PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang
: a.
bahwa wilayah Kabupaten Lombok Timur memiliki kondisi geografis dan geologis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik disebabkan oleh faktor alam, faktor
non
alam
menyebabkan
maupun
timbulnya
faktor
korban
manusia jiwa
yang
manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan daerah; b.
bahwa
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
merupakan tanggungjawab dan wewenang Pemerintah Daerah oleh karena itu perlu dilaksanakan secara terencana, terorganisir, terpadu dan terkoordinasi; c.
bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pelaksanaan lainnya belum mengatur sepenuhnya penyelenggaraan Penaggulangan Bencana baik pada waktu prabencana, tanggap
darurat,
maupun
pascabencana
yang
mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal; d.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Daerah; Mengingat
: 1.
Pasal
18
ayat
(6)
Undang-Undang
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dasar
Negara
2 2.
Undang-Undang
Nomor
69
Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah–daerah Tingkat I Bali, Nusa Teggara Barat dan Nusa Tenggara Indonesia
Timur (Lembaran Negara Republik
Tahun
1959
Nomor
122,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655); 3.
Undang-Undang Pengumpulan
Nomor
Uang
9
atau
tahun
Barang
1961
oleh
tentang
Masyarakat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 214, Tambahan Lembaran Negara Republik Idonesia Nomor 2273); 4.
Undang-Undang Perumahan
Nomor
dan
4
Tahun
Pemukiman
1992
tentang
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469); 5.
Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
1992
tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501); 6.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
7.
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
8.
Undang-Undang Kehutanan
Nomor
(Lembaran
41
tahun
Negara
1999
Republik
tentang Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); 9.
Undang-Undang Pemerintahan Indonesia
Nomor
Daerah
Tahun
32
Tahun
(Lembaran
2004
Nomor
2004
Negara 125,
tentang Republik
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
3 Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan
Daerah
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 4844); 10.
Undang-Undang
Nomor
33
Tahun
2004
tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah
(Lembaran
lndonesia Tahuh 2004
Negara
Republik
Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4438); 11.
Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahuh 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4723); 12.
Undang-Undang
Nomor
11
Tahun
2009
tentang
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4967); 13.
Undang-Undang Perlindungan
Nomor
dan
32
Tahun
Pengelolaan
2009
Lingkungan
tentang Hidup
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059); 14.
Undang-Undang
Nomor
36
Tahun
2009
tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063) 15.
Undang
Undang
pembentukan
Nomor
12
Tahun
Peraturan
2011
tentang
Perundang-Undangan
(Lembaran negara tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389); 16
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah
Daerah Kabupaten/Kota
Provinsi
dan
Pemerintahan
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4737); 17
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4 4828) ; 18.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan
dan
Pengelolaan
Bantuan
Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
43,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4829); 19.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non
Pemerintah
dalam
Penanggulangan
Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
44,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 4830); 20.
Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
21.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2003 tentang Kewaspadaam Dini Masyarakat;
22.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana;
23.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyiapan Sarana dan Prasarana dalam Penanggulangan Bencana;
24.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131 Tahun 2003
tentang
Penanggulangan
Bencana
dan
Penanganan Pengungsi di Daerah; 25.
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Nusa
Tenggara
Barat
Tahun
2009-2029
(Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Nomor 26, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 56); 26.
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 16 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penaggulangan Bencana Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2009 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 16);
27.
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lombok Timur Tahun 2012-2032 (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 2);
5 Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR dan BUPATI LOMBOK TIMUR MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN
DAERAH
TENTANG
PENYELENGGARAAN
PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Lombok Timur. 2. Bupati adalah Bupati Lombok Timur. 3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disebut DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lombok Timur. 4. Masyarakat adalah masyarakat Kabupaten Lombok Timur. 5. Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang selanjutnya disebut BPBD adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lombok Timur. 6. Forum Pengurangan Risiko Bencana yang selanjutnya disebut Forum PRB adalah
suatu forum
yang dibentuk sebagai media diskusi untuk
mengakomodasi inisiatif-inisiatif pengurangan risiko bencana di daerah. 7. Tim Siaga Bencana Desa, yang selanjutnya disebut TSBD, adalah suatu tim yang dibentuk atas inisiatif masyarakat desa untuk mengakomodasi insiatif-inisiatif pengurangan risiko bencana di desa; 8. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
6 9. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, abrasi pantai , dan tanah longsor. 10. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, wabah penyakit, kebakaran dan krisis pangan. 11. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi antara
lain
konflik
sosial,
antar
kelompok
atau
antarkomunitas
masyarakat dan teror. 12. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi
penetapan
kebijakan
pembangunan
yang
berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. 13. Pengurangan risiko bencana adalah kegiatan untuk mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana. 14. Prabencana adalah situasi dimana belum terjadi bencana. 15. Rencana penanggulangan bencana adalah dokumen perencanaan yang berisi
kebijakan
strategi,
program
dan
pilihan
tindakan
dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana dari tahap pra, tanggap darurat dan pasca bencana. 16. Rencana Aksi Daerah (RAD) pengurangan risiko bencana adalah dokumen perencanaan pengurangan risiko bencana yang berisi landasan prioritas dan strategi yang disusun oleh seluruh pemangku kepentingan yang disusun secara partisipatif, komprehensif dan sinergis untuk mengurangi risiko
bencana
dalam
rangka
membangun
kesiapsiagaan
dan
ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana. 17. Kegiatan pencegahan bencana
adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. 18. Status potensi bencana daerah adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah untuk menilai potensi bencana yang akan terjadi pada jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi bencana. 19. Daerah rawan bencana adalah daerah yang memiliki kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial,
7 budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi
kemampuan untuk menanggapi
dampak buruk bahaya tertentu. 20. Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. 21. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. 22. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. 23. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban,
harta
benda,
pemenuhan
kebutuhan
dasar,
perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan sarana dan prasarana. 24. Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit dimana ada kejadian meningkatnya kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. 25. Wilayah bencana
adalah
wilayah tertentu yang terkena dampak
bencana. 26. Pasca bencana adalah situasi setelah tanggap darurat bencana. 27. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. 28. Rekonstruksi
adalah
pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
8 29. Korban bencana yang selanjutnya disebut Korban adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana. 30. Korban tidak langsung adalah orang yang tidak terkena bencana secara langsung yaitu mereka yang
bertalian darah dengan derajat satu atau
yang bergantung hidup dari korban bencana. 31. Pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya sebagai akibat buruk bencana. 32. Kelompok rentan adalah bayi, anak usia dibawa lima tahun, anak-anak, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat, orang lanjut usia dan orang sakit. 33. Kerugian
adalah
berkurang
atau
hilangnya
manfaat
dari
suatu
kepemilikan korban bencana. 34. Sarana dan Prasarana penanggulangan bencana adalah alat yang dipakai untuk mempermudah pekerjaan, pencapaian maksud dan tujuan, serta upaya yang digunakan untuk mencegah, mengatasi, dan menanggulangi bencana. 35. Kemudahan
akses
adalah
penyederhanaan
proses
atas
upaya
penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat yang meliputi pengkajian secara cepat terhadap lokasi bencana (need assessment), kerusakan (damage assessment), dan penyediaan sumber daya;
penyelamatan
dan
evakuasi
masyarakat
terkena
bencana;
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan terhadap kelompok rentan, dan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana fasilitas umum. 36. Lembaga Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 37. Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. 38. Lembaga Internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan lembaga asing nonpemerintah dari negara lain di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa.
