STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN KARANG UNTUK PEMANFAATAN BERKELANJUTAN (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat)
ZULKIFLI BUGIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN KARANG UNTUK PEMANFAATAN BERKELANJUTAN (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat)
ZULKIFLI BUGIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Strategi Pengelolaan
Sumberdaya
Perikanan
Karang
untuk
Pemanfaatan
yang
Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi dikutip berasal dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2006
Zulkifli Bugis C551024054
ABSTRAK ZULKIFLI BUGIS. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan yang Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat) (Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO sebagai ketua komisi pembimbing dan ZULKARNAIN sebagai anggota) Kegagalan Indonesia untuk memperoleh hak kepemilikan terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan pengalaman berharga mengenai pentingnya kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau kecil perbatasan. Pertimbangan potensi dan karakteristik spesifik wilayah seyogyanya dikedepankan dalam penetapan kebijakan pembangunan. Kepulauan Ayau adalah salah satu pulau kecil perbatasan di Kabupaten Raja Ampat yang berbatasan dengan Negara Palau. Pulau ini memiliki potensi perikanan karang yang cukup besar. Tujuan penelitian adalah merancang strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan karang untuk pemanfaatan yang berkelanjutan di Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan evaluasi kegiatan pengelolaan dengan menggunakan indeks keberlanjutan yang kemudian penggunaan analisis SWOT untuk perancangan strategi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai Indeks Keberlanjutan sebesar 0,98. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan karang berada di luar jalur pengelolaan yang berkelanjutan. Strategi yang ditetapkan untuk mengatasi kondisi tersebut adalah: (1) pengelolaan perikanan karang yang berwawasan lingkungan, (2) pemanfaatan potensi ikan karang secara optimal, (3) pengembangan iklim usaha yang kondusif, (4) pengembangan sistem usaha pola inti-rakyat (PIR), (5) pembinaan kelembagaan masyarakat, (6) perbaikan infrastruktur perdagangan dan perhubungan, (7) modernisasi dan motorisasi unit penangkapan dan (8) pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Kata kunci: perikanan karang, indeks keberlanjutan, strategi pengelolaan
ABSTRACT ZULKIFLI BUGIS. Management Strategy for Sustainable Utilization of Reef Fishery Resources: Case on Ayau Archipelago, Raja Ampat Regency, West Irian Jaya Province. Supervised by MULYONO S. BASKORO and ZULKARNAIN
Indonesia failure to get property rights to Sipadan and Ligitan Island represent worth experience about importance of development policy to increase the social welfare in boundries island. Potency consideration and regional specific characteristics is properly placed forward in stimulating of development policy. Ayau Archipelago is one of boundry island in Raja Ampat Regency owning big enough reef fishery potency. Research objective were designed as the strategy of reef fishery resources management for sustainability exploitation in Ayau archipelago, Raja Ampat Regency. SWOT analysis is used to evaluate sustainability of management activities. The sustainability index shows 0,98 which mean reef fishery management activities was unsustain. There were some strategies to anticipate the condition; (1) friendly reef fishery management, (2) optimalization of reef fish potency, (3) development of business system, (4) development of PIR system in business ,(5) development of institution, (6) infrastructure repair of commerce and communication, (7) modernization and motorization of fishing unit, and (8) resource management base on society. Key words: reef fishery, sustainability index, management strategy
© Hak cipta milik Zulkifli Bugis, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN KARANG UNTUK PEMANFAATAN BERKELANJUTAN (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat)
ZULKIFLI BUGIS
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
: Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan yang Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat)
Nama Mahasiswa : Zulkifli Bugis Nomor Pokok
: C551024054
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Ketua
Ir. Zulkarnain, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal ujian : 21 April 2006
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan Berkelanjutan (Kasus: Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat)”. Selama penelitian dan penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh kerenanya pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing dan Ir. Zulkarnain, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan arahan. 2. Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si selaku tim penguji luar komisi atas koreksi serta masukan-masukan yang konstruktif untuk perbaikan tesis penulis. 3. Direktur Akademi Perikanan Sorong, Bapak Ir. Samel Hamel, M.Si dan Bapak Ir. Mahmud Fakoubun, M.Si, serta rekan–rekan dosen maupun staf administrasi. 4. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat beserta staf yang telah membantu penulis selama penelitian. 5. Kepala Distrik Kepulauan Ayau, Kepala Desa Dorekar, Desa Rutum, Desa Reni, Desa Meosbekwan dan Desa Yankawir beserta masyarakatnya yang dengan tulus ikhlas membantu penulis dalam melakukan penelitian. 6. Walikota Sorong Drs. J.A. Jumame, MM dan Ketua Bappeda Drs. Yohanis Nauw serta Bapak Kepala Badan Keuangan Kota Sorong Bapak Drs. Ec. Lamber Jitmau atas bantuan moril dan materil yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. 7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Teknologi Kelautan, Sub Program Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan (Krisna, Ryan, Drajad, Taufan, Irham, Lilly, Trisna Ningsih, Dewi, Yayan Hikmayani, Edi Wahyudi, dan Andri) atas kerjasama dan dukungan selama ini.
8. Isteri dan anak –anakku yang tercinta ; Fatma, M.H. Alfian, Gahral Adiyansa Abdullah, Fenny Thalia Zubaedah dan Mohammad Al-Givari. 9. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karenanya saran dan kritik yang sifatnya konstruktif
dengan senang hati penulis terima. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor,
Penulis
April 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Desember 1959 di Tual, Maluku Tenggara. Penulis adalah putra ke tujuh dari delapan bersaudara pasangan Alm. Husein dan Alm. Sitti Zubaedah. Pendidikan penulis mulai dari SD hingga SMA ditempuh di Tual. Pada tahun 1979, penulis melanjutkan pendidikan ke Fakultas Perikanan, Universitas Pattimura
dengan
Jurusan
Manajemen
Sumberdaya Perairan. Pada tahun 1989-2001, penulis bekerja sebagai guru pada Sekolah Usaha Perikanan Menengah Sorong (SUPM) dan sejak tahun 2001 hingga saat ini, penulis tercatat sebagai Dosen pada Akademi Perikanan Sorong.
Penulis
mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan (TKL) pada tahun 2003 dengan beasiswa Akademi Perikanan Sorong. Penulis dinyatakan lulus dalam sidang ujian tesis yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana IPB pada tanggal 21 April 2006 dengan judul tesis “Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Karang untuk Pemanfaatan Berkelanjutan: Kasus Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat”.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL...................................................................................................xii DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................xiii DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................xv 1
PENDAHULUAN 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
2
Latar Belakang ........................................................................................1 Perumusan Masalah ...............................................................................3 Tujuan Penelitian ....................................................................................4 Manfaat Penelitian ..................................................................................4 Kerangka Pemikiran................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsepsi Strategi ....................................................................................7 2.2 Sumberdaya Ikan Karang .......................................................................9 2.3 Teknologi Penangkapan Ikan Karang ..................................................10 2.3.1 Legal Fishing ................................................................................11 2.3.2 Destructive Fishing ......................................................................14 2.4 Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Perikanan Tangkap ....19 2.5 Review Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ..........................20
3
METODOLOGI 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
4
GAMBARAN KONDISI KEPULAU AN AYAU 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
5
Pemilihan Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................22 Penggunaan Peralatan ...........................................................................24 Metode Pengumpulan Data ....................................................................24 Jenis Data................................................................................................25 Analisis Data ...........................................................................................26 3.5.1 Evaluasi Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang .....26 3.5.2 Strategi Pengelolaan Perikanan Karang ...................................31
Keadaan Geografis, Topografi dan Klimatologi ......................................34 Kependudukan .........................................................................................35 Kelembagaan Sosial, Ekonomi dan Budaya ...........................................36 Sarana-Prasarana dan Aksesibilitas .......................................................38 Kondisi Sumberdaya Alam di Darat.........................................................41 Keadaan Umum Perikanan Kepulauan Ayau..........................................42 4.6.1 Potensi Sumberdaya Perikanan ..................................................42 4.6.2 Metode Penangkapan Ikan ..........................................................43 4.6.3 Penanganan dan Pengolahan Pascapanen................................45 4.6.4 Pemasaran Sumberdaya Hayati Laut..........................................46
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau .................52 5.1.1 Metode Penangkapan Ikan ...........................................................52
5.2
5.3 5.4 5.5 6
5.1.1.1 Metode Penangkapan Destruktif ...................................52 5.1.1.2 Metode Penangkapan yang Tidak Destruktif ................56 5.1.2 Sumberdaya Ikan Karang di Kepulauan Ayau .............................62 5.1.2.1 Produksi Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu (Epinephelus sp) ............................................................63 5.1.2.2 Upaya Penangkapan Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu (Epinephelus sp)................................................64 5.1.2.3 Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap (CPUE ) Tahunan Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu ........... (Epinephelus sp) .............................................................66 5.1.2.4 Pendugaan Nilai Hasil Tangkapan Maksimum Lestari dan Upaya Tangkap Optimum Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu (Epinephelus sp)...............67 5.1.3 Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ...........................................68 5.1.4 Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan Perikanan Karang ..........................................................................................71 5.1.5 Peraturan yang Berkaitan dengan Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau ..........................................................72 Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau .............................75 5.2.1 Penilaian Indikator Pengelolaan Perikanan Karang....................75 5.2.2 Status Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau...........................................................................85 Analisis SWOT.......................................................................................86 Strategi Pengelolaan Perikanan Karang Secara Berkelanjutan ...........90 Implementasi Strategi Pengelolaan di Masyarakat ...............................95
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan..............................................................................................97 6.2 Saran .......................................................................................................97
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................98 LAMPIRAN....................................................................................................... ...102
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Potensi sumberdaya ikan karang Indonesia menurut WPP....................... 10
2 Data primer yang dikumpulkan selama penelitian...................................... 25 3 Data sekunder yang dikumpulkan selama penelitian ................................ 26 4 Kriteria dan indikator penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau.......................................................................... 27 5 Pembobotan tiap unsur SWOT................................................................... 32 6 Matriks hasil analisis SWOT....................................................................... 32 7 Rangking alternatif strategi ......................................................................... 33 8 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kepulauan Ayau ........... 36 9 Periodisasi penangkapan ikan di wilayah Kepulauan Ayau ....................... 43 10 Harga ikan kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) per kg di tingkat pengumpul........................................................................ 49 11 Deskripsi pancing tonda yang digunakan nelayan Kepulauan Ayau ......... 59 12 Spesifikasi jaring insang di Kepulauan Ayau.............................................. 61 13 Luasan hasil klasifikasi citra Landsat_TM Kepulauan Ayau ...................... 70 14 Persen penutupan karang dengan Metode Manta Tow di Kepulauan Ayau .......................................................................................... 71 15 Penilaian indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau .......................................................................................... 86 16 Identifikasi, skoring, dan arahan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau .......................................................................................... 87 17 Analisis keterkaitan antar unsur SWOT...................................................... 89
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram alir strategi pengelolaan sumberdaya perikanan Karang untuk pemanfaatan berkelanjutan ....................................................................... 6
2
Peta lokasi penelitian ................................................................................ 23
3
Konstruksi jerat yang digunakan nelayan di Kepulauan Ayau.................. 44
4
Konstruksi tombak yang digunakan nelayan di Kepulauan Ayau ............. 45
5
Saluran pemasaran napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp) di Kepulauan Ayau ........................................................ 47
6
Jaring tempat penyimpanan napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp). ....................................................................................... 48
7
Jaring apung tempat penyimpanan sementara ikan sebelum di ekspor .. 48
8
Saluran pemasaran lobster di Kepulauan Ayau ........................................ 49
9
Saluran pemasaran produk olahan di Kepulauan Ayau ............................ 51
10 Tablet sianida yang dijadikan bahan pembius ikan................................... 53 11 Kaca mata molo untuk alat bantu penyelaman ......................................... 53 12 Pohon bore ................................................................................................. 53 13 Konstruksi bubu yang digunakan nelayan di Kepulauan Ayau ................. 55 14 Ilustrasi bubu yang terpasang di perairan ................................................ 55 15 Konstruksi pancing ulur yang digunakan di Nelayan Ayau ....................... 57 16 Ilustrasi pengoperasian pancing ulur ......................................................... 58 17 Konstruksi pancing tonda di Kepulauan Ayau ........................................... 59 18 Ilustrasi pengoperasian pancing tonda ..................................................... 60 19 Konstruksi jaring insang dasar di Kepulauan Ayau ................................... 61 20 Ilustrasi pengoperasian jaring insang dasar .............................................. 62 21 Komposisi hasil tangkapan ikan yang ditangkap nelayan di Kepulauan Ayau selama Desember 2004.................................................................... 63 22 Perkembangan produksi napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp) yang ditangkap nelayan Ayau (2000-2004) .................. 64 23 Perkembangan upaya tangkap napoleon (C. undulatus) selama tahun 2000-2004 .................................................................................................. 65 24 Perkembangan upaya tangkap kerapu (Epinephelus sp) selama tahun 2000-2004 .................................................................................................. 65 25 Laju hasil tangkapan per upaya tangkap standar napoleon (C. undulatus) selama tahun 2000-2004 .................................................. 66
26 Laju hasil tangkapan per upaya tangkap standar kerapu (Epinephelus sp) selama tahun 2000-2004.............................................. 67 27 Potensi napoleon (C. undulatus) di Kepulauan Ayau................................ 67 28 Potensi kerapu (Epinephelus sp) di Kepulauan Ayau ............................... 68 29 Hasil citra landsat_TM di Kepulauan Ayau................................................ 70 (a) komposit 321 ........................................................................................ 70 (b) komposit 421......................................................................................... 70 (c) komposit 542......................................................................................... 70 (d) Model Lyzengga ................................................................................... 70
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Jenis-jenis kerapu dan napoleon yang ditangkap di Kepulauan Ayau ......... 102 2 Tangkapan napoleon selama bulan Desember 2004 ................................... 103 3 Tangkapan kerapu tongseng selama bulan Desember 2004 ....................... 105 4
Tangkapan kerapu saiseng selama bulan Desember 2004......................... 107
5
Tangkapan kerapu GH selama bulan Desember 2004................................ 109
6
Tangkapan ikan campuran selama bulan Desember 2004 ......................... 110
7
Jumlah ikan napoleon dan kerapu berdasarkan ukuran selama bulan Desember 2004.................................................................................. 111
8
Perhitungan potensi napoleon di Kepulauan Ayau ...................................... 112
9
Perhitungan potensi kerapu di Kepulauan Ayau .......................................... 113
10 Produksi napoleon pada berbagai tingkat upaya penangkapan .................. 114 11 Produksi kerapu pada berbagai tingkat upaya penangkapan...................... 115 12 Pendapatan nelayan akar bore dengan kapal jonson.................................. 116 13 Proporsi alat tangkap aktif dan pasif di Kepulauan Ayau............................. 117 14 Hasil wawancara dengan masyarakat Ayau mengenai kondisi karang.... .. 117 15 Perhitungan indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan karang .............. 118
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kegagalan Indonesia untuk memperoleh hak kepemilikan terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan pengalaman berharga mengenai pentingnya suatu kebijakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pulau-pulau kecil perbatasan. Orientasi hak kepemilikan ternyata tidak cukup didasarkan pada bukti sejarah belaka. Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan hanyalah segelintir kasus dari kasuskasus yang lebih besar yang mungkin terjadi jika pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah kejadian serupa di masa akan datang. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Dephan dan Dehidros TNI-AL tahun 2003, dari 17.504 pulau-pulau yang dimiliki Indonesia, terdapat 92 pulau-pulau kecil berada pada posisi terluar, 67 pulau diantaranya berbatasan langsung dengan Negara tetangga sebagai pulau perbatasan. Dari 67 pulau-pulau tersebut, 13 pulau diantaranya perlu mendapatkan perhatian khusus. Perhatian khusus pada 13 pulau tersebut didasarkan pada timbulnya permasalahan-permasalah substansial yang dapat berdampak pada eksistensi pulau tersebut di masa akan datang. Permasalahan tersebut antara lain (1) rawan
penangkapan
ikan
illegal,
(2)
rawan
perompakan,
(3)
rawan
penyelundupan, (4) rawan okupasi negara lain, dan (5) rawan pengaruh ipoleksosbud dari negara lain (Dishidros TNI-AL, 2003). Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah kejadian serupa adalah menetapkan kebijakan pemanfaatan pulau-kecil secara komperhensif berdasarkan pertimbangan potensi dan karakteristik spesifik wilayah. Potensi pulau-pulau perbatasan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan, (2) potensi ekonomi dan (3) potensi sebagai basis pertahanan. Secara garis besar terdapat tiga pilihan pola atau model pengembangan yang dapat diterapkan untuk ekosistem pulau kecil. Pertama, menjadikan pulau sebagai kawasan konservasi. Kedua, pengembangan pulau secara optimal dan berkelanjutan. Ketiga, pola pengembangan dengan intensitas tinggi yang mengakibatkan perubahan radikal pada ekosistem pulau (Hein, 1990).
2
Secara lebih spesifik, telah dikemukakan suatu teori tentang pentingnya pendekatan lokal dalam konsep pengelolaan pulau-pulau kecil. Teori ini dikenal dengan sebutan Global Ocean Governance (GOG) dan didefinisikan sebagai berikut: "the development of a set of ocean rules and practices that are equitable, efficient in the allocation of ocean uses and resources (including notion of sustainability), provide the means of resolving conflicts over access to and the enjoyment of the benefits of the oceans, and specifically attempt to alleviate collective-action problems in a world of independent actors".
Dari definisi
tersebut, paling tidak ada 3 kata kunci yaitu: (1) asas kesamaan (equitability) dan efisiensi (efficiency) alokasi pemanfaatan sumber daya kelautan yang ada di pulau-pulau kecil, (2) menyediakan cara pemecahan konflik pemanfaatan sumber daya di pulau-pulau kecil, dan (3) meningkatkan aksi kolektif dari segenap stakeholder
terhadap masalah-masalah pemanfaatan sumber daya kelautan
pulau-pulau kecil. Kepulauan Ayau atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau Fani merupakan salah satu dari 13 pulau yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Ditinjau dari perspektif topografi wilayah, daerah ini dikelilingi oleh lautan serta kondisi tanah yang kurang sesuai dipergunakan untuk aktivitas bercocok tanam.
Oleh karena itu mayoritas penduduk kepulauan ini
menggantungkan hidupnya pada penangkapan ikan di laut dan aktivitas turunannya. Potensi perikanan yang paling besar dimiliki oleh Kepulauan Ayau adalah ikan karang.
Hamparan karang yang mengelilingi wilayah lautan daerah ini
merupakan justifikasi terhadap kondisi tersebut.
Bahkan berdasarkan hasil
kajian yang dilakukan oleh Conservation International ( CI ) yang dilakukan di Kepulauan Raja Ampat termasuk kawasan Kepulauan Ayau, berhasil ditemukan sekitar 900 spesies karang yang ada di dunia. Selain spesies karang, berhasil pula diidentifikasi sebanyak 950 spesies ikan karang, empat jenis diduga merupakan spesies baru, yaitu Pseudochromis sp, Apogon sp, Eviota sp (Farid dan Sriyadi, 2001). Merujuk pada pentingnya kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan sebagai bentuk konsolidasi kenegaraan, tidak salah jika pemerintah segera menetapkan kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan karang sebagai satu-satunya
sub
sektor
yang
dapat
diandalkan
dalam
peningkatan
kesejahteraan masyarakat Kepulauan Ayau. Sebagai langkah awal, rancangan
3
strategi pengelolaan sumberdaya perikanan karang dalam rangka pemanfaatan yang berkelanjutan mutlak dibutuhkan. 1.2 Perumusan Masalah Pengembangan kegiatan produktif yang berbasis potensi dapat dijadikan sebagai sarana memperkuat posisi kenegaraan terutama untuk daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain.
Kepulauan Ayau yang secara
administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat memiliki potensi karang dan ikan karang yang sangat besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat, total potensi ikan karang di wilayah tersebut mencapai 35.000 ton/tahun. Dari jumlah tersebut 30 % diantaranya diperkirakan berada di wilayah perairan Kepulauan Ayau. Ikan karang merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sejak awal dekade 90-an, perdagangan ikan karang hidup berkembang dengan cepat di Asia Tenggara dan wilayah-wilayah lain. Dimasa yang akan datang kebutuhan ikan hidup diprediksi akan terus mengalami peningkatan (Dragon Search,
1996).
Komoditas-komoditas
utama
yang
diperdagangkan
terkonsentrasi pada jenis kerapu (Plectropomus dan Epinephelus sp) dan napoleon (Cheillinus undulatus).
Ikan-ikan tersebut menjadi konsumsi
masyarakat kelas ekonomi tinggi di Hongkong, Cina, Taiwan, Singapura dan Jepang (Johanes dan Riefen, 1995).
Berdasarkan hasil kajian aspek sosial
terumbu karang yang dilakukan oleh CORE MAP-LIPI pada tahun 2002, diperoleh informasi bahwa dua jenis ikan, yaitu kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) merupakan spesies-spesies ikan yang paling banyak di tangkap di perairan Kepulauan Ayau. Tingginya permintaan terhadap komoditas ikan karang terutama dalam bentuk hidup merupakan suatu peluang usaha yang prospektif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, peluang ini dapat pula diartikan sebagai ancaman yang sangat berbahaya.
Penggunaan alat
tangkap yang desktruktif seperti racun dan bom untuk menangkap ikan karang merupakan salah satu contoh ancaman yang acap kali dihadapi dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Kegiatan penangkapan ikan karang
dengan menggunakan alat tangkap yang destruktif dapat dijumpai dihampir seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kepulauan Ayau.
4
Sebagai suatu organisme perairan, ikan karang memiliki karakteristik spesifik yang bisa dibedakan dengan kelompok ikan lain seperti ikan pelagis dan demersal. Asoasiasi yang terjadi antara karang sebagai tempat hidup dengan ikan karang sebagai “penghuni” sangatlah tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bell et al (1985 ) dalam Putranto (1994) ditemukan adanya korelasi positif antara penutupan karang hidup dengan kelimpahan dan keanekaragaman ikan di terumbu karang. sumberdaya, hasil penelitian tersebut
Dalam konteks pemanfaatan
mengindikasikan bahwa penggunaan
alat tangkap yang destruktif justru akan berdampak pada penurunan kuantitas ikan karang di wilayah tersebut pada masa yang akan datang. Kerugian akibat penggunaan alat tangkap desktruktif jika dikonversi dalam bentuk uang cukup besar.
Hasil estimasi bank dunia menunjukkan
bahwa, Indonesia akan mengalami kerugian sekitar sekitar US $ 46 juta dalam kurun waktu empat tahun apabila penggunaan racun skala besar dalam penangkapan ikan tidak diatasi. Kerugian tersebut akan bertambah sebesar US $ 86.000 /km 2 jika penggunaan bahan peledak tidak dihentikan. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, maka rumusan masalah yang ingin diungkapkan penulis adalah bagaimana merancang suatu strategi pengelolaan sumberdaya perikanan karang yang berkelanjutan di Kepulauan Ayau melalui pendekatan optimasi pemanfaatan sumberdaya serta pemeliharaan dan peningkatan daya dukung lingkungan tanpa menapikkan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menentukan indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan karang di Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat. (2) Menentukan arah dan prioritas strategi pengelolaan sumberdaya perikanan karang di Kepulauan Ayau, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat. 1.4 Manfaat Penelitian Keluaran yang dihasilkan dari penelitian ini adalah strategi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan karang untuk pemanfaatan berkelanjutan. Penelitian ini memiliki arti strategis karena dilakukan di salah satu kepulauan terluar Indonesia yang banyak dihadapkan pada polemik ketidak jelasan format pengelolaan wilayah. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
5
dijadikan sebagai masukan oleh para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka pengelolaan potensi sumberdaya perikanan di wilayah kajian.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan
referensi pembanding yang mungkin dapat menstimulasi penelitian-penelitian selanjutnya . 1.5 Kerangka Pemikiran Pulau-pulau
kecil
perbatasan
memiliki
peran
strategis
dalam
pembangunan mengingat letaknya yang berbatasan dengan negara lain. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa keberadaan pulau-pulau kecil perbatasan kurang mendapat perhatian pemerintah, bahkan kebanyakan dari pulau-pulau tersebut menjadi daerah terisolasi. Peristiwa lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi pemerintah yang mengabaikan pengembangan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan. Pengembangan pulau-pulau kecil seyogyanya menjadikan potensi dan karakteristik wilayah sebagai pertimbangan utama.
Menurut Dahuri
(1998),
salah satu potensi yang banyak ditemukan di pulau-pulau perbatasan yang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan adalah potensi sumberdaya perikanan karang. Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan haruslah meninggalkan pola-pola yang hanya bersifat ekstraktif belaka. Pengelolaan merupakan kata kunci
yang
harus
diperhatikan
untuk
mencegah
dampak
negatif dari
pemanfaatan sumberdaya yang cenderung ekstraktif. Dalam konteks perikanan global, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan seyogyanya mengacu pada “Code of Conduct for Responsible Fisheries “ (FAO, 1995), yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah terhadap lingkungan serta memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya.
Secara nyata terkandung
pemahaman bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan haruslah dilakukan secara terkendali dan bijaksana sehingga menjamin kepentingan generasi saat ini maupun generasi masa depan (berkelanjutan). Untuk sampai pada kondisi ideal, yaitu pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan diperlukan strategi-strategi khusus. pengelolaan ekspektasi
yang
dibuat
masyarakat
selayaknya
dan
mencerminkan
kepentingan
otoritas
Strategi
perpaduan
pengambil
antara
kebijakan.
Rancangan strategi tersebut merupakan hasil identifikasi mendalam mengenai
6
kondisi pengelolaan sumberdaya yang telah ada berikut permasalahan yang dihadapi serta langkah-langkah perbaikan (corrective action) yang akan diterapkan berdasarkan parameter-parameter yang ada.
Gambar 1. Diagram alir strategi pengelolaan sumberdaya perikanan karang untuk pemanfaatan berkelanjutan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsepsi Strategi Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), yang dimaksud
dengan strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Sedangkan jika ditelaah secara terminologi strategi diartikan sebagai jenderal, berasal dari kata strategos dalam bahasa Yunani. Dalam arti yang lebih sempit, menurut Matloff (1967) diacu dalam Salusu (1996), strategy berarti the art of general (seni jenderal). dikarenakan
besarnya
otoritas
yang
Asal-muasal pengertian tersebut
dimiliki
seorang
jenderal
dalam
memanfaatkan semua sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai sasaran perang dan damai. Dengan semakin kompleksnya kehidupan pada saat ini, dimana terjadi pergeseran situasi dari militer ke organisasi turut berdampak pada perluasan makna strategi. Chadler dan Alfred pada tahun 1966 mengutarakan pendapat mengenai defenisi strategi sebagai berikut, “ Strategi merupakan penetapan dari tujuan dan sasaran jangka panjang serta penggunaan serangkaian tindakan dan alokasi sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut”. Pendapat-pendapat senada dengan beberapa penekanan elemen dalam defenisi telah diutarakan oleh beberapa ahli seperti Hofer dan Schendel (1978); Shirley (1978); Ohmae (1982); serta Hatten dan Hatten (1988). Elemen yang ditekankan oleh para ahli tersebut antara lain faktor lingkungan, kemampuan internal, kompetisi serta komunikasi. Rumusan yang komperhensif dan merupakan rangkuman dari berbagai defenisi tentang strategi diutarakan oleh Hax dan Majluf (1991) diacu dalam Salusu (1996) sebagai berikut: (1) Strategi ialah pola keputusan yang konsisten, menyatu dan integral ; (2) Menentukan dan menampilkan tujuan organisasi dalam artian sasaran jangka panjang, program bertindak, dan prioritas alokasi sumberdaya ; (3) Menyeleksi bidang yang akan digeluti atau akan digeluti oleh organisasi ; (4) Mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama, dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal organisasi, dan kekuatan serta kelemahannya; (5) Melibatkan semua tingkat hierarki dari organisasi.
8
Bertolak dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa strategi mengandung unsur tahapan waktu dalam merealisasikan tujuan yang hendak dicapai.
Tahapan-tahap tersebut oleh Kooten (1991) diistilahkan dengan
tingkat-tingkat strategi.
Tingkatan-tingkatan strategi yang dimaksud sebagai
berikut: (1) corporate strategy (strategi organisasi) Strategi ini berkaitan dengan perumusan misi, tujuan, nilai-nilai dan inisiatifinisiatif strategi baru. (2) program strategy (strategy program) Strategi ini lebih memberi perhatian pada implikasi-implikasi stratejik dari suatu program tertentu. (3) resource support strategy (strategi pendukung sumberdaya) Strategi sumberdaya ini memusatkan perhatian pada memaksimalkan pemanfaatan
sumber-sumberdaya
esensial
meningkatkan kualitas kinerja organisasi.
yang
tersedia
guna
Sumberdaya tersebut dapat
berupa tenaga, keuangan maupun teknologi. (4) Institutional strategy (strategi kelembagaan) Fokus dari strategi institusional ialah mengembangkan kemampuan organisasi untuk melaksanakan inisiatif-inisiatif stratejik. Strategi mengandung unsur yang lebih luas dari sekedar paparan konsep. Dalam strategi terkandung unsur peluang terlaksananya konsep strategi. Menurut Hatten dan Hatten (1988), untuk membuat suatu strategi dapat dilaksanakan dengan sukses ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: (1) Strategi haruslah konsisten dengan lingkungannya; Strategi yang dibuat seyogyanya mengikuti arus perkembangan dalam masyarakat dan dalam lingkungan yang memberi peluang untuk bergerak maju. (2) Setiap organisasi tidak hanya membuat satu strategi; Rancangan strategi disesuaikan dengan ruang lingkup kegiatannya dengan membuat beberapa alternatif strategi.
