6. PEMBAHASAN 6.1 Kelayakan Usaha Pengolahan Ikan 6.1.1 Kelayakan finansial Struktur biaya dan pendapatan Analisis usaha dilakukan dengan tujuan untuk menilai kelayakan suatu usaha. Sebelum menilai suatu usaha layak atau tidak, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap struktur biaya dan pendapatan usaha. Struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya dalam analisis usaha yang meliputi biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Biaya investasi adalah besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pembelian barang modal atau modal tetap. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya (besar atau kecil) tidak tergantung pada jumlah output yang dihasilkan. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang nilainya tergantung pada besar atau kecilnya jumlah output yang dihasilkan. Analisis struktur biaya dapat dihitung total biaya dengan menjumlahkan biaya tetap dan biaya variabel. Analisis struktur pendapatan bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pendapatan usaha sehingga dapat diperoleh total penerimaan usaha. Secara lebih rinci, hasil analisis struktur biaya dan pendapatan masing-masing UPI di kabupaten Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Struktur biaya dan pendapatan usaha menurut jenis UPI di kabupaten Sukabumi No 6. 7. 8. 9. 10.
Uraian Total investasi (Rp juta) Biaya tetap (Rp juta) Biaya variabel (Rp juta) Total biaya (Rp juta) Total penerimaan (Rp juta)
Pindang ikan kecil 4,00 5,00 812,16 817,16
Bakso ikan
Abon ikan
25,00 26,50 196,30 222,80
Pindang ikan besar 10,00 6,00 1.788,07 1.794,07
43,05 277,71 4.358,38 4.636,08
72,40 9,79 443,60 453,43
11,75 32,54 181,92 214,46
232,32
1.922,40
877,20
5.040,00
792,00
240,00
Ikan asin
Kerupuk kulit ikan
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai investasi usaha yang paling besar yaitu pada UPI abon ikan dengan jumlah investasi mencapai Rp. 72,4 juta. Selanjutnya disusul dengan UPI bakso ikan dengan total investasi sebesar Rp. 43,05 juta. Sedangkan jenis UPI dengan nilai investasi yang kecil yaitu pemindangan ikan baik pindang ikan besar maupun kecil, masing-masing
memiliki nilai investasi sebesar Rp 10 juta dan Rp 4 juta. Besar kecilnya investasi akan sangat dipengaruhi oleh skala usaha. Kegiatan usaha pengolahan abon ikan dan bakso ikan memiliki skala usaha yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan jenis UPI lainnya. Apabila dilihat dari komposisi nilai biaya tetap, maka dapat dilihat bahwa UPI bakso ikan memiliki nilai biaya tetap yang paling besar dibandingkan dengan jenis UPI lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa beban usaha pengolahan bakso ikan merupakan paling tinggi dibandingkan UPI lainnya. Beban usaha yang ditunjukkan dari nilai biaya tetap yang besar dapat disebabkan karena banyaknya jumlah tenaga kerja yang digunakan. Jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh UPI bakso ikan rata-rata sebanyak 24 orang, yang merupakan paling banyak dari UPI lainnya. Kebutuhan tenaga kerja yang banyak disertai dapat menjadikan beban gaji pegawai bulanan semakin besar. Tenaga kerja pada UPI bakso ikan umumnya memiliki gaji bulanan ditambah dengan bonus. Berbeda halnya dengan UPI ikan asin, walaupun membutuhkan tenaga kerja yang banyak yakni sekitar 22 orang, akan tetapi upah yang dibayarkan untuk tenaga kerja tersebut didasarkan pada jumlah output produksi sehingga beban upah tenaga kerja menjadi bagian dari biaya variabel. Total biaya variabel yang paling besar dari enam jenis UPI di kabupaten Sukabumi yaitu usaha pengolahan bakso ikan selanjutnya diikuti usaha pengolahan pindang ikan besar, masing masing mencapai nilai sebesar Rp. 4.358,38 juta dan Rp. 1.788,07 juta. Besarnya nilai total biaya variabel dapat mengindikasikan banyaknya jumlah bahan baku yang diproduksi dari kegiatan UPI tersebut. Semakin tinggi biaya varibel maka jumlah bahan baku yang diproses semakin banyak sehingga output yang dihasilkan akan semakin banyak. Oleh karena itu, besarnya nilai biaya variabel akan berpengaruh terhadap terhadap total biaya dan total penerimaan. UPI dengan jumlah biaya variabel yang paling besar, maka total biaya dan total penerimaan pada UPI tersebut cenderung akan besar. Hal ini dapat dibuktikan bahwa UPI bakso ikan dan UPI pindang ikan besar memiliki nilai biaya variabel yang relatif lebih besar dibandingkan dengan jenis UPI lainnya. sehingga total biaya dan total penerimaan pada kedua UPI tersebut juga merupakan yang paling besar dibandingkan dengan UPI lainnya.
Kelayakan usaha Kriteria yang digunakan pada analisis usaha meliputi keuntungan, revenue-cost ratio, payback period dan break even point. Perhitungan kriteria analisis analisis pada masing-masing UPI di kabupaten Sukabumi secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Kriteria kelayakan usaha menurut jenis UPI di kabupaten Sukabumi No. 1. 2. 3. 4. 5.
