LAPORAN AKHIR PENELITIAN STUDI BUDAYA BAHARI DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LAUT
Prof (Ris) Dr. Zahri Nasution,M.Si Nendah Kurniasari,M.Si Bayu Vita Indah Yanti, SH Rismutia Hayu Deswati,SE Christina Yuliaty,S.Sos
BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015 1
LEMBAR PENGESAHAN
Satuan Kerja (Satker)
: Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Judul Kegiatan Penelitian
: Studi Budaya Bahari dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam
Status
: Baru
Pagu Anggaran
: Rp. 208.624.000,-
Tahun Anggaran
: 2015
Sumber Anggaran Sosial
: APBN, DIPA Satker Balai Besar Penelitian Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Penanggung jawab kegiatan
:
Nendah Kurniasari, M.Si
Jakarta, Desember 2015 Penanggung Jawab Output
Penanggung Jawab Pelaksana Output
Prof(Ris) Dr. Zahri Nasution,M.Si NIP 19620105 198903 1 004
Nendah Kurniasari, M.Si NIP.19730904 200312 2 005
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Tukul Rameo Adi, MT NIP. 19610210 1990 03 1 001
2
RENCANA OPERASIONAL KEGIATAN PENELITIAN BALAI BESAR PENELITIAN SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN
1.
JUDUL KEGIATAN
:
Studi Budaya Bahari Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Laut
2.
SUMBER DAN TAHUN ANGGARAN
:
3.
STATUS PENELITIAN
:
APBN/ APBNP 2015 √ Baru Lanjutan
Jika penelitian lanjutan, maka diuraikan hasil penelitian sebelumnya 4.
PROGRAM
:
Penelitian dan Pengembangan KP
a. Komoditas
:
Perikanan
b. Bidang/Masalah
:
(sasaran pokok pembangunan KP berdasarkan Rancangan RPJMN 2015-2019)
√
Kedaulatan pangan Pengembangan ekonomi maritim dan kelautan Penguatan jati diri sebagai negara maritime Pemberantasan ikan liar
c. Penelitian Pengembangan
:
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
d. Manajemen Penelitian
:
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
e. Isu Strategis Pembangunan KP 2015-2019 √ √ √
:
Pengembangan produk perikanan untuk ketahanan pangan dan gizi nasional Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan Pendayagunaan potensi ekonomi sumber daya KP Pengelolaan sumber daya KP secara berkelanjutan Peningkatan kesejahteraan pelaku usaha kelautan dan perikanan Pengembangan SDM dan IPTEK KP
f. Dukungan terhadap Indikator Kinerja BSC
Nilai Indeks Kesejahteraan Masyarakat KP Pertumbuhan PDB Perikanan (%) Jumlah WPP yang terpetakan potensi di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP untuk pengembangan ekonomi maritim dan kelautan yang berkelanjutan Jumlah rekomendasi kebijakan yang diusulkan untuk dijadikan bahan kebijakan (buah)
3
√ √
Jumlah pengguna hasil Iptek litbang di bidang sumberdaya sosial ekonomi KP (kelompok) Jumlah Rekomendasi Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Jumlah Data dan Informasi Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Karya Tulis Ilmiah Bidang Penelitian Sosial Ekonomi Jumlah Model Kelembagaan Penyebaran IPTEK dan Pemberdayaan Masyarakat Jumlah Model Kebijakan Sosial Ekonomi Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan
5.
JUDUL KEGIATAN
:
Studi Budaya Bahari Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Laut
6.
LOKASI KEGIATAN
:
NTT dan Maluku Tenggara
7.
PENELITI YANG TERLIBAT
:
2
Pendidikan/ Disiplin Jabatan Ilmu Fungsional Sosiologi Prof(Ris)Dr.Zahri Nasution,M.Si Peneliti Utama Peneliti Muda Sosiologi Nendah Kurniasari,M.Si
3.
Bayu Vita Indah Yanti,SH
4.
Rismutia Hayu Deswati, SE
5.
Christina Yuliaty,S.Sos
No. 1.
BBPSEKP
Alokasi Waktu (OB) 2
BBPSEKP
4
BBPSEKP BBPSEKP
4 4
Antropologi BBPSEKP
4
Nama
8 Latar Belakang
Peneliti Muda Hukum Peneliti Ekonomi Pertama Peneliti Pertama
Tugas (Institusi)
:
Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini menekankan pentingnya menerapkan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini didasarkan pada analisa faktual bahwa kondisi sumberdaya laut nusantara semakin mengkhawatirkan. Greenpeace (2014) mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami ancaman penurunan perikanan akibat krisis ganda dari degradasi ekosistem kelautan dan penangkapan ikan berlebih. Lebih lanjut organisasi ini mengungkapkan bahwa perikanan Indonesia juga mengalami ancaman klasik
4
penangkapan illegal, peralatan illegal, dan nelayan asing dengan kapal penangkap ikan besar. Selain itu, Le Tissier et,al. (2011) mengemukakan bahwa penyebab degradasi sumberdaya kelautan dan perikanan adalah pertambahan jumlah penduduk dan tekanan ekonomi yang mendorong terjadinya eksploitasi sumberdaya di wilayah pesisir. Padahal di sisi lain, bagi Indonesia, sumberdaya kelautan dan perikanan mempunyai nilai yang sangat strategis guna mendukung kelangsungan hidup bangsa baik secara ekonomi, sosial, hukum dan politik. Sementara hasil dari penelitian BBPSEKP (2012) memperlihatkan adanya peranan dimensi ide/pengetahuan pelaku perikanan dalam memaknai sumberdaya kelautan dan perikanan yang mempengaruhi seseorang dalam memperlakukan sumberdaya. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam yang arif merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fauzi (2004) bahwa pengelolaan sumber daya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumber daya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Memperhatikan pendapat greenpeace(2014), Le Tissier et,.al (2011) dan BBPSEKP (2012) di atas maka terpetakan bahwa factor penyebab degradasi ekosistem laut merupakan sebuah rangkaian titik-titik yang bersifat kausalitas yang pada ujungnya bermuara pada sistem pengetahuan yang dimiliki oleh para pelaku pemanfaat sumberdaya. Sebagai bangsa yang dikelilingi oleh lautan, nenek moyang bangsa ini telah mempunyai mekanisme pengelolaan sumberdaya laut secara arif dan khas sesuai dengan karakteristik laut yang dimilikinya. Mekanisme ini telah terbukti mampu menjaga keberlanjutan nilai ekonomi, sosial dan ekologi dari sumberdaya kelautan dan perikanan. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah kearifan lokal. Laksmiwati (2001) mendefinisikan kearifan lokal sebagai kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya budaya secara berkelanjutan. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat lokal atau masyarakat adat merupakan modal sosial masyarakat dalam bentuk suatu kebijakan tradisional ataupun kearifan lokal suatu komunitas tertentu.
5
Negara pun menganggap penting pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bijaksana dengan mengeluarkan payung hukum berupa undang-undang. Beberapa Undang-undang yang terkait dengan hal tersebut diantaranya adalah UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan, UU No. 1 tahun 2014 tentang perubahan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 23 tahun 1997 jo. UU No.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang memuat asas kearifan lokal. Selain itu, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mendorong Pemerintah Pusat memberikan keleluasaaan pada pemerintah daerah untuk memanfaatkan dan mengembangkan berbagai potensi daerah termasuk potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Namun belum semua pemerintah daerah membuat peraturan turunan yang mengikat dan menjadi panduan bagi pelaksanaan mekanisme pengelolaan sumberdaya yang aplikatif dan arif. Hal ini menjadikan pelaksaan kearifan local yang telah ada cenderung semakin memudar. Memudarnya pelaksanaan kearifan local disebabkan pula oleh tekanan arus globalisasi dan akulturasi budaya akibat mobilitas masyarakat pesisir yang sangat tinggi sehingga merubah nilai-nilai yang menjadi dasar pelaksanaan kearifan local. Berdasarkan hal tersebut maka Kementrian Kelautan dan Perikanan, dalam hal ini Balitbang menganggap perlu melakukan kajian kearifan local. Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan data-data ilmiah yang menjadi dasar pentingnya revitalisasi kearifan local. Revitalisasi bertujuan menguatkan kembali nilai-nilai yang menjadi filosofi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. 9. Tujuan
:
1. Menganalisis kinerja pengelolaan sumberdaya laut berbasis kearifan lokal 2. Menganalisis posisi praktek pengelolaan sumberdaya laut berbasis kearifan lokal dari perspektif hukum nasional 3. Menyusun rekomendasi kebijakan terkait pengelolaan sumber daya perikanan laut berbasis masyarakat 10. Perkiraan Keluaran :
Rekomendasi kebijakan
6
11. Metodologi Penelitian:
Kerangka Pemikiran Paham determinism meyakini bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungannya, inilah yang menyebabkan karakteristik perilaku masyarakat dalam mengelola sumber daya berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Namun adakalanya terdapat persamaan antar daerah yang disebabkan oleh proses difusi kebudayaan dan akulturasi budaya sebagai hasil dari mobilitas masyarakatnya. Perbedaan kebudayaan merupakan sebuah kekayaan yang bisa menjadi daya tarik dan sumber pembelajaran antar kelompok masyarakat karena tidak jarang perilaku dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya tersebut mengandung berbagai kearifan (wisdom) yang bermanfaat. Hasil penelitian BBPSEKP (2012) mengungkapkan bahwa pelaksanaan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dimana didalamnya mengandung berbagai kearifan yang bersifat tradisional telah mendatangkan manfaat ekonomi, manfaat sosial dan manfaat ekologi. Sistem pengelolaan tersebut dapat dipandang sebagai sebuah institutions (kelembagaan) yang terbangun atas 3 (tiga) pilar yaitu dimensi normative, dimensi regulative dan dimensi cultural-kognitif, seperti yang dikatakan Scott (2008) bahwa “ institutions are comprised of regulative, normative, and cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life”. Dimensi regulative berisi tentang tatakelola sumber daya kelautan dan perikanan. Satria (2009) menjelaskan bahwa pada kasus perikanan konsep tatakelola yang diungkapkan Ruddle menjadi relevan untuk dijadikan panduan. Unsur-unsur tatakelola tersebut adalah batas wilayah, aturan, hak, pemegang otoritas, sanksi, pemantauan dan evaluasi. Dimensi normative terdiri dari nilai (values) dan norma (norms) yang menjadi dasar pelaksanaan kearifan lokal. Scott menjelaskan bahwa pada tataran ini pelaku pengelolaan menentukan tujuan dan cara-cara mencapai tujuan tersebut. Sedangkan dimensi cultural-kognitif berisi teknik pengeloaan dan pengetahuan lokal. Ruddle dalam Satria 2009 menjelaskan bahwa pengetahuan memiliki karakteristik 1) bersifat jangka panjang, 2) berorientasi pada hal-hal praktis, 3) terstruktur dan 4) bersifat dinamis.
7
Tingkat keefektifan dari kelembagaan system pengelolaan dapat dilihat dari kinerja kelembagaan tersebut, yang dapat dilihat dari 9 (sembilan) variabel seperti yang telah dirumuskan oleh Ostrom (1990) yaitu kejelasan batas wilayah, kesesuaian aturan dengan kondisi lokal, aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumber daya, adanya kelembagaan lokal yang mengatur mekanisme pengelolaan, instrumen dan mekanisme pengawasan oleh masyarakat, sanksi, mekanisme penyelesaian konflik, pengakuan dari pemerintah dan ikatan atau jaringan dengan lembaga luar.
8
SDKP
Pengelolaan SDKP Bentuk Pengelolaan dan Distribusi Hak
H U K U M N A S I O N A L
KINERJA KEARIFAN LOKAL
Kejelasan Batas Wilayah Kesesuaian aturan dengan kondisi lokal Aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumber daya Adanya kelembagaan lokal yang mengatur mekanisme pengelolaan Instrument dan mekanisme pengawasan oleh masyarakat Sanksi Mekanisme penyelesaian konflik Pengakuan dari pemerintah Ikatan atau jaringan dengan lembaga luar
REKOMENDASI KEBIJAK DAMPAK SOSIAL, EKONOMI DAN EKOLOGI
KEBERLANJUTAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA LAUT
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Budaya Bahari Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Laut
9
Tingkat keefektifan dari kelembagaan system pengelolaan dapat dilihat dari pelaksanaan
kearifan
lokal
membutuhkan
payung
hukum
untuk
menjamin
keberlangsungannya, sebaliknya kearifan yang dimiliki oleh masyarat pun dapat menjadi dasar bagi pembuatan hukum positif yang berkeadilan. Oleh karenanya perlu dilihat posisi pengelolaan sumber daya berbasis kearifan lokal dalam perspektif hukum positif. Informasi mengenai kinerja kearifan lokal dan posisi kearifan lokal dalam perspektif hukum positif menjadi bahan untuk membuat rekomendasi kebijakan. Dengan demikian diharapkan terjadi keselarasan antara kearifan lokal dengan hukum positif yang dapat menjamin keberlanjutan ekosistem laut, keadilan social dan ekonomi.
Metode Analisa Data Kinerja kearifan lokal dianalisis dengan menggunakan prosedur skoring pada tiap atribut yang mempengaruhi kinerja. Atribut yang dipakai berpedoman pada konsep yang dikembangkan oleh Ostrom (1990) yaitu kejelasan wilayah, kesesuaian dengan kondisi lokal, penyusunan aturan, fungsi kelembagaan lokal, pelaksanaan pengawasan, berlakunya sanksi, mekanisme penyelesaian konflik, pengakuan pemerintah dan jaringan dengan lembaga luar. Analisis hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi peraturan lokal -baik itu yang telah berbentuk hukum adat maupun yang masih berupa kesepakatan lokal- yang kemudian dibandingkan dengan hukum positif mengenai pengelolaan sumber daya laut. Hukum positif tersebut diantaranya adalah UU No.27/2007 jo UU No. 1/2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Permen KP No Per.01/2009 tentang wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dll. Variabel yang dipakai disesuaikan dengan variable yang terdapat pada peraturan lokal yang dimiliki oleh masyarakat perikanan setempat. Hasil dari kedua analisis tersebut diatas kemudian dianalisis secara deskriptif, dikaji hubungan antar setiap fenomena sehingga diperoleh sebuah kesimpulan. Kesimpulan ini akan menjadi dasar bagi penyusunan rekomendasi untuk melindungi berbagai kearifan yang dimiliki masyarakat dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan.
10
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Tahun 2015 di 2 (dua) lokasi yaitu Nusa Tenggara Timur (Lilifuk), dan Maluku Tenggara (larwul Ngabal). Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada hasil studi literatur bahwa masyarakat di lokasi tersebut memiliki mekanisme pengelolaan sumber daya yang dinilai khas dan arif. Penentuan lokasi penelitian ini pun disesuaikan dengan kondisi keuangan dan waktu yang telah ditentukan.
Data Yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data yang akan
dikumpulkan
adalah
unsur
kebudayaan
berupa
variabel-variabel
menyangkut unsur normatif, regulatif, dan kognitif, termasuk didalamnya data dinamika perubahan yang terjadi atas ke tiga unsure tersebut. Data sekunder berupa sumber informasi tertulis dan tidak tertulis yang diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas KP, laporan hasil penelitian sebelumnya, otobiografi, tulisan dalam jurnal, buletin, blog, sehingga dapat melengkapi datadata primer. Data sekunder tersebut diantaranya terkait dengan perkembangan kondisi sumberdaya dan perkembangan kondisi sosial budaya masyarakat. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui teknik wawancara mendalam, observasi dan diskusi terfokus. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dengan menggunakan pedoman wawancara yang dibantu dengan alat perekam. Sementara observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran secara etnografi baik dari informan maupun masyarakat yang berada di lokasi penelitian. Alat bantu observasi yang digunakan adalah kamera. Diskusi terfokus dilakukan dengan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya setempat untuk mencapai kesepahaman atas fakta yang telah dirumuskan dari hasil penelitian. Penentuan informan pada awalnya dilakukan secara purposif kemudian dilakukan secara snowball berdasarkan informasi dari informan awal. Informan adalah individu atau kelompok masyarakat yang dipandang memahami secara jelas mengenai praktek kearifan lokal dan dinamika yang menyertainya. Pengumpulan data sekunder
11
dilakukan melalui studi pustaka terhadap dokumen dan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.
12. Rencana Anggaran Belanja (RAB): MA
Rincian KomposisiPembiayaan
Jumlah (Rp)
Jumlah (%)
521211 522114 522151
24.605.000,21.000.000,21.100.000,-
12 10 10
18.000.000,-
9
521213
BelanjaBahan BelanjaSewa BelanjaJasaProfesi Belanja Barang untuk persediaan Konsumsi Honor Output Kegiatan
4.000.000,-
522119
BelanjaPerjalananLainnya
119.919.000,-
2 57
208.624.000,-
100
5241811
Jumlah
12
13.
RENCANA PENYERAPAN ANGGARAN DAN REALISASI FISIK (PERBULAN DAN PERBELANJA)
Rencana Penyerapan anggaran(Rp.000)
KODE MAK
Pagu Komposisi Pembiayaan
521211
521811
521213
522141
522151
524111
Jan
Feb
Maret
Apr
Mei
Juni
Juli
Agst
Sept
Okt
Nop
1,760
Des
Belanja Bahan
24,605
1,508
1,508
1,508
2,605
2,605
2,605
2,605
3,950
3,950
24,605
Belanja Barang Untuk Persediaan barang Konsumsi
18,000
2,000
2,000
2,000
1,000
1,000
1,000
1,000
4,000
4,000
Honor Output Kegiatan
4,000
800
800
800
800
800
Belanja Sewa
21,000
4,200
4,200
4,200
4,200
4,200
Belanja Jasa Profesi
21,100
1,500
1,500
3,533
3,533
3,533
900
900
900
3,900
900
Belanja Perjalanan Biasa
119,919
3,460
3,460
21,229
21,229
21,229
21,229
21,229
2,285
2,285
1,143
1,143
119,920
Rencana Pengeluaran per Bulan (RP)
8,468
8,468
33,270
33,367
33,367
30,734
30,734
11,135
14,135
3,803
1,143
208,624
Rencana Pengeluaran per Bulan (%)
4
4
16
16
16
15
15
5
7
2
1
18,000
4,000
21,000
21,100
100
13
Rencana Realisasi Fisik( %) Bulan ke- (%) kode
uraian
Pagu 1
3
2
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Studi Antropologi Budaya Bahari Suku-Suku Laut dalam Pemanfaatan Sumberdaya Laut
Rp kumulatif
A
521211
Persiapan, sudi pustaka, prasurvey dan koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan
208,624
20,445
4
4
2
16
16
15
15
5
7
2
1
4
8
24
40
56
71
86
91
98
99
100
41
41
17
-
-
-
-
-
-
Belanja Bahan
4,525
33
33
33
-
-
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
6,000
33
33
33
-
-
-
-
-
-
-
-
522151
Belanja Jasa Profesi
3,000
33
33
-
-
-
-
-
-
-
-
-
524111
Belanja perjalanan biasa
6,920
50
50
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14
B
Pengumpulan data primer dan sekunder dan FGD di lapangan
521211
Belanja Bahan
521213
156,164
10,420
-
-
-
25
25
25
25
-
-
-
-
Honor Output Kegiatan
4,000
-
-
20
20
20
20
20
-
-
-
-
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
4,000
-
-
-
25
25
25
25
-
-
-
-
522141
Belanja Sewa
21,000
-
-
20
20
20
20
20
-
-
-
-
522151
Belanja Jasa Profesi
10,600
-
-
33
33
33
-
-
-
-
-
-
524111
Belanja perjalanan biasa
22,635
-
-
-
-
-
4
4
35
35
17
5
C
Pengolahan Data, Analisis Data, Penyusunan laporan, dan dokumen capaian output
106,144
521211
Belanja Bahan
5,280
-
-
-
-
-
-
-
33
33
33
-
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
6,000
-
-
-
-
-
-
-
50
50
-
-
522151
Belanja Jasa Profesi
4,500
-
-
-
-
-
20
20
20
20
20
-
Belanja perjalanan biasa
6,855
15
524111
D
-
-
-
-
-
-
-
-
33
33
17
17
-
-
34
66
-
-
Seminar dan sosialisasi hasil
9,380
521211
Belanja Bahan
4,380
-
-
-
-
-
-
-
50
50
-
-
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
2,000
-
-
-
-
-
-
-
50
50
-
-
522151
Belanja Jasa Profesi
3,000
-
-
-
-
-
-
-
-
100
-
-
16
14.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Greenpeace. 2014. Laut Indonesia dalam Krisis. Diunduh dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/533771/ Laut%20Indonesia%20 dalam%20Krisis.pdf pada Tanggal 24 Maret 2015. Laksmiwati, I. 2001. Mata Air sebagai Kawasan Suci (Sebuah Kearifan Lokal dalam Pelestarian Sumber Daya Alam). Fakultas sastra Universitas Udayana. Le Tissier, Martin, Dik Roth, Maartin Bavinck, and Leontine Visser. 2011. Integrated Coastal Management. From Post-Graduate to Professional Coastal Manager.A Teaching Manual.Eburon Academic Publishers. Netherlands. Nazir,M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Scott, W. Richard. 2008. Institutions and Organizations : Ideas and Interest. SAGE Publications. Sitorus, MT F. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial IPB. Bogor.
17
LAMPIRAN RENCANA PENYERAPAN ANGGARAN PER TAHAPAN PER BULAN (Rp.000) kode
uraian
Pagu
Bulan ke- (Rp.000) 1
2
3
4
208,624
8,468
16,937
50,207
20,445
8,468
8,468
33,270
4,525
1,508
1,508
1,508
521811
Belanja Bahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
6,000
2,000
2,000
2,000
522151
Belanja Jasa Profesi
3,000
1,500
1,500
524111
6,920
3,460
3,460
B
Belanja perjalanan biasa Pengumpulan data primer dan sekunder dan FGD di lapangan
521211
Belanja Bahan
10,420
521213
4,000
521811
Honor Output Kegiatan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
522141
Belanja Sewa
21,000
522151
Belanja Jasa Profesi
524111
C
Belanja perjalanan biasa Pengolahan Data, Analisis Data, Penyusunan laporan, dan dokumen capaian output
521211
Belanja Bahan
5
6
7
8
9
10
11
12
Studi Antropologi Budaya Bahari SukuSuku Laut dalam Pemanfaatan Sumberdaya Laut Rp kumulatif
A 521211
Persiapan, sudi pustaka, prasurvey dan koordinasi pemantapan pelaksanaan kegiatan
156,164
29,762
83,574
116,941
147,675
178,409
189,544
203,679
207,482
208,624
30,734
30,734
11,135
14,135
3,803
1,143
-
7,945
3,803
1,143
33,367
33,367
29,834
29,834
2,605
2,605
2,605
2,605
800
800
800
800
1,000
1,000
1,000
1,000
4,200
4,200
4,200
4,200
4,200
10,600
3,533.33
3,533.33
3,533.33
106,144
21,228.80
21,228.80
21,228.80
21,228.80
21,228.80
900
900
800
4,000
22,635
7,945
18
5,280
1,760
1,760
521811
Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
6,000
3,000
3,000
522151
Belanja Jasa Profesi
4,500
900
900
900
524111
Belanja perjalanan biasa
6,855
2,285
2,285
1,142.50
1,143
Seminar dan sosialisasi hasil
9,380
3,190
6,190
-
-
4,380
2,190
2,190
521811
Belanja Bahan Belanja Barang Untuk Persediaan Barang Konsumsi
2,000
1,000
1,000
522151
Belanja Jasa Profesi
3,000
D 521211
900
-
-
-
-
-
-
900
-
1,760
3,000
19
20
KATA PENGANTAR
Studi Budaya Bahari Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut tahun 2015 difokuskan pada kinerja kearifan lokal dan aspek hukum yang terkait dengan mekanisme pengelolaan berbasis kearifan lokal. Kajian ini menjadi penting sebagai bahan rekomendasi bagi penentu kebijakan dalam merumuskan mekanisme pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan ekonomi dan pemerataan manfaat atas sumberdaya. Seiring dengan selesainya kegiatan dan Laporan Akhir Studi Budaya Bahari dalam pemanfaatan Sumber Daya, kami mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan bimbingan dan kekuatan kepada kami selama kegiatan berlangsung. Terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada para tokoh adat, budayawan, akademisi, dan semua informan di lokasi penelitian, DKP Nusa Tenggara Timur, DKP Tual, DKP Maluku Tenggara, BKKPN Kupang, WWF Kupang, Universitas Kristen Satya Wacana Kupang, Politeknik Negeri Tual, dan berbagai pihak yang telah berkontribusi terhadap penelitian ini. Penelitian ini kiranya jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Selain itu, kami pun terbuka terhadap berbagai saran dan agar menjadi pembelajaran bagi penelitian berikutnya. Semoga Laporan ini bermanfaat.
