La Ode Muh. Yasir Haya, dkk, Analisis Kebijakan ..........……. 75
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG: Kasus Penangkapan Ikan yang Merusak (Sianida dan Bom) Di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan La Ode M. Yasir Haya, Hazairin Zubair dan Darmawan Salman Penulis Pertama, Staf pada “Loka Budidaya Laut”, Ambon Penulis Kedua dan Ketiga, Staf Pengajar pada Program Pascasarjana Unhas, Makasar Abstract This aims to analyse existing policies; and to formulate effective policy alternative to overcome damaging penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom) practices (cyanida fishing and blast fishing) in Spermonde Islands, South Sulawesi. Research method applied was qualitative method, primary data collected through in-depth interview with stakeholders, while secondary data obtained by collecting, copy of state document (law and legislation products), literatures, and related research result. Data analysed by using descriptive approach and analytical hierarchy process (AHP) approach in a cost and benefit framework. Research result indicate that legal instruments and other existing regulations related to penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom) are still very general and are yet to address specific cases of marine resources. In terms of implementation, there were several overlapping regulations which drove law enforcement to be ineffective. AHP analysis using benefit-cost approach established 4 (four) policy alternatives for coral reef management in addressing the penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom) problems. These are: environmental awareness through education and information availibility (0,275), altenative income generation and diversification of lifelihood (0,273). Keyword: cyanide fishing and blast fishing, legal instrument, alternative income generation
PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir dan kepulauan Sulawesi Selatan diperkirakan merupakan salah satu pusat kegiatan penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom) di Indonesia, dimana kepulauan Spermonde memegang kontribusi sangat signifikan untuk aktifitas perikanan di Sulawesi Selatan, dan merupakan kawasan yang sangat rawan dengan aktifitas penangkapan ikan yang merusak tersebut. Sebuah studi menunjukkan bahwa sekitar 2,83% dari 7.569 kapal yang beroperasi di Kepulauan Spermonde menggunakan alat tangkap ilegal. Dari jumlah itu sekitar 86,5% menggunakan bom, dan sekitar 10,8% menggunakan bahan sianida (Pet-Soede, 2000). Selain itu hasil penelitian Pokja
COREMAP (2000) juga melaporkan bahwa 40% dari pendapatan nelayan di Kepulauan Spermonde berasal dari penggunaan alat tangkap yang merusak yaitu bom dan sianida. Penggunaan bom, yang telah berlangsung sejak masa perang dunia kedua, merupakan bencana bagi terumbu karang. Satu botol bir bom bisa menghancurkan area terumbu karang seluas 5 m2 dan untuk botol gallon yang lebih besar mampu menghancurkan area terumbu karang seluas 20 m2. Penggunaan bom secara berkala meningkatkan kematian terumbu karang 50% sampai 80% (Pet-Soede, 2000). Sementara penggunaan racun memberikan dampak ganda, kerusakan karang dan kematian larva dan ikan-ikan kecil (Johannes and Riepen, 1995). Kerusakan terumbu karang memberikan dampak yang sangat merugikan bagi bangsa Indonesia, baik secara ekologis maupun
76 analisis, Volume 1, Nomor 2, Maret 2004
ekonomis. Rusaknya terumbu karang berarti hilangnya pelindung alami bagi kawasan pantai, termasuk kawasan permukiman, lahan pertanian, lahan pertambakan, kawasan wisata dan kawasan pelabuhan. Rusaknya terumbu karang juga berarti hilangnya sumber makanan dan tempat memijah bagi banyak biota laut seperti ikan, mollusca dan crustacea yang bernilai ekonomis tinggi. Menurut estimasi konservatif Pet-Soede (2000), kerugian ekonomis akibat kerusakan terumbu karang selama lebih dari 20 tahun, sebesar US$ 306.800 per km2 untuk kawasan bernilai potensial tinggi, sedangkan untuk kawasan yang bernilai potensial rendah mengalami kerugian ekonomis sebesar US$ 33.900. Hal ini akan semakin memiskinkan nelayan yang memanfaatkan langsung sumberdaya tersebut. Di Sulawesi Selatan, upaya pengendalian kerusakan ekosistem pesisir dan lautan telah dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan berupa “Perda Propinsi Sulawesi Selatan Nomor 7 Tahun 1987 tentang Larangan terhadap
Pengusahaan dan Perusakan Batu Karang di Sepanjang Perairan pantai Propinsi Sulawesi Selatan”. Perda tersebut dikeluarkan dengan merujuk pada Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Nomor 22 Tahun 1978 dan Nomor 002/PPLH Tahun 1978 tentang Pemeliharaan Keserasian dalam Penanggulangan Masalah Lingkungan Hidup di Daerah dengan Kebijakan di Tingkat Nasional, serta Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1979 dan Kep.002/MNPPLH/2/1979 tentang Instansi Pengelola Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup di Daerah. Namun upaya tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kelestarian sumberdaya terumbu karang, bahkan kegiatan perusakan terumbu karang dalam kegiatan penangkapan ikan (bom dan sianida) masih terus berlangsung. (Tabel-1).
