1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang
laut yang sangat besar, yakni sekitar 78 800 ton per tahun yang terdiri dari 74 000 ton per tahun untuk udang penaeid dan 4 800 ton per tahun untuk lobster (Komnasperikanan, 1998). Gambaran besarnya potensi lestari sumberdaya udang laut tersebut secara rinci dapat diperhatikan pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1
Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa
Sumberdaya udang
Indonesia
Udang penaeid Lobster
Laut Jawa
Potensi lestari (ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
Potensi lestari (ton/tahun)
Pemanfaatan (%)
74 000
131,93
10 800
102,78
4 800
49,58
500
26
Sumber : Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut, 1998.
Pemanfaatan terhadap komoditi udang penaeid banyak dilakukan oleh industri perikanan rakyat.
Terlihat jelas bahwa pemanfaatan terhadap udang
penaeid telah melampaui kondisi maximum sustainable yield (MSY) .
Walaupun
tingkat pemanfaatan terhadap udang penaeid telah melampaui MSY-nya, proses pemanfaatan melalui upaya penangkapan masih tetap dilakukan oleh masyarakat nelayan.
Hal ini dimungkinkan karena upaya penangkapan udang tersebut
merupakan sumber pendapatan hidup masyarakat nelayan dan mereka melakukan kegiatan penangkapan tersebut karena udang penaeid memiliki tingkat harga jual yang relatif tinggi (rata-rata Rp 12 000,00 per kg di tingkat nelayan – kasus Cirebon pada tahun 2007). Memperhatikan potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang penaeid di kawasan perairan Laut Jawa seperti tampak pada Tabel 1 di atas, terlihat bahwa tingkat pemanfaatannya telah melampaui kondisi MSY (potensi sebesar 10 800 ton per tahun, sedangkan pemanfaatannya sebesar 11 100 ton per tahun).
Sedangkan berdasarkan analisis data statistik perikanan pada
periode tahun 1997 – 2007, didapatkan hasil perhitungan MSY udang di WPP 712 (wilayah Laut Jawa) sebesar 211 500 ton. Didasarkan pada penggunaan alat tangkap dogol sebagai acuan diperoleh nilai upaya optimal sebesar 15 300 kapal (PRPT – BRKP, KKP 2010). Sebagai sebuah wilayah yang dikenal sebagai Kota Udang, Cirebon merupakan wilayah yang memiliki potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang yang juga relatif besar.
Khusus terhadap besarnya tingkat pemanfaatan
sumberdaya udang di wilayah perairan Cirebon, dapat diperlihatkan (data tahun 2005) bahwa betapa besarnya jumlah armada penangkapan udang yang sudah mencapai 1 507 unit untuk alat tangkap dogol, 1 016 unit untuk alat tangkap trammel net dan 982 unit untuk alat tangkap jaring klitik. Sementara produksi hasil tangkapan yang diperoleh mencapai 6 430,61 ton dari alat tangkap dogol, 4 336,923 ton dari alat tangkap trammel net dan 4 187,374 ton dari alat tangkap jaring klitik.
Bila diperhatikan kondisi tersebut, kontribusi pemanfaatan
sumberdaya udang dari wilayah Cirebon sudah mencapai 134,73 % dari potensi sumberdaya udang wilayah Laut Jawa (Komnasperikanan, 1998). Hal ini mempertegas bahwa
tingkat pemanfaatan sumberdaya udang penaeid di wilayah
Cirebon telah melampaui kondisi MSY-nya. Walaupun kondisi pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Cirebon telah melampaui kondisi MSY-nya, namun kegiatan investasi pada unit alat tangkap jaring udang masih berlangsung hingga saat ini.
Kegiatan operasi
penangkapan pada unit alat tangkap jaring udang seluruhnya melibatkan usaha perikanan rakyat. Kegiatan investasi akan melahirkan adanya kegiatan produktif bagi masyarakat yang melakukannya.
Pada era saat ini, dimana kondisi
perekonomian makro berada dalam situasi yang tidak menentu, kegiatan investasi banyak ditujukan pada sektor agribisnis (termasuk perikanan laut) mengingat permintaan ekspor produk agribisnis (terutama udang) masih relatif besar.
Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa saat ini eksportir
memprediksi harga ekspor udang Indonesia di pasar internasional akan naik, hal ini antara lain disebabkan karena meningkatnya permintaan (khususnya dari Amerika Serikat dan Jepang) sebagai dampak mulai redanya perang AS – Irak dan jawaban tegas Indonesia (bahwa Indonesia tidak akan terlibat mengenai
2
kejahatan bioterorisme) terhadap diberlakukannya Undang-Undang Bioterorisme yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat. Kegiatan investasi dapat mengeksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya udang bila kegiatan investasi tersebut tidak dikontrol dengan baik.
Iklim
investasi pada unit penangkapan jaring udang yang tidak dikontrol akan mengakibatkan terjadinya pemanfaatan berlebihan (pengurasan) terhadap sumberdaya udang.
Apabila hal tersebut terjadi, maka bukannya kesejahteraan
yang akan diperoleh nelayan namun sebaliknya akan mengakibatkan kerugian pada mereka karena upaya penangkapan per unit alat tangkapnya akan semakin rendah. Mengingat kegiatan investasi pada unit alat tangkap jaring udang akan mengakibatkan terhadap kelangsungan upaya pemanfaatan sumberdaya udang, maka
agar
pemanfaatan
terhadap
sumberdaya
udang
tersebut
dapat
berkelanjutan diperlukan adanya analisis kapasitas investasi terhadap pengembangan unit alat penangkapan jaring udang dalam upaya pengelolaan sumberdaya udang yang berkelanjutan di wilayah perairan pesisir Cirebon. Di sisi lain, sebagai prasarana pendukung terhadap keberhasilan iklim investasi pada sektor perikanan laut umumnya di wilayah Cirebon, pihak pelabuhan perikanan senantiasa berupaya melengkapi berbagai fasilitas fisiknya dan memberikan pelayanan jasa secara maksimal.
Khusus terhadap iklim
investasi pada perikanan udang di wilayah Cirebon perlu kiranya dikaji lebih mendalam keterkaitan langsung maupun tidak langsung dari pelabuhan perikanan, sehingga dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi kedua belah pihak. 1.2
Perumusan Masalah Program motorisasi dan modernisasi unit alat penangkapan jaring udang
merupakan salah satu
cara untuk dapat meningkatkan produksi udang laut
melalui pembelian seperangkat investasi baru berupa satu unit armada penangkapan yang terdiri dari kapal (perahu), mesin motor tempel dan alat tangkap jaring udang sehingga pendapatan nelayan dapat ditingkatkan.
Di
lapangan, unit alat penangkapan jaring udang yang digunakan oleh nelayan adalah beragam, yakni
nelayan ada yang menggunakan unit alat tangkap
3
trammel net, jaring klitik atau ada pula yang menggunakan dogol dalam upaya untuk menangkap udang dengan menggunakan perahu yang bermesin motor tempel yang beragam pula kekuatannya. Program motorisasi dan modernisasi unit alat penangkapan jaring udang ini dengan demikian akan terkait dengan investasi pada masing-masing unit alat tangkap yang dikembangkan.
Program pengembangan investasi ini harus
dikontrol dan dimonitor sedemikian rupa sehingga program ini diharapkan tidak sampai merusak kondisi potensi lestari sumberdaya udang yang ada. Kenyataan menunjukkan bahwa kuantitas potensi lestari sumberdaya udang penaeid di wilayah perairan Laut Jawa telah dilampaui oleh kuantitas tingkat pemanfaatan sumberdaya udang hanya dari wilayah pesisir Cirebon.
Pada kondisi yang
demikian terlihat jelas bahwa bila investasi baru terhadap unit alat penangkapan jaring udang dilakukan, maka sumberdaya udang akan semakin terkuras dan dikhawatirkan justru tingkat pendapatan usaha penangkapan nelayan jaring udang akan semakin menurun. Dengan alasan tersebut maka perlu adanya pengelolaan yang baik terhadap upaya pemanfaatan sumberdaya udang agar berkelanjutan.
Oleh karenanya sehubungan dengan permasalahan seperti
tersebut di atas perlu kiranya diketahui : (1) Bagaimanakah kondisi pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah perairan pesisir Cirebon, apakah masih memungkinkan investasi baru untuk program pengembangan melalui motorisasi dan modernisasi unit alat tangkapnya ?. Hal ini sangat terkait dengan kepentingan aspek manajemen sumberdaya udang (aspek biologis) terhadap pengelolaan sumberdaya udang yang dikehendaki agar berkelanjutan. (2) Apakah program motorisasi dan modernisasi unit alat penangkapan jaring udang ini secara kuantitas masih perlu terus dilakukan ekspansi pengembangannya ?.