Uraian
Ikan asin
Keuntungan (Rp juta) R/C PP (tahun) BEP unit (ton) BEP nilai (Rp juta)
9,52 1,04 2,63 15,54 170,94
Pindang ikan besar 128,33 1,07 0,08 3,74 74,80
Pindang ikan kecil 60,04 1,07 0,07 4,67 67,44
Bakso ikan
Abon ikan
403,92 1,09 0,11 82.14 2.053,38
338,57 1,75 0,21 0,22 22,26
Kerupuk kulit ikan 25,55 1,12 0,46 1,34 134,44
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jenis UPI yang memiliki tingkat keuntungan paling besar yaitu usaha bakso ikan dengan tingkat keuntungan mencapai sebesar Rp. 403,92 juta per tahun. Selanjutnya diikuti oleh abon ikan dengan tingkat keuntungan mencapai Rp. 338,57 juta per tahun dan pengolahan pindang ikan besar dengan tingkat keuntungan sebesar Rp.128,33 juta per tahun. Sedangkan UPI dengan tingkat keuntungan yang paling sedikit yaitu UPI ikan asin dengan tingkat keuntungan sebesar Rp. 9,52 juta per tahun. Besarnya nilai keuntungan yang diperoleh dari UPI bakso ikan disebabkan karena skala usaha pada UPI bakso relatif lebih besar dibandingkan dengan UPI lainnya. Hal ini secara konsisten dapat ditunjukkan dari besarnya nilai BEP baik unit maupun harga untuk UPI bakso ikan dibandingkan dengan UPI lainnya. Dampak lainnya dari tingkat keuntungan yang besar yaitu semakin kecilnya tingkat pengembalian investasi usaha yang ditunjukkan oleh nilai payback period yang paling kecil yaitu sekitar 0,11 tahun. Sedangkan pada UPI abon ikan tingkat keuntungan yang besar menunjukkan adanya nilai margin dari produk yang dihasilkan cukup besar. Kondisi ini dapat dibuktikan dari kecilnya nilai BEP baik unit maupun harga. Hal ini sangat kontradiktif, tingkat keuntungan yang besar akan tetapi nilai BEP kecil. Kondisi ini hanya dimungkinkan jika margin dari hasil proses pengolahan abon ikan sangat besar. Bukti lainnya dapat ditunjukkan dari tingginya harga produk
abon ikan yang mencapai nilai sebesar Rp. 100 ribu per kg. selain itu, nilai revenue cost ratio UPI abon ikan cukup besar yakni mencapai nilai 1,75 artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi abon ikan akan mendapatkan penerimaan dari hasil penjualan produk abon sebesar Rp. 1,75. Sementara itu, UPI ikan asin memiliki tingkat keuntungan yang paling sedikit dibanding lima jenis UPI lainnya. Hal ini lebih disebabkan karena besarnya total penerimaan yang diperoleh akan diikuti pula dengan total biaya yang besar. Kondisi tersebut dapat ditunjukkan dari kecilnya nilai revenue cost ratio yaitu sebesar 1,04. Nilai payback periode yang relatif besar yaitu sebesar 2,63 sebagai akibat dari kecilnya tingkat keuntungan yang diperoleh. 6.1.2 Kinerja keuangan Analisis kinerja keuangan dilakukan terdadap salah satu contoh UPI skala kecil menengah yang ada di kabupaten Sukabumi. Analisis kinerja tidak dapat dilakukan terhadap seluruh UPI yang ditinjau karena adanya berbagai kendala yang dihadapi seperti masih lemahnya pencatatan keuangan yang dilakukan oleh UPI skala menengah sehingga laporan keuangan UPI sulit diperoleh. Walaupun demikian untuk memperoleh penilaian mengenai kondisi usaha UPI skala menengah, maka secara umum dapat ditinjau salah satu UPI skala menengah yang ada di kabupaten Sukabumi yaitu PD Pindang. Analisis kinerja keuangan bertujuan untuk mengukur tingkat resiko yang dihadapi oleh suatu usaha. Terdapat lima ukuran analisis kinerja keuangan yang digunakan yaitu rasio likuiditas, rasio leverage, rasio coverage, rasio aktivitas dan rentabilitas. Hasil analisis kinerja keuangan pada UPI dapat dilihat pada Tabel 36. Berdasarkan pada Tabel 36 tersebut, dapat dilihat bahwa UPI skala menengah memiliki nilai rasio likuiditas yang sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai current ratio, cash ratio, dan quick ratio yang sangat tinggi. Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajibannya. Ukuran kemampuan UPI skala menengah dalam membayar hutang secara kas dapat dilihat pada nilai cash ratio sebesar 2,14. Nilai rasio likuiditas yang baik tersebut menunjukkan bahwa UPI memiliki tingkat resiko yang relatif kecil bagi lembaga keuangan yang memberikan pinjaman. Dengan nilai cash ratio sebesar
2,14 berarti bahwa setiap satu rupiah kewajiban hutang UPI akan mendapatkan jaminan pembayaran secara kas sebanyak Rp 2,14. Tabel 36. Hasil analisis kinerja keuangan UPI Pindang No 1.
2.
3. 4.
5.
Uraian
Nilai
Rasio Likuiditas a. Current ratio b. Cash ratio c. Quick ratio
13,57 kali 2,14 kali 5 kali
Rasio Leverage a. DER b. Long term leverage c. Short term leverage
0,22 kali 0,21 kali 0,01 kali
Rasio Coverage (EBIT coverage ratio) Rasio Aktivitas a. Asset turnover b. Fixed asset turnover c. Perputaran piutang dagang d. Perputaran persediaan e. Perputaran hutang dagang Rasio Rentabilitas a. Gross profit margin b. Net profit margin c. ROI d. ROE
1.781,25% 0,17 kali 0,21 kali 4 kali/tahun atau 90 hari 0,833 kali/tahun atau 432,17 hari 10 kali/tahun atau 36 hari
37,50% 20,18% 3,46% 4,25%
Parameter analisis kinerja keuangan yang kedua yaitu rasio leverage. Rasio ini mengukur tingkat perbandingan modal UPI yang berasal dari dana sendiri dan dari pinjaman. Semakin kecil nilai rasio leverage berarti bahwa pinjaman perusahaan semakin kecil maka jumlah modal yang bersumber dari sendiri semakin besar atau jumlah modal pinjaman semakin kecil, artinya tingkat resiko debitur semakin kecil. Nilai DER untuk UPI skala menengah menunjukkan nilai sebesar 0,22, artinya menunjukkan bahwa pihak luar (kreditur) menempatkan dananya sebesar Rp. 0,22 atas setiap Rp. 1 modal yang dikeluarkan pemilik perusahaan. Dengan kata lain bahwa usaha pengolahan ikan lebih banyak dibiayai oleh modal sendiri dibandingkan dengan hutang baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Analisis rasio coverage mengukur tingkat keamanan bank dalam pemberian kredit terhadap perusahaan. nilai EBIT coverage ratio UPI skala menengah sebesar 1781,25, artinya bahwa setiap Rp. 1 beban bunga pinjaman dijamin oleh 1.781,25 persen pendapatan. Berdasarkan hasil analisis dari ketiga rasio diatas menunjukkan bahwa usaha UPI skala menengah memiliki tingkat resiko yang relatif rendah bagi lembaga perbankan untuk memberikan pinjaman usaha. karena setiap rupiah uang yang dipinjamkan, maka UPI skala menengah akan memberikan jaminan pembayaran yang cukup besar. Namun demikian, kenyataannya menunjukkan bahwa masih sedikitnya lembaga keuangan yang mau memberikan pinjaman kepada kegiatan UPI skala menengah. Hal ini dimungkinkan karena adanya ketidakpastian
