i
PENDUGAAN KUALITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN SERIBU DENGAN MENGGUNAKAN PROPORSI FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI BIOINDIKATOR
LUMBAN NAULI LUMBAN TORUAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pendugaan Kualitas Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Dengan Menggunakan Proporsi Foraminifera Bentik Sebagai Bioindikator” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 12 Desember 2011
Lumban Nauli Lumban Toruan NIM C551090051
iv
v
ABSTRACT LUMBAN NAULI LUMBAN TORUAN. The Approximation of Coral Reef Ecosystem Quality in The Seribu Islands Using Benthic Foraminifera Proportion as Bioindicator. Under direction of DEDI SOEDHARMA and KRESNA TRI DEWI. Coral reef ecosystem is one of mega biodiversity environments with the highest ecological pressure especially caused by human activities. Local impact like nutrification will decrease water quality and the ecosystem. Benthic foraminifera as bioindicator can be used as early monitoring tool to observe the changes in reef ecosystems. Therefore the aims of this study were to investigate the distribution of benthic foraminifera in reef ecosystem and determine the relationship between coral ecosystems with FORAM Index as tool for benthic foraminifera to asses waters quality. Eleven stations from Karang Bongkok, Pramuka, and Onrust on Seribu Island were used for this study. Nutrient and physical parameters were measured in situ and in the laboratory. The foraminifera was separated from sediment and indentified by binocular microscope. The foraminifera then classified by functional group and calculated by FORAM Index formula (FI). The range of FI was from 3,4-8,2, which indicated marginal to suitable environment for reef development. The modification of FI (FIm) showed that the range from 1,2-5,2 where there were unsuitable environment for reef growth in Onrust Island. The results showed that Calcarina and Amphistegina are indicators of reef health ecosystem. Nevertheless, FORAM Index can be applied in Indonesia waters with some modification with considering the preference of the habitat. Keywords: coral reef ecosystem, benthic foraminifera, bioindicator, FORAM Index
vi
vii
RINGKASAN LUMBAN NAULI LUMBAN TORUAN. Pendugaan Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu Dengan Menggunakan Proporsi Foraminifera Bentik sebagai Bioindikator. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan KRESNA TRI DEWI. Foraminifera bentik merupakan salah satu kelompok organisme yang memiliki asosiasi yang erat dengan terumbu karang, sehingga dapat digunakan sebagai bioindikator untuk menduga kualitas ekosistem terumbu karang. Beberapa penelitian mengenai foraminifera bentik di ekosistem terumbu karang telah dilakukan di Kepulauan Seribu, namun kajian yang secara langsung menghubungkan keberadaan foraminifera bentik dengan eksistensi terumbu karang belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1) mengetahui komposisi dan sebaran foraminifera bentik di ekosistem terumbu karang, 2) menentukan kelompok taksonomi foraminifera sebagai indikator ekosistem terumbu karang, 3) mengkaji hubungan antara FORAM Index (FI) terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di sebagian Kepulauan Seribu, 4) membuktikan bahwa aplikasi FORAM Index di wilayah tropis khususnya Kepulauan Seribu dapat digunakan sebagai indikator ekologi dalam menilai kualitas lingkungan ekosistem terumbu karang. Pulau Karang Bongkok, Pulau Pramuka, dan Pulau Onrust di Kepulauan Seribu dipilih sebagai kajian untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Pengukuran suhu air, kecerahan, salinitas, oksigen terlarut, pH, dan kecepatan arus dilakukan secara in-situ. Pengukuran klorofil-a, klorofil-b, klorofil-c, fosfat, nitrat, amonia, dan silikat, serta parameter sedimen yaitu N total, C-organik, dan ukuran butiran dilaksanakan di laboratorium. Contoh air diambil di kolom dekat dasar perairan kecuali pengukuran kecepatan arus dilakukan di kolom permukaan perairan. Persentase penutupan karang dilakukan dengan menggunakan metode Transek Garis Menyinggung yang dilakukan secara acak pada kedalaman tujuh meter di bawah permukaan laut. Sampel foraminifera diperoleh dengan mengambil sedimen pada dasar perairan dengan kedalaman dari permukaan sedimen sampai 2 cm di bawah permukaan sedimen. Pengambilan sedimen menggunakan sekop dan dimasukkan dalam plastik contoh yang telah diberi label. Peralatan SCUBA digunakan saat melakukan pengukuran persen penutupan substrat dan untuk membantu menyelam saat mengambil contoh air dan sedimen. Sampel foraminifera dicuci dengan air yang mengalir dalam saringan 0,063 mm, setelah itu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 500C selama dua jam. Kemudian foraminifera pada masing-masing sampel dipisahkan dari sedimen pada cawan di bawah mikroskop binokuler. Selanjutnya diambil sebanyak 300 spesimen pada setiap sampel dan diletakkan pada foraminiferal slide untuk proses identifikasi menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 40 kali. Hasil identifikasi foraminifera kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelompok fungsional dan dimasukkan ke dalam formula FORAM Index. ANOVA klasifikasi 1 arah dan uji t digunakan untuk melihat perbedaan nilai respon antar stasiun. Pengaruh variabel lingkungan dikaji melalui Analisis Komponen Utama. Indeks keragaman Shannon-Wiener digunakan untuk mengkaji pola distribusi foraminifera. Indeks Bray-Curtis digunakan untuk
viii
mengetahui nilai kesamaan antar stasiun pengamatan berdasarkan variabel penutupan karang keras dan kelimpahan foraminifera bentik. Kisaran nilai suhu, salinitas, pH, dan DO pada kolom perairan di Pulau Karang Bongkok, Pulau Pramuka, dan Pulau Onrust masih dalam kisaran Baku Mutu Air Laut berdasarkan Kep.Men.LH No.51 Tahun 2004. Nilai turbiditas, kecerahan, nutrien, klorofil, dan C organik serta N total menunjukkan perairan di Pulau Onrust telah tercemar. Hal ini terjadi karena proses sedimentasi dan beban polusi yang tinggi akibat dekatnya area ini dengan Teluk Jakarta yang telah tercemar. Analisis Komponen Utama menunjukkan bahwa Pulau Onrust sangat dipengaruhi konsentrasi klorofil dan hara yang tinggi, substrat berlumpur dan berlempung, serta nilai turbiditas yang tinggi dan tingkat kecerahan yang rendah. Persentase penutupan karang tertinggi terdapat pada Pulau Karang Bongkok (16,07-24,68%) diikuti Pulau Pramuka (2,97-14,07%) kemudian Pulau Onrust (0%). Degradasi persentase penutupan karang berkorelasi positif dengan letak pulau kajian terhadap pencemaran akibat tekanan ekologis yang kuat dari Teluk Jakarta, proses sedimentasi, dan tingkat aktivitas manusia. Foraminifera bentik besar memiliki asosiasi yang kuat terhadap ekosistem terumbu karang. Pada ekosistem terumbu karang yang memiliki persentase penutupan karang yang lebih tinggi akan memiliki jumlah taksa foraminifera yang lebih tinggi dibandingkan ekosistem yang telah mengalami tekanan ekologis. Selain itu ekosistem terumbu karang yang baik pada wilayah oligotrofik akan didominasi oleh kelompok foraminifera yang bersimbiosis dengan mikro alga. Hasil penelitian menunjukkan penurunan jumlah taksa foraminifera dari Pulau Karang Bongkok ke Pulau Pramuka lalu ke Pulau Onrust yang berhadapan dengan Teluk Jakarta. Pulau Onrust yang tidak memiliki terumbu karang didominasi oleh foraminifera jenis oportunis sebagai indikator tingginya konsentrasi nutrien. Keragaman foraminifera pada Pulau Karang Bongkok (3,89-4,17) lebih tinggi dibandingkan pada Pulau Pramuka (3,64-4,12), sedangkan keragaman terendah terletak pada Pulau Onrust (3,01-3,82). Wilayah yang berdekatan dengan aktivitas daratan dan mengalami tekanan akibat kadar nutrien yang tinggi cenderung menyebabkan nilai keragaman foraminifera menjadi lebih rendah. Tingginya jumlah individu genus Calcarina dan Amphistegina pada wilayah dengan persentase penutupan karang keras yang tinggi merupakan indikator kualitas ekosistem terumbu karang yang masih baik. Pada perairan yang tercemar, foraminifera bentik kelompok oportunis akan melimpah sebagai respon terhadap meningkatnya konsentrasi nutrien, sedangkan kelompok simbion alga akan menurun jumlahnya. Modifikasi FI dengan memasukkan jenis C. spengleri dan N. calcar ke dalam kelompok oportunis dapat menggambarkan kondisi ekosistem terumbu karang dengan lebih baik. Berdasarkan hasil modifikasi FI, maka nilai FI terendah terletak di Pulau Onrust (1,22-1,81) yang tidak memiliki tutupan karang keras hidup dan tidak cocok untuk pemulihan terumbu karang. Pada Pulau Pramuka yang masih memiliki aktivitas manusia dan masih dipengaruhi pencemaran dari Teluk Jakarta nilai FI berkisar antara 2,97-4,56 yang mengindikasikan perairan yang terbatas sampai perairan yang layak bagi petumbuhan terumbu karang. Pada Pulau Karang Bongkok yang cenderung tidak tercemar dengan aktivitas manusia yang minim, nilai FI berkisar antara 4,31-5,15 yang mengindikasikan lingkungan yang layak bagi pertumbuhan dan pemulihan terumbu karang.
ix
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
x
xi
PENDUGAAN KUALITAS EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN SERIBU DENGAN MENGGUNAKAN PROPORSI FORAMINIFERA BENTIK SEBAGAI BIOINDIKATOR
LUMBAN NAULI LUMBAN TORUAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
xii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc
xiii
Judul Tesis
Nama NIM
: Pendugaan Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu Dengan Menggunakan Proporsi Foraminifera Bentik Sebagai Bioindikator : Lumban Nauli Lumban Toruan : C551090051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA Ketua
Dra. Kresna Tri Dewi, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 14 Nopember 2011
Tanggal Lulus:13 Desember 2011
xiv
PRAKATA Terimakasih kepada Tuhan karena Firman-Nya di Mazmur 104:25 “Lihatlah laut itu, besar dan luas wilayahnya, di situ bergerak, tidak terbilang banyaknya, binatang-binatang yang kecil dan besar”- memberikan inspirasi kepada penulis untuk berusaha mengeksplorasi sebagian kecil dari binatang renik yang ada di dalam lautan. Atas rahmat-Nya juga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang telah diajukan sejak Desember 2010 ini berkaitan dengan bioindikator di lingkungan ekosistem terumbu karang, yang pertama kali dipresentasikan dalam Sidang Komisi I tanggal 2 Februari 2011 dan proposalnya disahkan pada tanggal 24 Februari 2011. Pelaksanaan penelitian baik di lapangan maupun di laboratorium dilaksanakan sejak Bulan Maret-September 2011, sedangkan proses penulisan dan perbaikannya dilakukan di sela-sela penelitian sampai setelah ujian tesis. Setelah melalui beberapa konsultasi dan perbaikan penulisan, maka hasil penelitian ini dipresentasikan kembali pada saat Sidang Komisi II dan seminar hasil pada tanggal 17 Oktober 2011 serta pada saat ujian tesis. Semoga karya ilmiah yang tidak sempurna ini dapat dikritik, diuji kembali baik teori maupun aplikasinya di lapangan, dan bermanfaat.
Bogor, 12 Desember 2011
Lumban Nauli Lumban Toruan
xv
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis sangat berterimakasih kepada: 1. Bapa, mama, kakak, dan adik-adikku (Lasmaulitua, Bernauli, Daud Yusup, dan Ishak Khatulistiwa: Lumban Toruan) atas segala restu, doa, semangat, dan dukungannya selama penulis melaksanakan studi di IPB. 2. Ketua komisi pembimbing: Prof.Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah mendukung dan membimbing penulis dengan kehangatan seorang bapak sekaligus pendidik, sehingga penulis mendapatkan banyak ilmu dan dapat menyampaikannya dalam suatu tulisan. 3. Anggota komisi pembimbing: Dra. Kresna Tri Dewi, M.Sc untuk nasehat, teguran, diskusi hangat, dan argumentasinya sehingga tesis ini menjadi lebih berisi melampaui perkiraan penulis pada saat pertama kali topik ini diajukan. 4. Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc sebagai penguji tamu pada ujian akhir tesis, sekaligus sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kelautan yang telah memberikan masukan berharga terutama pada kesimpulan dan saran serta semangat, baik pada saat melakukan penelitian maupun pada saat ujian tesis. 5. Dr. Etty Riani, MS sebagai moderator dan penilai saat seminar hasil penelitian yang telah memberi saran terhadap penulisan terutama pada tata cara penulisan judul dalam Bahasa Inggris dan penambahan metode pada Abstract. 6. Citra Satrya Utama Dewi, S.Pi yang memfasilitasi peminjaman peralatan SCUBA dan pemakaian laboratorium serta mikroskop, Woenxyz James Suryadi, S.Ik (Jimmy) dan Dionisius Nobow Edmun yang membantu selama penelitian di lapangan, Pak Jayadi yang menyediakan perahu dan tempat tinggal di Pulau Panggang selama lima hari penelitian, Pak Sumijo Hadi Riyono (Ari) yang membantu analisis nutrien di P3O-LIPI dan atas dua literatur yang diberikannya, Yulianto Sutedja, M.Si dan Anna Ida Sunaryo, M.Si atas tumpangan mobil dari P3O-LIPI Ancol ke Bogor dan bantuannya mempersiapkan buah tangan untuk sidang, Obed Agtapura Taruk Allo, M.Si yang membuat peta, Wahyu A’idin Hidayat, M.Si yang memberikan gambaran format penulisan untuk proposal dan seminar, Maria Ulfah yang
xvi
membantu persiapan seminar dengan konsumsinya, Pak Aen yang mau disibukkan membuka pintu Lab. Petrologi dan Mikropaleontologi P3GLBandung dan mau menunggu sampai lewat jam kantor, Prof. Pamela Hallock Muller, Ph.D atas literatur dan komunikasi pribadinya yang mencerahkan, dan Reza, Yayan, Hidayah Hamzah, serta Yuliana Fitri atas bantuan literaturnya. 7. Teman-teman IKL 2009: Achmad Zamroni, Kaharuddin, Khoirol Imam Fatoni Mardiansyah, Muliari, Anna Ida Sunaryo, Dian Respati Widianari, Emmy Syafitri, Maria Ulfah, dan Yuliana Fitri Syamsuni terutama atas kehadirannya saat seminar hasil penelitian hari Senin tanggal 17 Oktober 2011 pukul 11-12 WIB, Reza Cordova, Wahyu A’idin Hidayat yang memonitor dari jarak jauh, Citra Satrya Utama Dewi dan Heidi Retnoningtyas ditengah kesibukannya mengurus bayi, dan Yulianto Sutedja. Terimakasih atas dukungan, semangat, bantuan, canda, SMS, telepon, kerjasama, konflik, dan kebersamaannya. 8. Dikti yang memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Undana serta Yayasan Toyota dan Astra atas bantuan penelitiannya, dan Program Mitra Bahari-COREMAP II yang memberikan bantuan penulisan tesis. 9. Rekan-rekan Persekutuan Oikumene IPB untuk segala doa dan dukungannya, terutama kepada Yuliana Radja Riwu, Emy Kiha, dan Bu Tirsa yang memberi semangat saat seminar. Teman-teman Tim Pendamping Mahasiswa Katolik IPB untuk doa dan semangatnya, terutama kepada Silvana Fofid (THP’46) sebagai koordinator yang mendukung dari sebelum sampai sesudah seminar. 10. Keluarga Bria di Kupang, NTT: Ibu Maria Ani Safitri, Maria Dolorosa (Oca), Maria Archancella (Ella), Maria Theresia Avila (Thessa), Johanes Donbosco (Don), dan Maria Demetria (Thya) yang memberi semangat serta doanya sehingga penulis bisa menyelesaikan studi di IPB. 11. Martha Dara Ayuningtyas (Jeng Kenes Skolastika) dan keluarga di PuspaCibinong atas doa, penghiburan, pengertian, pendampingan, dan motivasinya sehingga beban penelitian dan penulisan tesis ini menjadi lebih ringan. If we knew what we were doing, it wouldn't be called research (Einstein, disampaikan oleh Pamela Hallock Muller saat konsultasi)
xvii
RIWAYAT HIDUP Penulis yang dilahirkan di Bandung, 10 Februari 1978, merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari ayah Drs. L.G.L Toruan dan ibu Dra. Lamria br. Hutauruk. Penulis menyelesaikan pendidikan dari TK Kristen BPPK tahun 1984, SD Kristen BPPK sampai tahun 1988 dan dilanjutkan di SD Katolik Pandu sampai tahun 1990, SMPN 5 tahun 1993, dan SMAN 2 tahun 1996. Seluruh proses pendidikan tersebut dilaksanakan di Bandung. Pada tahun 1997 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Tahun 2009 penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana pada mayor Ilmu Kelautan di IPB-Jawa Barat yang didanai oleh Dikti melalui BPPS. Selama kuliah sejak S1 dan S2, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Oseanografi Kimia, Planktonologi, Agama Katolik, dan Ekologi Perairan baik untuk mahasiswa program S1 maupun program D3 IPB. Setelah lulus S1, penulis bekerja di PT. Vena Internet sebagai manajer pemasaran pada tahun 2003-2004. Pada Bulan Maret tahun 2004 mengikuti Marine Science Training Course yang diadakan oleh DAAD Jerman dan FPIKIPB selama tiga bulan dan mendapatkan dana untuk melakukan penelitian dengan judul “Effect of thermal pollution on water quality and zooplankton community in Muara Karang Power Plant, Jakarta Bay” selama satu tahun. Pada saat yang bersamaan, penulis bekerja selama satu tahun di FPIK-IPB sampai tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis bekerja sebagai dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu dan Teknologi Kelautan Nusantara Kupang, NTT. Tahun 2006 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen di Program Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian-Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Karya ilmiah penulis berjudul “Struktur komunitas zooplankton di perairan pesisir Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur” telah dipublikasikan pada Jurnal Akuatika Vol.IV No.2 Tahun 2006. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan dana Penelitian Dosen Muda (PDM) untuk melakukan penelitian berjudul “Keragaman zooplankton laut sebagai indikator ekologi untuk menduga pencemaran perairan di Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur”. Penulis dapat dihubungi pada alamat surat elektronik (email):
[email protected] dan
[email protected] serta facebook Lumban Nauli Lumban Toruan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvii 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1.2 Permasalahan ...................................................................................... 1.3 Hipotesis ............................................................................................. 1.4 Tujuan ................................................................................................ 1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 1.6 Kerangka Pemikiran ...........................................................................
1 1 4 5 5 6 7
2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 8 2.1 Foraminifera ...................................................................................... 8 2.2 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Keberadaan Foraminifera ... 9 2.2.1 Suhu .......................................................................................... 9 2.2.2 Kekeruhan dan Kecerahan ......................................................... 10 2.2.3 Kedalaman ................................................................................ 10 2.2.4 Arus ........................................................................................... 11 2.2.5 Substrat ...................................................................................... 11 2.2.6 Salinitas ..................................................................................... 12 2.2.7 Oksigen Terlarut ........................................................................ 12 2.2.8 pH ............................................................................................. 13 2.2.9 Nutrien ...................................................................................... 14 2.3 Makanan dan Predator......................................................................... 14 2.4 Simbiosis Foraminifera Dengan Alga Simbion ................................... 15 2.5 Asosiasi Foraminifera Dengan Terumbu Karang ................................ 17 2.6 Aplikasi Foraminifera Sebagai Indikator Lingkungan ........................ 18 2.7 Konsep Bioindikator Pada Ekosistem Terumbu Karang ..................... 19 2.8 Indeks FORAM .................................................................................. 20 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 22 3.1 Tempat dan Waktu ............................................................................. 22 3.2 Pengambilan Sampel .......................................................................... 23 3.2.1 Pengambilan Contoh Air dan Sedimen Untuk Sampel Foraminifera .............................................................................. 23 3.2.2 Pengukuran dan Analisa Persentase Substrat Perairan ............... 23 3.2.3 Pengambilan dan Pengukuran Parameter Perairan ..................... 23 3.2.4 Penjentikan Foraminifera Bentik................................................ 24 3.4 Analisa Statistik dan Ekologi ............................................................. 25
xiv
4 HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 27 4.1 Parameter Fisika Kimia Perairan ......................................................... 27 4.2 Kondisi Terumbu Karang .................................................................... 32 4.3 Sebaran dan Kelimpahan Foraminifera Bentik .................................... 38 4.3.1 Kelompok Simbion Alga............................................................ 41 4.3.2 Kelompok Oportunis .................................................................. 47 4.3.3 Kelompok Heterotrofik .............................................................. 49 4.4 Analisa Kesamaan Bray Curtis Pada Foraminifera .............................. 53 4.5 Keragaman Foraminifera Bentik ......................................................... 54 4.6 Aplikasi FORAM Index Pada Ekosistem Terumbu Karang ................. 57 5 SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 67 5.1 SIMPULAN ........................................................................................ 67 5.2 SARAN............................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 68 LAMPIRAN ................................................................................................ 78
xv
DAFTAR TABEL Halaman 1 Penggolongan tingkat trofik berdasarkan keping secchi (meter) ................ 10 2 Taksa foraminifera dengan tipe simbion (Utchike dan Nobes, 2008) ....... 16 3 Parameter perairan yang diukur .............................................................. 24 4 Skala ukuran butiran sedimen (Stoddart, 1978) ......................................... 24
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran ............................................................................... 7
2
Lokasi penelitian ....................................................................................22
3a Parameter lingkungan perairan ................................................................28 3b Parameter lingkungan perairan................................................................29 3c Parameter lingkungan perairan ................................................................30 4
Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter fisika-kimia perairan .....31
5
Nilai AKU dari sebaran parameter fisika-kimia terhadap lokasi penelitian ................................................................................................31
6
Perbandingan persen penutupan dan jumlah genus karang keras .............33
7
Komposisi penutupan substrat.................................................................34
8
Pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan karang keras .................35
9. Jumlah taksa foraminifera bentik ............................................................39 10 Komposisi relatif kelompok fungsional foraminifera bentik....................40 11 Komposisi relatif foraminifera bentik predominan ..................................40 12 Jumlah individu taksa foraminifera bentik predominan ...........................42 13 Pengelompokan stasiun berdasarkan kelimpahan relatif 13 taksa predominan foraminifera bentik..............................................................53 14 Indeks keragaman (H’) foraminifera bentik.............................................55 15 Sebaran persentase terumbu karang (%TK), jumlah taksa terumbu karang (Taksa TK), FI, dan keragaman foraminifera bentik (H’) ...........58 16 Sebaran spesies pada Famili Calcarinidae pada setiap stasiun .................60 17 Sebaran FI modifikasi (FIm), FI, keragaman foraminifera bentik (H’), dan persentase terumbu karang (%TK) ...................................................62 18 Hubungan antara a) persentase penutupan terumbu karang (%TK) dan FI, dan b) FI dan keragaman foraminifera bentik (H’).............................64 19 Hubungan antara a) persentase penutupan terumbu karang (%TK) dan FI modifikasi (FIm), dan b) FIm dan keragaman foraminifera bentik (H’).........................................................................................................64
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Lokasi penelitian..................................................................................... 79 2 Perhitungan yang digunakan dalam penelitian ........................................ 79 3 Parameter lingkungan perairan................................................................ 83 4 Persentase penutupan terumbu karang dan biota serta substrat ................ 84 5 Daftar spesies karang yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tahun 1920, namun tidak ditemukan pada tahun 2005 baik di Teluk Jakarta maupun di Kepulauan Seribu .................................................................. 85 6 Nilai FORAM Index dan keragaman foraminifera bentik........................ 86 7 Hasil Anova klasifikasi satu arah ............................................................ 90 8 Hasil analisis disimilaritas euclidean untuk parameter fisika-kimia......... 97 9 Hasil Analisis Komponen Utama (AKU) ................................................ 98 10 Hasil analisis similaritas bray curtis untuk penutupan karang.................. 100 11 Hasil analisis similaritas bray curtis untuk foraminifera .......................... 101 12 Klasifikasi foraminifera bentik................................................................ 102 13 Gambar foraminifera bentik (skala 100µm) .............................................. 106 14 Dokumentasi penelitian ............................................................................ 108
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir dengan biodiversitas yang tinggi. Keunikan ekosistem serta keragaman organismenya menjadikan ekosistem terumbu karang memiliki nilai ekonomi, ekologi, bahkan sosial yang tinggi. Beragam kegiatan dari pariwisata, olahraga selam, aktivitas perikanan, perhubungan, industri, sampai pendidikan dan penelitian sering dilakukan pada ekosistem terumbu karang. Secara ekologis, keberadaan ekosistem ini merupakan salah satu tempat pemijahan, pembesaran, serta penyedia pakan bagi organisme laut. Ekosistem ini juga dapat menjaga stabilitas pantai dari terpaan gelombang. Meski ekosistem terumbu karang memiliki beragam fungsi, namun rentan terhadap degradasi lingkungan akibat dampak antropogenik. Dampak ini terjadi akibat eksploitasi manusia terhadap sumberdaya tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungannya. Sukmara et al. (2001) mengemukakan bahwa jenis ancaman terhadap terumbu karang akibat aktivitas manusia melebihi ancaman karena pengaruh alami. Ekosistem terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu memiliki sumberdaya alam yang sangat menarik bagi beragam aktivitas perairan. Kepulauan Seribu umumnya memiliki tiga ekosistem pesisir tropis yang lengkap sebagai ciri khas ekosistem pesisir tropis, sehingga keragaman organisme pada ekosistem terumbu karang menjadi tinggi dan akhirnya memiliki potensi yang tinggi pula baik secara ekonomi, ekologi, maupun sebagai kajian penelitian. Sebagai kawasan yang sebagian besar wilayahnya ditetapkan sebagai taman nasional, ternyata ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu menunjukkan kondisi yang semakin buruk akibat eksploitasi dan dampak pencemaran dari wilayah sekitar Jakarta dan Banten. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Fadila dan Idris (2009) pada Kepulauan Seribu menunjukkan adanya penurunan rerata penutupan karang keras dari 33,1% pada tahun 2003 menjadi 31,7% pada tahun 2007. Selain itu terjadi penurunan kelimpahan rerata karang keras dari 46.015 koloni/ha pada tahun 2005 menjadi 35.878 koloni/ha pada tahun 2007 (Estradivari et al., 2009). Degradasi yang paling tinggi terjadi di area pulau-pulau bagian
2
selatan yang berdekatan dengan Teluk Jakarta. Degradasi lingkungan pada wilayah ini akan berpengaruh terhadap eksistensi berbagai ekosistem lain beserta organisme yang berasosiasi. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan manusia itu sendiri seperti abrasi yang terjadi di beberapa wilayah utara Jakarta dan Banten, intrusi air laut, serta berkurangnya ikan sebagai salah satu bahan pangan. Untuk menjembatani kepentingan ekologi dan ekonomi tersebut, maka telah banyak dibuat peraturan yang salah satu diantaranya berkaitan dengan hasil pemantauan lingkungan yang berkesinambungan. Pemantauan lingkungan perairan merupakan salah satu upaya untuk mendeteksi secara dini terjadinya kerusakan ekosistem perairan seperti terumbu karang, yang merupakan hal penting dalam strategi pengelolaan lingkungan pesisir (Setiapermana et al., 1994). Dari sisi ekologi, degradasi ekosistem dapat diduga dengan melihat tekanan pada komunitas biologi yang terkandung di dalamnya (Cervetto et al., 2002). Fluktuasi kelimpahan organisme tertentu yang tajam, invasi spesies asing, dan keragaman jenis yang rendah dapat menunjukkan kualitas perairan yang memburuk. Kesimpulan yang sah bisa diperoleh dengan mengkorelasikan faktor biologis dan beberapa faktor fisika-kimia kunci sebagai pendukung. Beberapa organisme perairan dapat dijadikan sebagai indikator kualitas ekosistem terumbu karang, sehingga dapat disebut sebagai bioindikator. Beberapa bioindikator yang digunakan di ekosistem terumbu karang pada wilayah Indonesia adalah komposisi dan kelimpahan ikan karang serta luasan tutupan karang. Organisme renik seperti foraminifera bentik selama ini telah dijadikan sebagai bagian dari pemantauan ekosistem terumbu karang di mancanegara. Hallock et al. (1995) dan Cockey et al. (1996) in Scott et al. (2004) telah memantau adanya hubungan antara kumpulan foraminifera bentik dengan kondisi terumbu karang di Amerika. Pada tahun 1998, EPA telah merekomendasikan penggunaan foraminifera sebagai bioindikator perairan yang mengalami nutrifikasi (Jameson et al., 1998), namun pada saat itu belum terdapat indeks yang khusus berkaitan dengan foraminifera. Penelitian lanjutan menghasilkan indeks foraminifera di ekosistem terumbu karang pada wilayah Florida dan Karibia (Hallock et al., 2003). Negara Australia telah menggunakan foraminifera sebagai
3
salah satu bagian dari pemantauan kondisi terumbu karang (Reef Plan Marine Monitoring Programme) sejak tahun 2008 (Schaffelke et al., 2008). Penggunaan foraminifera seperti tersebut di atas belum dilakukan di Indonesia, namun sudah diterapkan oleh Dewi et al. (2010), Natsir (2010, 2011), dan (Natsir dan Subkhan, 2011) untuk mendapatkan nilai indeks foraminifera. Hal ini disebabkan karena para ahli foraminifera lebih fokus bergelut pada penelitian yang berkaitan dengan taksonomi, (paleo)ekologi, (paleo)klimatologi, dan lain-lain sesuai dengan tugas dan fungsinya di instansi masing-masing. Foraminifera merupakan salah satu kelompok organisme yang bersimbiosis dan memiliki asosiasi yang sangat erat dengan terumbu karang. Nybakken dan Bertness (2006) menyatakan keberadaan foraminifera bentik dapat meningkatkan proses kalsifikasi terumbu karang antara 20 sampai 40 kali dibandingkan dengan yang tidak berasosiasi dengan foraminifera bentik tersebut. Oleh karena asosiasinya yang kuat, maka foraminifera bentik dapat dijadikan sebagai indikator kualitas ekosistem terumbu karang. Berkaitan dengan siklus hidupnya yang singkat serta pola adaptasinya, fauna renik seperti foraminifera bentik dapat segera merespon perubahan lingkungan (Day et al., 1989), oleh karena itu organisme ini sangat meyakinkan dalam penggunaannya untuk menilai kondisi lingkungan perairan. Perubahan yang mencolok dari eksistensi foraminifera dapat digunakan sebagai indikator ekologi untuk menduga kualitas ekosistem terumbu karang. Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring Index (FORAM Index/FI) merupakan aplikasi penggunaan kumpulan foraminifera bentik yang dapat digunakan sebagai bioindikator kondisi ekosistem terumbu karang (Hallock et al., 2003). Prinsip dari FI yaitu mengkuantifikasi proporsi antara kelompok foraminifera bentik yang mengandung alga simbion dengan kelompok foraminifera lainnya. Hasil kuantifikasi ini dapat merefleksikan kondisi lingkungan ekosistem terumbu karang yang kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang (Narayan dan Pandolfi, 2010). Refleksi kondisi lingkungan berdasarkan nilai FORAM Index ini merupakan respon dari keberadaan nutrien di perairan tersebut (Nobes dan Uthicke, 2008). Kandungan kelompok foraminifera bentik yang mengandung alga simbion akan melimpah pada ekosistem terumbu karang
4
yang sehat. Penggunaan foraminifera bentik sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang direkomendasikan dengan prioritas yang tinggi dalam kerangka program monitoring jangka panjang dan monitoring jangka pendek seperti analisa dampak lingkungan (Cooper et al., 2009).
