan dengan faktor investasi, SDM dan teknologi. Berikut adalah uraian mengenai alasan-alasan mengapa variabel-variabel dalam tiga kelompok dimensi tersebut dianggap sebagai variabel pengungkit.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
345
Komoditas Pulp dan Kertas
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
a. Dimensi Ekonomi 1. Produksi : Pertumbuhan produksi kertas didorong oleh peningkatan konsumsi dan peningkatan kapasitas produksi. 2. Konsumsi : Peningkatan konsumsi kertas dipicu berbagai agenda domestik, seperti even pilkada dan tumbuhnya teknologi informasi yang membutuhkan keluaran berupa kertas. 3. Investasi : Investasi dibutuhkan guna mengantisipasi pertumbuhan industri pulp dan kertas. 4. Modal : Penanaman modal diperlukan agar ketersediaan infrastruktur dapat meningkatkan pertumbuhan industri pulp dan kertas. 5. Impor : Impor pulp dan kertas Indonesia lebih disebabkan karena kebutuhan pulp dan kertas dalam negeri untuk memproduksi jenis-jenis kertas tertentu yang mensyaratkan kualitas pulp dan kertas yang akan digunakan. 6. Ekspor : Sebagai sektor andalan komoditas ekspor, pertumbuhan industri pulp dan kertas terus didorong agar penerimaan devisa makin memberikan andil yang signifikan.
ht
b. Dimensi Sosial 1. Lapangan Kerja : Sebagai salah satu sektor andalan, maka terbuka kemampuan untuk menyerap tenaga kerja dan membuka lapangan kerja baru, terlebih bila ada investasi baru disektor ini. 2. Kualitas SDM : Kebutuhan akan SDM yang berkualitas dengan persyaratan pendidikan formal dan keahlian khusus mendorong pertumubuhan industri pulp dan kertas. 3. Efisiensi & Produktifitas : Peningkatan efisiensi dan produktivitas mendorong peningkatan kapasitas produksi. 4. Keamanan : Pengusaha yang ingin berinvestasi di sektor industri pulp dan kertas membutuhkan jaminan kemananan dan kepastian berusaha.
346
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
5. Kemiskinan : Dengan adanya penciptaan lapangan kerja diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan yang merupakan arah kebijakan pembangunan industri nasional.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
c. Dimensi Lingkungan 1. Fungsi Kontrol : Kontrol terkait dengan regulasi dan pengawasan, mengingat hal ini sangat penting karena pertumbuhan industri pulp dan kertas jangan sampai mendistorsi sektor lain dan bahkan diharapkan dapat mendukung daya saing industri pulp dan kertas. Disamping menjaga ekses negatif yang timbul dari produksi industri ini seperti pencemaran lingkungan, deforestrasi dan lainnya. 2. Sumber Daya Alam : Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas, sejak awal tahun 1990 pemerintah dan pengusaha melakukan pembangunan HTI, terutama HTI-pulp. Sementara itu, sampai saat ini pasokan bahan baku untuk pabrik pulp masih diperoleh dari berbagai sumber selain HTI yaitu dengan memanfaatkan jenis hutan lainnya. Namun demikian, upaya mencari alternatif pengganti kayu seperti merang, eceng gondok, kenaf, dll masih belum dapat memberikan keuntungan ekonomis yang sepadan. 3. Deforestrasi dan Degradasi Hutan : Laju deforestrasi dan degradasi luas hutan menjadikan masalah tersendiri dalam pengembangan industri pulp karena sebagai bahan baku utama, penggunaan kayu dari HTI pulp belum dapat mencukupi konsumsi kayu dalam industri ini sehingga harus mengkonsumsi kayu dari hutan lainnya. 4. Pencemaran Lingkungan : Tingkat pencemaran lingkungan dari limbah buangan pabrik pulp dan kertas baik cair, padat maupun gas menjadikan masalah pencemaran lingkungan sesuatu yang harus terus diawasi dan dikontrol, karena dapat menjadi pemicu masalah lainnya.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
347
Komoditas Pulp dan Kertas
Dari identifikasi masalah dan penentuan variabel-variabel yang diduga menjadi pengungkitnya terjadi saling keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung. Keterkaitan atau hubungan sebab akibat antar variabel dalam mekanisme tersebut secara holistik digambarkan melalui alur pikir hubungan kausal untuk kepentingan penetapan arah kebijakan yang akan datang dengan menggunakan Causal Loops Diagram (CLD) berikut. Pertumbuhan Industri Pulp dan Kertas PMA/PMDN
Dimensi Sosial
.id
Impor Investasi
Ekspor
Konsumsi
s. go
Kualitas SDM
Masalah Sosial (Kemiskinan, Pengangguran, Keamanan, Ilegal Logging, dll)
Modal
Konsumsi Domestik
Lapangan Kerja
.b p
Produksi
Teknologi
w
Dimensi Ekonomi
w
Efesiensi & Produktifitas
tp :// w
SDA (HTI Pulp dan non HTI)
Kontrol (Laju Deforestrasi dan Pencemaran Lingkungan)
Dimensi Lingkungan
ht
Gambar 10.4 . Diagram CLD Industri Pulp dan Kertas
Dari diagram sistemik tersebut hubungan sebab-akibat (kausal) yang cukup signifikan dalam kegiatan industrI pulp dan kertas dikaji keterkaitannya. Proses identifikasi dimulai dari evaluasi terhadap hubungan antara dimensi ekonomi dengan dimensi sosial dan dimensi lingkungan. Dari proses keterkaitan sebab-akibat tersebut dapat disusun suatu rekomendasi kebijakan yang diintegrasikan kedalam rencana kerja jangka pendek maupun jangka panjang dalam strategi peningkatan industri pulp dan kertas.
348
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
.id
Dari hasil pengukuran yang dilakukan secara faktual nampak bahwa dimensi ekonomi amat berpengaruh dalam industri pulp dan kertas. Pertumbuhan industri pulp dan kertas (32 loop) sangat dipengaruhi oleh tiga variabel utama Dimensi Ekonomi yaitu produksi (47 loop), konsumsi (47 loop) dan investasi (45 loop). Sementara itu impor pulp dan kertas tidak mempengaruhi pertumbuhan. Dari Dimensi Sosial, variabel pengungkit utama adalah masalah-masalah sosial seperti keamanan, pengangguran, kemiskinan dan lainnya (25 loop). Dalam Dimensi Lingkungan, fungsi kontrol memengaruhi sebanyak 18 loop dan sumber daya alam memengaruhi sebanyak 22 loop.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Berdasarkan hasil analisis hubungan antar variabel, yang dipilih sebagai driving force (DF) adalah produksi, konsumsi, dan investasi karena peranannya terkait secara langsung dalam industri ini. Seluruh proses dalam tiga dimensi ini mendorong pertumbuhan industri pulp dan kertas, namun demikian besaran pertumbuhan juga mendorong variabel-variabel pengungkit lain secara langsung pada industri ini.
ht
10.3.2. Tantangan dalam Industri Pulp dan Kertas
Masalah kehutanan merupakan akar permasalahan dalam keberlangsungan industri pulp dan kertas, disisi lain kebijakankebijakan pemerintah yang berkaitan dengan industri kehutanan telah menyebabkan industri perkayuan Indonesia tumbuh dengan cepat dan mengalami perubahan struktur selama periode 1980-2005. Imbasnya adalah peningkatan produksi pulp meningkat dengan cepat dari 0,5 juta ton pada tahun 1989 menjadi 3,1 juta ton pada tahun 1997, dan mencapai 5,7 juta ton pada tahun 2006 (APKI, Direktori 2007). Pemanfaatan kapasitas terpasang industri pulp terus meningkat dari 65 persen pada tahun 1989 menjadi 88 persen pada tahun 2006. Pada
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
349
Komoditas Pulp dan Kertas
Tab el 10.11. Pro du ksi Kayu Bulat Berd asarkan S u mber Prod uksi (d alam ribu m3)
(2)
17 16 15 15 10 10 3 1 3 4 3 5
308,7 943,9 268,1 597,5 179,4 373,9 450,4 809,1 019,8 104,9 510,8 720,5
(3)
(4)
708,7 398,2 021,3 038,2 056,2 271,9 564,6 323,6 182,7 956,5 1 631,9 3 614,3
138,1 124,9 682,0 1 266,5 628,8 895,4 488,9 59,5 153,6 1 311,6
4 5 8 10 6 7 4 2
Hu tan Hutan Tan aman Tanaman I ndu stri (Perh utani) (HTI ) 1 1 1 1 1 1 1 1 1
(5)
(6)
871,7 868,4 623,5 821,3 682,3 890,9 511,0 455,4 559,0 976,8 923,6 758,0
514,7 474,3 425,9 480,2 187,8 783,6 567,3 242,5 325,8 329,0 818,2
3 5 4 5 7 12
To tal Prod uksi (7)
24 24 26 29 19 20 13 11 9 11 13 24
.id
(1)
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
I zin S ah L ainn ya (I S L)
s. go
Tahu n
Areal Hutan Alam Ko nversi (RKT) (I PK)
.b p
C atatan : ( - ) : data tidak ters edia
027,3 850,1 069,3 149,4 026,9 619,9 798,5 155,4 004,1 423,5 548,9 222,6
Sum ber : Departem en Kehutanan
tp :// w
w
w
periode 1980-2007, industri perkayuan telah menjadi kontributor penting terhadap penerimaan devisa, PDB, penerimaan negara, dan penyerapan tenaga kerja. 100% 90%
Hutan Tanaman Industri (HTI)
ht
80% 70% 60% 50% 40% 30%
Hutan Alam (RKT) 20% 10% 0% 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Hutan Alam (RKT)
Areal Konversi (IPK)
Izin Sah Lainnya (ISL)
Hutan tanaman (Perum Perhutani)
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Sumber : Departemen Kehutanan
Gambar 10.5. Produksi Kayu Bulat Berdasarkan Sumber Produksi, 1994 - 2005 350
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
s. go
.id
Tantangan yang kemudian muncul adalah, bahwa peningkatan kapasitas produksi tidak didukung oleh penyediaan bahan baku utama industri pulp yaitu kayu. Data Statistik Kehutanan dari Departemen Kehutanan yang disajikan pada Tabel 10.12. menunjukkan pada tahun 2005 produksi kayu bulat dari HTI mencapai 12,8 juta m3 dan pada periode yang sama produksi pulp mencapai 5,4 juta ton, yang berarti industri pulp telah mengkonsumsi 24,6 juta m3 kayu bulat. Dari data konsumsi tersebut berarti ada sekitar 48 persen yang bukan berasal dari HTI. Sebagai pemangku kekayaan hutan dan penentu arah kebijakan industri kehutanan serta tanpa mengesampingkan faktor kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia, pemerintah dituntut agar pertumbuhan industri pulp dan industri kertas pada akhirnya tidak sampai mengorbankan fungsi hutan.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Dari jumlah konsumsi kayu bulat oleh industri pulp, masalah yang juga terus mengikuti bahkan menjadi stigma yang sudah melekat adalah ditengarainya penggunaan kayu illegal. Berikut ini adalah gambaran kasar mengenai konsumsi kayu oleh industri pulp yang ditengarai menggunakan kayu ilegal. Menurut Manurung dan Sukaria, untuk memproduksi 1 ton pulp diperlukan sekitar 4,5 m3 kayu bulat. Dengan dasar ini ditambah data produksi kayu bulat dari Depatemen Kehutanan dan produksi pulp dari APKI diperoleh gambaran seberapa besar
T ab el 10.12. P roduksi P ulp dan Konsum si Kayu Bulat p ad a In dustri P ulp, 2000-2005
T ahun (1)
P roduksi P ulp (T on) (2)
Konsum si Kayu u ntuk P u lp (Ribu (3) m 3)
P roduksi HT I (Ribu m 3) (4)
P ro duksi non HT I (Ribu m 3)
Kayu Ilegal (Rib u m 3)
(5)
(6)
2000 2001 2002
4,089,550 4,665,920 4,969,000
18,403.00 20,996.60 22,360.50
3,783.60 5,567.30 4,242.50
10,014.90 5,588.10 4,761.60
4,604 9,841 13,356
2003 2004 2005
5,194,310 5,208,680 5,467,540
23,374.40 23,439.10 24,603.90
5,325.80 7,329.00 12,818.20
6,097.70 6,219.90 11,404.40
11,951 9,890 381
Sum ber: Departem en K ehutanan - data diolah
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
351
Komoditas Pulp dan Kertas
konsumsi kayu bulat oleh industri pulp. Pada Gambar 10.6, diilustrasikan seberapa besar kayu ilegal yang dikonsumsi oleh industri pulp.
