155
5
PEMBAHASAN
5.1 Tingkat pemanfaatan sumberdaya dan peluang pengembangannya di Maluku Penangkapan
ikan
pada
dasarnya
merupakan
aktifitas
eksploitasi
sumberdaya ikan di laut. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pelagis secara optimal dapat dilakukan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya tersebut dengan meningkatkan efisiensi eksploitasi yaitu pengoperasian alat tangkap yang efektif (teknologi), pengetahuan tentang sumberdaya ikan yang ditangkap (jenis, penyebaran, dan perkiraan jumlah), oleh karena itu informasi tentang keberadaan sumberdaya suatu perairan laut sangat penting untuk diketahui. Pemanfaatan sumberdaya perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi tangkap lebih. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diketahui dengan terlebih dahulu mengetahui besarnya potensi sumberdaya (stok). Menurut Azis (1989) dan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (1998), estimasi stok ikan di Indonesia dilakukan dengan enam metode pendekatan, yaitu sensus/transek, sweept area, akustik, production surplus, tagging, dan ekstra/intra-polasi. Diantara ke-enam metode pendekatan tersebut, metode surplus production adalah relatif paling murah, cepat dan sederhana dalam pengerjaannya. Faktor penentu keberhasilan penggunaan metode ini terletak pada keakuratan data yang digunakan antara lain data time series hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Informasi tentang status potensi sumberdaya yang tersedia perlu diketahui untuk pengelolaan sumberdaya secara optimal tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan perlu kehati-hatian agar tidak sampai pada kondisi kelebihan penangkapan (overfishing). Suyasa et al (2007) menyatakan bahwa potensi ikan laut di Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, dimana sekitar 73,43 persen atau 4,7 juta ton diantaranya adalah dari kelompok ikan pelagis, baik itu ikan pelagis besar maupun ikan pelagis kecil. Potensi ikan pelagis diperkirakan sekitar 3,6 juta ton per tahun atau 56,25 persen dari potensi ikan secara keseluruhan, dan baru dimanfaatkan sekitar 49,50 persen. Hasil analisis produksi
156
sumberdaya ikan pelagis kecil dengan menggunakan model surplus produksi Schaefer menunjukkan bahwa nilai MSY ikan pelagis kecil yang tertinggi di perairan Maluku adalah ikan layang sebesar 11.895 ton per tahun dengan effort optimal sebesar 24.387 trip per tahun dan ikan komu memiliki MSY yang paling rendah yaitu 1493 ton per tahun dengan effort optimal 38650 trip per tahun. Penyebaran kurva yang tidak normal pada tahun 2001 disebabkan karena faktor non teknis akibat konflik horizontal menyebabkan keamanan tidak terjamin sehingga jumlah nelayan melaut berkurang sementara stok ikan konstan sehingga hasil tangkapan meningkat terhadap jumlah armada yang sedikit. Effort optimal ikan komu (Auxist thazard) memiliki nilai tertinggi yaitu 38.560 trip per tahun dan terendah pada ikan selar sebesar 24.165 trip per tahun. Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Maluku dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2001 sampai 2005) belum mencapai titik maximum sustainable yield (MSY). Hasil analisis dengan model surplus produksi Schaefer terhadap ikan pelagis besar menunjukkan bahwa ikan cakalang mempunyai MSY tertinggi sebesar 49.133,78 ton/tahun dengan effort optimal 49.565 trip per tahun. Sedangkan ikan layur mempunyai MSY terendah sebesar 250,00 ton/tahun dengan effort optimal 500.000 trip per tahun dan sekaligus merupakan effort yang tertinggi sedangkan ikan tuna sebesar 55.716,67 trip per tahun. Kondisi tersebut memberikan dugaan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan masih memungkinkan untuk dieksploitasi, mengingat pada batas yang melebihi potensi lestari belum tercapai sehingga memberikan peluang untuk meningkatkan produksi. Pauly (1979) dan Panayotou (1982) yang diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003), menggunakan MSY sebagai titik sasaran acuan pengelolaan perikanan terutama ketidakpastian sehubungan dengan kekurangan data pada laju penangkapan ikan. Maximum sustainable yield (MSY) menurut Cunningham (1981) yang diacu dalam Atmaja dan Haluan (2003) hanya digunakan sebagai titik sasaran acuan pengelolaan sumberdaya ikan dalam jangka waktu yang pendek. Secara umum sumberdaya ikan pelagis kecil dan pelagis di perairan Maluku tingkat pemanfaatannya masih dibawah MSY. Hal ini disebabkan karena teknologi penangkapan masih bersifat tradisional berdampak pada produksi yang rendah
155
akibat produktifitas yang rendah. Berbeda seperti yang dilaporkan Atmaja dan Nugroho (2001), tentang perikanan pelagis di Laut Jawa yang telah mengalami kelebihan kapasitas dan kondisi stok ikan pelagis yang menurun drastis maka, perikanan pelagis kecil di perairan Maluku dapat dikatakan underutilized. Teknologi yang relevan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan dan pendapatan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan dengan memperbesar armada penangkapan serta penggunaan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien (Solihin 2003). Wisudo (2008) mengatakan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pada suatu daerah penangkapan (fishing ground) diupayakan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang boleh dimanfaatkan. Apabila tingkat pemanfaatan di suatu wilayah penangkapan ikan melebihi nilai optimumnya, maka akan terjadi penurunan efisiensi usaha penangkapan ikan, bahkan akan menyebabkan fenomena tangkap lebih (overfishing). Sebaliknya, bila tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya tidak optimal tentu akan merugikan, karena kelimpahan sumberdaya ikan yang ada hanya disia-siakan mati secara alamiah (natural mortality) atau bahkan dimanfaatkan oleh para nelayan asing, sehingga tidak memberikan manfaat yang optimal untuk masyarakatnya. Tujuan konsep MSY
adalah
pengelolaan
sumberdaya
alam
yang
sederhana
yakni
mempertimbangkan fakta bahwa persediaan sumberdaya biologis seperti ikan tidak dimanfaatkan terlalu berat, karena akan menyebabkan hilangnya produktivitas (Hermawan 2006). Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil maupun pelagis besar di perairan Maluku perlu ditingkatkan hingga batas optimum. Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa bila tingkat pemanfaatan dibawah angka MSY, akan terjadi tingkat pemanfaatan yang belum optimal, artinya walaupun tidak membahayakan ketersediaan stok ikan tetapi sumberdaya ikan tersebut masih kurang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Bila dilakukan perbandingan terhadap dua keadaan diatas sebagai konsekuensi dari upaya tangkap yang berlebih,
maka
penurunan
produktifitas
unit
penangkapan
lebih
besar
dibandingkan dengan peningkatan hasil tangkapan. Keadaan tersebut dapat dipahami mengingat jumlah nelayan terus meningkat secara tidak langsung akan
156
berdampak terhadap jumlah alat tangkap. Seperti yang dikatakan Gulland (1983) meningkatnya jumlah kapal maka bagian yang diperoleh dari masing-masing kapal (produktifitas) akan semakin kecil. Meski demikian jika kita cermati baik produksi yang telah dicapai maupun upaya tangkap yang telah dilakukan sudah mendekati batas lestari. Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat trend jumlah penduduk pesisir (nelayan) semakin bertambah demikian pula alat tangkap yang digunakan. Mengacu kepada kondisi aktual tersebut, maka sangat diperlukan kehatihatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, mengingat perikanan tangkap di perairan Maluku memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi. Aktualisasi dari upaya kehati-hatian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Maluku yaitu dilakukannya tatalaksana mengenai sikap dan perilaku praktek yang bertanggungjawab dalam kegiatan perikanan tangkap. Upaya konkritnya dapat dilakukan dengan mengacu kepada prinsip kehati-hatian (precautionary) sebagaimana yang tertuang dalam Code of Conduct of Responsible Fisheries (CCRF) (FAO 1995). Inti dari prinsip tersebut terdapat pada penekanan pemanfaatan sumberdaya yang dibatasi hingga 80% dari MSY. Perhatian terhadap CCRF berimplikasi terhadap kebijakan pengembangan perikanan dimana target produksi ikan pelagis kecil di perairan Maluku menjadi 6180 ton/tahun
dari jenis ikan selar dengan upaya penangkapan 1138,64
trip/tahun dan merupakan yang tertinggi dibandingkan jenis ikan pelagis lainnya. Sedangkan jenis ikan
kembung 1320 ton/tahun dengan upaya penangkapan
sebesar 1056 trip/tahun. Sementara untuk jenis ikan pelagis besar menempatkan jenis ikan tuna dengan target produksi sebanyak 4315,2 ton/tahun dengan upaya penangkapan 862,4 trip/tahun. Jenis ikan tongkol dengan target produksi sebesar 975,2 ton/tahun dengan upaya penangkapan 1950,4 trip/tahun dan sekaligus merupakan yang terendah dibandingkan dengan jenis ikan pelagis besar lainnya. Walapun ketentuan yang tercantum dalam CCRF bersifat tidak mengikat, akan tetapi karena bangsa Indonesia (khususnya di Maluku) yang merupakan bagian dari masyarakat dunia seyogyanya tidak mengabaikan prinsip yang termuat dalam CCRF. Selain karena memuat prinsip pengelolaan, juga mengandung nilainilai keberlanjutan, baik sumberdaya ikan maupun usaha penangkapan ikan. Oleh
155
karena itu pada masa yang akan datang target produksi dan upaya penangkapan dapat ditetapkan tidak melebihi dari kondisi tersebut. Perbandingan tingkat pemanfaatan dan pengupayaan pada kondisi lestari dan batas pemanfaatan ikan pelagis kecil dan pelagis besar sebagaimana dalam CCRF dapat terlihat pada Tabel 69 dan Tabel 70 Tabel 69 Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis kecil dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, Fopt dan CCRF (80%) Jenis Ikan Aktual pelagis kecil Produksi Tingkat /ton MSY/ton Selar
3451,2
5.839
Effort aktual (trip) 8.711
Layang
6765,5
11.895
Tembang
708
Teri
Estimasi CCRF (80%) Effort MSY/ton Fopt/trip optimal (trip) 24.165
6180
1138,4
9.801
24.387
898,4
1797,6
8.176
21.619
28.595
1124,8
899,8
292
4.983
25.192
31.570
1227,2
981,7
Komu
355,7
1.493
20.895
38.650
2587,2
2069,7
Kembung
831,3
1.818
16.718
30,150
1320
1056
Kondisi
Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing
Sumber: data penelitian 2009 Tabel 70 Perbandingan pemanfaatan ikan pelagis besar dan pengupayaan pada kondisi aktual, estimasi MSY, Fopt dan CCRF (80%) Jenis Ikan pelagis besar Tuna
93.130
9.313
Estimasi Effort Effort aktual optimal (trip) (trip) 120.859 55.716
Tenggiri
40,613
406,13
128.228
Tenggiri papan Tongkol
140
160,00
7.030
Cakalang Layur
Produksi /ton
Aktual Tingkat MSY/ton
CCRF (80%) MSY/ton Fopt/trip
4315,2
862,4
142.500
2820,8
5642,4
77.471
400.000
2128,8
4257,6
7.030
101.330
41.925
975,2
1950,4
49.133
49.133
70.445
49.565
1246,4
2488,8
25.00
250,00
156,046
500.000
3023,2
3023,2
Kondisi
Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing Under overfishing
Sumber: data penelitian 2009 Perbandingan kondisi aktual terlihat bahwa terjadi kenaikan terhadap tingkat MSY, effort optimal pada ikan pelagis. Fenomena yang terjadi adalah pemanfaatan yang dilakukan baik pada ikan pelagis kecil maupun pelagis besar di perairan Maluku belum mengalami tangkap lebih pada perairan tersebut, besarnya laju pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil dan besar di perairan Maluku diduga karena tekanan pemanfaatan sumberdaya di perairan tersebut dilakukan
156
setiap hari oleh kapal-kapal dengan peralatan teknologi modern yang datang dari luar daerah ini untuk mengeksploitasi potensi sumberdaya. Secara garis besar faktor yang menyebabkan semakin besarnya tekanan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di perairan Maluku terbagi atas dua yaitu: faktor internal, dan faktor eksternal, antara lain: (1)
Faktor internal: 1) Sumberdaya manusia 2) Teknologi penangkapan dominan sederhana 3) Kemampuan modal untuk meningkatkan kapasitas armada kecil 4) Rendahnya produktifitas unit penangkapan
(2)
Faktor eksternal: 1) Peningkatan jumlah nelayan 2) Fishing ground 3) Peningkatan jumlah unit penangkapan yang datang dari luar daerah Bertitik tolak dari kondisi tersebut dimana pemanfaatan potensi sumberdaya
ikan pelagis kecil dan besar telah melampaui batas pemanfaatan dalam prinsip kebijakan pemanfaatan (CCRF) alternatif sehingga perlu dilakukan beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengganti unit penangkapan ikan yang tidak produktif dengan alat tangkap yang produktif (2) Melakukan rasionalisasi unit penangkapan berdasarkan kapasitas/daya dukung sumberdaya yang ada di perairan tersebut (3) Melakukan kontrol terhadap jumlah unit penangkapan dan dilakukan oleh instansi terkait (4) Melakukan ekspansi fishing ground (out shore) Pengembangan usaha perikanan tangkap ikan pelagis di perairan Maluku diarahkan pada peningkatan faktor biologi, teknik, ekonomi, dan sosial dalam sub sistem potensi sumberdaya ikan, sub sistem teknologi, sub sistem mutu, sub sistem pemasaran, sub sistem kelayakan usaha dan sub sistem infrastruktur. Hal tersebut dimaksud agar sistem usaha perikanan tangkap ikan pelagis yang ada dapat menguntungkan bagi pelaku usaha dan berkelanjutan. Peningkatan yang diharapkan yaitu dapat meningkatkan produksi dengan tetap menjaga kelestarian
155
sumberdaya, peningkatan pendapatan, kesejahteraan nelayan serta para pelaku yang terlibat dalam sistem usaha tersebut.
5.2
Teknologi Penangkapan Tepat Guna dan Alokasi Unit Penangkapan Optimum Tujuan pemilihan teknologi penangkapan tepat guna adalah untuk
mendapatkan jenis alat tangkap ikan yang mempunyai keragaan (performance) yang baik, ditinjau dari aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi. Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek bio-technico-socio-economi-approach, oleh karena itu ada empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya, 2) secara teknis efektif digunakan, 3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan, dan 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan aktifitas penting di Maluku. Ikan yang ditangkap selama 5 tahun terakhir sangat beragam. Jumlah spesies ikan yang tertangkap sejak tahun 1998 hingga 2007 mencapai 97 spesies yang terdiri dari pelagis kecil (30 species), pelagis besar (22 species), demersal kecil (25 species), dan demersal besar (10 species). Sumberdaya ikan pelagis kecil didominasi oleh 6 spesies yaitu ikan teri (Stolephorus sp), kembung (Rastrelliger sp), tembang (Sardinella sp), layang (Decapterus sp), selar (Selaroides spp) dan lemuru (Sardinela lemuru). Sedangkan ikan pelagis besar didominasi oleh 6 species antara lain: cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunnus sp), tenggiri (Scomberomorus sp) tongkol (Auxis thazard), layur (Istiophorus sp), (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, 2008). Alat penangkapan ikan yang dominan di Maluku yakni pukat cincin, bagan, huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan. Menurut Monintja et al. (2001), bahwa alat tangkap sebagai komponen teknologi yang dijadikan standar perbandingan untuk kepentingan keberlanjutan perikanan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: 1) penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2) jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang
156
diperbolehkan, 3) kegiatan usaha harus menguntungkan, 4) investasi rendah, 5) penggunaan bahan bakar minyak rendah, dan 6) memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
5.2.1 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi Tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan ditinjau dari segi biologi adalah dalam upaya konservasi stok ikan untuk menghindari tangkap lebih (King and Ilgorm 1989 dalam Hermawan 2006). Dengan kata lain bahwa untuk keberlanjutan perikanan tangkap diperlukan upaya agar tidak terjadi tangkap lebih melalui konservasi stok ikan. Seleksi pemilihan teknologi penangkapan berdasarkan aspek biologi terhadap jenis unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Maluku menghasilkan pengembangan alat tangkap huhate, jaring insang permukaan, pancing tonda sebagai prioritas utama, kedua, dan ketiga diikuti oleh purse seine, bagan dan pukat pantai pada posisi berikutnya. Alat tangkap huhate memiliki CPUE lebih besar bila dibandingkan dengan alat tangkap lain, begitu pula jumlah trip (58.909,2) lebih unggul dari jaring insang permukaan (720,49) dan pancing tonda (393,27). Sedangkan untuk kategori komposisi hasil tangkapan (jumlah jenis) menempatkan bagan (skor 5) pada urutan pertama dan diikuti oleh pukat cincin (skor 3) dan pukat pantai (skor 3). Kelemahan dari huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan adalah hanya menangkap ikan tertentu dengan ukuran yang hampir seragam, seperti cakalang, tuna. Sementara untuk ukuran ikan yang layak tertangkap secara biologi menempatkan alat tangkap ikan pelagis besar seperti huhate (skor 3), pancing tonda (skor 3) dan jaring insang permukaan (skor 3) sebagai yang terbaik dibandingkan dengan alat tangkap ikan pelagis kecil yang hampir menangkap semua jenis ukuran ikan. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kelangsungan sumberdaya ikan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Heriawan (2008) di perairan Kabupaten Pandeglang yang menempatkan pukat cincin sebagai prioritas utama pengembangan, dan jaring insang menempati urutan kedua. Perbedaan ini disebabkan karena untuk daerah Pandeglang untuk komposisi hasil tangkapan menduduki urutan pertama, sedangkan Provinsi Maluku, huhate menduduki urutan utama.
155
Semakin kecil nilai prioritasnya untuk komposisi hasil tangkapan, mengakibatkan semakin buruk nilai prioritasnya. Hal ini disebabkan karena alat tangkap ikan pelagis kecil dengan ukuran mata jaring yang hampir sama (0,25 mm) untuk pukat pantai dan bagan akan sangat mempengaruhi hasil tangkapan ikan pelagis kecil dari faktor biologi. Hal ini berbanding terbalik dengan alat tangkap ikan pelagis besar yang sebagian besar sebagai alat tangkap ramah lingkungan. Khususnya untuk jaring insang permukaan dengan ukuran mata jaring (4 sampai 7 inchi) khususnya menangkap jenis ikan pelagis besar yang sesuai dengan ukuran mata jaring. Sementara untuk alat huhate dan pancing tonda, walaupun komposisi hasil tangkapan yang diperoleh tidak sebanyak alat tangkap pukat cincin namun dari aspek biologi lebih baik dibandingkan pukat cincin karena ikan yang tertangkap mempunyai ukuran yang sama serta sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan. 5.2.2 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek teknis Seleksi berdasarkan aspek teknis, memprioritaskan pancing tonda sebagai prioritas dan diikuti oleh jaring insang permukaan, huhate, pukat cincin, bagan, dan pukat pantai. Pancing tonda lebih
diprioritaskan karena lebih mudah
dioperasikan dan memiliki selektivitas yang tinggi dibandingkan dengan pukat pantai dan bagan. Aspek teknis ini sama dengan hasil penelitian Heriawan (2008) di perairan Pandeglang, dimana prioritas pertama berdasarkan aspek teknis di perairan tersebut yang layak untuk dikembangkan adalah untuk alat tangkap pancing sedangkan pukat cincin menempati urutan prioritas kedua. Menurut Widodo dan Suadi (2006), dalam suatu usaha penangkapan atas suatu stok ikan maka tertangkap pula stok lainnya sebab usaha penangkapan dilakukan pada perikanan multi jenis akan terdapat adanya tangkapan sampingan (bycatch). Pada aspek biologi, pukat pantai dan bagan sebagai prioritas akhir dan merupakan unit penangkapan yang tergolong tidak selektif, namun dari berbagai data dan informasi belum ditemukan tingkat kerusakan sumberdaya di perairan Maluku sebagai akibat dari pengoperasian alat tangkap tersebut. Di Maluku penangkapan ikan dengan pukat cincin menggunakan alat bantu penangkapan
156
berupa rumpon, sedangkan pada malam hari menggunakan alat bantu lampu (light fishing). Pengoperasian alat tangkap (X1) untuk jenis alat huhate, pancing tonda, jaring insang sangat sulit namun nelayan masih mampu mengatasinya sehingga unggul dari alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, bagan. huhate (skor 3), pancing tonda (skor 3), jaring insang (skor 3) unggul dalam pengoperasian alat tangkap sedangkan sedangkan daya jangkau operasi penangkapan alat tangkap juga mempunyai skor yang sama masing-masing skor 5. Hal ini disesuaikan dengan hasil skoring sesuai jawaban nelayan responden terhadapnya. Sedangkan untuk daya jangkau pengoperasian alat tangkap ikan pelagis besar pada umumnya lebih jauh (>5mil) bila dibandingkan dengan alat tangkap pelagis kecil yang pengoperasiannya di daerah pantai (<5mil). Lingkungan fisik sangat berpengaruh terhadap semua jenis alat tangkap terutama pada alat tangkap ikan pelagis besar dengan daerah penangkapan yang jauh memungkinkan kapal penangkap harus laik laut. Pukat cincin merupakan alat tangkap yang produktif karena tujuan penangkapannya adalah ikan-ikan yang sifatnya bergerombol. Walaupun produktifitasnya lebih tinggi daripada jaring insang tetapi dari teknik pengoperasian alat, jaring insang merupakan alat tangkap yang lebih mudah dioperasikan dan lebih ramah lingkungan karena selektivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan pukat cincin. Bagan juga merupakan alat tangkap yang produktif tetapi tidak selektif dan pengoperasiannya lebih sulit daripada jaring insang. Alat tangkap bagan di perairan Maluku menggunakan lampu petromaks sebagai sumber cahaya karena ikan umpan bersifat phototaxis positif sehingga dengan adanya sumbercahaya maka ikan akan berkumpul dan proses penangkapan dapat dilakukan. Alat tangkap huhate, pukat cincin, pancing tonda menggunakan teknologi alat bantu penangkapan yang lengkap bila dibandingkan dengan pukat pantai dan bagan. Pukat pantai didalam pengoperasiannya menggunakan tenaga manusia sebanyak 12 orang untuk menarik alat tangkap tersebut, sementara alat tangkap bagan
dalam pengoperasiannya, saat seting maupun hauling hanya
membutuhkan tenaga 2 sampai 3 orang.