1.2 Permasalahan Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terancam akibat pemanfaatan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Dalam rangka pengelolaan yang bertanggung jawab, pemantauan yang berkesinambungan merupakan langkah awal untuk mendeteksi perubahan ekosistem tersebut. Beragam metoda telah dikembangkan untuk memantau kondisi kualitas ekosistem terumbu karang baik melibatkan analisa fisika-kimia perairan, organisme makro, maupun organisme mikro. Pemantauan juga dilakukan dari tingkat genetik, populasi, sampai komunitas. Selama ini penggunaan organisme makro yang didukung dengan analisa fisika-kimia perairan merupakan metoda yang sering digunakan karena dianggap cukup mudah, murah, dan ramah lingkungan. Dewi et al. (2010) menuliskan beberapa metoda yang menggunakan bioindikator sebagai bagian dari pemantauan terumbu karang antara lain indeks penutupan karang, indeks kematian karang, indeks keanekaragaman ikan dan biota indikator yang berasosiasi dengan terumbu karang seperti ikan kepe-kepe (Butterfly). Metoda tersebut melibatkan organisme makro sebagai objek pemantauan karena organisme makro umumnya mudah untuk diamati dengan jumlah individu yang lebih sedikit dibandingkan organisme renik. Pada organisme mikro, perubahan lingkungan akan segera mempengaruhi pola kehidupannya dibandingkan organisme makro, namun pengaruh lingkungan tersebut lebih lama mempengaruhi eksistensi organisme renik tersebut dibandingkan parameter fisika dan kimia. Oleh karena itu keberadaan organisme renik dapat dijadikan alternatif sebagai indikator awal atas degradasi lingkungan, contohnya adalah foraminfera. Keuntungan dari observasi fauna renik seperti foraminifera (dalam konteks pendekatan indikator ekologi) adalah a). siklus hidup yang singkat sehingga dapat segera merespon gangguan terhadap kondisi perairan, b). peralatan dan bahan
5
sampling yang tidak terlalu mahal dan mudah digunakan dibandingkan parameter fisika – kimia (Gibson et al., 1997 in Porto Neto, 2003), c). alat dan bahan yang tidak terlalu banyak serta cukup mudah diperoleh. Penelitian tentang foraminifera bentik sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang di manca negara telah dilakukan jauh sebelum tahun 2003 sampai tahun 2011 (Hallock et al., 2003, Velásquez et al., 2011). Meski demikian, Hallock et al. (2003) menyarankan agar keberhasilan menjadikan foraminifera sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang yang telah dilakukan di wilayah Karibia dan beberapa lokasi lain perlu diverifikasi di wilayah lainnya terutama di wilayah Indo-Pasifik. Korelasi antara kuantifikasi foraminifera bentik dan parameter fisika-kimia perairan yang dibandingkan dengan kondisi terumbu karang belum pernah dilakukan secara bersamaan di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah 1. bagaimana hubungan antara kondisi terumbu karang serta parameter fisikakimia terhadap proporsi kelimpahan foraminifera bentik? 2. apakah kuantifikasi foraminifera bentik yang dirumuskan dalam FORAM Index dapat digunakan sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu?
1.3 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah jumlah taksa foraminifera bentik, kelimpahan relatif foraminifera yang bersimbiosis dengan alga, dan nilai FORAM Index akan meningkat seiring tingginya persentase penutupan terumbu karang hidup. Kondisi ini merupakan cerminan dari kualitas abiotik perairan yang mendukung pertumbuhan terumbu karang.
1.4 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. mengetahui komposisi dan sebaran foraminifera bentik di ekosistem terumbu karang 2. menentukan kelompok taksonomi foraminifera sebagai indikator ekosistem terumbu karang
6
3. mengkaji hubungan antara FORAM Index terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di beberapa pulau di Kepulauan Seribu. 4. membuktikan bahwa aplikasi FORAM Index di wilayah tropis khususnya Kepulauan Seribu dapat digunakan sebagai indikator ekologi dalam menilai kualitas lingkungan ekosistem terumbu karang.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: a. memberikan dan menambah pengetahuan dinamika foraminifera di wilayah tropis, khususnya di Kepulauan Seribu, b. sebagai dasar untuk penelitian foraminifera yang lebih kompleks di masa datang, c. foraminifera sebagai indikator ekologi dapat digunakan untuk penilaian cepat (rapid assessment), murah, dan sebagai pelengkap dari penelitian lain yang berkaitan terhadap perubahan awal lingkungan perairan, sehingga dapat mengurangi penggunaan parameter fisika dan kimia, d. aplikasi pengamatan foraminifera dapat digunakan bila terdapat keterbatasan alat dan bahan untuk analisa parameter fisika dan kimia untuk menduga tekanan terhadap lingkungan ekosistem terumbu karang, e. data dan informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam pemantauan dan strategi pengelolaan lingkungan perairan, khususnya bila pemantauan dilakukan secara berkesinambungan baik secara ruang maupun waktu.
7
1.6 Kerangka Pemikiran
Gambar 1 memberikan skema kerangka pemikiran yang mendasari penelitian. Antropogenik
Ekosistem terumbu karang Perubahan ekosistem Biotik
Abiotik
Foraminifera Terumbu karang Mikroalga FORAM Index
Persen penutupan
Klorofila,b,c
Air: suhu, kekeruhan, salinitas, kecerahan, kecepatan arus, pH, oksigen terlarut, NH4-, NO3-, PO4-, dan Si. Sedimen: C-organik dan N total
Kajian biologi Kajian ekologi Proporsi foraminifera bentik belum dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas ekosistem terumbu karang
tidak
Berpengaruh ya
Proporsi foraminifera bentik dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas ekosistem terumbu karang Gambar 1 Kerangka pemikiran.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Foraminifera Foraminifera adalah organisme bersel tunggal (uniseluler) yang hidup secara akuatik, memiliki satu atau lebih kamar yang terpisah satu sama lain oleh sekat (septa) yang ditembusi oleh banyak lubang halus (foramen) (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Nybakken dan Bertness (2006) menambahkan bahwa organisme ini merupakan fauna renik laut yang memproduksi cangkang yang mengandung kalsium karbonat. Foraminifera merupakan fauna mikroskopis yang telah ada sejak jaman Kambrium (500-570 juta tahun lalu) (Boudagher-Fadel, 2008). Meskipun diduga memiliki sekitar 27.000 spesies dan lebih dari 100 famili (Haq dan Boersma, 1998), namun foraminifera modern hanya memiliki sekitar 10.000 spesies dalam 26 famili, dimana jumlah foraminifera plankton sekitar 40-50 jenis (Sen Gupta, 2003a). Identifikasi dan klasifikasi foraminifera didasarkan pada ciri-ciri cangkang seperti struktur dan komposisi, bentuk dan susunan kamar, apertur, dan ornamentasi (Brasier, 1980). Berdasarkan hasil kompilasi, maka klasifikasi foraminifera modern menurut Sen Gupta (2003b) adalah sebagai berikut: Kingdom: Protoctista Filum : Granuloreticulosea Kelas: Foraminifera Ordo: terdiri dari 16 ordo antara lain Miliolida dan Rotaliida beranggotakan beberapa genera yang hidup di sekitar lingkungan terumbu karang. Foraminifera umumnya berukuran mikroskopik dengan ukuran antara sekitar 30 µm – 1 mm (Chester, 1990). Alat gerak yang digunakan umumnya adalah pseudopodia. Cangkang pada foraminifera cukup keras dan umumnya terdiri
dari
CaCO3
(calcareous/gampingan)
atau
butiran
pasir
(agglutinated/agglutinin) yang melekat pada tubuhnya (Boltovskoy dan Wright, 1976). Durasi daur hidup foraminifera berlangsung antara beberapa minggu bagi taksa yang kecil sampai setahun untuk kelompok taksa yang besar. Jenis reproduksi dibagi dua yaitu seksual yang dilakukan jenis planktonik dan
9
pembelahan aseksual yang dilakukan jenis bentonik. Reproduksi pada foraminifera besar umumnya aseksual (Murray, 2006). Hanya sebagian kecil dari foraminifera yang bersifat planktonik, sebagian besar bersifat bentik yang tinggal di dasar perairan (Boltovskoy dan Wright, 1976). Beberapa jenis dapat berpenetrasi ke bagian bawah sedimen sampai sejauh 60 cm, meskipun pada umumnya penetrasi hanya sampai beberapa sentimeter di bawah permukaan sedimen dimana jumlah tertinggi ditemukan pada kedalaman 1 cm di bawah permukaan sedimen (Murray, 2006). Foraminifera bentik memiliki ukuran yang lebih besar dan duri yang lebih keras dibandingkan jenis planktonik. Secara taksonomi, keragaman foraminifera bentik lebih tinggi dibandingkan jenis planktonik, namun jumlah individu per jenis lebih kecil (Boltovskoy dan Wright, 1976). Jenis bentik dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok yang bergerak bebas di substrat dan yang menempel pada sedimen atau vegetasi dasar. Foraminifera besar yang umumnya memiliki diameter cangkang yang lebih besar dari 2 mm, banyak terdistribusi pada perairan tropis yang dangkal dan mengandung endosimbion. Secara distribusi mikro, pola distribusi pada foraminifera bentik biasanya mengelompok, bukan acak maupun seragam. Hal ini terjadi karena efek dari kondisi lingkungan secara skala mikro seperti kompetisi interspesifik dan proses reproduksinya. Pada skala global,
suhu perairan,
kandungan nutrien, intensitas cahaya, dan energi hidrodinamik mempengaruhi penyebaran foraminifera. Daerah Indo-Pasifik seperti Indonesia memiliki kandungan dan keragaman foraminifera yang tinggi (Murray, 2006).
2.2 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Keberadaan Foraminifera 2.2.1 Suhu Foraminifera dapat hidup pada suhu antara –1,9-450C dengan kisaran yang berbeda untuk masing-masing jenis. Pada kelompok foraminifera bentik, suhu sangat berpengaruh terhadap sebarannya baik secara vertikal maupun horisontal (Boltovskoy dan Wright, 1976 dan Murray, 2006), jumlah populasi, dan besarnya cangkang (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000).
10
2.2.2 Kekeruhan dan Kecerahan Kekeruhan yang tinggi menyebabkan fitoplankton yang berada dalam kolom perairan yang lebih dalam tidak dapat melakukan fotosintesis dengan efektif, sehingga pasokan makanan untuk foraminifera menjadi berkurang (Boltovskoy dan Wright, 1976). Kekeruhan yang berlebihan memberikan dampak yang merugikan bagi foraminifera karena jumlahnya akan berkurang baik karena mati atau tidak terjadi regenerasi (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Hasil penelitian Adisaputra dan Rostyati (2009) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur menunjukkan pada perairan yang jernih, foraminifera bentik yang dominan adalah Amphistegina lessonii. Pada wilayah tersebut jenis ini umumnya berasosiasi dengan terumbu karang yang turbulensi arusnya rendah. Aktivitas fotosintetik dari kolom permukaan sampai suatu kedalaman ekuivalen dengan dua setengah kali kedalaman dimana keping secchi tidak lagi terlihat (Boltovskoy dan Wright, 1976). Henderson (1987) dalam Garno (2000) menggolongkan tingkat trofik berdasarkan kedalaman keping secchi sebagai fungsi dari visibilitas perairan sebagaimana yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Penggolongan tingkat trofik berdasarkan keping secchi (meter) No 1. 2. 3. 4. 5.
Trofik Ultra oligotrofik Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik Hipereutrofik
Rata – rata keping secchi ≥12 ≥ 6,0 3,0 – 6,0 1,5 – 3,0 < 1,5
Maksimal tahunan keping secchi ≥ 6,0 3,0 – 6,0 1,5 – 3,0 0,7 – 1,5 <0,7
2.2.3 Kedalaman Kedalaman mempengaruhi variasi spesies dan besarnya cangkang. Pada laut yang dangkal umumnya variasi jumlah spesies dan individunya lebih besar dibanding perairan dalam. Jenis-jenis cangkang gampingan akan semakin banyak dan cangkang aglutinin tidak terlalu melimpah pada zona perairan dangkal ini (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Meskipun diduga kedalaman bukanlah merupakan faktor pembatas secara langsung, namun beberapa parameter yang berkaitan dengan perubahan kedalaman seperti tekanan air, densitas, penetrasi cahaya, suhu, kandungan
11
oksigen, dan karbon dioksida dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan foraminifera (Funnel in Murray, 1973 in Rositasari, 1989 dan Renema, 2008 ).
2.2.4 Arus Keberadaan arus memiliki sisi yang menguntungkan dan merugikan bagi foraminifera.
Faktor
yang
menguntungkan
dari
keberadaan
arus
akan
menyebabkan sebaran suhu dan salinitas menjadi merata dalam suatu lokasi, membawa makanan dan mentranspor oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh foraminifera, serta sebaran jenis-jenis foraminifera juga akan lebih luas. Sebaliknya arus turbulen pada zona perairan yang dangkal dapat menyebabkan kekeruhan yang merugikan foraminifera (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Pada wilayah terumbu karang, pengaruh arus dan gelombang dapat memindahkan komunitas foraminifera besar. Foraminifera tersebut akan mengikatkan dirinya ke substrat menggunakan pseudopodia atau perluasan protoplasmik untuk mencegah perpindahan tubuhnya (Murray, 2006).
2.2.5 Substrat Semua foraminifera bentik besar merupakan epifauna yang tinggal pada substrat keras seperti patahan karang dan beberapa adalah epifit pada lamun dan alga berkapur. Sedimen yang lembut menyediakan ruang tiga dimensi bagi kehidupan foraminifera epifauna dan infauna (Murray, 2006). Pada saat hidup, pseudopodia foraminifera cenderung akan menancapkan cangkang ke dalam sedimen sehingga mencegah terjadinya erosi pada substrat (Boltovskoy dan Wright, 1976). Tekstur dan kandungan kimia substrat mempengaruhi distribusi dan morfologi foraminifera bentik. Foraminifera dengan bentuk agglutinin memiliki kertekaitan yang lebih kuat dengan kondisi substrat dasar karena banyak material cangkang agglutinin berasal dari dasar dibandingkan jenis gampingan yang mensekresikan cangkangnya secara kimia (Boltovskoy dan Wright, 1976). Beberapa hasil penelitian mengindikasikan adanya peningkatan jumlah spesimen foraminifera dengan makin kecilnya ukuran butiran sedimen, dimana pada saat itu terjadi peningkatan nitrogen organik. Pada substrat zona pasir halus
12
(0,125-0,250 mm) yang mengandung moluska dan detritus alga ditemukan populasi foraminifera litoral yang tinggi, namun populasi yang lebih kaya terdapat pada zona alga berkapur yang masih hidup. Pada zona yang dipengaruhi pasir kasar (0,5-1 mm) didominasi oleh jenis gampingan. Pada sedimen tipe pasir kasar umumnya didominasi foraminifera yang berdinding tebal sedangkan yang berdinding tipis terdapat pada zona sedimen yang bertipe butiran halus (Boltovskoy dan Wright, 1976).
2.2.6 Salinitas Foraminifera dapat hidup pada perairan dengan kisaran salinitas 0-70 tergantung jenisnya, namun jumlah dan keragaman tertinggi ditemukan pada kisaran salinitas 32-37, sedangkan pada salinitas 10-12, sel foraminifera tidak dapat berfungsi dengan baik (Murray, 2006) bahkan dapat menyebabkan kematian (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Umumnya foraminifera bentik merupakan fauna stenohalin (Rositasari, 1989) meskipun kisarannya masih lebih lebar dibandingkan foraminifera planktonik (Boltovskoy dan Wright, 1976), namun beberapa jenis lainnya seperti Ammonia beccarii tepida memiliki toleransi salinitas yang tinggi yaitu dari 2 - 41. Pada perairan yang bersalinitas rendah, keragaman foraminifera akan rendah, ukuran cangkang yang mengecil dan menipis, terjadi transformasi dari cangkang berkapur menjadi berkhitin, hilangnya ornamentasi cangkang, pola ornamentasi cangkang berubah, dan komunitas foraminifera didominasi oleh tipe agglutinin. Hal ini terjadi akibat adanya penurunan sekresi kalsium karbonat (CaCO3) dari dalam protoplasma. Proses tersebut terjadi karena solubilitas CaCO3 akan menurun dengan menurunnya salinitas, sehingga tidak akan terdapat CaCO3 yang mencukupi untuk membentuk cangkang foraminifera pada area yang bersalinitas rendah (Boltovskoy dan Wright, 1976, Rositasari, 1989).
2.2.7 Oksigen Terlarut Suplai kebutuhan oksigen pada foraminifera bentik dicukupi oleh alga simbion yang ada pada protoplasma foraminifera (Boltovskoy dan Wright, 1976). Ketika menghadapi kondisi yang anoksik, maka foraminifera akan bertahan
13
sebentar lalu akan mencari zona yang mengandung oksigen terlarut yang tinggi bila tidak ingin menghadapi kondisi yang fatal seperti kematian (Murray, 2006). Rendahnya kandungan oksigen akan mengurangi kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium karbonat, terutama pada kondisi perairan yang bersifat asam, akibatnya akan mereduksi jumlah spesies foraminifera bentik, meningkatkan kelimpahan beberapa jenis tertentu, merubah morfologi spesies, dan membatasi distribusinya (Boltovskoy dan Wright, 1976). Jenis yang melimpah di daerah tercemar telah beradaptasi dengan lingkungan anoksik (Rositasari, 1989). Rositasari (1997) menyatakan pada populasi anaerobik dicirikan dengan cangkang gampingan, tipis dan berukuran kecil, dan tidak berornamen. Phleger dan Soutar in Braddier (1980) in Rositasari (1997) menduga bahwa kebutuhan oksigen pada foraminifera sangat kecil, namun demikian Boltovskoy dan Wright (1976) menuliskan pada beberapa genus bentik (Elphidium, Buccella, Bulimina, Nonion, Buliminella) membutuhkan pasokan oksigen yang relatif besar. Suplai kebutuhan oksigen pada foraminifera bentik tersebut dicukupi oleh simbiotik alga yang ada pada protoplasma foraminifera.
2.2.8 pH Rendahnya nilai pH terjadi karena adanya dekomposisi material organik. Selain itu rendahnya nilai pH bisa juga terjadi karena adanya masukan H2SO4 dari sungai karena terjadi dekomposisi sulfida seperti di Pesisir Chilean. pH rendah akan membatasi distribusi foraminifera dan menyebabkan tekanan bagi kehidupannya. Sedimen lempung (clay) yang kaya akan material organik sehingga nilai pH menjadi rendah menyebabkan rendahnya foraminifera dibandingkan dengan area berpasir. Kandungan karbonat dan pH yang rendah juga memiliki korelasi dengan rendahnya kelimpahan foraminifera dan tingginya dominasi foraminifera jenis aglutinin dibandingkan gampingan. Cangkang gampingan mulai melarut dan jenis agglutinin mulai melimpah pada pH yang lebih rendah dari 7,8. Hal ini terjadi karena jenis ini harus mengeluarkan energi berlebih untuk melakukan proses re-kalsifikasi (recalcifying) pada cangkang mereka. Pada sedimen, rendahnya pH akan menyebabkan melarutnya cangkang yang kosong (Boltovskoy dan Wright, 1976).
14
2.2.9 Nutrien Kadar nitrat nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 ppm. Kadar yang lebih dari 0,2 ppm dapat mengakibatkan eutrofikasi perairan, sedangkan bila lebih dari 5 ppm menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik (Effendi, 2003). Dalam air laut, rata – rata kadar fosfat adalah 0,06 ppm. Kadar ini semakin meningkat dengan masuknya limbah domestik dari deterjen, limbah industri, dan limbah pertanian/perkebunan akibat pemakaian pupuk yang banyak mengandung fosfat. Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu perairan oligotrofik antara 0,003 – 0,01 ppm, mesotrofik antara 0,011 – 0,05 ppm, dan eutrofik antara 0,031 – 0,1 ppm (Volenweider, 1969 in Effendi, 2003). Boltovskoy dan Wright (1976) menuliskan pada konsentrasi pospat yang tinggi (mencapai 10 kali konsentrasi normal) akan terjadi
peningkatan
produksi
fitoplankton
dan
foraminifera
planktonik.
Keragaman foraminifera bentik menurun pada daerah tercemar dan beberapa spesies akan mendominasi. Perairan tropis yang umumnya oligotrofik merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan foraminifera besar (Murray, 2006). Lingkungan terumbu karang yang konsentrasi nutriennya rendah akan didominasi oleh foraminifera bentik besar, sedangkan pada wilayah yang memiliki kandungan nutrien yang tinggi akan didominasi oleh foraminifera detrivor dan herbivor yang berukuran kecil (Hallock et al, 2003). Pertumbuhan foraminifera bentik yang terdapat pada ekosistem terumbu karang yang berdekatan dengan daratan umumnya tereduksi karena tingginya nutrien di zona tersebut, akibatnya tingkat reproduksi menjadi menurun dan akhirnya jumlah individunya akan menurun juga (Uthicke dan Altenrath, 2010).
Hal tersebut terjadi karena endosimbion menyimpan hasil
fotosintesis untuk pertumbuhan dan reproduksi endosimbion sehingga secara fisiologi menekan foraminifera (Osawa et al., 2010).
2.3 Makanan dan predator Makanan foraminifera cukup beragam, mulai dari pennate diatom, flagellata, alga, gamet dari alga, bakteri, kopepoda, ekinodermata kecil, nematoda, infusoria, spora, mikrokrustasea, siliata, dan foraminifera lain. Makanan tersebut ditangkap
15
foraminifera dengan menggunakan pseudopodia yaitu jaringan kaki semu yang dibentuk dari juluran protoplasma yang keluar melalui lubang cangkang (Boltovskoy dan Wright, 1976). Murray (2006) mengelompokkan jenis foraminifera berdasarkan cara makan dalam delapan kelompok: a. baktivor: jenis ini merupakan jenis yang paling primitif, antara lain Allogromiids, Ammonia, Textularia, dan Quinqueloculina. b. herbivor: jenis ini terbatas pada zona eufotik; seperti Ammonia, Bolivina, Elphidium, Rosalina, . c. karnivor: jenis yang bergerak cepat dan kanibal; contohnya adalah Amphistegina, Astrorhiza, Elphidium, Floresina, Patellina, dan Peneroplis. d. detrivor: jenis ini berada pada sedimen di bawah zona eufotik; contohnya antara lain Epistominella, Fursenkoina, Tinogullmia. e. omnivor: umumnya bentik foraminifera yang oportunis; contohnya antara lain Astrammina dan Astrorhiza. f. pasif pemakan suspensi: jenis ini termasuk epifauna dan sesil; antara lain Astrorhiza, Fontbotia, Miliolinella, Planulina, dan Rupertia g. materi organik terlarut: seperti Astrammina dan Notodendrodes. h. parasit: terdapat jenis ektoparasit seperti Fisurina submarginata dalam Rosalina, Hyrrookin sarcophaga dalam bivalvia serta terumbu karang perairan dalam, dan Planorbulinopsis parasita sebagai endoparasit Alveolinella quoyi. Proses predasi terhadap foraminifera mengontrol dan membatasi jumlah individu namun tidak membatasi distribusi foraminifera. Predator foraminifera antara lain gastropoda, bivalvia, nematoda, udang, krustasea (crustacea), poliket (polychaetes),
scaphopoda,
echinoid,
holothurian,
chiton,
nudibranchs,
asteroidea, ophiuroidea, tunicate, crinoidea, dan ikan (Murray, 2006).
2.4 Simbiosis Foraminifera Dengan Alga Simbion Endosimbion merupakan asosiasi antara dua spesies organisme yang berbeda namun hidup bersama, dimana organisme yang satu tinggal dalam sel organisme inang (Paracer dan Ahmadjian, 2000). Pada perairan laut terdapat simbion berupa zooxanthella (berwarna kuning atau coklat) dimana sebagian besar merupakan kelompok dinoflagelata meskipun beberapa merupakan diatom.
16
Simbion tersebut umumnya berada pada foraminifera yang terletak pada perairan dangkal dengan intensitas cahaya yang tinggi dan memiliki dinding cangkang yang transparan (Boltovskoy dan Wright, 1976). Foraminifera mendapatkan simbion dengan menangkapnya menggunakan reticulopodia. Penyebaran simbion terjadi selama proses reproduksi aseksual pada foraminifera besar (Murray, 2006) Masing-masing kelompok foraminifera bentik memiliki tipe endosimbion yang berbeda yang menempati sel pada foraminifera besar. Beberapa taxa dengan tipe simbion yang berbeda ditampilkan pada Tabel 2 (Utchike dan Nobes, 2008).
Tabel 2 Taksa foraminifera dengan tipe simbion (Utchike dan Nobes, 2008) Sub ordo Rotaliina
Famili Calcarinidae
Amphisteginidae Numulitidae Miliolina
Alveolinidae Peneroplidae Soritidae
Genus Baculogypsina Calcarina Neorotalia Amphistegina Heterostegina Operculina Alveolinella Peneroplis Marginopora Sorites
Tipe simbion Diatom Diatom Diatom Diatom Diatom Diatom Diatom Alga merah Dinoflagelata Dinoflagelata
Baik endosimbion yang dimanfaatkan foraminifera maupun karbon yang digunakan endosimbion menjadi berguna a) saat foraminifera memanfaatkan bahan
organik
partikulat
dari
simbion
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangbiakannya, b) simbion menggunakan hasil ekskresi dari foraminifera tersebut melalui fotosintesis untuk pertumbuhan dan perkembangan yang selanjutnya simbion tersebut dimanfaatkan kembali oleh foraminifera, c) meningkatkan kalsifikasi cangkang foraminifera (Kuile, 1991, Murray, 2006). Keberadaan endosimbion dapat mereduksi kehilangan energi sampai 90% dalam jejaring makanan, sehingga seperti proses pada terumbu karang, foraminifera dapat beradaptasi pada kondisi perairan yang miskin nutrien. Hal tersebut menyebabkan perairan oligotrofik seperti ekosistem terumbu karang merupakan tempat yang cocok untuk keberadaan foraminifera besar (Murray, 2006). Selain itu simbion alga menghasilkan oksigen yang digunakan oleh foraminifera sedangkan foraminifera menghasilkan karbondioksida yang dimanfaatkan oleh
17
mikroalga tersebut. Proses ini serupa dengan kemampuan zooxanthella mensuplai kebutuhan oksigen bagi terumbu karang bahkan pada saat kondisi intensitas cahaya yang rendah. Keberadaan simbion tersebut menyebabkan kondisi foraminifera yang memiliki simbion menjadi lebih baik dibandingkan foraminifera jenis yang sama tanpa simbion (Boltovskoy dan Wright, 1976) karena foraminifera besar dapat bertahan sampai beberapa tahun dan dapat secara perlahan menyiapkan cadangan makanan untuk keperluan reproduksi (Murray, 1991a).
2.5 Asosiasi Foraminifera Dengan Terumbu Karang Sebagian besar foraminifera bentik besar yang hidup di wilayah tropis dan subtropis berasosiasi dengan terumbu karang (Uthicke dan Altenrath, 2010). Foraminifera besar dengan endosimbionnya memberikan kontribusi yang lebih besar dibandingkan fitoplankton pada perairan dangkal di ekosistem terumbu karang. Produksi karbonat oleh foraminifera besar memberikan kontribusi 7080% dari seluruh karbonat foraminifera terumbu karang dengan produksi tahunan 44 juta ton yang mewakili 0,76% produksi karbonat lautan modern (Murray, 2006). Tiga puluh persen dari hamparan sedimen pasir-karang pada Terumbu Pulau Green di Great Barrier Reef, Australia merupakan hasil kontribusi dari foraminifera bentik meskipun produksi CaCO3 organisme tersebut lebih kecil dibandingkan organisme pembentuk terumbu lainnya. Foraminifera yang mendominasi sedimen tersebut adalah Amphistegina lessonii, Baculogypsina sphaerulata, dan Calcarina hispida (Yamano et al., 2000). Cangkang foraminifera bentik memiliki kontribusi yang penting sebagai material gampingan pada terumbu karang (Castro dan Huber, 2007). Cangkang karbonat foraminifera biasanya merupakan hasil endosimbiotik dengan beberapa jenis alga seperti zooxanthella. Dengan cara simbiosa seperti itulah dimungkinkan beberapa fosil foraminifera dapat mencapai bentuk 'raksasa', karena alga menyediakan senyawa hara dari hasil fotosintesa sehingga tersedia kalsium karbonat (CaCO3) yang maksimal (Rositasari, 1997). Peran tersebut menunjukkan betapa eratnya asosiasi foraminifera dengan terumbu karang seperti yang terjadi
18
dengan spesies Heterostegina depressa (Leutenegger, 1984 in Rositasari dan Sidabutar, 1993). Foraminifera yang
terdapat di lingkungan terumbu karang umumnya
sebagai biota penempel seperti Homotrema dan Miniacina, dan sebagai epifauna yang hidup dalam kerangka terumbu seperti Calcarina, Amphistegina dan Marginophora. Marga-marga yang beradaptasi dengan baik di lingkungan karang ini misalnya Calcarina, Amphistegina, Marginophora, Peneroplis, Operculina, Archaias, Rotorbinella, Borelis, dan Baculogypsina (Rositasari, 1997). Ekosistem terumbu karang yang sehat, akan mendukung kebutuhan berbagai organisme seperti foraminifera termasuk habitat untuk memijah, mencari makan, dan menetap (Bradley, 2010).
2.6 Aplikasi Foraminifera Sebagai Indikator Lingkungan Foraminifera sering dipakai sebagai indikator dalam berbagai bidang lingkungan perairan. Jenis Neogloboquadrina pachyderma yang sensitif terhadap perubahan suhu digunakan sebagai indikator paleoklimat dan paleooseanografi. (http://www.ucmp.berkeley.edu/fosrec/Olson2.html).
Beberapa
aplikasi
lain
penggunaan foraminifera sebagai indikator lingkungan modern adalah: a. Pada perairan yang tercemar didominasi oleh beberapa jenis foraminifera yang mampu beradaptasi, terjadi deformasi bentuk cangkang, dan diversitas yang rendah (Rositasari, 1989), hal ini terjadi karena pencemaran dapat mengganggu metabolismenya sehingga dapat mempengaruhi fisiologi dan ekologinya secara keseluruhan (Kennish, 1992). b. Rasio infauna/epifauna: rasio yang tinggi menunjukkan perairan yang produktif (Gooday, 2003). c. Rasio jumlah Hidup/Mati {Live/Dead (L/D)}: rasio yang rendah menunjukkan lambatnya proses pendepositan sedimen (Majewski, 2005). d. Rasio jumlah individu Planktonik/Bentik (P/B): rasio yang rendah mengindikasikan perairan dangkal yang tidak stabil, sedangkan nilai perbandingan yang tinggi mengindikasikan kondisi perairan dalam, terbuka (Zili dan Zaghbib-Turki, 2010), serta produktif (Drinia et al., 2004). Bila cangkang plankton <20% menunjukkan daerah di dalam paparan, 20-50% di
19
tengah paparan, 50-70% diluar paparan, dan >70% berada di atas zona bathyal (Pezelj et al., 2007). e. Rasio jumlah Pasiran/Gampingan {Agglutinated/Calcareous (A/C)} yang tinggi menunjukkan kondisi lingkungan yang terbatas bagi perkembangan foraminifera karena kadar hara yang tinggi dan salinitas yang rendah (Rositasari, 2006). f. FORAM (Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring) Index (FI) merupakan indeks yang digunakan untuk memantau kesehatan ekosistem terumbu karang. Makin tinggi nilai FI menunjukkan kondisi ekosistem terumbu karang yang makin baik untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang (Hallock et al., 2003).
2.7 Konsep Bioindikator Pada Ekosistem Terumbu Karang Indikator merupakan tanda untuk menyampaikan pesan yang kompleks yang berasal dari berbagai sumber dengan cara yang disederhanakan serta berguna dan pesan tersebut terutama digunakan untuk memberikan karakteristik status pada saat tertentu serta untuk memprediksi perubahan penting. Bioindikator (biological indicator) merupakan respon adanya masukan antropogenik maupun alamiah terhadap parameter biomolekul, biokimia, atau fisiologi yang berkaitan dengan dampak biologi pada suatu tingkatan organisme, populasi, komunitas, atau ekosistem (Fichez et al., 2005). Penetapan bioindikator sebagai biokriteria di ekosistem terumbu karang dianggap penting untuk membantu menentukan kelayakan pemanfaatan suatu ekosistem sesuai dengan yang diharapkan (Bradley, 2010). Cooper dan Fabricius (2007) mengemukakan lima kriteria yang digunakan untuk menggolongkan bioindikator yang digunakan dalam mengkaji perubahan kualitas air di ekosistem terumbu karang: a. Specificity: merupakan respon biologis yang spesifik terhadap tekanan tertentu yaitu kepada penyebabnya, bukan pada penyebab lainnya. b. Variability: respon biologis harus konsisten pada kisaran ruang dan waktu. Bila tidak ada tekanan, kondisi bioindikator relatif rendah variasinya.
