Terumbu Karang Jakarta : Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
TERANGI
TERUMBU KARANG JAKARTA Laporan Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Editor: Edy Setyawan Safran Yusri Silvianita Timotius
2011
Yayasan Terumbu Karang Indonesia Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu The David and Lucile Packard Foundation
Laporan ”Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)” diproduksi oleh Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) Kompleks Liga Mas Indah Blok E2 No. 11 Pancoran, Jakarta Selatan 12760 Telepon: (+62) 21 799 4912 Fax: (+62) 21 797 3301 Email:
[email protected] Website: www.terangi.or.id dan didukung oleh Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu The David and Lucile Packard Foundation Publikasi Editor Edy Setyawan, Safran Yusri, Silvianita Timotius Analisis data dan penulisan laporan (sesuai abjad) Aar Mardesyawati, Budi Santoso, Edy Setyawan, Estradivari, Feny Wiendyah Asih, Idris, Mikael Prastowo, Muh. Syahrir, Safran Yusri, dan Silvianita Timotius. Tata letak sampul dan isi Acta Withamana
Sitasi Setyawan E., S. Yusri, & S. Timotius (ed.). 2011. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009). Yayasan TERANGI. Jakarta. vi+102 hlm. Diproduksi tahun 2011
KATA PENGANTAR Tim Penyusun
Tingginya tekanan lingkungan maupun anthropogenik telah mengakibatkan perubahan terhadap struktur komunitas terumbu karang di Kepulauan Seribu. Di sisi lain, masyarakat di Kepulauan Seribu sangat bergantung terhadap keberadaan ekosistem terumbu karang. Sejak tahun 2003, Yayasan TERANGI telah melakukan pengamatan dua tahunan terhadap ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu dengan tujuan untuk mendapatkan data dan informasi terkait dengan kondisi ekosistem pesisir Kepulauan Seribu yang berguna sebagai landasan pemikiran konservasi serta pemanfaatan sumber daya secara lestari. Pada tahun 2009, kami bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) mengadakan kegiatan Ekspedisi Terumbu Karang Taman Nasional Kepulauan Seribu. Buku ”Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2005-2009)” disusun untuk memberikan sedikit jawaban atas permasalahan di atas. Buku ini merupakan hasil monitoring di lapangan, studi literatur, dan diskusi dengan banyak pihak dari tahun 2005 hingga 2009. Kami mengucapkan terima kasih kepada Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang memberikan kepercayaan dan dukungan secara penuh dalam pendanaan demi terlaksananya kegiatan Ekspedisi Terumbu Karang Taman Nasional Kepulauan Seribu pada tahun 2009. Kami juga berterima kasih kepada kepada pihak yang telah terlibat dalam kegiatan ini, antara lain: Polisi hutan TNKpS, Jaringan Monitoring Kepulauan Seribu serta para mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor, Universitas Sriwijaya, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Brawijaya Malang. Kami sangat berharap informasi yang ada di dalam tulisan ini dapat membantu para pihak dalam penentuan kebijakan konservasi dan pembangunan yang dilakukan di Kepulauan Seribu dan sekitarnya.
Tim Penyusun
iii
KATA PENGANTAR Direktur Yayasan TERANGI
Kawasan Kepulauan Seribu merupakan salah satu dari sekian banyak kawasan lain di Indonesia yang memiliki ekosistem terumbu karang. Wilayah dengan luas lautan yang mencapai 699.750 ha ini termasuk di dalam wilayah Ibu kota Negara Indonesia, DKI Jakarta. Kondisi geografis ini jelas memberikan dampak positif dan negatif bagi ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu. Penetapan Taman Nasional Kepulauan Seribu di sebagian kawasan Kepulauan Seribu merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam mengelola kawasan ini yang mengarah kepada kegiatan konservasi. Pada tahun 2009, Yayasan TERANGI bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu mengadakan kegiatan ekspedisi dengan tujuan memperoleh data kondisi ekosistem terumbu karang yang berkala dan terkini. Data yang telah kami kumpulkan selama 5 tahun (2005-2009) ini kami tuangkan dalam buku ”Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)”. Kami ucapkan terimakasih kepada Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Bupati Administrasi Kepulauan Seribu, The David and Lucille Packard Foundation, ELANG Ekowisata, Fisheries Diving Club-IPB, dan pihak-pihak lain yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu atas terselenggaranya seluruh kegiatan hingga terbitnya buku ini. Buku ini tidak akan mendekati kata sempurna, tetapi tidak akan terbit bila tidak ada semangat dan kerjasama dari seluruh staf TERANGI. Semoga buku dapat menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan dan penetapan kegiatan pengelolaan ke depan seluruh pemangku kepentingan di Kepulauan Seribu.
Mikael Prastowo
iv
DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif vi 1. Pendahuluan
1
2. Sekilas tentang Kepulauan Seribu
7
3. Kualitas Perairan Kepulauan Seribu
13
4. Persentase Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009 dan Perbandingan Dua Tahunan (2005,2007, dan 2009)
19
5. Kajian Berkala Struktur Komunitas Karang Keras di Perairan Kepulauan Seribu
29
6. Komunitas Octocorallia di Kepulauan Seribu tahun 2009
43
7. Hubungan antara Struktur Komunitas Makrobentos non-karang dengan Tutupan Substrat Dasar di Taman Nasional Kepulauan Seribu
49
8. Status Komunitas Ikan Karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009
61
9. Penutupan dan Kerapatan Lamun di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009
71
Lampiran 1. Daftar nama peneliti dan asisten lapangan 2. Daftar kode, kelurahan, lokasi pengamatan, sisi lokasi, kedalaman pengamatan, zonasi TNKpS, dan koordinat tahun 2005, 2007, dan 2009 3. Data persentase kategori tutupan substrat dasar terumbu karang di 35 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu pada tahun 2009 4. Data ada (+) dan tidak adanya marga karang keras di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009 5. Data ada (+) dan tidak adanya marga octocorallia di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009 6. Data ada (+) dan tidak adanya jenis makrobentos di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009 7. Data ada (+) dan tidak adanya jenis ikan karang di 33 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009 8. Data ada (+) dan tidak adanya jenis lamun di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009 9. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Panggang 10. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Harapan (1) 11. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Harapan (2) 12. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Kelapa (1) 13. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Kelapa (2)
78 79 81 82 84 85 90 96 97 98 99 100 101
v
Ringkasan Eksekutif Kualitas air 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Suhu permukaan laut berkisar antara 25,7°C hingga 31,0°C dengan rata-rata sebesar 29,1°C pH rata-rata sebesar 7,4 dengan kisaran antara 7,0 hingga 8,3 Salinitas berkisar antara 23,3‰ hingga 30,3‰ dengan rata-rata sebesar 28,6‰ Kecepatan arus berkisar antara 0,01 hingga 0,15 m/s, dengan rata-rata sebesar 0,07 m/s Kecerahan berkisar antara 3,88 hingga 9,42 m dengan rata-rata 6,33 m Oksigen terlarut berkisar antara 6,097 hingga 7,963 mg/L dengan rata-rata sebesar 7,109 mg/L Tidak ada perbedaan yang signifikan pada waktu pengukuran parameter kualitas perairan pada pagi, siang, dan sore hari Beberapa faktor lingkungan masih berada dalam batas normal, yaitu suhu permukaan air laut, pH, dan kadar oksigen terlarut. Dua faktor lingkungan berada di bawah standar baku mutu air laut yaitu salinitas dan kecerahan.
Persen penutupan karang keras 1.
2.
3.
Pada tahun 2009, penutupan KK tertinggi ditemukan di Pulau Kotok Kecil dengan 64,59% dan terendah di P. Panjang Besar dengan nilai 7,45%. Penutupan karang mati tertinggi ditemukan di P. Nyamplung dengan 70,34%. Penutupan alga tertinggi ditemukan di Pulau Panjang dengan 50,55%. Dari 19 lokasi yang diamati secara terus-menerus dari tahun 2005-2009, rerata penutupan karang keras (KK) di Kepulauan Seribu mengalami fluktuasi yaitu 31.5% (2005), 28.9% (2007), dan 34.3% (2009). Secara statistik, tidak ada perbedaan nyata pada tutupan kategori karang keras, karang lunak, dan abiotik secara temporal dari tahun 2005, 2007, dan 2009. Perbedaan nyata ditemukan pada tutupan kategori alga, karang mati, dan biota lain.
Komunitas Octocorallia 1. Octocorallia di perairan Kepulauan Seribu ditemukan sebanyak 25 marga dari 12 suku. 2. Kelimpahan koloni tertinggi ditemukan di Pulau karang Congkak dengan kelimpahan 69.125 koloni/ha, sedangkan terendah ditemukan di Pulau sepa dengan hanya 125 koloni/ha. 3. Kelimpahan koloni pada tingkat suku didominasi oleh suku Alcyoniidae, Clavulariidae, Briariidae, Nephtheidae, Xeniidae, dan Gorgoniidae. 4. Pada tingkat marga, marga Clavularia dan Sarchophyton memiliki kelimpahan tertinggi dengan 1884 koloni/ha. 5. Nilai keanekaragaman yang rendah menunjukkan bahwa kondisi perairan Kepulauan Seribu mendukung pertumbuhan dan perkembangan beberapa jenis marga sehingga yang mendominasi perairan hanya sebagian marga saja. Komunitas makrobentos non-karang 1. 2. 3. 4.
Komunitas ikan karang 1. 2.
Komunitas karang keras 1.
2. 3.
4.
5. 6. 7.
8.
9.
vi
Sebanyak 60 marga (2005), 61 marga (2007), dan 57 marga (2009) karang keras yang ditemukan di Kepulauan Seribu. Jumlah marga yang lebih sedikit di tahun 2009 disebabkan pengamatan hanya dilakukan di zona TNKpS. Secara keseluruhan dari tahun 2005 hingga 2009, jumlah karang keras yang ditemukan sebanyak 63 marga. Suku karang keras yang paling melimpah adalah Fungiidae yaitu 14 marga (2005) dan 13 marga (2007; 2009), disusul dengan suku Fungiidae konstan sebanyak 10 marga setiap tahunnya. Ukuran koloni karang untuk ukuran kecil (<5cm) cenderung menurun yaitu 18,4% (2005), 11,4% (2007), dan 4,4% (2009). Ukuran sedang (5-25cm) sebanyak 41,5% (2005), 43,6% (2007), dan 36,2% (2009). Ukuran besar (>25cm) sebanyak 40,1% (2005), 45,1% (2007), 59,5% (2009). Pada tahun 2009, kelimpahan karang keras cukup beragam di setiap lokasi pengamatan, berkisar antara 9.750 koloni/ ha (Pulau Dua Barat) sampai 78.750 koloni/ha (Pulau Belanda) dengan rata-rata 42.430 koloni/ha, Kelimpahan karang pada tahun 2005 hingga 2009 didominasi oleh marga Montipora, Fungia, Seriatopora, Acropora dan Porites Secara keseluruhan, indeks keanekaragaman karang keras stabil dari tahun 2005 ke 2007 yaitu 3,09 (kategori keanekaragaman tinggi). Pada tahun 2009, indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan di Gosong Belanda (2,98) dan terendah di Pulau Harapan (2,01). Indeks kemerataan tertinggi ditemukan di Pulau Dua Barat (0,98) dan terendah di Pulau Kotok Besar (0,59). Indeks dominansi tertinggi ditemukan di Pulau Harapan dan Kotok Besar (0.26) dan terendah di Pulau Dua Barat, Gosong Belanda, dan Gosong Sulaiman (0,07). Suku karang yang paling banyak terkena pemutihan adalah Fungiidae, diikuti oleh Pocilloporidae, Siderasteridae, Faviidae, Dendrophyllidae, Acroporidae, Poritidae, Agariciddae, Pectinidae, Oculinidae, Mussiidae, dan Merulinidae. Berdasarkan ukuran, koloni berukuran besar paling banyak terkena pemutihan karang yaitu 64,56%, kemudian ukuran sedang (34, 18%) dan ukuran kecil (1,27%).
Kekayaan jenis makrobentos non-karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu sebesar 145 jenis pada tahun 2009. Kelimpahan makrobentos mencapai 81.894 ind/ha dengan kelompok hewan yang paling melimpah adalah Zoantharia, Tunicata, dan Crinoidea. Indeks keanekaragaman untuk Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah 2,8 dengan kisaran dari 1,05 (Pulau Kayu Angin Melintang) hingga 2,85 (Pulau Pamegaran). Indeks keanekaragaman terkait erat dengan kategori water (WA) sedangkan kekayaan jenis mengelompok dengan beragam tipe substrat.
3.
4. 5. 6.
Kekayaan jenis ikan karang pada 2009 adalah sebanyak 168 jenis yang termasuk ke dalam 81 marga dan 31 suku. Kelimpahan total ikan karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu sebanyak 55.104 ind/ha. Kelimpahan ikan karang tertinggi ditemukan di Pulau Panggang (115.250 ind/ha) sedangkan terendah ditemukan di Pulau Dua Timur (19.888 ind/ha). Total biomassa ikan karang yang ditemukan di Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah sebesar 598,926 kg/ha. Biomassa ikan tertinggi ditemukan di Pulau Hantu Timur dengan 11,333,57 kg/ ha sedangkan terendah di Pulau Rengat dengan hanya 230,02 kg/ ha. Berdasarkan suku, kelimpahan ikan karang didominasi oleh suku Pomacentridae dan Labridae, sedangkan biomassa didominasi oleh Pomacentridae dan Caesionidae. Berdasarkan kelompok trofi, kelimpahan ikan didominasi oleh Omnivor dan Planktivor, sedangkan biomassa ikan didominasi oleh Planktivor dan Omnivor. Keberadaan ikan herbivor yang rendah, baik dalam kelimpahan maupun biomassa, perlu menjadi perhatian karena berpotensi menurunkan kualitas ekosistem terumbu karang melalui terganggunya kelentingan dan resistensi karang terhadap bleaching.
Komunitas Lamun 1. 2. 3. 4.
5.
Jenis lamun yang ditemukan di Kepulauan Seribu pada tahun 2009 sebanyak 10 jenis. Penutupan lamun tertinggi ditemukan di Pulau Kelapa (42,60%) dan terendah di Pulau Panjang(0,6%) rerata penutupan lamun sebesar 12,08% yang termasuk ke dalam kategori buruk. Kerapatan lamun tertinggi pada Pulau Panggang sebesar 605 ind/m2 dan kerapatan yang paling rendah adalah Pulau Melintang Besar sebesar 7 ind/m2. Thalasia hemprichii (53,09%) memiliki persen penutupan tertinggi bila dibandingkan dengan jenis lainnya dikarenakan jenis ini mampu hidup di habitat manapun yang memiliki kondisi sesuai. Jenis Halophila ovalis memiliki persen penutupan yang terendah (0,03%).
Pendahuluan Safran Yusri
S
1
truktur komunitas terumbu karang telah banyak mengalami perubahan di berbagai tempat (Pandolfi dkk., 2003; Hughes dkk., 2003; Friedlander & DeMartini, 2002; Hoegh-Guldberg, 1999), dan perubahan juga terjadi pada Kepulauan Seribu (Van der Meij dkk., 2009; Estradivari dkk., 2006, 2007, 2009; Cleary dkk., 2006). Hal tersebut terjadi karena tingginya tekanan terhadap Kepulauan Seribu, seperti adanya polusi, perikanan berlebih dan merusak, tumpahan minyak, perubahan fungsi habitat, dan naiknya suhu permukaan laut (Yusri & Estradivari, 2007; Suharsono, 2005; LAPI-ITB, 2001; Ongkosongo, 1986).
Kepulauan Seribu dilakukan setiap dua tahun sekali. Pengamatan yang dimulai tahun 2005 ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi terkait dengan kondisi ekosistem pesisir Kepulauan Seribu yang berguna sebagai landasan pemikiran konservasi serta pemanfaatan sumberdaya secara lestari. Laporan ini merupakan hasil analisis pengamatan struktur komunitas beberapa kelompok biota untuk tahun 2009. Selain itu, dalam pembahasannya, laporan ini juga akan menganalisis tren perubahan struktur komunitas yang terjadi dari tahun 2005, 2007, ke 2009.
Di lain pihak, masyarakat di Kepulauan Seribu sangat bergantung terhadap sumberdaya terumbu karang (Yusri & Mardesyawati, 2010; Napitupulu dkk., 2005). Selain memiliki ekosistem terumbu karang, Kepulauan Seribu juga memiliki beberapa ekosistem pesisir lainnya, seperti padang lamun dan hutan mangrove (Setyawan dkk., 2009; Yusri & Estradivari 2008). Oleh sebab itu, penelitian tentang struktur komunitas penting dilakukan untuk mendukung pengelolaan kawasan. Sayangnya, penelitian yang ada hanya terfokus pada kelompok biota tertentu saja atau terbatas pada pulau-pulau tertentu saja. Masih sedikit penelitian yang membahas kondisi sumberdaya hayati terumbu karang Kepulauan Seribu secara komprehensif.
Survei Sumber Daya Terumbu Karang
Untuk menjawab permasalahan di atas, sebuah pengamatan ekosistem pesisir di
Waktu dan Lokasi Pengamatan
Kepulauan Seribu berada di posisi geografis antara 106°20’00”-106°57’00” BT dan 5°10’00”5°57’00’’ LS yang terdiri dari 105 gugus pulau terbentang vertikal dari teluk Jakarta hingga ke utara yang berujung di Pulau Sebira yang berjarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Sumberdaya terumbu karang diamati pada tiga waktu yang berbeda, yaitu di tahun 2005 (5-12 September 2005), 2007 (9-13 Juli 2007), 2009 (1-10 November 2009). Dengan Lokasi pengamatan menyebar dari ujung selatan (Pulau Bidadari) ke ujung utara (Penjaliran Timur) Kepulauan Seribu (2005 & 2007), dan pada tahun 2009, pengamatan difokuskan pada kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Setiap lokasi pengamatan mewakili 6 kelurahan di Kepulauan Seribu, yaitu Kelurahan Pulau
1
1
Pendahuluan
Untung Jawa, Kelurahan Pulau Pari, Kelurahan Pulau Tidung, Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Harapan, dan Kelurahan Pulau Kelapa. Pada tahun 2009, Kelurahan Pulau Pari, Kelurahan Pulau Tidung, dan Kelurahan Pulau Untung Jawa tidak diamati. Setiap lokasi mewakili salah satu dari tiga zona Kepulauan Seribu yang dibagi berdasarkan geomorfologi, oseanografi dan jarak dari Teluk Jakarta (Cleary dkk., 2006).
Ruang Lingkup Pengamatan di fokuskan pada beberapa komunitas terpilih, yaitu karang keras, karang lunak, makrobentos, ikan karang, dan lamun. Identifikasi dilakukan sampai tingkat taksonomi terendah yang memungkinkan, yaitu sampai tingkat spesies/jenis untuk makrobentos, ikan karang dan lamun, sedangkan karang keras dan karang lunak hanya sampai tingkat genus/marga. Selain komunitas terpilih, pengamatan ini juga memfokuskan pada tutupan kategori substrat dasar. Informasi dasar kondisi fisik perairan juga dicatat yang meliputi suhu permukaan laut, salinitas, pH, kecepatan arus permukaan, kecerahan, dan oksigen terlarut. Pengamatan dilakukan oleh peneliti pengalaman yang telah distandarisasi. Dari keseluruhan komunitas terpilih, pengamatan tahun 2003 hanya mengambil data komunitas ikan karang dan
komunitas bentik. Informasi lengkap mengenai lokasi pengamatan, kelurahan, zonasi taman nasional, koordinat, kedalaman pengamatan, dan ruang lingkup pengamatan dideskripsikan di Lampiran 2.
Metode Pengamatan Sebelum melakukan pengamatan, lokasi yang diamati ditentukan terlebih dahulu menggunakan metode acak bersangkar. Dari setiap bagian, lokasi ditentukan secara acak, berdasarkan kriteria: 1. Memiliki kriteria ekologi yang khas. 2. Memiliki kekhususan pemanfaatan sumber daya (wisata, ekonomi, dll). 3. Mudah diakses. 4. Diusahakan dilakukan di lokasi yang pernah diamati sebelumnya untuk perbandingan secara temporal. Karena besarnya area pengamatan, beberapa pengamat yang memiliki keahlian terstandardisasi dibagi menjadi dua tim. Setiap tim bertanggung jawab terhadap pengamatan bawah air di lokasi yang telah ditentukan sebelumnya. Kegiatan utama pengamatan adalah mencatat tutupan komunitas terumbu karang dan lamun, menghitung kelimpahan masing-masing karang keras, makrobentos nonkarang, dan ikan karang.
Gambar 1.1. Gambaran visual metode-metode pengamatan bawah air yang dipakai dalam survei. Metode pengamatan lamun tidak diperlihatkan di gambar.
2
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Transek sepanjang 4x20 m menjadi patokan atau tanda di dalam air. Transek ini juga digunakan untuk mencatat tutupan komunitas terumbu karang berdasarkan metode Transek Garis Menyinggung (TGM)/Line Intercept Transect (English dkk., 1997). Selain itu, garis maya yang ditarik paralel dengan transek garis membentuk luasan persegi panjang, dikenal dengan Transek Sabuk (Hill & Wilkinson, 2004), digunakan untuk menghitung populasi karang keras, makrobentos non-karang, dan ikan karang. Panjang transek sabuk sama dengan TGM, tapi lebar transek antar komunitas terpilih berbeda-beda, yaitu 1 m untuk karang keras dan makrobentos nonkarang, 2 m untuk ikan karang berukuran kecil (<10 cm), dan 5 m untuk ikan karang berukuran besar (>10 cm). Pada masing-masing lokasi, transek dibentangkan pada satu kedalaman yang berkisar antara 7-8 m.
dapat dilihat di Gambar 1.1. Setiap metode pengamatan akan dijelaskan lebih terperinci dalam setiap tulisan.
ANALISIS DATA Penutupan komunitas bentik ditentukan dari metode TGM dengan mengkalkulasikan fraksi koloni yang menyinggung transek dan dikonversi ke persentase. Pola keanekaragaman biota dinilai berdasarkan data kelimpahan. Nilai kelimpahan biota yang didapat diinterpolasi untuk memenuhi satuan ind/ha. Kelimpahan biota juga digunakan untuk menghitung indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks kemerataan, dan indeks dominansi di setiap lokasi pengamatan. Rumus-rumus yang digunakan dijelaskan sebagai berikut:
Persentase penutupan komunitas bentik Persentase penutupan karang digunakan untuk menduga kondisi terumbu karang pada suatu lingkungan. Rumus yang digunakan untuk menghitung penutupan biota karang (English dkk., 1997):
Foto: Mikael Prastowo
Li =
Gambar 1.2. Pengamatan bawah air yang dilakukan pada saat survei.
Untuk pendataan padang lamun digunakan metode kuadrat. Kuadrat yang digunakan berukuran 50x50 cm. Pada setiap sisi pulau yang diamati, diletakkan 3 transek dengan 5 kuadrat pada setiap transek. Jarak antartransek sejauh 25 m, sedangkan jarak antarkuadrat dalam satu transek sejauh 5 m. Pencatatan dilakukan untuk setiap jenis lamun yang ditemukan, jumlah tegakan, dan persentase tutupan dari setiap jenis lamun yang ditemukan tersebut. Gambaran sekilas metode-metode pengamatan
ni L
× 100%
(1)
Dengan: Li = persentase penutupan biota karang ke-i; ni = panjang total kelompok biota karang ke-i; dan L = panjang total transek garis.
Hasil penutupan karang hidup yang tinggi biasanya menandakan bahwa terumbu karang di suatu daerah berada dalam kondisi yang sehat.
Kelimpahan komunitas terpilih Kelimpahan komunitas terpilih adalah jumlah biota tertentu (karang keras atau ikan karang atau makrobentos nonkarang) yang ditemukan pada suatu lokasi 3
1
Pendahuluan
pengamatan per satuan luas transek pengamatan. Kelimpahan komunitas terpilih dapat dihitung dengan rumus (Odum, 1971):
ni Xi = A
× 100%
yang sesuai untuk komunitas acak dalam skala luas yang total jumlah jenisnya diketahui (Ludwig & Reynolds, 1988), dengan rumus:
(2)
Dengan: Xi = Kelimpahan komunitas terpilih ke-i (individu/koloni per m2) ; ni = Jumlah total komunitas terpilih pada stasiun pengamatan ke-i; A = Luas transek pengamatan.
Untuk memudahkan dalam interpretasi data, kelimpahan diinterpolasi menjadi individu/ koloni per hektar.
H’ =
S
-Σ i=1
pi ln pi
(3)
Dengan: H’ = indeks keanekaragaman; S = jumlah taksa ikan karang; pi = proporsi jumlah individu pada jenis ikan.
Kriteria untuk indeks keragaman adalah jika H’ ≤ 2,0: keragaman rendah; 2,0 < H’ ≤ 3,0: keragaman sedang dan H’ > 3,0: keragaman tinggi.
Indeks kemerataan (E)
Foto: Panji Abdillah
Indeks kemerataan (E) digunakan untuk melihat keseimbangan komunitas ikan karang, dengan cara mengukur besarnya keserupaan dari total individu antarjenis dalam komunitas. Semakin merata penyebaran individu antarjenis maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Rumus yang digunakan adalah (Ludwig & Reynolds, 1988):
Gambar 1.3. Kuadrat yang digunakan untuk pengamatan lamun
Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) Indeks keragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas berdasarkan jumlah jenis dan jumlah individu dari setiap jenis pada suatu lokasi Semakin banyak jumlah jenis, semakin beragam komunitasnya. Indeks ini juga mengasumsi bila semakin banyak individu dari setiap jenis, semakin besar peran jenis tersebut dalam komunitas. Walaupun dalam kenyataannya hal tersebut tidak selalu terjadi. Indeks keanekaragaman (H’) yang umum digunakan adalah indeks Shannon-Wiener 4
E=
H’ H’ maks
(4)
Dengan: H’ maks = indeks keragaman maksimum = ln S.
Kisaran yang digunakan dalam indeks keseragaman adalah 0,0 < E ≤ 0,5: komunitas tertekan; 0,5< E ≤ 0,75: komunitas labil dan 0,75 < E ≤ 1: komunitas stabil.
Indeks dominansi (D)
Jika E menurun, maka nilai H’ juga akan menurun, menandakan adanya dominasi suatu jenis terhadap jenis-jenis lainnya. Besarnya dominasi akan mengarahkan kondisi komunitas menjadi labil atau tertekan. Rumus
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
yang digunakan untuk mengetahui indeks dominansi (Ludwig & Reynolds, 1988) adalah:
D=
S
-Σ i=1
pi 2
Dengan: D = Indeks Dominansi Simpson.
(6)
Indeks dominansi Simpson memiliki kisaran: Dominansi rendah : 0,0 < D ≤ 0,5 Dominansi sedang : 0,5 < D ≤ 0,75 Dominansi tinggi : 0,75 < D ≤ 1
Analisis Statistik
Untuk mengetahui perubahan struktur komunitas antara tahun 2005, 2007, dan 2009, kelimpahan tiap jenis pada tiap tahun dibandingkan dengan analisis sidik ragam (ANOVA) satu arah. Sebelumnya, data diuji normalitas–homogenitasnya menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Tingkat kesalahan yang digunakan untuk seluruh uji adalah P < 0,05. Untuk mengetahui hubungan antara penutupan substrat dengan keanekaragaman makrobentos maka dilakukan Analisis Faktor dengan metode ekstraksi menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Untuk mempermudah interpretasi, hasil PCA kemudian dirotasi dengan menggunakan metode Varimax. Beberapa analisis data lanjutan akan dibahas di setiap tulisan.
Kelemahan dan Keterbatasan Sepanjang proses survei, tim menemukan beberapa kelemahan dan keterbatasan, yaitu: 1. Besarnya area yang harus diamati. Banyaknya pulau-pulau sangat kecil yang tersebar dalam area yang luas, berkolerasi dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi pengamatan. 2. Tidak adanya data kualitas air di tahun 2005. Kekurangan sumberdaya membatasi
pengambilan data lingkungan fisik yang pada dasarnya sangat diperlukan untuk analisa lanjutan. Hal ini menjadi masukan untuk pengamatan kedepan untuk mengatur sumberdaya lebih baik. 3. Hasil data yang tidak valid. Tidak semua parameter dapat teramati dengan baik. Pengaruh ketersedian sumberdaya manusia yang kerap berganti menjadi masalah utama selain faktor oseanografi. Data yang tidak valid tidak dipakaii dalam analisis. 4. Tidak diambilnya data di kawasan Kelurahan Pulau Tidung, Pulau Pari, dan Pulau Untung Jawa membuat perbandingan tidak dapat dilakukan secara menyeluruh. Analisis perbandingan akan terfokus pada lokasilokasi yang sama untuk mengurangi bias.
DAFTAR PUSTAKA Cleary, D. F. R., Suharsono & B. W. Hoeksema. 2006. Coral diversity across a disturbance gradient in the Kepulauan Seribu reef complex off Jakarta, Indonesia. Biodiversity and Conservation. English, S., C. Wilkinson, dan V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources (2nd Edition). Australian Institute of Marine Science. Australia. x+390 h. Estradivari, S. Yusri, M. Syahrir, & S. Timotius (eds.). 2006. Ekosistem pesisir di Petondan Timur dan sekitarnya. Yayasan TERANGI, Jakarta: 69 hlm. Estradivari, S. Yusri, M. Syahrir, & S. Timotius. 2007. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Yayasan TERANGI, Jakarta: ix+87 hlm. Estradivari,E. Setyawan, & S. Yusri, M. Syahrir. 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2007). Yayasan TERANGI, Jakarta: viii+102 hlm.Friedlander, A. M., and E. E. DeMartini. 2002. Contrasts in density, size, and biomass of reef fishes between the northwestern and the main Hawaiian islands: the effects of fishing down apex predators. Mar Ecol Prog Ser 230:253264. Hill, J. & C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: A resource for managers. Australian Institute of Marine Science and Reef Check, Australia. Hoegh-Guldberg, O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the world’s coral reefs. Mar. and Freshwater Res. 50:839-866. Hughes, T. P., et al. 2003. Climate change, human impacts, and the resilience of coral reefs. Science 301: 929-933.
5
1
Pendahuluan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2005. Buku Saku Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Badan Perencanaan Kabupaten (BAPEKAB) Kepulauan Seribu, Jakarta: 64 hlm. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. 2005. Sebaiknya Anda tahu: Data Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu. Bagian Humas dan Protokol, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Jakarta: 73 hlm. KOMPAS. 2006. Sampah tutup Teluk Jakarta. Kompas, Jumat, 15 Desember 2006. LAPI-ITB. 2001. Laporan Akhir Pengelolaan Laut Lestari: Pendataan dan Pemetaan Potensi Sumberdaya Alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk Jakarta. LAPI ITB: vii+93 p. Ludwig, J. A., & J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer Methods and Computing. John Wiley & Sons, New York: xviii+337 hlm. Napitupulu, D.L., S.N. Hodijah, & A.C. Nugroho. 2005. Socioeconomic Assessment: in the User of Reef Resources by Local Community and Other Direct Stakeholders. A research report. TERANGI. Jakarta: 140 hlm. Ongkosongo, O. S. R. 1986. Some harmful stresses to the Seribu coral reefs, Indonesia. In Soemodihardjo, S (ed.). Proceedings of MAB-COMAR regional workshop on coral reef ecosystems: their management practices and research/training needs, 4 -7 March 1986. UNESCO: MAB-COMAR and Indonesian Institute of Science, Indonesia. Pandolfi, J. M., et al. 2003. Global trajectories of the long-term decline of coral reef ecosystems. Science: 301:955-958. Setyawan, E., Estradivari, & S. Yusri (eds). 2009. Mengenal alam pesisir Kepulauan Seribu. PT Penerbit IPB Pres. Jakarta: x+106 pp. Suharsono. 2005. Status pencemaran di Teluk Jakarta dan saran pengelolaannya. Dalam. Setyawan, W., P. Purwati, S. Suninasari, D. Widarto, R. Nasution, & O. Atijah (eds.). 2005. Interaksi daratan dan lautan. Pengaruhnya terhadap sumber daya dan lingkungan. LIPI Press, Jakarta: 159-185 hlm. TNKpS. 1999. Information book Kepulauan Seribu Marine National Park Area. Ministry of Forestry and Estate Crops, Jakarta: iii+30 hlm. Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, & M. K. Mossa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Periplus Editions. Singapore. Van der Meij, S.E.T., R.G. Moolenbeek, & B.W. Hoeksema. 2009. Decline of the Jakarta Bay molluscan fauna linked to human impact. Mar Pol Bull 59:101-107. Warwick, R. M., K. R. Clarke & Suharsono. 1990. A statistical analysis of coral community responses to the 1982-83 El Nino in the Thousand Islands, Indonesia. Coral Reefs (1990) 8: 171179. Westmacott, S., K. Teleki, S.Wells, & J.M. West. 2000. Pengelolaan terumbu karang yang telah memutih dan rusak kritis. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. vii+36. Willis, B., C Page, & E. Dinsdale. 2004. Coral disease on the Great Barrier Reef. Dalam: Coral Health and Disease. Rosenberg, E., Y. Loya. (eds.). 2004. Springer-Verlag, Berlin: 69-104.
6
Yusri, S. & A. Mardesyawati (eds.). 2010. Pembelajaran pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Seribu 2002 – 2009. Melalui pendekatan pengelolaan perikanan ornamental, pendidikan dan pelatihan, dan ekowisata berbasis masyarakat. Yayasan TERANGI, Jakarta: x+68 hlm. Yusri, S. & Estradivari. 2007. Distribusi infeksi penyakit white syndromes dan karang memutih (coral bleaching) pada komunitas karang keras di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu. Berita Biologi. 8, 223-229 hlm. Yusri, S. & Estradivari. 2008. Terumbu karang di Jakarta. in. Ady & F. Momberg (eds.). 2008. Rimba Jakarta: Panduan ekosistem dan satwa liar yang tersisa. FFI, Jakarta: 200 pp.Setyawan, E., Estradivari, & S. Yusri (eds). 2009. Mengenal alam pesisir Kepulauan Seribu. PT Penerbit IPB Pres. Jakarta: x+106 pp.
Sekilas tentang Kepulauan Seribu Silvianita Timotius, Aar Mardesyawati, dan Feny Wiendyah Asih
Geologi, Iklim, dan Oseanografi
K
epulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau yang membentang ke utara sejauh 80 km dari pantai utara Jakarta. Kompleks kepulauan terdiri dari 105 pulau yang ditandai dengan Pulau Sebira sebagai pulau paling utara ini memiliki luas perairan 11 kali lebih luas dari total luas daratannya, yaitu 6.997,50 km2 berbanding 891,71 ha atau sekitar 8,9 km2. Ukuran pulau-pulau di Kepulauan Seribu cenderung kecil, yaitu hampir 70% dari total pulau-pulaunya memiliki luas kurang hari 10 ha (Bappekab Administratif Kepulauan Seribu, 2005). Perairan Kepulauan Seribu tergolong laut dangkal dengan kedalaman maksimum 40 m (www.pulauseribu.net). Perairan ini relatif terlindung dari badai yang dahsyat, karena letaknya yang dikelilingi oleh tiga pulau besar (Jawa, Sumatera, dan Kalimantan). Selain itu, kondisi perairan di Kepulauan Seribu juga mengikuti kondisi umum perairan di Indonesia yang dipengaruhi oleh monsun barat atau musim barat, monsun timur atau musim timur, dan musim peralihan. Musim barat biasanya berlangsung di bulan Desember-Maret dan akan mendorong arus laut bergerak ke tenggara. Musim barat yang membawa udara basah dari daratan Asia akan mencurahkan air tawar dan memperkaya perairan dengan material dan nutrisi yang berasal dari Pulau Jawa.
2
Sebaliknya, musim timur membawa udara yang bersifat kering dari Australia dan musim ini berlangsung antara Juni-Agustus. Pada kedua musim tersebut, angin bergerak stabil dan bertiup ringan hingga sedang. Bulan April-Mei dan Oktober-November adalah masa peralihan dengan angin yang bertiup relatif lemah namun tidak menentu (Tomascik dkk., 1997). Dinas Hidro-Oseanagrafi TNI AL dalam Mihardja & Pranowo (2001) menyatakan bahwa cuaca buruk di perairan Kepulauan Seribu sering terjadi pada bulan November-Desember, sedangkan cuaca baik biasanya terjadi antara bulan Juni dan Oktober. Perairan Kepulauan Seribu mengalami pasang surut diurnal, yaitu satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, dengan ketinggian pasang yang tergolong dalam skala mikro (kurang dari 2 m). Kondisi pasang surut tersebut ternyata hanya memberi sedikit pengaruh pada kondisi oseanografi, jika dibandingkan dengan pengaruh monsun (Tomascik dkk., 1997). Suhu udara di Kepulauan Seribu berada pada rentang minimum dan maksimum yang lebar, yaitu 2132°C dengan rata-rata 27°C. Suhu permukaan air laut pada musim barat berkisar antara 28,530,0°C, sementara pada musim timur antara 28,5-31,0°C (Bappekab Administratif Kepulauan Seribu, 2005). Hal tersebut memperlihatkan tidak adanya fluktuasi suhu air permukaan antara musim barat dengan musim timur.
