163
6 PEMBAHASAN
6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal oleh nelayan Sibolga khususnya melalui operas penangkapan dengan bubu masih memiliki peluang yang cukup besar. Data hasil tangkapan nelayan pada kelompok ikan demersal ekonomis penting masih belum melewati batas pemanfaatan maksimum. Saat ini pengelolaan penangkapan ikan karang di pantai Barat Sumatera masih belum dilakukan oleh pemerintah dan nelayan karena belum adanya aturan yang diberlakukan khususnya pada ukuran hasil tangkapan. Hasil penelitian ini sangat berbeda dengan apa yang telah dikembangkan oleh masyarakat Meksiko dalam pemanfaatan sumberdaya ikan kakap merah (Joy et al., 2009). Perencanaan pengembangan usaha perikanan karang telah dikembangkan sejak tahun 1984. Pemanfaatan sumberdaya ikan karang khususnya kakap merah dan kerapu dapat dilakuakan dengan memberikan escaping gap pada alat tangkap bubu yang digunakan nelayan. Tujuan penggunaan escaping gap salah satunya adalah untuk mengurangi hasil tangkapan yang tidak memenuhi permintaan pasar dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan demersal. Penelitian ini menunjukkan ukuran ikan hasil tangkapan bubu rata-rata telah mencapai ukuran dewasa. Ukuran panjang kakap merah yang tertangkap (length catch) pada penelitian ini realatif sama pada setiap spesiesnya. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kakap merah memiliki kebiasaan berenang secara berkelompok pada ukuran dan umur yang hampir sama dalam satu komunitasnya. Hasil penelitian pengoperasian bubu di Raja Empat (Urbinas, 2004) menyatakan bahwa ikan tangkapan bubu memiliki keseragaman ukuran pada setiap spesies. Pendistribusian
ikan hasil tangkapan bubu harus melalui Belawan dan
Pekanbaru yang difasilitasi oleh pedagang pengumpul. Dua kota ini menjadi pusat pengumpulan ikan hasil tangkapan nelayan bubu di Sibolga. Ikan hasil tangkapan dengan grade A akan langsung dijual ke luar negeri yaitu negara tujuan Singapura, Hongkong dan Jepang. Ikan dengan grade BS akan dijual ke pasar lokal. Pengelompokan jenis hasil tangkapan menurut grade berdasarkan pada spesies, ukuran (panjang dan bobot) dan kondisi fisik ikan.
164 Selama ini penentuan kualitas hasil tangkapan ikan demersal masih sering dimonopoli oleh para juragan. Belum adanya laboratorium penjamin mutu perikanan di Sibolga menjadi alasan utama sulitnya nelayan menentukan harga dan kualitas hasil tangkapannya. Monintja (2003) menyatakan bahwa strategi pengembangan perikanan tangkap yang masih dimonopoli oleh satu pihak akan menghambat laju pengembangan usaha perikanan itu sendiri. Kegiatan pelelangan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga sampai saat ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kegiatan perikanan di tangkahan (pelabuhan perikanan swasta). Peran serta pemerintah dalam mengembangkan perikanan bubu dapat dilakukan dengan peningkatan regulasi dan fasilitas yang mendukung nelayan bubu. Perhitungan potensi pemanfaatan ikan kakap menunjukkan bahwa ikan kakap di pantai Barat Sumatera telah mencapai tangkapan maksimum lestari. Sesuai dengan pernyataan Monintja (2007) pemanfaatan yang sudah mencapai full exploited akan menyebabkan kepunahan pada spesies kakap di pantai Barat Sumatera. Penyebaran daerah penangkapan ikan kakap sudah dapat menjadi alternatif pengembangan yang dilakukan oleh nelayan Sibolga saat ini. Hasil tangkapan kakap berdasarkan ukuran ikan juga telah mencerminkan mulai sulitnya mendapatkan ikan kakap pada ukuran ekonomis tinggi. Ikan kakap yang didaratkan di tangkahan Sibolga untuk ukuran ekspor memiliki bobot minimal 1 kg/ekor. Jumlah tangkapan ikan kuwe masih sangat rendah jika dibandingkan dengan pemanfaatan ikan kakap dan kerapu. Kelompok ikan carangoides sp sebenarnya merupakan jenis ikan komersial utama yang banyak diminati oleh negara Singapura dan Hongkong. Rendahnya konsistensi penangkapan ikan kuwe menyebabkan harga ikan tersebut masih lebih rendah dibandingkan ikan kakap dan kerapu. Secara umum potensi perikanan karang di pantai Barat Sumatera masih cukup besar. Pemanfaatan ikan demersal dari famili Serranidae dan Lutjanidae sudah mulai termanfaatkan secara baik, namun pemanfaatan ikan kerapu masih memerlukan peningkatan upaya penangkapan. Tingginya potensi pemanfaatan ika larang di pantai Barat Sumatera didukung oleh keberadaan ekosistem terumbu karang. Berdasarkan penyebaran karang seperti yang tertera pada Peta 135
165 (Lampiran 3), potensi sumberdaya ikan demersal masih menjanjikan di daerah pantai Barat Sumatera. Pemanfaatan sumberdaya ikan kakap putih secara lestari berada pada nilai 1260,89 ton/tahun, pada tahun 2006 sampai 2010 pemanfaatan masih berada dibawah batas pemanfaatan lestari (Lampiran 2). Data tersebut diperoleh dari hasil tangkapan yang berfluktuasi dari tahun ketahun, hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan terendah berada pada tahun 2008 hal ini terjadi karena pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah effort yang sangat signifikan dari tahun 2006 dan 2007 karena adanya kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak sehingga nelayan banyak tidak melaut. Pada tahun 2009 dan 2010 meskipun effort mengalami penurunan namun memberikan hasil tangkapan yang lebih tinggi bila dibandingkan tahun 2008. 6.1.1
Ikan kerapu Penurunan jumlah upaya penangkapan ikan kerapu pada Tahun 2009 telah
memberikan pengaruh yang signifikan pada kenaikan jumlah hasil tangkapan. Pada tahun 2010 upaya penangkapan ikan kerapu mulai mengalami penurunan namun hasil tangkapan nelayan terhadap ikan kerapu tidak mengalami peningkatan. Perubahan hasil tangkapan ini menunjukkan bahwa pengoperasian bubu terhadap sumberdaya ikan karang tidak semata-mata dipengaruhi oleh jumlah upaya penangkapan. Sesuai dengan pernyataan Cann (1990), profitabilitas sebuah alat tangkap sangat dipengaruhi oleh kemampuan alat tangkap dalam menghasilkan ikan target. Kerapu yang tertangkap oleh bubu di pantai Barat Sumatera kemungkinan besar telah berada pada ukuran yang layak tangkap, sehingga penurunan upaya penangkapan kerapu dengan bubu justru memberikan kesempatan kepada ikan berukuran besar untuk masuk ke dalam perangkap. Hal ini semakin diperkuat dengan hasil pengukuran kerapu yang didominasi pada ukuran melebihi kriteria LM. Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang banyak ditemukan pada daerah karang di paparan benua tropis (Lounghurst and Pauly, 1987). Sesuai dengan pernyataan ini, pantai Barat Sumatera memrupakan ekosistem yang cukup
166 baik untuk pertumbuhan karang. Hal ini diperkuat dengan hasil tangkapan nelayan yang mampu menangkap ikan kerapu sepanjang tahun tanpa adanya pengaruh musim. Ikan kerapu tergolong pada kelompok ikan demersal yang hidup menetap dan memiliki pola gerak yang cenderung lambat. Ikan demersal dengan pola gerak seperti ini akan memiliki kandungan eritrosit dan haemoglobin yang relatif lebih rendah (Lee dan Kim, 1992). Sifat ikan yang memiliki pola gerak lambat akan mempengaruhi pola migrasinya, sehingga ikan kerapu cenderung tertangkap sepanjang tahun pada bubu yang ditempatkan disekitar karang. 6.1.2
Kakap merah Ikan kakap putih merupakan target penangkapan dari alat tangkap bubu.
Bubu yang dioperasikan nelayan Sibolga diletakkan pada daerah sekitar terumbu karang yang menjadi habitat dari ikan kakap merah dengan perendaman selama 7 sampai 10 hari. Kakap merah merupakan kelompok ikan karang yang termasuk dalam keluarga Lutjanidae. Sifat ikan ini cenderung mendiami ekosistem yang relatif berpindah saat terjadi perubahan usia (Jeyaseelan, 1998). Ikan ini akan mendiami ekosistem mangrove saat masih berukuran juvenil dan akan memijah, kemudian saat mulai tumbuh dewasa, ikan kakap putih akan mulai memasuki perairan yang lebih dalam dan bergerak ke arah padang lamun. Ikan kakap merah memiliki sifat sedentarIy yaitu menetap dalam waktu yang cukup lama setelah berumur dewasa. Sesuai dengan hasil tangkapan bubu nelayan Sibolga, ikan kakap putih yang masuk pada bubu rata-rata memiliki ukuran bobot di atas 0,6 kg. Jika nilai bobot ini dikorelasikan dengan nilai LM kakap putih, ukuran panjang 30 cm telah memberikan bobot sebesar 0,4 kg. Perbandingan nilai ini telah menunjukkan bahwa ikan kakap merah yang tertangkap oleh bubu telah memiliki ukuran yang layak tangkap. 6.1.3 Kuwe Sesuai dengan pernyataan Jeyaseelan (1998) terumbu karang merupakan habitat yang dijadikan ikan kuwe sebagai tempat berasosiasi dengan ikan lain. Ikan ini memiliki bentuk pipih dengan pola gaya renang yang cepat. Ikan kuwe memiliki sifat bermigrasi aktif dan berenang secara scholing serta tidak mendiami daerah ekosistem karang dalam waktu yang cukup lama. Sesuai dengan hasil
167 penelitian pukat ikan merupakan alat tangkap standar yang digunakan untuk menangkap ikan kuwe. Ikan kuwe sering dikategorikan sebagai ikan demersal karena sering tertangkap bersama kelompok ikan karang yang lain. Sebenarnya ikan ini merupakan jenis ikan yang melakukan asosiasi terhadap ekosistem terumbu karang. Ikan ini sering berada di celah karang untuk mencari makanan. Ikan ini tergolong sebagai predator aktif dalam rantai makanan yang terbentuk pada ekosistem terumbu karang. Sesuai dengan pernyataan (Lee dan Kim, 1992) variasi kelimpahan ikan kuwe sangat dipengaruhi oleh musim. Ikan kuwe dapat melakukan migrasi yang cenderung lebih jauh jika dibandingkan dengan ikan kerapu. Secara vertikal daerah renang ikan kuwe sering ditemukan pada perairan menangah sampai perairan dasar. Hasil perhitungan penangkapan ikan kuwe yang didaratkan di Sibolga menunjukkan bahwa bubu buksn merupakan alat tangkap yang paling dominan menangkap kuwe. Menurut Subani dan Barus (1989) pukat ikan merupakan alat yang paling produktif menangkap jenis ikan tersebut. Alat ini merupakan jenis alat tangkap yang dioperasiakn pada perairan menengah sampai peraran dasar. Pada saat melakukan migrasi untuk mencari makan, ikan ini sering tertangkap pada kantong jaring pukat ikan. Hasil penelitian pengoperasian bubu modifikasi menunjukkan bahwa perbaikan metode pengoperasian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penangkapan ikan kuwe. Pernyataan ini juga sinergis dengan hasil penelitian Risamasu (2008) yang menyimpulkan pengoperasian bubu yang telah diberikan rumpon cenderung menghasilka ikan karang yang bersifat sedentary. Sifat menetap pada ikan karang memberikan pengaruh yang lebih baik dalam produktivitas bubu.