9 39. Penyintas adalah orang atau kelompok yang selamat dan mampu bangkit kembali. 40. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. BAB II ASAS, PRINSIP DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan penanggulangan bencana berasaskan : a. kemanusiaan; b. keseimbangan, keselarasan dan keserasihan; c. kepastian hukum dan keadilan; d. kebersamaan dan kemitraan; e. kelestarian budaya dan lingkungan hidup; f. ilmu pengetahuan dan teknologi; dan g. partisipasi
Pasal 3 Prinsip penanggulangan bencana adalah : a. cepat dan tepat; b. prioritas; c. koordinasi dan keterpaduan; d. berdaya guna dan berhasil guna; e. transparansi dan akuntabilitas; f. pemberdayaan; g. nondiskriminasi; h. nonproletisi;dan i. membangun kembali ke arah yang lebih baik;
Pasal 4 Penanggulangan bencana bertujuan untuk : a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; b. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terorganisir, terpadu, terkoordinasi, menyeluruh dan berkelanjutan; c. melindungi
cagar
budaya
keanekaragaman hayatinya;
dan
seluruh
lingkungan
alam
berikut
10 d. mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana; e. membangun partisipasi dan kemitraan swasta, mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, kedermawanan dan kesukarelaan.
BAB III TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG Pasal 5 Pemerintah Daerah menjadi Penanggung jawab dalam penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Pasal 6 Tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat, pengungsi dan penyintas yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan minimum; b. perlindungan masyarakat dari ancaman dan dampak bencana; c. pengembangan dan penerapan kebijakan pengurangan risiko bencana secara berkelanjutan. d. pengintegrasian
pengurangan
risiko
bencana
dengan
program
pembangunan jangka menengah daerah dan pembangunan jangka panjang daerah; e. perlindungan
masyarakat
terhadap
proses
ganti
kerugian
dan
kelangsungan hidup; f. pengalokasian dana penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam Anggaran
Pendapatan
Belanja
Daerah
sesuai
dengan
kemampuan
keuangan daerah; g. pemeliharaan warisan sejarah dan budaya dari ancaman dan dampak bencana; h. pemulihan kondisi dari dampak bencana; dan i.
pelaporan pertanggungjawaban dana penanggulangan bencana baik yang berasal dari APBD maupun non APBD kepada publik melalui DPRD dan diumumkan melalui media cetak dan elektronik.
11 Pasal 7 Wewenang
Pemerintah
Daerah
dalam
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana meliputi: a. penyusunan perencanaan pembangunan jangka menengah daerah dan pembangunan jangka panjang daerah yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana; b. penetapan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada daerah selaras dengan kebijakan pembangunan jangka menengah daerah dan pembangunan jangka panjang daerah; c. perencanaan dan pelaksanaan kebijakan kerja sama penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan provinsi dan/atau kabupaten/kota lain; d. pengaturan
penggunaan
teknologi
yang
berpotensi
sebagai
sumber
ancaman atau bahaya bencana daerah; e. penetapan status dan tingkatan bencana daerah; f. perumusan kebijakan pencegahan atas penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada daerah; g. menyusun perencanaan, pedoman dan prosedur yang berkaitan dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana; h. perumusan dan penetapan kebijakan pengelolaan bantuan yang menjamin adanya perlindungan terhadap nilai-nilai budaya, kearifan lokal dan kemandirian masyarakat. i. penertiban atas pengumpulan dan penyaluran bantuan di daerah yang berpotensi menghilangkan semangat dan kemandirian masyarakat; dan j. melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap harga kebutuhan pokok dan/atau harga kebutuhan lain pada tahap tanggap darurat dan pasca bencana. BAB IV HAK, KEWAJIBAN, DAN PERANSERTA MASYARAKAT Bagian kesatu Hak Pasal 8 Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, setiap orang berhak: a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman; b. mendapatkan
pendidikan,
pelatihan,
dan
keterampilan
penyelenggaraan penanggulangan bencana; c. mendapatkan informasi tentang kebijakan penanggulangan bencana;
dalam
12 d. mendapatkan informasi tentang daerah-daerah rawan bencana dan berpotensi bencana; e. mendapatkan informasi peringatan dini sebelum terjadinya bencana; f.
melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penanggulangan bencana;
g. mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar; h. memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana
yang disebabkan
oleh kegagalan konstruksi dan teknologi; i.
menuntut dan menerima ganti kerugian dari penangung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan bencana;
j.
menuntut dan menerima ganti kerugian dari pemerintah daerah akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh pemberian izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak sesuai dengan peraturan-perundangan;
k. menuntut pemulihan lingkungan kepada Pemerintah Daerah akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh pemberian izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak sesuai dengan peraturan-perundangan; l.
menuntut pemulihan lingkungan akibat bencana yang disebabkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan;
m. mendapatkan
pelayanan
sesuai
kebutuhan
spesifiknya
termasuk
pelayanan kebutuhan rehabilitasi fisikologis bagi kelompok rentan. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 9 Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana setiap orang berkewajiban: a.
menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis dan memelihara keseimbangan,
keserasian,
keselarasan,
dan
kelestarian
fungsi
lingkungan hidup; b.
berperan aktif dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana; dan
c.
memberikan informasi yang benar kepada publik dan pemerintah daerah tentang kejadian atau peristiwa yang berpotensi menimbulkan bencana. Pasal 10
Dalam penyelenggaraan penagulangan bencana setiap penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan bencana berkewajiban:
13 a. menjaga dan memelihara kehidupan sosial yang harmonis; b. mencegah
terjadinya bencana yang disebabkan oleh usaha dan/atau
kegiatan; c. menghindari penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan dan berisiko bencana serta mengembangkan teknologi ramah lingkungan dan berbasis pengurangan risiko bencana; d. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada publik dan pemerintah daerah tentang bahaya dan potensi usaha dan/atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana; e. menghentikan kegiatan yang menimbulkan bencana sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sampai dengan ditemukanya upaya untuk mencegah terjadinya bencana; f. melakukan kegiatan tanggap darurat bencana; dan g. memberikan ganti kerugian kepada setiap orang yang menderita kerugian akibat bencana yang ditimbulkan oleh kegiatan dan/atau usahanya. Bagian Ketiga Peranserta Pasal 11 (1) Setiap orang berperanserta : a. secara aktif memberikan masukan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penanggulangan bencana; b. membentuk kelompok siaga bencana di lingkungannya. (2) Pemerintah
Daerah
mengembangkan
bentuk
peranserta
masyarakat
melalui kebijakan dan pelaksanaan kebijakan serta kerjasama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. (3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengembangkan bentuk peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagai bagian dari tanggung jawab sosial kepada masyarakat.
Pasal 12 (1)
Pemerintah Daerah memfasilitasi dan mengembangkan bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(2)
Bentuk fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melalui pembentukan Forum PRB di tingkat Kabupaten dan TSBD di Tingkat Desa.