155
5.2.3 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek sosial Pada aspek sosial, menempatkan huhate dan pukat cincin sebagai prioritas pertama dan kedua dalam pengembangan disusul pancing tonda, jaring insang, pukat pantai dan bagan. Hal ini disebabkan karena huhate dan pukat cincin menyerap lebih banyak tenaga kerja, kesempatan kerja lebih besar serta memberikan upah yang lebih besar bagi tenaga kerja dibandingkan dengan jaring insang, pukat cincin, jaring insang, bagan. Huhate unggul untuk semua kriteria penilaian baik itu respon penerimaan alat baru, tingkat pendidikan, konflik antar nelayan, pengalaman kerja, serta jumlah tenaga kerja. Sering terjadi konflik nelayan antar alat tangkap pukat cincin di daerah penangkapan. Penyebab terjadinya konflik adalah keberadaan alat bantu penangkapan (rumpon) yang terdapat di fishing ground. Sementara alat tangkap pukat pantai walaupun unggul dalam penyerapan tenaga kerja, tetapi kelemahannya terdapat pada tingkat pendidikan (skor1) tidak terlalu trampil serta pengalaman kerja sebagai nelayan (skor 1). Pancing tonda dan jaring insang unggul pada empat kriteria penilaian respon penerimaan alat tangkap baru (skor 5) (Y1), tingkat pendidikan (skor 5) (Y2), konflik antar nelayan (skor 5) (Y3), pengalaman kerja sebagai nelayan (skor 5) (Y4) sementara Y5 (jumlah tenaga kerja) (skor 5) alat tangkap ini hanya membutuhkan 2 sampai 3 orang nelayan. Walaupun alat tangkap bagan unggul pada kriteria penerimaan alat tangkap baru, justru nelayan yang mengoperasikan alat ini hampir seluruhnya lulusan sekolah dasar. Di perairan Pandeglang, purse seine juga menempati urutan prioritas pengembangan dan bagan menempati urutan berikutnya (Heriawan 2008). Satu hal yang perlu mendapat perhatian sebagaimana dikatakan Panayotou (1992) diacu dalam Suyasa et al. (2007), bahwa pada umumnya di negara sedang berkembang khususnya pada perikanan skala
kecil,
peluang
untuk
mendapatkan
pekerjaan
lain
(employment
opportunities) bagi nelayan tidak ada. Hal ini mengakibatkan upaya penangkapan yang beroperasi di perairan cenderung lebih besar sehingga jumlah nelayan yang terlibat juga semakin besar. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup nelayan adalah dengan menjaga kelangsungan hidup dengan meningkatkan efisiensi serta mengganti
156
kapal dengan ukuran yang lebih besar. Cara tersebut selain dapat menyerap jumlah tenaga kerja yang lebih juga dapat meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Karunia et al. (2008), mengatakan bahwa arah pembangunan nasional harus ditindaklanjuti melalui strategi peningkatan kesejahteraan dan dijabarkan melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan guna menanggulangi kemiskinan, yakni dengan cara: 1) modal usaha untuk mengembangkan kewirausahaan, 2) pemberdayaan sumberdaya manusia, dan 3) penguatan kelembagaan dan pengembangan teknologi, oleh karena itu model peningkatan kesejahteraan nelayan perikanan tangkap skala kecil menggunakan ketiga indikator tadi. 5.2.4 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan aspek ekonomi Pancing tonda menempati prioritas pertama pengembangan setelah dilakukan seleksi berdasarkan aspek ekonomi. Prioritas kedua adalah huhate, jaring insang permukaan pada posisi ketiga, kemudian yang terakhir adalah pukat cincin, bagan, dan pukat pantai. Pancing tonda dan huhate unggul pada semua kriteria penilaian penerimaan kotor per trip (Z1),
penerimaan kotor per jam
operasi (Z2), penerimaan kotor per alat tangkap per bulan (Z3), penerimaan kotor per tahun (Z4), dan penerimaan kotor per tenaga kerja (Z5). Penerimaan kotor per trip pancing tonda Rp 3.750.000, huhate Rp 15.000.000, sedangkan penerimaan per bulan pancing tonda Rp 56.250.000, huhate Rp 192.000.000. Hal ini disebabkan karena pada kedua alat ini penerimaan yang diterima, baik penerimaan kotor/trip operasi, penerimaan kotor/jam, penerimaan kotor alat tangkap/bulan, penerimaan kotor/tahun melampaui hasil penerimaan yang diterima dari alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, bagan dan jaring insang permukaan. Penerimaan kotor per trip pukat cincin (Rp3.600.000), pukat pantai (Rp 150.000), bagan (Rp 180.000), penerimaan per bulan pukat cincin (Rp 49.000.000), pukat pantai (Rp 2.400.000), dan bagan (Rp 3.750.000). Pukat pantai merupakan alat tangkap yang menduduki urutan paling rendah dalam memenuhi semua kriteria penilaian. Modal yang dibutuhkan untuk 1 unit pukat pantai adalah Rp. 65.000.000. Hal ini tentunya membutuhkan kerja keras dari nelayan, apabila hal ini tidak tercapai maka tentunya nelayan akan mengalami kerugian yang besar. Alat tangkap bagan walaupun tidak unggul pada penerimaan kotor/trip,
155
penerimaan kotor/bulan (skor 1) namun alat ini unggul pada penerimaan kotor/tahun, penerimaan kotor/tenaga kerja (skor 3). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pukat cincin merupakan alat tangkap yang efektif dalam menghasilkan ikan hasil tangkapan. Perkembangan pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Cina Selatan tidak terlepas dari perkembangan alat tangkap pukat cincin pasca pelarangan alat tangkap trawl memperlihatkan bahwa pukat cincin merupakan alat tangkap yang produktif, efektif dan efisien (Atmaja, Wiyono dan Nugroho 2001). Suyasa et al. (2007) mengatakan bahwa alat tangkap pukat cincin merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap ikan pelagis kecil sehingga dipergunakan sebagai alat tangkap baku dalam mengevaluasi status perikanan pelagis kecil di perairan Laut Jawa 5.2.5 Seleksi teknologi penangkapan berdasarkan penilaian gabungan aspek biologi, teknis, sosial dan ekonomi Penentuan prioritas pengembangan kegiatan perikanan di suatu daerah tidak hanya dilihat dari satu atau dua aspek tetapi dari berbagai macam aspek yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan kegiatan tersebut. Demikian pula pada kegiatan pengembangan perikanan pelagis
di perairan Maluku, ditentukan
dengan menganalisis semua aspek yakni biologi, teknis, sosial, dan ekonomi. Setelah menganalisa keempat aspek tersebut maka hasil yang diperoleh adalah prioritas pertama pengembangan pada unit penangkapan huhate. Hal ini disebabkan karena huhate unggul pada aspek biologi (736,46), sosial (2,7). Sementara pancing tonda pada urutan kedua dan unggul pada aspek teknis (2, 21) dan aspek ekonomi (2,9) serta jaring insang permukaan menduduki prioritas ketiga dalam pengembangan unit penangkapan ikan di perairan Maluku. Sejalan dengan tujuan strategis pengembangan perikanan pelagis di Provinsi Maluku yang memprioritaskan peningkatan jumlah hasil tangkapan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka prioritas pengembangan pancing tonda, huhate, jaring insang, serta pukat cincin merupakan suatu alternatif yang paling efektif untuk mendukung tujuan strategis tersebut. Haluan dan Nurani (1988) menyatakan bahwa pukat cincin adalah unit penangkapan ikan pelagis yang paling produktif. Demikian pula, Yuliansyah (2002) menyatakan bahwa
156
pukat cincin merupakan unit penangkapan yang tepat dikembangkan untuk menangkap ikan-ikan pelagis. Heriawan (2008) dalam menentukan prioritas pengembangan unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Pandeglang juga memprioritaskan purse seine sebagai yang pertama. Tujuan pengembangan adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan perikanan pada dasarnya dengan tidak mengabaikan faktor keberlanjutan dan faktor ramah lingkungan. Faktor keberlanjutan tersebut berkaitan dengan perikanan tangkap yang bertanggungjawab, karena bila hanya mementingkan keinginan saat ini dengan melakukan penangkapan berlebih (over exploited) dan eksploitasi yang hanya mengejar keuntungan sebesar-besarnya ditakutkan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, bahkan penurunan hasil tangkapan. Fauzi dan Anna (2005) mengatakan bahwa pembangunan perikanan tangkap harus didekati dengan pendekatan menyeluruh (holistic) yang menyangkut beberapa aspek, seperti ekologi (tingkat eksploitasi, keragaan rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, dan sebagainya), ekonomi (tingkat subsidi, kontribusi perikanan, penyerapan tenaga kerja dan sebagainya), sosial (pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan dan sebagainya), teknologi (produktivitas alat, selektivitas alat, ukuran kapal, dan sebagainya), dan etik (illegal fishing, mitigasi terhadap habitat dan ekosistem, sikap terhadap limbah dan bycatch. Kesteven (1973) dan Monintja (2000) diacu dalam Wisudo (2008) mengemukakan bahwa komponen-komponen utama dari sistem perikanan tangkap adalah sumberdaya ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat (nelayan), prasarana pelabuhan, sarana penunjang (galangan kapal, bahan alat tangkap ikan, dan mesin kapal), unit pemasaran dan unit pengolahan. Keseluruhan komponen tersebut
sangat
menentukan
upaya
mewujudkan
perikanan
tangkap
bertanggungjawab. Pengembangan perikanan bertanggungjawab pada dasarnya ditujukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, memenuhi kebutuhan pangan, dan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungannya.
155
5.2.6 Aspek berkelanjutan berdasarkan CCRF Hasil seleksi unit penangkapan ikan yang memperhatikan aspek kelanjutan di perairan Maluku adalah pukat cincin, pukat pantai, bagan, huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan, pukat udang, payang, pukat tarik, rawai, perangkap. Pancing tonda berpotensi untuk dapat dikembangkan di perairan Maluku setelah dianalisis berdasarkan aspek berkelanjutan sumberdaya ikan serta pemanfaatannya. Untuk kriteria memenuhi ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku, pancing tonda memiliki skor 4 karena sesuai dengan persyaratan CCRF, UU No 31/2004 tentang perikanan, peraturan daerah dan hukum adat yang selalu mengedepankan pelestarian sumberdaya. Pancing tonda memiliki memiliki keunggulan pada lima (5) kriteria penilaian penangkapan berkelanjutan dengan total skor tertinggi 23, nilai rata-rata 3,83 dan memperoleh skor 4 pada menerapkan kriteria teori ramah lingkungan, jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, menguntungkan, penggunaan BBM rendah, serta memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu kriteria yang menjadi kekurangan dari alat tangkap ini adalah investasi rendah (skor 3). Hal ini disebabkan karena untuk membuat 1 unit pancing tonda (kapal, alat tangkap, mesin) dibutuhkan biaya Rp 36.500.000. Huhate didalam pengoperasiannya, dilakukan di lautan bebas sehingga tidak mempengaruhi lingkungan sekitarnya serta memperoleh keuntungan yang cukup besar (Rp 25.000.000 sampai Rp 50.000.000/bulan), oleh karena itu alat tangkap ini dianggap menguntungkan. Selain itu alat tangkap ini juga tidak dioperasikan pada daerah karang sehingga tidak mempengaruhi ekosistim di daerah ini sehingga hal ini sangat berhubungan erat dengan kaidah pemanfaatan sumberdaya laut menurut CCRF, UU No 31/2004 tentang perikanan, peraturan daerah dan hukum laut. Huhate mempunyai skor 22 dan jaring insang permukaan dengan skor 18 dianggap sebagai alat tangkap yang menduduki ranking kedua dan ketiga sebagai alat tangkap berkelanjutan. Pada alat tangkap jaring insang permukaan mempunyai kekurangan hanya terjadi pada penggunaan bahan bakar (skor 2) karena pada kapal/perahu yang digunakan hanya menggunakan mesin 25PK bila dibandingkan dengan kapal huhate ( mesin inboard) maupun pancing tonda 40 PK sehingga membutuhkan biaya bahan bakar yang besar.
156
Perangkap/bubu dengan hasil skor 18 dengan nilai tinggi (skor 4) untuk kriteria jumlah hasil tangkapan tidak melebihi TAC, investasi rendah, serta penggunaan bahan bakar rendah (BBM). Pada prinsipnya operasi penangkapan bubu dilakukan hanya pada satu tempat dengan ukuran ikan yang tertangkap relatif tidak terlalu besar dan hasil tangkapannya sedikit. Kriteria investasi rendah karena dapat dibuat dengan biaya yang relatif kecil (
155
maupun besar yang ada di sekitar wilayah pantai. Biaya investasi (skor 2) yang dibutuhkan oleh pukat tarik di perairan Maluku diperkirakan sekitar Rp 1.000.000 sampai Rp 2.000.000.
5.2.7 Aspek ramah lingkungan berdasarkan CCRF Hasil seleksi aspek ramah lingkungan terhadap alat tangkap yang beroperasi di perairan Maluku adalah huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan, rawai, payang, pukat cincin, perangkap, dan bagan. Sedangkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan adalah pukat pantai, pukat tarik, pukat udang. Pancing tonda merupakan alat tangkap yang cukup sempurna (skor 3,55) dalam penilaian terhadap alat tangkap ramah lingkungan karena alat tangkap ini dapat mewakili semua kriteria-kriteria penilaian terhadap aspek ramah lingkungan. Huhate termasuk dalam alat tangkap ramah lingkungan karena alat ini memenuhi kriteria selektifitas tinggi dan produknya tidak membahayakan konsumen (skor 4). Hal ini disebabkan karena alat ini hanya juga menangkap jenis ikan tertentu saja sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan serta produk hasil tangkapan juga tidak membahayakan konsumen. Alat tangkap ini termasuk bersama dengan jenis pancing lainnya seperti pancing tonda, handline, multiple handline yang dikategori sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan Jaring insang permukaan (skor 3,22) merupakan alat tangkap yang sangat ramah lingkungan karena alat ini juga cukup mendukung terhadap aspek ramah lingkungan. Alat ini mempunyai selektivitas yang tinggi dan tidak berpengaruh terhadap nelayan (skor 4). Hal ini disebabkan karena dalam pengoperasiannya alat tangkap ini hanya menangkap ikan yang sesuai dengan ukuran mata jaring yang digunakan. Jaring insang yang dipergunakan adalah berukuran mata 4 sampai 7 inci sehingga hanya untuk menangkap ikan pelagis besar di perairan Maluku. Pukat cincin termasuk alat tangkap yang harus diperhitungkan terhadap penilaian kriteria ramah lingkungan karena alat ini hasil tangkapan berkualitas tinggi (skor 3), tidak membahayakan nelayan (skor 3), produknya tidak membahayakan konsumen (skor 3), serta by catch dan discard minim (skor 3). Produk dari pukat cincin tidak destruktif, by catch rendah serta jenis ikan hasil tangkapan alat ini berupa jenis ikan pelagis kecil (kembung, layang, selar, teri dan
156
lain-lain). Hasil tangkapan dari alat ini mendominasi 60 % semua pasar lokal di daerah Maluku, khususnya kota Ambon. Produk rawai dipastikan aman bagi konsumen, hal ini disebabkan karena dalam pengoperasiannya alat ini tidak menggunakan bahan berbahaya seperti: potasium, bahan peledak untuk memperoleh hasil tangkapan sehingga dapat dikatakan aman bagi konsumen, sedangkan skor 3 untuk kriteria dapat diterima secara sosial di masyarakat karena pengusahaan rawai hanya membutuhkan biaya kecil, menguntungkan, serta tidak bertentangan dengan budaya serta memenuhi peraturan perikanan yang berlaku. Bagan juga memiliki kriteria penilaian tidak destruktif terhadap habitat (skor 3), hasil tangkapan berkualitas tinggi (skor 3), tidak membahayakan nelayan (skor 3), serta produknya tidak membahayakan konsumen (skor 3). Alat tangkap bagan ini dalam pengoperasiannya tidak terlalu berpengaruh terhadap habitat di sekelilingnya karena pengoperasiannya di laut lepas. Hasil tangkapan yang diperoleh cukup berkualitas tinggi dari jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti ikan teri, kembung, layang. Di daerah Maluku khususnya pengoperasian bagan sangat berpengaruh terhadap pengoperasian alat tangkap huhate karena ikan umpan yang diperoleh dari alat tangkap ini dipergunakan sebagai umpan hidup untuk penangkapan ikan cakalang. Harga ikan pelagis kecil yang dipergunakan sebagai ikan umpan untuk penangkapan cakalang sekitar Rp 40.000/ember. Pukat pantai merupakan unit penangkapan yang cenderung merusak lingkungan dibandingkan dengan alat tangkap lainnya di perairan Maluku. Jenis alat tangkap pukat pantai, pukat udang, pukat tarik, merupakan alat tangkap yang cenderung merusak lingkungan dengan skor masing-masing 16. Pukat pantai mempunyai selektifitas yang terendah dan kurang diterima di masyarakat (skor 1). Hal ini disebabkan karena alat tangkap ini mempunyai ukuran mata jaring yang cukup kecil (0,25 inci) tentunya semua jenis ikan dari fase pertumbuhan sampai dewasa akan tertangkap oleh alat ini. Pukat tarik, pukat pantai mempunyai sifat destruktif yang tinggi (skor 1) terhadap habitat karena semua habitat biota laut yang terperangkap dalam alat tangkap ini minimal akan mengalami rusak (jika tidak tertangkap) pada saat jaring ini tidak ditarik.
155
Hasil analisis linear goal programming memperlihatkan terjadi penurunan jumlah alat penangkapan ikan pelagis seperti: pukat cincin, bagan, pukat pantai di perairan Maluku. Hal ini disebabkan karena jumlah ketiga alat tangkap ini tidak memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan sehingga berpengaruh pada keberlanjutan sumberdaya yang ada. Hasil analisis liniear goal programming memperlihatkan terjadi penambahan dan pengurangan terhadap alat tangkap yang menangkap ikan pelagis. Alat tangkap pukat cincin, pukat pantai, dan bagan mengalami penurunan masing-masing: 15, 175, dan 240 unit untuk mencapai alokasi optimal, sedangkan huhate, pancing tonda dan jaring insang mengalami penambahan sebesar 1053 unit, 13469 unit, dan 17339 unit. Implikasi yang terjadi akibat penambahan jumlah alat tangkap di perairan Maluku berpengaruh terhadap potensi sumberdaya ikan, jumlah tenaga kerja, sedangkan implikasi akibat pengurangan jumlah alat tangkap dilakukan mengingat jenis alat-alat tangkap ini dalam pengoperasiannya tidak mengikuti aturan-aturan sesuai dengan kriteria penangkapan ikan berkelanjutan yang telah ditetapkan.