6.2 Daerah Pengoperasian Bubu Bentuk topografi yang bervariasi akibat keberadaan karang telah membantu nelayan bubu Sibolga dalam menemukan bubu saat dioperasikan di Pulau Mursala. Daerah pengoperasian yang menghindari laut terbuka juga mengurangi pergerakan bubu akibat proses pasang surut. Menurut Pratomo (2010), topografi mempengaruhi arus pada kecepatannya saat menuju daratan sewaktu terjadi arus
168 pasang, serta saat berbalik ke daratan pada waktu surut. Kecepatan arus rata-rata di perairan Pulau Mursala pada kondisi normal sekitar 0,8 m/s sampai 1,2 m/s. Dengan pola arus seperti ini rata-rata pergeseran bubu pada sisi lintang 42 meter, sedangkan pada sisi bujur sebesar 38 meter. Bubu yang ditemukan kembali di perairan Pulau Mursala tentunya sangat dipengaruhi oleh pergeseran titiknya. Rata-rata pergeseran titik pengoperasian bubu nelayan diperoleh sebesar 61 meter. Kecepatan arus yang relatif stabil dan besar sangat berpengaruh terhadap keberadaan ekosistem karang. Menurut Lee dan Kim (1992) perbedaan kelimpahan ikan demersal sangat ditentukan oleh keberadaan ekosistem disekitarnya. Perbedaan kelimpahan ini juga sangat dipengaruhi oleh musim dan intensitas matahari. Terumbu karang yang sehat akan dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari dan pergerakan arus yang stabil. Kondisi terumbu karang yang masih cukup baik di sekitar perairan Pulau mursala akan memberikan pengaruh terhadap pola arus dan sebaliknya. Pola pergerakan arus pada perairan Pulau Pini dapat berubah secara ekstirm karena daerh ini termasuk pada wilayah yang mendekati perairan terbuka. Bentuk topografi dasar laut di perairan Pulau Pini sangat bervariasi dan cenderung terjal, Menurut Pratomo (2010) gerakan arus akan semakin lambat pada saat bertemu dengan bentuk topografi dasar laut yang ekstrem. Ditambahkan oleh Pratomo (2010), semakin landai bentuk topografi semakin cepat dan laminer gerakan arusnya, tetapi semakin beragam bentuk topografinya maka semakin lambat gerakan arusnya. Topografi yang beragam juga dapat membentuk aliran turbulen pada gerakan arusnya. Penempatan bubu di celah karang yang mencapai ketinggian 8 meter di perairan Pulau Pini dapat membantu mengurangi pergerakan bubu. Menurut Gross (1990) pergerakan angin juga akan mempengaruhi pola arus di dasar perairan. Pada saat musim barat pergerakan angin lebih besar jika dibandingkan dengan musim timur. Gross (1990) menambahkan bahwa arus dasar akibat pergerakan angin memberikan pemgaruh sebesar 2%, pengaruh ini akan semakin kecil dan hilang setelah perairan mencapai kedalaman 200 meter. Perairan Pulau Pini sebagai daerah pengoperasian bubu hanya memiliki kedalaman maksimum 63 meter, sehingga dapat disimpulakan bahwa arus dasar pada perairan ini masih dipengaruhi oleh pergerakan arah angin.
169 Menurut Lee dan Kim (1992), perairan wilayah tropis yang berarus akan membentuk ekosistem terumbu karang bersama ikan-ikan yang mendiaminya. Pada ekosistem karang yang baik akan ditemukan ikan-ikan clupeidae dan dua kelompok pemangsa bento-pelagis mirip belut. Beliau menambahkan perairan Indo-Pasifik memiliki 7 spesies dari 3 famili utama yang memdiami ekosistem terumbu karang sebagai target utama untuk ekspor kegiatan penangkapan. Dua kelompok ikan Scorpaeniformes kuga terdapat melimpah di perairan tropis pada substrat dasar lumpur berpasir. Spesies ikan scorpion sering digunakan sebagai indikator dari keberadaaan terumbu karang yang masih cukup baik. Kondisi perairan seperti ini banyak ditemukan di sekitar perairan Pulau Nias. Keberadaan eksositem karang menjadikan daerah penangkapan ikan pada perairan Pulau Nias masih dapat dikembangkan oleh nelayan bubu. Penempatan bubu pada daerah yang berhadapan dengan perairan terbuka dapat dijadikan pertimbangan dalam mencegah pergerakan bubu di dasar perairan. Posisi Pulau Nias yang lebih dekat
pada Samudera Hindia juga menimbulkan arus yang
disebabkan oleh angin. Menurut Pratomo (2010) pergerakan arus di perairan pantai Barat Sumatera sangat dipengaruhi oleh pasut serta pola arus regional di Samudera Hindia. Berdasarkan penelitian, kecepatan arus terbesar di pantai Barat Sumatera terjadi saat musim peralihan yang memiliki kecepatan maksimal mencapai 3,58 m/s dengan arah dominan ke tenggara hingga selatan. Pada musim timur kecepatan arus maksimal mencapai 2,24 m/s dengan arah dominan ke arah tenggara. 6.3 Perbandingan Konstruksi dan Operasional Bubu 6.3.1 Konstruksi bubu nelayan dan bubu modifikasi Rose (1998) menyatakan diameter tulang/rangka alas pada bubu memiliki ukuran yang lebih besar dari diameter rangka selimut bubu. Penggunaan diameter alas yang lebih besar ditujukan sebagai tempat menambatkan batu pemberat yang ditempatkan pada keempat sisi alas bubu. Konstruksi bubu besi juga diberikan tempat mengikatkan pemberat, tujuan dari pembuatan pemberat pada sudut yang sama adalah untuk mempermudah gerak jatuh bubu.
Konstruksi bubu juga
dipengaruhi oleh metode perendaman bubu dalam air. Dengan mempersingkat waktu perendaman bubu, diharapkan umur teknis bubu kawat semakin panjang
170 karena bubu yang digunakan nelayan biasanya akan dicuci sebelum dijatuhkan kembali. Pencucian bubu dilakukan untuk membersihkan alga dan lumut yang menempel pada selimut bubu. Konstruksi bubu kawat milik nelayan di pantai Barat Sumatera dapat lebih efektif dengan cara memperbaiki bahan penyusun selimut. Berdasarkan hasil penelitian pabrik pembuat perabot rumah tangga, pemberian pelapis anti karat dapat memperlambat kerusakan besi akibat korosi. Baja (aloi dari besi) mengandung sebelas persen hingga dua belas persen kromium dan sedikit mengandung karbon yang dikenal stainless steel. Baja tahan karat dan sering digunakan dalam industri, untuk bahan kimia, dan alat rumah tangga. Rose (1998) menyatakan pembuatan bubu dengan kawat baja memberikan konstruksi yang lebih kuat dan memperlambat proses korosi. Menurut Martasuganda (2003) bahwa teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu kawat banyak dilakukan hampir di seluruh belahan dunia. Masyarakat Indonesia mengoperasikan bubu besi atau kawat mulai dari skala menengah sampai pada skala besar karena usaha ini memerlukan modal yang relatif besar. Untuk skala menengah umumnya banyak dilakukan oleh negaranegara yang memiliki perairan pantai yang masih belum maju sistem perikanannya. Pada skala besar banyak dilakukan oleh negara maju seperti Amerika dan Jepang yang industri perikanannya telah berkembang pesat. Masyarakat Sibolga sebagai objek pengguna bubu telah termasuk pada kategori perikanan bubu skala menengah dan besar. Hal ini didasarkan pada armada penangkapan dan jumlah unit bubu yang digunakan dalam setiap pengoperasiannya. Pada umumnya kapal yang digunakan dalam pengoperasian bubu adalah kapal perikanan yang memiliki ukuran di atas 10 GT dan memiliki mesin lebih dari 105 PK. Untuk jumlah satuan bubu dalam sekali operasi penangkapan, rata-rata nelayan Sibolga memiliki 30 sampai 60 bubu dalam satu kali trip penangkapan. Kawat penyusun selimut bubu merupakan bahan yang mudah mengalami korosi saat terkena air laut. Peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (O2) mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida atau karbonat.
171 Rumus kimia karat pada kawat besi seperti bahan selimut bubu adalah Fe2O3.nH2O. Benda tersebut merupakan suatu zat padat berwarna coklat kemerahan yang sering ditemukan pada selimut kawat bubu. Korosi pada bubu merupakan proses elektrokimia, dimana bagian tertentu dari besi berlaku sebagai anoda. Fe(s) <--> Fe2+(aq) + 2e. Elektron yang dibebaskan di anoda mengalir ke bagian lain dari besi tersebut yang bertindak sebagai katoda, dengan rumus kimia: O2(g) + 4H+(aq) + 4e <--> 2H2O(l) atau O2(g) + 2H2O(l) + 4e <--> 4OH-(aq) Kecepatan korosi pada bubu sangat tergantung beberapa faktor, yaitu: 1)
Keberadaan lapisan oksida, bubu yang ditempatkan di udara terbuka saat menunggu proses penjatuhan turut mempercepat pengkaratan. Penempatan bubu pada lokasi yang tidak berpindah-pindah dapat mengurangi resiko percepatan korosi.
2)
Karat, karat yang telah terbentuk pada kawat bubu akan mempercepat proses pengaratan berikutnya, sehingga karat pada bubu sebaiknya dibersihkan sebelum dijatuhkan kembali.
3)
Kontak dengan air, mekanisme terjadinya korosi adalah logam besi yang kontak dengan udara akan teroksidasi oleh ion Fe2+. Ion ini larut dalam tetesan air yang menimbulkan karat. Semakin lama bubu terendam dalam air akan mempercepat proses karat besi (Fe2O3.H2O).