Jakarta, Desember 2015
Tim Peneliti
1
RINGKASAN Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini menekankan pentingnya menerapkan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Salah satu LSM, Greenpeace (2014) mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami ancaman penurunan perikanan akibat krisis ganda dari degradasi ekosistem kelautan dan penangkapan ikan berlebih. Sementara itu penelitian BBPSEKP (2012) memperlihatkan adanya peranan dimensi ide/pengetahuan pelaku perikanan dalam memaknai sumberdaya kelautan dan perikanan yang mempengaruhi seseorang dalam memperlakukan sumberdaya. Disisi lain, Bangsa Indonesia memiliki warisan berupa berbagai mekanisme sistem pengelolaan yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang bersifat khas antar komunitas. Namun pelaksaan kearifan local yang telah ada cenderung semakin memudar. Memudarnya pelaksanaan kearifan local disebabkan pula oleh tekanan arus globalisasi dan akulturasi budaya akibat mobilitas masyarakat pesisir yang sangat tinggi sehingga merubah nilai-nilai yang menjadi dasar pelaksanaan kearifan local. Berdasarkan hal tersebut kajian kearifan local menjadi penting dan relevan untuk dilakukan. Kemampuan mempertahankan warisan kearifan merupakan nilai spiritual bagi masyarakat tidak hanya untuk menjamin keberlangsungan penghidupan tetapi sebagai wujud penghormatan kepada nenek moyang dan wujud kasih sayang kepada generasi penerus. Kinerja kelembagaan kearifan lokal memberikan manfaat positif terhadap aspek sosial budaya, ekologi, dan ekonomi masyarakat pelaku pengelolaan. Kinerja kelembagaan kearifan lokal pada kondisi saat ini baru memberikan manfaat yang signifikan kepada aspek ekologi dan sosial budaya, namun manfaat ekonomi masih kecil, sehingga memerlukan intervensi humanis agar sumberdaya dapat termanfaatkan secara optimal dengan tetap mempertahankan warisan budaya yang mengandung nilai-nilai kearifan. Kinerja ini mengalami permasalahan, dalam hal batas wilayah, terdapat ketidak jelasan hukum tenurial wilayah adat, dalam hal aturan terjadi ketidakselarasan antar peraturan dan kebijakan horizontal maupun vertikal serta terbentuk stigma negatif terhadap mekanisme pengelolaan. Sedangkan pada tataran lembaga pengelola, pengaruh globalisasi dan modernisasi menjadikan lembaga ini cenderung terancam kehilangan generasi penerus, ketidakselarasan sejarah antar masyarakat menjadikan klaim kepemilikan menjadi potensi konflik. Pemerintah telah menunjukkan keberpihakannya pada mekanisme pengelolaan berbasis kearifan lokal dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan terkait hal tersebut. Namun terdapat beberapa kekurangan berupa ketidakjelasan baik dalam batang tubuh perundang-undangan tersebut, maupun kelengkapan peraturan turunan dari perundang-undangan yang telah diterbitkan. Untuk itu perlu penelaahan kembali terhadap UU No 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014, perlu dibuat sebuah peraturan pemerintah terkait dengan kelengkapan dari peraturan perundang-undangan tersebut, serta perlu segera dibentuk peraturan yang memperjelas batas wilayah pengelolaan laut yang dapat dikelola oleh masing-masing komunitas masyarakat hukum adat.
2
DAFTAR ISI PENDAHULUAN ............................................................................................................. 7
I.
1.1.
LATAR BELAKANG................................................................................................. 7
1.2.
TUJUAN ................................................................................................................. 9
METODOLOGI ............................................................................................................. 10
II.
III.
IV.
2.1.
Kerangka Pemikiran .............................................................................................. 10
2.2.
Metode Analisa Data ............................................................................................. 12
2.3.
Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................................. 13
2.4.
Data Yang Dikumpulkan ........................................................................................ 13
2.5.
Teknik Pengumpulan Data .................................................................................... 13
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 15 3.1.
Karakteristik Wilayah Pesisir Indonesia ................................................................... 15
3.2.
Sumberdaya dan Kearifan Lokal ............................................................................. 16
3.3.
Konsep Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya........................................... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................... 23 4.1.
KONDISI SUMBERDAYA DAN SOSIAL BUDAYA.................................................... 23
4.1.1. Gambaran Umum SDKP .......................................................................................... 23 4.1.2. Sejarah dan Pranata Sosial Pendukung Kebudayaan .................................................. 31 4.1.3. Struktur Sosial Masyarakat ....................................................................................... 40 4.2. 4.2.1.
SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA .............................................................. 43 Identifikasi Pola Pengelolaan SDKP .................................................................... 43
4.2.2. Kinerja Pengelolaan SDKP..................................................................................... 49 4.2.3.
Manfaat Pengelolaan ......................................................................................... 58
4.2.4.
Ancaman Terhadap Keberlangsungan Pengelolaan Yutut, Tabob, dan Lilifuk ......... 67
4.3. POSISI PRAKTEK PENGELOLAAN SUMBERDAYA DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL ........................................................................................................................... 70
3
4.3.1.
Landasan Hukum Dalam Pengelolaan Sumberdaya Secara Adat ......................... 70
V. URGENSI KEJELASAN BATAS TENURIAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA BERBASIS KEARIFAN LOKAL: SEBUAH REKOMENDASI .......................................................... 85 VI.
KESIMPULAN............................................................................................................... 88
VII.
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 89
4
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Budaya Bahari dalam Pemanfaatan Sumber Daya Laut .. 11 Gambar 2. Peta Lokasi Kota Kupang Nusa Tenggara Timur.......................................................... 24 Gambar 3. Peta Maluku Tenggara .............................................................................................. 27 Gambar 4. Prosesi Buka Lilifuk dan Alat Tangkap yang digunakan saat buka lilifuk ......................... 46 Gambar 5. Persembahan emas untuk upacara adat dan tombak pemburu tabob ............................ 48 Gambar 6. Kinerja Kelembagaan Pengelolaan Lilifuk di Desa Kuanheun dan Desa Bolok ................ 49 Gambar 7. Manfaat Ekologi, Sosial Budaya, dan Ekonomi dari Mekanisme Pengelolaan Sasi, Pengelolaan Tabob, dan Pengelolaan Lilifuk................................................................................ 59 Gambar 8. Hubungan Antara Kinerja Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Laut dengan Manfaat Ekologi, Sosial Budaya dan Ekonomi .......................................................................................... 67
5
DAFTAR TABEL Tabel 1. Potensi dan pemanfaatan komoditas ikan dan non ikan di Kabupaten Kupang Tahun 2013. 25 Tabel 2. komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Kupang tahun 2013 ........................ 25 Tabel 3. Data Jumlah Nelayan tiap Kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2014 ............ 27 Tabel 4. Tabel penggunaan jenis perahu nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2014 ......... 29 Tabel 5. Jumlah Alat Tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara...................................................... 29 Tabel 6. Produksi Tangkap Per Jenis Alat Tangkap Per Kecamatan .............................................. 30 Tabel 7. Perbedaan Pengelolaan Lilifuk Di Desa Kuanheum dan Desa Bolok ................................. 44 Tabel 8. Kriteria Masyarakat Hukum Adat Agar Mendapatkan Hak Penguasaan Atas Sumberdaya Menurut UUD 1945 dan UU No 5/1960 ....................................................................................... 79 Tabel 9. Perspektif UU No 27/2007 jo UU No.1/2014 dan Permen-KP No 40/2014 terhadap pelaksanaan aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya berbasis kearifan lokal ........................... 81
6
I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini menekankan pentingnya menerapkan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini didasarkan pada analisa faktual bahwa kondisi sumberdaya laut nusantara semakin mengkhawatirkan. Greenpeace (2014) mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami ancaman penurunan perikanan akibat krisis ganda dari degradasi ekosistem kelautan dan penangkapan ikan berlebih. Lebih lanjut organisasi ini mengungkapkan bahwa perikanan Indonesia juga mengalami ancaman klasik penangkapan illegal, peralatan illegal, dan nelayan asing dengan kapal penangkap ikan besar. Selain itu, Le Tissier et,al. (2011) mengemukakan bahwa penyebab degradasi sumberdaya kelautan dan perikanan adalah pertambahan jumlah penduduk dan tekanan ekonomi yang mendorong terjadinya eksploitasi sumberdaya di wilayah pesisir. Padahal di sisi lain, bagi Indonesia, sumberdaya kelautan dan perikanan mempunyai nilai yang sangat strategis guna mendukung kelangsungan hidup bangsa baik secara ekonomi, sosial, hukum
dan politik. Sementara hasil dari penelitian BBPSEKP (2012)
memperlihatkan adanya peranan dimensi ide/pengetahuan pelaku perikanan dalam memaknai sumberdaya kelautan dan perikanan yang mempengaruhi seseorang dalam memperlakukan sumberdaya. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam yang arif merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fauzi (2004) bahwa pengelolaan sumber daya alam yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya pengelolaan sumber daya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat manusia. Memperhatikan pendapat greenpeace (2014), Le Tissier et,.al (2011) dan BBPSEKP (2012) di atas maka terpetakan bahwa faktor penyebab degradasi ekosistem laut merupakan sebuah rangkaian titik-titik yang bersifat kausalitas yang pada ujungnya bermuara pada sistem pengetahuan yang dimiliki oleh para pelaku pemanfaat sumberdaya. Sebagai bangsa yang dikelilingi oleh lautan, nenek moyang bangsa ini telah mempunyai mekanisme
7
pengelolaan sumberdaya laut secara arif dan khas sesuai dengan karakteristik laut yang dimilikinya. Mekanisme ini telah terbukti mampu menjaga keberlanjutan nilai ekonomi, sosial dan ekologi dari sumberdaya kelautan dan perikanan. Mekanisme tersebut dikenal dengan istilah kearifan lokal. Laksmiwati (2001) mendefinisikan kearifan lokal sebagai kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya budaya secara berkelanjutan. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat lokal atau masyarakat adat merupakan modal sosial masyarakat dalam bentuk suatu kebijakan tradisional ataupun kearifan lokal suatu komunitas tertentu. Negara pun menganggap penting pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara bijaksana dengan mengeluarkan payung hukum berupa undangundang. Beberapa Undang-undang yang terkait dengan hal tersebut diantaranya adalah UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan, UU No. 1 tahun 2014 tentang perubahan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 23 tahun 1997 jo. UU No.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang memuat asas kearifan lokal. Selain itu, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mendorong Pemerintah Pusat memberikan keleluasaaan pada pemerintah daerah untuk memanfaatkan dan mengembangkan berbagai potensi daerah termasuk potensi sumberdaya kelautan dan perikanan. Namun belum semua pemerintah daerah membuat peraturan turunan yang mengikat dan menjadi panduan bagi pelaksanaan mekanisme pengelolaan sumberdaya yang aplikatif dan arif. Hal ini menjadikan pelaksaan kearifan local yang telah ada cenderung semakin memudar. Memudarnya pelaksanaan kearifan local disebabkan pula oleh tekanan arus globalisasi dan akulturasi budaya akibat mobilitas masyarakat pesisir yang sangat tinggi sehingga merubah nilai-nilai yang menjadi dasar pelaksanaan kearifan local. Berdasarkan hal tersebut maka Kementrian Kelautan dan Perikanan, dalam hal ini Balitbang menganggap perlu melakukan kajian kearifan local. Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan data-data ilmiah yang menjadi dasar pentingnya revitalisasi kearifan local. Revitalisasi bertujuan menguatkan kembali nilai-nilai yang menjadi filosofi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
8
1.2. TUJUAN 1. Menganalisis kinerja pengelolaan sumberdaya laut berbasis kearifan lokal 2. Menganalisis posisi praktek pengelolaan sumberdaya laut berbasis kearifan lokal dari perspektif hukum nasional 3. Menyusun rekomendasi kebijakan terkait pengelolaan sumber daya perikanan laut berbasis masyarakat
9
II. METODOLOGI 2.1. Kerangka Pemikiran Paham determinism meyakini bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungannya, inilah yang menyebabkan karakteristik perilaku masyarakat dalam mengelola sumber daya berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Namun tidak selamanya lingkungan membentuk sebuah kebudayaan, kadang kala lingkungan merupakan pembatas berkembangnya sebuah kebudayaan, paham inilah yang dianut oleh kaum possibilism. Jadi, bagaimanapun sebuah kebudayaan terbentuk, lingkungan menjadi factor yang mempengaruhi berkembang atau tidaknya kebudayaan tersebut. Selain itu, budaya akan mengalami proses difusi dan akulturasi budaya sebagai hasil dari mobilitas masyarakatnya. Perbedaan kebudayaan merupakan sebuah kekayaan yang bisa menjadi daya tarik dan sumber pembelajaran antar kelompok masyarakat karena tidak jarang perilaku dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya tersebut mengandung berbagai kearifan (wisdom) yang bermanfaat. Hasil penelitian BBPSEKP (2012) mengungkapkan bahwa pelaksanaan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dimana didalamnya mengandung berbagai kearifan yang bersifat tradisional telah mendatangkan manfaat ekonomi, manfaat sosial dan manfaat ekologi. Sistem pengelolaan tersebut dapat dipandang sebagai sebuah institutions (kelembagaan) yang terbangun atas 3 (tiga) pilar yaitu dimensi normative, dimensi regulative dan dimensi cultural-kognitif, seperti yang dikatakan Scott (2008) bahwa “ institutions are comprised of regulative, normative, and cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life”. Dimensi regulative berisi tentang tatakelola sumber daya kelautan dan perikanan. Satria (2009) menjelaskan bahwa pada kasus perikanan konsep tatakelola yang diungkapkan Ruddle menjadi relevan untuk dijadikan panduan. Unsur-unsur tatakelola tersebut adalah batas wilayah, aturan, hak, pemegang otoritas, sanksi, pemantauan dan evaluasi. Dimensi normative terdiri dari nilai (values) dan norma (norms) yang menjadi dasar pelaksanaan kearifan lokal. Scott menjelaskan bahwa pada tataran ini pelaku pengelolaan menentukan tujuan dan cara-cara mencapai tujuan tersebut. Sedangkan dimensi cultural-
10
kognitif berisi teknik pengeloaan dan pengetahuan lokal. Ruddle dalam Satria 2009 menjelaskan bahwa pengetahuan memiliki karakteristik 1) bersifat jangka panjang, 2) berorientasi pada hal-hal praktis, 3) terstruktur dan 4) bersifat dinamis. Tingkat keefektifan dari kelembagaan system pengelolaan dapat dilihat dari kinerja kelembagaan tersebut, yang dapat dilihat dari 9 (sembilan) variabel seperti yang telah dirumuskan oleh Ostrom (1990) yaitu kejelasan batas wilayah, kesesuaian aturan dengan kondisi lokal, aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumber daya, adanya kelembagaan lokal yang mengatur mekanisme pengelolaan, instrumen dan mekanisme pengawasan oleh masyarakat, sanksi, mekanisme penyelesaian konflik, pengakuan dari pemerintah dan ikatan atau jaringan dengan lembaga luar. SDKP
Pengelolaan SDKP Bentuk Pengelolaan dan Distribusi Hak
H U K U M N A S I O N A L
KINERJA KEARIFAN LOKAL Kejelasan Batas Wilayah Kesesuaian aturan dengan kondisi lokal Aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumber daya Adanya kelembagaan lokal yang mengatur mekanisme pengelolaan Instrument dan mekanisme pengawasan oleh masyarakat Sanksi Mekanisme penyelesaian konflik Pengakuan dari pemerintah Ikatan atau jaringan dengan lembaga luar REKOMENDASI KEBIJAK DAMPAK SOSIAL, EKONOMI DAN EKOLOGI
KEBERLANJUTAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA LAUT
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Budaya Bahari dalam Pemanfaatan Sumber Daya Laut
11
Pelaksanaan kearifan lokal membutuhkan payung hukum untuk menjamin keberlangsungannya, sebaliknya kearifan yang dimiliki oleh masyarat pun dapat menjadi dasar bagi pembuatan hukum positif yang berkeadilan. Oleh karenanya perlu dilihat posisi pengelolaan sumber daya berbasis kearifan lokal dalam perspektif hukum positif. Informasi mengenai kinerja kearifan lokal dan posisi kearifan lokal dalam perspektif hukum positif menjadi bahan untuk membuat rekomendasi kebijakan. Dengan demikian diharapkan terjadi keselarasan antara kearifan lokal dengan hukum positif yang dapat menjamin keberlanjutan ekosistem laut, keadilan social dan ekonomi. Penggalian informasi pengelolaan sumberdaya sebagai bagian dari kebudayaan pada penelitian ini menggunakan pendekatan folklor. Hal ini dikarenakan aturan, sejarah pengelolaan masih dalam bentuk lisan. Folklor adalah sebagian dari kebudayaan yang tersebar di tengah masyarakat pendukungnya dan diwariskan secara turun temurun secara tradisional dalam versi berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat, atau alat pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1994:2). Tiga bentuk folklore yaitu folklore lisan (verbal folklore), folklore sebagian lisan (party verbal folklor) dan Folklor bukan lisan (non-verbal folklore). Aturan dan sejarah pengelolaan masyarakat sebagian besar masih berbentuk tradisi oral, termasuk di dalamnya puisi, lagu, syair, pepatah yang berisi mengenai pandangan mereka tentang alam dan sumber daya.
2.2. Metode Analisa Data Kinerja kearifan lokal dianalisis dengan menggunakan prosedur skoring pada tiap atribut yang mempengaruhi kinerja. Atribut yang dipakai berpedoman pada konsep yang dikembangkan oleh Ostrom (1990) yaitu kejelasan wilayah, kesesuaian dengan kondisi lokal, penyusunan aturan, fungsi kelembagaan lokal, pelaksanaan pengawasan, berlakunya sanksi, mekanisme penyelesaian konflik, pengakuan pemerintah dan jaringan dengan lembaga luar. Analisis hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi peraturan lokal -baik itu yang telah berbentuk hukum adat maupun yang masih berupa kesepakatan lokal- yang kemudian dilihat dari perspektif hukum positif mengenai pengelolaan sumber daya laut. Hukum positif tersebut diantaranya adalah UU No.27/2007 jo UU No. 1/2014 tentang
12
pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Permen KP No Per.01/2009 tentang wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dll. Variabel yang dipakai disesuaikan dengan variable yang terdapat pada peraturan lokal yang dimiliki oleh masyarakat perikanan setempat. Hasil dari kedua analisis tersebut diatas kemudian dianalisis secara deskriptif, dikaji hubungan antar setiap fenomena sehingga diperoleh sebuah kesimpulan. Kesimpulan ini akan menjadi dasar bagi penyusunan rekomendasi untuk melindungi berbagai kearifan yang dimiliki masyarakat dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan.
2.3. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Tahun 2015 di 3 (tiga) lokiasi yaitu Kupang,Nusa Tenggara Timur, Kota Tual dan Maluku Tenggara. Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada hasil studi literatur bahwa masyarakat di lokasi tersebut memiliki mekanisme pengelolaan sumber daya yang dinilai khas dan arif. Penentuan lokasi penelitian ini pun disesuaikan dengan kondisi keuangan dan waktu yang telah ditentukan.
2.4. Data Yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data yang akan dikumpulkan adalah unsur kebudayaan berupa variabel-variabel menyangkut unsur normatif, regulatif, dan kognitif, termasuk didalamnya data dinamika perubahan yang terjadi atas ke tiga unsure tersebut. Data sekunder berupa sumber informasi tertulis dan tidak tertulis yang diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas KP, laporan hasil penelitian sebelumnya, otobiografi, tulisan dalam jurnal, buletin, blog, sehingga dapat melengkapi data-data primer. Data sekunder tersebut diantaranya terkait dengan perkembangan kondisi sumberdaya dan perkembangan kondisi sosial budaya masyarakat.
2.5. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan melalui teknik wawancara mendalam, observasi dan diskusi terfokus. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dengan menggunakan pedoman wawancara yang dibantu dengan alat perekam. Sementara observasi dilakukan
13
untuk memperoleh gambaran secara etnografi baik dari informan maupun masyarakat yang berada di lokasi penelitian. Alat bantu observasi yang digunakan adalah kamera. Diskusi terfokus dilakukan dengan melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya setempat untuk mencapai kesepahaman atas fakta yang telah dirumuskan dari hasil penelitian. Penentuan informan pada awalnya dilakukan secara purposif kemudian dilakukan secara snow bowling berdasarkan informasi dari informan awal. Informan adalah individu atau kelompok masyarakat yang dipandang memahami secara jelas mengenai praktek kearifan lokal dan dinamika yang menyertainya. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka terhadap dokumen dan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.
14
III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Karakteristik Wilayah Pesisir Indonesia Pengertian wilayah pesisir berdasarkan UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat - sifat laut, kearah laut mencakup bagian laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir memiliki dua macam batas yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Posisi kawasan pesisir Jakarta terletak antara Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur. Secara sosial, kawasan pesisir didiami oleh masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat pesisir mempunyai karakteristik yang khas. Satria (2002) menjelaskan bahwa secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris. Hal ini disebabkan sosiologi masyarakat pesisir direkonstruksi dari basis sumberdaya (resources), sedangkan sosiologi pedesaan berbasis pada society. Dengan demikian kajiankajian sosiologi masyarakat pesisir bersumber pada aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan. Secara biofisik, wilayah laut dan pesisir Indonesia memang memungkinkan berbagai sumberdaya (biota laut) berkembang dengan baik sehubungan dengan bervariasinya kondisi bio fisik laut di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini, menjadikan setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri dalam menentukan jenis biota laut yang akan dimanfaatkan. Perairan Jakarta memiliki kondisi biofisik yang cocok untuk budidaya kerang hijau. Namun, perkembangan kondisi biofisik wilayah pesisir dan laut Indonesia cenderung semakin tinggi tingkat kerusakannya, terutama di daerah-daerah metropolitan seperti Jakarta. Faktor-faktor yang mendukung kerusakan ini diungkapkan oleh Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) yaitu over eksploitasi sumberdaya hayati laut, pencemaran akibat kegiatan industri dan rumah tangga, bencana alam, konflik pemanfaatan ruang, serta kemiskinan masyarakat pesisir. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah adanya kerangka
15
hukum yang kuat untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta pengakuan terhadap sistem-sistem tradisional dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir.
3.2. Sumberdaya dan Kearifan Lokal Sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan sumberdaya yang vital bagi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia. Potensi fisik dan geografis Indonesia
yang
menyebabkan sumberdaya ikan jauh lebih baik dari Negara-negara di Asia lainnya (Fauzi,2004). Namun sayangnya hal ini tidak didukung oleh pengelolaan yang baik. Pertumbuhan penduduk, faktor social, politik,ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia menjadi faktor penyebab semakin kompleksnya pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia (Fauzi,2004)Kegiatan perikanan, dalah hal ini ekstraksi, tidak hanya menjadi sumber pangan saja namun juga sumber penghidupan ekonomi dan budaya masyarakat pesisir. Pertambahan penduduk dan pembangunan diduga sebagai penyebab perubahan cara mengekstraksi sumber daya ikan secara masif kearah eksploitasi sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya (Fauzi, 2004). Pemanfataan melebihi daya dukung (over exploitation) dan bersifat destruktif, maraknya penangkapan ikan secara illegal, tidak dilaporkan dan tidak mematuhi aturan (Ilegal, Unreported and Unregulated Fishing) serta degradasi dan pencemaran lingkunagn menjadi penyebab menurunnya daya dukung sumberdaya dan mempengaruhi produktivitas perikanan(Stanis, 2005; Fauzi, 2004). Fauzi, dalam bukunya, menuliskan bahwa perikanan memiliki karakteristik khas dalam stuktur kepemilikan. Res nullius yang dalam bahasa latin berarti obyek yang seharusnya dimiliki namun tidak bisa dimiliki oleh individu yang kemudian memunculkan istilah common property . Sumberdaya menjadi milik bersama dan tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya.
3.3. Konsep Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pemanfaatan sumberdaya erat kaitannya dengan tujuan ekonomi. Teori ekonomi klasik memandang bahwa seseorang dalam melakukan kegiatan ekonomi didasarkan pada self interest dan efisiensi pasar (Damsar, 1997). Namun pandangan ini mendapat kritik dari banyak pihak diantaranya dari Ostrom (1990) yang berpendapat bahwa pandangan ekonomi klasik seperti itu tidak mewakili gambaran manusia dan tidak mencerminkan perekonomian
16
yang akurat. Menurutnya, sebagai makhluk sosial, manusia selalu dipengaruhi oleh entitas sosial disekitarnya dalam mengambil keputusan. Senada dengan Ostrom, Granoveter dan Swedberg (1992) dalam Damsar (1997) memandang bahwa dalam fenomena ekonomi terlekat fenomena sosial. Granoveter dan Swedberg mengungkapkan tiga alasannya yaitu 1) economic action is a form of social action, 2) economic action is a society situated, dan 3) economic institutions are social construction. Pandangan inilah yang kemudian melahirkan teori sosiologi economi. Damsar (1997) menyimpulkan bahwa sosiologi ekonomi berhubungan dengan dua hal yaitu fenomena ekonomi dan pendekatan sosial. Fenomena ekonomi meliputi konsumsi dan produksi, organisasi ekonomi, kehidupan dalam tempat kerja, pembagian kerja, segregasi pekerjaan, dampak dari faktor gender dan etnik, dll. Pengkajian terhadap fenomena tersebut dilakukan melalui
pendekatan-pendekatan
sosial,
diantaranya
adalah
pendekatan
ekonomi
kelembagaan (economic institutional). Fokus utama dalam kajian ekonomi kelembagaan adalah institusi, kebiasaan, aturan (rules) dan perkembangannya. Fauzi (2009) mengutip pendapat Douglas North bahwa kelembagaan sebagai ”rules of the game” dalam masyarakat atau secara formal diartikan sebagai ”humanly devised constraint” (kendali yang dirancang manusia) yang membentuk interaksi manusia. Soekanto (1990) memberikan istilah kelembagaan dengan ”lembaga kemasyarakatan” atau social istitution, sedangkan Koentjaraningrat (1974) mengistilahkannya dengan ’pranata’. Koentjaraningrat memakai istilah pranata untuk kelembagaan (institution) agar terlihat jelas perbedaannya dengan lembaga (institute). Lembaga atau institute dalam pengertian Koentjaraningrat adalah suatu badan atau organisasi yang berfungsi dalam suatu lapangan kehidupan masyarakat yang khas, biasanya lapangan pendidikan, penelitian, pembinaan atau pengembangan). Sedangkan pranata atau institution merupakan suatu sistem aktivitet khas dari kelakuan berpola beserta komponen-komponennya yaitu sistem norma dan tata kelakuan, peralatan, ditambah dengan manusia atau personel yang melaksanakan kegiatan berpola tersebut. Gillin dan Gillin (1954) menerangkan 6 ciri atau karakteristik dari sebuah kelembagaan, yaitu: 1. Kelembagaan merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang diwujudkan dalam aktivitas sosial dan hasil-hasilnya.
