MEMPELAJARI PENERAPAN SANITASI DAN MUTU KEAMANAN PENGOLAHAN PINDANG IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) STUDI KASUS DI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN TRADISIONAL (PHPT) MUARA ANGKE JAKARTA UTARA
KURNIANTO PUDJI SANTOSO C340734001
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
MEMPELAJARI PENERAPAN SANITASI DAN MUTU KEAMANAN PENGOLAHAN PINDANG IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) STUDI KASUS DI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN TRADISIONAL (PHPT) MUARA ANGKE JAKARTA UTARA
Oleh: Kurnianto Pudji Santoso
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Penelitian
:
MEMPELAJARI PENERAPAN SANITASI DAN MUTU KEAMANAN PENGOLAHAN PINDANG IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) STUDI KASUS DI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN TRADISIONAL (PHPT) MUARA ANGKE JAKARTA UTARA.
Nama Mahasiswa
: KURNIANTO PUDJI SANTOSO
Nomor Pokok
: C34074001
Menyetujui : Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. NIP. 195911271986011005
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si. NIP. 197008071996032002
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil NIP. 195805111985031002
Tanggal pengesahan :
RINGKASAN KURNIANTO PUDJI SANTOSO. C34074001. Mempelajari Penerapan Sanitasi dan Mutu Keamanan Pengolahan Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Studi Kasus di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke Jakarta Utara. Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan TATI NURHAYATI. Wilayah Muara angke merupakan pusat kegiatan perikanan terpadu yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Di wilayah tersebut terdapat Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) yang merupakan merupakan kawasan untuk para pengolahan tradisional. Pemindangan ikan merupakan upaya pengolahan sekaligus pengawetan yang menggunakan metode penggaraman dan perebusan. Pengolahan tersebut dilakukan dengan merebus atau memanaskan ikan dalam suasana bergaram selama waktu tertentu di dalam suatu wadah. Kendala yang dihadapi para pengolah, yaitu: usaha dalam skala kecil, teknologi tradisional, sanitasi dan higiene kurang diperhatikan, sehingga mutu dan daya tahan ikan pindang menjadi kurang baik. Penelitian ini bertujuan mempelajari penerapan sanitasi pada produk pindang ikan tongkol di Muara Angke dan mempelajari mutu serta keamanan bahan baku dan produk pindang ikan tongkol dari Muara angke. Penerapan standar sanitasi yang dikaji pada penelitian ini meliputi: sanitasi bangunan, pintu, saluran pembuangan, keamanan air, es, garam, sanitasi permukaan yang kontak dengan produk, pencegahan kontaminasi silang, penanganan limbah, higiene pekerja, sanitasi peralatan dan perlengkapan, penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan, dan toilet, dan sanitasi pengendalian hama. Penelitian ini mengkaji aspek mutu serta keamanan produk pindang ikan tongkol baik secara mikrobiologi, fisik dan kimia. Proses pembuatan produk pindang ikan tongkol dari mulai penerimaan bahan baku hingga disribusi. Hasil Analisis yang dilakukan terhadap penerapan sanitasi, terjadi berbagai penyimpangan, yaitu: penyimpangan kritis sebanyak 10, penyimpangan serius 1, mayor 3 dan minor 2. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahan baku yang digunakan memiliki nilai sebesar 6,50-6,84 di bawah standar baku. Hasil uji TPC pada bahan baku dan produk ikan pindang masih ditemukan nilai TPC yang melebihi ambang batas yaitu sebesar 10,5 x 105 (bahan baku) dan nilai TPC pada produk ikan pindang semua melebihi ambang batas Selain itu, berdasarkan pengujian formalin masih ditemukan formalin pada bahan baku dan produk ikan pindang sebanyak 25% dari total sampel yang diuji.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Mempelajari Penerapan Sanitasi dan Mutu Keamanan Pengolahan Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Studi Kasus di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke Jakarta Utara” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Kurnianto Pudji Santoso C34074001
RIWAYAT HIDUP
Kurnianto Pudji Santoso dilahirkan di Kota Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 11 Juli 1974 sebagai anak kedua dari enam bersaudara, putra pasangan Bapak Suwarto, BA (Alm.) dan Ibu Kantini. Penulis lulus dari Akademi Penyuluhan Pertanian Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor.
Penulis diangkat
sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Pertanian pada tahun 1994, dan pada saat ini bertugas di Balai Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan Kelautan (BPMPHPK) Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2007 diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Alih Jenjang. Penulis melakukan penelitian yang berjudul “Mempelajari Penerapan Sanitasi dan Mutu Keamanan Pengolahan Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Studi Kasus di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke Jakarta Utara”. Penelitian yang dilakukan merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl,-Biol dan Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Mempelajari Penerapan Sanitasi dan Mutu Keamanan Pengolahan Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Studi Kasus di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke Jakarta Utara”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : (1)
Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.-Biol. selaku dosen pembimbing pertama atas pengarahan, perhatian dan masukan serta kesabarannya untuk membimbing penulis selama ini hingga mampu menyelesaikan skripsi ini.
(2)
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si. selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan, arahan, perhatian, nasehat, motivasi serta kesabarannya untuk membimbing penulis selama ini.
(3)
Ir. Djoko Poernomo selaku dosen penguji atas kritikan, masukan dan perbaikannya sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.
(4)
Istriku Indrayani atas segala sesuatu yang diberikan kepada penulis, doa restu dan semangat hidup yang selalu mengiringi langkah-langkah perjuangan. Anak-anak ku tercinta Aulia Rahma Fauzia dan Akmal Dzaki Khairullah atas semangat dan doa kepada penulis.
(5)
Bapak dan Ibu tercinta, yang telah memberikan doa tulus, kasih sayang, cinta, motivasi, dan nasehat kepada penulis selama ini. Semoga Allah memberkahi dan membalas lebih dari segala kebaikan tersebut.
(6)
Seluruh staf dan dosen-dosen THP terima kasih atas bimbingan dan ilmu-ilmu yang diberikan.
(7)
Teman seperjuangan Bayu, Irfan, Fu’ad dan
Ale terima kasih atas
kerjasama, saran, dan motivasi selama penelitian. (8)
Teman-teman THP 41, THP 42, THP 43 dan THP 44 terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.
(9)
Teman-teman di Wisma Villa Taman Cibanteng khususnya untuk Pak Jamili, M.Si dan Ibu Ari atas kebersamaannya dan kesehariaan selama di Bogor.
(10)
Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi. Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................
Hal i
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
iv
1. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian .................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
4
2.1. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Ethynus affinis) ..................
4
2.2. Ikan Pindang ........................................................................................
5
2.3. Kelayakan Dasar (Pre Requisite Programe) .......................................
7
3. METODOLOGI ........................................................................................ 11 3.1. Waktu dan Tempat .............................................................................. 11 3.2. Bahan dan Alat .................................................................................... 11 3.3. Prosedur Penelitian ............................................................................. 12 3.4. Analisis ................................................................................................ 13 3.4.1. Uji Organoleptik (SNI 01-4110.1-2006) .................................... 3.4.2. Uji Kimia .................................................................................... (1) Pengujian kadar histamin (SNI 235.10.2009) ....................... (2) Pengujian kadar TVB (SNI 01-4495-1998) .......................... (3) Pengujian formalin (Formaldehyde Test-Aquamerck) ......... 3.4.3. Uji mikrobiologi ......................................................................... (1) Pengujian TPC atau penentuan angka lempeng total (ALT) pada produk perikanan (SNI 01-2332.3-2006) ........... (2) Pengujian bakteri E. coli (SNI 01-2332.1- 2006) .................. (3) Pengujian bakteri Salmonella (SNI 01-2332.2-2006) ............
13 14 14 15 16 16 16 17 20
3.5. Pengambilan Sampel ........................................................................... 26 3.6. Analisis Data ....................................................................................... 26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 27 4.1. Keadaan Umum Pengolahan Tradisional ............................................ 27 4.1.1. Lokasi Unit Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke ................................................................. 4.1.2. Sejarah dan Perkembangan Unit Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke ............................. 4.1.3. Kondisi Pengolah Pindang Ikan Tongkol di Unit Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke ................... 4.1.4. Fasilitas Pengolahan Pindang UPT PHPT Muara Angke ...........
27 27 28 29
4.2. Penerapan Sanitasi Pada Pengolahan Produk Pindang di PHPT Muara Angke ...................................................................................... 32 4.2.1. Sanitasi bangunan ................................................................. 4.2.2. Pintu ...................................................................................... 4.2.3. Saluran pembuangan ............................................................. 4.2.4. Kemanan air .......................................................................... 4.2.5. Es ........................................................................................... 4.2.6. Garam .................................................................................... 4.2.7. Sanitasi permukaan yang kontak dengan produk ................... 4.2.8. Pencegahan kontaminasi silang ............................................. 4.2.9. Penanganan limbah ................................................................ 4.2.10. Higiene pekerja ...................................................................... 4.2.11. Sanitasi peralatan dan perlengkapan ...................................... 4.2.12. Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan dan toilet ..................................................................... 4.2.13. Sanitasi pengendalian hama ...................................................
32 34 35 36 36 37 38 38 38 39 40 40 41
4.3. Mutu dan Keamanan Proses Pengolahan Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) .............................................................................. 42 4.3.1. 4.3.2. 4.3.3. 4.3.4. 4.3.5. 4.3.6.
Penerimaan bahan baku ......................................................... Pencucian .............................................................................. Perebusan ............................................................................. Pengemasan ........................................................................... Penyimpanan ........................................................................ Distribusi ..............................................................................
42 50 50 53 54 54
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 55 5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 55 5.2. Saran .................................................................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 56 LAMPIRAN ............................................................................................... 60
DAFTAR TABEL
No.
Teks
Hal
1. Persyaratan mutu dan keamanan bahan baku ikan (SNI 1-4110.1-2006) ....
6
2. Persyaratan mutu ikan pindang(SNI 01-2717-1992) ...................................
6
3. Interpetasi hasil pengujian Bakteri Escherichia coli.................................... 20 4. Daftar pengambilan padat dalam karung/peti ............................................. 26 5. Karakteristik pengolah dan kondisi usaha pindang ikan tongkol di PHPT Muara Angke ............................................................................... 28 6. Hasil analisis mikrobiologi dan kimia pada pengolahan ikan A, B, C, D ... 47 7. Kandungan formalin yang terdapat pada bahan baku ikan tongkol ............. 49 8. Hasil analisis mikrobiologi dan kimia produk pindang pada pengolahan ikan A, B, C, D............................................................................................. 52 9. Kandungan formalin yang terdapat produk pindang pada pengolahan ikan A, B, C, D............................................................................................ 53
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Hal
1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) .........................................................
4
2. Diagram alir pengolahan pindang ikan tongkol ...................................
7
3. Diagram alir prosedur penelitian ......................................................... 13 4. Proses pengujian Salmonella (SNI 01-2332.2-2006) .......................... 25 5. Alat perebusan pindang ........................................................................ 30 6. Keranjang ............................................................................................. 30 7. Bak fibre glass ...................................................................................... 31 8. Naya ..................................................................................................... 31 9. Bangunan unit pengolahan ikan pindang ............................................ 33 10. Dinding ruang pengolahan ................................................................. 33 11. Lantai ruang pengolahan .................................................................... 34 12. Pintu ruang pengolahan ....................................................................... 35 13. Air untuk proses produksi ................................................................... 36 14. Garam untuk proses pemindangan ...................................................... 37 15. Karyawan yang bekerja di ruang pengolahan ..................................... 39 16. Toilet (kamar mandi) karyawan ........................................................... 41 17. Bahan baku ikan tongkol ...................................................................... 43 18. Hasil uji organoleptik ikan tongkol pada tiap unit pengolahan pindang di UPT PHPT........................................................................ 44 19. Produk pindang ikan tongkol ............................................................... 51
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Hal
1. Daftar penilaian/check list unit pengolahan ikan (UPI) ......................... 61 2. Daftar penilaian/check list unit pengolahan ikan (UPI) Modifikasi....... 67 3. Daftar kuesioner ..................................................................................... 71 4. Analisa Usaha Pengolahan Ikan Pindang Tongkol (Euthynnus affinis) ................................................................................. 74
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan salah satu
daerah
penghasil produk perikanan yang cukup besar. Produksi perikanan DKI Jakarta pada tahun 2005 terdiri dari perikanan laut 132.033,8 ton, perikanan darat 8.880,37 ton, ikan hias 49.002.044 ekor, dan kemungkinan akan terus meningkat di masa datang (Anonima 2010). Produk perikanan laut pada umumnya sebagai bahan baku industri pengolahan modern dan tradisional. Sentra pengolahan hasil perikanan tradisional di pesisir utara Jakarta terdapat di daerah Kamal Muara, Muara Angke, Muara Baru, Kalibaru dan Cilincing. Karakteristik kehidupan sosial masyarakat pesisir di wilayah DKI Jakarta yang memiliki profesi sebagai nelayan dan pengolah tradisional pada umumnya masih tertinggal.
Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya pendidikan,
produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usaha, kurangnya sarana penunjang, buruknya mekanisme pasar dan lamanya transfer teknologi dan komunikasi, sehingga mengakibatkan pendapatan masyarakat pesisir, khususnya nelayan pengolah menjadi tidak menentu (Faiza 2004). Wilayah Muara angke merupakan pusat kegiatan perikanan terpadu yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Di wilayah tersebut terdapat Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), Tempat Pelelangan Ikan (TPI), cold storage, pabrik es, unit perbaikan kapal (Dok), Syahbandar, Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) dan rumah susun untuk nelayan. PHPT adalah suatu tempat yang khusus dibuat untuk menampung para pengolah tradisional produk perikanan, di tempat tersebut dapat dijumpai masyarakat nelayan yang melakukan aktifitas pengolahan produk perikanan secara tradisional.
Menurut laporan
tahunan UPT PHPT Muara Angke (2008) jenis pengolahan tradisional dan jumlahnya adalah sebagai berikut: pengasinan ikan 133 unit, pemindangan dan pengolahan lainnya 20 unit, pembuatan kerupuk ikan 20 unit, pembuatan terasi 13 unit, dan pengolahan kulit ikan pari sebanyak 10 unit. Jumlah keseluruhan pengolah tradisional di PHPT Muara Angke adalah 196 unit.
2
Salah satu usaha pengolahan tradisional yang dilakukan para nelayan di wilayah Muara angke Jakarta Utara adalah pembuatan pindang tongkol dengan bahan baku utama ikan tongkol (Euthynnus affinis).
Pemindangan ikan
merupakan upaya pengawetan sekaligus pengolahan yang menggunakan metode penggaraman dan perebusan. Pengolahan tersebut dilakukan dengan merebus atau memanaskan ikan dalam suasana bergaram selama waktu tertentu di dalam suatu wadah (Adawyah 2007). Bahan baku pindang tongkol di PHPT Muara Angke berasal dari dua tempat pelelangan ikan yaitu TPI Muara Angke dan TPI Muara Baru Jakarta Utara. Kapasitas produksi pindang tongkol (Cue) di PHPT Muara angke antara 2.400-4.000 kg per hari, dan jumlah pengolahan sebanyak 4 unit. Kendala yang dihadapi para pengolah antara lain usaha pemindangan pada umumnya hanya dilakukan dalam skala kecil (industri rumah tangga), teknologi yang dilakukan didapat secara turun temurun, sanitasi dan higiene kurang diperhatikan terutama oleh indutri rumah tangga, sehingga mutu dan daya tahan ikan pindang menjadi kurang baik. Penerapan kelayakan dasar berupa sanitasi perlu dilakukan pada semua jenis usaha perikanan baik yang modern maupun tradisional. Pada pengolahan pangan sistem manajemen mutu yang efektif dapat menjamin mutu dan keamanan produk. Penerapan sanitasi penting bagi pengolahan tradisional. Menurut Winarno dan Surono (2004) penerapan sanitasi membahas pemeliharaan umum bangunan atau fasilitas usaha, bahan yang digunakan untuk pembersihan atau sanitasi, pengendalian hama, sanitasi permukaan, penyimpanan dan penanganan peralatan serta tempat pembuangan (isi perut dan kotoran). Dengan mengkaji kelayakan dasar pengolahan pindang yang beroperasi di Muara Angke, maka akan diperoleh data tentang kelayakan para pengolah tersebut dan bisa dijadikan sebagai masukan untuk pembuat kebijakan di daerah.