6.3.2 Operasi penangkapan ikan dengan bubu 1) Penjatuhan bubu Penjatuhan bubu kawat dengan sistem rawai sangat berbeda dengan sistem nelayan Indonesia di beberapa daerah. Bubu kawat nelayan Sabesi (Mahulette, 2004) dan Kupang (Risamasu, 2008) mengoperasikan bubu dengan sistem tunggal dan dilakukan pada daerah perairan yang relatif sama. Bubu nelayan kupang bahkan melakukan inovasi dengan memberikan rumpon di sekitar wilayah perairan
penempatan
pengoperasian
bubu
bubu. dimulai.
Rumpon Nelayan
ini
dijatuhkan
bubu
Sibolga
sebulan
sebelum
seharusnya
dapat
172 meningkatkan efisiensi proses penjatuhan bubu dengan melihat perkembangan teknik operasi yang dilakukan oleh nelayan daerah lain. Pengoperasian bubu nelayan yang tidak mengukur arus, ternyata berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Rose (1998) pada saat merancang bubu kawat di laut terbuka. Bubu kawat merupakan benda yang memiliki massa jenis lebih besar dari rotan atau bambu. Pergerakan benda dari kawat besi menuju dasar perairan sangat dipengaruhi oleh arus dan kedalaman. Senada dengan pengoperasian bubu di Bali, faktor arus merupakan variabel penting yang sangat berpengaruh pada kedudukan bubu di dasar laut. Semakin dalam pengoperasian sebuah alat tangkap, maka semakin besar kemampuan yang dibutuhkan benda tersebut untuk bertahan pada kedudukannya. Pada dasarnya arus dapat dibagi atas dua bagian yaitu arus makro dan mikro (Brown et al. dalam Mahulette, 2004). Arus makro adalah arus global yang selalu terjadi setiap musim dalam satu tahun sedangkan arus mikro merupakan arus lokal yang terjadi karena adanya pergantian musim. Tekanan air pada permukaan menyebabkan zona divergensi pada permukaan air. Pembentukan zona tersebut akan menghasilkan perbedaan tekanan air yang menimbulkan gelombang pada permukaan. Nelayan menyatakan faktor keseimbangan gerak bubu dalam air, letak bubu di dasar perairan dan posisi peletakan bubu yang terus bergerak akibat arus belum diperhatikan. Asumsi terkait pengoperasian bubu nelayan diperlihatkan dengan seringnya nelayan tidak menemukan bubu dan waktu pencarian bubu yang cukup lama. Fishing ghost yang terjadi pada bubu nelayan dinyatakan sebagai akibat pencurian oleh nelayan lain, sehingga banyak nelayan bubu menempatkan bubu pada kedalaman lebih dari 60 m. Penempatan bubu pada kedalaman lebih dari 30 meter menyebabkan gerak jatuh bubu nelayan menyentuh dasar perairan menjadi sangat dipengaruhi arus. Tidak sempurnanya gerak jatuh bubu menimbulkan osilasi pada permukaan selimut bubu. Osilasi yang terjadi pada bubu telah merubah luas permukaan selimut bubu menjadi lebih besar dan cenderung tidak stabil. Permukaan yang lebih besar akan menimbulkan gaya tahanan terhadap arus yang semakin besar, hal ini menyebabkan bubu nelayan cenderung bergeser lebih jauh dari titik
173 penjatuhan. Pola pergeseran bubu nelayan biasanya akan mengikuti gerak arus laut (Gambar 55).
Gambar 55 Pola gerak jatuh bubu nelayan dalam perairan Sesuai pernyataan Husni (2007), pola gerak jatuh bubu laut dalam berdasarkan pengaruh lingkungan secara umum terjadi secara dua dimensi. Gerak jatuh bubu nelayan dipengaruhi resultan gaya vertikal dan horizontal. Resultan gaya vertikal sangat terkait dengan besarnya energi potensial yang dimiliki oleh bubu itu sendiri. Penambahan pemberat pada bubu modifikasi telah memberikan penambahan energi potensial pada bubu sehingga mempercepat laju jatuhnya bubu menyentuh dasar perairan. Secara horizontal pergeseran bubu sangat dipengaruhi oleh pola arus. Gerakan jatuh bubu di pantai Barat Sumatera sama seperti pernyataan Norris (2010) bahwa tingginya pergerakan arus dapat menyebabkan pergeseran pada bubu sampai pada tahap hilang (ghost fishing). Pergeseran bubu modifikasi menjadi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Hal ini terjadi karena gaya horizontal yang ditimbulkan oleh arus dapat dikurangi dengan adanya percepatan gaya gerak jatuh bubu modifikasi menyentuh dasar perairan. Penambahan pemberat pada setiap sudut telah menjaga keseimbangan gerak jatuh bubu dan mengurangi terjadinya osilasi. Pengurangan pergeseran ini pada akhirnya akan mempercepat proses penemuan
174 bubu sehingga efektivitas operasi penangkapan dapat ditingkatkan. Pola gerak jatuh bubu modifikasi menyentuh dasar perairan dapat dilihat pada Gambar 56.
Gambar 56 Pola gerak jatuh bubu modifikasi dalam perairan Gerakan air laut yang terjadi merupakan hasil resultan dari berbagai macam gaya yang bekerja pada permukaan, kolom, dan dasar perairan. Hasil dari gerakan massa air adalah vektor yang mempunyai besaran kecepatan dan arah. Prinsip gerakan jatuh bubu pada kolom air merupakan jenis gerak lurus beraturan. Gerak ini memiliki syarat tidak terjadinya perubahan kecepatan karena adanya kerapatan air selama bubu menuju dasar perairan. Sesuai dengan pendapat Gross (1990), pola arus horizontal baik akibat pasang surut maupun gaya coriolis dari perputaran bumi telah mempengaruhi gerak jatuh benda menyentuh dasar perairan. Berdasarkan resultan gaya yang dimiliki oleh bubu modifikasi, penambahan pemberat telah mempercepat gerakan bubu secara vertikal dan mengurangi pergeseran secara horizontal akibat adanya tekanan dari pemberat di alas bubu. Sesuai dengan penelitian Rose (1998) mendesain bubu kawat dengan meletakkan titik keseimbangan pada bagian bawah akan mempercepat laju gerak bubu itu sendiri. Bubu modifikasi yang memberikan rangka lebih besar pada alas telah menambah kemampuan rangka bawah bubu dalam menahan penambahan massa akibat pemberat. Percobaan ini juga didukung dengan hasil penelitian yang
175 menunjukkan titik setting bubu modifikasi tidak berbeda jauh dengan posisi hauling. 2) Pergeseran bubu nelayan dan modifikasi Pergeseran bubu nelayan pada daerah pengoperasiannya terjadi akibat beberapa faktor utama diantaranya: 1)
Arus di dasar perairan, arus timbul karena adanya pergerakan massa air di laut. Daerah yang terlindungi dari arus merupakan pilihan yang paling tepat dalam menjatuhkan bubu.
2)
Kedalaman perairan, proses bubu menyentuh dasar perairan membutuhkan waktu dan saat yang bersamaan bubu akan terbawa oleh gerakan air sebelum
menyentuh
dasar
perairan.
Kedalaman
perairan
akan
mempengaruhi gerakan bubu di daerah penjatuhannya. 3)
Topografi, daerah pengoperasian yang memiliki ekosistem karang keras akan menimbulkan turbulensi yang semakin kuat. Turbulensi merupakan gerakan arus akibat adanya gesekan di antara dua lapisan batas air. Karang yang keras akan menghasilkan gaya gesekan air yang lebih kuat, sehingga bubu yang berada di sekitar karang akan mengalami pergeseran (Gross, 1990). Pantai Barat Sumatera memiliki daerah penangkapan yang cenderung
terbuka, hal ini mengakibatkan sering terjadinya pergeseran bubu yang cukup jauh. Pola arus dasar yang cukup kuat membuat nelayan sering memberikan pemberat berupa batu karang yang diikatkan pada dasar bubu. Penggunaan batu karang sebagai pemberat turut merusak ekosistem terumbu di sekitar daerah pengoperasian bubu. Penempatan bubu secara tepat dan tidak berpindah-pindah dapat dilakukan dengan pembentukan daerah pengoperasian bubu sendiri seperti memberikan rumpon disekitarnya. Pergeseran bubu akibat pembentukan zona perairan menjadi informasi yang perlu diketahui oleh nelayan. Fenomena perubahan suhu perairan juga dapat menyebabkan terjadinya arus. Perubahan suhu sering terjadi pada laut terbuka sepanjang zona divergensi dan sepanjang pantai seperti pada pantai Barat Sumatera. Angin yang mendorong lapisan air permukaan mengakibatkan kekosongan di bagian atas, sehingga air yang berasal dari bawah menggantikan
176 kekosongan yang berada di atas. Air yang berada di dasar perairan belum berhubungan dengan atmosfer, maka kandugan oksigennya rendah dan suhunya lebih dingin dibandingkan dengan suhu permukaan lainnya. Kejadian bergeraknya massa air dari dasar perairan menuju permukaan disebut upwelling (Gross, 1990). Daerah pengoperasian yang berarus mengandung larutan nutrien seperti nitrat dan fosfat sehingga cederung mengandung banyak fitoplankton. Fitoplankton merupakan bahan dasar rantai makanan di lautan, dengan demikian di daerah upwelling umumnya kaya sumberdaya ikan. Sesuai dengan pendapat Simbolon (2011), daerah penangkapan ikan pada umumnya mengalami dinamika dan karakteristik yang berbeda. Pulau Karang yang merupakan daerah perairan terbuka memiliki arus yang cukup kuat, namun sistem rantai makanan pada daerah pengoperasian ini tidak berlangsung dengan baik. Kelimpahan ikan juga sangat dipengaruhi oleh sistem rantai makanan yang berlangsung dalam ekosistem tersebut. Dapat disimpulkan bahwa arus pada akhirnya juga akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan di pantai Barat Sumatera. Menurut Lee dan Kim (1992), keanekaragaman ikan demersal pada paparan benua di daerah tropis sangat tinggi karena didukung oleh keberadaan ekosistem terumbu karang. Pantai Barat Sumatera merupakan salah satu daerah paparan benua yang memiliki potensi ikan demersal cukup besar. Ikan demersal akan tumbuh dan berkembang di sekitar daerah pantai seperti ekosistem mangrove dan padang lamun. Pada usia dewasa ikan akan bergerak ke arah ekosistem karang untuk berkembang dan mencari makan. Pernyataan ini juga didukung oleh Jeyaseelan (1998) yang menyatakan bahwa potensi perikanan pantai Barat Sumatera masih cukup besar karena keberadaan ekosistem mangrove sebagai penyangga ekologi di pantai. Mangrove akan dijadikan sebagai spawning ground ikan demersal seperti kakap (Lutjanus sp). Ikan kakap dan kerapu akan berkembang di daerah perairan dangkal dan setelah dewasa menuju daerah karang. Secara umum penempatan bubu modifikasi yang memiliki bentuk hampir sama dengan bubu nelayan memberikan perbedaan yang nyata. Berdasarkan daerah pengoperasiannya, bubu modifikasi yang ditempatkan pada perairan Pulau Mursala memiliki titik pergeseran yang paling kecil. Perairan Pulau Mursala merupakan perairan yang dekat dengan Sumatera dan penempatan bubu dilakukan
