ANALISIS EKOLOGI–EKONOMI PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara)
ABDUL HARIS LAIN
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan Ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis–Ekologi Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2011
Abdul Haris Lain Nrp. C252080364
ABSTRACT ABDUL HARIS LAIN Ecology–Economic Analysis of Fisheries Management based on Coral Reef Ecosystem (Case Study Liwutongkidi Island Waters, Buton, Southeast Sulawesi Province) Supervised by LUKY ADRIANTO and NEVIATY P. ZAMANI. Coral reef one among the most productive and biologically diverse ecosystem on the earth. This thesis tries to explore ecological and economic value of coral reef at Liwutongkidi, Buton District. This study aims to identify: (1) Identified base substrate composition characteristic, fish community structure (2) To estimate coral reef ecosystem economical value and (3) To provide coral reef ecosystem management concept based on ecology-economic model on Liwutongkidi Islands marine conservation area. The percentage of live coral cover estimated around 13:01% - 72.50% on the island Siompu, Kadatua and Liwutongkidi, with the average 46.92% based on lifeform and can be classified as moderate category. Based on reef fish census was found that the major fish group was 3,899 individuals, indicator fish groups was 347 individuals, and the target fish group was 1625 individuals with a diversity between 2.71 - 4.72, which has mean they were all in medium till high category, the uniformity of reef fish between 0.69 - 0.92 which has mean a high category and stable communities. Economy Total (NET) from the direct benefits of coral fisheries resources utilization in coral Kapoa Village, Villages and Countryside Tongali, Waonu were respectively Rp. 11.579.106,17, Rp. 43.051.173,27 and Rp. 15.640.846,46 per month. System analysis and coral fisheries simulation result showed that the third scenario was more ideal in fish biomass simulation analysis on Liwutongkidi Islands conservation area and surrounds, there was a reciprocal relationship amongst catch efforts and fish biomass in a whole time. Keywords : coral fisheries ecosystem, surplus consumers total utility and total economic value.
RINGKASAN
ABDUL HARIS LAIN Analisis–Ekologi Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan NEVIATY P. ZAMANI. Terumbu karang merupakan ekosistim laut yang sangat kaya akan keaneka ragaman hayati. Ekosistim ini merupakan habitat berbagai organisme laut yang membentuk jaring-jaring makanan yang kompleks. Sebagai suatu ekositem alami, terumbu karang memiliki fungsi dan peranan penting bagi kesuburan perairan laut dan pada gilirannya bagi perekonomian masyarakat pesisir. Kondisi perubahan ekosistem terumbu karang Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya dapat diketahui dengan mengkaji perubahan dan pemanfaaatan terumbu karang melalui pendekatan ekologi-ekonomi sebagai dasar dalam menentukan pola pendekatan kebijakan yang dilakukan. Adapun tujuan penelitian ini yaitu (1) mengidentifikasi karakteristik komposisi substrat dasar, struktur komunitas ikan dan korelasinya dengan habitat di ekosistem terumbu karang kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi (2) Mengestimasi nilai ekonomi ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi (3) menyusun konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan model ekologi-ekonomi di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi. Pengambilan data komunitas ikan karang di lokasi penelitian Pulau Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua menggunakan metode survei Line Intercept Transect (LIT) (English at.al 1994) dengan beberapa modifikasi CRITICCOREMAP LIPI (2004). Terjadinya degradasi terhadap ekosistem terumbu karang, perlu alat untuk mengukurnya dengan melihat indeks keanekaragaman (H), Keseragaman (E), dominasi (E), dan pemilihan responden sebagai unit penelitian dengan metode (purposive sampling). Purposive adalah peneliti yang menentukan sendiri koresponden yang akan diambil dengan anggapan ataupun pendapatnya sendiri sebagai sampel penelitiannya. Pengaruh sosial ekonomi masyarakat menggunakan pendekatan change in productivity atau yang lebih dikenal dengan sebutan Effect on Production (EOP) sesuai yang dilakukan oleh (Cesar 1996) dan (Molberg & Folke 1999). Kisaran persentase penutupan karang hidup di Pulau Siompu, Kadatua dan Liwutongkidi antara 13.01% - 72.50%. Rata-rata persentase penutupan 46.92% berdasarkan lifeform dapat digolongkan kedalam kategori sedang. Analisis indeks mortalitas karang dengan tingkat kesehatan karang 0.17% – 0.88% memiliki kesehatan karang yang mendekati nilai 0 adalah rasio kematian karang kecil, tingkat kesehatan karang tinggi dan apabila mendekati nilai 1 tingkat kesehatan karang rendah atau rasio kematian karang yang besar. Hasil sensus kelompok ikan karang menurut family, spesies dan jumlah individu diklasifikasikan berdasarkan kelompok ikan mayor sebanyak 3899 individu dari 26 famili, kelompok ikan indikator dengan jumlah 347 individu sedangkan kelompok ikan target adalah 1625 individu dari 17. Keanekaragaman antara 2.71 - 4.72% termasuk kedalam kategori sedang sampai tinggi, keseragaman ikan karang antara 0.69 - 0.92 memiliki keseragaman tinggi komunitas stabil sedangkan dominasi bagi beberapa jenis ikan memiliki kisaran antara 0.04 - 0.29 yang menunjukan bahwa tidak terdapat dominasi.
Tujuan dari analisis ini adalah mengestimasi nilai manfaat dari ekosistem terumbu karang dengan menggunakan pendekatan efek produktivitas. Surplus konsumen, dapat menjadi dasar estimasi nilai ekonomi aktual ekosistem terumbu karang . Nilai Ekonomi Total (NET) dari manfaat langsung penggunaan sumberdaya perikanan karang di Desa Kapoa, Desa Waonu dan Desa Tongali masing-masing adalah sebesar Rp. 11.579.106,17, Rp. 43.051.173,27 dan Rp. 15.640.846,46 per bulan. Hasil analisis system dan simulasi ekosistem perikanan karang dari skenario 1, 2 dan 3 dapat dikatakan skenario 3 lebih ideal dalam analisis simulasi biomasa ikan di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya ada hubungan timbal balik antara jumlah penangkapan dengan biomasa ikan sepanjang waktu. Untuk menilai keberhasilan ekosistem perikanan karang berkelanjutan adalah pemantauan dan evaluasi memerlukan informasi yang dikumpulkan secara periodik, seperti informasi tentang dampak ekologis, tutupan dan jumlah kepadatan biota dalam kawasan konservasi. Perencenaan pengelolaan wilayah pesisir tidak dapat diukur dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan di suatu wilayah, jika tidak dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri. Keberhasilan bukan pada hasil akhir kegiatan, tetapi hasil monitoring dan evaluasi kegiatan yang sederhana tetapi dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh tesis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor
ANALISIS EKOLOGI–EKONOMI PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara)
ABDUL HARIS LAIN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Judul Tesis
:
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: : :
Analisis Ekologi–Ekonomi Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara) Abdul Haris Lain C 252 080 364 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian
Tanggal Lulus :
: 3 Agustus 2011
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Judul penelitian yang dipilih untuk penelitian ini adalah Analisis EkologiEkonomi dalam Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Terumbu Karang (Studi kasus perairan Pulau Liwutongkidi Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara). Dengan tersusunnya karya ilmiah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada ; 1. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan dan masukan yang sangat berarti kepada penulis. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) beserta segenap dosen dan staf program studi yang selama ini telah membantu dan memperlancar penyelesaian studi di IPB. 3. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku dosen penguji luar komisi yang banyak memberikan tanggapan dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. 4. Istriku Hajija Hasanella dan putra kami tercinta M. Rezal Laing, M. Mustafa Laing dan M. Fahril Laing yang telah banyak memberikan dukungan dalam penyelesaian studi ini. 5. Teman-teman SPL atas kebersamaan, persahabatan dan kerjasama selama dalam perkuliahan. Semoga Allah SWT akan memberikan imbalan yang setimpal kepada semuanya. Penulis menyadari penulisan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaannya, sehingga saran dan masukan untuk perbaikan sangat diharapkan.
Bogor,
April 2010
Abdul Haris Lain
RIWAYAT HIDUP
Penulis di lahirkan di Desa Hila Pulau Ambon pada tanggal 9 Maret 1966 dari ayah Abdul Latip Laing dan ibu Arafiah Launuru. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Tahun 1986 penulis lulus dari Sekolah Menegah Atas negeri 3 Ambon. Tahun yang sama penulis di terima di Universitas Pattimura Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan. Tahun 2001 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia di Jakarta. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi ke IPB dengan sumber pembiayaan dari Coremap II Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman xxiii DAFTAR TABEL ............................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................
xxv
DAFTRA LAMPIRAN .........................................................................
xxvii
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 1.4. Kerangka Pemikiran ................................................................
1 3 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang ........................................................................ 2.2. Ikan Karang .............................................................................. 2.3. Tipe Terumbu Karang ............................................................... 2.4. Ancaman Terhadap Terumbu Karang ...................................... 2.5. Kawasan Konservasi ............................................................... 2.6. Pemanfaatan Terumbu Karang ................................................. 2.7. Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang ............................ 2.8. Nilai dan Fungsi Terumbu Karang ........................................... 2.9. Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan .............. 2.10. Pengelolaan Berbasis Ekosistem .............................................. 2.11. Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem ..................
9 12 14 14 15 17 19 21 21 23 24
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................... 3.2. Metode Penelitian ..................................................................... 3.3. Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 3.4. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 34.1. Data Primer .................................................................. 34.2. Data Sekunder .............................................................. 3.5. Metode Pengambilan Contoh ................................................... 3.5.1. Pengambilan Contoh Komponen Biofisik .................. 3.5.1.1. Kualitas Perairan ......................................... 3.5.1.2. Komunitas Ikan Karang ............................... 3.5.1.3. Bentuk Pertumbuhan (lifeform) Komunitas Karang .......................................................... 3.6.
3.5.2 Metode Pengambilan Contoh Sosial dan Ekonomi ..... Analisis Data ............................................................................ 3.6.1. Analisis Data Ekologi ..................................................
29 30 30 30 30 31 32 32 34 34 35 36 38 38
3.6.1.1. Persen Penutupan Substrat Dasar ................. 3.6.1.2. Indeks Mortalitas ......................................... 3.6.1.3. Indeks Keanekaragaman (H) ....................... 3.6.1.4. Indeks Keseragaman (E) .............................. 3.6.1.5. Indeks Dominasi (C) ................................... 3.6.2. Analisis Data Ekonomi ................................................ 3.6.2.1. Kerangka Pendekatan Penilaian Valuasi Ekonomi ........................................................ 3.6.2.2. Pendugaan Fungsi Permintaan Terhadap Sumberdaya Perikanan Karang .................... 3.6.2.3. Model Analisis Sistem Perikanan Karang .... 4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administratif ........................... 4.2. Keadaan Fisik ........................................................................... 4.3. Kondisi Biofisik ....................................................................... 4.3.1. Kondisi Terumbu Karang ........................................... 4.3.2. Kualitas Perairan ........................................................ 4.4 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ....................................... 4.4.1. Kapal motor/perahu ................................................... 4.4.2. Jenis Alat Tangkap ..................................................... 4.4.3. Iklim dan Musim Tangkapan ..................................... 4.5. Keadaan Sosial Ekonomi .......................................................... 4.5.1. Aksesbilitas ................................................................ 4.5.2. Kependudukan ........................................................... 4.5.3. Karakteristik Koresponden ........................................ 4.5.3.1. Umur Responden ....................................... 4.5.3.2. Tingkat Pendidikan Responden ................. 4.5.3.3. Mata Pencaharian Responden .................... 4.5.3.4. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden.. 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ....................................... 5.2. Kondisi Penutupan Substrat Dasar ........................................... 5.3. Komunitas Ikan Karang ............................................................ 5.4. Aktifitas Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Karang ................ 5.5 Pendugaan Nilai Utility Ekonomi Perikanan Karang ............... 5.6. Analisis Pemodelan dalam Perikanan Karang ......................... 5.6.1. Konsepsi dan Diskripsi Model ................................... 5.6.2. Informasi Dasar dan Asumsi Model .......................... 5.6.3. Analisis Pemodelan .................................................... 5.7 Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Perikanan Karang ..................................................................... 5.8.
Keberlanjutan Perikanan Karang .............................................
38 39 39 40 41 41 41 41 43
45 46 46 46 47 48 48 49 49 50 50 51 51 52 53 53 54
55 55 63 69 72 79 79 80 81 86 88
6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ................................................................................... 6.2. Saran .........................................................................................
93 93
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
95
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama efisiensi, keadilan dan berkelenjutan .................................................................................
27
2.
Jenis dan sumber data primer ...............................................................
31
3.
Jenis dan sumber data sekunder ............................................................
31
4.
Parameter kualitas perairan ..................................................................
34
5.
Daftar penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan Lifeform dan kodenya ...........................................................................
36
6.
Batas wilayah Kecamatan Siompu dan Kecamatan Kadatua ...............
46
7.
Kualitas perairan di Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua ....................
47
8.
Jarak desa ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten .....................
50
9.
Jumlah kepadatan penduduk dan persebarannya ……………………..
51
10. Jumlah penduduk, kepala keluarga (KK), dan rumah tangga Perikanan (RTP) ………………………………………………...........
51
11. Klasifikasi umur responden menurut desa ............................................
52
12. Klasifikasi tingkat pendidikan koresponden .........................................
53
13. Klasifikasi responden menurut jumlah tanggungan keluarga ...............
54
14. Persentase penutupan karang hidup (karang keras, karang lunak dan biota lain di Pulau Siompu ...................................................
56
15. Persentase penutupan karang hidup di Pulau Liwutongkidi .................
58
16. Persentase penutupan karang hidup di Pulau Kadatua .........................
60
17. Koefisien regresi manfaat sumberdaya perikanan karang pada perikanan tangkap di Desa Kapoa, Waonu dan Tongali ......................
73
18. Pendugaan surplus konsumen dari sumberdaya ekosistem perikanan karang ...................................................................................
74
19. Jumlah nilai ekonomi total (NET)/Bulan dan NET/tahun
77
DAFTAR GAMBAR
1.
Halaman Diagram alur penelitian dengan pendekatan ekologi- ekonomi ..... 8
2.
Peta lokasi penelitian ....................................................................
29
3.
Teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang dengan menggunakan metode LIT ............................................................
32
Peta lokasi pengambilan data struktur komunitas ikan karang dan korelasinya .............................................................................
33
4. 5.
Teknik pengumpulan data ikan dengan underwater visual census (UVC) ...........................................................................................
6.
Peta pengambilan data sosial ekonomi .........................................
35 37
7.
Causal loop pengembangan model perikanan karang ...................
44
8.
Jumlah perahu/kapal motor Desa Kapoa, Waonu dan Tongali .....
48
9.
Jumlah Alat Tangkap Desa Kapoa, Waonu dan Tongali .............
49
10.
Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat Pulau Siompu .................................................................. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori habitat dasar Pulau Liwutongkidi ...................................................................... Persentase tutupan untuk masing-masing kategori habitat dasar Pulau Kadatua ...............................................................................
11. 12. 13. 14. 15. 16.
57 59 61
Kelimpahan kelompok ikan target berdasarkan family di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua .............................
65
Kelimpahan kelompok ikan mayor berdasarkan family di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua ..............................
65
Kelimpahan kelompok ikan indikator berdasarkan family di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua ..............................
66
Grafik kaenekaragaman (H), keseragaman (E) dan dominasi (C ) komunitas ikan karang di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua .........................................................................................
17.
Visualisasi partisipatif daerah penangkapan ikan
68 70
18.
Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang di Desa Tongali ...........................................................................
75
19. 20. 21.
Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang di Desa Kapoa ............................................................................. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang di Desa Waonu ............................................................................ Sub model ekologi dan ekonomi perikanan karang ....................
75 76 80
22. 23.
24.
Grafik simulasi mortality, rekruitment, stok ikan, jumlah armada penangkapan dan total penangkapan .............................
82
Grafik simulasi rekruitmen dan biomasa ikan dengan penguranagn jumlah armada penangkapan 0.85% atau 125 armada……………………………………………………………
83
Grafik simulasi rekruitmen dan biomasa ikan dengan penguranagn jumlah armada penangkapan 0.89% atau 131 armada……………………………………………………………
85
LAMPIRAN
1.
Halaman Titik koordinat stasiun ....................................................................... 101
2.
Kategori karang menurut lifeform .....................................................
102
3.
Jumlah kelimpahan komunitas ikan di semua stasiun .......................
103
4.
Kelimpahan ikan karang berdasarkan jenis, famili, dan jumlah individu di Pulau Siompu .................................................................. Kelimpahan ikan karang berdasarkan jenis, famili, dan jumlah individu di Pulau Kadatua .....................................................
108
5. 6.
109
Kelimpahan ikan karang berdasarkan jenis, famili, dan jumlah individu di Pulau Liwutongkidi ...........................................
110
Perhitungan pendugaan nilai utility dan surplus konsumen pemanfaatan ikan karang di perairan Desa Kapoa ............................
111
Perhitungan pendugaan nilai utility dan surplus konsumen pemanfaatan ikan karang di perairan Desa Waonu ...........................
116
Perhitungan pendugaan Nilai Utility dan surplus konsumen pemanfaatan ikan karang di perairan Desa Tongali ..........................
121
10.
Estimasi panjang ikan dan bobot ikan karang di stasiun penelitian ...
126
11.
Perhitungan simulasi model perikanan karang ................................
131
12.
Hasil simulasi biomasa ikan dengan menggunakan 147 kapal ..........
132
13.
Hasil simulasi biomasa ikan dengan menggunakan 125 kapal ..........
134
14.
Hasil simulasi biomasa ikan dengan menggunakan 131 kapal ..........
136
7. 8. 9.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pesisir
dan
laut
Indonesia
merupakan
wilayah
dengan
potensi
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting
dalam
mendukung pembangunan ekonomi daerah
dan nasional untuk
meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Sumberdaya pesisir tersebut mempunyai keunggulan komperatif karena tersedia dalan jumlah yang besar dan beraneka ragaman serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah. Wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan enargi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Pembangunan di pesisir yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam pesisir. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahanperubahan pada sumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup terutama pada ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistim laut yang sangat kaya akan keaneka ramana hayati. Ekosistim ini merupakan habitat berbagai organisme laut yang membentuk jaring-jaring makanan yang kompleks. Sebagai suatu ekositem alami, terumbu karang memiliki fungsi dan peranan penting bagi kesuburan perairan laut dan pada gilirannya bagi perekonomian masyarakat pesisir. Manfaat terumbu karang karang dapat diidentifikasi menjadi manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung yaitu manfaat yang dinikmati secara langsung oleh manusia antara lain pemanfaatan sumberdaya ikan, batu karang, pariwisata, penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya yang terkandung didalamnya. Pemanfaatan tidak langsung seperti fungsi terumbu
karang sebagai pelindung pantai, penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati, dan lain sebagainya. Apabila di lihat dari luas hamparan terumbu karang, Indonesia memiliki nomor dua dunia setelah Australia, yaitu mencakup areal sekitar sekitar 42.000 km2 (COREMAP-LIPI, 1998). 2
lebih 42.000 km
Estimasi terumbu karang di Indonesia kurang
atau 16.50% dari luas total terumbu karang di dunia.
Selanjutnya (Veron 1995) mengemukakan terumbu karang Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 ganera dan 450 spesies. Namun dari tahun ke tahun terumbu karang Indonesia kondisinya sudah cukup memprihatinkan.
Berdasarkan data, diketahui bahwa kondisi terumbu karang
Indonesia tinggal 6,51% dalam kondisi sangat baik, 26,04% kondisi baik, 34,71 % kondisi sedang, dan 32,74% pada kondisi rusak (COREMAP 2001 in Yatin dan Irmadi 2003). Selanjutnya (P2O-LIPI 2006) terumbu karang Indonesia dalam keadaan rusak 39.50%, sedang 33.50%, baik 21.70%, dan hanya 3.50% keadaan sangat baik. Perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan oleh dua sebab utama yaitu permasalahan yang terjadi akibat kegiatan manusia dan permasalahan yang timbul akibat oleh alam. Sejalan dengan permasalahan penurunan kondisi terumbu karang yang terjadi di atas perubahan kondisi terumbu karang Pulau Liwutongkidi secara umum disebabkan oleh kegiatan manusia. Dari hasil penelitian dengan metode Line Intercept Transect (LIT) oleh dinas kelautan dan perikanan kabupaten Buton dalam laporan tahun 2007 digambarkan bahwa terumbu karang pada Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya terjadi kerusakan sangat kritis dibeberapa lokasi pada kedalaman 3 m dan 10 m. Selanjutnya informasi dari beberapa nelayan bahwa kerusakan terumbu karang ini disebabkan karena faktor manusia yaitu nelayan menangkap ikan dengan cara menggunakan potasium, bubu dan bom. Praktek penangkapan ikan di kawasan Pulau liwutongkidi dengan cara seperti ini mengakibatkan ikan-ikan kecil dan hewan karang yang berklorofil (zooxanthellae) akn menjadi punah, sehingga terancam kelestarian ekosistem dan spesies. Jika hal tersebut didiami dan kerusakan ini terus berlnjut tanpa adanya suatu usaha perbaikan, maka akan menyebabkan kehilangan suatu komoditas yang berharga sehingga pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya akan menurun. Kondisi ini mendorong adanya upaya pengelolaan perikanan berbasis ekosistem perikanan karang lebih kearah berkelanjutan.
Untuk mengetahui kondisi perubahan ekosistem terumbu karang di Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya, maka perlu dilakukan penelitian atau kajian yang berhubungan dengan potensi, perubahan dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang sehingga akan diketahui keadaan akhir dari ekosistem terumbu karang tersebut. Wilayah pesisir Pulau Liwutongkidi memiliki potensi sumberdaya laut yang besar, apabila potensi tersebut tidak dikelola secara terpadu. Keterpaduan ini diperlukan dengan memperhatikan hubungan antara komponen-komponen sumberdaya dalam suatu model, sehingga kelestarian sumberdaya pesisir dapat terjaga. Melihat kondisi terumbu karang dewasa ini serta pentingnya nilai ekologis maupun ekonomi dari terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya bagi kehidupan manusia, maka perlu menyusun suatu Analisis Ekologi-Ekonomi Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem
Terumbu
Karang di pulau
Liwutongkidi Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. 1.2. Perumusan Masalah Masyarakat sekitar Pulau Liwotongkidi yang hidup di wilayah pesisir seperti nelayan dan petani kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam pesisir. Kondisi lingkungan dan sumberdaya alam pesisir yang rentan tersebut berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya penduduk Kerusakan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, diantaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai komoditas
perdagangan ikan hias sebagian besar dikarenakan oleh
pengguna bahan peledak, tablet potas dan sianida. Kenyataan ini dapat dijumpai dibeberapa lokasi terumbu karang, berupa karang-karang yang rusak secara fisik. Menurut Bappeda (2005), di perairan Kecamatan Siompu pada titik koordinat
050 40’ 23” LS, 120 33’ 57’’ BT kondisi penutupan karang 50- 75
% dan di Kecamatan Kadatua pada titik koordinat 050 31’21’’ LS 120 28’14’’ BT, kondisi penutupan karang 25-35 %. Selain itu juga penambangan karang untuk bahan bangunan rumah dan jalan. Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir juga tidak terlepas dari rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai yang sebenarnya dari sumberdaya tersebut secara keseluruhan. Selama ini pemanfaatan oleh masyarakat terhadap sumberdaya pesisir seperti perikanan,
terumbu karang, hutan mangrove dan lain sebagainya lebih berorientasi kepada pemanfaatan seketika tanpa memperhitungkan keberlanjutannya. Agar terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati pesisir dan lautan serta ekosistemnya dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan, maka perlu suatu model pengkajian dengan pendekatan secara ekologiekonomi
berbasis terumbu karang dengan menjawab beberapa pertanyaan
mendasar yaitu : 1.
Bagaimana karakteristik ekologis khususnya kondisi ekosistem terumbu karang dan ikan-ikan karang
2.
Bagaimana pemanfaatan optimal perikanan karang secara berkelanjutan
3.
Bagaimana model pengelolaan perikanan karang berbasis ekosistem.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi karakteristik komposisi substrat dasar, struktur komunitas ikan dan korelasinya dengan habitat di ekosistem terumbu karang kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi 2. Mengestimasi nilai ekonomi ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi 3. Menyusun konsep pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan model ekologi-ekonomi di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi Manfaat yang diharapkan dapat dicapai dengan adanya penelitian ini adalah : 1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar bagi pengelola ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi laut Pulau Liwutongkidi. 2. Sebagai bahan acuan dalam, perencanaan, kebijakan, pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan. 1.4. Kerangka Pemikiran Kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi, Sebagai kawasan kaya akan sumberdaya hayati yang cukup tinggi, dengan kekayaan sumberdaya hayati yang cukup tinggi dan sebagai daerah nursery ground dan spawning ground maka kawasan tersebut dikelola dengan baik. Pemanfatan kawasan pesisir Pulau liwutongkidi dan sekitarnya akhir-akhir ini sangat dikhawatirkan dan berdampak
penurunan sumberdaya alam dan
lingkungannya. Kondisi ini mendesak kita
untuk berbuat sesuatu untuk tujuan perlindungan kawasan ini melalui pengelolaan Kawasan Konservasi Laut. Sebagai salah satu dasar pengelolaan, maka pengelolaan secara ekologi-ekonomi di kawasan ini menjadi sangat penting untuk memahami sejauh mana pemanfaatan Kawasan Konservasi Laut ini memberikan manfaat baik itu manfaat langsung maupun tidak langsung, manfaat ekonomi ataupun manfaat non ekonomi terhadap masyarakat di wilayah pesisir. Semua sumberdaya laut tersebut harus dimanfaatkan secara terencana dan terarah. Tanpa adanya suatu perencanaan yang matang dalam rangka pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat mengancam kelestarian ekosistem sumberdaya itu sendiri, selanjutnya juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya hayati laut yang dapat dimanfaatan oleh manusia. Sehingga pemanfaatan potensi sumberdaya tersebut mutlak harus dilakukan dengan memperhatikan asas keberlanjutan. Pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan sangat penting dan harus dilakukan. Keberadaan ekosistem terumbu karang yang sangat produktif dapat mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu karang dapat berfungsi secara optimal maka produksi perikanan ikan akan meningkat sehingga secara tidak langsung akan memberikan keuntungan baik secara sosial maupun ekonomi. Perikanan bukanlah kegiatan ekonomi semata, namun sudah merupakan jalan hidup sebagian besar nelayan kecil di daerah tropis. Oleh karena itu pendekatan sosial-ekologi yang mengakomodasikan aspek ekologi dan ekonomi dalam suatu sistem layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan ke depan. Pengelolaan wilayah pesisir merupakan suatu proses atau upaya untuk mengendalikan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam diwilayah pesisir, sehingga dapat menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, sekarang dan dimasa mendatang. Oleh karena itu untuk menyelidiki cara pengelolaan yang baik, sifat ekosistem terumbu karang yang dinamis dan kondisi lingkungan yang unik perlu dipahami terlebih dahulu. Adanya kesamaan perspektif tentang tujuan, pola pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem terumbu karang merupakan wahana untuk mencapai keuntungan bagi masyarakat.
Selanjutnya kualitas ekosistem terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal terhadap berbagai kriteria suatu model pengelolaan perikanan berbasis ekosistem perikanan karang dengan menggunakan pendekatan ekologi dan pendekatan ekonomi. Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem khas pesisir tropis yang memiliki berbagai fungsi penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Fungsi ekologis tersebut adalah penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan biota perairan, tempat bermain, dan asuhan bagi berbagai biota. Di samping fungsi ekologis, terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan lain-lain. Pendekatan ekologi dari ekosistem terumbu karang adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur
komunitas
ikan
yang meliputi
persen penutupan karang,
keanekaragaman, keseragaman dan dominasi dari karang serta ikan-ikan karang serta melihat korelasi antara ikan dan karang. Deskripsi kondisi terumbu karang menggunakan metode survei Line Intercept Transect (LIT) dengan panjang transek 70 m pada kedalaman antara 3 - 10 m sejajar garis pantai. Pendekatan ekonomi dari aspek ekonomi perikanan karang ditentukan berdasarkan nilai penggunaan langsung (direct use value) dan nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai penggunaan langsung berupa produksi yang dapat langsung dari suatu ekosistem contoh manfaat perikanan ikan konsumsi dan ikan hias, sedangkan nilai penggunaan tidak langsung sulit untuk ditetapkan karena nilainya selalu tidak tetap seperti fungsi ekosistem karang sebagai natural breakwater, dan habitat bagi berbagai jenis ikan karang. Selain itu terumbu karang menyediakan berbagai pemakaian langsung dan tak langsung yang bermanfaat bagi masyarakat, khususnya masyarakat pesisir sekitar Pulau Liwutongkidi. Pemakaian yang paling dominan dan paling bernilai adalah besarnya hasil yang dapat diperoleh dari sumberdaya perikanan laut yang didukung oleh ekosistem terumbu karang. Pendekatan ekologi dan ekonomi dijadikan dasar dalam menentukan pola pendekatan kebijakan yang akan dilakukan. Mengkaji sebuah model pendekatan ekologis-ekonomis sehingga pengelolaan perikanan berbasis terumbu karang menjadi pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya
pesisir secara terpadu adalah suatu proses interaktif dan evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Dalam
menyususn
model
pengelolaan
ekologi-ekonomi
dalam
pemanfaatan ekositem perikanan karang di wilayah pesisir Pulau Liwutongkidi, dengan menggunakan software Stella 9.02 sebagai tools yang komprehensif untuk menggambarkan terkaitnya kegiatan pemanfaatan ekologi-ekonomi ekosistem terumbu karang. Mengidentifikasi akar permasalahan yang mendasari penurunan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Pulau Liwutongkidi, dan menentukan skenario pengelolaan yang tepat untuk mengurangi tekanan kegiatan pemanfaatan
pada ekosistein terumbu karang. Sehingga tujuan akhir dari
pengelolaan perikanan berkelanjutan bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Secara diagramatik kerangka pemikiran penelitianini disajikan pada Gambar 1 dibawah ini.
Kawasan Konservasi Laut Pulau Liwutongkidi
Ekosistem Terumbu Karang
Identifikasi Aspek Struktur Komunitas Ikan Karang
Persen penutupan substrat dasar Indeks Mortaitas Keanekaragaman Keseragaman dan Dominasi
Identifikasi Aspek Ekonomi
Perikanan Karang
Sistem perikanan karang Pola pemanfaatan dan pengelolaan perikanan karang
Nilai ekonomi sumberdaya perikanan karang
Analisis EkologiEkonomi Perikanan Karang
Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem
Keberkelanjutan Perikanan Karang
Gambar 1. Diagram alur penelitian dengan pendekatan ekologi-ekonomi
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis. Meskipun terumbu karang ditemukan diseluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis terumbu karang dapat berkembang. Terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan organisme karang, alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Ekosistem
terumbu
karang
mempunyai
produktivitas
organik
dan
keanekaragaman spesies penghuninya yang tinggi. Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan keanekaragaman jenis biota laut seperti: (1) beraneka ragam avertebrata: terutama karang batu (stony coral), berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan leli laut; (2) beraneka ragam ikan : terutama 50 – 70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; (3) reptil seperti ular laut dan penyu laut; (4) ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun (Bengen 2001). Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme-organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral ) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin 1993). Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).
Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan yang mencolak antara kedua karang ini adalah bahwa di dalam jaringan karang hermatik terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis (hidup bersama) yang dinamakan zooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC (Nybakken 1986). Menurut (Veron 1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCo 3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCo 3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef-building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi. Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae
menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Cahaya matahari memiliki peranan penting bagi proses pembentukan terumbu karang (Nybakken 1986). Cahaya diperlukan bagi proses fotosintesis alga simbotik (zooxanthellae). Kedalaman penetrasi sinar mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik. Kebutuhan oksigen untuk respirasi fauna di suatu terumbu karang dapat diatasi dengan adanya alga simbiotik yang disebut zooxanthellae. Oksigan tambahan tersebut dihasilkan dari proses fotosintesis yaitu proses yang hanya berlangsung apabila ada cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut merupakan hal penting untuk fotosintesis yaitu proses yang hanya berlangsung apabila ada cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut merupakan hal yang penting untuk fotosintesis zooxanthellae yang selanjutnya akan menentukan pula sebaran vertikal karang batu yang mengandungnya. Semakin dalam laut semakin kurang intensitas cahaya yang dapat mencapainya, berarti semakin kecil pula produksi oksigen oleh zooxanthellae (Soekarno et al. 1993). Salinitas berpengaruh besar terhadap produktifitas terumbu karang. Teumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran salinitas 32 – 35 %o namun terdapat juga terumbu karang yang dapat mentoleransi salinitas sampai dengan 42 %o (Nybakken 1992). Sedangkan Nontji (1987) mengemukakan bahwa toleransi organisme karang terhadap salinitas berkisar antara 27–40 %o. Pertumbuhan terumbu karang ke arah atas dibatasi oleh udara. Banyak karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga pertumbuhan kearah atas terbatas hanya sampai tingkat air surut terendah. Kekeringan terlalu lama akibat surut besar mengakibatkan kematian karang Nybakken (1992). Pergerakan air laut atau arus diperlukan untuk kelangsungan hidup terumbu karang, kebutuhan makanan dan oksigen maupun menghindarkan karang dari timbunan endapan atau bahan pencemar lainnya. Pada siang hari pasokan oksigen diperoleh dari hasil fotosintesis, sedangkan pada malam hari sangat diperlukan arus kuat yang dapat memberikan oksigen cukup bagi fauna di terumbu karang.
Selain itu kondisi substrat sangat berperan bagi pertumbuhan karang. Substrak yang keras dan bersih diperlukan sebagai tempat melekatnya larva planula, sehingga memungkinkan pembentukan koloni baru.
2.2. Ikan Karang Banyak spesies ikan menunjukkan kesukaan terhadap habitat tertentu. Menurut Robetson (1996) Komunitas ikan karang (kelimpahan dan struktur) dipengaruhi oleh interaksi kompetisi diantara spesies tersebut. Menurut Choat dan Bellwood (1991) interaksi ikan karang dengan terumbu karang dapat dibagi menjadi tiga bentuk yaitu : 1.
Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan muda
2.
Interaksi dalam mencari makan bagi ikan yang mengkonsumsi biota pengisi habitat dasar, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang dan alga
3.