7
Ekosistem Pesisir Pulau-pulau di Kepulauan Seribu dibangun oleh ekosistem terumbu karang yang sekaligus menjadi ekosistem pesisir utama di Kepulauan Seribu. Terumbu karang dijumpai ada yang berasosiasi dengan lamun atau dengan mangrove. Dilihat dari usia pembentukan gugus terumbu karang, beberapa ahli menilai kompleks terumbu karang Kepulauan Seribu tergolong muda, yaitu baru terbentuk sekitar 9.000 tahun lalu bersama dengan terumbu karang di Belitung dan Karimun Jawa (Park dkk., 1992 dalam Tomascik dkk., 1997; Brown, 1991 ). Tidak seperti terumbu karang, mangrove dan lamun tidak dijumpai di semua pulau di Kepulauan Seribu. Arifin (2004) menyebutkan bahwa mangrove hanya terdapat di Pulau Rambut, Bokor, Untung Jawa, Lancang Besar, Peteloran Barat, Penjaliran Barat, dan Penjaliran Timur dengan luas total 126,12 ha. Ekosistem lamun di Kepulauan Seribu hanya ditemukan di 28 pulau dari 36 pulau yang diamati pada tahun 2009 (Lihat “Penutupan dan Kerapatan Padang Lamun di Kepulauan Seribu tahun 2009”).
Kondisi Sosial Ekonomi Secara administratif, Kepulauan Seribu ini dibagi ke dalam dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara yang memiliki tiga kelurahan (Kelurahan P. Panggang, P. Kelapa, dan P. Harapan) dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan yang juga memiliki tiga kelurahan (Kelurahan P. Untung Jawa, P. Tidung, dan P. Pari). Meskipun Kepulauan Seribu memiliki 105 pulau, hanya 11 pulau diantaranya yang merupakan pulau permukiman. Diantara kesebelas pulau tersebut, enam pulau terdapat di Kepulauan Seribu Utara (Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Kelapa, Pulau Kelapa Dua, Pulau Harapan, Pulau Sebira) dan lima pulau terdapat di Kepulauan Seribu Selatan 8
(Pulau Tidung Besar, Pulau Payung, Pulau Pari, Pulau Lancang Besar, dan Pulau Untung Jawa) (Bappekab Administratif Kepulauan Seribu, 2005). Hasil sementara Sensus Penduduk pada tahun 2010 menyatakan bahwa dalam kurun 10 tahun terakhir, penduduk di Kepulauan Seribu sebanyak 21.071 jiwa dengan kepadatan penduduk sebanyak 2.422 jiwa/km2. Jumlah ini cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan 2,02% (Badan Pusat Statistik Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, 2010).
Foto: Edy Setyawan
2
Sekilas tentang Kepulauan Seribu
Gambar 2.1. Perikanan, mata pencaharian utama masyarakat di Kepulauan Seribu
Fasilitas-fasilitas pendidikan di Kepulauan Seribu telah tersedia secara lengkap, walaupun fasilitas tersebut tidak terdapat di setiap pulau. Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah tersedia di setiap kelurahan, sedangkan Sekolah Menengah Umum (SMU) hanya tersedia di Pulau Pramuka (SMU Negeri 69 Jakarta). Di Kepulauan Seribu juga tersedia Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang terdapat di Pulau Tidung. Menurut Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu (2010), sebanyak 72,30% masyarakat di Kepulauan Seribu bermata pencaharian di bidang perikanan sebagai nelayan (4.880 orang) dan petani rumput laut (234 orang). Sementara, sebagian kecil penduduk
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Kepulauan Seribu telah lama menjadi tujuan wisata dengan berbagai atraksi wisatanya yang dapat dinikmati, antara lain: a. Atraksi alam: melihat keindahan/ pemandangan alam, menyelam di kapalkapal tenggelam, berekreasi sambil bermain, melihat dan memberi makan ikan, snorkeling, memancing, canoing, dan berkemah. b. Atraksi budaya: tradisi dan kebiasaan lokal, kerajinan tangan, makanan lokal, dan keramahtamahan masyarakat lokal. c. Atraksi konservasi: melepaskan penyu, menanam pohon mangrove. Purwita (2008) menyatakan bahwa pengunjung yang datang ke Kepulauan Seribu terdiri dari anak-anak (31,25%), remaja (37,50%) dan usia tua (31,25%). Sebagian besar pengunjung tersebut berlibur untuk menikmati keunikan alami alam Kepulauan Seribu. Sebagian besar kegiatan wisata di Kepulauan Seribu dimiliki dan dikelola oleh pengusaha atau pihak swasta. Beberapa kegiatan wisata juga dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah dan masyarakat dengan dukungan pemerintah. Wisata di Pulau Bidadari, Air, Putri, Kotok Besar, dan Sepa adalah beberapa kegiatan wisata yang dimiliki oleh pihak swasta, sedangkan wisata di Pulau Onrust dan Cipir-kedua pulau ini menjadi bengkel kapal dan tempat karantina haji pada masa penjajahan Belanda-adalah wisata sejarah yang dikelola pemerintah kabupaten (Andriani, 2000). Dalam lima tahun terakhir, masyarakat lokal juga menunjukkan geliatnya dengan mengelola kegiatan wisata secara mandiri, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Pramuka yang menawarkan panorama bawah air (Yusri & Mardesyawati, 2010; Wijayanti, 2008). Wisata pendidikan konservasi juga dilakukan
oleh Taman Nasional Kepulauan Seribu dengan mengenalkan aktivitas penangkaran penyu sisik yang terdapat di Pulau Pramuka. Sementara, Pemerintah Kabupaten juga tengah giat mendukung masyarakat untuk mengembangkan kegiatan wisata di pulau-pulau lain, seperti Pulau Untung Jawa (Wijayanti, 2008), Pulau Tidung Besar, dan Pulau Lancang (www. beritapulauseribu.com).
Foto: Edy Setyawan
bermata pencaharian sebagai pegawai swasta dan pegawai negeri sipil.
Gambar 2.2. Geliat kegiatan wisata terlihat dengan penginapan atau homestay yang jumlahnya terus bertambah
Masalah, Ancaman, dan Dampak Kepulauan Seribu telah lama teridentifikasi mengalami beragam tekanan atau ancaman. Saat ini, tekanan dan ancaman itu pun masih berlangsung atau meningkat intensitasnya. Tekanan dan ancaman tersebut bisa berasal dari daratan Jakarta maupun wilayah Kepulauan Seribu ini sendiri. Sebagai contoh, pencemaran yang terjadi di perairan dan pulau-pulau yang berada dekat dengan Teluk Jakarta. Perairan di area ini memilliki tingkat kecerahan dan salinitas yang rendah karena pengaruh 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta (Suharsono, 2005). Sebanyak 65-92% nelayan dari 5 kelurahan (Pulau Panggang, Pulau Kelapa, Pulau Pari, Pulau Harapan, dan Pulau Untung Jawa) menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka mengalami penurunan (Napitupulu dkk., 2005). Daerah penangkapan ikan pun kini semakin menjauh dari Kepulauan Seribu. Hal 9
ini disebabkan karena ikan yang terdapat di perairan Kepulauan Seribu semakin berkurang, sehingga para nelayan harus memperluas daerah penangkapan. Meningkatnya kegiatan wisata juga bisa menjadi ancaman terhadap lingkungan dan kehidupan sosial di Kepulauan Seribu. Hal tersebut menyebabkan beberapa masalah, seperti sampah yang banyak dan belum terkelola dengan baik (Wijayanti, 2008), perilaku masyarakat di Kepulauan Seribu yang terlihat mulai terpengaruh oleh budaya yang dibawa oleh para wisatawan, dan semakin maraknya pembangunan penginapan. Pertambahan penduduk di Kepulauan Seribu juga berpeluang menyebabkan dampak negatif pada ekosistem lamun dengan bertambahnya aktivitas pembangunan rumah panggung di atas ekosistem lamun di Pulau Panggang (Purwita, 2008). Pulau Panggang sendiri juga telah mengalami peningkatan salinitas air tanah yang diakibatkan oleh semakin berkurangnya tumbuhan sebagai penyerap air pada saat hujan (Bengen, 2009). Beberapa tahun terakhir, suhu permukaan laut di Kepulauan Seribu mengindikasikan kecenderungan yang semakin panas serta perubahan pola musim dan hujan (Soetamto, 2009).
Konservasi Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah (TNKpS dan Kabupaten) maupun masyarakat untuk mempertahankan, meningkatkan, maupun memperbaiki kualitas ekosistem pesisir dan bahari Kepulauan Seribu melalui upaya pencegahan dan rehabilitasi. Upaya konservasi tersebut dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain: pengelolaan wilayah, rehabilitasi habitat secara alami maupun dengan habitat buatan, restocking biota, dan pendidikan konservasi. Selain itu, pembagian zonasi dalam wilayah taman nasional adalah sebuah upaya pengelolaan wilayah untuk mengurangi tekanan yang bisa 10
ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Di dalam penzonasian tersebut, aktivitas manusia yang cukup intensif hanya diizinkan untuk dilakukan di Zona Pemukiman dan Pemanfaatan Wisata. Hal yang serupa juga dilakukan Pemerintah Daerah dengan menginisiasi pembentukan tujuh Area Perlindungan Laut-berbasis Masyarakat (APLBM) yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku aktif dalam kegiatan konservasi.
Foto: Silvianita Timotius
2
Sekilas tentang Kepulauan Seribu
Gambar 2.3. Upaya rehabilitasi mangrove di Pulau Pramuka
Sejauh ini, upaya rehabilitasi habitat telah dilakukan melalui penanaman pohon mangrove, rehabilitasi lamun, dan penyediaan habitat buatan bagi karang dan ikan. Rehabilitasi mangrove telah dilakukan oleh IPB (http:// pksplipb.or.id), sedangkan rehabilitasi lamun dilakukan oleh Balai TNKpS sejak tahun 2006, seperti terlihat di sekitar perairan Pulau Pramuka (www.tnlkepulauanseribu.net). Penyediaan habitat buatan juga telah dimulai oleh Pemerintah Kabupaten sejak tahun 2002 di seluruh wilayah perairan Kepulauan Seribu. Pada tahun 2008, penyediaan habitat buatan ini telah mencakup area seluas 16.900 m2 (Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, 2010). Penyu sisik (Eretmocelys imbricate) adalah salah satu biota yang menjadi ikon Kepulauan Seribu. Pada masa peneluran, penyu ini bertelur di
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
pantai berpasir di 12 pulau di Kepulauan Seribu, yaitu Pulau Peteloran Barat, Pulau Peteloran Timur, Pulau Penjaliran Barat, Pulau Penjaliran Timur, Pulau Gosong Rengat, Pulau Jagung, Pulau Dua, Pulau Panjang, Pulau Semut Kecil, Pulau Sepa Kecil, Pulau Belanda, dan Pulau Gosong Sepa (Nuitja & Akhmad, 1982 dalam www.tnlkepulauanseribu.net, 2010). Untuk mempertahankan keberadaan biota tersebut, Taman Nasional telah melakukan penangkaran terhadap penyu sisik sejak tahun 1984 (www. tnlkepulauanseribu.net).
Daftar Pustaka Andriani. 2000. Pariwasata Kepulauan Seribu: Potensi pengembangan dan permasalahan. Tidak dipublikasikan. Anonim. 2008. Profil wilayah: gambaran umum Kepulauan Seribu. http://www.pulauseribu.net/modules/news/article. php?item_id=477 Anonim. 2010. Kondisi Gajebo ‘Jembatan Cinta’ Pulau Tidung Memprihatinkan. http://www.beritapulauseribu.com/ beranda/pulau-tidung/111-pulau-tidung/467-kondisigajebo-jembatan-cinta-pulau-tidung-memprihatinkan.html Anonim. 2010. Pulau Lancang Siap Jadi Kawasan Andalan Wisata Pemukiman. http://www.beritapulauseribu.com/beranda/ pulau-pari/595-pulau-lancang-siap-jadi-kawasan-andalanwisata-pemukiman.html Arifin, Z. 2004. Local millenium ecosystem assessment: Condition and trend of the greater Jakarta Bay ecosystem. The Ministry of Environment, Republic of Indonesia, Jakarta: 30 hlm Badan Pusat Statistik Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010: Angka Sementara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Jakarta: 18 hlm
Foto: Silvianita Timotius
Bappekab Administratif Kepulauan Seribu. 2005. Buku Saku Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Badan Perencanaan Kabupaten (BAPEKAB) Kepulauan Seribu, Jakarta: 64 hlm
Gambar 2.4. Tukik siap menempuh perjalanan panjang pasca pelepasan di pantai
Pendidikan konservasi kepada berbagai lapisan masyarakat, terutama masyarakat lokal, telah dikembangkan tidak saja oleh institusi pemerintah, tapi juga oleh perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Contohnya adalah Institut Pertanian Bogor yang melakukan penyuluhan terhadap siswasiswa di sekolah-sekolah (http://pksplipb. or.id) dan TERANGI yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi siswa SMU 69 Jakarta di Pulau Pramuka. Selain itu, TERANGI juga menyelanggarakan kegiatan peningkatan kapasitas kepada masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang untuk melakukan praktek penangkapan ikan hias ramah lingkungan. dan kegiatan ekowisata berbasis masyarakat (Yusri & Mardesyawati, 2010).
Bengen, D. G. 2009. Implikasi Perubahan Iklim Pada Ekosistem Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sebagai Basis Pariwisata Bahari. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mihardja, D.K. dan W.S. Pranowo. 2001. Kondisi Perairan Kepulauan Seribu. Laporan Pelengkap dalam rangka Penyusunan Laporan Akhir Penyusunan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu. Institut Teknologi Bandung, Bandung: 35 hlm Napitupulu, D.L., S.N. Hodijah, & A.C. Nugroho. 2005. Socioeconomic assesment: in the user of reef resources by local community and other direct stakeholders. A research report. TERANGI. Jakarta: 140 hlm PKSPL-IPB. 2009. PKSPL IPB Kembali Suluh Siswa Sekolah Kepulauan Seribu. http://pksplipb.or.id/index.php?option=com_conten t&task=view&id=109&Itemid=129 PKSPL-IPB. 2009. PKSPL Pelopori Pengelolaan Mangrove di Kepulauan Seribu. http://pksplipb.or.id/index. php?option=com_content&task=view&id=108&Itemid=129 Purwita, I. H. 2008. Analisis Ekosistem Terumbu Karang Untuk Pengembangan Ekowisata di Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administratisf Kepulauan Seribu. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor (Thesis tidak dipublikasikan). Soetamto. 2009. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim: Materi FGD Efek Pemanasan Global terhadap Pulau-pulau di Kepulauan Seribu. BMKG. Jakarta
11
2
Sekilas tentang Kepulauan Seribu
Suharsono, 2005. Status pencemaran di Teluk Jakarta dan saran pengelolaannya. Dalam. W.B. Setyawan, P. purwati, S. Sunanisari, D. Widiarto, R. Nasution, dan O. Atijah (eds). 2005. Interaksi daratan dan lautan: pengaruhnya terhadap sumber daya dan lingkungan, LIPI. Jakarta: 159-185 hlm Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. 2010. Laporan Tahunan Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu Tahun 2009. Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Jakarta Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, & M. K. Mossa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part Two. Periplus Editions. Singapore Wijayanti, P. 2008. Laporan pengelolaan ekowisata Kabupaten Administratif Jakarta. Yayasan Terumbu hlm
analisa ekonomi dan kebijakan berbasis masyarakat lokal di Kepulauan Seribu Provinsi DKI Karang Indonesia, Jakarta: vi+169
Yudista, A. 2010. Lamun. http://www.tnlkepulauanseribu.net/ index.php?which=11. 9 November 2010. [14:35] Yudista, A. 2010. Sejarah Pelestarian Penyu Sisik di Kepulauan Seribu. http://www.tnlkepulauanseribu.net/index. php?which=10. 9 November 2010. [14:30] Yusri, S. & A. Mardesyawati (eds.) 2010. Pembelajaran pengelolaan terumbu karang Kepulauan Seribu 2002-2009: melalui pendekatan pengelolaan perikanan ornmental, pendidikan & pelatihan, dan ekowisata berbasis masyarakat. Yayasan Terumbu Karang Indonesia, Jakarta: 10+68 hlm
12
Kualitas Perairan Kepulauan Seribu Budi Santoso
M
engacu pada hasil pengukuran kualitas air yang dilakukan pada waktu yang berbeda, kualitas sumber daya terumbu karang di Kepulauan Seribu terlihat mengalami degradasi dalam beberapa dekade terakhir. Beberapa hal yang diduga menjadi penyebab, antara lain: kegiatan perikanan berlebih dan merusak serta penurunan kualitas air akibat sedimentasi dan pencemaran, baik dari Teluk Jakarta maupun akibat aktivitas manusia lainnya seperti pelayaran dan pertambangan (Suharsono, 2005; LAPI-ITB, 2001). Menurut Edwards & Gomez (2008), dampak dari penurunan kualitas air bisa saja tidak terdeteksi selama beberapa tahun atau dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, pengamatan terhadap terumbu karang harus mengikutsertakan aspek kualitas air agar dapat diketahui penyebab perubahan kondisi ekosistem. Kualitas air adalah salah satu aspek yang diamati pada pengamatan terumbu karang yang dilakukan pada tahun 2009. Pemantauan kualitas air bertujuan untuk menyediakan data dan informasi pendukung dalam menganalisis kondisi terumbu karang. Pengukuran kualitas air meliputi enam parameter, antara lain: suhu, derajat keasaman (pH), salinitas (‰), kecepatan arus permukaan, kecerahan, dan oksigen terlarut (DO).
MetodOLOGI
3
Pengamatan dilakukan pada 1-9 November 2009 di 36 lokasi pengamatan yang dipilih secara acak untuk mendapatkan cuplikan yang mewakili kawasan perairan Kepulauan Seribu. Di setiap lokasi pengamatan, pengukuran dilakukan terhadap suhu permukaan air laut, pH, salinitas, kecerahan, kecepatan arus permukaan, dan oksigen terlarut. Pengambilan sampel pada tiap titik dilakukan dengan waktu yang berbeda, yaitu pagi hari, siang hari, dan sore hari.
Pengamatan terhadap kadar oksigen terlarut tidak dapat dilakukan di semua lokasi karena keterbatasan jumlah DO meter. Suhu diukur menggunakan termometer; pH menggunakan kertas pH; salinitas menggunakan refraktometer; kecerahan menggunakan cakram secchi; kecepatan arus permukaan menggunakan floating droudge dan stopwatch; sedangkan oksigen terlarut menggunakan DO meter. Pengukuran di setiap lokasi dilakukan tiga kali ulangan, kecuali pH (hanya dua kali), kemudian diambil reratanya untuk dianalisis lebih lanjut. Untuk mengetahui perubahan parameter pengukuran kualitas air pada pagi, siang, dan sore hari, digunakan analisis sidik ragam (ANOVA) satu arah. Tingkat kesalahan yang digunakan untuk seluruh uji adalah P kurang dari 0,05.
13
Hasil Suhu permukaan air laut di Kepulauan Seribu berkisar 25,7- 31,0°C dengan rerata 29,1°C. Suhu tertinggi didapatkan dari Pulau Dua Timur, sedangkan suhu terendah didapatkan pada Pulau Bira Kecil. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada pengukuran suhu dengan waktu yang berbeda antara pagi, siang, dan sore hari (ANOVA satu arah, Fhit: 0,70; Ftab: 3,28; P<0,05). Hal ini diduga disebabkan karena selama pengambilan sampel, intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam laut cukup stabil.
Foto: Edy Setyawan
3
Kualitas Perairan Kepulauan Seribu
Gambar 3.1. Sampah masih jadi kendala hingga kini
Hasil pengukuran pH menunjukkan rerata sebesar 7,4 dengan kisaran antara 7,0 hingga 8,3. Lokasi dengan pH terendah adalah Pulau Kelapa, Genteng Besar, Kelor Timur, Kayu Angin Melintang, dan Gosong Sulaiman. Sementara, nilai pH yang tertinggi didapatkan di Pulau Putri Barat. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada pengukuran pH dengan waktu yang berbeda antara pagi, siang, dan sore hari (ANOVA satu arah, Fhit: 1,27; Ftab: 3,28; P<0,05). Tidak adanya laju kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam perairan laut yang mengakibatkan kondisi perairan Kepulauan Seribu tidak mengalami perbedaan nyata. Salinitas air laut berkisar antara 23,3‰ hingga 30,3‰ dengan rerata 28,6‰. Salinitas tertinggi didapatkan di Pulau Pamegaran dan Petondan 14
Timur, sedangkan salinitas terendah didapatkan pada Pulau Panjang Besar. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada pengukuran salinitas dengan waktu yang berbeda antara pagi, siang, dan sore hari (ANOVA satu arah, Fhit: 0,37; Ftab: 3,28; P<0,05). Hal ini diduga karena pada waktu pengambilan sampel tidak terjadi penambahan atau limpasan air tawar kedalam perairan. Kecepatan arus berkisar antara 0,01 hingga 0,15 m/s, dengan rerata sebesar 0,07 m/s. Arus paling cepat didapatkan di Pulau Panjang Besar dan Jukung, sedangkan yang terendah didapatkan di Pulau Dua Timur. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada pengukuran kecepatan arus permukaan dengan waktu yang berbeda antara pagi, siang, dan sore hari (ANOVA satu arah, Fhit: 0,25; Ftab: 3,28; P<0,05). Hal ini diduga karena angin dan kondisi pasang surut pada saat pengambilan sampel relatif stabil. Hasil pengukuran kedalaman cakram secchi menunjukkan kecerahan berkisar antara 3,88 hingga 9,42 m dengan rerata 6,33 m. Kecerahan paling tinggi didapatkan di Gosong Sulaiman dan kecerahan terendah didapatkan di Pulau Nyamplung. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada pengukuran kecerahan dengan waktu yang berbedaantara pagi, siang, dan sore hari (ANOVA satu arah, Fhit: 2,36; Ftab: 3,28; P<0,05). Hal ini diduga disebabkan karena pada waktu pengambilan sampel, kemampuan penetrasi cahaya matahari yang dipengaruhi suspensi dalam air (lumpur), planktonik, dan warna air juga tidak mengalami perubahan drastis. Oksigen terlarut dalam air laut di Kepulauan Seribu berkisar antara 6,097 hingga 7,963 mg/L dengan rerata sebesar 7,109 mg/L. Kadar oksigen terlarut tertinggi didapatkan di Pulau Dua Timur, sedangkan kadar oksigen terlarut yang terendah didapatkan di Pulau Kayu Angin Melintang. Hasil analisis sidik ragam
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Tabel 3.1. Nilai suhu, pH, salinitas, kecepatan arus permukaan, kecerahan, dan oksigen terlarut di setiap lokasi pengamatan pada tahun 2009.
No
Lokasi
Suhu (°C)
pH
Salinitas (‰)
Kecepatan Arus (m/s)
Kecerahan (m)
Oksigen terlarut (mg/L)
1
Belanda
28,7
7,8
28,7
0,10
6,21
-
2
Bira Besar
28,0
7,3
26,3
0,06
5,95
-
3
Bira Kecil
25,7
7,5
30,0
0,06
4,54
-
4
Dua Barat
28,7
7,5
29,0
0,01
6,42
7,283
5
Dua Timur
31,0
7,8
24,7
0,01
8,10
7,963
6
Genteng Besar
30,7
7,0
28,0
0,02
5,75
-
7
Gosong Belanda
28,7
7,8
29,0
0,13
4,46
-
8
Gosong Karang Lebar
29,0
7,5
29,7
0,09
6,69
-
9
Gosong Pramuka
28,7
7,3
27,0
0,07
8,74
-
10
Gosong Sebaru Besar
29,0
7,5
29,7
0,13
5,58
6,893
11
Gosong Sulaiman
29,0
7,0
28,0
0,09
9,42
-
12
Hantu Timur
28,7
7,5
30,0
0,05
7,25
7,403
13
Harapan
29,3
7,5
29,3
0,08
4,99
-
14
Jukung
29,7
7,5
29,7
0,15
7,33
7,073
15
Karang Congkak
29,3
7,3
30,0
0,07
6,92
7,057
16
Kayu Angin Genteng
29,7
7,3
29,7
0,06
5,71
-
17
Kayu Angin Melintang
30,4
7,0
27,3
0,04
5,70
6,097
18
Kelapa
29,7
7,0
28,3
0,08
6,00
-
19
Kelor Timur
28,7
7,0
28,7
0,04
7,20
-
20
Kotok Besar
29,2
7,3
29,7
0,10
5,85
-
21
Kotok Kecil
29,2
7,8
29,2
0,06
7,44
-
22
Kuburan Cina
30,3
7,3
26,3
0,05
6,99
-
23
Macan Besar
29,8
7,5
27,7
0,13
4,78
-
24
Melintang Besar
29,3
7,5
30,3
0,11
7,89
7,203
25
Nyamplung
30,1
7,8
27,3
0,06
3,88
-
26
Opak Besar
29,8
7,8
28,7
0,02
6,18
-
27
Pamegaran
29,7
7,8
30,3
0,06
5,40
-
28
Panggang
28,0
7,3
27,3
0,10
7,92
6,980
29
Panjang Besar
30,0
7,3
23,3
0,15
6,58
-
30
Penjaliran Timur
28,3
7,5
29,3
0,03
5,38
6,800
31
Petondan Timur
28,3
7,5
30,3
0,08
6,92
6,670
32
Pramuka
27,0
7,3
30,0
0,06
9,30
7,920
33
Putri Barat
29,7
8,3
28,3
0,04
4,76
-
34
Rengat
28,3
7,3
28,7
0,04
5,60
7,620
35
Semut Kecil
29,9
7,3
28,3
0,03
5,96
7,033
36
Sepa
28,3
7,3
30,0
0,07
4,01
6,867
Rerata
29,1
7,4
28,6
0,07
6,33
7,109
Maks
25,7
7,0
23,3
0,01
3,88
6,097
31
8,3
30,3
0,15
9,42
7,963
Min
15
3
Kualitas Perairan Kepulauan Seribu
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada pengukuran oksigen terlarut dengan waktu yang berbedaantara pagi, siang, dan sore hari (ANOVA satu arah, Fhit: 0,81; Ftab: 3,28; P<0,05). Hal ini disebabkan karena pada pagi, siang, dan sore hari, intensitas cahaya matahari cukup baik untuk membantu proses fotosintesis pada fitoplankton, sehingga konsentrasi oksigen terlarutnya juga stabil. Data kualitas air selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Pembahasan Rerata suhu permukaan air laut di Kepulauan Seribu sedikit lebih tinggi daripada suhu optimal untuk pertumbuhan terumbu karang, yaitu 25-28°C. Hal ini diduga karena pada saat penelitian, di Kepulauan Seribu masih terjadi musim timur yang biasanya mengakibatkan suhu menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan musim barat yang suhunya cenderung lebih rendah. Walaupun begitu, terumbu karang di Kepulauan Seribu masih dapat mentoleransi kondisi ini. Terumbu karang dapat mentoleransi suhu hingga 20°C dan pada kisaran 36-40°C (Nybakken, 1992). Hasil pengukuran rerata suhu air laut juga masih sesuai dengan standar baku mutu perairan laut untuk beragam biota laut berdasarkan Kepmen LH No. 51/2004, yaitu antara 28-30°C untuk terumbu karang dan padang lamun. Hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa kondisi pH di perairan Kepulauan Seribu masih dalam batas normal, yaitu 7-8,5. Kadar oksigen terlarut yang dideteksi juga masih sesuai dengan standar baku mutu air laut, yaitu lebih dari 5 mg/l. Kecepatan arus permukaan yang terukur juga tidak besar, hanya berkisar antara 0,01 hingga 0,15 m/s dengan rerata sebesar 0,07 m/s. Hal ini mungkin disebakan karena letak Kepulauan Seribu yang cukup jauh dari daratan Pulau Jawa. Kecepatan arus dipengaruhi kuat oleh angin dan
16
sedikit pasang surut. Semakin menjauhi dari daratan Jawa, kecepatan arus akan semakin melemah (LAPI-ITB, 2001). Sayangnya, ada beberapa faktor lingkungan yang berada di bawah standar baku mutu air laut, yaitu salinitas dan kecerahan. Salinitas perairan yang diukur menunjukkan nilai dengan kisaran 23,3-30,3. Sementara, nilai salinitas berdasarkan baku mutu berkisar pada 33-34. Hal ini mungkin disebabkan oleh cukup banyaknya limpasan air tawar yang masuk ke perairan Kepulauan Seribu. Rerata kecerahan adalah 6,33 m yang menunjukkan bahwa kecerahan perairan masih cukup baik. Di beberapa lokasi pengamatan, seperti Pulau Sepa dan Gosong Belanda, kecerahannya berada di bawah standar baku mutu air laut untuk terumbu karang (>5 m). Hal ini disebabkan oleh subtrat dasar yang lebih didominasi oleh pasir. Selain itu, faktor cuaca dan gelombang yang kurang bagus juga membuat substrat tersebut menjadi teraduk sehingga perairan menjadi keruh. Berdasarkan analisis ANOVA, tidak adanya perbedaan nyata pada parameter waktu pengukuran oksigen terlarut, salinitas, suhu, pH, dan kecepatan arus permukaan antara pagi, siang, dan sore hari. Hal ini mungkin disebabkan karena variasi harian parameterparameter tersebut terlalu kecil, sehingga untuk mengetahui kaitan antara parameterparameter yang diamati dengan waktu pengambilan sampel diperlukan pengamatan dengan waktu yang cukup lama, tidak cukup hanya satu hari.
Kesimpulan Suhu permukaan air laut di Kepulauan Seribu berkisar 25,7-31,0°C dengan rerata sebesar 29,1 °C, sedangkan pH menunjukkan rerata sebesar 7,4 dengan kisaran antara 7,0 hingga 8,3. Salinitas berkisar antara 23,3 dan 30,3‰ dengan rerata sebesar 28,6‰. Kecepatan arus
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
permukaan berkisar antara 0,01 hingga 0,15 m/s dengan rerata sebesar 0,07 m/s. Kecerahan berkisar antara 3,88 hingga 9,42 m dengan rerata 6,33 m. Oksigen terlarut berkisar antara 6,097 hingga 7,963 mg/L dengan rerata sebesar 7,109 mg/L. Beberapa faktor lingkungan masih berada dalam batas normal dan toleransi, yaitu: suhu permukaan air laut, pH, dan kadar oksigen terlarut. Sedangkan dua faktor lingkungan berada dibawah standar baku mutu air laut yaitu salinitas dan kecerahan. Melalui uji ANOVA parameter salinitas, suhu, oksigen terlarut, dan derajat keasaman tidak ada perbedaan nyata pada waktu pengambilan sampel pada pagi, siang, dan sore hari.
DAFTAR PUSTAKA Edwards, A. J. & E. D. Gomez. 2008. Konsep dan panduan restorasi terumbu: Membuat pilihan bijak di antara ketidakpastian. Terj. dari: Reef restoration concepts and guidelines: making sensible management choices in the face of uncertainty. Oleh: Yusri, S., Estradivari, N.S. Wijoyo, dan Idris. Yayasan TERANGI, Jakarta: iv + 38 hlm. Estradivari, S. Yusri, M. Syahrir, & S. Timotius. 2007. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Yayasan TERANGI, Jakarta: ix + 87 hlm. LAPI-ITB. 2001. Laporan Akhir Pengelolaan Laut Lestari: Pendataan dan Pemetaan Potensi Sumberdaya Alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk Jakarta. LAPI-ITB: vii + 93 hlm. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta. PT Gramedia. Suharsono. 2004. Status pencemaran di Teluk Jakarta dan saran pengelolaannya. Dalam. W. B. Setyawan, P. Purwati, S. Sunanisari, D. Widarto, R. Nasution, dan O. Atijah (eds). 2005. Interaksi daratan dan lautan: pengaruhnya terhadap sumber daya dan lingkungan. Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan, Kedeputian Ilmu Pengetahuan Kebumian, LIPI, Jakarta: 159-185 hlm.
17
3
18
Kualitas Perairan Kepulauan Seribu
Persentase Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009 dan Perbandingan Dua Tahunan (2005,2007, dan 2009) Mikael Prastowo, Silvianita Timotius, dan Muh. Syahrir
E
Pendahuluan
kosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif secara biologis, namun juga merupakan ekosistem yang paling sensitif terhadap tekanan (Birkeland, 1997). Secara umum, kesehatan terumbu karang dunia terancam oleh peningkatan suhu permukaan laut akibat El-Nino dalam kurun tiga dekade terakhir (Brown & Suharsono, 1990). Perubahan iklim global telah memberi banyak bukti akan menjadi ancaman besar bagi terumbu karang dunia yang telah menjadi gantungan hidup 500 juta penduduk untuk beragam kebutuhan, seperti pangan, wisata, dan perlindungan pantai (Wilkinson, 2008). COREMAP (2011) melaporkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi relatif konstan dalam kurun 10 tahun terakhir. Penilaian ini berbeda dengan GCRMN yang menyatakan kondisi terumbu karang di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2004 hingga 2008. Penurunan kondisi tersebut disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak ramah dan berlebih (Tun dkk., 2008). “Bagaimana dengan ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu?”. Terumbu karang Kepulauan Seribu merupakan satu dari sedikit ekosistem terumbu karang yang terletak sangat dekat dengan ibu kota sebuah negara. Faktor kedekatan ini sangat mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang itu sendiri. Terumbu karang yang lokasinya semakin dekat dengan
4
pantai Jakarta atau berada dalam wilayah Teluk Jakarta memiliki kondisi yang lebih buruk jika dibandingkan dengan terumbu karang yang terletak lebih jauh terutama akibat dampak aktivitas manusia (Cleary dkk., 2006). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 oleh Gianto dkk. menunjukkan bahwa perairan Pulau Onrust, salah satu pulau di Teluk Jakarta, sudah tidak ditemukan lagi ekosistem karang hidup. Penurunan kondisi telah diperlihatkan oleh Suharsono & Tuti (1994) bahwa kekayaan jenis karang perairan Pulau Onrust menurun secara signifikan dalam kurun waktu 64 tahun, dari 96 jenis di tahun 1929 menjadi hanya 21 jenis di tahun 1993. Diperkirakan pulau-pulau lain di Teluk Jakarta mengalami degradasi yang serupa. Wilayah Teluk Jakarta sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai ekosistem terumbu karang, karena beberapa komponen terpenting penyusun ekosistem sudah hampir tidak lagi tersedia atau sangat terbatas. Komunitas yang mampu hidup di daerah ini telah tergantikan menjadi komunitas dengan dasar lunak (Estradivari dkk., 2009). Terumbu karang Kepulauan Seribu memiliki nilai yang penting bagi masyarakat Kepulauan Seribu terutama sebagai sumber perikanan (Napitupulu dkk., 2005) dan bagi masyarakat lain, yaitu sebagai tujuan wisata (Wijayanti, 2008). Caesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut, seperti ikan karang, moluska, berbagai jenis kepiting bagi masyarakat yang hidup di
19
4
Persentase Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009 dan perbandingan dua tahunan (2005,2007, dan 2009)
kawasan pesisir. Selain itu, bersama dengan ekosistem pesisir lainnya, terumbu karang menyediakan makanan dan tempat untuk memijah bagi berbagai jenis biota laut. Di satu sisi, ada kebutuhan yang tinggi terhadap sumberdaya terumbu karang, namun di sisi lain kondisi perairan cenderung menurun akibat beragam tekanan. Situasi ini mendorong diperlukannya informasi kondisi terumbu karang secara berkesinambungan untuk kebutuhan pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecenderungan perubahan rerata penutupan kategori substrat pada kurun waktu 2005, 2007, dan 2009. Hasil yang didapat diharapkan mampu memberikan gambaran perubahan kondisi terumbu karang dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan terumbu karang bagi para pemangku kepentingan di Kepulauan Seribu, khususnya Pemerintah Kabupaten Administasi Kepulauan Seribu dan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Seperti yang direkomendasikan para ahli dalam “Status Terumbu Karang 2008” bahwa perlu untuk memperbaiki pengambilan keputusan melalui penyediaan data yang didapat dari pengamatan ekologi dan ekonomi yang lebih baik (Wilkinson, 2008).
Metodologi
Pengamatan tutupan substrat dasar terumbu karang Penelitian ini dilakukan pada tiga waktu, yaitu September 2005, dan Juli 2007, November 2009. Pengamatan dilakukan pada 35 lokasi di 2005, di 40 lokasi pada tahun 2007 dan 35 lokasi pada tahun 2009. Transek garis (Line Intercept Transect/LIT) diaplikasikan untuk mengetahui persentase tutupan substrat. Kategori tutupan substrat mengacu pada English dkk. (1997) yang kemudian dimodifikasi sehingga menjadi 6 kategori (alga, karang mati, karang keras, karang lunak, biota lain, dan abiotik). Pengamatan dilakukan di lereng terumbu dengan kedalaman rata-rata 7 m menggunakan transek sabuk (Hill & Wilkinson, 2004). Transek sepanjang 20 m dipasang sejajar tepi terumbu dengan empat kali ulangan.
Analisis Data Persentase penutupan karang ditentukan dengan membandingkan panjang total biota ke-i dengan panjang total transek lalu dikonversi ke persentase (Rumus 1). Rumus 1. Persentase penutupan biota karang (English dkk., 1997)
Li =
× 100%
(1)
Foto: Edy Setyawan
dimana: Li = persentase penutupan biota karang ke-i; ni = panjang total kelompok biota karang ke-I; L = panjang total transek garis.
Gambar 4.1. Ekosistem terumbu karang menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi berbagai jenis biota laut
20
ni L
Untuk mengetahui kategori atau kondisi terumbu karang, digunakan kategori Gomez & Yap (1984) yang mengacu pada persentase tutupan karang keras.