Dalam
perspektif
pengelolaan
sumberdaya
berkelanjutan,
pengurangan terhadap jumlah alat tangkap adalah sangat efektif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan perbaikan teknologi tepat guna dari masing-masing alat tangkap sehingga keberadaan stok sumberdaya yang ada dapat berkelanjutan dengan mengikuti aturan yang berlaku. Perbaikan teknologi tepat guna yang dilakukan ini didasarkan pada keberlanjutan usaha yang dilakukan seperti: 1) menangkap ikan dengan ukuran jaring yang sesuai, 2) tidak merusak ekosistim perairan, 3) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, 4) penggunaan teknologi penangkapan sesuai jenis ikan yang ditangkap, 5) serta dapat diterima secara sosial. Hasil analisis goal programming tidak merekomendasikan pukat cincin untuk dikembangkan berdasarkan solusi optimal basis, sehingga perlu pengurangan jumlah armada sebanyak 15 unit dari jumlah alokasi aktual (272 unit). Hal ini dilakukan karena alat tangkap ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya perikanan dan pada kondisi ini perlu perhatian serius dari
stakeholder sehingga potensi sumberdaya tersebut dapat dikelola secara
156
optimal. Pengurangan jumlah pukat cincin ini perlu dilakukan dengan memperhatikan perubahan kapasitas perikanan pelagis kecil di perairan Maluku. Pada kondisi access capacity yang bersifat jangka pendek, unit penangkapan tersebut secara individual tidak menerapkan prinsip penangkapan berwawasan lingkungan, akan tetapi nelayan ingin memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya dalam penangkapan ikan tanpa memperhatikan stok ikan yang ada. Disisi lain walaupun terjadi pengurangan jumlah alat tangkap, namun diusulkan solusi untuk pengembangan untuk alat tangkap ini berupa desain teknologi tepat guna yang dapat memabntu nelayan dalam mengelola sumberdaya antara lain: 1) perubahan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 2) ukuran kapal diperbesar, 3) serta penggunaan “winch” sebagai alat bantu penangkapan. Perubahan ini dilakukan sehingga sumberdaya dapat dikelola secara optimal mengingat selama ini nelayan pukat cincin Hasil analisis juga menunjukkan terjadi pengurangan terhadap jumlah alat tangkap pukat pantai sebesar 175 unit dari jumlah aktual 435 unit. Pengurangan terhadap alat tangkap ini dilakukan karena alat ini merupakan alat tangkap yang tidak efektif dan efisien mengingat alat ini merusak sumberdaya yang ada. Solusi yang diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan “boouke ami”. “Boouke ami” adalah jenis alat tangkap yang menggunakan sumber cahaya untuk mengumpulkan ikan umpan dan digunakan pada pengoperasian alat tangkap huhate. Alat tangkap ini dapat dipakai pada kapal huhate sehingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pukat pantai dapat terhindari. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan terhadap jumlah alat tangkap bagan sebanyak 240 unit dari hasil analisis berdasarkan solusi optimal basis (1659 unit) adalah sangat efektif dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di perairan Maluku. Solusi yang diperlukan untuk mengurangi tekanan sumberdaya adalah dengan menempatkan bagan pada jalur-jalur yang telah ditetapkan oleh instansi terkait. Kebijakan pengurangan terhadap alat tangkap bagan dilakukan sangat perlu dilakukan karena selama ini nelayan bagan dalam penempatan alat ini dilakukan pada daerahdaerah yang mengganggu alur pelayaran. Kebijakan yang dilakukan terhadap pengurangan jumlah armada dapat menimbulkan dampak bagi nelayan dan harus
155
mendapat perhatian serius, ditinjau dari aspek sosial dan tenaga kerja, dimana sebagian nelayan bagan akan kehilangan pekerjaan. Apabila terjadi pengurangan jumlah nelayan terhadap alat tangkap tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap untuk mencegah terjadinya konflik nelayan. Disamping itu, perlu penanganan yang lebih serius oleh instansi terkait dalam penyediaan lapangan pekerjaan alternatif yang efektif bagi nelayan yang bersedia meninggalkan alat tangkap tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan jumlah alat tangkap huhate sebanyak 1053 unit dari kondisi aktual 404 unit sehingga untuk mencapai hasil berdasarkan solusi optimal basis sebanyak 1457 unit. Solusi yang dilakukan terhadap pengembangan alat tangkap huhate ke depan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap dan perbaikan desain teknologi alat tangkap dan kapal, serta perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Perbaikan teknologi penangkapan ikan seharusnya sudah dimulai dari sekarang sehingga produk yang dihasilkan dapat di eksport keluar negeri. Pengembangan alat tangkap ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor pendukung dalam pengelolaan sumberdaya perikanan seperti: 1) ukuran kapal diperbesar, 2) perbaikan desain palka dengan penambahan styrofoam pada dinding palka, 3) serta perubahan teknologi penangkapan. Perubahan terhadap alat tangkap ini dilakukan sehingga dapat mengelola sumberdaya ikan pelagis besar secara efektif dan berkesinambungan. Beberapa pertimbangan untuk mengembangkan alat tangkap huhate berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan, antara lain: 1) sumberdaya ikan pelagis kecil cukup potensial, 2) teknologi penangkapan lebih baik dikuasai oleh nelayan lokal, 3) armada dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh dari basis penangkapan, 4) lebih produktif, 5) penyerapan tenaga kerja lebih besar. Solusi yang dilakukan mengingat pengembangan alat tangkap ini sangat efektif dilakukan bila ditinjau dari faktor lingkungan dan aspek sumberdaya, karena pada prinsipnya ikan yang tertangkap dengan alat ini sangat efektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan data lapangan di lokasi sampel, ukuran mata kail yang digunakan nelayan berukuran 1000 terutama dilakukan khusus untuk menangkap ikan pelagis besar.
156
Kebijakan penambahan berdasarkan hasil analisis terhadap alat pancing tonda sebanyak 13469 unit dari alokasi aktual 27471 unit untuk mencapai solusi optimal basis 40940 unit. Hal ini perlu dilakukan karena alat ini merupakan jenis alat tangkap yang mempunyai selektifitas tinggi, menghasilkan ikan berkualitas tinggi, tidak merusak habitat, serta menguntungkan. Beberapa solusi yang dilakukan terhadap alat ini adalah dengan perbaikan teknologi dalam proses penangkapan seperti: 1) penggunaan metode “layang-layang” dalam penangkapan ikan, 2) perbaikan desain cool box yaitu dengan penggunaan styrofoam, 3) perbaikan ukuran kapal (ukuran kapal di perbesar). Hal ini perlu dilakukan karena akhir-akhir ini semakin banyak permintaan akan ikan pelagis besar di pasaran domestik maupun internasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi penambahan jumlah alat tangkap jaring insang permukaan di perairan Maluku sebesar 17339 unit dari kondisi aktual 12661 untuk mencapai solusi aktual basis sebanyak 30000 unit. Pengembangan alat tangkap ini perlu dilakukan mengingat alat tangkap ini merupakan salah satu diantara alat tangkap ikan pelagis besar yang tidak merusak lingkungan. Kebijakan penambahan ini dilakukan agar dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Ditinjau dari aspek kelestarian sumberdaya, ikan yang tertangkap dengan alat tangkap jaring insang permukaan sangat selektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran mata jaring yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan pelagis besar adalah 4 sampai 7 inchi, terutama untuk menangkap ikan cakalang, ikan tongkol, serta ikan tuna. Namun, tingkat penyerapan tenaga kerja nelayan dan produktifitas pada alat tangkap ini tergolong rendah. Solusi pengembangan jaring insang permukaan ke-depan dapat dilakukan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap, perbaikan desain kapal, perbaikan teknologi alat tangkap yang produktif, dan perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan pelagis di perairan Maluku memerlukan suatu kondisi pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dan berkesinambungan dari berbagai stakeholder, karena posisi perairan tersebut bersinggungan langsung dan mencakup hampir seluruh wilayah administratif
155
kabupaten/kota di Maluku. Dalam rangka pengembangan potensi sumberdaya ikan ke depan, dengan terinspirasi oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap pemerintah kabupaten/kota cenderung menentukan sendiri besar potensi sumberdaya ikan sesuai dengan luas wilayah administrasinya. Jumlah potensi kemudian digunakan sebagai dasar alokasi unit penangkapan ikan, tanpa memperhatikan sifat sumberdaya ikan yang beruaya dari suatu perairan ke perairan lainnya sehingga sulit untuk menentukan hak kepemilikannya. Penambahan unit penangkapan dapat dilakukan dengan memperbesar armada penangkapan dan perluasan daerah penangkapan ikan. Armada penangkapan yang lebih besar dibutuhkan agar dapat menjangkau daerah penangkapan ikan di luar zona pantai, karena selama ini daerah penangkapan ikan terbatas hanya pada daerah pantai. Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa sifat eksludabilitas sumberdaya ikan yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu menjadi semakin sulit karena sifat sumberdaya ikan yang bergerak luas di laut. Kesulitan pengendalian dan pengawasan tersebut menimbulkan kebebasan pemanfaatan oleh siapa saja yang ingin masuk ke dalam industri perikanan tangkap. Kebebasan
pemanfaatan
dan
kesulitan
pengawasan
terhadap
unit
penangkapan yang mengelola sumberdaya perikanan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) pelagis kecil maupun besar secara terpadu oleh kabupaten/kota yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya di perairan Maluku. RPP tersebut diharapkan akan memberikan arah yang jelas, terorganisir sehingga keberlanjutan pengelolaan sumberdaya dapat dimanfaatkan. Penyususan RPP seharusnya melibatkan pemerintah, masyarakat dan swasta dalam mengelola sumberdaya. Keterlibatan seluruh stakeholder dalam proses penyusunan dengan sendirinya
mendorong
proses
peningkatan
“rasa
memiliki”
secara
bertanggungjawab untuk mengelola sumberdaya ikan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan (Martosubroto 2007). Pembangunan perikanan di Maluku pada dasarnya mengacu pada kebijakan perikanan nasional tahun 2005 sampai 2009 dengan inti kebijakan tersebut adalah: 1) menjadikan perikanan tangkap sebagai andalan perekonomian dengan
156
membangkitkan industri perikanan nasional, 2) rasionalisasi, nasionalisasi, dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dan keberpihakan pada nelayan lokal maupun perusahan nasional, 3) mendorong Pemerintah Daerah untuk lebih proaktif dalam mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkelanjutan. Intinya pada tingkat provinsi, kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan dan perikanan adalah termanfaatkan potensi secara optimal. Sasaran tersebut dijabarkan dalam program pembangunan yang dikembangkan sesuai tujuan pembangunan perikanan di Maluku. Perkembangan
teknik
penangkapan
modern,
terutama
semenjak
diperkenalkannya motorisasi (modernisasi perikanan) telah membagi formasi sosial nelayan menjadi dua kategori yaitu nelayan tradisional dan nelayan modern. Berdasarkan teknik dan alat penangkapan nelayan tradisional adalah nelayan yang masih mempertahankan cara penangkapannya dengan menggunakan kapal tanpa motor (KTM), tanpa inovasi teknologi, tanpa dukungan modal yang kuat, tanpa kelembagaan usaha yang efektif, cenderung bersifat subsistem, dan secara geneologi telah menekuni aktifitas tersebut secara turun temurun. Berbeda halnya dengan nelayan modern, teknik penangkapannya mengadopsi perkembangan teknologi, seperti kapal motor hingga ke teknologi citra satelit. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan adanya transformasi teknologi dan inovasi baru dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional. Hal tersebut merupakan syarat penting yang harus dipenuhi dalam rangka penciptaan perbaikan tingkat output dan produktifitas hasil tangkapan. Kenyataan yang ada sekarang adalah bahwa nelayan tradisional dengan teknologi dan kapasitas unit penangkapan yang masih rendah menyebabkan mereka hanya terkonsentrasi pada daerah penangkapan di sekitar pantai dimana potensi sumberdaya ikan di wilayah tersebut semakin menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan yang dilakukan, namun demikian transformasi teknologi dan inovasi baru harus juga diimbangi dengan perubahan yang mempengaruhi seluruh struktur sosial, politik dan kelembagaan masyarakat nelayan sehingga tanpa adanya perubahan tersebut maka modernisasi dan peningkatan kapasitas penangkapan menjadi kontraproduktif.
155
Pemilihan jenis dan bentuk introduksi teknologi juga perlu mempertimbangkan kondisi tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan karena introduksi teknologi di samping dapat memberikan dampak positif terhadap produktifitas, tetapi terkadang memberikan dampak negatif karena penggunaan teknologi maju memberikan peluang tergesernya peran tenaga kerja manusia dalam proses produksi tersebut. Apabila tingkat pengangguran begitu tinggi, maka alternatif teknologi tepat guna dan padat karya mungkin dapat menjadi alternatif, tetapi apabila tingkat pengangguran tergolong rendah, maka pengenalan teknologi yang lebih efisien dapat menjadi pertimbangan. Teknologi yang relefan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan yaitu berupa memperbesar armada penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif.
5.3 Kendala pengembangan perikanan tangkap di perairan Maluku Pengembangan
teknologi
alat
penangkapan
ikan
dalam
rangka
pemberdayaan masyarakat nelayan di perairan Maluku menghadapi beberapa kendala yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah, antara lain: (1)
Pendidikan Eksistensi sumberdaya manusia (SDM) dalam pengelolaan perikanan tidak
dapat diabaikan. SDM memiliki multiflyer effect yang besar terhadap berbagai bidang dalam praktek kehidupan manusia berupa sikap, mental, manajerial dan keterampilan, sehingga kualitas SDM sangat menentukan dan memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan pembangunan perikanan di daerah tersebut. Pada tahun 2006 jumlah nelayan di Provinsi Maluku berjumlah 114.630 orang dengan struktur pendidikan yang beragam, yang paling dominan adalah tamatan Sekolah Dasar bahkan banyak nelayan juga yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Dampak dari struktur pendidikan yang demikian adalah pada tingkat kemampuan nelayan untuk menerima teknologi baru, apalagi sampai tingkat teknologi modern selain itu juga mempengaruhi kemampuan dalam mengatur pendapatan sehingga nelayan terus terbelenggu dalam kemiskinan secara permanen khususnya kemiskinan struktural.
156
Konsekuensi
lain
rendahnya
tingkat
pendidikan
nelayan
adalah
menyebabkan rendahnya pengetahuan nelayan tentang pelestarian lingkungan pesisir dan laut, sehingga kadang-kadang berperilaku negatif dan tidak bertanggung jawab. Hal ini demikian kemudian menyebabkan kerusakan terus meningkat. Pendidikan pada hakekatnya merupakan human investment dan sosial capital bagi kepentingan pembangunan di daerah. Pengembangan SDM seharusnya sudah dimulai dari sekarang serta dijadikan sebagai program utama pemerintah. Sebagaimana yang diamanatkan dalam CCRF tentang pentingnya peningkatan SDM bahwa setiap negara harus mengakui dan menyadari bahwa nelayan dan pembudidaya patut mendapatkan pemahaman yang benar tentang konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan (Nikijuluw 2002). Peningkatan kualitas SDM nelayan dapat dilakukan melalui tiga hal utama, yaitu 1) peningkatan kualitas sumberdaya anak buah kapal (ABK); 2) pemberian pelatihan teknologi dan pengelolaan usaha perikanan skala kecil dan menengah; 3) pemberian intensif modal usaha bagi kegiatan perikanan rakyat yang prospek lebih baik (Dahuri 2001). (2)
Teknologi penangkapan Pemanfaatan sumberdaya ikan pada tingkat optimum dibutuhkan dukungan
teknologi penangkapan yang modern, akan tetapi teknologi penangkapan yang digunakan di perairan Maluku masih bersifat turun temurun dan dalam operasi penangkapan lebih dominan menggunakan insting, sehingga produktifitas hasil tangkapan sangat terbatas. Operasi armada penangkapan terjauh yang dilakukan di perairan Maluku pada jarak >10 mil kearah laut itupun masih dilakukan oleh armada huhate, pukat cincin, serta pancing tonda dengan jumlah sangat terbatas. Peningkatan hasil tangkapan dilakukan dengan perbaikan teknologi sehingga mampu menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh. Beberapa teknologi yang dapat membantu dalam pengoperasian alat tangkap pukat cincin seperti penggunaan alat bantu wings sebagai alat penarik tali kolor pada pukat cincin. Penggunaan desain cool box pada kapal pancing tonda dan desain palka dengan penambahan styrofoam pada kapal huhate sangat membantu nelayan dalam penanganan hasil tangkapan karena belakangan ini permintaan ikan ekspor semakin besar. Demikian pula teknologi sederhana lain yang dapat dikembangkan
155
pada alat tangkap pancing tonda, adalah penggunaan layang-layang dalam proses penangkapan ikan tuna. Hal ini sangat membantu nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap tersebut karena dengan menggunakan metode ini lebih efektif karena tidak terpengaruh oleh suara bising yang diakibatkan oleh mesin pendorong. (3)
Pelabuhan perikanan Fasilitas perikanan pada prinsipnya berperan sebagai fasilitas penunjang
untuk
meningkatkan
produksi
perikanan.
Pendukung
kegiatan
operasi
penangkapan ikan keberadaannya sangat penting dalam mendukung usaha perikanan tangkap. Fungsi
dari pelabuhan perikanan
maupun pangkalan
pendaratan ikan (PPI) diantaranya sebagai tempat mendaratkan hasil tangkapan serta tempat berlabuhnya armada penangkapan ikan. Bila ditinjau dari faktor geografis maka keberadaan PPN di Tantui serta PPI di desa Eri di Kota Ambon memiliki arti yang strategis karena berada di zona pemukiman masyarakat pantai serta aktifitas perdagangan yang merupakan bagian dari perkembangan desa. (4)
Ketersediaan bahan bakar minyak Bahan bakar minyak (BBM) merupakan input produksi yang sangat vital
bagi nelayan baik skala kecil maupun skala industri yang ada pada suatu daerah. Ketergantungan nelayan terhadap ketersediaan BBM sangat tinggi, hal ini dapat dipahami oleh adanya kenyataan bahwa biaya operasional melaut terbebani oleh kebutuhan BBM. Kebutuhan BBM di perairan Maluku selama ini dipasok dari Depot Pertamina Waiyame serta SPBU di Kota Ambon. Jarak yang ditempuh angkutan BBM sampai ke desa-desa pesisir di pulau Ambon cukup jauh mengakibatkan harga jual BBM jauh melebihi harga eceran resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebanyakan tidak memiliki uang tunai untuk membeli BBM langsung di SPBU, sehingga mereka membeli dan meminjamkan uang dari dari para punggawa dengan harga Rp 5000 sampai Rp 5.500/liter. Harga yang sudah berlaku ini makin diperparah dengan kenaikan harga BBM sehingga dapat mempengaruhi nelayan dalam mengelola usaha pada bidang perikanan tangkap. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan campur tangan pihak pemerintah dalam menangani masalah yang dihadapi oleh nelayan, yaitu dengan solusi
156
pembangunan depot minyak pada desa yang masyarakatnya didominasi oleh nelayan.
5.4
Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis di Maluku Perumusan strategi pengembangan perikanan pelagis didasarkan pada
pendekatan analisis lingkungan strategis (LINSTRA) yang meliputi: kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan ancaman (threats). Analisis LINSTRA pengembangan perikanan pelagis
mengacu pada logika
bahwa institusi atau organisasi yang berwenang bertanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya serta selalu berada dalam satu sistem yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain sehingga untuk menghasilkan rencana pengelolaan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan maka perlu mengenali dan menguasai informasi lingkungan strategi berdasarkan analisis (LAN-RI 2007). Analisis tersebut bermanfaat untuk mendeteksi perubahan dan peristiwa penting dalam pengelolaan, merumuskan tantangan dan peluang akibat perubahan, menghasilkan informasi tentang orientasi masa depan, dan merekomendasikan kegiatan yang dibuat organisasi. Hasil kajian berdasarkan analisis LINSTRA dapat memberikan beberapa alternatif kebijakan yang dapat digunakan sebagai acuan pengembangan perikanan pelagis di daerah Maluku. Bertolak pada matrik keterkaitan faktor internal, eksternal dan hasil analisis SWOT, maka dapat ditentukan strategi dan kebijakan pengembangan perikanan tangkap khususnya ikan pelagis di Provinsi Maluku, antara lain: 1. Strategi strength-opportunity (SO), menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada menempati urutan pertama dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan penambahan armada kapal ikan bertujuan untuk mengupayakan optimalisasi pengembangan usaha perikanan tangkap, khususnya untuk ikan pelagis besar. Penambahan armada huhate sebanyak 1053 unit, pancing tonda 13459 unit, dan jaring insang 17339 unit.