Tabel-1: Gambaran Kasus-Kasus Penggunaan Sianida dan Bom yang Diidentifikasi DFW tahun 2003. Lokasi Papandangan
Tahun 2001 Akhir tahun 2002
Bonetambung Barrang Lompo
1994 1989 Akhir tahun 2002 April 2003
Kodingareng Gondong Bali Bauluang Lumu-Lumu P. Labbu tallua (Tanakeke Takalar)
1989 2003 2002 1999 1997 - 1998
Sumber: DFW Indonesia, 2003
Kasus-kasus 3 orang meninggal akibat terkena bom Karena dituduh pembom, ditembak oleh petugas Konflik sosial antara masyarakat Papandangan dengan Kepala Pos Polisi karena motif pemboman (perebutan areal fishing ground) 1 orang meninggal akibat terkena bom saat melempar Cacat Resistensi masyarakat terhadap kelompok pelestarian (relawan lingkungan mau dikeroyok oleh masyarakat) Masyarakat melakukan pengejaran terhadap pelaku bom 1 orang meninggal akibat menyelam terlalu lama dan tidak diproses oleh pihak berwajib Cacat tangan (putus) Ponggawa yang ditangkap oleh aparat petugas Meninggal 1 kapal pembom dari Kodingareng ditangkap oleh masyarakat, disiksa dan kapalnya disita oleh masyarakat sendiri 1 orang lumpuh (mati setengah badan) Pembom dan Jolloroknya disita Polres Mappakasunggu, penyidikan di pengadilan Makassar, bahkan ada yang ditangkap lalu bebas karena ada sogokan
La Ode Muh. Yasir Haya, dkk, Analisis Kebijakan ..........……. 77
Mencermati realitas seperti ini, mesti ada upaya untuk menanggulangi praktek penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom) yang memadai, terpadu, efektif dan komprehensif yang cocok diimplementasikan di berbagai wilayah. Program penanggulangan yang ditempuh selama ini cenderung parsial dan tidak menjawab akar permasalahan sianida dan bom tersebut. Hal ini antara lain disebabkan minimnya kebijakan yang berorientasi konservasi yang dapat diaplikasikan pada tingkat site/lokasi serta lemahnya penegakan hukum. Tujuan Penelitian Untuk maksud tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis kebijakan yang ada tentang upaya penanggulangan praktek penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom) di kepulauan Spermonde; dan (2) merumuskan alternatif kebijakan yang efektif untuk menanggulangi praktek penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom) di Kepulauan Spermonde tersebut. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif (qualitative research) yang mengkaji konsep-konsep, persepsi stakeholders tentang suatu fenomena dan masalah yang ada, yang menurut Danim (2000) disebut sebagai penelitian kebijakan. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan pada akhir 2003, meliputi studi literatur, pengumpulan data, analisa data, dan penyusunan hasil penelitian. Lokasi penelitian mencakup wilayah administrasi Kepulauan Spermonde yaitu Kabupaten Takalar, Maros, Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Barru dan Kota Makassar di Provinsi Sulawesi Selatan Data primer diperoleh dengan wawancara mendalam (in-depth interview). Responden yang dipilih adalah para pengambil kebijakan (leader) pada institusi/stakeholders yang mempunyai keterkaitan dengan obyek penelitian. Data sekunder berupa (1) data sosial ekonomi masyarakat pesisir (nelayan) diperoleh dengan melakukan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, pengumpulan dokumen penting dan terobosan kebijakan (instant polcy)
yang ada kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan praktek penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom). Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan deskriptif dan pendekatan analisis hirarki proses (AHP) dilakukan analisis terhadap data yang ada. Populasi penelitian ini ádalah stakeholders, dalam hal ini institusi pengambil kebijakan dan institusi yang berwenang mengeluarkan peraturan perundangan dalam wilayah administrasi Kepulauan Spermonde. Sampel penelitian ádalah: DPRD Propinsi Sulawesi Selatan; Bappeda Propinsi Sulawesi Selatan; Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulawesi Selatan; Bappeda kabupaten/kota Makassar, Takalar, Maros, Pangkep, dan Barru; DKP kabupaten/kota Makassar, Takalar, Maros, Pangkep, dan Barru; DPRD kabupaten/kota Makassar, Takalar, Maros, Pangkep dan Barru; Kepolisian kabupaten/kota Makassar, Takalar, Maros, Pangkep dan Barru; Kejaksaan Negeri kabupaten/kota Makassar, Takalar, Maros, Pangkep dan Barru; Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kelautan; Universitas/ Lembaga Penelitian. Analisis data dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan deskriptif dan pendekatan Analisis Hirarkis Proses (AHP) dalam kerangka manfaat dan biaya (B/C ratio). Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran dan mendeskripsikan setiap persepsi stakeholders dalam memandang kasus penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom), berupa kebijakan publik dalam kerangka pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta kemungkinan adanya alternatif kebijakan. Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP (Saaty, 1993), ada beberapa prinsip yang harus dipahami diantaranya adalah: decompocition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency. Dalam decompocition, setelah permasalahan didefenisikan, maka dilakukan upaya memecah-mecah permasalahan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lebih lanjut sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tadi. Karena alasan ini, maka proses analisis ini dinamakan hirarki (hierarchy). Ada dua jenis
78 analisis, Volume 1, Nomor 2, Maret 2004
hirarki, yaitu hirarki lengkap dan tidak lengkap. Dalam hirarki lengkap, semua elemen pada suatu tingkat memiliki semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya. Jika tidak demikian, dinamakan hirarki tidak lengkap. Pada tahap comparative judgement, dilakukan penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini akan tampak lebih baik bila disajikan dalam bentuk matriks yang dinamakan matriks pairwase comparison.