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Tabel 4.1. Kondisi terumbu karang berdasar tutupan karang (Gomez & Yap, 1984) Tutupan (%) Kategori/ Kriteria 0-24,9 Buruk 25- 49,9 Sedang 50-74,9 Baik 75-100 Sangat Baik
Di tahun 2009, tutupan substrat di ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu didominasi oleh komponen abiotik dengan nilai tutupan sebesar 36,19%. Tutupan karang keras hanya sebesar 34,27%. Karang lunak mencakup 1,59%, sementara karang mati mencapai 16,06%. Selebihnya adalah alga mencakup 7,06% dan biota lain sebesar 4,82%. Jika mengacu pada Tabel 4.1 maka kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu berada dalam ketegori sedang.
Foto: Estradivari
Untuk melihat perubahan yang terjadi pada tiap tahun pengamatan, maka dilakukan analisis sidik ragam pada 19 lokasi pengamatan yang sama pada tahun 2005, 2007 dan 2009. Lokasi pengamatan ini adalah Pulau Rengat (Pulau selanjutnya ditulis dengan P.), P. Putri Barat, P. Bira Besar, P. Belanda, Gosong Belanda (Gosong selanjutnya disingkat G.), P. Genteng Besar, G. Sulaiman, P. Hantu Timur, P. Jukung, P. Harapan, P. Kelapa, P. Karang Congkak, P. Melintang Besar, P. Nyamplung, P. Opak Besar, P. Panjang Besar, G. Karang Lebar, P. Panggang, dan P. Pramuka.
Tutupan substrat tahun 2009
HASIL Bentuk pertumbuhan karang Karang bercabang sangat umum dijumpai dan bentuk pertumbuhan tersebut merupakan penyusun utama terumbu Kepulauan Seribu, yang didukung oleh bentuk foliose (lembaran) dan masif (Gambar 4.1). Bentuk submasif, mengerak, dan karang jamur masing-masing berkontribusi kurang dari 10% pada terumbu Kepulauan Seribu. Millepora menguasai lebih dari separuh (7,63%) dari bentuk pertumbuhan lain ditambah dengan proporsi kecil bentuk digitata, bentuk meja, dan Heliopora. Bercabang; 32,39%
Lainnya; 13,56% Jamur; 4,97% Mengerak ; 8,96%
Submasif; 9,72%
Lembaran; 17,30%
Masif; 13,10%
Gambar 4.1. Komposisi bentuk pertumbuhan karang keras di Kepulauan Seribu (%)
Gambar 4.2. Genus karang montipora dengan bentuk pertumbuhan lembaran dan bercabang banyak dijumpai di Kepulauan Seribu.
Dilihat lebih detail, tutupan karang keras berada pada kisaran 7,45%-64,59% (Tabel 4.2), dengan tutupan tertinggi berada di sekitar perairan Kotok Kecil maupun Kotok Besar yang selisih tutupannya kurang dari 1%, yaitu masing 64,59% dan 63,78%. Dengan demikian Kepulauan Seribu masih memiliki terumbu karang dengan kondisi yang berkategori baik. Perairan lain yang kondisi terumbu karangnya termasuk baik (50%-75%) adalah perairan P. Harapan, Karang Congkak, dan Kayu Angin Genteng. Berlawanan dari kondisi di atas, kondisi terburuk ada di perairan P. Panjang Besar, Dua Barat, dan Pramuka dengan tutupan kurang dari 10%. Masih ada enam perairan lain yang juga berada dalam kategori buruk. Dua puluh lokasi pengamatan yang tersisa berada dalam kategori sedang (2550%). 21
4
22
Persentase Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009 dan perbandingan dua tahunan (2005,2007, dan 2009)
Tabel 4.2. Persentase Tutupan Kategori Substrat Dasar (%). Kategori Abiotik (AB), Alga (AL), KM (Karang mati), KK (Karang keras), BL( Biota lain), KL (Karang Lunak), IM (Indeks mortalitas). Nilai Tertinggi ( ) dan Terendah ( ). No
Lokasi
Komposisi AB
AL
KM
KK
BL
KL
1
Belanda
55,13
0,80
6,14
33,38
4,56
0,00
2
Bira Besar
46,43
0,00
7,76
39,46
5,69
0,66
3
Bira Kecil
43,13
0,00
20,73
28,01
4,64
3,50
4
Dua Barat
87,75
0,00
3,00
7,50
1,75
0,00
5
Dua Timur
69,38
0,00
7,13
18,38
3,50
1,63
6
Genteng Besar
11,24
1,88
30,13
44,64
7,25
4,88
7
Gosong Belanda
65,85
0,60
11,29
17,93
2,30
2,04
8
Gosong Karang Lebar
13,89
12,01
20,26
48,01
2,53
3,30
9
Gosong Pramuka
64,20
2,58
9,10
17,64
5,16
1,33
10
Gosong Sebaru Besar
6,38
20,56
35,45
34,50
2,63
0,49
11
Gosong Sulaiman
27,48
29,43
4,38
16,00
8,08
14,65
12
Hantu Timur
28,83
7,20
24,81
30,08
8,54
0,55
13
Harapan
14,40
0,00
18,56
62,98
4,06
0,00
14
Jukung
30,71
22,41
12,26
19,89
2,21
12,51
15
Karang Congkak
21,01
0,13
11,43
63,01
2,86
1,56
16
Kayu Angin Genteng
32,13
0,00
10,00
54,13
3,75
0,00
17
Kayu Angin melintang
50,56
0,00
9,05
34,13
5,61
0,65
18
Kelapa
30,29
19,73
14,25
27,31
7,64
0,79
19
Kelor Timur
38,35
0,00
6,98
50,11
4,56
0,00
20
Kotok Besar
24,89
2,20
4,60
63,78
4,54
0,00
21
Kotok Kecil
10,39
12,09
9,69
64,59
2,94
0,31
22
Kuburan Cina
49,25
0,00
7,63
33,88
9,25
0,00
23
Macan Besar
40,28
1,79
9,15
42,66
4,73
1,40
24
Melintang Besar
52,58
5,10
3,01
33,10
5,18
1,04
25
Nyamplung
5,99
1,13
70,34
21,44
1,11
0,00
26
Opak Besar
59,09
0,00
2,51
35,91
1,89
0,60
27
Pamegaran
46,56
0,48
21,91
27,08
2,08
1,90
28
Panggang
41,20
7,09
9,10
35,14
1,44
6,04
29
Panjang Besar
31,49
50,55
3,85
7,45
5,38
1,29
30
Penjaliran Timur
64,19
0,00
19,75
12,46
3,60
0,00
31
Petondan Timur
12,70
3,16
39,54
39,54
5,06
0,00
32
Pramuka
32,78
44,58
2,36
9,21
10,79
0,29
33
Putri Barat
22,78
1,98
21,14
35,44
17,78
0,90
34
Rengat
13,78
10,88
34,34
38,25
2,76
0,00
35
Sepa
17,41
0,00
34,59
43,50
4,50
0,00
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Hasil analisis sidik ragam untuk tiap kategori tipe substrat dasar terhadap 19 lokasi yang sama pada kurun waktu 2005, 2007 dan 2009 menunjukkan bahwa perubahan persen tutupan karang keras, karang lunak dan abiotik dalam kurun waktu tersebut tidak berbeda nyata (Fhit> Ftab; P > 0,5). Sementara, kategori tipe substrat dasar yang berbeda nyata adalah alga, karang mati dan biota lain (Fhit < Ftab; P < 0,5). Alga 3,9%
2005
Karang Keras 31,4%
Abiotik 33,2% Biota Lain 13,5%
Karang Mati 15,0% Karang Lunak 3,0%
(a) 2007
Abiotik 36,56%
Alga 1,26%
Karang Keras 28,86%
Karang Mati 25,11%
Biota Lain 6,19% Karang Lunak 2,02%
(b) 2009
Alga 7,06%
Abiotik 36,19%
Karang Keras 34,27%
Karang Mati 16,06%
Biota Lain 4,82%
Karang Lunak 1,59%
(c) Gambar 4.3. Perbandingan komposisi rerata penutupan kategori substrat tahun (a) 2005, (b) 2007, dan (c) 2009
PEMBAHASAN Tutupan karang keras tahun 2009 Bentuk pertumbuhan karang Kepulauan Seribu didominasi oleh bentuk pertumbuhan karang bercabang (Acropora dan non-Acropora), lembaran dan masif. Bentuk pertumbuhan merupakan salah satu cara beradaptasi karang pada lingkungannya. Karang-karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang biasanya hidup di tempat yang dangkal, sedangkan karang yang hidup di tempat yang lebih dalam/sedikit cahaya biasanya mempunyai bentuk pertumbuhan melebar seperti daun (Suharsono, 2008). Ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu terdapat pada perairan yang relatif dangkal, yaitu 15 m (Zamani, 2002), kondisi perairannya memiliki kecerahan kurang dari 10 meter. Faktor lingkungan yang ada mengindikasikan bentuk pertumbuhan karang yang ditemukan di Kepulauan Seribu didominasi oleh karang yang memiliki bentuk pertumbuhan bercabang dan lembaran. Bentuk pertumbuhan bercabang di Kepulauan Seribu didominasi oleh karang dari marga Acropora dan Montipora dimana kedua marga ini memiliki daya pulih yang tinggi. Hal Ini terbukti dengan cepat pulihnya karang dari kedua marga ini pasca kejadian pemutihan karang pada tahun 1982-1986 (Brown & Suharsono, 1990). Selain itu, marga karang dengan ukuran polip yang relatif kecil memiliki waktu pertumbuhan yang relatif lebih cepat (Suharsono, 2008). Di ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu, terlihat ada kaitan antara nilai tutupan karang keras dengan nilai tutupan abiotik dan tutupan alga. Perairan dengan nilai tutupan karang keras yang rendah, memiliki salah satu atau gabungan antara abiotik dan alga yang tinggi. Sebaliknya perairan dengan tutupan karang keras yang tinggi, kedua kategori sangat rendah. Di pulau-pulau dengan tutupan karang keras yang tertinggi yaitu P. Kotok Kecil, P.
23
Kotok Besar, P. Harapan, Karang Congkak, dan Kayu Angin Genteng, penjumlahan antara tutupan abiotik dengan tutupan alga kurang dari 40%. Sebaliknya, lokasi dengan tutupan karang paling rendah, yang mencakup Gosong Sulaiman, P. Penjaliran Timur, P. Pramuka, P. Dua Barat, dan P. Panjang Besar, penjumlahan tutupan abiotik beserta alga melebihi 50%. Tinggi atau rendahnya tutupan abiotik dan alga, dapat dipengaruhi oleh faktor alam ataupun dampak aktivitas manusia.
Foto: Estradivari
4
Persentase Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009 dan perbandingan dua tahunan (2005,2007, dan 2009)
Gambar 4.4. Alga merupakan kompetitor bagi karang keras
Dari seluruh pulau di perairan Kepulauan Seribu, P. Kotok Kecil dan Kotok Besar memiliki tutupan karang tertinggi (64,59%) dan nomor dua tertinggi (63,78%). Pulau Kotok Besar dan Kotok Kecil adalah pulau-pulau yang intensif dimanfaatkan untuk wisata bahari terutama sebagai lokasi penyelaman. Untuk menjaga kondisi perairan dan terumbu karang, pengurus Kotok Besar melakukan pengawasan yang ketat terhadap kapal yang mendekati dan akan berkegiatan di perairan sekitar pulau tersebut. Tambahan lagi, pulau tersebut memiliki kerjasama yang erat dengan Taman Nasional Kepulauan Seribu sebagai tempat penangkaran elang bondol. Faktor pengawasan yang ketat telah meminimalkan atau meniadakan peluang kerusakan akibat aktivitas manusia (Setyawan & Prastowo, 2009). Dengan demikian karang di sana terjaga dan berada dalam kondisi yang baik. 24
Suharsono dkk. (1985) menemukan bahwa bagian barat perairan P. Kotok Kecil memiliki tutupan karang paling tinggi (31,0%) dengan penyusun utama bagian tubir adalah karang cabang, terutama marga Acropora ditambah karang masif. Kondisi bagian barat yang relatif lebih terbuka dan menghadapi arus dan gelombang yang lebih kuat menyebabkan karang bercabang mendominasi dan tutupan karang lebih baik. Wilayah barat laut yang diamati di tahun 2009 didominasi oleh karang bercabang non-Acropora ditambah karang masif dan lembaran. Meski terdapat perbedaan komposisi, namun terlihat pengaruh oseanografi menghasilkan dampak yang sama, dengan bentuk percabangan yang dominan. Faktor kedekatan dengan perairan Kotok besar yang memiliki pengawasan yang ketat, menjadikan kondisi perairan dan terumbu karang P. Kotok Kecil ikut terjaga baik. Panjang Besar merupakan pulau yang memiliki tutupan karang keras yang paling rendah, yaitu hanya 7,45%. Perairan didominasi oleh makro alga (50,55%) dan pasir (21,74%). Tutupan karang itu berarti menjadi lebih buruk dibanding tahun 2005 yang 11,88%. Dalam kurun empat tahun terakhir, di P.Panjang Besar dilakukan aktifitas penambahan luasan pulau untuk pembangunan lapangan udara yang hingga saat ini belum berfungsi. Aktifitas itu ternyata berdampak besar bagi terumbu karang, yang secara bertahap mengalami kematian. Tutupan karang digantikan oleh makroalga yang meningkat sangat tajam dari 0,63% di tahun 2005 menjadi 50,55% di tahun 2009. Tutupan karang keras paling rendah kedua terdapat di perairan P. Dua Barat dengan nilai 7,5%. Tutupan utamanya justru berupa patahan karang yang mencapai 87,75%. Patahan karang mengindikasikan terjadi pengrusakan secara fisik yang dapat disebabkan oleh alam seperti badai atau aktifitas manusia seperti penggunaan bahan peledak. Pulau Dua Barat adalah salah
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
satu dari pulau terluar wilayah TNKpS yang posisinya relatif terbuka karena tidak ada pulaupulau besar yang mengelilingi. Tutupan karang keras rendah dan patahan karang tinggi dengan demikian dapat disebabkan oleh badai ataupun oleh aktivitas pemanfaatan oleh manusia yang merusak, yang terjadi karena pengawasan yang minim. Wilayah terluar Kepulauan Seribu selama ini terindikasi menjadi area penangkapan ikan oleh nelayan pengguna muroami yang dalam pengoperasian, kerap menyebabkan kerusakan pada struktur fisik karang. Di tahun 2009 juga terlihat di kedalaman lebih dari tujuh meter, di perairan P. Dua Barat sudah tidak lagi dijumpai terumbu karang. Patahan karang bersifat tidak stabil, mudah terbalik dan dipindah oleh arus dan gelombang sehingga rekrutmen karang sulit untuk menempel atau untuk hidup dan tumbuh padanya. Dengan karakteristik yang demikian, dalam jangka panjang hamparan patahan karang tetap menjadi lahan terbuka atau memiliki sangat sedikit rekrutmen karang namun tidak pulih menjadi terumbu karang. Di Indonesia, hal itu setidaknya telah terjadi di Taman Nasional (TN) Komodo seperti diungkap oleh Fox dkk (2003) serta di Manado Tua, TN Bunaken oleh Erdmann (2006). Pembahasan lebih dalam mengenai rekrutmen karang terdapat dalam tulisan Struktur Komunitas Karang Keras. Perairan dengan tutupan karang keras termasuk rendah adalah perairan P. Pramuka. Namun berbeda dengan dua pulau sebelumnya, tutupan karang keras yang hanya 9,21% diperkirakan karena pertumbuhan alga mengalahkan pertumbuhan karang keras.
Tutupan substrat dan tren empat tahun Secara umum, tutupan karang keras dalam kurun waktu empat tahun terakhir berfluktuasi dari 31,45% (2005) menurun ke 28,86% di 2007, dan di tahun 2009 meningkat ke 34,27%. Meski demikian, hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa perubahan tutupan karang keras, karang lunak, dan abiotik dari tahun 2005 hingga 2009 tidak berbeda nyata. Kondisi demikian menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi bersifat tidak signifikan. Kondisi berbeda terjadi pada kategori alga, karang mati dan biota lain, yang dari tahun 2005 hingga 2009 menunjukkan perubahan yang signifikan. Cleary dkk. (2006) menyatakan faktor yang berpengaruh secara signifikan pada tutupan karang Kepulauan Seribu adalah gradien lingkungan yang besar. Sebagai contoh adalah jarak dari Teluk Jakarta dimana semakin jauh dari Teluk Jakarta, maka kondisi terumbu karang akan lebih baik karena jarak mempengaruhi kadar polutan yang masuk ke perairan. Ledakan populasi bulu seribu (Acanthaster plancii) di awal tahun 1990-an adalah contoh lain gradien lingkungan yang telah menurunkan tutupan karang dari ~23% di 1985 ke ~17% di tahun 1995 (DeVantier dkk., 1998). Hasil analisis sidik ragam tutupan substrat tahun 2005 hingga 2009 memberikan hasil tidak berbeda nyata pada kategori abiotik. Hasil ini dapat dimaknai bahwa kondisi abiotik relatif tidak ada perubahan. Kategori abiotik mencakup salah satu atau kombinasi dari patahan karang, pasir, dan air. Di Kepulauan Seribu, yang mendominasi adalah patahan karang (Lampiran 3). Di tahun 2009 ditemukan rerata patahan karang mencapai 31,1%, yang artinya hampir satu pertiga ekosistem terumbu karang Kepulauan Seribu ditutupi oleh patahan karang. Yang perlu mendapat perhatian pengelola kawasan adalah bahwa patahan karang tidak dapat menjadi substrat yang baik bagi rekrutmen karang karena bersifat tidak stabil, mudah terbalik dan terbawa oleh arus dan gelombang. Mereka cenderung akan tetap menjadi area atau padang patahan karang seperti dicontohkan di Manado Tua, Taman Nasional Bunaken oleh Erdmann (2006). Dengan demikian, tanpa ada upaya rehabilitasi 25
yang tepat serta pengelolaan kawasan dan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang tepat, peluang terumbu karang untuk pulih atau menjadi lebih baik hampir tidak mungkin.
Foto: Edy Setyawan
4
Persentase Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009 dan perbandingan dua tahunan (2005,2007, dan 2009)
Gambar 4.5. Hamparan Padina sp. menutupi patahan karang dan karang hidup
Peningkatan tutupan alga yang signifikan ditemukan pada perairan P. Kelapa, P. Panjang Besar, Gosong Karang Lebar, Gosong Sulaiman, P. Rengat, P. Hantu Timut, P. Jukung, P.Hantu Timur, dan P. Pramuka. Meningkatnya tutupan alga terjadi akibat peningkatan kesuburan perairan yang dapat dipicu oleh masuknya nutrisi dari Jakarta atau kegiatan budidaya. Rees dkk. (1999) menyatakan bahwa struktur komunitas terumbu karang Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh stressor dari daratan, antara lain: sedimen, nutrisi dari limbah cair, dan pencemar organik. Dari tahun ke tahun, limpasan dari daratan Jakarta dan P. Jawa yang masuk ke perairan Teluk Jakarta menunjukkan peningkatan (Arifin, 2004). Limpasan yang juga mengandung nutrisi itu akan terbawa ke perairan Kepulauan Seribu karena Terbawa oleh arus, terutama ketika monsun barat (lihat “Sekilas tentang Kepulauan Seribu” dalam buku ini). Faktor yang diduga berkontribusi meningkatkan pertumbuhan alga di perairan sekitar P. Pramuka adalah pengayaan perairan oleh nutrisi hasil penguraian limbah rumah tangga dari pulau 26
tersebut. Di dekat lokasi pengamatan terdapat tempat pembuangan sampah rumah tangga (pers. comm.). Di kelurahan Pulau Panggang terdapat kegiatan dan pengembangan budidaya ikan, baik yang dikembangkan oleh pihak swasta di dekat P. Pramuka, maupun program Sea Farming yang dikembangkan pemerintah daerah di perairan P. Semak Daun. Kegiatan budidaya berpotensi meningkatkan kesuburan perairan. Peningkatan alga yang terjadi di P. Pramuka dan Gosong Karang Lebar sangat tinggi, yang 0 (nol) di tahun 2007 melonjak masing-masing ke 44,58% dan 12,1% di tahun 2009. Peningkatan tutupan alga dikhawatirkan adalah dampak dari kegiatan budidaya tersebut mengingat P. Pramuka dan Gosong Karang Lebar dekat dengan lokasi budidaya. Program Sea Farming yang akan berlanjut hingga 2015 dengan target replikasi di perairan P. Kelapa (www.berita-pulauseribu. com). Perluasan budidaya tampaknya perlu diiringi dengan penerapan prinsip kehati-hatian untuk menghindari kemungkinan masuknya nutrisi ke wilayah perairan P. Kelapa dan sekitarnya. Faktor lain yang juga dapat berkontribusi pada peningkatan alga adalah penurunan jumlah predator alga, seperti ikan herbivor dan bulu babi (Thacker, 2001). Pengamatan tahun 2009 memperlihatkan kelimpahan ikan herbivor dan bulu babi yang sangat rendah, yaitu masingmasing hanya 0,46% dan 5,78% (lihat “Status Komunitas Ikan Karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009” dan “Hubungan antara Struktur Komunitas Makrobentos nonkarang dengan Tutupan Substrat Dasar di Taman Nasional Kepulauan Seribu” dalam buku ini). Padahal, penelitian Macintyre dkk (2005) menguatkan penelitian terdahulu tentang peran penting bulu babi dalam membersihkan substrat dari alga filamen dan makro alga, serta dampak ketidakhadirannya bagi lingkungan. Tidak semua alga adalah kompetitor bagi karang, ada jenis alga yang bersimbiosis
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
mutualisme dengan karang, yaitu Gynodinium microadriaticum, atau dikenal dengan zooxhantella yang berperan sebagai penghasil makanan bagi karang. Di kenal juga jenis Coraline algae yang berbentuk seperti kerak yang sangat berperan penting dalam peningkatan terumbu karang. Berbeda dengan kelompok jenis alga yang berdiri sendiri yang umumnya berukuran besar (makroalga), kelompok jenis ini ada yang menghasilkan kapur (calsificate macroalgae), seperti Halimeda atau Penicillus dan jenis yang tidak menghasilkan kapur (noncalsificate macroalgae), seperti Corallophila husymansii, Chlorodemis fastigiata, dan Hypnea pannosa. Secara umum, lokasi-lokasi yang diamati cenderung ditutupi oleh alga, terutama makroalga dan Coraline algae. Jompa & McCook (2003a) menyebutkan bahwa semua jenis pada kelompok Macroalgea merupakan kompetitor karang yang dapat mengancam keberadaan karang hidup jika pertumbuhan kelompok alga tersebut tidak terkontrol. Kekhawatiran terhadap pertumbuhan alga menjadi hal yang perlu menjadi perhatian khusus. Di perairan Karibia, Veirmeij dkk. (2010) menemukan bahwa turf algae mengubah substrat dari tutupan karang menjadi tutupan alga karena nutrisi yang meningkat. Herbivor pemangsa bahkan tidak mampu mengontrol populasi turf algae tersebut. Akibatnya, kini turf algae menjadi organisme bentik utama di Karibia. Tutupan karang mati juga menunjukkan perubahan yang signifikan dari 2007 ke 2009, yaitu menurun tajam dari 25,11% ke 16,06% (Gambar 4.3). Penurunan ini diperkirakan terkait dengan peningkatan tutupan karang keras dan alga. Sebanyak 8 dari 19 lokasi yang sama, tutupan karang kerasnya meningkat drastis (kenaikan berkisar 7-39%). Pada proses yang lain, permukaan karang yang baru mati akan ditumbuhi alga sehingga tutupan karang mati berkurang dan digantikan oleh alga.
Selain pada alga dan karang mati, analisis sidik ragam juga menghasilkan perubahan signifikan pada tutupan biota lain dengan terjadinya penurunan tutupan. Yusri & Timotius (2009) membandingkan temuan pada tahun 2005 dan 2007. Mereka menemukan adanya penurunan populasi bentos non-karang yang sangat drastis dari 5.092.987 ind/ha ke 887.803 ind/ha. Faktor yang mempengaruhi adalah penurunan populasi kelompok zoantharia, yang adalah penyusun utama makrobentos di Kepulauan Seribu. Pengamatan tahun 2009 menunjukkan populasi Zoantharia yang rendah sehingga total populasi makrobentos non-karang hanya 81,894 ind/ha. Faktor yang menyebabkan penurunan memang belum diteliti namun diduga berkaitan dengan pula dengan kehadiran makroalga karena kelompok ini absen di lokasi-lokasi dengan tutupan makroalga, pasir, dan karang mati ditumbuhi alga (dead coral with algae = DCA) yang tinggi (lihat “Kajian Berkala Struktur Komunitas Karang Keras di Perairan Kepulauan Seribu” dan “Hubungan antara Struktur Komunitas Makrobentos non-karang dengan Tutupan Substrat Dasar di Taman Nasional Kepulauan Seribu”).
Kesimpulan 1. Kondisi karang di Kepulauan Seribu dalam kriteria sedang dengan tutupan karang keras tertinggi terdapat pada lokasi P. Kotok Kecil sebesar 64,59% dan terendah di P. Panjang Besar dengan nilai 7,45%. 2. Terumbu karang di Kepulauan Seribu didominasi oleh bentuk pertumbuhan bercabang dan lembaran. 3. Tutupan karang keras berfluktuasi dari 31,45% di tahun 2005, turun ke 28,86% di 2007, kemudian naik lagi ke 34,27% di tahun 2009. Hasil anova single factor menunjukkan perubahan itu tidak berbeda nyata. Demikian pula perubahan pada tutupan abiotik dan karang lunak. 27
4
Persentase Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009 dan perbandingan dua tahunan (2005,2007, dan 2009)
4. Perubahan signifikan sepanjang 2005 hingga 2009 terjadi pada kategori alga, karang mati, dan biota lain. Perubahan ini berpengaruh kepada tutupan karang keras di sejumlah lokasi pengamatan. 5. Diperlukan pengawasan yang efektif untuk menjaga kondisi perairan dan terumbu karang Kepulauan Seribu.
Saran Meski perubahan lingkungan yang terjadi di Kepulauan Seribu tidak berskala besar, adanya fakta pertumbuhan alga yang sangat pesat berpotensi menyaingi pertumbuhan karang, sehingga disarankan dilakukan pemantauan ekosistem terumbu karang secara rutin dengan memantau secara spesifik perkembangan tutupan alga dan predatornya.
Daftar Pustaka Anonim 2011. Kepulauan Seribu Tingkatkan Kualitas Program Sea Farming. http://www.berita-pulauseribu.com/arsipberita/102-pembangunan/708-kepulauan-seribu-akantingkatkan-kualitas-program-sea-farming.html Arifin, Z. 2004. Local millenium ecosystem assessment: Condition and trend of the greater Jakarta Bay ecosystem. The Ministry of Environment, Republic of Indonesia, Jakarta. Birkeland, C. (ed). 1997. Life and death of coral reefs. Chapman & Hall, New York. Brown, B. E. & Suharsono. 1990. Damage and recovery of coral reefs affected by El-Nino related seawater warming in the Thousand Islands, Indonesia. Coral reefs 8: 163 – 170. Caesar, H. 2000. Coral reefs: Their Function, Threats and Economic Value. Dalam: Collected Essays on the Economics of Coral Reefs. 2000. CORDIO, Departement for Biology and Environmental Sciences, Kalmar University, Sweden. Cleary, D. F. R., Suharsono & B. W. Hoeksema. 2006. Coral diversity across a disturbance gradient in the Pulau Seribu reef complex off Jakarta, Indonesia. Biodiversity and Conservation (2006). COREMAP. 2011. Kondisi terumbu karang di Indonesia. http:// www.coremap.or.id/reef_graph.php?yr=2010 DeVantier, L., Suharsono, A. Budiyanto, J. Tuti, P. Imanto, & R. Ledesma. 1998. Status of coral communities of Pulau Seribu 1985-1995. Dalam: Soemodihardjo, S. (ed). 1998. Proceedings Coral reef evaluation workshop Pulau Seribu, Jakarta, Indonesia: 1-24 English, S., C. Wilkinson, & V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources (2nd Edition). Australian Institute of Marine Science. Australia. X + 390 hlm. Erdmann, M.V. 2006. Reef Rehabilitation in North Sulawesi. A Presentation on Ecoreef workshop, Manado 2006. tidak dipublikasi. Estradivari, E. Setyawan, & S. Yusri (eds). 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan TERANGI. Jakarta. viii+102 hlm. Fox, H.E., J.S. Pet, R. Dahuri, dan R.L. Caldwell. 2003. Recovery in rubble fields: long-term impacts of blast fishing. Mar Poll Bull 46: 1024-1031
28
Giyanto, Y. Tuti & A. Budiyanto. 2006. Analisa pendahuluan kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu, Jakarta pada tahun 2006. Dalam Tuti, M. I. Y. & S. Soemodihardjo. 2006. Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu: monitoring dan evaluasi tiga dasawarsa. LIPI & Naturalis, Indonesia: 9 – 18. Gomez, E. D. & H. Yap T.1984. Monitoring reef Condition. Dalam. Kenchington R A & B Hudson E. T. (ed). Coral reef Management Hand Book. Unesco Regional Office for Science and Technology for South east Asia. Jakarta. Hill, J. & C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: A resource for managers. Australian Institute of Marine Science and Reef Check, Australia. Jompa J and Mc Cook L.J, 2003a. Coral-algal competition : macroalga with different properties have different effect on corals. Departement of Marine Biology, James Cook University. Townsville, Queensland. Australia. Marine Ecology Progress Series Vol. 258:87-95. 2003. Macintyre, I.G., P.W. Glynn, & F. Hinds. 2005. Evidence of the role of Diadema antillarum in the promotion of coral settlement and survivorship. Coral Reefs 24: 273 Napitupulu, D.L., S.N. Hodijah & A.C. Nugroho. 2005. Socioeconomic assesment: in the user of reef resources by local community and other direct stakeholders. A research report. TERANGI. Jakarta: 140 hlm. Rees, J.G., D. Setiapermana, V.A. Sharp, J.M. Weeks, & T.M. Williams. 1999. Evaluation of impacts of land-based contaminants on the benthic faunas of Jakarta Bay Indonesia. Oceanologica Acta Vol 22 No. 6: 627-640. Setyawan, E. & M. Prastowo. 2009. Persentase penutupan karang Taman Nasional Kepulauan Seribu. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Yayasan TERANGI. Jakarta. (tidak dipublikasikan) Suharsono, 2008. Bercocok Taman Karang dengan Transplantasi. LIPI Press, Jakarta. Suharsono & M.I.Y. Tuti. 1994. Perbandingan kondisi terumbu karang di Pulau Nyamuk besar dan Pulau Onrust tahun 1929, 1985 dan 1993 dan hubungannya dengan perubahan perairan Teluk Jakarta. Dalam: Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut 07-09 Februari 1994. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta Suharsono, Sukarno, & Siswandono. 1985. Sebaran, keanekaragaman dan kekayaan jenis karang batu di Pulau Kotok Kecil, Pulau-Pulau Seribu. Oseanologi di Indonesia, 1985. No. 19 : 1 - 16 Thacker, R.W, D.W Ginsburg & V.J Paul. 2001. Effects of herbivore exclusion and nutrient enrichment on coral reef macroalgae and cyanobacteria. Coral Reefs. Springer-Verlag 2001. Tun, Karenne, C.L Ming, T. Yeemin, N. Phongsuwan, A.Y. Amri, N. Ho, K. Sour, N.V Long, C. Nanola, D. Lane, & Y. Tuti. 2008. Status of coral reefs in South East Asia. Dalam: Wilkinson, C (ed). 2008. Status of coral reefs of the wold: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Center, Townsville Vermeij, M.J.A, I. van Moorselaar, S. Engelhard, C. Hornlein, S.M. Vonk & P.M. Visser. 2010 The Effects of nutrient enrichment and herbivore abundance on the ability of turf algae to overgrow coral in the Caribbean. PLoS ONE 5(12): e14312. doi:10.1371/journal.pone.0014312 Wijayanti, P. 2008. Laporan analisa ekonomi dan kebijakan pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Yayasan Terumbu Karang Indonesia, Jakarta: vi+169 hlm Wilkinson, C. 2008. Status of coral reefs of the wold: 2008. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Center, Townsville, 296 p. Yusri, S. & S. Timotius. 2009. Dinamika struktur komunitas makrobentos non-karang di Kepulauan Seribu. dalam. Estradivari, E. Setiawan & S. Yusri (eds.). 2009. Dalam: Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan TERANGI. Jakarta. viii+102 hlm
Kajian Berkala Struktur Komunitas Karang Keras di Perairan Kepulauan Seribu Idris dan Muh. Syahrir
T
Pendahuluan
erumbu karang pada kawasan yang dekat dengan pusat-pusat populasi biasanya memiliki tekanan yang tinggi (Rees dkk., 1999; Edinger dkk., 1998; Roberts, 1993; Rogers, 1990 dalam Meij dkk., 2010). Hal tersebut dapat dilihat pada kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu yang mengalami tekanan yang tinggi seperti polusi, perikanan berlebih dan merusak, tumpahan minyak, perubahan fungsi habitat, dan naiknya suhu permukaan laut (Yusri & Estradivari, 2007; Suharsono, 2005; LAPI-ITB, 2001; Ongkosongo, 1986). Selain masalah antropogenik, kawasan ini juga mengalami ancaman alami seperti pemutihan karang masal yang terjadi pada 1983 dan 1998 (Warwick dkk., 2000; Brown & Suharsono, 1990). Pemutihan dan penyakit karang juga pernah timbul setelah kejadian pencemaran minyak pada tahun 2006 (Yusri & Estradivari, 2007). Tingginya ancaman kerusakan terhadap terumbu karang membutuhkan sebuah tindakan cepat untuk melakukan pengelolaan berdasarkan data dan informasi ilmiah yang tersedia. Informasi tentang sebaran ukuran koloni dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan karang dalam melakukan rekrutmen, tumbuh, dan menjadi induk (Hodgson & Ochavillo, 2006). Selain itu, diperlukan pula informasi tingkat resistensi terumbu karang terhadap fenomena kenaikan suhu air laut yang menyebabkan terjadinya pemutihan karang, dan informasi
5
perubahan struktur komunitas terumbu karang secara berkala (Marshall & Baird, 2000; HoeghGuldberg, 1999). Fenomena memutihnya karang terjadi akibat berbagai tekanan yang menyebabkan hilangnya zooxanthellae dari jaringan polip karang (Westmacott dkk., 2000).
Untuk itu, kajian dan pemantauan berkala perlu dilakukan untuk mendukung pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan, maka peneliti dari Yayasan TERANGI secara berkala melakukan pengamatan terhadap struktur komunitas karang keras mulai dari tahun 2005, 2007, dan 2009. Pengamatan bertujuan untuk melihat perubahan struktur komunitas karang keras, faktor yang mempengaruhi, dan fenomena yang terjadi pada karang keras tersebut. Hasil dari pengamatan ini diharapkan bisa membantu para pengambil kebijakan dalam melakukan pengelolaan yang tepat terhadap ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Metodologi
Pengamatan komunitas karang keras
Pengamatan dilakukan pada tahun 2005, 2007, dan 2009 di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Khusus pada tahun 2009 pengamatan difokuskan pada wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS). Jumlah lokasi pengamatan sebanyak 40 (2005 & 2007) dan 36 (2009). Pengamatan dilakukan di lereng terumbu dengan kedalaman rata-rata 7 m. Transek sabuk, sepanjang 1x20
29
5
Kajian Berkala Struktur Komunitas Karang Keras di Perairan Kepulauan Seribu
m dibentangkan mengikuti kontur dasar sejajar garis pantai (Hill & Wilkinson, 2004). Setiap lokasi memiliki pengulangan 2 atau 4 kali tergantung dari lebar rataan terumbu, dan setiap ulangan memiliki jarak 5 m. Total luasan area pengamatan adalah 2.840 m2 mewakili 142 ulangan.
Wiener dan kemerataan (Magurran, 1988). Keanekaragaman dihitung dengan rumus Hi’ = ∑ Pi ln Pi. Pi adalah proporsi kelimpahan jenis i. Kemerataan dihitung dengan Ei’ = Hi’/H’ max, H’ adalah indeks keanekaragaman, dan H’max = H’/lnS, dan S adalah kekayaan jenis. Untuk mengetahui perubahan struktur komunitas antara tahun 2005, 2007 dan 2009, kelimpahan tiap jenis pada tiap tahun dibandingkan dengan analisis sidik ragam (ANOVA) satu arah.
Hasil dan Pembahasan
Foto: Edy Setyawan
Struktur komunitas karang keras 2009 berdasarkan lokasi pengamatan
Gambar 5.1. Karang Acropora sering dijumpai di perairan Kepulauan Seribu
Peneliti karang keras yang telah distandarisasi akan menyelam di sepanjang transek untuk mencatat jenis, jumlah, dan ukuran setiap karang keras yang ada di dalam sabuk. Ukuran karang dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan panjang terpanjang dengan kategori kecil (<5 cm), sedang (5,1-25 cm) dan besar (>25,1 cm). Data yang diperoleh bisa menggambarkan kekayaan jenis, kelimpahan populasi dan ukuran dominan karang keras di suatu lokasi pengamatan atau di Kepulauan Seribu secara umum. Identifikasi dilakukan sampai ke tingkat genus/marga menggunakan panduan buku identifikasi Coral Reefs of the World (Veron, 2000). Peneliti juga mencatat kesehatan karang keras, yang dikategorikan sebagai karang yang memutih (coral bleaching) (adopsi dari Willis dkk., 2003).