Interaksi tidak langsung antara struktur terumbu karang dan kondisi hidrologi serta sedimentasi dengan pola makan ikan pemakan plankton dan karnivor. Keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi
terumbu karang itu sendiri. Prsentasi tutupan karang hidup yang tinggi tentunya akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Dan sebaliknya, bila presentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahana ikan karang akan sangat berkurang. Berdasarkan peranannya Adrim (1993) dan English et al (1997) membagi ikan-ikan karang atas tiga kelompok yaitu : 1. Ikan Target. Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; Serranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae Labridae (Chelinus, Himigymnus, choerodon) dan Haemulidae. 2. Ikan Indikator. Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari Famili Chaetodontidae (kepe-kepe). 3. Ikan Lain (Mayor Famili). Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae dan lain-lain).
Berdasarkan periode aktif mencari makan, maka ikan karang terbagi atas : 1. Ikan Nokturnal (aktif ketika malam hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku Holocentridae (Swanggi), Suku Apogoninade (Beseng), Suku Hamulidae, Priacanthidae (Bigeyes), Muraenidae (Eels), Seranidae (Jewfish) dan beberapa dari suku dari Mullidae (Goat fishes) dan lain-lain. 2. Ikan Diurnal (aktif ketika siang hari), contohnya pada ikan-ikan dari Suku Labraidae (wrasses), Chaetodontidae (Butterfly fishes), Pomacentridae (Damsel fishes), Scaridae (Parrot fishes), Acanthuridae (Surgeon fishes), Bleniidae (Blennies), Balistidae (Trigger fishes), Pomaccanthidae (Angel fishes),
Monacanthidae,
Ostracionthidae (Box fishes),
Etraodontidae,
Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (Goat fishes) 3. Ikan Crepuscular (aktif diantara) contohnya pada ikan-ikan dari suku Sphyraenidae (Baracudas), Serranidae (Groupers), Carangidae (Jacks), Scorpaenidae (Lion fishes), Synodontidae (Lizard fishes), Carcharhinidae, Lamnidae, Spyrnidae (Sharks) dan beberapa dari Muraenidae (Eels). Menurut Aninomous (2005), jenis dan komposisi ikan karang pada daerah rataan terumbu karang di perairan Pulau Liwutongkidi pada tiap stasiun bervariasi antara 8 – 49 jenis dengan jumlah individu 128 – 1972 ekor untuk kedalaman 3 meter dan untuk kedalaman 10 meter jumlah jenis bervariasi antara 10 – 65 jenis dengan jumlah individu antara 214 – 1817 ekor. Sedangkan pada daerah tubir jenis ikan berkisar 10 – 25 jenis dan 29 – 52 jenis dengan jumlah individu perjenis masing-masing berkisar 259 – 883 ekor dan 399 – 1076 ekor. Jenis biota yang ditemukan pada terumbu karang sangat bervariasi, dan sangat potensial dalam mendukung pengembangan ekowisata bahari. Beberapa jenis biota yang banyak ditemukan diantaranya; crustace (lobster dan kepiting), molusca, (kerang-kerangan, teripang), dan Echinodermata (bulu babi). Jenis ikan karang yang banyak ditemukan diantaranya; Pterocaesio digrama (617 individu ), Abodefduf vaigiensis (200 individu), Pterocaesio tesselata (148 individu), Chroronis ambonensis (101 invidu), Apogon nigrofasciatus (96 individu), Centropige ravissimus (92 individu), Chaetodon klenii (92 individu), Apogon deoderleinii (76 individu), Centropige nox (63 individu), dan Apogon novemfasciatus ( 48 individu) (Aninomous 2005).
2.3. Tipe Terumbu Karang Menurut Nybakken (1986) terumbu karang dikelompokan menjadi tiga tipe struktural umum yaitu : 1. Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef ) 2. Terumbu karang penghalang (Barrier reef) 3. Terumbu karang cincin (atol) Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut : 1. Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat. 2. Terumbu karang tipe penghalang (barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah the greaat barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil. 3. Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. 2.4. Ancaman Terhadap Terumbu Karang Berbagai usaha pemanfaatan sumberdaya laut telah dilakukan, tetapi masih banyak pula usaha pemanfaatan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku Penyimpangan usaha pemanfaatan sumberdaya laut akan menimbulkan masalahmasalah bagi kelestarian sumberdaya alam yang ada. Beberapa masalah yang terjadi di perairan pesisir disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia, di antaranya pemanfaatan ekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan, sumber bahan
bangunan, komoditas perdagangan ikan hias sebagian besar di karenakan oleh penggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida. Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pada ekosistem terumbu karang yang disebabkan oleh (1) rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai sumberdaya pesisir ini berakibat pada eksploitasi yang cenderung dan kurang ramah lingkungan (2) perlindungan dan kelestarian laut hanya dapat secara efektif dilaksanakan apabila ditunjang dengan kerangka hukum yang memadai; (3) terlalu banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir; (4) jumlah dan keragaman kepentingan masyarakat di wilayah pesisir adalah tinggi; (5) pengambilan karang yang khas untuk dijual sebagai hiasan pada akuarium; (6) keserakahan. 2.5. Kawasan Konservasi Konservasi dalam pengertian adalah pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang. Konservasi bukan saja untuk menjaga sumberdaya dan mempertahankan keberadaan plasma nutfa, namun kawasan konservasi laut juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Dengan upaya konservasi ini berarti tersedia juga sarana bagi pengembangan pemanfaatan, pendidikan, pariwisata dan penelitian. Kawasan konservasi menuntut adanya proses perencanaan dan tahapan pengelolaan dari suatu kerangka pengelolaan kawasan konservasi. Pengelolaan suatu sumberdaya alam haruslah mengacu pada strategi konservasi yaitu : 1. Melindungi terhadap sistem penyangga kehidupan, dengan menjamin terpeliharanya
proses
ekologi
bagi
kelangsungan
hidup
biota
dan
ekosistemnya. 2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan manusia. 3. Pelestarian di dalam pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya yaitu dengan mengendalikan cara-cara pemanfaatannya sehingga diharapkan dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan.
Dalam upaya penyelamatan dan pemeliharaan kekayaan sumberdaya laut dimasa mendatang perlu diadakan suatu sistem pengelolaan disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan nasional dengan memperhatikan kategari yang telah diperkenalkan oleh IUCN (International Union for Concervation Nature and Natural Resources). Selanjutnya (Salm dan Clark 2000) mengemukakan enam kategori manajemen kawasan konservasi yang dapat dikembangkan. Kategorikategori tersebut adalah : 1.
Kategori I adalah Kawasan Suaka Alam yang ditetapkan untuk pengelolaan kehidupan liar (kategori Ib) sedangkan Cagar Alam untuk kepentingan ilmu pengetahuan dimasukan kedalam kategori Ia.
2. Kategori II adalah Taman Nasional yang merupakan suatu kawasan lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem atau rekreasi 3. Kategori III adalah Monumen Alam yang merupakan suatu kawasan lindung yang dikelola terutama untuk melindungi daerah yang memiliki keadaan alam khusus. 4. Kategori IV adalah Pengelolaan Daerah Habitat Suatu Jenis tertentu yang merupakan suatu kawasan lindung yang dikelola terutama untuk perlindungan ekosistem atau rekreasi 5. Kategori V adalah Perlindungan Landsekap Darat dan Perairan
adalah
pengelolaan daerah perlindungan terutama untuk kegiatan konservasi maupun wisata. 6. Kategori VI adalah Pengelolaan Daerah Sumberdaya yang dilindungi terutama untuk pemanfaatan sumberdaya alam yang secara berkelanjutan. Zona perairan konservasi merupakan wilayah yang dijaga dan dilindungi kelestariannya. Wilayah ini dinyatakan terlarang untuk eksploitasi dan eksplorasi serta merupakan daerah penyangga. Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Kawasan konservasi laut sering dianggap sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan konservasi laut juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Aktivitas didalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan (Bengen 2001).
Secara
umum zona – zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokan atas 3 (tiga) zona yaitu : 1. Zona inti adalah zona yang memiliki nilai konservasi tinggi, juga sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolerir sedikit aktifitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak dapat diijinkan adanya aktvitas eksploitasi. 2. Zona Penyangga merupakan zona yang bersifat terbuka, tetapi dikontrol dari beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga disekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu, dan melindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal. 3. Zona Pemanfaatan adalah zona yang masih memiliki nilai konservasi tertentu, tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi di pesisir dan laut. Identifikasi dan pemilihan lokasi potensial untuk kawasan konservasi di pesisir dan laut menuntuk penerapan kriteria. Penerapan kriteria ini sangat membantu dan mengidentifikasi dan memilih lokasi perlindungan secara objektif. 2.6. Pemanfaatan Terumbu Karang Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km 2 dan mempunyai kaenekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Namun dibalik potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya alam didaerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung sering merusak terumbu karang.
Menurut (Supriharyono
2000) beberapa
aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu : (1). Perikanan terumbu karang Masalah
perikanan
merupakan
bagian
dari
ekosistem
bahkan
keanekaragaman karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan. Semakin beragam jenis terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis ikan yang hidup di ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak bisa
diabaikan
pada
pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang.
Dengan
meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara
intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan stock ikan di ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa pulih kembali. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang. (2). Penangkapan Ikan Karang Sumberdaya perikanan dapat berupa sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumber daya
buatan manusia
yang digunakan untuk
memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut tinggal. Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan
serta manusia sebagai
pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem (Nikijuluw 2002). Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. Lebih lanjut (Murdiyanto 2004) menyatakan bahwa dalam sebuah pengelolaan sumberdaya perikanan pantai, para pengelola harus dibekali dengan pengetahuan dan fasilitas yang memadai. Ketersedian data dan informasi yang akurat, sumberdaya manusia yang handal, dana, serta kesadaran dan partisipasi masyarakat adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berhasil dengan baik Manusia dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonominya akan melakukan kerja apa pun juga. Nelayan dalam upaya memenuhi permintaan pasar akan ikan laut hias tentunya akan berusaha sekuatnya untuk memenuhi permintaan tersebut. Namun kadangkala, nelayan lupa akan kaidah kelestarian sumberdaya ikan sehingga pada saat menangkap ikan laut hias akan dilakukan dengan berbagai upaya (dengan menggunakan jaring khusus) bahkan sampai merusak terumbu karang sekalipun (dengan menggunakan bius potassium sianida).
2.7. Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Dari ancaman – ancaman terhadap terumbu karang saat ini hal yang sangat mendesak yang perlu dilakukan adalah tindakan penilaian ekonomi terhadap berbagai macam fungsi terumbu karang baik sebagai pensuplai barang dan jasa. Penilaian bisa dianalogkan dari nilai perikanan atau nilai sebagai pelindung pantai yang mempunyai nilai pasar. Dimana nilai bisa diturunkan berdasarkan pada permintaan (demand), penawaran (supply), harga (price) dan biaya (Cost) (Spurgeon 1992). Selanjutnya Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation/TEV). Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat tiada nilai pasar (non market value). Menurut Fauzi (2004) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri. Dijelaskan juga oleh Fauzi (2004) bahwa terdapat tiga ciri yang dimiliki oleh sumberdaya yaitu: 1. Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah mengalami kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan, maka kecenderungannya akan musnah.
2. Adanya ketidakpastian, misalnya terumbu karang rusak atau hilang. Akan ada biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila sumberdaya alam tersebut mengalami kepunahan. 3. Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya akan lebih besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya. Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu bentuk penilaian yang komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nilai pasar (market value) dari barang tetapi juga nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang sering tidak terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam. Menurut Constanza dan Folke (1997) in Adrianto (2006) tujuan valuasi ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi. Selanjutnya Constanza (2001) in
Adrianto (2005) menyatakan untuk tercapainya ke tiga
tujuan diatas, perlu adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan . Menurut Charles (1993) pembangunan perikanan berkelanjutan harus mengadopsikan
konsep pembangunan perikanan yang mengandung beberapa
aspek yaitu : 1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pengelolaan ekologi secara berkelanjutan biomasa atau stok harus diperhatikan sehingga tidak melewati daya dukung serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. 2. Socioeconomic pembangunan
sustainability perikanan
(keberlanjutan
harus
sosio-ekonomi)
memperhatikan
keberlanjutan
adalah dari
kesejahteraaan penduduk dan pengurangan kemiskinan. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. 3. Community
sustainability
merupakan
suatu
kerangka
keberlanjutan
kesejahteraan yang menyangkut komunitas masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan berkelanjutan. 4. Institutional
sustainability
(keberlanjutan
kelembagaan)
keberlanjutan
kelembagaan menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat.
2.8. Nilai dan Fungsi Terumbu Karang Strategi dunia mengenai konservasi terumbu karang diidentifikasikan sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang berbagai macam kehidupan yang dibutuhkan produksi makanan, kesehatan dan berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Dahuri et al (2001) beberapa nilai fungsi dari terumbu karang antara lain: 1. Nilai ekologis, terumbu karang menjaga keseimbangan kehidupan biota laut dan hubungan tibal balik antara bitao laut dengan faktor abiotik. 2.
Nilai ekonomis, sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai komoditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
3.
Nilai estetika, terumbu karang membentuk panorama yang indah di kedalaman laut yang dapat dimanfaatkan sebagai wisata bahari.
4.
Nilai biologis, yakni sebagai penghasil oksigen perairan dan pengatur keseimbangan ekosistem perairan.
5.
Nilai edukasi, yakni sebagai obyek penelitia dan pendidikan.
Selain itu terumbu karang mempunyai fungsi yang penting antara lain: 1. Sebagai habitat sumberdaya ikan, dalam hal ini dikenal sebagai tempat memijah, bertelur, mengasuh, mencari makan dan berlindung bagi biota laut. 2. Sebagai sumber benih alami bagi pengembangan budi daya perikanan. 3. Sebagai sumber berbagi makanan dan bahan baku subtansi aktif yang berguna bagi dunia farmasi dan kedokteran. 4. Sebagai pelindung dari pantai dari gelombang laut sehingga pantai dapat terhindar dari degrasi dan abrasi.
2.9.
Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat
banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (spatial plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir mengandung 5 dimensi dalam Integrated Coastal and Ocean Management (ICOM)
yaitu (1) keterpaduan antar sektor; (2)
keterpaduan spasial; (3) keterpaduan pengelolaan berbasis pengetahuan; (4)
keterpaduan kelembagaan; dan (5) keterpaduan internasional. Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah
pesisir
hendaknya
dilaksanakan
atas
dasar
interdisiplin
ilmu
(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis (Cicin-Sain and Knecht 1998). Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat tahapan utama : (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Knecht 1998). Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut. Pembangunan meningkatkan taraf
yang
merupakan
suatu
proses
perubahan
untuk
hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan
sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan lautn itu sendiri. Perubahanperubahan tersebut tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan laut, makin tinggi pula tingkat pemnfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir. (Dahuri et al.
2001 ). Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan
berkelanjutan, perlu diperhatikan prinsip-prinsip ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan.
2.10.
Pengelolaan Berbasis Ekosistem
Pengelolaan berbasis ekosistem adalah merupakan suatu konsep pengelolaan sumberdaya alam secara modern. Selanjutnya (Cornett 1994) mendefinisikan pengelolaan ekosistem berbasis perikanan dalam paradigma biofisik dan sosial sebagai indikator yang perlu diperhatikan dari sudut pandang keindahan, kesehatan dan kehidupan ekosistem itu secara berkelanjutan. Terumbu karang dilihat dari produktifitas, keanekaragaman biota dan estetikanya memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Sumberdaya ini dapat dimanfaatkan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat dengan memperhatikan keberlanjutannya dan kelestariannya. Upaya pemanfaatan yang optimal perlu dilakukan agar dapat menunjang pembangunan secara berkelanjutan, dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan suatu pengelolaan (strategic plan), mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antar dimensi ekologis, dimensi sosial, antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku pembangunan (stakeholders). Agar potensi sumberdaya alam ini dapat dimanfaatkan sepanjang masa dan berkelanjutan diperlukan upaya pengelolaan yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan dalam arti memperoleh manfaat yang optimal secara ekonomi akan tetapi juga sesuai dengan daya dukung dan kelestarian lingkungan. Sehingga dalam pengelolaan tidak memanfaatkan akan tetapi juga memelihara dan melestarikannya.
hanya
Pengelolaan berbasis ekosistem di suatu kawasan, harus ada payung hukum dalam melindungi lingkunagan, dan mempertahankan ekosistem agar keanekaragaman sumberdaya hayati selalu terjaga dan dimanfaatkan secara berkelanjutan dan lestari. Berdasarkan pengelolaan ekosistem perikanan yang dikembangkan oleh United Nations Environmental Programme (UNEP) dengan pendekatan pengelolaan dalam pengembangan Ecosistem Based Management (EBM) perlu mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan kondisi wilayah ekologi, sosial dan ekonomi yaitu : 1. Integrasi kondisi ekologis, sosial-ekonomi dan tujuan pengelolaan perlu melibatkan masyarakat sebagai komponen penting dari ekosistem. 2. Batasan pengelolaan perlu mempertimbangkan kondisi ekologi dan politik. 3. Pengelolaan adaptip perlu dilakukan untuk menghadapi perubahan dan ketidak kepastian akibat dari proses alam dan sistem sosial.
4. Pemahaman tentang bagaimana proses dan ekosistem merespons gangguan lingkungan. 5. Keberlanjutan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia
terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi. Hal ini dikenal dengan pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat (Zamani dan Darmawan 2000). Di samping itu juga diperlukan upaya peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat umumnya dan khususnya penduduk yang ada di wilayah pesisir terhadap pentingnya sumberdaya alam dalam menunjang kehidupan saat ini dan generasi mendatang. 2.11.
Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang
unik dan kompleks. Kompleksitas ditunjukkan oleh keberadaan berbagai pengguna dan berbagai entitas pengelola wilayah yang mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir. Kabupaten/kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayah pesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan dan instrumen kelembagaan
yang berbeda satua sama lain dalam
mengelola wilayah pesisirnya. Model pengelolaan wilayah pesisir untuk kabupaten/kota di Indonesia, khususnya dengan keluarnya UU no 22 Tahun 1999 secara formal belum pernah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai konsekuensi dengan keluarnya kebijakan desentralisasi melalui UU nomor 22 tahun 1999, pengelolaan wilayah pesisir menjadi kewenangan pemerintah
kabupaten/kota. Model pengelolaan pesisir wilayah kabupaten
disusun berdasarkan karakteristik ekosistem wilayah pesisir dan diturunkan pada instrumen kelembagaan yang ada di pemerintah daerah kabupaten. Dalam
penyusunan model diterapkan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berbasis ekosistem sebagai sebuah ekosistem yang unik. Membangun sebuah model dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem diperlukan beberapa tahapan sehingga hasilnya dapat dipercaya. Tahapan suatu model dalam ekosistem wilayah pesisir untuk membangun sebuah model Fauzi dan Anna (2008)
diperlukan beberapa tahapan sebagai
berikut : 1. Identifikasi masalah dibangun dari beberapa pertanyaan, menjadi sangat penting untuk membangun suatu model 2. Membangun asumsi-asumsi, hal ini diperlukan untuk menyederhanakan suatu model secara realitas yang kompleks. Oleh karena itu setiap penyederhanaan memerlukan asumsi, sehingga ruang lingkup model berada dalam koridor permasalahan yang akan dicari solusi dan jawabannya. 3. Membuat konstruksi dari model itu sendiri dapat dilakukan melalui diagram alur atau persamaan-persaamaan matematis. Kontruksi model dapat digunakan dengan komputer software maupun secara analitis. 4. Menentukan analisis yang tepat. Tahap ini adalah mencari solusi yang sesuai untuk menjawab pertanyaan yang dibangun pada tahan identifikasi. Dalam analisis pemodelan dilakukan dengan dua cara, pertama dengan melakukan optimasi (apa yang seharusnya terjadi) kedua dengan melakukan simulasi (apa yang akan terjadi). 5. Pengembangan model adalah melakukan interprestasi atas hasil yang dicapai dalam tahap analisis. 6. Validasi adalah model yang valid tidak saja mengikuti kaidah-kaidah teoritis yang sahih, namun juga memberikan interprestasi dari hasil yang diperoleh mendekati kesesuaian dalam hal besaran uji-uji standar seperti statistik dan prinsip-prinsip matematis. Dalam konteks diatas, model perencanaan pengelolaan wilayah pesisir adalah merupakan alat yang penting untuk mengetahui dinamika masyarakat pesisir terkait dengan pola pemanfaatan dan apresiasi terhadap sumberdaya pesisir dan laut. Selanjutnya Adrianto (2009) mengembangkan 6 (enam) tahapan pengembangan siklus pengelolaan pesisir terpadu adalah sebagai berikut :
1. Tahap 1. Persiapan : adalah tahap awal untuk dilakukan pengembangan pengelolaan pesisir terpadu meliputi : (i) menyusun mekanisme program; (ii) mengidentifikasi lokal inisiator yaitu pihak yang melaksanakan program pengelolaan
pesisir
terpadu;
(iii)
menyiapkan
rencana
kerja
bagi
pengembangan program pengelolaan pesisir terpadu; (iv) melaksanakan pelatihan yang diperlukan bagi segenap stakeholder
yang terkait dengan
pengelolaan pesisir terpadu; (v) menyusun sistem monitoring dan evaluasi dan; (vi) mempersiapkan penyusunan status pesisir (state of the coasts) yang akan menjadi obyek pengelolaan terpadu. 2. Tahap 2. Inisiasi, pada tahap ini dibagi 5 jenis kegiatan yaitu : (1) menyusun perencanaan sistem komunikasi dengan stakeholder yang bertujuan untuk meningkatakan kesadaran stakeholder terhadap pentingnya pengelolaan pesisir dan laut; (2) menyusun rencana partisipatif sistem dan menajemen informasi terkait dengan inisiasi pengelolaan pesisir; (3) menyiapkan status pesisir (State of the Coast) yaitu dokumen yang berisis status eksisting dari pesisir yang menjadi obyek pengelolaan; (4) apabila memungkinkan menyusun kajian awal tentang resiko lingkungan pesisir (Itial Risk Assessment; IRA) yang bermanfaat untuk menentukan basis bagi prioritas penyelesaian masalahlingkungan pesisir dan; (5) menyusun rencana pengelolaan pesisir (coastal strategy). 3. Tahap 3. Pengembangan (Development stage) dalam kegiatan ini ada beberapa tahapan
penting yang dilihat adalah sebagai berikut : (i) mempersiapkan
rencana implementasi strategi pengelolaan pesisir; (ii) menyusun rencana monitoring lingkungan; (iii) mengatur mekanisme kelembagaan yang terkait dengan implementasi strategi pengelolaan yaitu meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar institusi; (iv) merancang mekanisme tata ruang di kawasan pesisir; (v) menyusun rancangan sistem pembiayaan yang berkelanjutan terhadap implementasi program dan; (vi) melanjutkan
dan meningkatkan
partisipasi masyarakat. 4. Tahap 4. Tahap
Adopsi ( Adoption Stage ) adalah adopsi dari
rencana
implementasi strategi pengelolaan pesisir (Coastal Starategy Implementation Plan; CISP ). Dengan demikian proses adopsi tidak hanya
melibatkan
eksekutif dalam pemerintah, tatapi juga institusi legislatif karena hasil akhir dari adopsi adalah peraturan daerah atau surat kepuusan eksekutif
yang
disahkan Bupati atau Gubernur tentang rencana implementasi strategi pengelolaan pesisir. 5. Tahap 5. Tahap Implementasi ( Implementation Stage ) adalah imlementasi dari segenap rencana yang sudah disusun hingga tahap adopsi. Hal ini mencakup implementasi dari CISP dengan menggunakan sistem pembiayaan yang sudah ditetapkan dan secara kontinyu melakukan proses monitoring sesuai dengan tahapan setiap strategi yang telah dituangkan dalam rencana implementasi strategi pengelolaan pesisir. 6. Tahap 6. Perbaikan dan Konsolidasi (Raffinement and Consolidation Stage) tahap ini mencakup beberapa kegiatan penting mencakup (i) melakukan kajian terhadap pencapaian hasil implementsi strategi, termasuk didalamnya output dan outcome, relatif terhadap tujuan pengelolaan ; (ii) melakukan proses update terhadap status pesisir (State of the Coast) ; (iii) Apabila diperlukan melakukan perbaikan terhadap dokumen strategi pengeloaaan pesisir (coastal starategy), termasuk Coastal Starategy Implementation
Plan (CSIP) ; (iv)
melakukan kajian terhadap hal-hal penting untuk siklus pengelolaan pesisir berikutnya. Dalam pandangan ecoligical economics, tujuan valuation tidak semata terkait dengan maksimasi kesejahteraan individu atau perorangan, melainkan juga terkait dengan tujuan keberlanjutan ecological dan keadilan distribusi. Selanjutnya Constanza (2001) in Adrianto (2006) menyatakan bahwa valuation berbasis pada kesejahteraan individu semata tidak menjamin tercapainya tujuan ekologi dan keadilan tersebut. Dalam konteks ini, valuasi ecological economics dapat di nilai dengan tiga tujuan dari penilaian itu sendiri, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama efisiensi, keadilan dan berkelanjutan Tingkat Diskusi yang Dasar Diperlukan Preferensi Preferensi Rendah individu Preverensi Tinggi komunitas Preverensi Medium keseluruhan sistem Sumber : Constanza and Folk (1997) in Adrianto (2006) Tujua/Dasar Nilai Efisiensi (Evalue) Keadilan (Ffalue) Keberlanjutan (S-value)
Kelompok Responden Homo Economicus Homo Communicus Homo Naturalis
Tingkat Input Ilmiah yang Diperlukan Rendah Menengah Tinggi
Metode Spesifik Willingnes s to pay Veil of ignorance Modeling
Dari tabel dapat dilihat pandangan ecological-economics, nilai tidak hanya dilihat dari tujuan maksimalisasi prefrensi individu, seperti yang dikemukakan oleh pandangan neoklasik (E-value), melainkan ada nilai-nilai lain, yaitu keadilan (F-value) yang berbasis pada nilai-nilai komunitas, bukan bukan individu. Dalam konteks F-value ini, nilai sebua ekosistem ditentukan berdasarkan tujuan umum yang biasanya dihasilkan dari sebuah konsensis atau kesepakatan antar anggota komunitas (homo communicus) (Adrianto 2006). Selanjutnya dijelaskan oleh Rawls (1971) in Adrianto (2006) metode evaluasi yang tepat untuk tujuan ini adalah veil of ignorance, dimana responden memberikan penilain tanpa memandang status dirinya dalam komunitas. Sementara S-value yang bertujuan untuk unuk mempertahankan tingkat keberlanjutan ekosistem yang dititip beratkan pada kehidupan manusia. Secara empiris, valuasi ekosistem berbsis pada dua nilai terakhir (F-value dan S-value) relatif masih sedikit di lakukan. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi semangat dari pandangan ecologocal economics bahwa perlu adanya penyusunan format nilai ekosistem yang lebih komprehensif, tidak hanya berbasis pada preferensi individu, seperti metode standar yang ada.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian di lakukan di ekosistem terumbu karang perairan
Pulau
Liwutongkidi, sebuah pulau kecil yang terbentang di antara Pulau Kadatua dan Pulau Siompu, Kecamatan Kadatua dan Kecamatan Siompu, Kabupaten Buton dengan batas wilayah sebagai berikut; sebelah barat berbatasan dengan Selat Sulawesi, sebelah utara berbatasan dengan Pulau Kadatua, sebelah timur berbatasan dengan Pulau Buton, dan sebelah selatan berbatasan dengan Pulau Siompu Gambar 2. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Secara temporal, penelitian ini dilakukan selama satu bulan yaitu pada bulan April 2010.
Lokasi Penelitian LOKASI PENELITIAN
PETA LOKSI SIOMPU LIWUTONGKIDI KADATUA KABUPATEN BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Sumber : Peta CRITC-LIPI 2007
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
3.2. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei untuk melihat keberadaan kualitas ekosistem terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal terhadap berbagai kriteria suatu model pengelolaan perikanan berbasis ekosistem perikanan karang dengan menggunakan pendekatan ekologi dan pendekata ekonomi. Dalam upaya menghindari bertambahnya kerusakan ekosistem perikanan karang di perairan Pulau Liwotongkidi maka perlu pengkajian secara seksama baik dari segi ekologis maupun sosial ekonomis. 3.3. Alat dan Bahan Penelitian Dalam pengambilan data substrat dasar dan ikan karang dan parameter fisik perairan dilapangan digunakan beberapa peralatan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Peralatan yang digunkan dalam penelitian ini adalah: peta dasar untuk lokasi penelitian, perahu motor , pita berskala (roll meter ukuran 100 m), peralatan SCUBA (Self Containing Underwater Breathing Aparratus) diving, camera dan video under water, Global Positioning System (GPS) merk magellang triton 2000, alat tulis bawah air dengan kertas tahan air (sabak dan Pensil), buku identifikasi karang (Suharsono 2008), buku identifikasi Ikan, paku beton ukuran besar dan Palu (martil). Selain ikan dan karang juga digunakan alat bantu kuisioner untuk data social ekonomi perikanan karang. 3.4. Jenis dan Sumber Data Secara garis besar jenis dan sumber data yang
di kumpulkan dalam
penelitian ini ada dua jenis data yaitu : data primer dan data sekunder. Untuk lebih jelas jenis data dan metode pengumpulannya dapat diuraikan sebagai berikut : 3.4.1. Data primer Data primer untuk komponen biofisik terdiri dari jenis data fisika, kimia dan biologi yang meliputi 3 lokasi di perairan Kadatua, Perairan, Siompu dan perairan Liwutongkidi sedangkan data sosial ekonomi diperoleh dari hasil wawancara langsung di lapangan dengan berpedoman pada kuisioner yang telah dirancang. Secara jelas data primer yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis dan sumber data primer No.
Komponen
1. Biofisik
2. Sosial Ekonomi
Jenis Data A. Fisika - Kedalaman Perairan - Kecerahan Perairan - Kecepatan arus - Suhu perairan B. Kimia - Salinitas perairan - Oksigen terlarut (OD) C. Biologi - Tutupan Karang - Kelimpahan ikan -
Umur Pendidikan Pendapatan Tanggungan Pengalaman Profesi mata pencaharian
Sumber data In situ In situ In situ In situ In situ In situ Insitu In situ In situ In situ In situ In situ In situ
3.4.2. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder merupakan data penunjang yang dikumpulkan dari berbagai sumber data seperti hasil penelitian terdahulu, laporan dan dokumen yang berhubungan dengan penelitian. Data dari pemerintah daerah, Dinas Perikanan dan Kelautan kabupaten Buton, Kantor BPS dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan penelitian, maupun yang berasal dari publikasi dan penelitian yang pernah dilakukan. Rincian jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis dan sumber data sekunder No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis data Demografi, sosial ekonomi dan budaya Data terumbu karang dan ikan karang
Sumber Data Bappeda/BPS Kabupaten Buton Dinas kelautan dan Perikanan Kabupten Buton/LIPI Data Struktur komunitas karang tahun Dinas kelautan dan Perikanan 2005 - 2008 Kabupten Buton/LIPI Data pemasaran dan hasil tangkapan Dinas kelautan dan Perikanan ikan lima tahun terakhir Kabupten Buton Peta administrasi wilayah penelitian Bappeda Kabupaten Buton Peta topografi wilayah, hidrologi dan Bappeda Kabupaten Buton/ rupa bumi Bakosurtanal
3.5. Metode Pengambilan Contoh Untuk mengetahui kondisi terumbu karang dan kondisi fisik perairan, perlu adanya pengambilan data. Secara garis besar ada dua komponen data yang harus diambil yaitu: komponen data biofisik dan komponen data sosial ekonomi. 3.5.1. Pengambilan Contoh Komponen Biofisik Lokasi pengambilan data biofisik berupa penutupan substrat dasar dan komunitas ikan karang serta data fisik kondisi perairan dengan metode purposive sampling dimana penentuan titik-titik pengambilan contoh dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil antara lain berupa keselamatan peneliti, waktu, biaya dan daerah terumbu karang yang dapat mewakili setiap lokasi penelitian. Jumlah titik-titik pengambilan contoh sebanyak 20 stasiun diantaranya 10 stasiun pada Pulau Liwutongkidi, 5 stasiun pada Pulau Kadatua dan 5 stasiun pada Pulau Siompu. Lebih jelas titik-titik stasiun pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 4. Penutupan substrat dasar
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Pengamatan secara kualitatif dilakukan dengan pengamatan secara visual dengan metode mantaw tow tentang profil habitat. Sedangkan untuk pengamatan kuantitatif dilakukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT) (English at.al 1994) dengan beberapa modifikasi CRITIC-COREMAP LIPI (2004). Transek dilakukan dengan menarik pita rol meter sepanjang 70 m sejajar garis pantai dengan posisi pantai adalah sebelah kiri penyelam. Kemudian LIT di tentukan pada garis transek dengan tiga kali ulangan yaitu : 0 -10 m, 30 - 40 m dan 60 - 70 m. Semua biota dan substrat yang menyinggung garis transek tersebut di catat dengan ketelitian mendekati sentimeter, dibagi panjang transek Gambar 3.