17
2. Kelembagaan mempunyai derajat kekekalan tertentu. Sistem kepercayaan dan tingkah laku tidak melembaga sampai diterima secara umum dan memerlukan waktu yang lama, sehingga mereka cenderung akan mempertahankannya. 3. Kelembagaan mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu. 4. Kelembagaan mempunyi alat-alat perlengkapan budaya yang digunakan untuk mencapai tujuan. 5. Tujuan tersebut digambarkan dalam lambang-lambang atau simbol tertentu. 6. Kelembagaan mempunyai tradisi yang tertulis dan tidak tertulis yang mengandung formulasi tujuan, sikap, perilaku dari individu-individu yang berpartisipasi. Koentjaraningrat (1974) menggolongkan kelembagaan menjadi beberapa golongan berdasarkan delapan kebutuhan hidup manusia, yaitu: 1. Kindship atau domestic institution, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan. Contohnya pelamaran, perkawinan, poligami dll. 2. Economic institutions, bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencrian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta dan benda. Contohnya pertanian, perikanan, industri. 3. Educational institutions, bertujuan memenuhi kebutuhan pendidikan. Contoh Sekolah Dasar. 4. Scientific institutions, bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta dan sekelilingnya. Contoh penelitian, pendidikan ilmiah. 5. Aestetic and recreational institutions, bertujuan untuk memenuhi rasa keindahan dan rekreasi. Contohnya seni rupa, seni sastra. 6. Religius institutions, memenuhi kebutuhan untuk berhubungan dengan tuhan dan alam gaib. Contoh kenduri, selamatan. 7. Political institutions bertujuan mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara. Contohnya pemerintahan, demokrasi, ketentaraan. 8. Somatic institutions, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia. Contohnya kedokteran, kecantikan. Meskipun terdapat berbagai kekurangan, namun penggolongan di atas memberikan penjelasan tentang makna ’pranata’ atau kelembagaan menurut koentjaraningrat. Apapun istilahnya, semuanya sepakat bahwa kelembagaan merupakan refleksi dari dua hal yaitu
18
norma atau sistem nilai dan aturan. Kelembagaan mempunyai tiga fungsi yaitu 1) memberikan pedoman bagi anggota masyarakat dalam bertingkah laku menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan; 2) menjaga keutuhan masyarakat; serta 3) memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial. Dengan demikian, adanya berbagai jenis kelembagaan dalam sebuah masyarakat selain memiliki fungsi yang khas berdasarkan kebutuhannya masing masing juga memiliki fungsi umum yang sama yaitu ketiga fungsi di atas.
Sebagai sebuah sistem dalam
kehidupan, kelembagaan-kelembagaan yang mempunyai fungsi-fungsi khas tersebut merupakan sebuah sub sistem yang saling berhubungan dalam sistem yang lebih luas yaitu sistem masyarakat. Parson dalam Poloma (2007) mengatakan bahwa lembaga-lembaga sosial merupakan bagian yang saling bergantung menurut pola-pola tertentu. Jika salah satu sub sistem tersebut berubah maka sub sistem yang lain akan mengalami perubahan atau penyesuaian untuk membentuk sistem dengan keseimbangan yang baru. Sebagai sebuah sub sistem, kelembagaan menurut konsep Parson terdiri dari empat fungsi primer yaitu Adaptation (A), Goal attainment (G), Integration (I), dan Latent patternmaintenance (L). Agar dapat bertahan, maka kelembagaan harus memiliki keempat fungsi tersebut. Fungsi adaptation mengarah kepada kemampuan kelembagaan untuk beradaptasi dengan lingkungan agar keberlangsungan aktivitas masyarakatnya tetap terjaga. Selain itu, kelembagaan harus mampu mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan bersama (goal attainment). Fungsi Integration menuntut kelembagaan untuk dapat mengatur hubungan antar aspek-aspek yang terlibat di dalamnya disamping memelihara sistem nilai yang ada dan mengelola potensi konflik agar tidak merusak keseimbangan sistem (latent patternmaintenance). Jika dilihat dari proses terjadinya, kelembagaan merupakan perkembangan dari hubungan anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Interaksi antar anggota masyarakat ini secara tidak disadari membentuk norma-norma yang dalam perkembangannya semakin bersifat mengikat. Berkaitan dengan hal ini Soekanto (1990) mengenalkan empat pengertian yaitu cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores) dan adat istiadat (custom). Cara (usage) merupakan norma yang paling lemah kekuatannya, artinya penyimpangan terhadapnya tidak mengakibatkan hukuman yang berat hanya berupa celaan dari orang yang bersangkutan. ’Kebiasaan’ lebih mengikat dibandingkan
19
’cara’. Kebiasaan ini merupakan cara yang dilakukan secara berulang-ulang tidak hanya oleh seseorang namun oleh masyarakat secara umum, oleh karenanya penyimpangan terhadap ’kebiasaan’ akan memancing celaan dari masyarakat. Jika kebiasaan itu kemudian menjadi sebuah norma pengatur maka kebiasaan ini menjadi sebuah tata kelakuan (mores), sehingga tata kelakuan biasa dijadikan sebagai alat agar masyarakat menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Tata kelakuan ini akan berkembang menjadi adat istiadat jika sudah sangat mengikat seluruh anggota masyarakat. Pelanggaran terhadap adat istiadat dikenakan sanksi yang tegas dari masyarakat. Selanjutnya Soekanto menerangkan bahwa suatu norma tertentu dikatakan telah melembaga (institutionalized) bila norma tersebut diketahui, dipahami atau dimengerti, ditaati, dan dihargai. Proses pelembagaan ini akan terus berlanjut sampai menjadi ’mendarah-daging’ (internalized) yaitu suatu taraf perkembangan di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperilaku sejalan dengan perilaku yang memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Scott (2008) mencoba mentautkan antara institusi sebagai aspek sosial dan aktivitas ekonomi, dimana menurutnya pertautan tersebut dapat dilihat dalam sendi-sendi (pilars) institusi yaitu regulative pillars, normative pillars dan culture-cognitive pillars. Dalam bentuk yang lebih kongkrit, kelembagaan terdiri dari hukum formal, baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis, aturan informal, dan nilai-nilai yang ada dan diakui dalam masyarakat serta bentuk-bentuk pengorganisasiannya. Lebih jauh Fauzi (2009) berpendapat bahwa salah satu kunci dalam aspek ekonomi kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property right ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial dan adat. Relevansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan diakui dalam masyarakat. Selain kelembagaan yang terkait dengan hubungan antar aktor, seperti masalah property right, terdapat pula kelembagaan yang terkait dengan hubungan antar pelaku dalam komunitas tersebut, misalnya hubungan antar pelaku dalam proses produksi, sistem imbalan, dan lain-lain. Kelembagaan yang terkait dengan hubungan antar pelaku dalam aktivitas usaha pembudidayaan dan pengolahan kerang hijau diistilahkan menjadi ’kelembagaan usaha’. Sedangkan ’kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir adalah kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan antara pembudidaya dan pengolah kerang hijau dengan stakeholder lain dalam memanfaatkan dan mengelola wilayah pesisir.
20
Kinerja kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya merupakan suatu ukuran untuk melihat apakah kearifan lokal tersebut dapat berfungsi secara efektif dalam mengelola sumberdaya sehingga dapat memberikan manfaat baik pada aspek ekologi maupun aspek ekonomi dan aspek budaya. Untuk mengukur kinerja kelembagaan pengelolaan sumberdaya, Ostrom (1990) seperti yang dikutip oleh Satria (2009) telah memberikan acuan beberapa indikator yang harus dilihat yaitu: 1. Kejelasan batas wilayah. Batas wilayah dirumuskan dengan jelas sehingga setiap orang mudah untuk mengidentifikasi dan mengenalnya. 2. Kesesuaian aturan dengan kondisi lokal Apakah pengelolaan lubuk memiliki aturan-aturan yang tepat untuk kepentingan kelestarian sumberdaya, perlindungan ekonomi lokal, serta penguatan sistem sosial dan aturan-aturan tersebut mudah ditegakkan dan mudah diawasi. 3. Aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumberdaya, masyarakat mampu membuat aturan yang didasarkan atas pertimbangan saintifik, pengetahuan lokal, maupun kearifan lokal melalui mekanisme lembaga lokal. 4. Adanya kelembagaan lokal yang berfungsi mengatur mekanisme pengelolaan, membuat aturan, merevisi aturan, mekanisme pengambilan keputusan 5. Pelaksanaan pengawasan dihormati masyarakat. Pada point ini masyarakat memiliki instrument dan mekanisme pengawasan sendiri dengan para pelaku pengawasan yang mendapat legitimasi masyarakat. 6. Berlakunya sanksi. Ukuran keberhasilan suatu aturan adalah tegaknya sanksi bagi para pelanggarnya, baik sanksi sosial, sanksi administrative, maupun sanksi ekonomi. 7. Mekanisme penyelesaian konflik. Masyarakat memiliki mekanisme alternatif dalam penyelesaian konflik di luar mekanisme formal 8. Kuatnya pengakuan dari pemerintah Pengakuan dari pemerintah dapat berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan daerah. 9. Adanya ikatan atau jaringan dengan lembaga luar. Jaringan dengan dunia luar yang dimaksud adalah jaringan antar komunitas maupun dengan di luar komunitas seperti perguruan tinggi, LSM, maupun swasta.
21
Dengan mengetahui kinerja kelembagaan kearifan lokal yang disebutkan di atas, maka dapat diidentifikasi apakah sistem pengelolaan tersebut dapat diterima, dijalankan, dan mengakar dalam masyarakat sehingga bekerja secara efektif atau tidak efektif dalam mengelola sumberdaya secara berkelanjutan.
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KONDISI SUMBERDAYA DAN SOSIAL BUDAYA 4.1.1. Gambaran Umum SDKP 4.1.1.1.Kota Kupang Kabupaten Kupang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak pada 9015 – 10022 LS dan 123016 – 124011 BT. Kabupaten ini terdiri atas 24 kecamatan dengan luas wilayah 5.431.23 km2 atau 543,123 Ha dengan batas-batas wilayah yaitu : Sebelah utara berbatasan dengan Laut Sawu dan Selat Ombai Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten TTS dan Timor Leste Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua dan Laut Sawu
23
Gambar 2. Peta Lokasi Kota Kupang Nusa Tenggara Timur Sumber : www.dians999.wordpress.com
Sebagai salah satu kabupaten kepulauan yang memiliki sekitar 24 pulau besar dan kecil dengan perairan laut yang cukup luas dan garis pantai yang cukup panjang maka wilayah pesisir dan laut Kabupaten Kupang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar pula. Luas wilayah laut yang menjadi kewenangan pengelolaan Kabupaten Kupang diperkirakan 3.118 km2 dengan panjang garis pantai sejauh 423,86 km. Karakteristik pantai dan laut yang teridentifikasi beragam diantaranya karang, pasir dan lumpur. Kondisi pantai dan laut di wilayah pantai yang berada di Teluk Kupang relatif lumpur berpasir dan agak landai karena terdapat beberapa muara sungai dimana umumnya didominasi ekosistem mangrove. Wilayahnya meliputi Kecamatan Kupang timur dan sebagian Kupang Tengah sehingga selama ini dimanfaatkan untuk usaha budidaya air payau maupun garam. Namun kondisi terakhir di wilayah pesisir dan laut menunjukkan degradasi lingkungan yang memprihatinkan terutama pada kondisi terumbu karang. Penyebabnya diantaranya kegiatan
24
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bom ikan) dan juga kegiatan “makameting” (aktivitas menangkap ikan pada saat laut surut. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kupang tergolong besar dan beragam. Tabel 1. Potensi dan pemanfaatan komoditas ikan dan non ikan di Kabupaten Kupang Tahun 2013 No
Komoditas
daerah penyebaran
Ikan Pelagis besar 1. Tuna cakalang 2. Tongkol 3. 1.
/ Laut Sawu & Laut Timor Laut Sawu & Laut Timor Tenggiri Laut Sawu & Laut Timor Ikan pelagis kecil Tembang, Perairan pantai P. layang, Semau dan P. Timor kembung
Ikan Demersal 1. Kerapu, kakap, Perairan pantai P. ekor kuning Semau dan P. Timor Non Ikan 1. Lobster Perairan pantai P. Semau dan P. Timor 2. Udang putih Kec. Amarasi, Sulamu, Kupang Timur, Kupang Tengah 3. Cumi-cumi Kec. Semau dan Semau Selatan Sumber : Dinas KP Prov NTT, 2014
Potensi (ton,ha)
Pemanfaatan (ton,ha)
Alat tangkap
15.000 ton
85,80 ton
10.000 ton
5.000 ton
Longline, pole and line purse seine
5.000 ton
966 ton
Rumpon
25.000 ton
3.120,25 ton
Purse seine, gillnet, jala payang, bagan
5.000 ton
363,95 ton
Rawai dasar, pancing, bubu
15 ton
4,20 ton
Trammel nett
160 ton
59,80 ton
Trammel nett, sero
150 ton
35 ton
Jala lompo
Komoditas ikan yang tertangkap terdiri atas ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Sementara itu, komoditas unggulan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten Kupang tahun 2013 No Komoditas Produksi hasil tangkapan (ton) 1. Ikan Cakalang 798,1 2. Ikan Tongkol 667,0 3. Ikan Layang 638,3 4. Ikan Kembung 578,3 5. Ikan Selar 430,9 6. Ikan gerot 390,3 7. Ikan Terbang 327,8
25
8. Ikan Teri 302,1 9. Ikan bawal hitam 177,7 10. Ikan Tembang 138,9 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Prov NTT, 2014
Untuk sebaran potensi penangkapan non ikan seperti cumi-cumi, ubur-ubur dan teripang sering ditangkap di perairan pantai Kupang Barat, Semau dan Semau Selatan. Sedangkan untuk lobster dijumpai di perairan Laut Timor (wilayah perairan Amarasi Barat, Amarasi Selatan dan Amarasi Timur). Dari 24 kecamatan yang ada, Kecamatan Kupang Barat memiliki ekosistem pantai dan laut yang terluas : terumbu karang 600 Ha yang terdiri dari beberapa jenis yaitu karang lunak, karang bercabang dan karang otak, lamun 640 ha dengan jenisnya Thalisia hempricii dan Enhalus acoroides dan mangrove 153,1 Ha jenis Rhizopora sp dan Brugiera sp. Komoditas ikan yang dominan di kecamatan ini diantaranya : ikan tongkol, ikan tembang, julumg-julung sedangkan untuk ikan demersalnya adalah ikan ekor kuning dan kepala batu dan komoditas non ikan yang tertangkap adalah cumi-cumi, udang, lobster dan ubur-ubur.
4.1.1.2 Maluku Tenggara Secara astronomis, Kabupaten Maluku Tenggara terletak antara 5 o – 6,5o LS dan 131o – 133,5o BT. Secara geografis, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara berbatasan dengan: Papua Barat bagian Selatan di sebelah Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda dan Kepulauan Tanimbar, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kepulauan Aru (BPS Kab. Maluku Tenggara, 2010). Maluku Tenggara yang sebagian besar wilayahnya adalah lautan merupakan daerah yang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat strategis, hal ini karena berada pada dua wilayah pengelolaan yaitu laut banda dan laut arafura. Luas wilayah Kabupaten Maluku Tenggara 4.212,51 km2 dengan luas daratan 1.031,81 km2 (24%) dan luas perairannya 3.180,70 km2 (76%). Kepulauan Maluku Tenggara hanya terdiri atas 1 Gugusan Kepulauan yaitu Gugusan Kepulauan Kei yang terdiri atas Kepulauan Kei Kecil dengan Luas seluruhnya 486,17 km2 dan Pulau Kei Besar dengan Luas 545.64 km2. Kabupaten ini memiliki 12 Pulau yang dihuni dan 58 Pulau yang tak berpenghuni.
26
Gambar 3. Peta Maluku Tenggara
Sumber : Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara, 2014 Data Nelayan Tangkap Per Kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara dapat dilihat pada table berikut ini : Tabel 3. Data Jumlah Nelayan tiap Kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2014
KECAMATAN KEI KECIL KEI KECIL BARAT KEI KECIL TIMUR KEI BESAR KEI BESAR SELATAN KEI BESAR UTARA TIMUR JUMLAH Sumber : Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara, 2014
JUMLAH NELAYAN 1.170 565 771 1.210 551 921 5.188
27
Armada Penangkapan Ikan di Kabupaten Maluku Tenggara dapat diklasifikasikan atas 3 Jenis antara lain : Perahu Tanpa Motor terdiri dari : a.
Jukung
Jukung adalah perahu tanpa motor yang terbuat dari sebilah kayu. Kayu yang diperbesar dengan menambah papan pada kedua belah sisinya. Jumlah Jukung di Kabupaten Maluku Tenggara mencapai 4.089 buah. b.
Perahu papan
Perahu Papan adalah perahu motor yang dasarnya terdiri dari lunas dengan gading/rusuk. Badan perahu dibuat dengan memasang papan pada gading/rusuk tersebut. - Perahu Papan Kecil (Panjang + 7 Mtr) - Perahu Papan Sedang (Panjang 7 – 10 Mtr) - Perahu Papan Besar (Panjang 10 Mtr ke atas) Jumlah Perahu Papan di Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 25 buah. c.
Motor Tempel
Motor Tempel adalah Perahu yang menggunakan mesin (Ketinting, Jonson) sebagai tenaga penggerak yang diletakan di bagian belakang perahu maupun di sisi kiri/kanan perahu. Jumlah Motor Tempel di Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 898 Unit. Jumlah ini masih terbatas dan cukup rendah di Kabupaten Maluku Tenggara. d.
Kapal Motor
Kapal Motor adalah kapal yang menggunakan mesin sebagai tenaga penggerak yang diletakan di dalam Kapal.Jumlah Kapal Motor di Kabupaten Maluku Tenggara sebanyak 82 buah. e.
Nelayan Tanpa Perahu
Di Kabupaten Maluku Tenggara terdapat nelayan tangkap yang melakukan aktifitas penangkapan namun tidak memiliki armada penangkapan. Operasi penangkapan ikan oleh nelayan-nelayan tersebut biasanya secara langsung di tepian pantai atau menggunakan perahu nelayan lain untuk melakukan aktifitasnya. Jumlah nelayan tangkap yang tidak memiliki armada penangkapan berjumlah 220 Nelayan.
28
Tabel 4. Tabel penggunaan jenis perahu nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2014 Perah Perahu Kapal Tanpa JUMLA No KECAMATAN Motor Perahu H JUKUNG u Papan Motor tempel 1 2 3 4 5 6 TIMUR
KEI KECIL KEI KECIL BARAT KEI KECIL TIMUR KEI BESAR KEI BESAR SELATAN KEI BESAR UTARA
691 450 471 862 708
9 5 2 4 3 2
907 Jumlah 4.089 25 Sumber : Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara, 2014
381 61 120 192 48 96
33 9 8 17 7 9
75 50 35 12 22 26
898
82
220
Alat Penangkapan Ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda lain yang digunakan untuk menangkap ikan. Tabel 5. Jumlah Alat Tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara KECAMATAN KEI KECIL KEI KECIL BARAT KEI KECIL TIMUR KEI BESAR KEI BESAR SELATAN KEI BESAR UTARA TIMUR JUMLAH TOTAL
Tegak 1,121 670 243 982 312 568 3,896
Pancing Ulur Tonda 1,129 930 501 240 415 270 555 560 167 222 129 378 2,896 2,600
Lain 95 88 75 81 80 14 433 9,825
Hanyut 585 86 131 121 66 91 1,080
GillNet Bubu Jala Tebar Bagan Rawai Tetap Lingkar 359 355 92 126 89 38 10 9 75 14 15 123 198 125 6 115 28 8 8 186 81 73 947 714 323 149 2,741 323 149 -
Sero 2 2 4 4
Purse Total Lain-Lain Seine Alat 12 510 5,316 121 1,852 80 1,318 462 3,215 2 93 1,101 37 1,557 14 1,303 14,359 14 1,303 14,359
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara, 2014
Produksi Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun ke tahun masih didominasi dari perikanan tangkap dimana total produksi terus meningkat dan produksi tersebut dipasarkan di tingkat Lokal dan Intersuler. Berikut akan di sajikan Produksi Tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara berdasarkan Jenis Alat Tangkap di setiap Kecamatan.
29
Tabel 6. Produksi Tangkap Per Jenis Alat Tangkap Per Kecamatan KECAMATAN KEI KECIL KEI KECIL BARAT KEI KECIL TIMUR KEI BESAR KEI BESAR SELATAN KEI BESAR UTARA TIMUR JUMLAH TOTAL
Pancing (Kg) Tegak Ulur Tonda 576.6 790.6 2,602.8 344.6 350.8 671.7 125.0 290.6 755.7 505.1 388.6 1,567.3 160.5 116.9 621.3 292.1 90.3 1,057.9 2,003.9 2,027.9 7,276.7
Lain 1,980.3 1,834.4 1,563.4 1,688.5 1,667.7 291.8 9,026.2 20,334.7
GillNet (Kg) Hanyut Tetap 5,187.8 3,554.7 762.6 881.3 1,161.7 742.6 1,073.0 1,217.9 585.3 1,138.7 807.0 1,841.7 9,577.4 9,376.9
Lingkar 4,819.2 515.9 190.1 2,687.9 380.1 1,099.6 9,692.8 28,647.1
Bubu (Kg) 265.9 28.9 43.4 361.3 23.1 211.0 933.6 933.6
Jala Tebar Bagan (Kg) (Kg)
0.0 7,330.7 0.0 523.6 0.0 0.0 0.0 349.1 0.0 465.4 0.0 0.0 0.0 8,668.9 0.0 8,668.9
Purse Seine Rawai Sero (Kg) (Kg) (Kg) 0.0 91.3 38.7 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 91.3 0.0 0.0 0.0 6.4 0.0 0.0 0.0 0.0 182.6 45.1 0.0 182.6 45.1
Lain-Lain Total Produksi (Kg) (Kg) 2,957.8 30,196.4 701.7 6,615.6 464.0 5,336.4 2,679.4 12,609.4 539.4 5,704.9 214.6 5,906.1 7,556.8 66,368.8 7,556.8 66,368.8
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara, 2014
Data tabel di atas memperlihatkan produksi tertinggi untuk Perikanan Tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara adalah Kecamatan Kei Kecil dengan Nilai Produksi sebesar 30.196,4 Ton, sementara produksi terendah terdapat pada Kecamatan Kei Kecil Timur dengan nilai Produksi 5.336,4 Ton.Dari Tabel di atas dapat dilihat pula bahwa untuk jenis alat tangkap, Produksi terbanyak adalah alat tangkap Gillnet dengan nilai produksi sebesar 28.647,1 Ton dan terendah adalah alat tangkap Purse Seine dengan nilai produksi 45,1 Ton.
4.1.1.3. Kota Tual Kota Tual merupakan daerah Otonom Baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara berdasarkan UU No.31 Tahun 2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Secara astronomis Kota Tual terletak pada koordinat 131⁰-133⁰ Bujur Timur dan 5⁰6⁰ Lintang Selatan, yang berbatasan dengan : Sebelah Utara : Laut Banda Sebelah Selatan : Kabupaten Maluku Tengagra Sebelah Barat : Laut Banda Sebelah Timur : Selat Nerong Kabupaten Maluku tenggara Luas wilayah Kota Tual adalah 19.088,29 Km² , dimana lebih dari 98 % wilayahnya adalah laut yaitu 18.736 Km² sementara luas daratan hanya 1,33 % atau 352,66 Km². Kota Tual merupakan gugusan pulau-pulau yang terdiri dari 66 pulau dan hanya 13 pulau diantaranya yang berpenghuni.