Pertanyaan yang biasa diajukan dalam penyusunan skala kepentingan adalah: elemen mana yang lebih (penting/disukai/mungkin/..) dan berapa kali lebih (penting/disukai/ mungkin/..). Agar diperoleh skala yang bermanfaat ketika membandingkan dua elemen, seseorang yang akan memberikan jawaban perlu pengertian menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang ingin dicapai. Dalam penyusunan skala kepentingan, didasarkan pada tabel berikut ini.
Tabel 2. Skala kepentingan dalam pendekatan AHP Tingkat Kepentingan 1 3 4 6 9 2,4,6,8 Reciprocal
Defenisi Sama pentingnya dibanding yang lain Moderat pentingnya dibanding yang lain Kuat pentingnya dibanding yang lain Sangat kuat pentingnya dibanding yang lain Ekstrim pentingnya dibanding yang lain Nilai diantara dua penilaian yang berdekatan Jika elemen-I memiliki salah satu angka di atas ketika dibandingkan elemen j, maka j memiliki nilai kebalikannya ketika dibanding elemen i
Dalam penilaian kepentingan relatif dua elemen berlaku aksioma reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding j, maka elemen j harus sama dengan 1/3 kali pentingnya dibanding elemen-i. Disamping itu, perbandingan dua angka yang sama akan menghasilkan angka 1, artinya sama penting. Dua elemen yang berlainan dapat saja dinilai sama penting. Jika terdapat n elemen, maka akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran n x n. Banyaknya penilaian yang diperlukan dalam menyusun matriks ini adalah n(n-1)/2 karena matriksnya reciprocal dan elemen-elemen diagonal sama dengan 1. Selanjutnya adalah synthesis of priority, dimana dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari eigenvectornya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen
menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting. Logical consistency menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan. Pengujian ini diperlukan, karena pada keadaan yang sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan, sehingga matriks tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi karena ketidakkonsistenan dalam preferensi seseorang. Di dalam penelitian ini, dibuat dua jenis hirarki yaitu hirarki untuk proses balik terhadap kebijakan yang diinginkan dan hirarki untuk analisis manfaat dan biaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari studi ini dijumpai bahwa penyebab utama dan motivasi nelayan melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan sianida dan bom setidaknya dikelompokkan menjadi
La Ode Muh. Yasir Haya, dkk, Analisis Kebijakan ..........……. 79
empat faktor, yaitu: 1) desakan kebutuhan ekonomi subsisten masyarakat nelayan khususnya nelayan sawi; 2) masih rendahnya pemahaman akan pentingnya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan; 3) meningkatnya permintaan pasar luar negeri khususnya jenis ikan hidup; dan 4) inkonsistensi serta lemahnya penegakkan hukum dalam mencegah penggunaan sianida dan bom. Stakeholders berpandangan bahwa untuk mengatasi masalah tersebut, dibutuhkan pendekatan kebijakan yang lebih komprehensif dan merupakan antitesa dari penyebab tersebut di atas, meliputi: 1) diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (AIG); 2) pendidikan dan upaya penyadaran lingkungan; 3) peraturan dan penegakkan hukum; dan 4) koordinasi dengan stakeholders yang berkepentingan terhadap sumberdaya
kelautan. Ke empat opsi kebijakan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan AHP. Pendekatan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya dilakukan untuk melihat sejauh mana nilai manfaat dan biaya (kerugian) jika kebijakan tersebut diimplementasikan. Kemudian proses balik dilakukan untuk melihat masa depan yang diharapkan terhadap pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Spermonde. Analisis Manfaat dan Biaya (B/C) Untuk melakukan analisis B/C dengan menggunakan pendekatan AHP, diuraikan faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya yaitu manfaat pengelolaan terumbu karang tanpa menggunakan sianida dan bom serta biaya/kerugian pengelolaan terumbu karang jika menggunakan sianida dan bom.
