Vol. 1 No. 2, Desember 2016
ISSN 2548-4494
J
urnal Rumput Laut Indonesia
PUI-P2RL-UNHAS
Pusat Unggulan Ipteks Pengembangan dan Pemanfaatan Rumput Laut (PUI-P2RL) Universitas Hasanuddin
PUSAT UNGGULAN IPTEK PERGURUAN TINGGI INDONESIA
SINOPSIS Jurnal Rumput Laut Indonesia merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Unggulan Ipteks Pengembangan dan Pemanfaatan Rumput Laut (PUI-P2RL) yang terdapat di Universitas Hasanuddin. Jurnal Rumput Laut Indonesia memuat tulisan hasil penelitian dan pengembangan yang terkait dengan aspek ilmu pengetahuan, teknologi, dan sosial yang berhubungan dengan rumput laut. PENANGGUNG JAWAB Ketua PUI-P2RL Universitas Hasanuddin DEWAN REDAKSI Dr. Inayah Yasir, M.Sc. (Ketua) Andi Arjuna, S.Si., M.Na. Sc.T. Apt. (Sekretaris) Prof. Dr. Ir. Joeharnani Tresnati, DEA. (Anggota) Moh. Tauhid Umar, S.Pi., M.P (Anggota) Raiz Karman, S.Pd. (Anggota) DEWAN PENYUNTING Prof. Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. (Ekonomi Sumberdaya) Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA. (Ekologi) Prof. Dr. Ir. Ekowati Chasanah, M.Sc. (Bioteknologi dan Pasca Panen) Prof. Dr. Jana Tjahna Anggadiredja, M.S. (Teknologi Pangan dan Farmasi) Prof. Dr. Ir. La Ode Muh. Aslan, M.Sc. (Budidaya Rumput Laut) Prof. Dr. Ir. Metusalach, M.Sc (Pasca Panen) Agung Sudariono, Ph.D. (Pakan Akuakultur) Dr. Ir. Andi Parenrengi, M.Si. (Bioteknologi) Asmi Citra Malina, S.Pi., M.Agr., Ph.D (Biotek) Dr. Ir. Gunarto Latama, M.Sc (Penyakit Rumput Laut) Dr. Ir. St. Hidayah Triana, M.Si. (Rekayasa Genetika) Dr. Lideman, S.Pi., M.Sc (Reproduksi Biologi) ALAMAT REDAKSI: Jurnal Rumput Laut Indonesia, Pusat Unggulan Ipteks Pengembangan dan Pemanfaatan Rumput Laut (PUI-P2RL) Universitas Hasanuddin. Gedung Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Lantai V Kampus Unhas Tamalanrea Km. 10. Makassar 90245 Telepon : 085212108106 Email :
[email protected] Website : http://journal.indoseaweedconsortium.or.id/ SAMPUL DEPAN:
Panen Bibit Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Unit Bisnis Pembibitan Rumput Laut PUI-P2RL-UNHAS (Foto: Inayah Yasir)
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142
ISSN 2548-4494
Fisika Kimia Karaginan Kappaphycus alvarezii Hasil Ekstraksi Menggunakan Natrium Hidroksida (NAOH) dan Penjendal Isopropil Alkohol (IPA) dan Etanol Physico-Chemistry of Carrageenan Extracted from Kappaphycus alvarezii using Sodium Hydroxide (NaOH) and Precipitated Using Isopropyl Alcohol (IPA) and Ethanol Asmaul Husna1, Metusalach1,2, Fachrul1 Diterima: 25 Oktober 2016
Disetujui: 08 November 2016
ABSTRACT The purpose of this research was to determine the effect of isoprophyl alcohol (IPA) and ethanol precipitation on carrageenan extracted from seaweed Kappaphycus alvarezii and its properties. This reseach used completely randomized design with two variable, precipitant (IPA and ethanol) and ratio of the seaweed:solvent (1:45, 1:30 and 1:15). The Extraction temperature was 90 ± 5oC for 2h. Each treatment was repeated three times. The Results showed that IPA, produced carrageenan with yield ranging from 28.28 – 32.85%; water content 15.67 to 16.98%; ash 16.38 to 19.78%; acid insoluble ash 0.08 to 0.15%; sulfate 5.77 to 5.88%; viscosity 41.67 to 83.33 cP and gel strength 55-143 g/cm2. While ethanol produced carrageenan with yield ranging from 29 to 50.6%; water content 18.03 to 19.28%; ash 26.29 to 28.78%; acid insoluble ash 0.14 to 0.22%; sulfate 4.52 to 4.55%; viscosity 41.67 to 50 cP and gel strength 130-133 g/cm2. Extraction of carrageenan with NaOH and precipitation with IPA and ethanol produce carrageenan in accordance with FAO standards in terms of yield, ash, acid insoluble ash content, viscosity and gel strength. Keywords: Ethanol, IPA, Kappaphycus alvarezii, quality, NaOH, precipitant.
PENDAHULUAN Perairan Indonesia merupakan perairan yang kaya akan sumberdaya plasma nutfah rumput laut (menurut ekspedisi oleh Van Bosse 1899-1900 mencapai 555 jenis), membuat komoditas rumput laut menjadi salah satu hasil laut yang diunggulkan dan dikembangkan secara luas. Rumput laut adalah salah satu komoditas penting perikanan Indonesia. Rumput laut merupakan salah satu tumbuhan laut yang tergolong dalam makroalga bentik yang banyak hidup melekat di dasar perairan dan tergolong sebagai tumbuhan tingkat rendah yang termasuk dalam divisi Thallophyta. Ditinjau dari ukurannya makroalga terdiri dari jenis makroskopik (Astawan et al., 2004; Rajagukguk, 2006). Salah satu jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan dan dikembangkan di Indonesia adalah jenis Kappahycus alvarezii yang menghasilkan karaginan. Karaginan banyak digunakan pada industri makanan, farmasi, dan kosmetik sebagai bahan pembuatan gel, pengental, dan penstabil (Asnawi, 2008). Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali yang dilanjutkan dengan pemisahan karaginan dengan pelarutnya. Jenis pelarut alkali yang digunakan diantaranya adalah NaOH. Penggunaan larutan alkali dalam proses ekstraksi membantu ekstraksi menjadi lebih sempurna. 1
Departemen Perikanan, FIKP Universitas Hasanuddin PUI-P2RL Universitas Hasanuddin
2
Metusalach ( ) Email:
[email protected]
Selain itu, juga membantu proses pemuaian sel sehingga karaginan akan mudah keluar dari dalam jaringan saat diekstraksi. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang dalam ekstraksi karaginan K. alvarezii maka semakin tinggi rendemen dan kadar abu, dan semakin kecil kadar air (Yasita & Intan, 2010). Penambahan dilakukan hingga diperoleh pH 9,6. Semakin tinggi pH yang digunakan, maka pembentukan gel dan viskositasnya akan semakin baik. Potensi pembentukan gel dan viskositas larutan karaginan akan menurun dengan menurunnya pH (Angka, 2000). Distantina & Dyartanti (2007) mempelajari beberapa variabel ekstraksi rumput laut K. alvarezii yang telah dipucatkan, yaitu rasio rumput lautpelarut dan konsentrasi pelarut NaOH terhadap parameter dalam peristiwa perpindahan massa proses ekstraksi. Dijelaskan bahwa konsentrasi pelarut NaOH dan rasio volume pelarut terhadap berat rumput laut tidak mempengaruhi kecepatan ekstraksi, tetapi mempengaruhi rendemen karaginan. Yasita & intan (2010) menyatakan jenis pengendap juga berpengaruh terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan. Rendemen yang dihasilkan dengan pengendap jenis etanol lebih besar dibanding pengendap jenis isopropyl alkohol (IPA). Hal ini disebabkan karena etanol memiliki rantai carbon (C) lebih pendek dibandingkan dengan IPA sehingga etanol lebih baik dalam menjendalkan karaginan dan menghasilkan rendemen yang lebih besar. Etanol juga lebih mudah didapatkan serta harganya yang cenderung lebih murah dibandingkan IPA. Penelitian yang berkaitan dengan proses ekstraksi karaginan dari rumput laut K. alvarezii dan karakte-