3
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk : (1) Mempelajari penerapan sanitasi pada produk pindang ikan tongkol di Muara Angke. (2) Mempelajari mutu dan keamanan bahan baku dan produk pindang ikan tongkol dari Muara angke.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Ikan tongkol (Euthynnus affinis) termasuk dalam famili scombridae terdapat di seluruh perairan hangat Indo-Pasifik Barat, termasuk laut kepulauan dan laut nusantara. Klasifikasi Ikan Tongkol Menurut Saanin (1986), adalah sebagai berikut: Phylum
: Animalia
Sub Phylum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Perchomorphi
Sub Ordo
: Scombrina
Famili
: Scombridae
Genus
: Euthynnus
Spesies
: Euthynnus affinis
Ciri-ciri ikan tongkol (Euthynnus affinis),
badan berukuran sedang,
memanjang seperti torpedo, mempunyai dua sirip punggung yang dipisahkan oleh celah sempit, sirip punggung pertama diikuti oleh celah sempit, sirip punggung kedua diikuti oleh 8-10 sirip tambahan, tidak memiliki gelembung renang, warna tubuh pada bagian punggung gelap kebiruan dan terdapat tanda garis-garis miring terpecah dan tersusun rapi (Collete dan Nauen 1983). Bentuk ikan tongkol dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Ikan Tongkol (Ethynnus affinis) (Sumber: Anonimb 2010 )
Ikan tongkol memiliki sifat cenderung membentuk kelompok (school) multi spesies berdasarkan ukuran. Satu kelompok umumnya terdiri dari
5
100-5000 individu. Habitat ikan ini berada di perairan epipelagik, merupakan spesies neuritik yang mendiami perairan dengan kisaran suhu antara 18-29 °C. Ikan tongkol (Euthynnus affinis) merupakan predator yang rakus memakan berbagai ikan kecil, udang, dan cepalopoda, sebaliknya juga merupakan mangsa dari hiu dan marlin. Panjang baku maksimum 100 cm dengan berat 13,6 kg, umumnya 60 cm,
di Samudera Hindia usia 3 tahun panjang bakunya mencapai
50-65 cm (Collete dan Nauen 1983). 2.2 Ikan Pindang Pemindangan merupakan pengolahan sekaligus pengawetan ikan yang menggunakan metode penggaraman dan pemanasan. Pengolahan tersebut dilakukan dengan merebus atau memanaskan ikan dalam suasana bergaram selama waktu tertentu di dalam suatu wadah (Adawyah 2007). Jenis pindang di Indonesia ada beberapa macam. Pengelompokan pindang tergantung proses pembuatan, wadah yang digunakan, jenis ikan, bumbu, dan asal daerah ikan pindang tersebut.
Beberapa istilah ikan pindang telah dikenal
di masyarakat, dan digolongkan berdasarkan jenis ikan serta daerah asal pengolahannya.
Istilah pindang berdasarkan jenis ikannya, misalnya pindang
tongkol, pindang bandeng, pindang kembung, pindang cue, pindang presto, pindang naya, dan pindang besek.
Sedangkan istilah pindang sesuai dengan
daerah asal pengolahannya, misalnya pindang Muncar, pindang Bawean, pindang Pekalongan, dan pindang Tuban (Adawyah 2007). Persyaratan baku mutu untuk bahan baku ikan pindang tercantum dalam Tabel 1, dan untuk persyaratan mutu pindang menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 1 Persyaratan mutu dan keamanan pangan bahan baku ikan (SNI 01-4110.1-2006) a. b.
c.
d. e.
Jenis uji Organoleptik Cemaran mikroba - ALT - Escherichia coli - Salmonella - Vibrio cholerae Cemaran kimia* - Raksa (Hg) - Timbal (Pb) - Histamin - Cadmium (Cd) Fisika - Suhu pusat Parasit
Satuan angka (1-9)
Persyaratan minimal 7
koloni/g APM/g per 25 g per 25 g
maksimal 5,0 x 105 maksimal < 2 negatif negatif
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
maksimal 1 maksimal 0,4 maksimal 100 maksimal 0,1
o
C Ekor
maksimal -18 maksimal 0
*) Bila diperlukan
Tabel 2 Persyaratan mutu ikan pindang (SNI 01-2717-1992 Ikan pindang) Jenis uji a. Organoleptik - Nilai minimum - Kapang b. Mikrobiologi - TPC per gram, maks - Escherecia coli MPN per gram, maks - Salmonella - Vibrio cholera - Staphylococcus aureus c. Kimia - Air, % bobot/bobot, maks - Garam, % bobot/bobot, maks
Persyaratan Mutu Pindang air garam Pindang garam 7 Negatif
6 Negatif
1 x 105 3
1 x 105 3
Negative Negative 1 x 103
Negative Negative 1 x 103
70 10
70 10
Menurut Adawyah (2007), proses pembuatan ikan pindang cue dengan bahan baku ikan tongkol (Euthynnus affinis) adalah sebagai berikut: mula – mula pemilihan bahan baku dengan kondisi yang masih bagus, kondisi baik, segar dan tidak ada bagian tubuh yang terluka. Selanjutnya ikan tongkol disiangi, dibuang bagian insang dan isi perut, kemudian dicuci bersih dan ditiriskan.
Setelah
ditiriskan, ikan direndam dalam larutan garam 3% selama 15 menit untuk membersihkan sisa-sisa darah dan kotoran yang ada. Ikan disusun di atas naya
7
atau besek. Naya atau besek yang berisi ikan disusun dalam langseng kemudian dicelupkan ke dalam dandangan atau drum berisi larutan garam jenuh yang mendidih selama 30-60 menit.
Setelah perebusan selesai naya atau besek
diangkat, disiram dengan air panas untuk menghilangkan kotoran yang dibawa dari air perebus. Naya atau besek diletakkan di atas rak-rak untuk didinginkan. Diagram alir pengolahan ikan pindang cue dapat dilihat pada Gambar 2. Ikan tongkol
Disiangi Disangi dan dan dicuci dicuci
Ditiriskan
Disusun di wadah naya atau besek
Direbus
Diangkat dari perebusan
Disiram dengan air panas
Didinginkan
Pindang ikan tongkol Gambar 2. Diagram alir pengolahan pindang ikan tongkol (Adawyah 2007) 2.3 Kelayakan Dasar (Pre Requisite Programe) Kelayakan dasar (Pre Requisite Programe) merupakan prasyarat yang harus dipenuhi oleh suatu unit pengolahan perikanan sebelum menerapkan program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), sehingga penerapan HACCP dapat berjalan dengan efektif.
Langkah-langkah dalam persyaratan
8
kelayakan dasar antara lain, Good Manufacturing Practices (GMP), Prosedur operasi standar tentang sanitasi (Sanitatios Standard Operation Procedure/SSOP) dan identifikasi, penelusuran serta penarikan kembali produk (Gasperz 2002 diacu dalam Erungan et.al. 2008). Menurut Direktorat Jenderal PPHP (2007) adanya kendala teknis dalam penerapan program kelayakan dasar, mengakibatkan ketidaksesuaian dengan peraturan yang ada atau penyimpangan.
Oleh karena itu disusun klasifikasi
penyimpangan sebagai berikut: (a) Penyimpangan minor (minor deficiency). Penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi mempengaruhi mutu pangan (b) Penyimpangan mayor (mayor deficiency). Penyimpangan yang apabila tidak dilakukan koreksi akan mempunyai potensi mempengaruhi keamanan pangan. (c) Penyimpangan serius (serious deficiency). Penyimpangan yang apabila tidak dilakukan koreksi akan mempengaruhi keamanan pangan. (d) Penyimpangan kritis (critical deficiency). Penyimpangan yang apabila tidak dilakukan tindakan koreksi akan segera mempengaruhi keamanan pangan. Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu prosedur yang mengatur cara berproduksi yang baik dan benar yang merupakan penilaian dari status kelayakan dasar (pre-requisite), dimana semua proses produksi harus memenuhi persyaratan standar mutu (Winarno dan Surono 2004). Menurut Thaheer (2005) tujuan spesifik dari penerapan GMP dalam industri pangan adalah memberikan prinsip-prinsip dasar makanan yang diterapkan dalam memproduksi makanan sepanjang rantai dan jalur makanan (dimulai dari produk primer hingga produk siap konsumsi).
Selain itu
mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi dan karyawan. Sanitasi dalam bidang industri pangan merupakan dasar pengetahuan dalam memelihara kondisi yang higiene dan sehat untuk menciptakan makanan yang aman. Secara umum sanitasi dan higiene mencakup kegiatan secara aseptik dalam persiapan pengolahan dan pengemasan produk pangan, pembersihan dan sanitasi pabrik serta lingkungan pabrik dan kesehatan pekerja. Sanitasi pangan
9
adalah suatu kondisi yang bebas dari zat-zat yang menjadi penyebab penyakit dan juga harus bebas dari bahan asing yang tidak bisa diterima. Tujuan penerapan sanitasi ini adalah untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme penyebab penyakit dan meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme penyebab kebusukan (Marriott dan Robert 2006 diacu dalam Darmo 2008). Sanitasi dan higiene dari suatu pabrik pengolahan hasil perikanan mempunyai hubungan erat dengan mutu hasil produk akhir. Sanitasi yang buruk, yang tidak mampu menghindari terjadinya kontak makanan dengan serangga atau mikroorganisme lain umumnya akan berujung pada suatu masalah mikrobiologis. Hal tersebut memberikan peluang mikroba yang masuk ke dalam makanan semakin banyak. Sistem pengendalian sanitasi dan higiene sangat dibutuhkan agar keamanan pangan dapat terjamin baik. Sanitasi sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan perusahaan tempat proses pengolahan dilakukan. Higiene berkaitan dengan kondisi para pekerja dalam melakukan proses pengolahan. Sanitasi dan higiene ini akan berhubungan atau erat kaitannya dengan keamanan pangan dan kesehatan masyarakat (Jenie 1988). Operasional sanitasi meliputi semua aspek yang berhubungan dengan kegiatan dan kondisi lingkungan yang dilaksanakan dalam SSOP, sedangkan higiene berhubungan dengan kondisi pekerja dalam melakukan proses pengolahan (Thaheer 2005). Menurut FDA (1995) diacu dalam Thaheer (2005) SSOP terdiri dari delapan aspek kunci: (a) Keamanan air dan es yang digunakan dalam proses produksi. Air yang digunakan untuk seluruh proses produksi, baik yang digunakan untuk pengolahan maupun untuk para pekerja harus air yang bersih dan aman atau mengalami proses perlakuan (treatment), sehingga memenuhi standar baku mutu (b) Kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan termasuk peralatan , sarung tangan dan seragam produksi. Kebersihan berhubungan dengan kegiatan sanitasi, sanitasi dalam proses pengolahan pangan bertujuan: - Menghilangkan sisa bahan baku atau produk pangan yang banyak mengandung nutrisi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme.
10
- Desinfeksi yang bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroba sehingga menekan kontaminasi pada produk yang menyentuh permukaan secara langsung. (c) Pencegahan kontaminasi silang dari obyek yang tidak saniter misalnya makanan, material kemasan dari permukaan yang kontak dengan bahan pangan seperti peralatan, sarung tangan, seragam produksi dan kontaminasi silang bahan baku. (d) Pengelolaan fasilitas untuk kebersihan pekerja. - Meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan dan toilet yang digunakan. - Kebersihan pekerja harus selalu diperhatikan, fasilitas cuci pakaian sebaiknya disediakan.
Terutama untuk pekerja yang kontak langsung
dengan produk akhir. - Perilaku yang bersih dan sehat dari pekerja sangat menunjang kebersihan produk yang dihasilkan. (e) Pencegahan adulterasi Bahan pangan atau produk akhir atau bahan yang kontak dengan bahan pangan harus terhindar dari bahan nonpangan dan cemaran kimia, fisik serta biologis. Bahan- bahan nonpangan tersebut antara lain pelumas, bahan bakar, senyawa pembersih, dan sanitizer (f) Penggunaan labeling dan penyimpanan yang tepat Pelabelan dan penyimpanan bahan pangan dan nonpangan, yaitu bahanbahan kimia yang tepat dapat meminimalisir kontaminasi silang. Komponen yang toksik harus dalam kemasan yang tertutup rapat dan terpisah penempatannya. (g) Mengontrol kesehatan pekerja. Pengendalian kesehatan pekerja supaya tidak menjadi sumber kontaminasi terhadap produk, kemasan atau permukaan yang kontak langsung dengan makanan. (h) Pencegahan hama pabrik. Ruang produksi, gudang dan ruangan lainnya dalam pabrik pabrik harus bebas hama. Hama tersebut misal tikus, serangga dan lainnya.
11
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2010, bertempat
di Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT) Muara Angke
Jakarta Utara. Pengujian Mutu bahan baku dan produknya dilakukan di Laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan (BPMPHPK) Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tongkol (Euthynnus affinis), sebagai bahan baku dan pindang tongkol sebagai produk jadi. Bahan- bahan kimia yang digunakan analisis histamine adalah Resin penukar ion50-100 mesh, asam fosfat-3,57 N, orto-ptalatdikarboksialdehid (OPT) 1%. Selanjutnya bahan kimia yang digunakan untuk analisis TVB antara lain: larutan asam borat 2 %, indikator : campuran 1 bagian volume bromecresol 0,1 % dalam alkohol, larutan asam klorida (HCl) 0,02 N, larutan Trichloracetic acid (TCA) 7 %, larutan kalium karbonat (K2CO3) jenuh (1:1), larutan formalin 40 %, dan vaselin. Bahan-bahan untuk uji mikrobiologi antara lain Brilliant Green Lactose Bile (BGLB), 2 % Broth, Lauryl Triptose Broth (LTB), EC Broth, Levine’s Eosin Methilen Blue (L-EMB) agar, Tryptone (tryptophane) broth (TB), MR-VP Broth, Simmon Citrate Agar, Plate Count Agar, larutan butterfield’s phospahat buffered, pereaksi kovacs, pereaksi VP, indikator MR, pereaksi pewarnaan gram. Bismuth Sulfite Agar (BSA), Brain Heart Infusion Broth, Hectoen Enteric (HE), Lactose Broth, Lysine Decarboxylase Broth, Lysine Iron Agar (LIA), Malonate Broth, Motility Test Medium, MR-VP Broth, Phenol Red Carbohydrate Broth, Potasium Cyanide (KCN) Broth, Purple Carbohydrate Broth, Rappaport-Vassiliadis (RV) Medium, Selenite Cystine Broth (SCB), Simmon Citrate Agar, Tetrathionate Broth (TTB). Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia, kolom kromatografi ukuran 200x7 (diameter dalam) mm, Spektrofluorometer, Rapipiet-1 dan 5 ml, timbangan analitik, blender, blender jar stainless steel kapasitas 100 ml, erlenmeyer 25 ml,
12
stop watch, corong, kertas saring diameter 15 cm, gelas ukur 100 ml, pipet, cawan conway beserta tutupnya, inkubator, buret 2 ml berskala 0,05 ml. Waterbath, stomacher, botol pengencer, tabung durham, cawan Petri ukuran 15 mm x 90 mm, tabung reaksi ukuran 16 mm x 150 mm dan 13 mm x 100 mm, mikroskop. 3.3 Prosedur Penelitian Rancangan penelitian untuk mengkaji dan mempelajari penerapan sanitasi pengolahan pindang ikan tongkol (Euthynnus Affinis) serta mutu keamanannya, dilakukan dengan wawancara (interview), pengamatan (observasi), dan analisis mutu pindang ikan tongkol.
Pengamatan adalah mengumpulkan data dengan
melihat langsung ke lapangan. Wawancara adalah pengumpulan data dengan langsung mengadakan tanya jawab kepada objek yang diteliti atau kepada perantara yang mengetahui persoalan dari objek yang sedang diteliti. Analisis adalah pengujian sampel yang dilakukan di laboratorium mutu. Penilaian sanitasi pada pengolahan tradisional pindang ikan tongkol dilakukan dengan mengamati penerapan sanitasi pada proses pengolahan pindang ikan tongkol. Pada umumnya pengolahan tradisional tidak memiliki prosedur standar operasional sanitasi, sehingga terlebih dahulu dibuat lembar penilaian tersebut yang mengacu pada Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2007) yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan (Lampiran 1). Aspek-aspek yang dinilai, dihitung jumlah penyimpangannya yang meliputi penyimpangan Minor (MN), Mayor (MY), Serius (SR) maupun Kritis (KR) sesuai dengan yang telah ditentukan dalam daftar tersebut. Analisis mutu dilakukan untuk mengetahui mutu bahan baku dan produk pindang tongkol yang dikaitkan dengan proses pengolahan yang dilakukan oleh para pengolah. Analisis mutu terdiri dari uji organoleptik, uji kimia, dan uji mikrobiologi . Uji kimia meliputi uji kadar histamine, TVB dan Formalin. Uji mikrobiologi, yaitu TPC (Total Plate Count), Escherechia coli, dan uji Salmonella. Prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
13
Pengolahan pindang ikan tongkol
Penilaian pengolahan pindang ikan tongkol
Penilaian penerapan Sanitasi
wawancara
‐
‐ ‐ ‐
Keadaan umum pengolahan pindang ikan tongkol Kapasitas produksi Asal bahan baku Proses pengolahan
‐ ‐ ‐ ‐
Penyimpangan Minor Penyimpangan mayor Penyimpangan kritis Penyimpangan serius
Analisis mutu pindang ikan tongkol
Mutu bahan baku
‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
Mutu produk
Uji organoleptik Kadar histamin Kadar TVB Uji formalin Uji TPC Uji bakteri E. coli Uji Bakteri Salmonella
Gambar 3 Diagram alir prosedur penelitian 3.4 Analisis 3.4.1 Uji organoleptik (SNI 01-4110.1-2006) Metode yang digunakan untuk uji organoleptik ikan tongkol ini berdasarkan SNI 01-4110.1-2006 ikan beku. Metode ini menggunakan angka yang berkisar antara 1 sampai 9 dengan penilaian dalam keadaan beku dan setelah pelelehan(thawing). Penilaian dalam keadaan beku antara lain lapisan es, dehidrasi, dan diskolorasi. Pengukuran organoleptik merupakan cara penilaian mutu ikan tongkol yang bersifat subyektif dengan menggunakan indera manusia. Jumlah panelis yang digunakan adalah 6 orang dengan kategori panelis expert.
14
3.4.2 Uji kimia Pengujian kimia dilakukan untuk mengetahui karakteristik kimia ikan pindang meliputi uji kadar histamin, Total Volatile Base (TVB), dan pengujian formalin. (1) Pengujian kadar histamin (SNI 2534-10.2009) Tahapan prosedur kerja yang dilakukan dalam pengujian histamin adalah sebagai berikut: a) Tahap ekstraksi Sebanyak 10 gram sampel ditimbang dan ditambah 50 ml metanol, selanjutnya dihomogenkan dengan homogenizer (blender) selama 1-2 menit. Larutan sampel yang sudah dihomogenkan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 60 0C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam suhu ruang. Sampel yang sudah dingin dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan metanol sampai tanda tera serta dikocok agar homogen. Larutan sampel disaring dengan kertas saring dan dimasukkan dalam erlenmeyer.