155
Penambahan jumlah armada ini tentunya di sesuaikan dengan kondisi sumberdaya perikanan di daerah ini, sedangkan perubahan teknologi pada alat tangkap ini tentunya diharapkan untuk menambah income bagi nelayan sehingga dalam pengelolaan sumberdaya diharapkan dapat optimal. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar
lokal, maupun regional, yang didukung dengan
produksi sumberdaya ikan pelagis di Maluku yang tinggi dan dibarengi dengan adanya dukungan nelayan skala kecil yang tersedia cukup banyak serta tersedianya alat tangkap, umpan dan alat pengumpul ikan (rumpon). Kebijakan 2: Penerapan CCRF perlu segera dilaksanakan sehingga SDI tetap lestari Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) atau ketentuan perikanan yang bertanggungjawab diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk melaksanakan perikanan secara bertanggungjawab. Pedoman teknis ini akan memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin pengusahaan yang lestari dan berkelanjutan menyangkut sumberdaya hayati akuatik yang selaras dan serasi dengan lingkungan. Pedoman ini juga ditujukkan terutama bagi para pengambil keputusan didalam otoritas pengelolaan perikanan dan kelompok yang berkepentingan, termasuk perusahan perikanan, organisasi nelayan, organisasi non pemerintah yang peduli dan lainlainnya. Adanya eksploitasi yang berlebihan stok ikan penting, modifikasi ekosisitim, kerugian ekonomi yang nyata dan persengketaan internasional mengenai pengelolaan dan perdagangan ikan telah mengancam konversi jangka panjang perikanan dan kontribusi perikanan terhadap suplai pangan. 2 Strategi strength-threats (ST) yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menghindari ancaman merupakan prioritas kedua dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Melakukan aturan sesuai dengan batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon Kebijakan dalam menerapkan aturan batas wilayah penangkapan dan aturan pemasangan rumpon yang sesuai untuk perikanan skala kecil (pelagis kecil) bertujuan untuk mengupayakan kepemilikkan wilayah dari nelayan pelagis kecil
156
yang melakukan penangkapan pada wilayahnya, yaitu menetapkan hak kepemilikan dari nelayan skala kecil pada alat pengumpul ikan (rumpon) yang dipasang pada suatu perairan. Hal ini perlu karena harus disesuaikan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. Kep.30/Men/2004 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon. Untuk menerapkan kebijakan ini dapat dilakukan dengan mengurangi kelemahan dan mengeliminasi ancaman dan menghasilkan kebijakan antara keterkaitan pengelolaan usaha perikanan yang masih rendah dengan batas-batas daerah penangkapan yang belum diterapkan. Perijinan pemasangan rumpon harus disesuaikan dengan aturan Pasal 3 Kep. 30/Men/2004 yang menyatakan bahwa ijin diberikan oleh: 1) Bupati/Walikota untuk pemasangan rumpon di wilayah perairan 2 sampai 4 mil laut, 2) Gubernur atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang perikanan untuk pemasangan rumpon pada 4 mil – 12 mil laut, dan 3) Direktorat Jenderal atau Pejabat yang ditunjuk diatas 12 mil sampai ZEE Indonesia. Output yang diharapkan adalah pemasangan dan pemanfaatan rumpon sesuai dengan Kep 30/Men/2004 dengan harapan pemasangan diperairan Maluku harus teratur, tertata dan terdata dengan baik, pemasangan rumpon memberikan dampak efektifitas khususnya nelayan kecil, kepastian penangkapan sehingga menurunkan biaya operasional sehingga keuntungan meningkat. Penerapan kebijakan ini ditujukkan kepada nelayan yang memiliki perizinan dan diberikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, sehingga penambahan alat pengumpul ikan dan penangkapan ikan hanya ditujukkan kepada nelayan pemilik alat tangkap dan alat pengumpul ikan saja. Ini dilakukan agar nelayan-nelayan yang tidak memiliki izin penangkapan di daerah tersebut tidak melakukan penangkapan. Selain itu juga penerapan kebijakan ini dilakukan untuk mencegah konflik yang diakibatkan oleh perebutan penguasaan daerah penangkapan (fishing ground) yang merupakan sumber konflik antar nelayan. Dalam pemasangan rumpon harus disesuaikan dengan Pasal 10. Kep/Men/ 2004 tentang posisi penempatan rumpon. Penempatan rumpon harus mengikuti aturan yang mengatakan bahwa orang atau perusahan perikanan dalam pemasangan rumpon harus dengan syarat: 1) tidak mengganggu alur pelayaran, 2) jarak antara satu rumpon dengan rumpon lain tidak kurang dari 10 mil laut, 3)
155
tidak dipasang dengan cara pemasangan yang mengakibatkan efek pagar (zigzag); 4) ketentuan teknik pemasangan pemasangan rumpon selanjutnya harus ditetapkan oleh Direktorat Jenderal. Kebijakan 2: Memaksimalkan galangan kapal perikanan sebagai sarana pengembangan armada perikanan tangkap Didalam era perdagangan bebas ini dimana terjadi persaingan yang cukup tinggi, maju mundurnya suatu industri manufaktur seperti industri galangan kapal ikan sangat ditentukan oleh produk atau kapal ikan yang dihasilkannya baik dari segi kualitas, harga maupun waktu penyerahan kapal, tanpa memenuhi ketiga kriteria tersebut pihak perusahan akan sulit survive atau berkembang. Demikian pula dialami oleh industri perkapalan nasional, meskipun didalam proses pembuatan kapal sekarang ini tidak kalah dengan industri perkapalan dari luar negeri, akan tetapi menurut para pemakai (domestik) selama ini kapal yang dibuatnya terkesan harganya cukup tinggi dan delivery time sering terlambat, belum lagi masalah bahan baku pembuatan kapal ikan. Berdasarkan hasil pemantauan ke galangan kapal di Maluku, khususnya di Tulehu dan beberapa tempat lain bersifat tradisional, terlihat kesan belum profesional dan salah satu penyebabnya adalah kegiatan pengelolaannya belum berjalan dengan baik terutama dalam hal pengawasan, baik dalam proses pengadaan barang dan material, penerimaan, penyimpanan, pengamanan maupun cara mendistribusi ke bengkel-bengkel produksi. Kurang baiknya pengelolaan persediaan peralatan pada galangan kapal tradisional memang perlu dimaklumi, karena sebagian besar dari galangan tersebut dalam pengelolaannya belum menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern secara baik. Dengan kondisi seperti itu tentu akan memberikan dampak negatif terhadap galangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan sulitnya mendapat pesanan, padahal kontinyutas pesanan tersebut sangat menentukan maju-mundurnya galangan kapal tersebut terutama untuk kapal perikanan. 3 Strategi prioritas ketiga adalah strategi weakness-opportunity (WO), yaitu memanfaatkan peluang yang dimiliki untuk mengatasi kelemahan yang ada dengan kebijakannya antara lain:
156
Kebijakan 1: Investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil Penguatan struktur industri pengolahan perikanan adalah peningkatan kerja sama kemitraan antar nelayan dengan industri perikanan tuna dan industri terkait melalui prinsip bisnis yang saling menguntungkan dengan dukungan dan fasilitas pemerintah, dengan mengembangkan kewajiban antar pihak dimana aktor utamanya adalah masuknya investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan skala kecil. Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu pertama Industri : menjamin membeli ikan nelayan terutama ikan tuna sesuai dengan dengan standar mutu yang ditetapkan dan diketahui nelayan, membayar dengan harga kesepakatan menurut pasar, jenis-ukuran-mutu, dan jumlah kontrak, melakukan perluasan gudang penyimpanan/cold storage, melakukan pembinaan penanganan mutu pasca tangkap dan transportasi, serta membantu mengupayakan peningkatan modal kerja agar pasokan dapat meningkat baik jumlah, maupun mutu; kedua Nelayan : melakukan penguatan kelembagaan profesi/ekonomi, meningkatkan dan menjaga mutu hasil tangkapan, meningkatkan jenis dan kualitas alat tangkap sesuai dengan target ikan yang akan ditangkap yaitu tuna dan cakalang, menjamin jumlah pasokan yang rutin, serta menjaga hubungan bisnis yang konsisten, dan yang terakhir; Peran Pemerintah : pemerintah pusat dan daerah memiliki peran menciptakan dan menjaga hubungan bisnis antara nelayan dengan industri pengolahan ikan dan meningkatkan mutui sumberdaya manusia pelaku bisnis perikanan, pemberdayaan lembaga bisnis perikanan terkait dan bisnis perikanan. Kebijakan investasi dari luar untuk peningkatan usaha perikanan pelagis bertujuan untuk lebih memajukkan usaha perikanan tangkap. Dengan adanya investor dari luar tersebut, terutama investasi dari pihak swasta, yang selama ini kurang
memperhatikan
nelayan
di
Maluku,
maka
diharapkan
mampu
meningkatkan usaha perikanan yang dijalankan oleh nelayan di Maluku. Untuk lebih menggairahkan pangsa pasar ikan pelagis, diharapkan kita dapat memperkecil kelemahan yang ada, terutama kelemahan pada modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap, pendapatan nelayan dan pembagian hasil usaha yang selama ini tidak merata pada nelayan, dikaitkan dengan peluang yang ada pada
155
permintaan pasar lokal dan regional serta peningkatan armada kapal ikan. Investasi dari luar ini diharapkan untuk penambahan modal kepada nelayan untuk menangkap ikan, karena selama ini modal yang dimiliki berasal dari nelayan itu sendiri. Adapun pemberian modal dapat disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD) kepada kelompok nelayan yang ada di daerah yang menjadi tujuan investasi. Kebijakan 2: Menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna untuk menjaga mutu ikan Pengadaan cold storage ditujukkan untuk menampung ikan-ikan yang tertangkap pada saat musim penangkapan terutama di daerah Waai, Seri, dan Galala yang mempunyai alat jumlah armada penangkapan pukat cincin, pancing tonda, huhate yang cukup besar. Kebijakan dalam menyediakan cold storage dan pengadaan teknologi tepat guna pada armada penangkapan ikan di perairan, untuk menjaga mutu ikan pelagis, bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan yang selama ini hanya tertumpu pada penjualan ikan segar. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kelemahan modal usaha (biaya) pengadaan alat tangkap oleh nelayan dengan memanfaatkan peluang dalam pengadaan cold storage dan kapal penampung hasil tangkapan. Pengadaan cold storage juga dimaksudkan agar ikan yang tertangkap tersebut selain dapat dipasarkan di pasaran lokal, juga dapat dipasarkan keluar daerah (dalam lingkup regional), dan dapat diekspor ke luar negeri untuk ikan pelagis besar khususnya ikan cakalang dan tuna. Hal ini perlu ditindaklanjuti sehingga hasil tangkapan ikan pelagis yang dipasarkan akan meningkatkan kesejahteraan nelayan disamping menambah devisa bagi daerah maupun negara. 4 Strategi kebijakan prioritas terakhir adalah strategi weakness-threats (WT), yaitu kebijakan yang dilakukan untuk meminimalkan kelemahan yang dimiliki dan menghindari berbagai ancaman dengan kebijakannya antara lain: Kebijakan 1: Menerapkan adanya basic design kepada armada kapal perikanan yang akan dibangun sekaligus desain alat tangkap Kajian basic design kapal perikanan adalah suatu pekerjaan untuk merancang kapal-kapal penangkapan ikan. Untuk merancang ”basic design” kapal
156
penangkapan ikan sehingga memperoleh hasil maksimal diharapkan mengacu pada dua hal dasar yang penting yaitu laik laut dan layak tangkap. Untuk membuat atau merancang kapal agar laik laut dapat mengacu pada prinsip-prinsip perancangan suatu kapal sesuai dengan kaidah perancangan kapal. Kapal dapat laik tangkap, harus mengacu pada ilmu-ilmu perikanan khususnya teknologi penangkapan yang akan diterapkan, terlebih dahulu diketahui jenis ikan yang akan menjadi target penangkapan, mengetahui sifat biologis ikan, sifat migrasi, habitat serta fishing ground dimana ikan itu akan ditangkap. Penerapan teknologi, penggunaan dan penentuan jenis serta ukuran alat tangkap ikan sangat berpengaruh terhadap rancang bangun kapal yang akan digunakan. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa jenis dan ukuran alat tangkap serta teknologi yang akan diterapkan pada saat pengopersian alat tangkap akan berpengaruh langsung kepada rancangan ”basic design” kapal penangkapan ikan. Kebijakan 2: Menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan selektifitas alat tangkap Kebijakan menerapkan ukuran mata jaring sesuai dengan ukuran tubuh ikan bertujuan
untuk
lebih
mengoptimalkan
penangkapan
dengan
lebih
memperhatikan ukuran minimal mata jaring agar ikan hasil tangkapan sesuai dengan ukuran panjang standar ikan, sehingga ikan yang tertangkap merupakan ikan yang telah melewati ukuran pertumbuhan. Kebijakan ini sangat diperlukan untuk tetap mempertahankan keberadaan sumberdaya ikan di perairan Maluku, agar tidak terjadi kelebihan tangkap dalam masa proses pertumbuhan (growth over fishing). Pembangunan sektor perikanan juga tidak terlepas dari dukungan dan keterkaitannya dengan sektor lain. Salah satu infrastuktur yang terkait dengan pengembangan perikanan khususnya perikanan laut adalah Pelabuhan Perikanan (PP), Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dengan berbagai sarana dan prasarana pendukungnya.
Fungsi
pokok
PP/PPI
dalam
dukungannya
terhadap
pengembangan perikanan tangkap diantaranya adalah: (1)
Penyediaan fasilitas distribusi dan pemasaran (dermaga, Tempat Pelelangan Ikan)
155
(2)
Penyediaan fasilitas pengolahan/penanganan pasca panen (cold storage, cool room, kawasan industri perikanan seperti industri pengalengan, industri tepung ikan)
(3)
Penyediaan fasilitas perbekalan melaut (BBM, air bersih, pabrik es/ice storage)
(4)
Penyediaan fasilitas perbaikan unit penangkapan (docking, perbengkelan, perbaikan jaring). Penyediaan infrastuktur tersebut harus terintegrasi dengan kegiatan
penangkapan ikan dan pengolahan dalam arti harus memberikan dukungan yang signifikan terhadap peningkatan output produksi perikanan baik secara kuantitas maupun kualitas. Di samping itu, pembangunan infrastuktur perikanan juga harus diintegrasikan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah dimana aktifitas perikanan tersebut berada. Hal ini dimaksudkan di samping untuk mengoptimalkan kontribusinya terhadap pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat, juga untuk menghindari adanya konflik kepentingan akibat penggunaan lahan oleh berbagai kegiatan dan adanya kepastian berusaha. Dalam merumuskan kebijakan ini strategi yang memiliki mempunyai hubungan yang erat antara kekuatan produksi sumberdaya ikan pelagis dan adanya dukungan nelayan skala kecil di Maluku dengan ancaman dari selektifitas alat tangkap yang belum diterapkan dan terjadinya over fishing pada ikan pelagis kecil. Upaya untuk mencapai manfaat maksimum jangka panjang dapat dilakukan apabila sumberdaya ikan dapat dilakukan secara optimal. Optimalisasi penangkapan ikan di perairan Maluku dapat dilakukan bilamana nelayan dan alat penangkapan ikan di perairan ini juga dalam kondisi jumlah optimal. Dari kedelapan strategi yang telah dikemukakan dapat dikatakan bahwa arahan strategi ini jika dapat kita capai dan diwujudkan demi pengembangan perikanan pelagis di Maluku maka pendapatan, kesejahteraan serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan meningkat. Mengutip pendapat Nielsen (1996) yang diacu dalam Satria et al (2002), perlu adanya perspektif co-management sebagai sebuah kelembagaan yang merupakan proses untuk mengintegrasikan dan merelokasikan tanggung jawab manajemen dan kompetensi (kekuatan hukum) diantara pelaku dengan jalan
156
membagi biaya perumusan dan implementasi regulasi kepada kelompok pengguna (user). Selain strategi dan kebijakan yang disampaikan diatas, Satria et al (2002) juga
mengedepankan
program-program
alternatif
yang
berusaha
untuk
mengurangi kemiskinan dalam masyarakat nelayan antara lain: (1) Perbaikan kapal dan alat penangkapan (2) Perbaikan pemasaran dan teknologi pasca-panen (3) Subsidi kepada nelayan (4) Pembentukan koperasi atau organisasi lainnya (5) Pengembangan sumber pendapatan alternatif. Adapun empat alternatif pertama diciptakan untuk mecapai sasaran, yaitu: (1) Meningkatkan produktifitas nelayan (kuantitas penangkapan) (2) Meningkatkan harga yang diterima oleh nelayan (3) Menekan biaya yang harus ditanggung para nelayan. 5.4.1 Kriteria dan sasaran pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Berdasarkan hasil analisis terhadap kriteria dan sasaran pengembangan perikanan tangkap dengan mempertimbangkan kondisi perikanan tangkap di perairan Maluku, maka kriteria model pengembangan perikanan pelagis di daerah ini adalah: 1) nelayan (NLY), 2) pengusaha perikanan tangkap (PPT), 3) selektifitas alat tangkap (SAT), 4) produktifitas alat tangkap (PTK), 5) pendapatan asli daerah (PAD), dan 6) penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Gambar 59 memperlihatkan posisi kriteria-kriteria
tersebut pada tingkat II dan juga
ditunjukkan hasil analisis kepentingan setiap kriteria setelah diolah dengan program AHP.
155
MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU
Tingkat 1 FOKUS
Tingkat 2 AKTOR
Tingkat 3 FAKTOR
Nelayan
Potensi Sumberdaya
Tingkat 4 ALTERNATIF TUJUAN
Pengusaha Perikanan Tangkap
Potensi Teknologi
Huhate
Selektifitas Alat Tangkap
Penyerapan Tenaga Kerja
Pendapatan Asli Daerah
Sumberdaya Manusia
Operasi Penangkapan Ikan
Kondisi Perairan
Pancing Tonda
Penggunaan Bahan Bakar Minyak
Peluang Pasar
Jaring Insang Permukaan
Gambar 60 Struktur hirarki kebijakan model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku
156
MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU
Tingkat 1 FOKUS
Tingkat 2 AKTOR
Tingkat 3 FAKTOR
Nelayan (0,347)
Potensi Sumberdaya (0,129)
Tingkat 4 ALTERNATIF TUJUAN
Pengusaha Perikanan Tangkap (0,157)
Potensi Teknologi (0,061)
Huhate (0,512)
Selektifitas Alat Tangkap (0,113)
Penyerapan Tenaga Kerja (0,168)
Pendapatan Asli Daerah (0,099)
Sumberdaya Manusia (0,043)
Operasi Penangkapan Ikan (0,039)
Kondisi Perairan (0,037)
Pancing Tonda (0,266)
Penggunaan Bahan Bakar Minyak (0,117)
Peluang Pasar (0,038)
Jaring Insang Permukaan (0,223)
Gambar 61 Hasil hirarki kebijakan model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku
155
Padda Gambar 60, terlih hat bahwaa dalam penentuan p prioritas model m pengembaangan perikkanan pelag gis dan dessain alat taangkap di perairan p Maluku dengan diilakukan peertimbangann terhadap 6 (enam) kriteria yanng akan diicapai dalam upaya pengem mbangan armada, setiiap kriteriaa dilakukann pengembaangan l facttor di bidan ng perikanan n tangkap, setiap s terhadap enam jenis pembatas limiting armada allternatif dippertimbangkkan untuk setiap pem mbatas padaa setiap kriiteria. Untuk meengakomodiir semua keepentingan,, maka perttimbangan tersebut dim minta melalui kuesioner k k kepada sem mua stakehholders yan ng terkait dalam akttifitas perikanan tangkap di d perairan Maluku, seperti: nelaayan, penguusaha perikkanan D Kelaautan dan Perikanan, P Pemerintah h Daerah, serta s masyaarakat tangkap, Dinas umum. Bahasan berikut menguuraikan tenntang kepen ntingan kritteria-kriteriaa dan d opsii pengembaangan perikkanan tangkkap di pembatas dalam hubuungannya dengan daerah Maaluku
Gambar 62 6 Posisi kriteria k penggembangann pada levell kedua (settelah goal) pada aplikasi Progam AH HP d Dalaam kaitannnya dengaan rasio kepentingaan peranann aktor dalam mewujudk kan tujuan pengembaangan periikanan pelaagis di peerairan Maaluku, Gambar 62 6 menunjuukkan bahw wa peran akktor nelayann (NLY) mempunyai m rasio kepentingaan yang paaling penting bila dibbandingkann dengan peran p lima aktor lainnya yaaitu 0,347 pada p inconsistency terppercaya 0,055. Batas incconsistency yang diperbolehhkan secarra statistikk adalah maksimum m 0,1. Pennyerapan teenaga merupakann kriteria dengan rasio r kepeentingan yaang keduaa dalam upaya u pengembaangan perikanan pelagis di perairan p M Maluku yaiitu 0,168 pada
156
inconsistency terperccaya 0,05. Aktor ketigga yang meempunyai raasio kepentingan adalah penngusaha perrikanan tanggkap (PPT)) dengan nillai 0,157 paada inconsisstency terpercayaa 0,05. Akto or keempatt yang mem mpunyai rassio kepentin ngan dalam m pengembaangan perikanan pelagis di perairan Maluku M adaalah penggu unaan bahaan bakar miinyak (BBM) deengan nilai 0,117 padda inconsistency terperrcaya 0,05. Selektifitass alat tangkap (SAT) ( meruupakan aktoor kelima yaang pentingg dalam mew wujudkan tuujuan pengembaangan alat penangkapa p an ikan yanng ditandaii dengan raasio kepentingan rasio sebesar 0,113 pada innconsistencyy terpercaya 0,05. Kritteria yang mempunyai m a daerah (PAD) denngan nilai 0,099 0 kepentingaan terendahh adalah peendapatan asli pada inconnsistency teerpercaya 0,,05. Berdasaarkan rasio kepentingaan maka, neelayan mempunyai peranann yang sanngat strategis dalam mengelolaa suatu pootensi sumberday ya sehinggaa dalam uppaya pengem mbangan peerikanan pellagis diakom modir alat tangkaap huhate sebagai s yanng terbaik untuk dikem mbangkan deengan skor 0,504 0 diikuti oleeh pancing tonda 0,2622 dan terakkhir jaring innsang 0,2355 dengan tinngkat inconsistency terperccaya 0,05. Hal ini diitunjukkan dengan raasio kepentingan seperti terlihat pada Gambar G 63
6 Rasio kepentingan k n kriteria daalam upayaa pengembaangan perikkanan Gambar 63 pelagis di d perairan Maluku (inssconsistency cy 0,05) 5.4.2 Faktor pembatas (lim miting facttor) dalam m upaya pengembaangan perikanan peelagis di perrairan Malluku Beberapa hal yang menjjadi pembaatas dalam pengembaangan perikkanan M antaara lain: pottensi sumbeerdaya ikann (PSDI), pootensi pelagis di perairan Maluku teknologi (PT), sum mberdaya manusia m (SD DM), teknik k operasi peenangkapann ikan
155
(OPI), kon ndisi perairran (KP), serta s peluanng pasar (P PP). Pembattas-pembataas ini merupakann faktor koreksi k daalam memeenuhi kriteeria-kriteria pengembaangan perikanan tangkap. Bahasan berikut b ini akan dibah has mengen nai kepentingan pembatas--pembatas yang y sesuai pada setiapp kriteria yaang digunak kan dalam upaya u pengembaangan perikaanan pelagis di perairaan Maluku. Gambar G 64 memperlihhatkan pembatas yang berkkepentingann setiap krriteria yangg menjadi perhatian pada m Softwaree Expert Choise C nelayan setelah diolaah dengan menggunakkan program AHP.
