PENGELOLAAN TRANSPLANTASI KARANG HIAS DI SEKITAR EKOSISTEM TERUMBU KARANG KELURAHAN PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
IMANDA HIKMAT PRADANA
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Transplantasi Karang Hias Di Sekitar Ekosistem Terumbu Karang Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Imanda Hikmat Pradana NRP C24080080
ABSTRAK IMANDA HIKMAT PRADANA. Pengelolaan Transplantasi Karang Hias Di Sekitar Ekosistem Terumbu Karang Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan FREDINAN YULIANDA. Transplantasi karang hias merupakan salah satu upaya pemerintah dalam merehabilitasi ekosistem terumbu karang sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi terumbu karang di sekitar lokasi transplantasi, mengidentifikasi karakteristik dan persepsi nelayan, tipe pengelolaan serta peran pemangku kepentingan dan permasalahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang tergolong sedang dan merupakan lokasi yang ideal untuk kegiatan transplantasi. Sebanyak 12 dari 15 jenis karang yang ditransplantasi ditemukan di sekitar lokasi penelitian. Pengelolaan bersifat konsultatif karena masyarakat mulai dilibatkan dalam proses perencanaan pengelolaan. Balai TNKpS dan PERNITAS memegang peran yang penting dalam keberlangsungan pengelolaan. Para pemangku kepentingan belum dapat berbagi peran dan tanggung jawab dengan baik, khususnya permasalahan antara nelayan dengan perusahaan eksportir karang hias, mengakibatkan buruknya pengelolaan yang berjalan saat ini. Kata kunci: Karang hias, transplantasi, terumbu karang, pengelolaan
ABSTRACT IMANDA HIKMAT PRADANA. Ornamental Coral Transplantation Management in the Surrounding Coral Reef Ecosystem of Pulau Panggang Village, Thousand Islands, Jakarta. Supervised by LUKY ADRIANTO and FREDINAN YULIANDA. Ornamental coral transplantation is an effort from the government in order to rehabilitate the reefs and improve the livelihood of the people in Pulau Panggang Village at the same time. The purposes of this study is to identify the surrounding reef condition, characteristics and point of view of the fishermen, type of the management being run and the role of each of stakeholders and its problems. Results show the condition of the reef is categorized as fair and seen as an ideal location of such activity. There were 12 species of corals out of 15 that are being transplanted found adjacent to the transplantation area. The type of management has been identified as in the stage of consultative, but has yet to be properly managed. National Park and PERNITAS has been identified as the keyplayers in the management and both possesses a crucial role. Stakeholders did not act accordingly with the rules and there were much to resolved in order to fulfill what was supposed to be a promising prospect. One such example was the wrangling between the fishermen and their parner-companies which engineered the current poor management. Keywords: Ornamental coral, transplantation, coral reef, management
PENGELOLAAN TRANSPLANTASI KARANG HIAS DI SEKITAR EKOSISTEM TERUMBU KARANG KELURAHAN PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA
IMANDA HIKMAT PRADANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Pengelolaan Transplantasi Karang Hias Di Sekitar Ekosistem Terumbu Karang Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Nama : Imanda Hikmat Pradana NRP : C24080080
Disetujui oleh
Dr Ir Luky Adrianto, MSc Pembimbing I
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
5
Judul Skripsi: Pengelolaan Transplantasi Karang Hias Di Sekitar Ekosistem Terumbu Karang Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta : Imanda Hikmat Pradana Nama : C24080080 NRP
Disetujui oleh
Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc
Pembimbing II
Dr Ir Luky Adrianto, MSc Pembimbing I
Tanggal Lulus:
2 4 0 22 0 1 4
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 ini ialah pengelolaan dengan judul Pengelolaan Transplantasi Karang Hias Di Sekitar Ekosistem Terumbu Karang Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Luky Adrianto, MSc dan Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ismail dari PERNITAS, Bapak Untung dari Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Bapak Suryo dari AKKII, Bapak Idris dari TERANGI, Kusnanto dan Pardi yang telah membantu selama pengumpulan data, Ahmad Muqorrobin dan Hesvi Andri Setyaningrum yang telah mendukung selama penulisan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Yuli Suharnoto), ibu (Yulianti Retno Tjondro), nenek (Roesilah) beserta seluruh keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2014 Imanda Hikmat Pradana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
METODE
5
Lokasi dan Waktu Penelitian
5
Alat dan Bahan
6
Jenis dan Sumber Data
6
Metode Pengumpulan Data
6
Analisis data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
11
Parameter Fisika dan Kimia Perairan
11
Kondisi Ekosistem Terumbu Karang
11
Karakteristik dan Persepsi Nelayan Transplantasi Karang Hias
18
Tipe Pengelolaan dan Analisis Pemangku Kepentingan
24
Alur Rantai Suplai Karang Hias
30
SIMPULAN DAN SARAN
31
Simpulan
31
Saran
31
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
36
RIWAYAT HIDUP
41
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Posisi Stasiun Pengamatan Alat dan Bahan Penelitian Kisaran tingkat persentase penutupan karang keras Kriteria dan indikator tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan Data parameter fisika dan kimia perairan Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi karang Komposisi kelimpahan lima famili ikan karang terbesar Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi ikan karang Kelompok pemangku kepentingan berdasarkan fungsi, peran & masalah
5 6 7 10 11 16 16 18 27
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 19 20 21
Kerangka Penelitian Peta Lokasi Penelitian Matriks analisis kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan Komposisi rerata penutupan kategori substrat Grafik persen penutupan kategori substrat di 5 substasiun pengamatan Perkembangan tutupan karang hidup di Lokasi Pramuka dan Panggang 2005-2013 Indeks mortalitas karang Kelimpahan ikan karang di 5 substasiun pengamatan Karakteristik usia nelayan transplantasi Karakteristik pendidikan nelayan transplantasi Persepsi nelayan transplantasi terhadap kondisi terumbu karang Pemahaman konservasi nelayan transplantasi Pemahaman nelayan transplantasi tentang terumbu karang Karakteristik pendapatan nelayan transplantasi Persepsi nelayan transplantasi terhadap pendapatan Persepsi nelayan transplantasi terhadap sosialisasi Partisipasi nelayan transplantasi terhadap sosialisasi pemerintah Persepsi nelayan transplantasi terhadap pengelolaan transplantasi karang hias Matriks analisis pemangku kepentingan Alur rantai suplai karang hias dari Kelurahan Pulau Panggang
3 5 10 12 13 13 14 13 19 19 20 20 21 21 22 22 23 23 26 30
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Kategori lifeform karang dan kodenya menurut English et al. (1997) 36 Penilaian Kuantitatif Tingkat Kepentingan 37 Penilaian Kuantitatif Tingkat Pengaruh 38 Jenis-jenis Karang pada Masing-masing Substasiun 39 Persen Tutupan Karang Berdasarkan Pola Pertumbuhan 40 Kelimpahan Ikan Karang Berdasarkan peranannya menurut Dartnall & Jones (1986) 40
PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya yang penting bagi negara Indonesia. Luasan terumbu karang di negeri ini diperkirakan sebesar 42.000 km2 atau 17% dari luasan terumbu karang dunia (COREMAP 2001). Terumbu karang Indonesia sangat beraneka ragam dan memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan, oleh karena itu harus dilindungi dan dikembangkan secara terus menerus baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Di negeri ini, karang juga dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan manusia seperti konstruksi bangunan (CORAL 2003; Nontji 1999; Ormond & Douglas 1996; Soegiarto 1997), obat tradisional serta sebagai hiasan akuarium (Bentley 1998). Salah satu daerah di Indonsia yang memiliki sumber daya terumbu karang adalah Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu dibangun oleh ekosistem terumbu karang yang sekaligus menjadi ekosistem pesisir utama di daerah ini. Menurut beberapa ahli, kompleksitas terumbu karang Kepulauan Seribu tergolong muda, yaitu baru terbentuk sekitar 9000 tahun lalu bersama terumbu karang di Belitung dan Karimun Jawa (Park et al 1992 dalam Tomascik et al 1997). Kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu saat ini sangat memprihatinkan, terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta (tutupan karang keras < 5%). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang adalah akibat ulah manusia seperti penimbunan sampah dan penambangan pasir serta karang (Estradivari et al 2007) yang dapat mengurangi jumlah spesies dan populasi organisme ekosistem terumbu karang (Timotius et al 2009). Selain itu, banyaknya populasi manusia di daerah Kepulauan Seribu menjadikan daerah terumbu karang sebagai sumber pendapatan utama mereka. Karena tekanan ekonomi dan kurangnya wawasan masyarakat pesisir, maka eksploitasi ekosistem terumbu karang telah menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Eksploitasi yang dilakukan secara terus menerus ini telah mengakibatkan kondisi terumbu karang mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Terdapat beberapa alternatif untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumber daya karang seperti mengembangkan karang buatan (artificial reef), mengembangkan teknik penutupan areal, translokasi karang dan transplantasi karang (coral transplantation) (Westmacott et al 2000). Transplantasi karang telah diteliti sebagai salah satu alternatif untuk menjaga kelestarian terumbu karang. Metode ini melingkupi penanaman dan penumbuhan suatu koloni karang dengan metode fragmentasi di mana koloni tersebut diambil dari suatu induk koloni tertentu (Harriot & Fisk 1988). Fragmen karang hasil transplantasi tersebut memiliki keunggulan sendiri jika dibandingkan dengan larva alami dikarenakan ukurannya yang lebih besar, memiliki tingkat ketahanan hidup serta pertumbuhan yang tinggi (Sousa 1984 dalam Bowden-Kerby 2003a). Kegiatan transplantasi karang di Kepulauan Seribu diawali oleh Sadarun pada tahun 1997 yang ditumbuhkan pada jaring (Soedharma & Subhan 2007 dalam Aditiyana 2011). Transplantasi semakin digalakkan ketika Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) oleh
2 Menteri Kehutanan melalui SK Menhut No.6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juli 2002 (Yusri et al 2009 dalam Estradivari et al 2009). Sejak tahun 2002, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) mewajibkan perusahaan yang melakukan perdagangan karang hias dari alam untuk melakukan transplantasi/propagasi/budidaya karang hias dan kebijakan tersebut tercantum dalam keputusan izin usaha perdagangannya (Timotius et al 2009). Tahun 2003 Balai TNKpS mempertemukan perusahaan karang hias (swasta) dengan para nelayan yang pernah mengambil karang dari alam dalam program Rehabilitasi Karang dan Perlindungan Fungsi Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu secara Mandiri oleh Masyarakat. Kedua belah pihak dihimbau untuk dapat bekerjasama dengan perjanjian yang sudah disepakati oleh nelayan dan pengusaha untuk mengelola kegiatan transplantasi karang hias tersebut (Rani 2007). Perumusan Masalah Kerusakan ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu, khususnya Kelurahan Pulau Panggang, yang sudah mencapai taraf mengkhawatirkan memerlukan usaha rehabilitasi. Salah satu kegiatan rehabilitasi yang sekaligus berpotensi membawa keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal adalah transplantasi karang hias. Kegiatan yang telah berjalan sejak tahun 2003 ini masih memerlukan kajian lebih lanjut mengenai kondisi pengelolaannya. Faktor ekologis maupun sosial ekonomi berperan besar terhadap keberlangsungan kegiatan ini, karena kedua komponen ini sangat terkait satu dengan yang lainnya. Patut diperhatikan juga bahwa peran masyarakat lokal terhadap kelangsungan kegiatan transplantasi karang hias ini sangat signifikan karena memiliki peran yang dapat berdampak langsung ke lingkungan. Pengelolaan yang berkelanjutan secara teori akan berdampak positif terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang itu sendiri serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pola pengelolaan transplantasi karang hias di Kepulauan Seribu, khususnya di Kelurahan Pulau Panggang, melibatkan langsung nelayan-nelayan sekitar. Mereka diberi kebebasan untuk mengatur dan mengelola sumber daya yang ada di sekitar mereka dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah setempat. Hal tersebut diberlakukan dengan tujuan agar kelestarian lingkungan dapat tetap terjaga dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya selama mungkin bagi masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi pengimplementasian pengelolaan di lapangan saat ini masih belum dapat dioptimalkan. Banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut, mulai dari faktor alam yang sulit diprediksi hingga ulah manusia itu sendiri. Sangatlah sulit untuk menyadarkan masyarakat untuk konsisten menjaga sumber daya yang mereka miliki demi kepentingan bersama. Masih ada beberapa oknum yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi. Sementara itu, dari pihak pemerintah juga masih belum maksimal dalam menegakkan peraturan. Lemahnya penegakan hukum dan kurangnya kesadaran dari pihak-pihak yang terkait merupakan salah satu akar masalah yang sangat mendasar yang dapat menyebabkan buruknya pengelolaan, terlebih jika memang ada rencana tentang pengelolaan yang berkelanjutan.
