7. PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN KARANG Tata kelola kawasan dan sumberdaya pesisir dan perikanan di Indonesia mempunyai sejarah perkembangan yang dinamis. Tata kelola tersebut dibuktikan dengan beberapa sistem regime pengelolaan sumberdaya perikanan dan pesisir di Indonesia dengan berbagai regime, seperti regime negara dengan kawasan taman nasional yang berada di bawah kewenangan dan kekuasaan Ditjen PHKA Kementrian Kehutanan, regime masyarakat seperti Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang merupakan kewenangan masyarakat, di mana merupakan devolusi konsep dari LIPI dan Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten, serta perkembangan yang terbaru adalah pengelolaan sumberdaya perikanan dengan regime pasar, seperti program inisiatif Seafood Savers dari WWF Indonesia yang merupakan program jaringan buseniss to buseniss, dengan mengadvokasi perusahaan yang secara sukarela (volunteer), melakukan praktek-praktek perikanan tangkap secara tanggung jawab. Merujuk dari Bromley; Berkes (1988) (dalam Hanna and Munasinghe, 1995 dan Satria, 2009: 5), menyebutkan kepemilikan sumberdaya ada empat rezim, yaitu: open access, state regime, private (market) regime dan communal regime. Dari keempat regime pengaturan pengelolaan sumberdaya perikanan karang di Wakatobi, dijelaskan sebagai berikut: 7.1.
Regime Negara Kekayaan keanekaragaman hayati ini telah menjadi daya tarik tersendiri
bagi kegiatan penelitian (Operation Wallacea) dan juga ekowisata bahari (Wakatobi Dive Resort). Kedua kegiatan ini bersifat internasional dan hal ini membuktikan bahwa nilai keanekaragaman hayati TNW sudah diakui oleh dunia. Secara ekonomis, keberadaan TNW juga menjadi sumber perekonomian masyarakat maupun daerah melalui kegiatan perikanan laut. Produksi dan kelimpahan ikan karang secara umum belum memberikan gambaran jelas, namun berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu diketahui bahwa rata-rata hasil tangkapan adalah 5 – 10 kg/trip. Kelimpahan ikan hias famili Pomacentridae yang di temukan di sekitar P. Kapota berkisar 17 – 178 ekor /150 m2 (Haryano (2002) dalam RPTN 2008).
155
Pada awalnya, Taman Nasional masuk ke wilayah Kabupaten Buton, tetapi sejak mengalami pemekaran menjadi daerah kabupaten tersendiri, maka Taman Nasional sudah masuk ke wilayah Kabupaten Wakatobi. Ada beberapa hal penting dengan terbentuknya Taman Nasional Wakatobi dan pemekaran Kabupaten Wakatobi, isu pertama yang muncul terkait dengan pengelolaan kawasan adalah batas atau kawasan luasan mempunyai luasan yang sama antara luasan kabupaten dan luasan taman nasional. Terbentuknya Kabupaten Wakatobi tersebut, maka perlu diantisipasi terhadap kemungkinan adanya tumpang tindih dalam menggunakan
ruang
atau
kawasan
untuk
kepentingan
pengembangan
pembangunan daerah dan ekonomi masyarakat dengan kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati. Terhadap hal tersebut, telah beberapa kali dilakukan komunikasi dengan Bupati Wakatobi, dan terakhir pada tanggal 21 Maret 2005 dilaksanakan rapat koordinasi di Jakarta dengan jajaran Pemerintah Kabupaten Wakatobi (Pemkab Wakatobi) serta stakeholders terkait.
Beberapa kesepahaman yang diperoleh
antara lain : 1. Kedua belah pihak (Ditjen PHKA/BTNKW dan Pemkab Wakatobi) sepakat untuk tidak mempertentangkan masalah kewenangan dulu, namun secara bersama memfokuskan diri terhadap upaya penyelesaian persoalan-persoalan yang ada dan menyelaraskan program serta kegiatan ke depan 2. Pengembangan Kabupaten Wakatobi akan diarahkan pada dua sektor utama yaitu Perikanan (fisheries) dan Pariwisata (ecotourism), karena itu keberadaan TNKW sebagai perwujudan dari upaya konservasi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati perairan laut Kepulauan Wakatobi
harus tetap
dipertahankan. 3. Sepakat untuk segera dilakukan penataan zonasi taman nasional yang kemudian akan menjadi input dan diakomodasikan ke dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Wakatobi yang diagendakan akan dilakukan pada tahun 2006.
156
Gambar. 7.11. Peta zonasi Taman Nasioonal revisi Tah hun 2005. RPT TN Wakatobi 2008.
Taaman Nasioonal adalahh pengelolaaan laut deengan sistem m sentralilasasi, yaitu penggaturan sum mberdaya seebuah kawaasan yang atturannya addalah datang g dari pusat (pem merintahan)). Setidaknyya dalam zo onasi Tamaan Nasionall Wakatobi telah terjadi revvisi zonasi pada Tahunn 2003 dan n ditetapkann padaTahuun 2005. Seetelah revisi Tahhun 2005, teerbentuk bebberapa zonaasi, diantaraanya adalah:: 1. Zoona inti (ZII): Bagian (area) tamaan nasionall yang mem mpunyai ko ondisi alaam baik bioota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum digaanggu maanusia, yaang mutlakk dilindun ngi. Berfunngsi untukk perlindu ungan keaanekaragam man hayati yang y asli daan khas. Zoona ini boleeh di pergun nakan unntuk kegiataan restorasii sumberdaaya alam. Sedangkan untuk keg giatan pennelitian, peendidikan dan d upacaraa adat, rituaal agama, ssitus sejarah h dan buudaya, dengan ijin darii Balai Tam man Nasionaal dengan S SIMAKSI (Surat ( Ijinn Masuk Kaawasan Konnservasi) daan surat ijin lainnya yanng relevan. 2. Zoona Perlinddungan Bahhari (ZPB): Bagian (aarea) tamann nasional yang karrena letak, kondisi dann potensinya mampu mendukung m pelestarian pada zonna inti dan zona pemaanfaatan. Kegiatan K yanng boleh diilakukan di ZPB adaalah restorrasi sumberrdaya alam m, berlayar melintas ((tidak berh henti), berrlayar dan berlabuh. b S Sedangkan untuk u kegiaatan peneliitian, pendidikan dann upacara adat, rituall agama, siitus sejarahh dan budaaya, serta wisata w
157
dengan ijin dari Balai Taman Nasional dengan SIMAKSI (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) dan surat ijin lainnya yang relevan. 3. Zona Pemanfaatan Lokal (ZPL): Zonasi ini juga dikenal dengan sebutan Zona Pemanfaatan Tradisional adalah zona yang dimanfaatkan terbatas secara tradisional untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat sekitarnya yang biasa menggantungkan hidupnya pada sumberdaya laut. Dalam zona ini semua kegiatan penangkapan ikan secara tradisional, artinya tidak bersifat merusak atau menimbulkan efek perusakan diperbolahkan. Untuk kegiatan peneltian dan wisata harus menggunakan ini dari Balai Taman Nasional. 4. Zona Pemanfaatan Umum (ZPU): Zonasi yang diperuntukkan bagi pengembangan dan pemanfaatan perikanan laut dalam. Ada tambahan dalam hal ini, bahwa di ZPU ini, nelayan bukan dari wilayah Wakatobi, boleh memanfaatkan dalam zonasi ini, sepanjang kegiatannya tidak bersifat merusak dan dalam operasi kegiatannya mempunyai ijin yang legal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk semua bentuk penangkapan yang berisfat ramah lingkungan diijinkan di zona ini. Untuk kegiatan penelitian dan wisata harus menggunakan ijin masuk kawasan konservasi. 5. Zona Pariwisata (ZPr): Bagian dari tama nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Dalam ZPr tidak diperkenakan terjadi pemanfaatan sumberdaya perikanan. Zona ini dikhususkan untuk wisata dan peelitian dengan ijin dari Balai Taman Nasional dan diperbolehkan secara legal untuk berlayar melintas, berlabuh, restorasi sumberdaya, pendidikan serta upacara adat, ritual agama, situs sejarah dan budaya. 6. Zona Daratan/Khusus (Land Zone): Wilayah daratan berupa pulau-pulau yang berpenduduk dan telah terdapat hak kepemilikan atas tanah oleh masyarakat atau kelompok masyarakat yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional dimana pengaturannya akan lebih lanjut melalui rencana umum tata ruang kabupaten. Zona khusus ini
158
adalah zona yang kepengaturannya selain diatur oleh Taman Nasional tetapi juga diatur oleh Pemerintah Kabupaten. Dalam hal ini ada transfer kepercayaan yang dibagikan oleh Taman Nasional kepada Pemerintah Daerah Wakatobi untuk mengatur dan mengelola. Kebijakan yang diselaraskan antara kepentingan Taman Nasional dan kepentingan daerah, terbingkai dalam RPMJD (Rencana Pembangunan Menengah Daerah) dimana disesuaikan dengan RPTN (Rencana Pengelolaan Taman Nasional) Wakatobi 1998-2023. Manfaat zonasi dalam Taman Nasional Wakatobi adalah bertujuan untuk melindungi sumberdaya-sumberdaya penting di Wakatobi. Kekayaan hayati laut yang terdapat di Taman Nasional Wakatobi, terdapat delapan jenis kekayaan sumberdaya alam yang menjadi target konservasi. Kedelapan target konservasi adalah: 1. Terumbu karang (termasuk terumbu karang tepi, terumbu karang cincin, terumbu karang penghalang dan gosong karang) dengan termasuk tiga sub target yang menjadi fokus perhatian yaitu: karang; benthic yang berasosiasi dengan karang; dan ikan karang; 2. Padang Lamun; 3. Mangrove; 4. Paus dan Lumba-lumba; 5. Habitat burung pantai bertelur; 6. Pantai peneluran penyu; 7. Daerah pemijahan ikan (SPAGs) dengan empat sub target, yaitu: Kerapu (grouper), kakap (snapper), Kakaktua kepala benjol (bumphead parrotfish), dan Napoleon (napoleon wrasse). 8. Species laut dan pesisir yang memberikan manfaat ekonomi, yaitu: ikan target yang menjadi perdagangan, ikan karang hidup, ikan pemakan herbivora yang banyak ditangkap (Baronang, Kakaktua, Kuli Pasir (surgeon), ikan pelagis yang tertangkap di bawah minimum size, atau tertangkap dengan sengaja (Sumber RPTNW 1998-2023 (edisi revisi 2008); hal 52-53).
159
Gambar 7.2. Peta poteensi sumberdaaya penting Taaman Nasionaal Wakatobi.
Potensii alam hayati Taman Naional Wakatobi W yaang berkaittan dengan komoodifikasi ikkan konsum msi karangg hidup salah satunyaa adalah kkonsentrasi konservasi SPA AGs (spaw wning aggreegation sittes) dimanaa merupakkan tempat berkuumpulmya jenis ikan karang terttentu untuk k memijah (RPTNW, 2008: 66). Telahh dilakukann survey olleh join proogram (Tam man Nasionnal, TNC ddan WWF) padaa Tahun 20003 teridenttifikasi 29 lokasi SPA AGs yang diduga d sebaagi tempat mem mijah ikan karang. k Akaan tetapi haanya 4 lokaasi saja yanng positif m masih aktif. Dugaaan 25 lokkasi tidak lainnya sudah mengaalami kerussakan karenna adanya kegiaatan over fiishing dan destructivee fishing. Haal ini pentinng untuk diiperhatikan karenna, kawasaan Tamann Nasionall Wakatob bi, terjadi pemekarann otonom Kabuupaten Wakkatobi sebaggai kabupateen baru yan ng membutuuhkan Pendaapatan Asli Daerrah untuk peembangunaan daerahnyya. Kesalah strategi pem mbangunan kabupaten dapaat berakibat serius terhaadap keberlaanjutan periikanan (RPTNW, 20088). Adapun surveey terbaru Tahun T 20122 dilakukann dengan mo onitoring 18 lokasi SP PAGs yang didugga sebagai tempat meemijah ikann karang (S Sahri, (30 Tahun), T 26 November 20122).
