STRATE EGI PEM MANFAA ATAN SUM MBERDA AYA IKA AN HIAS LAUT L BE ERKELA ANJUTAN N DI PU ULAU WE EH, ACE EH
Y YUDI HERD DIANA
SEKO OLAH PASC CASARJANA INSTITU UT PERTAN NIAN BOG GOR BOGO OR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias Laut Berkelanjutan di Pulau Weh, Aceh adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012 Yudi Herdiana C452090061
ABSTRACT
YUDI HERDIANA. Sustainable utilization strategy on ornamental reef fish resources in Weh Island, Aceh, supervised by BUDY WIRYAWAN and AM AZBAS TAURUSMAN The ornamental reef fishery of Weh Island began in 1997, yet no assessment of reef fish resources, potential species for trade and their sustainable yields has been made. This study assesses the sustainable catch quota of potential ornamental reef fish species and provides optimum utilization strategies based on sustainable catch quotas, price, and effort capacity. Seventy-seven ornamental reef fish species were identified from underwater visual census at 20 sites in the marine waters of Weh Island. Catch and effort data were recorded for 12 months in 2010. Nineteen species of ornamental fish were landed by local fishers, and 83% of the total catch was comprised of the powder blue tang (Acanthurus leucosternon). The maximum sustainable yield (MSY) of ornamental fish species was assessed using a surplus production model, with an annual catch quota set at 80% of MSY. From catch data, we found that the harvest level of powder blue tang in 2010 exceeded its annual catch quota (103.5%), while the other 18 species were still under harvested. Optimization results using the Linear Programming suggested that increasing catch of three species, Acanthurus tenneti, Paracanthurus hepatus, and Pomacanthus imperator was required to achieve maximum economic yield. Based on sustainable catch quotas and financial analyses we conclude that the ornamental reef fishery of Weh Island can be managed sustainably and achieve positive ecological and economic outcomes.
Keywords: ornamental reef fishery, maximum sustainable yield, optimization, Aceh
RINGKASAN
YUDI HERDIANA. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias Laut Berkelanjutan di Pulau Weh, Aceh. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN dan AM AZBAS TAURUSMAN.
Pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh telah berlangsung sejak tahun 1997. Pada tahun 2010 terdapat dua puluh dua (22) orang nelayan ikan hias aktif yang berdomisili di Desa Beurawang, Pulau Weh. Pulau Weh memiliki potensi yang besar untuk pengembangan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan karang untuk pasar ikan hias. Aktivitas pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh masih mengalami beberapa permasalahan, terutama dalam hal pola pemanfaatan yang cenderung hanya menangkap satu spesies ikan karang yaitu jenis botana biru (Acanthurus leucosternon). Saat ini belum diketahui adanya kajian mengenai model pemanfaatan yang optimum untuk perikanan ikan hias di Pulau Weh. Berdasarkan kondisi tersebut, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: (i) mengkaji potensi sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh; (ii) mengkaji pola pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh; (iii) mengestimasi suatu pola pemanfaatan ikan hias laut yang optimum dan lestari dengan mempertimbangkan perspektif keberlanjutan sumberdaya ikan dan ekonomi yang didasarkan atas kuota tangkapan lestari, harga ikan, kapasitas upaya penangkapan, dan penanganan; serta (iv) merumuskan suatu strategi prioritas untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh. Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu: mengkaji dan mengidentifikasi jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias, mengkaji pola pemanfaatan ikan hias laut yang berlangsung saat ini, menentukan jumlah tangkapan lestari, menentukan pola pemanfaatan sumberdaya secara optimum, melakukan analisis finansial terhadap kegiatan usaha perikanan ikan hias laut, dan merumuskan strategi prioritas bagi pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh. Data kelimpahan dan identifikasi jenisjenis ikan hias laut potensial diperoleh dengan metode sensus visual bawah air (underwater visual census) yang dilakukan pada 20 stasiun pengamatan di Pulau Weh. Data hasil tangkapan dicatat selama 12 bulan pada tahun 2010 untuk mengetahui pola pemanfaatan ikan hias yang dilakukan nelayan di Pulau Weh. Berdasarkan hasil kajian kelimpahan ikan hias laut dan pola penangkapan selama tahun 2010 maka nilai MSY (maximum sustainable yield) diduga dengan menggunakan model surplus produksi Garcia et al. (1989). Optimasi pemanfaatan ikan hias laut dilakukan dengan menggunakan pendekatan model
pemrograman linier (Linear Programming) untuk mengetahui jenis-jenis ikan apa saja yang sebaiknya dimanfaatkan agar nelayan mendapatkan keuntungan yang maksimum. Selanjutnya dilakukan analisis finansial untuk mengetahui apakah perikanan ikan hias yang dikelola secara lestari juga dapat memberikan keuntungan secara finansial dari perspektif kelayakan usaha dan investasi. Dari data hasil survei kelimpahan ikan karang di 20 stasiun pengamatan teridentifikasi sebanyak 319 spesies ikan karang, dimana 77 spesies diantaranya merupakan spesies yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut. Selama tahun 2010 teridentikasi sebanyak 19 spesies ikan hias laut dimanfaatkan oleh nelayan di Pulau Weh. Berdasarkan hasil analisis kuota tangkapan tahunan dan data hasil tangkapan diketahui bahwa tiga spesies ikan yang paling banyak ditangkap, yaitu botana biru (Acanthurus leucosternon) mencapai tingkat pemanfaatan yang melebihi kuota tangkapan tahunannya yaitu sebesar 103,5% pada kelas ukuran 10-15 cm, botana lettersix (Paracanthurus hepatus) sebesar 37,8%, dan botana naso (Naso lituratus) sebesar 8,9%. Selanjutnya tingkat pemanfaatan untuk 15 spesies ikan hias lainnya masih berada dibawah 2% dari kuota tangkap tahunannya. Berdasarkan komposisi spesies, ikan botana biru mendominasi sebesar 83% dari seluruh hasil tangkapan, botana lettersix mendominasi sebesar 10%, dan botana naso sebesar 2%. Berdasarkan jenjang rantai makanan (trophic level), jenis ikan yang ditangkap didominasi oleh jenis herbivora sebesar 86% dan planktivora sebesar 11%. Analisis optimasi untuk pemanfaatan ikan hias laut bertujuan untuk menentukan komposisi jumlah dan jenis ikan yang dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil ekonomi yang optimum. Hasil optimasi dengan menggunakan Linear Programming didapatkan bahwa pemanfaatan yang optimum akan didapatkan jika nelayan ikan hias di P. Weh secara keseluruhan meningkatkan tangkapan untuk jenis botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel batman (Pomacanthus imperator), dengan total masing-masing sebanyak 1934, 1329, dan 7848 ekor dalam satu tahun. Karena karakteristik pola pemanfaatan ikan hias laut sangat ditentukan oleh permintaan, maka hasil analisis optimasi tidak secara langsung dapat diimplementasikan. Agar dapat mendukung pola pemanfaatan yang optimum di P. Weh, perlu adanya dukungan dari aspek ketersediaan pasar. Nelayan perlu mencari peluang pembeli baru atau diversifikasi pasar untuk dapat menampung lebih banyak jenis-jenis tersebut. Sumberdaya perikanan ikan hias laut di P. Weh masih sangat tinggi dan berpotensi untuk terus dikembangkan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan potensi ekonomi dari sumberdaya ikan hias laut di P. Weh adalah sebesar Rp 5.666.038.701 per tahun. Nilai ekonomi perikanan ikan hias laut di P. Weh berdasarkan pola pemanfaatan tahun 2010 adalah sebesar Rp 222.310.500, sedangkan berdasarkan hasil optimasi menggunakan model LP didapatkan potensi ekonomi mencapai Rp 479.654.500, atau meningkat sebesar 215,8%.
Analisis finansial dilakukan menggunakan analisis kelayakan usaha dan analisis kriteria investasi. Analisis kelayakan usaha menggunakan empat instrumen yaitu analisis pendapatan usaha, analisis revenue-cost ratio (R/C), analisis rentabilitas (return on investment), dan analisis titik impas (Break Even Point). Analisis kriteria investasi menggunakan instrument net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan net benefit cost ratio (Net B/C). Pada skenario pemanfaatan optimum, perikanan ikan hias laut dapat memberikan keuntungan sebesar Rp 353.461.593 per tahun, nilai R/C sebesar 3,8; titik impas dicapai pada tingkat keuntungan Rp 29.118.495, dan nilai ROI 200,8%. Selanjutnya berdasarkan analisis kriteria investasi pada skenario pemanfaatan optimum dengan discount rate 14% dan asumsi umur proyek selama 10 tahun, nilai NPV didapatkan Rp 1.828.866.052, IRR 0,88, dan nilai Net B/C 6,85 (>1). Berdasarkan 4 instrumen analisis kelayakan usaha, didapatkan bahwa hasil perhitungan menunjukkan bahwa usaha perikanan ikan hias laut cukup menguntungkan dan layak untuk dilakukan. Hal ini ditunjukan oleh parameter revenue-cost ratio (R/C) > 1 dan rentabilitas (ROI) > 25%. yang menunjukan bahwa usaha layak untuk dilakukan. Selanjutnya berdasarkan 3 instrumen analisis yang digunakan dalam analisis kriteria investasi menunjukan investasi layak untuk dilakukan pada kedua skenario tingkat pemanfaatan. Hal ini ditunjukan oleh nilai NPV yang tinggi, tingkat pengembalian bunga (IRR) yang lebih tinggi dari suku bunga bank, serta nilai Net B/C yang lebih besar dari 1. Hasil perhitungan menggunakan 7 instrumen analisis finansial menunjukan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut pada tingkat lestarinya tetap memberikan manfaat ekonomi yang menguntungkan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa perikanan ikan hias laut di P. Weh berpotensi untuk dikelola secara lestari baik dari aspek keberlanjutan sumberdaya ikan maupun keberlanjutan usaha (ekonomi). Berdasarkan hasil analisis SWOT, teridentifikasi sebanyak 4 strategi prioritas bagi pengembangan perikanan ikan hias laut di P. Weh, yaitu: (i) melakukan diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan, (ii) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, (iii) melakukan pengembangan usaha dengan memanfaatkan dukungan investasi dari pihak luar, serta (iv) pengembangan akses terhadap pasar dengan menjajaki pembeli-pembeli potensial lainnya.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN HIAS LAUT BERKELANJUTAN DI PULAU WEH, ACEH
YUDI HERDIANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si
Judul Tesis : Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias Laut Berkelanjutan di Pulau Weh, Aceh Nama
: Yudi Herdiana
NIM
: C452090061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Ketua
Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi. M.Si. Anggota
Diketahui
Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Koordinator
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 23 Desember 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini bertema Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias Laut Berkelanjutan di Pulau Weh, Aceh, dan dilaksanakan sejak Januari hingga Desember 2010. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1) Dr. Budy Wiryawan dan Dr. Am Azbas Taurusman yang telah memberi arahan dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan; 2) Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo atas kesediannya menjadi dosen penguji luar komisi; 3) Rekan dan kolega di Wildlife Conservation Society Indonesia Marine Program khususnya Sdr. Ahmad Mukminin dan Efin Muttaqin yang telah banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian; 4) Rekan-rekan nelayan ikan hias di Desa Beurawang, Pulau Weh, yang selama ini telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini; 5) Sdr. Ferdiansyah yang membantu penulis dalam melaksanakan kegiatan wawancara; 6) Sdr. Idris dan Yayasan Terumbu Karang Indonesia atas fasilitasi dan bantuan informasinya; serta nelayan ikan hias di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta; 7) Sdr. Panji Darmawangsa dan Sdri. Tita Nopita atas bantuan data serta informasi perdagangan ikan hias; 8) Rekan-rekan SPT dan TPT 2009 atas kebersamaan dan bantuannya. Selain bantuan dari berbagai pihak, penulis juga menyadari bahwa penelitian ini dapat diselesaikan atas dukungan dan doa dari kedua orang tua saya serta Sdri. Luluk Windarati. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengelolaan perikanan dan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Bogor, Januari 2012 Yudi Herdiana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada 22 Maret 1978 dari ayah H. Kunrat Ardiwijaya dan ibu Hj. Nunung Haryani. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana penulis selesaikan di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap sejak tahun 2009. Sejak tahun 2002 hingga sekarang penulis bekerja di Wildlife Conservation Society – Indonesia Program dan saat ini menjabat sebagai koordinator untuk program marine di Sabang, Aceh.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................. xii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xviii DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... xix 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 1.2 1.3 1.5
Latar Belakang ................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................. Manfaat Penelitian ...........................................................................
1 5 6 8
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
Gambaran Umum Perikanan Ikan Hias Laut di Indonesia .............. Kegiatan Penangkapan Ikan Hias Laut ............................................ Dampak Kegiatan Industri Akuarium .............................................. Pengelolaan Ikan Hias Laut Melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan ........................................................................................ Pendekatan lain dalam Pengelolaan Perikanan Ikan Hias Laut ....... Analisis Finansial ............................................................................. Analisis SWOT ................................................................................
9 11 13 15 18 19 20
3. METODE PENELITIAN .......................................................................... 23 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
3.6
Lokasi Penelitian .............................................................................. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ...................................................... Jenis Data, Bahan dan Alat Penelitian ............................................. Waktu Penelitian .............................................................................. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 3.5.1 Kelimpahan Ikan Karang ........................................................ 3.5.2 Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan ............................ 3.5.3 Pengiriman Ikan...................................................................... 3.5.4 Biaya Penanganan (Handling)................................................ 3.5.5 Informasi Umum Kegiatan Perikanan Ikan Hias Laut ........................................................................ Analisis Data ....................................................................................
xii
23 23 26 26 26 27 28 29 29 29 30
3.6.1 Penentuan Kuota Tangkapan Lestari ...................................... 3.6.2 Analisis Upaya Penangkapan ................................................. 3.6.3 Analisis Optimasi Pemanfaatan Ikan Hias Laut dengan Pemrograman Linier (Linear Programming)............. 3.6.4 Analisis Finansial ................................................................... 3.6.5 Perumusan Strategi Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh Menggunakan Analisis SWOT ........................
30 32 33 34 37
4. HASIL PENELITIAN ............................................................................... 41 4.1 4.2
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................ Profil Perikanan Hias Laut di Pulau Weh ........................................ 4.2.1 Nelayan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ................................... 4.2.2 Keragaan Unit Penangkapan .................................................. 4.2.3 Upaya Penangkapan ............................................................... 4.2.4 Lokasi Penangkapan ............................................................... 4.2.5 Jenis-jenis Ikan Hias Laut yang dimanfaatkan ....................... 4.3 Potensi Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh ......................... 4.4 Pendugaan Kuota Tangkapan Lestari Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh ........................................................................... 4.5 Analisis Upaya Penangkapan ........................................................... 4.5.1 Tingkat Pemanfaatan .............................................................. 4.5.2 Nilai Ekonomi Unit Penangkapan Ikan Hias.......................... 4.6 Optimasi Pemanfaatan Ikan Hias Laut ............................................ 4.7 Potensi Ekonomi Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh.............. 4.8 Biaya Penanganan (Handling) ......................................................... 4.9 Analisis Finansial ............................................................................. 4.9.1 Analisis Usaha ........................................................................ 4.9.2 Analisis Kriteria Investasi ...................................................... 4.10 Analisis Pemasaran .......................................................................... 4.10.1 Pelaku pemasaran dan jalur pemasaran ................................ 4.10.2 Analisis margin pemasaran ................................................... 4.11 Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ........................................................................... 4.11.1 Unsur-unsur strategi SWOT................................................. 4.11.2 Analisis SWOT strategi pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh ........................................................................
41 41 41 42 46 46 46 48 49 53 53 56 57 58 60 60 61 63 64 65 66 66 67 72
5. PEMBAHASAN 5.1
Potensi Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh ......................... 79
xiii
5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7
Pendugaan Kuota Tangkapan Lestari Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh ........................................................................... Tingkat dan Pola Pemanfaatan Ikan Hias Laut ................................ Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias Laut ....................... Analisis Finansial ............................................................................. Analisis Pemasaran .......................................................................... Strategi Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ........................
80 84 96 98 101 102
6. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 105 6.1 6.2
Kesimpulan ...................................................................................... 105 Saran ................................................................................................ 105
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 106 LAMPIRAN ................................................................................................... 113
xiv
DAFTAR TABEL
1
Jenis data, metode, dan alat yang digunakan dalam penelitian ...............
26
2
Jenis, metode, dan deskripsi singkat mengenai data yang dikumpulkan dalam penelitian ................................................................
27
3
External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) ....................................
39
4
Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) ......................................
40
5
Model matriks TOWS dari hasil analisis SWOT ..............................................
40
6
Daftar jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan di Pulau Weh .................
47
7
Hasil pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut utama di P. Weh (model Schaefer) ....................................................................
51
Hasil pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut utama di P. Weh (model Fox) ............................................................................
52
Tingkat pemanfaatan terhadap kuota tangkapan tahunan model Fox ...............................................................................................
54
10 Nilai ekonomi unit penangkapan ikan hias .............................................
57
11 Hasil analisis optimasi terhadap jenis ikan yang dimanfaatkan ..............
58
12 Perbandingan nilai ekonomi perikanan ikan hias laut di P. Weh tahun 2010 dan berdasarkan hasil optimasi ............................................
59
13 Komponen biaya investasi fasilitas penanganan.....................................
60
14 Komponen biaya proses penanganan ......................................................
60
15 Perbandingan analisis usaha pengembangan ikan hias laut di P. Weh pada skenario pemanfaatan tahun 2010 dan pemanfaatan optimum ..................................................................................................
64
8 9
16 Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) ...............................................................................................................
73
17 Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary
(EFAS) ....................................................................................................
73
18 Matriks TOWS strategi pengembangan perikanan ikan hias laut di P. Weh .................................................................................................
75
19 Penentuan strategi prioritas pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh ..
78
20 Parameter-parameter sejarah hidup (life history) pada 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh (sumber: Froese dan Pauly 2010)............................................................
90
xii
DAFTAR GAMBAR
1
Kerangka pemikiran penelitian ...............................................................
7
2
Ilustrasi proses penangkapan ikan hias laut dan alat yang digunakan (sumber: www.terangi.or.id) .................................................
12
3
Peta lokasi penelitian di Pulau Weh, Aceh .............................................
24
4
Diagram alir tahapan penelitian ..............................................................
26
5
Ilustrasi metode sensus visual ikan karang (modifikasi dari Labrosse et al. 2002, atas seizin lembaga penerbit) ................................
28
Konstruksi dan dimensi jaring penghalang yang digunakan oleh nelayan ikan hias di P. Weh ....................................................................
43
Serok sebagai alat bantu penangkapan yang digunakan oleh nelayan ikan hias di P. Weh .................................................................................
44
Pengoperasian jaring penghalang dan serok dalam proses penangkapan ikan hias di P. Weh ...........................................................
44
Keranjang tampungan: (a) tampak bawah; (b) tampak atas ....................
45
10 Dua jenis kapal (kayu dan fiber) yang digunakan nelayan ikan hias di P. Weh .................................................................................................
45
11 Tempat penampungan sementara yang digunakan nelayan ....................
46
12 Lokasi penangkapan ikan hias di Pulau Weh..........................................
47
6 7 8 9
-1
13 Rata-rata (± 1 galat baku) kelimpahan (ind.ha ) ikan karang di 20 stasiun pengamatan, dikelompokan berdasarkan daerah pengelolaan ..................................................................................
48
14 Perbedaan rata-rata (± 1 galat baku) kelimpahan (ind.ha-1) ikan karang berdasarkan daerah pengelolaan di P. Weh. ........................
49
15 Hubungan linier antara jumlah stok dan MSY menggunakan model Schaefer........................................................................................
53
16 Hubungan linier antara jumlah stok dan MSY menggunakan model Fox ...............................................................................................
53
17 Perbandingan total tangkapan dan kuota tangkapan (model Fox) pada 3 spesies utama yang dimanfaatkan ...............................................
55
18 Komposisi spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan (jumlah data = 24609) .............................................................................
55
19 Komposisi ikan yang ditangkap berdasarkan jenjang rantai makanan (trophic level) (jumlah data = 24609) ......................................
55
xii
20 Skema jalur pemasaran ikan hias laut dari P. Weh (garis putusputus menunjukkan pola umum yang mungkin terjadi). ........................
66
21 Diagram arahan strategi berdasarkan hasil analisis SWOT ..............................
74
22 Komposisi jenjang rantai makanan (trophic level) ikan hias laut di P. Weh .................................................................................................
86
23 Komposisi kelompok fungsional (functional group) 77 spesies ikan hias laut di P. Weh ..........................................................................
87
24 Hubungan linier antara total tangkapan botana biru dan jumlah trip per bulan ...........................................................................................
92
25 Diagram boxplot sebaran nilai CPUE ikan botana biru (Acanthurus leucosternon) (jumlah data = 359) .....................................
93
26 Variasi jumlah total tangkapan bulanan ikan botana biru sebagai fungsi dari permintaan pada tahun 2010 .................................................
93
27 Perbandingan persentase dari jumlah total trip di wilayah KKLD dan daerah pemanfaatan (jumlah trip = 194) ..........................................
94
28 Jumlah trip yang tercatat selama 12 bulan di masing-masing lokasi penangkapan .................................................................................
94
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1
Klasifikasi spesies ikan hias laut utama yang dimanfaatkan ..................
113
2
Daftar jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut di Pulau Weh........................................................
118
3
Model dan Analisis Optimasi dengan Pemrograman Linier ...................
121
4
Data Hasil Wawancara ............................................................................
123
5
Analisis Finansial Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ...............
128
6
Daftar harga jual ikan hias di berbagai tingkat pemasaran .....................
130
7
Kegiatan Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh ..................................
132
xiv
DAFTAR ISTILAH
Biomassa: Jumlah keseluruhan ikan dalam satuan berat dalam suatu luasan perairan. Bentik Invertivora: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang memakan hewan invertebrata yang menempel di dasar perairan. Browser: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang secara konsisten memakan makro alga. Bycatch: Hasil tangkapan sampingan atau hasil tangkapan yang bukan merupakan target penangkapan. Detritivora: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang memakan detritus dari sedimen. Fishing mortality: Kematian ikan yang disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Functional Group: suatu kelompok yang terdiri dari berbagai spesies yang memiliki fungsi yang sama di alam, tanpa memperhatikan faktor kedekatan taksonomi. Grazers: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang alga epifit. Herbivora: adalah jenis hewan yang memakan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Ikan Hias: ikan yg dipelihara untuk hiasan, biasanya dl akuarium Ikan Karang: adalah jenis ikan yang hidup di ekosistem terumbu karang atau yang berasosiasi dengan terumbu karang. Life History: adalah hal-hal yang berkenaan dengan pertumbuhan, fekunditas, strategi reproduksi, dan usia saat suatu organisme mencapai matang gonad. Maximum Sustainable Yield (MSY): Jumlah maksimal ikan yang dapat dimanfaatkan dalam kondisi lestari. Overfishing: suatu keadaan dimana kegiatan penangkapan ikan mengakibatkan penurunan stok ikan hingga dibawah tingkat lestarinya.
telah
Natural mortality: Kematian ikan yang disebabkan proses alami seperti umur, pemangsaan, penyakit dan sebagainya.
xii
Obligative and facultative coral feeders: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang secara konsisten memakan polip karang. Precautionary: merupakan prinsip kehati-hatian dalam memberikan pertimbangan bagi keputusan pengelolaan perikanan yang disebabkan oleh kurangnya atau keterbatasan pengetahuan. Scrapers/small excavators: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang memakan alga, sedimen, dan material lain dari substrat terumbu. Berperan dalam membatasi pertumbuhan makro alga dan menyediakan daerah yang cocok bagi penempelan larva karang. SCUBA: Akronim dari Self Contained Underwater Breathing Device, yaitu alat pernapasan bebas untuk berada di bawah air dalam waktu lama untuk penyelaman rekreasi dan penyelaman profesional. Sessile Invertebrate feeder: Suatu istilah kelompok fungsional ikan, yaitu kelompok ikan yang memakan hewan invertebrate sesil yang tinggal di dasar perairan. Spillover: Efek penyebaran larva, juvenil, maupun ikan dewasa dari suatu wilayah yang dilindungi ke daerah lain, khususnya ke daerah penangkapan ikan. Total Allowable Catch: Sebuah pendekatan untuk pengelolaan perikanan untuk menetapkan kuota tahunan, dimana jika telah terlampaui maka penangkapan ikan untuk tahun tersebut akan dihentikan. Total tangkapan yang diperbolehkan ditetapkan pada tingkat untuk mencegah terjadinya tangkapan berlebih pada stok ikan. Trophic Level: Setiap tahapan dalam rantai makanan, diduduki oleh produsen di bagian bawah, dan selanjutnya oleh konsumen primer, sekunder, dan tersier. Sumber: Free online dictionary, Froese dan Pauly (2010), Green dan Belwood (2009), Jennings et al. (2001), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2008), Roberts et al. (2001), Sparre dan Venema (1999), Vivien dan Navaro (1983), www.wikipedia.org.
xiii
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ikan karang merupakan sumber makanan sekaligus pendapatan yang penting bagi masyarakat pesisir. Di dunia, pemanfaatan sumberdaya hayati ini dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan di dalamnya telah menurunkan kemampuan produksi alami dan keberlanjutannya (Sale 2002). Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya ikan karang adalah untuk memenuhi kebutuhan akan ikan hias untuk akuarium air laut. Akuarium ikan hias air laut merupakan salah satu diantara hobi yang paling populer, dengan jutaan penghobi di seluruh dunia. Uni Eropa secara keseluruhan merupakan pasar terbesar bagi produk ikan hias; namun Amerika Serikat dan Jepang merupakan negara pengimpor terbesar ikan hias di dunia. Meskipun tidak ada nilai pasti dari perdagangan dan industri ikan hias, total ikan hias dan avertebrata yang diimpor oleh berbagai negara di seluruh dunia diperkirakan bernilai 350 juta US Dollar (Hardy 2003). Setiap tahunnya, lebih dari satu miliar ikan hias diperdagangkan di seluruh dunia, terdiri lebih dari 4000 jenis ikan air tawar dan 1400 jenis ikan air laut, yang melibatkan lebih dari 100 negara (Whittington & Chong 2007). Industri perikanan ikan hias berproduksi dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 14% sejak tahun 1985, dengan seluruh nilai dari rangkaian industri yang meliputi penjualan ritel, material-material yang berasosiasi dengan ikan hias, upah dan produk-produk non-ekspor diperkirakan mencapai 15 miliar US Dollar (Bartley 2000). Menurut Abdullah (2005), Dirjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP, Sumpeno Putro mengatakan volume ekspor ikan hias pada 2001 sebesar US$14,6 juta dan pada 2004 sudah meningkat menjadi US$15,7 juta. Secara keseluruhan nilai transaksi perdagangan ikan hias di pasar dunia sekitar US$500 juta. Perdagangan ikan karang hidup di Indonesia telah berlangsung selama 20 hingga 25 tahun, dimana pekembangannya sejalan dengan perkembangan kebutuhan pasar. Akan tetapi di sisi lain kondisi lingkungan perikanan karang saat ini menunjukkan penurunan yang tajam (COREMAP 2009). McClanahan (1994)
2
mengemukakan bahwa perlu dilakukan sebuah pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut, karena pemanfaatannya yang semakin berkembang dapat mengancam keberadaan dan keanekaragaman spesies sumberdaya ikan karang. Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dari sudut pandang ekologi adalah (a) kegiatan pemanfaatan yang memperhatikan keberlanjutan stok ikan, (b) menjaga sumberdaya perikanan secara lebih luas dan spesies-spesies lain didalamnya, dan (c) menjaga serta meningkatkan kesehatan ekosistem (Charles 2001). Pengambilan ikan hias laut yang tidak terkelola dengan baik dapat menyebabkan kepunahan lokal yang diakibatkan oleh pengambilan yang berlebih (overfishing) dan tidak terkontrol.
Pengambilan yang berlebih mencakup
pengambilan organisme itu sendiri pada berbagai ukuran yang suboptimal tangkapan potensialnya (McManus 1997). Menurunnya stok suatu sumberdaya tidak hanya disebabkan oleh terjadinya overfishing, tetapi juga dapat disebabkan oleh rusaknya habitat ikan tersebut. Oleh karena itu pengelolaan perikanan akan beralih dari penerapan TAC (Total Allowable Catch) yang merupakan tujuan utama, menuju pengelolaan berbasis ekosistem dengan pendekatan daerah perlindungan laut (termasuk penetapan zona larang tangkap di dalamnya) (Pauly 2002). Pengelolaan jangka panjang terhadap populasi ikan karang khususnya ikan hias sangat baik apabila dilakukan dengan menggabungkan penelitian biologi dan perikanan, pengelolaan sumberdaya, pengembangan budidaya, keterlibatan pihakpihak terkait dan dukungan peraturan (Sadovy & Vincent 2002). Pengelolaan perikanan karang hidup yang berkelanjutan akan mengacu dua hal pengelolaan yaitu: (a) pengelolaan sumberdaya perikanan untuk memastikan kesehatan terumbu karang dan tersedianya stok perikanan; dimana masyarakat dan pemerintah
setempat
memiliki
rencana
pengelolaan
perikanan
dengan
memperhatikan stok perikanan, kemampuan sumberdaya alam dan pemanfaat perikanan; serta (b) pengelolaan penanganan perikanan untuk perdagangan. Membangun kesepakatan
penanganan antara nelayan, pengepul dan pembeli
tentang cara penanganan yang baik dan bermanfaat untuk peningkatan mutu, kualitas perikanan serta kualitas sumberdaya perikanan (COREMAP 2009).
3
Beberapa strategi yang telah dikembangkan dalam pengelolaan ikan hias antara lain melalui penetapan daerah perlindungan laut atau daerah larang ambil serta evaluasi total tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catches) (Ochavillo dan Hodgson 2006).
Model perikanan dapat digunakan untuk
menduga tangkapan lestari terhadap banyaknya stok yang dimanfaatkan. Model tersebut harus mempunyai data tangkapan dan upaya serta parameter demografik terhadap organisme target (Hilborn dan Walters 1992).
Pendugaan laju
eksploitasi dan pembatasan melalui pendugaan stok ikan adalah salah satu model yang dapat digunakan untuk pemanfaatan lestari ikan hias, karena mencakup komponen keseimbangan reproduksi, pertumbuhan, mortalitas penangkapan, dan mortalitas alami (Pet-Soede et al. 2000; Ochavillo dan Hodgson 2006). Pemanfaatan sumberdaya ikan hias di Pulau Weh telah berlangsung sejak tahun 1997. Adanya dinamika politik dan keamanan di Aceh mengakibatkan kegiatan pemanfaatan ikan hias sempat terhenti.
Pasca terjadinya bencana
tsunami pada tahun 2004 dan seiring dengan upaya rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh, kegiatan pemanfaatan ikan hias air laut di Pulau Weh mulai kembali berkembang sejak 5 tahun yang lalu. Pada tahun 2010 terdapat dua puluh dua (22) orang nelayan ikan hias di P. Weh yang berdomisili di Desa Beurawang. Pulau Weh memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan karang untuk pasar ikan hias. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Ardiwijaya et al. (2007) di beberapa kawasan pengelolaan di Pulau Weh, kelimpahan rata-rata ikan karang di daerah pemanfaatan adalah 22.135 ind.ha-1, daerah pengelolaan kawasan wisata 51.735 ind.ha-1, dan daerah di bawah pengelolaan Panglima Laut 70.517 ind.ha-1. Sedangkan biomassa ikan karang di daerah pemanfaatan adalah 460 kg.ha-1, kawasan wisata 924 ind.ha-1, dan panglima laut 1.346 ind.ha-1. Menurut Yulianto (2010) teridentifikasi sebanyak 84 spesies ikan karang yang dimanfaatkan secara ekonomi oleh nelayan di P. Weh, yang didominasi oleh famili Scaridae, Caesionidae dan Acanthuridae. Dari aspek kelestarian ekologi dan sumberdaya terdapat 9 spesies ikan karang yang perlu dilindungi di P. Weh, yaitu Pseudobalistes fuscus, Carangoides plagiotaenia, Elagatis bipinnulatus, Lutjanus bohar, Cephalopholis boenak, Cephalopholis miniata, Epinephelus
4
caeruleopunctatus, Epinephelus spilotoceps, dan Variola louti. Hal tersebut didasarkan atas indikasi tingkat kerentanan yang cukup tinggi dimana perbandingan hasil tangkapan dan biomassa ikan yang rendah. Kajian pemanfaatan lestari ikan karang di P. Weh yang dilakukan oleh Yulianto (2010) hanya mencakup jenis-jenis ikan konsumsi dan belum mencakup jenis-jenis ikan karang yang dimanfaatkan sebagai ikan hias akuarium. Terdapat perbedaan mendasar antara kajian ikan konsumsi dan kajian ikan hias laut. Pendugaan stok ikan konsumsi pada umumnya dilakukan melalui pendekatan satuan biomassa, sedangkan ikan hias laut menggunakan pendekatan satuan kelimpahan karena produksinya yang selalu dihitung dalam satuan jumlah individu ikan. Aktivitas pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh masih mengalami beberapa permasalahan, salah satunya dalam hal proses-proses penanganan sejak ikan ditangkap hingga proses pengiriman ikan kepada pembeli. Keterbatasan kapasitas penampungan
dan
pengetahuan
mengenai
cara
penanganan
ikan
hias
menimbulkan masalah dalam hal kualitas ikan. Selain itu, saat ini pola pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh sangat ditentukan oleh permintaan. Nelayan di Desa Beurawang cenderung hanya menangkap satu spesies ikan karang yaitu jenis botana biru (Acanthurus leucosternon). Model pemanfaatan yang hanya bergantung pada satu spesies seperti ini akan menimbulkan tekanan kepada suatu populasi ikan yang akhirnya mengancam keberadaan stok. Meskipun pertimbangan ekologi harus diterapkan untuk memastikan sumberdaya alam terlindungi, tetapi kriteria ekonomi tetap merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pemanfaatan ikan hias laut. Diperlukan sebuah pengaturan yang tidak mengabaikan keuntungan ekonomi dari kegiatan ini, atau kegiatan pemanfaatan akan berjalan secara illegal maupun tidak menguntungkan secara ekonomi (Dufour 1997). Oleh karena itu untuk menjawab tantangan potensi pengembangan pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh, perlu dibangun sebuah model pemanfaatan yang didasarkan atas konsep keberlanjutan dari perspektif ekologi dan ekonomi.
5
1.2 Perumusan Masalah Menurut COREMAP (2009), beberapa permasalahan yang mendasar dalam pemanfaatan dan pengelolaan ikan hias laut untuk perdagangan adalah: (a) pada umumnya ikan karang memiliki laju pertumbuhan yang lambat, masa produksi lama dengan jangka pemijahan yang lama, (b) kebanyakan nelayan serta pedagang tidak memahami pengetahuan tentang sumberdaya perikanan karang serta cara hidupnya, (c) permintaan pasar yang terus meningkat mengakibatkan adanya upaya penangkapan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, (d) penangkapan berlebih mengakibatkan populasi ikan karang terganggu, (e) walaupun ada upaya pengelolaan sifatnya masih sangat sedikit dan tidak terpadu, akibatnya tidak berdampak banyak untuk kelestarian dan pertumbuhan ekonomi perikanan karang. Pola pemanfaatan ikan hias di Pulau Weh cenderung merupakan pemanfaatan satu jenis saja (single species). Spesies ikan yang paling banyak ditangkap untuk ikan hias adalah jenis botana biru (Acanthurus leucosternon). Pola pemanfaatan seperti ini jika dilakukan secara terus menerus akan mengancam kelestarian populasi spesies tersebut. Berdasarkan hal ini, maka perlu alternatif pemanfaatan spesies ikan lainnya untuk mengurangi tekanan terhadap populasi ikan botana biru di kawasan ini. Dalam menentukan spesies-spesies lain yang berpotensi untuk dimanfaatkan, informasi mengenai jumlah tangkapan lestari jenis-jenis tersebut sangat diperlukan. Untuk mendukung pemanfaatan ikan hias laut secara bertanggungjawab dan lestari di Pulau Weh diperlukan sebuah pendekatan tertentu yang mampu mengubah pola kebiasaan nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan hias laut yang ada dan memberikan keuntungan yang secara langsung dapat dirasakan oleh nelayan. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan optimasi pemanfaatan ikan hias laut, dimana manfaat langsung yang diharapkan adalah adanya peningkatan pendapatan, dengan tetap menerapkan prinsip pemanfaatan lestari. Berdasarkan hal tersebut maka beberapa pokok permasalahan dalam mengembangkan kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh adalah:
6
1) pola pemanfaatan ikan hias di P. Weh cenderung hanya memanfaatkan satu jenis ikan saja, yaitu ikan botana biru (Acanthurus lecucosternon); 2) belum diketahui adanya kajian mengenai spesies-spesies ikan hias laut lain yang potensial untuk dimanfaatkan dimana penentuannya didasarkan atas potensi tangkapan lestarinya; 3) belum diketahui adanya model dan strategi pemanfaatan ikan hias laut yang optimum dan lestari yang dapat diterapkan oleh nelayan ikan hias laut di Pulau Weh. Dari perumusan masalah yang ada, maka beberapa pertanyaan yang muncul berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) seberapa besar potensi lestari ikan hias laut yang dapat dimanfaatkan di Pulau Weh? 2) strategi apa yang perlu dilakukan untuk mencapai pemanfaatan ikan hias laut yang optimum?; 3) apakah pola pemanfaatan ikan hias yang lestari dan optimum
juga
memberikan keuntungan secara ekonomi?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji potensi sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh; 2) mengkaji pola pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh saat ini; 3) mengestimasi suatu pola pemanfaatan ikan hias laut yang optimum dan lestari dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan dan ekonomi yang didasarkan atas kuota tangkapan lestari, harga ikan, kapasitas upaya penangkapan dan penanganan; 4) merumuskan suatu strategi prioritas untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh.