Antar satu stategi dengan yang
lainnya haruslah selaras/tidak ada kontradiksi. (3) Memfokuskan dan menyatukan sumberdaya; Prinsip dari strategi adalah adanya totalitas dari otoritas kekuasaan dalam memanfaatkan sumberdaya secara efektif melaui proses penyatuan
9
sumberdaya sehingga menjadi suatu kekuatan yang besar untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (4) Strategi haruslah layak untuk dilaksanakan; Strategi yang dibuat merupakan serangkaian tahapan analitis terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, sehingga keluaran yang dihasilkan haruslah layak dilaksanakan. (5) Strategi hendaknya memperhitungkan resiko yang tidak terlalu besar; Setiap usaha pasti mengandung suatu resiko, demikian halnya dengan strategi. Namun untuk meminimalisasi resiko tersebut, strategi yang dibuat haruslah selalu dapat dikontrol. (6) Strategi hendaknya disusun diatas landasan keberhasilan; Rancangan strategi sebaiknya dibuat berdasarkan pengalaman keberhasilan kegiatan-kegiatan lainnya, atau melakukan modifikasi strategi dari yang telah ada dengan berbagai penyesuaian dalam konsep dasar. (7) Perlu dukungan dari semua pihak yang terlibat. Kesuksesan strategi sangat dipengaruhi oleh dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan. 2.2 Sumberdaya Ikan Karang Ikan karang adalah semua jenis ikan yang hidup dan berasosiasi dengan lingkungan karang, baik untuk memijah, makan maupun untuk berkembang biak. Menurut
Djamali dan Mubarak (1998), ada sekitar sepuluh famili utama
penyumbang produksi perikanan di Indonesia. Kesepuluh famili tersebut adalah: (1) Caesiodae, (2) Holocentridae, (3) Serranidae, (4) Siganidae, (5) Scaridae, (6) Lethrinidae, (7) Priachanthidae, (8) Labridae, (9) Lutjanidae dan (10) Haemunidae.
Dari kesepuluh famili utama ikan karang, yang tergolong ikan
karang konsumsi diantaranya Caesionidae (ekor kuning), Labridae (napoleon), Scaridae (kerapu), Lutjanidae (kakap), Singanidae (baronang) dan Lethrinidae (lencam). Ikan-ikan karang dari kesepuluh famili tersebut tersebut menyebar dihampir seluruh ekosistem karang di Indonesia dengan potensi terbesar berada di WPP 4 (Selat Makassar dan Laut Flores) dan WPP 5 (Laut Banda) (Tabel 1).
10
Tabel 1. Potensi sumberdaya ikan karang Indonesia menurut WPP No
Wilayah pengelolaan perikanan
Potensi (103 Ton/thn) 5,00
Produksi (103 Ton/thn)) 21,60
1
Selat Malaka
2
Laut Cina Selatan
21,57
7,88
3
Laut Jawa
9,50
48,24
4
Selat Makassar dan Laut Flores
34,10
24,11
5
Laut Banda
32,10
6,22
6
Laut Seram dan Teluk Tomini
12,50
4,63
7
Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik
14,50
2,21
8
Laut Arafura
3,10
22,58
9
Samudera Hindia
12,88
19,42
145,25
156,89
Jumlah Sumber: Dahuri (2002)
Ikan karang umumnya termasuk komoditas yang memiliki nilai ekonomis penting, apalagi jika tersedia dalam bentuk hidup. Permintaan dunia terhadap komoditas ikan karang hidup khususnya kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) pada tahun 2002 saja telah mencapai 35.000 ton. Dari jumlah tersebut, realisasi ekspor ikan hidup Indonesia pada periode Januari-April 2002 mencapai 24.050.819 kg dengan nilai 23.932.157 US$ (DKP, 2003). 2.3 Teknologi Penangkapan Ikan Karang Teknologi mengandung dua dimensi, yaitu ilmu pengetahuan dan (science) dan rekayasa (engineering), dimana keduanya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Teknologi dapat berupa teknik, metoda atau cara serta peralatan yang dipergunakan untuk menyelenggarakan pelaksanaan suatu rancangan transformasi input menjadi output, dengan sasaran tertentu yang didasarkan atas hasil science dan engineering tercapai (Sewoyo, 2001). Merujuk pada defenisi di atas maka yang dimaksud dengan teknologi penangkapan ikan karang adalah seluruh teknik, metoda atau cara serta peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan karang. penangkapan ikan karang dapat dikategorikan
Teknologi
ke dalam dua kelompok
berdasarkan dampak negatif yang diakibatkan oleh pengoperasian alat tangkap, yaitu legal fishing dan destructive fishing.
11
2.3.1 Legal Fishing 1) Bubu (Trap) Perikanan bubu sudah sejak lama dikenal oleh nelayan terutama dipergunakan untuk menangkap ikan karang.
Teknologi penangkapan ikan
dengan menggunakan bubu dilakukan di hampir seluruh dunia mulai dari yang skala kecil hingga skala besar. Perkembangan usaha perikanan dengan alat tangkap bubu yang sangat pesat disebabkan banyaknya keistimewaan yang dimiliki oleh alat tangkap ini, antara lain : (1) Pembuatan alat yang mudah dan murah, (2) Pengoperasiannya mudah, (3) Kesegaran hasil tangkapan bagus, dan (4) Tidak merusak sumberdaya baik dari sisi ekologi maupun teknis (Monintja dan Martasuganda, 1990). Bubu merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan dapat dibuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rotan netting), anyaman kawat (wire netting), plastik dan bahan jaring (Brandt, 1984; Subani dan Barus, 1989). Bentuk bubu sangat beraneka ragam, ada yang segi empat, trapesium, silider, lonjong, bulat setengah lingkaran, persegi panjang atau bentuk lainnya. Model bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang merupakan target tangkapan maupun kebiasaan atau pengetahuan sang operator. Secara umum konstruksi bubu terdiri dari rangka, badan dan pintu masuk, kemudian ada juga yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan (Martasuganda, 2003). Menurut Martasuganda (2003), penentuan daerah penangkapan ikan dengan menggunakan bubu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan tentang keberadaan ikan diperairan, sedangkan faktor oseanografi tidak mempengaruhi secara signifikan. Pemasangan bubu di perairan dapat dilakukan dengan sistem tunggal (dipasang satu demi satu) dan sistem beruntai (pemasangan system rawai).
Waktu pemasangan (setting) dan pengangkatan
(hauling) sangat
fleksibel tergantung dari nelayan yang mengoperasikannya. Antara pemasangan alat dengan pengangkatan alat, ada waktu jeda yang umum disebut waktu perendaman (soaking). Lama perendaman bubu (soaking) diperairan bervariasi antara satu malam sampai tujuh hari. Monintja dan Martasuganda (1990) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap pada bubu. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah tertarik oleh bau umpan, dipakai
12
sebagai tempat berlindung, sebagai tempat istrirahat sewaktu ikan bermigrasi dan adanya sifat thigmotaxis ikan itu sendiri. Sifat thigmotaxis adalah sifat ikan yang selalu ingin mengetahui suatu benda asing yang ada disekitarnya, sehingga ikan cenderung untuk menyentuhkan diri pada alat tersebut (Gunarso, 1995). Berdasarkan hasil penulusuran kepustakaan yang dilakukan, beberapa daerah-daerah yang dominan
menggunakan
alat
tangkap
bubu
untuk
menangkap ikan karang, yaitu Kepulauan Seribu (Marliana, 2004), Tanjung Manimbaya-Donggala (Rumajar, 2001), dan Kepulauan Kei-Maluku Utara (Sarmintohadi, 2002). 2) Pancing (Line) Pancing merupakan alat penangkap ikan yang paling banyak digunakan oleh nelayan di Indonesia. Berbagai modifikasi yang disesuaikan dengan lokasi dan tujuan penangkapan dilakukan untuk memperoleh hasil penangkapan yang diharapkan.
Dua jenis pancing yang biasanya digunakan nelayan untuk
menangkap ikan karang adalah rawai dasar dan handline. Bagian-bagian utama dari handline terdiri atas roller, tali pancing dan mata pancing. Selain tiga komponen tersebut dalam pengoperasian handline digunakan bantuan umpan dan pemberat. Konstruksi handline dapat mengalami modifikasi dengan tambahan tali cabang (branch line) dan swivel/kili-kili yang merupakan penghubung antara tali pancing/tali utama dengan tali cabang. Modifikasi
konstruksi
umumnya
dilakukan
untuk
memperbesar
peluang
tertangkapnya ikan. Prinsip pengoperasian pancing ulur (handline) adalah memikat ikan menggunakan umpan yang dikaitkan pada kail. Ikan yang memakan umpan tersebut akan tersangkut pada kail. Secara umum dalam setiap pengoperasian handline, dilakukan empat tahapan kegiatan.
Pertama: Persiapan di atas
perahu, meliputi kegiatan persiapan dan pemeriksaan kelayakan operasi pancing ulur. Kedua: Penurunan (setting) alat tangkap di dasar perairan yang didahului pemasangan umpan pada mata pancing. Ketiga: Perendaman (soaking) pancing selama beberapa saat dan Keempat: penarikan pancing (hauling) ke atas perahu. Rawai merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang terdiri atas rangkaian tali utama (mainline), tali cabang (branch line), tali pelampung (float line), mata pancing (hook), bendera, pemberat, jangkar serta pelampung (Ayodhyoa, 1981).
13
Rawai perairan karang adalah tipe rawai yang digunakan pada perairan yang dasarnya terdapat terumbu karang atau bebatuan yang memungkinkan mata pancing mudah tersangkut atau terbelit di karang. Pada rawai perairan karang terdapat modifikasi pada bahan tali cabang (branch line), yaitu tali cabang yang dibungkus dengan bahan kuralon sehingga posisi tali cabang tegak secara vertikal. Modifikasi ini dapat mengurangi peluang tersangkutnya mata pancing pada terumbu (Subani dan Barus, 1989). Prinsip pengoperasian rawai dasar serupa dengan long line, yaitu memanfaatkan umpan sebagai sarana untuk menarik perhatian ikan yang akan di tangkap. Hanya saja operasi penangkapan ikan dengan longline umumnya dilakukan dengan cara menghanyutkan pancing (drift longline) sedangkan pada rawai dasar, alat tangkap dipasang secara permanen/menetap di perairan. Salah satu daerah di Indonesia yang diidentifikasi menggunakan alat tangkap rawai dasar dalam penangkapan ikan karang adalah perairan TamakoSulawesi Utara (Rawung, 1999). 3) Jaring Insang Dasar (Gillnet) Jaring insang merupakan suatu jenis alat penangkap ikan yang terbuat dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dimana mata jaring dari bagian utama ukurannya sama, jumlah mata jaring kearah panjang atau kearah horizontal mesh length (ML). Bagian atas jaring dilengkapi dengan beberapa pelampung (float)
dan bagian bawah dilengkapi dengan beberapa pemberat
(sinker). Kombinasi antara pelampung dan pemberat menghasilkan gaya yang berlawanan sehingga memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak (Martasuganda, 2003) Bagian utama gillnet dasar terdiri atas badan jaring (webbing), pelampung (floating) dan pemberat (sinker). Gillnet dasar dioperasikan di dasar perairan berkarang
dengan
tujuan
penangkapan
ikan-ikan
karang.
Metode
pengoperasian gillnet dasar adalah dengan cara menghadang arah pergerakan ikan.
Jaring dibentangkan di dasar perairan selama beberapa saat sebelum
diangkat untuk melepaskan hasil tangkapan.
14
2.3.2 Destructive Fishing Kondisi ekosistem terumbu karang memiliki korelasi positif dengan jumlah dan jenis ikan yang ada pada ekosistem tersebut.
Luas terumbu karang di
Indonesia merupakan yang terbesar di dunia mencapai 51.020 kilometer persegi, tetapi kondisi terumbu karang tersebut sangat memprihatinkan.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh LIPI tahun 1996, kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi rusak sekitar 39,5%, dalam kondisi sedang sekitar 33,5%, kondisi baik 21,7% dan hanya 5,3% dalam kondisi sangat baik. Penyebab terjadinya kerusakan karang tidak hanya disebabkan dampak dari perubahan alam seperti perubahan iklim, namun juga disebabkan oleh aktifitas manusia dalam praktek-praktek perikanan yang merusak (destruktif fishing) seperti eksploitasi berlebih dan teknik penangkapan perikanan yang tidak ramah lingkungan. Kegiatan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) telah lama dikenal di dunia.
Umumnya perikanan yang destruktif menggunakan
peralatan/bahan pembius untuk melumpuhkan ikan.
Brant (1984) telah
mengelompokkan keseluruhan metode penangkapan ikan ke dalam 16 kelompok besar, salah satu diantaranya adalah penangkapan ikan dengan menggunakan paralatan/bahan pembius (stupefying devices).
Prinsip penangkapan ikan
dengan cara ini adalah melumpuhkan ikan melalui serangkaian kegiatan pembiusan. Kelompok ini dapat dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan teknik yang digunakan dalam melumpuhkan ikan, yaitu (1) metode melumpuhkan secara mekanis (mechanical stupefying), (2) metode melumpuhkan secara kimiawi (chemical stupefying) dan (3) melumpuhkan dengan listrik (electrical stupefying). Metode penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (blast fishing) tergolong dalam mechanical stupefying, sedangkan penangkapan ikan dengan menggunakan racun ikan (ichtyotoxic materials) baik tumbuhan (ichtyotoxic plants), hewan maupun bahan kiimia sintesis merupakan contohcontoh dari metode melumpuhkan secara kimiawi.
15
1)
Blast Fishing Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (blast fishing)
telah dikenal lebih dari 50 tahun yang lalu dan termasuk salah satu metode penangkapan ikan tradisional.
Teknik penangkapan dengan menggunakan
bahan peledak diadopsi dari tentara Jepang pada masa perang dunia ke dua. Metode ini dianggap sebagai cara yang lebih efektif dan efisien untuk menangkap kawanan ikan.
Beberapa dasawarsa terakhir, sejalan dengan
semakin menurunnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan di hampir seluruh perairan pantai telah mendorong dijadikannya metode ini sebagai alternatif untuk memperoleh tangkapan (Pet-Soede et al., 1999). Material yang digunakan sebagai bahan pembuat bom pada mulanya berasal dari sisa-sisa amunisi perang dunia yang diperoleh dari bunker-bunker yang digali.
Saat ini, nelayan umumnya menggunakan bahan peledak yang
dirakit sendiri dari campuran pupuk sintesis, seperti ammonium nitrat (NH4NO3) atau kalium nitrat (KNO 3) dengan minyak tanah dan belerang. Ketiga bahan tersebut dimasukkan ke dalam botol bekas kaleng minuman dan dilengkapi dengan sumbu yang terbuat dari pintalan benang. Nelayan di Kepulauan Togean biasa menyebut metode penangkapan ikan dengan bahan peledak dengan sebutan “Babom”. Bahan baku utama bahan peledak adalah pupuk tanaman cap Matahari dan Obor yang didapat secara terselubung. Bahan lainnya adalah korek api, bola lampu senter dan botol kaca bekas minuman suplemen.
Tiap kelompok nelayan yang biasa babom
sanggup membuat 10 hingga 20 botol bom ikan siap pakai dalam sekali melaut. Nelayan yang biasa menggunakan peledak untuk mencari ikan (babom) sangat lihai dalam merakit bom mulai dari yang sederhana (dilempar) maupun menggunakan detonator. Selain menggunakan pupuk sintesis sebagai bahan dasar pembuatan bom, nelayan kadang-kadang menggunakan dinamit dalam penangkapan ikan. Dinamit ini diperoleh dari oknum polisi, militer, perusahaan-perusahaan pertambangan, atau pekerja-pekerja proyek pembangunan
jalan/jembatan
sebagai (Pet-Soede et al., 1999). Blast fishing dianggap sebagai suatu tindakan manusia paling merusak yang tidak saja berdampak negatif terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang dan eksistensi organisme yang ada disekitarnya namun juga sangat berbahaya bagi operator.
16
Kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh ledakan di bawah air terhadap kehidupan di perairan telah menjadi subyek penelitian selama lebih dari 50 tahun terakhir ini. Menurut Pet-Soede dan Cesar (1999), laju kehancuran karang hidup akibat ledakan mencapai 3,7 m2 per 100 m2, jauh lebih besar dari kemampuan karang untuk meregenerasi diri.
Multiplier effect yang diakibatkan
oleh ledakan bahkan bisa lebih besar dari dampak kerusakan pengeboman itu sendiri yang hanya mencapai radius 2,5 m atau setara dengan 19,6 m 2 luas area karang yang terpengaruh (Pet-Soede et al., 2000). Salah satu efek turunan dari blast fishing yang paling serius adalah tidak dapat tumbuhnya koloni karang baru pada area serpihan-serpihan karang yang terbentuk akibat ledakan.
Kerangka-kerangka karang dan puing-puing yang
tidak stabil menghalangi dan mencegah terjadinya kolonisasi.
Akibat dari
keadaan ini adalah terjadinya tekanan terhadap area karang yang masih sehat disekitar area ledakan sehingga berpotensi menimbulkan kehancuran ekosistem terumbu karang (Mc. Manus et al., 1997). Ditinjau dari perspektif asosiasi ekologis, kerusakan terumbu karang yang akibat ledakan tidak dapat difungsikan lagi sebagai tempat berlindung, mencari makan dan memijah bagi organisme-organisme laut.
Dari sisi ekonomis,
hamparan terumbu karang yang telah hancur akan kehilangan daya tarik dari sudut pandang pariwisata. Keadaan ini akan sangat merugikan mengingat pengembangan sector wisata pantai/karang dapat mendatangkan pendapatan alternative yang cukup besar bagi masyarakat setempat dan merupakan sumber devisa negara (Pet-Soede et al., 1999). Dampak negatif penggunaan blast fishing dapat diidentifikasi secara jelas pada bagian-bagian tubuh ikan yang tertangkap. Umumnya terjadi kerusakan pada tubuh ikan yang ditangkap dengan menggunakan bom sebagai akibat dari terjadinya gelombang kejut yang terbentuk dari ledakan bawah air. Tingkat kerusakan tergantung pada sejumlah faktor, seperti kekuatan ledak, jarak ikan dari titik ledak, jenis dan ukuran ikan serta kedalaman kolom air dan dasar perairan. Ikan-ikan yang berada di dekat pusat ledakan mati secara cepat oleh gelombang kejut, sementara yang berada pada jarak yang lebih jauh menderita kerusakan yang lebih ringan. Berdasarkan pada faktor-faktor tersebut, ikan yang terkena ledakan tidak segera
mengalami kematian namun beberapa saat
setelahnya akan mengalami kematian.
17
2) Racun Penggunaan racun dalam penangkapan ikan telah dikenal sejak tahun 1500-an dengan digunakannya racun tumbuhan untuk menangkap ikan. Berbagai jenis tumbuhan seperti Loncho carpu, Amanirta cocolus, Strychonus nuxvomica, Serrasalmus sp., Derris elliptica, D. uliginosa dan D. laganesis di Indonesia dan Malaysia dikenal dengan sebutan “tuba” telah sejak lama digunakan sebagai racun ikan. Dalam perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1700-an bahan kimia sintesis mulai digunakan untuk penangkapan ikan. Bahan kimia pertama yang digunakan untuk menangkap ikan adalah kapur yang dilarutkan dalam air kemudian dituangkan ke dalam perairan. Ikan yang ada di tempat tersebut akan terbius oleh sifat basa dari kapur. Bahan kimia lain yang pernah digunakan sebagai racun ikan antara lain senyawa tembaga-sulfat (copper vitriol), natrium hipoklorit dan sianida, baik yang bersenyawa dengan natrium dan kalium. Unsur yang disebutkan terakhir merupakan material yang paling popular digunakan nelayan dalam penangkapan ikan dan dikenal dengan sebutan potasium. Penangkapan ikan dengan menggunakan sianida umumnya dilakukan di perairan terumbu karang dengan cara menyemprotkan botol-botol berisi sianida ke dalam gua-gua karang tempat persembunyian ikan tersebut. Dalam operasi penangkapan ikan ini, nelayan menggunakan kompresor sebagai alat bantu dalam melakukan penyelaman.
Teknik
lain telah dilakukan oleh nelayan
Kepulauan Togean dengan cara menebarkan butiran-butiran potas pada lokasi terumbu karang yang diperkirakan gudang persembunyian ikan. Penggunaan racun sebagai sarana penangkapan ikan mulai marak sejak terjadinya peningkatan permintaan ikan hidup untuk komoditas ikan karang. Prinsip kerja racun yang hanya bersifat temporer dianggap sebagai solusi tepat dalam menyediakan ikan hidup.
Padahal ditinjau dari sisi ekologis/lingkungan
maupun biologis ikan, penggunaan racun khususnya sianida kemungkinan memberikan dampak negatif. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa paparan racun sianida (zooxanthellae) yang bersimbiosis pada hard coral pada tingkatan seperti yang terjadi pada cyanide fishing menyebabkan terjadi pemutihan (bleaching) atau matinya polip-polip karang tersebut (Jones and Steven, 1997).
Pemutihan
karang tersebut disebabkan oleh pengaruh racun sianida terhadap proses fotosintesis dari gangggang zooxanthellae (Jones and Hoegh-Guildberg, 1999).
18
Namun demikian toksitas racun sianida terhadap karang pada kondisi percobaan ini tidak membuktikan tingkat degradasi yang terjadi pada terumbu karang. Hal ini disebabkan laju kematian (kehilangan) karang akibat paparan sianida mungkin lebih kecil dari laju pertumbuhan alami dari karang itu sendiri, atau mungkin pada kondisi alamiah air di laut, sianida terbawa begitu cepat oleh arus air sehingga menimbulkan paparan terhadap area karang yang lebih luas (Jones and Steven, 1997). Hasil
pendugaan
beberapa
peneliti
mengenai
tingkat
degradasi
penutupan karang di Indonesia aakibat cyanide fishing berkisar antara 0,05-0,06 m 2 per 100 m2 per tahun. Estimasi tingkat degradasi karang ini lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan kepulihan alami karang (Mous, 2000).
Oleh
karena itu, asumsi bahwa cyanide fishing untuk perdagangan ikan hidup bukan ancaman terhadap kelestarian terumbu karang mengkin saja timbul, terutama bila dibandingkan dengan degradasi karang yang diakibatkan oleh blast fishing yang diduga mencapai kisaran 3,7 m2 per 100 m2 per tahun (Pet-Soede et al., 1999). Dipandang dari sisi biologis ikan, penggunaan racun dalam penangkapan dapat mempertinggi tingkat mortalitas ikan akibat resistensi terhadap racun yang rendah serta akibat pemangsaan yang merupakan dampak turunan dari penggunaan racun. Sianida merupakan salah satu bahan kimia yang paling beracun. Ikan diperkirakan mempunyai kepekatan terhadap sianida seribu kali lebih tinggi dari manusia.
Konsentrasi sianida di bawah tingkatan yang mematikan dapat
menimbulkan respon psikologis dan patologis berupa berkurangnya kemampuan berenang, gangguan terhadap kemampuan bereproduksi dan dapat mengarah ke munculnya keturunan yang cacat. Selain itu ikan-ikan yang telah terkena sianida juga rentan terhadap serangan pemangsa karena pergerakannya di dalam air menjadi lambat (Eisler, 1991).
Toksitas sianida terhadap ikan
meningkat 3 kali lipat dengan menurunnya temperature air 12oC. Selain itu, keberadaan ion khlorida dengan konsentrasi sekitar 17,0 ppt dapat menurunkan kemampuan bertahan hidup (survival rate) pada ikan yang terkena sianida (Hynes, 1998). Terjadinya pencemaran sianida dalam volume besar yang pernah terjadi di Jepang akibat bobolnya tanggul penampungan limbah yang mengandung sianida mungkin bisa dijadikan ilustrasi tentang dampak sianida
terhadap
19
organisme-organisme perairan.
Pada kasus tersebut limbah menutupi aliran
sungai sepanjang 10 km dari sumber pencemaran. Polutan tersebut membunuh semua biota sepanjang aliran sungai. Kondisi perairan baru mulai pulih setelah 6-7 bulan kemudian (Yasuno, 1981). 2.4 Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Perikanan Tangkap Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future (Masa Depan Bersama) yang disiapkan oleh World Commision on Enviroment and Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) pada tahun 1987 (Mitchell, 1997).
Definisi pembangunan
berkelanjutan menurut komisi tersebut adalah pembangunan
yang dapat
memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Mitchell, 1997; Maryunani, 1998). Definisi lain dari pembangunan berkelanjutan yang lebih komperhensif dikemukakan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal pada tahun 1997
sebagai
development)
berikut:
Pembangunan
yang
berkelanjutan
(sustainable
merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi, orientasi
pengembangan teknologi dan perubahan institusi adalah suatu proses yang harmonis dan menjamin potensi masa kini dan masa akan datang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manuasia Beranjak dari defenisi yang telah diungkapkan tersirat adanya dimensi ekonomi serta lingkungan sebagai faktor pembatas untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam perspektif perikanan tangkap, Monintja (2000) telah menderivasikan pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kriteria usaha perikanan yang berkelanjutan sebagai berikut: (1) Menerapkan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan; (2) Jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah yang diperbolehkan; (3) Kegiatan usaha menuntungkan; (4) Investasi rendah; (5) Penggunaan bahan bakar minyak rendah; (6) Memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
20
Menurut Monintja (2000), perlu ada pertimbangan dalam pemilihan suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan usaha perikanan. Pertimbangan dimaksud salah satunya adalah
teknologi
penangkapan ikan
ramah lingkungan. Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, yaitu: (1) Selektivitas alat tangkap yang digunakan tinggi; (2) Teknologi yang digunakan tidak merusak habitat (3) Teknologi penangkapan ikan tidak berbahaya terhadap nelayan (operator); (4) Produk yang dihasilkan tidak membahayakan terhadap kesehatan konsumen; (5) Hasil tangkapan sampingan (by catch) dan yang terbuang (discard) minimum . 2.5 Review Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Manajemen
perikanan
bertujuan
untuk
melakukan
pengelolaan
sumberdaya secara optimal dengan memperhatikan berbagai aspek yang berpengaruh. Ada berbagai pendapat mengenai manajemen perikanan ditinjau dari berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, teknis maupun sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan kriteria sumberdaya dapat dilakukan dengan cara penetapan musim atau penutupan daerah penangkapan secara atau sementara untuk membatasi ukuran dan umur ketika ditangkap. Penutupan musim haruslah didasarkan atas bukti-bukti ilmiah yang dapat membuktikan kondisi musim yang sedang terjadi. Selanjutnya Panayotou memberikan pendekatan penetapan jumlah kapal, quota untuk membatasi jumlah upaya penangkapan serta jumlah ikan yang ditangkap.
Langkah
implementasi tersebut dapat ditempuh melalui (1) pengelolaan sumberdaya dengan penetapan pajak; (2) subsidi; (3) pembatasan impor; dan (4) promosi ekspor. Menurut Anderson (1995) seperti dikutip Satria (2001) paling tidak ada dua kategori sistem pengelolaan penangkapan ikan, yaitu: (1) Pembatasan input yang terdiri atas jumlah pelaku, jumlah dan jenis kapal, serta jenis alat tangkap, (2) Pembatasan output, dalam hal pembatasan jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan quota. Pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan dengan dua pendekatan (Ditjen Bangda, 1999), yaitu pengelolaan berbasis pemerintah dan pengelolaan berbasis masyarakat.
Kedua pendekatan tersebut memiliki keunggulan dan
21
kelemahan masing-masing.
Gabungan dari kedua pendekatan tersebut
dinamakan co management. Konsep co management diperlukan untuk menambah keberhasilan manajemen
pengelolaan
sumberdaya
perikanan
karena
keberhasilan
manajemen sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dan partisipasi pemegang kepentingan (Pomeroy and Williamns, 1994 dalam Nikijuluw, 2002). Ahli lain yaitu Beddington dan Retting (1983) dalam Nikijuluw (2002) berpendapat bahwa kegagalan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah strategi pendekatan yang bersifat parsial atau hanya tertuju pada strategi tertentu.
Menurutnya
pengelolaan harus dilakukan secara menyeluruh dengan mengimplementasikan beberapa pendekatan.
Pilihan manajemen perikanan yang dipilih sangat
tergantung pada kekhasan, situasi dan kondisi perikanan yang dikelola serta pengelolaan (Nikijuluw, 2002).
3 METODOLOGI
3.1 Pemilihan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama 5 bulan, mulai bulan Agustus 2004 sampai Januari 2005, berlokasi di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat (Gambar 2). Sehubungan dengan banyaknya jumlah pulau yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat, maka fokus penelitian dilakukan di salah satu kepulauan di kabupaten tersebut, yaitu Distrik Ayau yang terdiri atas 5 desa yaitu: (1) Meosbekwan, (2) Dorekhar, (3) Yenkawir, (4) Rutum dan (5) Reni. Pemilihan Kepulauan Ayau sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan berikut: (1) Secara geopolitik dan geostrategik, Kepulauan Ayau memiliki posisi yang sangat penting karena merupakan salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan Negara Palau; (2) Secara biogeofisik Kepulauan Ayau memiliki potensi yang mendukung; (3) Merupakan daerah baru yang membutuhkan masukan-masukan berbagai pihak dalam perencanaan pembangunan daerah; dan (4) Memiliki aksesibilitas yang baik dalam mendukung pelaksanaan penelitian.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Kepulauan Ayau
23
24
3.2 Penggunaan Peralatan Peralatan-peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis, alat pengukur panjang, kamera dan
tape recorder.