177 tidak mengarah pada Samudera Hindia. Peletakan bubu yang menghindari arus akibat pasang surut dan termohalin membantu stabilitas bubu di dasar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gross (1990) yang menyatakan bahwa arus yang ditimbulkan oleh pemanasan yang tidak merata pada permukaan laut dan rotasi bumi terhadap matahari menimbulkan daya gerak air di laut. Daya gerak air ini akan semakin kuat ketika daerah perairan bersifat terbuka dan mengarah pada perairan yang lebih luas. Penempatan bubu modifikasi pada perairan yang menghadap laut terbuka dan samudera seperti Pulau Karang, telah menjadikan pergeseran bubu terbesar jika dibandingkan Pulai Pini dan Nias. Perairan Pulau Karang sebenarnya merupakan perairan yang paling dekat dengan Pulau Sumatera, tetapi karena tidak adanya pulau kecil yang menghalangi pergerakan arus menuju Pulau Karang, hal ini sering menyebabkan nelayan kehilangan bubu. Penempatan bubu pada tubir karang di perairan Pulau tersebut dapat dijadikan alternatif pencegahan pergeseran bubu yang sangat jauh. Nelayan Sibolga pada perairan ini dapat mencoba mengoperasikan bubu modifikasi dengan menggunakan rumpon seperti yang dikembangkan di Indonesia Timur (Risamasu, 2008). Penggunaan rumpon akan membantu nelayan untuk tidak berpindah-pindah dalam jarak yang jauh ketika menjatuhkan bubu. Untuk mempersingkat proses pencarian bubu, peningkatan stabilitas gerak bubu dan pencegahan pergeseran saat setting sudah cukup untuk dikembangkan nelayan Sibolga. Pembuktian melalui penelitian ini telah menunjukkan bagaimana proses penjatuhan dan pencarian bubu akan mempersingkat waktu pengoperasian bubu. Jumlah hari operasi bubu nelayan Sibolga yang mencapai 14 hari, dapat dikurangi jika mengoperasikan jumlah unit bubu yang sama. Pertimbangan lain yang dihasilkan dari penelitian ini adalah nelayan akan dapat meningkatkan jumlah unit pengoperasian bubu dengan jumlah hari operasi yang sama. Dengan pertimbangan ini maka produktivitas nelayan bubu akan semakin meningkat atau biaya operasional dapat dikurangi. Pergeseran bubu besi pada perairan dalam juga telah dikembangkan di Pelabuhan Ratu. Besi yang memiliki massa lebih besar jika dibandingkan dengan bubu bambu atau rotan dapat dijadikan sebagai alternatif penangkapan ikan
178 demersal pada kedalaman lebih dari 30 meter (Mahulette, 2004). Pola penempatan bubu yang berpindah-pindah sebenarnya dapat menjadi pertimbangan nelayan agar tidak merusak ekosistem. Bubu yang dioperasikan secara ramah akan menjaga keseimbangan ekosistem disekitarnya. Purbayanto et al. (2007) mengemukakan hasil penelitian bubu laut dalam yang dilaksanakan di Teluk Pelabuhan Ratu, posisi peletakan bubu besi yang terletak pada laut dalam hanya mengalami pergeseran tidak lebih dari 2 menit khususnya pada bujur timur. Bubu besi ini tidak bergerak karena diberikan pemberat dan pada saat pengoperasian bubu dilengkapi dengan pelampung tanda. Pengoperasian bubu ini senada dengan penelitian Mahulette (2004) yang melakukan penelitian bubu kawat dan bambu di perairan Bali. Pada umumnya bubu yang diletakkan pada kedalaman 15 sampai 70 meter akan mengalami pergeseran akibat adanya arus dasar. Peletakan bubu pada paparan samudera khususnya bubu besi akan menjaga keseimbangan bubu dari gerak arus jika dibandingkan dengan bubu yang terbuat dari rotan atau bambu. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bubu kawat lebih produktif dalam menghasilkan ikan karang jika dibandingkan dengan bubu bambu. Jika memperhatikan tingkat perbandingan angka kehilangan bubu saat pengangkatan, nelayan Sibolga menyatakan bahwa daerah Pulau Karang merupakan posisi yang paling sering terjadinya kehilangan bubu. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan usaha bubu yang berkelanjutan maka penempatan bubu pada Pulau Karang sebaiknya dikurangi dan lebih melihat potensi daerah penangkapan ikan karang lain seperti daerah kepulauan yang ada di perairan Aceh. Daerah perairan Aceh merupakan lokasi yang tidak jauh dari Pulau Karang, karena Pulau Karang merupakan bagian barat laut yang merupakan perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh. Sesuai dengan pendapat Martasuganda (2003) yaitu dengan memperhatikan waktu pengoperasian bubu kawat maka resiko hilangnya bubu dapat dikurangi. Peningkatan jumlah hari pengoperasian bubu dapat dikurangi dengan memberikan rumpon pada sekitar daerah penjatuhan bubu seperti yang dilakukan nelayan Kupang (Risamasu, 2008). Pengembangan daerah pengoperasian bubu dengan rumpon dapat menjadi salah satu alternatif pengembangan usaha bubu di pantai Barat Sumatera.
179 3) Pencarian bubu nelayan dan modifikasi Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diperlukan sebuah bahan yang mampu menjaga gerak stabilitas bubu agar tidak terbawa arus. Kedalam perairan dan lokasi perairan yang mendekati laut lepas telah mempengaruhi waktu pencarian bubu. Pemberian pemberat ini sesuai dengan penelitian Rose (1998) yang merekomendasikan bubu besi pada wilayah perairan terbuka dan mendekati samudera sebaiknya dilengkapi benda yang mampu menahan laju bubu oleh air. Berbeda dengan pendapat Risamasu (2008), penempatan bubu secara berpindah-pindah akan meningkatkan resiko kehilangan. Bubu nelayan di pantai Barat Sumatera sebaiknya mempertimbangkan penempatan yang terus berpindahpindah. Pemberian rumpon dan terumbu karang buatan sebenarnya dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan prduktivitas bubu tanpa harus memindahkan bubu dan mencari lokasi penempatan baru. Bubu nelayan di Sibolga merupakan ketegori bubu dasar yang sifatnya tetap menempel pada dasar perairan. Pantai Barat Sumatera merupakan perairan yang umumnya memiliki jenis substrat pasir berlumpur. Ekosistem karang di pantai Barat Sumatera terdiri dari karang lunak dan keras yang hidup pada kedalaman kurang dari 30 m. Hasil pengamatan penempatan bubu oleh nelayan, kedalaman perairan yang lebih dari 30 m adalah kriteria utama penjatuhan bubu. Bubu dijatuhkan di wilayah karang dengan topografi perairan yang memiliki kemiringan tidak terjal. Hasil pengamatan penjatuhan bubu nelayan pada Pulau Mursala yang dimulai pada titik 98'30''3170''' BT dan 1'33''1172''' LU, bubu akan bergeser dan ditemukan pada titik 98'30''3189''' BT dan 1'33''1190''' LU. Pergeseran titik setting bubu di Pulau Mursala pada lintang utara terjauh 546 meter. Untuk pergeseseran bubu nelayan di Pulau Pini yang paling jauh 300 meter pada posisi Lintang Utara. Pergeseran bubu terjauh yang terjadi di Pulau Nias adalah sekitar 330 meter, sedangkan pergeseran bubu nelayan untuk Pulau Karang 570 meter. Pergeseran titik setting menjadi salah satu alasan utama sulitnya menemukan bubu nelayan. Titik koordinat awal yang disimpan oleh nelayan menjadi tidak akurat karena gerak bubu nelayan tidak stabil dan cenderung mengikuti arah arus. Penjatuhan bubu dengan pemberat yang dibuat dari semen,
180 menjadikan bubu kawat nelayan Kupang lebih mudah untuk dicari (Risamasu, 2008). Bubu yang dioperasikan secara bergandengan tentu akan semakin statis pada saat diberikan pemberat, karena bila bubu yang satu bergerak maka bubu pasangannya akan memiliki daya untuk menahan gerak bubu tersebut. Perbaikan titik setting dan hauling pada bubu nelayan dapat dilakukan dengan meningkatkan daya stabilitas gerak bubu menuju dasar perairan. Kegiatan ini juga diperkuat dengan pengoperasian nelayan bubu Teluk Bone (Kurnia, 2001) yang mengoperasikan bubu kawat dengan pemberat dan pelampung tanda. Proses pencarian bubu dengan alat bantu gancu pada perairan pantai Barat Sumatera dapat dilihat pada Gambar 57.
Gambar 57 Proses pencarian bubu modifikasi yang dilengkapi pelampung Modifikasi teknik pengoperasian yang melengkapi tali ris (main line) dengan pelampung terbukti dapat mempercepat pencarian dan mengurangi kerusakan karang. Tali gancu pada pencarian bubu tidak dijatuhkan sampai menyentuh dasar perairan karena tali ris berada pada kondisi renggang. Hal ini tentu saja meningkatkan efektivitas pencarian bubu. Gancu yang dioperasikan 3 meter di atas dasar perairan membuat benturan pada karang dapat dihindari. Teknik seperti ini masih berbeda dengan cara pengoperasian bubu di perairan Indonesia lainnya, seperti pengoperasian bubu di Sabesi (Mahulette, 2004) dan Karimunjawa (Nurhidayat, 2002) yang menjatuhkan bubu secara tunggal.