20
c. Monotonicity: tingkat besarnya perubahan pada bioindikator setara terhadap intensitas dan durasi perubahan kualitas air sebagai bukti adanya keterkaitan konsentrasi polutan terhadap respon biota. d. Practicality: kemudahan untuk mendeteksi perubahan pada bioindikator, dalam hal ini misalnya dengan biaya yang murah, mudah untuk dikuantifikasi, tidak merusak, ketidak tergantungan antar peneliti, dan tingkat keahlian yang dibutuhkan pada saat pengkajian. e. Relevant: mengacu pada relevansi ekologi dan relevansinya pada kepentingan masyarakat sehingga hasil dari bioindikator dapat membantu menjelaskan hasilnya untuk kepentingan yang lebih luas. Cooper et al. (2009) meninjau 21 metode bioindikator yang pernah digunakan untuk memantau terumbu karang, dari tingkat genetik dan koloni, populasi, dan komunitas. Dua bioindikator dengan prioritas tertinggi adalah penggunaan mikro/meiobentik dan kedalaman maksimum pertumbuhan terumbu karang. Penggunaan mikro/meiobentik disarankan digunakan untuk monitoring jangka panjang dan jangka pendek. Hal yang mendasari keputusan tersebut karena penggunaan mikro/meiobentik memiliki specificity, monotonicity, practicality, dan relevance yang tinggi, serta variability yang rendah. Beragam mikro/meiobentik dapat digunakan sebagai bioindikator di ekosistem terumbu karang. Beberapa contohnya adalah kandungan organik, kelimpahan dan komposisi bakteri, mikrofitobentik di sedimen, ampipoda, stomatopoda, dan foraminifera (Cooper et al., 2009).
2.8 Indeks FORAM FORAM (Foraminifers in Reef Assessment and Monitoring) Index (FI) merupakan hasil penelitian selama 30 tahun untuk mengkaji hubungan antara foraminifera bentik yang berukuran besar dengan kualitas ekosistem terumbu karang. FI dianggap pantas untuk digunakan dalam menentukan apakah kualitas perairan setempat sesuai untuk komunitas simbion alga yang menopang keberadaan terumbu karang. Hal ini terjadi karena adanya kesamaan prinsip fisiologi
antara
terumbu
karang
dan
foraminifera
bentik
besar
yaitu
ketergantungannya terhadap alga simbion untuk meningkatkan pertumbuhan dan
21
kalsifikasi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari nilai FI adalah kondisi foraminifera yang memiliki simbion dan terumbu karang akan baik pada lingkungan oligotrofik dengan pakan yang terbatas (Hallock et al., 2003). FI dapat digunakan untuk menilai kelayakan kualitas air dalam mendukung pemulihan
terumbu bahkan setelah ekosistem tersebut mengalami kerusakan
parah akibat topan, pemutihan, atau aktifitas antropogenik lainnya. Pemilihan foraminifera sebagai bioindikator dalam menilai kualitas lingkungan karena a) terumbu, zooxanthella, dan foraminifera yang memiliki alga simbion memiliki kesamaan kualitas perairan untuk tumbuh dan berkembang, b) rentang waktu hidup foraminifera cukup pendek dibandingkan koloni karang sehingga perubahan lingkungan akan segera mempengaruhi foraminifera, c) foraminifera berukuran relatif kecil, jumlahnya melimpah, mudah dan cepat dikoleksi dengan biaya yang relatif murah, jumlahnya dapat diolah secara statistik, dan ideal sebaga komponen dari program pemantauan yang komprehensif, d) pengambilan foraminifera tidak merusak ekosistem terumbu karang (Hallock et al., 2003). Carnahan et al. (2009) membuktikan keberhasilan FI untuk mengkaji kualitas perairan estuari di Teluk Biscayne, Florida. Perairan yang dekat dengan pengaruh kontaminasi pemukiman dan adanya masukan air tawar memiliki FI yang rendah (FI~1,8). Pada wilayah yang mejauhi estuari memiliki nilai FI yang lebih tinggi (FI~2,6). Kajian Dewi et al., (2010) menerangkan rendahnya nilai FI yang berada di luar ekosistem terumbu karang pada Pulau Bidadari, Pulau Pramuka, dan Pulau Belanda di Kepulauan Seribu. Pada ketiga lokasi tersebut hanya ditemukan satu spesimen foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang dengan komposisi yang rendah (masing-masing 17,27%; 12,28%; dan 10,96%) dari keseluruhan komunitas foraminifera yaitu jenis Amphistegina. Nilai FI pada Pulau Bidadari adalah 2,99; Pulau Pramuka sebesar 2,59, dan Pulau Belanda yaitu 2,53. Hasil penelitian Natsir (2010) pada wilayah Kepulauan Seribu menunjukkan nilai FI yang tinggi di Pulau Kotok Besar (7,57-7,63) yang berada pada ekosistem terumbu karang. Pada Pulau Nirwana nilai FI menjadi rendah (1,57-1,52) karena rendahnya tingkat kecerahan dan nilai pH perairan dibandingkan dengan Pulau Kotok Besar.
3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Pengambilan data dilakukan pada tiga pulau di Kepulauan Seribu, yaitu Pulau: Onrust yang berdekatan dengan Teluk Jakarta, Pramuka, dan Karang Bongkok yang berada di utara Pulau Pramuka (Gambar 2). Pemilihan ketiga pulau tersebut berdasarkan pada kategori persen penutupan karang keras dari Gomez dan Yap (1988) in Fadila dan Idris (2009). Persen penutupan karang di Pulau Onrust pada tahun 2007 adalah 0,0% dengan kategori buruk, Pulau Pramuka sebesar 34,6% dengan kategori sedang, dan Pulau Karang Bongkok sebesar 63,7% dengan kategori baik. Pada setiap pulau, parameter contoh diambil pada empat stasiun yaitu di sebelah utara, timur, selatan, dan barat pulau, kecuali pada pada Pulau Onrust bagian timur, sehingga secara keseluruhan terdapat 11 stasiun. GPS Armin 60i digunakan untuk merekam lokasi penelitian (Lampiran 1).
Gambar 2. Lokasi penelitian.
Analisa
parameter
kimia
perairan
dilaksanakan
di
Laboratorium
Produktivitas Hayati P3O-LIPI Ancol, Jakarta. Analisa sedimen dilakukan di
23
Laboratorium Tanah, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian-Balai Penelitian Tanah Bogor. Identifikasi foraminifera dilakukan di Laboratorium Hidrobiologi Ilmu Kelautan IPB dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL), Bandung. Pengambilan sampel di lapangan dilakukan pada tanggal 15-18 Maret 2011. Identifikasi foraminifera dilakukan pada Bulan April – Juli 2011.
3.2 Pengambilan Sampel 3.2.1 Pengambilan Contoh Air dan Sedimen Untuk Sampel Foraminifera Contoh air diambil di kolom dekat dasar perairan kecuali pengukuran kecepatan arus dilakukan di kolom permukaan perairan. Sampel foraminifera diperoleh dengan mengambil sedimen permukaan pada dasar perairan dengan kedalaman dari permukaan sampai 2 cm di bawah permukaan sedimen (Hallock et al., 2003). Peralatan SCUBA digunakan saat melakukan pengukuran persen penutupan substrat dan untuk membantu menyelam saat mengambil contoh air serta sedimen di ekosistem terumbu karang. Pengambilan sedimen menggunakan sekop dan dimasukkan dalam plastik contoh yang telah diberi label.
3.2.2 Pengukuran dan Analisa Persentase Substrat Perairan Analisa
persentase
penutupan
substrat
perairan
digunakan
untuk
membandingkan nilainya dengan nilai FORAM Index. Pengukuran persentase penutupan substrat berdasarkan kategori substrat dilakukan menggunakan metode Transek Garis Menyinggung/TGM (Line Intersect Transect/LIT) (English et al., 1994) (Lampiran 2). Pengukuran dilakukan secara acak dengan kedalaman yang tetap pada setiap titik (Hodgson et al., 2006). Pada penelitian ini kedalaman yang digunakan yaitu tujuh meter di bawah permukaan laut. Hasil persentase penutupan karang keras selanjutnya dibandingkan dengan nilai FORAM Index.
3.2.3 Pengambilan dan Pengukuran Parameter Perairan Untuk parameter perairan lain yang akan dikaji, jenis parameter, metode, alat, serta unit pada setiap parameter tertera pada Tabel 3. Pengukuran suhu air, kecerahan, salinitas, oksigen terlarut, pH, arah dan kecepatan arus dilakukan secara in-situ. Pengukuran klorofil-a,b,c ; fosfat; nitrat; amonia; silikat; N total; C-
24
organik; dan ukuran butiran sedimen dilaksanakan di laboratorium. Klasifikasi butiran sedimen menggunakan skala Wentworth (Tabel 4) (Stoddart, 1978). Tabel 3 Parameter perairan yang diukur Parameter Perairan Mikro alga Suhu air Kekeruhan Kecerahan Salinitas pH Fosfat Nitrat Amonium Silikat Oksigen terlarut Butiran sedimen C-organik sedimen N-Total sedimen Kecepatan arus
Metode Klorofil-a,b,c Pemuaian Elektro Visual Refraksi Elektro Asam askorbik Reduksi kadmium Nessler Silicomolybdate Elektro Grain size Walkley dan Black Kjeldahl Lagrangian
Alat Spektrometer Termometer Turbidity meter Keping secchi Refraktometer pH meter Spektrometer Spektrometer Spektrometer Spektrometer DO meter Saringan/shaker
Floating dredge
Unit mg m-3 o C NTU m dan %
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l % % % m/s
Tabel 4 Skala ukuran butiran sedimen (Stoddart, 1978) Milimeter i Mikron i Phi (Φ) i 2
-1
1,00
0
0,50
500
1
0,25
250
2
Kelas Wentworth
Very coarse Coarse sand Medium sand
Sand
Fine sand 0,125
125
3 Very fine sand
0,0625
62,5
4 Coarse silt
0,0310
31
5
0,0156 0,0078 0,0039
15,6 7,8 3,9
6 7 8
Silt Medium silt Fine silt Very fine silt
Clay
3.2.4 Penjentikan Foraminifera Bentik Sampel sedimen diambil dengan menggunakan sekop pada titik dimana pengukuran persen penutupan terumbu karang dilakukan. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam plastik yang telah diberikan label. Di laboratorium, sampel
25
dicuci dengan air yang mengalir dalam saringan 0,063 mm, setelah itu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 500C selama dua jam. Kemudian foraminifera pada masing-masing sampel dipisahkan dari sedimen pada cawan di bawah mikroskop binokuler. Selanjutnya diambil sebanyak 300 spesimen pada setiap sampel dan diletakkan pada foraminiferal slide untuk proses identifikasi sampai tingkat genus menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 40 kali dengan memperhatikan struktur dinding cangkang, bentuk dan jumlah kamar dari tampak dorsal dan ventral, serta penampakan apertura (Dewi et al., 2010, Natsir, 2010). Pengambilan 300 spesimen ini sesuai dengan kondisi biota bentik lautan tropis (Sanders, 1968, Hallock et al., 2003, Pezelj et al., 2007) Literatur identifikasi yang digunakan mengacu pada Adisaputra et al. (2010), Albani dan Yassini (1993), Barker (1960), Loeblich dan Tappan (1994), Nobes dan
Uthicke (2008), Renema et al. (2001), Renema (2003, 2008), serta Yassini dan Jones (1995). Setelah dipisahkan berdasarkan genusnya, lalu spesimen tersebut dihitung jumlah individunya pada setiap genus, kemudian dilakukan analisa FORAM Index (FI) (Hallock et al., 2003) (Lampiran 2).
3.4 Analisa Statistik dan Ekologi Keseluruh parameter yang telah diukur dianalisa secara statistik dan ekologi. Kelimpahan relatif foraminifera ditransformasi menggunakan transformasi akar empat ( 4 x ) untuk memperkecil pengaruh dari jenis yang dominan dan memperbesar pengaruh dari spesies yang jarang (Barbosa et al., 2009, Narayan dan Pandolfi, 2010, Uthicke et al., 2010). Pengolahan transformasi akar empat menggunakan perangkat lunak Excel 2000. ANOVA klasifikasi 1 arah dan Uji t digunakan untuk melihat perbedaan nilai respon antar stasiun (Schueth dan Frank, 2008). Uji t dalam penelitian ini merupakan uji dua pihak dengan menguji kesamaan dua rata-rata dengan selang kepercayaan 95%. Formula Uji t (t) berdasarkan Hammer dan Harper (2006). Korelasi (r) antara variabel persentase penutupan karang keras dengan variabel nilai FI menggunakan persamaan korelasi (Sudjana, 1989) (Lampiran 2). Pengolahannya menggunakan perangkat lunak XLSTAT versi 7.5.2.
26
Indeks keragaman Shannon-Wiener digunakan untuk mengkaji pola distribusi contoh (Buzas et al., 2007, Barbosa et al., 2009). Bila nilai indeks makin tinggi, berarti komunitas biota di perairan makin beragam (Romimohtarto dan Juwana, 1999) (Lampiran 2). Analisis indeks jarak Euclidean yang ditampilkan dalam bentuk dendogram digunakan untuk mengetahui nilai kesamaan antar stasiun pengamatan berdasarkan variabel fisika-kimia perairan (Legendre dan Legendre, 1998) (Lampiran 2). Indeks ini tidak dibatasi oleh nilai antara 0 sampai 1. Bila kesamaan antar stasiun makin tinggi, maka nilai indeks jarak Euclidean akan makin rendah. Analisis lainnya yaitu Indeks Bray-Curtis yang ditampilkan dalam bentuk dendogram digunakan untuk mengetahui nilai kesamaan antar stasiun pengamatan berdasarkan variabel biologi perairan (Brower et al., 1990) (Lampiran 2), yaitu untuk variabel penutupan karang keras dan kelimpahan relatif foraminifera. Nilai indeks ini dari 0 (ketika kedua komunitas sangat berbeda) hingga 1 (ketika kedua komunitas identik baik dalam komposisi spesies dan kelimpahan). Pengaruh variabel lingkungan terhadap FI dikaji melalui analisis komponen utama (AKU) (Schueth dan Frank, 2008). AKU merupakan metode pereduksian data menjadi matriks data untuk menarik kesimpulan dari jumlah variabel yang banyak sehingga kumpulan data menjadi lebih mudah diinterpretasikan. Tabel data tersebut terdiri dari n individu (baris) dan p variabel (kolom). Variabel harus dalam bentuk matrik (Bengen, 2000). AKU tidak dapat dilakukan bila ada data yang hilang, selain itu data dalam AKU tidak perlu dinormalisasikan karena AKU bukan merupakan alat yang digunakan untuk menguji suatu hipotesis (Zuur et al., 2007). AKU dapat diaplikasikan bila komponen pertama dapat menjelaskan minimal 50% dari total variasi contoh (van Marle, 1988). Indeks keragaman Shannon-Wiener (H’) dan matriks kesamaan Bray Curtis (Ibc) dihitung menggunakan perangkat lunak PAST versi 2.04. Pengolahan matriks Bray Curtis menjadi bentuk dendogram, perhitungan indeks jarak Euclidean {D (x1,x2)}, dan AKU menggunakan perangkat lunak XLSTAT versi 7.5.2.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Kimia Perairan Wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan bagian dari Provinsi DKI Jakarta yang terletak di sebelah utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa pada posisi 1060 20’-106057’ BT dan 5010’-5057’ LS. Dari rangkaian 105 pulau yang terbentang dari Teluk Jakarta sampai Pulau Sebira (sekitar 150 km dari pantai Jakarta Utara), total luas daratan mencapai 897,71 ha dan luas perairannya mencapai 6.997,50 km2 (Tim Pusat Sumberdaya Alam Laut BAKORSUTANAL, 2009). Sebagai wilayah kepulauan, wilayah ini sangat rentan terhadap kenaikan muka laut dan polusi perairan dari Teluk Jakarta. Data tahun 2008 menunjukkan Indeks Kerentanan wilayah ini merupakan yang tertinggi (41,76) diantara enam wilayah administrasi di DKI Jakarta (Firman et al., 2011). Polusi tersebut berasal dari 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta (Hosono et al., 2011). Kontribusi polusi terbesar berasal dari Sungai Cisadane yang berada di bagian barat di luar teluk, Sungai Angke di bagian selatan di dalam teluk, dan Sungai Citarum dengan delta yang besar di bagian timur tanjung (van der Meij et al., 2010). Kisaran nilai suhu, salinitas, pH, dan DO pada kolom perairan di Pulau Karang Bongkok, Pulau Pramuka, dan Pulau Onrust berada pada kisaran yang normal untuk wilayah tropis dan masih dalam kisaran Baku Mutu Air Laut Untuk Biota berdasarkan Kep.Men.LH No.51 tahun 2004 (MENLH, 2004), sedangkan kecepatan arus pada saat pengambilan sampel cukup rendah. (Gambar 3a dan 3b, Lampiran 3) Kelima parameter tersebut berada dalam kisaran parameter lingkungan yang telah dipublikasikan oleh Yusri dan Santoso (2009) di Kepulauan Seribu, yaitu untuk suhu antara 25-310C, salinitas antara 28-34, pH antara 7,6-8,9, DO antara 6,5-12 mg/l, dan kecepatan arus antara 0,02-1,4 m/s. Nilai kecepatan arus permukaan cukup rendah karena keberadaan pulau-pulau tersebut terlindungi pulau-pulau besar seperti Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan (Tomascik et al., 1997). Hasil ANOVA satu arah (α = 0,05) menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada parameter suhu, salinitas, DO, dan kecepatan arus pada ketiga pulau kajian (Lampiran 7). pH cukup rendah di Pulau Onrust. Hal ini diduga karena tingginya kandungan bahan organik yang
28
menyebabkan tingginya proses dekomposisi sehingga terjadi pemanfaatan oksigen terlarut dan menyebabkan kondisi perairan menjadi lebih asam.
Gambar 3a Parameter lingkungan perairan. Catatan: K = Karang Bongkok, P = Pramuka, O = Onrust, U = Utara, B = Barat, S = Selatan, T = Timur
Sebaran turbiditas menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan kecerahan (Gambar 3b, Lampiran 3). Hasil ANOVA satu arah (α = 0,05) menunjukkan adanya perbedaan pada nilai parameter turbiditas pada ketiga pulau dan perbedaan nilai kecerahan antara Pulau Karang Bongkok dan Pulau Onrust serta antara Pulau Pramuka dan Pulau Onrust. Pada Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka, kecerahan mencapai 100% diukur dari jarak pengambilan sampel yaitu tujuh meter di bawah permukaan laut. Tingkat kekeruhan pada kedua pulau tersebut juga rendah (0-1,22 NTU). Pada Pulau Onrust kecerahan sangat rendah (42,86%) dengan nilai turbiditas yang tinggi (4,81-6,81 NTU). Nilai kecerahan dan kekeruhan pada Pulau Onrust berada di atas Baku Mutu Air Laut berdasarkan
29
Kep.Men.LH No.51 Tahun 2004 (MENLH, 2004). Penggolongan tingkat trofik berdasarkan kecerahan perairan menempatkan Pulau Onrust berada dalam golongan eutrofik dengan kedalaman penetrasi antara 1,5-3,0 meter, sedangkan Pulau Karang Bongkok serta Pulau Pramuka berada dalam golongan oligotrofik dengan kedalaman penetrasi lebih besar dari 6 meter (Garno, 2000).
Gambar 3b Parameter lingkungan perairan. Rendahnya tingkat kecerahan di Pulau Onrust karena kandungan partikel padatan dan terlarut yang lebih tinggi dibandingkan kedua pulau lain. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai klorofil dan nutrien perairan serta C-organik dan N-total sedimen (Gambar 3c, Lampiran 3). Dugaan ini didukung dengan adanya perbedaan antara Pulau Karang Bongkok dan Pramuka terhadap Pulau Onrust berdasarkan hasil ANOVA satu arah (α = 0,05) terhadap parameter perairan yaitu nutrien dan klorofil, serta sedimen yaitu C-organik dan N-total. Jarak antara Teluk Jakarta yang dekat dengan Pulau Onrust diduga menyebabkan tingginya nilai nutrien, klorofil, C-organik, dan N-total. Tingginya nilai keempat parameter tersebut karena pengaruh pencemaran dari Teluk Jakarta yang tinggi. Konsentrasi nutrien, klorofil, C-organik, dan N-total makin berkurang setelah melewati Pulau Onrust akibat adanya proses pengenceran dari air laut dan
30
makin rendahnya aktivitas manusia yang memicu serta memacu pencemaran lingkungan perairan. Selain itu proses siltasi yang sangat dominan di Teluk Jakarta menjadi berkurang saat mencapai pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Warna sedimen pada Pulau Onrust yang lebih cokelat dan lebih gelap dibandingkan kedua pulau lainnya menunjukkan tingginya proses dekomposisi dan pengaruh dari daratan utama, yaitu Jakarta.
Gambar 3c Parameter lingkungan perairan. Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter fisika kimia menunjukkan adanya dua kelompok gabungan stasiun (Gambar 4, Lampiran 8), hal ini sejalan dengan AKU terhadap 19 variabel parameter perairan (Gambar 5, Lampiran 9). Kelompok pertama merupakan gabungan dari tiga stasiun pada Pulau Onrust. Matriks korelasi dalam AKU menjelaskan adanya hubungan antara turbiditas di Pulau Onrust dengan tingginya kandungan nitrat, silikat, klorofil, C-organik, Ntotal, serta kondisi substrat berlumpur (r = 0,76-0,92). Selain itu tingginya
31
konsentrasi nitrat, fosfat, silikat, serta klorofil menyebabkan kandungan C-organik sedimen menjadi tinggi (r = 0,64-0,83). Nilai NO3 dan NH4 di Pulau Onrust lebih tinggi daripada kedua pulau lainnya dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap tingginya konsentrasi klorofil (α = 0,05). Sebaran parameter nutrien, klorofil, N-total, C-organik, dan
kekeruhan yang tinggi pada Pulau Onrust
merupakan akibat dari dekatnya jarak pulau tersebut dengan Teluk Jakarta yang telah tercemar. Hasil kajian di bagian barat Teluk Jakarta menunjukkan degradasi kualitas perairan memiliki korelasi positif dengan meningkatnya limbah rumah tangga (van der Meij et al., 2010).
Gambar 4 Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter fisika-kimia perairan. Variables (axes F1 and F2: 70.03 %)
8
1 -- axis F2 (12.95 %) -->
V. Arus Salinitas
6
pH
4
0.5
0
-0.5
O bs e r va tions (a x e s F1 a nd F2 : 7 0 .0 3 %)
NHPO4 4 Suhu N O3 N-Total C -organik Lem pung Lum pur Turbiditas C l-a C l-b C l-c Si
2
Kecerahan Pasir DO
PT PU P S KT KS KU PB KB
OS
0
OU
-2
OB
-4 -6
-1
-8
-1
-0.5
0
0.5
-- axis F1 (57.08 % ) -->
1
-8
-6
-4
-2
0
2
4
- - a xi s F 1 ( 5 7 . 0 8 % ) - - >
Gambar 5 Nilai AKU dari sebaran parameter fisika-kimia terhadap lokasi penelitian.
6
32
Kelompok kedua merupakan gabungan stasiun yang berada pada Pulau Pramuka dan Pulau Karang Bongkok yang dicirikan dengan tingginya nilai pH, visibilitas, dan kandungan oksigen terlarut, serta kondisi substrat berpasir. Substrat berpasir merupakan indikasi dari cukup jernihnya perairan dan pengaruh arus serta gelombang yang cukup tinggi, hal ini terjadi karena masa jenis substrat berpasir lebih berat dibandingkan substrat berlumpur dan lempung sehingga turbulensi masa air tidak mudah mengakibatkan resuspensi pada pasir dibandingkan lumpur dan lempung. Sebaran nutrien umumnya menunjukkan konsentrasi yang makin rendah pada lokasi penelitian yang makin jauh dari Teluk Jakarta. Hasil penelitian Paonganan (2008) pada Pulau Bokor, Pulau Pari, dan Pulau Payung menunjukkan pola yang serupa yaitu adanya korelasi positif dari parameter nutrien dan laju sedimentasi dengan Pulau Bokor yang berdekatan dengan Teluk Jakarta, sedangkan pada Pulau Payung yang paling jauh dari Teluk Jakarta memiliki karakteristik dengan kandungan nutrien yang rendah serta nilai pH dan intensitas cahaya yang tinggi.
4.2 Kondisi Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas tropis yang dapat berkembang pada kondisi nutrien dan kekeruhan yang rendah serta tingkat kecerahan yang tinggi. Asosiasi hewan karang dengan zooxanthella menyebabkan pemanfaatan nutrien cukup efektif, sehingga bila terjadi penambahan nutrien yang berlebih pada ekosistem terumbu karang akan membahayakan hewan karang karena akan terjadi ledakan alga. Peristiwa ini akan menyebabkan kekeruhan yang tinggi sehingga menghalangi penetrasi cahaya matahari ke bagian dasar perairan sebagai habitat hewan karang. Selain faktor yang telah diuraikan tersebut, aktifitas fisik manusia juga ikut memberikan kontribusi terhadap degradasi ekosistem terumbu karang. Aktifitas tersebut antara lain kegiatan pariwisata, penangkapan ikan yang destruktif, dan adanya kegiatan pelabuhan. Terumbu karang di Kepulauan Seribu umumnya merupakan tipe terumbu karang tepi (fringing reefs), dan berupa pseudoatol, atau patch reef. Dari 4.561,10 ha luasan terumbu karang di DKI Jakarta berdasarkan interpretasi citra
33
LANDSAT, sekitar 60% rusak parah, 25% baik, dan 15% sangat baik. Kondisi tutupan karang keras pada pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta umumnya kurang dari 5% akibat dampak dari aktivitas manusia seperti penangkapan ikan, pembuangan sampah, penambangan pasir dan karang, serta penebangan mangrove (Tim Pusat Sumberdaya Alam Laut BAKORSUTANAL, 2009). Estradivari et al. (2009) menemukan 60 jenis karang keras pada tahun 2007. Pada stasiun yang terletak di Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka, pengambilan data penutupan susbstrat pada kedalaman tujuh meter umumnya berada pada lereng (slope) terumbu karang. Pada Pulau Onrust, kedalaman pengambilan data penutupan substrat berada pada area yang cukup landai (rataan).
Gambar 6 Perbandingan persen penutupan dan jumlah genus karang keras. Gambar 6 menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah genus dengan persen penutupan terumbu karang. Secara umum persen penutupan karang keras pada Pulau Karang Bongkok (16,07-24,68%) lebih besar dibandingkan Pulau Pramuka (2,97-14,07%), sedangkan di Pulau Onrust tidak terdapat penutupan karang keras (0%). Tingginya persen penutupan karang keras dan jumlah genus pada Pulau Karang Bongkok diduga karena aktivitas manusia dan proses siltasi pada pulau tersebut sangat minim. Pada Pulau Karang Bongkok hanya terdapat satu rumah penginapan yang digunakan pada kegiatan tertentu saja. Pulau-pulau yang berada di sekitar Pulau Karang Bongkok umumnya merupakan pulau kecil
34
seperti Pulau Opak Kecil dengan aktivitas manusia yang rendah. Selain itu dampak pencemaran dari Teluk Jakarta masih rendah karena letaknya yang cukup jauh dari Pulau Karang Bongkok (~50 km), hal ini didukung dengan konsentrasi nutrien yang masih rendah terutama bila dibandingkan dengan Pulau Onrust. Kondisi yang berbeda terjadi pada Pulau Pramuka yang merupakan daerah pemukiman dan pusat pemerintahan. Pada Pulau Pramuka, rerata penutupan karang menjadi lebih rendah karena pulau ini merupakan daerah pemukiman dengan beragam kegiatan pariwisata, pelabuhan, perikanan, budidaya, dan lain sebagainya. Beragam aktivitas tersebut memberikan kontribusi terhadap degradasi ekosistem terumbu karang meskipun pulau ini jaraknya masih jauh dari Teluk Jakarta (~41 km). Berdasarkan komposisi penutupan substrat yang dilakukan dengan metode Transek Garis Menyinggung, perairan pada Pulau Pramuka lebih didominasi oleh pecahan karang (Rubble/R) dan pasir (Sand/S) bila dibandingkan dengan Pulau Karang Bongkok (Gambar 7, Lampiran 4). Pecahan karang yang banyak menunjukkan tingginya pengaruh aktifitas manusia terhadap dasar perairan, seperti saat melemparkan jangkar perahu.
Gambar 7 Komposisi penutupan substrat. Catatan: S = Sand, R = Rubble, MA = Macroalgae, HA = Halimeda, SC = Soft Coral, HC = Hard Coral
OT = Other, SP = Sponge, DCA = Dead Coral with Algae,
35
Hasil pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan karang keras menunjukkan adanya pengelompokan yang terpisah pada stasiun di Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka, dan antara kedua pulau tersebut dengan Pulau Onrust (Gambar 8, Lampiran 10). Tiga stasiun pada Pulau Onrust membentuk satu kelompok karena tidak memiliki terumbu karang pada saat ini. Pada Pulau Karang Bongkok bagian utara, barat, selatan, dan timur serta Pulau Pramuka bagian timur (KB-UBST dan PT) membentuk satu kelompok karena memiliki persentase penutupan karang yang cenderung seragam (12,20-24,68%); Pulau Pramuka bagian utara, barat, dan selatan (P-UBS) membentuk satu kelompok (persen penutupan karang keras sebesar 2,97-14,06%). Tumpang tindih persentase penutupan karang pada pengelompokan antara KB-UBST dan PT serta P-UBS terjadi karena pada kelompok KB-UBST dan PT memiliki 7-16 genera karang keras, sedangkan pada P-UBS hanya memiliki 2-9 genera karang keras, dimana meskipun jumlah genus pada kelompok P-UBS ada yang memiliki lebih dari tujuh genera, namun persentase penutupan pada P-UBS tetap lebih rendah dibanding KB-UBST dan PT.