14 Pasal 13 Forum PRB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) berperan antara lain: a. mengakomodasi inisiatif-inisiatif pengurangan risiko bencana yang ada di masyarakat; b. penyusunan rencana aksi bersama di daerah dalam rangka pengurangan risiko bencana dengan koordinasi BPBD; c.
melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana bagi semua pemangku kepentingan menuju komunitas yang peka, tanggap dan tangguh terhadap bencana;
d. melakukan kampanye kesadaran, kesiapsiagaan dan kemandirian kepada masyarakat dalam menghadapi risiko bencana; dan e.
berpartisipasi dalam penyelenggaraan dan pengawasan pengurangan risiko bencana. Pasal 14
(1) Keanggotaan Forum PRB terdiri atas unsur : a. pemerintah daerah; b. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); c. lembaga sosial keagamaan; d. organisasi sosial kemasyarakatan; e. perguruan tinggi; f.
sekolah negeri dan swasta;
g. media massa; h. organisasi kepemudaan; dan i.
dunia usaha.
(2) Keanggotaan forum sebagaimana dimakasud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Pasal 15 TSBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) berperan antara lain: a. menghidupkan kembali kearifan lokal dalam upaya pengurangan risiko bencana. b. menyusunan rencana aksi masyarakat di tingkat desa bersama Forum PRB dalam rangka pengurangan risiko bencana dengan koordinasi BPBD; c.
melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana bagi semua anggota masyarakat desa menuju komunitas yang peka, tanggap dan tangguh;
15 d. melakukan kampanye kesadaran, kesiapsiagaan dan kemandirian kepada masyarakat dalam menghadapi risiko bencana; e.
melakukan pemantauan dan memberikan
saran terhadap aktifitas
pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan oleh masyarakat desa yang berpotensi menimbulkan bencana; f.
berpartisipasi dalam penyelenggaraan dan pengawasan pengurangan risiko bencana. Pasal16
(1) TSBD dibentuk atas dasar kesadaran dan kemampuan masyarakat desa setempat. (2) Keanggotaan TSBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. pemerintah desa b. tokoh adat c. tokoh agama d. tokoh pemuda e. tokoh perempuan f.
unsur pendidik; dan
g. masyarakat desa. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai TSBD diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB V PERAN LEMBAGA USAHA, LEMBAGA PENDIDIKAN, ORGANISASI KEMASYARAKATAN, LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT, MEDIA MASSA, LEMBAGA INTERNASIONAL DAN LEMBAGA ASING NON-PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN BENCANA Bagian Kesatu Lembaga Usaha Pasal 17 (1)
Lembaga usaha
berperan dalam penyelenggaraan Penanggulangan
bencana, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain. (2)
Dalam menyelenggarakan penanggulangan bencana, lembaga usaha berkewajiban untuk: a. melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana di Daerah.
16 b. menyesuaikan
kegiatannya
dengan
kebijakan
penyelenggaraan
penanggulangan bencana dengan memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat; c. mengikutsertakan masyarakat dalam menyusun program yang terkait dengan pengurangan risiko bencana; d. mengindahkan prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya; e. memberikan informasi kepada publik tentang aktifitasnya yang ada kaitannya dengan pengurangan risiko bencana. (3)
Dalam menyelenggarakan penanggulangan bencana, lembaga usaha dilarang mengedepankan kepentingan usahanya.
Bagian Kedua Lembaga Pendidikan Pasal 18 (1)
Lembaga pendidikan berperanserta
menyelenggarakan penanggulangan
bencana sesuai dengan potensi yang dimiliki. (2)
peranserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mengembangkan nilai-nilai budaya, menumbuhkan semangat solidaritas sosial, kedermawanan dan kearifan lokal.
(3)
Lembaga pendidikan menginisiasi integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam kegiatan formal, non formal dan informal yang dikoordinasikan dengan dinas terkait.
(4)
Perguruan tinggi berperan serta dalam penanggulangan bencana sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bagian Ketiga Organisasi Kemasyarakatan Pasal 19
(1)
Organisasin
kemasyarakatan
berperanserta
menyelenggarakan
penanggulangan bencana sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki. (2)
Penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan keharmonisan dan solidaritas sosial.
17 (3)
Organisasi
kemasyarakatan
berperanserta
melakukan
kegiatan
pemantauan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana. (4)
Organisasi kemasyarakatan melakukan koordinasi dengan BPBD dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Bagian Keempat Lembaga Swadaya Masyarakat Pasal 20
(1)
Penyelenggaraan penanggulangan
bencana oleh
lembaga swadaya
masyarakat dilakukan sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki. (2)
Penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kerukunan dan solidaritas sosial serta praktik-praktik non proletisi.
(3)
Lembaga swadaya masyarakat berperan serta melakukan kegiatan pemantauan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan penanggulangan bencana.
(4)
Lembaga swadaya masyarakat melakukan koordinasi dan kerjasama dengan BPBD maupun pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Bagian Kelima Media Massa Pasal 21 (1)
Media
massa
berperan
dalam
menginformasikan
penyelenggaraan
penanggulangan bencana di Daerah. (2)
Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: a. menginformasikan kebijakan pemerintah daerah yang terkait dengan kebencanaan; b. menyebarluaskan informasi peringatan dini kepada masyarakat; c. menyebarluaskan
informasi
penanggulangannya
sebagai
mengenai bagian
kebencanaan dari
dan
pendidikan
upaya untuk
penyadaran masyarakat. (3)
Penyampaian informasi kebencanaan oleh media massa dilakukan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
18 Bagian Keenam Lembaga Internasional Dan Lembaga Asing Non-Pemerintah Pasal 22 (1)
Peranserta lembaga internasional dan/atau lembaga asing nonpemerintah dalam penanggulangan bencana bertujuan untuk mendukung penguatan upaya penanggulangan bencana, pengurangan ancaman dan risiko bencana, pengurangan penderitaan korban bencana, serta mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat.
(2)
Tata cara lembaga internasional dan/atau lembaga asing nonpemerintah yang akan berperan serta dalam penanggulangan bencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(3)
Pada saat tanggap darurat, lembaga internasional dan/atau lembaga asing nonpemerintah dapat memberikan bantuan secara langsung.
(4)
Pemberian bantuan oleh lembaga internasional dan/atau lembaga asing nonpemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan daftar jumlah personil, logistik, peralatan, dan lokasi kegiatan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Peran serta dan pengawasan lembaga internasional dan/atau lembaga asing nonpemerintah dalam kegiatan penanggulangan bencana pada tahap prabencana, tanggap darurat dan pascabencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA Bagian Kesatu Umum Pasal 23 Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan berdasarkan 4 (empat) aspek meliputi : a. agama, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat; b. kelestarian lingkungan hidup; c. kemanfaatan dan efektivitas;dan d. lingkup luas wilayah.
