9
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan bilogis. Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scheractina) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organismeorganisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1982). Terumbu karang merupakan ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir daerah tropis. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan hewan karang. Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Phylum Coelentera (hewan berongga) atau Cnidaria yang dapat mengelurakan CaCo3. Jika CaCo3 terkena air laut maka akan membentuk endapan kapur (Timotius in Fredianan et al. 2008). Terumbu karang termasuk ekosistem yang paling tua di bumi ini. Tahap pertama evolusi terumbu karang terjadi kira-kira 500 juta tahun yang lalu. Terumbu karang modern ada sejak lebih dari 50 juta tahun yang lalu. Waktu yang dibutuhkan terumbu karang untuk tumbuh, antara 5000 sampai 10.000 tahun. Produktivitas primer terumbu karang diperkirakan sebesar 1500-3500 g 2
C/m /tahun. Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi. 2.1.1. Sifat Biologis Terumbu Karang Karang yang hidup dilaut, tampak seperti batuan atau tanaman. Tetapi mereka sebenarnya adalah sekumpulan hewan-hewan kecil yang dinamakan polip. Polip karang bentuknya seperti sebuah karung dan memiliki tangan-tangan yang dinamakan tentakel. Polip menyerap kalsium karbonat dari air laut untuk membangun rangka luar zat kapur yang dapat melindungi tubuh polip yang sangat
10
lembut. Pada tentakel polip terdapat racun yang digunakan untuk menangkap berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut yang sangat kecil atau disebut plankton sebagai makanan tambahannya. Tentakel karang terbuka pada malam hari dan digunakan untuk menangkap plankton yang melayang-layang terbawa arus. Karang batu mendapatkan makanan dari zooxanthella. Zoanthella adalah alga bersel satu yang hodup di dalam jaringan tubuh karang batu. Zoanthella dan karang memiliki hubungan simbiosis yang saling menguntungkan, zoanthella menyediakan makanan untuk polip karang melalui proses fosintesis, sedangkan polip karang meyediakan tempat tinggal yang aman dan terlindung untuk zoanthella. Karang berkembang biak secara sexual dan asexual. Sexual reproduction terjadi saat sel telur dan sperma dikeluarkan oleh karang ke kolom perairan. Sel telur dan sperma dari jenis yang sama kemudian bergabung menghasilkan larva planula. Planula tumbuh sebagai polip karang. Asexual reproduction terjadi saat planula tumbuh menjadi polip karang kemudian membelah memperbanyak diri. 2.1.2. Faktor-faktor pembatas terumbu karang Menurut Nybakken (1989) hampir semua terumbu hanya di temukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20 oC. Karang hermatipik dapat bertahan selama beberapa waktu pada suhu dibawah 20 oC; akan tetapi seperti yang dicatat oleh Wells (1957) in Nybakken (1989), tidak ada terumbu karang yang berkembang biak dibawah suhu minimum tahunan di bawah 18 oC. Perkembangan terumbu karang yang paling optimal terjadi di perairan yang ratarata suhu tahunannya 23-25 oC. Terumbu karang dapat mentoleransi suhu sampai kira-kira 36-40 oC. Faktor pembatas terumbu karang adalah terumbu karang tidak bisa hidup di zona tropik yang sering terjadi upwelling air dingin, karena menyebabkan penurunan suhu periaran pantai yang dangkal sampai di bawah suhu yang diperlukan untuk perkembangan terumbu. Terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman. Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Kebanyakan terumbu tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Yang menjadi alasan untuk pembatas kedalaman berhubungan dengan kebutuhan karang hermatipik akan cahaya. Cahaya adalah satu salah satu faktor yang paling penting yang membatsai terumbu karang, hal ini dikarenakan
11
proses fososintesis oleh zoanthella simbiotik dalam jaringan karang memerlukan cahaya yang cukup. Tanpa cahaya yang cukup laju fososintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemapuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15-20%. Faktor lain yang menjadi pembatas adalah salinitas. Karang hermatipik adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang jelas menyimpang dari salinitas air laut yang normal (32-35‰). Perubahan salinitas terkait dengan pasokan air tawar, dan yang sering dihubungkan dengan aliran air tawar adalah faktor pengendapan. Endapan baik di dalam air maupun di atas karang, mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Kebanyakan karang hermatipik tidak bisa bertahan dengan adanya endapan yang berat, yang menutupiny dan menyumbat struktur pemberian makananya. Endapan dalam air, juga mempunyai akibat sampingan yang negatif, yaitu mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooanthella dalam jaringan karang. 2.1.3. Tipe terumbu karang Menurut bentuk dan letaknya ekosistem terumbu karang dibedakan menjadi 3 tipe yaitu: terumbu karang cincin (atoll), terumbu penghalang (barrier reef), dan terumbu karang tepi (fringing reef). 1.
Terumbu karang tepi (fringing reef) berkembang pada mayoritas peisisr pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai 40 m dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan jelas mengarah secara vertikal. Terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan ombak yang cukup dan kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang jenis ini ditemukan hampir di seluruh pantai tropis.
2.
Terumbu karang penghalang (barrier reefs) , terumbu karang in iterletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0,52 km ke arah laut lepas dengan dibatsi oleh perairan berkedalaman hingga 75 m. Terkadang membentuk
12
lagoon atau celah perairan yang lebaranya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang pengahalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. 3.
Terumbu karang cincin (atolls), berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau-pulau vulanik yang tengelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan.
2.2. Metode Garis Transek (Line Intercept Transect/LIT) Metode Transek garis (Line Intercept transect/LIT) merupakan metode yang digunakan untuk mengestimasi penutupan karang dan penutupan komunitas bentos yang hidup bersama karang. Metode ini cukup praktis, cepat dan sangat sesuai untuk wilayah terumbu karang di daerah tropis. Pengambilan data dilakukan pada umumnya di kedalaman 3 meter dan 10 meter. Dalam melakukan identifikasi komunitas karang menggunakan metode line intercept (LIT), mengikuti English et al. (1994), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang sebanyak 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangannya yaitu seorang penyelam meletakkan meteran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. LIT ditentukan pada garis transek 0–10 m, 30-40 m, 60-70 m. Kemudian dilakukan pencatatan karang yang berada tepat di garis meteran dengan ketelitian hingga sentimeter.
Dalam
penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Jika satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri. Jika dua koloni atau lebih tumbuh di atas koloni yang lain, maka masingmasing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah. Panjang tumpang tindih koloni dicatat yang nantinya akan digunakan untuk menganalisa kelimpahan jenis. Kondisi dasar dan kehadiran karang lunak, karang mati lepas atau masif dan biota lain yang ditemukan di lokasi juga dicatat.