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 ristik karaginan yang dihasilkan telah dilakukan (Bawa et al., 2007, Refilda et al., 2009, Selvanda, 2013). Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan dalam ekstraksi karaginan, semakin tinggi rendemen yang dihasilkan (Yasita & Intan, 2010). Rendemen tertinggi (39,71%) diperoleh pada konsentrasi NaOH 0,3%. Penggunaan KOH 6% menghasilkan rendemen sebesar 57,04% (Suryaningrum et al., 2003), dengan KOH 12% menghasilkan rendemen 29,3% (Basmal et al., 2003). Distantina et al., (2008) mempelajari pengaruh konsentrasi etanol pada tahap presipitasi karaginan dari K. alvarezii. Kondisi optimum presipitasi pada penelitian tersebut dicapai jika digunakan koagulan etanol 90%:filtrat = 2,5 dengan waktu presipitasi 30 menit menghasilkan rendemen 37,02%−44,43%, sedangkan Yasita & Intan (2010) menggunakan IPA dengan konsentrasi 0,3% menghasilkan rendemen karaginan sebesar 16,76%. Dari berbagai penelitian tersebut di atas nampak bahwa terdapat variasi yang besar atas hasil yang diperoleh, bahkan ada yang kontradiksi, baik dalam hal penggunaan pelarut pengekstrak maupun penjendal. Untuk mengurangi variasi hasil yang diperoleh, maka dalam penelitian ini digunakan hanya satu konsentrasi NaOH (I N) dibandingkan dengan
dua penjendal alkohol (IPA dan etanol) untuk rasio rumput laut dengan pelarut pengekstrak 1:15, 1:30 dan 1:45. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penjendal Isopropil Alkohol (IPA) dan etanol terhadap karaginan dan sifat-sifatnya yang diekstraksi dari rumput laut K. alvarezii. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi pada pengoptimalan pengolahan K. alvarezii untuk menghasilkan karaginan dengan mutu yang baik.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2014, di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Penentuan kualitas karaginan dilakukan di Laboratorium Uji Mutu Rumput Laut PT. Bantimurung Indah Maros dan di Laboratorium Nutrisi, Fakultas Peternakan Unhas. Bahan baku utama adalah rumput laut kering jenis Kappaphycus alvarezii pada umur panen 45 hari, dicuci bersih dengan air laut, dikeringkan secara alami sampai kadar air ±32%.
Gambar 1. Alur proses pengolahan Kappaphycus alvarezii hingga dihasilkan tepung karaginan.
Bahan kimia yang digunakan dalam ekstraksi karaginan adalah NaOH, etanol, dan IPA.
Fisika kimia karaginan Kappaphycus alvarezii .....
Proses ekstraksi (Gambar 1) diawali dengan pencucian rumput laut jenis K. alvarezii dengan umur
133
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 panen 45 hari yang diperoleh dari Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Rumput laut tersebut dicuci untuk menghilangkan pasir, garam serta kotoran lainnya kemudian dijemur di bawah sinar Matahari hingga kadar airnya ±32%. Rumput laut kering lalu dipotong-potong 0,5-1 cm agar pada proses perendaman dapat terendam secara merata dan dengan potongan tersebut larutan perendam dapat meresap lebih cepat ke dalam rumput laut. Larutan NaOH 1 N, dibuat dengan menimbang sebanyak 40 g NaOH kristal kemudian dilarutkan dengan akuades hingga volume larutan mencapai 1000 ml. Sebanyak 20 g rumput laut direndam menggunakan larutan NaOH 1 N, selama 24 jam. Selama perendaman, wadah ditutup rapat untuk menghindari penguapan pelarut. Rumput laut kemudian disaring lalu dibilas menggunakan air hingga pHnya netral. Rumput laut kemudian dimasukkan ke dalam ekstraktor dan diekstraksi pada suhu 90±5⁰C menggunakan pengekstrak NaOH 1 N. Perbandingan bahan baku dengan pelarut 1:45, 1:30 dan 1:15. Ektraksi dilakukan selama dua jam. Selama ekstraksi, pengadukan dilakukan agar panas merata dan dilakukan penambahan aquades panas agar volume pengekstrak tetap seperti volume awal. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain saring ukuran 160 mesh. Proses penyaringan dilakukan dalam keadaan panas karena apabila dibiarkan dingin akan terjadi pembentukan gel sehingga tidak dapat melewati saringan. Filtrat hasil penyaringan kemudian diturunkan pHnya hingga 8–9 dengan menggunakan larutan HCL. Filtrat yang pH-nya sudah diturunkan dituang ke dalam penjendal etanol atau IPA dengan perbandingan 1:2 dan diaduk-aduk kemudian dibiarkan selama 15 menit di dalam lemari pendingin agar pembentukan gel cepat terjadi. Karaginan yang terpresipitasi disaring menggunakan kain saring dengan ukuran 120 mesh. Setelah itu disimpan di wadah lalu dikeringkan pada suhu kamar. Sebelum dimasukkan ke plastik klip, terlebih dahulu dikeringkan lagi dalam oven pada suhu 55oC, untuk mendapatkan kadar air yang lebih rendah, lalu hasilnya ditimbang. Karakteristik karaginan yang dihasilkan dianalisa menggunakan pendekatan persen rendemen, kadar air, viskositas, kekuatan gel, kadar abu, dan kadar sulfat. Rendemen (AOAC, 1990) Rendemen karaginan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut yang diekstraksi.
134
Kadar Air (AOAC,1990) Kadar air karaginan merupakan salah satu indikator mutu yang penting. Sebanyak 2,0 g karaginan ditimbang dengan menggunakan cawan porselin yang telah dikeringkan selama satu jam pada suhu 105oC untuk mendapatkan cawan yang betul-betul kering. Cawan berisi karaginan kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105oC selama empat jam, atau sampai diperoleh berat konstan. Jika A adalah bobot contoh awal dan B adalah bobot contoh setelah dikeringkan, maka:
Viskositas (FMC Corp, 1977) Viskositas adalah besarnya tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Satuan dari viskositas adalah poise (1 poise = 100 cP). Makin tinggi viskositas menandakan makin besarnya tahanan cairan yang bersangkutan. Viskositas diukur dengan menggunakan alat Viscometer Brookfield. Larutan karaginan dengan konsentrasi 1,5% (b/b) dipanaskan di atas hot plate sambil diaduk secara teratur sampai suhu mencapai 80oC. Viscometer dihidupkan dan viskositas larutan diukur ketika suhu larutan mencapai 75oC. Nilai viskositas diketahui dengan pembacaan viskometer pada skala 1-100. Pembacaan dilakukan setelah putaran penuh 8 kali untuk spindel No. 2 dengan rpm 60. Hasil pembacaan digandakan lima kali untuk spindel No. 2 bila dijadikan centipoises (cP). Kekuatan Gel (FMC Corp, 1977) Karaginan sebanyak 3,0 g dilarutkan dengan 197 g air. Berat semua larutan ditetapkan menjadi 200 g sehingga konsentrasi larutan menjadi 1,5% (b/b). Larutan lalu dipanaskan di atas hot plate dengan pengadukan secara teratur sampai suhu 80oC atau suhu gelatinasi yaitu suhu saat larutan polisakarida menjadi lebih kental karena kemampuan mengikat air. Larutan panas dimasukkan ke dalam cetakan berdiameter 4,0 cm dan dibiarkan pada suhu 10oC (suhu pendingin) selama ±12 jam. Setelah membentuk gel, kekuatannya diukur dengan alat TX texture analyzer. Kadar abu (AOAC,1990) Sebanyak 2,0 g karaginan (B) dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot keringnya, kemudian diabukan dalam tanur pada suhu 550oC sampai bebas dari arang. Setelah itu sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot akhir (A).
