2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di perairan dangkal laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur. Hampir sebagian besar bentuk, struktur serta material kapur pembentuk terumbu dibentuk dan dihasilkan oleh biota karang sehingga terumbu karang sering juga didefinisikan sebagai ekosistem perairan tropis yang didominasi oleh biota karang. Menurut Veron (1995) terumbu karang dibentuk dari endapan (deposit)
massif padat
kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan oleh biota karang dan tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) serta biota
lain yang juga menghasilkan
kalsium karbonat (CaCo3). Berdasarkan definisi di atas dapat dibedakan dengan jelas antara biota karang (coral) sebagai individu suatu organisme atau komponen dari suatu komunitas, sedangkan terumbu karang (coral reef ) merupakan suatu ekosistem (Nybaken, 1988 ; Sorokin, 1993). Dalam proses pembentukan terumbu karang,
biota karang batu
(Scleractinia) merupakan penyusun dan pembangun terumbu (reef building corals) paling penting.
Berdasarkan kepada kemampuannya memproduksi kapur
maka biota karang batu dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang dapat menghasilkan material kapur sebagai bahan dasar pembangun terumbu. Karang kelompok hermatipik sebarannya hanya ditemukan di daerah tropis sampai sub tropis.
Karang ahermatipik tidak menghasilkan material kapur pembentuk
terumbu dan kelompok ini tersebar luas di seluruh dunia.
Perbedaan utama
karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya alga simbion zooxhantella dalam jaringannya yaitu sejenis algae uniselular (Dinoflagellata uniselular), seperti Gymnodinium microadriatum (Sorokin, 1993 ; Colin dan Anerson, 1995 ; Veron, 2000) Endapan padat terumbu terdiri dari material kapur yang terjadi dalam proses jutan tahun yang dihasilkan oleh jutaan individu penghasil kapur. Laju pembentukan endapan kapur sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi dan proses biologis dalam biota pembentuk terumbu.
Selanjutnya Sumich (1992)
8
menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut: Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2 Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. 2.2 Sebaran dan Tipe Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan dangkal daerah tropis dan terbatas pada daerah sub tropis. Konsekuensinya sebaran terumbu karang tidak ditemukan pada daerah lintang sedang dan tinggi dengan sebaran optimal pada 28o Lintang Utara sampai 32o Lintang Selatan dengan sebaran ekstrim pada >40o Lintang Selatan (Potts dan Jacobs, 2002) .
Pada belahan bumi utara
terumbu karang masih ditemukan sepanjang perairan Okinawa, Jepang, Florida, AS , Teluk Meksiko, Laut Karibia, Laut Merah, India-Srilangka dan pulau-pulau kecil di samudera hindia. Sedangkan pada belahan bumi selatan meliputi Perairan selatan Afrika, dan timur-selatan Australia . Sebaran pada daerah lintang sedang ini dibatasi oleh luasan dan keanekaragaman biotanya. Secara bujur sebaran terumbu karang dunia dibedakan berdasarkan wilayah perairan yaitu Indo-Pasifik, Samudera Hindia, Samudera Atlantik perairan Karibia. Sebaran ini dicirikan dengan luasan dan komposisi jenis biota yang ada (Veron, 1985, 2000 ; Suharsono, 2008). Sebaran terumbu secara vertical dibatasi pada kedalaman tertentu dengan kedalaman optimal 0-20 meter. Sebaran terumbu seperti ini lebih dibatasi oleh ketersedian substrat dan kejernihan perairan.
Meskipun beberapa karang dapat
dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang mem bentuk karang hanya terdapat di daerah tropis.
Kehidupan karang dibatasi oleh kedalaman yang
biasanya kurang dari 25 m dengan suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang
9
dari 10 m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 oC (Nybaken, 1988 ; Veron, 1985 ; Nybaken dan Bertness, 2005). Berdasarkan posisi dan letak terumbu karang terhadap daratan atau pulaupulau kecil dibedakan atas beberapa tipe sebagai berikut: 2.2.1 Frengging Reef Frengging reef atau terumbu karang tepi ditemukan tersebar di sepanjang pesisir daratan benua atau pulau-pulau kecil. Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau ke arah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat (Veron 1995 ; 2000). Terkadang ditemukan terumbu karang tepi yang mengalami modifikasi menjadi bagian-bagian yang terpisah dan mengelompok di luar garis pantai (Hubbard, 1997) 2.2.2 Barrier Reef Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri dan sejajar pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil (Veron, 2000) 2.2.3 Atoll Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 meter jarang sampai 100 meter seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. Veron (1985 ; 2000) menjelaskan teori kejadian terumbu atol sebagai sebuah gejala geologis yang melibatkan gerakan lempeng tektonik dan aktifitas vulkanik.