Berdasarr Undang--Undang No. N 5 Tah hun 1990 tentang K Konservasi
Sumbberdaya Allam Hayatii dan Ekosssitemnya, fungsi f Tam man Nasionnal sebagai penggawetan, perrlindungan dan pemanffaatan lestaari sumberdaaya alam haayati untuk keberlanjutan. S Semangat peengelolaan Taman T Nasional Wakaatobi berkaittan dengan zonaasi (penataann ruang dalam kawasann konservassi) yang pennunjukkannnya bersifat bottoom up didaasari dengaan tiga dim mensi: 1). Terdapat pergeseran p paradigma 160
tentang pengelolaan kawasan konservasi, yaitu manfaat keberlanjutan sumberdaya pesisir bersama masyarakat dan bersama pemerintah daerah (kepentingan ekonomi jangka panjang); 2). Terdapat integrasi dua program yaitu Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); 3). Pengelolaan zonasi kawasan konservasi disinergikan dengan RTRWP Kabupaten Wakatobi, dengan melibatkan seluruh stakeholder. Sehingga pada Tahun 2007 mengakomodir semua kepentingan stakeholder (Kris, 18 Mei 2012). Dalam melaksanakan agenda konservasi Taman Nasional, TNW bermitra dengan TNC/WWF dalam satu atap join program. Hal ini di sepakati melalui MoU antara TNC/WWF dengan Kemenhut. Join program terbentuk, karena kemitraan mempunyai tujuan, visi, misi yang sejalan dalam pengelolaan sumberdaya berkelanjutan (konservasi). Praktek dalam kemitraan join program didasari dengan kordinasi dan konsilidasi kerja, dalam bentuk rencana kerja setiap tahun (didalam agenda rencan kerja) dan ketika di lapangan diadakan kordinasi dan komunikasi antara satu dengan lainnya. Fungsi adanya join program merupakan praktek kolaboratif sistem yang dibentuk berdasarkan kesepakatan satu dengan lainnya dalam pola kerja kemitraan, dimana TNC dan WWF sebagai supporting sistem dan dana dalam program konservasi bersama Taman Nasional (Kris, 18, Mei 2012). Konservasi kawasan Taman Nasional Wakatobi pada kenyataannya menunjukkan tekanan yang berat, yaitu banyak pelanggaran terhadap wilayah zonasi, masih berlangsungnya kegiatan pertambangan batu karang dan pasir laut, masih diketemukannya perburuan satwa yang dilindungi, dan sampai saat ini pun masih terdapat pelanggaran-pelanggaran yang lain terhadap kawasan konservasi. Dalam Tahun 2012, terjadi penembakkan yang menyebabkan kematian nelayan pengebom, karena terkait dengan pemboman karang, yang terjadi di Karang Kaledupa III, Bulan Februari lalu, yang menewaskan satu korban Bajo Kendari dan Tanggal 29 November 2012 di Karang Kapota yang juga menewaskan satu orang Bajo Kendari, akibat pengeboman ikan (Tn, (40 Tahun), 4 Desember 2012). Awal
terbentuknya
zonasi
Taman
Nasional
Wakatobi
mendapat
perlawanan dari masyarakat. Perlawanan berkaitan dengan zonasi dikarenakan ada
161
pelarangan untuk menangkap ikan di kawasan karang tidak diperbolehkan oleh Taman Nasional Wakatobi. Adanya praktek zonasi, terutama pelarangan untuk menangkap ikan di zona bahari dan zona inti serta zona pariwisata. Menurut penuturan nelayan Bajo Mola, bahwa zonasi berarti pelarangan untuk mendapatkan makan (zo: dilarang, nasi: makanan). Aturan kawasan konservasi berimbas nyata terhadap pelarangan untuk masyarakat Wakatobi terutama masyarakat Bajo yang berprofesi sebagai penambang batu karang dan pasir. Hal ini dinilai mematikan kondisi mata pencaharian masyarakat Bajo, padahal yang membutuhkan material bangunan seperti pasir dan batu karang bukan hanya masyarakat Bajo semata tetapi juga masyarakat Wakatobi. Masyarakat Bajo membutuhkan batu karang untuk menimbun wilayah laut yang digunakan sebagai pemukiman mereka. Sedangkan pasir dan batu karang digunakan sebagai bahan bangunan pasir, pembuatan batako dan pondasi rumah. Transformasi pengetahuan akan rumah batu (bangunan rumah dengan batu dan semen) mulai sejak Tahun 1970-an akhir. Dimulai dulu dari pembangunan rumah yang ada di Wanci, sedangkan untuk Bajo Mola dimulai dengan rumah, kepala desa Mola Raya pertama yang terletak di Mola Selatan. Untuk Tomia, hampir semua rumah di daratan Tomia sudah menggunakan rumah batu. Hal ini dikarenakan orang Wakatobi berdagang lintas pulau, sampai ke Pulau Jawa. Tranformasi pengetahuan bentuk rumah dari masyarakat Jawa inilah membuat masyarakat membangun rumah batu seperti yang mereka lihat di Jawa (H. Armn, (47 Tahun), Juni 2012). Kebutuhan rumah batu dan bangunan berpondasi lebih meningkat ketika Wakatobi menjadi daerah pemekaran Kabupaten Wakatobi. Sampai saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi belum bisa memberikan alternatif, mengenai material bangunan tersebut. Lebih diperparah, kadang untuk membangun infrastruktur pemerintahan, masih menggunakan pasir laut dan batu karang ataupun batu karang yang ada di daratan. Tantangan konservasi Taman Nasional Wakatobi tidak hanya terbatas dalam galian material pasir dan batu karang saja. Untuk aktifitas perikanan, masih terlihat belum efektifnya agenda konservasi yang ada di Wakatobi. Penggunaan alat tangkap yang dapat mengancam degradasi sumberdaya karang menjadi permasalahan serius di dalam kawasan. Jauh sebelum ditetapkannya Taman
162
Nasional Wakatobi, nelayan Wakatobi sudah memanfaatkan sumberdaya perikanan, terutama perikanan karang secara turun menurun. Kebiasaan masyarakat menangkap di daerah karang dengan menggunakan alat tangkap yang masih bebas. Masyarakat beranggapan sumberdaya laut adalah milik bersama. Dalam pandangan masyarakat Bajo, daerah-daerah karang yang memiliki potensi ikan melimpah, sudah di klaim secara turun menurun menjadi hak milik masyarakat. Untuk masyarakat daratan Wangi-Wangi dan Tomia, terdapat pandangan, sejajar dengan pohon kelapa yang berada di kebunnya, sejauh memandang, wilayah lautnya adalah miliknya. Untuk masyarakat daratan baik Wangi-Wangi dan Tomia sudah mengenal sistem Huma. Huma merupakan daerah tangkapan ikan, yang ditandai dengan gubuk di tengah laut (diatas karang), menandakan sebagai daerah kekuasaan orang yang mendirikan. Orang Tomia, lebih mengenal ini daripada orang Wangi-Wangi. Huma, adalah peristirahatan sementara, ketika nelayan melaut untuk pasang bubu. Adapun apabila nelayan lain ingin memasang bubu ditempat yang sudah bertuan (ada Huma), maka harus ijin terlebih dahulu kepada pemiliknya. Untuk Wangi-Wangi dan Tomia, dikenal dengan daerah wilayah perikanan masyarakat yang dikenal dengan sero. Sero adalah tempat perangkap ikan didaerah pesisir (pasang surut) yang diterdiri dari bambu atau batang, di tancapkan dalam dasar pantai memanjang ke laut. Sero merupakan hak kepemilikan pribadi, yang secara adat diatur oleh Sara Hokumi (pengaturan yang berhubungan dengan kemaslahatan di bawah keputusan Imam Masjid). Sero mempunyai sifat dapat diturunkan oleh generasinya (Hanan, (39 Tahun), 9 Mei 2012). Dengan hadirnya Taman Nasional Wakatobi yang menggunakan sistem pengaturan melalui zonasi, memberikan pengaruh ketakutan masyarakat berkaitan dengan mata pencaharian mereka. Berdasar hasil survey di lapangan, sampai saat ini masyarakat belum percaya bahwa zonasi telah ditetapkan. Rupaya permasalahan tentang zonasi digunakan sebagai alat kepentingan politik. Dalam hal kepentingan politik, digunakan oleh elit atau oknum tertentu baik untuk mendapatkan pengaruh masa, atau digunakan untuk mempengaruhi masa demi tujuan politik semata. Tahun 2009 terjadi isu provokasi zonasi di Tomia yang dilakukan oleh balon anggota dewan waktu itu. Dengan menyebarkan foto copy
163
peta zonasi taman nasional, sehingga dalam foto copy tersebut berwarna hitam semua yang merupakan daerah zonasi. Pasca pemilihan kepala daerah, terjadi aksi masa besar-besaran berkaitan dengan zonasi Tahun 2011. Isu zonasi menjadi isu sentral bagi pihak yang kalah dama politik kekuasaan dengan mengatasnamakan sebagai penyalur aspirasi masyarakat terutama masyarakat Bajo (Skr, (38 Tahun) 12 Mei 2012; Udn Knsng (56 Tahun) 11 Juni 2012). Bentuk
perlawanan
dari
masyarakat
sebagai
akibat
kekecawaan
masyarakat dengan adanya zonasi yang melarang mata pencaharian mereka. Pada Tahun 1996-2003 terjadi banyak sekali zona inti. Hal ini tentunya menimbulkan kemarahan bagi masyarakat dibuktikan dengan terjadi pengeboman kantor Balai Taman Nasional di Bau-Bau sebelum Tahun 2003, terjadi konflik di Tomia berkaitan dengan zonasi Tahun 2003, yang diduga diprovokatori oleh staf Wakatobi Dive Resort, dan Tahun 2011 demo tentang zonasi terkait dengan pasca pemilikan kepala daerah (Sofian, 44 Tahun, 24 April 2011). Polemik tentang zonasi sampai saat ini masih menjadi isu yang hangat berkaitan dengan livelihood nelayan ikan dasar (ikan karang). Pelaranganpelarangan menggunakan alat-alat tradisional yang menurut peraturan perundangundangan perikanan, tidak diperbolehkan kerap muncul sebagai konflik antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan, seperti Taman Nasional Wakatobi dan DKP Waktobi. Penggunaan kompressor untuk menangkap teripang, penggunaan ganco untuk menangkap lobster, sampai pada penggunaan bubu, yang dinilai oleh pihak pengelola menggunakan batu karang untuk menenggelamkan bubu. Hal ini jelas di tentang oleh masyarakat. Penentangan masyarakat terbukti dilapangan masih ditemukan alat tangkap yang digunakan secara turun menurun. Berdasar wawancara di lapangan, hampir seluruh masyarakat Bajo terutama masayrakat Bajo Mola dan Bajo Lamanggau, belum meyakini kalau zonasi itu telah ditetapkan. Mereka saat ini masih bebas menangkap ikan dimanapun, kecuali zona inti. Ada permasalahan dengan penetapan zona inti di TNW, yaitu untuk zona daratan dalam zona inti masih terdapat kebun milik masyarakat. Menurut berbagai sumber dari Taman Nasional, bahwa dasarnya hal ini sudah pernah dibahas dan diangkat diskusi dengan stakeholder lainnya, akan tetapi mengingat bahwa ada sistem tradisional kelembagaan adat yang masyarakat
