ANALISIS EKONOMI MANFAAT EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU TERNATE PROVINSI MALUKU UTARA
ERNI SISCA DEWI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 30 Desember 1974 dari Keluarga Bapak Muhammad Shaleh Sutan Ma’ruf dan Ibu Rudinah. Penulis merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di SDN Cikokol I Tangerang pada tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 3 Tangerang pada tahun 1990, dan Sekolah Menegah Atas di SMAN 2 Tangerang pada tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri Universitas Andalas. Penulis memilih jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis memperoleh gelar Sarjana Sains pada jurusan tersebut tahun 1998. Sejak tahun 2001 penulis menjadi staf pengajar di Universitas Respati Indonesia, Jakarta. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi
Sumberdaya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini berjudul Analisis Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang
Di Pulau Ternate
Provinsi Maluku Utara . Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada para personalia dibawah ini : 1. Dr.Ir. Achmad Fahrudin, MS dan Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis ini. 2. Prof.Dr.Ir.Tridoyo Kusumastanto, MS selaku ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertania Bogor atas dukungan dan motivasinya. 3. Dr. Suharno M.Adev, selaku penguji atas masukan dan sarannya. 4. Drs. A.B.Suriadi M.Arsjad, MSc selaku kepala Pusat Survey Sumberdaya Alam Laut Bidang Inventarisasi Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal atas izinnya menggunakan data penelitian team Bakosurtanal. 5. Mutmainnah Ridwan SPi, MSi dan rekan-rekan Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika atas dukungan dan persahabatannya. 6. Orang tua dan keluarga atas se gala doa dan dukungannya. Harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca. Atas masukan dan saran yang bersifat membangun penulis ucapkan terimakasih.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.
ABSTRACT
ERNI SISCA DEWI. Economic Analysis of Benefit Value of Coral Reef Ecosystem in Ternate Island North Maluku Province. Under the supervision of
ACHMAD
FAHRUDIN and LUKY ADRIANTO.
Artisanal fishermen
are people whose economic activities depend on natural
resource especially coral reef ecosystem. In Ternate Island there are 729 fishermen household. Who are running some economic activities, including destructive fishing practices . The aim of this research is to estimate the benefit
value of coral reef in
Ternate Island using Effect on Production (EoP) approach. This approach
mainly
applies to estimate the difference in value of productive output before and after the impact of activity. The results of this research show that the actual economic values of coral reef in Ternate Island based on cross section data is Rp 21.027.933.840,00, while produce an estimation
of
present value of
the benefit
Furthermore, the present value of residual rent is as of
is Rp 384.542.778,79. estimated to be Rp
239.081.334,38. Based on the time series appproach, it is estimated that a loss of benefit after 10 years has been occurred. Therefore foregone benefit value of coral reef in 10 years is Rp 5.097.140.400,00 or Rp 2.842.800.000,00 per hectare.
ABSTRAK
ERNI SISCA DEWI. Analisis Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan LUKY ADRIANTO.
Nelayan pancing merupakan kelompok nelayan yang sangat tergantung kepada keberadaan ekosistem terumbu karang. Di Pulau Ternate terdapat 729 nelayan pancing yang diantaranya menjalankan praktek penangkapan ikan karang secara destruktif. Tujuan dari penelitian ini adalah mengestimasi nilai manfaat dari ekosistem terumbu karang dengan menggunakan pendekatan efek produktivitas. Pendekatan ini menggunakan perbedaan hasil produksi perikanan karang sebelum dan sesudah praktek penangkapan ikan karang secara destruktif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai estimasi ekonomi aktual dari ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate
berdasarkan data primer adalah
Rp
21.027.933.840,00. Sementara itu estimasi dari nilai manfaat sekarang adalah Rp 384.542.778,79. Sedangkan nilai estimasi
manfaat bersih sekarang
adalah Rp
239.081.334,38. Dengan pendekatan data berkala diperoleh nilai estimasi dari manfaat ekosistem terumbu karang yang hilang selama kurun waktu 10 tahun. Estimasi nilai manfaat yang hilang yaitu sebesar Rp 5.097.140.400,00 atau sebesar Rp 2.842.800,00 per hektar.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan Masalah ................................................................................. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.............................................................
1 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Terumbu Karang..................................................................... Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang ........................................... MetodeValuasi Ekonomi..........................................................................
5 12 16
KERANGKA PENDEKATAN STUDI ...........................................................
24
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu................................................................................... Metode Penelitian .................................................................................... Metode Pengambilan Sampel................................................................... Variabel dan Cara Pengukuran ................................................................ Analisis Data ....................................................................................
