6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (Coral Reef) merupakan masyarakat organisme yang
hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Berbagai organisme yang dominan hidup disini adalah binatang - binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur.
Terumbu karang
dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993). Sejalan dengan itu Sukarno, et al. (1981) mengemukakan bahwa terumbu karang
merupakan
komunitas
berproduktivitas
hayati
tinggi,
memiliki
keanekaragaman jenis biota yang besar dan dilihat dari estetika sangat indah sekali.
Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan tropis ekosistem laut.
Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selanjutnya Nybakken (1992) mengemukakan bahwa terumbu karang merupakan keunikan diantara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Seperti hewan lain, karang memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual dan seksual.
Reproduksi aseksual adalah reproduksi yang tidak
melibatkan peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Pada reproduksi ini, polip/koloni karang membentuk polip/koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka. Ada pertumbuhan koloni dan pembentukan koloni baru. Sedangkan reproduksi seksual merupakan reproduksi yang melibatkan peleburan sperma dan ovum (fertilisasi). Sifat reproduksi ini lebih kompleks karena selain terjadi fertilisasi, juga melalui sejumlah tahap lanjutan (pembentukan larva, penempelan larva, pertumbuhan dan pematangan). Baik reproduksi secara seksual maupun secara aseksual dijalankan oleh karang tentunya untuk tujuan mempertahankan keberadaan spesiesnya di alam. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga kedua metode tersebut saling melengkapi (Timotius 2003). Secara umum karang mempunyai dua model reproduksi seksual yang sangat berbeda, yaitu (1) brooding (mengandung larva) dan (2) spawning
7
(pemijahan). Perbedaan ini ditentukan oleh cara pertemuan gamet jantan dan gamet betina. Pada karang yang melakukan brooding, telur-telur yang dibuahi secara internal di dalam gastrovasculer dierami hingga perkembangannya mencapai stadium larva planula. Sedangkan karang yang melakukan spawning adalah melepaskan telur-telur dan sperma ke kolom perairan dan pembuahan terjadi secara eksternal selanjutnya embrio juga berkembang di perairan. Sebagian besar karang di dunia bereproduksi dengan cara spawning, begitu pula dengan model reproduksi di Indonesia. Dari 21 spesies karang yang dilaporkan hanya 1 spesies (Pocillopora damicornis) yang melepaskan planula dan 1 spesies (Stylophora pistillata) belum jelas model reproduksinya. Perbedaan model reproduksi ini akan mempengaruhi beberapa aspek ekologi karang, antara lain transfer alga symbiont zooxanthellae ke dalam larva, larval competency (kemampuan
larva dalam
melakukan
penempelan
untuk menetap dan
metamorfosis), penyebaran larva, pola distribusi karang, keanekaragaman genetis, laju spesiasi dan evolusi (Richmond 1996). Menurut Veron (1995), terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-pasifik.
Terbatasnya
penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara latitudinal terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface sirculation) air. Sementara itu, penyebaran secara longitudinal akan sangat dipengaruhi oleh adanya konektivitas berupa stepping stones. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah indo-pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang di region tersebut. Kini, hampir 800 jenis karang yang tergolong kelompok schleractinia telah dideskripsikan. Dari sejumlah karang yang ditemukan ini 600 jenis berada di Asia Tenggara khususnya di Indonesia dan Philipina (Burke, Selig dan Spalding 2002) dan dengan pertimbangan luasan kawasannya sebesar 34% (51% kontribusi kawasan terumbu karang Indonesia) dari total luas kawasan terumbu karang di dunia maka secara biogeografi kawasan ini dinyatakan sebagai center of origin karang di dunia. Secara umum terumbu karang terdiri atas tiga tipe: (1) terumbu karang tepi (fringing reef), (2) terumbu karang penghalang (barrier reef), dan (3) terumbu karang cincin atau atol.
8
Terumbu karang tepi dan penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah bahwa terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu karang tepi.
Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu
karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan (Bengen 2001). Menurut Suharsono (1998) karang tepi merupakan karang yang paling umum dijumpai di Indonesia.
Sedangkan pertumbuhan karang di Indonesia
didominasi oleh karang dari marga Acropora, Montipora dan Porites.
Ketiga
marga karang tersebut tidak hanya mendominasi persentasi tutupan karang hidup di perairan tetapi juga mendominasi jumlah kekayaan jenis karang. Jumlah jenis karang batu di Indonesia tercatat berjumlah 362 jenis. Acropora merupakan marga yang mempunyai jenis terbesar yaitu 62 jenis kemudian diikuti Montipora 29 jenis dan Porites 14 jenis. Nybakken (1992) mengemukakan bahwa perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu. Adapun faktor - faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah sebagai berikut : 1
Suhu air lebih besar dari 18 0C, tapi bagi perkembangan yang
optimal
0
diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 23 - 25 C, dengan suhu maksimal yang masih dapat ditolerir berkisar antara 36 - 40 0C. 2
Kedalaman perairan kurang dari 50 meter, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 meter atau kurang.
3
Salinitas air yang konstan berkisar antara 30 - 36 0/00.
