I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Selama ini pasokan ikan dunia termasuk Indonesia sebagian besar berasal
dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data FAO 2002 (DKP, 2005) menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut oleh sebagian negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Oleh karena itu, alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya (akuakultur). Akuakultur bermula dari penerapan teknologi yang sangat sederhana dan hanya sebagai subsisten (sampingan). Akhir abad 20, akselerasi perkembangan perikanan
budidaya
menunjukkan
kecenderungan
industrialisasi
dengan
penerapan teknologi maju. Perikanan budidaya bukan lagi budidaya konvensional, tetapi kegiatan ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada berbagai sektor. Produk akualkultur telah membawa perubahan besar bagi industri pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat harga yang relatif rendah, dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera konsumen baik dari segi jumlah maupun mutu (DKP, 2005). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia yang mendukung akuakultur (Soegiarto dan Polunin, 1981 dalam DKP, 2005). Kelompok ikan yang ada di perairan Indonesia lebih dari 2000 spesies. Potensi lahan perikanan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar 15,59 juta hektar, namun pada kenyataannya sampai tahun 2004
1
pemanfaatannya belum dilakukan secara maksimal. Masing-masing baru mencapai 10,1% untuk budidaya air tawar, 40% untuk budidaya air payau, dan 0,01% untuk budidaya laut (DKP, 2005). Melihat dari kenyataan tersebut, maka pada tahun 2005, pemerintah merencanakan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Program tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan hasil produksi salah satunya pada bidang perikanan. Upaya revitalisasi di bidang perikanan khususnya berupa pengembangan akuakultur. Salah satu komoditas yang menjadi sasaran revitalisasi tersebut yaitu ikan patin. Komoditas tersebut menjadi salah satu unggulan dalam revitalisasi perikanan budidaya karena merupakan jenis ikan yang teknologi budidayanya sudah dikuasai dan sudah berkembang di masyarakat. Selain itu, komoditas patin memiliki peluang pasar ekspor yang tinggi dan tingkat serapan pasar dalam negeri yang cukup besar, tingkat permodalan yang relatif rendah, dan penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi (DKP, 2005). Data produksi ikan patin dan ikan lainnya di Indonesia dari tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Produksi Perikanan Budidaya Menurut Komoditas 2002-2005 (Ton) No.
Jenis Budidaya
2002
2003
2004
2005
1
Udang
159.997
192.912
238.857
280.629
2
Kerapu
7.057
8.637
6.552
6.493
3
Nila
60.437
71.947
98.102
151.363
4
Ikan Mas
199.632
219.385
192.461
216.924
5
Bandeng
222.317
227.854
241.438
254.067
6
Kakap
30.984
5.508
4.663
2.935
7
Patin
10.264
12.904
23.962
32.575
8
Lele
39.193
58.614
55.691
69.386
9
Gurame
16.438
22.666
25.948
25.442
10
Rumput Laut
223.080
233.156
397.964
866.383
Total
969.399
1.053.583
1.285.638
1.906.197
Sumber: DKP (2007) 2
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa produksi perikanan didominasi oleh rumput laut, bandeng, dan udang. Hasil produksi ikan patin masih jauh lebih rendah dari rumput laut, bandeng, udang maupun dari beberapa ikan lainnya. Oleh karena itu, pemerintah bermaksud meningkatkan hasil produksi patin mulai dari tahun 2006 hingga 2009. Rencana pemerintah dalam peningkatan produksi patin ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Rencana Pengembangan Patin 2006-2009 Tahun
Parameter 2005 Produksi (ton)
2006 16.500
2007 20.000
2008 25.300
2009 30.300
· Lokal
14.850
18.000
20.240
24.240
· Ekspor
1.650
2.000
5.060
6.060
Kebutuhan Benih (x1000 ekor)
55.000
66.670
84.300
101.000
Kebutuhan Induk (ekor)
5.500
6.670
8.430
10.100
Sumber: DKP (2005) Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa pemerintah menginginkan agar produksi ikan patin terus meningkat dari tahun ke tahun baik untuk konsumsi masyarakat (lokal) maupun ekspor. Caranya tentu saja melalui peran akuakultur dalam meningkatkan jumlah produksi ikan. Peran akuakultur di sini termasuk usaha budidaya pembenihan. Hal itu dapat dilihat dari target kebutuhan benih dari tahun 2006 sampai 2009 yang semakin meningkat sejalan dengan target peningkatan produksi ikan patin. Berdasarkan target pemerintah yang digambarkan dalam Tabel 2, pada kenyataannya menunjukkan kenaikan produksi patin sesuai dengan yang diharapkan. Kenaikan produksi bahkan jauh lebih tinggi dari perkiraan. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 3.