164
masih pegang kuat, terutama berkaitan dengan permasalahan kintal (lahan atau kebun/pekarangan yang menjadi hak milik). Pemerintah Kabupaten Wakatobi (institusi yang mempunyai kewenangan dalam pengaturan zona khusus) belum bisa mengganti (tukar guling) tanah milik warganya di dalam zona inti dengan tanah lainnya. Kepemilikan warga terhadap lahan di zona inti terkait dengan kebun kelapa. Permasalahan
yang
dihadapi
Taman
Nasional
berkaitan
dengan
pengelolaannya hingga saat ini salah satunya adalah permasalahan zonasi yang dipolitisasi, oleh pihak yang memanfaatkan secara politik. Sehingga pemahaman masyarakat tentang zonasi apakah sudah ditetapkan atau belum, menjadi pemahan ganda. Sosialisasi tentang zonasi sudah dilakukan, dan pembagian peta zonasi pun sudah diberikan untuk masyarakat. Sebagian dari nelayan sebetulnya memahami zonasi, tetapi mereka menganggap bahwa semua zona masih dijadikan area penangkapan ikan, kecuali zona inti yang mempunyai kondisi alam sangat berat untuk dilewati perahu penangkap ikan (Wahyuni, 40 Tahun, 5 Mei 2012). Polemik tumpang tindih kebijakan berkaitan dengan pengelolaan kawasan dengan kepentingan daerah, menjadi permasalahan tersendiri dalam pengelolaan Taman Nasional Wakatobi. Setidaknya ada empat polemik kepentingan konservasi dengan kepentingan pembangunan adalah sebagai berikut: 1. Terdapatnya zonasi dalam zonasi; Pembentukkan Daerah Perlindungan Laut/ Marine Sanctuary (DPL) yang dibentuk oleh program COREMAP Phase II, mempunyai tumpah tindih pengelolaan yang pada dasarnya tidak diperbolehkan adanya zonasi dalam zonasi. Akan tetapi karena kepentingan DPL baik secara ekosistem maupun ekonomi tidak menyimpang dari aturan konservasi Taman Nasional, maka diperbolehkannya adanya DPL dalam kawasan konservasi. DPL mempunyai peran dan pengaruh guna mendukung konservasi dengan memperkuat fungsi Taman Nasional sebagai pengelola konservasi dan keberlanjutan sumberdaya. 2. Terdapatnya tumpang tindih kewenangan dengan DKP berkaitan dengan perikanan;
165
Praktek-praktek perikanan di kawasan menjadi tanggung jawab Taman Nasional dan DKP. Akan tetapi peran DKP lebih mendominasi. Segala perijinan berkaitan dengan perikanan adalah tanggung jawab DKP, termasuk anggaran dari hasil perikanan. DKP dan Taman Nasional mempunyai tugas pokok da fungsi masing-masing sesuai dengan kewenangannya. Akan tetapi dalam prakteknya DKP lebih mendominasi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. 3. Terdapatnya tumpang tinding kewenangan dengan Disparbud berkaitan dengan kepariwisataan; Pariwisata yang diperbolehkan di dalam kawasan adalah pariwisata yang bersifat wisata alam. Artinya tidak ada bentuk pariwisata buatan yang akan merusak sifat dari alam itu sendiri. Pariwisata diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan agenda konservasi
dan
Undang-Undang
konservasi
serta
dapat
memperkuat fungsi kontrol dan pengawasan konservasi. Zona pariwisata bawah laut mendukung adanya konservasi terumbu karang. Adapun kegiatan pariwisata yang diperbolehkan adalah: kegiatan parwisata yang menghormati kebudayaan lokal; tidak melanggaran
aturan
perundang-undangan;
dan
memberikan
kontribusi secara ekonomi kepada masyarakat dan daerah. Ada tiga pengelolaan konservasi di Wakatobi, dua diantaranya adalah milik pribadi. Ijin kepariwisataan terdapat dua jenis, ijin usaha pariwisata alam (untuk perusahaan jasa wisata yang berbadan hukumdikeluarkan oleh Menhut dan kontrol dari Ditjen PHKA) dan ijin usaha jasa wisata (untuk jasa wisata perorangan-dikeluarkan oleh Ka Sekwil TN). Wakatobi Diver Resort (WDR) di Tomia merupakan usaha pariwisata yang dijalankan oleh investor asing; saat ini pendaftaran dalam LPPA sedang dalam proses. Patuno Resort, yang diduga merupakan kepunyaan Bupati Wakatobi, belum mempunyai ijin. Untuk pengelolaan wisata yang sudah melibatkan masyarakat adalah wisata Pulau Hoga. Di Hoga ada
166
masyarakat Kaledupa dan Bajo Sampela yang diberi wewenang untuk menjaga dan mengelola zona pariwisata. Permaslahan selanjutanya berkaitan dengan ego Disparbud Wakatobi dan Taman Nasional Wakatobi. masing-masing lembaga membentuk daerah wisata yang dikelola masyarakat. Taman Nasional membentuk 5 desa binaan sebagai Model Desa Konservasi (MDK), yaitu di Desa Darawa dan Samabahari (Kaledupa), Desa Kapota (Wangi-Wangi), Desa Teemoane (Tomia) dan Desa Wali (Binongko). Disparbud membentuk desa konservasi sendiri, dengan menetapkan desa konservasi yang sudah terdapat DPL dari COREMAP seperti di Desa Waha (Wangi-Wangi). Permasalahan berikutnya adalah, bahwa daerah memberikan tarikan retribusi untuk pengunjung pariwisata, yang seharusnya adalah kewenangan dari Taman Nasional Wakatobi. Perijinan tentang masuk kawasan konservasi, belum sepenuhnya efektif. Di lapangan dibuktikan dengan kunjungan turis baik untuk WDR di Tomia, maupun Patuno Resort belum diterapakan sepenuhnya ijin masuk kawasan konservasi. Hal ini terjadi karena pihak penyelenggara jasa konservasi mempunyai kewenangan tersendiri sehingga Taman Nasional tidak isa mengkontrolnya. 4. Terdapatnya polemik pembebasan lahan berkaitan dengan masalah zona khusus dalam zona inti. Sampai saat ini belum ada upaya pembebasan lahan penduduk (kebun kelapa) yang berada di tengah-tengan zona inti. Namun hal ini terus diupayakan oleh Taman Nasional dengan Pemda untuk membahas masalah ini. Permasalahan ini diakui oleh pihak Taman Nasional, mengingat sumberdaya kelautan adalah open access dan terbatasnya kemampuan Taman Nasional dalam monitoring. Tekanan dan kendala konservasi dalam kawasan Taman Nasional di Wakatobi sangat berat, mengingat bahwa: Pertama, penetapan kawasan konservasi laut seluas dengan wilayah kabupaten.
Kedua, laut merupakan
sumberdaya milik bersama yang sudah di manfaatkan secara turun menurun dan
167
bebas bagi siapapun (free for all). Ketiga, potensi alam di Wakatobi mengandalkan sektor perikanan, dan hidup komunitas Bajo yang tidak mempunyai akses ke lahan pertanian kecuali hidup sebagai nelayan. Sejak ditetapkannya kawasan konservasi laut di Wakatobi, terdapat tranformasi pengaturan sumberdaya yang bersifat sentralisasi. Sistem pengelolaan Taman Nasional di Wakatobi, merunut dari kondisi di lapangan dapat ditemukan data sebagai berikut : Tabel 7.1. Kelemahan dan kelebihan regime state dalam pengelolaan Sumber Daya Perikanan Kelemahan Terjadi pengaturan satu arah dari pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya alam; Terjadi ketumpang tindihan Undang-Undang/regulasi pemanfaatan perikanan dan pariwisata dengan DKP; Disparbud ataupun pihak pengelola jasa pariwisata asing/perorangan; Terjadi pengkavlingan daerah laut yang merupakan adanya proses kepemilikan Negara, sehingga terjadi perubahan pemanfaatan perikanan oleh masyarakat; Terdapat dualisme kebijakan SDA (konservasionisme- paradigma Taman Nasional dan developmentalisme-paradigma pembangunan daerah); Mengingat bahwa wilayah kawasan sangat luas, yaitu, 1,39 juta Ha., menjadikan lemahnya dalam monitoring, surveillance and control sehingga masih terjadi kebocoran dalam pemanfaatan sumberdaya; Terjadi pemaksaan perubahan kebiasaan nelayan,yang tadinya bebas dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, menjadi ada batasan-batasan strick berkaitan dengan zonasi Memunculkan konflik laten antara masyarakat dengan pemerintah sebagai pelindung sumberdaya perikanan dan konflik masyarakat dengan pemerintah sebagai agen pembangunan; Karena potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Wakatobi melimpah, dan adanya konsep devolusi dan desentralisasi pengelolaan lingkungan untuk daerah, menjadikan banyak stakeholder/shareholder mempunyai kepentingan akan kawasan. Sehingga memunculkan tindakan rent seeking dari agen pemerintah dan fenomena free rider tumbuh subur sebagai praktek pemanfaatan dualisme konservasi dan pembangunan. Diadopsi dan disarikan dari Berkes, 1988; Satria, 2009. Regimes State Property Taman Nasional Wakatobi
Kelebihan Ada control access yang jelas dari pemerintah sebagai agen pelindung sumberdaya dan pembangunan ekonomi; Pemerintah daerah, negara dan masyarkat mempunyai tanggung jawab akan kerusakan menipisnya SDA; Terdapat kelembagaan konservasi yang mapan dengan perhatian ke arah konservasi wilayah.