Gambar 8 Pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan karang keras. Adanya degradasi persentase karang keras pada ketiga kelompok tersebut merupakan cerminan dari dampak kegiatan manusia dan juga proses sedimentasi. Kelompok yang terletak pada Pulau Onrust merupakan pulau yang paling dekat
36
dengan Teluk Jakarta yang telah tercemar, khususnya dari limbah yang berasal dari Sungai Angke. Selain itu Pulau Onrust merupakan lokasi pariwisata dan berada diantara pulau lain yang dijadikan sebagai kawasan pariwisata seperti Pulau Bidadari, Pulau Kelor, dan Pulau Cipir. Tekstur butiran pasir yang cenderung berlumpur dan berwarna lebih gelap dibandingkan kedua pulau kajian lain menandakan perairan di Pulau Onrust sangat keruh sehingga tidak dapat mendukung pertumbuhan karang. Estradivari et al. (2009) mengemukakan pada tahun 1985 di Pulau Onrust masih ditemukan 4% tutupan karang hidup, sedangkan pada tahun 1993 menurun menjadi 2%, dan pada tahun 2005 tidak ditemukan lagi tutupan karang hidup. Pada tahun 2007 hanya ditemukan 8 koloni karang keras berukuran kecil dari jenis Montipora. Kekayaan jenisnya juga sudah sangat berkurang, dari 96 jenis pada tahun 1926 menjadi 21 jenis pada tahun 1993. van der Meij et al. (2010) menyatakan bahwa pada tahun 1920 di Pulau Onrust terdapat 57 spesies karang, namun pada tahun 1994 menurun secara drastis sehingga menjadi lima spesies (Leptastrea pruinosa, Oulastrea crispata, Platygyra pini, Porites lutea, dan
Turbinaria peltata), dan pada tahun 2005 ditemukan tujuh spesies (Oulastrea crispata, Pavona decussata, Platygyra pini, Porites lichen, P. murrayensis, P. solida, dan Psammocora digitata). Area rataan karang hilang sama sekali pada pulau ini, hanya sejumlah koloni kecil yang ditemukan. Degradasi karang di Pulau Onrust menandakan hampir tidak terjadi pemulihan ekosistem terumbu karang akibat kuatnya tekanan antropogenik dari Teluk Jakarta. Sta. PB merupakan daerah sekitar pelabuhan dan alur pelayaran, sehingga aktivitas tersebut mempengaruhi eksistensi ekosistem terumbu karang. Sta. PU dan Sta. PS berada di sekitar pemukiman dengan aktivitas masyarakat yang cukup tinggi. Seluruh stasiun pada Pulau Karang Bongkok membentuk kelompok tersendiri karena jumlah jenis dan persentase penutupan karang yang cukup tinggi akibat pengaruh aktivitas manusia yang sangat rendah. Adanya Sta. PT dalam kelompok ini diduga karena lokasi pada Pulau Pramuka bagian timur berhadapan langsung dengan laut lepas, sehingga proses turbulensi perairan akibat gelombang di lokasi ini cukup tinggi untuk memberikan dampak positif bagi perkembangan
37
terumbu karang. Kecepatan arus dan gelombang yang cukup besar sampai pada taraf yang dapat ditoleransi oleh hewan karang berguna untuk membersihkan polip hewan karang dari partikel yang menempel dan memberikan pasokan makanan untuk menjaga kehidupan hewan karang tersebut (Walker dan Wood, 2005). Nilai penutupan karang keras pada penelitian ini lebih rendah dari hasil kajian Fadila dan Idris (2009). Rendahnya persentase penutupan karang keras pada penelitian ini diduga karena titik lokasi kajian dan kedalaman yang berbeda. Meskipun terjadi perbedaan nilai persentase penutupan karang keras, namun pola penutupan karang keras pada penelitian ini menunjukkan kecenderungan yang sama, dimana persentase penutupan karang keras pada Pulau Pramuka lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Karang Bongkok, sedangkan karang keras tidak dijumpai di Pulau Onrust. Kondisi Teluk Jakarta pada tahun 1937/1938 menunjukkan beberapa karakteristik yang serupa dengan Kepulauan Seribu pada tahun 2005 yang ditandai dengan tingginya penutupan karang dan rendahnya proses sedimentasi (van der Meij et al., 2009) seperti yang terjadi pada Pulau Karang Bongkok. Tekanan ekologi yang terjadi terus menerus sampai tahun 2005 menyebabkan perbedaan komposisi fauna yang signifikan dan penurunan kekayaan jenis yang nyata bila dibandingkan dengan tahun 1937/1938. Uneputty dan Evans (1997) menyatakan tingkat polusi pada wilayah pantai yang berjarak lebih dari 20 km dari Jakarta pada tahun 1985 masih rendah, namun sepuluh tahun kemudian sebaran polusi mencapai 45 km dari daratan Jakarta dengan jumlah limbah yang makin meningkat pada masing-masing pantai. Sebagai perbandingan, jumlah rerata limbah padat di Pulau Onrust pada tahun 1985 tidak lebih dari 7 m-1 kemudian berkembang menjadi sekitar 38 m-1 pada tahun 1994. Willoughby et al. (1997) menuliskan bahwa rerata total limbah padat yang berukuran di atas 5 cm pada tahun 1985 di Pulau Onrust (~8 km dari Teluk Jakarta) adalah 6,7 m-1 dan menjadi 17,6 m-1 pada tahun 1995. Sedangkan pada pulau yang lebih jauh, jumlah limbah padat lebih rendah meski menunjukkan peningkatan seperti pada Pulau Semak Daun (~45 km dari Teluk Jakarta) (tahun 1985 = 0,4 m-1 dan tahun 1995 = 2,3 m-1), Pulau Kotok Besar (~49 km dari Teluk Jakarta) (tahun 1985 = 0,6 m-1 dan tahun 1995 = 2,4 m-1), dan Pulau Kelapa (~52 km dari Teluk Jakarta) (tahun
38 1985 = 0,9 m-1 dan tahun 1995 = 2,6 m-1). Letak ketiga pulau tersebut berdekatan dengan Pulau Pramuka dan Pulau Karang Bongkok. Penambahan limbah tersebut berkaitan erat dengan kegiatan manusia seperti kegiatan pariwisata, perikanan, alur pelayaran, dan pembuangan limbah domestik lainnya. Data historis menunjukkan degradasi karang yang berkesinambungan dan makin rendahnya kedalaman pertumbuhan karang sejak tahun 1920 sangat berkaitan dengan aktivitas manusia dan bertambahnya kandungan hara yang menyebabkan kondisi perairan menjadi semakin eutrofik. Selain itu berdasarkan hasil penelusuran beragam artikel ilmiah, maka dari 190 spesies karang yang telah dikumpulkan sejak tahun 1920-2005 telah mengalami penurunan jumlah spesies sebanyak 60 spesies pada tahun 2005 saja (Lampiran 5). Selain punahnya beberapa spesies, terjadi juga pergerakan distribusi karang yang menjauhi Teluk Jakarta dan pulau-pulau yang berdekatan dengan teluk tersebut ke arah utara dimana kondisi perairannya masih baik (van der Meij et al., 2010).
4.3 Sebaran dan Kelimpahan Foraminifera Bentik Sebanyak enam ordo foraminifera bentik teridentifikasi dalam 179 spesies dari 53 genera berdasarkan dua kali pengulangan proses identifikasi (Lampiran 6, 12, dan 13). Keenam ordo tersebut adalah Astrorhizida, Buliminida, Lagenida, Miliolida, Rotaliida, dan Textulariida. Beberapa spesies yang tidak diketahui diberi tanda angka setelah penulisan genus untuk membedakan antar spesies dalam satu genus. Untuk perhitungan analisis pengelompokan digunakan genus yang memberikan kontribusi kelimpahan relatif minimal 1% dari seluruh individu foraminifera hasil identifikasi dari seluruh stasiun. Rerata kisaran jumlah spesies dari seluruh stasiun pengamatan yaitu antara 24-67 spesies, rerata kisaran jumlah genus antara 15-38 genera, sedangkan pada taksa dimana kelimpahan relatif pada setiap genus ≥ 1%, maka rerata kisaran jumlah genera adalah 10-13 genus. Baik jumlah spesies dan genus yang rendah berada pada Sta. OB, sedangkan yang tinggi berada pada Sta. KU (Gambar 9). Secara umum, jumlah taksa tertinggi berada di Pulau Karang Bongkok dan makin menurun ke arah selatan, yaitu saat mendekati Teluk Jakarta yang memiliki tingkat pencemaran perairan yang tinggi. Hasil penelitian ini melengkapi kajian
39
yang telah dilakukan van der Meij et al. (2009) tentang moluska dan van der Meij
et al. (2010) mengenai terumbu karang. Penurunan jumlah taksa pada foraminifera, moluska, dan terumbu karang terjadi pada wilayah yang berdekatan dengan area yang mengalami tekanan akibat aktivitas manusia. Fauna karang di Teluk Jakarta pada tahun 2005 telah berkurang sebesar 45% bila dibandingkan dengan tahun 1920, sedangkan penurunan kekayaan spesies pada moluska lebih tajam lagi yaitu sebesar 66% bila dibandingkan dengan kekayaan spesies pada tahun 1937/1938. Pemulihan fauna karang dan organisme yang berasosiasi tersebut menjadi lebih lambat akibat dampak antropogenik dibandingkan dengan peristiwa alamiah seperti penaikan/penurunan muka laut secara ekstrim, proses predasi, dan pemanasan global. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh manusia dalam jangka panjang terhadap eksistensi fauna di ekosistem terumbu karang.
Gambar 9 Jumlah taksa foraminifera bentik. Komposisi kelompok fungsional simbion alga umumnya memiliki kelimpahan relatif tertinggi diikuti tipe heterotrofik lalu tipe oportunis (Gambar 10). Komposisi foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang tertinggi terdapat pada Sta. PT (78,17%), sedangkan yang terendah terdapat pada Sta. OS (21,83%). Pada tipe oportunis, komposisi kelimpahan relatif tertinggi berada pada Sta. OS (38,67%) dan terendah di Sta. KS (2,50%). Sta. PB memiliki kelimpahan relatif tertinggi untuk tipe heterotrofik (57,17%), dan kelimpahan relatif terendah
40
pada tipe ini berada di Sta. OU (11,33%). Perbedaan komposisi foraminifera tipe simbion alga dan heterotrofik tidak nyata pada ketiga pulau, namun pada tipe oportunis perbedaan tersebut sangat nyata antara Pulau Karang Bongkok dan Pulau Onrust serta antara Pulau Pramuka dan Pulau Onrust (uji t, α = 0,01). Tipe oportunis merupakan tipe yang mendominasi area yang kaya akan zat hara dimana kompetisi akan sumberdaya makanan menjadi minimal. Area yang kaya akan nutrien tersebut terletak pada wilayah yang mendapat masukan dari daratan yang cukup tinggi akibat aktivitas manusia. Pada wilayah yang tertekan secara ekologi tersebut, tipe ini dapat beradaptasi pada kondisi eutrofik dan berkembang biak dengan baik (Hallock et al., 2003).
Gambar 10 Komposisi relatif kelompok fungsional foraminifera bentik. Penggunaan komposisi kelimpahan relatif yang memberikan kontribusi minimal 1% menyebabkan tereduksinya kelimpahan relatif, sehingga komposisi kelimpahan tertinggi terdapat di Sta. OB (96,83%) dan terendah di Sta. PB (75,67%) (Gambar 11). Jumlah genus mengalami penurunan menjadi 13 genera (Gambar 12). Calcarina merupakan tipe simbion alga yang umumnya mendominasi seluruh stasiun (0,67-44,50%, x = 25,08%, StD = 15,16). Rosalina adalah tipe heterotrofik yang kelimpahan relatifnya paling rendah (0-5,00%, x = 1,21%, StD = 1,51) dan hanya terdapat pada sembilan stasiun.
41
Seluruh genus predominan yang diperoleh pada penelitian ini merupakan genus yang umum ada di Kepulauan Seribu dengan kelimpahan yang berbeda antar pulau (Helfinalis dan Rositasari, 1988, Natsir, 1994, Suharti et al., 1994, Renema, 2008, Dewi et al., 2010, Natsir, 2010, Natsir dan Subkhan, 2010, 2011). Pulau yang pernah dikaji tersebut antara lain Pulau Onrust, Pulau Bidadari, Pulau Nirwana, Pulau Rambut, Pulau Pari, Pulau Tikus, Pulau Burung, Pulau Tengah, Pulau Tidung Besar, Pulau Pramuka, Pulau Kotok Besar, Pulau Pemagaran, Pulau Bira, Pulau Belanda, Pulau Pelangi, Pulau Papate, Pulau Ringgit, Pulau Peteloran Timur, Pulau Genteng Kecil, dan Pulau Genteng Besar.
Calcarina dan Quinqueloculina ditemukan juga di perairan Bunaken, Sulawesi Utara dengan kedalaman di bawah 10 meter (Suharti et al., 1994). Troelstrae et al. (1996) menemukan Calcarina, Amphistegina, Elphidium,
Peneroplis di Spermonde.
Gambar 11 Komposisi relatif foraminifera bentik predominan.
4.3.1 Kelompok Simbion Alga Calcarina. Calcarina bersimbiosis dengan Diatom, Nitzschia frustulum var. symbiotica (Renema et al., 2001). Calcarina merupakan epifauna yang umumnya melimpah di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Genus ini umumnya berada pada kondisi perairan yang memiliki substrat lumpur sampai pecahan karang dan juga pada kondisi ekosistem karang yang baik dengan energi air yang cukup besar, baik arus maupun gelombang perairan.
42
Gambar 12 Jumlah individu taksa foraminifera bentik predominan.
43
Helfinalis dan Rositasari (1988) dalam penelitiannya di Pulau Pari yang berada di sebelah selatan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, merekomendasikan bahwa kelompok Calcarinid merupakan indikator ekosistem terumbu karang. Indikasi tersebut berdasarkan kenyataan bahwa epifauna ini mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan terumbu karang (Rositasari, 1997). Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Natsir (2010), dimana pada Pulau Kotok Besar yang berada di barat laut Pulau Pramuka menemukan kelimpahan dari famili Calcarinidae tertinggi dibandingkan jenis-jenis lainnya, namun ditemukan dalam jumlah yang rendah di Pulau Nirwana yang berdekatan dengan Pulau Onrust. Pada penelitian ini terdapat tiga spesies Calcarina, yaitu C. spengleri sebagai spesies predominan diikuti C. mayori lalu C. defrancii. Murray (2006) menuliskan bahwa C. spengleri hidup pada substrat keras di ekosistem karang yang terbuka dengan kelimpahan yang tinggi pada perairan yang memiliki kandungan nutrien tinggi. Pada penelitian tahun 1929 di Teluk Jakarta, C. spengleri yang ditemukan menempati habitat berlumpur (mud), rataan karang, lereng karang, dan laguna (Tomascik et al., 1997). Troelstra et al. (1996) mendapatkan spesies ini di Spermonde, Sulawesi Selatan mendiami seluruh area terumbu karang dari intensitas cahaya yang tinggi sampai yang rendah, substrat yang lembut sampai keras, energi perairan yang rendah sampai sedang, serta kondisi perairan yang oligotrofik sampai eutrofik. Kemampuan C. spengleri untuk hidup pada perairan eutrofik mengindikasikan jenis ini merupakan pemangsa aktif dan tidak tergantung pada endosimbion saat kandungan organik perairan menjadi tinggi sehingga dapat dikelompokkan sebagai tipe oportunis. Namun meskipun dikelompokkan dalam tipe oportunis, habitat C. spengleri terbatas pada laut dangkal di sekitar karang. Hal ini berbeda dengan tipe oportunis lain seperti
Ammonia dan Elphidium yang dapat hidup dari laut dangkal hingga laut terbuka baik di lingkungan terumbu karang maupun ekosistem laut lainnya.
C. spengleri di Sta. OU dan Sta. OB yang terpapar langsung dengan laut lepas dengan substrat pecahan karang dan pasir memiliki kelimpahan yang tinggi dibandingkan dengan Sta OS. Pada Sta. OS, konsentrasi C-organik dan N-Total lebih tinggi dibandingkan Sta. OU dan Sta. OB, sehingga lebih mendukung eksistensi kelompok oportunis dan heterotrofik lainnya seperti Elphidium dan
44
Ammonia dibandingkan seluruh jenis Calcarina. Selain itu kelimpahan C. spengleri di Sta. OB yang didominasi oleh pecahan karang lebih tinggi dibandingkan Sta. OU yang didominasi substrat pasir. Hal ini sejalan dengan pendapat Cleary et al. (2005) mengenai C. spengleri di Spermonde yang lebih memilih daerah yang terekspos dibandingkan daerah terlindung. Pada bagian yang terekspos tersebut, C. spengleri akan menempel dengan kuat pada subtrat atau pecahan karang. Renema (2006) juga menemukan preferensi C. spengleri terhadap substrat pecahan karang di Berau, Kalimantan Timur. Sen Gupta (2003c) menyatakan habitat C. spengleri berada di rataan terumbu karang, yang artinya berada pada wilayah yang sangat landai. Kondisi kemiringan dasar laut yang landai dari seluruh stasiun penelitian hanya ditemukan di Pulau Onrust. Meskipun pada saat pengambilan data tidak ditemukan terumbu karang, namun keberadaan pecahan karang dan berdasarkan data jumlah jenis karang yang diuraikan oleh van der Meij et al. (2010) menegaskan bahwa dahulu wilayah perairan di sekitar Pulau Onrust merupakan habitat bagi terumbu karang. Dengan demikian ada kemungkinan spesies tersebut berasosiasi dengan terumbu karang masa lampau. Untuk meyakinkannya, maka diperlukan penentuan umur dari spesimen yang ada.
C. defrancii dan C. mayori umumnya ditemukan pada perairan oligotrofik dengan tingkat penutupan pecahan karang yang rendah. Jenis ini tidak ditemukan di Sta. PB yang memiliki persentase penutupan karang terendah.
Neorotalia Neorotalia merupakan bagian dari famili Calcarinidae, satu famili dengan genus Calcarina dimana tipe simbionnya adalah Diatom Nitzschia frustulum var.
symbiotica (Renema, 2001). Neorotalia ditemukan di seluruh stasiun penelitian. Pada penelitian ini, Neorotalia ditemukan pada semua jenis substrat, namun kelimpahan tertinggi ditemukan pada bagian wilayah yang cukup landai dengan kandungan nutrien dan bahan organik yang tinggi seperti di Pulau Onrust. N.
calcar yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tahun 1975 menempati habitat berlumpur (mud), rataan karang, lereng karang, dan laguna (Tomascik et al., 1997). Pola yang serupa ditemukan oleh Renema et al. (2001) di Spermonde. N.
calcar ditemukan secara melimpah di Spermonde pada bagian yang lebih dalam
45
zona atas lereng karang dengan substrat berpasir, membentuk kumpulan yang padat dan dapat mentoleransi kisaran parameter lingkungan yang luas (eurytopic), sehingga dapat hidup pada perairan oligotrofik sampai eutrofik. Di Kepulauan Seribu, Renema (2008) berpendapat bahwa N. calcar akan mendominasi zona rataaan karang yang cukup landai sampai puncak karang. Selain memiliki kemiripan dalam hal preferensi substrat (Hohenegger et al., 1999), N. calcar dan C. spengleri memiliki kemampuan mentoleransi kisaran lingkungan perairan yang lebih luas dari C. defrancii (Renema dan Troelstra, 2001). Hasil penelitian menunjukkan kelimpahan C. defrancii menurun bahkan tidak ada pada lokasi yang makin tercemar, sementara kelimpahan N. calcar dan
C. spengleri meningkat.
Amphistegina Amphistegina bersimbiosis dengan Diatom, Nitzschia frustulum var. symbiotica (Renema et al., 2001), N. panduriformis var subsalina, N. panduriformis var continua, Flagilaria sp., dan Navicula sp. (Rositasari dan Sidabutar, 1993). Tiga spesies yang ditemukan berdasarkan jumlah terbanyak secara berturut – turut yaitu A. lessonii, A. radiata, dan A. lobifera. A. lessonii dan
A. radiata banyak ditemukan pada daerah lereng terumbu, sedangkan A. lobifera jarang ditemukan. Hal ini terjadi karena habitat A. lobifera berada di bagian atas lereng terumbu pada perairan lebih dangkal dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi. Kondisi ini sesuai dengan yang diperoleh Renema (2008) di Kepulauan Seribu dan Troelstra et al. (1996) di wilayah Spermonde. Pada kedua lokasi tersebut A. lessonii mendiami habitat dengan intensitas cahaya yang tinggi, memiliki substrat keras seperti pecahan karang dengan energi perairan yang sedang sampai tinggi di wilayah oligotrofik, terletak pada dataran sampai lereng karang dimana kelimpahan tertinggi ditemukan di lereng karang (Renema dan Troelstra, 2001). A. radiata umumnya berada pada ekosistem terumbu karang yang didominasi substrat pecahan karang, beberapa muncul di wilayah berpasir bercampur dengan pecahan karang. Hasil penelitian Natsir (2010) menunjukkan kelimpahan Amphistegina yang tinggi merupakan indikasi perairan yang memiliki kondisi terumbu karang yang
46
baik. Tomascik et al. (1997) menuliskan bahwa A. lessonii berada pada habitat rataan dan lereng karang di Pulau Pari. Hal ini sesuai dengan kondisi Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka yang merupakan wilayah terumbu karang, sehingga kelimpahan A. lessonii cukup tinggi
Amphistegina memberikan respon negatif terhadap adanya pencemaran perairan. Jenis ini melimpah di Pulau Karang Bongkok, kelimpahannya menurun di Pulau Pramuka, dan kelimpahan terendah di Pulau Onrust. Kelompok dari famili Amphisteginidae ini menunjukkan pola sebaran yang lebih jelas dibandingkan femili Calcarinidae dalam merespon kualitas perairan dan kondisi terumbu karang. Pada ekosistem terumbu karang yang baik, maka kelompok dari famili Amphisteginidae akan melimpah dan bersama dengan kelompok dari famili Calcarinidae akan mendominasi foraminifera lainnya, sedangkan kualitas perairan yang menurun menyebabkan kelimpahan kelompok ini menjadi berkurang (Hallock et al., 2003, Renema, 2010).
Peneroplis Peneroplis planatus bersimbiosis dengan Rhodophyte Porhyridium purpureum (Renema et al., 2001) dan beberapa jenis dari marga Volvocales serta Chlorococcales dari Kelas Chlorophycea (Rositasari dan Sidabutar, 1993).
Peneroplis sangat jarang ditemukan pada perairan yang memiliki tingkat kekeruhan tinggi pada substrat berlumpur dan liat. Hal ini dibuktikan dengan sangat rendahnya kelimpahan Peneroplis di Pulau Onrust. Tiga spesies yang ditemukan dari kelimpahan yang tertinggi berturut-turut adalah P. pertusus, P.
antillarum, dan P. planatus. Pada ekosistem terumbu karang di Spermonde, Peneroplis berada pada zona rataan, lereng, sampai dasar karang; intensitas cahaya yang tinggi sampai rendah; substrat yang keras maupun berpasir, energi perairan yang sedang sampai rendah; dan kondisi perairan yang oligotrofik (Troelstra et al. 1996). Meskipun Peneroplis mendiami habitat yang bersubstrat pasir, namun jenis ini, khususnya P. planatus menghindari substrat yang lembut (Renema dan Troelstra, 2001) seperti lumpur dan liat. Pulau Onrust memiliki kelimpahan Peneroplis yang sangat rendah dengan kelimpahan relatif tertinggi sebesar dua individu di Sta. OS dimana tidak dijumpai P. planatus. Selain itu P.
47
planatus cenderung memilih lokasi yang terlindung dengan substrat yang keras seperti pecahan karang dan karang mati seperti di Sta. KS dan Sta. PB, meski jenis ini juga ditemukan di lokasi lain dengan kelimpahan yang lebih rendah dibandingkan Sta. KS dan Sta. PB. Kondisi ini serupa dengan temuan Renema et
al. (2001) di Spermonde.
4.3.2 Kelompok Oportunis. Elphidium Elphidium ditemukan di zona perairan dengan kandungan konsentrasi nutrien dan kekeruhan yang tinggi seperti Pulau Onrust, meski demikian organisme ini dapat hidup di seluruh tipe perairan ekosistem terumbu karang dengan kelimpahan yang rendah pada daerah oligotrofik dan tingkat kekeruhan perairan yang rendah. Habitat Elphidium di Spermonde berada di lereng terumbu karang sampai bagian paling bawah dengan intensitas cahaya yang sedang sampai rendah, substrat sedimen yang lembut, energi perairan yang rendah, dan mendominasi perairan yang eutrofik (Troelstra et al., 1996). Kelimpahan jenis ini akan meningkat pada perairan yang lebih dalam dari zona fotik (Renema dan Troelstra, 2001). Elphidium mendominasi perairan Teluk Jakarta yang tercemar melebihi daerah Kepulauan Seribu yang kondisinya lebih baik dibandingkan Teluk Jakarta (Renema, 2008). Elphidium juga akan mendominasi perairan yang berdekatan dengan perairan tercemar lainnya dengan tingkat kecerahan yang rendah seperti di Pulau Nirwana (Natsir, 2010). Tidak seperti Calcarina, Amphistegina, dan Neorotalia yang bersimbiosis dengan alga di area oligotrofik, Elphidium yang mendominasi zona mesotrofik sampai eutrofik tidak bersimbiosis dengan alga. Bila pada tipe simbion alga, alga tersebut tinggal dalam foraminifera, maka pada tipe heterotrofik seperti
Elphidium, alga yang berada di luar sistem tubuhnya akan dicerna terus menerus. Kloroplas pada alga yang telah dicerna disimpan oleh Elphidium dan memberikan energi untuk kehidupannya, oleh karena itu jenis ini menunjukkan adanya kloroplas -yang merupakan bagian dari alga- dalam tubuhnya (Renema et
al., 2001).
48
Ammonia Ammonia dapat ditemukan di semua substrat yang berasosiasi dengan ekosistem karang maupun ekosistem pesisir lainnya di perairan dangkal (Javaux dan Scott, 2003), namun kelimpahan tertinggi diperoleh pada perairan eutrofik dengan kandungan bahan organik yang tinggi seperti di Pulau Onrust. Selain itu perairan yang terlindung merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan organisme infauna ini (Alve, 1999) seperti di Sta. PB di Pulau Pramuka dan Sta. OS di Pulau Onrust. Meskipun nilai salinitas pada saat penelitian di Sta. OS merupakan yang tertinggi (34,5), namun letaknya yang berhadapan dengan Teluk Jakarta menyebabkan salinitas pada wilayah tersebut berpotensi sangat fluktuatif dan dipengaruhi oleh pasang surut serta masukan perairan tawar dari belasan sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Akibat dari proses tersebut menyebabkan salinitas di sekitar Pulau Onrust bisa menjadi lebih rendah. Kelimpahan A. beccari yang tinggi pada pulau ini dapat menjadi indikator perairan yang bersalinitas rendah (Suharti et al., 1994, Rositasari, 2005) dengan kondisi yang eutrofik. Rendahnya total kelimpahan Ammonia dibandingkan Cymbaloporetta karena delapan stasiun (pada Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka) merupakan wilayah oligotrofik, sedangkan tiga stasiun sisanya (pada Pulau Onrust) merupakan wilayah eutrofik. Meski demikian, bila dilihat dari kelimpahan tiap stasiun, maka Ammonia menunjukkan kelimpahan tertinggi pada wilayah eutrofik, terutama pada area dengan kandungan bahan organik serta Ntotal yang tinggi. Hewan oportunis ini merupakan indikator polusi perairan laut karena organisme ini dapat mentoleransi kondisi perairan yang tercemar (Koukousioura et al., 2011). Natsir (2010) menemukan genus ini mendominasi perairan di Pulau Nirwana yang memiliki pH dan tingkat kecerahan yang rendah. pH yang rendah dengan tingkat kecerahan yang juga rendah mengindikasikan perairan yang kaya akan bahan organik. Sedimen yang lembut pada perairan eutrofik yang tenang mengandung banyak bahan organik sebagai makanannya, sehingga sangat sesuai dengan habitat Ammonia (Debenay et al., 2002, Rositasari, 2005).
49
4.3.3 Kelompok Heterotrofik Quinqueloculina. Quinqueloculina umumnya ditemukan di wilayah perairan yang terlindung di perairan estuari, laguna, sampai zona intertidal (Yassini dan Jones, 1995). Sta. OS merupakan wilayah yang semi tertutup, dimana pada bagian selatan Pulau Onrust tersebut berhadapan langsung dengan Teluk Jakarta. Pada Sta. OS, kelimpahan Quinqueloculina lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya di Pulau Onrust. Pada lokasi yang terlindung seperti Sta. PB yang berhadapan dengan Pulau Panggang, Pulau Karya, dan Gosong Pramuka, jenis ini juga memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dibandingkan stasiun lain di Pulau Pramuka. Pada Pulau Karang Bongkok, kelimpahan Quinqueloculina cukup seimbang di keempat stasiun karena posisi pulau ini cukup jauh dari pulau besar lainnya sehingga keberadaan Pulau Karang Bongkok cukup terbuka. Selain kelimpahan Ammonia yang tinggi, dominasi Quinqueloculina mengindikasikan perairan yang tertekan secara ekologi yang diindikasikan dengan tingginya kandungan bahan organik (Barbosa et al., 2009, Wilson dan Wilson, 2011) dan rendahnya tingkat kecerahan (Natsir, 2010). Meski demikian, konsentrasi bahan organik bukan satu-satunya penyebab utama tingginya kelimpahan Quinqueloculina. Kondisi fisik seperti substrat dan lokasi stasiun yang terekspos atau terlindung berperan dalam mempengaruhi distribusi organisme
ini.
Keberadaan
jenis
ini
di
semua
stasiun
menunjukkan
Quinqueloculina merupakan organisme yang kosmopolitan.
Cymbaloporetta Cymbaloporetta merupakan kelompok heterotrofik yang ditemukan dalam jumlah individu yang cukup seimbang di seluruh stasiun yang bersifat oligotrofik seperti di Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka atau tempat yang terlindung seperti di Sta. PB dan Sta. OS. Hatta dan Nishihira (2002) menemukan organisme yang memiliki sifat menetap ini mendominasi tempat yang terlindung. Tempat yang terlindung menyediakan habitat yang stabil baik dari sisi makanan maupun kestabilan substrat. Habitat ini merupakan tempat yang sesuai dengan organisme yag memiliki sifat menetap. van Marle (1988) menemukan Cymbaloporetta di
50
Laut Banda pada kedalaman 150 m, dimana kondisi substrat menjadi lebih stabil dibandingkan perairan yang lebih dangkal. Rendahnya kelimpahan organisme ini di hampir seluruh stasiun sesuai dengan yang diperoleh oleh Narrayan dan Pandolfi (2010) di Teluk Moreton, Queensland Tenggara, Australia.
Miliolinella Miliolinella ditemukan di seluruh stasiun dengan kelimpahan yang rendah. Javaux dan Scott (2003) menyatakan bahwa organisme heterotrofik ini ditemukan di ekosistem terumbu karang, terutama di area laguna. Horton et al. (2003) melaporkan bahwa Miliolinella mendominasi substrat lumpur yang tidak memiliki vegetasi. Kehadiran Miliolinella mengindikasikan kondisi perairan yang mirip dengan estuari alami (Carnahan et al., 2009). Menurut Uthicke et al. (2010) di wilayah Whitsunday, Great Barrier Reef Australia, hewan ini berasosiasi dengan sedimen yang lembut disertai kandungan organik yang tinggi. Kondisi yang ditemukan pada penelitian ini lebih sesuai dengan sebagian pendapat Horton et al. (2003), meskipun belum menunjukkan pola yang jelas antar stasiun. Pada seluruh stasiun, Miliolinella yang ditemukan berada pada substrat yang tidak didominasi oleh vegetasi. Kandungan hara dan organik sedimen diduga menjadi faktor utama preferensi habitat pada kelompok epifauna ini di Kepulauan Seribu.
Textularia Textularia ditemukan di seluruh stasiun penelitian tanpa menunjukkan pola preferensi yang jelas terhadap habitat yang spesifik. Murray (2006) menuliskan habitat epifauna ini di sedimen dan substrat yang keras karena sifatnya yang bergerak bebas atau melekat. Organisme heterotrofik ini ditemukan di sedimen dengan kelimpahan yang rendah, hal ini sesuai dengan pendapat Schueth dan Frank (2008). Meskipun kelimpahannya rendah (total 2% dari seluruh stasiun), namun masih lebih tinggi dibandingkan temuan Scoffin et al. (1985) di wilayah pusat Great Barrier Reef, Australia yaitu kurang dari 1%.
51
Eponides Eponides termasuk kelompok heterotrofik yang yang kelimpahannya rendah. Hewan ini ditemukan di seluruh stasiun yang mengindikasikan kisaran lingkungan yang cukup luas untuk mendukung kehidupannya, baik di sedimen maupun substrat yang keras (Murray, 2006). Meski ditemukan dengan kelimpahan yang rendah (Narrayan dan Pandolfi, 2010), namun epifauna ini cukup umum ditemukan di ekosistem terumbu karang, laguna semi tertutup, dan wilayah laguna yang jauh dari pantai (offshore) (Javaux dan Scott, 2003).
Spiroloculina Spiroloculina ditemukan di seluruh stasiun dengan jumlah individu yang rendah dibandingkan sebelas genus yang telah dibahas sebelummya. Rendahnya kelimpahan hewan ini sesuai dengan hasil kajian Schueth dan Frank (2008) di Low Isles, bagian utara Great Barrier Reef-Australia. Meskipun kelimpahannya rendah, namun pada Sta. KS, Sta. PB, Sta. PS, dan Sta. OS menunjukkan habitat organisme ini berada pada wilayah yang semi tertutup, karena pada keempat stasiun tersebut kelimpahannya cukup tinggi bila dibandingkan dengan stasiun lainnya pada pulau yang sama. Menurut Yassini dan Jones (1995), Spiroloculina ditemukan di wilayah perairan yang terlindung dari perairan estuari, laguna, sampai zona intertidal. Bila ketiga pulau tersebut dibandingkan, maka terlihat pola yang cukup jelas pada kelompok miliolida di Pulau Pramuka, khususnya di Sta. PB dan Sta. PS
yang
umumnya
memiliki
kelimpahan
Quinqueloculina,
Peneroplis,
Miliolinella, dan Spiroloculina yang lebih tinggi dibandingkan kedua pulau dan stasiun lainnya. Hasil pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan karang keras (Gambar 8) menunjukkan bahwa Sta. PB, Sta. PU, dan Sta. PS berada pada satu kelompok, namun kelimpahan grup Miliolida di Sta. PU sangat rendah, sehingga faktor terumbu karang bukan merupakan penyebab utama tingginya kelimpahan grup ini. Tampaknya pendapat Yassini dan Jones (1995) berkaitan dengan tempat yang lebih terlindung bagi habitat Miliolida lebih sesuai untuk menjelaskan fenomena ini.