4
Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen. Pecahan ombak yang besar pada sisi yang terbuka (windward) suatu atol menciptakan perkembangan pematang algae dan rataan terumbu. Pada daerah ini perkembangan karangnya minimal. Sebaliknya pada sisi yang terlindung (leeward), perkembangan pematang algae berkurang dan perkembangan karang dominan. Burke et al. (2002) mengemukakan bahwa terumbu karang memiliki fungsi
ekosistem yang penting yaitu menyediakan barang dan jasa bagi ratusan juta penduduk khususnya di negara-negara berkembang. Manfaat lain adalah untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, farmasi dan pendidikan. Dan yang tak kalah pentingnya terumbu karang memiliki potensi wisata yang menarik serta memiliki fungsi tak ternilai dalam melindungi pesisir dan erosi pantai.
9
Selanjutnya dikemukakan bahwa potensi keuntungan bersih per tahun per Km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik di Asia Tenggara di estimasi mencapai $ AS 20 000 - $ AS 151 000 untuk kegiatan perikanan dan perlindungan pantai dan untuk potensi pariwisata dan estetika mencapai $ AS 23 100 - $ AS 270 000. 2.2
Kawasan Konservasi Laut dan Daerah Perlindungan Laut Sebelum menjelaskan tentang kawasan konservasi laut dan daerah
perlindungan laut, terlebih dahulu diuraikan beberapa penjelasan tentang kawasan konservasi. Menurut IUCN (1994), kawasan konservasi dibagi atas 6 kelompok yaitu (a) cagar alam murni (strict nature reserve), (b) taman nasional (National Park), (c) monumen - monumen nasional (nature monument) dan bentukan - bentukan alam (Landmarks), (d) suaka alam dan cagar alam yang dikelola (habitat/species management area), (e) bentang alam darat dan laut yang dilindungi (protected landscape/seascape), dan (f) kawasan yang dilindungi dengan sumberdaya alam yang dikelola (managed resources protected area). Selanjutnya MacKinnon et al. (1990) mengelompokkan jenis kawasan yang dilindungi di Indonesia ialah (a) cagar alam, (b) suaka margasatwa, (c) taman nasional , (d) taman wisata, (e) taman buru, dan (f) hutan lindung. Terkait dengan konservasi ekosistem pesisir dan lautan, Sobel dan Dahlgren (2004) mengemukakan bahwa upaya ini lebih lambat dimulainya bila dibandingkan dengan konservasi di daratan. Perhatian konservasi pesisir dan lautan baru diberikan belakangan ini. Saat ini hanya 1 % wilayah lautan yang masuk dalam kawasan yang dilindungi. Padahal sebanyak 20 % dari lautan di dunia harus dilindungi secara ketat untuk melindungi jumlah ikan komersial yang telah menurun. Mengacu pada IUCN (1994) istilah Marine Protected Area (Kawasan Konservasi Laut) adalah daerah - daerah paparan intertidal atau subtidal beserta perairannya yang berasosiasi dengan flora, fauna, sejarah dan budaya yang dilindungi oleh hukum atau semacamnya sebagai upaya melindungi sebagian atau seluruh lingkungan kawasan tersebut. Definisi tersebut sangat luas menyangkut beberapa tipe pengelolaan laut yang berbeda dan aktivitas perlindungan. Berdasarkan definisi tersebut, MPA hanya merupakan bagian dari MMA, atau sebagai daerah ”permanen reserve“ (no take area) yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian, LMMA Network (2004) sepakat
tidak menggunakan istilah “marine protected
10
area“ untuk menjelaskan aktivitas pengelolaan laut lokal. Kesepakatan tersebut didasarkan pada persetujuan : a) istilah ”protected”’ merupakan istilah yang tidak cocok dipakai lagi secara luas di daerah Asia dan Pasifik sehingga digantikan dengan istilah ”local marine management”, b) istilah ”MPA” merupakan istilah formal yang pakai oleh badan - badan nasional dan internasional (legal authority) yang tidak sama pelaksanaanya dengan LMMA dalam suatu wilayah. LMAA
Istilah
secara eksklusif diartikan sebagai upaya - upaya pengelolaan dan
perlindungan non-formal dikenal sebagai legalitas MPA.
LMMA berupaya
menurunkan isu - isu lisensi perikanan, tumpang tindih peralatan penangkapan ikan, pembatasan destructive fishing. Wiryawan
dan
Dermawan
(2006) mengemukakan bahwa terdapat
perbedaan terminologi yang digunakan oleh COREMAP II Asian Development Bank (COREMAP II ADB) dan COREMAP II World Bank (COREMAP II WB) dalam mendefinisikan kawasan konservasi laut. COREMAP II ADB memberikan peristilahan dengan MMA (Marine Management Area) dan COREMAP II WB menyebutnya sebagai MCA (Marine Conservation Area). Untuk memahami lebih jelas perbedaan tipe kawasan konservasi laut dapat ditinjau dari tujuan pengelolaannya dan kriteria penetapannya sebagaimana disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2 (DKP 2005).
11
Tabel 1 Kriteria kawasan konservasi laut dan kawasan MMA Kategori
Tujuan Pengelolaan
Cagar Bahari
sumberdaya hayati laut dan • Pengawetan ekosistemnya yang memiliki kekhasan dan keunikan. • Perlindungan ekosistem tertentu dan pekembangannya berlangsung secara alami.
Suaka Bahari
• Pengawetan keadaan alam yang mempunyai kekhasan berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis biota laut. • Pembinaan habitat bagi kelangsungan hidup jenis biota tersebut apabila diperlukan.