13
Gambar 2. Sistem Pencatatan Data Pada Metode Pengamatan Transek Garis (Sumber: English et al. 1994)
Gambar 3. Koloni karang masif berukuran besar yang dianggap dua data (Sumber: English et al. 1994)
Hasil pengumpulan data dengan metode garis transek selanjutnya dianalisa (diolah) untuk mendapatkan kesimpulan berupa besar persentase tutupan karang. Masing-masing
kategori
bentos
dihitung
persentase
tutupannya
menggunakan rumus sebagai berikut : Persentese cover =
total panjang kategori (L) Panjang transek (Y)
Mengacu pada contoh gambar diatas, maka rumus tersebut menjadi :
dengan
14
Persentase tutupan karang hidup1 =
L1 L3 L5 l 7 x 100 Y
Persentase tutupan karang hidup 2 =
L 2 L 4 L6 x 100 Y
2.3. Ekologi Politik Terminologi ekologi politik mulai berkembang dan digunakan pada akhir 1960-an dan 1970-an sebagai respon atas kebutuhan integrasi praktek-praktek penggunaan tanah dengan kondisi lokal-global ekonomi politik, juga sebagai suatu reaksi atas pertumbuhan politisasi lingkungan (Peet dan Watts in Adiwibowo 2005). Khusus pada tahun 1960-an, kajian ekologi memasukan aspek politik, terutama pada pengaruh manusia terhadap lingkungan biofisik. Istilah ekologi sebenarnya merupakan konsep yang menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungannya. Ekologi bertujuan untuk memberikan ilustrasi hubungan antara manusia dan spesies lainnya. Perubahan lingkungan juga dilihat sebagai hasil hubungan antara manusia dan spesies lainnya (Forsty 2003). Sedangkan yang dimaksud dengan Critical Political Ecology atau ekologi politik kritis diterjemahkan oleh Forsty sebagai: 1. Bagaimana faktor politik dan sosial mengkerangkai ilmu lingkungan, dan bagaimana pengetahuan mengubah politik 2. Bagaimana pemikiran baru secara filosofis dan pengetahuan sosiologi dapat memperlihatkan penglihatan yang jelas kedalam penyebab pengaruh biofisik dan dampak dari permasalahan lingkungan 3. Bagaimana kebijakan dan pemangku kebijakan dapat mengetahui pengaruh politik pada pengetahuan dan menghasilkan partisipasi publik dan pemerintahan yang efektif. Critical Political Ecology memiliki pendekatan pada ekologi politik, pengetahuan dan politik dengan mengintegrasikan politik lingkungan dengan pengetahuan lingkungan. Menawarkan penglihatan dengan mengabungkan antara pendekatan ilmu alam dengan ilmu sosial untuk melihat masalah lingkungan. Bryant (1997) mendefinisikan ekologi politik sebagai "penyelidikan ke dalam sumber politik, kondisi dan konsekuensi dari perubahan lingkungan yang menimpa pada proses kesenjangan sosial-ekonomi dan proses politik. Dengan
15
mengambil persoalan politik, ekologi politik mengeksplorasi bagaimana perubahan lingkungan yang ada dalam hubungan politik dan ekonomi , dan bagaimana
cara
perubahan
tersebut
mempengaruhi
hubungan
tersebut.
Selanjutnya, dengan memeriksa perubahan lingkungan politik, ekologi politik mengakui bahwa lingkungan dan pembangunan, kekayaan dan kemiskinan, sangat terkait erat (Bryant 1991). Satria (2009) menjelaskan bahwa berdasarkan fasenya, ekologi politik mengkombinasikan perhatian pada ekologi dan ekonomi politik secara luas yang mencakup dialektika antara masyarakat dan sumberdaya, serta dialektika kelas dan grup dalam masyarakat itu sendiri (Blakie dan Brookfield in Forstyh 2003). Ekologi politik memiliki kaitan erat dengan bidang-bidang lainnya seperti cultural ecology, human ecology, ecological anthropology, ecological economics, radical development geography, and environtmental history. Perbedaan antara political ecology,
cultural
ecology,
cultural
materialism,
social
ecology,
dan
environtmental politics adalah ekologi politik memfokuskan diri lebih pada penjelasan politik terhadap degradasi dan perubahan lingkungan, sedangkan ekologi-budaya lebih fokus pada praktik-praktik pengelolaan sumberdaya yang dibangun secara budaya dan lokal. Sementara itu, materialisme-budaya berkembang sebagai respon terhadap ekologi budaya. Elemen dasar dalam meterialisme-budaya adalah lingkungan, masyarakat, budaya dan adaptasi. Selanjutnya ada tiga aspek dalam pola adaptasi sosial budaya, yaitu pola-pola ekologi, struktur sosial, dan ideologi. Pola ekologi merupakan cara bagaimana orang memenuhi kebutuhan materialnya di dalam lingkungannya, yang kemudian dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu technoenvironmental aspect dan demography. 2.4. Diskursus Wacana Konservasi Narasi konservasi yang dikenal saat ini pada dasarnya merupakan produk diskursus ilmu pengetahuan yang telah mengalami perbahan, pembaharuan, dan pemutakhiran dalam satu abad terakhir. Pada akhir abad ke 19 diskursus yang dominan mengemuka adalah mengenai konsep pengawetan alam (nature preservation). Pada awal 1980-an mulai tumbuh narasi baru : konservasi alam (nature conseration). Narasi ini dalam waktu singkat berkembang manjadi
16
diskursus baru dan menggeser narasi pengawetan alam. Konservasi alam menjadi diskursus yang mengemuka karena didalamnya tidak hanya terkandung makna pengawetan
(preservation),
tetapi
juga perlindungan
(protection)
dan
pemanfaatan berkelanjutan. Menjelang akhir 1990-an narasi konservasi alam meredup dan diganti dengan konservasi keanekaragaman hayati (Adiwibowo 2009). Disisi lain, kebijakan konservasi pada akhirnya harus kandas akibat konflik antara mereka yang berusaha mempertahankan sumberdaya dan yang bagi pihak yang dibatasi penggunaannya. Konsep keberlanjutan diperkenalkan pada tahun 1980-an dengan argument strategi konservasi dunia
yaitu bahwa populasi
biologis alami menghasilkan surplus yang dapat dipanen secara berkelanjutan (Klaus 2001). Menurutnya pula, bahwa jika diasumsikan bahwa populasi manusia meningkat secara perlahan dan diharapkan ada keseimbangan antara manusia dengan alam, tetapi hal itu tidak menjamin degradasi akibat eksploitasi terhindarkan, oleh karenanya dunia internasional dirasakan