Sampel siap untuk
di clean-up. b) Tahap clean-up/elusi Tahap ini disiapkan kolom kromatografi (panjang 20 cm diameter 7 mm), sebelum digunakan kolom tersebut di isi dengan glass woll secukupnya (tinggi 1 cm) dan aquadest. Kemudian dimasukkan resin penukar ion (dowex 1x800-100-mesh) ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm. Pada saat digunakan, diusahakan kolom jangan sampai kering hingga kebagian resinnya, karena akan mempengaruhi daya kerja penukar ion tersebut. Supaya tidak kering dibilas dengan akuades. Kemudian sampel dilewatkan sebanyak 1 ml ke dalam kolom yang telah diberi aquadest dan tampung hasilnya dalam labu ukur 50 ml yang telah diberi 5 ml HCl 1 N. c) Tahap pembentukan Beberapa tabung reaksi disiapkan, sebanyak 10 ml HCl 0,1 N dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 ml sampel (hasil elusi), 5 ml standar histamin (sebagai larutan standar) dan 5 ml HCl 0,1 N (sebagai blanko). Setelah itu ditambahkan 3 ml NaOH 1 N lalu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit. Kemudian ditambahkan lagi sebanyak 1 ml OPT (O-phtalaldehid) 1%
15
lalu dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Setelah itu ditambahkan 3 ml H3PO4 3,57 N lalu homogenkan. Setelah selesai sampel siap untuk dibaca dengan Spetroflourometer pada panjang gelombang 450 nm. Perhitungan nilai histamin dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan : y : fluresensi contoh a : intersep b : slope x : konsentrasi contoh yang akan dihitung konsentrasi histamin µg/g contoh
Ax X
volume akhir ml X fp gram contoh
Keterangan : A = konsentrasi (x) yang didapat dalam perhitungan (
/
(2) Pengujian TVB (SNI 01-4495-1998) Sampel ditimbang sebanyak 25 gram, kemudian ditambahkan 75 ml TCA 7% dan diblender sampai homogen, lalu disaring dengan kertas saring dan ditampung dalam erlenmeyer.
Selanjutnya diambil 1 ml ekstrak dimasukkan
ke dalam cekungan luar pinggir kiri dari cawan conway, dipipet sebanyak 1 ml K2CO3 dan dimasukkan ke dalam cekungan luar pinggir kanan.
Setelah itu
sebanyak 2 ml asam borat dipipet dan masukkan ke dalam cekungan tengah cawan conway lalu tetesi dengan indikator conway sebanyak 2 tetes menggunakan pipet tetes. Kemudian cawan ditutup, sedikit digoyangkan untuk mencampur ketiga larutan tersebut. Setelah selesai inkubasi titrasi larutan borat pada bagian dalam (inner chamber) cawan conway blanko dengan larutan HCl 0,02 N sehingga warna larutan asam borat berubah menjadi merah muda (pink), selanjutnya berturut-turut titrasi larutan asam borat pada cawan conway contoh sampai diperoleh warna merah yang sama dengan blanko. Perhitungan nilai TVB dapat dihitung dengan rumus:
16 TVB
mgN 100 g
i
j x N HCl x 14,007 x Fp x 100 Berat sampel g
Keterangan: i = volume titrasi sampel (ml) j = ml titrasi HCl blanko Fp = faktor pengenceran (3) Pengujian formalin (formaldehyde test-aquamerck®) Pengujian kandungan formalin pada ikan tongkol menggunakan metode kualitatif, dengan indikator warna setelah dilakukan reaksi. Prosedurnya sebagai berikut: contoh ditimbang sebanyak 10 gram, kemudian ditambah akuades sebanyak 100 ml, dihomogenkan dengan stomacher. Contoh diambil sebanyak 50 ml dan disentrifuse selama 5 menit.
Sebanyak 5 ml sampel yang telah
dihomogenkan ditempatkan dalam dua botol sampel. Kemudian ke dalam salah satu botol sampel tersebut diteteskan sebanyak lima tetes larutan sodium hidroksida (reagent 1). Nilai pH harus diatas 13, dilakukan pengecekan dengan kertas pH. Selanjutnya ditambahkan sebanyak satu sendok mikro reagent 2. Botol sampel ditutup dan dikocok sampai larut dengan sempurna.
Sampel
didiamkan selama 5 menit dan dilakukan perbandingan warna pada kartu warna. Apabila terdapat warna ungu maka positif (+) mengandung formalin.
Jika
warnanya kuning maka negatif (-). 3.4.3 Uji mikrobiologi Uji mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui cemaran biologis pada bahan baku dan pindang ikan tongkol. Uji mikrobiologi terdiri dari pengujian Total Plate Count (TPC), bakteri Escherichia coli, dan Salmonella. (1) Pengujian Total Plate Count (TPC) atau penentuan angka lempeng total (ALT) pada produk perikanan (SNI 01-2332.3-2006). a) Preparasi Contoh Sampel diambil secara acak dan dipotong kecil – kecil hingga beratnya 300 gram, kemudian dimasukkan dalam wadah atau plastik steril. Selanjutnya ditambahkan 225 ml larutan Bufferfield’s phosphate buffered dan dihomogenkan selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran10-1, kemudian
17
dengan pipet steril diambil 1 ml homogenat diatas dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan bufferfield’s phosphate buffered untuk mendapatkan pengenceran 10-2. Pengenceran selanjutnya (10-3), dilakukan dengan mengambil 1 ml sampel dari pengenceran 10-2 dimasukkan kedalam 9 ml larutan bufferfield’s phosphate buffered.
Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali.
Selanjutnya dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-4, 10-5 dan seterusnya sesuai kondisi sampel. b) Metode agar tuang/pour plate method Sampel yang telah dienceran 10-1, 10-2 dan seterusnya, dipipet masingmasing 1 ml dan dimasukan ke dalam cawan petri steril. Prosedur tersebut dilakukan secara duplo untuk setiap pengenceran. Media Plate Count Agar (PCA) yang telah didinginkan dalam waterbath hingga mencapai suhu 45 oC, dituangkan sebanyak 12-15 ml ke dalam masingmasing cawan yang sudah berisi sampel. Cawan yang telah terisi sampel dan media PCA digerakkan ke depan ke belakang ke kiri dan ke kanan supaya tercampur
sempurna.
Setelah
agar
menjadi
padat,
untuk
penentuan
mikroorganisme aerob cawan-cawan tersebut diinkubasi dalam posisi terbalik dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 22 oC (psikrofilik), 35 oC(mesofilik), dan 45
o
C (termofilik).
Mikroorganisme anaerob ditentukan dengan
anaerobic jar, dengan cara cawan-cawan tersebut diinkubasikan dalam anaerobic jar dengan posisi terbalik dan dimasukkan ke dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 22 oC (psikrofilik), 35 oC (mesofilik), dan 45 oC (thermofilik). Pengenceran yang digunakan dicatat dan dilakukan penghitungan jumlah total koloni. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mengandung koloni bakteri antara 25 koloni-250 koloni dan bebas spreader. (2) Pengujian Bakteri Escherichia coli (SNI 01-2332.1-2006) Pengujian bakteri Escherichia coli dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap uji tersebut adalah uji pendugaan, uji penegasan, uji morfologi, dan uji biokimia. a) Tahap analisis Pengenceran 10-2 disiapkan dengan cara melarutkan 1 ml larutan 10-1 ke dalam 9 ml larutan pengencer Butterfield’s Phosphate Buffered. Pengenceran selanjutnya dilakukan sesuai dengan pendugaan kepadatan populasi contoh.
18
Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali. Sebanyak 1 ml larutan dipindahkan dari setiap pengenceran ke dalam 3 seri atau 5 seri tabung Lauryl Ttryptose Broth (LTB) yang berisi tabung durham.
Tabung-tabung
tersebut diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 oC. Selanjutnya diperhatikan gas yang terbentuk setelah inkubasi 24 jam dan diinkubasikan kembali tabung-tabung negatif selama 24 jam. Tabung positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. b) Uji pendugaan Escherichia coli (presumptive Escherichia coli) Setiap tabung LTB yang positif diinokulasi dengan jarum ose ke tabungtabung yang berisi larutan EC Broth dan tabung durham. Selanjutnya tabungtabung
tersebut diinkubasi dalam waterbath sirculation selama 48 jam pada o
suhu 45 C. Waterbath harus dalam keadaan bersih, air di dalamnya harus lebih tinggi dari cairan yang ada dalam tabung yang diinkubasi. Tabung-tabung tersebut diperiksa setelah 24 jam diinkubasi, untuk menguji timbulnya gas. Apabila tidak menghasilkan gas atau negatif, diinkubasi kembali sampai 48 jam. Tabung yang positif ditandai dengan kekeruhan dan gas dalam tabung durham. Selanjutnya ditentukan nilai angka paling memungkinkan (APM) berdasarkan jumlah tabung-tabung EC yang positif dengan menggunakan Angka Paling Memungkinkan (APM). Nilainya dinyatakan sebagai “APM/g faecal coliform”. c) Uji penegasan Escherichia coli (confirmed Escherichia coli) Tabung-tabung EC Broth positif diambil dan digoreskan ke LEMB agar dengan menggunakan jarum ose, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC. Koloni Escherichia coli akan memberikan ciri yang khas, yaitu terdapat warna hitam pada bagian tengah dengan atau tanpa hijau metalik. Beberapa koloni (typical) Escherichia coli diambil dari masing-masing cawan LEMB dan digoreskan ke media PCA miring dengan jarum tanam, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC. Jika tidak ada koloni yang khas (typical), pindahkan satu atau lebih koloni yang tidak khas (typical) Escherichia coli ke media PCA miring. d) Uji morfologi Prosedur uji morfologi dilakukan dengan pewarnaan gram dari setiap koloni Escherichia coli terduga. Biakan diambil dari PCA yang telah diinkubasi selama
19
24 jam. Dengan menggunakan mikroskop, bakteri Escherichia coli termasuk bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek atau coccus. e) Uji biokimia 1.
Produksi indol ( I ) Sebanyak satu ose koloni E. coli dari PCA miring yang diduga positif
diambil dan dilakukan inokulasi kedalam tryptone Broth serta diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC. Uji Indol dilakukan dengan menambahkan 0,2 ml-0,3 ml pereaksi Kovacs. Reaksi menunjukkan positif jika terbentuk cincin merah pada lapisan bagian atas media dan negatif jika terbentuk cincin warna kuning. 2.
Uji voges proskauer (VP) Sebanyak satu ose koloni E. coli dari PCA miring yang diduga positif
diambil dan dilakukan inokulasi kedalam MRVP Broth serta diinkubasi selama 48 jam
pada suhu 35 0C. Dipindahkan 1 ml dari setiap MRVP Broth yang
tumbuh ke tabung reaksi ukuran 13 mm x 100 mm steril dan ditambahkan 0,6 ml larutan alpha naphtol dan 0,2 ml 40 % KOH, dan dikocok. Untuk mempercepat reaksi ditambahkan sedikit kristal kreatin.
Selanjutnya dikocok kembali dan
didiamkan selama 2 jam. Reaksi menunjukkan positif jika terbentuk warna merah muda eosin sampai merah mirah delima (ruby). 3.
Uji methyl red (MR) Media MRVP Broth di atas diinkubasi kembali selama 48 jam pada suhu
35 0C. Selanjutnya diambahkan 5 tetes indikator Methyl red pada setiap MRVP Broth. Reaksi positif jika terbentuk warna merah dan negatif jika terbentuk warna kuning. 4.
Uji sitrat (C) Sebanyak 1 ose dari PCA miring digoreskan ke permukaan simmon citrat
agar. diinkubasi selama 96 jam pada suhu 35 0C. Reaksi positif jika terjadi pertumbuhan dan media berubah warna menjadi biru, reaksi negatif jika tidak ada pertumbuhan dan media tetap hijau. 5.
Produksi gas dari laktosa Sebanyak
1 ose dari PCA miring diinokulasikan kedalam LTB, dan
diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 35 0C. Reaksi positif jika menghasilkan
20
gas pada tabung durham. Interpetasi hasil pengujian bakteri Escherichia coli dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Interpetasi Hasil Pengujian Bakteri Escherichia coli (SNI 01-2332.1-2006) Kriteria Gas pada tabung LTB Indol MR VP Citrat Uji Morfologi
Biotipe 1 + + + Gram negatif, bentuk batang pendek berspora
Biotipe 2 + + Gram negatif, bentuk batang pendek tidak berspora
(3) Pengujian Bakteri Salmonella (SNI –01-2332.2-2006) Prinsip dasar uji bakteri Salmonella adalah dengan menumbuhkan terlebih dahulu koloni Salmonella dari sampel yang diuji pada media pengkayaan, kemudian dideteksi dengan menumbuhkannya pada media agar selektif. Kolonikoloni yang diduga Salmonella (suspected colonies) pada media selektif diisolasi dan dilanjutkan dengan konfirmasi melalui uji biokimia dan uji serologi untuk meyakinkan ada atau tidaknya bakteri Salmonella. Sampel ditimbang sebanyak 25 g, kemudian dimasukkan ke dalam wadah atau plastik steril dan ditambahkan 225 ml larutan Lactose Broth. Sampel yang akan dianalisis dihomogenkan selama 2 menit dan dikocok hingga rata serta dikendurkan tutup wadah secukupnya. Selanjutnya sampel diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC. Sebanyak 0,1 ml larutan sampel dipindahkan ke dalam 10 ml Rappaport-Vassiliadis (RV) medium dan 1 ml larutan sampel ke dalam 10 ml Tetrathionate Broth (TTB). Selanjutnya 1 ml larutan sampel dipindahkan ke dalam masing-masing 10 ml TTB. RV medium diinkubasi selama 24 jam pada suhu 42 oC (Waterbath) dan inkubasi TTB selama 24 jam pada suhu 43 oC (Waterbath). Tabung dikocok menggunakan vortex dan digoreskan TTB yang telah diinkubasi ke dalam media Hectoen Enteric (HE), Xylose Lysine Desoxycholate (XLD) agar, dan Bismuth sulfite Agar (BSA). Media BSA disiapkan sehari sebelum digunakan untuk analisis, dan simpan di tempat gelap pada suhu ruang. Tahap berikutnya digoreskan ke dalam media yang sama dari RV Broth. Cawan
21
HE, XLD, dan BSA diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC, kemudian dilakukan pengamatan akan kemungkinan adanya koloni Salmonella. Koloni Salmonella diambil 2 atau lebih dari masing-masing media agar selektif setelah 24 jam inkubasi. Kriteria koloni-koloni Salmonella yang khas (typical) pada masing-masing media adalah sebagai berikut : 1)
HE Agar, koloni hijau kebiruan sampai biru dengan atau tanpa inti hitam. Umumnya kultur Salmonella membentuk koloni besar, inti hitam mengkilat atau hampir seluruh koloni terlihat berwarna hitam.
2)
XLD Agar, koloni merah jambu (pink) dengan atau tanpa inti hitam. Umumnya kultur Salmonella membentuk koloni besar, inti hitam mengkilat atau hampir seluruh koloni terlihat berwarna hitam.
3)
BSA, koloni coklat, abu-abu atau hitam, kadang-kadang metalik. Biasanya media di sekitar koloni pada awalnya berwarna cokelat, kemudian berubah menjadi hitam (halo effect) dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Apabila koloni yang khas (typical) tumbuh pada BSA setelah 24 jam inkubasi, diambil 2 koloni atau lebih, kemudian diinkubasikan kembali media BSA selama 24 jam. Setelah 48 jam inkubasi, diambil 2 atau lebih koloni yang khas (typical) yang tumbuh pada media BSA. Pengambilan ini dilakukan jika hanya koloni yang tumbuh pada media BSA yang diinkubasi selama 24 jam memberi reaksi yang tidak sesuai pada Triple Sugar Iron (TSI) dan Lysine Iron Agar (LIA), yang menjadikan kultur ini dinyatakan sebagai bukan Salmonella. Bagian tengah koloni diambil menggunakan jarum inokulasi steril dan
digoreskan ke permukaan media TSI agar, dilanjutkan dengan menggoreskan jarum tersebut pada media LIA dengan cara menusuk agar tegak lebih dahulu, setelah itu goreskan pada media agar miring. Kedua media tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC dengan membiarkan tutup sedikit kendur untuk mencegah terbentuknya H2S. Pengamatan dilakukan untuk kengetahui adanya koloni salmonella. Sebanyak satu ose dari media TSI diambil menggunakan jarum inokulasi steril, dimasukkan kedalam Indol, MR-VP, Simmon Citrat Agar, Dulcit, Lactose, Sukrose,Urea Broth dan LDB. Media-media tersebut diinkubasi selama 24 jam
22
pada suhu 35 oC. Media indol yang telah diinkubasi 24 jam, dilanjutkan dengan uji KCN, malonat, dan uji indol menggunakan pereaksi Kovaks. Pengujian Methyl Red dilakukan dengan memindahkan satu ml MR-VP Broth yang telah diinkubasi selama 48 jam pada suhu 35 °C ke dalam tabung reaksi steril dan diinkubasikan kembali MR-VP Broth selama 48 jam pada suhu 35°C. Sebanyak 0,6 ml alpha naphtol ditambahkan dan dikocok, ditambahkan lagi 0,2 ml larutan 40 % KOH dan kocok kembali. Kristal keratin ditambahkan sedikit untuk mempercepat reaksi dan hasilnya dapat diamati setelah 4 jam. Pengujian Methyl red (MR) ditambahkan 5-6 tetes indikator Methyl Red kedalam media MR-VP yang telah diinkubasi selama 96 jam. Umumnya, Salmonella memberikan reaksi positif, ditandai dengan terjadinya difusi warna merah pada media. Reaksi positif ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna menjadi merah muda eosin sampai merah delima (ruby) pada media. Terjadinya warna kuning menunjukan reaksi negatif. Salmonella memberikan reaksi VP negatif. Uji serologi Polyvalent Flagellar (H) dapat dilakukan setelah uji biokimia. Sebanyak satu ose dari masing-masing TSI Agar yang memberikan reaksi negatif dipindahkan ke dalam 5 ml BHI Broth, dan diinkubasi selama 4-6 jam pada suhu sampai terlihat pertumbuhan. Sebanyak 2,5 ml larutan Formanilized Physiological Saline ditambahkan ke dalam BHI Broth (untuk uji pada hari yang sama) atau 5 ml Trypticase Soy-Tryptose Broth (TSTB) dan inkubasi selama 24 jam pada suhu 35oC, 2,5 ml larutan Formanilized Physiological Saline ke dalam TSTB (untuk uji pada hari berikutnya). Sebanyak 2 kultur dari TSI (contoh dan control) yang telah diberi Formanilized Physiological Saline dan uji dengan Salmonella Polyvalent Flagellar (H) disiapkan, kemudian dimasukkan 0,5 ml larutan Salmonella Polyvalent Flagellar (H) antisera dalam tabung serologi 10 x 75 mm atau 13 x 100 mm.