Untuk keperluan
mobilisasi saat pelaksanaan penelitian digunakan kendaraan bermotor dan perahu. 3.3
Metode Pengumpulan Data Dalam rangka
mencapai tujuan yang diinginkan ditempuh cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan. Cara kerja yang dilakukan menggunakan metode survey dan studi pustaka. Rincian metode pengumpulan data disajikan sebagai berikut: (1) Studi pustaka Studi pustaka dilakukan untuk inventarisasi data sekunder. Pengumpulan data sekunder dimulai dari
tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga
tingkat departemen teknis. Pengumpulan bahan pustaka juga dilakukan di lembaga-lembaga penelitian. Tinjauan terhadap data sekunder dan informasi dilakukan untuk mengetahui gambaran kualitatif dan kuantitatif terhadap obyek yang diperlukan. (2) Diskusi/Wawancara Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan tanya jawab kepada responden dengan bantuan daftar pertanyaan dan alat tulis. Diskusi atau wawancara dilakukan terhadap pemangku kepentingan (stake holder) yang berkompeten terhadap penelitian ini seperti pemerintah daerah, dinas kelautan dan perikanan, Bappeda, nelayan, ketua kelompok/kelembagaan dan pengusaha perikanan. (3) Survey lapangan Pengamatan di lapangan yang dilakukan bertujuan melihat kondisi aktual dari obyek yang diteliti, sekaligus menguji data dan informasi formal kepustakaan yang diperoleh.
25
3.4 Jenis Data Data yang dikumpulkan berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung sesuai dengan tujuan studi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang nelayan masing-masing kampung yang dipilih secara
purposive
keterwakilan data.
berdasarkan
pertimbangan
kemudahan
akses
dan
Kriteria keterwakilan data yang digunakan antara lain
mewakili tiap jenis alat tangkap. Wawancara juga dilakukan terhadap kepala desa dan 3 orang pedagang pengumpul yang memiliki afiliasi langsung dengan eksportir komoditas ikan karang.
Pemilihan kepala desa sebagai obyek wawancara sangat strategis
karena peran pendataan hasil pembelian komoditas ikan karang berada dalam otoritas kepala desa. Berikut data-data primer yang dikumpulkan selama penelitian: Tabel 2. Data primer yang dikumpulkan selama penelitian No
1
Jenis Data Gambaran unit penangkapan ikan di Kepulauan Ayau
Gambaran kegiatan 2 perikanan/pengolahan, serta sosial ekonomi masyarakat Kepulauan Ayau Produksi ikan karang jenis napoleon 3 dan kerapu
Sumber Wawancara dengan nelayan dan observasi langsung terhadap operasi penangkapan Wawancara dengan nelayan, ketua lembaga masyarakat dan kepala desa Wawancara dengan pedagang pengumpul, plasma dan kepala desa
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari suatu sumber publikasi (pihak lain yang mengumpukan dan mengolahnya).
Data sekunder yang
dikumpulkan berupa laporan–laporan resmi yang dipublikasikan atau yang tidak dipublikasikan oleh instansi–instansi dan lembaga–lembaga pemerintah maupun swasta. Lembaga tersebut antara lain Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat dan, Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sorong serta Departemen Kelautan dan Perikanan. Sebagian besar data sekuder yang dikumpulkan masih dikumpulkan dari instansi-instansi Kabupaten Sorong. Sistem birokrasi dan administrasi Kabupaten Raja Ampat yang belum berjalan normal menyebabkan hal tersebut.
26
Tabel 3. Data sekunder yang dikumpulkan selama penelitian No
Jenis Data
Potret 1 tahun Kabupaten Raja Ampat Kondisi umum Kabupaten Raja 2 Ampat Data dasar aspek sosial terumbu 3 karang Indonesia UU Nomor 26 Tahun 2002 tentang 4 Pembentukan Kabupaten Raja Ampat 1
3.5
Tahun Penerbitan
Sumber
2004
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat
2003
BPS Kabupaten Sorong
2002
COREMAP LIPI
2002
Bagian Hukum, Setda. Kabupaten Raja Ampat
5
Rencana Strategis Dinas Kelautan & Perikanan
2002
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat
6
Laporan umum hasil penelitian RAP di Kepulauan Raja Ampat
2001
Conservation International Indonesia
7
Laporan penelitian hukum dan sasi di Kepulauan Raja Ampat
1996
Fakultas Hukum, Universitas Cenderawasih
8
Laporan Tahunan Dinas Kelautan & Perikanan
2001-2002
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sorong
Analisis Data Untuk mencapai tujuan penelitian berupa rancangan strategi pengelolaan
perikanan karang untuk pemanfaatan berkelanjutan, dilakukan langkah-langkah analisis permasalahan melalui data-data ataupun informasi yang telah dikumpulkan.
Tahapan analisis yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu (1)
evaluasi pengelolaan perikanan karang dan (2) penetapan strategi pengelolaan perikanan berkelanjutan 3.5.1 Evaluasi Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang Evaluasi pengelolaan perikanan karang dilakukan dalam rangka memahami kondisi aktual (existing condition) pemanfaatan sumberdaya ikan karang di daerah kajian. Out put yang dihasilkan pada akhir evaluasi adalah penetapan nilai indeks keberlanjutan atas status pemanfaatan sumberdaya.
Metode
evaluasi yang dilakukan menggunakan pendekatan sustainability checklist. Ada lima indikator utama yang digunakan sebagai parameter penilaian, yaitu: (1) keberlanjutan secara ekologi; (2) keberlanjutan secara sosial-kemasyarakatan (3) keberlanjutan secara teknologi (4) keberlanjutan secara ekonomi; dan (5) keberlanjutan secara kelembagaan.
Masing-masing indikator diderivasikan
27
menjadi atribut-atribut yang lebih spesifik. Berikut sajian matriks sustainability checklist yang digunakan berikut parameter-parameter yang digunakan Tabel 4. Kriteria dan indikator penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau Kriteria
Nilai
Baik
Buruk
Keterangan
Ekologi •
Status penangkapan
0-2
2
0
•
Ukuran ikan tangkapan
0-2
2
0
•
Keragaman ikan yang tertangkap
0-2
2
0
•
Ikan yang dibuang/tidak dimanfaatkan
0-2
2
0
•
Kualitas lingkungan
0-2
2
0
(0); tingkat pemanfaatan sangat tinggi (>MSY) (1); Mendekati tingkat eksploitasi maksimum (2); Dibawah tangkapan yang diperbolehkan (
100%) (2) Ikan yang dibuang sangat sedikit (0-10%) (1) Ikan yang dibuang relatif banyak (10-40%) (0) Ikan yang dibuang sangat banyak (>40 %) (2) tidak ada bukti kerusakan lingkungan (1) Ada beberapa bukti kerusakan lingkungan (0) Ada bukti kerusakan yang sangat parah
Teknologi •
Lama trip
0-2
2
0
•
Fishing base
0-2
2
0
•
Penanganan ikan sebelum dijual
0-2
2
0
•
Penanganan di atas kapal
0-2
2
0
•
Alat tangkap
0-2
2
0
•
Selektivitas alat
0-2
2
0
•
Ukuran kapal (LOA)
0-2
2
0
•
Catching power
0-2
2
0
•
Efek penggunaan alat tangkap
0-2
2
0
(2) one day fishing (1) 2-4 hari/trip (0) >5hari/trip (2) Banyak lokasi pendaratan (1) Lokasi pendaratan terpusat (0)Tidak ada tempat pendaratan khusus (0) Ikan langsung dijual ke pengumpul (1) Ikan dipelihara dalam keramba (2) Ikan dipelihara ditempat khusus yang diisolasi (2) Ikan ditempatkan pada tangki hidup (1) Ikan ditempatkan pada ember/baskom (0) Ikan ditempatkan dalam plastik (0) Dominan alat tangkap aktif (1) Jumlah alat aktif = alat pasif (2) Dominan alat pasif (0) Tidak Ada upaya meningkatkan selektivitas alat (1) Ada beberapa upaya meningkatkan selektivitas alat tangkap (2) Ada banyak upaya upaya meningkatkan selektivitas alat tangkap (0) >10 m (1) 5-10 m (2) <5 m (0) Tidak ada nelayan yang mengubah alat dan kapal untuk meningkatkan tangkapan Sangat sedikit nelayan yang mengubah alat dan kapal untuk meningkatkan tangkapan (1) Ada beberapa nelayan yang mengubah alat dan kapal untuk meningkatkan tangkapan (2) Banyak nelayan yang mengubah alat dan kapal untuk meningkatkan tangkapan (0) Perikanan didominasi oleh praktek perikanan yang destruktif (1) Teknik penangkapan dapat merusak (2) Teknik penangkapan yang digunakan tidak destruktif
28
Tabel 4. (lanjutan) Kriteria
Nilai
Baik
Buruk
Keterangan
Sosial-kemasyarakatan •
Pola pemanfaatan sumberdaya
• Pemahaman lingkungan
0-2
2
0
0-2
2
0
•
Tingkat pendidikan
0-2
2
0
•
Status konflik
0-2
2
0
•
Pendapatan dari kegiatan penangkapan
0-2
0
2
•
Partisipasi keluarga dalam usaha perikanan
0-2
2
0
(0); Pemanfaatan dilakukan oleh keluarga (1); Pemanfaatan dilakukan secara bersama-sama dalam suatu komunitas (2); Pemanfaatan dilakukan oleh individu atau komunitas untuk kepentingan perusahaan (0); Pemahaman terhadap lingkungan dan ekosistem tidak ada (1); Pemahaman terhadap lingkungan dan ekosistem sangat sedikit (2); Pemahaman terhadap lingkungan dan ekosistem sangat baik (0); Persentase masyarakat yang mengenyam pendidikan < rata-rata populasi (1); Persentase masyarakat yang mengenyam pendidikan = rata-rata populasi (2); Persentase masyarakat yang mengenyam pendidikan > rata-rata populasi (2) Tidak ada konflik pemanfaatan sumberdaya (1) Ada sedikit konflik pemanfaatan sumberdaya (0) Konflik pemanfaatan sumberdaya yang terjadi telah menggangu aktivitas pemanfaatan (0) > 80 % (1) 50-80 % (2) Pendapatan kegiatan penangkapan < 50 % pendapatan total keluarga (0) Sangat sedikit anggota keluarga yang terlibat (12 orang) (1) Jumlah anggota keluarga yang terlibat relatif banyak (3-5 orang) (2) Seluruh anggota keluarga terlibat dalam usaha pemasaran/pengolahan hasil tangkapan
Ekonomi •
Profitabilitas
0-2
2
0
•
Rata-rata pendapatan
0-2
2
0
•
Aturan perdagangan
0-2
2
0
•
Sifat aktivitas penangkapan
0-2
2
0
•
Status kepemilikan/transf er keuntungan
0-2
2
0
•
Pasar
0-2
2
0
(2) Sangat menguntungkan; B/C ratio > 1 (1) Break even (0) Merugi; B/C ratio < 1 (0) Pendapatan nelayan sangat rendah dibandingkan rata-rata penduduk (1) Pendapatan nelayan sama dengan pendapatan rata-rata penduduk (2) Pendapatan nelayan lebih besar dibandingkan rata-rata penduduk (2) Tidak ada aturan perdagangan komoditas (1) Ada sedikit peraturan perdagangan tentang komoditas (0) Perdagangan komoditas sangat ketat (2) Insidentil/tiba-tiba (1) Musiman (0) Seharian (full time) (0) Keuntungan kegiatan tidak digunakan untuk kepentingan masyarakat lokal (1) Sebahagian keuntungan digunakan untuk kepentingan masyarakat lokal dan lainnyal (2) Seluruh keuntungan digunakan untuk kepentingan lokal (0) Pemasaran komoditas bersifat lokal (1) Pemasaran komoditas bersifat domestik (2) Pemasaran komoditas berorintasi ekspor
29
Tabel 4. (lanjutan) Kriteria
Nilai
Baik
Buruk
Keterangan
Kelembagaan •
Efektivitas manajemen
0-2
2
0
• Kearifan lokal
0-2
2
0
0-2
2
0
•
Pengawasan
Penetapan
indeks
(0); Peraturan dan regulasi pemerintah tidak diikuti (1); Peraturan dan regulasi pemerintah diikuti tetapi masih belum total (2); Peraturan dan regulasi pemerintah diikuti secara total (0); Kearifan lokal tidak dikuti (1); Kearifan lokal dikuti, namun dengan beberapa pengecualian (2); Kearifan lokal dikuti secara total (0); Tidak ada pengawasan terhadap pelaksanaan aturan yang ditetapkan (1); Ada pengawasan terhadap pelaksanaan aturan yang ditetapkan, namun frekuensinya jarang (2); Pengawasan dilakukan secara total terhadap pelaksanaan aturan yang ditetapkan
keberlanjutan
didasarkan
pada
akumulasi
dari
keseluruhan nilai pada masing-masing indikator yang sebelumnya telah distandardisasi dengan menggunakan bobot. Secara matematik, rumusan umum dari indeks keberlanjutan dirumuskan sebagai berikut:
I K = ∑ I Eco + ∑ I Tek + ∑ I Sec + ∑ I Ek ∑ I KL ................................................ (1) karena masing-masing indikator terdiri atas atribut-atribut yang lebih spesifik dan memiliki sistem nilai serta pembobotan yang berbeda-beda, maka rumusan indeks keberlanjutan menjadi: n
Ik =
n
∑ VECo × WECo ∑VTec i
i =1
i
+
n
∑WECO
i =1
i =1
n
i
× WTeci
∑WTec
n
+
∑VSec i =1
i= 1
n
i
× WSec i
∑ WSec i =1
n
+
∑VEk i= 1
n
i
× WEk i
∑WEk i= 1
n
∑ VKl
i
i =1
× WKl i
..... (2)
n
∑WKl i= 1
atau
Ik =
∑ ∑∑V
i
× Wi
∑∑∑ W
....................................................................................... (3)
i
Keterangan: Ik IEco ITek ISec IEk IKL Vi Wi
: Indeks keberlanjutan : Indeks ekologi : Indeks teknologi : Indeks sosial-kemasyarakatan : Indeks ekonomi : Indeks kelembagaan : Nilai indeks ke-i : Bobot indeks ke-i
30
Mekanisme pembobotan didasarkan tingkat kepentingan atribut dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karang. Skala penilaian berkisar antara 1 sampai 5. Berikut skala pembobotan atribut: Nilai 5: Sangat penting Nilai 4: Penting Nilai 3: Cukup penting Nilai 2: Kurang penting Nilai 1: Tidak penting Interpretasi nilai indeks dilakukan dengan menganalisa hasil perhitungan yang diperoleh. Nilai indeks keberlanjutan yang semakin mendekati 2 berarti kegiatan pemanfaatan sumberdaya semakin dekat pada kondisi ideal, yaitu pemanfaatan yang berkelanjutan.
Berikut disajikan skala penilaian indeks
keberlanjutan: 0,0-0,5 : Status keberlanjutan sangat buruk 0,5-1,0 : Status keberlanjutan kurang baik 1,0-1,5 : Status keberlanjutan baik 1,5-2,0 : Status keberlanjutan sangat baik Penilaian status penangkapan dilakukan dengan pendekatan potensi ikan yang dikembangkan oleh Schaefer.
Langkah awal perhitungan adalah
standardisasi masing-masing alat penangkap ikan karang.
Standardisasi
dilakukan dengan cara menentukan CPUE terbesar dari masing-masing alat tangkap. Alat tangkap yang memiliki CPUE terbesar atau memiliki fishing power index (FPI) sama dengan 1 dijadikan sebagai alat tangkap standard. Nilai FPI diketahui dengan cara membagi tangkapan CPUE alat tertentu dengan CPUE alat tangkap standard.
Untuk mengetahui upaya standard (standard effort),
dilakukan perkalian antara upaya penangkapan dengan nilai FPI. Rumus yang digunakan untuk standardisasi adalah sebagai berikut:
CPUEs =
C s tan dard CPUEs ; FPI s = f s tan dard CPUEs
CPUEi =
Ci fi n
;
FPIi =
CPUEi CPUEs
f s tan dard = ∑ ( FPIi × jumlah alat ke − i ) ....................................(4) i =1
31
Keterangan: Cstandard
: Hasil tangkapan (catch) alat tangkap standard;
fstandard
:
Ci
: Hasil tangkapan tahun ke-i jenis alat tangkap lain;
fi
: Upaya tangkap tahun ke-i jenis alat tangkap lain;
CPUEs
: Hasil tangkapan per upaya tangkap alat tangkap standard;
CPUEi
: Hasil tangkapan per upaya tangkap tahun ke-i jenis alat tangkap lain;
FPIs
: Fishing power index alat tangkap standard;
FPIi
: Fishing power index alat tangkap lain.
Upaya penangkapan (effort) alat tangkap standard;
Pendugaan potensi sumberdaya ikan dilakukan dengan menggunakan pendekatan model surplus produksi. Data yang digunakan berupa data hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort). Hubungan hasil tangkapan (catch) dengan upaya tangkap (effort) adalah sebagai berikut:
C = af − bf 2 ...................................................................................(5) Perhitungan
upaya
penangkapan
optimum,
dilakukan
dengan
menurunkan persamaan (2) terhadap upaya penangkapan (effort)
dC = a − 2bf df 0 = a − 2bf
f opt =
a .......................................................................................(6) 2b
Perhitungan nilai MSY ditempuh dengan memasukkan persamaan (6) ke persamaan (5), sehingga diperoleh nilai :
a2 MSY = .....................................................................................(7) 4b Total Allowable Catch (TAC) besarnya 0,8 dari MSY sehingga secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
TAC = 0,8 × MSY 3.5.2 Strategi Pengelolaan Perikanan karang Hasil evaluasi tentang status pengelolaan ikan karang merupakan input penting bagi perancangan strategi pengelolaan yang berkelanjutan.
Status
pengelolaan ikan karang yang telah sampai pada tahap berkelanjutan memiliki strategi yang berbeda dengan status perikanan yang belum berkelanjutan pada tataran aplikasi strategi.
32
Rancangan strategi yang akan diterapkan dianalisis menggunakan metoda analisis SWOT (Strengh Weakness Opportunity Threat). Analisis ini didahului oleh proses identifikasi faktor eksternal dan internal pengelolaan sumberdaya ikan karang. Untuk menentukan strategi yang terbaik, dilakukan pembobotan terhadap tiap unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan. Bobot/nilai yang diberikan berkisar antara 1 - 5. Nilai 1 berarti tidak penting, 2 berarti sedikit penting, 3 berarti cukup penting, 4 berarti penting dan 5 berarti sangat penting. Berikut disajikan matriks pembobotan dari tiap unsur SWOT : Tabel 5. Pembobotan tiap unsur SWOT Kekuatan
Bobot
Peluang
Bobot Kelemahan Bobot
O1 O2 O3 O4 O5 . . On
W1 W2 W3 W4 W5 . . Wn
S1 S2 S3 S4 S5 . . Sn
Ancaman Bobot T1 T2 T3 T4 T5 . . Tn
Keterangan: Nilai 5 Nilai 4 Nilai 3 Nilai 2 Nilai 1
= = = = =
Sangat Penting Penting Cukup Penting Kurang Penting Tidak Penting
Setelah masing-masing unsur SWOT diberi bobot/nilai, unsur-unsur tersebut dihubungkan untuk memperoleh beberapa alternatif strategi (SO, ST, WO, WT)
(Tabel 6).
Pemilihan alternatif strategi yang diproritaskan untuk
dilakukan didasarkan pada rangking dari masing-masing strategi alternatif. Strategi dengan rangking tertinggi merupakan alternatif strategi yang menjadi prioritas. Tabel 6. Matriks hasil analisis SWOT
Kekuatan
Kelemahan
Peluang
Ancaman
SO1
ST1
SO2
ST2
SO3
SO3
.
.
.
.
Son
STn
WO1
WT1
WO2
WT2
WO3
WT3
.
.
.
.
Won
WT4
33
Alternatif strategi pada matriks hasil analisis SWOT (Tabel 7) dihasilkan dari penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang yang ada (SO), penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (ST), reduksi kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang tersedia (WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang (WT). Strategi yang dihasilkan terdiri atas beberapa alternatif strategi. Untuk menentukan
prioritas
strategi
yang
harus
dilakukan,
maka
dilakukan
penjumlahan bobot yang berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu alternatif strategi.
Jumlah bobot tadi kemudian akan
menentukan rangking prioritas alternatif strategi pengelolaan perikanan karang. Tabel 7. Rangking alternatif strategi No
Unsur SWOT
Keterkaitan
Strategi SO 1.
SO1
S1, S2, ..Sn , O1, O2, On
SO2
S1,S2, ..Sn, O1, O2, ..On
.........
.....................................
SOn
S1, S2, S4, Sn, O1, O2, ...On
Strategi ST ST1
S1, S2,.. Sn, T1, T2,..Tn
ST2
S1, S2,.. Sn, T1, T2,..Tn
....... STn
S1, S2,.. Sn, T1, T2,..Tn
Strategi WO WO1
W1, W2, ..Wn,
O1, O2,
..Wn WO2
W1, W2, ..Wn, O1, O2, ..On
......
........................................
WOn
W1, W2, ..Wn, O1, O2, ..On
Strategi WT WT1
W1, W2, Wn,
T1, T2,
.......Tn WT2
W1, W2, ....Wn, T1, T2, .....Tn
.....
.....................
.
..
n
WTn
...................................
W1, W2, ....Wn, T1 , T2,.... Tn
Jumlah Bobot
Rangking
4 GAMBARAN KONDISI KEPULAUAN AYAU
4.1 Keadaan Geografis, Topografi dan Klimatologi Kabupaten Raja Ampat merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002. Kabupaten ini terdiri atas gugusan pulau besar dan kecil berjumlah 610 buah pulau dengan luas wilayah mencapai 46.108.km 2. Dari jumlah tersebut tidak semua pulau-pulau di wilayah ini berpenghuni.
Secara geografis hamparan
pulau-pulau tersebut terletak pada posisi 00,33” LU – 01 LS dan 124 30,00”BT. Adapun batas- atas wilayah sebagai berikut : (1) Sebelah utara berbatasan dengan Negara Palau; (2) Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Seram; (3) Sebelah timur berbatasan dengan Kab.Sorong; dan (4) Sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara. Gugusan kepulauan yang berbatasan langsung dengan Negara Palau di Samudra Pasifik dikenal dengan sebutan Kepulauan Ayau.
Kepulauan Ayau
terdiri atas 5 distrik, yaitu (1) Distrik Dorekhar, (2) Distrik Meosbekwan, (3) Distrik Yenkawir, (4) Distrik Reni dan (5) Distrik Rutum. Dari kelima distrik tersebut, Distrik Dorekhar memiliki wilayah yang paling luas mencapai 265,2 ha, sedangkan distrik yang wilayahnya paling sempit adalah Distrik Rutum dengan luas wilayah hanya 5,42 ha. Dilihat dari topografinya, wilayah Kepulauan Ayau merupakan daerah pesisir dengan pantai yang landai dan daerah perbukitan batu yang umumnya digunakan oleh penduduk setempat untuk berkebun. Kondisi tanah di wilayah ini umumnya tanah berongga dan tanah berpasir sehingga tanaman yang dapat tumbuh subur hanyalah tanaman keras seperti kelapa dan sukun.
Dengan
keterbatasan luas wilayah yang dapat ditanami dengan tumbuhan sebagian penduduk ada yang berinisiatif untuk mengangkut tanah dari bukit yang kemudian diletakkan di ember atau baskom sehingga menjadi wadah tempat menanam berbagai tanaman rempah untuk keperluan masak. Kepulauan Ayau pada umumnya terletak di garis katulistiwa sehingga daerah ini merupakan daerah tropis dengan udara yang sangat panas serta curah hujan yang cukup tinggi. Iklim daerah ini dipengaruhi oleh lima musim, yang terjadi selama satu sampai empat bulan tiap musimnya. Musim angin
35
selatan (warn brawe) terjadi pada bulan Juli hingga Agustus. Setelah musim tersebut berlalu dilanjutkan dengan musim angin barat laut selama 4 bulan hingga Desember.
Masih pada bulan Desember
terjadi musim barat yang
berlangsung hanya 8 hari. Pada bulan Januari-Maret angin bertiup dari arah utara sehingga oleh masyarakat sekitar mengenal dengan musim angin utara (wam sios ).
Setelah periode angin utara berakhir dilanjutkan dengan musim
angin timur (wam urem) yang berlangsung pada bulan April-Juni. 4.2 Kependudukan Penduduk Kepulauan Ayau pada umumnya berasal dari Kepulauan Biak yang datang secara bertahap ke beberapa pulau yang berada disekitarnya; termasuk Kepulauan Ayau yang termasuk wilayah Administrasi Kabupaten Raja Ampat.
Berdasarkan hasil kajian sejarah yang diperoleh, penyebab utama
migrasi penduduk Kepulauan Biak ke Ayau disebabkan berkecamuknya perang suku di daerah Biak yang menyebabkan tatanan kehidupan menjadi kurang kondusif. Gerakan penduduk yang pertama masuk Kepulauan Ayau merupakan gelombang ke tiga dari empat gelombang migran biak
yang masuk ke
Kepulauan Raja Ampat. Imigran yang bermukim di Kepulauan Ayau termasuk dalam kelompok Usba. Pada perkembangan selanjutnya ada dua alasan terjadinya mobilitas penduduk ke Kepulauan Ayau. Pertama, alasan tugas kedinasan yang mengharuskan mereka pindah ke wilayah ini. Kedua, adanya hubungan perkawinan yang secara adat mengharuskan istri masuk ke kelompok suami. Akhir-akhir ini, mobilitas penduduk Kepulauan Ayau yang keluar cenderung mengalami peningkatan.
Tujuan utama perpindahan ini adalah
melanjutkan pendidikan di Kota Sorong atau kota-kota lain di Indonesia. Pada umumnya, setelah menyelesaikan pendidikan formal tidak kembali ke daerah asal dengan alasan tuntutan pekerjaan. Mayoritas penduduk di Kepulauan Ayau bermata pencaharian sebagai nelayan dan beberapa diantaranya PNS dengan profesi sebagai guru dan pegawai kantor desa. Walaupun sebagai PNS, pekerjaan sampingan mereka adalah sebagai nelayan.
36
Pada tahun 2002, jumlah penduduk di kelima distrik tersebut adalah 2.299 jiwa. Penduduk terbanyak bermukim di Distrik Dorekhar sedangkan yang paling sedikit bermukim di Distrik Meosbekwan. Komposisi penduduk didominasi penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 62 % (Tabel 8). Tabel 8. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kepulauan Ayau No
Distrik
1. 2. 3. 4. 5.
Yenkawir Reni Rutum Meosbekwan Dorekhar Jumlah
Jumlah KK 45 75 115 46 230 511
Pria
Wanita
130 190 286 108 790 1 504
112 150 304 102 679 1 309
Jumlah 240 340 590 210 1 469 2 299
Sumber : Sinar Sakti Nusaraya, 2002 4.3 Kelembagaan Sosial, Ekonomi dan Budaya Pada saat ini kelembagaan yang masih berfungsi untuk masyarakat Kepulauan Ayau hanya kelembagaan gereja dan kelembagaan adat sedangkan kelembagaan yang didisain oleh pemerintah-pemerintah seperti lembaga desa atau PKK sudah tidak berjalan dengan semestinya. Keadaan ini tercermin dari kondisi fisik gedung yang buruk serta kegiatan administratif yang sudah tidak berjalan. Dampak dari kondisi tersebut adalah tidak terdatanya kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan peran dan fungsi kelembagaan. Salah satu gambaran yang dapat diberikan adalah lebih sulitnya memperoleh data kependudukan di lembaga pemerintah dibandingkan dari lembaga gereja maupun lembaga-lembaga adat Dari tiga lembaga yang dianggap sebagai motor penggerak di masyarakat desa, yaitu sosial, budaya dan ekonomi, hanya lembaga sosial dan budaya yang berfungsi di Kepulauan Ayau. Lembaga sosial dan budaya dapat dianggap sebagai suatu kesatuan karena dalam konteks pelaksanaan aktivitas berjalan bersama-sama. 1) Lembaga gereja Lembaga gereja di Pulau Ayau berada bawah organisasi Gereja Kristen Injil. Organisasi ini didirikan sekitar tahun 1934. Secara struktural, gereja ini berada dibawah klasis GKI-Sorong sehingga pendeta didatangkan khusus dari Sorong untuk memberikan bimbingan kepada umat pada acara-acara tertentu.
37
Aktivitas harian gereja dipimpin oleh ketua dan wakil ketua serta diikuti oleh kelompok anggota gereja.
Pengelompokan anggota gereja didasarkan pada
kelompok umur ataupun kesaman keret atau marga. Keberadaan kelompok-kelompok gereja ini menunjukkan hal positif bagi persatuan masyarakat, karena keputusan-keputusan yang ada akan dikaitkan dengan kenyataan masyarakat. Jika terjadi perselisihan antar masyarakat, antar keret atau desa maka permasalahan tersebut akan diselesaikan oleh gereja. Oleh karena itu, keberadaan kelompok gereja ini dapat dianggap sebagai akses yang cukup signifikan untuk pengembangan program masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan pengembangan ekonomi. Salah satu contoh aplikasi peran lembaga gereja dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah sasi atau yang dalam bahasa lokal disebut kabus. . Penetapan dan penggunaan sasi di Kepulauan Ayau serupa dengan sasi yang diterapkan masyarakat di Maluku. Sasi diterapkan dengan tujuan agar pemanfaatan potensi alam dapat dilakukan secara berkelanjutan. Sasi merupakan aturan dan strategi sosial untuk mengelola lingkungan secara efektif, guna memastikan: (1) Kesempatan yang adil dan sama bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan hasil dan manfaat dari kawasan laut dan darat yang dijaga; (2) Kesinambungan pengelolaan sumber daya yang tersedia; (3) Kesempatan yang sama bagi masyarakat lokal untuk memperoleh mamfaat tambahan dari biota laut. Dalam sasi dikenal istilah buka dan tutup sasi. Tutup sasi adalah pelarangan mengambil/mengeksploitasi sumber daya yang di sasi selama kurung waktu tertentu. Buka sasi adalah masa untuk mengambil/mengeksploitasi sumber daya yang di sasi secara bersama. Hasil ini digunakan untuk keperluan bersama. Ada dua macam sasi, yaitu sasi adat dan sasi gereja. Sasi adat adalah sasi yang dibuat oleh kelompok adat, sedangkan sasi gereja adalah sasi yang disahkan oleh gereja. Menurut seorang nara sumber saat ini sasi adat sudah tidak dipergunakan lagi, karena tidak ada sanksi yang mengikat. Jenis sasi yang masih bertahan hingga saat ini hanyalah sasi gereja.