perlu untuk
melindungi sumberdaya laut yang ditandai dengan konvensi pertama taman nasional pada tahun 1962 di Seattle, dengan jargon mempertahankan sumberdaya dari gangguan manusia (Freestone in Klaus 2001). Inisiatif ini dibangun pada tahun 1975 oleh International Union for The Conservation of Nature (IUNC) yang diadakan di Tokyo, dimana konsep kekritisan habitat dan pengelolaan sumberdaya mulai diperkenalkan. Di bawah ini dipaparkan sejarah perubahan pendekatan konservasi selama dua dekade. Sedangkan wacana konservasi atau lebih dikenal dengan wacana biodiversiti menurut Escobar adalah “biodiversity”
dipandang bukan sebagai
objek nyata yang dikuakkan secara progresif oleh ilmu pengetahuan, melainkan sebagai suatu wacana yang diproduksi secara historis. Wacana ini muncul dari problematisasi atas kegiatan survivalitas manusia yang didorong oleh merosotnya keragaman hayati. Definisi-definisi biodiversiti tidak menciptakan obyek studi yang baru di luar definisi-definisi yang telah ada dalam disiplin biologi dan ekologi. Kemudian, “biodiversiti” lebih merupakan respon terhadap situasi kongkrit yang memang menarik perhatian, namun yang sudah melampaui wilayah
17
ilmiah. Bagi Escobar, tindakan penamaan (the act of naming) realitas baru semacam ini tidak pernah netral. Tabel 1 Perubahan pendekatan konservasi Tahun 1962
Sumber Konferensi Taman Nasional pertama di Seattle
1971
UNESCO Man dan Biosfer (MAB)
1975
IUCN-Konferensi Taman Nasional di Tokyo Strategi Konservasi Dunia
1980
1990
1992
1996
Konservasi Hewan Liar sebagai sumberdaya terbaharukan –IUCN (Conservation of wildlife as renewable Resources by informed Use IUCN) United Nations Conference on environment and Development, earth submit, Rio De Jenero, Brazil Second Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity Jakarta Indonesia
Pendekatan Pendekatan dengan menciptakan taman laut untuk mempertahankan sumberdaya dari intervensi manusia Bertujuan untuk menyeimbangkan konflik antara tujuan konservasi dan pembangunan Membangun konsep habitat laut kritis dan kebutuhan pengelolaan taman nasional Pengakuan bahwa penggunaan tak terbatas sumberdaya mengakibtakan ketidakberkelanjutan, tetapi surplus dapat dipanen secara berlanjutan Pengakuan bahwa diskriminasi antara penggunaan yang berkelanjutan dan penggunaan lain-lain diperlukan
Masalah Menarik pariwisata dan degradasi lebih lanjut
Hubungan konservasi dan penggunaan yang berkelanjutan dengan sharing keuntungan yang adil
Kesulitan dalam menghitung produksi peran lingkungan dalam fluktuasi sumberdaya
Integrasi pengelolaan pesisir dan laut dikenali sebagai strategi terbaik yang melibatkan semua stakeholders : pendekatan ekosistem.
Memerlukan waktu untuk konsultasi partisipatif dengan para pemangku kepentingan dari lokal kepada pemerintah untuk mengembangkan strategi bekerja terutama bagi sumberdaya yang melempau batas negara
Membutuhkan pemenuhan kriteria tertentu termasuk rencana pengelolaan Menarik pariwisata dan degradasi lebih lanjut Model sederhana (Simplicities model) mengasumsikan tingkat panen dapat diukur secara akurat Mengabaikan multidimensi permasalahan sumberdaya
Sumber: Klaus et al. (2001)
Biodiversiti tidaklah eksis dalam pengertian yang absolut. Biodiversiti merupakan suatu wacana yang mengartikulasikan suatu relasi baru antara alam dan masyarakat dalam konteks ilmu pengetahuan, budaya dan ekonomi global. Sebagai wacana ilmiah, “biodiversiti” bisa dilihat sebagai contoh utama dari apa
18
yang disebut dalam studi-studi sains-teknologi sebagai “jaringan” (network). Biodiversiti adalah jaringan teknosaintifik yang terdiri dari mata rantai situs-situs yang dicirikan oleh seperangkat parameter, praktek dan aktor yang heterogen. Masing-masing identitas aktor dipengaruhi oleh, dan mempengaruhi, jaringan. Intervensi atas jaringan ini dilakukan dalam bentuk model (seperti model ekosistem, strategi konservasi), teori (teori pembangunan, restorasi), obyek (dari tanam-tanaman dan gen hingga berbagai teknologi), aktor (prospektor, perencana, tenaga ahli), strategi (pengelolaan sumberdaya, hak atas kekayaan intelektual), dan sebagainya. Intervensi ini mempengaruhi dan mendorong berbagai penerjemahan, transfer, perjalanan, mediasi, sumbangan dan subversi di sepanjang jaringan itu sendiri. Jaringan biodiversiti mula-mula muncul pada akhir 80-an dan awal 90-an dari biologi konservasi, di mana “gagasan mengenai biodiversiti” berkembang untuk pertama kali. Ia segera menjadi narasi utama dari krisis biologis yang secara global diresmikan pada apa yang disebut sebagai rite of passage yang pertama dari “negara trans-nasional”, yaitu Pertemuan Rio 1992. Menurut teori jaringanaktor, narasi biodiversiti segera menciptakan titik-titik lintasan bagi konstruksi wacana-wacana tertentu. Proses ini menerjemahkan kompleksitas dunia menjadi narasi-narasi sederhana mengenai ancaman dan solusinya. Tujuannya sendiri adalah untuk menciptakan jaringan yang stabil bagi pergerakan obyek, sumberdaya, pengetahuan dan material. Dalam beberapa tahun, seluruh jaringan ini telah mapan hingga mencapai tingkat yang dapat disebut sebagai “invasi ke domain publik” yang amat dahsyat. Meskipun demikian, jaringan biodiversiti ini ternyata tidak menghasilkan konstruksi yang hegemonik dan stabil sebagaimana yang terdapat dalam jaringan teknosains yang lain. Sebab, simplifikasi tandingan dan wacana alternatif yang dihasilkan oleh aktor-aktor subaltern juga bersirkulasi secara aktif dalam jaringan tersebut dengan menimbulkan efek yang penting. Dengan demikian, wacana biodiversiti telah menciptakan aparatus institusional yang luas yang secara sistematis mengorganisasikan produksi bentuk-bentuk pengetahuan dan tipe-tipe kekuasaan, yang terkait satu sama lain melalui strategi-strategi
dan program-program kongkrit.