Gambar
3. Teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang dengan menggunakan metode LIT.
122°30'
122°32'
122°34' 122°
124°
120°
122°
124°
3°
3°
1°
1°
1°
1°
120°
5°30'
5°30'
122°28'
5°
5°
5°32'
5°32'
P. Kadatua P. Siompu
Kapoa Waonu #
5°34'
5°34'
5
P. Buton
1
#
# #
2
#
4
3
Liwutongkidi 4 5 P. 6 #
#
3
#
#
#
5°36'
#
7
5°36'
2
#
8
# #
#
1 10 9
3
#
4
5
#
5°38'
5°38'
#
1
#
Tongali
2
P. Kadatua Siompu P.
#
122°28'
122°30'
PETA PENELITIAN LOKSI PETA LOKASI SIOMPU LIWUTONGKIDI KADATUA SILIKA KABUPATEN BUTON KAB. BUTONTENGGARA PROVINSI SULAWESI PROV. SULAWESI TENGGARA
122°32'
N Skala 1 : 80.000 1
0
2Km
122°34'
Keterangan: # Stasiun Pengamatan Garis Pantai Daratan Rataan Terumbu
Sumber : Peta CRITC-LIPI 2007
Gambar 4. Peta lokasi pengambilan data struktur komunitas ikan karang dan korelasinya
3.5.1.1. Kualitas Perairan Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai penting bukan hanya dari sisi sosial dan ekonomi saja namun juga dari sisi biologi, kimia dan fungsi fisik yang dapat menentukan keberlangsungan kehidupan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir. Untuk mengetahui kondisi perairan di wilayah pesisir pulau Liwitongkidi, Siompu dan Kadatua perlu dilakukan pengukuran terhadap beberapa parameter yang terkait dengan penelitian tersebut. Lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter kualitas perairan Parameter Fisika - Kedalaman Perairan - Kecerahan Perairan - Kecepatan arus - Suhu perairan Kimia - Salinitas perairan - Oksigen terlarut (OD)
Satuan meter meter meter/detik 0 C Ppt ‰ ppm
Alat Deep Gauge Secchi disc Floating drought Thermometer Refraktometer DO meter YSI 2000
3.5.1.2. Komunitas Ikan Karang Pengambilan data komunitas ikan karang di lokasi penelitian Pulau Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua menggunakan metode survei Line Intercept Transect (LIT). Transek dilakukan dengan menarik rol meter dengan panjang transek 70 m dipasang sejajar garis pantai dengan lebar 2,5 m sisi kiri dan kanan garis transek sehingga luas bidang pangamatan ikan per transek adalah 350 meter persegi pada kedalaman berkisar antara 3 – 10 m. Pengambilan data ikan karang di lakukan pada sisi timur, barat, utara dan selatan Pulau Liwutongkidi sedangkan untuk Pulau Kadatau pada sisi sebelah selatan dan Pulau siompu pada sebelah utara Gambar 5. Spesies ikan yang di data dilokasi penelitian dan dikelompokan kedalam 3 kelompok berdasarkan peranananya English at al. (1977) yaitu : 1. Ikan Target. Ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; family Serranidae (ikan kerapu), Lethrinidae (ikan lencam), Nemimpteridae ( ikan Kurisi), Lutjanidae (ikan kakap), Scaridae (ikan kaka tua), Acanthuridae (ikan
pakol), Mulidae, Siganidae (ikan baronang/samandar), dan Haemulidae (ikan bibir tebal). 2. Ikan Indikator. Sebagai ikan penentu untuk terumbu karang karena ikan ini erat hubunganya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari famili Chaetodontidae (kepe-kepe). 3. Ikan Lain (Mayor Famili). Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan banyak dijadikan ikan hias air laut Pomacentridae (ikan betok), Caesionidae, Scaridae, Pomacanthidae, Labridae (ikan sapu-sapuatau cina-cina), Apogonidae (ikan serinding) dan lain-lain
Gambar 5. Teknik pengumpulan data ikan dengan underwater visual census (UVC)
3.5.1.3. Bentuk Pertumbuhan (lifeform) Komunitas Karang Dalam melakukan identifikasi bentuk pertumbuhan (lifeform) komunitas karang atau penutupan substrat dasar dan biota lain diukur dengan menghitung panjang rol meter yang menyinggung masing-masing biota. Identifikasi dilakukan pada 20 stasiun di kawsan konservasi Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya. Kemudian pencatatan terhadap jenis karang yang menyinggung garis transek dengan ketelitian sampai dengan centimeter. Data tersebut untuk menghitung nilai presentase
persen tutupan karang dengan penggolongan komunitas karang
berdasarkan lifeform. Daftar penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan lifeform dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Daftar penggolongan komponen dasar komunitas karang berdasarkan lifeform dan kodenya
Kategor Branching
Kode ACB
Encrusting
ACE
Submassive Digitake Tabulate Branching
ACS ACD ACT CB
Encrusting
CE
Foliose
CF
Massive Submassive Mushroom Heliopora Mellepora Tabipora
CM CS CMR CHL CME CTU DC DCA SC SP ZO OT AA
Keterangan Paling tidak 2o percabangan. Memiliki axial dan radial coralit Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora belum dewasa Tegak dengan bentuk seperti baji Bercabang tidak lebih dari 2o Bentuk seperti meja datar Paling tidak 2o percabangan. Memiliki radial dan radial coralit Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak) paling tidak 2o percabangan Karang terikat ada satu atau lebihtitik,seperti daun, atau berupa piring Seperti batu besar atau gundukkan Berbentuk tiang kecil, knop atau baji Soliter, karang hidup bebas dari genera Karang biru Karang api Bentuk seperti pipa-pipa kecil Baru saja mati,warna putih atau putih kotor Karang ini masih berdiri,struktur skeletal masih terlihat Karang bertubuh lunak Karang berbentuk tabung Contoh, Platythoa, Protoplatyhoa Anemon,tripang,gorgonian, kima dan lain-lain Terdiri lebih dari satu spesies
CA
Algae yang mempunyai struktur kapur
HA MA TA
Berumput/berwarna coklat daging, merah Seperti rumput/tebal,berwarna coklat,merah Algae berfilamenlebat, yang sering ditemukan di dalam teritori damselfish Pasir Patahan karang yang ukurannya kecil Paasir berlumpur Air atau celah-celah yang lebih dari 50 m Batu
Acropora
NonAcropora
Dead Coral Dead Coral with Algae Soft Coral Sponge Zoanthidae Others Algae Assemblage Coralline algae Algae Halimeda Macro algae Turf algae
Sand S Rubble R Silt SI Abiotik Water W Rock RCK Sumber : English et al. (1977)
3.5.2. Metode Pengambilan Contoh Sosial dan Ekonomi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Tujuan studi kasus untuk memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, tipe pendekatan dan penelaahannya terhadap satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal 2001).
Lebih lanjut secara mendalam dapat dikaji aktivitas ekonomi masyarakat dengan penggunaan teknik survey dalam pengambilan responden. Penelitian di lakukan pada aktivitas ekonomi yang berbasis sumberdaya alam yaitu usaha penangkapan ikan satuan kasusnya adalah areal ekosistem terumbu karang yang secara administratif terletak di Pulau Liwutongkidi. Penentuan pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Pengertian purposive adalah peneliti yang menentukan sendiri responden yang akan diambil dengan anggapan ataupun pendapatnya sendiri sebagai sampel penelitiannya. Responden terdiri dari masyarkat nelayan Desa Kapoa, Desa Waonu Kecamatan Kadatua dan Desa Tongali Kecamatan Siompu dapat dilihat pada Gambar 6.
12 2 ° 3 0'
12 2 ° 3 2'
12 2 °3 4' 122 °
124 °
120 °
122 °
124 °
3°
3°
1°
1°
1°
1°
120 °
5°30'
5°30'
12 2 °2 8'
5°
5°
5°32'
5°32'
S iomp u P. Kadatua
Ka poa W aonu 5°34'
5°34'
P. B uton
Lokasi Pengambilan Data Sosial Ekonomi
5°38'
5°38'
5°36'
5°36'
P. Liw u to ngk id i
Tonga li
P.P. K Siompu ad at ua 12 2 °2 8'
12 2 ° 3 0'
12 2 ° 3 2'
PETA LOKSI P ET A LO K ASI P E NE L ITIAN SIOMPU LIWUTONGKIDI S ILIKA KADATUA N KKABUPATEN AB. B UTO N BUTON S ka la 1 : 80 .0 00 P RO V . S UL AW ES I TE N G GA RA PROVINSI SULAWESI TENGGARA 1 0 2Km
12 2 °3 4'
K et erang an: G aris P an ta i Daratan Rataan T erum bu
Sumber : Peta CRITC-LIPI 2007
Gambar 6. Peta pengambilan data sosial ekonomi
Responden yang di ambil dalam penelitian adalah nelayan yang menggunakan berbagai jenis alat tangkap diataranya pancing, jaring insang hanyut, jaring insan tetap, pancing ulur dan bubu, sehingga jumlah sampel yang diambil telah dianggap nelayan pemanfaatan sumberdaya perikanan karang. Jumlah responden sebanyak 50 orang dari masing-masing desa, sehingga jumlah 150 orang dari populasi responden nelayan dari ketiga desa tersebut dengan jumlah nelayan sebanyak 500 orang. Jumlah sampel setiap populasi minimal 10%, rumus penentuan jumlah responden mengacu pada Yamane (1967) in Rahmat (1999) sebagai berikut.
n
N Nd 2 1
..................................................................
(1)
Dimana : N
= Jumlah populasi
n
= Jumlah sampel
d
= Tingkat kekeliruan/kesalahan dalam pengambilan sampel 10%
3.6. Analisis Data 3.6.1. Analisis Data Ekologi Pendekatan ekologi dari ekosistem terumbu karang adalah untuk melihat sejauh mana terjadi degradasi terhadap ekosistem terumbu karang. Oleh sebab itu maka perlu adanya pendekatan secara ekologi untuk melihat struktur komunitas ikan karang yang terdiri dari : 3.6.1.1. Persentase Penutupan Substrat Dasar Persentase penutupan substrat dasar adalah bagian dari tutupan struktur komunitas karang selain penutupan biota lain dengan persamaan
Ni
li 100% L
.........................................................................
Dimana : Ni : Persentase penutupan substrat dasar ke-i (%) li
: Panjang lifeform karang jenis ke-i
L
: Panjang total transek garis pengamatan ke-i
(2)
Kategori kondisi dalam kriteria persentase penutupan karang hidup berdasarkan Gomez dan Yap (1988)
menyatakan kriteria baku mutu untuk
kondisi terumbu karang sebagai berikut : a. Dikatakan sangat baik antara 75 – 100 % b. Dikatakan baik antara
50 – 74.9 %
c. Dikatakan sedang antara 25 – 49.9 % d. Dikatakan rusak antara 3.6.1.2.
0 – 24.9 %
Indeks Mortalitas Indeks mortalitas merupakan nilai yang digunakan untuk menduga tingkat
kesehatan atau kondisi dari ekosistem terumbu karang dan merupakan analisis lanjutan dari persen penutupan substrat dasar dengan formula sebagai berikut :
MI
KM ...................................................................... ( KM KH )
(3)
Dimana : MI : Indeks mortalitas KM : Karang mati (Dead Coral, With Algae and Rubble ) KH : Karang hidup (Hard Coral, Soft Coral and Other) Nilai MI mempunyai kisaran antara 0 – 1, apabila nilai MI mendekati 0, berarti kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian karang yang kecil atau tingkat kesehatan karang tinggi. Sedangkan nilai MI mendekati 1, berarti kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian karang yang besar atau memiliki kesehatan yang rendah Fachrul (2007). 3.6.1.3. Indeks Keanekaragaman (H') Untuk mencari indeks keanekaragaman (H') berdasarkan gambaran populasi melalui jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas Odum (1971). Untuk menghitung indeks keanekaragaman digunakan indeks Shannon dengan rumus sebagai berikut : s
H ' pi ln pi i 1
............................................................................
(4)
Dimana : H’
= Indeks keanekaragaman
s
= jumlah spesies ikan karang atau jumlah lifeform biota habitat dasar
pi
= proporsi jumlah individu pada spesies ikan karang atau proporsi persentase penutupan lifeform biota habitat dasar
Kriteria Indeks keanekaragaman menurut Brower dan Zar (1977) : H' ≤ 2.30
: keanekaragaman kecil, tekanan lingkungan sangat kuat
2.3 < H' ≤ 3.30
: keanekaragaman sedang, tekanan lingkungan sedang
H' > 3.30
: keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem
3.6.1.4. Indeks Keseragaman (E) Indeks keseragaman adalah untuk mengukur keseimbangan komunitas. Hal ini didasarkan pada ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas dihitung berdasarkan persamaan :
E
H' Hmaks
..................................................................
(5)
Dimana : E: Indeks keseragaman H'
: Indeks keanekaragaman
Hmax
: keseimbangan spesies dalam keseimbangan maksimum = log2 S
S : Jumlah biota/taksa bentuk pertumbuhan karang atau jumlah jenis spesies Kriteria indeks keseragaman berkisar 0 – 1 menurut Brower dan Zar (1977) : E ≤ 0.4
: keseragaman kecil, komunitas tertekan
0.4 < E ≤ 0.6
: keseragaman sedang, komunitas labil
E > 0.6
: keseragaman tinggi, komunitas stabil
3.6.1.5. Indeks Dominasi (C) : Indeks dominansi (C) digunakan untuk menghitung kedominanan suatu spesies. Indeks ini dihitung dengan melalui indeks dominansi Simpson (Simpson in Odum 1971) dihitung berdasarkan rumus persamaan :
n
C ( pi )2
.................................................................
i 1
(6)
Dimana : C
: Indeks dominasi
Pi
: Proposi jumlah ke- i terhadap jumlah total
s
: jumlah spesies ikan karang
Nilai indeks dominasi berkisar 1 – 0 yang artinya apabila nilai mendekati nilai 1 maka ada kecenderungan satu individu mendominasi yang lainnya.
3.6.2. Analisis Data Ekonomi Untuk mengetahui seberapa besar manfaat suatu barang secara langsung maupun tidak langsung yang dapat diperoleh dari keberadaan ekosistem terumbu karang, maka digunakan beberapa analisis yaitu : 3.6.2.1. Kerangka Pendekatan Penilaian Valuasi Ekonomi Penilaian valuasi ekonomi potensi sumberdaya terumbu karang di kawasan konservasi
pulau
Liwutongkidi
kabupaten
Buton
ini
didekati
dengan
menggunakan pendekatan change in productivity atau yang lebih dikenal dengan sebutan Effect on Production (EOP) sesuai yang dilakukan oleh Cesar 1996 dan Molberg & Folke 1999. Pendekatan penilaian dengan teknik EOP ini dilakukan untuk mengetahui nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya terhadap produktifitas perikanan karang. 3.6.2.2.
Pendugaan Fungsi Permintaan terhadap Sumberdaya Perikanan Karang
Pengukuran nilai ekonomi langsung dilakukan dengan beberapa langkah – langkah yang dikembangkan Adrianto (2006) sebagai berikut: (a) Menentukan fungsi penggunaan produktivitas sumberdaya hasil tangkapan ikan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat.
Pendugaan fungsi
permintaan (Direc Uses Value/DUV ) terhadap pemanfaatan langsung dari sumberdaya ekosistem terumbu karang . 1
2
3
Q 0 X 1 X 2 X 3 ... X n
n
…........................………………….
(7)
Dimana : Q
: Jumlah sumberdaya ikan yang diminta
X1
: Harga
X2, X3, ...Xn : Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga. (b) Melakukan transformasi fungsi penggunaan menjadi fungsi linear agar dapat diestimasi koefisien masing-masing parameter dengan menggunakan teknik regresi linear. Formula pada persamaan (1) kemudian ditransformasi menjadi persamaan (2) sebagai berikut:
ln Q 0 1 ln X 1 2 ln X 2 3 ln X 3 ... n ln X n
ln Q ((0 2 (ln X 2 ) 3 (ln X 3 ) ...n (ln X n )) 1 ln X1 ln Q 1 ln X 1 ……………………..……………………….
(8)
(c) Mentransformasi kembali fungsi permintaan menjadi bentuk persamaan asal (persamaan 1), untuk mendapatkan fungsi penggunaan sumberdaya terumbu karang hasil integrasi dengan koefisien dan variabel sosial ekonomi yang ditunjukkan melalui persamaan (9) berikut ini: 1
Q exp ) X1
jika exp ( ) diartikan sebagai dan 1 adalah , maka
akan diperoleh persamaan sebagi berikut :
Q X 1 .................................................................................... (9) (d) Untuk menduga atau mengestimasi total kesediaan membayar (Nilai Ekonomi Sumberdaya)
a
U
f Q dQ
………..................…………………………….. (10)
0
Dimana U : nilai utilitas terhadap sumberdaya atau total WTP dari pemanfaatan potensi sumberdaya ikan pada kawasan konservasi, f(Q): fungsi permintaan
a : batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta
(e) Menduga nilai konsumen surplus (CS) yang merupakan nilai langsung pemanfaatan sumberdaya perikanan karang per satuan individu sebagai berikut :
CS U PQ ……..................………......…………...
(11)
Pt X 1 Q Dimana : CS :
konsumen surplus yang merupakan nilai langsung pemanfaatan sumberdaya perikanan karang
Pt : harga yang dibayarkan,
Q : rata-rata jumlah sumberdaya yang dikonsumsi/diminta, X1 : harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta
3.6.2.3. Model Analisis Sistem Perikanan Karang Penentuan batasan model disini adalah berdasarkan pada tinjauan model dasar dan isu-isu yang diangkat dalam suatu kasus, yang meliputi beberapa komponen utama, yaitu daya dukung lingkungan, sumberdaya ikan, upaya penangkapan, Pasar dan sarana-prasarana. Untuk memudahkan pemahaman mengenai penentuan batasan model ini, maka dikembangkan suatu bangun model sederhana yang menggambarkan konsep pemikiran dari pengembangan suatu model, yang didalamnya sudah menggabungkan semua sub-sub model ke dalam suatu model yang utuh, seperti terlihat pada Gambar 7. Model ini mencoba menggabungkan antara pendekatan ekonomi dan analisis dinamika populasi ikan. Pendekatan ekonomi biasanya berkonsentrasi pada property analisis dimana ada titik keseimbangan, tapi pada model ini diperkaya lagi dengan eksperimen penelitian dan mencoba menunjukkan bagaimana jika keduanya digabung untuk menduga sensitivitas dari hasil pemodelan sehingga didapat model yang spesifik, kondisi awal, perkiraan empiris, dan petunjuk pengumpulan data, analisis serta bagaimana membuat kebijakan.
Gambar 7. Causal loop pengembangan model perikanan karang
4. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administratif Pulau Liwutongkidi atau biasa disebut juga oleh masyarakat Buton sebagai Pulau Ular merupakan sebuah pulau kecil yang terbentang antara Pulau Kadatua dan Pulau Siompu. Ketiga pulau ini memiliki struktur dasar perairan yang tidak jauh berbeda. Struktur pantai yang terdiri dari pantai dengan dinding berbatu cadas tersebar cukup luas di Pulau Siompu dan Pulau Kadatua. Pantai kecil yang berpasir putih juga banyak terdapat pada ketiga pulau ini. Pulau Liwutongkidi dengan luas pulau sekitar 101,88 km2 dan panjang garis pantai sekitar 4,747 m. Secara geografis pulau Liwutongkidi terletak pada 05 035’ 23”LS- 05 035’ 59” LS dan 122029’ 57”BT- 122030’51” BT dengan batas wilayah; sebelah barat berbatasan dengan Selat Sulawesi, sebelah Utara berbatasan dengan pulau Kadatua, sebelah timur berbatasan dengan pulau Buton, dan sebelah selatan berbatasan dengan pulau Siompu. Secara fisik, pulau Liwutongkidi dikategorikan sebagai pulau kecil dan merupakan pulau tidak berpenghuni, sehingga cakupan wilayah survei untuk data demografi meliputi Kecamatan Siompu dan Kecamatan Kadatua. Secara Administratif batas-batas wilayah dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6.
Batas wilayah Kecamatan Siompu dan Kecamatan Kadatua
Batas Wilayah No. Kecamatan Sebelah Sebelah Sebelah Timur Utara Selatan 1 Siompu Kec. Kadatua Laut Flores Kec. Batauga 2 Kadatua Selat Buton Kec. Siompu Kec. Batauga
Sebelah Barat Laut Flores Laut Flores
Sumber : BPPS Buton, 2009
Ekosistem pulau Liwutongkidi memiliki topografi datar sampai curam. Pada bagian datar kondisi substrat pasir bercampur tanah sedangkan pada bagian curam umumnya berupa batu cadas. Pada topografi datar (bagian timur pulau Liwutongkidi) umumnya ditemukan vegetasi berupa pandan, berbagai macam species golongan rumput-rumputan, tumbuhan merambat (herba) dan kelapa. Pada topografi curam (bagian barat Pulau Liwutongkidi) umumnya banyak ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dengan struktur semak. Sedangkan ke arah dalam pulau
(tengah pulau) ditumbuhi vegetasi dengan komposisi dan struktur yang lebih bervariasi. Pada pulau Liwutongkidi ditemukan beberapa spesies hewan seperti ketam kenari dan beberapa jenis ular. Sementara di sebelah barat perairan pulau Liwutongkidi merupakan jalur migrasi lumba-lumba dan penyu.
Pada pulau
Liwutongkidi juga terdapat sumur air tawar yang merupakan sumber air tawar bagi masyarakat yang ada di sekitar pulau utamanya masyarakat Desa Kapoa (Kecamatan Kadatua). 4.2. Keadaan Fisik Pulau Kadatua, Pulau Siompu dan Pulau Liwutongkidi beriklim tropis dan terletak di sekitar garis khatulistiwa. Suhu pada siang hari sangat panas dan curah hujan yang cukup tinggi. Musim hujan dipengaruhi oleh angin Barat yang terjadi pada bulan Desember sampai April, ditandai oleh curah hujan tinggi, ombak besar dan angin kencang. Pada musim ini angin darat bertiup dari Benua Asia dan Lautan Pasifik.
Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai
September, angin Timur bertiup dari Benua Australia yang kering. Pada bulan April-Mei arah angin dan curah hujan tidak menentu, dikenal dengan musim pancaroba. Kedalaman perairan Kadatua, Siompu dan Liwutongkidi bervariasi antara wilayah yang satu dengan lainnya dengan kedalaman antara 1 – 1000 m. Kondisi perairannya pada musim timur sangat ditentukan oleh pola pergerakan arus dan gelombang yang bergerak dari Laut Banda memasuki Selat Makassar, sebaliknya pada musim barat terjadi pergerakan arus dari Selat Makassar masuk ke Laut Flores dan terus ke Laut Banda. 4.3. Kondisi Biofisik 4.3.1. Kondisi Terumbu Karang Tipe terumbu karang di perairan Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua adalah terumbu karang tepi (fringing reef). Bentuk dasar koloni karang lengkap, yaitu karang masif (massive), bercabang (branching), mengerak (encrusting), dan lembaran (foliaceous). Berdasarkan hasil pengamatan Anonimous (2003 ) Persen penutupan karang hidup pada daerah rataan terumbu karang pada kedalaman 3 meter
umumnya kondisinya baik (> 50%) bahkan pada beberapa stasiun pengamatan kondisinya dalam kategori baik sekali di bandingkan dengan kedalaman 10 meter. Selanjutnya Napoleon (2006) menjelaskan kondisi ekosistem terumbu karang di sekitar Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua kondisi ekosistem terumbu karang pada kedalaman 3 meter lebih baik dari pada kedalaman 10 meter. Dampak kerusakan terumbu karang secara umum terjadi akibat pemanfaatan hasil perikanan karang dengan menggunakan bom ikan, penggunaan bubu dan juga kerusakan karang akibat jangkar kapal nelayan. Dari data tersebut di atas menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang yang ada di perairan Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua masih sangat mendukung kehidupan organisme yang berasosiasi di dalamnya. 4.3.2. Kualitas Perairan Hasil pengukuran dan pengamatan yang mengacu pada kriteria parameter kualitas perairan untuk kehidupan organism laut. Secara umum kondisi perairan Siompo Liwutongkidi dan Kadatua adalah relatif sama. Dari Hasil penelitian parameter fisika dan kimia yang dilakukan diperoleh suhu perairan berkisar 28 31,5 0C, salinitas berkisar 32,0 – 34,2 %o, kecepatan arus berkisar 0,01 – 0,50 m/dtk, Kecerahan tempat pengambilan sampel 100%, DO berkisar 6,00 – 6,60 mg/L, suhu berkisar antara 27.5 – 30.5 oC dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Kualitas perairan di Liwutongkidi, Siompu dan Kadatua No
Parameter
1.
Fisika - Kedalaman (m) - Kecerahan (%) - Kecepatan arus (m/det) - Suhu perairan (0C)
Lokasi Pengamatan Liwutongkidi Siompu Kadatua 3 – 10 100 0.01 – 0.50 27,8 – 30,5
3 – 10 100 0.05 – 0.10 27,5 – 30,3
3 – 10 100 0.01 – 0.50 27,5 – 29,0
BML Alami Alami Alami
2.
Kimia - Salinitas perairan (ppt) 32.0 – 34.2 32.0 – 34.0 32.0 – 34.0 - Oksigen terlarut (DO) ppm 6.5 – 6.60 6.0 – 6.4 6.0 – 6.4 >4 - pH 8.0 -8.2 7.9 – 8.5 7.9 – 8.5 7–9 Sumber : Hasil olahan data primer 2010 BML : Baku Mutu Lingkungan, untuk Kualitas Air Laut bagi Biota Laut atau Budidaya Perikanan (Keputusan Men-LH No.02/MENLH/10/1988).
Dengan kondisi perairan di atas menggambarkan bahwa kualitas perairan masih alami dan belum ada pencemaran perairan. Pencemaran perairan diduga hanya berasal dari limbah minyak dari pada jalur transportasi khususnya dari Bau-
Bau ke Pulau Kadatua dan Siompu atau sebaliknya. Tingkat kejernihan air pada setiap titik pengambilan sampel 100%, mengindikasikan bahwa pada lokasi ini tidak ada sedimentasi (tidak ada sungai) dan juga substrat umumnya adalah karang atau pasir. 4.4. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan 4.4.1. Kapal motor/perahu Untuk transportasi laut umumnya berupa perahu (sampan) yang digunakan penduduk baik untuk melakukan aktifitas perikanan maupun sebagai alat transportasi laut di ketiga desa bervariasi jumlah dan ukurannya. Sebagai sarana perikanan, masyarakat (nelayan) banyak menggunakan sampan baik yang menggunakan mesin maupun tanpa mesin. Jumlah perahu atau kapal motor dari tahun ke tahun menurun disebabkan adanya pemekaran desa lebih jelas dapat di lihat pada Gambar 8. Gambar 8. Jumlah perahu/kapal motor Desa Kapoa, Waonu dan Tongali
Sumber : Statistik Potensi dan Produksi Perikanan Kabupaten Buton Tahun 2009
4.4.2. Jenis Alat Tangkap Alat tangkap yang digunakan nelayan di desa Tongali, Siompu dan Kadatua pada umumnya adalah pancing ulur, bubu, gillnet, dan pukat. Jumlah alat tangkap yang digunakan sekitar 10 jenis alat yang dikelompokkan yaitu kelompok pukat ( pukat cincing, jaring insang hanyut, jaring insang tetap), kelompok pancing (pancing tonda,
pancing ulur), kelompok alat perangkap (sero dan bubu), dan kelompok bagan (bagan tancap dan bagan perahu). Sebagian besar usaha perikanan tangkap bersifat perorangan dan sedikit sekali usaha perikanan tangkap berkelompok skala besar. Jumlah alat tangkap dapat dilihat pada gambar 9.
Gambar 9. Jumlah Alat Tangkap di Desa Kapoa, Waonu dan Tongali
Sumber : Statistik Potensi dan Produksi Perikanan Kabupaten Buton Tahun 2009
4.4.3. Iklim dan Musim Tangkapan Perubahan cuaca suatu daerah atau kondisi Iklim wilayah dipengaruhu oleh temperatur udara, jumlah hari hujan, jumlah curah hujan dan intensitar penyinaran. Pulau Liwutongkidi, Pulau Siompu dan Pulau Kadatua masuk dalam kotegori daerah basah yang mempunyai curah hujan lebih dari 2.000 mm/ tahun. Keadaan musim ketiga pulau ini pada umumnya sama dengan daerah lain yaitu mempunyai 2 musim yakni musim hujan dan musim kemarau dengan temperatur udara berkisar antara 270C hingga 30 0C. Mayoritas nelayan dari ketiga desa ini melakukan aktifitas penangkapan ikan karang secara maksimal pada musim timur atau masyarakat lokal mengenalnya dengan musim teduh. Musim tersebut terjadi sekitar bulan Mei hingga Agustus pada musim ini nelayan menggunakan jaring, pancing, panah dan bubu untuk menangkap ikan karang. Penangkapan ikan karang mulai berkurang pada musim barat yaitu pada bulan Oktober hingga Desemmber pada musim ini nelayan kesulitan untuk melaut karena gelombang besar dan angin kencang.
Secara umum nelayan-nelayan tersebut sudah mengenal kapan perubahan musim tersebut akan berlangsung dengan melihat tanda-tanda dari
alam disekitar
lingkungan mereka. Selain perubahan musim mereka juga mengetahui kapan musim tangkapan ikan karang. Musim penangkapan ikan karang dengan hasil tangkapan banyak pada bulan Maret sampai Juli, hasil tangkapan sedang pada bulan September dan Oktober dan hasil tangkapan kurang bulan Desember sampai dengan bulan Januari. 4.5. Keadaan Sosial Ekonomi 4.5.1. Aksesbilitas Meskipun saat ini belum ada sarana dan prasarana
jalur transportasi
khusus ke pulau Liwutongkidi mengingat pulau ini tidak berpenghuni dan dijadikan sebagai tempat wisata, namun aksesebilitas ke pulau Liwutongkidi tergolong mudah sebab dapat diakses melalui transportasi laut baik dari pulau Kadatua, pulau Siompu maupun dari kota Bau-Bau. Transportasi ke pulau Liwutongkidi rata-rata ditempuh hanya sekitar 20 sampai 30 menit dengan menggunakan perahu bermotor baik dari Kadatua, Siompu, maupun dari kota Bau-Bau. Jarak desa ke ibukota kecamatan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jarak desa ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten No 1. 2. 3.
Desa Kapoa Waonu Tongali
Kecamatan (Km) 5 1.5 11
Kabupaten (Km) 57 56 13
Luas (Km2) 2.51 1.76 2.50
Sumber : Kecamatan Kadatua dan Siompu dalam Angka 2009
4.5.2. Kependudukan Jumlah penduduk desa Kapoa, Waonu dan Tongali sampai pada tahun 2008 masing-masing 1087, 834 dan 1831 jiwa. Dari ketiga desa ini, desa tongali menjadi desa dengan jumlah penduduk yang terbanyak dan terpadat dengan kepadatan penduduk 732 jiwa/km2 yang berarti bahwa setiap 1 km2 rata-rata dihuni oleh 732 orang dengan persebarannya 18.60%. Sedangkan untuk Desa Waonu kepadatan penduduk 474 jiwa/km2 dengan persebarannya 8.70% dan desa Kapoa kepadatannya 433 jiwa/km2 persebarannya 11.33% Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah kepadatan penduduk dan persebarannya No Nama Desa 1. 2. 3.
Kapoa Waonu Tongali
Jumlah Penduduk (jiwa) 1087 834 1831
Kepadatan jiwa/km2) 433 474 732
Persebarannya (%) 11.33 8.70 18.60
Sumber : Kecamatan Siompu dan Kadatua dalam Angka 2008
Agama yang dianut oleh ketiga desa seluruhnya beragama Islam. Mata pencaharian utama mereka sehari-hari adalah
nelayan. Jumlah penduduk
berdasarkan kepala keluarga (KK), dan rumah tangga perikanan (RTP) secara khusus untuk lokasi penelitian dari ketiga desa tersebut data dirinci pada Tabel 10. Tabel 10. Jumlah penduduk, kepala keluarga (KK), dan rumah tangga perikanan (RTP) No 1. 2. 3.
Nama Desa Kapoa Waonu Tongali
RT/KK Jumlah % 278 25.58 241 28.90 370 20.21
RTP Jumlah 36 35 54
% 4.32 3.22 3.00
Jumlah Penduduk 1087 834 1831
Sumber : Kecamatan Siompu dan Kadatua dalam Angka 2008
4.5.3. Karakteristik Responden Dengan berbagai pertimbangan dan alasan, masyarakat yang diteliti untuk data sosial ekonomi masyarakat dilakukan di 3 (tiga) desa. Populasi responden untuk Desa Kapoa, Desa Waonu dan Desa Tongali dengan jumlah 500 nelayan dan melibatkan 50 responden di masing-masing desa. Seluruh desa yang dipilih adalah desa pesisir yang meliputi desa-desa yang sudah masuk ke dalam program COREMAP II. Seluruh responden adalah laki-laki, dan hampir semuanya adalah nelayan usia produktif, di atas 26 tahun, dan sudah kawin, dengan anggota keluarga antara 2 sampai dengan 9 orang. Sebagian terbesar nelayan berpendidikan Sekolah Dasar dan tidak punya pekerjaan sampingan. Pada umumnya mereka adalah suku atau etnis Buton dan telah tinggal turun temurun di desa mereka semenjak lahir. 4.5.3.1. Umur Responden Dalam penelitian ini umur responden yang diambil sebagai sampel bervariasi antara umur 25 tahun sampai dengan lebih dari 50 tahun. Berdasarkan
hasil survey yang dilakukan dari Desa Kapoa, Desa Waonu dan Desa Tongali dapat di klasifikasi berdasarkan umur secara rata-rata untuk ketiga desa dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Klasifikasi umur responden menurut desa Persentase (%) No
1
Nama Desa
Umur (tahun) 25 - 30 31 - 35 36 - 40 41 - 45 46 - 50 >51
Kapoa
Total 2
25 - 30 31 - 35 35 - 40 41 - 45 46 - 50 >51
Waonu
Total 3
25 - 30 31 - 35 36 - 40 41 - 45 46 - 50 >51
Tongali
Total 4.
25 - 30 31 - 35 36 - 40 41 - 45 46 - 50 >51
Rata-rata desa
Total rata-rata
Jumlah (orang) 6 8 7 8 8 13 50 4 3 8 14 8 13 50 8 2 19 7 9 5 50 18 13 34 29 25 31 150
12.00 16.00 14.00 16.00 16.00 26.00 100 8.00 6.00 16.00 28.00 16.00 26.00 100 16.00 4.00 38.00 14.00 18.00 10.00 100 12.00 8.67 22.67 19.33 16.67 20.67 100
Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2010
4.5.3.2. Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan dari ketiga desa ini dapat dikatakan masih tergolong sangat rendah. Sebagian besar penduduk hanya tamat Sekolah Dasar (SD) . Jumlah responden menurut tingkat pendidikan persentase tertinggi terdapat pada tingkat pendidikan SD
yaitu sebesar 60.00% atau berjumlah 90 orang dan
persentase terendah pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu 21 orang atau sebsar 14.00%, sedangkan untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) jumlahnya 39 orang atau sebesar 26.00% Tabel 12.
Tabel 12. Klasifikasi tingkat pendidikan responden Desa
No 1. 2. 3.
Kapoa Waonu Tongali Jumlah Persentase (%)
SD 40 36 14 90 60
Sekolah SMP 8 8 23 39 26
SMA 2 6 13 21 14
Jumlah 50 50 50 150 100
Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2010
Rendahnya tingkat pendidikan penduduk, selain disebabkan masih rendahnya pemahaman penduduk (orang tua) tentang pentingnya pendidikan juga disebabkan masih terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada di kecamatan Siompu dan Kadatua khususnya pada jenjang pendidikan SMP dan SMA.