3 Seperti yang telah dijabarkan di atas, pola pengelolaan transplantasi karang hias di Kelurahan Pulau Panggang masih perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu akan dikaji pula rantai suplai yang memicu adanya kegiatan transplantasi. Hal ini penting untuk diketahui guna mempertahankan kontinuitas pasar agar kegiatan ini dapat terus bertahan. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara skematik kerangka pendekatan masalah dapat dirumuskan seperti pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian Penelitian tentang pengelolaan transplantasi karang hias di Kelurahan Pulau Panggang ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui kondisi terumbu karang di sekitar lokasi transplantasi karang hias di Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu 2. Mengetahui karakteristik dan persepsi nelayan transplantasi terhadap pengelolaan transplantasi karang hias 3. Mengidentifikasi tipe pengelolaan kolaboratif serta peran para pemangku kepentingan dalam kegiatan transplantasi karang hias di Kelurahan Pulau Panggang beserta permasalahannya.
E Ek-situ k-situ
In-situ Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
Program Rehabilitasi Karang dan Perlindungan Fungsi Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu secara Mandiri oleh Masyarakat Transplantasi Karang Hias
Pasar
Pengelolaan
Karakteristik & persepsi nelayan transplantasi
Identifikasi Tipe Pengelolaan
Analisis Pamangku Kepentingan
Gambar 1. Skema Kerangka Pendekatan Masalah
4
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2012 hingga Juni 2013 yang meliputi persiapan, pelaksanaan dan analisis data. Pemilihan stasiun untuk mengkaji tutupan karang ditentukan berdasarkan lokasi transplantasi karang yang masih aktif. Stasiun pengamatan terbagi menjadi dua lokasi yaitu Stasiun Pramuka dan Stasiun Panggang. Stasiun Pramuka memiliki dua substasiun (Pramuka Selatan 1 & Pramuka Selatan 2) dan Stasiun Panggang memiliki tiga substasiun (Panggang Selatan 1, Panggang Selatan 2 & Panggang Selatan 3) (Tabel 1). Letak lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 1 Posisi Stasiun Pengamatan No Stasiun Pengamatan Sub-stasiun Pengamatan 1 Pramuka Pramuka Selatan 1 Pramuka Selatan 2 2 Panggang Panggang Selatan 1 Panggang Selatan 2 Panggang Selatan 3
Posisi 106°36'36.78" dan 5°45'5.25" 106°36'38.73" dan 5°45'5.13" 106°35'31.12" dan 5°44'46.29" 106°35'29.94" dan 5°44'46.01" 106°35'29.02" dan 5°44'45.66"
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
6 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Alat dan Bahan Penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Alat dan Bahan Kamera bawah laut GPS (Global Positioning System) SCUBA Meteran gulung 50 m Buku identifikasi karang Buku identifikasi ikan karang Perahu Sabak dan pensil Alat tulis Kuesioner Termometer
Keterangan Mengambil dokumentasi gambar bawah air Menentukan titik stasiun Untuk kegiatan penyelaman Mengukur transek Mengidentifikasi karang Mengidentifikasi ikan karang Alat transportasi di pulau Alat tulis bawah air Alat rekam data Pengambilan data masyarakat Mengukur suhu
Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan di dalam penelitian ini melingkupi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survey lapangan di lokasi penelitian seperti data tutupan karang dan data persepsi nelayan transplantasi karang hias, pemerintah dan pemangku kepentingan, sementara data sekunder diperoleh melalui penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian maupun referensireferensi yang terkait dengan penelitian. Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang Pengambilan data tutupan karang di suatu ekosistem dilakukan dengan menggunakan LIT (Line Intercept Transect) (English et al 1997). Pengambilan data karang di stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan transek garis sepanjang 50 m. Dalam penelitian ini, data karang diambil pada kedalaman 3-4 m karena kedekatannya dengan lokasi transplantasi. Pengamatan penyusun habitat dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan karang. Bentuk pertumbuhan karang (coral lifeform) dapat dilihat pada lampiran 1. Kelimpahan Ikan Metode yang digunakan dalam pengumpulan data kelimpahan ikan adalah metode sensus visual (Visual census method) (English et al 1997) yang secara teknis dilakukan dengan metode LIT (Line Intercept Transect), sama dengan metode perhitungan terumbu karang. Kegiatan pendataan ikan karang dimulai beberapa menit setelah pemasangan transek pada pagi hari pukul 09.00 WIB hingga 12.00 WIB selama tiga hari. Kelimpahan ikan tiap jenis dihitung dengan batasan jarak pantau 2,5 meter pada sisi kiri dan kanan transek. Identifikasi jenis ikan karang dilakukan secara langsung di lapangan untuk jenis ikan yang umum dikenali, sementara sisanya merujuk pada Kuiter (1992).
7 Karakteristik dan Persepsi Nelayan Transplantasi Karang Hias Responden terdiri atas nelayan transplantasi yang masih aktif yang berjumlah sebanyak 9 orang, oleh karena itu data dikumpulkan melakukan metode sensus. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data karakteristik dan persepsi nelayan transplantasi karang hias yaitu wawancara dan observasi. Observasi dilakukan untuk melihat kondisi fisik lokasi dan penunjang kegiatan transplantasi. Tahapan observasi ini berguna untuk memperkaya data yang sudah ada. Tingkat Kepentingan Pemangku Kepentingan Metode yang digunakan dalam pengumpulan data tingkat kepentingan dari para pemangku kepentingan yang berperan dalam kegiatan transplantasi karang hias yaitu kuesioner dan wawancara. Wawancara mendalam dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan transplantasi karang hias di Kelurahan Pulau Panggang. Alur Rantai Suplai Data primer diperoleh melalui wawancara dengan berbagai level anggota primer rantai suplai pasar karang hias seperti para nelayan transplantasi. Lalu diadakan pula wawancara dengan pihak ”bapak angkat perusahaan” serta distributor nasional/eksportir. Data sekunder diperoleh melalui instansi yang terkait. Berdasarkan data-data tersebut diharapkan teridentifikasinya jalur suplai mulai dari hulu hingga ke hilir serta perubahan nilai jual di setiap segmen rantai suplai. Analisis Data Kondisi Tutupan Karang Menurut English et al (1997), persentase penutupan karang dapat dihitung dengan rumus:
L
Li x100% N
Keterangan: L Li N
= Persentasi penutupan karang (%) = Panjang kategori lifeform ke-i = Panjang transek
Tabel 3 Kisaran tingkat persentase penutupan karang keras Persentase penutupan (%)
Kisaran
0 – 24,9
Buruk
25 – 49,9
Sedang
50 – 74,9
Baik
75 – 100
Sangat baik
8 Kelimpahan Ikan Menurut Odum (1971) kelimpahan dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan: D Ni A
= Kepadatan/kelimpahan (Ind/250 m2) = Jumlah individu (Jenis ke-i) = Luas pengambilan data (250 m2)
Indeks Mortalitas Karang Rumus perhitungan indeks mortalitas karang menurut Gomez & Yap (1988) adalah:
Keterangan: Im Cd Cdl
= Indeks mortalitas = Persen tutupan karang mati = Persen tutupan karang mati + hidup
Indeks Keanekaragaman (H’)
Keterangan: H’ s pi
= Indeks keanekaragaman = Jumlah taksa = Proporsi jumlah individu (n/N)
Indeks keanekaragaman dihitung dengan kriteria menurut Brower & Zar (1977): H’ ≤ 2,30 2.30 < H’ ≤ 3,30 H’ > 3,30
: keanekaragaman kecil, tekanan lingkungan sangat kuat : keanekaragaman sedang, tekanan lingkungan sedang : keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem
9 Indeks Keseragaman (E)
Keterangan: E H' Hmax
= Indeks keseragaman = Indeks keanekaragaman = Keseimbangan spesies dalam keseimbangan maksimum (ln s)
Nilai indeks berkisar 0 – 1 dengan kriteria Brower & Zar (1977): E ≤ 0,4 0.4 < E ≤ 0,6 E > 0,6
: keseragaman kecil, komunitas tertekan : keseragaman sedang, komunitas labil : keseragaman tinggi, komunitas stabil
Indeks Dominansi (E)
Keterangan: C pi
= Indeks dominansi = Proporsi jumlah individu (n/N)
C ≤ 0,5 0,5 < C ≤ 0,75 0,75 < C ≤ 1
: Dominansi rendah : Dominansi sedang : Dominansi tinggi
Analisis Karakteristik dan Persepsi Nelayan Transplantasi Karang Hias Analisis mengenai karakteristik serta persepsi nelayan transplantasi karang hias di Kelurahan Panggang dilakukan dengan cara menggabungkan hasil kuesioner dari nelayan-nelayan yang masih aktif dalam kegiatan transplantasi karang serta hasil dari observasi selama penelitian. Analisis Pemangku Kepentingan Tiap pemangku kepentingan akan dipetakan ke dalam suatu matriks berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh. Hasil kuesioner merupakan data yang nantinya diolah menjadi data kuantitatif. Penilaian kuantitatif tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan dapat dilihat dalam Lampiran 2 dan 3. Penetapan kriteria penilaian merupakan modifikasi dari model yang dikembangkan Abbas (2005). Indikator untuk tingkat kepentingan meliputi keterlibatan, manfaat pengelolaan, prioritas pengelolaan dan ketergantungan; Adapun indikator tingkat pengaruh meliputi aturan/kebijakan, peran dan partisipasi, kewenangan dalam pengelolaan dan kapasitas sumber daya yang disediakan. Analisis data terkait dengan kriteria tingkat kepentingan dan pengaruh dapat dilihat pada Tabel 4.
10 Tabel 4
Kriteria dan indikator tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan
Kriteria Sangat tinggi Tinggi Sedang Cukup tinggi Rendah
Nilai 17-20 13-16 9-12 5-8 1-4
Kriteria Sangat tinggi Tinggi Sedang Cukup tinggi Rendah
Nilai 17-20 13-16 9-12 5-8 1-4
Kepentingan Pemangku kepentingan Keterangan Sangat bergantung pada terumbu karang Bergantung pada terumbu karang Cukup bergantung pada terumbu karang Kurang bergantung pada terumbu karang Tidak bergantung pada terumbu karang Pengaruh Pemangku kepentingan Keterangan Sangat berpengaruh dalam pengelolaan terumbu karang Berpengaruh dalam pengelolaan terumbu karang Cukup berpengaruh dalam pengelolaan terumbu karang Kurang berpengaruh dalam pengelolaan terumbu karang Tidak berpengaruh dalam pengelolaan terumbu karang
Sumber: Abbas (2005)
Hasil dari penilaian kriteria nantinya akan membentuk suatu matriks (Gambar 3). Setiap kuadran menunjukkan status suatu pemangku kepentingan dalam pengelolaan transplantasi karang hias. Dari sini diharapkan dapat ditelisik informasi mengenai peran masing-masing pemangku kepentingan dalam proses pengelolaan kegiatan tersebut.
