KAJIAN WILAYAH UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN DI KABUPATEN MAJALENGKA
EDWIN HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Edwin Hidayat NIM A156120244
RINGKASAN EDWIN HIDAYAT. Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka. Dibimbing oleh ATANG SUTANDI dan BOEDI TJAHJONO. Pertanian merupakan sektor basis di Kabupaten Majalengka, namun memiliki keterkaitan sektoral yang lemah dengan sektor industri pengolahan. Padahal perkembangan suatu wilayah sangat memerlukan adanya keterpaduan sinergis antar sektor ekonomi untuk menghindari kondisi stagnasi. Penelitan ini bertujuan : (1) mengidentifikasi keunggulan komparatif kompetitif komoditas unggulan pertanian terpilih berdasarkan luas tanam, (2) mengidentifikasi potensial fisik lahan untuk pengembangan komoditas pertanian terpilih, (3) mengidentifikasi desa-desa berbasis industri kecil pengolahan hasil pertanian, (4) mengidentifikasi desa yang memiliki tingkat fasilitas pelayanan dan aksesibilitas tinggi untuk mendukung industri, (5) menentukan daerah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian dan daerah pengembangan komoditasnya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis location quotient (LQ), analisis shift share (SSA), analisis skalogram dan analisis kesesuaian fisik lahan. Komoditas pertanian yang diteliti adalah jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) jagung unggul di enam kecamatan, mangga unggul di 13 kecamatan, kedelai unggul di satu kecamatan dan pisang unggul di dua kecamatan. Tetapi tidak ada satu kecamatan pun yang unggul untuk melinjo; (2) kondisi fisik lahan yang sesuai di tiap wilayah pengembangan komoditas pertanian terdiri atas 21837 hektar untuk jagung, 53049 hektar untuk mangga, 4074 hektar untuk kedelai, dan 15834 hektar untuk pisang; (3) terdapat 179 desa berbasis industri kecil pengolahan hasil pertanian; (4) desa dengan tingkat fasilitas pelayanan dan aksesibilitas tinggi terdiri atas 44 desa; (5) wilayah yang diarahkan untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian terdiri atas tujuh desa sebagai desa industri dan delapan kawasan industri yang merupakan gabungan dari beberapa desa, sedangkan arah prioritas pengembangan komoditas terdiri atas 2827 hektar untuk jagung, 15221 hektar untuk mangga, 3328 hektar untuk kedelai dan 304 hektar untuk pisang. Kata kunci: industri pengolahan, kajian wilayah, kesesuaian lahan, keunggulan komparatif-kompetitif, Majalengka
SUMMARY EDWIN HIDAYAT. Regional Study for Small Industry Development Based on Supreme Commodities of Agriculture in Majalengka Regency. Supervised by ATANG SUTANDI and BOEDI TJAHJONO. Agriculture is a basic sector in Majalengka Regency, but it still has a weak sectoral linkages with agro-processing industries. On the other hand, a region development requires the presence of a synergistic integration among economic sectors to avoid stagnation state. This study aimed to : (1) identify the comparative-competitive of agricultural leading commodities based on acreage, (2) identify the land suitability for commodity development; (3) identify the villages based for small industries agro-processing, (4) identify the villages having high level of the facilities services and accessibility for supporting industry; (5) determine the sites for small industries and its commodity development. The analytical methods used were analysis of the location quotient (LQ), shift share analysis (SSA), schallogram analysis and land suitability analysis. The study focused on commodities of agricultural i.e. corn, mango, soybean, bananas and melinjo. The results showed that corn was superior in six districts, mango was superior in 13 districts, soybean was superior in one district and bananas was superior in two districts. However, no district was superior to melinjo. There were 21,837 ha of land that phisically suitable for corn, 53,049 ha for mango, 4,074 ha for soybean and 15,837 ha for banana. There were 179 villages classified as basic for small agro-processing industries. Villages with the high level of facilities services and accessibility consisted of 44 villages. There were 7 industrial villages and 8 industrial areas (consisted of several villages), that could be developed as a small industries in the region based on agricultural supreme commodities. The priority areas for commodity development comprise 2,827 hectares for corn, 15,221 hectares for mango, 3,328 hectares for soybean and 304 hectares for bananas. Key words: agro-processing industry, comparative-competitive advantage, land suitability, Majalengka, regional study
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN WILAYAH UNTUK PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN DI KABUPATEN MAJALENGKA
EDWIN HIDAYAT
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir . Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. Agr.
Judul Tesis : Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka Nama : Edwin Hidayat NIM : A 156120244
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Ketua
Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 31 Desember 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah perencanaan wilayah dengan judul Kajian Wilayah untuk Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian di Kabupaten Majalengka. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir Atang Sutandi, M. Si dan Bapak Dr. Boedi Tjahjono, M.Sc. selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, istri serta seluruh keluarga, atas segala doa, cinta dan kasih sayang yang telah diberikan dengan tulus selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2014 Edwin Hidayat
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Ruang Lingkup Penelitian 1.6 Kerangka Pemikiran
vi vi vii 1 1 2 3 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah 2.2 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif 2.3 Pusat Pertumbuhan dan Konsep Pewilayahan Nodal 2.4 Perencanaan Pembangunan Wilayah 2.5 Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian 2.6 Pemilihan Alternatif Terbaik dari Multi Kriteria
5 5 6 7 8 9 11
3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 3.3 Metode Analisis Data
12 12 12 14
4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA 4.1 Kondisi Fisik Wilayah 4.2 Kondisi Ekonomi Wilayah 4.3 Kondisi Sektor Industri Pengolahan
25 25 28 29
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah 5.2 Potensi Fisik Wilayah untuk Komoditas Unggulan Pertanian 5.3 Penentuan Desa Basis Industri Kecil Pengolahan Hasil Pertanian 5.4 Penentuan Desa Berhirarki 1 5.5 Arahan Wilayah Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian dan Wilayah Pengembangan Komoditasnya
31 31 36 40 42
6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 6.2 Saran
51 51 52
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
53 55 68
44
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Persentase PDRB tahun 2008-2011 atas dasar harga konstan tahun 2000 Persentase pekerja menurut lapangan usaha tahun 2004-2008 Indikator keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan terhadap sektor ekonomi Indikator keterkaitan langsung subsektor tanaman bahan makanan terhadap sektor industri pengolahan Rincian data responden Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran Kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan Struktur tabel analisis skalogram Komponen aksebilitas dan fasilitas dalam skalogram Komponen aksesibilitas dan fasilitas dalam skalogram Arahan penentuan wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan Fluktuasi iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2009 dan 2011 Jumlah dan kepadatan penduduk menurut kecamatan tahun 2011 Kontribusi sektor dalam perekonomian Majalengka tahun 2007-2011 menurut kelompok sektor atas dasar harga berlaku Jumlah industri besar dan sedang menurut kelompok industri pengolahan 2011 Jumlah industri kecil dan industri rumah tangga menurut kelompok industri pengolahan 2011 Kondisi komoditas pertanian terpilih tahun 2011 Nilai LQ luas tanam komoditas terpilih di tiap kecamatan Hasil analisis shift share komoditas per kecamatan Penentuan komoditas unggulan secara komparatif dan kompetitif per kecamatan Jumlah desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian tiap kecamatan Desa hirarki 1 di Kabupaten Majalengka Desa terpilih untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian Arahan desa pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian Arahan kawasan pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian Hasil analisis MCDM-TOPSIS prioritas program pembangunan
1 1 2 2 12 13 19 20 21 22 23 27 27 29 29 30 31 32 33 35 41 43 45 46 47 51
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Kerangka pikir penelitian Bagan alir penelitian Wilayah administrasi Kabupaten Majalengka Sebaran topografi wilayah administrasi Kabupaten Majalengka Sebaran wilayah yang unggul komparatif dan kompetitif komoditas pertanian terpilih
4 14 26 28 36
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Peta kesesuaian lahan komoditas jagung Peta kesesuaian lahan komoditas mangga Peta kesesuaian lahan komoditas kedelai Peta kesesuaian lahan komoditas pisang Sebaran desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian Peta hasil skalogram tingkat fasilitas pelayanan dan aksebilitas Peta arahan wilayah pengembangan industri Peta prioritas lahan pengembangan komoditas jagung Peta prioritas lahan pengembangan komoditas mangga Peta prioritas lahan pengembangan komoditas kedelai Peta prioritas lahan pengembangan komoditas Pisang
37 38 39 40 41 44 46 47 48 49 50
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hasil analisis LQ industri Hasil analisis skalogram Nilai differential shift, proporsional shift dan regional share luas lahan tiap komoditas terpilih Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Jagung (Zea mays) Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Mangga (Mangifera indica) Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Kedelai (Glycine max) Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pisang (Musa acuminata) Hasil pengolahan MCDM-TOPSIS Peta status hutan di Kabupaten Majalengka
55 59 58 62 63 64 65 66 67
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan otonomi daerah seperti dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan peluang sekaligus tuntutan bagi daerah untuk lebih kreatif menggali, mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya lokal bagi kesejahteraan masyarakat. Kabupaten Majalengka merupakan daerah yang mempunyai sumber daya lokal yang dominan berupa pertanian. Hal ini tercermin dari aktivitas pertanian yang sangat berpengaruh terhadap struktur perekonomian daerah. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar produk domestik regional bruto (PDRB) dan penyerapan tenaga kerja (Tabel 1 dan Tabel 2). Tabel 1 Persentase PDRB tahun 2008-2011 atas dasar harga konstan tahun 2000 LAPANGAN USAHA Pertanian Pertambangan dan galian Industri pengolahan Listrik, gas, air bersih Kontruksi bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan Jasa-jasa lainnya PDRB (jutaan rupiah)
2008
TAHUN 2009 2010
28.1% 28.0% 27.2% 4.1% 4.0% 3.9% 17.1% 17.1% 17.0% 0.7% 0.7% 0.7% 4.6% 4.6% 4.8% 19.7% 19.8% 20.6% 6.4% 6.4% 6.5% 5.7% 5.7% 5.7% 13.7% 13.7% 13.5% 4042240.29 4233442.84 4427885.12
2011 26.6% 3.9% 16.9% 0.7% 5.0% 21.2% 6.5% 5.8% 13.4% 4634804.4
Sumber : Bappeda (2012a)
Tabel 2 Persentase pekerja menurut lapangan usaha tahun 2004-2008 LAPANGAN USAHA Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air minum Konstruksi bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan Jasa-jasa lainnya
PENDUDUK YANG BEKERJA (%) 2004 2005 2006 2007 36.8 29.9 31.2 37.6 1.6 2.3 0.7 0.4 19.1 18.4 19.4 13.9 0.1 0.4 0.1 0.2 4.9 7.9 5.4 5.4 23.8 26.1 26.7 26.6 5.5 6.0 5.8 5.5 0.5 0.7 0.5 1.2 7.9 8.3 10.3 9.2
2008 27.9 4.7 17.1 0.7 4.5 19.5 6.6 5.6 13.8
Sumber : Bappeda (2009)
Peranan sektor pertanian tersebut tidak lepas dari keberadaan komoditas unggulan pertanian. Rachmawati (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Majalengka berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif, keterkaitan antar sektor ekonomi serta tingkat keberminatan petani pada tingkat provinsi adalah padi, jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo. Tetapi, Rachmawati (2012) juga menjelaskan bahwa pada
2 tingkat kabupaten, ternyata komoditas unggulan pertanian tersebut berkinerja rendah dalam keterkaitan sektoral. Kinerja tersebut diukur dengan analisis InputOutput tahun 2009 berdasarkan indikator direct and direct-inderect forward lingkage, direct and inderect backward lingkage, indeks daya penyebaran (IDP), serta indeks daya kepekaan (IDK) (Tabel 3). Tabel 3 Indikator keterkaitan subsektor tanaman bahan makanan terhadap sektor ekonomi No 1 2 3 4
Komoditas Padi Jagung Kedelai Buah-buahan
Backward linkage DirectDirect indirect 0.0967 1.1315 0.1394 1.1772 0.0940 1.1110 0.0967 1.1217
Forward Linkage DirectDirect indirect 0.2561 1.4751 0.0627 1.0716 0.0823 1.0960 0.0928 1.1173
IDP
IDK
0.9030 0.9395 0.8866 0.8952
1.1773 0.8552 0.8747 0.8917
Sumber : diolah dari Rachmawati (2012)
Di sisi lain, walaupun sektor industri di Kabupaten Majalengka bukan sektor basis (Rachmawati 2012), namun sektor ini memiliki peran signifikan terhadap perekonomian daerah. Hal tersebut tercermin dari sumbangannya terhadap total PDRB sebesar 16.88% (Tabel 1) dan penyerapan tenaga kerja sektoral sebesar 17.10% (Tabel 2). Tetapi, sebagaimana halnya dengan sektor ekonomi lain, keterkaitannya dengan sektor pertanian masih tampak lemah (Tabel 4). Tabel 4 Indikator keterkaitan langsung subsektor tanaman bahan makanan terhadap sektor industri pengolahan No. 1 2 3 4 5
Komoditas Jagung Buah-buahan Sayur-sayuran Ubi kayu Lainnya
Direct Backward linkage 0.0082 0.0052 0.0030 0.0083 0.0023
Direct Forward Linkage 0.0039 0.0144 0.0030 0.0020 0.0056
Sumber : Rachmawati (2012)
1.2 Perumusan Masalah Lemahnya keterkaitan sektoral antara komoditas unggulan pertanian dan industri pengolahan hasil pertanian di Kabupaten Majalengka dapat dilihat dari output komoditas pertanian dimaksud yang hanya digunakan untuk memenuhi permintaan akhir, baik internal wilayah (konsumsi masyarakat, pengeluaran pemerintah dan investasi) maupun ekternal wilayah (ekspor), tanpa mampu menjadi input bagi industri pengolahan. Fenomena ini memicu terjadinya backwash effect karena add value yang timbul dari rangkaian aktivitas industri yang berbahan baku komoditas unggulan pertanian tidak dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Di sisi lain, lemahnya keterkaitan sektoral tersebut juga menggambarkan kenyataan bahwa industri pengolahan hasil pertanian di Kabupaten Majalengka cenderung bersifat footless industry. Artinya, industri yang tumbuh bukanlah industri yang berpijak pada komoditas pertanian lokal yang unggul sehingga
3 justru akan memperkuat terjadinya mekanisme impor bahan baku dari luar wilayah dan pada akhirnya akan melemahkan posisi sektor pertanian itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya pemerintah untuk memacu tumbuhnya industri pengolahan yang memiliki kaitan (linkage) yang kuat dan mampu mendorong pertumbuhan komoditas unggulan pertanian melalui suatu perencanaan pembangunan yang komprehensif, salah satunya melalui pendekatan perencanaan kewilayahan. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas unggulan pertanian; 2. Mengindentifikasi potensi fisik lahan untuk komoditas unggulan pertanian terpilih; 3. Mengidentifikasi desa basis industri kecil untuk pengolah hasil pertanian; 4. Identifikasi desa dengan tingkat kapasitas pelayanan dan aksesibilitas yang dapat mendukung industri; 5. Menetapkan arahan wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan dan wilayah pengembangan komoditasnya. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pengembangan industri untuk menunjang pembangunan wilayah berbasis pertanian di Kabupaten Majalengka. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini, lingkup industri yang dimaksud adalah industri sebagaimana didefinisikan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian yang merupakan bagian dari sektor ekonomi daerah dan difokuskan kepada penentuan wilayah pengembangan, wilayah pendukung serta arahan strategi pembangunannya, bukan kepada produk dan proses produksi industri itu sendiri. Sementara itu, industri yang dikaji adalah industri dengan klasifikasi industri kecil yang terdiri dari kelompok industri rumah tangga dan industri kecil menurut klasifikasi Badan Pusat Statistik, yaitu industri dengan jumlah pekerja kurang dari 20 orang. Kaitannya dengan komoditas unggulan pertanian yang merupakan bagian dari penelitian ini, mengacu kepada komoditas unggulan bahan pangan yang dipilih dari sebagian hasil penelitian Rachmawati (2012), yaitu : jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo. 1.6 Kerangka Pemikiran Pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Majalengka merupakan upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menciptakan keterkaitan sektoral antara industri dan pertanian (Gambar 1).