Hal ini sangat terkait dengan aspek pengembangan iklim
investasi (kapasitas investasi) pada kegiatan usaha penangkapan udang. (3) Dari aspek prasarana yang disediakan oleh pemerintah, apakah pelayanan jasa dari pelabuhan perikanan telah dapat memberikan kontribusinya terhadap pengoperasian alat tangkap jaring udang ?. Begitu pula sebaliknya seberapa besar manfaat yang dapat diberikan dari pengoperasian alat tangkap jaring udang terhadap pengelolaan pelabuhan perikanan ?
4
1.3
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian yang mengombinasikan kepentingan berbagai aspek (biologis,
teknis, ekonomi dan sosial) merupakan penelitian yang relatif dibutuhkan, mengingat permasalahan di lapangan kebanyakan merupakan kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) Mengetahui kondisi pemanfaatan sumberdaya udang dan menentukan kondisi pemanfaatan optimumnya. (2) Menentukan kapasitas pengembangan investasi pada program motorisasi unit alat tangkap jaring udang yang disesuaikan dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya udangnya. (3) Menentukan upaya pengelolaan pelabuhan perikanan di pusat–pusat pendaratan armada jaring udang di wilayah Kabupaten Cirebon. Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan : (1) Dapat merupakan sumbangan pemikiran kepada para pembuat kebijakan didalam pelaksanaan berbagai program pengelolaan perikanan tangkap yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan nelayan, khususnya nelayan jaring udang di wilayah regional Cirebon, (2) Sebagai kontrol dan monitoring terhadap tingkat pemanfaatan sumberdaya udang di wilayah Cirebon dan terhadap tingkat pemanfaatan prasarana dan sarana pelabuhan perikanan di wilayah tersebut. (3) Sebagai sumber data yang dapat dimanfaatkan pada penelitian lebih lanjut menyangkut pengembangan IPTEKS alat tangkap jaring udang apabila upaya pengembangannya masih dimungkinkan. 1.4
Hipotesis Pada penelitian ini hipotesis yang digunakan adalah hipotesis nol yang me-
nyatakan bahwa usaha penangkapan udang di wilayah perairan pesisir Cirebon sudah over fishing (terutama economical over fishing yang mana tingkat pandapatan usaha penangkapan nelayan sudah merugi ( ≤ 0). Hipotesis pembandingnya (hipotesis satu) menyatakan bahwa usaha penangkapan udang di wilayah perairan pesisir Cirebon tidak over fishing, dalam pengertian bahwa tingkat pendapatan usaha penangkapan nelayan masih menguntungkan ( > 0). Hipotesis yang dikemukakan didasarkan pendekatan kerangka konseptual bahwa
5
sifat sumberdaya perikanan laut sebagai milik bersama (common property) menjadikan adanya bebas tangkap, oleh karenanya tidak ada pembatasan bagi siapapun yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut.
Masuknya
nelayan baru pada usaha penangkapan ikan akan terus berlangsung hingga tercapai keseimbangan pada saat keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya laut tersebut akan hilang ( 0 ). Pada kurva perikanan bebas tangkap , yaitu pada fungsi hasil tangkapan yang berbentuk parabola dan biaya penangkapan per unit upaya (effort) konstan, apabila tingkat upaya penangkapan terus bertambah, maka penerimaan total yang merupakan fungsi dari hasil tangkapan akan bertambah sampai tercapai keseimbangan, yaitu penerimaan total dari pemanfaatan sumberdaya laut sama dengan biaya total penangkapan yang dikeluarkan per unit upaya penangkapan.
Dengan kata lain keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya
perikanan laut akan hilang ( 0 ).
Hal ini disebabkan oleh karena laju
peningkatan upaya penangkapan ikan tidak seimbang dengan pertumbuhan alami sumberdaya perikanan, sehingga stok ikan akan berkurang dan akhirnya akan mengakibatkan turunnya hasil tangkapan nelayan. Secara ekonomis, penurunan hasil tangkapan ikan akan mengurangi pula keuntungan usaha nelayan secara keseluruhan, karena penerimaan (revenue) yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya (cost) yang dikeluarkan. Hilangnya keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, juga dapat disebabkan oleh besarnya biaya penangkapan per satuan upaya (effort).
Dengan biaya penangkapan yang tinggi, keuntungan akan berkurang
walaupun hasil tangkapan yang diperoleh belum melebihi tingkat maximum sustainable yield (MSY). Usaha penangkapan udang yang dilakukan oleh nelayan di wilayah pesisir Cirebon terlihat senantiasa berkembang.
