2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama oleh hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Scleractinia), serta alga berkapur (calcareous algae) dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1986, White 1987). Tipe terumbu karang di Indonesia bisa dikelompokkan kedalam 4 kelompok yaitu fringing reef (terumbu karang tepi), barrier reef (terumbu karang penghalang), patch reef (takat/terumbu karang yang belum mencapai permukaan) dan atoll (terumbu karang cincin) (Suharsono 2007). Karang (coral), terbagi atas dua kelompok yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik. Karang hermatifik merupakan kelompok karang yang memiliki kemampuan menghasilkan terumbu, sedangkan karang ahermatifik merupakan kelompok karang yang tidak memiliki kemampuan menghasilkan terumbu. Karang, yang terdiri dari polip yang memiliki tentakel, merupakan hewan invertebrata. Tentakelnya bergerak di dalam air dan berfungsi sebagai alat penangkap makanan. Setiap polip mengeluarkan endapan kapur yang disebut skeleton, yang merupakan tempat tinggalnya. Ribuan polip tumbuh dan bergabung menjadi satu oleh skeletonnya membentuk koloni karang. Jadi, yang dimaksud dengan karang merupakan hewan polip karang beserta skeletonnya (Gambar 7). Carpenter et al. (1981) melaporkan bahwa ada hubungan yang erat antara persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan maupun keanekaragaman jenis ikan karang. Hutomo dan Adrim (1986) juga mendapatkan korelasi yang positif antara persentase tutupan karang hidup dengan keanekaragaman ikan karang. Berdasarkan kenyataan tersebut, beberapa pakar terumbu karang menilai kondisi terumbu karang di suatu lokasi berdasarkan dari persentase tutupan karang
hidupnya.
Sukarno
(1989)
menilai
kondisi
terumbu
karang
sebagai ”sangat baik” bila tutupan karang hidupnya lebih dari 75%, kondisi ”baik”
20
bila tutupan karang hidupnya 50% -75%), kondisi ”cukup” bila tutupan karang hidupnya 25% - 50%), dan dalam kondisi ”kurang” bila tutupan karang hidupnya kurang dari 25 %.
Gambar 7 Struktur karang (Veron 2000a) Sebaran terumbu karang tidak merata oleh karena adanya variasi faktor lingkungan yang mendukung dan ada faktor lingkungan yang menghambat pertumbuhan
dan
perkembangannya
(Suharsono
2007).
White
(1987)
menyatakan bahwa terumbu karang dapat hidup pada perairan dengan suhu diatas 18 °C, kedalaman lebih dangkal dari 50 m, salinitas antara 30-36 %o, laju sedimentasi rendah, perairan yang tak tercemar, perairan dengan sirkulasi arus, serta membutuhkan substrat yang keras untuk penempelan larva planula. Adanya pengaruh suhu untuk pertumbuhan karang (diatas 18 °C) menyebabkan penyebaran karang hanya terjadi pada daerah subtropis dan tropis, yaitu pada sekitar 30o LU - 30o LS. Suhu ideal untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25 °C – 29 °C (Pichon 1995). Adanya kenaikan suhu air laut di atas suhu normalnya, misalnya pada peristiwa El Nino, akan menyebabkan
21
pemutihan karang (coral bleaching), yaitu keadaan dimana karang kehilangan zooxanthellae, alga bersel tunggal yang hidup di dalam jaringan karang (Oliver et al. 2004) sehingga warna karang menjadi putih, dan bila berlanjut akan menyebabkan kematian karang. Kenaikan suhu air laut sebesar 3-4 oC diatas normal selama 6 minggu di Laut Jawa pada tahun 1983 menyebabkan kematian karang 80 hingga 90% (Suharsono 1998). Cahaya merupakan salah satu faktor pembatas bagi kehidupan karang sehingga karang (karang hermatifik) tidak tumbuh pada kedalamanan lebih dari 50 m. Hal