4.5.3.3. Mata Pencaharian Responden Dari data survey di lokasi penelitian mata pencaharian utama responden adalah nelayan dan sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar dan tidak punya pekerjaan sampingan. Mata pencaharian mereka berfariasi dan berbeda-beda tergantung pada musim barat dan musim timur dalam penggunaan alat tangkap ikan. Kebiasan ini telah lama dilakukan sejak jaman nenek moyang mereka dan merupakan turun temurun dan pada umumnya mereka adalah suku Buton yang tinggal di desa sejak lahir.
4.5.3.4. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Keluarga dalam masyarakat Desa Siompu, Waonu dan Tongali merupakan keluarga sekunder, yang pada umumnya terdiri atas pasangan suami isteri dengan anaknya dan ditambah beberapa anggota keluarga terdekat seperti keponakan, nenek dan cucu. Jumlah tanggungan keluarga responden merupakan tanggung jawab laki-laki mempunyai hal kontrol langsung dalam kehidupan keluarga. Dari hasil survey di ketiga desa tersebut sebagian besar responden mempunyai jumlah tanggungan keluarga bervariasi antara satu sampai sembilan orang. Data mengenai jumlah tanggungan keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Klasifikasi responden menurut jumlah tanggungan keluarga No 1 2 3 3 4 5 6 7
Jumlah Tanggungan <2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah
Kapoa
Desa Waonu
5 4 13 13 9 2 2 2
3 6 7 13 12 7 2 0
50
50
Sumber : Hasil Olahan Data Primer 2010
Tongali 2
15 20 8 5 50
Persentase (%) Kapoa Waonu Tongali 10.00 8.00 26.00 26.00 18.00 4.00 4.00 4.00
6.00 12.00 14.00 26.00 24.00 14.00 4.00 -
4.00 30.00 40.00 16.00 10.00 -
100.00
100.00
100.00
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Penelitian ekosistem terumbu karang yang dilakukan di sekitar
Pulau
Siompu, Pulau Kadatua dan Pulau Liwutongkidi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan karang di lakukan sebanyak 20 stasiun pengamatan. Setiap stasiun tersebar di beberapa lokasi yang dekat dengan lokasi pemukiman penduduk dan maupun jauh dari pemukiman penduduk dengan kedalam antara 3 – 10 meter. Dari 20 lokasi stasiun pengamatan, masing-masing 5 stasiun di Pulau Siompu, 5 stasiun di Pulau Kadatuan dan 10 stasiun di Pulau Liwutongkidi dengan titik-titik koordinat stasiun dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan pengamatan
penutupan substrat dasar di masing-masing
stasiun secara visual terdapat tipe terumbu karang yang berbeda disekitar perairan Pulau Siompu, Pulau Liwutongkidi dan Pulau Kadatua adalah terumbu karang tepi (fringing reef). Bentuk dasar koloni karang lengkap, yaitu karang masif (massive coral), karang bercabang (branching coral), mengerak (encrusting coral), dan lembaran (foliaceous). Indikator pengamatan yang diteliti adalah penutupan substrat dasar, kelimpahan ikan karang dan indikator sosial ekonomi masyarakat. 5.2. Kondisi Penutupan Substrat Dasar Pengamatan penutupan substrat dasar pada ekosistem terumbu karang yang dilakukan secara langsung pada tiga lokasi. Hasil pengamatn yang dilakukan menunjukan tipe terumbu karang di rataan karang Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Pulau Liwutongkidi dapat di kategorikan sebagai terumbu karang tepi (fringing reef).. Hasil pengamatan dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) dapat digambarkan bahwa kondisi terumbu karang yang berada di perairan Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Pulau Liwutongkidi sangat bervariasi. Lebih jelas dapat dikatakan bahwa pada kedalaman antara 3 – 10 meter terumbu karang pada semua stasiun dikatagorikan rusak sampai dengan katagori baik.
1. Pulau Siompu Hasil penelitian penutupan substrat dasar pada 5 stasiun di Pulau Siompu dengan kedalaman antara 3 – 10 meter. Berdasarkan pengamatan pada stasiun 1 sampai dengan stasiun 5 penutupan karang hidup antara 0.67 % - 71.00 %. Penutupan karang hidup terbesar pada stasiun 4 sebesar 71.00 % dan persentase penutupan karang hidup terkecil di jumpai pada stasiun 5 sebesar 0.67 % . Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Persentase penutupan karang hidup (karang keras, karang lunak dan biota lain di Pulau Siompu Stasiun 1 2 3 4 5
Karang Keras (%) 41.99 29.17 18.68 67.66 0.67
Karang lunak (%) 2.00 3.83 7.50 3.34 0.00
Persentase Penutupan (%) 43.99 33.00 26.18 71.00 0.67
Kategori Kondisi Sedang Sedang Sedang Baik Buruk
Sumber : Data primer diolah 2010
Stasiun 1 terletak pada posisi 05º 38' 01" LS dan 122º 30' 13" BT dijumpai persentase penutupan karang hidup
43.99%, terdiri dari Acropora
0.66%, non Acropora 41.33%, dan Soft coral 2.00%. Kategori lain yang cukup tinggi di lokasi transek adalah Dead coral (karang mati) dan sand (pasir) masing –masing 18.17 % dan 18.50%. Karang mati sebesar 18.17% sejalan dengan patahan karang mati (rubble) sebesar 16.67%. Gambar 10. Secara visual kondisi rerata persentase penutupan karang hidup di stasiun 1 berdasarkan lifeform di kategori sedang. Gomez dan Alcala (1978), Gomez dan Yap (1988) persentase penutupan karang sedang antara 25 – 49.9%. Pada stasiun 1 persentase penutupan karang hidup dikategorikan sedang tetapi memiliki variasi lifeform cukup besar yaitu Coral Encruising, Coral Branching, Coral heliopora, Coral massive, Coral submassive
(Lampiran 2. Kategori karang menurut
lifeform ) Analisis indeks mortalitas karang pada stasiun 1 memiliki nilai 0.45%, maka rasio kematian karang kecil atau tingkat kesehatan karang tinggi. Selanjutnya
Fachrul (2007) mengatakan kesehatan karang
yang
mendekati nilai 0 adalah rasio kematian karang kecil tingkat kesehatan karang tinggi dan apabila mendekati nilai 1 tingkat kesehatan karang rendah atau rasio kematian karang yang besar.
Gambar 10. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat Pulau Siompu Stasiun 2 terletak pada koordinat 05º 39' 02" LS dan 122º 29' 40" BT di jumpai penutupan karang hidup sebesar 33.00%, yang terdiri dari Acropora 1.67%, non Acropora 27.5 %, dan soft coral 3.83%. Sehingga kondisi penutupan karang hidup
dikategorikan sedang.
Penurunan penutupan karang hidup
disebabkan oleh tingginya patahan karang (rubble) 35.67% dan kematian karang (Dead coral) 25.17%. Kerusakan fisik habitat dasar mengakibatkan penurunan kwalitas
terumbu karang, terlihat pada indeks mortalitas sebesar 0.65%
mendekati nilai 1 maka dapat dikatakan kondisi karang pada stasiun 2 memiliki rasio kematian yang besar atau kesehatan yang rendah. Berdasarkan pengamatan penutupan substrat dasar
pada
stasiun
3
koordinat 05º 37' 19" LS dan 122º 30' 50" BT di jumpai karang mati (Dead coral) 55.32%, Acropora 1.34%, Non Acropora 17.34%, Soft coral 7.50% biota lain 5.50%, pasir 10.83% dan Rubble 2.17%. Sedangkan penutupan karang hidup sebesar 26.18% dikategorikan sedang. Kerusakan fisik habitat dasar dapat mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem terumbu karang. Hal ini terlihat pada persentase indeks mortalitas karang sebesar 0.69% mendekati nilai 1 maka rasio kematian karang besar atau memeliki tingkat kesehatan karang rendah. Pengamatan penutupan karang di stasiun 4 koordint 05º 37' 39" LS dan 122º 31' 40" BT.
Analisis persentase penutupan karang hidup kategori baik
dengan nilai persentase 71.00% terdiri dari Acropora 60%, Non Acropora
7.66% dan Soft coral 3.34%. Persentase substrat dasar yang lain 29% meliputi Dead Coral and Dead Coral with Algae 4.67%, 14.33%
Rubble 10.00% dan pasir
dengan tingkat kesehatan (Indeks mortalitas) 0.17%. Sedangkan
koordinat 05º 37' 40" LS dan 122 º 32' 42" BT pada stasiun 5 dijumpai penutupan karang non Acropora massive sebesar 0.67% dan pasir (sand) sebesar 99.33% merupakan salah satu daerah berpasir yang tidak terdapat substrat keras untuk penempelan planula karang. 2. Pulau Liwutongkidi Pengamatan penutupan substrat dasar di Pulau Liwutongkidi dilakukan pada 10 stasiun dengan kedalaman antara 3-10 meter.
Persentasi penutupan
karang hidup dari stasiun 1 sampai stasiun 10 berkisar antara 11.67% - 72.50%. Persentasi terbesar dijumpai pada stasiun 3 sebesar 72.50% dan terkecil di jumpai pada stasiun 1 sebesar 11.67% lihat Tabel 15.
Tabel 15. Persentase penutupan karang hidup di Pulau Liwutongkidi Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Karang Keras (%) 10.34 54.12 72.50 48.83 56.17 50.67 43.00 63.83 44.17 56.66
Karang lunak (%) 1.33 0.50 0.00 0.00 14.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Persentase Penutupan (%) 11.67 54.62 72.50 48.83 70.67 50.67 43.00 63.83 44.17 56.66
Kategori Kondisi Buruk Baik Baik Sedang Baik Baik Sedang Baik Sedang Baik
Sumber : Data primer diolah 2010
Persentase penutupan karang hidup pada stasiun 2, stasiun 4, stasiun 5, stasiun 6, stasiun 7,stasiun 8, satasiun 9 dan stasiun 10 masing-masing adalah 54.62%, 48.83%, 72.00%, 56.00%, 43.00%, 63.83%, 44.17% dan 57.66% yang terdiri dari Acropora, Non Acropora dan Soft coral. Terumbu karang di Pulau Liwutongkidi dengan Persentase penutupan substrat dasar dapat dijelaskan sebagai berikut: kategori patahan karang (Rubble) tertinggi berada di Stasiun 1 sebesar 75.83% dan yang terendah ada di Stasiun 5
sebesar 0.00%. Kondisi penutupan substrat kategori kelompok Acropora tertinggi di Stasiun 8 sebesar 55.33% dan terendah di Stasiun 1 sebesar 0.67% yang terdiri dari Acropora branching untuk semua stasiun dari stasiun 1 sampai dengan stasiun 10 berturut-turut adalah 0.67%, 10.30%, 36.83%, 2.50%, 12.00%, 3.83.%, 7.00%, 48.00%, 21.83%, 22.33% Coral submassive hanya terdapat pada stasiun 7 sebesar 4.17%, coral digitake pada stasiun 2 (0.83%), stasiun 4 (1.00%) dan stasiun 5 (5.00%) sedangkan coral tabulate terdapat pada stasiun 4 (1.67%), stasiun 5 (8.33%), stasiun 7 (7.83%) dan stasiun 8 (7.33%) Gambar 11.
Gambar 11. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori habitat dasar Pulau Liwutongkidi
Persentase penutupan substrat dasar kategori Non Acropora dari stasiun 1 sampai stasiun 10 berturut-turut adalah
9.67%, 42.99%, 35.67%, 43.66%,
30.84%,
46.84%, 24.00%, 8.50%, 22.34%, dan 34.33%. Persentase penutupan karang hidup tertinggi pada stasiun 3 sebesar 72.50% dan penutupan karang hidup terendah terdapat di Stasiun 1 sebesar 11,67%. Stasiun 1 memiliki persentase penutupan paling rendah disebabkan karena banyak terdapat pecahan karang (rubble) sebesar 75.83% dan karang mati yang belum ditumbuhi algae. Patahan karang yang di temui di stasiun 1 perairan Pulau Liwutongkidi akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bubu tancap. Indeks mortalits karang pada stasiun 1 rendah atau rasio kematian besar mendekati 1 yaitu sebesar 0.88%
Gomez dan Yap (1988) menjelaskan tingginya tutupan karang keras merupakan karang yang sehat diikuti dengan keragaman jenis karang. Karang keras yang dijumpai di stasiun 1 - 10 meliputi jenis Acropora branching, Acropora tabulate, Acropora submassive, Acropora digitate, Coral branching, Coral encrusting, Coral foliose, Coral massive, Mushrom coral dan Coral mellepora. Secara umum dapat dilihat bahwa karang dan biota yang ada di Stasiun 2, stasiun 3, stasiun 5, stasiun 6, stasiun 8, stasiun 10 dikategorikan baik dan kategori sedang terdapat pada stasiun 4, stasiun 7 dan stasiun 9 (Lampiran 2). 3. Pulau Kadatua Hasil penelitian penutupan substrat dasar pada 5 stasiun di Pulau Kadatua dengan kedalaman antara 3 – 10 meter. Berdasarkan pengamatan persentase penutupan terumbu karang hidup tertinggi pada stasiun 3 sebesar 47.86% dan terkecil pada stasiun 2 sebesar 13.01%. Komposisi penutupan substrat dasar di perairan Pulau
Kadatua merupakan daerah dengan penutupan karang hidup
rendah sampai sedang Tabel 16. Tabel 16 . Persentase penutupan karang hidup di Pulau Kadatua Stasiun 1 2 3 4 5
Karang Keras (%) 36.66 13.01 43.53 36.82 29.34
Karang lunak (%) 1.33 0.00 4.33 0.00 1.67
Persentase Penutupan (%) 37.99 13.01 47.86 36.82 31.01
Kategori Kondisi Sedang Buruk Sedang Sedang Sedang
Penutupan karang hidup pada stasiun 1 sebesar 37.99% yang terdiri dari Acropora branching (ACB) 21.33%, Acropora digitake (ACD) 1.83%, coral branching (CD) 1.17%, coral encrusting (CE) 8.00%, coral foliose (CF) 2.00%, coral massive (CM) 2.33% dan soft coral (SC) 1.33% lifeform yang lain kategori Dead coral (DC) and Dead coral With Algae (DCA) 37.67%. Biota lain 6.67%, sand (S) 14.00% dan rubble (R) 3.67%. Stasiun 2 penutupan karang sangat kecil yaitu 13.01% yang terdiri dari coral branching (CB) 10.17%, coral encrusting (CE) 0.670%, coral massive (CM) 1.50%, coral submassive (CS) 0.67% sedangkan pasir (sand) sebesar 83.00% dan Dead coral 4.00%. Stasiun 3 penutupan karang hidup sebesar
47.86% . Penutupan karang hidup paling tinggi di stasiun 3 memiliki persentase Acropora branching (ACB) 15.33%, Acropora submassive (ACS) 1.33%, Acropora digitake (ACD) 1.67%,
Acropora tabulate (ACT) 8.67%, coral
encrusting (CE) 1.00%, coral massive (CM) 15.53% dan soft coral (SC) 4.33%. kategori lifeform lain pada stasiun 3 adalah Sand (S) 20.47%, Rubble (R) 3.67% dan Dead coral (DC) and Dead coral With Algae (DCA) 28.00% lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori habitat dasar Pulau Kadatua
Stasiun 4 dengan persentase penutupan karang hidup 36.82% yang terdiri dari Acropora branching (ACB) 10.33%, Coral branching (CB) 10.33% coral encrusting (CE) 2.00%, coral foliose (CF) 2.33% dan Coral massive (CM) 11.83% . Kategori lain lifeform adalah Dead coral (DC) and Dead coral With Algae (DCA) 35.33%, Sand (S) 25.17% dan Rubble (R) 2.67%. Stasiun 5 dengan penutupan karang hidup 35.33% terdiri dari Acropora 7.00%, Non acropora 22.34% dan Soft coral 1.67%. Hasil analisa lifeform yang lain pada stasiun 5 di jumpai karang mati yang belum ditumbuhi algae (Dead coral ) 33.67%, sand 22.33% dan patahan karang (Rubble) 13.00% Gambar 12. Hasil yang didapat pada lokasi penelitian tipe terumbu karang di perairan sekitar Pulau Liwutongkidi, Pulau Kadatua dan Pulau siompu adalah terumbu karang tepi (fringing reef). Bentuk dasar koloni karang lengkap, yaitu karang masif (massive), bercabang (branching), mengerak (encrusting), dan lembaran
(foliaceous).
Jenis dan jumlah lifeform khususnya yang mempunyai bentuk
koloni bercabang dan masif cukup tinggi sehingga sangat mendukung kehidupan organisme laut.
Persen penutupan karang hidup pada daerah rataan terumbu
karang umumnya kondisinya sedang sampai baik bahkan pada beberapa stasiun pengamatan kondisinya dalam kategori baik. Keberadaan terumbu karang dapat juga mempengaruhi keberadaan ikan karang semakin beragam bentuk pertumbuhan karang maka kekayaan jenis dan kelimpahan spesies ikan karang akan semakin tinggi. Dari data tersebut menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang yang ada di sekitar ketiga pulau lokasi penelitian masih sangat mendukung kehidupan organisme yang berasosiasi di dalamnya. Lokasi penelitian secara keseluruhan terdapat 7 stasiun yang dikategorikan baik, 10 stasiun kategori sedang dan 3 stasiun di kategorikan buruk. Persentase yang ekstrim yang terjadi pada perairan Liwutongkidi stasiun 1 patahan karang (rubble) mencapai 75.83%.
Kerusakan karang ini terjadi karena aktifitas
penangkapan ikan tidak ramah lingkungan dengan menggunakan bom, penanaman bubu diatas karang untuk kepentingan ekonomi sesaat tanpa memperhatikan kehidupan jangka panjang
(Souter 2000). Kerusakan terumbu karang juga
disebabkan oleh jangkar kapal nelayan terutama di pulau Liwutongkidi dan Pulau Siompu.
Selama pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian tidak di
temukan bintang seribu (Acanthaster planci) sebagai predator terbesar karang, sehinggu kematian karang ini sebagian besar dikarenakan kegiatan penangkapan ikan karang oleh nelayan. Sedangkan 2 stasiun merupakan hamparan pasir dan tidak terdapat karang. 5.3. Komunitas Ikan Karang Hasil pengamatan yang dilakukan dengan visual sensus ikan karang pada stasiun pengamatan di 3 lokasi pada posisi yang sama dalam identifikasi karang. Dari seluruh stasiun pengamatan komunitas ikan karang dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok ikan target yang biasa disebut dengan nama ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi, kelompok ikan indikator merupkan ikan yang erat hubungannnya dengan keseburun terumbu karang dan ikan lain atau biasa disebut ikan mayor dan banyak dijadikan sebagai ikan hias. Hasil sensus kelompok ikan karang menurut family, spesies dan jumlah individu di kawasan konservasi Pulau Siompu, Pulau liwutongkidi dan Pulau
Kadatua. Jumlah total ikan yang teramati di semua stasiun pengamatan menunjukan jumlah family sebanyak 436, dari pengelompokan menurut jenis sebanyak 1,081 dan total individu sebanyak 5,871 (Lampiran 3, 4, 5 dan 6 ). Hasil pengamatan sensus visual ikan karang di perairan pulau Siompu dilakukan pada 5 titik stasiun menunjukkan jumlah ikan yang diperoleh untuk semua stasiun adalah 1,433 individu dari 137 spesies dan 44 family kemudian dikelompokan menurut kelompok . Kelompok ikan mayor yang banyak di jumpai pada semua stasiun adalah family Pomacentridae sebanyak 380 ekor dari 30 spesies yang banyak
di jumpai pada semua stasiun adalah jenis Dascyllus
reticulates, Dascyllus trimaculatus, Dascyllus aruanus dan Chromis ternatensis. Kelompok ikan Indikator adalah jenis ikan yang paling kuat berasosiasi dengan jenis-jenis karang.
Secara umum jenis ikan ini disebut ikan kepe-kepe dari
family Caetodontidae. Famili Caetodontidae banyak terdapat di semua stasiun dengan jumlah 60 individu dari
jenis Chaetodon kleinii, Chaetodon lunula,
Chaetodon ephippium dan Forcipiger flavissimus. Sedangkan kelompok ikan target yang di jumpai pada semua stasiun adalah 15 famili dari 119 spesies dan 380 individu yang banyak dijumpai pada semua stasiun adalah family Acanthuridae, Caesionidae, Siganidae, dan Lethrinidae. Dari
hasil
pengamatan
komunitas
ikan
karang
disekitar
Pulau
Liwutongkidi pada 10 titik stasiun pengamatan, ditemukan sejumlah 2,800 individu dari 40 famili dan 145 spesies. Jumlah tersebut terdiri dari kelompok ikan target, kelompok ikan indikator dan kelompok ikan mayor. Kelompok ikan target di lokasi perairan Liwutongkidi, diperoleh sebanyak 16 famili dari 46 spesies dan 803 individu. Jenis ikan yang banyak dijumpai diseluruh stasiun adalah family Acanthuridae dengan 9 spesies, Caesionidae dengan 2 spesies, dan Lutjanidae dengan 5 spesies. Kelompok ikan mayor terdiri dari 23 famili dari 84 spesies dan 1,825 individu
yang banyak dijumpai pada stasiun pengamatan dari family
Pomacentridae 28 spesies, Labridae 14 spesies, Balistidae 4 spesies, Scaridae 3 spesies Anthiinae 2 spesies, dan Apogonidae 2 spesies. Kelompok ikan indikator yang dijumpi pada semua stasiun adalah family Chaetodontidae terdiri dari 15 spesies dan 172 individu. Ikan kelompok ini umumnya memiliki pola warna yang indah dan gerakan-gerakan yang sangat menarik yang banyak dijumpai adalah
jenis Chaetodon trifascialis, Chaetodon lunulatus, Chaetodon kleinii, Forcipiger flavissimus dan Heniochus varius. Pengamatan ikan karang berdasarkan jenis dengan metode visual sensus di perairan Pulau Kadatua pada 5 titik stasiun pengamatan ditemukan 37 famili dari 157 spesies dan 1.638 individu. Jumlah individu untuk semua jenis ikan karang berdasarkan kelompok menunjukan ikan mayor memiliki kelimpahan sebesar 21 famili, 95 spesies dan 1,081 individu. Jumlah spesies terbesar adalah dari family Pomecentridae terdiri dari 32 spesies dan 602 individu. Jenis-jenis yang ditemukan pada semua stasiun adalah Dascyllus reticulates, Dascyllus trimaculatus, Dascyllus aruanus, Pomacentrus muluccensis, dan Chromis retrofasciata. Kelimpahan ikan target pada lokasi penelitian 442 individu dengan jenis ikan terbesar adalah jenis ikan Pterocaesio tile
dari family Caesionidae,
sedangkan ikan indikator sebanyak 115 individu dengan jumlah jenis terbesar adalah Chaetodon kleinii,
dari family Chaetodontidae. Adapun jumlah ikan
karang yang diklasifikasikan berdasarkan kelompok dari masing-masing pulau dapat dilihat pada Gambar 13, 14 dan 15.
Gambar 13. Kelimpahan kelompok ikan target berdasarkan famili di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua.
Gambar 14. Kelimpahan kelompok ikan mayor berdasarkan family di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua Keberadaan sumberdaya ikan karang sangat erat kaitannya dengan keberadaan sumberdaya terumbu karang sebagai habitatnya. Pada daerah terumbu karang, ikan karang merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan juga merupakan organisme besar yang mencolok. Dengan jumlahnya yang besar dan mengisi terumbu karang, maka dapat terlihat dengan jelas bahwa ikan karang penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1992).
Gambar 15. Kelimpahan kelompok ikan indikator berdasarkan family di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua
Secara umum interaksi antara ikan karang dengan habitatnya meliputi tiga bentuk utama. Pertama, adanya hubungan langsung antara struktur terumbu dan tempat perlindungan. Hal ini akan terlihat jelas pada ikan-ikan yang kecil. Kedua, adanya interaksi pola makan yang melibatkan beberapa ikan karang dan biota sesil, termasuk alga. Lebih jauh interaksi ini penting bagi eksistensi karang yaitu penyedian substrat dasar. Ketiga, adanya suatu interaksi peran yang melibatkan struktur terumbu dan pola makan dari planktivora dan karnivora yan berasosiasi dengan terumbu. Ikan target ditemukan sebanyak 1.625 individu yang banyak dijumpai pada lokasi penelitian berasal dari family Achanturidae, Caesionidae, Mulidae, Serranidae, Lutjanidae dan Lethrinidae. Ikan Target merupakan jenis ikan konsumsi yang menjadi target penangkapan nelayan setempat, kelompok ikan ini mendominasi dua kelompok lainnya. Keberadaan ikan target di ekosistem terumbu karang adalah untuk mencari makan, pemijahan dan pembesaran anak. Ikan mayor merupakan ikan yang tidak termasuk kedalam dua kelompok diatas. Jumlah ikan mayor ditemukan sebanyak 3.899 individu yang dominan berasal dari famili Pomacentridae. Keberadaan ikan ini adalah sebagai salah satu mata rantai dalam sistem ekologi dan jaring makanan di ekosistem terumbu karang. Ikan-ikan terumbu akan melakukan berbagai aktivitas berdasarkan kebiasaannya serta fungsinya, yang pada akhirnya membentuk suatu pola keseimbangan yang mendukung
keberadaan ekosistem terumbu karang.
Kelompok ini pada umumnya mencari makan dan tinggal di permukaan karang dengan memakan plankton, alga, atau hewan yang lebih kecil yang terdapat baik di kolom air maupun di permukaan terumbu . Ikan terumbu
yang banyak
dijumpai di semua stasiun pengamatan, sebagian besar dari famili ikan yang terdapat di ekosistem terumbu karang adalah Pomacentridae, Chaetodotidae, Pomachantidae, Acanthuridae, Labridae, Caesionidae, Balistidae Lutjanidae, Balistidae, Serranidae, Siganidae, dan Anthiinae. Selanjutnya Allen dan Steene (1994), mengemukakan jenis ikan karang yang banyak mendominasi terumbu karang adalah ikan, Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Apogonidae, Serranidae, Scaridae, Acanthuridae, Bleenidae, dan Gobiidae. Interaksi yang terjadi menjelaskan besarnya kedekatan keanekaragaman hayati dan keseragaman ikan karang dengan stasiun pengamatan. Pomacentridae memiliki pembobotan yang terbesar dengan interaksi yang kuat pad semua
stasiun, yang dipengaruhi faktor kesukaan dan pola pencarian makan. Stasiun dengan penutupan karang mati beralga (Dead Coral Algae) yang besar berinteraksi pada ikan Caesio dan ikan Chromis dengan jumlah ikan yang besar. disebabkan oleh pola makan dan kebutuhan akan tempat berlindung, dimana ikan Caesio merupakan ikan pemakan plankton dan ikan kecil. Sedangkan ikan Chromis merupakan ikan herbivor, bertindak sebagai grazer yaitu pemakan alga sehingga pertumbuhan alga yang bersaing ruang hidup dengan karang dapat terkendali. Ikan Pomacentridae dan tersebar hampir merata pada seluruh stasiun dengan nilai terbesar pada perairan Kadatua. Penyebaran ikan ini dipengaruhi oleh kebutuhan akan tempat perlindungan, dimana shuktur terumbu pada stasiun ini cocok sebagai tempat berlindung bagi ikan Pomacentridae. Dari hasil pengamatan komunitas ikan karang di sekitar Pulau Siompu, Pulau Liwutongkidi dan Pulau Kadatua memiliki keanekaragaman yang berkisar antara 2.71 sampai dengan 4.72 termasuk dalam kategori sedang sampai tinggi. Keseragaman ikan karang antara 0.69 sampai dengan 0.92 memiliki keseragaman tinggi komunitas stabil sedangkan dominasi bagi beberapa jenis ikan memiliki kisaran antara 0.04 - 0.29
yang menunjukan bahwa tidak terdapat dominasi
spesies tertentu Gambar 16.
Gambar 16. Grafik keanekaragaman (H), keseragaman (E) dan dominasi (C ) komunitas ikan karang di Pulau Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua Keterangan : S (Siompu ), L (Liwutongkidi), K (Kadatua)
Grafik di atas dapat dilihat pada stasiun 4 Pulau Siompu memiliki keanekaragaman ikan karang yang tinggi sehingga menyebabkan keseragaman ikannya menjadi tinggi pula sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan karang dengan persentasi penutupan karang masih bagus (71.00%) . Selanjutnya Nybaken (1992), salah satu penyebab tingginya keragaman spesies ikan karang di terumbu karang adalah variasi habitat terdapat di terumbu. Terumbu tidak hanya terdiri dari karang hidup saja, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah algae dan juga perairan dangkal dalam zona-zona yang berbeda melintasi karang ini sangat disukai oleh berbagai spesies ikan karang. Hasil
tersebut
diatas
terdapat
hubungan
positif
antara
jumlah
keanekaragaman ikan karang yang ditemukan dengan kondisi terumbu karang di perairan tersebut. Kondisi demikian menjadikan ekosistem ikan karang menjadi lebih seimbang tidak ada dominasi dari jenis ikan karang. Interaksi yang terjadi menjelaskan besarnya kedekatan keanekaragaman dan keseragaman ikan karang dengan stasiun pengamatan. Jenis ikan Pomacentridae memiliki jumlah yang terbesar dengan interaksi yang kuat pada semua stasiun penelitian. Hal ini juga dipengaruhi faktor kesukaan dan pola pencarian makan yang sesuai dengan lingkungannya. Selanjutnya (Allen
2000) setiap spesies memperlihatkan
kecocokan habitat yang tepat diatur oleh kombinasi faktor ketersediaan makanan, tempat berlindung dan variasi parameter fisik
5.4. Aktifitas Kegiatan Perikanan Tangkap Ikan Karang Berdasarkan hasil survey terhadap aktifitas perikanan tangkap di wilayah kajian ternyata sebagian besar masih menggunakan alat tangkap tradisional seperti pancing, jaring insang, panah dan bubu. Selanjutnya hasil tangkapan ikan sebagian besar dihasilkan oleh alat tangkap jaring insang disusul bubu dan pancing. Penduduk Desa Tongali, Desa Kapoa
dan Desa Waonu mata
pencaharian utama adalah nelayan. Kurang lebih 889 rumah tangga perikanan yang manggantungkan hidup di sektor tersebut dengan menggunakan alat tangkap pancing, panah, jaring dan bubu. Dari ketiga desa lokasi penelitian, kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tidak mempunyai referensi penangkapan terhadap ikan-ikan target yang merupakan prioritas utama maupun terhadap jenis alat tangkap yang mereka gunakan. Berdasarkan hasil survey lapangan dengan pengisian kuisioner dan
wawancara terhadap responden nelayan semuanya melakukan penangkapan terhadap semua jenis ikan karang yang mereka temui dengan alat tangkap beragam dan dimanfaatkan semua hasil tangkapan. Proses pasca penangkapan ikan karang sangat sederhana dan teknik penangkapan masih mengikuti budaya turun-temurun dimana para nelayan dalam melakukan penangkapan hanya satu kali trip dengan waktu penangkapan anatara 4 – 5 jam. Secara partisipatif lokasi kegiatan penangkapan ikan karang dapat disajikan pada Gambar 17.
Sumber : Data primer diolah 2010 Keterangan : X ( Nelayan Kapoa), Y (Nelayan Waonu ), Z (Nelayan Tongali ) Gambar 17. Visualisasi partisipatif daerah penangkapan ikan
Alat tangkap bubu yang dipakai nelayan setempat terbuat dari anyaman bambu dengan jumlah yang dimiliki oleh beberapa nelayan di satu desa berkisar antara 10 – 20 buah. Operasi alat tangkap tersebut ada dua cara yaitu bubu tanam dan bubu gantung. Hasil wawancara kebanyak nelayan ketiga desa ini menggunakan alat tangkap bubu dengan cara gantung. Cara pemasanagn bubu gantung biasanya diletakan pada kedalaman antara 8 - 10 meter pada daerah tubir dan diberi tali kurang lebih 4 meter. Kegunaan dari tali tersebut adalah untuk mempermudah waktu pengambilan bubu dengan cara mengait dari tali tersebut dan ditarik kepermukaan air. Peletakan alat tangkap bubu di daerah tuber di celah-celah atau hamparan terumbu karang yang banyak terdapat ikan karang, alat tangkap ini diletakan 3 sampai dengan 4 hari baru diangkat untuk mengambil ikannya, setelah itu alat ini diletakan kembali di derah hamparan terumbu karang begitu seterusnya. Apabila alat ini ada yang rusak akan di perbaiki dan setelah itu diletekan kembali di daerah rataan terumbu yang banyak ikan karang. Pengoperasian alat tangkap panah dilakukan oleh masyarakat Tongali, Kapoa dan Waonu disekitar pantai yang memiliki terumbu karang. Keuntungan menangkap ikan dengan menggunakan panah adalah nelayan dapat memilih sendiri jenis ikan yang mereka kehendaki. Hasil wawancara dengan nelayan alat tangkap panah waktu yang paling baik untuk mengoperasikan alat ini diwaktu sore sampai malam hari, maka diperlukan alat tambahan penerang berupa lampu. Menangkap ikan dengan cara memanah yang diutamakan adalah fisik yang kuat dan jasmani yang sehat karena pemanah akan menyelam kedasar perairan untuk mencari ikan karang
yang bersembunyi di terumbu karang. Nelayan panah
mereka tidak menggunakan alat bantu selam dan pekerjaan ini merupakan kebiasaan yang telah lama ditekuni dan mereka dapat bertahan 3 - 5 menit di dasar perairan untuk memanah ikan. Jenis alat tangkap pancing yang banyak digunakan nelayan Kapoa, Waonu dan Tongali adalah pancing ulur yang biasa di operasikan oleh satu atau dua orang dalam satu perahu dengan model pancing disesuaikan dengan jenis ikan yang ditangkap. Alat
pancing yang digunakan nelayan tergantung selera masing-
masing, ada yang menggunakan satu atau dua sampai tiga mata kail di ujung tali pancing setiap mata kail diberi umpan dan di ujung tali pancing diberikan sedikit alat pemberat untuk meluruskan tali pancing kearah dasar laut.