25000
20000
15000
10000
.id
5000
2001
2002
Produksi HTI
2003
2004
Produksi non HTI
2005
"Kayu Ilegal"
.b p
2000
s. go
0
Sumber: Departemen Kehutanan - data diolah
tp :// w
w
w
Gambar 10.6. Penggunaan Kayu Bulat menurut sumber produksi pada Industri Pulp, 2000 - 2005
ht
Meskipun volume konsumsi kayu ilegal cenderung terus turun, fenomenanya justru mengindikasikan betapa semakin sukarnya mendapatkan bahan baku kayu. Hal ini dikarenakan kerusakan lingkungan hutan yang sangat parah yang terjadi saat ini, seperti deforestasi dan degradasi hutan. Kinerja industri pulp dan kertas Indonesia terkait erat dengan daya saing industri ini dalam skala global, dan persaingannya di tingkat internasional. Gambaran tantangan yang dihadapi industri pulp dan kertas nasional adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan produsen dalam negeri bersaing di pasar internasional. Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa tingkat harga yang tinggi di pasar internasional telah menciptakan
352
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
kendala tambahan terhadap upaya perluasan industri pulp dan kertas di Indonesia. 2. Kecukupan pasokan bahan baku. Meskipun industri pulp dan kertas mempunyai prospek cerah, tetapi kegiatan produksi dapat terhambat akibat adanya ancaman kekurangan bahan baku kayu untuk pulp. Selain itu terhentinya impor kertas bekas (karena dikategorikan sebagai barang beracun dan berbahaya) dari negara-negara Eropa juga menghambat prospek industri ini. Konsumsi kertas bekas Indonesia saat ini sedikitnya 2,7 juta ton/tahun, sedangkan impornya diperkirakan mencapai 2 juta ton/tahun dengan kecenderungan yang terus meningkat. Padahal, untuk mendapatkan kertas bekas, Indonesia harus bersaing dengan Korea Selatan, Kanada, Taiwan, Meksiko, dan Jepang. Sementara itu, upaya pengumpulan kertas bekas dari dalam negeri hanya mampu memenuhi 20 persen terhadap kebutuhan. Sementara itu menurut Departemen Kehutanan dan FAO (Food and Agricultural Organization) pasokan kayu gelondongan dari hutan alam Indonesia diperkirakan akan berkurang. 3. Peran pemerintah dalam industri pulp dan kertas. Langkah deregulasi guna mengurangi distorsi pasar dalam industri pulp dan kertas membawa dampak positif yang menguntungkan bagi konsumen. Dibandingkan dengan yang berlaku di negara-negara ASEAN, bea masuk yang berlaku di Indonesia tergolong rendah. Sebagai contoh, bea masuk rata-rata impor kertas di Malaysia, Thailand dan Filipina 20 persen. Di Cina 35 persen. Di Indonesia bea masuk jenis kertas industri diturunkan dari 15 persen menjadi 10 persen, sedangkan bea masuk untuk satu jenis kertas industri diturunkan dari 15 persen menjadi 0 persen.
Kebijakan dalam pembangunan industri manufaktur diarahkan untuk menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
353
Komoditas Pulp dan Kertas
serta mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Persaingan internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara, sehingga fokus dari strategi pembangunan industri di masa depan adalah membangun daya saing industri manufaktur yang berkelanjutan di pasar internasional.
ht
10.3.3. Prospek
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Untuk membangun daya saing yang berkelanjutan, maka upaya pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki bangsa serta kemampuan untuk memanfaatkan peluangpeluang yang ada di dalam maupun di luar negeri harus dilakukan secara optimal. Oleh karena esensi daya saing yang berkelanjutan tersebut terletak pada upaya menggerakkan dan mengorganisasikan seluruh potensi sumber daya produktif, untuk menghasilkan produk inovatif yang lebih murah, lebih baik, lebih mudah di dapat dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan permintaan pasar. Untuk itu tantangan yang dihadapi dalam industri pulp dan kertas, sebagaimana gambaran yang telah diberikan terdahulu, memerlukan strategi khusus agar perkembangan industri pulp dan kertas Indonesia kedepan tetap dapat terus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan.
Industri pulp dan kertas Indonesia agaknya menghadapi prospek cerah, dimana pada bab terdahulu telah ditunjukkan peningkatan konsumsi, disamping peningkatan produksi yang diiringi peningkatan kapasitas produksi. Beberapa hal tersebut seperti meningkatnya kapasitas produksi, dan kenaikan jumlah konsumsi kertas per kapita diantaranya didorong oleh bertambahnya industri pers dan percetakan, meningkatnya kebutuhan kertas industri serta kemajuan teknologi informasi yang membutuhkan media keluaran berupa kertas. Sementara perkembangan sosial budaya mendorong diversifikasi penggunaan kertas yang semakin melebar. 354
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
s. go
.id
Hal lain yang juga menjadikan prospek pengembangan industri pulp dan kertas masih menjanjikan adalah peningkatan volume dan nilai ekspornya. Meskipun ekspor pulp Indonesia tidak ditujukan ke negara-negara yang tingkat konsumsinya tinggi. Hal ini, antara lain karena kualitas pulp Indonesia memang diakui lebih rendah dibandingkan dengan kualitas pulp yang dihasilkan oleh negara-negara Amerika Utara dan Skandinavia. Pulp Indonesia lebih banyak memasuki pasar negara-negara berkembang dan Asia terutama ditujukan ke Korea Selatan, Cina, Italia, Thailand, Swedia, Belgia, Yunani, India , Pakistan , Bangladesh , Sri Lanka dan Iran (Julius A. Mulyadi dan Kurnya Roesad). Menurut catatan komoditas ekspor, pulp dan kertas masih menempati 10 besar komoditas andalan ekspor Indonesia.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Meskipun Indonesia merupakan eksportir pulp, namun untuk pulp jenis serat pendek, Indonesia masih melakukan impor. Suatu hal yang merupakan pemborosan devisa nasional menurut beberapa pengamat, karena produksi pulp jenis serat pendek dalam negeri telah melebihi kebutuhan domestik. Ditambah lagi, mutu produk kertas domestik tidak terlalu memerlukan persyaratan pulp serat pendek dengan mutu yang tinggi. Menurut Julius A. Mulyadi dan Kurnya Roesad, ada dua kemungkinan alasan yang mendorong Indonesia melakukan impor pulp, yaitu: (1) ada keyakinan dari sebagian pabrik kertas dalam negeri bahwa harga pulp di luar negeri relatif lebih murah dan (2) mutu pulp di dalam negeri lebih rendah dibandingkan dengan produk asing, terutama yang berasal dari negara-negara Skandinavia, Kanada, dan Brasil. Hal lain yang juga mendorong pertumbuhan industri pulp dan kertas untuk dapat terus bersaing adalah karena komoditas pulp dan kertas Indonesia ditunjang oleh struktur biaya produksi yang termasuk paling murah di dunia (Econit, 1995). Demikian
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
355
Komoditas Pulp dan Kertas
pula menurut Manurung, biaya produksi pulp di Indonesia saat ini sekitar ± US$ 250 - 300 per ton, sementara biaya produksi pulp Amerika Latin US$ 260, Amerika Utara US$ 300, Eropa Barat US$ 420 dan Jepang US$ 590 dan biaya produksi Brazil dan Chile yang merupakan saingan kuat Indonesia, masingmasing US$ 231 dan US$ 241.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Murahnya struktur biaya ini dikarenakan biaya hak pengusahaan hutan (HPH) dan eksploitasi hutan alam di Indonesia sangat murah, disamping konsesi HPH yang sangat luas, biaya input tambahan untuk pengolahan pulp, yaitu kaolin, banyak tersedia di Indonesia dan sangat murah, biaya energi di Indonesia yang sangat murah dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya, maupun negara maju. Industri pulp dan kertas menggunakan banyak air untuk keperluan processing dan pemutihan. Biaya air dan sanksi ekonomis lingkungan di Indonesia relatif sangat murah dibandingkan di negara produsen kertas lainnya di dunia, seperti Amerika Serikat dan negaranegara Skandinavia. Faktor lainnya adalah biaya tenaga kerja yang relatif murah, dan pertumbuhan kebutuhan akan pulp dan kertas di dalam negeri yang sangat tinggi. Dengan pertumbuhan permintaan domestik yang tinggi tersebut, produksi pulp dan kertas di dalam negeri akan sangat murah karena menarik manfaat dari economies of scale. 10.4. Kesimpulan Sebagai salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia, industri pulp dan kertas menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan selama kurun 1997-2007, kecuali pada tahun 1998-1999 yang sempat mengalami penurunan sebagai dampak krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Kinerja tersebut terlihat dari perkembangan produksi, ekspor dan konsumsi komoditas pulp dan kertas. Meningkatnya
356
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Pulp dan Kertas
konsumsi kertas terutama dipicu oleh bertambahnya industri pers, pencetakan, dan penerbitan, meningkatnya kebutuhan kertas industri, kemajuan teknologi informasi yang membutuhkan media keluaran dalam bentuk kertas, dan diversifikasi penggunaan kertas yang semakin melebar.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Meskipun industri pulp dan kertas mempunyai potensi untuk lebih berperan dalam memenuhi kebutuhan kertas dunia, namun pasokan bahan baku kayu yang bersumber dari kekayaan hutan menjadi permasalahan utama terkait dengan keberadaan hutan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia. Oleh karena itu, untuk memasok bahan baku industri pulp dan kertas maka kebijakan pembangunan hutan diarahkan pada upaya mendukung kelestarian hutan alam. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan HTI yang diarahkan untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri pulp dan kertas (Cecep Suryadi,Loan World Bank, 2007)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
357
Komoditas Pulp dan Kertas
Daftar Pustaka
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
APKI, 2007, Indonesian Pulp and Paper Industry, Direktory BPS, 2008, Statistik Indonesia Cecep Suryadi, Loan World Bank, 2007, Dilema pabrik Kertas Daru Setyo Rini, 2002, Minimasi Limbah Dalam Industri Pulp and Paper, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah Departemen Kehutanan, 2007, Road Map Revitalisasi Industri Kehutanan Indonesia Departemen Kehutanan, 2007, Statistik Kehutanan Departemen Perindustrian, 2005, Kebijakan Pembangunan Industri Nasional E.G. Togu Manurung dan Hendrikus H. Sukaria, 2000, Industri Pulp dan Kertas : Ancaman Baru terhadap Hutan Alam Indonesia Julius A. Mulyadi dan Kurnya Roesad, http://www.bisnis.com, 1996, Industri Pulp dan Kertas, Harapan Indonesia
358
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
s. go
Penulis :
.id
Komoditas Semen
ht
tp :// w
w
w
.b p
Sodikin Baidowi, M.Stats DR. Muhammad Romzi Harmawanti Marhaeni, MA
Komoditas Semen
11.1. Pendahuluan 11.1.1. Latar Belakang
.b p
s. go
.id
Industri semen nasional merupakan salah satu jenis industri yang strategis. Luasnya wilayah Indonesia membuat kebutuhan akan semen menjadi sangat besar terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur yang terus dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan, bangunan, irigasi dan fasilitas umum lainnya tidak bisa terlepas dari bahan berwarna abu-abu ini. Selain untuk pembangunan infrastruktur, semen juga dibutuhkan dalam pembangunan perumahan rakyat. Jumlah penduduk Indonesia yang besar membutuhkan perumahan yang tidak sedikit sehingga secara tidak langsung kebutuhan akan semen dalam penyediaan perumahan rakyat juga cukup besar.