ini disebabkan karena karang (karang hermatifik) hidup bersimbiosis dengan alga zooxanthellae, yang memerlukan cahaya matahari untuk proses fotosintesis. Air tawar dengan salinitas rendah dapat membunuh karang. Oleh karena itu karang tidak dijumpai di sungai ataupun muara sungai yang memiliki salinitas yang rendah. Percobaan yang dilakukan pada karang Pocillopora damicornis menunjukkan bahwa kecepatan respirasi menurun drastis pada saat salinitas diturunkan hingga 20%o, dan terhenti pada saat salinitas diturunkan hingga 10%o (Suharsono 1998). Tingginya sedimentasi menyebabkan penetrasi cahaya di air laut akan berkurang dan bisa menghambat zooxanthellae (alga yang bersimbiosis dengan karang) dalam melakukan proses fotosintesis. Butiran sedimen dapat menutupi polip karang, dan bila berlangsung lama bisa menyebabkan kematian karang. Oleh karena itu, karang tidak dijumpai pada perairan yang tingkat sedimentasinya tinggi. Arus dan sirkulasi air diperlukan dalam penyuplaian makanan berupa mikroplankton yang diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dan suplai oksigen dari laut lepas. Selain itu, arus dan sirkulasi air juga berperan penting dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material yang menempel pada pada polip karang. Tempat dengan arus dan ombak yang tidak terlalu besar merupakan tempat yang ideal untuk pertumbuhan karang. Tempat dengan arus dan ombak yang besar dapat mengganggu pertumbuhan karang, misalnya pada daerah-daerah terbuka yang langsung menghadap ke laut lepas, dengan ombak yang selalu besar sepanjang masa.
22
Karang memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual maupun seksual Suharsono 1984, Veron and AIMS 1995, Wikipedia 2010). Reproduksi aseksual dapat terjadi lewat pertunasan (budding), pembelahan (fission), fragmentasi, ataupun pemisahan polip dari skeleton (Sammarco 1982, Suharsono 1984, Veron and AIMS 1995, Wikipedia 2010). Dalam proses reproduksi seksual, dihasilkan larva karang yang disebut planula (Fadlallah 1983). Planula memerlukan substrat yang keras untuk menempel dan tumbuh. Planula tidak dapat menempel dengan baik pada dasar yang berpasir maupun lumpur. Jenis-jenis karang yang ditemukan di Indonesia hingga saat ini sebanyak 590 jenis yang termasuk dalam 82 marga karang, atau 80 % karang yang ada di dunia (Suharsono and Giyanto 2006, Suharsono 2007). Jenis-jenis karang yang mendominasi di hampir seluruh terumbu karang di Indonesia adalah berturutturut Acropora spp., Montipora spp. dan Porites spp. (Suharsono 2007). 2.2 Beberapa Metode Penilaian Kondisi Terumbu Karang Seperti telah disinggung sebelumnya (Bab 1 Pendahuluan), dari sekian banyak metode penelitian untuk menilai kondisi terumbu karang, terdapat dua metode yang banyak dipakai oleh para peneliti, yaitu: 1.
Transek Sabuk atau Belt transect (Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004).
2.
Transek Garis atau Line Transect (Loya 1978, Moll 1983). Metode ini kemudian dikembangkan oleh AIMS (Australian Institute of Marine Science) lewat
proyek
kerjasama
ASEAN-Australia,
dan
dikenal
sebagai
metode ”Line Intercept Transect (LIT)” (English et al. 1997, Mundy 1990, Hill and Wilkinson 2004, Oliver et al. 2004). 2.2.1
Metode Transek Sabuk Transek sabuk atau Belt Transect (BT) diperlukan terutama untuk
mengetahui keberadaan dari jenis yang jarang dijumpai, atau pada peristiwa yang menarik untuk diselidiki seperti pada peristiwa pemutihan karang (coral bleaching), serangan Mahkota Berduri (Acanthaster planci) (Oliver et al. 2004).