Selain alat tangkap bubu, panah dan pancing ada juga yang menggunakan jaring yang di pasang pada daerah terumbu karang. Penggunaan alat tangkap ini dapat merusak terumbu karang dengan cara menusuk dengan bambu kearah terumbu karang untuk menimbulkan bunyi berisik sehingga ikan-ikan keluar dari persembunyiannya kemudian digiring ke arah jaring yang telah dibentangkan. 5.5. Pendugaan Nilai Utility Ekonomi Perikanan Karang Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas perhitungan manfaat dan biaya pemanfaatan. Berdasarkan tipologi nilai ekonomi total ekosistem ini mempunyai nilai manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung yang dapat dinilai dari keberadaan ekosistem terumbu karang adalah perikanan karang. Sedangkan manfaat tidak langsung diantaranya sebagai jasa ekologis (ecological services) seperti kemampuan menyerap karbon, penahan gelombang. Penelitian ini membatasi estimasi hanya pada manfaat langsung yang berdasarkan kepada produktivitas ekosistem terumbu karang yang mempunya nilai pasar (market base) yaitu ikan karang. Penilaian ekonomi potensi sumberdaya terumbu karang di kawasan konservasi pulau Liwutongkidi dengan menggunakan pendekatan change in productivity atau yang lebih dikenal dengan sebutan Effect on Production (EOP) sesuai yang dilakukan oleh (Cesar 1996 dan Molberg & Folke 1999). Pendekatan penilaian dengan teknik EOP ini dilakukan untuk mengetahui nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya terhadap produktifitas perikanan karang. Pendugaan fungsi permintaan untuk menilai manfaaat langsung dari ekosistem perikanan karang di Pulau Siompu, Pulau Liwutongkidi dan Pulau Kadatua dapat di duga dari konsumen surplus (persamaan 11). Analisis permintaan digunakan untuk pendugaan nilai ekonomi ikan karang yang didekati melalui konsumen surplus dan produsen yang terkait dengan perubahan sumberdaya yang diminta. Pendugaaan fungsi permintaan dari ekosistem perikanan karang untuk menilai manfaat langsung dalam penelitian ini mengikuti jumlah tangkapan (Q) merupakan variable terkait (variable dependen) atau dipengaruhi oleh variable bebas seperti dipengaruhi oleh harga rata-rata timbangan (P) tingkat pendidikan (Ed), Umur (A), jumlah tanggungan (F) dan Pengalaman nelayan (Ex) dengan menggunakan regresi berganda di peroleh koofisien disajikan dalam Tabel 17.
Tabel
17. Koefisien regresi manfaat sumberdaya perikanan karang pada perikanan tangkap di Desa Kapoa, Waonu dan Tongali
Desa Kapoa
Coefficients
Intercept b0 Harga b1 Umur b2 Pendidikan b3 Tanggungan b4
-0.29031 -1.01336 -0.01258 0.037111 -0.03286
Pendapatan b5
1.033752
Desa Waonu Intercept b0 Harga b1 Umur b2 Pendidikan b3 Tanggungan b4 Pendapatan b5 Desa Tongali Intercept b0 Harga b1 Umur b2 Pendidikan b3 Tanggungan b4 Pendapatan b5
Coefficients 0.1239 -1.0023 0.0532 0.0197 0.0034 0.9733 Coefficients 1.4846 -1.0086 -0.1175 -0.0582 0.0907 0.9260
Standard Error 0.3637 0.0271 0.0262 0.0336 0.013 0.0191 Standard Error 0.2985 0.01074 0.01921 0.01464 0.01026 0.01772 Standard Error 0.68001 0.04377 0.07063 0.05327 0.054171 0.035049
t Stat
P-value
-0.79829 -37.3528 -0.47939 1.10321 -2.51031
0.42899 5.77E-35 0.00340 0.02759 0.01581
54.04
7.15E-42
t Stat 0.415194 -93.2986 2.771011 1.345457 0.335595 54.92977 t Stat 2.183178 -22.9977 -1.66368 1.767514 1.674794 26.42119
P-value 0.6800 3.25E-52 0.00812 0.00537 0.00877 3.52E-42 P-value 0.0344 8.63E-26 0.00329 0.00424 0.00107 1.25E-28
Lower 95% -1.0232 -1.0680 -0.0655 -0.0307 -0.0592 0.9952 Lower 95% -0.4777 -1.0240 0.0145 -0.0098 -0.0172 0.9376 Lower 95% 0.1141 -1.0948 -0.2599 -0.0148 -0.0184 0.8554
Upper 95% 0.442609 -0.95868 0.040314 0.104905 -0.00648 1.072305 Upper 95% 0.7256 -0.981 0.0919 0.0492 0.0241 1.009 Upper 95% 2.85505 -0.91824 0.02484 0.2242 0.1999 0.99666
Sumber : Data primer diolah 2010
Untuk mencari nilai kegunaan (utility) dan surplus konsumen untuk total pemanfaatan langsung ekosistem perikanan karang yang aktual dapat di identifikasi berdasarkan hasil olahan data primer yang didapat dari wawancara dan pengisian kuisioner oleh rumah tangga perikanan dengan menggunakan software 9.5. Surplus konsumen merupakan selisih antara harga yang dibayarkan untuk mendapatkan barang atau jasa (willingness to pay) dari rata-rata jumlah sumberdaya ikan karang yang diminta dikalikan dengan harga per unit sumberdaya yang dikonsumsikan. Dari hasil analisis regresi pada Tabel 18 diatas, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan surplus konsumen untuk menilai manfaat langsung dari ikan karang. Penghitungan valuasi ekonomi sumberdaya terumbu karang di Perairan Pulau Kadatua Desa Waonu untuk manfaat terumbu karang yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Selengkapnya hasil pendugaan surplus konsumen yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Pendugaan surplus konsumen dari sumberdaya ekosistem perikanan karang No 1. 2. 3.
Nama Desa Kapoa Waonu Tongali Jumlah
Jenis Pemanfaatan Ikan karang Ikan karang Ikan karang
Rata-rata Q (Kg) 71.90 64.16 66.24 202.3
Utility (Rp) 6.157204158 107 2.264245735 107 8.277645712 107 16.699095606 107
Surplus Konsumen (RP) 6.075788591 107 2.258981164 107 8.207064954 107 16.541834709 107
Sumber : Data Primer setelah diolah 2010 Dari tabel di atas menunjukan bahwa nilai manfaat (utility) terbesar dari pemanfaatan ikan karang sebesar Rp. 82.776.457,12 dengan konsumen surplus sebesar Rp. 82.070.649,54 nilai tersebut diperoleh dari pemanfaatan langsung terumbu karang dari ketiga desa dengan rata-rata permintaan konsumen perbulan sebesar 202.3 kg/bulan. Kemudian nilai manfaat (utility) untuk pemanfaatan ekosistem ikan karang
Desa Kapoa sebesar Rp.
61.572.041,58
dengan
konsumen surplus sebesar Rp. 60.757.885,91 dengan rata-rata permintaan dari konsumen sebesar 71.90 Kg/bulan. Sedangkan Desa Waonu sangat kecil, nilai manfaat (utility) Rp. 22.642.457,35 surplus konsumen Rp. 22.589.811,64 dengan rata-rata permintaan sebesar 64.16 Kg/bulan. Nilai surplus konsumen dari hasil tangkapan ikan karang dan nilai ekonomi untuk total permintaan berdasarkan manfaat (utility) dari masyarakat terhadap hasil tangkapan di kawasan terumbu karang di Desa Kapoa, Waonu dan Tongali. Kurva permintaan berdasarkan utility konsumen di sajikan pada Gambar 18, 19 dan 20. Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas perhitungan manfaat dan biaya pemanfaatan. Berdasarkan tipologi nilai ekonomi total ekosistem ini mempunyai nilai manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung yang dapat dinilai dari keberadaan ekosistem terumbu karang adalah perikanan karang. Sedangkan manfaat tidak langsung diantaranya sebagai jasa ekologis (ecological services) seperti kemampuan menyerap karbon, penahan gelombang. Penelitian ini membatasi estimasi hanya pada manfaat langsung yang berdasarkan kepada produktivitas ekosistem perikanan karang yang mempunya nilai pasar (market base) yaitu ikan karang.
P
Gambar 18. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang di Desa Tongali
P
Gambar 19. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang di Desa Kapoa
P
Gambar 20. Kurva permintaan konsumen terhadap ekosistem terumbu karang di Desa Waonu
Pendugaan nilai ekonomi sumberdaya adalah suatu upaya untuk menilai manfaat dan biaya dari sumberdaya lingkungan biasa disebut dengan valuasi ekonomi (economic valuation ). Valuasi ekonomi sumberdaya perikanan karang bertujuan untuk pemanfaatan ikan karang secara berkelanjutan melalui pendugaan nilai ekonomi total. Nilai ekonomi total merupakan instrument yang dianggap tepat untuk menghitung hasil tangkapan ikan karang di areal terumbu karang sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya ekosistem perikanan karang. Pada gambar diatas P merupakan harga hasil tangkapan per bulan dan Q variable rata-rata timbangan per kg. Semakin besar jumlah hasil tangkapan, maka semakin besar pula harga rata-rata timbangan. Berdasarkan hasil kalkulasi Maple 9,5, dapat diestimasi nilai surplus konsumen per bulan dari masing-masing desa dapat dilihat pada Tabel 20. Dengan demikian Nilai Ekonomi Total (NET) dari manfaat langsung penggunaan sumberdaya perikanan karang di Desa Kapoa, Desa Waonu dan Desa Tongali masing-masing adalah sebesar Rp. 11.579.106,17, Rp. 43.051.173,27 dan Rp. 15.640.846,46 per bulan. Apabila dikonversi ke dalam pendapatan per tahun masing-masing desa, maka Nilai ekonomi Total (NET) Desa Tongali Rp. 187.690.157,52, Desa Waonu Rp.
516.614.079,24 dan desa Kapoa
Rp.
138.949.274,04/tahun. Jumlah nilai ekonomi total dari ketiga desa untuk
Kawasan Konservasi Pulau Liwutongkidi
sebesar Rp. 843.253.510,80/tahun
Tabel 19.
Tabel 19. Jumlah nilai ekonomi total (NET)/bulan dan NET/tahun No
Nama Desa
1.
Kapoa
NET /Bulan (Rp) 11.579.106,17
2. 3.
Waonu Tongali
43.051.173,27 15.640.846,46 Total pendapatan
NET / Tahun (Rp) 138.949.274,04 516.614.079,24 187.690.157,52 843.253.510,80
Sumber: Data primer diolah tahun 2010
Total nilai ekonomi perikanan karang dihitung langsung dari nilai pemanfaatan langsung bagi masyarakat pesisir.
pemanfaatan yang paling
dominan dan paling bernilai adalah besarnya hasil yang dapat diperoleh dari sumberdaya perikanan karang yang didukung oleh ekosistem terumbu karang dengan estimasi hasil perhitungan adalah USD 15.000.-/hektar/tahun yang sering digunakan oleh LIPI dan DKP. Jika pemanfaaatan yang berlebihan atau tidak ramah lingkungan akan mengakibatkan kerusakan atau rusaknya terumbu karang dari suatu perairan, maka sumberdaya akan kehilangan potensi ekonomi kurang lebih Rp. 1.3 milyar, apabila diasumsikan kedalam nilai tukar dolar US. 1 $ sama dengan Rp. 10.000,- . Berdasarkan konfrensi internasional dari Global Biodiversity Conference yang diselenggarakan di Cape Town Afrika Selatan pada tanggal 13 – 16 Oktober 2009 dengan pemanfaatan ekosisteem perikanan karang untuk pendugaan nilai ekonomi total terumbu karang sebagai “ ecosystem services” 129.200/hektar/tahun. Apabila
berkisar US $
hasil konfrensi tersebut sebagi acuan untuk
menilai pemanfaatan ekosistem wilayah pesisir, maka pemanfaatan ekosistem perikanan karang di Pulau Liwutongkidi, Pulau Kadatua dan Pulau Siompu dengan rata-rata penutupan karang sebesar 46,92% di kategorikan sedang. Hal tersebut dapat diasumsikan dari persen kerusakan penutupan karang
telah
kehilanagn nilai ekonomi perikanan karang sebesar Rp. 179.924.808.896/ tahun. Terumbu karang di identifikasi sebagai sumberdaya yang memiliki nilai
konservasi tinggi karena memiliki keanekaragaman biologis yang tinggi, keindahan dan menyediakan cadangan sumber plasma nutfah (Sawyer 1992 in Dahuri 2003). Sumberdaya alam yang berperan sangat penting bagi kehidupan ternyata dalam pemanfaatannya sering menggunakan cara-cara yang kurang bijaksana. Hal ini tercermin dari sikap dan perilaku dalam mengekstraksi dengan menggunakan pola pemanfaatan tidak ramah lingkungan. Selanjutnya Cesar (2000) melaporkan terjadi praktek penangkapan besar–besaran dengan bahan peledak dan sianida di Indonesia. Penyebabnya adalah
demand yang tinggi terhadap ikan karang
terutama jenis kerapu ( groupers) maupun ikan Napoleon wrasse. Dengan nilai pasar yang tinggi berkisar USD 60-180 per kilo telah menyebabkan perburuan ikan karang dihampir seluruh perairan Indonesia. Akibat perilaku destruktif tersebut tidak dapat dihindari terjadi degradasi sumberdaya alam yang tak terkendali. Salah satu sumberdaya alam yang berada dalam kondisi ini adalah ekosistem terumbu karang. Saat ini terjadi perubahan pada pola pemanfaatan ekosistem terumbu karang. Umumnya perubahan pola pemanfaaatan bukan kearah yang lebih baik tetapi pada pola pemanfaatan yang destruktif dengan tidak berdasarkan kepada keberlanjutan ekosistem tersebut seperti penangkapan berlebih, pengunaan bom, penggunaan obat bius, pemasangan perangkap dan penambangan karang. Penelitian ini dapat memberikan peringatan kepada kita bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan tidak secara berhatihati akan dapat menguras persediaan sumberdaya alam yang ada.
Kondisi ini
pada gilirannya nanti akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan harus dilakukan secara bijaksana, dengan selalu mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya. Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri.
Disamping sifat
renewable, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya mempunyai sifat “open access” dan “common property” yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain :
1) Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment). 2) Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights). Persoalan-persoalan yang terjadi di lokasi penelitian tersebut diatas menunjukkan bahwa sebesar apapun potensi sumberdaya ikan yang berada dalam suatu perairan tetapi tidak diatur atau tidak ada regulasi dalam bidang pemanfaatan sumberdaya ikan. Akan terjadi degradasi
terhadap potensi
sumberdaya ikan, hal ini akan berdampak terhadap pelaku-pelaku usaha penangkapan ikan terutama nelayan tangkap.
5.6. Analisis Pemodelan dalam Perikanan Karang 5.6.1. Konsepsi dan Diskripsi Model Pemodelan sistem berawal dari bagaimana mencoba memahami dunia nyata ini dan menuangkannya menjadi sebuah model dengan beragam metode yang ada. Model dinilai sejauh mana model itu dapat berguna, sehingga langkah pertama dalam pemodelan adalah menentukan tujuan dari pemodelan tersebut. Model dapat dibuat untuk memprediksi sebuah komponen dalam model setelah jangka waktu tertentu. Kegunaan model sebagai alat prediksi terletak pada ketepatan dan ketelitian hasil prediksinya. Model juga dapat dipakai sebagai wahana untuk ingin memahami struktur dan perilaku dari sumberdaya perikanan karang. Model perikanan berkelanjutan terdiri dari 2 sub model yaitu model ekologi dan model ekonomi. Kedua sub model ini dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya. Model ini juga merupakan perpaduan model dinamik (sub model ekologi dan ekonomi), secara diagramatik keterkaitan antara sub model dapat dilihat pada Gambar 21.
NATURAL MORTALITY
INTEREST GROUTH RATE
RECRUITMEN
MORTALITY STOK IKAN
DENSITY KKAPAL MOTOR
TOTAL PENANGKAPAN
AREA
COST TANGKAPAN PER NELAYAN
REVENEUS
KEUNTUNGAN PER BULAN
MUSIM
HARGA PER KG
Gambar 21. Sub model ekologi dan ekonomi perikanan karang
5.6.2. Informasi Dasar dan Asumsi Model Perumusan sistem yang dibangun berdasarkan model matematikan dengan menggunakan persamaan seperti (Lampiran 10). Berdasarkan hasil analisis pada setiap dimensi ekosistem berbasis perikanan diperlukan hal-hal yang dapat mempengaruhi ekosistem perikanan karang adalah sebagai berikut : (i) laju pertumbuhan alami populasi ikan; (ii) mati akibat penangkapn; (iii) mati alami akibat stres, penyakit atau ketuaan; (iv) biaya perunit usaha; (v) harga per kg ikan; (vi) rata-rata hasil penangkapan ikan per bulan; (vii) jumlah hari penangkapan per bulan dan jumlah armada penangkapan. Berdasarkan batasan tersebut maka wilayah kajian adalah areal Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau liwutongkidi dengan luas areal 262,36 ha. Hasil Penelitian populasi awal dari daya dukung lingkungan untuk b
mengestimasi biomasa ikan dapat dihitung W=aL
dimana (a) dan (b) adalah
konstanta hubungan panjang dan berat (Love 1993). Beberapa peneliti yang bergabung dalam Fishbase Organization (2010 ) dan Pauly (1980) berpendapat mengenai kisaran (a) = 0,01 dan (b) = 2 - 3 untuk ikan demersal. Sehingga
biomasa ikan dikawasan konservasi laut daerah Pulau Liwutongkidi
dapat
dihitung. Hasil perhitungan biomasa ikan di lokasi penelitian adalah 39.771,12 kg biomasa ikan atau 39.77 ton. Perhitungan analisis biomasa ikan sesuai yang dilakukan (Pet-Soede at al, 2001 in Froese dan Pauly, 1998), (Lampiran 11). Menurut Luckof et al. (2005) laju pertumbuhan alami populasi ikan antara 50 - 60%. Laju kematian adalah sangat penting dalam menganalisis dinamika suatu populasi yang dieksploitasi. Mortalitas alami disebabkan oleh predasi, penyakit, ketuaan, kondisi lingkungan, stress yang berkaitan dengan ekosistem dan lain sebagainya 0.3%. Selanjutnya dikemukakan oleh Gulland (1977) in Pauly (1984) Laju Eksploitasi alami berkisar antara 0.3 - 0.5 % tergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya. Biaya per unit usaha adalah Rp. 200.000 perbulan, dan harga per kg ikan adalah Rp. 12.500, frekwensi usaha penangkapan adalah 20 hari penangkapan per bulan. Dengan jumlah kapal waktu saat penelitian (existing) 147 kapal. 5.6.3. Analisis Pemodelan Analisis Pemodelan adalah proses yang menekankan pada pendekatan holistik terhadap pemecahan masalah dan
menggunakan model untuk
mengidentifikasi dan meniru karakteristik dari sistem-sistem yang kompleks serta membuat suatu skenario pemecahan masalah. Dinamika sistem sangat berguna untuk menggambarkan pemahaman kita tentang sistem yang ada di alam nyata. Dalam keadaan demikian analisis sistem dan simulasi sering dipakai untuk menguji hipotesis-hipotesis kita tentang bagaimana sistem bekerja Lane (1994). Jika kita dapat memodelkan sistem perikana karang maka skenario untuk mengelola laut dan ekosistemnya secara lestari dapat dilaksanakan secara baik, benar dan berkesinambungan.
a. Skenario 1. (Exixting) Suatu pengelolaan sumberdaya parikanan karang di kawasan konservasi laut daerah yang berkelanjutan adalah jenis pengelolaan yang mempertimbangkan fungsi ekologis dan ekonomis agar diperoleh kegiatan pemanfaatan yang rasional dan optimal. Dalam pemanfaatan ekosistem perikanan karang sebagai kawasan konservasi perlu dilihat keseimbangan dalam pemanfaatan dan lingkungan.
biomassa
Berdasarkan hasil simulasi keberlanjutan perikanan karang di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya pada bulan pertama sampai dengan bulan ke sembilan terlihat perubahan yang signifikan. Gambar 22 menunjukan penurunan biomasa ikan dan recruitmen seiring dengan peningkatan aktifitas penangkapan nelayan. Jika skenario ini terjadi, maka kondisi yang demikian dapat dipredeksi keberlanjutan perikanan karang akan mengalami penurunan yang signifikan pada periode bulan ke bulan. Hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap biomasa ikan di kawasan terumbu karang. 1: Stok Ikan 40000 30000 20000 148 250000000
2: Recruitment
3: Total …n perbulan 4: Kapal Motor
5: Keunt…n perbulan
1
20000 15000 10000 147 100000000
2
0 0 0 146 -50000000
3
4
4
5 1.00
1 15.75
4
5 2
3
Page 1
1 2 30.50 Months
4
5 3
5
1 2 3 45.25 60.00 9:37 AM Mon, Aug 22, 2011
Gambar 22. Grafik simulasi mortality, recruitment, stok ikan, jumlah armada penangkapan dan total penangkapan
Perubahan biomassa ikan dapat diukur berdasarkan jumlah kapal dan upaya tangkapan dengan jumlah 147 kapal penangkapan. Pada bulan pertama sampai dengan bulan kesembilan jumlah upaya penangkapan sejalan dengan menurunnya biomassa ikan. Bulan ketujuh upaya tangkap meningkat biomassa ikan menurun sampai periode bulan kesembilan, setelah bulan kesembilan pada periode bulan ke sepuluh biomasa ikan habis. Selanjutnya Fazli et al. (2009), McManus (1997) biomasa ikan di pengaruh oleh upaya penangkapan disebabkan oleh kelebihan tangkapan. Lampiran 12.
b. Skenario 2. Hasil simulasi biomassa ikan di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi, Kadatua dan Siompu untuk melihat degradasi pada biomassa ikan ada beberapa variable yang harus diperhatikan adalah biomassa ikan, manfaat ekonomi dan upaya. Sebagaimana dalam model standar bioekonomi ekosistem perikanan karang. Perubahan biomassa ikan dipengaruhi oleh tiga parameter biofisik yaitu rekruitmen, biomassa dan jumlah armada penangkapan ikan. 1: Stok Ikan
2: Recruitment
3: Total …n perbulan 4: Keunt…n perbulan 5: Kapal Motor
2e+010. 7e+009. 25000 250000000 126
3
1e+010. 3.5e+009 15000 150000000 125
5
5
4
5
5
4
4 3 0 0 5000 50000000 124
3
4
3 2 1 1.00
2
1 15.75
2
1 2 30.50 Months
1 45.25 60.00 12:53 PM Mon, Aug 22, 2011
Gambar 23. Grafik simulasi recruitment dan biomassa ikan dengan penguranagn jumlah armada penangkapan 0.85% atau 125 armada
Hasil analisis simulasi pada Gambar 23. Dari gambar terlihat fluktuasi penangkapan dari periode awal bulan sampai dengan akhir bulan. Naik turunnya upaya penangkapan tidak sejalan dengan fluktuasi biomassa ikan. Hal ini tidak terjadi keseimbangan antara total penangkapan dengan biomassa ikan artinya rekruitmen dan biomasa ikan dari waktu ke waktu bertambah tidak di pengaruhi oleh upaya penangkapan. Pada gambar tersebut terlihat biomassa dari periode awal bulan meningkat sejalan dengan periode waktu. Pengurangan jumlah perahu motor dari 147 menjadi 125 kapal sangat mempengaruhi biomassa ikan. Dengan demikian perubahan terhadap jumlah kapal dapat meningkatkn biomassa ikan dan rekruitmen dari periode bulan pertama sampai pada bulan ke enam puluh.
Untuk melihat perubahan biomassa ikan dari periode bulan pertama sampai dengan bula ke enam puluh yang dipengaruhi oleh upaya penangkapan perbulan dengan jumlah kapal, selanjutnya dijelaskan oleh (Grandcourt 2003) rekruitmen dan biomasa ikan di pengaruhi oleh upaya penangkapan dapat dilihat pada Lampiran 13.
c. Skenario 3 Skenario ini lebih baik kondisinya dibandingkan dengan scenario yang lain. Pada Lampiran 14 Variable penangkapan ikan mempengaruhi degradasi biomassa ikan. Dinamika perubahan yang terjadi pada biomassa ikan secara langsung akan
mempengaruhi rekruimen dan jumlah pendapatan masyarakat
nelayan. Keterkaitan antara biomassa ikan dengan upaya penangkapan dilakukan melalui perubahan jumlah kapal yang menjadi variabel penentu dalam fungsi pertumbuhan ikan (rekruitmen).
Penurunan biomassa ikan dan rekruitmen
berbanding terbalik dengan total penangkapan dan keuntungan nelayan perbulan dari periode awal bulan sampai dengan akhir bulan. Hasil simulasi dengan menggunakan 131 armada penangkapan terlihat hubungan timbal balik antara upaya penangkapan dengan biomassa ikan sepanjang waktu. Pada awal periode total penangkapan tinggi biomassa mengalami penurunan, total penangkapan menurun biomassa ikan mengalami peningkatan dan seterusnya. 1: Recruitment
2: Stok Ikan
3: Total …n perbulan 4: Kapal Motor
5: Keunt…n perbulan
600000000 1e+009. 25000 132 350000000
3 300000000 500000000 15000 131 200000000
4
3 0 0 5000 130 50000000
4
4
3
5
3
4
5
5
5
1 1.00
2
1 15.75
2
1 30.50
2
1 45.25
2 60.00
Gambar 24. Grafik simulasi recruitment dan biomassa ikan dengan penguranagn jumlah armada penangkapan 0.89% atau 131 armada
Apabila keseimbangan ini biomasa ikan dan rekruitmen ini terjadi sepanjang masa dari bulanke bulan, maka kondisi biomassa ikan dan total penangkapan pada daerah kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi , Kadatua dan Siompu dapat dikatakan kondisi ideal Lampiran 14. Biomassa ikan pada suatu lokasi dapat dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu makanan, ruang (habitat) dan faktor lain salah satu adalah tekanan penangkapan
(Royce
1972).
Tingginya
tekanan
penangkapan
dapat
mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan menurun rata-rata ukuran ikan. Jika semua individu dewasa ditangkap dan gagal matang gonad maka tidak ada lagi pemijahan yang menyuplai anak ikan untuk rekruitmen. Pendugaan biomassa ikan memiliki peranan penting sebagai “fine tunning” system penangkapan guna hasil tangkapan yang lebih besar. Selanjutnya dapat berperan untuk menyusun perencanaan guna rehabilitasi ketika terjadi laju penangkapan
lebih
berlangsungnya
dan
transisi
mengembankan teknologi
kearah
strategi
pengelolaan
penggunaan
berbagai
selama metode
penangkapan yang lebih efisien dan berkelanjutan. Selain itu pendugaan biomassa ikan memiliki tugas utama dalam mempersiapkan perencanaan yang tepat tentang hasil tangkapan dan biomassa populasi serta mencoba membuat prediksi tentang dampak dari berbagai kebijakan pengelolaan yang diterapkan.
5.7. Model Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Perikanan Karang Untuk mencapai hasil yang optimum dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tidak
terlepas dari sistim dinamik karena sumberdaya ekosistem
perikanan karang adalah merupakan sumberdaya perikanan yang dinamis. Secara keseluruhan dinamik ekosistem sumberdaya perikanan dan intervensi manusia dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan karang baik langsung maupun tidak langsung sepanjang tahun. Sebuah pengelolaan haruslah ditekankan pada orientasi pemecahan masalah dengan menggunakan cara-cara yang ilmiah berdasarkan fisik, biologi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan karang dilakukan terlebih dahulu dengan merumuskan suatu rencana pengelolaan berbasis masyarakat. Rencana pengelolaan perikanan karang di kawasan konservasi Pulau Liwutongkidi, Pulau Siompu dan Pulau Kadatua dapat berupa pengawasan dan pengembangan perikanan tangkap ikan
karang yang berwawasan lingkungan
Zhang at al. (2009).
Pengawasan
bertujuan untuk menjaga agar sumberdaya dan lingkungan perairan dapat terjaga secara lestari dan berkelanjutan, sedangkan pengembangan usaha perikanan karang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan terhadap sumberdaya ikan karang dengan memperhatikan daya dukung lingkungan (Degnbol 2002). Untuk mencegah terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap komoditi sumber daya ikan karang di terumbu karang dapat dilakukan beberapa aturanaturan yang ditetapkan antara lain dengan : 1. Membatasi jumlah hasil tangkap. Untuk sumber daya perikanan terumbu
karang, cara ini mudah dilakukan karena secara umum biota terumbu karang adalah biota yang hidup menetap di dasar (benthos) atau yang bergerak tidak jauh dan tidak pernah meninggalkan terumbu karang, sehingga jumlah stok di ekosistem tersebut mudah dihitung. Dengan mengetahui jumlah stok di alam dan kemampuan regenerasi, maka jumlah tangkapan perwaktu tangkap dapat diatur. Komoditi perikanan terumbu karang seperti kima, teripang, ikan hias, anemon serta karang. 2. Pengaturan waktu tangkap. Pengaturan waktu tangkap perlu dilakukan bagi
jenis-jenis sumber perikanan terumbu karang tertentu, guna menghindari tertangkapnya jenis yang sedang dalam musim pemijahan. Untuk mengetahui kapan jenis-jenis tersebut memijah, tentu saja perlu ada penelitian mendalam tentang siklus reproduksinya, kapan telur jenis-jenis biota itu masak dan memijah perlu penelitian. 3. Membatasi ukuran tertentu (panjang/berat individu jenis biota) Pembatasan
ukuran jenis tangkapan perlu dilakukan untuk menjamin agar semua individu yang ditangkap sudah menunaikan tugas memperpanjang keturunannya. Untuk mengetahui ukuran berapa individu jenis biota itu mulai memijah. 4. Mengatur dan mengawasi penggunaan alat tangkap ikan. Dengan pengaturan
ukuran mata jaring misalnya, ikan-ikan kecil yang tidak ekonomis tidak ditangkap. Bubu sebagai alat tangkap ikan terumbu karang dapat merusak habitat terumbu karang karena menggunakan batu karang hidup sebagai pemberat dan pe-nyamar alat tersebut. 5. Penerapan sistem zonasi.
Sistem zonasi yakni membagi kawasan terumbu
karang menjadi zona yang berbeda pemanfaatannya. Antara lain ada zona yang
ditutup sementara waktu untuk semua jenis pemanfaatan guna menjamin pelestarian sumber alamnya, atau zona pemanfaatan secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengelola sumberdayanya sendiri dengan terlebih dahulu
mendefinisikan
kebutuhan,
keinginan,
tujuan
serta
aspirasinya.
Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat ini menyangkut juga pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Model pengelolaan seperti tersebut di atas akan lebih efektif
jika
dimasyarakat Tongali, Kapoa dan Waonu terdapat suatu kelembagaan di bidang perikanan. Kelembagaan tersebut berfungsi sebagai wadah untuk menampung semua aspirasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Pentingnya di bentuk kelembagaan pengelolaan perikanan di sebuah desa pesisir selain berfungsi sebagai wadah penampung aspirasi
masyarakat juga untuk mempermudan
pemberian bantuan maupun pelaksanaan program dalam pemberdayaan masyarakat pesisir oleh pemerintah atau lembaga non pemerintah. Lebih lanjut dikemukakan oleh Alcala (1998) sebuah pengelolaan terhadap ikan karang merupakan suatu hal yang kompleks karena berkaitan dengan penangkapan yaitu interaksi antara sumberdaya ikan, alat tangkap dan armada penangkapan sehingga banyak faktor yang saling berkaitan. Sebuah pengelolaan harusnya dapat memulihkan atau melindungi suatu wilayah dari degrdasi lingkungan serta dalam jangka panjang dapat merawat sumberdaya tersebut agar berkelanjutan. Oleh karena itu keterlibatan masrarakat yang nantinya sebagai pelaksana dari sebuah pengelola ekosistem perikanan mutlak diperlukan agar mereka merasa ikut berperan dan bertanggung jawab terhadap keberhasilan pengelolaan di daerah lingkungan pesisir mereka.
5.8. Keberlanjutan Perikanan Karang Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir pada dasarnya adalah suatu proses perbaikan kehidupan masyarakat pesisir menuju arah yang lebih baik,
terutama dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat atau perangkat kerjanya. Dalam memanfaatkan dan mengelola keberlanjutan perikanan karang di wilayah pesisir Pulau Liwutongkidi dan sekitarnya perlu di perhatikan daya dukung dan kemampuan sumberdaya ikan asimilasi wilayah pesisir dan daratan dalam hubungan ekologis, ekonomis, dan sosial. Kesinambungan ketersediaan sumber daya ini merupakan kunci dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. Namun, dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di ketiga desa tersebut selama ini, yang perlu mendapat perhatian, antara lain : pertambahan jumlah penduduk di wilayah pesisir yang cukup pesat dan memerlukan sumber daya kelautan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; masih banyaknya praktek pemanfaatan sumber daya perikanan karang secara merusak dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Sebagian
besar
penduduk
Desa
Tongali,
Kapoa
dan
Waonu
menggantungkan kehidupan pada sumberdaya laut dengan mata pencaharian utama adalah nelayan. Mereka memanfaatkan sumberdaya laut seperti ikan, kepiting dan ikan-ikan hias dengan menggunakan berbagai macam alat tangkap yang dapat merusak dan mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut. Dominasi pekerjaan nelayan di laut, seperti kemampuan menangkap ikan sangat mempengaruhi
pendapatan
dan
keadaan
ekonomi
mereka.