Kepentingan tinggi
Kepentingan rendah
Kelompok pemangku kepentingan yang penting namun perlu pemberdayaan (kuadran I – subjects)
Kelompok pemangku kepentingan yang paling kritis (kuadran II-Key players)
Kelompok pemangku kepentingan yang paling rendah kepentingannya (kuadran III-Bystanders)
Kelompok pemangku kepentingan yang bermanfaat bagi perumusan atau menjelaskan keputusan dan opini (kuadran IV context setters)
Pengaruh rendah
Pengaruh tinggi
Gambar 3 Matriks analisis kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan Analisis Alur Rantai Suplai Analisis data difokuskan untuk mengkaji data karang yang disuplai dari Kelurahan Panggang kepada perusahaan bapak angkat. Untuk keperluan analisis digunakan analisa rantai suplai berupa wawancara mendalam dan analisis deskriptif mengenai kondisi rantai suplai yang berasal dari Kelurahan Panggang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika dan Kimia Perairan Dalam penelitian ini, parameter fisika dan kimia yang diamati adalah suhu, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus (Tabel 5). Tabel 5 Data parameter fisika dan kimia perairan No Stasiun Suhu (°C) Salinitas (‰) Kecerahan (m) Kecepatan arus (m/s) 1 Pramuka 28 30,0 9,30 0,27 2 Panggang 28 27,3 7,92 0,10 Sumber: Data sekunder TERANGI 2009 dan data primer 2013
Berdasarkan hasil pengukuran, suhu di kedua stasiun (28°C) termasuk ke dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh terumbu karang yaitu 25-30°C (Nybakken 1992 dalam Huda 2008). Salinitas di Kelurahan Panggang (27,3-30,0‰) menunjukkan hasil yang berada di bawah standar baku mutu air laut. Salinitas perairan berdasarkan baku mutu berkisar antara 33-34‰. Hal ini diduga terjadi karena banyaknya limpasan air tawar ke dalam perairan dari pulau-pulau sekitar (Suharsono 1984 dalam Huda 2008). Tingkat kecerahan yang terukur adalah 7,929,30 m yang menunjukkan bahwa perairan Kelurahan Panggang masih memiliki kondisi kecerahan yang baik. Sedangkan pada pengamatan kecepatan arus berkisar antara 0,10-0,27. Kecepatan arus tergolong lambat sehingga kemungkinan terjadinya proses sedimentasi menjadi lebih besar. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Sebanyak 24 genera dari 13 famili ditemukan di sekitar lokasi penelitian di Kelurahan Pulau Panggang (Lampiran 4). Jenis-jenis karang penyusun terumbu yang hidup di lokasi tersebut umumnya adalah jenis-jenis dari famili Acroporidae (Acropora sp. dan Montipora sp.), famili Pocilloporidae (Seriatopora sp.) dan famili Fungiidae (Fungia sp. dan Ctenactis). Terdapat juga karang nonscleractinia yaitu karang api (Millepora sp.) dan karang biru (Heliopora sp.). Estradivari et al (2011) mengungkapkan bahwa terumbu karang di Kepulauan Seribu didominasi oleh karang dari marga Acropora dan Montipora. Kedua marga ini banyak ditemukan karena memiliki daya pulih yang tinggi. Hal ini terbukti dengan cepat pulihnya karang dari kedua marga tersebut pasca kejadian pemutihan karang pada tahun 1982-1986 (Brown dan Suharsono 1990 dalam Estradivari et al 2011). Kedua stasiun memiliki jenis-jenis karang yang hampir serupa, kecuali pada substasiun Panggang Selatan 3 yang memiliki jumlah karang masif yang lebih banyak. Substasiun Pramuka Selatan 1 memiliki keanekaragaman jenis karang sebanyak 15 genera dari 9 famili, substasiun Pramuka Selatan 2 memiliki 14 genera dari 10 famili, substasiun Panggang Selatan 1 memiliki 9 genera dari 8 famili, substasiun Panggang Selatan 2 memiliki 9 genera dari 7 famili, dan substasiun Panggang Selatan 3 memiliki 15 genera dari 12 famili. Stasiun Pramuka memiliki keanekaragaman karang yang lebih banyak dibandingkan
12 dengan Stasiun Panggang. Hal ini diduga karena arus di Stasiun Panggang yang lebih lambat dibandingkan dengan arus di Stasiun Pramuka sehingga sedimensedimen lebih mudah mengendap di polip karang (Huda 2008). Berdasarkan rencana produksi karang hias yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA pada tahun 2013, terdapat 15 jenis karang yang ditransplantasi di Kelurahan Pulau Panggang. Dari ke-15 jenis tersebut, 12 diantaranya terlihat hidup di sekitar lokasi transplantasi. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan transplantasi sedikit banyak dipengaruhi oleh keragaman jenis karang di perairan sekitar. Dari kelima substasiun yang teramati, rerata tutupan substrat di ekosistem terumbu karang Kelurahan Pulau Panggang didominasi oleh karang mati dengan nilai tutupan sebesar 48% (Gambar 4). Penyusun lain tutupan substrat ekosistem terumbu karang di lokasi ini adalah tutupan karang hidup sebesar 29%; patahan karang (rubble) sebesar 18%; karang lunak sebesar 3%; dan pasir sebesar 2%. Berdasarkan kategori Gomez & Yap (1988), kondisi karang Kelurahan Pulau Panggang termasuk dalam kategori sedang. Jenis-jenis karang berdasarkan pertumbuhannya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 4 Komposisi rerata penutupan kategori substrat Jika ditelisik lebih lanjut, persen tutupan karang hidup di setiap subtasiun relatif serupa. Tutupan karang hidup yang diamati berada pada rentang 23% hingga 32% (Gambar 5). Tutupan karang hidup yang paling tinggi ditemukan pada sub-stasiun Panggang Selatan 3, sementara tutupan karang hidup yang paling rendah ditemukan pada substasiun Pramuka Selatan 1. Tutupan substrat lainnya yang mendominasi perairan ini adalah karang mati dan patahan karang. Kedua tutupan substrat abiotik ini apabila digabungkan maka akan menutupi sekitar 66% dari perairan Kelurahan Pulau Panggang. Tutupan karang mati terbesar dapat terlihat pada substasiun Panggang Selatan 1 dan substasiun Panggang Selatan 2. Hal yang patut untuk diperhatikan adalah tingginya jumlah patahan karang di Stasiun Pramuka jika dibandingkan dengan di Stasiun Panggang. Dapat dilihat bahwa pada Stasiun Pramuka jumlah karang mati berkisar hanya sebesar 31-40% sedangkan pada Stasiun Panggang berkisar 43-66%. Namun jumlah patahan karang di Stasiun Pramuka lebih mendominasi dengan kisaran 36-37% jika dibandingkan dengan Stasiun Panggang yang hanya berkisar antara 2-12%. Hal ini memicu dugaan bahwa kerusakan lebih dulu terjadi di Stasiun Pramuka, diindi-
13 kasikan dari jumlah patahan karang yang terbentuk dari karang mati. Sementara pada Stasiun Panggang kerusakan terjadi baru-baru saja, hal ini diindikasikan dari jumlah patahan karang yang sedikit dan karang mati yang sangat tinggi.
Gambar 5 Grafik persen penutupan kategori substrat di 5 substasiun pengamatan Perubahan kondisi tutupan karang serta kelimpahan ikan dapat dijadikan indikator berhasil atau tidaknya upaya rehabilitasi yang telah dijalankan. Analisis tersebut didasari pernyataan Heeger dan Sotto (2000) bahwa indikator utama keberhasilan kegiatan transplantasi adalah meningkatnya tutupan karang. Berdasarkan penggabungan hasil data primer yang telah ditampilkan sebelumnya dan data sekunder yang diperoleh, dapat dilihat bahwa persentase tutupan karang hidup berfluktuasi dari tahun ke tahun pada kedua titik stasiun. Peningkatan tertinggi terjadi di stasiun Pramuka pada selang tahun 2005-2007 (16% menjadi 48%). Kemudian pada tahun 2009 kembali turun drastis menjadi hanya 9% dan diikuti oleh peningkatan yang cukup signifikan menjadi 27% pada tahun 2013 (Gambar 6).
Sumber: Data sekunder TERANGI (2011) dan data primer (2013)
Gambar 6
Perkembangan tutupan karang hidup di sekitar area transplantasi Pramuka dan Panggang 2005-2013
14 Dapat dilihat bahwa di Stasiun Pramuka terjadi fluktuasi perkembangan tutupan karang yang sangat tinggi. Sebagian besar karang di daerah Pulau Pramuka merupakan jenis yang rentan terhadap perubahan lingkungan seperti Acropora sp. (Munasik & Siringoringo 2011), namun, karang dari jenis tersebut memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat pula. Sementara itu, selain kegiatan transplantasi oleh nelayan, terdapat juga kegiatan rehabilitasi oleh Taman Nasional yang berlokasi tidak jauh dari lokasi transplantasi. Tingkat kerusakan juga dapat dibilang tinggi karena lokasi penelitian berjarak sangat dekat dengan Pulau Pramuka yang menghasilkan limbah dan sedimen. Hal-hal tersebut diduga menjadi pemicu berfluktuasinya tutupan karang di Stasiun Pramuka. Situasi yang berbeda terjadi di Stasiun Panggang. Tutupan karang di stasiun ini mengalami penurunan yang relatif lambat namun stabil. Jarak stasiun yang cukup jauh dari Pulau Panggang mengakibatkan rendahnya kemungkinan terpaparnya karang-karang di lokasi ini oleh limbah dan sedimen dalam jumlah yang tinggi, namun begitu, lokasi ini tetap tidak luput dari ancaman tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, perubahan tingkat sedimentasi yang terjadi secara terus menerus akan menghasilkan dampak negatif terhadap kondisi tutupan karang sekitar. Selain itu, kegiatan transplantasi tidak begitu intens jika dibandingkan dengan di Stasiun Pramuka, hal ini dapat dilihat dari rak-rak transplantasi yang tidak terurus dengan baik, menyebabkan sedimen-sedimen menutup polip pada fragmen karang sehingga karang mati dan pada akhirnya alga tumbuh di fragmen yang telah mati. Selain tutupan karang, dilihat pula tingkat mortalitas karang yang terjadi di Kelurahan Pulau Panggang sebagai data pendukung (Gambar 7). Kondisi terumbu karang dapat dikatakan memiliki rasio kematian yang tinggi dan memiliki tingkat kesehatan yang rendah jika nilai indeks mortalitas karang mendekati satu (English et al. 1997). Dapat dilihat bahwa pada periode tahun 2009-2013 indeks mortalitas karang di Stasiun Pramuka mengalami penurunan (0,84 menjadi 0,57), sementara hal yang kontras dialami oleh Stasiun Panggang dimana tingkat mortalitas justru meningkat cukup signifikan (0,32 menjadi 0,61).