52
Rosalina Rosalina ditemukan di ketiga pulau dengan kelimpahan yang paling rendah dari 13 genera predominan. Keberadaannya yang ada di seluruh pulau kajian mengindikasikan distribusinya yang menyebar luas di wilayah pesisir dari ekosistem mangrove, laguna, sampai terumbu karang (Javaux dan Scott, 2003). Kelimpahan tertinggi epifauna sessile ini (Murray, 2006) ada di Pulau Onrust, khususnya Sta. OS. Kandungan C-organik yang tinggi dan lokasi yang cukup terlindung karena berada pada area yang semi tertutup yang berhadapan dengan Teluk Jakarta diduga menyebabkan kelimpahan Rosalina menjadi tinggi di Sta. OS. Bergamin et al. (2009) berpendapat bahwa R. bradyi berada pada lingkungan epifit dan juga mendiami pasir yang didominasi oleh detritus. Murray (2006) menuliskan bahwa komposisi Rosalina spp. pada kumpulan lamun dan makro alga mencapai 25-85%, sedangkan pada zona mikrohabitat hanya 10-45%.
R. bradyi yang hidup di substrat yang keras seperti karang dan spons atau menempel pada lamun di pesisir Prancis, Teksas, dan Karibia atau pada pantai berbatu seperti di Northland (Selandia Baru) dapat muncul pada sedimen halus (fine sediment) di Laut Adriatik. Rosalina spp. di Honshu, pesisir laut Jepang di Pasifik Barat muncul di habitat dengan sedimen halus sampai kasar pada kedalaman 5-50 m. R. globularis cukup sering ditemukan pada sedimen berpasir dengan kepadatan lamun yang sangat rendah di laguna Apo Reef, FilipinaSamudra Pasifik. Natsir (2010) menyatakan bahwa pada lokasi yang lebih terlindung di Pulau Nirwana bagian barat, selatan, dan timur menunjukkan kelimpahan Rosalina yang lebih tinggi dibandingkan di bagian utara. Kesimpulan umum yang dapat ditarik dari uraian tersebut menunjukkan bahwa Rosalina merupakan
epifauna yang melekat pada substrat yang lembut sampai kasar
dengan kandungan organik tinggi di lokasi semi tertutup. Kesimpulan dari habitat
Rosalina secara umum ini sesuai dengan hasil yang ditemukan pada daerah penelitian, terutama bila dikaitkan dengan tingginya Rosalina di Sta. OS yang cukup terlindung dibanding Sta. OU dan Sta. OS, namun lebih rendah dibandingkan stasiun pada Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka.
53
4.4 Analisa Kesamaan Bray Curtis Pada Foraminifera Hasil analisis kesamaan Bray Curtis (Gambar 13, Lampiran 11) menunjukkan ada tiga kelompok stasiun berdasarkan kelimpahan relatif 13 genera predominan. Pengelompokan ini tidak seluruhnya sesuai dengan pengelompokan stasiun berdasarkan kondisi lingkungan perairan dan persentase penutupan karang. Pada skala kecil, beberapa stasiun menunjukkan kesamaan antara kelimpahan relatif foraminifera, parameter lingkungan perairan, dan persentase penutupan karang (Sta. OU-OB, Sta. KT-PT, dan Sta. KU-KB-KS), sedangkan pengelompokan Sta. KT-PU-PT berdasarkan pengelompokan foraminifera predominan memiliki pola yang serupa dengan kualitas parameter lingkungan perairan.
Gambar 13 Pengelompokan stasiun berdasarkan kelimpahan relatif 13 taksa predominan foraminifera bentik. Konsistensi pengelompokan stasiun pada Sta. KU-KB-KS mengindikasikan kondisi perairan yang stabil, tanpa gangguan fisik maupun kimia yang akan merubah struktur biotik di lingkungan tersebut. Pada Sta. OU-OB yang menghadap laut terbuka secara tidak langsung berpengaruh terhadap kelimpahan dan keragaman foraminifera bentik yang berbeda dengan Sta. OS di perairan yang lebih tertutup. Situasi yang serupa terjadi pada Sta. KT dan Sta. PT yang berhadapan langsung dengan bagian barat Laut Jawa. Perbedaan yang terjadi pada Sta. PU, Sta. PS, Sta. PB, dan Sta. OS mengindikasikan adanya faktor lain yang tidak terukur misalnya aktifitas manusia
54
(seperti pariwisata, pelayaran/transportasi, pelabuhan, dan perikanan) yang berakibat terhadap perubahan eksistensi terumbu karang dan berpengaruh terhadap organisme di sekitarnya termasuk foraminifera. Selain itu kondisi yang tidak stabil tersebut direspon dengan cara dan kecepatan yang berbeda baik antara foraminifera dan terumbu karang, juga antar spesies dalam foraminifera dan terumbu karang terhadap kondisi lingkungan perairan. Masing-masing spesies memiliki waktu yang dan cara yang berbeda untuk beradaptasi atau melakukan pemulihan diri ketika menghadapi lingkungan yang labil.
4.5 Keragaman Foraminifera Bentik Kisaran keragaman Shannon (H’) secara spesies dari 3,01-4,17, secara genus 2,57-3,59, dan genus predominan 2,18-2,53. Hasil korelasi yang tinggi antar tipe keragaman (r = 0,89-0,95) memberi peluang untuk dapat mengkalkulasi salah satu tipe keragaman foraminifera bentik -baik secara spesies, genus, maupun genus predominan- yang dikaitkan dengan persentase penutupan karang dan FORAM Index. Nilai keragaman yang lebih dari 2,1 menunjukkan kondisi perairan lautan pada umumnya dari perairan dangkal sampai perairan dalam (Murray, 1991b dan Heinz et al., 2004). Sta. KU dan Sta. KB menunjukkan konsistensi keragaman yang tinggi dengan jumlah taksa yang tinggi juga, sedangkan jumlah individu dalam setiap taksa cukup rendah. Sta. OB menunjukkan keragaman yang paling rendah, hal yang sama terjadi pada jumlah taksa yang terendah diikuti kelimpahan relatif tertinggi (Gambar 9, 11, dan 14). Secara umum, keragaman tertinggi berada di Pulau Karang Bongkok, diikuti Pulau Pramuka, kemudian Pulau Onrust. Hasil ANOVA satu arah (α = 0,05) menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara stasiun yang terletak antara Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka meski keragaman di Pulau Pramuka lebih rendah. Perbedaan keragaman yang nyata terjadi antara Pulau Karang Bongkok dan Pulau Onrust serta antara Pulau Pramuka dan Pulau Onrust. Wilayah yang berdekatan dengan aktivitas daratan dan mengalami tekanan akibat kadar nutrien yang tinggi cenderung menyebabkan nilai keragaman menjadi lebih rendah (Renema, 2008). Kandungan nutrien terutama amonia dan fosfat pada Pulau Pramuka lebih tinggi dibandingkan Pulau Karang Bongkok
55
yang sangat sedikit terpengaruh oleh aktivitas manusia. Pulau ini hanya memiliki satu rumah penginapan yang jarang digunakan, selain itu aktivitas selam tidak sebanyak Pulau Pramuka meski persentase penutupan karangnya lebih baik dari Pulau Pramuka. Hal ini dikarenakan jarak dari Pulau Pramuka yang cukup jauh ke Pulau Karang Bongkok (~9 km). Waktu yang dibutuhkan ke pulau ini dari Pulau Pramuka sekitar satu jam menggunakan perahu motor kecil. Pulau yang berdekatan dengan Pulau Karang Bongkok adalah Pulau Opak Kecil dan Pulau Opak Besar. Di lain pihak, Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau dengan aktivitas masyarakat tinggi mulai dari pemerintahan, pendidikan, penangkapan ikan, budidaya perairan, olahraga air, dan pariwisata lautnya. Selain itu Pulau Pramuka berhadapan dengan Pulau Panggang yang juga merupakan wilayah pemukiman cukup padat dengan berbagai aktivitasnya. Jalur perairan antara Pulau Panggang dan Pulau Pramuka cukup aktif sebagai jalur penyeberangan laut.
Gambar 14 Indeks keragaman foraminifera bentik. Pulau Onrust yang sangat dekat dengan Teluk Jakarta (~7 km) mengalami tekanan ekologi sangat tinggi, menyebabkan keragaman foraminifera bentik pada pulau ini sangat rendah dimana jumlah individu dalam beberapa genus atau spesies menjadi sangat dominan. Aktivitas daratan dari kota besar seperti Jakarta yang berkali lipat dari Pulau Pramuka dan Pulau Panggang akibat jumlah penduduknya yang lebih dari 9,6 juta orang ditambah sekitar 2,5 juta pekerja tambahan setiap harinya (Firman et al., 2011) menyebabkan polusi yang dihasilkannya sangat tinggi, sehingga dapat mempengaruhi lingkungan perairan di Pulau Onrust. Pengaruh yang merugikan ini ditambah dengan tekanan ekologi
56
dari sejumlah pulau di sekitar Pulau Onrust yang digunakan sebagai tempat pariwisata seperti Pulau Bidadari, Pulau Ayer, dan Pulau Kelor, menambah beban pencemaran di perairan Pulau Onrust. Genus Calcarina, Neorotalia, dan
Elphidium mendominasi perairan di Pulau Onrust. Elphidium merupakan tipe oportunis yang dapat berkembang dengan baik saat terjadi kelimpahan mikroalga sebagai makanannya (Murray, 2006) yang dipicu oleh tingginya nutrien. Keberadaan Calcarina dan Neorotalia di zona eutrofik menjadi menarik karena menurut Hallock et al. (2003), meningkatnya nutrien akan digunakan oleh mikroalga untuk pertumbuhan dan reproduksi yang pada akhirnya akan merugikan inangnya, dalam hal ini Calcarina dan Neorotalia yang memiliki sifat endosimbion. Pada kenyataannya kedua genus ini sangat melimpah di Pulau Onrust, bahkan kelimpahan Calcarina melampaui Elphidium. Dominasi
Calcarina terutama diakibatkan karena melimpahnya spesies C. spengleri. Telah diungkapkan pada bahasan sebelumnya bahwa dominasi C. spengleri dan N.
calcar memberikan kesimpulan sementara bahwa kedua spesies endosimbion ini diduga merupakan hewan oportunis dan juga mungkin merupakan kumpulan foraminifera mati yang berasal dari sedimen masa lalu ketika masih menjadi ekosistem terumbu karang. Hewan oportunis memiliki sifat generalis yang memanfaatkan makanan tidak hanya dari alga yang bersimbiosis dengannya, tetapi juga aktif mengambil makanan dari luar dirinya. Lebih jauh lagi berdasarkan kesimpulan Renema et al. (2001) terhadap pendapat Hallock (1991), foraminifera akan membangun cangkang yang kuat dan tebal di wilayah yang memiliki energi perairan yang kuat (seperti paparan arus dan gelombang), sedangkan di perairan yang tenang akan didominasi foraminifera yang bercangkang tipis. Kelimpahan C. spengleri dan N. calcar yang tinggi di Sta. OU dan Sta. OB yang berhadapan dengan laut terbuka sesuai dengan pendapat tersebut bila dibandingkan dengan Sta. OS yang memiliki kemiripan kondisi lingkungan perairan, namun berada pada wilayah yang semi tertutup. Pola yang serupa pada jenis Calcarina dan Neorotalia dapat ditemukan di Sta. KT, Sta. PU, dan Sta. PT yang berhadapan dengan laut terbuka dimana kelimpahannya lebih tinggi dibanding stasiun lainnya pada pulau yang sama.
57
Terumbu karang menyediakan beragam habitat bagi organisme yang berasosiasi dengannya, sehingga sejumlah besar spesies dapat hidup di ekosistem ini dengan kelimpahan yang bervariasi. Rusaknya ekosistem ini secara fisik seperti meningkatnya pecahan karang dan sedimentasi akan memperkecil relung hidup bagi banyak spesies. Peningkatan nutrien berperan dalam menambah tekanan terhadap eksistensi terumbu karang sehingga dapat mengurangi tutupan karang hidup dan makin mengurangi keragaman habitat yang berujung pada berkurangnya jumlah spesies dan individu yang berasosiasi. Pada saat itu, umumnya organisme generalis akan mendominasi ekosistem yang sudah rusak (Renema, 2008) karena kemampuan mereka dalam memanfaatkan berbagai pakan yang tersedia dalam kondisi ekosistem yang tertekan.
4.6 Aplikasi FORAM Index Pada Ekosistem Terumbu Karang Gambar 15 menyajikan sebaran persentase terumbu karang (%TK), jumlah taksa terumbu karang (Taksa TK), FI, dan keragaman foraminifera bentik (H’) yang diurut berdasarkan nilai FI tertinggi. Nilai FORAM Index (FI) berkisar antara 3,36-8,22. Nilai FI terendah terletak di Sta. OS, sedangkan tertinggi di Sta. PT. Berdasarkan usulan Hallock et al. (2003), Sta. OS (FI = 3,36) mengindikasikan lingkungan yang terbatas untuk pertumbuhan karang dan tidak cocok untuk pemulihan kembali pada karang yang telah rusak bila terjadi gangguan pada wilayah tersebut. Nilai FORAM Index di Sta. OS tersebut sesuai dengan hasil yang diperoleh oleh Dewi et al. (2010) di Pulau Bidadari, Pulau Pramuka, dan Pulau Belanda serta Natsir (2010) di Pulau Nirwana, dimana sampel foraminifera bentik yang diperoleh dari pulau-pulau di Kepulauan Seribu tersebut berasal dari luar ekosistem terumbu karang. Secara spesifik, baik Pulau Bidadari maupun Pulau Nirwana berdekatan dengan Pulau Onrust. Kedua pulau tersebut berada di sebelah timur Pulau Onrust. Pada ekosistem laut yang tidak berasosiasi dengan terumbu karang tersebut umumnya didominasi oleh kelompok oportunis seperti Elphidium dan Ammonia, serta kelompok heterotrofik seperti
Quenqueloculina, Rosalina, dan Spiroloculina. Sta. PB (FI = 4,68) merupakan stasiun yang kondusif bagi pertumbuhan terumbu karang, namun bila terjadi variasi nilai FI pada stasiun ini
58
mengindikasikan terjadinya tahapan awal penurunan lingkungan perairan. Seluruh stasiun di Pulau Karang Bongkok dan tiga stasiun di Pulau Pramuka menunjukkan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan terumbu karang atau merupakan tempat yang sesuai bagi pemulihan terumbu jika pernah rusak (FI>5). Natsir (2010) dalam kajiannya di Pulau Kotok Besar yang berada di sebelah barat laut Pulau Pramuka menunjukkan nilai FI yang besar (7,57-7,63) didominasi oleh kelompok fungsional simbion alga yaitu genus Amphistegina (23,19-24,72%), Calcarina (15,78-17,32%), dan Tynoporus (13,58-15,95%). Murray (1991b) mengemukakan bahwa Tynoporus merupakan nama lain dari Calcarina.
Gambar 15 Sebaran persentase terumbu karang (%TK), jumlah taksa terumbu karang (Taksa TK), FI, dan keragaman foraminifera bentik (H’). Anomali nilai FI terjadi pada Sta. OU dan Sta. OB. Seharusnya nilai FI pada kedua stasiun tersebut menunjukkan nilai yang rendah seperti yang terjadi pada Sta. OS, namun nilai FI pada kedua stasiun tersebut cukup tinggi (Sta. OU = 6,80 dan Sta. OB = 7,01). Meskipun secara umum nilai FI lebih rendah di Pulau Onrust dibandingkan kedua pulau lainnya, namun kecenderungan nilai FI tidak seluruhnya sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hallock et al. (2003), baik antar pulau maupun antar stasiun. Sta. OU dan Sta. OB yang tidak memiliki tutupan karang hidup seperti Sta. OS bahkan memiliki nilai FI yang tinggi, sedangkan persentase penutupan karang keras tertinggi pada Sta. KB (24,68%) memiliki nilai FI yang lebih rendah (5,96) dibandingkan Sta. OB dan Sta. OU. Natsir dan Subkhan
59
(2011) memperoleh nilai FI yang tinggi (7,02-7,51) di Pulau Bidadari yang berada di sebelah timur Pulau Onrust. Genus yang mendominasi di perairan Pulau Bidadari tersebut secara berturut-turut dari jumlah spesimen yang paling tinggi adalah Amphistegina (53), Ammonia (18), Calcarina (17), Tynoporus (17),
Quinqueloculina (16), dan Elphidium (14). Tingginya nilai FI tersebut tidak sesuai dengan kondisi penutupan karang keras yang sangat rendah. Pada tahun 2007, penutupan karang keras di Pulau Bidadari sebesar 0,4%, tidak jauh berbeda dengan kondisi di Pulau Onrust (0%) (Fadila dan Idris, 2009). Hasil penelitian Dewi et al. (2010) lebih dapat menunjukkan kondisi perairan Pulau Bidadari karena nilai FI yang diperoleh cukup rendah (2,99) dimana genus yang melimpah berturut-turut dengan kelimpahan relatif tertinggi adalah Quinqueloculina (30,82%), Elphidium (23,28%), Amphistegina (17,27%), dan Ammonia (9,62). FORAM Index selama ini telah diaplikasikan pada data foraminifera bentik yang dikaitkan secara langsung dengan persentase penutupan terumbu karang di Puerto Rico (Karibia), Florida Keys (Atlantik barat), Hawaii (Pasifik), Great Barrier Reef-Australia (Pasifik) (Hallock et al., 2003), Corumbau dan Abrolhos di Timur Brazil (Atlantik barat daya) (Barbosa et al., 2009), Teluk Moreton, Queensland bagian tenggara Australia (Narayan dan Pandolfi, 2010), dan Laut Aegean (Yunani-Timur laut Mediterania) (Koukousioura et al., 2011). Umumnya nilai FI menunjukkan kesesuaian dengan kondisi ekosistem terumbu karang. Hasil penelitian di ketiga pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan pola yang berlawanan pada beberapa stasiun, khususnya Sta. OU dan Sta. OB. Tingginya nilai FI di Sta. OB dan Sta. OU diduga karena empat hal yang mungkin benar-benar terpisah atau saling mendukung. Skenario pertama karena melimpahnya tipe simbion alga yaitu C. spengleri dan N. calcar. Kedua spesies ini diduga merupakan tipe simbion alga yang dapat hidup di area oligotrofik sekaligus tipe oportunis yang dapat memanfaatkan hara baik dari alga endosimbion dan dari luar dirinya, oleh karena itu dapat hidup pada daerah eutrofik (Troelstra et al., 1996). Hasil penelitian ini menunjukkan kelimpahan C.
spengleri dan N. calcar yang sangat tinggi pada Sta. OU dan Sta. OB dibandingkan dengan kelompok Calcarinid lain (Gambar 16). Lebih jauh lagi secara sekilas ukuran cangkang kedua jenis ini di Sta. OU dan Sta. OB lebih besar
60
dibandingkan kelompok dan bahkan jenis yang sama di stasiun lainnya. Ukuran cangkang yang lebih besar ini diduga akibat kemampuan organisme ini bertahan pada kondisi yang tertekan secara ekologis sehingga mengurangi persaingan antar individu dan sekaligus memanfaatkan sumberdaya makanan yang berlimpah.
Gambar 16 Sebaran spesies pada Famili Calcarinidae pada setiap stasiun. Skenario kedua berkaitan dengan kondisi fisik kedua spesies tersebut. Pada dasarnya kedua jenis organisme itu merupakan organisme yang hidup pada perairan oligotrofik, namun dapat tinggal di wilayah eutrofik sementara foraminifera besar lain sudah tidak mampu lagi untuk beradaptasi dengan kondisi perairan yang makin buruk. Keadaan duri (spine) Calcarinid yang semuanya dalam kondisi patah, cangkang yang rusak, dan warna cangkang yang coklat merupakan salah satu bukti bahwa kondisi lingkungan perairan saat ini di Sta. OU dan Sta. OB tidak sebaik masa lalu. Skenario ini disebut juga dengan istilah relict
scenario (Barbosa et al., 2009). Amphistegina merupakan foraminifera besar yang ditemukan dengan kelimpahan yang sangat rendah dalam kondisi cangkang yang rusak dan ukuran cangkang yang lebih kecil pada kedua stasiun eutrofik ini. Uraian sebelumnya mengenai kondisi perairan Onrust yang kaya akan terumbu karang membuktikan bahwa perairan ini dahulu pada dasarnya merupakan habitat kelompok Calcarinid. Skenario ketiga berkaitan dengan kondisi foraminifera yang masih hidup atau sudah mati. Ada kemungkinan sampel foraminifera yang dianalisis
61
merupakan foraminifera mati dan merupakan sisa-sisa kumpulan foraminifera pada masa lampau saat kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Onrust masih baik. Pada tahun 1920 Pulau Onrust masih memiliki 57 spesies karang, namun pada tahun 2005 hanya terdapat tujuh spesies karang (van der Meij et al., 2010). Meski demikian, dugaan kondisi foraminifera tersebut belum dapat dijawab karena pada penelitian ini tidak dilakukan penentuan foraminifera yang masih hidup dan mati serta penentuan umur cangkangnya. Bila kumpulan foraminifera tersebut terbukti berasal dari organisme hidup masa sekarang, maka kondisi foraminifera tersebut sesuai dengan skenario pertama dan atau kedua sehingga memungkinkan untuk melakukan modifikasi FI sesuai pendapat Hallock et al. (2003). Jika kumpulan tersebut berasal dari kumpulan masa lalu, maka organisme tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan FI Skenario keempat berkaitan dengan distribusi Calcarina. Renema (2008) mengungkapkan lebih dari 50% spesimen yang dikalkulasi dari Teluk Jakarta sampai Kepulauan Seribu merupakan kelompok Calcarinid. Hasil ini berbeda dengan beberapa penelitian yang mengkaji FI seperti yang telah diungkapkan sebelumnya dimana keberadaan Calcarinid hanya terbatas pada ekosistem terumbu karang yang masih baik. Calcarinid merupakan kelompok yang sebarannya terbatas di Indo-Pasifik bagian barat, sedangkan di Florida dan lokasi lain di luar Indo-Pasifik bagian barat jenis ini sangat jarang bahkan tidak ditemukan sehingga tidak mempengaruhi nilai FI. Berdasarkan sebaran geografis Calcarinid tersebut, maka Renema menyarankan agar mempertimbangkan preferensi organisme terhadap lingkungan perairan saat menggunakan FI. Sejauh ini tidak ada satupun penelitian yang dilakukan oleh Renema menggunakan perhitungan FI karena keterbatasannya tersebut (Renema 22 Agustus 2011, komunikasi pribadi). Namun kelompok Calcarinid tersebut oleh Boltovskoy dan Wright (1976) dan Hallock et al., (2003) dimasukkan kedalam kelompok yang berasosiasi dengan terumbu karang, sehingga untuk di Indonesia sebaiknya aplikasi FI terus diuji dengan mempertimbangkan kondisi cangkangnya. Bila formula FI dimodifikasi dengan memasukkan C. Spengleri dan N.
calcar pada grup oportunis dengan mempertimbangkan uraian dari Troelstra et al. (1996), Tomascik et al. (1997), Renema (2001), Sen Gupta (2003c), Clearly et al.
62
(2005), dan Murray (2006), maka nilai FI akan berubah (diberi notasi FIm yaitu FI modifikasi). Berdasarkan nilai FIm, maka Sta. OU dan Sta. OB memiliki nilai FIm yang rendah (<2). Selain itu FIm dapat menggambarkan degradasi kualitas ekosistem dengan lebih jelas dimana kualitas ekosistem terumbu karang di Pulau Karang Bongkok lebih baik dari Pulau Pramuka dan kualitas perairan di Pulau Onrust sangat rendah (bandingkan antara Gambar 15 dan Gambar 17).
Gambar 17 Sebaran FI modifikasi (FIm), FI, keragaman foraminifera bentik (H’), dan persentase terumbu karang (%TK). Degradasi terumbu karang tidak semata-mata diakibatkan oleh tekanan nutrien, namun juga pengaruh fisika perairan dan aktifitas dari manusia. Estradivari et al. (2009) melaporkan sejak tahun 2003 sampai 2007 terjadi penurunan persentase karang keras baik di Pulau Karang Bongkok (71,8-63,7%) dan Pulau Pramuka (34,7-34,6%) serta penambahan karang mati di Pulau Karang Bongkok (19,9-28,7%) dan di Pulau Pramuka (34,2-53,4%), sedangkan di Pulau Onrust tidak ditemukan lagi karang keras dan karang mati. Selama satu dekade sejak tahun 1999 tidak terjadi kejadian alam yang mencolok di sekitar Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, sehingga dugaan dampak antropogenik menjadi sangat kuat sebagai penyebab degradasi terumbu karang. Baik komunitas terumbu karang maupun foraminifera bentik selalu mengalami perubahan sebagai respon terhadap perubahan lingkungan -baik secara alamiah maupun antropogenik-, namun foraminifera spesies tertentu menunjukkan waktu pulih yang lebih cepat
63
serta dapat bertahan dalam lingkungan yg tertekan dan didukung dengan bentuk tubuhnya yang kecil menyebabkan kumpulan foraminifera tersebut segera pulih dan mencapai akhir suksesi. Sebaliknya, organisme ini juga segera merespon perubahan parameter perairan bahkan meskipun tingkatan degradasi perairan masih rendah. Hal kontras terjadi pada terumbu karang, dimana organisme ini membutuhkan waktu lama untuk membentuk koloni yang padat dengan keragaman tinggi (Utchike et al., 2010) dan juga membutuhkan waktu yang lebih panjang dibandingkan foraminifera dalam merespon perubahan kualitas perairan. Perbedaan kecepatan foraminifera dibandingkan karang dalam merespon kualitas perairan menunjukkan sensitifitas foraminifera yang dapat dijadikan sebagai indikator awal degradasi dan perbaikan kualitas perairan (Mojtahid et al., 2008). Gambar 18a dan 19a menunjukkan hubungan yang positif antara FI dan persentase penutupan karang. Nilai korelasi yang positif mengimplikasikan respon yang sama akan kebutuhan kualitas perairan antara foraminifera besar dan terumbu karang, tetapi akibat kecepatan dalam meresponi perubahan kualitas perairan yang berbeda menyebabkan pada suatu lokasi nilai FI bisa lebih tinggi saat persentase penutupan karang rendah dan sebaliknya. Dari sisi korelasi, terlihat nilai korelasi FIm dengan persen penutupan karang (r = 0,74) lebih tinggi dibandingkan korelasi FI dengan persen penutupan karang (r = 0,31). Berdasarkan nilai korelasi tersebut, maka diduga C. spengleri dan N. calcar lebih sesuai bila ditempatkan ke dalam grup oportunis atau kedua jenis tersebut merupakan kumpulan cangkang mati yang berasal dari ekosistem terumbu karang yang pernah ada -dalam hal ini di Pulau Onrust-, sehingga kelompok cangkang mati tersebut harus dipertimbangkan bila akan dimasukkan ke dalam formula FI. Relasi yang negatif antara FI dan keragaman foraminifera bentik pada penelitian ini (Gambar 18b) ditemukan juga oleh Barbosa et al. (2009) yang menemukan hubungan yang terbalik antara FI dengan keragaman foraminifera bentik di Corumbau dan Abrolhos, Brasil Timur sebagaimana yang ditemukan oleh Koukousioura et al. (2011) di Laut Aegean-Yunani. Rendahnya nilai FI menunjukkan lokasi yang kaya akan mikroalga atau bahan organik lain, akibatnya foraminifera heterotrofik dan oportunis akan berkembang pesat baik jumlah dan jenisnya karena kebutuhan makanan pada kelompok ini terpenuhi dan tidak terjadi
64
kompetisi sumber daya makanan. Sebaliknya nilai FI tinggi menandakan kondisi lingkungan perairan yang oligotrofik, sehingga membatasi perkembangan foraminifera heterotrofik dan oportunis, namun mendukung perkembangan foraminifera besar yaitu kelompok simbion alga. Karena jumlah spesies foraminifera besar ini tidak sebanyak kelompok fungsional lainnya, maka nilai keragaman akhirnya akan menurun. Namun demikian, rendahnya nilai korelasi antara FI dan H’ (r = 0,33) menunjukkan tidak eratnya hubungan antara FI dan H’.
Gambar 18 Hubungan antara a) persentase penutupan terumbu karang (%TK) dan FI, dan b) FI dan keragaman foraminifera bentik (H’).
Gambar 19 Hubungan antara a) persentase penutupan terumbu karang (%TK) dan FI modifikasi (FIm), dan b) FIm dan keragaman foraminifera (H’). Sebaliknya hubungan antara FIm dan H’ (Gambar 19b) menunjukkan korelasi positif (r = 0,8) dan jauh lebih tinggi bila dibandingkan korelasi FI dengan H’. Perbedaan yang mendasar pada FI-H’ dan FIm-H’ adalah berubahnya posisi C. spengleri dan N. calcar dari kelompok fungsional simbion alga menjadi oportunis. Secara umum pada lingkungan yang tidak tertekan secara ekologi, keragaman foraminifera akan meningkat (Martins et al., 2010). Pada kondisi
65
tertekan, kedua jenis kelompok Calcarinid tersebut sangat mendominasi melebihi jenis oportunis lainnya seperti Elphidium dan Ammonia dan melampaui jenis heterotrofik sehingga keragaman menjadi rendah. Sumber daya makanan bukan satu-satunya faktor dominansi C. spengleri dan N. calcar dibandingkan kelompok oportunis lainnya. Preferensi substrat dan lokasi yang dipengaruhi kondisi hidrografi diduga menjadi penyebab lainnya. Pada Gambar 15, Sta. OS merupakan stasiun dengan nilai FI terendah, namun pada Gambar 17 nilai FIm pada Sta. OU dan Sta. OB lebih rendah dibandingkan Sta. OS. Meskipun pada data penelitian arus di Sta. OS lebih tinggi, namun letak Sta. OU dan Sta. OB yang
berhadapan
dengan
laut
terbuka
merupakan
lingkungan
yang
menguntungkan bagi kedua jenis kelompok Calcarinid ini. Selain itu, meski tidak ada data posisi lintang dan bujur dimana lokasi terumbu karang yang baik di Pulau Onrust pada masa lalu, namun berdasarkan karakteristik terumbu karang yang berkembang baik pada wilayah bergelombang yang umumnya berhadapan dengan laut lepas, maka kemungkinan besar C. spengleri dan N. calcar mendominasi Sta. OU dan Sta. OB dibandingkan Sta. OS. Meskipun penggunaan FI di wilayah terumbu karang selama ini telah dilakukan di beberapa lokasi-khususnya Atlantik, namun Hallock et al.(2003) menyarankan perlunya untuk menguji formula ini di berbagai tempat seperti ekosistem terumbu karang di Indo-Pasifik. Lebih jauh lagi, modifikasi formula FI sangat dimungkinkan tergantung wilayah kajiannya (Hallock et al., 2003, Hallock P 18 Agustus 2011, komunikasi pribadi) dan preferensi foraminifera tertentu terhadap lingkungan (Renema, 2008). Barbosa et al. (2009) merekomendasikan pentingnya memperhatikan perbedaan karakteristik antar wilayah saat akan mengaplikasikan suatu bioindikator akibat adanya pola adaptasi biota yang berbeda. Koukousioura et al. (2011) melakukan modifikasi terhadap formula FI dengan memasukkan satu spesies kelompok heterotrofik yaitu Textularia conica ke dalam kelompok oportunis karena berdasarkan analisis similaritas Euclidean, jenis ini berada satu grup dengan Ammonia spp. dan Elphidium spp. Hasil penelitian ini menunjukkan kemungkinan FORAM Index (dengan pengecualian pada Sta. OU dan Sta. OB) dapat digunakan di ekosistem terumbu karang Indonesia dengan melakukan modifikasi agar dapat memprediksi layak
66
tidaknya suatu ekosistem perairan bagi eksistensi terumbu karang. Oleh karena itu maka ada tiga saran yang ditawarkan sebagai modifikasi FORAM Index: 1. Hallock et al. (2003) mengusulkan pemakaian FORAM Index cukup dengan menghitung kelimpahan foraminifera bentik berdasarkan genus sesuai kelompok fungsional. Pada kenyataannya, khusus untuk kelompok Calcarinidae memiliki dua spesies yang sebarannya cukup luas pada perairan dangkal di bagian barat Indo-Pasifik dan dapat mendominasi perairan eutrofik. Oleh karena itu pada kelompok Calcarinidae seharusnya dipisahkan berdasarkan spesies dan memasukkan spesies C. spengleri dan N. calcar ke dalam kelompok oportunis (Troelstra et al., 1996) pada formula FI. 2. Secara taksonomi, cangkang N. calcar memiliki kemiripan pada bentuk durinya dengan C. defrancii, sehingga sukar untuk membedakannya dalam proses identifikasi (Hohenegger et al., 1999), padahal kedua jenis organisme tersebut memiliki kisaran habitat dan daya toleransi yang berbeda. Kesalahan identifikasi atau meskipun benar namun tetap memasukkan kedua jenis ini kedalam grup simbion alga akan memperbesar nilai FI. Berdasarkan hal tersebut sebaiknya peneliti dapat membedakan dengan sebaik mungkin perbedaan kedua jenis kelompok calcarinid itu dan meletakkan secara terpisah pada saat memasukkan ke dalam perhitungan formula FI. 3. Secara khusus seluruh kondisi C. spengleri dan N. calcar di perairan P. Onrust dalam kondisi duri yang patah dan cangkang yang rusak. Pada kenyataannya, bila formula FI hanya dikhususkan untuk foraminifera dalam kondisi cangkang yang baik, maka tidak ada kelompok calcarinid yang akan dihitung di Pulau Onrust, karena seluruhnya dalam keadaan tidak utuh. Hal ini akan menyebabkan nilai FI menjadi rendah. Hallock et al. (2003) tidak memberikan pernyataan apapun mengenai kondisi foraminifera yang akan dikalkulasi dalam perhitungan FI, namun nilai FI nampaknya akan memberikan gambaran kondisi ekosistem terumbu karang dengan lebih baik bila seluruh cangkang foraminifera yang diidentifikasi dan dihitung dalam kondisi baik. Kondisi cangkang yang rusak dapat digunakan sebagai informasi tambahan, misalnya yang mendukung faktor fisika dan kimia perairan seperti pencemaran atau aktivitas vulkanik dan dampak alamiah maupun antropogenik lainnya.