Pendapatan
masyarakat nelayan masih relative rendah dan sangat berfariasi tergantung pada musim, musim ikan, musim ombak atau musim paceklik. Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang di kawasan konservasi, terutama dari aktivitas masyarakat nelayan maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan masyarakta pengguna agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana sesuai dengan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan. Selanjutnya (Lowis at al, 1997) untuk mengetahui kondisi perubahan ekosistem terumbu karang, maka perlu dilakukan Pengelolaan berkelanjutan perikanan karang dan memulihkan kembali kondisi karang yang telah degradasi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengaruh kegiatan pembangunan pada ekosistem terumbu karang cukup besar, meliputi perusakan karang secara
langsung melalui ledakan bom, jangkar kapal nelayan, bubu
maupun
penambangan karang. Namun berdasarkan wawancara dengan masyarakat kegiatan penangkapan
dalam kurun waktu tahun 2006-2010, kegiatan
pembangunan yang pengaruhnya paling besar pada ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi Pulau liwutongkidi adalah aktifitas penangkapan nelayan dengan menggunakan bom, jaring dan alat tangkap bubu. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah didasarkan pada prinsipprinsip pencegahan tangkap lebih (over fishing), pengaturan penggunaan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan yang ramah lingkungan, pengelolaan berbasis masyarakat, pertimbangan kearifan lokal, dan pertimbangan bukti ilmiah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Pemanfaatan kawasan konservasi laut daerah diprioritaskan untuk melindungi potensi perikanan dan kelautan dari eksploitasi berlebihan dan untuk menjamin ketersediaan sumber daya laut secara berkelanjutan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengembangan budidaya perikanan yang ramah lingkungan, pengembangan pariwisata bahari, serta konservasi terumbu karang, mangrove, padang lamun dan keanekaragaman hayati laut yang potensial dan Untuk mempertahankan fungsi dari ekosistem terumbu karang kawasan konservasi laut daerah perairan di Pulau Liwutongkidi, Kadatua dan Siompu yang selama ini dalam pemanfaatan sering dilakukan dengan cara yang deskruktif sehingga berdampak pada ekosistem perikanan karang. Kawasan konservasi dari ketiga pulau ini telah ditetapkan dengan pembagian zonasi dan pengaturan pengoperasian alat tangkap, tetapai dalam pemanfaatan masih melanggar kesepakatan yang telah disepakati antara masyarakat nelayan, pemerintah daerah dan COREMAP II. Dari permasalahan diatas, maka perlu dikembangkan suatu pendekatan yang lebih spesifik yang merupakan awal dari berbagai konsep pendekatan yaitu pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan aspek kelembagaan hukum. Kawasan konservasi laut daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan desa perlu diawasi dari kegiatan-kegiatan masyarakat yang belum memahami
manfaatnya. Untuk menjamin adanya pengawasan dan penegak aturan, maka aturan hukum mengenai daerah perlindungan laut harus dicanangkan. Aturan hukum perlu dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku yang melanggar aturan daerah perlindungan laut, pembuatan aturan yang telah disepakati bersama perlu ditegkan dan sanksi diberikan kepada pelanggar. Sanksi yang dikenakan harus sesuai dengan yang ada dalam perdes, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi. Jika sesorangan melanggar atuaran untuk beberapa kali sudah layak untuk diserahkan kepada aparat penegak hukum, beserta barang bukti. Peranan hukum adalah untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat pada umumnya agar kehidupan bermasyarakat dapat berlangsung dengan tertib dan teratur. Peranan hukum sebagai pemelihara keseimbangan harus dilaksanakan secara fleksibel, antara individu dengan kepentingan masyarakat, antara kepentingan ekologis dan kepentingan ekonomi, antara kepentingan pemanfaatan dengan kepentingan pelestarian sumberdaya. Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang diambil. Kebijakan
yang dikembangkan
dengan melibatkan
dan
memperhatikan
kepentingan masyarakat dan menjamin keberhasilan pengelolaan sumber perikanan karang. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat Davis (2008). Kebijakan yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan ekosistem perikanan karang. Selain itu juga memberikan keuntungan ganda : pertama, mengakomodasi aspirasi masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu yang sangat penting adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan kesjahteraan masyarakat. Untuk menilai keberhasilan ekosistem perikanan karang berkelanjutan adalah pemantauan dan evaluasi memerlukan informasi yang dikumpulkan secara periodik, seperti informasi tentang dampak ekologis, tutupan dan jumlah kepadatan biota dalam kawasan konservasi.
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir tidak dapat diukur dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan di suatu wilayah, jika tidak dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri. Keberhasilan bukan pada hasil akhir kegiatan, tetapi hasil monitoring dan evaluasi kegiatan yang sederhana tetapi dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung dan analisis data serta pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditari beberapa simpulan sebagi berikut : 1. Penutupan terumbu karang di perairan Pulau Siompu, Pulau Liwutongkidi dan Pulau Kadatua menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang masih sangat mendukung kehidupan organisme yang berasosiasi di dalamnya. Secara ekologinya komposisi terumbu karang untuk pertumbuhan masih baik untuk pemulihan secara alami. 1.
Komunitas ikan karang dari ketiga pulau memiliki keanekaragaman sedang sampai tinggi, sedangkan keseragaman tinggi dengan komunitas ikan stabil. Kondisi yang demikian menjadikan ekosistem ikan karang menjadi lebih seimbang tidak ada dominasi dari jenis ikan karang.
2.
Nilai Ekonomi Total
dari manfaat langsung penggunaan sumberdaya
perikanan karang di Desa Kapoa, Desa Waonu dan Desa Tongali masingmasing
adalah sebesar Rp.11.579.106,17, Rp. 43.051.173,27 dan Rp.
15.640.846,46 per bulan, 2. Perbandingan dalam pemodelan dari ketiga skenario dapat dikatakan skenario 3 dengan jumlah 131 kapal
lebih baik dibandingkan dengan scenario 1
(kondisi aktual) dan skenario 2 dengan jumlah kapal 125. Skenario 3 dapat di prediksi biomasa ikan ada hubungan timbal balik antara total penangkapan dengan biomasa ikan sepanjang waktu. Pada awal periode total penangkapan meningkat biomasa
mengalami penurunan, total penangkapan menurun
biomassa ikan mengalami kenaikan sampai bulan terakhir. 6.2. Saran Disarankan kepada semua pihak pengelola dan khususnya keapada pemerintah Kabupaten Buton. Perlu diperhatikan pengendalian terhadap alat tangkap di kawasan konservasi dilakukan secara tegas dan berkesinambungan agar pemulihan biomasa ikan lebih cepat dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L. 2004. Ekonomi dan Pengelolaan Mangrove dan Terumbu Karang Pada Program Pasca Sarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Bogor PKSPL-IPB, Adrianto L. 2005. Bahan Pengantar Survey Valuasi Ekonomi Sumberdaya Mangrove. Kerjasama antara Departemen Kelautan dan Perikanan, PT. Plarenco dan PKSPL-IPB, Bogor : Juli-Oktober 2005 Adrianto L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut, diterbitkan oleh PKSPL-IPB, Bogor. Adrianto L. 2009. Memahami pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Modul Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Anyer, Maret 2009. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP Adrim M. 1983. Pengantar studi Ekologi Komunitas Ikan Karang dan Metode Pengkajian Dalam Khursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta Allcala A.C, 1998. Effect of Marine Reserve on Coral Fish Abudance and Yields of Philipina Coral Reef. Ambio Allen Gerald R dan R Steane. 1994. Indo-Pacific Coral reef Field Guide. Tropical Reef Research Allen Gerald. R. 2000. Tropical Reef Fishes of Indonesia. Pariplus Edition (HK) Ltd. Anonimous, 2009a. Kecamatan Kadatua dalan Angka. Kerjasama Bappeda Kabupaten Buton dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, Bau-Bau Anonimous, 2009b. Kecamatan Siompu dalam Angka. Kerjasama Bappeda Kabupaten Buton dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton, Bau-Bau Anonimous 2005. Laporan akhir Survey Detail Pengembangan Ekowisata Bahari Pulau Liwutoangkidi Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara. Anonimous. 2003. Rencana Zonasi Kawasan MCMA Provinsi Sulawesi Tenggara bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Sumberdaya Perikanan dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kendari
Barbier, R., Acreman. EBM dan D. Nowler. 1997. Economic Valuation of Wetland: A Guide for Makers and Planners. RAMSAR Convention Berau, Gland, Switzerland. Barton, D. N. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR-report14/94. Center for Studies of Environmental and Resources. University of Bergen. Norway Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan Makalah Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Tanggal 29 Oktober – 3 Nopember 2001. Bengen DG. 2003a. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut PKSPL-IPB. Bengen DG. 2003b. Format Keterpaduan dan Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dalam Warta Pesisir dan Lautan, Edisi Khusus Nomor 01/2003, PKSPL-IPB. Brower, J. E. dan J. H, Zar. 1977. Fiel and laboratory Methods for General Ecology. Dubuque Iowa. Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara. USA: World Resource Institute. Cesar H. 1996. Economic Analysis of Indonesia Coral Reef Journal of Environment Management 66; 440-453 Cesar, H. 2000. Collected Essay on the Economics of Coral Reefs. Cordio Department Biology and Environmental Science, Kalmar University. Sweden Charles. AT. 1993. Towards Sustainability, The Fisheries Experience, Ecological Economic vol.11. Choat, J. H. dan D. R, Bellwood. 1991. Reef Fishes : Their History and Evolution. In ; The Ecology of Fishes on Coral Reefs, Sale. P. F. Academic Press, San Diego Cicin Sain and R.W. Knecht 1998. Integrated Coastal and Marine Management. Island Pres, Washington DC. COREMAP-LIPI. 1998. Konsep Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta Cornett, Z.J. 1994 Ecosystem management, Wy New Ecosystem manage News. 3 CRITIC-COREMAP II LIPI. 2006. Nias Baseline Ekologi. Jakarta CRITIC-COREMAP II LIPI. 2004. Materi Pelatihan Penilaian Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta
Damanik, Janianton dan Weber, F.H. 2006. Perencanaan Ekowisata : dari Teori ke Aplikasi, Yogyakarta. 142 hlm. Dahuri.R, Rais.J, Ginting.S.P, Sitepu.M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Edisi revisi Cetakan ke II. Jakarta. PT. Pradnya Paramita Dahuri, R. 2000, Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat, ( ISPIL ) Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia. Dahuri R, 2003. Keanekaragaman hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Degnbol P, 2002. The Ecosystem Approach and Fisheries Management Institutions: The Noble Art of Addressing Complexity and Uncertainty With all Onboard and on a Budget Davis Niel A, 2008. Evaluating collaborative fisheries management planning : A Canadian case study. Marine Policy 32 (2008) 867–876 English, S., C. Wilkinson, dan V. Baker. 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. Mc Graw Publication. Australia, 178 hlm. Endiger, E.N., J. Jompa, G.V. Limmon, W. Widjatmoko and M.J Risk. 1998. Reef Degradation and Coral Biodiversity in Indonesia : Effect of Land Based Pollution, Destructive Fishing Practice and Change Overtime. Marine Pollution Bulletin Vol. 36 No. 8. Pergamon Press. Fachrul. M.H, 2007. Metode Sampling Bioekologi, Cetakan Pertama, Jakarta PT. Bumi Aksara. Faisal S. 2001. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta PT. Raja Grafindo Persada Fandeli, C. 2000. Kebijakan Pengembangan Ekowisata : Pengembangan Ekowisata dengan Paradigma Baru Pengelolaan Areal Konservasi. Dalam Fandeli C dan Mukhlison (Editor). Pengusahaan Ekowisata. Penerbit Fak. Kehutanan UGM : Pustaka Pelajar; Unit Konservasi SDA DIY. Jogyakarta. FAO. 2000. Application of Contingent Valuation Method in Developing Countries. FAO Economic and Social Development Papers No. 146/200. FAO, Rome. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta. PT Gramedia. Fauzi A. dan Anna S. 2008. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fazli H, Chang IZ, Douglas Edward Hay, Chun WL, 2009. Stock assessment and management implications of anchovy kilka (Clupeonella engrauliformis) in Iranian waters of the Caspian Sea Fishbased Organization, 2010 : http://www.fishbased.com Gomez, ED. H.T. Yap, 1988. Monitoring reef Condition, Coral Reef Management handbook. Second Adition. RA. Kenchington dan Bryget ET. Hudson (editor) Unesco Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta Gomez, E.D and A.C. Alcala. 1978. Status of Philipina coral reef. Proc. Int. Symp. Biogeogr. Evol. S. Hem. Auckland New Zealand, 17-20 July 1978. Grandcourt Edwin M, Herman S.J. Cesar, 2003. The Bio-Economic Impact of Mass Coral Mortality on the Coastal Reef Fisheries of the Seychelles. Fisheries Research 60 (2003) 539–550 Jalaludin Rahmat, 1999. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Rajawali Press. Jakarta Kunzman Andreas. 2001. Corals, Fishermen And Tourists. Jurnal Pesisir Dan Lautan Volume 4 No.1 Tahun 2001 Pkspl Ipb. 66 Hlm. Lane D.C. 1994. Modeling as learning: a consultancy methodology for enhancing learning in management teams. In Modeling for Learning Organizations (J.D.W. Morecroft and J.D. Sterman eds.). Productivity Press, Portland, Oregon. Lembaga Napoleon. 2006. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Kawasan SILIKA (Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua). Scientific Report. Kerjasama Coral Reef Rehabilitation and Management Program II dengan Lembaga Napoleon. Louis W. Botsford, Juan Carlos Castilla, Charles H. Peterson, 1997. Management of Fisheries and Marine Ecosystems. Science Vol. 277
The
Love. R.H. 1993, A comparison of Volume Scattering Strength Data With Model Calculation Based on Quasisynaptically Collected Fishery Data. J.A. Coust. Soc. Am. 94. 2255-68.
Luckof PD, Wet LFd dan Brink DD, 2005. Aplication of the Condition Factor in the Production of African Sharptooth catch fish Clarias gariepinus. Aguacultur o, at The University of Stellenbosch McCook L J. 1999. Macro algae, nutrients and phase shifts on coral reefs: scientific issue and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral reef (18): 357-367
McManus J. W. Tropical Marine Fisheries and the Future of Coral Reefs: a Brief Review With Emphasis on Southeast Asia. Coral Reefs (1997) 16, Suppl.: S121-S127 Molberg F, Folk C 1999. Ecological Goods and Services of coral reef Ecosystem. Ecological Economic Vol. 29 pp 215-233. Murdiyanto, B. 2004. Mengenal memelihara dan melestarikan, Ekosistem Bakau. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Nikijuluw. Victor P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta Nontji A 1987 Peranan Zooxanthella dalam Ekosistem Terumbu Karang Oseano Vol. IX No. 3 LON LIPI Jakarta. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Cetakan kedua Penerbit PT Gramedia Jakarta ( Terjemahan ) dari : Biology and Ecological Approach. Odum E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. 3 rd Eds. W. B. Sounders Company. Philadelphia. Pauly D. 1980 A Selection of Simple Methods For The Assessment of Tropical Fish Stock. FAO Fish, Circ. No. 729. Firm/C 729. Pauly D. 1984 Fish Population Dynamics in Tropical Waters : A Manual For Use With Programmable Calculators . ICLARM. Manila. Fhilipina Pet-Soedea C, W.L.T. van Densena, J.S. Pet, M.A.M. Machiels, 2001. Impact of Indonesian Coral Reef Fisheries on Fish Community Structure and the Resultant Catch Composition Fisheries Research 51 (2001) 35-51 Robetson, D. R. 1996. Inter specific Competition Controls Abundance and habitat Use of Territorial Caribbean Damselfishes. Ecology : Royce W.F. 1972 Introduction to The Fishery Science. Academic Press, INC. New York. Salm, V.R. Clark John R. and Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Area : A Guide for Planners and Managers. IUCN. Washington DC. Soekarno, M. hutomo, M.K. Moosa dan P. Darsono, 1993 Terumbu karang di Indonesia, Sumberdaya, Permasalahan, dan Pengelolaan. LON LIPI Jakarta Sorokin YI. 1993. Coral Reef Ecology. New York: Springer-Verlag. Souter David W and Olof Linde, 2000. The Health and Future of Coral Reef Systems. Ocean & Coastal Management 43 (2000) 657-688
Spurgeon, J. 1992. The Economic Valuation of Coral Reefs Marine Pollution Bulletin vol. 24 (11) 529-536. Suharsono. 2008. Jenis-jenis Karang di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi Jakarta. LIPI Sumich J.L. 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. Ed ke-5. Dubuque:WmC Brown. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta. Gramedia. Veron JEN. 1995. Coral in Space and Time. Towns Ville: Australian Institute of Marine Science. Widodo, J dan S. Nurhakim, 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. 28 Oktober s/d 2 November 2002. Hotel Golden Clarion. Jakarta. Yatin, S. dan Irmadi, N. 2003. Neraca Dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Terumbu Karang. Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Bakosurtanal. Cibinong. Zamani, N.P dan Darmawan. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat. Dalam Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Zhang C.I, Suam K, Donald G, Richard M, Jae Bong Lee, Hee Won P, Jong Hee Lee, 2009. An ecosystem-based fisheries assessment approach for Korean fisheries. Fisheries Research 100 (2009) 26–41
LAMPIRAN
101
Lampiran 1. Titik-titik Koordinat Stasiun Penelitian. Stasiun 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Siompu º 05 38' 01" LS 122º 30' 13" BT 05º 39' 02" LS 122º 29' 40" BT 05º 37' 19" LS 122º 30' 50" BT 05º 37' 39" LS 122º 31' 40" BT 05º 37' 40" LS 122º 32' 42" BT
Pulau Liwutongkidi 05º 36' 11" LS 122º 29' 59" BT 05º 35' 49" LS 122º 29' 47" BT 05º 35' 33" LS 122º 30' 02" BT 05º 35' 21" LS 122º 30' 24" BT 05º 35' 20" LS 122º 30' 41" BT 05º 35' 26" LS 122º 30' 54" BT 05º 35' 37" LS 122º 30' 58" BT 05º 35' 55" LS 122º 30' 50" BT 05º 36' 07" LS 122º 30' 35" BT 05º 36' 13" LS 122º 30' 17" BT
Kadatua 05 33' 29" LS 122º 30' 33" BT 05º 33' 56" LS 122º 30' 26" BT 05º 34' 11" LS 122º 29' 46" BT 05º 34' 04" LS 122º 29' 09" BT 05º 33' 38" LS 122º 28' 43" BT º
Lampiran 2. Kategori Karang menurut Lifeform No
KATEGORI
STASIUN PENGAMATAN
KODE K1
1
Acropora
Non-Acropora
21.33
L 2
L 3
10.30
36.83
L 4
L 6
12.00
3.83
L 7
L 9
L 10
-
-
0.67
48
21.83
22.33
0.34
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Submassive
ACS
-
1.33
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4.17
-
-
-
Digitake
ACD
1.83
1.67
-
3.67
-
1.33
4.33
-
-
-
1.00
5.00
-
-
-
-
-
Tabulate
ACT
-
8.67
-
-
-
-
3.67
-
-
-
1.67
8.33
-
7.83
7.33
-
-
10.33
7.00
0.66
1.67
1.34
55.33
21.83
22.33
10.33
2.00
25.83
4.00
1.00
2.33
-
3.17
10.50
15.83
16.83
22.17
23.17
2.00
1.67
4.17
7.50
6.67
-
-
0.83
5.33
1.67
5.50
0.67
6.00
-
-
27.00
Branching
CB
1.17
10.17
Encrusting
CE
8.00
0.67
Foliose
CF
2.00
-
Massive
CM
2.33
1.50
Submassive
CS
-
0.67
-
-
-
Mushroom
CMR
-
-
-
-
-
Heliopora
CHL
-
-
-
-
-
Mellepora
CME
-
-
-
-
-
Tabipora
CTU
-
-
-
-
-
13.50
13.01
16.53
26.49
36.66
13.01
43.53
36.82
Dead Coral with Algae
DCA
24.17
-
4
Soft Coral
37.67 1.33
1.00 -
3
SC
-
4.00 -
2.33
15.53
28.00 28.00 4.33
1.33
-
11.83
-
4.33
0
11.13
36.83
5.17
25.33
3.83
19.00 14
5.33
9.67
9.5 1.33
4.00
1.67
-
-
0.67
21.33
2.67
1.00
3.00
2.50
-
-
1.50
14.17
10.67
8.00
-
0.67
1.67
1.33
9.83
15.83
5.00
6.83
5.50
-
10.50
7.5
2.00
1.33
-
-
-
-
-
5.67
-
-
3.17
-
-
-
-
-
5.33
-
3.33
1.17
-
1.17
-
5.17
4.50
3.17
0.67
0.33
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3.33
-
3.33
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
22.34
41.33
27.5
17.34
7.66
0.67
9.67
42.99
35.67
43.66
30.84
46.84
24.00
8.50
22.34
34.33
29.34
41.99
29.17
18.68
67.66
0.67
10.34
54.12
72.50
48.83
56.17
50.67
43.00
63.83
44.17
56.66
-
35.33
0.67
-
33.67
15
0
9.00
18.67
20.33
60
7.00
L 8
0.66
0.83
2.50
L 5
-
Jumlah
18.17 0.50
25.17 -
55.32 -
1.00
-
12.50
35.00
11.83
44.00
13.33
3.67
-
-
-
1.33
-
11.67
13.16
44.00
25.00
21.50 21.50
1.83
14.00
4.67
9.33
14.83
5.00
11.00
28.17
5.33
19.00
15.67
37.50
20.16
33.67
18.67
25.17
55.32
4.67
0.00
12.50
35.00
1.67
2.00
3.83
7.50
3.34
-
1.33
0.5
-
-
14.50
-
-
-
-
-
1.67
2.00
3.83
7.50
3.34
0.00
1.33
0.50
-
-
14.50
-
-
-
-
-
Sponge
SP
5.00
-
-
-
-
2.17
2.33
5.50
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
1.00
Zoanthidae
ZO
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Others
OT
1.67
-
-
-
-
-
-
-
-
5.33
-
-
-
6.67
0.00
0.00
0.00
0.00
-
-
-
-
-
-
-
-
Algae Assemblage Coralline algae Halimeda Macro algae Turf algae Jumlah
AA CA HA MA TA
-
-
-
-
2.17
2.33
5.50
0.00
0.00
0.00
-
-
-
-
-
-
Sand
S
14.00
83.00
20.47
25.17
22.33
18.50
3.83
10.83
14.33
99.33
Rubble Silt Water Rock Jumlah
R SI W RCK
3.67 17.67
0 83.00
3.67 24.14
2.67 27.84
13.00 35.33
16.67 35.17
35.67 39.50
2.17 13.00
10.00 24.33
0.00 99.33
Jumlah Keseluruhan
102
L 1
3.33
0.67
52.00
S5
-
23.16
0.67
S4
-
4.00
Abiotik
S3
-
13.50
7
10.33
S2
-
DC
Algae
15.33
S1
ACE
Jumlah Karang Keras
6
K5
ACB
Dead Coral
Biota lain
K4
Encrusting
Jumlah
5
K3
Branching
Jumlah
2
K2
-
-
-
75.83 75.83
10.33 10.33
1.33
-
1.33
5.33 -
1.00
-
-
-
-
4.50
3.00
10.50
8.50
12.67
8.00
-
2.67 7.17
0.00 3.00
12.00 22.50
29.50 38.00
7.83 20.50
10.33 18.33
22.17 22.17
14.33 14.33
-
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Persentase Penutupan Karang (%)
37.99
13.01
47.86
36.82
31.01
43.99
33.00
26.18
71.00
0.67
11.67
54.62
72.50
48.83
70.67
50.67
43.00
63.83
44.17
56.66
Indeks Mortalitas
0.52
0.24
0.40
0.51
0.60
0.45
0.65
0.69
0.17
0.00
0.88
0.45
0.27
0.49
0.26
0.40
0.53
0.27
0.52
0.43
Rata -rata Peersen Penutupan Karang Keterangan :
K = (Stasiun Penelitian di Perairan Kadatua ) S = (Stasiun Penelitian di Perairan Siompu ) L = (Stasiun Penelitian di Perairan Liwutongkidi )
46.92
Lampiran 3. Jumlah Kelimpahan Komunitas Ikan di Semua Stasiun No 1
2
3 4
Family Chaetodontidae
Pomacanthidae
Ephippidae Acanthuridae
Sp
Statiun
Spesies Ikan Chaetodon Vagabundus Chaetodon auriga Chaetodon trifascialis Chaetodon unimaculatus Chaetodon melannotus Chaetodon xanthurus Chaetodon raflesi Chaetodon punctatofasciatus Chaetodon lunulatus Chaetodon baronessa Chaetodon kleinii Chaetodon lunula Chaetodon ephippium Chaetodon ocellicaudus Chaetodon ornatissimus Chaetodon ulietensis Chaetodon adiergastos Forcipiger flavissimus Heniochus chrysostomus Heniochus varius Heniochus acuminatus Centropyge bicolor Centropyge tibicen Centropyge vroliki Centropyge bispinosus Pomacanthus imperator Pygoplites diacanthus Chaetodontoplus conspicillatus Chaetodontoplus mesoleucus Platax pinnatus Platax boersi Acanthurus olivaceus Acanthurus blochii Acanthurus auranticavus Acanthurus pyroferus Acanthurus nigrofuscus Ctenochaetus tominiensis Paracanthurus hepatus Zebrasoma scopas Ctenochaetus striatus
L1
2 1 2
2
2
2
1
L2
L3
3
2 2
L4
L5
L6
Jml L7
L8
L9
L 10 S 1
2 1
2
3
2
2 1 2
2
2
2
4
8
6
S2
S3
2 2
2 4
S4
2
2 3
3
1
1
1 4 1 4
2 3 3
5 5
2 5 4
4 2 5
3
3
6
4
8
4 4 5
2 2 6 2
1
11
1
3
1 2 3 1
2 4 8
2
4 1 2
2
2
2
1
2
2
2
3 2
5 3 6
2 2
2 5 4 3 1 2
2
25 2
2 2 2 2 3
2 1 3 1
2 1 1 1
2
1 1 1 2 2
2
2
2
2
1
2 2 4
5
3
2
1 3
2 1
4
1 4
5
2 2
3 1
2
4
3 2 7
3
4
1
1
1 2
1
3 2
1
1
1
1
1
1
1
6
1
2
3
2 4
5
3
2
2
2 4
3
4 1
2
2
9
2 6 1 6
2 4
6 2
3
2
1
2 25
1 4
5
2
2
20
4
8
2
8 2
2
2 4 2 8 4
3 3
8
8
7
7 6
S5 8 4 24 4 6 2 12 2 57 24 88 9 4 2 2 2 2 29 12 29 25 42 8 14 3 2 12 2 1 15 4 6 21 7 15 57 13 2 98 10
103
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
K1 K2 K3 K4 K5
(Lampiran 3) Lanjutan
No 5 6
Family Zanclidae Siganidae
104
7 Pomacentridae
8 Lutjanidae
Sp
Spesies Ikan 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
Naso thynnoides Zanclus cornutus Siganus puellus Siganus guttatus Siganus doliatus Siganus vulpinus Amblyglyphidodon curacao Amblyglyphidodon leucogaster Amblyglyphidodon ternatensis Amphiprion percula Amphiprion perideraion Amphiprion ocellaris Amphiprion sandaricinos Premnas biaculeatus Amblyglyphidodon aureus Amphiprion clarkii Dascyllus reticulatus Dascyllus trimaculatus Dascyllus aruanus Neoglyphidodon crossi Pomacentrus littoralis Pomacentrus muluccensis Chromis amboinensis Chromis retrofasciata Chromis ternatensis Chromis atripectoralis Neoglyphidodon nigroris Pomacentrus alexanderae Dischistodus perspicillatus Neoglyphidodon thoracotaeniatus Chrysiptera talboti Pomacentrus amboinensis Chrysiptera springeri Chrysiptera hemicyanea Chromis sp Chromis viridis Chrysiptera rollandi Abudefduf vaigiensis Chromis margaritifer Pomacentrus bangkanensis Lutjanus gibbus Lutjanus bohar
K1 K2 K3 K4 K5 L1 2
36 6
17
12
6 9
4 12
5 2 2 3 8 3 5
12 3 2 2
3
Statiun L2 L3 L4 L5 L6 L7
24 9
23 6
L8
L 9 L 10 S 1
14 2 2
4
2
2 2
18 4 2
S2 3
S3 S4 S5 2
8 2
1 5 3 16
4 2
2
2 4
12
4
5
4 12
3 6 4
4
12 9
2 10 4
2 12
6
2 6 13 3
2 2 6 8 7
6 4
4 8
2
3 3
15 6 17
15 27 10
13 23 17
5 4 7
2 5 6 8 3 9 24 9 4
2 2 3 2 8 12 17 2 7 15 3 7 14 35
3 1
1 2 3
7
5 3
2 7 1 1
2 2 30
4
8 6 12
12
2 24
2
23
12
11
4 16
6 12
15
3
8
6
12
16
5
6 41
10
45
4 11
4
4
12
4
7 12 11
30 14
3
2
1 3
1
8
2 5 5
3 12 9 16
3
8 16
2 1
2 1 4 2 3 1 12
36
2
2
3
2
2 2
3 18
2
2
2
3 4
2
4 2
2 2
3
6
2 3 12
7
4
3
4
3 15 21 17 4 8 16 9 11 28 7 2 4 2 2
5 9 9
4 13 25
3 2 15 23 31 6 12 17 9 63
15
4 6 8 6 3
2 4 2 2 3
4 2
6
4 12
6
7
18
9
5
12
12
6
4 5
12 5 8
4
9
4
3
3
2 4
5
8
3
Jml 127 53 16 39 6 19 69 114 49 4 23 7 8 9 14 22 210 118 212 10 27 134 108 143 256 42 13 28 7 10 14 63 9 5 11 132 28 20 32 9 30 20
(Lampiran 3) Lanjutan
No
9 10
11
Family
Nemipteridae Lethrinidae
Carangidae
12
Sphyraenidae
13
Scombridae
14
Caesionidae
15
Anthiinae
16
Serranidae
17 18
19
Cirrhitidae Haemullidae
Scaridae
83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113
Spesies Ikan Lutjanus decussatus Lutjanus fulviflama Macolor niger Aprion virescens Lutjanus kasmira Scolopsis bilineatus Scolopsis lineatus Gnonathodentex aureolineatus Monotaxis heterodon Lethrinus amboninensis Elegatis bipinnulatus Caranx melampygus Sphyraena helleri Sphyraena barracuda Scomberomurus commerson Rastrelliger kanagurta Gymnosarda unicolor Pterocaesio tile Pterocaesio pisang Pterocaesio trilineata Pseudanthias huchti Pseudanthias bicolor Cephalopholis argus Cephalopholis urodeta Cephalopholis miniata Epinephelus polyphekadion Epinephelus merra Plectropomus oligocanthus Variola louti Epinephelus fasciatus Aethaloperca rogaa
K1 K2 K3 K4 K5 L1 2
2 3
Statiun L2 L3 L4 L5 L6 L7
2 2
2
2
4
1
1
1
12 5
L8 2
L 9 L 10 S 1 3
2 7 1
S2
S3 S4 S5
3
2 4 5 2
5 1 1
2 4 2 5
2
1
1
1
2
1
4
2 15
2 1
7
1 12
1
2 1
2 12
1 1
3
4
6 2 1
9
4 35 3 1 1
1
25 1 2
2 12
30
14
12 8
34 4 6 8
1 2 3
3 1 1 3
16
24 12
12 7
12 24
67
26 16
35
10 6 1 2 1
7
12
29
36 21
12
3
24
1 50
42
2 22 8
30 21
19
15
15
12
7
2 14
14
18
3
1 1 1 1
1 2
2 1
2
3
2
2
2
2 1
1
4 1
1
1 1
2 1 4
2
1
1
6
2 1
2 1
114 Cirrhitichthys falco
4
2
1
115 Paracirrhites forsteri
1
1
1
117 Plectorhinchus vittatus
2
1
118 Plectorhinchus chaetodonnoides
1
1
2 1
1
2
1
12
2
9 0
1
2 1
1
1
1
1
120 Chlorurus sordidus
4
121 Cetosscarus bicolor
2
122 Cheilinus fasciatus
1
1
123 Cirrhilabrus solorensis
4
6
124 Cheilinus chlorourus
24 12 3 3 23 38 5 87 25 6 3 3 25 1 4 28 3 435 92 27 198 48 2 5 9 2 37 1 13 7 1
2
116 Diagramma melanacrum
119 Chlorurus bleekeri
Jml
3
2
8 1
2
2
6
1
1
12
2
2
2
3
2
1 18
1
1 6
35
12
5 2
9
8
18
1 1
3
1
7
1 7
41
13
18
24
23
9
33
14
1
6
8
250 1
105
20 Labridae
Sp
(Lampiran 3) Lanjutan
No
Family
Sp
Spesies Ikan
K1 K2 K3 K4 K5 L1
125 Anampses meleagrides
1
126 Thalassoma lunare
2
127 Halichoeres hortulanus
1
128 Thalassoma hardwicke
4 1
129 Halichoeres leucurus 131 Halichoeres chloropterus
1
1
2 1
2
4
1
1
3
1
1
12
3
S3 S4 S5
3
3
4
2
3
1
1
3
1
1
1 2
2
S2
1 5
5 1
L 9 L 10 S 1
1
1
130 Halichoeres chrysus
L8
1
3
2
Statiun L2 L3 L4 L5 L6 L7
1
1 2 1
1
1
4
137 Choerodon anchorago
1
1
138 Labroides dimidiatus
3
2
1
1
1
1
2
1
1 2
2 2
139 Diproctacanthus xanthurus
5
3
4
3
1 3
5
Apogonidae
2
4
1
2
2
12
12
Ptereleotridae
151 Nemateleotris magnifica
25
Callionymidae
153 Synchiropus splendidus
26
Pinguipedidae
154 Parapercis sp
3
4
2
2
3
155 Parapercis clathrata
1
1
156 Parapercis hexophthalma
2
2
Gobiidae
158 Koumansetta rainfordi
106
28
2
3
160 Amblyeleotris guttata
1
163 Meiacanthus grammistes
5 13
1
2
2
3
2
2
14
2
1
2
2
2
24
35
191
6
8
55
3
4
9
6 3
2
2 6
8
100
12
3
12
12
2
6 2
5
4
2
2
2
1
2
4
4
4
30
2
4
2
4
1
4
3
2
2
2
1 2
2
2
3
2
1
3
3
1
2
6 1
2 1
1
2
1
2
3 1
31
18 2
2 1
2
6 2
1 2
162 Amblyeleotris steinitzi Blenniidae
2
159 Valenciennea strigata 161 Amblyeleotris sp 29
56
9 2
2 4
157 Synodus dermatogenys
7
4
1 3
Synodontidae
3
1
1
152 Ptereleotris avides
27
2
1
2
4
1
24
5
10
2
2
150 Pseudochromis paranox
3
8
1
1
1
148 Apogon compressus Pseudochromidae
6
1
2
149 Cheilodipterus macrodon 23
3
1 1
144 Myripristis murdjan
147 Apogon aureus
12
12
146 Neoniphon sammara 22
2
1
1
142 Gomphosus varius
145 Sargocentron spiniferum
3
1 1
141 Cheilio inermis
Holocentridae
10
1
136 Oxcheilinus celebicus
21
7
8 1
143 Pseudocheilinus hexataenia
14
1
2 2
140 Labroides bicolor
1
1
134 Halichoeres negrescens 135 Halichoeres melanurus
55
1
132 Bodianus mesothorax 133 Hemigymnus melapterus
3 2
1
1
Jml
2
1
4
1
4
1
12
1
6 2
7
(Lampiran 3) Lanjutan
No 30
Family
Sp
Scorpaenidae
Spesies Ikan
K1 K2 K3 K4 K5 L1
164 Pterois volitans
4
1
165 Pterois antennata Platycephalidae
167 Cymbacephalus beaufirti
32
Ostraciidae
168 Ostracion cubicus
1
169 Ostracion solorensis
1
2
1
1
1
2 4
1
1 1
1
1
2
2
2
2
1
34
Aulostomidae
174 Aulostomus chenensis
35
Centriscidae
175 Aeoliscus strigatus
36
Pempheridae
176 Pempheris vanicolensis
4
37
Balistidae
177 Balistoides conspicillum
1
1
1
1
4
3 2
5
2
2
1
3
2
2
1
2
1
1
26
12
181 Canthigaster bennetti
1
12
182 Canthigaster papua
1
Tetraodontidae
1 21
183 Arothron nigropunctatus 184 Canthigaster valentini 39
Syngnathidae
185 Dunckerocampus dactyliophorus
40
Muraenidae
186 Gymnothorax javanicus
1
1
1
1
2
1
6
2
190 Carcharinus melanopterus
Desyatidae
191 Taeniura lymma
43
Diodontidae
192 Diodon sp
44
Plotosidae
193 Plotosus lineatus JUMLAH INDIVIDU
2
20
6
32
2
1
1
12 9
1
1
100
38
12
20
32
6
1
2 12
1
1
8
14
1 12
8
17
6
19
36
7
8 1
7
12
406
1
1 1
24
26
2
3
4
1 2
2
1 1
4 1
2
2
1
3
22
2
4
5
5 2
3
2
7
1
189 Heteroconger hassi Carcharhinidae
22
3
1 2
2 5
188 Gymnothorax fimbriatus
42
3
4 1
187 Rhinomuraena quaesita
41
2
12
179 Balistapus undulatus 38
8
24 3
180 Odonus niger
1
1
172 Parupeneus vanicolensis 173 Parupeneus barbarinus
178 Sufflamen chrysopterus
8
2
1
4
1
23
23 1
1
1
2
1
1
2
2
5
1
2
6
1
1
5 65
311
JUMLAH INDIVIDU MASING-MASING PULAU
265
Jml
2
1
2 2
S3 S4 S5
1 1
2
S2
1
170 Parupeneus crassilabris 171 Parupeneus multifasciatus
L 9 L 10 S 1
1
1
31
Mullidae
L8
1
166 Scorpaenopsis sp
33
Statiun L2 L3 L4 L5 L6 L7
416
427
219
336
300
295
1638
312
378
263 2800
278
254
220
164
395
202
178
531
65
127
1433 44
JUMLAH JENIS IKAN DI SEMUA STASIUN
193
JUMLAH INDIVIDU DISEMUA STASIUN PENGAMATAN
5871
Keterangan
:
K :
Pulau Kadatua
L :
Pulau Liwutongkidi
S :
Pulau Siompu
107
JUMLAH FAMILI DISEMUA STASIUN
108
Lampiran 4. Kelimpahan Ikan Karang Berdasarkan Jenis, Family dan jumlah Individu di Pulau Siompu Stasiun Family Jumlah S 1 S 2 S3 S 4 S 5 I. Kelompok Ikan Target 1. Acanthuridae 37 15 2 33 87 2. Serranidae 8 3 8 5 24 3. Caesionidae 30 22 14 66 4.. Holocentridae 2 4 6 5. Mullidae 5 24 5 34 6. Haemulidae 3 2 5 7. Scaridae 1 10 3 14 8. Lutjanidae 15 11 4 30 9. Siganidae 4 3 2 4 13 10. Sphyraenidae 25 1 26 11. Carangidae 1 1 12. Synodontidae 2 2 13. Lethrinidae 9 9 39 57 14. Scombridae 2 2 4 15. Nemipteridae 3 4 4 11 116 84 36 143 1 380 II. Kelompok Ikan Indikator 60 16. Chaetodontidae 23 9 5 23 0 III.