19 Bagian Kedua Tahapan Paragraf 1 Umum Pasal 24 Penyelenggaraan Penaggulangan Bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi : a. prabencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pasca bencana. Pargraf 2 Prabencana Pasal 25 (1)
Penyelenggaraan penangulangan bencana pada tahap sebelum terjadi bencana berupa kegiatan peringatan dini, pencegahan, penjinakan dan kesiapsiagaan
masyarakat
serta
aparat
pemerintah
daerah
yang
bertujuan untuk memperkecil timbulnya korban manusia, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan (2)
Tahapan Prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a terbagi menjadi situasi sebagai berikut : a. situasi tidak terjadi bencana; dan b. situasi terdapat potensi terjadi bencana. Pasal 26
(1)
Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a meliputi: a. perencanaan penanggulangan bencana; b. pengurangan risiko bencana; c. pencegahan; d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan; e. penyiapan dan pemeliharaan sarana dan prasarana umum; f.
persyaratan analisis risiko bencana;
g. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; h. pelaksanaan dan penegakan ketentuan pendirian bangunan; i.
pendidikan dan pelatihan;
j.
persyaratan standar teknis penanggulangan bencana;
20 (2)
Untuk mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui penelitian dan pengembangan di bidang kebencanaan.
Pasal 27 (1)
Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a dikoordinasikan oleh BPBD dan ditetapkan dengan Peraturan Bupati untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(2)
Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari perencanaan pembangunan yang disusun berdasarkan hasil analisis risiko bencana.
(3)
Perecanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat; c. analisis kemungkinan dampak bencana; d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana bencana; e. penentuan
mekanisme
kesiapan
dan
penanggulangan
dampak
bencana; dan f. pembagian tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia. (4)
Rencana penanggulangan bencana ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.
(5)
Penyusunan rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pasal 28
(1)
Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b
merupakan kegiatan untuk mengurangi ancaman dan
kerentanan serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. (2)
Upaya pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penyusunan RAD
pengurangan risiko bencana yang
sekurang-kurangnya berisi kegiatan sebagai berikut: a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana; b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; c. pengembangan budaya sadar bencana; d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan
21 e. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana. (3)
RAD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum untuk pengurangan risiko bencana yang dikoordinasikan oleh BPBD.
(4)
RAD pengurangan risiko bencana disusun secara menyeluruh dan terpadu dalam forum PRB.
(5)
RAD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Kepala BPBD setelah dikoordinasikan dengan instansi/lembaga yang bertanggungjawab di bidang perencanaan pembangunan daerah dengan mengacu rencana aksi nasional pengurangan resiko bencana.
(6)
Dalam penyusunan rencana aksi daerah memperhatikan adat dan kearifan lokal masyarakat.
(7)
RAD pengurangan risiko bencana ditetapkan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat ditinjau sesuai dengan kebutuhan. Pasal 29
(1)
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c, dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana dan kerentanan pihak yang terancam bencana.
(2)
Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan: a. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; b. pemantauan terhadap: 1) penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam; dan 2) penggunaan teknologi c. pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; d. penguatan ketahanan sosial masyarakat.
(3)
Kegiatan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, masyarakat
dan para pihak
pemangku kepentingan. Pasal 30 Pemaduan
penanggulangan
bencana
dalam
perencanaan
pembangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf d dilakukan Pemerintah
22 Daerah
melalui
memasukan
koordinasi,
unsur-unsur
integrasi,
dan
penanggulangan
sinkronisasi
bencana
ke
dengan dalam
cara
rencana
pembangunan daerah. Pasal 31 (1)
Penyiapan dan pemeliharaan sarana dan prasarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf e adalah dalam rangka mencegah, mengatasi dan menanggulangi bencana pada situasi tidak terjadi bencana.
(2)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
penyiapan
dan
pemeliharaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati. Pasal 32 (1)
Persyaratan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf f, ditujukan untuk mengetahui dan menilai tingkat risiko dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana dan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan analisis mengenai dampak
lingkungan,
penataan
ruang
serta
pengambilan
tindakan
pencegahan dan mitigasi. (2)
Analisis resiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh BPBD secara terkoordinasi dengan instansi terkait atas dasar: a. ancaman; b. kerentanan wilayah; c. kapasitas untuk mengatasi ancaman dan kerentanan. Pasal 33
(1)
Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf g dilakukan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruang wilayah.
(2)
Pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pemberlakuan peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang,
standar
keselamatan,
dan
penerapan
sanksi
terhadap
pelanggarnya. (3)
Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruang wilayah dan standar keselamatan, Pemerintah
Daerah
menyelenggarakan
sosialisasi,
pelatihan serta kajian partisipatif tentang tata ruang.
pendidikan
dan
23 Pasal 34 (1)
Pelaksanaan dan penegakan ketentuan pendirian bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf h dilakukan untuk menjaga kualitas bangunan yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, dan kemudahan.
(2)
Pengaturan tentang pendirian bangunan sekurang-kurangnya terdiri dari syarat teknis bangunan, zonansi, standar keselamatan bangunan dan kajian lingkungan.
(3)
Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pendirian bangunan, pemerintah daerah menyelenggarakan sosialisasi, pendidikan dan pelatihan serta kajian partisipatif.
(4)
Setiap orang wajib mentaati dan melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 35
(1)
Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf
i
ditujukan
untuk
meningkatkan
kesadaran,
kepedulian,
kemampuan, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. (2)
Pendidikan
dan
diselenggarakan
pelatihan oleh
sebagaimana
pemerintah
daerah
dimaksud
pada
ayat
melalui
pelatihan
(1)
dasar,
lanjutan, teknis, simulasi, dan gladi. (3)
Instansi/lembaga/organisasi/forum yang terkait dengan penanggulangan bencana
dapat
menyelenggarakan
pendidikan
dan
pelatihan
penanggulangan bencana sesuai dengan mandat dan kewenangannya, berdasarkan pedoman yang berlaku. Pasal 36 Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf b meliputi: a. kesiapsiagaan; b. peringatan dini; dan c. mitigasi bencana.
Pasal 37 (1)
Kesiapsiagaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
huruf a dilaksanakan Pemerintah Daerah untuk
24 memastikan terlaksananya tindakan yang cepat dan tepat pada saat terjadi bencana. (2)
Pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi/lembaga yang berwenang, baik secara teknis maupun administratif, yang dikoordinasikan oleh BPBD.
(3) Kegiatan kesiapsagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam bentuk: a. penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana; b. pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini; c. penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; d. pengorganisasian,
penyuluhan,
pelatihan,
dan
gladi
tentang
mekanisme tanggap darurat; e. penyiapan jalur dan lokasi evakuasi; f.
penyusunan data dan informasi yang akurat serta pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan
g. penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan sarana dan prasarana. (4)
Kegiatan kesiapsiagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan masyarakat dan lembaga usaha. Pasal 38
(1)
Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada Pasal 36 ayat (1) huruf b dilakukan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat dalam rangka mengurangi risiko terkena bencana serta mempersiapkan tindakan tanggap darurat.
(2)
Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan: a. mengamati gejala bencana; b. menganalisis data hasil pengamatan; c. mengambil keputusan berdasarkan hasil analisa; d. menyebarluaskan hasil keputusan; dan e. mengambil tindakan oleh masyarakat.
