7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekosistem Terumbu Karang
2.1.1 Biologi Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum cnidaria, kelas anthozoa, ordo madreporia = scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat, yang mana termasuk hermatypic coral atau jenis-jenis karang yang mampu membuat kerangka bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Nybakken 1997).
Gambar 2 Struktur polip dan kerangka kapur karang (Suharsono 1996). Hewan karang batu pada umumnya merupakan koloni yang terdiri atas banyak individu berupa polip yang bentuk dasarnya seperti mangkok dengan tepian berumbai-umbai (tentakel). Ukuran polip ini umumnya sangat kecil (beberapa mm) tetapi ada pula yang besar hingga beberapa puluh sentimeter
8
seperti pada jenis Fungia. Setiap polip tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka (Nontji 1993). 2.1.2 Reproduksi Karang Menurut Suharsono (1984) karang merupakan kelompok organisme yang sudah mempunyai sistem saraf, jaringan otot dan reproduksi sederhana, akan tetapi telah berkembang dan berfungsi secara baik. Organ-organ reproduksi karang berkembang di antara mesenteri filamen dan pada saat-saat tertentu organ tersebut terlihat nyata sedang pada waktu lain menghilang, terutama untuk jenisjenis karang di wilayah subtropis. Sebaliknya, untuk karang yang hidup di daerah tropis, organ reproduksi dapat ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksi berlangsung sepanjang tahun dengan puncak reproduksi dua kali dalam setahun. Hewan karang dapat melakukan reproduksi baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan cara fragmentasi, pelepasan polip dari skeleton dan reproduksi aseksual larva. Kecuali reproduksi aseksual larva, produk dari yang lainnya menghasilkan pembatasan sacara geografi terhadap asal-usul terumbu karang dan sepanjang pembentukan dan pertumbuhan koloni dapat melangsungkan reproduksi seksual. Dalam hal reproduksi secara seksual, gametogenesis akan berlangsung di dalam gonad yang tertanam dalam mesenterium. Kejadian ini dapat berlangsung secara tahunan, namun dapat juga musiman, bulanan atau tidak menentu. Konsekuensi dari cara reproduksi ini adalah pemijahan gamet-gamet untuk fertilisasi eksternal dan perkembangan larva planula, atau pengeraman larva planula untuk dilepaskan setelah berlangsung fertilisasi internal (Richmond dan Hunter 1990). Reproduksi aseksual umumnya dilakukan dengan cara membentuk tunas yang akan menjadi individu baru pada induk dan pembentukan tunas yang terusmenerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak untuk membentuk koloni baru (Nybakken 1997). Pertunasan ada dua macam yaitu pertunasan intratentakuler dan pertunasan ekstratentakuler (Suharsono 1984). Pertunasan intratentakuler ialah pembentukan individu baru di dalam individu lama yaitu dimana mulut baru terbentuk di dalam lingkar tentakel individu lama melalui invaginasi lempeng oral, sedangkan
9
pertunasan ekstratentakuler ialah pembentukan individu baru di luar individu lama yaitu dimana koralit baru tumbuh di-coenosarc diantara koralit dewasa. Cara lain dari reproduksi aseksual pada karang ialah dengan fragmentasi yaitu dimana bagian dari koloni karang yang terpisah dari induk disebabkan oleh faktor fisik (arus dan gelombang) atau faktor biologi (predator) dapat beradaptasi di lingkungan yang baru hingga tumbuh dan membentuk koloni yang baru. Suharsono (1984) menyatakan bahwa patahan-patahan karang yang terpisah dari koloninya tidak selalu diikuti dengan kematian pada jaringannya, tetapi dapat hidup dan tumbuh pada substrat yang baru, dan jika kondisinya cocok, dari patahanpatahan karang tersebut bisa terbentuk koloni yang baru.