30
4.1.2. Sejarah dan Pranata Sosial Pendukung Kebudayaan 4.1.2.1.Kota Kupang Hingga saat ini belum ada sumber tertulis yang dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui sejarah asal usul penduduk Desa Bolok dan Kuanheun, penduduk lokasi penelitian kami. Sejarah dan asal usul kami dapatkan dengan cara menggali informasi dari para tetua adat. Sebelum diuraikan mengenai suku- perlu kita pahami konsep suku bangsa/ kelompok etnik. Kelompok etnik(ethnic groups) dalam antropologi dikenal sebagai populasi yang (1) secara bioolgis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai budaya yang sama (bahasa) dan sadar akan rasa kebersamaan dalam bentuk budaya ; (3)membentuk jaringan komunikasi dan interaksi; (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri dan diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dengan kelompok lainnya (Akil, 1982). Dalam prakteknya, pengertian suku bangsa bersifat elastis, dapat membesar dan mengecil, dimana ada kelompok etnik yang tidak memiliki bahasa sendiri ( Patji, 2014). Kelompok etnik ini masih terbagi-bagi lagi ke dalam kelompok masyarakat yang dinamakan Klan/marga. Nusa Tenggara Timur memiliki 566 buah pulau dengan 3 pulau besar yaitu Flores, Sumba dan Timor. Pulau-pulau tersebut dihuni oleh berbagai suku diantaranya adalah Suku Helong, Dawan, Tetun, Kemak, Marae, Rote, Sabu, Sumba, Manggarai Riung, Ngada, Lio, Sika-Krowe Muhang, Lamaholot, Kedang, Labala, Alor Pantar. Menurut sumber yang sama, Kebudayaan Nusa Tenggara Timur dipengaruhi oleh Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Ambon/Maluku, Portugis dan Belanda. Sementara di Lokasi penelitian yaitu di Desa Bolok dan Desa Kuanheun , kecamatan Kupang Barat Kota Kupang, suku yang dominan adalah suku Helong dan suku Timor. Suku Helong di desa Bolok ini percaya memiliki ikatan yang kuat dengan kebudayaan Ambon Menurut salah satu tokoh adat di Desa Bolok, “bahasa yang dipakai suku Helong mirip dengan ambon, bahkan di ambon sendiri ada Desa yang bernama Desa Halong, dipercaya Orang Helong berasal dari sana” Pengaruh kebudayaan Portugis dan Belanda sebagai pembawa agama Nasrani1 ikut mewarnai kebudayaan Suku Helong. Sementara Suku Timor, asal penduduk Desa Kuanheun berasal dari Gunung Soe di Kabupaten Timor Tengah Selatan namun sejak tahun 1800 mereka turun dari gunung karena terjadi perang melawan “bipolo” (portugis). 1
https://arhulagung.wordpress.com/2013/11/15/keterikatan-pulau-ambon-dan-suku-helong-dipulau-semau/
31
Menangkap ikan bukan merupakan mata pencaharian utama di Desa Kueanheun dan Desa Bolok, terlihat dari 6 dusun hanya 1 dusun yang kepala keluarganya bermata pencaaharian sebagai nelayan. Sebagian besar bermata pencaharian beternak dan berkebun karena sudah menjadi warisan yang turun temurun dari leluhur. Sejak itulah mereka menetap di dataran rendah namun karena mereka tidak memiliki kemampuan dalam menangkap ikan maka meskipun tinggal di pesisir mereka tetap berkebun dan menjadikan sumberdaya laut hanya sebagai sumber daya sampingan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat beberapa faktor penyebab ketidaktertarikan masyarakat kupang untuk memanfaatkan sumberdaya laut secara intensif, diantaranya adalah: 1. Faktor Internal -
Mata pencaharian hidup Masyarakat suku Timor di Desa Kuanheun yang berasal dari Gunung Soe merupakan masyarakat pertanian dan peternakan. Mereka bermigrasi dari Soe menuju Desa Kuanheun dikarenakan perang kemerdekaan. Soe merupakan daerah pegunungan yang dingin bahkan dijuluki ‘ Kota dingin’dan penghasil apel serta jeruk yang dinamakan jeruk Soe. Latar belakang sejarang mereka sebagai petani di Soe inilah yang dianggap sebagai penyebab mereka tidak terbiasa dan tidak mempunyai keahlian dalam pemanfaatan sumberdaya laut. Sementara itu, masyarakat Desa Bolok yang didominasi suku Helong sudah mengenal laut. Suku Helong berasal dari Pulau Semau yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dengan cara yang tradisional. Meskipun berprofesi sebagai nelayan, masyarakat Desa Bolok masih menjadikan pertanian dan peternakan sebagai mata pencaharian utama. Budaya bercocok tanam yang tertanam kuat dalam diri orang Timor sehingga bekerja bagi mereka adalah sebagai petani dan peternak. Desa Kuanheun dan Bolok yang terletak di kecamatan Kupang Barat Kota Kupang. Desa ini terletak pada kepulauan busur luar Nusa tenggara Timur, yakni di Pulau Timor yang hidup dengan mata pencaharian pokok dari perladangan. Mereka menanam jenis tanaman yang menghasilkan bahan pangan seperti jagung, ubi kayu, sorghum (jagung rote), padi huma, kacang-kacangan.Pulau ini memiliki iklim yang kering dan lebih gersang dengan curah hujan rendah. Kedua desa wilayah penelitian kami ditambah dengan kondisi tanah yang terdiri dari karang merupakan tantangan yang besar dalam
32
berladang.Letak desa yang berbatasan dengan Teluk Kupang dan Laut Sawu tidak dapat serta merta merubah mata pencaharian mereka dari petani menjadi nelayan. Mereka merasa tidak ada keturunan untuk menjadi nelayan. Nelayan yang dimaksud disini sesuai dengan yang tertera dalam Undang Undang Perikanan Nomor 45 tahun 2009 yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari. Karakteristik petani dan peternak yang membutuhkan kemampuan memelihara lahan dan hewan dianggap berbeda dengan karakteristik nelayan yang hanya bersifat mengekstraksi sumber daya. Kegiatan perikanan yang dianggap sesuai dengan karakteristik masyarakat adalah usaha budidaya rumput laut yang saat ini dilakukan oleh sebagian besar masyarat desa. Budidaya rumput laut dilakukan di periaran Bolok di sekitar lokasi Lilifuk. Untuk memahami alasan mengapa masyarakat Desa Kuanheun dan Desa Bolok tetap mempertahankan mata pencaharian mereka dalam bertani dan bertenak kita dapat menilik konsep ‘possibilisme’. Menurut ‘posibilisme’ kehidupan manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri sementara alam hanya menyediakan kemungkinan –kemungkinan saja. Helmy et al (2012) memandang adaptasi sebagai suatu prilaku responsive manusia terhadap perubahan lingkungan yang terjadi agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Adaptasi merupakan system interkasi yang berlangsung terus menerus antara manusia dengan ekosistemnya sehingga dapat menimbulkan perubahan pada prilaku masyarakatnya (determinisme) atau sebaliknya perilaku manusia yang merubah lingkungan (possibilisme) yang merupakan suatu upaya manusia agar dapat bertahan hidup di lingkungan tempat tinggalnya. -
Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial Masyarakat Nusa Tenggara Timur, baik Orang Timor maupun Orang Helong menarik garis keturunan melalui garis ayah (patrilineal). Sama dengan masyarakat lain yang menarik menganut patrilineal, anak laki-laki mempunyai posisi penting dalam meneruskan silsilah dan keturunan keluarga. Klen (Marga) atau yang biasa disebut “fam’ oleh mereka , hanya bisa diteruskan oleh laki-laki. Berbicara mengenai Sistem kekerabatan, kita akan membahas a. Sistem perkawinan Orang Timor dan Helong adalah eksogami yang artinya perkawinan dengan anggota luar klen mereka yang melarang
perkawinan
33
dengan satu marga. Setiap perempuan yang sudah menikah dianggap masuk ke keluarga(klen) suami dan keluar dari keluarga (klen) ayahnya b. Sistem pewarisan harta Sebagai konsekuensi dari system patrilineal maka secara langsung harta akan diwariskan kepada anak laki-laki. Anak perempuan dianggap tidak berhak atas warisan, karena mereka setelah menikah dianggap telah keluar dari keluarga dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya. Tidak ada aturan baku mengenai besaran pembagian warisan. Dalam ajaran Agama Kristen (sebagian besar mereka adalah penganut agama Kristen) juga tidak ada aturan baku mengenai pembagian warisan. Sistem perkawinan dan sistem pewarisan Orang Timor dan Helong menempatkan ternak serta tanah sebagai harta yang dianggap penting. Adat perkawinan mereka yang menerapkan mas kawin berupa binatang ternak. Binatang ternak tersebut bisa berupa sapi dan babi.Menurut Lambertus Lanus 2, status sosial masyarakat Timor dilihat dari banyaknya ternak yang dimiliki. Semakin banyak binatang ternak yang dimiliki maka semakin tinggi status sosial orang tersebut. -
Kebudayan Timor mengenal pelapisan sosial. Menurut Labertus Lanus, ternak memiliki arti penting bagi masyarakat Timor. Bagi Orang Timor , jumlah ternak yang dimiliki seseorang menentukan status sosialnya. Semakin banyak binatang ternak yang dimiliki maka semakin tinggi status sosial orang tersebut. Hal ini berhubungan pula dengan adat perkawinan masyarakatnya yang menerapkan mas kawin berupa binatang ternak. Binatang ternak tersebut bisa berupa sapi dan babi.
2. Faktor Eksternal Faktor eksternal terkait dengan kebijakan pemerintah yang terlihat tidak berpihak pada pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. -
Ini ditunjukkan dengan pemberian ijin operasi bagi PT. Timor Otsuki Mutiara (TOM), sebuah perusahaan modal asing dari Jepang yang bergerak di bidang budidaya
2
Lambertus Lanus adalah ketua adat dari 12 suku yang ada di Kuanheun
34
mutiara di perairan Teluk Kupang. Meskipun perusahaan ini tidak menghasilkan limbah berbahaya bagi ekosistem laut namun kegiatan budidaya ini telah menimbulkan konsekuensi bagi
aktivitas perikanan masyarakat desa Bolok.
Budidaya mutiara membatasi aktivitas perikanan masyarakat desa ini -
Kedua, dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Desa Bolok. PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara dalam kegiatan operasionalnya dianggap dapat mencemari laut.
-
Pabrik Semen Timor meskipun saat ini statusnya belum beroperasi namun sudah mengantongi ijin operasional dan mulai membangun pabrik di wilayah Desa Bolok. Limbah produksi semen dipercaya dapat mempengaruhi kondisi perairan Teluk Kupang yang melintasi Desa Bolok.
-
Diputuskannya Desa Bolok sebagai daerah industri wilayah Nusa Tenggara Timur menjadi bukti ketidakseriusan pemerintah daerah dalam mendukung wilayah konservasi guna mewujudkan perikanan yang berkelanjutan.
4.1.2.2. Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara Masyarakat
Kota Tual dan masyarakat Kabupaten Maluku Tenggara masih
merupakan satu kesatuan adat. Kota Tual memiliki akar budaya dan adat istiadat yang sama dengan Kabupaten induknya yaitu Maluku Tenggara karena Kota Tual merupakan daerah Otonom Baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara berdasarkan UU No.31 Tahun 2007 tanggal 10 Juli 2007 tentang pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Mereka menyebut dirinya Orang Kei atau Orang Kay, nama yang juga mengacu pada Pulau asal. Nuhu Evav adalah nama asli dari Pulau ini yang artinya Pulau Evav. Penduduknya menamakan diri Orang Evav yang berkomunikasi menggunakan Veveu (bahasa)Evav sebagai ciri khas nya. Saat itu Nuhu Evav masih terdiri dari 3 Pulau Besar yaitu Nuhu Yuut (Pulau Kei Besar), Nuhu Roa (Pulau kei Kecil) dan Nuhu Du ( Pulau Dullah) dan 5 Pulau Sedang Atnebar Evav (Pulau Tanimbar), Taam, Walir, Tahyad (Tayando)dan Pulau Kur serta pulau-pulau kecil lainnya. Nama Kai atau “Kei” diberikan oleh Bangsa Portugis yang saat itu datang menjajah. “Kai” atau “kei” dari penggalan kata “betkai” yang artinya “tidak tahu”, kata yang diucapkan oleh penduduk lokal saat tentara Portugis bertanya dengan penduduk asli.
35
Penyebutan Kei terus sampai masa Pemerintah kolonial Belanda bahkan hingga saat ini (Pattiasina,2015). Masyarakat Kei mengenal sistem hukum yang dikenal dengan nama Hukum Adat Larwul Ngabal yang berisi larangan dan aturan yang mengatur MAsyarakat adat Kei. Secara harfiah larwul berarti merah dan Ngabal berarti tombak dari Bali. Hukum adat ini terdiri dari 7 pasal , dimana pasal 1-4 mengatur tentang hubungan sesama manusia baik yang sederajat maupun dengan pimpinan (NavNev). Pasal 5 dan 6 mengatur tentang kesusilaan, terutama tentang perempuan Evav (Hanilit) dan pasal 7 mengatur tentang kepemilikan (Hawear Balwirin). 1.
UUD SU INTAUK ABNUHAD/ETVUNAD yang artinya “Kepala Bertumpu di Atas Bahu”
2.
LELAD AIN FO MAHILING yang artinya “Leher Kita itu Penting”, maksudnya jangan melukai apalagi memotong/membunuh karena kehidupan itu sesungguhnya mulia
3.
ULNIT NANVIL ETUMUD yang artinya “Kulit Membungkus Tulang”, maksudnya bahwa kulit itu membungkus aib seseorang atas apa yang diperbuat seseorang agar tidak tercemar nama baiknya karena nama baik orang harus dijaga dan tidak boleh dinodai dengan fitnah.
4.
LAR NAKMOT IVUD yang artinya “Darah Membeku/Berkumpul Dalam Perut”, maksudnya tubuh manusia tidak boleh dilukai sampai mengeluarkan darah
5.
REK FO KELMUTUN yang artinya “Pembatas itu Mulia/Agung”, maksudnya semua bentuk pembatas menurut orang Kei adalah mulia/agung karena berfungsi untuk melindungi pandangan orang terhadap tempat tertentu yang tidak umum dilihat/dimasuki.
6.
MORYAIN FO MAHILING yang artinya “ Tempat tidur orang yang sudah kawin dan wanita bujang itu mulia/agung “, maksudnya pernikahan dan perempuan merupakan hal yang mulia bagi masyarakat Kei jadi tidak boleh dinodai.
7.
HIRA INI FO INI IT DID FO IT DID yang artinya “yang menjadi milik orang lain adalah miliknya yang menjadi milik kita adalah milik kita”, maksudnya jangan rakus terhadap sesuatu yang bukan hak miliknya sehingga menimbulkan ketidak adilan pada orang lain. Orang Kei memiliki prinsip keseimbangan antara Adat, Kubni( pemerintah dan Agam
(Agama) yang dianggap dapat mengantarkan kententraman jiwa dan raga, rohaniah dan jasmaniah di dunia kini dan akhirat ( Rahail,1993).
36
Sejarah Sasi / Yutut Sasi, di kepulauan Kei Besar dikenal dengan nama Yot, sementara di kepulauan Kei kecil disebut Yutut. Arti dari Yot/ Yutut itu sendiri adalah larangan yang bersifat melindungi sesuatu atau hasil tertentu dalam batas waktu tertentu, yang diberlakukan dengan tanda tertentu yag mempunyai sifat atau kekuatan hokum yang berlaku untuk umum atau perorangan ( Rahail, 1993). Alkisah, sebelum adanya hukum Larwul Ngabal di tengah masyarakat Kei berlaku hukum rimba yang disebut ‘Dolo’, pada prakteknya “dolo” tidak berprikemanusiaan. Suatu saat datanglah seorang musafir dari Bali yang bernama Kasdew, menikahlah ia dengan orang kei dan memiliki 3 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak laki-laki sulungnya yang bernama Tebtut, nantinya menjadi Raja di Ohoivur. Anak perempuannya yang bernama Ditsakmas, menikah dengan pembuat perahu terkenal dari Desa Danar yang bernama Arnuhu. Saat Ditsakmas melakukan perjalanan, guna menemui calon suaminya, Arnuhu, ia bertemu dengan perampok sehingga semua bahan perbekalannya habis. Ditsakmas tidak menyerah, ia melakukan perjalanan kedua. Dalam perjalanan kedua ini, ia menaruh semua bahan perbekalan dalam yafar (keranjang) dan diberi daun kelapa putih (pucuk daun kelapa) atau yang biasa disebut janur sebagai tanda larangan bagi orang lain untuk mengambil isi di dalam yafar tersebut Ini menjadi asal muasal yutut/ yot (Rahail, 1993). Yutut mengatur masyarakat untuk menghargai apa yang menjadi miliknya dan apa yang menjadi milik orang lain. Menurut sejarah, aturan untuk menjaga laut dan sumber daya alam merupakan aturan dari jaman nenek moyang. Pernyataan ini mereka perkuat melalui syair Tua Kei Bat Batang Fitroa Fitnangan ( Menjaga Laut dan Darat) yang berbunyi : Bat batang nuhu met ( menjaga tanah dan meti) Fitroa fitnangan (Laut dan darat) Vu’ut er is wa ar ( ikan-ikan yang mematuk akar-akar) Medar ersai roan (kus-kus yang memakan dedaunan) Kawai u kadir rir wai dok tub (tempat tinggal ulat dan cacing)
37
Syair ini mem[peringatkan bahwa laut dan darat bahkan hingga ulat dan cacing menjadi kewajiban manusia untuk menjaga kelestariannya. Yutut/ Yot dalam hukum Larwul Ngabal termasuk ke dalam pasal ke-7 yang mengatur hak kepemilikan (Hawaer Balwarin). Hukum Yutut/ yot merupakan bentuk nyata dari falsafah hidup orang kei yang berbunyi Itdok fo ohoi itmian fo nuhu yang artinya kita menempati kampong atau desa dimana kita hidup dari alam atau tanahnya. Falsafah tersebut mengajarkan pelestarian dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam. Oleh karena itu kewajiban menjaga dan memelihara sumber daya alam merupakan kewajiban yang sebati (inheren)bagi Orang Kei. Itdok foo hi itmian fo nuhu (Kita mendiami kampong dimana kita hidup dan makan dari tanahnya) Itdok itdid kuwat dokwain itwivnon itdid mimiir/bemiir (kita menempati tempat kita dan tetap menjaga apa yang menjadi bagian kita) Itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat (kita memikul semua kepentingan kampong kita dengan hukum-hukum adatnya) Itwait teblo uban ruran (kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan tegak lurus ke depan) Ikbo hukum adat enfangnan enbatanf haraang (dengan demikian adat akan melindungi kita) Nit yamad ubudtaran, nusid teod erhovenbatang fangnan (sehingga leluhur pun akan ikut menjaga kita) Duad engfangnan (Dan Tuhan pun akan merestui kita) ( Rahail, 1995) Sejarah Pengelolaan Tabob Tabob adalah sebutan bagi penyu belimbing (Dermochelys Coriacea)yang diberikan oleh masyarakat Nu fit di kecamatan Kei kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Masyarakat Nu fit (Nu: desa/kampong, Fit : tujuh) yang terdiri dari Ohoira, Ohoiren, Somlain, Madwaer, Pulau Ur, Warbal dan Tanimbar Kei merupakan pendukung pengelolaan Tabob. Mereka memiliki
38
budaya berburu Tabob pada musim tertentu yaitu pada bulan eptember- Februari pada setiap tahunnya. Tidak sembarang berburu, namun ada perlakukan khusus, larangan –larangan dan ritual yang harus dilakukan sebelum berburu tabob (Anmama, 2013). Masyarakat Nu fit yakin bahwa Tabob atau yang biasa disebut Ub yang ada di perairan mereka adalah makanan pusaka terkait dengan nenek moyang dan tabob tidak akan punah. Pengelolaan tabob dilatarbelakangi oleh mitos dan sejarah nenek moyang. Tabob berada di Nu fit karena dibawa oleh dua orang kaka beradik yaitu Tobi dan Tobai.Suatu hari saudara perempuan Tobi dan Tobai kehilangan nyiru tempat menjemur kelapa yang terbang terbawa oleh angina. Tobi dan Tobai pergi mencari nyiru hingga Papua. Sesampai di Papua kedua bersaudara ini diminta untuk adu kekuatan alam. Tobi dan Tobai memenangi adu tersebut sehingga berhak mendapatkan hadiah sesuai keinginan mereka. Tobi dan tobai tidak meminta daratan namun memilih penyu belimbing yang saat itu berada di pesisir pantai Papua akibat perang antara Tobi Tobai dan penguasa Papua sebagai imbalan kemenangan mereka3. Akhirnya penyu tersebut mereka bawa saat kembali ke Pulau Kei dengan menggunakan daun lontar dan menempatkannya di daerah Nu Fit yaitu di sekitar Tanjung Arat dan Abwavan dengan dipagari batu di tengah lautan. Pada suatu hari Tobai meminta seekor Tabob kepada Tobi. Tobi memberikan ijin dengan satu syarat yaitu tidak menikam Tabob yang bertanda putih di kepala karena merupakan induk. Jika tabob bertanda putih tersebut di tikam maka akan menjadi liar dan ganas, dapat memutuskan tali dan mengundang semua tabob keluar dari pagar batu. Sebelum pergi, Tabob berpesan ‘bila mencari dan ingin menemukan kami maka bekal makanan dan minuman harus habis barulah bisa berjumpa. Sejak saat itu tabob menjadi makanan pusaka dan harus melalui prosesi adat terlebih dahulu. Bahkan saat akan penangkapan, nama tabob tidak digunakan melainkan “Ub” yang berasal dari kata Ubnus yang artinya nenek moyang. Tabob dianggap sebagai tanda Orang Nu Fit (Tom-Tad) ( WWF,2004; Anmama,2013).Selain 7 desa yang terbagung dalam Nu fit yang menjadi masyarakat pendukung budaya berburu tabob, masih ada tiga (3) soa yang juga dianggap sebagai pendukung budaya berburu tabob yaitu Ohoidertutu, Ohoidertom dan Yatvaf. Berdasarkan hasil penelitian WWF, Tabob berada di perairan Nu fit karena Tabob mendiami kawasan Pasifik, mereka akan bertelur di Pantai utara Papua, sementara wilayah
3
Wawancara dengan S. Renfaan , anggota Badan Saniri Ohoi Madwaer, Minggu 20 September 2015
39
Kei sangat dekat dengan dengan kawasan ini. Perairan Kei ini banyak terdapat ubur-ubur (harara)yang adalah makanan favorit Tabob( WWF,2004). 4.1.3. Struktur Sosial Masyarakat 4.1.3.1. Kota Kupang Masyarakat Nusa Tenggara timur, termasuk didalamnya Orang Timor maupun Orang Helong menarik garis keturunan melalui garis ayah (patrilineal). Sama dengan masyarakat lain yang menarik menganut patrilineal, anak laki-laki mempunyai posisi penting dalam meneruskan silsilah dan keturunan keluarga. Klan (Marga) atau yang biasa disebut “fam’ oleh mereka , hanya bisa diteruskan oleh laki-laki. Berbicara mengenai Sistem kekerabatan, kita akan membahas a.
Sistem perkawinan Orang Timor dan Helong adalah eksogami yang artinya perkawinan dengan anggota luar klen mereka yang melarang perkawinan dengan satu marga.
b.
Sistem pewarisan harta Sebagai konsekuensi dari system patrilineal maka secara langsung harta akan diwariskan kepada anak laki-laki. Anak perempuan tidak berhak atas warisan karena anak perempuan sejak menikah dianggap telah keluar dari keluarga dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya. Orang Timor dan Orang Helong
Desa Bolok Masyarakat Desa Bolok terdiri dari 12 klan dimana marga yang berlaku bersifat patrilineal atau mengikuti turunan ayah/ suami. Suku yang utama terdapat di desa ini yaitu Suku Helong, Laiskodat, Holbala, Buitbesi, Saelini, Bamai, Siktimu dan Koabaitlea. Agama mayoritas yang dianut penduduk desa adalah kristen protestan. Setiap suku memiliki kepala adat masing-masing yang kemudian dipilih 1 orang ketua umum yang disebut dengan “kaka ama” untuk memimpin 12 suku tersebut, dengan masa kepemimpinan tidak ditentukan dan akan diganti jika sudah tidak mampu memimpin. Sejak dulu budaya dan adat istiadat sudah berlaku pada masyarakat di Desa Bolok diantaranya pada upacara kematian, pernikahan dan kelahiran. Pada acara kematian misalnya adat yang berlaku setiap perwakilan marga yang berkunjung (ada hubungan keluarga dengan keluarga duka) membawa 1 babi dan 1 karung beras yang kemudian dimasak dan dimakan bersama seluruh keluarga, namun seiring waktu adat istiadat tersebut semakin memudar dan tidak dijadikan patokan lagi dalam melakukan
40
sesuatu. Penyebab memudarnya budaya tersebut karena masuknya pengaruh agama dan kurangnya leluhur mengenalkan dan mengajarkan budaya pada generasi penurusnya. Banyaknya suku yang menetap di Desa Bolok mempengaruhi pada mata pencaharian penduduknya. Contohnya suku Rote dan Sabu memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan pengiris tuak sedangkan suku Timor bermata pencaharian sebagai petani. Di Desa Bolok hanya terdapat 1 dusun yang merupakan desa nelayan dengan jumlah KK sebanyak 65 orang, hal ini karena bagi mereka pekerjaan sebagai nelayan hanya sampingan saja setelah musim panen kebun berakhir. Sama halnya dengan Desa Bolok di Desa Kuanheun terdapat 12 suku yaitu : suku Baineo, Naikkofa, Naikbila, Naikmeto, Laekbuan, Mislaka, Mainusa, Naikmao, Naiktano, Saketo, Sabui dan amtiren. Mata pencaharian utama penduduknya adalah berkebun dan beternak. Adat istiadat dan budaya masyarakat Kuanheun terbilang masih dijalankan meskipun sudah masuk juga pengaruh ajaran agama. Suku baineo merupakan suku yang dibilang berkuasa di desa ini termasuk dalam kepemilikan lilifuk. Karena letak desanya yang berdekatan maka karakteristik masyarakat desa ini tidak jauh berbeda dengan masyarakat Desa Bolok. Desa Kuanheun Sama hal nya dengan Desa Bolok di Desa Kuanheun terdapat 12 suku yaitu : suku Baineo, Naikkofa, Naikbila, Naikmeto, Laekbuan, Mislaka, Mainusa, Naikmao, Naiktano, Saketo, Sabui dan amtiren. Mata pencaharian utama penduduknya adalah berkebun dan beternak. Adat istiadat dan budaya masyarakat Kuanheun terbilang masih dijalankan meskipun sudah masuk juga pengaruh ajaran agama. Suku baineo merupakan suku yang dibilang berkuasa di desa ini termasuk dalam kepemilikan lilifuk. Karena letak desanya yang berdekatan maka karakteristik masyarakat desa ini tidak jauh berbeda dengan masyarakat Desa Bolok. 4.1.3.2. Maluku Tenggara dan Kota Tual Kebudayaan Kei membagi masyarakatnya ke dalam kelas-kelas sosial. Yang pertama adalah kaum bangsawan (mel-mel), kaum tuan tanah dan pemangku adat ( ren-ren) dan kaum iriri (hamba atau budak). Stratifikasi sosial ini sering dikaitkan dengan sejarah asal muasal Orang Kei yang menurut beberapa sumber berasal dari Bali. Yang membedakan
41
dengan kasta masyarakat Bali adalah, kasta pada masyarakat Kei tidak mengatur pembagian kerja secara ekonomis tetapi lebih kepada fungsi dan peran marga secara adat ( Kudubun, 2012) 4 faktor yang menyebabkan adanya strata di masyarakat Kei yaitu : 1. Kecerdasan, siapa yang paling pintar maka mereka yang menduduki strata tertinggi 2. Perkawinan, jika seorang perempuan dari strata atas menikah dengan lelaki dari kelas bawahnya maka akan dibuang sebaliknya jika perempuan dari kasta rendah menikah dengan lelaki dari kasta yang lebih tinggi maka perempuan tersebut akan naik kasta 3. Pelanggaran adat 4. Perang, siapapun yang kalah maka akan masuk ke strata iriri atau budak Struktur masyarakat Kei dan kepemerintahannya baik secara negara maupun adat cukup sulit dimengerti oleh orang luar namun sangat dipahami oleh masyarakat tersebut hingga ke keturunan paling muda. Hampir sebagian besar masyarakat Kei mengerti istilah rahanyam, Ohoi dan Lor. Ohoi adalah kesatuan komunitas yang terdiri dari beberapa rahanyam, selanjutnya beberapa Ohoi membentuk Utan. Utan merupakan kesatuan wilayah adat yang memiliki batas-batas yang jelas baik batas petuanan maupun batas wilayah secara geografis. Di setiap Ohoi memiliki batas wilayah sendiri namun tidak terpetakan dan sulit dimengerti oleh masyarakat awam. Hal ini karena batas wilayah adat dan lingkungan tiap Ohoi hanya ditandai dengan benda-benda alam seperti batu dan pohon besar. Sedangkan Lor secara etimologis berarti sekumpulan orang yang mendiami satu wilayah/Utan. Kepercayaan asli masyarakat Kei adalah animisme, yaitu kepercayaan akan adanya roh-roh pada benda-benda alam di sekitarnya seperti pohon, batu, air dan sebagainya. Seiring berjalannya waktu agama Kristen mulai masuk dan diterapkan dalam setiap kehidupan, namun demikian kepercayaan animisme masih sedikit bisa teramati dalam bentuk pemberian persembahan ( sirih pinang, tembakau dan uang logam yang ditaruh di atas piring). Dengan adanya hukum Larwur Ngabal yang mengatur kehidupan bermasyarakat di Kei maka sistem kekerabatan yang terjalin sangat erat secara kekeluargaan. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan tersebut terwujud dalam relasi Yanur-Mangohoi, Koi-Maduan dan Teabel. Yanuar-Mangohoi artinya sistem kekerabatan yang diikat dalam perkawinan adat. KoiMaduan secara harfiah berarti bawahan dan atasan, Maduan artinya orang yang selalu memberikan bantuan sedangkan Koi adalah pihak yang selalu menerima bantuan. Sedangkan Teabel adalah sistem kekerabatan yang diikat oleh aliran darah.