Gambar 7 Indeks Mortalitas Karang Secara umum, tingginya persen tutupan karang mati di Kelurahan Pulau Panggang disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam kasus ini, banyaknya kegiatan
15 antropogenik menyebabkan upaya rehabilitasi menjadi terhambat. Pada umumnya, ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri apabila anomali alam terjadi. Namun aktivitas manusia yang merusak memperburuk hal tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang merugikan sehingga ekosistem terumbu karang tidak memiliki waktu yang cukup untuk memulihkan diri. Banyaknya pemukiman yang terletak di dekat ekosistem terumbu karang mengakibatkan banyak limpasan-limpasan nutrien yang terbawa ke laut dan akhirnya menstimulasi tumbuhnya alga yang lama kelamaan dapat menutupi karang karena pertumbuhannya yang lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhannya memang lambat (Aziz et al 2011; Maragos et al 1996; Estradivari et al 2011). Nutrien yang berlebihan dapat memberikan dampak buruk terhadap kualitas air di sekitar ekosistem terumbu karang (Marshall & Schuttenberg 2006). Di setiap substasiun terlihat banyak karang mati yang pada akhirnya menjadi media sebagai tempat tumbuhnya alga, hal ini merugikan bagi ekosistem terumbu karang karena karang tidak dapat tumbuh dengan baik (Birkeland 1988; Wittenberg & Hunte 1992; Gleason 1999 dalam Bowden-Kerby 2003a; Ruswahyuni & Purnomo 2009). Hal ini didukung oleh pernyataan Estradivari et al (2011) bahwa tutupan karang keras di Pulau Pramuka diperkirakan rendah karena pertumbuhan alga mengalahkan pertumbuhan karang keras. Faktor lain yang dapat berkontribusi pada peningkatan alga adalah penurunan jumlah predator alga seperti ikan herbivora dan bulu babi (Thacker 2001 dalam Estradivari et al 2011). Penyebab lain rusaknya ekosistem terumbu karang di Kelurahan Panggang adalah aktivitas pariwisata di kawasan tersebut. Pulau Pramuka terkenal sebagai destinasi para pelancong dari Jakarta, dan berbagai kegiatan wisata kerap membawa dampak buruk bagi ekosistem terumbu karang, contohnya adalah karang yang diinjak-injak oleh para penyelam. Faktor lain yang menyebabkan banyaknya karang mati di perairan Kelurahan Pulau Panggang adalah tingkat sedimentasi yang tinggi. Sedimen menghambat pertumbuhan karang berdasarkan beberapa alasan. Pertama, sedimen mengurangi penetrasi cahaya yang digunakan untuk proses fotosintesis karena adanya partikel di badan perairan. Kedua, pengendapan sedimen di atas koloni karang membuat karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut, karang akan kehilangan energi sementara untuk mendapatkan makanan dan metabolisme lain juga membutuhkan energi. Hilangnya energi menyebabkan karang terhambat pertumbuhannya (Yamazato 1996; Connel & Hawker 1992 dalam Partini 2009). Karang yang sudah mati karena pengaruh sedimentasi lama kelamaan akan tergerus oleh ombak dan pada akhirnya menjadi patahan karang (rubble). Karang-karang yang diobservasi ketika penelitian berlangsung menunjukkan banyaknya polip karang yang tertutup oleh sedimentasi. Beberapa bahkan sudah mengalami kematian. Permasalahan yang dialami oleh ekosistem terumbu karang ketika terdapat banyak patahan karang adalah tidak adanya substrat bagi karang untuk melakukan rekrutmen, karena karang harus memiliki media tempat mereka melekat (Connell 1973; Highsmith 1982; Harrison & Wallace 1990 dalam Bowden-Kerby 2003a). Patahan karang merupakan substrat yang tidak stabil, oleh karena itu larva karang tidak dapat menempel dengan baik (Brown & Dunne 1988; Lindahl 1998; Fox et al 1999 dalam Bowden-Kerby 2003a). Luasnya hamparan patahan karang di
16 perairan Kelurahan Pulau Panggang diduga menjadi salah satu alasan mengapa rekrutmen karang tidak dapat berjalan dengan optimal. Banyaknya patahan karang juga dapat disebabkan oleh maraknya penambangan karang yang kerap terjadi, hal ini menyebabkan terhambatnya rekrutmen karang karena tertutup dengan sedimen sisa penambangan (Brown & Dunne 1988 dalam Clark & Edwards 1995). Fenomena yang sama terjadi di Malaita, Pulau Solomon. Kegiatan masyarakat setempat seperti penambangan karang untuk menjadi bahan bangunan serta penggunaan bom untuk menangkap ikan menyebabkan banyaknya patahan karang (Bowden-Kerby 2003b). Indeks keanekaragaman jenis karang di Kelurahan Pulau Panggang berkisar dari 1,54 hingga 2,24 (Tabel 6). Indeks keanekaragaman jenis karang di lokasi penelitian menurut Brower & Zar (1977) tergolong kecil, dimana tekanan lingkungan kuat. Indeks keseragaman berkisar antara 0,67 hingga 0,79; hal tersebut mengindikasikan bahwa keseragaman tinggi sehingga ekosistem stabil. Sementara itu, tingkat dominansi cenderung rendah (0,17-0,35) menunjukkan bahwa tidak ada spesies tertentu yang mendominasi. Tabel 6 Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi karang Substasiun Pramuka Selatan 1 Pramuka Selatan 2 Panggang Selatan 1 Panggang Selatan 2 Panggang Selatan 3
Keanekaragaman (H’) 2,02 2,14 1,54 1,60 2,24
Keseragaman (E) 0,71 0,79 0,67 0,69 0,77
Dominansi (C) 0,20 0,17 0,35 0,25 0,18
Dari hasil pengamatan, sebanyak 16 famili ikan ditemukan di lokasi penelitian. Berdasarkan peranannya menurut Dartnall & Jones (1986) dalam Adrim (2007), ditemukan sebanyak enam famili ikan target (Labridae, Nemipteridae, Mullidae, Serranidae, Lutjanidae, Siganidae), satu famili ikan indikator (Chaetodontidae) dan sembilan famili ikan mayor (Apogonidae, Pomacentridae, Blinniidae, Caesionidae, Pomacanthidae, Gobiidae, Scaridae, Aulostomidae, Holocentridae) (Lihat Lampiran 6). Jenis ikan yang mendominasi adalah dari famili Pomacentridae (ikan mayor) sebesar 55,25%; Labridae (ikan target) sebesar 20,12%; Caesionidae (Ikan mayor) sebesar 7,90%; Apogonidae (ikan mayor) 3,52%; dan Chaetodontidae (ikan indikator) 3,02% (Tabel 7). Tabel 7 Komposisi kelimpahan lima famili ikan karang terbesar Famili Pomacentridae Labridae Caesionidae Apogonidae Chaetodontidae
Nama Umum Damselfishes Wrasses Fusiliers Cardinalfishes Butterflyfishes
Persentase 55,25% 20,12% 7,90% 3,52% 3,02%
Spesies ikan dari famili Pomacentridae yang sering ditemukan adalah Pomacentrus lepidogenys dan Amblyglyphidodon curacao, sementara spesies ikan dari famili Labridae yang sering teramati adalah Cirrhilabrus cyanopleura. Kedua famili ini memang merupakan komposisi jenis yang sering ditemukan paling banyak pada suatu ekosistem terumbu karang (TERANGI 2004; Quenouille et al
17 2004; Sale 1991; Estradivari et al 2011) dan berasosiasi erat dengan koloni koral individual dari tipe bercabang yang memang banyak ditemukan di lokasi penelitian (Nybakken 1993 dalam Desistiano 2008). Ikan dari famili Pomacentridae pada umumnya pemakan plankton dan alga (TERANGI 2004; Sale 1991). Banyaknya nutrien yang terbuang dari pulau-pulau sekitar meningkatkan pertumbuhan alga sehingga persediaan makanan melimpah untuk mereka. Labridae adalah pemakan invertebrata kecil yang terdapat di dasar perairan (Sale 1991 dalam Desistiano 2008), beberapa spesies bahkan dapat membentuk schooling di sekitar terumbu karang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Low (1971) dalam Dhahiyat et al (2003), dominasi spesies dari genus Pomacentrus ini juga disebabkan oleh sifat mereka yang teritorial (mempertahankan daerah kekuasaan). Selain itu, famili ini dipengaruhi oleh karakteristik morfologi dari substrat, bahkan beberapa spesies diantaranya cenderung menggunakan karang sebagai habitat daripada sebagai sumber makanan, sehingga diduga perubahan habitat dengan adanya rak dan substrat pada daerah transplantasi karang menarik ikan-ikan dari famili ini (Roberts & Ormond 1987 dalam Dhahiyat et al 2003). Pada umumnya ikan karang bersifat teritorial, namun karena ikan karang merupakan organisme yang mobile, keberadaannya pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Jika lingkungan sesuai, ikan karang akan berdatangan, namun jika lingkungan berubah dan tidak sesuai baginya, maka ikan-ikan ini akan mencari tempat yang lebih sesuai. Hal ini merupakan kemungkinan akan adanya perubahan variasi spesies ikan yang muncul di daerah transplantasi (Dhahiyat et al 2003) karena tinggi rendahnya persentase tutupan karang hidup merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehadiran ikan (Bell & Galzin 1984). Kelimpahan ikan karang di kelima substasiun di Kelurahan Pulau Panggang dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan grafik yang ditampilkan, dapat terlihat bahwa kelimpahan ikan karang relatif sama di seluruh substasiun, hanya saja pada substasiun Pramuka Selatan 1 ditemukan kelimpahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan keempat substasiun lainnya. Hal ini disebabkan oleh minimnya tutupan karang hidup di substasiun tersebut (23% tutupan karang hidup). Tutupan karang pada substasiun ini merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan keempat substasiun lainnya.
Gambar 8 Kelimpahan ikan karang di 5 substasiun pengamatan
18 Keberadaan ikan indikator di suatu ekosistem terumbu karang merupakan salah satu indikasi penting dari keadaan terumbu karang tersebut. Menurut Manuputy & Winardi (2007), ikan dari famili Chaetodontidae merupakan jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Allen (2000) menambahkan bahwa banyak ikan karang dari famili Chaetodontidae memakan polip karang, sehingga apabila terumbu karang di suatu daerah sehat, maka hal tersebut akan mengundang ikanikan dari famili ini mendiami daerah tersebut karena ketersediaan makanannya yang cukup. Kelimpahan tertinggi ikan karang kategori indikator ini didapatkan pada substasiun Panggang Selatan 3 (380 ind/250m2) dan terendah pada substasiun Pramuka Selatan 1 (218/250m2). Hal ini berkorelasi positif dengan keadaan tutupan karang di kedua substasiun tersebut, karena substasiun Panggang Selatan 3 memiliki tingkat tutupan karang tertinggi sementara substasiun Pramuka Selatan 1 memiliki tingkat tutupan karang yang paling rendah. Indeks keanekaragaman ikan karang di Kelurahan Pulau Panggang berkisar dari 2,00 hingga 3,08 (Tabel 8). Indeks keanekaragaman jenis karang di lokasi penelitian menurut Brower & Zar (1977) tergolong sedang, dimana tekanan lingkungan sedang. Indeks keseragaman berkisar antara 0,69 hingga 0,89; hal tersebut mengindikasikan bahwa keseragaman tinggi sehingga ekosistem stabil. Sementara itu, tingkat dominansi cenderung rendah (0,06-0,21) menunjukkan bahwa tidak ada spesies tertentu yang mendominasi. Tabel 8 Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi ikan karang Substasiun Pramuka Selatan 1 Pramuka Selatan 2 Panggang Selatan 1 Panggang Selatan 2 Panggang Selatan 3
Keanekaragaman (H’) 2,00 2,58 3,06 2,95 3,08
Keseragaman (E) 0,69 0,80 0,89 0,88 0,88
Dominansi (C) 0,21 0,11 0,06 0,07 0,06
Secara keseluruhan, kondisi terumbu karang di lokasi penelitian tergolong sedang. Yang (1985) dalam Estradivari et al (2011) berpendapat bahwa terumbu karang di Kepulauan Seribu tidak mengalami proses rekrutmen yang baik karena koloni muda belum bisa mencapai reproduksi yang optimal dan rentan terhadap tekanan lingkungan seperti pemangsaan oleh hewan lain, terkubur sedimen, dan hancur karena arus. Hal ini diperparah oleh banyaknya limpasan nutrien yang masuk ke dalam perairan yang merangsang pertumbuhan alga dan membatasi ruang bagi karang untuk tumbuh. Transplantasi karang tidak akan menjadi efektif dalam merehabilitasi suatu ekosistem karang selama penyebab dari rusaknya terumbu karang masih tidak dapat ditekan (Bowden-Kerby 2003a). Karakteristik dan Persepsi Nelayan Transplantasi Karang Hias Berdasarkan informasi yang didapat oleh penulis, hanya terdapat sembilan nelayan yang hingga sekarang masih aktif mengelola kegiatan transplantasi karang di Kelurahan Pulau Panggang yang tergabung di dalam komunitas yang bernama PERNITAS (Perhimpunan Nelayan Ikan dan Tanaman Hias). Jumlah ini menunjukkan tren yang menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Nelayan transplanttasi karang di Kelurahan Panggang sebagian besar berumur 40-49 tahun
19 (44%); Lalu diikuti dengan nelayan yang memiliki rentang umur 50-59 tahun (33%); dan 30-39 tahun (22%) (Gambar 9).
Gambar 9 Karakteristik usia nelayan transplantasi (n=9) Sebanyak 67% dari nelayan yang diwawancarai memiliki riwayat pendidikan SMA. Bahkan ada satu nelayan (11%) yang merupakan lulusan sarjana. Sebesar 22% nelayan memiliki pendidikan akhir tingkat SD. Karakteristik tingkat pendidikan nelayan transplantasi Kelurahan Panggang dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Karakteristik pendidikan nelayan transplantasi (n=9) Persepsi para nelayan transplantasi tentang kondisi terumbu karang menunjukkan hasil yang hampir seimbang. Sebesar 34% dari responden menyatakan bahwa ekosistem terumbu karang di sekitar mereka baik; 33% dari responden berpendapat bahwa kondisi terumbu karang dalam kondisi sedang; dan 33% dari responden berpendapat bahwa kondisi terumbu karang di sekitarnya buruk. Perbedaan persepsi ini disebabkan oleh berbedanya pemahaman mereka akan baik/buruknya kondisi ekosistem terumbu karang. Karakteristik persepsi nelayan transplantasi terhadap kondisi terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 11.
