Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN PRTISIPATIF DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR Imam Bachtiar
FKIP Universitas Mataram Email:
[email protected]
1. Pendahuluan Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya alam hayati yang potensial dapat mendukung perekonomian Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Indonesia pada umumnya. Sayangnya sumberdaya ikan tersebut telah mendapat tekanan eksploitasi yang tidak seimbang. Tekanan eksploitasi sumberdaya ikan di kawasan pantai sangat tinggi, sehingga kondisinya pada umumnya jelek di banyak lokasi. Sebaliknya, sumberdaya ikan di perairan lepas pantai pada umumnya masih belum banyak dimanfaatkan oleh nelayan Indonesia, karena keterbatasan sarana apung dan alat tangkap, sehingga kondisinya diduga masih sangat baik. Akan tetapi, sumberdaya ikan yang masih melimpah ini justru sedang dinikmati oleh nelayan asing yang teknologi penangkapannya jauh lebih canggih. Agar sumberdaya ikan baik yang di kawasan pantai maupun di lepas pantai bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia, maka pengelolaan sumberdaya perikanan di seluruh kawasan perlu mendapat perhatian yang sangat serius. Pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan tanggung-jawab dan kewenangan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan dibagi menjadi tiga: 0-4 mil untuk pemerintah (Dinas Kelautan dan Perikanan) kabupaten, 4-12 mil untuk pemerintah (Dinas Perikanan dan Kelautan) propinsi, dan 12 hingga ZEE merupakan kewenangan pemerintah pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan). Berdasarkan pengalaman yang sudah ada, pengelolaan yang direncanakan oleh pemerintah lebih banyak yang gagal diimplementasikan daripada yang berhasil. Pendekatan pengelolaan yang dari atas ke bawah ini mulai ditinggalkan orang. Pendekatan yang sebaliknya, dari bawah ke atas, juga sangat mengkhawatirkan. Disamping adanya ancaman konflik horisontal, pendekatan ini juga bisa mengakibatkan salah-kelola akibat keterbatasan pengetahuan masyarakat. Karena itu, dalam menjalankan kewenangan pengelolaannya pemerintah perlu mengajak masyarakat secara bersama melakukan pengelolaan. Pendekatan pengelolaan ini disebut pengelolaan partisipatif. Salah satu contoh pengelolaan partisipatif yang telah berlangsung dengan sangat baik di NTB, adalah di kawasan Kabupaten Lombok Barat bagian utara (Bachtiar, 2000). Tetapi pengelolaan partisipatif di Lombok Barat, bukan merupakan hasil langsung dari intervensi pemerintah (proyek), melainkan In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
67
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
merupakan inisiatif masyarakat yang melihat ketidak-mampuan pemerintah dalam mengelola terumbu karang yang menjadi aset ekonominya. Inisiatif seperti ini sangat sulit diharapkan bisa muncul begitu saja di tengah masyarakat. Karena itu, pengalaman di Kabupaten Lombok Timur bisa lebih bermakna untuk dipelajari untuk menambah wawasan tentang pengelolaan partisipatif sumberdaya perikanan. Di Kabupaten Lombok Timur, pengelolaan sumberdaya perikanan secara partisipatif diperkenalkan oleh Proyek Co-Fish. Proyek yang dimulai pada tahun 1999/2000 tersebut memberikan pelajaran yang berarti kepada masyarakat Lombok Timur tentang apa yang dimaksud dengan pengelolaan partisipatif dan bagaimana cara mencapainya. Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan informasi secara ringkas tentang bagaimana melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai secara partisipatif berdasarkan pengalaman di Lombok Timur. 2. Pengelolaan Partisipatif Pengelolaan partisipatif merupakan paradigma pengelolaan sumberdaya yang kini banyak dianut di negara-negara berkembang. Di Indonesia, paradigma ini baru mulai diperkenalkan sejak pertengahan dekade sembilan puluhan. Pengelolaan ini kadang disebut sebagai pengelolaan berbasis masyarakat, pengelolaan kooperatif atau pengelolaan kolaboratif. Pada dasarnya pengelolaan partisipatif merupakan pengelolaan sumberdaya yang melibatkan partisipasi masyarakat, atau yang dilakukan bersama oleh masyarakat dengan pemerintah (kolaboratif). Tidak ada pedoman yang baku berapa banyak proporsi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Karena itu partisipasi masyarakat sangat bervariasi di dalam pengelolaan partisipatif. Pengelolaan partisipatif berada di tengah pendulum dua kutub, yaitu pengelolaan oleh adat dan pengelolaan oleh pemerintah. Contoh pengelolaan yang murni dilakukan oleh adat adalah pengelolaan perdagangan siput Trochus melalui sasi di Maluku, sejak jaman Belanda hingga pertengahan tahun 1970-an (Zerner, 1994). Sedangkan beberapa contoh pengelolaan yang murni dilakukan oleh pemerintah adalah pembagian wilayah penangkapan ikan, serta larangan penggunaan bom dan racun. Dari pengalaman pada dua kutub pendulum ini kita bisa melihat bahwa efektivitas pengelolaan oleh adat sangat tinggi. Sedangkan pengelolaan oleh pemerintah biasanya tidak efektif (Fraser et al., 1999). Tetapi kearifan lokal dalam memahami sumberdaya perikanan tidak selalu ada di dalam adat dan tepat untuk mengatasi permasalahan masa kini. Pada umumnya pemahaman masyarakat adat tentang pengelolaan sumberdaya perikanan di masa kini masih sangat kurang, maka pengelolaan oleh adat bisa menimbulkan salah-kelola. Mobilisasi masyarakat sekarang yang sangat tinggi juga bisa membuat pengelolaan adat berbenturan dengan kepentingan nasional. Karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan perlu dilakukan secara partisipatif yang melibatkan baik masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders) dan pemerintah.
In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
68
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
3. Pengelolaan Partisipatif di Lombok Timur Proyek Co-Fish memperkenalkan pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur bagian selatan. Lokasi proyek tersebut terdiri atas 6 (enam) desa pantai yang terbagi dalam dua kecamatan (pada awalnya masih satu kecamatan). Pengelolaan partisipatif di lokasi proyek didasarkan pada pengelolaan kawasan. Karena lokasi tersebut terdiri atas tiga buah teluk, maka satuan pengelolaan yang digunakan adalah kawasan teluk: Teluk Jukung, Teluk Serewe dan Teluk Ekas (Gambar 1). Teluk Jukung dan Teluk Serewe berbatasan dengan banyak (3-4) desa, sedangkan Teluk Serewe hanya dibatasi oleh satu desa. Pelaksanaan pengelolaan partisipatif membutuhkan adanya 4 (empat) komponen di satu kabupaten: lembaga pengelolaan, rencana pengelolaan, lembaga penasihat, dan kelompok alat tangkap. Keempat lembaga ini sebaiknya dibentuk secara bertahap untuk memperkuat pengelolaan partisipatif. Pada saat ini, di Lombok Timur sudah ada tiga komponen, sedangkan komponen terakhir masih belum bisa dibentuk (Suradana dan Bachtiar, 2003).