ht
tp :// w
w
w
Selain alasan strategis, industri semen mempunyai prospek untuk dikembangkan di Indonesia karena banyak menggunakan bahan baku lokal. Bahan baku semen berupa batu kapur dan tanah liat banyak tersedia di seluruh wilayah Indonesia. Selain dari sisi ketersediaan, persentase biaya untuk bahan baku industri ini terhadap total input antara semen relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa industri semen menggunakan bahan baku yang harganya relatif murah. Tabel 11.1. menunjukkan bahwa komposisi bahan baku dan penolong di industri semen hanya sekitar 20 persen dari total input antara industri tersebut. Pada tahun 2005 terlihat hanya sekitar 18,52 persen input antara industri semen digunakan untuk bahan baku dan penolong. Sementara itu meskipun tenaga kerja yang bekerja langsung pada industri ini hanya sekitar 0,49 persen dari seluruh tenaga kerja yang bekerja di industri pengolahan berskala besar dan sedang, namun jumlahnya mencapai 20,729 orang pada tahun 2005. Jumlah ini tidak termasuk tenaga kerja tak langsung yang
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
361
Komoditas Semen
mampu diserap oleh industri ini seperti tenaga kerja di sektor transportasi, perdagangan, distribusi dan lain-lain.
Tabel 11.1. Komposisi Input Antara Industri Semen tahun 2002-2005
(1) 2002 2003 2004 2005
Bahan Baku Bahan Bakar, Sewa gedung, Pengeluaran dan Penolong listrik dan gas mesin & alat lain (2) 17.44 28.31 21.44 18.52
(3)
(4)
(5)
49.83 49.27 47.22 57.73
0.37 0.41 1.08 1.02
32.36 22.01 30.26 22.73
.id
Tahun
(6) 100 100 100 100
s. go
Sumber: Hasil Surv ei Industri Besar dan Sedang, BPS (diolah)
Total
ht
tp :// w
w
w
.b p
Data Asosiasi Semen Indonesia menunjukkan bahwa pangsa pasar semen Indonesia masih terbuka lebar mengingat penggunaan semen per kapita Indonesia saat ini masih rendah. Pada tahun 2007 penggunaan semen di Indonesia sekitar 150 kg/kapita per tahun sementara rata-rata konsumsi dunia telah mencapai 300 kg/kapita per tahun. Dalam beberapa tahun ke depan permintaan semen nasional diperkirakan akan terus meningkat karena masih banyak daerah di Indonesia yang membutuhkan semen untuk pembangunan infrastruktur. Selain di Jawa, sejumlah daerah di Kalimantan, Papua dan Sulawesi masih membutuhkan semen dalam jumlah banyak. Di daerahdaerah tersebut masih banyak bangunan dan infrastuktur yang harus dibuat sehingga pertumbuhan permintaan semen akan terus meningkat. Saat ini kapasitas produksi industri semen nasional mencapai 45 juta ton sementara konsumsi dalam negeri 35 juta ton. Jika konsumsi semen diperkirakan meningkat 7 % per tahun sementara produksi tetap maka beberapa tahun ke depan Indonesia terancam shortage semen.
362
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
.id
Sebagai industri yang banyak menggunakan bahan baku dalam negeri dan produksinya banyak dibutuhkan di dalam negeri, industri potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Sejak lama pasar semen telah dibangun oleh pemerintah dan pengusaha nasional. Namun sayang, pada saat krisis moneter melanda Indonesia banyak perusahaan semen yang diambil alih oleh pihak asing. Dalam keadaan krisis dan terdesak, kesempatan mengambil alih perusahaan terbuka lebar. Harga saham perusahaan semen jatuh dan dengan mudah diambil alih oleh pemilik modal asing. Dalam kondisi ini para pemodal asing masuk dalam keadaan tidak normal dimana harga saham sangat murah dan perusahaan dalam keadaan undervalue.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Saat ini mayoritas pangsa pasar industri semen nasional telah dikuasai oleh pihak asing. Dua dari perusahaan yang menguasai 90 persen pasar semen nasional dikuasai oleh pemodal asing berbasis Eropa yang merupakan pemain semen tingkat dunia. Dominasi pihak asing pada industri ini mengarah pada perilaku monopoli. Selain itu pelaku-pelaku industri semen tingkat dunia diduga kerap melakukan praktek kartel di banyak negara dimana pasar semen dikuasainya. Praktek kartel akan menyebabkan harga semen naik sehingga pemain oligopolis akan menikmati keuntungan yang besar bukan dari effisiensi dan peningkatan teknologi melainkan diambil dari pihak konsumen. Oleh karena itu, banyak kalangan menilai bahwa industri semen nasional saat ini tidak hanya strategis melainkan juga kritis. Berpijak dari alasan-alasan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk melihat kondisi industri semen saat ini beserta permasalahan yang dihadapi saat ini. Kajian mengenai kondisi pasokan semen nasional yang berisi potensi pengembangan semen, perkembangan produksi, konsumsi serta ekspor dan impor menjadi sangat diperlukan. Di sisi lain, perlu dilihat juga
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
363
Komoditas Semen
tantangan dan permasalahan yang dihadapi industri semen nasional sehingga dapat dirumuskan strategi pengembangan produksi semen nasional. 11.1.2. Pelaku Industri Semen
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Berbeda dengan jenis industri lainnya, pelaku industri semen di Indonesia hanya beberapa perusahaan saja. Hal ini terkait dengan sifat industri semen yang padat modal, padat energi dan bersifat massive. Menurut data Asosiasi Semen Indonesia pada tahun 2007, jumlah perusahaan semen di Indonesia berjumlah 9 perusahaan yang berlokasi di 16 pabrik. Jumlah ini sekitar 0,08 persen total perusahaan industri pengolahan berskala besar dan sedang di Indonesia. Perusahaan-perusahaan industri semen tersebut adalah : PT. Semen Andalas, PT Semen Padang, PT Semen Baturaja, PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk, PT Holchim Indonesia, PT. Semen Gresik, Tbk, PT. Semen Tonasa, PT. Semen Bosowa Marcos (SBM) dan PT. Semen Kupang.
ht
Penyebaran perusahaan industri semen di Indonesia menunjukkan bahwa industri ini sudah menyebar di pulau-pulau besar di Indonesia. Meskipun demikian, sebagian besar perusahaan semen berada di pulau Jawa. Gambar 11.1 menunjukkan terdapat 3 perusahaan industri semen di pulau Jawa yang berlokasi di 6 pabrik. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT. Holchim Indonesia, PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk dan PT. Semen Gresik Tbk. Data ASI (Asosiasi Semen Indonesia) menunjukkan ketiga perusahaan ini mampu mensuplai sekitar 91 persen kebutuhan semen di Indonesia. Selanjutnya jumlah perusahaan di pulau Sumatera sebanyak 3 perusahaan yang tersebar di 6 lokasi pabrik. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT. Semen Andalas, PT. Semen Padang dan PT. Semen Baturaja. Sementara di pulau Kalimantan tepatnya
364
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
di daerah Tarjun Kalimantan Timur terdapat 1 pabrik semen milik PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk. Di Sulawesi terdapat 2 perusahaan yaitu PT Semen Tonasa dan PT Semen Bosowa Maros (SBM) dan di Nusa Tenggara Timur terdapat PT Semen Kupang.
Gambar 11.1. Penyebaran Industri Semen di Indonesia, Tahun 2007
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
365
Komoditas Semen
.b p
s. go
.id
Sebagian besar konsumsi semen di Indonesia dipenuhi oleh tiga perusahaan semen yaitu Semen Gresik Group, PT. Holchim Indonesia, Tbk dan PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk. Seperti dijelaskan sebelumnya, sebagian besar saham perusahaan semen di Indonesia dikuasai oleh pihak asing. Tabel 11.2 menunjukkan kepemilikan saham beberapa perusahaan semen di Indonesia. Dari tabel terlihat sebagian besar saham PT. Holchim Indonesia, Tbk dan PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk dikuasai oleh pihak asing sementara hanya 51,01 persen saham Semen Gresik Group yang dikuasai oleh pemerintah. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa pasar semen di Indonesia sudah dikuasai oleh pihak asing. Hanya perusahaan-perusahaan semen yang kurang dominan yang tidak dikuasai oleh pihak asing. Tabel 11.2 juga menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan industri
PT. SEMEN PADANG (SP)
(2)
ht
(1)
SEMEN GRESIK GROUP
Clinker Design
Cement Design Capacity (000
Capacity (000 tons)
tons)
tp :// w
Since
w
Operation
Company
w
Tabel 11.2. Keadaan Perusahaan Semen di Indonesia
Share Holders
2006
2007
2006
2007
(3)
(4)
(5)
(6)
(7) 51.01% 24.90% 24.09%
1910
5,000
5,000
5,240
5,240
Gov erment Blue Valley Holdings Pte. Ltd. Public
PT. SEMEN GRESIK, Tbk. (SG)
1957
6,600
6,600
8,200
8,200
PT. SEMEN TONASA (ST)
1968
3,320
3,320
3,480
3,480
PT. HOLCIM INDONESIA, Tbk. (HI)
1975
7,800
7,800
8,700
8,700
77.33%
Holcim
22.67%
Public & Creditors
PT. INDOCEMENT TUNGGALPRAKARSA, Tbk. (ITP)
1975
14,800
14,800
15,650
15,650
65.14%
PT. Mekar Perkasa
21.83%
Public
PT. SEMEN BATURAJA (SB)
1980
1,200
1,200
1,250
1,250
100%
PT. SEMEN ANDALASINDONESIA (SAI)
1982
-
-
-
-
88.00%
PT. SEMEN KUPANG (SK)
1984
300
300
570
570
100%
1999
1,710
1,710
1,800
1,800
100%
40,730
40,730
44,890
44,890
12.00%
PT. SEMEN BOSOWAMAROS (SBM) GRAND TOTAL
HC Indocement GmbH
13.03%
Gov erment Cementia Holding AG IFC Gov ernment National Priv ate Company
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
366
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
semen sudah berdiri lama dan belum ada penambahan pabrik baru sampai dengan tahun 1999 . 11.2. Kondisi Pasokan Semen Nasional 11.2.1. Potensi Pengembangan Semen
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Indonesia merupakan negara yang berpotensi besar bagi industri semen, terutama dari segi jumlah penduduk dan tingkat perkembangan industri dan infrastrukturnya. Dibanding negara lain penggunaan semen per kapita di Indonesia tahun 2006 berada pada level yang rendah, sekitar 145 kg/tahun1. Sementara konsumsi semen per kapita di negara-negara Asia Tenggara lainnya lebih tinggi, misalnya Malaysia 591 kg/tahun; Thailand 426 kg/tahun dan Vietnam 389 kg/tahun. Catatan terakhir, menunjukkan bahwa penggunaaan semen perkapita pada tahun 2007 menjadi sekitar 150 kg/tahun. Jumlah ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan penggunaan semen per kapita negara Asia Tenggara lainnya, terlebih jika dibandingkan dengan Cina yang sudah mencapai 1000 kg/tahun. Karenanya, industri semen selalu menjadi bahan pembicaraan hangat, terutama karena bahan berwarna abu-abu ini mempunyai nilai strategis pembangunan untuk negara berkembang seperti Indonesia. Sebagai negara yang terus melakukan pembangunan, semen menjadi sesuatu yang mutlak. Terlebih lagi, beberapa tahun ke depan ini, pembangunan infrastruktur terus ditingkatkan. Namun, peluang untuk meningkatkan potensi positif dari industri semen untuk menjawab kebutuhan tersebut bisa menjadi berbalik menjadi ancaman jika tidak ada langkah antisipatif. Sehubungan dengan ini, kita perlu mengantisipasi akan
1
Chrysanthi Tarigan, [mediacare] Press Release INTERCEM Gelar Konferensi Semen Internasional di Indonesia, 28 May 2007
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
367
Komoditas Semen
terjadinya kelangkaan (shortage) semen untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri dalam beberapa tahun ke depan.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Kekhawatiran terjadinya shortage semen di dalam negeri ini cukup berasalan. Saat ini kapasitas produksi terpasang industri semen nasional sekitar 47,5 juta ton per tahun yang tersebar di enam belas lokasi pabrik semen di Indonesia. Sementara itu, rata-rata tingkat pemanfaatan efektif kapasitas produksi pabrik semen mencapai antara 80%-85% atau sekitar 38-40 juta per tahun. Sedangkan, tingkat konsumsi semen saat ini mencapai sekitar 33 juta ton. Untuk saat ini masih ada surplus pasokan semen di dalam negeri. Namun, bila tidak ada investasi baru untuk menambah kapasitas, diperkirakan tidak sampai 10 tahun ke depan, Indonesia akan mengalami shortage semen di dalam negeri. Katakanlah, tingkat pemanfaatan efektif kapasitas produksi pabrik semen mencapai 90% atau sekitar 42,75 juta ton per tahun, dengan tingkat pertumbuhan konsumsi diperkirakan mencapai 7% per tahun (asumsi pertumbuhan ekonomi), Indonesia akan mengalami shortage pada 2012. Pada saat itu, diperkirakan kebutuhan semen dalam negeri mencapai sekitar 47 juta ton sehingga ada shortage sekitar 5 juta ton2. Industri semen di Indonesia sangat strategis dan sangat potensial, karenanya banyak investor baik dalam negeri maupun luar negeri yang berminat dengan alasan pasar yang besar dan demand yang menjanjikan tersebut. Pasar semen nasional dulu dibangun oleh pengusaha nasional. Namun, sekarang sudah beralih ke tangan pemodal asing dan sudah lebih separuh pangsa pasar nasional dipasok oleh perusahaan asing. Munculnya investor perusahaan asing dapat membangkitkan masalah kritis yang memerlukan langkah antisipasi.