27 27 27 28 29
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis .................................................................................... Kondisi Fisik .................................................................................... Kondisi Sosial Ekonomi ..........................................................................
34 34 35
HASIL DAN PEMBAHASAN Pendekatan Data Cross Section................................................................ Nilai Ekonomi Aktual (Net Benefit Income Approach) .......................... Nilai Manfaat sekarang. ........................................................................... Nilai Manfaat Ekonomi Sekarang............................................................ Analisis Sensitivitas Net Present Value ................................................... Keterkaitan Ikan Karang dengan Karang Hidup...................................... Pendekatan data Time series .................................................................... Nilai Kehilangan manfaat Langsung Terumbu karang ...........................
47 47 50 51 52 56 62 63
Halaman SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
............................................................................................. ...................................................................................................
66 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
67
LAMPIRAN......................................................................................................
70
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Valuasi Ekosistem Berdasarkan Tiga Tujuan Utama Efisisensi, Keadilan ,Dan Keberlanjutan..................................................... . .....
13
2.
Contoh Nilai Ekonomi Total Ekosistem Terumbu Karang................
16
3.
Rincian Wilayah Pulau Ternate .........................................................
37
4.
Luas Jarak,dan Waktu Tempuh Ke Pulau–Pulau Kecil Di Kota Ternate ...............................................................................................
37
5.
Sarana Pendidikan Dasar dan Menengah Di Kota Ternate tahun 2004
38
6.
Perkembangan Indeks Harga Konsumen Berdasarkan Kelompok Harga Komoditi Di Kota Ternate Tahun 2000-2004.......................
39
7.
Komposisi Sebaran RTP Di Pulau Ternate........................................
41
8.
Produksi Hasil Perikanan Di Kota Ternate Tahun 1996-2004 .........
41
9.
Perkembangan Produksi Perikanan Kota Ternate Dari Tahun 2002-2004 ..............................................................................
42
10. Perkembangan Armada Tangkap Nelayan Selama 3 Tahun..............
42
11. Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jenis Di Pulau Ternate...............
42
12. Sarana Dan Prasarana Pelabuhan Bastiong .......................................
44
13. Klasifikasi Umur Responden .............................................................
45
14. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Responden ......................................
45
15. Klasifikasi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga .......
46
16. Asal Responden..................................................................................
46
17. Lama Domisili Responden.................................................................
47
18. Status Kepemilikan Armada ..............................................................
47
19. Rincian Estimasi Penerimaan Ikan Karang Nelayan Pancing Di Pulau Ternate ................................................................................
49
20. Rincian Estimasi Manfaat Bersih Nelayan Pancing Di Pulau Ternate
50
21. Nilai Estimasi Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate ..................................................................................... 22. Nilai Estimasi Manfaat Sekarang Ekosistem Terumbu Karang di
44
Pulau Ternate .....................................................................................
51
Halaman
23. Nilai Estimasi Present Value Residual Rent Terumbu Karang Di Pulau Ternate ....................................................................................
52
24. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Berkurang 25 % menggunakan Pola Pemanfaatan Destruktif ..................................
54
25. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Bertambah 25% Menggunakan Pola Pemanfaatan Dengan Pengaturan .............54 26. Rincian Tindakan dan Penanganan Yang Harus Dilakukan Seluruh Stake Holders pemanfaat Ekosistem Terumbu Karang .....................
55
27. Perbandingan Net Prresent Value Dengan Perubahan Biaya Angkut
56
28. Rekapitulasi Persentase Sebaran Tutupan Karang di Pulau Ternate .
58
29. Rekapitulasi Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Karang Konsumsi Masyarakat di Pulau Ternate ...........................................
59
30. Hasil Regresi Antara Ikan Karang Konsumsi Dengan Karang Hidup
57
31. Hasil Regresi Masing-Masing Ikan Karang Konsumsi Denga n Tutupan Karang Hidup di Semua Stasiun Pengamatan .....................
62
32. Perbandingan Produktivitas Terumbu Karang dengan Luasan Terumbu Karang pada Tahun 1995 dan 2004.................................
64
33. Proporsi Luasan terumbu Karang tahun 1995 dan 2004...................
65
34. Rincian Kehilangan Nilai Manfaat Terumbu Karang dari tahun 1995 - 2004........................................................................................
65
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Metode Valuasi Ekonomi...................................................................
17
2.
Alur Kerangka Pendekatan S tudi.......................................................
27
3.