4 Kegiatan Pembangunan Kabupaten Majalengka
Potensi industri pengolahan hasil pertanian
linkage
Potensi Wilayah Pertanian Unggulan
Fasilitas, infrastuktur dan aksebilitas desa
Karakteristik Fisik Lahan
Wilayah pengembangan industri Pengolahan hasil pertanian
Persepsi stakeholder
Wilayah pengembangan komoditas unggulan pertanian
Analisis pengambilan keputusan
Arahan pengembangan industri pengolahan hasil Pertanian berbasis komoditi unggulan
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan industri adalah dimana lokasi industri tersebut harus didirikan dan dikembangkan. Faktor penentu lokasi industri adalah : (1) biaya angkutan; (2) konsentrasi tenaga kerja; dan (3) gejala aglomerasi, dimana biaya angkutan merupakan faktor penentu utama. Hasil analisis Weber (1909) menyatakan bahwa tanpa adanya perbedaan biaya produksi antar lokasi, maka keputusan penempatan lokasi industri manufaktur akan ditentukan pada titik lokasi dengan biaya terendah (Rustiadi et al. 2011). Lebih jauh Weber menganalisis bahwa faktor biaya transportasi dapat ditentukan dengan perhitungan indeks material (IM). IM dihitung dengan cara membagi bobot bahan baku lokal yang digunakan dalam industri dengan bobot produksi akhir. Dari perhitungan tersebut akan diperoleh kecenderungan pengembangan industri apakah lebih berorientasi pada lokasi bahan baku atau berorientasi pada lokasi pasar. Jika IM>1, maka kecenderungan lokasi industri lebih berorientasi kepada lokasi bahan baku, jika IM <1, lokasi industri cenderung berorientasi ke pasar dan jika IM = 1, lokasi berorientasi antara bahan baku dan pasar. Dalam kasus industri primer (industri yang mengolah secara langsung bahan mentah menjadi barang ½ jadi atau barang jadi), hubungan antara kehilangan bobot bahan baku yang tinggi dan lokasi industri cenderung sangat kuat. Menurut Weber bahwa industri dengan IM>1 akan cenderung berlokasi mendekati sumber bahan baku adalah valid (Rustiadi et al. 2011). Dalam rangka memenuhi aspek kedekatan bahan baku, perlu dianalisis wilayah-wilayah dengan keunggulan baik komparatif maupun kompetitif tempat komoditas pertanian berada dan bagaimana potensi fisiknya untuk digunakan sebagai wilayah pengembangan bahan baku industri. Berkaitan dengan aspek adanya gejala aglomerasi yang didefinisikan sebagai suatu keuntungan atau
5 penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis wilayah-wilayah tempat terpusatnya aktivitasi industri kecil pengolahan hasil pertanian saat ini. Selanjutnya adalah aspek konsentrasi tenaga kerja yang didekati dengan menganalisis wilayah dengan fasilitas pelayanan dan aksesibililitas berorde tinggi secara relatif terhadap wilayah lainnya (hirarki 1). Hal ini mengacu kepada pendapat Rustiadi et al. (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi ordo wilayah berarti semakin tinggi pula tingkat pelayanan fasilitas dan menunjukkan aktivitas sosial ekonomi yang tinggi pula. Tingkat pelayanan ini berkorelasi erat dengan jumlah penduduk, sehingga seringkali wilayah yang berorde tinggi mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Dengan demikian, wilayah pengembangan industri berbasis komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Majalengka dapat ditentukan.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu, pengembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan keamanan (Rustiadi et al. 2011). Menurut Sitorus (2012), pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak alternatif yang sah bagi setiap warga negara untuk memenuhi aspirasinya yang paling humanistik yaitu peningkatan kesejahteraan. Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2005), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah, dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya, dan keadaan geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Sejalan dengan salah satu tujuan pengembangan wilayah nasional, yakni mewujudkan keseimbangan pertumbuhan antar daerah, maka tujuan perencanaan wilayah pada suatu kabupaten sebagai penjabaran dalam ruang lingkup yang lebih
6 kecil adalah keseimbangan pertumbuhan antara kecamatan, desa, dan seterusnya (Rinaldi 2004). Menurut Rustiadi et al. (2011), hal penting dalam menyusun perencanaan pembangunan berbasis wilayah adalah memperhatikan keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensipotensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan di setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah. Dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain untuk mencapai: (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi berbagai sumber daya yang langka yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan, untuk hasil yang maksimal, sehingga hasil tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil. Dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun nonmaterial di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar tidak boleh melampaui kapasitas kemampuan produksinya (Anwar 2005). Menurut Rustiadi et al. (2011), timbulnya disparitas antar wilayah antara lain disebabkan oleh beberapa faktor utama yang terkait dengan variabel fisik maupun variabel ekonomi wilayah, yaitu: (1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial-budaya; dan (7) ekonomi. Suatu wilayah yang memiliki kondisi geografi yang lebih baik akan mempunyai kemampuan untuk berkembang yang lebih baik pula dibandingkan dengan wilayah dengan kondisi geografi yang kurang menguntungkan. Bentuk organisasi serta kondisi perekonomian pada masa lalu akan mempengaruhi tingkat perkembangan masyarakat di suatu wilayah dalam hal menumbuhkan inisiatif dan kreativitas dalam bekerja dan berusaha. Instabilitas politik serta sistem administrasi yang tidak efisien akan menghambat pengembangan wilayah dalam hal hilangnya peluang investasi akibat ketidakpastian usaha terutama di bidang ekonomi dan perijinan yang rumit. Demikian juga kebijakan pemerintah yang tidak tepat dengan lebih menekankan pada pertumbuhan pembangunan tanpa diimbangi dengan pemerataan. Nilai-nilai sosial-budaya masyarakat yang konservatif dan kontraproduktif akan menghambat perkembangan ekonomi wilayahnya. 2.2 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah adalah keberadaan sektor-sektor perekonomian yang memiliki daya saing dan bernilai strategis untuk menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2011), sektor
7 ekonomi wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan pada sektor tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah, sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang. Basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Berdasarkan pemikiran itu, sektor basis dapat membangun dan memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi sebagai mesin ekonomi lokal. Keragaman fisik secara geografis menjadi sebab adanya konsep keunggulan komparatif bagi suatu wilayah. Sifat fisik geografis yang merupakan karakteristik yang melekat di suatu wilayah merupakan pembeda satu wilayah dengan wilayah yang lain, sehingga pertimbangan terhadap aktivitas spesifik yang khas dan sesuai dengan keunggulan komparatifnya menjadi bagian penting dalam perencanaan suatu wilayah (Panuju dan Rustiadi 2012). Di sisi lain, adanya pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor ekonomi merupakan hal yang diharapkan dari dilaksanakannya pembangunan. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran aktifitas ekonomi. Panuju dan Rustiadi (2012) berpendapat bahwa pemahaman terhadap pergeseran struktur aktifitas ekonomi suatu wilayah dan membandingkannya dalam cakupan referensi yang lebih luas pada waktu yang berbeda dapat menjelaskan kemampuan berkompetensi (competitiveness) aktivitas tertentu secara dinamis di suatu wilayah atau dalam cakupan wilayah yang lebih luas. 2.3 Pusat Pertumbuhan dan Konsep Pewilayahan Nodal Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu menggerakan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dapat diketahui wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan dan dampaknya dalam memberikan multiplier effect terhadap wilayah lain. Menurut Tarigan (2008), suatu wilayah atau kawasan dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan apabila memenuhi kriteria sebagai pusat pertumbuhan, baik secara fungsional maupun secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya atau hinterland). Secara geografis, pusat pertumbuhan merupakan lokasi dengan fasilitas dan kemudahan yang mampu menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) serta menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi dan masyarakat pun memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut. Wilayah sebagai pusat pertumbuhan pada dasarnya harus mampu mencirikan antara lain: hubungan internal dari berbagai kegiatan atau adanya keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya, keberadaan sektor-sektor yang saling terkait menciptakan efek pengganda yang mampu mendorong pertumbuhan
8 daerah belakangnya, adanya konsentrasi geografis berbagai sektor atau fasilitas yang menciptakan efisiensi, serta terdapat hubungan yang harmonis antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya. Anwar (2005) mengemukakan bahwa pendekatan analisis pembangunan wilayah yang lebih tepat harus mampu mencerminkan adanya kerangka berfikir yang menyangkut interaksi antara aktivitas-aktivitas ekonomi spasial dan mengarah pada pemanfaatan sumber daya secara optimal antara kegiatan di kawasan kota-kota dan wilayah-wilayah belakangnya, dan interaksi dengan wilayah-wilayah lain yang lebih jauh. Antara kawasan kota dan wilayah belakangnya dapat terjadi hubungan fungsional yang tumbuh secara interaktif yang dapat saling mendorong atau saling menghambat dalam mencapai tingkat kemajuan optimum bagi keseluruhannya. Menurut Rustiadi et al. (2011), berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat maupun hinterland suatu wilayah memiliki ciri khas dimana inti mengatur proses berjalannya interaksi dari komponen sel, sedangkan hinterland mendukung keberlangsungan hidup sel dan mengikuti pengaturan yang dibangun oleh inti. Jika suatu wilayah dianalogikan sebagai satu sel, maka dalam wilayah kota utama yang menjadi inti dari wilayah memiliki fungsi penting yang berperan besar dalam mempengaruhi jalannya interaksi antar hinterland. Pusat memiliki daya tarik kuat bagi elemen di hinterland. Daya tarik tersebut secara harfiah berupa berbagai layanan yang didukung oleh fasilitas yang lengkap. Hinterland mendukung berjalannya proses penting yang dilakukan di pusat. Proses-proses penting tersebut terdiri atas proses-proses transaksi dan peningkatan nilai tambah produksi. Industri dan jasa sebagai titik-titik aktifitas berperan besar dalam peningkatan nilai tambah dan akan berkembang pesat di inti (kota) dengan fasilitas yang lengkap tersebut. Sebaliknya, hinterland sebagai pendukung berlangsungnya proses di pusat memiliki keunggulan sumber daya dasar untuk mendukung proses peningkatan nilai tambah di pusat. Secara teknis identifikasi pusat dan hinterland dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Pusat yang memiliki daya tarik kuat karena lengkapnya fasilitas dicirikan dengan jumlah unit dan jumlah jenis fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan di hinterland. Disamping fasilitas umum, pusat juga berpotensi memiliki industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang lebih besar dan baik dibandingkan dengan unit wilayah yang lain. Selanjutnya, wilayah pusat tersebut disebut sebagai wilayah yang berhirarki lebih tinggi (hirarki 1). Semakin jauh dari pusat maka pengaruh dan manfaat pelayanan akan semakin kecil, sehingga akan cenderung memiliki hirarki yang lebih rendah (Panuju dan Rustiadi 2012). 2.4 Perencanaan Pembangunan Wilayah Dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, perencanaan pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu melalui pendekatan sektoral dan pendekatan wilayah. Pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau dianggap seragam. Adapun pendekatan wilayah dilakukan bertujuan untuk melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan
9 dalam ruang wilayah, sehingga terlihat adanya perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung dalam penciptaan pertumbuhan yang serasi dan seimbang (Tarigan 2008). Perencanaan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai wilayah pembangunan, merupakan suatu proses perencanaan pembangunan yang bertujuan melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah atau daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, serta harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, namun tetap berpegang pada asas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah 2005). Perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian sumber daya pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan sumber daya baik ke depan maupun ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju dan menghindari kebocoran maupun kemubaziran sumber daya (Anwar 2005). Menurut Rustiadi et al. (2011), skala prioritas pembangunan harus didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah. Menurut Saefulhakim (2004), keterbatasan dalam hal ketersediaan sumber daya harus menjadi pertimbangan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan daerahnya sehingga dalam perencanaan pembangunan perlu ditetapkan adanya skala prioritas pembangunan. 2.5 Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan lahan untuk penggunaan tertentu. Kecocokan antara kriteria kesesuaian lahan dengan
10 karakteristik lahan menunjukkan bahwa lahan tersebut sesuai untuk penggunaan yang dikehendaki (Sitorus 2012). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), pengertian kesesuaian lahan berbeda dengan kemampuan lahan. Kemampuan lahan lebih menekankan pada kapasitas berbagai penggunaan lahan yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Semakin banyak kapasitas atau alternatif penggunaan yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah, maka kemampuan lahan wilayah tersebut makin tinggi, sedangkan kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Menurut Djaenudin et al. (2011) terdapat dua macam kesesuaian lahan, yaitu kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan kuantitatif. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam istilah kualitatif, tanpa memperhitungkan dengan tepat hal-hal yang terkait dengan biaya, modal maupun keuntungan. Klasifikasi ini didasarkan hanya pada potensi fisik lahan. Sementara itu kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan tidak hanya pada fisik lahan, tetapi juga mempertimbangan aspek ekonomi, seperti input-output atau cost-benefit. Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai berdasarkan waktu dan penggunaannya menjadi kelas kesesuaian aktual dan kelas kesesuaian potensial. Menurut Hardjowigeno (1994), kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan tanpa ada perbaikan yang berarti, sedangkan kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dari satuan lahan dalam keadaaan yang akan datang setelah diadakan perbaikan utama tertentu. Proses evaluasi dilakukan dengan membandingkan sifat-sifat atau kualitas lahan yang akan digunakan dengan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut FAO dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif dari kesesuaian lahan tergantung dari ketersediaan data. Kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan terdiri atas empat kategori yaitu: (1) Ordo, yang menunjukkan apakan suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu; (2) Kelas, yang menunjukkan tingkat kesesuaian lahan dalam order; (3) Subkelas, yang menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dilakukan dalam masing-masing kelas; (4) Unit, yang menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang berpengruh dalam pengelolaan suatu sub kelas. Selanjutnya, struktur klasifikasi kesesuaian lahan yang digunakan mengikuti kelas kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dalam Djaenudin et al. (2011) yang membedakan ordo “sesuai” (S) menjadi tiga kelas yaitu lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marjinal (S3) dan lahan yang tergolong ordo “tidak sesuai” (N). Pembagian serta definisi kualitatif kelas sebagai berikut : (1) Kelas S1 (sangat sesuai-highly suitable), yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan berkelanjutan atau terdapat faktor pembatas tetapi bersifat minor dan tidak mereduksi produktifitas lahan secara nyata; (2) Kelas S2 (cukup sesuai-moderately suitable), yaitu lahan mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Dalam hal ini, pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan; (3) Kelas S3 (sesuai terbatas-
11 marjinally suitable), yaitu lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus ditetapkan. Dalam hal ini pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau akan menambah input yang diperlukan; (4) Kelas N (tidak sesuai not suitable), yaitu lahan mempunyai pembatas yang lebih besar sehingga menyulitkan berdasarkan tingkat pengelolaannya atau lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan peryaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh komoditas pertanian (Djaenudin et al. 2011). 2.6 Pemilihan Alternatif Terbaik dari Multi Kriteria Dalam konsep perencanaan wilayah partisipatif–kolaboratif penentuan prioritas pembangunan dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terdiri atas unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun masyarakat. Salah satu metoda yang dapat dilakukan adalah menyebarkan kuesioner kepada responden sebagai pewakil dari stakeholder dimaksud. Kuesioner atau angket adalah teknik pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden (Riyadi dan Bratakusumah 2005). Hasil persepsi responden selanjutnya digunakan untuk menentukan alternatif pengambilan keputusan terkait arahan program pembangunan. Pengambilan keputusan adalah proses untuk mencari pilihan terbaik dari semua alternatif yang tersedia. Kriteria-kriteria tersebut biasanya bertentangan antara satu dengan lainnya sehingga kemungkinan tidak ada solusi yang memuaskan semua kriteria secara simultan. Itulah sebabnya, untuk banyak kasus, pengambil keputusan memerlukan pemecahan masalah dengan menggunakan Multi-Criteria Decision-Making (MCDM) (Jahanshahloo et al. 2009). Menurut Simanaviciene dan Ustinovichius (2010), MCDM secara praktis digunakan dalam sistem pendukung keputusan kuantitatif. Metode ini sangat berbasis matematis. Metode MCDM berbasis kuantitatif yang sering digunakan di antaranya adalah metode linear assignment, metode simple additive weighting, metode hierarchical additive weighting, Metode ELECTRE dan metode TOPSIS. Menurut Shih et al. (2007), TOPSIS merupakan teknik yang sangat berguna dalam kaitannya dengan permasalahan pengambilan keputusan multi-atribut atau multi-kriteria di dunia nyata. TOPSIS membantu para pengambil keputusan untuk mengelola permasalahan-permasalahan untuk dipecahkan, menganalisis, membandingkan serta mengurutkan banyak alternatif sehingga dapat diseleksi alternatif mana yang layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan pendapat Shih, ada empat kelebihan dari metode TOPSIS dibandingkan dengan metode lainnya yaitu: (1) logis dalam merepresentasikan pilihan-pilihan secara rasional; (2) sebuah nilai skalar yang dapat menghitung alternatif-alternatif terburuk dan terbaik secara simultan; (3) proses komputasi yang sederhana dan dapat diprogram secara mudah; (4) penilaian kinerja dari semua alternatif atau atribut dapat divisualisasikan dalam polihedron dan dua dimensi.
12 TOPSIS pertama kali diperkenalkan oleh oleh Hwang dan Yoon (1981) sebagai metode pengambilan keputusan multi-kriteria (MCDM), yang mengidentifikasi solusi dari pemilihan sejumlah alternatif. TOPSIS menggunakan prinsip bahwa alternatif yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi ideal positif dan terjauh dari solusi ideal negatif dimana secara geometris digunakan jarak euclidean untuk menentukan kedekatan relatif dari suatu alternatif dengan solusi optimal (Zhang 2011).
3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak pada koordinat 60 32’ - 70 4’ lintang selatan dan 10802’ 1080 24’ bujur timur. Waktu penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan thesis dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai dengan Oktober 2013. 3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data sekunder dan data primer. Data primer yang digunakan adalah data preferensi responden. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner untuk mengetahui pendapat responden terkait dengan kondisi eksisting industri kecil pengolahan hasil pertanian serta program yang diperlukan dalam pengembangan dan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah terkait dengan industri kecil dimaksud. Responden adalah stakeholder yang terdiri atas unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun masyarakat (Tabel 5). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Tabel 5 Rincian data responden No. 1.
2.
Asal Responden Unsur Pemerintah : Bappeda Kabupaten Majalengka Dinas KUKM Perindag Kabupaten Majalengka Sub Bagian Perencanaan, evaluasi dan Pelaporan Seksi Perencanaan dan Fasilitasi Industri Seksi Pemberdayaan & Pengembangan Industri Seksi Promosi dan Kemitraan UKM Seksi Pemberdayaan & Pengembangan UKM Unsur Masyarakat dan Swasta Pelaku usaha industri agro Masyarakat Jumlah Responden (orang)
Jumlah 1 1 1 1 1 1 6 6 18
Sementara itu, data sekunder meliputi: (1) Majalengka Dalam Angka Tahun 2008 dan Data Sektoral Kabupaten Majalengka Tahun 2012. Data yang digunakan
13 adalah luas tanam untuk lima komoditas pertanian, yaitu: jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo tahun 2007 dan 2011. Data diperoleh dari Bappeda Kabupaten Majalengka; (2) Data Potensi Industri Kabupaten Majalengka 2013. Data yang digunakan adalah jumlah industri kecil untuk semua kelompok industri pengolahan di Kabupaten Majalengka tahun 2012. Data Diperoleh dari Dinas KUKM Perindag Kabupaten Majalengka; (3) Data Potensi Desa (PODES) Kabupaten Majalengka Tahun 2011. Data yang digunakan adalah data dalam tingkat desa. Data diperoleh dari BPS Kabupaten Majalengka; (4) Peta dasar meliputi Peta Batas Administrasi Wilayah, Peta Tanah Jawa-Bali versi BBPPSDLP tahun 2010 (skala 1:100,000), Peta Sistem Lahan Jawa versi RePPProT (skala 1:250,000), Peta Curah Hujan Jawa Barat (skala 1:250,000), Peta Administrasi Desa, Kecamatan dan Kabupaten (skala 1:25,000), dan petapeta tematik lainnya yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Pengembangan Sumber daya Lahan Pertanian (BBPPSDLP) dan Bappeda Kabupaten Majalengka. Alat analisis yang digunakan adalah software pengolah data (Excell, dan SANNA) serta software sistem informasi geografis (ArcGIS). Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran yang diharapkan untuk masing-masing tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran No
Tujuan
Jenis dan Sumber data
Teknik analisis
Output yang diharapkan
1
Identifikasi wilayah dengan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas pertanian terpilih
Data Sektoral LQ, SSA Kabupaten (BPS dan BAPPEDA)
Kecamatan yang unggul untuk tiap komoditas dan sebaran spasialnya
2
Mengindentifikasi potensi fisik lahan untuk komoditas pertanian terpilih
Peta dasar dan Metode tematik (BAPPEDA , Matching BBPPSDLP )
Peta Kesesuaian Lahan untuk komoditas terpilih
3
Identifikasi desa basis industri kecil pengolah hasil pertanian
Potensi Industri Kabupaten (DISKUKMPERINDAG)
LQ
Desa basis industri dan sebaran spasialnya
4
Mengidentifikasi tingkat fasilitas Data Potensi Desa pelayanan desa dan aksebilitasnya (BPS) untuk mendukung pengembangan industri
Skalogram
Desa hirarki I tingkat fasilitas pelayanan dan aksebilitas dan sebaran spasialnya
5
Menetapkan Arahan wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan dan wilayah pengembangan komoditasnya a. Menentukan wilayah pengembangan indusri
Hasil analisis
Penetapan kriteria
Wilayah pengembangan industri kecil
b. Menentukan wilayah pengembangan komoditas
Hasil analisis
Penetapan kriteria
Wilayah pengembangan komoditas
c. Menetapkan arahan prioritas program pembangunan
Kuesioner (Persepsi stakeholder)
MCDMTOPSIS
Prioritas program pembangunan
14 3.3 Metode Analisis Data Tahapan analisis data mengikuti bagan alir yang tersaji pada Gambar 2. Berdasarkan bagan alir tersebut, hal yang pertama dilakukan adalah mengidentifkasi wilayah yang unggul secara komparatif-kompetitif dalam tingkat kecamatan dengan menggunakan analisis LQ dan analisis shift share (SSA). Nilai LQ digunakan untuk menunjukkan tingkat comparativeness untuk suatu komoditas unggulan, sedangkan nilai SSA menunjukkan tingkat competitivenessnya. Peta administrasi dan tematik (kabupaten)
Persepsi stakeholder
Analisis MCDM
Prioritas program pembangunan industri pengolahan hasil pertanian
fasilitas pelayanan dan Aksebilitas (Podes)
Analisis Kesesuaian Lahan
Analisis Skalogram
Potensi pengembangan komoditas
Desa Khirarki I perkembangan wilayah
Kelompok industri dan jml unit Industri Kecil (Potensi Industri)
Luas Tanam 5 komoditas unggulan pertanian (Data Sektoral Kab)
Analisis LQ
Analisis LQ dan SSA
Desa basis Kecamatan yang industri kecil unggul komparatif pengolahan hasil dan kompetitif pertanian atas komoditas pertanian
Kriteria penentuan wilayah pengembangan
Analisis Deskriptif
Wilayah Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian dan Wil. Pengembangan komoditasnya
Arahan Pembangunan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan
Gambar 2 Bagan alir penelitian Tahap kedua adalah mengevaluasi kesesuaian lahan komoditas unggulan pertanian. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui potensi pengembangan komoditas unggulan pertanian bagi keberlangsungan pasokan bahan baku industri. Evaluasi dilakukan dengan mencocokkan (matching) kondisi fisik lahan tersebut dengan kriteria kesesuaian lahan untuk tiap komoditas. Evaluasi ini dilaksanakan dalam tingkat tinjau dengan menggunakan peta-peta tematik, yaitu peta curah hujan, peta suhu, peta rataan bulan kering, peta tekstur tanah dan kelerengan. Dari hasil evaluasi lahan dapat diketahui tingkat kesesuaian lahan bagi budi daya komoditas tertentu.