Gambar 1. Lokasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
69
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
A) Lembaga Pengelolaan Di dalam Proyek Co-Fish, pembentukan pengelolaan partisipatif diawali dengan pembentukan dan penguatan lembaga pengelola sebagai perwakilan masyarakat. Lembaga pengelola ini disebut dengan KPPL (komite pengelolaan perikanan laut). Karena pengelolaan partsipatif merupakan hal yang baru, maka dalam sejarahnya KPPL mempunyai bentuk yang berubah-ubah (Tabel 1). KPPL resor yang pernah dibentuk oleh proyek menjadi hilang begitu saja dengan berubahnya pandangan proyek. Demikian juga KPPL desa yang kemudian diperkuat oleh KPPL kawasan. Munculnya ide KPPL kawasan didasari pemahaman bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan di Lombok Timur sebaiknya didasarkan pada pengelolaan kawasan, bukan pengelolaan sumberdaya ikan tertentu (Suradana dan Bachtiar, 2003). Alasan kedua adalah tidak adanya kewenangan desa atas laut. Menurut UU No. 22 tahun 1999, kewenangan pengelolaan laut di perairan pantai adalah pada pemerintah kabupaten. Tidak adanya batas desa di laut pernah hampir menyulut pertikaian antar desa di Teluk Ekas. Karena itulah, kelahiran KPPL kawasan merupakan suatu keharusan. Keberadaan KPPL kawasan dan KPPL desa bisa menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial. Karena perbedaan fungsi dan kewenangan, maka fasilitas yang disediakan oleh proyek juga berbeda. Perbedaan ini telah menimbulkan ketidakhamonisan antara KPPL kawasan dengan KPPL desa di salah satu lokasi. Ada rencana untuk tidak lagi mempertahankan KPPL desa, setelah masa tugas mareka berakhir tahun 2004 sesuai dengan SK pengangkatannya. Ketika pembentukan KPPL resor dan KPPL desa, komposisi keanggotaan mareka belum jelas. Tetapi, komposisi KPPL kawasan sudah diatur dengan jelas sebelum pembetukannya. Pengurus KPPL kawasan terdiri atas: wakil KPPL desa yang ada, wakil nelayan dari setiap desa, wakil dari setiap Kantor Desa, wakil tokoh agama dari setiap desa, wakil pemuda dari setiap desa, wakil wanita dari setiap desa, wakil budidaya laut dari setiap desa, dan wakil dari setiap perusahaan budidaya kerang mutiara (jika ada), serta beberapa pengamat dan penasihat yang diputuskan oleh komite (Suradana dan Bachtiar, 2004). Dalam kenyataannya tidak ada KPPL kawasan yang mempunyai anggota pengamat dan wakil dari perusahaan budidaya kerang mutiara. KPPL menerima pelimpahan kewenangan pengelolaan untuk kawasan tertentu dari Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten. Karena itu, KPPL bertanggung-jawab terhadap Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten. Kewenangan KPPL terbatas dalam membuat perencanaan dan implementasi dari rencana pengelolaan yang telah disepakati masyarakat tersebut. KPPL tidak mempunyai kewenangan dalam hal pemberian ijin penangkapan atau budidaya. Tetapi KPPL dapat memberikan rekomendasi kepada dinas tentang pemberian ijin bagi suatu kegiatan. Anggota KPPL bukanlah pegawai honorer yang harus mempunyai kantor dan masuk setiap hari. Lembaga KPPL harus dipandang sebagai lembaga swakarsa masyarakat yang bisa dianalogikan dengan RT (rukun tetangga) atau Kepala Dusun. Pengurus KPPL tidak perlu digaji secara rutin, tetapi mareka harus In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
70
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