(3)
Pengamatan gejala bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh instansi/lembaga yang berwenang sesuai dengan jenis ancaman bencananya, dan masyarakat untuk memperoleh data mengenai
25 gejala bencana yang kemungkinan akan terjadi, dengan memperhatikan kearifan lokal. (4)
Instansi/lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan
hasil
analisis
kepada
BPBD
atau
lambaga
yang
mewadahi, sesuai dengan lokasi dan tingkat bencana, sebagai dasar dalam mengambil keputusan dan menentukan tindakan peringatan dini. (5)
Dalam hal peringatan dini ditentukan, seketika itu pula keputusan sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
Pemerintah Daerah secara langsung
(4)
wajib
disebarluaskan
kepada masyarakat
oleh
baik melalui
media cetak atau media elektronik maupun dengan menggunakan media yang dimiliki masyarakat setempat. (6)
Pengerahan
sumberdaya
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(5)
diperlakukan sama dengan mekanisme pengerahan sumberdaya pada saat tanggap darurat. (7)
BPBD atau lembaga yang mewadahi mengkoordinasi tindakan yang diambil oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e untuk menyelamatkan dan melindungi masyarakat. Pasal 39
(1)
Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
(2)
Kegiatan
mitigasi
bencana
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dilakukan melalui: a. perencanaan dan pelaksanaan penataan ruang; b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, dan tata bangunan; dan c. penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
Paragraf 3 Tanggap darurat Pasal 40 (1)
Penyelenggaraan penanggulangan Bencana pada saat tanggap darurat dilakukan meliputi: a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian dan sumberdaya; b. penentuan status keadaan darurat bencana;
26 c. kemudahan akses BPBD; d. pencarian, penyelamatan dan evakuasi/mengungsikan masyarakat terkena bencana; e. pemenuhan kebutuhan dasar; f. perlindungan terhadap korban yang tergolong kelompok rentan; dan g. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. (2) Penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh Kepala BPBD sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 41 Pengkajian secara cepat dan tepat dilakukan melalui identifikasi terhadap: a. cakupan lokasi bencana; b. jumlah korban bencana; c. kerusakan sarana dan prasarana; d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan e. kemampuan sumber daya alam maupun buatan. Pasal 42 (1)
Penentuan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b dilaksanakan oleh Bupati sesuai dengan tingkatan bencana;
(2)
Dalam hal Bupati dan Wakil Bupati menjadi bagian dari korban bencana dan tidak dapat menetapkan status keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penentuan status bencana ditetapkan oleh Kepala BPBD. Pasal 43
(1) Dalam
status
keadaan
darurat
Kepala
BPBD
sesuai
dengan
kewenangannya mempunyai kemudahan akses berupa komando untuk memerintahkan sektor/lembaga. (2) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengerahan sumber daya manusia; b. pengerahan peralatan; c. pengerahan logistik; d. perizinan; e. pengadaan barang/jasa; f. pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang; g. penyelamatan dan evakuasi; dan
27 (3) Untuk melaksanakan fungsi komando sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BPBD dapat menunjuk seorang pejabat sebagai komandan penanganan darurat bencana. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem komando tanggap darurat bencana daerah diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 44 (1)
Dalam hal ditetapkan status keadaan darurat bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah berwenang melakukan dan/atau meminta pengerahan sumber daya : a. masyarakat dan relawan; b. Search and Rescue (SAR); c. Tentara Nasional Indonesia (TNI); d. Kepolisian Republik Indonesia; e. Palang Merah Indonesia (PMI); f. Perlindungan Masyarakat (LINMAS); g. Satuan Polisi Pamong Praja. h. Lembaga Sosial Keagamaan;dan i. Lembaga Internasional yang menangani Bencana. j. Gerakan Kepramukaan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemanfaatan Sumber Daya Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 45 (1)
Dalam hal bencana tingkat kabupaten, Badan Penaggulangan Bencana Daerah dan/atau instansi terkait di kabupaten mengerahkan sumberdaya manusia, peralatan, dan logistik sesuai dengan kebutuhan ke lokasi bencana.
(2)
Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan kepada Kabupaten lain terdekat, bila tidak tersedia bantuan yang memadai atau mencukupi.
(3)
Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menanggung biaya pengerahan dan mobilisasi sumberdaya manusia, peralatan, dan logistik.
(4)
Dalam hal sumberdaya manusia, peralatan, dan logistik tidak memadai, maka Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan kepada Pemerintah.
(5)
Penerimaan dan penggunaan
sumberdaya manusia, peralatan, dan
logistik di lokasi bencana sebagaimana di maksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), dilaksanakan di bawah komando BPBD.
28 Pasal 46 Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf h dilakukan dengan kegiatan : a.
Pencarian dan penyelamatan;
b.
Pertolongan darurat;
c.
Evakuasi; dan
d.
Penempatan pada lokasi yang aman; Pasal 47
Pemenuhan Kebutuhan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf e meliputi bantuan penyediaan : a.
kebutuhan air bersih dan sanitasi;
b.
pangan;
c.
sandang;
d.
pelayanan kesehatan;
e.
pelayanan psikososial;
f.
penampungan serta tempat hunian.
Pasal 48 (1)
Perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf f dilakukan dengan memberikan prioritas kepada korban
bencana yang mengalami luka parah dan kelompok rentan berupa penyelamatan,
evakuasi,
pengamanan,
pelayanan
kesehatan,
dan
psikososial. (2)
Upaya perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
dilaksanakan
oleh
instansi/lembaga
terkait
yang
dikoordinasikan oleh Kepala BPBD dengan pola pendampingan/fasilitasi.
Pasal 49 (1)
Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf g bertujuan untuk mengembalikan fungsinya agar kehidupan masyarakat tetap berlangsung.
(2)
Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi/lembaga terkait yang dikoordinasikan oleh kepala BPBD sesuai dengan kewenangannya.
29 Paragraf 4 Pascabencana Pasal 50 Penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
pada
tahap
pascabencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c terdiri dari: a. Rehabilitasi; dan b. Rekonstruksi Pasal 51 (1)
Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a dilaksanakan melalui kegiatan: a. perbaikan lingkungan daerah bencana; b. perbaikan prasarana dan sarana umum; c. pemberian bantuan perbaikan rumah Masyarakat; d. pemulihan sosial psikologis; e. pelayanan kesehatan; f.
pemulihan infrastruktur dan pelayanan wisata
g. rekonsiliasi dan resolusi konflik; h. pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya; i.
pemulihan keamanan dan ketertiban;
j.
pemulihan fungsi pemerintahan; dan
k. pemulihan fungsi pelayanan publik. (2)
Untuk mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat di wilayah bencana,
Pemerintah
Daerah
menetapkan
prioritas
dari
kegiatan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3)
Penetapan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana.
Pasal 52 (1)
Rekonstruksi
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
50
huruf
b
dilaksanakan melalui kegiatan: a. pembangunan kembali prasarana dan sarana; b. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; c. penataan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat; d. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
30 yang lebih baik dan tahan bencana sesuai dengan standar teknis yang berlaku; e. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kema syarakatan, dunia usaha dan masyarakat; f.
peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
g. peningkatan fungsi pelayanan publik; dan h. peningkatan pelayanan utama kepada masyarakat. (2)
Untuk mempercepat pemulihan kehidupan masyarakat di wilayah bencana,
Pemerintah
Daerah
menetapkan
prioritas
dari
kegiatan
rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3)
Penetapan prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana.
(4)
Dalam menyusun rencana rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memperhatikan: a. Rencana tata ruang; b. pengaturan mengenai standar konstruksi bangunan; c. kondisi sosial; d. adat istiadat; e. budaya lokal; dan f.
ekonomi. BAB VII PENDANAAN, PENGGUNAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN Bagian Kesatu Umum Pasal 53
Pendanaan dan Penggunaan dana penanggulangan bencana ditujukan untuk mendukung
upaya
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
secara
berdayaguna, berhasilguna, dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagian Kedua Pendanaan Pasal 54 (1)
Pendanaan Penanggulangan Bencana menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara memadai.