Selanjutnya ditambahkan 0,5 ml antigen yang akan diuji.
Disiapkan kontrol saline dengan mencampur 0,5 ml Formanilized Physiological Saline dengan 0,5 ml formalinized antigen. Inkubasi campuran tersebut dalam waterbath pada suhu 48-50 oC. Pengamatan dilakukan pada setiap interval waktu 15 menit dan diamati juga hasilnya selama 1 jam. Reaksi positif apabila terjadi penggumpalan dalam uji campuran dan tidak ada penggumpalan dalam kontrol.
23
Reaksi negatif apabila tidak ada penggumpalan dalam uji campuran dan tidak ada penggumpalan dalam kontrol. Perlakuan terhadap kultur yang memberikan hasil uji serologi flagellar (H) negatif
maka
menunjukkan
bahwa
kultur
tersebut
adalah
Salmonella.
Penggumpalan flagellar (H) negatif mungkin disebabkan karena organisme non motil atau karena antigen flagellar tidak berkembang. Pembuatan kultur dilakukan dengan diinokulasi Motility Test Medium dalam petridish menggunakan koloni yang tumbuh pada TSI miring. Media diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35 oC. Bila organisme berpindah sejauh 40 mm atau lebih maka dilakukan uji ulang dengan cara diinokulasi sejumlah pertumbuhan terjauh ke dalam Trypticase SoyTrytose Broth. Pengulangan pengujian Polyvalent Flagellar (H) dilakukan apabila tidak terjadi pergerakan setelah 24 jam pertama, diinkubasikan kembali selama 24 jam pada suhu 35 oC, dan apabila masih tidak bergerak diinkubasi sampai 5 hari pada suhu 25 oC. Kultur yang tidak bergerak (non motile) pada semua uji diatas menunjukkan hasil uji yang negatif. Selanjutnya, bila kultur memberikan reaksi flagellar (H) negatif tetapi memberikan reaksi biokomia positif, maka kultur perlu untuk diuji serologi. Uji serologi Polyvalent Somatic (O) dilakukan dengan mengambil 1 ose kultur dari TSI yang telah diinkubasi selama 24-48 jam dan diletakkan diatas gelas preparat. Gelas preparat yang telah diberi kultur ditetesi dengan larutan saline 0,85% steril dan diemulsikan. Koloni Antiserum dicampurkan sedikit demi sedikit dengan suspensi koloni sampai tercampur sempurna. Pembuatan kontrol dengan menggunakan larutan saline dan Antiserum. Hasil uji positif apabila terjadi penggumpalan pada larutan kultur dan tidak terjadi penggumpalan pada larutan kontrol, dan hasil uji negatif apabila tidak terjadi penggumpalan buih pada larutan kultur maupun larutan kontrol.
24
25
PROSES PENGUJIAN SALMONELLA (2)
C
Positif Koloni Samonella ?
T
Positif Koloni Samonella ?
Y
F
T
Y
Ambil Koloni & Teteskan Serum
Positif Koloni Samonella ?
D
E
Ambil Koloni & Teteskan Serum
T
Positif Koloni Samonella ?
Y
T
Y
Laporan Salmonella
END
Gambar 4 Proses pengujian Salmonella (SNI 01-2332.2-2006)
26
3.5 Pengambilan Sampel Cara pengambilan contoh disesuaikan dengan metode sampling, peralatan yang digunakan untuk pengambilan contoh ini harus bersih, kering, tidak bocor, steril dan ukurannya harus sesuai dengan contoh yang diambil. Pengambilan contoh dilakukan pada bahan baku dan produk jadi (pindang tongkol), dengan menggunakan cool box, supaya suhu dapat dipertahankan. Sampel produk jadi (pindang tongkol) diletakkan dalam wadah plastik dengan menggunakan tutup yang aman. Pengambilan sampel dengan metode tak acak (nonprobability sampling), yaitu purposive sampling (perkiraan) dimana penarikan sampel dilakukan dengan perkiraan yang dapat dianggap mewakili populasi. Pengambilan jumlah sampel untuk bahan baku dan produk jadi (pindang tongkol) mengacu pada pengambilan sampel padat atau curah dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Daftar pengambilan sampel padat dalam karung/peti Jumlah contoh per lot Karung/peti
Jumlah sampel yang diambil Karung/peti
1 – 10
Semua karung atau peti harus diambil 5 7 10 Akar pangkat dua dari jumlah karung atau peti
11 – 25 26 – 50 51 – 100 > 100
Sumber: Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian No. : 2897.a/PD.670.320/L/10/07.
3.6 Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, yaitu analisis data dengan cara menggambarkan keadaan dan kondisi pengolahan ikan pindang. Data disajikan dalam bentuk histogram, tabel atau gambar kemudian diinterpretasikan. Statistik deskriptif atau statistik deduktif adalah bagian dari statistik yang mempelajari cara pengumpulan dan penyajian data sehingga mudah dipahami (Hasan 2008).
27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Pengolahan Tradisional Pengolahan tradisional merupakan unit pengolahan produk tradisional melalui proses pengeringan atau penggaraman, dan pengawetan dengan cara pemindangan, peragian, fermentasi serta pengasapan (Heruwati 2002). Produk olahan tradisional sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Produk olahan ini
mempunyai daya awet dan kualitas yang berbeda tergantung cara pengolahan, penyimpanan serta aspek sanitasi yang diterapkan. 4.1.1 Lokasi unit pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT) Muara Angke Unit pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT) berlokasi di Kawasan Perikanan Terpadu Muara Angke, Jakarta Utara. Muara Angke secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Kawasan ini berbatasan dengan Kali Angke di sebelah Barat dan Selatan, Jalan Karang Pluit di sebelah Timur, serta Laut Jawa di sebelah Utara. Lokasi Muara Angke cukup strategis dengan aksesibilitas yang sangat baik. Kondisi jalan beraspal dengan sarana transportasi yang memadai. Jarak PHPT dari Balai Kota Jakarta Utara sekitar 15 km dan berada satu lokasi dengan pendaratan ikan Muara Angke sehingga memudahkan memperoleh bahan baku. Lokasi PHPT bagian timur berbatasan dengan Perumahan Pluit Permai dan PLTU Muara Karang, sebelah barat berbatasan dengan Perumahan Pantai Indah Kapuk, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah selatan berbatasan dengan Pantai Indah Kapuk. PHPT memiliki luas tanah ± 40.000 m2. 4.1.2 Sejarah dan perkembangan unit pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT) Muara Angke Unit pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT) Muara Angke didirikan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta pada tahun 1982 dengan SK Gubernur DKI Nomor 184 tahun 1982. Unit pengolahan tradisional PHPT ini didirikan atas dasar
pertimbangan bahwa daerah Muara Angke merupakan daerah yang strategis,
28
dimana di daerah ini tersedia bahan baku berupa hasil tangkapan laut yang melimpah dan untuk merelokasi unit-unit pengolahan tradisional yang sebelumnya tersebar di sepanjang Pantai Utara Jakarta. Pada awalnya lokasi tersebut di bawah tanggung jawab Badan Pengelola Lingkungan (BPL), kemudian diserahkan pengelolaannya kepada Dinas Perikanan Provinsi DKI Jakarta. 4.1.3 Kondisi pengolah pindang ikan tongkol di unit pengolahan hasil perikanan tradisional (PHPT) Muara Angke. Karakteristik pengolah pindang ikan tongkol di PHPT Muara Angke dapat diketahui setelah dilakukan wawancara dan pengisian kuesioner.
Kuesioner
merupakan sekumpulan pertanyaan yang dirancang untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian. Kriteria kuesioner yang baik, yaitu: mudah dimengerti oleh responden, mudah diproses oleh peneliti, dan mudah ditanyakan oleh petugas pengumpul data (data collector) (Anonimc 2008). Hasil pengisian kuesioner disajikan pada Tabel 4. Tabel 5 Karakteristik pengolah dan kondisi usaha pindang ikan tongkol di PHPT Muara Angke Pengolah A
B
C
D
47 tahun Laki-laki SD 17 tahun 7 orang
50 tahun Laki-laki SD 20 tahun 6 orang
50 tahun Laki-laki SD 20 tahun 5 orang
52 tahun Laki-laki SD 20 tahun 6 orang
Pengolahan pindang ikan tongkol Ikan tongkol 1000-1600 kg/hari 600-1000 kg/hari TPI Muara Angke TPI Muara Baru 10 orang Tidak tamat SD dan tamat SD Pasar lokal
Pengolahan pindang ikan tongkol Ikan tongkol 1000-1600 kg/hari 600-1000 kg/hari TPI Muara Angke TPI Muara Baru 10 orang Tidak tamat SD dan tamat SD Pasar lokal
Pengolahan pindang ikan tongkol Ikan tongkol 1000-1600 kg/hari 600-1000 kg/hari TPI Muara Angke TPI Muara Baru 9 orang Tidak tamat SD dan tamat SD Pasar lokal
Pengolahan pindang ikan tongkol Ikan tongkol 1000-1600 kg/hari 600-1000 kg/hari TPI Muara Angke TPI Muara Baru 10 orang Tidak tamat SD dan tamat SD Pasar lokal
Karakteristik dan kondisi usaha I. Karateristik responden
1 Usia 2 Jenis kelamin 3 Pendidikan terakhir 4 Pengalaman berusaha 5 Jumlah keluaraga II. Karakteristik usaha 6 Jenis usaha 7 Bahan baku 8 Kebutuhan bahan baku 9 Kapasitas produksi 10 Asal bahan baku 11 Jumlah tenaga kerja 12 Tingkat pendidikan tenaga kerja 13 Pemasaran produk
29
Karakteristik pengolah dan kondisi usaha berdasarkan Tabel 5 menunjukkan pada umumnya pemilik dan tenaga kerja berpendidikan rendah atau hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Namun demikian pengalaman usaha yang dimiliki rata-rata di atas 10 tahun, sehingga pengalaman berusaha tersebut sangat mendukung kelancaran usaha pengolahan ikan pindang. Kebutuhan bahan baku per hari untuk setiap pengolah adalah 1000-1600 kg atau 4000-6400 kg per hari untuk semua pengolah. Kapasitas produksi per hari untuk setiap pengolah antara 600-1000 kg, sehingga total produksi yang dihasilkan setiap hari rata-rata 2400-4000 kg. Bahan baku berasal dari dua tempat pelelangan yang cukup besar yaitu TPI Muara Angke dan Muara Baru Jakarta Utara, dengan demikian para pengolah tersebut tidak menemui kesulitan dalam pengadaan bahan baku ikan tongkol. Pemasaran produk pindang ikan tongkol saat ini baru menjangkau pasar lokal, mengingat pasar lokal dapat menyerap semua produk ikan pindang yang dihasilkan oleh para pengolah pindang ikan tongkol dari Muara Angke. 4.1.4 Fasilitas pengolahan pindang UPT PHPT Muara Angke 1 Fasilitas Produksi Pengolahan pindang di PHPT Muara Angke memiliki fasilitas produksi mencakup air, listrik, peralatan pengolahan pindang dan penyimpanan produk. Air yang digunakan berasal dari air bersih yang berasal dari para penjual air eceran. Air digunakan untuk mencuci bahan baku pindang ikan tongkol, dan pada proses pemasakan pindang. Pemenuhan tenaga listrik disuplai dari PLN dengan kapasitas 1300 watt. Listrik dimanfaatkan sebagai penerangan ruang pengolahan. Peralatan pengolahan pindang pada UPT PHPT Muara Angke terdiri dari : (a) Alat perebusan Peralatan perebusan terdiri dari tungku perebusan dan drum perebusan. Tungku perebusan dibuat sederhana yang berasal dari tumpukan bata sedangkan drum yang digunakan memiliki kapasitas 25 kg bahan baku.
Jumlah tungku
perebusan dan drum sebanyak 2 unit tiap unit pengolahan pindang ikan tongkol. Alat perebusan pindang disajikan pada Gambar 5.
30
Gambar 5 Alat perebusan pindang (b) Penyimpanan produk Tempat penyimpanan produk terbuat dari rak kayu yang disatukan dengan ruang pengolahan pindang. Rak kayu mampu menampung sekitar 30-40 naya. 2 Sarana dan Prasarana Penunjang Sarana dan prasarana penunjang yang terdapat di Pengolahan Pindang UPT PHPT Muaran Angke yang menunjang proses produksi meliputi : (a) Keranjang Keranjang yang digunakan sebagai wadah ikan tongkol, memiliki kapasitas 25-50 Kg.
Keranjang berfungsi sebagai wadah bahan baku baik pada saat
penerimaan bahan baku maupun setelah proses pencucian serta sebagai wadah produk olahan pindang yang siap dikemas. Keranjang yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Keranjang
31
(b) Bak fiber glass Bak fiber glass digunakan untuk menampung bahan baku sementara, serta untuk menampung es dengan kapasitas 1000 L. Kapasitas bak untuk bahan baku sebesar 500 Kg.
Gambar 7 menunjukkan fiber glass yang digunakan untuk
menampung bahan baku.
Gambar 7 Bak fibre glass (c) Timbangan Timbangan digunakan untuk menimbang bahan baku. Timbangan yang digunakan yaitu timbangan gantung dengan kapasitas 50 Kg untuk menimbang tongkol per keranjang. (d) Kemasan produk Bahan pengemas yang digunakan adalah naya yang merupakan wadah anyaman bambu untuk menyimpan produk pindang yang siap dipasarkan. Kapasitas naya yang digunakan sekitar 10 ekor ikan. Naya yang digunakan sebagai wadah penyimpanan ikan pada saat perebusan dan produk akhir disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Naya
32
4.2 Penerapan Sanitasi Pada Pengolahan Produk Pindang di PHPT Muara Angke Sanitasi pangan ditujukan untuk mencapai kebersihan yang prima dari tempat produksi, persiapan, penyimpanan, dan penyajian makanan serta air sanitasi pangan. Hal ini merupakan aspek yang sangat esensial dalam setiap kegiatan menyiapkan makanan, khususnya dalam cara penanganan pangan. Program sanitasi dijalankan bukan untuk mengatasi masalah kotornya lingkungan atau kotornya pemrosesan bahan, tetapi untuk menghilangkan kontaminan pada makanan dan mesin pengolahan makanan serta mencegah kontaminasi kembali maupun kontaminasi silang. (Winarno dan Surono 2004). Standar baku sanitasi yang diterapkan di pengolahan pindang UPT PHPT Muara Angke meliputi bagian-bagian sebagai berikut lokasi dan lingkungan, konstruksi bangunan, keamanan air, es, garam, penanganan limbah, toilet, ruang pemeliharaan peralatan, wadah dan alat lain, kontrol sanitasi, perlengkapan anti serangga dan binatang pengganggu lainnya. 4.2.1 Sanitasi bangunan Sanitasi bangunan harus diperhatikan mencakup lay-out desain arsitektur, lantai, dinding, langit-langit, ventilasi, dan penerangan. Lay-out tempat pengolahan pindang ikan tongkol berada di kawasan industri yang telah disetujui. Ruangan produksi tidak disekat sehingga tidak dapat mencegah terjadinya konstaminasi silang. Selain itu, area pengolahan tidak memungkinkan pekerja untuk melakukan pekerjaan secara saniter dan higiene. Hal itu berpotensi terjadinya penyimpangan kritis. Tata letak ruangan produksi dengan ruangan penerimaan bahan baku serta penyimpanan berdasarkan prosedur sanitasi yang baik harus terpisah sehingga mencegah terjadinya kontaminasi silang dan pekerja dapat melakukan pekerjaan secara saniter dan higiene (Lisyanti et al. 2009). Bangunan unit pengolahan dapat disajikan pada Gambar 9.
33
Gambar 9 Bangunan unit pengolahan ikan pindang Dinding pada bagian pengolahan pindang di UPT PHPT Muara Angke tidak halus, retak, kusam serta tidak mudah dibersihkan dan didesinfeksi.