mendapat kompensasi yang cukup dan uang transport ketika harus melaksanakan rapat-rapat. Jadi dana operasional yang dibutuhkan KPPL adalah biaya rapat, biaya pemantauan dan biaya pengawasan. Dana operasional tersebut bisa didapatkan dari pengusaha perikanan besar yang ada di kawasan pengelolaan, hasil denda pelanggaran dan subsidi dari pemerintah. B) Rencana Pengelolaan Di Kabupaten Lombok Timur, rencana pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif disusun melalui kesepakatan masyarakat (Bachtiar et al., 2004). Setelah rencana pengelolaan disepakati oleh rapat pleno KPPL, kemudian disyahkan oleh LKMD (sekarang BPD, badan perwakilan desa) dari semua desa yang terlibat di kawasan tersebut, dan ditetapkan sebagai awig-awig kawasan. Awig-awig merupakan hukum adat yang pada awalnya tidak tertulis dan berlaku hanya pada warga di suatu banjar atau desa. Tetapi awig-awig yang lebih modern, dibuat secara tertulis dan bisa berlaku sekaligus di beberapa desa yang menyepakatinya. Pada tahun 2001, penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya perikanan difasilitasi oleh sebuah tim dari universitas. Rencana pengelolaan sumberdaya perikanan disusun oleh KPPL kawasan, sebagai perwakilan semua pemangku kepentingan sumberdaya perikanan. Pada periode waktu yang sama mareka juga mendapatkan pelatihan pengelolaan sumberdaya perikanan dan pengawasan partisipatif (siswasmas). Pada umumnya rencana pengelolaan sumberdaya perikanan sudah bisa disyahkan setelah mareka melakukan rapat sebanyak 5-6 kali. Hasil dari setiap rapat KPPL kawasan idealnya disosialisasikan kepada masyarakat di semua desa yang terlibat, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam prakteknya, tim universitas tidak memahami keinginan proyek, sehingga pelaksanaan sosialisasi tertulis tidak berlangsung seperti yang diharapkan. Kurangnya sosialisasi ini membuat implementasi rencana pengelolaan menjadi kurang mulus. Sebagian masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan rencana pengelolaan. Kekurangan sosialisasi ini seharusnya tidak boleh terjadi agar semua masyarakat merasa ikut terlibat, baik anggota KPPL maupun yang bukan anggota. Untungnya, kebanyakan pasal dalam rencana pengelolaan telah lama didiskusikan sejak berdirinya KPPL resor. Masyarakat sudah lama mengetahui tentang larangan-larangan umum yang ada, misalnya pengeboman, pemotasan, dan penebangan mangrove. Pada tahun 2001, KPPL kawasan juga membentuk suatu wilayah kecil (<5 hektar) sebagai suaka perikanan. Di dalam Proyek Co-Fish, suaka perikanan didefinisikan sebagai wilayah yang dilindungi secara permanen dari kegiatan eksploitasi. Pembentukan suaka perikanan ini difasilitasi oleh sebuah organisasi non-pemerintah. Suaka perikanan ini juga dikelola secara partisipatif, dengan KPPL kawasan sebagai perencana sekaligus pelaksana implementasi rencana pengelolaan (day to day management).
In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
71
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
C) Hasil Implementasi Rencana Pengelolaan Implementasi dari rencana pengelolaan dilakukan oleh masyarakat yang diwakili oleh KPPL. Dalam implementasi tersebut, proyek hanya menyediakan handy talky (HT) dan rompi hingga tahun 2002. Pada tahun 2003 proyek akan menyediakan masing-masing sebuah speedboat 40 PK untuk setiap kawasan. Di dalam rencana pengelolaan terdapat sanksi yang jelas terhadap pelanggaran yang mungkin ada. Sanksi terhadap pelanggaran pada umumnya berupa denda uang atau penyitaan hasil tangkapan. Kuatnya kelembagaan yang terbentuk dan adanya pengakuan formal pemerintah terhadap lembaga KPPL memberikan dampak yang sangat besar terhadap berkurangnya pengeboman di kawasan Teluk Ekas dan Teluk Serewe (Gambar 2). Pada tahun 2002, frekuensi pengeboman bisa diturunkan hingga 100% di Teluk Ekas dan Teluk Serewe. Di ketiga kawasan, perdagangan ikan hasil pengeboman juga dilarang. Sanksi terhadap pelanggaran ini adalah penyitaan ikan yang dijual tersebut untuk kemudian dilelang dan hasilnya untuk dana operasional KPPL dan pembiayaan kegiatan sosial. Akan tetapi, efektivitas aturan ini hanya menonjol di Teluk Jukung. Sedangkan di kedua teluk lainnya, tidak ada laporan kegiatan KPPL dalam menertibkan perdagangan ikan hasil pengeboman, walaupun perdagangan tersebut pernah dilaporkan sangat tinggi di Teluk Serewe. 40 35 30 25 20 15 10 5 0 T Ekas 1998