181 6.3.3 Perbandingan kinerja teknis bubu nelayan dan modifikasi Sesuai dengan pendapat Gross (1990) fenomena kejadian alam yang menimbulkan arus di air dapat terjadi setiap saat. Perubahan iklim secara mendadak dan akibat adanya gaya koriolis akan mampu menghasilkan gerakan air di dasar perairan. Penempatan bubu yang terlalu lama juga sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Martasuganda (2003), penempatan bubu besi yang menangkap ikan karang biasanya dilakukan maksimal 3 hari. Metode ini dilakukan untuk menjaga bubu agar tidak hilang dan ikan target tidak saling memangsa. Ikan yang tertangkap pada bubu besi dengan kedalaman lebih dari 30 meter umumnya merupakan ikan karang yang memiliki kecenderungan bersifat karnivora (Susanti, 2009). Daya tahan bubu juga dipengaruhi oleh metode pengoperasian, inovasi bubu dasar pernah dicobakan dengan kombinasi pengoperasian bersama rumpon (Risamasu, 2008). Bubu yang dioperasikan dengan rumpon berpengaruh terhadap waktu perendaman. Menurut Martasuganda (2003), lama perendaman bubu di perairan ada yang dilakukan beberapa jam, satu malam, tiga malam bahkan sampai seminggu. Bubu inovasi dengan rumpon di Semau Kupang dioperasikan dengan sistem perendaman 10 jam dan umur teknisnya dapat mencapai satu tahun. Berbeda dengan metode pengoperasian bubu di Semau Kupang, perendaman bubu di pantai Barat Sumatera dilakukan lebih dari satu minggu. Selimut bubu yang terbuat dari kawat besi (Fe) merupakan bahan yang mudah mengalami korosi. Perendaman bubu dengan metode yang dilakukan di pantai Barat Sumatera menyebabkan umur teknis bubu hanya mencapai 3 bulan. Air laut yang mengandung NaCl merupakan senyawa yang mempercepat proses korosi pada besi. Elektrolit (asam atau garam) merupakan media yang baik untuk melangsungkan transfer muatan. Hal itu mengakibatkan elektron lebih mudah untuk dapat diikat oleh oksigen di udara. Oleh karena itu, air hujan (asam) dan air laut (garam) merupakan penyebab korosi yang utama.
182 6.3.4 Faktor yang mempengaruhi pengoperasian bubu Secara umum dari hasil pengamatan pengoperasian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera, ada beberapa faktor utama yang menentukan keberhasilan usaha bubu, antara lain: kedalaman, topografi, sedimen dan substrat perairan 1)
Kedalaman perairan Berdasarkan sifat ekologinya terhadap kedalaman perairan, ikan karang digolongkan dalam tiga kelompok yaitu di perairan dangkal (0 sampai 4 meter), sedang (5 sampai 19 meter) dan dalam (>20 meter). Bubu yang dioperasikan pada kedalaman lebih dari 20 meter ditujukan untuk menangkap ikan karang yang berukuran besar. Daerah penangkapan ikan yang digunakan nelayan bubu Sibolga dalam mengoperasikan bubu memiliki variasi kedalaman yang berbeda-beda. Dari keempat daerah pengoperasian bubu tersebut, perairan Pulau Nias merupakan perairan yang paling dalam. Hal ini dimungkinkan karena perairan ini merupakan perairan terluar yang mendekati laut bebas. Ikan karang yang bersifat diurnal memiliki aktivitas mencari makan dan berlindung pada siang hari. Penempatan bubu pada kolom periaran yang masih dapat ditembus matahari seharusnya menjadi pertimbangan nelayan. Ikan akan masuk ke dalam bubu saat siang hari, karena ikan karang cenderung memiliki visual acuity yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan pelagis.
2)
Topografi perairan Togografi perairan dalam mengoperasikan bubu harus perairan berkarang, karena karang merupakan habitat dari ikan target bubu. Terumbu karang merupakan sistem yang sangat kompleks dan terdiri dari makrohabitat. Secara umum ikan karang benar-benar telah menyatu dengan ekosistem terumbu karang dan merupakan penghuni dari terumbu karang yang paling menonjol. Ikan target bubu yang hidup di terumbu karang merupakan ikan yang bersifat diurnal (beraktivitas di siang hari). Menurut Risamasu (2008) kurang lebih 30% merupakan ikan yang bersifat driptik (tidak mudah kelihatan). Sejumlah besar ikan karang dari kelompok Serranidae, Carangidae dan Lutjanidae yang tertangkap pada bubu merupakan ikan yang bersimbiosis dengan terumbu karang. Penempatan bubu pada karang yang
183 masih baik menjadi salah satu faktor keberhasilan usaha pengoperasian bubu. 3)
Substrat Jenis substrat perairan yang umum ditemukan sebagai habitat ikan karang adalah: karang hidup, karang mati, pecahan pasir, karang lunak dan pasir. Ikan karang yang berukuran besar pada umumnya berlindung dan bersembunyi pada tubir karang keras dan pecahan karang di dasar perairan. Penempatan bubu akan semakin berhasil bila nelayan mampu meletakkan bubu pada daerah karang yang memungkinkan ikan tinggal. Ikan karang memiliki sifat sedentary (menetap) pada suatu wilayah. Pemilihan perairan dengan subtrat yang memiliki ciri ekologi kompleks akan membantu nelayan dalam menangkap ikan target. Salah satu ikan karang yang menjadi target utama untuk ekspor bubu yaitu kerapu, memiliki karakteristik yang cenderung menetap dan berkembangbiak pada wilayah perairan yang terbatas (Suharti, 2009).
6.4 Dampak Pengoperasian Bubu Nelayan Hasil penelitian teknik pengoperasian bubu nelayan menunjukkan bahwa bubu kawat dianggap merusak ekosistem karang karena alas bubu sering tersangkut pada karang. Penelitian Risamasu (2008) menyimpulkan bahwa pengoperasian bubu yang tidak berpindah-pindah dapat mengurangi resiko kerusakan ekosistem karang. Produktivitas hasil tangkapan akan terus konsisten dengan menambahkan rumpon pada daerah pengoperasian bubu. Penyebab kerusakan terbesar di pantai Barat Sumatera terjadi karena pengambilan batu karang, pencemaran laut dan aktivitas penangkapan ikan oleh trawl atau Pukat Harimau. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2002) yang menyatakan bahwa kerusakan terbesar ekosistem laut akibat aktivitas manusia. Pengambilan batu karang oleh masyarakat khususnya untuk bahan pemberat merupakan salah satu penyebab utama rusaknya ekosistem laut. Masyarakat Pulau Pini, Nias dan Mursala menggunakan batu karang untuk mengoperasikan bubu dan membuat pembatas di sekitar tempat tinggal mereka. Batu karang yang digunakan sering diambil pada ekosistem karang yang masih dalam kondisi baik.
184 Pertumbuhan karang keras seperti jenis Archopora memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai 1 cm. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif adalah penyebab utama yang selalu diangkat oleh pemerintah daerah khususnya Sumatera Barat. Bubu adalah salah satu alat tangkap yang dilarang beroperasi oleh pemerintah daerah, namun setelah dikonfirmasi peraturan pelarangan operasi bubu secara tertulis belum ada. Pemerintah daerah khususnya melalui Dinas Perikanan melarang masyarakat nelayan dari luar untuk menjatuhkan bubu di perairan Sumatera Barat. Hal lain yang menjadi isu kerusakan terumbu karang adalah penggoperasian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, khususnya penggunaan potasium dan bom untuk menangkap ikan karang. Hasil pengamatan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak LANAL Sibolga yang sering menangkap nelayan di sekitar perairan pantai Barat Sumatera. Penggunaan potasium telah menyebabkan pencemaran pada lingkungan ekosistem terumbu karang. Pencemaran lain terjadi karena pembuangan minyak oleh kapal, minyak yang menutupi permukaan karang menghambat proses fotosintesis karang. Kegiatan penangkapan ikan yang berpengaruh langsung terhadap rusaknya gugusan karang hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh nelayan bubu. Hal ini dapat dilihat dengan hasil pengambilan data izin operasional bubu yang diterbitkan oleh Pelabuhan Perikanan Nusantara melalui Surat Layak Operasi (SLO) yang berjumlah 26 kapal. Jumlah armada ini masih lebih rendah dari izin operasional untuk armada penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap muroami dan trawl yang masih terus beroperasi di pantai Barat Sumatera. Bubu salah satu alat tangkap yang merusak daerah karang sangat dipengaruhi oleh metode pengoperasiannya. Pergeseran
bubu akibat gerakan
massa air dan proses peletakan bubu mempersulit nelayan dalam pencariannya. Proses pencarian bubu dengan gancu berlangsung cukup lama karena harus menemukan main line (tali ris) yang telah bergerak dan tidak lagi berada di sekitar titik koordinat setting. Pada hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, pergeseran bubu nelayan ada yang mencapai 358 meter. Pencarian bubu seperti yang terjadi di Pulau Karang akan merugikan nelayan dan juga ekosistem di sekitar penjatuhan bubu.