2 Sunarsip, Situasi Industri Semen Nasional dan Antisipasinya, investor daily, 11 Juli 2007
368
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
w
w
.b p
s. go
.id
Proses peralihan ini akan membuat pemodal asing dapat mendominasi pasar semen nasional. Hal ini akan berdampak munculnya masalah karena struktur pasar oligopoly dan masalah perilaku monopoli. Masalahnya tidak akan kritis jika pasar industri semen ini sehat dalam sisi persaingan. Pelakupelaku industri besar di tingkat dunia diduga kerap kali melakukan praktek kartel di banyak negara dimana pasar semen dikuasainya. Karena itu, Indonesia perlu berhati-hati menghadapi eksistensi pemain global dalam industri semen ini. Praktek kartel akan menyebabkan harga semen terdongkrak naik sehingga pemain oligopoli menikmati keuntungan yang ekstra besar, jauh lebih banyak dari keuntungan perusahaan di pasar yang bersaing secara sehat. Keuntungan yang didapat bukan karena hasil efisiensi dan peningkatan teknologi dalam proses produksi ini sangat merugikan konsumen. Untuk itu kebijakan-kebijakan yang dapat mencegah timbulnya praktek kartel harus disiapkan. Eksistensi BUMN yang terkait dengan Negara dan pengawasan masih sangat diperlukan.
ht
tp :// w
Pemahaman akan sifat dasar atau karakteristik dari industri semen dan seputar hal-hal yang terkait sangat penting untuk dapat menentukan kebijakan atau langkah-langkah strategis yang tepat. Pengambilan kebijakan yang tepat akan dapat mengangkat potensi industri semen ini dan diharapkan selain dapat melindungi konsumen agar terhindar dari masalah kelangkaan, juga melindungi produsen, khususnya produsen lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Berikut adalah beberapa sifat dasar dari industri semen: a.
Padat modal dan padat energi
• Padat modal, dimana biaya investasi pabriknya mencapai USD 100-200/ ton kapasitas produksi.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
369
Komoditas Semen
• Padat Energi, yaitu membutuhkan bahan bakar 130 kg batubara (batubara dengan kandungan 6000 kkal/kg) untuk memproduksi per ton terak dan membutuhkan tenaga listrik 100-120 kwh untuk memproduksi semen (terak adalah hasil proses pembakaran sedangkan semen adalah hasil proses pembakaran dilanjutkan proses penggilingan/ penghalusan). b.
Massive/Bulky
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Industri semen bersifat bulky atau diperdagangkan dengan kuantitas yang besar. Sifat dari semen yang sangat berat dan memerlukan tempat membuat biaya transportasi semen menjadi mahal. Oleh karena itu, pasar domestik merupakan pasar utama produsen semen, bukan pasar ekspor. Ada dua alternatif untuk menentukan lokasi pendirian industri semen, yakni yang dekat dengan pelabuhan atau di areal kandungan bahan baku. Dua alternatif itu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jika lokasi pabrik berada di dekat pelabuhan, maka masalah transportasi barang jadi akan menjadi mudah namun meninggalkan masalah pengangkutan bahan baku. Sebaliknya jika industri semen dibangun di lokasi bahan baku, maka akan timbul masalah pengangkutan dan distribusi barang jadi. c.
Bersifat polutif
Diantara sekian banyak manfaatnya, keberadaan pabrik semen dapat menjadi ancaman ekologis yang serius mulai dari pengambilan bahan baku, proses produksi, sampai dengan dampak polusi debu yang ditimbulkannya. Pada tahun 2100 temperatur bumi diprediksi meningkat antara 2,4 hingga 6,3 derajat Celcius. Kondisi tersebut disebabkan peningkatan polusi emisi gas karbondioksida. Setelah emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, salah satu penyumbang terbesar terjadinya emisi ini adalah industri semen. 370
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
s. go
.id
Selain itu industri semen juga menimbulkan dampak tersebarnya abu ke udara bebas sehingga mengakibatkan penyakit gangguan pernafasan. Abu yang dihasilkan sebagai akibat dari penggunaan batubara sebagai bahan bakar. Saat ini penggunaan batubara masih menimbulkan masalah lingkungan yang membutuhkan penyelesaian secara bersama antara pemerintah dan dunia usaha, yaitu dalam pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3) batubara “bottom ash and fly ash”. Studi kesehatan lingkungan menyebutkan, bahwa debu semen (abu) merupakan debu yang sangat berbahaya bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat di udara bebas harus diturunkan kadarnya.
ht
tp :// w
w
w
.b p
Sifat dasar industri semen seperti disebut di atas menunjukkan bahwa industri semen memiliki sifat yang tidak semata-mata semua positif. Namun, karena salah satu indikator suksesnya pembangunan adalah terbangunnya infrastrukturinfrastruktur fisik, maka semen tetap menjadi komoditas strategis yang memikat. Dengan demikian usaha pengembangan industri semen merupakan suatu hal yang mutlak. Sampai dengan tahun ini telah ada produsen yang melaporkan rencana pengembangan yaitu PT Semen Gresik menambah pabrik baru dengan kapasitas 2,5 juta ton/tahun, PT Semen Tonasa dengan kapasitas 2,5 juta ton, PT Holcim Indonesia dengan kapasitas 1,5 juta ton dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk memodifikasi pabrik sehingga kapasitasnya bertambah 5 juta ton pertahun.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
371
Komoditas Semen
11.2.2. Produksi dan Konsumsi Semen a.
Produksi dan Konsumsi Semen berdasarkan Tabel I-O 2005
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Tabel 11.3 menunjukkan neraca produksi transaksi total semen atas dasar harga pembeli pada tahun 2005. Terlihat bahwa pada tahun 2005 total input dan output sektor semen mencapai 21 trilyun rupiah. Dari total input tersebut, kontribusi nilai tambah sebesar 41 persen dan kontribusi input antara sebesar 59 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini belum cukup efisien dalam melakukan proses produksi karena menghasilkan nilai tambah yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nilai tambah seluruh sektor yang ada. Ratarata nilai tambah untuk seluruh sektor sebesar 51 persen sedangkan input antaranya sebesar 49 persen (lihat Tabel I-O 2005, BPS). Sementara itu dari total nilai tambah semen, lebih dari setengahnya merupakan surplus usaha atau 21 persen dari total input, sedangkan upah gaji hanya 11 persen.
Tabel 11.3. Transaksi Total Semen atas dasar harga pembeli (juta rupiah)
(1)
Jumlah input antara
Upah gaji Surplus usaha Penyusutan Pajak tak langsung (subsidi) NTB
Jumlah Input
ht
Input
%
Out-put
%
(2)
(3)
(4)
12.389.539
59.02
2.377.965 4.489.243 1.110.971 623.169 0 8.601.348
11.33 21.39 5.29 2.97 0 40.98 100
20.990.887
Jumlah permintaan antara Perubahan stock Ekspor Jumlah permintaan akhir Jumlah permintaan Impor Pajak penjualan Bea masuk Jumlah impor TTM besar TTM eceran Biaya angkut Jumlah TTM Jumlah Output
28.630.140 26.422 1.374.443 1.400.865 30.031.005 372.862 44.987 277 418.126 2.646.115 2.812.779 3.163.098 8.621.992 20.990.887
95.34 0.09 4.58 4.66 100 1.24 0.15 0 1.39 8.81 9.37 10.53 28.71 69.9
Sumber: BPS, Tabel Input-Output 2005
372
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
Total permintaan semen atas dasar harga pembeli mencapai 30 trilyun rupiah yang mayoritas merupakan permintaan antara yaitu sebesar 95,34 persen. Sisanya sebesar 4,66 persen merupakan permintaan akhir dengan komposisi 4,58 persen untuk ekspor dan 1,24 persen untuk stok. Nilai transaksi total semen atas dasar harga produsen menunjukkan komposisi pasokan dari produksi dalam negeri merupakan yang terbesar yaitu 69,90 persen disusul oleh margin perdagangan (TTM) dan impor masing-masing sebesar 28,71 persen dan 1,39 persen.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komposisi permintaan dengan menghilangkan pengaruh TTM atau permintaan dari produksi dalam negeri dan impor tanpa melihat margin perdagangan dapat dilihat dari neraca produksi transaksi total semen atas dasar harga produsen (Tabel 11.4). Total permintaan semen bila dilihat dari harga produsen sebesar 21,4 trilyun rupiah dimana 98,05 persen merupakan suplai dari produksi dalam negeri dan 1,95 persen dari impor. Kenyataan ini menunjukkan indikasi yang baik bahwa Indonesia masih sangat menggantungkan kebutuhan semen pada produksi dalam negeri, bukan dari impor. Tabel 11.4
ht
Tabel 11.4. Transaksi Total Semen atas Dasar Harga Produsen (juta rupiah) Input
%
Out-put
%
(1)
(2)
(3)
(4)
Jumlah input antara
12.389.539
59.02
Upah gaji Surplus usaha Penyusutan Pajak tak langsung (subsidi) NTB Jumlah Input
2.377.965 4.489.243 1.110.971 623.169 0 8.601.348 20.990.887
11.33 21.39 5.29 2.97 0 40.98 100
Jumlah permintaan antara Perubahan stock Ekspor Jumlah permintaan akhir Jumlah permintaan Impor Pajak penjualan Bea masuk Jumlah impor Jumlah Output
20.537.553 21.792 849.668 871.460 21.409.013 372.862 44.987 277 418.126 20.990.887
95.93 0.1 3.97 4.07 100 1.74 0.21 0 1.95 98.05
Sumber: BPS, Tabel Input-Output 2005
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
373
Komoditas Semen
menunjukkan bahwa Indonesia kebutuhan semen dalam negeri pada tahun 2005 sebesar 20,5 trilyun rupiah sudah dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri. Namun karena sebagian produksi senilai 871 milyar rupiah digunakan untuk memenuhi ekspor dan stok, maka sebagian persediaan semen didatangkan dari impor yang besarnya mencapai 418 milyar rupiah.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Tabel 11.5 menunjukkan total permintaan dari transaksi domestik atas dasar harga pembeli mencapai 29,5 trilyun rupiah dimana 29,97 persen diantaranya (8,56 trilyun rupiah) merupakan margin perdagangan, dan 71,03 persen (20,99 trilyun rupiah) merupakan output produksi dalam negeri. Sedangkan kontribusi input antara terhadap total input mencapai 59,03 persen dengan komposisi 52,81 persen merupakan input antara domestik dan sisanya 6,22 persen merupakan input antara yang diperoleh dari impor. Keadaan ini menunjukkan bahwa industri semen di Indonesia sangat mendukung perekonomian Indonesia karena produksinya sangat dominan diterima di dalam negeri dibanding produk luar negeri. Selain itu bahan baku yang digunakan juga dominan berasal dari dalam negeri.