yang
diakibatkan
oleh
kegiatan
usaha
yang
memiliki
ketergantungan sangat besar terhadap faktor alam. Analisis rasio aktivitas mengukur efektivitas menajemen dalam mengelola sumber-sumber yang dimilikinya. Berdasarkan nilai-nilai dari analisis rasio aktivitas dapat dilihat bahwa kegiatan usaha UPI skala menengah memiliki nilai efektifitas yang relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari ukuran nilai perputaran aset (asset turnover) yang menunjukkan nilai sebesar 0,17, artinya bahwa setiap Rp. 1 modal yang ditanamkan akan memperoleh nilai penjualan sebanyak Rp. 0,17. Hal ini menunjukkan bahwa usaha UPI membutuhkan modal yang cukup besar. Besarnya kebutuhan modal pada UPI dapat ditunjukkan pula dari nilai perputaran piutang dagang dan perputaran hutang dagang yang relatif lama, yakni masing-masing sebesar 90 hari dan 36 hari. Perputaran piutang dagang yang relatif lebih lama dibandingkan dengan perputaran hutang dagang menunjukkan paling tidak harus adanya jaminan modal usaha sebesar 3 kali lipat. Hal ini dilakukan guna menutupi biaya operasional yang dapat diakibatkan dari lambannya pengembalian piutang dagang. Selanjutnya perputaran persediaan barang yang relatif lama yaitu sekitar 432,17 hari. Hal tersebut dapat disebabkan karena masih lemahnya sistem manajemen persediaan barang yang dapat menyebabkan terjadinya penumpukan barang. Selain itu, sifat produk perikanan yang mudah busuk dapat menjadikan
barang yang diproduksi mengalami masa kadaluarsa yang lebih cepat sehingga terjadi penumpukan barang. Rasio rentabilitas yaitu rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan mencetak laba. Nilai gross profit margin dan net profit margin dari usaha UPI skala kecil menengah menunjukkan nilai yang cukup besar yaitu masing-masing sebesar 37,5 persen dan 20,18 persen. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Namun demikian nilai ROI dan ROE usaha UPI menunjukkan angka yang relatif kecil yaitu sebesar 3,46 persen dan 4,25 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pengembalian modal rendah untuk usaha dibidang perikanan. 6.2 Critical Control Point Pengolahan Ikan 6.2.1 CCP pengolahan ikan asin Pengolahan ikan asin adalah cara pengawetan ikan yang paling sederhana dan paling banyak dilakukan di kabupaten Sukabumi. Produksi ikan asin di kabupaten Sukabumi masih menempati posisi penting sebagai salah satu bahan pokok kebutuhan hidup rakyat banyak. Cara pengawetan ini merupakan usaha paling mudah dalam menyelamatkan hasil tangkapan oleh nelayan. Dengan penggaraman proses pembusukan dapat dihambat sehingga ikan dapat disimpan lebih lama. Penggunaan garam sebagai bahan pengawet adalah untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan kegiatan enzim penyebab pembusukan ikan yang terdapat dalam tubuh ikan. Hampir disemua wilayah pesisir kabupaten Sukabumi terdapat proses pengolahan ikan asin. Produksi ikan asin di kabupaten Sukabumi mempunyai kualitas yang tinggi dimana dalam proses pengolahannya tidak menggunakan bahan-bahan berbahaya seperti baygon, minyak tanah, formalin dan zat-zat aditif lainnya dengan cara pengolahan yang sederhana yaitu menggunakan sinar matahari untuk pengeringan. Tidak heran kalau usaha ini dari tahun ke tahun meningkat pesat. Karena pasar yang sudah menjanjikan, pengolahannya mudah dan bahan baku cukup tersedia. Proses pengasinan ikan di Sukabumi masih bersifat tradisional, proses pengasinan ini dikelompokan menjadi dua, yaitu pengasinan ikan besar dan pengasinan ikan kecil.
Permasalahan yang sering dihadapi oleh pengasin ikan besar adalah keterbatasan bahan baku, tempat penjemuran yang berasal dari bambu menyebabkan mudah rusak serta teknis pengemasan yang kurang baik. Proses pengasinan ikan kecil dilakukan untuk ikan yang berukuran kecil antara lain: tembang, peperek, udang rebon, layur, eteman, teri, tiga waja, cumi dan lain-lain, dimana bahan baku kebanyakan dihasilkan dari bagan apung. Bahan-bahan pembantu yang digunakan adalah sebagai berikut : garam laut, minyak tanah, air laut bersih. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam pembuatan ikan asin ini adalah: bak penampung (tembok, fiber glass atau blong), tempat perebusan, kompor, naya, pisau, golok, batu asahan serta palu dari kayu, tempat penjemuran (bambu, jaring bekas, plastik atau terpal), karung plastik dan kardus untuk pengemasan. Produk-produk olahan ikan asin merupakan produk yang ditujukan untuk konsumsi manusia. Oleh karena itu, produk ikan asin yang dihasilkan oleh UPI harus memenuhi standar mutu dan aman dikonsumsi bagi manusia. Ikan merupakan komoditi yang cepat busuk (ferishable food), apabila tidak ditangani dengan baik, maka proses pembusukan ikan dapat berlangsung dengan cepat. Sehingga penanganan ikan selama proses pengolahan hendaknya dilakukan secara hati-hati agar proses kemunduran mutu ikan dapat dijaga. Setiap tahapan proses pengolahan ikan memiliki tingkat resiko atau bahaya yang mengancam pada keamanan produk pangan. Tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk menghambat kemunduran mutu pada setiap tahapan proses produksi. Secara lebih lengkap mengenai resiko bahaya, sumber-sumber bahaya dan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk setiap tahapan proses pengolahan ikan asin dapat dilihat pada Tabel 24. Berdasarkan tabel 24 terdapat tiga titik kritis utama sumber penyebab kemunduran mutu yang harus ditangani dalam proses pengolahan ikan asin. Ketiga tahapan proses yang harus diperhatikan tersebut yaitu pada saat penerimaan bahan baku, proses perendaman ikan dan proses pengemasan produk. Secara lebih jelas mengenai titik kritis yang perlu diperhatikan dalam setiap tahapan proses pengolahan ikan asin dapat dilihat pada Gambar 11.