185 Proses penjatuhan yang tidak memperhatikan arah gerak dan kecepatan arus juga mempengaruhi gerak jatuh bubu. Kegiatan lain dari penjatuhan bubu di pantai Barat Sumatera yang merusak karang adalah penjatuhan jangkar yang sering mengenai karang. Sebelum menurunkan gacu, nelayan terlebih dahulu menjatuhkan jangkar di sekitar daerah pencarian. Jangkar yang terkait pada karang diangkat secara paksa dan menyebabkan karang rusak. Penarikan bubu dengan selimut dasar yang memiliki mesh size 5 cm juga menyebabkan karang sering tersangkut pada bubu. Kerusakan karang akan sangat berdampak terhadap sumberdaya ikan demersal di sekitarnya. Saat ini nelayan Sibolga sering melakukan pencarian lokasi baru penjatuhan bubu karena semakin rendahnya jumlah hasil tangkapan utama ikan demersal. Menurut Lee dan Kim (1992), sumberdaya ikan demersal di perairan tropis banyak ditemukan pada celah karang yang masih baik. Simbolon (2011) menyatakan keberadaan kerapu lumpur dan kerapu bebek sangat tergantung pada ekosistem terumbu karang. Secara vertikal jenis kerapu macan dapat hidup sampai kedalaman 60 meter dengan dasar perairan karang berbatu seperti pada daerah pengoperasian yang dilakukan nelayan Sibolga. Ikan-ikan karang yang berukuran besar akan lebih menyukai daerah pada kedalaman di atas 30 meter. Kerusakan ekologi lain yang ditimbulkan oleh pengoperasian bubu adalah waktu perendaman yang cukup lama. Perendaman bubu yang mencapai 10 hari sering menyebabkan cumi-cumi memijah pada selimut bubu. Telur cumi-cumi yang dipijahkan pada bubu tidak akan sempat menetas dan akan mati akibat dimakan ikan lain atau diangkat oleh nelayan. Jumlah telur cumi-cumi ini dapat mencapai ribuan dan tidak pernah dimanfaatkan oleh nelayan. Tingginya by-catch akibat lama perendaman bubu juga berdampak pada keberlangsungan sumberdaya ikan demersal yang melakukan kanibalisme di dalam bubu. Keberadaan ikan demersal di pantai Barat Sumatera dengan sendirinya akan semakin sulit ditemukan apabila kerusakan karang berlangsung secara terus menerus. Keberadaan ekosistem terumbu karang juga berperan aktif dalam mensuplai oksigen sebagai hasil dari proses fotosintesis. Kandungan oksigen yang cukup baik juga ditandai dengan kelimpahan fitoplakton yang menjadi makanan
186 bagi ikan kecil. Secara tidak langsung kerusakan karang akibat pengoperasian bubu akan berdampak pada pola rantai makanan di sekitar eksosistem terumbu karang. Sesuai dengan Simbolon (2011) yang menyatakan bahwa bioekologi dan dinamika daerah penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh pola pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini kerusakan karang akibat pengoperasian bubu dapat dieliminir melalui modifikasi yang telah dilakukan. Pemberian pemberat pada bubu secara seimbang dan penggunaan karet pada tulang rangka bawah bubu telah mengurangi tersangkut karang saat penarikan bubu. Pendeteksian daerah peletakan bubu melalui echosounder juga salah satu cara agar hilangnya bubu (ghost fishing) akibat arus dapat dikurangi. Sifat ikan karang seperti kakap dan kerapu sunu sebenarnya lebih menyukai substrat lumpur (Simbolon 2011). Peletakan bubu di sekitar karang yang memiliki substrat lumpur akan mengurangi kerusakan karang. Perbaikan lain dalam pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera dapat ditempuh dengan memberntuk daerah penangkapan ikan saat pengoperasian bubu. Pembentukan daerah penangkapan ikan dapat dilakukan dengan memberikan rumpon di sekitar ekosistem karang. Pemberian rumpon ini akan memancing ikan-ikan kecil untuk berada disekitarnya. Ketersediaan makanan bagi ikan-ikan karang pada sekitar bubu akan membantu nelayan dalam meningkatkan produktivitas hasil tangkapan.
6.5 Perbandingan Produktivitas Bubu Penangkapan ikan demersal dengan bubu nelayan tertinggi diperoleh pada perairan Pulau Pini. Jika nilai produktivitas ini dikaitkan dengan karakteristik daerah penangkapan ikan, Pulau Pini merupakan daerah perairan yang memiliki topografi karang cenderung tajam. Ekosistem seperti ini banyak diminati oleh kelompok ikan karang yang senang tinggal di sekitar celah karang seperti kerapu. Sesuai dengan Jeyaseelan (1998), penyebaran ikan karang sangat dipengaruhi oleh ekosistem sekitarnya. Pesisir Pulau Pini masih banyak ditemukan eksositem mangrove yang digunakan oleh ikan karang sebagai daerah pemijahan (spawning ground). Hal ini turut mempengaruhi hasil tangkapan bubu pada perairan ini, dimana ikan karang yang menjadi target utama untuk ekspor bubu memiliki daya jelajah yang tidak terlalu jauh (Lee dan Kim, 1992).
187 Penangkapan ikan karang di Pulau Pini menunjukkan adanya korelasi yang erat antara ekosistem penyangga di daerah pesisir dengan sumberdaya ikan demersal. Ekosistem penyangga pada wilayah peisir ini anatara lain: hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang. Menurut Cann (1990), penempatan bubu di perairan dengan waktu yang lebih lama, tidak selalu berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Profitabilitas usaha penangkapan ikan demersal harus lebih difokuskan pada target dan kualitas hasil tangkapan bukan pada jumlah rata-rata hasil tangkapan. Hasil pegoperasian bubu modifikasi yang dilakukan di Pulau Nias dengan jumlah trip yang lebih singkat mampu memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan bubu nelayan. Persentase rata-rata hasil tangkapan menunjukkan bahwa ikan kuwe bukanlah ikan yang berhabitat asli pada karang. Ikan ini merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan kelompok ikan karang (Jeyaseelan, 1998). Sesuai dengan penelitian Mahulette (2004), kepadatan ikan karang pada kedalaman 30 sampai 60 cenderung masih tersebar secara merata, dan kepadatan yang tinggi berada pada kedalaman 30 sampai 50 meter. Bubu modifikasi dan bubu nelayan di pantai Barat Sumatera dioperasikan pada kedalaman yang hampir sama dengan masyarakat Pulau Sabesi. Ikan yan tertangkap pada bubu tersebar secara merata karena kebiasaan ikan karang yang berenang secara soliter. Pengembangan perikanan bubu di Sibolga dengan pendekatan kedalaman perairan sudah dilakukan di Raja Ampat Provinsi Papua pada tahun 2004. Ikan kerapu dan kakap yang ditangkap dengan pengoperasian bubu pada kedalaman yang berbeda tidak memberikan dampak signifikan terhadap bobot tangkapan. Ikan kerapu dan kakap secara alamiah memasuki ekosistem karang dengan tiga alasan yaitu: mencari makan, memijah dan berlindung dari predator. Kecenderungan lain yang menyebabkan ikan masuk kedalam bubu adalah sifat tigmotaksis yaitu rasa ingin tahu terhadap sebuah benda disekitarnya. Pada bubu modifikasi ukuran ikan kerapu dan kakap yang tertangkap umumnya seragam dan cenderung dari spesies yang sama. Selaras dengan penelitian Urbinas (2004), ikan yang masuk kedalam bubu tanpa umpan, pada umumnya merupakan ikan yang mencari makanan karena keberadaan makanan di dalam bubu. Ikan yang terlebih dahulu terjebak di dalam
188 bubu pada ukuran tertentu akan menjadi makanan bagi lain. Bubu kawat Sibolga yang dioperasikan tanpa umpan sebaiknya mengurangi jumlah hari operasi, karena ikan yang terjebak dalam bubu tanpa umpan akan membentuk ikatan rantai makanan sampai pada proses hauling. Penyebaran ikan yang hampir sama pada ukuran bobot individu, merupakan sebuah bentuk adaptasi ikan demersal untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Berdasarkan sifatnya ikan demersal akan mempertahankan hidup dengan mencari makanan di sekitar daerah teritorialnya tanpa melakukan migrasi dalam jarak yang jauh (Susanti, 2009). Pendapat ini selaras dengan hasil penangkapan bubu pada daerah pengoperasian yang berbeda di pantai Barat Sumatera. Pulau Pini, Nias, Mursala dan Karang akan memperoleh hasil tangkapan yang memiliki ukuran bobot relatif sama untuk setiap individunya. Secara ekologi pola sirkulasi gerakan arus di pantai Barat Sumatera memiliki keterkaitan erat dengan sumberdaya ikan demersal. Sesuai dengan yang disampaikan Pratomo (2010) yang menganalisis hidrodinamika pola arus di pantai Barat Sumatera, pergerakan arus di daerah ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan pola arus regional di Samudera Hindia. Kelimpahan dan komposisi spesies ikan demersal akan semakin tinggi pada daerah karang tropis yang kondisinya cukup baik. Kondisi pasang surut di derah ini telah membawa nutrien di sekitar karang dan mempengaruhi pola pertumbuhan ikan disekitarnya. Sesuai dengan Lee dan Kim (1992) jumlah eritrosit (sel darah merah) dan kadar hemoglobin yang lebih rendah pada ikan demersal membuat aktivitas geraknya lebih rendah. Aktivitas yang lebih rendah menyebabkan pertumbuhan bobot pada ikan demersal lebih cepat jika dibandingkan dengan ikan pelagis. Menurut Simbolon (2011), ikan kakap merupakan ikan yang menyenangi ekosistem karang tetapi mampu mentoleransi salinitas secara baik. Penyebaran ikan ini juga cukup banyak ditemukan di sekitar pantai Pulau Mursala yang memiliki hutan bakau dan muara. Jumlah ikan butana garis sebagai hasil samping pada kedua jenis bubu masih relatif besar. Sifat ikan hias ini memasuki bubu kemungkinan dipengaruhi oleh faktor thigmotaksis terhadap suatu benda dan mencari tempat perlindungan. Bubu modifikasi dan nelayan secara umum tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap ikan target utama untuk ekspor pada perairan Pulau Pini.