Pertemuan
antara lantai dan dinding serta dinding dan dinding sulit dibersihkan. Dinding dalam ruangan produksi tidak disekat dengan ruang penerimaan bahan baku dan ruangan penyimpanan produk pindang. Selain itu, permukaan dalam dinding tidak kedap air dan tidak tahan lama.
Pertemuan antara dinding dengan dinding dan antara dinding
dengan lantai tidak boleh membentuk sudut mati dan harus melengkung serta rapat air
(Depkes
RI
1978).
Penyimpangan-penyimpangan
tersebut
merupakan
penyimpangan kritis. Dinding ruang pengolahan disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Dinding ruang pengolahan Langit-langit pada pengolahan pindang di UPT PHPT Muara Angke tidak dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan pertumbuhan jamur serta pengelupasan. Selain itu, terdapat retak dan celah serta tidak mudah dibersihkan. Hal ini dapat berpotensi terjadinya kontaminasi silang serta mengganggu proses produksi. Munurut Lisyanti et. al. (2009), langit-langit dalam
34
ruang proses harus dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, kondensasi, pertumbuhan jamur dan pengelupasan. Konstruksi jendela dan bagian yang dapat dibuka pada bangunan dirancang untuk dapat mencegah akumulasi kotoran atau debu serta dilengkapi dengan kasa pencegah masuknya serangga dan mudah dilepas untuk dibersihkan. Permukaan bagian dalam harus halus, rata, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas dan mudah dibersihkan, permukaan rata, halus, berwarna terang dan mudah dibersihkan (Depkes RI 1978) Lantai unit pengolahan di UPT PHPT Muara Angke memiliki permukaan kasar, retak, sulit dibersihkan dan didesinfeksi serta lembab. Lantai pengolahan terbuat dari tanah yang tidak kedap air, licin, mudah pecah dan tidak memiliki kemiringan lantai yang sesuai dan menyebabkan air tergenang.
Konstruksi lantai tidak dibuat
miring 5 ˚. Menurut Winarno dan Surono (2004), lantai harus berbentuk sudut di bagian tengah dan masing-masing ke bagian pinggir kiri dan kanan dengan kemiringan 5º terhadap horizontal. Terjadi penyimpangan kritis pada bagian lantai, yaitu lantai ruang produksi yang jarang dilakukan pengujian laboratorium serta permukaan lantai yang tidak mendukung proses produksi yang saniter. Gambar 11 menunjukkan lantai ruang pengolahan.
Gambar 11 Lantai ruang pengolahan 4.2.2 Pintu Pintu ruangan pengolahan terbuat dari bambu dan terbuka.
Pintu tidak
dirancang dengan baik untuk mencegah kontaminasi dari luar ruang pengolahan. Pembatas ruangan tidak dilengkapi dengan alat pencegah serangga yaitu berupa
35
lampu penarik serangga (insect killer).
Terjadi penyimpangan kritis disebabkan
ruangan tidak dilengkapi pintu dengan desain yang baik. Menurut (Swastawati et al. 2007) ruangan unit pengolahan harus terdapat pintu yang terbuat dari bahan yang tahan lama dan tahan korosi serta menutup secara otomatis serta mudah dibersihkan dan dalam kondisi baik serta dilengkapi dengan alat pencegah lalat. Pintu ruang produksi disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Pintu ruang pengolahan 4.2.3 Saluran pembuangan Instalasi saluran pembuangan di ruang proses terbuat dari bahan yang tahan karat, halus, rata dan tidak membentuk sudut. Saluran ini terbenam ± ½ meter dari permukaan lantai dilengkapi dengan penutup berlubang yang terbuat dari bahan yang tahan karat. Sistem pembuangan air atau saluran kotor dan pembuangan yang tidak lancar sehingga memungkinkan arus balik ke dalam ruang pengolahan. Selain itu, terdapat tumpukan sampah di dalam saluran pembuangan di luar unit pengolahan yang dapat menghambat aliran sistem pembuangan limbah.
Penyimpangan-
penyimpangan tersebut termasuk penyimpangan serius. Saluran pembuangan yang ke luar melalui dinding ruangan pengolahan harus dilengkapi dengan alat pelindung, misalnya jeruji besi yang dapat diangkat sehingga mempermudah pembersihan dan mencegah masuknya tikus dan binatang lainnya ke dalam ruang pengolahan (Winarno dan Surono 2004).
36
4.2.4 Keamanan air Air yang digunakan pada proses produksi berupa air bersih dari PDAM dengan kualitas air minum, serta pasokan air untuk proses produksi mencukupi. Air tersebut digunakan untuk proses pencucian bahan baku dan proses perebusan pindang. Selain itu dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi para pekerja. Air yang digunakan dalam sehari untuk keperluan produksi mencapai 400 liter. Air untuk ke produksi dan untuk air minum tidak dilakukan proses filter terlebih dahulu, selain itu tidak dilakukan proses pengendapan, karena air yang diterima oleh unit pengolahan digunakan langsung untuk proses produksi. Unit pengolahan tersebut tidak memiliki tandon air untuk memisahkan air proses produksi dan air minum. Kran dan outlet distribusi air tidak diberi nomor seri. Hal tersebut menyebabkan penyimpangan mayor pada unit pengolahan. Unit pengolahan harus memiliki tandon khusus untuk menampung air yang digunakan dalam proses produksi serta memiliki sistem pembagian air yang jelas antara air untuk proses produksi, air minum serta air untuk keperluan lain (DKP 2007). Air yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Air untuk proses produksi 4.2.5 Es Es yang digunakan oleh unit pengolahan berasal dari es yang dibeli dari pabrik es yang berada disekitar lokasi unit pengolahan. Es yang digunakan merupakan es curai yang berfungsi untuk mendinginkan bahan baku yang belum digunakan untuk proses produksi. Es digunakan untuk mendinginkan kelebihan bahan baku yang tidak
37
terpakai pada saat produksi.
Pengawasan mutu air dan es tidak dilakukan oleh
mereka disebabkan kurangnya pengetahuan pengolah dalam menerapkan standar keamanan air dan es.
Terjadi penyimpangan mayor pada penanganan es yang
digunakan sebagai pendingin bahan baku. Es yang tidak disimpan dengan baik dapat berpotensi menjadi sumber kontaminasi bagi bahan baku. Menurut DKP (2008) es curai berkualitas baik memberikan penyimpanan yang bersih, lembab, tidak berbahaya, dapat dipindahkan, tidak mahal, dan mencair pada tingkat tertentu. Es juga memainkan peran penting dalam mencegah dehidrasi ikan selama penyimpanan. 4.2.6 Garam Garam terdiri dari 34,39% Na dan 60, 69% Cl, garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet, pada proses pembuatan pindang, garam sangat berperan sebagai pemberi rasa (DKP 2008). Pemberian garam pada proses perebusan pindang pada unit pengolahan pindang di UPT PHTPT Muara Angke sebesar 25% atau 6-7 kg dari total 25 kg bahan baku yang diolah. Foto garam yang digunakan pada proses produksi disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Garam untuk proses pemindangan Mutu garam yang digunakan pada proses pemindangan tidak diawasi dan disimpan dengan baik.
Garam diletakkan di lantai tanpa adanya wadah untuk
menjaga kualitas dan kebersihan garam yang digunakan. Hal ini menyebabkan garam mengalami penurunan mutu yang ditandai dengan kondisi garam yang lembab (basah). Terjadi penyimpanan minor pada proses penyimpanan garam ini, karena garam digunakan dalam proses produksi tidak disimpan pada tempat yang kering dan bersih.
38
4.2.7 Sanitasi permukaan yang kontak dengan produk Permukaan yang kontak dengan produk antara lain keranjang, naya, alat perebusan, tangan pekerja dan rak penyimpanan. Peralatan tersebut dicuci dengan menggunakan air biasa tanpa penambahan disinfektan yang dianjurkan, sehingga terjadi penyimpangan kritis. Selain itu, tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk mengetahui cemaran atau kontaminasi pada peralatan yang digunakan. Menurut DKP (2007) pemukaan bahan yang kontak dengan produk di unit pengolahan harus terbuat dari bahan yang tahan karat, kedap air dengan permukaan yang halus sehingga mudah dibersihkan dan didesinfeksi. 4.2.8 Pencegahan kontaminasi silang Peralatan dan perlengkapan di unit pengolahan ini belum ditata secara baik untuk mencegah kontaminasi dan menjamin kelancaran proses. Proses pembersihan peralatan kotor dilakukan diarea yang sama dengan ruang produksi. Selain itu, bagian penerimaan bahan baku, penyimpanan dan ruang produksi berada dalam ruang yang sama tanpa adanya dinding pembatas sehingga potensi terjadinya kontaminasi silang sangat besar. Peralatan yang digunakan pada tiap tahapan produksi tidak diberi tanda sehingga meningkatkan peluang terjadinya kontaminasi silang.
Penyimpangan
tersebut berpotensi terjadinya penyimpangan kritis. Kontruksi bangunan didesain tanpa memperhatikan upaya pencegahan perpindahan kontaminan dari area yang kotor ke area yang bersih. Sehingga, peralatan yang berasal dari bagian reciever berpotensi digunakan pada area produksi. Misalkan penggunaan keranjang yang sama dibagian reciever dan produksi. Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata sedemikian rupa sehingga terlihat jelas tahap-tahap proses yang menjamin kelancaran pengolahan, mencegah kontaminasi silang dan mudah dibersihkan (DKP 2007). 4.2.9 Penanganan limbah Limbah yang dihasilkan oleh unit pengolahan pindang berupa limbah padat yang berupa potongan kepala dan jeroan ikan tongkol.
Limbah padat ini akan
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pakan ternak sehingga tidak ada
39
perlakukan khusus untuk penanganan limbah padat. Wadah pembuangan limbah yang digunakan merupakan keranjang yang digunakan untuk menampung bahan baku ikan tongkol. Hal ini merupakan penyimpangan kritis yang dapat meningkatkan kontaminasi silang dari limbah padat ke bahan baku ikan tongkol yang digunakan. Selain itu, wadah yang digunakan tidak dicuci dengan menggunakan disinfektan yang menyebabkan akumulasi kontaminan pada wadah tersebut. Menurut DKP (2007) area pembuangan limbah terpisah, tempat limbah tahan karat dan dilengkapi dengan tutup, tempat limbah dibersihkan dengan benar, limbah dipindahkan minimal sekali dalam sehari serta tempat penyimpanan limbah tidak berpotensi menyebabkan kontaminasi. 4.2.10 Higiene pekerja Karyawan yang bekerja di pengolahan pindang ikan tongkol tidak menggunakan pakaian khusus bahkan tidak diberlakukan proses pergantian pakaian tiap tahapan pengolahan produksi. Selain itu, pakaian karyawan tidak dicuci oleh unit pengolahan.
Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis yang
berpotensi menyebabkan kontaminasi silang yang berasal dari pakaian karyawan yang bekerja dibagian penerimaan bahan baku ke bagian produksi. Foto kondisi hygiene pekerja disajikan pada gambar 15.
Gambar 15 Karyawan yang bekerja di ruang pengolahan Ruangan unit pengolahan pindang tidak terdapat tanda-tanda yang jelas untuk pelarangan merokok, makan, meludah dan lainnya, baik di ruang pengolahan maupun
40
di tempat penyimpanan.
Karyawan tidak mendapatkan pelayanan pengecekan
kesehatan yang dilakukan secara berkala. Selain itu, pada tiap tahapan produksi tidak ada instruksi khusus untuk melakukan cuci tangan.
Hal ini akan menyebabkan
terjadinya penyimpangan kritis yaitu terjadinya kontaminasi dari karyawan ke produk yang dihasilkan. 4.2.11 Sanitasi peralatan dan perlengkapan Peralatan yang digunakan selama proses dibersihkan sesudah proses oleh para pekerja. Keranjang, baskom, dan peralatan yang lain dibersihkan dengan cara disikat menggunakan sabun, kemudian dibilas dengan air biasa dan ditiriskan. Peralatanperalatan lain misalnya pisau yang terbuat dari stainlees steel dibersihkan dengan air biasa yang dilakukan sesudah proses. Potensi penyimpangan yang terjadi adalah penyimpangan minor. Proses pencucian seharusnya menggunakan air klorin untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari peralatan ke produk pindang yang dihasilkan. Air pencucian yang digunakan untuk mencuci peralatan mengandung maksimal 200 mg/l. Untuk peralatan yang memiliki sifat korosif pencucian dilakukan dengan menggunakan konsentrasi klorin yang rendah, yaitu sebesar 50-100 mg/l dalam waktu 10-20 menit selama digunakan (Huss et al. 2004). Desain bangunan unit pengolahan pindang terbuka tanpa adanya pintu serta lantai yang terbuat dari tanah menghambat proses sanitasi pada saat pengolahan pindang. Selain itu, tempat pencucian peralatan yang berada dalam satu ruangan dengan ruang produksi dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang pada produk pindang. 4.2.12 Penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sanitasi, cuci tangan dan toilet Selama proses produksi pekerja tidak mencuci tangannya setiap akan melakukan proses produksi secara berkala. Pekerja melakukan cuci tangan hanya pada awal produksi dengan menggunakan air biasa tanpa penambahan disinfektan. Ruang pengolahan (proses) tidak dilengkapi dengan bak cuci tangan khusus. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis.
Menurut Winarno dan
Surono (2004) ruang pengolahan (proses) harus dilengkapi dengan bak cuci tangan
41
minimal satu untuk setiap 10 orang karyawan. Para pekerja wajib mencuci tangannya dengan air klorin 10 mg/l setiap 1 jam (Huss et al. 2004). Gambar 16 menunjukkan toilet pada ruang produksi.
Gambar 16 Toilet (kamar mandi) karyawan Sarana toilet di unit pengolahan pindang letaknya terbuka langsung dengan ruang proses pengolahan karena terletak satu tempat dengan ruang produksi. Toilet karyawan yang berjumlah sekitar 10 orang. Menurut Winarno dan Surono (2004), untuk 50-100 karyawan harus disediakan minimal 3 buah toilet dan setiap penambahan 50 karyawan ditambahkan 1 toilet. Ini berarti unit pengolahan pindang minimal harus menyediakan 1 toilet untuk 10 orang pekerja. Secara umum kondisi toilet pabrik kotor, ini disebabkan oleh tidak dijaganya kebersihan toilet oleh petugas khusus seperti petugas pembersih. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan mayor. 4.2.13 Sanitasi pengendalian hama Upaya pengawasan, pencegahan dan pembasmian hama tidak dilakukan oleh unit pengolahan pindang. Hal ini dibuktikan dengan ruangan yang terbuka dan pintu hanya terbuat dari bambu, tidak adanya lampu insect kill pada ruangan pengolahan serta tidak dilakukan proses pembasmian hama secara berkala. Selain itu, unit pengolahan tidak menerapkan prosedur pest control untuk mencegah adanya hama pengganggu.
Pengendalian hama seperti hama tikus dapat diatasi dengan
menggunakan perangkap tikus yang diletakkan di sekitar lokasi pengolahan. Penyimpangan tersebut merupakan penyimpangan kritis.
42
4.3 Mutu dan Keamanan Proses Pengolahan Pindang Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Menurut Tjiptono dan Diana (1995) mutu secara umum mengandung unsurunsur yang dapat diterima secara universal, yaitu: meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan, mencakup produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan, serta merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya yang dianggap merupakan bermutu saat ini mungkin dianggap kurang bermutu pada masa mendatang). Mutu produk pangan yang baik harus menjamin keamanan produk tersebut untuk dikonsumsi oleh manusia, baik dilihat dari aspek miokrobiologi maupun aspek fisika-kimia dari produk tersebut. Oleh karena itu terdapat dua aspek utama dalam mengartikan mutu (Tjiptono dan Diana 1995): 1. Ciri-ciri produk yang memenuhi permintaan pelanggan. Mutu yang lebih tinggi memungkinkan perusahaan meningkatkan kepuasan pelanggan, membuat produk laku terjual, dapat bersaing dengan pesaing, meningkatkan pangsa pasar dan volume penjualan, serta memenuhi aspek keamanan produk yang sesuai. 2. Bebas dari kekurangan. Mutu yang tinggi menyebabkan perusahaan dapat mengurangi tingkat kesalahan, mengurangi pengerjaan kembali dan pemborosan, mengurangi biaya garansi, mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi inspeksi dan pengujian, memperpendek waktu pengiriman produk ke pasar, meningkatkan hasil dan kapasitas, dan memperbaiki kinerja penyampaian produk atau jasa. Proses produksi pindang ikan tongkol yang diterapkan pada unit pengolahan pindang di PHPT Muara Angke meliputi penerimaan bahan baku, pencucian, penyiangan, perebusan, pengemasan, dan distribusi. 4.3.1
Penerimaan bahan baku Penerimaan bahan baku ikan tongkol yang digunakan pada pengolahan ikan
pindang telah menerapkan sistem FIFO (First In First Out), yaitu bahan baku yang datang lebih awal akan diproses terlebih dahulu, namun apabila bahan baku yang diperoleh melebihi kapasitas produksi maka dilakukan penyimpanan. Selama proses pengolahan bahan baku sudah ditangani dengan prinsip rantai dingin (cold chain),
43
namun tidak dalam kondisi yang saniter. Dalam penanganannya di lapang suhu ikan tongkol beku dipertahankan suhu pusatnya tetap sebesar <5 ˚C.