67
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 SIMPULAN 1a.Persentase penutupan karang hidup yang tinggi pada Pulau Karang Bongkok yang cenderung tidak tercemar memiliki jumlah taksa foraminifera bentik serta kelimpahan relatif foraminifera bentik kelompok fungsional simbion alga yang tinggi. Semakin ke arah selatan menuju Pulau Onrust yang berdekatan dengan Teluk Jakarta, maka jumlah taksa tersebut menurun mengindikasikan adanya tekanan ekologis pada perairan yang berdekatan dengan Teluk Jakarta. 1b.Perairan oligotrofik pada Pulau Karang Bongkok dan Pulau Pramuka didominasi foraminifera bentik dari kelompok fungsional simbion alga. Pada zona eutrofik di Pulau Onrust, foraminifera kelompok oportunis mendominasi perairan yang tercemar akibat meningkatnya konsentrasi nutrien. 1. Spesies pada Famili Amphisteginidae dan Calcarinidae merupakan indikator ekosistem terumbu karang yang baik, seperti pada Pulau Karang Bongkok dan pulau Pramuka, kecuali pada spesies C. spengleri dan N. calcar. 2. Pendugaan kualitas ekosistem terumbu karang menggunakan FI sebagai bioindikator tidak menunjukkan korelasi yang positif secara signifikan. Modifikasi FI (FIm) dengan mengeluarkan C. spengleri dan N. calcar dari kelompok
simbion
alga
dan
memasukkan
ke
kelompok
oportunis
menunjukkan korelasi yang positif dengan persentase penutupan karang. 3. Aplikasi FI di wilayah tropis dapat digunakan sebagai indikator ekologi dalam menilai kualitas lingkungan ekosistem terumbu karang dengan melakukan modifikasi sesuai preferensi habitat dan kondisi cangkang foraminifera bentik.
5.2 SARAN 1. Perlu melakukan penentuan umur foraminifera bentik pada saat pengambilan contoh untuk mengetahui kondisi ekosistem karang secara menyeluruh. 2. Mengambil foraminifera bentik yang hidup untuk dianalisis baik di Pulau Onrust maupun pulau lainnya yang memiliki karakteristik yang sama untuk memastikan preferensi habitat pada masing-masing jenis foraminifera. 3. Kondisi cangkang foraminifera bentik yang dikaji sebaiknya yang utuh. 4. Jumlah contoh pada satu lokasi diperbanyak baik secara pararel maupun tegak lurus
garis
pantai
untuk
mendapatkan
data
yang
lebih
akurat.
DAFTAR PUSTAKA [MENLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51/2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta: MENLH. [Tim Pusat Sumberdaya Alam Laut BAKORSUTANAL]. 2009. Terumbu Karang Indonesia. Cibinong, Bogor: Pusat Sumberdaya Alam Laut BAKORSUTANAL. vii + 330 hlm. Adisaputra MK, Hendrizan M, Kholiq A. 2010. Katalog Foraminifera Perairan Indonesia. Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. Badan Litbang Energi dan Sumberdaya Mineral. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. vi + 198 hlm. Adisaputra MK, Rostyati D. 2009. Foraminifera sedimen dasar laut Delta Mahakam, Kalimantan Timur.
. Diakses tanggal 5 Juni 2010. Albani AD, Yassini I. 1993. Taxonomy and Distribution of The Foraminiferida of The Family Elphidiidae from Shallow Australian Waters. Technical Contribution No.5. Australia: University of New South Wales. 51 hlm. Alve E. 1999. Colonization of new habitats by benthic foraminifera: a review. Earth Science Reviews 46: 167-185. Barbosa CF, Prazeres MF, Ferreira BP, Seoane JCS. 2009. Foraminiferal assemblage and reef check census in coral reef health monitoring of East Brazilian Margin. Marine Micropaleontology 73: 62-69. Barker RW. 1960. Taxonomic Notes on The Species Figured by H. B. Brady in His Report on The Foraminifera Dredge by H. M. S. Challenger During The Years 1873-1876. Special Publication No. 9. Tulsa, USA: Society of Economic Paleontologists and Mineralogists. xxiv + 240 hlm. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisk Sumberdaya Pesisir. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Intitut Pertanian Bogor. vi + 86 hlm. Bergamin L, Romano E, Finoia MG, Venti F, Bianchi J, Colasanti A, Ausili A. 2009. Benthic foraminifera from the coastal zone of Baia (Naples, Italy): Assemblage distribution and modification as tools for environmental characterisation. Marine Pollution Bulletin 59: 234-244.
69
Boltovskoy E, Wright R. 1976. Recent Foraminifera. Dr.W.Junk b.v.-PublishersThe Hague. xvii + 515 hlm. Boudagher-Fadel M.K. 2008. Evolution and Geological Significance of Larger Benthic Foraminifera. Amsterdam: Elsevier. x + 560 hlm. Bradley P, Fore L, Fisher W, Davis W. 2010. Coral Reef Biological Criteria: Using the Clean Water Act to Protect a National Treasure. U.S. Environmental Protection Agency, Office of Research and Development, Narragansett, RI. EPA/600/R-10/054 July 2010. Brasier MD. 1980. Microfossils. London: George Allen & Unwin. xii + 193 hlm. Brower JE, Zar JH, von Ende CN. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. 3rd Ed. Dubuque, IA. USA: Wm. C. Brown Publishers. xi + 237 hlm. Buzas MA, Hayek LC, Culver SJ. 2007. Community structure of benthic foraminifera in The Gulf of Mexico. Marine Micropaleontology 65: 43-53. Carnahan E.A, Hoare A.M, Hallock P, Lidz B.H, Reich C.D. 2009. Foraminiferal assemblages in Biscayne Bay, Florida, USA: Responses to urban and agricultural influence in a subtropical estuary. Marine Pollution Bulletin 59: 221-233. Castro P, Huber ME. 2007. Marine Biology. 6th ed. Boston: McGraw Hill. xix + 460 hlm. Cervetto G, Mesones C, Calliari D. 2002. Phytoplankton biomass and its relationship to environmental variables in a disturbed coastal area of The Rio de La Plata, Uruguay, Before The New Sewage Collector System. Atlantica, Rio Grande 24(1): 45-54. Chester R. 1990. Marine Geochemistry. London: Unwin Hyman. xviii + 698 hlm. Cleary DFR, Becking LE, de Voogd NJ, Renema W, de Beer M, van Soest RWM, Hoeksema BW. 2005. Variation in the diversity and composition of benthic taxa as a function of distance offshore, depth and exposure in the Spermonde Archipelago, Indonesia. Estuarine, Coastal, and Shelf Science 65: 557-570. Cooper TF, Fabricius KE. 2007. Coral-Based Indicators of Changes in Water Quality on Nearshore Coral Reefs of The Great Barrier Reef. Unpublished report to Marine and Tropical Sciences Research Facility. Cairns: Reef and Rainforest Research Centre Limited. 31 hlm.
70
Cooper TF, Gilmour JP, Fabricius KE. 2009. Bioindicators of changes in water quality on coral reefs: review and recommendations for monitoring programmes. Coral Reefs 28: 589-606. Day JW, Hall CAS, Kemp WM, Yanez-arancibia A. 1989. Estuarine Ecology. New York: John Wiley and Sons. 558 hlm. Debenay JP, Guiral D, Parra M. 2002. Ecological factors acting on the microfauna in mangrove swamps. The case of foraminiferal assemblages in French Guiana. Estuarine, Coastal, and Shelf Science 55: 509-533. Dewi KT, Natsir SM, Siswantoro Y. 2010. Mikrofauna (Foraminifera) terumbu karang sebagai indikator perairan sekitar pulau-pulau kecil. Ilmu Kelautan. Vol. 1. Ed. Khusus: 1-9. Drinia A, Antonarakou A, Tsaparas N. 2004. Diversity and abundance trends of benthic foraminifera from The Southern Part Of The Iraklion Basin, Central Crete. Bulletin of the Geological Society of Greece 36: 772-781. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 258 hlm. English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville, Australia: Australian Institute of Marine Science. xii + 368 hlm. Estradivari, Idris, Syahrir M. 2009. Kajian Struktur Komunitas Karang Keras Kepulauan Seribu Tahun 2005 & 2007. Di dalam: Estradivari E, Setyawan, Yusri S, editor. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta: Yayasan Terangi. Hlm. 29-39. Fadila, Idris. 2009. Perbandingan Dua Tahunan Persentase Penutupan Karang di Kepulauan Seribu (2003, 2005, dan 2007). Di dalam: Estradivari E, Setyawan, Yusri S, editor. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta: Yayasan Terangi. Hlm. 23-28. Fichez R, Adjeroud M, Bozec Y, Breau L, Chancerelle Y, Chevillon C, Douillet P, Fernandez J, Frouin P, Kulbicki M, Moreton B, Ouillon S, Payri C, Perez T, Sasal P, Thébault J. 2005. A review of selected indicators of particle, nutrient and metal inputs in coral reef lagoon systems. Aquatic Living Resources 18: 125-147. Firman T, Surbakti IM, Idroes IC, Simarmata HA. 2011. Potential climate-change related vulnerabilities in Jakarta: Challenges and current status. Habitat International 35: 372-378.
71
Garno, Y. S. 2000. Ekologi perairan. Makalah diberikan pada pelatihan marine techno and fisheries 2000. 21 – 25 Agustus 2000. Seawatch Indonesia – BPPT dan HIMITEKA – IPB. Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan Untuk Ilmu – Ilmu Pertanian, Ilmu – Ilmu Teknik, dan Biologi. Bandung: Armico. 472 hlm. Gooday AJ. 2003. Benthic Foraminifera (Protista) as Tools in Deep-water Palaeoceanography: Environmental Influences on Faunal Characteristics. Di dalam: Southward AJ, Tyler PA, Young CM, Fuiman LA, editor. Advances in Marine Biology Vol. 46: 1-91. Amsterdam: Academic Press. Hallock P, Lidz BH, Cockey-Burkhard EM, Donnelly KB. 2003. Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring: The FORAM Index. Environmental Monitoring & Assessment Journal 81: 221-238. Hallock P. 2003. Symbiont-bearing Foraminifera. Di dalam: Sen Gupta BK, editor. Modern Foraminifera. New York: Kluwer Academic Publishers. Hlm 123-140. Hammer Ø, Harper DAT. 2006. Paleontological Data Analysis. USA: Blackwell publishing. xii + 351 hlm. Haq BU, Boersma A. 1998. Introduction to Marine Micropaleontology. Singapore: Elsevier. viii + 376 hlm. Heinz P, Ruepp D, Hemleben. 2004. Benthic foraminifera assemblages at Great Meteor Seamount. Marine Biology 144: 985-998. Helfinalis, Rositasari R. 1988. Foraminifera di lingkungan terumbu karang Pulau Pari. Di dalam Moosa MK, Praseno DP, Sukarno, editor. Teluk Jakarta. Jakarta : Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hlm. 119-124. Hodgson G, Hill J, Kiene W, Maun L, Mihaly J, Liebeler J, Shuman C, Torres R. 2006. Reef Check Instruction Manual: A Guide to Reef Check Coral Reef Monitoring. California, USA: Reef Check Foundation, Pacific Palisades. 86 hlm. Hohenegger J, Yordanova E, Nakano Y, Tatzreiter F. 1999. Habitats of larger foraminifera on the upper reef slope of Sesoko Island, Okinawa, Japan. Marine Micropaleontology 36: 109-168. Horton BP, Larcombe P, Woodrole SA, Whittaker JE, Wright MR, Wynn C. 2003. Contemporary foraminiferal distributions of a mangrove environment, Great Barrier Reef coastline, Australia: implications for sea-level reconstructions. Marine Geology 198: 225-243.
72
Hosono T, Su C, Delinom R, Umezawa Y, Toyota T, Kaneko S, Taniguchi M. 2011. Decline in heavy metal contamination in marine sediments in Jakarta Bay, Indonesia due to increasing environmental regulations. Estuarine, Coastal, and Shelf Science 92: 297-306. http://www.ucmp.berkeley.edu/fosrec/Olson2.html. Desember 2010>.
tanggal
11
Jameson SC, Erdmann MV, Gibson Jr GR, Potts KW. 1998. Development of Biological Criteria for Coral Reef Ecosystem Assessment. Washington, DC: US Environmental Protection Agency, Office of Science and Technology, Health and Ecological Criteria Division. iv + 102 hlm. Javaux EJ, Scott DB. 2003. Illustration of modern benthic foraminifera from Bermuda and remarks on distribution in other subtropical/tropical areas. Palaeontologia Electronica 6(4): 29 hlm. Kennish MJ. 1992. Ecology of Estuaries: Anthropogenic Effects. United States: CRC Press. 494 hlm. Koukousioura O, Dimiza MD, Triantaphyllou MV, Hallock P. 2011. Living benthic foraminifera as an environmental proxy in coastal ecosystems: A case study from the Aegean Sea (Greece, NE. Mediterranean). Journal of Marine Systems (2011), doi: 10.1016/j.jmarsys.2011.06.004. Kuile, B. T. 1991. Mechanisms for Calcification and Carbon Cycling in Algal Symbiont-Bearing Foraminifera. Di dalam: Lee JJ dan Anderson OR, editor. Biology of foraminifera. London: Academic Press. Hlm. 73-90. Legendre P, Legendre L. 1998. Numerical Ecology. 2nd English Ed. Amsterdam: Elsevier Science B.V. xv + 853 hlm. Loeblich Jr AR, Tappan H. 1988. Foraminiferal Genera and Their Classifications. New York: Van Nostrand Reinhold. x + 2105 hlm. Loeblich Jr AR, Tappan H. 1994. Foraminifera of The Sahul Shelf and Timor Sea. Cushman foundation special publication 31: 1-661. Majewski W. 2005. Benthic foraminiferal communities: distribution and ecology in Admiralty Bay, King George Island, West Antarctica. Polish Polar Research 26(3): 159-214. Martins V, Ferreira da Silva E, Sequeira C, Rocha F, Duarte AC. 2010. Evaluation of the ecological effects of heavy metals on the assemblages of benthic foraminifera of the canals of Aveiro (Portugal). Estuarine, Coastal, and Shelf Science 87: 293-304.
73
Mojtahid M, Jorissen F, Pearson TH. 2008. Comparison of benthic foraminiferal and macrofaunal responses to organic pollution in the Firth of Clyde (Scotland). Marine Pollution Bulletin 56: 42-76. Murray JW. 1991a. Ecology and Distribution of Benthic Foraminifera. Di dalam: Lee JJ, Anderson OR, editor. Biology of Foraminifera. London: Academic Press. Hlm. 221-254. Murray JW. 1991b. Ecology and Palaeoecology of Benthic Foraminifera. England: Longman Scientific & Technical. x + 397 hlm. Murray JW. 2006. Ecology and Applications of Benthic Foraminifera. Cambridge: Cambridge University Press. xi + 426 hlm. Narayan YR, Pandolfi JM. 2010. Benthic foraminiferal assemblages from Moreton Bay, South-East Queensland, Australia: Applications in monitoring water and substrate quality in Subtropical Estuarine Environments. Marine Pollution Bulletin 60: 2062-2078. Natsir SM, Subkhan M. 2010. Kelimpahan foraminifera bentik resen di Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu. Di dalam: Nababan et al., editor. Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010, Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Oangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010. Jakarta: Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia. Hlm. 143-152. Natsir SM, Subkhan M. 2011. Foraminifera bentik sebagai indikator kualitas perairan ekosistem terumbu karang di Pulau Bidadari dan Ringgit, Kepulauan Seribu. Lingkungan Tropis 5(1): 1-10. Natsir SM. 1994. Benthic foraminifera in the seagrass beds of Pari Island-Seribu islands, Jakarta. Di dalam: Sudara S, Wilkinson CR, Choc LM, editor. Proceedings, Third ASEAN-Australia Symposium on Living Coastal Resources. Vol. 2: Research Papers. Bangkok, Thailand: Chulalongkorn University. Hlm. 323-329. Natsir SM. 2010. Foraminifera bentik sebagai indikator kondisi lingkungan terumbu karang Perairan Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(2): 181-192. Nobes K, Uthicke S. 2008. Benthic Foraminifera of the Great Barrier Reef: A guide to species potentially useful as Water Quality Indicators. Report to the Marine and Tropical Sciences Research Facility. Reef and Rainforest Research Centre Limited, Cairns. 44 hlm. Nybakken JW, Bertness MD. 2006. Marine Biology: An Ecological Approach. 6th ed. San Fransisco: Pearson education. Inc. xi + 579 hlm.
74
Osawa Y, Fujita K, Umezawa Y, Kayanne H, Ide Y, Nagaoka T, Miyajima T, Yamano H. 2010. Human impacts on large benthic foraminifers near a densely populated area of Majuro Atoll, Marshall Islands. Marine Pollution Bulletin 60: 1279-1287. Paonganan Y. 2008. Analisis invasi makroalga ke koloni karang hidup: kaitannya dengan konsentrasi nutrien dan laju sedimentasi di Pulau Bokor, Pulau Pari dan Pulau Payung DKI Jakarta [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. xv + 119 hlm. Paracer S, Ahmadjian V. 2000. Symbiosis: An Introduction to Biological Associations. 2nd ed. New York: Oxford University Press. xi + 291 hlm. Pezelj D, Sremac J, Sokac A. 2007. Palaeoecology of the late badenian foraminifera and ostracoda from the SW Central Paratethys (Medvednica Mt., Croatia). Geologia Croatia 60(2): 139-150. Porto Neto FF. 2003. Zooplankton as Bioindicator of Environmental Quality in The Tamandare Reef System (Pernambuco-Brazil): Anthropogenic Influences and Interaction with Mangroves. [disertasi]. Zentrum fur Marine Tropenokologie (ZMT). Universitat Bremen. German. 124 hlm. Pringgoprawiro H, Kapid R. 2000. Foraminifera: Pengenalan Mikrofosil & Aplikasi Biostratigrafi. Bandung: Penerbit ITB. 112 hlm. Renema W, Hoeksema BW, van Hinte JE. 2001. Larger benthic foraminifera and their distribution patterns on the Spermonde shelf, South Sulawesi. Special volume Dr Jacob van der Land. Zoologische Verhandelingen Leiden 334: 115-149. Renema W, Troelstra SR. 2001. Larger foraminifera distribution on a mesotrophic carbonate shelf in SW Sulawesi (Indonesia). Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology 175: 125-146. Renema W. 2003. Larger foraminifera on reefs around Bali (Indonesia). Zoologische Verhandelingen Leiden 345: 337-366. Renema W. 2006. Habitat variables determining the occurrence of large benthic foraminifera in the Berau area (East Kalimantan, Indonesia. Coral Reefs 25: 351-359. Renema W. 2008. Habitat selective factors influencing the distribution of larger benthic foraminiferal assemblages over the Kepulauan Seribu. Marine Micropaleontology 68: 286-298. Renema W. 2010. Is increased calcarinid (foraminifera) abundance indicating a larger role for macro-algae in Indonesian Plio-Pleistocene coral reefs? Coral Reefs 29: 165-173.
75
Romimohtarto K, Juwana S. 1999. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. 527 hlm. Rositasari R, Sidabutar SM. 1993. Asosiasi foraminifera dalam ekosistem bahari. Oseana 18(3): 117-129. Rositasari R. 1989. Foraminifera. Oseana 14(1): 27-36. Rositasari R. 1997. Habitat makro dan mikro pada foraminifera. Oseana 22(4): 31-42. Rositasari R. 2005. Keluarga foraminifera bercangkang pasiran sebagai kelompok oportunis. Oseana 30(3): 9-19. Rositasari R. 2006. Komunitas foraminifera di Perairan Laut Arafura. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 40: 15-27. Rositasari R, Sidabutar SM. 1993. Asosiasi foraminifera dalam ekosistem bahari. Oseana. 18(3): 117-129. Sanders HL. 1968. Marine benthic diversity: A comparative study. The American Naturalist 102(925): 243-282. Schaffelke B, Thompson A, Carleton J, Cripps E, Davidson J, Doyle J, Furnas M, Gunn K, Neale S, Skuza M, Uthicke S, Wright M, Zagorskis I. 2008. Water Quality and Ecosystem Monitoring Programme Reef Water Quality Protection Plan. Final Report 2007/08. Townsville: Australian Institute of Marine Science. ix + 154 hlm. Schueth JD, Frank TD. 2008. Reef foraminifera as bioindicators of coral reef health; Low Isles Reef, Northern Great Barrier Reef, Australia. Journal of Foraminiferal Research 38(1): 11-22. Scoffin TP, Tudhope AW. 1985 Sedimentary environments of the Central Region of the Great Barrier Reef of Australia. Coral Reefs 4: 81-93. Scott DB, Schafer CT, Medioli FS. 2004. Monitoring in Coastal Environments Using Foraminifera and Thecamoebian Indicators. UK: Cambridge University Press. xiii + 177 hlm. Sen Gupta BK. 2003a. Introduction to Modern Foraminifera. Di dalam: Sen Gupta BK, editor. Modern Foraminifera. New York: Kluwer Academic Publishers. Hlm. 3-6. Sen Gupta BK. 2003b. Systematics of Modern Foraminifera. Di dalam: Sen Gupta BK, editor. Modern Foraminifera. New York: Kluwer Academic Publishers. Hlm. 7-36.
76
Sen Gupta BK. 2003c. Foraminifera in Marginal Marine Environments. Di dalam: Sen Gupta BK, editor. Modern Foraminifera. New York: Kluwer Academic Publishers. Hlm. 141-160. Setiapermana D, Sulistijo, Hutagalung HP. 1994. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Jakarta, 7 – 9 Februari 1994. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. Indonesia. 175 hlm. Stoddart, DR. 1978. Mechanical Analysis of Reef Sediments. Di dalam: Stoddart DR, Johannes RE, editor. Coral Reefs: Research Methods. Paris: UNESCO. Hlm. 53-66. Sudjana. 1989. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. x + 508 hlm. Suharti M, Rositasari R, Sri KR, Helfinalis, Subardi. 1994. Foraminifera bentonik dan spesifikasinya pada beberapa lingkungan perairan dangkal di Indonesia. Prosiding Volume I, Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Pertemuan Ilmiah Tahunan ke 23, 6-8 Desember 1994. Hlm. 591-602. Sukmara A, Siahainenia AJ, Rotinsulu C. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis-Masyarakat Dengan Metoda Manta Tow. Proyek Pesisir. Publikasi Khusus. Rhode Island, USA: University of Rhode Island, Coastal Resources Center, Narragansett. ix + 48 hlm. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. The Ecology of The Indonesian Seas. Part 1. Singapore: Periplus Editions. xiv + 642 hlm. Troelstra SR, Jonkers H.M, de Rijk S. 1996. Larger foraminifera from the Spermonde Archipelago (Sulawesi, Indonesia). Scripta Geologica 113: 93120. Uneputty PA, Evans SM. 1997. Accumulation of beach litter on islands of the Pulau Seribu Archipelago, Indonesia. Marine Pollution Bulletin 34(8): 652655. Uthicke S, Altenrath C. 2010. Water column nutrients control growth and C:N ratios of symbiont-bearing benthic foraminifera on The Great Barrier Reef, Australia. Limnology and Oceanography 55(4): 1681-1696. Uthicke S, Nobes K. 2008. Benthic foraminifera as ecological indicators for water quality on The Great Barrier Reef. Estuarine, Coastal, and Shelf Science 78: 763-773. Uthicke S, Thompson A, Schaffelke B. 2010. Effectiveness of benthic foraminiferal and coral assemblages as water quality indicators on Inshore Reefs of The Great Barrier Reef, Australia. Coral Reefs 29: 209-225.
77
van der Meij SET, Suharsono, Hoeksema BW. 2010. Long-term changes in coral assemblages under natural and anthropogenic stress in Jakarta Bay (1920– 2005). Marine Pollution Bulletin 60: 1442-1454. van der Meij SET, Moolenbeek RG, Hoeksema BW. 2009. Decline of the Jakarta Bay molluscan fauna linked to human impact. Marine Pollution Bulletin 59: 101-107. van Marle LJ. 1988. Bathymetric distribution of benthic foraminifera on the Australian-Irian Jaya continental margin. Marine Micropaleontology 13: 97152. Velásquez J, López-Angarita J, Sánchez J. 2011. Evaluation of the FORAM index in a case of conservation. Biodiversity and Conservation 20: 3591–3603. Walker P, Wood E. 2005. The Coral Reef. New York: Facts on File, Inc. xv + 140 hlm. Willoughby NG, Sangkoyo H, Lakaseru BO. 1997. Beach litter: an increasing and changing problem for Indonesia. Marine Pollution Bulletin 34(6): 469-478. Wilson B, Wilson J. 2011. Shoreline foraminiferal thanatacoenoses around five eastern Caribbean islands and their environmental and biogeographic implications. Continental Shelf Research 31: 857-866. Yamano H, Miyajima, Koike I. 2000. Importance of foraminifera for the formation and maintenance of a coral sand cay: Green Island, Australia. Coral Reefs 19: 51-58. Yassini I, Jones BG. 1995. Recent Foraminiferida and Ostracoda from Estuarine and Shelf Environments on The Southeastern Coast of Australia. Northfields Avenue, Wollongong, NSW. Australia: The University of Wollongong Press. iii + 484 hlm. Yusri S, Santoso B. 2009. Kualitas Air. Di dalam: Estradivari E, Setyawan, Yusri S, editor. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta: Yayasan Terangi. Hlm. 1721. Zili
L, Zaghbib-Turki D. 2010. Foraminiferal biostratigraphy and palaeoenvironmental reconstruction of the paleocene–eocene transition at the Kharrouba section, Tunisia (Southern Tethys Margin). Turkish Journal of Earth Science 19: 385-408.
Zuur AK, Ieno EN, Smith GM. 2007. Analysing Ecological Data. Springer. xxvi + 672 hlm.