Tabel 3: Uraian tentang faktor-faktor manfaat dan biaya pengelolaan terumbu karang Pengelolaan terumbu karang Ekonomi
Sosial
Lingkungan
Manfaat 1. pendapatan meningkat 2. usaha sektor informal
1. pelindung pantai 2. nilai estetika 3. media kehidupan sumberdaya ikan/biota laut yang sangat produktif 1. penyerapan tenaga kerja di sektor pariwisata 2. sarana rekreasi bagi masyarakat
Untuk memudahkan dalam menganalisis kedua faktor di atas dengan pendekatan AHP maka dibuat dua struktur hirarki, yaitu hirarki manfaat dan hirarki biaya (kerugian). Dalam melakukan justifikasi terhadap kriteria dan subkriteria pada setiap tingkatan hirarki, didasarkan pada preferensi responden dan kajian literatur dan proses-proses tersebut disesuaikan dengan
Biaya (kerugian) 1. memerlukan modal 2. biaya operasi dan pemeliharaan 3. berkurangnya pendapatan nelayan tradisional 4. hilangnya potensi SDA yang seharusnya dimanfaatkan 1. pencemaran 2. penurunan populasi biota laut dan ikan karang 3. kerusakan karang 1. 2. 3. 4.
kesempatan kerja yang hilang konflik nelayan resiko dan keselamatan kerja pembangunan desa akan tertinggal
metode pendekatan dalam AHP. Berikut ini struktur hirarki manfaat dan biaya dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang kasus penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan.
80 analisis, Volume 1, Nomor 2, Maret 2004
Manfaat pengelolaan Terumbu karang tanpa sianida dan bom
Tingkat 1
Manfaat Ekonomi (0,594)
Tingkat 2
Tingkat 3
Pendapatan meningkat (0,445)
Usaha sekt. informal (0,148)
Manfaat Lingkungan (0,249) Pelindung pantai (0,074)
Manfaat Sosial (0,157)
Nilai estetika (0,041)
Sarana rekreasi (0,026)
Penyerapan tenaga krj (0,131)
Media hidup biota (0,135)
Tingkat 4
Peraturan & penegakkan hukum (0,115)
Gambar-1:
Div. usaha & Pengemb. AIG (0,393)
Pendidikan & informasi lingk (0,330)
Koordinasi stakeholders (0,163)
Struktur hirarki manfaat pengelolaan terumbu karang tanpa sianida dan bom
Biaya/kerugian pengelolaan Terumbu karang dengan sianida dan bom
Tingkat 1
Kerugian Ekonomi (0,405)
Tingkat 2
Tingkat 3
Modal (0,180)
Biaya operasional (0,105)
Tingkat 4
Gambar 2.
Pendapatan nelayan tradisional (0,077)
Kerusakan karang (0,234)
Hilangnya potensi alam yg hrs dimanfaatkn (0,044)
Peraturan & penegakkan hukum (0,115)
Kerugian Lingkungan (0,481) Penurunan populasi ikan karang (0,209)
Pencemaran (0,037)
Div. usaha & Pengemb. AIG (0,391)
Pendidikan & informasi lingk (0,329)
Kerugian Sosial (0,114) Resiko pekerjaan (0,063)
Pembangunan desa yg tertinggal (0,009)
Kesempatan kerja hilang (0,008) Konflik nelayan (0,033)
Koordinasi stakeholders (0,164)
Struktur hirarki biaya pengelolaan terumbu karang dengan sianida dan bom
La Ode Muh. Yasir Haya, dkk, Analisis Kebijakan ..........……. 81
Selajutnya dilakukan analisis berpasangan (rasio) dalam kerangka manfaat dan biaya,
sebagaimana terlihat dalam Tabel-4 berikut ini.
Tabel-4: Prioritas manfaat, biaya dan rasio manfaat-biaya untuk kebijakan pengelolaan terumbu karang kasus penggunaan sianida dan bom No 1
Pendekatan AHP Manfaat Biaya
Alternatif Kebijakan
Rasio Perbandingan
2
Diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (AIG) Pendidikan dan informasi lingkungan
0,393 0,330
0,391 0,329
1,005 1,003
3 4
Peraturan dan penegakkan hukum Koordinasi stakeholders
0,115 0,163
0,115 0,164
1,000 0,994
Dari tabel tersebut diatas, terlihat bahwa “judgement” para stakeholders sangat bervariasi dalam memandang kasus sianida dan bom dalam hubungannya dengan pengelolaan terumbu karang. Nilai rasio konsistensi (inconsistency) yang berkisar antara 0,03-0,04 mengindikasikan bahwa para stakeholders konsisten dalam pemberian nilai pembobotan dengan tingkat penyimpangan kecil. Dari hasil analisa tersebut, dapat dilihat bahwa alternatif kebijakan diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian (AIG) memberikan nilai manfaat terbesar yaitu 0,393, demikian pula halnya kerugian yang diakibatkan jika pengelolaan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan alat merusak (sianida dan bom) akan memberikan kerugian terbesar pada diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (AIG) yaitu 0,391. Nilai manfaat sebesar 0,393 terdiri dari manfaat ekonomi=0,594, manfaat lingkungan=0,249, dan manfaat sosial=0,175. Nilai kerugian sebesar 0,391 terdiri darikerugian ekonomi 0,405, kerugian lingkungan 0,481 dan kerugian sosial 0,114. Jika masing-masing kebijakan dibandingkan nilai manfaat dan kerugiannya, maka kebijakan diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (AIG)=1,005, pendidikan dan informasi lingkungan=1,003, peraturan dan penegakan hukum=1,000. Kebijakan ini menghasilkan alternatif yang optimal karena memberikan nilai maksimum, dengan B/C>1 sehingga sangat penting dan visible untuk dilakukan.
Diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (AIG) menjadi pilihan yang berbobot tertinggi karena nelayan pelaku sianida dan bom lebih banyak disebabkan oleh ketergantungan ekonomi dan terikat oleh utang dari punggawa darat dan pulau, selain itu karena hasil tangkapan dengan menggunakan bom dan sianida mempunyai nilai ekonomi dan jumlah tangkapan tinggi jika dibanding dengan alat tangkap biasa/tradisional. Oleh karena itu, AIG dimaksud secara ekonomi harus mempunyai nilai keuntungan yang hampir setara dengan kegiatan menggunakan sianida dan bom dan secara ekologis tidak merusak lingkungan. Sehingga dengan kebijakan pengembangan AIG bagi nelayan pelaku di Kepulauan Spermonde maka secara perlahan praktek penangkapan dengan menggunakan sianida dan bom akan berkurang. Kebijakan lainnya adalah peningkatan SDM nelayan melalui pendidikan dan penyadaran lingkungan serta sosialisasi dan penyuluhan tentang produk hukum. Pendekatan ini akan membangkitkan kesadaran kritis untuk senantiasa berpartisipasi dalam memanfaatkan dan menjaga lingkungannya dengan arif dan bijaksana. Selanjutnya adalah perlunya peraturan yang jelas dan penegakkan hukum. Hal ini sangat penting mengingat bahwa banyak kasus-kasus pelanggaran dilaut tidak terselesaikan dengan tuntas sampai ke tingkat pengadilan. Hal ini disebabkan tidak jelasnya produk hukum (peraturan) yang menjerat pelaku penggunaan sianida dan bom, sehingga di tingkat pengadilan sangat sulit untuk menjerat pelaku (tumpang tindih peraturan). Disamping itu masih
82 analisis, Volume 1, Nomor 2, Maret 2004
ditemukan aparat penegak hukum di lapangan yang justru sebagai pelindung bahkan menyuplai bahan dan material. Diakui bahwa kurangnya koordinasi dari berbagai stakeholders menjadi salah satu penyebab makin sulitnya menanggulangi praktek penggunaan sianida dan bom. Sehingga salah satu pilihan kebijakan yang dapat dilakukan adalah koordinasi stakeholders baik di darat maupun di laut. Koordinasi dimaksud adalah terwujudkannya sinergisme dan kesatuan pandangan stakeholders dalam memandang dan mengendalikan kegiatan penangkapan ikan dengan sianida dan bom. Koordinasi yang baik akan melahirkan kesamaan pandangan dan langkah dalam mencegah kasus penggunaan sianida dan bom sehingga egoisme sektoral dan konflik kewenangan dapat diminimalkan. Masa Depan Kebijakan Pengelolaan Kebijakan penanggulangan penggunaan sianida dan bom dapat diformulasi melalui proses balik dalam pendekatan AHP. Proses balik akan memberikan gambaran sejumlah langkah dan tahapan yang diperlukan bagi pelaksanaan kebijakan ke depan. Dalam melakukan proses balik terhadap masa depan pengelolaan sumber daya terumbu karang di Kepulauan Spermonde, maka dibuat struktur hirarki berdasarkan kepentingan dan persepsi stakeholders. Struktur hirarki pada proses balik dapat dilihat pada Gambar 3. Dari analisis, kebijakan pengelolaan sumber daya terumbu karang yang berorientasi pada kepentingan publik menjadi pilihan dengan bobot 0,833, sedangkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan penguasa hanya memiliki bobot 0,167. Hal ini karena setiap stakeholders memandang kasus penggunaan sianida dan bom hanya bisa ditanggulangi dengan kebijakan yang dapat diimplementasikan di lapangan dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada kepentingan publik (bottom up) turut memberikan kontribusi dalam perspektif stakeholders. Dalam kerangka tersebut, analisis terhadap instrumen kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber daya terumbu karang, diperoleh bahwa inisiatif masyarakat
memiliki bobot tertinggi yaitu 0,298, selanjutnya instrumen pendidikan dan informasi (0,270), program atau proyek (0,139), pengembangan kelembagaan (0,029), peraturan (0,077), inisiatif industri (0,065), dan terakhir instrumen ekonomi (0,059). Urutan ini memperlihatkan betapa stakeholders sangat mengharapkan kebijakan yang dihasilkan adalah hasil dari inisiatif masyarakat. Sehingga dalam implementasinya status dan kedudukan masyarakat lebih jelas. Demikian pula dengan instrumen lainnya, kebijakan yang dihasilkan harus memenuhi kriteria instrumen pengelolaan tersebut. Jika tidak, kebijakan yang akan dilakukan kurang memberikan dampak dan hasil yang optimal sesuai dengan harapan stakeholders. Didalam instrumen pengelolaan tersebut, peran dan keterlibatan setiap stakeholders sangat jelas status dan kedudukannya. Masalah kedua yakni pelestarian