Husna, dkk.
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 Kadar Abu Tak Larut Asam (AOAC, 1990) Karaginan yang telah diabukan dididihkan dengan 25 ml HCl 10% selama lima menit. Bahan-bahan yang tidak terlarut disaring dengan menggunakan kertas saring tidak berabu. Kertas saring lalu diabukan dalam tanur pada suhu 550oC, lalu didinginkan dalam desikator untuk selanjutnya ditimbang. Gambar 2. Rumput laut Kappaphycus alvarezii kering Ket.: KATLA= Kadar Abu Tak Larut Asam
Kadar sulfat (FMC Corp. 1977) Prinsip yang dipergunakan adalah gugus sulfat yang telah ditimbang, diendapkan sebagai BaSO4. Sampel ditimbang sebanyak 1,0 g dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer yang ditambahkan 50 ml HCl 0,2 N kemudian direfluks sampai mendidih selama satu jam. Larutan kemudian ditambahkan 25 ml H2O2 10% lalu direfluks kembali selama lima jam. Selanjutnya ditambahkan 10 ml larutan BaCl2 10% dan kembali dipanaskan selama dua jam. Endapan yang terbentuk disaring dengan kertas saring tak berabu dan dicuci dengan akuades mendidih hingga bebas klorida. Kertas saring dikeringkan ke dalam oven pengering, kemudian diabukan pada suhu 1.000oC sampai diperoleh abu berwarna putih. Abu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Perhitungan kadar sulfat adalah sebagai berikut:
Ket.: P = Bobot endapan BaSO4
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan dua variabel, yaitu presipitan (IPA dan etanol dan rasio pengekstraksi terhadap rumput laut (1:45, 1:30, dan 1:15). Temperatur pengekstrakan yang digunakan adalah 90±5oC dengan waktu ekstraksi 2 jam. Setiap perlakuan diulangi sebanyak tiga kali.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Rumput laut K. alvarezii merupakan salah satu spesies penghasil karaginan dari kelas Rhodophyceae. Rumput laut ini dalam keadaan kering berwarna merah agak kecoklatan dan terdapat bercak-bercak putih (Gambar 2). Warna merah disebabkan oleh adanya kandungan pigmen fikosianin dan fikoeritrin yang dapat membentuk warna merah, sedangkan bercak putih timbul karena garam-garam yang terbawa pada saat pemanenan dan tidak semuanya dapat dihilangkan dengan proses pencucian.
Fisika kimia karaginan Kappaphycus alvarezii .....
Rendemen karaginan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berat karaginan yang terkandung dalam rumput laut kering dan dinyatakan dalam persen. Rendemen dan sifat karaginan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain jenis rumput laut, musim dan letak panen, metode ekstraksi, metode presipitasi, metode pengeringan, dan metode fraksinasi (Mtolera & Buriyo, 2004; Pelegrin et al., 2006). Hal ini menunjukkan komposisi karaginan akan berbeda di setiap waktu panen dan metode pengolahannya. Dalam penelitian ini, perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui persentase karaginan yang dihasilkan dari rumput laut kering berdasarkan proses ekstraksi menggunakan pelarut NaOH dengan penjendal (presipitan) IPA dan etanol.
Gambar 3. Rendemen (%) karaginan hasil ekstraksi dengan pelarut NaOH dengan penjendal IPA dan etanol. (Ket. a dan b menunjukkan berbeda nyata, juga x dan y dan simbol * dan Ұ).
Rendemen karaginan yang dihasilkan dengan penjendal IPA dalam penelitian ini berkisar antara 28,28%−32,85%, sedangkan pada etanol berkisar antara 28,3%−50,6% (Gambar 3). Hasil rendemen tertinggi dihasilkan pada rasio 1:45 dengan penjendal etanol. Perbedaan rasio rumput laut-pelarut tidak memberikan pengaruh nyata (>0,05) terhadap rendemen karaginan pada penggunaan penjendal IPA. Akan tetapi pada penjendal etanol, perbedaan rasio memberikan pengaruh nyata (<0,05). Berdasarkan uji Tukey, penjendal etanol terhadap rendemen dari rasio 1:45 memiliki perbedaan yang signifikan dengan 1:15 dan 1:30 (<0,05). Rendemen dari rasio 1:30 tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan 1:15 (>0,05). Persamaan regresi sederhana untuk memprediksi rendemen pada penggunaan penjendal IPA yaitu y= 34,61-100,19x
135
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 dengan nilai R= 0,577, sedangkan nilai koefisien determinan R2 sebesar 0,333. Hubungan antara rendemen dengan rasio rumput laut terhadap pelarut pada penjendal dengan etanol dinyatakan dengan persamaan yaitu y=16,92 + 555,89x dengan nilai R=0,901, sedangkan nilai koefisien determinan R2 sebesar 0,812 artinya sebesar 81% dari rendemen ditentukan oleh penggunaan variabel rasio rumput laut terhadap pelarut. Ada kecenderungan bahwa semakin rendah rasio yang digunakan maka semakin tinggi rendemen yang didapatkan. Volume NaOH yang semakin banyak selama proses alkalisasi berlangsung menyebabkan kemampuan NaOH dalam mengekstrak semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin banyak larutan alkali yang berkontak dengan rumput laut maka semakin banyak karaginan yang terlepas dari sel dan dinding sel dan menyebabkan rendemen karaginan tinggi. Hasil analisis ragam (Anova) menunjukkan bahwa rendemen dipengaruhi secara nyata (<0,05) oleh penjendal dan rasio rumput laut terhadap volume larutan pengekstrak. Terlihat bahwa ada interaksi antara penjendal dengan rasio dalam memberikan pengaruh terhadap rendemen karaginan. Uji Tukey menunjukkan bahwa rasio 1:45, 1:30 dan 1:15 tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hasil uji regresi menghasilkan persamaan regresi sederhana yang dapat digunakan untuk menduga rendemen karaginan berdasarkan pengaruh penjendal-rasio yaitu y=16,21+6,38X1+ 227,85X2 dengan Nilai R=0,60 menunjukkan bahwa antara penjendal-rasio memiliki korelasi yang cukup kuat dengan rendemen karaginan yang dihasilkan. Nilai koefisien determinan (R2) sebesar 0,36 yang artinya sebesar 36% dari rendemen ditentukan oleh pengaruh penggunaan penjendal-rasio. Hasil uji t memperlihatkan bahwa rendemen karaginan yang dihasilkan dari penggunaan penjendal IPA dan etanol tidak berbeda nyata (t hit< t tabel, α=0,05) pada setiap rasio yang digunakan. Jika dibandingkan dengan penjendal etanol terlihat bahwa pada rasio pelarut terhadap rumput laut yang lebih besar maka kemampuan etanol untuk menjendalkan lebih besar dibandingkan dengan kemampuan menjendalkan dari IPA. Di sisi lain nampak bahwa tidak ada perubahan rendemen yang dihasilkan dari penjendal IPA dengan meningkatnya rasio pelarut NaOH terhadap berat rumput laut yang diekstraksi. Rendemen yang didapatkan pada penggunaan pelarut NaOH dengan penjendal IPA dan penjendal etanol ini memenuhi nilai standar minimum rendemen yang ditetapkan oleh FAO.Kadar Air Kadar air dalah salah satu faktor penting yang harus diperhatikan karena akan berpengaruh terhadap kenampakan dan tekstur suatu produk. Kadar air
136
yang tinggi perlu dikurangi agar terhindar dari mikroba, kapang dan serangga sehingga memperpanjang masa simpan produk (Sudiaman dalam Andriani, 2006). Kadar air karaginan relatif tidak mengalami perubahan meskipun terdapat perbedaan rasio rumput laut terhadap pelarut yang digunakan (Gambar 4). Kadar air yang didapatkan pada penelitian ini berkisar antara 15,67%−16,48% pada IPA sedangkan etanol berkisar antara 18,03%−19,28%. Kadar air karaginan yang dihasilkan dari penggunaan penjendal etanol lebih rendah dibandingkan dengan penjendal IPA.