Gambbar 64 Pembbatas yang berkepenting b gan dengan n perhatian pada p nelayaan Dalaam kaitan dengan d perh hatian terhadap kriteriaa nelayan (N NLY), ada enam hal yang berpengaruh b h atau berk kepentingan yaitu poten nsi sumberddaya ikan (SDI), potensi tek knologi (PT T), sumberddaya manussia (SDM), operasi kappal penangkkapan ikan (OPII), kondisi perairan (K KP), dan peluang p passar (PP). Pembatas pootensi sumberday ya ikan (P PSDI), sum mberdaya manusia m (S SDM), sertaa operasi kapal penangkappan ikan (O OPI), meruppakan pem mbatas yang secara tekknis berpenggaruh terhadap kegiatan k peenangkapan ikan, sedaangkan konddisi perairaan (KP), peluang pasar (PP P), dan pootensi teknnologi (PT)) berpengaaruh secaraa biologis bagi perkembanngan nelayaan. Keb beradaan neelayan akaan menentuukan seberrapa besar produksi hasil tangkapann dari pemaanfaatan sum mberdaya ikkan tersebuut. Potensi sumberdaya s a ikan (PSDI) (00,182) meruupakan kriteeria dengann rasio kepeentingan yaang utama dalam d upaya peengembangaan teknolog gi alat peenangkapan ikan pad da inconsisstency terpercayaa 0,09. Padda Gambar 65 terlihat bahwa pem mbatas poteensi sumberrdaya ikan (PSD DI) mempunnyai rasio kepentingan k n yang palinng tinggi, yaitu y 0,371 pada
156
inconsistency terpercaya 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya ikan sangat berpengaruh dominan (25,4%) terhadap keberadaan nelayan yang mengadakan operasi penangkapan ikan di perairan Maluku. Dalam kaitan ini, diharapkan dengan potensi sumberdaya ikan yang melimpah maka diusahakan nelayan dapat memanfaatkan secara maksimal dengan mengikuti aturan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa didalam mengadakan operasi penangkapan ikan khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dengan berbagai jenis alat tangkap, masih banyak nelayan yang belum menerapkan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah seperti alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab (CCRF), padahal itu harus sudah mulai dari sekarang. Berdasarkan rasio kepentingan tersebut, maka diharapkan masyarakat khususnya nelayan sadar akan hal ini sehingga potensi sumberdaya itu akan tetap lestari. Penggunaan teknologi modern maupun sederhana sangat menentukan keberhasilan operasi penangkapan ikan karena teknologi merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya. Hal ini ditunjukkan dengan rasio kepentingan yang diperoleh sebesar 0,176 pada inconsistency terpercaya 0,09 dan berada pada urutan kedua. Sebagai contoh penggunaan teknologi sederhana berupa desain cool box merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh terhadap nilai jual ikan hasil tangkapannya. Apabila hasil tangkapan memiliki nilai kualitas baik maka nilai jual ikan tersebut dipasaran sangat memuaskan. Aktor ketiga yang sangat berpengaruh dalam perhatian pada nelayan adalah sumberdaya manusia (0,123) pada inconsistency terpercaya 0,09. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku,
serta wawasan IPTEK,
kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya. Dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pengembangan ekonomi, peran pemerintah masih sangat dibutuhkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana pendukung, termasuk di dalamnya kebijakan pemerintah, akses permodalan, pasar
155
dan tata ruang kaw wasan pesisir. Faktor pembatas operasi peenangkapan ikan t neelayan merupakann aktor keeempat yangg mempunyai rasio keppentingan terhadap dengan nilai 0,113 paada inconssistency terppercaya 0,009. Hal ini mengindika m asikan bahwa baahwa operaasi penangk kapan ikan yang dilakkukan oleh nelayan sangat ditentukan n oleh pottensi sumb berdaya maanusia dalaam memannfaatkan pootensi teknologi untuk menggelola sumbberdaya ikann secara maaksimal. mbatas peluang pasar (PP) meruupakan pem mbatas kelim ma yang sangat s Pem berpengarruh terhadaap nelayan, hal ini ditunjukkan d dengan nilai n 0,109 pada inconsistency terpercaya 0,09. Hal H ini mennunjukkan bahwa b operasi penangkkapan ikan yangg dilakukann oleh nelay yan sangat menentukaan peluang pasar yangg ada, baik pasarr domestik maupun pasar internassional. Hasiil tangkapann yang dipeeroleh nelayan sangat s ditenntukan oleh kualitas hasil tang gkapan yanng diperolehnya. Pembatas peluang paasar (PP) adalah a meruupakan fakttor pembataas yang straategis mpunyai berkepentinggan pada nelayan n kaarena keberrhasilan opperasi serta mem penangkappan ikan saangat menenntukan peluuang pasar yang ada. Faktor F pem mbatas kondisi peerairan (KP P) mempunyyai nilai raasio kepentiingan terak khir dengan nilai 0,107 pad da inconsisteency terperccaya 0,09. Hal ini berarti bahwa kondisi perrairan (KP) turutt berpengaruuh terhadapp nelayan yyang mengadakan operasi penangkkapan ikan. Dallam kaitann ini, diharrapkan arm mada perikkanan tangkap yang akan dikembanggkan sebaiiknya dapatt menjaga kondisi peerairan dann tidak meerusak ekosistim perairan.
p nelayaan Gambar 65 Rasio keppentingan peembatas sessuai dengann perhatian pada dalam upaaya pengem mbangan perrikanan pelaagis di perairan Malukuu (inconsisttency 0,09)
156
Pem mbatas potennsi sumberrdaya ikan (SDI), pootensi sumb berdaya maanusia (SDM), kondisi k peraairan (KP), serta s peluanng pasar (PP P) adalah merupakan m faaktorfaktor pem mbatas yangg berkepenttingan pada kriteria penngusaha perrikanan tanggkap Kep pentingan daari faktor pembatas p suumberdaya ikan sebaggai faktor utama u dalam upaaya nelayann mengelolaa sumberdaaya perairan n, ketersediiaan sumberrdaya manusia berkepentin b ngan sebaggai calon tenaga kerja yang produktif, koondisi perairan berkepentinngan sangaat membantuu nelayan dalam d men ngadakan opperasi dan kebeeradaan daan kelimpaahan sumbberdaya ik kan, serta peluang pasar berkepentiingan dalam m menjaga harga pasaar selalu staabil sehingg ga nelayan dapat memasarkkan hasil tanngkapan deengan baik. Rasio kepeentingan keeempat pem mbatas tersebut seeperti terlihat pada Gam mbar 66
Gambar 666 Pembataas yang beerkepentingaan dengan perhatian pada penguusaha perikanann tangkap (P PPT) 6 terlihat bahwa b pembbatas poten nsi sumberddaya ikan (P PSDI) Padaa Gambar 66 mempunyai rasio kepentingan k terhadap pengusahaa perikanann tangkap yang tertinggi, yaitu 0,5322 pada incoonsistency tterpercaya 0,08. Sumbberdaya maanusia (SDM) meenempati urrutan keduaa dengan nillai 0,221 paada inconsisstency terpeercaya 0,07. Hal ini menunjjukkan bahwa potensi sumberdayya ikan sanngat berpenggaruh k PPT) di suaatu daerah dalam d terhadap keberadaan pengusahaa perikanan tangkap (P menjalankkan usaha di bidang perikanan tangkap. Pembatas P k kondisi perrairan berada paada urutan ketiga denngan nilai 0,166 pad da inconsisttency terpeercaya 0,08.Peluaang pasar (0,082) paada inconsistency terrpercaya 0,,08 pada posisi p terakhir. Hal H ini mennunjukkan bahwa b peluang pasar cukup c berpeengaruh terhhadap
155
keberhasillan pengussaha perikkanan tanggkap dalam m menjalaankan usahhanya walaupun faktor ini berada b padaa urutan terrakhir, akann tetapi sanggat berhubuungan k n nelayan dalam meengoperasikaan alat tan ngkap di suatu dengan keberhasilan perairan. Peluang paasar juga sangat s ditenntukan olehh kualitas hasil tangkkapan s haal ini sang gat berpenggaruh terhaddap nilai jualnya. Appabila nelayan sehingga kualitas hasil h tangkaapan baik maka, m nilai jual akan semakin mahal m dan sangat s menguntuungkan nelayyan atau pen ngusaha perrikanan tang gkap
Gambar 67 Rasio keppentingan peembatas sessuai dengann perhatian pada p penguusaha perikanann tangkap daalam upaya pengemban ngan perikaanan pelagiss di perairan Maluku M (incconsistency 0,08) Pem mbatas yangg berkepenttingan denggan perhatiaan pada kriiteria selekttifitas alat tangkaap meningkkat adalah potensi p sumbberdaya ikaan (PSDI), potensi p teknnologi (PT), opeerasi kapal penangkapan ikan (OPI), seerta peluanng pasar (PP). Kepentinggan dari peembatas-pem mbatas tersebut adalahh potensi sumberdaya s a ikan berkepentiingan dalam m menentukkan keberaddaan ukuran n ikan yang layak ditanngkap, potensi teeknologi beerkepentingaan dalam menentukan m n ukuran alat tangkap serta ukuran maata jaring yang y selektiif dan sesuaai dengan taarget operaasi, operasi kapal penangkappan ikan berkepentin b ngan dalam m upaya proses p penangkapan, serta peluang pasar p sangaat menentukkan untung ruginya seebuah usahha. Ukuran mata acuan bagi nelayan kaarena dengaan menggunnakan jaring yan ng selektif merupakan m ukuran maata jaring seperti s ini maka m ukurann ikan hasil tangkapan n dapat diseeleksi sehingga sumberdaya s a akan lebihh berkelanjuutan.
156
Gam mbar 68 P Pembatas yang berkkepentingann dengan perhatian pada s selektifitas a tangkaap tangkap (SAT) alat ( mbatas dari selektifitass alat Pottensi sumbeerdaya ikan merupakann faktor pem tangkap menempati m u urutan perttama (0,4588) pada inconsistency terpercaya 0,05. Hal ini mengindikas m sikan bahwa keberadaaan sumberddaya manuusia yang hhandal hasil dalam meengelola pottensi sumbeerdaya akann berpeluan ng untuk memperoleh m tangkapann optimal sehingga akkan membukka peluangg pasar yan ng menjanjikkan. Potensi teeknologi (PT) (0,240) pada inconnsistency teerpercaya 0,05 berada pada urutan ked dua sebagaii faktor pem mbatas yanng berkepen ntingan terhhadap selekttifitas alat tangkaap. Peluangg pasar (PP) mendudukki urutan kettiga dengan nilai 0,185 pada inconsistency terpercaya 0,05. Potensi P teknnologi sangaat berhubunngan erat deengan peluang pasar p karenna apabila dalam d pengggunaan tekknologi sed derhana maaupun modern tiidak dilakuukan secaraa efektif maka m akan berpengaruh b h terhadap hasil tangkapann. Hal ini saangat berpenngaruh terhhadap peluan ng pasar yaang ada sehingga kalau hall ini tidakk ditindakllanjuti makka sistem yang ada tidak berrjalan sebagaimaana yang dihharapkan. Pelu uang pasar sangat s saat ini cukup menjanjikan m n terutama untuk jeniss ikan pelagis besar sepertti: ikan tuuna, cakalanng, tongkool, dan jennis-jenis lainnya m baagi nelayann untuk meengusahakann alat sehingga ini merupaakan suatu motivasi tangkap daalam rangkaa pengelolaaan sumberddaya kelautaan dan perik kanan.
155
Gambar 69 Rasio keppentingan pembatas p seesuai dengann perhatian pada selekttifitas alat tanggkap dalam upaya penggembangan perikanan pelagis p di perairann Maluku (in nconsistency cy 0,05) Pem mbatas yangg berkepentiingan dengan perhatiaan pada kritteria penyerrapan tenaga kerrja (PTK) aadalah potensi teknoloogi (PT), suumberdaya manusia m (SDM), operasi kapal k penaangkapan ikan i (OPI) (Gambarr 70). Pootensi teknnologi berkepentiingan terhaadap kemam mpuan darii tenaga keerja untuk mengoperaasikan teknologi tersebut, sumberday ya manusiia dan op perasi pen nangkapan ikan berkepentiingan terhadap tenagga kerja yang y tramppil sesuai dengan bidang keahlianny ya, serta opperasi kapal penangkappan ikan berrkepentingaan sebagai sarana yang diduukung oleh tenaga t kerjaa yang tram mpil dalam mengelola m arrmada perikkanan tangkap. Dalam D mem mproduksi ikan i sebagian petani nelayan n mennggunakan caracara lamaa, baik daalam usahaa perikanann tangkap (perikanan n laut) maaupun budidaya, akibat kuurangnya neelayan mennguasai tekknologi denngan cara baru, n kurrang trampill. sehingga nelayan
mbar 70 P Pembatas yang berkkepentingann dengan perhatian pada Gam p penyerapan tenaga kerrja
156
Poteensi teknoloogi berkepeentingan terrhadap kem mampuan dari d tenaga kerja untuk meengoperasikkan teknoloogi tersebuut, sumberddaya manussia dan opperasi penangkappan ikan berkepenting b gan terhadaap tenaga kerja yang g trampil sesuai s dengan bid dang keahliiannya, sertta operasi kaapal penanggkapan ikann berkepentingan sebagai saarana yang didukung oleh o tenagaa kerja yang g trampil dalam d menggelola armada peerikanan taangkap. Dallam memprroduksi ikaan sebagiann petani neelayan menggunaakan cara-ccara lama, baik b dalam m usaha perrikanan tangkap (perikkanan laut) mauppun budidaaya, akibat kurangnya nelayan menguasai m teeknologi deengan cara baru, sehingga nelayan n kuraang trampil.. n merrupakan lan ngkah yang tidak Meeningkatkann ketrampillan petani nelayan dapat ditu unda terutam ma dalam mengantisipa m asi degradassi sumberdaaya manusia dan lingkungaan. Selain reendahnya penguasaan p teknologi penangkapa p an dan budiidaya, penguasaaan terhadapp teknologii pascapaneen juga saangat rendaah.
Penguasaan
teknologi baik teknollogi sederhaana maupunn modern merupakan m s suatu acuan yang sangat berrpengaruh terhadap t keeberhasilan operasi penangkapan ikan karenna hal ini sangat didukung oleh o besarnyya potensi sumberdaya di perairan n ini.
Gambar 71 Rasio keppentingan peembatas sessuai dengann perhatian pada p penyerrapan tenaga keerja dalam upaya u pengeembangan perikanan p peelagis di perrairan Maluku (iinconsistenccy 0,05) Pem mbatas poteensi teknolo ogi (PT) dan d potensii sumberdaaya ikan (P PSDI) mempunyai rasio kepentingan k yang meenempati urrutan pertaama dan kedua k TK), yaitu 0,661 daan 0,288 pada terhadap penyerapann tenaga kerja (PT inconsistency terpercaya 0,05. Hal H ini menuunjukkan bahwa b dalam m memanfaaatkan potensi suumberdaya ikan diharrapkan kem mampuan armada a pennangkapan untuk u
155
mengoperrasikan alat tangkap hanya h untukk menangkaap sumberd daya ikan sesuai s dengan uk kuran dan jeenis tertentuu sesuai denngan spesiffikasinya daan tetap meenjaga kondisi perairan. Opperasi penaangkapan ikkan (OP) (0,131) meenduduki urutan u ketiga deengan tingkkat inconsiistency terppercaya paada 0,05. Hal ini sangat berpengarruh terhadapp pemanfaaatan sumberrdaya yang ada karenaa dengan addanya operasi peenangkapann ikan makka sumberdaaya akan diperolehnya d a asalkan sesuai s dengan kaidah-kaidaah yang teertuang dalaam CCRF supaya su umberdaya tetap berkelanju utan. Pem mbatas yangg berkepentiingan denggan perhatiaan pada kritteria pendaapatan asli daeraah adalah potensi p sum mberdaya ikan i (PSDII), potensi teknologi (PT), sumberday ya manusia (SDM), opperasi kapal penangkapan ikan, serrta peluang pasar (PP) (Gaambar 72). Hasil peengamatan lapangan dapat dijeelaskan rataa-rata pendidikann nelayan/ppetani ikan di wilayahh pesisir um mumnya sanngat rendahh dan bahkan adda yang tidak sekolah.. Kondisi ini menyebbabkan aksees terhadap ilmu maupun teknologi t s sangat terbaatas.
Umuumnya nelaayan hanyaa menganddalkan
pengetahuuan dari gennerasi sebelumnya, daari lingkunggan dan tidaak ada kem mauan untuk men nambah penngetahuan yang y sebennarnya diperrlukan untu uk meningkkatkan keahlianny ya terutam ma yang beerkaitan deengan matta pencaharriannya seebagai nelayan/peetani ikan.
Gambar 72 7 Pembattas yang beerkepentingaan dengan perhatian pada p pendaapatan asli daerrah pentingan pembatas terrhadap kriteeria tersebutt adalah potensi sumberrdaya Kep ikan yang sangat mem mbantu terh hadap volum me usaha peenyumbangg pendapatan asli
156
daerah, pootensi teknnologi berkeepentingan dalam pennciptaan meesin kapal yang hemat terhhadap bahann bakar min nyak, sumbberdaya man nusia berkep pentingan dalam d menyediak kan calon tenaga kerjja yang terrampil dann siap pakaai, operasi kapal penangkappan ikan saangat berkeepentingan dalam men ningkatkan hasil tangkkapan secara maaksimal, serrta peluang pasar berkkepentingan dalam men njaga mutuu ikan hasil tangkkapan tetap segar sehin ngga hargannya tetap staabil. Padaa Gambar 73, terlihatt bahwa peembatas sum mberdaya ikan (PSDI)) dan potensi tek knologi (P PT) menemppati urutan pertama daan kedua deengan nilai rasio 0,395 dann 0,202 padaa inconsisteency terperccaya 0,08. Hal H ini men nunjukkan bahwa b dengan pootensi sumbberdaya yang melimpahh serta denggan menggu unakan teknnologi modern akan mem mbantu usaaha di biidang periikanan tanngkap sehingga y berkuaalitas untuk k kebutuhann pasar dom mestik menghasillkan hasil tangkapan yang maupun pasar internaasional. mbatas poteensi teknollogi (PT) dan pemb batas peluaang pasar (PP) Pem mempunyai rasio keppentingan yang y menem mpati urutan n ketiga dann keempat, yaitu 0,156 dan n 0,135 paada inconsiistency terppercaya 0,0 08 dengan perhatian pada pendapataan asli daeerah.
Raasio dengann kepentinngan yang diinginkann ini
dimungkinnkan oleh sumberdayaa manusia yang tersediaa adalah calon-calon teenaga kerja yangg siap pakaai dengan kemampuann serta keaahlian yang g dimiliki dalam d mengelolaa sumberdaaya sehingga pengembbangan penggelolaan peerikanan tanngkap dapat mak ksimal dan berkelanjuta b an dengan mematuhi m atturan-aturann yang berlaaku.