Terjadinya perkembangan tersebut
perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan permasalahan overfishing, baik biological overfishing maupun economic overfishing pada masa yang akan datang.
Clark (1976) mengemukakan bahwa untuk mengatasi permasalahan
tersebut dapat digunakan kerangka konseptual kepemilikan tunggal atau single ownership sumberdaya ikan.
Pada era otonomi daerah saat sekarang ini,
masalah pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dapat ditangani oleh
6
pemerintah daerah (Pemda) melalui dinas perikanan.
Dengan demikian dalam
konsep di atas Pemerintah Daerah Wilayah Cirebon dapat berperan sebagai pemilik tunggal sumberdaya udang di wilayah perairan pesisir Cirebon. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dibuat konsepsikonsepsi yang memuat : (1) Apakah kondisi usaha penangkapan udang di wilayah perairan pesisir Cirebon dapat dikelola dengan mengoptimumkan jumlah upaya penangkapannya, jumlah stok sumberdaya udang di perairan pesisir Cirebon dan hasil tangkapan udangnya ? (2) Apakah kondisi aktual penangkapan udang di wilayah perairan pesisir Cirebon sudah mencapai penangkapan berlebih (overfishing), baik secara biologi (biological overfishing) maupun secara ekonomi (economic overfishing) ? (3) Apakah kegiatan investasi baru masih diperlukan untuk kegiatan usaha penangkapan udang di wilayah perairan pesisir Cirebon tersebut ? (4) Apakah pelabuhan perikanan yang berada di sekitar pemukiman nelayan jaring udang sudah dapat dimanfaatkan secara maksimal ?
1.5 Kerangka Pemikiran Fungsi pertumbuhan logistik perikanan : Populasi ikan dalam periode tertentu akan mengalami perubahan ukuran yang dinyatakan dengan perubahan cadangan sumberdaya dari populasi tersebut.
Perubahan ukuran populasi dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu
faktor alami (seperti : ketidak-tersediaan makanan, adanya predator, perubahan lingkungan fisik perairan, dan sebagainya) dan faktor non alami (karena keterlibatan manusia dalam usaha penangkapan ikan di perairan bebas). Perubahan
cadangan
sumberdaya
ikan
secara
alami
dipengaruhi
oleh
pertumbuhan logistik ikan yang dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi : F (b) = rb (1 – b/K) …..……………………………………………………………… (1) dimana :
F (b) r K b
= = = =
fungsi pertumbuhan logistik ikan konstanta pertumbuhan intrinsik (alamiah) ikan konstanta daya dukung perairan cadangan sumberdaya ikan (biomas ikan)
Upaya penangkapan ikan yang dilakukan oleh manusia dapat dinyatakan dalam sebuah fungsi hasil tangkap (Fauzi dan Anna, 2005) sebagai berikut :
7
h = ӨbI …………………………………………………………………….…….…… (2) dimana :
h I b Ө
= = = =
hasil tangkapan ikan upaya penangkapan (effort) cadangan sumberdaya ikan (biomas) koefisien daya tangkap (catchability)
Berdasarkan persamaan (1) dan (2) di atas, maka perubahan cadangan sumberdaya ikan dapat dinyatakan dalam persamaan berikut : ∂b/∂t = rb (1 – b/K) – ӨbI .………………………………………………………… (3) Persamaan (3) menunjukkan hubungan antara fungsi pertumbuhan logistik ikan dengan fungsi hasil tangkap.
Persamaan ini merupakan persamaan ordinary
differential equation (ODE) yang untuk tujuan pengelolaan perikanan persamaan tersebut
perlu
ditransformasi
menjadi
persamaan
yang
dapat
diamati
(observable). Persamaan yang observable menggambarkan hubungan antara output (yield – y) dan input (E) dalam bentuk persamaan kuadrat terhadap E yang dikenal sebagai persamaan yield – effort lestari dan menghasilkan kurva yield – effort lestari (sustainable yield effort curve) (Fauzi, 2010) seperti dapat dilihat di bawah ini. Yield Ymsy
MSY
Effort Emsy
Emax
Gambar 1. Kurva Hasil Tangkap – Upaya Lestari (Sustainable Yield – Effort Curve) Dalam perspektif model Schaefer, pengelolaan sumberdaya ikan yang terbaik adalah pada saat produksi lestari berada pada titik tertinggi kurva yield – effort. Titik ini kemudian disebut sebagai maximum sustainable yield atau dikenal dengan MSY.