31 (2)
Pemerintah Daerah dapat menerima dan/atau mengajukan permohonan pendanaan dari Pemerintah.
(3)
Pemerintah Daerah hanya dapat menerima bantuan dari masyakarat atau organisasi kemasyarakatan yang bersumber dari dalam negeri yang sah dan tidak mengikat. Pasal 55
(1)
Anggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 54 ayat (1) disediakan untuk
tahap
prabencana,
saat
tanggap
darurat
bencana,
dan
pascabencana. (2)
Dalam anggaran penanggulangan bencana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah menyediakan: a. dana kontinjensi bencana; b. dana siap pakai; dan c. dana bantuan sosial berpola hibah. Pasal 56
(1)
Dana kontinjensi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap prabencana.
(2)
Alokasi anggaran pada situasi prabencana adalah untuk penyiapan dan pemeliharaan
sarana
dan
prasarana,
sosialisasi,
pendidikan
dan
pelatihan, simulasi penanganan bencana, pengawasan, pencegahan, mitigasi dan kegiatan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 57 (1)
Alokasi anggaran pada saat tanggap darurat bencana adalah dana siap pakai.
(2)
Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk kegiatan pada saat tanggap darurat. Pasal 58
Alokasi anggaran pada situasi pascabencana adalah dana bantuan sosial dan belanja langsung pemerintah daerah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi
32 Pasal 59 (1)
Dana yang diterima oleh Pemerintah Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2)
Ketentuan mengenai pencatatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pasal 60 (1)
Pemerintah Daerah mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3)
(2)
Dalam rangka mendorong partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat : a. memfasilitasi masyarakat yang akan memberikan bantuan dana penanggulangan bencana; b. memfasilitasi masyarakat yang akan melakukan pengumpulan dana penanggulangan bencana; dan c. meningkatkan kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyediaan dana. Pasal 61
(1)
Setiap pengumpulan dana penanggulangan bencana yang dilakukan selain oleh Pemerintah Daerah dan BPBD, wajib mendapatkan ijin dari instansi atau lembaga yang berwenang
(2)
Setiap pengumpulan dana penanggulangan bencana yang dilakukan selain oleh Pemerintah Daerah dan Badan Penanggulangan Bbencana Daerah, perlu dilaporkan kepada instansi/lembaga yang berwenang.
(3)
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka monitoring jumlah, jenis, dan peruntukkan bantuan.
Bagian Ketiga Penggunaan Pasal 62 (1)
Penggunaan
dana
penanggulangan
bencana
dilaksanakan
oleh
Pemerintah daerah dan/atau BPBD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
33 (2)
Dana
penanggulangan
penyelenggaraan
bencana
penanggulangan
digunakan bencana
yang
sesuai meliputi
dengan tahap
prabencana, saat tanggap darurat, dan/atau pascabencana.
Pasal 63 (1)
Pada saat keadaan darurat bencana, pengadaan barang dan/atau jasa untuk penyelenggaraan tanggap darurat bencana dilakukan dengan penunjukan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan barang dan/atau jasa.
(2)
Pengadaan barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi peralatan dan/atau jasa untuk: a) pencarian dan penyelamatan korban bencana; b) pertolongan darurat; c) evakuasi korban bencana; d) kebutuhan air bersih dan sanitasi; e) pangan; f) sandang; g) pelayanan kesehatan; dan h) penampungan serta tempat hunian sementara.
(3)
Pengadaan barang dan/atau jasa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan oleh instansi terkait setelah mendapat persetujuan dari Kepala BPBD.
(4)
Persetujuan
oleh
Kepala
Badan
Penaggulangan
Bencana
Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat diberikan secara lisan dan diikuti persetujuan secara tertulis dalam waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali duapuluh empat) jam. Pasal 64 (1)
Pemerintah Daerah menyediakan dana siap pakai yang digunakan untuk penanganan darurat bencana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dialokasikan untuk dana penanggulangan bencana.
(2)
Ketentuan mengenai sumber dan penggunaan dana siap pakai diatur dengan Peraturan Bupati.
34 Pasal 65 Perencanaan,
penganggaran,
pelaksanaan,
pelaporan,
dan
pertanggungjawaban penggunaan dana penanggulangan bencana dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Pengelolaan Pasal 66 (1)
Pemerintah Daerah menyediakan dan memberikan bantuan kepada korban dan penyintas .
(2)
Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. santunan duka cita; b. santunan kecacatan; c. bantuan pemenuhan kebutuhan dasar; d. pembiayaan perawatan korban bencana di rumah sakit; e. bantuan kompensasi; f.
bantuan untuk korban tidak langsung; dan
g. pinjaman lunak untuk usaha produktif. Pasal 67 (1)
Santunan duka cita sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 ayat (2)
huruf a diberikan kepada seseorang yang meninggal sebagai akibat langsung terjadinya bencana . (2)
Santunan duka cita diberikan kepada korban meninggal dalam bentuk: a. biaya pemakaman; dan/atau b. uang duka.
(3)
Santunan duka cita sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan setelah
dilakukan
pendataan,
identifikasi,
dan
verifikasi
oleh
instansi/lembaga yang berwenang yang dikoordinasikan oleh BPBD sesuai dengan kewenangannya Pasal 68 (1) Santunan kecacatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b diberikan kepada korban bencana yang mengalami kecacatan mental dan/atau fisik .
35 (2) Santunan kecacatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan setelah
dilakukan
pendataan,
identifikasi,
dan
verifikasi
oleh
instansi/lembaga yang berwenang yang dikoordinasikan oleh BPBD sesuai dengan kewenangannya. (3) Ketentuan mengenai pemberian dan besaran bantuan santunan kecacatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 69 (1)
Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf c, diberikan kepada korban bencana dalam bentuk: a. penampungan sementara; b. bantuan pangan; c. sandang; d. air bersih dan sanitasi; e. pelayanan kesehatan; dan f. Pelayanan psikososial
(2)
Bantuan darurat bencana untuk pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana diberikan dengan memperhatikan standar minimal kebutuhan dasar dan memprioritas kepada kelompok rentan.
Pasal 70 Pembiayaan
perawatan
korban
bencana
di
rumah
sakit
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf d sepenuhnya menjadi tanggung jawab
bersama
antara
Pemerintah,
Pemerintah
Daerah
Provinsi
dan
Pemerintah Kabupaten/Kota, sesuai dengan status bencana meliputi : a. biaya rawat jalan; b. biaya rawat inap; c. biaya dokter; d. biaya obat; dan/atau e. biaya pemulasaran dan pemakaman jenazah.
Pasal 71 (1)
Dalam rangka untuk rehabilitasi korban bencana, Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf e antara lain berupa:
36 a. pembebasan atau potongan pajak dan/atau retribusi sesuai dengan kewenangannya; b. kemudahan
pengurusan
sertifikat
tanah
sesuai
dengan
kewenangannya; c. kemudahan pendataan dan penerbitan dokumen kependudukan; d. kemudahan dalam proses perizinan; dan e. kemudahan
pelayanan
administrasi
lain
sesuai
dengan
kewenangannya (2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.