7
Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian
Permasalahan 1. Pola pemanfaatan ikan hias di P. Weh cenderung hanya memanfaatkan satu jenis ikan saja, yaitu ikan botana biru (Acanthurus lecucosternon) 2. Belum diketahui adanya kajian potensi sumberdaya ikan hias laut di P. Weh
1. Seberapa besar potensi lestari ikan hias laut yang dapat dimanfaatkan di Pulau Weh? 2. Strategi apa yang perlu dilakukan untuk mencapai pemanfaatan ikan hias laut yang optimum?
Sumberdaya ikan hias laut di Pulau Weh
3. Apakah pola pemanfaatan ikan hias yang lestari dan optimum juga memberikan keuntungan secara ekonomi?
3. Belum diketahui adanya model dan strategi pemanfaatan yang optimum dan lestari
Pemanfaatan ikan hias laut untuk akuarium
Jumlah stok populasi ikan hias laut Survei (sensus visual) Pendugaan stok populasi ikan hias laut
Kegiatan
Proses penanganan (handling)
pemanfaatan ikan hias
Fasilitas penanganan
Pola pemanfaatan ikan hias laut
Analisis jumlah kuota tangkapan lestari
Analisis finansial
Analisis SWOT Strategi Pemanfaatan Ikan hias laut di Pulau Weh
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
8
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan beberapa manfaat, diantaranya: 1) memberikan informasi mengenai potensi sumberdaya dan kuota tangkap lestari ikan hias laut yang dapat dimanfaatkan di Pulau Weh; 2) memberikan usulan arahan strategi pemanfaatan ikan hias laut yang optimum dan berkelanjutan dari perspektif ekologi dan ekonomi bagi nelayan di Pulau Weh.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Perikanan Ikan Hias Laut di Indonesia Indonesia merupakan pusat keragaman hayati laut dunia yang kaya akan spesies ikan karang. Menurut Allen dan Adrim (2003), di Indonesia terdapat 2057 spesies ikan karang yang terbagi kedalam 113 famili. Sembilan famili utama ikan karang di Indonesia adalah Gobiidae (272 spesies), Labridae (178), Apogonidae (114), Bleniidae (107), Serranidae (102), Muraenidae (61), Syngnathidae (61), Chaetodontidae (59), dan Lutjanidae (43). Perdagangan ikan hias laut di Indonesia dimulai sejak awal era 70an atau mungkin lebih awal. Saat ini Indonesia merupakan negara pengekspor utama ikan hias laut. Nilai ekspor pada tahun 1993 sebesar US$ 5,5 juta dengan negara tujuan utama Amerika dan Eropa (Wood 2001a). Indonesia merupakan eksportir terbesar di dunia untuk sumberdaya laut dalam memenuhi kebutuhan industri akuarium dan telah sangat bergantung pada kegiatan pengambilan langsung di alam.
Karena posisinya di khatulistiwa,
Indonesia berada pada posisi yang strategis dalam mensuplai spesies-spesies laut bagi Eropa, Amerika Utara dan Asia dalam 25 tahun terakhir (Reksodihardjo dan Lilley 2007). Perdagangan biota laut untuk akuarium telah memanfaatkan kondisi Indonesia yang strategis di dunia. Akan tetapi patut disayangkan bahwa terlalu banyak pihak yang terlibat di dalam industri ini yang berasumsi bahwa suplai dari alam tidak terbatas.
Industri ini telah menarik ribuan nelayan pesisir untuk
memiliki penghasilan tambahan dengan menjadi nelayan kolektor sumberdaya laut untuk kebutuhan industri akuarium. Sebagian besar dari nelayan tersebut tidak mengenyam pendidikan dan tidak memiliki pekerjaan, para nelayan dipaksa bertahan dengan harga jual yang rendah, kondisi kerja yang buruk, kelumpuhan dan kematian akibat kegiatan penangkapan, untuk memenuhi kepuasan pasar yang terus berkembang (Reksodihardjo dan Lilley 2007). Walaupun Indonesia merupakan eksportir terbesar, akan tetapi data perdagangan ikan hias laut Indonesia sampai saat ini sangat terbatas. Sangat
10
sedikit catatan perdagangan yang ada sebelum kurun waktu tahun 2000, selain itu Kementrian
Kelautan
dan
Perikanan
tidak
pernah
mensyaratkan
para
pengusaha/pedagang untuk memasukkan data perdagangan ikan hias laut mereka (Lilley 2008). Ekspor ikan hias laut dari Indonesia menunjukkan peningkatan setiap tahun (Dufour 1997).
Terdapat sebanyak 280 jenis ikan karang yang
dimanfaatkan sebagai ikan hias (Anonim 2001). Berdasarkan basis data yang dipublikasikan oleh Global Marine Aquarium Database (http://www.unepwcmc.org/marine/GMAD/data.html), sejak tahun 1993-2003 tercatat sebanyak 464 spesies ikan hias laut yang di ekspor dari Indonesia, dengan jumlah total lebih dari 900 ribu ekor. Salah satu jenis ikan hias laut di Indonesia yang merupakan primadona di pasar akuarium dunia adalah Ikan Banggai Cardinalfish. Ikan Banggai Cardinalfish atau di kalangan nelayan dan eksportir ikan hias dikenal dengan nama Ikan Capungan Ambon atau Capungan Banggai termasuk ke dalam jenis ikan laut dari suku Apogonidae (Wijaya 2010). Banggai Cardinalfish menjadi pepuler di kalangan penggemar akuarium karena tampilannya yang menarik, daya tahan yang baik di dalam akuarium, dan siap dibesarkan di penangkaran (Helfman 2007). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Roberts dan Hawkins (1999), seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap jenis ikan ini sejak awal 1990 tetapi dengan rentang geografis yang terbatas, fekunditas rendah, dan penangkapan yang intensif menghasilkan dugaan yang mengkhawatirkan terhadap keberadaan ikan ini di alam. Mereka menyatakan kemungkinan ikan jenis ini akan punah dari alam, dan Allen (2000) mengusulkan untuk memasukan ikan ini ke dalam IUCN Red List. Wijaya (2010) melakukan kajian terhadap kegiatan pemanfaatan Ikan Banggai Cardinalfish dan menemukan bahwa tingkat pemanfaatan jenis ikan ini berdasarkan data yang didapatkan dari Bone Baru, Mbato mbato, Tolokibit dan Pulau Bandang (Pulau Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah) masih berada di bawah angka potensi tangkap lestarinya.
Ikan ini
ditangkap dengan metode yang masih tergolong ramah lingkungan, akan tetapi cara pengoperasian masih berpotensi mengakibatkan kerusakan terumbu karang
11
meskipun dalam skala yang relatif kecil. Sedangkan tata niaga ikan Banggai Cardinal dari nelayan hingga eksportir rantainya masih terlalu panjang sehingga peluang kematian relatif tinggi dan harga di tingkat nelayan menjadi rendah. Banggai Cardinalfish adalah salah satu ikan laut tropis yang mudah untuk dikembangbiakan dalam penangkaran dan ikan hasil pengembangbiakan tersedia secara luas. Banggai Cardinalfish hasil penangkaran dijual dengan harga US$ 12,50-15,00, sedangkan ikan yang ditangkap langsung dari alam dijual pada kisaran harga US$ 6-8 (Helfman 2007).
2.2 Kegiatan Penangkapan Ikan Hias Laut Ikan hias laut dapat ditangkap dengan menyelam bebas (snorkelling), tetapi lebih umum menggunakan alat SCUBA dan kompresor hookah. Jika nelayan secara kebetulan menangkap ikan hias di alat perangkap mereka, mereka akan menjualnya kepada pengumpul ikan hias karena harganya yang lebih tinggi dibandingkan sebagai ikan konsumsi. Nelayan kolektor ikan hias dapat merupakan nelayan paruh waktu maupun sebagai nelayan ikan hias penuh, bekerja sendiri atau bekerja untuk pengumpul atau eksportir (Wood 2001b). Tekanan pasar telah mengarahkan kegiatan penangkapan ikan hias laut. Importir sering meminta jenis-jenis tertentu seperti ikan anemon dan cleaner wrasse (Labroides sp.) yang permintaan pasarnya selalu ada. Ikan-ikan tersebut menjadi target yang selalu ditangkap karena adanya garansi semu dari eksportir bahwa ikan pasti terjual. Di sisi lain jika terdapat jenis ikan dengan daya jual rendah, eksportir selalu meminta nelayan untuk tidak mengirimkan suplai (Wood 2001b). Saat menangkap ikan, nelayan biasanya memburu individu ikan ataupun suatu gerombolan ikan (Helfman 2007). Menurut Wood (2001b), saat ini jaring merupakan alat utama bagi nelayan penangkap ikan hias dengan dibantu sebuah tongkat yang berfungsi untuk memancing ikan keluar dari persembunyiannya lalu menggiring nya ke dalam jaring. Hand net (serok) dan barrier net adalah yang paling umum digunakan dan biasanya terbuat dari jaring mono-filamen dengan ukuran mata jaring berkisar dari 3-28mm, sedangkan diameter serok yang digunakan berkisar antara 10 – 50 cm (Gambar 2).
12
Rataa-rata nelayyan yang meelakukan peenangkapann menggunaakan jaring dapat menangkaap sekitar 200-25 ekor ikkan per harii, berdasarkkan observassi di Cook Island I sebanyak 24-36 ekor,, Australia sebanyak s 20 0-45 ekor, dan d Sri Lankka sebanyak k 30 Wood 20011b). Akan tetapi tidak k adanya daata CPUE ddari sekitar lebih 50 ekor (W dari 50 neegara produusen ikan hias h laut, membuat m keebijakan penngelolaan sektor s perikanan ini menjadi sulit (Helffman 2007).
Gambar 2 Illustrasi proses penangkapan ik kan hias lauut dan alat yang digun nakan (sumber: www.terangi.or.id). Pengggunaan siaanida untukk menangkap ikan hiaas laut massih dilakuk kan di beberapa tempat meskipun m merupakan n kegiatan yang ileegal. Alteernatif penggunaaan bahan kimia k lain yang ditaw warkan adallah minyakk cengkeh, akan tetapi pennggunaannyya relatif lebih mahaal dibandinngkan denggan menan ngkap menggunaakan jaring (Wood 20001b). Rataa-rata tingkaat kematiann ikan hias yang ditangkap dengan menggunakan m n sianida mencapai m 8 80%. Di ddalam akuaarium, seekor ikaan dapat maati secara tibba-tiba saat diberi makaan karena adanya kerussakan liver akibbat racun siianida. Masalah lain n yaitu adannya masalaah sudden death syndrome (SDS), yaiitu kematiann ikan secaara tiba-tibaa di dalam aakuarium karena k mengalam mi stress (Heelfman 20077). Mennurut Sadovvy (2002), kegiatan perdagangann ikan hias laut mengalami masalah dengan d morrtalitas ikann hasil tan ngkapan yanng biasanyya dikelomp pokan kedalam tiiga jenis yaaitu: kematian tiba-tibaa (instaneouus), kematiaan akibat byycatch atau tidak sengaja (inncidental), dan d kematiaan tertunda (delayed). (
13
Ikan target yang mati selama proses penangkapan diakibatkan oleh penanganan yang buruk maupun praktek penangkapan yang merusak, sehingga menyebabkan hilangnya potensi keuntungan bagi nelayan.
Keadaan ini
merupakan bentuk ‘pemborosan’ dimana ikan yang mati akan digantikan oleh dengan ikan yang baru pada kegiatan penangkapan berikutnya, sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya. Kematian akibat bycatch atau incidental terjadi pada ikan non target dan terjadi pada semua kegiatan perikanan tangkap pada tingkatan tertentu.
Karena kegiatan perikanan ikan hias laut
cenderung menangkap ikan secara individual (satu per satu), bycatch relatif sangat kecil, terutama jika tidak menggunakan praktek penangkapan yang merusak. Kematian tertunda terjadi pada tahap penanganan setelah ikan ditangkap, biasanya pada tahapan penyimpanan dan transportasi. Kematian ini diakibatkan karena ikan mengalami stress sejak proses ikan ditangkap hingga tahap pengiriman, kelaparan, dan kualitas air yang buruk (Helfman 2007). Menurut Rubec et al. (2001), perdagangan ikan karang hias yang ditangkap menggunakan jaring dimungkinkan secara ekonomi. Hal ini dapat dicapai jika mortalitas ikan dapat ditekan secara signifikan pada setiap tahapan pengiriman, sejak dari nelayan hingga penjual akhir (retailer) serta sekaligus menerapkan pola yang hemat biaya.
Penangkapan ikan menggunakan jaring akan dapat
meminimalisasi stress pada ikan yang berhubungan dengan proses penanganan dan pengiriman.
2.3 Dampak Kegiatan Industri Akuarium Terumbu karang sangat luas, sebagian besar populasi berada dalam jumlah besar, dan hanya sebagian kecil individu yang dikoleksi untuk industri akuarium. Meskipun begitu, beberapa spesies ikan yang secara alami memiliki kelimpahan yang rendah mungkin memiliki tingkat predasi yang rendah dan tingkat regenerasi yang rendah, sehingga rentan terhadap penangkapan berlebih. Sebagai contoh Ikan Lepu Ayam (Pterois sp.) tidak pernah ditemukan dalam jumlah banyak, terlindung dari predator, tetapi merupakan target utama penangkapan untuk ikan hias. Ikan anemon dan cleaner wrasse terancam karena sangat populer. Ikan anemon juga semakin tertekan karena hidup berasosiasi dengan hewan anemon
14
yang juga merupakan target koleksi untuk akuarium.
Lambatnya proses
reproduksi pada kedua ikan ini semakin menekan keberadaannya di alam (Helfman 2007). Masalah lain yang dihadapi adalah intensitas penangkapan yang terjadi di semua kelompok usia ikan. Juvenil adalah kelompok usia ikan yang sering menjadi target industri akuarium. Chan dan Sadovy (1998) mengestimasi bahwa sekitar 56% dari hewan hias yang dijual di Hong Kong adalah juvenil, dimana hal ini akan mempercepat laju penurunan populasi dan ketidakseimbangan ekosistem. Edwards dan Shepherd (1992) menggunakan metode sensus visual untuk mengestimasi kepadatan populasi dan potensi lestari untuk spesies akuarium di Maldives. Mereka menyimpulkan bahwa 12 spesies dieksploitasi melebihi tingkat lestarinya, dan 12 lainnya akan mengalami overeksploitasi jika ekspor ditingkatkan menjadi tiga kali lipat dibanding tahun 1989 yaitu sebesar 54.000 ekor ikan setiap tahunnya. Tissot dan Hallacher (2003) menemukan bahwa tujuh dari sepuluh ikan target mengalami penurunan kelimpahan yang signifikan di lokasi penangkapan yang berkisar antara 38% hingga 75%, sedangkan 2 dari 9 spesies yang memiliki kesamaan ekologi tetapi bukan merupakan ikan target menunjukan adanya penurunan jumlah di lokasi penangkapan di pesisir Kona, Hawaii. Lebih jauh, meskipun terjadi penurunan sebesar 32% dari ikan herbivora, tidak ditemukan perbedaan kepadatan makro alga antara daerah penangkapan dan daerah kontrol. Melalui wawancara dengan nelayan lokal, Kolm dan Berglund (2003) menemukan dampak negatif yang signifikan akibat tekanan penangkapan ikan terhadap kepadatan Ikan Banggai Cardinalfish. Keadaan ini mengkhawatirkan karena sifat ikan Banggai Cardinalfish yang memiliki pola sebaran yang terbatas. Hal ini membuktikan bahwa meskipun metode penangkapan yang digunakan merupakan metode yang tidak merusak, kegiatan perdagangan ikan untuk akuarium telah mengakibatkan dampak parah terhadap populasi di alam. Terminologi ‘metode penangkapan yang tidak merusak’ mungkin mengakibatkan persepsi yang keliru dalam kaitannya dengan konservasi sumberdaya ikan karang. Perdagangan ikan hias laut jika dilakukan secara lestari, bebas dari metode yang merusak, dan tidak metargetkan spesies ikan konsumsi dapat memberikan
15
keuntungan bagi negara-negara di daerah tropis khususnya bagi desa-desa kecil dan
terpencil.
Kegiatan
ini
dapat
memberikan
lapangan
pekerjaan,
mempromosikan kegiatan konservasi, dan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan dan sumberdaya laut lainnya (Helfman 2007). Dari sudut pandang sosial-ekonomi, Dufour (1997) mengkalkulasi bahwa setiap 100.000 ikan yang diekspor dalam perdagangan akuarium telah menciptakan 10-20 lapangan kerja, menghasilkan pendapatan tahunan sebesar US$ 200.000. Dengan mengekstrapolasi nilai tersebut terhadap 15-40 juta ekor ikan yang diekspor setiap tahunnya, perdagangan dapat mencapai nilai US$30 60 juta bagi ekonomi lokal, menyerap tenaga kerja sebanyak 1.500 - 3.000 orang.
2.4
Pengelolaan Ikan Hias Laut Melalui Pembatasan Jumlah Tangkapan Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Gasparini et al. (2005), ada 8
pendekatan yang dapat dilakukan bagi pengelolaan kegiatan perikanan hias, yaitu: (1) pembatasan jenis yang diperdagangkan; (2) memprioritaskan kajian terhadap spesies-spesies yang utama dimanfaatkan; (3) membangun sistem kuota berbasis spesies; (4) pembatasan ukuran; (5) mempromosikan metode panangkapan dan perlakuan penanganan yang baik; (6) melindungi jenis-jenis langka maupun spesies kunci; (7) sistem pencatatan dan pelaporan yang baik oleh penjual; dan (8) membuat panduan lapangan yang berupa foto atau gambar dari spesies-spesies yang dimanfaatkan, untuk membantu pihak-pihak yang melakukan monitoring aktivitas pemanfaatan dan perdagangan. Di Republik Maladewa, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Edwards (1988) dalam Wood (2001b) kuota total sebanyak 100.000 ekor ikan ditetapkan pada tahun 1988 dan 1989. Kuota berbasis spesies pun ditetapkan pada beberapa spesies yang rentan terhadap eksploitasi berlebih atau tingkat pemanfaatannya mendekati MSY. Lebih jauh, Saleem dan Islam (2009) menyatakan bahwa Republik Maladewa menerapkan suatu sistem ketegorisasi dalam menetapkan kuotanya. Kategori A terdiri dari 17 spesies yang dilarang untuk ekspor. Kategori A diantaranya terdiri dari spesies yang memiliki daya tahan rendah di akuarium, seperti Chaetodon meyeri, C. trifasciatus, dan C. triangulum. Kategori B terdiri
16
dari 66 spesies yang memiliki kuota tangkap. Kategori C terdiri dari 71 spesies yang dapat diekspor secara bebas hingga mencapai jumlah total 300.000 ekor. Studi pendugaan stok alami ikan hias laut, harus menjadi pertimbangan utama jika pengambilan terhadap ikan ini terus meningkat secara signifikan. Disamping itu, untuk mencegah kemungkinan terjadinya penangkapan berlebih juga diperlukan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (kuota) terhadap ikan dengan nilai jual tinggi tetapi kelimpahannya rendah (Dufour, 1997). Kuota harus ditetapakan berdasarkan spesies (seperti penetapan 100, 1.000, atau 10.000 ekor ikan). Kuota tersebut harus ditetapkan setelah verfikasi stok alami yang ada terhadap suatu spesies dan juga mempertimbangkan ancaman atau dampak yang ada jika spesies ikan tersebut diambil (Dufour, 1997). Pengelolaan stok ikan dapat diduga dari populasi yang telah diambil, yaitu jumlah total ikan yang ditangkap. Namun demikian, terkadang kelimpahan ikan sangat kontradiktif terhadap pendugaan stok melalui jumlah ikan yang telah diambil. Salah satu prinsip utama dalam pendugaan fluktuasi stok ikan hias laut adalah jumlah larva yang berada di karang, karena hal tersebut sangat mewakili jumlah produksi ikan yang sebenarnya.
Dalam perdagangan ikan hias laut
pendugaan stok dilakukan berdasarkan jumlah spesimen dan bukan biomassa, sehingga tingkat kolonisasi merupakan teori yang digunakan untuk penentuan batas pengambilan maksimum (Dufour, 1997). Namun demikian, untuk beberapa spesies jumlah kolonisasi larva yang terdapat di suatu pulau dalam satu tahun tergantung kepada bagaimana larva tersebut dapat bertahan dengan baik di lautan, sehingga tidak bisa digunakan untuk memprediksi figur pulau lain berdasarkan suatu pulau. Untuk skala waktu dan ruang yang kecil, tingkat kolonisasi lebih mudah diprediksi berdasarkan spesies (Dufour, 1997). Pengelolaan perikanan umumnya dilakukan berdasarkan biomassa optimal dan tidak berdasarkan jumlah spesimen hasil tangkapan, sehingga besar kemungkinan jumlah anak ikan yang tertangkap sangat banyak dan 90% akan hilang sebelum dewasa. Pengelolaan seperti ini hanya melindungi jumlah stok ikan dewasa (Dufour, 1997).
17
Model perikanan tradisional belum berhasil mengatasi beberapa faktor kesalahan dalam pengelolaan. Para peneliti perikanan kembali menduga bahwa metode konvensional terutama dalam aplikasi untuk spesies dengan pertumbuhan cepat di daerah tropis tidak dapat dirancang dengan dana terbatas untuk melakukan pendugaan secara reguler terhadap populasi ikan target (Hodgson dan Ochavillo 2006). Batasan-batasan dari asumsi yang ada pada teori model perikanan dan kurangnya data perdagangan hewan hias, kelimpahan ikan taget yang rendah dan variasi kelas ukuran menjadi suatu perikanan.
peluang untuk mengembangkan model
Edwards dan Shepherd (1998) mengusulkan pendekatan untuk
pemanfataan ikan secara lestari dalam perdagangan akuarium. Mereka melakukan penghitungan kuota berdasarkan densitas (kelimpahan) ikan yang dihasilkan berdasarkan survei potensi dan populasi ikan karang serta estimasi skala total area kawasan terumbu karang.
Berdasarkan fakta bahwa terumbu karang bukan
merupakan habitat karang saja, maka kawasan terumbu karang diberikan nilai 0,5 untuk variabilitasnya. Selanjutnya berdasarkan formulasi dari Gulland (1971) yang menyatakan bahwa MSY adalah bagian dari biomassa yang tidak tereksploitasi, MSY diasumsikan tercapai dalam batas 66%.
Faktor mortalitas
alami dengan menggunakan panjang ikan infinity (L∞) dan suhu perairan juga menjadi parameter untuk perhitungan kuota. Sehingga diperoleh persamaan Q = M (0,5 x D) (0,5) (0,66) dimana Q adalah kuota, M adalah mortalitas alami dan D adalah densitas ikan. Menurut Satriya (2009), pada eksploitasi dengan prinsip kehati-hatian (precautionary principle), maka studi tentang jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) mutlak dilakukan pada setiap penelitian pendugaan status suatu perikanan. JTB sendiri berarti besarnya atau banyaknya sumber daya ikan (SDI) yang boleh ditangkap dengan memperhatikan keamanan kelestariannya di wilayah perikanan Republik Indonesia (Kepmentan No.995 /Kpts/IK.210/9/99). Estimasi JTB adalah sebesar 80% dari nilai maximum sustainable yield (MSY). Selanjutnya menurut Wiadnya et al. (2006), tujuan kebijakan dan pengelolaan perikanan
Indonesia
mempertimbangkan
prinsip
kehari-hatian
dengan
menetapkan tangkapan sebesar 80% dari MSY. Hal ini tertuang dalam Kepmen
18
KP No Kep. 18/Men/2002 tentang rencana strategis pembangunan kelautan den perikanan 2001-2004.
2.5 Pendekatan Lain Dalam Pengelolaan Perikanan Ikan Hias Laut Rencana pengelolaan dan regulasi jarang ditemui pada perdagangan untuk akuarium dibandingkan untuk perikanan karang secara umum (Wood 2001a). Saat terdapat regulasi yang komprehensif, kepatuhan dan pengawasan cenderung mengalami masalah, Di Hawaii, hanya 13% dari kolektor yang memiliki ijin yang memenuhi kewajiban untuk memberikan laporan, meskipun tidak ada langkah untuk mengkaji keakuratan data yang dilaporkan (Moffie 2002). Wood (2001b) mengeneralisasi bahwa perikanan ikan hias perlu dikelola untuk: (1) memastikan keberlanjutannya dan terintegrasi dengan pemanfaatan sumberdaya lainnya (jenis perikanan lain dan ekowisata); (2) meminimalkan kematian saat penangkapan dan pasca penangkapan, termasuk tidak menangkap jenis ikan yang sulit dipelihara di akuarium; dan (3) menyentuh isu sosialekonomi untuk perdagangan yang adil dan seimbang. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan metapkan daerah perlindungan atau zona larang ambil (no take zone). Menurut Friedlander (2001), daerah perlindungan menawarkan alternatif suatu pendekatan pengelolaan perikanan yang umumnya bergantung pada pembatasan ukuran tangkap, pembatasan jumlah tangkapan, pengaturan alat tangkap dan upaya. Dengan daya jelajah yang terbatas dan tingginya asosiasi antara ikan hias laut dengan habitatnya menyebabkan daerah perlindungan merupakan strategi yang sangat efektif dalam mengelola sumberdaya.
Hasil kajian dari Hawaii menunjukan
bahwa daerah perlindungan dengan habitat yang beragam dan kompleks dapat memberikan dampak positif terhadap stok ikan. Membangun daerah perlindungan yang membatasi kegiatan pemanfaatan akan memberikan keuntungan pada spesies-spesies ikan hias. Hasil kajian dari Tissot dan Hallacher (2003) yang menunjukan bahwa pemanfaatan ikan hias laut yang mengakibatkan penurunan stok telah mendorong pembentukan sembilan lokasi perlindungan untuk mengembalikan sumberdaya ikan di pesisir barat
19
Hawaii, menempatkan 30% dari wilayah pesisir tertutup bagi pemanfaatan untuk ikan hias laut. Pendekatan lain yang saat ini juga sedang gencar dilakukan adalah melalui sertifikasi. Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi perdagangan dan LSM telah bekerjasama untuk memastikan bahwa biota hias yang ditangkap, ditransportasikan, dan dijual telah melalui suatu proses yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
American Wildlife Dealer Association (AWDA) telah
menetapkan suatu kode etik dan standar praktis bagi konsumen produk-produk ikan hias yang dinamakan the Responsible Marine Aquarist yang bertujuan untuk mendorong para konsumen dapat memilih jenis ikan yang paling sesuai dengan kondisi akuarium yang mereka miliki (Helfman 2007). Lecchini et al. (2006) menawarkan sebuah model pemanfaatan ikan hias melalui perspektif yang berbeda, yaitu dengan menangkap ikan pada fase larva yang kemudian diasuh dan dibesarkan hingga mencapai ukuran jual. Pendeketan ini memiliki beberapa keuntungan yaitu: (i) larva ditangkap dengan menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif (crest net) sehingga tidak merusak lingkungan dan mengurangi stres pada larva; (ii) ikan yang dibesarkan sejak fase larva nantinya akan terbiasa hidup dalam akuarium sehingga memiliki tingkat ketahanan hidup (survival rate) yang tinggi saat ikan dipelihara oleh konsumen.
2.6 Analisis Finansial Analisis finansial adalah suatu analisis yang memiliki tujuan diantaranya untuk: (i) mengetahui tingkat keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi suatu proyek atau usaha, dan (ii) mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang ada sehingga kita dapat memilih alternatif yang paling menguntungkan (Gray et al. 2005). Analisis finansial terdiri dari dua kelompok analisis, yaitu analisis kelayakan usaha dan kriteria investasi. Analisis kelayakan usaha yang umum digunakan adalah analisis pendapatan usaha, analisis rasio pendapatan atas biaya (R/C), analisis titik impas (break even point) dan analisis rentabilitas (return on investment) (Kadariyah et al. 1999). Sedangkan analisis kriteria investasi yang
20
umum digunakan adalah analisis net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan net benefit-cost ratio (Net B/C) (Gray et al. 2005).
2.7 Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan berbagai strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika
yang
dapat
memaksimalkan
kekuatan
(strengths)
dan
peluang
(opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan (Rangkuti 2004). Analisis SWOT mempertimbangkan faktor internal (internal factor evaluation/IFE) yaitu strengths dan weaknesses serta faktor eksternal (external factor evaluation/EFE) yaitu opportunities dan threats yang dihadapi dunia usaha, sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi pengembangan (Marimin 2004). Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi usaha melalui IFE dan EFE, selanjutnya tahapan analisis matriks SWOT. Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat melalui berbagai tahapan sebagai berikut: 1) Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor internal dan eksternal 2) Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT 3) Tahap pengambilan keputusan. Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Matriks TOWS menghasilkan 4 strategi (Rangkuti 2004), yaitu: 1) Strategi S-O, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang. 2) Strategi W-O, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. 3) Strategi S-T, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal.
21
4) Strategi W-T, didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha memperkecil kelemahan, serta menghindari ancaman.
22
23
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Weh (Provinsi Aceh) dengan fokus utama pelaksanaan penelitian dilakukan di Desa Beurawang yang merupakan pusat kegiatan perikanan ikan hias laut (Gambar 3).
3.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian Secara umum penelitian ini terbagi kedalam 10 tahap, dengan tahapantahapan pelaksanaan sebagai berikut (Gambar 4): 1) Pengambilan data ikan karang di perairan Pulau Weh yang diambil dengan menggunakan metode sensus visual. 2) Pengambilan data hasil tangkapan dan upaya tangkap untuk analisis nilai CPUE (Catch per Unit Effort). 3) Analisis kelimpahan dan pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut. 4) Pengumpulan
data
kondisi
ikan
selama
proses
penanganan
pasca
penangkapan yang meliputi data mengenai jumlah dan spesies ikan yang: a.
didaratkan
b.
sakit atau terluka
c.
mati
d.
dikemas dan dikirim ke pihak pembeli
5) Pengumpulan data ikan yang dikirim ke pembeli meliputi jumlah, spesies, dan harga jual. 6) Mengumpulkan data sosial-ekonomi melalui wawancara dengan nelayan. 7) Pengambilan data dan informasi biaya (cost) proses-proses penanganan. 8) Analisis finansial kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh. 9) Analisis dan pembangunan model optimasi pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh. 10) Merumuskan suatu strategi pemanfaatan dengan menggunakan analisis SWOT.
24
Gambar 3 Peta lokasi penelitian di Pulau Weh, Aceh.
25
Mulai Pengambilan data ikan karang dengan survei sensus visual
Pengumpulan data produksi dan upaya penangkapan Analisis kelimpahan ikan karang Pendugaan kuota tangkap lestari Perhitungan CPUE Pengumpulan data kondisi ikan (jumlah ikan sakit atau terluka, mati, dan yang dikirim) Pengumpulan data ikan yang dikirim ke pembeli meliputi jumlah, spesies, dan harga jual
Pengumpulan data biaya penanganan (dengan sistem yang berjalan saat ini)
Pengumpulan data biaya penanganan (mengacu model standarisasi MAC)
Analisis Finansial
Analisis optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut Analisis SWOT
Pembahasan dan Kesimpulan
Selesai
Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian.
26
3.3 Jenis Data, Bahan dan Alat Penelitian Dalam penelitian ini terdapat 5 data primer yang dikumpulkan, yaitu kelimpahan ikan karang, produksi dan upaya penangkapan, jumlah ikan yang dikirim, biaya-biaya penanganan (handling), serta
informasi umum kegiatan
perikanan ikan hias laut. Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pengambilan data dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis data, metode, dan alat yang digunakan dalam penelitian No Jenis Data 1 Kelimpahan ikan karang
Metode Sensus visual bawah air
2 Hasil tangkapan dan upaya penangkapan
Wawancara / observasi
3 Pengiriman ikan 4 Biaya-biaya pemrosesan Informasi umum kegiatan perikanan 5 ikan hias laut
Wawancara / observasi Wawancara / observasi Wawancara sampel terpilih
Alat/Bahan 1. Perahu 2. Alat selam 3. Roll meter 4. Form data ikan dan alat tulis 1. Alat tulis 2. Peta 3. GPS 4. Kamera Log book dan alat tulis Alat tulis Alat tulis
3.4 Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Desember 2010. Tahapan yang dilakukan adalah: persiapan pengambilan data pada bulan Januari 2010, pengambilan data hasil tangkapan (Januari-Desember 2010), pengumpulan data dan informasi proses penanganan (Oktober-November 2010). Kajian metode penanganan yang mengacu standar Marine Aquarium Council (MAC) dilaksanakan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta pada bulan Desember 2010.
3.5 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dari lima data primer dalam penelitian ini dijelaskan di dalam sub-bab berikut. Rangkuman dan deskripsi singkat mengenai masing-masing jenis data dan metode pengumpulan datanya disajikan pada Tabel 2.
27
Tabel 2 Jenis, metode, dan deskripsi singkat mengenai data yang dikumpulkan dalam penelitian No
Jenis data
1 Kelimpahan ikan karang
Metode pengambilan data Survei sensus visual di bawah air, menggunakan transek sabuk (belt transect ), pada 2 kedalaman
2 Produksi hasil tangkapan a Spesies b Ukuran (S,M,L)
Observasi langsung Observasi langsung
c Jumlah individu ikan
Observasi langsung
3 Upaya penangkapan a Waktu trip b Biaya operasional c Jumlah ABK d Lokasi penangkapan
4 Pengiriman Ikan a Biaya packing
Wawancara/observasi langsung Wawancara Wawancara Wawancara/observasi langsung
Wawancara Wawancara/log book
5 Biaya penanganan (Handling ) a Biaya penanganan berdasarkan model penanganan yang ada saat ini
Wawancara/observasi langsung
b Biaya penanganan berdasarkan model standar MAC
Wawancara/observasi langsung
Informasi umum kegiatan perikanan ikan hias laut
Data yang dicatat: spesies, jumlah, ukuran
Pengelompokan ukuran ikan tidak sama, bervarisasi berdasarkan spesies Jumlah ikan yang dicatat dikelompokan berdasarkan spesies dan ukuran Satuan jam Satuan rupiah Jumlah seluruh ABK dalam Menggunakan alat bantu peta saat wawancara, GPS saat observasi langsung
Wawancara
b Biaya pengiriman c Harga jual
6
Deskripsi
Wawancara/observasi langsung
Harga jual dicatat untuk masing-masing spesies dan ukuran
Parameter biaya yang dicatat adalah biaya tetap dan biaya variabel Nelayan ikan hias sebagai target responden
3.5.1 Kelimpahan ikan karang Data kelimpahan ikan karang diambil dengan menggunakan metode sensus visual. Sensus visual adalah pengamatan langsung secara visual di bawah air untuk mengidentifikasi jenis, ukuran, dan jumlah ikan pada suatu area tertentu untuk menentukan stok dan struktur ukuran suatu populasi spesies ikan tertentu (Halford dan Thompson 1994; Labrosse et al. 2002; Hill dan Wilkinson 2004).
28
Langkah-langkah pelaksanaan metode sensus visual menurut WCS (2008) yang dimodifikasi dari Labrosse et al. (2002), adalah: 1) Penentuan lokasi survei dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). 2) Meletakan roll meter pada kedalaman yang sama di masing-masing titik survei (pada dua kedalaman yaitu antara 2-3 meter dan 7-8 meter. 3) Pencatatan data dilakukan pada: - Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 2 x (5 x 50 m) untuk ukuran ikan > 10 cm - Transek sabuk (belt transect) dengan ukuran 2 x (2 x 50 m) untuk ukuran ikan < 10 cm 4) Ikan yang ditemukan di dalam transek sabuk selama sensus dilakukan adalah jenis, jumlah, dan kelompok ukuran panjang ikan dengan interval 5 cm dari 0-5 cm hingga >40 cm. Ilustrasi mengenai metode sensus visual disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Ilustrasi metode sensus visual ikan karang (modifikasi dari Labrosse et al. 2002, atas seizin lembaga penerbit). 3.5.2. Hasil tangkapan dan upaya penangkapan Data produksi yang meliputi spesies, kelompok ukuran, dan jumlah individu, didapatkan melalui dua metode, yaitu pencatatan langsung hasil tangkapan pada buku catatan (log book) serta melalui wawancara dengan nelayan
29
saat nelayan mendaratkan hasil tangkapan mereka. Data-data lainnya yang dicatat meliputi waktu trip, jumlah anak buah kapal (ABK), dan lokasi penangkapan. Parameter-parameter produksi dan upaya penangkapan yang dicatat selama penelitian disajikan pada Tabel 2.