fungsi lingkungan mempunyai bobot nilai 0,338. Ini menunjukan pentingnya pelestarian terumbu karang bagi masyarakat. Adanya terumbu karang dalam kondisi baik, selain fungsi sosialnya sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat lokal dan wisatawan, juga dapat membuka lapangan kerja baru, disamping fungsi ekologisnya sebagai tempat memijah (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground), tempat pembesaran ikan (nursery ground) serta fungsi ekologis lainnya dapat berlangsung dan menunjang produktivitas perikanan laut yang menguntungkan sebagian besar nelayan. Untuk itu LSM, DKP, universitas/perguruan tinggi, dan Bapedalda menjadi aktor/lembaga yang berperan penting dalam pelestarian fungsi lingkungan. Masalah ketiga adalah tidak jelasnya perturan perundangan dan lemahnya penegakan hukum dengan bobot nilai 0,122. Disadari bahwa produk hukum selama ini masih bersifat umum dan belum ada yang spesifik mengatur tentang penyelesaian kasus penggunaan sianida dan bom. Kelemahan itu diantaranya berupa tumpang tindihnya kewenangan penyidikan antara TNI-AL dan Kepolisian (kontra produktif antara UU perikanan dan UU handak-senjata api). Kelemahan lainnya berupa sulitnya mendapatkan barang bukti dan mendatangkan saksi ahli sebagai syarat mutlak dalam proses peradilan (ketentuan UU PLH). Dari perspektif hukum tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa
La Ode Muh. Yasir Haya, dkk, Analisis Kebijakan ..........……. 83
umumnya kasus penggunaan sianida dan bom tidak dapat diselesaikan sampai ke pengadilan. Oleh karena itu dibutuhkan suatu produk hukum baru yang lebih memadai dalam upaya penanggulangan penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde. Analisis terhadap stakeholders menunjukkan bahwa setiap stakeholders dapa berperan sesuai dengan kewenangannya dalam penyelesaian masalah yang muncul dalam pelaksanaan. Ditemukan bahwa LSM memperoleh bobot nilai tertinggi (0,291), selanjutnya adalah DKP (0,198), Perguruan Tinggi/Universitas (0,163), Bapedalda (0,138), Bappeda (0,087), DPRD (0,051), Kejaksaan (0,037), dan Kepolisian (0,036). Besarnya bobot nilai LSM karena stakeholders mengharapkan orientasi kebijakan (hirarki tingkat ke-2) adalah kebijakan yang berorientasi publik, dimana LSM diharapkan sebagai aktor utama di lapangan (masyarakat/nelayan). DKP sebagai instansi teknis diharapkan bekerjasama dengan LSM dalam melakukan pembinaan dan pelaksanaan program di masyarakat/nelayan. Sedangkan perguruan tinggi berperan dalam penelitian dan pengembangan guna ketersediaan data dan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna. Bapedalda sebagai instansi teknis diharapkan mampu bekerjasama dengan institusi dan stakeholders lainnya dalam melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan/terumbu karang. Bappeda dituntut
berperan dalam melahirkan program pembangunan di kawasan pesisir dan kepulauan yang lebih berorientasi pada. Pihak legislatif diharapkan berperan setara dengan stakeholders lainnya dengan melahirkan produk yang lebih membumi dan mengevaluasi efektivitas implementasinya. Sedangakn pihak yudikatif dalam hal ini kejaksaan, dan kepolisian dapat mengawal dan menegakkan aturan-aturan tersebut secara tegas tanpa ada diskriminasi hukum bagi pelanggarnya. Alternatif dan Prioritas Kebijakan Hasil AHP pada hirarki proses balik terhadap masa depan yang diinginkan dari pengelolaan terumbu karang, khususnya penggunaan bom dan sianida di Kepulauan Spermonde, ditemukan bahwa dari keempat alternatif yang ada (hirarki ke-6), pilihan pendidikan dan informasi lingkungan mempunyai bobot tertinggi (0,275), selanjutnya berturut-turut adalah diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (AIG) dengan bobot yaitu 0,273, koordinasi stakeholders dengan bobot (0, 253), dan piliha terakhir adalah kejelasan peraturan dan penegakkan hukum dengan bobot yaitu 0,199. Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar-4 tentang diagram prioritas penanggulangan kegiatan penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde.
84 analisis, Volume 1, Nomor 2, Maret 2004
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Kasus Penangkapan Ikan Merusak (Sianida dan Bom) di Kepulauan Spermonde
I. Fokus
II. Orientasi Kebijakan
III. Instrumen Kebijakan
Interes Penguasa: Pemerintah, Modal (0,167)
Peraturan (0,077)
IV. Masalah Kebijakan
V. lembaga/ Stakeholders
VI. Alternatif Kebijakan
Gambar 3.