15 Tahap ketiga adalah mengidentifikasi desa-desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian. Didasarkan kepada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tahun 2009 yang diterbitkan oleh BPS, industri pengolahan hasil pertanian di Kabupaten Majalengka merupakan gabungan dua kelompok industri, yaitu kelompok pengolahan makanan dan kelompok pengolahan minuman. Metoda yang digunakan adalah analisis LQ dengan cara memperbandingkan desa-desa di seluruh Kabupaten Majalengka berdasarkan jumlah industri kecil dari semua kelompok industri yang ada. Dari hasil analisis LQ diperoleh desa-desa basis industri kecil untuk tiap kelompok industri dan selanjutnya dipilih adalah desa-desa yang merupakan basis dari gabungan kelompok industri pengolahan makanan dan minuman. Tahap keempat adalah mengidentifikasi desa berdasarkan fasilitas pelayanan dan aksesibilitasnya. Untuk itu dilakukan analisis hirarki wilayah dengan menggunakan metode skalogram bagi semua desa di Kabupaten Majalengka. Analisis dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat fasilitas pelayanan di Kabupaten Majalengka sehingga dapat ditentukan: (1) desa yang kurang berkembang dalam kaitannya dengan penyediaan sarana pelayanan publik dan aksesibilitas; (2) desa yang memiliki perkembangan yang relatif sama dengan rata-rata perkembangan desa lain; dan (3) desa yang paling optimal sebagai lokasi pusat pelayanan dan pusat pertumbuhan ekonomi yang mampu menunjang perkembangan industri. Tahap kelima adalah menentukan desa-desa yang dijadikan sebagai wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan. Penentuan desa tersebut didasarkan kepada kriteria yang ditetapkan, yaitu sebagai berikut: (1) desa berada di wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas unggulan pertanian tertentu; (2) desa merupakan basis industri kecil pengolahan hasil pertanian; (3) desa memiliki keunggulan relatif terhadap desa lain dari segi tingkat pelayanan dan aksesibilitasnya. Dengan demikian, desa yang memenuhi kriteria, ditetapkan sebagai desa inti pengembangan. Kemudian dilakukan penentuan wilayah pengembangan komoditas pertanian dan prioritas pengembangan lahannya dengan kriteria sebagai berikut: (1) merupakan wilayah dengan keunggulan komoditas pertanian; (2) memiliki fisik lahan dengan kelas sesuai (S1, S2, S3) untuk masing-masing komoditas unggulan wilayah, (3) bukan wilayah yang memenuhi kriteria wilayah pengembangan industri. Selanjutnya dilakukan penentuan arahan program pembangunan yang harus dilakukan dalam mendorong perkembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian. Untuk itu dilakukan analisis deskriptif berdasarkan preferensi stakeholder melalui penyebaran kuisioner. Dalam penelitian ini, penentuan kriteria dan jumlah responden dilakukan dengan metode purposive sampling. Kemudian, dilakukan pemilihan alternatif program pembangunan berdasarkan kriteria terbaik dengan menggunakan analisis MCDM (Multi Criteria Decision Making). Metode MCDM yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode TOPSIS (Technique for Order Performance by Similiarity to Ideal Solution).
16 3.4.1 Analisis LQ dan SSA Dalam ilmu perencanaan pengembangan wilayah, pemetaan komoditas unggulan dilakukan dengan mengidentifikasi aktivitas ekonomi komoditas tersebut di suatu wilayah. Keunggulan dapat berupa keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif wilayah dapat diketahui dengan pendekatan analisis Location Quotient (LQ). Analisis LQ sendiri merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Sementara itu, keunggulan kompetitif suatu wilayah dapat diketahui dengan pendekatan analisis shift-share (SSA). Suatu wilayah dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila dalam waktu tertentu mengalami peningkatan dibandingkan dengan wilayah lain (Rustiadi et al. 2011). Analisis shift share terdiri atas tiga komponen yaitu differential shift, proporsional shift dan regional share. Dalam penelitian ini differential shift digunakan untuk melihat dinamika pertambahan luas tanam komoditas tertentu di suatu kecamatan terhadap pertambahan luas tanam komoditas tersebut di kecamatan lain. Sementara itu proporsional shift digunakan untuk menunjukkan dinamika pertambahan luas tanam komoditas tertentu terhadap peningkatan luas tanam total komoditas dimaksud di tingkat kabupaten, sedangkan regional share digunakan untuk memberi gambaran dinamika pertambahan luas tanam total komoditas pada tingkat kabupaten. Untuk menganalisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dari kecamatan-kecamatan di Kabupaten Majalengka digunakan data luas tanam (ha) untuk masing-masing komoditas unggulan pertanian terpilih. Data yang digunakan untuk analisis keunggulan komparatif adalah data sektoral Kabupaten Majalengka tahun 2011 dan untuk analisis keunggulan kompetitif digunakan dua titik tahun, yaitu 2007 dan 2011. Sementara itu, untuk menentukan desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian digunakan potensi industri tahun 2012. (1) Analisis LQ Analisis Location Quotient (LQ) dapat digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor basis atau keunggulan komparatif suatu wilayah (Rustiadi et al. 2011). Metode analisis LQ pada penelitian ini menggunakan data luas tanam per komoditas dari tiap kecamatan untuk menganalisis keunggulan komparatif kecamatan dan data jumlah industri kecil per kelompok industri dari tiap desa untuk menganalisis desa basis industri. Metode LQ (Chiang 2008) dirumuskan sebagai berikut :
LQ
IJ
X X
IJ .J
X /X
/
I. ..
untuk keunggulan kompetitif kecamatan: LQij : Indeks kuosien lokasi kecamatan i untuk komoditas j Xij : Luas tanam masing-masing komoditas j di kecamatan i Xi. : Luas tanam total di kecamatan i X.j : Luas tanam total komoditas j di kabupaten X.. : Luas tanam total seluruh komoditas di kabupaten.
17 untuk desa basis industri : LQij : Indeks kuosien lokasi desa i untuk kelompok industri j Xij : Jumlah industri masing-masing kelompok industri j di desa i Xi. : Jumlah industri total di desa i X.j : Jumlah industri total kelompok industri j di kabupaten X.. : Jumlah industri total seluruh kelompok industri di kabupaten. Perhitungan nilai indeks LQ menggunakan beberapa asumsi berikut: (1) digali dari kondisi geografis wilayah yang menyebar relatif seragam, (2) polapola aktifitas di seluruh unit analisis bersifat seragam, dan (3) produk yang dihasilkan dari setiap aktifitas adalah sama dan diukur dalam satuan yang sama. Implikasi dari asumsi tersebut adalah bahwa seluruh data yang merepresentasikan aktifitas dapat dijumlahkan dan nilai penjumlahannya bermakna. Beberapa catatan untuk menginterpretasikan hasil analisis LQ adalah sebagai berikut: (1) jika nilai LQij > 1, maka terdapat indikasi konsentrasi aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i atau terjadi pemusatan aktifitas ke-j di sub wilayah ke-i. Dapat juga diterjemahkan bahwa wilayah ke-i berpotensi untuk mengekspor produk aktifitas ke-j ke wilayah lain karena produksinya secara relatif di atas rata-rata produksi di seluruh cakupan wilayah analisis; (2) jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa aktifitas ke-j setara dengan pangsa sektor ke-j di seluruh wilayah. Jika diasumsikan sistem perekonomian tertutup, dimana pertukaran produk atau perdagangan hanya terjadi dalam wilayah yang dianalisis dan bisa dicukupi secara internal dalam cakupan wilayah tersebut, maka wilayah i secara relatif mampu memenuhi kebutuhan internalnya, namun tidak memiliki surplus produksi yang potensial bisa diekspor ke wilayah lain; (3) Jika LQij < 1, maka sub wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan pangsa aktifitas ke-j di seluruh wilayah, atau pangsa relatif aktifitas ke-j di wilayah ke-i lebih rendah dari rataan aktifitas ke-j di seluruh wilayah. (2) Analisis SSA Shift share analysis (SSA) menjadi salah satu teknik yang digunakan secara luas dalam kajian pengembangan wilayah setelah diperkenalkan oleh Prof. J. Harry Jones pada The royal Commision on the Distribution of the Industrial Population di tahun 1940 (Lamarche et al. 2003). Menurut Bowen (2012), shift share analysis (SSA) biasa digunakan sebagai analisis yang sensitif terhadap periode waktu, regionalisasi dan agregasi level industri. SSA sangat bermanfaat untuk membandingkan antara ekonomi regional dengan nasional serta mengidentifikasi sektor yang paling pesat tumbuh atau paling lambat berdasarkan pola nasional. Shift share analysis merupakan salah satu analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu yang dibandingkan dengan suatu referensi (cakupan wilayah yang lebih luas) dalam dua titik waktu, juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah tertentu serta menjelaskan kinerja aktivitas tertentu di wilayah tertentu. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis, yaitu : (1) komponen laju pertumbuhan total (komponen regional share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
18 menunjukkan dinamika total wilayah; (2) komponen pergeseran proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah. (3) Komponen pergeseran diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. Persamaan SSA (Davis dan Goldberg 1972) adalah sebagai berikut :
dimana : a b c a : Komponen regional share b : Komponen proportional shift c : Komponen differential shift X.. : Total luas tanam seluruh komoditas pertanian terpilih dalam kabupaten X.j : Total luas tanam komoditas tertentu dari komoditas pertanian terpilih dalam kabupaten Xij : luas tanam di wilayah kecamatan tertentu t1 : Titik tahun akhir (2007) t0 : Titik tahun awal (2011) Analisis shift share mensyaratkan tidak ada perubahan total luas lahan dalam suatu wilayah administratif selama kurun waktu pengamatan (Panuju dan Rustiadi 2012). Sementara itu, dalam kurun waktu pengamatan (2007 dan 2011), telah terjadi pemekaran wilayah sebanyak tiga kecamatan yaitu Malausma (kecamatan induk : Bantarujeg), Kasokandel (kecamatan induk : Dawuan) dan Sindang (kecamatan induk : Sukahaji). Untuk memenuhi syarat di atas, dilakukan penggabungan data kecamatan hasil pemekaran dengan kecamatan induknya. Wilayah-wilayah komoditas unggulan pertanian yang dipilih adalah wilayah-wilayah yang unggul baik secara komparatif maupun kompetitif, yaitu wilayah dengan nilai LQ>1 dan nilai SSA positif. 3.4.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan Pada penelitian ini, analisis kesesuaian lahan adalah analisis kesesuaian lahan kualitatif aktual dengan asumsi sebagai berikut : (1) data yang digunakan terbatas pada informasi yang terdapat pada peta tematik yang digunakan; (2) tidak mempertimbangkan aspek kependudukan, infrastruktur dan fasilitas pemerintah; (3) tidak mempertimbangkan status kepemilikan tanah; (4) tidak mempertimbangkan tingkat pengelolaan atau manajemen; (5) persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan untuk komoditas pertanian menggunakan kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia dalam Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian (Djaenudin et al. 2011), kecuali untuk curah hujan menggunakan Hardjowigeno dan Widiatmaka
19 (2007). Berdasarkan ketersediaan data, evaluasi lahan hanya mempertimbangkan empat jenis kualitas lahan dan lima karateristik lahan (Tabel 7). Tabel 7 Kualitas dan karakteristik lahan dalam evaluasi lahan No Kualitas Lahan 1 Rejim suhu *) 2 Ketersediaan air*)
3 Ketersediaan Oksigen 4 Media perakaran*)
5 Gambut 6 Retensi Hara
7 8 9 10
Toksisitas Sodisitas Bahaya sulfidik Bahaya erosi*)
11 Bahaya banjir 12 Penyiapan lahan
Karakteristik Lahan Rata-rata suhu tahunan *) - Rata-rata curah hujan tahunan *) - Rata-rata bulan kering *) - Kelembaban Drainase - Tekstur *) - Bahan Kasar - Kedalaman tanah - Ketebalan - Kematangan - KTK liat - Kejenuhan basa - pH H2O - C-organik Salinitas Alkalinitas Kedalaman sulfidik - Lereng *) - Bahaya erosi Genangan - Batuan di permukaan - Singkapan batuan
Satuan 0 C mm/tahun bulan % kelas kelas % cm cm kelas cmol % kelas kelas dS/m % cm kelas kelas Kelas % %
Ket: *) kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan dalam penelitian
Rejim suhu (t) diwakili oleh rata-rata suhu tahunan dalam 0C. Peta suhu yang digunakan dalam penelitian ini diturunkan dari Peta Ketinggian (Bappeda 2011) dan dilakukan pendekatan dengan rumus Braak (1928) dalam (Djaenudin et al. 2011) yang menyatakan bahwa akan terjadi perubahan suhu sebesar 0.06 0C untuk setiap perubahan ketinggian sebesar 100m. Suhu acuan yang digunakan adalah data rata-rata suhu tahunan di stasiun Meteorologi Jatiwangi (berada pada ketinggian 50m dpl) tahun 2007-2011. Ketersediaan air (w) diwakili oleh nilai rata-rata curah hujan tahunan dan jumlah rata-rata bulan kering. Nilai Rata-rata curah hujan yang dimaksud adalah nilai rata-rata jumlah curah hujan tahunan yang diukur dalam satuan mm. Peta tematik untuk curah hujan ini diturunkan dari peta curah hujan Jawa Barat dan dilakukan pengecekan dengan membandingkan nilai rata-rata curah hujan tahunan di stasiun Meteorologi Jatiwangi tahun 2007-2011. Sementara itu, jumlah ratarata bulan kering yang dimaksud adalah jumlah rata-rata lamanya bulan kering berturut-turut dalam satu tahun dengan curah hujan kurang dari 60 mm. Peta tematik yang digunakan untuk rata-rata bulan kering menggunakan informasi dari peta sistem lahan versi RePPProT. Media perakaran (r) diwakili oleh tekstur tanah dan peta tematiknya menggunakan informasi dari peta sistem lahan versi RePPProT. Masing-masing kelas tekstur merupakan istilah dari gabungan komposisi fraksi tanah halus≤ 2mm
20 yang terdiri atas pasir, debu dan liat. Pengelompokan kelas tekstur dalam penelitian ini mengikuti kelas tekstur menurut Djaenudin (2011), yaitu : sangat halus (liat tipe 2:1), halus (liat berpasir, liat, liat berdebu), agak halus (lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu), sedang (lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu), agak kasar (lempung berpasir), dan kasar (pasir, pasir berlempung). Untuk bahaya erosi (e) diwakili oleh kemiringan lereng. Peta tematik kemiringan lereng menggunakan informasi pada peta satuan lahan dan tanah versi BBPPSDLP tahun 2011. Dari hasil analisis kesesuaian lahan diperoleh sebaran kelas kesesuaian untuk masing-masing komoditas unggulan pertanian terpilih dan digunakan untuk menunjukkan potensi lahan bagi pengembangan komoditas tersebut. Wilayah yang dianggap sesuai untuk pengembangan komoditas unggulan pertanian adalah wilayah yang termasuk dalam kelas sesuai (SI, S2 dan S3). 3.4.3 Analisis Hirarki Wilayah Analisis skalogram digunakan untuk menentukan prioritas wilayah pembangunan tingkat desa berdasarkan ketersediaan jumlah dan jenis sarana pelayanan serta aspek aksesibilitasnya. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel. Metode skalogram ini bisa digunakan dengan menganalisis jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah, atau menganalisis ada/tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah (Saefulhakim 2004). Penyusunan tabel skalogram menggunakan asumsi bahwa masing-masing komponen mempunyai bobot dan kualitas yang bersifat indifferent. Proses analisis skalogram yang didasarkan pada struktur tabel ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Struktur tabel analisis skalogram No
SubWilayah
Penduduk
Total Jenis Komp.
Rasio Jenis Komponen
C1
C1/m
. . .
C2 . . .
C2/m . . .
Fik . . . F2n ..ak.. ak/n n/ ak
Ci
Ci/m
Infrastruktur F1
F2
F3
..Fk...
Fm
komponen m
1
B1
2 B2 3 B3 . . . i Bi . . . n Bn Wil. Memiliki Fasilitas Rasio Wil. memiliki Fas. Bobot
F11
F12
F13
F21 F31
Fn1 a1 a2 a3 a1/n a2/n a3/n n/ a1 n/ a2 n/ a3
Sumber : Rustiadi et al. (2011)
F1k
F1m
Fmn am
Fk # k
Indeks Hirarki Σ (F1.k) / Bk*(n/ ak)
21 Rumus umum analisis skalogram berdasarkan Indeks Hirarki (Rustiadi et al. 2011) adalah sebagai berikut: n
Indeks Hirarki ( I1 ) ( Fik . k
n ) ak
dimana : Fik = nilai komponen ke i pada sub wilayah ke k; n = bobot komponen tiap faktor penentu hirarki. ak
Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut: (1) Menyusun komponen sesuai dengan penyebaran dan jumlah komponen di dalam unit-unit wilayah. Komponen yang tersebar merata di seluruh wilayah diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya sampai komponen yang terdapat paling jarang penyebarannya di dalam seluruh unit wilayah. Angka yang dituliskan adalah jumlah komponen yang dimiliki setiap unit wilayah. (2) Menyusun wilayah sedemikian rupa dimana unit wilayah yang mempunyai ketersediaan komponen paling lengkap terletak di susunan paling atas, sedangkan unit wilayah dengan ketersediaan komponen paling tidak lengkap terletak di susunan paling bawah. (3) Menjumlahkan seluruh komponen secara horizontal baik jumlah jenis komponen maupun jumlah unit komponen di setiap unit wilayah. (4) Menjumlahkan masing-masing unit komponen secara vertikal sehingga diperoleh jumlah unit komponen yang tersebar di seluruh unit wilayah. (5) Dari hasil penjumlahan ini posisi teratas merupakan sub wilayah yang mempunyai komponen terlengkap. Posisi terbawah merupakan sub wilayah dengan ketersediaan komponen umum paling tidak lengkap. (6) Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua daerah dengan jumlah jenis dan jumlah unit komponen yang sama, maka pertimbangan ke tiga adalah jumlah penduduk. Sub wilayah dengan jumlah penduduk lebih tinggi diletakkan pada posisi di atas. Batas penentuan hirarki ini didasarkan kepada Indeks Hirarki (IH) dari tiap suatu desa dengan mengikuti ketentuan seperti yang tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Hirarki 1 2 3
Komponen aksebilitas dan fasilitas dalam skalogram Batas Selang IH > (Rataan IH + Standar Deviasi) (Rataan IH) ≥IH≤ (Rataan IH + Standar Deviasi)
IH < (Rataan IH)
Ket : IH = Indeks Hirarki
Komponen skalogram dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua aspek, yaitu aspek fasilitas dan aspek aksesibilitas yang terdiri atas 24 komponen seperti yang tersaji pada Tabel 10. Desa yang terpilih dari hasil analisis skalogram adalah desa yang termasuk dalam hirarki 1.