42
4.2. SISTEM PENGELOLAAN SUMBERDAYA 4.2.1. Identifikasi Pola Pengelolaan SDKP 4.2.1.1. Pola Pengelolaan Lilifuk Secara umum Potensi perikanan di Desa Kuanheun berupa Perikanan Laut (Budidaya rumput laut) dengan luas lahan 39 Ha. Potensi produksi mencapai 58,5 ton/tahun dan Jenis rumput laut yang di budidayakan Gracilalia sp. Disamping itu masyarakat melakukan aktifitas sambilan. Masyarakat desa bolok dan kueanheun mengenal adanya istilah lilifuk. Lilifuk adalah salah satu pola pengelolaan sumber daya yang berbasiskan adat istiadat. Lilifuk adalah suatu kawasan berbentuk kolam dengan potensi ikan yang banyak yang terdapat di pesisir laut dan dilindungi oleh hukum adat. Istilah lilifuk berasal dari bahasa Helong “ui lihu” yang artinya air dalam. Lilifuk di masing-masing desa memiliki nama sendiri yaitu lilifuk baimusu di Desa Bolok dan lilifuk baineo di Desa Kuanheun. Nama tersebut merupakan nama dari marga pemilik lilifuk yaitu baimusu dan baineo. Sistem pengelolaan yang berlaku di lilifuk yaitu dengan melakukan pelarangan penangkapan ikan di kawasan tersebut dalam jangka waktu tertentu yaitu tiap 6 bulan atau 12 bulan. Selama waktu penutupan lilifuk dijaga oleh petugas khusus/ pokmaswas agar tidak ada yang melanggar ketentuan tersebut. Dari kedua lilifuk terdapat beberapa perbedaan dari segi pengelolaan diantaranya yaitu :
43
Tabel 7. Perbedaan Pengelolaan Lilifuk Di Desa Kuanheum dan Desa Bolok No 1
Lilifuk Baimusu (Desa Bolok) Masyarakat sekitar mematuhi peraturan karena adanya hukum adat yang mengelola lilifuk tersebut 2 Aturan buka/tutup dan ketentuan lainnya hanya lisan yang dikemukakan oleh pemuka adat pemilik lilifuk 3 Karena belum ada hukum tertulis yang mengatur maka mekanisme pengelolaan yang dijalankan bersifat norma sosial saja dan tidak tegas 4 Sanksi yang diberlakukan bagi masyarakat yang melanggar berupa sanksi sosial dan ekonomi namun masih bisa dinegosiasikan, keputusan di tangan pemilik lilifuk Sumber : data primer diolah,2015
Lilifuk Baineo (Desa Kuanheun) Masyarakat sekitar mematuhi peraturan karena adanya PerDes yang mengikat Aturan buka/tutup lilifuk dan ketentuan lainnya sudah tertulis dalam PerDes No... tahun 2012 mengenai pengelolaan lilifuk Dengan adanya PerDes mekanisme pengelolaan termasuk di dalamnya pengawasan sudah diatur yang bersifat memaksa (harus dilakukan) Sanksi yang diberlakukan bagi masyarakat yang melanggar berupa sanksi sosial dan ekonomi dengan ketentuan yang sudah diatur dalam PerDes sehingga bersifat tegas dan pelaku diserahkan ke pihak berwajib
Sejarah Lilifuk menurut Bapak Lambert Dahulu ada daerah yang dinamai ‘bakaifautfoes’ atau batu udang, lokasi tempat berkumpulnya dan bersembunyi ikan. Nenek moyang mereka (Baineo) mengambil potongan batu tersebut, dan dengan menggunakan ilmu mereka memanggil ikan yang berada di “bakaifautfoes’ untuk pindah ke lilifuk (kolam yang mereka miliki). Pada tahun 1947-1960 barulah Liliifuk ada da nada aktivitas buka lilifuk beserta upacara adat yang menyertai acara buka lilifuk. Namun pada tahun 1960, semua kegiatan yang mengandung magis, dilarang oleh Agama Kristen yang mulai masuk ke daerah mereka. Kegiatan yang mengandung nilai magis yang dianggap bertentangan dengan nilai ajaran kristiani . “sekarang tidak perlu lagi tho…sekarang sudah percaya Tuhan. ada ajaran jangan ada Tuhan lain selain Tuhan Allah mu selain itu juga ‘tuan tanah’ tidak mau…bagaimanapun mereka pemiliknya…mereka yang pmunya kuasa”
Tahun 1960-1971 tidak ada aktivitas buka lilifuk. Tahun 1972 baru dibuat kembali. Tahun 2012, saat baru dibuka kembali kami bicarakan dengan tuan tanah. Bapak Lambert merasa masih keturunan Baineo karena ibu kandungnya adalah anak perempuan tertua dari Baineo (kakak tertua dari Bapak Manasye Baineo). Meskipun anak perempuan tidak memiliki hak atas warisan tanah, namun tetap merasa memiliki kewajiban untuk melestarikan
44
Lilifuk.Kemudian bekerjasama dengan pemerintah dan LSM (Bengkel APpek) untuk kemudian dibuat PERDES. Perbedaan hasil buka lilifuk antara antara tahun 1947 dengan yang 2012 adalah “ kalau kita lihat dari hasil, beda antara dahulu dengan sekarang, beda karena panggil ikan pada saat itu karena pakai kekuatan magis…” --------bisa juga karena SDI yang sudah menurun-------------- (??) Dulu, Kala musim kemarau panjang dan hujan tidak turun, kami melakukan upacara di dekat lilifuk. Ada karang berbentuk tempayan, di 2 lokasi, kalau tempayan ini penuh menandakan tahun ini hujan akan sering turun (banyak turun), Namun kalau tempayan tersebut kosong, menunjukkan hujan tidak akan banyak turun di tahun ini. Agar hujan turun diadakan upacara menyembelih kerbau berbulu merah yang kemudian jantungnya ditusuk dengan kayu, diikatkan dengan tali kemudian disangkutkan ke potongan dahan pohon kemudian ditancapkan di laut.
Namun sekarang ritual yang sarat akan kekuatan magis tersebut secara bertahap menghilang hingga sekarang hilang sama sekali. Hal ini sejalan dengan semakin kuatnya pemahaman religious mereka yang mayoritas beragama Kristen protestan. Pada saat sekarang, penentuan tanggal pelaksanaan buka lilifuk merupakan hasil kesepakatan antara pihak pemerintah desa “bapa desa”, pemilik lilifuk “tuan tanah” dan kepala adat “bapa adat”. Kali ini buka lilifuk dimulai pada pukul 18.00 wita, yaitu pada saat surut terendah dimana batas lilifuk yang tersusun dari batu sudah terlihat.Meskipun baru akan dimulai pada pukul 18.00, namun peserta sudah mulai datang sejak pukul 15.00 wita. Mereka datang dari keempat dusun lain di Desa Kuanheun dan juga desa tetangga seperti Desa Bolok, Desa Nitreo, Manulai 2 ,Batakte, Oenesu dan Sumlili. Peserta yang mengikuti acara ini terdiri dari segala usia, dari yang tua hingga anak2. Setiap peserta dikenakan biaya Rp 5.000,- untuk dapat masuk ke lokasi Lilifuk. Tepat pukul 18.00 setiap peserta mulai mendekati kolam/lilifuk . Saat “tuan tanah” memberikan perintah “satu, dua, tiga”, semua peserta berlari menuju ke kolam dan mulai menyerok. Kurang lebih 700 orang memenuhi kolam seluas kurang lebih 1 hektar ini. Semua peseta sangat bersemangat mencari ikan menggunakan alat bernama Sorok dan menempatkan ikan hasil tangkapan mereka di wadah berbentuk tabung yang terbuat dari anyaman bambu yang biasa disebut dengan ‘Serpaik’ atau “kapisak’ atau Akola (dalam bahasa Timor).
45
Gambar 4. Prosesi Buka Lilifuk dan Alat Tangkap yang digunakan saat buka lilifuk
4.2.1.2. Pola Pengelolaan Yutut Yutut atau Yot dipakai untuk melindungi dan memelihara teripang, lola, ikan, tanaman kelapa, sagu dan hasil hutan berupa kayu keras, gahaaru, rotan, kayu lawang.Kegiatan ini diawali dengan usulan masyarakat ataupun berdasarkan pertimbangan lembaga masyarakat. Jangka waktu pelaksanaan disesuaikan dengan komoditas yang disasi. Untuk yutut di Desa Taar yang meliputi perairan Un memiliki jangka waktu 1 tahun. Tata cara pelaksanaan Yutut/Yot a.
Pelaksanaan diawali dari usulan masyarakat atau pertimbangan lembaga masyarakat yang eduaian dibahas dan ditetapkan dalam rapat pemerintahan resmi Ohoi (Desa). Ditentukan jangka waktu berdasarkan obyeknya.
b.
Pemerintah ohio memerintahkan tuan tanah untuk menyiapkan bahan-bahan dan menganyamkan huwear. Bahan-bahan tersebut adalah daun kelapa/janur kuning , sebatang kayu buah dari pohon ai mum, satu butir kelapa muda
dan beberapa
perlengkapan ritual adat. c.
Marinyo
(perwakilan
pengumuman)bertugas
dari
pemerintah
mengumumkan
ohoi ke
yang
seluruh
bertugas
memberikan
masyarakat
ohoi(desa).
Pemberitahuan ini biasanya pada waktu malam hari dan diucapkan pada beberapa lokasi agar semua warga dapat mendengar. d.
Sebelum upacara, lokasi tempat upacara dibersihkan menggunakan sapu yang terbuat dari tulang helai daun kelapa (lidi) oleh mereka yang berasal dari marga atau mata
46
rumah tertentu. Pembersihan ini bertujuan untuk menjaga upacara dapat berjalan dengan baik, menghindari petaka atau gangguan selama uoacara berjalan. e.
Upacara kurban melalui penyembelihan hewan. Hewan yang disembelihan biasanya ayam, babi dan kambing. Darah hewan kurban dipersembahankan untuk Tuhan, dagingnya diberikan kepada warga dan tulang untuk setan dan jin.
f.
Upacara anyaman daun kelapa muda yang dipimpin salahs eorang dari marga tertentu disertai ucapan Yean huwear bal warin, ya tetein hardan for batang umat ini fo I ni ne it did fo it did (Saya anyam daun kelapa putih yang sudah diciptakan oleh leluhur, supaya menjaga milik tiap-tiap pribadi)
g.
Daun kelapa dianyam sesuai pola anyaman adat berbentuk kelapa dan bentuk yang sesuai dengan obyek sasi untuk selanjutnya diikat pada batang kayu ai mum.
h.
Pemimpin upacara mengambil emas dan dupa untuk dinaikkan dari sisi kanan tanda dengan tujuan agar mendatangkan hasil dan mengeluarkannya dari sisi kiri tanda agar membuang segala yang tidak baik.
i.
Pemimpin mengangkat daun kelapa muda (huwear) sambil mengumumkan Huwear rok i mo hira ain endad sa envar aleman won Larvul Ngabal ni farmai mai
j.
Huwear (Daun kelapa muda) diserahkan kepada tuan tanah untuk kemudian ditancapkan sebagai huwear yaan ( huwear yang pertama). Selanjutrnya huwear lainnya dipasang pada titik-titik tertentu oleh orang-orang yang sudah ditunjuk agar dapat dilihat orang lain.
4.2.1.3. Pola Pengelolaan Tabob Berdasarkan kepercayaan masyarakat Nu fit, Tabob akan datang ke wilayah perairan mereka pada bulan September hingga Februari. Pada masa inilah mereka dapat menangkap tabob. Proses penangkapan tabob tidaklah sembarangan, mereka percaya hanya laki-laki dan penduduk asli desa yang bisa menangkap tabob. Didahului proses ritual (sirih pinang, tembakau, uang dan kapur) dan dilarang menggunakan perhiasan. Penduduk nu fit percaya, tabob akan muncul pada saat perbekalan mereka sudah habis. Untuk itu mereka akan meneriakkan kata-kata yang berisi pernyatan bahwa bekal berburu sudah habis. Orang Kei
47
dan penduduk Nu fit khususnya percaya bahwa Tabob sangat berkaitan dengan nenek moyang mereka, oleh sebab itu mereka sangat berhati-hati dalam ritual tabob. Mereka percaya jika ada kesalahan makan akan menimbulkan kegagalan dalam penangkapan tabob bahkan dipercaya tabob akan punah di tanah mereka. Tahapan dalam berburu tabob : a.
Pertemuan BAdan Saniri Ohoi, tetua adat untuk menentukan orang-orang yang sesuai aturan leluhur untuk ikut mencari tabob. Mereka adalah orang asli nu fit, tidak sedang dalam permasalahan, dan tidak menggunakan perhiasan
b.
Membuat sesajen atau yang biasa disebut sirih pinang yag berisi sirih pinang, uang koin dan uang kertas , tembakau dan kapur.Nantinya sesajen ini dibagi 3 bagian yang dibeikan kepada tetua dat, tuan tanah yang akan membawa ke lokasi dan bagian yang terakhir dibawa ke gereja dengan tujuan menghindari kesulitan saat mencari tabob
c.
Pencarian dimulai dengan membawa daun dab dan alat tikam yang disebut tarkihin, horan dan tal
d.
Para pemburu akan meminta tabob untuk keluar dengan alasan perbekalan mereka sudah habis
e.
Terdapat aturan tersendiri saat akan melakukan penikaman. Mereka yakin tabob mengertii bahasa lokal sehingga tabob akan mengikuti perintah mereka agar tabob mengangkat wajah dan membalikkan badannya.
f.
Tabob hasil tangkapan bukan untuk diperjualbelikan. Daging tabob harus dibagikan kepada seluruh anggota masyarakat. Ada aturan dalam pembagian dagingnya.
Gambar 5. Persembahan emas untuk upacara adat dan tombak pemburu tabob
48
4.2.2. Kinerja Pengelolaan SDKP Kinerja kelembagaan pengelolaan Lilifuk di Kabupaten Kupang dapat digambarkan sebagai berikut:.
Gambar 6. Kinerja Kelembagaan Pengelolaan Lilifuk di Desa Kuanheun dan Desa Bolok
Berikut ini merupakan sintesa dari kinerja pengelolaan sumberdaya lilifuk di Kupang, Yutut di Tual dan pengelolaan tabob di Maluku Tenggara berdasarkan indikator kinerja tersebut. Kejelasan Batas Wilayah Pengelolaan Sumberdaya Kemampuan menetukan batas wilayah pengelolaan merupakan hal yang penting untuk melihat kinerja sebuah pranata pengelolaan sumberdaya, terutama pengelolaan yang berbasis masyarakat. Hal ini disebabkan penentuan batas wilayah yang berbasis masyarakat seringkali tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat dibandingkan dengan batasan wilayah formal yang telah diatur oleh pemerintah. Namun di sisi lain, seringkali justru batasan wilayah yang dibuat oleh masyarakat inilah yang diaati dan dipegangteguh oleh pengguna sumberdaya. Terlepas dari mendapatkan pengakuan atau tidak dari negara, kejelasan batas wilayah dalam pengelolaan sumberdaya merupakan aspek terpenting untuk mengukur kinerja
49
mekanisme pengelolaan tersebut. Terdapat dua aspek yang dilihat yaitu kejelasan tanda batas dan kejelasan zonasi yang disepakati. Hal ini menjadi penting, karena dapat menentukan hak dari setiap pelaku yang terlibat, apa yang bisa dimanfaatkan, dan dimana bisa diperoleh. Dengan demikian konflik perebutan wilayah bisa diminimalisir. Nilai untuk kejelasan wilayah dari masing masing pengelolaan adalah Yutut 77; tabob 71; Lilifuk Kuanheun 90, dan Lilifuk Bolok 66. Terkait dengan kejelasan batas wilayah dengan mekanisme pengelolaan sumberdaya di empat wilayah penelitian, terlihat bahwa pengelolaan lilifuk di Kuanheum memiliki nilai yang lebih tinggi diikuti oleh yutut di Taar, Tabob di Matwaer dan lilifuk di Bolok. Hal ini bisa diterjadi karena lilifuk dikuanheun telah memiliki batasan fisik yang jelas, sehingga tidak hanya terlihat oleh masyarakat lokal namun bisa juga dilihat oleh masyarakat pendatang. Batasan itu pun sudah dilengkapi oleh papan nama dan tanda pelampung di setiap sudutnya sehingga mudah dikenali, namun belum seluruh wilayah wilayah ditandai, misalnya garis batas kiri, kanan, atas dan bawah. Sementara untuk lilifuk di Bolok, tidak ada tanda batas yang jelas. Batas lilifuk bolok hanya diketahui oleh para tetua adat tertentu dengan batas-batas alami. Sementara untuk yutut, batas wilayah hanya diketahui oleh masyarakat lokal dan sekitarnya, beberapa waktu setelah pembukaan ciri sasi berupa daun kelapa mungkin masih terlihat jelas, namun jika sudah lama maka tidak akan terlihat lagi. Meskipun demikian, masyarakat sekitar wilayah sasi biasanya sudah mengetahui bahwa wilayah tersebut disasi melalui sosialisasi yang dilakukan antar kampung sehingga akan ditaati, namun untuk pendatang misalnya wisatawan dari luar tidak akan mengetahui kalau wilayah tersebut disasi. Meskipun tidak jelas bagi masyarakat setempat tidak ada alasan bagi seseorang – siapapun itu- untuk melanggar aturan yutut, karena seharusnya sebagai pendatang wajib untuk meminta ijin dan bertanya adat istiadat setempat sebelum memasuki dan berinteraksi dengan masyarakat dan alam di wilayah manapun. Oleh karenanya, konsekuensi sasi berlaku untuk seluruh masyarakat baik lokal, pendatang maupun pengunjung. Yutut diberlakukan di wilayah petuanan ohoi (desa), dimana batas petuanan wilayah laut setiap ohoi tidak terdefinisi secara nyata. Batas samping antar ohoi ditentukan sejajar dengan garis imaginer yang tersambung dengan batas darat dari dua ohoi tersebut, sementara batas ke arah depan dari garis pantai ditentukan sampai batas meti (surut) terendah. Ketentuan yang sering menimbulkan konflik adalah wilayah ohoi yang saling berhadapan dan dipisahkan oleh teluk dengan kondisi meti terendah saling bertemu, sehingga
50
harus diambil garis tengahnya yang diukur berdasarkan garis imaginer juga. Hal ini menjadi potensi konflik perebutan wilayah. Konflik ini dipicu, karena nilai sewa atas wilayah tersebut dari pengguna yang akan berusaha di wilayah tersebut. Uang sewa ini menjadi sumber pendanaan Ohoi setempat. Kejelasan wilayah pengelolaan tabob memiliki nilai yang paling rendah disebabkan batasan wilayah ditentukan oleh adanya keberadaan tabob diperairan tersebut. Tidak terdapat batasan fisik secara jelas, karena batasan wilayah pengelolaan tabob berdasarkan legenda setempat tentang sejarah kemunculan tabob di wilayah tersebut. Berdasarkan legenda tersebut, wilayah pengelolaan tabob mencakup perairan di 7 ohoi yaitu Ohoi Ohoira, Ohoiren, Somlain, Madwaer, Ur Pulau, Warbal, dan Tanimbar Kei. Hanya masyarakat dari tujuh Ohoi inilah yang boleh menangkap, kalaupun ada orang dari daerah lain yang mau menangkap diyakini dia tidak akan mendapatkannya. Namun ke tujuh ohoi ini masih belum sepakat tentang kejelasan sejarah dimana pertama kalinya Tabob tersebut berada, terutama antara Ohoi Madwaer dan Ohoi Dertutu. Oleh karenanya, ketika ada wacana penetapan wilayah wisata tabob di Ohoi Dertutu maka masyarakat Ohoi Madwaer menolak hal tersebut, karena mereka beranggapan bahwa bukti sejarah tabob terdapat di wilayah ohoi madwaer. Mencermati kemampuan masing-masing sistem pengelolaan di atas tergambar bahwa kejelasan wilayah ini menjadi penting. Selain untuk upaya mencapai tujuan pengelolaan, juga sebagai bahan bagi kebijakan pemerintah setempat untuk mengembangkan potensi wilayah terebut. Kejelasan wilayah yang tunjukkan oleh Lilifuk Kuanheun, menjadikan semua masyarakat baik lokal maupun pendatang mentaati peraturan di wilayah tersebut sehingga sumberdaya yang dikelola bisa mencapai tujuannya. Sementara itu, kawasan pengelolaan tabob yang ditentukan oleh legenda dimana belum terdapat kesepahamanantar ohoi tentang legenda tersebut menjadikan kebijakan pemerintah untuk mengembangkan potensi daerah tersebut menjadi potensi konflik antar dua desa tersebut. Kesesuaian Aturan dengan Kondisi Lokal Aspek yang dicermati unutk melihat kesesuaian aturan dengan kondisi lokal adalah perlindungan ekonomi lokal, penguatan sistem sosial, kemudahan penegakan dan pengawasan aturan serta pengaruhnya terhadap kelestarian sumberdaya lokal. Gambar X di atas memperlihatkan bahwa persepsi masyarakat lokal terhadap kesesuaian pola pengelolaan sumberdayanya dengan kondisi lokal dinilai cukup baik. Pengelolaan sasi dinilai sebagai pengelolaan yang paling sesuai dengan kondisi lokal, diikuti dengan tabob, lilifuk di
51
Kuanheun dan Lilifuk di Bolok. Nilai yang diperoleh berturut-turut adalah 88 ; 80; 71; dan 65. Dari ke lima aspek yang dilihat, penguatan sistem sosial memberikan kontribusi yang cukup tinggi. Sementara perlindungan ekonomi lokal tidak banyak berpengaruh. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat orientasi sistem pengelolaan di atas tidak dimaksudkan untuk perhitungan ekonomi, namun lebih mangarah ke manfaat sosial dan pelestarian nilai budaya yang merupakan warisan dari nenek moyang. Aspek ekonomi, adalah manfaat tidak langsung yang dapat diberikan oleh penyelenggaraan sistem pengelolaan di atas. Sasi, tabob dan lilifuk merupakan pranata sosial yang terlahir dari pengetahuan lokal masyarakat dalam mengelola sumberdayanya. Tujuan utama dari pranata ini adalah memelihara spirit religi yang memayungi keterikatan antara kehidupan di darat dan kehidupan di laut sebagai satu kesatuan kosmik yang saling mempengaruhi. Oleh karenanya, mekanisme pelaksanaan sasi, pengelolaan tabob, dan lilifuk sangat kental dengan ritual-ritual sebagai ekspresi dari kepercayaan yang mereka yakini. Selain itu pelaksanaan sasi, tabob dan lilifuk menguatkan sistem sosial dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan yang sangat arif. Meskipun penangkapan tabob di Maluku Tenggara di nilai sebagai sebuah eksploitasi penyu, namun di dalamnya terkandung nilai-nilai sosial budaya yang menghargai kehidupan semua makhluk baik itu penyu maupun manusia. Perburuan tabob tidaklah didasari tujuan komersil namun untuk menjalankan amanat nenek moyang dan menjaga kepedulian sosial. Nilai sosial yang terdapat dalam mekanisme tabob terlihat jelas dalam pembagian daging tabob hasil perburuan. Daging ini tidak boleh dijual belikan namun harus dibagikan kepada seluruh masyarakat kampung. Begitu pun pada pengelolaan lilifuk, tujuan lebih ditekankan pada penguatan hubugan sosial melalui solidaritas dan kerjasama. Konsekuensi dari gambaran kesesuaian antara pengelolaan lilifuk, sasi dan tabob dengan kondisi lokal seperti yang tergambar di atas adalah bahwa menisme pengelolaan sumberdaya berdasarkan pengetahuan lokal, pada umumnya didasarkan pada penguatan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai sosial yang merupakan warisan dari nenek moyang. Kemampuan untuk menjaga warisan ini merupakan sebuah prestasi atas kehidupan mereka, oleh karenanya intervensi yang dilakukan oleh pemerintah untuk pengembangan kawasan pengelolaan tersebut jangan sampai merusak tatanan atau nilai-nilai yang sudah mereka pertahankan. Intervensi juga harus menyentuh bagaimana nilai-nilai tersebut agar selalu tertanam pada diri generasi muda agar mereka dapat mengerti, memahami dan mau meneruskan warisan tersebut.