Analisis data Nilai kelimpahan yang didapat diinterpolasi untuk memenuhi satuan koloni/ha (koloni per hektar). Kelimpahan karang keras juga digunakan untuk menghitung indeks keanekaragaman Shannon30
Pada pengamatan tahun 2009, kelimpahan karang keras cukup beragam di setiap lokasi, yaitu berkisar antara 9.750 koloni/ha (Pulau Dua Barat) sampai 78.750 koloni/ha (Pulau Belanda), dengan rerata sekitar 42.430 koloni/ ha. Rerata kelimpahan karang keras di wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu sebanyak 42.430 koloni/ha. Kelimpahan karang pada suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor pembatas, seperti salinitas, suhu, kecerahan, dan kedalaman (Nybakken,1992). Pulau Dua Barat yang memilki kelimpahan karang terendah diduga disebabkan pengaruh kualitas perairannya yang kurang baik, seperti kecepatan arus yang rendah hanya 0,01 m/s menyebabkan karang kurang mendapatkan suplai makanan dari jasad renik dan oksigen. Menurut Sukarno dkk. (2006) pergerakan arus sangat diperlukan untuk tersedianya aliran suplai makanan (dalam bentuk jasad renik) dan suplai oksigen yang segar, serta menjaga agar terumbu karang terhindar dari timbunan kotoran/endapan. Pulau Belanda memiliki kelimpahan tertinggi, karena kawasan tersebut merupakan zona inti di TNKpS yang mendapatkan perlindungan, sehingga tekanan antropogenik yang mengancam kerusakan karang dan menyebabkan adanya perubahan
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Tabel 5.1. Ringkasan struktur komunitas dan kelimpahan komunitas karang di setiap lokasi pengamatan di kepulauan seribu pada tahun 2009. S (Kekayaan Marga), H’ (Indeks Keanekaragaman), E (Indeks Kemerataan), D (Indeks Dominasi). Nilai Tertinggi ( ) dan Terendah ( ). No
Lokasi
S
H’
E
D
Kelimpahan (koloni/ha)
1
Belanda
35
2.55
0.72
0.13
78.750
2
Bira Besar
37
2.83
0.78
0.09
61.875
3
Bira Kecil
22
2.22
0.72
0.19
46.500
4
Dua Barat
22
2.84
0.92
0.07
9.750
5
Dua Timur
27
2.83
0.86
0.09
22.375
6
Genteng Besar
30
2.91
0.86
0.08
51.000
7
Gosong Belanda
34
2.98
0.85
0.07
36.500
8
Gosong Karang Lebar
28
2.22
0.67
0.23
26.500
9
Gosong Pramuka
34
2.69
0.76
0.10
43.125
10
Gosong Sebaru Besar
33
2.86
0.82
0.09
63.375
11
Gosong Sulaiman
28
2.96
0.89
0.07
24.000
12
Hantu Timur
30
2.77
0.81
0.10
46.875
13
Harapan
25
2.01
0.62
0.26
30.000
14
Jukung
38
2.84
0.78
0.10
53.625
15
Karang Congkak
33
2.76
0.79
0.10
48.875
16
Kayu Angin Genteng
31
2.79
0.81
0.09
51.500
17
Kayu Angin melintang
30
2.59
0.76
0.13
34.875
18
Kelapa
33
2.88
0.82
0.08
42.000
19
Kelor Timur
35
2.77
0.78
0.10
59.875
20
Kotok Besar
31
2.03
0.59
0.26
47.000
21
Kotok Kecil
27
2.45
0.74
0.15
25.875
22
Kuburan Cina
32
2.65
0.77
0.14
38.375
23
Macan Besar
28
2.22
0.67
0.23
26.500
24
Melintang Besar
33
2.70
0.77
0.10
55.250
25
Nyamplung
30
2.38
0.70
0.20
34.625
26
Opak Besar
26
2.15
0.66
0.19
47.625
27
Pamegaran
30
2.63
0.77
0.11
43.500
28
Panggang
30
2.84
0.84
0.08
56.500
29
Panjang Besar
21
2.68
0.88
0.09
13.250
30
Penjaliran Timur
26
2,09
0.64
0.20
39.125
31
Petondan Timur
33
2,46
0.70
0.14
78.000
32
Pramuka
29
2,65
0.79
0.11
34.250
33
Putri Barat
24
2,54
0.80
0.13
32.875
34
Rengat
31
2,27
0.66
0.22
36.250
35
Semut Kecil
34
2,71
0.77
0.12
44.000
36
Sepa
30
2,37
0.70
0.17
43.125
2,59
0,76
0,13
42.430
Rerata
31
5
Kajian Berkala Struktur Komunitas Karang Keras di Perairan Kepulauan Seribu
lebih sedikit terjadi dibandingkan pulau-pulau yang lainnya (Kep.dirjen.phka, 2004). Kekayaan marga yang tertinggi terdapat di Pulau Jukung (38) dan terendah di Pulau Panjang Besar (21). Rendahnya kekayaan marga di Pulau Panjang Besar diduga karena pengaruh pembangunan landasan pacu pesawat yang menyebabkan meningkatnya sedimentasi yang akan menyebakan kerusakan dan kematian karang. Daerah yang memiliki sedimentasi yang tinggi akan sulit untuk menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan karang, karena penetrasi cahaya di air laut akan berkurang dan hewan karang (polip) akan bekerja keras untuk membersihkan partikel yang menutupi tubuhnya (Nybakken, 1992). Pulau Jukung memiliki kekayaan marga yang tinggi diduga karena pengaruh kondisi perairan yang masih mendukung pertumbuhan karang salah satunya adalah arus (0,15 m/s) termasuk cukup baik bagi pertumbuhan karang dan sebaran koloni karang. Pulau Jukung juga terlindung dari arus dan gelombang kuat pada musim barat dan musim timur karena posisinya yang dikelilingi oleh pulau-pulau lain.
Foto: Estradivari
Keanekaragaman tertinggi tahun 2009 adalah di Gosong Belanda (2,98), dan terendah di Pulau Harapan (2,01) dengan rerata 2,59. Gosong Belanda juga memiliki indeks dominansi yang rendah (0,07), sedangkan Pulau Harapan memiliki indeks dominansi yang tinggi (0,26).
Gambar 5.2. Jaringan karang yang kehilangan alga zooxanthellae sehingga mengalami pemutihan
32
Fenomena Pemutihan karang Karang memutih dicirikan oleh koloni yang kehilangan zooxanthellae-nya sehingga mengalami pemudaran warna karang bahkan putih. Jaringan koloni masih dapat dilihat dan dirasakan, serta terkadang karang yang sedang stress ini mengeluarkan lendir secara berlebihan yang dapat dilihat oleh mata telanjang. Stresnya karang bisa dipicu oleh beberapa faktor seperti badai, sedimentasi, penangkapan ikan dengan sianida, perubahan salinitas dan suhu (Marshall & Schuttenberg, 2006). Penyebab utama pemutihan yang bersifat kawasan (massal) adalah kenaikan suhu 1-2oC diatas normal dalam waktu yang lama. 0,14 0,2 0,28 0,49 0,55 0,62 0,76 0,86 0,93 1,01
Mussidae Pectiniidae Poritidae Dendrophylliidae Siderastreiidae Fungiidae 0
1
1,48 2
4,35 3
4
5
Prevalensi (%)
Gambar 5.3. Prevalensi karang memutih pada famili scleractinia di Kepulauan Seribu tahun 2009
Berdasarkan grafik di atas, suku karang yang paling banyak terkena pemutihan adalah Fungiidae, beberapa suku ikut terpengaruh secara berurut adalah Pocilloporidae, Siderasteridae, Faviidae, Dendrophyllidae, Acroporidae, Poritidae, Agariciddae, Pectinidae, Oculinidae, Mussiidae dan Merulinidae. Umumnya, ukuran koloni yang mengalami pemutihan karang sebagian besar yang terkena dampak adalah koloni berukuran besar (64,56%), ukuran sedang (34, 18%), dan ukuran kecil (1,27%). Perbedaan yang mendasar adalah Fungiidae memiliki prevalensi tertinggi (4,35%), berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Akan tetapi, suku Pocilloporidae yang berada pada peringkat kedua memang sangat rentan terhadap
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Kelimpahan Karang Keras (koloni/ha)
10000 9000 8000 7000
2005
6000
2007
5000
2009
4000 3000 2000 1000
Millepora
Pavona
Cyphastrea
Favites
Pachyseris
Echinopora
Hydnophora
Lobophyllia
Galaxea
Porites
Acropora
Seriatopora
Fungia
Montipora
0
Marga Karang Keras
Gambar 5.4. Sepuluh marga karang keras dengan kelimpahan tertinggi yang mendominasi setiap tahun pengamatan
pemutihan karang. Brown dan Suharsono (1990) melaporkan bahwa di Laut Jawa pernah terjadi kematian karang keras dan lunak sebanyak 8090% dengan karang keras yang paling rentan adalah Acroporidae dan Pocilloporidae. Suku Pocilloporidae dan Acroporidae dijelaskan oleh Marshall & Schuttenberg (2006) sebagai suku yang paling rentan terhadap pemutihan akibat kenaikan suhu, khususnya koloni dengan karakateristik yang bercabang dan bentuk meja. Pengamatan pemutihan karang yang dilakukan oleh Estradivari dkk. (2006) di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu juga menyebutkan dua suku yang paling banyak mengalami pemutihan adalah Acroporidae dan Pocilloporidae, walaupun beberapa suku ikut terpengaruh adalah Faviidae, Fungiidae, Poritidae, Agaricidae, Helioporidae, Milliporidae, Euphyllidae, Mussidae, Oculinidae, Pectinidae, dan Siderasteridae. Hingga saat ini, faktor-faktor yang menyebabkan tingginya prevalensi Fungiidae di Kepulauan Seribu masih belum diketahui. Marshall & Schuttenberg (2006) menjelaskan bahwa jenisjenis yang memiliki karakteristik koloni yang padat dan masif cenderung memiliki tingkat ketahanan yang medium hingga tinggi terhadap pemutihan, seperti suku Fungiidae, Faviidae, Poritidae dan Mussidae. Jenis-jenis tersebut
umumnya memiliki jaringan yang rapat dan memiliki pertumbuhan yang lambat. Oleh sebab itu, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab tingginya prevalensi pada Fungiidae. Secara umum, pemutihan karang di Kepulauan Seribu masih dapat dikendalikan dan tidak akan membahayakan ekosistem, jika faktorfaktor pemicunya dapat dikurangi. Marshall & Schuttenberg (2006) menyebutkan bahwa skala pemutihan yang bersifat lokal tidak membahayakan ekosistem secara keseluruhan, jika faktor pemicu yang lainnya seperti melimpahnya alga tidak terjadi. Hal ini disebabkan karena alga dapat memanfaatkan kesempatan pada saat karang hidup sedang stres. Sebaliknya pemulihan koloni akan terjadi lebih cepat, jika kondisi tekanan dapat dikontrol dan didukung oleh kualitas perairan yang stabil.
Kelimpahan Karang Keras 2005-2009 Selama pengamatan dari tahun 2005-2009 terlihat bahwa kelimpahan tertinggi didominasi oleh marga Montipora, Fungia, Seriatopora, Acropora dan Porites (Gambar 5.4). Secara umum, marga Montipora dan Porites selama kurun waktu 2005-2009 menunjukkan tren peningkatan kelimpahan, sedangkan marga Fungia, Seriatopora, dan Acropora menunjukkan 33
tren penurunan. Marga Seriatopora mengalami penurunan kelimpahan yang cukup jauh dari 3.820 koloni/ha (2005), 1.899 koloni/ha (2007), dan 1.074 koloni/ha (2009). Secara keseluruhan, 10 marga dengan kelimpahan tertinggi tahun 2009 bertambah 2 marga, yaitu marga Pavona dan Milepora, dimana pada tahun 2005 dan 2007 kedua marga tersebut tidak masuk dalam jajaran sepuluh besar. Pada tahun 2005, marga Galaxea dan Hydnopora masuk dalam sepuluh marga dengan kelimpahan terbesar, tetapi tidak berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Kekayaan Marga Karang Keras 2005-2009 Suku karang keras dengan jumlah marga tertinggi yang ditemukan di perairan Kepulauan Seribu dari tahun 2005-2009 adalah dari suku Faviidae masing-masing sebanyak 14 marga (2005) dan 13 marga (2007 dan 2009), disusul dengan suku Fungiidae konstan sebanyak 10 marga setiap tahunnya. Jumlah marga terendah ditemukan pada suku Astrocoeniidae, Helioporidae, Milleporidae, Trachyphylliidae, dan Tubiporidae dengan jumlah masing-masing satu marga.
No Gambar 5.5. Karang dari jenis Fungia cukup melimpah di Kepulauan Seribu
Berdasarkan data tahun 2005-2009, kelimpahan karang keras di Kepulauan Seribu didominasi oleh marga Montipora, Fungia, Acropora, Seriatopora, dan Porites. Marga tersebut dapat ditemukan hampir di semua lokasi di Kepulauan Seribu, terutama pulau-pulau yang berada lebih ke utara. Keempat marga tersebut tersebar merata di perairan indonesia (Suharsono, 2008). Selama pengamatan 2005-2009 terlihat adanya fluktuasi kelimpahan dari marga yang dominan. Fluktuasi drastis terjadi pada Marga Seriatopra yang kelimpahannya menurun jauh. Hal tersebut diduga karena marga Seriatopra dijangkiti oleh penyakit algal overgrowth yang menyebabkan kematian pada koloni karang, yang dapat dilihat dari meningkatnya tutupan alga pada tahun 2009 (Lihat ”Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009” di buku 34
ini). Selain itu, pengaruh adanya pemutihan yang akan lebih ganas menyerang koloni dengan bentuk pertumbuhan bercabang dibandingkan jenis-jenis karang dengan karakteristik yang padat dan masif (Marshal & Schuttenberg, 2006).
Tabel 5.2. Daftar jumlah marga karang keras dari setiap suku yang ditemukan pada setiap tahun pengamatan di Kepulauan Seribu
Foto: Estradivari
5
Kajian Berkala Struktur Komunitas Karang Keras di Perairan Kepulauan Seribu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Suku Acroporidae Agariciidae Astrocoeniidae Dendrophylliidae Euphyllidae Faviidae Fungiidae Helioporidae Merulinidae Milleporidae Mussidae Oculinidae Pectiniidae Pocilloporidae Poritidae Siderastreiidae Trachyphylliidae Tubiporidae
Tahun 2005 3 3 1 2 3 14 10 1 2 1 6 1 4 3 3 2 1 1
2007 4 3 1 2 3 13 10 1 2 1 6 1 4 3 3 2 1 1
2009* 4 4 2 3 13 10 1 2 1 5 1 4 3 3 1 -
*lokasi survei sebagian besar wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
Sebagian besar marga karang keras yang ditemukan termasuk ke dalam kelas Anthozoa, kecuali beberapa jenis seperti Millepora,
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Heliopora, dan Tubipora yang masuk ke dalam kelas Hydrozoa. Karang keras yang tidak ditemukan di tahun 2009 adalah dari marga Coscinaraea, Oulastrea, Stylocoeniella, Trachyphyllia, dan Tubipora. Namun, pada pengamatan kali ini ditemukan marga baru yang di tahun 2005 dan 2007 tidak ditemukan, yaitu marga Gardineroseris. Dilihat dari jumlah marga, karang keras yang ditemukan pada tahun 2009 adalah sebanyak 57 marga, sedangkan tahun 2005 sebanyak 61 marga dan tahun 2007 sebanyak 60 marga. Jumlah marga tahun 2009 lebih sedikit ditemukan, karena lokasi survei hanya mencakup zona Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS), sedangkan tahun 2005 dan 2007 mencakup keseluruhan wilayah Kepulauan Seribu.
Tren perubahan persentase ukuran koloni karang 2005-2009 Sebaran ukuran koloni merupakan informasi penting untuk mengetahui tingkat kemampuan karang dalam melakukan rekrutmen, tumbuh, dan menjadi induk/maturity (Hodgson & Ochavillo, 2006). Chiappone & Sullivan (1996), Edmunds(2000) menyebutkan bahwa ukuran koloni karang kategori kecil (<5 cm) merupakan hasil rekrutmen yang dikontribusi oleh ukuran koloni karang kategori sedang dan besar. Selanjutnya, kemampuan larva (hasil rekrutmen) untuk menempel, bertahan, dan tumbuh sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang saling berinteraksi. Marshall & Schuttenberg (2006) menyebutkan bahwa keberadaan karangkarang yang muda dipengaruhi oleh predator, partikel sedimen, alga, dan karang-karang dewasa yang menutupi karang-karang muda. Sepanjang empat tahun sejak 2005, persentase karang menunjukkan kenaikan dan penurunan yang tajam, terutama pada karang ukuran besar dan ukuran kecil. Temuan tersebut menggambarkan bahwa di Kepulauan Seribu, pertumbuhan lebih dominan dari rekrutmen. Chiappone & Sullivan (1996) menyatakan
karang-karang berukuran sedang dan besar berkontribusi terhadap rekrutmen. Hingga saat ini, rekrutmen karang di Kepulauan Seribu juga belum banyak dimengerti, sehingga penelitian tentang rekrutmen perlu dilakukan. Tabel 5.3. Persentase perubahan ukuran koloni karang di Kepulauan Seribu tahun 2005-2009 No
2005
2007
2009*
1
<5 cm (Kecil)
Ukuran Koloni
18,4 %
11,36%
4,37 %
2
5,1 s/d 25 cm (Sedang)
41,5 %
43,57 %
36,16 %
3
>25 cm (Besar)
40,1 %
45,07 %
59,47 %
*lokasi survei sebagian besar wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu
Faktor yang diduga menjadi sebab penurunan rekrutmen adalah kalahnya karang berkompetisi ruang dengan alga yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat dalam dua tahun terakhir; dari 1,26% di 2007 meningkat hingga 7,06% di 2009. Jompa & McCook (2003a) menyebutkan bahwa tiga bentuk interaksi alga dengan karang hidup adalah 1) kontak langsung antara karang dengan alga, 2) kompetisi memperebutkan ruang, dan 3) kelangsungan untuk bertahan hidup (suksesi). Ketiga bentuk interaksi tersebut bersifat merugikan koloni karang terutama koloni karang ukuran kecil (karang-karang muda) yang masih sangat rentan terhadap segala bentuk kompetisi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Bahtiar (2003) bahwa tutupan alga yang lebat bisa menghambat penempelan larva atau menurunkan kelulusan hidup rekrutmen karang karena kompetisi terhadap ruang. Dominannya koloni karang berukuran besar seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, terutama dari bentuk pertumbuhan bercabang (branching) dan lembaran (foliose) diduga ikut memberikan tekanan pada tingkat kelangsungan hidup karang juwana (karang-karang muda) di Kepulauan Seribu. Sesuai dengan pernyataan Marshall & Schuttenberg (2006) disebutkan bahwa koloni-koloni karang yang tumbuh 35
30 25
Jumlah Koloni
5
Kajian Berkala Struktur Komunitas Karang Keras di Perairan Kepulauan Seribu
Kecil Sedang Besar
20 15 10 5 0 2005
2007 Acropora
2009
2005
2007
2009
2005
Fungia
2007 Montipora
2009
2005
2007 Porites
2009
2005
2007
2009
Seriatopora
Gambar 5.6. Tren perubahan persentase ukuran koloni 5 marga dengan kelimpahan tertinggi dari tahun 2005-2009.
hingga berukuran besar justru dapat menutupi dan mengganggu tingkat kelangsungan hidup karang-karang juwana. Kenaikan tutupan patahan karang (rubble) beberapa tahun ini (Lihat ”Persentase Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009 dan Perbandingan dua tahunan (2005,2007n dan 2009)” di buku ini) diduga juga memberikan dampak terhadap menurunnya koloni karang ukuran kecil atau rekrutmen. Fox dkk. (2001) menjelaskan bahwa patahan karang (rubble) sangat berpotensi mempercepat pemulihan, namun karena patahan karang mudah bergerak atau tidak stabil, maka karang rekrutmen akan mati dan tidak dapat bertahan menempel pada patahan karang, terlebih jika arus cenderung kuat pada suatu lokasi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Razak (2006) hamparan patahan karang dan pasir merupakan substrat yang tidak stabil, karena mudah terbolakbalik (shifting) oleh arus dan ombak, sehingga membuat juwana karang menjadi susah menempel. Berdasarkan analisis sidik ragam fluktuasi yang terjadi pada kelimpahan ukuran koloni karang dari tahun 2005-2009 menunjukkan adanya perbedaan nyata (ANOVA Single 36
factor, Ftab: 3,01, Fhit: 11,10; P<0.05). Secara umum, sebaran persentase ukuran koloni menunjukkan pola rekrutmen, pertumbuhan, dan perkembangan karang keras di Kepulauan Seribu yang semakin menurun, karena terjadi penurunan karang berukuran besar dan sedang. Hal tersebut kemungkinan karena kondisi habitat yang semakin menurun, seperti kualitas perairan sehingga terjadi perpindahan fase dari komunitas yang didominasi oleh karang keras ke komunitas yang didominasi oleh alga (Edwards & Gomez, 2008; Hughes, 1994; Done, 1992). Perubahan persentase ukuran koloni karang keras juga diamatai berdasarkan 5 marga dengan kelimpahan tertinggi, yaitu Acropora, Montipora, Fungia, Porites, dan Seriatopora, maka akan terlihat bahwa tren persentase karang berdasarkan ukuran koloni berfluktuasi dari tahun 2005-2009, yaitu : 1. Koloni berukuran kecil dari marga Acropora, Fungia, dan Montipora menunjukkan tren meningkat sedangkan marga Porites dan Seriatopora menunjukkan tren menurun. 2. Tren peningkatan koloni berukuran sedang terlihat pada marga Acropora, Montipora dan Porites, sedangkan tren penurunan terlihat pada marga Fungia dan Seriatopora.
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Berdasarkan sebaran ukuran koloni tiga kategori ditemukan kecenderungan bahwa pertumbuhan koloni lebih dominan daripada rekrutmen, khususnya tiga marga yang dominan, yaitu Acropora, Montipora, dan Porites. Acropora dan Montipora termasuk karang dengan pertumbuhan cepat dan Porites termasuk karang dengan pertumbuhan lambat. Menurut Gomez (1985), karang dengan pertumbuhan yang lambat memiliki peluang kecepatan pertumbuhan yang semakin menurun. Pertumbuhan koloni ukuran kecil ke koloni ukuran sedang sebesar 80% dan akan menjadi 30% pada pertumbuhan koloni ukuran sedang ke koloni ukuran besar. Banyaknya koloni Porites yang ukuran besar mengindikasikan bahwa pertumbuhan berjalan dengan baik, keberadaan koloni karang berukuran sedang juga lebih tinggi dari pada koloni karang berukuran kecil, sehingga fakta ini normal, sesuai dengan urutan pertumbuhan ukuran koloni yang dikemukakan oleh Gomez (1985). Marga Fungia menunjukkan rekrutmen yang lebih dominan daripada pertumbuhan. Hal ini diketahui melalui persentase koloni ukuran besar yang semakin menurun selama tiga tahun pengamatan. Pertumbuhan dari koloni ukuran kecil ke koloni ukuran sedang lebih berhasil dibandingkan dengan pertumbuhan koloni ukuran sedang ke koloni ukuran besar. Fenomena ini terjadi di setiap pengamatan dengan perbedaan jumlah koloni yang signifikan. Hal ini diduga karena adanya peningkatan tutupan alga yang menjadi kompetitor utama bagi pertumbuhan karang dan juga dengan fenomena pemutihan karang yang terjadi, dimana Fungia sebagai marga dari suku Fungiidae menempati urutan tertinggi sebagai suku yang paling banyak terkena pemutihan
karang. Menurut Jompa & McCook (2003), alga merupakan kompetitor utama karang hidup dalam memperebutkan ruang dan dapat terjadi kontak langsung dimana alga dapat mengeluarkan senyawa bioaktif yang dapat merusak bahkan membunuh karang. Marshall & Schuttenberg, (2006) juga menyebutkan bahwa skala pemutihan yang bersifat lokal tidak membahayakan ekosistem secara keseluruhan, jika faktor pemicu yang lainnya, seperti melimpahnya alga, tidak terjadi.
Foto: Estradivari
3. Tren peningkatan koloni berukuran besar terlihat pada marga Montipora dan Porites, sedangkan tren penurunan terlihat pada marga Acropora, Fungia, dan Seriatopora.
Gambar 5.7. Persaingan ruang antara koloni karang ukuran besar dan kecil
Marga Seriatopora (pertumbuhan cepat) memiliki pola yang berbeda dengan dua marga yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu rekrutmen maupun pertumbuhannya terjadi penurunan selama pengamatan yang menandakan bahwa marga ini dalam keadaan kritis. Gomez (1985) mengemukan pendapat bahwa jenis-jenis karang dengan pertumbuhan cepat memiliki 100% peluang tumbuh dari koloni ukuran kecil ke ukuran sedang dan 66% peluang tumbuh dari koloni ukuran sedang ke koloni ukuran besar. Namun, hal ini tidak terlihat pada marga Seriatopora yang diamati di Kepulauan Seribu. Fenomena tersebut diduga karena adanya pemutihan, dimana koloni dengan bentuk pertumbuhan bercabang memiliki ketahanan yang rendah. Ini diperkuat pernyataan Marshal & Schuttenberg (2006) 37
38 Rengat
Putri Barat
2007
Rengat
Putri Barat
Pramuka
2005
Pramuka
10,00
Panjang Besar
Panggang
Opak Besar
Nyamplung
Melintang Besar
Kelapa
12,00
Panjang Besar
Panggang
Opak Besar
Nyamplung
Melintang Besar
Kelapa
Karang Congkak
Jukung
Rengat
Putri Barat
Pramuka
Panjang Besar
Panggang
Opak Besar
Nyamplung
Melintang Besar
Kelapa
Karang Congkak
Jukung
Harapan
2007
Karang Congkak
Jukung
Harapan
Hantu Timur
Gosong Sulaiman
Gosong Karang Lebar
Gosong Belanda
Genteng Besar
Bira Besar
Belanda
Persentase Komunitas Karang (%)
2005
Harapan
2007 Hantu Timur
Gosong Sulaiman
Gosong Karang Lebar
Gosong Belanda
Genteng Besar
Bira Besar
Belanda
Persentase Koloni Karang (%) 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
Hantu Timur
2005
Gosong Sulaiman
Gosong Karang Lebar
8,00
Gosong Belanda
Genteng Besar
Bira Besar
Belanda
Persentase Koloni Karang (%)
5 Kajian Berkala Struktur Komunitas Karang Keras di Perairan Kepulauan Seribu
2009
LokasiPengamatan
Gambar 5.8. Perubahan persentase ukuran koloni karang ukuran kecil berdasarkan lokasi dari tahun 2005-2009.
14,00
2009
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
LokasiPengamatan
Gambar 5.9. Perubahan persentase koloni karang ukuran sedang berdasarkan lokasi dari tahun 2005-2009.
12,00
10,00
2009
6,00
4,00
2,00
0,00
Lokasi Pengamatan
Gambar 5.10. Perubahan persentase koloni karang ukuran besar berdasarkan lokasi dari tahun 2005-2009.
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
bahwa koloni karang dengan karakteristik bercabang memiliki ketahanan yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis-jenis karang dengan karakteristik yang padat dan masif. Peningkatan tutupan alga juga diduga menjadi penyebab pola yang terjadi pada marga ini. Pengamatan ukuran koloni berdasarkan sebaran wilayah dari tahun 2005-2009 di 19 lokasi yang sama menunjukkan adanya beberapa perubahan persentase ukuran koloni karang keras pada setiap pulau pada karang yang berukuran kecil, sedang dan besar. Dari gambar 5.8, 5.9 dan 5.10 di atas dapat dikelompokkan sebaran persentase koloni karang berdasarkan pulau terbagi menjadi tiga kelompok proses, yaitu: 1. Pulau Belanda, P. Bira Besar, dan Gosong Belanda menunjukkan proses pertumbuhan dan rekrutmen berjalan dengan baik. Ini terlihat dari peningkatan persentase ukuran koloni karang ukuran kecil, sedang dan besar. 2. Gosong Karang Lebar, P. Kelapa, dan Gosong Sulaiman menunjukkan proses pertumbuhan dan rekrutmen tidak terjadi. Hal ini terlihat dari penurunan persentase koloni karangukuran kecil, sedang, dan besar. 3. Pulau Karang Congkak, P. Panggang dan P. Nyamplung terjadi proses pertumbuhan yang baik, namun tidak terjadi proses rekrutmen. Hal ini terlihat dari peningkatan persentase koloni karang ukuran sedang dan besar, namun terjadi penurunan persentase koloni karang ukuran kecil yang cukup tinggi. Pola yang terjadi pada proses 2 dan 3 kemungkinan disebabkan oleh peningkatan tutupan komunitas alga (makro alga dan turf alga) dan tutupan patahan karang (rubble) di lokasi-lokasi tersebut. Ini sesuai dengan pernyataan Bahtiar (2003) bahwa tutupan alga yang lebat bisa menghambat penempelan larva atau menurunkan kelulusan hidup
rekrutmen karang karena kompetisi terhadap ruang. Menurut Jompa & McCook (2003a), alga dapat mengeluarkan senyawa bioaktif yang dapat merusak bahkan membunuh karang. Sementara, Razak (2006) menjelaskan bahwa hamparan patahan karang dan pasir merupakan substrat yang tidak stabil karena dapat mudah terbolak-balik (shifting) oleh arus dan ombak, sehingga membuat juwana karang menjadi susah menempel. Selanjutnya, Fox dkk. (2001) menjelaskan bahwa patahan karang (rubble) sangat berpotensi mempercepat pemulihan. Namun, patahan karang mudah bergerak atau tidak stabil, sehingga karang rekrutmen tidak dapat bertahan menempel pada patahan karang atau bahkan mati, terlebih jika arus kuat pada suatu lokasi. Jika kondisi yang terjadi pada proses 2 dan 3 terus terjadi dan merembet ke pulau-pulau yang lain, maka keberadaan terumbu karang di Kepulauan Seribu terancam karena pola rekrutmen dan pertumbuhan mengalami penurunan. Menurut Chiappone & Sullivan (1996) dan Edmunds (2000), ukuran koloni karang kategori kecil (<5 cm) merupakan hasil rekrutmen yang dikontribusi oleh ukuran koloni karang kategori sedang dan besar. Dengan kata lain, meningkatnya koloni ukuran besar dan sedang seharusnya diikuti dengan meningkatnya rekrutmen. Hal ini juga diperkuat oleh Yang (1985) yang menyatakan bahwa karang yang koloninya dewasa akan bereproduksi lebih optimal, sehingga bisa menjadi penyumbang larva karang bagi daerah sekitarnya. Sesuai dengan pernyataan Cornel & Karlson (2000) yang menyatakan terumbu karang yang terdapat di sekitarnya dapat menyumbangkan larva karang bagi daerah lain yang kurang baik, sehingga dapat menghindari kepunahan jenis. Karang keras di Kepulauan Seribu tidak mengalami sebuah proses regenerasi yang baik. Hal ini kemungkinan karena kondisi habitat yang semakin menurun, seperti kualitas 39
5
Kajian Berkala Struktur Komunitas Karang Keras di Perairan Kepulauan Seribu
perairan sehingga terjadi perpindahan fase dari komunitas yang didominasi oleh karang keras ke komunitas yang didominasi oleh alga (Edwards & Gomez, 2008; Hughes,1994; Done, 1992). Sementara, Yang (1985) menyatakan bahwa karang dengan ukuran koloni yang kecil rentan terhadap tekanan lingkungan seperti pemangsaan oleh hewan lain, terkubur sedimen, dan hancur karena arus. Marshall & Schuttenberg (2006) menyebutkan bahwa keberadaan karang-karang yang muda dipengaruhi oleh predator, partikel sedimen, alga dan tertutup oleh karang-karang dewasa.
Kesimpulan Selama pengamatan dari tahun 2005 sampai 2009 tidak terjadi perubahan nyata dalam struktur komunitas karang keras di Kepulauan Seribu, namun secara kualitas habitat telah terjadi penurunan, hal ini telihat dari segi sebaran marga memperlihatkan pola bahwa persentase koloni karang yang berukuran kecil, sedang maupun besar mengalami penurunan. Ini menandakan bahwa proses rekrutmen, pertumbuhan dan perkembangan karang keras mengalami tekanan yang cukup besar dari lingkungan dan pola ini membahayakan kelangsungan hidup karang keras di Kepulauan Seribu. Suku yang ditemukan di Kepulauan Seribu dari tahun 2005-2009 sebanyak 18 suku dengan total 63 marga. Sedangkan untuk pengamatan fenomena pemutihan karang terlihat bahwa pemutihan karang merata pada semua wilayah pengamatan dan kebanyakan menyerang suku Fungiidae.
Foto: Estradivari
Saran
Gambar 5.11. Koloni karang ukuran kecil jenis Cynarina lacrimalis (4 cm)
Karang keras di Kepulauan Seribu tidak mengalami proses regenerasi yang baik, karena menurut Yang (1985), koloni muda (relatif kecil) belum bisa mencapai reproduksi yang optimal dan rentan terhadap tekanan lingkungan seperti pemangsaan oleh hewan lain, terkubur sedimen, dan hancur karena arus. Hal tersebut perlu diperhatikan karena menurut Cornel & Karlson (2000), kawasan terumbu karang dapat saling menyumbangkan larva, sehingga dapat menghindari kepunahan jenis. Oleh sebab itu, tekanan-tekanan yang menyebabkan menurunnya kelimpahan karang yang berukuran besar perlu dikurangi. 40
Pada tingkat pengelolaan: 1. Pengelolaan terumbu karang ditingkatkan melalui pendekatan ekosistem dengan prinsip kehati-hatian dan juga sudah mulai lebih spesifik berkaitan dengan pola rekrutmen, pertumbuhan, dan perkembangan karang secara wilayah, serta mengurangi tekanan antropogenik. 2. Menyediakan substrat tumbuh bagi larva karang terutama di wilayah yang tutupan rubble/patahan karangnya tinggi. 3. Melakukan perencanaan restoking karang di wilayah yang telah terjadi penurunan tutupan karang hidupnya. Pada tingkat kajian perlu dilakukan sebagai berikut : 1. Kajian tentang waktu-waktu spawning karang dan pola sebaran larva karang secara wilayah.
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
2. Kajian lebih mendalam tentang pola rekrutmen karang berdasarkan marga dan sebaran wilayahnya. 3. Kajian bentuk dan model substrat yang disukai dan mendukung pertumbuhan larva karang.
Jompa, J. & L. J. Mc Cook. 2003a. Coral-algal competition: macroalga with different properties have different effect on corals. Departement of Marine Biology, James Cook University. Townsville, Queensland. Australia. Marine Ecology Progress Series Vol. 258:87-95. 2003.
Daftar Pustaka
Ludwig, J. A. & J. F. Reynolds. 1998. Statistical ecology: a primer methods and computing. John Wiley & Sons, New York: xviii + 337 hlm.
Bahtiar, I. 2003. Reproduction of scleractinian corals: a review. Pusat Penelitian Pesisir dan Laut (P3L), Universitas Mataram. Biota 8(3):131-134 http://mycoralreef.wordpress. com/2010/04/15/reproduksi-dan-rekruitmen-karangscleractinia-3 11 November 2010. Birkeland, C. (ed). 1997. Life and death of coral reefs. Chapman & Hall, New York. Brown, B. E. & Suharsono. 1990. Damage and recovery of coral reefs affected by El-Nino related seawater warming in the Thousand Islands, Indonesia. Coral reefs 8: 163 – 170. Burke, L., E. Selig dan M. Spalding. 2002. Reefs at risk in Southeast Asia. World Resources Institute, United Nations Environment Program-World Conservation Monitoring Center, World Fish Center, dan International Coral Reef Action Network, USA: 40 hlm.
Kepdirjenphka No. SK.05/IV-KK/2004 ttg Pembagian Zona Kawasan Taman Nasional Kepulauan seribu LAPI-ITB. 2001. Laporan akhir pengelolaan laut lestari: pendataan dan pemetaan potensi sumberdaya alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk Jakarta. LAPI ITB, Indonesia: vii + 93 hlm.
Marshall, P. A. & A. H. Baird. 2000. Bleaching of corals on the Great Barrier Reef: differential susceptibilities among taxa. Coral reefs 19, 155 163. Marshall, P. & H. Schuttenberg. 2006. A Reef Manager’s guide to coral bleaching. Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville: x+163 hlm Razak, T. 2006. Hard coral & reef fish community on the EcoReefs rehabilitation site, Manado Tua Island, Bunaken National Park, North Sulawesi, Indonesia. A monitoring report, Indonesia: 35 hlm. (tidak dipublikasikan). Tomascik T., A. J. Mah, A. Nontji, & M. K. Moosa., 1997. The Ecology Of Indonesian Seas. Perplus Editions, 1387 p.
Cornell, H. V. & R. H. Karlson. 2000. Coral species richness: ecological versus biogeographical influences. Coral reefs (2000) 19: 37 – 49.
Sukarno, M., M. Hutomo, K. Moosa, & P. Darsono.1981. Terumbu Karang di Indonesia: Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. LON – LIPI. Jakarta
Done, T.J. 1992. Phase shifts in coral reef communities and their ecological significance. Hydrobiologia.
Suyarso. 1995. Atlas Oseanologi Teluk Jakarta. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta.
Edwards, A. J. & E. D. Gomez. 2008. Konsep dan panduan restorasi terumbu: Membuat pilihan bijak di antara ketidakpastian. Terj. dari: Reef restoration concepts and guidelines: making sensible management choices in the face of uncertainty. Oleh: Yusri, S., Estradivari, N. S. Wijoyo, & Idris. Yayasan TERANGI, Jakarta: iv + 38 hlm.