8
Asumsi – asumsi yang berhubungan dengan kurva hasil tangkap – upaya lestari di atas adalah (Azis 1989) : (1) Kelimpahan populasi adalah faktor yang hanya menyebabkan perbedaan dalam laju pertambahan populasi alami tahunan. (2) Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) adalah sepadan dengan cadangan sumberdaya ikan. (3) Laju mortalitas penangkapan ikan seketika adalah sepadan dengan upaya penangkapan. (4) Jenjang waktu (time lag) antara pemijahan dan recruitment tidak mempunyai pengaruh terhadap populasi ikan. (5) Ada hubungan linear antara hasil tangkap (yield) dengan upaya penangkapan (effort). Perikanan bebas tangkap (Open access fishery) : Clark (1976) menjelaskan bahwa kondisi perikanan bebas tangkap (open access fishery) adalah kondisi dimana siapapun dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu wilayah perairan tanpa adanya pembatasan.
Dalam
kondisi perikanan bebas tangkap, tingkat upaya penangkapan (fishing effort) akan meningkat sampai tercapainya keseimbangan dimana keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya laut tersebut tidak ada lagi ( = 0 ). Gordon (1957) yang diacu dalam Clark (1976) menggambarkan kondisi perikanan bebas tangkap dalam sebuah kurva yang didasarkan pada kurva hasil – tangkap (Yield – Effort Curve), dengan memasukkan variabel harga ikan per satuan hasil tangkapan dan biaya per satuan upaya penangkapan.
Dengan
asumsi bahwa harga ikan per satuan hasil tangkapan adalah konstan, maka total penerimaan yang didapat oleh nelayan adalah : TR = p.Yt ……………………………………………………………………… dimana : TR p Yt
(4)
= penerimaan total = harga ikan per satuan hasil tangkap = hasil tangkap pada waktu t
Untuk biaya total upaya penangkapan dapat dinyatakan dalam persamaan : TC = c.Et …………………………………………….………………………… dimana : TC c Et
(5)
= biaya penangkapan total = biaya penangkapan per upaya penangkapan = jumlah upaya penangkapan pada waktu t
9
Dari kedua persamaan tersebut di atas, maka dapat diturunkan persamaan keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan sebagai berikut : = ( p.Yt ) - ( c.Et )
…………………….………………………………
(6)
dimana = keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan Persamaan keuntungan pemanfaatan sumberdaya perikanan di atas dapat dituliskan dalam bentuk lain, yaitu : = p.q.Xt.Et – c.Et = (p.q.Xt – c ) Et
………………………………….……
(7)
Pada kondisi bebas tangkap, keseimbangan bionomi terjadi pada saat = 0, sehingga persamaan (7) menjadi :
(p.q.Xt – c ) Et = 0 p.q.Xt – c
= 0
p.q.Xt
= c
Xt = c/pq Persamaan (8)
…………………………………
(8)
merupakan formula untuk menduga besarnya cadangan
sumberdaya ikan pada keseimbangan bionomi. Kurva hasil tangkap – upaya yang telah dikombinasi dengan variabel harga ikan dan biaya penangkapan dapat digambarkan dalam sebuah kurva seperti tampak di bawah ini. Revenue, Cost
ymsy ymey
MSY MEY
TC
Y
Bionomi Equilibrium
TR
Emey Emsy
E
Effort
Gambar 2. Kurva perikanan bebas tangkap (Gordon 1957, yang diacu dalam Clark 1976)
10
Pada gambar 2. di atas terlihat bahwa titik keseimbangan bionomi (bionomic equilibrium) akan terjadi pada saat penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC), sehingga keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya perikanan menjadi nol ( = 0 ).
Dengan demikian dua kesimpulan yang
berkaitan dengan perikanan bebas tangkap, seperti yang dikemukakan oleh Gordon (1957) yang diacu dalam Clark (1976) dapat dijadikan sebagai narasumber, yaitu : (1) Seyogianya
tidak
ada
tingkat
upaya
penangkapan
yang
melebihi
keseimbangan E, karena dalam kondisi tersebut penerimaan total (TR) lebih kecil dari Biaya Total (TC), sehingga keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya akan negatip. Bila terjadi kondisi dimana tingkat upaya penangkapan melebihi keseimbangan E, kondisi demikian dikenal sebagai pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berlebih secara ekonomi (economic overfishing). (2) Pada tingkat upaya penangkapan yang lebih kecil dari titik keseimbangan E, maka nelayan dapat meningkatkan upaya penangkapannya (secara mikro) atau
program
pengembangan
motorisasi
dan
penangkapan ikan dapat dilakukan (secara makro).