Pada gambar 11, sumber bahaya utama pada tiga titik kritis tersebut yaitu berbagai bakteri yang dapat berkembang dan akan mencemari bahan baku ikan yang diolah. Tindakan pengawasan yang dapat dilakukan yaitu melakukan pemeriksaan secara visual mengenai kebersihan selama proses pengolahan. Secara lebih rinci mengenai sumber bahaya, batas kritis serta tindakan yang dapat dilakukan pada ketiga titik kritis tersebut dapat dilihat pada Tabel 24. 6.2.2 CCP pengolahan pindang ikan Produk andalan pengolahan ikan laut kedua di kabupaten Sukabumi adalah ikan pindang dengan produksi mencapai 2.600 ton/tahun. Kebanyakan ikan pindang bahan bakunya berasal dari ikan tongkol, baby tuna atau cakalang segar. Ikan pindang bisa bertahan selama 3 – 5 hari pada kondisi suhu kamar, proses pengolahan pindang masih bersifat tradisional dan tanpa menggunakan bahan– bahan tambahan yang menyebabkan bahaya bagi konsumen. Proses pemindangan ikan kecil dilakukan terhadap komoditas perikanan seperti layang, tongkol tembang, peperek dan lain-lain. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan pindang ikan kecil adalah: naya/besek (dari bambu), kanca (drum di las 1 x 2 meter), kertas koran, tungku (kayu bakar), rak penirisan dan tali plastik Untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu produk, maka perlu dilihat analisa bahaya selama proses pengolahan pindang ikan. Secara garis besar pengolahan pindang ikan baik besar maupun kecil memiliki proses pengolahan yang relatif sama, bedanya terdapat pada ukuran ikan yang diolah. Analisa bahaya pada pengolahan pindang ikan dapat dilihat pada Tabel 25 Berdasarkan Tabel 25, pada proses pengolahan pindang ikan terdapat 3 (tiga) titik kritis sumber bahaya yaitu pada tahapan penanganan bahan baku, proses perebusan dan proses pengemasan. Titik-titik kritis dalam setiap tahapan proses pengolahan pindang ikan besar dan pindang ikan kecil secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13. Berdasarkan gambar tersebut, sumber bahaya utama pada ketiga titik kritis tersebut yaitu berbagai bakteri yang dapat berkembang dan akan mencemari bahan baku ikan yang diolah serta rusaknya fisik ikan. Tindakan pengawasan yang perlu dilakukannya yaitu melakukan pemeriksaan fisik secara visual
mengenai kebersihan selama proses pengolahan. Secara lebih rinci, mengenai sumber bahaya, batas kritis serta tindakan yang dapat dilakukan pada ketiga titik kritis tersebut dapat dilihat pada Tabel 25. 6.2.3 CCP pengolahan bakso ikan Salah satu usaha untuk meningkatkan diversifikasi olahan produk perikanan adalah dengan pengembangan teknologi pengolahan hasil perikanan yang dapat meningkatkan nilai jual produk tersebut setelah diolah contohnya menjadi bakso ikan. Bakso ikan merupakan produk berbentuk bulat dengan berbagai ukuran sesuai selera. Cara penyajian dapat dimasak dengan kuah, digoreng atau sebagai campuran sayuran. Hampir semua lapisan masyarakat mengenal dan menyukai bakso ikan. Rasa bakso ikan tidak kalah dengan rasa bakso sapi, dengan rasa khas daging ikan. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah ikan yang berdaging putih dengan kualitas mutu yang baik. Ikan yang sering digunakan adalah ikan jangilus, setuhuk/layaran atau pedang-pedang. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan ini adalah ikan berdaging putih. Bahan-bahan pembantu adalah bumbu-bumbu yang digunakan. Adapun bumbu-bumbu yang digunakan adalah sebagai berikut, lumatan daging ikan, garam, tepung tapioka, air es, lada, MSG, bawang putih, bawang merah dan baking soda. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan ini adalah sebagai berikut: alat penggiling daging, alat pencampur adonan, ember (tempat adonan), kompor minyak tanah, panci alumunium, serok, naya/ayakan, rak penirisan, plastik (untuk pengemasan). Harga bahan baku yang tinggi serta keterbatasan ketersediaan bahan menjadi permasalahan bagi pengolah bakso. Hal tersebut meyebabkan produksi bakso ikan menjadi kecil. Selain itu produksi kecil disebabkan pula oleh pembuatan bakso yang masih secara tradisional seperti perebusan dengan kompor dan pencetakan bakso dengan tangan. Ikan merupakan komoditi yang bersifat mudah busuk. Untuk mencegah terjadinya kemunduran mutu produk, maka perlu dilihat analisa bahaya selama proses pengolahan. Titik bahaya yang terdapat pada pengolahan bakso ikan yakni meliputi mikrobiologi, pencemaran fisik, air yang tidak bersih, garam yang kotor,
terkontaminasi dari wadah, alat, bahan, udara dan sebagainya. Secara rinci mengenai analisa proses pengolahan bakso ikan dapat dilihat pada Tabel 27. Berdasarkan Tabel 27 terdapat empat titik kritis pada tahapan pengolahan bakso ikan yaitu penerimaan bahan baku, proses pengadukan, proses perebusan dan proses pengemasan. Titik-titik kritis dalam setiap tahapan proses pengolahan bakso ikan secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 17 Sumber bahaya utama pada ketiga titik kritis tersebut yaitu berbagai bakteri yang dapat berkembang dan akan mencemari bahan baku ikan yang diolah serta rusaknya fisik ikan. Tindakan pengawasan yang perlu dilakukannya yaitu melakukan pemeriksaan fisik secara visual mengenai kebersihan selama proses pengolahan. Secara lebih rinci, mengenai sumber bahaya, batas kritis serta tindakan yang dapat dilakukan pada ketiga titik kritis tersebut dapat dilihat pada Tabel 27. 6.2.4 CCP Pengolahan abon ikan Produk abon ikan merupakan salah satu makanan laut, dimana kandungan gizinya sangat tinggi dan baik untuk kesehatan.