Spalding, M. D., C. Ravilious & E. P. Green. 2001. World atlas of coral reefs. Disiapkan di UNEP-WCMC. University of California Press, USA: 424 hlm. Veron, J. E. N. 2000. Corals of Australia and Indo-Pacific. Angus & Robertson Publishers, Australia.
English, S., C. Wilkinson, & V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources (2nd edition). Australian Institute for Marine Science, Townsville
Warwick, R. M., K. R. Clarke, & Suharsono. 1990. A statistical analysis of coral community responses to the 1982-83 El Nino in the Thousand Islands, Indonesia. Coral Reefs 8: 171-179 hlm.
Estradivari, E. Setyawan, & S. Yusri. (eds). 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan TERANGI. Jakarta. viii+102 hlm.
Westmacott S, K. Teleki, S. Wells, & J. M. West. 2000. Pengelolaan terumbu karang yang telah memutih dan rusak kritis. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Estradivari, S. Yusri, M. Syahrir, & S. Timotius. (eds). 2006. Ekosistem Pesisir di Petondan Timur dan Sekitarnya. Yayasan TERANGI, Jakarta : 69 hal Fox, H. E., J. S. Pet, R. Dahuri, & R. L. Caldwell. 2001. Coral reef restoration after blast fishing in Indonesia. Procceeding 9th International Coral Reef Symposium
Yang, R. T. 1985. Coral communities in Nan Wan Bay. Proceedings of the Fifth International Coral Reef Congress Vol. 6, Tahiti. Yusri, S. & Estradivari. 2007. Distribusi infeksi penyakit White Syndromes dan karang memutih (coral bleaching) pada komunitas karang keras di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu. Berita Biologi 8(4): 223 – 229.
Gomez, E., A. Alcala, H. Yap, L. Alcala, & P. Alino. 1985. Growth studies of commercially important scleractinians. Proceedings of the 5th International Coral Reef Congress 6:199-204 Hill, J. & C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: a resource for managers. Australian Institute of Marine Science and Reef Check, Australia. Hodgson, G., J. Hill, W. Kiene, L. Maun, J. Mihaly, J. Liebeler, C. Shuman, & R. Torres. 2006. Reefchek Instruction manual: A guide to reef check coral reef monitoring. Reef Check Foundation, California.
41
Komunitas Octocorallia di Kepulauan Seribu tahun 2009 Mikael Prastowo, Idris, dan Edy Setyawan
O
Pendahuluan
ctocorallia sering disamakan dengan karang lunak. Sebenarnya, Octocorallia bersama dengan Scleractinia merupakan subkelas dari Kelas Anthozoa. Karang lunak sendiri termasuk dalam Subkelas Octocorallia. Subkelas Octocorallia dibagi menjadi enam bangsa dan salah satu diantaranya adalah bangsa Alcyonacea yang merupakan karang lunak yang sebenarnya (Manuputty, 2002; Fabricius & Alderslade, 2001).
Di dalam ekosistem terumbu karang, Octocorallia memiliki beberapa fungsi ekologis, diantaranya sebagai salah satu hewan penyusun ekosistem terumbu karang, sebagai penyeimbang ekosistem, dan sebagai pemasok senyawa karbonat yang berguna bagi pembentukan terumbu. Karang lunak dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang mempunyai peranan penting dalam ekologinya. Gorgonian sp. dan Lobophytum sp. dari hasil fragmentasi buatan diketahui mengandung bahan bioaktif yang berguna bagi dunia kesehatan (Efendi dkk., 2007). Sementara, Briareum sp. dan Sinularia sp. diketahui mengandung anti bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Harpeni, 2005). Octocorallia di perairan Kepulauan Seribu ditemukan sebanyak 29 marga dalam 14 suku. Beberapa suku yang paling banyak ditemukan, antara lain: suku Briareidae, Clavulaiidae, Alcyoniidae, Xeniidae, dan Nephtheidae.
6
Kondisi perairan Kepulauan Seribu mendukung perkembangan Octocorallia, khususnya untuk marga-marga yang biasa hidup di kondisi perairan yang keruh, seperti Briareum dan Sarcophyton (Estradivari dkk., 2009). Penelitian pada ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu sudah banyak dilakukan, namun sebagian besar masih terfokus karang keras dan ikan karang. Selama ini, penelitian tentang Octocorallia yang dilakukan di Kepulauan Seribu lebih terfokus pencarian kandungan bioaktif pada Octocorallia, khususnya bangsa Alcyonacea. Data dan informasi tentang status Octocorallia di Kepulauan Seribu sendiri masih sangat kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas Octocorallia di Kepulauan Seribu. Data dan informasi yang didapatkan diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang, khususnya Octocorallia.
Metodologi
Pengamatan komunitas octocorallia
Pengamatan dilakukan pada bulan 1-10 November 2009 di 36 lokasi pengamatan perairan Kepulauan Seribu pada kedalaman rata-rata 7 m. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode transek sabuk 1x20 m sebanyak 2 atau 4 kali ulangan tergantung dari luasan terumbu (Hill & Wilkinson, 2000). Secara keseluruhan, luasan area pengamatan adalah 2.840 m2. Pengambilan data dilakukan hingga
43
6
Komunitas Octocorallia di Kepulauan Seribu tahun 2009
tingkat marga berdasarkan buku identifikasi Soft Corals and Sea Fans: A Comprehensive Guide to The Tropical Shallow Water Genera of The Central-West Pacific, The Indian Ocean, and The Red Sea (Fabricius & Alderslade, 2001).
Tabel 6.1. Suku dan marga Octocorallia yang ditemukan di Kepulauan Seribu pada pengamatan tahun 2009. Suku
Analisis data Keanekaragaman marga Octocorallia di Kepulauan Seribu dihitung menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh dengan menghitung perbandingan jumlah populasi setiap marga terhadap jumlah populasi semua marga dalam Octocorallia di setiap lokasi pengamatan. Keseimbangan ekosistem dilihat dengan menggunakan nilai indeks kemerataan (Ludwig & Reynolds, 1988), sedangkan dominansi suatu marga diketahui dengan menggunakan indeks dominansi Simpson. Kelimpahan koloni Octocorallia dihitung berdasarkan jumlah koloni pada suatu satuan luas (koloni/ha). Octocorallia dari suku Tubiporidae dan Helioporidae tidak dimasukkan dalam analisis dan dimasukkan ke dalam perhitungan karang keras.
Hasil Struktur Komunitas dan Kelimpahan Octocorallia Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di Kepulauan Seribu, Octocorallia ditemukan sebanyak 24 marga dari 12 suku. Suku dengan jumlah marga yang paling banyak ditemukan, yakni suku Nephtheidae dan Alcyoniidae dengan masing-masing lima dan dan marga (Tabel 6.1). Secara keseluruhan, rerata kelimpahan koloni Octocorallia di Kepulauan Seribu pada pengamatan tahun 2009 adalah sebanyak 9.257 koloni/ha. Kelimpahan koloni tertinggi ditemukan di Pulau Karang Congkak dengan kelimpahan 69.125 koloni/ha, sedangkan terendah ditemukan di Pulau Sepa dengan hanya 125 koloni/ha (Tabel 6.2). 44
Kelimpahan koloni pada tingkat suku didominasi oleh suku Alcyoniidae, Clavulariidae, Briareidae, Nephtheidae, Xeniidae, dan Gorgoniidae.
Marga
Alcyoniidae
Cladiella, Lobophytum, Sarcophyton, Sinularia
Briareidae
Briareum
Clavulariidae
Carijoa, Clavularia
Ellisellidae
Ellisella, Juncella
Gorgoniidae
Pinnigorgia, Rhumpella
Isididae
Isis
Melithaeidae
Melithaea
Nephtheidae
Dendronephthya, Lemnalia, Nephthea, Scleronepthya, Stereonephthya
Nidallidae
Chironephthea, Siphonogorgia
Plexauridae
Euplexaura, Menella
Subergorgiidae
Annella
Xeniidae
Xenia
Isididae
Isis
Pennatulidae
Pennatullae
Kelimpahan dari enam marga tersebut mencapai lebih dari 90% dari kelimpahan seluruh marga yang ditemukan, sedangkan kelimpahan enam suku lainnya hanya sebesar 5,17% (Gambar 6.1). Kelimpahan Alcyoniidae mencapai 33,24% dan Clavulariidae mencapai 20,62%. Pada tingkat marga, marga Clavularia dan Sarchophyton memiliki kelimpahan tertinggi dengan 1.884 koloni/ha. Kelimpahan Sinularia dan Briareum juga cukup melimpah, yakni 1.053 koloni/ha dan 1.285 koloni/ha (Gambar 6.2). Gorgooniidae; 7,884%
Lainnya;5,17% Alc yoniidae; 3 3,24%
Xeniidae;8,29% Nephtheidaae; 10,95%
Briareidae; 113,88%
Claavulariidae; 20,62%
Gambar 6.1. Komposisi berdasarkan suku (%)
kelimpahan
Octocorallia
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
187
Isis LLemnalia
246
Stereonnephthya
254 405 4
Marga
NNephthea
718
Pinnnigorgia
7688
Xenia
1053
SSinularia
1285 1
BBriareum Sarccophyton
1884
Cllavularia
1884 0
5000 11000 1500 Kelimpahaan (koloni/ha)
2000
Gambar 6.2. Sepuluh marga dengan kelimpahan tertinggi di Kepulauan Seribu tahun 2009 (koloni/ha).
Indeks keanekaragaman (H’) berkisar antara 0,22 dan 1,80 dengan H’ terendah ditemukan di Pulau Belanda, sedangkan tertinggi ditemukan di Pulau Panjang Besar. Nilai H’ yang paling tinggi ini pun masih dalam kisaran rendah. Indeks kemerataan (E) tertinggi ditemukan di Pulau Genteng Besar (0,97) dan terendah ditemukan di Pulau Rengat (0,42). Sebagian besar lokasi pengamatan menunjukkan nilai E dengan kisaran sedang dan tinggi. Indeks dominansi (D) berkisar antara 0,19 dan 1,00 dengan nilai terendah ditemukan di Pulau Pamegaran dan tertinggi di Penjaliran Timur, Semut Kecil, dan Sepa (Tabel 6.2). Sebagian besar lokasi pengamatan menunjukkan nilai H’
yang berada dalam kisaran rendah dan hanya 4 lokasi yang menunjukkan nilai dominansi yang tinggi, yaitu Pulau Belanda dan ketiga pulau yang memiliki D tertinggi.
Pembahasan Alcyoniidae dan Nephtheidae merupakan suku dengan jenis yang paling banyak ditemukan di Kepulauan Seribu. Alcyoniidae sendiri adalah suku yang dominan ditemukan di IndoPasifik Barat (Fabricius & Alderslade, 2001). Bersama dengan Xeniidae, jenis-jenis dari suku Alcyoniidae dan Nephtheidae memang sering dan banyak ditemukan di perairan Indonesia (Manuputty, 2002). Hal yang wajar jika ketiga suku tersebut sangat mendominasi kelimpahan marga Octocorallia dengan lebih dari 50% dari total kelimpahan Octocorallia yang ditemukan. Selain ketiga suku tersebut, kelimpahan Clavularidae dan Briareidae juga termasuk suku yang dominan. Suku Clavularidae dan Briareidae memang banyak ditemukan di perairan Kepulauan Seribu (Estradivari dkk., 2009). Khusus untuk Clavularidae, suku ini banyak ditemukan di rataan atau lereng terumbu dan tumbuh baik di atas karang mati (Manuputty, 2002).
Foto: Edy Steyawan
Dari 24 marga yang ditemukan di Kepulauan Seribu, 11 marga diantaranya ditemukan di Pulau Panjang Besar dan Karang Congkak, dimana jumlah tersebut merupakan jumlah marga tertinggi yang ditemukan dalam suatu lokasi pengamatan. Lokasi dengan kekayaan marga terendah adalah Pulau Harapan dengan tidak ditemukan koloni Octocorallia sama sekali.
Gambar 6.3. Genus Sarcophyton dari famili Alcyoniidae
Secara umum, marga-marga yang ditemukan di Kepulauan Seribu merupakan marga yang umum ditemukan di ekosistem terumbu karang (Fabricius & Alderslade, 2001). Berdasarkan 45
6
Komunitas Octocorallia di Kepulauan Seribu tahun 2009
Tabel 6.2. Lokasi pengamatan, struktur komunitas, dan kelimpahan koloni Octocorallia. Kekayaan marga (S), indeks keanekaragaman (H’), indeks kemerataan (E), dan indeks dominansi (D). Nilai Tertinggi ( ) dan Terendah ( ).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Lokasi Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan* Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
* tidak ditemukan octocorallia 46
S
H’
E
D
Kelimpahan (koloni/ha)
2 5 6
0,22 0,88 1,25
0,32 0,55 0,70
0,89 0,55 0,33
2.125 5.250 19.375
4
1,29
0,93
0,29
1.375
4 5 9 6 5 3 10 4 7 11 4 7 6 4 4 4 6 4 10 6 5 7 7 11 1 2 5 5 5 1
0,78 1,56 1,31 1,11 1,21 0,94 1,64 0,97 1,29 1,33 1,14 1,59 1,06 1,17 1,12 1,18 1,48 1,21 1,25 1,48 1,28 1,76 1,23 1,80 n/a 0,30 1,15 1,29 0,68 n/a
0,56 0,97 0,60 0,62 0,75 0,85 0,71 0,70 0,66 0,55 0,82 0,82 0,54 0,84 0,81 0,85 0,83 0,87 0,54 0,82 0,79 0,91 0,63 0,75 n/a 0,44 0,71 0,80 0,42 n/a
0,57 0,22 0,34 0,43 0,34 0,43 0,28 0,49 0,36 0,38 0,38 0,26 0,53 0,36 0,39 0,34 0,27 0,33 0,38 0,29 0,32 0,19 0,36 0,24 1,00 0,83 0,44 0,32 0,68 1,00
6.250 1.500 18.750 14.375 6.875 1.125 22.000 2.250 n/a 34.375 69.125 1.875 5.250 10.000 1.250 1.375 2.375 7.500 2.750 19.375 1.750 3.375 5.375 36.500 10.125 250 1.375 4.125 8.125 11.750 250
1
n/a
n/a
1,00
125
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Foto: Edy Setyawan
kelimpahan koloni yang ditemukan, margamarga yang mendominasi, diantaranya Clavularia, Sarcophyton, Briareum, dan Sinularia. Kelimpahan yang dominan dari keempat marga tersebut diduga disebabkan oleh kondisi perairan Kepulauan Seribu yang agak keruh dan tenang, sehingga sangat mendukung kehidupan mereka. Pengukuran kondisi fisik perairan menunjukkan bahwa kecerahan perairan di Kepulauan Seribu berkisar antara 3-9 m dengan rerata 6,33 m, dan rerata kecepatan arus permukaan hanya 0,07 m/s (Lihat ”Kualitas Perairan Kepulauan Seribu”). Pada perairan dangkal dengan kecerahan 3-5 m, biasanya banyak terdapat Clavularia dan Briareum, serta beberapa Sinularia dan Sarcophyton.
Gambar 6.4. Genus Briareum dari familli Briareidae
Sementara, pada perairan dengan kecerahan antara 5-8 m, ekosistem terumbu karang biasanya didominasi oleh Octocorallia dari suku Alcyonidae serta sedikit Nephtheidae dan Xeniidae. Briareum dan Clavularia adalah marga yang sering dijumpai pada perairan yang kecerahannya rendah. Sementara, Sarcophyton dan Sinularia merupakan marga mampu tumbuh lebih cepat dan besar pada perairan yang agak keruh, walaupun Sinularia sendiri juga bisa ditemukan di perairan yang jernih (Fabricius & Alderslade, 2001; Fabricius & De’ath, 2001; Fabricius & De’ath, 2000).
Keberadaan Sarcophyton dan Sinularia yang melimpah di ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu perlu diwaspadai. Di ekosistem terumbu karang, karang lunak dan karang keras berkompetisi untuk memperebutkan ruang hidup. Kedua marga ini mampu menghasilkan terpenoid, senyawa kimia beracun, yang digunakan untuk bertahan dari serangan predator sekaligus menjaga kompetisi ruang dengan karang keras. Fabricius & Alderslade (2001) menjelaskan bahwa kesuksesan larva karang untuk tumbuh dan berkembang sangat berkurang di area dengan radius lebih dari 0,5 m dari koloni Sarcophyton dan Sinularia akibat senyawa kimia yang dikeluarkan oleh kedua marga tersebut. Pulau Karang Congkak adalah lokasi dengan kelimpahan koloni Octocorallia yang paling tinggi, sedangkan Pulau Sepa adalah lokasi dengan kelimpahan paling sedikit di antara lokasi yang lain. Octocorallia di Pulau Karang Congkak didominasi oleh marga Clavularia dengan kelimpahan lebih dari 50% dan beberapa marga lain dari suku Alcyoniidae, seperti Sarcophyton, Sinularia, dan Lobophytum. Kondisi ini diduga disebabkan oleh lokasi pengamatan yang mendapatkan pengaruh nutrien dari kegiatan budidaya yang ada di Pulau Karang Congkak dan lokasi pengamatan yang cukup terbuka terhadap pengaruh ombak. Clavularia sendiri merupakan marga yang biasa ditemukan di area terumbu karang yang cukup mendapatkan pengaruh ombak, sedangkan suku Alcyonidae biasanya ditemukan di daerah terumbu karang yang mendapatkan banyak pengaruh dari nutrien. Di Pulau Sepa sendiri hanya ditemukan Juncella. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi substrat dasar di lokasi pengamatan yang cukup banyak terdapat lumpur dan pasir. Juncella termasuk marga yang banyak ditemukan di substrat berupa lumpur (Fabricius & Alderslade, 2001).
47
6
Komunitas Octocorallia di Kepulauan Seribu tahun 2009
Indeks keanekaragaman yang cenderung rendah di sebagian besar lokasi pengamatan menunjukkan bahwa keanekaragaman marga Octocorallia di Kepulauan Seribu memang rendah. Jumlah marga Octocorallia yang ditemukan tidak sampai 11 marga dengan ratarata hanya 5 marga di setiap lokasi pengamatan. Hanya beberapa marga saja, seperti Clavularia, Sarcophyton, Briareum, dan Sinularia yang cukup mendominasi kelimpahannya. Hal ini berkaitan dengan kondisi perairan di Kepulauan Seribu yang memang sesuai untuk pertumbuhan keempat marga tersebut (Estradivari dkk., 2009).
Kesimpulan Kekayaan marga Octocorallia di Kepulauan Seribu pada tahun 2009 adalah 24 marga yang termasuk dalam 12 suku. Rerata kelimpahan koloni Octocorallia yang ditemukan adalah sebanyak 9.257 koloni/ha yang didominasi oleh suku Alcyoniidae, Clavulariidae, Briareidae, Nephtheidae, Xeniidae, dan Gorgoniidae yang kelimpahannya melebihi 90% dari kelimpahan Octocorallia. Clavularia, Sarchophyton, Sinularia, dan Briareum merupakan margamarga yang paling dominan di antara margamarga lain. Indeks keanekaragaman (H’) Octocorallia di seluruh lokasi pengamatan termasuk dalam kisaran rendah dengan rerata (H’) hanya 1,05.
48
DAFTAR PUSTAKA Efendi, H., D. Soedharma, M. Kawaroe, B. Subhan, & D. Arafat. 2007. Kajian Bioaktif Karang Lunak (Octocorallia: Aleyonacea) Gorgonian sp dan Lobophytum sp, hasil fragmentasi buatan sebagai penyedia bahan obat-obatan dari laut. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Estradivari, E. Setyawan, & S. Yusri (eds). 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan TERANGI. Jakarta. viii+102 hlm. Fabricius, K. E. & G. De’ath. 2000. Soft Coral Atlas of The Great Barrier Reef. Australian Institute of marine Science. http:// www.aims.gov.au/softcoral.atlas : 57 pp. Fabricius, K. E. & G. De’ath. 2001. Biodiversity on Great Barrier Reef: Large-scale pattern and turbidity-related local loss of soft coral taxa. pp 127-144. Dalam. Wolanski. (ed). Oceanographic processes of Coral Reef: physical and biological links in the Great Barrier Reef. CRC Press. London. 356 pp. Fabricius, K. E. & P. Alderslade. 2001. Soft Corals and Sea Fans: A Comprehensive Guide to The Tropical Shallow Water Genera of The Central-West Pacific, The Indian Ocean, and The Red Sea. AIMS. Australia. Harpeni, E. 2005. Eksplorasi bakteri karang sebagai alternatif sumber senyawa bioaktif (uji bioassay anti bakteri). UNILA. Hill, J. & C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: A resource for managers. Australian Institute of Marine Science. Australia. Manuputty, A. E. W. 2002. Karang Lunak (Soft Coral) Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Hubungan antara Struktur Komunitas Makrobentos non-karang dengan Tutupan Substrat Dasar di Taman Nasional Kepulauan Seribu Safran Yusri dan Silvianita Timotius
B
Pendahuluan
entos merupakan kelompok biota terbesar di laut yang memiliki peran penting dalam ekosistem (Ganesh & Raman, 2007). Teal (1980) mengemukakan bahwa hewan bentos berperan dalam siklus nutrien di perairan. Siklus nutrien merupakan proses yang penting dalam ekologi perairan karena merupakan sumber energi bagi produsen. Di sisi lain, makrobentos juga merupakan salah satu komponen biologis yang sering digunakan sebagai indikator pencemaran, karena memiliki kepekaan yang berbeda terhadap zat pencemar dan mobilitas yang rendah, sehingga dapat langsung terpengaruh dan mudah ditangkap untuk dianalisis (Wilhm, 1975). Oleh sebab itu, makrobentos sering digunakan oleh para ahli untuk mengatasi kesulitan memperoleh alatalat laboratorium dan analisis kimia (Loeb & Spacie, 1994). Bentos yang berada di terumbu karang Kepualaun Seribu sangat menarik untuk diteliti karena walaupun mengalami beragam gangguan, kekayaan jenisnya masih cukup tinggi (Yusri & Timotius, 2007). Di Kepulauan Seribu, beberapa bentos dimanfaatkan untuk dikonsumsi, antara lain gurita, udang, dan teripang (Napitupulu dkk., 2006). Selain itu, bentos juga dimanfaatkan untuk akuarium air laut (Yusri & Timotius, 2007). Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, penyelam, nelayan, turis, dan ilmuwan telah menyadari adanya degradasi ekosistem (Napitupulu dkk.,
7
2006). Hal tersebut terjadi karena tingginya tekanan terhadap Kepulauan Seribu, seperti adanya polusi, perikanan berlebih dan merusak, tumpahan minyak, perubahan fungsi habitat, dan naiknya suhu permukaan laut (Ongkosongo, 1986; LAPI-ITB, 2001; Suharsono, 2005; Yusri & Estradivari, 2007). Dampaknya dapat dilihat pada tutupan substrat dasar dengan tutupan karang keras yang stabil pada kisaran 31,7-34,2% atau termasuk kategori cukup (Estradivari dkk., 2009).
Pada ekosistem terumbu karang, substrat dasar merupakan salah satu faktor penting bagi makhluk hidup, karena mempengaruhi penempelan larva, ketersediaan makanan, dan perlindungan dari pemangsa (Luckhurst & Luckhurst, 1978; Hixon & Beets, 1993; Chapman & Kramer, 2000). Substrat dasar pada terumbu karang bersifat tidak teratur dan bervariasi. Variasi tersebut dikenal dengan beragam terminologi seperti rugositas, kompleksitas habitat, kompleksitas topografis, dan heterogenitas substrat (Beck, 1998; Magno & Villanoy, 2006). Habitat yang lebih kompleks atau bervariasi akan mendukung keanekaragaman jenis, sehingga menjadi salah satu parameter ekologis yang penting (Friedlander & Parrish, 1998; Gratwicke & Speight, 2005). Oleh sebab itu, kompleksitas habitat akan mempengaruhi struktur komunitas bentos. Sayangnya, penelitian bentos di Kepulauan Seribu, terutama di dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS),
49
kebanyakan hanya terfokus pada kelompok hewan atau pulau tertentu saja, dan belum ada yang mengeksplorasi hubungannya dengan mikrohabitat yang tersedia. Oleh sebab itu, penelitian tentang bentos secara menyeluruh di Kepulauan Seribu, khususnya di kawasan TNKpS, perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan, keanekaragaman, dan dinamika komunitas bentos di kawasan TNKpS berikut dengan hubungan antara keanekaragaman dengan substrat dasar.
Foto: Estradivari
7
Hubungan antara Struktur Komunitas Makrobentos non-karang dengan Tutupan Substrat Dasar di Taman Nasional Kepulauan Seribu
Gambar 7.1. Kerang Pedum spondyloideum merupakan moluska yang membenamkan diri pada karang masif
Metodologi Struktur komunitas makrobentos dan substrat dasar diamati pada November 2009. Survei dilakukan pada 36 lokasi. Lokasi pengamatan dipilih untuk mendapatkan cuplikan yang mewakili kawasan TNKpS berdasarkan geomorfologi, dan oseanografi (Cleary dkk., 2006). Pengamatan dilakukan di lereng terumbu dengan rata-rata kedalaman 7 m menggunakan transek sabuk untuk struktur komunitas dan transek garis untuk tutupan substrat (Hill & Wilkinson, 2004). Transek sebesar 1x20 m dipasang sejajar tepi terumbu. Dalam setiap lokasi diambil empat buah unit pengamatan namun jika lokasi tidak memungkinkan, maka akan diambil dua unit saja. Penelitian dilakukan pada siang hari, sehingga target pengamatan hanya terbatas pada hewan-hewan diurnal-hewan yang mencari makan pada siang hari. Identifikasi dilakukan hingga tingkat taksonomi terendah yang memungkinkan, 50
dengan pengecualian, anggota Filum Porifera dibatasi pada Kelas Demospongia. Informasi yang dicatat berupa jenis dan jumlah bentos yang ditemukan. Panduan identifikasi yang digunakan meliputi de Voogd (2005), Dharma (2005), Sprung (2001), Allen & Steene (1998), Carpenter & Niem (1998), Debelius (1996), Collin & Arnesson (1995), Dharma (1992), Dharma (1988), dan Clark & Rowe (1971). Dalam lokasi pengamatan dilakukan pula pengukuran suhu permukaan air laut, pH, salinitas, kecerahan, kecepatan arus, dan oksigen terlarut. Tidak semua lokasi dapat diukur semua parameternya karena keterbatasan alat dan sumber daya manusia. Suhu diukur dengan menggunakan termometer; pH diukur dengan menggunakan kertas pH; salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer; untuk mengukur kecerahan digunakan cakram secchi; kecepatan arus diukur dengan floating droudge dan stopwatch; sedangkan oksigen terlarut diukur dengan menggunakan DO Meter (English dkk., 1994; Hill & Wilkinson, 2004). Persentase penutupan substrat ditentukan dengan membandingkan panjang total biota ke-i dengan panjang total transek lalu dikonversi ke persentase. Keanekaragaman diketahui dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener, yang memperhitungkan kekayaan jenis dan kemerataan (Magurran, 1988). Keanekaragaman dihitung dengan Hi’ = ∑ Pi Ln Pi. Pi adalah proporsi kelimpahan jenis i. Kemerataan dihitung dengan Ei’ = Hi’/H’maks, H’ adalah indeks keanekaragaman, dan H’maks = H’/Ln S, dan S adalah kekayaan jenis. Untuk mengetahui hubungan antara penutupan substrat dengan keanekaragaman maka dilakukan Analisis Faktor dengan metode ekstraksi menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Dalam analisis yang dilakukan, hanya komponen dengan nilai eigenvalue lebih besar dari satu yang dipertahankan. Untuk mempermudah interpretasi, hasil PCA kemudian dirotasi dengan menggunakan metode Varimax.
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Tabel 7.1. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Makrobentos non-Karang di setiap lokasi pengamatan pada tahun 2009. Jumlah jenis (S), Indeks keanekaragaman (H’), Indeks Kemerataan (E), Indeks Dominansi (D). Nilai Tertinggi ( ) dan Terendah ( ).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
S
H'
E
D
Kelimpahan
21 30 34 23 24 41 24 21 23 25 12 14 16 39 19 28 29 16 17 33 33 51 37 37 24 32 36 30 16 17 30 19 32 25 31 26
1,83 1,93 2,47 2,20 1,94 1,32 1,93 1,96 1,95 2,27 1,60 1,59 2,07 1,20 2,27 1,17 1,05 2,06 2,01 1,74 2,55 2,33 1,09 2,38 2,14 2,03 2,85 2,82 2,25 1,62 2,58 2,20 2,60 2,01 1,97 2,24
0,60 0,57 0,70 0,70 0,61 0,36 0,61 0,64 0,62 0,71 0,64 0,60 0,75 0,33 0,77 0,35 0,31 0,74 0,71 0,50 0,73 0,59 0,30 0,66 0,67 0,59 0,80 0,83 0,81 0,57 0,76 0,75 0,75 0,62 0,57 0,69
0,26 0,30 0,13 0,17 0,22 0,54 0,27 0,21 0,27 0,16 0,34 0,38 0,18 0,54 0,14 0,54 0,62 0,17 0,19 0,28 0,12 0,18 0,57 0,21 0,18 0,19 0,16 0,08 0,15 0,32 0,12 1,00 0,13 0,22 0,25 0,18
30.375 52.500 63.125 25.125 73.375 168.375 23.875 55.833 28.875 34.875 28.500 23.500 27.000 193.125 45.125 185.875 331.750 28.250 42.875 428.625 77.625 106.000 340.875 69.875 18.625 70.625 62.500 21.125 10.750 30.375 31.875 24.250 39.625 40.125 64.750 35.500
51
Hasil
16.000
Opak Besar Dua Timur Kotok Kecil
Kayu Angin Genteng Jukung Kayu Angin Melintang Macan Besar Kotok besar
Atriolum robustum
Sabellastarte indica
Petrosia nigricans
Diadema setosum
Aaptos sp.
Didemnum molle
Palythoa sp.
Capillaster sentosus
Parazoanthus sp.
Jenis
Gambar 7.3. Sepuluh jenis makrobentos kelimpahan tertinggi di TNKpS tahun 2009
dengan
Indeks kemerataan untuk kawasan TNKpS termasuk sedang yaitu 0,57; dengan nilai tertinggi didapatkan di P. Panggang (0,83) dan terendah di P. Macan Besar (0,303). Nilai indeks dominansi untuk kawasan TNKpS juga cukup rendah, yaitu sebesar 0,106; dengan nilai tertinggi didapat di P. Kayu Angin Melintang (0,616) dan terendah di P. Panggang (0,084).
500.000 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 Gosong Sebaru Besar
Karang Congkak
Kuburan Cina
0,00 Melintang Besar
kelimpahan
Kelimpahan bentos di kawasan TNKpS menunjukkan rentang yang sangat besar, yaitu tertinggi 428.625 individu/ha dan terendah hanya 10.750 ind/ha (P. Panjang Besar). Kelimpahan total dari seluruh jenis adalah 81,894 ind/ha. Hewan yang paling melimpah adalah kelompok zoantharia, seperti Zoanthus mantoni, Parazoanthus sp., dan Palythoa sp.; disusul kelompok Echinodermata, Capillaster sentosus dan Diadema setosum; kelompok Porifera, seperti Aaptos sp.; kelompok Annelida, seperti Sabellestarte indica; dan kelompok Tunicata, seperti Atriolum robustum. Karena melimpahnya Zoantharia, indeks keanekaragaman dan kemerataan juga tidak terlalu tinggi. Indeks keanekaragaman untuk kawasan TNKpS hanya sebesar 2,8; dengan lokasi yang memiliki indeks keanekaragaman tertinggi adalah P. Pamegaran (2,85) dan terendah adalah P. Kayu Angin Melintang (1,05). 52
0
Bira Kecil
Gambar 7.2. Sepuluh lokasi dengan makrobentos tertinggi di TNKpS tahun 2009
2.000
Kotok Kecil
400.000
4.000
Petondan Timur
200.000 300.000 Kelimpahan (ind/ha)
6.000
Putri Barat
100.000
8.000
Panggang
0
10.000
Pamegaran
Lokasi
Kuburan Cina Genteng Besar
12.000
Zoanthus mantoni
Struktur Komunitas dan Kelimpahan Ikan karang di kawasan TNKpS Berdasarkan pengamatan berhasil ditemukan 146 jenis yang mewakili Filum Porifera sebanyak 43 jenis, Cnidaria 14 jenis, Platyhelminthis 1 jenis, Polychaeta 4 jenis, Mollusca 32 jenis, Echinodermata 29 jenis, dan Chordata (Tunicata) 23 jenis. Sebaran kekayaan jenis tidak merata di tiap lokasi, mulai dari 12 jenis (Gosong Sulaiman) hingga 51 jenis (Pulau Kuburan Cina).
Kelimpahan (ind/ha)
14.000
Indeks Keanekaragaman (h')
7
Hubungan antara Struktur Komunitas Makrobentos non-karang dengan Tutupan Substrat Dasar di Taman Nasional Kepulauan Seribu
Lokasi
Gambar 7.4. Sepuluh lokasi dengan Indeks Keanekaragaman makrobentos tertinggi di TNKpS tahun 2009
Kualitas perairan Suhu permukaan air laut di kawasan TNKpS berkisar antara 25,7-31,0°C dengan rata-rata sebesar 29,1°C. Suhu tertinggi didapatkan dari Pulau Dua Timur, sedangkan suhu terendah ditemukan pada Pulau Bira Kecil. Hasil pengukuran kedalaman cakram secchi menunjukkan kecerahan berkisar antara 3,889,42 m dengan rata-rata 6,33 m. Kecerahan paling tinggi ditemukan di Gosong Sulaiman dan kecerahan terendah ditemukan di Pulau
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Hubungan antara penutupan substrat dan keanekaragaman jenis makrobentos Dari 30 variabel yang ada (28 variabel tutupan karang, 1 indeks keanekaragaman, dan 1 kekayaan jenis) dapat diringkas menjadi 11 komponen yang telah dapat menjelaskan 78,40% variasi dalam data. Seluruh variabel kemudian dipetakan ke dalam 3 komponen yang dapat menjelaskan 35,08% variasi dalam data. Komponen pertama (15,84%) memiliki korelasi tinggi dengan tutupan zoantharia, coralline algae, dan coral encrusting. Komponen kedua (10,71%) memiliki korelasi tinggi dengan tutupan karang mati, karang biru, kolom air, dan keanekaragaman makrobentos. Komponen ketiga (8,54%)memiliki korelasi tinggi dengan ACE, ACS, dan SP. Yang menarik adalah variabel rubble hampir selalu negatif terhadap semua komponen. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa keanekaragaman bentos memiliki hubungan yang erat dengan kolom air. Akan tetapi, kekayaan jenis bentos terkait dengan beragamnya substrat.
Pembahasan Keanekaragaman di kawasan TNKpS tertinggi adalah 2,850 di P. Pamegaran dan terendah 1,048 di Kayu Angin Melintang. Pulau Pamegaran memiliki keanekaragaman tinggi karena 36 jenis bentos hidup di sana dan tidak ada jenis yang mendominasi. Demikian pula dengan P. Panggang dengan 29 jenis dan Putri Barat dengan 32 jenis bentos. Pulau Kotok Kecil dan Kuburan Cina adalah lokasi yang unik karena keanekaragaman cukup tinggi (masing-masing
2,55 dan 2,33), namun kelimpahan bentos juga cukup tinggi (dalam kategori 10 besar). Enam dari 10 lokasi dengan kelimpahan terbesar ternyata menunjukkan keanekaragaman yang paling rendah. Keenam pulau tersebut adalah Kayu Angin Melintang (1,05), P. Macan Besar (1,09), Kayu Angin Genteng (1,17), Pulau Jukung (1,20), Genteng Besar (1,33), dan P. Kotok Besar (1,74).
Foto: Edy Setyawan
Nyamplung. Hasil pengukuran pH menunjukkan bahwa kondisi pH di perairan TNKpS masih dalam batas normal (7-8,5) dan tidak terlalu bervariasi. Kadar oksigen terlarut yang dideteksi juga masih sesuai dengan standar baku mutu air laut (>5 mg/L). Arus pada kawasan tersebut juga tidak besar, hanya berkisar 0,01-0,15 m/s, dengan rata-rata sebesar 0,07 m/s.
Gambar 7.5. Spons gentong (Xestospongia sp.) berukuran besar seperti pada gambar sering ditemukan; dan sama seperti karang, mereka juga berperan terhadap kompleksitas topografis terumbu.
Biota yang paling memberi pengaruh pada kelimpahan dan keanekaragaman bentos di suatu lokasi adalah kelompok Zoantharia. Hal tersebut terlihat jelas di lima lokasi dengan populasi bentos terendah adalah P. Panjang, Nyamplung (18.625 ind/ha), Panggang Selatan (21.125 ind/ha), Hantu Timur (23.500 ind/ha), dan Gosong Belanda (23.875 ind/ha). Capillaster sentosus, Didemnum molle, atau Atriolum robustum meski memiliki kelimpahan yang cukup tinggi, tetapi keberadaannya di pulau-pulau tersebut tidak memberikan dampak besar bagi kelimpahan total dan indeks keanegaraman. Dengan demikian, mereka mungkin bukan faktor penentu utama. Secara keseluruhan, kelimpahan Zoantharia menyebabkan indeks keanekaragaman di kawasan TNKpS menjadi rendah. Michael (1994) menyatakan bahwa adanya jenis-jenis yang sangat mendominasi akan menyebabkan keanekaragaman menjadi rendah. 53
CHL
1.0
DC WA H
0.5
ACB AA
Component 2
7
Hubungan antara Struktur Komunitas Makrobentos non-karang dengan Tutupan Substrat Dasar di Taman Nasional Kepulauan Seribu
Sh SP 0.0
CMR ACD ACS
ACE
CB
CM SC
HA
DCA
CME
R
S
TA
CS MA CF
CA ACT
OT
ZO CE
-0.5
-1.0
-1.0 -1.0
-0.5 -0.5
0.0
0.0
0.5
Compon
ent 1
0.5
1.0
1.0
nt 3
pone
Com
Gambar 7.6. Hasil Principal Component Analysis yang dipetakan ke dalam 3 komponen.