23
Dengan transek sabuk bisa diketahui frekuensi kehadiran dari suatu jenis biota tertentu dalam luasan tertentu. Untuk dapat melakukan metode ini juga diperlukan kemampuan menyelam dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Teknis pengerjaan di lapangan adalah sebagai berikut: pita berskala (roll meter) dengan panjang tertentu diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman tertentu (misal 3 m) di masingmasing lokasi pengamatan yang telah ditentukan secara acak dengan menggunakan GPS (Global Positioning System). Semua karang keras yang berada pada jarak 1 m sebelah kiri dan 1 m sebelah kanan pita berskala tadi dicatat menggunakan kertas khusus untuk pencatatan bawah air (underwater paper). Selain itu, untuk setiap jenis karang keras diukur pula panjang dan lebar maksimumnya, sehingga dengan menggunakan rumus tertentu dapat dihitung luas bidang tutupan koloni dari jenis karang keras tersebut. Hill and Wilkinson (2004) menggunakan panjang transek 4 x 20 m dengan lebar transek 5 m. Sedangkan Oliver et al. (2004) menyebutkan bahwa transek sabuk yang efektif panjangnya berkisar antara 20-30 m dengan lebar 1 atau 2 m. 2.2.2 Metode Transek Garis dan Transek Garis Intersep Metode Transek Garis (Line transect) dikembangkan dari metode yang digunakan pada ekologi tumbuhan darat. Hal ini dikarenakan invertebrata yang berada dalam terumbu karang umumnya bersifat sesil (stationary) atau ruang gerak yang terbatas, mirip dengan komunitas tumbuhan darat (Loya 1978). Loya and Slobodkin (1971) dan Loya (1972) (dalam Loya 1978) menggunakan pertama kali metode transek garis untuk pengambilan sampel dalam mengkaji komunitas karang hermatifik dari segi komposisi jenis, zonasi dan pola keragaman dalam zona terumbu karang yang berbeda. Australian Institute of Marine Science (AIMS) lewat proyek kerjasama ASEAN-Australia, mengembangkan metode Transek Garis ini, dimana pengelompokan datanya berdasarkan bentuk hidup pertumbuhan dari biota dan dikenal sebagai metode Transek Garis Intersep atau Line Intercept Transect (LIT) (English et al. 1997). Dengan metode LIT ini, data pada tingkatan jenis untuk karang merupakan data tambahan, terutama bila pengambil data mampu
24
mengidentifikasi karang hingga ke tingkat jenis. Sedangkan bagi pengambil data tingkat pemula, pengambilan data bisa dilakukan cukup pada tingkatan pengelompokan data berdasarkan kategori bentuk hidup pertumbuhannya, sehingga kadang metode ini disebut dengan metode lifeform. Jadi, Transek Garis Intersep (LIT) merupakan modifikasi dari Transek Garis, dimana pengelompokan data pada metode LIT berdasarkan pada kategori lifeformnya. Untuk pengamat tingkat lanjut (expert), pencatatan data bisa sampai ke tingkat jenis (spesies) seperti halnya pada Transek Garis. Untuk dapat melakukan metode ini juga diperlukan kemampuan menyelam dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Teknis pelaksanaan di lapangan mirip dengan metode Transek Sabuk, dimana pita berskala (roll meter) dengan panjang tertentu diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman tertentu di masing-masing lokasi pengamatan yang telah ditentukan secara acak dengan menggunakan bantuan GPS (Global Positioning System). Kemudian, semua biota dan substrat yang berada tepat di bawah garis pita berskala tadi dicatat dengan ketelitian hingga 1 cm. Khusus untuk karang keras, jenis yang yang dijumpai di sepanjang garis transek juga dicatat. Sebagai catatan, penggunaan panjang ukuran transek yang dilakukan oleh masing-masing peneliti tidak baku dimana antara satu peneliti dengan peneliti lainnya berbeda-beda. Sebagai contoh pada penggunaan metode LIT, English et al. (1997) dan Hill and Wilkinson (2004) menggunakan panjang garis transek 20 m dengan minimal 5 kali ulangan pada setiap kedalaman 3 m dan 9-10 m, sedangkan Oliver et al. (2004) menggunakan panjang garis transek 25 m dengan ulangan minimal 3 kali pada dua zona kedalaman (kedalaman 1-4 m dan 5-10 m). Pada kondisi dimana habitat karang berupa koloni kecil (patchy), digunakan panjang garis transek yang lebih pendek (10 m) dengan ulangan yang lebih banyak (5 kali ulangan) (Oliver et al. 2004).