38
2) Lembaga Kerabat “Keret” Keret yang dalam bahasa umum disebut marga, merupakan suatu kelembagaan sosial yang mempunyai peran yang cukup besar dalam mengatur kehidupan anggotanya. Bahkan secara luas, keret turut berperan dalam pengaturan masyarakat desa, terutama aturan-aturan yang berkaitan dengan hubungan antar masyarakat. Penentuan hak ulayat terhadap tanah dan laut merupakan salah satu contoh wewenang keret dalam masyarakat.
Dalam
pemanfaatan lahan, setiap anggota keret mempunyai hak yang sama, namun tidak
diperbolehkan
memilikinya.
Sedangkan
dalam
perkawinan,
keret
mempunyai peran yang penting mengingat sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogam yaitu incest untuk melakukan perkawinan dalam satu keret. Kelembagaan keret ini, selain mengatur anggota dalam penggunaan lahan, hasil laut, hubungan kekerabatan dalam perkawinan, dapat juga dimanfaatkan untuk pensosialisasian program yang masuk desa ini. Melalui kelompok keret akan lebih mudah mengumpulkan masyarakat, karena akan mengikuti anjuran ketua, yang biasanya adalah orang tertua atau yang dituakan dalam kelompok. Keuntungan lain dari eksistensi kelembagaan keret adalah kemampuan meredam konflik sosial yang mungkin terjadi karena adanya hubungan antar keret karena perkawinan. Sifat hubungan ini meniciptakan hubungan kerabat baru yang harus saling menjaga keharmonisan. 4.4 Sarana-Prasarana dan Aksesibilitas 1) Transportasi Letak Kepulauan Ayau yang ada di tengah laut menjadikan kapal dan perahu sebagai moda transportasi utama di wilayah tersebut. Untuk mencapai Kota Sorong yang berjarak 130 mil laut diperlukan waktu 8-9 jam perjalanan dengan menggunakan kapal motor 40 PK. Sarana transportasi dari kampung ke Ibukota kecamatan atau ibukota Kabupaten sangat minim. Pada saat ini tidak ada angkutan laut yang secara reguler melayani penduduk.
Akibat kelangkaan sarana transportasi tersebut
penduduk secara turun-temurun mengusahakan kapal angkutan secara kolektif. Kapal tersebut terutama digunakan untuk keperluan perdagangan. Antara tahun 1990 sampai 1999 ada kapal perintis yang dimiliki perusahaan swasta beroperasi melayani pengangkutan penumpang dan barang
39
ke Sorong. Pada saat itu masyarakat kampung merasa sangat terbantu dengan beroperasinya kapal tersebut, meskipun pelayaran hanya diadakan dua kali dalam sebulan. Setelah kapal perintis tersebut tidak beroperasi lagi, penduduk secara bergotong-royong kembali mengusahakan kapal dengan kapasitas 20-30 orang dan 3 ton barang dengan mesin berkekuatan 40 PK.
Paling sedikit
sebulan sekali kapal tersebut digunakan oleh penduduk pergi ke Sorong untuk kepentingan perdagangan. 2) Kesehatan Seperti halnya sarana trasportasi, kondisi sarana dan prasarana kesehatan yang ada di Kepulauan Ayau sangat terbatas. Puskesmas hanya dapat ditemui di Distrik Dorekhar. Kondisi puskesmas pembantu yang serba terbatas baik peralatan maupun obat-obatan sangat menyulitkan penduduk untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Kondisi ini diperparah oleh tidak adanya transportasi khusus untuk mencapai rumah sakit atau puskesmas di kota distrik sehingga biaya yang dibutuhkan menjadi sangat besar. Untuk melayani kepentingan kesehatan masyarakat pulau, pengelolaan puskesmas hanya diserahkan pada seorang Mantri. Petugas kesehatan lainnya adalah dukun terlatih yang khusus bertugas membantu ibu-ibu hamil sampai masa kelahiran. Disamping Puskesmas, masyarakat juga mempunyai kegiatan posyandu meski tidak dapat berjalan sesuai jadwal yang direncanakan. 3) Agama Sarana ibadah yang dapat ditemui di wilayah Kepulauan Ayau adalah gereja yang berada di pusat desa. Bangunan gereja ada dua, yaitu bangunan lama dan bangunan baru. Bangunan lama telah ada sejak pekabaran injil masuk ke Pulau Ayau, namun karena dianggap sudah tidak layak maka dibangun gereja baru sekitar tahun 2001.
Pembangunan gereja didanai oleh YKI Silo dan
sumbangan penduduk serta pengumpul ikan. Struktur pengurus gereja terdiri atas ketua dan wakil ketua yang berwenang untuk pengaturan kegiatan gereja dan jemaatnya. Selain kegiatan ibadah yang berlangsung setiap minggu, gereja juga melaksanakan sekolah minggu bagi anak-anak sampai tingkat remaja. Sesuai dengan jumlah keret yang ada, dibentuk pula lima perkumpulan ibadah yang mempunyai kegiatan sembahyang dan doa setiap minggu. Perkumpulan ini berfungsi juga sebagai wadah untuk membantu anggota yang mempunyai hajat.
40
Dalam perkembangannya, kegiatan keagamaan juga merupakan sarana untuk berkumpulnya bapak-bapak, ibu-ibu, dan remaja. Setiap penduduk menjadi anggota berdasarkan kategori golongan/kelompok umur, seperti
PWGKI
(Persekutuan Wanita Gereja Kristen Injili), PAMGKI (Persektuan Angkatan Muda Gereja Kristen Injili), PKBGKI (Persekutuan Kaum Bapak Gereja Kristen Injili), PARGKI (Persekutuan Anak dan Remaja Gereja Kristen Injili). Kegiatan yang dilakukan oleh berbagai persekutuan di atas berkaitan dengan aktivitas keagamaan dan moral bagi remaja dan kadang-kadang diikuti dengan aktivitas sosial atau sosialisasi program pemerintah untuk masyarakat. 4) Ekonomi Kegiatan ekonomi masyarakat Kepulauan Ayau sebahagian besar terkonsentrasi pada kegiatan perikanan. Kegiatan ekonomi seperti perdagangan hanya bersifat sampingan untuk menunjang kebutuhan rumah tangga. Terbatasnya gerak ekonomi masyarakat tercermin dari keterbatasan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah tersebut sehingga mempengaruhi aksesibilitas masyarakat terhadap sarana ekonomi. Sarana dan prasarana yang berkaitan dengan perikanan hanyalah dermaga tambat yang dikelola pengusaha asal Sorong. Fasilitas ekonomi seperti pasar atau tempat pelelangan ikan bahkan belum tersedia. Sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan perdagangan tidak berdiri secara khusus dalam bentuk toko ataupun warung.
Aktivitas jual-beli
dilakukan dalam rumah yang lokasinya hanya diketahui penduduk desa. Jenis barang yang diperdagangkan di “warung” sangat bervariasi mulai kebutuhan rumah tangga, sekolah sampai keperluan melaut. 5) Pendidikan Fasilitas pendidikan yang ada di Kepulauan Ayau hanya tersedia sampai tingkatan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, masyarakat harus pergi ke Distrik Waigeo Selatan ataupun Kota Sorong. Jumlah Sekolah Dasar di wilayah ini hanya 5 buah, dan berada di masing-masing pulau.
Pengelolaan sekolah dasar tersebut umumnya
dikendalikan oleh Yayasan. Rata-rata tiap kelas dihuni oleh sekitar 7-10 orang murid. Pada tahun 1999 didirikan SLTP 2 Waigeo Utara yang berlokasi di Distrik Dorekhar. Pendirian sekolah ini utamanya untuk menampung anak-anak wilayah
41
Kepulauan Ayau setelah tamat sekolah dasar. Keberadaan SLTP di wilayah ini merupakan akses yang sangat penting bagi penyebaran informasi bagi generasi muda. 4.5 Kondisi Sumberdaya Alam di Darat Dibandingkan
dengan
sumberdaya
alam
yang
berada
di
laut,
Sumberdaya alam di darat tersedia dalam jumlah yang sangat minim. Jenis flora maupun fauna yang dapat hidup di wilayah ini tidak beragam. Jenis tumbuhan hanya terdapat di perkebunan dan pekarangan. Perkebunan umumnya terletak di daerah pegunungan dengan komoditas utama adalah kelapa dan sukun. Hasil tanaman kelapa maupun sukun hanya dikonsumsi oleh penduduk setempat, dan sangat jarang dipasarkan ke Kota Sorong.
Hal ini disebabkan jarak daerah
pemasaran yang sangat jauh serta sulitnya mendapatkan sarana transportasi sehingga berdampak pada fisibilitas usaha pemasaran hasil bumi yang cukup rendah. Pengecualian pada hasil olahan kelapa yang telah dijadikan minyak dengan teknologi sederhana sering dipasarkan ke Kota Sorong. Jenis tumbuhan lainnya seperti pepaya, singkong, talas, sukun, pisang, tebu dan jeruk nipis bukan merupakan komoditas utama yang ditanam masyarakat Kepulauan Ayau. pekarangan
untuk
memenuhi
Tumbuhan ini hanya sebagai tanaman kebutuhan
rumah
tangga.
Keterbatasan
sumberdaya di darat yang dapat digunakan memenuhi kebutuhan primer menyebabkan bahan pangan seperti sagu dan beras harus didatangkan dari pulau besar (Pulau Waigeo) maupun dari Kota Sorong. Tumbuhan spesifik yang banyak terdapat di Kepulauan Ayau adalah akar bore.
Oleh penduduk Ayau, tumbuhan ini digunakan sebagai bahan untuk
membius saat menangkap napoleon (C. undulatus), kerapu (Epinephelus sp) dan lobster.
Menurut penduduk setempat cara penangkapan ikan dengan
menggunakan akar bore telah dilakukan sejak zaman dahulu, namun tidak diketahui secara pasti awal penggunaan akar bore untuk menangkap ikan. Seperti halnya flora yang ada di Kepulauan Ayau, kondisi fauna di darat baik fauna yang spesifik maupun jenis binatang peliharaan tidak beragam. Fauna spesifik adalah beberapa jenis burung kakatua dan burung nuri serta kokus. Kokus adalah binatang yang menyerupai koala, berbulu lembut dan halus serta hidup di pepohonan.
Ternak yang biasa dipelihara oleh sebahagian
penduduk adalah babi, namun tidak dalam jumlah yang besar.
Binatang ini
42
ditempatkan pada kandang di sepanjang pesisir pantai di depan rumah. Ternak lain yang juga dipelihara oleh penduduk adalah ayam, tetapi juga dalam jumlah terbatas. 4.6 Keadaan Umum Perikanan Kepulauan Ayau 4.6.1 Potensi Sumberdaya Perikanan Kondisi topografi wilayah yang dikelilingi laut menjadikan wilayah Kepulauan Ayau memiliki sumberdaya laut yang relatif besar.
Mayoritas
penduduk di Kepulauan Ayau menggantungkan hidupnya pada sumberdaya laut khususnya kegiatan penangkapan ikan, walaupun kegiatan pariwisata bahari memiliki prospek untuk dikembangkan. Jenis sumberdaya laut yang dihasilkan oleh nelayan Ayau dapat dibedakan menjadi 3 ketegori, yaitu ikan karang, ikan pelagis dan sumberdaya selain ikan. Jenis ikan pelagis yang banyak ditangkap oleh nelayan diantaranya lencam (Gulita), bobara (Kuwi), samandar (Inwones).
belanak (Mugil cephalus), kulit pasir (Uma), ikan Adapun
sumberdaya lain selain ikan yang banyak
diusahakan adalah lobster, cacing laut, kerang-kerangan, teripang dan gurita. Penjelasan mengenai komoditas ikan karang dapat dilihat pada Bab 5. Potensi sumberdaya perairan di kepulauan ayau tidak terbatas pada berbagai komoditas seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Sumberdaya laut lainnya yang banyak diproduksi oleh penduduk adalah cacing tanah, pia-pia dan rumput laut. Budidaya rumput laut di Kepulauan Ayau mulai dilakukan pada tahun 1999. Hanya saja aktivitas ini di beberapa distrik kurang memberikan hasil yang memuaskan baik mutu maupun kuantitasnya, kecuali rumput laut yang dibudidayakan di Distrik Yenkawir . Hal ini terjadi karena kondisi perairan yang kurang sesuai dan kurang tekunnya masyarakat dalam memelihara rumput laut. Produksi sumberdaya laut, khususnya ikan sangat dipengaruhi musim. Pada saat musim puncak yang berlangsung pada bulan September sampai Desember. Hasil tangkapan nelayan pada periode tersebut dapat meningkat sekitar 200% dari keadaan normal. Pada bulan-bulan tersebut nelayan berusaha keras untuk mendapatkan ikan lebih banyak, yang hasilnya digunakan untuk masa paceklik. Periodisasi penangkapan ikan di Kepulauan Ayau dapat dilihat pada tabel berikut.
43
Tabel 9. Periodisasi penangkapan ikan di wilayah Kepulauan Ayau Musim
Bulan
Angin Selatan (Wam brawe)
Juli- Agustus
Angin Barat Laut (WAm barek)
SeptemberDesember
Angin Barat (Wam meres) Angin Utara (Wam sios)
Desember Januari-Maret
Angin Timur (Wam urem)
April-Juni
4.6.2
Keterangan Dapat melaut, hasil tidak banyak karena masih ada pengaruh angin timur Musim banyak ikan yang diawali pada akhir bulan September Ikan mulai sulit diperoleh Ikan Sulit diperoleh Angin sangat keras, perolehan ikan sedikit bahkan tidak dapat melaut
Metode Penangkapan Ikan Potensi sumberdaya laut Kepulauan Ayau yang didominasi komoditas
ikan karang
berpengaruh terhadap variasi metode penangkapan yang
digunakan oleh nelayan. Ada sembilan metode penangkapan yang umumnya digunakan oleh nelayan di Kepulauan Ayau, yaitu (1) potasium, (2) akar bore, (3) pancing ulur, (4) pancing tonda, (5) bubu, (6) jaring insang (7) senapan ikan, (8) jerat dan (9) tombak.
Dari keseluruhan jenis alat tangkap tersebut hanya jerat
dan tombak yang tidak digunakan oleh nelayan sekitar untuk menangkap ikan karang. Berikut penjelasan teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Kepulauan Ayau untuk menangkap komoditas selain ikan karang. Penjelasan tentang ikan karang disajikan pada Bab 5. 1) Jerat Jenis alat tangkap ini spesifik digunakan nelayan untuk menangkap lobster. Dalam istilah lokal alat ini sering disebut denm amos. Dalam sistem klasifikasi alat tangkap, jerat dapat digolongkan ke dalam kelompok perangkap. Konstruksi alat ini sangat sederhana, hanya terdiri atas penjerat dan pegangan (Gambar 3).
Penjerat terbuat dari tali yang kuat namun lentur.
Biasanya nelayan menggunakan nylon (PA) no 200-400 sebagai bahan penjerat. Panjang nylon yang digunakan untuk satu unit penjerat berkisar antara 40-60 cm. Tali penjerat direkayasa agar dapat diulur dan dikerutkan. Sifat penjerat yang dapat bergerak secara fleksibel dimaksudkan untuk menjerat badan lobster saat gagang ditarik. Material gagang yang digunakan relatif bervariasi tergantung ketersediaan bahan. Berdasarkan pengamatan di lapangan jenis material yang
44
paling banyak digunakan nelayan sebagai gagang adalah bambu dan ranting mangrove (Rhyzophora sp) . Teknik pengoperasian jerat relatif sederhana. dimulai dengan pencarian lobster di perairan.
Kegiatan penangkapan
Proses pencarian dilakukan
dengan cara menyelam tanpa menggunakan kompresor. Kegiatan penangkapan lobster umumnya dilakukan pada pagi hingga sore hari, yaitu pukul 08.00-17.00 WITA.
Untuk mensukseskan kegiatan penangkapan lobster digunakan alat
bantu berupa kaca molo. Alat ini berfungsi melindungi mata nelayan agar dapat melihat dengan jelas di dalam air. Operasi penangkapan lobster dengan jerat dimulai dengan pencarian keberadaan lobster di perairan. Tidak ada indikator baku yang digunakan oleh nelayan untuk menemukan keberadaan lobster. Nelayan biasanya melakukan pencaharian disekitar wilayah karang atau yang bersembunyi di balik karang. Saat keberadaan lobster telah diketahui,
alat tangkap akan diseret sampai
setengah badan lobster masuk ke tali penjerat. Setelah proses tersebut sukses dilakukan, gagang penjerat ditarik dengan cepat.
Lobster yang tertangkap
selanjutnya ditaruh dalam kotak yang terbuat dari fibreglass kapasitas 180 liter yang telah diisi air laut agar lobster dapat bertahan hidup. Kegiatan penangkapan lobster umumnya dilakukan oleh 1-2 orang nelayan.
Sarana yang digunakan nelayan untuk melakukan penangkapan
adalah perahu kayu tanpa motor. Sering pula ditemukan adanya nelayan yang melakukan penangkapan secara berkelompok sebanyak 4-5 orang. Nelayan nelayan tersebut umumnya melakukan penangkapan selama 5-6 hari dengan menggunakan perahu motor Jonson 15 PK berdimensi panjang 13-15 m, lebar 22,5 m dan dalam 1,25-2 m.
Gambar 3. Konstruksi jerat yang digunakan nelayan di Kepulauan Ayau.
45
2) Tombak Jenis tombak yang digunakan nelayan di Ayau dapat dibagi menjadi dua yaitu, arsyam dan aria. Alat-alat ini digunakan khusus untuk menangkap cacing laut dan gurita. Dilihat dari segi konstruksinya, arsyam dapat dikelompokkan alat tangkap lain-lain dalam sistem klasifikasi alat tangkap di In donesia. Aria dalam sistem klasifikasi Indonesia termasuk dalam kelompok alat pengumpul kerang dan rumput laut (Gambar 4). Kedua jenis alat tangkap yang disebutkan di atas umumnya dioperasikan oleh wanita. Operator alat tangkap yang didominasi wanita disebabkan relatif mudahnya menangkap cacing laut dan gurita. Baik cacing laut maupun gurita dengan mudah ditangkap pada saat air surut di tepi pantai. Aria terbuat dari batang kayu yang pada ujungnya dibentuk celah yang berfungsi sebagai penjepit.
Pengoperasian alat ini dilakukan dengan cara
menekan pasir sampai cacing terjepit pada bagian ujung alat. Arsyam terbuat dari kawat berjumlah 3-4 buah. Pada bagian ujung arsyam dibuat semacam kait. Pengoperasian
arsyam
serupa
dengan
pengoperasian
tombak,
yaitu
menancapkan ujung alat pada bagian tubuh gurita.
A
B
Keterangan: A. Arsyam B. Aria Gambar 4. Konstruksi tombak yang digunakan nelayan di Kepulauan Ayau 4.6.3 Penanganan dan Pengolahan Pascapanen Penanganan hasil tangkapan dilakukan terhadap komoditas yang akan dipasarkan dalam bentuk hidup, sedangkan pengolahan pasca panen diperuntukkan untuk komoditas yang membutuhkan perlakuan tertentu sebelum dipasarkan. Jenis ikan karang seperti napoleon (C. Undulatus), kerapu (Epinephelus sp) maupun lobster umumnya dijual dalam kondisi hidup. Komoditas yang akan
46
diperdagangkan dalam bentuk hidup terlebih dahulu dikumpulkan di dalam keramba yang berlokasi di tengah laut sebelum dipasarkan. Proses pengolahan komoditas pasca panen yang dilakukan di Kepulauan Ayau masih tergolong tradisional. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh wanita/istri-istri nelayan Ada tiga kegiatan pasca panen yang dilakukan di Ayau, yaitu pengasinan, pengasapan dan pengeringan. Bahan baku yang digunakan dalam proses pengolahan pasca panen biasanya merupakan sisa-sisa tangkapan yang tidak habis dikonsumsi. Jenis ikan yang diolah menjadi ikan asin antara lain kakatua, gutila, kuek dan bolana. Adapun pengasapan dan pengeringan umumnya dilakukan terhadap cacing laut. Berdasarkan hasil wawancara, dalam setiap bulan masing-masing keluarga di Kepulauan Ayau dapat memproduksi ikan asin sebanyak 30 kg, cacing asap sekitar 10 ikat (50 ekor) dan cacing kering sebanyak 5 ikat (25 ekor). Khusus ikan asap, data produksi dari pembuatan ini masih sulit diketahui karena tidak semua keluarga di Pulau Ayau membuat ikan asap. Teknologi pascapanen dari ketiga jenis tersebut masih sangat sederhana dan tidak mempunyai standar mutu tertentu. Sistim pengeringan yang tidak sempurna membuat ikan tidak dapat disimpan dalam waktu yang lama. Tampilan yang kurang menarik dari ikan asap juga merupakan kekurangan produk yang dihasilkan. Demikian halnya dengan cita rasa masakan yang kurang sedap dan ketika dimasak menjadi keras (liat). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan penanganan lebih lanjut seperti penyuluhan tentang metode pengolahan hasil perikanan yang baik dan bermutu tinggi. Solusi tersebut mendesak dilakukan mengingat produksi ikan asin dan ikan asap dapat dijadikan alternatif penghasilan penduduk bila terjadi penurunan produksi sumber daya laut utama. 4.6.4 Pemasaran Sumberdaya Hayati Laut Sistem dan mata rantai pemasaran produk perikanan di Kepulauan Ayau dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan daerah pemasarannya, yaitu luar negeri/internasional dan dalam negeri.
Jenis sumberdaya laut utama, yaitu
kerapu (Epinephelus sp), napoleon (C. undulatus) dan lobster dipasarkan dalam keadaan hidup khusus sebagai komoditas ekspor. Untuk berbagai jenis ikan olahan memiliki sistem dan mata rantai pemasaran tersendiri yang berorientasi domestik.
47
1) Pemasaran Napoleon dan Kerapu Pemasaran kedua komoditas ini di kawasan Kepulauan Ayau mempunyai pola yang sama. Untuk memasarkan komoditas ini dari produsen (nelayan) ke konsumen (restaurant internasional) ada empat lembaga pemasaran yang harus dilalui (Gambar 5).
Gambar 5. Saluran pemasaran napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp) di Kepulauan Ayau. Ikan kerapu (Epinephelus sp) maupun napoleon (C. undulatus) yang ditangkap nelayan dijual ke pedagang pengumpul. Pada saat menangkap kedua komoditas tersebut, nelayan menyimpan hasil tangkapan dalam keranjang yang terbuat dari jaring (Gambar 6). Hasil tangkapan tersebut dipelihara selama satu minggu di keramba milik pedagang pengumpul yang ada ditengah laut (Gambar 7). Pembayaran hasil tangkapan nelayan dilakukukan secara tunai setelah ikan ditimbang. Tahap berikutnya, pengusaha pengumpul yang ada di Pulau akan menjual kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) ke pengusaha yang mempunyai izin eksport.
Pada umumnya eksportir berlokasi di Kota
Sorong. Setiap bulan eksportir dengan koordinasi dengan importir di Hongkong
48
mengirim kapal untuk mengambil ikan yang ada dalam kermba dan langsung dikirim ke Importir ke Hongkong. Jual-beli ikan antara pengusaha pengumpul di desa dan eksportir ikan dilakukan melalui komunikasi radio, sehingga pengumpul tidak selalu bertemu.
Gambar 6. Jaring tempat penyimpanan napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp).
Gambar 7. Jaring apung tempat penyimpanan sementara ikan sebelum di ekspor. Dari importir ikan di Hongkong, komoditas ini selanjutnya dijual ke distributor khusus kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus). Sistem perdagangan yang berlaku di negara-negara tersebut memang mengharuskan adanya peran distributor sebagai mata rantai antara importir dengan konsumen. Informasi detail tentang proses-proses yang terjadi selama perpindahan saluran pemasaran tidak diperoleh karena terjadi di luar negeri. Harga kerapu (Epinephelus sp) dan
napoleon (C. undulatus) sangat
bervariasi tergantung pada beratnya. Ada empat golongan ikan napoleon (C. undulatus) berdasarkan beratnya, yaitu (1) baby, (2) super, (3) ekor kecil dan (4) ekor besar. Sedangkan untuk ikan kerapu (Epinephelus sp) dibedakan menjadi
49
tiga kelas, yaitu (1) baby, (2) super dan (3) up. Harga di tingkat pedagang pengumpul per kg untuk masing-masing jenis ikan disajikan pada tabel berikut: Tabel 10. Harga ikan kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) per kg di tingkat pengumpul Golongan
Harga (Rp) Ikan napoleon
Baby (0,3-0,5 kg) Super (0,6-1,2 kg) Up (> 1,3 kg) Ekor kecil (1,3-3 kg) Ekor besar (3,1-5 kg) Up (> 5,1 kg)
50.000 120.000 130.000 160.000 30.000
Ikan kerapu GH 6.000 15.000 15.000 -
Saisang 5.000 15.000 20.000 -
Tongseng 17.000 27.000 30.000 -
Sumber: Wawancara dengan nelayan dan pengumpul Informasi mengenai harga ikan napoleon dan kerapu di tingkat pedagang besar masih sulit diperoleh. Namun sebagai gambaran, pedagang pengumpul sedikitnya memperoleh keuntungan bersih sebesar 35 % dari harga pembelian. Keuntungan merupakan kompensasi dari resiko kematian yang harus ditanggung pengumpul sebesar 15-20 %. Jika diestimasi dari gambaran diatas maka harga ikan ditingkat pedagang besar tersebut dua kali lipat dari harga di tingkat nelayan. 2) Pemasaran Lobster Rantai pemasaran lobster di kepulauan Ayau dapat dibagi menjadi dua saluran pemasaran, yaitu saluran pemasaran dengan perantara dan saluran pemasaran tanpa perantara (Gambar 8).
Nelayan penangkap lobster
Restoran seafood domestik
Distributor di luar negeri
Eksportir
Restoran seafood internasional
Pedagang pengumpul
Keterangan: : Saluran pemasaran orientasi lokal : Saluran pemasaran orientasi ekspor Gambar 8. Saluran pemasaran lobster di Kepulauan Ayau.
50
Model saluran pemasaran dengan perantara melibatkan beberapa lembaga pemasaran, yaitu (1) nelayan sebagai produsen, (2) pedagang pengumpul sebagai perantara, dan (3) restaurant sebagai konsumen. Kadangkadang peranan restaurant sebagai konsumen digantikan oleh eksportir untuk jenis lobster yang termasuk kualifikasi ekspor. Pengumpulan lobster dari nelayan oleh pedagang pengumpul dilakukan secara harian.
Lobster yang telah
terkumpul sekitar 40 sampai 50 kg akan dibawa ke Sorong untuk dijual kepada restoran ataupun eksportir. Pedagang pengumpul akan mendapat bagian 20 persen dari harga jual. Saluran pemasaran tanpa perantara lebih berorintasi pada pasar ekspor. Hasil tangkapan nelayan yang telah dikumpulkan selama lima hari
langsung
dibawa ke Sorong untuk dijual ke eksportir. Eksportir mengirim Lobster yang telah dibeli dari nelayan ke berbagai daerah di Hongkong. Pedagang di Hongkong, kemudian yang mendistribusikannya ke restoran. Harga lobster sangat bervariasi dan tergantung pada jenis dan beratnya. Jenis lobster yang dihargai paling tinggi adalah lobster hias seharga 200.000 rupiah per kg, sedangkan yang dinilai paling rendah adalah udang batu seharga 50.000 ribu per kg. Dua jenis lobster lainnya yang biasa diperdagangkan adalah lobster emas dengan harga per kg-nya Rp. 100.000 dan lobster bambu seharga Rp. 80.000-90.000 per kg. 3) Pemasaran Teripang, Lola dan Kerang-kerangan Produksi sumber daya lain yang memiliki nilai ekonomi adalah teripang, lola dan kerang-kerangan. Daerah pemasaran utama produk-produk tersebut adalah Kota Sorong. Hasil tangkapan lola langsung dijual kepada pedagang Cina yang akan mengeksport komoditas tersebut ke Italia sebagai bahan dasar kancing baju. Sedangkan teripang dan kerang-kerangan dijual bersama ikan asin dan ikan asap. Diantara ketiga komoditas di atas, harga lola paling mahal yaitu Rp. 50.000,- per kilogram. Harga teripang sangat fluktuatif tergantung permintaan. Pada saat permintaan tinggi, satu ekor teripang seberat 200 gr dihargai sebesar Rp. 50.000. Kerang-kerangan memiliki harga yang relatif murah. Satu bagian kerang yang terdiri tas bermacan-macam rumah kerang dihargai Rp. 2.000.
51
4) Pemasaran Komoditas Hasil Olahan Komoditas hasil olahan seperti Ikan asin dan
ikan asap hanya
dipasarkan untuk kebutuhan masyarakat lokal dengan cara dipasakan langsung ke konsumen (Gambar 9). Sistem perdagangan lain yang masih diterapkan oleh masyarakat Ayau adalah sistem barter. Sistem barter hanya diterapkan pada masyarakat lokal. Barter dilakukan dengan cara menukar hasil produksi pasca panen laut dengan produksi pertanian yang tidak dapat dihasilkan di Pulau Ayau. Jenis komoditas pertanian yang sering dibarter dengan komoditas olahan perikanan antara lain sagu dan pisang.