T Serewe 1999
2000
2001
T Jukung 2002
2003
Gambar 2. Frekuensi pengeboman Per Bulan Di Tiga Teluk. Data Diambil Dari Perkiraan Nelayan. Tahun 2001 Hanya Ada Satu Pengeboman Per Tahun Di Teluk Ekas. Sejak diberlakukannya rencana pengelolaan sumberdaya perikanan, perdagangan ikan hasil pengeboman terus menurun dari 6 (enam) kasus pada tahun 2001 menjadi satu kasus pada paruh pertama tahun 2003. Pelanggaran jalur penangkapan juga bisa dihindari setelah seorang pelanggar dikenai sanksi peringatan. In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
72
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
Implementasi pelarangan perdagangan ikan hasil pengeboman membuahkan pengembangan lembaga yang manarik untuk dikaji. Di Tanjung Luar, dimana perdagangan ikan bom bisa diturunkan secara signifikan, ada kekhawatiran kredibilitas KPPL menjadi rusak karena salah prosedur dalam menangani ikan hasil pengeboman. Pada awalnya identifikasi ikan hasil pengeboman didasarkan pada hasil identifikasi nelayan yang ada di lokasi kejadian. Jika nelayan yang dianggap ahli identifikasi ikan bom menyatakan positif, maka ikan tersebut disita sebagai sanksi pelanggaran. Nelayan yang dijadikan ahli identifikasi bisa berubah tergantung lokasi dan waktu kejadian. Dikhawatirkan jika KPPL salah menyuruh nelayan pengidentifikasi ikan bom, maka kepercayaan masyarakat terhadap KPPL akan rusak. Pada tahun 2002, KPPL Teluk Jukung mengadakan diskusi untuk membahas bagaimana prosedur yang benar dalam mengeksekusi perdagangan ikan hasil pengeboman. Diskusi yang menghadirkan Dinas Kelautan dan Perikanan, pakar dari universitas, TNI AL, Polisi, dan perangkat desa, akhirnya menghasilkan pemikiran perlunya dibentuk sebuah tim juri. Tim juri tersebut beranggotakan beberapa orang nelayan yang dapat dipercaya (amanah) dan diakui masyarakat mempunyai keahlian identifikasi ikan hasil pengeboman. Tim juri baru bisa dipilih dan diusulkan oleh KPPL pada tahun 2003 dan mendapatkan SK dari Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur. Implementasi rencana pengelolaan suaka perikanan belum mendapatkan pelanggaran yang serius (Karnan, 2003). Pada awal rencana pembentukan suaka perikanan, sebagian besar masyarakat tidak menyukainya. Pada umumnya mareka takut bertambah miskin karena berkurangnya lokasi penangkapan ikan. Tetapi setelah setahun diimplementasikan, sebagian besar (95%) responden menyetujui adanya suaka tersebut. Diharapkan dengan bertambahnya jumlah ikan di dalam suaka, masyarakat akan membentuk sendiri suaka lainnya secara swadana. Tetapi hal ini biasanya baru bisa terjadi setelah lima tahun. D) Lembaga Penasihat dan Kelompok Alat Tangkap Pembentukan lembaga penasihat dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat pemangku kepentingan turut berpartisipasi dalam pemecahan masalah-masalah pengelolaan. Karena itu, lembaga penasihat beranggotakan perwakilan dari semua kelompok pemangku kepentingan di tingkat kabupaten. Lembaga penasihat berfungsi untuk memberikan saran dan rekomendasi kepada Dinas Kelautan dan Perikanan dalam pemecahan masalahmasalah pengelolaan sumberdaya perikanan. Di Kabupaten Lombok Timur, lembaga penasehat ini terbentuk pada tahun 2002 dengan nama Komite Kelautan dan Perikanan Kabupaten (KKPK), yang mendapat SK dari Bupati Lombok Timur nomor: 188.45/87/KP/2003, tanggal 15 April 2003. Kelompok alat tangkap diperlukan untuk mengorganisir nelayan agar aspirasinya lebih mudah didengar oleh dinas dan KKPK. Salah satu prinsip dari pengelolaan partisipatif adalah bahwa nelayan mempunyai hak untuk menangkap ikan. Agar hak-nya tidak merugikan dirinya dan masyarakat lain di sekitarnya, In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
73
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