Indikator belum efektif dan efesiennya institusi pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi, setidaknya dipengaruhi oleh tiga pilar dimensi (Scott, 2004; Satria, 2006; 2009: 14), yaitu 1). Pilar normatif: dimensi yang berisi sitem nilai yang menjadi dasar pengelolaan sumberdaya perikanan. 2). Pilar regulatif: berisi tentang tata pengelolaan sumberdaya perikanan dan 3). Pilar
168
kognitif: berisi tentang teknik pengelolaan sumberdaya perikanan beserta dengan pengetahuan lokal. Pertama, dimensi normatif, sistem nilai yang menjadi dasar pengelolaan kawasan untuk saat ini sebagai aturan formal belum terakomodir sepenuhnya dalam praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh masyarakat. Nelayan Bajo di Wakatobi mengenal adagium pada pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan sebagai wilayah mereka. Adagium tersebut berupa semboyan, apabila ada daun masih banyak pada pohonnya maka di laut pun masih banyak tersedia ikannya. Disamping itu, padangan masyarakat Bajo tentang laut merupakan kebon bagi mereka (koko dilao). Aturan-aturan dari Taman Nasional Wakatobi merupakan hal yang baru dikenal oleh masyarakat Wakatobi, khususnya oleh masyarakat Bajo. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bajo untuk memahami aturan taman nasional membutuhkan waktu dan proses yang lama. Kedua, dimensi regulatif bahwa belum efektif pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan terkait tentang zonasi kawasan konservasi adalah sebagai berikut: a) Kejelasan batas wilayah: lemahnya tata batas tentang zonasi kawasan di laut adalah tidak adanya tanda (mark/bouy) yang jelas disetiap zonasi. Untuk beberapa tahun kebelakang pernah dipasang tanda di setiap zona pemanfaatan bahari (di Zona Karang Kaledupa III), akan tetapi sekarang sudah hilang; b) Kesesuaian aturan dengan kondisi lokal: belum/tidak ada terobosan alternatif livelihood untuk nelayan. Akan tetapi inisiasi zonasi Tahun 2001 berjalan secara efektif, melibatkan peran serta grass root pada Tahun 2003 dengan ditetapkan revisi zonasi pada Tahun 2007. Bentuk partisipatif grass root diikutsertakan masyarkat Bajo dalam pemanfaatan ruang. Revisi zonasi merupakan zonasi adaptif, artinya disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya; c) Aturan disusun dan dikelola oleh pengguna sumberdaya: masyarakat belum mampu secara mandiri untuk membuat aturanaturan yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat sebagai pedoman dan pandangan hidup masyarakat untuk mengelola
169
sumberdaya perikanan; dari pihak Taman Nasional memberikan pembinaan, pengetahuan dan pemberdayaan terkait tuntutan ditegakanya arturan konservasi; Taman Nasional mengkaji aturan lokal dalam kaitannya apakah bertentangan atau tidak dengan aturan konservasi yang lebih tinggi “asas derograt infriori lex derogat superiori” diberlakuan sebagai asas legitimasi perundangundangan; d) Belum adanya kelembagaan lokal yang mempunyai fungsi sebagai aturan pengelolaan sumberdaya perikanan. Masyarakat belum mempunyai bargaining position dan posisi dalam menentukan mekanisme aturan pengelolaan, membuat dan merevisi aturan tersebut. Aturan tersebut masih dirumuskan dan diputuskan oleh stakeholder pemerintah. Dalam membuat mekanisme aturan, peran masyarakat sangat miskin. Pengakuan keadilan dan distribusi keadilan yang diterima di masyarakat dalam keterlibatan pengelolaan sumberdaya perikanan sangat miskin. e) Masyarakat
belum
mampu
melaksanakan
instrument
dan
melakukan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan pengawasan masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan dinamika struktur sosial nelayan Wakatobi dipengaruhi oleh ikatan patron-klien. Monitoring dari Taman Nasional belum maksimal, dan juga monitoring dari DKP (Pemda). Pelaksanaan monitoring mendapat kendala dalam hal supporting dana. Ada tiga bentuk operasi kawasan, yaitu operasi gabungan, operasi fungsional dan operasi rutin. Operasi gabungan melibatkan semua stakeholder termasuk TNI/Polri; operasi fungsional merupakan tupoksi Jagawana/Polhut dan operasi rutin adalah operasi yang dilakukan join program termsuk operasi insidental; f) Sanksi belum dilakukan secara optimal oleh pengelola kawasan konservasi. Banyak pelanggaran yang masih terjadi. Dan mudahnya penyelesaian pelanggaran yang di sinyalir menggunakan jasa rent seeking. Banyaknya stakeholder dan shareholder aktor
170
pemerintah yang mempunyai kepentingan akan Taman Nasional, sehingga optimalisasi supremasi hukum menjadi lemah. Sistem banyak pintu menjadikan penerapan sanksi menjadi lemah. Taman Nasional menggandeng Polisi, TNI AL dan Kejaksaan terkait dengan pelanggaran-pelanggaran destructive fishing dikenakan sanksi pidana; g) Mekanisme penyelesaian konflik sudah melalui proses peradilan. Akan tetapi, karena institusi penegakkan hukum belum efektif, banyak terjadi yang konflik yang tidak selesai. Taman Nasional melakukan tindakan preemptive dan preventive berkaitan dengan pelanggaran kawasan. Pembinaan, sosialisasi dan pengetahuan dierikan kepada pelaku pelanggar kawasan; h) Belum ada pengakuan dari pemerintah akan local wisdom sebagai aturan formal pengelolaan sumberdaya perikanan. Taman Nasional masih mempertimbangkan pengetahuan lokal berkaitan dengan penagturan zonasi; i) Sudah terbentuk jaringan antar komunitas, yaitu terbentuknya forum
komunikasi
nelayan
pulau
(Jala)
(bridging
social
capitalism). Sudah terdapat jejaring dengan LSM (TNC/WWF), Jagawan Taman Nasional, dan DKP melalui program COREMAP (linking social capital). Akan tetapi, untuk komunitas Bajo, jejaring dengan sesama komunitas nelayan dan jejaring di luar komunitas mendapat kendala, karena dari budaya masyarakat Bajo yang tertutup dan pemalu. Pemalu dan tertutup disebabkan karena kesejarahan, masyarakat Bajo menjadi komunitas marjinal dari pada komunitas lainnya. Bajo mempunyai kebatasan dalam bergaul, karena hambatan komunikasi dan Bahasa Indonesia. Ketiga, dimensi kognitif, belum terakomodirnya pengetahuan-pengetahuan lokal dalam aturan formal konservasi kawasan Taman Nasional laut Wakatobi. Pengetahuan masyarakat Kaledupa”tuba dikatatuang” yang artinya ambillah ikan hari ini secukupnya dan simpan untuk masa depan, belum menjadi aturan formal. Sistem Huma yang dimiliki oleh masyarakt Wangi-Wangi (Desa Numana) dan 171
masyarakat Tomia, tidak/belum diakui sebagai pengetahuan lokal. Meluruhnya pengetahuan Bajo tentang satwa laut yang pamali seperti gurita, lumba-lumba dan penyu ditangkap sebagai dampak masuknya pasar, dan menghilangnya ”maduai pinah” ritual ijin kepada mbo dilao sebagai penguasa di lautan agar berkah dan “pamunang ala’ baka raha (pemberian anugrah baik dan buruk) menghomati tempat yang dilarang. Tuba dikatatuang sebagai ungkapan masyarakat daratan Wakatobi, yang berarti, tangkaplah ikan hari ini secukupnya dan sisakan untuk besok demi anak cucu kita. Semboyan Tuba dikatatuang saat ini sedang digalakan oleh pihak konservasi Taman Nasional Wakatobi bekerja sama dengan join program TNC-WWF Wakatobi, yang diperkuat melalui pembentukan kelompok masyarakat antar pulau. Untuk Wangi-wangi (KOMANANGI), Kaledupa (FORKANI), Tomia (KOMUNTO) dan Binongko (FONEB). 7.2.
Regime Masyarakat Perkembangan pengaturan kawasan konservasi sumberdaya kelautan dan
perikanan di Wakatobi, terdapat upaya pemerintah pusat maupun NGO serta dibantu oleh pemerintah daerah tentang konservasi sumberdaya kelautan dan pesisir Wakatobi. Konservasi tersebut dimulai dari banyaknya penelitian yang dilakukan baik oleh LIPI maupun oleh Operation Wallacea pada era 1990-an. Dari adanya penelitian tersebut membuahkan hasil kebijakan, bahwa kawasan perairan Taman Nasional Wakatobi ditunjuk sebagai Taman Nasional pertama kalinya pada Tahun 1996. Kemudian program konservasi yang kedua adalah adanya upaya konservasi dan rehabilitasi terumbu karang di perairan Indonesia. Program konservasi dan rehabilitasi terumbu karang ini dinamakan dengan COREMAP. COREMAP merupakan program inisiasi dari LIPI, KKP (pada waktu itu namanya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)) dan asing (World Bank/ADB dan AUSAid), sebagai bentuk upaya pembangunan konservasi melalui konsentrasi ke pelesatrian dan perbaikan terumbu karang, yang meliputi tiga fase. Fase I merupakan Fase Inisiasi, (1998-2004), Fase II dinamakan sebagai fase desentralisasi dan akselerasi (2004-2009) dan Fase III dinamakan sebagai fase kelembagaan (2010-2015). Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) phase II, merupakan program nasional dengan tujuan meningkatkan kapasitas masyarakat dan institusi lokal (capacity building) dalam pengelolaan terumbu 172
karang dengan penguatan kapasitas institusi lokal dan kesadaran mengelola sumberdaya karang secara keberlanjutan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Program COREMAP phase II menitikberatkan pembangunan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang dikenal oleh masyarakat sebagai Daerah Perlindungan Laut (DPL/marine sanctuary). Pola program KKLD ini tidak langsung menyentuh pada aspek rehabilitasi terumbu karang, akan tetapi lebih kearah penguatan kebijakan dalam membentuk kelompok masyarakat pengelola terumbu karang, yang tujuannya untuk mencari alternatif mata pencaharian, sehingga diharapkan mampu mengurangi tekanan terhadap penggunaan sumberdaya karang. Faktor-faktor ekonomi sebagai alternatif mata pencaharaian yang dikaji kelayakannya adalah: 1). Kesesuaian lokasi (seperti kebutuhan pengembangan mariculture, kondisi lingkungan perairan, dan kebiasaan masyarakat setempat), 2). Penguasaan teknologi, 3). Mempunyai manfaat sebagai kepentingan umum, 4). Ketersediaan sarana dan prasarana, 4). Tersedianya tenaga terampil, dan 5). Keterjangkauan akses komoditi terhadap pasar (Ditjen KP3K DKP, COREMAP Phase II, 2006). Program KKLD merupakan salah satu upaya jejaring Kawasan Konservasi Laut (KKL) sebagai bentuk pengelolaan kolaboratif sumberdaya perikanan yang menjadi agenda utama Departemen Kelautan Perikanan (sekarang Kemetian Kelautan Perikanan (KKP)). Tujuan dengan dibentuknya jejaring KKL adalah sebagai
penopang:
keanekaragaman
1).
hayati,
Menggambarkan, 2).
Memberikan
menjaga model
dan
memelihara
pemanfaatan
Kawasan
Konservasi Perairan (KKP), 3). Menjaga dan melindungi biota laut yang dilindungi dari berbagai ancaman, 4). Menjaga potensi sumberdaya perikanan dan kelautan, serta 5). Upaya memperluas dan meningkatkan ketahanan Kawasan Konservasi Perairan. Program Kawasan Konservasi Perikanan terus diupayakan oleh KKP baik ditingkat lokal maupun regional. Program ini salah satunya diinisiasi oleh COREMAP Phase II yang mengintegrasikan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) tingkat desa sebagai sebuah pengelolaan KKLD tingkat kabupaten (Ditjen KP3K DKP; COREMAP Phase II, 2006). Sejarah COREMAP Phase II (2005) masuk ke wilayah Wakatobi dimulai Tahun 2006 sampai Tahun 2011. Tujuan COREMAP di Wakatobi mempunyai
173
tujuan mikro dan makro. Untuk tujuan mikro, dengan melakukan penyadaran kepada masyarakat akan manfaat terumbu karang dan pentingnya konservasi terumbu karang. Sedangkan tujuan makro, untuk saat ini belum dilakukan, yaitu mengenai pembangunan teknis transplantasi karang (Ir, 2 Juni 2012). Untuk memenuhi tujuan mikro dan makro, COREMAP mempunyai struktur yang bekerja di tiga level pemberdayaan, yaitu tingkat kabupaten, tingkat kecamatan dan tingkat desa. Struktur lembaga yang bekerja di masyarakat adalah sebagai berikut: 1. SETO (senior extension and training officer), mempumyai tanggung jawab untuk kordinasi aktivitas fasilitator masyarakat dalam melaksanakan agenda COREMAP di empat kecamatan di Kabupaten Wakatobi; 2. Fasilitator
Masyarakat
pendampingan
(community
kelembagaan
facilitator),
masyarakat
melakukan
dalam
rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang; 3. Motivator
Desa
(village
motivator),
mempunyai
tugas
mendampingi masyarakat, mendukung dan memfailitasi lahirnya Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang). PMU (Project Management Unit) Community Based Management SETO
FM
LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang
MD
Lembaga keuangan mikro
Pokwasmas
Gambar 7.3. Struktur Organisasi COREMAP
174
DPL (Daerah Perlindungan Laut)
Baantuan danaa dari CORE EMAP secaara mikro terdapat t duaa program, yaitu seed fundd merupakaan dana beergilir sebaagai bentukk pinjamann ke masyaarakat (simpan-ppinjam), untuuk anggarann /satu desaa adalah Rp.. 50 juta, deengan pemb bagian turun, Tahhun 2007 sebesar s Rp. 19,3 jt, Taahun 2008 Rp. 25 jt ddan Tahun 2009 sebesar Rp. R 5,6 jt. Sedangkann bantuan untuk u mem mbangun inffrastruktur desa, sebesar Rpp. 100jt perr desa. Menuurut penuturan, Ir, 2 Juuni 2006, unntuk kredit macet m seed fundd¸ kira-kira mencapai 20%. Sedaangkan untuuk village ggrant digun nakan untuk mem mbangun innfrsatruktur desa seperrti jalan setaapak, garduu, dll. tergan ntung dari keseppakatan maasyarakat. Adapun A dan na turun seccara bertahaap untuk viillage grant addalah sebaggai berikut: Tahun 200 09 terdapatt penambahhan desa binaan b COREMA AP baru sebbanyak 23 desa, Tahun 2010 turunn dana Rp. 1100 jt dan Rp. R 50 jt. dan Tahhun 2011 suudah tidak ada a pendanaaan dari CO OREMAP. Sebbagai ujudd dari adannya RPTK K (rencana pengelolaaan sumberrdaya termbu kaarang), akkhirnya di bentuk LP PSTLK dibbentuklah kkawasan Daerah D Perlindunggan Laut (D DPL) yangg terbentuk dari 10% total area laut milik desa. Adapun pembiayaann pembuaatan DPL itu dari anggaran village grant. g Pembentuukan DPL disepakati oleh masy yarakat dann difasilitaatori oleh pihak p COREMA AP, dan dissepakati titiik kordinatt untuk daeerah perlinddungan terssebut. Saat ini Wakatobi W meemiliki 54 DPL D yang teerbagi dalam m empat keccamatan. Tuujuan utamaa untuk pem mbentukan DPL D adalahh sebagai saarana konseervasi ataupun wisata. w Untuuk kegiatann aktifitas perikanan baik penanngkapan ataaupun budidaya tidak t diperbbolehkan daalam kawasaan DPL(Ir, 2 uni 2012)).