Pasal 72 (1)
Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan kepada korban tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf f, antara lain berupa: a. bantuan untuk biaya pendidikan bagi pelajar; dan b. santunan biaya hidup yang wajar
(2)
Bantuan kepada korban tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan setelah dilakukan pendataan, identifikasi, dan verifikasi oleh instansi/lembaga yang berwenang yang dikoordinasikan oleh BPBD sesuai dengan kewenangannya.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan kepada korban tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Bupati.
Pasal 73 (1)
Pinjaman lunak untuk usaha produktif
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (2) huruf g diberikan kepada korban bencana yang kehilangan mata pencaharian. (2)
Pinjaman lunak untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk: a. kredit usaha produktif; atau b. kredit pemilikan barang modal.
(3)
Pinjaman lunak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan setelah dilakukan pendataan, identifikasi, dan verifikasi oleh instansi/lembaga yang
berwenang
yang
dikoordinasikan
oleh
Badan
Penaggulangan
Bencana Daerah sesuai dengan kewenangannya. (4)
Ketentuan mengenai pinjaman lunak untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
37 BAB VIII MONITORING DAN EVALUASI Pasal 74 Pelaksanaan
monitoring
dan
evaluasi
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana terdiri atas 4 (empat) tahap meliputi : a.
Pemantauan;
b.
Pengawasan;
c.
Evaluasi; dan
d.
Pelaporan. Bagian Kesatu Pemantauan Pasal 75
(1)
Pemantauan sebagai
penyelenggaraan
upaya
untuk
penanggulangan
memantau
secara
bencana
terus
diperlukan
menerus
terhadap
pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana. (2)
Pemantauan penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh unsur Badan Penaggulangan Bencana
Daerah
Pembangunan
dan
Daerah,
dapat sebagai
melibatkan bahan
Badan
evaluasi
Perencanaan
menyeluruh
dalam
penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 76 (1)
Pemerintah Daerah melaksanakan pengawasan terhadap seluruh tahapan penanggulangan bencana.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
sumber ancaman atau bahaya bencana;
b.
kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana;
c.
kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana;
d.
pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan kegiatan rancang bangun dalam negeri;
e.
kegiatan konservasi dan pengelolaan lingkungan hidup
f.
perencanaan penataan ruang;
g.
kegiatan reklamasi;
38 h.
pengelolaan keuangan; dan
i.
obat-obatan, makanan dan minuman Pasal 77
(1)
Pemerintah
Daerah
dan
BPBD
melakukan
pengawasan
terhadap
penyaluran bantuan dana yang dilakukan oleh masyarakat kepada korban bencana. (2)
Dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksananaan pengumpulan sumbangan, Pemerintah Daerah dan masyarakat dapat meminta laporan tentang hasil pengumpulan sumbangan untuk proses audit.
Bagian Ketiga Evaluasi Pasal 78 (1)
Evaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan dalam rangka
pencapaian
standar
minimum
dan
peningkatan
kinerja
penanggulangan bencana. (2)
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh unsur pengarah BPBD. Bagian Keempat Pelaporan Pasal 79
(1)
Penyusunan
laporan
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
dilakukan oleh unsur pengarah dan unsur pelaksana BPBD. (2)
Laporan
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk memverifikasi perencanaan program BPBD. (3)
Laporan pertanggung jawaban pelaksanaan penanggulangan bencana, baik
keuangan
maupun
kinerja
pada
tahap
prabencana
dan
pascabencana dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 80 (1)
Laporan
penyelenggaraan
penanggulangan
dimaksud dalam Pasal 79 bencana terdiri dari :
bencana
sebagaimana
39 a. Laporan situasi kejadian bencana b. Laporan bulanan kejadian bencana c. Laporan menyeluruh penyelenggaraan penanggulangan bencana d. Laporan penerimaan dan penyaluran bantuan yang berasal dari sumbangan masyarakat. e. Laporan pertanggungjawaban dana kontinjensi bencana, dana siap pakai, dan dana bantuan sosial berpola hibah. (2)
Laporan situasi kejadian bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat pada saat tanggap darurat dengan memuat : a. waktu dan lokasi kejadian bencana; b. penyebab bencana c. cakupan wilayah dampak bencana; d. penyebab kejadian bencana; e. dampak bencana f.
upaya penanganan yang dilakukan;
g. bantuan yang diperlukan; h. kendala yang dihadapi. (3)
Laporan bulanan kejadian bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan rekapitulasi jumlah kejadian dampak bencana.
(4)
Laporan
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dibuat setiap bulan, dan setiap tahun yang meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada : a. prabencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pasca bencana.
Pasal 81 (1)
Pelaporan keuangan penanggulangan bencana yang bersumber dari APBD dilakukan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
(2)
Sistem akuntansi dana penanggulangan bencana yang bersumber dari masyarakat dilakukan sesuai pedoman yang ditetapkan dalam ketentuan yang berlaku. Pasal 82
Semua laporan pertanggungjawaban penanggulangan bencana, baik keuangan maupun kinerjanya, diaudit sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
40 Paragraf 1 Laporan Pada Tahap Prabencana Pasal 83 Laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum tentang pelaporan kegiatan dan anggaran Pemerintah Daerah.
Paragraf 2 Laporan Pada Tahap Tanggap Darurat Pasal 84 (1)
Pertanggung jawaban penggunaan dana penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80
ayat (4) huruf b diperlakukan secara khusus sesuai dengan kondisi kedaruratan dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi. (2)
Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan penanggulangan bencana, baik keuangan maupun kinerja pada saat tanggap darurat dilaporkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah masa tanggap darurat.
Paragraf 3 Laporan Pada Tahap PascaBencana Pasal 85 Penyusunan laporan pada tahap pasca bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) huruf c terdiri atas: a. laporan rehabilitasi; dan b. laporan rekonstruksi Pasal 86 (1)
Laporan penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf a dilakukan oleh unsur pengarah dan/atau unsur pelaksana BPBD
(2)
Laporan penyelenggaraan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya digunakan untuk memverifikasi perencanaan program rehabilitasi.
41 Pasal 87 Laporan penyelenggaraan proses rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 huruf b sekurang-kurangnya dilaksanakan melalui
tiga (3) jenis
pelaporan, yaitu: a. Laporan awal berupa laporan rencana penyelenggaraan rekonstruksi yang memuat
hasil
kajian
kerusakan
dan
kajian
kebutuhan
beserta
kelengkapan lainnya; b. Laporan kemajuan pelaksanaan penyelenggaraan proses rekonstruksi yang disampaikan pada pertengahan penyelenggaraan proses rekonstruksi; dan c. Laporan akhir yang disampaikan pada akhir penyelenggaraan proses rekonstruksi. BAB IX PENYELESAIAN SENGKETA DAN GUGATAN Bagian Kesatu Penyelesaian Sengketa Pasal 88 Setiap
sengketa
yang
muncul
sebagai
dampak
penyelenggaraan
penanggulangan bencana atau penanggulangan dampak bencana diupayakan penyelesaiannya berdasarkan asas musyawarah mufakat.
Pasal 89 (1)
Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam pasal 88 tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian diluar pengadilan atau melalui pengadilan.