Gambar 73 Rasio keppentingan peembatas sessuai dengann perhatian pada p pendappatan asli daeraah dalam upaya pengem mbangan perrikanan pelaagis di peraairan Maluku (iinconsistenccy 0,08)
155
Fakttor pembattas yang menempati m urutan terrakhir adallah sumberrdaya manusi (S SDM). Hal ini menunj njukkan bahhwa dengann potensi suumberdaya yang melimpah serta dengaan menggunnakan teknoologi moderrn akan membantu usaaha di yang bidang perikanan p ttangkap seehingga menghasilka m an hasil tangkapan t berkualitaas untuk kebbutuhan pasaar domestikk maupun paasar internaasional. Fakttor pembataas yang berk kepentingann bagi pengggunaan bahan bakar minyak adalah pootensi sumbberdaya ikann (PSDI), potensi tekknologi (PT T), operasi kapal yang penangkappan ikan (OPI), seerta kondisi perairann (KP). Pembatas P berkepentiingan denggan perhatiaan pada pennggunaan BBM B rendah h adalah pootensi sumberday ya ikan beerkepentingaan dalam penentuan p daerah pennangkapan yang berhubung gan secara langsung dengan pennggunaan bahan b bakaar minyak pada armada hiingga kembbali ke fishiing base. Potensi P teknnologi berkkepentingan pada penciptaann mesin kappal yang hem mat bahan bakar b minyaak.
4 Pembatass yang berkeepentingan dengan perhhatian padaa BBM Gambar 74
berhasilan peningkatan p n pendapaatan (ekonoomi) akan mempenggaruhi Keb kegiatan usaha u yang dikembangkkan di masaa yang akan n datang. Keegiatan usahha itu sendiri akkan dipengaaruhi oleh kondisi suumberdaya laut dan pesisir yangg ada, teknologi yang terseddia, serta ku ualitas SDM M yang akan mengelolan nya. Hal terrsebut u diperrhatikan daan dikembaangkan dalaam rangkaa pengembaangan penting untuk ekonomi yang melipputi manajeemen usahha, kemitraaan dan kellembagaan yang dikelolany ya.
156
Gambar 75 7 Rasio kepentingan k pembatas sesuai den ngan perhattian pada bahan b bakar minyak m dalaam upaya pengemban ngan perikanan pelaggis di perairann Maluku (in nconsistencyy 0,04) umberdaya ikan Padaa Gambar 75 terlihaat bahwa pembatas potensi su mempunyai peranan yang cukupp besar dallam hubung gannya denngan pengguunaan bahan bakkar minyak dan sekaliggu menduduuki urutan pertama p dengan nilai 0,371 0 pada tinggkat inconssistency terrpercaya 0,,04. Potenssi teknologgi (PT), koondisi perairan (K KP), dan opperasi penanngkapan ikaan (OPI) meenduduki urrutan 2, 3, dan d 4. Keempat faktor pembbatas ini mempunyai m s saling keterrgantungan yang cukupp erat a salaah satu fakto or mempunyyai kendala maka faktoor yang lain tidak sehingga apabila dapat dilaakukan denngan baik. Hal H ini meenunjukkan bahwa pennggunaan bahan b bakar minnyak sangatt dipengaruuhi oleh koondisi perairan karena dengan koondisi perairan yang tidakk bersahabbat, fishingg ground yang jau uh akan sangat mempengaaruhi armaada penangkkapan dalaam penggunnaan bahann bakar minyak. rasio Pembatas potensi tekknologi (PT T) dan konndisi perairran (KP) mempunyai m kepentingaan masing-m masing 0,2883 dan 0,1883 pada incconsistency terpercaya 0,04. Semakin jauh daeerah penanngkapan akkan memp pengaruhi armada dalam d penggunaaan bahan baakar minyakk. Pem mbatas operrasi penanggkapan ikaan (OPI) menempati m urutan terrakhir dengan niilai rasio kepentingann k nya adalahh 0,163 pad da inconsisttency terpeercaya 0,04. Hal ini menunjuukkan bahw wa dengan kemampuan k penguasaann teknologi yang o tenaga--tenaga yanng terampill akan mam mpu meninggkatkan kuualitas dimiliki oleh hasil tangkkapan.
155
Prio oritas tujuann model pen ngembangann perikanan pelagis di perairan Maluku ditentukan n secara teerstruktur dengan d meempertimbanngkan sem mua aktor/ppelaku beserta faaktor-faktor yang berpeeran didalam m mewujud dkan tujuann pengembaangan perikanan pelagis. Pertimbanggan tersebuut ditunjuk kkan dalam m bentuk rasio k n opsi kepentingaan kriteria, rasio kepeentingan peembatas, seerta rasio kepentingan (alternatiff armada yaang akan dikembangk d kan). Urutann prioritas terhadap ketiga k p Maluku alternatif alat penanggkapan ikann yang akaan dikembaangkan di perairan dapat dilihhat pada Gaambar 76
Gambar 76 7 Urutan prioritas p preesentase penngembangaan terhadap ketiga alteernatif alat penanngkapan ikaan di perairaan Maluku (incosistenc ( cy 0,06) Berddasarkan Gaambar 76 teerlihat bahw wa bahwa alat tangkap huhate h (polle and line) mem mpunyai nillai rasio keepentingan pengembaangan yang tertinggi, yaitu 39,3%, paancing tondda 32,6 %, dan jaringg insang 288,1%. Hal ini menunjuukkan bahwa huuhate mendduduki priooritas utam ma untuk dikembangk d kan di perrairan Maluku. Terpilihnyaa alat tan ngkap huhate sebagaai prioritass utama dalam d pengembaangan perikkanan pelaagis karenaa huhate leebih mengakomodir enam kriteria yaang perlu diicapai dalam m pengembbangan perikkanan pelag gis dalam bidang perikanan tangkap yang y telah dianalisis sebelumnya. Hal ini diidukung oleh o Yulistyyo (2006) yang men nyatakan bahwa b pendapat yang disaampaikan oleh perairan Indonesia I b bagian timu ur yang paada kegiatann operasi penangkapa p annya masih dido ominasi oleeh armada dengan d skala kecil sertaa sasaran taarget adalahh jenijenis ikan pelagis baikk pelagis beesar maupunn kecil. Padaa Gambar 77 terlihaat bahwa kriteria k nellayan (NLY Y) dan pootensi teknologi
mbangan huh hate masingg-masing seekitar (PT) diakkomodir paada pengem
9,5% dan 8,2% dibaandingkan pada p pengeembangan alat a tangkapp pancing tonda. t
156
Hal ini berarti b kebeeradaan jum mlah nelayyan pada huhate h lebih h dominann jika dibandingkan dengaan nelayan pada panccing tondaa. Kriteria nelayan (N NLY) p s penguusaha perikkanan (0,347), penyerapan tenaga keerja (PT ) (0,168), serta tangkap (PPT) (0,157) masiing-masing merupakaan kriteriaa dengan rasio m an bahwa nelayan n mem megang perranan kepentingaan tertinggii dan ini menunjukka penting dalam d penngelolaan sumberdayaa perairan serta diddukung deengan penyerapaan tenaga keerja sehinggga memunngkinkan peengusaha peerikanan tanngkap mengusah hakan alat tangkap sebanyak s m mungkin s sehingga d dapat menggelola sumberday ya secara beerkelanjutann.
P PSDI PT OPI PP Ovver all
Gambar 77 Perbanddingan alat tangkap t huhhate dengann alat tangkaap pancing tonda t untuk seemua kriteriia Perb bandingan
akomodir
kriteria
pada
penngembangann
huhate
dan
pengembaangan jaringg insang (G Gambar 78)) menunjukkkan bahwaa sebagian besar kriteria diaakomodir leebih tinggi pada p pengeembangan huuhate. Kriteeria dengan rasio kepentingaan tertinggii adalah nelayan (NLY Y), serta pennyerapan tennaga kerja (P PTK) diakomoddir pada peengembangaan teknologgi alat
taangkap huhhate di perrairan
Maluku, masing-mas m sing lebih tinggi 9,7 % dan 8,,5 %
dib bandingkan pada
155
pengembaangan jaringg insang. Disamping D itu, kriteriia peluang pasar (PP)) dan penggunaaan bahan baakar minyakk diakomoddir sedikit leebih rendah (masing-m masing 3,5% dann 3,4%) padda pengembbangan huhhate diband dingkan padda jaring innsang permukaann. Hal ini disebabkan d karena disaamping rasiio kepentingan yang tiinggi, nilai ini teentu sangat tinggi dibaandingkan yang y dapat diakomodirr lebih pada alat tangkap jaaring insangg permukaaan. Selain ittu juga dipeerlukan alteernatif kebij ijakan pengembaangan alat penangkapa p an ikan yangg memiliki produktivittas penangkkapan yang tingggi, serta tidaak memerluukan pengguunaan BBM M yang tingg gi. Sesuai deengan kondisi di lapangan bahwa b armaada huhate ddan pancing g tonda mellakukan keggiatan p lep pas yang masih m potensial sehinggga jarak tem mpuh penangkappannya di perairan dari fishinng base ke fishing f grouund relatif jaauh. Hal deemikian mennyebabkan biaya operasionaal khususnyya penggun naan BBM untuk kedu ua jenis alaat penangkkapan tersebut cuukup besar.
PSDI P PT O OPI PP Ovver all
Gambarr 78 Perbaandingan allat tangkapp huhate deengan jarinng insang untuk u semua kriteria Hasiil skor darri beberapaa kriteria yang y ada diperoleh beberapa b u urutan alternatif prioritas dalam d modeel pengembbangan perrikanan pelaagis di perrairan d terddapat tiga allat penangkkapan yang akan dikem mbangkan antara a Maluku, dimana lain, huhatte (pole andd line ) men ndapat priorritas utama dengan skoor 0,512, panncing tonda (tro oll line) mennempati uruutan kedua dengan skoor 0,266, serta jaring innsang
156
permukaann (gillnet) pada p urutan ketiga denggan nilai skkor 0,223. Dari D hasil annalisis ini menun njukkan baahwa alat penangkapa p an ikan yanng dapat dikembangkaan di perairan Maluku M dissesuaikan dengan d kriteria-kriteriia yang daapat menduukung kegiatan operasi o pennangkapan pada saat ini. Ketiga alat tanggkap yang akan dikembanggkan diannggap cocook untuk dikembang gkan, hal tersebut dapat ditunjukkaan pada Tabbel 71 Tabel 71
Skor alteernatif dalaam kebijakkan model pengemban ngan pelagis dii perairan Maluku M
Akttor
Skor
NL LY
0,3477
Faktor
PSDI PT SDM OPI KP PP PT 0,1577 PSDI PP SDM KP PP SA AT 0,113 PSDI GOAL PT OPI PP PT TK 0,168 PT SDM OPI PA AD 0,0999 PSDI PT SDM OPI PP BBM PSDI 0,1177 PT OPI KP
Skor 0,129 0,061 0,043 0,039 0,037 0,038 0,039 0,039 0,039 0,039 0,062 0,027 0,013 0,021 0,111 0,035 0,022 0,039 0,02 0,011 0,013 0,015 0,043 0,033 0,019 0,021
Alternnatif Prioritass
perikkanan
Skor
Priioritas
Huhhate
0,512
1
Pancing tonda
0,266
2
Jaring insangg permukaan
0,223
3
Sumber: data d penelitiian 2009
5.5
Keb bijakan Pen ngembangaan Perikanaan Tangkap di Maluk ku
p matriiks skoringg keterkaitaan antara tiap unsur dari Berttitik-tolak pada pedoman Code of Coonduct for Responsible R Fisheries (CCRF), ( den ngan setiap jenis alat tangkkap yang beroperasi di wilayah peerairan Maluuku, maka dapat ditenttukan
155
beberapa strategi kebijakan pengembangan perikanan tangkap khususnya untuk ikan pelagis di provinsi Maluku, adalah sebagai berikut:
1)
Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap huhate (pole and line) Alat tangkap huhate perlu dikembangkan di perairan Maluku mengingat alat
tangkap ini cukup sempurna dapat mewakili 13 kriteria yang ditetapkan dalam aspek ramah lingkungan dan aspek berkelanjutan. Hal ini merupakan suatu terobosan yang perlu diperhatikan dalam mengelola potensi sumberdaya perikanan di Maluku. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) atau Ketentuan Perikanan yang Bertanggungjawab, sehingga diharapkan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk pengembangan perikanan tangkap secara bertanggungjawab di provinsi Maluku. Permintaan pasar lokal maupun regional akan ikan pelagis besar, sumberdaya ikan pelagis di perairan Maluku yang cukup melimpah (1,640 juta ton/tahun), sumberdaya manusia dengan kemampuan teknologi dalam mengelola sumberdaya perikanan, serta tersedianya armada huhate adalah merupakan faktor-faktor yang berhubungan secara langsung dalam menentukan keberhasilan pengelolaan sumberdaya perairan. Pengembangan jenis alat tangkap huhate ini tentunya didasari atas pertimbangan bahwa alat tangkap ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di perairan Maluku. Pengembangan alat tangkap ini memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan alat tangkap lain, antara lain: 1) jumlah hasil tangkapan lebih besar, 2) membutuhkan tenaga kerja lebih banyak (20 sampai 25 orang), 3) ikan hasil tangkapan kualitas eksport sehingga dapat menambah devisa bagi Negara. Disisi lain pengembangan alat tangkap ini dilakukan dengan penambahan teknologi tepat guna yang cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya sehingga dapat meningkatkan taraf hidup nelayan. Penggunaan teknologi harus didasari dengan penggunaan modal yang besar sehingga perlu tindak lanjut pemerintah dalam mengantisipasi kekurangan modal nelayan.
156
2)
Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap pancing tonda (troll line) Seperti halnya perikanan tangkap dengan alat tangkap huhate maka alat
tangkap pancing tonda ini menempati urutan kedua. Alat tangkap pancing tonda ini menggunakan mata pancing No 1000 sehingga memiliki selektifitas yang tinggi. Pengembangan terhadap alat tangkap ini berupa perubahan pada desain type kail dari type ”J” shaped menjadi ”cyrcle shaped ”, ukuran kapal diperbesar, desain ”cool box”, sehingga hasil tangkapan lebih optimal dengan memperhatikan faktor-faktor pendukungnya. Berdasarkan hasil skoring, alat tangkap ini termasuk dalam alat tangkap yang cukup baik dalam seleksi unit penangkapan ikan berdasarkan penangkapan ikan yang bertanggungjawab, hal ini disebabkan karena alat tangkap ini dapat mewakili semua kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam CCRF dengan cukup baik dalam aspek ramah lingkungan maupun aspek berkelanjutan. Hasil tangkapan dari alat tangkap ini adalah jenis ikan pelagis besar seperti: 1) ikan tuna, 2) cakalang, 3) tongkol, 4) tenggiri, 5) serta jenis-jenis ikan pelagis besar lainnya. Jenis-jenis ikan hasil tangkapan dari alat tangkap ini merupakan jenis-jenis ikan eksport yang permintaannya di pasaran internasional cukup besar sehingga perlu dikelola dan dikembangkan secara efektif guna menambah devisa bagi daerah maupun negara. Penangkapan dengan alat tangkap pancing tonda ini dapat memenuhi kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), sehingga diharapkan perikanan tangkap dengan alat tangkap ini dapat dikembangkan di perairan Maluku. Melihat kompleksitasnya pengembangan perikanan tangkap di Maluku, maka perlu didukung oleh sumberdaya manusia yang handal dan oleh sebab itu untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia khususnya dalam bidang perikanan tangkap maka perlu peran serta pihak pemerintah dalam mengadakan pelatihan-pelatihan, kursus, seminar. Peran serta pemerintah dalam mengatasi masalah ini sangat berpengaruh terhadap pengembangan perikanan tangkap di masa akan datang.
155
3)
Pengembangan usaha perikanan tangkap dengan alat tangkap jaring insang permukaan (drift gillnet) Pengembangan alat tangkap jaring insang permukaan dengan pertimbangan
bahwa alat tangkap ini dengan cukup baik mewakili 12 kriteria yang telah ditetapkan dalam aspek ramah lingkungan dan aspek berkelanjutan. Alat tangkap ini ditujukkan untuk menangkap ikan pelagis besar. Jenis-jenis ikan hasil tangkapan dari alat tangkap ini adalah ikan cakalang, tuna, tongkol, tenggiri dan ikan pelagis besar lainnya. Ukuran mata jaring dari alat tangkap ini adalah 4 sampai 7 inchi yang merupakan suatu ukuran mata jaring yang sangat subjektif bagi pengembangan perikanan secara bertanggungjawab. Alat tangkap ini juga perlu ditangani secara serius dengan tetap memperhatikan faktor-faktor lingkungan sehingga potensi yang ada di perairan Maluku tetap berkelanjutan. Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dalam perikanan yang bertanggung jawab maka alat ini dapat sesuai dengan kriteria Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Pengembangan dari ketiga alat tangkap ini dengan tetap mengacu pada aturan yang telah ditetapkan adalah merupakan tanggung jawab yang harus diperhatikan dan dilaksanakan bersama, baik masyarakat maupun pemerintah.
5.6
Peluang pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Penentuan
unit penangkapan ikan unggulan terpilih antara lain huhate
(185,96), pancing tonda (14,45), jaring insang permukaan (4,18), masing-masing sebagai prioritas pertama, kedua, ketiga sebagai alternatif pengembangan armada perikanan tangkap di perairan Maluku (Tabel 32). Berdasarkan trend dan tingkat produktifitas rata-rata, alat tangkap huhate lebih tinggi dari alat tangkap lain. Keberadaan unit penangkapan huhate di perairan Maluku mendapat respon posistif dari masyarakat nelayan. Hal ini sesuai dengan pendapat Monintja (1986), aspek terpenting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu alat tangkap adalah
penerimaan
oleh
nelayan
yang
dalam
pengoperasiannya
tidak
menimbulkan friksi keresahan pada nelayan. Oleh karena itu keempat alat tersebut paling tepat untuk menjadi pilihan dalam pengembangan alat penangkapan ikan.