3
Tabel 3. Hasil Produksi Ikan Patin 2005-2009 (Ton) 2005
2006
2007
2008
2009*)
Kenaikan Rata-rata (%)
32.575
31.489
36.755
102.021
132.600
55,23
Tahun
Jenis Ikan Patin - Catfish
* Data Sementara Sumber : DKP (2009) Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil produksi ikan patin secara nasional rata-rata menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hasil produksi memperlihatkan bahwa program revitalisasi pemerintah untuk meningkatkan produksi ikan patin tercapai. Tabel 4 menunjukkan kuantitas produksi tiap wilayah di Indonesia. Tabel 4. Produksi Ikan Patin Menurut Wilayah Tahun 2005-2007 (Ton) Wilayah
2005
2006
2007
Sumatera
20.224
16.992
15.990
Jawa
5.503
7.808
11.532
2
-
3
6.840
6.687
9.231
6
3
-
32.575
31.489
36.755
Bali-Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Total
Sumber : DKP (2007) Tabel 5. Hasil Produksi Ikan Patin Budidaya di Pulau Jawa Tahun 20052007 (Ton) Hasil Produksi
Wilayah 2005
2006
2007
Banten
242
252
271
DKI Jakarta
64
27
16
Jawa Barat
4.621
6.891
10.525
99
98
168
-
-
-
477
540
552
5.503
7.808
11.532
Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Total
Sumber: DKP (2007) Tabel 4 menunjukkan produksi terbesar dihasilkan di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan dan Jawa. Hasil produksi patin tiap wilayah rata-rata mengalami peningkatan. Khusus untuk pulau Jawa, data hasil produksi
4
diperlihatkan pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil produksi ikan patin terbesar dihasilkan di Jawa Barat. 1.2.
Perumusan Masalah Program
revitalisasi
pemerintah
dalam
bidang
perikanan
yang
menunjukkan peningkatan ternyata tidak menjamin ekspor patin meningkat. Indonesia memang mengembangkan ekspor ke negara-negara lain seperti Timur Tengah, tapi untuk ekspor ke Amerika dan Eropa lebih rendah dibandingkan Vietnam. Kebutuhan di dalam negeri juga belum dapat dipenuhi oleh sistem budidaya yang ada1. Penyebab Indonesia kalah saing dengan Vietnam yaitu karena harga ikan patin di dalam negeri cukup tinggi misalnya tahun 2008 sekitar Rp 11.000/kg sedangkan dari Vietnam hanya Rp 9.000/kg. Mahalnya harga patin di Indonesia karena tingginya biaya produksi yang salah satunya disebabkan karena harga pakan yang tinggi. Hal itu karena tepung ikan sebagai bahan baku pembuat pakan ikan (pelet) masih diimpor dari negara lain2. Volume impor tepung ikan di Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 6. Tabel 6. Volume dan Nilai Impor Tepung Ikan Indonesia Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
Total
Volume (Ton)
82.788
88.852
55.685
67.596
42.521
337.442
Nilai (US$)
54.953
76.527
49.923
42.401
24.732
248.536
Sumber : DKP (2009) Tabel 6 menunjukkan bahwa volume impor terbesar terjadi pada tahun 2005 dan 2006. Mulai tahun 2007, Indonesia sudah mulai menurunkan impor tepung ikan. Hal ini karena sepanjang 2007, sebanyak 70% dari kebutuhan tepung ikan sudah bisa dipenuhi oleh tepung ikan lokal. Para pengolah tepung ikan lokal 1
2
http://www.beritadaerah.com/ diakses tanggal 20 Juli 2010 http//www.trobos.com/ diakses tanggal 15 Juli 2010
5
telah
mampu
meningkatkan
produksi
dan
kualitas
tepung
ikan
yang
dihasilkannya. Indonesia juga kalah saing dengan Vietnam dalam hal kuantitas produksi patin. Tahun 2008 Vietnam mampu menghasilkan 1,2 juta ton ikan patin dan mengekspor 633.000 ton ke 107 negara di dunia3. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan hasil produksi patin Indonesia yang pada tahun 2008 hanya mencapai 102.021 ton. Melihat dari kenyataan tersebut, pemerintah memiliki target untuk mewujudkan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan perikanan budidaya sebagai ujung tombak penghasil produk perikanan untuk mewujudkan target tersebut4. Salah satu produk ikan yang diandalkan yaitu ikan patin. Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen P2HP DKP Saut Parulian Hutagalung mengatakan, ikan patin merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan, selain permintaannya tinggi di dalam negeri, patin juga merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang mempunyai pasar yang sangat bagus di Uni Eropa, Amerika Serikat, Eropa Timur, dan Timur Tengah5. Salah satu cara untuk mencapai target tersebut yaitu dengan menekan ongkos produksi akibat mahalnya harga pakan. Pemerintah berencana membangun pabrik baru untuk memproduksi pakan ikan. Pakan itu berbahan baku maggot kelapa sawit, bukan tepung ikan yang saat ini digunakan. Pemerintah mengharapkan dengan melakukan substitusi bahan baku itu, harga pakan ikan dapat ditekan hingga 10-20% dari harga saat ini. Selain itu pemerintah akan 3