Gambar 7.4. Peta DPL maasyarakat desaa yang difasiliitasi oleh COR REMAP (COR REMAP, 2008)
175
Idrs, 30 Tahun, (28 Maret, 2011) sebagai fasilitator COREMAP tingkat kecamatan (2009-2011) menegaskan bahwa agenda COREMAP dengan tujuan mikro merupakan aplikasi terhadap penguatan kelembagaan masyarakat terhadap sumberdaya terumbu karang dan penguatan kelembagaan keuangan rumah tangga. Kelembagaan ekonomi rumah tangga (Lembaga Keuangan Mikro/LKM) merupakan stimulus bantuan simpan pinjam yang ditujukan untuk masyarakat tidak mampu serta masyarakat yang mempunyai mata pencaharian yang tergantung dari sumberdaya karang dan laut dengan tujuan untuk meminimalisir kegiatan penambangan pasir dan batu karang beralih menjadi pembudidaya rumput laut atau ikan serta alternatif mata pencaharian lain. Idrs, juga menjelaskan bahwa program COREMAP untuk unit pedesaan dibentuk POKWASMAS yang dibekali pelatihan pemetaan desa dan DPL serta pelatihan transplantasi karang dan pelatihan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang. Permasalahan
mengenai
seed
fund,
menjadi
polemik
tersendiri.
Terhambatnya kredit macet sekitar 20% (Ir, 2 uni 2012), dikarenakan oleh pemahaman masyarakat bahwa seed fund adalah hibah untuk masyarakat sehingga tidak dikembalikan (Tn, 40 Tahun, 3 Mei 2012). Menurut penuturan Rk, (32 Tahun), 16 Mei 2012, hal ini disebabkan karena seed fund oleh masyarakat diartikan sebagai pinjaman negara, sehingga masyarakat tidak berhak untuk mengembalikan dana bergulir tersebut. Seed fund untuk masing-masing desa memiliki perbedaan besar pinjaman, ada yang sebesar Rp. 2,5 jt.,-Rp. 2 jt., Rp. 1 jt., bahkan ada yang hanya Rp. 500.000,-. Menurut Styni, (8 Juni, 2012), dana bergulir sebagai program seed fund untuk Desa Waha mempunyai kendala dalam pengembalian pinjaman. Banyaknya kredit macet dikarenakan salah satunya adalah tidak ada kelanjutan usaha yang modalnya diperoleh dari hasil pinjaman. Pinjaman COREMAP dikelola oleh LPSTK dengan bunga sebesar 1%-1,5% setiap bulan. Kebanyakan masyarakat meminjam dana bergulir sekitar Rp. 1 juta untuk jangka waktu 12 bulan dan setiap bulan mengembalikan Rp. 99.000,-. Permasalahan yang terjadi dalam istilah kredit macet untuk pinujaman dana bergulir dikarenakan sebetulnya belum adanya alternatif mata pencaharian untuk masyarakat.
176
Tidak efektifnya village grant ataupun seed fund ini juga dipengaruhi oleh kekuatan aktor (penguasa) yang ada di desa. Kedekatan aktor elit desa dengan staff dari COREMAP membawa dampak yang menyebabkan disparitas sosial. Dana yang digulingkan untuk village grant banyak yang tidak tepat dan tidak merata secara keadilan bagi masyarakat yang seharusnya menerima bantuan tersebut. Sebagai contoh, akuisisi bantuan oleh kepala desa, yang seharusnya menjadi milik masyarakat desa adalah bantuk kelembagaan peran ibu-ibu. Salah satu di komunitas Bajo Mola, (salah satu desa di Mola), program bantuan COREMAP untuk pengembangan ekonomi masyarakat yang melibatkan peran dan pemberdayaan ekonomi rumah tangga untuk ibu-ibu sebagai alternatif pekerjaan diakui oleh seorang kepala desa. Ketidakadilan tersebut bahwa bantuan dijadikan sebagai usaha pribadi dan keluarganya. Idrs, 30 Tahun (19 April 2012), menjelaskan bahwa program COREMAP banyak yang tidak tepat sasaran dan tepat guna. Banyak sekali program bantuan dari COREMAP mengenai fasilitas ataupun sarana yang berkaitan perikanan ke masyarakat. Hal ini disesuaikan karena ada yang kurang tepat dalam pendekatan distribusi bantuan kepada masyarakat. Lemahnya monitoring dan kontrol dari PMU dan SETO terhadap distribusi bantuan menjadikan batuan tersebut tidak terdistribusikan secara benar, yaitu salah target ke orang-orang yang sebetulnya tidak perlu menerima. Hal ini disebabkan ada dua faktor yaitu faktor teknis dan faktor politis. Faktor teknis adalah identifikasi permasalahan dilapangan, melalui pendekatan perbaikan livelihood dan siapa saja yang berhak menerima bantuan. Faktor teknis ini tidak diterima sebagai identifikasi yang utuh dari staff yang bekerja di lapangan oleh atasan COREMAP, seperti SETO dan PMU. Sedangkan faktor politis adalah ada keterkaitannya dengan aroma dominasi politik oleh penguasa. Disamping itu, juga terlihat ada permainan pada level fasilitator masyarakat dan level motivator desa, bahwa program COREMAP digunakan juga untuk mencari hasil tambahan untuk staff yang ada di lapangan. Sehingga, proses identifikasi dan pendistribusian bantuan juga terjadi pada aras staff di lapangan menjadi bias politik dan ekonomi yang digunakan untuk kedekatan staff dengan masyarakat terutama elit desa (kepala desa, perangkat desa ataupun tokoh desa).
177
Hal ini dibuktikan dengan pembentukan kelompok yang menerima bantuan adalah kelompok yang dibentuk oleh fasilitator masyarakat dan atau motivator desa. Tentunya sudah ada persekutuan politik dan ekonomi antara kelompok yang dibentuk secara tiba-tiba dengan motivator desa ataupun fasilitator masyarakat (Tn, 40 Tahun, 3 Mei 2012). Akan tetapi tidak secara general, hanya terjadi dibeberapa desa saja, seperti di Mola Nelayan Bakti dan Mola Selatan. Penyimpangan penggunaan program village grant di Desa Longa dan Patuno Kecamatan Wangi-Wangi, adalah alokasi dana village grant untuk membangun pagar penduduk ditepi jalan, yang jauh melenceng dari agenda COREMAP. Program COREMAP juga dipakai secara politik oleh pejabat pemerintah yang mempunyai kepentingan. Hal ini dibuktikan dengan dipecatnya delapan anggota COREMAP yang tidak mendukung Pilkada, dari Kepala Daerah Wakatobi terpilih. Kegagalan program COREMAP lainnya adalah tidak berbekas pada bantuan, seperti pengadaan keramba yang tidak berbekas sampai saat ini. Seperti kasus di Desa Nelayan Bakti perkampungan Bajo Mola (Idrs, 30 Tahun, 19 April 2012). Program seed fund dan village grant belum mampu menjawab konservasi terumbu karang di Wakatobi. Agenda besar rehabilitasi konservasi terumbu karang yang dijalankan oleh COREMAP untuk di Wakatobi belum bisa memberikan jawaban alternatif mata pencaharian masyarakat Wakatobi, khususnya masyarakat Bajo. Pembuatan DPL yang menjadi pembatasan akses masyarakat Bajo (masyarakat yang tidak mempunyai akses laut secara komunal) dalam memanfaat sumberdaya karang termasuk ikan karang hidup. Sehingga, nelayan ikan karang hidup masih tetap mencari ikan dasar di karang yang tidak terdapat DPL. Peruntukan DPL dalam prakteknya, jauh dari konsep awal pembentukan DPL yaitu sebagai zona konservasi dan pariwisata tanpa ada aktifitas yang menggunakan sumberdaya karang termasuk aktifitas penangkapa ika di DPL. Akan tetapi dalam prakteknya, DPL juga digunakan oleh masyarakat untuk budidaya mariculture seperti budidaya rumput laut. Untuk kedepannya akan terjadi konflik horizontal sesama masyarakat desa yang memiliki DPL, dalam berkompetisi akses memanfaatkan zona DPL untuk budidaya mariculture.
178
Tujuan dibentuknya DPL untuk pemulihan sumberdaya terumbu karang (recovery), yang dirumuskan sebagai bentuk keseimbangan antara pemulihan serta kelestarian sumberdaya karang dengan pemanfaatan sumberdaya karang. Akan tetapi untuk saat ini belum terlihat hasil yang menyentuh sesuai dengan agenda keseimbangan pemulihan terumbu karang dan pemanfaatan. Permasalahan mengenai DPL, dalam tahap konsep sangat bagus. Akan tetapi kenyataan dilapangan bahwa DPL belum atau tidak berfungsi secara efektif. Untuk sebagian masyarakat di Kaledupa Selatan, DPL digunakan untuk budidaya rumput laut, juga di Desa Liya Bahari, Wangi-Wangi Selatan. DPL, merupakan bentuk ekslusi dan alienasi terhadap pengguna sumberdaya yang berasal dari desa lainnya. Ekslusivitas wilayah DPL hanya diperuntukan untuk anggota masyarakat desa yang mempunyai wilayah DPL tersebut. Styni, 40 Tahun (8 Juni 2012), menjelaskan bahwa untuk Desa Waha, DPL diperuntukkan untuk wisata yang dikelola masyarakat Desa Waha. Peruntukan DPL hanya untuk kegiatan warga desanya. Warga desa yang lain diperbolehkan lewat, tetapi tidak boleh menangkap ikan dan sandar di daerah DPL apalagi menggunakan bom dan potassium. Peruntukan untuk menambang pasir diperbolehkan hanya untuk masyarakat Desa Waha (pasir tersebut hanya untuk kepentingan pribadi/tidak diperjualbelikan), dan tidak ada aktivitas penambangan batu karang. Nelayan Desa Waha diperbolehkan bersandar asal dengan batu yang sudah karang yang sudah mati dan tidak diperkenakan dengan jangkar. DPL digunakan untuk budidaya rumput laut oleh masyarakat desa yang memiliki DPL. Dari 54 DPL yang terbentuk, salah satunya untuk Wangi-Wangi Selatan yaitu Desa Liya Mawi dan Kaledupa Selatan untuk Desa Tanjung dijadikan oleh masyarakat desa sebagai areal budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut digunakan sebagai bentuk usaha masyarakat untuk tidak menggantungkan mata pencahariannya menggunakan sumberdaya karang. Permasalahan yang terjadi adalah mulai terbentuk klaim atas wilayah DPL yang digunakan untuk budidaya rumput laut. Untuk kasus di Desa Tanjung, hampir seluruh wilayah laut milik Desa Tanjung digunakan sebagai budidaya rumput laut. Menurut penuturan petani budidaya rumput laut (10 Juni 2012), mengatakan bahwa kepemilikan budidaya rumput laut rata-rata pemiliknya mempunyai 1-3 ha.