52
Penyusunan Aturan Penilaian terhadap kelembagaan pengelolaan mengenai bagaimana aturan disusun mengacu pada dua aspek yaitu apa yang menjadi dasar pertimbangan serta bagaimana mekanisme pembuatan aturan tersebut. Hasil analisis memperlihatkan bahwa Lilifuk Kuanheun mempunyai nilai yang paling baik diikuti oleh sasi, lilifuk dan tabob yaitu 87,80,68 dan 63. Dasar pertimbangan dari keempat mekanisme pengelolaan tersebut lebih menekankan pada pertimbangan pengetahuan lokal. Yang membedakan adalah mekanisme pembuatan aturan, pada lilifuk kuanheun terdapat mekanisme yang lebih jelas dan terstruktur dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat yang dibimbing oleh sebuah LSM. Hal yang hampir sama terjadi pada sasi di Taar, mekanisme pembuatan aturan melibatkan unsur adat setempat, namun tidak ada kegiatan monitoring yang kontinu. Lain halnya dengan Lilifuk di Bolok dan pengelolaan Tabob di Madwaer, penyusunan aturan tidak berdasarkan musyawarah yang melibatkan masyarakat luas namun aturan lilifuk di bolok dibuat oleh keluarga satu klen pemilik lilifuk sedangkan di Madwaer aturan hanya berdasarkan ohoi setempat yang berbeda, sehingga tiap ohoi mempunyai atura yang berbeda. Meskipun ada aturan baru, di Madwaer aturan tersebut dibuat oleh pemerintah bersama WWF. Pola pembuatan aturan yang berbeda ini membawa konsekuensi yang berbeda pula. Kasus ini menunjukkan bahwa mekanisme penyusunan aturan merupakan hal yang sangat krusial dalam pengelolaan sumberdaya. Lilifuk Kuanheun dan Sasi di Taar dapat berjalan relatif lebih baik dibandingkan dengan lilifuk di Bolok dan pengelolaan tabob di Madwear karena mekanisme penyusunan aturan melibatkan berbagai elemen yang berkepentingan dan sesuai dengan tradisi yang diwariskan oleh pendahulunya, sehingga dipahami dan ditaati oleh seluruh masyarakat. Hal yang menarik terjadi pada pengelolaan tabob di 7 wilayah ohoi yang dianggap memiliki hak untuk menangkap tabob. Berdasarkan penelitian Anmama (2013) diketahui bahwa satu-satunya ohoi yang masih memegang aturan berdasarkan tradisi pengelolaan tabob adalah di Madwaer, sedangkan masyarakat di 6 ohoi yang lain banyak yang tidak lagi memegang tradisi tersebut. Hal ini menjadi kegelisahan masyarakat yang memegang tradisi karena jika tradisi tersebut dilanggar maka tabob akan sulit lagi di dapat.
53
Fungsi Kelembagaan Keterlibatan kelembagaan lokal merupakan sebuah indikator apakah pelaksanaan pengelolaan sumberdaya tersebut merupakan pengelolaan berbasis masyarakat atau bukan. Semakin dalam keterlibatan lembaga lokal dalam setiap tahapan pengelolaan maka masyarakat dinilai mampu mengelolansumberdayanya secara mandiri. Keterlibatan kelembagaan lokal tersebut dapat dilihat dari fungsinya dalam mengatur mekanisme pengelolaan, pembuatan aturan, revisi aturan, dan pengambilan keputusan. Nilai untuk keterlibatan kelembagaan lokal pada lilifuk kuanheun, sasi, pengelolaan tabob, dan lilifuk bolok berturut-turut adalah 90, 84, 75, dan 37. Berfungsinya kelembagaan lokal dam pengelolaan lilifuk tidak terlepas dari peran LSM yang menyatukan antar lembaga pemerintah lokal dengan lembaga adat setempat sehingga mereka mampu bersinergi dengan baik. LSM ini pun memberikan pedoman bagaimana mekanisme pengelolaan sumberdaya yang baik sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya. Sementara dalam pengelolaan sasi, keterlibatan lembaga ohoi dan adat sudah mampu bersinergi, hanya pengetahuan tentang bagaimana fungsi mereka dalam pengelolaan tersebut belum terdefinisi dengan jelas. Sementara pada tabob, kelembagaan lokal sudah berfungsi dalam ke empat fungsi kelembagaan pengelolaan di atas, namun karena menurut pengetahuan lokal tabob merupakan hewan yang diwariskan kepada nufit yang terdiri dari 7 ohoi maka penyusunan aturan pengelolaannya pun sudah seharusnya dari ke tujuh kampung tersebut. Namun pada kenyataanya, mereka membuat aturan-aturan sendiri sehingga menimbulkan potensi konflik, terutama bagi masyarakat ohoi yang merasa dirugikan. Sementara di Bolok, keterlibatan lembaga lokal sangat rendah karena hanya dikelola oleh klen tertentu, sementara lembaga lokal baik itu lembaga pemerintahan maupun lembaga adat hanya terlibat pada saat pemanenan. Kasus ini memperlihatkan bahwa keterlibatan lembaga lokal dalam pengelolaan sumberdaya diperlukan. Representasi dari setiap lembaga lokal yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya dalam organisasi pengelolaan diperlukan unutk menghindari perebutan kepentingan dan agar saling menunjang dengan berbagi peran dalam pengelolaan sumberdaya.
54
Pelaksanaan Pengawasan Indikator pelaksana pengawasan terdiri dari dua aspek yaitu adanya instrumen dan mekanisme pengawasan yang dimiliki masyarakat diluar pengawas formal, serta apakah pelaksana tersebut mendapat legitimasi dari masyarakat. Legitimasi tersebut dapat dilihat dari bagaimana teknis penetapan pengawas tersebut. Indikator pelaksanaan pengawasaan dari yang terbaik sampai terburuk adalah lilifuk di kuanheun, pengelolaan tabob, sasi, dan lilifuk di Bolok, dengan nilai berturut-turut 90, 62, 56,dan 54. Mekanisme pengawasan yang dilakukan pada Lilifuk di Kuanheum dibicarakan bersama yang dihadiri oleh perwakilan dari kelembagaan lokal yang ada, pada saat itu ditentukan pengawas untuk wilayah lilifuk yang berasal dari marga pemilik lilifuk. Oleh karenanya, mereka menghormatinya. Sementara untuk pengelolaan sasi dan pengelolaan tabob tidak ada pengawas khusus, yang ada semua masyarakat mengawasi dan mereka meyakini bahwa ada kekuatan supranatural berupa arwah nenek moyang mereka yang turut mengawasi dan memberikan sanksi kepada setiap pelanggar berupa hal-hal diluar nalar manusia. Oleh karenanya meskipun di sasi tidak ada pengawas khusus namun masyarakat akan patuh terhadap aturan. Sementara di tabob, hanya pada masyarakat yang masih meyakini kekuatan gaib sebagai pengawas yang selalu taat pada aturan yang telah diwariskan oleh nenek moyang, sedangkan bagi mereka yang tidak meyakininya sudah banyak yang melanggar aturan-aturan tersebut tanpa pengawasan yag melekat. Penerapan Sanksi Menurut Satria (2009) yang mengacu pada Ostrom 1990 bahwa ukuran keberhasilan suatu aturan adalah tegaknya sanksi bagi para pelanggarnya, baik sanksi sosial, sanksi administratif maupun sanksi ekonomi. Penerapan sanksi erat kaitannya dengan pelaksana pengawas serta mekanisme penegakan sanksi. Nilai terbesar dimiliki oleh kelembagaan pengelola Lilifuk Kuanheun, diikuti dengan sasi, tabob dan lilifuk bolok dengan nilai masingmasing 92,76, 59 dan 57. Pada areal lilifuk, sanksi yang dikenakan pada pelanggar secara umum adalah berupa penyitaan alat tangkap dan hasil tangkapan, sarung, beras, serta hewan berupa babi atau kambing. Namun karena di Kuanheun aturan tersebut telah diperdeskan dengan nilai denda uang yang cukup tinggisebesar 1 juta sampai dengan 50 juta disamping denda-denda yang lainnya maka masyarakat tidak berani melakukan pelanggaran, sementara di Lilifuk
55
Bolok terdapat beberapa orang yang melanggar karena mereka tidak takut dengan denda yang akan diperolehnya dan tidak ada dasar perlindungan wilayah tersebut secara forma dalam bentuk perdes. Tidak seperti pada Lilifuk, sanksi pada pelanggar di wilayah sasi selain sanksi materi terdapat pula sanksi leluhur yang mereka sebut “tulah”. Tulah inilah yang paling ditakuti, karena tidak hanya terkena pada dirinya namun juga anak keturunannya akan mendapatkan tulah tersebut. Tulah ini tidak terhapus dengan pernyataan maaf dari pelanggar kepada pembuat sasi, ia akan terkena tulah selamanya. Oleh karena itulah jarang sekali orang yang melanggar sasi. Hampir sama denganpengelolaan sasi, pada pengelolaan tabob, sanksi yang dikenakan kepada pelanggar lebih merupakan sanksi “tulah”. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan tabob sangat dipengaruhi oleh faktor religi atau kepercayaan yang mereka yakini. Namun demikian masyarakat di wilayah ohoi selain madwear keyakinan terhadap tulah sudah mulai luntur. Hal di atas menunjukkan bahwa pada masyarakat tradisional sanksi immateril berupa hukuman supranatural cenderung lebih ditakuti dibandingkan dengan sanksi materi karena kerugian yang diperoleh tidak ternilai harganya. Oleh karenanya, yang perlu dilakukan adalah menanamkan keyakinan bahwa segala jenis pengrusakan terhadap sumberdaya alam pada dasarnya merupakan pengingkaran terhadap keyakinan yang membawa dosa dan akan mendatangkan kerugian yang tidak ternilai harganya. Karena pada dasarnya manusia selain homo religius juga homo economicus yang mempertimbangkan untung rugi. Peran dan Pengakuan Pemerintah Peran dan pengakuan pemerintah terhadap kelembagaan pengelolaan sumberdaya dalam hal ini merupakan faktor penunjang bagi terlaksanakan kinerja pengelolaan yang baik. Pada dasarnya, melalui UUD 1945 pemerintah sudah seharusnya memberikan hak kepada rakyat untuk menikmati sumberdaya alam, dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam posisi ini, pemerintah harus mampu memberikan jaminan hukum atas hak tersebut, dan berperan dalam mengoptimalkan upaya pemenuhan hak tersebut. Oleh karenanya terdapat dua aspek yang dilihat dai indikator ini yaitu sejauhmana peran pemerintah dalam memfasilitasi kegiatan pengelolaan sumberdaya, serta sejauhmana pemerintah menjamin secara hukum pelaksanaan sistem pengelolaan tersebut.
56
Nilai yang diperoleh ke empat pola pengelolaan tersebut di atas adalah 81 untuk sasi, 76 untuk Lilifuk Kuanheun, 42 untuk tabob dan 2 untuk lilifuk bolok. Masyarakat di Taar dan Kuanheun merasana bahwa keterlibatan pemerintah sudah cukup baik. Perlindungan sasi secara hukum diwujudkan dengan adanya Peraturan daerah (Perda) no 4 tahun 2013 tentang hawear. Hawear adalah istilah lain dari sasi atau yutut. Adanya perda ini dirasakan cukup menaungi keberadaan sasi laut. Dan dalam perda tersebut juga dijamin adanya keterlibatan pemerintah untuk memfasilitasi berjalannya lembaga adat secara aktif. Begitupun di Lilifuk Kuanheun, dengan adanya Perdes Kuanheun No 1 Tahun 2012 tentang Perlindungan Sumberdaya Laut, Lilifuk mulai diperkuat kembali dengan penerapan sanksi yang tegas dan jelas. Upaya-upaya ini difasilitasi oleh pemerintah. Sehinga mereka merasa cukup difasilitasi oleh pemerintah. Hal yang dirasakan belum optimal adalah peran pemerintah untuk memberikan insentif bagi terlaksnakanya hukum adat, karena bagaimana pun upaya membangkitkan kembali hukum adat perlu biaya. Lain halnya dengan tabob di madwaer, mereka merasa bahwa perhatian yang diberikan pemerintah sebatas pengarahan supaya tabob tidak punah. Hal yang membuat kecewa adalah anggapan bahwa pemerintah lebih memihak kepada Ohoi Dertutu dalam memberikan perhatian kepada pariwisata tabob, sementara mereka beranggapan seharusnya pemerintah memberikan perhatiannya ke Madwaer karena berdasarkan bukti sejarah tabob pertama kali muncul di Madwaer. Hal yang paling memprihatinkan terjadi di Bolok, dimana masyarakatnya merasa bahwa tidak ada kepedulian dari pemerintah sama sekali terkait pengelolaan Lilifuk. Padahal menurut mereka, awal adanya Lilifuk adalah di Bolok, sementara di Kuanheun ada setelah melihat dari Bolok. Selain itu, Bolok juga merupakan wilayah yang diperuntukan bagi pengembangan industri, sehingga masyarakat beranggapan bahwa pemerintah tidak lagi mempedulikan kepentingan masyarakat untuk mempertahankan tradisi pengelolaan lilifuk. Akibatnya Lilifuk di Bolok terancam punah. Kasus di atas mengindikasikan bahwa peran pemerintah sangat penting bagi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Peran tersebut terdiri dari pengakuan yang diaktualisasikan dengan peran pemerintah dalam memberikan fasilitasi untuk berjalannya mekanisme pengelolaan sumberdaya, dan peran perlindungan yang diaktualisasikan dengan membuat payung hukum yang melindungi pelaksanaan sistem pengelolaan sumberdaya tersebut.
57
Jaringan dengan Lembaga Lain Kemampuan membangun jaringan dengan lembaga luar bukanlah sebuah indikator penentu keberhasilan sebuah sistem pengelolaan. Namun demikian, hal ini mengindikasikan bahwa lembaga tersebut mempunyai keterdedahan dengan fenomena diluar lingkungannya sehingga mempunyai potensi untuk bisa beradaptasi dan berkembang dengan lebih baik. Nilai yang ditunjukkan oleh Lilifuk Kuanheun, pengelolaan tabob, sasi dan lilifuk bolok berturut-turut adalah sebagai beikut 93,56,56 dan 0.
Hal ini mengindikasikan bahwa
meskipun bukan menjadi penetu keberhasilan, tapi terlihat ada hubungan antara semakin intensif mempunyai hubungan dengan lenbaga luar maka sistem pengelolan tersebut cenderung berpotensi untuk dapat lebih dikuatkan.
4.2.3. Manfaat Pengelolaan Kinerja pengelolaan akan berkorelasi dengan manfaat yang akan diterima oleh pengguna sumberdaya. Manfaat tersebut terdiri atas 3 jenis yaitu manfaat ekologi, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi. Variabel pengukuran manfaat ekologi terdiri atas keragaman jenis ikan, populasi ikan, kualitas perairan, dan kondisi sumberdaya hayati di sekitarnya. Manfaat Sosial budaya diukur berdasarkan variabel mempertahankan warisan budaya, mempererat hubungan masyarakat, memupuk tanggung jawab dan mendukung lembaga sosial masyarakat. Sedangkan variabel manfaat ekonomi terdiri dari jumlah hasil tangkapan, dan munculnya mata pencaharian alternatif. Manfaat yang diberikan oleh kearifan lokal pada kondisi ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat dari pengelolaan Sasi, pengelolaan Tabob, pengelolaan lilifuk di Kuanheun dan pengelolaan lilifuk di Bolok secara ringkat dapat dilihat dari gambar berikut ini:
58
Sumber: Data Primer diolah, 2012 Gambar 7. Manfaat Ekologi, Sosial Budaya, dan Ekonomi dari Mekanisme Pengelolaan Sasi, Pengelolaan Tabob, dan Pengelolaan Lilifuk
Mencermati Gambar 7 diatas, maka terlihat bahwa diketiga lokasi yaitu Lilifuk di Bolok dan Kuanheum serta pengelolaan tabob, manfaat sosial budaya lebih mendominasi diantara manfaat ekologi dan ekonomi. Sementara pada Sasi, manfaat sosial budaya lebih rendah dibandingkan dengan manfaat ekologi. Hal ini dapat dipahami, karena pada sasi memang bertujuan untuk melindungi ekosistem di wilayah yang disasi, sementara pada pengelolaan tabob dan lilifuk lebih diarahkan pada pelestarian tradisi meskipun aspek ekologi tetap menjadi bahan pertimbangan. Sementara itu manfaat ekonomi menjadi manfaat yang paling kecil karena memang spirit menjaga tradisi merupakan roh dari semua tindakan pada masyarakat tradisional di keempat lokasi tersebut di atas. Namun demikian jika dicermati dari ke empat sistem pengelolaan di atas maka manfaat ekonomi yang lebih besar dirasakan oleh masyarakat di wilayah sasi. Sementara yang paling kecil pada pengelolaan tabob karena dalam tradisi memang tabob dilarang untuk diperjualbelikan.
59
Berikut ini merupakan uraian dari manfaat yang dirasakan oleh masyarakat pengelolaa sumberdaya di keempat lokasi penelitian: Manfaat ekologi Pada hakekatnya, kearifan lokal pada pengelolaan sumberdaya secara tradisional merupakan perwujudan upaya masyarakat untuk mencapai keseimbangan antara alam, manusia dan Tuhan. Oleh karenanya, manfaat ekologi relatif selalu dapat dirasakan oleh masyarakat yang melakukan sistem pengelolaan tersebut. Nilai manfaat ekologi yang dapat dirasakan oleh masyarakat pada pengelolaan sasi, tabob, lilifuk kuanheun dan lilifuk bolok berturut-turut adalah 81,9; 47,5; 80,6; dan 60. a. Manfaat Ekologi Yutut di Taar Manfaat ekologi merupakan manfaat yang dominan dirasakan oleh masyarakat Desa Taar Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual dari penyelenggaraan yutut. Yutut di wilayah ini dilaksanakan di Pantai Un tepatnya di wilayah pasangsurut yang merupakan daerah petuanan ohoi/desa Taar. Yutut atau Sasi di daerah ini memang diperuntukkan untuk menjaga kualitas sumberdaya di wilayah tersebut baik kualitas ekosistem maupun populasi sumberdaya yang ada di wilayah tersebut. Oleh karena itu, manfaat ekologi merupaka manfaat yang dominan. Manfaat ekologi yang sangat terasa adalah bertambahnya populasi ikan. Meskipun hanya setahun waktu pelaksanaan yutut, namun hasilnya sangat signifikan. Menurut Kepala Desa Taar, pada Tahun 2010 pernah dilaksanakan Yutut dan hasilnya sangat melimpah, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk dijual, sebagian dapat dipergunakan untuk pembangunan gereja. Yutut dilaksanakan terakhir sekitar tiga tahun lalu, sekarang akan dilaksanakan lagi karena pertama dirasakan ikan sudah semakin menyusut, kedua untuk pembangunan gereja karena gereja sudah memerlukan perbaikan. b. Manfaat Ekologi Pengelolaan Tabob di Madwaer Manfaat ekologi pada pengelolaan Tabob di Madwaer adalah manfaat yang paling rendah. Hal ini disebabkan maksud pengelolaan tabob memang untuk memenuhi tuntutan tradisi. Sebagian pemerhati lingkungan menilai bahwa penangkapan tabob di Madwaer menjadi penyebab menurunnya populasi tabob dunia. Oleh karenanya para pemerhati
60
lingkungan termasuk WWF berpendapat bahwa praktek penangkapan tabob dinilai harus segera dihentikan. Namun jika dicermati lebih dalam, penangkapan tabob di Madwaer mensyarakatkan banyak hal yang secara tidak langsung menjadi pembatas adanya eksploitasi terhadap tabob. Dan mereka meyakini, jika syarat-syarat tersebut tidak diindahkan lagi, maka tabob akan segera punah. Syarat-syarat yang dimaksud diantaranya adalah: 1. Hanya orang-orang di wilayah nu fit saja yang berhak menangkap, sehingga tidak semua orang diperbolehkan menangkap tabob di perairan tersebut. Jika orang luar wilayah tersebut berusaha menangkap, maka dipercaya dia akan celaka dan tidak akan mendapatkan tabob yang dimaksud. Selain itu, ada pamali juga yang harus dihindari oleh seorang penangkap tabob, diantaranya adalah harus seorang laki-laki dimana istrinya tidak sedang dalam keadaan hamil. 2. Peralatan yang dipakai, harus dengan tombak dengan bentuk dan persyaratan yang khas. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di madwaer adalah masyarakat yang ramah lingkungan. Mereka tidak menggunakan jaring atau alat-alat lain yang dapat menjaring tabob berbagai ukuran. Dengan tombak maka tabob yang akan menjadi sasaran adalah tabob-tabob tertentu yaitu yang sudah dewasa, dan tidak dalam keadaan hamil. 3. Bagi penduduk desa madwaer, tabob adalah ub atau nenek moyang, sehingga dalam proses penangkapan sampai pembagiannya selalu dilakukan dengan hati-hati dan penuh penghormatan melalui berbagai ritual adat. Dengan demikian, pada dasarnya persyaratan-persyaratan dan pamali-pamali yang dipercaya dan diterapkan oleh masyarakat Madwaer dalam prosesi penangkapan tabob merupakan sebuah bentuk kearifan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya. c. Manfaat Ekologi Lilifuk di Kuanheun Dengan adanya lilifuk, yaitu kawasan padang lamun yang ditutup selama 6 sampai dengan 1 tahun merupakan habitat potensial bagi sumberdaya hayati ikan karena merupakan lokasi pengasuhan (nursery ground), pemijahan, tempat berlindung dan lokasi sumber makanan (feeding ground). Sementara ikan dewasa akan beralih ke wilayah terumbu karang
61
(Latuconsina et al,). Pada tahap dewasa, ikan akan keluar dari wilayah ini dan menyebar ke perairan laut sawu. Hal tersebutlah dapat menjadi alasan kenapa ukuran ikan hasil tangkapan pada acara buka lilifuk masih berukuran kecil (juvenile), masih jauh dari ukuran dewasa sehingga tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sebagai contoh saja, untuk ikan Baronang (Siganus,sp) rata-rata ukuran panjang 15,6 cm dengan ukuran panjang terkecil 10 cm dan terpanjang 25 cm sementara untuk berat rata-rata 250,4 gram dengan ukuran terberat 800 gram dan terkecil adalah 100 gram. Baronang dikatakan dewasa dan memiliki nilai ekonomis jika sudah mencapai usia 4 bln dengan ukuran berat 500 gram Hasil temuan lapang terkait hasil tangkapan saat buka lilifuk, Jenis ikan yang tertangkap adalah Baronang (Siganus Sp.), Kakap(lutjanus), Julung-julung (Hemiramphidae), kakatua (family Scaridae), sesuai dengan ekosistem lilifuk yaitu padang lamun. d. Manfaat Ekologi Lilifuk di Bolok Seperti hal nya di Lilifuk Kuanheun, manfaat ekologi yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar Lilifuk Bolok adalah meningkatnya populasi ikan, meskipun ikan dengan ukuran yang masih kecil. Hanya saja karena mekanisme pengawasan yang belum baik diterapkan oleh Lilifuk Bolok, maka masih sering terjadi pencurian di wilayah tersebut. Selain itu, sebagian daerah Lilifuk sudah beralih fungsi menjadi wilayah budidaya rumput laut yang menyebabkan fungsi laumn sebagai tempat pengasuhan ikan menjadi berkurang, karena terganggu oleh aktifitas pemeliharaan rumput laut. Manfaat Sosial Budaya Manfaat sosial budaya merupakan manfaat yang dominan dari semua jenis pengelolaan di lokasi penelitian. Nilai manfaat sosial budaya dari yutut, tabob, lilifuk kuanheun dan lilifuk bolok berturut-turut adalah 78, 82,82, dan 71. Beikut ini adalah uraian dari manfaat tersebut. a.
Manfaat Sosial Budaya Pengelolaan Yutut di Taar Yutut merupakan sebuah produk dari traditional knowledge masyarakat di Taar dan
masyarakat Maluku pada umumnya terhadap sumberdaya yang mereka miliki. Manfaat tersebut diantaranya adalah:
62
-
Pelestarian nilai religi. Keyakinan masyarakat Pulai Kei dipengaruhi oleh ajaran Kristen dan Tradisi budaya nenek moyangnya. Bagi mereka kehidupan mempunyai dua sisi yaitu yang terlihat dan yang tidak terlihat, dimana keduanya merupakan unsur yang saling mempengaruhi. Materi yang tidak kasat mata tersebut tidak hanya Tuhan, namun arwah-arwah nenek moyang yang wajib mereka hormati dan menempati setiap wilayah di bumi ini baik di darat, laut, maupun udara. Yutut merupakan salah satu bentuk penghormatan mereka terhadap Laut sebagai media tempat hidupnya para leluhur. Dengan selalu melaksanakan yutut diyakini bahwa kehidupan mereka akan selalu terjaga dan terjamin penghidupannya.
-
Pelestarian tradisi Bentuk penghormatan terhadap nenek moyang, diaktualisasikan juga dengan selalu menjaga hidupnya tradisi sebagai warisan yang tak ternilai. Generasi penerus ini meyakini, bahwa karena pelaksanaan tradisi inilah mereka masih tetap hidup dengan berbagai rezeki yang menghidupnya. Oleh karenanya prosesi yutut selalu dilakukan dengan menggunakan tradisi-tradisi yang diwariskan, misalnya pemakaian daun kelapa, doa-doa yang dibacakan, dll.
-
Bentuk tanggung jawab Alam merupakan sebuah pemberian dari Tuhan yang harus dijaga, selain sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pemberian Tuhan dan warisan nenek moyang, penyelenggaraan Yutut juga sebagai tanggungjawab terhadap generasi mendatang.
b.