20
Gambar 11 Persepsi nelayan transplantasi terhadap kondisi terumbu karang (n=9) Pemahaman para nelayan transplantasi karang hias tentang konservasi pada umumnya bagus (89%). Hal ini dapat terjadi karena adanya campur tangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pemerintah yang ikut serta dalam sosialisasi akan pentingnya arti konservasi bagi keberlangsungan hidup mereka. Namun sosialisasi yang dilaksanakan belum merata karena kesadaran masyarakat akan lingkungan sekitar mereka masih cenderung rendah. Karakteristik pemahaman nelayan transplantasi terhadap konservasi dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Pemahaman konservasi nelayan transplantasi (n=9) Sebagian besar dari nelayan transplantasi mengetahui manfaat dari ekosistem terumbu karang (78%), baik dari segi ekonomi ataupun dari segi ekologi. Hanya 22% yang memiliki pemahaman terumbu karang yang sedang. Karakteristik pemahaman nelayan transplantasi terhadap ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 13.
21
Gambar 13 Pemahaman nelayan transplantasi tentang terumbu karang (n=9) Hasil wawancara tingkat pendapatan nelayan transplantasi karang di Kelurahan Panggang menunjukkan hasil yang positif. Sebanyak 78% dari responden menyatakan bahwa mereka dapat menghasilkan rata-rata lebih dari satu juta per bulannya. Hanya 22% yang mendapatkan penghasilan 400 ribu – 499 ribu per bulan. Hasil dari transplantasi karang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penghasilan perbulan para nelayan. Tingkat pendapatan nelayan transplantasi apabila dibandingkan dengan data Garis Kemiskinan per Maret 2013 (BPS Jakarta 2013) menunjukkan hasil yang hampir serupa. Garis Kemiskinan bulan Maret tahun 2013 sebesar Rp 1.629.748 per keluarga per bulan (asumsi: 1 keluarga terdiri dari 4 jiwa), hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi para nelayan transplantasi tergolong buruk. Karakteristik tingkat pendapatan nelayan transplantasi dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14
Karakteristik pendapatan nelayan transplantasi (n=9)
Hampir seluruh responden (89%) menyatakan bahwa penghasilan dari transplantasi karang telah dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Hanya 11% yang menganggap kebutuhan sehari-hari mereka tidak tercukupi. Hal tersebut diduga karena nelayan tersebut tidak maksimal dalam menjalankan kegiatan transplantasinya, selain itu dia tidak memiliki pekerjaan sampingan yang
22 dapat dijadikan pendapatan alternatif. Karakteristik persepsi nelayan transplantasi terhadap kecukupan penghasilan dari kegiatan transplantasi dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Persepsi nelayan transplantasi terhadap pendapatan (n=9) Sebagian besar nelayan transplantasi merasa bahwa pemerintah telah sering mengadakan sosialisasi kepada masyarakat (56%). Sebagian besar lainnya menganggap pemerintah jarang melakukan sosialisasi (44%). Sering atau tidaknya pemerintah melakukan hal tersebut tergantung dari persepsi masyarakat itu sendiri. Rata-rata pemerintah mengadakan 4-6 kali sosialisasi terkait transplantasi karang. Frekuensi sosialisasi yang diadakan pun tergantung dari inisiatif nelayannelayan itu sendiri, apabila nelayan aktif dan mau ikut serta terlibat dalam kegiatan ini, maka besar kemungkinan pemerintah pun akan meresponnya dengan baik. Karakteristik persepsi nelayan transplantasi terhadap sosialisasi yang diadakan oleh pemerintah dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16 Persepsi nelayan transplantasi terhadap sosialisasi (n=9) Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 78% nelayan berpendapat bahwa mereka sering mengikuti sosialisasi yang diadakan oleh pemerintah, sedangkan hanya 11% yang mengaku jarang mengikuti sosialisasi dan 11% lainnya tidak pernah. Besarnya animo masyarakat dalam hal ini mengindikasikan perkembangan yang positif terhadap kegiatan transplantasi karang itu sendiri, karena semakin besar partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosialisasi, maka semakin besar pula kemungkinan bagi masyarakat lain untuk ikut terlibat.
23 Karakteristik persepsi keikutsertaan nelayan terhadap sosialisasi dari pemerintah dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Partisipasi nelayan transplantasi terhadap sosialisasi pemerintah (n=9) Sebagian besar dari para nelayan yang diwawancarai mengakui bahwa mereka menghendaki sistem pengelolaan kolaboratif (gabungan pemerintah dan masyarakat) dalam mengembangkan pengelolaan transplantasi karang hias di Kelurahan Pulau Panggang (67%), sementara 33% lainnya berpendapat bahwa pengelolaan sebaiknya dilakukan oleh masyarakat setempat tanpa campur tangan pemerintah (Gambar 18). Hal ini membuktikan bahwa para nelayan masih membutuhkan peran pemerintah dalam mengembangkan sistem pengelolaan transplantasi karang yang berlangsung, namun dalam tingkat-tingkat tertentu para nelayan ingin diberi kebebasan dalam mengatur sumber daya di sekitar mereka. Masyarakat memiliki keinginan untuk mengelola jalannya transplantasi dengan batasan-batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Gambar 18 Persepsi nelayan transplantasi terhadap pengelolaan transplantasi karang hias (n=9) Berdasarkan karakteristik para nelayan transplantasi yang diwawancara, dapat dilihat bahwa sebagian besar nelayan memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Namun begitu, terdapat perbedaan pemahaman nelayan dalam hal pengetahuan tentang terumbu karang sehingga dapat diketahui bahwa para
24 nelayan belum sepenuhnya memahami tentang ekosistem terumbu karang di sekitar mereka. Sebagian besar nelayan telah mengerti arti dari pentingnya konservasi, sayangnya masih ada sebagian dari mereka yang memiliki kesadaran yang rendah dalam melestarikan sumber daya yang ada di sekitar mereka. Rata-rata para nelayan memiliki pendapatan lebih dari satu juta rupiah per bulannya. Pendapatan ini merupakan gabungan dari pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan mereka. Para nelayan mengakui bahwa hasil dari transplantasi karang hias telah dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Para nelayan umumnya mau menghadiri sosialisasi yang diadakan dari pemerintah, hal ini didasari oleh kesadaran para nelayan akan betapa pentingnya pengetahuan dalam upaya memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar mereka tanpa mengancam keberadaan sumber daya itu sendiri. Pada akhirnya, para nelayan menghendaki sistem pengelolaan yang bersifat kolaboratif. Mereka masih membutuhkan bantuan dari pemerintah dalam hal pembinaan dan pengembangan sistem pengelolaan, namun dalam tingkat tertentu mereka ingin diberi kebebasan dalam mengatur sumber daya yang telah disediakan. Tipe Pengelolaan dan Analisis Pemangku Kepentingan Tipe pengelolaan Transplantasi Karang di Kelurahan Panggang berdasarkan spektrum co-management yang disusun oleh Adrianto (2007) dalam Muqorrobin (2013) saat ini berada pada tahap konsultatif. Tipe pengelolaan seperti ini menempatkan masyarakat pada posisi hampir sama dengan pemerintah, dengan kata lain masyarakat mendampingi pemerintah dalam pengelolaannya. Pemerintah melakukan dialog dan meminta pendapat dari masyarakat sebagai acuan pembuatan keputusan, namun kegiatan penyusunan perencanaan, monitoring serta evaluasi tetap berada di tangan pemerintah. Dalam hal pembuatan rencana pengelolaan, pemerintah tidak berdiskusi dengan seluruh pemangku kepentingan, khususnya masyarakat. Pemerintah hanya meminta pendapat dan melakukan dialog, namun untuk penentuan rencana pengelolaan masih terpusat di pemerintah. Pelaksanaan kegiatan transplantasi cenderung berjalan masing-masing dan kurang ada koordinasi. Contoh yang paling jelas terlihat adalah permasalahan yang terjadi antara nelayan dengan perusahaan karang hias. Di dalam kondisi yang ideal, diharapkan adanya komunikasi yang intensif dan transparan antara nelayan dan perusahaan dengan memanfaatkan lembaga perantara, diantaranya seperti AKKII dan TERANGI. Pengawasan pun masih belum berjalan dengan optimal, penegakan hukum yang belum sepenuhnya terimplementasi secara konsisten dan sumber daya manusia yang kurang mengakibatkan kegiatan transplantasi terbengkalai. Para pemangku kepentingan yang terlibat di dalam kegiatan transplantasi karang hias di Kelurahan Panggang diantaranya adalah PERNITAS, Balai Taman Nasional, perusahaan karang hias dan LSM yang diwakili oleh AKKII dan TERANGI. Masing-masing dari pemangku kepentingan tersebut memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang berbeda terhadap pengelolaan transplantasi karang. Hasil pemetaan pemangku kepentingan berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh dapat dilihat pada gambar 20. Kuadran I ditempati oleh perusahaan karang. Pada kuadran ini, para pemangku kepentingan memiliki tingkat kepentingan tinggi terhadap sumber daya akan tetapi kurang memiliki pengaruh dalam pengelolaan. Kepentingan yang
25 tinggi dapat dikaitkan dengan kepentingan ekonomi. Beberapa indikator dalam menentukan tinggi atau tidaknya kepentingan dapat dilihat dari beberapa aspek, termasuk keterlibatan, manfaat pengelolaan, prioritas pengelolaan dan ketergantungan terhadap sumber daya (Lampiran 2). Dalam kasus ini, perusahaan mendapatkan skor 13 dalam tingkat kepentingan. Perusahaan terlibat dalam satu proses yaitu pelaksanaan transplantasi yang bekerja sama dengan nelayan. Perusahaan mendapatkan setidaknya satu manfaat yaitu dapat berinteraksi dengan pihak lain. Pengelolaan transplantasi juga menjadi prioritas karena dari kegiatan inilah mereka mendapatkan keuntungan finansial, sementara perusahaan sangat bergantung pada sumber daya (81-100%). Dalam tingkat pengaruh, beberapa indikator yang dapat diperhitungkan adalah aturan/kebijakan pengelolaan, peran dan partisipasi, kewenangan dalam pengelolaan dan kapasitas sumber daya yang disediakan (Lampiran 3), dalam hal ini, perusahaan mendapatkan skor 9. Perusahaan terlibat dalam dua proses dalam kebijakan pengelolaan seperti usul peraturan dan sosialisasi kepada nelayan. Sementara itu, perusahaan hanya berkontribusi dalam satu poin dalam partisipasi (keterlibatan) dan kapasitas sumber daya yang disediakan (dana). Perusahaan karang memiliki modal yang berlimpah, namun mereka kurang memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan. Hal ini menjadikan mereka hanya menjadi salah satu subyek di dalam kegiatan transplantasi karang ini, maka tak heran apabila tidak sedikit perusahaan yang tidak mematuhi peraturan yang ada demi mendapatkan suplai karang yang mereka inginkan dan kurang peduli akan dampak kegiatan yang mereka lakukan terhadap kelangsungan ekosistem terumbu karang. Pemangku kepentingan yang berada di dalam kuadran ini sebaiknya dibina dan dilibatkan lebih jauh dalam setiap sosialisasi dengan pemangkupemangku kepentingan yang lainnya. Pada kuadran II, para pemangku kepentingan memiliki kepentingan dan pengaruh yang sama-sama tinggi terhadap kegiatan transplantasi karang yang berlangsung di Kelurahan Panggang. Para pemangku kepentingan yang berada di dalam kuadran II ini adalah Balai TNKpS dan PERNITAS. Mereka yang berada di kuadran ini merupakan pemain utama dalam keberhasilan kegiatan transplantasi karang karena memiliki posisi penting dalam pembuatan kebijakan serta kepentingan yang cukup tinggi terhadap sumber daya yang tersedia. Dalam tingkat kepentingan, PERNITAS mendapatkan skor 19 sementara Balai TNKpS mendapatkan skor 15. Dalam tingkat pengaruh, PERNITAS memiliki skor yang lebih rendah (11) dibandingkan dengan Balai TNKpS (19). Para nelayan yang diwakili oleh PERNITAS jelas memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi karena mereka merupakan pengguna utama sumber daya tersebut. Perlu adanya kerjasama yang harmonis di antara semua pihak yang terlibat agar dapat terciptanya pengelolaan yang berkelanjutan serta menguntungkan semua pihak. Dalam kasus ini, terdapat dua pemangku kepentingan yang berada di kuadran ini, Balai TNKpS dan PERNITAS sama-sama memiliki peran vital dalam pengelolaan transplantasi karang di Kelurahan Pulau Panggang. Hal ini merupakan tanda yang cukup baik karena pemain utama sebaiknya terdiri dari beberapa pemangku kepentingan agar dapat berbagi tanggung jawab dan peran.