Taman Laut/ Taman Bahari
• Pengawetan ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi. • Pemanfaatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang kebudayaan, pariwisata dan rekreasi.
Taman Wisata Bahari
• Pemanfaatan untuk wisata bahari dan rekreasi alam
Daerah Perlindungan Laut
• Menyediakan sumberdaya perikanan laut bagi masyarakat adat/ lokal untuk kegiatan pemanfaatan yang didasarkan pada praktek-praktek pemanfaatan secara tradisional yang sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian • Melindung produktivitas keragaman genetik dan spesies ikan melalui perlindungan habitat dan praktek penagkapan secara lestari oleh masyarakat. • Mendorong praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya alam secara arif dan bijaksana.
Suaka Perikanan
• Menjamin kelestarian sumberdaya ikan melalui prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan • Memelihara proses ekologis sistem pendukung kehidupan sumberdaya ikan di wilayah pesisir dan laut.
Kawasan Pengelolaan Laut (Marine Management Area)
• Mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati laut dan ekosistemnya • Melindungi dan mengelola perwakilan tipe-tipe ekosistem penting di wilayah pesisir dan laut untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologis jangka panjang • Memanfaatkan sumberdaya alami bagi kepentingan berbagai kegiatan konservasi dan ekonomi serta bentuk kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip konservasi. • Mengembangan program pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya oleh masyarakat dan atau masyarakat adat terkait dengan praktek-praktek budaya tradisional.
Sumber : DKP 2005
12
Tabel 2 Matriks perbandingan kriteria penetapan kawasan konservasi Kriteria penetapan kawasan konservasi laut Ekologi - Keanekaragaman Ekosistem - Keanekaragaman Jenis Flora - Keanekaragaman Jenis Fauna - Keterwakilan - Keaslian - Keunikan - Ketergantungan - Produktivitas Manfaat - Luas Wilayah - Pemulihan Kondisi Alam Sosial - Sarana Rekreasi - Penelitian dan Pendidikan - Keamanan - Aksesibilitas - Estetika - Dukungan Masyarakat - Kultural - Kesehatan masyarakat - Penyadartahuan Ekonomi - Pariwisata - Kepentingan Bagi Spesies - Kepentingan Bagi Nelayan - Ancaman dari alam - Keuntungan Ekonomi Sumber : DKP 2005
CB X X X X X X
X
SB
Tipe kawasan konservasi laut TB/TL TWB DPL SP X X X X X X
X X X X X
X X X X X X
X X X
MMA
X
X
X
X X
X
X X
X X X X
X
X X X X X X X X X
X X
X X
X X
X X X X X
Keterangan : X CB DPL TL SB
= Cross tanda penilaian (harus ada) = Cagar Laut / Cagar Bahari = Daerah Perlindungan Laut = Taman Laut = Suaka Bahari
TB TWB SP
= Taman Bahari = Taman Wisata Bahari = Suaka Perikanan
Menurut LMMA Network (2004) tujuan pembentukan MMA adalah : a) peningkatan kualitas habitat (terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove), b) peningkatan populasi, reproduksi dan biomassa sumberdaya ikan, c) peningkatan kapasitas lokal untuk mengelola sumberdaya ikan, d) peningkatan kohesif antara lingkungan dan masyarakat, e) peningkatan pendapatan masyarakat dari sumberdaya alam. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa strategi spesifik yang dapat digunakan adalah sebagai berikut (Gambar 3).
13
Strategi MMA Perlindungan penuh Ancaman langsung dan tak langsung
Spesies spesifik refugia
Praktisi
Pengurangan perlakuan yang merusak
Gambar 3 Pengelompokan alat pencapaian tujuan dalam strategi MMA (Sumber : LMMA 2004). Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga strategi spesifik dalam pencapaian tujuan MMA, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Perlindungan yang menyeluruh (full reserve) - yakni perlindungan penuh terhadap sumberdaya alam dalam suatu area.
Daerah tersebut sering
disebut “sanctuary”, atau daerah tanpa gangguan atau “fully protected area”. 2.
Pembatasan penangkapan spesies (species specific refugia) - pada daerah tertentu ada pembatasan penangkapan terhadap spesies tertentu atau beberapa spesies atau individu ukuran tertentu dan atau jenis kelamin tertentu.
3.
Pengurangan usaha atau perlakuan lain (effort or behavioral restrictions) Regulasi pembatasan usaha penangkapan atau pemanfaatan-pemanfaatan tertentu dalam daerah tertentu. Perijinan oleh pemerintah / penguasa lokal menyangkut pembatasan tipe teknologi yang digunakan, pembatasan tingkat usaha penangkapan (seperti : jumlah ikan, jumlah perahu, kuota terhadap jumlah
penangkapan),
keterbatasan
musim,
pola
usaha
lain
yang
diperbolehkan dan yang tidak (seperti rekreasi penyelaman, tanpa jangkar) dan pembatasan perijinan. Model strategi dan alat pencapaian tujuan tersebut dapat diaplikasikan pada skala spasial dan kerangka waktu yang berbeda terhadap semua kawasan MMA. Skala spasial (spatial scale) memiliki pengertian tool atau peralatan yang spesifik dapat digunakan pada skala yang berbeda terhadap semua lokasi yang sedang dikelola.