Kombinasi antara persentase tutupan patahan karang (rubble=R) dengan karang mati (dead coral=DC) yang cukup tinggi, tampaknya telah memberikan peluang yang lebih besar kepada Zoantharia dan Tunicata untuk menempel, tumbuh dan menutupi permukaan/dasaran. Kombinasi R dan DC di lima lokasi berkelimpahan tertinggi memberikan angka lebih 25%. Selama pengamatan tahun 2009 memang zoantharia banyak ditemukan melingkupi patahan karang dan karang mati, sedangkanTunicata di karang mati serta berbagai substrat lain. Zoantharia hidup di terumbu karang dengan cara melingkupi batuan, karang mati, bahkan bersaing dengan karang. Zoantharia secara umum berbahaya bagi karang karena menghasilkan racun. Palythoa dan Zoanthus bahkan menghasilkan palitoksin, suatu senyawa paling beracun di dunia. Dengan ukuran yang kecil dan selalu berkoloni, membuat mereka mampu menginvasi dasaran dan dapat menutupi rataan terumbu hingga bermeter-meter persegi (Sprung, 2001; Colin & Arneson, 1995). Kemampuan invasi juga dapat sangat tinggi; Palythoa sebagai contoh 54
menginvasi karang Agaricia agaricites dengan kecepatan 1,4 mm/hari (Suchanek & Green, 1982). Collin & Arneson (1995) menyatakan suatu area terumbu yang sangat luas ditutupi oleh Zoantharia berarti kualitas perairan telah menurun. Kelompok biota yang mengikuti Zoantharia dalam kelimpahan adalah Tunicata. Di Kepulauan Seribu bahkan mereka sering ditemukan tumbuh di permukaan jaring, tali atau ban (barang-barang buatan manusia) serta dalam jumlah banyak. Didemnum molle termasuk Tunicata yang ditemukan secara individual atau berkumpul dalam jumlah besar. Yang terakhir biasanya adalah dari varian yang berukuran kecil sementara yang individual berukuran jauh lebih besar. Atriolum robustum selalu dijumpai berkumpul dengan ukuran individu kurang lebih sama dengan D. molle yang kecil. Anggota subfilum tersebut memang dikenal sangat adaptif. Ukuran yang juga kecil dan hidup secara berkoloni menyebabkan biota ini dapat sangat melimpah. Selain itu, mereka dapat tumbuh di berbagai tipe substrat, baik substrat mati ataupun yang masih hidup, seperti
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
dan anti tumor (Rinehart, 2000). Oleh sebab itu, Tunicata di Kepulauan Seribu dapat diteliti lebih lanjut sehingga dapat bermanfaat bagi manusia.
Foto: Yunaldi Yahya
karang hidup, karang mati, batu, spon, kipas laut, bahkan Urochordata lain. Dengan cepat mereka akan menutupi permukaan karang yang mati, sehingga memperkecil kemungkinan larva karang untuk menempel, tumbuh dan berkembang. Tunicata (Subfilum Urochordata) selain berkompetisi ruang dengan larva karang, mereka juga mampu menginvasi karang yang masih hidup (Collin & Arnesson, 1995). Hewan ini juga ada yang memiliki racun vanadium yang berguna untuk menghindari penempelan epibiota di tubuh mereka (Stoecker, 1978). Mereka juga tetap dapat hidup di tempattempat yang tercemar (Collin & Arnesson, 1995).
Foto: Kiki Anggraini
Gambar 7.8. Zoanthidae yang berukuran kecil dapat tumbuh dengan cepat dan menutupi karang hanya dalam waktu singkat
Gambar 7.7. Didemnum molle sama seperti anggota Tunicata lainnya, memiliki racun vanadium yang membuatnya terlindung dan dapat menyerang tetangganya.
Di lain pihak, Tunicata telah banyak menarik perhatian sebagai salah satu sumber zat anti kanker, anti virus, dan anti tumor. Sebagai contohnya, di Thailand telah ditemukan alkaloid (ectinascidin) yang berasal dari Ecteinascidia thurstoni yang bersifat sitotoksik untuk sel kanker payudara, paru-paru, dan jaringan naso-faring (Suwanborirux dkk., 2002; Rinehart, 2000). Suku Didemnidae adalah tunicata paling melimpah di Kepulauan Seribu. Jenis-jenis dalam suku ini sangat potensial untuk diteliti kandungan kimianya. Di Karibia, anggota suku Didemnidae yaitu Trididemnum solidum diketahui memiliki senyawa yang disebut didemnin-B yang bersifat anti virus
Namun di kelima lokasi dengan kelimpahan terendah terlihat pada makroalga (MA), pasir (Sand=S), dan karang mati dengan alga (dead coral with algae=DCA) yang cukup signifikan. Makro alga mungkin telah menjadi pesaing bagi Zoantharia dalam memperebutkan ruang, sementara pasir akan mempersulit penempelan ketika teraduk oleh gelombang. Informasi tutupan substrat dapat dilihat pada bab ”Penutupan Karang Keras di Kepulauan seribu tahun 2009” di buku ini. Kelompok biota lain yang cukup melimpah dan jumlah jenisnya banyak adalah spons. Spons di Kepulauan Seribu sangat monoton karena hanya didominasi oleh Aaptos sp. dan Petrosia nigricans. Aaptos memiliki warna coklat tua seperti Petrosia ataupun coklat muda; dengan namun jika Petrosia yang tinggi dan besar, Aaptos berbentuk bulat atau cenderung membulat, pendek lebar. De Voogd & Van Soest (2005) mengatakan bahwa kehadiran marga Petrosia memang menjadi ciri khas dari terumbu karang di Indonesia. Lokasi pengamatan yang berada di kedalaman rata55
rata 7 m menjadi salah satu faktor banyaknya ditemukan jenis Petrosia nigricans. Penelitian di Indonesia Timur menemukan bahwa distribusi Petrosia nigricans paling melimpah di kedalaman 4-15 m (van Soest, 1990).
Foto: Yunaldi Yahya
7
Hubungan antara Struktur Komunitas Makrobentos non-karang dengan Tutupan Substrat Dasar di Taman Nasional Kepulauan Seribu
Gambar 7.9. Lili laut (Comanthina schlegeli) seperti pada gambar termasuk biota yang paling sering ditemui di Kepulauan Seribu.
Selain spons, Filum Echinodermata juga cukup banyak ditemui, terutama bulu babi (Diadema setosum) dan lili laut (Capillaster sentosus). Anggota Echinodermata adalah hewan yang melimpah pada kondisi dasar perairan yang kaya nutrisi. Pengayaan nutrisi dapat menyebabkan melimpahnya alga, baik yang planktonik maupun bentik. Alga-alga planktonik merupakan makanan utama lili laut (Crinoidea), sementara alga-alga bentik adalah makanan utama bagi berbagai bintang laut dan bulu babi (Collin & Arnesson, 1995). Karena memakan alga bentik, bulu babi berperan penting dalam proses penempelan larva karang (Edmunds & Carpenter, 2001). Tingginya kelimpahan bulu babi menunjukkan perairan di Kepulauan Seribu mendapat pengaruh dari daratan Jakarta yang antara lain membawa sejumlah nutrisi. Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang di kawasan khususnya TNKpS diketahui mendapat banyak tekanan antropogenik dan faktor alam. Tekanan lingkungan yang tinggi akan menyebabkan 56
dominannya jenis-jenis tertentu yang mampu bertahan hidup (Odum, 1985). Sayangnya, jenis-jenis yang dominan justru termasuk jenisjenis invasif. Pengamatan ini menunjukkan, terkecuali Capillaster sentosus, jenis-jenis dengan kelimpahan tertinggi adalah jenisjenis yang memiliki kemampuan menginvasi karang seperti Zoanthus (Cnidaria), Atriolum robustum, dan Didemnum molle (Tunicata) (Sprung, 2001; Colin & Arneson, 1995). Selain itu, jenis-jenis tersebut umumnya tergolong non-ekonomis ataupun nilai ekonominya rendah, hanya Sabellestarte indica dan Zoanthus yang dimanfaatkan sedikit untuk ornamental (Napitupulu dkk., 2006). Untuk mengetahui hubungan antara penutupan substrat dengan keanekaragaman makrobentos, maka dilakukan PCA. Hal yang tampaknya aneh dari grafik hasil PCA adalah indeks keanekaragaman bentos (H’) ternyata terkait dengan kolom air (WA). Hal tersebut terjadi karena keterbatasan metode transek garis yang tidak dapat merekam kompleksitas ekosistem terumbu karang secara menyeluruh (Hill & Wilkinson 2004). Kategori WA merujuk pada celah dengan kedalaman lebih dari 50 cm dari transek (English dkk., 1997). kawasasn Kepulauan Seribu memiliki terumbu dengan tipe rataan, akan tetapi sering pula ditemukan koloni karang besar yang menyebabkan adanya celahcelah dalam diantaranya. Celah-celah tersebut sebenarnya tidak kosong, tetapi justru menjadi tempat hidup beragam jenis hewan, seperti Pelecypoda, Zoantharia, Crinoidea, dan hewan lainnya. Celah menyediakan variasi dari habitat, sehingga menyebabkan keanekaragaman menjadi tinggi (Mumby, 2006). Dari grafik PCA juga dapat dilihat bahwa kekayaan jenis (Sh) berada di dalam kelompok besar yang terdiri atas beragam bentuk hidup karang, dan paling dekat dengan ACB, SP, dan CB. Hasil tersebut sejalan dengan pengamatan Gittings dkk. (1992) yang menunjukkan
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
bahwa kekayaan jenis makrobentos memiliki hubungan yang kuat dengan adanya variasi habitat. Lokasi-lokasi dengan kekayaan jenis tertinggi seperti Pulau Kuburan Cina, Pulau Melintang Besar, dan Pulau Pamegaran memiliki banyak variasi bentuk hidup karang. Oleh sebab itu, pengelolaan di kawasan tersebut perlu mempertahankan kompleksitas habitat, agar keanekaragaman dapat dipertahankan.
menyeluruh. Beberapa metode dapat digunakan seperti Chain Intercept Transect dan visual assessment (Wilson dkk., 2006; Hill & Wilkinson, 2004). Walaupun agak sulit, mengingat pentingnya informasi kompleksitas habitat, maka penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mendukung pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Seribu, khususnya kawasan TNKpS.
Selain itu, karang-karang yang bercabang tampaknya mendukung bagi beragam jenis makrobentos untuk hidup karena terdapat celahcelah bagi hewan untuk berlindung. Karang bercabang di kawasan TNKpS menjadi rumah bagi beragam jenis Crinoidea, Porifera, Zoantharia, dan Pelecypoda. Kondisi persentase tutupan yang termasuk sedang (34,27%), membuat tidak banyak tersedianya perlindungan. Karangkarang bercabang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi dan memiliki persentase tutupan terbesar, sehingga sangat wajar jika banyak jenis makrobentos yang ditemukan di dalamnya. Selain itu, tututupan karang bercabang pada kawasan dengan kekayaan jenis terbesar juga termasuk tinggi.
Kesimpulan
Beberapa penelitian terdahulu juga menemukan adanya hubungan antara keanekaragaman dan kompleksitas habitat seperti pada komunitas ikan (Almany, 2004; McCormick, 1994; Hixon & Beets, 1993), moluska (Kohn & Leviten, 1976; Kohn, 1967), dan karang (Fuad, 2010; Sutton, 2006;). Kawasan dengan variasi habitat yang tinggi tampaknya memberikan lebih banyak perlindungan bagi ikan-ikan karang dan menyediakan lebih banyak ruang menempel bagi alga, karang, dan beragam avertebrata sesil lainnya (Mumby, 2006; Rooney, 1993). Memahami bagaimana kompleksitas habitat mempengaruhi demografi akan memperkuat upaya prediksi reaksi populasi dan komunitas biota terhadap degradasi habitat (Almany, 2004). Sayangnya metode yang digunakan saat ini belum dapat merekam kompleksitas secara
Kekayaan jenis makrobentos non-karang di kawasan perairan TNKpS adalah 145 jenis. Kelimpahan makrobentos mencapai 81.894 individu/ha dengan kelompok hewan yang paling melimpah adalah Zoantharia, Tunicata, dan Crinoidea. Indeks keanekaragaman untuk kawasan TNKpS adalah 2,8 dengan kisaran 1.05 (P. Kayu Angin Melintang) hingga 2.85 (P. Pamegaran). Berdasarkan analisis PCA, indeks keanekaragaman makrobentos non-karang terkait erat dengan kategori WA (kolom air), sedangkan kekayaan jenisnya mengelompok dengan beragam tipe substrat.
Saran Untuk lebih memahami kompleksitas habitat dalam terumbu karang, maka penggunaan metode Chain Intercept Transect perlu dilakukan. Upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang di kawasan TNKpS perlu diarahkan untuk mempertahankan kompleksitas habitat, sehingga keanekaragaman hayati dapat dipertahankan. Selain itu, kegiatan pemantauan berkala harus tetap dilanjutkan agar perubahan-perubahan yang terjadi dapat dideteksi dan dijadikan dasar dalam pengelolaan wilayah. Biota-biota invasif dan indikator yang perlu mendapat pengamatan khusus, yaitu Zoantharia, Tunicata, dan Crinoidea.
57
7
Hubungan antara Struktur Komunitas Makrobentos non-karang dengan Tutupan Substrat Dasar di Taman Nasional Kepulauan Seribu
Daftar Pustaka Allen, G. R. & R. Steene. 1998. Indo-Pacific coral reef field guide. Sea Challengers, Danville: 378 hlm. Almany, G.R. 2004. Differential effects of habitat complexity, predators, and competitors on abundance of juvenile and adult coral reef fishes. Oecologia 141:105-113. Arifin, Z. 2004. Local millenium ecosystem assessment: Condition and trend of the greater Jakarta Bay ecosystem. The Ministry of Environment, Republic of Indonesia, Jakarta. Beck, M.W. 1998. Comparison of the measurement and effect of habitat structure on Gastropods in rocky intertidal and mangrove habitat. Mar Ecol Prog Ser 169:165-178 pp. Ben-Tzvi, O., S. Einbinder, & E. Brokovich. 2006. A beneficial association between a polychaete worm and a scleractinian coral?. Coral Reefs 25: 98. Brock, K. E. & J. H. Brock. 1977. A method for quantitatively assessing the infaunal community in coral rock. Limnol Oceanogr 22:948–951 hlm. Carpenter, K. E. & V. Niem. (eds.). 1998. The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. FAO, Rome: xiii + 686 hlm. Clark A.M. & F.W.E. Rowe. 1971. Monograph of shallow-water Indo-West Pacific echinoderms. British Museum (Natural History), London: ix + 269 hlm. Cleary, D. F. R., Suharsono & B. W. Hoeksema. 2006. Coral diversity across a disturbance gradient in the Pulau Seribu reef complex off Jakarta, Indonesia. Biodiversity and Conservation (2006). Collin, P.L. & C. Arnesson. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral Reef Press, California: 290 hlm. Connell, J.H. 1978. Diversity in tropical rain forests and coral reefs. Science 199:1302-1310 hlm. De Voogd, N.J. & RWM. van Soest. 2005. Indonesian sponges of the genus Petrosia Vosmaer (Demospongiae: Haplossclerida). Dalam: de Voogd, N.J. 2005. Indonesian Sponges. Biodiversity and mariculture potential. Phd thesis, University of Amsterdam, Amsterdam: 21-37 hlm. De Voogd, N.J. 2005. Indonesian Sponges. Biodiversity and mariculture potential. Phd thesis, University of Amsterdam, Amsterdam: 21-37. Debelius, H. 1996. Nudibranchs and sea snails Indo-Pacific field guide. IKAN – Unterwasserarchiv, Frankfurt: 321 hlm. Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I. PT. Sarana Graha, Jakarta: xvi + 111 hlm.
Edwards, A.J. & E.D Gomez. 2008. Konsep dan panduan restorasi terumbu: Membuat pilihan bijak di antara ketidakpastian. Terj. dari: Reef restoration concepts and guidelines: making sensible management choices in the face of uncertainty. Oleh: Yusri, S., Estradivari, N.S. Wijoyo, dan Idris. Yayasan TERANGI, Jakarta: iv + 38 hlm. Estradivari & S. Yusri. 2006. Coral reefs of Seribu Islands, Western Indonesia. Makalah pada 1st Asia Pacific Coral Reefs Symposium, Hongkong: 11 hlm. Estradivari,E. Setyawan, & S. Yusri. 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2007). Yayasan TERANGI, Jakarta: viii + 102 hlm. Friedlander, A.M. & J.D. Parrish. 1998. Temporal dynamics of fish communities on an exposed shoreline in Hawaii. Environ Biol Fishes 53:1-18 Fuad, M.A.Z. 2010. Coral reef rugosity and coral biodiversity in Bunaken National Park, North Sulawesi, Indonesia. Thesis: Geo-information Science and Earth Observation, International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation, Enschede: iv+66pp Ganesh, T. & A.V. Raman. 2007. Macrobenthic community structure of the Northeast Indian Shelf Bay of Bengal. Mar Ecol Prog Ser 341: 59-73 pp. Gittings, S.R., T.J. Bright, W.W. Schroeder, W.W. Sager, J.S. Laswell, dan R. Rezak. 1992. Invertebrate assemblages and ecological controls on topographic features in the Northeast Gulf of Mexico. Bull.Mar.Sci.50(3):435-455. Gosliner, T., D.W. Behrens., & G.C. Williams. 1996. Coral reefs animal of the Indo-Pacific. Sea Challengers, Monterey: vi + 314 hlm. Gratwicke, B. & M.R. Speight. 2005. Effect of habitat complexity on Carribean Marine Fish Assemblages. Mar.Ecol.Prog.Ser. 292:301-310. Hill, J. & C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: A resource for managers. Australian Institute of Marine Science and Reef Check, Australia. Kohn, A.J. & P.J. Leviten. 1976. Effect of habitat complexity on population density and species richness in tropical intertidal predatory gastropod assemblages. Oecologia 25:199-210. Kohn, A.J. 1967. Environmental complexity and species diversity in the gastropod genus Conus on Indo-West Pacific reef platforms. Am Nat 101:251-259. Loeb, S.L. & A. Spacie (eds.). 1974. Biological monitoring of aquatic systems. Lewis Publisher. London.
Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia II. Verlag Christa Hemmen, Wiesbaden: 135 hlm.
Luckhurst, B.E. & K. Luckhurst. 1978. Analysisi of the influence of substrate variables on coral reef fish communities. Mar. Bio. 49:317-323.
Edmunds P.J. & R.C. Carpenter. 2001. Recovery of Diadema antillarum reduces macroalgal cover and increases abundance of juvenile corals on a Caribbean reef. PNAS. 98: 5067–5071 hlm.
Magno, M & C. Villanoy. 2006. Quantifying the complexity of Phillippine Coastline from estimating entrainment potential. Paper presented in: 10th International Coral Reef Symposium: 1471-1476. Magurran, A.E. 1988. Ecological diversity and its measurements. Princeton University Press, Princeton: x + 179 hlm.
58
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Michael, P. 1995. Metode ekologi untuk penyelidikan lapang dan Laboratorium. Terj. dari. Ecological Methods for Field and Laboratorium Investigations. oleh: Koestoer , Y.R. UI-Press, Jakarta: xv + 617 hlm. Michael, P. 1995. Metode ekologi untuk penyelidikan lapang dan Laboratorium. Terj. dari. Ecological Methods for Field and Laboratorium Investigations. oleh: Koestoer , Y.R. UI-Press, Jakarta: xv + 617 hlm. Mokady, O., Y. Loya, & B. Lazar .1998. Ammonium contribution from boring bivalves to their coral host—a mutualistic symbiosis? Mar Ecol Prog Ser 169:295–301 hlm. Mumby, P.J. 2006. The impact of exploiting grazers (Scaridae) on the dynamics of Caribbean coral reefs. Ecol App 16:747769. Nakamura T., H. Yamasaki, R. Van Woesik. 2003. Water flow facilitates recovery from bleaching in the coral Stylophora pistillata. Mar. Ecol. Prog. Ser. 256:287–291 hlm. Napitupulu, D.L., S.N. Hodijah, & A.C. Nugroho. 2005. Socioeconomic assessment: in the user of reef resources by local community and other direct stakeholders. A research report. TERANGI. Jakarta: 140 hlm. Odum, E. P. 1985. Trends expected in stressed ecosystems. Bioscience 35: 419-422 hlm. Ongkosongo, O. S. R. 1986. Some harmful stresses to the Seribu coral reefs, Indonesia. In Soemodihardjo, S (ed.). Proceedings of MAB-COMAR regional workshop on coral reef ecosystems: their management practices and research/training needs, 4 -7 March 1986. UNESCO: MAB-COMAR and Indonesian Institute of Science, Indonesia. Picket, S. T. A. & D. S. White.1985. The ecology of natural disturbance and patch dynamics. Academic Press, Orlando. Pielou, E. C. 1966. The measurement of diversity in different types of biological collections. J Theor Biol 13:131-144. Poutiers, J.M. 1998. Bivalves (Acephala, Lamellibranchia, Pelecypoda). dalam. Carpenter, K.E. & V. Niem (eds.). 1998. The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. FAO, Rome: xiii + 686 hlm. Poutiers, J.M. 1998. Gastropods. dalam. Carpenter, K.E. & V. Niem (eds.). 1998. The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 1: Seaweeds, corals, bivalves and gastropods. FAO, Rome: xiii + 686 hlm. Rinehart, K.L. 2000. Anti tumor compounds from tunicates. Med Res Rev 20: 1-27 hlm.
Stoecker, D. 1978. Resistance of a tunicate to fouling. Bio Bull 155: 615-626 hlm. Suchanek, T.H. & D. Green. 1982. Interspecific competition between Palythoa caribaerum and other sessile inbertebrates on St. Corix Reefs, US Virgin Island. Dalam: Proceeding of The Fourth International Coral Reef Symposium Vol 2: 679-684. Suharsono. 2005. Status pencemaran di Teluk Jakarta dan saran pengelolaannya. Dalam: Setyawan, W., P. Purwati, S. Suninasari, D. Widarto, R. Nasution, & O. Atijah (eds.). 2005. Interaksi daratan dan lautan. Pengaruhnya terhadap sumber daya dan lingkungan. LIPI Press, Jakarta: 159-185 hlm. Suwanborirux K, Charupant K, Amnuoypol S, Pumangura S, Kubo A, Saito N. 2002. Ecteinascidins 770 and 786 from the Thai tunicate Ecteinascidia thurstoni. J Nat Prod 65:935–937 hlm. Teal, J.M. 1980. Primary production of benthic and pringing plant communities. Dalam. Barnes, R.S.K. & K.H. Mann (eds). Biology of polluted waters. Blackwell Scientific Publications. Oxford, London. Vail, L. & T. Thamrongnawasawat. 1998. Echinoderms associated with coral reefs in Jakarta Bay and Kepulauan Seribu. Dalam: Soemodihardjo, S. (ed.). 1998. Proceeding Coral Reef Evaluation Workshop, Pulau Seribu, Jakarta, Indonesia, 1120 September 1995. UNESCO Jakarta Office & P3O-LIPI: 55-65 hlm. Valentine, P. 2010. Marine Nuisance Species. Species Didemnum vexillum colonial tunicate; ascidian; sea squirt. Dikutip dari http://woodshole.er.usgs.gov/project-pages/stellwagen/ didemnum/ Van Soest, RWM. 1990. Shallow-water reef sponges of eastern Indonesia. Dalam: Rutzler, K. (ed.).1990. New perspectives in sponge biology. Smithsonian Inst. Press, Washington: 302308 hlm. Wicaksono, Y. 2006. Aplikasi Excel dalam menganalisis data. Elex Media Komputindo, Jakarta: ix + 190 hlm. Wilhm, J.F. 1975. Biological indicator of pollution. Dalam. Whitton, B.A. (ed.). River ecology. Blackwell Scientific Publications. Oxford, London Yusri, S. & S. Timotius. 2007. Struktur komunitas makrobentos non-karang di Kepulauan Seribu. dalam. Estradivari, S. Yusri, M. Syahrir, & S. Timotius (eds.). 2007. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Yayasan TERANGI, Jakarta: ix + 87 hlm.
Rooney, J. 1993. Rugosity measurements. http:cramp.wcc. hawaii.edu/LT_Monitoring_files/lt_Rugosity_measurements. htm. Simpson, E.H. 1949. Measurement of diversity. Nature, Lond. 163:688. Soemodihardjo, S. (ed.). 1998. Proceeding Coral Reef Evaluation Workshop, Pulau Seribu, Jakarta, Indonesia, 11-20 September 1995. UNESCO Jakarta Office & P3O-LIPISprung, J. 2001. Invertebrates: A Quick Reference Guide. Ricordea Publishing. Miami: 240 hlm.
59
Status Komunitas Ikan Karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009 Edy Setyawan dan Idris
I
Pendahuluan
8
yang tidak dikelola dengan bijak berpotensi merusak sumberdaya terumbu karang dan sumberdaya ikan karang itu sendiri. Dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan ikan karang, data dan informasi yang komprehensif diperlukan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Namun, data dan informasi tentang sumberdaya ikan karang di kawasan TNKpS sendiri masih sangat sedikit. Tujuan dari pengamatan ini mengetahui status aktual stok sumberdaya ikan karang di kawasan TNKpS. Keluaran yang didapatkan diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan sumberdaya ikan dan terumbu karang di kawasan TNKpS.
kan karang merupakan salah satu biota yang hidup dan jumlahnya sangat melimpah di ekosistem terumbu karang. Ikan karang merupakan sumber daya yang penting bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan merupakan biota yang paling tinggi dalam tingkat pemanfaatannya dibandingkan dengan biota-biota lain yang tinggal di ekosistem terumbu karang. Secara umum, ikan karang dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi dan ikan hias. Diperkirakan sekitar 60% sumber protein hewani yang dikonsumsi oleh penduduk Indonesia berasal dari ikan karang (McAllister & Ansula, 2005). Di sisi lain, lebih dari 1.471 jenis ikan dengan total 20-24 juta individu diperdagangkan di seluruh dunia sebagai ikan hias tiap tahunnya (Wabnitz dkk., 2003).
Pengamatan Komunitas Ikan Karang
Di Kepulauan Seribu, khususnya di Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS), ikan karang banyak dimanfaatkan sebagai ikan hias dan ikan konsumsi. Tingkat pemanfaatannya pun cenderung tinggi sehingga beberapa jenis ikan karang sudah jarang ditemukan dan ukuran hasil tangkapan oleh nelayan sudah mulai mengecil (Setyawan & Wijoyo, 2009). Jenis ikan beseng (Apogonidae) banyak dimanfaatkan oleh nelayan sebagai pakan dalam budidaya kerapu. Selain itu, menurut nelayan, ukuran hasil tangkapan terhadap ekor kuning sudah mulai mengecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (pers. comm.). Aktivitas penangkapan ikan karang
Pengamatan dilakukan pada November 2009 dengan lokasi pengamatan sebanyak 33 lokasi di kawasan TNKpS. Lokasi pengamatan dipilih untuk mendapatkan cuplikan yang mewakili Kepulauan Seribu berdasarkan geomorfologi, oseanografi dan jarak dari Teluk Jakarta (Cleary dkk., 2006). Pengamatan dilakukan di lereng terumbu dengan rata-rata kedalaman 7 m menggunakan transek sabuk (Hill & Wilkinson, 2004). Pengamatan terhadap komunitas ikan karang dilakukan dengan sensus visual menggunakan transek sabuk sepanjang 20 m dengan unit pengamatan sebanyak 4 ulangan pada setiap lokasi pengamatan (English dkk.,
Metodologi
61
8
Status Komunitas Ikan Karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009
1994). Lebar unit pengamatan adalah 2 m untuk ikan-ikan kecil berukuran kurang dari 10 cm dan 5 m untuk ikan-ikan berukuran lebih dari 10 cm. Pengamatan dilakukan pada siang hari, sehingga target pengamatan hanya terbatas pada ikan-ikan diurnal-ikan yang aktif pada siang hari. Pencatatan dilakukan terhadap jenis, jumlah, dan ukuran panjang total ikan karang. Identifikasi dilakukan hingga tingkat jenis atau taksonomi terendah yang memungkinkan dengan menggunakan buku panduan dari Kuiter & Tonozuka (2003), Kuiter & Debelius (1997), Randall dkk., (1997), dan Lieske & Myers (1994).
Foto: Edy Steyawan
Berdasarkan kelompok trofi (trophic group), ikan karang dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu planktivor, jenis ikan pemakan plankton, antara lain dari suku Apogonidae, Caesionidae; herbivor, jenis ikan pemakan alga, antara lain dari suku Acanthuridae, Scaridae, Ephippidae, Siganidae; koralivor, jenis ikan pemakan karang, yaitu suku Chaetodontidae; omnivor, ikan pemakan hewan dan tumbuhan, antara lain, Balistidae, Ostraciidae, Pomacentridae; Invertivor bentik, jenis ikan pemakan biota di substrat dasar, antara lain Labridae, Mullidae, Zanclidae, karnivor, jenis ikan pemakan ikan dan hewan lainnya, antara lain ikan dari suku Lutjanidae, Serranidae, Nemipteridae; detritivor, jenis ikan yang memakan detritus seperti Mullidae (Obura & Grimsdith, 2009; Ardiwijaya, 2005; Ferreira dkk, 2004).
Gambar 8.1. Chaetodon octofaciatus termasuk ikan koralivor yang memakan polip karang.
62
Analisis data Keanekaragaman diketahui dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener, yang memperhitungkan kekayaan jenis dan kemerataan (Magurran, 1988), dan untuk mengetahui jenis ikan yang dominan, maka digunakan indeks dominansi Simpson. Kelimpahan ikan ditentukan dengan jumlah ikan karang pada suatu satuan luas (ha). Biomassa ikan karang dihitung dengan penghitungan bobot berdasarkan rumus W=aLb . W adalah bobot ikan, L adalah panjang total, a dan b adalah indeks panjang-berat ikan karang.
Hasil Struktur Komunitas dan Kelimpahan Ikan karang di kawasan TNKpS Pengamatan komunitas ikan karang pada tahun 2009 menemukan ikan karang sebanyak 168 jenis yang termasuk ke dalam 81 marga dan 31 suku. Analisis terhadap indeks keanekaragaman (H’) di seluruh lokasi menunjukkan kisaran antara 1,80 dan 3,23. H’ tertinggi ditemukan di Pulau Dua Timur sedangkan terendah ditemukan di Bira Besar. Indeks kemerataan (E) berkisar antara 0,48 dan 0,83. E tertinggi ditemukan di Dua Timur sedangkan terendah di Kotok Besar. Untuk indeks dominansi, nilai tertinggi ditemukan di tertinggi ditemukan di Kotok Besar (0,30) sedangkan terendah di Dua Timur (0,06). Berdasarkan hal tersebut, komunitas ikan karang di Pulau Dua Timur cenderung lebih stabil dengan tidak adanya dominansi jenis tertentu di dalam komunitas ikan karang (Tabel 8.1). Secara umum, kelimpahan total ikan karang di kawasan TNKpS adalah sebanyak 55.104 ind/ha. Kelimpahan ikan karang tertinggi ditemukan di Pulau Panggang (115.250 ind/ha) sedangkan terendah ditemukan di Pulau Dua Timur (19.888 ind/ha). Pada tingkat suku, komunitas ikan karang di Kepulauan Seribu didominasi oleh ikanikan dari suku Pomacentridae dengan komposisi
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Tabel 8.1. Struktur Komunitas dan Kelimpahan ikan karang di setiap lokasi pengamatan pada tahun 2009. Jumlah jenis (S), Indeks keanekaragaman (H’), Indeks Kemerataan (E), Indeks Dominansi (D). Nilai Tertinggi ( ) dan Terendah ( ).
No
Lokasi
S
H’
E
D
Kelimpahan (koloni/ha)
1
Belanda
37
2,58
0,72
0,11
82.613
2
Bira Besar
32
1,80
0,52
0,24
87.575
3
Bira Kecil
51
2,79
0,71
0,11
42.488
4
Dua Barat
46
2,21
0,58
0,24
36.275
5
Dua Timur
48
3,23
0,83
0,06
19.888
6
Genteng besar
41
2,45
0,66
0,13
43.013
7
Gosong Belanda
32
2,62
0,76
0,12
40.950
8
Gosong Karang Lebar
59
2,81
0,69
0,10
57.963
9
Gosong Pramuka
40
2,35
0,64
0,17
47.225
10
Gosong Sebaru Besar
36
2,69
0,75
0,09
46.325
11
Hantu Timur
34
2,62
0,74
0,11
35.900
12
Harapan
34
2,53
0,72
0,12
28.475
13
Jukung
34
2,25
0,64
0,17
65.800
14
Karang Congkak
36
2,39
0,67
0,16
57.138
15
Kayu Angin Genteng
54
2,44
0,61
0,20
73.950
16
Kayu Angin Melintang
45
2,60
0,68
0,12
57.100
17
Kelor Timur
30
2,22
0,65
0,19
53.150
18
Kotok Besar
51
1,87
0,48
0,30
109.800
19
Kotok Kecil
50
2,49
0,64
0,14
65.488
20
Kuburan Cina
42
2,18
0,58
0,18
81.288
21
Macan Besar
50
2,43
0,62
0,15
84.300
22
Melintang Besar
29
2,17
0,64
0,17
61.388
23
Nyamplung
30
2,15
0,63
0,23
24.300
24
Opak besar
44
2,53
0,67
0,14
49.500
25
Pamegaran
40
2,38
0,64
0,17
47.500
26
Panggang
33
1,82
0,52
0,26
115.250
27
Penjaliran Timur
23
2,11
0,67
0,17
40.663
28
Petondan Timur
35
2,57
0,72
0,12
49.775
29
Pramuka
31
2,25
0,66
0,17
34.575
30
Putri Barat
42
2,87
0,77
0,08
51.388
31
Rengat
39
2,11
0,58
0,25
34.500
32
Semut Kecil
35
2,29
0,64
0,21
44.925
33
Sepa
36
2,36
0,66
0,14
47.938
Rerata
2,32±0,48
0,64±0,13 0,16±0,06
55.103±22.502
63
8
Status Komunitas Ikan Karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009
lebih dari 70% dari seluruh ikan yang ditemukan dalam pengamatan. Suku lain yang memiliki kelimpahan yang tinggi, antara lain: Labridae (14,29%), Apogonidae (8,39%), Caesionidae (3,37%), Pomacanthidae (0,38%), dan 25 suku lainnya hanya sebesar 1,51% (Gambar 8.2). Chaetodontidae 1,55% Pomacanthidae Caesionidae 0,38% 3,37% Apogonidae 8,39%
Lainnya 1,51%
Labridae 14,29% Pomacentridae 70,52%
Jenis ikan karang
Gambar 8.2. Komposisi berdasarkan suku (%)
kelimpahan
Neopomacentrus anabatoides
1574
Caesio cuning
1720
Cheilodipterus quinquelineatus
1790
Pomacentrus moluccensis
2176
Apogon compressus
2250
ikan
karang
.oralivor 1,66% Detritivor 0,02% Herbivor 0,46%
Planktivor 32,56%
3072
Pomacentrus amboinensis
5500
Cirrhilabrus cyanopleura
Omnivor 60,37%
10540
Pomacentrus alexanderae
12027
Pomacentrus cf smithi 0
5000 10000 Kelimpahan ikan karang (ind/ha)
15000
Gambar 8.3. Sepuluh kelimpahan ikan karang tertinggi di Kepulauan Seribu (ind/ha)
Pada tingkat jenis, kelimpahan 10 jenis ikan karang dengan kelimpahan tertinggi mencapai 78,5% dari kelimpahan total ikan di kawasan TNKpS. Tiga jenis ikan dengan kelimpahan tertinggi, yaitu Pomacentrus cf smithi, Pomacentrus alexanderae, dan Cirrhilabrus cyanopleura. Kelimpahan Pomacentrus cf smithi sebanyak 12.027 ind/ha, Pomacentrus alexanderae sebanyak 10,540 ind/ha, dan Cirrhilabrus cyanopleura sebanyak 5.500 ind/ ha (Gambar 8.3). Ikan beseng juga termasuk ke dalam 10 ikan dengan kelimpahan tertinggi. 64
Berdasarkan kelompok trofi, kelimpahan komunitas ikan karang di kawasan TNKpS didominasi oleh ikan-ikan omnivor dan planktivor dengan komposisi 60,37% dan 32,56%. Komposisi ikan dari kelompok trofi pertama, herbivor, seperti Scaridae, Acanthuridae, dan Siganidae, hanya sebesar 0,46%, sedangkan ikan karnivor, seperti Serranidae dan Lutjanidae, hanya sebesar 1,08% (Gambar 8.4). Komposisi kelimpahan paling kecil adalah ikan detritivor dengan hanya 0,02% dari kelimpahan total ikan karang di kawasan TNKpS.