78
LAMPIRAN
79
Lampiran 1. Lokasi penelitian Bulan Maret 2011
Tanggal Jam WIB 15 09:50 15 11:10 18 10:18 18 07:30 16 07:45 16 10:00 16 12:45 16 15:00 17 10:15 17 14:00 17 16:15
Lintang 0 ‘ “ 5 41 16.1 5 41 14.2 5 40 45.0 5 40 47.0 5 44 48.0 5 45 06.2 5 44 51.9 5 44 23.1 6 02 04.1 6 01 52.3 6 01 54.8
Lokasi Singkatan Bujur 0 ‘ “ Pulau 106 34 16.5 Karang Bongkok Selatan KS 106 33 07.0 Karang Bongkok Barat KB 106 33 49.6 Karang Bongkok Utara KU 106 34 51.9 Karang Bongkok Timur KT 106 36 41.0 Pramuka Barat PB 106 36 50.7 Pramuka Selatan PS 106 37 10.9 Pramuka Timur PT 106 37 16.3 Pramuka Utara PU 106 44 01.5 Onrust Selatan OS 106 44 07.5 Onrust Utara OU 106 43 59.0 Onrust Barat OB
Lampiran 2. Perhitungan yang digunakan dalam penelitian A. Metode Transek Garis Menyinggung (English et al., 1997) Prosedur pengamatan persentase penutupan karang menggunakan metode Transek Garis Menyinggung (Line Intercept Transect/LIT) sebagai berikut: 1. Pada stasiun yang dipilih secara acak dipasang satu transek dengan menarik meteran sepanjang 100 meter tegak lurus pantai. 2. Mengukur dan mencatat panjang setiap kategori life form dan bentuk lainnya sepanjang transek dengan ketelitian 1 cm. Persentase penutupan karang dihitung dengan menggunakan rumus:
Persen penutupan =
Panjang total tiap kategori x100 Panjang transek
80
B. Analisa FORAM Index (Hallock et al., 2003) Analisa FORAM Index melalui empat tahapan sebagai berikut: Langkah 1. Masing – masing genus yang telah dipisahkan dicatat dalam lembar data berdasakan kelompok fungsional. Langkah 2. Melakukan perhitungan proporsi (P) dari spesimen pada masingmasing grup fungsional dengan cara menjumlahkan seluruh spesimen pada masing – masing genus dalam grup tersebut (N) dan membaginya dengan total seluruh spesimen yang sudah dihitung (T). Ps = Ns/ T, (”s” mewakili foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang: Amphistegina, Heterostegina, Alveolinella, Borelis,
Sorites, Amphisorus,Marginophora) Po = No/T, ("o" mewakili foraminifera oportunis: Ammonia, Elphidium, beberapa genera dari Famili Trochaminidae, Lituolidae, Bolivinidae, Buliminidae) Ph = Nh/T, (“h" mewakili foraminifera kecil lain yang heterotrofik: beberapa genera dari Miliolida, Rotaliida, Textulariida, dan lain-lain) Langkah 3. Berdasarkan nilai proporsi pada langkah tiga tersebut, maka nilai FORAM Index (FI): FI = (10 x Ps) + (Po) + (2 x Ph) Langkah 4. Interpretasi dari langkah tiga tersebut sebagai berikut: •
FI > 4 menunjukkan kondisi lingkungan setempat yang kondusif bagi pertumbuhan terumbu atau merupakan tempat yang sesuai bagi pemulihan terumbu jika pernah rusak
•
FI yang sangat bervariasi diantara contoh, bervariasi antara 3 sampai 5 memberikan gambaran mengenai perubahan lingkungan dimana pada kisaran ini merupakan tahapan awal terjadinya penurunan kondisi lingkungan (koefisien variasi > 1)
•
4 > FI > 2 mengindikasikan kondisi lingkungan setempat yang terbatas untuk pertumbuhan terumbu dan tidak cocok untuk pemulihan kembali terumbu yang telah rusak
•
FI < 2 mengindikasikan kondisi lingkungan yang tertekan sehingga tidak layak untuk perkembangan terumbu
81
C. ANOVA klasifikasi 1 arah Rumus umum Analisa ragam klasifikasi satu arah (ANOVA 1 arah) yang digunakan adalah (Gaspersz, 1991): Yij = µi + Єij = nilai tengah perlakuan + pengaruh acak = µ + (µi – µ) + Єij = µ + τi + Єij Yij= nilai pengaruh stasiun ke-i
µ = nilai tengah populasi (nilai tengah umum) (rata – rata populasi) τi = (µi – µ) = pengaruh aditif (koefisien regresi parsial) dari stasiun ke-i terhadap respon Єij= pengaruh galat(sisa) percobaan dari stasiun ke-i pada pengamatan ke-j i = 1, 2, …, 11 (jumlah stasiun); j= 1, 2 (jumlah pengamatan dalam stasiun ke-i)
Hipotesis yang diuji adalah perbedaan respon terhadap stasiun (τi ): H0 : τ1 = τ2 = … = τi = 0 (tidak ada perbedaan respon antar lokasi penelitian) H1: minimal ada satu τi ≠ 0 (i=1, 2, …t) (minimal ada satu perbedaan respon antar lokasi penelitian)
D. Formula uji t Formula uji t sebagai berikut (Hammer dan Harper, 2006):
t =
x - y 1 1 s2 + nx ny
Hipotesis yang akan diuji adalah: H0 : contoh diambil dari populasi dengan nilai tengah yang sama H1 : contoh diambil dari populasi dengan nilai tengah yang tidak sama
E. Persamaan korelasi Persamaan korelasi sebagai berikut (Sudjana, 1989): r2 =
n ∑ X i Y-( ∑ X i )( ∑ Y i )
{n ∑ X -( ∑ X ) }{n ∑ Y -( ∑ Y ) } 2 i
2
i
2
i
2
i
Xi = variabel persentase penutupan terumbu karang
82
Yi = variabel nilai FI
F. Indeks Keragaman Shannon-Wiener Indeks keragaman Shannon-Wiener sebagai berikut (Buzas et al., 2007 dan Barbosa et al., 2009): s
H ' = −∑
i=1
ni n ln i n n
H’ = indeks keragaman Shannon dan Wiener (Shannon index) ni = jumlah individu jenis ke - i n = jumlah individu dari seluruh jenis yang ada dalam contoh S = jumlah jenis biota dalam contoh
G. Indeks Jarak Euclidean Indeks jarak Euclidean sebagai berikut (Legendre dan Legendre, 1998): p
D ( x1 , x2 ) =
∑(y
1j
− y2 j ) 2
j =1
D ( x1 , x2 ) = Indeks jarak Euclidean antar dua stasiun
y1 j
= nilai variabel pertama pada stasiun ke -j
y2 j
= nilai variabel kedua pada stasiun ke –j
H. Indeks Bray Curtis Indeks Bray-Curtis sebagai berikut (Brower et al., 1990): n
I
bc
=
1 −
∑
i = 1 n
∑
X
i
−
Y
i
(X
i
+
Y
i
)
i = 1
Ibc = indeks kesamaan Bray Curtis n
= jumlah jenis pada contoh
Xi = kepadatan / kelimpahan spesies ke-i pada komunitas pertama Yi = kepadatan / kelimpahan spesies tersebut komunitas lainnya
83
Lampiran 3. Parameter lingkungan perairan Stasiun KU KB KS KT PU PB PS PT Parameter Suhu (0C) 29.50 29.50 29.50 29.50 29.50 29.00 29.50 29.50 pH 7.90 7.80 7.90 8.00 8.00 8.00 8.10 8.10 DO (mg/l) 7.00 11.70 11.20 9.00 8.20 10.00 9.00 8.80 Salinitas 34.20 33.50 34.10 34.20 34.40 34.20 34.30 34.30 Turbiditas (NTU) 0.00 0.00 0.00 0.59 0.62 1.22 0.33 0.08 Kecerahan (%) 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Kec. Arus NO3 NH4 PO4 Si Cl-a Cl-b Cl-c C-organik N-Total Pasir Lumpur Lempung
(m/s) 0.07 (mg/l) 0.02 (mg/l) 0.04 (mg/l) 0.00 (mg/l) 0.47 (mg/m3) 1.24 3 (mg/m ) 0.21 (mg/m3) 0.32 (%) 0.22 (%) 0.02 (%) 89.90 (%) 5.20 (%) 4.90
0.10 0.02 0.05 0.10 0.42 0.94 0.18 0.43 0.23 0.02 88.20 6.20 5.60
0.16 0.01 0.00 0.10 0.46 0.59 0.13 0.26 0.24 0.02 92.10 6.70 1.20
0.19 0.00 0.07 0.05 0.36 0.46 0.20 0.27 0.27 0.02 88.20 6.40 5.40
0.19 0.02 0.15 0.01 0.37 0.37 0.12 0.10 0.16 0.02 86.70 7.80 5.50
0.04 0.02 0.07 0.00 0.33 0.87 0.11 0.07 0.17 0.02 94.20 3.60 1.30
0.11 0.00 0.16 0.25 0.37 0.78 0.14 0.29 0.29 0.02 90.00 7.00 3.00
OU
OB
OS
Rerata St.Dev
29.50 29.50 7.80 7.60 8.20 7.10
29.50 7.90 8.60
29.45 7.92 8.98
34.20 33.90 6.81 4.81 42.86 42.86
34.50 5.42 42.86
34.16 1.81 84.42
0.25 0.14 0.11 0.02 0.06 0.03 0.22 0.49 0.16 0.17 0.10 0.20 0.35 0.55 0.63 0.44 7.70 4.52 0.02 0.56 0.41 0.12 1.53 1.08 0.24 0.35 0.43 0.02 0.03 0.03 88.60 77.80 79.60 5.50 16.50 11.30 5.90 5.70 9.10
0.18 0.08 0.11 0.24 0.44 3.59 0.38 0.52 0.47 0.04 83.10 11.10 5.80
0.14 0.03 0.14 0.11 0.43 1.95 0.23 0.45 0.28 0.02 87.13 7.94 4.85
0.15 0.15 1.49
Var.
Min. Max.
0.02 29.00 0.02 7.60 2.22 7.00
29.50 8.10 11.70
0.27 0.07 33.50 34.50 2.56 6.53 0.00 6.81 26.69 712.43 42.86 100.00 0.06 0.02 0.13 0.09 0.09 2.35 0.16 0.45 0.10 0.01 5.05 3.67 2.27
0.00 0.04 0.00 0.00 0.02 0.00 0.01 0.00 0.01 0.33 5.52 0.37 0.03 0.02 0.21 0.07 0.01 0.16 0.00 0.02 25.52 77.80 13.47 3.60 5.14 1.20
0.25 0.08 0.49 0.25 0.63 7.70 0.56 1.53 0.47 0.04 94.20 16.50 9.10
83
Lampiran III. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Kep. Men. Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut. Parameter Satuan Baku mutu
Suhu 0 C 28-30
pH 7-8.5
DO (mg/l) >5
Salinitas Turbiditas Kecerahan 0 /00 (NTU) m 33-34 <5 >5
NO3 (mg/l) 0.008
NH4 (mg/l) 0.3
PO4 (mg/l) 0.015
84
Lampiran 4. Persentase penutupan terumbu karang dan biota serta substrat Genus Acropora Alveopora Ctenactis Cypastrea Diploastrea Echinopora Favia Favites Fungia Galaxea Goinopora Hydnopora Leptoseris Lobophylia Montastrea Montipora Pavona Porites Seriatopora Symphyllia Turbinaria Clavularia Dicotela Icis Lobophytum Neptea Pinigorgian Sarcophyton Sinularia Xenia Dead Coral with Alga Halimeda Makro alga Other Rubble Sand Sponge Total HC (%) Jml genus HC
KU 3.73 0.00 0.00 0.00 0.28 3.78 0.77 0.17 0.00 0.00 0.00 0.00 2.00 0.33 0.00 1.08 0.00 1.48 0.48 0.37 0.00 0.00 0.72 0.00 0.00 0.00 0.00 0.42 0.00 1.80
KS 1.82 0.00 0.00 0.00 0.00 5.88 2.32 1.03 0.00 0.00 0.27 0.00 1.53 0.45 0.00 4.47 1.77 2.60 0.17 0.95 1.00 0.00 0.73 0.00 0.00 1.00 2.75 0.17 0.00 1.37
KT 3.60 0.00 0.40 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.33 0.00 0.00 0.00 2.25 0.00 0.00 1.68 0.00 2.58 2.22 0.00 0.00 9.78 0.17 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
PU 0.47 0.00 0.00 0.00 0.00 0.87 0.00 0.00 0.75 0.00 0.15 2.12 0.35 0.00 0.00 0.48 0.00 4.63 0.00 0.33 0.00 0.47 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.93 2.40 0.00
Stasiun PB PS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.37 0.00 0.00 0.00 0.00 1.13 1.30 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.75 0.00 0.73 0.00 5.07 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.25 0.00 0.00 0.00 0.35 0.00 0.00 1.83 5.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.18 0.00 0.00 0.32 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
PT 2.03 0.92 0.35 0.00 0.00 0.00 0.83 0.00 0.68 0.00 0.00 0.00 1.53 0.00 0.00 0.00 2.30 2.48 1.07 0.00 0.00 0.57 0.00 0.00 0.25 0.00 0.53 0.00 0.55 8.70
OU 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
OB 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
OS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
11.97 33.47 43.03 4.78 14.25 2.95
2.62 30.98
0.00
0.00
0.00
0.00 0.00 0.50 63.45 4.58 2.08 14.48 11
0.00 0.00 0.00 92.82 0.00 1.08 2.97 2
18.10 0.00 0.90 36.83 25.03 2.13 14.07 8
PB
PS
KU
KB 0.00 0.00 0.00 1.43 0.85 1.87 1.70 0.35 0.00 3.37 0.00 0.30 1.07 1.95 0.33 0.60 0.72 7.63 1.33 0.58 0.60 0.00 0.23 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.38 0.00
0.00 0.15 0.00 8.88 32.05 0.15 24.68 16
0.00 0.00 0.52 11.07 11.57 3.55 24.25 13
0.00 0.00 0.05 68.52 0.00 0.63 16.07 7
1.68 0.00 0.85 67.28 0.00 1.98 10.15 9
KB
KS
KT
PU
Hard Coral (HC) 14.48 24.68 24.25 16.07 10.15 2.97 14.07 Soft Coral (SC) 2.93 0.62 6.02 9.95 3.80 0.18 0.32 Dead Coral 11.97 33.47 43.03 4.78 14.25 2.95 2.62 with Alga (DCA) Halimeda (HA) 0.00 0.00 0.00 0.00 1.68 0.00 18.10 Macro Algae (MA) 0.00 0.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Other (OT) 0.50 0.00 0.52 0.05 0.85 0.00 0.90 Rubble (R) 63.45 8.88 11.07 68.52 67.28 92.82 36.83 Sand (S) 4.58 32.05 11.57 0.00 0.00 0.00 25.03 Sponge (SP) 2.08 0.15 3.55 0.63 1.98 1.08 2.13
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.00 0.00 44.90 0.00 100.00 43.52 0.00 100.00 0.00 56.48 1.05 0.00 0.00 0.00 12.20 0.00 0.00 0.00 9 0 0 0 PT
OU
OB
OS
12.20 10.60
0.00 0.00
0.00 0.00
0.00 0.00
30.98
0.00
0.00
0.00
0.00 0.00 0.27 44.90 0.00 1.05
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100.00 43.52 100.00 0.00 56.48 0.00 0.00 0.00
85
Lampiran 5. Daftar spesies karang yang ditemukan di Teluk Jakarta pada tahun 1920, namun tidak ditemukan pada tahun 2005 baik di Teluk Jakarta maupun di Kepulauan Seribu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Famili Acroporidae
Agariciidae Faviidae Merulindae Milleporidae Mussidae Oculinidae Pectiniidae Poritidae
Siderastreidae
Spesies Acropora abrotanoides Lamarck, 1816 A. acuminata Verril, 1864 A. anthocercis Brook, 1893 A.aspera (Dana, 1864) A. carduus Dana, 1846 A. digitifera Dana, 1846 A. elseyi Brook, 1892 A. grandis Brook, 1892 A. hoeksemai Wallace, 1997 A. indonesia Wallace, 1997 A. loripes Brook, 1892 A. lukeni Crossland, 1952 A. pharaonis M.Edwards & Haime, 1960 A. prolifera Lamarck, 1816 A. robusta Dana, 1846 A. spicifera Dana, 1846 A. sukarnoi Wallace, 1997 A. tortuosa Dana, 1846 A. vaughani Wells, 1954 A. yongei Veron & Wallace, 1984 Isopora brueggemanni Brook, 1893 Montipora aequituberculata Bernard, 1897 M. angulata Lamarck, 1816 M. australiensis Bernard, 1897 M. cactus Bernard, 1897 M. calcarea Bernard, 1897 M. confusa Nemenzo, 1967 M. effusa Dana, 1846 M. floweri Wells, 1954 M. foliosa Pallas, 1766 M. foveolata Dana, 1846 M. grisea Bernard, 1897 M. hodgsoni Veron, 2000 M. hoffmeisteri Wells, 1954 M. informis Bernard, 1897 M. porites Veron, 2000 M. stilosa Ehrenberg, 1834 M. tugescens Bernanrd, 1897 M. turtlensis Veron & Wallace, 1984 M. undulata Bernard, 1897 M. verrucosa Lamarck, 1816 Pavona divaricata Lamarck, 1816 Favites favosa Ellis & Solander, 1786 Montastrea valenciennesii M. Edwards & Haime, 1848 Hydnophora grandis Gardines, 1906 Scapophyllia cylindrica M. Edwards & Haime, 1848 Millepora platyphylla Hemprich & Ehrenberg, 1834 M. murrayi Quelch, 1884 M. tenera Boschma, 1949 Lobophyllia costata Dana, 1846 Galaxea astreata Lamarck, 1816 Simplastrea vesicularis Umbgrove, 1939 Oxypora lacera Verril, 1864 Alveopora verrilliana Dana, 1872 A. viridis Quoy & Gaimard, 1833 Goniopora fructicosa Saville-Kent 1891 Porites annae Crossland, 1952 P. attenuata Nemenzo, 1955 P. compressa Dana, 1948 Psammocora folium Umbgrove, 1939
(Sumber: van der Meij et al., 2010)
86
Lampiran 6. Nilai FORAM Index dan keragaman foraminifera bentik
Ulangan I Taxa S Amphisorus sp. Peneroplis spp. Sorites sp. Amphistegina spp. Calcarina spp Neorotalia sp. Heterostegina sp. Operculina sp. JUMLAH % O Bolivina spp. Bolivinellina sp. Ammonia spp. Elphidium spp. JUMLAH % H Siphogenerina sp. Loxostomum sp. Neocassidulina sp. Reussella sp. Nodosaria sp. Seabrookia sp. Agglutinella sp. Hauerina sp. Lachlanella spp. Massilina spp. Miliolinella spp. Pyrgo spp. Quinqueloculina spp. Spiroloculina spp. Spirosigmoilina sp. Triloculina spp. Triloculinella spp. Asterorotalia sp. Bronnimannia sp. Cibicides sp. Cymbaloporetta spp. Discorbia sp. Epistomaroides sp. Epistominella sp. Eponides spp. Hanzawaia sp.
KU KB KS KT PU PB PS PT OU OB OS JML % 2 5 0 0 0 0 1 1 0 0 0 13 4 13 1 0 17 33 2 0 0 0 4 1 0 2 3 3 2 2 1 0 1 75 73 60 84 70 55 7 80 1 0 9 50 80 83 69 147 2 41 130 139 149 47 4 11 39 2 1 1 68 15 42 19 6 4 10 2 8 5 6 1 1 0 0 0 3 7 4 1 2 0 1 3 0 0 0 155 191 201 167 228 84 154 234 183 168 63 51.7 63.7 67.0 55.7 76.0 28.0 51.3 78.0 61.0 56.0 21.0
9 0.27 83 2.52 19 0.58 514 5.58 937 8.39 208 6.30 37 1.12 21 0.64 1828 55.39 55.4
1 3 1 0 1 3 2 0 0 0 0 11 0.33 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 3 0.09 2 1 11 2 1 3 0 0 10 7 35 72 2.18 13 13 18 8 15 14 9 13 69 72 77 321 9.73 17 17 30 10 17 21 11 13 79 80 112 407 12.33 5.7 5.7 10.0 3.3 5.7 7.0 3.7 4.3 26.3 26.7 37.3 12.3 1 2 1 2 0 0 0 1 1 1 5 6 32 8 0 7 3 0 1 1 18 1 1 0 7 0
0 0 0 1 1 0 0 1 5 0 13 7 24 4 0 2 2 0 0 0 14 0 5 0 2 0
0 4 0 4 0 0 0 0 2 2 3 5 20 9 0 2 0 0 0 0 6 0 0 0 10 0
0 1 0 2 0 0 0 0 3 2 8 10 27 7 1 4 5 1 1 0 19 2 1 0 11 1
0 0 0 1 0 0 0 0 2 0 3 3 8 2 0 10 0 0 0 0 6 1 0 0 7 0
0 2 4 1 0 1 1 0 3 1 5 3 71 5 1 13 3 0 0 1 30 0 2 0 11 0
0 1 0 0 0 0 0 0 2 2 11 0 57 17 0 8 6 0 0 0 13 0 0 1 2 0
0 1 0 0 0 0 0 0 1 4 0 4 13 4 0 5 3 0 0 0 5 0 0 0 2 0
0 2 0 1 0 0 2 0 3 1 2 2 5 1 0 1 0 0 0 0 2 0 0 0 11 0
0 0 0 1 0 0 1 0 0 2 1 0 10 2 0 4 2 0 0 3 2 1 0 0 11 0
0 1 0.03 2 15 0.45 0 5 0.15 0 13 0.39 0 1 0.03 0 1 0.03 0 4 0.12 0 2 0.06 2 24 0.73 2 17 0.52 9 60 1.82 2 42 1.27 44 311 9.42 4 63 1.91 0 2 0.06 2 58 1.76 3 27 0.82 0 1 0.03 0 2 0.06 0 5 0.15 22 137 4.15 3 8 0.24 2 11 0.33 0 1 0.03 3 77 2.33 0 1 0.03
87
Neoconorbina sp. 4 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 6 Nonionoides sp. 1 0 1 0 0 3 0 0 0 1 0 6 Planorbulina spp. 2 2 0 2 7 9 0 0 0 0 0 22 Rosalina spp. 1 5 0 3 0 3 1 2 0 0 20 35 Rotaliida spp. 2 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 5 Rotorbis sp. 0 0 0 0 0 0 7 0 0 1 0 8 Clavulina sp. 2 1 0 0 0 0 2 1 0 0 0 6 Cylindroclavulina sp. 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 Septotextularia sp. 6 0 0 2 2 2 0 1 0 0 0 13 Siphotextularia sp. 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 Textularia spp. 11 3 1 9 3 15 4 7 5 10 5 73 JUMLAH 128 92 69 123 55 195 135 53 38 52 125 1065 % 42.7 30.7 23.0 41.0 18.3 65.0 45.0 17.7 12.7 17.3 41.7 32.3
0.18 0.18 0.67 1.06 0.15 0.24 0.18 0.03 0.39 0.03 2.21 32.27
Jumlah Total 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 3300 100 Individu Jumlah taxa 41 30 24 34 24 38 28 25 21 22 23 51 Keragaman genera 3.61 3.28 3.04 3.41 3.02 3.53 3.20 3.07 2.86 2.91 2.99 3.61 Ps Po Ph
0.52 0.64 0.67 0.56 0.76 0.28 0.51 0.78 0.61 0.56 0.21 0.55 0.06 0.06 0.10 0.03 0.06 0.07 0.04 0.04 0.26 0.27 0.37 0.12 0.43 0.31 0.23 0.41 0.18 0.65 0.45 0.18 0.13 0.17 0.42 0.32
FI ulangan I
6.08 7.04 7.26 6.42 8.02 4.17 6.07 8.20 6.62 6.21 3.31 6.31
Genus yang ≥ 1% Ulangan 1 (= 16 taksa) Rosalina Heterostegina Pyrgo Triloculina Miliolinella Spiroloculina Ammonia Textularia Eponides Peneroplis Cymbaloporetta Neorotalia Quinqueloculina Elphidium Amphistegina Calcarina Jumlah Kontribusi dalam 300 individu Keragaman genera
KU KB KS KT PU PB PS PT OU OB OS JML % 1 5 0 3 0 3 1 2 0 4 10 2 8 5 6 1 1 0 6 7 5 10 3 3 0 4 2 7 2 2 4 10 13 8 5 1 5 13 3 8 3 5 11 0 2 8 4 9 7 2 5 17 4 1 2 1 11 2 1 3 0 0 10 11 3 1 9 3 15 4 7 5 7 2 10 11 7 11 2 2 11 13 4 13 1 0 17 33 2 0 18 14 6 19 6 30 13 5 2 4 11 39 2 1 1 68 15 42 32 24 20 27 8 71 57 13 5 13 13 18 8 15 14 9 13 69 75 73 60 84 70 55 7 80 1 50 80 83 69 147 2 41 130 139 256 266 282 272 281 254 272 283 290
0 20 0 0 0 2 4 2 1 9 2 4 7 35 10 5 11 3 0 0 2 22 19 6 10 44 72 77 0 9 149 47 287 285
35 1.06 37 1.12 42 1.27 58 1.76 60 1.82 63 1.91 72 2.18 73 2.21 77 2.33 83 2.52 137 4.15 208 6.30 311 9.42 321 9.73 514 15.58 937 28.39 3028 91.76
85.3 88.7 94.0 90.7 93.7 84.7 90.7 94.3 96.7 95.7 95.0 91.8 30.59 2.52 2.51 2.45 2.51 2.31 2.52 2.44 2.33 2.31 2.23 2.45
88
Ulangan II Taxa KU S Amphisorus sp. 1 Peneroplis spp. 3 Sorites sp. 12 Amphistegina spp. 91 Calcarina spp. 40 Neorotalia sp. 5 Heterostegina sp. 2 Operculina sp. 3 JUMLAH 157 % 52.3 O Bolivina spp. 0 Bolivinellina sp. 1 Ammonia sp. 6 Elphidium spp. 17 JUMLAH 24 % 8.0 H Siphogenerina sp. 1 Cassidellina sp. 0 Loxostomum sp. 1 Neocassidulina sp. 3 Reussella sp. 7 Technitella sp. 0 Nodosaria sp. 0 Agglutinella sp. 0 Flintina sp. 0 Hauerina sp. 0 Lachlanella spp. 3 Massilina sp. 2 Miliolinella spp. 4 Pyrgo spp. 5 Quinqueloculina spp. 21 Spiroloculina spp. 3 Spirosigmoilina sp. 0 Triloculina spp. 4 Triloculinella spp. 2 Cancris sp. 2 Cibicides sp. 2 Cymbaloporetta spp. 29 Discorbia sp. 2 Epistomaroides sp. 3 Epistominella sp. 0 Eponides sp. 6 Hanzawaia sp. 0
KB KS KT PU PB PS PT OU OB OS JML % 2 0 0 0 3 0 0 0 0 0 6 0.18 1 9 1 1 28 29 10 1 0 4 87 2.64 4 1 0 5 3 5 1 0 0 1 32 0.97 39 40 104 96 82 13 78 5 5 13 566 17.15 51 52 93 123 2 18 110 89 118 22 718 21.76 6 76 0 2 3 76 28 101 102 28 427 12.94 4 2 2 5 0 0 5 0 0 0 20 0.61 5 12 4 4 2 0 3 0 0 0 33 1.00 112 192 204 236 123 141 235 196 225 68 1889 57.24 37.3 64.0 68.0 78.7 41.0 47.0 78.3 65.3 75.0 22.7 57.24 1 2 2 0 5 2 0 1 0 3 16 0.48 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0.12 13 3 0 0 8 0 2 19 5 65 121 3.67 18 12 3 12 16 12 4 54 53 52 253 7.67 33 19 5 12 29 14 6 74 58 120 394 11.94 11.0 6.3 1.7 4.0 9.7 4.7 2.0 24.7 19.3 40.0 11.94 0 1 1 5 9 0 1 2 0 1 9 6 22 1 24 5 0 3 4 0 0 22 1 1 1 6 0
0 1 2 1 3 0 0 0 0 0 4 0 4 3 17 5 0 3 4 0 5 6 1 3 1 5 0
2 0 2 0 2 1 0 0 0 0 1 2 2 3 20 3 0 3 6 0 1 17 1 3 0 9 0
0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2 1 0 4 13 6 0 0 4 0 0 3 2 0 0 8 0
1 1 0 14 3 0 0 2 0 0 7 1 6 3 38 9 1 3 1 1 14 21 0 0 6 0 3
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 39 0 43 14 0 3 6 0 0 10 7 5 0 0 0
1 0 1 0 1 0 0 0 1 2 2 1 4 2 13 2 0 2 6 0 0 4 1 4 0 4 0
0 0 0 0 1 0 0 2 0 0 0 0 2 1 11 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 5 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0
1 6 0.18 0 3 0.09 1 9 0.27 0 23 0.70 1 28 0.85 0 1 0.03 0 1 0.03 1 7 0.21 0 1 0.03 0 3 0.09 0 29 0.88 1 16 0.48 11 96 2.91 3 25 0.76 31 236 7.15 3 50 1.52 1 2 0.06 2 23 0.70 5 39 1.18 0 3 0.09 0 22 0.67 27 140 4.24 2 18 0.55 2 21 0.64 0 8 0.24 2 49 1.48 0 3 0.09
89
Neoconorbina sp. Nonionoides sp. Planorbulina spp. Rosalina spp. Rotaliida spp. Rotorbis sp. Clavulina sp. Septotextularia sp. Siphotextularia sp. Textularia spp. JUMLAH %
1 3 2 3 0 0 1 0 0 1 11 0.33 2 3 1 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0.18 3 0 0 2 1 2 0 1 0 0 0 9 0.27 2 13 8 4 1 1 3 3 0 0 10 45 1.36 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0.03 0 1 0 0 0 0 6 2 0 0 0 9 0.27 1 2 0 0 0 2 0 0 0 0 0 5 0.15 1 2 0 0 1 0 0 0 0 0 0 4 0.12 1 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0.15 8 7 6 5 2 8 7 1 5 4 7 60 1.82 119 155 89 91 52 148 145 59 30 17 112 1017 30.82 39.7 51.7 29.7 30.3 17.3 49.3 48.3 19.7 10.0 5.7 37.3 30.82
Jumlah Total 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 3300 100 Individu Jumlah taxa 39 41 36 30 25 35 22 33 19 12 29 51 Keragaman genera 3.57 3.62 3.48 3.27 3.07 3.45 2.96 3.37 2.74 2.22 3.23 3.57 Ps Po Ph
0.52 0.37 0.64 0.68 0.79 0.41 0.47 0.78 0.65 0.75 0.23 0.57 0.08 0.11 0.06 0.02 0.04 0.10 0.05 0.02 0.25 0.19 0.40 0.12 0.40 0.52 0.30 0.30 0.17 0.49 0.48 0.20 0.10 0.06 0.37 0.31
FI Ulangan II
6.11 4.88 7.06 7.42 8.25 5.18 5.71 8.25 6.98 7.81 3.41 6.46
Genus yang ≥ 1% Ulangan 2 KU KB KS KT (= 15 taksa) Operculina 3 5 12 4 Triloculinella 2 4 4 6 Rosalina 2 13 8 4 Eponides 6 6 5 9 Spiroloculina 3 5 5 3 Textularia 8 7 6 5 Peneroplis 3 1 9 1 Miliolinella 4 22 4 2 Ammonia 6 13 3 0 Cymbaloporetta 29 22 6 17 Quinqueloculina 21 24 17 20 Elphidium 17 18 12 3 Neorotalia 5 6 76 0 Amphistegina 91 39 40 104 Calcarina 40 51 52 93 Jumlah 240 236 259 271 Kontribusi dalam 80.0 78.7 86.3 90.3 300 individu Keragaman 2.52 2.54 2.53 2.33 genera
PU PB PS PT OU OB OS JML % 4 2 0 3 0 0 0 33 4 1 6 6 1 0 5 39 1 1 3 3 0 0 10 45 8 0 0 4 5 4 2 49 6 9 14 2 0 0 3 50 2 8 7 1 5 4 7 60 1 28 29 10 1 0 4 87 0 6 39 4 2 2 11 96 0 8 0 2 19 5 65 121 3 21 10 4 1 0 27 140 13 38 43 13 11 5 31 236 12 16 12 4 54 53 52 253 2 3 76 28 101 102 28 427 96 82 13 78 5 5 13 566 123 2 18 110 89 118 22 718 275 225 270 272 294 298 280 2920
1.00 1.18 1.36 1.48 1.52 1.82 2.64 2.91 3.67 4.24 7.15 7.67 12.94 17.15 21.76 88.48
91.7 75.0 90.0 90.7 98.0 99.3 93.3 88.5 29.49 2.31 2.44 2.38 2.50 2.32 2.12 2.53
90
Lampiran 7. Hasil Anova klasifikasi satu arah
pH K.Bongkok Pramuka Onrust 1.68 1.68 1.68 1.67 1.68 1.67 1.68 1.69 1.66 1.68 1.69 Uji-t K.B-P : n K.B-O : tn P-O : n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 6.71 1.68 0.00 Pramuka 4.00 6.74 1.68 0.00 Onrust 3.00 5.01 1.67 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.00 2.00 0.00 7.19 Within Groups 0.00 8.00 0.00 Total 0.00 10.00
Turbiditas K.Bongkok Pramuka Onrust 1.05 0.53 1.53 0.89 0.00 1.62 0.88 0.00 1.48 0.76 0.00 Uji-t K.B-P : n K.B-O : n P-O : n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 3.57 0.89 0.01 Pramuka 4.00 0.53 0.13 0.07 Onrust 3.00 4.62 1.54 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 3.46 2.00 1.73 52.22 Within Groups 0.27 8.00 0.03 Total 3.73 10.00
Si K.Bongkok Pramuka Onrust 0.82 0.76 0.81 0.81 0.78 0.86 0.83 0.77 0.89 0.77 0.78 Uji-t K.B-P : n K.B-O : tn P-O : n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 3.23 0.81 0.00 Pramuka 4.00 3.09 0.77 0.00 Onrust 3.00 2.56 0.85 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.01 2.00 0.01 8.95 Within Groups 0.01 8.00 0.00 Total 0.02 10.00
C-organik K.Bongkok Pramuka Onrust 0.70 0.64 0.83 0.69 0.73 0.77 0.68 0.70 0.81 0.72 0.63 Uji-t K.B-P : tn K.B-O : n P-O : n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 2.80 0.70 0.00 Pramuka 4.00 2.71 0.68 0.00 Onrust 3.00 2.41 0.80 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.03 2.00 0.01 12.38 Within Groups 0.01 8.00 0.00 Total 0.04 10.00
P-value 0.02
F crit 4.46 n
P-value 0.00
F crit 4.46 n
P-value 0.01
F crit 4.46 n
P-value 0.00
F crit 4.46 n
91
Pasir K.Bongkok Pramuka Onrust 3.10 3.12 3.02 3.06 3.08 2.97 3.08 3.07 2.99 3.06 3.05 Uji-t K.B-P : tn K.B-O : n P-O : n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 12.31 3.08 0.00 Pramuka 4.00 12.31 3.08 0.00 Onrust 3.00 8.98 2.99 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.02 2.00 0.01 15.19 Within Groups 0.00 8.00 0.00 Total 0.02 10.00
Lumpur K.Bongkok Pramuka Onrust 1.61 1.38 1.83 1.58 1.63 2.02 1.51 1.53 1.83 1.59 1.67 Uji-t K.B-P : tn K.B-O : n P-O : n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 6.29 1.57 0.00 Pramuka 4.00 6.21 1.55 0.02 Onrust 3.00 5.67 1.89 0.01 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.24 2.00 0.12 11.99 Within Groups 0.08 8.00 0.01 Total 0.32 10.00
N-Total K.Bongkok Pramuka Onrust 0.38 0.38 0.45 0.38 0.38 0.42 0.38 0.38 0.42 0.38 0.38 Uji-t K.B-P : K.B-O : P-O :
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 1.50 0.38 0.00 Pramuka 4.00 1.50 0.38 0.00 Onrust 3.00 1.28 0.43 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.01 2.00 0.00 34.61 Within Groups 0.00 8.00 0.00 Total 0.01 10.00
Visibilitas Anova: Single Factor K.Bongkok Pramuka Onrust SUMMARY 3.16 3.16 2.56 Groups Count Sum Average Variance 3.16 3.16 2.56 K.Bongkok 4.00 12.65 3.16 0.00 3.16 3.16 2.56 Pramuka 4.00 12.65 3.16 0.00 3.16 3.16 Onrust 3.00 7.68 2.56 0.00 Uji-t Source of Variation SS df MS F K.B-P : Between Groups 0.80 2.00 0.40 65,535 K.B-O : Within Groups 0.00 8.00 0.00 P-O : Total 0.80 10.00
P-value 0.00
F crit 4.46 n
P-value 0.00
F crit 4.46 n
P-value 0.00
F crit 4.46 n
P-value #NUM!