22 Tabel 10 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Komponen aksesibilitas dan fasilitas dalam skalogram
Komponen Keluarga pengguna listrik (keluarga) Keluarga berlangganan telepon kabel (keluarga) Pasar (unit) Adanya warnet Adanya kelompok pertokoan Jumlah SD (unit) Jumlah SMP (unit) Jumlah SMA/SMK (unit) Jumlah pendidikan informal /kursus (unit) Jumlah Pelayanan kesehatan (RS, Puskesmas) Jumlah Minimarket (unit) Jumlah warung klontong (unit) Jarak dari desa ke kecamatan (km) Jarak ke kantor bupati (km) Jarak ke kantor bupati lain (km) Jarak ke pasar (km) Jarak ke kelompok pertokoan (km) Jarak fasilitas perbankan BPR (km) Jarak fasilitas perbankan umum (km) Keluarga yang berlangganan telepon kabel (keluarga) Jenis permukaan jalan ke kecamatan/jalan raya Kelancaran jalan untuk kendaraan roda 4 Tingkat kemulusan jalan Sinyal telepon seluler
Aspek Fasilitas Fasilitas Fasilitas Fasilitas Fasilitas Fasilitas Fasilitas Fasilitas Fasilitas Fasilitas Fasilitas Fasilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas Aksesibilitas
3.4.4 Analisis Penentuan Wilayah Pengembangan Industri dan wilayah Pengembangan komoditasnya Sebagai pendekatan terhadap teori lokasi industri Weber (1909) seperti yang diuraikan pada Bab 1 (Pendahuluan: Kerangka Pemikiran), penentuan lokasi pengembangan industri kecil pengolahan berbasis komoditas unggulan ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut : (1) lokasi pengembangan berada di wilayah (kecamatan) dengan keunggulan komoditas pertanian tertentu; (2) lokasi pengembangan merupakan desa basis industri pengolahan hasil pertanian; (3) lokasi pengembangan merupakan desa yang termasuk dalam orde tinggi (hirarki 1) berdasarkan indeks hirarki desanya. Kriteria pertama diperoleh dari hasil analisis keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah (analisis LQ dan analisis shift share). Kriteria kedua diperoleh dari hasil analisis desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian (analisis LQ). Untuk kriteria ketiga merupakan hasil analisis tingkat kapasitas pelayanan wilayah (analisis skalogram). Adapun desa yang dipilih sebagai lokasi pengembangan industri adalah desa yang memenuhi ketiga kriteria tersebut, sehingga aturan dalam menentukan arahan kebijakan wilayah pengembangan industri berbasis komoditas unggulan pertanian seperti yang disajikan pada Tabel 11.
23 Tabel 11
Arahan penentuan wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan
Komoditas Unggulan Pertanian Jagung Mangga Kedelai Pisang Melinjo
Desa Hirarki Industri Basis 1 Basis 1 Basis 1 Basis 1 Basis 1
Fungsi Wilayah Pengembangan industri berbasis jagung Pengembangan industri berbasis mangga Pengembangan industri berbasis kedelai Pengembangan industri berbasis pisang Pengembangan industri berbasis melinjo
Sementara itu wilayah pengembangan komoditas pertanian ditentukan dengan kriteria sebagai berikut: (1) merupakan wilayah dengan keunggulan komoditas pertanian; (2) memiliki fisik lahan dengan kelas sesuai (S1, S2, S3) untuk masing-masing komoditas unggulan wilayah; (3) bukan wilayah yang ditetapkan sebagai wilayah pengembangan industri; (4) prioritas lahan pengembangan komoditas mengikuti kelas kesesuaiannya dimana prioritas 1 ditentukan berdasarkan kelas kesesuaian terbaik, sedangkan lahan dengan kelas kesesuaian N (tidak sesuai), dikategorikan “bukan prioritas” dan lahan dengan status hutan, dikategorikan ke dalam “bukan wilayah pengembangan komoditas”. 3.4.5 Analisis Arahan Prioritas Progam Pembangunan Penetapan arahan pembangunan desa pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian dalam penelitian ini digunakan data hasil preferensi stakeholder. Data diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada responden. Pemilihan responden dan penentuan jumlah responden dilakukan dengan metode Purposive Sampling. Responden yang dimaksud adalah stakeholder yang terdiri atas unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun masyarakat dalam proporsi yang sama. Hasil persepsi responden selanjutnya digunakan untuk menentukan alternatif pengambilan keputusan terkait arahan program pembangunan untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian. Aspek-dan komponen yang akan dipilih oleh responden dirangkum dari rencana kerja instansi pemerintah yang terkait dengan persoalan pembinaan industri kecil yang terdiri atas aspek produksi dan pendukungnya, manajemen usaha, pemasaran dan legalitas usaha. Rincian aspek dan komponen adalah sebagi berikut: (1) Aspek produksi dan pendukungnya yang terdiri atas empat komponen yang dipilih oleh responden, yaitu: (a) ketersediaan tenaga kerja yang terampil; (b) kelayakan ruang dan fasilitas produksi; (c) peningkatan teknologi produksi, bantuan mesin dan peralatan industri; (d) ketersediaan bahan baku dengan mudah dan murah. (2) Aspek teknik dan manajemen usaha yang terdiri atas tiga komponen yang dipilih oleh responden, yaitu: (a) pengelolaan keuangan perusahaan (b) teknik pengemasan produk; (c) peningkatan teknologi produksi; (d) cara pengelolaan produksi yang baik. (3) Aspek promosi produk yang terdiri atas tiga komponen yang dipilih oleh responden, yaitu: (a) promosi mandiri, dalam hal ini perusahaan secara
24 mandiri mempromosikan produknya; (b) penyelenggaraan pameran produk; (c) media promosi bersama. (4) Aspek pemasaran dan kemitraan usaha yang terdiri atas tiga komponen yang dipilih oleh responden, yaitu: (a) peningkatan kemampuan memasarkan produk, antara lain pelatihan teknis, magang; (b) fasilitasi bapak angkat, antara lain temu usaha industri; (c) fasilitasi penjualan eceran, antara lain outlet bersama; (d) fasilitasi agen pemasaran, antara lain temu usaha perdagangan. (5) Aspek legalitas usaha yang terdiri atas tiga komponen yang dipilih oleh responden, yaitu: (a) legalitas yang berkaitan dengan pendirian dan operasional usaha, antara lain TDI, SIUP, TDP, SP-PIRT; (b) legalitas yang berkaitan dengan dukungan dalam penjualan, antara lain Sertifikat Halal, sertifikat GMP; (c) legalitas yang terkait dengan perlindungan usaha antara lain hak merk dagang, hak paten produk. Untuk melakukan pemilihan alternatif keputusan terkait arahan pembangunan berdasarkan kriteria terbaik digunakan analisis MCDM dengan metode TOPSIS. Tahapan dalam Metode TOPSIS (Jahanshahloo et al. 2009) adalah: (1) Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi Perhitungan normalisasi matriks keputusan TOPSIS dilakukan dimana nilai normalisasi (nij) dihitung sebagai berikut:
dimana : xij = nilai sel bagi kriteria ke i dan alternatif ke j; nij = nilai sel bagi kriteria ke i dan alternatif ke j yang ternormalisasi (2) Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi terbobot Perhitungan matriks keputusan ternormalisasi terbobot dilakukan dimana pembobotan ditentukan oleh pengambilan keputusan. Nilai bobot ternormalisasi (Vij) dihitung sebagai berikut: Dimana :wi = nilai bobot dari kriteria ke i dengan (3) Menentukan matriks solusi ideal positif dan matriks solusi ideal negatif Penentuan matriks solusi ideal positif dan matriks solusi ideal negatif dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
dimana : (A+) = solusi ideal positif; (A-) = solusi ideal negatif (4) Menentukan jarak antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi ideal positif dan negatif Penentuan jarak euclidean antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi ideal positif dan negatif dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
25
dimana : (dj+) = jarak euclidian alternatif ke j kepada solusi ideal positif; (dj-) = jalak euclidian alternatif ke j ke solusi ideal negatif. (5) Menghitung kedekatan dengan solusi ideal Perhitungan kedekatan relatif ke solusi ideal dimana kedekatan relatif alternatif Aj ke A+ didefinisikan sebagai berikut:
dimana : (Rj) = Kedekatan relatif alternatif ke j kepada solusi ideal positif dan (6) Menentukan nilai preferensi untuk setiap alternatif Dasar dari metode TOPSIS adalah memilih alternatif yang memiliki jarak terdekat ke solusi ideal positif dan memiliki jarak terjauh ke solusi ideal negatif, sehingga urutan alternatif ditentukan berdasarkan besarnya Rj. Dari hasil analisis MCDM-TOPSIS, akan diperoleh alternatif arahan program pembangunan meliputi aspek pengembangan industri dan alternatifalternatifnya. Alternatif-alternatif tersebut dapat digunakan oleh pemerintah daerah dan para pihak yang berkepentingan dalam merencanakan pembangunan terutama untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Majalengka. Program yang dipilih sebagai prioritas yang diusulkan dalam penelitian ini adalah komponen dengan nilai RUV (Ranking Unit Value) tertinggi berdasarkan pilihan responden dari tiap aspek program.
4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN MAJALENGKA 4.1 Kondisi Fisik Wilayah 4.1.1 Kondisi Geografi Kabupaten Majalengka merupakan bagian dari wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat. Jarak dari ibukota Kabupaten Majalengka ke ibukota Provinsi Jawa Barat adalah ± 91 kilometer dan secara geografis, Kabupaten Majalengka terletak di antara 60 36’ sampai dengan 70 03’ lintang selatan dan 1080 03’ sampai dengan 1080 25’ bujur timur. Adapun batas wilayah administrasinya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, sebelah selatan dengan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya, sebelah barat dengan Kabupaten Sumedang, serta sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Cirebon. Wilayah Kabupaten Majalengka secara administratif terdiri atas 26 kecamatan dan 336 desa (tahun 2011).
26
Gambar 3 Wilayah administrasi Kabupaten Majalengka 4.1.2 Iklim Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Majalengka termasuk ke dalam iklim tropis dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 25.1oC sampai dengan 29.3oC. Variasi curah hujan bulanan antara 1 mm sampai 646 mm dengan jumlah hari hujan antara 2 sampai 26 hari setiap bulan (Tabel 12).
27 Tabel 12 Fluktuasi iklim di Kabupaten Majalengka Tahun 2007-2009 dan 2011 No.
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Rata-rata Suhu Udara (oC) 2007 2008 2009 2011 27.4 26.3 26.6 26.8 25.0 25.5 25.9 26.9 26.4 26.2 26.7 26.9 27.0 26.7 27.5 26.8 27.3 27.1 27.3 27.6 27.0 26.9 27.2 27.4 26.8 26.7 26.9 27.1 27.4 27.4 27.5 27.5 28.9 29.1 29.2 28.5 29.0 29.1 29.3 29.3 27.7 27.2 28.4 27.4 26.9 26.8 27.6 27.3 27.23 27.08 27.51 27.46
Jumlah Curah Hujan (mm) 2007 2008 2009 2011 427 585 234 77 441 280 419 182 35 50 293 567 379 172 217 612 78 83 90 142 87 33 60 98 9 14 1 1 101 64 69 40 285 646 364 394 260 663 219 471 2103 2591 1965 2583
Sumber : BPS( 2008), BPS (2009), BPS ( 2010) Bappeda (2012a)
4.1.3 Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2011 adalah 1,171,478 jiwa terdiri atas 585,393 jiwa laki-laki dan 586,085 jiwa perempuan dengan sex ratio 100. Rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2011 adalah 973 jiwa/km2, kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Jatiwangi yaitu 2071 jiwa/km2 dan kepadatan terendah berada di Kecamatan Kertajati yaitu 305 jiwa/km2 (Tabel 13). Tabel 13 Jumlah dan kepadatan penduduk menurut kecamatan tahun 2011 Jumlah Kepadatan Penduduk per km2 (jiwa) LEMAHSUGIH 57,472 731 BANTARUJEG 42,851 644 MALAUSMA 41,037 911 CIKIJING 60,096 1,380 CINGAMBUL 35,954 971 TALAGA 43,442 999 BANJARAN 23,972 571 ARGAPURA 33,560 554 MAJA 48,720 747 MAJALENGKA 69,395 1,217 CIGASONG 34,341 1,421 SUKAHAJI 39,812 1,224 SINDANG 14,393 600 Kecamatan
Jumlah Kepadatan Penduduk per km2 (jiwa) RAJAGALUH 41,469 1,207 SINDANGWANGI 30,387 957 LEUWIMUNDING 55,458 1,709 PALASAH 45,730 1,182 JATIWANGI 82,883 2,071 DAWUAN 44,859 1,885 KASOKANDEL 46,275 1,464 PANYINGKIRAN 29,732 1,294 KADIPATEN 43,531 1,991 KERTAJATI 42,196 305 JATITUJUH 50,817 690 LIGUNG 56,186 903 SUMBERJAYA 56,902 1739 Kecamatan
Sumber : Bappeda (2012a)
4.1.4 Kondisi Topografi Berdasarkan klasifikasi kelas kemiringan lahan, 13.21% dari luas wilayah Kabupaten Majalengka mernpunyai kemiringan lahan di atas 40%, sedangkan kontribusi kelas kemiringan lahan mayoritas adalah pada kelas kemiringan lahan 0-15%, yaitu 68.26% luas wilayah Kabupaten Majalengka. Distribusi topografi di Kabupaten Majalengka tersaji pada Gambar 4.
28
Gambar 4 Sebaran topografi wilayah administrasi Kabupaten Majalengka 4.2 Kondisi Ekonomi Wilayah 4.2.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang merupakan salah satu indikator ekonomi makro menunjukkan suatu perbaikan perekonomian untuk Kabupaten Majalengka. PDRB Kabupaten Majalengka atas dasar harga konstan tahun 2011 sebesar 4.63 triliun rupiah. Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 4.43 triliun rupiah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka menjadi 4.67 persen selama tahun 2011. Sementara itu PDRB Kabupaten Majalengka atas dasar harga yang berlaku di tahun 2011 adalah sebesar 10.99 triliun rupiah dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 10.16 triliun rupiah, PDRB atas dasar harga berlaku ini menggambarkan nilai tambah yang dihasilkan perekonomian Kabupaten Majalengka selama tahun 2011 (Bappeda 2012b).
29 4.2.2. Struktur Ekonomi Struktur perekonomian Kabupaten Majalengka secara umum masih didominasi oleh sektor pertanian. Implikasinya adalah perkembangan di sektor pertanian akan berdampak cukup besar terhadap perekonomian Majalengka secara keseluruhan. Tetapi, berdasarkan kelompok sektor, struktur perekonomian Kabupaten Majalengka secara berurutan didominasi oleh sektor tersier (43.52%), sektor primer (36.5%), dan sektor sekunder (20.43%). Jika dilihat perkembangan struktur ini dalam lima tahun terakhir, ternyata sektor primer menunjukkan kecenderungan menurun, sedangkan sektor sekunder cenderung sebaliknya. (Tabel 14). Tabel 14 Kontribusi sektor dalam perekonomian Majalengka tahun 2007-2011 menurut kelompok sektor atas dasar harga berlaku
PRIMER
2007 37.70
2008 36.32
Tahun (%) 2009 36.09
-
33.87 3.83
32.48 3.83
32.77 3.32
33.52 3.17
32.83 3.21
SEKUNDER
19.51
20.12
20.62
20.21
20.43
-
15.16 0.51 3.83
15.70 0.51 3.91
16.08 0.51 4.04
15.58 0.50 4.12
15.58 0.51 4.34
TERSIER
42.79
43.56
43.29
43.10
43.52
-
17.30 5.99 4.37 15.13
17.52 6.21 4.28 15.56
17.65 6.20 4.29 15.15
18.03 5.98 4.13 14.95
18.54 5.86 4.10 15.02
JUMLAH 100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan Industri, Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan Pengangkutan Bank Jasa
2010 36.70
2011 36.05
Sumber : Bappeda (2012b)
4.3 Kondisi Sektor Industri Pengolahan 4.3.1 Industri Besar dan Industri Sedang Industri besar dan sedang di Kabupaten Majalengka pada tahun 2011 disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah industri besar dan sedang menurut kelompok industri pengolahan 2011 No Kelompok Industri Pengolahan 1 Industri makanan 2 Industri pakaian jadi 3 Industi kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan anyaman bambu, rotan,dan lain-lain 4 Industri karet, barang dari karet dan plastik 5 Industri barang galian bukan logam 6 Industri peralatan listrik Industri pengolahan lainnya Jumlah
Jumlah 7 15 16
% 1.61 3.45 3.68
4 385 1 7 435
0.92 88.51 0.23 1.61 1.61
Sumber : diolah dari Bappeda (2012a)
Industri besar (jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang) di Kabupaten Majalengka pada tahun 2011 tercatat sebanyak 10 perusahaan dengan 4582 orang
30 tenaga kerja dan industri sedang (20 < jumlah tenaga kerja <100 orang) sebanyak 424 perusahaan dengan tenaga kerja sebanyak 15104 orang. Industri besar dan sedang yang berada di Kabupaten Majalengka didominasi kelompok industri pengolahan barang galian bukan logam, yaitu industri genteng keramik (88.48 %). 4.3.2 Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga Jumlah industri rumah tangga (jumlah tenaga kerja kurang dari lima orang) di Kabupaten Majalengka tahun 2011 sebanyak 6300 unit dengan 10903 orang tenaga kerja dan industri kecil (jumlah tenaga kerja antara 5 sampai dengan 19 orang) sebanyak 1319 unit dengan tenaga kerja sebanyak 13390 orang. Di kelompok industri kecil dan industri rumah tangga, industri makanan merupakan industri terbesar di Kabupaten Majalengka (37.70%) (Tabel 16). Tabel 16 Jumlah industri kecil dan industri rumah tangga menurut kelompok industri pengolahan 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Kelompok Industri Pengolahan Industri makanan Industri minuman Industri pengolahan tembakau dan barang dari tembakau Industri tekstil Industri pakaian jadi Industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki Industi kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan anyaman bambu, rotan, dan lain-lain Industri kertas dan barang dari kertas Industri pencetakan dan reproduksi media rekam Industri bahan kimia dan barang dari kimia Industri farmasi, produk obat dan jamu Industri karet, barang dari karet dan plastik Industri barang galian bukan logam Industri logam dasar Industri barang logam, kecuali mesin dan peralatannya Industri komputer, barang elektronik dan optik Industri furnitur Industri pengolahan lainnya Jumlah
Jumlah 2872 62 51 23 328 9 1996
% 37.70 0.81 0.67 0.30 4.31 0.12 26.20
3 227 6 2 10 1226 1 284 1 461 57 7619
0.04 2.98 0.08 0.03 0.13 16.09 0.01 3.73 0.01 6.05 0.75 100.00
Sumber : diolah dari KUKM-Perindag (2013)
4.3.3 Jenis Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga berdasarkan komoditas terpilih Industri merupakan kegiatan ekonomi yang mengubah bahan mentah menjadi barang ½ jadi atau barang jadi yang dalam prosesnya menghasilkan nilai tambah (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian). Kaitannya dengan komoditas unggulan pertanian terpilih, produkproduk hasil industri kecil di Kabupaten Majalengka pada umumnya berupa produk-produk makanan dan minuman, baik yang umum dikenal masyarakat luas maupun produk-produk yang dikenal di masyarakat lokal.