Hubbard (1997) merinci lebih jelas kejadian terumbu
10
dikombinasikan dengan peristiwa pertumbuhan terumbu yang bergerak ke atas akibat kenaikan muka air laut. Ketiga tipe di atas dapat mengalami modifikasi akibat perubahan kondisi geografis atau kejadian-kejadian tektonik. Modifikasi tersebut adalah pemisahan bagian terumbu menjadi kelompok-kelompok kecil terumbu dalam rangkaian terumbu utama atau dikenal juga dengan patch reef. Tipe terumbu lain adalah terumbu laut dalam yang sampai sekarang masih belum banyak teori yang mengungkap asal usul kejadiannya. 2.3 Persyaratan ligkungan Sebaran terumbu dengan tipe-tipe seperti di atas dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain temperatur, cahaya (kejernihan dan kedalaman), salinitas dan nutrien perairan. Pott dan Jacobs (2002) (dari Vaunghan dan Wells, 1943 ; Wells, 1956 ; Newell, 1971 ; Fagerstrom, 1987 ; Veron, 1995 ; Hallock, 1997, dan Wood, 1999) menerangkan kondisi lingkungan optimal dan ekstrim terumbu karang seperti pada table berikut ini: Tabel 1. Kondisi lingkungan optimal bagi terumbu dan biota karang pembentuk terumbu KONDISI LINGKUNGAN Kedalaman (meter) Kedalaman maksimum Temperatur (oC) Lintang Salinitas (o/oo) Nutrien Sedimen Turbiditi Cahaya Oksigen Stabilitas habitat Arus
OPTIMAL 0-20 perkiraan 100 >18 - <32 28o LU - 32o LS Perkiraan 34-36 Sangat rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Tinggi cukup
EKSTRIM 1-2 <15 <10 dan >40 >40o LS <25 dan >40 Tinggi – Sangat Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Selalu rendah Rendah Tidak ada gerakan
Umumnya terumbu karang berkembang baik pada perairan dangkal pesisir dan laut tropis dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan. Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat
11
sensitif terhadap perubahan lingkungan terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Disamping itu untuk hidup biota karang pembentuk terumbu membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC (Sorokin, 1993 ; Veron, 1995 ; Nybakken, 1988 ; Nybaken dan Bertenss, 2005).
Pada perubahan suhu perairan akibat pemanasan global yang
melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95% (Oliver et al., 2004).
Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut,
rata-rata kenaikan suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Birkeland (1997) menyebutkan bahwa terumbu karang sangat berkembang baik pada salinitas air laut mendekati 35 o/oo, namun kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pemasukan air tawar. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut.
Dampak selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload)
berkontribusi
terhadap
degradasi
terumbu
karang
melalui
peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang. 2.4 Biologi Biota Karang Batu 2.4.1 Taksonomi Biota karang batu pembentuk terumbu dicirikan dengan kemampuannya memproduksi kapur sebagai rangka dan menjadi bahan dasar pembangun terumbu karang.
Secara taksomi biota karang batu termasuk ke dalam anggota Filum
Coelentrata. Biota karang bersama biota lainnya yang termasuk dalam filum ini dicirikan dengan bentuk tubuh sederhana, radial simetris dengan satu rongga tubuh tunggal yang disebut dengan Coelum. Hampir sebagian besar kelompok biotanya dilengkapi dengan sel-sel penyengat (nematocyte) sehingga filum ini dikenal juga dengan nama lain Cnidaria (Colin dan Anerson, 1995 ; Veron, 2000).
12
Bersama biota karang lunak, biota karang batu diklasifikasikan ke dalam Kelas Anthozoa dengan ciri utama memiliki siklus hidup dewasa pada stadium polip dengan lengan-lengan tentakel.
Perbedaan utama biota karang lunak dan
karang keras adalah jumlah tentakel yang dimilki yaitu kelipatan delapan (8) dan kelipatan enam (6), sehingga mereka dibedakan lagi dalam dua sub kelas yaitu Octocoralia (jumlah tentakel kelipatan 8) dan Hexacorallia (jumlah tentakel kelipatan 6).
Semua biota karang dalam Kelas Hexacorallia adalah biota-biota
pembentuk terumbu dengan ordo tunggal Scleractinia dan beberapa ordo lain dari Kelas Octocoralia yaitu Helioporaria dan Stolonifera ditambah satu ordo dari Kelas Hydrozoa yaitu Stylasterina (Sorokin, 1992 ; Veron, 2000 ; Suharsono, 2008).