Pemasaran dengan cara barter telah
mengalami penurunan sejak nelayan berkonsentrasi untuk menangkap kerapu (Epinephelus
sp)
dan
napoleon
(C.
undulatus).
Sebelum
intensifnya
penangkapan kedua komoditas tersebut, setiap tiga bulan sekali penduduk Ayau secara rutin melakukan barter dengan penduduk Kabare. Sistim pemasaran ikan asap, ikan asin, cacing laut untuk kebutuhan lokal dipasarkan sendiri oleh penduduk Pulau Ayau ke Kota Sorong. Masyarakat Ayau yang berdagang ke Kota Sorong biasanya bermukim selama dua minggu sampai satu bulan khusus untuk menjajakan dagangan mereka. Sebagai biaya kompensasi transportasi dari Ayau ke Kota Sorong, hasil penjualan dipotong 20 persen. Harga jual produk olahan yang dijajakan pedagang Ayau relatif murah. Untuk membeli dua ekor ikan asin seberat 1 kilogram cukup mengeluarkan uang sebesar 5.000 rupiah.
Harga ikan asap sangat tergantung pada jenis ikan,
sedangkan gurita asap dijual 10.000 rupiah per ekornya. Hasil tangkapan nelayan
Pengolahan pascapanen
Konsumsi pribadi
Pedagang pengumpul
Barter hasil bumi
Konsumen
Gambar 9. Saluran pemasaran produk olahan di Kepulauan Ayau.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Kondisi Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau Pengelolaan perikanan karang merupakan suatu pekerjaan besar yang
melibatkan beberapa komponen seperti sumberdaya ikan, lingkungan, manusia, sarana dan prasarana penangkapan serta peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan perikanan karang.
Berikut digambarkan kondisi aktual
pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau yang berkaitan dengan komponen-komponen yang telah disebutkan. 5.1.1 Metode Penangkapan Ikan Eksploitasi sumberdaya ikan karang di Kepulauan Ayau dilakukan dengan menggunakan 7 (tujuh) metode penangkapan, yaitu (1) potasium, (2) akar bore, (3) pancing ulur, (4) pancing tonda, (5) bubu, (6) jaring insang dasar dan (7) senapan ikan.
Metode penangkapan dengan potasium, akar bore, bubu dan
senapan digolongkan sebagai metode penangkapan yang destruktif. 5.1.1.1 Metode Penangkapan Destruktif 1) Potasium Istilah potasium di kalangan nelayan di Kepulauan Ayau mengacu pada bahan kimia yang tersusun atas struktur sianida yang bersenyawa dengan kalium.
Saat akan digunakan, tablet-tablet sianida yang diperoleh nelayan
dihancurkan kemudian diencerkan agar mudah larut di dalam air (Gambar 10). Bahan tersebut selanjutnya ditaruh dalam wadah berupa botol yang pada bagian ujungnya dimodifikasi hingga memudahkan cairan potasium keluar pada saat botol ditekan. Penangkapan ikan dengan menggunakan sianida umumnya dilakukan dengan cara menyemprotkan botol-botol berisi sianida ke dalam gua-gua karang tempat persembunyian ikan tersebut. Sebelum melakukan penyemprotan ikan terlebih dahulu diintai keberadaanya oleh nelayan dengan cara menyelam. Dalam operasi penangkapan ikan ini nelayan ada yang menggunakan kompresor sebagai alat bantu dalam melakukan penyelaman.
Jika tidak menggunakan
kompresor maka alat bantu yang digunakan adalah kaca molo/kacamata renang (Gambar 11).
53
Gambar 10. Tablet sianida yang dijadikan bahan pembius ikan.
Gambar 11. Kaca mata molo untuk alat bantu penyelaman. 2) Akar Bore Akar bore adalah sejenis akar tanaman yang mengandung racun sehingga dapat memabukkan ikan (Gambar 12). Tumbuhan ini umumnya digunakan untuk menangkap napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp), meskipun realitasnya ikan-ikan karang lainnya ikut terpengaruh.
Gambar 12. Pohon bore. Proses ekstraksi racun dari akar bore sangat sederhana. Pohon bore yang banyak terdapat di Kepulauan Ayau dicabut kemudian dihancurkan dengan menggunakan batu. Tanaman bore yang telah hancur kemudian dicampur air,
54 diaduk dan selanjutnya diperas. Hasil perasan ini yang kemudian dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik yang merupakan wadah racun. Racun yang berasal dari akar bore digunakan dengan cara menaburkan cairan racun pada rongga-rongga karang. Rongga karang biasanya menjadi tempat berlindung ikan kerapu dan napoleon. Proses penaburan racun dilakukan dengan cara menyelam tanpa adanya bantuan kompresor. Satu-satunya alat bantu penangkapan yang digunakan dalam operasi penangkapan dengan akar bore adalah “kaca molo”. Kaca molo merupakan alat bantu penyelaman yang berfungsi memperjelas kondisi perairan. Waktu yang dibutuhkan dalam
operasi penangkapan relatif singkat.
Untuk membuat ikan pingsan hanya dibutuhkan waktu sekitar sepuluh menit terhitung sejak akar bore ditaburkan. Ikan-ikan yang telah pingsan ditangkap untuk selanjutnya dipindahkan ke dalam keramba.
Keramba ini berfungsi
sebagai tempat memulihkan kesadaran ikan tangkapan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari nelayan, waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan kesadaran ikan paling lama satu jam. Operasi penangkapan ikan dengan akar bore biasanya dilakukan oleh 2-3 orang nelayan menggunakan perahu “jonson”.
Perahu ini memilki ukuran
panjang 10 m; lebar 2 m dan dalam 1 m serta mesin tempel dengan kekuatan 15 PK. 3) Bubu Jenis bubu yang umum digunakan nelayan Ayau adalah tipe Buton dengan satu mulut (Gambar 13). Bubu terbuat dari serutan kulit bambu selebar 1 –1,5 cm yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai mata jaring segi enam. Namun ada pula bubu yang terbuat dari material jaring. Penggunaan material bubu sangat tergantung pada keinginan pemilik. Konstruksi bubu berbentuk persegi panjang dengan bagian belakang membulat dan bagian dekat mulut berbentuk lingkaran atau elips. Dimensi bubu yang digunakan bervariasi dengan ukuran panjang antara 0,75-1,00 m; lebar 1,25-1,50 m dan tinggi berkisar antara 0,35-0,50 m.
Mulut didisain sedemikian rupa agar memudahkan ikan
masuk kedalam bubu namun mengalami kesulitan saat hendak keluar. Untuk mengambil hasil tangkapan pada bagian belakang atau bawah bubu disediakan lubang pengambilan hasil tangkapan.
55
Gambar 13. Konstruksi bubu yang digunakan nelayan di Kepulauan Ayau. Pemasangan bubu dilakukan dengan cara menyelam setelah ditemukan lokasi pemasangan yang tepat.
Pertimbangan lokasi pemasangan bubu
didasarkan pada pengalaman nelayan.
Bubu dipasang dengan mulut
menghadap kearah daratan. Agar bubu tidak hanyut terbawa arus maka pada bagian atas bubu dipasang batu karang. Batu biasanya diambil dari karang hidup yang ada disekitar. Oleh karena itu alat ini di Kepulauan Ayau dikategorikan metode penangkapan destruktif. Pemasangan batu karang juga berfungsi sebagai kamuflase bagi ikan agar tertarik masuk kedalam bubu.
Operasi
penangkapan dengan alat tangkap ini biasanya dilakukan oleh 2-3 orang nelayan. Bubu dipasang di perairan pada pagi hari dan direndam selama 1-2 hari. Selama menunggu masa perendaman nelayan ada yang mengoperasikan alat tangkap lain seperti pancing untuk mengoptimalkan operasi penangkapan. Ilustrasi bubu yang dipasang pada perairan dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Ilustrasi bubu yang terpasang di perairan.
56 4) Senapan Salah satu teknologi penangkapan ikan yang tergolong tradisional untuk melakukan penangkapan ikan karang adalah senapan ikan. Alat ini dibuat dari bahan kayu yang dibentuk layaknya senapan. Konstruksi utama alat ini terdiri badan senapan, pelatuk dan tombak.
Badan senapan merupakan bagian
terbesar dari alat ini yang berfungsi sebagai tempat melekatnya pelatuk serta tempat pemasangan tombak yang siap ditembakkan ke arah ikan.
Agar
memudahkan penembakan ikan maka disediakan bagian pelatuk tepat di depan gagang senapan. Sebagai tombak digunakan material yang terbuat dari besi berdiameter sekitar 2 mm. Tombak dibentuk sedemikian rupa sehinggga pada bagian ujungnya berbentuk seperti mata kail sehingga ikan yang tertangkap tidak dapat melepaskan diri. Pada saat ditembakkan, tombak tetap terkait dengan badan senapan karena adanya tali yang menghubungkan kedua bagian konstruksi tersebut. Penangkapan dengan senapan dilakukan pada pagi hari. Operasi penangkapan ikan dengan senapan dimulai dengan kegiatan pengintaian ikan yang menjadi target penangkapan.
Pengintaian dilakukan dengan cara
menyelam tanpa menggunakan kompresor. Setelah ikan target terlihat maka pelatuk segera ditarik.
Kondisi ikan yang tertangkap dengan alat ini pasti
memiliki cacat pada bagian tubuhnya sehingga tidak direkomendasikan sebagai alat tangkap ikan karang yang baik. 5.1.1.2 Metode Penangkapan yang Tidak Destruktif 1) Hand line Pancing tergolong alat tangkap ikan karang yang paling umum digunakan. Alat ini pada dasarnya terdiri atas beberapa komponen utama, yaitu (1) roller, (2) tali pancing, (3) swivel (optional), (4) pemberat (5) kail (Gambar 15). Roller berfungsi sebagai wadah untuk menggulung tali pancing agar tidak kusut saat dioperasikan. Roller terbuat dari kayu atau tripleks yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyerupai huruf “H”. Namun nelayan juga sering memakai roller yang terbuat dari plastik yang banyak terdapat di toko-toko perlengkapan laut. Bahan tali pancing yang digunakan umumnya terbuat dari bahan nylon monofilament berwarna putih dengan ukuran nomor 200.
Untuk setiap unit
pancing ulur nelayan menggunakan panjang tali yang bervariasi antara 50-100 m.
57 Pemberat berfungsi memberikan gaya berat pada alat tangkap sehingga mata pancing dapat ditenggelamkan sesuai kedalaman yang diinginkan. Bahan pemberat terbuat dari timah (Pb) dengan berat perbuahnya berkisar antara 100200 gr. Bentuk pemberat umumnya seperti peluru yang pada bagian tengahnya terdapat lubang berdiameter sekitar 3 mm. Mata pancing terletak menyatu dengan pemberat dan diletakkan dibagian bawah pemberat. Bahan mata pancing yang umum digunakan adalah besi baja dengan ukuran mata 7,8 dan 9.
Pada saat pemasangan umpan sedapat
mungkin mata pancing terlindung oleh umpan.
Jenis umpan yang dipakai
biasanya terdiri atas ikan-ikan berukuran kecil seperti kembung (Rastrelliger sp) dan selar (Caranx sp).
Gambar 15. Konstruksi pancing ulur yang digunakan nelayan Ayau. Operasi penangkapan ikan dengan pancing ulur umumnya dilakoni oleh 1-2 orang nelayan. Kegiatan penangkapan kerapu (Epinephelus sp) maupun napoleon (C. undulatus) malam.
biasanya dilakukan pada pagi hingga menjelang
Ilustrasi operasi penangkapan dengan pancing ulur disajikan pada
gambar berikut:
58
Gambar 16. Ilustrasi pengoperasian pancing ulur. 2) Pancing tonda Pada umumnya pancing tonda dioperasikan di sekitar permukaan untuk menangkap ikan-ikan pelagis besar.
Namun di Kepulauan Ayau, dengan
melakukan modifikasi konstruksi maka alat tangkap ini dapat digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Penggunaan pancing tonda sebagai alat tangkap ikan karang pertama kali diperkenalkan oleh pengusaha dari Hongkong pada Tahun 1998. Hingga saat ini trend penggunaan pancing tonda terus mengalami peningkatan. Seperti halnya pancing tonda di daerah lainnya di Indonesia, konstruksi pancing tonda terdiri atas 8 (delapan) bagian, yaitu: (1) tali utama, (2) tali cabang, (3) mata pancing, (4) umpan buatan, (5) pemberat, (6) swivel, (7) gulungan dan (8) tali pancing (Gambar 17). Keunikan pancing tonda di Ayau terletak pada konfigurasi pemberat yang digunakan yang dipadukan dengan metode operasi yang tepat sehingga umpan dapat mencapai kedalaman yang dinginkan. Deskripsi pancing tonda yang digunakan di Kepulauan Ayau disajikan pada Tabel 11.
59 Tabel 11. Deskripsi pancing tonda yang digunakan nelayan Kepulauan Ayau Komponen konstruksi Tali utama
PA monofilamen nomor 600-800
Panjang 200 m
Tali cabang
PA monofilamen nomor 300-500
Panjang 75-100 cm
Swivel
Stainless steel
Pemberat
Timah
1,5-2,5 kg
Mata pancing
Besi baja
Nomor 8-10
Tali pegangan
Kawat baja
Panjang 50-100 m
Bahan
Dimensi
Gambar 17. Konstruksi pancing tonda di Kepulauan Ayau Tali pancing diletakkan disamping kapal menggunakan alat bantu joran yang panjangnya sekitar 5 m dengan diameter 4-5 cm. Untuk mengatur panjang pendeknya tali pancing digunakan kumparan yang terbuat dari stainless steel. Untuk setiap pengoperasian pancing tonda umumnya digunakan 2-4 tali pancing tergantung jumlah ABK yang mengikuti operasi penangkapan. Pengoperasian pancing tonda oleh nelayan Ayau menggunakan umpan buatan maupun umpan yang berasal dari potongan ikan. Umpan buatan terbuat
60 dari plastik yang berbentuk rumbai-rumbai dengan satu atau beberapa kombinasi warna. Warna yang dipilih umumnya berwarna cerah atau cenderung transparan. Ukuran umpan tergantung nomor mata pancing yang digunakan. Semakin besar ukuran mata pancing maka ukuran umpan yang dipakai semakin besar. Sebagai gambaran, untuk ukuran mata pancing nomor 10 maka ukuran umpan yang dipakai adalah 2,5 – 5 cm. Adapun untuk ukuran mata pancing nomor 9 maka digunakan umpan berukuran 6,5 cm. Saat pengoperasian kapal tonda menarik pancing dengan cara berputar disekitar wilayah perairan karang (fishing ground).
Kecepatan kapal saat
menarik pancing berkisar antara 2-3 knot, sehingga pancing berada pada kolom perairan namun tidak sampai menyentuh karang. Operasi dilakukan pada pagi hari. Ilustrasi tentang pengoperasian pancing tonda dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 18. Ilustrasi pengoperasian pancing tonda. 3) Jaring insang dasar Jaring insang merupakan alat tangkap yang berbentuk persegi panjang dan dibentuk oleh beberapa komponen konstruksi seperti jaring, tali temali, pelampung dan pemberat (Gambar 19).
Spesifikasi jaring insang yang
digunakan nelayan Ayau disajikan pada tabel berikut:
61 Tabel 12. Spesifikasi jaring insang di Kepulauan Ayau Deskripsi Komponen konstruksi
Jumlah jaring Jumlah nelayan
Rincian Panjang Dalam Mesh size Bahan Pelampung Pemberat Jarak antar pelampung Jarak antar pemberat Diameter tali ris atas Jangkar 1-2 pis 2-3 orang
: : : : : : : : : :
30-35 m 4-8m 2-2,5 inci PA multifilamen Karet/styloform Timah dan batu 0,4 m 0,75 m 5 mm Kayu
Gambar 19. Konstruksi jaring insang dasar di Kepulauan Ayau. Operasi penangkapan dengan menggunakan alat tangkap ini hanya dilakukan pada malam hari, yaitu antara jam 17.00-05.00. Secara umum ada 4 (empat) tahap kegiatan dalam operasi penangkapan, yaitu (1) pencarian fishing ground, (2) penurunan jaring, (3) pengecekan dan (4) penarikan jaring. Tahap penurunan jaring dimulai dengan penurunan pelampung tanda yang dikuti dengan badan jaring hingga perendaman alat tangkap selama sekitar 6-7 jam. Setelah direndam alat tangkap dicek untuk memastikan adanya hasil tangkapan. Biasanya kegiatan ini dilakukan antara jam 23.00-24.00 WITA. Setelah dicek jaring diturunkan kembali untuk selanjutnya diangkat pada pagi hari. operasi jaring insang
Tipe
yang dipakai untuk menangkap ikan karang adalah set
gillnet sehingga pada tahap awal dan akhir penurunan jaring diikutkan pula
62 pemasangan jangkar/pemberat yang memungkinkan alat tangkap tetap berada pada posisi semula.
Gambar 20. Ilustrasi pengoperasian jaring insang dasar. 5.1.2 Sumberdaya Ikan Karang di Kepulauan Ayau Sumberdaya ikan karang di Kepulauan Ayau sangat beragam, baik yang tergolong jenis ikan karang konsumsi maupun ikan karang hias. Ikan karang konsumsi didominasi oleh jenis kerapu (Epinephelus sp), kakap (Lutjanus sp), kakatua (Choerodon sp), napoleon (C. undulatus), baronang (Siganus sp) dan ekor kuning (Caesio sp).
Adapun ikan karang hias didominasi oleh famili
Pomacanthidae seperti bidadari (Pomacanthus sp) dan famili Chaetodontidae seperti kepe-kepe (Chaetodon sp). Dari berbagai jenis ikan tangkapan nelayan, ikan napoleon dan kerapu merupakan target utama sedangkan jenis ikan lainnya dapat dikategorikan tangkapan non-target.
Berkaitan dengan hal tersebut
pembahasan mengenai komoditas ikan karang selanjutnya diarahkan pada komoditas kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara terhadap terhadap nelayan yang melakukan penjualan ikan kepada pengusaha (inti) selama bulan Januari 2005 diketahui bahwa jumlah ikan yang tertangkap sebanyak 2.284 ekor dengan berat total 1.337,8 kg. Kerapu (Epinephelus sp) merupakan jenis ikan yang dominan ditangkap oleh nelayan dengan persentase sebesar 55,52 % (Gambar 21).
Untuk hasil tangkapan napoleon (C. undulatus) dan kerapu
(Epinephelus sp),
jumlah komoditas yang berukuran kecil (300-500 gr/ekor)
berjumlah 880 ekor, sedangkan yang berukuran besar (>500 gr) berjumlah 1.006 ekor (Lampiran 7).
Penetapan kelas ukuran ikan kecil dan besar didasarkan
63 pada aturan yang ditetapkan oleh pedagang yang dikolaborasikan dengan peraturan-peraturan tentang ukuran ikan yang boleh ditangkap yang berlaku di daerah kajian.
n =2.284 ekor (1337,8 kg) Non-target 17,43% (133,7 kg)
Napoleon 27,06% (416,6 kg)
Kerapu 55,52% (787,5 kg) Gambar 21. Komposisi hasil tangkapan ikan yang ditangkap oleh nelayan di Kepulauan Ayau selama Desember 2004. 5.1.2.1 Produksi Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu (Epinephelus sp) Berdasarkan data produksi ikan karang yang dikumpulkan dari nelayan dan pengusaha kemudian dikonfrontir dengan data yang ada di kantor desa masing-masing distrik, terlihat bahwa jumlah produksi dua jenis ikan yaitu napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp) selama kurun waktu lima tahun (2000-2004) cenderung mengalami fluktuasi. Produksi ikan tertinggi untuk ikan napoleon dan kerapu dicapai pada tahun 2000 dengan volume masingmasing 8.005 kg dan 24.610 kg (Gambar 22). Adapun produksi terendah untuk ikan napoleon (C. undulatus) terjadi pada tahun 2004 dengan volume 2.300 kg, sedangkan produksi terendah kerapu (Epinephelus sp) terjadi pada tahun 2001 dengan volume 11.895 kg.
64
25000
Produksi (kg)
20000
15000
Napoleon Kerapu
10000
5000
0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 22. Perkembangan produksi napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp) yang ditangkap nelayan Ayau (2000-2004). 5.1.2.2 Upaya Penangkapan Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu (Epinephelus sp) Seperti telah diulas sebelumnya, ada 7 metode penangkapan yang umum digunakan oleh nelayan setempat untuk menangkap napoleon (C. undulatus) dan kerapu (Epinephelus sp). Upaya penangkapan dari masing-masing alat tangkap untuk kedua komoditas tersebut berfluktuasi setiap tahunnya. Namun demikian dari dua jenis komoditas yang menjadi fokus penelitian, upaya penangkapan alat tangkap akar bore masih dominan dibandingkan alat tangkap lain. Berdasarkan data yang diperoleh dari pengusaha (plasma) selama kurun waktu lima tahun (2000-2004) diketahui bahwa jumlah trip tahunan untuk komoditas napoleon (C. undulatus) untuk seluruh jenis alat tangkap rata-rata mencapai 3.848 trip.
Alat yang paling sering digunakan oleh nelayan untuk
menangkap napoleon (C. undulatus) adalah akar bore dengan jumlah trip ratarata mencapai 1.088 trip sedangkan alat tangkap yang paling jarang digunakan adalah senapan dengan jumlah trip rata-rata 94 per tahun. Gambaran masingmasing trip penangkapan untuk komoditas napoleon (C. undulatus) selama periode 2000-2004 disajikan pada Gambar 23. Seperti halnya komoditas napoleon (C. undulatus), alat tangkap yang paling dominan digunakan oleh nelayan untuk menangkap kerapu (Epinephelus sp) adalah akar bore dan diikuti dengan alat tangkap pancing ulur (hand line). Rata-rata trip penangkapan akar bore selama tahun 2000-2004 adalah 1.465 trip.
65 Adapun untuk alat tangkap hand line, rata-rata trip penangkapan tahunan periode yang sama bejumlah 1.266 trip. Rata-rata trip tahunan untuk seluruh jenis alat tangkap pada periode tersebut adalah 4.898 trip. Antara tahun 20002004, perkembangan jumlah trip tahunan alat tangkap cenderung berfluktuasi. Pengecualian pada alat tangkap bubu, gillnet dan senapan yang cenderung konstan tiap tahunnya (Gambar 24) 1500 1350 1200 POTASSIUM
Effot (trip)
1050
AKAR BORE
900
HAND LINE
750
TROLL LINE
600
BUBU
450
GILLNET SENAPAN
300 150 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 23. Perkembangan upaya tangkap napoleon (C. undulatus) selama tahun 2000-2004.
2000
Effort (trip)
1800 1600
POTASSIUM
1400
AKAR BORE
1200
HAND LINE TROLL LINE
1000
BUBU
800
GILLNET
600
SENAPAN
400 200 0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 24. Perkembangan upaya tangkap kerapu (Epinephelus sp) selama tahun 2000-2004.
66 5.1.2.3 Hasil Tangkapan Per Upaya Tangkap (CPUE) T ahunan Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu (Epinephelus sp) Nilai CPUE rata-rata untuk seluruh jenis alat tangkap yang menangkap napoleon (C. undulatus) selama periode 2000-2004 berkisar antara 0,54151,9363. CPUE tertinggi dihasilkan oleh metode penangkapan dengan akar bore sedangkan nilai CPUE terendah dihasilkan senapan. Dengan memperhatikan nilai rata-rata CPUE tersebut maka akar bore dijadikan sebagai alat tangkap standar.
Penentuan akar bore sebagai alat standar hanya semata-mata untuk
kepentingan perhitungan potensi ikan dan tidak terkait dengan strategi pengelolaan perikanan karang dimasa mendatang. Nilai rata-rata CPUE tahunan tertinggi dicapai pada tahun 2000 sebesar 3,416. Adapun rata-rata nilai CPUE tahunan terendah terjadi pada tahun 2004 yang nilainya hanya 1,2958 (Gambar 25). 3,5 3,0
POTASSIUM
2,5
AKAR BORE
CPUE
HAND LINE
2,0
TROLL LINE
1,5
BUBU GILLNET
1,0
SENAPAN
0,5 0,0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 25. Laju hasil tangkapan per upaya tangkap standar napoleon (C. undulatus) selama tahun 2000-2004. Untuk kerapu (Epinephelus sp) nilai CPUE rata-rata tahunan berkisar antara 2,2208-5,2404. Rata-rata tahunan CPUE tertinggi dicapai pada tahun 2004, sedangkan yang terendah dicapai tahun 2003. Dari keseluruhan jenis alat tangkap yang menangkap ikan kerapu, akar bore merupakan alat tangkap dengan rata-rata CPUE tahunan tertinggi dengan nilai 5,2404 sehingga dijadikan sebagai alat tangkap standar. Nilai rata-rata CPUE tahunan terendah diperoleh alat tangkap pancing ulur dengan nilai rata-rata tahunan 2,2208 (Gambar 26).
67 7,0 6,0 POTASSIUM
CPUE
5,0
AKAR BORE HAND LINE
4,0
TROLL LINE
3,0
BUBU GILLNET
2,0
SENAPAN
1,0 0,0 2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 26. Laju hasil tangkapan per upaya tangkap standar kerapu (Epinephelus sp) selama tahun 2000-2004. 5.1.2.4 Pendugaan Nilai Hasil Tangkapan Maksimum Lestari dan Upaya Tangkap Optimum Napoleon (C. undulatus) dan Kerapu Epinephelus sp) Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan model Schaefer diketahui nilai dugaan potensi lestari napoleon (C. undulatus) di wilayah Kepulauan Ayau sebesar 10347,1097 kg. Sedangkan pendugaan nilai upaya penangkapan optimum (fopt ) adalah sebesar 9088 trip (Gambar 27) .
Eopt =9.088 trip; Produksi MSY = 10,347,1097 kg
11.000 10.000 9.000 Produksi (kg)
8.000
C = 2,2772 E-0,00012 E2
2000
7.000 2003
6.000
2002
5.000 4.000
2001
3.000 2004
2.000 1.000 0 0
2.000
4.000 6.000
8.000 10.000 12.000 14.000 16.000 18.000 20.000 Effort (trip)
Gambar 27. Potensi napoleon (C. undulatus) di Kepulauan Ayau.
68 Analisis potensi dengan menggunakan model Schaefer pada komoditas kerapu (Epinephelus sp) menunjukkan nilai intercept (a) sebesar 6,5583 dan nilai slope (b) sebesar –0,00035. nilai dugaan potensi lestari kerapu (Epinephelus sp) di Kepulauan Ayau sebesar 30063,0867 kg dengan upaya optimal sebesar 9.168 trip (Gambar 28). Eopt =9.168 trip; Produksi MSY = 30,063,0867 kg
33.000 30.000 27.000
2004
Produksi (kg)
24.000
C = 6,5583 E-0,00035 E2
2002
21.000
2001
18.000
2000
15.000 12.000
2003
9.000 6.000 3.000 0 0
2.000
4.000
6.000
8.000 10.000 12.000 14.000 16.000 18.000 20.000 Effort (trip)
Gambar 28. Potensi kerapu (Epinephelus sp) di Kepulauan Ayau. 5.1.3 Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang yang terdapat di wilayah Kepulauan Ayau tergolong jenis terumbu karang tepi (fringging reef).
Jenis karang yang dominan di
temukan di wilayah ini berasal dari genus Acropora, Montipora, Porites dan Galaxea. Penilaian terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah Kepulauan Ayau dilakukan dengan cara wawancara dengan informan yang telah melakukan kegiatan penangkapan ikan karang sejak tahun 1990 yang selanjutnya dikonfrontir dengan hasil citra satelit yang diperoleh dari PT. Sinar Sakti Nusaraya tahun 2002. Berdasarkan
hasil
wawancara,
mayoritas
responden
(60%)
mengatakan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di Kepulauan Ayau relatif dalam kondisi baik jika dibandingkan awal tahun 1990 hingga 1993 (Lampiran 14).
Semakin membaiknya kondisi ekosistem terumbu karang diindikasikan
dengan berkurangnya luasan karang mati yang ditemukan saat melakukan penangkapan ikan karang serta mulai tumbuhnya karang-karang yang patah/rusak di beberapa area Kepulauan Ayau. Terjadinya degradasi ekosistem
69 terumbu karang pada awal dekade 90-an diakibatkan penggunaan racun sianida untuk melakukan penangkapan napoleon (C. undulatus) yang dilakukan oleh perusahaan Grevis serta akibat
maraknya kegiatan pengeboman ikan yang
dilakukan oleh nelayan dari Ternate. Semakin membaiknya kondisi ekosisitem terumbu karang di Kepulauan Ayau juga diperkuat dengan hasil analisis citra Landsat_TM 7 serta pengamatan lapangan dengan menggunakan metode Manta Tow yang dilakukan oleh PT. Sinar Sakti Nusaraya pada tahun 2001. Berdasarkan data Distribusi spasial kawasan terumbu karang yang dilakukan dengan
menggunakan data Citra Satelit Landsat_TM 7 dengan
kombinasi (komposit) kanal 321, 421, dan 542 (RGB) yang selanjutnya diolah dengan menggunakan model Lyzengga diketahui bahwa ada 6 (enam) kelas penutupan dasar perairan di Kepulauan Ayau yaitu kelas karang mati, karang hidup, lamun, karang campur pasir, darat, dan pasir (Gambar 29 dan Tabel 13). Pada hasil klasifikasi citra Landsat_TM 7 tahun 2001, menunjukkan bahwa terumbu karang hidup yang ditandai dengan Biru Muda mempunyai luasan sebesar 81.9381 km 2 dan masih kelihatan baik serta penyebarannya merata di semua wilayah pulau.