Gambar 4. Kadar Air (%) karaginan hasil ekstraksi dengan pelarut NaOH dengan penjendal IPA dan etanol. (Ket. a dan b menunjukkan berbeda nyata, juga x dan y dan simbol * dan Ұ).
Uji Anova menunjukkan kadar air karaginan yang dihasilkan pada penggunaan penjendal IPA tidak dipengaruhi secara nyata (>0,05) oleh rasio rumput laut terhadap pelarut, sedangkan pada penjendal etanol, rasio rumput laut terhadap pelarut tidak memberikan pengaruh nyata (>0,05). Dari uji Tukey tampak bahwa kadar air karaginan antara rasio 1:45 1:30 dan 1:15 tidak memiliki perbedaan yang signifikan (p>0,05). Pada penggunaan penjendal IPA. Persamaan regresi sederhana kadar air berdasarkan pengaruh penjendal IPA-rasio yaitu y=17,523-31,333x, sedangkan nilai R=0,768 menunjukkan bahwa rasio penjendal IPA memiliki korelasi kuat dengan kadar air karaginan. Nilai koefisien determinannya (R2) sebesar 0,590 artinya sebesar 59% kadar air di tentukan oleh rasio rumput laut terhadap pelarut pada penggunaan penjendal penjendal IPA. Pada penggunaan penjendal etanol, hubungan antara kadar air karaginan dengan dapat digambarkan dengan persamaan yaitu y=17,629+28,385x, nilai R=0,544 memiliki korelasi yang tidak kuat dengan kadar air. Nilai koefisien determinannya R2 sebesar 0,296 yang artinya sebesar 26,9% dari kadar air ditentukan oleh pengaruh rasio rumput laut terhadap pelarut. Kadar air ini masih lebih tinggi dari kadar air standar karaginan yang ditetapkan oleh FAO yaitu maksimum 12%. Tingginya kadar air pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh pengeringan karaginan yang kurang maksimal. Akibatnya kadar
Husna, dkk.
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 air yang diuji pada karaginan hasil ekstraksi masih relatif tinggi. Kemungkinan lain adalah penyimpanan yang agak lama sebelum analisa kadar air memungkinkan karaginan menyerap air dari udara, karena sifat karaginan yang hidrofilik sehingga mudah menyerap dan larut dalam air. Semakin lama karaginan disimpan, maka semakin banyak pula uap air yang diserap (Ulfah, 2009). Analisis ragam (Anova) menunjukkan bahwa kadar air dipengaruhi secara nyata oleh penjendal (<0,05) tetapi tidak dipengaruhi oleh rasio antara penjendal dengan rasio pengaruh interaksi terhadap kadar air karaginan (p<0,05). Berdasarkan uji Tukey, rasio 1:45, 1:30 dan 1:15 tidak memiliki perbedaan signifikan terhadap kadar air. Berdasarkan hasil uji regresi menghasilkan persamaan regresi sederhana yang dapat digunakan untuk menduga kadar air karaginan berdasarkan pengaruh penjendal-rasio yaitu y=14,08+2,30 X10,09 X2, nilai R=0,822 menunjukkan bahwa antara penjendal-rasio memiliki korelasi yang kuat dengan kadar air karaginan. Nilai koefisien determinan (R2) sebesar 0,675 menandakan 67,5% dari kadar air ditentukan oleh pengaruh penggunaan penjendalrasio. Berdasarkan hasil uji t terlihat bahwa penjendal IPA dan etanol menghasilkan karaginan dengan kadar air yang berbeda nyata (thit< t tabel, α=0,05) pada setiap rasio yang digunakan.
Kadar Abu Abu dalam bahan pangan adalah sisa bahan organik yang berupa mineral kering dari bahan yang telah dipanaskan hingga 600 0C. Beberapa mineral tidak terbakar meskipun dipanaskan hingga 600 0C diantaranya adalah garam-garam Na, K, Ca dan Mg yang dihitung sebagai abu. Kandungan abu dan komposisinya tergantung macam bahan dan cara pembuatannya (Sukri, 2006). Kadar abu yang terkandung dalam karaginan pada penelitian ini berkisar 16,38%−28,78% pada penjendal IPA, sedangkan pada penggunaan penjendal etanol relatif tidak mengalami perubahan yang berkisar 28,78−26,29% (Gambar 5).
Gambar 5. Kadar Abu (%) karaginan hasil ekstraksi dengan pelarut NaOH dengan penjendal IPA dan etanol. (Ket. a dan b menunjukkan berbeda nyata, juga x dan y dan simbol * dan Ұ).
Fisika kimia karaginan Kappaphycus alvarezii .....
Kadar abu karaginan yang tinggi terdapat pada penjendal etanol jika dibandingkan dengan penjendal IPA. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin rendah rasio karaginan maka semakin banyak kadar abu karaginan yang dihasilkan pada penggunaan penjendal etanol. Uji Anova kadar abu karaginan yang dihasilkan pada penggunaan penjendal IPA memperlihatkan bahwa perbedaan rasio rumput laut-pelarut tidak memberikan pengaruh nyata (>0,05) terhadap kadar abu karaginan. Sama halnya penggunaan penjendal etanol, rasio rumput laut-pelarut juga tidak memberikan pengaruh nyata. Pada persamaan regresi sederhana kadar abu berdasarkan pengaruh penjendal rasio rumput laut-pelarut pada penggunaan penjendal IPA yaitu y=19,67-55,36, dan nilai R=0,262 menunjukkan bahwa rasio rumput lautpelarut tidak memiliki korelasi dengan kadar abu karaginan. Nilai koefisien determinan (R2) sebesar 0,068 artinya hanya 6,8% dari kadar abu ditentukan oleh rasio rumput laut-pelarut. Pada penggunaan penjendal etanol, persamaan regresi sederhana untuk prediksi kadar abu karaginan berdasarkan rasio rumput laut-pelarut yaitu y=29,37—54,05x. Dengan nilai R=0,433, berarti memiliki korelasi yang tidak kuat dengan kadar abu. Nilai koefisien determinan R2 sebesar 0,187, artinya sebesar 18,7% kadar abu ditentukan oleh rasio rumput laut-pelarut pada penggunaan pengaruh penjendal etanol. Kadar abu karaginan yang dijendalkan dengan IPA atau etanol memenuhi standar FAO dan ECC. Ini menunjukkan bahwa pencucian terhadap rumput laut yang digunakan dan terhadap serat karaginan yang dihasilkan telah dilakukan dengan baik. Pencucian rumput laut sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kadar abu karaginan yang dihasilkan, sedangkan kadar abu yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh jenis pengendap yang digunakan. Kandungan mineral total dalam bahan pangan dapat dianggap sebagai kandungan abu yang merupakan residu anorganik yang tersisa setelah bahan-bahan organik terbakar habis. Semakin banyak kandungan mineralnya, maka kadar abu menjadi tinggi begitu juga sebaliknya. Rumput laut termasuk bahan pangan yang mengandung mineral yang cukup tinggi seperti Na, Ca, K, Cl, Fc, S dan trace element terutama iodium (Sukri, 2006). Perlakuan dengan konsentrasi NaOH 1 N memberikan hasil kadar abu yang lebih baik, abu yang terbentuk berasal dari garam dan mineral yang menempel pada rumput laut yaitu Na yang terkandung pada NaOH. Kandungan garam dan mineral lain yang menempel pada rumput laut seperti Mg dan Ca. Hasil analisis ragam (Anova) menunjukkan bahwa kadar abu dipengaruhi secara nyata (<0,05) oleh jenis penjendal, sedangkan rasio rumput laut terhadap volume pengekstrak, tidak berpengaruh
137
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 nyata (>0,05). Berdasarkan hasil uji Tukey menunjukkan bahwa rasio 1:45, 1:30 dan 1:15 tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Hasil uji regresi menghasilkan persamaan regresi sederhana yang dapat digunakan untuk menduga kadar abu karaginan berdasarkan pengaruh penjendal-rasio yaitu y=5,22+ 9,76X1+ 72,53X2. Nilai R=0,882 menunjukkan bahwa antara penjendal−rasio memiliki korelasi yang kuat terhadap kadar abu karaginan. Nilai koefisien determinannya (R2) 0,778 artinya sebesar 77,8% kadar abu dan ditentukan oleh pengaruh terhadap penggunaan penjendal-rasio. Hasil uji t menunjukkan bahwa kadar abu karaginan yang dihasilkan dari penggunaan penjendal IPA dan etanol berbeda nyata (thit
Analisis regresi sederhana terhadap kadar abu tak larut asam pada penjendal IPA, menghasilkan persamaan yaitu y=0,19-1,65x dengan nilai R=0,612 menunjukkan bahwa rasio rumput laut-pelarut berpengaruh cukup kuat terhadap nilai kadar abu tak larut asam yang dihasilkan. Nilai koefisien determinan R2=0,374 yang artinya penggunaan rasio rumput laut-pelarut memiliki pengaruh yang rendah (37,4%) terhadap kadar abu tak larut asam karaginan. Sementara kadar abu tak larut asam pada penggunaan penjendal etanol diperoleh persamaan regresi yaitu y=0,23-1,74x dengan nilai R=0,542 memiliki korelasi yang tidak kuat terhadap kadar abu tak larut asam karaginan. Koefisien determinan R2=0,293 menjelaskan bahwa penggunaan rasio rumput laut terhadap pelarut hanya berpengaruh 29,3% terhadap kadar abu tak larut dari asam karaginan yang dihasilkan.