3.5.3 Pengiriman ikan Data pengiriman ikan yang dicatat meliputi jumlah, spesies, biaya pengemasan (packing), biaya pengiriman, dan harga jual. Parameter-parameter pengiriman ikan yang dicatat selama penelitian disajikan pada Tabel 2.
3.5.4 Biaya penanganan (handling) Pengumpulan
data
biaya
penanganan
(handling)
dilakukan
untuk
mengetahui besaran biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost) yang dikeluarkan dalam suatu siklus produksi. Pengumpulan data biaya handling dilakukan pada dua model penanganan yang berbeda, yaitu (a) model penanganan yang dilakukan oleh nelayan di Desa Beurawang saat ini, dan (b) model ideal berdasarkan standarisasi lembaga Marine Aquarium Council (MAC).
Untuk
mendapatkan model penanganan yang ideal berdasarkan standarisasi MAC, sebagai acuan maka dilakukan kajian pada salah satu kelompok nelayan ikan hias di Pulau Panggang Kepulauan Seribu yang merupakan nelayan binaan Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI).
3.5.5 Informasi umum kegiatan perikanan ikan hias laut Informasi-informasi umum dan pendukung mengenai kegiatan perikanan ikan hias laut di P. Weh didapatkan melalui wawancara kepada nelayan. Populasi nelayan ikan hias hanya berasal dari satu desa yaitu Desa Beurawang, dengan jumlah nelayan sebanyak 22 orang.
Pemilihan responden dilakukan dengan
sampel terpilih yaitu nelayan ikan hias di Desa Beurawang. Pengambilan data melalui wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi lainnya terkait kegiatan perikanan ikan hias yang dilakukan nelayan di Desa Beurawang, P. Weh. Informasi-informasi yang dikumpulkan melalui proses wawancara adalah:
30
1) jenis-jenis ikan yang menjadi target penangkapan 2) lokasi penangkapan 3) kedalaman perairan saat melakukan penangkapan 4) rata-rata hasil tangkapan 5) lama waktu melaut 6) musim penangkapan 7) biaya dan keuntungan 8) latar belakang menjadi nelayan ikan hias 9) mata pencaharian alternatif 10) informasi unit penangkapan (ukuran kapal, jenis kapal, dan ukuran mesin)
3.6. Analisis Data 3.6.1 Penentuan kuota tangkapan lestari Penentuan nilai kuota tangkapan lestari dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu menduga kelimpahan rata-rata ikan di alam, menduga nilai maximum sustainable yield (MSY), dan menentukan kuota tangkapan lestari ikan hias laut. Kuota tangkap lestari yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) yang mengacu kepada Kepmentan No.995/Kpts/IK.210/9/99 dan Kepmen KP No Kep. 18/Men/2002, yaitu sebesar 80% dari nilai MSY. Tahap pertama adalah pendugaan stok ikan melalui metode sensus visual di bawah air dengan menggunakan perhitungan kelimpahan dan total area transek yang digunakan. Data kelimpahan ikan didapatkan dari survei sensus visual yang dilaksanakan bersama Wildlife Conservation Society pada tahun 2009. Jumlah individu ikan dihitung untuk menduga kelimpahan dengan mengunakan persamaan sebagai berikut (Labrosse et al. 2002): p
D
ni i 1
Ld
(1)
Keterangan : D = adalah kelimpahan ikan (ind/m2 atau ind/ha) ni = adalah jumlah ikan ke-i yang ditemukan (individu)
31
Ld = adalah luas transek (m2) Adapun pendugaan kelimpahan pada penelitian ini menggunakan asumsiasumsi sebagai berikut: - Perhitungan jumlah individu ikan tidak mencakup ikan yang berada di permukaan, dan individu dihitung hanya satu kali, - Metode ini digunakan untuk ikan yang cenderung menetap, - Metode ini digunakan untuk menduga kelimpahan dan biomassa, - Lebar transek merupakan faktor untuk perhitungan, - Semakin lebar transek, semakin rendah kelimpahan ikan. Setelah didapatkan nilai dugaan kelimpahan ikan karang, maka pendugaan jumlah stok ikan yang ada dihitung melalui persamaan sebagai berikut (Wijaya et al. 2010): p
S D Ld ( 2) i 1
Keterangan: S = Jumlah stok (individu) D = Kelimpahan Ikan (ind/ha) Ld = Luas habitat (ha) Selanjutnya, potensi tangkapan lestari (MSY) diduga dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Garcia et al. (1989).
Persamaan ini
merupakan pengembangan dari persamaan yang diusulkan oleh Cadima untuk sumberdaya yang telah terekspoitasi, dan kemudian diturunkan kedalam model Schaefer dan Fox (Garcia et al. 1989; Sparre dan Venema 1999). Persamaan ini diusulkan untuk aplikasi pada kondisi dimana data hasil tangkapan dan upaya tangkap terbatas. Untuk aplikasi pada kajian sumberdaya ikan hias laut, parameter penduga yang digunakan pada persamaan adalah kelimpahan ikan rata-rata (Dc) untuk mengganti parameter biomassa rata-rata (Bc) (Edwards dan Shepherd 1992). Hasil pendugaan ini akan menghasilkan angka MSY dalam satuan jumlah individu ikan per satuan luas (ind.ha-1). Maka persamaan yang digunakan untuk menduga nilai MSY untuk sumberdaya ikan hias laut adalah adalah sebagai berikut:
32
( MDc ) 2 MSY (3) 2 MDc Yc
Model Schaefer:
MSY MDc exp( Model Fox:
Yc 1) ( 4) MDc
Keterangan: MSY = Maximum Sustainable Yield M = Mortalitas alami Dc = Kelimpahan rata-rata ikan (ind.ha-1) Yc = Hasil tangkapan total selama satu tahun Untuk menentukan nilai mortalitas alami (M) digunakan persamaan sebagai berikut (Froese et al. 2000): M = 10
(0.566 - 0.718 * log(Linf) + 0.02 * T)
........................... (5)
Keterangan: M : mortalitas alami Linf : panjang asimtotik ikan (bagian dari fungsi pertumbuhan von Bertalanffy) T
: rata-rata suhu perairan tahunan pada habitat ikan yang diteliti.
Nilai T didapatkan dari data yang dipublikasikan oleh NOAA NESDIS COASTWATCH
(http://coastwatch.pfeg.noaa.gov/erddap/index.html).
Sedangkan nilai Linf mengacu kepada tabel ‘Life History Data on All Fishes of Indonesia’ (Froese dan Pauly 2010).
3.6.2 Analisis upaya penangkapan Analisis upaya penangkapan dilakukan untuk mengetahui keuntungan ekonomi yang diperoleh oleh nelayan penangkap ikan hias di Desa Beurawang. Data dan informasi yang diperlukan untuk analisis ini diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara dengan nelayan. Analisis ekonomi upaya penangkapan dilakukan dengan menggunakan persamaan yang diacu dari Fauzi dan Anna (2005): N
TV KBi (6) i 1
33
Keterangan: TV
: Total keuntungan dalam 1 tahun
KBi : Keuntungan bersih tiap trip N
: Total trip dalam satu tahun
Nilai keuntungan bersih tiap trip diperoleh melalui persamaan present value menurut Fauzi dan Anna (2005) yang dimodifikasi oleh Yulianto (2010) menjadi persamaan-persamaan sebagai berikut: ...................................................................... (7)
1 n Bo Bo i ...................................................................................... (7a) n i 1 Bp
1 12 Bp i ...................................................................................... (7b) n i 1
Bp
1 N
s
i 1
Bmi ...................................................................................... (7c) ti
Keterangan: KBi : Keuntungan bersih setiap trip perahu Y : Penghasilan rata-rata kotor Bo : Biaya operasi rata-rata per satuan trip Boi : Biaya operasi tiap trip pada pengambilan data ke-i Bp : Biaya pengelolaan rata-rata persatuan trip Bt : Biaya depresi alat per satuan trip Bpi : Biaya operasional setiap bulan Bmi : Biaya modal komponen ke-i masing-masing alat tangkap N : Total trip dalam 1 tahun n : Jumlah trip selama waktu survei ti : Umur komponen ke i masing-masing alat tangkap g : Jumah Total jumlah komponen masing-masing alat tangkap.
34
3.6.3 Analisis optimasi pemanfaatan ikan hias laut dengan pemrograman linier (linear programming) Analisis optimasi menggunakan pemrograman linier digunakan dalam mengalokasikan sumberdaya yang langka untuk mencapai suatu tujuan seperti memaksimalkan keuntungan dan meminimumkan biaya (Mulyono, 1991). Dalam penelitian ini, pemrograman linier digunakan untuk mencapai pemanfaatan optimum dari sumberdaya ikan hias laut dengan kapasitas pemanfaatan yang terbatas untuk mencapai keuntungan maksimum. Model pemrograman linier memiliki tiga unsur utama, yaitu (i) variabel keputusan, (ii) fungsi tujuan, (iii) fungsi kendala.
Model matematis dari
pemrograman linier adalah: Fungsi tujuan: Maksimumkan
∑
.
Fungsi kendala:
……. Keterangan: Z
= fungsi tujuan = variabel keputusan ke-j (jumlah optimum ikan yang dimanfaatkan) = parameter fungsi tujuan ke-j (harga ikan) = kapasitas kendala ke-1 (kuota tangkap tahunan) = kapasitas kendala ke-2 (jumlah permintaan ikan tahun 2010) = parameter fungsi kendala ke-i untuk variabel keputusan ke-j
Proses perhitungan untuk analisis optimasi pemrograman linier dilakukan dengan bantuan perangkat lunak LINDO (Linear Interactive Descrete Optimizer).
3.6.4 Analisis finansial Untuk mengkaji apakah model pengelolaan yang didasarkan atas konsep keberlanjutan sumberdaya juga memberikan keuntungan dan keberlanjutan secara ekonomi, maka dilakukan analisis finansial terhadap kegiatan perikanan ikan hias di Pulau Weh. Analisis finansial adalah suatu analisis yang memiliki tujuan
35
diantaranya untuk: (i) mengetahui tingkat keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi suatu proyek atau usaha, dan (ii) mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang ada sehingga kita dapat memilih alternatif yang paling menguntungkan (Gray et al. 2005). Analisis finansial terdiri dari dua kelompok analisis, yaitu analisis kelayakan usaha dan kriteria investasi. Analisis kelayakan usaha yang digunakan adalah analisis pendapatan usaha, analisis rasio pendapatan atas biaya (R/C), analisis titik impas (break even point) dan analisis rentabilitas (return on investment) (Kadariyah et al. 1999).
Sedangkan analisis kriteria
investasi yang digunakan adalah analisis net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan net benefit-cost ratio (Net B/C).
1) Analisis pendapatan usaha Pendapatan usaha merupakan selisih antara total pendapatan dengan total biaya (biaya tetap dan biaya variabel) dari kegiatan pemanfaatan ikan hias, yang dihitung melalui persamaan: ........................................................ (8) keterangan: TR = Total revenue (total penerimaan hasil penjualan ikan) TC = Total cost (total biaya operasional penangkapan dan penanganan) dengan kriteria usaha: TR > TC : Usaha perikanan ikan hias menguntungkan, TR = TC : Usaha perikanan ikan hias pada titik keseimbangan (titik impas), TR < TC : Usaha perikanan ikan hias mengalami kerugian.
2) Analisis rasio pendapatan dan biaya (R/C) Analisis ini disebut juga analisis revenue-cost ratio yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana manfaat yang diperoleh dari kegiatan usaha selama periode tertentu (1 tahun), yang diukur melalui persamaan: /
.............................................................. (9)
36
dengan kriteria: R/C > 1, maka usaha perikanan ikan hias layak dilakukan, R/C = 1, maka usaha perikanan ikan hias impas, R/C < 1, maka usaha perikanan ikan hias tidak layak dilakukan.
3). Rentabilitas (return on investment) Analisis return on investment (ROI) digunakan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dibandingkan dengan besar investasi yang ditanamkan Persamaan yang digunakan adalah:
100% .................................... (10) dengan kriteria : > 25 %
: investasi di bidang perikanan ikan hias laut baik
> 15 - 25% : investasi di bidang perikanan ikan hias laut cukup baik 5 – 15 %
: investasi di bidang perikanan ikan hias laut cukup buruk
<5%
: investasi di bidang perikanan ikan hias laut buruk
4) Analisis titik impas (break even point) Break Even Point (BEP) menunjukkan produksi minimum setiap tahun pada tingkat tidak untung dan tidak rugi. Break even point atau analisis titik impas adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui sampai pada batas mana kegiatan usaha yang dijalankan masih mendatangkan keuntungan. Keadaan titik impas merupakan keadaan dimana penerimaan perusahaan (TR) sama dengan biaya yang ditanggungnya (TC), TR=TC. Analis titik impas dilakukan melalui persamaan:
.................................. (11)
5) Analisis net present value (NPV) Analisis net present value digunakan untuk menilai manfaat investasi, yaitu berapa nilai kini (present value) dari manfaat bersih proyek yang dinyatakan
37
dalam rupiah. Proyek dinyatakan layak untuk dilanjutkan apabila NPV>0, dan sebaliknya tidak layak jika NPV<0. Pada keadaan dimana nilai NPV=0 maka berarti investasi tidak menghasilkan keuntungan atau impas. Persamaan yang digunakan untuk menghitung NPV adalah : n
NPV t 1
Bt Ct (12) (1 t )
keterangan : B = benefit (keuntungan); C = cost (biaya); i = discount rate, dan t = periode
6) Analisis internal rate of return (IRR) Internal rate of return adalah nilai tingkat suku bunga i yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol. IRR dapat diartikan sebagai tingkat suku bunga dimana nilai kini dari biaya total sama dengan nilai kini dari penerimaan total. IRR dapat dirumuskan sebagai berikut : ′
′ ′
"
"
′ ........................ (13)
keterangan : i’ = Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV+ i” = Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPVNPV’ = NPV pada tingkat suku bunga yang i’ NPV” = NPV pada tingkat suku bunga yang i” dengan kriteria kelayakan : IRR ≥ tingkat suku bunga yang berlaku : investasi layak dijalankan IRR ≤ tingkat suku bunga yang berlaku : investasi tidak layak dijalankan
7) Net benefit-cost ratio (Net B/C) Net benefit-cost ratio (Net B/C) adalah perbandingan antara jumlah kini (present value total) dari keuntungan bersih pada tahun-tahun dimana keuntungan
38
bersih bernilai positif dengan keuntungan bersih yang bernilai negatif. Persamaan yang digunakan adalah :
Bt Bc ( Bt Ct ) 0 t 1 (1 i ) NetB / C n (14) Bt Bc ( Bt Ct ) 0 t 1 (1 i ) n
dengan kriteria kelayakan : Net B/C ≥ 1, berarti usaha layak dijalankan Net B/C < 1, berarti usaha tidak layak dijalankan
3.6.5 Perumusan strategi pemanfaatan ikan hias laut di pulau weh menggunakan analisis SWOT Mengacu kepada Rangkuti (2002) langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai berikut: 1. Tahap pengumpulan data Tahap pengumpulan data merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Pada tahap ini data dibedakan menjadi dua, yaitu data eksternal dan internal. Data eksternal berasal dari lingkungan luar (peluang dan ancaman), sedangkan data internal berasal dari dalam sistem kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh, mencakup ketersediaan sumberdaya alam, kondisi sumberdaya manusia dan pengembangan kawasan yang sedang dijalankan (kekuatan dan kelemahan). Dalam tahap ini digunakan dua model matriks yaitu: 1) matriks faktor strategi eksternal atau External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS), dan
2) matriks faktor strategi internal atau Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS). Matriks faktor strategi eksternal (Tabel 3) dan internal (Tabel 4) disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Pada kolom 1 disusun peluang-peluang dan ancaman-ancaman (untuk matriks strategi eksternal), kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan (untuk matriks strategi internal) yang teridentifikasi;
39
2) Selanjutnya masing-masing faktor peluang dan ancaman diberi bobot (pada kolom 2) mulai dari nilai 1,0 (sangat penting) hingga 0,0 (tidak penting). Jumlah bobot untuk faktor eksternal (peluang dan ancaman) dan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) sama dengan 1,0; 3) Selanjutnya masing-masing faktor diberi peringkat (rating) pada kolom 3 dengan skala nilai antara 4 (sangat besar) sampai dengan 1 (kecil). Pemberian peringkat didasarkan atas pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi aktivitas suatu kegiatan tertentu. Pemberian nilai pemeringkatan untuk peluang dan kekuatan bersifat positif (nilai 4=sangat besar, 3=besar, 2=sedang, dan 1=kecil). Selanjutnya pemberian nilai pemeringkatan untuk ancaman dan kelemahan bersifat negatif (nilai 4=kecil, 3=sedang, 2=besar, dan 1=sangat besar); 4) Kemudian ditentukan skor pembobotan dari masing-masing faktor dengan mengalikan nilai bobot (kolom 2) dengan nilai peringkat (kolom 3), dan hasilnya diletakkan pada kolom 4; 5) Tahap terakhir adalah menjumlahkan skor pembobotan dari masing-masing faktor pada kolom 4. Nilai tersebut menunjukkan bagaimana sistem bereaksi terhadap faktor-faktor strategis eksternal dan internalnya. Tabel 3 Matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Faktor-faktor Bobot Peringkat Skor Strategi Eksternal 1 2 3 4 Peluang: O1 4 O2 3 O3 2 .... 1 Ancaman: T1 1 T2 2 T3 3 .... 4 TOTAL 1,00 -
40 Tabel 4 Matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) Faktor-faktor Strategi Internal 1 Kekuatan: S1 S2 S3 .... Kelemahan: W1 W2 W3 .... TOTAL
Bobot
Peringkat
Skor
2
3
4
4 3 2 1
1,00
1 2 3 4 -
2. Tahap analisis Pada tahap analisis digunakan Model Matriks TOWS, dimana terdapat 4 kelompok strategi yang dapat dihasilkan, yaitu strategi S-O, W-O, S-T, dan W-T (Tabel 5). Setelah diperoleh matriks TOWS, selanjutnya disusun peringkat dari semua strategi yang dihasilkan berdasarkan faktor-faktor penyusun strategi tersebut. Tabel 5 Model matriks TOWS dari hasil analisis SWOT IFAS STRENGTHS (S) WEAKNESSES (W)
EFAS
OPPORTUNITIES (O)
THREATS (T)
SO1
WO1
SO2 SO3 … … SOn
WO2 WO3 … … WOn
ST1
WT1
ST2 ST3 … … STn
WT2 WT3 … … WTn
41
4 HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Beurawang terletak di bagian selatan Pulau Weh, berada di wilayah administratif Kota Sabang, Provinsi Aceh. Secara geografis, Desa Beurawang terletak pada posisi 5° 47' 12.32" LU dan 95° 20' 22.25" BT, dan Kota Sabang terletak pada koordinat 05° 46’ 28” – 05° 54’ 28 LU dan 95° 13’ 02” - 95° 22’ 36” BT (Gambar 3). Di sebelah utara dan timur, Pulau Weh berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Benggala, dan di sebelah barat dibatasi oleh Samudera Hindia (BAPPEDA 2010).
4.2 Profil Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh 4.2.1 Nelayan ikan hias laut di Pulau Weh Kegiatan perikanan ikan hias laut di Desa Beurawang telah dimulai sejak tahun 1997. Nelayan ikan hias laut di Pulau Weh seluruhnya berasal dari Desa Beurawang, yang merupakan salah satu desa di bagian selatan P. Weh. Pada tahun 2010 terdapat 22 orang nelayan aktif yang menangkap ikan hias laut. Para nelayan tersebut bekerja dalam beberapa kelompok kecil, dengan jumlah keseluruhan sebanyak 8 kelompok nelayan yang rata-rata terdiri atas 2 hingga 3 orang. Terdapat 2 orang nelayan yang tidak berkelompok dan bekerja sendiri tanpa menggunakan kapal.
Saat ini terdapat dua orang pengepul yang membeli
ikan hias dari nelayan tersebut dan berdomisili di Kota Banda Aceh. Diantara nelayan dan pengepul terdapat keterikatan tertentu dimana masing-masing pengepul telah memiliki kelompok nelayan tertentu yang mensuplai ikan. Meskipun begitu kondisi ini tidak terlalu mengikat, dimana masing-masing kelompok nelayan dapat menjual kepada pengepul mana saja pada kondisi tertentu, misalnya saat harus memenuhi kekurangan permintaan dari pembeli. Antara nelayan dan pengepul juga terdapat pola hubungan patron klien, akan tetapi sangat lemah. Pengepul biasanya hanya membantu meminjamkan biaya operasi penangkapan ikan (jika nelayan tidak memiliki modal) yang nantinya dibayar dengan memotong hasil penjualan. Biaya pengiriman dari Desa Beurawang ke Banda Aceh ditanggung oleh pengepul. Segala modal dan biaya
42
operasional untuk perahu, alat tangkap, dan bahan bakar minyak (BBM) berasal dari nelayan sendiri. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 16 orang nelayan, sebanyak 14 diantaranya (87,5%) menyatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan hias merupakan sumber mata pencaharian utama, dan sisanya sebagai mata pencaharian sampingan. Sumber mata pencaharian lain adalah pegawai kelurahan, berkebun, dan berjualan (warung).
4.2.2 Keragaan unit penangkapan Alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di Desa Beurawang untuk menangkap ikan hias laut adalah jaring penghalang berbahan dasar PA (Poly Amide) multifilamen. Jaring yang digunakan memiliki berbagai jenis ukuran, dengan tinggi berkisar 1 hingga 1,5 meter, panjang 2 hingga 2,5 meter, dan mesh size 1,75 inci. Pelampung yang digunakan berbahan dasar plastik yang dipasang dengan jarak antara lebih kurang 20 cm. Pemberat jaring menggunakan pemberat berbahan timah dengan jarak antara pemasangan lebih kurang 5 cm. Komposisi daya apung dan daya penenggelaman dari pelampung dan pemberat diatur sedemikian rupa sehingga jaring dapat tenggelam ke dasar perairan dan terentang sempurna secara vertikal (Gambar 6). Sebagai alat bantu penangkapan, nelayan ikan hias menggunakan sebuah serok (scoop net) untuk menangkap ikan. Bagian rangka serok terbuat dari besi dengan diameter 3 mm (1/8 inci), dan bagian jaring terbuat dari jaring Mercedes (knotless) dengan ukuran mesh 1 cm. Serok memiliki diameter 20 cm, dan pada bagian pegangan serok terbuat dari kayu (Gambar 7). Jaring penghalang berfungsi untuk menjebak ikan yang akan ditangkap, dengan cara dilingkarkan sedemikian rupa membentuk kira-kira setengah lingkaran. Setelah ikan terperangkap di dalam jaring penghalang, kemudian ikan diambil dengan menggunakan serok (Gambar 8). Alat bantu penangkapan lainnya yang digunakan adalah keranjang tampungan, digunakan untuk menyimpan ikan sementara segera setelah ikan ditangkap. Keranjang tampungan yang digunakan oleh nelayan Desa Beurawang merupakan modifikasi dari penutup nasi berbahan plastik yang dipasangi karet
43
ban sebagai pelampung pada bagian bibirnya, dengan diameter keranjang lebih kurang 56 cm (Gambar 9). Ukuran kapal yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan hias laut rata-rata berukuran panjang 4-6,5 meter, dengan kapasitas sekitar 2-3 ton. Secara keseluruhan terdapat 8 buah kapal dengan perincian sebagai berikut: (a) 3 kapal kayu menggunakan mesin tempel 40 PK; (b) 1 kapal fiber menggunakan mesin tempel 25 PK; (c) 3 kapal kayu menggunakan mesin diesel (dong feng/tep-tep); dan (d) 1 buah kapal kayu tanpa mesin (Gambar 10).
Perahu dimiliki oleh
beberapa orang yang dinamakan pawang, satu orang pawang memiliki 1 hingga 2 buah perahu. Sebagian besar pencari ikan hias tidak memiliki perahu. Setelah ditangkap, ikan disimpan di tempat penyimpanan sementara selama beberapa waktu sebelum ikan dikemas dan dikirim. Lama waktu penyimpanan sementara berkisar antara 1 hingga 3 hari, bergantung kepada jumlah ikan yang akan dikirim dan jumlah unit penangkapan yang beroperasi. Fasilitas penyimpanan ikan sementara terbuat dari bahan plastik yang diletakan di dasar laut di dekat pantai (Gambar 11).
Gambar 6 Konstruksi dan dimensi jaring penghalang yang digunakan oleh nelayan ikan hias di P. Weh.
44
Gambar 7 Serok sebagai alat bantu penangkapan yang digunakan oleh nelayan ikan hias di P. Weh.
Gambar 8 Pengoperasian jaring penghalang penangkapan ikan hias di P. Weh.
dan
serok
dalam
proses
45
(a)
(b)
Gambar 9 Keranjang tampungan ikan: (a) tampak bawah; (b) tampak atas.
Gambar 10 Dua jenis kapal (kayu dan fiber) yang digunakan nelayan ikan hias di P. Weh.
46
Gambar 11 Tempat penampungan sementara yang digunakan nelayan.
4.2.3 Upaya penangkapan Kegiatan penangkapan ikan pada umumnya dimulai pada pagi hari sekitar pukul 7.00-9.00 WIB dan berakhir pada pukul 12.00-14.00 WIB. Lama waktu trip berkisar antara 2,5 sampai 6,5 jam bergantung pada jarak tempuh ke lokasi penangkapan dan target jumlah ikan yang ditangkap.
Dari hasil penelitian
didapatkan waktu trip rata-rata selama 4 jam. Nelayan pada umumnya melakukan penangkapan dengan menyelam tanpa alat bantu pernafasan (kompresor), dimana dilakukan pada kedalaman antara 2 hingga 7 meter. Terdapat satu unit kapal yang memiliki peralatan kompresor meskipun hanya digunakan pada saat-saat tertentu.
4.2.4 Lokasi penangkapan Berdasarkan catatan hasil tangkapan dan wawancara dengan nelayan ikan hias di Desa Beurawang, teridentifikasi sebanyak 14 lokasi penangkapan yang tersebar di perairan Pulau Weh (Gambar 12).
4.2.5 Jenis-jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai Desember 2010, tercatat sebanyak 19 spesies ikan karang yang dimanfaatkan oleh nelayan ikan hias di Desa Beurawang, Pulau Weh. Jenis-jenis ikan karang yang
47
dimanfaatkan oleh nelayan ikan hias di P. Weh dan total hasil tangkapannya disajikan pada Tabel 6.
Gambar 12 Lokasi penangkapan ikan hias di Pulau Weh. Tabel 6 Daftar jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan di Pulau Weh No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama Lokal Botana Biru Botana Kasur Botana Coklat Biasa Botana Kapsul Giro Pasir Ekor Kuning Keling Totol Asli Enjiel Asli Abu Doreng Kepe Andaman Kepe Auriga Kepe Meyeri Kepe Monyong Asli Kepe Kuning Pinguin Coklat Kepe Belanda Botana Naso Botana Lettersix Enjiel Batman Morish
Nama Spesies Acanthurus leucosternon Acanthurus lineatus Acanthurus nigrofuscus Acanthurus tennenti Amphiprion clarkii Anampses meleagrides Apolemichthys trimaculatus Centropyge eibli Chaetodon andamanensis Chaetodon auriga Chaetodon meyeri Forcipiger flavissimus Genicanthus melanospilos Gomphosus varius Hemitaurichthys zoster Naso lituratus Paracanthurus hepatus Pomacanthus imperator Zanclus cornutus Total
Total (ind.) 20466 36 53 12 217 53 27 38 3 13 144 2 13 14 302 556 2549 47 30 24609
48
4.3 Potensi Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh Dari data hasil survei kelimpahan ikan karang di 20 stasiun pengamatan teridentifikasi sebanyak 319 spesies ikan karang, dimana 77 diantaranya merupakan spesies yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut. Rata-rata kelimpahan ikan karang di 20 lokasi pengamatan berkisar antara 7.173 ind.ha-1 (Lhong Angin 1) hingga 87.003 ind.ha-1 (Ujung Kareung) (Gambar 13). Berdasarkan daerah pengelolaan, rata-rata kelimpahan ikan karang terendah berada di daerah pemanfaatan yaitu sebesar 13.115 ind.ha-1 dan kelimpahan tertinggi di wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pesisir Timur P. Weh yaitu sebesar 29.277 ind.ha-1 (Gambar 14). Tingginya rata-rata kelimpahan yang signifikan di wilayah KKLD menunjukkan adanya pengelolaan yang efektif di wilayah KKLD di P. Weh.
Kelimpahan Rata‐rata (ind.ha‐1)
120000 100000 80000 60000 40000 20000
Daerah Pemanfaatan
TWAL Iboih
Ujung Seuke
Ujung Kareung
Reuteuk
Sumur Tiga
Benteng
Anoi Hitam
Ujung Seurawan
Rubiah Sea Garden
Rubiah Channel
Lhok Weng
Canyon
Batee Meurenon
Pulau Klah
Lhong Angin 3
Lhong Angin 2
Lhong Angin 1
Jaboi
Gapang
Beurawang
Ba Kopra
0
KKLD
Lokasi Pengamatan Sensus Visual Ikan Karang dan Daerah Pengelolaan
Gambar 13 Rata-rata (± 1 galat baku) kelimpahan (ind.ha-1) ikan karang di 20 stasiun pengamatan, dikelompokan berdasarkan daerah pengelolaan.
49
40000
Kelimpahan Rata‐rata (ind.ha‐1)
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Daerah Pemanfaatan
TWAL Iboih
KKLD
Daerah Pengelolaan
Gambar 14 Perbedaan rata-rata (± 1 galat baku) kelimpahan (ind.ha-1) ikan karang berdasarkan daerah pengelolaan di P. Weh. Dari 77 spesies ikan hias laut yang teridentifikasi di daerah pemanfaatan, kelimpahan terendah adalah 40 ind.ha-1 ditemukan pada beberapa spesies diantaranya botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel doreng (Pygoplites diacanthus), sedangkan kelimpahan tertinggi adalah adalah ikan jae-jae (Cromis viridis), sebesar 2300 ind.ha-1. Sebaran kelimpahan dari 77 spesies ikan hias laut di daerah pemanfaatan memiliki rata-rata 236 ind.ha-1 dengan nilai tengah 100 ind.ha-1 (Q1=60, Q3=208), menujukan bahwa sebaran memusat di sebelah kiri atau miring ke kanan. Nilai dugaan kelimpahan spesies ikan hias laut dikelompokkan berdasarkan daerah pengelolaan yang ada di P. Weh. yaitu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pesisir Timur, Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Iboih, dan daerah pemanfaatan. Daftar jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut disajikan pada Lampiran 2.
4.4 Pendugaan Kuota Tangkapan Lestari Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh Pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut di P. Weh didasarkan atas hasil pendugaan nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) yang dilakukan
50
menggunakan kedua pendekatan Schaefer dan Fox. Mengacu kepada Wiadnya et al. (2005), kuota tangkapan ditetapkan sebesar 80% dari nilai dugaan MSY. Pendugaan kuota tangkapan lestari hanya dilakukan pada daerah pemanfaatan dimana tidak terdapat aturan yang melarang kegiatan penangkapan dengan menggunakan jaring. Hal ini dilakukan untuk memberikan nilai dugaan yang dapat diaplikasikan jika aturan di daerah perlindungan yang ada di P. Weh ditegakkan dengan efektif. Nilai dugaan MSY dan kuota tangkapan disajikan dalam jumlah ikan yang boleh ditangkap dalam satu tahun. Hasil perhitungan pendugaan MSY dan kuota tangkapan per tahun disajikan pada Tabel 7 (model Schaefer) dan Tabel 8 (model Fox). Pendugaan kuota tangkapan lestari dilakukan pada seluruh spesies ikan yang ditangkap oleh nelayan P. Weh, kecuali pada ikan kepe kuning (Genicanthus melanospilos) karena tidak tersedianya data kelimpahan dari survei sensus visual. Hal ini disebabkan karena ikan tersebut memiliki habitat di perairan yang lebih dalam sehingga tidak ditemukan saat dilakukan survei sensus visual yang hanya dilakukan pada kedalaman 2 dan 7 meter. Berdasarkan data NOAA NESDIS COASTWATCH, didapatkan rata-rata suhu perairan di P. Weh pada tahun 2009 adalah 29,8oC. Hasil perhitungan didapatkan bahwa hasil pendugaan MSY menggunakan model Schaefer memiliki angka rata-rata yang lebih tinggi dari model Fox. Berdasarkan pola hubungan linier antara jumlah stok (S) dan nilai MSY, model Schaefer menghasilkan persamaan linier y = 0,886x – 8651 dengan nilai R² = 99,2%, y = 0,652x – 6248 dengan nilai R² = 99,2%, dimana y adalah MSY dan x adalah jumlah stok. Kedua persamaan linier tersebut menujukkan bahwa dengan menggunakan model Schaefer, nilai MSY didapatkan sebesar 0,886 (88,6%) dari stok alaminya, sedangkan berdasarkan model Fox didapatkan sebesar 0,652 (65,2%) (Gambar 13 dan 14). Hal ini menujukkan bahwa hasil pendugaan MSY dengan menggunakan model Fox menghasilkan nilai yang lebih konservatif. Berdasarkan alasan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) maka analisis selanjutnya didasarkan atas hasil pendugaan model Fox.