Proporsi Rata-Rata Tangkapan Ikan Karang Per Trip Nelayan Pancing Di Pulau Ternate ..................................................................
49
4.
Nilai Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate
51
5.
Perbandingan Antara PV Benefit Dan PV Residual Rent Terumbu Karang Di Pulau Ternate...................................................................
6.
Grafik Analisis Sensitivitas Net Present Value (NPV) Ekosisrtem Terumbu Karang Di Pulau Ternate ...................................................
7.
59
Kurva Interaksi Antara Persentase Tut upan Karang Hidup Dengan Keanekaragaman Ikan Karang Konsumsi Di Pulau Ternate .............
9.
56
Kurva Interaksi Antara Persentase Tutupan Karang Hidup Dengan Kelimpahan Ikan Karang Konsumsi.......................................................................
8.
52
60
Mata Rantai Karang Sehat Dengan Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan ...................................................................................................
61
10. Rekapitulasi Produksi Perikanan Karang di Pulau Ternate tahun 1995-2004 ..........................................................................................
63
11. Estimasi Degradasi Luasan terumbu Karang di Pulau Ternate Dari
12
tahun 1995-2004 ................................................................................
64
Perbandingan nilai manfaat ekonomi antara tahun 1995 dan 2004
65
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Peta Ekosistem Terumbu Karang Pulau Ternate ...............................
2.
Analisis Manfaat –Biaya Per Tahun Responden Nelayan Pancing di Pulau Ternate .....................................................................................
70
71
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal
sebagai negara dengan
kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds) (Dahuri et al. 1996). Untuk ekosistem terumbu karang World Resource Institute (WRI) (2002) mengestimasi bahwa luas terumbu karang di Indonesia adalah sekitar 51.000 km2 . Angka ini belum mencakup terumbu karang di wilayah terpencil yang belum dipetakan atau yang berada di perairan agak dalam (inland waters). Jika estimasi ini akurat maka 51% terumbu karang di Asia Tenggara atau 18% terumbu karang di dunia berada di perairan Indonesia. Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang tepi (fringing reefs) yang berdekatan dengan garis pantai sehingga mudah diakses oleh masyarakat sekitar. Lebih dari 480 jenis karang batu (hard coral )telah didata di wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang batu di dunia yang telah berhasil dideskripsikan. Keanekaragaman tertinggi ikan karang di dunia juga ditemukan di Indonesia dengan lebih dari 1.650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur. Sebagai salah satu ekosistem utama pesisir dan laut, terumbu karang dengan beragam biota asosiatif dan keindahan yang mempesona, memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik. Selanjutnya Hopley dan Suharsono (2000) dalam
Burke et
al.(2002)
mengestimasikan bahwa Keuntungan ekonomi dari terumbu karang Indonesia setiap
tahunnya sekitar 1,6 milyar US Dollar, selain itu terumbu karang Indonesia juga dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar perikanan laut di dunia yang menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secara keseluruhan pada tahun 1997 . Sebagaimana ciri negara berkembang dengan populasi penduduk
yang besar
ditambah dengan struktur geografis yang dikelilingi oleh laut, maka laut menjadi tumpuan sebagian besar penduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama masyarakat di daerah pesisir. Tekanan terhadap sumberdaya laut terutama terumbu karang meningkat seiring dengan bertambahnya populasi secara cepat. Ketergantungan yang tinggi telah menyebabkan penurunan yang besar pada nilai ekologis dan ekonomis akibat degradasi dan kerusakan yang parah. Dari sekitar 51.000 km2 luas terumbu karang di Indonesia, lebih dari 40 % dalam kondisi rusak dan hanya sekitar 6,5% dalam kondisi sangat baik selebihnya dalam kondisi sedang (WRI, 2002). Dibeberapa tempat di Indonesia karang batu digunakan untuk berbagai kepentingan seperti konstruksi jalan dan bangunan, bahan baku industri dan perhiasan. Dalam industri pembuatan kapur, karang batu (hard coral) kadang-kadang ditambang sangat intensif sehingga bisa mengancam keamanan pantai. Selain it u karang dan ikan karang Indonesia yang berlimpah tersebut terancam oleh praktek penangkapan ikan yang merusak. Penangkapan ikan menggunakan racun sianida dan bahan peledak telah meluas di Indonesia bahkan di daerah yang dilindungi (WRI, 2002). Kerusakan terumbu karang yang telah terjadi di beberapa kawasan pantai di Indonesia menjadi keprihatinan banyak fihak akan keberlanjutan fungsi
ekosistem
tersebut. Kerusakan ekosistem terumbu karang terjadi karena faktor- faktor alam, akan tetapi faktor-faktor antropogenik mempunyai andil yang besar Menurut Garces (1992) sumber-sumber kerusakan karang dapat dikelompokan sebagai aktivitas ekonomi yang terdiri dari kegiatan perikanan, pembangunan di daratan disamping wilayah pesisir dan rekreasi serta pariwisata. Hasil survei WRI (2002) di wilayah Indonesia bagian Timur menunjukkan sekitar 65% kerusakan ekosistem terumbu karang disebabkan penangkapan ikan secara destruktif.