ht
Tabel 11.5. Transaksi Ddomestik atas Dasar Harga Pembeli (juta rupiah) Input
%
Out-put
%
(1)
(2)
(3)
(4)
Jumlah input antara Input antara impor
11.084.950 1.304.589
52.81 6.22
Upah gaji Surplus usaha Penyusutan Pajak tak langsung (subsidi) NTB
2.377.965 4.489.243 1.110.971 623.169
11.33 21.39 5.29 2.97
Jumlah Input
8.601.348
40.98 20.990.887 100.00
Jumlah permintaan antara Perubahan stock Ekspor Jumlah permintaan akhir Jumlah permintaan
28.155.198 23.759 1.374.443 1.398.202 29.553.400
95.27 0.08 4.65 4.73 100
TTM besar TTM eceran Biaya angkut Jumlah TTM Jumlah Output
2.604.072 2.812.779 3.145.662 8.562.513 20.990.887
8.81 9.52 10.64 28.97 71.03
Sumber: BPS, Tabel Input-Output 2005
374
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
Tabel 11.6. Transaksi Domestik atas Dasar Harga Produsen (juta rupiah) Input
%
Out-put
%
(1)
(2)
(3)
(4)
Jumlah input antara Input antara impor
11.169.265 1.220.274
Upah gaji Surplus usaha Penyusutan Pajak tak langsung (subsidi) NTB Jumlah Input
2.377.965 4.489.243 1.110.971 623.169 0 8.601.348 20.990.887
53.21 Jumlah permintaan antara 5.81 Perubahan stock Ekspor 11.33 Jumlah permintaan akhir 21.39 Jumlah permintaan 5.29 2.97 0.0 40.98 100.00 Jumlah Output
20.121.885 19.334 849.668 869.002 20.990.887
95.86 0.09 4.05 4.14 100.00
20.990.887
100.00
.id
Sumber: BPS, Tabel Input-Output 2005
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Apabila struktur output dilihat dari transaksi domestik atas harga produsen (Tabel 11.6), atau struktur arus barang produksi domestik murni dari produsen tanpa margin perdagangan terlihat bahwa 95,95 persen dari total output merupakan permintaan dalam negeri, sedangkan sisanya 4,05 persen diekspor ke luar negeri. Dari total output ini sekitar 95,86 persen merupakan permintaan antara dan 4,14 persen merupakan permintaan akhir.
Tabel 11.7. Alokasi Output Sektor Semen Terhadap Permintaan Antara Sektor Lain atas Dasar Harga Produsen (juta rupiah) Sektor (1)
Jalan, jembatan dan pelabuhan Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal Prasarana pertanian Barang-barang lainnya dari bahan bukan logam Banguan dan instalasi, listrik, gas dan air bersih dan komunikasi Semen Lainnya Total Permintaan Antara
Nilai Permintaan (2)
8.072.352 6.320.258 4.482.979 635.654 512.047 37.624 60.972 20.121.885
% (3)
40.12 31.41 22.28 3.16 2.54 0.19 0.3 100
Sumber: BPS, Tabel Input-Output 2005
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
375
Komoditas Semen
s. go
.id
Penggunaan output semen sebagai input atau permintaan antara sektor lain dapat dilihat dari alokasi output sektor semen menurut sektor seperti terlihat padaTabel 11.7. Pada tabel ini terlihat bahwa output sektor semen banyak dimanfaatkan oleh tiga sektor utama yaitu sekor jalan, jembatan dan pelabuhan, sektor bangunan, dan sektor prasarana pertanian. Dari total permintaan antara semen, 93 persen merupakan permintaan antara dari ketiga sektor ini yang jumlahnya mencapai 19 trilyun rupiah. Sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan menginput sekitar 40,12 persen sedangkan sektor bangunan menginput sebesar 31,41 persen, sementara sektor prasarana pertanian sebesar 22,28 persen.
tp :// w
(1)
w
Sektor
w
.b p
Tabel 11.8. Alokasi Input Permintaan Antara sektor Semen Terhadap Output Sektor Lain atas Dasar Harga Produsen (juta rupiah)
ht
Batubara Listrik dan gas Gas bumi dan panas bumi Barang galian segala jenis Barang-barang hasil kilang minyak Jasa perdagangan Jasa angkutan jalan raya Jasa restoran Bank Jasa komunikasi Jasa perbengkelan Jasa angkuta laut Kerta dan karton Jalan, jembatan dan pelabuhan Jasa perhotelan Jasa perusahaan Semen Lainnya Total Permintaan Antara
Nilai Permintaan
%
(2)
(3)
3.651.789 1.766.647 1.692.528 1.070.808 765.019 511.900 246.301 235.861 224.458 159.658 118.905 85.381 69.493 61.305 55.968 45.772 37.624 369.847 11.169.266
32.69 15.82 15.15 9.59 6.85 4.58 2.21 2.11 2.01 1.43 1.06 0.76 0.62 0.55 0.50 0.41 0.34 3.31 100.00
Sumber: BPS, Tabel Input-Output 2005
376
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
Di sisi lain, Tabel 11.8 menjelaskan bahwa komposisi input antara sektor semen umumnya berasal dari bahan bakar, listrik, dan gas yang terdiri dari batubara, listrik dan gas, serta gas bumi dan panas bumi. Komposisi ketiga komponen ini mencapai 60 persen dari keseluruhan input antara sektor semen, atau mencapai 6 trilyun rupiah pada tahun 2005. Input lainnya berasal dari sektor barang galian dan barang-barang hasil kilang minyak sebesar 16 persen atau sebesar 1,8 trilyun rupiah. Di sektor ini, input semen terutama berasal dari bahan baku utama semen yaitu batu kapur dan phospat.
.id
b. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
Tabel I-O selain dapat digunakan untuk melihat struktur input dan output suatu sektor, dapat juga digunakan untuk melihat keterkaitan antar sektor produksi. Keterkaitan ini sebagai dampak dari peningkatan kapasitas produksi di suatu sektor (dalam hal ini sektor semen) terhadap sektor lainnya. Ada dua dampak yang ditimbulkan dari peningkatan kapasitas produksi, yaitu (a) dampak terhadap permintaan barang dan jasa yang diperlukan sebagai input sektor semen, dan (b) dampak terhadap penyediaan barang dan jasa hasil produksi semen yang dimanfaatkan sebagai input oleh sektor lain. Dampak dari suatu kegiatan produksi terhadap permintaan barang dan jasa input yang diperoleh dari produksi sektor lain disebut keterkaitan ke belakang (backward linkages) atau Daya Penyebaran. Sedangkan dampak yang ditimbulkan karena penyediaan hasil produksi suatu sektor terhadap penggunaan input oleh sektor lain disebut keterkaitan ke depan (forward linkages) atau Derajat Kepekaan. Apabila kedua dampak ini dibagi dengan rata-rata dampak dari seluruh sektor, maka disebut Indeks Daya Penyebaran (αj) dan Indeks Derajat Kepekaan (βi). Berikut ini disajikan Indeks daya penyebaran dan Indeks derajat kepekaan.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
377
Komoditas Semen
Tabel 11.9. Sepuluh Sektor Terbesar Indeks Daya Penyebaran (Backward Linkage) menurut 175 Sektor I-O 2005 No.
Kode
Sektor
Backward Linkage
(1)
(2)
(3)
(4)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 . . 65
51 50 90 68 56 60 77 108 81 100 . . 113
.id
.b p
Sumber: BPS, Tabel Input-Output 2005
14,015 13,795 13,732 13,540 13,136 13,119 12,914 12,821 12,766 12,744 . . 10,634
s. go
Makanan dan minuman terbuat dari susu Daging olahan dan awetan Bubur kertas Makanan lainnya Minyak hewani dan minyak nabati Roti, biskuit dan sejenisnya Tekstil jadi kecuali pakaian Barang-barang lainnya dari karet Kulit samakan dan olahan Jamu . . Semen
ht
tp :// w
w
w
Tabel 11.9. menunjukkan indeks daya penyebaran dari 175 sektor di Indonesia pada tahun 2005. Bila diurutkan dari yang terbesar ke terkecil, terlihat bahwa indeks daya penyebaran tertinggi adalah sektor industri makanan dan minuman terbuat dari susu yaitu sebesar 1,4015. Kemudian diikuti oleh sektor industri daging olahan dan awetan, bubur kertas, makanan lainnya, sampai dengan sektor industri jamu dengan indeks sebesar 1,3 (lihat Tabel 11.7). Sementara indeks penyebaran sektor semen menempati urutan ke 65 dari 175 sektor perkonomian. Indeks sektor ini sebesar 1,0634 atau masih di atas rata-rata indeks penyebaran seluruh sektor perekonomian. Hal ini berarti bahwa dampak permintaan input sektor semen terhadap sektor lain relatif cukup besar dibanding sektor lainnya.
378
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
Tabel 11.10. Sepuluh Sektor Terbesar Indeks Derajat Kepekaan (Forward Linkage) menurut 175 Sektor I-O 2005 No.