maka diperlukan aturan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pada umumnya, nelayan di Lombok Timur tidak mau membetuk kelompok alat tangkap ini. Proyek Co-Fish akan mengupayakan pembentukan kelompok alat tangkap di tahun 2003 dan 2004. 4. Pelajaran yang Bisa Dipetik Secara umum, pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur bisa dikatakan berhasil. Pengelolaan partisipatif, yang mengangkat kembali budaya masyarakat dalam pembuatan awig-awig, telah berhasil menurunkan jumlah pengeboman secara nyata dan membentuk suaka perikanan. Dari pengalaman ini bisa dipetik beberapa pelajaran. Agar pengelolaan partisipatif berhasil maka diperlukan kondisi sebagai berikut: a) Dependensi (ketergantungan) masyarakat yang tinggi terhadap sumberdaya yang dikelola. Semakin penting sumberdaya yang akan dikelola, semakin tinggi pula motivasi mengelolanya. b) Institusi (lembaga) pengelola sebaiknya dibentuk berdasarkan kawasan pengelolaan, bukan batas-batas administratif. c) Intervensi pemerintah sangat penting untuk mendukung pengelolaan partisipatif. Dukungan pemerintah daerah dapat berupa SK pengakuan lembaga dan pelimpahan sebagian mandat pengelolaan, seperti tercantum dalam undang-undang, kepada lembaga pengelola. Intervensi dalam bentuk fisik pos KPPL, sped-boat, akan sangat membantu tugas pengawasan aturan pengelolaan. d) Representasi semua kelompok pemangku kepentingan harus tampak nyata di dalam lembaga pengelola (KPPL). Anggota lembaga sebaiknya dipilih langsung oleh masing-masing kelompok. Jika hal ini tidak memungkinkan, calon anggota bisa diusulkan oleh BPD dan setelah terpilih menjadi anggota maka nama anggota lembaga harus disosialisasikan kepada masyarakat. Diperlukan waktu setidaknya dua tahun agar lembaga pengelola dikenal dan diakui oleh masyarakat. e) Edukasi dalam bentuk pelatihan-pelatihan terhadap pengurus lembaga pengelolaan sangat diperlukan. Karena lembaga pengelola pada umumnya masyarakat yang berpendidikan kurang, maka diperlukan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan. f)
Konsultasi harus sering dilakukan antara KPPL dengan Dinas Kelautan dan Perikanan. Rencana pengelolaan yang dibuat oleh KPPL harus dikonsultasikan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten sebagai pemegang mandat pengelolaan perikanan pantai.
g) Sosialisasi penyusunan rencana pengelolaan harus dimulai sejak pertemuan pertama. Setiap pertemuan harus disosialisasikan hasil-hasilnya secara In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
74
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
tertulis dan lisan kepada masyarakat. Sosialisasi lisan sangat terbatas tempat dan waktunya, karena itu sosialisasi tertulis yang tepat lebih penting. Sosialisasi yang baik akan membuat semua masyarakat merasa ikut terlibat dalam penyusunan rencana pengelolaan. Dibandingkan dengan pengelolaan yang tidak partisipatif, sepenuhnya oleh pemerintah, pengelolaan partisipatif mempunyai beberapa keunggulan. a) Karena masyarakat terlibat dalam penyusunan rencana pengelolaan, maka ketaatan masyarakat akan aturan pengelolaan lebih tinggi. b) Biaya pengelolaan bisa lebih murah, karena pemerintah tidak perlu mengangkat pegawai baru untuk melaksanakan pengelolaan sehari-hari. c) Pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pengelolaan sumberdaya perikanan semakin bertambah, sehingga nantinya masyarakat secara mandiri mengusulkan adanya aturan pengelolaan yang baru. Disamping itu, pengelolaan partisipatif di Lombok Timur juga mempunyai beberapa kelemahan. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
a) Kedudukan
pemerintah sebagai salah satu pemangku kepentingan sumberdaya perikanan kadang dilupakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat memaksakan aturan yang sebenarnya tidak mendukung pengelolaan yang lestari.