Kandungan omega-3 sangat
banyak terdapat pada ikan laut yang memperkuat daya tahan otot jantung juga bisa meningkatkan kecerdasan otak bila dimakan sejak dini, melenturkan pembuluh darah, melarutkan kolesterol, menurunkan trigliserida dan mencegah penggumpalan darah. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan abon ikan ini adalah ikan jangilus atau ikan marlin tuna. Sedangkan bahan-bahan pembantu adalah bumbubumbu (gula putih, bawang putih, bawang merah, salam dan serai, lengkuas, garam, Monosodium glutamat (MSG), ketumbar, kelapa (santan kental) dan minyak goreng. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan abon ikan ini adalah sebagai berikut: tungku, wajan, badeng, baskom, sodet, pisau, golok, mesin press, mesin giling, mesin parut, vacum sealer, sendok, garpu dan serok. Dalam sehari pengolah mampu memproduksi abon sebanyak 200 kg dengan menggunakan bahan baku sebanyak 500 kg. Abon ikan yang diproduksi oleh UPI tersebut memiliki penampakan dan warna seperti abon sapi dan rasa khas abon ikan. Proses pengolahan abon ikan memiliki tingkat resiko yang dapat membahayakan bagi keamanan produk pangan. Sumber-sumber bahaya tersebut
dapat berasal dari bahan baku ikan, air yang tercemar, debu, kotoran pada alat dan wadah serta pada kegiatan pengemasan yang tidak rapat. Secara lebih rinci mengenai bahaya pada setiap tahapan proses pengolahan bakso ikan dapat dilihat pada Tabel 26. Secara garis besar, proses pengolahan abon ikan memiliki tiga titik kritis utama yang menjadi sumber bahaya pada tahapan pengolahan. Tahapan pengolahan yang memiliki titik kritis sumber bahaya yaitu tahapan penerimaan bahan baku, proses pengepresan ikan, dan proses pengemasan. Tahapan-tahapan proses pengolahan abon ikan serta titik-titik kritis dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15, sumber bahaya utama pada ketiga titik kritis pada pengolahan abon ikan yaitu berbagai bakteri yang dapat berkembang dan akan mencemari bahan baku ikan yang diolah serta rusaknya fisik ikan. Tindakan pengawasan yang perlu dilakukannya yaitu melakukan pemeriksaan fisik secara visual mengenai kebersihan pada setiap proses pengolahan. Secara lebih rinci, mengenai sumber bahaya, batas kritis serta tindakan yang dapat dilakukan pada ketiga titik kritis tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. 6.2.5 CCP Pengolahan kerupuk kulit ikan Pengolahan kerupuk kulit
ikan di kabupaten Sukabumi banyak
menggunakan bahan baku ikan yaitu kulit ikan cucut/hiu dan ikan pari/cawang dengan bahan tambahan berupa bumbu-bumbu tradisional. Penambahan bumbu tradisional ini menciptakan kerupuk kulit yang gurih dan mengembang. Bumbubumbu yang digunakan adalah: air, garam, bawang putih, bawang merah, kunyit dan ketumbar. Adapun peralatan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk kulit ikan cucut yaitu: panci/wajan (ukuran besar), kompor minyak tanah, baskom besar dari plastik dan tempat penjemuran dari bambu. Proses pengolahan kerupuk kulit ikan memiliki tingkat resiko yang dapat membahayakan bagi keamanan produk pangan. Sumber-sumber bahaya tersebut dapat berasal dari bahan baku ikan, air yang tercemar, debu, kotoran pada alat dan wadah serta pada kegiatan pengemasan yang tidak rapat. Secara lebih rinci mengenai bahaya pada setiap tahapan proses pengolahan kerupuk ikan dapat dilihat pada Tabel 28.
Pada Tabel 28, secara garis besar terdapat empat titik kritis dalam proses pengolahan kerupuk kulit ikan. Tahapan pengolahan yang dianggap memiliki titik kritis atau sumber bahaya yaitu tahapan penerimaan bahan baku ikan, proses pengerikan dan pembersihan ikan serta proses pengemasan. Tahapan-tahapan proses pengolahan krupuk kulit ikan serta titik-titik kritis dapat dilihat pada Gambar 19. Untuk meminimkan tingkat resiko bahaya pengolahan, maka ada beberapa tindakan pengawasan yang perlu dilakukan yaitu melakukan pemeriksaan fisik secara visual mengenai kebersihan pada setiap proses pengolahan. Secara lebih rinci, mengenai sumber bahaya, batas kritis serta tindakan yang dapat dilakukan pada keempat titik kritis tersebut dapat dilihat pada Tabel 28. 6.3 Optimasi Unit Pengolahan Ikan Berdasarkan pada kendala-kendala yang terdapat di wilayah kabupaten Sukabumi, maka dapat diketahui bahwa nilai optimal UPI abon ikan merupakan UPI yang memiliki prospek paling banyak untuk dikembangkan di wilayah kabupaten Sukabumi yaitu sebanyak 22 unit. Pengembangan jumlah UPI abon ikan dipengaruhi oleh ketersediaan jumlah bahan baku ikan tuna. Tingkat keuntungan dari UPI abon ikan cukup besar dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 338 juta per tahun. Nilai revenue cost ratio UPI abon ikan memperoleh nilai sebesar 1,75 dan merupakan paling besar dibandingkan dengan kegiatan UPI lainnya. Jumlah UPI terbanyak kedua untuk dikembangkan di kabupaten Sukabumi yaitu UPI ikan asin dengan jumlah optimal sebanyak 8 unit. Banyaknya jumlah UPI ikan asin yang dapat dikembangkan disebabkan terdapat banyak sumberdaya bahan baku ikan untuk diolah menjadi ikan asin. Selain itu, faktor banyaknya jumlah tenaga kerja yang mampu terserap oleh UPI ikan asin menjadi faktor pendorong untuk pengembangan UPI ikan asin. Pengembangan jumlah unit UPI pemindangan ikan baik yang berukuran besar maupun kecil masing-masing sebesar 4 unit dan 2 unit. Walaupun jumlah investasi untuk UPI pemindangan ikan relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan UPI yang lainnya, begitu pula dengan jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 18 orang untuk pemindangan ikan besar dan sebanyak 15 orang untuk