51
Tabel 7 Hasil pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut utama di P. Weh (model Schaefer) Nama Lokal
Spesies
Botana Biru
Acanthurus leucosternon
Botana Kasur
Acanthurus lineatus
Botana Coklat Biasa
Acanthurus nigrofuscus
Botana Kapsul
Acanthurus tennenti
Giro Pasir Ekor Kuning
Amphiprion clarkii
Keling Totol Asli Enjiel Asli
Anampses meleagrides Apolemichthys trimaculatus
Abu Doreng
Centropyge eibli
Kepe Andaman Kepe Auriga
Chaetodon andamanensis Chaetodon auriga
Kepe Meyeri
Chaetodon meyeri
Kepe Monyong Asli
Forcipiger flavissimus
Pinguin Coklat
Gomphosus varius
Kepe Belanda
Hemitaurichthys zoster
Botana Naso
Naso lituratus
Botana Lettersix
Paracanthurus hepatus
Enjiel Batman
Pomacanthus imperator
Morish
Zanclus cornutus
Kelas Ukuran Linf (cm) (cm) 5-10 10-15 15-20 0-5 10-15 15-20 5-10 10-15 10-15 0-5 5-10 5-10 10-15 0-5 5-10 15-20 10-15 0-5 5-10 10-15 5-10 10-15 0-5 5-10 0-5 5-10 10-15 15-20 20-25 15-20 10-15 15-20 5-10 10-15
56,1 56,1 56,1 39,7 39,7 39,7 18,0 18,0 32,5 15,9 15,9 23,2 27,3 15,9 15,9 15,9 17,4 21,2 21,2 21,2 23,2 23,2 31,5 31,5 19,0 19,0 19,0 42,3 42,3 32,5 46,9 46,9 24,2 24,2
T (oC)
M
29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8
0,81 0,81 0,81 1,03 1,03 1,03 1,82 1,82 1,19 1,99 1,99 1,52 1,35 1,99 1,99 1,99 1,87 1,62 1,62 1,62 1,52 1,52 1,22 1,22 1,75 1,75 1,75 0,99 0,99 1,19 0,92 0,92 1,47 1,47
D (ind.ha-1) 180 136 227 100 120 220 367 112 40 186 240 200 50 200 264 80 40 100 100 56 200 56 122 100 1550 1911 156 60 51 40 40 40 100 67
Jumlah Stok Jumlah Ditangkap MSY Schaefer Kuota/tahun Kuota/bulan (ind) (ind) (ind) (ind) (ind) 43834 33233 55198 24352 29222 53574 89291 27274 9741 45225 58445 48704 12176 48704 64262 19482 9741 24352 24352 13637 48704 13637 29764 24352 377456 465394 37881 14611 12524 9741 9741 9741 24352 16365
6956 13510 0 0 36 0 11 42 12 60 157 53 27 0 38 3 13 2 142 0 2 0 0 14 94 208 0 386 8 1465 0 47 30 0
Keterangan: T=suhu rata-rata perairan, Linf=panjang asimtotik, M=indeks mortalitas, D=kelimpahan rata-rata ikan
19590 17907 22240 12577 15101 27669 81378 24867 5811 45070 58265 37006 8235 48521 64031 19409 9099 19734 19769 11051 36993 10358 18150 14853 330919 408038 33208 7308 6182 6199 4463 4475 17952 12059
15672 14325 17792 10061 12081 22135 65102 19893 4648 36056 46611 29604 6588 38816 51224 15527 7279 15786 15814 8840 29594 8286 14519 11882 264735 326430 26566 5846 4945 4959 3570 3580 14361 9646
1306 1194 1483 838 1007 1845 5425 1658 387 3005 3884 2467 549 3235 4269 1294 607 1316 1318 737 2466 691 1210 990 22061 27203 2214 487 412 413 298 298 1197 804
52
Tabel 8 Hasil pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut utama di P. Weh (model Fox) Nama Lokal
Spesies
Botana Biru
Acanthurus leucosternon
Botana Kasur
Acanthurus lineatus
Botana Coklat Biasa
Acanthurus nigrofuscus
Botana Kapsul
Acanthurus tennenti
Giro Pasir Ekor Kuning
Amphiprion clarkii
Keling Totol Asli Enjiel Asli
Anampses meleagrides Apolemichthys trimaculatus
Abu Doreng
Centropyge eibli
Kepe Andaman Kepe Auriga
Chaetodon andamanensis Chaetodon auriga
Kepe Meyeri
Chaetodon meyeri
Kepe Monyong Asli
Forcipiger flavissimus
Pinguin Coklat
Gomphosus varius
Kepe Belanda
Hemitaurichthys zoster
Botana Naso
Naso lituratus
Botana Lettersix
Paracanthurus hepatus
Enjiel Batman
Pomacanthus imperator
Morish
Zanclus cornutus
Kelas Ukuran Linf (cm) (cm) 5-10 10-15 15-20 0-5 10-15 15-20 5-10 10-15 10-15 0-5 5-10 5-10 10-15 0-5 5-10 15-20 10-15 0-5 5-10 10-15 5-10 10-15 0-5 5-10 0-5 5-10 10-15 15-20 20-25 15-20 10-15 15-20 5-10 10-15
56,1 56,1 56,1 39,7 39,7 39,7 18,0 18,0 32,5 15,9 15,9 23,2 27,3 15,9 15,9 15,9 17,4 21,2 21,2 21,2 23,2 23,2 31,5 31,5 19,0 19,0 19,0 42,3 42,3 32,5 46,9 46,9 24,2 24,2
T (oC)
M
29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8 29,8
0,81 0,81 0,81 1,03 1,03 1,03 1,82 1,82 1,19 1,99 1,99 1,52 1,35 1,99 1,99 1,99 1,87 1,62 1,62 1,62 1,52 1,52 1,22 1,22 1,75 1,75 1,75 0,99 0,99 1,19 0,92 0,92 1,47 1,47
D (ind.ha-1) 180 136 227 100 120 220 367 112 40 186 240 200 50 200 264 80 40 100 100 56 200 56 122 100 1550 1911 156 60 51 40 40 40 100 67
Kuota/tahun Kuota/bulan Jumlah Stok Jumlah Ditangkap MSY Fox (ind) (ind) (ind) (ind) (ind) 43834 33233 55198 24352 29222 53574 89291 27274 9741 45225 58445 48704 12176 48704 64262 19482 9741 24352 24352 13637 48704 13637 29764 24352 377456 465394 37881 14611 12524 9741 9741 9741 24352 16365
6956 13510 0 0 36 0 11 42 12 60 157 53 27 0 38 3 13 2 142 0 2 0 0 14 94 208 0 386 8 1465 0 47 30 0
Keterangan: T=suhu rata-rata perairan, Linf=panjang asimtotik, M=indeks mortalitas, D=kelimpahan rata-rata ikan
15823 16316 16363 9254 11118 20358 59876 18304 4278 33172 42898 27237 6064 35700 47118 14281 6697 14520 14571 8131 27218 7621 13354 10931 243494 300256 24433 5449 4550 4848 3284 3301 13214 8872
12658 13052 13090 7402 8894 16286 47901 14642 3422 26537 34318 21789 4851 28559 37694 11424 5357 11615 11656 6504 21774 6096 10683 8744 194795 240204 19546 4359 3640 3878 2627 2641 10570 7097
1055 1088 1091 617 741 1357 3992 1220 285 2211 2860 1816 404 2380 3141 952 446 968 971 542 1815 508 890 729 16233 20017 1629 363 303 323 219 220 881 591
53
900000 800000 700000
y = 0.886x ‐ 8651. R² = 0.992
MSY (ind.)
600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 0
200000
400000
600000
800000
1000000
Jumlah stok (ind.)
Gambar 15 Hubungan linier antara jumlah stok dan MSY menggunakan model Schaefer. 900000 800000 700000
MSY (ind.)
600000
y = 0.652x ‐ 6248. R² = 0.992
500000 400000 300000 200000 100000 0 0
200000
400000
600000
800000
1000000
Jumlah stok (ind.)
Gambar 16 Hubungan linier antara jumlah stok dan MSY menggunakan model Fox.
4.5 Analisis Upaya Penangkapan 4.5.1 Tingkat pemanfaatan Tiga spesies ikan yang paling banyak ditangkap, botana biru (Acanthurus leucosternon) mencapai tingkat pemanfaatan yang melebihi kuota tangkapan tahunannya yaitu mencapai 103,5%, pada kelas ukuran 10-15 cm, botana lettersix (Paracanthurus hepatus) sebesar 37,8%, dan botana naso (Naso lituratus) sebesar
54
8,9% (Tabel 9, Gambar 17). Sementara itu tingkat pemanfaatan untuk 15 spesies ikan hias lainnya masih berada dibawah 2% dari kuota tangkap tahunannya. Berdasarkan komposisi spesies, A. leucosternon mendominasi sebesar 83% dari seluruh hasil tangkapan. Sedangkan P. hepatus mendominasi sebesar 10%, dan Naso lituratus sebesar 2%. Berdasarkan komposisi jenjang rantai makanan (trophic level), jenis ikan yang ditangkap didominasi oleh jenis herbivora sebesar 86% dan planktivora sebesar 11%. Jenis ikan lainnya yang teridentifikasi adalah karnivora, omnivora, koralivora, dan bentik invertivora. dengan persentase yang sangat rendah. Komposisi hasil tangkapan berdasarkan spesies dan jenjang rantai makanan disajikan pada Gambar 18 dan 19.
Tabel 9 Tingkat pemanfaatan terhadap kuota tangkapan tahunan model Fox Nama Lokal
Spesie s
Botana Biru
Acanthurus leucosternon
Botana Kasur
Acanthurus lineatus
Botana Coklat Biasa
Acanthurus nigrofuscus
Botana Kapsul
Acanthurus tennenti
Giro Pasir Ekor Kuning
Amphiprion clarkii
Keling Totol Asli Einjel Asli
Anampses meleagrides Apolemichthys trimaculatus
Abu Doreng
Centropyge eibli
Kepe Andaman Kepe Auriga
Chaetodon andamanensis Chaetodon auriga
Kepe Meyeri
Chaetodon meyeri
Kepe Monyong Asli
Forcipiger flavissimus
Pinguin Coklat
Gomphosus varius
Kepe Belanda
Hemitaurichthys zoster
Botana Naso
Naso lituratus
Botana Lettersix
Paracanthurus hepatus
Einjel Batman
Pomacanthus imperator
Morish
Zanclus cornutus
Ke las Ukuran (cm) 5-10 10-15 15-20 0-5 10-15 15-20 5-10 10-15 10-15 0-5 5-10 5-10 10-15 0-5 5-10 15-20 10-15 0-5 5-10 10-15 5-10 10-15 0-5 5-10 0-5 5-10 10-15 15-20 20-25 15-20 10-15 15-20 5-10 10-15
Jumlah Kuota/tahun Ditangkap % (ind) (ind) 6956 12658 55,0 13510 13052 103,5 0 13090 0 0 7402 0 36 8894 0,4 0 16286 0 11 47901 0 42 14642 0,3 12 3422 0,3 60 26537 0,2 157 34318 0,5 53 21789 0,2 27 4851 0,6 0 28559 0 38 37694 0,1 3 11424 0 13 5357 0,2 2 11615 0 142 11656 1,2 0 6504 0 2 21774 0 0 6096 0 0 10683 0 14 8744 0,2 94 194795 0 208 240204 0,1 0 19546 0 386 4359 8,9 8 3640 0,2 1465 3878 37,8 0 2627 0 47 2641 1,8 30 10570 0,3 0 7097 0
55
16000 14000
Jumlah Ikan
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 5‐10 cm
10‐15 cm
A. leucosternon
Total tangkapan
15‐20 cm
20‐25 cm
N. lituratus
15‐20 cm P. hepatus
Kuota/tahun
Gambar 17 Perbandingan total tangkapan dan kuota tangkapan (model Fox) pada 3 spesies utama yang dimanfaatkan. Hemitaurichthys Amphiprion Chaetodon meyeri clarkii zoster 1% 1% 1%
Naso lituratus 2%
Lainnya 2%
Paracanthurus hepatus 10%
Acanthurus leucosternon 83%
Gambar 18 Komposisi spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan (jumlah data = 24609). Bentik invertivora Koralivora 1% Omnivora 1% 1% Planktivora 11%
Herbivora 86%
Gambar 19 Komposisi jenjang rantai makanan (trophic level) ikan hias yang ditangkap (jumlah data = 24609).
56
4.5.2 Nilai ekonomi unit penangkapan ikan hias Perhitungan nilai ekonomi unit penangkapan ikan hias didasarkan atas 5 komponen utama yaitu: (i) rata-rata jumlah trip dalam satu tahun; (ii) depresiasi alat tangkap, perahu, dan mesin; (iii) biaya perawatan setiap bulan; (iv) biaya operasional rata-rata setiap trip; (v) serta hasil tangkapan rata-rata setiap trip. Unit penangkapan ikan hias di P. Weh dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu unit penangkapan dengan kapal kayu, kapal fiber, dan tanpa kapal. Selain faktor jenis kapal, ketiga kelompok unit penangkapan tersebut tetap menggunakan alat tangkap dan alat bantu penangkapan yang sama. Rata-rata jumlah trip dalam satu tahun didapatkan melalui data trip yang tercatat pada buku catatan (log book) upaya penangkapan. Berdasarkan data log book upaya penangkapan, didapatkan rata-rata jumlah hari trip dalam satu tahun untuk masing-masing unit penangkapan adalah sebanyak 56 trip. Perhitungan nilai depresiasi alat-alat dalam unit penangkapan didasarkan atas harga perahu, mesin dan alat tangkap serta umurnya.
Nilai depresiasi
didapatkan dengan membagi harga alat dengan umurnya dalam satuan bulan, sehingga didapatkan nilai depresiasi alat penangkapan dalam satuan bulan. Informasi-informasi mengenai umur alat serta biaya-biaya operasional dan perawatan masing-masing alat tangkap didapatkan melalui wawancara. Berdasarkan hasil perhitungan nilai ekonomi didapatkan bahwa unit penangkapan dengan menggunakan kapal kayu lebih menguntungkan karena menghasilkan keuntungan bersih maksimal dan rata-rata per tahun yang lebih tinggi dibandingkan kedua jenis unit penangkapan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan hasil tangkapan, biaya investasi kapal, dan biaya operasi. Kapal kayu memiliki besaran biaya investasi kapal dan operasional yang lebih rendah dibandingkan unit penangkapan dengan kapal fiber sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya, unit penangkapan dengan kapal kayu dan fiber memiliki rata-rata hasil tangkapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan unit penangkapan tanpa kapal (perorangan) sehingga menghasilkan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi. Nilai ekonomi masingmasing jenis unit penangkapan disajikan pada Tabel 10.
57
Tabel 10 Nilai ekonomi unit penangkapan ikan hias No
Variabel
Kapal Kayu
Kapal Fiber Tanpa Kapal
1
Total trip per tahun
56
2
Depresiasi total (Rp/tahun)
3.986.666
56 4.086.666
3
Biaya perawatan (Rp/tahun)
2.100.000
2.100.000
600.000
4
Biaya operasional (Rp/tahun)
8.120.000
9.333.352
1.120.000
5
Hasil tangkapan rata-rata (Rp/tahun)
27.741.000
27.741.000
15.459.808
6
Keuntungan bersih minimal (Rp/tahun)
9.089.333
7.775.981
9.779.333
7
Keuntungan bersih maksimal (Rp/tahun)
70.409.333
69.095.981
15.827.333
8
Keuntungan bersih rata-rata (Rp/tahun)
13.534.333
12.220.981
13.479.141
56 260.666
4.6 Optimasi Pemanfaatan Ikan Hias Laut Analisis optimasi pemanfaatan ikan hias laut bertujuan untuk menentukan komposisi jumlah dan jenis ikan yang dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang optimum.
Model optimasi dibangun menggunakan pendekatan Linear
Programming (LP). Analisis LP dilakukan dengan menetapkan beberapa fungsi kendala dan asumsi. Fungsi-fungsi kendala yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) kuota tangkapan tahunan dari masing-masing spesies ikan, 2) total tangkapan masing-masing spesies selama 1 tahun, Selanjutnya, asumsi-asumsi yang digunakan untuk membangun model LP adalah: 1) permintaan ikan terjadi setiap minggu dan masing-masing unit penangkapan mampu melakukan upaya penangkapan sebanyak 2 kali per minggu. Mengacu kepada Yulianto (2010), total minggu melaut maksimum alat tangkap di P. Weh adalah 45,6 minggu. Berdasarkan hal tersebut maka total maksimum hari efektif melaut untuk masing-masing unit penangkapan diasumsikan sebanyak 91 trip dalam satu tahun, 2) model dibangun berdasarkan 18 spesies yang dimanfaatkan oleh nelayan ikan hias di P. Weh (jenis Genicanthus melanospilos tidak diikutsertakan karena nilai dugaan kuota tangkap per tahun tidak tersedia), 3) total tangkapan masing-masing spesies ikan selama tahun 2010 digunakan sebagai batas minimal jumlah ikan yang harus ditangkap dengan asumsi
58
bahwa data tersebut merupakan tingkat permintaan minimum yang harus dipenuhi. Hasil analisis optimasi menggunakan model Linear Programming menghasilkan beberapa spesies yang perlu ditingkatkan pemanfaatannya untuk mendapatkan hasil yang optimum, yaitu botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel batman (Pomacanthus imperator).
Hasil analisis optimasi terhadap 18 jenis ikan hias laut yang
dimanfaatkan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Hasil analisis optimasi terhadap jenis ikan yang dimanfaatkan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nama Lokal Botana Biru Botana Kasur Botana Coklat Biasa Botana Kapsul Giro Pasir Ekor Kuning Keling Totol Asli Enjiel Asli Abu Doreng Kepe Andaman Kepe Auriga Kepe Meyeri Kepe Monyong Asli Pinguin Coklat Kepe Belanda Botana Naso Botana Lettersix Enjiel Batman Morish
Spe sies
Kode
Acanthurus leucosternon Acanthurus lineatus Acanthurus nigrofuscus Acanthurus tennenti Amphiprion clarkii Anampses meleagrides Apolemichthys trimaculatus Centropyge eibli Chaetodon andamanensis Chaetodon auriga Chaetodon meyeri Forcipiger flavissimus Gomphosus varius Hemitaurichthys zoster Naso lituratus Paracanthurus hepatus Pomacanthus imperator Zanclus cornutus
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18
Tingkat pe manfaatan 2010 (ind) 20466 36 53 12 217 53 27 38 3 13 144 2 14 302 556 2549 47 30
Hasil Optimasi (ind) 20466 36 53 1946 217 53 27 38 3 13 144 2 14 302 556 3878 7895 30
Slack / Surplus (ind) 0 0 0 1934 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1329 7848 0
4.7 Potensi Ekonomi Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh Sumberdaya perikanan ikan hias laut di P. Weh masih sangat tinggi dan berpotensi untuk terus dikembangkan. Berdasarkan hasil survei sensus visual teridentifikasi sebanyak 77 spesies ikan hias laut di P. Weh, dan 19 diantaranya telah dimanfaatkan. Pendugaan potensi ekonomi sumberdaya ikan hias laut untuk 58 jenis yang belum dimanfaatkan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1) data dugaan rata-rata kelimpahan di daerah pemanfaatan (Lampiran 2) dikalikan dengan luasan daerah terumbu karang di daerah penangkapan (243,52 ha) sehingga menghasilkan jumlah potensi (stok) ikan dalam satu tahun;
59
2) selanjutnya nilai MSY dari masing-masing spesies diduga berdasarkan persamaan linier antara jumlah stok dan MSY berdasarkan model Fox yaitu y = 0,652x – 6248 (Gambar 14), dimana y adalah MSY dan x adalah jumlah stok; 3) mengacu kepada Wiadnya et al. (2006), total allowable catch atau kuota tangkap per tahun ditetapkan sebesar 80% dari nilai dugaan MSY; 4) selanjutnya nilai kuota tangkap per tahun dikalikan dengan harga rata-rata dari masing-masing jenis ikan untuk mengetahui nilai ekonominya. Berdasarkan hasil perhitungan maka didapatkan potensi ekonomi dari sumberdaya ikan hias laut di P. Weh sebesar Rp 5.666.038.701 per tahun. Nilai ekonomi perikanan ikan hias laut di P. Weh berdasarkan pola pemanfaatan tahun 2010 adalah sebesar Rp 222.310.500, sedangkan berdasarkan hasil optimasi menggunakan model LP didapatkan potensi ekonomi mencapai Rp 479.654.500 atau meningkat sebesar 215,8%. Ilustrasi hasil perhitungan ekonomi disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Perbandingan nilai ekonomi perikanan ikan hias laut di P. Weh tahun 2010 dan berdasarkan hasil optimasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nama Lokal Botana Biru Botana Kasur Botana Coklat Biasa Botana Kapsul Giro Pasir Ekor Kuning Keling Totol Asli Enjiel Asli Abu Doreng Kepe Andaman Kepe Auriga Kepe Meyeri Kepe Monyong Asli Pinguin Coklat Kepe Belanda Botana Naso Botana Lettersix Enjiel Batman Morish
Harga Rata2 (Rp) Acanthurus leucosternon 6.667 Acanthurus lineatus 4.000 Acanthurus nigrofuscus 2.500 Acanthurus tennenti 11.000 Amphiprion clarkii 3.000 Anampses meleagrides 10.000 Apolemichthys trimaculatus 7.000 Centropyge eibli 3.000 Chaetodon andamanensis 4.000 Chaetodon auriga 4.000 Chaetodon meyeri 4.000 Forcipiger flavissimus 2.500 Gomphosus varius 4.000 Hemitaurichthys zoster 3,000 Naso lituratus 8.500 Paracanthurus hepatus 30.000 Pomacanthus imperator 25.000 Zanclus cornutus 4.000 TOTAL Spesies
Pendapatan Pendapatan Tahun 2010 setelah optimasi (Rp) (Rp) 136.440.000 136.440.000 144.000 144.000 132.500 132.500 132.000 21.406.000 651.000 651.000 530.000 530.000 189.000 189.000 114.000 114.000 12.000 12.000 52.000 52.000 576.000 576.000 5.000 5.000 56.000 56.000 906.000 906.000 4.726.000 4.726.000 76.470.000 116.340.000 1.175.000 197.375.000 120.000 120.000 222.310.500 479.654.500
60
4.8 Biaya Penanganan (Handling) Biaya penanganan terdiri dari dua jenis, yaitu biaya investasi pengadaan fasilitas penanganan yang memadai serta biaya proses penanganan. Model fasilitas penanganan yang digunakan dalam analisis mengacu kepada standar yang diterapkan oleh kelompok-kelompok nelayan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta. Ukuran kapasitas fasilitas penanganan dan besaran biaya prosesproses penanganan didasarkan atas kapasitas produksi optimum berdasarkan hasil analisis optimasi. Komponen-komponen biaya investasi fasilitas penanganan dan prosesnya disajikan pada Tabel 13 dan 14.
Tabel 13 Komponen biaya investasi fasilitas penangaan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Je nis Akuarium kaca (80 x 40 x 40 cm) Rak kayu 2 tingkat Pompa Celup Gingga Pemipaan (Paralon, Knee, lem, dll) Styrofoam Bak Semen Tabung Oksigen Selang tabung oksigen Keranjang tampungan sementara
Unit Buah Set Set Paket Buah Set Set Set Paket
Jumlah Harga (Rp) Total (Rp) 20 100.000 2.000.000 2 1.500.000 3.000.000 10 350.000 3.500.000 2 1.000.000 2.000.000 20 20.000 400.000 8 1.000.000 8.000.000 2 1.000.000 2.000.000 2 350.000 700.000 80 lusin 55.000 4.400.000 Total 26.000.000
Tabel 14 Komponen biaya proses penanganan No 1 2 3 4 5
Je nis Biaya listrik Plastik Karet Isi oksigen Biaya Pengiriman
Unit Jumlah Harga (Rp) Total (Rp) Bulanan 11 50.000 550.000 Paket 1 775.000 775.000 Paket 1 50.000 50.000 Paket 12 100.000 1.200.000 Frekuensi 97 100.000 9.700.000 12.275.000 Total
4.9 Analisis Finansial Menurut Kadariah et al. (1999), analisis finansial dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan suatu kegiatan usaha, melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi. Analisis usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Djamin 1984). Analisis kriteria investasi bertujuan untuk mengukur kelayakan suatu
61
investasi. Analisis kriteria investasi terdiri atas dua komponen yaitu arus masuk (inflow) yang mewakili komponen penerimaan dan arus keluar (outflow) yang mewakili komponen biaya yang digunakan dalam suatu usaha. Arus masuk berasal dari penerimaan penjualan output dan nilai sisa yang diperoleh dari nilai barang yang tidak habis digunakan setelah umur teknisnya habis (Gray et al. 2005). Parameter analisis usaha yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan usaha, analisis rasio pendapatan dan biaya (revenue-cost ratio), analisis titik impas (break even point), dan analisis rentabilitas (return on onvestement).
Parameter analisis kelayakan investasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah net present value (NPV), internal rate of return (IRR), dan net benefit-cost ratio (Net B/C). Dalam penelitian ini, analisis finansial dilakukan pada dua skenario, yaitu pada tingkat dan pola pemanfaatan tahun 2010 serta pada tingkat pemanfaatan optimum.
Analisis finansial ditujukan untuk mengetahui kelayakan kegiatan
usaha dan investasi pemanfaatan ikan hias laut jika menerapkan sistem penanganan yang memenuhi standar. Analisis kriteria investasi dilakukan pada rentang waktu usaha selama 10 tahun.
Hasil perhitungan analisis finansial
disajikan pada Tabel 15.
4.9.1 Analisis usaha Analisis usaha merupakan analisis jangka pendek yaitu analisis yang dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha dalam waktu satu tahun.
Instrumen yang digunakan sebagai
analisis usaha kegiatan perikanan ikan hias laut di P. Weh adalah sebagai berikut : (1) Analisis pendapatan usaha Analisis
pendapatan
usaha
bertujuan
untuk
mengetahui
besarnya
keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha yang dilakukan (Djamin 1984). Total pendapatan diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya untuk upaya penangkapan, penanganan, dan pengiriman. Total penerimaan diperoleh dari jumlah ikan yang dijual dikaitkan dengan harga satuannya. Pada tahun 2010, total penerimaan usaha yang diperoleh yaitu sebesar Rp 241.079.500
62
dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 87.498.437, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp 153.581.063. Pada skenario optimum, total penerimaan usaha yang diperoleh pada tingkat pemanfaatan optimum yaitu sebesar Rp 480.168.500 dan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 126.706.906, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp 353.461.593 (Tabel 15).
Nilai total pendapatan diperoleh dari total
penerimaan dikurangi total biaya. (2) Analisis revenue-cost ratio (R/C) Analisis revenue-cost ratio (R/C) dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Djamin 1984). Analisis R/C menghitung perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Semakin besar R/C maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. Nilai R/C yang diperoleh pada tahun 2010 yaitu sebesar 2,8 atau lebih besar dari 1, artinya usaha ini menguntungkan dimana setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan atau keuntungan sebesar Rp 2,8. Nilai R/C yang diperoleh pada skenario optimum adalah sebesar 3,8 atau lebih besar dari 1, artinya usaha ini menguntungkan dimana setiap Rp. 1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,8 (Tabel 15). (3) Analisis titik impas (BEP) Titik impas atau break event point (BEP) adalah suatu keadaan dimana jumlah penerimaan sama dengan jumlah pengeluaran. Analisis BEP digunakan untuk mengetahui sampai batas mana usaha penangkapan ikan hias masih memperoleh keuntungan jika kelompok nelayan membangun fasilitas penanganan yang memadai. BEP volume pada usaha perikanan ikan hias laut pada tahun 2010 dicapai pada Rp 31.185.256, artinya usaha ini akan mulai menghasilkan keuntungan pada apabila berada pada titik yang lebih besar dari Rp 31.185.256. Pada skenario optimum, BEP didapatkan sebesar Rp 29.118.495, artinya usaha ini akan mulai menghasilkan keuntungan apabila berada pada titik yang lebih besar dari Rp 29.118.495 (Tabel 15). (4) Rentabilitas (ROI) Rentabilitas atau return on investment (ROI) adalah kemampuan suatu usaha untuk menghasilkan keuntungan. Berdasarkan hasil analisis pada tingkat
63
pemanfaatan tahun 2010 didapatkan nilai ROI sebesar 87,2%, dan pada skenario optimum didapatkan nilai ROI sebesar 200,8% (Tabel 15).
Artinya bahwa
investasi di bidang usaha perikanan ikan hias laut di P. Weh sangat layak dikembangkan pada kedua skenario, karena memiliki nilai ROI > 25%.
4.9.2 Analisis kriteria investasi Untuk memutuskan layak atau tidaknya investasi di bidang perikanan ikan hias laut dilakukan dengan menghitung nilai NPV, IRR, dan Net B/C. Asumsiasumsi yang digunakan dalam menyusun perhitungan kriteria investasi perikanan ikan hias laut diantaranya adalah: 1) Analisis yang dilakukan merupakan usaha baru yang akan dikembangkan, dengan umur kegunaan ditentukan selama 10 tahun. 2) Harga yang digunakan baik untuk biaya maupun penerimaan mengalami peningkatan sebesar 5% setiap tahun selama umur investasi. 3) Nilai-nilai investasi yang digunakan dalam analisis berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tahun 2010. 4) Kapal kayu dipilih sebagai dasar analisis karena berdasarkan analisis ekonomi upaya penangkapan kapal kayu memiliki nilai yang paling tinggi. 5) Discount factor ditetapkan sebesar 14% per tahun yang mengacu kepada tingkat suku bunga pinjaman usaha program Kredit Usaha Rakyat Bank BRI (Juni 2011). 6) Biaya perawatan kapal, mesin dan alat tangkap meningkat 5% per tahun proyek. Hal ini dikarenakan kapal, mesin dan alat tangkap merupakan barang yang sudah terpakai. 7) Kebutuhan bahan bakar dan oli solar meningkat 5% per tahun proyek. Hal ini disebabkan oleh umur teknis semakin tua sehingga kebutuhan bahan bakar semakin bertambah. Dari hasil analisis didapatkan nilai NPV pada tingkat pemanfaatan tahun 2010 sebesar Rp 654.416.008 yang menunjukan nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi 10 tahun. Nilai IRR didapatkan sebesar 0,39, artinya investasi mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan sebesar 39% per tahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama
64
umur proyek 10 tahun. Nilai Net B/C didapatkan sebesar 3,39, artinya bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,39 selama umur investasi 10 tahun dengan asumsi suku bunga pinjaman sebesar 14%. Pada skenario optimum, nilai NPV didapatkan sebesar Rp 1.825.664.314 yang menunjukan nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur investasi 10 tahun. Nilai IRR didapatkan sebesar 0,88, artinya investasi mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan sebesar 88% per tahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur proyek 10 tahun. Nilai Net B/C didapatkan sebesar 6,85, artinya bahwa setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 6,85 selama umur investasi 10 tahun dengan asumsi suku bunga pinjaman sebesar 14%. Dari hasil perhitungan pada kedua skenario dapat disimpulkan bahwa usaha perikanan ikan hias laut di P. Weh sangat layak untuk dikembangkan.
Tabel 15 Perbandingan hasil analisis finansial pengembangan usaha ikan hias laut di P. Weh pada skenario pemanfaatan tahun 2010 dan pemanfaatan optimum No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kriteria Usaha Total Penerimaan (Rp) Total Biaya (Rp) Investasi (Rp) Keuntungan (Rp) R/C BEP volume (Rp) ROI NPV IRR Net B/C
Tingkat pemanfaatan Tingkat pemanfaatan tahun 2010 optimum 241.079.500 480.168.500 87.498.437 126.706.906 176.040.000 176.040.000 153.581.063 353.461.593 2,8 3,8 31.185.256 29.118.495 87,2% 200,8% 645.416.008 1.828.866.052 0,39 0,88 3,39 6,85
4.10 Analisis Pemasaran 4.10.1 Pelaku pemasaran dan jalur pemasaran Pemasaran produk ikan hias laut yang berasal dari P. Weh dilakukan melalui beberapa pelaku pemasaran dan jalur pemasaran (Gambar 20), yaitu:
65
1) Nelayan ikan hias Total populasi nelayan ikan hias pada saat penelitian dilaksanakan pada tahun 2010 adalah sebanyak 22 orang, dimana seluruhnya berdomisili di Desa Beurawang, P. Weh.
Total keuntungan bersih yang didapatkan nelayan
selama tahun 2010 dari produk ikan hias laut adalah Rp 153.581.063, dengan pendapatan bersih rata-rata per nelayan per tahun adalah Rp 6.980.957. 2) Pengepul Umumnya pelaku pemasaran ini merupakan tipe yang sangat aktif mencari pasokan ikan hias. Pengepul berkedudukan di Kota Banda Aceh, dengan pola permintaan ikan hias mengikuti pesanan dari pelaku pemasaran tingkat berikutnya (eksportir).
Pengepul memiliki fasilitas penampungan dan
penanganan ikan hias yang lebih memadai dibandingkan nelayan, mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pihak eksportir.
Dalam memenuhi
permintaan pihak eksportir, pengepul sering melakukan pengiriman melebihi pesanan untuk mengantisipasi ditolak akibat kematian ataupun cacat. Di Banda Aceh teridentifikasi sebanyak dua orang pengepul yang menampung ikan hias laut dari nelayan di P. Weh.
Pihak pengepul di Banda Aceh
melakukan pemasaran ikan hiasnya ke eksportir utama yang berkedudukan di Medan, Sumatra Utara. Selain itu salah satu pengepul juga mengirimkan ikan hiasnya ke eksportir yang berkedudukan di Bali dan baru berjalan sejak awal 2011. Belum ada informasi pasti mengenai jalur pemasaran dari pengepul untuk permintaan pasar lokal secara langsung maupun ke eksportir di daerah lain. 3) Eksportir Eksportir yang menampung produk ikan hias laut dari P. Weh teridentifikasi berkedudukan di Medan dan Bali. Tidak ada informasi pasti mengenai jalur pemasaran maupun volume ekspor ikan hias laut yang dilakukan oleh para eksportir tersebut, akan tetapi diketahui bahwa Singapura merupakan salah satu negara tujuan ekspor atau tujuan transit dari eksportir di Medan.
66
NELAYAN
PENGUMPUL 1
EKSPORTIR LAIN / RETAILER DOMESTIK
EKSPORTIR DI MEDAN
PENGUMPUL 2
EKSPORTIR DI BALI
EKSPORTIR LAIN / RETAILER DOMESTIK
NEGARA TUJUAN EKSPOR
Gambar 20 Skema jalur pemasaran ikan hias laut dari P. Weh (garis putus-putus menunjukkan pola umum yang mungkin terjadi). 4.10.2 Analisis marjin pemasaran Dari sebanyak 77 spesies ikan hias laut yang teridentifikasi di P. Weh, sebanyak 65 spesies diantaranya didapatkan informasi mengenai harga jual di masing-masing pelaku pemasaran. Besaran marjin harga ikan hias bervariasi untuk masing-masing spesies. Marjin harga jual pengepul ke eksportir terhadap harga beli dari nelayan berkisar antara Rp 100 hingga Rp 50.000, dengan rata-rata marjin sebesar Rp 3.922 (32,2% dari harga beli).
Marjin harga jual ekspor
terhadap harga beli eksportir dari pengepul berkisar antara Rp 1.092 hingga Rp 151.425, dengan rata-rata marjin sebesar Rp 18.413 (258,3% dari harga beli). Informasi mengenai harga jual ikan hias dari nelayan hingga eksportir disajikan pada Lampiran 6.
4.11 Strategi Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Hias Laut di Pulau Weh Analisis strategi pengembangan perikanan ikan hias laut di P. Weh dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats).
Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai
faktor secara sistematis untuk merumuskan berbagai strategi perusahaan. Analisis
67
ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunities),
namun
secara
bersamaan
dapat
meminimalkan
kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan (Rangkuti 2002).
Analisis SWOT mempertimbangkan
faktor internal (internal factor evaluation/IFE) yaitu strengths dan weaknesses serta faktor eksternal (external factor evaluation/EFE) yaitu opportunities dan threats yang dihadapi, sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi pengembangan (Marimin, 2004).
4.11.1 Unsur-unsur strategi SWOT 1) Kekuatan (Strength): S1: Ketersediaan tenaga kerja lokal Dari sebanyak 28.987 jiwa penduduk Pulau Weh, terdapat sebanyak 1.420 jiwa yang berprofesi sebagai nelayan (BPS, 2005).
Lebih jauh, terbatasnya
kesediaan lapangan pekerjaan di Pulau Weh memberikan peluang bagi penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan, khususnya perikanan ikan hias laut. S2: Etos Kerja Perikanan Dari 18 kelurahan di Pulau Weh, 16 diantaranya terletak di kawasan pesisir, dengan demikian ketergantungan dan interaksi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir di P. Weh relatif tinggi. Sumberdaya pesisir yang melimpah merupakan modal yang besar dalam pengembangan perikanan ikan hias laut, karena masyarakat telah terbiasa dengan kegiatan di laut. S3: Adanya fasilitas kegiatan usaha Nelayan-nelayan ikan hias di Pulau Weh telah memiliki fasilitas yang cukup memadai untuk melakukan kegiatan pemanfaatan ikan karang hias seperti alat tangkap jaring, kapal, fasilitas penampungan sementara serta penanganan, meskipun dengan kondisi yang masih terbatas. S4: Adanya kelompok nelayan ikan hias yang terkoordinasi Nelayan-nelayan ikan hias di Pulau Weh yang ada saat ini telah membentuk suatu kelompok nelayan. Adanya kelompok nelayan ini memudahkan dalam koordinasi dalam hal kegiatan penangkapan untuk memenuhi permintaan pasar.
68
S5: Kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap pelestarian sumberdaya terumbu karang Masyarakat pesisir di Pulau Weh memiliki tingkat kesadaran yang relatif tinggi dalam menjaga kelestarian sumberdaya terumbu karang yang ada di wilayah mereka. Hal ini dibuktikan dengan tetap berfungsinya lembaga adat Panglima Laut yang salah satunya berfungsi sebagai lembaga pengelola untuk menjamin pemanfaatan sumberdaya pesisir secara bijaksana. Adanya hal tersebut mendorong
pengembangan
kegiatan
perikanan
ikan
hias
laut
yang
bertanggungjawab dengan menerapkan praktek-praktek pemanfaatan yang ramah lingkungan. S6: Adanya suatu rumusan model pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut yang optimum di Pulau Weh Berdasarkan hasil analisis optimasi menggunakan pemrograman linier teridentifikasi sebanyak 3 spesies ikan yang pemanfaatannya harus ditingkatkan yaitu botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel batman (Pomacanthus imperator) untuk mencapai keuntungan yang optimum (Tabel 8). 2) Kelemahan (Weakness): W1: Terbatasnya sarana penanganan hasil tangkapan ikan hias Sarana penanganan hasil tangkapan ikan hias laut yang dimiliki nelayan masih sangat terbatas, baik dari sarana penampungan sementara hingga sarana pengemasan (packing).