Pada hampir seluruh bagian pulau, terlihat
terumbu karang hidup menyebar dan menyusuri dangkalan pasir, sehingga penampakaan terumbu karang sangat jelas karena kondisi dasar perairan yang relatif dangkal dan landai sehingga sebaran terumbu karang sangat mudah dilihat. Penampakkan terumbu karang mati, yang ditandai dengan warna Merah dengan luasan sebesar 17.2935 km 2 serta juga tersebar merata di semua wilayah pulau. Kerusakan terumbu karang umumnya disebabkan oleh pengaruh hantaman ombak dan terutama terlihat sepanjang pinggir terumbu karang yang berhadapan dengan laut. Sementara itu pola kerusakan terumbu karang yang terdapat pada bagian dalam umumnya disebabkan oleh karena pemakaian bahan yang merusak lingkungan seperti potasium dan bom.
70
(a)
(b)
(c)
(d)
Sumber: Sinar Sakti Nusaraya, 2002 Gambar 29. Hasil citra satelit Landsat_TM di Kepulauan Ayau: (a) komposit 321; (b) komposit 421; (c) komposit 542; (d) model Lyzengga
Tabel 13. Luasan hasil klasifikasi citra Landsat_TM Kepulauan Ayau No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kelas Karang mati Karang hidup Karang + pasir Lamun Pasir Darat Total
Luas (km2) 17.2935 81.9381 92.3445 94.8519 175.3434 11.1456 472.917
71 Pengamatan lapangan yang dilakukan dengan menggunakan metode “Manta Tow” pada 5 distrik di Kepulauan Ayau memperlihatkan bahwa persen penutupan karang hidup rata-rata diatas 60 %. Persentase penutupan karang hidup ditemukan di Distrik Reni dan Dorekhar dengan persentase mencapai 70 % (Tabel 14). Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, kondisi terumbu karang di Kepulauan Ayau dapat dikategorikan sangat baik. Kerusakan yang terjadi pada beberapa wilayah lebih disebabkan fenomena alamiah meskipun masih ada kerusakan yang disebabkan penggunaan bahan peledak dan potasium dalam penangkapan ikan serta pengambilan batu karang oleh penduduk untuk bahan bangunan. Tabel 14. Persen penutupan karang dengan Metode Manta Tow di Kepulauan Ayau No 1. 2. 3. 4. 5.
5.1.4
Coral Cover (%)
Lokasi Tow Desa Rutum Desa Reni Desa Meosbekwan Desa Dorehkar Desa Jenkawir
Hidup
Mati
Soft
65 70 60 70 65
10 10 25 15 15
25 20 15 15 10
Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan Perikanan Karang Pengelolaan perikanan karang di wilayah Kepulauan Ayau melibatkan
tiga pihak, yaitu pemerintah, pengusaha dan nelayan.
Masing-masing pihak
memilki perananan serta perspektif yang berbeda terhadap pengelolaan perikanan karang. Pemerintah dalam pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau memilki peran sebagai regulator, fasilitator untuk pembangunan sarana dan prasarana perikanan, dan pembuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikana karang, pelaksana kebijakan serta pengawas kebijakan yang dibuat. Beberapa aksi pemerintah dalam pengelolaan perikanan karang di Kabupaten Raja Ampat adalah sebagai berikut: (1) Melarang penggunaan alat atau bahan yang dapat merusak atau mencemari lingkungan laut; (2) Hanya menerbitkan izin usaha penangkapan ikan kerapu dan napoleon kepada nelayan lokal;
72 (3) Memberikan rekomendasi usaha pengumpulan kerapu (Epinephelus sp) dan napoleon (C. undulatus) hanya pada kelompok nelayan binaan asal dari daerah setempat yang bernaung dalam wadah kerjasama dengan pola PIR; (4) Melakukan pembatasan perdagangan ikan napoleon hanya untuk ukuran 1-3 kg baik untuk antar pulau maupun antar daerah; (5) Hanya merekomendasikan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan; dan (6) Mengarahkan usaha budidaya daripada usaha penangkapan ikan di laut untuk mengurangi dampak penggunaan alat tangkap yang merusak. Pengusaha
merupakan
stakeholder
yang
sangat
berkepentingan
terhadap terjaminnya ketersediaan sumberdaya ikan karang untuk kontinuitas usahanya. Peran terbesar dari pengusaha adalah distribusi ataupun pemasaran hasil tangkapan ikan karang nelayan serta pemberian bantuan kepada nelayan untuk melakukan penangkapan ikan. Bentuk bantuan yang diberikan pengusaha tidak hanya terfokus pada pemberian modal operasional penangkapan maupun penyediaan sarana penangkapan ikan namun juga dalam bentuk pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok nelayan dan keluarganya. Nelayan memilki kepentingan dalam pemanfaatan potensi sumberdaya ikan karang di wilayah Kepulauan Ayau.
Pemanfaatan potensi tersebut
dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi nelayan ataupun untuk dijual kepada pengusaha.
Selain pemanfaatan potensi perikanan karang,
nelayan juga terlibat dalam kegiatan pengambilan batu karang untuk pembangunan rumah serta pengambilan pasir untuk memperbaiki lantai rumah. 5.1.5
Peraturan yang Berkaitan dengan Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau
Pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau dipengaruhi oleh peraturan-peraturan baik yang bersifat formal yang berasal dari pemerintah maupun yang bersifat tradisonal yang berasal dari dari norma-norma lokal yang berkembang di masyarakat. 1) Aturan Formal Acuan formal yang digunakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan perikanan karang di wilayah perairan Indonesia adalah Undang-Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004, Undang-Undang No 5 Tahun 1995 tentang konservasi sumberdaya hayati dan Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang
73 pengelolaan lingkungan hidup.
Aturan-aturan tersebut berlaku untuk semua
wilayah di Indonesia. Dalam pasal 8 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan secara jelas disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Larangan tersebut tidak hanya ditujukan pada perorangan namun juga pada Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan dan anak buah kapal (Pasal 8 ayat 2) dan Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan dan/atau operator kapal perikanan (Pasal 8 ayat 3). Pelanggaran terhadap pasal-pasal tersebut akan dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah) bagi pelanggaran Pasal 8 ayat 1 dan 2. Untuk pelanggaran pasal 8 ayat 3 akan dikenakan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Hal tersebut tertuang dalam Bab XV mengenai Ketentuan Pidana pada Pasal 84 ayat 1 sampai 3. Pada Pasal 12 ayat 1 dikemukakan pula bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Bagi pelanggar pasal ini dikenakan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (Pasal 86 ayat 1). Berkaitan dengan penangkapan ikan kerapu dan ikan karang lainnya penerbitan izin usaha dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 509/KPTS/IK/120/J/1995 jo SK Dirjen Perikanan No. 1251/KPTS/KL 420/II/98.
Dalam izin tersebut disebutkan tentang larangan
penggunaan bahan peledak, racun, obat bius dan bahan kimia lainnya untuk menangkap ikan.
Peralatan tangkap yang diperbolehkan adalah peralatan
tradisional seperti pancing, bubu dan gillnet. Operasi penangkapan ikan karang tersebut dilakukan dengan cara kerjasama kemitraan antara nelayan tradisonal (plasma) dengan perusahaan (inti) yang mengacu pada Pedoman Kemitraan Usaha Perikanan dengan pola perusahaan inti rakyat (PIR).
Dalam hal ini
74 penangkapan hanya boleh dilakukan oleh nelayan tradisional dan tidak dibenarkan oleh perusahaan. Sebagai bentuk implementasi dari SK Menteri Pertanian tersebut, pada tingkatan kecamatan larangan tentang penggunaan bahan peledak, racun, obat bius, dan bahan kimia lainnya dalam penangkapan ikan dituangkan dalam Surat Edaran Camat No 300/329/98 tanggal 18 November 1998. Dalam surat daran tersebut secara jelas disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang menangkap ikan dengan menggunakan pottasium, akar tuba dan bahan peledak lainnya. Peraturan mengenai izin penangkapan napoleon mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No: HK.330/DJ.8259/95 jo nomor; HK.330/DJ.663/96 tentang ukuran lokasi dan
tata cara penangkapan ikan
napoleon. Berdasarkan peraturan tersebut ukuran ikan napoleon yang boleh ditangkap harus memiliki berat lebih dari 600 gr. Izin penangkapan ini dikeluarkan dengan syarat dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan pola kemitraan (pola PIR). Perusahaan sebagai inti diberikan izin pengumpulan lokal sedangkan kelompok nelayan sebagai plasma diberikan izin penangkapan. Selain hak perusahaan untuk mengumpulkan ikan, perusahaan juga memilki kewajiban untuk membudidayakan ikan napoleon di lokasi pengumpulan. 2) Aturan Tradisional Selain adanya aturan formal tentang pengelolaan perikanan karang, di Kepulauan Ayau berlaku pula aturan tradisional yang besumber dari normanorma dan aturan tradisional yang telah berlaku sejak lama. Aturan tradisional yang berlaku dikenal dengan istilah sasi.
Sasi
melindungi
dapat
sumberdaya
berkesinambungan.
laut
agar
pada prinsipnya bertujuan dimanfaatkan
secara
Dalam prakteknya, sasi merupakan larangan untuk
mengambil ataupun memanfaatkan jenis sumberdaya tertentu dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Jangka waktu pelaksanaan sasi sekitar 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang jika dianggap masih diperlukan. Jenis sumberdaya laut yang akan di sasi ditentukan secara bersama oleh anggota masyarakat yang terlibat
dan selanjutnya disahkan oleh gereja.
Pengesahan sasi oleh gereja diawali dengan ritual pemberian persembahan untuk gereja dalam bentuk uang yang besarnya Rp 50.000.
Setelah
persembahan diserahkan, majelis umat akan melakukan doa yang merupakan
75 tanda bahwa sumberdaya alam tertentu sedang di tutup atau di sasi untuk semua orang. Pada saat ini pemberlakukan mempengaruhi
kondisi
tersebut
sasi semakin longgar.
adalah
semakin
Faktor yang
tingginya
permintaan
sumberdaya laut yang diikuti dengan tingginya harga komoditas.
Dalam
pelaksanaan sasi tidak terdapat sanksi tertulis bagi pelanggar aturan. Meskipun demikian, masyarakat sekitar mempercayai bahwa orang yang melanggar sasi akan terkena musibah sakit keras. Cara pengobatan bagi pelanggar sasi harus dilakukan dengan pengakuan dosa dan pengampunan melalui gereja. 5.2 Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau Penilaian status keberlanjutan pengelolaan perikanan karang dilakukan dengan menggunakan 5 indikator, yaitu (1) ekologi, (2) Sosial-kemasyarakatan, (3) Teknologi, (4) Ekonomi dan (5) Kelembagaan. Masing-masing parameter diderivasikan menjadi atribut-atribut yang akan menentukan tingkat keberlanjutan dari pengelolaan perikanan karang. 5.2.1 Penilaian Indikator Pengelolaan Perikanan Karang 1) Indikator ekologi §
Status penangkapan Hasil pendugaan potensi terhadap dua jenis komoditas ikan karang dominan yaitu napoleon dan kerapu menunjukkan bahwa potensi ke dua ikan tersebut tiap tahunnya mencapai 10.347,1097 kg dan 30.063,0867. Kisaran tangkapan selama kurun lima tahun terakhir untuk napoleon adalah 2.3008.005 kg. Tingkat pemanfaatan maksimum napoleon terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 77,36 %. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ini masih dibawah Total Allowable Catch yang besarnya 8227,6878 kg/tahun Jumlah tangkapan kerapu setiap tahun berkisar antara 11.941-25.060 kg selama kurun waktu tahun 2000-2004. Kuantitas tangkapan kerapu yang diperoleh tersebut mengindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan maksimum dari sumberdaya telah mencapai 83,36 % atau melebihi Total Allowable Catch (TAC) ikan kerapu yang besarnya 24.050,47 kg. Berdasarkan parameter nilai, status penangkapan perikanan karang di Kepulauan Ayau diberi nilai 1 (satu) yang berarti status penangkapannnya sudah mendekati bahkan melebihi TAC namun belum mencapai titik MSY.
76 §
Ukuran ikan tangkapan Ikan karang yang menjadi target penangkapan nelayan umumnya adalah komoditas yang memiliki nilai ekonomis penting. Untuk kepentingan pemasaran, ukuran ikan yang dapat dijual dibatasi pada kelas ukuran tertentu dengan berat mulai 300 gram. Berdasarkan pengukuran panjang ikan yang dilakukan, diketahui bahwa untuk bobot ikan sebesar 300 gram, panjang ikan mencapai 15-20 cm.
Prosentase tangkapan ikan berukuran kecil (baby)
dengan yang berukuran besar super (>500 gram) untuk komoditas kerapu dan napoleon adalah 46,66 % berbanding 53,34 %.
Berdasarkan
perbandingan prosentase tersebut maka untuk parameter ukuran ikan tangkapan diberi nilai 1 yang berarti rata-rata ukuran ikan yang tertangkap relatif sama dengan ukuran ekonomis. §
Keragaman ikan yang tertangkap Variasi jenis ikan karang yang ditangkap oleh nelayan di Kepulauan Ayau relatif kecil. Berdasarkan pengamatan terhadap hasil tangkapan ikan karang, persentase tangkapan ikan kerapu mencapai 55,52 % dan ikan napoleon sebesar 21,06 %.
Kedua jenis ini digolongkan sebagai hasil
tangkapan target (target spesies).
Untuk tangkapan ikan non target
persentase tangkapan hanya sebesar 17, 43 %. Spesies ikan yang tergolong tangkapan non-target antara lain pari (Dasyatis sp) dan kakatua (Chaerodon sp), serta berbagai spesies ikan hias laut seperti bidadari (Pomacanthus) dan kepe-kepe (Chaetodon sp). Merujuk pada sistem nilai indikator dengan mempertimbangkan pengamatan yang ada maka untuk indikator ini diberi nilai 1 yang berarti tangkapan non target sedang. §
Ikan yang dibuang/tidak dimanfaatkan Hasil tangkapan ikan karang yang diperoleh nelayan, umumnya dijual dalam bentuk hidup kepada pedagang (plasma).
Ikan-ikan yang tidak
memenuhi kriteria ekonomis maupun yang berasal dari spesies -spesies lain selain dua spesies utama biasanya diperuntukkan untuk konsumsi keluarga. Jika jumlahnya berlebih maka dilakukan pengolahan terhadap ikan-ikan tersebut dalam bentuk ikan asin maupun ikan asap. Penilaian kuantitatif terhadap presentase jumlah ikan yang tidak dimanfaatkan/atau dibuang selama proses penangkapan ikan sulit ditetapkan. Hanya saja jika mengacu pada penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jumlah ikan yang
77 dibuang sangat sedikit. Berdasarkan kesimpulan tersebut maka nilai kriteria bagian ini adalah 2 (dua). Artinya jumlah ikan yang dibuang sangat sedikit berkisar antara 0-10 %. §
Kualitas lingkungan Penilaian tingkat kerusakan lingkungan didekati dengan menggunakan parameter hasil wawancara dengan informan dan dibandingkan dengan hasil analisis visual dan digital dari citra satelit Landsat_TM tahun 2001. Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas responden mengatakan bahwa kondisi perairan karang di Kepulauan Ayau masih dalam kondisi baik setidaknya jika dibandingkan dengan kondisi karang pada awal dekade 90an. Hasil analisis citra satelit serta pengamatan langsung dengan menggunakan metode manta tow juga menunjukkan hal yang serupa. Meskipun secara umum kondisi perairan karang di wilayah kajian masih tergolong baik namun ditemukan adanya bukti kerusakan karang yang diakibatkan pemakaian bahan peledak dan potasium dalam penangkapan ikan serta pengambilan karang oleh penduduk untuk pembangunan rumah. Berdasarkan gambaran tersebut maka nilai indikator kualitas lingkungan adalah 1 yang berarti ada bukti kerusakan lingkungan.
2) Indikator teknologi §
Lama trip Lama trip penangkapan ikan karang yang dilakukan nelayan di Kepulaun Ayau sangat variatif tergantung pada jenis kapal yang digunakan, besarnya
perbekalan
dan
jumlah
tangkapan
yang
telah
diperoleh.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan diketahui bahwa lama trip setiap operasi penangkapan berkisar antara 1-6 hari. Perahu layar umumnya memiliki trip penangkapan selama satu hari (one day fishing), sedangkan perahu katinting memiliki trip penangkapan antara 2 sampai 3 hari. Adapun untuk kapal jonson, lama trip penangkapan berkisar antara 3-6 hari. Kegiatan penangkapan ikan karang banyak dilakukan dengan menggunakan kapal jenis katinting dan jonson terutama yang mengoperasikan alat akar bore, potasium dan pancing tonda.
Secara rata-rata lama trip kegiatan
penangkapan ikan yang dianalisis berkisar antara 3-4 hari. Oleh sebab itu dalam skala penilaian indikator lama trip diberi nilai 1.
78 §
Fishing base Komoditas ikan karang merupakan komoditas ekomomis tinggi yang memiliki orientasi ekspor. bentuk hidup.
Ikan-ikan tersebut umumnya dibutuhkan dalam
Mekanisme perdagangan yang berjalan selama ini adalah
nelayan langsung menjual hasil tangkapan yang diperoleh kepada plasma di lokasi penangkaran ikan yang dimiliki.
Selain itu plasma juga acap kali
datang langsung kepada nelayan untuk membeli hasil tangkapan yang mereka peroleh.
Fasilitas
pendaratan/lokasi khusus untuk mendaratkan
hasil tangkapan tidak ada. Berdasarkan gambaran tersebut maka penilaian terhadap parameter ini diberi nilai 0 yang berarti tidak ada tempat pendaratan khusus. §
Penanganan ikan sebelum di jual Pada indikator ini, kegiatan penangkapan ikan karang di Ayau di beri nilai 0 yang berarti ikan yang ditangkap oleh nelayan langsung di jual ke plasma. Umumnya nelayan tidak memelihara ikan hasil tangkapan di dalam keramba karena fasilitas tersebut telah dimilki oleh plasma. Berdasarkan pengamatan, setiap plasma yang berbasis di Ayau memilki keramba yang ditempatkan di tengah laut.
§
Penanganan ikan di atas kapal Ikan
karang
khususnya
napoleon
(C.
undulatus)
dan
kerapu
(Epinephelus sp) dibutuhkan dalam bentuk hidup. Komoditas yang telah mati memilki harga yang rendah bahkan tidak laku dijual sehingga hanya dimanfaatkan untuk konsumsi maupun diolah menjadi ikan asin. Berkaitan dengan hal tersebut nelayan di Kepulauan Ayau umumnya menempatkan hasil tangkapan mereka di dalam tangki-tangki hidup yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Melihat realitas tersebut maka secara nilai maka kegiatan
penanganan ikan di atas kapal diberi nilai 2. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa proses penanganan ikan di atas kapal berlangsung dengan sangat baik. §
Alat Tangkap Eksploitasi sumberdaya ikan karang di Kepulauan Ayau dilakukan dengan menggunakan tujuh metode penangkapan. Dari ke-tujuh metode tersebut tiga diantaranya bersifat pasif, yaitu: (1) pancing ulur, (2) bubu dan (3) jaring insang dasar. Secara umum mayoritas nelayan di wilayah ini lebih dominan
79 menggunakan metode penangkapan yang bersifat aktif di bandingkan yang pasif. Hasil perhitungan terhadap upaya penangkapan masing-masing alat selama periode 2000-2004 menunjukkan bahwa persentase jumlah nelayan yang menggunakan alat tangkap aktif sebesar 66,99 % atau setara 29.294 trip. Adapun jumlah trip penangkapan alat tangkap pasif sebesar berjumlah 14.436 trip (33,01 %). Berdasarkan prosentase tersebut maka secara nilai indikator alat tangkap adalah 0. §
Selektivitas alat tangkap Nilai indikator selektivitas alat adalah 1. Nilai tersebut berarti ada upaya yang dilakukan oleh nelayan untuk meningkatkan selektivitas alat yang dimilki.
Upaya meningkatkan selektivitas alat tangkap dominan dilakukan
pada metode pengoperasian alat sedangkan peningkatan selektivitas alat melalui modifikasi konstruksi alat belum pernah dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan diketahui bahwa nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap melakukan pemilihan terhadap spesies ikan yang akan di tangkap. Hal tersebut dimungkinkan karena mayoritas alat tangkap yang dioperasikan bersifat aktif. §
Ukuran kapal Ada tiga jenis kapal yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan karang, yaitu (1) kapal layar, (2) katinting dan (3) jonson. Proporsi ketiga jenis kapal tersebut di Kepulauan Ayau adalah 65:20:15. Dilihat dari segi ukuran kapal maka kapal layar dan katinting relatif memilki ukuran yang sama yaitu L: 6-7 m; B: 0,5-0,75 m dan D: 0,4-0,7 m. Perbedaan ke dua jenis kapal tersebut hanya terletak pada tenaga penggerak yang digunakan.
Kapal
katinting sudah menggunakan tenaga mesin yang berasal dari mesin serbaguna yang dimodifikasi. Untuk kapal jonson ukuran kapal yang diamati berkisar antara 9-12 m (L); 1,3-1,5 m (B) dan 0,8-1 (D). Jika melihat standard penilaian parameter maka ukuran kapal yang ada di wilayah ini diberi nilai 1. §
Catching power Penilaian terhadap catching power dipengaruhi oleh kapal dan alat tangkap.
Perubahan terhadap ke dua jenis komponen tersebut akan
mempengaruhi catching power dari suatu alat tangkap. Berdasarkan hasil wawancara
dengan
nelayan
upaya
modifikasi
alat
tangkap
untuk
meningkatkan hasil tangkapan hingga saat ini belum pernah dilakukan.
80 Hanya saja perubahan ukuran kapal untuk meningkatkan hasil tangkapan telah dilakukan. Berdasarkan informasi yang diperoleh proporsi kapal jonson yang digunakan oleh nelayan sudah mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2002, ditemukan bahwa sekitar 80% nelayan masih menggunakan perahu layar dalam melakukan penangkapan. Merujuk pada hal tersebut maka bobot parameter ini adalah 1, yang berarti ada upaya nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapan melalui perubahan terhadap alat tangkap maupun kapal. §
Efek penggunaan alat tangkap Eksploitasi sumberdaya ikan karang dilakukan dengan menggunakan tujuh jenis alat tangkap. Dari ketujuh jenis alat tersebut, potasium dan akar bore tergolong alat yang destruktif.
Sedangkan bubu dan senapan berpotensi
untuk merusak karang karena metode/teknik pengoperasian alat tangkap. Berdasarkan gambaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan perikanan masih didominasi praktek perikanan yang destruktif. Secara nilai, parameter ini diberi nilai 0. 3) Indikator sosial-kemasyarakatan §
Pola pemanfaatan sumberdaya Pemanfaaatan sumberdaya perikanan karang yang dilakukan oleh nelayan di Kepulauan Ayau umumnya dilakukan secara sendiri-sendiri tanpa adanya suatu komunitas khusus yang mewadahi aktivitas mereka. Meskipun demikian nelayan tersebut sudah memilki hubungan dengan plasma yang biasanya memberikan bantuan operasional kegiatan penangkapan.
Hasil
tangkapan nelayan juga dijual kepada plasma. Jika disimpulkan berdasarkan gambaran di atas maka pola pemanfaatan yang berlaku di daerah ini adalah nelayan bekerja secara individu namun untuk kepentingan perusahaan. Pola yang demikian jika ditinjau dari parameter penilaian diberi nilai 2. §
Pemahaman lingkungan Nelayan umumnya memiliki pemahaman terhadap ekosistem dan lingkungan sangat sedikit.
Pemahaman tersebut umumnya hanya
diwujudkan karena adanya norma-norma yang adat yang mengatur permasalahan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut maka nilai indikator ini adalah 1.
81 §
Tingkat pendidikan Jumlah rata-rata populasi yang ada di wilayah Kepulauan Ayau berjumlah 2.299 orang.
Dari jumlah tersebut yang mengenyam pendidikan hanya
sekitar 25 %.
Tingkat pendidikan tersebut juga masih didominasi oleh
penduduk yang berpendidikan dasar. Berdasarkan gambaran tersebut maka ditinjau dari parameter tingkat pendidikan maka skala penilaian yang diberikan adalah 0. §
Status konflik Pemanfaatan sumberdaya ikan karang di wilayah Ayau tidak hanya dilakukan oleh nelayan sekitar. Nelayan dari daerah lain maupun dari negara lain (Filiphina dan Palau) seringkali menjadikan Ayau sebagai lokasi penangkapan ikan. Kondisi tersebut sering menimbulkan konflik. Terjadinya konflik disebabkan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan tersebut lebih modern. Selain itu nelayan-nelayan dari wilayah lain juga sering melanggar norma-norma yang telah disepakati oleh masyarakat Ayau. Merujuk pada penjelasan tersebut maka nilai indikator ini adalah 1.
§
Pendapatan dari kegiatan penangkapan Masyarakat Ayau umumnya berprofesi sebagai nelayan. berdasarkan data dan informasi
Bahkan
yang diperoleh proporsi penduduk ayau
yang berprofesi sebagai nelayan di atas 80 %. Mata pencaharian penduduk setempat yang sangat bergantung pada kegiatan penangkapan ikan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga yang juga banyak bersumber dari aktivitas ini. Jumlah pendapatan keluarga di wilayah Ayau sekitar 80 % bersumber dari kegiatan penangkapan ikan.
Untuk penilaian parameter
maka pendapatan keluarga dari kegiatan penangkapan diberi nilai 0. §
Partisipasi keluarga dalam usaha perikanan Kondisi topografis wilayah yang dikelilingi oleh laut menjadikan sumberdaya laut sebagai gantungan hidup utama masyarakat Ayau. Pemanfaatan sumberdaya tersebut tidak hanya sebatas upaya penangkapan ikan saja, namun juga kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan/produk hasil perikanan. Dalam upaya pemanfaatan sumberdaya tersebut biasanya jumlah anggota keluarga yang terlibat relatif banyak, berkisar antara 3-5 orang anggota keluarga. Pembagian kerja di dalam keluarga sudah di kenal di lingkungan masyarakat Ayau. Anak laki-laki umumnya membantu orang tua
82 melakukan penangkapan ikan, sedangkan Ibu dan anak perempuan bertugas melakukan pengolahan serta pemasaran hasil tangkapan. Terkecuali untuk komoditas yang dipasarkan dalam bentuk hidup, kegiatan pemasaran umumnya dilakukan langsung oleh laki-lak maupun Ibu -ibu. Berdasarkan kondisi di atas maka parameter partisipasi keluarga dalam usaha perikanan di Kepulauan Ayau diberi nilai 2. 4) Indikator ekonomi §
Profitabilitas Berdasarkan hasil analisis pendapatan yang dilakukan terlihat bahwa pendapatan yang diperoleh oleh nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan karang lebih besar dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa usaha penangkapan ikan karang menguntungkan.
Sebagai ilustrasi, biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan penangkapan ikan karang selama 1 trip yang berdurasi 3 hari dibutuhkan biaya operasi rata-rata sebesar Rp 100.000. Pendapatan bersih yang masih dapat dinikmati oleh nelayan dari hasil penjualan tangkapan berkisar antara Rp. 100.000-300.000. Berdasarkan gambaran yang diberikan dalam skala penilaian, kesimpulan tersebut diberi nilai 2. §
Rata-rata pendapatan Informasi tentang pendapatan penduduk selain yang berprofesi sebagai nelayan di wilayah kepulauan Ayau sulit diperoleh. Hanya saja nilai tersebut dapat didekati dengan mengasumsikan sekitar 85 % penduduk Ayau berprofesi sebagai nelayan.
Asumsi tersebut berimplikasi pada arah
kesimpulan bahwa rata-rata pendapatan nelayan di Ayau sama dengan ratarata pendapatan penduduk. Oleh sebab itu dalam penilaian parameter ini diberi bobot 1. §
Aturan perdagangan Pemasaran untuk beberapa komoditas ikan karang berorintasi ekspor. Aturan perdagangan untuk produk-produk/komoditas yang berorintasi ekspor umumnya diatur secara ketat. Pengaturan tersebut dimplementasikan dalam bentuk SK menteri maupun aturan-aturan terkait lainnya. Demikian halnya dengan komoditas ikan napoleon, ada aturan perdagangan yang melarang ekspor komoditas ikan ini dalam ukuran tertentu. Belum lagi adanya aturan
83 baru yang memasukkan ikan jenis napoleon dalam apendiks sebagai spesies yang langka dan harus dilindungi. Ketatnya aturan perdagangan ikan jenis ini tentu saja dapat menghambat pengembangan usaha di masa akan datang. Oleh karena itu secara kuantitatif, parameter ini diberi nilai 0. §
Sifat aktivitas penangkapan Kegiatan penangkapan ikan karang sudah dijadikan mata pencaharian utama bagi masyarakat kepulauan Ayau. Oleh karena itu kegiatan penangkapan yang dilakukan umumnya bersifat penuh (satu hari penuh). Pengecualian untuk kapal-kapal layar kegiatan penangkapan di mulai pada pukul 04.00 WIT dan selesai sekitar pukul 15.00 WIT. Kondisi sumberdaya ikan karang yang tersedia sepanjang tahun juga mempengaruhi sifat aktivitas penangkapan ikan di wilayah ini.
Berdasarkan gambaran yang diberikan
maka diambil kesimpulan bahwa nilai parameter ini adalah 0. §
Status kepemilikan/transfer keuntungan Hasil penjualan tangkapan nelayan kepada plasma umumnya tercatat pada kantor distrik setempat. Pencatatan tersebut berkaitan erat dengan pembayaran fee pengusaha kepada daerah setempat yang besarnya 10 % dari hasil penjualan.