14
Peralatan tersebut dapat diaplikasikan pada semua lokasi yang dikelola atau peralatan yang berbeda dapat diaplikasikan pada lokasi yang berbeda. Sementara itu kerangka waktu (time frame) mengandung makna bahwa peralatan tersebut di atas dapat diimplementasi secara permanen atau temporal sepanjang waktu . Peralatan boleh diglir atau dirotasi dari daerah yang satu ke daerah yang lain pada semua tempat sepanjang waktu. Terdapat empat asumsi bagaimana pencapaian tujuan MMA untuk meningkatkan keutuhan lingkungan dan memperkaya sumberdaya perikanan. Apabila tool di atas diimplementasikan secara efektif pada daerah tertentu selama waktu tertentu, maka ada empat keuntungan yang dapat diperoleh : 1. Safe haven.
MMA akan mengupayakan
perlindungan daerah sanctuary
untuk kepentingan biodiversity, menjaga suatu wilayah yang berhubungan dengan spesies tertentu dan individu-individu spesies (baik anakan maupun dewasa), habitat, dan fungsi ekosistem dalam daerah tertentu yang dilindungi, dikelola, dan atau dibiarkan berkembang sendiri. 2. Seeding. MMA mengupayakan perlindungan daerah pemijahan, sumber telur, larva, dan atau juvenile bagi spesies tertentu.
Asumsi ini perpengaruh
penting dalam proses transport telur-telur, larva, dan juvenile bermigrasi ke daerah pembesaran dimana biota-biota tersebut mencapai dewasa dan dapat ditangkap 3. Spill over - MMA akan menyediakan daerah sumber induk spesies - spesies tertentu.
Sehingga terjadi peningkatan kepadatan populasi dalam daerah
perlindungan, spesies akan berpindah ke daerah - daerah terdekat dimana mereka dapat ditangkap. 4. Successional yield - MMA akan menyediakan daerah untuk spesies tertentu seperti : spesies yang menetap (sedentery), non moving species untuk berkembangbiak selama periode tertentu, secara bergantian selanjutnya penangkapan pada musim-musim tertentu. Semua spesies dikelola sesuai dengan musim perkembangbiakannya. Selanjutnya Wiryawan dan Dermawan 2006, mengemukakan bahwa MMA dapat berfungsi sebagai penghubung jaringan antara kawasan konservasi laut berbasis desa (Daerah Perlindungan Laut/DPL) berbasis desa. Banyaknya gugus DPL dalam suatu MMA dapat senantiasa berkembang, mengingat proses pembentukan
dari
masing-masing
DPL
berbasis
desa
bervariasi.
Namun pada prinsipnya, MMA merupakan pusat koordinasi pengelolaan
15
kawasan konservasi, yang mempunyai skala dan status dapat berbeda. Melalui MMA, maka diharapkan berbagai pemanfaatan kawasan laut
seperti,
penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, pertambangan, indusrti transportasi dan kegiatan lain
yang
selaras
dengan tujuan konservasi kawasan
dapat
diakomodasi. Dengan adanya DPL-DPL sebagai komponen dari MMA, diharapkan suatu kawasan konservasi dapat lebih memberikan manfaat ekologi yang pada akhirnya memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Karena perlindungan kepada spesies yang bermigrasi (seperti ikan dan mamalia laut) dapat lebih optimal jika habitatnya secara utuh dilindungi.
Gambar 4 Jaringan daerah perlindungan laut (DPL) dalam satu unit pengelolaan KKLD di kabupaten/kota (Sumber : Wiryawan dan Dermawan 2006).
Keterangan : Jenis-jenis DPL pada skala desa, maka jaringan KKLD dapat berupa kawasan-kawasan konservasi lain sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan peraturan pemerintah tentang konservasi sumber daya ikan yaitu : taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan dan suaka perikanan.
Terkait dengan pengelolaan kawasan MMA, Hockings et.al (2000) menggambarkan
suatu
desain
pengelolaan
interaktif
terhadap
wilayah
konservasi (MPA) meliputi : manajemen, monitoring, evaluasi dan adaptasi dapat dilihat pada Gambar 5. Dengan
proses
tersebut
manager
diperkuat
oleh
kemampuan
mendiagnosa dan peningkatan manejemen secara adaptatif . Untuk memulai proses evaluasi dalam siklus sistem manejemen terdapat tiga pertanyaan sederhana yang harus dijawab.
16
Status dan Ancaman Dimana kita sekarang
Visi MMA Dimana kita ingin berada
Outcome Apa yang telah dicapai
Planning MMA Bagaimana bisa mendapatkannya Evaluasi
Output
Input
Apa yang telah dilakukan Apa hasilnya Pelayanan yang telah dihasilkan
Apa yang kita butuhkan
Proses Menejemen
Bagaimana kita mengelolanya
Gambar 5 Kerangka pengelolaan MMA secara efektif (Sumber : Hockings et al. 2000). Tulungen et al. (2002) memberikan definisi Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) sebagai daerah pesisisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Kegiatan perikanan dan dan pengambilan sumberdaya merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL-BM. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan diatur atau sedapat mungkin dibatasi.
Pengaturan, pembatasan dan larangan aktivitas
tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa.