Gambar 3 Reproduksi aseksual karang. Pembelahan intratentakuler (A), pembelahan ekstratentakuler (B) (Tomascik et al. 1997). Proses reproduksi karang secara seksual dimulai dengan pembentukan calon gamet sampai terbentuknya gamet masak, proses ini disebut sebagai gametogenesis. Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk telur atau planula. Masing-masing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur atau planulanya. Karang tertentu melepaskan telur yang telah dibuahi dan pembuahan terjadi di luar. Sedang karang yang lain pembuahan terjadi di dalam induknya dierami untuk beberapa saat dan dilepaskan sudah dalam bentuk planula. Planula yang telah dilepaskan akan berenang bebas dan bila planula
10
mendapatkan tempat yang cocok ia akan menetap di dasar dan berkembang menjadi koloni baru (Nybakken 1997). Karang dapat bersifat gonokhoris atau hermaprodit, dan ia mempunyai segala macam bentuk variasi reproduksi, termasuk juga adanya variasi-variasi di dalam dan antar famili, genera dan spesies (Veron 1995).
Gambar 4 Sistem reproduksi karang secara seksual (fertilisasi) : (a) Polip dewasa, (b) Larva planula, (c) Planula stadium akhir, (d) Polip muda (Nybakken 1997). 2.1.3 Rekrutmen Karang Juvenil karang yang mengakhiri kehidupannya sebagai organisme planktonik, lalu menempel pada substrat yang cocok disebut dengan proses rekrutmen karang. Menurut Richmond (1997), reproduksi dan rekrutmen adalah dua proses penting yang menentukan keberadaan dan keberlangsungan suatu terumbu
karang.
Berbeda
dengan
reproduksi
yang
merupakan
proses
pembentukan individu baru, rekrutmen karang merupakan proses dimana individu karang baru hasil reproduksi tersebut menjadi bagian dari komunitas di suatu terumbu karang. Salah satu proses penting dalam rekrutmen karang tersebut adalah kolonisasi yaitu suatu proses juvenil karang mulai menempati suatu habitat
11
baru. Dalam proses ini, ada dua hal penting yang sangat menentukan yaitu ketersediaan larva itu sendiri dan adanya substrat tempat menempel.
Gambar 5 Ilustrasi tiga skala monitoring dan metode yang dapat digunakan dalam menilai kondisi bio-ekologi terumbu karang (Hill dan Wilkinson 2004). Proses penempelan larva karang pada substrat yang sesuai sampai ia menjadi bagian dari suatu ekosistem terumbu karang berlangsung dalam beberapa tahapan. Keberhasilan dalam reproduksi merupakan tahapan pertama yang harus dilalui oleh karang, sebelum larva mengakhiri kehidupan sebagai organisme planktonik dan menjadi bentik. Proses dan mekanisme pengidentifikasian tempat yang sesuai (cocok) untuk menempel sangat tergantung kemampuan larva dalam pengenalan dan pencarian terhadap substrat tersebut (Richmond 1997). Kriteria tempat yang cocok bagi penempelan larva karang adalah termasuk tipe substrat, pergerakan air, salinitas (umumnya >32 ppm), cukupnya cahaya bagi organisme simbion zooxanthellae, terbatasnya atau sedikitnya sedimentasi, dan kadang-kadang tersedianya spesies mikroalga tertentu atau terdapatnya lapisan
12
biologis (biological films) yang biasanya terdiri dari diatom dan bakteri (Richmond 1997). Pemilihan tempat oleh larva planula karang kemungkinan dengan dasar signal kimia yang mempengaruhi reseptor yang terletak di permukaan bagian luar larva karang. Planula karang kemudian akan bereaksi dengan lapisan biologis, dan untuk spesies karang Agaricia sp., ditemukan adanya signal kimia spesies spesifik dari CCA (crustose coraline algae) dengan spesies tertentu (Richmond 1997). 