pemindangan ikan kecil. Demikian pula dengan tingkat keuntungan yang diperoleh relatif lebih besar dibandingkan dengan UPI ikan asin. Namun demikian adanya keterbatasan ketersediaan sumberdaya bahan baku ikan yang ada di kabupaten Sukabumi memiliki bobot penting bagi pengembangan UPI pemindangan ikan. Jumlah UPI bakso ikan yang dapat dikembangkan sebanyak 3 unit. Penyebab banyaknya jumlah UPI bakso ikan yang dapat dikembangkan karena tingkat keuntungan yang diperoleh dari UPI bakso ikan selama satu tahun cukup signifikan yaitu sebesar Rp. 403 juta per tahun, penyerapan jumlah tenaga kerja yang paling besar, serta banyaknya ketersediaan jumlah bahan baku ikan tuna. Namun demikian, tingginya nilai investasi usaha UPI bakso ikan serta kebutuhan skala yang relatif besar menjadikan kegiatan usaha bakso ikan menjadi relatif kurang efisien. Besarnya skala usaha yang dibutuhkan dapat ditunjukkan dari nilai BEP yang diperoleh yang lebih besar dibandingkan dengan jenis UPI lainnya. Pengembangan jumlah unit UPI kerupuk kulit ikan merupakan yang paling sedikit dibandingkan dengan UPI lainnya. Faktor penyebab utama sedikitnya jumlah unit UPI kerupuk kulit ikan yaitu karena terbatasnya jumlah bahan baku ikan cucut yang tersedia di kabupaten Sukabumi. Berdasarkan output pengolahan data, maka dapat diperoleh nilai keuntungan maksimal dari optimalisasi pengembangan UPI di kabupaten Sukabumi mencapai nilai sebesar 9,50 triliun rupiah. Nilai keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan investasi yang diperlukan. Kondisi ini tentunya akan berdampak pada peningkatan tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dampak lainnya dari optimalisasi pengembangan UPI yaitu adanya penyerapan jumlah tenaga kerja, sehingga kondisi ini tentunya akan berdampak pada peningkatan pendapatan daerah. 6.4 Penggunaan Sumberdaya (Analisis Dual) Penggunaan sumberdaya memperlihatkan penggunaan sumberdaya yang optimal dalam pengembangan jumlah UPI. Penilaian terhadap kelangkaan atau tidaknya suatu sumberdaya yang menjadi kendala dapat dillihat dari nilai slack atau surplus. Sumberdaya yang langka ditunjukkan dengan nilai slack atau surplus bernilai nol, artinya sumberdaya tersebut habis terpakai dalam kegiatan
produksi atau sebagai sumberdaya pembatas. Kendala batas ini merupakan kendala aktif, artinya apabila penggunaannya ditambah sebesar satu satuan, maka keuntungan akan meningkat sebesar dual price. Nilai dual (dual price) dari sumberdaya yang langka atau sumberdaya pembatas akan lebih besar dari nol dan merupakan harga bayangan (shadow price) dari sumberdaya tersebut. Setiap perubahan satu unit ketersediaan akan meyebabkan perubahan nilai tujuan sebesar shadow price nya. Sumberdaya yang menjadi kendala utama dalam mencapai hasil yang optimal dapat terlihat dari kendala yang memiliki shadow price terbesar. Sumberdaya yang memiliki nilai slack atau surplus lebih besar dari nol merupakan sumberdaya berlebih atau tidak habis terpakai. Nilai dual dari sumberdaya berlebih adalah bernilai nol, hal ini menunjukkan bahwa penambahan satu satuan nilai ruas kanan kendala-kendala tersebut tidak akan mempengaruhi nilai fungsi tujuan. Sehingga apabila perusahaan menambahkan sumberdaya berlebih tersebut, maka tidak akan diperoleh tambahan manfaat ataupun tambahan pendapatan. Sumberdaya ikan Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal sebagai bahan baku UPI dapat dilihat dari slack atau surplus. Apabila terdapat nilai slack atau surplus, artinya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai bahan baku UPI masih berlebih. Dengan kata lain, bahwa kendala bahan baku ikan tersebut tidak mampu terserap oleh UPI dan dapat dijual dalam keadaan segar. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal sebagai bahan baku UPI dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai bahan baku UPI di kabupaten Sukabumi secara optimal No
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis ikan Cakalang Layang Tongkol Tuna Cucut Tembang, Peperek dan Udang rebon
Tersedia 259.716 23.136 349.374 711.338 19.687
Optimal Terpakai 259.716 23.136 173.520 711.338 19.687
0 0 175.854 0 0
0,000095 0,001489 0 0,000162 0,000247
441.433
441.433
0
0,000337
Dual price
Sisa
Berdasarkan pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa hampir seluruh sumberdaya ikan hasil tangkapan nelayan dapat dijadikan untuk bahan baku UPI. Hal ini ditandai dengan nilai sisa yang rata-rata bernilai nol. Namun demikian, terdapat satu jenis ikan yakni ikan tongkol yang memiliki nilai sisa yaitu sekitar 176 ton, artinya bahwa jenis ikan tongkol dari kabupaten Sukabumi dapat dijual dalam keadaan segar sekitar 176 ton per tahun. Hal ini dimungkinkan karena UPI di kabupaten Sukabumi dalam kondisi optimal tidak mampu menampung karena adanya keterbatasan produksi UPI. Kapasitas produksi maksimum UPI di kabupaten Sukabumi untuk mengolah ikan tongkol rata-rata sekitar 173,5 ton per tahun. Upaya pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan teluk Palabuhanratu dan sekitarnya masih menganut pada sistem pengelolaan secara terbuka (open access). Kondisi pengelolaan seperti ini akan menciptakan inefisiensi dan persaingan yang tinggi yang akan mendorong pelaku usaha untuk menangkap ikan sebanyakbanyaknya, sehingga upaya pemanfaatannya cenderung mengarah pada tingkat pemanfaatan yang berlebihan (over fishing).Apabila sumberdaya ikan dipandang sebagai sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), maka pengelolaan secara berkelanjutan harus diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya yang laju ekstraksinya tidak boleh melebihi laju kemampuan daya pulihnya. Oleh karena itu rezim pemanfaatan secara terbuka, sebagaimana umumnya dianut di Indonesia sudah saatnya untuk dibatasi. Secara teoritis, ada beberapa istrumen pembatasan (limited entry) yang dapat diaplikasikan, seperti penetapan Individual Transferable Quota (ITC) dan Territorial Used Right (Kusumastanto, 2002) maupun User Fee atau Fishing Fee (Fauzi, 2002). Disamping itu, dalam rangka implementasi otonomisasi kabupaten/kota perlu dilakukan pengkajian dan telaahan terhadap kearifan-kearifan lokal yang positf untuk mendukung pengelolaan sumberdaya ikan secara lestari dan berkelanjutan dengan keterlibatan secara aktif masyarakat setempat. Apapun pilihan yang dianggap paling cocok untuk dikembangkan, sebaiknya jiwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan harus tetap guna mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan, dalam arti memberikan manfaat ekonomi yang paling baik dengan tingkat pemanfaatan yang tidak melampaui kemampuan daya pulihnya.