Contoh DPL-BM adalah seperti DPL-BM di Desa Blongko,
Talise dan Tumbak di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, DPL Pulau Sebesi, Lampung dan marine sanctuary di Pulau Apo, Dumaguette, Filipina, dengan luas antara 6-25 hektar. Berfungsinya DPL secara pengelolaan adalah apabila terdapatnya suatu zona inti di dalam DPL, yaitu suatu zona larang ambil permanen. Di dalam zona inti atau dapat dikatakan zona tabungan perikanan, tidak diperkenankan adanya kegiatan eksploitatif atau penangkapan ikan. Kegiatan eksploitasi hewan laut seperti karang, teripang, kerang-kerangan atau organisme hidup lainnya dilarang untuk diambil. Zona inti dalam DPL tidak diperkenankan dieksploitasi secara musiman atau waktu-waktu tertentu, sehingga DPL tidak sama dengan “Sasi” di
17
Maluku atau “Mane’e” di Sangir Talaud. Pembukaan musiman dapat menyebabkan fungsi DPL dan zona intinya tidak berfungsi efektif. Zona inti biasanya berisi ekosistem terumbu karang yang sehat, karena tidak mengalami gangguan oleh manusia, sehingga biota karang termasuk ikan karang, mempunyai kesempatan untuk kembali pada keadaan terumbu karang yang baik. Zona inti cenderung dipilih yang mempunyai kondisi dan tututan karang yang baik, dan dihuni oleh beberapa biota dari berbagai ukuran, termasuk pemangsa besar, seperti Kerapu dan Hiu (Tulungen et al. 2002). Menurut
Wiryawan
dan
Dermawan
(2006)
yang
mengacu
pada
pengamatan para ahli, menunjukkan bahwa DPL akan memberikan manfaat kepada perikanan yang ada di sekitar kawasan sekitar 3 - 5 tahun, sedang DPL akan menunjukkan perubahan kepadatan ikan dan terumbu karang hidup dalam waktu setelah setahun DPL ditetapkan.
Kajian lain menyatakan bahwa satu
kilometer persegi DPL dapat menghasilkan 20 - 30 ton ikan per tahun (Tulungen et al. 2002). Lokasi dan ukuran DPL sangat menentukan keberhasilan fungsi DPL dalam mendukung pengelolaan perikanan. Pada umumnya DPL ditempatkan di sekitar pulau-pulau kecil atau di sepanjang garis pantai pulau besar. Sebenarnya tidak
ada
ukuran
yang
ideal
untuk
DPL,
namun
demikian
ilmuwan
merekomendasikan “semakin luas ukuran DPL akan semakin baik fungsinya”. Pendapat ahli menyebutkan bahwa ukuran yang optimal adalah 10 - 30 % dari luasan terumbu karang di suatu desa. Suatu penelitian di Filipina menunjukkan bahwa DPL-BM skala kecil yang ditetapkan di sekitar pulau , dengan 10 - 20 % kawasan terumbu karangnya dapat menghasilkan dua kali lipat hasil tangkapan nelayan di luar kawasan DPL-BM, khususnya jenis ikan karang (Tulungen et al. 2002). Para ahli dari The Partnership for Interdisciplinary Studies of Coastal Oceans atau PISCO (2002) mengemukakan bahwa keputusan tentang ukuran dan jumlah DPL untuk suatu lokasi tergantung pada faktor lingkungan lokal, sosial ekonomi dan peraturan.
Namun demikian, dari pengalaman dan
persetujuan dengan masyarakat, maka saat sekarang DPL berbasis desa yang ada di beberapa negara menunjukkan luasan sampai 50 hektar zona inti. Apabila terlalu kecil ukuran DPL maka DPL tidak akan berfungsi secara ekologis, sedangkan apabila ukuran DPL terlalu luas di suatu desa, maka fungsi kontrol
18
masyarakat terhadap DPL menjadi kurang, dan konflik dengan pengguna (nelayan) akan menjadi besar. Berikut adalah tahapan, kegiatan, hasil, dan indikator yang diharapkan dalam pengembangan DPL (Tabel 3). Tabel 3 Tahapan, kegiatan, hasil dan indikator pengembangan DPL Tahapan proses perencanaan dan pengelolaan Pengenalan dan Sosialisasi Program
Kegiatan yang dilakukan • •
• • • Pelatihan,Pendidikan, Pengembangan Kapasitas Masyarakat
• •
•
•
Lokasi desa dipilih Penempatan Penyuluh Survei data dasar Pembuatan Profil Desa Diskusi program pendampingan masyarakat Studi banding DPL Penyuluhan DPL dan lingkungan Pelatihan Pemetaan Kawasan Pelatihan Kelompok
Hasil yang diharapkan •
•
•
• • • •
• Konsultasi Publik
•
• •
Persetujuan Peraturan Desa
•
• • Pelaksanaan
•
• • •
• • • •
Pembuatan draft Perdes Diskusi formal/informal Perbaikan draft Perdes
Musyawarah Desa Peresmian Perdes Peresmian Formal oleh Pemerintah
Pemasangan Tanda Batas Rencana Pengelolaan Papan Informasi Rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) Pertemuan Pengelola Monitoring Penegakan Hukum Penyuluhan dan pendididkan
Sumber : Tulungen et al. (2002)
•
•
•
•
Indikator Hasil
Identifikasi isu-isu Sosioekonomi dan budaya dipahami Pendekatan dapat dipahami bersama
• •
Pemahaman Masyarakat Peta Karang Peningkatan Pengawasan Dukungan masyarakat Kapasitas masyarakat meningkat Kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya Partisipasi dalam Pembuatan Perdes Konsensus tentang aturan DPL
•
Penerimaan DPL secara formal Dasar Hukum
•
• • • •
• •
•
•
• •
• •
• • •
Ketaatan Pengelolaan efektif Tutupan karang meningkat Kepadatan biota meningkat Hasil tangkapan meningkat
•
• • •
Deskripsi data dasar Profil lingkungan disebarkan kepada masyarakat Jumlah pertemuan masyarakat ttg DPL
Jumlah pelatihan/penyuluhan Jumlah peserta pelatihan Jumlah kelompok masyarakat Jumlah proposal kegiatan kelompok Pelaporan penggunaan dana
Jumlah pertemuan Jumlah peserta dalam penyiapan Perdes Jumlah peserta setuju dengan Perdes
Jumlah musyawarah Penandatanganan Perdes Peresmian DPL oleh Pemerintah Jumlah pelanggaran menurun Jumlah pertemuan kelompok Survei monitoring Data statistik perikanan di DPL
19
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah DPL memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang.