b) Jika pemahaman masyarakat akan masalah (issue) yang ada sangat berbeda,
maka dapat menimbulkan konflik horisontal yang tidak perlu. Sosialisasi mempunyai peranan yang sangat penting, agar semua hasil kesepakatan lembaga pengelolaan masyarakat dapat diketahui oleh masyarakat yang diwakili oleh lembaga tersebut.
c) Pemerintah belum memperlihatkan peranannya untuk menyediakan dukungan dana yang diperlukan masyarakat dalam pengelolaan pasca proyek, misalnya dana operasional MCS. Pemerintah perlu melibatkan pengusaha budidaya (kerang mutiara, lobster, kerapu) di kawasan pengelolaan untuk mendukung lembaga pengelolaan. 5. Kesimpulan dan Saran Pengelolaan partisipatif merupakan alternatif yang sangat baik untuk dikembangkan di dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia. Banyaknya pulau di Indonesia mengakibatkan banyaknya keanekaragaman budayanya. Karena itu, setiap upaya pengembangan pengelolaan partisipatif di suatu wilayah perlu dilihat sebagai proses belajar, yang tidak pernah selesai. Pengalaman di Lombok Timur menunjukkan bahwa pengelolaan partsipatif yang difasilitasi oleh proyek (pemerintah) dapat dilakukan dengan berhasil. Diperlukan ketekunan dalam melihat kekurangan dalam contoh-contoh kegagalan pengelolaan yang ada. Dengan menghindari faktor-faktor kegagalan tersebut, kita dapat mempermudah langkah menuju keberhasilan. In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
75
Bachtiar, I. (2004). Pengelolaan sumberdaya perikanan partisipatif di Kabupaten Lombok Timur.
Keberhasilan pengelolaan partisipatif di pesisir selatan Lombok Timur perlu dilanjutkan ke kawasan bagian timur dan utara. Bahkan penerapan pengelolaan partisipatif ini perlu dikaji untuk diadopsi oleh kabupaten lain di sekitarnya, yaitu Sumbawa Barat, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Referensi Bachtiar, I. 2000. Community based coral reef management: Lessons learned from the Marine Tourism Park Gili Indah, Lombok Barat. Komunitas 3(1):67-77. Bachtiar, I., L. Husni, Romdiana. 2004. Penyusunan Awig-awig Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pesisir Selatan Kabupaten Lombok Timur. In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto. “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 80-98. Karnan and D. Santoso. 2004. Pembentukan suaka perikanan secara partisipatif. In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (eds.). “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 128-142. Suradana, I.M. and I. Bachtiar. 2004. Pengembangan Lembaga Pengelolaan Partisipatif di Kabupaten Lombok Timur. In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto. “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 99-127. Fraser, N., B.R. Crawford, A.J. Siahaimena, F. Pua, C. Rotinsulu. 1999. Transforming unsustainable and destructive coastal resource use practices in the villages of Tumbak and Bantenan, North Sulawesi, Indonesia. Phuket Marine Biological Center Special Publication 20:520. Zerner, C. 1994. Tracking sasi: the transformation of a central Mollucan reef management institution in Indonesia. In: White, A.T. and Hale, L.Z. (eds.) “Collaborative and Community Based Management of Coral Reefs”. Kumarian Press, Connecticut. pp. 19-32. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
In: L. Wardi, S. Hardjo, M. Taufik, M.A. Syahdan, D. Supriyanto (Editors.) “Kumpulan Tulisan Ilmiah tentang Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan”. Universitas 45 Mataram. Pp. 67-79.
76