Untuk sumberdaya ikan tongkol di perairan Palabuhanratu dan sekitarnya guna
mencapai
tingkat
pemanfaatan
yang
optimal
dalam
pengelolaan
sumberdayanya memerlukan 86 unit jaring insang (gill net) dan 30 unit payang dengan hasil produksi sebesar 621.450 kg (MESY) per tahun (Suryana, 2003). Oleh karena itu, sumberdaya ikan jenis lainnya yang berhubungan dengan pengembangan UPI skala menengah sangat diperlukan untuk dilakukan kajiankajian bioekonomi dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Tenaga kerja Jumlah tenaga kerja yang mampu terserap dari pengembangan secara optimum UPI di kabupaten Sukabumi yaitu sebesar 1.211 orang. Jika pemerintah mentargetkan penyerapan tenaga kerja sebanyak 6.158 orang, berarti masih ada sekitar 4.947 orang yang masih belum terserap. Oleh karena itu, tenaga kerja produktif yang belum terserap dapat dialokasikan untuk jenis usaha lainnya, atau juga dapat dilakukan peningkatan jumlah UPI lainnya dengan bahan baku ikan yang lain sehingga menjadi komoditi unggulan. Peningkatan UPI dapat juga dilakukan melalui peningkatan nilai investasi. Investasi UPI Kendala nilai investasi menjadi salah satu kendala utama bagi peningkatan jumlah UPI. Total investasi sebesar dua milyar rupiah yang ditargetkan bagi pengembangan UPI telah digunakan seluruhnya. Hal ini dapat diketahui dari nilai slack atau surplus untuk kendala investasi bernilai nol. Peningkatan nilai investasi tentunya akan mendorong peningkatan jumlah UPI, terutama untuk mengolah berbagai jenis ikan lainnya menjadi nilai ekonomis. 6.4.1 Perubahan keuntungan dan ketersediaan sumberdaya Hasil olahan optimal memberikan dua analisis lainnya, yaitu analisis perubahan tingkat keuntungan dan analisis perubahan ketersediaan sumberdaya. Kedua analisis ini juga disebut dengan analisis sensitivitas. Masing-masing analisis ini menunjukkan tingkat kenaikan yang diperbolehkan (allowable increase) dan tingkat penurunan yang diperbolehkan (allowable deacrease) yang berpengaruh terhadap keputusan produksi.
Solusi optimal tidak akan berubah selama perubahan pada tingkat keuntungan produk berada pada selang kepekaan, yaitu selang antara allowable increase dan allowable deacrease. Semakin pendek selang kepekaan maka memiliki kepekaan yang semakin besar dan selang kepekaan yang paling panjang mempunyai kepekaan yang paling rendah. 6.4.2 Perubahan tingkat keuntungan Tingkat keuntungan yang diperoleh setiap jenis UPI selama satu tahun digunakan sebagai koefisien fungsi tujuan dari model optimasi. Hasil analisis perubahan tingkat keuntungan pengembangan UPI dari model maksimisasi keuntungan pengembangan jumlah UPI di kabupaten Sukabumi, terdapat beberapa variabel yang tidak memiliki batas kenaikan nilai koefisien. Kenaikan tanpa batas ini disebut infinity. Secara lebih lengkap mengenai analisis perubahan tingkat keuntungan pengembangan UPI yang optimal di kabupaten Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 38. Tabel 38. Selang kepekaan perubahan keuntungan tiap UPI di kabupaten Sukabumi pada kondisi optimal No. 1. 2.
3.
4. 5. 6.
Jenis UPI Ikan asin Pindang Ikan Besar Pindang Ikan kecil Bakso ikan Abon ikan Kerupuk kulit ikan
Allowable Increase
Allowable Decrease
Batas Atas
9.516.000
Infinity
0
-
9.516.000
-
128.331.432
Infinity
0
-
128.331.432
-
60.040.000
Infinity
42.169.472
-
17.870.528
-
403.919.008
0
0
403.919.008
403.919.008
0
338.569.984
0
0
338.569.984
338.569.984
0
25.545.000
Infinity
0
-
25.545.000
-
Koefisien
Batas Bawah
Selang kepekaan
Analisis perubahan tingkat keuntungan optimasi jumlah UPI di kabupaten Sukabumi menunjukkan beberapa hal. Pertama, perubahan keuntungan yang memiliki nilai kenaikan (allowable increase) yang tidak terbatas, sedangkan penurunan yang diperbolehkan (allowable decrease) sebesar nol. Jenis UPI yang termasuk kelompok ini yaitu ikan asin, pemindangan ikan besar, abon ikan dan kerupuk kulit ikan.
Kedua, perubahan tingkat keuntungan yang memiliki nilai kenaikan (allowable
increase)
yang
tidak
terbatas,
sedangkan
penurunan
yang
diperbolehkan (allowable decrease) sebesar nilai tertentu. Jenis UPI yang termasuk pada kelompok kedua yaitu pengolahan pindang ikan kecil. Ketiga, hasil analisis
perubahan
keuntungan
yang
memiliki
tingkat
kenaikan
yang
diperbolehkan (allowable increase) maupun penurunan yang diperbolehkan (allowable decrease) memiliki nilai nol. Jenis UPI yang termasuk dalam kelompok ketiga yaitu UPI abon ikan dan bakso ikan. Berdasarkan hasil analisis kepekaan tingkat keuntungan seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas, maka dapat dihitung nilai rata-rata harga per satuan output yang dihasilkan baik harga produk tertinggi maupun harga produk terendah dari masing-masing UPI. Hasil analisis sensitivitas selang kepekaan harga produk menurut jenis UPI dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Analisis sensitivitas perubahan harga ouput rata-rata menurut jenis UPI optimal di kabupaten Sukabumi
No.
Jenis UPI
Perubahan tingkat keuntungan (Rp/tahun) Batas atas
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ikan asin Pindang ikan besar Pindang ikan kecil Bakso ikan Abon ikan Kerupuk kulit ikan
Infinity Infinity Infinity 403.919.008 338.569.984 Infinity
Batas bawah 9.516.000 128.331.432 17.870.528 403.919.008 338.569.984 25.545.000
Perubahan harga output rata-rata (Rp/kg) Harga tertinggi Infinity Infinity Infinity 25.000 100.000 Infinity
Harga terendah 11.000 19.778 14.446 25.000 100.000 100.000
Selang kepekaan harga (Rp/kg)
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa jenis UPI yang memiliki tingkat kepekaan paling tinggi yaitu UPI abon ikan dan bakso ikan. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai selang kepekaan baik untuk nilai keuntungan maupun harga produk memiliki nilai nol. Artinya bahwa harga produk abon ikan dan bakso akan sangat berpengaruh terhadap pengembangan unit jumlah UPI. Jika harga abon ikan dan bakso ikan atau sedikit saja mengalami perubahan baik kenaikan maupun penurunan dari harga abon saat ini sebesar Rp. 100.000 per kg dan harga bakso ikan sebesar Rp. 25.000 per kg, maka kombinasi jumlah UPI optimal akan mengalami perubahan.