FILUM
KELAS
SUB KELAS
ORDO Zooantharia Corallimorphalia
Hexacorallia
Antipatharia Ceriantharia Actinaria Scleractinia
Anthozoa Gorgonacea Alcyonacea Coelentrata
Octocoralia
Pennalulacea Helioporaria Stolonifera
Hydrozoa
Stylasterina
Gambar 1. Bagan klasifikasi Filum Coelentrata, karang batu pembentuk terumbu berada dalam kolom ordo cetak tebal (Sorokin, 1993)
13
2.4.2 Morfologi dan Anatomi Bentuk tubuh luar (morfologi) polip biota karang batu sangat sederhana seperti silinder terdiri dari bagian atas (aboral) dan bagian bawah (basal plate). Bagian atas berfungsi seperti kepala terdiri dari lengan-lengan tentakel, mulut dengan saluran yang terbuka ke rongga tubuh. Bagian tengah atau batang tubuh dengan jaringan yang menyatu dengan tubuh polip lainnya dalam koloni yang sama. Basal plate bagian bawah sedikit melebar dan menempel langsung pada substrat dasar perairan (Miller dan Harley, 2001). Koloni karang batu terdiri dari polip-polip karang yang satu sama lain dihubungkan oleh jaringan tipis yang dikenal dengan Columella. Perbanyakan polip-polip karang batu terjadi melalui reproduksi secara aseksual pertunasan (budding). Pola dan tipe pertunasan sangat khas dan bervariasi pada setiap jenis karang batu sehingga sangat menentukan bentuk koloninya masing masing. Secara umum bentuk koloni karang dibedakan atas bentuk bercabang (branching), massive, Sub massive, lembaran (foliose), merayap (encrusting), merata seperti meja (tabulate) dan soliter (Veron 2000 ; Suharsono, 2008) Karang secara fisiologis terus menerus mensekresikan kapur sebagai rangka luarnya (eksoskleton). Pada polip karang yang telah mati dan jaringan hidup habis terurai akan memperlihatkan eksoskleton ini dengan jelas. Keseluruhan struktur rangka yang membangun satu polip dalam satu koloni disebut dengan koralit (coralite) sedang keseluruhan rangka pada setiap polip dalam satu koloni disebut dengan koralum (corallum). Struktur luar koralit terdiri dari lempengan-lempengan berdiri tegak yang disebut dengan septa (septae). Epiteka (epiteca) berbentuk dari lempengan berada pada bagian dasar dengan pinggirannya membentuk bagian yang lebih tinggi menjadi dinding kerangka. Lingkar dinding ini membentuk bagian yang terbuka dari koralit yang disebut dengan kalik (calice). Septa berdiri tegak di atas permukaan bagian dalam dinding dan kadang berlanjut sampai ke bagian luar dinding menjadi kosta (costae).
Septa-septa ini memiliki pinggiran yang tidak rata atau bergerigi
dengan bentuk dan pola yang khas pada setiap jenis. Pada famili tertentu septa memiliki tonjolan dengan bentuk dan posisi yang sama pada masing-masing septa sehingga membentuk pola seperti bunga atau mahkota disebut dengan pali (pali
14
form).
Kolumella (Columella) berada persis pada bagian tengan epiteka
berbentuk tonjolan sebagai hasil endapan kapur dengan struktur berongga dan berpori. Sruktur kolumella ini sangat spesisfik dan bahkan tidak dimiliki oleh jenis-jenis tertentu sehingga menjadi acuan untuk identifikasi sampai tingkatan jenis (Veron, 2000 ; Suharsono, 2008). Secara anatomi tubuh polip karang terdiri dari tiga lapis jaringan yaitu ektoderma, endoderma dan mesoglea.
Lapisan jaringan paling luar atau
ektoderma disusun atas beberapa jenis sel antara lain sel penyengat/jelatang (nematosis) dan sel mukus.
Sel-sel mukus menghasil getah mukus yang
membantu menangkap makanan dan membersihkan diri dari endapan sedimen, sedangkan
sel jelatang sangan berperan dalam membunuh mangsa untuk
makanan dan mekanisme mempertahankan diri.
Lapisan mesoglea berada
diantara lapisan ektoderma dan endoderma dengan substansi berbentuk jelli berisi benang-benang fibril dengan lapisan tipis seperti otot pada bagian luarnya. Lapisan endoderma berada pada bagain dalam dan berhubungan langsung dengan rongga tubuh. Pada lapisan permukaan jaringan terutama pada el-sel mesenteri sampai permukaan tentakel ditemukan flagella dan silia yang berkembang baik (Nybaken dan Bertness, 2005). Pada
lapisan
endoderma
ditemukan
alga
simbion
bersel
satu
(zooxhantella). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Zooxanthella
memberikan warna pada jaringan karang dan algae simbion ini sangat
aktif
melakukan proses fotosintesis (Muller-Paker dan D’Ellia, 1997) Organ dalam polip karang sangat sederhana dan telah menunjukan beberapa fungsi fisiologis. Mulut yang terdapat pada bagian aboral diteruskan kedalam rongga tubuh melalui saluran yang disebut dengan tenggorokan (pharynx).
Rongga tubuh (gastrovascular) merupakan bagian dari lapisan
endoderma dengan struktur dinding yang melipat-lipat (mesenteries) mengandung
15
benang-benang mesenteris (mesenterial filament) dengan ujung yang lepas ke dalam rongga tubuh yang disebut acontia. Urutan organ tersebut secara fisiologis membantu dalam proses pencernaan makanan (Miller dan Harley, 2001) 2.5 Reproduksi dan Siklus Hidup Karang Hewan karang dapat melakukan reproduksi baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi aseksual pada hewan karang melibatkan sejumlah proses dimana pembentukan koloni baru terjadi melalui pemisahan atau pelepasan sebagian jaringannya melalui fragmentasi dan polip bailout. Reproduksi secara seksual sangat komplek dan meliputi berbagai kejadian mulai dari produksi sel gamet jantan dan betina, proses pembuahan dan pembentukan embrio sebagai planula yang berenang bebas (Richmond, 1997) 2.5.1 Reproduksi Aseksual Sebagian besar hewan karang adalah biota berkoloni terdiri dari ratusan sampai ribuan polip yang saling berhubungan satu sama lainnya. Polip-polip ini tumbuh dan bertambah banyak melalui proses secara aseksual tunas (budding). Pertunasan secara ekstratentakular terjadi jika penambahan polip baru muncul dari jaringan yang terdapat di antara dua polip yang berdekatan. Sedangkan pertunasan secara intratentakular terjadi bila tunas polip baru muncul dari dinding tubuh polip yang sudah ada, kemudian memisah menjadi menjadi polip baru. Kejadian pembentukan dan penambahan polip-polip bukan termasuk dalam reproduksi aseksual karang batu karena sebenarnya tidak ada pembentukan koloni hewan karang baru (Sorokin, 1993 ; Richmond dan Hunter, 1990 ; Richmond, 1997 ; Veron, 2000 ; Suharsono, 2008). Pembentukan koloni karang baru melalui reproduksi aseksual dapat dilakukan dengan beberapa cara. Fragmentasi adalah cara reproduksi aseksual paling umum terutama pada karang bercabang dan berbentuk lembaran tipis (foliose).