Invertivor bentik 3,84% .arnivor 1,08%
2610
Pomacentrus simsiang
Di kawasan TNKpS, Apogon compressus yang dimanfaatkan untuk pakan kerapu juga masih termasuk tinggi. Begitu juga dengan ikan ekor kuning (Caesio cuning) yang masih ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak dengan 1.720 ind/ha.
Gambar 8.4. Komposisi kelimpahan berdasarkan kelompok trofi (%)
ikan
karang
Biomassa komunitas ikan karang Total biomassa ikan karang yang ditemukan di kawasan TNKpS selama pengamatan adalah sebesar 598,926 kg/ha. Biomassa ikan tertinggi ditemukan di Pulau Hantu Timur dengan 11.333,57 kg/ha sedangkan terendah di Pulau Rengat dengan hanya 230,02 kg/ha. Biomassa di Pulau Rengat termasuk sangat rendah jika dibandingkan dengan lokasi lain yang biomassanya mencapai ribuan kg/ha (Tabel 8.2).
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Terendah (
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
).
Lokasi Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak besar Pamegaran Panggang Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa Rerata per lokasi
Biomassa (kg/ha) 417,78 859,62 2.474,71 2.905,34 3.670,00 4.943,93 5.756,30 9.181,09 9.866,30 10.431,61 11.333,57 415,32 237,75 498,84 661,29 1.203,03 760,65 1.123,60 2.017,02 1.256,73 2.085,57 2.773,65 492,31 1.384,76 1.936,55 533,73 787,31 349,33 824,50 2.346,29 230,02 1.360,30 1.189,48 2.615,40
Secara umum, biomassa ikan karang didominasi oleh suku Pomacentridae (39,72%) dan Caesionidae (33,13%). Dengan kelimpahannya yang paling tinggi diantara suku lain,
Pomacentridae juga memiliki biomassa yang paling tinggi juga walaupun ikan-ikannya berukuran kecil. Sedangkan ikan Labridae yang kelimpahannya paling tinggi setelah Pomacentridae, biomassanya hanya sebesar 8,91% (Gambar 8.5).
Nemipteridae; 1,35%
Pomacanthidae; 1,32%
Serranidae; 1,25%
Lutjanidae; 1,18%
Lainnya; 2,92%
Siganidae; 1,56% Scaridae; 3,86% Apogonidae; 4,81%
Pomacentridae; 39,72%
Labridae; 8,91%
Caesionidae; 33,13%
Gambar 8.5. Komposisi biomassa ikan karang berdasarkan suku (%)
Pada tingkat jenis, biomassa ikan karang paling tinggi ditemukan pada ikan ekor kuning (194.497 kg/ha) yang notabene merupakan jenis ikan konsumsi yang sering ditangkap oleh nelayan Kepulauan Seribu. Total biomassa dari 10 jenis ikan karang dengan biomassa paling tinggi mencapai 70% dari seluruh biomassa ikan karang yang ditemukan selama pengamatan (Gambar 8.6).
8.923,39
Amblyglyphidodon curacao Neopomacentrus anabatoides
11.854,48
Cheilinus fasciatus
11.933,47
Hemiglyphidodon plagiometopon
13.525,56
Dischistodus prosopotaenia
14.837,59
Apogon compressus
17.198,74
Thalassoma lunare
19.202,57
Jenis ikan karang
Tabel 8.2. Biomassa (ind/ha) ikan karang di setiap lokasi pengamatan tahun 2009. Nilai Tertinggi ( ) dan
27.006,96
Pomacentrus amboinensis
106.066,88
Pomacentrus alexanderae
194.597,18
Caesio cuning 0
50000 100000 150000 200000 Biomassa ikan karang (kg/ha)
Gambar 8.6. Sepuluh biomassa ikan karang tertinggi di kawasan TNKpS (kg/ha)
65
Berdasarkan kelompok trofi, biomass ikan karang didominasi oleh ikan planktivor dengan 49,41%, sedangkan kelompok trofi terbesar kedua adalah ikan omnivor sebesar 30,03%, invertivor bentik (8,96%), ikan herbivor (5,91%), ikan carnivor sebesar 4,88%, coralivor (0,76%), dan detritivor (0,05%) (Gambar 8.7).
Invertivor bentik 8,96%
Karnivor 4,88%
Koralivor 0,76% Detritivor 0,05% Herbivor 5,91%
Planktivore 49,41% Omnivor 30,03%
Gambar 8.7. Komposisi biomassa ikan karang berdasarkan kelompok trofi (%)
Pembahasan Dari seluruh struktur komunitas di setiap lokasi pengamatan di kawasan TNKpS menunjukkan bahwa Pulau Dua Timur adalah lokasi yang paling stabil di antara lokasi yang lain dengan kecilnya dominansi suatu jenis ikan. Dengan tingginya keanekaragaman jenis, setiap jenis memiliki peran yang seimbang di dalam komunitas. Kondisi yang berbeda ditemukan di Pulau Kotok Besar di mana dominansi jenis tertentu menyebabkan ketidakseimbangan di dalam komunitas ikan karang. Ikan dari jenis Pomacentrus cf smthii (Pomacentridae) dan Cirrhilabrus cyanopleura (Labridae) ditemukan dengan kelimpahan yang tinggi walaupun ukurannya kecil-kecil. Kedua suku tersebut merupakan suku dengan kelimpahan tertinggi. Di Kepulauan Seribu, ikan-ikan Pomacentridae dan Labridae memang sangat melimpah dan dominansinya sangat tinggi (Setyawan & Wijoyo, 2009; Aktani, 2003, Suharsono dkk, 1998). Kedua jenis ikan ditemukan memang sangat melimpah di kolom air pada lereng-lereng terumbu karena pada 66
kolom air tersebut terdapat banyak plankton yang merupakan makanan utama mereka (Froese & Pauly, 2010; Kuiter & Tonozuka, 2003). Pomacentridae sendiri membutuhkan karang bercabang sebagai tempat berlindung (Suharti, 1996). Karang bercabang (branching) merupakan bentuk pertumbuhan karang yang paling dominan di Kepulauan Seribu. Menurut Nanami dkk. (2005), Labridae memiliki rentang habitat yang luas, sehingga mereka tidak memiliki asosiasi kuat terhadap variasi habitat dan selalu ditemukan di ekosistem terumbu karang. Ikan Labridae dan Pomacentridae memiliki tingkat kelentingan medium hingga tinggi, yaitu mampu menggandakan jumlah populasinya, masing dalam waktu 1,4-4,4 tahun dan kurang dari 15 bulan (Froese & Pauly, 2010). Selain itu, pemanfaatan terhadap ikanikan ini juga cenderung kecil, baik untuk ikan hias maupun konsumsi. Hanya jenis-jenis ikan badut dari suku Pomacentridae yang banyak dimanfaatkan sebagai ikan hias (Napitupulu dkk., 2005).
Foto: Edy Steyawan
8
Status Komunitas Ikan Karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009
Gambar 8.8. Ikan kakatua (Scaridae), herbivor, kelimpahannya sangat sedikit di Kepulauan Seribu.
Suku dengan kelimpahan yang termasuk tinggi yaitu Apogonidae dan Caesionidae dengan populasinya cukup melimpah jika dibandingkan dengan suku lain. Suku Apogonidae didominasi oleh jenis ikan Apogon compressus dan Cheilodipterus quinquelineatus yang banyak ditemukan di antara celah-celah karang
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Planktivor dan omnivor merupakan ikan yang paling mendominasi di lereng terumbu Kepulauan Seribu. Kelimpahan ikan pomacentridae yang sangat dominan menjadikan kelimpahan ikanikan omnivor dan planktivor mendominasi pada kelompok trofi yang ada. Kelimpahan ikan omnivor ini lebih didominasi oleh ikan dari jenis Pomacentrus alexanderae dan Pomacentrus cf smithi. Dominici dkk. (2006) menemukan bahwa kelimpahan jenis ikan planktivor memang sangat dominan dengan kelimpahan yang melebihi 50% dari seluruh kelimpahan ikan karang. Aktani (2003) juga menemukan bahwa planktivor dan omnivor merupakan ikan yang paling mendominasi di Kepulauan Seribu. Di dalam penelitiannya, Aktani (2003) juga menemukan bahwa komunitas ikan karang lebih terkait dengan jenis substrat dan bentuk pertumbuhan karang dibandingkan dengan luas penutupan karang keras. Ikan omnivor lebih menyukai karang mati sedangkan ikan plantivore lebih menyukai karang-karang foliose. Pengamatan terhadap substrat dasar terumbu karang
menunjukkan secara keseluruhan di Kepulauan Seribu, penutupan karang mati mencapai ~16% dan penutupan karang foliose merupakan yang kedua terbesar setelah karang bercabang (Lihat Tutupan Karang Keras di Kepulauan Seribu tahun 2009). Sebaliknya, ikan herbivor kelimpahannya paling sedikit dibandingkan dengan kelompok trofi yang lain. Di Kepulauan seribu, ikanikan herbivor pemakan alga, seperti ikan dari suku Scaridae, Siganidae, dan Acanthuridae kelimpahannya sangat sedikit dan kehadiran mereka di ekosistem terumbu karang turut berpengaruh terhadap melimpahnya alga pada ekosistem tersebut. Hal ini terkait peran mereka dalam pengendali utama populasi alga (Obura & Grimsdith, 2009). Pada saat pengamatan, makroalga ditemukan menghampar dalam luasan yang cukup besar di beberapa lokasi. Kelimpahan populasi ikan pemakan alga dari Scaridae, Siganidae, dan Acanthuridae yang sangat sedikit diduga menjadi salah satu sebab tumbuh subur alga karena tidak ada predator yang memangsanya. Populasi ikan herbivor yang sedikit diduga disebabkan oleh pemanfaatan terhadap ikan-ikan tersebut. Di Kepulauan Seribu, Scaridae dan Siganidae sendiri banyak dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi sedangkan Acanthuridae banyak dimanfaatkan sebagai ikan hias (Napitupulu dkk., 2005).
Foto: Edy Steyawan
bercabang (Setyawan dkk, 2009; Kuiter & Debelius, 1997). Di Kepulauan Seribu, pemanfaatan kedua jenis ikan cukup besar dalam kegiatan budidaya sebagai pakan kerapu. Caesionidae didominasi oleh ikan Caesio cuning yang dimanfaatkan sebagai ikan konsumsi. Ikan ini biasanya ditemukan secara bergerombol di lereng-lereng terumbu karang (Gambar 7) (Kuiter & Debelius, 1997). Tingkat kelentingan ikan Apogonidae memang tinggi, namun jika pemanfaatannya tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan penurunan jumlah populasinya di Kepulauan Seribu. Nelayan di Kepulauan Seribu menyebutkan bahwa jenis-jenis ikan beseng (Apogonidae) sudah mulai sedikit ditemukan (pers.comm.). Begitu juga dengan ikan ekor kuning yang jika pola pemanfaatannya tidak dikelola dengan baik, maka populasinya akan habis. Ikan ekor kuning mampu menggandakan populasinya dalam rentang waktu 1,4-4,4 tahun (Froese & Pauly, 2010).
Gambar 8.9. Ikan Caesionidae yang sering ditemukan secara bergerombol di lereng terumbu
67
8
Status Komunitas Ikan Karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009
Biomassa ikan karang di setiap lokasi pengamatan memang sangat bervariasi. Pulau Hantu Timur memiliki biomassa ikan yang paling tinggi. Populasi ikan di Hantu Timur memang didominasi oleh ikan ekor kuning yang ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak dengan ukuran yang cukup besar mencapai 20cm. Pulau Rengat memiliki biomassa yang paling kecil karena populasi ikan di lokasi ini lebih didominasi oleh ikan-ikan kecil terutama Cirrhilabrus cyanopleura dengan kelimpahan yang tidak terlalu banyak dibandingkan dengan lokasi lain. Pada tingkat suku, ikan Caesionidae merupakan ikan dengan biomassa terbesar kedua setelah ikan Pomacentridae. Ikan-ikan pomacentridae memang didominasi oleh ikan kecil berukuran <10 cm, namun kelimpahannya yang sangat tinggi menjadikan suku ini memiliki biomassa yang paling tinggi juga diantara suku-suku yang lain. Di Kepulauan Seribu, Caesionidae didominasi oleh ikan ekor kuning. Biomassa ikan ekor kuning merupakan yang paling tinggi di antara jenis-jenis ikan yang ditemukan selama pengamatan. Hal ini disebabkan ikan ekor kuning yang banyak ditemukan selama pengamatan termasuk berukuran kecil hingga sedang yaitu pada kelas ukuran 10-15 cm (34,1%) dan 15-20 cm (48,7%). Ikan ekor kuning dengan ukuran yang lebih besar hanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit yaitu 16,3% (kelas ukuran 20-25 cm) dan 1,0% (kelas ukuran 25-30 cm). Dilihat dari jumlah pada setiap kelas ukuran yang diamati, ikan ekor kuning yang berukuran besar (>20 cm) sudah sangat kecil populasinya. Hal ini diduga disebabkan oleh besarnya aktivitas penangkapan terhadap ikan ekor kuning yang berukuran sedang dalam jumlah banyak, sehingga hanya sedikit sekali ikan ekor kuning yang mampu tumbuh menjadi besar. Data ukuran tangkapan ikan ekor kuning di TPI Kelurahan Pulau Panggang menunjukkan sebaran frekuensi ikan ekor kuning yang ditangkap pada
68
pada bulan Mei-Juni 2009 berkisar antara 75-294 mm dan kelompok ukuran yang mendominasi adalah 125-134 mm (Harmiyati, 2009). Namun, populasi ikan ekor kuning masih dapat pulih dengan melihat banyaknya populasi ikan yang berukuran kecil dan sedang. Dengan catatan, ikan-ikan tersebut diatur/dibatasi jumlah tangkapannya atau bahkan tidak sama sekali. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan menutup area penangkapan untuk sementara waktu sehingga ikan memiliki kesempatan untuk memijah dan berkembang dengan harapan populasi ikan akan pulih kembali. Daerah perlindungan laut berpotensi mengembalikan stok ikan karang dengan meningkatkan ukuran populasi, memberikan kesempatan untuk hidup lebih lama sehingga mampu tumbuh besar, dan meningkatkan kemampuan reproduksi ikan karang (Tkachenko & Soong, 2010; Bohnsack, 1998) Tingginya biomassa ikan Caesionidae yang termasuk planktivor serta ikan Pomacentridae dan Labridae, yang beberapa jenisnya termasuk ikan omnivor, menyebabkan biomassa dari kedua kelompok trofi tersebut mendominasi dengan biomassa mencapai 80% dari keseluruhan biomassa ikan karang yang ditemukan. Kelompok ikan planktivor memiliki rentang yang lebih luas pada berbagai suku ikan karang dan bisa ditemukan pada suku Pomacentridae, Chaetodontidae, Holocentridae, dan Apogonidae (Sale, 1991). Kondisi lain yang mempengaruhi keberadaan ikan planktivor dan omnivor (yang sebagian besar juga memakan zooplankton) adalah kondisi kolom perairan yang masih tersedia banyak zooplankton (Obura & Grimsdith, 2009). Selain itu, kecilnya biomassa ikan karnivor, yang di dalamnya termasuk piscivor sebagai predator ikan-ikan planktivor, menyebabkan rendahnya tekanan terhadap ikan pemakan zooplankton (Sale, 1991).
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Biomassa ikan herbivor juga termasuk kecil, hanya 5,91% dari seluruh biomassa yang terhitung. Seperti halnya kelimpahan, biomassa ikan herbivor yang sangat kecil berpotensi meningkatkan populasi alga. Ketiadaan ikan herbivor akan meningkatkan populasi alga dan secara tidak langsung menekan pertumbuhan karang (Burkepile & Hay, 2009). Keberadaan ikan herbivor sebagai pengontrol populasi alga di dalam ekosistem terumbu karang akan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada kelentingan karang. Populasi alga berpengaruh besar terhadap pemulihan komunitas karang setelah terjadi kematian karang. Dan adanya kompetisi alga dan karang juga bisa berpengaruh terhadap kerentanan karang terutama pemutihan (bleaching) (Smith dkk., 2009).
Kesimpulan Kekayaan jenis ikan karang di kawasan perairan TNKpS adalah sebanyak 168 jenis yang termasuk ke dalam 81 marga dan 31 suku. Indeks keanekaragaman (H’) berkisar antara 1,80 (Pulau Bira Besar) dan 3,23 (Pulau Dua Timur). Indeks kemerataan (E) berkisar antara 0,48 (Pulau Kotok Besar) dan 0,83 (Pulau Dua Timur). Sementara, indeks dominansi berkisar antara 0,30 (Pulau Kotok Besar) dan 0,06 (Pulau Dua Timur). Kelimpahan ikan karang di kawasan TNKpS adalah sebanyak 55.104 ind/ ha. Kelompok trofi ikan karang yang paling dominan dalam kelimpahan adalah omnivor dan planktivor, sedangkan suku yang paling dominan adalah suku Pomacentridae. Biomassa ikan karang mencapai 598,926 kg/ha. Kelompok trofi ikan karang yang paling dominan dalam biomassa adalah planktivor dan omnivor, sedangkan suku yang paling dominan adalah Pomacentridae dan Caesionidae.
Saran Pemanfaatan jenis-jenis ikan tertentu seperti ikan beseng untuk kegiatan budidaya dan ikan ekor kuning sebagai ikan konsumsi perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan sumberdaya ikan di kawasan TNKpS. Dilihat dari kelimpahan dan biomassanya, kedua jenis ikan tersebut memiliki mengindikasikan terjadinya pemanfaatan yang berlebih. Keberadaan ikan herbivor yang rendah, baik dalam kelimpahan maupun biomassa, perlu menjadi perhatian karena berpotensi menurunkan kualitas ekosistem terumbu karang melalui terganggunya kelentingan dan resistensi karang terhadap bleaching.
Daftar PUSTAKA Aktani, U. 2003. Fish Communities as related to substrate characteristics in the coral reefs in Kepulauan Seribu Marine National Park, Indonesia, five years after stopping blast fishing practices. Disertasi. University of Bremen. Germany. Ardiwijaya, R.L., T. Kartawijaya, Y. Herdiana. 2006. Laporan Teknis – Program monitoring tahun 2005 di Taman Nasional Karimunjawa Laporan Monitoring Fase 1, 2005. Wildlife Conservation Society-Marine Program Indonesia. Bogor, Indonesia Bohnsack, J.A. 1998. Application of marine reserves to reef fisheries management. Aust. J. Ecol. 23, 298– 304 Burkepile D. E & M. E. Hay. 2009. Nutrient versus herbivor control of macroalgal community development and coral growth on a Caribbean reef. Mar Ecol Prog Ser. 389: 71–84. Cleary, D. F. R., Suharsono, & B. W. Hoeksema. 2006. Coral diversity across a disturbance gradient in the Pulau Seribu reef complex of Jakarta, Indonesia. Biodiversity and Conservation. Dominici, A. A & M. Wolf. 2006. Reef fish community structure in the Tropical Eastern Pacific (Panama): living on a relatively stable rocky reef environment. Helgol Mar Res (2006) 60:287–305. English S., C. Wilkinson, & V. Baker. (eds). 1994. Survey manual for Tropical marine resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Australia. Ferreira C.E.L., S.R.Floeter, J.L. Gasparini, B.P. Ferreira, & J.C. Joyeux. 2004. Trophic structure patterns of brazilan reef fishes: a latitudinal comparison. J Biogeogr 31:1–13.
69
8
Status Komunitas Ikan Karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009
Froese, R. & D. Pauly. (eds). 2010. FishBase. World Wide Web electronic publication. www.fishbase.org, version (07/2010). Harmiyati, D. 2009. Analisis Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) yang Didaratkan di PPI Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Skripsi. Bogor. IPB. Hill, J. & C. Wilkinson. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: A resource for managers. Australian Institute of Marine Science and Reef Check, Australia Kuiter, R. H. & H. Debelius. 1997. Southeast Asia Tropical Fish Guide. IKAN- Unterwasserarchiv. Frankfurt. Kuiter, R. H. & T. Tonozuka. 2003. Pictorial guide to: Indonesian reef fishes. Part 2. PT. Dive & Dive’s. Denpasar, Bali. Lieske, E. & R. Myers. 1994. Reef fishes of the world. Reprinted 1997. Periplus Editions Ltd. Hongkong. Luiz O. J. jr. A. Carvalho-Filho. C. E. L. Ferreira, S. R. Floeter, J. L.Gasparini, & I. Sazima. 2008. The reef fish assemblage of the Laje de Santos Marine State Park, Southwestern Atlantic: annotated checklist with comments on abundance, distribution, trophic structure, symbiotic associations, and conservation. Zootaxa 1807: 1–25 McAllister, D. & A. Ansula. 2005. Selamatkan terumbu karang Indonesia: Buku panduan pelestarian terumbu karang. Terj. Dari Save our coral reefs: A coral reef care manual. Oleh: Razak, T.B. dan K.L.M.A. Simatupang. Yayasan TERANGI. Jakarta: xix+113 hlm. Nanami, A., M. Nishihira, T. Suzuki, & H. Yokochi. 2005. Species-specific habitat distribution of coral reef fish assemblages in relation to habitat characteristics in an Okinawan coral reef. Environmental Biology of Fishes 72: 55–65 Napitupulu, L. D., S. N. Hodijah, & A. C. Nugroho. 2005. Socio-economic assessment: in the use of reef resources by local community and other direct stakeholders. TERANGI Foundation. Jakarta. Obura, D.O. & G. Grimsdith. 2009. Resilience Assessment of coral reefs – Assessment protocol for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress. IUCN working group on Climate Change and Coral Reefs. IUCN, Gland, Switzerland. 70 pp. Randall, J. E, G. R. Allen, & R. C. Steene. 1997. Fish of The Great Barrier Reef and Coral Sea. Periplus Edition (HK) Ltd. Hongkong Sandin, S. A. 2003. Reef fish trophic analysis from Navassa Island: Exploring biotic and anthropogenic factors. Dept of Ecology and Evolutionary Biology. Princeton University Setyawan, E., Estradivari, & S. Yusri.(eds). 2009. Mengenal Alam Pesisir Kepulauan Seribu. PT. Penerbit IPB Press. Jakarta. x+106 hlm. Setyawan, E. & Nugroho, S. W. 2009. Struktur dan Kelimpahan Komunitas Ikan Karang di Perairan Kepulauan Seribu 2003, 2005, dan 2007. Dalam. Estradivari, E. Setyawan, dan S. Yusri. (eds). 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Kepulauan Seribu (2003-2007). Yayasan TERANGI. Jakarta. viii+102 hlm.
70
Smith, J.E., M. Shaw, R. A. Edwards, D. Obura, O. Pantos, E. Sala, S. A. Sandin, S. Smriga, M. Hatay, & F. L. Rohwer. 2006. Indirect effects of algae in coral: algaemediated, microbe-induced coral mortality. Ecology Letters 9, doi: 10.1111/j.1461-0248.2006.00937.x. Suharsono, Giyanto, Yahmantoro, & A. J. Munkajee. 1998. Change of distribution and abundance of reef fish in Jakarta Bay and Seribu Islands. Dalam. Proceeding of the Coral Reef Evaluation Workshop. Kepulauan Seribu. Jakarta. 11-20 September 1995. 37-54 hlm. Tkachenko, K.S. & K. Soong. 2010. Protection of Habitat Types: A Case Study of the Effectiveness of a Small Marine Reserve and Impacts of Different Habitats on the Diversity and Abundance of Coral Reef Fishes. Zoological Studies 49(2): 195-210 Wabnitz C., M. Taylor, E. Green, & T. Razak. 2003. From Ocean to Aquarium: The Global Trade in Marine Ornamental Species. UNEP WCMC, Cambridge, UK.
Penutupan dan Kerapatan Lamun di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009 Aar Mardesyawati dan Edy Setyawan
L
Pendahuluan
amun sebagai salah satu sumber daya laut yang potensial merupakan tumbuhan angiospermae yang memiliki akar, batang, dan daun sejati. Keistimewaan tumbuhan ini adalah kemampuannya untuk beradaptasi penuh dalam air yang salinitasnya cukup tinggi. Selain itu, ekosistem lamun juga merupakan salah satu ekosistem pesisir yang memiliki produktivitas tinggi (McKenzie & Yoshida, 2009). Menurut Susetiono (2004), beberapa peran lamun dalam ekosistem, antara lain sebagai produsen primer di perairan pantai, sebagai tempat mencari makan dan persinggahan bagi berbagai tumbuhan serta hewan, sebagai penangkap dan pendaur ulang nutrien, sebagai stabilisator sedimen dan garis pantai, dan sebagai habitat bagi beberapa jenis ikan dan invertebrata. Di Kepulauan Seribu, lamun biasa disebut dengan nama ”samo-samo”. Pada umumnya, padang lamun ditemukan berasosiasi dengan rataan terumbu dan laguna dengan sedimen yang terdiri dari lumpur, pasir, dan patahan karang (Kiswara, 1992b dalam Tomascik, 1997). Lamun yang hidup di Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) hidup berumpun-rumpun kecil dan tidak tersebar merata namun kadang juga membentuk padang lamun yang luas dengan jenis homogen atau heterogen (http:// tnlkepulauanseribu.net). Dengan pentingnya peranan lamun dalam ekosistem pesisir, pengelolaan dan konservasi
9
sangat diperlukan untuk menjaga ekosistem lamun itu sendiri. Maka dari itu, penelitian mengenai ekosistem lamun diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi untuk menjawab kebutuhan tersebut. Di Kepulauan Seribu sendiri, khususnya kawasan TNKpS, penelitian tentang ekosistem lamun masih terbatas pada lokasi tertentu dan belum mencakup atau mewakili Kepulauan Seribu maupun kawasan TNKpS. Padang lamun yang paling sering diamati adalah di gugusan Pulau Pari yang memiliki laguna cukup luas (Tomascik, 1997). Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah jenis lamun, persen penutupan, serta kerapatan lamun yang ada di kawasan TNKpS. Diharapkan dengan adanya pengamatan ini, data dan informasi yang didapatkan dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan ekosistem lamun di Kepulauan Seribu.
Metodologi
Pengamatan dilakukan di 36 lokasi pengamatan (4 gosong dan 32 pulau) di dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dengan menggunakan transek kuadrat. Pengamatan hanya dilakukan pada satu sisi pulau saja mengingat adanya keterbatasan waktu dan sumber daya manusia. Pengambilan lokasi pengamatan sesuai dengan lokasi pengamatan terumbu karang. Dalam suatu lokasi pengamatan diletakkan 3 transek dengan 5 kuadrat dengan
71
ukuran 50x50 cm pada setiap transek tersebut. Transek dibentangkan tegak lurus garis pantai dengan jarak masing-masing sejauh 25 m, sedangkan jarak antarkuadrat dalam satu transek adalah sejauh 5 m. Identifikasi jenisjenis lamun menggunakan Seagrass-Watch: Manual Monitoring for Mapping & Monitoring Seagrass Resources by Community (citizen) Volunteers (McKenzie dkk., 2003)
Foto: Edy Steyawan
9
Penutupan dan Kerapatan Lamun di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009
Jenis lamun yang paling banyak ditemukan adalah Thalassia hemprichii sebanyak 53,09% dan yang paling sedikit adalah Halophila ovalis sebanyak 0,03%. Jumlah jenis lamun yang paling banyak ditemukan dalam satu lokasi adalah sebanyak 6 jenis yang ditemukan di Pulau Panggang (Tabel 9.1). Kerapatan lamun tertinggi dijumpai di Pulau Panggang dengan 605 tegakan/m2, sementara kerapatan terendah dijumpai di Pulau Melintang Besar dengan hanya 7 tegakan/m2. Penutupan lamun tertinggi dengan persentase 42,60% dijumpai di Pulau Kelapa, sedangkan penutupan terendah dengan persentase 0,60% dijumpai di Pulau Panjang Besar dengan rerata penutupan padang lamun di kawasan TNKpS adalah 12,08%. Analisis regresi terhadap penutupan lamun dan luasan gobah di setiap lokasi pengamatan hanya menunjukkan hubungan sebesar 46,53% (Tabel 9.1).
Gambar 9.1. Padang lamun yang kerapatannya rendah di salah satu pulau di Kepulauan Seribu Hm;4,68%
Data pengamatan yang dicatat adalah jenis dan persentase tutupan lamun, sedangkan kerapatan lamun diketahui dengan menghitung jumlah tegakan lamun dalam setiap kuadrat. Dari seluruh lokasi pengamatan, jumlah total unit pengamatan berjumlah 180 unit dengan luas total pengamatan adalah 180 m2. Rentang waktu pengamatan lamun dilakukan pada 07.00-16.00 WIB.
72
Hu;0,69% Si;4,29%
Hp;2,51% Ea;2,31%
Hd;1,53% Ho;0,03%
Th;53,09%
Cr;30,21%
Cs;0,67%
Gambar 9.2. penutupan
Komposisi
jenis
berdasarkan
persen
Hasil
Pembahasan
Keberadaan lamun hanya ditemukan di sebanyak 28 lokasi dari 36 lokasi yang diamati. Lamun yang ditemukan mencakup 10 jenis, yaitu Enhalus acoroides (Ea), Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea serrulata (Cs), Cymodocea rotundata (Cr), Halophila ovalis (Ho), Halophila decipiens (Hd), Halophila minor (Hm), Syringodium isoetifolium (Si), Halodule uninervis (Hu), dan Halodule pinifolia (Hp).
Menurut Tomascik (1997), jenis lamun yang ditemukan di Kepulauan Seribu adalah 8 jenis, sedangkan pengamatan yang dilakukan TERANGI pada tahun 2007 menemukan sebanyak 8 jenis lamun (di Kepulauan Seribu), kemudian pada tahun 2009 menemukan 10 jenis lamun (kawasan TNKpS). Jenis yang baru ditemukan pada tahun 2009 adalah Halophila decipiens dan Halodule pinifolia (Setyawan & Mardesyawati, 2010).
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Tabel 9.1. Jumlah jenis, penutupan, dan kerapatan lamun serta luas gobah pada lokasi yang diamati di kawasan TNKpS. . Nilai Tertinggi ( ) dan Terendah ( ).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Lokasi Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
Jumlah Jenis
Penutupan (%)
Kerapatan (tegakan /m2)
Luas Gobah (m2)
3 -
17,40 -
454 -
825.624 -
2
4,10
93
136.614
1 2 3 5 1 4 2 3 1 1 4 1 3 1 1 1 4 2 6 2 2 3 4 4 2
13,30 39,40 42,50 8,60 1,80 42,53 9,20 9,47 13,30 0,90 42,60 2,67 20,10 6,30 8,33 0,87 13,00 5,87 31,57 0,60 0,80 6,52 24,67 18,17 27,00
222 513 518 224 57 542 96 87 70 176 290 49 276 111 103 7 223 67 605 12 14 85 433 335 312
200.276 748.620 6.137.687 302.497 361.902 1.399.940 208.493 371.3536 99.978 179.174 1.399.940 105.903 446.437 115.757 172.825 464.110 410.278 1.997.269 1.724.881 628.575 301.295 607.652 987.830 692.381 581.131
3
23,47
205
151.982
73
Adanya perbedaan tersebut diduga terjadi karena lokasi pengamatan antara tahun 2007 dengan 2009 terdapat lokasi pengamatan yang berbeda, sehingga ada jenis lamun yang baru ditemukan. Thalassia hemprichii adalah jenis yang paling banyak ditemukan. Hal ini diduga disebabkan karena jenis ini memiliki kisaran pertumbuhan tercepat kedua (1,6-10,63 mm/hari) setelah Enhalus acoroides. Selain itu, jenis ini juga memiliki kecepatan tumbuh daun muda baru yang relative cepat, yaitu 9,5±1,5 gbk/m2/hari (Azkab, 1999). Thalassia hemprichii merupakan jenis yang paling dominan ditemukan di wilayah Indonesia dan dapat tumbuh di berbagai jenis substrat, mulai dari pasir berlumpur; pasir berukuran sedang dan kasar sampai patahanpatahan karang. Selain itu, Thalassia hemprichii juga dapat beradaptasi di lingkungan yang sudah tercemar dan ditemukan menyebar di Kepulauan Seribu (Tomascik, 1997; Hutomo, 1997). Jenis lamun yang paling jarang ditemukan adalah Halophila ovalis. Umumnya, jenis ini hidup di kedalaman 1-5 meter dan tertutup oleh sedimen karena ukurannya yang lebih kecil dibandingkan jenis lain (Kiswara, 1997).
Foto: Edy Steyawan
9
Penutupan dan Kerapatan Lamun di Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2009
Gambar 9.2. Hamparan Thallasia hemprichii
Perairan dengan jumlah jenis dan kerapatan lamun yang paling tinggi adalah Pulau Panggang. Pulau ini adalah pulau pemukiman dengan kepadatan bangunan rumah dan penduduk 74
yang tinggi. Air tawar menjadi salah satu permasalahan dan limbah rumah tangga adalah pemandangan yang umum terlihat di sebagian pantainya. Ketika musim hujan datang, limpasan limbah rumah tangga diperkirakan masuk ke perairan di sekitarnya, sehingga memperkaya perairan dengan unsur hara (fosfat, nitrat, dan amonia) melalui proses penguraian (Efriyeldi, 2003). Perairan yang kaya akan unsur hara mampu menyuburkan lamun. Umumnya, daun dan akar lamun dapat menyerap nutrien dari substrat. Di daerah tropis, akar memiliki peran lebih banyak dalam penyerapan nutrien (Stapel, 1997). Penutupan lamun tertinggi ditemukan di Pulau Kelapa dengan penutupan sebesar 42,6%. Pulau Kelapa memiliki gobah yang luas dan dangkal, sehingga padang lamun cukup banyak mendapatkan intensitas cahaya matahari. Ditambah dengan sedimen yang terdiri dari pasir dan lumpur, kondisi ini sangat sesuai untuk pertumbuhan lamun (Tomascik, 1997). Penutupan lamun terendah ditemukan di Pulau Panjang Besar dengan penutupan hanya 0,6%. Penutupan yang sangat rendah ini diduga disebabkan oleh pembangunan landasan pesawat terbang di Pulau Panjang Besar. Pengubahan fungsi pantai dengan pengerukan dan penimbunan merupakan salah satu sebab yang merusak habitat dan kehidupan di padang lamun (Bengen, 2001). Penutupan lamun kawasan TNKpS tergolong ke dalam kondisi buruk sesuai dengan kategori dalam KepMenLH 200 tahun 2004 yaitu hanya 12,08% (<60,0%). Hubungan antara penutupan lamun dengan luasan gobah yang kurang dari 50% menunjukkan bahwa masih banyak faktor, selain luasan gobah, yang mempengaruhi pertumbuhan lamun di Kepulauan Seribu. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut, antara lain: suhu, salinitas, substrat, intensitas cahaya matahari, nutrien, dan kekeruhan (Mckenzie & Yoshida, 2009). Seharusnya, kondisi lamun di kawasan
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
TNKpS dapat lebih baik lagi dari sekarang, hal ini mengingat kondisi perairannya yang tenang dan adanya paparan terumbu yang luas serta kondisi sedimen yang sesuai untuk pertumbuhan lamun. Selain itu, lamun juga jarang dimanfaatkan oleh masyarakat di Kepulauan Seribu. Kondisi lamun yang buruk ini kemungkinan disebabkan oleh semakin banyaknya gangguan seperti tingkat kekeruhan perairan, tingkat sedimentasi, dan polusi perairan. Lamun di kawasan TNKpS dapat bertahan diduga karena masyarakat di Kepulauan Seribu jarang yang memanfaatkan lamun.
Kesimpulan Kepulauan Seribu memiliki lamun sebanyak 10 jenis dan 6 diantaranya ditemukan di Pulau Panggang. Penutupan lamun tertinggi adalah sebanyak 42,6% dan terendah sebanyak 0,6% dengan rerata penutupan sebesar 12,08% yang termasuk kedalam kategori buruk. Kerapatan lamun tertinggi ditemukan di Pulau Panggang sebanyak 605 tegakan/m2. Pengamatan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penutupan dan kerapatan lamun di Kepulauan Seribu yakni jenis substrat, luas, gobah, nutrien, dan pengalihan fungsi pantai/ habitat lamun.
Saran
Azkab, M. H. 1999. Kecepatan Tubuh dan Produksi Lamun dari Teluk Kuta Lombok. Lembaga Ilmu Pengetahuan. Jakarta. Bengen, D. G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Efriyeldi, Z. 2003. Kandungan Zat Hara dalam Air Poros dan Air Permukaan Padang Lamun Bintan Timur Riau. Jurnal Natur Indonesia 5(2): 139-144 Hutomo, M. 1997. Padang Lamun dan Perairannya di Lingkungan Laut Dangkal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Kiswara, W. 1997. Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia. Kongres Biologi Indonesia XV. Jakarta. Larkum, A.W.D. & C. den Hartog. 1989. Evolution and Biogeography of Seagrasses. Dalam. A.W.D. Larkum, A.J. McComb, & S.A. Shepherd. (eds). Biology of Seagrasses. Elsevier Pub Co. Amsterdam. 143-165 pp McKenzie, L. J. & R. L. Yoshida. 2009. Seagrass-Watch: Proceedings of a Workshop for Monitoring Seagrass Habitats in Indonesia. The Nature Conservancy. Coral Triangle Center, Sanur, Bali. 9th May 2009. (Seagrass-watch HQ, Cairns). 56pp McKenzie, L.J., S.J. Campbell & C. A. Roder. 2003. SeagrassWatch: Manual for Mapping & Monitoring Seagrass Resources by Community (citizen) volunteers. 2nd Edition. QFS, NFC, Cairns. 100pp. Setyawan, E. & A. Mardesyawati. 2010. Seribu Seagrasses Thriving. dalam. McKenzie L. J., R. L. Yoshida, R. Unsworth. (eds). 2010. Seagrass-watch News. Issue 40, March 2010. Seagrass-Watch HQ. 16 pp. Stapel J., T L. Aarts, B. H. M. van Duynhoven, J. D. de Grooth, P. H. W. van den Hoogen, & M. A. Hemminga. 1997. Nutrient Uptake by Leaves and Roots of The Seagrass Thallasia hemprichii in Spermonde Archipelago Indonesia. Dalam. Nutrient Dinamics in Indonesian Seagrass Beds: factors determining Conservation and loss of nitrogent and phosphorus. Wotro. Netherlands. Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. P2O LIPI. Jakarta. Tomascik T., A. J. Mah, A. Nontji, & M. K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas Part Two. Dalhousie University. Singapore.