modernisasi
armada
Hal ini dapat dilakukan
karena masih ada keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya perikanan. Upaya peningkatan tersebut seyogianya berlangsung hingga tercapai pada titik keseimbangan bionomi. Permodelan bioekonomi : Clark
(1985)
mengemukakan
bahwa
untuk
dapat
mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya perikanan di suatu wilayah perairan, maka konsep yang harus dikembangkan adalah konsep kepemilikan tunggal, sehingga cadangan sumberdaya perikanan di suatu wilayah perairan tertentu dianggap sebagai modal (asset) oleh pihak pemilik tunggal yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pemerintah daerah.
Pemilik tunggal mempunyai tujuan untuk
memaksimumkan keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan pada jangka panjang.
Tujuan yang akan dicapai oleh pemilik tunggal sumberdaya
adalah memaksimumkan nilai kini (present value) dari keuntungan yang akan diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka dikembangkan model bioekonomi dalam optimalisasi pengelolaan 11
sumberdaya perikanan laut yang merupakan gabungan antara model – model biologi dan ekonomi. Model bioekonomi pertama kali diperkenalkan oleh Scott Gordon (seorang ekonom Kanada).
Pada dasarnya Gordon menggunakan pendekatan ekonomi
dalam menganalisis optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan dengan dukungan pendekatan biologi yang telah dilakukan oleh Schaefer. Dengan latar belakang demikian, maka model bioekonomi tersebut akhirnya dikenal sebagai Model Bioekonomi Gordon – Schaefer (GS).
Model Bioekonomi Gordon –
Schaefer (GS) pada dasarnya didekati dari Model Surplus Produksi yang dikembangkan oleh Graham (1935). Pada Model Surplus Produksi pertumbuhan populasi ikan diasumsikan mengikuti fungsi pertumbuhan logistiknya yang mana perubahan stok ikannya sangat tergantung dari pertumbuhan alamiah ikan (r), stok ikan (x) dan daya dukung perairan (K) (Fauzi 2004). Model Bioekonomi Gordon – Schaefer adalah pendekatan yang relatif sederhana dalam menganalisis optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Pendekatan tersebut bertujuan untuk menganalisis aspek ekonomi dengan kendala aspek biologi sumberdaya ikan.
Output dari hasil analisis Model
Bioekonomi Gordon – Schaefer yang utama adalah menetapkan berapa besar tingkat input produksi (jumlah unit armada penangkapan, gross tone dan besaran lamanya trip melaut) yang harus dikendalikan agar dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang sebesar – besarnya (Fauzi 2004). Pada perikanan bebas tangkap, manfaat bersih atau rente ekonomi perikanan akan bernilai positip bila tingkat upaya (effort) aktual kurang dari tingkat upaya (effort) kondisi open access dan akan menjadi nol bila biaya total (total cost) sama dengan penerimaan totalnya (total revenue). Wilayah dibawah kurva total revenue dan diatas kurva total cost merupakan nilai rente ekonomi. Rente ekonomi akan maksimum bila slope kurva total cost bersinggungan dengan kurva total revenue. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah Maximum Economic Yield (MEY) (Seijo et al. 1998). Gambaran Model Bioekonomi seperti diuraikan di atas adalah merupakan gambaran model yang statik. Pada model yang statik tersebut perbedaan nilai uang pada masa sekarang dan yang akan datang belum diperhitungkan. Secara keseluruhan , kaitan antara keseimbangan Open Access (OA), Maximum
12
Sustainable Yield (MSY) dan Maximum Economic Yield (MEY) pada model statik tersebut di atas dapat diperlihatkan pada gambar berikut ini. Stock
a. Stock ikan lestari
Effort Yield
b. Produksi lestari
Effort
Cost, Revenue
c. Penerimaan total lestari dan biaya total
TC = cE
TR = pH Effort
MEY
MSY
OA
Gambar 3. Model Statik Gordon – Schaefer (Seijo et al. 1998)
13
Pada konsep model dinamik yang dikembangkan oleh Clark dan Munro, unsur waktu menjadi sangat penting ; oleh karena nilai uang pada saat sekarang berbeda dengan nilai uang pada masa yang akan datang.
Oleh karenanya
keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan juga dipengaruhi oleh tingkat potongan (discount rate).