Kadar Abu Tak Larut Asam
Hasil analisis ragam (Anova) menunjukkan bahwa kadar abu tak larut asam tidak di pengaruhi oleh penjendal dan rasio rumput laut terhadap pelarut (>0,05) dan tidak ada pengaruh interaksi antara penjendal dengan rasio terhadap kadar abu tak larut asam yang dihasilkan. Berdasarkan uji Tukey 1:30 dan 1:15 tidak memiliki nilai perbedaan yang signifikan tetapi 1:15 dan 1:45 memiliki perbedaan yang signifikan, sedangkan 1:30 dan 1:45 tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
Kadar abu tidak larut asam adalah garam-garam klorida yang tidak larut asam yang sebagian adalah garam-garam logam berat dan silika.
Gambar 6. Kadar abu tak larut asam (%) karaginan hasil ekstraksi dengan pelarut NaOH dengan penjendal IPA dan etanol. (Ket. a dan b menunjukkan berbeda nyata, juga x dan y dan simbol * dan Ұ).
Kadar abu tidak larut asam tinggi menunjukkan adanya kontaminasi residu mineral atau logam yang tidak dapat larut dalam asam pada suatu produk seperti silika. Kadar abu tidak larut asam merupakan salah satu kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan (Basmal et al., 2003). Kadar abu tak larut asam karaginan yang dihasilkan dengan penggunaan penjendal IPA berkisar antara 0,15%-0,08%, sedangkan penjendal etanol berkisar antara 0,22%-0,14%. Hasil kadar abu tak larut asam tertinggi terjadi dengan rasio 1:45 pada penjendal etanol (Gambar 6). Hasil Anova kadar abu tak larut asam karaginan yang dihasilkan dari perlakuan penggunaan penjendal IPA menunjukkan bahwa perbedaan rasio rumpu laut-pelarut tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap kadar abu tak larut asam karaginan (>0,05). Pada penggunaan penjendal etanol, perbedaan rasio rumput laut-pelarut juga tidak memberikan pengaruh secara nyata (>0,05).
138
Hubungan kadar abu tak larut asam karaginan yang dihasilkan dengan penjendal dan rasio rumput laut terhadap pelarut digambarkan dengan persamaan yaitu y=0,012+0,049X1+1,705X2. Nilai R=0,662 menunjukkan bahwa perbedaan penjendal-rasio terhadap pelarut cukup kuat terhadap nilai kadar abu tak larut asam karaginan yang dihasilkan. Nilai koefisien determinan R2=0,438 mengindikasikan bahwa 43,8% perubahan nilai kadar abu tak larut asam karaginan yang dihasilkan disebabkan oleh faktor penggunaan penjendal dan rasio rumput laut terhadap pelarut. Hasil uji t menjelaskan bahwa kadar abu tak larut asam karaginan yang dihasilkan dari penggunaan penjendal IPA dan etanol tidak berbeda nyata (thit
Husna, dkk.
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 rumput laut. Hasil ekstraksi rumput laut bisa dibedakan berdasarkan kandungan sulfatnya (Gambar 7).
Gambar 7. Kadar sulfat (%) karaginan hasil ekstraksi dengan pelarut NaOH dengan penjendal IPA dan etanol. (Ket. a dan b menunjukkan berbeda nyata, juga x dan y dan simbol * dan Ұ).
Kadar sulfat karaginan yang dihasilkan dalam penelitian dengan penjendal IPA berkisar antara 5,77% −5,88%, kadar sulfat dengan penjendal etanol yang berkisar antara 4,52%−4,53%. Kadar sulfat karaginan tertinggi ditemukan pada rasio 1:30 dengan penjendal IPA. Hasil Anova kadar sulfat karaginan yang dihasilkan pada penggunaan penjendal IPA memperlihatkan bahwa perbedaan rasio rumput laut-pelarut memberikan pengaruh secara nyata (<0,05) terhadap kadar sulfat karaginan yang dihasilkan. Pada penjendal etanol, perbedaan rasio rumput lautpelarut tidak memberikan pengaruh secara nyata (>0,05) terhadap kadar sulfat yang dihasilkan. Uji Tukey menjelaskan bahwa penjendal IPA pada kadar sulfat dari rasio 1:45 dan 130 tidak memiliki perbedaan yang nyata, tetapi rasio 1:15 memiliki perbedaan yang nyata dengan 1:30 dan 1:45. Berdasarkan analisis regresi terhadap kadar sulfat yang dihasilkan dengan penggunaan rasio rumput laut-pelarut diperoleh persamaan regresi sederhana pada penjendal IPA yaitu y= 6,15-13,91x. Nilai R sebesar 0,802 menunjukkan bahwa rasio rumput laut-pelarut berhubungan erat dengan kadar sulfat karaginan yang dihasilkan. Nilai R2 memperlihatkan bahwa 64,3% perubahan kadar sulfat karaginan dipengaruhi oleh penggunaan rasio rumput lautpelarut pada penggunaan penjendal IPA. Sementara pada penggunaan penjendal etanol, hubungan rasio rumput laut-pelarut dengan kadar sulfat karaginan dinyatakan dengan persamaan yaitu y= 4,52+0,20x dengan nilai R sebesar 0,020 dan R2=0,000. Nilai R dan R2 tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kadar sulfat dengan rasio rumput laut-pelarut pada penggunaan penjendal etanol. Hasil analisis ragam (Anova) menunjukkan bahwa kadar sulfat dipengaruhi secara nyata (<0,05) oleh penjendal dan rasio rumput laut terhadap volume larutan pengekstrak. Berdasarkan uji Tukey, 1:45, 1:30 dan 1:15 tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Berdasarkan analisis regresi sederhana terhadap kadar sulfat karaginan dengan menggunakan penjendal-rasio rumput laut terhadap pelarut diperoleh persamaan yaitu y=6,61-1,11X1+3,91
Fisika kimia karaginan Kappaphycus alvarezii .....