26
Gambar 20 Matriks analisis pemangku kepentingan Kuadran III terdiri dari kelompok pemangku kepentingan yang memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang rendah, namun masih terlibat dalam kegiatan transplantasi karang. Dalam kasus ini, tidak ada satu pemangku kepentingan pun yang terdapat di dalam kuadran III karena hanya sedikit pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan transplantasi karang hias ini. Terdapat dua pemangku kepentingan di dalam kuadran IV, yaitu TERANGI dan AKKII dalam kegiatan transplantasi karang di Kelurahan Pulau Panggang. Pemangku kepentingan yang berada di kuadran ini memiliki tingkat kepentingan yang rendah namun memiliki pengaruh yang tinggi. TERANGI dan AKKII memiliki peran penting dalam perumusan keputusan serta sebagai penghubung antar satu pemangku kepentingan dengan yang lainnya. Dalam tingkat kepentingan, TERANGI dan AKKII mendapatkan skor 9, sementara dalam tingkat pengaruh, TERANGI juga mendapatkan skor yang sama dengan AKKII (13). Kedua pemangku kepentingan tersebut memiliki peran yang relatif sama namun menjangkau target yang berbeda. Apabila TERANGI lebih kepada penjembatan antara pemerintah dan nelayan, AKKII lebih kepada penjembatan antara perusahaan dan nelayan. Dari hasil analisis pemangku kepentingan sebelumnya dan dari hasil wawancara serta observasi, maka dapat diidentifikasi permasalahan dari setiap
27 pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan transplantasi karang di Kelurahan Pulau Panggang (Tabel 6). Tabel 9 Kelompok pemangku kepentingan berdasarkan fungsi, peran dan masalah Pemangku kepentingan Masyarakat
Subkelompok PERNITAS
Fungsi dan peran
Masalah utama
Pemelihara kawasan, pemanfaat SDA
-Kurang ada kerjasama antar masyarakat -Pendapatan minim -Tidak konsisten dalam menjalankan transplantasi -Kurangnya SDM yang memadai -Penegakan hukum masih lemah -Biaya tinggi -Birokrasi rumit -Hubungan antar nelayanbapak angkat renggang -Kestabilan pasar tidak dijaga -Rumitnya menyelaraskan perusahaan dengan nelayan -Dana terbatas
Pemerintah
Balai TNKpS
Perlindungan, pengamanan, pengawas pemanfaatan SDA, pembina masyarakat
Swasta
Perusahaan karang
Pembuka lapangan pemanfaat SDA
LSM
AKKII
Mediator, fasilitator
TERANGI
Mediator, informasi
fasilitator,
kerja,
sumber
Sumber: Data primer (2013)
Pemangku kepentingan yang pertama adalah masyarakat yang diwakili oleh nelayan PERNITAS. Masyarakat ini merupakan kelompok yang terkena dampak langsung dari keberadaan ekosistem setempat. Kendala yang dihadapi oleh PERNITAS saat ini adalah ketidakharmonisan di antara anggota-anggotanya, hal ini dapat disebabkan oleh beragamnya suku yang terkumpul di dalam Kelurahan Panggang. Para pemukim pemula di gugusan Pulau Seribu berasal dari Makassar, Madura, Jawa, Banten bahkan Melayu. Berbeda dengan masyarakat lokal di tempat lain yang memiliki kohesivitas yang kuat dikarenakan mereka berasal dari satu nenek moyang dan memiliki adat istiadat yang turun temurun, seperti contohnya tradisi Rompong di Bugis, Sulawesi Selatan, lalu ada Sasi yang dijalankan oleh masyarakat Maluku, dan ada pula Panglima Laut dari Aceh (Wahyudin 2003). Perbedaan suku dan kepedulian yang rendah yang diperlihatkan oleh masyarakat Kepulauan Seribu, khususnya Kepulauan Pulau Panggang, menjadi salah satu akar masalah yang sangat kuat, yang apabila tidak dapat ditanggulangi, maka hampir mustahil untuk bisa menjalankan sistem pengelolaan yang baik. Bantuan dari pemerintah dan LSM pun tidak dapat menjadi efektif apabila masyarakat terus menerus bersitegang diantara mereka sendiri. Hal ini sangat disayangkan karena masyarakat lokal merupakan komponen utama yang sangat penting dalam pengelolaan suatu kawasan. Pernyataan dari Wilkinson (1998) dalam Bowden-Kerby (2003a) mengindikasikan hal yang serupa, dimana komunitas rural pesisir merupakan penyebab rusaknya terumbu karang secara global, maka untuk merehabilitasi kawasan tersebut, melibatkan mereka adalah langkah yang sangat penting.
28 Pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam pengelolaan transplantasi karang ini adalah pemerintah, dalam kasus ini yang terlibat penuh adalah Balai TNKpS. Saat ini TNKpS mengalami kesulitan dalam membina masyarakat karena minimnya sumber daya manusia yang dimiliki. Selain itu, pengimplementasian hukum yang masih rendah menjadi salah satu sebab mengapa pengelolaan transplantasi karang belum dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat setempat, masih ada nelayan yang mengambil karang dari alam dan lolos dari pengawasan TNKpS. Namun ada satu kesempatan dimana TNKpS menangkap basah perusahaan yang bertindak curang, tepatnya pada tahun 2010. Oleh sebab tersebut, selama kurun waktu tahun 2010 tidak boleh diadakan kegiatan transplantasi karang hingga tahun 2011. Meskipun TNKpS telah berusaha dalam ikut serta menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka, naum hal tersebut tidaklah cukup karena masih ada pemangku kepentingan lain yang tidak menjalankan tugas mereka dengan baik. Pemangku kepentingan ketiga adalah perusahaan eksportir karang yang memiliki nelayan mitra di Kelurahan Panggang. Terus menurunnya jumlah perusahaan yang tertarik untuk memtransplantasikan karang di Kelurahan Pulau Panggang mengakibatkan banyak nelayan kehilangan lapangan pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Beberapa faktor yang menyebabkan perusahaan tidak lagi tertarik untuk menjalani kegiatan ini adalah karena birokrasi yang rumit dari pemerintah serta proses yang lama menyebabkan pengeluaran menjadi besar sehingga tidak efisien. Lalu faktor lainnya adalah munculnya berbagai kompetitor dari negara lain. Selama dua dekade terakhir, Indonesia merupakan negara pengekspor karang hias terbesar di dunia (Bentley 1998; Hadie 2008; Timotius et al 2009). Namun sekarang negara-negara lain turut berpartisipasi dalam menjalankan transplantasi karang seperti negara-negara kepulauan di Pasifik Selatan yang telah sukses menjalankan kegiatan ini. Suatu terobosan yang mereka lakukan adalah mengikutsertakan para perempuan dan pemuda dalam pengelolaan transplantasi (Bowden-Kerby 2003b). Selain itu, hubungan antara perusahaan dengan nelayan mitra semakin renggang, hal ini disebabkan oleh tidak adanya rasa kepercayaan diantara kedua belah pihak (Fahrudin 2008). Berdasarkan permasalahan yang sudah diketahui, pola kerjasama antara nelayan transplantasi dengan perusahaan bukan lagi suatu hal yang menguntungkan untuk dilakukan saat ini karena kedua pemangku kepentingan tidak memiliki visi yang sama. Nelayan harus menjual hasil produksinya kepada perusahaan dengan harga yang telah ditentukan oleh perusahaan itu sendiri, dengan kata lain nelayan memiliki daya tawar yang lemah (Passiamanto 2005 dalam Fahry 2005). Sementara perusahaan tidak terlalu memperhatikan keadaan sosial para nelayan karena memang tujuan mereka adalah mendapat keuntungan yang setinggitingginya. Timotius et al (2009) mengungkapkan bahwa masih banyak perusahaan karang yang didirikan hanya untuk mengikuti kebijakan dari pemerintah. Ciri-ciri dari perusahaan yang tidak konsisten seperti ini adalah buruknya kualitas pemeliharaan karang dan mekanisme transplantasi yang tidak sesuai dengan peraturan. Perusahaan berada di dalam pengelolaan ini semata-mata karena modal yang mereka miliki. Salah satu solusi adalah memberikan insentif bagi para nelayan agar dapat mengembangkan usaha transplantasi mereka sendiri tanpa
29 harus dibawahi oleh perusahaan. Namun hal ini hanya dapat terjadi apabila masyarakat nelayan memiliki pengaruh yang tinggi dalam sistem pengelolaan. Pemangku kepentingan yang terakhir adalah LSM. Dalam kasus ini terdapat dua pemangku kepentingan yang masuk dalam sub-kelompok, yakni AKKII dan TERANGI. Kedua pemangku kepentingan ini tidak memiliki tingkat kepentingan yang begitu besar, namun memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap jalannya kegiatan transplantasi. Keduanya merupakan fasilitator antar pemangku kepentingan lainnya. AKKII memiliki peran sebagai fasilitator antara perusahaan dengan nelayan transplantasi, sedangkan TERANGI lebih kepada pemerintah dan masyarakat secara umum. Di dalam kegiatan transplantasi karang ini, AKKII dan TERANGI memiliki peran yang penting dalam kelangsungan pengelolaan karena mereka merupakan simpul dalam hubungan antar pemangku kepentingan. Mereka dapat memandu perusahaan dan pemerintah agar dapat berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga dapat tercapai tujuan bersama (Bowden-Kerby 2003b), hal tersebut dapat mengurangi konflik yang disebabkan oleh kurangnya komunikasi antar pemangku kepentingan. Salah satu kendala yang dialami oleh AKKII dan TERANGI adalah kurangnya dana sebagai biaya operasional, mereka masih harus bergantung kepada donor agar dapat menjalankan program-program yang mereka ciptakan. Berdasarkan wawancara di lapangan, terlihat adanya tren penurunan kegiatan transplantasi karang selama beberapa tahun terakhir. Bukti nyata yang dapat dilihat adalah terus berkurangnya perusahaan karang yang memilih Kepulauan Seribu sebagai mitra kerjasamanya. Pada awal berjalannya transplantasi, ada 20 perusahaan yang memiliki mitra di Kepulauan Seribu pada tahun 2005 (Kudus 2005), lalu menjadi 16 perusahaan pada 2010, dan hanya tersisa 14 perusahaan pada tahun 2013. Dari ke-14 perusahaan ini, berdasarkan pihak Balai TNKpS, hanya terdapat 7 perusahaan yang masih konsisten dalam melaksanakan transplantasi dengan baik. Kelompok nelayan transplantasi pun menurun drastis karena mereka kehilangan mitra perusahaan mereka. Salah satu faktor yang menyebakan hal ini dapat terjadi adalah buruknya pengelolaan transplantasi karang yang berjalan. Dalam implementasinya, upaya pengelolaan belum dilakukan dengan baik dalam wadah pengelolaan. Balai TNKpS sebagai lembaga forefront yang memiliki pengaruh serta kepentingan yang tinggi masih belum efektif karena kekurangan sumber daya manusia dan penegakan hukum yang masih lemah. Partisipasi dari nelayan lokal pun belum dapat membawa hasil yang positif karena masih banyak permasalahan internal dari PERNITAS yang harus dibenahi. Ketidakteraturan yang terjadi di dalam pengelolaan yang dijalankan di Kelurahan Pulau Panggang secara tidak langsung telah berkontribusi dalam menghambat kegiatan transplantasi karang hias. Kohesivitas masyarakat yang rendah menjadikan pengelolaan jauh lebih sulit dibandingkan yang direncanakan. Acap kali LSM dan Balai TNKpS harus turun tangan dan membimbing masyarakat dalam menjalankan pengelolaan, padahal kontribusi terbesar dalam keberhasilan pengelolaan suatu sumber daya adalah peran masyarakat setempat dalam memanfaatkannya. Selama masyarakat belum bisa memiliki suatu kesepakatan dalam penjagaan kelestarian sumber daya, maka selama itu pula sumber daya akan rentan terhadap ancaman kerusakan, terutama yang disebabkan oleh mereka sendiri.