Dengan demikian cadangan sumberdaya
perikanan yang dianggap sebagai modal tersebut dipengaruhi pula oleh tingkat potongan (discount rate) pada suatu saat tertentu. Pada model dinamik, pengelolaan sumberdaya ikan dapat diartikan sebagai penghitungan tingkat upaya dan tingkat produksi optimal dengan memperhitungkan discounted present value (DPV) dari surplus sosial yang maksimum. Kondisi tersebut dicapai pada saat manfaat marginal dari sumberdaya ikan sama dengan biaya marginalnya (Fauzi 2004). Pada kondisi discount rate yang semakin tinggi, maka tingkat upaya akan cenderung semakin menurun sehingga kondisi cadangan stock ikan akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila discount rate semakin rendah, maka tingkat upaya akan cenderung semakin meningkat dan kondisi cadangan stock ikan akan semakin menurun. Tingkat optimal dari upaya dan produksi pada model dinamik terletak diantara keseimbangan sole owner atau private property dan open access. Investasi pada perikanan : Kegiatan operasi penangkapan ikan membutuhkan adanya investasi. Investasi tersebut diperlukan untuk membeli seperangkat kapal ikan, mesin – mesin penggerak dan unit alat tangkap ikan.
Pengkajian investasi pada
perikanan mengasumsikan pada model kepemilikan tunggal, dimana investasi dapat bersifat reversible dan irreversible.
Investasi yang bersifat reversible
mengandung arti bahwa pemilik dapat membeli atau menjual terhadap barang – barang
investasinya
dengan
bebas.
Investasi
yang
bersifat
irreversible
mengandung arti bahwa pemilik tidak bebas dalam melakukan proses jual – beli barang – barang investasinya (Clark 1985). Pada kasus kepemilikan tunggal perikanan,
misal K = Kt adalah nilai
asset modal tetap yang dimiliki oleh pemilik perikanan pada waktu t. Dinamika penyesuaian modal dimodelkan melalui persamaan sebagai berikut : dKt/dt = It - Kt
……………………………………………………………… (9)
14
dimana It menunjukkan tingkat pemakaian investasi pada modal dan konstanta 0 yang menunjukkan tingkat penyusutan.
Tingkat pemakaian investasi It
ditentukan oleh pemilik dibawah kendala – kendala tertentu. Banyaknya upaya penangkapan (effort) yang dapat digunakan oleh pemilik adalah proporsional dengan ukuran alat tangkapnya, atau dengan kata lain proporsional dengan modal Kt.
Kemudian diperoleh bahwa
Emax = Kt,
sehingga upaya penangkapan Et karenanya dibatasi oleh : 0 Et Kt ……… (10) Dengan memperkenalkan modal Kt pada model, timbul pemahaman alami terhadap simbol Emax , dimana sebelumnya hanya memiliki arti khusus. Bila cK menunjukkan biaya modal (Rp/unit penangkapan standar).
Investasi pada
tingkat It (unit penangkapan standar/tahun), kemudian dimasukkan biaya pada tingkat cKIt (Rp/tahun), maka aliran penerimaan bersih pada pemilik perikanan diberikan sebagai berikut : t = p.q (Xt) Xt – c Et - cKIt Seperti
sebelumnya,
dihipotesakan
……………………………………………… (11) bahwa
pemilik
akan
mencoba
memaksimumkan nilai sekarangnya (NPV) sebagai berikut : ∞
Maxi It,Et
-δt
e пtdt
……………………………………………………. (12)
0
Maksimumisasi tersebut sesuai (tunduk) dengan kondisi (untuk t ≥ 0) : dXt/dt = G (Xt) – q (Xt) Xt Et
…………………………………………
(13)
………………………………………………………….
(14)
………………………………………………………………………
(15)
dKt/dt = It – Kt Xt ≥ 0
0 Et Kt
…………………………………………………………………
X0, K0 telah ada (given)
…………………………………………..