179
Dalam satu ha terdapat budidaya rumput laut sepanjang 100 meter dengan kedalaman 7 depa (dikonversi ke meter, 10,5 meter). 1 ha mempunyai luas 100m2x100m2, yang bisa menampung 25 tali rumput laut berjejer (jarak antar tali 4 meter berbaris) dengan panjang tali sampai 90 meter. Hal ini nantinya akan menjadi persoalan berkaitan dengan permasalahan konservasi Taman Nasional. Ketidakmerataan distribusi kesempatan untuk menggunakan wilayah laut desa termasuk DPL menjadi masalah tersendiri untuk masyarakat yang tidak mempunyai daerah laut, seperti Bajo Mola. Selain kecemburuan sosial, yang menjadi kekhawatiran konflik kedepan adalah sifat eksklusivitas dari DPL itu sendiri. Dalam mekanisme DPL terdapat aturan mekanisme yang berhak untuk memanfaatkan DPL dan juga sanksi terhadap pelanggaran DPL. Aturan tersebut diakomodir oleh perdes. Untuk setiap desa mempunyai aturan desa berkaitan dengan DPL yang berbeda. Sebagai contoh untuk di Desa Tanjung, apabila ada perahu/bodi dan memutuskan tali budidaya rumput laut maka dikenai sanksi pertali membayar Rp. 500.000,-. Kemudian ada kecenderungan dari masyarakat pemudidaya, apabila terdapat gangguan pada budidaya rumput laut, seperti berwarna kuning, masyarakat Desa Tanjung, menuduh orang Bajo yang menyebabkan rumput laut kuning, karena menggunakan potassium untuk menangkap ikan. Kajian DPL yang merupakan zonasi dalam zonasi Taman Nasional, menjadi perbincangan tersendiri. Di dalam DPL tersebut terdapat overlapping kebijakan antara kebijakan DKP dan kebijakan TNW. DPL selain digunakan sebagai daerah konservasi juga digunakan sebagai daerah pariwisata. Hal ini tentunya, apabila diatur dan disinergitaskan dengan aturan Taman Nasional tidak akan terjadi permasalahan. Akan tetapi saat ini di lapangan kordinasi antara program DPL dengan zonasi taman nasional belum bisa menjawab persoalan tekanan terhadap kawasan terumbu karang. Di lapangan masih terdapat praktekpraktek perikanan yang dilakukan masyarakat dalam zonasi yang tidak diperbolehkan penangkapan ikan, terutama masyarakat Bajo yang tidak mempunyai wilayah DPL. Pelaksanaan program COREMAP pada aras kabupaten dijadikan sebagai program politik bantuan, yang di alokasikan dananya untuk tindakan korupsi bagi
180
pejabatnya. Hal ini dikaitkan bahwa COREMAP adalah kegiatan yang sarat dengan bantuan dana taktis. Sehingga digunakan oleh pejabat yang berkuasa demi kepentingan dirinya. Fenomena rent seeking sebagai tindakan korupsi pejabat dalam struktur organisasi COREMAP menimbulkan efek kecemburuan antara masyarakat dengan COREMAP. Ketidakpercayaan masyarakat terbukti dari bantuan yang diberikan COREMAP tidak menawab permasalahan konservasi terumbu karang. Penambahan desa baru dalam program RPTK, dibuat agar terjadi kebocoran dana. Pembuatan RPTK yang melahirkan LPSTK mempunyai anggaran besar (termasuk anggaran village grant), yang mana hal ini dilakukan agar terjadi kebocoran dana. Ini dilakukan oleh ketua PMU (Kadis DKP Wakatobi). Pada Tahun 2010, terjadi pemotongan gaji yang dilakukan oleh ketua PMU bersama SETO terhadap gaji Fasilitator Masyarakat (FM) dan Motivator Desa (MD), hal ini berkaitan dengan kunjungan Menteri KKP pada waktu itu dan artis Manohara. Tindakan ini merupakan bentuk dari pengambilan keputusan oleh ketua PMU dimana difasilitasi oleh SETO (Rk, 32 Tahun, 16 Mei 2012). COREMAP salah satu permasalahan bagaimana penyaluran dana yang dikelola keuangannya oleh DKP. Program salah target dan sasaran sering disuarakan oleh nelayan sebagai kekecawaan mereka terhadap kinerja DKP. DKP Kabupaten
Wakatobi
dinilai
tidak
melihat
dilapangan
ketika
akan
menggelontorkan bantuan. Staff DKP dan pejabatnya lebih dinilai kepada kepentingan politis mereka. Hal ini ditunjukkan dilapangan, apabila ada bantuan dari DKP Kabupaten, baik berkaitan dengan pengadaan infrastruktur maupun bantuan program konservasi, yang mendapatkan adalah orang yang dekat dengan pemerintah saja, seperti kepala desa maupun keluarganya. Nelayan KTP (nelayan bukan asli, sebutan untuk masyarakat Bajo Mola yang menganggap sebagai nelayan gadungan dan berani tampil di publik ketika ada permasalah pemberian bantuan dari pemerintah) selalu mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan bantuan karena difasilitasi oleh orang-orang pemerintahan. Tentunya hal ini menjadi kecemburuan bagi masyarakat Bajo. Dd, 30 Tahun (17 April 2012), menjelaskan tentang tugasnya bahwa di Wakatobi sebagai penyuluh untuk perikanan budidaya. BP SDMKP (Balai
181
penyuluhan sumberdaya manusia kelautan dan perikanan) adalah program dari KKP Pusat yang diperbantukan kepada DKP untuk membentuk kelompok nelayan penerima dana hibah untuk nelayan dari pemerintah, dulu bernama PNPM perikanan. Dd (30 Tahun), menjelaskan perihal bantuan, bahwa pembentukan kelompok merupakan rekayasa dari DKP. Ketika menanyakan tentang kenapa kelompok nelayan ini mendapatkan bantuan. Apakah sudah tepat sasaran dan tepat guna. Pertanyaan ini diajukan ke kadis DKP, ternyata jawabannya adalah ya begitulah adanya. Dedi mengeluh kelompok nelayan dan bantuan sangat kuat interfensi dari Bupati dan Kadis DKP. Mereka yang diberi bantuan adalah orangorang yang dekat dengan penguasa. Hal ini senada diucapkan oleh Id, alokasi bantuan perikanan yang terjadi komunitas nelayan Mola. Bantuan yang diberikan untuk BP SDM KP (Balai Penyuluhan Sumberdaya Manusia, Kelautan dan Perikanan) itu sebesar 100 juta pada awal-awalnya Tahun 2010, kemudian pada akhir Tahun 2011 Bulan Oktober per kelompok menerima bantuan sebesar Rp. 65 juta untuk budidaya rumput laut. Keterlambatan dana dari DKP membuat budidaya untuk rumput laut yang merupakan bantuan dari BP SDMKP dari KKP Pusat yang dialokasikan ke DKP Kabupaten menjadi budidaya rumput laut tidak berhasil. Penilian Dd (30 Tahun), sebagai staff BP SDMKP terhadap DKP berkaitan dengan anggaran dana bantuan sangat tertutup. Bantuan yang turun tidak pernah di evaluasi dan di kontrol setelah pemberian bantuan. Tenaga pendampingan dari DKP juga tidak pernah turun kelapangan. Apalagi di pulau tomia, sekitar ada beberapa kelompok yaitu 5 kelompok di Desa Tongano dan Desa Lamanggau. Bantuan keramba di Desa Tongano sekarang sudah hilang tidak berbekas, demikian juga dengan bantuan rumput laut pun tidak berhasil. Untuk idealnya rumput laut di tanam bulan ke-5 sampai bulan ke-9, akan tetapi bantuan turun bulan setelah bulan ke-9. Sedangkan penanaman rumput laut setelah bulan ke-9, sangat rentan dengan kondisi cuaca dan penyakit. Masalah bantuan dari pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi yang diberikan guna mendukung sector perikanan, menjadi hal yang tertutup. Ketidaktransparan tentang kontribusi bantuan yang disebabkan oleh keputusan Kadis DKP, menjadikan kecemburuan dan kekecawaan nelayan.
182
Pemberian bantuan kepada kelompok juga tidak merata. Penyuluh dari BP SDMKP sering mendapat kompalin dari masyarakat yang seharusnya itu menerima dan berhak. Ini menandakan bahwa sangat lemah kontrol dari masyarakat dan sangat kuatnya kekuasaan pejabat yang mempunyai kewenangan. Tabel 7.2. Bantuan dari pemerintah kabupaten (DKP) yang berkaitan dengan perikanan Tahun
Jenis Bantuan
Anggaran
Keterangan
20052006
Kapal Pelingkar 10 unit
Rp. 3 Miliar
Tidak layak dan gagal. Pengadaan kapal pelingkar, kapal second sehingga rusak mesinnya (observasi dilapangan). Untuk semua kecamatan sampai sekarang tidak berfungsi.
2006
PEMP
2007
Kapal Pelingkar 18 unit
Rp. 18 unit
2009/2010
Katinting
-
Yang mendapatkan keluarga dari mantan Kades Mola Utara
2010
Rumpon, Katinting, bodi, BBM
-
Dijalankan oleh Badan Penyuluhan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (BP SDMKP). Hasilnya hanya untuk orang yang dekat dengan Kadis/pejabat DKP.
2011
Keramba apung bantuan dari KKP
@ Rp. 250.000,-
Di Mola, orang yang mendapatkan bukan nelayan ikan dasar (ikan karang hidup). Yang menjadi kordinator yang menentukan siapa yang mendapatkan adalah orang yang dekat dengan pejabat pemerintah.
Modal Usaha Koperasi Nelayan. Tidak efektif. Permasalahannya, kelompok penerima bantuan baru terbentuk, ketika aka nada bantuan. Informasi dan pembentukan kelompok, adalah orangorang yang dekat dengan staff atau fasilitator PEMP Tidak layak dan tidak fungsi
Sumber data Wawanca ra dengan Pak My, Ln (35 Tahun) Bendahar a DKP (20052011), 5 Mei 2012; Rk, 16 Mei 2012 Rk, (16 Mei 2012); Dd (17 April 2012)
Rk, (32 Tahun) (16 Mei 2012) Tn, Mola (29 Mei 2012) Rk, (16 Mei 2012); Dd(30 Tahun) (Penyuluh BP SDMKP), (17 April 2012) Tn,(40 Tahun) Dmrdn (41 Tahun) Mola (29 Mei
183
2010/2011
Bantuan rumput laut
2012
Kelompok Jaring 20 orang, Kelompok Lamba 20 orang, 2 kelompok bantuan tali dan benih rumput laut Sumber: Wawancara dengan
@ Rp. 65 juta/kelom pok
Tidak berhasil sebagaimana semestinya. Kesalah teknis pemberian bantuan. Budidaya rumput laut tidak berhasil karena terserang penyakit Yang mendapatkan orang Lamanggau daratan, bukan Bajo Lamanggau
2012) Dd, (30 Tahun)(1 7 April 2012) Skr (38 Tahun), Lamangg au (12 Mei 2012).
Jaring 4 karung (10 pcs), Lamba 4 karung (10 pcs). Tiga karung benih (@ 50 kg) berbagai nara sumber, baik nelayan, tokoh masyarakat ataupun staf
DKP; April-Juni 2012.