X2. Nilai R=0,926 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara kadar sulfat karaginan dengan jenis penjendal dan rasio rumput laut-pelarut. Koefisien determinan (R2) 0,857 menunjukkan bahwa 85,7% perubahan kadar sulfat karaginan ditentukan oleh penggunaan jenis penjendal dan rasio rumput laut terhadap volume pengekstrak. Uji t terlihat bahwa penjendal IPA dan etanol menghasilkan karaginan dengan kadar sulfat yang berbeda nyata (thit> t tabel) pada rasio 1:45 dan 1:30 tetapi pada rasio 1:15 tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan kadar sulfat akan menyebabkan perbedaan sifat-sifat karaginan yang bersangkutan. Menurut Campo et al., (2009) kandungan sulfat yang tinggi menyebabkan lebih banyak gaya tolak menolak antara gugus sulfat yang bermuatan negatif, sehingga rantai polimer kaku dan tertarik kencang, sehingga akan menyebabkan peningkatan viskositas. Gugus sulfat pada karaginan memberikan pengaruh terhadap sifat-sifat kekuatan gel dan kekentalan.
Viskositas Pengujian viskositas dilakukan untuk mengetahui tingkat kekentalan karaginan sebagai konsentrasi dan suhu tertentu (Wenno, 2009). Viskositas karaginan disebabkan oleh adanya daya tolak menolak antar gugus sulfat yang bermuatan negatif di sepanjang rantai polimernya, sehingga menyebabkan rantai polimer kaku dan kencang.
Gambar 8. Viskositas karaginan hasil ekstraksi dengan pelarut NaOH dengan penjendal IPA dan Etanol. (Ket. a dan b menunjukkan berbeda nyata, juga x dan y dan simbol * dan Ұ).
Sifat hidrofilik menyebabkan molekul tersebut dikelilingi oleh air yang tidak bergerak. Hal inilah yang menentukan nilai kekentalan karaginan (Guiseley et al. dalam Sukri, 2006). Hasil pengukuran viskositas karaginan yang dijendalkan dengan IPA berkisar antara 41,67-83,33 cPs, sedangkan viskositas karaginan dengan penjendal etanol berkisar 41,67-50 cPs (Gambar 8). Viskositas karaginan tertinggi pada penelitian ini ditemukan pada rasio 1:45 dengan penjendal IPA. Hasil Anova terhadap viskositas, karaginan tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata (>0,05) terhadap
139
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 viskositas kataginan dengan penjendal IPA dan etanol. Viskositas berdasarkan pengaruh rasio rumput laut terhadap pelarut pada penjendal IPA diprediksi dengan persamaan y= 90,06-865,38x, dengan nilai R=0,510 yang menunjukkan rasio rumput lautpelarut berkorelasi lemah dengan viskositas karaginan yang dihasilkan. Nilai koefisien determinan (R2) sebesar 0,260 yang artinya hanya 26% viskositas ditentukan oleh rasio rumput laut-pelarut pada penggunaan penjendal IPA. Persamaan regresi sederhana viskositas berdasarkan pengaruh rasio rumput laut-pelarut pada penjendal etanol adalah y= 46,79-64,10x dengan nilai R=0,048. Hal ini menunjukkan bahwa rasio rumput laut terhadap pelarut tidak memiliki pengaruh terhadap viskositas karaginan. Nilai viskositas yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO dalam Hakim et al. (2011) yaitu minimal 5 cP. Keberadaan garam-garam yang terlarut dalam karaginan akan menurunkan muatan sepanjang rantai polimer. Penurunan muatan ini menyebabkan penurunan gaya tolakan (repulsion) antara gugusgugus sulfat, sehingga sifat hidrofilik polimer semakin lemah dan menyebabkan viskositas larutan menurun. Viskositas larutan karaginan akan menurun seiring dengan peningkatan suhu sehingga terjadi depolimerasisasi yang kemudian dilanjutkan dengan degradasi karaginan. Hasil menunjukkan bahwa viskositas tidak dipengaruhi (>0,05) oleh jenis penjendal dan rasio rumput laut terhadap volume pengekstrak. Viskositas karaginan berdasarkan pengaruh penjendal-rasio dapat diduga dengan persamaan y=54,006-13,89X1 + 496,79X2. Nilai R =0,405 menunjukkan penjendalrasio hanya berkorelasi lemah dengan viskositas. Nilai koefisien determinan (R2) sebesar 0,164 menunjukkan bahwa hanya 16,4% perubahan nilai viskositas dipengaruhi oleh penggunaan penjendalrasio rumput laut terhadap pelarut. Hasil uji t menunjukkan bahwa penjendal IPA dan etanol menghasilkan karaginan dengan viskositas yang berbeda nyata (thit< t tabel,α=0,05) pada setiap rasio yang digunakan.
Kekuatan Gel Karaginan memiliki kemampuan membentuk gel pada saat larutan panas menjadi dingin. Proses pembentukan gel bersifat thermoreversible, artinya gel dapat mencair pada saat pemanasan dan membentuk gel kembali pada saat pendinginan (Gliksman, 1983; Imeson, 2000). Larutan karaginan yang dipanaskan dan kemudian didinginkan akan membentuk gel pada suhu 40oC-60oC, dan akan mencair kembali jika dipanaskan 5oC–20oC di atas titik cairnya (Imeson, 2000). Kekuatan gel
140
(Gambar 9) yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 55-143g/cm2. Hasil yang diperoleh masih lebih rendah dari standar yang ditetapkan oleh mutu karaginan komersial yaitu 685,50±13,4 g/cm2.
Gambar 9. Kekuatan gel karaginan hasil ekstraksi dengan pelarut NaOH dengan penjendal IPA dan Etanol. (Ket. a dan b menunjukkan berbeda nyata, juga x dan y dan simbol * dan Ұ).
Uji Anova untuk kekuatan gel karaginan yang dihasilkan pada penggunaan penjendal IPA memperlihatkan bahwa perbedaan rasio rumput lautpelarut memberikan pengaruh nyata (<0,05) terhadap kekuatan gel. Akan tetapi pada penggunaan penjendal etanol, rasio rumput laut-pelarut tidak memberikan pengaruh secara nyata (>0,05) terhadap kekuatan gel. Berdasarkan uji Tukey diperoleh bahwa kekuatan gel karaginan antara rasio 1:30 dan 1:15 berbeda nyata (p<0,05) pada penggunaan penjendal IPA. Persamaan regresi untuk menduga kekuatan gel berdasarkan pengaruh rasio rumput laut-pelarut pada penggunaan penjendal IPA yaitu y = 12,13 + 102,56X. Nilai koefisien korelasi R=0,732 menunjukkan bahwa rasio rumput laut-pelarut berhubungan cukup kuat dengan kekuatan gel yang dihasilkan. Nilai koefisien determinan R2 sebesar 0,535 berarti sebesar 53,5% perubahan nilai kekuatan gel karaginan yang dihasilkan dipengaruhi oleh rasio rumput laut-pelarut pada penggunaan penjendal IPA. Persamaan regresi untuk menduga kekuatan gel pada penggunaan penjendal etanol adalah y=133,46-64,10x dengan nilai R=0,050. Hal ini menunjukkan bahwa rasio rumput laut-pelarut tidak memiliki korelasi dengan kekuatan gel. Kekuatan gel yang diperoleh berbanding terbalik dengan nilai viskositas. Jika nilai viskositas tinggi maka kekuatan gel rendah, begitu pula sebaliknya. Hal ini diduga karena penggunaan NaOH pada proses ekstraksi, Na+ menyebabkan rendemen karaginan yang kental dengan kekuatan gel yang rendah (Rasyid dalam Alam, 2011). Tinggi rendahnya kekuatan gel dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi karaginan, temperature, tingkat dispersi, kandungan sulfat dan berat molekul karaginan. Menurut Pelegrin et al. (2006), perlakuan alkali pada ekstraksi karaginan menghasilkan kekuatan gel yang lemah (<50g/cm2).