Kelompok Ikan Mayor 17. Apogonidae 18. Pomacanthidae 19. Balistidae 20. Blenniidae 21. Tetraodontidae 22. Labridae 23. Ostraciidae 24. Scorpaenidae 25. Pomacentridae 26. Ephippidae 27. Gobiidae 28. Ptereleotridae 29. Pinguipedidae 30. Cirrhitidae 31. Pseudochromidae 32. Zanclidae 33. Anthiinae 34. Diodontidae 35. Plotosidae 36. Carcharhinidae 37 Centriscidae Jumlah Total Sumber : Data primer diolah 2010
3 6 1 14 1 0 195 2 4 2 4 4 14 1 5 256 395
11 4 19 11 56 1 2 3 2 109 202
7 36 3 23 1 2 48 4 2 2 9 137 178
47 6 8 2 27 1 236 4 3 3 1 6 14 1 6 365 531
13 11 35 2 65 126 127
58 20 82 2 4 86 3 2 570 2 5 8 11 7 1 10 31 1 65 5 20 993 1433
109
Lampiran 5. Kelimpahan Ikan Karang Berdasarkan Jenis, Family dan jumlah Individu di Pulau Kadatua Stasiun Jumlah FAMILY K 1 K 2 K 3 K 4 K5 I. Kelompok Ikan Target 1 Acanthuridae 12 42 9 17 11 91 2 Serranidae 3 5 6 10 2 26 3 Caesionidae 30 12 44 36 19 141 4 Holocentridae 1 3 4 2 10 5 Mullidae 5 2 6 3 2 18 6 Haemulidae 3 2 5 7 Scaridae 7 3 4 1 15 8 Nemipteridae 7 1 1 6 2 17 9 Lutjanidae 6 40 6 52 10 Siganidae 17 12 7 5 2 43 11 Carangidae 1 1 2 12 Synodontidae 3 2 2 7 13 Lethrinidae 2 6 3 11 14 Scombridae 2 2 15 Desyatidae 1 1 2 Jumlah 88 79 128 101 46 442 II. Kelompok Ikan Indikator 16 Chaetodontidae 22 33 19 27 14 115 K elompok Ikan Mayor 17 Apogonidae 18 Pomacanthidae 19 Balistidae 20 Blenniidae 21 Tetraodontidae 22 Labridae 23 Ostraciidae 24 Scorpaenidae 25 Pomacentridae 26 Ephippidae 27 Gobiidae 28 Ptereleotridae 29 Pinguipedidae 30 Pempheridae 31 Zanclidae 32 Anthiinae 33 Cirrhitidae 34 Pseudochromidae 35 Aulostomidae 36 Muraenidae 37 Diodontidae Jumlah Total Sumber : Data primer diolah 2010 III.
12 7 22 1 2 17 117 3 2 2 14 2 201 311
3 2 6 3 16 4 97 3 6 8 5 153 265
16 9 29 3 34 2 1 112 2 6 2 6 4 5 8 5 2 23 269 416
8 8 15 1 14 28 1 1 182 4 2 3 7 3 16 3 1 1 1 299 427
6 2 16 19 94 2 5 2 3 7 2 1 159 219
45 28 72 2 38 114 3 6 602 9 13 10 17 4 19 53 10 1 6 28 1 1081 1638
110
Lampiran 6. Kelimpahan Ikan Karang Berdasarkan Jenis, Family dan jumlah Individu di Pulau Liwutongkidi FAMILY I
II.
III.
Kelompok Ikan Target 1 Acanthuridae 2 Serranidae Caesionidae 3 Holocentridae 4 Mullidae 5 Haemulidae 6 Scaridae 7 8 Nemipteridae 9 Lutjanidae 10 Siganidae 11 Desyatidae 12 Carangidae 13 Lethrinidae 14 Scombridae 15 Platycephalidae 16 Synodontidae Jumlah Kelompok Ikan Indikator 17 Chaetodontidae Kelompok Ikan Mayor 18 Apogonidae 19 Pomacanthidae 20 Balistidae 21 Blenniidae 22 Tetraodontidae 23 Labridae 24 Ostraciidae 25 Scorpaenidae 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Pomacentridae Ephippidae Gobiidae Callionymidae Ptereleotridae Pinguipedidae Pseudochromida e Zanclidae Anthiinae Diodontidae Muraenidae Cirrhitidae Aulostomidae Centriscidae Syngnathidae Jumlah
L 1 40 6 36 5 2 4 8 2 1 -
L 2
L 3
L 4
L 6
L 7
L 8
L 9
L 10
Jumlah
4 2 42 1 4 1 2 6 1 2 7 12 3
29 1 35 4 2 1 3 1 1 -
25 3 24 2 1 6 2 4 2 15 16 2
4 5 50 4 3 2 5 13 5 1 2 -
25 4 42 2 1 4 12 1
3 9 2 2 1 2 1 3 3
5 1 51 2 1 2 3 2 12 -
10 2 11 2 4 1 -
178 27 347 25 19 4 29 15 33 27 4 3 50 29 4 9
104
33 5 67 2 2 2 2 11 3
87
77
102
94
91
26
79
30
803
7
18
29
18
15
8
21
19
20
17
172
5 102 2 43 -
8 7 40 26 2 -
14 4 21 4 19 1
100 6 13 1 18 1 1
18 1 9 1 3 -
5 16 1 40 1 -
13 2 23 1 -
12 2 8 2 33 1 -
2 17 24 1
152 36 273 3 14 278 6 4
52 -
53 4
45 3 4 4
4 34 4 49 1 10 6 1 -
98 1 1 2 -
99 2 3
97 2
133 6 2 4 -
51 3 2 2
54 1 2 -
788 8 9 1 16 15
0 9 12 -
29 -
57 2 1 -
6 12 -
2 1 2 12 2
2 19 1 3 -
1 1 2
2 18 2 2 1 -
2 2 1 -
15 1 -
2 21 162 3 8 4 6 12 4
225
169
179
217
261
161
166
209
121
117
1825
378
263
278
254
220
164
2800
33 300 295 312 6 Sumber : Data primer diolah 2010 Total
L5
111
Lampiran 7 . Perhitungan Pendugaan Nilai Utility dan Surplus Konsumen Pemanfaatan Ikan Karang di Perairan Desa Kapoa No.
Nama Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Mulir Amiruddin La Ode Yususf Baharudin Hamsa Naim La Wena La Hindu La Saudia Zamaludin La Ausa La Kauma La Ode Rini La Pala La Alu La Banu Samsudin Musulinu La Bau La Kare La Sadai La Sadiici La Zuani La Bahaza La Mudi La Jide La Ajilama La Nafi Taslim La Fani La Sabu La Zahani La Subu La Alimu La Ziyidi Sumarlin Janadia La Afusa Zaheruddin La Samu La Sulema Bakri Taslim Duju La Nisa La Bayane La Ode Anton Hamisinari Hasanuddin La Ode Saleh La Meti
Tangkapan
Harga
Umur
Pendidikan
Tanggungan
Q 95 35 50 37 30 45 90 55 75 150 35 50 80 45 50 155 105 75 50 95 85 90 106 65 45 115 120 95 82 65 75 45 70 45 95 60 70 80 60 80 55 70 80 55 55 75 70 45 75 65 71.90
P 9,000 15,000 15,000 15,000 10,000 17,500 12,667 10,000 12,500 10,000 15,000 15,000 10,000 10,000 14,333 12,000 10,667 11,000 11,500 9,000 11,000 12,500 11,500 15,000 15,000 9,000 12,000 9,500 12,000 11,667 15,000 15,000 15,000 15,000 8,000 15,000 15,000 8,000 15,000 10,000 9,000 15,000 8,000 15,000 15,000 14,500 9,500 15,000 8,000 15,000
A 33 41 28 47 37 34 39 45 41 35 37 60 49 55 28 50 49 41 45 60 32 48 33 50 41 65 75 50 30 59 53 49 60 26 67 30 33 75 37 52 53 51 36 43 39 39 35 43 34 27
Ed 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 9 6 9 6 6 6 6 6 9 6 9 6 6 6 6 6 12 6 6 6 6 6 6 9 6 6 12 6 6 6 9 6 6 9 6 6 6 9
F 2 6 4 6 7 4 4 4 4 5 6 3 6 5 4 5 2 9 9 6 4 8 5 6 3 4 2 8 3 1 4 5 3 5 1 5 6 4 4 5 6 5 7 4 5 5 6 5 5 4
Jumlah Nelayan = 50 Luas Terumbu Karang = 262,36 Ha
Pendapatan I 800,000 525,000 750,000 555,000 300,000 775,000 1,085,000 550,000 900,000 1,500,000 525,000 750,000 800,000 450,000 720,000 1,755,000 1,030,000 765,000 610,000 855,000 885,000 1,225,000 1,058,000 975,000 675,000 1,080,000 1,230,000 900,000 900,000 725,000 1,050,000 675,000 1,050,000 675,000 760,000 900,000 1,050,000 640,000 900,000 800,000 495,000 1,050,000 640,000 825,000 825,000 1,005,000 660,000 675,000 600,000 975,000
112
Ln Q
Ln P
Ln A
Ln Ed
Ln I
4.5539 3.5553 3.9120 3.6109 3.4012 3.8067 4.4998 4.0073 4.3175 5.0106 3.5553 3.9120 4.3820 3.8067 3.9120 5.0434 4.6540 4.3175 3.9120 4.5539 4.4427 4.4998 4.6634 4.1744 3.8067 4.7449 4.7875 4.5539 4.4067 4.1744 4.3175 3.8067 4.2485 3.8067 4.5539 4.0943 4.2485 4.3820 4.0943 4.3820 4.0073 4.2485 4.3820 4.0073 4.0073 4.3175 4.2485 3.8067 4.3175 4.1744
9.1050 9.6158 9.6158 9.6158 9.2103 9.7700 9.4467 9.2103 9.4335 9.2103 9.6158 9.6158 9.2103 9.2103 9.5703 9.3927 9.2749 9.3057 9.3501 9.1050 9.3057 9.4335 9.3501 9.6158 9.6158 9.1050 9.3927 9.1590 9.3927 9.3645 9.6158 9.6158 9.6158 9.6158 8.9872 9.6158 9.6158 8.9872 9.6158 9.2103 9.1050 9.6158 8.9872 9.6158 9.6158 9.5819 9.1590 9.6158 8.9872 9.6158
3.4965 3.7136 3.3322 3.8501 3.6109 3.5264 3.6636 3.8067 3.7136 3.5553 3.6109 4.0943 3.8918 4.0073 3.3322 3.9120 3.8918 3.7136 3.8067 4.0943 3.4657 3.8712 3.4965 3.9120 3.7136 4.1744 4.3175 3.9120 3.4012 4.0775 3.9703 3.8918 4.0943 3.2581 4.2047 3.4012 3.4965 4.3175 3.6109 3.9512 3.9703 3.9318 3.5835 3.7612 3.6636 3.6636 3.5553 3.7612 3.5264 3.2958
1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 2.1972 1.7918 2.1972 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 2.1972 1.7918 2.1972 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 2.4849 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 2.1972 1.7918 1.7918 2.4849 1.7918 1.7918 1.7918 2.1972 1.7918 1.7918 2.1972 1.7918 1.7918 1.7918 2.1972
13.5924 13.1712 13.5278 13.2267 12.6115 13.5606 13.8971 13.2177 13.7102 14.2210 13.1712 13.5278 13.5924 13.0170 13.4870 14.3780 13.8451 13.5476 13.3212 13.6589 13.6933 14.0185 13.8719 13.7902 13.4225 13.8925 14.0225 13.7102 13.7102 13.4939 13.8643 13.4225 13.8643 13.4225 13.5411 13.7102 13.8643 13.3692 13.7102 13.5924 13.1123 13.8643 13.3692 13.6231 13.6231 13.8205 13.4000 13.4225 13.3047 13.7902
1.8844
1.4798
13.5920
113
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0.994763
R Square Adjusted R Square
0.989553 0.988366
Standard Error
0.039796
Observations
50
ANOVA df
SS
Regression
MS
5
6.6003
1.32007
Residual
44
0.0697
0.00158
Total
49
6.6701
Coefficients
Standard Error
t Stat
F
Significance F
833.5315
2.17463E-42
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Intercept
-0.29031
0.3637
-0.79829
0.428987532
-1.02323
0.442609
X Variable 1
-1.01336
0.0271
-37.3528
5.77104E-35
-1.06803
-0.95868
X Variable 2
-0.01258
0.0262
-0.47939
0.003403816
-0.06547
0.040314
X Variable 3
0.037111
0.0336
1.10321
0.027593251
-0.03068
0.104905
X Variable 4
-0.03286
0.0130
-2.51031
0.015812754
-0.05921
-0.00648
X Variable 5
1.033752
0.01913
54.0400
7.15217E-42
0.99519
1.072305
> restart; > b0:= -0.2903 b1:= -1.0134 b2:= -0.0126 b3:= 0.0371 b4:= -0.0329 b5:= 1.0338 rata_LnA:= rata_LnEd:= rata_LnF:= rata_LnI:=
; ; ; ; ; ; 3.7575 1.8844 1.4798 13.5920
; ; ; ;
b0 := -0.2903 b1 := -1.0134 b2 := -0.0126 b3 := 0.0371 b4 := -0.0329 b5 := 1.0338 rata_LnA := 3.7575 rata_LnEd := 1.8844 rata_LnF := 1.4798 rata_LnI := 13.5920
114
> lna:=b0+b2*rata_LnA+b3*rata_LnEd+b4*rata_LnF+b5*rata_LnI; lna := 13.73499092 > a:=exp(lna);
a := 9.226367847 105 > b:=b1;
b := -1.0134 > f(Q):=(Q/a)^(1/b);
f(Q ) :=
7.694072450 10 Q
> Qrata:=
71.90
0.9867771857
;
Qrata := 71.90 > plot(f(Q),Q=0..Qrata);
> N:= L:=
50 ; 262.36 ;
N := 50 L := 262.36 > U:=int(f(Q),Q=0..Qrata);
U := 6.157204158 107 > P:=(Qrata/a)^(1/b);
P := 11323.44467 > PS:=P*Qrata;
5
115
PS := 8.141556718 105 > CS:=U-PS;
CS := 6.075788591 107
> Nilai_Ekonomi_Total:=CS*N/L;
Nilai_Ekonomi_Total:= 1.157910617 107 > plot({f(Q),P},Q=0..Qrata);
116
Lampiran 8. Perhitungan Pendugaan Nilai Utility dan Surplus Konsumen Pemanfaatan Ikan Karang di Perairan Desa Waonu No.
Nama Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
La Bente Hamimu La Sarume Arsilu Asri La Hazina La Lyru La Aka Zahami La Yamin La Campuru La Amrin A La Hadhi Jumardin Arfin Daudi La Ode Basimu Saharudin H Hamsa H Sarlan Harsyad La Ampe La Seni Arsili La Ode Bihu La Maamu Zahamaru Saludin Arsiki La Edi La Ode Karima La Ramli La Haza Baharudin Minu La Ziyru Saman Udin Mulia La Ba Aba Sa Adi La Tauli Muliadin B La Hamsati La Hane La Ane A Zahuli Hamiru Tahanudin Ha Alam Salihi Ruhlin
Tangkapan
Harga
Umur
Q 160 50 60 40 57 200 54 69 76 50 71 34 41 45 70 50 50 50 45 47 40 62 54 35 49 38 51 52 37 50 67 65 63 130 15 17 15 150 130 45 37 125 154 85 54 54 45 50 55 65
P 4000 10000 10000 10000 11000 4000 10000 11000 10500 10000 10000 11000 11500 11000 10000 10000 10000 10000 11000 10500 10000 11000 10000 12000 11000 10000 10000 10000 11000 10500 10000 10000 10500 6000 20000 20000 25000 4000 4000 10000 10000 4000 4000 7000 10000 10000 10000 10000 10000 10000
A 54 30 45 30 36 58 58 48 58 38 43 36 34 35 40 48 42 41 52 39 40 43 35 42 60 55 41 46 43 42 65 50 52 37 50 45 42 55 56 46 43 50 48 45 28 56 30 54 45 37
64.16 Jumlah Nelayan = 50 Luas Terumbu Karang = 262,36 Ha
Pendidikan
Tanggungan
Pendapatan
Ed 6 6 6 6 12 6 6 6 6 9 6 6 9 9 6 6 9 12 6 6 12 6 6 6 6 6 12 12 6 6 9 9 6 12 6 6 6 6 6 6 9 6 6 6 6 6 6 6 6 9
F 7 3 4 4 2 5 2 5 5 5 6 4 5 3 8 7 6 7 5 8 5 6 4 3 7 3 5 5 5 7 4 5 4 6 7 6 6 3 6 6 6 6 6 6 4 2 3 5 7 5
X 640.000 500.000 600.000 400.000 627.000 800.000 540.000 759.000 798.000 500.000 710.000 374.000 471.500 495.000 700.000 500.000 500.000 500.000 495.000 493.500 400.000 682.000 540.000 420.000 539.000 380.000 510.000 520.000 407.000 525.000 670.000 650.000 661.500 780.000 300.000 340.000 375.000 600.000 520.000 450.000 370.000 500.000 616.000 595.000 650.000 540.000 450.000 500.000 550.000 650.000 2.709.3500
117
Ln Q
Ln P
Ln A
Ln Ed
Ln Ex
5.0752 3.9120 4.0943 3.6889 4.0431 5.2983 3.9890 4.2341 4.3307 3.9120 4.2627 3.5264 3.7136 3.8067 4.2485 3.9120 3.9120 3.9120 3.8067 3.8501 3.6889 4.1271 3.9890 3.5553 3.8918 3.6376 3.9318 3.9512 3.6109 3.9120 4.2047 4.1744 4.1431 4.8675 2.7081 2.8332 2.7081 5.0106 4.8675 3.8067 3.6109 4.8283 5.0370 4.4427 3.9890 3.9890 3.8067 3.9120 4.0073 4.1744
8.2940 9.2103 9.2103 9.2103 9.3057 8.2940 9.2103 9.3057 9.2591 9.2103 9.2103 9.3057 9.3501 9.3057 9.2103 9.2103 9.2103 9.2103 9.3057 9.2591 9.2103 9.3057 9.2103 9.3927 9.3057 9.2103 9.2103 9.2103 9.3057 9.2591 9.2103 9.2103 9.2591 8.6995 9.9035 9.9035 10.1266 8.2940 8.2940 9.2103 9.2103 8.2940 8.2940 8.8537 9.2103 9.2103 9.2103 9.2103 9.2103 9.2103
3.9890 3.4012 3.8067 3.4012 3.5835 4.0604 4.0604 3.8712 4.0604 3.6376 3.7612 3.5835 3.5264 3.5553 3.6889 3.8712 3.7377 3.7136 3.9512 3.6636 3.6889 3.7612 3.5553 3.7377 4.0943 4.0073 3.7136 3.8286 3.7612 3.7377 4.1744 3.9120 3.9512 3.6109 3.9120 3.8067 3.7377 4.0073 4.0254 3.8286 3.7612 3.9120 3.8712 3.8067 3.3322 4.0254 3.4012 3.9890 3.8067 3.6109
1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 2.4849 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 2.1972 1.7918 1.7918 2.1972 2.1972 1.7918 1.7918 2.1972 2.4849 1.7918 1.7918 2.4849 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 2.4849 2.4849 1.7918 1.7918 2.1972 2.1972 1.7918 2.4849 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 2.1972 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 1.7918 2.1972
13.3692 13.1224 13.3047 12.8992 13.3487 13.5924 13.1993 13.5398 13.5899 13.1224 13.4730 12.8320 13.0637 13.1123 13.4588 13.1224 13.1224 13.1224 13.1123 13.1093 12.8992 13.4328 13.1993 12.9480 13.1975 12.8479 13.1422 13.1616 12.9166 13.1712 13.4150 13.3847 13.4023 13.5670 12.6115 12.7367 12.8347 13.3047 13.1616 13.0170 12.8213 13.1224 13.3310 13.2963 13.3847 13.1993 13.0170 13.1224 13.2177 13.3847
3.7859
1.9398
13.1773
118
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.999005 R Square 0.998011 Adjusted R Square 0.997785 Standard Error 0.025001 Observations
50
ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2 X Variable 3 X Variable 4 X Variable 5
SS
MS
5 44 49
13.80213 0.027502 13.82963
Coefficients 0.123942 -1.00233 0.053219 0.019693 0.003443 0.973332
Standard Error 0.298517 0.010743 0.019206 0.014637 0.01026 0.01772
> restart; > b0:= 0.123942453 b1:= -1.002330507 b2:= 0.053219271 b3:= 0.019693221 b4:= 0.003443128 b5:= 0.973332291 rata_LnA:= 3.7859 rata_LnEd:= 1.9398 rata_LnF:= 1.5716 rata_LnI:= 13.1773
F
2.760426 0.000625
4416.333
t Stat 0.415194 -93.2986 2.771011 1.345457 0.335595 54.92977
P-value 0.680018 3.25E-52 0.008157 0.005371 0.008771 3.52E-42
; ; ; ; ; ; ; ; ; ;
b0 := 0.123942453 b1 := -1.002330507 b2 := 0.053219271 b3 := 0.019693221 b4 := 0.003443128 b5 := 0.973332291 rata_LnA := 3.7859 rata_LnEd := 1.9398
Significance F 3.11125E-58
Lower 95% -0.47767 -1.02398 0.01451 -0.00980 -0.01723 0.93763
Upper 95% 0.7256 -0.981 0.0919 0.0492 0.0241 1.0090
119
rata_LnF := 1.5716 rata_LnI := 13.1773 > lna:=b0+b2*rata_LnA+b3*rata_LnEd+b4*rata_LnF+b5*rata_LnI; lna := 13.19492902 > a:=exp(lna);
a := 5.376316934 105 > b:=b1;
b := -1.002330507 > f(Q):=(Q/a)^(1/b);
f(Q ) :=
5.213879364 10 Q
> Qrata:=
64.16
5
0.9976749116
;
Qrata := 64.16 > plot(f(Q),Q=0..Qrata);
> N:= L:=
50 ; 262.36 ;
N := 50 L := 262.36 > U:=int(f(Q),Q=0..Qrata);
U := 2.264245735 108 > P:=(Qrata/a)^(1/b);
P := 8205.379512 > PS:=P*Qrata;
PS := 5.264571495 105 > CS:=U-PS;
CS := 2.258981164 108
120
> Nilai_Ekonomi_Total:=CS*N/L;
Nilai_Ekonomi_Total:= 4.305117327 107 > plot({f(Q),P},Q=0..Qrata);
121
Lampiran 9. Perhitungan Pendugaan Nilai Utility dan Surplus Konsumen Pemanfaatan Ikan Karang di Perairan Desa Tongali No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Tangkapan
Harga
Q
P
Umur
Pendidikan
Tanggungan
Pendapatan
A
Ed
F
I
47 53 37 29 42 37 65 47 25 47 49 49 49 40 50 40 37 30 37 30 37 45 40 57 41 57 30 35 32 30 37 40 40 30 37 40 40 47 39 30 37 40 52 37 43 45 41 49 44 40
6 6 9 12 12 9 6 9 12 9 6 6 12 12 6 9 9 9 9 9 12 6 9 6 12 6 12 12 12 12 9 9 12 9 9 9 6 6 9 9 9 12 6 9 9 6 9 9 9 6
7 6 7 5 5 4 5 4 3 4 5 4 5 4 5 6 5 4 4 4 4 5 6 4 5 7 5 5 4 4 5 6 5 4 5 7 5 4 5 4 5 5 6 5 6 6 7 3 5 6
1,040,000 1,240,000 635,000 1,140,000 895,000 1,080,000 730,000 540,000 675,000 1,245,000 500,000 1,075,000 270,000 640,000 405,000 945,000 900,000 675,000 750,000 620,000 405,000 720,000 540,000 655,000 710,000 700,000 800,000 675,000 825,000 955,000 500,000 780,000 450,000 840,000 720,000 790,000 630,000 630,000 450,000 585,000 825,000 675,000 720,000 1,050,000 1,050,000 1,290,000 825,000 450,000 525,000 650,000
Nama Responden La Dada La Bua La Bakiri Akbar Tolas M. Amin La Natsir La Auma La Ramani Husni La Kotanda Kasim Tomsio La Kimu Abdul Wahid La Rianto La Sura La Hamsi Husen Fadara La Yinta La Toea La Umini M. Yasir La Sunufi Sulaiman La Mahi La Mbonu Umar D La Bai Mustar Saharuddin Abdullah Kara La Manggo Ali La Nefo Hanif Jamaludin H Mukhlisa Saludin R Ahmat Mbolobo La Ugi Salim Tehe Wuni Musliadi La Doruna Rahman D La Yili La Puto La Halili La Babu Usman K La Dyfa La Mano La Kuasa
110 140 65 145 85 120 75 80 45 60 50 85 30 80 45 73 60 45 50 90 45 75 60 70 75 70 40 45 55 72 50 60 45 56 48 85 70 42 50 65 55 45 90 70 70 86 55 30 35 65 66.24
Jumlah Nelayan = 50 Luas Terumbu Karang = 262,36 Ha
9,667 9,250 9,667 8,000 11,000 9,000 9,667 7,000 15,000 12,500 10,000 12,500 9,000 8,000 9,000 12,500 15,000 15,000 15,000 7,000 9,000 9,500 9,000 9,500 9,500 10,000 20,000 15,000 15,000 12,500 10,000 13,000 10,000 15,000 15,000 9,500 9,000 15,000 9,000 9,000 15,000 15,000 8,000 15,000 15,000 15,000 15,000 15,000 15,000 10,000
37.420.000
122
Ln Q
Ln P
Ln A
Ln Ed
Ln I
4.7005 4.9416 4.1744 4.9767 4.4427 4.7875 4.3175 4.3820 3.8067 4.0943 3.9120 4.4427 3.4012 4.3820 3.8067 4.2905 4.0943 3.8067 3.9120 4.4998 3.8067 4.3175 4.0943 4.2485 4.3175 4.2485 3.6889 3.8067 4.0073 4.2767 3.9120 4.0943 3.8067 4.0254 3.8712 4.4427 4.2485 3.7377 3.9120 4.1744 4.0073 3.8067 4.4998 4.2485 4.2485 4.4543 4.0073 3.4012 3.5553 4.1744
9.1764 9.1324 9.1764 8.9872 9.3057 9.1050 9.1764 8.8537 9.6158 9.4335 9.2103 9.4335 9.1050 8.9872 9.1050 9.4335 9.6158 9.6158 9.6158 8.8537 9.1050 9.1590 9.1050 9.1590 9.1590 9.2103 9.9035 9.6158 9.6158 9.4335 9.2103 9.4727 9.2103 9.6158 9.6158 9.1590 9.1050 9.6158 9.1050 9.1050 9.6158 9.6158 8.9872 9.6158 9.6158 9.6158 9.6158 9.6158 9.6158 9.2103
3.8501 3.9703 3.6109 3.3673 3.7377 3.6109 4.1744 3.8501 3.2189 3.8501 3.8918 3.8918 3.8918 3.6889 3.9120 3.6889 3.6109 3.4012 3.6109 3.4012 3.6109 3.8067 3.6889 4.0431 3.7136 4.0431 3.4012 3.5553 3.4657 3.4012 3.6109 3.6889 3.6889 3.4012 3.6109 3.6889 3.6889 3.8501 3.6636 3.4012 3.6109 3.6889 3.9512 3.6109 3.7612 3.8067 3.7136 3.8918 3.7842 3.6889
1.7918 1.7918 2.1972 2.4849 2.4849 2.1972 1.7918 2.1972 2.4849 2.1972 1.7918 1.7918 2.4849 2.4849 1.7918 2.1972 2.1972 2.1972 2.1972 2.1972 2.4849 1.7918 2.1972 1.7918 2.4849 1.7918 2.4849 2.4849 2.4849 2.4849 2.1972 2.1972 2.4849 2.1972 2.1972 2.1972 1.7918 1.7918 2.1972 2.1972 2.1972 2.4849 1.7918 2.1972 2.1972 1.7918 2.1972 2.1972 2.1972 1.7918
13.8547 14.0306 13.3614 13.9465 13.7046 13.8925 13.5008 13.1993 13.4225 14.0346 13.1224 13.8878 12.5062 13.3692 12.9116 13.7589 13.7102 13.4225 13.5278 13.3375 12.9116 13.4870 13.1993 13.3924 13.4730 13.4588 13.5924 13.4225 13.6231 13.7695 13.1224 13.5670 13.0170 13.6412 13.4870 13.5798 13.3535 13.3535 13.0170 13.2794 13.6231 13.4225 13.4870 13.8643 13.8643 14.0702 13.6231 13.0170 13.1712 13.3847
3.6952
2.1585
13.4755
123
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0.980859
R Square
0.962085
Adjusted R Square
0.957776
Standard Error
0.071617
Observations
50
ANOVA df Regression
SS
MS
5
5.726456
1.145291
Residual
44
0.225675
0.005129
Total
49
5.952131
Coefficients
Standard Error
Intercept
1.484581
X Variable 1
F 223.298
Significance F 4.32233E-30
t Stat
P-value
Lower 95%
0.680009
2.183178
0.034401
0.114112766
2.85505
-1.00859
0.043765
-22.9977
8.63E-26
-1.094757922
-0.91824
X Variable 2
-0.11751
0.07063
-1.66368
0.003285
-0.259851856
0.02484
X Variable 3
-0.05818
0.053269
1.767514
0.004238
-0.014760031
0.2242
X Variable 4
0.090724
0.054171
1.674794
0.001069
-0.01844906
0.19990
X Variable 5
0.926027
0.035049
26.42119
1.25E-28
0.855390831
0.99666
> restart; > b0:= 1.4846 b1:= -1.0086 b2:= -0.1175 b3:= -0.0582 b4:= 0.0907 b5:= 0.9260 rata_LnA:= rata_LnEd:= rata_LnF:= rata_LnI:=
; ; ; ; ; ; 3.6952 2.1585 1.5849 13.4755
; ; ; ;
b0 := 1.4846 b1 := -1.0086 b2 := -0.1175 b3 := -0.0582 b4 := 0.0907 b5 := 0.9260 rata_LnA := 3.6952
Upper 95%
124
rata_LnEd := 2.1585 rata_LnF := 1.5849 rata_LnI := 13.4755 > lna:=b0+b2*rata_LnA+b3*rata_LnEd+b4*rata_LnF+b5*rata_LnI; lna := 13.54685273 > a:=exp(lna);
a := 7.644047688 105 > b:=b1;
b := -1.0086 > f(Q):=(Q/a)^(1/b);
f(Q ) :=
6.810174294 10 Q
> Qrata:= >
66.24
0.9914733294
;
Qrata := 66.24 > plot(f(Q),Q=0..Qrata);
> N:= L:=
50 ; 262.36 ;
N := 50 L := 262.36 > U:=int(f(Q),Q=0..Qrata);
5
125
U := 8.277645712 107 > P:=(Qrata/a)^(1/b);
P := 10655.30772 > PS:=P*Qrata;
PS := 7.058075834 105 > CS:=U-PS;
CS := 8.207064954 107 > Nilai_Ekonomi_Total:=CS*N/L;
Nilai_Ekonomi_Total:= 1.564084646 107 > plot({f(Q),P},Q=0..Qrata);
126
Lampiran 10 . Estimasi Panjang Ikan dan Bobot Ikan Karang di Stasiun Penelitian No Family
Spesies Ikan
F
Spesies
1
Chaetodontidae
2
Pomacanthidae
3
Ephippidae
4
Acanthuridae
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Chaetodon Vagabundus Chaetodon auriga Chaetodon trifascialis Chaetodon unimaculatus Chaetodon melannotus Chaetodon xanthurus Chaetodon raflesi Chaetodon punctatofasciatus Chaetodon lunulatus Chaetodon baronessa Chaetodon kleinii Chaetodon lunula Chaetodon ephippium Chaetodon ocellicaudus Chaetodon ornatissimus Chaetodon ulietensis Chaetodon adiergastos Forcipiger flavissimus Heniochus chrysostomus Heniochus varius Heniochus acuminatus Centropyge bicolor Centropyge tibicen Centropyge vroliki Centropyge bispinosus Pomacanthus imperator Pygoplites diacanthus Chaetodontoplus conspicillatus Chaetodontoplus mesoleucus Platax pinnatus Platax boersi Acanthurus olivaceus Acanthurus blochii Acanthurus auranticavus Acanthurus pyroferus Acanthurus nigrofuscus Ctenochaetus tominiensis Paracanthurus hepatus Zebrasoma scopas Ctenochaetus striatus Naso thynnoides
Length Estimation (CM) (Kisaran) 9 8 5 10 7 9 7 6 5 7 4 10 12 6 10 11 10 9 8 10 12 9 7 8 10 21 12 9 9 5 21 12 17 19 12 17 12 12 7 10 9
12 11 12 11 10 10 9 9 10 10 11 11 14 10 11 12 12 12 16 12 16 13 11 10 12 26 22 10 10 21 30 18 24 28 18 20 16 14 14 20 20
Estimasi JML
a
b
0.0278 0.0311 0.0312 0.0533 0.0267 0.022 0.0222 0.0267 0.0693 0.0448 0.0448 0.0257 0.0225 0.0318 0.0257 0.0311 0.0257 0.021 0.0132 0.025 0.0247 0.0415 0.0492 0.0537 0.092 0.0102 0.0161 0.0179 0.0104 0.0425 0.0425 0.007 0.0178 0.0041 0.0051 0.0301 0.0231 0.0409 0.0304 0.0231 0.051
2.9730 2.9760 2.9530 2.8333 3.0490 3.1900 3.1400 3.0490 2.6215 2.8280 2.8280 3.1000 3.0609 2.9840 3.1000 2.8741 3.1000 3.0000 3.3690 3.0000 3.1058 3.0000 2.7945 2.8860 2.4580 3.4690 2.929 2.9298 2.9670 2.9750 2.975 3.3980 3.1440 3.0000 3.0000 2.9670 3.0635 3.0660 2.9570 3.0635 2.7154
Rata2 panjang 21 19 17 21 17 19 16 15 15 17 15 21 26 16 21 23 22 21 24 22 28 22 18 18 22 47 34 19 19 26 51 30 41 47 30 37 28 26 21 30 29
10.5 9.5 8.5 10.5 8.5 9.5 8.0 7.5 7.5 8.5 7.5 10.5 13 8 10.5 11.5 11 10.5 12 11 14 11 9 9 11 23.5 17 9.5 9.5 13 25.5 15 20.5 23.5 15 18.5 14 13 10.5 15 14.5
L
b
1086.4151 812.2794 555.3593 782.2321 682.0219 1315.037995 685.0189 465.6523 196.7764 425.0076 298.3137 1464.4914 2568.4387 495.2455 1464.4914 1118.2828 1691.6765 1157.6250 4322.7649 1331.0000 3627.8093 1331.0000 464.1204 567.4713 362.8634 57047.2106 4017.7683 732.0397 795.9869 2060.5420 15291.7446 9916.4927 13309.2670 12977.8750 3375.0000 5750.4061 3244.6155 2602.2578 1046.3013 4008.2571 1424.2252
W aLb 30.2023 25.2619 17.3272 41.6930 18.2100 28.9308 15.2074 12.4329 13.6366 19.0403 13.3645 37.6374 57.7899 15.7488 37.6374 34.7786 43.4761 24.3101 57.0605 33.2750 89.6069 55.2365 22.8347 30.4732 33.3834 581.8815 64.6861 13.1035 8.2783 87.5730 649.8991 69.4154 236.9050 53.2093 17.2125 173.0872 74.9506 106.4323 31.8076 92.5907 72.6355