Hasil fee tersebut sebahagian akan dikembalikan
kepada desa dalam bentuk pembangunan berbagai macam fasilitas. Selain itu ada juga fee yang wajib dibayarkan nelayan kepada otoritas adat setempat. Uang tersebut akan digunakan untuk membiayai berbagai macam kegiatan adat. bahwa
Berdasarkan kedua gambaran di atas dapat disimpulkan
keuntungan
kegiatan
penangkapan
ikan
karang
sebahagian
digunakan untuk kepentingan masyarakat lokal. Dilihat dari skala penilaian, parameter ini diberi nilai 1. §
Pasar Berdasarkan indikator pasar, nilai keberlanjutan pengelolaan perikanan karang diberi nilai 2. Komoditas ikan karang terutama untuk jenis kerapu dan napoleon memilki permintaan tinggi dan harga yang kompetitif di luar negeri. Oleh sebab itu tujuan akhir dari rantai pemasaran ke-dua jenis ikan ini adalah ekspor.
Di Kepulauan Ayau hasil tangkapan nelayan ditampung oleh
seorang plasma yang memiliki afiliasi dengan eksportir di Kota Sorong. Dari
84 Kota Sorong komoditas ikan karang ini didistribusikan ke berbagai penjuru dunia terutama Cina dan Taiwan. 5) Indikator kelembagaan
§
Efektivitas manajemen Efektivitas manajemen masyarakat dari suatu birokrasi dapat dinilai dari kepatuhan masyarakat kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Untuk kasus perikanan karang di wilayah Ayau ada beberapa peraturan yang terkait di antaranya Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, SK Dirjen Perikanan No.1251/KPTS/KL 420/II/98 tentang larangan penggunaan bahan peledak, racun, obat bius dan bahan kimia lain untuk menangkap ikan. Aturan tersebut selanjutnya diperkuat dengan Surat Kepala Wilayah Distrik Waigeo Utara No.300/392/98 tentang pelarangan penggunaan potasium, akar bore/tuba dan bahan peledak di seluruh wilayah Distrik Waigeo Utara. Selain aturan tentang alat penggunaan alat tangkap tersebut terdapat pula aturan tentang tata cara dan ukuran penangkapan ikan napoleon yang dituangkan dalam SK Dirjen Perikanan No.330/DJ.663/96. Mengacu kepada peraturan-peraturan yang ada pada dasarnya semua mengarah pada upaya pelestarian dan pengaturan sumberdaya alam. Hanya saja aturan-aturan yang telah dibuat tersebut belum sepenuhnya difahami sehingga masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Berdasarkan informasi tersebut dalam sistem penilaian, indikator ini diberi nilai 1.
§
Kearifan Lokal Kearifan lokal masyarakat Ayau dalam pengelolaan sumberdaya alam di kenal dengan istilah sasi gereja. Sasi gereja memilki daya ikat yang masih besar sehingga aturan yang ditetapkan dalam sasi masih diikuti oleh nelayan sekitar. Sejauh ini aturan sasi masih diiukuti oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu dalam sistem nilai yang dibuat, parameter ini diberi bobot 2 yang berarti
kearifan
lokal
belum
diikuti
secara
total
oleh
masyarakat.
Permasalahan dalam pelaksanaan sasi saat ini adalah mulai adanya pengecualian-pengecualian dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh adalah adanya pengecualian pelaksaan sasi jika ada kebutuhan keuangan yang mendesak dari masyarakat sekitar. Namun demikian aturan pencabutan sasi tetap dilakukan oleh otoritas adat maupun gereja.
85 §
Pengawasan Pengawasan merupakan salah satu faktor yang penting dalam penegakan aturan/norma-norma yang telah ditetapkan. Proses pengawasan ini tidak pernah dilakukan secara total. Kendala yang dihadapi dalam upaya pengawasan
adalah
minimnya
sarana
dan
prasarana
pendukung.
Pengawasan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan hanya sesekali dilakukan oleh anggota masyarakat. Adapun pengawasan yang dilakukan oleh aparat berwenang tidak pernah dilakukan. Berdasarkan gambaran yang diberikan maka secara kuantitatif indikator pengawasan diberi nilai 1. 5.2.2
Status Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan Karang di Kepulauan Ayau Status keberlanjutan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau
dinyatakan dalam bentuk indeks yang disebut indeks keberlanjutan (sustainability index). Indeks ini memilki skala nilai antara 0-2, dengan indeks terbaik berada pada nilai 2. Penilaian terhadap indeks keberlanjutan dipengaruhi oleh oleh lima indikator
keberlanjutan
pengelolaan
perikanan
yang
telah
ditetapkan
sebelumnya. Berdasarkan hasil analisis masing-masing
indikator
keberlanjutan
pengelolaan perikanan karang, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 0,98. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan karang berada di luar jalur pengelolaan yang berkelanjutan (Tabel 15). Jika ditinjau secara parsial pada masing-masing indikator terlihat bahwa faktor teknologi dan sosial-kemasyarakatan harus mendapatkan perhatian dalam pengelolaan perikanan karang secara berkelanjutan di Kepulauan Ayau. Nilai indeks ke dua indikator tersebut masing-masing adalah 0,69 dan 0,86.
86 Tabel 15. Penilaian indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau No Jenis Indeks Nilai Indeks 1
Ekologi
1,10
2
Teknologi
0,69
3
Sosial-kemasyarakatan
0,86
4
Ekonomi
1,19
5
Kelembagaan
1,31
Indeks Keberlanjutan
0,98
Keterangan: Hasil perhitungan nilai terdapat di Lampiran 15 Nilai indeks berkisar antara 0-2. 0,0-0,5 : Status keberlanjutan sangat buruk 0,5-1,0 : Status keberlanjutan kurang baik 1,0-1,5 : Status keberlanjutan baik 1,5-2,0 : Status keberlanjutan sangat baik 5.3 Analisis SWOT Analisis SWOT didasarkan pada potensi, isu dan permasalahan serta peluang pengembangan perikanan karang di Kepulauan Ayau. Hasil evaluasi kegiatan pengelolaan yang telah dijalankan dijadikan salah satu konsiderasi dalam penentuan strategi pengelolaan.
Tahapan analisis SWOT yang
dilaksanakan terdiri atas identifikasi, skoring, dan kemungkinan pengelolaan; analisis keterkaitan unsur SWOT dan penentuan alternatif rencana strategi pengelolaan. Untuk memudahkan proses analisis tahap berikutnya, maka hasil dari identifkasi, skoring dan arahan pengelolaan disajikan dalam bentuk matrik. Sedangkan untuk memudahkan penentuan strategi yang terbaik, dilakukan pemberian bobot (nilai) terhadap tiap unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan. Bobot/nilai yang diberikan berkisar antara 1 - 5. Matrik identifikasi, skoring dan arahan pengelolaan tertera pada Tabel 16:
87 Tabel 16 . Identifikasi, skoring, dan arahan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau Kode
Identifikasi SWOT
Kekuatan (Strenght) Memiliki potensi ikan karang yang S1 cukup besar Eksploitasi sumberdaya ikan S2 karang dilakukan dengan beragam alat Sumberdaya manusia tersedia S3 dalam jumlah besar Hamparan terumbu karang yang S4 luas dan dalam kondisi yang relatif baik Adanya kearifan lokal dalam S5 mengelola sumberdaya yang ada disekitarnya Kelemahan (W) W1 W2 W3
W4
Alat tangkap masih tradisional Nelayan lemah dalam managemen usaha serta permodalan Ukuran kapal kecil dan sebahagian besar masih menggunakan layar Prasarana penangkapan ikan dan transportasi sangat minim
Peluang (O) Peningkatan permintaan pasar lokal, regional dan internasional O1 cukup tinggi untuk komoditas ikan karang Sudah terbentuknya jaringan pemasaran komoditas perikanan O3 untuk lokal, regional dan internasional Banyaknya minat dari dunia usaha O4 untuk mengembangkan perikanan karang Adanya concern pemerintah pusat O5 terhadap pengembangan pulaupulau kecil perbatasan
Skor
5 3
Kemungkinan Pengelolan
Mengelola perikanan tangkap secara berkelanjutan Pengembangan teknologi penangkapan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
4
Peningkatan kualitas SDM
4
Pengelolaan masyarakat
3
Peningkatan peran kearifan lokal dalam pengaturan kehidupan masyarakat
4 4
karang
berbasis
Penyediaan bantuan sarana penangkapan ikan dan pelatihan Perkuatan kelembagaan nelayan melalui koperasi
3
Modernisasi unit penangkapan
4
Pengembangan lembaga keuangan formal atau nonformal di tingkat kecamatan
4
Inventarisasi dan permintaan pasar
3
Koordinasi antar lembaga terkait dalam merespon informasi peluang pasar
5
Memberikan fasilitas kemudahan usaha
4
Identifikasi potensi daerah dan peluang pengembangannya
identifikasi
dan
88 Tabel 16. (lanjutan) Kode
Identifikasi SWOT
Skor
Ancaman (T) Praktek penangkapan ikan karang T1 yang didominasi kegiatan yang bersifat destruktif. Pemahaman masyarakat T2 terhadap lingkungan yang masih rendah T3
T4
Adanya potensi konflik yang besar terutama dengan nelaya-nelayan dari Negara lain Terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan akibat hubungan kerjasama dengan nelayan dari negara lain
Kemungkinan Pengelolaan
5
Pengawasan dan rehabillitasi
4
Pengawasan masyarakat
4
3
dan
pelibatan
Pengawasan dan koordinasi melalui kerjasama ekonomi dengan negara-negara perbatasan Pengawasan dan penertiban
Keterangan : Nilai 1 = tidak penting Nilai 2 = berarti sedikit penting Nilai 3 = berarti cukup penting
Nilai 4 = berarti penting Nilai 5 = berarti sangat penting
Setelah masing-masing unsur SWOT diberi bobot/nilai, maka kemudian unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh beberapa alternatif strategi (SO, ST, WO, WT) seperti pada Tabel 17. Alternatif-alternatif tersebut menghasilkan rangking alternatif strategi.
Strategi dengan ranking
tertinggi merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan. Strategi yang dihasilkan terdiri dari beberapa alternatif strategi. menentukan
prioritas
strategi
yang
harus
dilakukan,
maka
Untuk dilakukan
penjumlahan bobot yang berasal dari keterkaitan antara unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam suatu alternatif strategi.
Jumlah bobot tadi kemudian akan
menentukan ranking prioritas alternatif strategi pengelolaan sumberdaya alam yang ada di Kepulauan Ayau dan sekitarnya (Tabel 17).
89 Tabel 17. Analisis keterkaitan antar unsur SWOT Unsur SWOT Strategi SO No.
1.
SO1
2.
SO2
Jumlah Bobot
Keterkaitan Pemanfaatan potensi ikan karang secara optimal: S1,S2,S4,S5, O1,O3,05 Pengembangan iklim usaha yang kondusif S1,S3,O1,O3,O4,O5
26 25
Strategi ST 3.
ST2
4.
ST 3
Pembinaan kelembagaan masyarakat S3,S5,T2,T3,T5 Pengelolaan Perikanan Karang Berwawasan Lingkungan S1,S2,S4, S5, T1,T2,T4
18 yang
27
Strategi WO 5.
WO1
6.
WO2
7.
WO3
Modernisasi dan motorisasi unit penangkapan W1,W3,O4,O5 Pengembangan sistem usaha pola inti-rakyat (PIR) W2, O1,O3,O4,O5 Perbaikan infrastruktur perdagangan dan perhubungan W4, O1,O2,O4,O5
16
20 17
Strategi WT 8.
WT1
Pengelolaan masyarakat : W2, T3,T4
sumberdaya
berbasis
11
Berdasarkan matriks di atas, terlihat adanya 8 (delapan) alternatif kegiatan pengelolaan perikanan karang di Kepulauan Ayau.
Berikut urutan prioritas
kedelapan alternatif tersebut: (1) Pengelolaan perikanan karang yang berwawasan lingkungan (2) Pemanfaatan potensi ikan karang secara optimal (3) Pengembangan iklim usaha yang kondusif (4) Pengembangan sistem usaha pola inti-rakyat (PIR) (5) Pembinaan kelembagaan masyarakat (6) Perbaikan infrastruktur perdagangan dan perhubungan (7) Modernisasi dan motorisasi unit penangkapan (8) Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat
90 5.4 Strategi Pengelolaan Perikanan Karang Secara Berkelanjutan Strategi merupakan suatu cara untuk mendapatkan maupun memperoleh suatu tujuan yang diinginkan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya, strategi dapat merujuk pada cara, pola maupun teknik untuk memanfaatkan sumberdaya secara optimal. Perumusan stretegi yang applicable hendaknya didasarkan pada permasalahan-permasalahan yang ada, potensi yang dimiliki, kondisi eksisiting serta gambaran kondisi yang ingin dicapai melalui penerapan dari strategi tersebut. Ada berbagai metode yang dapat diterapkan dalam penentuan strategi. Pada penelitian yang dilakukan, metode penentuan strategi yang digunakan adalah metode SWOT. Strategi unggulan yang direkomendasikan berdasarkan pertimbangan kekuatan, kelemahan, ancaman dan gangguan terdiri atas beberapa alternatif.
Jika dilakukan pengelompokan maka secara garis besar
strategi-strategi yang dihasilkan sebagai berikut: (1) Revitalisasi hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam; (2) Peningkatan kualitas dan pemahaman nelayan melalui pelatihan dan penyuluhan; (3) Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat; (4) Peningkatan
hasil
tangkapan
nelayan
melalui
modernisasi
unit
penangkapan; (5) Penggunaan dan pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Uraian dari masing-masing strategi yang direkomendasikan disajikan sebagai berikut: (1) Revitalisasi
hukum
adat
yang
berkaitan
dengan
pengelolaan
sumberdaya alam Hukum adat merupakan salah satu cara bentuk hukum yang mulai diakui keberadaannya dalam sistem hukum di Indonesia.
Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah kepulauan ayau adalah sasi. Saat ini pelaksanaan sasi di Kepulauan Ayau sebagai satu-satunya norma adat yang berlaku mulai mengalami degradasi. Degradasi tersebut disebabkan oleh faktor kebutuhan hidup masyarakat yang meningkat dan
91 tingginya intensitas hubungan antara masyarakat dengan penduduk dari luar. Oleh karena itu revitalisasi hukum perlu dilakukan dengan segera. Revitalisasi hukum adat dapat dilakukan pada lingkup atau cakupan sumberdaya yang dijadikan objek sasi maupun aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Realitas pelaksanaan sasi di Ayau masih dilakukan pada komoditas terbatas seperti teripang dan lola sedangkan untuk komoditas ikan karang yang memiliki keterkaitan dengan lingkungan belum dijadikan objek sasi. Contoh yang baik tentang pelaksanaan aturan tradisional dapat diambil dari kegiatan pengelolaan terumbu karang di Jemuluk, Bali. Pada sistem pengelolaan di daerah tersebut, semua aturan pemanfaatan dijelaskan secara eksplisit dan rinci. Misalnya larangan penggunaan sianida, racun dan bahan lainnya dalam pemanfaatan ikan karang serta kegiatan pengambilan karang. Aturan sasi yang diterapkan di Ayau seyogyanya meniru konsep sasi di daerah Jemuluk, Bali dalam hal cakupan aturan. Mendahulukan konsep hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan bukanlah sesuatu yang terbaik. Menurut Niklujuluw (2000), salah satu
kelemahan
dari
kegiatan/aturan
tradisional
adalah
mudahnya
dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti perkembangan perdagangan yang sangat intensif sehingga masyarakat cenderung melaggar aturan-aturan yang ditetapkan. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada solusi untuk mengatasi kondisi tersebut. Menurut pandangan penulis, jalan keluar yang dapat dilakukan adalah pengendalian terhadap kegiatan perdagangan dan pemberian sanksi yang tegas terhadap pelanggaran aturan adat yang terjadi. Dalam konteks ini, tokoh adat maupun aktor yang dihormati harus menjadi pionir pelaksanaan aturan tersebut. (2) Peningkatan kualitas SDM nelayan melalui pelatihan dan penyuluhan Kualitas SDM sangat penting dalam perumusan strategi.
Injeksi
kebijakan akan lebih mudah dilakukan jika kualitas SDM tinggi. Berdasarkan pengamatan kondisi SDM nelayan di Kepulauan Ayau masih cukup rendah Alasan logis yang mendukung hal tersebut adalah tingkat pendidikan yang rendah, dan aktivitas masyarakat yang belum menunjukkan adanya pemahaman terhadap manajemen dan pengelolaan lingkungan. Upaya peningkatan kualitas SDM nelayan tidak dapat dilakukan secara instan.
Diperlukan pelatihan dan penyuluhan secara kontinyu untuk
92 mencapai
tujuan
peningkatkan
pemahaman
masyarakat
terhadap
pengelolaan sumberdaya yang baik dan benar. Ketika taraf pemahaman masyarakat sudah tinggi maka aturan-aturan maupun pengawasan kegiatan dengan mudah dapat dilakukan.
Agar pelatihan dan penyuluhan dapat
mencapai tujuan yang diharapkan maka metode yang digunakan haruslah tepat. (3) Pengawasan berbasis masyarakat (SISWASMAS) Pengawasan merupakan alat untuk menegakkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Aturan yang didisain dengan baik dan sempurna tidak akan memberikan pengaruh jika tidak ada pengawasan terhadap penegakan aturan yang telah dibuat. Aktivitas pengawasan seringkali dihadapkan pada kendala ketiadaan personil pengawas yang kompeten dan minimnya sarana pengawasan. Solusi yang ditawarkan adalah pengembangan kegiatan pengawasan berbasis masyarakat dengan tetap ada koordinasi dengan aparat yang berwenang. (4) Peningkatan hasil tangkapan nelayan melaui modernisasi unit penangkapan Terbukanya peluang pemasaran produk ikan karang yang disertai dengan jumlah potensi yang relatif besar merupakan indikator cerahnya kegiatan penangkapan ikan karang di wilayah Kepulauan Ayau. Masih adanya gap antara
permintaan
dan
potensi
yang
mampu
dipenuhi
nelayan
mengindikasikan pentingnya peningkatan hasil tangkapan nelayan sampai pada spektrum yang optimum. Upaya peningkatan hasil tangkapan dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme, misalnya menambah jumlah unit penangkapan yang digunakan Peningkatan hasil tangkapan melalui mekanisme ini sulit diwujudkan karena jumlah unit penangkapan yang ada saat ini sudah relatif banyak. Bahkan berdasarkan perhitungan sudah mendekati upaya optimum yang disarankan. Peningkatan kuantitas tangkapan melalui modernisasi unit penangkapan mungkin menjadi satu-satunya solusi yang layak dipertimbangkan. Kondisi kegiatan penangkapan ikan karang yang dilakukan saat ini masih jauh dari kriteria efektif dan efisien. Mayoritas nelayan masih melakukan aktivitasnya dengan perahu yang berukuran kecil dan beberapa bahkan masih menggunakan layar sebagai tenaga penggerak. Dampak dari kegiatan yang
93 dilakukan saat ini adalah terbatasnya ruang gerak nelayan dalam melakukan penangkapan ikan.
Akibat tingginya intesitas penangkapan pada area
tersebut berdampak pada semakin berkurangnya jumlah tangkapan yang diperoleh nelayan per tripnya. Selain motorisasi, modernisasi juga dapat dilakukan melalui penggunaan teknologi pendeteksi keberadaan ikan.
Tujuannya adalah kegiatan
penangkapan dapat berlangsung lebih efisien. Modernisasi unit penangkapan tentu saja membutuhkan skema bantuan yang melibatkan pihak-pihak lain. Oleh sebab itu bantuan dari pemerintah, pedagang
maupun
lembaga-lembaga
terkait
perlu
dilakukan
untuk
mewujudkannya. Ada beberapa alternatif yang dapat dipilih masing-masing stakeholder dalam upaya modernisasi ini, yaitu: 1) Built-Transfer-Operate (BTO) Metode ini dilakukan dengan cara memberikan bantuan sarana kepada nelayan dengan klausul pembayaran bernilai nominal tertentu yang sudah disepakati sebelumnya. 2) Pola Inti Rakyat Pada pola ini rekanan memberikan bantuan sarana dan hasil yang diperoleh dibagi berdasarkan prosentase yang telah disepakati. 3) Sistem Kredit Berjangka Pada sistem kredit berjangka, bantuan sarana yang diberikan harus dibayar secara rutin setiap bulan dengan jumlah yang memadai. Sebenarnya skema-skema pembiayaan yang telah diuraikan sebelumnya sudah banyak dipraktekkan dalam beberapa kegiatan. Hasilnya bahkan sangat mengecewakan. Kegagalan skema-skema tersebut selain disebabkan tidak fleksibelnya skema yang dibuat juga tidak memperhatikan karakteristik spesifik kegiatan penangkapan ikan yang bersifat musiman.
Acapkali
kegagalan pemberian bantuan juga disebabkan harga yang harus dibayar oleh nelayan melebihi
harga standard yang berlaku sehingga nelayan
memilih untuk tidak memanfaatkan bantuan yang diberikan. Oleh karena itu prasyarat utama agar bantuan kepada nelayan bisa dimanfaatkan adalah skema harus fleksibel dan mengacu pada harga standard yang berlaku. Jika mengacu pada aturan-aturan kelembagaan maka satu-satunya lembaga
yang
bisa
menerapkan
sistem
tersebut
adalah
koperasi.
94 Sehubungan dengan hal tersebut maka pembinaan koperasi yang handal harus sesegera mungkin dilaksanakan. (5) Penggunaan dan pengembangan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan Kegiatan penangkapan ikan karang di Ayau masih didominasi oleh kegiatan yang tidak ramah lingkungan. Jika kondisi ini terus terjadi maka nelayan-nelayan di Ayau akan kehilangan momentum untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di masa akan datang. tersebut
tentu
saja
menggunakan
Solusi terhadap permasalahan
dan
mengembangkan
teknologi
penanangkapan ikan yang ramah lingkungan. Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan pada tahap awal dapat dilakukan melalui pengkajian jenis teknologi penangkapan
yang
akan
lingkungan.
Pengkajian
dikembangkan ini
sangat
sesuai
kriteria
keramahan
dibutuhkan
karena
alat
yang
dikembangkan haruslah dapat mengkompensasi kerugian-kerugian yang diakibatkan tidak digunakannya alat yang tidak ramah lingkungan. Setidaknya performa alat yang akan dikembangkan baik dari segi hasil tangkapan, biaya operasi dan kemudahan pengoperasian alat hampir sama dengan alat yang lama. Agar berhasil, kebijakan pengembangan teknologi penangkapan ramah lingkungan harus diikuti dengan sosialisasi, pembinaan dan penegakan hukum dalam koridor community development secara kontinyu. Harus ada upaya kongkrit untuk menghilangkan peran dari alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Sebagai contoh adalah mempersulit peredaran alat tangkap,
tidak menerima hasil tangkapan dari alat yang tidak ramah lingkungan, menetapkan harga beli ikan yang lebih tinggi untuk tangkapan yang berasal dari alat ramah lingkungan. Isu teknologi penangkapan ikan berwawasan lingkungan sudah menjadi concern dunia saat ini. Secara jelas hal tersebut sudah dituangkan dalam Tata Laksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) yang dikeluarkan oleh FAO tahun 1995. Rekomendasi strategi yang telah diutarakan secara panjang lebar memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Kumpulan strategi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 strategi pokok, yaitu:
95 1) Strategi agresif Strategi ini merupakan strategi yang bersifat eksploitatif. Strategi ini sangat efektif untuk tujuan yang berkaitan dengan peningkatan hasil tangkapan maupun pendapatan dalam jangka pendek. Kerugian dari strategi ini tentu saja durasi pelaksanaan yang relatif pendek. 2) Strategi defensif Strategi ini meliputi langkah-langkah yang lebih bersifat pembinaan internal/perbaikan sistem secara komperhensif sebelum melangkah pada strategi yang bersifat agresif. Strategi yang bersifat defensif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasinya.
Keunggulan dari strategi ini adalah
jaminan terciptanya pengelolaan yang baik dan handal di masa akan datang. 3) Strategi kolaboratif Strategi ini merupakan perpaduan antara strategi agresif dan defensif. Pada strategi ini ada upaya agresif yang dilakukan sejalan dengan perbaikan communinty development dari dalam. Keunggulan sistem ini adalah dapat dilakukannya koreksi langsung (umpan balik) dari strategi yang dibuat, sehingga penyempurnaan dapat terus dilakukan. 5.5
Implementasi Strategi Pengelolaan di Masyarakat Strategi yang telah dibuat secara sempurna tanpa ada prospek implementasi
adalah
suatu
keniscayaan.
diimplementasikan di lapangan.
Strategi
yang
baik
seharusnya
mampu
Ada beberapa faktor yang menentukan
keberhasilan implementasi strategi di masyarakat, yaitu: 1) Kesempurnaan dari strategi sehingga dapat mengakomodir kepentingan mayoritas pelaku 2) Pengenalan/Sosialisasi strategi di masyarakat Jika strategi yang disusun relatif sudah dapat diterima oleh berbagai pihak maka implementasi akan lebih mudah dilakukan.
Manajemen yang bersifat
umum sudah dapat mengendalikan jalannya strategi. Oleh sebab itu strategi yang dibuat dengan melibatkan berbagai strategi adalah pilihan terbaik. Permasalahan yang lebih kompleks akan dihadapi jika strategi yang ditetapkan tidak melalui mekanisme partisipatif sehingga dapat menimbulkan resistensi di masyarakat.
Agar resisitensi dapat direduksi maka sosialisasi
secara gradual harus dilakukan. Pendekatan kelembagaan kepada pemimpin yang dihormati dapat merupakan salah satu metode yang efektif selain
96 pertemuan-pertemuan berkala dan pemasangan poster pada media komunikasi. Pelaksanaan metode tersebut tentu saja harus dilakukan dengan tambahan kegiatan advokasi kepada masyarakat sekitar.
Tenaga advokasi yang
diterjunkan harus memiliki kecakapan yang memadai dalam hal permasalahan yang sedang menjadi Isu pokok kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ayodhyoa, A.U. 1981. Metoda Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 97 Hal. Beddington, J.R. and B. Retting. 1983. Approches to the Regulation of Fishing Effort. FAO Technical Paper 243. 39 P. Brandt, A. von. 1984. Fish Catching Me thods of The World. Fishing News Books Ltd. London. 418 P. Chandler, J.R. and D. Alfred. 1966. Strategy and Structure. Doubleday & Co, Inc. New York. CORE MAP-LIPI. 2002. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Seri Penelitian CORE MAP-LIPI No 5. Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. COREMAP-LIPI. Jakarta. CORE MAP-LIPI. 2002. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Seri Penelitian CORE MAP-LIPI No 7. Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. COREMAP-LIPI. Jakarta. CORE MAP-LIPI. 2002. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Seri Penelitian CORE MAP-LIPI No 8. Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. COREMAP-LIPI. Jakarta. Dahuri, R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID. Dahuri, R. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 12. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Hal 1092. Departemen Pertanian. 1999. Inventarisasi Agribisnis Komoditas Unggulan Perikanan. Badan Agribisnis Departemen Pertanian. Penerbit Kanisius. Dragon Search. 1996. The Market Analysis of Live Reef Fish in Hongkong and China. Report Prepared by Dragon Search for The Queensland Dept. of Primary Industries. 119 P. Dishidros TNI-AL, 2003. Menyikapi dan Menginventarisir Pulau-Pulau Kecil di Perbatasan dengan Negara Tetangga. Rapat dengar Pendapat dengan Komisi III DPR. Ditjen Bangda. 1999. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir yang Berbasis Masyarakat (PBM) di Provinsi Lampung. Kerjasama Departemen Dalam Negeri dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
99
Eisler, R. 1991. Cyanide Hazard to Fish, Wild Life and Invertebrates: A Synoptic Review. Contaminant Hazard Riview Report 23. US Dept Interior Fish and Wildlife Service. P 55. FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Food and Agriculture Organization. Rome 45 P. Farid dan Sriyadi. 2001. Laporan Umum Hasil Penelitian RAP di Kepulauan Raja Ampat, Sorong, Irian Jaya. Conservation International Indonesia Program Irian Jaya. Jayapura. Hal 9-12. FORKERI. 2004. Forum Kerapu Indonesia. (http://www.forkeri.com): [4-9-2004]
Situs
resmi
FORKERI.
Gunarso, W. 1995. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metoda dan Taktik Penangkapan. Diktat Kuliah (Tidak Dipublikasikan). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, IPB. Bogor. 87 Hal. Hatten, KJ and M.L. Hatten. 1988. Effective Strategic Management. Prentice Hall. Englewood Cliffs. Hein, P.L. 1990. Economic Problem and Prospects of Small Island in Bell, W., P. d’ Ayala and P. Hein (Eds). 1990. Sustainable Development and Enviromental Management of Small Island. UNESCO, Paris. Hofer, C.W and D. Schendel. 1978. Strategy Formulation: Analytical Consepts. West Publishing Co. St Paul. http://www.dkp.go.id. Statistik Ekspor Ikan Hidup Indonesia. Hynes, T.P. 1998. Mining and Mineral Sciences Laboratories Report Minsl. Barskaun-Kyrgyz Republic. 74 P. Johannes RE., Riefen M. 1995. Environmental, Economic and Social Implications of The Reef Fish Trade in Asia and Western Pacific. Report to The Nature Conservacy and The South Pacific Commision. 82 P. Jones R.J and Steven AL. 1997. Effect of Cyanide on Coral Reef in Relation to Cyanide Fishing on Reefs. Mar. Freshwat. Res. 48. P 517-522. Jones R.J and O. Hoegh-Guildberg. 1999. Effect of Cyanide on Coral Photosyntetic: Implication for Identyfying the Cause of Coral Bleaching and for Assesing the Enviromental Effect of Cyanide Fishing. Marine Ecologi Program Series. P 83-91. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1997. Agenda 21 Indonesia: Dokumen Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Kay, R and Alder.J. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon, Routledge, New York. Kooten, J. 1991. Strategic Management in Public and Nonprofit Organizations. Prager Publishers. New York. Marliana, D. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap dengan Alat Tangkap Bubu Kawat di Perairan Pulau Kelapa Kepulauan Seribu. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 Hal.