30 Alur Rantai Suplai Karang Hias Pola aliran rantai suplai karang hias yang berasal dari Kelurahan Pulau Panggang terbilang sederhana. Para nelayan transplantasi memiliki akses langsung ke perusahaan eksportir yang berperan sebagai mitra usaha. Harga karang per fragmen berkisar antara Rp5.000 hingga Rp15.000, dan para nelayan umumnya mampu mensuplai 2.000 hingga 10.000 fragmen/tahun, tergantung dari permintaan perusahaan. Kemudian perusahaan akan mendistribusikan karang hias kepada negara-negara importir di seluruh dunia. Berdasarkan kategori strategi rantai pasokan, kegiatan transplantasi karang hias di Kelurahan Pulau Panggang tergolong ke dalam rantai pasokan pull-based, dimana produksi dan distribusi ditentukan oleh permintaan sehingga rantai pasokan ini lebih dikendalikan oleh permintaan konsumen nyata daripada peramalam permintaan (Simchi-Levi et al 2003 dalam Hani 2007). Para nelayan hanya akan melakukan transplantasi ketika mendapatkan permintaan dari perusahaan. Perusahaan memesan fragmen-fragmen karang dari para nelayan ketika terlebih dahulu mendapatkan permintaan dari negara-negara importir. Negara-negara importir umumnya tertarik dengan karang dari Kepulauan Seribu karena memiliki karakteristik yang khas dan memiliki variasi warna yang berbeda dibanding dengan karang dari daerah lain. Selain itu, kedekatan lokasi transplantasi dengan kota besar (Jakarta) merupakan hal yang menguntungkan dari sisi efisiensi transportasi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh AKKII pada tahun 2012, ada sebanyak 23 negara yang menjadi importir tetap karang hasil transplantasi di Kepulauan Seribu (Gambar 21). Erens
PT. Aneka Tirta Surya
Mulyadi
PT. Aristo Cratama
Mastuni
CV. Aqua Marindo
Sahbudin
CV. Banyu Biru PT. Panorama Alam Tropika
Halimun
PT. Bekael E. Gemilang
Ismail
CV. Blue Star
Mujahidi
CV. Cahaya Baru
Ujang
CV. Gloria International
Mahmudin
CV. Vivaria Marine
Belgia Kanada Republik Ceko Cina Finlandia Prancis Hongaria Hongkong Inggris Italia Jerman Jepang Korea Selatan Kuwait Norwegia Belanda Qatar Rusia Spanyol Swedia Uni Emirat Arab Amerika Serikat Yunani
Gambar 21 Alur rantai suplai karang hias dari Kelurahan Pulau Panggang
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kondisi tutupan karang tergolong sedang dan merupakan lokasi yang cocok untuk kegiatan transplantasi. 2. Berdasarkan perubahan tutupan karang dan indeks mortalitas karang selama lima tahun terakhir, Stasiun Pramuka mengalami peningkatan yang cukup besar, berbeda dengan Stasiun Panggang yang cenderung menurun. 3. Dari 15 jenis karang yang ditransplantasi, 12 diantaranya ditemukan di sekitar rak transplantasi. 4. Tipe pengelolaan karang hias di Kelurahan Pulau Panggang tergolong dalam kategori Konsultatif. 5. Sebagian besar nelayan memiliki pemahaman yang baik tentang terumbu karang dan konservasi. 6. Berdasarkan peran para pemangku kepentingan, Balai TNKpS dan PERNITAS merupakan pemain utama (key player) dalam kegiatan pengelolaan transplantasi karang hias. 7. Ketiadaan pembagian peran dan tanggung jawab diantara para pemangku kepentingan dan permasalahan internal yang dialami oleh para nelayan di dalam PERNITAS dengan masing-masing perusahaan menghambat jalannya pengelolaan. Saran 1. Letak dan kondisi alam Kelurahan Pulau Panggang yang ideal untuk kegiatan transplantasi merupakan dasar yang bagus bagi keberlanjutan kegiatan tersebut, diharapkan untuk ke depannya dapat dipertahankanbahkan jika memungkinkan-dikembangkan lebih lanjut. 2. Balai TNKpS memiliki peran yang krusial dalam keberhasilan kegiatan transplantasi. Pemangku kepentingan tersebut diharapkan dapat mengimplementasikan strategi yang telah dirancangnya yang mengikutsertakan seluruh pemangku kepentingan agar dapat berjalan semaksimal mungkin karena inti dari kelancaran pengelolaan transplantasi karang hias bergantung dari efektivitas Balai TNKpS dalam mengelola kegiatan tersebut. 3. Perlu adanya penyelesaian atas permasalahan antara nelayan dan perusahaan dengan melibatkan seluruh pihak pemangku kepentingan, seperti Balai TNKpS, AKKII ataupun TERANGI agar kegiatan transplantasi dapat dioptimalkan dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA Abbas R. 2005. Mekanisme Perencanaan Partisipasi Pemangku kepentingan Taman Nasional Gunung Rinjani. [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
32 Aditiyana I. 2011. Analisis laju pertumbuhan dan tingkat keberhasilan transplantasi karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Adrim M. 2007. Komunitas Ikan Karang di Perairan Pulau Enggano, Propinsi Bengkulu. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33: 139-158. Allen GR. 2000. Marine Fishes of South East Asia. Kaleidoscope Front and Prepress Periplus Edition, Perth, Western Australia. [Badan Pusat Statistik] Provinsi DKI Jakarta. 2013. Berita Resmi Statistik: Tingkat Kemiskinan di DKI Jakarta Maret 2013. Jakarta. Bell JD, Galzin R. 1984. Influences of Live Coral Cover on a Coral Reef Fish Communities. Marine Ecology Program Series 15: 265-274. Bentley N. 1998. An overview of the exploitation, trade and management of corals in Indonesia. Traffic Bull 17: 67-78. Birkeland C. 1988. Second-oder Ecological Effects of Nutrient Input Into Coral Communities. Galaxea 7: 91-100. Bojang B. 2006. Co-management of Marine Protected Areas (MPAs): A Framework for Integrated Coastal Zone Management in the Gambia. Institute of Estuarine and Coastal Studies, University of Hull: United Kingdom. Bowden-Kerby A. 2003a. Coral transplantation and restocking to accelerate the recovery of coral reef habitats and fisheries resources within no-take marine protected areas: Hands-on approaches to support community-based coral reef management. International Tropical Marine Ecosystem Management Symposium 2: 15 pp. Bowden-Kerby A. 2003b. Community-Based Management of Coral Reefs: An Essential Requisite for Certification of Marine Aquarium Products Harvested from Reefs under Customary Marine Tenure. Marine Ornamental Species: Collection, Culture, and Conservation 11:141-166. Brower JE, Zar JH. 1977. Field and laboratory methods for general ecology. Wm. C. Brown Publishers, Dubuque, Iowa. 226 p. Brown BE, Dunne RP. 1988. The Environmental Impact of Coral Mining on Coral Reefs in the Maldives. Environmental Conservation 15(2): 159-166. Clark S, Edwards AJ. 1995. Coral transplantation as an aid to reef rehabilitation: ealuation of a case study in the Maldives Islands. Coral Reefs 14: 201-213. Connell JH. 1997. Disturbance and Recovery of Coral Assemblages. Coral Reefs 16: 101-113. [CORAL] Coral Reef Alliance. 2003. Introduction to coral reef ecosystems, threats, and solutions. San Fransisco: The Coral Reef Alliance: Coral Parks Program Education Series. [COREMAP] Coral Reef Rehabilitation and Management Program. 2001. Naskah Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta. Desistiano M. 2008. Perbandingan Kelimpahan Ikan Karang pada Terumbu Buatan Biorock dengan Transplantasi Karang di Tanjung Lesung, Banten. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Dhahiyat Y, Sinuhaji D, Hamdani H. 2003. Struktur Komunitas Ikan Karang di Daerah Transplantasi Karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Iktiologi Indonesia 3(2): 87-94.
33 English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville, Australia: pp. 378 Estradivari, Setyawan E, Yusri S, Timotius S. 2011. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2005-2009). Jakarta: Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI). Estradivari, Setyawan E, Yusri S. 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta: Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI). Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu Karang Jakarta: Laporan Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Jakarta: Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI). Fahrudin A. 2008. Valuasi Ekonomi dan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Konservasi Terumbu Karang. [Publikasi tidak diketahui]. Fahry E. 2005. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan terumbu buatan di Kelurahan Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. [Tesis]. Pascasarjana Bisnis dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring Reef Condition. dalam Kenchington RA, Hudson BET. Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Hadie W. 2008. Konservasi terumbu karang: Melalui transplantasi karang hias sebagai komoditas ekspor. Jurnal Ilmiah Faktor Exacta 1(2): 56-63. Hani. 2007. Analisis Rantai Pasokan Buah Kelapa. [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harriott VJ, Fisk DA. 1988. Coral transplantation as a reef management option. Proc 6th International Coral Reef Symposium 2: 375-379. Heeger T, Sotto F. 2000. Coral Farming: A Tool for Reef Rehabilitation and Community Ecotourism. German Technical Cooperation and the Tropical Ecology Program (GTZ-TOB): Phillipines. Highsmith RC. 1982. Reproduction by Fragmentation in Corals. Marine EcologyProgress Series 7: 207-226. Hoegh-Guldberg O, Hoegh-Guldberg H, Veron JEN. 2009. The Coral Triangle and Climate Change: Ecosystems, People and Societies at Risk. WWF Australia, Brisbane. Huda AR. 2008. Kondisi Terumbu Karang di Daerah Sekitar Pelabuhan dan nonPelabuhan di Perairan Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta. [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Hulu T. 2009. Efektivitas Pengelolaan Terumbu Karang di Dua Daerah Perlindungan Laut Kecamatan Lahewa Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kudus UA. 2005. Transplantasi Karang Hias di Kepulauan Seribu. Prosiding Seminar Transplantasi karang. Kuiter RH. 1992. Tropical Reef-Fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent Waters. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
34 Kusnadi. 2010. Kebudayaan Masyarakat Nelayan. Makalah dalam Jelajah Budaya Tahun 2010. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata: Yogyakarta. Lindahl U. 1998. Low-tech Rehabilitation of Degraded Coral Reefs Through Transplantation of Staghorn Corals. Ambio 27: 645-650. Manuputty AEW, Winardi. 2007. Monitoring Ekologi Biak. Coremap II-LIPI, Jakarta. Maragos JE, Evans C, Holthus P. 1985. Reef corals in Kaneohe Bay six years before and after termination of sewage discharges. Proc 5th International Coral Reef Congress 4: 189-194. Maragos JE, Crosby MP, McManus JW. 1996. Coral reefs and biodiversity: A critical and threatened relationship. Oceanography 9(1): 83-99. Marshall P, Schuttenberg H. 2006. A Reef Manager’s Guide to Coral Bleaching. Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville, Australia. Munasik, Siringoringo RM. 2011. Struktur komunitas karang keras (Scleractinia) di Perairan Pulau Marabatuan dan Pulau Matasirih, Kalimantan Selatan. Ilmu Kelautan 16(1): 49-58. Muqorrobin A. 2013. Pengelolaan Kawasan Mangrove Berbasis Co-management di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nontji A. 1999. Coral reefs of Indonesia: Past, present and future. Pros. Lok. Pengelolaan & Iptek Terumbu Karang Indonesia: 17-29. Odum HT. 1971. Environment, Power and Society. John Wiley & Sons, New York. 331 pp. Ormond R, Douglas A. 1996. The Exploitation of Coral Reefs. The British Ecological Society: Ecological Issue 7:1-47. Pomeroy RS. 1995. Community-based and Co-management Institutions for Sustainable Coastal Fisheries Management in Southeast Asia. Ocean & Coastal management 27(3): 143-162. Priyono A. 2004. Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta. [Thesis]. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Quenouille B, Bermingham E, Planes S. 2004. Molecular Systematics of Damselfishes (Teleostei: Pomacentridae): Bayesian phylogenetic analyses of mitochondrial and nuclear DNA sequences. Mol Phylogenet. Evol 31(66): 6688. Rani C, Burhanuddin AI, Atjo AA. (Tahun tidak diketahui). Sebaran dan Keragaman Ikan Karang di Pulau Barranglompo: Kaitannya dengan Kondisi dan Kompleksitas Habitat. Rani S. 2007. Analisis ekonomi dan sosial usaha transplantasi karang di Kelurahan Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta. [skripsi]. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ruswahyuni, Purnomo PW. 2009. Kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu dalam kaitan dengan gradasi kualitas perairan. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 1(1): 93-101.