189 Perbedaan kedua jenis bubu ini terlihat dalam menangkap ikan hasil samping. Ikan yang tertangkap pada bubu nelayan relatif lebih besar daripada bubu modifikasi. Ikan hasil samping yang terdapat pada bubu nelayan banyak didominasi jenis ikan jabung (trigger) dan gabus laut. Ikan trigger merupakan ikan pemakan karang yang memiliki kebiasaan hidup di sekitar terumbu keras (hard coral). Ikan gabus laut juga bersifat karnivora dan cenderung bersifat kanibalisme ketika makanan yang tersedia tidak cukup. Menurut Susanti (2009), ikan-ikan karang yang masuk ke dalam suatu perangkap cenderung karena alasan berlindung dan menjadikannya tempat tinggal. Sesuai dengan pendapat tersebut pada bubu nelayan sering ditemukan jenis ikan hias yang bukan merupakan ikan konsumsi. Menurut Simbolon (2011), keberadaan kerapu sunu dan kerapu macan sangat tergantung pada kondisi terumbu karang. Kedua jenis ikan ini hidup pada celah karang sampai kedalaman 60 meter. Sesuai dengan pernyataan ini, perairan Pulau Mursala yang memiliki ekosistem karang cukup baik terutama pada bagian selatan yaitu daerah penjatuhan bubu menunjukkan hasil tangkapan ikan kerapu cukup tinggi. Daerah perairan ini memiliki subtrat berlumpur yang sangat disenangi oleh ikan kerapu sebagai daerah mencari makan. Keberadaan ekosistem mangrove dan sungai di Pulau Mursala juga memberikan pengaruh penyebaran ikan kakap. Menurut Lee dan Kim (1992) sifat ikan demersal yang cenderung hidup menetap mempengaruhi pola pertumbuhannya. Ikan kakap merah, ikan kerapu dan jenis ikan kuwe pada saat juvenil biasanya hidup di sekitar mangrove dan celah karang yang dangkal. Pergerakan kelompok ikan ini masih cenderung berimigrasi dari satu perairan ke parairan lain. Setelah berukuran dewasa ikan kakap dan kerapu cenderung akan mendiami ekosistem karang dan mencari makanan di sekitar perairan yang sama. Pada masa ini pertumbuhan ikan demersal tercapai secara maksimum. Sesuai dengan penelitian ini, bubu yang dioperasikan di Pulau Nias berada pada ekosistem karang dengan kedalaman 30 sampai 70 meter telah menghasilkan ikan demersal dengan ukuran yang cukup besar. Sesuai dengan hasil penelitian bubu dasar yang dilakukan Risamasu (2008) pada dasarnya ukuran panjang tubuh ikan karang tidak seragam seperti kelompok
190 ikan lainnya. Ketiga kelompok ikan karang, baik kelompok famili utama (mayor), kelompok target dan indikator ternyata memiliki ukuran tubuh bervariasi. Pada famili Pomacentridae (famili utama) umumnya ukuran ikan relatif kecil begitu juga pada famili Chaetodonidae (kelompok indikator). Beberapa ikan dari kelompok target memiliki ukuran yang lebih panjang dan bobot yang lebih besar khususnya dari famili Seranidae, Aulostomidae, Achanturidae, Scharidae dan jenis famili lainnya. Secara keseluruhan perbandingan ukuran bobot hasil tangkapan bubu modifikasi dan bubu nelayan tidak berbeda secara signifikan. Ukuran ikan target pada bubu nelayan relatif sama dengan bubu modifikasi, tetapi untuk ukuran ikan non target bubu nelayan memiliki ukuran hasil tangkapan yang lebih besar daripada bubu modifikasi. Perbandingan ukuran hasil tangkapan bubu juga dipengaruhi oleh waktu perendamannya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan penelitian Risamasu (2008) yang merendam bubu kawat dengan sistem one day fishing. Bubu yang direndam lebih singkat akan lebih produktif jika dioperasikan bersamaan dengan rumpon. Perendaman bubu nelayan yang mencapai 10 hari dapat menciptakan interaksi kanibalisme di dalam bubu. Secara umum ikan yang tertangkap pada bubu kawat memiliki sebaran data panjang dan berat yang hampir sama untuk setiap jenisnya. Hal ini membuktikan bahwa sifat ikan karang hidup secara berkelompok menurut jenis dan ukuran tertentu. Data ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di pulau Sabesi yang menggunakan bubu kawat dengan mesh size berbeda. Fenomena ini dapat disebabkan kebiasaan hidup ikan karang yang cenderung bersifat karnivora sehingga berkelompok dengan ukuran yang sama agar tidak saling memangsa. Tingginya nilai keragaman hasil tangkapan pada bubu menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap tidak hanya merupakan ikan yang berhabitat asli pada terumbu karang. Ikan yang mencari makanan dan berasosiasi dengan ikan karang juga tertarik masuk bubu. Ada beberapa sifat ikan demersal yang masuk ke dalam bubu, antara lain: ikan demersal merupakan ikan endemik yang tinggal pada suatu ekosistem tidak dalam waktu singkat, ikan demersal lebih tertarik berenang secara soliter, dan ikan demersal lebih menggunakan indera penciuman dibandingkan dengan indera penglihatannya (Riyanto, 2008). Data keragaman hasil tangkapan bubu di Sibolga lebih didominasi ikan demersal sesuai dengan sifat ikan tersebut.
191 Pola penyebaran ikan demersal hasil tangkapan bubu relatif sama pada setiap daerah pengoperasian. Dari 26 spesies ikan yang diperoleh, pada umumnya ikan yang tertangkap adalah ikan karnivora atau jenis ikan pemakan daging. Pada bubu nelayan yang direndam lebih lama sering ditemukan sisa kepala ikan akibat sifat kanibalisme diantara ikan-ikan tersebut. Ikan pari sering ditemukan masuk ke dalam bubu melihat mangsa berada di dalam perangkap. Ikan pemangsa seperti pari akan dijumpai dengan jumlah yang sedikit. Sesuai dengan pendapat Urbinas (2003) yang melakukan penelitian bubu tanpa umpan di Raja Ampat, pola migrasi ikan demersal umumnya terjadi di saat siang hari karena sifat ikan yang cenderung diurnal. Penglihatan ikan akan lebih baik di saat siang hari karena bubu kawat umumnya dioperasikan pada kedalaman lebih dari 30 meter. Pencarian makanan yang dilakukan ikan sampai memasuki bubu, karena ikan melihat adanya mangsa yang terjebak. Kejadian ini memberikan dampak terhadap jumlah individu ikan yang tertangkap dalam bubu nelayan dan modifikasi. Perairan Pulau Pini merupakan daerah penangkpan yang potensial karena topografi perairan yang cukup landai, arus dasar perairan yang relatif tidak menggeser bubu dan kondisi terumbu karang yang lebih baik dibandingkan Pulau Mursala dan Karang (Hermawan, 2007). Hasil pengamatan ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Rose (1998) terkait pengembangan bubu di Asia Timur dan Asia Tenggara. Konstruksi bubu yang terbuat dari besi lebih produktif dibandingkan dengan bubu rotan atau bambu. Kondisi perairan yang terlindung dari arus dasar, memiliki ekosistem karang yang baik dan alat tangkap yang terletak secara sempurna akan memberikan dampak terhadap hasil tangkapan (Mahulette, 2004). Bubu modifikasi yang digunakan peneliti telah memiliki proses landing lebih baik. Gerakan massa air akibat pasang surut yang terjadi setiap hari tidak menggeser bubu dan tidak menyebabkan bubu terbalik. Daerah penangkapan ikan yang terletak pada perairan terbuka seperti Pulau Karang cenderung memiliki hasil tangkapan yang lebih rendah. Ikan demersal memiliki kebiasaan mendiami suatu ekosistem dalam interval cukup lama ketika telah beranjak dewasa (Lee dan Kim, 1992).
Kondisi perairan yang sangat
dinamis akibat gerakan arus bukanlah habitat yang disenangi ikan karang untuk
192 mencari makan. Penempatan bubu dan metode pengoperasian menunjukkan adanya korelasi terhadap bobot hasil tangkapan. Hasil percobaan penempatan bubu pada daerah penangkapan ikan yang berbeda juga telah diuji melalui inovasi penangkapan ikan karang dengan bubu dasar yang menggunakan rumpon (Risamasu, 2008). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bubu yang dioperasikan dengan rumpon lebih produktif daripada bubu tanpa rumpon. Daerah penangkapan ikan yang memiliki rumpon lebih memungkinkan sebagai tempat berkumpulnya ikan-ikan kecil dan membentuk pola rantai makanan yang baik. Ikan karang akan mendiami sebuah ekosistem jika ketersediaan makanan dapat tetap terjaga dan terhindar dari predator lain. Bubu kawat yang dioperasikan di dasar perairan menghasilkan jumlah individu yang berbeda, nilai tangkapan yang tertinggi adalah 257 ekor pada DPI Pulau Pini dan yang terendah 15 ekor pada DPI Pulau Karang. Pulau Karang yang memiliki bentuk perairan terbuka menyebabkan substrat perairan cenderung berpasir dan produktivitas primer lebih rendah dibandingkan perairan karang yang terlindung oleh pulau. Rendahnya produktivitas primer menyebabkan sistem rantai makanan yang dimulai oleh ikan kecil menjadi sulit ditemukan pada perairan Pulau Karang. Hal ini sesuai dengan penelitian Nugraha (2002) yang menyatakan bahwa banyaknya ikan demersal ekonomis penting pada perairan Pulau Seribu dipengaruhi oleh kondisi ekosistem yang mampu menciptakan proses rantai makanan yang baik. Sesuai dengan penelitian Risamasu (2008) yang melengkapi bubu karang dengan pemberat. Produktivitas bubu yang memiliki kedudukan sempurna di dasar perairan lebih produktif dalam menangkap ikan-ikan ekonomis seperti famili Serranidae dan Lutjanidae. Bubu modifikasi di Sibolga yang ditempatkan pada perairan Pulau Karang memiliki jumlah individu yang lebih kecil dari bubu nelayan tetapi rasio ikan target yang lebih besar. Pemberat yang diberikan pada bubu modifikasi menyebabkan ikan-ikan demersal yang memiliki struktur pertumbuhan dengan pola alometrik negatif dapat masuk melalui pintu mulut bubu. Untuk bubu nelayan jumlah individu lebih tinggi tetapi didominasi oleh ikan hias seperti triger fish dan butana garis yang berenang secara berkelompok.
193 Interaksi jenis bubu dan daerah penangkapan ikan terlihat dengan tingkat efektivitas bubu menangkap ikan target berdasarkan wilayah perairan yang telah ditentukan. Pulau Pini, Pulau Mursala dan Pulau Nias memiliki jumlah individu hasil tangkapan yang lebih baik dari Pulau Karang. Jika dilihat dari posisi stasiun penjatuhan bubu pada Pulau Pini, Nias dan Mursala, bubu ditempatkan pada garis pantai yang terlindungi oleh pulau. Posisi peletakan bubu terhadap garis pantai juga memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan (Hermawan, 2007) Penelitian terdahulu pengembangan bubu di pantai Barat Sumatera juga menggambarkan hasil tangkapan yang semakin baik jika bubu ditempatkan pada gugus pulau yang tidak menghadap laut terbuka. Ikan demersal cenderung mencari makan dengan sifat lebih pasif karena ikan demersal cenderung fototaksis negatif (Mahulette, 2004). Sifat ikan demersal yang cenderung karnivora umumnya memangsa ikan kecil yang bergerak di sekitar habitatnya. Ikan-ikan kecil pada gugus karang memiliki kecenderungan bergerak dengan arah melawan arus, karena arus dapat membawa makanan bagi kelompok ikan kecil di dasar perairan. Dengan alasan ini penempatan bubu pada ekosistem yang memiliki arus akan lebih disukai oleh ikan demersal. Jenis bubu terhadap interaksi perlakuan memang tidak memberikan pengaruh signifikan, namun secara teknis bubu yang dilengkapi dengan pemberat telah mengurangi pergeseran bubu akibat arus. Pemberian pelampung pada tali ris dan selimut atas bubu juga membantu gerakan bubu untuk tidak terbalik. Pelampung secara teknis memiliki massa jenis lebih kecil dari air laut, asumsi ini akan memaksa pelampung untuk mempertahankan kedudukannya sehingga selimut bubu atas tidak akan bergerak ke bawah.