127
(Lampiran 10) Lanjutan No Family F
Spesies Ikan Spesies
5 6
Zanclidae Siganidae
7
Pomacentridae
Length Estimation (CM) (Kisaran)
Estimasi JML
a
b
Rata2 panjang
L
b
W aLb
42 43 44 45 46 47
Zanclus cornutus Siganus puellus Siganus guttatus Siganus doliatus Siganus vulpinus Amblyglyphidodon curacao
9 22 25 18 18 5
19 28 30 24 22 8
28 50 55 42 40 13
14 25 27.5 21 20 6.5
0.0147 0.0246 0.0174 0.0104 0.0287 0.0126
3.3699 3.0000 3.0000 3.2721 3.0000 3.4351
7283.4454 15625.0000 20796.8750 21204.7792 8000.0000 620.0671
107.0666 384.3750 361.8656 220.5297 229.6000 7.8128
48
Amblyglyphidodon leucogaster
5
10
15
7.5
0.0048
3.0000
421.8750
2.0250
49
Amblyglyphidodon ternatensis
4
8
12
6
0.0048
3.0000
216.0000
1.0368
50
Amphiprion percula
3
7
10
5
0.0316
2.9298
111.6458
3.5280
51
Amphiprion perideraion
2
7
9
4.5
0.0409
3.0000
91.1250
3.7270
52
Amphiprion ocellaris
3
8
11
5.5
0.0385
2.9041
141.2821
5.4394
53
Amphiprion sandaricinos
3
8
11
5.5
0.0358
3.0000
166.3750
5.9562
54
Premnas biaculeatus
2
11
13
6.5
0.0537
2.886
221.8543
11.9136
55
Amblyglyphidodon aureus
8
11
19
9.5
0.0126
3.4351
2283.3809
28.7706
56
Amphiprion clarkii
2
8
10
5
0.0235
3.0000
125.0000
2.9375
57
Dascyllus reticulatus
2
5
7
3.5
0.0311
3.1327
50.6293
1.5746
58
Dascyllus trimaculatus
2
5
7
3.5
0.108
2.75
31.3464
3.3854
59
Dascyllus aruanus
2
4
6
3
0.0136
2.686
19.1226
0.2601
60
Neoglyphidodon crossi
4
7
11
5.5
0.0178
3.1822
226.9772
4.0402
61
Pomacentrus littoralis
5
8
13
6.5
0.0281
3.084
321.3844
9.0309
62
Pomacentrus muluccensis
2
7
9
4.5
0.0305
3.0121
92.7986
2.8304
63
Chromis amboinensis
2
7
9
4.5
0.0258
3
91.1250
2.3510
64
Chromis retrofasciata
2
4
6
3
0.009
2.773
21.0406
0.1894
65
Chromis ternatensis
2
6
8
4
0.016
3.408
112.6732
1.8028
66
Chromis atripectoralis
4
9
13
6.5
0.0179
3.2907
473.2101
8.4705
67
Neoglyphidodon nigroris
5
10
15
7.5
0.0178
3.1822
609.0037
10.8403
68
Pomacentrus alexanderae
4
8
12
6
0.0135
3.312
377.7782
5.1000
69
Dischistodus perspicillatus
7
11
18
9
0.0537
2.8860
567.4713
30.4732
70 71 72 73 74
Neoglyphidodon thoracotaeniatus Chrysiptera talboti Pomacentrus amboinensis Chrysiptera springeri Chrysiptera hemicyanea
8 2 5 2 2
11 6 7 5 5
19 8 12 7 7
9.5 4 6 3.5 3.5
0.0206 0.0399 0.0439 0.038 0.0399
3.1462 3.0000 2.8238 3.0000 3.0000
1191.5548 64.0000 157.5228 42.8750 42.8750
24.5460 2.5536 6.9153 1.6293 1.7107
75
Chromis sp
2
4
6
3
0.0379
3.0000
27.0000
1.0233
76
Chromis viridis
1
8
9
4.5
0.0351
2.8997
78.3647
2.7506
77
Chrysiptera rollandi
2
6
8
4
0.022
3.0012
64.1066
1.4103
78
Abudefduf vaigiensis
7
10
17
8.5
0.099
3.267
1087.4558
107.6581
79
Chromis margaritifer
6
8
14
7
0.0044
3.0000
343.0000
1.5092
80
Pomacentrus bangkanensis
5
7
12
6
0.0215
3.21
314.6774
6.7656
No
Estimasi Family
F
Spesies Ikan Spesies
8
Lutjanidae
9
Nemipteridae
10
Lethrinidae
11
Carangidae
12
Sphyraenidae
13
Scombridae
14
Caesionidae
15
Anthiinae
16
Serranidae
17
Cirrhitidae
18
Haemullidae
19
Scaridae
81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
Lutjanus gibbus Lutjanus bohar Lutjanus decussatus Lutjanus fulviflama Macolor niger Aprion virescens Lutjanus kasmira Scolopsis bilineatus Scolopsis lineatus Gnonathodentex aureolineatus Monotaxis heterodon Lethrinus amboninensis Elegatis bipinnulatus Caranx melampygus Sphyraena helleri Sphyraena barracuda Scomberomurus commerson Rastrelliger kanagurta Gymnosarda unicolor Pterocaesio tile Pterocaesio pisang Pterocaesio trilineata Pseudanthias huchti Pseudanthias bicolor Cephalopholis argus Cephalopholis urodeta Cephalopholis miniata Epinephelus polyphekadion Epinephelus merra Plectropomus oligocanthus Variola louti Epinephelus fasciatus Aethaloperca rogaa Cirrhitichthys falco Paracirrhites forsteri Diagramma melanacrum Plectorhinchus vittatus Plectorhinchus chaetodonnoides Chlorurus bleekeri Chlorurus sordidus Cetosscarus bicolor
Length Estimation (CM) (Kisaran) 18 6 21 29 26 35 18 12 10 13 7 18 30 25 20 50 25 20 34 12 12 8 4 4 24 17 20 20 18 35 21 19 31 6 6 30 21 28 21 23 22
29 12 30 34 36 40 29 18 20 20 16 28 40 30 35 55 35 30 39 14 18 14 10 8 30 23 35 28 25 38 35 28 34 9 9 32 27 30 29 30 27
JML
a
b
0.0153 0.0156 0.0201 0.0205 0.0308 0.0162 0.0111 0.0138 0.0257 0.018 0.0239 0.0204 0.0135 0.0211 0.0047 0.007 0.0205 0.0061 0.0105 0.0174 0.0074 0.0107 0.0425 0.0254 0.0093 0.0138 0.0107 0.0124 0.0096 0.0132 0.0122 0.0161 0.0299 0.0033 0.0201 0.0077 0.0132 0.0215 0.0041 0.0127 0.0174
3.091 3.0587 3.0000 2.9599 3.0000 2.905 3.1540 3.1738 3.0000 3.0625 3.011 3 2.92 2.941 3 2.972 2.9599 3.191 3.065 3.0000 3.15 3.1778 2.975 3.0000 3.1807 3.173 3.1141 3.057 3.196 3.0000 3.0791 2.929 3.0000 3.8493 3.0000 3.131 3.0000 3.0000 3.0000 3.141 3.0000
L
b
W aLb
Rata2 panjang 47 18 51 63 62 75 47 30 30 33 23 46 70 55 55 105 60 50 73 26 30 22 14 12 54 40 55 48 43 73 56 47 65 15 15 62 48 58 50 53 49
23.5 9 25.5 31.5 31 37.5 23.5 15 15 16.5 11.5 23 35 27.5 27.5 52.5 30 25 36.5 13 15 11 7 6 27 20 27.5 24 21.5 36.5 28 23.5 32.5 7.5 7.5 31 24 29 25 26.5 24.5
17296.9991 829.3571 16581.3750 27217.5737 29791.0000 37373.2471 21103.1865 5403.5408 3375.0000 5352.3509 1562.2884 12167.0000 32261.0642 17103.2031 20796.8750 129513.0258 23557.6086 28895.2574 61436.6646 2197.0000 5066.2599 2038.6265 326.7132 216.0000 35705.7964 13432.8503 30354.6998 16569.3612 18133.1527 48627.1250 28572.2403 10371.8868 34328.1250 2335.4648 421.8750 46714.6892 13824.0000 24389.0000 15625.0000 29540.3264 14706.1250
264.6441 12.9380 333.2856 557.9603 917.5628 605.4466 234.2454 74.5689 86.7375 96.3423 37.3387 248.2068 435.5244 360.8776 97.7453 906.5912 482.9310 176.2611 645.0850 38.2278 37.4903 21.8133 13.8853 5.4864 332.0639 185.3733 324.7953 205.4601 174.0783 641.8781 348.5813 166.9874 1026.4109 7.7070 8.4797 359.7031 182.4768 524.3635 64.0625 375.1621 255.8866
128
(Lampiran 10) Lanjutan
129
(Lampiran 10) Lanjutan No F
Estimasi Family
20
Labridae
21
Holocentridae
22
Apogonidae
23 24
Pseudochromidae Ptereleotridae
25 26
Callionymidae Pinguipedidae
27 28
Synodontidae Gobiidae
Spesies 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 141 142 143 144 145 146
Spesies Ikan Cheilinus fasciatus Cirrhilabrus solorensis Cheilinus chlorourus Anampses meleagrides Thalassoma lunare Halichoeres hortulanus Thalassoma hardwicke Halichoeres leucurus Halichoeres chrysus Halichoeres chloropterus Bodianus mesothorax Hemigymnus melapterus Halichoeres negrescens Halichoeres melanurus Oxcheilinus celebicus Choerodon anchorago Labroides dimidiatus Diproctacanthus xanthurus Labroides bicolor Cheilio inermis Gomphosus varius Pseudocheilinus hexataenia Myripristis murdjan Sargocentron spiniferum Neoniphon sammara Apogon aureus Apogon compressus Cheilodipterus macrodon Pseudochromis paranox Nemateleotris magnifica Ptereleotris avides Synchiropus splendidus Parapercis sp Parapercis clathrata Parapercis hexophthalma Synodus dermatogenys Koumansetta rainfordi Valenciennea strigata Amblyeleotris guttata Amblyeleotris sp Amblyeleotris steinitzi
Length Estimation (CM) (Kisaran) 16 4 12 8 10 10 8 10 8 10 7 8 8 7 9 8 5 5 5 12 4 5 7 7 8 4 4 5 6 5 7 4 6 9 9 8 4 6 5 5 4
19 9 15 12 15 18 17 12 12 12 10 12 11 10 11 13 8 6 7 15 7 7 11 11 11 6 6 7 8 8 8 6 12 11 12 17 6 8 6 6 6
JML 35 13 27 20 25 28 25 22 20 22 17 20 19 17 20 21 13 11 12 27 11 12 18 18 19 10 10 12 14 13 15 10 18 20 21 25 10 14 11 11 10
Rata2 panjang 17.5 6.5 13.5 10 12.5 14 12.5 11 10 11 8.5 10 9.5 8.5 10 10.5 6.5 5.5 6 13.5 5.5 6 9 9 9.5 5 5 6 7 6.5 7.5 5 9 10 10.5 12.5 5 7 5.5 5.5 5
a
b
0.0318 0.0415 0.0197 0.015 0.0211 0.0222 0.0126 0.0215 0.0175 0.016 0.0174 0.0182 0.0182 0.0156 0.0201 0.0145 0.0108 0.0076 0.0409 0.0036 0.0124 0.0415 0.0376 0.0154 0.0276 0.0081 0.0108 0.0041 0.0076 0.007 0.0278 0.0109 0.0100 0.0124 0.0085 0.0047 0.0081 0.0087 0.0129 0.0245 0.0090
3.0000 3.0000 2.9932 3.0000 2.8317 3.0000 2.878 3.0000 2.9568 2.87 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 3.125 3.0000 3.105 3.0000 3.066 3.002 3.0000 3.0000 3.1188 2.8884 3.409 3.0000 3.577 3.105 2.972 2.9730 3.3415 3.1000 3.002 3.0000 3.3455 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000
L
b
5359.3750 274.6250 2417.2136 1000.0000 1276.7918 2744.0000 1435.1821 1331.0000 905.3156 974.5340 614.1250 1000.0000 857.3750 614.1250 1000.0000 1553.1613 274.6250 198.9877 216.0000 2921.4828 166.9432 216.0000 729.0000 946.4366 666.8941 241.4286 125.0000 607.3612 420.7551 260.6025 399.5371 216.5750 908.1379 1004.6158 1157.6250 4674.2555 125.0000 343.0000 166.3750 166.3750 125.0000
W aLb 170.4281 11.3969 47.6191 15.0000 26.9403 60.9168 18.0833 28.6165 15.8430 15.5925 10.6858 18.2000 15.6042 9.5804 20.1000 22.5208 2.9660 1.5123 8.8344 10.5173 2.0701 8.9640 27.4104 14.5751 18.4063 1.9556 1.3500 2.4902 3.1977 1.8242 11.1071 2.3607 9.0814 12.4572 9.8398 21.9690 1.0125 2.9841 2.1462 4.0762 1.1250
No Family F
Spesies Ikan Spesies
29 30
Blenniidae Scorpaenidae
31 32
Platycephalidae Ostraciidae
33
Mullidae
34 35 36 37
Aulostomidae Centriscidae Pempheridae Balistidae
38
Tetraodontidae
39 40
Syngnathidae Muraenidae
41 42 43 44
Carcharhinidae Desyatidae Diodontidae Plotosidae
163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193
Meiacanthus grammistes Pterois volitans Pterois antennata Scorpaenopsis sp Cymbacephalus beaufirti Ostracion cubicus Ostracion solorensis Parupeneus crassilabris Parupeneus multifasciatus Parupeneus vanicolensis Parupeneus barbarinus Aulostomus chenensis Aeoliscus strigatus Pempheris vanicolensis Balistoides conspicillum Sufflamen chrysopterus Balistapus undulatus Odonus niger Canthigaster bennetti Canthigaster papua Arothron nigropunctatus Canthigaster valentini Dunckerocampus dactyliophorus Gymnothorax javanicus Rhinomuraena quaesita Gymnothorax fimbriatus Heteroconger hassi Carcharinus melanopterus Taeniura lymma Diodon sp Plotosus lineatus
Length Estimation (CM) (Kisaran) 5 12 13 12 40 3 4 12 10 10 10 25 9 6 9 6 5 5 3 3 17 3 10 90 65 50 40 130 45 8 4
6 15 15 17 50 5 5 16 13 12 13 35 12 7 15 12 7 15 5 6 20 5 14 100 85 60 45 145 60 12 6
JUMLAH BIOMASA (Kg)
Sumber : a dan b . WWW. Fishbased.org
Estimasi JML
a
b
0.0285 0.0178 0.0266 0.0326 0.004 0.101 0.007 0.0123 0.0114 0.0036 0.0151 0.0367 0.0326 0.0119 0.0174 0.0174 0.007 0.0366 0.0266 0.0252 0.0266 0.0367 0.0174 0.0035 0.004 0.0004 0.004 0.0033 0.0174 0.285 0.0082
3.0000 2.84 3.0000 2.9801 3.2105 2.588 2.972 3.081 3.2108 3.451 3.078 2.9432 2.9720 3.026 3.0000 3.0000 2.972 3.0000 3.0000 3.0000 3.0000 2.9432 3.0000 3.0000 2.561 3.3236 2.561 3.1000 3.0000 2.345 3.457
Rata2 panjang 11 27 28 29 90 8 9 28 23 22 23 60 21 13 24 18 12 20 8 9 37 8 24 190 150 110 85 275 105 20 10
5.5 13.5 14 14.5 45 4 4.5 14 11.5 11 11.5 30 10.5 6.5 12 9 6 10 4 4.5 18.5 4 12 95 75 55 42.5 137.5 52.5 10 5
L
b
166.3750 1622.3625 2744.0000 2890.6318 203066.7300 36.1519 87.3670 3397.9773 2545.0049 3925.0587 1840.0429 22256.8284 1083.8635 288.3207 1728.0000 729.0000 205.4308 1000.0000 64.0000 91.1250 6331.6250 59.1538 1728.0000 857375.0000 63391.6266 608512.4032 14801.4428 4253420.9351 144703.1250 221.3095 260.8190
W aLb 4.7417 28.8781 72.9904 94.2346 812.2669 3.6513 0.6116 41.7951 29.0131 14.1302 27.7846 816.8256 35.3340 3.4310 30.0672 12.6846 1.4380 36.6000 1.7024 2.2964 168.4212 2.1709 30.0672 3000.8125 253.5665 243.4050 59.2058 14036.2891 2517.8344 63.0732 2.1387 39,771.12
130
(Lampiran 10) Lanjutan
123
Lampiran 11. Simulasi model perhitungan perikanan karang
124
Appendix 12. Hasil simulasi biomassa ikan dengan menggunakan 147 kapal Bulan
Stok Ikan
Recruitmen
Total Penangkapan
Jumlah Kapal
Mortality
Keuntungan
1
39,771.12
23,862.67
17,889.90
147
11,931.34
194,223,750.00
2
33,812.56
20,287.53
14,700.00
147
10,143.77
154,350,000.00
3
29,256.32
17,553.79
11,025.00
147
8,776.90
108,412,500.00
4
27,008.22
16,204.93
8,570.10
147
8,102.47
77,726,250.00
5
26,540.59
15,924.35
10,878.00
147
7,962.18
106,575,000.00
6
23,624.76
14,174.86
8,423.10
147
7,087.43
75,888,750.00
7
22,289.09
13,373.45
17,889.90
147
6,686.73
194,223,750.00
8
11,085.92
6,651.55
10,731.00
147
3,325.77
104,737,500.00
9
3,680.69
2,208.41
5,889.11
147
0
44,213,826.76
10
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
11
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
12
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
13
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
14
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
15
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
16
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
17
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
18
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
19
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
20
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
21
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
22
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
23
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
24
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
25
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
26
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
27
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
28
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
29
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
30
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
31
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
32
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
33
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
34
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
35
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
36
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
37
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
38
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
39
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
40
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
41
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
125
(Lampiran 12) Lanjutan Bulan
Stok Ikan
Recruitmen
Total Penangkapan
Jumlah Kapal
Mortality
Keuntungan
42
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
43
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
44
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
45
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
46
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
47
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
48
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
49
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
50
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
51
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
52
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
53
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
54
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
55
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
56
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
57
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
58
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
59
0
0
0
147
0
-29,400,000.00
Final
0
147
-29,400,000.00
126
Lampiran 13.
Hasil simulasi biomassa ikan dengan menggunakan 125 kapal
1
Stok Ikan 39,771.1
23,862.67
Total Penangkapan 15,212.50
11,931.34
165,156,250.00
2
36,489.9
21,893.97
12,500.00
125
10,946.99
131,250,000.00
3
34,936.9
20,962.17
9,375.00
125
10,481.08
92,187,500.00
4
36,043.0
21,625.82
7,287.50
125
10,812.91
66,093,750.00
Bulan
Recruitmen
Jumlah Kapal 125
Mortality
Keuntungan
5
39,568.4
23,741.06
9,250.00
125
11,870.53
90,625,000.00
6
42,188.9
25,313.38
7,162.50
125
12,656.69
64,531,250.00 165,156,250.00
7
47,683.1
28,609.89
15,212.50
125
14,304.95
8
46,775.6
28,065.36
9,125.00
125
14,032.68
89,062,500.00
9
51,683.2
31,009.97
8,500.00
125
15,504.98
81,250,000.00
10
58,688.2
35,212.96
11,337.50
125
17,606.48
116,718,750.00
11
64,957.2
38,974.34
10,837.50
125
19,487.17
110,468,750.00
12
73,606.9
44,164.15
10,000.00
125
22,082.07
100,000,000.00
13
85,688.9
51,413.39
13,500.00
125
25,706.70
143,750,000.00
14
97,895.6
58,737.41
11,587.50
125
29,368.70
119,843,750.00
15
115,676.8
69,406.13
11,212.50
125
34,703.06
115,156,250.00
16
139,167.4
83,500.47
10,287.50
125
41,750.23
103,593,750.00
17
170,630.1
102,378.11
11,587.50
125
51,189.05
119,843,750.00
18
210,231.7
126,139.04
8,962.50
125
63,069.52
87,031,250.00
19
264,338.7
158,603.25
11,962.50
125
79,301.63
124,531,250.00 170,312,500.00
20
331,677.8
199,006.73
15,625.00
125
99,503.37
21
415,556.2
249,333.75
9,662.50
125
124,666.87
95,781,250.00
22
530,560.6
318,336.37
13,537.50
125
159,168.19
144,218,750.00 100,000,000.00
23
676,191.3
405,714.79
10,000.00
125
202,857.39
24
869,048.7
521,429.22
9,162.50
125
260,714.61
89,531,250.00
25
1,120,600.8
672,360.49
12,250.00
125
336,180.24
128,125,000.00
26
1,444,531.0
866,718.63
9,537.50
125
433,359.32
94,218,750.00
27
1,868,352.8
1,121,011.72
18,125.00
125
560,505.86
201,562,500.00
28
2,410,733.7
1,446,440.24
8,787.50
125
723,220.12
84,843,750.00
29
3,125,166.3
1,875,099.82
10,087.50
125
937,549.91
101,093,750.00
30
4,052,628.7
2,431,577.26
8,712.50
125
1,215,788.63
83,906,250.00
31
5,259,704.9
3,155,822.94
10,000.00
125
1,577,911.47
100,000,000.00
32
6,827,616.3
4,096,569.82
15,212.50
125
2,048,284.91
165,156,250.00
33
8,860,688.7
5,316,413.26
11,237.50
125
2,658,206.63
115,468,750.00
34
11,507,657.9
6,904,594.74
8,712.50
125
3,452,297.37
83,906,250.00
35
14,951,242.7
8,970,745.67
9,625.00
125
4,485,372.83
95,312,500.00
36
19,426,990.6
11,656,194.37
10,987.50
125
5,828,097.18
112,343,750.00
37
25,244,100.3
15,146,460.18
11,162.50
125
7,573,230.09
114,531,250.00
38
32,806,167.8
19,683,700.73
9,862.50
125
9,841,850.37
98,281,250.00
39
42,638,155.7
25,582,893.45
11,337.50
125
12,791,446.72
116,718,750.00
40
55,418,264.9
33,250,958.98
10,000.00
125
16,625,479.49
100,000,000.00
41
72,033,744.4
43,220,246.68
15,212.50
125
21,610,123.34
165,156,250.00
42
93,628,655.3
56,177,193.18
9,912.50
125
28,088,596.59
98,906,250.00
43
121,707,339.4
73,024,403.64
10,000.00
125
36,512,201.82
100,000,000.00
44
158,209,541.2
94,925,724.73
13,500.00
125
47,462,862.37
143,750,000.00
45
205,658,903.5
123,395,342.15
18,212.50
125
61,697,671.08
202,656,250.00
46
267,338,362.1
160,403,017.30
15,375.00
125
80,201,508.65
167,187,500.00
47
347,524,495.8
208,514,697.49
21,625.00
125
104,257,348.74
245,312,500.00
48
451,760,219.5
271,056,131.73
16,587.50
125
135,528,065.87
182,343,750.00
49
587,271,697.9
352,363,018.75
18,212.50
125
176,181,509.38
202,656,250.00
127
(Lampiran 13) Lanjutan Bulan
Stok Ikan
Recruitmen
Total Penangkapan
Jumlah Kapal
Mortality
Keuntungan
50
763,434,994.7
458,060,996.88
13,937.50
125
229,030,498.44
149,218,750.00
51
992,451,555.7
595,470,933.44
12,225.00
125
297,735,466.72
127,812,500.00
52
1,290,174,797.4
774,104,878.47
16,862.50
125
387,052,439.24
185,781,250.00
53
1,677,210,374.1
1,006,326,224.51
16,775.00
125
503,163,112.26
184,687,500.00
54
2,180,356,711.4
1,308,214,026.86
12,462.50
125
654,107,013.43
130,781,250.00
55
2,834,451,262.3
1,700,670,757.42
9,787.50
125
850,335,378.71
97,343,750.00
56
3,684,776,853.5
2,210,866,112.15
13,375.00
125
1,105,433,056.08
142,187,500.00
57
4,790,196,534.6
2,874,117,920.80
15,162.50
125
1,437,058,960.40
164,531,250.00
58
6,227,240,332.5
3,736,344,199.54
12,337.50
125
1,868,172,099.77
129,218,750.00
59
8,095,400,094.8
4,857,240,056.90
13,500.00
125
2,428,620,028.45
143,750,000.00
Final
10,524,006,623.2
125
201,562,500.00
128
Lampiran 14. Hasil simulasi biomassa ikan dengan menggunakan 131 kapal Bulan
Stok Ikan
Recruitmen
Total Penangkapan
Jumlah Kapal
Mortality
Keuntungan
1
39,771.1
23,862.7
15,942.70
131
11,931.3
173,083,750.00
2
35,759.7
21,455.9
13,100.00
131
10,727.9
137,550,000.00
3
33,387.6
20,032.6
9,825.00
131
10,016.3
96,612,500.00
4
33,578.9
20,147.3
7,637.30
131
10,073.7
69,266,250.00
5
36,015.3
21,609.2
9,694.00
131
10,804.6
94,975,000.00
6
37,126.0
22,275.6
7,506.30
131
11,137.8
67,628,750.00
7
40,757.5
24,454.5
15,942.70
131
12,227.2
173,083,750.00
8
37,042.0
22,225.2
9,563.00
131
11,112.6
93,337,500.00
9
38,591.6
23,155.0
8,908.00
131
11,577.5
85,150,000.00
10
41,261.1
24,756.7
11,881.70
131
12,378.3
122,321,250.00
11
41,757.8
25,054.6
11,357.70
131
12,527.3
115,771,250.00
12
42,927.4
25,756.4
10,480.00
131
12,878.2
104,800,000.00
13
45,325.6
27,195.4
14,148.00
131
13,597.7
150,650,000.00
14
44,775.4
26,865.2
12,143.70
131
13,432.6
125,596,250.00
15
46,064.3
27,638.5
11,750.70
131
13,819.2
120,683,750.00
16
48,132.9
28,879.7
10,781.30
131
14,439.8
108,566,250.00
17
51,791.4
31,074.8
12,143.70
131
15,537.4
125,596,250.00
18
55,185.2
33,111.1
9,392.70
131
16,555.5
91,208,750.00
19
62,348.1
37,408.8
12,536.70
131
18,704.4
130,508,750.00
20
68,515.8
41,109.5
16,375.00
131
20,554.7
178,487,500.00
21
72,695.5
43,617.3
10,126.30
131
21,808.6
100,378,750.00
22
84,377.9
50,626.7
14,187.30
131
25,313.3
151,141,250.00
23
95,504.0
57,302.4
10,480.00
131
28,651.2
104,800,000.00
24
113,675.2
68,205.1
9,602.30
131
34,102.5
93,828,750.00
25
138,175.5
82,905.3
12,838.00
131
41,452.6
134,275,000.00
26
166,790.1
100,074.1
9,995.30
131
50,037.0
98,741,250.00
27
206,831.9
124,099.1
18,995.00
131
62,049.5
211,237,500.00
28
249,886.4
149,931.9
9,209.30
131
74,965.9
88,916,250.00
29
315,643.1
189,385.8
10,571.70
131
94,692.9
105,946,250.00
30
399,764.3
239,858.6
9,130.70
131
119,929.3
87,933,750.00
31
510,563.0
306,337.8
10,480.00
131
153,168.9
104,800,000.00
32
653,251.9
391,951.1
15,942.70
131
195,975.5
173,083,750.00
33
833,284.7
499,970.8
11,776.90
131
249,985.4
121,011,250.00
34
1,071,493.2
642,895.9
9,130.70
131
321,447.9
87,933,750.00
35
1,383,810.5
830,286.3
10,087.00
131
415,143.1
99,887,500.00
36
1,788,866.7
1,073,320.0
11,514.90
131
536,660.0
117,736,250.00
37
2,314,011.8
1,388,407.1
11,698.30
131
694,203.5
120,028,750.00
38
2,996,517.1
1,797,910.2
10,335.90
131
898,955.1
102,998,750.00
39
3,885,136.3
2,331,081.8
11,881.70
131
1,165,540.9
122,321,250.00
40
5,038,795.6
3,023,277.3
10,480.00
131
1,511,638.6
104,800,000.00
41
6,539,954.2
3,923,972.5
15,942.70
131
1,961,986.2
173,083,750.00
129
(Lampiran 14) Lanjutan Stok Ikan
Recruitmen
Total Penangkapan
Jumlah Kapal
Mortality
Keuntungan
42
8,485,997.8
5,091,598.7
10,388.30
131
2,545,799.3
103,653,750.00
43
11,021,408.9
6,612,845.3
10,480.00
131
3,306,422.6
104,800,000.00
Bulan
44
14,317,351.6
8,590,410.9
14,148.00
131
4,295,205.4
150,650,000.00
45
18,598,409.1
11,159,045.4
19,086.70
131
5,579,522.7
212,383,750.00
46
24,158,845.1
14,495,307.0
16,113.00
131
7,247,653.5
175,212,500.00
47
31,390,385.6
18,834,231.4
22,663.00
131
9,417,115.7
257,087,500.00
48
40,784,838.3
24,470,903.0
17,383.70
131
12,235,451.5
191,096,250.00
49
53,002,906.1
31,801,743.7
19,086.70
131
15,900,871.8
212,383,750.00
50
68,884,691.3
41,330,814.8
14,606.50
131
20,665,407.4
156,381,250.00
51
89,535,492.2
53,721,295.3
12,811.80
131
26,860,647.6
133,947,500.00
52
116,383,328.0
69,829,996.8
17,671.90
131
34,914,998.
194,698,750.00
53
151,280,654.6
90,768,392.7
17,580.20
131
45,384,196.3
193,552,500.00
54
196,647,270.8
117,988,362.49
13,060.70
131
58,994,181.3
137,058,750.00
55
255,628,391.3
153,377,034.82
10,257.30
131
76,688,517.4
102,016,250.00
56
332,306,651.4
199,383,990.89
14,017.00
131
99,691,995.4
149,012,500.00
57
431,984,629.9
259,190,777.9
15,890.30
131
129,595,388.9
172,428,750.00
58
561,564,128.6
336,938,477.2
12,929.70
131
168,469,238.5
135,421,250.00
59
730,020,437.4
438,012,262.5
14,148.00
131
219,006,131.3
150,650,000.00
Final
949,012,420.7
131
211,237,500.00
126