35 Sale PF. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press, San Diego: 564-598. Salm RV, Coles SL. 2001. Coral Bleaching and Marine Protected Areas. Proceedings of the Workshop on Mitigating Coral Bleaching Impact Through MPA Design. Bishop Museum, Honolulu, May 29-31 2001. Asia Pacific Coastal Marine Progam Report No. 0102, The Nature Conservancy, Honolulu: 118 pp. Soegiarto A. 1997. Assessment of the present health of coral reefs in Indonesia. Indonesian Institute of Science-LIPI, Jakarta: 75-88. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta [TERANGI]. 2004. Panduan Dasar Untuk Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia. Indonesian Coral Reef Foundation (TERANGI). Timotius S, Idris, Syahrir M. 2009. A review on ornamental coral farming effort in Indonesia. International Ocean Science, Technology and Policy Symposium, World Ocean Conference: 15 pp. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The ecology of the Indonesian Seas, Part One. The Ecology of Indonesian Series Vol VII. Wahyudin Y. 2003. “Community Based Management (CBM)”. Makalah dalam Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (ICZPM, Integrated Coastal Zone Planning Management). Bogor. Westmacott S, Teleki K, Wells S, West JM. 2000. Pengelolaan terumbu karang yang telah memutih dan rusak kritis. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. 36 pp. Wijanarko B. 2006. Kemungkinan Penerapan Co-management dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Pantai Utara Kota Surabaya. [Thesis]. Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro: Semarang. Wittenberg M, Hunte W. 1992. Effects of Eutrophication and Sedimentation on Juvenile Corals. 1. Abundance, Mortality and Community Structure. Marine Biology 116: 131-138. Yamazato. 1996. The effect of suspended particles on reef building corals. Prociding MAB-COMAR Regional Workshop on Coral Reef Ecosystem. Bogor. Yap HT, Licuanan WY, Gomez ED. 1990. Studies on coral recovery and coral transplantation in the northern Philippines: aspects relevant to management and conservation. In: Yap HT (ed) Proc 1st ASEAMS Symposium Southeast Asian Marine Science and Environmental Protection. UNEP Regional Seas Reports and Studies 116, United Nations Environment Programme, Nairobi: 117-127.
36 LAMPIRAN Lampiran 1 Kategori lifeform karang dan kodenya menurut English et al (1997) Kategori
Kode
Keterangan
Karang Batu (Hard Coral): Dead Coral Dead Coral with Algae
DC DCA
Baru saja mati, warna putih sampai putih kotor Karang mati yang masih tampak bentuknya tapi sudah ditumbuhi alga
Acropora: Branching
ACB
Encrusting
ACE
Submassive Digitate
ACS ACD
Tabular
ACT
Sedikitnya 2 cabang. Contoh Acropora palmata, A. Formosa Biasanya berupa pelat dasar dari bentuk Acropora Kokoh berbentuk bonggol/baji Percabangan tidak sampai 20. Contoh: A. Humiliks, A. Digitifera, A. Gemmifera Pelat datar seperti meja
Non-Acropora: Branching Encrusting
CB CE
Foliose
CF
Massive Submassive Mushroom Millepora Heliopora Tubipora Fauna lain: Soft Coral Sponges Zoanthids Others
CM CS CMR CME CHL CTU
Percabangan kurang lebih ± 20 Sebagian besar menempel pada substrat sebagai pelat laminar Karang menempel pada satu atau lebih titik, bentuk menyerupai daun Berbentuk bola atau batu besar/tanggul Membentuk kolom kecil, baji atau bonggol Soliter Karang api Karang biru, soliter
SC SP ZO OT
Karang lunak
Alga: Algae Algal Assemblage Halimeda Turf Algae
AA HA TA
Terdiri lebih dari satu spesies
Abiotik: Sand Rubble
S R
Ascidians, anemon, gorgonia, kima raksasa, timun laut, bulu babi, dll
Warna merah, cokelat, dll Alga filamen yang lembut, sering ditemukan dalam wilayah damselfish Pasir Pecahan karang tak beraturan
Manfaat Pengelolaan
Prioritas pengelolaan
Ketergantungan terhadap sumberdaya
2
3
4
Manfaat
Total Keterangan Keterlibatan
Keterlibatan
Variabel
5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
Skor
Mata pencaharian masyarakat Perlindungan SDA secara berkelanjutan Dapat berinteraksi dengan pihak lain Perlindungan kawasan
a. Perencanaa pengelolaan b. Pengorganisasian pengelolaan c. Pelaksanaan pengelolaan d. Pengawasan pengelolaan
Terlibat seluruh proses Terlibat 3 proses Terlibat 2 proses Terlibat 1 proses Tidak terlibat Mendapat semua manfaat Mendapat 3 manfaat Mendapat 2 manfaat Mendapat 1 manfaat Tidak Mendapat manfaat Sangat menjadi prioritas Prioritas Cukup Kurang Tidak menjadi prioritas 81 %-100% bergantung 61 %-80% bergantung 41 %-60% bergantung 21 %-40% bergantung ≤ 20 % bergantung
Indikator
Penilaian Kuantitatif Tingkat Kepentingan
1
No
dsfsdfsdfsdf
Lampiran 2 Stakeholder PERNITAS
19
5
5
5
4
Balai Taman Nasional
15
2
5
4
4
Perusahaan
13
5
4
2
2
AKKII
1 9
2
2
4
1 9
2
2
4
TERANGI
37
Partisipasi
Kewenangan
Kapasitas sumberdaya
2
3
4
Kapasitas sumberdaya yang disediakan
4
1
Kewenangan dalam pengelolaan
3
Total Keterangan Kebijakan
Peran dan partisipasi
Variabel Aturan/Kebijakan pengelolaan
Pengesahan peraturan Pembuatan peraturan Usul peraturan Sosialisai Kebijakan Kewenangan Sumberdaya Keterlibatan Mengadakan pelatihan Mengontrol sumberdaya Mengatur koordinasi Memberikan fasilitas Alam Manusia Dana
Indikator Terlibat seluruh proses Terlibat 3 proses Terlibat 2 proses Terlibat 1 proses Tidak terlibat Berkonstribusi pada semua point Berkonstribusi dalam 3 point Berkonstribusi dalam 2 point Berkonstribusi dalam 1 point Tidak berkonstribusi Kewenangan dalam semua proses Kewenangan dalam 3 proses Kewenangan dalam 2 proses Kewenangan dalam 1 proses Tidak memiliki kewenangan Semua sumberdaya 3 sumberdaya 2 sumberdaya 1 sumberdaya Tidak menyediakan apapun
Penilaian Kuantitatif Tingkat Pengaruh
2
No 1
Lampiran 3 Skor 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1
PERNITAS
11
3
3
3
2
Balai Taman Nasional
19
4
5
5
5
Perusahaan
9
2
2
2
3
AKKII
13
2
3
4
4
2
3
4
4
13
TERANGI
38
39 Lampiran 4 Jenis-jenis karang pada masing-masing substasiun Jenis Karang Pocilloporidae Seriatopora sp. Pocillopora sp. Acroporidae Acropora sp. Montipora sp. Agariciidae Pavona sp. Pachyseris sp. Fungiidae Fungia sp. Ctenactis sp. Poritiidae Porites sp. Goniopora sp. Faviidae Favia sp. Montastrea sp. Echinopora sp. Caulastrea sp. Favites sp. Platygyra sp. Goniastrea sp. Oculinidae Galaxea sp. Mussidae Lobophyllia Dendrophyllidae Turbinaria sp. Caryophyllidae Euphyllia sp. Merulinidae Hydnophora sp. Milleporidae Millepora sp. Helioporidae Heliopora sp.
Pramuka 1
2
1
+
+
+
Panggang 2
3
+ + +
+ +
+
+ +
+
+
+ +
+ +
+ +
+
+ +
+ +
+
+
+ +
+ + + +
+ +
+
+ +
+ + + +
+
+
+ +
+ +
+
+
+
+ + + +
+
+
+
+
+ + +
40 Lampiran 5 Persen tutupan karang berdasarkan pola pertumbuhan
Acropora Bercabang Merayap Submasif Berjari Meja Non-acropora Bercabang Kerak Lembaran Padat Submasif Jamur Karang api Karang biru Karang lunak Karang mati dengan alga Pasir Patahan karang Fauna lainnya
Subtasiun 1
Tutupan karang (%) Substasiun Substasiun Substasiun 2 3 4
Substasiun 5
6 0 1 0 0
9 0 0 2 1
20 0 0 0 1
13 0 0 0 0
1 0 0 0 2
5 0 3 0 0 4 2 0 1 41 0 36 0
9 0 4 1 0 4 2 0 3 30 1 35 0
1 1 0 2 1 0 3 0 3 66 0 3 0
2 0 7 2 0 0 7 0 4 62 0 2 1
3 0 8 12 0 5 2 0 4 27 9 28 1
Lampiran 6 Kelimpahan ikan karang berdasarkan peranannya menurut Dartnall & Jones (1986)
Ikan Mayor
Ikan Indika tor
Ikan Target
Famili Labridae Mullidae Nemipteridae Lutjanidae Serranidae Siganidae
Stasiun 1 1800 80 -
Kelimpahan (Ind/Ha) Stasiun Stasiun Stasiun 2 3 4 2520 4240 1800 200 120 360 440 240 160 40 280 240 120 240
Stasiun 5 2680 200 280 480 240 -
Persentase 20,12% 0,81% 1,79% 1,36% 1,23% 0,56%
Chaetodontidae
80
240
640
480
520
3,02%
Apogonidae Centriscidae Monacanthidae Blenniidae Caesionidae Pomacentridae Scaridae Holocentridae
360 6400 -
560 600 80 1600 7640 -
480 320 1720 4960 160
320 9560 240
560 240 320 1800 7240 600
3,52% 0,37% 1,91% 0,13% 7,90% 55,25% 1,54%
-
-
-
-
40
0,06%
-
-
120
160
-
0,43%
Gobiidae
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Januari 1991 sebagai anak tunggal dari pasangan Yuli Suharnoto dan Yulianti Retno Tjondro. Pendidikan formal ditempuh penulis di SD Polisi IV Bogor (2001), A&M Consolidated Middle School, Texas (2005), A&M Consolidated High School selama 1 tahun (2006) dan dilanjutkan di SMAN 1 Bogor (2008). Pada tahun 2008 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Metode Observasi Bawah Air pada tahun ajaran 2009/2010, asisten Planktonologi pada tahun ajaran 2010/2011 dan asisten Ekologi Perairan pada tahun ajaran 2011/2012. Penulis pernah aktif sebagai staf Departemen Pengembangan Bakat, Olahraga dan Seni BEM FPIK IPB pada tahun ajaran 2009/2010 dan menjabat sebagai Ketua pada Acara Pekan Olahraga FPIK PORIKAN pada tahun 2010. Kemudian Penulis menjabat sebagai Kepala Departemen Sosial dan Lingkungan HIMASPER (Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumber Daya Perairan) pada tahun ajaran 2010/2011 dan memimpin acara Biodiversity 2011 serta menjadi Kepala Divisi Acara pada Festival Air 2011. Penulis memiliki sim menyelam A-2 dan aktif menjadi mentor bagi penyelam pemula di Naarboven Diving Club FPIK. Penulis juga aktif menjadi editor Jurnal Moluska Indonesia hingga sekarang. Pada bulan September 2011, penulis memiliki kesempatan untuk mengunjungi Okinawa, Jepang sebagai delegasi IPB dalam acara Asia Pacific Youth Science Exchange Forum yang diselenggarakan oleh Okinawa Institute of Science and Technology (OIST) dan University of Ryukyus selama 1 minggu. Penulis juga pernah menjadi asisten tenaga ahli terumbu karang pada proyek EBA (Environ-mental Based Assessment) pada tahun 2012 di Perairan Indonesia Timur selama 30 hari dan pada proyek PKSPL di Kepulauan Seribu pada tahun yang sama. Penulis pernah memenangkan beberapa penghargaan selama di IPB, yaitu Juara 2 Lomba Renang PORIKAN 2009, 2011, 2012, 2013, Juara 2 Lomba Renang OMI (Olimpiade Mahasiswa IPB) 2011 dan 2013. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pengelolaan Transplantasi Karang Hias Di Sekitar Ekosistem Terumbu Karang Kelurahan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta”.