Manfaat Sosial Budaya Pengelolaan Tabob di Madwaer Tabob tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Madwaer, karena diantara
keduanya terdapat legenda yang diyakini sebagai sebuah sejarah nyata yang harus dipercaya, diyakini, dan dilestarikan keberadaannya. Manfaat sosial budaya yang diperoleh dari pengelolaan Tabob adalah: -
Tanggungjawab terhadap tradisi dan bukti sejarah Masyarakat Madwaer merasa bertanggungjawab untuk menjaga bukti sejarah tentang permulaan lahirnya tabob di daerah tersebut. Mereka meyakini bahwa masyarakat Madwaerlah yang memegang sejarah tersebut, karena berdasarkan toom (tutur sejarah),
63
taad (tanda-tanda bukti sejarah) dan war-war (syair-syair) tentang keberadaan tabob dimiliki oleh masyarakat Madwaer. Oleh karenanya dengan melaksanakan penangkapan tabob dengan prosesi yang ditentukan oleh adat berarti mereka telah melaksanakan amanat nenek moyang. Oleh karenanya, disaaat masyaakat ohoi lain di wilayah nufit mulai meninggalkan nilai-nilai tradisi dalam pengelolaan tabob, masyarakat Madwaer tetap melestarikannya. -
Mempererat ikatan sosial antar masyarakat Terdapat nilai sosial yang cukup tinggi dalam prosesi pembagian daging tabob. Pembagian tersebut menganut asas keadilan dan pemerataan. Masyarakat akan menanti datangnya para penagkap tabob, menyambutnya dengan suka cita ketika mereka pulang, dan membagikan daging tabob tersebut ke seluruh penduduk ohoi baik yang datang ke tempat pembagian maupun yang tidak datang akan diantar ke rumahnya. Pembagian daging tabob dilakukan dengan kegembiraan Hal ini mencerminkan nilai-nilai ke-guyub-an pada masyarakat di Madwaer.
-
Penghargaan terhadap peran dalam masyatakat Dalam pembagian daging tabob memperhatikan pula jasa orang yang telah berjuang menangkap tabob dengan berbagai peran di dalamnya.
-
Media untuk rekreasi Musim tabob merupakan musim yang sangat dinantikan oleh seluruh masyarakat, terdapat naluri yang mendorong mereka untuk selalu mengkonsusmsi tabob dalam jangka waktu tertentu. Oleh karenanya ketika musim tersebut datang, mereka semua bersuka cita. Perasaan suka cita ini meleburkan berbagai permasalahan, bahkan konon orang yang sedang berkonflik pun akan reda dengan kegiatan menangani tabob bersama-sama di tepi pantai.
c.
Manfaat Sosial Budaya Pengelolaan Lilifuk di Kuanheun Kontribusi lilifuk terhadap aspek sosial budaya masyarakat adalah merupakan
pelestarian adat istiadat setempat, dan merupakan pintu masuk untuk menumbuhkan budaya laut di masyarakat, karena selama ini mereka cenderung berbudaya darat. Selain itu, pengelolaan lilifuk membangun spirit tanggungjawab masyarakat terhadap pelestarian sumberdaya laut dan pesisir karena tidak menggunakan alat tangkap yang merusak, spirit persaudaraan karena dipanen bersama dengan suasa berbagi, serta merupakan tempat
64
refreshing atau rekreasi yang dapat memberikan energy positif pada aspek psikis yang menjalaninya. Buka lilifuk merupakan acara yang paling dinantikan dalam kurun waktu 6 bulan, tidak hanya oleh masyarakat kelima dusun di Desa Kuanheun namun juga dari desa tetangga, yaitu Desa Bolok, Nitneo, Manulai 2, Batakte, Oenesu dan Sumlili. d.
Manfaat Sosial Budaya Pengeloaan Lilifuk di Bolok Sama halnya di dengan pengelolaan lilifuk di bolok, manfaat sosial budaya yang
diperoleh masyaakat dari pengelolaan lilifuk adalah pelestarian adat istiadat, tanggungjawab terhadap pelestarian sumberdaya, memperkuat ikatan sosial antar anggota masyarakat, dan merupakan sarana rekreasi bagi pengunjung pada saat buka lilifuk. Namun, nilai dari masingmasing manfaat tersebut di Bolok lebih rendah dibandingkan dengan Lilifuk di Kuanheun. Hal ini disebabkan variabel kinerja yang diperlihatkan oleh lembaga pengelolaan lilifuk di bolok jauh lebih rendah dibanding di Kuanheun. Di Bolok, kawasan Lilifuk sudah sebagian dipakai untuk rumput laut, sehingga ada sedikit peyimpangan dari tradisi. Pengelola Lilifuk Bolok masih dipegang oleh klen tertentu tanpa melibatkan unsur pemerintah dan lembaga lokal lainnya, sehingga cenderung rasa memiliki masyarakat lain diluar marga pemilik lilifuk menjadi berkurang. Karena hasil yang diperolehpun lebih sedikit, maka peserta panenpun lebih sedikit dibandingkan dengan yang ada di Kuanheun. Manfaat ekonomi Nilai manfaat ekonomi yang paling tinggi diperoleh dari sasi yaitu 55, diikuti oleh Lilifuk kuanheun 40, Lilifuk Bolok 30 dan Tabob 10. Variabel yang dinilai dalam penilaian manfaat ekonomi ini yaitu peningkatan hasil tangkapan dan munculnya mata pencaharian alternatif. Dibawah ini merupakan uraian manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat dari keempat mekanisme pengelolaan sumberdaya di atas: a. Manfaat Ekonomi Pengeloaan Yutut di Taar Pelaksanan yutut selain untuk pelestarian tradisi biasanya memang dimaksudkan untuk sebuah tujuan peningkatan hasil tangkapan. Hasil tangkapan ini selain diperuntukkan bagi masyarakat juga biasanya diperuntukkan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum dan kegiatan kemasyarakatan di ohoi tersebut. Fasilitas umum tersebut diantaranya adalah gereja, kantor ohoi, dll.
65
b. Manfaat Ekonomi Pengelolaan Tabob di Madwaer Pengelolaan tabob di Madwaer tidak diperuntukkan untuk tujuan ekonomi, tapi lebih ditujukan untuk pemenuhan tuntutan adat tradisi. Namun jika dicermati, daging tabob dapat ditujukan untuk mensubstitusi protein hewani yang selama ini mereka konsumsi tanpa harus mengeluarkan biaya. c. Manfaat Ekonomi Pengelolaan Lilifuk di Kuanheun Hasil dari proses buka lilifuk dapat digunakan untuk memmperbaiki sarana peribadatan (gereja) dan pemasukkan untuk keluarga dan pemerintahan desa.Namun hal ini perlu ditunjang oleh sebuah perdes yang mengatur tentang hal tersebut. Bagi lilifuk yang masih dikuasai oleh pemilik maka manfaat ekonomi dari proses buka lilifuk hanya dirasakan oleh keluarga. Secara tidak langsung, proses pengasuhan dan pemijahan ikan yang dilakukan di wilayah lilifuk dapat memberikan peluang peningkatan jumlah populasi ikan di perairan laut sawu. Hal ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan jumlah produksi hasil tangkapan. Meskipun dalam satu hamparan lilifuk memiliki luasan yang cukup kecil, namun banyaknya lilifuk dan pengelolaan sejenis di periran laut sawu dapat memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan populasi ikan. d.
Manfaat Ekonomi Pengelolaan Lilifuk di Bolok Manfaat ekonomi yang diperoleh dai Lilifuk Bolok lebih kecil dibandingkan dengan
nilai ekonomi yang diperoleh dari Lilifuk di Kuanheun. Hal ini disebabkan jumlah angkapan juga lebih kecil, karena di wilayah ini masih terjadi aktifitas rumput laut. Selain itu keuntungan ekonomi lebih dirasakan oleh pemilik wilayah lilifuk dari hasil penjualan tiket, karena pengelolanyahanya dari marga pemilik lilifuk, sementara di Kuanheun terdiri dari berbagai unsur masyarakat, sehingga keuntungan dari hasil penjualan tiket dibagi pula kepada berbagai unsur yang terlibat. Hasil tangkapan ikan oleh masyarakat tidak untuk dijual, namun untuk dikonsumsi. Namun beberapa masyarakat memanfaatkan moment pembukaan lilifuk ini untuk berjualan makanan dan minuman, sehingga secara tidak langsung memberikan peluang pendapatan lain meskipun hanya sebentar.
66
Korelasi antara kinerja kelembagaan pengelolaan sumberdaya dengan manfaat yang dihasilkan baik itu manfaat ekologi, manfaat sosial budaya maupun manfaat ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut:
Sumber: Data Primer diolah, 2015 Gambar 8. Hubungan Antara Kinerja Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Laut dengan Manfaat Ekologi, Sosial Budaya dan Ekonomi
Diagram diatas memperlihatkan bahwa kinerja kelembagaan pengelolaan sumberdaya pada yutut, tabob dan lilifuk lebih banyak memberikan manfaat pada aspek sosial budaya, dimana pelestarian adat tradisi nenek moyang dan penguatan sistem sosial merupakan penyumbang nilai yang cukup besar dalam manfaat sosial budaya. Hal ini merupakan ciri masyarakat tradisional yang mengedepankan spirit kekeluargaan dan kebersamaan dalam suasana yang religius.
4.2.4. Ancaman Terhadap Keberlangsungan Pengelolaan Yutut, Tabob, dan Lilifuk Secara keseluruhan, masyarakat merasakan manfaat positif dari pengelolaan sumberdaya baik itu yutut di Taar, pengelolaan Tabob di Madwaer, Lilifuk di Kuanheun maupun Lilifuk di Bolok. Namun, dipihak lain terdapat berbagai ancaman terhadap keberlangsungan mekanisme pengelolaan tersebut baik itu yang berasal dari masyarakat itu
67
sendiri, pemerintah, maupun pihak lain. Ancaman tersebut terbagi menjadi 3 yaitu pelabelan negatif terhadap bentuk pengelolaan, kontroversi kebijakan pembangunan pemerintah daerah dan pelindungan kearifan lokal, ketidakjelasan hukum tenurial wilayah adat, pengaruh globalisasi, penyelewengan penerapan hukum adat. 1.
Terdapat stigma negatif terhadap bentuk pengelolaan sumberdaya Teknik pemanenan pada lilifuk dinilai telah menghancurkan karang dan padang lamun. Sedangkan penangkapan tabob dinilai menjadi penyebab terjadinya penurunan jumlah tabob dunia sehingga menjadi hewan langka yang hampir punah. Namun kondisi ini dapat dilihat dari perspektif yang berbeda dengan pihak yang melabeli stigma tersebut kepada lilifuk dan proses penangkapan tabob. Lilifuk merupakan satu wilayah cekungan di wilayah pantai yang berkarang dengan panjang ke arah pantai paling panjang sampai surut terendah. Jadi hanya wilayah-wilayah tertentu saja dengan luasan yang tidak begitu luas. Lilifuk kuanheun hanya seluas ..... m2. Sedangkan wilayah pantai yang tidak memiliki cekungan tidak diterapkan aturan lilifuk. Sehingga dengan adanya wilayah lilifuk ini maka masyarakat diberi kesempatan untuk mengambil manfaat seluas wilayah tersebut, sedangkan wilayah pantai lain yang tidak memiliki cekungan harusnya dilindungi secara total. Dengan demikian, lilifuk termasuk kedalam zona pemanfaatan, sedangkan wilayah lain yang selama ini hampir setiap hari dilakukan meting harus dilindungi. Hal ini didukung pula oleh karakter budaya masyarakat dimana penduduk mayoritas adalah petani, sehingga pemanfaatan laut bagi mereka hanyalah sebatas maka meting. Sementara pelabelan sebagai pemusnah penyu belimbing untuk prosesi penangkapan tabob di Madwaer, memang memerlukan pencermatan yang bijak. Persyaratan yang harus dipunyai sebagai penangkap tabob, jenis alat tangkap yang digunakan serta kondisi tabob yang boleh ditangkap seharusnya dipandang sebagai sebuah kearifan tersendiri untuk menghindari eksploitasi penyu belimbing yang sering dilakukan oleh para nelayan jaring dan pemburu telur penyu.
2.
Kontroversi kebijakan pembangunan pemerintah daerah dan upaya perlindungan kearifan lokal. Hal ini dapat terlihat jelas dalam kasus lilifuk. Disatu sisi pemerintah telah menjadikan kawasan di Kunaheun dan Bolok menjadi zona kearifan lokal, dimana lilifuk telah dicantumkan sebagai salah satu kearifan lokal yang dimiliki Kupang, namun di sisi lain
68
terdapat beberapa kebijakan pembangunan daerah yang berpotensi meningkatkan pencemaran laut, diantaranya adalah: -
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di Desa Bolok. PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara dalam kegiatan operasionalnya dianggap dapat mencemari laut.
-
Pabrik Semen Timor meskipun saat ini statusnya belum beroperasi namun sudah mengantongi ijin operasional dan mulai membangun pabrik di wilayah Desa Bolok. Limbah produksi semen dipercaya dapat mempengaruhi kondisi perairan Teluk Kupang yang melintasi Desa Bolok.
-
Diputuskannya Desa Bolok sebagai daerah industri wilayah Nusa Tenggara Timur diperkirakan akan member peluang kepada berbagai perusahaan untuk dibangun di kawasan tersebut. Jika tidak disertai pengelolaan limbah yang baik dan benar maka ekosistem pesisir akan tercemar, tidak terkecuali padang lamun yang terdapat di wilayah lilifuk. Menurut Berwick (1993) dalam Dahuri et al (2001), aktivitas manusia pada lingkungan pesisir dapat berdampak negative terhadap ekosistem lamun adalah pembuangan sampah organic cair yang dapt menurunkan kadar oksigen terlarut dalam kolam air di atas padang lamun yang dapat mengganggu penyediaan oksigen terlarut bagi vegetasi lamun dan fauna akuatik yang memanfaatkan padang lamun (Latuconsina et al, 2013 )
3.
Ketidakjelasan hukum tenurial wilayah adat dan penyelewengan penerapan hukum adat Salah satu alasan kenapa yutut atau sasi tidak banyak lagi dilakukan oleh orang maluku diantaranya adalah karena ketidakjelasan batas petuanan yang berpotensi menimbulkan konflik kepemilikan. Potensi konflik kepemilikan pun terjadi di Lilifuk, dimana kepemilikan lilifuk berada di tangan keluarga/fam tertentu (private property) sementara UUPA hanya mengakui keberadaan communal property, hal ini tentunya akan menimbulkan konflik kepemilikan dan pengeloaan.
4.
Pengaruh globalisasi dan modernisasi
69
4.3. POSISI PRAKTEK PENGELOLAAN SUMBERDAYA DARI PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL 4.3.1. Landasan Hukum Dalam Pengelolaan Sumberdaya Secara Adat Pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan melibatkan berbagai stakeholder dengan kepentingan yang berbeda. Oleh karenanya, pemanfaatan SDKP ini mengandung potensi konflik yang cukup tinggi dimana factor pemicunya berupa ketidakseimbangan dalam hal mengakses sumberdaya baik itu karena ketidaksetaraan dalam penggunaan teknologi maupun ketidaksetaraan dalam perolehan kesempatan untuk mengekstraksi sumberdaya tersebut. Oleh karenanya, diperlukan sebuah instrument yang dapat mengatur pemanfaatan sumberdaya yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan dengan tidak meninggalkan prinsip keadilan dan keberlanjutan. Selama ini, pemerintah sebagai pemegang kewenangan atas pengelolaan sumberdaya juga mengeluarkan berbagai peraturan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, Kepmen, Permen, PP, Perprov, dll) yang berfungsi mengatur mekanisme pemanfaatan sumberdaya tersebut. Terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh masyarakat lokal atau masyarakat adat, pemerintah telah mengeluarkan berbagai landasan hukum nasional berupa pengakuan terhadap keberadaan dan masyarakat hokum adat dan pengakuan atas hak-haknya dalam mengelola sumberdaya diantaranya adalah UUD 1945, UU No. 5/ 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No.5/1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 39/1999, tentang Hak Asasi Manusia, UU No 32/2004 jo UU No. 23/2014, tentang Pemerintahan Daerah, UU No 27/2007 jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No 6/2014, tentang Desa, UU No 32/2014, tentang Kelautan, Permen KP No 17/2008, tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Permen KP No. 2/2009, tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan dan Permen KP No 40/2014 tentang Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.. Aturan tersebut dikeluarkan secara formal dalam bentuk aturan tertulis dan mengikat secara nasional dengan konsekuensi hukum berdasarkan hukum nasional Namun di sisi lain, tidak jarang masyarakatpun terutama masyarakat adat mempunyai aturan tersendiri dalam mengelola sumberdaya yang diyakini sebagai communal property
70
nya. Instrumen yang dibuat masyarakat umumnya dalam bentuk kesepakatan lokal yang seringkali tidak tertuang dalam naskah tertulis namun tersampaikan dalam bentuk tutur lisan dari generasi ke generasi. Apabila instrument ini lahir dari sebuah masyarakat adat maka instrument ini sering disebut sebagai hukum adat. Namun apabila peraturan ini lahir dari sebuah masyarakat yang bukan masyarakat adat maka seringkali disebut sebagai “kesepakatan lokal”, meskipun secara harfiah hukum adat terbentuk karena adanya kesepakatan lokal. Hukum adat dan “kesepakatan lokal” bersifat mengikat dan mempunyai konsekuensi hukum berupa sanksi bagi setiap pelanggarnya. Sanksi tersebut sangat bersifat lokalitas. Tidak dapat dipungkiri dualisme pengaturan dalam pengelolaan sumberdaya ini telah menyebabkan ambigu hukum dalam penerapan dan penegakkan mekanisme pemanfaatan sumberdaya secara adil dan berkesinambungan. Kondisi ini terjadai karena ada beberapa hal yang belum selaras antara aturan nasional dan aturan lokal/adat. Oleh karenanya upaya penyelarasan antara keduanya menjadi penting untuk dilaksanakan.
Selain itu, hokum
nasional terhadap pengakuan hak masyarakat untuk mengatur kehidupannya pun mengalami dinamika.
Lahirnya UU yang menyeragamkan pemerintahan lokal setaraf desa telah
membuat perubahan besar atas eksistensi hokum adat di tengah masyarakat. Masyarakat mencoba untuk beradaptasi dengan aturan nasional, dan meninggalkan hokum adat. Namun dalam perkembangannya, pengakuan pemerintah terdap hokum adat menguat kembali, menyebabkan masyarakat sulit untuk kembali beradaptasi. Namun demikian Upaya pemerintah untuk menguatkan kembali hokum adat sudah selayaknya mendapat dukungan dan apresiasi. Sementara itu, terkait dengan mekanisme pengelolaan sumberdaya KP di wilayah penelitian yaitu di Kupang, Nusa Tenggara Timur maka terdapat beberapa peraaturan perundangan tambahan yaitu Kepmen KP No 38/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Kepmen KP No. 5/2014 Tentang Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai keinginan kuat untuk mengatur pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara adil dan berkesinambungan. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah secara yuridis formal mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan mengikat secara nasional. Namun pada tataran lokal, hukum adat seringkali lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum nasional.
71
Dengan kata lain, masyarakat lokal lebih mengenal hukum adat dibandingkan dengan hukum nasional. Jika ditelusuri dari aspek sejarah, hal ini menjadi lumrah karena keberadaan hukum adat seringkali lahir lebih dulu dibandingkan dengan hukum nasional. Selain itu hukum adat merupakan produk masyarakat yang dibuat berdasarkan nilai-nilai yang dipakai dan berkembang di dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh MM. Djojodiguno bahwa hukum adat merupakan suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan mengatur tingkah laku dan perbuatan masyarakat demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Namun demikian, dalam penelitian ini, instrument yang memungkinkan untuk melihat praktek pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara detail adalah UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dipadukan dengan Peraturan Menteri No 40/2014 Tentang Peran Serta dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pemilihan perundang-undangan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pasal-pasal yang tertuang dalam kedua peraturan ini sebagian besar terkait dengan praktek pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat, selain itu keterbatas waktu dan tenaga dalam penelitian turut membatasi jumlah undang-undang yang akan dijadikan instrument penelitian. Pengakuan bersyarat dari Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi melindungi hak masyarakat hokum adat dan mendukung perkembangannya melalui 3 pasal yaitu Pasal 18 B, Pasal 28, dan Pasal 32. Pasal pengakuan hak masyarakat hokum adat tercantum pada Pasal 18 B ayat 2 berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hokum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Selain itu terdapat pula pasal 28 ayat 3 yang berbunyi identitas budaya dan hak tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Sedangkan Pasal 32 selain merupakan jaminan terhadap keberlangsungan hak masyarakat adat juga merupakan amanat kepada pemerintah untuk selalu memberikan fasilitas terhadap tumbuh kembangnya nilai-nilai dalam budaya masyarat. Pasal tersebut berbunyi Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
72
Hal yang perlu dicermati adalah prasyarat yang harus dipenuhi oleh masyarakat hokum adat agar mendapat jaminan untuk dapat melaksanakan haknya dalam pengelolaan sumberdaya, yaitu : -
hak-hak tradisional yang dimiliki masyarakat tersebut masih hidup
-
sesuai dengan perkembangan masyarakat
-
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
-
diatur dalam undang-undang. Meskipun faktanya sekarang, sebagian besar nilai-nilai dan aturan adat sudah mulai
melemah sebagai dampak dari diberlakukannnya UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamankan bentuk pemerintahan desa, namun dalam perkembangannya sekarang pemerintah mempunyai keinginan kuat untuk menumbuhkan kembali hokum adat tersebut. Panduan implementasi pelaksanaan penjaminan dan pengakuan hak masyarakat tersebut harus dituangkan dalam sebuah UU. Pada saat ini pemerintah sedang menggodok RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut berdasarkan Kearifan Lokal dalam Undang-Undang Meskipun RUU Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat belum disyahkan, namun UU dan peraturan perundang-undangan lain di bawahnya yang mengatur posisi atau hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya sudah diterbitkan. Peraturan yang terkait dengan hal tersebut diantaranya adalah: 1. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-undang ini menjadi relevan dalam pengaturan pola pengelolaan sumberdaya laut secara adat, karena pengertian agraria dalam undang-undang ini tidak hanya dalam pengertian wilayah daratan namun juga mencakup wilayah laut dan udara. UU ini merupakan jaminan atas hak masyarakat adat untuk mendapatkan kekuasaan atas pengelolaan sumberdaya, seperti yang tertera pada Pasal 2 (4) yaitu hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah. Pasal
73
tersebut mengisyaratkan bahwa perlu dikeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang mekanisme pemberian kekuasaan tersebut serta batasan penguasaan yang dapat dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Sementara Pasal 4, Pasal 4, Pasal 9 dan Pasal 16 mengatur hak masyarakat, dimana hak tersebut diantaranya adalah hak pemeliharaan dan hak penangkapan ikan yang dapat diberikan kepada perorangan, kelompok dan badan hukum dengan syarat warga negara Indonesia, mengusahakan sendiri secara aktif, dan mencegah cara pemerasan. Sementara pasal 47 (2) menegaskan bahwa hak ini diatur dengan peraturan pemerintah. Mencermati pengakuan hak masyarakat adat dalam pengusahaan sumberdaya laut dan pesisir, seperti halnya UUD 1945, UU No 5 Tahun 1960 masih memberikan syarat-syarat tertentu atas jaminan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya. Amanat yang diberikan oleh UU No 5/1960 untuk membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur permasalahan diatas belum ada, namun justru pegaturan tersebut lahir dalam bentuk Undang-Undang. Terkait dengan pengaturan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil terbit UU No 27 Tahun 2007 yang disempurnakan oleh UU No 1 Tahun 2014. Lahirnya Undang-Undang ini memberikan kriteria baru dalam mendefinisikan masyakat adat. 2.
UU No 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 Undang-Undang No 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Penyempurnaan UU No. 27/2007 oleh UU No. 1/2014 diantaranya adalah tentang kejelasan pengakuan hak masyarakat hukum adat dalam mengelola sumberdayanya. Seperti halnya UUD 1945 dan UU No.5, UU No 27/2007 jo UU No 1/2014 pun memberikan prasyarat masyarakat adat seperti apa yang mendapat hak pengelolaan sumberdaya pesisir. Prasyarat tersebut tertuang pada Pasal 1 dan Pasal 22 yaitu: -
Bermukim di wilayah geografis tertentu di negara NKRI karena adanya ikatan asal usul leluhur
-
Hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumberdaya alam,
-
memiliki pranata pemerintahan adat,
-
memiliki tatanan hukum adat di wilayah adatnya
74
-
masyarakat hukum adat tersebut ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Pada tahapan perencanaan, Pasal 14 ayat 1 memberikan peluang bagi
masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat adat untuk terlibat dalam penyusunan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K bersama dengan pemerintah daerah dan dunia usaha. Selain peluang untuk turut dalam perencanaan, UU ini pun memberikan pengecualian khusus kepada masyarakat adat untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir tanpa harus memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan (Pasal 22 ayat 1). Namun masyarakat adat yang dimaksud adalah masyarakat adat yang telah mendapat pengakuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Permasalahannya adalah peraturan perundang-undangan apa yang dapat memberikan legalisasi atas masyarakat hukum adat tersebut serta bagaimana mekanisme penilaian kelayakan masyarakat hukum adat? Selain pasal diatas, UU ini mengatur pengelolaan pihak asing dalam penanaman modal di kawasan pesisir di wilayah pulau-pulau kecil. Pasal 26 A memberikan izin kepada pemodal asing untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya dengan izin menteri setelah mendapat rekomendasi dari bupati/walikota.