Fragmen atau potongan jaringan hewan karang yang terlepas dari
koloni induk akibat berbagai kejadian seperti arus dan gelombang yang kuat, ikan predator atau faktor fisik lainnya akan jatuh pada dasar perairan. Bila fragmen tepat berada di atas permukaan substrat yang keras, jaringan karang akan menempel dan mulai tumbuh mejadi koloni karang baru melalui pertunasan
16
(Sorokin, 1993 ; Richmond, 1997).
Sering pembentukan koloni baru hewan
karang dari fragmen gagal terjadi akibat terlepas kembali oleh arus atau gelombang yang kuat (Knowlton et al, 1981). Pada kondisi tertentu beberapa jenis hewan karang jaringan atau polip yang ada pada fragmen karang dapat terlepas dan berenang bebas atau terbawa arus sampai menemukan substrat yang tepat untuk menempel dan tumbu membentk koloni baru. Kejadian ini dikenal dengan polyp bailout yang selalu aktif melepaskan diri dari jaringan/skleton induk. Pada cara yang sama, sebagian hewan karang dapat melepaskan bola-bola jaringan hidupnya dari sekitar skleton yang telah mati atau pelepasan ooze dari kalis polip yang kemudian terdifferensiasi menjadi polip baru yang tumbuh menjadi koloni hewan karang baru (Highsmith, 1982 ; Krupp et al, 1993).
Reproduksi aseksual hewan
karang dapat juga terjadi dari larva yang dihasilkan dari telur yang tidak dibuahi melalui proses partenogenesis (Stoddart, 1983).
Mekanisme rperodukasi sperti
ini banyak terjadi pada tumbuhan dan hewan-hewan dalam bentuk koloni. Koloni karang dari hasil reproduksi aseksual secara genetic akan identik dengan induknya. Pada kondisi lingkungan yang sama koloni-koloni ini akan berkembang baik seperti indukya.
Namun pada kenyataannya kondisi
lingkungan sangat bervariasi dan selalu berubah setiap saat.
Pada kejadian
lingkungan ekstrim seperti kenaikan suhu air laut akibat El-Nino akan menimbulkan berbagai perubahan seperti munculnya predator dengan kesukaan makan yang baru, muncul serangan penyakit, atau muncul kompetitor baru. Pada kondisi seperti ini koloni-koloni hewan karang dari hasil reproduksi aseksual tidak dapat bertahan hidup karena tidak adanya variasi genetik yang dimiliki. Selain itu reproduksi secara aseksual ini sangat membatasi kemampuan pemencaran koloni karang yang penting bagi kesuksesan populasinya (Richmond, 1997). 2.5.2 Reproduksi Seksual Beda dengan reproduksi secara akseksual, reproduksi seksual dihasilkan dari pembuahan gamet jantan dan gamet betina.
Koloni hewan karang hasil
reperoduksi seksual memilki kombinasi dan variasi genetik yang diturunkan dari kedua induknya melalu sel sperma dan telur.
Hasil pembuahan berkembang
17
menjadi planula karang yang berenang bebas atau hanyut terbawa arus. Adaptasi planula seperti ini sangat membantu pemencaran hewan karang pada tempattempat yang baru atau pada terumbu yang berada jauh dari induknya (Richmond, 1997) Beradasarkan asal usul dan tipe produksi sel gamet, reproduksi seksual dibedakan atas gonochorics species dan hermaphrodite species. Gonochorics species memproduksi gamet jantan dan betina pada individu yang berbeda atau dikenal juga dengan diaceous species. Sedangkan pada hermaphrodite species gamet jantan dan betina diproduksi pada satu individu yang sama. Diperkirakan sekitar 25% hewan karang termasuk gonochorics species sisanya adalah hermaphrodite (Harrison dan Wallace, 1990).