DPL membantu
menjaga sumber - sumber larva karang dari daerah yang telah rusak. Tindakan - tindakan pengelolaan berkaitan dengan DPL yang dapat membantu regenerasi terumbu karang adalah : a) mengidentifikasi daerah - daerah karang yang tidak terlalu rusak dalam DPL dan meninjau ulang skema zonasi dan perbatasan untuk menjamin terumbu karang yang sehat dilindungi dengan ketat, b) memastikan DPL yang ada dikelola secara efektif, dan c) mengembangkan pendekatan yang lebih strategis untuk sistem DPL, rangkaian wilayah geografis yang tersebar luas dan variasi DPL (Westmacott et al. 2000).
2.3
Dampak KKLD dan Pengelolaan Perikanan Salah satu aspek penting dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah
upaya memantau komponen yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati seperti jumlah individu spesies langka dan terancam punah (Feinsinger 2001).
Beragam metode digunakan untuk memantau komponen tersebut,
misalnya memotret lokasi tertentu dari waktu ke waktu, maupun mengadakan wawancara dengan para pengguna kawasan (Danielsen et al. 2000). Dapat juga dilakukan pemantauan dengan membandingkan struktur dan kondisi komunitas dari waktu ke waktu dengan bantuan plot maupun transek permanen. Jenis
informasi
pengelolaan kawasan.
yang
dikumpulkan
akan
bergantung
pada
tujuan
Pemantauan tidak hanya berguna untuk mengetahui
kesehatan kawasan, namun juga dapat mengevaluasi apakah pengelolaan yang dilakukan bekerja dengan baik atau tidak (Hockings 2003). Pengelolaan kawasan yang dilindungi juga harus mampu mengenali dan menyiapkan rancangan penangggulangan ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan keseimbangan dalam kawasan.
Salah satu pendekatan yang
digunakan adalah metode Rapid Assessment and Prioritization of Protected Areas Management yang dikembangkan oleh World Wide Fund for Nature International. Evaluasi yang dilakukan terhadap ratusan kawasan yang dilindungi di Bhutan, Cina, Rusia dan Afrika Selatan telah berhasil mengidentifikasi beberapa ancaman utama yaitu : introduksi spesies asing (invasive) dan pelanggaran batas. Isu utama yang membatasi pengelolaan kawasan secara efektif
tersebut
adalah
kurangnya
pendanaan,
terbatasnya
kapasitas
kepegawaian, keterbatasan kegiatan penelitian dan pemantauan (Ervin 2003).
20
Salah satu solusi untuk mengatasi beragam konflik kepentingan dalam kawasan yang dilindungi adalah dengan memberlakukan sistem zonasi. Sistem zonasi tersebut bertujuan mengelola kawasan secara keseluruhan, dengan merancang dan menentukan wilayah yang akan diberikan prioritas bagi kegiatan tertentu.
Dengan sistem zonasi pada suatu kawasan yang dilindungi akan
dimungkinkan
berbagai
macam
kegiatan
misalnya,
menentukan
lokasi
pemancingan, kegiatan olahraga air, perlindungan spesies terancam, restorasi komunitas, maupun penelitian ilmiah. Tantangan dari system zonasi ini adalah berkompromi dengan masyarakat agar dapat menggunakan sumberdaya alam jangka panjang yang berkelanjutan. Contoh zonasi yang berupaya melibatkan masyarakat adalah yang sedang dikembangkan di Taman Nasional Laut Bunaken (Indrawan et al. 2007). Lebih lanjut dikemukakan bahwa zonasi telah terbukti sebagai cara yang efektif untuk meningkatkan dan mempertahankan populasi ikan dan satwa lainnya, seperti yang telah dilakukan di Filipina melalui penetapan Marine Protected Area (Gell dan Roberts 2003). Beberapa taman nasional laut di Kenya dan Tanzania memiliki jumlah ikan komersial serta tutupan karang yang lebih tinggi
dibandingkan
dengan
kawasan
sekitarnya
yang
tidak
dilindungi
(McClanahan dan Arthur 2001). Sebuah jejaring terdiri dari 5 KPL berukuran kecil di St. Lucia diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40 dan 90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970an. Roberts dan Hawkins (2000) mengemukakan bahwa terdapat bukti yang kuat dan menyakinkan bahwa melindungi daerah dari penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besarnya ukuran, dan biomasa dari jenis organisme yang dieksploitasi. Wilayah penyimpanan dan perlindungan laut sering
dikatakan
hanya
berlaku
untuk
lingkungan
terumbu
karang.