(2)
Upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1)
dapat
dilakukan
dengan
arbitrase
atau
alternatif
penyelesaian sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 90 Dalam hal sengketa terjadi antar korban bencana dan perangkat pemerintah daerah
penyelesaian
dapat
dilakukan
melalui
mediasi
menjunjung keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
dengan
tetap
42 Pasal 91 (1)
Sengketa mengenai kewenangan manajemen resiko bencana dan dampak bencana antar pemerintah daerah diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2)
Sengketa kewenangan sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak boleh menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Bagian Kedua Gugatan Pasal 92
(1) Pemerintah Daerah, BPBD dan Masyarakat dapat mengajukan gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan yang menyebabkan
kerusakan
menajemen
risiko
bencana
dan/atau
prasarananya untuk kepentingan keberlanjutan fungsi manajemen risiko bencana. (2 Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada gugatan untuk melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi manajemen risiko bencana dan/atau gugatan membayar biaya atas pengeluaran nyata.
Pasal 93 Organisasi/lembaga
masyarakat
sebagai
bagian
dari
penyelenggara
penanggulangan bencana berhak mengajukan gugatan dan harus memenuhi persyaratan : a. berbentuk organisasi/lembaga masyarakat non-profit berstatus badan hukum dan bergerak dalam bidang manajemen risiko bencana; b. mencantumkan tujuan pendiri lembaga kemasyarakatan dalam anggaran dasarnya untuk kepentingan yang berkaitan dengan keberlanjutan fungsi manajemen risiko bencana; dan c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. BAB X LARANGAN Pasal 94 Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana setiap orang dilarang untuk :
43 a. memanfaatkan
keadaan
bencana
untuk
keuntungan
pribadi
atau
golongan; b. melakukan provokasi yang dapat menciptakan konflik; c. menghalangi program dan kegiatan dalam penanggulangan bencana; d. memberikan informasi yang tidak benar terkait dengan bencana; BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 95 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 96 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur. Ditetapkan di Selong pada tanggal 9 Mei 2012
BUPATI LOMBOK TIMUR, ttd
M. SUKIMAN AZMY Diundangkan di Selong pada tanggal 9 Mei 2012 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR, ttd USMAN MUHSAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR TAHUN 2012 NOMOR 3
44 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR
TAHUN 2012 TENTANG
PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH I.
UMUM Bencana
merupakan
suatu
fenomena
yang
selalu
menyertai
kehidupan manusia. Fenomena ini berdampak merusak dan muncul dengan
atau
tanpa
prediksi.
Dampak
yang
merusak
ini
dapat
menimbulkan korban jiwa dan atau kerugian harta benda, sehingga mengacaukan dan memporak-porandakan tatanan alam, non alam dan sosial. Kabupaten Lombok Timur memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, klimatologis, biologis dan sosial yang rentan menimbulkan terjadinya bencana, baik disebabkan oleh faktor alam, non alam maupun manusia yang menyebabkan timbulnya korban yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan daerah. Belajar dari pengalaman penanggulangan bencana masa lalu yang kurang memperhatikan pendekatan pengurangan risiko bencana, maka pembangunan
sistem
penanggulangan
bencana
yang
baik
perlu
diselenggarakan dengan bertumpu pada prinsip-prinsip pengurangan risiko bencana (PRB). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pelaksanaan lainnya belum mengakomodir
nilai-nilai
kearifan
lokal
dalam
penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana baik pada waktu prabencana, tanggap darurat, maupun
pascabencana.
Berdasarkan
hal-hal
tersebut
maka
penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kabupaten Lombok Timur perlu diatur dalam Peraturan Daerah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi dalam bentuk jaminan perlindungan dan penghormatan
45 hak-hak asasi manusia, harkat masyarakat secara proporsional.
dan
martabat
setiap
Huruf b Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lindungan. Yang dimaksud dengan “asas keserasian” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Yang dimaksud dengan ”asas keadilan” adalah dalam penanggulangan bencana harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap Masyarakat tanpa terkecuali. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab bersama antara Pemerintah Daerah dan Masyarakat yang dilakukan secara gotong royong. Yang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah penanggulangan bencana pada dasarnya dilakukan dengan suatu kegiatan saling menguatkan dengan berbagai macam hubungan jalinan kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu sama lainnya antara Pemerintah Daerah, Masyarakat, Dunia Usaha dan Industri. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kelestarian lingkungan hidup” adalah dalam penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi kepentingan Daerah. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara optimal sehingga mempermudah dan mempercepat proses
46 penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap pasca bencana. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas partisipasi” adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam proses penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah penyelenggaraan penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan. Huruf b Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia. Huruf c Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung. Huruf d Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang harus berhasil, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat. Huruf e Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
47 Huruf f Yang dimaksud dengan “prinsip pemberdayaan” adalah penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan upaya menumbuhkembangkan potensi masyarakat untuk bisa menggali dan memupuk kekuatan yang ada pada diri sendiri dan lingkungannya. Huruf g Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras, golongan dan aliran politik apa pun. Huruf h Yang dimaksud dengan “nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Pasal 4 Cukup Jelas Pasal 5 Cukup Jelas Pasal 6 Huruf a Yang dimaksudkan “pengungsi” adalah korban bencana yang berasal dari Kabupaten Lombok Timur kemudian mengungsi keluar Kabupaten dan/atau berasal dari luar Kabupaten yang mengungsi ke wilayah Kabupaten Lombok Timur. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas Huruf e Yang dimaksud perlindungan masyarakat terhadap proses ganti rugi dan kelangsungan hidup adalah tanggungjawab pemerintah daerah terhadap bencana berstatus bencana daerah. untuk memastikan adanya proses ganti rugi dan menjamin ketersediaan mata pencaharian termasuk warga yang direlokasi karena resiko bencana.
48 Huruf f Pengalokasian dana penanggulangan bencana meliputi alokasi dana untuk program pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Pemulihan meliputi program rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana berstatus daerah. Huruf i Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelaksanaan kerjasama antar daerah penanggulangan bencana dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
dalam dengan
Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Pemerintah Daerah berwenang dalam pengambilan kebijakan untuk melindungi masyarakat dari pendistribusian bantuan yang mengancam, merusak dan/atau menghilangkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat. Huruf i Cukup jelas Huruf j Yang dimaksud dengan harga “kebutuhan lain” adalah harga selain kebutuhan pokok, misalnya harga barang bangunan dll.
49
Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup Jelas Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas.
50 Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Cukup jelas Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas
51 Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas Pasal 61 Cukup jelas
52 Pasal 62 Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas Pasal 66 Cukup jelas Pasal 67 Cukup jelas Pasal 68 Cukup jelas Pasal 69 Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Cukup jelas Pasal 72 Cukup jelas Pasal 73 Cukup jelas Pasal 74 Cukup jelas Pasal 75 Cukup jelas Pasal 76 Cukup jelas Pasal 77 Cukup jelas Pasal 78 Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas
53 Pasal 80 Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Cukup jelas Pasal 83 Cukup Jelas Pasal 84 Cukup Jelas Pasal 85 Cukup Jelas Pasal 86 Cukup Jelas Pasal 87 Cukup jelas Pasal 88 Cukup jelas Pasal 89 Cukup jelas Pasal 90 Cukup jelas Pasal 91 Cukup jelas Pasal 92 Cukup jelas Pasal 93 Cukup jelas Pasal 94 Cukup jelas Pasal 95 Cukup jelas Pasal 96 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 3