31 Sementara itu, kondisi komoditas jagung, mangga, kedelai, pisang, dan kedelai berdasarkan data tahun 2011 di Kabupaten Majalengka tersaji pada tabel 17. Tabel 17 Kondisi komoditas pertanian terpilih tahun 2011 Jenis Komoditas Jagung Mangga Kedelai Pisang Melinjo
Luas Tanam (Ha) 17483.00 10495.86 1598.00 1754.60 649.04
Produksi (Ton) 103258 43279.70 1887.00 32316.30 td
Rata-rata Produksi (ku/Ha) 64.30 79.86 12.40 134.95 td
Ket : td = tidak ada data Sumber : diolah dari Bappeda (2012b)
Produk yang dihasilkan dari komoditas jagung antara lain jagung pipilan (biasa digunakan sebagai bahan baku pakan ternak, aneka makanan seperti popcorn), tepung jagung (biasa digunakan sebagai bahan pembuatan aneka kue kering maupun basah) dan emping jagung. Komoditas kedelai terutama digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu dan kecap. Mangga sering dijadikan berbagai macam makanan dan minuman olahan seperti dodol mangga dan mango juice, disamping dijadikan puree mangga yang merupakan bahan baku bagi industri minuman segar. Sementara itu, produk olahan berbasis pisang dapat berupa tepung pisang (biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan bubur bayi dan kue basah), dodol pisang, keripik pisang dan sale pisang. Sedangkan melinjo biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan emping melinjo.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah 5.1.1. Keunggulan Komparatif Wilayah Dari hasil analisis LQ luas tanam masing-masing komoditas unggulan (jagung, mangga, kedelai, pisang dan melinjo) pada seluruh kecamatan di Kabupaten Majalengka, maka diperoleh nilai LQ untuk masing-masing komoditas seperti tersaji pada Tabel 18. Terkait dengan ketentuan bahwa wilayah dikategorikan memiliki keunggulan komparatif jika nilai LQ>1, maka dapat diidentifikasi bahwa komoditas jagung unggul secara komparatif di delapan kecamatan, mangga unggul secara komparatif di 14 kecamatan, kedelai unggul di 10 kecamatan, pisang unggul di 13 kecamatan, dan melinjo unggul di 11 kecamatan. Dari hasil analisis ini, dapat diinterpretasikan bahwa di kecamatan dengan nilai LQ>1 untuk komoditas tertentu terjadi pemusatan aktivitas penanaman yang menonjol dibandingkan dengan komoditas lainnya sekaligus juga menunjukkan keunggulannya dari kecamatan-kecamatan lain dalam lingkup kabupaten dalam hal luas tanam. Hal tersebut juga dapat diartikan bahwa terdapat tingkat
32 keberminatan masyarakat yang tinggi terhadap suatu komoditas di wilayahwilayah dengan LQ>1 untuk komoditas dimaksud. Tabel 18 Nilai LQ luas tanam komoditas terpilih di tiap kecamatan No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
LEMAHSUGIH BANTARUJEG MALAUSMA CIKIJING CINGAMBUL TALAGA BANJARAN ARGAPURA MAJA MAJALENGKA CIGASONG SUKAHAJI SINDANG RAJAGALUH SINDANGWANGI LEUWIMUNDING PALASAH JATIWANGI DAWUAN KASOKANDEL PANYINGKIRAN KADIPATEN KERTAJATI JATITUJUH LIGUNG SUMBERJAYA
Jagung 0.97 1.57 1.56 1.57 1.30 1.51 1.69 1.23 1.65 0.75 0.38 0.40 0.27 0.84 0.71 0.01 0.06 0.00 0.10 0.41 0.09 0.01 0.32 0.03 0.68 0.03
Mangga 0.95 0.35 0.29 0.31 0.69 0.07 0.03 0.24 0.17 1.42 2.02 1.47 1.09 0.98 0.62 1.53 1.87 0.77 1.86 1.40 2.62 2.20 2.42 2.65 1.38 1.07
Nilai LQ Kedelai 1.48 0.03 0.00 0.00 0.00 0.25 0.09 0.00 0.00 0.88 1.89 0.45 0.00 0.00 0.00 4.89 5.52 13.45 5.73 5.64 0.46 0.82 0.45 1.23 2.90 10.00
Pisang 1.09 0.25 0.74 0.14 0.65 2.13 0.98 4.14 0.66 1.44 0.28 1.47 3.04 1.76 1.35 3.01 1.20 1.07 0.86 0.51 1.27 4.27 0.08 0.82 0.50 0.38
Melinjo 1.08 0.43 0.58 1.66 1.32 1.07 0.40 1.08 0.28 0.18 0.91 5.04 16.47 6.09 16.64 4.05 0.47 0.71 0.08 0.15 0.00 0.00 0.00 0.21 0.03 5.72
Ket: Kecamatan yang memiliki keunggulan komparatif Sumber : Diolah dari Bappeda (2012a)
Pada Tabel 18 dapat dicermati bahwa secara umum (kecuali Bantarujeg, Malausma, Kertajati dan Maja) tiap kecamatan memiliki keunggulan komparatif lebih dari satu komoditas. Ini menunjukkan bahwa di wilayah-wilayah tersebut, masyarakat memiliki kecenderungan untuk membudidayakan lebih dari satu komoditas dimaksud secara bersamaan atau dibudidayakan pada lahan yang berbeda. Berdasarkan fakta di lapangan, mangga banyak dibudidayakan sebagai tanaman pekarangan rumah, baik di depan, samping atau pun di belakang rumah dan hal tersebut merupakan fenomena yang sangat lazim bagi masyarakat di Kabupaten Majalengka. Berbeda halnya dengan tanaman pisang dan melinjo yang biasa dibudidayakan di kebun-kebun campuran. Hal lain yang dapat dicermati adalah bahwa komoditas jagung dan kedelai tidak menjadi unggulan secara bersamaan di suatu wilayah. Hal ini kemungkinan besar disebabkan adanya kesamaan lahan yang memungkinkan untuk pembudidayaan kedua komoditas tersebut, sehingga masyarakat akan memilih
33 salah satu komoditas yang diminati daripada membudidayakannya secara bersama-sama. Hal ini diperkuat informasi pada saat dilakukan penelitian, bahwa jagung dan kedelai seringkali dijadikan tanaman selang pada budi daya padi oleh petani di Kabupaten Majalengka dengan pola 2:1 atau 1:1 (padi-padi-tanaman selang atau padi-tanaman selang). 5.1.2. Keunggulan Kompetitif Wilayah Berdasarkan luas tanam untuk masing-masing komoditas terpilih pada dua titik tahun pengamatan (2007 dan 2011), diperoleh hasil analisis SSA seperti yang tersaji pada Tabel 19. Tabel 19 Hasil analisis shift share komoditas per kecamatan No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
LEMAHSUGIH BANTARUJEG MALAUSMA CIKIJING CINGAMBUL TALAGA BANJARAN ARGAPURA MAJA MAJALENGKA CIGASONG SUKAHAJI SINDANG RAJAGALUH SINDANGWANGI LEUWIMUNDING PALASAH JATIWANGI DAWUAN KASOKANDEL PANYINGKIRAN KADIPATEN KERTAJATI JATITUJUH LIGUNG SUMBERJAYA
Jagung 0.03 0.17 0.17 -0.42 0.12 0.30 4.73 -0.38 0.32 0.52 0.51 3.63 -0.12 -0.12 25.67 0.00 10.00 1.00 0.55 4.00 4.00 -0.97 2.62 0.45 14.00 -0.80
Nilai shift share analysis Mangga Kedelai Pisang -0.21 0.11 0.02 -0.98 -0.19 0.11 -0.98 -0.19 0.11 -1.00 -0.52 0.71 -1.00 0.42 0.04 -0.82 -0.01 0.03 -1.00 -0.15 0.03 0.00 -1.00 0.55 -1.00 0.20 0.58 -0.28 -0.05 0.09 0.00 -0.16 0.01 -0.77 0.02 0.02 -1.00 0.00 0.01 -1.00 0.00 0.01 -1.00 -0.06 0.10 -0.79 -0.01 0.02 -0.01 -0.53 -0.06 0.00 0.00 1.43 -0.31 -0.02 0.06 -0.02 1.48 1.06 -0.02 1.48 1.06 -0.09 0.00 0.02 -0.48 0.04 0.73 0.00 -0.13 0.04 -0.29 0.00 0.03 -0.32 -0.16 0.04
Melinjo -0.61 -0.48 -0.48 -0.51 -0.91 -0.81 -0.66 -0.84 -0.73 -0.84 -0.47 -0.58 -0.90 -0.90 -0.54 -0.50 -0.70 -0.63 -0.86 -1.00 -1.00 -1.00 -1.00 -0.52 -0.97 -0.11
Ket: Kecamatan yang unggul secara kompetitif Sumber : Diolah dari BPS (2008), dan Bappeda (2012a)
Dari Tabel 19 dapat diidentifikasi bahwa di sebagian besar wilayah Kabupaten Majalengka terjadi pertumbuhan positif untuk komoditas jagung dan mangga. Sementara itu pisang mengalami pertumbuhan positif di delapan kecamatan dan kedelai di satu kecamatan, sedangkan melinjo terjadi pertumbuhan negatif di seluruh kecamatan. Dengan ketentuan bahwa nilai SSA= 0 menunjukkan kondisi stagnan, maka hasil analisis tersebut dapat diinterpretasikan bahwa di wilayah dengan nilai SSA
34 positif untuk suatu komoditas terdapat peningkatan keberminatan masyarakat untuk membudi dayakan komoditas tersebut. Hal yang dapat dicermati adalah peningkatan terbesar terdapat di Kecamatan Sindangwangi untuk aktivitas budi daya komoditas jagung. Berdasarkan data, dalam kurun 4 tahun di kecamatan tersebut terjadi peningkatan luas tanam dari 6 ha (2007) menjadi 160 ha (2011) atau terjadi peningkatan sebesar 2667%. Walaupun secara luasan tergolong kecil jika dibandingkan dengan kecamatan lain, misalnya di Kecamatan Maja yang mencapai 4403 ha, tetapi pertumbuhan tersebut menunjukkan kuatnya daya saing komoditas jagung di kecamatan Sindangwangi, atau dengan perkataan lain terjadi peningkatan antusiasme masyarakat untuk membudidayakan komoditas jagung. Untuk komoditas mangga, walaupun terjadi pertumbuhan positif, tetapi pergeseran aktivitasnya tidak terlalu besar. Hal ini dapat dilihat dari nilai regional share yang hanya mencapai 0.05% (Lampiran 2). Sementara itu, komoditas kedelai di seluruh wilayah mengalami pertumbuhan negatif kecuali di Kecamatan Jatiwangi. Berdasarkan fakta dan menurut informasi pada saat penelitian, dapat dipastikan bahwa terjadi pergeseran minat masyarakat dalam membudidayakan komoditas kedelai kepada komoditas jagung dengan alasan harga jual yang relatif stabil. Tetapi kondisi tersebut justru mengakibatkan terjadi pertumbuhan positif komoditas kedelai di Kecamatan Jatiwangi dari 204 ha pada tahun 2007 menjadi 495 ha pada tahun 2011. Hal ini terjadi karena adanya lonjakan permintaan kedelai dari perajin tahu dan tempe lokal di Desa Cisambeng Kecamatan Palasah (secara spasial terletak bersebelahan dengan Kecamatan Jatiwangi) akibat pasokan bahan baku dari wilayah lain yang menurun. Kondisi pertumbuhan komoditas pisang merupakan kebalikan dari kondisi pertumbuhan mangga. Dilihat dari regional share, komoditas pisang relatif stabil walaupun mengalami pertumbuhan negatif kecil. Kondisi terburuk terjadi pada komoditas melinjo. Dilihat dari regional share, melinjo merupakan komoditas yang mengalami pertumbuhan negatif paling besar dan tidak ada satu wilayah pun yang mempunyai keunggulan kompetitif untuk komoditas ini. Dari data tampak terjadi penurunan drastis luas tanam dari 2190.06 ha (2007) menjadi 643.04 ha (2011). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan keberminatan masyarakat untuk membudidayakan komoditas tersebut. Dugaan sementara adalah budi daya komoditas melinjo kalah bersaing dengan budi daya kelompok tanaman perkayuan untuk bahan bangunan akhir-akhir ini yang mengalami trend positif sehingga banyak area tanaman melinjo yang digantikan dengan kelompok tanaman tersebut. Selain itu, dugaan lain adalah masih terbatasnya jenis industri pengolahan hasil pertanian yang menggunakan melinjo sebagai bahan baku mengakibatkan nilai tawar komoditas melinjo lemah. 5.1.3. Keunggulan Komparatif-Kompetitif Wilayah Untuk menentukan wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif atas komoditas terpilih, maka dilakukan penggabungan hasil analisis LQ dan hasil analisis SSA seperti yang tersaji pada Tabel 20.
35 Tabel 20
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Penentuan komoditas unggulan secara komparatif dan kompetitif per kecamatan Kecamatan
LEMAHSUGIH BANTARUJEG MALAUSMA CIKIJING CINGAMBUL TALAGA BANJARAN ARGAPURA MAJA MAJALENGKA CIGASONG SUKAHAJI SINDANG RAJAGALUH SINDANGWANGI LEUWIMUNDING PALASAH JATIWANGI DAWUAN KASOKANDEL PANYINGKIRAN KADIPATEN KERTAJATI JATITUJUH LIGUNG SUMBERJAYA
Jagung -/+ +/+ +/+ +/+/+ +/+ +/+ +/+/+ -/+ -/+ -/+ -/-/-/+ -/-/+ -/+ -/+ -/+ -/+ -/-/+ -/+ -/+ -/-
Keunggulan Komoditas Mangga Kedelai Pisang -/+ +/+/+ -/+ -/-/-/+ -/-/-/+ -/-/-/+ -/-/+ -/+ -/+/-/+ -/-/-/-/+/+ -/+ -/-/+ -/+/+/+ +/-/+/+ -/+/+ +/+ -/+/+/+ -/+ -/+/-/+ -/+/+/+/+/+ +/+/+/-/+/+/+ +/-/+/+ -/+ +/+ +/-/+/+ +/+ -/+/+/+ -/-/+ +/+ +/-/+/+ +/-/+/+ +/-/+/+
Melinjo +/-/-/+/+/+/-/+/-/-/-/+/+/+/+/+/-/-/-/-/-/-/-/-/-/+/-
Sumber : Diolah dari BPS (2008), Bappeda (2012a) +/+ = Unggul komparatif dan Kompetitif; (+/-) = Unggul komparatif tetapi tidak Ket: unggul kompetitif; (-/+) = Tidak unggul komparatif tetapi unggul kompetitif; (-/-) =: Tidak unggul komparatif maupun kompetitif
Dari Tabel tersebut dapat diidentifikasi bahwa jagung unggul di enam kecamatan, mangga unggul di 11 kecamatan, kedelai unggul di satu kecamatan, pisang unggul di empat kecamatan. Sementara itu, Di Kecamatan Panyingkiran dan Sukahaji terdapat dua komoditas yang unggul yaitu mangga dan pisang. Di Kecamatan Panyingkiran, Nilai LQ maupun SSA komoditas mangga lebih besar dibanding komoditas pisang. Sementara itu, di Kecamatan Sukahaji nilai LQ mangga lebih besar pisang sedangkan nilai SSA sama, maka dapat ditentukan bahwa komoditas unggulan di kecamatan Panyingkiran dan Sukahaji adalah komoditas mangga, sehingga wilayah komoditas mangga menjadi 13 kecamatan dan pisang menjadi dua kecamatan. Hasil penentuan keunggulan komparatifkompetitif komoditas tersebut kemudian dapat dipetakan sebarannya seperti yang tersaji pada Gambar 5.
36
Gambar 5 Sebaran wilayah yang unggul komparatif dan kompetitif komoditas pertanian terpilih Terdapat 4 kecamatan yang tidak unggul komparatif-kompetitif untuk komoditas terpilih, yaitu : Cikijing, Rajagaluh, Palasah dan Cikijing. Sementara itu, komoditas melinjo yang tidak unggul secara kompetitif di semua kecamatan tidak dapat memenuhi kriteria keunggulan komparatif-kompetitif sehingga komoditas melinjo tidak dikutsertakan dalam pembahasan selanjutnya. 5.2 Potensi Fisik Wilayah untuk Komoditas Unggulan Pertanian Berikut hasil analisis kesesuaian lahan secara kualitatif untuk jagung, mangga, kedelai, dan pisang di seluruh wilayah Kabupaten Majalengka.
37
Gambar 6 Peta kesesuaian lahan komoditas jagung Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan seperti yang disajikan pada Gambar 6, dapat diketahui bahwa 80.54% dari wilayah Kabupaten Majalengka sesuai untuk komoditas jagung (S1=6.33%, S2=57.37%, S3=16.84%) dan sisanya tidak sesuai (N=18.28%) . Dari Gambar tersebut juga dapat diidentifikasi bahwa di bagian utara dan sebagian besar bagian tengah Kabupaten Majalengka, kesesuaian lahan untuk komoditas Jagung terkendala oleh suhu, sedangkan di sebagian bagian tengah dan bagian selatan yang bertopografi perbukitan dan pegunungan terkendala oleh lereng. Sementara itu, berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas mangga (Gambar 7), dapat diketahui bahwa 58.87% dari wilayah Kabupaten Majalengka sesuai (S1=0.24%, S2 =22.05%, S3= 37.99%) dan sisanya tidak sesuai. Dari Gambar 7 dapat diidentifikasi bahwa kelas kesesuaian mangga di Kabupaten Majalengka sangat terpengaruh oleh curah hujan, sehingga sebagian besar batas spasial kelas kesesuaiannya pun mengikuti bentuk rentang rata-rata curah hujan tahunan. Komoditas mangga cukup sesuai untuk wilayah Majalengka
38 bagian utara, tengah dan bagian ujung selatan. Sementara itu, wilayah yang paling sesuai berada di bagian utara (berbatasan dengan Kabupaten Indramayu).
Gambar 7 Peta kesesuaian lahan komoditas mangga Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas kedelai dapat diketahui bahwa 52.74% dari wilayah Kabupaten Majalengka cukup sesuai (S2), 27.46% sesuai marjinal (S3) dan sisanya tidak sesuai (18.62%). Pada Gambar 8 tampak bahwa lahan S2 dengan satu faktor pembatas terdapat di Kecamatan Cikijing, Talaga, Banjaran, sebagiaan Cingambul dan Jatitujuh yang berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, sedangkan wilayah yang berada di bagian utara dan sebagian wilayah tengah termasuk dalam kelas S2 dengan tiga faktor pembatas, yaitu suhu, ketersediaan air dan tingkat kelerengan. Sementara itu, untuk wilayah perbukitan dan pegunungan di sebagian wilayah tengah dan selatan Majalengka, sebagian besar berada pada S3 dan N dengan faktor pembatas tingkat kelerengan.
39
Gambar 8 Peta kesesuaian lahan komoditas kedelai Selanjutnya, dari hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas pisang di Kabupaten Majalengka (Gambar 9), dapat diidentifikasi bahwa kelas kesesuaian terluas untuk komoditas pisang adalah cukup sesuai (S2), yaitu 75121 Ha (57.03% total luas lahan) dengan tiga faktor pembatas yaitu suhu, erosi dan ketersediaan air secara tunggal serta gabungan suhu dan ketersediaan air.