(16) (17)
juga mungkin terkendala pada tingkat pemakaian investasi It. Pada kasus dimana investasi pada kapal penangkapan ikan bersifat reversible – dalam pengertian pemilik dapat membeli atau menjual pada tingkat harga cK tanpa batas, maka dalam kondisi demikian tidak ada kendala terhadap It. Pada kondisi investasi bersifat reversible terbukti bahwa pemilik tidak akan pernah menyewakan kapalnya yang tidak ia pakai. Oleh karena itu kita akan memperoleh Et = Kt …………………………………………………………………………….. (18)
15
Hubungan investasi dan biaya dapat digambarkan di bawah ini. ∞
∞
-δt
-δt
e cKItdt = cK e (dKt/dt + Kt ) dt
0
0
∞
-δt
= cK e (δ + )Ktdt – cKK0 0 ∞
-δt
= cK (δ + ) e Etdt – cKK0 0
Akhirnya diperoleh bahwa : ∞
Maxi Et
-δt
e (p.q.Xt – ctotal) Etdt
………………………………. (19)
0
dimana ctotal = c + (δ + ) cK ………………………………………….. (20) Investasi It telah hilang (hal itu diberikan melalui persamaan It = dEt/dt + Et), dan hanya Et yang tertinggal untuk ditentukan. Juga keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh pemilik sekarang dapat dikatakan dalam satu terminologi yaitu : ctotal Et = [c + (δ + ) cK] Et ……………………………………………… (21) Dengan kata lain, bila modal bersifat reversible, biaya – biaya modal menjadi biaya variabel. Oleh karenanya modal dapat dimasukkan sebagai biaya variabel total seperti sama halnya pada pembayaran bunga dan penyusutan. Bila X*total menunjukkan keseimbangan optimal daripada tingkat biomas, maka X*total ditentukan melalui aturan dasar persamaan tingkat optimal daripada biomas, namun dengan c digantikan oleh ctotal. Bila K*total sebagai modal (yaitu kapasitas armada) yang diperlukan untuk pemanenan hasil yang berkelanjutan pada tingkat X = X*total, maka diperoleh bahwa : G(X*total) K*total = E*total =
……………………………….. (22) q(X*total) (X*total)
Solusi (X*total, K*total) juga akan terbukti penting didalam masalah modal yang irreversible. Pada kasus modal yang irreversible, maka It ≥ 0 ………………………
(23)
Hal tersebut mengasumsikan bahwa tidak ada penjualan kembali di pasar, walaupun terhadap kelebihan kapasitas.
Notasi X*var digunakan untuk optimal
biomas bila hanya biaya variabel yang diperhitungkan. Kemudian bila c < ctotal diperoleh : X*var < X*total dan K*var < K*total …………………………………
(24)
16
Perbedaan X*var dapat dilihat berikut ini :
Anggap untuk sementara bahwa
pemilik memiliki cukup kapal : K0 > K*var. Bila kapal – kapal tidak dapat dijual, biaya – biaya tetap menjadi tidak relevan terhadap pembuatan – pembuatan keputusan yang akan datang dari pemilik.
Oleh karenanya, biomas optimal
adalah menjadi X*var. Walaupun demikian, modal awal K0 menyusut pada tingkat - kapal yang lusuh hilang di laut, dan sebagainya. Pada dasarnya kita memiliki Kt < K*var. Hasil yang lestari pada X = X*var tidak mungkin lagi terjadi kecuali jika kapal baru dibawa.
Kapal baru melibatkan biaya – biaya tetap dan biomas
optimal bila biaya – biaya
tetap relevan dengan X*total.
Oleh karena itu
keberadaan dari modal yang irreversible nampaknya memberikan kenaikan pada dua solusi keseimbangan optimal. Pengkajian investasi pada pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak akan terlepas dari masalah – masalah penetapan upaya penangkapan (effort) dan penetapan keseimbangan daripada pemanfaatan tingkat biomas ikan.
Oleh
karenanya kajian investasi pada perikanan juga akan terkait langsung dengan pemodelan bioekonomi. Secara sederhana,
kerangka pemikiran akan pentingnya pengkajian
terhadap pengembangan investasi unit armada penangkapan jaring udang dalam upaya pengelolaan sumberdaya udang yang berkelanjutan di perairan pesisir Cirebon, dan keterkaitannya dengan pengelolaan pelabuhan perikanan dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
17
Kondisi Open Access Fisheries
Common Properties Fisheries - Produksi > MSY - Penurunan tingkat pendapatan - Konflik sosial - Kerusakan SDI
Sustain Resources : a. Rezim OA b. Rezim MSY c. Rezim MEY d. Rezim OD
Monitoring & Control Pengelolaan SDI
Prasarana Pelabuhan Perikanan
Peluang Investasi
Criteria Investasi
Over fishing
Pengendalian upaya penangkapan : - Pengkayaan stock (stock enhancement) - Rehabilitasi lingkungan/habitat perairan
Pengembangan Investasi
Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian
18