Porgram COREMAP Phase II diharapkan memberikan warna baru tentang konservasi. Akan tetapi dalam prakteknya masih jauh dari praktek konservasi. Idrs, 30 Tahun (19 April 2012), menjelaskan bahwa dilematis untuk konservasi dari program COREMAP. Program COREMAP seharusnya yang menguatkan kapasitas masyarakat dalam konservasi terumbu karang, belum terlihat untuk di Wakatobi. Hal ini disebabkan antara pelaksanaan (juknis) di lapangan dengan usulan masyarakat yang dituangkan dalam Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) belum sinkron. Sebagai contoh adalah tidak tepatnya pembangunan infra struktur yang tidak ada kaitannya dengan program konservasi terumbu karang. Hal ini dikarenakan ada instruisi kekuasaan yang dilakukan oleh elit penguasa. Penguasa yang mempunyai wewenang terhadap program ini, tidak hanya sebatas pada anggaran bantuan, tetapi juga menentukan siapa yang bisa mendukung kekuasaannya. 7.3.
Regime Pasar dan Tantangannya Ada pembicaraan menarik dengan salah satu eksportir ikan konsumsi
karang hidup (16 Juli 2012), bahwa ada seorang pejabat KKP pernah mengatakan, kalau agenda konservasi terumbu karang (COREMAP) gagal maka yang membiayai rehabilitasi terumbu karang adalah perusahaan perikanan karang hidup. Perusahaan perikanan karang hidup sanggup membiayai rehabilitasi karang tetapi hanya di daerah operasi (tangkapannya) saja. Tidak boleh di daerah operasi (tangkapan) orang lain, dan setidaknya ada kebijakan regulasi juga untuk pengusaha lainnya. Banyak yang harus dibenahi oleh pemerintah dalam
184
mengelola konservasi terumbu karang. COREMAP untuk Indonesia Timur dibiayai oleh World Bank dan di Indonesia Barat oleh Asian Development Bank yang keseluruhannya adalah pinjaman Pemerintah Indonesia. Kesemuanya pembiayaan
rehabilitasi
terumbu
karang
adalah
hutang
yang
harus
dipertanggungjawabkan keberhasilannya. Belum maksimalnya pengelolaan terumbu karang, baik yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Wakatobi dan COREMAP di Wakatobi, terindikasi masih terjadi praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya laut dan perikanan yang belum bisa diharapakan dari idealisme kawasan konservai. Pengelolaan baik yang menjadi program Taman Nasional dan program COREMAP, belum mengatasi permasalahan sumberdaya perikanan di Wakatobi. Praktek penambangan batu karang dan pasir laut untuk bahan bangunan, serta masih terdapat anggapan zonasi belum ditetapkan dan sampai pada tahapan penggunaan alat tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan termasuk penggunaan potassium dan bom. Alasan masyarakat menggunakan sumberdaya kelautan dan perikanan menjadi salah satu mata pencaharian tunggal, adalah bentuk rasionalitas logis, mengingat praktek-praktek konservasi yang ada di kawasan belum menjawab permasalahan masyarakat berkaitan dengan alternatif livelihood mereka. Adanya sistem zonasi Taman Nasional mengubah pola kebiasaan lama yang secara turun menurun dilakukan oleh nelayan ikan karang. Sistem konservasi komando dari regime negara, menyebabkan nelayan tidak leluasa lagi dalam menggunakan sumberdaya perikanan. Disisi lain, dengan terbentuknya DPL sebagai program COREMAP yang merupakan zona konservasi dan pariwisata, menimbulkan adanya polemik-polemik permasalahan baru bagi masyarakat yang tidak mempunyai wilayah laut desa, dan akses nelayan terhadap sumberdaya menjadi semakin sempit, dikarenakan DPL berada di zona pemanfaatan lokal. Eksklusi dan alienasi terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan di dalam DPL kepada pengguna sumberdaya dari desa lain pun terjadi. Ketika permasalahan penggunaan sumberdaya belum bisa terjawabkan oleh sistem pengelolaan kawasan dengan regime negara dengan hadirnya Taman Nasional dan ataupun dengan regime masyarakat dengan sistem devolusi kekuasaan dari LIPI dan Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) kepada Dinas
185
Kelautan Perikanan Kabupaten sebagai ujud dari konsep desentralisasi melahirkan politik dana dan politik bantuan. Kehadiran pola pengelolaan tersebut menjadikan pola pemanfaatan sumberdaya perikanan karang tidak berubah sesuai dengan agenda konservasi dan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Konsep
pengelolaan
modernisasi
secara
global
melahirkan
pola
pengelolaan konservasi yang di dorong oleh pasar. Agenda konservasi melalui jaringan business to bussines, diinisiatifkan sebagai upaya menjawab belum efektifnya pengelolaan sumberdaya perikanan yang diatur oleh negara dan pemerintah daerah. Standarisasi produk perikanan ramah lingkungan merupakan upaya praktek-praktek perikanan berkelanjutan yang berharap bisa mendukung upaya konservasi dan pembangunan ekonomi di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Standarisasi
dan
pola
pemanfaatan
produk
perikanan
yang
bertanggungjawab adalah suatu tanda bahwa produk yang dijual tersebut diperoleh melalui suatu cara yang memperhatikan kaidah lingkungan sehingga pemanfaatan sumber daya alam dapat berlangsung selama mungkin. Dalam produk perikanan, standarisasi produk perikanan mengacu pada produk yang diperoleh dari hasil tangkapan di alam. Food Agriculture Organization (FAO) telah menerbitkan pedoman bagi pemerintah dan organisasi yang telah menjalankan, atau sedang mempertimbangkan untuk membentuk skema standrisasi perikanan tangkap dalam rangka sertifikasi serta promosi produk berlabel dari penangkapan yang berkelanjutan atau dikelola dengan baik. Secara garis besar persyaratannya adalah dapat dipercaya, melalui proses audit independen, sertifikasi pihak ketiga, transparansi dalam penentuan standard dan akuntabilitas, dan mendasarkan standar pada kajian ilmiah yang baik. Prinsipprinsip sertifikasi ekolabel menurut FAO sebagai bentuk dari consensus Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Tahun 1998, adalah sebagai berikut: 1. be a voluntary nature and market driven; 2. be transparent; 3. be non discriminatory, do not crate obstacles to trade and allow for fair competition; 4. establish clear accountability for the promoters of schemes and for
186
the certifying bodies in conformity with international standards; 5. there should be reliable auditing and verification process ; 6. recognize the sovereign rights of state and comply with all relevant laws and regulations; 7. ensure equivalence of standards between countries; 8. be based on the best scientific evidence; 9. be practical, viable and verifiable; 10. ensure that labels communicate truthful information; 11. must provide for clarity (Deere, 1999: 30 IUCN-The World Conservation Union and FAO). Inisiatif Seafood Savers pada dasarnya adalah untuk improvisasi produksi perikanan yang bertanggung jawab sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya IUU Fishing yang sudah menjadi kegiatan dalam perikanan tangkap di wilayah perairan Indonesia. Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing merupakan kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. Definisi dan batasan dari IUU Fishing mengadopsi dari IPOA (International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate)-IUU Fishing sebagai hasil dari komite FAO pada konvensi perikanan dunia pada Tahu 2001 (Baird, 2006:9). Menurut IPOA-IUU (II. Nature and Scope of IUU Fishing and the International Plan of Action) (2001), (Baird, 2006:11; Nikijuluw; 2008: 13-48), adalah sebagai berikut: Illegal Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan : • Penangkapan yang dilakukan oleh suatu negara atau kapal asing diperairan yang bukan merupakan yuridiksinya, tanpa izin ke pemeintah/negara dan kegiatan perikananya bertentangan dengan aturan yuridiksi negara tersebut; •
Penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal ikan berbendera salah satu negara yang tergabung dalam RFMO (Regional Fisheries Management Organisation) tetapi pengoperasian kapalnya bertentangan dengan aturan yang diadopsi oleh RFMO tersebut;
187
•
Penangkapan ikan yang bertentangan dengan undang-undang suatu negara atau peraturan internasional termasuk aturan-aturan yang ditetapkan oleh negara anggota RMFO.
Kegiatan Illegal Fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah : a) Penangkapan ikan tanpa izin; b) Penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu/izin ganda; c) Penangkapan Ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang; d) Penangkapan Ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin. Unreported Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan : • Kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan atau terjadi salah pelaporan kepada otoritas pemerintah tertentu dan/atau bertentangan dengan hukum/aturan yang berlaku; •
Kegaiatan penangkapan ikan yang dilakukan di kawasan yang merupakan kompetensi suatu RMFO tertentu, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah pelaporan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan yang berlaku di RMFO.
Kegiatan Unreported Fishing yang umum terjadi di Indonesia: • Penangkapan ikan yang tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya atau pemalsuan data tangkapan; •
penangkapan ikan yang langsung dibawa ke negara lain (transshipment di tengah laut)
Kegiatan Unregulated Fishing: •
Kegiatan penangkapan ikan pada kawasan yang merupakan tanggung jawab RFMO tertentu, akan tetapi bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan yang ditetapkan oleh RFMO. Dilakukan oleh kapal yang tidak beridentitas negara, atau kapal yang berbendera bukan negara RFMO atau perusahan ikan tertentu;
•
Penangkapan ikan atas jenis ikan tertentu atau didaerah perairan tertentu yang terdapat pengelolaan konservasi baik diatur oleh negara tersebut atau merujuk aturan internasional.