0 0 -
Tingginya tingkat sensitivitas harga abon ikan dan bakso ikan dapat disebabkan karena kondisi bahan baku yang berasal dari ikan tuna. Ikan tuna sebagai komoditi unggulan produk perikanan dengan tingkat permintaan yang cukup tinggi, baik sebagai komoditi ikan segar maupun olahan. Dengan demikian harga bahan baku ikan tuna segar memiliki tingkat persaingan harga yang tinggi. Adanya perubahan terhadap harga jual abon ikan dan bakso ikan tentunya akan berpengaruh terhadap kemampuan membeli bahan baku ikan tuna. Jika terjadi penurunan harga abon dan bakso ikan, maka kemampuan UPI membeli bahan baku ikan tuna juga akan turun, demikian juga sebaliknya. Dampak berikutnya akan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Tingkat sensitivitas bagi produk UPI ikan asin, ikan pindang baik besar maupun kecil serta kerupuk kulit ikan memiliki tingkat yang relatif rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dari tidak adanya batasan harga tertinggi bagi produk-produk tersebut. Adapun harga terendah dari masing-masing produk tersebut yaitu ikan asin mimimum sebesar Rp. 11.000 per kg, ikan pindang besar minimum sebesar Rp. 19.778 per kg, pindang ikan kecil minimum sebesar Rp. 14.446 per kg dan harga kerupuk kulit ikan minimum sebesar Rp. 100.000 per kg. 6.4.3
Perubahan ketersediaan sumberdaya Analisis perubahan ketersediaan sumberdaya
perubahan
ketersediaan
sumberdaya
dan
batasan
menunjukkan selang produksi
yang
tetap
mempertahankan kondisi kombinasi jumlah UPI optimal dan tidak mengubah nilai dual price. Selang perubahan ditunjukkan oleh kenaikan yang diperbolehkan (allowable increase) dan penurunan yang diperbolehkan (allowable decrease). Jika perubahan nilai ketersediaan sumberdaya maupun tingkat permintaan masih berada dalam selang tersebut maka perubahan tidak akan menyebabkan perubahan nilai dual price. Semakin sempit perubahan selang menunjukkan bahwa sumberdaya tersebut merupakan sumberdaya yang penting dalam proses produksi karena perubahan ketersediaannya akan sangat mempengaruhi jumlah UPI optimal. Analisis perubahan ketersediaan sumberdaya juga berkaitan dengan status sumberdaya yang bersangkutan. Jika suatu sumberdaya merupakan kendala pembatas maka sumberdaya tersebut memiliki nilai kenaikan dan penurunan
sebesar nilai tertentu. Jika suatu sumberdaya bukan merupakan sumberdaya pembatas, maka akan memiliki kenaikan tidak terbatas dan penurunan sebesar nilai slack atau surplus. Batasan sumberdaya dari model optimasi pengembangan jumlah UPI terdiri dari kendala bahan baku, tenaga kerja dan tingkat investasi. Bahan baku ikan yang digunakan meliputi ikan cakalang, layang, tongkol, tuna, cucut, tembang, peperek dan udang rebon. Selang kepekaan perubahan ketersediaan sumberdaya pada kondisi kombinasi jumlah UPI optimal di kabupaten Sukabumi secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Selang kepekaan perubahan ketersediaan sumberdaya pada kondisi kombinasi optimal jumlah UPI Skala Menengah di kabupaten Sukabumi. No. 1.
2. 3.
Variabel kendala
Nilai awal
Bahan baku ikan -Cakalang 259.716 (kg) 23.136 -Layang (kg) -Tongkol 349.374 (kg) 711.338 -Tuna (kg) 19.687 -Cucut (kg) -Tembang,, peperek, 441.433 udang rebon (kg) Tenaga 6.158 kerja (org) Investasi 2.000 (Rp juta)
Allowable increase
Allowable decrease
Batas atas
Batas bawah
Selang kepekaan
423.536
0
683.252
259.716
423.536
23.447
0
299.463
23.136
23.447
Infinity
175.854
-
173.520
-
3.512.830 3.064.383
0 0
4.224.168 3.084.070
711.338 19.687
3.512.830 3.064.383
3.132.566
0
3.573.999
441.433
3.132.566
-5.484
infinity
674
-
-
Infinity
0
-
2.000
-
Berdasarkan pada tabel di atas dapat diketahui bahwa sumberdaya ikan tongkol bukan merupakan kendala pembatas sehingga nilai kenaikan yang diperbolehkan tidak terbatas (infinity) dan nilai penurunan yang diperbolehkan sebesar nilai slack atau surplus yaitu sebesar 175.854 kg. Kendala tenaga kerja juga bukan merupakan faktor pembatas, sehingga nilai penurunan yang diperbolehkan tidak terbatas (infinity). Namun demikian jumlah tenaga kerja pada nilai peningkatan
yang
diperbolehkan
bertanda
negatif
sebesar
5.484,
menunjukkan bahwa sebanyak 5.484 orang tenaga kerja yang ditargetkan dapat diserap oleh UPI tidak tercapai dan hanya tercapai sebanyak 674 orang.
Sumberdaya bahan baku ikan cakalang, layang, tuna, cucut, tembang, peperek dan udang rebon merupakan sumberdaya langka atau sumberdaya pembatas, karena memiliki nilai kenaikan dan penurunan yang diperbolehkan sebesar nilai tertentu. Demikian juga dengan besarnya nilai yang diinvestasikan dapat dijadikan sebagai sumberdaya yang langka. Bahan baku ikan cakalang, layang, tuna, cucut, tembang, pepetek dan udang rebon memiliki nilai penurunan yang diperboleh (allowable decrease) yang sangat kecil sehingga dapat dianggap nol. Oleh karena itu, penurunan jumlah hasil tangkapan ikan-ikan tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan kegiayan UPI optimal di kabupaten Sukabumi. Nilai kenaikan yang diperbolehkan untuk masing-masing bahan baku ikan tersebut yaitu sebanyak 423 ton per tahun untuk ikan cakalang, sebanyak 23 ton per tahun untuk ikan layang, sebanyak 3.513 ton per tahun untuk ikan tuna, sebanyak 3.064 ton per tahun untuk ikan cucut, serta sebanyak 3.132 ton per tahun untuk ikan tembang peperek dan udang rebon. Analisis perubahan nilai investasi usaha menunjukkan penurunan yang diperbolehkan untuk mempertahankan kombinasi UPI optimal sangat kecil sehingga dapat dinyatakan bernilai nol. Oleh karena itu, penurunan nilai investasi berada dibawah 2 milyar rupiah akan berakibat pada perubahan kombinasi optimal UPI di kabupaten Sukabumi. Nilai kenaikan yang diperbolehkan hingga nilai tak terbatas (infinity). Hal ini menunjukkan bahwa kendala investasi bukan merupakan kendala utama yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah UPI. Kendala utama yang berpengaruh terhadap jumlah UPI yaitu kendala bahan baku ikan.