Untuk memenuhi semua kebutuhan sarana tersebut,
nelayan ikan hias perlu melakukan tambahan investasi yang biayanya relatif cukup tinggi. W2: Kurangnya pengetahuan penanganan yang baik Aktivitas pemanfaatan ikan hias di P. Weh masih mengalami beberapa kendala, terutama dalam hal proses-proses penanganan sejak ikan ditangkap hingga proses pengiriman ikan kepada pembeli. Selain adanya keterbatasan kapasitas penampungan, keterbatasan pengetahuan mengenai cara penanganan ikan hias mengakibatkan masih relatif tingginya tingkat kematian ikan (Novaglio & Muttaqin, 2007)
W3: Kurangnya sarana informasi pasar Nelayan ikan hias laut di P. Weh belum memiliki informasi pasar nasional dan internasional yang cukup memadai sebagai acuan untuk memasarkan hasil
69
tangkapannya. Selama ini nelayan hanya menjual hasil tangkapannya ke pengepul yang berada di Banda Aceh, sehingga peluang pemasaran masih terbatas. Selanjutnya, masih terbatasnya informasi mengenai jenis-jenis lain yang potensial untuk dimanfaatkan mengakibatkan nelayan sulit untuk melakukan diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan. W4: Kurangnya kemampuan dalam menentukan harga Hingga saat ini nelayan mengalami kesulitan dalam bernegosiasi harga dengan pihak pembeli. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang masih relatif kecil. Jika hal ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan menyulitkan keberlanjutan kegiatan perikanan ikan hias laut di P. Weh. Hal ini terkait juga dengan masih terbatasnya informasi mengenai harga pasar. 3) Peluang (Opportunity): O1: Potensi pasar yang masih terbuka Kegemaran akan ikan hias di hampir semua belahan dunia dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Dirjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP, Sumpeno Putro mengatakan volume ekspor ikan hias pada 2001 sebesar US$14,6 juta dan pada 2004 sudah meningkat menjadi US$15,7 juta. Sedangkan nilai transaksi perdagangan ikan hias di pasar dunia sekitar US$500 juta (Abdullah, 2005). Hal ini menunjukan kecenderungan peningkatan permintaan terhadap ikan hias di dunia. Labih jauh, ketertarikan masyarakat Indonesia untuk memiliki akuarium ikan hias air laut diharapakan akan terus meningkat seiring dengan semakin mudahnya akses terhadap teknologi akuarium air laut. O2: Sumberdaya ikan karang yang melimpah dan keragaman yang tinggi Pesisir Pulau Weh didominasi oleh ekosistem terumbu karang, dimana kondisinya relatif masih sangat baik. Pulau Weh sebagai bagian dari Sumatera yang memiliki keragaman terumbu karang yang sangat tinggi diantara kawasan lainnya di bagian barat Indonesia, dimana fauna laut, ikan karang, dan campuran spesies unik dari Samudera Pasifik dan Hindia (Brown 2007).
Dari hasil
penelitian ditemukan sebanyak 77 spesies potensial sebagai ikan hias laut di P. Weh dengan potensi ekonomi lebih kurang 5,6 milyar rupiah per tahun.
70
O3: Adanya peluang dukungan modal investasi dari luar Pengembangan perikanan ikan hias di Pulau Weh mempunyai faktor peluang
yang
cukup
besar,
yaitu
adanya
minat
pengusaha
dalam
menginvestasikan modalnya dalam usaha perikanan ikan hias laut. Berdasarkan informasi dari Yayasan Alam Indonesia Lestari, terdapat beberapa eksportir ikan hias yang berminat untuk berinvestasi dan membantu pengembangan kegiatan ikan hias di P. Weh (Rekshodiharjo G 24 November 2010, komunikasi pribadi). O4: Dukungan program pemerintah pusat Saat ini pemerintah melalui Kementrian Kelautan dan Perikanan memiliki visi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil produk perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015. Visi tersebut tertuang di dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. Per. 06/MEN/2010 tentang Rencana Strategis
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan
tahun
2010-2014
(www.kkp.go.id). Visi ini dilaksanakan melalui empat pilar utama yaitu melalui penguatan
kelembagaan
dan
sumberdaya
manusia
(SDM),
pengelolaan
berkelanjutan, peningkatan produktivitas dan daya saing, serta perluasan akses pasar domestik dan internasional.
Adanya visi pemerintah ini ikut menjadi
pendorong bagi pengembangan kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh. O5: Dukungan lembaga non pemerintah bagi kegiatan perikanan ikan hias yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Saat
ini
beberapa
lembaga
non-pemerintah
memiliki
program
pendampingan kepada nelayan-nelayan ikan hias laut yang bertujuan untuk memberikan
arahan
dalam
pemanfaatan
secara
bertanggungjawab
dan
berkelanjutan. Lembaga non-pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap isu pemanfaatan ikan hias laut diantaranya adalah Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi) dan Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI). Salah satu program LINI adalah memberikan pelatihan kepada nelayan-nelayan ikan hias laut tentang tata cara penangkapan dan penanganan yang benar. Lebih jauh, lembaga Wildlife Conservation Society (WCS) bekerjasama dengan nelayan ikan hias di Pulau Weh untuk melakukan kajian strategi pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di P. Weh secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
71
4) Ancaman (Threat): T1: Belum adanya dukungan dari pemerintah daerah dan kelompok masyarakat lainnya Penangkapan ikan hias laut di Pulau Weh masih merupakan isu sensitif bagi kalangan tertentu, termasuk nelayan. Pemanfaatan ikan hias laut masih identik dengan cara-cara penangkapan yang merusak seperti penggunaan sianida. Hal ini diakibatkan belum terjalinnya komunikasi yang baik antara kelompokkelompok masyarakat sehingga kegiatan ini masih dianggap kegiatan yang mengancam kelestarian sumberdaya.
Selanjutnya, adanya fenomena ini
mengakibatkan pemerintah daerah enggan untuk ikut mengembangkan kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh. T2: Masih adanya peraturan daerah yang menghambat Upaya mengembangkan kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh masih terkendala dengan adanya peraturan pemerintah yang membatasinya. Dalam Qanun nomor 6 tahun 1997 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Kawasan Perairan pantai Dalam Kotamadya Daerah Tingkat II Sabang, terdapat butir yang menyatakan pelarangan pemanfaatan ikan hias laut di beberapa wilayah di Pulau Weh. Adanya Qanun tersebut juga mengakibatkan pemerintah daerah enggan untuk ikut mengembangkan kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh. T3: Persaingan dengan daerah lain Ancaman lain dalam pemasaran ikan hias laut di Pulau Weh adalah adanya produk dari daerah lain di Aceh di daerah Kabupaten Aceh Besar. Hingga saat ini belum ada informasi spesifik mengenai produksi dari daerah tersebut, termasuk jenis ikan yang dijual, volume, harga, dan daerah pemasarannya. Keberadaan pesaing dari daerah Aceh Besar ini tentunya akan menjadi ancaman bagi pengembangan kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh. T4: Keterbatasan pemanfaatan daerah penangkapan Ancaman dari aspek pengelolaan kawasan adalah adanya keterbatasan pemanfaatan daerah penangkapan yang disebabkan oleh adanya daerah-daerah pengelolaan pesisir di Pulau Weh. Daerah tersebut adalah wilayah KKLD pesisir timur Pulau Weh yang meliputi 2 kelurahan yaitu Ie Meulee dan Anoi Itam, serta wilayah Taman Wisata Alam Laut (TWAL) di kelurahan Iboih. Kegiatan
72
penangkapan ikan hias laut dilarang dilakukan di daerah-daerah tersebut karena adanya larangan penggunaan jaring, yang juga merupakan alat yang digunakan untuk menangkap ikan hias laut di Pulau Weh T5: Ancaman perubahan iklim Terjadinya peningkatan suhu rata-rata air laut yang diakibatkan oleh fenomena perubahan iklim dapat mengancam keberadaan ekosistem terumbu karang. Pada bulan April hingga Mei 2010, terjadi fenomena pemutihan karang (coral bleaching) di perairan utara Aceh yang mengakibatkan 67% karang mengalami pemutihan, dimana 37% diantaranya mengalami kematian (Muttaqin et al. 2011).
Hasil dari beberapa penelitian telah memperingatkan bahwa
perubahan iklim dapat meningkatkan frekuensi pemutihan karang dan mengancam kelangsungan hidup jangka panjang dari terumbu karang (Donner et al. 2005). Karena terumbu karang merupakan habitat utama ikan hias laut, perubahan iklim yang mengancam ekosistem terumbu karang juga akan mengancam kelestarian sumberdaya ikan hias laut di alam. 4.11.2 Analisis SWOT strategi pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh Strategi pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di P. Weh dianalisa dengan menggunakan analisis SWOT. Matriks faktor-faktor strategi internal dan eksternal disajikan pada Tabel 16 dan 17. Dari hasil pembobotan terhadap faktor-faktor yang berpengaruh diperoleh hasil bahwa faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) lebih besar pengaruhnya dibanding faktor eksternal (peluang dan ancaman), terhadap pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh, dengan rasio sebesar 3,10 : 2,90. Berdasarkan selisih nilai Peluang-Ancaman dan Kekuatan-Kelemahan yang disajikan pada diagram analisis SWOT (Gambar 20) teridentifikasi bahwa strategi yang harus dilakukan bagi pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh berada pada kuadran II (agresif). Hal tersebut menunjukkan bahwa strategi pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh harus mengoptimalkan kekuatan internal yang ada untuk merebut peluang-peluang yang ada.
73
Tabel 16 Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) Faktor-faktor Strategi Internal 1 Kekuatan: S1: Ketersediaan tenaga kerja lokal S2: Etos kerja perikanan S3: Adanya fasilitas kegiatan usaha S4: Adanya kelompok nelayan S5: Kesadaran masyarakat tinggi S6: Adanya rumusan strategi pemanfaatan optimum
Bobot
Rating
Skor
2
3
4
0,15 0,10 0,15 0,10 0,05 0,15
2 2 3 3 4 4
0,30 0,20 0,45 0,30 0,20 0,60 1,95
Kelemahan: W1: Sarana penanganan yang terbatas W2: Kurangnya pengetahuan penanganan W3: Kurangnya sarana informasi pasar W4: Kurangnya kemampuan menentukan harga
0,05 0,05 0,20 0,05
2 2 4 3
0,10 0,10 0,80 0,15 1,15
Selisih (Kekuatan – Kelemahan)
0,80
Total Faktor Internal
3,10
Tabel 17 Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Faktor-faktor Strategi Eksternal 1
Bobot
Rating
Skor
2
3
4
Peluang: O1: Potensi pasar yang masih terbuka O2: Sumberdaya ikan karang melimpah O3: Peluang dukungan modal investasi O4: Dukungan program pemerintah pusat O5: Dukungan lembaga non-pemerintah
0,20 0,25 0,10 0,05 0,05
3 4 3 2 1
0,60 1,00 0,30 0,10 0,05 2,05
Ancaman: T1: Belum adanya dukungan pemda, masyarakat T2: Perda yang menghambat T3: Persaingan dengan daerah lain T4: Keterbatasan daerah pemanfaatan T5: Ancaman perubahan iklim
0,05 0,05 0,10 0,10 0.05
2 2 2 3 3
0,10 0,10 0,20 0,30 0,15 0,85
Selisih (Peluang – Ancaman)
1,20
Total Faktor Eksternal
2,90
74
Peluang
KONSERVATIF Strategi berbenah
AGRESIF
2
I
II
0 ‐2
‐1
III
DEFENSIF
0
1
2
IV
‐1
‐2
Ancaman
Kekuatan
Kelemahan
1
KOMPETITIF Strategi diversifikasi
Gambar 21 Diagram arahan strategi berdasarkan hasil analisis SWOT. Berdasarkan matriks IFAS dan EFAS di atas, maka dengan menggunakan model matriks TOWS diperoleh strategi-strategi yang dikelompokkan ke dalam 4 kategori (Tabel 18) (Rangkuti 2004), yaitu: 1) Strategi S-O, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang; 2) Strategi W-O, memanfaatkan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada; 3) Strategi S-T, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal; 4) Strategi W-T, didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha memperkecil kelemahan, serta menghindari ancaman. Berdasarkan hasil analisis matrik TOWS (Tabel 18) teridentifikasi sebanyak 9 strategi yang dapat dilakukan untuk pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh. Untuk menentukan urutan prioritas dari kesembilan strategi maka strategi-strategi tersebut diurutkan menurut peringkat berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada Tabel 19.
75
Tabel 18 Matriks TOWS strategi pengembangan perikanan ikan hias laut di P. Weh
MATRIK TOWS
PELUANG (O) O1: potensi pasar terbuka O2: sumberdaya ikan karang melimpah O3: peluang investasi dari masyarakat O4: dukungan program pemerintah pusat O5:dukungan lembaga nonpemerintah
ANCAMAN (T) T1: belum adanya dukungan pemda, masyarakat T2: perda yang menghambat T3: persaingan dengan daerah lain T4: keterbatasan daerah pemanfaatan T5: ancaman perubahan iklim
KEKUATAN (S)
KELEMAHAN (W)
S1: ketersediaan tenaga kerja S2: etos kerja perikanan S3: adanya fasilitas kegiatan usaha S4: adanya kelompok nelayan S5: kesadaran masyarakat tinggi S6: adanya rumusan strategi pemanfaatan optimum
W1: sarana yang terbatas W2: kurangnya pengetahuan penanganan W3: kurangnya sarana informasi pasar W4: kurangnya kemampuan menentukan harga W5: belum adanya strategi usaha
STRATEGI S-O
STRATEGI W-O
1) Diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan (S1,S2,S6,O1,O2,O4)
1) Perbaikan sarana penanganan (W1,O3)
2) Pengembangan usaha dengan memanfaatkan dukungan investasi dari pihak luar (S1,O1,O2,O3,O5)
STRATEGI S-T 1) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia (S1, S3, S4,S6,T4,T5) 2) Peningkatan kualitas ikan yang dijual (S3,T3)
2) Pelatihan cara penanganan yang lebih baik (W2,O5) 3) Pengembangan akses terhadap pasar dengan menjajaki pembeli-pembeli potensial lainnya (W3,O1,O2,O4,O5) STRATEGI W-T 1) Melakukan penganganan ikan yang lebih hati-hati dengan mengoptimalkan sarana yang ada (W1,W2,T3)
3) Sosialisasi kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh yang ramah lingkungan kepada stakeholder lain (S5,T1,T2,T4)
Strategi-strategi pemanfaatan perikanan ikan hias laut di P. Weh berdasarkan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: 1) Diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan Strategi ini berada pada kelompok strategi S-O, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mencapai peluangpeluang yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh ketersediaan tenaga kerja, etos kerja perikanan, serta adanya rumusan strategi pemanfaatan optimum yang dihasilkan dari penelitian ini. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini didukung oleh adanya faktor
76
potensi pasar yang masih terbuka, sumberdaya ikan karang yang melimpah, serta dukungan program pemerintah pusat. 2) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia Strategi ini berada pada kelompok S-T, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancamanancaman yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh ketersediaan tenaga kerja, adanya fasilitas kegiatan usaha, adanya kelompok nelayan, serta adanya rumusan model pemanfaatan optimum.
Dari unsur ancaman (threats), strategi ini diharapkan dapat
mengatasi masalah keterbatasan daerah pemanfaatan dan ancaman perubahan iklim. 3) Pengembangan usaha dengan memanfaatkan dukungan investasi dari pihak luar Strategi ini berada pada kelompok strategi S-O, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mencapai peluangpeluang yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh ketersediaan tenaga kerja. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini didukung oleh adanya faktor potensi pasar yang masih terbuka, sumberdaya ikan karang melimpah, peluang investasi dari pihak luar, serta dukungan lembaga non-pemerintah. Investasi perlu diarahkan untuk mendukung pengambangan sarana penanganan dan peluang pembeli baru. 4) Pengembangan akses terhadap pasar dengan menjajaki pembeli-pembeli potensial lainnya Strategi ini berada pada kelompok W-O, yang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang tersedia. Dari unsur kelemahan (weakness) yang dimiliki, strategi ini dapat mengatasi masalah kurangnya sarana informasi pasar. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini dapat memanfaatkan peluang potensi pasar yang masih terbuka, sumberdaya ikan karang melimpah, dukungan program pemerintah pusat, serta dukungan lembaga non-pemerintah. 5) Peningkatan kualitas ikan yang dijual Strategi ini berada pada kelompok S-T, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman-
77
ancaman yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh adanya fasilitas kegiatan usaha. Dari unsur ancaman (threats), strategi ini diharapkan dapat mengatasi masalah adanya persaingan dengan daerah lain. 6) Melakukan penanganan ikan yang lebih hati-hati dengan mengoptimalkan sarana yang ada Strategi ini berada pada kelompok W-T, yang diarahkan pada pengurangan kelemahan internal untuk menghadapi ancaman eksternal. Dari unsur kelemahan (weakness) yang dimiliki, strategi ini dapat dilakukan untuk mengatasi masalah terbatasnya kualitas sarana penanganan dan pengetahuan penanganan. Dari unsur ancaman (threats), strategi ini diharapkan dapat mengatasi masalah adanya persaingan dengan daerah lain. 7) Perbaikan sarana penanganan Strategi ini berada pada kelompok W-O, dimana bertujuan untuk memperbaiki kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang tersedia. Dari unsur kelemahan (weakness) yang dimiliki, strategi ini dapat dilakukan untuk mengatasi masalah masih terbatasnya kualitas sarana penanganan. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini dapat diterapkan dengan memanfaatkan peluang investasi dari masyarakat maupun pihak lain. 8) Sosialisasi kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh yang ramah lingkungan kepada stakeholder lain Strategi ini berada pada kelompok S-T, dimana bertujuan untuk mengoptimalkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancamanancaman yang ada. Dari unsur kekuatan (strength) yang dimiliki, strategi ini didukung oleh kesadaran masyarakat (khususnya nelayan) yang tinggi dalam menjaga kelestarian sumberdaya terumbu karang. . Dari unsur ancaman (threats), strategi ini diharapkan dapat mengatasi masalah belum adanya dukungan pemerintah daerah dan masyarakat, serta adannya peraturan daerah yang menghambat. 9) Pelatihan cara penanganan ikan hias yang lebih baik Strategi ini berada pada kelompok W-O, dimana bertujuan untuk memperbaiki kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang tersedia. Dari unsur kelemahan (weakness) yang dimiliki, strategi ini dapat
78
dilakukan untuk mengatasi masalah kurangnya pengetahuan penanganan. Dari unsur peluang (opportunity), strategi ini dapat diterapkan dengan memanfaatkan dukungan dari lembaga non-pemerintah.
Tabel 19 Penentuan strategi prioritas pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh UNSUR SWOT Strategi 1 Diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan
KETERKAITAN (S1,S2,S6,O1,O2,O4)
SKOR 2,25
PERINGKAT 1
Strategi 2
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia
(S1,S3,S4,S6,T4,T5)
2,00
2
Strategi 3
Pengembangan usaha dengan memanfaatkan dukungan investasi dari pihak luar
(S1,O1,O2,O3,O5)
1,85
3
Strategi 4
Pengembangan akses terhadap pasar dengan menjajaki pembelipembeli potensial lainnya
(W3,O1,O2,O4,O5)
1,50
4
Startegi 5
Peningkatan kualitas ikan yang dijual
(S3,T3)
0,90
5
Strategi 6
Melakukan penganganan ikan yang lebih hati-hati dengan mengoptimalkan sarana yang ada
(W1,W2,T3)
0,70
6
Startegi 7
Perbaikan sarana penanganan
(W1,O3)
0,60
7
Strategi 8
Sosialisasi kegiatan pemanfaatan ikan hias laut yang ramah lingkungan kepada stakeholder lain
(S5,T1,T2,T4)
0,45
8
Strategi 9
Pelatihan cara penanganan yang lebih baik
(W2,O5)
0,15
9
79
5 PEMBAHASAN
5.1 Potensi Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh Survei kelimpahan ikan karang dilakukan di 20 lokasi pengamatan di perairan sekitar Pulau Weh.
Lokasi-lokasi pengamatan tersebar di beberapa
wilayah pengelolaan yang berbeda, yaitu Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Iboih, Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pesisir Timur Pulau Weh, dan daerah pemanfaatan. Dari 20 lokasi pengamatan, hanya 8 lokasi yang berada di daerah pemanfaatan, sedangkan 12 lokasi pengamatan lainnya berada di kawasan konservasi laut. Salah satu peraturan yang berlaku wilayah kawasan TWAL dan KKLD adalah larangan penggunaan alat tangkap jaring, oleh karena itu kawasan ini merupakan daerah larang tangkap bagi kegiatan perikanan ikan hias laut. Berdasarkan kondisi tersebut maka analisis potensi sumberdaya ikan hias laut dalam penelitian ini didasarkan atas data dari 8 lokasi pengamatan yang berada di daerah pemanfaatan (Gambar 3). Hal ini dilakukan agar kajian potensi sumberdaya ikan hias laut didasarkan atas kondisi yang ada di daerah pemanfaatan di perairan Pulau Weh. Dari data hasil survei kelimpahan ikan karang teridentifikasi sebanyak 319 spesies ikan karang, dimana sebanyak 77 spesies diantaranya merupakan spesies yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut. Rata-rata kelimpahan ikan hias laut dari 8 lokasi pengamatan berkisar antara 17 sampai 1.229 ind.ha-1. Identifikasi jenis-jenis ikan yang merupakan kelompok ikan hias untuk akuarium dilakukan berdasarkan data permintaan ikan hias dari PT Cahaya Baru dan PT Golden Marindo di Jakarta (data tidak dipublikasikan) serta mengacu kepada BRPL (2005). Kelimpahan ikan karang tertinggi adalah kepe meyeri (Chaetodon meyeri) yaitu sebesar 2.671 ind.ha-1. Jenis lain yang juga memiliki kelimpahan tertinggi adalah ikan kepe belanda (Hemitaurichthys zoster), dengan rata-rata kelimpahan sebesar 2.143 ind.ha-1. Kedua jenis ikan tersebut merupakan jenis-jenis yang umum ditangkap oleh nelayan ikan hias di Pulau Weh.
80
Dari 19 jenis ikan hias laut yang teridentifikasi dari data hasil tangkapan, saat ini baru sebanyak 6 jenis yang dimanfaatkan dalam jumlah relatif besar oleh nelayan ikan hias di Pulau Weh, yaitu botana biru (Acanthurus leucosternon), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), botana naso (Naso lituratus), kepe belanda (Hemitaurichthys zoster), giro pasir ekor kuning (Amphiprion clarkii), dan kepe meyeri (Chaetodon meyeri). Kondisi ini menunjukan bahwa perikanan ikan hias laut di Pulau Weh memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, terutama pada jenis-jenis yang belum banyak dimanfaatkan.
5.2
Pendugaan Kuota Tangkapan Lestari Sumberdaya Ikan Hias Laut di Pulau Weh Pendugaan kuota tangkapan lestari ikan hias laut di Pulau Weh dilakukan
menggunakan pendekatan model yang diperkenalkan oleh Garcia et al. (1989). Garcia membangun model surplus produksi untuk menduga maximum sustainable yield (MSY) pada perikanan dengan data yang terbatas, atau dimana data time series tidak tersedia. Model tersebut didasarkan atas persamaan Cadima yang mempunyai
bentuk
MSY=0,5*(Y+M)*ܤത
untuk
sumberdaya
yang
telah
dieksploitasi, dimana Y adalah mortalitas akibat penangkapan, M mortalitas alami, dan ܤത biomassa rata-rata. Secara prinsip model Garcia memiliki dasar yang sama dengan estimasi dari Cadima, tetapi tetap konsisten terhadap prinsip-prinsip pokok dari model Schaefer dan Fox (Sparre dan Venema 1999). Berbeda dengan perikanan pada umumnya dimana produksi dinyatakan dalam satuan kg atau metrik ton, hasil produksi perikanan ikan hias laut dinyatakan dalam satuan ekor atau jumlah individu. Berdasarkan hal tersebut serta mengacu kepada Edwards dan Shepherd (1992) serta Dufour (1997), maka pada kasus perikanan ikan hias pendugaan nilai MSY tidak menggunakan nilai dugaan ഥ) biomassa (ܤത) melainkan menggunakan nilai dugaan kelimpahan rata-rata (ܦ yang dinyatakan dalam satuan individu per satuan luas (ind.ha-1).
Dengan
pendekatan ini maka nilai dugaan MSY dinyatakan dalam satuan jumlah individu ikan. Pendugaan MSY menggunakan model ini didasarkan atas 3 parameter yaitu mortalitas alami (M), jumlah ikan yang ditangkap selama 1 tahun (Y), dan stok sumberdaya atau kelimpahan ikan (D).
81
Kelimpahan ikan (D) dinyatakan dalam satuan jumlah individu ikan per hektar. Untuk menduga jumlah total stok ikan yang potensial untuk dimanfaatkan, maka nilai D dikalikan dengan luasan terumbu karang di Pulau Weh. Proses ini adalah generalisasi yang dilakukan untuk menduga stok sumberdaya potensial di Pulau Weh, dengan didasari dua asumsi yaitu: 1)
Bahwa pola penyebaran dan komposisi spesies ikan adalah homogen di daerah terumbu karang di seluruh perairan Pulau Weh.
2)
Kegiatan penangkapan ikan hias umumnya dilakukan pada kedalaman 2 hingga 7 meter. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh WCS menggunakan pendekatan sistem penginderaan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografis (SIG), luasan area terumbu karang di daerah pemanfaatan (diluar kawasan konservasi) pada kedalaman 2 hingga 7 meter adalah 243,52 ha (data tidak dipublikasikan). Nilai mortalitas alami diduga dengan menggunakan persamaan yang
dibangun oleh Froese et al. (2000) yang merupakan penyempurnaan dari persamaan yang dibangun oleh Pauly (1980). Karena secara teoritis bahwa nilai mortalitas total (Z) adalah mortalitas alami (M) ditambah mortalitas akibat penangkapan (F), maka Pauly (1980) menyatakan bahwa pada populasi stok yang sudah dieksploitasi maka nilai M dapat diduga dari nilai Z dikurangi F. Akan tetapi pendekatan ini memiliki keterbatasan karena informasi mengenai nilai Z sering kali tidak tersedia. Melalui analisis komparatif dari sebanyak 1500 data panjang ikan dan suhu rata-rata tahunan dimana sampel ikan ditangkap, Pauly membangun persamaan empiris untuk menduga nilai M menggunakan informasi panjang asimtotik (Linf) dan rata-rata tahunan suhu permukaan laut (T) di suatu daerah. Dalam penelitian ini nilai T didapatkan dari data yang dipublikasikan oleh NOAA NESDIS COASTWATCH (http://coastwatch.pfeg.noaa.gov/erddap/ index.html). Dalam penelitian ini, pendugaan MSY dengan menggunakan persamaan Garcia et al. (1989) dilakukan untuk kedua model Schaefer dan Fox. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa nilai dugaan MSY yang didasarkan atas model Schaefer memiliki nilai MSY yang lebih tinggi dari model Fox. Seperti disajikan pada Gambar 14, hasil perhitungan model Schaefer menghasilkan rata-
82
rata MSY sebesar 0,886 (88,6%) dari stok, sedangkan model Fox sebesar 0,652 (65,2%). Hal ini menunjukan bahwa hasil pendugaan menggunakan model Fox menghasilkan nilai yang lebih konservatif.
Hasil pendugaan nilai MSY
dinyatakan dalam jumlah total individu ikan yang dapat dimanfaatkan dalam satu tahun. Dari hasil penelitian mengenai tingkat pemanfaatan lestari sumberdaya ikan karang di P. Weh yang dilakukan oleh Yulianto (2010), menyatakan bahwa kurva hubungan linier antara MSY dan biomassa ikan karang menghasilkan nilai 0,6, yang artinya bahwa jumlah tangkapan lestari ikan karang adalah 60% dari nilai biomassanya. Nilai yang dihasilkan dari hasil penelitian Yulianto (2010) tidak terlalu berbeda dengan hasil penelitian ini. Meskipun begitu, adanya perbedaan nilai tangkapan lestari terhadap stok dimungkinkan karena perbedaan parameter penduga stok ikan yang digunakan. Yulianto (2010) menggunakan biomassa (kg.ha-1), sedangkan penelitian ini menggunakan kelimpahan (ind.ha-1) sebagai parameter penduga stok ikan. Data hasil tangkapan dan upaya penangkapan dalam penelitian ini hanya tersedia selama 12 bulan (Januari hingga Desember 2010). Berdasarkan kondisi ini maka proses validasi tidak dapat dilakukan untuk menguji model mana yang paling mendekati pola sebenarnya. Garcia et al. (1989) melakukan simulasi menggunakan data artifisial untuk menguji performa dari kedua model dalam menduga MSY. Berdasarkan hasil simulasi didapatkan bahwa kedua model memiliki keterbatasan jika tingkat pemanfaatan sangat tinggi atau kelimpahan (D) telah mendekati 0 (stok mendekati kepunahan). Model Schaefer menjadi tidak stabil dalam melakukan pendugaan pada tingkat pemanfaatan yang tinggi, sehingga tidak direkomendasikan untuk digunakan jika tingkat pemanfaatan sudah tinggi atau ada indikasi terjadinya overfishing. Sementara pada model Fox, stok mendekati nilai 0 hanya jika tingkat upaya penangkapan terjadi pada tingkat yang sangat tinggi atau cenderung tidak realistis. Oleh karena itu, model fox memiliki keunggulan dibandingkan model Schaefer dimana memiliki performa yang lebih baik dan aman dalam menduga nilai MSY meskipun pada kondisi tingkat pemanfaatan yang tinggi. Berdasarkan
83
alasan tersebut maka hasil pendugaan menggunakan model Fox dijadikan dasar dalam analisis selanjutnya. Selain itu, dalam perspektif pengelolaan perikanan yang didasarkan atas pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) (Dufour 1997), maka model Fox lebih baik dipilih sebagai penduga nilai MSY bagi perikanan ikan hias laut di P. Weh karena menghasilkan nilai dugaan MSY yang lebih konservatif. Selanjutnya dengan tetap mengedepankan pendekatan kehati-hatian, sebagai keluaran bagi pengelolaan perikanan ikan hias di Pulau Weh maka kuota tangkapan per tahun ditetapkan sebesar 80% dari nilai MSY. Hal ini mengacu pada kebijakan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan yang tertuang dalam Kepmen KP No Kep.18/Men/2002 tentang rencana strategis pembangunan kelautan dan perikanan 2001-2004 (Wiadnya et al. 2006). Pendugaan MSY untuk sumberdaya ikan hias laut dengan menggunakan model surplus produksi memiliki keterbatasan, diantaranya yaitu: 1) nilai-nilai konstanta panjang asimtotik (Linf) dan koefisien pertumbuhan (K) yang digunakan dalam menghitung mortalitas alami (M) mengacu kepada informasi yang tersedia di metadata Fishbase.org (Froese dan Pauly 2010). Data yang tersedia di metadata Fishbase merupakan data standar yang umum, sehingga hal ini memberikan keterbatasan dalam akurasi hasil perhitungan. Menurut Sparre dan Venema (1999) serta Ochavillo dan Hodgson (2006), untuk mendapatkan nilai-nilai konstanta yang lebih akurat perlu dilakukan kajian khusus dengan mengambil sampel panjang ikan secara in-situ; 2) model surplus produksi hanya didasarkan atas konsep rekrutmen dari populasi ikan. Ikan karang memiliki fungsi ekologis bagi terumbu karang yang seharusnya juga dijadikan dasar pertimbangan dalam penentuan tingkat pemanfaatan lestarinya; 3) ukuran ikan yang ditangkap tidak dijadikan dasar dalam penentuan potensi tangkap lestari ikan hias.
Ukuran ikan minimum yang ditangkap sangat
penting dalam pengelolaan perikanan. Yang umum digunakan sebagai acuan adalah ukuran panjang ikan pada pertama kali matang gonad (length at first maturity), dimana pada ukuran tersebut ikan diasumsikan setidaknya telah melakukan satu kali pemijahan (Hutchings dan Baum 2005).
84
5.3 Tingkat dan Pola Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh Berdasarkan data hasil tangkapan dari Januari hingga Desember 2010 tercatat sebanyak 19 spesies ikan hias ditangkap. Dari 19 spesies, hanya tiga spesies yang ditangkap dalam jumlah yang relatif signifikan, yaitu ikan botana biru (Acanthurus leucosternon) sebesar 83%, botana lettersix (Paracanthurus hepatus) sebesar 10%, dan botana naso (Naso lituratus) sebesar 8,9% dari total tangkapan selama 12 bulan. Komposisi hasil tangkapan tersebut menunjukkan kecenderungan pola pemanfaatan ikan hias di P. Weh yang bergantung pada satu spesies (single species), yaitu botana biru. Pola pemanfaatan seperti ini lebih dipengaruhi oleh faktor permintaan dari pembeli/eksportir serta ketersediaan pasar. Faktor lain adalah karena tidak adanya kesesuaian harga yang ditawarkan pembeli/eksportir sehingga nelayan tidak tertarik untuk menangkap jenis-jenis ikan lainnya. Pola pemanfaatan yang cenderung hanya memanfaatkan satu jenis ikan akan memberikan tekanan ekologis, dalam hal ini populasi botana biru, dimana total ikan yang ditangkap pada selama tahun 2010 telah melebihi kuota tangkapan tahunan pada kelas ukuran 10-15 cm yaitu sebesar 103,5%. Meskipun kuota tangkapan tahunan ditetapkan hanya sebesar 80% dari MSY, akan tetapi tingkat pemanfaatan ini telah memberikan indikator awal kemungkinan terjadinya jumlah tangkap berlebih (overfishing). Berdasarkan hal ini, perlu ada perubahan pola pemanfaatan ikan hias di P. Weh yaitu dengan merubah komposisi ikan target. Tingkat pemanfaatan pada jenis botana biru perlu dikurangi setidaknya hingga batas kuota tangkap tahunannya.
Selain itu perlu dilakukan upaya untuk
meningkatkan pemanfaatan pada jenis-jenis lain untuk mengurangi tekanan terhadap populasi botana biru. Berdasarkan komposisi jenjang rantai makanan (trophic level), ditemukan bahwa 86% ikan yang dimanfaatkan merupakan jenis herbivora. Ikan herbivora memainkan peran penting dalam ketahanan terumbu karang dengan membatasi pembentukan dan pertumbuhan alga yang menghambat pertumbuhan karang baru (coral recruit) (Green dan Belwood 2009). McClanahan et al. (1996) menambahkan bahwa tidak adanya aktivitas herbivora akan mengakibatkan pertumbuhan alga yang cepat yang akhirnya akan mendominasi substrat perairan
85
sehingga menghambat pertumbuhan karang baru maupun karang dewasa. Menurut Hoey dan Belwood (2009) tingginya tekanan terhadap ikan herbivora akibat kegiatan penangkapan ikan hias dapat menurunkan aktivitas herbivora yang akan mengakibatkan pergeseran fase dari komunitas karang menjadi komunitas alga (coral-algal phase shift). Menurut Obura dan Grimsditch (2009) ikan karang memiliki kontrol terhadap komunitas bentik. Dalam konteks pemulihan ekologi (ecological recovery) dan kelentingan (resilience) ikan herbivora terbukti memiliki peran penting
tertentu.
Green
dan
Belwood
(2009)
mengidentifikasi
dan
mengelompokan ikan herbivora ke dalam 6 kelompok yang lebih detail berdasarkan fungsi ekologisnya yang dikenal dengan istilah kelompok fungsional (functional group), dimana masing-masing memiliki peran ekologis tertentu di ekosistem terumbu karang. Bellwood et al. (2006) melakukan kajian pada 45 spesies ikan herbivora untuk mengidentifikasi sifat kelompok fungsional dari masing-masing spesies dan mengukur kemampuan mereka dalam membatasi pertumbuhan makro alga. Mereka menemukan bahwa kelompok ikan kakak tua (Scaridae) dan surgeonfish (Acanthuridae) hanya memiliki peran dalam menjaga kestabilan kelimpahan makro alga, dan tidak berperan dalam memperbaiki kondisi daerah terumbu karang yang telah mengalami pergeseran menjadi dominansi makro alga. Dari sebanyak 45 spesies yang dikaji hanya Platax pinnatus yang memiliki kemampuan untuk membantu mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah didominasi oleh makro alga, dan sisanya hanya berperan dalam menjaga pertumbuhan alga tetap rendah di ekosistem terumbu karang yang masih baik. Hal ini menunjukan bahwa spesies yang utama dimanfaatkan oleh nelayan P. Weh yaitu A. leucosternon perlu diatur tingkat pemanfaatannya untuk mencegah terjadinya perubahan fase ekosistem terumbu karang menjadi ekosistem yang didominasi makro alga akibat menurunnya fungsi ekologis dari kelompok ikan herbivora. Lebih jauh Hoey dan Bellwood (2009) dalam pengelempokan functional group mengemukakan bahwa spesies Naso sp. merupakan jenis perambah (browser) yang diduga memiliki peran ekologis yang sama dengan Platax
86
pinnatus. Menurut Green dan Belwood (2009) ikan jenis perambah secara konsisten memakan jenis makro alga, dimana mereka memiliki peran yang penting dalam mengurangi pertumbuhan alga serta memiliki peran kritis dalam mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah didominasi oleh alga. Meskipun tingkat pemanfaatan spesies Naso lituratus masih tergolong rendah (8,9% dari kuota), akan tetapi spesies ini memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alga di terumbu karang serta memiliki kemampuan dalam membantu mengembalikan kondisi terumbu karang yang telah didominasi alga,
sehingga
perlu
perhatian
khusus
untuk
mengendalikan
tingkat
pemanfaatannya. Perubahan iklim merupakan sumber ancaman baru terhadap terumbu karang yang berpotensi mengakibatkan kematian karang dalam jumlah besar akibat peningkatan suhu air laut dan peningkatan rata-rata muka laut (sea level rise) (Green dan Belwood 2009). Dengan adanya kondisi ini maka perhatian terhadap fungsi ekologis ikan dalam pengelolaan perikanan terumbu karang menjadi sangat penting untuk memastikan tetap terjaganya kelentingan ekosistem terumbu karang (coral reef resilience). Komposisi jenjang rantai makanan dan kelompok fungsional dari 77 spesies ikan hias laut yang potensial disajikan pada Gambar 22 dan 23.