Pada kenyataanya kedua tipe ini
sulit dibedakan, dimana dalam proses gametogenesis sering produksi telur lebih lama dibanding sperma. Akibatnya dapat disimpulkan koloni seperti ini termasuk betina, namun beberapa waktu kemudian menghasilkan sel sperma juga (Chonersky dan Peters, 1987 ; Harrison dan Wallace, 1990 ; Veron 1995). Hermaphrodite
simultaneous
terjadi
pada
hewan
karang
yang
menghasilkan sperma dan telur pada waktu yang bersamaan. Pada kejadian lain koloni awal jantan kemudian setelah itu berkembang menjadi betina atau dikenal juga dengan protandry dengan inisial menjadi betina. Pada kasus lain sebaliknya dapat berkembang menjadi jantan kembali atau dikenal juga dengan protagyny dengan inisial hermaphrodite.
Hampir sebagain besar koloni hewan karang
adalah hermprodite simultaneous dan sedikit yang sekuensial hermaphrodite (Veron, 1995 ; Richmond, 1997). Hewan karang memperlihatkan tipe reproduksi berbeda didasarkan pada cara terjadinya pembuahan. Pada tipe brooding spesies, pembuahan telur terjadi secara internal dan hasil pembuahan dalam bentuk larva planula berkembang dalam rongga tubuh polip karang. Hasil pembuahan ditetaskan dalam bentuk larva planula yang komplit dan berenang bebas ata hanyut terbawa arus. Tipe lain adalah spawning spesies dimana telur dilepaskan ke dalam kolom air dan dibuahi oleh sperma secara eksternal. Hasil pembuahan berkembang sampai terbentuknya planula dalam kolom air.
Keberhasilan kedua tipe reproduksi ini sangat
ditententuk oleh aspek bio-ekologi termasuk masuknya algae simbion ke dalam
18
jaringan planula, kompetensi planula (kesuksesan penempelan dan metamorfosis), pola sebaran dan variasi genetik.
Bagaimanapun tipe spawning spesies
melepaskan telur yang mengapung di atas permukaan air untuk waktu tertentu sehingga sangat retan terhadap polutan dan pemangsaan (Richmond dan Jokiel, 1984 ; Richmond, 1997) . Karang dengan tipe brooding spesies lebih kompeten yaitu lebih sukses menempel dan bermetamorfosis.
Ukuran planula yang dihasilkan brooding
spesies lebih besar dibanding spawning spesies serta telah memiliki alga simbion zooxhantella yang ditransfer selama perkembangan dalam tubuh induknya.
Pada
tingkatan ini zooxhantella telah berkontribusi dalam proses metabolisme planula dan menambah energi selama masa pemencarannya. Brooding spesies dengan melihat planula sebagi hasilnya terjadi hanya pada sedikit jenis hewan karang, yaitu sekita 15%.
Jenis Pocillopora damicornis melepas planula pada siklus
bulanan sepanjang tahun di terumbu Mikronesia dan Hawaii, namun hanya pada bulan-bulan tertentu di terumbu Okinawa dan Australia bagian barat (Fadlallah, 1983 ; Richmond dan Hunter, 1990).
Hal yang berbeda pada jenis yang sama
Pocillopora damicornis menunjukan spawning spesies di terumbu Pasifik bagian Timur dan juga Australia bagian Barat (Glynn et al., 1991 ; Ward, 1992). Pelepasan larva Pocillopora damicornis terjadi setiap bulan (bulan gelap dan terang) dan mencapai puncaknya pada musim kering
(dry monsoon) pada
perlakuan outdoor dengan sistem air mengalir di Pulau Panjang, Jawa Tengah Indonesia (Munasik et al., 2008) Lebih dari 250 jenis hewan karang yang telah diteliti (85%) umunya adalah spawning spesies yang memijah massal pada periode tertentu setiap tahun. Di Okinawa sebagain besar spawning spesies melepaskan gamet selama lebih dari 5-8 hari pada malam hari bulan purnma Mei dan Juni
setiap musim panas
(Hayashibara et al., 1993). Di Guam, Mikronesia puncak pemijahan terjadi 7-10 hari setelah bulan purnama di bulan Juli (Richmond dan Hunter, 1990). Pemijahan karang terjadi beberapa bulan dalam setahun antara lain Maret, April dan Mei di pulau-pulau kecil sekitar Palau ( Kenyon, 1995). Di terumbu Australia pemijahan massal terjadi selama November (Harrison et al., 1984).
19
2.6 Rekrutmen Karang Rekrutmen menjadi bagian penting dalam proses
pembentukan dan
perkembangan komunitas dalam suatu ekosistem terumbu karang di alam. Dengan kata lain rekrutmen memberikan jaminan terhadap pembentuk komunitas serta memberikan jaminan bahwa populasi itu akan selalu bertahan.
Porses
rekrutmen berperan dalam penambahan individu-individu baru kedalam populasi dewasa sehingga eksistensi dan keberlanjutan populasi dapat dipertahankan dan berlangsung secara terus menerus (Erwin et al., 2008). Secara sederhana rekrutmen hewan karang ditandai dengan kemunculan koloni-koloni karang yang masih muda (juvenile).