156
Peningkatan produksi perikanan tangkap di perairan Maluku tidak dilakukan dengan menambah unit-unit penangkapan, akan tetapi yang tepat adalah mengganti unit-unit armada penangkapan yang tidak produktif dengan unit-unit penangkapan yang produktif. Bila kondisi demikian terjadi, menurut Dahuri (2003) adalah dengan mengendalikan intensitas dan teknis penangkapan sesuai dengan potensi
lestarinya agar keseimbangan stok dan tingkat pemanfaatan
terjaga. Dalam rangka orientasi model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku, untuk ikan pelagis besar dilakukan dengan alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan sedangkan untuk target species ikan pelagis kecil dengan alat tangkap pukat cincin. Jika ditinjau berdasarkan urutan prioritas masing-masing aspek dan kriteria, sangat beragam dan tidak didominasi oleh satu alat tangkap. Unit penangkapan unggulan tidak dapat dilihat secara parsial, akan tetapi keunggulan dari semua aspek dan kriteria. Hasil tersebut dapat dilihat berdasarkan hasil standarisasi secara keseluruhan terhadap semua aspek yang menjadi indikator penilaian. Adapun unit penangkapan unggulan yang dapat dikembangkan adalah unit-unit penangkapan yang menjadi prioritas pertama, kedua, dan ketiga. Berdasarkan hasil standarisasi seluruh aspek, alat tangkap huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan masing-masing sebagai alternatif prioritas pengembangan. Pengembangan alat tangkap huhate seharusnya disertai dengan peningkatan kapasitas teknologi alat penangkapan sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan dengan radius yang cukup jauh dan tidak terfokus pada perairan pantai. Hal
ini mengingat jumlah alat penangkapan huhate di Maluku cukup tinggi
walaupun membutuhkan biaya investasi alat tangkap ini cukup besar akan tetapi dengan prospek pasar yang cukup baik memungkinkan nelayan mengusahakan alat tangkap ini. Tingkat produktifitas unit penangkapan huhate tertinggi diikuti oleh pancing tonda, jaring insang permukaan, serta pukat cincin. Hal ini disebabkan tingkat harga komoditi yang dihasilkan sebanding dengan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh. Keberadaan unit penangkapan huhate di perairan Maluku mendapat respon positif dari masyarakat nelayan, hal ini sesuai dengan pendapat Monintja (1986) yang mengatakan bahwa aspek terpenting yang perlu menjadi perhatian dalam pengembangan suatu alat tangkap adalah penerimaan
155
oleh nelayan dan dalam pengoperasiannya tidak menimbulkan friksi keresahan nelayan, oleh karena itu keempat alat tangkap tersebut paling tepat untuk menjadi pilihan pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku. Dalam rangka orientasi pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku sebaiknya menggunakan alat tangkap huhate, pancing tonda, jaring insang permukaan untuk penangkapan ikan pelagis besar, sedangkan untuk ikan pelagis kecil menggunakan alat tangkap pukat cincin. Jika ditinjau berdasarkan urutan prioritas masing-masing aspek dan kriteria, sangat beragam dan tidak didominasi oleh hanya oleh satu jenis alat tangkap saja. Hal ini mengindikasikan bahwa masing-masing alat tangkap memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Berdasarkan hasil standardisasi seluruh aspek,
alat tangkap huhate, pancing
tonda, pukat cincin, dan jaring insang permukaan masing-masing sebagai alternatif prioritas pengembangan ke depan di perairan Maluku. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2005 tentang Otonomi Daerah dimana batas kewenangan pengelolaan provinsi sejauh 4 mil laut. Bertolak dari batas kewenangan tersebut masyarakat nelayan masih memungkinkan untuk melakukan ekspansi penangkapan tidak hanya terbatas pada daerah pantai disekitar Teluk Ambon yang hanya berjarak 2 mil. Ikan merupakan sumberdaya yang memiliki keunikan serta karakteristik khusus dibanding sumberdaya lainnya yaitu sebagai sumberdaya milik bersama dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja (open acces), oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan oleh nelayan tidak hanya terbatas disekitar pulau Ambon, akan tetapi dapat dilakukan diluar pulau Ambon sampai di Laut Seram dan Laut Banda. Kontribusi sumberdaya ikan pelagis besar terutama ikan tuna dan cakalang di perairan pulau Ambon sangat besar dalam memenuhi cadangan lokal maupun pasar internasional. Ikan pelagis besar ditangkap oleh nelayan menggunakan kapal kayu dengan alat tangkap pancing tonda, huhate dan jaring insang dengan fasilitas teknologi yang terbatas. Sedangkan sumberdaya ikan pelagis kecil, nelayan menggunakan alat tangkap pukat cincin, bagan. Masalah yang dihadapi oleh nelayan ialah sulitnya mendapatkan material pembuatan kapal karena umur kapal yang terbatas waktu penggunaannya di laut. Selain itu ukuran kapal dan bentuk kapal yang kurang memadai, tidak adanya sarana pengawetan ikan hasil
156
tangkapan, akibatnya hasil tangkapan terbatas, cenderung menurun, mutu ikan hasil tangkapan rendah, dan operasional kapal untuk melaut terbatas. Kapal huhate merupakan kapal penangkap ikan pelagis yang banyak digunakan di perairan Maluku, namun dalam pengoperasiannya masih terdapat beberapa kendala yang harus diperhitungkan dan sering menjadi hambatan dalam pengelolaan potensi sumberdaya ikan. Kendala-kendala tersebut antara lain: 1) tangkai pancing terbuat dari bambu, 2) desain palka kurang efektif, ukuran kapal tidak memadai. Untuk mengatasi masalah tersebut diusulkan beberapa modifikasi untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena bahan pembuat joran pancing terbuat dari fiberglass lebih baik dibandingkan dari bambu. Ukuran joran pancing bambu yang panjang (3,00 m) banyak menguras tenaga pemancing saat mengangkat ikan dari dalam air dibandingkan joran pancing fiberglass yang lebih pendek (2,75 m). Hal ini disebabkan karena ikan hasil tangkapan pada saat proses pemancingan tidak jatuh pada deck kapal melainkan akan jatuh ke air. Bambu yang sekarang ini masih digunakan sebagai bahan pembuat joran pancing huhate sangat berpengaruh terhadap operasi penangkapan. Hal ini disebabkan karena: 1) mudah patah, 2) mudah lapuk, 3) sukar didapatkan di alam akibat semakin banyaknya penggusuran lahan bambu dan dijadikan sebagai perumahan rakyat oleh pemerintah. Modifikasi joran pancing ini mempunyai kelebihan antara lain: lebih kuat, tahan lama, tidak mudah patah. Walaupun harganya mahal (Rp 1.500.000) tentunya dapat diimbangi dengan hasil tangkapan yang diperoleh dari alat tangkap tersebut, hal ini tentunya sangat menguntungkan pihak pengelola armada perikanan tangkap. Modifikasi joran pancing ini tentunya sangat diharapkan oleh nelayan sehingga operasi penangkapan sangat menguntungkan. Perbandingan hasil tangkapan yang diperoleh dengan joran pancing bambu dan joran pancing fiberglass menunjukkan hasil yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan dengan kapal huhate. Hal ini disebabkan karena modifikasi joran pancing fiberglass lebih elastis dan fleksibel dalam pengangkatan hasil tangkapan ke kapal, waktu yang dibutuhkan hanya 4,5 detik untuk penangkatan ikan ke kapal bila dibandingkan dengan joran pancing bambu 6,2 detik.
155
Ukuran kapal huhate saat ini dengan P x L x T (14,83; 3,24; 2,50 m) merupakan ukuran yang dijumpai di daerah Maluku. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan karena jangkauan fishing ground semakin jauh dan jumlah armada semakin banyak sehingga memungkinkan operasi penangkapan akan terganggu. Modifikasi prototipe yang diusulkan untuk dikembangkan ini
dengan ukuran kapal P x L x T (15,26; 3,64; 2,62 m)
merupakan modifikasi baru yang dapat membantu nelayan dalam mengelola sumberdaya. Alasan diusulkannya modifikasi ukuran kapal lebih panjang mengingat fishing ground cukup jauh sehingga dibutuhkan kapal yang dapat mengelola sumberdaya secara maksimal. Perubahan modifikasi kapal yang diusulkan diharapkan dapat membantu nelayan dalam mengelola sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Perubahan modifikasi ukuran kapal diikuti dengan perubahan modifikasi palka, hal ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha penangkapan ikan. Desain palka saat ini masih belum memenuhi standar untuk menyimpan hasil tangkapan dan hasil tangkapan dijual pasaran lokal saja dan belum dimodifikasi untuk menghasilkan produk skipjack loin yang merupakan suatu produk eksport. Melihat kelemahan yang ada maka, diusulkan suatu bentuk modifikasi palka yang dapat menghasilkan produk eksport yang akhir-akhir ini permintaannya sangat tinggi baik di pasaran domestik maupun pasaran internasional. Teknologi modifikasi
palka yang diusulkan untuk dikembangkan tanpa
merubah bentuk palka saat ini, akan tetapi hanya dengan penambahan lapisan styrofoam pada dinding palka. Spesifikasi styrofoam dengan ketebalan 5-15 cm, dengan kondisi dinding palka terbuat dari fiberglass. Hal ini disebabkan karena palka yang terbuat dari fiberglass tanpa dilapisi oleh styrofoam tentunya sangat berpengaruh terhadap kualitas hasil tangkapan. Kelebihan modifikasi palka dengan penambahan lapisan styrofoam ini antara lain: 1) dapat memperlambat proses pembusukan, 2) mutu hasil tangkapan lebih baik. Kelemahan dari desain palka ini hanya biaya pembuatan lebih besar tetapi tentunya dapat diimbangi dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Desain palka kapal huhate saat ini hanya dapat menampung 450 sampai 500 ekor/palka sedangkan kapal yang telah dimodifikasi palka dapat menampung > 500
156
ekor/palka, sedangkan daya tahan ikan hasil tangkapan yang diperoleh di daerah penangkapan sampai ke fishing base mencapai 12 jam pada palka yang telah dilapisi styrofoam dan untuk palka saat ini hanya mencapai 7 jam. Kondisi es pada palka kapal saat ini mencair lebih cepat bila dibandingkan dengan kondisi paka yang telah dimodifikasi dengan styrofoam. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan styrofoam proses pencairan es lebih lambat dibandingkan dengan tanpa styrofoam. Peralatan navigasi pada kapal huhate saat ini belum memenuhi stándar berlayarnya sebuah kapal karena peralatan tersebut hanya berupa kompas, SSB, peta laut. Diusulkannya penambahan peralatan navigasi seperti life jacket, hand GPS. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap keselamatan kapal pada saat operasi penangkapan, mengingat selama ini kapal huhate yang beroperasi di perairan Maluku belum dilengkapi dengan semua peralatan keselamatan di laut yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan. Alat tangkap pancing tonda merupakan salah satu alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tuna di perairan Maluku. Alat ini cukup efektif untuk mengelola sumberdaya perikanan, hal ini disebabkan karena alat ini termasuk alat tangkap ramah lingkungan dan hanya menangkap ikan yang sesuai dengan ukuran mata pancing yang digunakan. Kelemahan alat ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan. Beberapa kelemahan alat ini antara lain: 1) ukuran senar No 800 termasuk ukuran kecil untuk menangkap ikan tuna, 2) kail yang digunakan masih berbentuk “J“ (J-shaped), 3) tidak digunakannya bahan pelindung dekat senar. Kelemahan dari alat ini dapat diatasi dengan diusulkan modifikasi alat tangkap yang baru yang mempunyai spesifikasi: 1) ukuran senar No 1000, 2) kail berbentuk circle shapped, 3) menggunakan swivel dekat mata pancing. Modifikasi prototipe alat pancing tonda yang diusulkan ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan yang dimiliki nelayan adalah sebagai berikut :1) senar tidak mengalami kekusutan pada waktu rontaan ikan yang terkait pada mata pancing karena telah dilengkapi dengan swivel, 2) dapat menangkap ikan tuna dengan berat di atas 60 kg tanpa putusnya senar, 3) pengangkatan (penarikan) ikan yang sudah terkait pada mata pancing, dapat dilakukan dalam
155
kurun waktu yang lebih pendek dibandingkan pada penggunaan ukuran senar yang lebih kecil, 4) senar terlindung terhadap gesekan gigi atau gigitan ikan, 5) ikan yang telah terkait pada mata pancing sukar terlepas, 6) dapat mengoperasikan lebih dari dua unit pancing dalam satu kapal tanpa terbelit satu sama lain disaat kapal melakukan manuver, 7) peluang untuk memperoleh ikan lebih dari satu ekor pada satu unit pancing lebih besar karena menggunakan lebih dari satu mata pancing. Keunggulan dari modifikasi alat ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan operasi penangkapan ikan. Perairan
Maluku dengan potensi sumberdaya ikan
pelagis besar
membutuhkan kapal pancing tonda yang efektif untuk mengelola potensi tersebut. Kapal pancing tonda yang saat ini beroperasi di perairan Maluku memiliki beberapa kelemahan yang perlu diatasi dan diperbaiki sehingga operasi bisa optimal baik dari segi kapal maupun teknologi yang digunakan untuk pengelolaan potensi sumberdaya. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: 1) ukuran kapal kecil (panjang: 7-8 m; lebar: 0,80 m; tinggi: 1,05 m) mengakibatkan pekerjaan pelaksanaan operasi penangkapan tidak efektif, 2) daya tampung 0,5 ton diakibatkan ukuran kapal kecil, 3) kapal tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi, 4) menggunakan bahan bakar minyak bensin mengakibatkan biaya operasional semakin besar, 5) tidak dilengkapi dengan tempat penyimpanan hasil tangkapan yang memadai sehingga penanganan hasil tangkapan tidak efisien. Kelemahan-kelemahan yang ada pada kapal tonda ini dapat diatasi dengan modifikasi kapal baru memiliki kelebihan antara lain: 1) ukuran kapal lebih besar (panjang 8,50; lebar 1,85; tinggi 1,15 m, 2) daya tampung 0,8 ton, 3) menggunakan fiberglass, 4) kekuatan mesin (40 PK) menggunakan bahan bakar kerosene, 5) menggunakan desain cool box yang dilapisi dengan styrofoam, 6) dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti kompas dan lifejacket yang fungsinya dapat membantu nelayan dalam keselamatan kerja di laut. Modifikasi baru yang diusulkan untuk dikembangkan ini tentunya dibuat dengan berbagai pertimbangan yang mendasar dan sangat berguna bagi kepentingan pengelola sumberdaya perikanan. Kelebihan lain adalah volume palka dan bak umpan lebih besar, ruang kerja lebih luas.
156
Salah satu faktor pendukung dalam keberhasilan operasi penangkapan kapal pancing tonda adalah cool box. Keberadaan cool box sangat berpengaruh terhadap kualitas ikan hasil tangkapan. Cool box kapal pancing tonda saat ini sangat memprihatinkan akibatnya hasil tangkapan yang diperoleh hanya untuk konsumsi lokal dengan harga yang jauh lebih rendah. Modifikasi palka yang diusulkan untuk dikembangkan diharapkan dapat membantu nelayan sehingga pengelolaan sumberdaya pelagis besar dapat maksimal. Hal ini disebabkan karena modifikasi cool box mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan cool box saat ini antara lain: 1) menggunakan bahan fiberglass, 2) menggunakan bahan styrofoam pada dinding cool box, 3) harganya dapat dijangkau oleh nelayan, 4) kualitas hasil tangkapan baik untuk dieksport. Keunggulan modifikasi ini diusulkan untuk dikembangkan sehingga dapat membantu nelayan. Hal ini disebabkan karena setiap pengusaha perikanan tangkap
mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang
dikelolanya. Harga jual ikan tuna saat ini dengan desain palka yang sederhana adalah Rp 25.000/kg jauh lebih murah dibandingkan dengan harga jual dengan modifikasi cool box dengan bahan lapisan styrofoam sebesar Rp 60.000/kg. Nilai jual yang tinggi tentunya sangat diharapkan oleh nelayan sehingga hal ini merupakan suatu acuan jelas sehingga perlu pengembangan yang lebih baik. Hal ini disebabkan karena kualitas dari desain cool box saat ini tidak terlalu baik sehingga menyebabkan nilai jualnya jauh lebih rendah dibandingkan modifikasi yang diusulkan untuk dikembangkan. Dalam pemanfaatan potensi sumberdaya pelagis besar dengan alat tangkap pancing tonda sangat dibutuhkan teknologi yang dapat membantu nelayan. Salah satu teknologi baru yang sederhana diusulkan untuk dikembangkan adalah teknologi penangkapan ikan pelagis dengan menggunakan metode layang-layang. Penggunaan metode layang-layang sangat praktis sehingga dapat dilakukan oleh nelayan. Dalam pengoperasian alat tangkap dengan menggunakan metode ini, mesin kapal dimatikan serta kapal dibiarkan hanyut sesuai arah arus sehingga hal ini memungkinkan biaya eksploitasi dapat dikurangi sekitar 50%. Penggunaan metode ini mempunyai kelebihan bila dibandingkan cara lama yang digunakan oleh nelayan antara lain:
155
(1)
Dapat menghemat BBM sampai 35-50%
(2)
Penggunaan teknologi sangat sederhana
(3)
Kecepatan kapal relatif kurang lebih 1 mil/jam
(4)
Konstruksi layang-layang terbuat dari bambu dan plastik dengan ukuran tinggi 1,00 m dan lebar 0,75 m, diameter bambu 1 cm. Penggunaan teknologi ini merupakan terobosan baru dan dapat dijangkau
oleh nelayan sehingga dapat menekan biaya operasi penangkapan. Kelebihan dari teknologi sederhana ini adalah dapat menghemat
BBM hingga 50%.
Dibandingkan dengan metode penangkapan ikan yang digunakan saat ini, penggunaan metode yang baru ini diharapkan akan memberikan respon positif bagi nelayan. Perbandingan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dari teknik penangkapan
ikan
saat
ini
dengan
penggunaan
metode
layang-layang
menunjukkan bahwa penggunaan metode ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi nelayan. Hal ini disebabkan karena penggunaan metoda layang-layang tidak membutuhkan biaya eksploitasi yang besar (Rp 350.000) bila dibandingkan dengan penangkapan ikan saat ini (Rp 650.000). Melihat kondisi yang ada saat ini, diharapkan perubahan yang terjadi akibat transfer teknologi yang dilakukan akan memberikan dampak positif bagi pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis di perairan Maluku. Pukat cincin (purse seine) merupakan alat penangkapan ikan yang sudah lama dikenal oleh nelayan yang mendiami pesisir pantai di perairan Maluku. Di Maluku, pukat cincin (purse seine) dikenal dengan nama “jaring bobo” dan digunakan untuk menangkap ikan pelagis, terutama ikan pelagis kecil. Ukuran kapal pukat cincin di daerah ini dikategorikan sebagai ukuran kecil (panjang 18,25m; lebar 2,75m; tinggi 1,75m), hal ini mengakibatkan pekerjaan pada saat operasi tidak efektif karena sebagian ABK harus berada disisi kiri kapal untuk mengimbangi kestabilan kapal. Pada sisi lain pada kapal ini juga tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi dan peralatan penanganan
hasil tangkapan yang
memadai sehingga hal ini sangat berpengaruh pada saat operasi penangkapan. Melihat kelemahan yang ada maka, diusulkan modifikasi yang sesuai dengan kebutuhan pengoperasian alat ini. Modifikasi prototipe kapal yang diusulkan mempunyai panjang 20,07; lebar 3,01; dan tinggi 2,02 meter, dengan
156
menggunakan mesin 40 PK (4 buah). Modifikasi ini tentunya memiliki kualitas dalam pembuatan kapal ikan, dilengkapi dengan peralatan navigasi, serta memiliki modifikasi palka yang dilapisi dengan lapisan styrofoam sehingga diharapkan kualitas ikan hasil tangkapan akan lebih baik. Desain palka saat ini belum dapat mengatasi keberadaan hasil tangkapan, hal ini disebabkan karena desain pada kapal ini masih bersifat tradisional walaupun terbuat dari bahan fiberglass dengan kualitas kurang baik. Hasil tangkapan yang diperoleh dari alat tangkap ini juga kadang-kadang dibiarkan diatas deck kapal sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas ikan. Program palkanisasi harus dilaksanakan secara memadai yang berfungsi agar tetap menjaga kualitas ikan hasil tangkapan. Kapal-kapal penangkap ikan yang tidak berpalka optimal tidak mampu menjaga kualitas ikan sehingga hasil tangkapan hanya laku sekitar Rp 5.000 per kg. Padahal dengan penanganan yang baik, ikan tangkapan pada saat didaratkan masih berkualitas A atau B dengan harga jual rata-rata Rp 20.000 per kg. Teknologi alat bantu penangkapan pada armada ini belum begitu baik karena pada saat operasi penangkapan sering mengalami kegagalan, oleh sebab itu diusulkan suatu teknologi sederhana baru yang diharapkan dapat membantu nelayan mengatasi masalah ini. Salah satu teknologi sederhana baru adalah modifikasi “winch”. Winch merupakan alat bantu penangkapan untuk meringankan beban pada saat penarikan jaring dilakukan (Gambar 59). Penggunaan teknologi winch ini diharapkan dapat membantu nelayan untuk menarik tali cincin yang tujuannya agar ikan-ikan yang menjadi tujuan target sulit lolos. Winch ini terbuat dari as belakang mobil truk bekas, belt (tali kipas), mesin hand tracktor type Kubota Rb 85DI-TI. Biaya yang dikeluarkan untuk mesin hand tractor sebesar Rp 6.000.000, sedangkan biaya as truck bekas sebesar Rp 500.000. Walaupun biaya yang dikeluarkan cukup besar untuk pengadaan alat ini tetapi tentunya dapat diimbangi dengan nilai jual hasil tangkapan ikan pelagis. Penggunaan teknologi baru ini sangat diperlukan oleh pengusaha perikanan tangkap sehingga hasil yang diperoleh dapat maksimal. Desain yang diusulkan untuk dikembangkan ini merupakan terobosan teknologi sederhana yang mampu meningkatkan pendapatan nelayan. Dari aspek sosial pengunaan teknologi winch
155
ini hanya memerlukan jumlah nelayan yang relatif kecil (10 sampai 15 orang) bila dibandingkan dengan jumlah nelayan tanpa menggunakan winch pada kapal pukat cincin yang jauh lebih besar (20 sampai 25 orang). Dari aspek ekonomi modifikasi winch ini dalam pembuatannya memerlukan biaya yang relatif besar, akan tetapi ini dapat diimbangi dengan hasil tangkapan yang diperoleh. Sedangkan dari aspek teknis, pengoperasian winch ini sangat praktis dan dalam pengoperasiannya dapat dikendalikan dengan mudah sehingga operasi penangkapan dapat dilakukan dengan baik. Penggunaan waktu yang dibutuhkan dengan modifikasi teknologi baru ini dalam penarikan alat tangkap pukat cincin adalah 25 sampai 35 menit sedangkan tanpa menggunakan winch adalah 55 menit. Kecepatan waktu yang dibutuhkan oleh alat ini sangat tergantung pada jumlah tenaga yang dihasilkan mesin yang digunakan pada alat winch. Alat tangkap huhate, pancing tonda, pukat cincin, merupakan unit penangkapan unggulan yang perlu dikembangkan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Wisudo et al. (2003)
bahwa untuk meningkatkan produksi dibidang
perikanan adalah dengan penerapan teknologi modern pada sarana dan teknis digunakan, dalam hal ini termasuk unit penangkapan. Peningkatan produksi tidak selalu akan memberikan hasil atau pendapatan yang tinggi akan tetapi perlu dibutuhkan pula strategi dalam pemasaran produk yang dihasilkan. Kebijakan untuk menggantikan unit penangkapan yang kurang produktif di perairan Maluku perlu dilakukan secara hati-hati karena akan berdampak pada struktur sosial dari masyarakat nelayan. Keberhasilan perikanan tangkap tidak hanya dilihat dari aspek produksi, akan tetapi bagaimana produk yang dihasilkan tersebut dapat dipasarkan dengan baik serta dengan harga yang layak. Faktor pendukung lain yang dapat menunjang keberhasilan pengembangan perikanan tangkap di Maluku adalah adanya pabrik es. Es merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi usaha penangkapan ikan sebab es sangat menentukan kualitas komoditi ikan yang dipasarkan. Kualitas ini pula selanjutnya menentukan besar kecilnya tingkat harga yang ditawarkan serta penerimaan dari hasil penjualan. Keberadaan desain cool box sangat dipengaruhi oleh es karena es merupakan bahan yang dapat membantu nelayan dalam menghasilkan kualitas eksport ikan hasil tangkapannya. Kebutuhan akan es pada kapal penangkapan
156
sangat ditentukan oleh besarnya palka dan besarnya kapal yang dipakai sebagai kapal penangkap. Kapal huhate pada umumnya membutuhkan es balok sebanyak 20 sampai 30 balok es. Balok-balok es itu kemudian dihancurkan menjadi kepingan-kepingan kecil dan dimasukan ke dalam palka. Sedangkan pada kapal pancing tonda hanya membutuhkan 2 sampai 3 balok es dan pada kapal pukat cincin digunakan es sebanyak 5 sampai 10 balok. Kristal-kristal es yang telah dihancurkan tadi mempunyai fungsi yang sama juga pada kapal pancing tonda dan pukat cincin. Adapun matriks pengembangan teknologi tepat guna perikanan tangkap di Maluku disajikan pada Tabel 72 Tabel 72 Matriks pengembangan teknologi tepat guna perikanan tangkap di Maluku No 1
Alat tangkap/kapal/teknologi Huhate - Pancing - Kapal
3
Pengembangan teknologi
- Bahan bambu - Ukuran kapal kecil
- Bahan fiberglass - Ukuran kapal diperbesar
- Tidak efisien dalam penyimpanan hasil tangkapan
- Lebih efisien dengan menggunakan styrofoam pada dinding palka
- Ukuran snar kecil (No 800) - Type kail “J” shapped
- Ukuran snar lebih besar (No 1000) - Type kail cyrcle shapped
- Kapal
- Ukuran kapal kecil
- Ukuran kapal diperbesar
- Modifikasi cool box
- Tidak efektif dalam penyimpanan - Menggunakan styrofoam hasil tangkapan
- Modifikasi palka
2
Kondisi saat ini
Pancing tonda - Alat tangkap
- Teknologi penangkapan ikan tuna - Teknologi penangkapan secara dengan menggunakan metode layang- manual layang Pukat cincin - Kapal - Ukuran kapal kecil - Modifikasi palka
- Modifikasi winch
- Menggunakan layanglayang sebagai alat bantu penangkapan - Ukuran kapal diperbesar
- Tidak efisien dalam penyimpanan - Lebih efisien dengan hasil tangkapan menggunakan bahan styrofoam pada dinding - Hauling jaring menggunakan palka - Menggunakan winch tenaga manusia sebagai alat bantu pada waktu hauling
Sumber: Hasil penelitian (2009) 5.7 Model Konseptual Pengembangan Perikanan Pelagis di Maluku Model konsep ini adalah merupakan tindak lanjut dari penggalian issu yang terjadi pada saat ini dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat
155
mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung pelaksanaan suatu kebijakan.