Kegiatan Unregulated Fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah: •
188
Penangkapan ikan di laut lepas yang berkaitan dengan spesies tertentu;
•
Penangkapan jenis ikan tertentu di daerah konservasi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sebagai kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi memiliki aturan
yang tidak melegalkan tindakan perikanan yang berkaitan dengan penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya terumbu karang dan menangkap spesies yang dilindung secara peraturan perundang-undangan seperti yang termaktub dalam UU No.5 Tahun 1990 Pasal 21 (1,2); UU No. 31 Pasal 8 (1); PP No 7 Tahun 1999 dan PP. No 8 Tahun 1999. Merujuk dari aturan Taman Nasional Wakatobi, ada beberapa spesies target perikanan yang dilindungi dalam kawasan yaitu: Penyu Sisik, Penyu Hijau, Lumba-Lumba, Napoleon, Ketam Kelapa, Kima dan Lola RPTNW, 2008; 21-22). Aktivitas produksi komoditas ikan konsumsi karang hidup yang terjadi di Perairan Wakatobi, masih besar kemungkinan terjadi praktek IUU Fishing. Praktek-praktek IUU Fishing tersebut terbungkus pada praktek-praktek yang lain. Produksi komoditas yang terdapat di kawasan perairan Wakatobi mempunyai dua sifat komoditas, komoditas untuk memenuhi pasar dalam negeri dan untuk pasar ekspor. Untuk pasar ekspor, seperti halnya usaha produksi penangkapan Napoleon yang dibarengi dengan usaha produksi ikan Kerapu dan Sunu. Untuk mengelabui pengontrolan dari pihak Jagawana dan DKP, beberapa pengumpul ikan (kordinator) menggunakan kedok ikan Kerapu dan Sunu sebagai usaha utama mereka (Idr, 30 Tahun, 30 Maret 2012). Penangkapan komoditas Napoleon kebanyakan menggunakan bius (potassium), walaupun Napoleon pada dasarnya bisa tertangkap melalui pancing, bubu ataupun jaring (lamba). Akan tetapi untuk penangkapan dengan menggunakan bubu dan jaring kebanyakan mati. Susahnya Napoleon ditangkap menggunakan alat tangkap pancing, dikarenakan bentuk morfologi mulut Napoleon yang menurut nelayan susah untuk makan umpan dari pancing, disamping habitat Napoleon di karang yang dikenal sebagai ikan pemalu (My, 20 Tahun, 22 Mei 2012; Armn, 18 Mei 2012). Penangkapan spesies target perikanan yag tergolong dilindungi yang kebutuhannya untuk pasar domsetik adalah masih terjadinya penangkapan dan pemanfaatan spesies seperti: Kima, Penyu Hijau (penyu laut) dan telurnya. Hal ini
189
masih banyak ditemukan di masyarakat atau pasar tradisional. Masyarakat memanfaatkan kima untuk dimakan sendiri dan dijual dalam bentuk sudah dikeringkan. Sedangkan untuk Penyu Laut dan telurnya di jual di pasar. Harga daging Penyu Laut dijual dengan harga Rp. 10.000/kg, sedangkan telurnya Rp. 3000,-/butir. Menurut informasi dari masyarakat Ketam Kelapa masih sering ditemukan di pasar tetapi sudah sangat jarang. Satu ekor Ketam Kelapa (Kepiting Kanari: bahasa Wanci) di jual denga harga Rp. 150.000/ekor. Komoditas spesies target tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat ataupun dijual ke eksportir. Seperti untuk Napoleon dan Penyu Laut, salah satu kordinator di Mola kadang mendapat pesanan apabila ada pejabat pemerintah datang ke Wakatobi. Pesanan tersebut dikirim ke salah satu resort yang ada di WangiWangi. Menurut penuturan Md. Kllng (40 Tahun), (4, April 2003) bahwa Napoleon kadang dipesan oleh resort yang ada di Wanci dan kadang untuk Napoloen mati di jual ke kendari. Harga satu ekor Napoleon mati ukuran up (diatas 600 gram) dijual seharga Rp. 500.000,- untuk kondisi hidup di jual antara Rp. 500.000,- sampai Rp. 1 jt. Kllg, membeli dari nelayan seharga Rp. 200.000,untuk kondisi mati dan Rp. 400.000,- untuk kondisi hidup (tergantung ukuran). Kllg, saat ini masih sering mendapat pesanan tentang Napoleon oleh pejabat. Menurutnya Napoleon mempunyai khasiat (informasi dari orang putih (orang cina) yaitu bisa mencuci darah 10 kali dan memperpajang umur. Menurutnya yang paling banyak proteinya adalah bagian sisik. Napoleon juga mempunyai mitos sebagai segala obat buat penyakit dan obat kuat. Penyu Laut menurut laporan nelayan dan kordinator dimanfaatkan sudah seperti tradisi. Bukan hanya orang Bajo saja dan Bali yang mengkonsumsi Penyu Laut, tetapi juga Masyarakat Mandati yang mengkonsumsi Penyu Laut untuk hajatan ataupun pesta keluarga. Penyu menurut kepercayaan masyarakat Mandati adalah sesajian yang istimewa dan menu makanan utama untuk menjamu para pejabat. Nn, (18 Tahun) (29 Maret 2012), menjelaskan bahwa kadang diancam oleh polisi, kalau punya Penyu tetapi tidak di jual dengan dalih akan ditangkap dan dilaporkan. Penyu tersebut dihargai dengan harga Rp. 50.000,- ampai Rp.150.000,- tergantung dari ukuran.
190
Berdasarkan keterangan diatas aktivitas Illegal Fishing, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan adalah penggunaan metode dan teknologi yang bersifat merusak, yang bertentang dengan perundang-undangan perikanan dan konservasi. Penyebab Illegal Fishing yang terjadi di kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi adalah sebagai berikut:
•
Meningkat dan tingginya permintaan ikan (termasuk pasar ekspor di luar negeri); Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut
•
Belum ada visi yang sama antar aparat penegak hukum
•
Lemahnya peraturan perundangan dan ketentuan pidana terhadap kegiatan
•
penggunaan alat yang merusak lingkungan. Kegiatan perikanan di perairan Wakatobi berkaitan dengan area kawasan konservasi adalah dengan Unreported Fishing hasil produksi perikanan. Untuk penangakapan aktivitas ikan konsumsi karang hidup masih ada yang menggunakan sistem pengangkutan yang mengundang kapal impor dari Hong Kong. CV. J.M. mulai dari Tahun 1992 sampai sekarang masih menggunakan pengiriman komoditas ke Hong Kong dengan kapal. Dalam sistem pengambilan komoditas ikan konsumsi karang hidup, dilakukan malam hari (Hndr, 39 Tahun, 27 April 2012). Kapal impor Hong Kong mendapat ijin dari DKP Buton dan mengurus perijinan juga untuk keterangan asal ikan ke DKP Wakatobi. pengurusan ijin atas surat keterangan asal ikan untuk DKP Wakatobi diwakili oleh kordinator kepercayaan dari CV. J.M., sedangkan untuk DKP Buton di urus oleh staff kantor CV. J.M. (data sekunder DKP Wakatobi dan DKP Buton). Pelaporan hasil tangkapan ikan untuk wilayah Wakatobi masih mempunyai kendala. Hal ini dikarenakan setiap kordinator masih malas untuk memberikan pembukuan produksi tangkapan ikan konsumsi karang hidup (Li; An, 16 Juni 2012). Kendala tentang pelaporan produksi hasil tangkapan ikan juga tidak hanya datang dari pelaku pengusaha, akan tetapi juga dari Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten yang masih longgar dalam pengawasan dan pengaturan. H. Bh (2 Juni 2012), menjelaskan bahwa mengenai pengawasan kouta perikanan yang dilakukan oleh DKP Wakatobi tertanggal 31 Mei 2012. Menyatakan bahwa pihaknya masih menetapkan harga per kilogram sebagai
191
retribusi daerah dengan ketentuan harga dasar sebagai pelaksanaan Keputusan Bupati yang merupakan kombinasi harga di pasar dengan harga di nelayan, bukan harga di pengusaha. Inilah yang menjadi kekurangan dalam pengontrolan produksi ikan. Kemudian apabila ada laporan yang dilaporkan ke DKP sebelam proses pengangkutan ikan, itu tidak pas di kondisi lapangan, diberi toleransi, misalnya dalam laporan itu ada 10 ton, ternyata lebih dari 10 ton, maka tidak dikenakan sanksi apapun dan dianggap wajar. Tetapi apabila lebih dari 5 ton dari apa yang dilaporkan akan ditindak. Penyebab Unreported Fishing yang terjadi di Wakatobi adalah sebagai berikut: • Belum sempurnanya sistem pengumpulan data hasil tangkapan (log book)/ angkutan ikan; •
Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan data hasil tangkapan (log book)/angkutan ikan;
•
Hasil tangkapan dan fishing ground dianggap rahasia dan tidak untuk diketahui pihak lain (saingan);
•
Wilayah kepulauan menyebabkan banyak tempat pendaratan ikan yang sebagian besar tidak termonitor dan terkontrol;
•
Sebagian besar perusahaan yang memiliki armada penangkapan memiliki pelabuhan/tangkapan tersendiri;
•
Laporan produksi yang diberikan oleh pengurus perusahaan kepada dinas terkait cenderung lebih rendah dari sebenarnya. Menurut petugas retribusi laporan produksi umumnya tidak pernah mencapai 20% dari produksi yang sebenarnya. Sementara itu dari kajian tentang ijin quota penangkapan Napoleon
sebagai ikan yang dilindung, terdapat bahwa pemberian ijin kepada salah satu perusahaan yang beroperasi di perairan Wakatobi, yaitu CV. J.M. memiliki ijin penangkapan dari BKSDA Wilayah II Sulawesi Tenggara yang ada di Kabupaten Buton. Ijin tersebut melampirkan nelayan/kordinator yang berhak menangkap Napoleon. Ditemukan dalam data sekunder ada tiga kordinator yang berasal dari Wakatobi, yaitu Hyd (dari Mola), Ily (Tomia) dan Dmr (Tomia). Kelengahan dan tidak adanya sistem cross check antar dinas ataupun departemen menjadikan 192
kebocoran dalam perijinan. BKSDA setempat tidak saling kordinasi denga Balai Taman Nasional Wakatobi dan DKP setempat. •
Penyebab Unregulated Fishing: Lemahnya peraturan perundangan;
•
Lemahnya monitoring, control and surveillance terhadap kawasan;
•
Tumpang
tinding
kewenangan
pengelolaan
kawasan
konservasi
konservasi; •
Belum harmonisanya produk hukum tentang pengelolaan kawasan konservasi;
•
Banyak terlibat aktor yang memanfaatkan kawasan konservasi untuk tindakan kepentingan politiknya. Komoditas Napoleon menjadikan Napoleon diburu walaupun merupakan
aktivitas illegal dalam kawasan konservasi. Penggunaan alat tangkap yang cepat untuk mendapatkan Napoleon tetap dilakukan walaupun telah ada larangan dari aturan konservasi Taman Nasional Wakatobi. Kegiatan tangkapan dan usaha Napoleon menjadi catatan tersendiri sebagai usaha yang terselubung dan bersifat illegal yang legal. Rekomendasi tersebut merupakan hasil dari penilaian langsung di lapangan yang dilakukan oleh WWF-Indonesia. Beberapa elemen yang menjadi obyek dalam penilaian tersebut mencakup aktivitas perikanan perusahaan, kesesuaian aktivitas perikanan dengan standar IPOA-IUU Fishing dan kepatuhan perusahaan
terhadap
praktik-praktik
ramah
lingkungan
lainnya,
seperti
pengelolaan limbah B3, efisiensi energi, dan menuju kepemilikan atas sertifikat ekolabel. Selain itu, kajian ini juga menyentuh hal-hal di luar isu lingkungan, yaitu mekanisme rantai dagang (supply chain) dan pembagian keuntungan yang diberlakukan dalam rantai tersebut (WWF Indonesia, 2011). Agenda Seafood Savers mempunyai tujuan dalam mendukung pengelolaan kawasan Taman Nasional Wakatobi terutama dalam perlindungan daerah karang, sebagaimana merupakan delapan potensi sumberdaya kawasan Wakatobi yang harus dijaga kelestariannya. Keprihatinan dunia terhadap kegiatan IUU Fishing, meningkatkan kesadaran masayrakat dunia terutama konsumen terhadap kondisi kritis perikanan 193
dunia. Di Indonesia diinisiasikan oleh WWF Indonesia Fisheries Chapture dalam upaya pengamanan produk-produk perikanan laut yang ramah lingkungan demi terwujudnya keberlanjutan perikanan. Sebagai launch product of Seafood Savers diinisiasikan mulai Tahun 2008 dan di implementasikan pada Tahun 2011. Untuk perikanan ikan konsumsi karang hidup di implementasikan dengan melihat kawasan TN Wakatobi sebagai pilot project adanya upaya perikanan tangkap yang bertanggung jawab terhadap ekologi yaitu Seafood Savers. Seafood Savers merupakan praktek kelola sumberdaya perikanan yang melibatkan kerjasama antar korporasi yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia pada Bulan Oktober Tahun 2009. Tujuan Seafood Savers tidak lain adalah untuk menguatkan dukungan dari sektor industri terhadap praktek perbaikan pengelolaan perikanan laut di Indonesia. Perusahaan perikanan merupakan sektor industri perikanan yang mempunyai kepentingan dan berpengaruh pada pemanfaatan sumberdaya perikanan sekaligus kerusakan lingkungan serta kelangsungan sumber daya alam. Inisiasi dari WWF Indonesia, hadir pada Tahun 2009 dengan launch seafood savers, sebagai bentuk upaya konservasi spesies, yang sudah mengkhawatirkan (WWF Indonesia, 2011). Untuk komoditas perikanan karang dilakukan di Taman Nasional Wakatobi, dipilih sebagai pilot project untuk program Seafood Savers dengan berbagai pertimbangan. Dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi, terdapat potensi sumberdaya perikanan yang melimpah, termasuk kondisi stok perikanan karang hidup yang masih bagus. Akan tetapi di dalam kawasan juga masih terdapat praktek-praktek penangkapan ikan yang masih bersifat merusak, yaitu dengan menggunakan bom dan bius. Dengan adanya program Seafood Savers, diharapkan mampu untuk mewujudkan keberlanjutan sumberdaya perikanan di kawasan konservasi Taman Nasional Wakatobi.
194