Secara visual-morfologis
koloni-koloni karang muda ini dapat dibedakan dengan dewasanya berdasarkan ukuran koloni yaitu relatif lebih kecil. Definisi dan batasan ini tidak selalu benar dimana pada kenyataannya banyak koloni karang berukuran kecil tapi bukan karang muda. Kemampuan reproduksi secara aseksual sering merancukan hal ini seperti pertunasan pada koloni karang yang mati sebagian. Pada kasus ini koloni kelihatan berukuran kecil (hanya beberapa polip) namun sebenarnya berasal dari koloni dewasa yang sebagain besar telah mati akibat berbagai faktor seperti penyakit atau tertutup sedimen. Hal yang sama juga terjadi pada reproduksi aseksual lainnya seperti fragmentasi, dimana sebagian kecil koloni terlepas dari koloni induk kemudian menempel jadi koloni karang baru dengan ukuran relatif kecil (Edmunds, 2008).
Rekrutmen pada populasi selalu dibatasi dengan ciri
mofologi serta aktifitas biologis yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moorsel (1989) bahwa rekrutmen adalah individu dengan bentuk morfologi yang berbeda dengan populasi dewasa serta dibatasi oleh ukuran koloni dan kemampuan untuk melakukan reproduksi. Proses
rekrutmen diawali dengan perubahan planula karang dari fase
planktonik menjadi bentik dan siap untuk melakukan penempelan pada substrat di dasar perairan. Menurut Richmond (1997), reproduksi dan rekrutmen adalah dua proses penting yang menentukan keberadaan dan keberlangsungan suatu terumbu karang.
Proses reproduksi menjamin terbentuk calon koloni baru, sedangkan
rekrutment adalah proses bagaimana calon koloni baru hasil reproduksi sukses menjadi anggota baru dalam populasi.
Proses rekrutmen ditandai dengan
20
kemunculan calon koloni baru dalam ukuran relative kecil (juvenile) pada habitat baru dan beradaptasi baik dengan relung ekologisnya. Peristiwa ini dikenal juga dengan proses kolonisasi yang sangat tergantung dengan ketersedian larva dan substrat untuk penempelan. Kolonisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan keberhasilannya didukung oleh beberapa persyaratan lingkungan. Tahapan awal adalah keberhasilan dalam proses reproduksi yang menjamin tersedianya larva dalam bentuk plantonik. Tahapan selanjutnya adalah kemampuan larva untuk melakukan orientasi, pengenalan dan identifikasi terhadap substrat yang akan ditempeli. Keberhasilan kolonisasi didukung oleh beberapa persyaratan termasuk tipe substrat, arus, salinitas, cukup cahaya, sedimentasi dan faktor biologis seperti ketersedian lapisan tipis mikroalgae (biofilm) di atas permukaan substrat bisanya dari kelompok diatom dan bakteri (Sorokin, 1991 ; Richmon,1997).
Penempelan
larva planula dalam proses kolonisasi dengan segera diikuti oleh perisiwa metamorfosis.
Metamorfosis merupakan serangkaian proses yang dindikasikan
oleh perubahan secara morfologis dan perangsangan bio-kimia larva planula menjadi koloni karang muda (juvenile). Secara morfologis hewan karang dalam tingkatan larva sangat berbeda bentuknya dengan polyp yaitu tidak memiliki tentakel, mulut, rongga gastrovascular, tidak memiliki enzim pencernaan dan tidak memproduksi kapur untuk rangka. Metamorfosis baru akan dilakukan jika larva planula benar-benar sudah memastikan susbstrat untuk penempelan selamanya.
Metamorfosis diawali
dengan proses kalsifikasi yang mengsekresikan kapur sebagai lempengan dasar berbentuk mangkuk sebagai rangka awal. Selanjut proses awali ini diikuti dengan pembentukan tentakel yang dilengkapi dengan sel-sel penyengat mengelilingi mulut. Proses akhir metamorfosis ini menghasilkan polip awal yang selanjutnya mengalami pertunasan untuk menbentuk polip-polip baru, masing-masing juga mengsekresikan kapur sebagai rangkanya. Polip pertama hasil metamorfosis ini dapat keluar dari rangka yang telah dibentuk kemudian menjadi plantonik lagi sampai ditemukan substrat baru untuk menempel lagi (Moorsel, 1989 ; Sorokin, 1991 ; Richmond, 1997).
21
Planula karang dari spawning spesies tidak mendapat algae simbion zoxhantella dari induknya, namun ditransfer selama proses penempelan dan metamorfosis dari kolom air laut di sekitarnya.
Hasil obeservasi terhadap
beberapa jenis karang Acropora menunjukan bahwa karang ini mengandung alga simbion selama proses penempelan dan metamorfosis dan selama dua (2) minggu tidak mengandung algae simbion.
Karang muda yang terbentuk hasil
metamorfosis sering bersaing dengan coralline dan filamentous algae dan algae merah lainnya (Richmond, 19970). Penempelan larva planula tidak menjamin metamorfosis akan selalu terjadi.