Suatu
kebijakan
akan
selalu
mengutamakan
tujuan
tanpa
memperhatikan masalah yang terjadi di lapangan, hal ini yang menyebabkan tidak optimalnya suatu kebijakan. Hasil dari penelitian yang dilakukan ini mencoba menggali issu yang terjadi dengan berbagai macam permasalahaan yang lebih dominan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perikanan tangkap di Provinsi Maluku dengan melihat kembali kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selama ini, apakah seimbang dengan jalannya roda pembangunan perikanan tangkap di daerah ini. Setelah mencoba menganalisis faktor-faktor tersebut, ternyata hasil yang diperoleh lebih cenderung dan mengarah pada ketidakseimbangan pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan permasalahaan pada masyarakat. Kebijakan yang diharapkan yaitu dapat mampu merubah penggunaan teknologi yang selama ini dalam mengelola sumberdaya dengan penggunaan tekonolgi baru sehingga pengelolaannya dapat diimplementasikan dengan tepat sasaran serta rasional. Hal ini didukung oleh pendapat Nugroho (2003) yang menjelaskan bahwa sebuah kebijakan yang selalu diutamakan adalah tujuan mengamati masalah yang ada. Permasalahaan internal perikanan tangkap yang selama ini terjadi di provinsi Maluku antara lain: 1) keterbatasan akses terhadap informasi dan sistem data base, 2) pendanaan, 3) infrastruktur (sarana dan prasarana), 4) sumberdaya manusia, 5) over fishing dan kerusakan lingkungan, 6) serta belum adanya aturanaturan yang mengatur potensi sumberdaya alam. Masalah eksternal, baik makroekonomi, politik, hukum dan kelembagaan adalah 1) illegal fishing akibat penegakan hukum dan pengawasan di laut yang lemah, 2) perizinan, 3) kebijakan sektoral sangat menonjol, 4) belum ada implementasi tata ruang laut provinsi, 5) instrumen monoter belum mendukung pengembangan bisnis perikanan, 6) politik dan keamanan. Permasalahaan yang selama ini terjadi di Provinsi Maluku adalah sangat kompleks dan hasil analisis menyatakan bahwa posisi teknologi alat penangkapan ikan di perairan Maluku berada pada phase pertumbuhan, hal ini membuktikan bahwa dalam mengimplementasikan suatu kebijakan di daerah harus dilakukan
156
secara bersama-sama dan disepakati oleh semua unsur yang terkait didalamnya dengan mempunyai suatu komitmen bersama berdasarkan ketersediaan potensi sumberdaya, alokasi unit penangkapan, penerapan alat penangkapan tepat guna, pengembangan unit penangkapan, serta strategi pengembangan perikanan pelagis. Permasalahaan tersebut dapat bermanfaat bagi nelayan, menambah PAD, kelestarian sumberdaya, serta berguna bagi pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pelaksanaan UU No 32 tahun 2004 itu minimal memiliki dua implikasi terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya dalam hal pewilayahan daerah penangkapan ikan, yaitu: 1) Pemerintah Provinsi harus dengan lebih pasti mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk menentukan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai dengan daerahnya, 2) Pemerintah Provinsi harus mampu mengalokasikan 4 mil dari 12 mil laut berada dibawah wewenangnya kepada kota/kabupaten yang selanjutnya dikelola pemanfaatannya (Nikijuluw et al. 2007). Selanjutnya dapat dikatakan bahwa pembangunan perikanan dapat berjalan dengan baik dengan memperhatikan
aspek-aspek
seperti
lingkungan
strategis,
potensi,
dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan, permasalahaan yang ada dalam sistem produksi, IPTEK dan SDM, hukum dan kelembagaannya. Dua komponen utama dalam bidang pengelolaan sektor perikanan adalah sumberdaya perikanan sebagai objek yang dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, serta sumberdaya manusia sebagai pengelola dengan dua pihak penting didalamnya yaitu pihak pengelola yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan sektor perikanan, dan pihak pengguna sektor perikanan yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan tersebut. Pemerintah dan masyarakat adalah merupakan mitra yang setara dalam kerjasama untuk pelaksanaan tugas dan tanggungjawab proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Menurut Jentoft (1989) yang diacu oleh Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan alasan efisiensi dalam hal ini dikarenakan sumberdaya ikan merupakan sumberdaya bersama (common property) sehingga dampak eksternalitasnya dapat dikurangi
tidak
melebihi kapasitas yang berakhir dengan efisiensi, terwujudnya keadilan dalam
155
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya antara nelayan skala kecil dengan nelayan skala besar, kemampuan otoritas pelaksanaan tugas dan fungsinya dapat berjalan baik dengan memperhitungkan batasan kewenangan, luasnya daerah dan kompleksitas masalah dapat teratasi dengan mudah sehingga secara tidak langsung menghasilkan keuntungan ekonomi. Permasalahaan yang dialami oleh nelayan sekarang ini di Maluku adalah kurangnya dana yang disiapkan oleh pemerintah, swasta sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya. Solusi yang diperlukan untuk maksud ini adalah pinjaman modal oleh pemerintah dengan bunga yang rendah sehingga nelayan dapat memilikinya bunga rendah dari pemerintah dan berpengaruh secara langsung terhadap pengembangan perikanan pelagis yang akan dikembangkan. Bentuk kerjasama serta partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam mengoptimalkan suatu aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan akan mencapai sasaran apabila kerjasama tersebut dapat diwujudkan melalui suatu proses. Hal ini dibuktikan oleh pendapat Suharyanto et al. (2005) yang mengatakan bahwa bentuk ko-management yang berbasis pada masyarakat akan sangat membantu untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan yang bersifat berkelanjutan. Salah satu pola kemitraan yang dapat dikembangkan adalah dengan sistim pola inti rakyat dimana pemerintah sebagai pembina utama, pengusaha sebagai mitra pembina dan nelayan sebagai mitra binaan. Program kemitraan seperti ini, dipandang dapat dikembangkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana, modal kerja nelayan, pembinaan managemen usaha, pemasaran, adopsi teknologi tepat guna dengan perjanjian kerjasama kemitraan yang memihak pada nelayan tanpa merugikan mitra pembina. Dalam mengembangkan program kemitraan seperti ini, pemerintah harus dapat menjadi fasilitator dengan memberikan perlindungan dan jaminan keberpihakkan kepada kelompok nelayan melalui program kerjasama sehingga dapat berkembang dengan baik. Pengembangan model perikanan pelagis yang akan dikembangkan dengan berbagai pertimbangan diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi pemanfaatan pengelolaan sumberdaya ikan di Maluku.
156
Pengelolaan sumberdaya ikan yang baik akan selalu melibatkan semua unsur terkait yang berkompeten dalam pemanfaatan potensi sumberdaya. Untuk mewujudkan
suatu
keberhasilan
dalam
proses
pengelolaan
yang
bertanggungjawab dan lestari maka dibutuhkan suatu kerjasama. Setiap pihak yang berkepentingan menjalankan dan mematuhi kesepakatan yang berlaku dan ditetapkan bersama baik itu formal maupun non formal untuk mencapai suatu tujuan, maka dengan mudah suatu sistem industri perikanan yang ada dapat digerakkan dan diarahkan. Menurut Nikijuluw (2002), bentuk ko-manajemen adalah suatu bentuk pendistribusian tanggungjawab dan kewenangan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ikan antara pemerintah dan masyarakat (nelayan maupun swasta). Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan adanya transformasi model teknologi dan inovasi baru dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional. Hal tersebut merupakan syarat penting yang harus dipenuhi dalam rangka penciptaan perbaikan tingkat output dan produktifitas hasil tangkapan. Kenyataan yang ada sekarang adalah bahwa nelayan-nelayan tradisional dengan teknologi dan kapasitas unit penangkapan yang masih rendah menyebabkan mereka hanya terkonsentrasi pada daerah penangkapan di sekitar pantai dimana potensi sumberdaya ikan di wilayah tersebut semakin menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan. Namun demikian transformasi teknologi dan inovasi baru harus juga diimbangi dengan perubahan-perubahan yang mempengaruhi seluruh struktur sosial, politik dan kelembagaan masyarakat nelayan. Tanpa adanya perubahan-perubahan tersebut, maka
modernisasi
dan
peningkatan
kapasitas
penangkapan
menjadi
kontraproduktif. Pemilihan jenis dan bentuk introduksi teknologi perlu mempertimbangkan kondisi tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan karena introduksi teknologi di samping dapat memberikan dampak positif terhadap produktifitas, tetapi terkadang memberikan dampak negatif karena penggunaan teknologi maju memberikan peluang tergesernya peran tenaga kerja manusia dalam proses produksi tersebut. Apabila tingkat pengangguran begitu tinggi, maka alternatif teknologi tepat guna dan padat karya mungkin dapat menjadi alternatif, tetapi
155
apabila tingkat pengangguran tergolong rendah, maka pengenalan teknologiteknologi yang lebih efisien dapat menjadi pertimbangan. Bentuk teknologi yang relatif aman dikembangkan adalah teknologi yang bersifat skala netral (neutral scale). Teknologi jenis ini dapat digunakan pada skala usaha mana saja maupun dalam kondisi ketenagakerjaan dengan tingkat pengangguran maupun rendah dengan sama efektifnya. Teknologi yang relevan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan dan pendapatan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan yaitu berupa memperbesar armada penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif. Pengelolaan yang melibatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam hubungan pelaku pembangunan perikanan yang pada hakekatnya adalah cara untuk memperkenalkan atau melembagakan sistem pengambilan keputusan yang dilakukan bersama-sama dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya. Kerjasama yang baik dalam suatu komitmen yang tepat guna mencapai tujuan dengan menekan permasalahaan-permasalahaan yang ada maka dengan sendirinya terjadi kompetisi yang sehat dalam suatu usaha akan tercipta. Nikijuluw (2002), mengatakan bahwa setiap perilaku yang melalui komanajemen akan menciptakan status pengelolaan perikanan yang lebih tepat, efisien serta lebih adil dan merata. Sumberdaya manusia merupakan faktor yang paling menentukan dalam mempercepat proses pembangunan termasuk pembangunan perikanan tangkap. Manusia mampu menciptakan dan menggunakan teknologi hingga produktivitas meningkat, oleh karena itu pengembangan sumberdaya manusia seharusnya mendapat prioritas dalam pembangunan perikanan tangkap. Pengembangan sumberdaya manusia perikanan dapat ditempuh dengan cara informal seperti: penyuluhan, pendidikan dan latihan, magang, studi banding, serta dengan cara formal melalui pendidikan reguler di sekolah-sekolah perikanan. Model yang dibangun ini diharapkan akan memberikan arti penting dalam pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku yang akan diatur dan dirancang secara intern sesuai kekuatan yang ada dengan tujuan dan masalah keseimbangan sumberdaya serta teknologi dalam merumuskan kebijakan.
227 1 Pemerintah 2 Masyarakat 3 Swasta Potensi lestari ikan pelagis Alokasi unit penangkapan ikan KONDISI PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU SAAT INI
GOAL Jaminan Keselamatan sumberdaya
Penerapan alat penangkapan tepat guna
Prioritaskan unit penangkapan ikan
Kesejahteraan nelayan
Strategi pengembangan perikanan pelagis
PAD
Gambar 79 Model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku
227
Gambar 79 menunjukkan bahwa implementasi optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku dapat dilakukan melalui instrumen perijinan dari pemegang otoritas sumberdaya lokal, sesuai dengan kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu dikelola dengan pertimbangan kapasitas sumberdaya yang tersedia. Optimalisasi alokasi unit penangkapan di perairan Maluku membutuhkan suatu stakeholeder, karena posisi perairan tersebut bersinggungan langsung dan mencakup hampir seluruh wilayah administratif kabupaten/kota di Maluku. Dalam rangka pengembangan perikanan pelagis ke depan, dengan terinspirasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap pemerintah kabupaten/kota cenderung menentukan besar potensi sumberdaya ikan sesuai dengan luas wilayah administrasinya. Jumlah potensi kemudian digunakan sebagai dasar alokasi unit penangkapan ikan tanpa memperhatikan sifat sumberdaya ikan yang beruaya dari satu perairan ke perairan lain sehingga sulit untuk menentukan hak kepemilikannya. Selain itu, sumberdaya bersifat common property resourches dan pengelolaannya bersifat open access. Nikijuluw (2002) mengemukakan bahwa sifat eksludabilitas sumberdaya ikan yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu menjadi semakin sulit karena sifat sumberdaya ikan yang bergerak luas di laut. Kesulitan pengawasan dan pengendalian tersebut menimbulkan kebebasan pemanfaatan oleh siapa saja yang ingin masuk ke dalam industri perikanan tangkap sehingga pengawasan oleh pemegang otoritas manajemen sumberdaya semakin sulit diimplementasikan. Kebebasan pemanfaatan dan kesulitan pengawasan sumberdaya ikan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) ikan pelagis secara terpadu oleh kabupaten/kota yang memanfaatkan sumberdaya secara langsung di perairan Maluku. RPP tersebut diharapkan dapat memberikan arah pengelolaan yang lebih jelas, terorganisir, dan transparan bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis. Penyusunan RPP sebaiknya melibatkan para stakeholders perikanan seperti nelayan, pedagang ikan, pemasok alat tangkap, pemerintah, masyarakat dan swasta. Keterlibatan seluruh stakeholders dalam proses penyusunan dengan sendirinya mendorong peningkatan ”rasa memiliki”
155
dan ”rasa tanggung jawab” untuk mengelola sumberdaya ikan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan ( Martosubroto 2007). Seperti di Indonesia, pengelolaan sumberdaya perikanan di Maluku dilakukan dalam akses terbuka dan pengendalian ijin penangkapan. Bentuk pengelolaan pertama dapat menimbulkan inefiensi alokasi dan degradasi sumberdaya. Kondisi pengelolaan akses terbuka masih terus berlangsung hingga saat ini. Bentuk pengelolaan kedua menghasilkan efisiensi alokasi sumberdaya. Secara teoritis, bentuk pengelolaan kedua dapat dilakukan pada titik maximum economic yield. Dengan demikian, penerapan alat penangkapan tepat guna di perairan Maluku harus dilakukan secara kehati-hatian dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena implementasi penerapan pengembangan alat tangkap tepat guna belum maksimal karena 75%
alat penangkapan ikan berukuran kecil dan bersifat tradisional.
Namun, intensifikasi modal dan modifikasi teknologi tepat guna masih sangat dibutuhkan baik bagi peningkatan kemampuan armada penangkapan. Misalnya, untuk menjangkau daerah penangkapan di ketiga wilayah WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) yang ada di Maluku dibutuhkan kemampuan kapal pukat cincin (purse seine) yang dilengkapi dengan peralatan navigasi, alat bantu penangkapan, dan alat deteksi ikan (echosounder) untuk meningkatkan efektifitas operasi penangkapan. Pendekatan
yang
dilakukan
di
Provinsi
Maluku
terhadap
model
pengembangan perikanan pelagis tidak hanya didekati dari satu segi, namun harus dari beberapa segi yang dianggap penting untuk mendapatkan pemecahan yang objektif. Pendekatan integratif sangat penting diperlukan untuk mengkaji seluruh faktor guna mendapatkan pemecahan masalah yang terjadi secara optimal. Berdasarkan
lingkup
kajian
meliputi
segala
mempengaruhi pengembangan perikanan pelagis
aspek
manajemen
yang
di Maluku, maka dalam
penelitian ini digunakan pendekatan sistem terhadap alat penangkapan ikan dari berbagai hubungan yang kompleks. Pendekatan cluster dalam pengembangan sumberdaya perikanan pelagis dapat diartikan sebagai suatu bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu. Upaya ini dilakukan guna meningkatkan
156
efisiensi dan efektifitas dengan menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu komoditi. Cluster dapat berupa kawasan tertentu, sebuah kota sampai wilayah yang lebih luas dan bahkan bisa berupa sebuah wilayah lintas negara. Pengembangan sumberdaya perikanan dengan pendekatan cluster dimana sekelompok usaha/industri yang saling terkait dari berbagai aspek usaha dan beroperasi dalam wilayah yang saling berdekatan diyakini mampu untuk tumbuh dan berkembang. Dengan pendekatan cluster tersebut dapat mengurangi biaya transaksi, meningkatkan daya saing dan efisiensi produksi. Mengingat sebagian besar komoditas perikanan Indonesia di ekspor dalam bentuk produk primer, maka dengan pendekatan cluster diharapkan terbangun suatu industri pengolahan hasil perikanan yang kuat dengan dukungan subsistemsubsistem lainnya sehingga nilai tambah suatu produk dapat ditingkatkan dan memperkuat daya saing komoditas ekspor Indonesia. Pelaku utama dalam pengembangan cluster perikanan adalah pelaku yang terlibat
pada
usaha
tersebut
baik
yang
bersifat
individu
maupun
lembaga/perusahaan. Dengan keterlibatan yang aktif dari para pelaku tersebut dimungkinkan cluster tersebut dapat semakin besar dan kuat. Keberhasilan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis membutuhkan strategi yang jelas dan tepat sehingga potensi sumberdaya dapat dimanfaatkan secara maksimal dan berkelanjutan. Model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku dapat diterapkan jika ditunjang oleh beberapa asumsi yaitu: 1) pendapatan meningkat, 2) dapat meningkatkan PAD, 3) kelestarian sumberdaya terkendali, dan 4) peran pemerintah, masyarakat, dan swasta dapat menunjang pelaksanaan pengelolaan sumberdaya.