2.1.4 Bentuk Pertumbuhan Karang Menurut Supriharyono (2000), dikenal beberapa macam bentuk umum pertumbuhan karang, diantaranya globose, ramose, branching, digitate plate, compound plate, fragile branching, encrusting, plate, foliate dan micro atoll. Bentuk-bentuk ini dipengaruhi oleh beberapa faktor alam terutama oleh level cahaya dan tekanan gelombang. Menurut Supriharyono (2000), ada empat faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang, yaitu : 1. Cahaya. Ada kecenderungan bahwa semakin banyak cahaya, maka rasio luas permukaan dengan volume karang akan semakin menurun; 2. Tekanan hidrodinamis. Tekanan hidrodinamis, seperti gelombang atau arus akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis, bentuk karang lebih mengarah ke bentuk encrusting. Sebagai contoh, peristiwa ini dapat dilihat dari perbandingan bentuk karang masif, Porites lutea, yang tumbuh di Pantura Jawa, seperti Jepara dengan yang berasal dari Teluk Penyu, Cilacap. Karang yang tumbuh di Cilacap cenderung berbentuk encrusting sedangkan di Jepara berbentuk glabose; 3. Sedimen. Seperti diutarakan sebelumnya bahwa sedimen dapat mempengaruhi pertumbuhan karang. Namun disamping itu sedimen juga diketahui menentukan pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau teradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, berbentuk foliate, branching atau ramose. Sedangkan di perairan jernih dengan sedimentasi yang rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate dan digitate plate);
13
4. Subareal eksposure. Subareal yang dimaksud adalah daerah-daerah yang pada saat-saat tertentu, ketika saat surut yang rendah sekali menyebabkan banyak karang yang mencuat ke permukaan air. Kondisi seperti ini biasanya cukup lama sehingga dapat menyebabkan beberapa karang tidak dapat bertahan. Berkaitan dengan hal ini ada kecenderungan bahwa semakin tinggi level eksposure, semakin banyak jenis karang yang berbentuk globose dan encrusting. Selain itu ciri spesifik adanya subaerial eksposure adalah banyaknya karang yang berbentuk micro atoll.
Gambar 6 Bentuk-bentuk pertumbuhan karang berdasarkan responnya terhadap tekanan lingkungan (Supriharyono 2000). Bentuk koloni secara umum : 1. Globose
6. Fragile branching
2. Ramose
7. Encrusting
3. Branching
8. Plate
4. Digitate plate
9. Foliate
14
5. Compound plate
10. Micro atoll
2.2 Faktor Pembatas Terumbu Karang 1. Suhu Menurut Nontji (1993), suhu yang dibutuhkan untuk pembentukan terumbu karang adalah sekitar 25-30
0
C. Suhu mempunyai peranan penting dalam
membatasi sebaran terumbu karang. Suhu mempengaruhi tingkah laku makan karang. Kebanyakan karang akan kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33,5 0C dan dibawah 16 0C (Supriharyono 2000). Pengaruh suhu terhadap karang tidak saja yang ekstrim maksimum dan minimum saja, namun perubahan mendadak dari suhu alami sekitar 4–6 0C di bawah atau di atas ambient dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya. 2. Cahaya Alasan untuk pembatasan kedalaman adalah berhubungan dengan kebutuhan cahaya. Cahaya adalah suatu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang sehubungan dengan laju fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang (Nybakken 1997). Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis akan berkurang sehingga besama dengan itu kemampuan karang dalam menghasilkan kalsium karbonat akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang sampai 15-20% dari intensitas permukaan (Nybakken 1997). Menurut Veron (1995), sehubungan dengan proses fotosintesis oleh zooxanthellae, karang hermatipik mampu membentuk kerangka kapur 2 hingga 3 kali lebih cepat di tempat terang dibandingkan di tempat gelap. Ini merupakan pengaruh cahaya dalam meningkatkan laju kalsifikasi yang memungkinkan terumbu lebih cepat dibandingkan pengikisan oleh pengaruh laut dan organisme lain. Cahaya diperlukan bagi proses fotosintesis alga simbiotik. Kedalaman penetrasi cahaya matahari mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang hermatipik. Kebutuhan oksigen untuk respirasi fauna pada suatu terumbu karang
15