Kode
Sektor
Backward Linkage
(1)
(2)
(3)
(4)
Jasa perdagangan Barang-barang hasil kilang minyak Bank Jasa angkutan jalan raya Minyak bumi Listrik dan gas Jasa perbengkelan Jasa perusahaan Gas bumi dan panas bumi Mesin dan perlengkapannya . . Semen
s. go
.id
149 104 159 153 36 142 173 163 37 124 . . 113
73,411 42,779 31,504 28,990 26,298 25,762 22,400 21,040 18,230 17,766 . . 0.798
.b p
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 . . 83
ht
tp :// w
w
w
Namun bila dilihat dari indeks derajat kepekaan, sektor semen menempati urutan ke 83 dengan indeks derajad kepekaan sebesar 0,7980. Nilai indeks berada di bawah satu atau di bawah rata-rata indeks derajat kepekaan dari 175 sektor yang ada pada tahun 2005. Sektor yang mempunyai indeks derajat kepekaan tertinggi adalah sektor jasa perdagangan dengan indeks sebesar 7,3411. Sektor ini memiliki indeks derajat kepekaan jauh melampaui sektor-sektor lainnya, kemudian diikuti oleh sektor barang-barang hasil kilang minyak sebesar 4,2779. Selanjutnya sektor Bank sampai dengan sektor mesin dan perlengkapannya mempunyai nilai indeks derajad kepekaan berkisar antara 2 sampai 3. Hal ini menunjukkan bahwa dampak output kesepuluh sektor ini sangat mempengaruhi input sektor lain, terutama sektor jasa perdagangan karena sektor ini merupakan input dari setiap sektor. Artinya sektor semen tidak banyak berpengaruh terhadap sektor lain.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
379
Komoditas Semen
c. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Semen
.b p
s. go
.id
Indonesia merupakan Negara yang sangat berpotensi besar sebagai pasar untuk komoditi semen di dunia, karena memiliki jumlah penduduk yeng besar, terbesar ke empat di dunia. Namun demikian konsumsi semen per kapita masih kecil, jauh lebih kecil dibanding konsumsi Negara-negara Asean lain seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Pada tahun 1997 konsumsi semen per kapita di Indonesia sebesar 141 kg, kemudian akibat krisis ekonomi turun menjadi 96 kg pada tahun 1998 dan 94 kg pada tahun 1999. Namun sejalan dengan perekonomian yang kian membaik, konsumsi semen terus mengalami peningkatan hingga mencapai 152 kg per kapita pada tahun 2007. Sebagai perbandingan pada tahun 2006 konsumsi semen per kapita di Malaysia, Thailand dan Vietnam masing-masing sudah mencapai 591 kg, 426 kg, dan 389 kg.
ht
tp :// w
w
w
Total konsumsi semen di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 34,2 juta ton. Angka ini masih dibawah total produksi dalam negeri yang mencapai 35 juta ton. Dengan kata lain bahwa produksi dari dalam negeri sudah dapat memenuhi permintaan dalam negeri sendiri. Namun karena sebagian produksi di pasarkan ke luar negeri, maka sebagian pasokan didatangkan dari luar negeri walaupun tidak begitu besar. Total produksi semen yang dipasarkan di dalam negeri pada tahun 2007 mencapai 32,8 juta ton, ekspor mencapai 2,9 juta ton, sedangkan total impor sebesar 1,4 juta ton. Dilihat dari perkembangannya, baik dari produksi, penjualan dan konsumsi domestik semen di Indonesia terus mengalami kenaikan sejak 1997 sampai 2007. Penurunan hanya terjadi pada saat terjadi krisis tahun 1998. Produksi semen domestik dengan kapasitas yang ada pada saat ini semestinya masih bisa ditingkatkan lagi mengingat
380
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
.id
penggunaan atau utilitas yang belum optimal. Persentase utilitas produksi semen pada tahun 2007 baru mencapai 78 persen walaupun angka ini sudah mengalami peningkatan dari tahuntahun sebelumnya, yaitu dari 49,57 persen pada tahun 1998. Setahun sebelum terjadi krisis persentase utilitas produksi semen sudah mencapai 81,81 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan utilitas masih bisa dilakukan mengingat kondisi perekonomian Indonesia sudah mulai membaik. Selain itu pula produksi clinker, bahan sengah jadi semen, lebih besar dibanding semen dengan persentase utilitas juga lebih tinggi, yaitu sebesar 88,18 persen pada tahun 2007.
Kapasitas
Produksi
(000 ton)
(000 ton)
Semen
Clinker
Utilitas (% )
(3)
(4)
(5)
33.620
25.218
81.49
(1) 1997
(2) 30.945
Semen Utilitas (% ) (6) 27.505
40.245
45.070
22.433
55.74
22.341
43.470
46.970
27.025
62.17
43.470
46.970
43.780
47.140
2002
44.425
47.490
2003
44.425
47.490
43.340
47.490
42.690
46.090
26.037
49.57
Konsumsi
Konsumsi
Semen
Domestik
Per kapita
(000 ton)
(000 ton)
(kg)
(12)
(13)
Ekspor Clinker Semen (9)
(10) 30
771
Total (11) 26.838
1.410
27.447
(14) 141
18.965
1.293
3.127
23.385
109
19.075
96
18.817
3.940
5.108
27.865
0
18.817
94
30.119
69.29
27.789
59.16
22.307
3.552
4.903
30.762
24
22.331
110
77.39
31.099
65.97
25.700
3.707
5.750
35.157
44
25.744
125
50.94
33.248
74.84
30.720
64.69
27.173
4.184
3.791
35.148
60
27.233
130
32.629
73.45
30.647
64.53
27.528
4.270
3.073
34.871
11
27.539
130
34.886
80.49
33.230
69.97
30.192
4.673
2.946
37.811
17
30.208
140
34.004
79.65
33.917
73.59
30.432
3.407
3.289
37.128
1.055
31.487
144
ht
2004 2005
(8)
81.81
Impor
(000 ton)
33.880
23.925
tp :// w
2000
(7)
Penjualan
w
1998 1999 2001
Domestik
.b p
Clinker
w
Tahun
s. go
Tabel 11.11. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Semen di Indonesia
2006
40.730
44.890
34.970
85.86
33.032
73.58
30.695
5.023
2.245
37.963
1.280
31.975
145
2007
40.730
44.890
35.914
88.18
35.033
78.04
32.763
4.873
2.929
40.565
1.410
34.172
152
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Perusahaan semen yang mempunyai kontribusi terbesar dalam memenuhi kebutuhan semen domestik adalah PT. Indocement Tunggal Prakarsa dan PT. Semen Gresik. Peranan kedua perusahaan ini lebih dari 52 persen dari keseluruhan kebutuhan semen dalam negeri. Kemudian diikuti oleh PT. Holcim Indonesia dan PT. Semen Padang. Sayangnya, kepemilikan dari keempat perusahaan semen ini masih didominasi oleh kepemilikan asing. Sementara itu perusahaan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
381
Komoditas Semen
semen milik pemerintah masih sangat kecil peranannya. Sebagai contoh peranan PT. Semen Baturaja, PT. Bosowa, dan PT. Semen Kupang masing-masing masih berada di bawah 7 persen. Tabel 11.12. Penjualan Domestik (Ton) Perusahaan
Peranan (%) (3)
2006
(1)
(2)
Peranan (%) (5)
2007 (4)
Pertumbuhan (%) (6)
1,274,062 4,357,435 923,969
3.99 13.63 2.89
1,399,861 4,836,439 1,015,887
4.10 14.15 2.97
9.87 10.99 9.95
PT. Indocement Tunggal Prakarsa PT. Holcim Indonesia PT. Semen Gresik PT. Semen Tonasa
9,765,883 4,044,200 7,817,192 2,684,599
30.55 12.65 24.45 8.40
10,552,272 4,972,938 7,399,327 2,935,231
30.88 14.55 21.65 8.59
8.05 22.96 -5.35 9.34
1,020,029 81,631 31,971,006
3.19 0.26 100.00
1,003,624 56,857 34,174,443
2.94 0.17 100.00
-1.61 -30.35 6.89
s. go
tp :// w
w
w
*) Semen Impor dari Malay sia
.b p
PT. Semen Bosowa Maros PT. Semen Kupang Total
.id
PT. Semen Andalas Indonesia*) PT. Semen Padang PT. Semen Baturaja
ht
Rata-rata pertumbuhan penjualan semen dalam megeri sebesar 6,89 persen dengan PT. Holcim Indonesia mempunyai pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 23 persen pada tahun 2007, kemudian diikuti oleh PT. Semen Padang dengan pertumbuhan sebesar 11 persen, dan PT. Semen Baturaja serta PT. Semen Andalas masing-masing sebesar 10 persen. Sementara pertumbuhan terendah yaitu PT. Semen Kupang, PT. Semen Gresik, dan PT. Semen Bosowa dengan pertumbuhan negatif. Konsumsi semen menurut propinsi menunjukkan bahwa konsumen semen terbesar adalah provinsi-provinsi di Jawa. dengan kontribusi sebesar 19,7 juta ton pada tahun 2007 atau 58 persen dari total konsumsi semen domestik. Hampir semua provinsi di Jawa kecuali Yogyakarta merupakan provinsi
382
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
Tabel 11.13. Pemasok Konsumsi Semen Domestik menurut Provinsi 2003-2007
Provinsi
2003 (ton)
2004 (ton)
Growth (% )
2005 (ton)
Growth (% )
2006 (ton)
Growth (% )
2007 (ton)
Growth (% )
(2) 323,834
(3) (4) 417,427 28.90
(5) (6) 461,528 10.56
(7) (8) 916,680 98.62
(9) (10) 1,027,009 12.04
Sumatera Utara Sumatera Barat
1,537,787 584,642
1,688,723 9.82 557,937 -4.57
1,783,554 5.62 560,062 0.38
1,678,390 -5.90 500,733 -10.59
1,936,536 15.38 564,859 12.81
Riau Kepulauan Riau
888,997 575,622
907,618 2.09 587,210 2.01
786,319 -13.36 628,411 7.02
826,893 5.16 631,872 0.55
978,980 18.39 680,048 7.62
Jambi Sumatera Selatan
265,920 593,004
265,658 -0.10 715,908 20.73
257,680 -3.00 781,412 9.15
345,553 34.10 820,949 5.06
401,011 16.05 965,511 17.61
Bangka Belitung Bengkulu
160,000 172,888
168,442 5.28 261,728 51.39
203,937 21.07 282,144 7.80
229,349 12.46 334,394 18.52
222,061 -3.18 370,842 10.90
Lampung Sumatera
664,788 5,767,482
722,960 8.75 6,293,611 9.12
751,603 3.96 6,496,650 3.23
739,983 -1.55 7,024,796 8.13
895,976 21.08 8,042,833 14.49
Jakarta Banten
3,374,170 1,400,434
3,540,246 4.92 1,768,082 26.25
3,666,752 3.57 2,108,707 19.27
3,294,108 -10.16 1,877,605 -10.96
3,392,884 3.00 1,977,810 5.34
Jawa Barat Jawa Tengah
4,351,758 3,292,481
4,971,484 14.24 3,544,053 7.64
5,223,285 5.06 3,559,998 0.45
5,022,596 -3.84 3,575,353 0.43
4,792,657 -4.58 3,795,264 6.15
Yogyakarta Jawa Timur
576,583 4,081,852
591,700 2.62 4,372,960 7.13
600,018 1.41 4,511,634 3.17
805,174 34.19 4,696,457 4.10
985,261 22.37 4,714,515 0.38
17,077,278 306,388
18,788,525 10.02 343,292 12.04
19,670,394 4.69 366,151 6.66
19,271,293 -2.03 390,165 6.56
19,658,391 2.01 446,396 14.41
289,935 84,675
295,802 2.02 121,975 44.05
376,307 27.22 149,260 22.37
384,882 2.28 181,413 21.54
468,858 21.82 263,434 45.21
661,465 1,342,463
693,792 4.89 1,454,861 8.37
679,637 -2.04 1,571,355 8.01
697,744 2.66 1,654,204 5.27
806,866 15.64 1,985,554 20.03
Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan
160,027 840,532
196,328 22.68 843,683 0.37
174,392 -11.17 894,060 5.97
215,178 23.39 963,708 7.79
231,425 7.55 1,006,614 4.45
Sulawesi Tengah Sulawesi Utara
232,515 283,197
263,269 13.23 378,027 33.49
254,628 -3.28 343,923 -9.02
274,600 7.84 389,192 13.16
333,752 21.54 401,885 3.26
80,972 1,597,243
73,670 -9.02 1,754,977 9.88
71,250 -3.28 1,738,253 -0.95
85,200 19.58 1,927,878 10.91
98,960 16.15 2,072,636 7.51
Bali Nusa Tenggara Barat
660,673 393,647
716,890 8.51 380,036 -3.46
788,887 10.04 364,592 -4.06
763,184 -3.26 424,488 16.43
858,341 12.47 493,580 16.28
Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara
221,451 1,275,771
346,076 56.28 1,443,002 13.11
306,732 -11.37 1,460,211 1.19
311,726 1.63 1,499,398 2.68
310,877 -0.27 1,662,798 10.90
210,013 268,768
211,428 0.67 262,074 -2.49
250,964 18.70 299,190 14.16
309,721 23.41 287,976 -3.75
346,096 11.74 404,128 40.33
478,781 27,539,018
473,502 -1.10 30,208,478 9.69
550,154 16.19 31,487,016 4.23
597,697 8.64 31,975,265 1.55
750,224 25.52 34,172,436 6.87
Gorontalo Sulawesi
Maluku Papua Maluku & Papua Indonesia
s. go
.b p
w
w
Kalimantan Timur Kalimantan
tp :// w
Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah
ht
Jawa Kalimantan Barat
.id
(1) NA. Darussalam
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
pemasok semen domestik terbesar di Indonesia. Hal ini wajar karena Jawa merupakan pusat perekonomian dengan jumlah
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
383
Komoditas Semen
.id
penduduk terbesar di Indonesia sehingga pembangunan masih terpusat di Jawa. Hal ini pulalah yang menjadi perhatian investor semen untuk berinvestasi di Jawa. Selanjutnya diikuti oleh provinsi-provinsi di sumatera dengan kontribusi sebesar 8 juta ton, dan di Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara masingmasing sekitar 2 juta ton. Namun dari segi pertumbuhannya, provinsi-provinsi di Jawa, kecuali Yogyakarta, merupakan yang terkecil dibanding provinsi lainnya dengan rata–rata pertumbuhan sebesar 2 persen pada tahun 2007. Pertumbuhan terbesar terjadi pada provinsi-provinsi di Papua yaitu dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 40,3 persen, Kalimantan sebesar 20 persen, dan Sumatera sebesar 14,5 persen.