Program/ proyek (0,139)
Interes Publik: (0,833)
Ekonomi (0,059)
JAKSA (0,037)
Peraturan & penegakkan hukum (0,115)
Inisiatif masyrkt (0,298)
Lingkungan (0,338)
Hukum (0,122)
DPRD (0,051)
Peng. Kelembagaan (0,092)
POLRI (0,036)
BAPEDALDA (0,138)
Div. usaha & Pengemb. AIG (0,391)
Inisiatif Industri (0,065)
Pendidikan /informsi (0,270)
Sosekbud (0,497)
DKP (0,198)
Pendidikan & informasi lingk (0,329)
PT/Univ (0,163)
LSM (0,291)
BAPPEDA (0,087)
Koordinasi stakeholders (0,164)
Struktur hirarki proses balik untuk masa depan pengelolaan sumberdaya terumbu karang kasus sianida dan bom di Kep. Spermonde
La Ode Muh. Yasir Haya, dkk, Analisis Kebijakan ..........……. 85
Gambar 4. Diagram Alternatif Kebijakan yang dapat ditempuh untuk menanggulangi Aktivitas sianida dan bom di Kepulauan Spermonde Dari diagram Gambar-4 terlihat bahwa urutan prioritas kebijakan yang dihasilkan dengan pendekatan AHP merupakan suatu kebijakan yang bernuansa dan berorientasi publik atau lebih dekat pada pendekatan dari masyarakat/nelayan (bottom up approach). Susunan tingkatannya diawali dengan pendidikan dan informasi lingkungan, pilihan ini adalah kebijakan awal dalam mengurangi aktivitas penggunaan sianida dan bom. Minimnya pengetahuan dan rendahnya kesadaran masyarakat/nelayan akan pentingnya nilai sumber daya laut (ekosistem terumbu karang) menjadi salah satu penyebab tetap berlangsungnya penggunaan sianida dan bom. Disamping itu, pendidikan dan penyuluhan hukum dan perundangan yang terkait dengan kasus tersebut harus terus dilakukan. Muara dari kebijakan ini adalah munculnya kesadaran kolektif masyarakat/nelayan pelaku untuk secara perlahan meninggalkan perusakan. Dalam tahap ini, pendekatan hukum sebaiknya dihindari karena belum adanya pemahaman dan kesadaran yang baik, serta belum adanya mata pencaharian alternatif. Peran LSM, Perguruan Tinggi, DKP dan BAPEDALDA sangat penting dalam mendukung kebijakan ini. Prioritas kedua, setelah kesadaran kolektif muncul, adalah secara bersama merencanakan dan mengembangkan mata pencaharian alternatif (AIG) yang sesuai dengan potensi sumberdaya laut dan karakteristik lokal nelayan. Syarat utama AIG yang dipilih adalah secara ekonomis mempunyai keuntungan yang hampir setara dengan ketika melakukan kegiatan sianida dan
bom dan secara ekologis tidak merusak lingkungan. Kebijakan ini harus didukung peningkatan keterampilan dan pengembangan kelembagaan nelayan. Peran LSM, DKP, BAPPEDA, dan perguruan tinggi diharapkan dalam mendukung dan mempersiapkan kebijakan tersebut diimplementasikan. Prioritas ketiga adalah koordinasi stakeholders. Kordinasi yang dimaksud adalah mempertemukan keinginan/aspirasi nelayan, pemerintah setempat, penegak hukum dan perguruan tinggi. Koordinasi juga dibutuhkan untuk mensinergiskan langkah dan mengurangi konflik kewenangan dalam penegakan hukum di laut. Sehingga dibutuhkan terbentuknya kelembagaan bersama ditingkat stakeholders yang berfungsi sebagai media dalam mengkomunikasikan masa depan sumberdaya laut. Setelah ketiga prioritas tersebut diimplementasikan, pilihan selanjutnya adalah peraturan dan penegakkan hukum. Produk hukum yang ada dianggap masih lemah dan bersifat umum. Belum ada produk hukum yang spesifik mengatur penanggulangan penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde. Banyak pijakan yang digunakan oleh institusi/stakeholders dalam pengelolaan terumbu karang berdasarkan kewenangannya masing-masing dan bahkan diantaranya terjadi kontradiksi. Ini menyebabkan penegakan hukum mengalami kendala, sehingga banyak kasus yang tidak terselesaikan dengan tuntas. Karena itu dibutuhkan produk hukum baru yang spesifik mengatur tentang kasus penangkapan ikan
86 analisis, Volume 1, Nomor 2, Maret 2004
merusak khususnya sianida dan bom di Kepulauan Spermonde. Peranan legislatif (DPRD) sangat diharapkan untuk melahirkan produk hukum dimaksud, selanjutnya aparat penegak hukum dapat berjalan sesuai dengan aturan yang ada, dan stakeholders lainnya dapat berperan sebagai pemantau. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya terumbu karang, tahapan dari pilihan kebijakan yang dihasilkan, identik dengan konsep pengelolaan yang memposisikan nelayan dan stakeholders lainnya mempunyai peran dan tanggungjawab sama dalam pengelolaan sumberdaya laut, yang menurut Pomeroy dan Williams (1994), dikenal dengan konsep cooperative management atau disingkat co-management. Konsep co-management adalah konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
2.