Hal ini sangat
berbeda dengan prosedur GMP (Good manufacturing Practices) yaitu dalam setiap tahap proses produksi suhu pusat tongkol dipertahankan sebesar <3 ˚C (Winarno dan Surono 2004). Jika melihat fakta di lapang maka hal ini sangat sulit diterapkan karena para pekerja yang kurang memperhatikan kondisi sanitasi tempat pengolahan. Selain itu, peran pemilik unit pengolahan sebagai pengawas pada setiap unit produksi belum cukup efektif untuk mengatasi masalah ini. Bahan baku yang digunakan merupakan ikan tongkol dalam bentuk beku. Bahan baku yang akan diolah harus melalui proses thawing agar mempermudah proses pembuatan pindang tongkol.
Prosedur penanganan bahan baku pada
pengolahan pindang tradisional di UPT PHPT Muara Angke kurang memenuhi persyaratan seperti penanganan yang tidak hati-hati sehingga menyebabkan kerusakan fisik pada bahan baku yang akan diolah serta proses sortasi yang tidak spesifik (disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku). Menurut Junianto (2003) prosedur yang dilakukan untuk mendapatkan bahan baku yang baik antara lain penanganan bahan baku yang diterima dari bagian penerimaan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya kerusakan fisik pada bahan baku, kualitas serta size dari bahan baku yang diterima, serta sortasi dan penimbangan agar sesuai dengan spesifikasi. Bahan baku yang digunakan pada pengolahan ikan pindang ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17 Bahan baku ikan tongkol
44
Bahan baku ikan tongkol yang digunakan pada pembuatan pindang dilakukan uji organoleptik, analisis mikrobiologi dan analisis kimia untuk menilai kualitas bahan baku yang digunakan. Produk pindang dipengaruhi oleh kualitas bahan baku yang digunakan. Hasil uji organoleptik bahan baku tongkol yang digunakan pada pengolahan pindang disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18 Hasil uji organoleptik ikan tongkol pada tiap unit pengolahan pindang di UPT PHPT Parameter uji organoleptik ikan tongkol yang digunakan sebagai bahan baku ikan pindang mencakup lapisan es, dehidrasi, diskolorisasi, penampakan, bau dan daging (SNI 2006). Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa pada parameter lapisan es nilai organoleptik ikan tongkol beku sebesar 6,5-6,78. Lapisan es pada ikan memiliki fungsi untuk mendinginkan ikan hingga ke suhu yang tepat di atas beku (0-2 °C) dan memperlambat proses pembusukan oleh aktivitas bakteri dan enzim (DKP 2008). Peningkatan suhu pada bahan baku akan menyebabkan proses pengrusakan mutu ikan tongkol baik secara kimia maupun secara mikrobiologis. Dehidrasi merupakan suatu kondisi hilangnya kandungan air di dalam ikan, dapat mengakibatkan terjadinya freezer burn. Berdasarkan pada Gambar 1 nilai uji organoleptik dehidrasi berkisar sebesar 6,72-6,84.
Dehidrasi mengakibatkan
turunnya berat, sifat fisik produk berubah, dan jaringan menjadi kering dan keras
45
(Hui et. al, 2004). Pada produk berlemak, dehidrasi yang diikuti dengan terbukanya struktur jaringan dapat mempercepat proses oksidasi. Perubahan warna (diskolorisasi) merupakan proses penurunan mutu pada bahan baku hasil perikanan.
Warna dadu atau merah pada kulit sebagian besar ikan
memudar selama penyimpanan dingin atau beku yang disebabkan oleh oksidasi pigmen carotenoid.
Berdasarkan pada Gambar 18 nilai diskolorisasi sebesar
6,78-6,83. Tingkat pudarnya warna kulit ikan bergantung pada ikan, ketersediaan oksigen, dan suhu ruang penyimpanan. Memudarnya warna carotenoid dapat terjadi karena (i) oksidasi ikatan ganda yang terkonjugasi, (ii) radikal bebas yang terlepas selama oksidasi lemak yang bergabung bersama carotenoid untuk membentuk lemak hidroperoksida, dan (iii) aktivitas enzim. Oksidasi mioglobin yang berwarna merah terang menjadi metmyoglobin yang berwana coklat dapat terjadi melalui jalur nonenzimatis dan enzimatis (DKP 2008). Bau pada daging ikan
merupakan salah satu parameter untuk menetukan
kesegaran bahan baku ikan. Berdasarkan pada Gambar 18 nilai organoleptik untuk bau sebesar 6,46-6,73.
Spesies laut pada umumnya mengandung senyawa
trimethylamine oksida (TMAO) yang tidak berbau. Namun suatu reaksi mengubah senyawa tersebut menjadi TMA. Reaksi tersebut dicirikan dengan adanya bau seperti amonia, dalam kombinasi dengan senyawa lainnya dapat menimbulkan bau amis. Pengurangan bertahap pada TMAO dan peningkatan yang bersamaan pada TMA telah digunakan sebagai ukuran pembusukan secara kimia pada beberapa ikan laut dan secara organoleptik bau yang ditimbulkan digunakan sebagai ukuran kesegaran ikan (DKP 2008). Tekstur (daging) merupakan parameter yang penting dalam mengukur mutu makanan berbahan daging termasuk ikan. Pada umumnya, ikan memiliki tekstur daging yang lebih lembut dari daging merah karena mengandung jaringan penghubung (connective tissue) yang rendah dan jaringan silang (cross-linking) yang lebih rendah. Hasil uji organoleptik tekstur (daging) ikan tongkol pada Gambar 18 sekitar 6,56.
Perubahan tekstur daging ikan terjadi terutama karena berubahnya
jaringan penghubung oleh protease endogen.
Pelunakan dan pelembutan daging
46
dikaitkan dengan hilangnya piringan-piringan Z pada sel otot dengan terlepasnya α-actinin, pemisahan actomiosin kompleks, penghancuran dan denaturisasi total jaringan penghubung (DKP 2008). Berdasarkan SNI 01-4110.1-2006, ikan beku (frozen) memiliki nilai organoleptik 7-9. Fase rigor mortis ikan tongkol memiliki nilai organoleptik sekitar 6-8. Ikan ini memiliki ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabuabuan, kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir. Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang (SNI 2006). Fase post rigor ikan tongkol memiliki nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik untuk dimakan sebelum ikan tersebut busuk. Pada skala 1-9, nilai organoleptik 7 merupakan batas akhir dimana ikan dalam kondisi terbaik untuk dimakan (SNI 2006). Adapun ciricirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir. Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan. Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek daging dari tulang belakang. Menurut SNI 01-4110.1-2006, nilai organoleptik 5-6 tergolog ikan yang agak segar (SNI 2006). Parameter mutu bahan baku hasil perikanan selain uji organoleptik adalah analisis mikrobiologi dan kimia.
Analisis mikrobiologi yang digunakan pada
penelitian ini mencakup analisis TPC, E. coli, dan Salmonella. Parameter kimia yang diuji adalah TVBN, histamin, dan formalin. Hasil analisis mikrobiologi bahan baku ikan (TPC, E. coli, Salmonella) dan kimia (Histamin, TVBN, Formalin) disajikan pada Tabel 6.
47
Tabel 6 Hasil analisis mikrobiologi dan kimia pada bahan baku ikan tongkol di pengolahan A, B, C, D Parameter Mutu
Satuan
Jumlah A
B
C
D
2,67 x 105
4,17 x 105
2,76 x 105
10,5 x 105
a. Mikrobiologi TPC
koloni/g
-
Escherichia coli
APM/g
<2
<2
<2
<2
-
Salmonella
per 25 g
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
(mg/kg)
3,79
2,55
9,34
4,06
(N-mg/100 gr)
8,14
5,02
9,97
8,01
b. Kimia -
Histamin
-
TVBN
Nilai TPC dapat dijadikan sebagai indikator keberadaan bakteri pembusuk pada ikan (Huss 1995). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa jumlah koloni yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks bagi jumlah mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam sampel. Nilai TPC disajikan dalam log TPC, yaitu jumlah bakteri secara logaritmik.
Ikan yang masih hidup memiliki sistem kekebalan yang
melindunginya dari pertumbuhan bakteri.
Ketika ikan mati, sistem kekebalan
berhenti bekerja sehingga bakteri mulai tumbuh pada ikan. Berbagai macam bakteri akan tumbuh pada ikan dan menurunkan mutu ikan hingga akhirnya ikan menjadi busuk dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Berdasarkan Tabel 6 diperoleh data hasil analisis mikrobiologi bahan baku ikan tongkol untuk TPC pada tiap unit pengolahan (A, B, dan C) sebesar 2,67 x 105; 4,17 x 105; dan 2,67 x 105. Nilai TPC tersebut masih dibawah ambang batas yang masih diperbolehkan, sedangkan nilai TPC pada unit pengolahan D sebesar 10,5 x 105 melebihi ambang batas. Standar baku mutu TPC ikan beku sebesar 5 x 105 (SNI 2006). Mikroba merupakan penyebab pembusukan pada ikan yang didinginkan. Oleh sebab itu, analisis mikrobiologi diperlukan untuk mengetahui kualitas serta keamanan pangan pada bahan baku ikan yang digunakan. Ada beberapa jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan pembusukan, namun salah satu mikroorganisme yang
48
menjadi perhatian utama adalah bakteri (DKP 2008).
Sebagian besar bakteri
biasanya terdapat pada lendir permukaan, pada insang, dan usus ikan yang masih hidup. Bakteri yang hidup pada bagian tubuh ikan serta mempengaruhi kualitas mutu ikan antara lain Escherichia coli dan Salmonella.
Tabel 6 menunjukkan jumlah
Escherichia coli yang terdapat pada bahan baku ikan beku di setiap unit pengolahan sebesar <2, jumlah ini sesuai dengan standar baku E. coli ikan beku yaitu sebesar <2 (SNI 2006).
Pada setiap bahan baku ikan beku yang digunakan pada pengolahan
ikan pindang tidak ditemukan Salmonella di dalamnya. Salmonella merupakan bakteri pathogen yang dapat menyerang pencernaan (gastrointestinal). Bakteri tersebut ditemukan disetiap tempat perairan ya g tercemar, misalnya kolam, daerah pantai dalam dalam tubuh ikan yang perairannya tercemar, walaupun dalam jumlah yang rendah (Mol et al. 2010) Pengujian menggunakan metode TVB adalah salah satu indikator untuk menentukan tingkat kesegaran ikan (SNI 1998). Menurut Siagian (2002) senyawa volatile yang digunakan sebagai indikator kebusukan ikan antara lain TVBN (Total Volatile Base Nitrogen), TVA (Total Volatile Acids), TVS (Total Volatile Substance) dan TVN (Total Volatile Nitrogen). Berdasarkan Tabel 6 nilai TVBN ikan tongkol beku yang digunakan masing-masing unit pengolahan (A, B, C dan D) sebesar 8,14 N-mg/100 g, 5,02 N-mg/100 g, 9,97 N-mg/100 g dan 8,01 N-mg/100 g. Nilai TVBN ikan tongkol beku yang digunakan masih di bawah standar baku yang ditentukan oleh SNI yaitu sebesar 30 N-mg/100 gr. Oleh sebab itu, ikan tongkol beku yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pindang masih layak untuk dikonsumsi. Nilai TVB meningkat seiring dengan kemunduran mutu ikan. Kenaikan nilai TVB pada ikan selama kemunduran mutu berhubungan dengan autolisis oleh enzim dan aktivitas bakteri (Huss 1995). Histamin adalah komponen yang menyebabkan keracunan scombroid, yaitu sejenis alergi yang diakibatkan karena memakan racun ikan yang sebagian besar adalah scrombroidea, yang terdapat dalam ikan-ikan: tuna, bonito, kingfish, dan mackerel. Kadar histamin dalam ikan penting untuk digunakan sebagai indikator tingkat kebusukan dan indikator terhadap substansi yang memenuhi syarat kesehatan
49
masyarakat (SNI 2006). Berdasarkan Tabel 6 kadar histamin pada ikan tongkol beku yang digunakan pada masing-masing unit pengolahan (A, B, C dan D) sebesar 3,79 mg/kg, 2,55 mg/kg, 9,34 mg/kg dan 4,06 mg/kg. Standar kadar histamin pada bahan baku yang aman dikonsumsi adalah kurang dari 100 mg/kg (SNI 2009). Konsumsi makanan yang mengandung sedikit histamin akan menimbulkan efek yang tidak berbahaya bagi manusia, namun jika histamin yang dikonsumsi melebihi standar baku dapat bersifat toksik bagi manusia (Keer et al. 2002). Formalin adalah nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 %.
Formalin ini biasanya digunakan sebagai bahan baku industri lem,
playwood dan resin; disinfektan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian; germisida dan fungisida pada tanaman sayuran; serta pembasmi lalat dan serangga lainnya. Larutan dari formaldehida sering dipakai membalsem atau mematikan bakteri serta mengawetkan bangkai (Nuryasin 2006). Hasil uji formalin terhadap bahan baku ikan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kandungan formalin yang terdapat pada bahan baku ikan tongkol Parameter Unit Pengolah A B C D
Formalin Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa beberapa sampel yang diuji masih mengandung formalin.
Hasil pengamatan pada proses pembuatan pindang ikan
tongkol tidak dilakukan penambahan formalin sebagai bahan pengawet, karena proses perebusan pada pembuatan pindang dapat mempertahankan mutu ikan pindang yang dihasilkan. Formalin yang ditemukan pada hasil analisis diduga berasal dari para nelayan yang menggunakan formalin untuk mengawetkan hasil tangkapannya selama di laut.
50
Formalin
menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
(MenKes)
Nomor
1168/MenKes/PER/X/1999, merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang untuk produk makanan (Nuryasin 2006). Formalin jika termakan, dalam jangka pendek tidak menyebabkan keracunan, tetapi jika tertimbun di atas ambang batas dapat mengganggu kesehatan. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan
konvulsi
(kejang-kejang),
haematuri
(kencing
darah)
dan
haematomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian. Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu 3 jam (Winarno 1997). 4.3.2 Pencucian Proses pencucian dilakukan setelah ikan ditimbang. Ikan tongkol yang berasal dari bagian penerimaan bahan baku diterima di ruang produksi. Sebelum dilakukan proses perebusan dilakukan pencucian dengan cara menyiramkan ikan tongkol dengan air bersih tanpa penambahan klorin.
Air yang digunakan dalam proses
produksi harus memenuhi standar kualitas dan sanitasi air yang baik. Menurut WHO (1993) dalam Huss et al. (2004) air yang digunakan harus melewati proses filtrasi dan disinfeksi sebelum digunakan dalam proses industri pengolahan. Kualitas air tersebut harus sama dengan kualitas air minum.
Huss
et al. (2004) menjelaskan air
pencucian yang digunakan merupakan air dingin berklorin 5 mg/l. Pencucian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang ada pada ikan tongkol. 4.3.3 Perebusan Proses pengolahan pindang tongkol yang dilakukan di UPT PHPT Muara Angke mengikuti diagram alir proses yang ditetapkan (Adawyah 2007). Ikan tongkol dilakukan proses penyiangan untuk membersihkan insang dan jeroan. Kemudian proses pencucian dan penirisan. Ikan yang telah bersih dilakuan proses penyusunan pada wadah perebusan (naya), sebelum ikan disusun dasar wadah atau naya dimasukkan angsang anyaman bambu untuk mencegah ikan menempel langsung di dasar wadah. Hal ini bertujuan agar ikan tidak lengket pada wadah perebusan yang mengakibatkan kerusakan fisik pada ikan. Setelah wadah siap, ikan disortir lagi dan
51
disusun secara horizontal. Di atas tiap lapis ikan ditaburkan garam dan pada lapisan paling atas ditaburkan garam hingga semua lapisan ikan tertutup oleh garam. Kemudian air dimasukkan ke dalam wadah perebusan hingga hampir menyentuh ikan pada lapisan paling bawah. Pemanasan dilakukan dalam dua tahap yaitu pemanasan untuk mematangkan ikan dan pemanasan untuk menguapkan sebagian air pada ikan. Pada pemanasan pertama ikan dipanaskan pada nyala api besar selama 1-2 jam. Air dalam wadah ditiriskan melalui lubang penirisan pada bagian bawah, kemudian ditutup kembali dengan lapisan garam dan dilakukan kembali proses pemanasan. Pemanasan kedua dilakukan dengan nyala api kecil hingga lapisan garam penutup sudah tidah membentuk kristal tetapi mengeras membentuk gumpalan.
Pada tahap tersebut
terjadi proses pengeringan yaitu terjadi penguapan air di dasar wadah dan di sekitar ikan serta penguapan sebagian kecil air dari dalam ikan. Namun untuk mencegah tekstur daging menjadi keras dilakukan penyiraman dengan air panas, Sehingga ikan pindang menjadi lebih kering dan lebih awet. dilakukan proses pendinginan.
Setelah proses perebusan selesai
Kemudian dilakukan proses sortasi untuk
memisahkan ikan yang mengalami kerusakan pada saat proses perebusan. Proses sortasi dilakukan dengan hati-hati karena ikan pindang cukup rapuh jika diangkat. Produk pindang yang dihasilkan disajikan pada Gambar 19.