dapat diatasi dengan adanya alga simbiotik (zooxanthella). Oksigen tambahan tersebut dihasilkan dari proses fotosintesis, yang hanya dapat berlangsung apabila ada cahaya matahari. Oleh karenanya intensitas dan kualitas cahaya matahari yang dapat menembus air laut penting untuk fotosintesis pada zooxanthella yang seterusnya akan menentukan sebaran vertikal karang yang mengandungnya (Saptarini et al. 1996). 3. Kedalaman Supriharyono (2000) mengemukakan secara umum pertumbuhan karang tumbuh pada kedalaman berkisar antara 10-15 m. Semakin dalam laju pertumbuhan karang semakin menurun. Hal ini membuktikan bahwa setiap gangguan yang merubah kualitas lingkungan akan berpotensi terhadap turunnya laju pertumbuhan karang. Kedalaman maksimum untuk karang hermatipik adalah 45 m, lebih dalam dari ini cahaya sudah terlampau lemah untuk memungkinkan zooxanthellae menghasilkan oksigen yang cukup bagi karang (Saptarini et al. 1996). 4. Pergerakan air, arus, dan gelombang Umumnya terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang yang kuat. Pada saat yang sama gelombang-gelombang itu memberikan sumber air yang segar, memberi oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni, selain itu juga memberi plankton yang baru untuk makanan koloni karang (Nybakken 1997). Menurut Nontji (1993), arus diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Di samping itu juga untuk membersihkan diri dari endapanendapan dan untuk mensuplai oksigen dari laut lepas. Oleh karenanya pertumbuhan karang di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik dari daerah berarus dan berombak. 5. Salinitas Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36‰ (Supriharyono 2000).
16
Nybakken (1997) mengutarakan perairan yang menerima pasokan air tawar dari sungai secara terus menerus maka daerah tersebut tidak akan terdapat terumbu karang. 6. Sedimentasi Sedimentasi
umumnya
disebabkan
oleh
aktivitas
manusia
seperti
pembangunan daerah pantai, pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktivitas pertanian yang membebaskan sedimen (terrigenous sediments) ke perairan pantai atau terumbu karang. Selain jenis sedimen di atas, ada pula sedimen lain yang berasal dari erosi karang-karang, baik secara fisik maupun biologi (bioerosi) yang disebut carbonate sediment. Bioerosi biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut seperti bulu babi, ikan, bintang laut dan sebagainya (Supriharyono 2000). Endapan baik dalam air maupun di atas terumbu karang, mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Kebanyakan karang hermatipik tak dapat bertahan dengan adanya endapan yang berat, yang menutupinya dan menyumbat struktur pemberian makanannya. Endapan dalam air juga mempunyai akibat sampingan yang negatif, yaitu mengurangi cahaya untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang akibatnya, perkembangan terumbu karang berkurang atau menghilang dari daerah-daerah yang pengendapannya besar (Nybakken 1997). Suatu daerah yang tidak banyak menerima limpahan dari sungai, seperti daerah kepulauan, laju sedimentasi cenderung rendah, terkecuali jika ada aktivitas yang merangsang terbentuknya sedimen. Namun jika perairan karang tersebut berdekatan dengan muara sungai dengan pengelolaan lahan di atas yang buruk biasanya memiliki laju sedimentasi yang tinggi terutama pada saat musim penghujan (Supriharyono 2000). 7. pH Terumbu karang sebagai biota laut membutuhkan tingkat keasaman yang sesuai dengan pH rata-rata yang terdapat di perairan laut. (Tomascik et al. 1997) menyatakan habitat yang cocok bagi pertumbuhan karang adalah yang memiliki
17