.b p
s. go
11.2.3. Pengembangan Produk Olahan Semen (Pohon Industri)
ht
tp :// w
w
w
Semen merupakan produk olahan dari paduan bahan baku: batu kapur/gamping sebagai bahan utama dan lempung/tanah liat atau bahan pengganti lainnya ditambah dengan pasir besi dan pasir silika. Campuran ini akan berupa padatan berbentuk bubuk/bulk, tanpa memandang proses pembuatannya, yang mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air. Untuk menghasilkan semen, bahan baku tersebut dibakar sampai meleleh, sebagian untuk membentuk clinker. Kemudian clinker dihancurkan dan ditambah dengan gips (gypsum) dalam jumlah yang sesuai. Gips ini berasal dari batuan phosphate. Gambar 11.2 dan Gambar 11.3 memperlihatkan skema pohon industri dari batu kapur dan phosphate. Hasil akhir dari proses produksi dikemas dalam kantong/zak dengan berat rata-rata 40 kg atau 50 kg. Ada beberapa jenis semen yang dapat dihasilkan tergantung dari kadar campurannya yaitu: semen abu (Portland), semen putih, semen khusus (oil well cement), dan mixed & fly
384
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
ash cement. Masing-masing semen mempunyai kegunaan yang berbeda-beda; • semen abu atau semen portland adalah bubuk/bulk berwarna abu kebiru-biruan, dibentuk dari bahan utama batu kapur/gamping berkadar kalsium tinggi yang diolah dalam tanur yang bersuhu dan bertekanan tinggi. Semen ini biasa digunakan sebagai perekat untuk memplester. Semen ini berdasarkan prosentase kandungan penyusunannya terdiri dari 5 (lima) tipe, yaitu tipe I sampai dengan IV dan ferro cement. • semen putih (gray cement) adalah semen yang lebih murni dari semen abu dan digunakan untuk pekerjaan penyelesaian (finishing), seperti sebagai filler atau pengisi. Semen jenis ini dibuat dari bahan utama kalsit (calcite) limestone murni. • oil well cement atau semen sumur minyak adalah semen khusus yang digunakan dalam proses pengeboran minyak bumi atau gas alam, baik di darat maupun di lepas pantai. • mixed & fly ash cement adalah campuran semen abu dengan Pozzolan buatan (fly ash). Pozzolan buatan (fly ash) merupakan hasil sampingan dari pembakaran batubara yang mengandung amorphous silika, aluminium oksida, besi oksida dan oksida lainnya dalam berbagai variasi jumlah. Semen ini digunakan sebagai campuran untuk membuat beton, sehingga menjadi lebih keras.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
385
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komoditas Semen
Sumber: Departemen Perindustrian
Gambar 11.2. Pohon Industri Batu Kapur
386
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komoditas Semen
Sumber: Departemen Perindustrian
Gambar 11.3. Pohon industri batuan phosphate
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
387
Komoditas Semen
11.3. Permasalahan Dan Tantangan Industri Semen Nasional. Dalam rangka pengembangan industri semen di Indonesia perlu diidentifikasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi industri ini. Permasalahan-permasalahan yang muncul di industri semen sebagian merupakan masalah dari luar industri semen sedangkan sebagian lagi muncul karena sifat dasar industri semen itu sendiri. Berikut ini permasalahan yang dihadapi oleh industri semen nasional: Pembangunan industri semen membutuhkan modal yang besar sehingga hal ini menciptakan hambatan bagi munculnya pesaing baru. Hanya investor yang memiliki modal besar yang mampu membangun industri semen. Jatuhnya saham perusahaan semen ke tangan asing tidak terlepas dari sifat industri semen yang padat modal dan padat energi. Data Asosiasi Semen Indonesia menyebutkan biaya investasi pabrik semen mencapai USD 100-200 untuk setiap ton kapasitas produksi. Selain itu sifat industri semen yang bulky atau harus diperdagangkan dalam kuantitas yang besar membuat industri ini hanya mungkin dikuasai oleh perusahaan dengan modal tinggi.
2.
Biaya transportasi industri semen cukup mahal karena sifat semen yang sangat berat dan memerlukan tempat yang besar (massive). Untuk mendistribusikan semen ke konsumen diperlukan sarana dan prasarana angkutan yang memadai. Distribusi semen ke daerah-daerah yang melewati laut memerlukan pelabuhan pendukung, sementara penyaluran lewat darat membutuhkan prasarana jalan darat yang memadai.
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
1.
388
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
Belum tercukupinya kebutuhan listrik dan bahan bakar untuk industri semen nasional karena sifat industri ini yang padat energi. Bagi industri semen, listrik dan bahan bakar merupakan komponen input antara utama sehingga kekurangan pasokan listrik dan batubara akan menjadi masalah besar bagi industri ini. Tabel 1 menunjukkan bahwa setiap tahunnya sekitar 50 persen biaya input antara industri semen dikeluarkan untuk bahan bakar, listrik dan gas. Sementara itu Asosiasi Semen Indonesia menyatakan bahwa untuk memproduksi 1 ton semen dibutuhkan 100 KWH - 200 KWH listrik, sehingga untuk mencapai economic size 1,5 juta ton per tahun dibutuhkan 150 juta KWH sampai 300 juta KWH listrik. Dengan kondisi krisis listrik saat ini, kebutuhan listrik industri semen menjadi sulit terpenuhi. Sementara itu untuk menghasilkan 1 ton terak dibutuhkan 130 kg batubara sehingga untuk mencapai economic size dibutuhkan 195 juta ton batubara per tahun. Pemenuhan kebutuhan batubara yang besar ini menjadi permasalahan karena produsen semen harus bersaing dengan eksportir.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
3.
Kapasitas produksi belum optimal. Saat ini kapasitas produksi yang digunakan pada industri semen masih sekitar 70 persen. Jika kapasitas produksi tidak ditingkatkan dan tidak ada penambahan pabrik baru, maka dalam waktu dekat shortage semen tidak bisa dihindarkan.
5.
Sifat industri semen yang polutif menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Pengambilan tanah liat dan batu kapur yang tidak sesuai aturan akan menimbulkan masalah longsor. Sementara debu industri semen juga berakibat buruk pada kesehatan.
ht
4.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
389
Komoditas Semen
.b p
s. go
.id
Industri semen nasional harus bersaing dengan semen impor sebagai dampak arus globalisasi. Memasuki abad ke 21 arus globalisasi terus mendesak dan tidak akan dapat dibendung lagi. Era globalisasi ini mempunyai arti bagi setiap negara sebagai berikut: • Terciptanya lapangan kerja yang lebih luas bagi profesional, teknisi dan tenaga trampil, sehingga merekadapat bekerja ke luar negeri tanpa banyak hambatan • Terbukanya persaingan lintas batas dalam penawaran barang dan jasa • Barang dan manusia dapat bergerak mudah dari satu negara ke negara lain • Perusahaan perusahaan akan bersaing bebas di seluruh kawasan • Persaingan bisnis akan lebih besar disemua sektor
tp :// w
w
w
Dampak dari arus globalisasi dalam industri semen diantaranya adalah, masuknya produk impor semen dan investor/pelaku usaha asing dalam dunia percaturan industri semen. Diantara produk impor semen yang sudah masuk ke wilayah Indonesia adalah produk China. Sejak tahun 2007 China mengalami oversupply akibat telah selesainya pengerjaan sejumlah stadion raksasa untuk Olimpiade 2008. Diperkirakan China akan melempar kelebihan pasokan itu ke Asia dan Timur Tengah dengan harga yang murah. Persoalannya, jika shortage semen nasional dipenuhi oleh impor, hal itu bisa merusak industri semen dalam negeri.
ht
6.
Sampai dengan 2010, para produsen semen dalam negeri masih merasa lega karena Depperin telah mengusulkan bea masuk 0% menjadi 10% bagi produk semen impor. Keputusan tersebut tertuang dalam usulan Menpperin
390
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
Sebagian besar saham perusahaan semen dikuasai oleh investor asing. Selain barang yang mudah bergerak melewati lintas batas antar negara karena arus globalisasi, investor/pelaku asing juga telah masuk dengan memiliki saham di beberapa industri semen di Indonesia. Masuknya investor asing ke Indonesia merupakan salah satu kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah mengingat industri ini merupakan industri padat modal. Sebagai komoditas yang tidak masuk dalam daftar negative list, industri semen mempunyai peluang untuk dimasuki oleh investor asing. Keberadaan investor asing merupakan peluang sekaligus ancaman bagi industri semen nasional mengingat semen merupakan komoditas strategis. Namun, keberadaan investor asing perlu diwaspadai agar potensi munculnya struktur pasar oligopoli dan prilaku monopoli dapat dihindarkan. Lebih jauh, kepentingan nasional dan keikutsertaan pengusaha nasional masih dilindungi.
ht
tp :// w
w
w
.b p
7.
s. go
.id
No1049/M-IND/11/2007 tentang harmonisasi tarif bea masuk produk industri 2008. Usulan kenaikan bea masuk tersebut meliputi kelompok industri hilir seperti semen putih, semen diwarnai, semen almunia, dan semen hidrolik lainnya. Usulan tersebut diharapkan menjadi sebuah jaminan bagi produsen semen dalam negeri untuk dapat bersaing dengan semen impor. Namun skema ASEANChina Free Trade Area yang akan dilakukan pada tahun 2010 hingga 2018 akan menurunkan Bea Masuk secara bertahap hingga 0% untuk produk-produk perdagangan diantara kedua wilayah tersebut termasuk di dalamnya semen. Diharapkan pemerintah dapat mengambil kebijakan yang strategis menghadapi masalah ini.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
391
Komoditas Semen
Menggunakan bahan baku utama dan tambahan yang tidak dapat diperbaharui. Industri semen menggunakan bahan baku yang tidak dapat diperbaharui, yaitu batu kapur atau batu gamping dan tanah liat atau tanah lempung. Sebagai contoh pabrik semen yang berada di Padang, Sumatera Barat menyatakan bahwa bahan baku untuk industri semennya yang tersedia hingga saat ini, diperkirakan tinggal 25 tahun lagi masa produksinya. Oleh karena itu pembangunan pabrik baru di wilayah lain sangat diperlukan mengingat tanah liat dan batu kapur banyak tersedia di seluruh wilayah Indonesia.