40
Gambar 9 Peta kesesuaian lahan komoditas pisang 5.3 Penentuan Desa Basis Industri Kecil Pengolahan Hasil Pertanian Industri kecil pengolahan hasil pertanian (gabungan industri makanan dan minuman) di Kabupaten Majalengka berjumlah 2934 unit dan tersebar di 296 desa. Dari hasil analisis LQ jumlah unit tiap kelompok industri, dapat diidentifikasi bahwa 179 desa merupakan desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian dan sisanya desa bukan basis (Lampiran 1). Jumlah desa basis dan non basis di setiap kecamatan disajikan pada Tabel 21 dan sebaran spasialnya tersaji pada Gambar 10.
41 Tabel 21
Jumlah desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian tiap kecamatan
Kecamatan
Jumlah I II
Kecamatan
Lemahsugih 13 3 Maja Bantarujeg 6 7 Cigasong Malausma 6 3 Majalengka Cikijing 11 4 Sukahaji Cingambul 4 4 Rajagaluh Talaga 14 2 Sindangwangi Banjaran 13 Leuwimunding Argapura 7 7 Palasah Sindang 1 5 Jatiwangi Ket : I = Desa basis; II= Desa non basis
Jumlah I II 12 4 13 6 6 3 4 3 8
5 6 1 6 5 7 9 10 7
Kecamatan Dawuan Kasokandel Panyingkiran Kadipaten Kertajati Jatitujuh Ligung Sumberjaya
Jumlah I II 6 4 5 6 6 9 5 4
Gambar 10 Sebaran desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian
5 6 4 1 7 6 12 9
42 Hasil analisis LQ hanya menunjukkan adanya konsentrasi atau pemusatan aktivitas ekonomi secara relatif dari industri pengolahan hasil pertanian terhadap industri lain dan tidak menggambarkan jumlah faktualnya. Sebagai contoh, dari Tabel 19 dapat diidentifikasi bahwa di Kecamatan Banjaran seluruh desanya merupakan desa basis industri kecil pengolahan pertanian. Ini menunjukkan bahwa keberadaan industri dimaksud di kecamatan tersebut lebih dominan dibandingkan dengan kelompok industri lain, walaupun secara jumlah relatif tidak terlalu banyak (terbanyak di Desa Hegarmanah, yaitu 28 dari 137 unit yang ada di kecamatan tersebut). Berbeda halnya dengan di kecamatan lain, misalnya Kecamatan Palasah yang secara agregat merupakan kecamatan dengan jumlah industri kecil pengolahan hasil pertanian terbanyak di Kabupaten Majalengka (244 unit), tetapi hanya memiliki tiga desa basis, yaitu Desa Cisambeng (103 unit), Palasah (28 unit) dan Majasuka (empat unit). Padahal di kecamatan tersebut terdapat desa-desa, seperti Desa Enggalwangi dan Desa Pasir, yang memiliki jumlah industri relatif lebih banyak (33 dan 28 unit) tetapi ternyata di desa-desa tersebut lebih dominan kelompok industri lain. Di Desa Enggalwangi terdapat 54 unit kelompok industri pengolahan kayu dan anyaman, demikian pula di Desa Pasir terdapat 32 unit kelompok industri yang sama. Secara keseluruhan, dominannya desa basis di Kabupaten Majalengka diduga berkaitan erat berlimpahnya sumber daya pertanian di Kabupaten Majalengka. Hal ini juga menunjukkan bahwa keterampilan dalam mengolah hasil pertanian merupakan kompetensi lokal yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat untuk pengembangan industri pengolahan hasil pertanian lebih lanjut. 5.4 Penentuan Desa Berhirarki 1 Berdasarkan hasil analisis skalogram dapat diidentifikasi bahwa nilai indeks hiraki (IH) tingkat fasilitas pelayanan desa di Kabupaten Majalengka berkisar antara 91.76 dan 25.16 dengan nilai rataan 60.33 (lihat pada Lampiran 3). Besarnya nilai IH suatu wilayah ditentukan berdasarkan komponen penentu hirarkinya, yaitu komponen yang memiliki nilai rata-rata tertinggi. Komponen penentu hirarki berdasarkan hasil analisis skalogram adalah “kelancaran jalan untuk dilalui roda 4” pada kelompok aksesibilitas dan apabila nilai masingmasing komponen indeks dikelompokkan berdasarkan aspek fasilitas dan aspek aksesibilitas, maka akan dapat diketahui bahwa aspek aksesibilitas secara rata-rata mempengaruhi pencapaian indeks hirarki desa sebesar 77%. Artinya, desa dengan aksesibilitas tinggi akan cenderung menjadi desa berhirarki tinggi dan sebaliknya desa dengan aksesibilitas rendah akan cenderung menjadi desa berhirarki rendah. Selanjutnya, dengan mengikuti ketentuan batas orde (lihat pada Bab 3 Metodologi Penelitian:Metode Analisis Data), maka dapat diidentifikasi bahwa desa yang termasuk hirarki 1 di Kabupaten Majalengka sebanyak 44 desa dari 336 desa, hirarki 2 sebanyak 82 desa, dan hirarki 3 sebanyak 210 desa. Desa hirarki 1 disajikan pada Tabel 22.
43 Tabel 22
Desa hirarki 1 di Kabupaten Majalengka
Desa/Kecamatan Bojongcideres/ DAWUAN Dawuan/ DAWUAN Rajagaluh/RAJAGALUH Majalengka Wetan/MJL Maja Selatan/MAJA Sutawangi/JATIWANGI Sinarjati/DAWUAN Ligung/LIGUNG Ligung Lor/LIGUNG Bantarwaru/LIGUNG Mekarsari/JATIWANGI Cikijing/CIKIJING Majalengka Kulon/MJL Kareo/BANJARAN Bantarujeg/BANTARUJEG Rajagaluh Lor/RAJAGALUH Weragati/PALASAH Cigasong/CIGASONG Banjaran/BANJARAN Gandu/DAWUAN Ciborelang/JATIWANGI Sukamukti/CIKIJING
IH 91.76 91.59 88.20 86.73 83.36 83.32 81.85 80.95 80.87 80.21 80.16 79.95 79.88 79.22 78.18 78.06 77.58 77.49 77.44 76.53 76.41 75.77
Desa/Kecamatan Talaga Wetan/TALAGA Parapatan/SUMBERJAYA Cikoneng/SUKAHAJI Buahkapas/SINDANGWANGI Talaga Kulon/TALAGA Pasirmuncang/PANYINGKIRAN Panjalin Kidul/SUBERJAYA Tonjong/MAJALENGKA Beber/LIGUNG Kalapadua/LEMAHSUGIH Mandapa/DAWUAN Karyamukti/PANYINGKIRAN Genteng/DAWUAN Sukasari Kidul/ARGAPURA Cipaku/KADIPATEN Babakan/KERTAJATI Kadipaten/KADIPATEN Kawunggirang/MAJALENGKA Leuwimunding/LEUWIMUNDING Maja Utara/MAJA Jatitujuh/JATITUJUH Kertajati/KERTAJATI
IH 74.84 74.06 74.04 74.03 74.00 73.81 73.09 71.57 71.28 70.96 70.75 70.75 70.72 70.38 69.66 69.28 69.28 69.07 68.92 68.91 68.70 68.47
Ket : IH = Indeks Hirarki; MJL = MAJALENGKA
Sebaran desa hirarki I di Kabupaten Majalengka secara spasial tersaji pada Gambar 11. Pada gambar tersebut dapat diidentifikasi bahwa desa-desa berhirarki tinggi tersebut berada di dekat atau terlintasi oleh jalan raya (dalam hal ini jalan arteri primer, kolektor primer dan kolektor). Ini menjadi bukti bahwa aspek aksesibilitas menjadi komponen penentu yang dominan dalam penentuan desa berhirarki tinggi di Kabupaten Majalengka. Di lihat dari segi perkembangan wilayah pun, desa-desa yang memiliki aksesibilitas yang relatif tinggi tersebut secara faktual mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih pesat. Hal ini sebabkan lebih mudahnya terjadi interaksi aktivitas ekonomi dengan wilayah lain jika dibandingkan dengan desa-desa yang memiliki aksesibilitas yang rendah.
44
Gambar 11 Peta hasil skalogram tingkat fasilitas pelayanan dan aksebilitas 5.5 Arahan Wilayah Pengembangan Industri Kecil Berbasis Komoditas Unggulan Pertanian dan Wilayah Pengembangan Komoditasnya Dalam penentuan wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan di Kabupaten Majalengka, didekati dengan konsep pewilayahan nodal. Konsep wilayah nodal merupakan konsep wilayah fungsional dikotomis yang membagi wilayah menjadi dua komponen terpisah berdasarkan fungsinya dan memiliki sifat saling ketergantungan satu sama lain sebagai suatu sistem. Hal ini dilandasi atas pemikiran bahwa wilayah merupakan entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam satu kesatuan (Rustiadi et al. 2011). 5.5.1. Arahan Wilayah Pengembangan Industri Berdasarkan hasil analisis LQ terhadap jumlah unit tiap kelompok industri kecil yang ada di Kabupaten Majalengka, dapat ditentukan desa-desa yang terpilih
45 sebagai kandidat bagi wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian seperti tersaji pada Tabel 23. Tabel 23 Desa terpilih untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian Desa Maja Utara Maja Selatan Kareo Banjaran Talagawetan Talagakulon Sutawangi Ciborelang Mekarsari Jatitujuh Bantarwaru Kertajati Ligung
Kecamatan MAJA MAJA BANJARAN BANJARAN TALAGA TALAGA JATIWANGI JATIWANGI JATIWANGI JATITUJUH LIGUNG KERTAJATI LIGUNG
Basis Desa 1 1 1 1 1 1 2 2 2 3 3 3 3
Leuwimunding Genteng Gandu Kadipaten Dawuan Cikoneng Pasirmuncang Tonjong Majalengka Kulon Majalengka Wetan Kawunggirang Sukasari Kidul Kalapadua
Kecamatan LEUWIMUNDING DAWUAN DAWUAN KADIPATEN DAWUAN SUKAHAJI PANYINGKIRAN MAJALENGKA MAJALENGKA MAJALENGKA MAJALENGKA ARGAPURA LEMAHSUGIH
Basis 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4
Ket : 1=jagung, 2=kedelai, 3=mangga, 4=pisang
Berdasarkan letak geografisnya, dapat diidentifikasi bahwa beberapa desa pengembangan industri terletak di antara dua wilayah pengembangan komoditas, sehingga dengan kondisi yang demikian memungkinkan untuk diarahkan lebih lanjut menjadi inti wilayah bagi lebih dari satu hinterland. Selain itu, terdapat beberapa desa pengembangan industri yang mengelompok, sehingga dapat diarahkan lebih lanjut menjadi kawasan industri berupa gabungan dari beberapa desa pengembangan industri. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena adanya aspek spatial contiguity. Aspek spatial contiquity adalah kecenderungan yang terjadi dari dua wilayah yang bersebelahan secara kontinyu, sehingga secara agregat menjadi satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan menimbulkan keterkaitan spasial (spatial linkages) (Rustiadi et al. 2011). Untuk komoditas pisang, hubungan antara desa pengembangan industri sebagai inti wilayah dan wilayah pengembangan komoditas sebagai hinterland tidak dapat memenuhi aspek spatial compactness (kecenderungan wilayah untuk mendekati bentuk-bentuk lingkaran sempurna). Hal ini disebabkan letak geografis tersebut yang berada di daerah perbukitan yang terjal dan bersebelahan dengan kawasan lindung (lereng Gunung Ciremai di sebelah timur dan lereng Gunung Cakrabuana di sebelah barat daya) sehingga sebagian wilayahnya terfragmentasi secara spasial (spatialy fragmented). Dengan demikian, maka arahan wilayah pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan menjadi tujuh wilayah dalam tingkat desa dan sembilan wilayah dalam bentuk kawasan seperti yang disajikan pada Tabel 24, Tabel 25 dan Gambar 12.
46
Gambar 12 Peta arahan wilayah pengembangan industri Tabel 24 No
Arahan desa pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian Desa/KECAMATAN Desa pengembangan industri kecil
1 Kertajati (KERTAJATI) 2 Jatitujuh (JATITUJUH) 3 Leuwimunding (LEUWIMUNDING) 4 Cikoneng (SUKAHAJI) 5 Kawunggirang (MAJALENGKA) 6 Sukasari Kidul (ARGAPURA) 7 Kalapadua (LEMAHSUGIH) Ket : ( ) kecamatan
Komoditas Basis Mangga Mangga Mangga Mangga-Kedelai Mangga-Jagung Pisang Pisang-Jagung
47 Tabel 25 No A B C D E
Arahan kawasan pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian Desa/KECAMATAN
Bantarwaru dan Ligung (LIGUNG) Sutawangi, Ciborelang dan Mekarsari (JATIWANGI) Genteng dan Gandu (DAWUAN) Kadipaten (KADIPATEN) dan Dawuan (DAWUAN) Pasirmuncang (PANYINGKIRAN), Majalengka Kulon dan Majalengka Wetan (MAJALENGKA) dan Tonjong (TONJONG) F Maja Utara dan Maja Selatan (MAJA) G Talagawetan dan Talagakulon (TALAGA) H Kareo dan Banjaran (BANJARAN) Ket : ( ) kecamatan
Komoditas Basis Mangga Mangga-Kedelai Mangga Mangga angga Mangga Jagung-Pisang Jagung Jagung
5.5.2. Arahan wilayah Pengembangan Komoditas Unggulan Pertanian
Gambar 13 Peta prioritas lahan pengembangan komoditas jagung
48 Berdasarkan kriteria prioritas pengembangan komoditas (lihat pada Bab 3 Metodologi Penelitian : Metode Analisis Data) dapat ditentukan sebaran spasial dan luas lahan untuk pengembangan tiap komoditas unggulan terpilih. Untuk Komoditas jagung diidentifikasi bahwa lahan pengembangan komoditas jagung yang terluas berada di Kecamatan Malausma (4717 ha), sedangkan berdasarkan prioritasnya, lahan yang termasuk prioritas 1 terluas berada di Kecamatan Cingambul (1072 ha) (Gambar 13). Sebaran spasial dan luas lahan untuk pengembangan komoditas mangga tersaji pada Gambar 14. Prioritas pengembangan komoditas mangga terluas berada di kecamatan Kertajati (8572 ha), sedangkan prioritas 1 berada di 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Kertajati, Jatitujuh, ligung dan Sumberjaya. Khusus untuk Kecamatan Sindang, walaupun termasuk wilayah pengembangan komoditas mangga tetapi tidak ada lahan yang diprioritaskan. hal ini karena berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan (lihat pada Gambar 7) seluruh wilayahnya termasuk kelas tidak sesuai (N) dengan faktor pembatas curah hujan dan tingkat kelerengan.
Gambar 14 Peta prioritas lahan pengembangan komoditas mangga
49 Sebaran spasial dan luas lahan untuk pengembangan komoditas kedelai tersaji pada Gambar 15. Pengembangan komoditas kedelai hanya berada di satu kecamatan, yaitu kecamatan Jatiwangi. Hampir seluruh wilayah di kecamatan tersebut merupakan prioritas 1 dan hanya 81 Ha yang terkelompokkan dalam prioritas 2. Hal ini disebabkan secara umum Kecamatan Jatiwangi memiliki kualitas lahan yang sama berdasarkan karakteristik yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan. Lahan yang termasuk Prioritas 2 dalam evaluasi kesesuaian lahan (lihat pada Gambar 8) termasuk kedalam kelas S3 (sesuai marjinal) yang disebabkan oleh relatif tingginya curah hujan di lahan tersebut.
Gambar 15 Peta prioritas lahan pengembangan komoditas kedelai Sebaran spasial dan luas lahan untuk pengembangan komoditas pisang tersaji pada Gambar 16. Kecamatan Argapura dan Kecamatan Lemahsugih merupakan kecamatan-kecamatan yang berada di lereng gunung (Gunung Ciremai dan Gunung Cakrabuana) sehingga bertopologi perbukitan dengan dengan lereng yang cukup terjal (lihat Gambar 4).Oleh karena itu, prioritas pengembangan untuk komoditas pisang terluas adalah prioritas 3 dengan kelas kesesuaian S3 (sesuai marjinal) dengan faktor pembatas utama adalah tingkat kelerengan (lihat pada
50 Gambar 9). Sementara itu,lahan-lahan pengembangan yang termasuk dalam prioritas satu dan dua pada umumnya berada di daerah-daerah sekitar atau dekat dengan sungai.
Gambar 16 Peta prioritas lahan pengembangan komoditas Pisang 5.5.3.
Arahan Prioritas Progam Pembangunan untuk Pengembangan Industri Penentuan arahan prioritas program pembangunan untuk pengembangan sektor industri berbasis komoditas unggulan pertanian yang melibatkan semua stakeholder didekati melalui proses penjaringan persepsi. Berdasarkan hasil tabulasi dari jawaban responden, dapat diketahui bahwa keberadaan industri kecil pengolahan hasil pertanian saat ini, sebanyak 17% responden menilai cukup berkembang, 72% responden menilai kurang berkembang, dan 11% responden menilai sangat kurang berkembang. Kemudian, apabila dibandingkan dengan perkembangan kelompok industri kecil yang lain, 22% responden menilai bahwa industri kecil pengolahan hasil pertanian berkembang lebih baik, 67% responden menilai sama dan hanya 11% yang beranggapan lebih buruk dari perkembangan kelompok industri lain.