Secara
keseluruhan bahwa sumberdaya ikan hias laut di P. Weh terdistribusi secara hampir merata ke berbagai kelompok jenjang rantai makanan dan kelompok fungsional. Bentik invertivora 17%
Planktivora 17%
Karnivora 7% Omnivora 23%
Koralivora 13%
Herbivora 19%
Detrivora 4%
Gambar 22 Komposisi jenjang rantai makanan (trophic level) 77 spesies ikan hias laut di P. Weh.
87
Sessile invertebrate Bentik Scrapper feeder invertivora 1% 3% 14% Browser 1% Planktivora 17%
Karnivora 7% Detritivora 4%
Omnivora 23% Obligate and facultative coral feeder 13%
Grazer 17%
Gambar 23 Komposisi kelompok fungsional (functional group) 77 spesies ikan hias laut di P. Weh. Dari perspektif ketersediaan sumberdaya berdasarkan model surplus produksi, secara umum tingkat pemanfaatan ikan hias laut masih berada di bawah potensi lestarinya, kecuali untuk jenis Acanthurus leucosternon. Salah satu permasalahan dalam kegiatan perikanan ikan hias laut adalah ukuran tangkap yang cenderung lebih kecil dari ukuran layak tangkap. Menurut (Hutchings dan Baum 2005) ukuran layak tangkap biasanya mengacu pada ukuran ikan pada pertama kali matang gonad (length at first maturity). Meskipun data panjang ikan hasil tangkapan tidak dicatat selama penelitian, tetapi berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, ukuran ikan yang ditangkap umumnya berkisar antara 6 - 12 cm, dimana lebih kecil dari ukuran length at first maturity). Menurut Wood (2001b), hal tersebut diakibatkan karena banyak ikan muda maupun juvenil memiliki pola warna yang lebih menarik dibandingkan ikan dewasa. Lebih lanjut Chan dan Sadovy (1998) mengestimasi bahwa sekitar 56% dari biota hias yang dijual adalah juvenil, dimana menurut Wood (2001b) hal ini akan mempercepat laju penurunan populasi dan ketidakseimbangan ekosistem. Sebaran ukuran length at first maturity dari 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan disajikan pada Tabel 20. Adanya kekhawatiran terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan hias laut yang diakibatkan oleh penangkapan ikan-ikan yang berusia muda (berukuran kecil) mungkin dapat dijembatani oleh pendekatan yang dilakukan dalam menduga MSY dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini, pendugaan MSY
88
dibedakan berdasarkan kelompok ukuran, dimana hanya dilakukan pada kelompok ukuran ikan yang ditangkap dan bukan pada keseluruhan populasi. Oleh karena itu nilai dugaan MSY yang dihasilkan diharapkan akan lebih baik karena spesifik pada kelompok ukuran ikan yang umum dimanfaatkan oleh nelayan. Hal ini sesuai dengan Garcia et al. (1989) yang menyatakan bahwa kajian MSY harus dilakukan pada kelompok ukuran atau umur yang sama dan tidak mengikutsertakan kelompok ukuran yang tidak dimanfaatkan oleh suatu kegiatan perikanan. Pendekatan lain yang dapat dilakukan sebagai dasar pertimbangan dalam mengkaji strategi pemanfaatan berkelanjutan perikanan ikan hias adalah melalui kajian sejarah hidup (life history). Menurut Jennings et al. (2001), life history adalah hal-hal yang berkenaan dengan pertumbuhan, fekunditas, strategi reproduksi, dan usia saat suatu organisme mencapai matang gonad (age at maturity). Menurut Winemiller (2005) teori sejarah hidup menjelaskan evolusi dari suatu organisme sebagai respon adaptasi terhadap variasi lingkungan dan perbedaan mortalitas atau alokasi sumberdaya dalam perkembangannya. Teori sejarah hidup juga memprediksi respon terhadap gangguan dalam skala spasial maupun temporal (Winemiller 2005), dan aplikasinya dalam perikanan adalah terutama untuk memprediksi bagaimana suatu populasi ikan merespon dan pulih dari suatu upaya eksploitasi (Goodwin et al. 2006). Winemiller dan Rose (1992) serta King dan Mcfarlane (2003) membagi strategi sejarah hidup (life history strategy) ikan tropis ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1) Oportunistik memiliki sifat cepat dewasa, beberapa kali bereproduksi selama masa pemijahan, pertumbuhan larva yang cepat, dan tingkat pemulihan populasi yang cepat. Kelompok ini terdiri dari ikan berukuran kecil yang lebih cepat dewasa, ukuran telur kecil, dan pemijahan yang kuntinu sebagai strategi untuk memulihkan populasinya setelah adanya gangguan atau tingkat mortalitas yang tinggi pada ikan dewasa.
89
2) Periodik memiliki sifat pertumbuhan yang lambat, masa hidup yang panjang, lebih lambat mencapai usia dewasa, ukuran tubuh lebih besar, dan fekunditas tinggi. King dan Mcfarlane (2003) menambahkan bahwa kelompok periodik melakukan pemijahan beberapa kali secara periodik selama masa hidupnya. 3) Ekuilibrium memiliki sifat tingkat pertumbuhan yang lambat, fekunditas rendah, lambat mencapai dewasa, dan melakukan upaya tertentu untuk menjaga dan memastikan keberhasilan hidup larvanya (parental care). Kelompok ini memiliki kemampuan pemulihan populasi yang lambat, sehingga sangat rentan terhadap eksploitasi.
Musick et al. (2000) menambahkan bahwa
pengelolaan pada perikanan multispesies perlu memperhatikan pemanfaatan kelompok ikan ekuilibrium dengan menerapkan pembatasan jumlah tangkapan (kuota). Sifat-sifat sejarah hidup ikan dapat dilihat dari berbagai aspek, diantaranya (i) ukuran saat dewasa, (ii) ukuran maksimum, (iii) laju pertumbuhan, (iv) fekunditas, (v) usia maksimum, (vi) ukuran telur, dan (vii) upaya dalam menjaga kelangsungan hidup larvanya (parental investment) (Winemiller dan Rose 1992; King dan Mcfarlane 2003). Secara spesifik Jennings et al. (2001) menyatakan bahwa laju pertumbuhan yang dinyatakan dalam koefisien K von-Bertalanffy dapat menjelaskan sifat sejarah hidup dari suatu spesies ikan. Secara umum, ikan dengan nilai K yang lebih besar memiliki sifat lebih cepat dewasa, output reproduksi yang tinggi, masa hidup yang lebih pendek, dimana memiliki kemiripan sifat dengan tipe oportunistik. Ikan dengan nilai K yang lebih kecil memiliki sifat sebaliknya yaitu memiliki ukuran lebih besar dan lebih tua saat mencapai dewasa, output reproduksi lebih rendah, dan masa hidup yang panjang, dimana memiliki kemiripan sifat dengan tipe periodik atau ekuilibrium. Jenis-jenis ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh memiliki sifat sejarah hidup yang berbeda-beda, salah satunya dapat dilihat dari koefisien laju pertumbuhan (K), masa hidup (life span), usia saat pertama kali matang gonad (age at first maturity), dan panjang saat pertama kali matang gonad (length at first maturity).
Perlu
dilakukan
kajian
secara
seksama
untuk
mengetahui
90
pengelompokan strategi sejarah hidup yang lebih tepat untuk masing-masing spesies, terutama pada aspek kemampuan reproduksinya. Berdasarkan nilai K yang disajikan pada Tabel 20 mungkin kita dapat menduga pengelompokan strategi sejarah hidup dari 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh. Hasil pengelompokan hanya merupakan dugaan berdasarkan nilai K secara sederhana. Untuk memahami strategi sejarah hidup yang lebih tepat dari masingmasing spesies perlu dilakukan melalui kajian yang mendalam.
Tabel 20
Parameter-parameter sejarah hidup (life history) pada 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan di P. Weh (sumber: Froese dan Pauly 2010)
Spesies Acanthurus leucosternon Acanthurus lineatus Acanthurus nigrofuscus Acanthurus tennenti Amphiprion clarkii Anampses meleagrides Apolemichthys trimaculatus Centropyge eibli Chaetodon andamanensis Chaetodon auriga Chaetodon meyeri Forcipiger flavissimus Gomphosus varius Hemitaurichthys zoster Naso lituratus Paracanthurus hepatus Pomacanthus imperator Zanclus cornutus
Linf (cm)
K
M
Masa hidup (tahun)
56,1 39,7 18,0 32,5 15,9 23,2 27,3 15,9 15,9 17,4 21,2 23,2 31,5 19,0 42,3 32,5 46,9 24,2
0,25 0,18 1,00 0,43 0,43 0,35 0,36 0,6 1,35 1,50 1,04 0,95 0,22 1,14 0,35 0,43 0,20 -
0,80 1,03 1,82 1,19 1,99 1,52 1,35 1,99 1,99 1,87 1,62 1,51 1,22 1,75 0,98 1,19 0,90 1,47
11,4 15,9 2,8 6,6 6,5 8,1 7,9 4,7 2,1 1,9 2,7 3 12,9 2,5 8,1 6,6 14,2 -
Usia matang gonad (tahun) 3,4 4,0 0,8 1,7 1,9 2,2 2,1 1,3 0,6 0,5 0,7 0,8 3,3 0,7 2,0 1,7 3,5 -
Ukuran panjang gonad (cm)
Strategi Sejarah hidup
31,1 22,8 11,2 19,0 10,0 14,1 16,3 10,0 10,0 10,9 12,9 14,1 18,5 11,8 24,1 19,0 23,8 14,6
P atau E P atau E O P atau E P atau E P atau E P atau E P O O O O P atau E O P atau E P atau E P atau E -
Keterangan: Linf=panjang asimtotik, K=koefisien laju pertumbuhan von-Bertalanffy, M=mortalitas alami, O=oportunistik, P=periodik, E=ekuilibrium, (-) = data tidak tersedia.
Secara teoritis, pada kasus perikanan ikan hias laut yang selalu menangkap ikan muda atau juvenil, kelompok periodik dan ekuilibrium diduga lebih mampu bertahan untuk menjaga populasinya akibat kegiatan penangkapan. Ikan dewasa pada kelompok periodik dan ekuilibrium akan terus melakukan pemijahan dan menghasilkan generasi ikan yang baru, selama ikan-ikan dewasa tidak ditangkap, dan penangkapan ikan muda dijaga pada jumlah yang aman. Hal ini diperkuat oleh hasil kajian yang dilakukan oleh Birkeland dan Dayton (2005) yang menunjukan bahwa organisme yang lebih tua pada suatu populasi ikan
91
menghasikan larva yang memiliki daya kelulusan hidup (survival) yang lebih baik dibanding organisme yang lebih muda. Selain itu fungsi-fungsi ekologis seperti pemakan makro alga (browser) pada ikan Naso lituratus maupun spesies lainnya lebih optimum pada organisme yang lebih besar atau dewasa (Barkeley dan Dayton 2005). Meskipun ikan tipe oportunistik memiliki kemampuan pemulihan populasi yang cepat, akan tetapi pembatasan jumlah tangkapan melalui kuota perlu tetap diterapkan, terutama pada kelompok ukuran yang biasa ditangkap. Kendala utama dalam membangun kajian dan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem adalah kebutuhan untuk mengikutsertakan begitu banyak spesies, dimana sebagian besar belum pernah dilakukan kajian.
Pemahaman
mengenai parameter life history akan memberikan titik awal untuk kerangka pengelolaan. Dengan mengelompokkan spesies berdasarkan sifat-sifat sejarah hidupnya akan membantu memahami dinamika populasi suatu spesies dan hubungannya dengan lingkungan dan kegiatan perikanan. Mengkaji dan mengelola sumberdaya ikan berdasarkan strategi sejarah hidup merupakan faktor yang penting terkait pendekatan ekosistem dalam perikanan (ecosystem approach to fisheries) (King dan Mcfarlane 2003), khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut dimana metode pengkajian stok yang masih memiliki keterbatasan serta adanya masalah ukuran ikan yang ditangkap. Pola penangkapan ikan hias yang dilakukan oleh nelayan P. Weh sangat ditentukan oleh jumlah permintaan (order). Jumlah ikan yang ditangkap oleh masing-masing nelayan atau unit penangkapan biasanya merupakan pembagian merata dari total permintaan. Perikanan ikan hias dikelola secara berkelompok dan sedapat mungkin masing-masing nelayan mendapatkan hasil atau pendapatan yang sama. Pola seperti ini yang membedakan antara perikanan ikan hias dengan jenis perikanan lainnya yang umumnya selalu berusaha untuk memaksimalkan hasil tangkapan. Fenomena pola penangkapan tersebut dapat terlihat dari pola hubungan yang linier antara total hasil tangkapan ikan botana biru dan jumlah trip per bulannya (Gambar 24). Persamaan linier yang dibentuk oleh hubungan antara hasil tangkapan dan jumlah trip per bulan menunjukan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,979, dan signifikan pada selang kepercayaan 95%.
Hal ini
92
menunjukan bahwa persamaan tersebut mampu menjelaskan sebesar 97,9% hubungan antara hasil tangkapan dan jumlah trip per bulan. Pola hubungan yang linier tersebut menunjukan bahwa rata-rata hasil tangkapan per trip (CPUE) cenderung konstan. 3000
Total Tangkapan (ind.)
2500
y = 50.62x ‐ 83.09 R² = 0.979
2000 1500 1000 500 0 0
10
20
30
40
50
60
Jumlah Trip
Gambar 24 Hubungan linier antara total tangkapan botana biru dan jumlah trip per bulan. Berdasarkan diagram boxplot (Gambar 25), sebaran nilai CPUE yang dinyatakan dalam satuan hasil tangkapan per trip (ind.trip-1) memiliki nilai pemusatan 51 (Q1=48, Q3=55). Rata-rata jumlah hasil tangkapan ikan botana biru per trip adalah 51,7 ekor. Dari 359 data hasil tangkapan, ditemukan beberapa data pencilan. Data pencilan ini diduga diakibatkan oleh perbedaan jumlah ABK dalam unit penangkapan saat penangkapan dilakukan sehingga hasil tangkapan dalam satu unit kapal menjadi lebih besar. Total tangkapan ikan botana biru selama 12 bulan pada tahun 2010 bervariasi, dimana jumlah tertinggi terjadi pada bulan Januari, Juli, Oktober, dan Desember. Bulan Agustus dan September memiliki total tangkapan yang rendah karena pada bulan tersebut merupakan bulan puasa dimana nelayan tidak melakukan kegiatan penangkapan (Gambar 26). Karena pola tangkapan ikan hias laut khususnya botana biru sangat ditentukan oleh permintaan, maka fluktuasi hasil tangkapan bulanan juga menggambarkan pola permintaannya.
93
Gambar 25 Diagram m boxplot seebaran nilai CPUE ikann botana birru (Acanthu urus leucosteernon) (jum mlah data = 359). 3
Total tangkapan (ind.)
3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Gambar 26
Variassi jumlah tootal tangkap pan bulanann ikan botaana biru seebagai fungsi dari perminntaan pada tahun t 2010..
Darii total 505 trip t yang teercatat selam ma 12 bulann, hanya sebbanyak 194 4 trip yang terccatat inform masi lokasi daerah peenangkapannnya. Berdasarkan seb baran lokasi pennangkapan ditemukan bahwa seb besar 42,8% % dari totaal trip selam ma 12 bulan dilaakukan di dalam d kaw wasan konseervasi (KKL LD). Hal ini menunjjukan bahwa maasih kuranggnya kepatuuhan nelayaan ikan hiaas P. Weh terhadap aturan a kawasan konservasi k y yang ada (G Gambar 27).
94
Berdasarkan lokasi penangkapan (fishing ground), tercatat bahwa daerah Anoi Itam (KKLD), serta Ujung Seuke dan Paya Keuneukai (daerah pemanfaatan) merupakan lokasi yang paling banyak dijadikan lokasi penangkapan (Gambar 28). 100.0 90.0 80.0
% total trip
70.0 57,2
60.0 50.0
42,8
40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
KKLD
Daerah Pemanfaatan
KKLD
Calok Jaboi
Beurawang
Jaboi
Keuneukai
Goa Sarang
Balik Gunung
Bangau
Balohan
Paya Keunekai
Ujung Kareung
Teupin Bada
Benteng
Reuteuk
Anoi Itam
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Ujung Seuke
Jumlah Trip
. Gambar 27 Perbandingan persentase dari jumlah total trip di wilayah KKLD dan daerah pemanfaatan (jumlah trip = 194).
Pemanfaatan
Gambar 28 Jumlah trip yang tercatat selama 12 bulan di masing-masing lokasi penangkapan. Aturan yang diterapkan di dalam kawasan KKLD antara lain adalah pembatasan penggunaan alat tangkap perikanan tertentu di sekitar wilayah ekosistem terumbu karang, antara lain jaring, pukat dan alat bantu penangkapan berupa kompresor, yang didasarkan pada aturan adat melaut setempat (BAPPEDA 2010). Kawasan KKLD terbagi kedalam 3 zona yaitu zona inti, zona perikanan
95
berkelanjutan, dan zona pemanfaatan (DKPP 2010). Wilayah pesisir timur P. Weh ditetapkan sebagai kawasan KKLD dengan tujuan untuk memberikan dukungan politis dan kebijakan terhadap pelaksanaan Hukum Adat Laut dan kelembagaan Panglima Laut yang telah berlangsung sejak lama di wilayah tersebut (Mukminin et al. 2010). Berdasarkan analisis kelimpahan sumberdaya ikan karang, kawasan KKLD memiliki rata-rata kelimpahan lebih tertinggi dibandingkan kawasan TWAL dan daerah pemanfaatan yang tidak dikelola (Gambar 14). Lebih jauh Campbell et al. (2008) menyatakan bahwa biomassa ikan karang ditemukan lebih tinggi di kawasan KKLD dibandingkan kawasan lainnya.
Perbedaan juga ditemukan
dalam hal struktur jenjang rantai makanan antar kawasan pengelolaan. Di kawasan TWAL dan KKLD dimana memiliki penutupan karang keras hidup (live coral cover) dan keragaman jenis karang tertinggi, jenis ikan yang berasosiasi erat dengan karang (Chaetodontidae dan Pomacentridae) memiliki biomassa yang lebih tinggi dibandingkan daerah pemanfaatan yang tidak terdapat pengelolaan. Tren perbedaan kelimpahan dan biomassa antar kawasan pengelolaan mengindikasikan adanya pengaruh positif dari kontrol pengelolaan terhadap kelimpahan dan biomassa ikan karang. Biomassa ikan ukuran kecil (berukuran 515 cm) yang ditemukan lebih tinggi di kawasan pengelolaan TWAL dan KKLD diduga menjadi indikator adanya proses rekrutmen ikan yang lebih baik di kedua kawasan tersebut. Selain itu adanya larangan penggunaan alat tangkap jaring diduga menjadi penyebab adanya perbedaan struktur populasi ikan karang antar kawasan pengelolaan di P. Weh (Campbell et al. 2008). Telah banyak penelitian yang mengkonfirmasi bahwa daerah perlindungan laut (marine reserve) telah membantu meningkatkan jumlah stok, ukuran ikan, dan output reproduksi dari kelompok ikan target bagi perikanan. Populasi ikan meningkat secara cepat dalam rentang waktu 2-3 tahun setelah suatu daerah perlindungan laut diimplementasikan.
Pertumbuh populasi ikan bahkan terus
berlanjut hingga rentang periode tertentu, khususnya bagi spesies ikan yang berumur panjang.
Daerah perlindungan laut telah memberikan manfaat bagi
hampir seluruh ikan ekonomis penting, krustasea, moluska, dan ekinodermata dari berbagai kelompok taksonomi (Gell dan Roberts 2003).
96
Dampak lain dari daerah perlindungan laut (DPL) bagi perikanan adalah adanya spillover, yaitu penyebaran larva, juvenil, maupun ikan dewasa ke daerah diluar DPL. Kajian yang dilakukan oleh Abesamis dan Russ (2005) membuktikan bahwa spillover pada spesies Naso vlamingii terjadi meskipun dalam rentang jarak yang relatif dekat (300-500 meter). Hasil penelitian yang dilakukan Filho dan Maura (2008) membuktikan adanya spillover pada ikan Epinephelus maculatus, Plectropomus leopardus, Chlorurus microrhinos, dan Scarus ghobban, dengan rantang jarak penyebaran antara 510-6000 meter.
Mengacu pada dua hasil
penelitian tersebut, keberadaan daerah perlindungan laut (TWAL dan KKLD) di P. Weh diduga dapat memberikan manfaat positif dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan bagi perikanan, termasuk perikanan ikan hias laut. Meskipun begitu, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai jarak dan pola penyebaran dari jenis-jenis ikan hias laut di P. Weh untuk mengetahui dampak dari daerah perlindungan laut di P. Weh terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan hias laut. Dari segi aspek teknis alat tangkap, jaring ikan hias yang digunakan nelayan P. Weh memiliki ukuran mata jaring yang relatif terlalu besar. Hal ini terlihat dari lebih seringnya ikan-ikan terperangkap di jaring dengan cara tersangkut di bagian insangnya (gilled). Hal ini sering kali mengakibatkan luka pada tubuh ikan target. Selain itu, banyaknya ikan-ikan non-target yang terperangkap dengan cara gilled menyebabkan proses penangkapan menjadi tidak efisien karena nelayan harus melepaskan
ikan-ikan
tersebut
dari
jaring
sebelum
melakukan
proses
penangkapan berikutnya, dimana proses ini kadang mengakibatkan kerusakan pada jaring.
5.4 Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Hias Laut Analisis optimasi pemanfaatan ikan hias laut dalam penelitian ini tidak ditujukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada, melainkan untuk mengoptimalkan keuntungan ekonomi yang didapatkan oleh nelayan dengan didasarkan atas fungsi batasan ketersediaan sumberdaya, kapasitas upaya, dan harga ikan. Penyusunan model optimasi didasarkan atas skenario bahwa nelayan menerima permintaan ikan hias setiap minggu selama bulan efektif
97
melaut (10,5 bulan). Berdasarkan data upaya penangkapan didapatkan bahwa rata-rata setiap unit penangkapan melakukan 2 trip per minggu untuk memenuhi satu order dari pembeli, sehingga dapat diasumsikan bahwa maksimum jumlah trip dalam satu tahun adalah 91 kali untuk masing-masing unit penangkapan. Berdasarkan fungsi batasan dan skenario yang digunakan, maka hasil yang didapatkan dari analisis optimasi adalah potensi hasil optimum jika nelayan memaksimalkan kapasitasnya dalam memanfaatkan sumberdaya ikan hias laut. Hasil optimasi dengan menggunakan pemrograman linier didapatkan bahwa pemanfaatan yang optimum akan didapatkan jika nelayan ikan hias di P. Weh secara keseluruhan meningkatkan tangkapan untuk jenis botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel batman (Pomacanthus imperator), dengan total masing-masing sebanyak 1934, 1329, dan 7848 ekor dalam satu tahun. Perubahan komposisi jumlah ikan yang ditangkap pada ketiga spesies berdasarkan analisis optimasi disebabkan karena harga jualnya yang relatif lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Karena karakteristik pola pemanfaatan ikan hias laut sangat ditentukan oleh permintaan, maka hasil analisis optimasi tidak secara langsung dapat diimplementasikan. Agar dapat mendukung pola pemanfaatan yang optimum di P. Weh, perlu adanya dukungan ketersediaan pasar.
Nelayan perlu mencari
peluang pembeli baru yang dapat menampung jenis-jenis tersebut. Hal lain yang menjadi kendala bagi penerapan hasil optimasi ini adalah karena ikan botana kapsul dan enjiel batman bukan merupakan target utama yang selalu diminta oleh pembeli secara kontinu.
Pada saat melakukan kegiatan
penangkapan, nelayan lebih fokus untuk memenuhi target permintaan dari pembeli/eksportir terlebih dahulu (biasanya jenis botana biru) sebelum menangkap ikan jenis lainnya. Ikan tangkapan sampingan seperti botana kapsul dan enjiel batman biasanya ditangkap jika ditemukan saat melakukan trip penangkapan, untuk menambah pendapatan nelayan.
Nelayan biasanya
mengggunakan istilah ‘sebagai tambahan untuk pengganti uang bahan bakar’ sebagai alasan untuk menangkap jenis-jenis ikan sampingan seperti ini. Hasil analisis optimasi ini dapat dijadikan dasar untuk strategi pengembangan perikanan ikan hias di P. Weh. Tentunya diperlukan dukungan
98
dari berbagai pihak, khususnya pemerintah dan sektor swasta untuk membantu pengembangan pasar bagi nelayan ikan hias di P. Weh. Selain itu, sebanyak 56 spesies ikan hias yang belum dimanfaatkan merupakan potensi yang sangat besar sebagai dasar pengembangan perikanan ikan hias laut di P. Weh.
5.5 Analisis Finansial Analisis finansial ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai keuntungan finansial yang didapatkan dari perikanan ikan hias laut, sebagai dasar kelayakan pengembangan perikanan ikan hias laut. Analisis dilakukan pada dua skenario kondisi, yaitu pada tingkat pemanfaatan di tahun 2010 dan pada kondisi tingkat pemanfaatan optimum. Dalam analisis finansial, disertakan juga biaya investasi pembuatan fasilitas penanganan (handling) yang memenuhi standar. Hal ini ditujukan agar hasil analisis finansial dapat dilakukan secara menyeluruh sehingga bisa menjadi acuan bagi nelayan maupun pihak lain yang ingin melakukan investasi dan mengembangkan perikanan ikan hias ini. Selanjutnya, parameter harga ikan yang digunakan dalam analisis ini adalah harga jual yang didapatkan oleh nelayan. Oleh karena itu hasil analisis finansial ini memberikan gambaran mengenai potensi keuntungan finansial yang dapat diperoleh oleh kelompok nelayan ikan hias di P. Weh. Total penerimaan selama tahun 2010 adalah sebesar Rp 241.079.500, sedangkan pada skenario optimum sebesar Rp 480.168.500. Total biaya selama tahun 2010 sebesar Rp 87.498.437, dan pada skenario optimum sebesar Rp 126.706.906. Tingkat penerimaan pada skenario optimum lebih tinggi karena jumlah dan komposisi jenis ikan yang ditangkap mengacu kepada hasil analisis optimasi menggunakan pemrograman linier. Total biaya yang lebih tinggi pada kondisi optimum disebabkan karena jumlah trip yang lebih banyak dan biaya penanganan yang lebih tinggi karena jumlah ikan yang ditangkap lebih banyak. Total keuntungan (penerimaan dikurangi biaya) yang didapatkan pada tahun 2010 adalah Rp 153.581.063, sedangkan pada skenario optimum potensi keuntungan yang didapatkan bisa mencapai Rp 353.461.593, atau sebesar 230,1% (lebih dari 2 kali lipat). Meskipun total biaya pada kondisi optimum lebih besar dibandingkan biaya pada tahun 2010, akan tetapi total penerimaannya jauh lebih
99
besar, sehingga total keuntungan pada kondisi optimum menjadi lebih besar 2 kali lipat dibandingkan tahun 2010. Berdasarkan analisis revenue-cost ratio (R/C) atau rasio pendapatan terhadap biaya didapatkan nilai R/C pada tahun 2010 sebesar 2,8 dan pada skenario optimum sebesar 3,8. Nilai R/C pada kedua skenario memiliki nilai yang lebih besar dari 1, artinya usaha ini layak untuk dilakukan. Berdasarkan analisis titik impas (break even point), didapatkan bahwa pada tingkat pemanfaatan tahun 2010 usaha akan mendapatkan keuntungan apabila total keuntungan (pendapatan total dikurangi biaya total) telah melewati Rp 31.185.256. Sedangkan pada skenario optimum, titik impas dicapai pada Rp 29.118.495. Lebih kecilnya nilai titik impas pada skenario optimum disebabkan oleh lebih besarnya potensi total pendapatan. Hasil analisis rentabilitas (ROI) memiliki hasil yang sangat baik pada kedua kondisi, dimana nilainya lebih besar dari 25% (87,2% pada tingkat pemanfaatan tahun 2010 dan 200,8% pada skenario optimum). Hal ini menunjukkan bahwa investasi di bidang perikanan ikan hias laut sangat menguntungkan, dimana tingkat pengembalian investasi sangat tinggi, terutama jika pemanfaatan dilakukan pada skenario optimum. Hasil analisis kriteria investasi menunjukan bahwa nilai NPV pada tingkat pemanfaatan 2010 adalah Rp 645.416.008, dan pada skenario optimum adalah Rp 1.828.866.052. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tingkat bunga 14% nilai NPV masih menghasilkan nilai positif bahkan relatif besar pada kedua skenario, artinya investasi di bidang perikanan ikan hias laut layak untuk dilakukan. Instrumen analisis lain yang juga dapat digunakan dalam menentukan kelayakan suatu investasi adalah Net B/C.
Usaha layak dilakukan apabila
memiliki nilai Net B/C > 1, dan sebaliknya usaha tidak layak dilakukan jika Net B/C < 1. Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai Net B/C yang > 1 pada kedua skenario, menyimpulkan bahwa investasi di bidang perikanan ikan hias laut di P. Weh layak untuk dilakukan. Nilai IRR memberikan gambaran mengenai persentase keuntungan yang akan diperoleh setiap tahun atau menunjukkan kemampuan usaha dalam
100
pengembalian bunga jika modal investasi berasal dari pinjaman bank.
Pada
kondisi nilai IRR = 0, berarti nilai IRR sama dengan besarnya tingkat suku bunga discount factor (DF). Jika nilai IRR > tingkat suku bunga berarti bahwa usaha layak dilakukan, dan sebaliknya tidak layak dilakukan jika IRR < tingkat suku bunga. Hasil analisis menunjukan nilai IRR pada tingkat pemanfaatan tahun 2010 adalah sebesar 0,39 (39%), dan pada skenario optimum sebesar 0,88 (88%). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa investasi di bidang perikanan ikan hias laut pada tingkat suku bunga 14% masih menguntungkan. Dari tujuh instrumen analisis kelayakan usaha dan kriteria investasi didapatkan bahwa kegiatan perikanan ikan hias laut memiliki potensi dampak ekonomi yang cukup menguntungkan bagi nelayan di P. Weh jika dimanfaatkan secara optimum. Salah satu instrumen analisis yang menjadi indikator positif adalah nilai keuntungan bersih per tahun yang mencapai Rp 353.461.593. Jika nilai keuntungan bersih per tahun tersebut dibagi merata untuk 22 orang nelayan, maka masing-masing nelayan memiliki pendapatan bersih per bulan sebesar Rp 1.338.059.
Meskipun demikian, nilai potensi keuntungan per bulan tersebut
masih sedikit berada di bawah nilai upah minimum regional (UMR) Provinsi Aceh tahun 2011 yaitu sebesar Rp 1.350.000. Nilai ROI yang mencapai lebih dari 100% pada skenario optimum menunjukan bahwa modal investasi akan kembali dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. Selanjutnya berdasarkan tiga instrumen analisis yang digunakan dalam analisis kriteria investasi menunjukan investasi sangat layak untuk dilakukan pada kedua skenario tingkat pemanfaatan. Hal ini menunjukkan peluang untuk menarik investasi dari pihak luar sangat dimungkinkan bagi pengembangan kegiatan pemanfaatan ikan hias laut di P. Weh. Analisis finansial pada kondisi optimum didasarkan atas hasil analisis optimasi, sedangkan pembangunan model optimasi sendiri didasarkan atas hasil analisis kuota tangkapan lestari tahunan. Hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut pada tingkat lestarinya tetap memberikan manfaat ekonomi yang menguntungkan.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa
perikanan ikan hias laut di P. Weh dapat dikelola secara lestari baik dari aspek keberlanjutan sumberdaya maupun keberlanjutan ekonomi.
101
5.6 Analisis Pemasaran Pemasaran ikan hias laut yang berasal dari P. Weh secara umum dilakukan melalui dua tingkatan pelaku pemasaran, yaitu pengepul dan eksportir. Eksportir utama yang menampung ikan hias laut dari P. Weh adalah eksportir yang berdomisili di Medan. Perkembangan terakhir diketahui bahwa sejak awal 2011, salah satu pengepul mulai memasarkan produk ikan hias yang berasal dari P. Weh ke eksportir yang berdomisili di Bali. Meskipun demikian, informasi mengenai jenis dan jumlah ikan hias yang dipasarkan pengepul di Banda Aceh kepada eksportir di Medan dan Bali tidak diketahui. Selanjutnya, tidak ada informasi bahwa pengepul memasarkan produk ikan hias dari P. Weh untuk memenuhi permintaan pasar lokal maupun eksportir yang berdomisili di kota lain. Pola umum yang berlaku, para pengepul biasanya juga mensuplai ikan untuk kebutuhan pasar domestik. dan tidak menutup kemungkinan pola yang sama terjadi di Aceh. Perlu dilakukan kajian yang lebih spesifik untuk mempelajari pola dan jalur pemasaran yang dilakukan oleh pihak pengepul. Berdasarkan analisis marjin pemasaran diketahui bahwa rata-rata marjin terbesar diperoleh oleh eksportir, yaitu sebesar 248,3% dari harga beli, sedangkan pengepul rata-rata mendapatkan marjin 32,2% dari harga beli. Salah satu permasalahan yang umum terjadi di negara-negara produsen ikan hias laut adalah rendahnya pendapatan atau nisbah marjin bagi nelayan. Kondisi ini disebabkan oleh sistem pemasaran yang berlaku di dalam pemasaran produk ikan hias laut. Nelayan umumnya tidak memiliki posisi tawar yang baik dalam menentukan harga karena nelayan memiliki ketergantungan yang tinggi kepada pihak pengepul dan tidak memiliki alternatif lain dalam memasarkan ikan hasil tangkapannya. Konsekuensi yang terjadi adalah penentuan harga ikan di tingkat nelayan tidak mengikuti mekanisme pasar yang adil, tetapi ditentukan oleh pengepul atau eksportir. Masalah ini akan semakin terasa jika jalur pemasaran dari nelayan ke eksportir cukup panjang, dimana pembagian marjin keuntungan untuk nelayan akan semakin rendah (Wood 2001b). Menurut Rubec et al. (2001), sekitar 85% dari harga yang dibayar oleh eksportir jatuh ke pihak pengepul, sedangkan nelayan hanya mendapatkan nisbah sebesar 15%.
102
Isu mengenai aspek sosial ekonomi yang umum terjadi di perikanan ikan hias laut perlu dijembatani melalui sebuah pengelolaan perikanan ikan hias laut yang lebih menyeluruh. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah perlakuan yang adil bagi nelayan serta pemberian insentif kepada nelayan untuk menjaga dan mengelola sumberdaya alam mereka. Karena informasi mengenai komponen biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pihak pengepul dan eksportir tidak diketahui, maka analisis nisbah marjin tidak dapat dilakukan.
Analisis nisbah marjin diperlukan untuk mengetahui
bagaimana efisiensi dari suatu sistem pemasaran. Salah satu indikator efisiennya suatu sistem pemasaran adalah meratanya penyebaran nisbah marjin keuntungan diantara pelaku pemasaran (Sihombing 2005).
Kajian yang lebih mendalam
mengenai analisis pemasaran dan nisbah marjin merupakan aspek yang penting bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Meskipun tidak ada informasi komponen biaya, relatif tingginya marjin keuntungan yang diperoleh oleh eksportir diduga salah satunya dipengaruhi oleh tingginya biaya pemasaran dan operasional. Alasan lain diduga sebagai kompensasi resiko karena pihak eksportir umumnya adalah pihak yang memiliki resiko terbesar dalam jalur pemasaran ikan hias laut. Resiko yang dapat dialami oleh eksportir diantaranya kerugian yang besar akibat ditolaknya produk ikan hias oleh negara importir akibat masalah perizinan atau adanya resiko keterlambatan pembayaran oleh lembaga importir. Resiko lainnya yang mungkin terjadi adalah terjadinya ketidakstabilan pasar ekspor sehingga eksportir mengalami kerugian karena turunnya permintaan sedangkan eksportir tetap harus mengeluarkan biaya operasional fasilitas penampungan ikan.
5.7 Strategi Pemanfaatan Ikan Hias Laut di Pulau Weh Berdasarkan hasil analisis SWOT menggunakan matriks faktor-faktor strategi internal dan eksternal yang disajikan pada Tabel 16 dan 17, teridentifikasi bahwa strategi pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di P. Weh lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dibandingkan faktor-faktor eksternalnya (peluang dan ancaman). Hal tersebut terlihat dari nilai total skor faktor internal (3,1) yang lebih besar dari faktor eksternal (2,9).