Institusi-institusi
19
internasional, NGO negara-negara utara, taman nasional, universitas dan lembaga penelitian di negara dunia pertama dan ketiga, perusahaan-perusahaan farmasi, dan berbagai tenaga ahli yang terdapat di masing-masing situs, kesemuanya menempati situs-situs dominan dalam jaringan. Begitu mereka bersirkulasi sepanjang jaringan, kebenaran ditransformasikan dan ditorehkan kembali ke dalam konstelasi pengetahuan-kuasa yang lain. Mereka ini dilawan, disubversikan dan dicipta-ulang untuk memenuhi tujuan-tujuan berbeda oleh, misalnya, gerakangerakan sosial yang menjadi, pada dirinya sendiri, situs-situs wacana tanding yang penting. Jaringan ini terus menerus ditransformasikan dilihat dari sudut penerjemahan, transfer dan mediasi yang terjadi di antara dan lintas berbagai kepentingan. 2.5. Lingkup Peraturan Konservasi di Indonesia Peraturan perundangan yang dapat diajukan sebagai acuan dalam membahas kawasan konservasi laut di Indonesia adalah UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. UU No. 27 Tahun 2007 mengatur hal-hal yang lebih umum terkait dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU ini disebutkan bahwa kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik
fisik,
biologi,
sosial,
dan
ekonomi
untuk
dipertahankan
keberadaannya. Pada Pasal 28 Ayat 1 disebutkan bahwa konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diselenggarakan untuk (1) menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil; (2) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; (3) melindungi habitat biota laut; dan (4) melindungi situs budaya tradisional. Konservasi ekosistem secara spesifik diatur dalam PP No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Pada Pasal 1 Ayat 2 Ketentuan Umum disebutkan bahwa konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang. Lebih lanjut pada Pasal 5 dan 6 diatur tentang tipe pelaksanaan konservasi ekosistem. Pasal 5 menyebutkan bahwa tipe ekosistem yang terkait dengan sumberdaya ikan adalah terdiri atas
20
laut; padang lamun; terumbu karang; mangrove; estuari; pantai; rawa; sungai; danau; waduk; embung; dan ekosistem perairan buatan. Pasal 6 menyatakan konservasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan habitat dan populasi ikan; (b) rehabilitasi habitat dan populasi ikan; (c) penelitian dan pengembangan; (d) pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan; (e) pengembangan sosial ekonomi masyarakat; (f) pengawasan dan pengendalian; dan/atau; (g) monitoring dan evaluasi. Beberapa jenis konservasi yang disebutkan dalam PP No. 60 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: (1) Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. (2) Taman Nasional Perairan adalah kawasan pelestarian alam perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi. (3) Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman ikan dan ekosistemnya. (4) Taman Wisata Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. (5) Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu, sebagai tempat berlindung/berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, kita mengenal mengenai kawasan konservasi dan klasifikasinya yaitu kawasan suaka alam serta kawasan pelesatarian alam. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, yang mencakup a.
Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau
21
ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. b.
Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Sementara, kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup : a.
Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
b.
Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.
c.
Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi alam. Pengelolaan taman nasional dapat memberikan manfaat antara lain :
a.
Ekonomi, dapat dikembangkan sebagai kawasan yang mempunyai nilai ekonomis, sebagai contoh potensi terumbu karang merupakan sumber yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi sehingga membantu meningkatkan pendapatan bagi nelayan, penduduk pesisir bahkan devisa negara.
b.
Ekologi, dapat menjaga keseimbangan kehidupan baik biotik maupun abiotik di daratan maupun perairan.
c.
Estetika,
memiliki
keindahan
sebagai
obyek
dikembangkan sebagai usaha pariwisata alam / bahari.
wisata
alam
yang
22
d.
Pendidikan dan Penelitian, merupakan obyek dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.
e.
Jaminan Masa Depan, keanekaragaman sumberdaya alam kawasan konservasi baik di darat maupun di perairan memiliki jaminan untuk dimanfaatkan secara batasan bagi kehidupan yang lebih baik untuk generasi kini dan yang akan datang. Kawasan taman nasional dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan
upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman nasional di kelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Sedangkan Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Adapun kriteria untuk penunjukkan dan penetapan sebagai kawasan taman wisata alam: a.
Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem gejala alam serta formasi geologi yang menarik;
b.
Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian fungsi potensi dan daya atarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
c.
Kawasan taman wisata alam dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Suatu kawasan taman wisata alam dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya.
d.
Rencana pengelolaan taman wisata alam sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Upaya pengawetan kawasan taman wisata alam dilaksanakan dalam bentuk
kegiatan: perlindungan dan pengamanan, inventarisasi potensi kawasan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian potensi, pembinaan habitat dan populasi satwa. Pembinaan habitat dan populasi satwa, meliputi kegiatan :
23
pembinaan padang rumput, pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa, penjarangan populasi satwa, penambahan tumbuhan atau satwa asli, atau, pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu. Sesuai dengan fungsinya, taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk : pariwisata alam dan rekreasi, penelitian dan pengembangan (kegiatan pendidikan dapat berupa karya wisata, widya wisata, dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian serta
peragaan
dokumentasi
tentang
potensi
kawasan
wisata
alam