http:// www.globefish.org/ diakses tanggal 3 Mei 2010 http://www.indofisheries.org/ diakses tanggal 20 Juli 2010 5 http://www.foodreview.biz/ diakses tanggal 21 Juli 2010 4
6
meningkatkan inovasi teknologi sektor perikanan, khususnya teknologi pengadaan bibit atau benih unggul dan teknik budidaya, guna mengejar target pertumbuhan produksi perikanan6. Berkaitan dengan pengadaan benih, salah satu sentra produksi benih ikan patin yang potensial di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pengusaha pembesaran ikan patin atau pengusaha ikan patin konsumsi yang berasal dari luar daerah yang membeli benih ikan patin dari Kabupaten Bogor karena kualitas benih yang relatif baik dibandingkan daerah lain seperti Sumatera7. Tingkat mortalitas benih patin dari Bogor juga relatif rendah, kurang dari 0,02%8. Hasil produksi benih patin Kabupaten Bogor ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil produksi benih di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tabel 7. Hasil Produksi Benih Patin Kabupaten Bogor Tahun
Hasil produksi (ekor)
2006
37.394.810
2007
58.126.000
2008
79.893.000
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2010) Salah satu daerah pembenihan ikan patin di Kabupaten Bogor yaitu Ciampea. Petani pembenihan di Ciampea salah satunya aitu Deddy Fish Farm (DFF). Selain pembenihan patin, DFF juga menekuni pembenihan ikan lainnya seperti ikan hias sebagai usaha sampingan. Usaha ini sudah berdiri sejak tahun 1999. Selama ini produk DFF sudah dipasarkan ke berbagai daerah baik Jawa maupun luar Jawa seperti Solo, Palembang, dan Banjarmasin. Berdasarkan ratarata jumlah benih yang dihasilkan yang mencapai hampir 2 juta dan larva 6
http://www.indonesia.go.id/ diakses tanggal 17 Juli 2010 http:/www.trubus-online.com/ diakses tanggal 3 Juli 2010 8 http://www.bi.go.id / diakses tanggal 18 Juli 2010 7
7
mencapai 600.000 per tahun, DFF mengambil peran yang cukup besar dalam peningkatan produksi patin di Indonesia. Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas serta berkembangnya isu-isu internasional akhir-akhir ini, muncul tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengembangan usaha akuakultur, termasuk DFF sendiri. Tantangan itu antara lain: (1) perdagangan global yang sangat kompetitif, (2) ketatnya syarat mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh negara pengimpor, dan (3) iklim usaha yang kurang kondusif terutama mengenai jaminan kepastian dan keamanan usaha. Beberapa permasalahan lain juga dihadapi oleh DFF seperti munculnya pesaing baru dan inflasi. Awalnya daerah Bogor Barat merupakan sentra penampungan benih ikan patin, kemudian muncul calon sentra baru yaitu Parung yang mengakibatkan bertambahnya saingan bagi DFF. Produsen patin di Parung menggunakan tenaga kerja berpengalaman (dulunya petani ikan lele), sedangkan DFF menggunakan tenaga kerja belum berpengalaman. Dengan menggunakan tenaga kerja berpengalaman, produksi benih patin di Parung lebih efisien daripada DFF. Sebagai akibatnya, jika benih ikan dijual dengan harga yang sama, pengusaha ikan patin di Parung mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan DFF. Salah satu strategi DFF untuk menghadapi persaingan ini yaitu dengan meningkatkan kualitas benih ikan yang dihasilkan. Hal itu dilakukan DFF dengan cara memproduksi ikan dengan warna yang lebih jernih sehingga tingkat mortalitas ikan lebih rendah dibandingkan dengan warna ikan yang kurang jernih. Daya tumbuh benih ikan yang diproduksi DFF mencapai 90%, sedangkan yang di Parung daya tumbuh benih ikan hanya 60-80% karena tingkat mortalitasnya