103
Meskipun begitu, perbedaan nilai skor dari kedua faktor tidak terlalu besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor eksternal tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam penentuan strategi pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di P. Weh. Selanjutnya berdasarkan matriks strategi internal dan eksternal, selisih total skor antara kekuatan dan kelemahan menghasilkan nilai yang positif yaitu sebesar 0,8, begitu pula dengan selisih antara total skor peluang dan ancaman memiliki nilai positif yaitu 1,2. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor kekuatan yang dimiliki perikanan ikan hias laut di P. Weh lebih besar dibandingkan faktorfaktor kelemahan yang ada. Hal yang sama terlihat bahwa perikanan ikan hias laut di P. Weh memiliki peluang-peluang eksternal yang lebih besar untuk mendukung strategi pemanfaatannya dibandingkan dengan faktor-faktor eksternal yang menjadi hambatan. Jika kedua nilai tersebut diplotkan ke dalam diagram SWOT, akan menghasilkan suatu titik yang berada pada kuadran II (Gambar 20). Kuadran II merupakan kuadran yang dibentuk dari unsur-unsur kekuatan dan peluang (S dan O). Berdasarkan hal tersebut dapat diidentifikasi bahwa strategi yang paling tepat untuk pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di P. Weh adalah bersifat agresif yaitu dengan mengoptimalkan kekuatan (strength) internal yang dimiliki untuk merebut peluang (opportunity) yang ada. Berdasarkan hasil analisis menggunakan matrik TOWS, teridentifikasi sebanyak 9 strategi yang dapat dilakukan yang terbagi kedalam 4 kelompok strategi, yaitu kelompok S-O (strength-opportunity), S-T (strength-threats), W-O (weakness-opportunity), dan W-T (weakness-threats) (Tabel 18). Dalam kelompok strategi S-O, teridentifikasi 2 strategi yaitu dengan melakukan diversifikasi produk hasil tangkapan dan pengembangan usaha melalui dukungan investasi. Dalam kelompok strategi S-T teridentifikasi sebanyak 3 strategi yaitu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia), peningkatan kualitas ikan, dan sosialisasi kegiatan pemanfaatan ikan hias laut yang ramah lingkungan untuk meningkatkan dukungan dari pemerintah dan kelompok masyarakat lainnya. Dalam kelompok strategi WO, teridentifikasi 3 strategi yaitu melakukan perbaikan sarana penanganan, pemberian pelatihan cara penanganan yang lebih baik, dan pengembangan akses terhadap pasar dengan menjajaki pembeli-pembeli potensial lainnya. Pada
104
kelompok strategi W-T pengembangan perikanan ikan hias laut di P. Weh dapat dilakukan
melalui
proses
penanganan
yang
lebih
hati-hati
dengan
mengoptimalkan sarana yang ada. Selanjutnya kesembilan strategi diurutkan untuk menentukan skala prioritas berdasarkan nilai total skor dari faktor-faktor penyusunnya. Dari kesembilan strategi, teridentifikasi bahwa strategi yang menjadi prioritas tertinggi untuk pemanfaatan perikanan ikan hias laut di P. Weh adalah dengan melakukan diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan (strategi 1), dengan nilai skor 2,25. Strategi prioritas selanjutnya adalah dengan melakukan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia (strategi 2), dengan total skor 2. Strategi 1 merupakan strategi yang berada di dalam kelompok S-O. Hasil ini konsisten dengan hasil analisis pada diagram SWOT dimana strategi pemanfaatan sumberdaya ikan hias laut di P. Weh berada pada kuadran II, dimana harus bersifat agresif dengan memanfaatkan kekuatan (strength) internal yang dimiliki untuk merebut peluang (opportunity) yang ada. Dalam logika implementasi, penerapan strategi 1 tidak dapat langsung dilakukan tanpa adanya strategi-strategi lainnya yang mendukung. Pada Tabel 19 dapat
dilihat
bahwa
prioritas
strategi
selanjutnya
adalah
melakukan
pengembangan usaha dengan memanfaatkan dukungan investasi dari pihak liar (strategi 3) dan pengembangan akses terhadap pasar dengan menjajaki pembelipembeli potensial lainnya (strategi 4). Selanjutnya dapat dilihat bahwa strategi 1 hingga 4 yang merupakan prioritas tertinggi memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Sebagai contoh, diversifikasi jenis-jenis ikan yang dimanfaatkan (strategi 1) hanya dapat dilakukan jika adanya ketersediaan pasar (strategi 4), oleh karena itu penerapan strategi 1 harus diikuti oleh penerapan strategi 4. Lebih jauh, optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (strategi 2) juga hanya dapat dilakukan jika adanya ketersediaan pasar. Selanjutnya, pemanfaatan peluang investasi (strategi 3) perlu dilakukan untuk memperbaiki sarana penanganan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas ikan sehingga dapat meningkatkan daya saing serta peluang pasar yang lebih luas.
105
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Telah teridentifikasi sebanyak 319 spesies ikan karang di Pulau Weh, dimana sebanyak 77 spesies diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai ikan hias laut; 2) Pola pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh tahun 2010 masih didominasi oleh satu jenis ikan yaitu botana biru (Acanthurus leucosternon) sebesar 83%. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor permintaan pasar. Dari 19 spesies ikan hias laut yang dimanfaatkan di Pulau Weh sebagian besar tingkat pemanfaatannya masih berada di bawah kuota tangkapan tahunannya, kecuali untuk jenis botana biru pada kelas ukuran 10-15 cm, dimana tingkat pemanfaatan telah melampaui kuota tangkapan tahunannya; 3) Untuk mencapai pemanfaatan yang optimum dari perspektif keberlanjutan sumberdaya ikan dan ekonomi, maka pola pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh disarankan untuk meningkatkan target hasil tangkapan pada tiga jenis ikan, yaitu botana kapsul (Acanthurus tenneti), botana lettersix (Paracanthurus hepatus), dan enjiel batman (Pomacanthus imperator); 4) Teridentifikasi sebanyak 4 strategi prioritas untuk pengembangan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh, yaitu: (i) melakukan diversifikasi jenis ikan yang dimanfaatkan, (ii) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, (iii) melakukan pengembangan usaha dengan memanfaatkan peluang investasi untuk meningkatkan kualitas sarana penanganan dan pengembangan usaha, serta (iv) pengembangan akses terhadap pasar dengan menjajaki pembeli-pembeli baru, terutama untuk memasarkan jenis-jenis lain yang potensial untuk dimanfaatkan.
6.2 Saran 1) Perlu dilakukan penyempurnaan kajian penentuan kuota tangkap lestari yang tidak hanya didasarkan atas ketersediaan stok di alam, melainkan juga didasarkan atas aspek ukuran tangkap, strategi sejarah hidup (life history
106
strategy), dan pertimbangan fungsi ekologis dari masing-masing spesies ikan terhadap ekosistemnya (ecosystem approach). 2) Perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
mengenai
jumlah
alokasi
unit
penangkapan ikan hias yang optimum di P. Weh. 3) Perlu dilakukan kajian mengenai spillover dari daerah perlindungan laut untuk mengetahui jarak dan pola penyebaran dari jenis-jenis ikan hias laut di P. Weh. keberadaan
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana peran daerah
perlindungan
laut
dalam menjaga
keberlanjutan
sumberdaya ikan hias laut. 4) Perlu dilakukan penelitian mengenai aspek sosial-ekonomi yang terkait dengan sistem pemasaran ikan hias laut, khususnya yang berasal dari P. Weh. 5) Perlu dilakukan pengenalan jenis jaring yang lebih sesuai untuk ikan hias, seperti jaring kelambu yang biasa digunakan nelayan ikan hias di Kepulauan Seribu, Jakarta. 6) Perlu adanya penerapan pengelolaan perikanan ikan hias yang berkelanjutan secara segera di P. Weh, mengingat pola pemanfaatan saat ini yang masih bergantung kepada satu jenis ikan serta adanya indikasi awal terjadinya penangkapan berlebih (overfishing) pada populasi ikan botana biru. 7) Perlu adanya dukungan terhadap nelayan untuk mengembangkan pasar bagi spesies-spesies lain dengan menyampaikan informasi potensi sumberdaya ikan hias di P. Weh kepada eksportir agar pola pemanfaatan dapat diubah sehingga dapat menurunkan tekanan terhadap populasi ikan botana biru.
107
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah N. 2005. Bisnis ikan hias tetap menggiurkan. Bisnis Indonesia. 10 Mei 2005. http:/www.bisnis.com [18 Mei 2010]. Abesamis RA, Russ GR. 2005. Density-dependent spillover from a marine reserve: long-term evidence. Ecological Applications 15(5): 1798–1812. Allen GR. 2000. Threatened fishes of the world: Pterapogon kauderni Koumans, 1933 (Apogonidae). Environ Biol Fish 57: 142. Allen GR, Adrim M. 2003. Coral Reef Fishes of Indonesia. Zoological Studies 42(1):1-72. [Anonim] 2001. Country Status Overview 2001 tentang Eksploitasi dan Perdagangan dalam Perikanan Karang Indonesia. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan, Yayasan Telapak, dan International Marinelife Alliance Indonesia. Ardiwijaya RL, Kartawijaya T, Herdiana Y, Setiawan F. 2007. Laporan Teknis Survei ekologi terumbu karang di Pulau Weh dan Pulau Aceh – Propinsi NAD, April 2006. Bogor: Widlife Conservation Society Marine Program. Bogor. Indonesia. 24 hlm. Bartley D. 2000. Responsible Ornamental Fisheries. FAO Aquaculture Newsletter No. 24. Rome: Food and Agriculture Organisation of the United Nations. 8 hlm. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Sabang. 2010. SABANG Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut. Sabang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Sabang. Sabang. Indonesia. 65hlm. Bellwood DR, Hughes TP, Hoey AS. 2006. Sleeping Functional Group Drives Coral-Reef Recovery. Current Biology 16: 2434–2439 Birkeland C, Dayton PK. 2005. The importance in fishery management of leaving the big ones. TRENDS in Ecology and Evolution Vol.20 No.7 July 2005. Brown BE (2007). Coral Reefs of the Andaman Sea - and integrated perspective. Oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 45: 173-194. [BRPL] Balai Riset Perikanan Laut. Ikan Hias Laut Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya. Jakarta. Campbell SJ, Kartawijaya T, Ardiwijaya RL, Mukminin A, Herdiana Y, Rudi E, Nurvita A, Valentino RA. 2008. Fishing Controls, Habitat Protection and Reef Fish Conservation in Aceh. Dalam: Obura, DO, Tamelander J, Linden O. 2008. Ten years after bleaching - facing the consequences of climate change in the Indian Ocean. CORDIO Status Report 2008. Mombasa: Coastal Oceans Research and Development in the Indian Ocean/SidaSAREC. Mombasa. Chan, TTC, Sadovy Y. 1998. Profile of the marine aquarium fish trade in Hong Kong. Aquar Sci. Conserv 2: 1–17.
108
Charles AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science Ltd. [COREMAP] Coral Reef Rehabilitation and Management Program. 2009. LRFT Specialist PMC Consultant - NCU COREMAP II. Pengelolaan ikan karang hidup (yang diperdagangkan). Jakarta: COREMAP. Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta: Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 167 hlm. [DKPP] Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pertanian Kota Sabang. 2010. Rencana pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pesisir Timur Pulau Weh Kota Sabang, Aceh – Buku 1. Sabang: Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pertanian Kota Sabang. Sabang. Indonesia. 29hlm. Donner SD, Skirving WJ, Little CM, Oppenheimer M, Hoegh-Guldbergs O. 2005. Global assessment of coral bleaching and required rates of adaptation under climate change. Global Change Biology 11: 2251-2265. Dufour V. 1997. Pacific Island Countries and the Aquarium Fish Market. Live Reef Fish Information Bulletin 2: 6-11. Edwards AJ, Shepherd AD. 1992. Environmental implications of aquarium-fish collection in the Maldives, with proposals for regulation. Environ Conserv 19:61–72. Fauzi A, Anna S. 2005. Studi Valuasi Ekonomi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Jakarta: USAID, DKP, Mitra Pesisir. 66 hlm. Filho RBF, Moura RL. 2008. Evidence for spillover of reef fishes from a no-take marine reserve: An evaluation using the before-after control-impact (BACI) approach. Fisheries Research 93: 346–356. Friedlander AM. 2001. Essential fish habitat and the effective design of marine reserves: Application for marine ornamental fishes. Aquar Sci. Conserv 3: 135–150, 2001. Froese R, Palomares MLD, Pauly D. 2000. Estimation of Life-History Key Facts. World Wide Web electronic publication, http://www.fishbase.org/download /keyfacts.zip. [20 September 2010]. Froese R, Pauly D. Editors. 2010. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (11/2010). [20 September 2010]. Garcia S, Sparre P, and Csirke J. 1989. Estimating Surplus Production and Maximum Sustainable Yield from Biomass Data when Catch and Effort Time Series are not Available. Fisheries Research 8:13-23. Gasparini JL, Floeter SR, Ferreira CEL, Sazima I. 2005. Marine Ornamental Trade in Brazil. Biodiv and Conserv 14: 2883–2899. Gell FR, Roberts CM. 2003. The Fishery Effects of Marine Reserves and Fishery Closures. Washington: WWF-US, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037, USA. Gray C, Simanjuntak P, Sabur LK, Maspaitella PFL, Varley RCG. 2005. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
109
Green AL, Bellwood DR. (2009). Monitoring functional groups of herbivorous reef fishes as indicators of coral reef resilience – A practical guide for coral reef managers in the Asia Pacific region. IUCN working group on Climate Change and Coral Reefs. IUCN, Gland, Switzerland. 70 hlm. Goodwin NB, Grant A, Perry AL, Dulvy NK, Reynolds JD. Life history correlates of density-dependent recruitment in marine fishes. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 63: 494–509. Halford AR dan Thompson AA. 1994. Visual census survey of reef fish. Longterm Monitoring of the Great Barrier Reef. Standard Operational Procedure Number 3. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Hardy R. 2003. Introduction to the special issue on ‘Ornamental fish’. Aquaculture Research 34: 903. Helfman GS. 2007. Fish conservation: a guide to understanding and restoring global aquatic biodiversity and fishery resources. Washington: Island Press. USA. 475 hlm. Hilborn R, Walters CJ. 1992. Quantitative fisheries stock assessment. Ed ke-2. London: Chapman and Hall. Hill J dan Wilkinson C. 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Hodgson G, Ochavillo D. 2006. MAQTRAC marine aquarium trade coral reef monitoring protocol: field manual. Manila: Reef Check Foundation, USA. 36 hlm. Hoey AS, Belwood DR. 2009. Limited Functional Redundancy in a High Diversity System: Single Species Dominates Key Ecological Process on Coral Reefs. Ecosystems 12: 1316–1328. Hutchings JA and Baum JK. 2005. Measuring marine fish biodiversity: temporal changes in abundance, life history and demography. Phil. Trans. R. Soc. B. 360: 315–338. Jennings S, Kaiser MJ, Reynolds JD. 2001. Marine Fisheries Ecology. Blackwell Science Ltd. Kadariah, L Karlina dan C Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 181 hlm. King JR, Mcfarlane JA. 2003. Marine fish life history strategies: applications to fishery management. Fisheries Management and Ecology 10:249–264. Kolm N, Berglund A. 2003. Wild Populations of a Reef Fish Suffer from the “Nondestructive” Aquarium Trade Fishery. Conserv. Biol. 17: 910–914. Kuiter RH, Tonozuka T. 2001. Pictorial guide to: Indonesia reef fishes. Seaford: Zoonetics, Seaford VIC 3198, Australia. Labrosse P, Kulbicki M, Ferraris J. 2002. Underwater Visual Fish Census Surveys: Proper use and implementation. New Caledonia: Secretariat of the Pacific Community (SPC). 54 hlm.
110
Lecchini D, Polti S, Nakamura Y, Mosconi P, Tsuchiya M, Remoissenet G, Planes S. 2006. New perspectives on aquarium fish trade. Fisheries Science 72: 40–47. Lilley R. 2008. Asal usul kegiatan perdagangan ikan hias laut di Indonesia. http://www.lini.or.id [31 Agustus 2010]. Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan untuk Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. Jakarta. 197 hlm McClanahan TR. 1994. Kenyan coral reef lagoon fish: effects of fishing, substrate complexity, and sea urchins. Coral Reefs 13: 231–241. SpringerVerlag. McClanahan T, Kamukuru A, Muthiga N, Yebi M, Obura D. 1996. Effect of sea urchin reductions on algae, coral and fish populations. Conservation Biology 10: 136–154. McManus JW. 1997. Tropical marine fisheries and the future of coral reefs: a brief review with emphasis on Southeast Asia. Coral Reefs 16, Suppl.: S121–S127. Springer-Verlag. Moffie K. 2002. The aquarium trade in Hawaii. Pacific Fisheries Commission White Paper, Oct. http://www.pacfish.org/wpapers/aquarium.html. [1 September 2010]. Mukminin A, Yulianto I, Muttaqin E. 2010. Buku pembelajaran pengelolaan pesisir pantai timur Pulau Weh, Provinsi Aceh. Bogor: Widlife Conservation Society Indonesia Program. Bogor. Indonesia Mulyono S. 1991. Operations Research. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Musick JA, Burgess G, Calliet G, Camhi M, Fordham S. 2000. Management of sharks and their relatives (Elasmobranchii). Fisheries 25: 9–13. Muttaqin E, Ardiwijaya RL, Pardede S, Setiawan F, Siregar AM. 2011. Report Coral Bleaching Survey in Northern Aceh Seascape 2010-2011. Bogor: Wildlife Conservation Society - Indonesia Program. Bogor. 22hlm. Novaglio, C, Muttaqin , E. 2007. Report – Study on ornamental fishing practices in Beurawang village, Weh Island, Aceh. Bogor: Wildlife Conservation Society – Indonesia Program. Bogor. 18hlm. Obura DO, Grimsdith G. 2009. Resilience Assessment of coral reefs - Assessment protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress. IUCN working group on Climate Change and Coral Reefs. IUCN, Gland, Switzerland. 70hlm. Ochavillo D, Hodgson G. 2006. MAQTRAC marine aquarium trade coral reef monitoring protocol: data analysis & interpretation manual. Manila: Reef Check Foundation, USA. 39 hlm. Pauly D. 1980. On the interrelationship between natural mortality, growth parameters, and mean environmental temperature in 175 fish stocks. J. Cons. int. Explor. Mer 39(2):175-192.
111
Pauly D. 2002. Fisheries management. Encyclopedia of Life Sciences. Macmillan Reference Ltd. hlm 1-5. Pet-Soede C, Densen WLTV, Pet JS, Machiels MAM. 2000. Impact of Indonesian coral reef Fisheries on Fish community structure and the resultant catch composition. Fisheries Research 51: 35-51. Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Reksodihardjo G and Lilley R. 2007. Towards a sustainable marine aquarium trade: An Indonesian perspective. SPC Live Reef Fish Information Bulletin 17: 11-19 - November 2007. Roberts CM, Hawkins JP. 1999. Extinction risk in the sea. Trends Ecol Evol 14: 241–46. Roberts CM, Bohnsack JA, Gell F, Hawkins JP, Goodridge R. 2001. Effects of marine reserves on adjacent fisheries. Science, 294, 1920-1923. Rubec PJ, Cruz F, Pratt V, Oellers R, McCullough B, Lallo F. 2001. Cyanide-free net-caught fish for the marine aquarium trade. Aquar Sci. Conserv 3: 37–51, 2001. Sadovy YJ, Vincent ACJ. 2002. Ecological Issues and the Trades in Live Reef Fishes. Dalam: Sale PF, editor. Coral Reef Fisheries: Dynamics and Diversity in a Complex Ecosystem. Sand Diego: Academic Press. hlm 391420. Sale PF. 2002. The Science We Need to Develop for More Effective Management. Dalam: Sale PF, editor. Coral Reef Fisheries: Dynamics and Diversity in a Complex Ecosystem. Sand Diego: Academic Press. hlm 361376. Saleem M, Islam F. 2009. Management of the aquarium fishery in the Republic of the Maldives. Di dalam: Riegl BM, Dodge RE, editor. Proceedings of the 11th International Coral Reef Symposium, Ft. Lauderdale, Florida, 7-11 July 2008. Vol II:(1045-1049). Satriya INB. 2009. Stock assessment and dynamics of the Sardinella lemuru (Clupeidae) resources in the Bali Straits. Makalah Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009. Komisi A-12 (93101). Sihombing L. 2005. Analisis Tataniaga Kentang di Propinsi Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA. Vol.40, No.2. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1. Manual. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 438 hlm. Tissot, B. N. and L. E. Hallacher. 2003. Effects of aquarium collectors on coral reef fishes in Kona, Hawaii. Conserv Biol 17: 1759–1768.
112
Vivien MLH and Navaro BY. 1983. Feeding diets and significance of coral feeding among Chaetodontid fishes in Moorea. Coral reefs: 2 (119-127) Wiadnya DGR, Mous PJ, Djohani R, Erdmann MV, Halim A, Knight M, PetSoede L, dan Pet JS. 2006. Marine capture fisheries policy formulation and the role of marine protected areas as tool for fisheries management in Indonesia. Mar. Res. Indonesia (2006) 30: 33-45 Wijaya I. 2010. Analisis pemanfaatan ikan hias Banggai Cardinal (Pterapogon kauderni, KOUMANS 1933) di Pulau Banggai, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. [tesis]. Bogor: Program Pasacasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. [WCS] Wildlife Conservation Society, Indonesia Program. 2008. Modul Pelatihan Monitoring Ekosistem Terumbu Karang. Bogor: Wildlife Conservation Society, Indonesia. 30 hlm. Whittington RJ and Chong R. 2007. Global trade in ornamental fish from an Australian perspective: The case for revised import risk analysis and management strategies. Prevent Vet Med 81: 92–116. Elsevier. Winemiller KO. 2005. Life history strategies, population regulation, and implications for fisheries management. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 62: 872– 885. Winemiller KO, Rose KA. 1992. Patterns of Life-History Diversification in North American Fishes: Implication for Population Regulation. Can. J. Fish. Aquat. Sci. Vol. 49, 1992. Wood EM. 2001a. Global advances in conservation and management of marine ornamental resources. Aquar Sci. Conserv 3: 65–77. Wood EM. 2001b. Collection of coral reef fish for aquaria: global trade, conservation issues and management strategies. Herefordshire: Marine Conservation Society, UK. 80 hlm. Yulianto I. 2010. Pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan karang di Pulau Weh, Nanggroe Aceh Darussalam. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
113
Lampiran 1 Klasifikasi spesies ikan hias laut utama yang dimanfaatkan
Acanthurus leucosternon (Bennet, 1833) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Acanthuridae Sub-famili: Acanthurinae Genus: Acanthurus Spesies: leucosternon
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum/Dagang: Powder Bluetang Surgeonfish, Botana Biru Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 54.0 cm. Lingkungan: Terumbu karang; perairan laut; kedalaman: 0-25 m, umumnya 0-25 m. Daerah hidup: Tropis; pada suhu 23°C - 28°C; 11°LU - 30°LS, 0°BT - 101°BT. Sebaran: Samudera Hindia, Timur Afrika hingga Laut Andaman, Barat daya Indonesia dan Christmas Island; dengan cakupan hingga ke Bali, wilayah Indonesia di Pasifik Barat. Biologi: Menempati perairan dangkal, wilayah terumbu karang di pesisir maupun kepulauan, umunya ditemukan di rataan terumbu hingga tubir. Dapat ditemukan soliter maupun bergerombol dalam jumlah besar. Memakan alga bentik. Ditangkap menggunakan jaring. Dipasarkan dalam keadaan hidup/segar. Pemanfaatan: Komersial minor, akuarium
Naso lituratus (Forster, 1801) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Acanthuridae Sub-famili: Nasinae Genus: Naso Spesies: lituratus (Gambar: www.fishbase.org)
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum/Dagang: Orange-Spine Unicornfish, Botana Naso Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 46.0 cm. Lingkungan: Terumbu karang; perairan laut; kedalaman: 0-90 m, umumnya 5-30 m. Daerah hidup: Tropis; pada suhu 24°C - 26°C; 35°LU - 30°LS Sebaran: Samudra Pasifik, Honshu (Jepang) hingga ke Great Barrier Reef dan New Caledonia, ke timur hingga Kepulauan Hawaii, French Polynesia, dan Pitcairn. Pasifik Timur: Pulau Clipperton Biologi: Ditemukan di daerah karang, bebatuan, atau rubble di laguna dan tubir. Ikan dewasa umumnya berkelompok kecil. Makanan: umumnya alga berdaun Pemanfaatan: Komersial minor, akuarium
114
Lampiran 1 (lanjutan) Klasifikasi spesies ikan hias laut utama yang dimanfaatkan
Anampses meleagrides (Valenciennes, 1840) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Labridae Sub-famili: Corinae Genus: Anampses Spesies: meleagrides (Gambar: www.siamreefclub.com)
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum/Dagang: Yellow-Tail Spotted Wrasse, Keling Totol Asli. Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 22.0 cm. Lingkungan: Terumbu karang; kedalaman: 3-60 m; umumnya: 5-50 m. Daerah hidup: Tropis; suhu 24°C - 28°C; 32°LU - 24°LS. Sebaran: Indo-Pasifik, Laut Merah, Timur Afrika hingga Kep. Samoa dan Tuamoto, ke utara hingga Selatan Jepang. Biologi: Ditemukan di daerah campuran antara karang, rubble, kerangka kapur, dan pasir. Juga ditemukan di habitat soft coral dan sponge. Pemanfaatan: Komersial minor, akuarium.
Hemitaurichthys zoster (Bennet, 1831) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Chaetodontidae Genus: Hemitaurichthys Spesies: zoster (Gambar: www.fishbase.org)
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum: Brown-And-White Butterfly, Kepe Belanda Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 18.0 cm. Lingkungan: Terumbu karang; tidak bermigrasi; kedalaman: 1-? m. Daerah hidup: Tropis sampai ke 28°LS Sebaran: Samudra Hindia, Afrika Timur hingga Guam, India, Mauritius. Biologi: Menempati perairan terbuka diluar bagian tubir, kedalaman lebih dari 35m. Membentuk kelompok besar. Memakan zooplankton dan alga. Berpasangan pada saat musim memijah. Pemanfaatan: Komersial minor, akuarium
115
Lampiran 1 (lanjutan) Klasifikasi spesies ikan hias laut utama yang dimanfaatkan
Chaetodon meyeri (Bloch & Schneider, 1801) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Chaetodontidae Genus: Chaetodon Spesies: meyeri (Gambar: www.wikimedia.org)
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum/Dagang: Scrawled butterfly, Meyer’s butterfly, Kepe Meyeri. Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 20.0 cm. Lingkungan: Terumbu karang; tidak bermigrasi; kedalaman: 2-25 m. Daerah hidup: Tropis; 30°LU - 30°LS. Sebaran: Indo-Pasifik, Afrika Timur, utara Kep. Ryukyu; ke selatan sampai Great Barrier Reef; termasuk Micronesia dan Kep. Galapagos. Biologi: Ditemukan di terumbu karang yang sehat, laguna, dan tubir. Memakan polip karang. Juvenil diam di antara karang bercabang, ikan dewasa ditemukan berpasangan, terutama saat memijah. Pemanfaatan: Komersial minor, akuarium.
Amphiprion clarkii (Bennet, 1830) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Pomacentridae Genus: Amphiprion Spesies: clarkii (Gambar: www.petshop-zoomania.com)
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum: Brown-And-White Butterfly, Giro Pasir Ekor Kuning Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 15.0 cm. Dilaporkan berusia hingga 11 tahun. Lingkungan: Terumbu karang; tidak bermigrasi; kedalaman: 1-60 m. Daerah hidup: Tropis; 30°LU - 30°LS, 47°BT - 172°BB Sebaran: Indo Pasifik Barat, Indo Pasifik Timur, Teluk Persia hingga Barat Australia; sepanjang kepulauan Indo-Asutralia, bagian barat Pasifik di Melanesia dan Micronesia, Utara Taiwan, Selatan jepang dan Kep. Ryuku Biologi: menempati daerah laguna dan tubir bagian luar. Berasosiasi dengan banyak hewan anemon. Pemanfaatan: Perikanan subsisten, akuarium.
116
Lampiran 1 (lanjutan) Klasifikasi spesies ikan hias laut utama yang dimanfaatkan
Pomacanthus imperator (Bloch, 1787) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Pomacanthidae Genus: Pomacanthus Spesies: imperator (Gambar: www.divegallery.com)
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum/Dagang: Emperor Angelfish, Enjiel Batman Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 40.0 cm. Lingkungan: Terumbu karang; kedalaman: 1-100 m Daerah hidup: Tropis Sebaran: Indo-Pasifik, Laut merah, Afrika Selatan, Hawaiiutara dan selatan Jepang, Great Barrier Reef, New Caledonia Biologi: Juvenil ditemukan di dalam lubang di lagun bagian liar dan rataan terumbu. Dewasa menempati lubang atau gua di daerah yang kaya akan karang di daerah laguna atau karang tepi Pemanfaatan: Komersial minor, akuarium.
Centropyge eibli (Klausewitz, 1963) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Pomacanthidae Genus: Centropyge Spesies: eibli (Gambar: www.petshop-zoomania.com)
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum: Dward Angelfish, Pigmy Angel, Abu Doreng Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 15.0 cm Lingkungan: Terumbu karang; kedalaman: 10-20 m Daerah hidup: Tropis Sebaran: Indo-Pasifik Barat, Sri Lanka hingga Indo-Malaya Biologi: Menempati daerah berbatu di terumbu karang dan pada daerah dengan kelimpahan karang yang tinggi. Membentuk kelompok 3-7 individu Pemanfaatan: Akuarium.
117
Lampiran 1 (lanjutan) Klasifikasi spesies ikan hias laut utama yang dimanfaatkan
Paracanthurus hepatus (Linnaeus, 1766) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Acanthuridae Sub-famili: Acanthurinae Genus: Paracanthurus Spesies: hepatus (Gambar: www.siamreefclub.com)
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum/Dagang: Palette surgeonfish, Botana Lettersix Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 31.0 cm. Lingkungan: Terumbu karang; kedalaman: 2-40 m Daerah hidup: Tropis; suhu 24°C - 26°C Sebaran: Indo-Pasifik, Afrika Timur, utara hingga selatan Jepang, Great Barrier Reef, Caledonia, dan Samoa.Indo-Pasifik. Biologi: Ditemukan di daerah terumbu karang yang jernih. Ikan juvenil biasanya bersembunyi diantara cabang-cabang karang Pemanfaatan: Akuarium.
Acanthurus nigrofuscus (Forsskål, 1775) Klasifikasi: Kelas: Actinopterygii Ordo: Perciformes Famili: Acanthuridae Genus: Acanthurus Spesies: nigrofuscus (Gambar: www.petshop-zoomania.com)
Deskripsi (www.fishbase.org) Nama Umum: Brown surgeonfish, Botana Coklat Biasa Ukuran/Berat/Umur: Panjang max: 21.0 cm Lingkungan: Terumbu karang; kedalaman: 2-25 m Daerah hidup: Tropis dan subtropis; 24°C - 28°C; 32°LU - 37°LS, 31°BT - 70°BB. Sebaran: Indo-Pasifik, Laut merah, Afrika Selatan, Hawaiiutara dan selatan Jepang, Great Barrier Reef, New Caledonia Biologi: Ditemukan di substrat keras, terumbu karang, laguna, dari daerah dangkal hingga kedalaman lebih dari 15 meter. Pemanfaatan: Akuarium.
118
Lampiran 2 Daftar jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut di Pulau Weh No
Nama Ilmiah
1 Acanthurus leucosternon 2 Acanthurus lineatus 3 Acanthurus maculiceps 4 Acanthurus nigricauda 5 Acanthurus nigrofuscus 6 Acanthurus nigroris 7 Acanthurus tennenti
Nama Lokal
Nama Umum
Kelompok
Rata-rata kelimpahan (ind.ha-1) Pemanfaatan
KKLD
TWAL
Botana Biru
Powder-Blue Surgeon
Tangs/Surgeons
182
291
402
Botana Kasur
Clown Surgeon
Tangs/Surgeons
653
211
370
Botana Maculiceps
Black-eared Surgeonfish
Tangs/Surgeons
89
60
73
Botana Cauda
Brown Eared Surgeonfish
Tangs/Surgeons
167
-
70
Botana Coklat Biasa
Spot Cheeked Surgeonfish
Tangs/Surgeons
199
212
194
Botana Kasur Menado
Cuvier's Surgeonfish
Tangs/Surgeons
115
97
120
Botana Kapsul
Lieutenant Surgeonfish
Tangs/Surgeons
40
40
58
8 Acanthurus triostegus 9 Acanthurus tristis 10 Aeoliscus strigatus
Botana Setrip
Convict Surgeonfish
Tangs/Surgeons
220
400
255
Botana Tristis
Tristis Surgeonfish
Tangs/Surgeons
96
85
80
Piso-piso
Knife Fish
Ghostpipefish
1733
-
600
11 Amblyglyphidodon aureus 12 Amphiprion clarkii
Betok Layang-Layang
Golden Damsel
Damsel Fish
73
113
175
Giro Pasir Ekor Kuning
Clark's Anemonefish
Clowns
208
150
253
13 Amphiprion ocellaris 14 Amphiprion sandaracinos 15 Anampses melagrides
Clown Fish
Clown Demoiselle
Clowns
350
200
500
Giro Pelet Makasar
Orange Anemonefish
Clowns
500
200
350
Keling Totol Asli
Yellow-Tail Spotted Wrasse
Birdfish and Wrasses
200
180
40
16 Apolemichthys trimaculatus 17 Arothron nigropunctatus
Enjiel Asli
Three-Spotted Angel
Angels
51
60
47
Buntel Totol
Yellow Stripes Puffer
Puffers
51
40
57
18 Balistapus undulatus 19 Balistoides conspicillum
Trigger Liris
Undulate Trigger
Triggerfish
46
118
55
Trigger Kembang
Clown Trigger
Triggerfish
40
-
40
20 Bodianus axillaris 21 Bodianus mesothorax 22 Canthigaster valentini
Hogfish Titik Emas
Diana's Hogfish
Birdfish and Wrasses
40
80
83
Hogfish Biasa
Eclips Hogfish
Birdfish and Wrasses
55
157
53
Buntel Valentini
Black-Saddled Toby
Puffers
145
133
150
23 Centropyge eibli 24 Chaetodon andamanensis
Abu Doreng
Grey Orange-Striped Angel
Angels
253
230
281
Kepe Andaman
Butterly Fish
80
167
84
Kepe Auriga
Andaman Butterflyfish Threadfin Butterfly
Butterly Fish
56
100
48
Kepe Kalong
Pakistani Butterfly
Butterly Fish
79
204
143
25 Chaetodon auriga 26 Chaetodon collare
119
Lampiran 2 (lanjutan) Daftar jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut di Pulau Weh -1
No
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Nama Umum
Keluarga
Rata-rata kelimpahan (ind.ha ) Pemanfaatan
KKLD
TWAL
Butterly Fish
189
175
144
Kepe Piramid
Speckled butterflyfish Saddled Butterfly
Butterly Fish
75
50
57
Kepe Sitrun Hijau
Peppered Butterfly
Butterly Fish
229
255
226
30 Chaetodon meyeri 31 Chaetodon speculum 32 Chaetodon trifasciatus
Kepe Meyeri
Meyer's Butterfly
Butterly Fish
67
105
72
Kepe Bulan
Oval-Spot Butterfly
Butterly Fish
110
-
60
Kepe Susu
Melon Butterfly
Butterly Fish
131
173
140
33 Chromis viridis 34 Chrysiptera cyanea
Jae-jae
Blue-Green Chromis
Damsel Fish
2300
650
3736
Betok Ambon
Orange-Tailed Blue Devil
Damsel Fish
100
-
-
35 Cirrhilabrus cyanopleura 36 Coris gaimard
KKO Jakarta
Blueside Wrasse
Birdfish and Wrasses
667
73
73
Keling Asli
Red Labrid Adult
Birdfish and Wrasses
100
-
-
37 Ctenochaetus striatus 38 Dascyllus aruanus
Botana Coklat Striatus
Striatus Surgeonfish
Tangs/Surgeons
276
253
137
Betok Zebra Jakarta
White-Tailed Damsel
Damsel Fish
200
-
100
39 Dascyllus trimaculatus 40 Diploprion bifasciatum
Betok Dakocan Hitam
Three-Spot Damsel
Damsel Fish
516
964
1088
Sabunan
Emperor
40
-
-
41 Forcipiger flavissimus 42 Hemigymnus melapterus
Kepe Monyong Asli
Barred soapfish Long-Snouted Butterfly
Butterly Fish
84
141
148
Kenari
Half-and-Half Thicklip
Birdfish and Wrasses
109
40
63
43 Hemitaurichthys zoster 44 Heniochus acuminatus
Kepe Belanda
Brown-And-White Butterfly
Butterly Fish
1037
343
152
Layaran Kuning
Pennant Coralfish
Moorsih Idols
80
40
80
45 Heniochus singularis 46 Labroides bicolor
Layaran
Poor Man's Moorish Idol
Moorsih Idols
60
69
71
Dokter Asli
Bicolor Cleaner Wrasse
Birdfish and Wrasses
116
118
144
47 Labroides dimidiatus 48 Malacanthus latovittatus
Dokter Biasa
Cleaner Wrasse
Birdfish and Wrasses
178
179
200
Dokter Terbang
Blue Whiting
Birdfish and Wrasses
40
-
-
49 Naso lituratus 50 Nemateleotris magnifica
Botana Naso
Orange-Spine Unicornfish
Tangs/Surgeons
52
62
48
Roket Antena
Firefish
Blennies and Coralfish
100
200
-
51 Odonus niger 52 Ostracion meleagris
Trigger Biru
Blue Triggerfish
Triggerfish
201
416
699
Buntel Mutiara
White-Spotted Boxfish
Boxfish
58
110
108
27 Chaetodon citrinellus 28 Chaetodon falcula 29 Chaetodon guttatissimus
Kepe Lurik
120
Lampiran 2 (lanjutan) Daftar jenis-jenis ikan karang yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai ikan hias laut di Pulau Weh No
Nama Ilmiah
Nama Lokal
Nama Umum
Keluarga
Rata-rata kelimpahan (ind.ha-1) Pemanfaatan
KKLD
TWAL
53 Paracanthurus hepatus 54 Parapercis hexophthalma
Botana Lettersix
Yellow Bellied Blue Tang (Aceh) Tangs/Surgeons
40
100
120
Bunglon Tokek
Sharp-nosed Weever
Birdfish and Wrasses
86
59
55
55 Parupeneus barberinus 56 Parupeneus cyclostomus 57 Plectroglyphidodon dickii
Jenggot Model
Dash-Dot Goatfish
Goat, Rabbit, Parrot, and Squirrelfish
60
200
220
Jenggot Kuning
Yellow Goatfish
Goat, Rabbit, Parrot, and Squirrelfish
60
60
200
Putri Bali Merah
Black-Barred Damsel
Damsel Fish
430
292
500
58 Pomacanthus imperator 59 Pomacentrus alleni
Enjiel Batman
Emperor Angel
Angels
43
51
50
Blue Star
Blue Star Damsel
Damsel Fish
475
-
450
60 Pomacentrus amboinensis 61 Pomacentrus bankanensis 62 Pomacentrus simsiang
Betok Kuning
Yellow Damsel
Damsel Fish
456
200
389
Betok Merah
Speckled Damsel
Damsel Fish
250
160
343
Betok Miang
Blueback Damsel
Damsel Fish
550
100
100
63 Pseudanthias squamipinnis 64 Pseudocheilinus hexataenia
Rainbow Mata Biru
Blue Eye Red Basslet
Blennies and Coralfish
1590
10489
4029
Keling Liris
Six-Lined Wrasse
Birdfish and Wrasses
159
329
229
65 Pseudodax moluccanus
Dokter Asli Special
Chiseltooth Wrasse
Birdfish and Wrasses
100
47
44
66 Ptereleotris evides
Roket Biasa
Scissortail
Blennies and Coralfish
126
146
200
67 Pterois antennata 68 Pygoplites diacanthus
Lempu 1/2 Biting
Spot-Fin Lionfish
Scorpions/Lionfish
40
40
40
Enjiel Doreng
40
70
40
Trigger Motor
Regal angelfish Black-Bellied Trigger
Butterly Fish
69 Rhinecanthus verrucosus 70 Scarus niger
Triggerfish
50
-
65
Kakatua Merah
Dusky Parrotfish
Goat, Rabbit, Parrot, and Squirrelfish
82
64
77
71 Scolopsis bilineata 72 Siganus virgatus
Buarmata
Two-Lined Snapper
Snappers and Sweetlips
63
51
87
Samadar Palsu
Barred Rabbitfish
Goat, Rabbit, Parrot, and Squirrelfish
60
-
-
73 Sufflamen bursa 74 Sufflamen chrysoptera 75 Thalasoma amblycephalum
Trigger Bursa
Boomerang Trigger
Triggerfish
51
71
81
Trigger Celeng
White-Rimmed Trigger
Triggerfish
54
55
87
Bayeman Kepala Merah
Rainbow Wrasse
Birdfish and Wrasses
277
240
314
76 Zanclus cornutus 77 Zebrasoma scopas
Morish Burung Laut
Moorish Idol Brown Sailfin Tang
Moorsih Idols
71
96
150
Tangs/Surgeons
163
173
129
Keterangan: Mengacu kepada BRPL (2005), Kuiter dan Tonozuka (2001), tanda (-) = tidak ditemukan / tidak ada data.