3.
Secara substansi, dari tinjauan hukum dan perundangan, kebijakan yang berlaku dalam pengelolaan terumbu karang untuk menanggulangi penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde masih bersifat umum dan belum memadai, sehingga didalamnya terjadi tumpang tindih ketika diimplementasikan Dari setting kebijakan (formulasi dan implementasi) ditemukan bahwa kebijakan yang ada dalam menanggulangi penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde, tidak efektif dan efisien. Pembuatan produk hukum dan perundangan tidak didasarkan pada kepentingan publik dan kelestarian terumbu karang sehingga aktivitas tersebut terus berlangsung. Dengan menggunakan pendekatan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya (B/C), diperoleh empat opsi kebijakan untuk menanggulangi kasus penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde, yaitu: pendidikan dan informasi lingkungan dengan bobot yaitu 0,275; diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (AIG) dengan bobot 0,273;
koordinasi antar stakeholders dengan bobot yaitu 0,253; peraturan dan penegakkan hukum dengan bobot yaitu 0,199. Saran-Saran 1.
2.
Dibutuhkan suatu kebijakan baru dan spesifik dalam bentuk produk hukum dan perundangan seperti dokumen negara/ peraturan daerah (perda), sebagai pijakan dalam menanggulangi kasus-kasus sianida dan bom di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Untuk dapat mewujudkan pengelolaan sumberdaya terumbu karang yang berkelanjutan tanpa menggunakan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde, maka konsep pengelolaan bersama (cooperative management) dapat menjadi pilihan untuk dilakukan. Hal ini sesuai dengan opsi kebijakan yang dihasilkan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL), 2001. Panduan untuk Fasilitator, Kursus Pengantar Pengelolaan Lingkungan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM dan CEPI UCE: Jakarta. Cesar, Herman, 1996. Economic Analysis of Coral Reef. Environmental Department, World Bank: Washington D.C. Dahuri, M., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Pradnya Paramita: Jakarta. Danim, S. 2000. Pengantar Studi Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia,. 2003. Profil Kegiatan Penangkapan Ikan yang Merusak (Destructive Fishing) di Kepualauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Makassar. Dunn, W., 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Global Environmetal Facility - GEF Grant TF. 2001. Agenda 21 dan Pembangunan Berkelanjutan, www.gef.org.
La Ode Muh. Yasir Haya, dkk, Analisis Kebijakan ..........……. 87
Haryono, E.D., 2002. Aspek Kelembagaan dan Pengelolaan Perikanan Demersal di Perairan Selat Makassar. (Tesis) PPSUnhas: Makassar. IMA Indonesia. 2001. Country Status Overview 2001. IMA Indonesia: Bogor. Islamy, Irfan M., 2002. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara: Jakarta. Johannes and Riepen. 1995. Environmental, Economic and Social Implication of the Live Reef Trade in Asia and Western Pacific. The Nature Conservancy: Jakarta Mulyono, S., 1996. Teori Pengambilan Keputusan. LP-FE UI: Jakarta. Mochtar, Zulficar. 2002. Developing DPSIR Indicator Framework for Penangkapan ikan yang merusak (sianida dan bom) Practices (DFP) in Indonesia. Cardiff University-Cardiff, UK Nugroho, Riant D., 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Elex Media Komputindo, Jakarta Pet-Soede, Lida. 2000. Option or Co-Management of an Indonesia Coastal Fishery. Wegeningen University, The Netherlands. PKSPL – IPB, 2000. Jurnal Pesisir & Lautan, volume 3 No.1. Institut Pertanian Bogor. Bogor Pokja Coremap Sulawesi Selatan. 2000. Laporan Kondisi Sosial Ekonomi Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan.
Rachbini, Didik J., 1996 . Ekonomi Politik; Paradigma, Teori, dan Perspektif Baru. CIDES Ramdan H, Yusran, Darusman D., 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah; Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Alqaprint, Jatinangor Jakarta. Saaty, T.L, 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Kerjasama antara LPPM dan PT. Pustaka Binaman Pressindo Sembiring, S.N. 1999. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peranserta Masyarakat. Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia-ICEL dan Natural Resource Management Program Saad, Sudirman. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Dian Pratama Printing, Jakarta Wibawa Samodra, 1994. Kebijakan Publik; Proses dan Analisis, Intermedia WWF for Nature Indonesia’s Wallacea Fisheries Program, 2002. Perikanan Merusak. Denpasar-Bali Yayasan Konservasi Laut (YKL),. 1999. Laporan Akhir Survei Oseanografi untuk Penanggulangan Kerusakan Pantai Pulau Kodingareng Lompo. Kerjasama YKL Indonesia dan Plan International (Program Unit Ujungpandang) Makassar Indonesia.