51 Dalam kaitannya dengan faktor penyebab terhambatnya perkembangan industri kecil pengolahan hasil pertanian, responden beranggapan bahwa hal tersebut disebabkan oleh pemasaran produk yang sulit (36%), kurangnya modal usaha (31%), peralatan produksi yang tidak memadai (17%), kurangnya ketersediaan bahan baku yang murah (8%), tenaga kerja yang tidak terampil (6%), dan adanya produk pesaing (6%). Sementara itu, metode pemasaran produk yang dilakukan oleh industri kecil pengolahan hasil pertanian selama ini, 44% responden menjawab dilakukan dengan menjual ke konsumen secara langsung (direct selling), 17% menjawab dengan menitipkan/menjual produk ke toko atau pasar, 17% menjual produk ke bandar/pengumpul, 14% hanya melayani permintaan untuk event khusus (pameran, bazzar, dan lain-lain), dan 8% membuat produk berdasarkan pesanan. Berdasarkan hasil persepsi reponden tersebut, dapat diketahui bahwa: 1) industri kecil pengolahan hasil pertanian masih dianggap kurang berkembang dibandingkan dengan industri yang sama di wilayah lain dan memiliki tingkat perkembangan yang sama dengan kelompok industri kecil lain; 2) hambatan utama perkembangannya adalah kesulitan memasarkan produk dan kekurangan permodalan usaha; 3) pemasaran produk yang dilakukan oleh industri kecil pengolahan hasil pertanian sebagian besar dilakukan dengan cara menjual langsung ke konsumen dan sangat minim menggunakan jasa pihak ke-3 (toko, agen pemasaran, event perdagangan, dan lain-lain). Dalam kaitannya dengan program pembangunan untuk pengembangan sektor industri kecil berbasis komoditas unggulan pertanian, persepsi stakeholder diarahkan kepada aspek-aspek yang dianggap perlu untuk disertakan dan perlu diperhatikan dalam perencanaan pengembangan sektor industri dimaksud. Prioritas 1 arahan program pembangunan untuk masing-masing aspek tersaji pada Tabel 26. Tabel 26
Hasil analisis MCDM-TOPSIS prioritas program pembangunan
No Aspek 1 Produksi dan pendukungnya 2
Teknik dan manajemen usaha
3
Pemasaran dan kemitraan usaha Promosi produk Legalitas usaha
4 5
Prioritas 1 Ketersediaan bahan baku murah dan mudah Pelatihan teknis pengelolaan keuangan perusahaan Pelatihan teknis pemasaran Fasilitasi promosi mandiri Fasilitasi perijinan usaha
R.U.V 0.71 0.53 0.65 0.77 0.89
R.U.V = Ranking Unit Value
6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Dari hasil analisis dan pembahasan serta dengan memperhatikan kaitannya dengan tujuan penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
52 1) Di Kabupaten Majalengka, kecamatan yang unggul secara komparatif kompetitif untuk komoditas jagung sebanyak 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Bantarujeg, Malausma, Cingambul, Talaga, Banjaran, Maja. Komoditas mangga unggul di 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Majalengka, Cigasong, Kadipaten, Kasokandel, Dawuan, Kertajati, Jatitujuh, Ligung, Sumberjaya, Leuwimunding, Panyingkiran, Sukahaji dan Sindang. komoditas kedelai unggul di satu kecamatan yaitu Kecamatan Jatiwangi. Komoditas pisang unggul di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lemahsugih dan Argapura. Sementara itu, untuk komoditas melinjo tidak ada satu pun kecamatan yang unggul. 2) Potensi fisik lahan yang sesuai untuk komoditas jagung, mangga, kedelai dan pisang secara berurutan adalah 80.60%, 58.87% ,80.26% dan 77.48 % dari wilayah Kabupaten Majalengka. 3) Desa basis industri kecil pengolahan hasil pertanian di Kabupaten Majalengka sebanyak 179 desa. 4) Berdasarkan tingkat fasilitas pelayanan dan aksebilitasnya dalam mendukung pengembangan industri kecil, desa di Kabupaten Majalengka yang temasuk dalam hirarki 1 sebanyak 44 desa. 5) Wilayah yang ditetapkan untuk pengembangan industri kecil berbasis komoditas unggulan terdiri atas tujuh desa yang diarahkan menjadi desa industri dan delapan kawasan industri yang merupakan gabungan dari beberapa desa industri. Arahan kebijakan untuk prioritas wilayah pengembangan komoditas unggulan pertanian berdasarkan kesesuaian fisik lahan dan keunggulan komparatifkompetitif wilayah sebagai berikut: (a) Lahan prioritas 1 untuk pengembangan komoditas jagung seluas 2728 Ha di lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Banjaran, Bantarujeg, Cingambul, Maja, dan Talaga; (b) Lahan prioritas 1 untuk pengembangan komoditas mangga seluas 15221 ha di lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Dawuan, Jatitujuh, Kertajati, Ligung, dan Sumberjaya; (c) Lahan prioritas 1 untuk mengembangan komoditas kedelai seluas 3328 Ha yang berlokasi di Kecamatan Jatiwangi; (d) Lahan Prioritas 1 untuk pengembangan komoditas pisang seluas 304 Ha di Kecamatan Lemahsugih. Program pembangunan untuk pengembangan sektor industri berbasis komoditas unggulan pertanian berdasarkan persepsi stakehoder diarahkan kepada upaya-upaya untuk: (a) menjamin ketersediaan dan kontinuitas bahan baku industri (dalam hal ini komoditas unggulan pertanian); (b) memberikan pengetahuan dan keterampilan pengelolaan keuangan perusahaan; (c) memberikan pengetahuan dan keterampilan promosi produk; (d) memberikan pengetahuan dan keterampilan pemasaran produk secara mandiri; (e) adanya kemudahan dan insentif dalam pengurusan perijinan dan operasional usaha. 6.2 Saran Beberapa saran yang dapat disumbangkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Dalam mengembangkan komoditas unggulan pertanian, identifikasi keunggulan komparatif-kompetitif komoditas pertanian di suatu wilayah perlu didukung oleh evaluasi kesesuaian fisik lahan baik aktual maupun potensial.
53 Dengan demikian, akan diperoleh hubungan positif antara keberminatan masyarakat dalam mengusahakan suatu komoditas (tercermin dari keunggulan komparatif-kompetitif) dengan tingkat kesesuaian lahan sehingga pada akhirnya keberlangsungan komoditas tersebut dapat terjaga. 2) Penelitian dapat dilanjutkan dengan mengkaji linkage antara sektor industri dengan sektor ekonomi lain untuk menciptakan keterkaitan sektoral menuju struktur ekonomi daerah yang kokoh.
DAFTAR PUSTAKA [Bappeda]. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Majalengka 20092013. Majalengka(ID): Pemerintah Kabupaten Majalengka. [Bappeda]. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011. Rencana Ruang dan Wilayah Kabupaten Majalengka 2011-2031. Majalengka (ID): Pemerintah Kabupaten Majalengka. [Bappeda]. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2012a. Data Sektoral Tahun 2012. Majalengka (ID): Pemerintah Kabupaten Majalengka. [Bappeda]. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2012b. Indikator Ekonomi Daerah Kabupaten Majalengka 2012. Majalengka (ID): Pemerintah Kabupaten Majalengka. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 2008. Majalengka dalam Angka 2007. Majalengka (ID): BPS. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 2009. Majalengka dalam Angka 2008. Majalengka (ID): BPS. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 2010. Majalengka dalam Angka 2009. Majalengka (ID): BPS. [KUKM-Perindag]. Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Majalengka. 2013. Data Potensi Industri Kabupaten Majalengka 2012. Majalengka (ID): Pemerintah Kabupaten Majalengka. Anwar A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan: Tinjauan Kritis. Bogor (ID): P4W Press. Bowen, J.T. 2012. US Rural Economic Competitiveness by The Numbers: Data Mining, Analysis, and Web-Mapping. Elsevier Journal: Applied Geography 44: 403-412. Chiang S. 2008. Location Quotient and Trade. Journal: Springer-Verlaag 43:399414. Publised online:17 July 2008. Davis HC and Goldberg MA. 1972. Combining Intersectoral Flows and Shiftshare Techniques: A Hibrid Regional Forecasting Model. Journal:The Annals of Regional Science 6 (1): 106-115. USA (ID):University of British Columbia. Djaenudin D, Marwan H, Subagjo H, dan Hidayat A. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Bogor (ID):Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Hardjowigeno S. 1994. Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Pertanian, Daerah Rekreasi dan Bangunan. Bogor.
54 Hardjowigeno S. dan Widiatmaka 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan.Yogjakarta (ID): Gajah Mada University Press. Jahanshahloo, GR, Lotfi FH and Davoodi AR. 2009. Extention of TOPSIS for Decision-Making Problems with Interval Data: Interval Eficiency. Journal: Mathematical and Computer Modelling 49:1137-1142. Lamarche RH, Srinath KP, and Ray DM. 2003. Correct Partitioning of Regional Growth Rates:Improvements in Shift-Share Theory. Journal:Canadian Journal of Regional Science/Revue canadenne des sciences regionales, XXVI (1):121141. Panuju DR dan Rustiadi E. 2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bogor (ID):Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumber daya Lahan. IPB. Rachmawati N. 2012. Pembangunan Subsektor Tanaman Bahan Makanan dalam Pengembangan Wilayah di Kabupaten Majalengka. [tesis]. Bogor (ID): Program Studi Perencanaan Wilayah. Sekolah Pascasarjana IPB. Rinaldi D. 2004. Analisis Pemilihan Lokasi Ibukota Kabupaten Solok Selatan. [tesis]. Padang (ID): Fakultas Pasacasarjana UNAND. Riyadi dan Bratakusumah D. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Saefulhakim S. 2004. Permodelan. Analisis Kuantitatif Sosial Ekonomi Spasial. Bogor (ID): Program Studi Perencanaan Wilayah. Sekolah Pascasarjana IPB. Shih H, Shyur HJ and Lee ES. 2007. An Extension of TOPSIS for Group Decision Making. Journal: Mathematical and Computer Modelling 45: 801813. Simanaviciene R. and Ustinovichius L. 2010. Sensitive Analysis for Multiple Criteria Decision Making Method: TOPSIS and SAW. Journal: Procedia Social and Behavioral Sciences 2: 7743-7744. Sitorus SRP. 2012. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Makalah Kuliah Umum Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Bogor (ID): Program Studi Perencanaan Wilayah. Sekolah Pascasarjana. IPB. Tarigan R. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta (ID):BumiAksara. Zhang H. 2011. The Evaluation of Tourism Destination Competitiveness by TOPSIS dan Information Entropy – A Case in The Yangtze River Delta of China. Journal: Tourism Management 32(2): 443–451.
LAMPIRAN Lampiran 1
55
Hasil analisis LQ industri DESA
n
LQ
ARGAPURA (88 unit) ARGALINGGA CIBUNUT
DESA
n
LQ
DESA
BATUJAYA
5
0.65
MANDAPA
1
0.65
CICENANG
13
1.30
PASIRMALATI
n
LQ
4 0.43 15 1.77
52
2.50
CIGASONG
7
0.48
SALAWANA
6 0.43
CIKARACAK
4
1.73
KARAYUNAN
0
0.00
SINARJATI
2 0.65
GUNUNGWANGI
3
1.95
KAWUNGHILIR
6
1.73 JATITUJUH (124 unit)
HEUBEULISUK
1
0.22
KUTAMANGGU
6
0.29
BABAJURANG
2 1.04
MEKARWANGI
1
0.65
SIMPEUREUM
2
0.26
BIYAWAK
3 0.52
SADASARI
7
2.28
TAJUR
3
1.56
JATIRAGA
2 0.14
SAGARA
1
1.30
TENJOLAYAR
13
1.30
JATITENGAH
12 1.36
SUKADANA
5
2.60 CIKIJING (148 unit)
JATITUJUH
16 1.73
SUKASARI KALER
3
0.87
BAGJASARI
3
2.60
PANGKALANPARI
12 2.08
SUKASARI KIDUL 10
1.73
BANJARANSARI
9
1.46
PANONGAN
8 1.49
BANJARAN (139 unit)
CIDULANG
23
1.13
PANYINGKIRAN
1 0.65
BANJARAN
8
1.39
CIKIJING
36
1.99
PASINDANGAN
1 0.65
CIMEONG
13
2.11
CILANGCANG
4
2.08
PILANGSARI
1 0.11
DARMALARANG
10
1.73
CIPULUS
2
1.73
PUTRIDALEM
2 2.60
GENTENG
14
1.10
CISOKA
12
1.84
RANDEGAN KULON 52 2.41
9
1.80
JAGASARI
14
2.14
RANDEGAN WETAN
6 1.73
GIRIMULYA HEGARMANAH
28
2.43
KANCANA
4
0.22
SUMBER KULON
4 0.55
KAGOK
9
1.56
KASTURI
8
1.16
SUMBER WETAN
2 2.60
KAREO
5
2.17
SINDANG
8
1.30 JATIWANGI (88 unit)
PANYINDANGAN
3
1.56
SINDANGPANJI
4
0.42
ANDIR
SANGIANG
5 2.17
13
2.11
SUKAMUKTI
11
0.30
BURUJUL KULON
14 1.52
SINDANGPALA
7
1.65
SUKASARI
9
1.02
BURUJUL WETAN
10 0.44
SUNIA
9
1.38
SUNALARI
1
0.05
CIBENTAR
CIDADAP
2
0.35
CICADAS
0 0.00
SUNIABARU
11
2.20 CINGAMBUL 86 unit)
BANTARUJEG (99 unit)
CIBOLERANG
0 0.00 19 2.06
BABAKANSARI
1
0.11
CIKONDANG
5
2.60
JATISURA
9 1.56
BANTARUJEG
9
0.56
CIMANGGUGIRANG
1
0.87
JATIWANGI
7 1.52
CIKIDANG
8
1.49
CINGAMBUL
0
0.00
LEUWENGGEDE
3 1.11
CIMANGGUHILIR
3
0.30
KONDANGMEKAR
12
2.60
LOJI
4 0.80
CINAMBO
1
0.87
MUKTISARI
1
0.87
MEKARSARI
3 1.11
CIPEUNDEUY
5
1.63
NEGARAKEMBANG
14
1.82
PINANGRAJA
0 0.00
GUNUNGLARANG
8
0.95
RAWA
51
2.60
SUKARAJA KULON
3 0.78
SUKARAJA WETAN
1 0.11
HAURGEULIS
13
1.69 DAWUAN (109 unit)
SALAWANGI
10
1.18
BALIDA
7
1.30
SILIHWANGI
4
0.52
BATU RUYUK
1
0.14 KADIPATEN (155 unit)
SINDANGHURIP
4
0.80
BOJONGCIDERES
5
0.42
BABAKAN ANYAR
4 2.08
SUKAMENAK
18
1.56
DAWUAN
44
1.73
CIPAKU
1 0.29
WADOWETAN
15
1.77
GANDU
11
1.24
HEULEUT
15 1.77
GENTENG
10
1.24
KADIPATEN
45 1.92
4
1.73
KARANGSAMBUNG 11 1.43
CIGASONG (59 unit) BARIBIS
4
0.45
KARANGANYAR
SUTAWANGI
10 1.63
56 Lampiran 1(lanjutan) DESA
n
LQ
DESA
n LQ
DESA
n
LQ
LIANGJULANG
16 1.66
SUKAJADI
20 1.06
KERTABASUKI
7 2.02
PAGANDON
23 1.93
SUKAMAJU
3 1.95
MAJA SELATAN
36 1.95
MAJA UTARA
15 1.30
KASOKANDEL (129 unit)
LEUWIMUNDING (120 unit)
GANDASARI
7 0.87
CIPARAY
0 0.00
MALONGPONG
7 2.02
GIRIMUKTI
19 0.87
HEULEUT
3 0.98
PAGERAJI
4 0.95
KARANGASEM
4 1.49
PANIIS
7 1.40
LAME
6 1.30
PASANGGRAHAN
4 0.87
GUNUNGSARI JATIMULYA JATISAWIT
7 1.14 15 0.39 2 0.87
LEUWIKUJANG
52 0.98
SINDANGKERTA
8 2.31
KASOKANDEL
10 0.63
LEUWIMUNDING
16 1.66
TEGALSARI
1 0.52
LEUWIKIDANG
12 1.49
MINDI
0 0.00
WANAHAYU
0 0.00
RANJIKULON
11 0.39
MIRAT
RANJIWETAN WANAJAYA
9 1.06
NANGGERANG
1 0.07
BABAKAN JAWA
9 1.95
37 1.82
PARUNGJAYA
1 0.65
CIBODAS
4 2.60
PATUANAN
0 0.00
CICURUG
12 2.40
0 0.00
CIJATI
5 2.17
1 0.43
CIKASARUNG
3 2.60
KAWUNGGIRANG
4 2.60
KULUR
8 2.60
KERTAJATI (103 unit) BABAKAN
9 0.94
RAJAWANGI
BANTARJATI
2 0.87
TANJUNGSARI
KERTAJATI
9 1.46 LIGUNG
KERTASARI
3 0.60
AMPEL
KERTAWINANGUN
5 1.44
BANTARWARU
MEKARJAYA