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lamun, seperti substrat dasar dan kandungan nutrien di Kepulauan Seribu, agar dapat menjadikan penelitian lamun menjadi lebih dalam lagi. Penelitian lamun secara kontinu dan berkelanjutan juga diperlukan, karena lamun juga berperan pada ekosistem mangrove dan terumbu karang.
Daftar Pustaka
75
LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran 1. Daftar nama peneliti dan asisten lapangan
2005
Peneliti : Estradivari, Idris, Muh. Syahrir, Mikael prastowo, Nugroho Susilo, Safran Yusri, Silvianita Timotius, Doni Sulistyono, Fakhrizal Setiawan, Ginda, Nurohhim, Ofri Johan, Purnomo, Sokeh, dan Umar. Asisten Lapangan: Rinkko, Rini Estu Smara, Alimuddin, Irving, dan Hesti.
2007
Peneliti : Estradivari, Idris, Mikael Prastowo, Nugroho Susilo, Safran Yusri, Silvianita Timotius, Heri, Sri Haryanti, Fahad, Sairan, Herdiana, Rohidin, Doni Sulistyono. Asisten Lapangan: Rizki Falenita, Arni Mila Sari, Ika Mustika Afianti, Tresna Sukmawati, Sundari Wening, Nurheryanto, M. Komaruddin.
Berdiri Kiri ke kanan : Panji Abdillah, Bobb Timotius, Budi y Panca Perdan Santoso, Aar Mardesyawati, a, Estradivari, Pastra, Zulkifli Fanny Kristiad Safran Yusri, Jongkok Kiri Edy Setyawan hi, Silvianita ke Kanan : Mi , Zakki Abdilla kael Prastowo h, Defin Ari , Muchtar Fauz y
2009
Peneliti : Estradivari, Edy Setyawan, Idris, Mikael Prastowo, Safran Yusri, Silvianita Timotius, Aar Mardesyawati, Budi Santoso, Zulkifli, Panji Abdillah, Satibi. Asisten Lapangan: Defin Ari Pastra, Bobby Panca Perdana, Fanny Kristiadhi, Muchtar Fauzy, Zakki Abdillah. 78
Lokasi Pengamatan
Pari
Kotok Besar
Kotok Kecil
19
20
Gosong Sulaiman
Kayu Angin Genteng
Kayu Angin Genteng
Genteng Besar
25
26
27
28
21 Karang Bongkok Kelurahan Pulau Kelapa 22 Kaliage Besar 23 Kelapa 24 Panjang Besar
Semak Daun Gosong Karang Lebar Karang Congkak
16 17 18
-
B
-
S
U
B
-
-
B
B
B
B S
-
-
BL
U
U B
-
S S B
-
-
-
-
U
B B S
B B S
-
U
-
U
U
U U U
T S TG B T
U
U U U
T S TG B T
TG
Sekati Panggang Pramuka Gosong Pramuka Gosong Balik Layar
11 12 13 14 15
-
U
9 Tidung Kecil Kelurahan Pulau Panggang 10 Air
U
TG
Tidung Kecil
8
B
B
B
B
Payung Kecil
TL
S
t.a.d
t.a.d
t.a.d
Sisi lokasi 2007 2009
TL
S
BL
-
2005
7
5 Pari Kelurahan Pulau Tidung 6 Payung Besar
4
2 Onrust Kelurahan Pulau Pari 3 Gosong Lancang
Kelurahan Pulau Untung Jawa 1 Bidadari
Kode 4
7
-
9
18
7
7
7 9 12
9
-
7
57 7 12
47
7
7
7 7 6
11 9 7 7 7
-
7
8 7 7
10 9 6 7 7
10
-
8
5
8
10
6
t.a.d
4
5
7
7
8
78
-
9
7
-
7
-
10 12
-
7
7
7 7
-
9 7 7
-
-
-
-
Kedalaman (m) 2005 2007 2009
Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata
Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Pemukiman
nonTNKpS Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemukiman
nonTNKpS
nonTNKpS
nonTNKpS
nonTNKpS
nonTNKpS
nonTNKpS
nonTNKpS
nonTNKpS
nonTNKpS
nonTNKpS
Zonasi TNKpS
05° 37' 10,7" S
-
106° 32' 47,4" E
-
106° 33' 43,1" E
106° 33' 41,5" E
05° 37' 59,2" S 05° 37' 18,3" S
106° 34' 23.7" E 106° 33' 22,6" E 106° 33' 54,1" E
106° 34' 00,5" E
05° 39' 47,6" S 05° 39' 31,0" S 05° 38' 41,0" S
05° 40' 44,9" S
-
106° 32' 06,1" E
05° 41' 53,0" S
-
106° 34' 24,3" E 106° 35' 36,7" E 106° 34' 43,6" E
106° 36' 53,1" E 106° 35' 43,5" E 106° 36' 31,9" E 106° 37' 03,3" E 106° 33' 53,7" E
106° 35' 48,0" E
106° 31' 58,5" E
106° 31' 55,0" E
106° 32' 49,8" E
106° 32' 50,9" E
106° 38' 11,6" E
106° 36' 27,0" E
106° 34' 36,9" E
-
05° 43' 25,9" S 05° 43' 01,7" S 05° 41' 52,8" S
05° 45' 32,9" S 05° 44' 51,2" S 05° 44' 08,9" S 05° 45' 04,3" S 05° 44' 03,4" S
05° 45' 58,0" S
05° 48' 07,0" S
05° 48' 22,4" S
05° 48' 51,7" S
05° 49' 16,9" S
05° 51' 09,3" S
05° 52' 21,7" S
05° 55' 31,4" S
-
2005
05° 37' 10,9" S
-
05° 38' 00,8" S
05° 39' 53,0" S 05° 39' 35,6" S 05° 38' 41,0" S
05° 40' 44,9" S
-
05° 41' 53,3" S
05° 43' 30,8" S 05° 43' 01,7" S 05° 41' 52,8" S
05° 45' 32,9" S 05° 44' 51,2" S 05° 44' 06,1" S 05° 45' 08,9" S 05° 44' 03,4" S
-
-
05° 48' 04,0" S
05° 48' 51,7" S
05° 49' 16,6" S
05° 51' 09,3" S
05° 52' 21,7" S
05° 55' 38,3" S
05° 02' 03,6" S
05° 02' 03,0" S
106° 32' 47,6" E
-
106° 33' 41,5" E
106° 33' 40.3" E 106° 33' 37,9" E 106° 33' 54,1" E
106° 34' 00,5" E
-
106° 32' 06,1" E
106° 34' 11,0" E 106° 35' 36,7" E 106° 34' 43,6" E
106° 36' 41,6" E 106° 35' 43,5" E 106° 36' 52,0" E 106° 36' 31,9" E 106° 33' 53,8" E
-
-
106° 31' 49,5" E
106° 32' 49,9" E
106° 32' 50,8" E
106° 38' 11,6" E
106° 36' 27,0" E
106° 34' 35.1" E
106° 44' 00,0" E
106° 44' 48,0" E
Koordinat 2007
05° 37' 09,8''
05° 37' 14.5''
-
05° 37.999' S
-
05° 39.593' S 05° 38.683' S
-
05° 41.451' S
05° 41.889' S
05° 43.474' S 05° 42.112' S
-
05° 44.854' S 05° 45.102' S 05° 44.149' S
-
-
-
-
S 106° 32' 49.
S 106° 33' 34.
-
106° 33.600' E
-
106° 33.632' E 106° 33.901' E
-
106° 31.769' E
106° 32.102' E
106° 34.299' E 106° 34.451' E
-
-
-
-
-
106° 35.725' E 106° 36.866' E 106° 36.532' E
2009
Lampiran 2. Daftar kode, kelurahan, lokasi pengamatan, sisi lokasi, kedalaman pengamatan, zonasi TNKpS, dan koordinat tahun 2005, 2007 dan 2009. Sisi Lokasi dideskripsikan berdasarkan arah mata angin, yaitu U (Utara), TL (Timur Laut), T (Timur), TG (Tenggara), S (Selatan), BD (Barat Daya), B (Barat), dan BL (Barat Laut). Singkatan t.a.d menunjukan tidak ada data.
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
79
Lampiran
Lokasi Pengamatan 8 7
10
7
7
8
S
10
Zonasi TNKpS Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Inti Inti Perlindungan Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata
Perlindungan
Pemukiman Pemukiman Pemukiman Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata Inti Pemanfaatan Wisata Perlindungan Perlindungan Inti Inti Pemanfaatan Wisata Perlindungan Pemanfaatan Wisata Pemanfaatan Wisata
05° 34' 33,9" S
05° 35' 52,4" S
106° 31' 36,8" E
106° 33' 15,1" E
106° 33' 41,1" E
05° 31' 55,7" S
05° 34' 17,9" S
05° 34' 17,9" S
05° 35' 52,3" S
106° 32' 15,9" E
106° 31' 36,7" E
106° 33' 15,1" E
106° 33' 41,1" E
05° 31.875' S
05° 34.279' S
05° 34.565' S
05° 35.904' S
106° 32.274' E
106° 31.680' E
106° 33.252' E
106° 33.377' E
2009
05° 34' 18,0" S
106° 32' 15,9" E
106° 26' 43,7" E 106° 26' 14,5" E
Koordinat 2007
05° 31' 55,7" S
05° 27' 49,1" S 05° 28' 32,2" S
-
05° 36' 45,3" S
05° 39' 09,9" S
05° 40' 15,5" S
-
106° 36' 15,2" E
106° 34' 31,8" E
-
106° 36' 20,1" E
106° 35' 30,9" E
106° 34' 40,2" E
-
05° 30' 09,8" S
05° 36' 19,8" S
05° 36' 24,4" S
-
05° 36' 45,2" S
05° 39' 09,9" S
05° 40' 15,3" S
-
t.a.d
106° 32' 10,1" E
106° 35' 56,1" E
106° 36' 15,2" E
-
106° 34' 20,1" E
106° 35' 21,1" E
106° 34' 40,1" E
-
05° 29.654' S
-
05° 30.212' S
05° 36.371' S
05° 36.289' S
05° 37' 08,1''
05° 37.187' S
05° 36.753' S
05° 40.285' S 05° 37.994' S 05° 39.057' S
05° 33.373' S
05° 36.393' S
05° 34.304' S
05° 27.935' S 05° 24.973' S
106° 33.369' E
-
106° 31.879' E
106° 35.907' E
106° 36.137' E
S 106° 34' 14,
106° 34.841' E
106° 34.335' E
106° 34.671' E 106° 34.321' E 106° 34.980' E
106° 31.780' E
106° 32.485' E
106° 32.932' E
106° 26.228' E 106° 27.492' E
106° 26' 24,6" E 106° 26' 41,9" E
05° 37' 06,5" S
106° 35' 56,1" E
106° 33' 22,1" E
106° 33.895' E
-
05° 36' 24,3" S
106° 32' 10,1" E
t.a.d
05° 27.539' S
-
05° 36' 19,8" S
05° 29' 39,2" S
106° 34' 36,5" E 106° 34' 06,6" E 106° 33' 48,6" E
-
05° 30' 09,8" S
-
05° 29' 44,9" S 05° 27' 39,3" S 05° 27' 07,7" S
-
-
-
106° 34' 36,5" E 106° 34' 06,8" E 106° 33' 48,4" E
-
05° 34.540' S
05° 25.395' S
05° 34.110' S
106° 35.491' E
106° 34.775' E
106° 29.375' E
106° 33.915' E
-
05° 34.874' S
-
05° 29' 45,1" S 05° 27' 39,5" S 05° 27' 07,4" S
-
-
05° 27' 49,1" S 05° 28' 32,2" S
2005
Lampiran 2. Daftar kode, kelurahan, lokasi pengamatan, sisi lokasi, kedalaman pengamatan, zonasi TNKpS, dan koordinat tahun 2005, 2007 dan 2009. Sisi Lokasi dideskripsikan berdasarkan arah mata angin, yaitu U (Utara), TL (Timur Laut), T (Timur), TG (Tenggara), S (Selatan), BD (Barat Daya), B (Barat), dan BL (Barat Laut). Singkatan t.a.d menunjukan tidak ada data. (Lanjutan) Kode B 7 7
Kedalaman (m) 2005 2007 2009
S U 7
Sisi lokasi 2007 2009
S TL S
2005
TL S 7
Putri Barat Melintang Besar S 7
29 30 Jukung 7
Kelurahan Pulau Kelapa
31 B
-
B
-
8
8
7 7
BD
32 Gosong Rengat Rengat Dua Barat B
7 7
Hantu Timur
33 34 35 Kayu Angin Melintang B
12 9
U TL
36 Macan Besar
S BD
T T
37
7 7 9
7
9
6
-
9
B
9
10
-
B
B BL TL
T
Kelor Timur
B
-
7
38
T
-
7
9
9
7
B
7
9
7
7
-
7
7
6
8
-
8
9 7 7
7 9 8 9
-
9
-
-
6
Bira Besar
Kelurahan Pulau Harapan 39 Opak Besar 40 Pamegaran 41 Harapan
-
-
B
7
7
B
-
B
B
S
BD
-
S
t.a.d S S B
t.a.d S S B
-
-
B
Bira Kecil B
S
B
BL
Semut Kecil
B
42
Kuburan Cina
S
T
U
-
43
Belanda
T
BL
-
44
Gosong Belanda
-
45 Nyamplung
-
46
Dua Timur
-
7
47
Gosong Sebaru Besar
Jagung
53
BL
49
48
54
Sepa
Rengit Penjaliran Timur Peteloran Timur
55
Petondan Timur
50 51 52
56
80
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Sepa
Lokasi CE 4,4 5,6 0,0 0,6 0,4 1,3 4,3 0,0 3,1 0,9 2,0 9,9 2,4 5,3 1,2 0,8 4,6 8,9 5,9 0,1 0,0 0,0 0,3 0,7 0,8 0,5 0,6 3,4 4,2 1,0 0,3 1,5 0,0 0,5 3,0
CS 2,2 1,8 0,5 0,0 0,0 2,5 3,3 0,4 4,8 0,0 3,3 1,4 7,0 10,0 0,0 2,5 4,1 1,4 2,9 1,9 5,9 2,8 4,7 4,1 0,3 0,0 2,3 6,8 0,8 0,0 0,4 0,9 0,9 0,3 0,0
CF CMR 10,3 4,6 7,8 1,3 6,7 3,5 0,3 0,0 0,9 0,0 5,8 6,4 1,2 0,1 30,9 1,4 3,3 0,0 4,0 1,1 0,4 1,2 5,6 0,7 11,8 0,0 0,3 0,0 18,5 0,3 6,9 2,1 1,3 0,0 9,5 0,3 13,5 2,6 2,2 5,3 8,7 5,2 6,9 6,3 2,4 4,0 3,0 0,0 4,1 0,9 0,7 2,6 2,1 1,7 10,4 0,8 0,7 1,1 0,3 2,6 3,2 1,4 2,7 0,2 5,7 0,2 9,1 1,2 4,2 0,3
DCA 6,1 7,8 0,6 0,0 0,0 11,3 11,3 1,8 9,1 11,5 4,4 24,8 1,4 12,3 0,6 0,0 5,5 14,3 7,0 0,0 2,2 0,0 3,5 3,0 55,4 0,0 0,0 9,1 3,9 0,0 5,0 2,4 2,0 31,5 0,0
Karang Mati
CME CHL DC 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,9 0,0 20,1 0,0 0,0 3,0 0,0 0,0 7,1 0,8 1,0 18,9 0,2 0,0 0,0 2,7 0,0 18,5 0,0 0,0 0,0 1,5 0,0 23,9 0,0 0,0 0,0 1,1 0,0 0,0 0,9 0,0 17,2 0,0 0,0 0,0 0,1 0,4 10,8 1,1 0,0 10,0 6,7 0,0 3,6 0,0 0,0 0,0 3,7 0,0 0,0 2,9 0,0 4,6 10,5 0,0 7,5 0,4 0,0 7,6 12,6 0,4 5,7 9,9 0,0 0,0 0,0 0,0 14,9 16,5 0,0 2,5 7,9 1,8 21,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 19,8 2,1 16,1 34,5 0,0 0,0 0,0 0,5 1,7 19,2 7,1 0,0 2,9 0,0 19,4 34,6
Karang Keras non-Acropora
ACB ACT ACE ACS ACD CB CM 4,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4,1 3,4 11,2 0,0 0,0 0,0 0,0 10,7 1,1 8,0 0,0 3,1 0,4 3,8 0,3 0,9 1,6 0,0 0,0 0,8 0,4 0,0 3,9 1,0 2,9 0,3 0,0 1,3 0,6 11,1 4,4 0,0 2,6 0,3 2,3 9,1 8,4 3,6 0,0 0,0 0,0 0,9 1,0 3,4 8,7 0,0 0,5 0,3 1,3 0,0 2,0 1,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5,4 14,3 0,2 0,0 0,0 0,3 4,6 7,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 7,1 2,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 9,4 1,9 0,0 0,0 4,5 9,1 0,0 22,7 4,7 0,6 0,0 0,0 0,0 0,0 2,6 1,2 24,0 1,2 0,0 0,0 1,7 0,2 15,3 24,1 0,0 5,5 2,0 3,1 1,5 4,5 1,2 0,0 0,0 1,5 0,0 2,3 12,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,7 5,6 2,4 1,5 0,0 0,0 0,0 17,3 0,3 8,4 0,0 0,3 1,9 0,0 39,5 1,3 1,8 2,5 0,0 6,1 0,0 14,8 9,2 3,1 0,0 2,4 2,1 1,9 0,0 8,1 3,3 0,0 0,8 1,4 0,5 10,5 1,9 12,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,8 2,3 4,4 0,0 0,8 1,9 1,0 0,0 7,3 5,2 0,0 1,6 1,9 0,0 4,1 2,8 3,7 0,0 2,5 0,2 1,5 0,0 2,8 1,6 0,0 0,0 0,0 0,0 4,8 7,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,5 0,2 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 6,4 2,0 8,2 0,0 0,0 0,0 0,0 5,4 2,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 3,4 4,0 0,0 2,6 3,1 0,3 14,3 2,2 7,4 0,0 1,3 3,6 1,0 2,8 4,2 7,1 0,0 0,0 0,0 0,0 6,3 3,3
Karang Keras Acropora MA TA 0,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,6 0,0 7,8 0,0 1,0 0,0 0,0 17,9 29,4 0,0 7,2 0,0 0,0 0,0 16,1 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 11,4 3,8 0,0 0,0 0,2 0,0 1,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 4,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 3,5 3,6 50,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 28,0 16,3 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0
CA 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,6 2,7 0,0 0,0 0,0 0,4 0,0 0,0 0,0 3,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0
Alga HA 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 2,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5,9 0,0 0,0 0,0 0,5 0,0 2,0 0,4 0,0 1,1 0,6 1,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 1,2 8,0 0,0
AA SC SP 0,0 0,0 1,1 0,0 0,7 3,0 0,0 3,5 2,5 0,0 0,0 0,0 0,0 1,6 2,3 1,9 4,9 7,3 0,0 2,0 1,0 1,6 3,3 1,9 0,0 1,3 3,8 0,0 0,5 2,4 0,0 14,7 0,7 0,0 0,6 6,1 0,0 0,0 3,9 0,0 12,5 0,5 0,0 1,6 0,5 0,0 0,0 3,4 0,0 0,7 4,8 0,3 0,8 4,8 0,0 0,0 2,0 0,0 0,0 4,1 10,6 0,3 2,9 0,0 0,0 8,3 0,7 1,4 4,7 0,0 1,0 2,7 0,0 0,0 0,6 0,0 0,6 1,1 0,5 1,9 2,1 0,0 6,0 0,6 0,0 1,3 5,0 0,0 0,0 0,7 3,2 0,0 4,4 0,0 0,3 0,9 0,8 0,9 17,2 2,8 0,0 1,4 0,0 0,0 3,3
ZO 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Biota Lain OT 3,4 2,7 2,2 1,8 1,3 0,0 1,3 0,7 1,4 0,3 7,4 2,5 0,1 1,7 2,4 0,4 0,8 2,6 2,5 0,4 0,0 1,0 0,0 2,5 0,5 0,8 0,0 0,9 0,4 3,0 0,7 9,9 0,6 1,3 1,2
Lampiran 3. Data persentase kategori tutupan substrat dasar terumbu karang di 35 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu pada tahun 2009
S 0,0 3,9 0,0 0,0 0,0 5,5 21,6 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 3,0 0,0 0,0 0,0 1,8 26,3 5,9 0,0 0,9 0,0 0,0 7,7 0,0 0,0 0,0 11,8 21,7 0,0 0,0 7,2 9,3 0,0 15,3
Abiotik R WA 55,1 0,0 42,6 0,0 43,1 0,0 87,8 0,0 69,4 0,0 5,7 0,0 44,3 0,0 13,9 0,0 64,2 0,0 6,4 0,0 27,5 0,0 28,5 0,0 11,4 0,0 30,7 0,0 4,6 16,4 32,1 0,0 48,8 0,0 4,0 0,0 32,5 0,0 24,9 0,0 9,5 0,0 49,3 0,0 40,3 0,0 44,8 0,0 6,0 0,0 59,1 0,0 46,6 0,0 29,4 0,0 9,0 0,0 64,2 0,0 0,0 12,7 25,6 0,0 13,5 0,0 13,8 0,0 0,0 2,2
RCK 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
81
Lampiran
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
82
Acanthastrea Acropora Alveopora Anacropora Astreopora Barabattoia Caulastrea Ctenactis Cycloseris Cynarina Cyphastrea Diploastrea Echinophyllia Echinopora Euphyllia Favia Favites Fungia Galaxea Gardineroseris Goniastrea Goniopora Halomitra Heliofungia Heliopora Herpolitha Hydnophora Leptastrea Leptoria
Lampiran 4. Data ada (+) dan tidak adanya marga karang keras di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + +
+ + + + + + +
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ +
+ + + + + + +
+
+
+
+
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
Leptoseris Lithophyllon Lobophyllia Merulina Millepora Montastrea Montipora Mycedium Oulophyllia Oxypora Pachyseris Pavona Pectinia Physogyra Platygyra Plerogyra Pocillopora Podabacia Polyphyllia Porites Psammocora Sandalolitha Scolymia Seriatopora Stylophora Symphyllia Tubastrea Turbinaria
Lampiran 4. Data ada (+) dan tidak adanya marga karang keras di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+ + + + + + + +
+ + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+ + + + + +
+
+ + + + + + + +
+
+ + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + +
+ + +
+ +
+ +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + +
+ + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + +
+ + + + + + + + + + + +
+ +
+ + + + + + + + +
+ + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + +
+
+ + + + + + + + + + + +
+
+ + + + + + +
83
Lampiran
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
84
Annella Briareum Carijoa Chironephthea Cladiella Clavularia Dendronephthya Ellisella Euplexaura Isis Juncella Lemnalia Lobophytum Melithaea Menella Nephthea Pinnigorgia Rhumpella Sarcophyton Sarcophyton Scleronepthya Sinularia Siphonogorgia Stereonephthya Xenia
Lampiran 5. Data ada (+) dan tidak adanya marga octocoralia di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.
+ + + + + + + + +
+ + +
+ +
+ +
+ + +
+
+
+ +
+ + + +
+ + + + + + +
+ + +
+ + + +
+ + +
+ + + + + +
+ +
+ +
+ + + +
+ +
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + +
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + +
+ + + +
+ + +
+ + + +
+ + + +
+
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
Aaptos sp. Acanthaster planci Acanthella sp. Acantostrongylophora sp. Achantella sp. Aka sp. Alectryonella plicatula Ascidia sp. Asthenosoma varium Atrina pectinata Atrina vexillum Atriolum robustum Bispira sp. Callyspongia aeruzusa Callyspongia sp. Callyspongia sp. 2 Capillaster multibrachiatus Capillaster sentosus Chelonaplysilla sp. Chromodoris magnifica Cinachyrella sp. Clathria mima Clathria reinwardti Clathria sp. Clavelina cyclus Clavelina moluccensis Clavelina obesa Clavelina sp. Colobometra perspinnosa
Lampiran 6. Data ada (+) dan tidak adanya jenis makrobentos di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.
+ + + + +
+
+ +
+ + + + + + + + + + + +
+ +
+ +
+ + + + +
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+ + +
+ + + +
+
+
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+ + + + + + + + + +
+ +
+ + + +
+ + + +
+
+ + + + +
+ +
+ + + + +
+ +
+
+ +
+ + + + + + + + + + + + +
+
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+ + +
+ +
+
+
+
+ + + + + + + + +
+ +
+
+ + +
+ +
+ + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + +
+ + + +
+ + + +
+ + + + + + + +
85
Lampiran
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
86
Comanthina schlegeli Comanthus sp. Comaster multibrachiatus Comaster multifidus Comatela nigra Corcilum cardissa Craspedometra acuticirra Culcita novaeguineae Cypraea tigris Dasychalina fragilis Dasychalina sp. Diacarnus spinipoculum Diadema setosum Didemnid sp. Didemnid sp. 2 Didemnum molle Didemnum mosleyi Didemnum sp. 1 Didemnum sp. 2 Didemnum sp. 3 Discosoma sp. Discosoma sp.2 Drupella sp. Echinostrephus aciculatus Echinothrix calamaris Echinothrix diadema Ectinascidin sp. Entacmaea quadricolor Eudistoma sp.
Lampiran 6. Data ada (+) dan tidak adanya jenis makrobentos di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+ + + + + +
+
+ + + +
+ + + +
+
+
+ +
+ +
+
+
+ +
+
+ +
+
+ +
+ + + +
+ +
+
+ +
+
+
+ + + + + + + + + + + + + +
+ + + +
+
+ + + + +
+
+
+
+ + + +
+
+ + + + + + + + +
+
+ + + +
+
+ + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ +
+
+ + + + + + + +
+ +
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
Fromia milleporella Gelliodes sp. Gymangium sp. Halichondria sp. Haliclona nematifera Haliclona sp. Haliclona sp. 2 Haliclona sp. 3 Heteractis crispa Heteractis magnifica Himerometra robustipinna Holothuria edulis Hyotissa hyotis Hyrtios erectus Hyrtios sp. Ianthella sp. Ircinia ramosa Ircinia sp. Isognomon isognomon Isognomon sp. Lambis chiragra Lambis sp. Lamellodysidea sp. Leptoclinides reticulatus Leptoclinides sp. Linckia laevigata Liosina sp. Lopha cristagalli Macrodactyla sp.
Lampiran 6. Data ada (+) dan tidak adanya jenis makrobentos di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+ +
+ + +
+ + + + + + + + +
+ +
+ + +
+ +
+
+ + + + + + + + +
+
+ + + + +
+ + +
+ + +
+
+ +
+
+ +
+ +
+ +
+ + +
+ + +
+ + +
+
+ + + + + +
+
+ + +
+
+ + +
+ + + + + +
+ + + + + + +
+
+
+
+
+
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+
+ +
+ + + + + +
+ +
+
+
+ +
+ + +
+
+
+ + + + + + + + + + + + +
+ +
+
+ + +
+ + + + +
+ +
+
+
+
+ + +
+ +
+
+
+ + +
87
Lampiran
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
88
Modiolus philippinarum Nembrotha kubaryana Oceanapia sagittaria Opheodesoma spectabilis Ophiomastik sp. Ophiothrix sp. Palythoa sp. Palythoa tuberculosa Palythoa vestitus Parazoanthus sp. Pedum spondyloideum Pelecypoda 1 Petasometra clarae Petrosia nigricans Phallusia sp. Phyllidia pustulosa Phyllidia varicosa Phyllidiella pustulosa Phyllidiopsis sp. 1 Phyllospongia sp. Pinctada margaritifera Pinna sp. Plakortis sp. Policlinides reticulatus Policlinides sp. Pomatostegus stellatus Protopalythoa sp. Pseudoceratina sp. Pseudodistoma fragilis
Lampiran 6. Data ada (+) dan tidak adanya jenis makrobentos di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+ +
+ + + +
+
+
+ + + +
+
+ +
+
+ + + + + + + + + + + +
+ + +
+
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+ + + + +
+ + + + + + +
+ +
+
+ +
+ +
+
+ +
+
+
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ +
+ + +
+ +
+
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+ +
+ + +
+ +
+ +
+ + + +
+
+ +
+
+
+ + + + +
+
+ +
+
+ + + +
+ + + + + + + + +
+
+
+ +
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
+ + + + +
+
+
+
+
+ + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + +
+
+
+ + + + +
+
+
Tridacna crocea Tridacna gigas Tridacna maxima Tridacna squamosa Xestospongia testudinaria Xetospongia sp. Zoanthus mantoni
+ +
+ +
+
+
+ +
+ + + + + +
+ + + + +
+ + +
+ +
+
+
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+ + +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+ + +
Thysanozoon nigropapillosum
Lokasi
Pteraeolidia ianthina Pteria penguin Pteria sp Pterometra venusta Rhabdastrerella sp. Rhopalaea sp. Rophalaea crassa Sabellastarte indica Sigilina signifera Speciospongia sp. Spirobranchus giganteus Spondylus varians Stephanometra clarae Stephanometra indica Stichodactyla gigantea Strongylophora sp. Stylissa carteri Stylissa massa Suberea sp. Synaptula lamperti Synaptula sp. Thrinacophora cervicornis
Lampiran 6. Data ada (+) dan tidak adanya jenis makrobentos di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+ +
+ +
+ +
+
+
+
+ + +
89
Lampiran
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
90
Abudefduf bengalensis Abudefduf sexfasciatus Abudefduf vaigiensis Acanthurus albipectoralis Acanthurus blochii Acanthurus tristis Acreichthys tomentosus Aeoliscus strigatus Amblyglyphidodon batunai Amblyglyphidodon curacao Amblyglyphidodon leucogaster Amphiprion akallopisos Amphiprion clarkii Amphiprion ocellaris Anampses meleagrides Apogon bandanensis Apogon chrysopomus Apogon compressus Apogon multilineatus Apogon sp. Archamia zosterophora Arothron nigropunctatus Aulostomus chinensis Balistoides viridescens Bolbometopon muricatum Caesio cuning Caesio teres Cephalopholis boenak Cephalopholis microprion
Lampiran 7. Data ada (+) dan tidak adanya jenis ikan karang di 33 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.
+
+
+
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + +
+ + + +
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
Cephalopholis miniata Cephalopholis urodeta Cetoscarus bicolor Chaetodon octofasciatus Chaetodontoplus mesoleucus Cheilinus arenatus Cheilinus bimaculatus Cheilinus chlorourus Cheilinus digramma Cheilinus fasciatus Cheilinus oxyrhynchus Cheilinus rhodochrous Cheilodipterus artus Cheilodipterus quinquelineatus Chelmon rostratus Chlorurus bleekeri Chlorurus sordidus Choerodon anchorago Chromis amboinensis Chromis flavipectoralis Chromis margaritifer Chromis sp. Chromis viridis Chrysiptera hemicyanea Chrysiptera oxycephala Chrysiptera parasema Chrysiptera sp. Chrysiptera cyanopleura Congrogadus subducens
Lampiran 7. Data ada (+) dan tidak adanya jenis ikan karang di 33 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+ +
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + +
+ + + + + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
91
Lampiran
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
92
Coradion chrysozonus Coris batuensis Cryptocentrus cinctus Dascyllus trimaculatus Diploprion bifasciatum Diproctacanthus xanthurus Dischistodus chrysopoecilus Dischistodus prosopotaenia Ecsenius cf bandanus Epibulus insidiator Epinephelus areolatus Epinephelus fasciatus Epinephelus quoyanus Exyrias belissimus Gomphosus caeruleus Gomphosus varius Gymnothorax javanicus Halichoeres argus Halichoeres chloropterus Halichoeres chrysotaenia Halichoeres chrysus Halichoeres hortulanus Halichoeres melanurus Halichoeres purpurescens Halichoeres richmondi Halichoeres scapularis Hemiglyphidodon plagiometopon Hemigymnus fasciatus Hemigymnus melapterus
Lampiran 7. Data ada (+) dan tidak adanya jenis ikan karang di 33 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+
+ + + + +
+
+ +
+ + + +
+ +
+ + + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + +
+
+ +
+
+
+ +
+
+ + + +
+ + +
+
+ + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + +
+ +
+ + + + + +
+ + +
+ + +
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
Heniochus acuminatus Heniochus monoceros Heniochus pleurotaenia Labrichthys unilineatus Labroides dimidiatus Lutjanus biguttatus Lutjanus bohar Lutjanus carponotatus Lutjanus decussatus Lutjanus kasmira Lutjanus sp. Macropharyngodon ornatus Meiacanthus smithi Monacanthus chinensis Myripristis hexagona Myripristis murdjan Neopomacentrus melas Neopomacentrus nigroris Neopomacentrus anabatoides Neopomacentrus azysron Neopomacentrus bankieri Neopomacentrus cyanomos Neopomacentrus filamentosus Ostracion cubicus Oxycheilinus unifasciatus Parupeneus barberinus Parupeneus macronema Parupeneus trifasciatus Pempheris adusta
Lampiran 7. Data ada (+) dan tidak adanya jenis ikan karang di 33 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+
+
+ + +
+
+
+
+ + + + +
+ +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ +
+
+ +
+
+ + + + +
+ +
+
+
+ +
+ +
+ + + + +
+ + +
+
+
+
+
+
+ + + + + + + +
+ + + + + + + +
+ + +
+
+ + +
+ +
+
+ +
+ + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + +
+ +
+
+ +
+ +
+
+ +
+ +
+
+ +
+ +
+
+
+ + + +
+ + + + + +
+
+ + +
+
+ + +
+ +
+
+
+ +
+ + +
93
Lampiran
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
94
Pentapodus emeryii Pentapodus setosus Pentapodus trivittatus Platax pinnatus Platax teira Plectroglyphidodon lacrymatus Plectropomus maculatus Pomacanthus sexstriatus Pomacentrus alexanderae Pomacentrus amboinensis Pomacentrus burroughi Pomacentrus cf smithi Pomacentrus chrysurus Pomacentrus coelestis Pomacentrus lepidogenys Pomacentrus littoralis Pomacentrus moluccensis Pomacentrus saksoni Pomacentrus simsiang Pomacentrus taeniometopon Premnas biaculeatus Pteragogus guttatus Ptereleotris evides Pterocaesio chrysozona Pterocaesio trilineata Pygoplites diacanthus Salarias ceramensis Sargocentron rubrum Scarus ghobban
Lampiran 7. Data ada (+) dan tidak adanya jenis ikan karang di 33 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+
+ + + +
+
+
+ + +
+ + + + + + +
+ + +
+ + +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
Scarus hypselopterus Scarus niger Scarus sp. Scarus xanthopleura Scolopsis bilineata Scolopsis lineata Scolopsis margaritifer Scolopsis trilineata Siganus argenteus Siganus canaliculatus Siganus corallinus Siganus sp. Siganus virgatus Sphaeramia nematoptera Sphyraena flavicauda Sufflamen fraenatus Synodus dermatogenys Synodus jaculum Thalassoma lunare Thalassoma lutescens Upeneus tragula Valenciennea strigata Zanclus cornutus
Lampiran 7 . Data ada (+) dan tidak adanya jenis ikan karang di 33 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.(Lanjutan)
+ +
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + +
+
+ +
+ +
+
+ + +
+
+ + +
+ + +
+
+ +
+
+ +
+ + + + + + + + +
+
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
95
Lampiran
Lokasi
Belanda Bira Besar Bira Kecil Dua Barat Dua Timur Genteng Besar Gosong Belanda Gosong Karang Lebar Gosong Pramuka Gosong Sebaru Besar Gosong Sulaiman Hantu Timur Harapan Jukung Karang Congkak Kayu Angin Genteng Kayu Angin Melintang Kelapa Kelor Timur Kotok Besar Kotok Kecil Kuburan Cina Macan Besar Melintang Besar Nyamplung Opak Besar Pamegaran Panggang Panjang Besar Penjaliran Timur Petondan Timur Pramuka Putri Barat Rengat Semut Kecil Sepa
96
Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea serrulata Cymodocea rotundata Halophila ovalis Halophila decipiens Halophila minor Syringodium isoetifolium Halodule uninervis Halodule pinifolia
Lampiran 8. Data ada (+) dan tidak adanya jenis lamun di 36 lokasi pengamatan di Kepulauan Seribu tahun 2009.
+ +
+ +
+
+ + + +
+ +
+ + + + + + + + + + + + + + + + +
+
+ + + + +
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ +
+
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Lampiran 9. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Panggang
97
Lampiran
Lampiran 10. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Harapan (1)
98
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Lampiran 11. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Harapan (2)
99
Lampiran
Lampiran 12. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Kelapa (1)
100
TERUMBU KARANG JAKARTA Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009)
Lampiran 13. Peta Sumber Daya Terumbu Karang Kelurahan Pulau Kelapa (2)
101