Gambar 19 Produk pindang ikan tongkol
52
Produk pindang yang telah disortasi kemudian disimpan di rak-rak penyimpanan. Produk pindang yang dihasilkan dari unit pengolahan pindang di UPT PHPT memiliki karakteristik mikrobiologi dan kimia yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil analisis mikrobiologi dan kimia produk pindang pada pengolahan ikan A, B, C, D Parameter Mutu
Satuan
Jumlah A
B
C
D
20,1 x 105
2,78 x 105
13,67 x 105
3,05 x 105
a. Mikrobiologi TPC
koloni/g
-
Escherichia coli
APM/g
<2
<2
<2
<2
-
Salmonella
per 25 g
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
(mg/kg)
20,47
52,93
24,67
21,13
(N-mg/100 gr)
13,97
15,21
13,50
9,87
b. Kimia -
Histamin
-
TVBN
Tabel 8 menunjukkan data hasil analisis mikrobiologi produk pindang ikan tongkol, untuk TPC pada tiap unit pengolahan melebihi ambang batas mutu yang disyaratkan. Standar ambang batas mutu TPC pada ikan pindang sebesar 1 x 105 (SNI 1992). Peningkatan nilai TPC pada produk pindang diduga disebabkan oleh penyimpanan produk akhir yang tidak higiene pada ruang yang terbuka pada waktu yang lama sehingga terjadi kontaminasi silang.
Menurut Winarno dan Surono
(2004), kontaminasi silang pada produk akhir dapat berasal dari ruangan penyimpangan yang tidak bersih, adanya kontak langsung dengan pekerja dan kemasan produk yang tidak higiene. Sedangkan untuk parameter mikrobiologi yang lain, yakni nilai kandungan E. coli dan Salmonella, masih di bawah ambang baku mutu produk ikan pindang. Standar ambang baku kandungan E. coli dan Salmonella adalah <2 dan negatif (SNI 1992). Hasil analisis kandungan formalin pada produk pindang ditunjukkan pada Tabel 8.
53
Tabel 9 Kandungan formalin yang terdapat produk pindang pada pengolahan ikan A, B, C, D Parameter Unit Pengolah A B C D
Berdasarkan
Formalin Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Tabel 9 diketahui bahwa pada produk pindang yang telah
diproses, terdapat beberapa sampel yang masih mengadung formalin. Sebanyak 6 sampel atau sebesar 25% dari total sampel produk pindang yang diuji masih positif mengandung formalin. Kandungan formalin diduga tidak hilang seluruhnya selama proses pengolahan, namun masih tersisa walupun dalam jumlah sedikit. Proses pengolahan tidak dapat menghilangkan formalin dalam bahan pangan secara keseluruhan, akan tetapi perendaman dalam air selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin sampai 61,25%, air leri mencapai 66,03%, dan pada air garam hingga 89,53% (Anonimd 2009). Bahan baku ikan yang mengandung formalin direndam dalam air hangat selama 90 menit, dapat mengurangi kadar formalin lebih dari 57,28% (Zahro et. al. 2008). Tiga metode penanganan dapat dilakukan untuk mengurangi kadar formalin dalam bahan baku, yaitu: direndam dalam air biasa, dalam air panas, direbus dalam air mendidih, dikukus kemudian direbus dalam air mendidih dan diikuti dengan proses penggorengan (Anonimd 2009). 4.3.4 Pengemasan Proses pengemasan untuk produk akhir ikan pindang UPT PHPT Muara Angke dilakukan setelah proses sortasi produk akhir pindang dilakukan. Pindang dikemas dalam kardus agar lebih aman dan menghindari kontaminasi kotoran dari luar selama proses transportasi serta menambah daya tarik dari produk ikan pindang.
54
4.3.5 Penyimpanan Setiap produk akhir yang dikemas langsung disimpan di dalam ruang sederhana.
Proses penyimpanan hanya dilakukan sementara untuk menghindari
kemunduran mutu ikan pindang karena tempat penyimpanan yang kurang saniter, tidak tertutup dan tidak dilengkapi dengan alat pendingin. Umumnya produk pindang segera didistribusikan kepada pembeli setelah semua proses produksi selesai. 4.3.6 Distribusi Distribusi produk pindang ikan tongkol di UPT PHPT Muara Angke telah dilakukan dengan baik. Produk ikan pindang tongkol tersebut dipasarkan oleh pekerja unit pengolahan yang khusus memasarkan produk tersebut.
Sasaran dan lokasi
pemasaran ikan pindang olahan UPT PHPT Muara Angke, yaitu pasar tradisional yang berada di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
55
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap kondisi unit pengolahan di lapangan, terdapat berbagai penyimpangan, yaitu: penyimpangan kritis sebanyak 10, penyimpangan serius 1, mayor 3 dan minor 2.
Sehingga unit
pengolahan pindang dikatakan tidak layak digunakan sebagai unit pengolahan produk perikanan yang sesuai dengan standar baku yang baik. Parameter analisis organoleptik bahan baku ikan tongkol yang digunakan untuk pembuatan pindang ikan tongkol mencakup lapisan es, dehidrasi, diskolorisasi, kenampakan, bau dan daging (tekstur).
Hasil uji organoleptik
menunjukkan bahwa bahan baku pada setiap unit pengolahan yang digunakan memiliki nilai rata-rata sebesar 6,33-6,83 di bawah standar baku, sehingga bahan baku yang digunakan tidak layak sebagai produk ikan pindang. Hasil uji TPC pada bahan baku masih ditemukan nilai TPC yang melebihi ambang batas yaitu sebesar 10,5 x 105 (pada unit pengolahan D).
Hasil analisis TPC pada produk
ikan pindang semua melebihi ambang batas yang disyaratkan. Selain itu, berdasarkan pengujian formalin masih ditemukan kandungan formalin pada bahan baku dan produk ikan pindang sebanyak 25% dari total sampel yang diuji. Analisis yang dilakukan terhadap penerapan sanitasi, karakteristik mikrobiologikimia serta uji organoleptik bahan baku dan produk pindang di unit pengolahan pindang UPT PHPT Muara Angke secara umum tidak memenuhi syarat standar baku mutu produk hasil perikanan yang baik. 5.2 Saran Perlu
dilakukannya
pembinaan
dan
penyuluhan
oleh
pemerintah
DKI Jakarta sebagai stakeholder akan penerapan GMP dan SSOP yang baik sebagai prasyarat menghasilkan produk pangan yang aman bagi konsumen. Pemerintah pusat wajib menyusun dan membuat regulasi standar GMP dan SSOP khusus untuk pengolahan produk tradisional. Perlu diadakan suatu contoh model industri
pengolahan
kelayakan dasar.
pindang
oleh
pemerintah
yang
memenuhi
syarat
56
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Anonima.
2010. Sumber Daya Alam Provinsi DKI Jakarta. http://worldfriend.web.id/indonesia/provinsi-dki-jakarta [30 April 2010].
Anonimb. 2010. Euthynnus affinis. Food and Agriculture Organization of the United Nations. http://www.fao.org/fishery/species/3294/en. [10 Mei 2010]. Anonimc.
2008. Metode dan Intrumen Pengumpulan http://tesis08.blogspot.com/2008/11/ [11 Agustus 2010].
data
Anonimd. 2009. Formalin pada Makanan-Tips Mengurang Kadar Formalin pada Makan. http://www.davidhartanto.com [ 11 Agustus 2010]. Badan Karantina Pertanian. 2007. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor: 2897.a/PD.670.320/L/10/07, Tentang Pedoman Pengambilan Sampel dalam rangka Monitoring Hama dan Penyakit Hewan Karantina pada Hewan dan Bahan Asal Hewan serta Hasil Bahan asal Hewan di daerah pemasukan/pengeluaran dan daerah penyebaran eks pemasukan. Jakarta: Departemen Pertanian. Badan Standarisasi Nasional [BSN]. 1992. Ikan pindang: SNI 01-2717-1992. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. . 1998. Metode Pengujian Produk Perikanan, Penentuan Total Volatile Base (TVB): SNI 01-2360-1998. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. . 2006. Ikan beku - Bagian 1: Spesifikasi SNI: SNI 01-4110.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. . 2006. Cara uji mikrobiologi - bagian 1: Penentuan coliform dan Escherichia coli pada produk perikanan: SNI 01-2332.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. . 2006. Cara uji mikrobiologi - Bagian 2: Penentuan Salmonella pada produk perikanan: SNI 01-2332.2-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
57
. 2006. Cara uji mikrobiologi - Bagian 3: Penentuan angka lempeng total (ALT) pada produk perikanan: SNI 012339-1991. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. . 2006. Uji Organolaeptik pada ikan beku: SNI 01-4110.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. . 2009. Cara uji kimia - Bagian 10: Penentuan kadar histamine dengan Spektroflorometri dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada produk perikanan: SNI 2354.10:2009. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Collete BB, Nauen CE. 1983. Scombrids of the World: An Introduction and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerel, Bonetos, and related species unkown to date. Species Catalogue 2, hal 287. Darmo JP. 2008. Evaluasi resiko kadar histamine selama proses pengolahan tuna loin beku. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP]. 2008. Bantuan Teknis untuk Industri Ikan dan Udang Skala Kecil dan Menengah di Indonesia (Teknik Pasca Panen dan Produk Perikanan). Jakarta: DKP. Departemen kesehatan Republik Indonesia [Depkes RI]. 1978. Keputusan menteri kesehatan RI nomor 23/MEN.KES/SK/I/1978 tanggal 24 Januari 1978 tentang cara produksi yang baik untuk makanan. Jakarta: Depkes RI. Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP]. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. Kep. 01/Men/2007 Tentang Penrsyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan dan Distribusi. Jakarta: DKP. Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 2008. Laporan Tahunan UPT PHPT Muara Angke, Jakarta. Jakarta: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DKI Jakarta. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan [Ditjen PPHP]. 2007. Peraturan No. PER.011/DJ-P2HP/2007 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Erungan AC, Bustami I, Josephin W. 2008. Pengantar Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada industri perikanan. [Diktat Kuliah]. Bogor: Direktorat Program Diploma dan Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
58
Faiza R. 2004. Kajian beberapa aspek program pemberdayaan masyarakat pesisir nelayan pengolah Muara Angke. Makalah Sains Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (PPS 702), hal 2. Hasan MI. 2008. Pokok-Pokok Materi Statistik 1 (Statistik Deskripsi), Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara. Heruwati ES. 2002. Pengolahan ikan secara tradisional: prospek dan peluang pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian 21(3) : 1-6. Hui YH, Cornillon P, Legaretta IG, Miang H. Lim KD, Murrel, Wai-Kit Nip. 2004. Handbook of Frozen Foods. New York: Macell Dekker. Huss HH, Ababoutch L, Gram L. 2004. Assessment and Management of Seafood Safety and Quality. Roma : FAO. Huss RH. 1995. Fisheries Technical Paper: Quality and quality changes in fresh fish. Roma: FAO. Jeanie BSL. 1988. Sanitasi dalam Industri Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Keer M, Paul L, Sylvia A, Carl R. 2002. Effect of storage condition on histamine formation in fresh and canned tuna. Commision by Food Safety Unit. http://www.foodsafety.vic.gov.au [20 Mei 2010]. Lisyanti, Palupi NS, Kadarisman D. 2009. Evaluasi penerapan cara produksi yang baik (Good Manufacturing Practices) dan penyusunan SSOP industri lidah buaya di PT. Libe Bumi Abadi. Jurnal Magister Profesional Industri Kecil Menengah 4(1) : hlm 1-7. Mol S, Cosansu S, Alakavuk DU, Ozturan S. 2010. Survival of Salmonella Enteritidis during salting and drying of horse mackerel (Trachurus trachurus) fillets. International Journal of Food Microbiology, 139: 36– 40. Nuryasin, A. 2006. Bahaya Formalin. http://ikap=kdk.com/arpan/content/view/III [25 Mei 2010]. Saanin H. 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bandung: Bina Cipta. Swastawati F, Winarni TA, Fahmi AS. 2007. Kajian penerapan GMP dan SSOP pada industri pengasapan tradisional sebagai upaya peningkatan mutu ikan asap menuju kualitas ekspor di Pemalang. Jurnal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro 16(2) : hlm 1-12.
59
Thaheer H. 2005. Sistem Manajemen HACCP. Jakarta: Bumi Aksara. Tjiptono dan Diana. 1995. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Winarno FG, Surono. 2004. GMP: Cara Pengolahan Pangan yang Baik, cetakan ke 2. Bogor: M-BRIO Press. Zahro SN, Endang S, Nuralimin. 2008. Pengaruh perendaman dan proses pengolahan panas terhadap pengurangan kadar formalin pada ikan bandeng (Chanos-Chanos). Jurnal Penelitian Sekolah Tinggi Perikanan 17(1) : hlm 1-8.
60
61
Lampiran 1 Daftar Penilaian/Check List Unit Pengolahan Ikan (UPI)
No.
Aspek Yang Dinilai
1 1.1
Lay-out Desain Arsitektur Area UPI memadai untuk melakukan pekerjaan dalam kondisi saniter dan higienis. Area UPI terdapat di daerah industri yang telah disetujui Area bersih terpisah dari area kotor Lay out dapat mencegah kontaminasi Lokasi dan Lingkungan Kondisi lingkungan bersih dan selalu dijaga kebersihannya
1.2 1.3 1.4 2 2.1 2.2
3 3.1 3.2 3.3 3.4
Sistem pembuangan air/saluran bersih dan tidak memungkinkan arus balik ke dalam ruang pengolahan Kondisi tanah memungkinkan terjadinya kontaminasi ke dalam fasilitas Ruang Penerimaan Ruang penerimaan bersih dan mudah diperbaiki Lantai, dinding, langit-langit terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan Tersedia cukup air bersih yang sesuai dengan ketentuan Saluran pembuangan tepat dan bersih
3.5
Ruang penerimaan dari lingkungan luar
4
Ruang Penanganan dan Pengolahan Lantai Lantai terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didisinfeksi Terbuat dari bahan yang kedap air, tidak beracun, tidak menyerap, tidak licin, tidak retak Kemiringan lantai sesuai
4.1 4.1.1 4.1.2
4.1.3
tertutup
Dasar Hukum KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 2 Sama
OK
Mn
My
Sr
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Sama Sama KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 9 Sama
Kr
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
[ ]
[ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Sama
[ ]
SK Menkes 907/02 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 9 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 1.b
[ ] [ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 KEP.01/MEN/
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[
[ ]
]
[ ]
Keterangan
62
4.2 4.2.1 4.2.2
4.2.3 4.2.4 4.2.5
4.3 4.3.1 4.3.2
4.3.3
4.4 4.4.1 4.4.2 4.4.3 4.5 4.5.1 4.5.2
ketentuan dan tidak menyebabkan lantai tergenang Dinding Permukaan bagian dalam kedap air dan tidak menyerap Permukaan dinding halus, tanpa retak, celah atau lubang serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi Permukaan tahan lama dan kedap air Bebas dari penonjolan dan seluruh pipa dan kabel ditutup dengan baik Pertemuan antara dinding dan lantai serta dinding dan dinding mudah dibersihkan Langit-langit / Ceilings Bebas dari retak dan celah Permukaannya halus, mudah dicuci dan berwarna terang untuk menjamin kebersihannya Dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan pertumbuhan jamur dan pengelupasan Pintu / Doors Terbuat dari bahan yang tahan lama dan tahan korosi serta menutup secara otomatis Mudah dibersihkan dan dalam kondisi baik serta dilengkapi dengan alat pencegah lalat Lampu menggunakan pelindung dan aman Ventilasi / Ventilation Vemtilasi mencukupi
4.6.2
Memungkinkan untuk menyaring uap air Penerangan Penerangan ruang pengolahan dan ruang inspeksi memadai Lampu menggunakan pelindung dan aman
4.7
Fasilitas Pencucian Tangan
4.6 4.6.1
2007, BAB V, B, 3 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Sama
[ ] [ ]
[ ]
[ ]
Sama
[ ]
Sama
[ ]
Sama
[ ]
[ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Sama
[√ ]
[ ]
Sama
[ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 12 Sama
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Sama
[ ]
[ ] [ ] [ ]
[ ]
[ ]
63
4.7.1
4.7.2 4.7.3
4.7.4 4.7.5 4.7.6
5 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9
6 6.1 6.2
dan Desinfeksi Semua pintu masuk ke area pengolahan dilengkapi dengan bak cuci kaki dengan ukuran yang sesuai Bak cuci kaki menggunakan air bersih dan desinfektan Semua pintu masuk ke ruang pengolahan dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan dan desinfeksi yang cukup Kran air tidak dioperasikan dengan tangan Menggunakan sabun dan desinfektan yang disetujui Fasilitas cuci tangan dilengkapi dengan pengering sekali pakai Perlengkapan dan Peralatan Terbuat dari bahan tahan karat, kedap air dengan permukaan yang halus Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didesinfeksi Selalu terjaga dalam kondisi yang bersih Binatang pengganggu secara sistematis dicegah agar tidak bisa masuk Fasilitas dan peralatan dibersihkan minimal satu kali dalam satu hari Mempunyai tempat pencucian alat yang terpisah Tempat pencucian mempunyai pintu masuk dan keluar yang terpisah Mempunyai saluran pembuangan air yang baik Peralatan diberi tanda untuk setiap area kerja yang berbeda Pengawasan Binatang Pengerat (Pest Control) Tersedia dengan jumlah yang cukup fasilitas pencegah binatang pengerat Tersedia prosedur dan frekuensi pest control serta bahan kimia yang disetujui
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 12
[ ]
Sama
[ ]
Sama
[
Sama
[ ]
Sama
[ ]
Sama
[ ]
[
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 6 Sama
]
[ ]
]
[ ]
[ ]
[ ]
Sama
[ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 11 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 8 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 1.b Sama
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 9 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 7 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 11 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 10
[ ] [ ] [ ] [ ]
[ ]
64
6.3 6.4 6.5 6.6 6.7
6.8 6.9 7 7.1 7.2 7.3 7.4 8 8.1 8.2
8.3
8.4
8.5 8.6 8.7
Tersedia peta penempatan perangkap dan umpan (verifikasi harus dilakukan) Tersedia prosedur pembuangan binatang pengganggu yang mati Tersedia prosedur program pembersihan setelah fumigasi Pemberian nomor dan penempatan penangkapan lalat Pembasmi tikus, pembasmi serangga, disinfektan dan racun lainnya tersimpan dalam lemari yang dapat dikunci Tidak terdapat barang/benda/tempat yang menarik kehadiran hewan pengerat/serangga Upaya pengawasan pencegahan dan pembasmian Pasokan Air (Potable Water) Tersedia air dengan kualitas air minum Pasokan dan tekanan air cukup Penandaan yang jelas antar pipapipa air minum dan bukan air minum Mempunyai peta distribusi air dengan outlet dan kran yang diberi nomor seri Ruang Ganti, Kamar Mandi dan Toilet Tersedia ruang ganti dengan jumlah yang cukup Dinding dan lantai ruang ganti halus, kedap air dan mudah dibersihkan Tersedia tempat cuci tangan dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai Tersedia toilet dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai Pintu toilet tidak berhubungan langsung dengan ruang penanganan dan pengolahan ikan Toilet dilengkapi dengan sistem menyiram air (water flushing system) dan masih berfungsi Kran pada tempat cuci tangan tidak dioperasikan dengan tangan
8.8
Tersedia sarana bak cuci tangan dan penyuci hama
8.9
Tersedia loker untuk menyimpan
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 11 Sama
[ ] [ ]
Sama
[ ]
Sama
[ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 10
[ ]
[ ]
[ ]
[ ] [ ] Permenkes 9072001
[ ] [ ] [ ] [ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, C, 5.b.3 Sama
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Sama
[ ]
Sama
[ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, C, 5.b.1, b KEP.01/MEN/2 007, BAB V, C, 5.b.3 Sama
[ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 12 KEP.01/MEN/2
[ ] [ ] [ ] [ ]
[ ]
65
barang karyawan 8.10 9 9.1
9.2
9.3
9.4
9.5 9.6 9.7 9.8 9.9 10
Barang karyawan tidak disimpan di area tempat penanganan pangan Kebersihan Karyawan Semua karyawan mengenakan pakaian yang sesuai dan bersih (jumlah pakaian seragam per karyawan dan frekuensi ganti pakaian di cek) Karyawan mencuci sebelum mulai bekerja atau setiap waktu yang ditentukan Setiap karyawan mendapat pengecekan kesehatan dan dilakukan secara berkala (cek record dan verifikasi) Terdapat tanda-tanda yang jelas untuk pelarangan merokok, makan, meludah dan lainnya di ruang pengolahan dan tempat penyimpanan Pakaian kerja karyawan dicuci oleh UPI Ada karyawan yang dapat mengkontaminasi produk ketika menangani ikan Karyawan menggunakan tutup kepala yang dapat menutupi rambut secara keseluruhan Luka ditutup dengan perban yang tahan air Tersedia pertama
sarana
pertolongan
Penanganan Limbah Area pembuangan limbah terpisah
10.1
11.1
Tempat limbah tahan karat dan dilengkapi dengan tutup Tempat limbah dibersihkan dengan benar Limbah dipindahkan minimal sekali dalam sehari Wadah dan tempat penyimpanan limbah segera dibersihkan setelah digunakan Tempat penyimpanan limbah tidak dapat mengkontaminasi Penggaraman Ikan *) Mutu garam diawasi dan disimpan dengan baik
11.2
Garam tidak digunakan kembali
10.2 10.3 10.4 10.5 10.6 11
007, BAB V, B, 3 Sama
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 15 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 13 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 14 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 13 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 15 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 13 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 15 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 13 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 14
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
[ ]
[ ] [ ] [ ] [ ]
[ ]
Sama
[ ]
[ ]
Sama
[ ]
[ ]
Sama
[ ]
[ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, C.7.b Sama
[ ]
[ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 9 Sama
Sama
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
[ ]
[ ]
66
dan hanya digunakan sekali pakai Wadah penggaraman dicuci dan 11.3 didisinfeksi sebelum dan sesudah digunakan *) Bila tersedia
D.