tersebut),pendidikan dan kegiatan penunjang budaya. Kriteria penetapan kawasan dan zonasi taman nasional berdasarkan UU No. 5/1990 and PP No. 68 /1998 adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. 2. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya. 3. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia. 4. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami. 5. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi. 6. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. 7. Merupakan habitat satwa dan/atau tumbuhan tertentu yang prioritas an khas/endemik Selain kriteria di atas zona ini diharapkan juga berfungsi sebagai kawasan pelestarian ekosistem sumberdaya alam kawasan. Untuk itu zona ini harus mencakup: 1. Daerah-daerah yang rentan dan sensitif terhadap gangguan 2. Ekosistem alami yang masih berfungsi dengan sempurna 3. Ekosistem-ekosistem yang ditentukan merupakan perwakilan dari kawasan TNKT. 4. Daerah yang merupakan sumber utama flora dan fauna kawasan
24
Dalam buku rencana pengelolaan Taman Nasional Kepualauan Togean yang di susun oleh Departemen Kehutanan, telah disusun 8 jenis zona wilayah dalam kawasan ini yang terdiri dari : 1. Zona Inti (Core Zone) Zona Inti TNKT adalah zona terrestrial dan perairan. Zona ini merupakan kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Perubahan yang terjadi berlangsung secara alami. Aktivitas yang diperbolehkan hanya yang berhubungan dengan pemantauan dan pengamanan/perlindungan oleh petugas pengelola serta penelitian oleh peneliti yang mendapat izin khusus dari Kepala Taman Nasional. Zona ini umumnya merupakan bagian kawasan taman nasional yang berada jauh dari batas luar kawasan taman nasional dengan akses yang sangat minim. Mengingat rapuhnya ekosistem yang terdapat di pulau-pulau, maka adanya daerah yang sepenuhnya tidak terganggu merupakan hal yang utama. Daerah ini berfungsi sebagai wadah genetik, yang menyediakan sumber rekolonisasi, dapat digunakan sebagai tempat perlindungan satwa yang tidak toleran terhadap gangguan, melindungi daerah aliran sungai seluruh pulau, dan berbagai fungsi lainnya. Zona inti taman nasional merupakan daerah dilarang keras
untuk
mengambil,
memanen,
menambang,
mengganggu
atau
memindahkan sumberdaya alam apapun (baik hidup atau mati) dan dilarang untuk dikunjungi. 2. Zona Rimba (Wilderness Zone) Zona Rimba merupakan kawasan taman nasional yang mencakup wilayah terresrtrial dan perairan, dan merupakan daerah dilarang mengambil dengan kunjungan terbatas. Zona rimba merupakan zona peralihan, berada di antara zona inti dengan zona pemanfaatan dan/atau zona lainnya ditetapkan untuk melindungi sekaligus sebagai perluasan habitat zona inti, zona ini berfungsi sebagai kawasan sumber/wahana/cadangan genetik, menyediakan sumber untuk rekolonisasi, sebagai tempat berlindung satwa yang toleran terhadap gangguan terbatas, dapat melindungi daerah tangkapan air dan berbagai fungsi lainnya. 3. Zona Pemanfaatan Wisata (Tourism Use Zone)
25
Zona Pemanfaatan Wisata mencakup daerah terrestrial dan perairan berdasarkan fungsinya sebagai daerah perlindungan species, habitat maupun ekosistem yang mendukung fungsi zona inti dan merupakan daerah terlarang untuk melakukan pengambilan (no take), pemanenan, menambang/eksploitasi, mengganggu atau memindahkan sumberdaya alam apapun (baik hayati maupun non hayati) termasuk didalamnya memancing, mengumpulkan biota laut baik yang hidup maupun mati. Zona ini merupakan kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata, fasilitas pengelolaan berupa bangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dapat dibangun di zona ini. Semua kegiatan wisata alam di zona ini misalnya: tracking, bersampan, menyelam dan snorkelling, harus dilaporkan sebelumnya untuk mendapatkan izin khusus untuk memasuki kawasan zona dalam bentuk lisensi atau ijin dari otoritas TNKT, dengan jumlah maksimum wisatawan yang diizinkan akan ditentukan melalui suatu Analisis Mengenai dampak Lingkungan (AMDAL) dan kajian/analisis daya dukung lingkungan. 4. Zona Pemanfaatan Tradisional (Tradisional Use Zone) Zona Pemanfaaatan Tradisional mencakup baik daerah terrestrial maupun perairan, merupakan kawasan pengambilan dan pemanfaatan terbatas sumberdaya alam oleh masyarakat setempat yang tidak termasuk yang dilindungi untuk pengembangan usaha penangkapan atau budidaya biota laut (perairan) dan usaha budidaya tanaman pangan (terestrial) yang dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam zona ini dapat juga dimanfaatkan untuk wisata, penelitian, pemantauan dan rehabilitasi lingkungan, sesuai dengan izin terbatas yang akan dikeluarkan oleh Pengelola TNKT atas persetujuan para pimpinan desa setempat. 5. Zona Rehabilitasi (Rehabilitation Zone) Zona rehabilitasi ditetapkan apabila terjadi kerusakan pada kawasan taman nasional yang disebabkan oleh aktifitas manusia atau akibat faktor alami misalnya bencana alam. Rehabilitasi dilakukan dengan menggunakan Jenis flora dan fauna setempat. Zona rehabilitasi yang telah dipulihkan dapat diubah
26
menjadi zona rimba atau zona lainnya sesuai dengan perkembangan kondisinya. 6. Zona Penelitian dan Pelatihan (Research and Training Zone) Zona Penelitian dan Pelatihan merupakan zona pemanfaatan khusus penelitian dan pelatihan taman nasional yang mencakup areal terrestrial dan perairan. Fungsi utama zone ini adalah untuk penelitian dan pelatihan. Penangkapan ikan atau kegiatan panen lainnya dilarang keras di Zona ini. Zona penelitian dan pelatihan lingkungan. Semua aktifitas penelitian dan pelatihan di zona ini harus dilaporkan kepada pengelola taman nasional dan harus mendapatkan izin khusus. 7. Zona Pemukiman tradisional (Traditional Settlement Zone) Zona Pemukiman Tradisional merupakan zona pemanfaatan khusus untuk pemukiman masyarakat yang berada diperairan (mis. komunitas Bajau) maupun yang berada di terrestrial yang telah ada sebelum penetapan Taman Nasional Kepulauan Togean. 8. Zona Penyangga (Buffer Zone) Menurut penjelasan Pasal 16 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang dimaksud dengan daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan suaka alam (dan pelestarian alam, dalam hal ini taman nasional), baik sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun yang dibebani hak yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan suaka alam (dan pelestarian alam)". 2.6. Teori Penguasaan Sumberdaya (Land Tenure) Hak kepemilikan atas sumberdaya akan menentukan status kepemilikannya. Tipe-tipe kepemilikan versi Ostrom dan Schlengger 1992 adalah sebagai berikut : 1.
Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners).
2.
Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik.
27
3.
Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.
4.
Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.
5.
Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim sebagai miliknya. Menurut Bromley in Satria (2009), menyebutkan empat rezim kepemilikan
yaitu akses terbuka (open acces), negara (state), swasta (private) dan masyarakat (common property). Pertama, didalam sumberdaya akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, kapan, dimana, siapa dan bagaimana sumberdaya alam dimanfaatkan, serta bagaimana terjadinya persaingan bebas. Kedua, rezim negara berada di tingkat daerah hingga pusat, hak kepemilikan ini perlu berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Intevensi pemerintahan adalah dalam pengaturan pengelolaan SDP yang bertujuan untuk tujuan alokasi, keadilan dan stabilisasi yang bersifat formal. Namun, pengelolaan sumberdaya milik negara membutuhkan biaya transaksi yang tinggi terutama pada tingkat pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan karena sulitnya melaksanakan aturan dan penegakan hukum. Aturan-aturan yang dibuat untuk pengelolaan sumberdaya milik negara seringkali berbenturan dan tidak sesuai dengan kondisi lapang, sehingga respon terhdap setiap permasalahan di lapang menjadi lambat. Kendala lain yang biasanya dihadapi adalah kordinasi yang lemah serta terjadinya konflik kewenangan baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun pihak lain. Ketiga, rezim swasta, baik individual maupun kelompok korporat. Rezim kepemilikan ini biasanya merupakan hak kepemilikan yang bersifat temporal (dalam jangka waktu tertentu) karena izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemerintahan. Pemanfaatan sumberdaya milik swasta adalah tujuan komersial dengan penggunaan tekhnologi tinggi. Dalam pengelolaannyaa, terdapat aturan-
28
aturan yang jelas dan kepemilikan yang dapat dialihkan. Kendala yang diahadapi adalah komitmen pihak swasta terhadap kelestarian sumberdaya alam yang reatif rendah dan cenderung terabaikan. Rezim ini pun sangat berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi. Keempat, rezim komunal atau masyarakat bersifat turun temurun, lokal dan spesifik. Aturan-aturan pengelolaan dapat bersifat tertulis atau tidak tertulis. Peraturan dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Sumberdaya milik msyarakat lokal sebagai mata pencaharian. Selain itu, akses seluruh anggota masyarakat terhadap sumberdaya pun relatif sama. Ciri lain adalah memiliki resolusi konflik melalui mekanisme kelembgaan dan memiliki modal produksi khas, serta memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Kendala dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya milik bersama adalah rednahnya pertimbangan sainstifik, bersifat
lokal sepesifik dan
proses
kelembagaan yang cukup rumit. Dari segi hukum formal, keberadaan aturanaturan lokal pun masih kurang mendapatkan legitimasi. Hak atas sesuatu melekat pada siapa saja, sehingga siapapun dapat mengambil manfaat atas sesuatu itu, contohnya udara. Ellsworth (2002) in Antoro (2010) memberi istilah yang lebih luas bagi hak kepemilikan (property rights) dengan istilah kepastian tenurial (tenure security)1. Selanjutnya Ellsworth memetakan ada empat aliran pemikiran yang membentuk kepastian tenurial, yaitu: 1.
Aliran Hak Kepemilikan (Property Rights) Aliran ini menempatkan kepemilikan privat sebagai hubungan penguasaan yang terkuat, sehingga pencapaian status pemilik individu perlu diupayakan secara legal. Asumsi dasar yang dibangun dari aliran pemikiran ini adalah: a)
Tujuan utama dari property adalah produksi dan akumulasi kapital.
b) Mekanisme pasar adalah transaksi yang paling efisien dalam peralihan hak kepemilikan.
1
Istilah property dan tenure sering digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama, yaitu relasi sosial yang berkaitan dengan penguasaan suatu benda, perbedaan antara keduanya adalah property mulanya digunakan para ahli hukum untuk menyatakan hubungan kepemilikan yang bersifat privat individu, sedangkan tenure lebih mengacu pada akses dan kontrol dalam hubungan kepemilikan itu, yang sering ditemukan untuk kepemilikan komunal. Pada perkembangannya, property rights menjadi bagian dari tenure.
29
c)
Ketimpangan
kepemilikan
tidak
akan
terjadi
sejauh
dilakukan
kompensasi pada pihak yang terlepaskan hak kepemilikannya. d) Sumberdaya menjadi jaminan dalam akses modal, sehingga formalisasi atas hubungan subyek dengan sumberdaya sangat penting untuk dilakukan. 2.
Aliran Tradisi Pemikiran Struktur Agraria (Agrarian Structure Tradition) Aliran ini menekankan pada kemerataan distribusi sumberdaya daripada status kepemilikannya, upaya formalisasi sumberdaya secara individu tidak serta merta meningkatkan efisiensi. Kepastian tenure terletak pada kemauan politik pemerintah untuk menjamin distribusi penguasaan sumberdaya yang merata. Land reform adalah upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria menganut aliran pemikiran ini.
3.
Aliran Advokasi Kepemilikan Bersama (Common Property Advocates) Aliran ini menekankan pada akses terbatas atas suatu sumberdaya bersama tanpa kepemilikan yang bersifat privat. Aliran ini membedakan dirinya dengan open acces dengan keberadaan pertanggungjawaban bersama para pengguna. Aliran ini berasumsi bahwa : a) Efisiensi terletak pada pengelolaan bukan pada status kepemilikan. b) Kepemilikan yang bersifat privat tidak dapat diterapkan pada sumberdaya yang berfungsi sosial, seperti tanah, air, hutan, dan laut. c) Masyarakat adat mempunyai mekanisme yang lebih efisien dalam mengelola keberlanjutan fungsi sumberdaya meskipun tanpa dukungan hukum positif. d) Manfaat dari nilai-nilai sosial lebih diutamakan daripada manfaat ekonomi.
4.
Aliran Institutionalist Aliran ini menekankan perhatiannya pada pengaruh ekonomi politik makro
pada rezim-rezim penguasaan sumberdaya. Pengamatan terhadap politik akses dan kontrol atas suatu sumberdaya oleh beragam aktor sosial menjadi titik tolak aliran pemikiran ini. Kekuasaan dan distribusi menjadi konsep kunci untuk memahami bentuk rezim penguasaan sumberdaya, daripada tipe property. Menurut aliran ini,
30
kepastian tenurial berasal dari kemampuan untuk memobilisasi kekuatan untuk menegakkan dan mempertahankan klaim. Rezim Agrarian Structure Tradition dan Common Property Advocates pun tidak kebal atas segala bentuk privatisasi, transaksi ekonomi bukan hanya terjadi melalui mekanisme pasar tetapi juga pada ranah politik (kebijakan) dan budaya (penyewaan tradisi). Aliran ini lebih tepat berbentuk sebagai kerangka pemikiran daripada rezim penguasaan. Hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers) (Peluso dan Ribot 2003). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik penguasaan sumberdaya sering berlangsung. Perbedaan perspektif kekuasaan dalam akses SDA antara Teori Hak Kepemilikan (Theory of Property Rights) dan Teori Akses (Theory of Access) disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Perbedaan Theory of Property Rights dan Theory of Access Sumber Schlager dan Ostrom (1992) Theory of Property Rights
Konsep kunci A bundle of rights
Ribot dan Peluso (2003) Theory of Access
A bundle of power
Konsekuensi Hak adalah faktor yang menentukan akses SDA seseorang atau sekelompok orang. Hak tertinggi terdapat pada aktor yang berkuasa melepaskan penguasaannya atas SDA. Kepastian hukum diperoleh dari kemelekatan hak pada seseorang atau sekelompok orang atas SDA. Kekuasaan adalah faktor yang menentukan akses SDA seseorang atau sekelompok orang. Hak adalah klaim yang memperoleh legitimasi sosial. Kepastian hukum merupakan arena kekuasaan, pihak yang tidak dilekati hak tetap dapat melakukan akses melalui kekuasaannya.