Husna, dkk.
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 Untuk meningkatkan gel karaginan, rumput laut harus mendapatkan perlakuan alkali baik dalam alkali panas atau dingin. Konsentrasi alkali 6-8% pada perebusan rumput laut dapat meningkatkan kekuatan gel karaginan yang dihasilkan menjadi melebihi 1000 g/cm2 (Suryaningrum et al., 2003). Analisis ragam (Anova) menunjukkan bahwa kekuatan gel tidak dipengaruhi secara nyata (<0,05) oleh penjendal, maupun rasio. Tidak ada pengaruh interaksi (>0,05) antara penjendal-rasio terhadap kekuatan gel karaginan yang dihasilkan. Hasil uji regresi menghasilkan persamaan regresi sederhana yang dapat digunakan untuk menduga kekuatan gel karaginan berdasarkan pengaruh penjendal-rasio yaitu y=69,75+41,89X1-611,48X2. Nilai R=0,541 yang berarti antara penjendal-rasio memiliki korelasi yang tidak kuat terhadap kekuatan gel. Nilai koefisien determinan (R2) sebesar 0,292 berarti hanya 29,2% dari kekuatan gel ditentukan oleh pengaruh penggunaan penjendal-rasio. Uji t menunjukkan bahwa kekuatan gel yang dihasilkan penjendal IPA dan etanol berbeda nyata (t hit> t tabel ,α=0,05) dengan rasio 1:30. Namun rasio 1:45 dan 1:15 tidak berbeda nyata (thit< t tabel, α=0,05) terhadap rumput laut-pelarut.
KESIMPULAN DAN SARAN Penjendal isopropil alkohol (IPA) menghasilkan karaginan yang memiliki rendemen, kadar air, kadar abu, dan kadar abu tak larut asam yang lebih rendah, tetapi memiliki kadar sulfat, viskositas dan kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan dengan karaginan yang dihasilkan menggunakan penjendal etanol. Penjendal IPA dan etanol menghasilkan karaginan yang telah memenuhi standard FAO dan FCC (Nilai maksimum adalah 12), kecuali untuk kadar air yang masih lebih tinggi dari standar dan kadar sulfat lebih rendah dari standar.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ambo Tuwo dan Dr. Inayah Yasir atas saran dan tanggapannya terhadap naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA Alam, A. 2011. Kualitas Karaginan Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii di Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar. Skripsi. Konsentrasi Eksplorasi Sumber Daya Hayati Laut, Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin, Makassar. Andriani, D. 2006. Pengolahan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Menjadi Tepung ATC (Alkali Treated Cottonii) dengan Jenis dan Konsentrasi Larutan Alkali yang Berbeda Skripsi. Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanudddin, Makassar.
Fisika kimia karaginan Kappaphycus alvarezii .....
Angka, S.L. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Teknologi Bogor, Bogor. AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. 15th. Ed. Association of Official Analytical Chemists. AOAC Inc. Arlington, Virginia. Asnawi. 2008. Pengaruh Kondisi Presipitasi Terhadap Rendemen Sifat Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottoni, Surakarta. Astawan, M., T. Wresdiyati & S. Koswara. 2004. Pemanfaatan Iodium dan Serat Pangan dari Rumput Laut untuk Peningkatan Kecerdasan dan Pencegahan Penyakit Degenerative. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Basmal, J., Syarifuddin & W.F. Ma’ruf. 2003. Pengaruh Konsentrasi Larutan Potasium Hidroksida Terhadap Mutu Kappa-Karaginan yang Diekstraksi dari Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 9(5): 95–103. Bawa, I.G.A.G., P. Bawan & R.L. Ida. 2007. Penentuan pH Optimum Isolasi Karaginan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottoni. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran. Campo, V.L., D.F. Kawano, da Silva Jr., & D.B.I. Carvalho. 2009. Review Carrageenans: Biological Properties, Chemical Modifications and Structural Analysis. Carbohydrate Polymers, 77: 167–180. Distantina, S. & E.R. Dyartanti. 2007. Ekstraksi Karaginan dari Rumput laut Eucheuma cottonii menggunakan pelarut NaOH. Prosiding Seminar Nasonal Rekayasa Kimia dan Proses 2007. E-17. UNDIP, Semarang. Distantina, S., Y.C. Fadilah, Arto, Wiratni & M. Fahrurozzi. 2008. Efek Bahan Kimia pada Proses Pengolahan Eucheuma cottonii Terhadap Rendemen dan Sifat Gel Karaginan. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2008. UNDIP, Semarang. IO88-1IO88-5. FMC. 1977. Carrageenan. Marine Colloid Monograph Number One. Springfield New Jersey. USA: Food Marine Colloid (FMC) Corporation page. 23-29, New Jersey, USA. Glicksman, M. 1983. Food Hydrocolloids. CRS Pres inc Boca Raton, Florida. Hakim, A.R., S. Wibowo, F. Arifin & R. Peranginangin. 2011. Pengaruh perbandingan Air Pengekstrak, Suhu Presipitan dan Konsen-
141
Jurnal Rumput Laut Indonesia (2016) 1 (2): 132-142 trasi Kalium Klorida (KCL) Terhadap Mutu Karaginan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 6 (1). Imeson, A. 2000. Carrageenan. In: Handbook of Hydrocolloids (Phililps G.O & P.A. Williams, Eds). Wood head Publishing. England, pp. 87102. Mtolera, M.S. & A.S. Buriyo. 2004. Studies on Tanzanian Hypneaceae: Seasonal Variation in Content and Quality of Kappa-Carageenan from Hynea musciformis. Western Indian Ocean J. Mar. Sci., (3): 43-49. Pelegrin, Y.F., D. Robledo & J.A. Azamar. 2006. Carraggeenan of Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta) from Yucatan Mexico. I. Effect of Extraction Conditions. Botanica Marina, (49) : 65-71. Rajagukguk, M.M. 2006. Analisis Daya Saing Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Refilda, E. Munaf, R. Zein, A. Dharma, Indrawati, L.W. Lim & T. Takeuchi. 2009. Optimation Study of Carrageenan Extraction From Red Algae (Eucheuma cottonii). J. Ris Kim, 2 (2): 120-126. Selvanda, B. 2003. Karakteristik Sifat Fisika Kimia Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii pada Berbagai Umur Panen yang Diambil dari Daerah Perairan Desa Arakan Kabupaten
142
Minahasa Selatan. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan, 1 (1).
dan
Sukri, N. 2006. Karakteristik Alkali Tread Cottoni (ATC) dan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Umur Panen yang Berbeda. Tesis. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryaningrum, D., Murdinah & D.M. Erlina. 2003. Pengaruh Perlakuan Alkali dan Volume Larutan Pengekstrak Terhadap Mutu Karaginan Rumput Laut Eucheuma cottonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 9 (5). Ulfah, M. 2009. Pemanfaatan Iota Karaginan (Eucheuma spinosum) dan Kappa Karaginan (Kappaphycus alvarezii) sebagai Sumber Serat untuk Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor. Wenno, M.R. 2009. Karakteristik Fisika-Kimia Karaginan dari Euchema cottonii Pada Bagian Thalus, Berat Bibit dan Umur Panen. Winarno, F.G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Yasita, D. & D.R. Intan. 2010. Optimasi Proses Ekstruksi pada Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii untuk Mencapai Food Grade. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.
Husna, dkk.