36 2.34 MAJALENGKA (76 unit)
37 3 1.11 12 1.95
MAJALENGKA KULON
10 2.60
11 0.99
BEBER
1 0.29
MAJALENGKA WETAN
2 2.60
MEKARMULYA
2 0.65
BEUSI
2 0.29
MUNJUL
5 2.60
PAKUBEUREUM
20 1.58
BUNTU
0 0.00
SIDAMUKTI
1 0.87
CIBOGOR
1 0.08
SINDANGKASIH
1 2.60
GANDAWESI
0 0.00
TARIKOLOT
7 2.60
KEDUNG KANCANA
0 0.00
TONJONG
5 2.60
PALASAH
5 0.72
PASIRIPIS
14 1.40
SUKAKERTA
4 0.95
SUKAMULYA
13 1.54
KERTASARI
2 0.08 MALAUSMA (106 unit)
SUKAWANA
6 1.95
KODASARI
2 1.30
BANYUSARI
LEMAHSUGIH (178 unit)
5 0.62
LEUWEUNGHAPIT
0 0.00
BUNINAGARA
17 1.58
BANGBAYANG
3 0.98
LEUWILIANGBARU
1 0.52
CIMUNCANG
8 1.04
BOROGOJOL
9 1.56
LIGUNG
3 1.95
CIRANCA
5 1.63
CIBULAN
7 1.65
LIGUNG LOR
0 0.00
JAGAMULYA
4 1.73
CIGALEUH
24 1.22
MAJASARI
6 0.74
LEBAKWANGI
CIPASUNG
9 1.38
TEGALAREN
0 0.00
MALAUSMA
15 1.63
KALAPADUA
9 1.38
WANASALAM
4 2.08
SUKADANA
46 2.17
WERASARI
5 0.62
KEPUH
15 1.86 MAJA (159 unit)
LEMAH PUTIH
21 2.28
MARGAJAYA
7 0.87
ANGGRAWATI
3 0.98 PALASAH (246 unit)
BANJARAN
8 2.60
BUNIWANGI
13 0.94
CENGAL
28 2.43
CISAMBENG
103 2.46
12 2.40
ENGGALWANGI
MEKAR WANGI
14 1.30
MEKARMULYA
6 1.73
CICALUNG
PADAREK
1 0.52
33 0.98
3 0.46
CIEURIH
3 2.60
KARAMAT
0 0.00
SADAWANGI
14 1.92
CIHAUR
13 1.78
MAJASUKA
4 1.04
SINARGALIH
14 2.02
CIPICUNG
3 2.60
PALASAH
28 1.40
57 Lampiran 1 (lanjutan) DESA PASIR
n LQ
DESA
n
LQ
DESA
n
LQ
28 0.98
LENGKONG WETAN
1
0.05
LAMPUYANG
4 2.60
SINDANGHAJI
1 0.01
LEUWILAJA
6
0.07
MARGAMUKTI
6 1.20
SINDANGWASA
9 0.65
PADAHERANG
5
1.00
MEKARRAHARJA
5 0.41
TARIKOLOT
6 0.25
SINDANGWANGI
1
2.60
SALADO
7 2.60
TRAJAYA
0 0.00
UJUNGBERUNG
6
0.92
SUKAPERNA
6 2.60
BABAKAN MANJETI
2
0.26
CANDRAJAYA
9
1.80
17 2.60
CIKALONG
6
1.73
Keterangan :
BONANG
8 0.77
CIKEUSIK
n = Jumlah industri
CIJUREY
12 1.95
WARINGIN WERAGATI
18 0.84 SUKAHAJI (48 unit) 3 0.14
PANYINGKIRAN (90 unit) BANTRANGSANA
CIKONENG
0
0.00
12
2.40
JATIPAMOR
5 0.57
JAYI
0
0.00
JATISERANG
3 0.87
NANGGEWER
1
0.11
KARYAMUKTI
3 0.65
PADAHANTEN
5
1.18
LEUWISEENG
18 2.34
PALABUAN
6
1.30
PANYINGKIRAN
13 1.25
SALAGEDANG
0
0.00
PASIRMUNCANG
11 2.20
SUKAHAJI
5
1.63
TANJUNGSARI
2
0.23
11
0.52
RAJAGALUH (103 unit) BABAKANKAREO
1 1.30 SUMBERJAYA (122 unit)
CIPINANG
8 1.09
BANJARAN
CISETU
8 0.23
BONGAS KULON
3
0.65
KUMBUNG
3 0.14
BONGAS WETAN
3
0.34
PAYUNG
0 0.00
CIDENOK
1
0.17
39 2.47
GARAWANGI
2
0.25
3 0.43
LOJIKOBONG
5
1.30
7 2.28
RAJAGALUH RAJAGALUH KIDUL RAJAGALUH LOR
PANINGKIRAN
48
1.64
SADOMAS
22 1.68
PANJALIN KIDUL
13
0.87
SINGAWADA
12 1.84
PANJALIN LOR
3
0.11
PARAPATAN
14
0.77
RANCAPUTAT
6
2.23
SEPAT
8
1.89
SUMBERJAYA
5
0.48
TEJA
0 0.00
SINDANG (58 unit) BAYUREJA
33 2.60
GUNUNG KUNING
5 0.43
INDRAKILA
0 0.00 TALAGA (216 unit)
PASIRAYU
1 0.43
ARGASARI
2
2.60
SANGKANHURIP
8 0.95
CAMPAGA
4
1.49
CIBEUREUM
5
1.63
CICANIR
3
1.11
SINDANG
11 0.87
SINDANGWANGI (88 unit) BALAGEDOG
2 0.15
CIKEUSAL
6
2.60
BANTAR AGUNG
16 2.19
GANEAS
11
2.38
BUAHKAPAS
34 0.97
GUNUNGMANIK
4
0.87
JERUKLEUEUT
13 0.52
JATIPAMOR
12
2.40
4 0.19
KERTAHAYU
1
2.60
LENGKONG KULON
TALAGAKULON
39 2.07
TALAGAWETAN
101 2.24
58 Lampiran 2 Nilai differential shift, proporsional shift dan regional share luas lahan tiap komoditas terpilih No 1
Kecamatan LEMAHSUGIH
Differential shift Jagung Mangga Kedelai Pisang Melinjo -0.27 -0.06 -0.09 0.10 0.08
2/3
BANTARUJEG, MALAUSMA
-0.13
-0.07
-0.66
-0.30
0.22
4 5 6 7 8 9 10 11
CIKIJING CINGAMBUL TALAGA BANJARAN ARGAPURA MAJA MAJALENGKA CIGASONG
-0.72 -0.18 0.00 4.43 -0.68 0.02 0.22 0.21
0.54 0.24 -0.15 -0.15 -0.18 0.02 -0.08 -0.17
-0.68 -0.68 -0.50 -0.68 -0.68 -0.68 0.04 0.32
-0.63 -0.07 -0.11 -0.26 0.45 0.47 -0.16 -0.27
0.19 -0.22 -0.11 0.03 -0.14 -0.03 -0.14 0.23
12/13
SUKAHAJI, SINDANG
3.33
-0.16
-0.46
-0.07
0.12
14 16 17 18
RAJAGALUH LEUWIMUNDING PALASAH JATIWANGI
-0.42 -0.30 9.70 0.70
-0.16 -0.16 -0.19 -0.18
-0.68 -0.48 -0.21 1.75
-0.10 -0.12 -0.17 -0.11
-0.20 0.20 -0.01 0.07
DAWUAN, KASOKANDEL
0.25
-0.12
0.01
-0.13
-0.16
3.70 -1.27 2.32 0.15 13.70 -1.10
1.30 -0.15 -0.14 -0.13 -0.15 -0.14
0.30 0.23 -0.16 0.32 0.03 0.00
0.96 -0.11 0.62 -0.24 -0.10 -0.27
-0.30 -0.30 -0.30 0.18 -0.27 0.59
0.16
0.05
-0.44
-0.08
-0.82
19/20
21 22 23 24 25 26
PANYINGKIRAN KADIPATEN KERTAJATI JATITUJUH LIGUNG SUMBERJAYA
Proportional Shift Regional Share = 0.12
Ket: Komoditas yang memiliki daya saing positif Sumber : Diolah dari BPS (2008) dan Bappeda (2012a)
59 Lampiran 3
Hasil analisis skalogram
DESA
IH
H
ARGAPURA
DESA WADOWETAN
ARGALINGGA
59.46 3 CIGASONG
ARGAMUKTI
25.16 3
BARIBIS
CIBUNUT
47.29 3
CIKARACAK
41.10 3
GUNUNGWANGI
IH
H
DESA
IH
H
55.06 3 DAWUAN BALIDA
57.63 3
58.79 3
BATURUYUK
65.64 2
BATUJAYA
55.47 3
BOJONGCIDERES
91.76 1
CICENANG
64.56 2
DAWUAN
91.59 1
52.64 3
CIGASONG
77.49 1
GANDU
76.53 1
HAURSEAH
54.68 3
KARAYUNAN
58.20 3
GENTENG
70.72 1
HEUBEULISUK
52.95 3
KAWUNGHILIR
57.81 3
KARANGANYAR
61.89 2
MEKARWANGI
62.17 2
KUTAMANGGU
61.51 2
MANDAPA
70.75 1
SADASARI
59.00 3
SIMPEUREUM
65.02 2
PASIRMALATI
54.00 3
SAGARA
56.51 3
TAJUR
60.83 2
SALAWANA
57.12 3
SUKADANA
53.92 3
TENJOLAYAR
58.73 3
SINARJATI
81.85 1
SUKASARI KALER
63.51 2 CIKIJING
JATITUJUH
SUKASARI KIDUL 70.38 1
BAGJASARI
55.42 3
BABAJURANG
54.05 3
TEJAMULYA
BANJARANSARI
62.56 2
BIYAWAK
55.36 3
50.31 3
BANJARAN
CIDULANG
66.42 2
JATIRAGA
58.29 3
BANJARAN
77.44 1
CIKIJING
79.95 1
JATITENGAH
61.64 2
CIMEONG
60.95 2
CILANGCANG
57.06 3
JATITUJUH
68.70 1
DARMALARANG
59.06 3
CIPULUS
55.50 3
PANGKALANPARI
58.01 3
GENTENG
56.80 3
CISOKA
54.41 3
PANONGAN
56.74 3
GIRIMULYA
56.54 3
JAGASARI
56.50 3
PANYINGKIRAN
56.00 3
HEGARMANAH
56.10 3
KANCANA
57.02 3
PASINDANGAN
50.62 3
KAGOK
55.57 3
KASTURI
65.31 2
PILANGSARI
54.68 3
KAREO
79.22 1
SINDANG
59.77 3
PUTRIDALEM
52.84 3
PANYINDANGAN
58.31 3
SINDANGPANJI
60.99 2
RANDEGAN KULON 51.60 3
SANGIANG
58.85 3
SUKAMUKTI
75.77 1
RANDEGAN WETAN 51.99 3
SINDANGPALA
55.42 3
SUKASARI
58.49 3
SUMBER KULON
54.89 3
SUNIA
56.53 3
SUNALARI
55.45 3
SUMBER WETAN
54.88 3
SUNIABARU
53.72 3 CINGAMBUL
BANTARUJEG
JATIWANGI
CIDADAP
53.95 3
ANDIR
64.30 2
BABAKANSARI
61.86 2
CIKONDANG
61.94 2
BURUJUL KULON
61.16 2
BANTARUJEG
78.18 1
CIMANGGUGIRANG 66.26 2
BURUJUL WETAN
60.01 3
CIKIDANG
53.44 3
CINGAMBUL
64.16 2
CIBENTAR
58.48 3
CIMANGGUHILIR 45.43 3
CINTAASIH
56.62 3
CIBORELANG
76.41 1
CINAMBO
56.66 3
CIRANJENG
65.32 2
CICADAS
66.13 2
CIPEUNDEUY
60.02 3
KONDANGMEKAR
59.73 3
JATISURA
63.00 2
GUNUNGLARANG 55.00 3
MANIIS
62.34 2
JATIWANGI
59.95 3
HAURGEULIS
54.66 3
MUKTISARI
58.81 3
LEUWENGGEDE
60.76 2
SALAWANGI
56.45 3
NAGARAKEMBANG
60.09 3
LOJI
66.68 2
SILIHWANGI
53.79 3
RAWA
57.35 3
MEKARSARI
80.16 1
SINDANGHURIP
52.94 3
SEDARAJA
55.73 3
PINANGRAJA
59.56 3
SUKAMENAK
57.38 3
WANGKELANG
55.93 3
SUKARAJA KULON
66.57 2
60 Lampiran 3 (lanjutan) DESA
IH
H
DESA
IH
H
DESA
IH
H
SUKARAJA WETAN
67.18 2
CIPASUNG
58.34 3
LIGUNG LOR
80.87 1
SURAWANGI
60.79 2
KALAPADUA
70.96 1
MAJASARI
57.07 3
SUTAWANGI
83.32 1
KEPUH
58.17 3
SUKAWERA
54.91 3
LEMAH PUTIH
68.03 2
TEGALAREN
54.11 3
WANASALAM
68.23 2
KADIPATEN BABAKAN ANYAR
58.31 3
MARGAJAYA
66.72 2
CIPAKU
69.66 1
MEKAR WANGI
62.34 2 MAJA
HEULEUT
56.34 3
MEKARMULYA
56.18 3
ANGGRAWATI
52.79 3
KADIPATEN
69.28 1
PADAREK
66.91 2
BANJARAN
60.81 2
KARANGSAMBUNG 60.00 3
SADAWANGI
62.78 2
CENGAL
51.66 3
LIANGJULANG
65.43 2
SINARGALIH
57.61 3
CICALUNG
63.29 2
PAGANDON
55.17 3
SUKAJADI
58.04 3
CIEURIH
53.43 3
SUKAMAJU
53.72 3
CIHAUR
59.98 3
CIPICUNG
56.19 3
KASOKANDEL GANDASARI
65.47 2 LEUWIMUNDING
GIRIMUKTI
57.68 3
CIPARAY
58.98 3
KERTABASUKI
63.29 2
GUNUNGSARI
61.63 2
HEULEUT
55.80 3
MAJA SELATAN
83.36 1
JATIMULYA
55.98 3
KARANGASEM
58.63 3
MAJA UTARA
68.91 1
JATISAWIT
58.92 3
LAME
59.66 3
MALONGPONG
55.62 3
KASOKANDEL
62.88 2
LEUWIKUJANG
64.31 2
NUNUK BARU
50.24 3
LEUWIKIDANG
61.50 2
LEUWIMUNDING
68.92 1
PAGERAJI
53.01 3
RANJIKULON
55.91 3
MINDI
54.85 3
PANIIS
59.59 3
RANJIWETAN
53.80 3
MIRAT
55.98 3
PASANGGRAHAN
54.42 3
WANAJAYA
56.37 3
NANGGERANG
60.52 2
SINDANGKERTA
57.03 3
PARAKAN
58.10 3
TEGALSARI
57.01 3
WANAHAYU
54.60 3
KERTAJATI BABAKAN
69.28 1
PARUNGJAYA
60.25 3
BANTARJATI
62.55 2
PATUANAN
56.99 3 MAJALENGKA
KERTAJATI
68.47 1
RAJAWANGI
56.24 3
BABAKAN JAWA
64.55 2
KERTASARI
52.45 3
TANJUNGSARI
54.51 3
CIBODAS
41.27 3
CICURUG
57.20 3
KERTAWINANGUN 60.06 3 LIGUNG MEKARJAYA
59.85 3
AMPEL
57.77 3
CIJATI
60.85 2
MEKARMULYA
53.04 3
BANTARWARU
80.21 1
CIKASARUNG
66.75 2
PAKUBEUREUM
61.78 2
BEBER
71.28 1
KAWUNGGIRANG
69.07 1
PALASAH
59.66 3
BEUSI
58.80 3
KULUR
54.79 3
PASIRIPIS
55.82 3
BUNTU
60.03 3
MAJALENGKA KULON 79.88 1
SAHBANDAR
54.02 3
CIBOGOR
58.19 3
MAJALENGKA WETAN 86.73 1
SUKAKERTA
45.82 3
GANDAWESI
59.71 3
MUNJUL
66.54 2
SUKAMULYA
51.95 3
KEDUNGKANCANA 57.88 3
SIDAMUKTI
55.28 3
SUKAWANA
60.65 2
KEDUNGSARI
57.55 3
SINDANGKASIH
60.18 3
LEMAHSUGIH
KERTASARI
51.67 3
TARIKOLOT
62.92 2
BANGBAYANG
52.54 3
KODASARI
56.71 3
TONJONG
71.57 1
BOROGOJOL
54.73 3
LEUWEUNGHAPIT
60.03 3 MALAUSMA
CIBULAN
57.17 3
LEUWILIANG BARU 57.14 3
BANYUSARI
54.55 3
CIGALEUH
53.60 3
LIGUNG
BUNINAGARA
60.72 2
80.95 1
61 Lampiran 3(lanjutan) DESA
IH
H
DESA
IH
H
DESA
IH
H
CIMUNCANG
54.50 3
SADOMAS
57.69 3
GARAWANGI
58.04 3
CIRANCA
51.43 3
SINDANGPANO
47.28 3
LOJI KOBONG
58.49 3
GIRIMUKTI
50.54 3
SINGAWADA
66.72 2
PANINGKIRAN
66.12 2
JAGAMULYA
65.84 2
TEJA
50.13 3
PANJALIN KIDUL 73.09 1
LEBAKWANGI
59.47 3 SINDANG
MALAUSMA
64.94 2
BAYUREJA
SUKADANA
55.90 3
GARAWASTU
WERASARI
55.71 3
PALASAH
PANJALIN LOR
51.84 3
53.50 3
PARAPATAN
74.06 1
53.25 3
RANCAPUTAT
67.96 2
GUNUNG KUNING
55.28 3
SEPAT
57.10 3
INDRAKILA
54.46 3
SUMBERJAYA
61.04 2
BUNIWANGI
65.06 2
PASIRAYU
67.04 2 TALAGA
CISAMBENG
53.25 3
SANGKANHURIP
56.86 3
ARGASARI
52.74 3
ENGGALWANGI
66.13 2
SINDANG
57.43 3
CAMPAGA
56.96 3
KARAMAT
57.01 3 SINDANGWANGI
CIBEUREUM
53.14 3
MAJASUKA
57.87 3
BALAGEDOG
52.98 3
CICANIR
56.41 3
PALASAH
63.18 2
BANTAR AGUNG
57.30 3
CIKEUSAL
60.84 2
PASIR
60.14 3
BUAHKAPAS
74.03 1
GANEAS
58.28 3
SINDANGHAJI
60.69 2
JERUKLEUEUT
58.08 3
GUNUNGMANIK 62.48 2
SINDANGWASA
59.37 3
LENGKONGKULON 60.10 3
JATIPAMOR
57.87 3
TARIKOLOT
60.29 3
LENGKONGWETAN 61.05 2
KERTARAHAYU
53.42 3
TRAJAYA
62.49 2
LEUWILAJA
58.50 3
LAMPUYANG
65.16 2
WARINGIN
63.34 2
PADAHERANG
55.23 3
MARGAMUKTI
49.91 3
WERAGATI
77.58 1
SINDANGWANGI
59.35 3
MEKARRAHARJA 55.28 3
UJUNGBERUNG
59.45 3
SALADO
54.32 3
PANYINGKIRAN BANTRANGSANA
58.29 3 SUKAHAJI
SUKAPERNA
60.99 2
BONANG
57.24 3
BABAKAN MANJETI 56.73 3
TALAGAKULON
74.00 1
CIJUREY
62.68 2
CANDRAJAYA
52.88 3
TALAGAWETAN
74.84 1
JATIPAMOR
59.81 3
CIKALONG
61.85 2
JATISERANG
58.93 3
CIKEUSIK
54.03 3
KARYAMUKTI
70.75 1
CIKONENG
74.04 1
Keterangan :
LEUWISEENG
57.86 3
CIOMAS
56.39 3
PANYINGKIRAN
60.86 2
JAYI
54.10 3
IH = Indeks Hirarki H = Hirarki
PASIRMUNCANG
73.81 1
NANGGEWER
52.63 3
PADAHANTEN
58.14 3
RAJAGALUH BABAKANKAREO
59.88 3
PALABUAN
54.91 3
CIPINANG
62.21 2
SALAGEDANG
59.21 3
CISETU
60.77 2
SUKAHAJI
62.55 2
KUMBUNG
59.93 3
TANJUNGSARI
62.98 2
PAJAJAR
57.87 3 SUMBERJAYA
PAYUNG
52.96 3
BANJARAN
59.47 3
RAJAGALUH
88.20 1
BONGAS KULON
61.68 2
RAJAGALUH KIDUL 64.60 2
BONGAS WETAN
60.95 2
RAJAGALUH LOR
CIDENOK
51.68 3
78.06 1
62 Lampiran 4
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Jagung (Zea mays)
Sumber : Djaenudin et al. (2011)
63 Lampiran 5 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Mangga (Mangifera indica)
Sumber : Djaenudin et al. (2011)
64 Lampiran 6 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Kedelai (Glycine max)
Sumber : Djaenudin et al. (2011)
65 Lampiran 7
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pisang (Musa acuminata)
Sumber : Djaenudin et al. (2011)
66 Lampiran 8
Hasil pengolahan MCDM-TOPSIS Aspek Produksi dan Pendukungnya Ketersediaan TK Terampil Kelayakan Ruang produksi Teknologi Pengolahan Ketersediaan Bahan Baku 0.00000
Series1
Ketersediaan Bahan Baku 0.70520
0.20000
Teknologi Pengolahan 0.26240
0.40000
0.60000
0.80000
Kelayakan Ruang Ketersediaan TK produksi Terampil 0.29736 0.47901
Aspek Manajemen Usaha Pengemasan Produksi Keuangan 0.42000
0.44000
0.46000
Keuangan 0.52543
Series1
0.48000
0.50000
0.52000
Produksi 0.46725
0.54000
Pengemasan 0.48403
Aspek Promosi Produk Promosi mandiri
Media promosi bersama Penyelenggaraan pameran 0.00000
Series1
Penyelenggaraan pameran 0.46410
0.20000
0.40000
0.60000
0.80000
Media promosi bersama
Promosi mandiri
0.20387
0.76698
Aspek Pemasaran Fasilitasi penjualan eceran Fasilitasi agen pemasaran Fasilitasi bapak angkat
Pelatihan pemasaran 0.00000
Series1
Pelatihan pemasaran 0.67973
0.20000
0.40000
Fasilitasi bapak angkat 0.43226
0.60000
Fasilitasi agen pemasaran 0.31346
0.80000
Fasilitasi penjualan eceran 0.37414
Aspek Legalitas Usaha Perlindungan usaha
Perijinan penjualan Perijinan usaha 0.00000 Series1
0.20000
Perijinan usaha 0.88524
0.40000 Perijinan penjualan 0.50000
0.60000
0.80000
Perlindungan usaha 0.15385
67 Lampiran 9 Peta status hutan di Kabupaten Majalengka
68
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Sumedang pada tanggal 10 Maret 1975, merupakan putra kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Hidayat Kusumadinata (alm) dan Djudju Djuariah. Penulis menikah dengan Lina Handayani dan telah dikaruniai 2 orang putri, Anisa Nurul Hakim dan Salma Nurul Aulia. Penulis memperoleh gelar sarjana Teknik Industri dari Universitas Jenderal Achmad Yani-Bandung (UNJANI) pada tahun 1999 dan melanjutkan jenjang S2 di Sekolah Pascasarjana IPB melalui beasiswa yang disponsori oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Republik Indonesia tahun anggaran 2012. Saat ini penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Seksi Perencanaan dan Fasilitasi Industri Bidang Perindustrian di Dinas Koperasi Usaha Kecil-Menengah Perindustrian dan Perdagangan (KUKM Perindag) Kabupaten Majalengka.