Pada beberapa larva invertebrate metamofhosis merupakan rangkaian
reaksi yang komplek yang dimulai bila hanya terjadi perangsangan secara biokimia tertentu. Rangsangan untuk memulai metamorfosis menjadi spesifik pada jenis-jenis tertentu yang ditandai dengan penempelan coralline algae dan lapisan biofilm dari mikroorganisme. Laju rekruitmen hewan karang telah banyak diteliti dengan menempatkan biotopes dari substrat buatan untuk penempelan planula karang. Pada terumbu Great
Barrier
koloni/m2/tahun,
Reef
(GBR)
sedang
di
Australia terumbu
laju
karang
rekruitmen Laut
mencapai
Merah
berkisar
10 5
koloni/m2/tahun. Di Terumbu karang Atlantik dilaporkan laju rekruitmen lebih rendah hanya berkisar antar 3-4 koloni/m2/tahun didominasi oleh jenis Stylopora pistilata. Abrar (2000) melaporkan laju rekruitmen di perairan Pulau Sikuai, Padang, Sumatera Barat mencapai puncaknya 0, 41 koloni/m2/bulan atau sekitar 5 koloni/m2/tahun didominasi oleh genus Pocillopora. 2.7 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang Terumbu karang merupakan ekosistem dengan berbagai interaksi yang komplek mulai dari tingkatan mikroorganisme, organisme multiseluler dan sampai tingkatan komunitas.
Pada hewan karang interaksi pada proses
reproduksi dan rekrutmen meliptui interaksi antar koloni, sel-sel gamet, larva planula dan penempelan yang dipicu oleh sinyal bio-kimia. Interaksi yang terjadi serta berbagai konsekuensi yang dihasilkan adalah bentuk adaptasi yang
22
dilakukan hewan karang utnuk sukses dalam reperoduksi dan rekrutmen serta memiliki tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Nybaken dan Bertness, 2005). Kondisi lingkungan sangat menentukan kesuksesan proses reproduksi dan rekrutmen dan kelulusan hidup juvenil karang.
Perubahan kualitas perairan
sudah mulai mempengaruhi pada tahapan awal reproduksi seperti waktu reproduksi, sikronisasi musim kawin dan pemijahan, interaksi sperma dan telur, metamorfosis dan transfer algae simbion dari kolom air.
Hasil pengamatan
menunjukan bahwa perubahan salinitas, temperatur, dan ketersedian cahaya akan berdampak terhadap produksi larva dari jenis Pocillopora damicornis (Jokiel, 1985).
Kemudian Kojis dan Quinn (1984), menemukan adanya korelasi antara
kesuburan, kedalaman dan sedimentasi pada jenis Acropora palifera. Pada jenis Goniastrea favulus kemampuan reproduksi meningkata sejalan dengan adanya perpindahan energy dalam jaringannya (Kojis dan Quinn, 1985). Hewan karang berkembang baik pada salinitas laut normal 35 o / oo namun memiliki toleransi terhadap salinitas tinggi dan rendah untuk beberapa waktu. Pada kasus lain koloni karang yang terpapar karena air surut akan menutupi koloni dengan lendir (mucous) yang dikeluarkan untuk bertahan dari kekeringan. Salinitas juga berdampak terhadap laju fertilisasi hewan karang dimana penurunan salinitas sampai 26% dari salinitas normal dapat menurun laju fertilisasi sampai 86%. Kejadian ini bisa terjadi saat puncak pemicahan bersamaan dengan musim hujan seperti yang dilaporkan di terumbu Mikronesia dan Okinawa (Birkeland, 1997). Faktor internal ukuran koloni sangat menentukan kesuburan hewan karang. Pada karang-karang dengan polip kecil dengan ukura koloni sama, umur dapat juga berdampak terhadap reproduksi yang dihasilkan, dimana karang yang tua lebih subur (Kojin dan Quinn, 1985). Sebaliknya pada karang dengan ukuran polip besar sepserti Lobophyllia cortmbosa menunjukan bahwa ukuran polip lebih menentukan kedewasaan dan kesuburan dibanding ukuran koloninya. (Harriot, 1983).
Pada koloni bentuk bercabang seperti Pocillopora dan Acropora
memperlihatkan kematangan seksualnya pada umur 2-3 tahun dan mulai menghasilkan gamet atau larva pertama. Karang massive yang diwakili oleh Porites menunjukan pertumbuhan dan perkembangan yang lama berkisar antara
23
4-7 tahun (Babcock, 1988).
Pada jenis-jenis yang memperlihatkan adanya
hubungan antara ukuran koloni dan reproduksi akan gangguan pertumbuhan akibat stress juga akan menunjukan penurunan potensi reproduksinya (Brown and Howard, 1985). Kecerahan perairan penting bagi pertumbuhan dan mendukung proses reproduksi dan rekrutment hewan karang (Jokiel, 1985 ; Tomascik dan Sander, 1987).
Perairan yang jernih dengan sedimen rendah meningkatkan penetrasi
cahaya yang dibutuhkan selama aktifitas fotosintesis oleh algae simbion zooxhantella.
Hasil fotosintesis berupa karbohidrat dan transfer energi
berkontribusi jelas dalam proses reproduksi terutama saat produksi gamet dan larva. Sebaran terumbu karang sepanjang perairan dangkal pesisir dan pulaupulau kecil sangat rentan terhadap sedimentasi yang meningkatkan kekeruhan perairan. Sedimentasi secara terus menerus menjadi masalah utama terumbu karang di perairan pesisir.