F crit 4.46 n
92
Suhu K.Bongkok Pramuka Onrust 2.33 2.32 2.33 2.33 2.33 2.33 2.33 2.33 2.33 2.33 2.33
DO K.Bongkok Pramuka Onrust 1.83 1.78 1.71 1.85 1.73 1.69 1.63 1.72 1.63 1.73 1.69
Salinitas K.Bongkok Pramuka Onrust 2.42 2.42 2.42 2.41 2.42 2.42 2.42 2.42 2.41 2.42 2.42
Kecepatan arus K.Bongkok Pramuka Onrust 0.63 0.45 0.65 0.57 0.57 0.61 0.52 0.71 0.58 0.66 0.66
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 9.32 2.33 0.00 Pramuka 4.00 9.31 2.33 0.00 Onrust 3.00 6.99 2.33 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.00 2.00 0.00 0.85 Within Groups 0.00 8.00 0.00 Total 0.00 10.00
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 7.04 1.76 0.01 Pramuka 4.00 6.92 1.73 0.00 Onrust 3.00 5.04 1.68 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.01 2.00 0.01 1.15 Within Groups 0.04 8.00 0.00 Total 0.05 10.00
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 9.66 2.41 0.00 Pramuka 4.00 9.68 2.42 0.00 Onrust 3.00 7.25 2.42 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.00 2.00 0.00 1.37 Within Groups 0.00 8.00 0.00 Total 0.00 10.00
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 2.38 0.59 0.00 Pramuka 4.00 2.39 0.60 0.01 Onrust 3.00 1.84 0.61 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.00 2.00 0.00 0.06 Within Groups 0.05 8.00 0.01 Total 0.05 10.00
P-value 0.46
F crit 4.46 tn
P-value 0.36
F crit 4.46 tn
P-value 0.31
F crit 4.46 tn
P-value 0.94
F crit 4.46 tn
93
NO3 K.Bongkok Pramuka Onrust 0.32 0.38 0.53 0.38 0.00 0.49 0.38 0.38 0.42 0.00 0.38
NH4 K.Bongkok Pramuka Onrust 0.00 0.51 0.58 0.47 0.63 0.84 0.45 0.68 0.63 0.51 0.62
PO4 K.Bongkok Pramuka Onrust 0.56 0.00 0.70 0.56 0.71 0.56 0.00 0.64 0.67 0.47 0.32
Lempung K.Bongkok Pramuka Onrust 1.05 1.07 1.55 1.54 1.32 1.55 1.49 1.56 1.74 1.52 1.53
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 1.07 0.27 0.03 Pramuka 4.00 1.13 0.28 0.04 Onrust 3.00 1.44 0.48 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.09 2.00 0.05 1.77 Within Groups 0.21 8.00 0.03 Total 0.30 10.00
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 1.43 0.36 0.06 Pramuka 4.00 2.45 0.61 0.01 Onrust 3.00 2.05 0.68 0.02 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.21 2.00 0.11 3.76 Within Groups 0.23 8.00 0.03 Total 0.44 10.00
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 1.60 0.40 0.07 Pramuka 4.00 1.67 0.42 0.11 Onrust 3.00 1.93 0.64 0.01 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.12 2.00 0.06 0.89 Within Groups 0.55 8.00 0.07 Total 0.67 10.00 Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 5.60 1.40 0.06 Pramuka 4.00 5.47 1.37 0.05 Onrust 3.00 4.83 1.61 0.01 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.11 2.00 0.06 1.32 Within Groups 0.35 8.00 0.04 Total 0.46 10.00
P-value 0.23
F crit 4.46 tn
P-value 0.07
F crit 4.46 tn
P-value 0.45
F crit 4.46 tn
P-value 0.32
F crit 4.46 tn
94
Cl-a K.Bongkok Pramuka Onrust 0.88 0.97 1.38 0.98 0.94 1.67 1.06 0.82 1.46 0.83 0.78 Uji-t K.B-P : tn K.B-O : n P-O : n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 3.74 0.94 0.01 Pramuka 4.00 3.50 0.87 0.01 Onrust 3.00 4.50 1.50 0.02 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.78 2.00 0.39 30.56 Within Groups 0.10 8.00 0.01 Total 0.88 10.00
Cl-b K.Bongkok Pramuka Onrust 0.60 0.58 0.79 0.65 0.61 0.87 0.68 0.39 0.80 0.67 0.59 Uji-t K.B-P : tn K.B-O : n P-O : n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 2.60 0.65 0.00 Pramuka 4.00 2.17 0.54 0.01 Onrust 3.00 2.45 0.82 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.13 2.00 0.07 13.06 Within Groups 0.04 8.00 0.01 Total 0.17 10.00
Cl-c K.Bongkok Pramuka Onrust 0.71 0.52 0.85 0.81 0.73 1.11 0.75 0.58 1.02 0.72 0.56 Uji-t K.B-P : n K.B-O : n P-O : n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 2.99 0.75 0.00 Pramuka 4.00 2.40 0.60 0.01 Onrust 3.00 2.98 0.99 0.02 Source of Variation SS df MS F Between Groups 0.27 2.00 0.13 15.94 Within Groups 0.07 8.00 0.01 Total 0.34 10.00
% Cover TK K.Bongkok Pramuka Onrust 2.35 1.33 0.00 2.24 1.95 0.00 2.04 2.19 0.00 2.26 1.93 Uji-t K.B-P : tn K.B-O : P-O :
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 4.00 8.89 2.22 0.02 Pramuka 4.00 7.40 1.85 0.13 Onrust 3.00 0.00 0.00 0.00 Source of Variation SS df MS F Between Groups 9.32 2.00 4.66 83.62 Within Groups 0.45 8.00 0.06 Total 9.77 10.00
P-value 0.00
F crit 4.46 n
P-value 0.00
F crit 4.46 n
P-value 0.00
F crit 4.46 n
P-value 0.00
F crit 4.46 n
95
Foraminifera simbion K.Bongkok Pramuka Onrust 155 228 183 191 84 168 201 154 63 167 234 157 236 196 112 123 225 192 141 68 204 235 Uji t: K.B-P : tn K.B-O : tn P-O : tn
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count K.Bongkok 7.00 Pramuka 7.00 Onrust 5.00 ANOVA Source of Variation SS Between Groups 3257.95 Within Groups 51934.57 Total 55192.53
Foraminifera oportunis K.Bongkok Pramuka Onrust 17 17 79 17 21 80 30 11 112 10 13 24 12 74 33 29 58 19 14 120 5 6 Uji t: 0,05 0,01 K.B-P : tn K.B-O : n n P-O : n n
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count K.Bongkok 7.00 Pramuka 7.00 Onrust 5.00 ANOVA Source of Variation SS Between Groups 18840.07 Within Groups 3719.09 Total 22559.16
Foraminjfera heterotrofik K.Bongkok Pramuka Onrust 128 55 38 92 195 52 69 135 125 123 53 119 52 30 155 148 17 89 145 112 91 59 Uji t: K.B-P : tn K.B-O : tn P-O : tn
Anova: Single Factor SUMMARY Groups Count K.Bongkok 7.00 Pramuka 7.00 Onrust 5.00 ANOVA Source of Variation SS Between Groups 6586.72 Within Groups 34110.23 Total 40696.95
Sum 1224 1207 720
Average Variance 174.86 1069.81 172.43 3889.62 144.00 5544.50
df MS 2 1628.98 16 3245.91 18
F 0.50
P-value F crit 0.61 3.63
Sum Average Variance 138 19.71 103.24 106 15.14 57.14 444 88.80 689.20 df MS F 2 9420.04 40.53 16 232.44 18
P-value F crit 0.00 3.63 n
Sum Average Variance 738 105.43 822.62 787 112.43 3281.95 336 67.20 2370.70 df MS 2 3293.36 16 2131.89 18
F 1.54
P-value F crit 0.24 3.63
96
Keragaman spesies K.Bongkok Pramuka Onrust 4.23 3.71 3.21 4.05 4.19 3.40 3.74 4.14 3.74 4.02 3.73 4.11 3.58 3.09 4.17 4.06 2.62 4.04 3.77 3.90 3.81 3.90 Uji t: K.B-P : tn K.B-O : n P-O : n
Anova: Single Factor
Keragaman genus K.Bongkok Pramuka Onrust 3.61 3.02 2.86 3.28 3.53 2.91 3.04 3.20 2.99 3.41 3.07 3.57 3.07 2.74 3.62 3.45 2.22 3.48 2.96 3.23 3.27 3.37 Uji t: K.B-P : tn K.B-O : n P-O : n
Anova: Single Factor
SUMMARY Groups Count K.Bongkok 8.00 Pramuka 8.00 Onrust 6.00 ANOVA Source of Variation SS Between Groups 1.79 Within Groups 1.62 Total 3.42
Sum Average Variance 32.2 4.02 0.03 31.1 3.88 0.05 20.0 3.33 0.21 df 2 19 21
MS 0.90 0.09
F 10.52
P-value F crit 0.00 3.52 n
SUMMARY Groups Count Sum Average Variance K.Bongkok 8.00 27.28 3.41 0.04 Pramuka 8.00 25.67 3.21 0.05 Onrust 6.00 16.95 2.83 0.11 ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Between Groups 1.18 2 0.59 9.43 0.00 3.52 Within Groups 1.19 19 0.06 Total 2.37 21 n
Catatan: 1. a. F hitung > F tabel: tolak H0, perbedaan diantara nilai tengah perlakuan (atau pengaruh perlakuan) nyata n. b. Fhitung < F tabel: terima H0, perbedaan diantara nilai tengah perlakuan (atau pengaruh perlakuan) tidak nyata tn. 2. n : berbeda nyata, tn : tidak berbeda nyata pada α = 0,05. Uji t pada foraminifera kelompok oportunis menggunakan α = 0,05 dan α = 0,01. 3. a. K.B-P: uji-t antara Karang Bongkok dan Pramuka. b. K.B-O: uji-t antara Karang Bongkok dan Onrust. c. P-O: uji-t antara Pramuka dan Onrust.
97
Lampiran 8. Hasil analisis disimilaritas euclidean untuk parameter fisikakimia A. Matriks disimilaritas KS KB KU KT 4.468 5.329 4.646 KS 0 5.051 4.589 KB 4.468 0 4.373 KU 5.329 5.051 0 KT 4.646 4.589 4.373 0 PB 6.339 6.686 5.570 6.516 PS 4.953 5.077 4.878 2.502 PT 5.798 5.711 5.586 3.898 PU 5.666 5.709 4.319 3.568 OS 7.227 7.051 6.718 6.431 OU 8.527 7.313 7.177 7.572 OB 8.343 6.751 6.791 7.508
PB 6.339 6.686 5.570 6.516 0 6.252 6.831 6.158 9.354 10.322 10.451
PS 4.953 5.077 4.878 2.502 6.252 0 3.969 4.009 6.811 7.839 7.847
PT 5.798 5.711 5.586 3.898 6.831 3.969 0 2.746 7.202 8.731 8.807
PU 5.666 5.709 4.319 3.568 6.158 4.009 2.746 0 7.004 8.106 8.485
B. Deskripsi dari dendogram Node Left child node Right child node Size Weight 21 20 17 11 11.000 20 5 19 8 8.000 19 18 15 7 7.000 18 16 3 3 3.000 17 9 14 3 3.000 16 1 2 2 2.000 15 12 13 4 4.000 14 10 11 2 2.000 13 7 8 2 2.000 12 4 6 2 2.000 C. Gambaran deskripsi dendogram
OS 7.227 7.051 6.718 6.431 9.354 6.811 7.202 7.004 0 3.849 4.639
Level 10.451 6.831 5.798 5.329 4.639 4.468 4.009 3.218 2.746 2.502
OU 8.527 7.313 7.177 7.572 10.322 7.839 8.731 8.106 3.849 0 3.218
OB 8.343 6.751 6.791 7.508 10.451 7.847 8.807 8.485 4.639 3.218 0
98
97
Lampiran 9. Hasil Analisis Komponen Utama (AKU)
A. Rerata dan Standar deviasi. Mean Std.Dev. Suhu 29.45 0.14 pH 7.92 0.14 DO 8.98 1.42 Salinitas 34.16 0.26 Turb. 1.81 2.44 Vis. 84.42 25.45 V. arus 0.14 0.06 NO3 0.03 0.02 NH4 0.14 0.13 PO4 0.11 0.09 Si 0.43 0.09 Cl-a 1.95 2.24 Cl-b 0.23 0.15 Cl-c 0.45 0.43 C-org. 0.28 0.10 N-Tot. 0.02 0.01 Pasir 87.13 4.82 Lumpur 7.94 3.50 Lempung 4.85 2.16
B. Matrik korelasi. Suhu pH
DO Sal. Turb. Vis.
Suhu 1.00 pH -0.18 1.00 DO -0.23 0.13 1.00 Salinitas -0.04 0.60 -0.46 1.00 Turb 0.22 -0.67 -0.34 0.05 1.00 Vis. -0.19 0.66 0.44 -0.09 -0.97 1.00 V arus 0.55 0.40 -0.05 0.39 0.04 -0.05 NO3 0.07 -0.34 -0.27 0.25 0.84 -0.83 NH4 0.17 -0.13 -0.38 0.20 0.60 -0.55 PO4 0.40 -0.26 -0.06 0.08 0.40 -0.48 Si 0.38 -0.90 -0.40 -0.33 0.76 -0.74 Cl-a 0.15 -0.65 -0.40 0.00 0.95 -0.91 Cl-b 0.24 -0.71 -0.42 -0.04 0.95 -0.91 Cl-c 0.28 -0.75 -0.35 -0.20 0.89 -0.84 C-org. 0.36 -0.61 -0.35 0.09 0.83 -0.89 N-Tot. 0.18 -0.48 -0.34 0.25 0.88 -0.92 Pasir -0.46 0.59 0.52 0.01 -0.87 0.88 Lumpur 0.39 -0.53 -0.37 0.09 0.92 -0.88 Lempung 0.52 -0.47 -0.58 -0.18 0.47 -0.57
V. NO3 NH4 PO4 arus
Si
Cl-a Cl-b Cl-c
1.00 0.12 1.00 0.21 0.46 1.00 0.28 0.30 0.21 1.00 -0.18 0.41 0.34 0.27 1.00 -0.08 0.74 0.76 0.28 0.76 1.00 -0.13 0.72 0.59 0.25 0.78 0.95 1.00 -0.11 0.57 0.72 0.28 0.84 0.96 0.93 1.00 0.14 0.67 0.32 0.74 0.64 0.69 0.76 0.66 0.14 0.91 0.35 0.54 0.52 0.73 0.78 0.60 -0.23 -0.67 -0.71 -0.38 -0.74 -0.87 -0.87 -0.88 0.17 0.71 0.77 0.37 0.70 0.93 0.91 0.91 0.29 0.36 0.35 0.29 0.55 0.45 0.50 0.51
C- NPasir Lumpur Lempung org. Tot.
1.00 0.90 -0.74 0.71 0.54
1.00 -0.73 1.00 0.74 -0.93 0.46 -0.78
In bold, significant values (except diagonal) at the level of significance alpha=0.050 (two-tailed test)
1.00 0.50
1.00
99
C. Akar ciri. Eigenvalue Variance Cumulative % % F1 10.85 57.08 57.08 F2 2.46 12.95 70.03 F3 1.76 9.29 79.32 F4 1.41 7.42 86.74 F5 1.02 5.39 92.13 F6 0.62 3.28 95.41 F7 0.48 2.51 97.92 F8 0.20 1.06 98.97 F9 0.14 0.75 99.72 F10 0.05 0.28 100.00
D. Kalkulasi terhadap stasiun. Contributions of Factor the observations scores (%) F1 F2 F1 F2 KU 1.26 -0.84 1.33 2.63 KB 1.29 -2.54 1.39 23.86 KS 2.17 -0.73 3.94 1.96 KT 1.75 0.68 2.57 1.73 PU 1.93 1.72 3.13 10.91 PB 3.77 -1.53 11.92 8.69 PS 1.61 0.62 2.17 1.40 PT 1.87 2.45 2.92 22.20 OU -6.40 -0.21 34.37 0.17 OB -5.17 -1.69 22.39 10.50 OS -4.07 2.08 13.88 15.93
E. Kalkulasi terhadap parameter. Contributions Eigenvectors Factor loadings of the variables (%). F1 F2 F1 F2 F1 F2 Suhu -0.11 0.20 -0.36 0.31 1.21 3.89 pH 0.21 0.42 0.70 0.66 4.46 17.59 DO 0.14 -0.20 0.47 -0.31 2.03 3.94 Salinitas 0.00 0.52 -0.01 0.82 0.00 27.30 Turb -0.29 -0.02 -0.97 -0.03 8.64 0.03 Vis. 0.29 -0.01 0.97 -0.02 8.67 0.02 V arus -0.02 0.51 -0.08 0.80 0.05 25.87 -0.23 0.13 -0.77 0.20 5.41 1.66 NO3 -0.19 0.15 -0.64 0.24 3.78 2.37 NH4 -0.14 0.18 -0.46 0.28 1.96 3.29 PO4 Si -0.25 -0.25 -0.81 -0.40 6.06 6.44 Cl-a -0.29 -0.07 -0.94 -0.12 8.15 0.55 Cl-b -0.29 -0.10 -0.95 -0.16 8.24 1.05 Cl-c -0.28 -0.16 -0.92 -0.25 7.75 2.61 C-org. -0.26 0.08 -0.86 0.12 6.74 0.59 N-Tot. -0.26 0.13 -0.85 0.20 6.61 1.68 Pasir 0.29 -0.06 0.95 -0.09 8.32 0.36 Lumpur -0.28 0.06 -0.94 0.09 8.10 0.34 Lempung -0.20 0.06 -0.64 0.10 3.81 0.40
100
Lampiran 10. Hasil analisis similaritas bray curtis untuk penutupan karang
A. Matriks similaritas KS KB KU 1 0.60 0.74 KS 1 0.60 KB 0.60 1 KU 0.74 0.60 KT 0.40 0.34 0.50 PB 0.26 0.27 0.34 PS 0.32 0.37 0.32 PT 0.49 0.37 0.45 PU 0.44 0.43 0.48 OS 0.00 0.00 0.00 OU 0.00 0.00 0.00 OB 0.00 0.00 0.00
KT 0.40 0.34 0.50 1 0.26 0.38 0.57 0.49 0.00 0.00 0.00
PB 0.26 0.27 0.34 0.26 1 0.37 0.13 0.30 0.00 0.00 0.00
PS 0.32 0.37 0.32 0.38 0.37 1 0.25 0.47 0.00 0.00 0.00
PT 0.49 0.37 0.45 0.57 0.13 0.25 1 0.42 0.00 0.00 0.00
PU 0.44 0.43 0.48 0.49 0.30 0.47 0.42 1 0.00 0.00 0.00
OS 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0 0.00 0.00
B. Deskripsi dari dendogram Node Left child node Right child node Size Weight Level 21 20 11 11 11.000 0.000 20 19 10 10 10.000 0.000 19 18 9 9 9.000 0.000 18 16 17 8 8.000 0.134 17 5 15 3 3.000 0.297 16 13 14 5 5.000 0.340 15 6 8 2 2.000 0.466 14 4 7 2 2.000 0.565 13 2 12 3 3.000 0.599 12 1 3 2 2.000 0.745 C. Gambaran deskripsi dendogram
OU 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0 0.00
OB 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0
101
Lampiran 11. Hasil analisis similaritas bray curtis untuk foraminifera
A. Matriks similaritas KU KB KS KT KU 1 0.93 0.92 0.93 KB 0.93 1 0.92 0.91 KS 0.92 0.92 1 0.88 KT 0.93 0.91 0.88 1 PU 0.89 0.87 0.87 0.91 PB 0.93 0.88 0.87 0.87 PS 0.83 0.84 0.85 0.79 PT 0.90 0.90 0.92 0.90 OU 0.78 0.79 0.84 0.76 OB 0.76 0.77 0.82 0.74 OS 0.87 0.90 0.85 0.83
PU 0.89 0.87 0.87 0.91 1 0.82 0.76 0.92 0.81 0.80 0.78
PB 0.93 0.88 0.87 0.87 0.82 1 0.83 0.84 0.71 0.69 0.83
PS 0.83 0.84 0.85 0.79 0.76 0.83 1 0.82 0.74 0.71 0.83
PT 0.90 0.90 0.92 0.90 0.92 0.84 0.82 1 0.82 0.80 0.83
OU 0.78 0.79 0.84 0.76 0.81 0.71 0.74 0.82 1 0.95 0.81
OB 0.76 0.77 0.82 0.74 0.80 0.69 0.71 0.80 0.95 1 0.78
B. Deskripsi dari dendogram Node Left child node Right child node Size Weight Level 21 12 20 11 11.000 0.692 20 16 19 9 9.000 0.756 19 7 18 6 6.000 0.825 18 17 11 5 5.000 0.833 17 15 6 4 4.000 0.871 16 4 14 3 3.000 0.900 15 13 3 3 3.000 0.917 14 5 8 2 2.000 0.920 13 1 2 2 2.000 0.931 12 9 10 2 2.000 0.949 C. Gambaran deskripsi dendogram
OS 0.87 0.90 0.85 0.83 0.78 0.83 0.83 0.83 0.81 0.78 1
102
Lampiran 12. Klasifikasi foraminifera bentik Klasifikasi foraminifera yang diidentifikasi dalam penelitian berdasarkan Sen Gupta (2003), Yassini dan Jones (1995), dan Loeblich dan Tappan (1988 dan 1994).
Kingdom: Protoctista Filum: Granuloreticulosa Kelas: Foraminifera Loeblich dan Tappan, 1992 Ordo: Astrorhizida Lankester, 1885 Superfamily: Astrorhizacea Brady, 1881 Family: Saccamminidae Brady, 1884 Subfamily: Saccammininae Brady, 1884 Genus: Technitella Norman, 1878 Ordo: Buliminida Fursenko, 1958 Superfamily: Bolivinacea Glaessner, 1937 Family: Bolivinidae Glaessner, 1937 Genus: Bolivina d’Orbigny, 1839c Bolivinellina Saidova, 1975 Superfamily: Buliminacea Jones in Griffith dan Henfrey, 1875 Family: Siphogenerinoididae Saidova, 1981 Subfamily: Tubulogenerininae Saidova, 1981 Genus: Siphogenerina Schlumberger in MilneEdwards, 1882 Superfamily: Fursenkoinacea Loeblich dan Tappan, 1961 Family: Fursenkoinidae Loeblich dan Tappan, 1961 Genus: Neocassidulina McCulloch, 1977 Superfamily: Loxostomatacea Loeblich and Tappan, 1962 Family: Loxostomatidae Loeblich dan Tappan, 1962 Genus: Loxostomum Ehrenberg, 1854 Family: Reussellidae Cushman, 1933c Genus: Reussella Galloway, 1933 Superfamily: Turrilinacea Cushman, 1927a Family: Stainforthiidae Reiss, 1963 Genus: Cassidelina Saidova, 1975 Ordo: Lagenida Lankester, 1885 Superfamily: Nodosariacea Ehrenberg, 1839 Family: Nodosariidae Ehrenberg, 1839 Subfamily: Nodosariinae Ehrenberg, 1839 Genus: Nodosaria Lamarck, 1812
103
Superfamily: Polymorphinacea d’Orbigny. 1839a Family: Glandulinidae Reuss, 1860 Subfamily: Seabrookiinae Cushman, 1927a Genus: Seabrookia Brady, 1890 Ordo: Miliolida Lankester, 1885 Sub Ordo: Miliolina Delage and Hérouard, 1896 Superfamily: Miliolacea Ehrenberg, 1839 Family: Hauerinidae Schwager, 1876 Subfamily: Haureninae Schwager, 1876 Genus: Hauerina d’Orbigny, 1839 Lachlanella Vella, 1957 Massilina Schlumberger, 1893 Quenqueloculina d’Orbigny, 1826 Subfamily: Miliolinellinae Vella, 1957 Genus: Flintina Cushman, 1921 Miliolinella Wiesner, 1933 Pyrgo Defrance, 1824 Triloculina d’Orbigny. 1826 Triloculinella Riccio, 1950 Subfamily: Sigmoilinitinae Luczkowska, 1974 Genus: Spirosigmoilina Parr, 1942 Subfamily: Siphonapertinae Saidova, 1975 Genus: Agglutinella Elphidium-Nakhal, 1983 Family: Spiroloculinidae Wiesner, 1920 Subfamily: Spiroloculininae Wiesner, 1920 Genus: Spiroloculina d’Orbigny, 1826 Superfamily: Soritacea Ehrenberg, 1839 Family: Peneroplidae Schultze, 1854 Genus: Coscinospira Ehrenberg, 1839 Peneroplis de Monfort, 1808 Family: Soritidae Ehrenberg, 1839 Subfamily: Soritinae Ehrenberg, 1839 Genus: Amphisorus Ehrenberg, 1839 Sorites Ehrenberg, 1839 Ordo: Rotaliida Lankester, 1885 Superfamily: Asterigerinacea d’Orbigny, 1839a Family: Alfredinidae S .N. Singh dan Kalia, 1972 Genus: Epistomaroides Uchio, 1952
104
Family: Amphisteginidae Cushman, 1927a Genus: Amphistegina d’Orbigny, 1826 Discorbia Sellier de Civrieux, 1977 Superfamily: Chilostomellacea Brady, 1881 Family: Gavelinellidae Hofker, 1956a Subfamily: Gavelinellinae Hofker, 1956a Genus: Hanzawaia Asano, 1944 Superfamily: Discorbacea Ehrenberg, 1838 Family: Bagginidae Cushman, 1927a Subfamily: Baggininae Cushman, 1927a Genus: Cancris Montfort, 1808 Family: Bronnimanniidae Loeblich dan Tappan, 1984 Genus: Bronnimannia Bermúdez, 1952 Family: Discorbidae Ehrenberg, 1838 Genus: Rotorbis Sellier de Civrieux, 1977 Family: Eponididae Hofker, 1951a Subfamily: Eponidinae Hofker, 1951a Genus: Eponides de Monfort, 1808 Family: Rosalinidae Reiss, 1963 Genus: Neoconorbina Hofker, 1951a Rosalina d’Orbigny, 1826 Superfamily: Discorbinellacea Sigal, 1952 Family: Pseudoparrellidae Voloshinova, 1952 Subfamily: Pseudoparrellinae Voloshinova, 1952 Genus: Epistominella Husezima dan Maruhasi, 1944 Superfamily: Nonionacea Schultze, 1854 Family: Nonionidae Schultze, 1854 Subfamily: Nonioninae Schultze, 1854 Genus: Nonionoides Saidova, 1975 Superfamily: Nummulitacea de Blainville, 1827 Family: Nummulitidae de Blainville, 1827 Genus: Heterostegina d’Orbigny, 1826 Operculina d’Orbigny, 1826 Superfamily: Planorbulinacea Schwager, 1877 Family: Cibicididae Cushman, 1927a Subfamily: Cibicidinae Cushman, 1927a Genus: Cibicides Monfort, 1808 Discorbia Sellier de Civrieux, 1977
105
Family: Cymbaloporidae Cushman, 1927a Subfamily: Cymbaloporinae Cushman, 1927a Genus: Cymbaloporetta Cushman, 1928c Family: Planorbulinidae Schwager, 1877 Subfamily: Planorbulininae Schwager, 1877 Genus: Planorbulina d’Orbigny, 1826 Superfamily: Rotaliacea Ehrenberg, 1839 Family: Calcarinidae Schwager, 1876 Genus: Calcarina d’Orbigny, 1826 Neorotalia d’Orbigny, 1839 Family: Elphidiidae Galloway, 1933 Subfamily: Elphidiinae Galloway, 1933 Genus: Elphidium Montfort, 1808 Family: Rotaliidae Ehrenberg, 1839 Subfamily: Ammoniinae Saidova, 1981 Genus: Ammonia Brünnich, 1772 Asterorotalia Hofker, 1950 Ordo: Textulariida Lankester, 1885 Superfamily: Textulariacea Ehrenberg, 1838 Family: Textulariidae Ehrenberg, 1838 Subfamily: Siphotextulariinae Loeblich dan Tappan, 1985b Genus: Siphotextularia Finlay, 1939a Subfamily: Textulariinae Ehrenberg, 1838 Genus: Septotextularia T.C. Cheng dan S.Y. Zheng, 1978 Textularia Defrance in de Blainville, 1824 Family: Valvulinidae Berthelin, 1880 Subfamily: Valvulininae Berthelin, 1880 Genus: Clavulina d’Orbigny, 1826 Cylindroclavulina Bermúdez dan Key, 1952
106
Lampiran 12. Gambar foraminifera 1
2
7
3
4
5
6
10
9
12
11
8
19 20
13 14
15
22
23
16
21 24
17
29
25 26 27
30
31 33 34
43
28
36 32
37
18
38
44
39
35
42
40 41
48 45 46 47
107
49
50
51
52
55 57
58
64
65
70
71
60
62 63
68 69
73
54
59 56
61
53
67 66
72
74
76 75
77
Keterangan: Gambar 1. Amphistegina lessoni, 2. A. radiata, 3. Calcarina defrancii, 4. C. mayori, 5. C. spengleri, 6. Neorotalia calcar, 7. Heterostegina depressa, 8. Operculina ammonoides, 9. Peneroplis antillarum, 10. P. pertusus, 11. P. planatus, 12. Sorites orbiculus, 13.Ammonia beccarii, 14. A. convexa, 15. A. parkinsoniana, 16. A. parkinsoniana, 17. Bolivina sp., 18. Bolivinellina translucens 19. Siphogenerina sp., 20. Elphidium crispum, 21. E. crispum, 22. Elphidium sp., 23. Technitella bradyi, 24. Cassidelina subcapitata, 25. Loxostomum sp., 26. Neocassidulina abbreviata, 27. Reussella hayasakai, 28. Nodosaria sp., 29. Seabrookia pellucida, 30. Clavulina pacifica, 31. Cylindroclavulina sp., 32. Septotextularia sp., 33. Textularia sp 1., 34. Textularia sp 2., 35. Cibicides sp., 36. Cymbaloporetta bradyii, 37. C. squamosa, 38. Discorbia sp., 39.Epistomaroides sp., 40. Eponides sp., 41. Hanzawaia sp., 42. Neoconorbina orbicularis, 43. Nonionoides grateloupi, 44. Planorbulina sp., 45. Rosalina bradyi, 46. R. globularis, 47. Rotorbis auberi, 48. Trochammina sp., 49. Flintina sp., 50. Hauerina sp., 51. Lachlanella compressiostoma, 52. L. parkeri, 53. Miliolinella labiosa, 54. Pyrgo compressiobolonga, 55. P. striolata, 56. Quinqueloculina bradyana, 57. Q. parvaggluta, 58. Q. cuvieriana, 59. Q. latidentella, 60. Q. seminulum, 61. Q. patagonica, 62. Q. tubilocula, 63. L. corrugata, 64. Q. vandiemeniensis, 65. Spiroloculina excisa, 66. Triloculinella pseudooblonga, 67. Coscinospira acicularis, 68. Triloculinella tegminis, 69. Q. transversestriata, 70. Q. quinquecarinata, 71. Spiroloculina subimpressa, 72. Spirosigmoilina bradyi, 73. Triloculina tricarinata, 74. Triloculina bicarinata, 75. Triloculina trigonula, 76. Triloculina barnardi, 77. Quinqueloculina sp.
108
Lampiran 14. Dokumentasi penelitian
Pulau Karang Bongkok
Pulau Pramuka
Pulau Onrust
Pengambilan sampel
Wadah sortir
Identifikasi
Sampel foraminifera
Foraminiferal slide