100
Martasuganda, S. 2002. Jaring Insang (Gillnet). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Martasuganda, S. 2003. Bubu (Traps). Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Maryunani. 1998. Model Pemberdayaan Penduduk Lokal dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Sec ara Berkelanjutan: Studi Kasus di Kawasan Pesisir Pulau Lombok bagian Barat Propinsi Dati I Nusa Tenggara Barat. Disertasi (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mc Manus J., Reyes R and Nanola C. 1997. Effect of Some Destructive Fishing Methods on Coral Cover and Potential Rates of Recovery. Enviromental Management 21. P 69-78. Mitchell, B. 1997. Resources and Enviromental Management. Addison Wesley Longman Limited. Harlow. 298 P. Monintja, D.R. 2000. Prosiding Pelatihan untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PKSPL-IPB. Bogor Hal 45-57. Monintja, D. R dan S. Martasuganda. 1990. Diktat Kuliah Teknologi Penangkapan Ikan (Tidak Dipublikasikan). Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi IPB. Bogor. Hal 21-27. Mulyono, S. 1991. Operation Research. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 245 Hal. Mous, P.J. 2000. Cyanide Fishing on Indonesian Coral Reefs for The Live Food Fish Market-What is The Problem?. SPC Live Reef Fish Information Bulletin. Volume 7. P 20-26. Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan sumberdaya Perikanan. PT Pustaka Cidensindo. Jakarta. 254 hal. Ohmae, K. 1983. The Mind of Strategist. Mc Graw-Hill. New York. Pet-Soede, L., Cesar HSJ and Pet JS. 1999. An Economic Analysis of Blast Fishing on Indonesian Coral Reefs. Enviromental Conservation. 26. P 8393. Pet JS. and Pet-Soede, L. 1999. A note on Cyanide Fishing Indonesia. SPC Live Reef Fish Information Bulletin. Volume 5. P 21-22. Pet-Soede L., Cesar HSJ., Pet JS. 2000. Economic Issues Related to Blast Fishing on Indonesian Coral Reefs. Jurnal Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Volume 3. No. 2. P. 33-40. Pomeroy, R.S. and M.J. Williamns. 1994. Fisheries Co-management and Smallscale Fisheries: A Policy Brief. Fisheries Co-management Project. ICLARM. 15 P. Putranto, A. 1994. Studi Tentang Keberadaan Ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae) di Perairan Pantai Belebuh Lampung Selatan. Skripsi PSP. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Hal 7-14. Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 188 Hal.
PT.
101
Rawung, J.B.M. 1999. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Karang di Perairan Kecamatan Tamako Propinsi Sulawesi Utara. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 124 Hal. Rudianto. 2001. Filosofi Penyusunan Perencanaan Strategis. Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah Falsafah Sains (PPs 702). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rumajar, T.P. 2001. Pendekatan Sistem untuk Pengembangan Usaha Perikanan Ikan Karang dengan Alat Tangkap Bubu di Perairan Tanjung Manimbaya Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 33-40. Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. PT. Grasindo. Jakarta. 536 Hal. Sarmintohadi. 2002. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Karang Berwawsan Lingkungan di Perairan Pesisir Pulau dulah Laut Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 128 Hal. Satria, A. 2001. Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut (Belajar dari Pengalaman Jepang). Prosiding Lokakarya Regional Pulau Sulawesi tentang “Desentralisasi Pengelolaan Wilayah Laut”. Lembaga Studi dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia dan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Sewoyo, S. 2001. Pendayagunaan Teknologi Tepat Guna untuk Pengembangan Potensi Pedesaan. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia, Teknologi. Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, BPPT. Jakarta. Shirley, R. 1978. Strategic Decision Making in College and Universities. Eric Document Reproduction Service. Houston. Sinar Sakti Nusaraya, 2002. Model Pengembangan Pulau-Pulau Kecil di Wilayah Perbatasan Propinsi Papua. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 79 Hal. Subani W dan H R Barus. 1989. Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 50. Tahun 1988/1989. Edisi Khusus . Jakarta: Departemen Pertanian, Balai Penelitian Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Laut. 248 Hal. Sukarno., M. Hutomo, M.K. Moosa dan P. Darsono. 1981. Terumbu Karang di Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional, Lembaga Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Yasuno M. 1981. Recovery Processes of Benthic Flora and Fauna in Stream after Discharge of Slag Containing Cyanide. Verh. Int. Ver. Theor. Angew. Limnol. 21. P 1154-1164.
LAMPIRAN
102 Lampiran 1. Jenis-jenis kerapu dan napoleon yang ditangkap di Kepulauan Ayau Cromileptis altivelis Humpback or Polka dot grouper (Kerapu Tikus atau Kerapu Bebek)
Ephinephelus. fuscoguttatus Brown marbled grouper (Kerapu Macan)
Epinephelus tauvina Green grouper (Kerapu Lumpur)
Plectopomus leopardus Spotted coral grouper (Kerapu Sunu)
Epinephelus malabaricus Estuarine grouper (Kerapu Malabar)
Cheilinus undulatus Napoleon wrasse (Ikan Napoleon)
Epinephelus lanceolatus Giant grouper (Kerapu Ketang)
Sumber: http://www.forkeri.com/
103
Lampiran 2. Tangkapan napoleon selama bulan Desember 2004 Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Total Rata-rata Tertinggi Terendah
Napoleon Baby Super Ekor kecil Ekor besar Up Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat 4 1,3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0,5 2 2,1 0 0 0 0 0 0 2 0,7 1 0,6 1 1,5 0 0 0 0 6 2,2 2 1,4 1 2,1 0 0 2 14 11 3,4 8 5,1 3 5 0 0 0 0 31 9,2 8 4,9 0 0 0 0 0 0 8 2,6 8 4,8 1 2,8 0 0 0 0 10 3,2 5 3,1 1 1,9 0 0 2 13 10 3,4 10 6,1 1 2,2 0 0 0 0 5 2,1 11 6,8 1 2 0 0 0 0 10 4,2 0 0 2 4,5 0 0 1 8,2 39 12,9 10 6,1 1 3 0 0 0 0 2 0,7 1 0,6 3 6,5 0 0 0 0 4 1,4 5 3,2 2 3,5 0 0 0 0 7 2,2 14 8,4 1 2,1 0 0 2 14,6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 1,3 12 7,2 0 0 0 0 0 0 1 0,4 9 5,4 0 0 0 0 0 0 20 6,4 14 8,9 10 21 0 0 2 18,2 38 11,4 0 0 0 0 0 0 0 0 7 3 4 2,5 1 1,3 0 0 0 0 5 2,2 2 1,2 2 3,2 0 0 0 0 16 4,9 5 3,2 1 1,7 0 0 0 0 3 1,3 8 4,9 0 0 1 4,2 0 0 20 6,4 10 6,1 0 0 0 0 0 0 35 11,4 10 6,2 2 2,8 0 0 0 0 8 3 11 7,8 1 2,2 6 24,5 0 0 6 2,2 7 4,3 1 2,9 0 0 0 0 13 3,9 5 3,3 1 1,6 0 0 0 0 16 5,2 4 2,8 1 1,5 0 0 0 0 29 9 6 4,1 1 1,5 0 0 0 0 371 122 192 121,1 39 76,8 7 28,7 9 68 11,9677 3,9355 6,1935 3,9065 1,2581 2,4774 0,2258 0,9258 0,2903 2,1935 39 12,9 14 8,9 10 6,5 6 24,5 2 18,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kelas Jumlah (ekor) Berat (kg) Panjang Baby 371 122 15-<20 Super 192 121,1 20-<25 Ekor kecil 39 76,8 25-<30 Ekor besar 7 28,7 30-<50 Up 9 68 >50 Total 618 416,6
104
n = 618 ekor Ekor besar 1,13%
Ekor kecil 6,31%
Up 1,46%
Super 31,07%
Baby 60,03%
n = 416,6 kg Ekor besar 6,89%
Ekor kecil 18,43%
Up 16,32% Super 29,07%
Baby 29,28%
400 350
Satuan
300 250 Jumlah (ekor)
200
Berat (kg)
150 100 50 0 15-<20
20-<25
25-<30
30-<50
Panjang (cm)
>50
105
Lampiran 3. Tangkapan kerapu tongseng selama bulan Desember 2004 Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
TONGSENG Baby Super Up Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat 3 1 2 1,2 0 0 1 0,4 0 0 0 0 7 2,7 0 0 0 0 12 4 0 0 0 0 6 2,1 8 5,2 0 0 27 8,2 2 1,5 0 0 0 0 0 0 0 0 72 23 2 1,3 0 0 2 1 1 0,6 0 0 10 3 1 0,7 0 0 1 0,4 3 2,1 0 0 9 3,3 0 0 1 2,2 21 7 0 0 0 0 4 1,3 3 1,9 0 0 3 1,4 1 0,7 0 0 38 12 0 0 0 0 55 18 2 1,2 0 0 31 10,7 16 9,8 0 0 49 15,4 20 12,1 0 0 6 2,3 2 1,8 0 0 21 6,3 11 6,6 0 0 36 11,4 9 6,8 1 1,4 2 1,2 0 0 0 0 44 13,7 17 11,9 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0,4 0 0 0 0 4 2,1 0 0 1 1,8 0 0 0 0 0 0 15 5 0 0 1 1,7 1 0,6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 481 Rata-rata 15,5161 Tertinggi 72 Terendah 0 Kelas Baby Super Up Jumlah
157,9
100
65,4
4
7,1
5,0935
3,2258
2,1097
0,1290
0,2290
23 0
20 0
12,1 0
1 0
2,2 0
Jumlah (ekor) Berat (kg) 481 157,9 100 65,4 4 7,1 585 230,4
Selang 15-<20 20-<25 >25
106
n = 585 ekor Up 1%
Super 17%
Baby 82%
Up 3%
n = 230,4 kg
Super 28%
Baby 69%
600 500
Satuan
400 Jumlah (ekor)
300
Berat (kg)
200 100 0 15-<20
20-<25 Panjang (cm)
>25
107
Lampiran 4. Tangkapan kerapu saiseng selama bulan Desember 2004
Ulangan
SAISENG Baby Super Up Jumlah Berat Jumlah Berat Jumlah Berat 0 0 5 3,1 0 0 0 0 8 5,2 18 25,6 0 0 0 0 5 6,8 0 0 0 0 0 0 4 1,3 10 7 9 12,1 0 0 13 8,6 7 8,7 0 0 1 0,6 0 0 3 1,5 7 4,2 2 2,9 1 0,5 20 13,2 8 9,9 0 0 2 1,8 1 2,1 1 0,4 4 2,7 5 7,3 1 0,5 7 4,6 4 5,6 0 0 3 2,2 0 0 2 0,8 1 0,6 1 1,8 4 1,2 0 0 1 1,5 0 0 2 1,2 7 9,4 10 3,5 1 0,6 14 19,2 0 0 7 4,9 14 18,9 0 0 10 6,2 3 4,3 2 0,7 3 1,8 8 10,5 0 0 14 8,5 2 2,9 0 0 7 4,2 6 7,9 0 0 14 9,2 4 5,2 0 0 21 13,1 11 15,2 0 0 1 0,7 2 2,7 0 0 0 0 16 21,6 0 0 0 0 3 4,1 0 0 0 0 8 11,3 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0,6 0 0 0 0 0 0 0 0 28 10,4 162 104,8 159 217,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Total Rata-rata 0,90323 0,33548 5,22581 3,38065 5,12903 7,01613 Tertinggi 10 3,5 20 13,2 18 25,6 Terendah 0 0 0 0 0 0
Kelas Baby Super Up Jumlah
Jumlah (ekor) Berat (kg) 28 10,4 162 104,8 159 217,5 349 332,7
Selang 15-<20 20-<25 >25
108
n = 349 ekor Baby 8,02% Up 45,56%
Super 46,42%
n = 332,7 kg Up 65,37% Baby 3,13%
Super 31,50%
250
Satuan
200 150
Jumlah (ekor) Berat (kg)
100 50 0 15-<20
20-<25
Panjang (cm)
>25
109
Lampiran 5. Tangkapan kerapu GH selama bulan Desember 2004
Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Total Rata-rata Tertinggi Terendah
GH Jumlah
Berat 0 3 2 0 25 29 0 3 1 0 20 28 17 38 17 27 45 24 3 13 0 0 3 19 11 2 0 0 0 0 4 334 10,77 45 0
0 2,1 1,4 0 15,4 18,2 0 2,2 0,7 0 12,7 16,9 12,2 25 11,2 17 28 16 2,6 11,4 0 0 3,2 13,2 8 3 0 0 0 0 4 224,40 7,24 28 0
110
Lampiran 6. Tangkapan ikan campuran selama bulan Desember 2004 Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Total Rata-rata Tertinggi Terendah
Ikan campuran Jumlah Berat 6 2 3 1 0 0 0 0 19 6,3 50 17 0 0 5 2 7 2,1 0 0 1 0,5 2 0,8 3 1 2 1 7 2,7 8 2,4 1 0,5 42 14,2 31 11 50 15,2 1 0,8 65 20 21 7,1 55 18 2 2,1 0 0 0 0 17 6 0 0 0 0 0 0 398 133,70 12,84 4,31 65 20 0 0
111
Lampiran 7. Jumlah ikan kerapu dan napoleon berdasarkan ukuran selama bulan Desember 2004 Ukuran ikan Kecil (300-500 gr) Besar (>500 gr) 1 7 7 2 2 31 3 9 9 4 18 5 5 21 63 6 58 59 7 8 10 8 85 22 9 13 41 10 15 16 11 12 35 12 49 51 13 23 24 14 10 50 15 14 36 16 38 36 17 69 74 18 32 70 19 69 62 20 46 26 21 28 32 22 41 27 23 18 27 24 47 77 25 20 24 26 36 30 27 12 22 28 6 16 29 28 7 30 17 6 31 29 11 Jumlah 880 1006 Prosentase 46,66 53,34 Ulangan
47% 53%
Kecil (300-500 gr)
1886
Besar (>500 gr)
Lampiran 8. Perhitungan potensi napoleon di Kepulauan Ayau POTASSIUM
AKAR BORE
HAND LINE
TROLL LINE
BUBU
GILLNET
SENAPAN
Tahun
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
2000 2001
2402 1163
750 950
3,2027 1,2242
3202 1550
925 1005
3,4616 1,5423
1201 581
850 775
1,4129 0,7497
640 310
320 350
2,0000 0,8857
320 155
425 375
0,7529 0,4133
160 78
180 155
0,8889 0,5032
80 39
100 84
0,8000 0,4643
2002
1619
1025
1,5795
2158
1350
1,5985
809
860
0,9407
432
385
1,1221
216
350
0,6171
108
175
0,6171
54
95
0,5684
2003 2004
1940 690
1450 920
1,3379 0,7500
2586 920
1450 710
1,7834 1,2958
970 345
920 425
1,0543 0,8118
517 184
400 250
1,2925 0,7360
259 92
380 300
0,6816 0,3067
129 46
205 150
0,6293 0,3067
65 23
105 90
0,6190 0,2556
1019,0000
1,6189
2083,2000
1088,0000
1,9363
781,2000
766,0000
0,9939
416,6000
341,0000
1,2073
208,4000
366,0000
0,5543
104,2000
173,0000
0,5890
52,2000
94,8000
Rata-rata Total
5095
5440
3830
1705
1830
865
0,5415
474
FPI POTASIUM
FPI AKAR BORE
FPI HAND LINE
FPI TROLL LINE
FPI BUBU
FPI GILLNET
FPI SENAPAN
2000
0,9252
1
0,4082
0,5778
0,2175
0,2568
0,2311
2001
0,7938
1
0,4861
0,5743
0,2680
0,3263
0,3010
2002 2003
0,9881 0,7502
1 1
0,5885 0,5912
0,7019 0,7247
0,3861 0,3822
0,3861 0,3528
0,3556 0,3471
2004
0,5788
1
0,6265
0,5680
0,2367
0,2367
0,1972
FSTD SENAPAN
Tahun
FSTD POTASIUM
FSTD AKAR BORE
FSTD HAND LINE
FSTD TROLL LINE
FSTD BUBU
FSTD GILLNET
2000
693,8944
925
346,9472
184,8844
92,4422
46,2211
23,1106
2001
754,0742
1005
376,7129
201,0000
100,5000
50,5742
25,2871
2002 2003
1012,8128 1087,7804
1350 1450
506,0936 543,8902
270,2502 289,8879
135,1251 145,2243
67,5626 72,3318
33,7813 36,4462
2004
532,5000
710
266,2500
142,0000
71,0000
35,5000
17,7500
F STD TOTAL
C TOTAL
CPUE STD
2000
2312,5000
8005
3,4616
77,36
2001
2513,1484
3876
1,5423
37,46 -1701,12175 27,65427189
12714
6525
2002 2003
3375,6256 3625,5607
5396 6466
1,5985 1,7834
52,15 -2368,62047 37,14482918 62,49 -2838,50444 39,89507431
16580 29294
7911 14436
2004
1775,0000
2300
1,2958
22,23 -1009,03097 19,53180833
66,99
33,01
Tahun
Tahun
2720 INTERCEPT = SLOPE = MSY = FOPT =
TP -3514,3469 25,44637001
Alat Aktif
Alat Pasif
43730
1 29,93447074
2,2772 -0,000125 10347,1097 9088
112
Lampiran 9. Perhitungan potensi kerapu di Kepulauan Ayau POTASSIUM
Tahun
AKAR BORE
HAND LINE
TROLL LINE
BUBU
GILLNET
SENAPAN
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
C
F
CPUE
2000
4800
750
6,4000
6400
950
6,7368
2400
1256
1,9108
1280
250
5,1200
640
152
4,2105
320
100
3,2000
160
50
3,200
2001
6022
1250
4,8176
8033
1562
5,1428
3012
1356
2,2212
1607
750
2,1427
803
195
4,1179
402
109
3,6881
201
75
2,680
2002
6594
1350
4,8844
8792
1600
5,4950
3297
1457
2,2629
1758
825
2,1309
897
220
4,0773
440
125
3,5200
220
80
2,750
2003
3569
925
3,8584
4758
1230
3,8683
1784
1003
1,7787
952
511
1,8630
476
200
2,3800
283
110
2,5727
119
70
1,700
2004
7833
1500
5,2220
9844
1985
4,9592
3692
1260
2,9302
1969
782
2,5179
984
250
3,9360
492
118
4,1695
246
85
Rata-rata
5,0365 1155 5,036484565
Total
5775
5,2404 7565,4
1465,40 5,240418886 7327
2,2208 2837
1266,4 2,220751722
2,7549 1513,2
6332
623,6 3118
2,7549
3,744349552 760
203,4 3,744349552 1017
2,894
3,4301 387,4
2,6448
112,4 3,430058439 562
72 360
Tahun
FPI POTASIUM
FPI AKAR BORE
FPI HAND LINE
FPI TROLL LINE
FPI BUBU
FPI GILLNET
FPI SENAPAN
2000
0,9500
1,0000
0,2836
0,7600
0,6250
0,4750
0,4750
2001
0,9368
1,0000
0,4319
0,4166
0,8007
0,7171
0,5211
2002
0,8889
1,0000
0,4118
0,3878
0,7420
0,6406
0,5005
2003
0,9974
1,0000
0,4598
0,4816
0,6153
0,6651
0,4395
2004
1,0530
1,0000
0,5909
0,5077
0,7937
0,8408
0,5836
FSTD SENAPAN
FSTD POTASIUM
FSTD AKAR BORE
FSTD HAND LINE
FSTD TROLL LINE
FSTD BUBU
FSTD GILLNET
2000
712,5000
950,0000
356,2500
190,0000
95,0000
47,5000
23,7500
2001
1170,9653
1562,0000
585,6771
312,4778
156,1417
78,1681
39,0840
2002
1200,0000
1600,0000
600,0000
319,9272
163,2393
80,0728
40,0364
2003
922,6293
1230,0000
461,1854
246,1034
123,0517
73,1589
30,7629
2004
1579,4906
1985,0000
744,4758
397,0403
198,4193
99,2097
49,6048
Tahun
F STD TOTAL
C TOTAL
CPUE STD
2000
2375,0000
16000
6,7368
53,22 -2438,65423
2001
3904,5139
20080
5,1428
66,79 -3060,76606
3508
2002
4003,2757
21998
5,4950
73,17 -3353,21961
5297
2003
3086,8916
11941
3,8683
39,72 -1819,74445
5657
2004
5053,2406
25060
4,9592
83,36 -3820,10844
TP
Tahun
3685 INTERCEPT = SLOPE = MSY = FOPT =
6,5583
9168
5980
0,819491273
4898,2
0,748703538
-0,000358 30063,0867
4049
0,627200115
0,698872697 24050,46935
0,892886979 -1448,8706
113
114
Lampiran 10. Produksi napoleon pada berbagai tingkat upaya penangkapan Diketahui: a b
2,2772 0,000125
Effort
Catch
300,0000
CPUE
0 300 600 900 1.200 1.500 1.800 2.100 2.400 2.700 3.000 3.300 3.600 3.900 4.200 4.500 4.800 5.100 5.400 5.700 6.000 6.300 6.600 6.900 7.200 7.500 7.800 8.100 8.400 8.700 9.000 9.300 9.600 9.900 10.200 10.500 10.800 11.100 11.400 11.700 12.000 12.300 12.600 12.900 13.200 13.500 13.800 14.100 14.400 14.700 15.000 15.300 15.600 15.900 16.200 16.500 16.800
0 672 1.321 1.948 2.552 3.134 3.693 4.230 4.744 5.235 5.704 6.150 6.574 6.975 7.354 7.710 8.044 8.355 8.643 8.909 9.153 9.373 9.572 9.747 9.901 10.031 10.139 10.225 10.288 10.328 10.346 10.341 10.314 10.264 10.192 10.097 9.980 9.840 9.677 9.492 9.285 9.054 8.802 8.526 8.228 7.908 7.565 7.200 6.811 6.401 5.968 5.512 5.034 4.533 4.010 3.464 2.895
0 2,2396 2,2020 2,1644 2,1268 2,0892 2,0516 2,0141 1,9765 1,9389 1,9013 1,8637 1,8261 1,7885 1,7510 1,7134 1,6758 1,6382 1,6006 1,5630 1,5254 1,4878 1,4503 1,4127 1,3751 1,3375 1,2999 1,2623 1,2247 1,1872 1,1496 1,1120 1,0744 1,0368 0,9992 0,9616 0,9241 0,8865 0,8489 0,8113 0,7737 0,7361 0,6985 0,6610 0,6234 0,5858 0,5482 0,5106 0,4730 0,4354 0,3978 0,3603 0,3227 0,2851 0,2475 0,2099 0,1723
17.100
2.304
0,1347
17.400
1.691
0,0972
17.700
1.054
0,0596
18.000
396
0,0220
115
Lampiran 11. Produksi kerapu pada berbagai tingkat upaya penangkapan Diketahui: a b
6,5583 0,000358
Effort 0 300 600 900 1.200 1.500 1.800 2.100 2.400 2.700 3.000 3.300 3.600 3.900 4.200 4.500 4.800 5.100 5.400 5.700 6.000 6.300 6.600 6.900 7.200 7.500 7.800 8.100 8.400 8.700 9.000 9.300 9.600 9.900 10.200 10.500 10.800 11.100 11.400 11.700 12.000 12.300 12.600 12.900 13.200 13.500 13.800 14.100 14.400 14.700 15.000 15.300 15.600 15.900 16.200 16.500 16.800 17.100 17.400 17.700 18.000 18.300
Catch 0 1.935 3.806 5.613 7.355 9.033 10.646 12.195 13.680 15.100 16.456 17.747 18.974 20.137 21.235 22.269 23.239 24.144 24.985 25.761 26.474 27.121 27.704 28.223 28.678 29.068 29.394 29.655 29.852 29.985 30.053 30.057 29.996 29.871 29.682 29.428 29.110 28.728 28.281 27.770 27.194 26.554 25.850 25.081 24.248 23.351 22.389 21.363 20.272 19.117 17.897 16.614 15.266 13.853 12.376 10.835 9.229 7.559 5.825 4.026 2.162 235
300,0000
CPUE 0 6,4510 6,3437 6,2364 6,1291 6,0218 5,9145 5,8072 5,6999 5,5926 5,4853 5,3780 5,2707 5,1634 5,0561 4,9488 4,8415 4,7342 4,6269 4,5196 4,4123 4,3049 4,1976 4,0903 3,9830 3,8757 3,7684 3,6611 3,5538 3,4465 3,3392 3,2319 3,1246 3,0173 2,9100 2,8027 2,6954 2,5881 2,4808 2,3735 2,2662 2,1589 2,0516 1,9443 1,8370 1,7297 1,6224 1,5151 1,4078 1,3005 1,1932 1,0859 0,9786 0,8713 0,7640 0,6567 0,5493 0,4420 0,3347 0,2274 0,1201 0,0128
116
Lampiran 12. Pendapatan nelayan akar bore dengan kapal jonson NO I INVESTASI: Perahu (body kapal) Mesin kapal 15 pk
II
II
KOMPONEN
BIAYA (Rp)
Jumlah (I)
400.000 11.000.000 11.400.000
Jumlah (II)
9.120.000 150.000 400.000 1.500.000 11.400.000 760.000 23.330.000
Jumlah (III)
420.000 720.000 90.000 990.000 2.220.000
Jumlah (IV)
100.000
BIAYA OPERASIONAL Bensin (76 trip x 20 ltr x Rp 6.000) Oli ( 10 bln x 1 ltr x Rp 15.000) Busi (2 unit x 10 bln x Rp 20.000) Bahan akar bore (6 ikatx 10 bln x Rp 25.000) Ransum ABK (76 trip x Rp 50.000 x 3 org) Operasional alat bantu (76 trip x Rp 10.000)
BIAYA PERAWATAN DAN PENYUSUTAN Perawatan perahu (Rp 35.000 x 12) Perawatan mesin (Rp 60.000 x 12) Penyusutan perahu (ns 10 %, ut 4 thn) Penyusutan mesin (ns 10 %, ut 10 thn)
III
BIAYA ADMINISTRASI DAN PERIZINAN
IV
PENERIMAAN KOTOR Musim Paceklik (20 trip) Napoleon (7 kg x Rp 40.000x 20 trip) Kerapu (15 kg x Rp 22.000 x 20 trip) Campuran (20 kg x Rp 8.000 x 20 trip) Musim Biasa (36 Trip) Napoleon (18 kg x Rp 33.000x 20 trip) Kerapu (27kg x Rp 19.000 x 20 trip) Campuran (15 kg x Rp 6.500 x 20 trip) Musim Puncak (20 trip) Napoleon (25 kg x Rp 30.000x 20 trip) Kerapu (35 kg x Rp 15.000 x 20 trip) Campuran (8 kg x Rp 6.000 x 20 trip)
5.600.000 6.600.000 3.200.000 11.880.000 10.260.000 3.130.000
Jumlah (V)
15.000.000 10.500.000 960.000 67.130.000 3.356.500
V
RETRIBUSI DESA (5 % dari Hasil penjualan)
Jumlah (VI)
VI
PENERIMAAN
Jumlah (VII) 40.343.500
117 Lampiran 13. Proporsi alat tangkap aktif dan pasif di Kepulauan Ayau Upaya Tangkap Alat tangkap aktif Upaya Tangkap Alat Tangkap Pasif Potassium Akar bore Pancing tonda Senapan Pancing ulur Jaring insang Bubu Napoleon 5.095 5.440 1.705 474 3.830 1.830 865 Kerapu 5.775 7.327 3.118 360 6.332 1.017 562 Total alat tangkap aktif 29294 (66,99%) Total alat tangkap pasif 14436 (33,01%) Jenis Ikan
Lampiran 14. Hasil wawancara dengan masyarakat Ayau mengenai kondisi karang Nama Responden Dominggus Yosef Albana Amiruddin Yohanes Jefrry S Anton Hasan Basri Yunus Baramba Jerry A Arma Y Total
Kondisi Karang Saat Ini dibandingkan 15 Tahun lalu Lebih baik Lebih rusak Sama YA YA YA YA YA YA YA YA YA Ya 6 1 3
118 Lampiran 14. Perhitungan indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan karang Indikator
Bobot
Nilai
Bobot nilai
5 4 4 2 5 20
1 1 1 2 1
5 4 4 4 5 22
2 2 2 3 3 5 3 4 5 29
1 0 0 2 0 1 1 1 0
2 0 0 6 0 5 3 4 0 20
2 5 4 5 3 2 21
2 1 0 1 0 2
4 5 0 5 0 4 18
5 3 4 2 2 5 21
2 1 0 0 1 2
10 3 0 0 2 10 25
4 4 5 13
1 2 1
4 8 5 17
Ekologi Status penangkapan Ukuran ikan tangkapan Keragaman ikan yang tertangkap Ikan yang dibuang Kualitas lingkungan Jumlah total
Teknologi Lama trip fishing base Penanganan ikan sebelum dijual Penanganan ikan di atas kapal Alat tangkap Selektivitas alat Ukuran kapal Catching power Efek penggunaan alat tangkap Jumlah total Sosial-Kemasyarakatan Pola pemanfaatan sumberdaya Pemahaman lingkungan Tingkat pendidikan Status konflik Pendapatan dari kegiatan penangkapan Partisipasi keluarga dalam usaha perikanan Jumlah total Ekonomi Profitabilitas Rata-rata pendapatan Aturan perdagangan Sifat aktivitas penangkapan Status kepemilikan/transfer keuntungan Pasar Jumlah total Kelembagaan Efektivitas manajemen Kearifan lokal Pengawasan Jumlah total
Indeks ekologi Indeks teknologi Indeks sosial-masyarakat Indeks ekonomi Indeks kelembagaan
1,10 0,69 0,86 1,19 1,31
INDEKS KEBERLANJUTAN
0,98