6.6 Keberlanjutan Usaha Bubu 6.6.1 Efisiensi bubu Sesuai dengan analisis parsial yang dilakukan Mahulette (2004), pengoperasian bubu kawat yang lebih lama akan meningkatkan biaya produksi dan mengurangi jumlah operasi bubu karena umur teknis yang terbatas. Perbaikan metode perendaman bubu menunjukkan hasil yang signifikan terhadap
194 produktivitas nelayan Sibolga. Dengan mengurangi jumlah hari operasi maka biaya operasional dan efektivitas alat tangkap akan dapat ditingkatkan. Bubu nelayan Sibolga memiliki dimensi panjang 1,5 meter, lebar 1 meter dan tinggi 0,5 meter yang dilengkapi dengan rigid funnel berbentuk silinder. Ditinjau dari sisi bentuk, bubu nelayan Sibolga sudah sangat efektif karena bentuknya yang cukup besar dapat membuat ikan tertarik menjadikan bubu sebagai tempat persembunyian atau perlindungan dari predator (Risamasu, 2008). Hasil penelitian tahun 2008 ini juga menambahkan ikan karang merupakan ikan yang hidup secara soliter sehingga diperlukan rumpon untuk memikat ikan agar penangkapan dengan bubu lebih efektif. Purbayanto (2007) membuktikan bahwa penempatan bubu laut dalam yang merentang sempurna memiliki hasil tangkapan yang lebih baik. Bubu kawat Sibolga merupakan bubu yang memiliki mulut dengan klasifikasi rigid funnel. Posisi bukaan mulut yang tidak tepat akan mempengaruhi ikan masuk kedalam body bubu. Selain itu Watanuki dan Kawamura (1999) menambahkan bahwa bubu dasar yang memiliki rigid funnel keras seperti pada bubu nelayan Sibolga memiliki hasil tangkapan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bubu soft funnel.
6.6.2 Kelayakan usaha bubu Berdasarkan analisis kelayakan usaha yang dilakukan pada kedua jenis bubu, bubu modifikasi lebih layak dibanding bubu nelayan, baik dengan perhitungan analisis rugi-laba maupun analisis kriteria investasi. Lama perendaman bubu dan pemberian pelampung dan pemberat pada bubu berpengaruh cukup signifikan terhadap kelayakan usaha. Hal ini memberikan kesimpulan
bahwa
bubu
nelayan
hendaknya
dipertimbangkan
metode
pengoperasian yang saat ini dilakukan. Nelayan Sibolga melakukan perendaman bubu selama 7 sampai 10 hari sedangkan bubu modifikasi ini melakukan perendaman selama 4 hari. Besarnya biaya operasi pada satu trip penangkapan bubu yang lebih lama akan meningkatkan biaya konsumsi dan bahan bakar. Penelitian terdahulu yang dilakukan pada tahun 2004 di Nusa Penida Bali oleh Mahulette (2004) mengemukakan bahwa pengoperasian bubu besi dapat memberikan keuntungan yang lebih besar dari bubu lainnya seperti bambu. Bubu
195 kawat besi yang dioperasikan oleh nelayan Sibolga dapat dijatuhkan pada kedalaman yang lebih dari 30 meter sehingga berpotensi menangkap ikan karang besar yang bersifat fototaksis negatif atau tidak menyukai cahaya. Selain daerah pengoperasian yang bisa menyentuh kedalaman lebih dari 30 meter, bubu besi juga lebih tahan saat terendam dalam air sehingga memiliki umur teknis yang lebih panjang. Penggunaan bubu secara efisien dengan memperhatikan faktor biaya dan hasil tangkapan menjadi dasar keberlanjutan usaha ini.
6.7 Strategi Pengembangan Perikanan Bubu 6.7.1 Prioritas pengembangan Sesuai dengan penelitian Sultan (2004), prioritas pengembangan perikanan tangkap yang memfokuskan pada aspek lingkungan dan keberlangsungan sumberdaya akan memberikan dampak yang berkelanjutan pada nelayan itu sendiri. Pengembangan perikanan demersal melalui modifikasi bubu sebaiknya difokuskan pada aspek yang memperhatikan keberlangsungan sumberdaya. Pertimbangan nilai pendapatan bagi nelayan akan dapat ditingkatkan apabila produktivitas hasil penangkapan juga tidak bersifat sementara. Pemerintah melalui Pelabuhan Perikanan Nusantara telah berperan dalam mengurangi IUU fishing di Sibolga. Dukungan dari nelayan dan para stakeholder akan turut mempercepat pengembangan perikanan demersal di Sibolga.
6.7.2 Strategi pengembangan SWOT mengkombinasikan dua faktor untuk menghasilkan strategi. Strategi SO merumuskan pengelolaan perikanan yang berkembang. Hal ini dapat dilakukan karena banyaknya kekuatan yang dimiliki internal perikanan bubu Sibolga dengan peluang yang ada di luar. Peningkatan regulasi untuk mempermudah pemasaran hasil perikanan demersal juga perlu dilakukan agar hasil tangkapan nelayan dapat termanfaatkan dengan baik. Kedua strategi ini bertujuan untuk melakukan ekspansi perikanan bubu demersal. Dukungan pemerintah dalam merealisasikan strategi pengembangan usaha perikanan demersal dapat ditempuh dengan menyediakan sarana pendukung kegiatan ekspor. Ikan merupakan bahan yang bersifat perishable (mudah busuk).
196 Dengan memperpendek mata rantai transportasi perdagangan ikan demersal, maka kualitas hasil tangkapan nelayan Sibolga akan semakin baik. Strategi WO menghasilkan tiga rumusan strategi, yaitu: penyuluhan pada nelayan seputar pengetahuan mengenai perikanan tangkap serta polaritas investasi penyempurnaan kapal, mesin dan alat tangkap. Penyuluhan pada nelayan perlu ditingkatkan untuk memperbaiki kondisi internal perikanan bubu. Beberapa penyuluhan yang penting untuk dilakukan adalah penggunaan BBM, es dan air tawar serta penyuluhan mengenai kemajuan teknologi pada perikanan tangkap seperti alat tangkap maupun DPI. Polaritas investasi penyempurnaan kapal, mesin dan alat tangkap ditujukan untuk memperbaiki operasi penangkapan perikanan bubu. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak terhadap minat investor dan pemasaran yang baik karena semakin tingginya permintaan terhadap produk perikanan. Strategi ST mengkombinasikan kekuatan internal dan ancaman dari eksternal perikanan bubu Sibolga. Strategi yang dihasilkan antara lain: pengelolaan sumberdaya ikan secara lestari dan berkelanjutan, penggunaan BBM secara efisien dengan memperbaiki teknik dan waktu operasi dan penyatuan persepsi antar sektor. Penerapan unit penangkapan ikan yang ramah lingkungan hendaknya mulai diperkenalkan untuk dapat mengelola sumberdaya ikan dengan lestari. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa bubu modifikasi dapat menjadi salah satu alat tangkap yang ramah lingkungan. Teknik pengoperasian bubu yang ada di Sibolga saat ini (bubu nelayan) memerlukan waktu perendaman yang cukup lama yaitu 7-10 hari. Hal ini ternyata tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah dan hasil tangkapan, selain itu perendaman bubu yang lama akan menyebabkan kanibalisme di dalam bubu yang sudah berisi hasil tangkapan karena kurangnya makanan di dalam bubu. Lamanya perendaman juga berpengaruh terhadap kecepatan terjadi proses pengkaratan pada bubu. Penggunaan BBM akan efisien jika bubu mudah ditemukan, sehingga diperlukan alat bantu atau rekonstruksi unit penangkapan yang tidak mengalami banyak pergeseran selama proses perendaman. Penyatuan persepsi stakeholder penting dilakukan agar sistem perikanan bubu di pantai Barat Sumatera dapat memiliki visi yang jelas untuk kemajuan dan keberlanjutan perikanan demersal.
197 Strategi WT menghasilkan dua rumusan strategi yaitu peningkatan pelayanan pelabuhan dan integrasi pengawasan perairan Barat Sumatera. Kedua hal ini dilakukan untuk bertahan agar kegiatan perikanan demersal di pantai Barat Sumatera dapat terus berlangsung. Peningkatan pelayanan pelabuhan dapat dilakukan dengan cara menjaga stabilitas bahan-bahan operasional nelayan seperti BBM, es dan air bersih. Integrasi pengawasan diharapkan dapat mengawasi masalah IUU fishing dan trawl yang masih beroperasi. Pengawasan akan mempersatukan beberapa sektor untuk dapat bekerja sama menjaga keamanan perairan. Selain itu dengan sistem pengawasan yang baik informasi mengenai keadaan cuaca yang buruk atau pun kondisi perairan dapat cepat diketahui nelayan.
6.7.3 Pengembangan bubu ramah lingkungan Secara teknis pengoperasian bubu kawat tidak membahayakan nelayan. Dampak sosial alat tangkap ini juga tidak mempengaruhi hasil tangkapan nelayan tradisional karena alat tangkap ini berada pada daerah yang jauh dari garis pantai. Saat ini alat tangkap ikan demersal yang digunakan nelayan Sibolga hanya berupa pancing (hand line), bahkan tidak sedikit nelayan yang mengkombinasikan pengoperasian bubu dengan alat tangkap ini. Bubu yang dioperasiakan nelayan Sibolga pada umumnya berada pada kedalaman 30 sampai 70 meter, sehingga jarang mengalami konflik dengan nelayan tradisional kecuali pukat harimau yang masih sering beroperasi di pantai Barat Sumatera. Secara ekologi, pengoperasian bubu sedikit memberikan dampak negatif terhadap spesies ikan yang dilindungi. Pada bubu modifikasi dan bubu nelayan masih sering ditemukan ikan napoleon yang merupakan kelompok ikan yang dilindungi. Tingginya keanekaragaman hasil tangkapan bubu di pantai Barat Sumatera juga berpengaruh terhadap keberlangsungan sumberdaya ikan demersal. Menurut Jeyaseelan (1998), interaksi antara komunitas penghuni ekosistem karang yang terganggu akan memberikan dampak terhadap speies lainnya. Ikan kakap merah yang berumur dewasa akan bermigrasi ke daerah mangrove untuk melakukan pemijahan. Jika ikan-ikan yang dalam kondisi matang gonad tertangkap pada bubu maka dampak terhadap keberlangsungan ikan kakap akan
198 semakin terganggu. Sesuai dengan hasil penangkapan bubu di pantai Barat Sumatera, ikan-ikan yang tertangkap bubu merupakan ikan yang sudah berukuran dewasa. Berdasarkan kualitas hasil tangkapan, ikan demersal yang tertangkap bubu pada umumnya masih dalam keadaan baik dan hidup. Pengembangan usaha hatchery dapat dilakukan jika ikan-ikan yang telah matang gonad dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya. Secara umum pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera berdasarkan kriteria CCRF masih cukup baik dan dapat dikembangkan. Perbaikan metode pengoperasian untuk mengurangi by catch dan mencegah ikan-ikan yang dilindungi tertangkap dapat menjadi fokus perbaikan alat tangkap. Perbaikan alat tangkap bubu sebaiknya tidak hanya berfokus pada profitabilitas tetapi juga pada keberlangsungan sumberdaya ikan demersal (Cann, 1990).