9.
Masalah pembebasan tanah masih menjadi kendala dalam pembangunan pabrik baru. Untuk dapat menjawab kebutuhan semen dalam jangka panjang, ekspansi pabrik baru mutlak harus dilakukan. Namun, pembangunan pabrik baru terkadang terkendala oleh masalah pembebasan lahan mengingat pembangunan pabrik semen baru membutuhkan lahan yang luas.
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
8.
ht
10. Selain masalah pembebasan lahan, pengembangan industri semen juga terkendala oleh masalah perijinan. Saat ini belum ada kepastian hukum di daerah-daerah sehingga menyulitkan investor dalam pengembangan usahanya. 11.4. Strategi Pengembangan Produksi Semen 11.4.1. Identifikasi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam melakukan analisa untuk menentukan strategi atau kebijakan yang tepat sasaran, salah satu perangkat analisa yang biasa digunakan adalah analisa SWOT. Analisa ini menelaah faktor-faktor kekuatan, kendala/kelemahan, peluang, tantangan/ ancaman. 392
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
1)
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
2)
Beberapa kekuatan (Strength) yang bisa digunakan, antara lain: a. Sebagai bahan utama untuk pengembangan infrastruktur, perumahan dan bangunan lainnya yang masih cukup besar kebutuhannya di Indonesia b. Menggunakan bahan baku lokal. c. Bahan baku berupa batu kapur dan tanah liat tersedia diseluruh kepulauan Indonesia. d. Untuk pengembangan, investasi industri semen tidak termasuk dalam negatif list. Beberapa kendala/kelemahan (Weakness) yang perlu diperhatikan, antara lain: a. Padat modal, dimana biaya investasi pabriknya mencapai USD 100-200/ ton kapasitas produksi. b. Padat Energy, yaitu membutuhkan bahan bakar 130 kg batubara (batubara dengan kandungan 6000 kkal/kg) untuk memproduksi per ton terak dan membutuhkan tenaga listrik 100-120 kwh untuk memproduksi semen ( terak adalah hasil proses pembakaran sedangkan semen adalah hasil proses pembakaran dilanjutkan proses penggilingan/ penghalusan). c. TTM (Trade and Transportation Margin) tinggi. Untuk pemasaran dan distribusi produk diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Penyebaran ke daerah daerah yang melewati laut, diperlukan pelabuhan yang mendukung sementara untuk penyebaran lewat darat diperlukan jalan yang memadai. d. Tenaga listrik yang tidak mencukupi. Beberapa peluang (Opportunity) yang dapat dimanfaatkan, antara lain: a. Bersifat bulky (diperdagangkan dengan kuantitas yang besar). b. Penggunaaan semen perkapita masih rendah sekitar 150 kg/kapita pertahun, dibandingkan Cina 1000kg/ kapita pertahun.
3)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
393
Komoditas Semen
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
4)
c. Jumlah penduduk Indonesia yang besar d. Wilayah Indonesia yang luas e. Kapasitas produksi masih bisa ditingkatkan Beberapa tantangan/ancaman (Threat) yang perlu diantisipasi, antara lain: a. Menggunakan bahan baku utama dan penolong yang tidak dapat diperbaharui b. Bersifat polutif karena menghasilkan CO2 yang besar dan menjadi faktor pemicu terjadinya global warming, dan berpotensi terjadinya polusi debu yang sangat membahayakan kesehatan c. Kenaikan harga bahan bakar minyak, mempunyai pengaruh besar terhadap biaya distribusi. d. Kebutuhan bahan bakar batubara bersaing dengan penjualan ekspor. e. Persaingan dengan semen import; karena bea masuk semen telah dihilangkan, maka produsen dalam negeri kurang terlindungi. f. Pembangunan pabrik baru membutuhkan lahan yang luas tetapi terkendala dalam melakukan pembebasan tanah sehingga dapat menghambat pengembangan industri. g. Masalah perijinan karena tidak ada kepastian hukum di daerah-daerah. h. Semen merupakan komoditas bebas yang perdagangannya termasuk harganya sepenuhnya diserahkan kepada pasar
11.4.2 Strategi Pengembangan Produksi Semen Nasional Berdasarkan hasil identifikasi faktor kekuatan, peluang, kendala dan tantangan serta dengan menggunakan analisa SWOT, bisa disusun alternatif-alternatif strategi atau kebijakan untuk membangun dan mengembangkan industry semen
394
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
nasional melalui 4 (empat) pengelompokan sebagai berikut (lihat matrix pada table berikut): 1) Strategi memakai kekuatan untuk memanfaatkan peluang (Strategi SO); 2) Strategi menanggulangi kendala/kelemahan dengan memanfaatkan peluang (Strategi WO); 3) Strategi memakai kekuatan untuk menghadapi tantangan/ancaman (Strategi ST); 4) Strategi memperkecil kelemahan dan menghadapi tantangan/ancaman (Strategi WT).
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Rincian alternatif strategi atau kebijakan pada masingmasing kelompok (kuadran) dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Strategi SO (memakai kekuatan untuk memanfaatkan peluang), beberapa alternative strategi/kebijakan yang bisa disusun adalah: • Peningkatan kapasitas produksi industri semen yang ada • Memberikan daya tarik kepada investor Strategi WO (menanggulangi kendala/kelemahan dengan memanfaatkan peluang), beberapa alternative strategi/ kebijakan yang bisa disusun adalah: • Pemberian suntikan investasi bagi investor lokal maupun asing • Identifikasi letak pabrik yang memungkinkan untuk meminimalkan biaya transportasi
3)
Strategi ST (memakai kekuatan untuk menghadapi tantangan/ancaman), beberapa alternative strategi/ kebijakan yang bisa disusun adalah: • Ekspansi pabrik baru
ht
2)
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
395
Komoditas Semen
4)
Strategi WT (memperkecil kelemahan dan menghadapi tantangan/ancaman), beberapa alternative strategi/ kebijakan yang bisa disusun adalah: • Evaluasi mekanisme perijinan di daerah-daerah. • Pencarian bahan baku semen alternatif.
11.4.3. Causal Loops Diagram
.b p
s. go
.id
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa permasalahan yang terjadi dalam industri semen, mempunyai keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan beberapa variabel. Keterkaitan atau hubungan sebab akibat antar variabel dalam kegiatan tersebut secara holistik dapat digambarkan melalui alur pikir hubungan kausal dengan menggunakan CLD berikut:
w
Kebutuhan Energi
Investasi
w tp :// w
Harga Pasaran S emen
Kebutuhan Ba han Baku
Dampak Ekologi
Semen Impor
Ka pasitas Produksi
ht
Komposisi Supply- Demand
R&D Ekspansi Lahan Baru Penyerapan Tenaga Kerja
Gambar 11.4. Causal Loops Diagram Produksi Industri Semen Nasional
Dari diagram sistemik tersebut diidentifikasi 11 variabel yang mempunyai hubungan sebab-akibat cukup signifikan dalam pengembangan industri semen. Proses identifikasi dimulai dari evaluasi persentase kapasitas produksi terpasang sebagai
396
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
.id
peluang pengembangan industri semen terhadap kegiatan lainnya. Hubungan kausal ditunjukkan melalui peran kapasitas produksi terhadap kebutuhan energi, bahan baku, dampak ekologi dan komposisi suplly demand. Dari loops utama inilah dapat dipelajari sebaran hubungan sebab akibat atas perubahan kapasitas terpasang. Hubungan sebab akibat ini bisa berarti baik (saling mendukung/reinforcing) atau bisa pula tidak baik (berlawanan/balancing). Dari proses keterkaitan sebab-akibat tersebut dapat disusun suatu rekomendasi kebijakan yang diintegrasikan ke dalam rencana kerja jangka pendek maupun jangka panjang.
s. go
Tab el 11.14. Ju mlah L oo ps Masin g-masin g Variab el Jumlah Loops
(1)
(2)
.b p
Variabel
ht
tp :// w
w
w
Kapasitas Produksi R&D Harga Pasaran Komposisi Suplly -Demand Kebutuhan Energi Kebutuhan bahan baku Peny erapan T enaga Kerja Ekspansi Lahan Baru Dampak Ekologi Semen Impor Inv estasi
6 3 2 2 2 2 2 2 1 1 1
Dari hasil pengukuran yang dilakukan nampak bahwa variabel kapasitas produksi dan R & D merupakan faktor penggerak yang dapat menjadi pendorong kegiatan pengembangan industri semen. Berdasarkan hasil analisis hubungan antar variabel, yang dipilih sebagai driving force (DF) kunci adalah variabel dengan jumlah loops terbanyak (6 dan 3). Evaluasi terhadap persentase kapasitas produksi dan
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
397
Komoditas Semen
pelaksanaan Research and Development mempunyai peran yang cukup kuat sebagai daya ungkit (leverage). Kedua faktor tersebut dipilih sebagai variabel kunci karena peranannya secara langsung dalam usaha pengembangan industri semen.
11.5. Kesimpulan
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Industri semen merupakan industri berbasis local dan digunakan untuk kepentingan lokal karena sebagian besar bahan baku industri semen diambil dari dalam negeri dan sebagian besar produknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun ironisnya, industri semen tidak lagi sepenuhnya dimiliki oleh investor dalam negeri. Saat ini sebagian besar kepemilikan saham perusahaan semen yang menguasai pangsa pasar Indonesia tidak lagi dikuasai oleh bangsa Indonesia melainkan oleh asing. Bagaimana kelanjutan industri ini sangat tergantung bagaimana bangsa ini memahami permasalahan di industri ini dan selanjutnya mengambil kebijakan dalam mengembangkan industri ini. Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil kajian mengenai industri semen: 1. Industri semen merupakan industri strategis dan potensial untuk dikembangkan di Indonesia. 2. Industri semen bersifat kritis karena banyak dikuasai oleh pemodal asing dan berbahan baku yang tidak bisa diperbaharui (non renewable). 3. Pengembangan industri semen masih terkendala beberapa masalah antara lain: a.Sifat industri semen yang padat modal dan padat energi membutuhkan investasi yang besar untuk pengembangannya. b.Biaya transportasi tinggi. c.Masalah pencemaran lingkungan.
398
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
Komoditas Semen
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
4.
d.Masalah perijinan dan pembebasan lahan. e. Ancaman masuknya semen impor. Dalam rangka pengembangan industri semen diperlukan beberapa strategi pengembangan antara lain; a. Peningkatan kapasitas produksi industri semen yang ada b. Memberikan daya tarik kepada investor c. Pemberian suntikan investasi bagi investor lokal maupun asing d. Identifikasi letak pabrik yang memungkinkan untuk meminimalkan biaya transportasi e. Ekspansi pabrik baru f. Evaluasi mekanisme perijinan di daerah-daerah. g. Pencarian bahan baku semen alternatif.
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
399
ht
tp :// w
w
w
.b p
s. go
.id
Komoditas Semen
400
Kajian Komoditas Unggulan, 2008
w
tp :// w
ht .b p
w .id
s. go