8
tinggi. Selain itu, DFF mampu menghasilkan benih dengan ukuran yang seragam sedangkan petani di Parung masih menghasilkan benih dengan ukuran tidak seragam. DFF mampu menghadapi persaingan dengan petani ikan di parung dengan keunggulan yang dimiliki. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, petani pembenihan patin di Parung semakin mampu menghasilkan benih patin dengan kualitas seperti benih patin hasil produksi DFF. Petani pembenihan di Parung mampu menghasilkan benih dengan ukuran yang lebih seragam dan lebih besar dibandingkan dengan ukuran benih yang dihasilkan DFF. Akibatnya, DFF menghadapi persaingan yang semakin sulit. Inflasi juga berpengaruh terhadap usaha DFF. Inflasi di Indonesia yang berfluktuasi mengakibatkan harga-harga input cenderung meningkat tiap tahunnya sedangkan harga jual benih ikan dari tahun ke tahun cenderung stabil bahkan saatsaat tertentu harga benih turun. Hal ini berdampak pada keuntungan riil yang diperoleh tidak sebesar keuntungan riil saat inflasi sedang rendah. Kebijakan pemerintah di bidang pertanian khususnya perikanan yang diterapkan selama ini diharapkan bisa menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha agribisnis perikanan terutama usaha pembenihan ikan patin. Akan tetapi, kebijakan pemerintah tersebut seringkali mengakibatkan perbedaan harga input maupun output yang diterima produsen dan konsumen yang berdampak pada besar keuntungan yang diperoleh. Pemberlakuan PPN pada barang input misalnya, akan membuat harga barang menjadi semakin mahal. PP Nomor 7 tahun 2007, yang berisi mengenai penghapusan PPN pakan ternak termasuk pakan ikan
9
ternyata tidak diberlakukan sebagaimana mestinya. Pakan ikan masih dikenai PPN sehingga harganya tetap mahal. Keuntungan yang diperoleh suatu usaha agribisnis akan menentukan apakah usaha tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang berdampak pada kelangsungan usaha. Banyak bidang usaha yang memiliki keunggulan kompetitif jika perhitungan biaya dan keuntungan didasarkan pada harga pasar. Akan tetapi jika perhitungan didasarkan pada harga sosial, maka belum tentu setiap perusahaan memiliki keunggulan komparatif. Misalnya, saat inflasi sedang cukup tinggi, apakah DFF masih memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif dibandingkan saat inflasi sedang rendah. Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimanakah keunggulan komparatif dan kompetitif dari pengusahaan benih patin. 2) Bagaimanakah dampak perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin. 1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dari
penelitian ini yaitu: 1) Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin Deddy Fish Farm. 2) Menganalisis dampak perubahan kebijakan pemerintah dan faktor lainnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif pengusahaan benih ikan patin.
10
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1) Bagi para peneliti, diharapkan penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pertanian khususnya perikanan. 2) Bagi perusahaan yang bersangkutan (DFF), penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna dalam melakukan evaluasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. 3) Rujukan bagi peneliti yang ingin melakukan studi lainnya yang berhubungan dengan perikanan, terutama perikanan budidaya. 1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Deddy Fish Farm, sebuah perusahaan
agribisnis yang bergerak di bidang pembenihan ikan patin yang berlokasi di Ciampea. Ciampea merupakan salah satu daerah yang banyak terdapat petani pembenihan ikan patin dan DFF merupakan salah satu perusahaan yang cukup baik dalam menghasilkan benih patin sehingga dapat mewakili perusahaanperusahaan pembenihan patin lainnya di daerah Bogor. Komoditas yang diteliti yaitu benih ikan patin yang merupakan hasil produksi DFF. Kualitas benih patin yang dihasilkan oleh DFF termasuk baik, dilihat dari rendahnya tingkat mortalitas benih. Data yang dikumpulkan yaitu data dari tahun 2008-2009.
11