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, C.7.d
[ ]
[ ]
HASIL PENILAIAN
1. KETIDAKSESUAIAN (NON CONFORMANCE) a. Minor b. Mayor c. Serius d. Kritis 2. TINGKAT (GRADE) NILAI
……. ……. ……. …….
( …..) (….. ) (….. ) (….. ) ..........
Keterangan : 1. Grade A adalah tingkat sertifikat paling tinggi yang menyatakan hasil penilaian terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT tidak terdapat criteria serius dan kritis serta minor maks. 0 dan mayor maks. 5. Dengan grade A, UPI dapat melakukan ekspor ke negara yang mempunyai persyaratan tertentu termasuk Uni Eropa. 2. Grade B adalah tingkat sertifikat menengah yang menyatakan hasil penilaian terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius maks. 2. Dengan grade B, UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali negara yang mempunyai persyaratan harus grade A. 3. Grade C adalah tingkat sertifikat paling rendah yang menyatakan hasil penilaian terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius > 2 tetapi maks. 4 dengan catatan total mayor + serius tidak lebih dari 10. Dengan grade C, UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali ke negara yang mempersyaratkan grade A dan B. 4. Grade D adalah hasil penilaian yang dinyatakan gagal dan tidak diberi sertifikat.
67
Lampiran 2 Daftar Penilaian/Check List Unit Pengolahan Ikan (UPI) (Modifikasi)
No.
Aspek Yang Dinilai
1 1.1
Lay-out Desain Arsitektur Area UPI memadai untuk melakukan pekerjaan dalam kondisi saniter dan higienis. Area UPI terdapat di daerah industri yang telah disetujui Lokasi dan Lingkungan Sistem pembuangan air/saluran bersih dan tidak memungkinkan arus balik ke dalam ruang pengolahan Ruang Penanganan dan Pengolahan Lantai Lantai terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didisinfeksi Terbuat dari bahan yang kedap air, tidak beracun, tidak menyerap, tidak licin, tidak retak Kemiringan lantai sesuai ketentuan dan tidak menyebabkan lantai tergenang Dinding Permukaan bagian dalam kedap air dan tidak menyerap
1.2 2 2.1
3 3.1 3.1.1 3.1.2
3.1.3
3.2 3.2.1 3.2.2
3.2.3 4.2.4
3.3 3.3.1 3.3.3
3.4
Permukaan dinding halus, tanpa retak, celah atau lubang serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi Permukaan tahan lama dan kedap air Pertemuan antara dinding dan lantai serta dinding dan dinding mudah dibersihkan Langit-langit / Ceilings Bebas dari retak dan celah Dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan pertumbuhan jamur dan pengelupasan Pintu / Doors
Dasar Hukum
OK
Mn
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 2 Sama
[ ]
Sama
[ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Sama
[ ]
My
Sr
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[
[ ]
]
[ ]
[ ] [ ]
[ ]
[ ]
Sama
[ ]
Sama
[ ]
[ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Sama
[√ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Kr
Keterangan
68
3.4.1 3.4.2
3.7 3.7.1
3.7.2 3.7.3
3.7.4 4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.9
5 5.1 5.2 5.3 5.4
Terbuat dari bahan yang tahan lama dan tahan korosi serta menutup secara otomatis Mudah dibersihkan dan dalam kondisi baik serta dilengkapi dengan alat pencegah lalat Fasilitas Pencucian Tangan dan Desinfeksi Semua pintu masuk ke area pengolahan dilengkapi dengan bak cuci kaki dengan ukuran yang sesuai Bak cuci kaki menggunakan air bersih dan desinfektan Semua pintu masuk ke ruang pengolahan dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan dan desinfeksi yang cukup Menggunakan sabun dan desinfektan yang disetujui Perlengkapan dan Peralatan Terbuat dari bahan tahan karat, kedap air dengan permukaan yang halus Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didesinfeksi Selalu terjaga dalam kondisi yang bersih Binatang pengganggu secara sistematis dicegah agar tidak bisa masuk Fasilitas dan peralatan dibersihkan minimal satu kali dalam satu hari Mempunyai tempat pencucian alat yang terpisah Peralatan diberi tanda untuk setiap area kerja yang berbeda
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 12 Sama
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 12
[ ]
Sama
[ ]
Sama
[
Sama
[ ] [
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 6 Sama
]
[ ]
[ ]
]
[ ]
[ ]
[ ]
Sama
[ ]
KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 11 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 8 KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 1.b KEP.01/MEN/ 2007, BAB V, B, 7
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
Pengawasan Binatang Pengerat (Pest Control) Tersedia dengan jumlah yang cukup fasilitas pencegah binatang pengerat Tersedia prosedur pembuangan binatang pengganggu yang mati Pembasmi tikus, pembasmi serangga, disinfektan dan racun lainnya tersimpan dalam lemari yang dapat dikunci Upaya pengawasan pencegahan dan pembasmian
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 11 Sama KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 10
[ ] [ ]
[ ]
69
6 6.1 6.2 7
7.1
7.2
7.3
Pasokan Air (Potable Water) Tersedia air dengan kualitas air minum Penandaan yang jelas antar pipapipa air minum dan bukan air minum Ruang Ganti, Kamar Mandi dan Toilet Tersedia tempat cuci tangan dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai Tersedia toilet dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai Pintu toilet tidak berhubungan langsung dengan ruang penanganan dan pengolahan ikan
7.4
Tersedia sarana bak cuci tangan dan penyuci hama
7.5
Tersedia loker untuk menyimpan barang karyawan
8 8.1
8.2
8.3
8.4
8.5 9
Kebersihan Karyawan Semua karyawan mengenakan pakaian yang sesuai dan bersih (jumlah pakaian seragam per karyawan dan frekuensi ganti pakaian di cek) Karyawan mencuci sebelum mulai bekerja atau setiap waktu yang ditentukan Setiap karyawan mendapat pengecekan kesehatan dan dilakukan secara berkala (cek record dan verifikasi) Terdapat tanda-tanda yang jelas untuk pelarangan merokok, makan, meludah dan lainnya di ruang pengolahan dan tempat penyimpanan Pakaian kerja karyawan dicuci oleh UPI Penanganan Limbah Area pembuangan limbah terpisah
9.1 9.2 9.3 9.4 9.5
Tempat limbah tahan karat dan dilengkapi dengan tutup Tempat limbah dibersihkan dengan benar Limbah dipindahkan minimal sekali dalam sehari Wadah dan tempat penyimpanan
[ ] Permenkes 9072001
[ ] [ ]
Sama
[ ]
Sama
[ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, C, 5.b.1, b KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 12 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 3
[ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 15 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 13 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 14 KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 13
[ ] [ ]
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
[ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 15
[ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, B, 9 Sama
[ ]
Sama
[ ]
[ ]
Sama
[ ]
[ ]
Sama
[ ]
[ ]
70
limbah segera dibersihkan setelah digunakan Penggaraman Ikan *) Mutu garam diawasi dan disimpan dengan baik
10 10.1
Garam tidak digunakan kembali dan hanya digunakan sekali pakai Wadah penggaraman dicuci dan 10.3 didisinfeksi sebelum dan sesudah digunakan *) Bila tersedia 10.2
D.
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, C.7.b Sama
[ ] [ ]
KEP.01/MEN/2 007, BAB V, C.7.d
[ ]
[ ]
[ ]
HASIL PENILAIAN
1. KETIDAKSESUAIAN (NON CONFORMANCE) a. Minor b. Mayor c. Serius d. Kritis 2. TINGKAT (GRADE) NILAI
……. ……. ……. …….
( …..) (….. ) (….. ) (….. ) ..........
Keterangan : 1. Grade A adalah tingkat sertifikat paling tinggi yang menyatakan hasil penilaian terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT tidak terdapat criteria serius dan kritis serta minor maks. 0 dan mayor maks. 5. Dengan grade A, UPI dapat melakukan ekspor ke negara yang mempunyai persyaratan tertentu termasuk Uni Eropa. 2. Grade B adalah tingkat sertifikat menengah yang menyatakan hasil penilaian terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius maks. 2. Dengan grade B, UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali negara yang mempunyai persyaratan harus grade A. 3. Grade C adalah tingkat sertifikat paling rendah yang menyatakan hasil penilaian terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius > 2 tetapi maks. 4 dengan catatan total mayor + serius tidak lebih dari 10. Dengan grade C, UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali ke negara yang mempersyaratkan grade A dan B. 4. Grade D adalah hasil penilaian yang dinyatakan gagal dan tidak diberi sertifikat.
71
Lampiran 3 Daftar Kuisioner I Karakteristik Responden 1. Nama pengolah
: ……………………………………………
2. Umur
: …………. tahun
3. Jenis Kelamin
: L/P
4. Pendidikan terakhir
: (lingkari jawaban yang sesuai) 1. Tidak tamat/sekolah SD 2. SD 3. SMP 4. SMU 5. Perguruan tinggi
5. Pengalaman berusaha
: ……………………………………. tahun
6. Jumlah keluarga
: ……………………………………. orang
II Karakterisitk Usaha 7. Jenis Usaha
: (lingkari jawaban yang sesuai) 1. Pengasin Ikan 2. Pengolahan ikan pindang 3. Pengolahan ikan asap 4. Pembuatan kerupuk 5. Pembuatan terasi 6. Pembuatan kulit ikan pari
8. Bahan baku yang digunakan
: (lingkari jawaban yang sesuai) 1. Ikan kembung 2. Ikan tongkol 3. Ikan tenggiri 4. Ikan bandeng
9. Kebutuhan bahan baku
: …………………………………. kg/hari
10. Kapasitas produksi
: …………………………………. kg/hari
11. Asal bahan baku
: …………………………………………….. ……………………………………………..
12. Harga produk ikan pindang
: ……………………………………………..
72
13. Jumlah tenaga kerja
: (lingkari jawaban yang sesuai) 1. 6 orang 2. 7 orang 3. 8 orang 4. 9 orang 5. 10 orang
14. Tingkat pendidikan tenaga kerja
: (lingkari jawaban yang sesuai) 1. Tidak tamat/sekolah SD 2. SD 3. SMP 4. SMU 5. Perguruan tinggi
15. Pemasaran produk
: (lingkari jawaban yang sesuai) 1. Pasar lokal 2. Antar kabupaten/kotamadya 3. Antar propinsi 4. Luar negeri
III Penerapan prosedur standar operasional sanitasi oleh responden 16. Apakah responden telah mengetahui tentang prosedur standar operasional sanitasi pada usaha pegolahan produk perikanan ? a. tahu
b. tidak tahu
17. Apakah responden telah menerapkan prosedur standar operasional sanitasi pada usaha pegolahan produk perikanannya ? a. sudah
b. belum
18. Apakah responden sudah pernah mendapatkan penyuluhan tentang prosedur standar operasional sanitasi bagi usaha pengolahannya ? a. sudah pernah
b. belum pernah
73
19. Lembaga atau instansi apa saja yang pernah memberikan penyuluhan tentang prosedur standar operasional sanitasi bagi usaha pengolahannya ? a. Kementrian Kelautan dan Perikanan
b.
Dinas
Perikanan
dan
Kelautan c. LSM ……………………………….
d. belum ada
20. Apakah responden setuju dengan adanya penerapan prosedur standar operasional sanitasi bagi usaha pengolahannya ? a. Setuju
b. tidak setuju
c. tidak tahu
21. Apakah masih diperlukan bantuan teknis dan permodalan untuk penerapan prosedur standar operasional sanitasi bagi usaha pengolahannya ? a. masih diperlukan
b. tidak diperlukan lagi
74 Lampiran 4 Analisa Usaha Pengolahan Ikan Pindang Tongkol (Euthynnus affinis ) A. Pengeluaran 1. Biaya produksi berkala (per satuan bulan) a. Tungku 2 buah x Rp25,000.00 b. Drum 2 buah x Rp200,000.00 c. Naya 250 buah x Rp1,500.00 d. Pisau 5 buah x Rp25,000.00 e. Sendok 10 buah x Rp5,000.00 f. Tali bambu 10 m x Rp200.00 g. Tongkat bambu 5 buah x Rp5,000.00 h. Biaya lisrik
= = = = = = =
Rp50,000.00 Rp400,000.00 Rp375,000.00 Rp125,000.00 Rp50,000.00 Rp2,000.00 Rp25,000.00
/ 12 / 12 / 12 / 12 / 12 / 12 / 12
Rp4,166.67 Rp33,333.33 Rp31,250.00 Rp10,416.67 Rp4,166.67 Rp166.67 Rp2,083.33 Rp150,000.00 Rp235,583.33
= = = = = = =
Rp112,500,000.00 Rp1,687,500.00 Rp1,250,000.00 Rp625,000.00 Rp500,000.00 Rp415,000.00 Rp9,000,000.00 Rp125,977,500.00
Jumlah 2. Biaya produksi habis pakai a. Ikan tongkol 25 x 1,000 b. Garam 25 x 150 c. Es 25 x 100 d. Air bersih 25 x 200 e. Kayu bakar 25 x 10 f. Minyak tanah 25 x 2 g. Biaya tenaga kerja
kg kg kg lt ikt lt
25,000 3,750 2,500 5,000 250 50 10
kg kg kg lt ikt lt org
x x x x x x x
Rp4,500.00 Rp450.00 Rp500.00 Rp125.00 Rp2,000.00 Rp8,300.00 Rp900,000.00 Jumlah Jumlah Total
B. Pemasukan Hasil penjualan ikan pindang per bulan 600 kg x 25 x C. Keuntungan a. Pemasukan b. Pengeluaran c. Keuntungan per bulan
Rp9,000.00
Rp126,213,083.33
= Rp135,000,000.00
Rp135,000,000.00 Rp126,977,500.00 Rp8,022,500.00