121
Lampiran 3 Model dan analisis optimasi dengan pemrograman linier
Variabel Keputusan Xi X1=Acanthurus leucosternon X2=Acanthurus lineatus X3=Acanthurus nigrofuscus X4=Acanthurus tennenti X5=Amphiprion clarkii X6=Anampses meleagrides X7=Apolemichthys trimaculatus X8=Centropyge eibli X9=Chaetodon andamanensis X10=Chaetodon auriga X11=Chaetodon meyeri X12=Forcipiger flavissimus X13=Gomphosus varius X14=Hemitaurichthys zoster X15=Naso lituratus X16=Paracanthurus hepatus X17=Pomacanthus imperator X18=Zanclus cornutus
Parame te r fungsi tujuan Ci (Rupiah) 6,667 4,000 2,500 11,000 3,000 10,000 7,000 3,000 4,000 4,000 4,000 2,500 4,000 3,000 8,500 30,000 25,000 4,000
Fugsi Kendala Jumlah Minimum Kuota Tangkapan Ditangkap 20466 38576 36 32582 53 62543 12 3422 217 60855 53 21789 27 4851 38 66253 3 11424 13 5357 144 29775 2 27870 14 19427 302 454545 394 7999 1465 3878 47 7895 30 17668
Model Linier: MAX 6667X1 + 4000X2 + 2500X3 +11000X4 + 3000X5 + 10000X6 + 7000X7 + 3000X8 + 4000X9 + 4000X10 + 4000X11 + 2500X12 + 4000X13 + 3000X14 + 8500X15 + 30000X16 + 25000X17 + 4000X18 SUBJECT TO X1 + X2 + X3 + X4 + X5 + X6 + X7 + X8 + X9 + X10 + X11 + X12 + X13 + X14 + X15 + X16 + X17 + X18 <= 35672 X1 >20466 X2 > 36 X3 > 53 X4 > 12 X5 > 217 X6 > 53 X7 > 27 X8 > 38 X9 > 3 X10 > 13 X11 > 144 X12 > 2 X13 > 14 X14 > 302 X15 > 394 X16 > 1465 X17 > 47 X18 > 30
122
Lampiran 3 (lanjutan) Model dan analisis optimasi dengan pemrograman linier X1 < 38576 X2 < 35582 X3 < 62543 X4 < 3422 X5 < 60855 X6 < 21789 X7 < 4851 X8 < 66253 X9 < 11424 X10 < 5357 X11 < 29775 X12 < 27870 X13 < 19427 X14 < 454545 X15 < 7999 X16 < 3878 X17 < 7895 X18 < 17668 END
Hasil optimasi LINDO: LP OPTIMUM FOUND AT STEP 20 OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 0.4801753E+09 VARIABLE VALUE REDUCED COST X1 20466.000000 0.000000 X2 36.000000 0.000000 X3 53.000000 0.000000 X4 2107.000000 0.000000 X5 217.000000 0.000000 X6 53.000000 0.000000 X7 27.000000 0.000000 X8 38.000000 0.000000 X9 3.000000 0.000000 X10 13.000000 0.000000 X11 144.000000 0.000000 X12 2.000000 0.000000 X13 14.000000 0.000000 X14 302.000000 0.000000 X15 394.000000 0.000000 X16 3878.000000 0.000000 X17 7895.000000 0.000000 X18 30.000000 0.000000
123
Lampiran 3 (lanjutan) Model dan analisis optimasi dengan pemrograman linier ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 0.000000 11000.000000 3) 0.000000 ‐4333.000000 4) 0.000000 ‐7000.000000 5) 0.000000 ‐8500.000000 6) 2095.000000 0.000000 7) 0.000000 ‐8000.000000 8) 0.000000 ‐1000.000000 9) 0.000000 ‐4000.000000 10) 0.000000 ‐8000.000000 11) 0.000000 ‐7000.000000 12) 0.000000 ‐7000.000000 13) 0.000000 ‐7000.000000 14) 0.000000 ‐8500.000000 15) 0.000000 ‐7000.000000 16) 0.000000 ‐8000.000000 17) 0.000000 ‐2500.000000 18) 2413.000000 0.000000 19) 7848.000000 0.000000 20) 0.000000 ‐7000.000000 21) 18110.000000 0.000000 22) 35546.000000 0.000000 23) 62490.000000 0.000000 24) 1315.000000 0.000000 25) 60638.000000 0.000000 26) 21736.000000 0.000000 27) 4824.000000 0.000000 28) 66215.000000 0.000000 29) 11421.000000 0.000000 30) 5344.000000 0.000000 31) 29631.000000 0.000000 32) 27868.000000 0.000000 33) 19413.000000 0.000000 34) 454243.000000 0.000000 35) 7605.000000 0.000000 36) 0.000000 19000.000000 37) 0.000000 14000.000000 38) 17638.000000 0.000000 NO. ITERATIONS= 20
124
Lampiran 4 Data hasil wawancara ID Tanggal Wawancara Nama Pewawancara Target Penangkapan Jenis ikan Lokasi penangkapan Kedalaman Kegiatan Penangkapan Alat yang digunakan Rata ‐rata hasil tangkapan (dari masing ‐ masing jenis jika memungkinkan)
Lama waktu melaut Musim penangkapan Biaya dan keuntungan Biaya melaut Keuntungan Bagi hasil Lama menjadi nelayan, Latar belakang
1 9 Juli 2010 Zulfikar Yudi Botana Biru Beurawang dan jaboi 3 ‐ 5 meter Jaring Botana biru (40 ekor)
Kepe ‐ kepe belanda (20 ekor) Naso (10 ekor) 2 jam Barat dan timur
2 9 Juli 2010 Sale Yudi Target Penangkapan Botana Biru Ujung seuke, anoi itam
3 9 Juli 2010 Zulkarnaini Ferdiansyah Target Penangkapan Botana Biru Beurawang, Jaboi dan Anoi itam
4 10 Juli 2010 Agam Yudi Target Penangkapan Botana Biru Beurawang dan Anoi itam
4 ‐ 6 meter Kegiatan Penangkapan Jaring Botana biru (60 ekor)
3 ‐ 5 meter Kegiatan Penangkapan Jaring Botana biru (50 ekor)
3 ‐ 5 meter Kegiatan Penangkapan Jaring Botana biru (70 ekor)
Naso (15 ekor)
Kepe ‐ kepe belanda (20 ekor) Naso (10 ekor) 3 jam Barat dan timur
Kepe ‐ kepe belanda (10 ekor) Naso (10 ekor) 4 jam Barat dan timur
2 ‐ 3 jam Barat dan timur
Rp 20,000 100% Tidak ada Semenjak anak ‐ anak zulfikar sering kelaut memancing ikan, faktor dari lingkungan yang dekat dengan pesisir sehingga sering bermain ke laut. Pada tahun 2001 mulai menggeluti penangkapan ikan hias untuk di jual pada penampung yang ada di Banda Aceh.
Rp 200,000 Rp 200,000 70% 70% Bagi 3 ( 2 untuk pekerja dan 1 untuk boat) Bagi 3 ( 2 buat yang kerja dan 1 buat boat) Semenjak sebelum tsunami sudah Sejak tahun 2002 sudah melakukan melakukan penangkapan ikan hias, dulu penangkapan ikan hias, karena sering semua ikan yang ditangkap mau di tampung melihat dan ikut teman ‐ teman yang sudah tapi setelah tsunami hanya ikan yang di order duluan pernah ke laut saja yang mau di tampung di Banda Aceh
Rp 80,000 100 ribu Tiga (2 buat yang kerja dan 1 buat boat) Dari tahun 2002 sudah melakukan penangkapan ikan hias. Dan sekarang juga sudah menjadi salah satu agen yang membawa ikan ke penampungan Banda Aceh.
Apakah ikan hias adalah mata pencaharian utama Sumber mata pencaharian lain
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Tidak ada
Pegawai kelurahan
Tidak ada
Ukuran kapal
‐
Panjang = 6,5 M. Lebar = 1,3M. Tinggi = 90Cm
Jenis kapal Ukuran mesin
‐ ‐
Panjang = 6,5 meter. Lebar = 1,3 meter. Tinggi = 9 centimeter Tempel 25 PK
Baru ‐ baru ini kalau tidak ada order ikan maka pergi ke kebun Panjang = 7M. Lebar = 1,4M Tinggi = 90Cm
Tempel 25 PK
Tempel 40 PK
125
Lampiran 4 (lanjutan) Data hasil wawancara ID Tanggal Wawancara Nama Pewawancara Target Penangkapan Jenis ikan Lokasi penangkapan
5 10 Juli 2010 Sarbini Yudi Target Penangkapan Botana Biru Anoi itam, Beurawang dan jaboi
11 Juli 2010 Busra Yudi Target Penangkapan Menurut order Gua sarang, Anoi itam
11 Juli 2010 Fadli Yudi Target Penangkapan Botana Biru Beurawang dan jaboi
8 11 Juli 2010 Zubir Ferdiansyah Target Penangkapan Botana Biru Pasir putih, Beurawang dan jaboi
Kedalaman Kegiatan Penangkapan Alat yang digunakan Rata ‐rata hasil tangkapan (dari masing ‐ masing jenis jika memungkinkan)
4 ‐ 7 meter Kegiatan Penangkapan Jaring Botana biru (100 ekor)
10 ‐ 15 meter Kegiatan Penangkapan Jaring dan kompresor Batman
3 ‐ 5 meter Kegiatan Penangkapan Jaring Botana biru (30 ekor)
3 ‐ 5 meter Kegiatan Penangkapan Jaring Botana biru (60 ekor)
Kepe ‐ kepe belanda (20 ekor) Naso (10 ekor) 3 jam Barat dan timur
Letter six Angel kuning 2 jam Barat dan timur
Kepe ‐ kepe belanda (10 ekor) Naso (10 ekor) 2 jam Barat dan timur
Naso (10 ekor)
Rp 100,000 70% Bagi 3 ( 2 buat orang ker ja dan 1 buat boat) Sarbini orang Aceh utara yang kawin dengan orang beurawang dan menetap di beurawang. Pada tahun 1999 mulai melakukan penangkapan ikan hias.
Rp 20,000 100% Tidak ada Sebelum tsunami sudah melakukan penangkapan ikan hias
Rp 100,000 80% Bagi 3 ( 2 buat yang kerja dan 1 buat boat) Dari tahun 2008 melakukan penangkapan ikan hias, selain untuk biaya kehidupan sendiri zubir juga membantu beban keluarganya. Dalam melakukan penangkapan ikan hias ini zubir juga pernah di tangkap sama polisi air.
Ya
Ya
Lama waktu melaut Musim penangkapan Biaya dan keuntungan Biaya melaut Keuntungan Bagi hasil Lama menjadi nelayan, Latar belakang
6
7
3 jam Barat dan timur
Apakah ikan hias adalah mata pencaharian utama Sumber mata pencaharian lain
Ya
Rp 300,000 70% Bagi 4 ( 3 buat yang kerja dan 1 buat boat) Semenjak masa SMA busra sudah sering kelaut memancing ikan,menembak ikan. faktor dari lingkungan yang dekat dengan pesisir sehingga sering bermain ke laut. Pada tahun 2007 setelah lulus sekolah mulai menggeluti penangkapan ikan hias untuk di jual pada penampung yang ada di Banda Aceh. Bisa menggunakan kompresor karena di ajari sama teman yang lebih dahulu tahu dan busra pun terus mencari tahu karena keinginannya yang besar Ya
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran kapal
Panjang = 6,5M. Lebar = 1,3M. Tinggi = 90Cm
Panjang = 4M dan Lebar = 2,5M
‐
Panjang = 4M dan Lebar = 2,5M
Jenis kapal Ukuran mesin
Tempel 25 PK
Fiber 40 PK
‐ ‐
Fiber 40 PK
126
Lampiran 4 (lanjutan) Data hasil wawancara ID Tanggal Wawancara Nama Pewawancara Target Penangkapan Jenis ikan Lokasi penangkapan
9 11 Juli 2010 Nasrol Ferdiansyah Target Penangkapan Botana Biru Beurawang, Jaboi dan Balohan
12 Juli 2010 Nazar Yudi Target Penangkapan Botana Biru Beurawang dan jaboi
Kedalaman Kegiatan Penangkapan Alat yang digunakan Rata ‐rata hasil tangkapan (dari masing ‐ masing jenis jika memungkinkan)
3 ‐ 5 meter Kegiatan Penangkapan Jaring Botana biru (50 ekor)
10
11 12 Juli 2010 Saiful Yudi Target Penangkapan Botana Biru Anoi Itam, Ujung Seuke
12 12 Juli 2010 Amin Ferdiansyah Target Penangkapan Botana Biru Goa Sarang, Balik Gunung, Bangau, Anoi Itam
2 ‐ 5 meter
3 ‐ 5 meter
3 ‐ 5 meter
Jaring Botana biru (60 ekor)
Jaring Botana biru (50 ekor)
Jaring Botana biru (50 ekor)
Naso (10 ekor)
Naso (10 ekor)
Kepe ‐ kepe belanda (10 ekor)
Lama waktu melaut Musim penangkapan Biaya dan keuntungan Biaya melaut Keuntungan Bagi hasil Lama menjadi nelayan, Latar belakang
4 jam Barat dan timur
4 jam Barat dan timur
3 jam Barat dan timur
Naso (10 ekor) Kepe ‐ kepe belanda (10 ekor) 4 jam Barat dan timur
Rp 100,000 80% Bagi 3 ( 2 buat yang keja dan 1 buat boat) Semenjak sebelum tsunami sudah mulai melakukan penangkapan ikan hias.
Rp 100,000 70% Bagi 3 ( 2 buat orang ker ja dan 1 buat boat) Mulai sejak tahun 2002. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Rp 200,000 Rp 100,000 80% 75% Bagi 3 ( 2 buat orang ker ja dan 1 buat boat) Bagi 3 ( 2 buat orang ker ja dan 1 buat boat) Baru ikut menangkap ikan hias setelah tsunami sekitar tahun 2007. Sebelumnya bekerja sebagai buruh kasar
Apakah ikan hias adalah mata pencaharian utama Sumber mata pencaharian lain
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ukuran kapal
Panjang = 4M dan Lebar = 2,5M
Tidak ada Istri menjual makanan kecil Panjang = 4M dan Lebar = 2,5M
Panjang = 4M dan Lebar = 2,5M
Panjang = 4M dan Lebar = 2,5M
Jenis kapal Ukuran mesin
Fiber 40 PK
Fiber 40 PK
Fiber 40 pk
Tempel 25 pk
127
Lampiran 4 (lanjutan) Data hasil wawancara ID Tanggal Wawancara Nama Pewawancara Target Penangkapan Jenis ikan Lokasi penangkapan Kedalaman Kegiatan Penangkapan Alat yang digunakan Rata ‐rata hasil tangkapan (dari masing ‐ masing jenis jika memungkinkan)
Lama waktu melaut Musim penangkapan Biaya dan keuntungan Biaya melaut Keuntungan Bagi hasil Lama menjadi nelayan, Latar belakang
13 12 Juli 2010 Pudin Ferdiansyah Target Penangkapan Botana Biru Anoi Itam, Ujung Seuke, Balohan, Balik Gunung 2‐6 meter
14
15
16
14 Juli 2010 Gam Ferdiansyah
14 Juli 2010 Benny Yudi
Botana Biru, Leter Six Anoi itam, Beurawang dan jaboi
Botana Biru Botana Biru Goa Sarang, Balik Gunung, Bangau, Anoi Itam Semua daerah, kecuali Iboih
3‐6 meter
2‐6 meter
1‐5 meter
Jaring Botana biru (50 ekor)
Jaring Botana Biru (50‐60 ekor)
Jaring Botana biru (60 ekor)
Jaring Botana Biru (40‐60 ekor)
Naso (10 ekor) Kepe ‐ kepe belanda (5 ekor) 3 jam Barat dan timur
Leter six (20 ekor) Naso (10 ekor) 3‐4 jam Barat dan timur
Naso (10 ekor) Kepe Belanda (10 ekor) 3 jam Barat dan timur
Naso (15 ekor) Kepe Belanda (5 ekor) 2‐3 jam Barat dan timur
Apakah ikan hias adalah mata pencaharian utama Sumber mata pencaharian lain
Ya
Ya
Rp 150,000 Rp 200,000 80% 70% Bagi 3 ( 2 untuk pekerja dan 1 untuk boat) Bagi 4 ( 3 buat yang kerja dan 1 buat boat) Semenjak sebelum tsunami sudah Semenjak masa SMA busra sudah sering melakukan penangkapan ikan hias, dulu kelaut memancing ikan,menembak ikan. semua ikan yang ditangkap mau di tampung faktor dari lingkungan yang dekat dengan tapi setelah tsunami hanya ikan yang di order pesisir sehingga sering bermain ke laut. Pada saja yang mau di tampung di Banda Aceh tahun 2007 setelah lulus sekolah mulai menggeluti penangkapan ikan hias untuk di jual pada penampung yang ada di Banda Aceh. Bisa menggunakan kompresor karena di ajari sama teman yang lebih dahulu tahu dan busra pun terus mencari tahu karena keinginannya yang besar Tidak Ya
Tidak
Berkebun
Pegawai kelurahan
Tidak ada
Ukuran kapal
Panjang = 4M dan Lebar = 2,5M
Panjang = 6,5 M. Lebar = 1,3M. Tinggi = 90Cm
Panjang = 4M dan Lebar = 2,5M
Jenis kapal Ukuran mesin
Tempel 25 PK
Tempel 25 PK
Panjang = 6,5 meter. Lebar = 1,3 meter. Tinggi = 9 centimeter Tempel 25 PK
Rp 200,000 Rp 200,000 70% 80% Bagi 3 ( 2 untuk pekerja dan 1 untuk boat) Tiga (2 buat yang kerja dan 1 buat boat) Sejak sebelum tsunami sekitar tahun 2002 Semenjak sebelum tsunami sudah melakukan penangkapan ikan hias. Sebelumnya menangkap ikan sendiri, saat ini bergabung dengan kelompok di bawah Nizam. Sekarang ikan ditangkap sesuai order.
18 Juli 2010 Bustami Yudi
Fiber 40 PK
128
Lampiran 5 Analisis finansial pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 B I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 II 1 2 3 4 5
III
IV 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Analisis Finansial 2010 Inve stasi Kapal Mesin Alat Tangkap Alat Bantu Penangkapan Alat Dasar Selam Akuarium kaca (80 x 40 x 40 cm) Rak kayu 2 tingkat Pompa Celup Gingga Pemipaan (Paralon, Keni, lem, dll) Styrofoam Bak Semen Tabung Oksigen Selang tabung oksigen Keranjang tampungan sementara Total Inve stasi Biaya Biaya Tetap (fixed cost ) Penyusutan Kapal Penyusutan Mesin Penyusutan Alat Tangkap Penyusutan Alat Bantu Penangkapan Penyusutan Alat Dasar Selam Penyusutan Akuarium Penyusutan Rak Kayu Penyusutan Pompa Penyusutan Pemipaan Penyusutan Styrofoam Penyusutan Bak Semen Penyusutan Tabung Oksigen Penyusutan Selang Penyusutan Keranjang Tampungan Biaya Perawatan Kapal Biaya Perawatan Jaring Total Biaya Tetap Biaya Tidak Tetap (variable cost ) Biaya Trip Biaya listrik Plastik Karet Isi oksigen Total Biaya Tidak Tetap Total Biaya Penerimaan Hasil Tangkapan Total Penerimaan Analisis Finansial Total Penerimaan (TR) Total Biaya (TC) Investasi Keuntungan (TR-TC) RC = TR/TC ROI (keuntungan/investasi x 100) BEP (Rp) NPV IRR Net B/C
Besaran (Rp) 42.000.000 84.000.000 4.500.000 1.440.000 15.400.000 2.000.000 3.000.000 3.500.000 2.000.000 400.000 8.000.000 2.000.000 700.000 4.400.000 176.040.000
8.400.000 1.458.331 1.500.012 720.036 3.080.088 200.000 200.000 700.000 200.000 200.000 400.000 200.000 140.000 2.200.000 2.000.000 600.000 22.198.467 62.346.732 550.000 533.238 50.000 1.200.000 64.679.970 87.498.437 241.079.500 241.079.500 241.079.500 87.498.437 176.040.000 153.581.063 2,8 87,2% 31.185.256 645.416.008 39,0% 3,39
129
Lampiran 5 (lanjutan) analisis finansial pemanfaatan ikan hias laut di Pulau Weh A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 B I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 II 1 2 3 4 5
III
IV 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Analisis Finansial Optimum Investasi Be saran (Rp) Kapal 42.000.000 Mesin 84.000.000 Alat Tangkap 4.500.000 Alat Bantu Penangkapan 1.440.000 Alat Dasar Selam 15.400.000 Akuarium kaca (80 x 40 x 40 cm) 2.000.000 Rak kayu 2 tingkat 3.000.000 Pompa Celup Gingga 3.500.000 Pemipaan (Paralon, Keni, lem, dll) 2.000.000 Styrofoam 400.000 Bak Semen 8.000.000 Tabung Oksigen 2.000.000 Selang tabung oksigen 700.000 Keranjang tampungan sementara 4.400.000 Total Investasi 176.040.000 Biaya Biaya Tetap (fixed cost ) Penyusutan Kapal 8.400.000 Penyusutan Mesin 1.458.331 Penyusutan Alat Tangkap 1.500.012 Penyusutan Alat Bantu Penangkapan 720.036 Penyusutan Alat Dasar Selam 3.080.088 Penyusutan Akuarium 200.000 Penyusutan Rak Kayu 200.000 Penyusutan Pompa 700.000 Penyusutan Pemipaan 200.000 Penyusutan Styrofoam 200.000 Penyusutan Bak Semen 400.000 Penyusutan Tabung Oksigen 200.000 Penyusutan Selang 140.000 Penyusutan Keranjang Tampungan 2.200.000 Biaya Perawatan Kapal 2.000.000 Biaya Perawatan Jaring 600.000 22.198.467 Total Biaya Tetap Biaya Tidak Tetap (variable cost ) Biaya Trip 101.313.439 Biaya listrik 550.000 Plastik 775.000 Karet 50.000 Isi oksigen 1.200.000 103.888.440 Total Biaya Tidak Tetap Total Biaya 126.706.907 Penerimaan Hasil Tangkapan 479.654.500 Total Pe nerimaan 479.654.500 Analisis Finansial Total Penerimaan (TR) 479.654.500 Total Biaya (TC) 136.406.907 Investasi 176.040.000 Keuntungan (TR-TC) 353.461.594 RC = TR/TC 3,8 ROI (keuntungan/investasi x 100) 200,8% BEP (Rp) 29.118.495 NPV 1.825.664.314 IRR 88,4% Net B/C 6,84
130
Lampiran 6 Daftar harga jual ikan hias dari P. Weh di berbagai tingkat pemasaran Nama Ilmiah Acanthurus leucosternon Acanthurus leucosternon Acanthurus lineatus Acanthurus lineatus Acanthurus maculiceps Acanthurus nigricauda Acanthurus nigrofuscus Acanthurus tennenti Acanthurus triostegus Acanthurus tristis Amblyglyphidodon aureus Amphiprion clark ii Amphiprion ocellaris Amphiprion sandaracinos Anampses meleagrides Anampses meleagrides Anampses meleagrides Apolemichtys trimaculatus Arothron nigropunctatus Balistapus undulatus Balistoides conspicillum Balistoides conspicillum Bodianus mesothorax Canthigaster valentini Centropyge eibli Chaetodon auriga Chaetodon auriga Chaetodon collare Chaetodon collare Chaetodon falcula Chaetodon falcula Chaetodon meyeri Chaetodon meyeri Chaetodon speculum Chaetodon trifasciatus Chromis viridis Chrysiptera cyanea Cirrhilabrus cyanopleura Coris gaimard Coris gaimard Ctenochaetus striatus Dascyllus aruanus Dascyllus trimaculatus Diploprion bifasciatum Forcipiger flavissimus Hemigymnus melapterus Hemitaurichthys zoster Heniochus acuminatus Heniochus acuminatus Heniochus singularius Labroides bicolor Labroides dimidatus Malacanthus latovittatus Naso lituratus Naso lituratus Naso lituratus Nemateleotris magnificus Odonus niger Ostracion meleagris Paracanthurus hepatus Paracanthurus hepatus Paracanthurus hepatus
Nama Lokal Botana Biru Botana Biru Botana Kasur Botana Kasur Botana Maculiceps Botana Cauda Botana Coklat Biasa Botana Kapsul Botana Setrip Botana Tristis Betok Layang-Layang Giro Pasir Ekor Kuning Clown Fish Giro Pelet Makasar Keling Totol Asli Keling Totol Asli Keling Totol Asli Einjel Asli Buntel Totol Trigger Liris Trigger Kembang Trigger Kembang Hogfish Biasa Buntel Valentini Abu Doreng Kepe Auriga Kepe Auriga Kepe Kalong Kepe Kalong Kepe Piramid Kepe Piramid Kepe Meyeri Kepe Meyeri Kepe Bulan Kepe Susu Jae-jae Betok Ambon KKO Jakarta Keling Merah Keling Merah Botana Coklat Striatus Betok Zebra Jakarta Betok Dakocan Hitam Sabunan Kepe Monyong Asli Kenari Kepe Belanda Layaran Kuning Layaran Kuning Layaran Dokter Asli Dokter Biasa Dokter Terbang Botana Naso Botana Naso Botana Naso Roket Antena Trigger Biru Buntel Mutiara Botana Letersix Botana Letersix Botana Letersix
Ukuran S M/L S M/L S M L L S/M S M/L S M/L S M/L S M/L S M/L S M/L S M L S M L
Harga Jual Ne layan Rp 20,000 Rp 25,000 Rp 5,200 Rp 5,800 Rp 5,800 Rp 11,000 Rp 2,400 Rp 11,000 Rp 2,000 Rp 11,000 Rp 2,000 Rp 3,600 Rp 2,400 Rp 2,800 Rp 7,700 Rp 11,000 Rp 11,000 Rp 15,000 Rp 3,200 Rp 2,000 Rp 24,000 Rp 30,000 Rp 5,400 Rp 2,400 Rp 4,000 Rp 3,600 Rp 5,400 Rp 3,200 Rp 4,800 Rp 5,600 Rp 11,000 Rp 4,800 Rp 7,700 Rp 4,800 Rp 3,200 Rp 1,000 Rp 2,800 Rp 2,800 Rp 4,000 Rp 5,200 Rp 5,800 Rp 900 Rp 900 Rp 1,600 Rp 11,000 Rp 1,600 Rp 9,700 Rp 5,600 Rp 9,700 Rp 11,000 Rp 9,700 Rp 2,000 Rp 7,700 Rp 8,000 Rp 24,000 Rp 24,000 Rp 9,700 Rp 2,400 Rp 4,800 Rp 27,000 Rp 41,000 Rp 41,000
Harga Jual Pengepul Rp 25,000 Rp 35,000 Rp 6,500 Rp 7,500 Rp 7,500 Rp 12,500 Rp 3,000 Rp 15,000 Rp 2,250 Rp 15,000 Rp 2,500 Rp 4,500 Rp 3,000 Rp 3,500 Rp 10,000 Rp 15,000 Rp 15,000 Rp 20,000 Rp 4,000 Rp 2,500 Rp 45,000 Rp 80,000 Rp 7,000 Rp 3,000 Rp 5,000 Rp 4,500 Rp 7,000 Rp 4,000 Rp 6,000 Rp 8,500 Rp 15,000 Rp 6,000 Rp 10,000 Rp 6,000 Rp 4,000 Rp 1,200 Rp 3,500 Rp 3,500 Rp 5,000 Rp 6,500 Rp 7,500 Rp 1,000 Rp 1,000 Rp 2,000 Rp 15,000 Rp 2,000 Rp 12,500 Rp 8,500 Rp 12,500 Rp 12,500 Rp 12,500 Rp 2,500 Rp 10,000 Rp 10,000 Rp 35,000 Rp 42,500 Rp 12,500 Rp 3,000 Rp 6,000 Rp 50,000 Rp 75,000 Rp 75,000
Harga Jual Ekspor Rp 54,000 Rp 76,500 Rp 13,095 Rp 26,190 Rp 112,500 Rp 112,500 Rp 13,095 Rp 67,500 Rp 13,095 Rp 67,500 Rp 31,500 Rp 11,458 Rp 6,548 Rp 6,750 Rp 26,190 Rp 26,190 Rp 26,190 Rp 42,559 Rp 22,500 Rp 13,095 Rp 196,425 Rp 147,319 Rp 13,095 Rp 9,821 Rp 13,500 Rp 13,095 Rp 16,369 Rp 15,750 Rp 27,000 Rp 26,190 Rp 36,011 Rp 13,095 Rp 16,369 Rp 13,095 Rp 16,571 Rp 2,292 Rp 9,821 Rp 9,821 Rp 13,095 Rp 16,369 Rp 22,500 Rp 2,292 Rp 2,292 Rp 27,000 Rp 36,011 Rp 6,548 Rp 29,464 Rp 35,100 Rp 35,100 Rp 26,190 Rp 16,369 Rp 5,893 Rp 22,500 Rp 19,643 Rp 40,500 Rp 54,000 Rp 19,643 Rp 16,369 Rp 36,000 Rp 52,380 Rp 58,928 Rp 65,475
131
Lampiran 6 (lanjutan) daftar harga jual ikan hias dari P. Weh di berbagai tingkat pemasaran Nama Ilmiah Parapercis hexophthalma Parupeneus barberinus Parupeneus cyclostomus Plectroglyphidodon dickii Pomacanthus imperator Pomacanthus imperator Pomacentrus alleni Pomacentrus amboinensis Pomacentrus bankanensis Pseudanthias squamipinnis Pseudocheilinus hexataenia Ptereleotris evides Pterois antennata Rhinecanthus verrucosus Scarus niger Scolopsis bilineata Siganus virgatus Thalassoma amblycephalum Zebrasoma veliferum
Nama Lokal
Ukuran
Bunglon Tokek Jenggot Model Jenggot Kuning Putri Bali Merah Einjel Blustone Asli Einjel Blustone Asli Blue Star Betok Kuning Betok Merah Rainbow Mata Biru Keling Liris Roket Biasa Lempu 1/2 Biting Trigger Motor Kakatua Merah Buarmata Samadar Palsu Bayeman Kepala Merah Keranjang Bali Surabaya
S M/L -
Harga Jual Ne layan Rp 2,000 Rp 1,600 Rp 4,000 Rp 1,300 Rp 13,000 Rp 17,000 Rp 1,300 Rp 1,000 Rp 1,300 Rp 5,800 Rp 2,000 Rp 2,400 Rp 4,000 Rp 2,800 Rp 3,200 Rp 2,000 Rp 2,000 Rp 3,600 Rp 11,000
Harga Jual Pengepul Rp 2,500 Rp 2,000 Rp 5,000 Rp 1,500 Rp 17,500 Rp 22,500 Rp 1,500 Rp 1,250 Rp 1,500 Rp 7,500 Rp 2,500 Rp 3,000 Rp 5,000 Rp 3,500 Rp 4,000 Rp 2,500 Rp 2,500 Rp 4,500 Rp 15,000
Harga Jual Ekspor Rp 4,037 Rp 6,548 Rp 6,548 Rp 4,050 Rp 32,738 Rp 88,391 Rp 8,184 Rp 4,500 Rp 3,150 Rp 13,095 Rp 9,821 Rp 19,643 Rp 22,916 Rp 13,095 Rp 13,500 Rp 32,738 Rp 11,250 Rp 9,821 Rp 36,000
Keterangan: Data harga jual didapatkan selama penelitian dan dari beberapa pelaku pemasaran ikan hias laut (tidak dipublikasikan). Harga jual ekspor adalah hasil konversi dari satuan US dollar, dengan asumsi nilai tukar: US$ 1 = Rp 9.000.
132
Lampiran 7 Kegiatan perikanan ikan hias laut di Pulau Weh
Nelayan saat menangkap ikan
Memindahkan ikan ke kapal
Memindahkan ikan ke penampungan sementara
Tempat penampungan sementara
Fasilitas penanganan (handling)
Membungkus ikan ke dalam plastik (packing)
Ikan dalam plastik siap dikirim
Fasilitas penampungan di Banda Aceh