Sumber : Antoro (2010)
Merujuk pada Merriam-webster dalam Ribot (1998) akses adalah kebebasan atau kemampuan untuk melakukan atau menggunakan. Akses lebih dekat pada istilah property Mc Pherson yaitu hak “right in the sense of an enforceable claim to some use or benefit of somethings”. Istilah “ability” atau
31
kemampuan lebih luas maknanya dari sekedar “right” atau hak.
Right is a
prescriptive concept, abilitly is descriptive term, property is de jure.
Akses
termasuk dalam de jure dan de facto atau extra legal. Mekasnisme Extra legal termasuk struktur dan hubungan mengelola sumberdaya yang didalamnya terdapat identitas social (status, gender, usia), hubungan social. Akses adalah kemampuan mendapatkan keuntungan dari sesuatu termasuk material, orang, lembaga dan symbol. Lebih luas yaitu hubungan sosial yang dapat melampaui hambatan atau mendapatkan keuntungan dari sumbedaya tanpa fokus pada hubungan terhadap sumberdayanya sendiri. 2.7. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Berdasarkan panduan yang disusun oleh Tulungen et al. (2002) in Faiza (2010), pembentukan dan pengelolaan DPL-BM harus dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah setempat, dan para pemangku kepentingan lain yang ada di desa. Pemerintah setempat harus bekerja sama dengan masyarakat dalam proses penentuan lokasi dan aturan DPL-BM, pengembangan dan pendidikan masyarakat, serta memberikan bantuan teknis dan keuangan bagi pengelolaan DPL. Tanggung jawab dalam menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPLBM ditetapkan oleh masyarakat, sedangkan bantuan teknis pendanaan dan persetujuan terhadap peraturan yang dibuat ditetapkan oleh pemerintah atas persetujuan dan kesepakatan dengan masyarakat. Masyarakat dan pemerintah dapat juga bekerja sama dengan pihak lain seperti LSM atau pihak swasta untuk membentuk dan mengelola DPL-BM. DPL haruslah mempunyai perencanaan zonasi, yang ditetapkan secara sederhana, artinya mudah dipahami dan dilaksanakan, serta dipatuhi oleh masyarakat. Zona yang umum dipunyai oleh DPL adalah Zona Inti dan Zona Penyangga, sedang di luarnya adalah Zona Pemanfaatan. Zona Inti adalah suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya alam laut lainnya sama sekali didak diperbolehkan. Begitu pula kegiatan yang merusak terumbu karang, seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar serta penggunaan
galah untuk mendorong perahu juga tidak
diperbolehkan. Sedang kegiatan yang tidak ekstraktif, seperti berenang, snorkling dan menyelam untuk tujuan rekreasi masih diperbolehkan. Namun demikian perlu
32
kesepakatan dengan masyarakat kegiatan apa saja yang boleh dilakukan di zona inti, sehingga fungsi zona tersebut dapat optimal. Pada umumnya DPL, seperti : di desa Blonko, Bentenam dan Tumbak, serta desa-desa lain di Sulawesi Utara, di desa Sebesi- Lampung, serta DPL-DPL di Filipina, memiliki 2 zona utama yaitu zona inti (no-take zone) dan zona penyangga (buffer zone). Di Zona penyangga, yang merupakan zona di sekeliling zona inti, kegiatan penangkapan ikan diperbolehkan tetapi dengan menggunakan alat-alat tradisional, seperti pancing dan memanah dengan perahu tradisional. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan lampu (light fishing) dan beberapa alat tangkap yang potensial merusak terumbu karang masih dilarang di zona penyangga (Buku Panduan DPL Coremap II). Pada tahun 2004, Conservation International Indonesia (CII) dan Pemda Kabupaten Tojo Una-Una, telah mengembangkan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPLBM). CII menetpakan wilayah Kabalutan dan Teluk Kilat menjadi DPLBM. Perairan Kabalutan yang dikembangkan menjadi DPL seluas 3.800 ha meliputi 10 lokasi hamparan terumbu karang yang selama ini dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan sekitar. Termasuk di dalam 10 lokasi tersebut adalah terumbu karang di Batang Toroh Sidrawi seluah 22 ha yang telah disepakati masyarakat komunitas Bajau Kabalutan menjadi Zona Inti (no-take zone). Gagasan pembentukan DPL Kabalutan timbul dari kesadaran sebagian besar nelayan di desa Kabalutan bahwa telah terjadi penyusutan hasil tangkapan ikan akibat lokasi-lokasi karang telah dirusak oleh aktivitas pemboman dan pembiusan ikan (La’apo 2010). Beberapa kegiatan masyarakat bersama CII dalam pengembangan DPL di Periaran Teluk Kilat Maupun Kabalutan, antara lain (CII 2006 in La’apo 2010): 1. Penetapan lokasi perlindungan, termasuk zona inti melalui pertemuan desa secara partisipatif dan intensif menuju suatu kesepakatan bersama masyarakat. Di Kabalutan telah terdapat zona inti yaitu di Sappa Batang Toroh Sidrawi seluas 22 ha. Di teluk kilat terdapat 2 zona inti yang masing-masing dikelola masyarakat Lembonato dan Matabiyai, yaitu Urung Dolom dan Manggafai dengan total luas areal sekitar 36.92 ha.