Kenyataannya, metode ini sudah berhasil diterapkan pada berbagai habitat di dalam lingkungan dari kondisi tropis maupun sub-tropis.
Penyimpanan dan
perlindungan laut adalah suatu alat yang bersifat global. Untuk mengetahui lebih jauh dampak kawasan konservasi laut yang dikutip dari Roberts dan Hawkins (2000) dan merupakan ringkasan laporan penelitian beberapa ahli, disajikan pada Tabel 4.
21
Tabel 4 Dampak terukur dari perikanan di kawasan konservasi laut Nama Daerah Perlindungan dan Lokasinya
Jangka Waktu Perlindungan (Tahun) 2
Terumbu Karang
Daerah Perlindungan Anse Chastanet
2
Terumbu Karang
Kepulauan Mayotte, Samudera Hindia
3
Terumbu Karang
Taman Nasional Laut Laguna Selatan, New Caledonia
5
Terumbu Karang
Taman Nasional Laut Kisite, Kenya
5
Terumbu Karang
Daerah Perlindungan Kepulauan Maria, Tasmania
6
Sub tropis Karang berbatu
Daerah Perlindungan Kepulauan Apo, Filipina
6
Terumbu Karang
Daerah Perlindungan Kepulauan Sumilon, Filipina
10
Terumbu Karang
Taman Bawah Laut Edmond, Washington, USA
27
Subtropis Karang Berbatu
Looe Key, Florida, USA
Tipe Habitat
Sumber : Roberts dan Hawkins (2000)
Dampak yang Dilaporkan Setelah adanya pelarangan pola perikanan tangkap dengan tombak, 15 jenis ikan target densitasnya meningkat , Kakap densitasnya meningkat sebanyak 93 % dan Grunts 439 % (Clark et al. 1989) Biomasa total untuk spesies komersial penting lebih dari dua kali lipatnya dari daerah penangkapan ikan dan daerah perlindungan memiliki jenis-jenis spesies yang ditangkap tiga kali lebih mudah dibandingkan di daerah manapun (Robert dan Hawkins 1997) Jumlah total spesies tidak berbeda antara di dalam kawasan perlindungan dengan di luar kawasan, meskipun demikian jenis karnivora besar yang umum ditemukan lebih beragam dan berlimpah di dalam kawasan perlindungan. Nilai tengah biomassa dari spesies komersial di dalam kawasan sebesar 202 g / m 2 dan 79 g / m2 di luar kawasan (Babcock 1999). Di dalam kawasan perlindungan terdapat peningkatan populasi ikan sebanyak 67 %, peningkatan densitas sebanyak 160 % dan biomassa sebesar 246 % tapi ukuran rata-rata ikan dari hampir semua spesies tidak menunjukkan peningkatan (Wantiez et al. 1997) Kakap, Injil dan Kerapu lebih berlimpah di dalam Taman Nasional dan tampaknya sampai ke daerah penangkapan. Perlindungan tidak berdampak pada keragaman spesies (Watson et al. 1996) Densitas lobster karang (Jasus rubra) dan ikan Terompet (Latridopsis forsteri) meningkat satu atau dua ordo dari jumlah yang ada dikawasan perlindungan. Jumlah spesies ikan, avertebrata dan alga juga bertambah di dalam kawasan, serta densitas ikan juga meningkat lebih besar dari 33 cm (Edgar dan Barret 1999) Biomassa pemangsa besar meningkat 8 kali lipat dari dalam daerah perlindungan. Didalam kawasan penangkapan densitas rata - rata dan kekayaan jenis meningkat (Russ dan Alcala 1996)
Delapan belas bulan setelah penangkapan dimulai lagi di dalam kawasan, tangkapan per unit upaya menurun sampai setengahnya dan total panen 54 % lebih sedikit dibanding kawasan penangkapan lainnya (Alcala dan Russ 1990) Jumlah telur ikan Rock dan larva yang asli hidup di dalam kawasan jumlahnya lebih besar 55 kali dari yang di luar kawasan. Untuk Lingcod (Ophiodon elongates) jumlahnya lebih banyak sebesar 20 kali (Pallson dan Pacunski 1995)
22
2.4
Dimensi Sosial KKLD KKLD sebagai suatu alat pengelolaan merupakan hasil kelembagaan
sosial, yang diciptakan oleh manusia dengan tujuan mengelola kebiasaan masyarakat dalam menggunakan sumberdaya pesisir dan laut (Bromley 1991). Mascia (2003) mengemukakan bahwa KKLD hasil dari proses pembuatan keputusan masyarakat dan penentuan suatu insentif yang diperlukan dalam merubah perilaku masyarakat untuk mencapai keberhasilan.