Masyarakat tidak dilibatkan dalam hal ini, meskipun salah satu
syaratnya adalah pulau tersebut tidak berpenduduk, namun banyak masyarakat yang mengambil ikan di wilayah-wilayah perairan di sekitar pulau-pulau kecil. Hal ini seolaholah sudah diakomodir dengan klausul “menjamin akses publik” dalam salah satu prasyarat pulau yang dapat dikuasai asing, namun tidak dijelaskan apa yang diamsus akses publik, dan tidak ada pembatasan sejauh mana kewenangan dapat diberikan kepada pihak pemodal asing tersebut. 3. UU No 23 Tahun 2014 Kepentingan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dalam hal ini terkait dengan Bab V Kewenangan Daerah Provinsi di laut dan daerah provinsi yang bercirikan kepulauan. Bab ini mengatur tentang kewenangan daerah provinsi di laut
untuk
mengelola sumberdaya laut, cakupan kegiatan pengelolaan dan luasan wilayah pengelolaan. Menurut UU ini, provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam di laut meliputi eksplorasi, eksploitasi,konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di
75
luar minyak dan gas bumi; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan di paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Apabila wilayah laut antardua Daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antardua Daerah provinsi tersebut. 4. Undang-Undang No 6 Tahun 2014 UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa semakin memperbesar kesempatan masyarakat adat untuk berperan serta dalam seluruh aspek pemerintahan dan pengelolaan sumberdaya secara otonom dalam bentuk pemerintahan desa adat. Ketika sebuah desa sudah menjadi desa adat, maka kewenangan desa adat tersebut meliputi pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli; pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; pelestarian nilai sosial budaya desa adat, penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; dan penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 103). Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut berdasarkan Kearifan Lokal dalam Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri Peraturan Menteri Kelautan Perikanan yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis kearifan lokal, dimana masyarakat merupakan pelaksana dari pengelolaan adalah Kepmen KP No. 40 Tahun 2014 Tentang Peran Serta Dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Melalui Kepmen ini, masyarakat diberi kesempatan untuk berperan serta dalam semua tahapan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan (Pasal 4). Peran serta masyarakat dalam usulan penyusunan rencana pengelolaan, harus disampaikan melalui organisasi kemasyarakatan kepada pemerintah provinsi, atau kabupaten/kota (Pasal 6). Pada Pasal 1 diterangkan bahwa organisasi kemasyarakatan
76
(Ormas) adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Permasalahannya pihak mana yang akan menetapkan bahwa ormas tersebut merupakan ormas yang sesuai dengan peraturan tersebut atau tidak?. Bagaimana masyarakat bisa menilai apakah ormas tersebut dapat menjadi corong atas aspirasinya?. Oleh karenanya, diperlukan sebuah langkah perbaikan agar kejelasan ormas yang dimaksud dapat dimengerti oleh masyarakat. Selain Permen 40/2014, dikeluarkan pula Permen KP No 13/2014 Tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan. Kawasan konservasi yang dimaksud permen ini adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaa sumberdaya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan. Jadi, jejaring kawasan konservasi perairan adalah kerjasama pengelolaan dua atau lebih kawasan konservasi perairan secara sinergis yang memiliki keterkaitan biofisik (Pasal 1). Namun demikian pada Pasal 5 diterangkan bahwa selain berdasarkan keterikanan biofisik, jejaring dapat dibentuk berdasarkan keterikatan aspek sosial budaya, ekonomi dan/atau aspek tata kelola. Aspek sosial budaya meliputi dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal dan adat istiadat. Menteri KP selain mengeluarkan peraturan menteri juga telah mengeluarkan berbagai keputusan terutama mengenai zona konservasi di beberapa daerah, diantaranya adalah Kepmen KP No 38/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Kepmen KP No. 5/2014 Tentang Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain unutk daerah NTT, Menteri KP juga sudah mengeluarkan Kepmen KP No 36 / 2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat.
Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut berdasarkan Kearifan Lokal dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Desa Pada tataran daerah, beberapa peraturan sudah dikeluarkan baik oleh pemerintah provinsi dalam bentuk Peraturan Gubernur maupun Peraturan Daerah Provinsi, atau yang
77
dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten dalam bentuk perda Kabupaten, ataupun yang dikeluarkan oleh pemerintahan desa dalam bentuk Perdes. Beberapa peraturan tersebut diantaranya adalah
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008
Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Begitu pun di Kalimantan Timur, Melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Di Propinsi Kalimantan Timur, pemda berupaya untuk mengakui dan melindungi keberadaan masyarakat hukum adat di wilayah Kalimantan Timur. Selain Papua Barat dan Kalimantan Timur, beberapa daerah lain pun sudah mengeluarkan peraturan tentang masyarakat hukum adat, diantaranya adalah Perda tentang Hawear dan Perda mengenai Ohoi di Maluku Tenggara. Namun, seiring dengan dikeluarkannya UU No 23 Tahun 2014 Tentang otonomi Daerah yang memberikan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir sejauh12 mil dari garis pantai kepada pemerintah provinsi, maka pemerintah provinsi diminta untuk segera mengeluarga Peraturan Daerah Propinsi terkait zonasi laut. Berdasarkan publikasi Media Indonesia (2015)4, saat ini baru terdapat 5 provinsi yang telah mempunyai Perda Zonasi Laut, yaitu Maluku Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Namun tidak hanya zonasi berdasarkan keperluan wilayah, aturan juga dibutuhkan dalam menentukan batas-batas wilayah adat di laut. Hal ini menjadi penting karena sering terjadi konflik perebutan batas wilayah pengelolaan yang berakibat kepada meruncingnya hubungan antar komunitas adat yang satu dengan yang lainnya. 4.2.5. Analisis keterhubungan Peraturan Perundang-Undangan (UU No 27/2007 jo UU No 1/2014) Dengan Aturan Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya laut Berbasis Kearifan Lokal Analisis ini dibutuhkan untuk melihat sejauhmana harmonisasi hukum adat yang berlaku dimasyarakat dengan peraturan perundang-undangan yang secara legal formal mengikat masyarakat dalam melakukan pengaturan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Analisis ini mencakup kriteria masyarakat adat, wilayah pengelolaan, aturan, dan lembaga pengelola. 4
Diunduh dari http://www.mediaindonesia.com/misiang/read/1011/Baru-Lima-Provinsi-yang-MilikiPerda-Zonasi-Laut/2015/04/16 pada Tanggal 4 Januari 2016.
78
a.
Kriteria masyarakat hukum adat Berikut adalah prasyarat yang ditegaskan oleh ketiga peraturan perundanundangan tersebut.
Tabel 8.
Kriteria Masyarakat Hukum Adat Agar Mendapatkan Hak Penguasaan Atas Sumberdaya Menurut UUD 1945 dan UU No 5/1960
Kriteria Masyarakat Hukum Adat
UUD 1945 UU No 5/1960 - hak-hak tradisional yang - tidak bertentangan dimiliki masyarakat tersebut dengan kepentingan masih hidup nasional -
sesuai dengan - Menurut ketentuan perkembangan masyarakat Peraturan Pemerintah
-
sesuai dengan prinsip - Tidak bertentangan Negara Kesatuan Republik dengan UU dan Indonesia, Peraturan lain yang lebih tinggi diatur dalam undang- - Berdasarkan persatuan undang. bangsa mengindahkan unsurunsur yang bersandar pada agama
-
UU No 27/2007 - Bermukim di wilayah geografis tertentu di negara NKRI karena adanya ikatan asal usul leluhur - Hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumberdaya alam - memiliki pranata pemerintahan adat, - memiliki tatanan hukum adat di wilayah adatnya.
- masyarakat hukum adat tersebut ditetapkan oleh peraturan perundangundangan Sumber: Data Sekunder Diolah. 2015
Adanya perbedaan kriteria masyarakat hukum adat antar undang-undang di atas maka perlu diadakan perumusan kriteria masyarakat hukum adat yang dapat dipakai oleh seluruh peraturan perundangan. Upaya merumuskan kembali kriteria masyarakat hukum adat menjadi penting untuk menghindari multi interpretasi terhadap keberadaan masyarakat adat yang akan menimbulkan benturan antar peraturan namun juga konflik pada tataran masyarakat. Keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU No 27/2007 jo UU No 1/2014 yang sama harus mempunyai legitimasi atau ditetapkan pengakuannya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun sampai sekarang belum ada peraturan perundangundangan yang mengatur pengakuan atas sebuah masyarakat hukum adat. Perturan tersebut
79
masih pada tahap Rancangan Undang-Undang yaitu Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Hal yang perlu dipersiapkan adalah sebuah lembaga yang bertugas untuk memverifikasi apakah masyarakat adat yang ada sudah sesuai dengan kriteria yang dikehendaki oleh perundang-undangan atau belum. Perspektif UU No 27/2007 jo UU No.1/2014 dan Permen-KP No 40/2014 terhadap pelaksanaan aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya berbasis kearifan lokal, secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut ini:
80
Tabel 9. Perspektif UU No 27/2007 jo UU No.1/2014 dan Permen-KP No 40/2014 terhadap pelaksanaan aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya berbasis kearifan lokal Perihal Perencanaan
UU PWP-3K - PS 14 (1) Pemerintah Daerah, masyarakat, serta dunia usaha
De facto Keterlibatan masyarakat sangat terbatas, hal ini disebabkan sosialisasi adanya konsultasi publik sangat kurang. Akibatnya sebagian masyarakat merasa tidak terlibat dalam perencanan zonasi laut.
Analisis - Tidak adanya proporsi sejauhmana peran pemda, masyarakat dan dunia usaha dalam penyusunan rencana pengelolaan menyebabkan masyarakat merasa disejajarkan dengan dunia usaha. Hal ini membuka peluang dominannya kepentingan usaha dibandingkan dengan kepentingan masyarakat - Permen-KP No 40/2014 Ps 6 mengharuskan masyarakat untuk memberikan usulan melalui ormas pada saat konsultasi publik.
Pemanfaatan
- PS 16. Pemanfaatan SD pesisir wajib memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan - PS 17. Pemberian izin memperhatikan kelestarian, masyarakat adat, kepentingan nasional, dan hak lintas damai - Ps 21. Pemanfaatan SDKP di wilayah masyarakat hk. Adat menjadi kewenangan masy. hk adat. Dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan - Ps. 22. Kewajiban memiliki izin dikecualikan bagi masya. Hk. Adat yang ditetapkan pengakuannya dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
- Di beberapa daerah masih ada perencanaan pembangunan kawasan industri tanpa memperhatikan keberadaan zona kearifan lokal - Beberapa masyarakat adat ada yang memberikan hak pengelolaannya kepada pihak swasta dengan cara sewa - Masih terdapat perebutan zonasi kewenangan wilayah adat (contoh kasus maluku) - Belum jelasnya kriteria
- Masyarakat hk adat diberikan hak istimewa dalam pengelolaan SDP, namun disisi lain diberikan persyaratan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini menimbulkan permasalahan sejauhmana: 1) toleransi yang diberikan oleh negara untuk menjamin kebebasan tsb, 2) Ketika Perda menjadi salah satu peraturan perundang-undangan kita maka bagaimana posisi kekuatan masyarakat adat ketika perda lebih memihak kepada dunia usaha? - Kejelasan wilayah adat menjadi sangat penting untuk menjamin kepastian spasial dalam penerapan aturan pengelolaan secara adat. - Revitalisasi aturan adat menjadi langkah yang harus dilakukan pula mengingat banyak terjadi pergeseran nilainilai kearifan dalam aturan adat sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Solusi - Ditentukan proporsi keterlibatan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha. - Proporsi harus mengarah pada dominannya unsur masyarakat karena sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa pengusahaan keakayaan alam harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. - Pada saat konsultasi publik harus melibatkan banyak unsur masyarakat. Setiap unsur masyarakat tersebut harus menjadi corong partisipasi warganya - Harus ditentukan ormas mana yang dapat menjadi wadah aspirasi - Peninjauan kembali atau penegasan kembali mengenai makna “kepentingan nasional” yang menjadi prasyarat diberikannya hak pengelolaan SDP kepada masyarakat hk. Adat. - Mengawal perda terkait dengan hak masyarakat adat - Diperlukan perda yang menegaskan batas wilayah adat pada setiap kesatuan masyarakat hukum adat. - Perda dibuat berdasarkan hasil pemetaan partisipatif - Revitaliasi hukum adat harus berdasarkan trace bundle mengenai sejarah hk adat berdasarkan keterangan dari tetua masyarakat dan literatur yang valid.
81
hukum adat yang mendapat legalisasi formal - Belum ada lembaga yang berwenang memberikan legaliasi terhadap masyarakat hk. adat
- Belum ada pengakuan
Sumber: Data Primer dan Data Sekunder Diolah, 2015.
82
Tabel diatas memperlihatkan bahwa terdapat benerapa ketidakselarasan antara aturan yang telah ditetapkan oleh UU No 27/2007 dengan mekanisme pengelolaan yang selama ini ada di masyarakat. Ketidakselarasan ini dapat dihilangkan dengan mengadakan perbaikan pada kedua belah pihak baik pada Undang-Undang No 27 tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014 maupun pada aturan yang dimiliki oleh masyarakat adapt dalam mengelola sumberdaya pesisir. Ketidakselarasan tersebut terjadi pada beberapa hal yaitu pada 1. Proses perencanaan RSWP-3K, RZWP-3K, RPWP-3K, dan RAPWP-3K yang memposisikan peran masyarakat setara dengan dunia usaha. Hal ini membuka peluang dominansi kepentingan usaha pada mekanisme pengelolaan sumberdaya pesisir dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 yang menghendaki pengusahaan kekayaan alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 2. UU No 27/2007 jo UU No 1/2014 memberikan hak istimewa kepada masyarakat hukum adat dalam pengelolaan SDP dengan tidak ada keharusan izin lokasi dan izin pengelolaan, namun disisi lain terdapat persyaratan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini menimbulkan permasalahan sejauhmana: 1) toleransi yang diberikan oleh negara untuk menjamin kebebasan tsb, 2) Ketika Perda menjadi salah satu peraturan perundangundangan kita maka bagaimana posisi kekuatan masyarakat adat ketika perda lebih memihak kepada dunia usaha? 3. UU menghendaki adanya legalisasi terhadap keberadaan masyarakat hukum adat sebagai prasyarat diberikannya hak pengelolaan sumberdaya pesisir. Namun kriteria masyarakat adat pun masih berbedar antara satu undang-Undang dengan UndangUndang lainnya. Selain itu belum jelas lembaga mana yang dapat melakukan legalisasi dan verifikasi atas masyarakat hukum adat tersebut. 4.
Masih terdapat konflik perebutan wilayah kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Berdasarkan permasalahan di atas, maka solusi yang dapat dilakukan adalah : 1. Ditentukan proporsi keterlibatan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
2. Proporsi harus mengarah pada dominannya unsur masyarakat karena sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa pengusahaan keakayaan alam harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 3. Perlu ditentukan ormas mana yang dapat menjadi wadah aspirasi, karena usulan masyarakat untuk rencana pengelolaan harus melalui organisasi masyarakat. 4. Pada saat konsultasi publik harus melibatkan banyak unsur masyarakat. Setiap unsur masyarakat tersebut harus menjadi corong partisipasi warganya 5. Peninjauan kembali atau penegasan kembali mengenai makna “kepentingan nasional” yang menjadi prasyarat diberikannya hak pengelolaan SDP kepada masyarakat hk. Adat. 6. Dibuat peraturan pemerintah mengenai lembaga yang dapat melakukan verifikasi dan legalisasi terhadap keberadaan hukum adat 7. Mengawal perda terkait dengan hak masyarakat adat 8. Diperlukan perda yang menegaskan batas wilayah adat pada setiap kesatuan masyarakat hukum adat. 9. Perda dibuat berdasarkan hasil pemetaan partisipatif 10. Revitaliasi hukum adat harus berdasarkan trace bundle mengenai sejarah hk adat berdasarkan keterangan dari tetua masyarakat dan literatur yang valid. 11. Revitalisasi aturan adat menjadi langkah yang harus dilakukan pula mengingat banyak terjadi pergeseran nilai-nilai kearifan dalam aturan adat sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
V. URGENSI KEJELASAN BATAS TENURIAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA BERBASIS KEARIFAN LOKAL: SEBUAH REKOMENDASI Lahirnya UU No 6 Tahun 2015 tentang Desa, memberikan keleluasaan bagi masyarakat hukum adat untuk memilih bentuk sebagai desa adat. Melalui desa adat ini, mekanisme pengaturan sumberdaya termasuk di dalamnya sumberdaya laut yang mencakup penentuan batas wilayah, penegakan aturan dan kelembagaan pengelola sumberdaya dapat diatur secara adat selama tidak bertentangan dengan kerangka hukum nasional. Namun hal ini menjadi permasalahan, karena aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya biasanya merupakan dokumen yang tidak tertulis yang diwariskan melalui tutur lisan antar generasi. Permasalahan terjadi diantaranya ketika tutur lisan tersebut tidak mendapatkan pengakuan dari masyarakat di luar desa adat, terutama dalam hal penentuan batas wilayah adat masingmasing desa. Tidak jarang, perebutan wilayah ini menjadi konflik yang berkepanjangan dan sulit untuk diselesaikan. Hal diatas menunjukkan bahwa aspek tenurial merupakan aspek yang memiliki peran sangat penting dalam kinerja kelembagaan pengelolaan sumberdaya disamping aspek-aspek yang lain (BBPSEKP 2015). Pengelolaan wilayah lilifuk, wilayah Yutut, wilayah tabob merupakan contoh wilayah yang rentan terhadap konflik kepemilikan. Semakin jelas wilayah pengelolaan secara adat semakin mudah pula aturan tersebut ditegakkan. Hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa posisi keterlibatan pemerintah sangat berpengaruh terhadap kondisi kinerja kelembagaan terutama untuk memberikan fasilitas bagaimana seharusnya masyarakat membuat sebuah peraturan dan membuat legalisasi formal atas mekanisme pengelolaan sumberdaya yang mereka lakukan. Lilifuk dimiliki oleh salah satu keluarga dari marga tertentu, hingga kepemilikan wilayah tersebut dapat dikategorikan sebagai private property. Padahal, negara hanya mengakui hak ulayat yang bersifat komunal bukan individual. Namun pada aras lokal, masyarakat sangat mengakui hakmilik marga tertentu atas lilifuk, menghormati mekanisme pengelolaan yang dilakukan atas wilayah lilifuk, dan turut mengambil manfaat sebagai hasil dari pengelolaan tersebut. Selain pengakuan oleh masyarakat, pemerintah sendiri mengakui keberadaan dan kepemilikan wilayah tersebut. Perdes No 1/2014 Desa Kuaheun merupakan sebuah bukti pengakuan pemerintah atas hal tersebut, meskipun pengelolaan sudah bersifat
colaboratif management atara pemilik dengan pemerintah desa. Permasalahan muncul ketika, masyarakat menghendaki diberikan pula haknya untuk mengelola wilayah pesisir dimana daratan terluarnya merupakan wilayah yang diklaim miliknya. Lain halnya dengan pengelolaan yutut pada wilayah petuanan di Tual, kepemilikan daerah petuanan laut bersifat komunal namun hak pengelolaan terdapat di tingkat desa yang biasanya dikepalai oleh marga tertentu. Permasalahan yang terjadi adalah batas petuanan laut yang tidak jelas antara wilayah laut desa yang satu dengan desa yang lainnya. Karena batas petuanan laut ditarik dari batas darat ke arah laut bebas sehingga bersifat imaginer. Selain menimbulkan konflik antar desa, ketidak jelasan batas wilayah kewenangan inipun menjadikan bentuk pengelolaan yutut semakin ditinggalkan, padahal manfaat yang dirasakan cukup tinggi. Program-program pemberdayaan pemerintah pun menjadi sulit untuk diterapkan. Kejelasan batas wilayah pun harus diperjelas pada tingkat kebijakan pemerintah. Zonasi wilayah laut yang dibuat harus saling mendukung antara zona yang satu dengan lainnya. Pada kasus pengelolaan lilifuk terlihat pemerintah seperti ambigu antara keinginan untuk membuat zona kearifan lokal pada kawasan lilifuk kuanheun, atau memuluskan sumber pendapatan daerah dengan rencana membangun kawasan industri di perairan Bolok dekat zona kearifan lokal tersebut. Hal yang perlu diantisipasi juga terkait dengan penerapan UU Desa, adalah penerapan pada daerah yang mempunyai struktur pemerintahan adat diatas pemerintahan desa. Di Maluku Tenggara, peran Rat atau raja pada tingkat ratschap yang mempunyai posisi diatas desa, akan hilang perannya ketika pemerintah memberikan kewenangan penuh kepada desa adat untuk mengelola sumberdayanya. Hal ini tentunya akan menjadi potensi konflik wilayah kewenangan antara desa dengan ratcshap. Rancangan Undang-Undang Pengakuan Hukum Adat yang sedang dibuat sekarang ini hendaknya mencakup pula perbaikan atas Undang-Undang Desa agar kasus seperti di maluku ini dapat dielaborasi. Berdasarkan kasus yang terjadi di kawasan lilifuk dan petuanan di atas maka dapat terlihat bahwa penentuan batas wilayah merupakan perihal yang sangat urgen untuk segera difasilitasi oleh pemerintah, agar konflik yang terjadi dapat diselesaikan dan potensi konflik yang ada tidak muncul sebagai sebuah kekurangan dalam pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat.
ALTERNATIF KEBIJAKAN 1. Membuat
trace bundle sejarah dan bentuk-bentuk pengelolaan sumberdaya yang
terdapat di wilayah tersebut sebagai bahan untuk pengaturan batas wilayah dan penegakan hukum atas setiap pelanggaran dan konflik yang terjadi. 2. Mendorong masyarakat untuk melakukan pemetaan partisipatif terkait batas wilayah pengelolaan. 3. Memperkuat sistem pengelolaan beserta batas wilayah kelola melalui peraturan gubernur atau peraturan bupati. 4. Memperbaiki zonasi wilayah laut dengan mempertimbangkan dukungan antar zona. 5. Memperbaiki mekanisme pengelolaan tanpa menghilangkan nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalamnya dan selaras dengan struktur pemerintahan adat untuk meningkatkan nilai ekonomi nilai ekologi dan nilai sosial budaya atas kinerja kelembagaan pengelolaan sumberdaya laut.
VI. KESIMPULAN Kemampuan mempertahankan warisan kearifan merupakan nilai spiritual bagi masyarakat tidak hanya untuk menjamin keberlangsungan penghidupan tetapi sebagai wujud penghormatan kepada nenek moyang dan wujud kasih sayang kepada generasi penerus. Kinerja kelembagaan kearifan lokal memberikan manfaat positif terhadap aspek sosial budaya, ekologi, dan ekonomi masyarakat pelaku pengelolaan. Kinerja kelembagaan kearifan lokal pada kondisi saat ini baru memberikan manfaat yang signifikan kepada aspek ekologi dan sosial budaya, namun manfaat ekonomi masih kecil, sehingga memerlukan intervensi humanis agar sumberdaya dapat termanfaatkan secara optimal dengan tetap mempertahankan warisan budaya yang mengandung nilai-nilai kearifan. Kinerja ini mengalami permasalahan, dalam hal batas wilayah, terdapat ketidak jelasan hukum tenurial wilayah adat, dalam hal aturan terjadi ketidakselarasan antar peraturan dan kebijakan horizontal maupun vertikal serta terbentuk stigma negatif terhadap mekanisme pengelolaan.
Sedangkan pada tataran lembaga pengelola, pengaruh globalisasi dan
modernisasi menjadikan lembaga ini cenderung terancam kehilangan generasi penerus, ketidakserasian sejarah antar masyarakat menjadikan klaim kepemilikan menjadi potensi konflik.
VII. DAFTAR PUSTAKA Anmama,FN. 2013. Tabob : Kajian Sosio Antropologis terhadap Pemahaman Masyarakat Nufit HAroa tentang Tabob. Tesis. Program Studi Magister Sosilogi Agama Fakultas Teologi. Universitas Kristen Satya Wacana. Akil,M. 1982. “Fenomena Etnisitas di Kalimantan Barat”, dalam Kebudayaan Dayak, Jakarta: Gramedia Damsar, 1997. Sosiologi Ekonomi.Jakarta : PT Rajagrafindo Persada Danandjaja, 1994. Folklore Indonesia : Ilmu Gosip, Dongen dan Lain-Lain Fauzi,A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, 2010.Ekonomi Perikanan : Teori, kebijakan dan pengelolaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal.224 Laksmiwati, 2001. Mata Air sebagai Kawasan Suci (Sebuah Kearifan Lokal dalam Pelestarian Sumber Daya Alam). Fakultas Sastra Universitas Udayana. Gilin J.L dan Gillin,J.P. 1954. Cultural Sociology. New York : Mac Millan Book company Latuconsina ,H; R. Ambo-Rappe,M.N Nesa, 2013 Asosiasi Ikan Baronang (Siganus canaliculatus park,1797) Pada Ekosistem Padang Lamun Perairan Teluk Ambon Dalam. Diunduh dari http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/6346/ASOSIASI%20%20Si ganus%20canaliculatus.pdf?sequence=1 pada tanggal 6 Juli 2015 Le Tissier, Martin, Dik Roth, Maartin Bavinck, and Leontine Visser. 2011. Integrated Coastal Management. From Post-Graduate to Professional Coastal Manager. A Teaching Manual. Eburon Academic Publishers. Netherlands.
Kudubun, Elly Esra . 2012. Mereka yang terdiskriminasi (kajian Sosiologis tentang Strategi ren-Ren dalam Mendominasu Mel-Mel di Desa Ohoiwait, Kecamatan Kei Besar. Tesis. Univeristas Kristen Satya Wacana. Ostrom, Elinor and Schlager, Edella. 1996. The Formation of Property Rights. Dalam Rights to Nature. Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for The Environment. Island Press. USA. Patji,AR. 2014. Bahasa, Kebudayaan dan Pandangan : Tentang kebahasaan Masyarakat Etnik (Lokal) kafoa di Alor Nusa Tenggara Timur. Jakarta :LIPI Press Patitiasina, J. Nyanyian Adat Sebagai Sarana Penguatan identitas Anak Negeri Kei. Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon. Diunduh dari http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/wp diunduh tanggal 10 November 2015 Rahail,JP. 1993. Larwul Ngabal : Hukum Adat Kei Bertahan Menghadapi rus Perubahan. Jakarta : Yayasan Sejati Rahail,JP.1995. Bat Batang Fitroa Fitnangan : tata Guna Tanah dan laut Tradisional Kei. Jakarta : Yayasan SEHATI Stanis, 2005. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Luat Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis. Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro. Soekanto,S 1990 Pengantar Sosiologi.Jakarta : Rajawali Pers Koentjaraningrat. 1974. Pengantar Antropologi.Jakarta : Aksara Baru Poloma,M. 1979. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Pt. Rajagrafindo Persada Scott, W. Richard. 2008. Institutions and Organizations : Ideas and Interest. SAGE Publications.