pH antara 8,2-8,5. perubahan pH air laut (asam atau basa) akan mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas biologis. Jika nilai pH rendah atau bersifat asam berarti kandungan oksigen rendah. 2.3 Ikan Karang Indonesia merupakan salah satu kawasan yang memiliki jumlah ikan karang terkaya di dunia. Allen (1991) menyatakan bahwa terdapat 123 spesies yang termasuk famili Pomacentridae, yang sekarang diperbarui sebanyak 152 spesies yang merupakan total tertinggi di dunia. Allen et al. (1998) mencatat sebanyak 87 spesies ikan bidadari (Pomacentridae) dan ikan kupu-kupu (Chaetodontidae) yang terdapat di Indonesia, yang juga merupakan jumlah tertinggi di dunia. Komunitas ikan karang merupakan salah satu komponen utama dalam ekosistem terumbu karang karena didapatkan dalam jumlah banyak dan menyolok. Karena jumlahnya yang besar dan mengisi seluruh daerah di terumbu, maka terlihat dengan jelas bahwa mereka merupakan penyokong hubungan yang ada di dalam ekosistem terumbu karang. Salah satu sebab tingginya keragaman spesies di terumbu karang adalah variasi habitat terumbu yang terdiri dari karang, daerah berpasir, teluk dan celah, daerah alga dan juga daerah yang dangkal serta zona-zona yang ebrbeda yang melintasi karang (Nyabakken 1997). Secara komersial, ikan-ikan karang memegang peranan penting dalam sektor perikanan dan pariwisata (English et al. 1997). Ikan karang merupakan jenis ikan yang umumnya menetap atau relatif tidak berpindah tempat dan pergerakannya relatif mudah di jangkau. Jenis substrat yang biasanya dijadikan habitat antara lain karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak (Suharti 2005). Berdasarkan tingkah lakunya, ikan karang ada yang hidup secara individual atau ditemukan menyendiri contohnya ikan lepu ayam (Pterios sp.), mengelompok 3-10 ekor contohnya ikan kambuna (Platax sp.) dan dalam bentuk gerombolan contohnya ikan ekor kuning (Caesio sp.). Kelompok ikan karang terdiri dari: a) jenis ikan yang hidup menetap di karang; b) ikan yang minimal menggunakan wilayah terumbu karang sebagai habitatnya; c) jenis ikan yang hanya berada di terumbu karang pada sebagian siklus hidupnya, misalnya saat juvenil dan pada saat dewasa baru keluar dari terumbu (Nybakken 1997).
18
Selain kecenderungan tersebut, ikan karang juga mempunyai sifat teritorial, mereka akan menentukan wilayah kekuasaannya sehingga jika mereka diusik oleh penyelam, beberapa saat kemudian akan datang kembali ke wilayah tersebut. Contohnya pada jenis ikan betok laut (Pomacentrus sp.), ikan giru (Amphiprion sp.) dan ikan kepe-kepe (Chaetodon sp.), sedangkan yang bersifat migratori atau senantiasa berpindah ekosistem antara lain ikan hiu (Carcharinus sp.) (Nybakken 1997). Sekitar 30 sampai 100 spesies dari beberapa famili ikan karang yang banyak mendominasi,
diantaranya
adalah
Pomacentridae
(ikan
betok
laut),
Chaetodontidae (ikan kepe-kepe), Acanthuridae (ikan pakol), Scaridae (ikan kakatua), Apogonidae (ikan serinding), Gobiidae (ikan gobi) dan Serranidae (ikan kerapu). Umumnya ikan-ikan karang ini mudah ditandai dari warna, corak dan struktur badannya yang berbeda, sehingga memudahkan dalam pengamatan jenis dan tingkah laku ikan-ikan karang. Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penututupan karang hidup yang berhubungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1983). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi dan fisik seperti gelombang, sedimen, kedalaman, perairan kompleksitas topografi dari substrat terumbu karang (Galzin et al. 1994; Chabanet et al. 1997). Hampir seluruh ikan yang hidup di terumbu karang mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem karang, baik dalam hal perlindungan maupun makanan. Oleh karenannya jumlah individu, jumlah spesies dan komposisi jenisnya sangat dipengaruhi oleh kondisi setempat. Telah banyak penelitian yang membuktikan adanya korelasi positif antara kompleksitas topografi terumbu karang dengan distribusi dan kelimpahan ikan-ikannya. Oleh karena itu pengamatan ikan karang ini senantiasa dilakukan bersamaan dengan pendataan bentuk pertumbuhan terumbu karang.