Pembangunan,
pengelolaan dan pencapaian KKLD dibentuk oleh konvergensi kepentingan antara pengguna sumberdaya, pemangku kepentingan sumberdaya, masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat dan lembaga internasional. Umumnya KKLD memiliki tujuan dan sasaran biologi, sosial ekonomi dan tata kelola (Pomeroy, Parks dan Watson 2003). keberlanjutan
atau
perlindungan
Tujuan biologi termasuk
sumberdaya
keanekaragaman biologi, perlindungan habitat.
laut,
perlindungan
Tujuan sosial ekonomi
diantaranya ketahanan pangan, matapencaharian, peningkatan kesadaran lingkungan dan pengetahuan. Sedangkan tujuan tata kelola termasuk mengatur struktur pengelolaan yang efektif dan strategis, memastikan partisipasi pemangku kepentingan, mengelola dan mengurangi konflik pemanfaatan sumberdaya. Christies et al. (2003) mengemukakan bahwa tujuan biologi, sosial ekonomi dan tata kelola kadangkala kontradiktif, sehingga menimbulkan kontroversi dan konflik. Dinamika ini memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap kegagalan KKLD, diperkirakan sekitar 90 persen di beberapa negara (White et al. 2002). Beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor sosial merupakan penentu utama sukses tidaknya KKLD (Fiske 1992, Kelleher dan Recchia 1998, McClanahan 1999, Roberts 2000). Bunce et al. (2000) dan NOAA-CSC (2005) mengemukakan bahwa kajian sosial ekonomi adalah jalan untuk mempelajari kondisi sosial, budaya, ekonomi, kelembagaan, individu, kelompok dan masyarakat. Beberapa faktor sosial yang umum dikaji ialah (a) bentuk pemanfaatan sumberdaya, (b) karakteristik pemangku kepentingan dan masyarakat, (c) persepsi, sikap dan kepercayaan pemangku kepentingan, (d) isu gender, (e) pelayanan masyarakat dan fasilitas, (f) pengetahuan tradisional.
23
2.5
Skenario dan Pengelolaan Adaptif KKLD Skenario adalah cerita tentang apa yang mungkin terjadi. Berbeda
dengan proyeksi, skenario tidak perlu menggambarkan masa depan seperti apa yang kita harapkan. Sebaliknya skenario berusaha untuk merangsang pemikiran kreatif yang membantu orang melepaskan diri dari pola pandang yang sudah mapan terhadap berbagai situasi dan merencanakan tindakannya (Wollenberg et al. 2001). Menurut Wollenberg et al. (2000) paling tidak ada empat pendekatan skenario yang dapat digunakan, untuk tujuan yang berbeda. Skenario visi bertujuan
untuk
mengetahui
harapan
dan
impian.
Skenario
proyeksi
menunjukkan apa pendapat orang tentang konsekuensi situasi mereka sekarang. Skenario jalur digunakan untuk membandingkan kondisi sekarang dan kondisi yang diinginkan di masa depan sehingga dapat menyusun strategi untuk melakukan perubahan. Skenario alternatif menunjukkan berbagai kemungkinan perubahan di masa depan untuk membantu orang ”membingkai” ketidakpastian. Salah satu atau kombinasi dari berbagai skenario ini dapat diterapkan sesuai kebutuhan. Definisi pengelolaan adaptif merupakan suatu proses yang digunakan untuk menyesuaikan strategi pengelolaan agar dapat mengatasi perubahan dengan lebih baik.
Mencermati perubahan dalam interaksi antara manusia
dengan pesisir dan laut adalah titik awal dari pengelolaan secara adaptif. Informasi baru atau cara baru untuk mengkaji informasi merangsang proses belajar berulang - ulang sehingga dapat menilai strategi - strategi pengelolaan. Masyarakat setempat, juga pemangku kepentingan lain yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan tentang pesisir dan laut bekerjasama untuk melakukan penilaian tersebut.
Sesuai dengan ketersediaan sumber daya,
insentif dan kemampuan kelembagaan, penilaian bersama ini dapat mengarah kepada penyesuaian dalam pengelolaan (Wollenberg et al. 2001). Sementara itu Grafton (2005) mengemukakan enam langkah umum proses pengelolaan adaptif secara aktif di DPL untuk kepentingan perikanan yakni (1) menentukan tujuan spesifik, (2) penilaian sistem sosial-ekonomi-ekologi, (3) melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk menyeleksi kriteria sosio-ekonomi-ekologi yang akan digunakan dalam menetapkan variabel kunci keputusan, (4) menetapkan ukuran DPL, lokasi, jumlah dan durasi perlindungan, (5) menyiapkan suatu pertimbangan yang disusun oleh pemangku kepentingan
24
dan
kolega
terhadap
semua
langkah
sebelumnya
dan
harus
diikuti,
(6) melakukan pembelajaran aktif, percobaan dan evaluasi. Peterson et al. (2003) mengemukakan bahwa teknik - teknik yang menggunakan skenario membantu pengelola kawasan konservasi untuk mengambil keputusan berdasarkan berbagai kemungkinan yang diantisipasi. Sifat interaksi jangka panjang dan dinamika antara penghidupan masyarakat setempat, kepentingan kesinambungan dan keadaan biofisik laut lebih sulit tertangkap oleh proses belajar dari pengalaman yang jauh lebih sederhana. Metode antisipatif yang lebih terbuka dan lebih tepat untuk mengatasi kompleksitas dan resiko. Skenario dapat digunakan secara tidak langsung untuk meningkatkan proses belajar dari pengalaman, misalnya dalam pemantauan. Para pemangku kepentingan bisa menggunakan skenario untuk menggali apa yang mereka anggap penting untuk dipantau di masa depan dan mengembangkan kesepakatan di antara mereka. Nilai skenario datang dari belajar untuk berpikir dengan cara baru tentang masa depan dan dalam mengambil keputusan sesuai keadaan yang tidak menentu. Melalui proses ini orang bisa meningkatkan kesiapannya menghadapi masa depan dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri (Peterson et al. 2003).