Penimbunana sedimen diatas permukaan koloni karang
membutuhkan energi banyak untuk membersihkannya sehingga memperlambat laju pertumbuhan serta mengurangi ketersedian energi untuk proses reproduksi. Sedimen juga menghalangi dan mencegah sinyal bio-kimia larva hewan karang untuk mengenali substrat yang akan ditempelinya (Tomascik dan Sander, 1987). Pengayaan nutrient dalam perairan atau eutrofikasi menjadi permasalan tersendiri terhadap proses reproduksi dan rekrutmen hewan karang (Tomascik, 1991). Sumber utama nutrient dalam perairan berasal dari aktifitas pertanian dan limbah rumah tangga. Suspensi nutrien dalam perairan meningkatkan kekeruhan dan menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Pada kondisi lain, peningkatan nutrien akan memicu pertumbuhan cepat biota bentik tertentu seperti Algae, Sponge, Tunicate dan Bryzoan yang merupakan kompetitor utama bentik karang yang tumbuh lambat (Birkeland, 1988). Pertumbuhan biota bentik yang cepat menutupi permukaan substrat dan menghalangi penempelan larva hewan karang (Hatcher, 1984 ; Tomascik, 1991 ; Done, 1992 ; Hughes, 1994). Total pemasukan substansi/matreal ke dalam perairan berbanding lurus dengan waktu.
Artinya aktifitas pemanfaatan di sepanjang pesisir akan
memberikan kontribusi pencemaran yang selalu meningkat dari waktu ke waktu.
24
Substansi pencemar seperti minyak, cadmium dan logam berat yang berasal dari berbagai sumber masuk ke dalam perairan melalui, arus laut, aliran sungai dan air hujan.
Bahan pencemar seperti pestisida Chlorpyrifos mampu menurunkan
kemampuan penempelan dan metamorphosis larva hewan karang pada kadar 0.005 ppm. Tumpahan minyak telah menurunkan ukuran dan volum gonad hewan karang dibanding daerah yang tidak terkena tumpahan minyak (Guzman dan Holst, 1993). Pada kondisi tertentu pencemaran minyak dapat menggagalkan formasi larva karang untuk bertahan hidup (Loya dan Rinkevich, 1979). Substansi pencemar juga diketahui mampu menghalangi sinyal bio-kimia karang yang mengatur kesesuaian dan keteraturan produksi sperma dan telur (Richmond, 1993) Pola rekrutmen dan kemampuan larva pada beberapa terumbu sangat tergantung pada jauhnya jarak komunitas karang mensuplai larva planulanya (Richmond, 1987 ; Babcock, 1988).
Jika terumbu tempat hewan karang
menghasilkan larva atau telur terganggu dengan sendirinya juga memberikan dampak terhadap keberlanjutan terumbu itu sendiri. Prinsip ini penting untuk menentukan daerah perlindungan yang terdiri dari banyak pulau atau antar wilayah terumbu yang berbeda. Hal ini juga berlaku pada penentuan daerahdaerah perlindungan laut untuk terumbu karang dengan mempertimbangkan pola pemenceran larvanya (William et al, 1984). Keberhasilan reproduksi hewan karang tidak menjamin penambahan koloni ke dalam populasi sampai larva dan reproduksi aseksual berhasil dalam proses rekrutmennya. Larva yang dihasilakan oleh koloni pada terumbu yang sehat tidak mengalami rekrutmen dengan baik karena kualitas perairan dan ketersedian larva. Sedimentasi tinggi dari sungai mengakibatkan kematian pada koloni karang dewasa, namun menyediakan substrat dan tidak menghalagi penenmpelan larva. Kondisi terumbu karang (kelimpahan dan keanekragaman) tidak bisa menunjukan kesehatan terumbu karang hanya menunjukan kondisi pada saat itu. Namun pola rekrutmen mampu memprediksi keadaan terumbu pada masa akan datang. Kegagalan reproduksi dan ketidak mampuan penempelan sering terlihat pada wilayah dimana karang dewasa dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik (Richmond, 1997).
25
2.8 Kerusakan dan Pemulihan Terumbu Karang Hewan karang sangat sensitif dan mudah mengalami kematian akibat kejadian alam dan aktifitas manusia.
Keberhasilan proses reproduksi dan
kelulusan hidup rekrutmen karang akan menjamin keberlanjutan populasi hewan karang dan memulihakan komunitas terumbu yang telah rusak.
Tindakan
pencegahan dan rehabilitasi kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan mengelolaa aktifitas yang berdapmpak terhadap kerusan terumbu.
Selain itu
pengembangan metode untuk aplikasi pembenihan dan pengembalian habitat terumbu kembali sangat dibutuhkan. Percobaan pemanenan larva di alam untuk dijadikan benih telah sukses dilakukan pada wilayah yang telah rusak akibat serangan predator Achantatser dan sedimentasi.
Hai ini menunjukan bahwa
pembenihan kembali di alam dapat menaikan laju rekrutmen secara alami. Namun tetap saja sebuah koloni karang dengan umur 50 tahun tidak bisa digantikan oleh rekrut yang berumur kurang dari 50 tahun. Pencegahan terhadap aktifitas manusia yang merusak terumbu lebih efektif untuk mendukung reproduksi dan rekrutmen hewan karang (Richmond, 1997).