33
2. Pembuatan peraturan desa yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam dan air. 3. Penyediaan sarana penunjang, contohnya papan peringatan, pelampung, sabua (pos penjagaan) disekitar daerah DPL 4. Studi Banding ke TN Bunaken dan DPLBM di Desa Blongko dan Tumbak Sulawesi Utara. 5. Peningkatan kapasitas lokal dalam melakukan monitoring dan evaluasi terumbu karang dan hutan mangrove 6. Dialog kebijakan untuk memperoleh dukungan dan pemenrintah daerha setempat. 7. Kerjasama dengan Balai Taman Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Tengah untuk pengembangan ekonomi skala kecil (small grant). 2.8. Model pengelolaan sumberdaya 2.8.1. Model pengelolaan tradisional Pengelolaan sumberdaya tradisional di wilayah Asia –Pasifik berdasarkan pada hak kepemilikan dan berasosisi dengan rejim yang merefleksikan kekuatan struktur lokal dan berdasarkan organisasi sosial. Sistem tradisional didukung oleh kewenangan (authority) yang berbeda antara area satu dengan area yang lain dan kemungkinan termasuk pemimpin adat, pemimpin agama atau ahli perikanan. Pelaksanaan aturan pengelolaan sangat spesifik dan dikontrol oleh kewenangan local (Ruddle 1996) Tidak seperti pengelolaan perikanan konvensional, sistem pengelolaan tradisional fokus pada penyelesaian masalah penggunaan alat tangkap dan berdasarkan pada area dan kontrol terhadap akses, dimana pemantauan dilakukan oleh komunitas lokal dan dilaksanakan oleh moral dari komunitas lokal dan kewenangan politik. Hal tersebut merupakan kekuatan paling baik dari system, yang bisa dikontribusikan kepada kerangka pengelolaan modern (Ruddel 1996). Sedangkan Nikijuluw dalam wahyudin 2004, mendefinisikan Pengelolaan Berbasis Masyarakat merupakan tanggung jawab
dan
sebagai suatu proses pemberian wewenang,
kesempatan
kepada
masyarakat
untuk
mengelola
sumberdayanya. Hal ini menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada
34
masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Menurut definisi hak kepemilikan berbasis masyarakat dimaknai sebagai “berasal dari dan dilakukan oleh masyarakat”. Layaknya hak asasi manusia, yang menurunkan hak kewenangan mereka dari dan diakui oleh hukum internasional, dan juga oleh konsep hukum alam, kepemilikan berbasis masyarakat tidak tergantung pada pemberian hak oleh pemerintah. Namun ciri yang diperlihatkan adalah bahwa hak tersbut didapat dari mandat masyarakat dimana mereka berada, bukan dari negara tempat dimana mereka berada. Pengakuan hukum formal terhadap kepemilikan berbasis masyarakat biasanya diperlukan dan dapat membantu untuk menyakinkan bahwa hak tersebut dihormati, dilindungi dan digunakan untukmencapai kepentingan publik (Lynch dan harwell 2006). 2.8.2. Sistem Co-Management Co-manajement didefinisikan sebagai pembagian tanggung jawab dan /atau kewenangan antara pemerintah dan pengguna sumberdaya lokal untuk mengelola sumberdaya tertentu, misalnya perikanan, terumbu karang. Meletakan antara dua strategi- manajemen pengendalian terpusat dan manajemen diri atau masyarakat co-manajement mencakup spektrum yang luas dari pengaturan manajemen (ICRAM 1998).
Sedangkan Ruddle 1996 menjelaskan pada sistem co
management, keputusan dibagi antara pusat dan pemerintah provinsi kewenangan komunitas.
Rendah
Pengaruh Kelompok Pengguna dalam Pengambilan Keputusan Pengelolaan
Pengaruh Pemerintah dalam Pengambilan Keputusan Pengelolaan
Tinggi
Pengelolaan "Top Down"
Konsultatif
Kooperatif
Delegasi
Pengelolaan "Bottom up"
Co Management
Gambar 4 Spectrum Co Management
serta
35
Proses pengelolaan kolaboratif harus memenuhi unsur sebagai berikut : 1. Konsultatif : proses konsultatif dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan kelompok atau komunitas yang ada, tetapi semua keputusan tetap berada dan diputuskan oleh pemerintah. 2. Kooperatif atau kerjasama : pemerintah melakukan kerjasama dengan komunitas lainnya sebagai rekan setara dalam membuat keputusan. 3. Kewenangan pengelolaan delegasi (terutama untuk peraturan operasional) didelegasikan kepada kelompok pengguna lain/komunitas dan pemerintah diinformasikan mengenai keputusan yang diambil.
2.9. Penelitian Terdahulu di Kepulauan Togean Kepulauan Togean merupakan salah satu bagian dari inisiasi wilayah segitiga terumbu karang (CTI), yang terkenal memiliki keanekaragaman terumbu karang yang tinggi. Keragaman tersebut menjadikan Kepulauan Togean fokus penelitian dari beberapa peneliti, baik yang memfokuskan pada penelitian ekologi maupun sosial budaya yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang tersebut. Beberapa yang menjadi referensi dalam penelitian ini memiliki fokus pada perubahan pola pemanfaatan nelayan Togean yang didorong oleh pasar ikan hidup level global. Lowe 1998 mengawali penelitiannya dengan judul “An Analysis of Local People’s Histories, Perceptions, and Experiences of Outsiders And Their Projects in the Togean Islands of Sulawesi, Indonesia. A Report to Conservation International” yang disponsori oleh Conservation Internasional. Penelitian tersebut dilakukan antara tahun 1994 dan 1997, Celia memperlajari bagaimana perdagangan ikan hidup terbangun di pulau Togean, khususnya di desa yang ditinggali oleh suku Sama atau Bajau. Penelitian ini menggambarkan bahwa yang paling menerima konsekuensi dari hancurnya terumbu karang adalah suku Sama, akan tetapi dibalik perdagangan ikan hidup keuntungan terbesar dimiliki oleh orang-orang non bajau, yaitu para pengumpul serta para pendatang. Penelitian ini juga menunjukan bahwa introdusir metode dan alat tangkap merusak diperkenalkan oleh para pengumpul.
36
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Christoverius Hutabarat yang meneliti mengenai “Teknik Tangkap Tradisional Masyarakat Bajau Kabalutan Di Perairan Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah Dan Dampaknya Terhadap Terumbu Karang”. Penelitian ini menyebutkan bahwa pada pelaksanaannya, teknik-teknik tersebut beberapa dapat menimbulkan kerusakan terhadap karang dan beberapa tidak menimbulkan kerusakan sama sekali. Dengan memadukan pengetahuan lokal yang digunakan untuk memprediksi alam serta kemampuan berbagai tekhnik menangkap secara tradisional komunitas Bajau dianggap mempraktekan kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati dengan cara yang ramah. Keragaman aplikasi penangkapan yang dilakukan oleh komunitas Bajau Kabalutan tersebut dapat digolongkan sebagai kegiatan konservasi yang bersandar pada pengetahuan lokal. Penelitian yang memiliki fokus pada ekologi dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) serta pembuatan Profil Sumberdaya Kepulauan Togean kerjasama IPB, CII dan Pemerintah. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa degradasi
terumbu karang meningkat setiap tahunnya, secara spasial
luasan terumbu karang yang diperoleh dari hasil klasifikasi peta citra tahun 2001 dibandingkan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007 menunjukan bahwa terjadi penurunan luasan karang dari 11.064,33 ha pada tahun 2001 turun
menjadi
9.767,98 ha pada tahun 2007. Selama 6 tahun terjadi penurunan luas terumbu karang sebesar
1.296,35 ha (11,72%). Penurunan luas persentase penutupan
karang hanya terjadi di bagian Teluk Kilat dan perairan di sebelah Selatan Pulau Togean, sementara di stasiun pengamatan lain menunjukan penambahan luas persentase penutupan terumbu karang karena pola pemanfaatan melalui usaha wisata laut secara tidak langsung menjaga proses kerusakan akibat penggunaan alat tangkap merusak.