Format Penulisan Jurnal Rumput Laut Indonesia
Naskah merupakan hasil penelitian yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan huruf Time New Roman font 11. Panjang naskah tidak lebih dari 10 halaman yang diketik satu spasi pada kertas ukuran A4, dengan jarak 2,5cm dari semua sisi, tanpa headnote dan footnote. Bagian awal tulisan terdiri atas judul dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris; nama penulis dengan footnote berisi nama institusi penulis dan alamat email penulis korespondensi; serta abstrak dan keywords yang ditulis dalam bahasa Inggris. Abstrak tidak lebih dari 250 kata yang berisi tentang inti permasalahan atau latar belakang penelitian, cara penelitian atau pemecahan masalah, dan hasil yang diperoleh. Keywords merupakan kata yang menjadi inti dari uraian abstrak. Keywords maksimal lima kata, istilah yang lebih dari satu kata dihitung sebagai satu kata. Bagian utama tulisan terdiri atas, pendahuluan, metode penelitian, hasil dan pembahasan, dan kesimpulan dan saran. Bagian akhir tulisan terdiri atas ucapan terima kasih (jika ada), dan daftar pustaka. Dalam penulisan naskah, semua kata asing ditulis dengan huruf miring. Semua bilangan ditulis dengan angka, kecuali pada awal kalimat dan bilangan bulat yang kurang dari sepuluh harus dieja. Rumus matematika ditulis secara jelas dengan Microsoft Equation atau aplikasi lain yang sejenis dan diberi nomor. Tabel harus diberi judul yang jelas dan diberi nomor sesuai urutan penyajian. Judul tabel diletakkan sebelum tabel. Batas tabel berupa garis hanya menjadi pembatas bagian kepala tabel dan penutup tabel, tanpa garis pembatas vertikal. Tabel tidak dalam bentuk file gambar (jpg). Keterangan diletakkan di bawah tabel. Gambar diberi nomor sesuai urutan penyajian. Judul gambar diletakkan di bawah gambar dengan posisi tengah (center justified). Gambar diletakkan di tengah, kualitas gambar harus jelas dan tidak pecah bila dibesarkan (minimal 1000 px). Gambar dilengkapi dengan keterangan yang jelas. Bilamana gambar dalam bentuk grafik yang dibuat di excel, maka gambar dikirimkan dalam bentuk excel, kecuali bila menggunakan Word 2010 atau yang lebih mutakhir, sehingga gambar dapat diedit bilamana diperlukan. Penulisan daftar pustaka menggunakan sistem Harvard Referencing Standard. Semua pustaka yang tertera dalam daftar pustaka harus dirujuk di dalam naskah. Kemutakhiran referensi sangat diutamakan. Bila penulis pertama memiliki lebih dari satu referensi dengan tahun yang sama, maka penandaan tahun ditambahkan dengan a, b, c, d, dst berdasarkan urutan kemunculan di dalam tulisan. Penulisan disesuaikan dengan tipe referensi, yaitu buku, artikel jurnal, prosiding seminar atau konferensi, skripsi, tesis atau disertasi, dan sumber rujukan dari website. A. Buku dan Tulisan Dalam Buku: Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul Buku dicetak miring. Edisi, Penerbit. Tempat Publikasi. Contoh: O’Brien, J.A. & J.M. Marakas. 2011. Management Information Systems. Edisi 10. McGraw-Hill. New YorkUSA. B. Tulisan dalam Buku: Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat). Judul Tulisan. In (Nama belakang, nama depan disingkat dari editor) (Ed.) Judul Buku dicetak miring. Vol. Nomor. Penerbit. Tempat Publikasi, Rentang Halaman. Contoh: Zhang, J. & B. Xia. 1992. Studies on two new Gracilariafrom South China and a summary of Gracilariaspecies inChina. In Abbott, I. A. (Ed.) Taxonomy of Economic Seaweeds with Reference to Some Pacific and WesternAtlantic Species, Vol. III. Report no. T-CSGCP-023, California Sea Grant College Program, La Jolla, CA, pp. 195–206. C. Artikel Jurnal: Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel. Nama Jurnal dicetak miring, Vol, Nomor, rentang halaman. Contoh: Cartlidge, J. 2012. Crossing boundaries: Using fact and fiction in adult learning. The Journal of Artistic and Creative Education, 6 (1): 94-111. D. Prosiding Seminar atau Konferensi: Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel. Nama Konferensi dicetak miring. Tanggal, Bulan dan Tahun, Kota, Negara, Halaman. Contoh: Michael, R. 2011. Integrating innovation into enterprise architecture management. Proceeding on Tenth International Conference on Wirt-schafts Informatik. 16-18 February 2011, Zurich, Swis, pp. 776-786. E. Skripsi, Tesis atau Disertasi: Penulis (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul. Skripsi, Tesis, atau Disertasi dicetak miring. Universitas, Kota. Contoh: Soegandhi. 2009. Aplikasi model kebangkrutan pada perusahaan daerah di Jawa Timur. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Joyonegoro, Surabaya. F. Sumber Rujukan dari Website: Penulis. Tahun. Judul. Alamat Uniform Resources Locator dicetak miring (URL). Tanggal Diakses. Contoh: Ahmed, S. dan A. Zlate. Capital flows to emerging market economies: A brave new world?. http://www.federalreserve.gov/pubs/ifdp/2013/1081/ifdp1081.pdf. Diakses tanggal 18 Juni 2013.
Vol. 1 No. 2, Desember 2016
ISSN ISSN.2548-4494 2548-4494
J
urnal Rumput Laut Indonesia
JRLI
Vol. 1
No. 2 Hal. 71 - 142 Makassar, Desember 2016 ISSN 2548-4494
Huyyirnah Metode Maserasi Kinetik untuk Analisis Antibakteri dari Rumput Laut Hijau Ulva reticulata Terhadap Bakteri Patogen Tanaman Kentang
71 - 76
Hartono, Khusnul Yaqin, Farida G. Sitepu Keanekaragaman Jenis Rumput Laut di Perairan Littoral Dusun Tamalabba Desa Punaga Kecamatan Magarabombang Kabupaten Takalar
77 - 81
Irawati, Badraeni, Abustang, Ambo Tuwo Pengaruh Perbedaan Bobot Tallus Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Strain Coklat yang Dikayakan
82 - 87
Ruth Angka Palayukan, Badraeni, Hasni Yulianti Azis, Ambo Tuwo Efektifitas Rumput Laut Gracilaria sp. sebagai Bioremediator dalam Perubahan N dan P dalam Bak Pemeliharaan Udang Vaname Litopenaeus vannamei
88 - 93
Amal Aqmal, Ambo Tuwo, Haryati Analisis Hubungan antara Keberadaan Alga Filamen Kompetitor Terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus sp. di Provinsi Sulawesi Selatan
94 - 102
Muhammad Hendra, Rajuddin Syamsuddin, Muchlis Syamsuddin, Inayah Yasir Pengaruh Pupuk Organik Cair yang Mengandung Vitamin Terhadap Pertumbuhan Bibit Kappaphycus alvarezii yang Dipelihara dalam Sistem Resirkulasi
103 - 107
Rizal Pribadi, Edison Saade, Haryati Tandipayuk Pengaruh Metode Pengerasan Terhadap Kualitas Fisik dan Kimiawi Pakan Gel Ikan Koi Cyprinus carpio haematopterus Menggunakan Tepung Rumput Laut Kappaphycus alvarezii sebagai Pengental
108 - 116
Supriadi, Rajuddin Syamsuddin, Abustang, Inayah Yasir Pertumbuhan dan Kandungan Karotenoid Lawi-Lawi Caulerpa racemosa yang Ditumbuhkan pada Tipe Substrat Berbeda
117 - 122
Uswaton Khasanah, Muhammad Farid Samawi, Khairul Amri Analisis Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo
123 - 131
Asmaul Husna, Metusalach, Fachrul Fisika Kimia Karaginan Kappaphycus alvarezii Hasil Ekstraksi Menggunakan Natrium Hidroksida (NAOH) dan Penjendal Isopropil Alkohol (IPA) dan Etanol
132 - 142