Sebagian besar menggunakan
racun dan bom dimana aktivitas ini telah
mengakibatkan kerugian ekonomi yang luar biasa. WRI mengestimasi kerugian di Indonesia akibat penangkapan ikan menggunakan bahan peledak selama 20 tahun ke
depan adalah sebesar 570 juta US Dollar. Sedangkan estimasi kerugian dari penangkapan ikan dengan racun sianida secara berkala adalah sebesar 46 juta US Dollar. Dari ekosistem terumbu karang yang rusak hanya diperoleh hasil perikanan rata-rata 5 ton/km2 /tahun sedangkan hasil produktivitas terumbu karang yang sehat bisa mencapai sekitar 20 ton/km2/tahun . Provinsi Maluku Utara merupakan bagian dari lingkup yang bergerak antara Sangihe Talaut, Minahasa ke Filipina yang merupakan jalur distribusi terumbu karang di Indonesia bagian Timur. Jalur kepulauan Indonesia dan Filipina ini merupakan pusat keragaman terumbu karang dunia dengan jumlah spesies yang telah teridentifikasi sekitar 600 spesies. COREMAP (2001) melaporkan bahwa dibeberapa daerah di Provinsi Maluku Utara terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang. Mulai dari Pulau Ternate, Pulau Bacan, Pulau Obi, Pulau Halmahera sa mpai bagian Utara yaitu pulau Morotai. Di Pulau Halmahera tutupan karang hidup dengan kondisi baik sebesar 29%, 14% dalam kondisi sedang dan selebihnya dalam kondisi buruk. Berdasarkan laporan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Universitas Khairun (2001) bahwa ekosistem terumbu karang
dibeberapa lokasi di Pulau Ternate mengalami
kerusakan akibat
tindakan destruktif. Penyebab dominan kerusakan adalah kegiatan penangkapan ikan menggunakan muroami, bahan peledak, bahan beracun, pemasangan perangkap, aktivitas transportasi dan wisata bahari.
Perumusan Masalah Sebagai sebuah ekosistem, terumbu karang merupakan sumberdaya yang tidak mempunyai nilai pasar (non market base). Salah satu proxy bagi nilai ekonomi terumbu karang adalah melalui Proxy terhadap nilai produktivitas perikanan. Nilai ekonomi terumbu karang didekati dengan nilai proksi yaitu produktivitas perikanan karang. Fungsi terumbu karang sebagai feeding ground, spawning ground dan nursery ground dapat diestimasi dengan nilai output yang dihasilkan oleh ekosistem ini yaitu ikan karang. Terumbu karang dan ikan karang merupakan suatu rangkaian mata rantai dimana keberadaan ekosistem terumbu karang akan
menunjang kelimpahan
ikan karang.
Permasalahan yang timbul adalah dalam mengekstraksi ikan karang dilakukan tindakan
destruktif sehingga ekosistem terumbu karang mengalami kerusakan. Kerusakan itu menyebabkan fungsi- fungsi terumbu karang mengalami gangguan. Gangguan tersebut dapat menjalar secara berantai terhadap fungsi-fungsi ekosistem yang lain dan akhirnya bermuara pada penurunan nilai ekonomi dari sumberdaya. Pertanyaan yang kemudian timbul dengan mencermati fenomena ekstraksi potensi sumberdaya ekosistem terumbu karang di atas adalah : 1)
Bagaimana potensi dan jenis pema nfaatan ekosistem terumbu karang
yang
dilakukan oleh masyarakat lokal di Pulau Ternate ? 2)
Bagaimana dan seberapa besar nilai manfaat ekonomi dari ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate ?
3)
Bagaimana pemanfaatan yang berkelanjutan untuk ekosistem terumbu karang ?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk 1)
Mengidentifikasi potensi dan jenis pemanfaatan terumbu karang oleh masyarakat lokal di Pulau Ternate.
2)
Menganalisis secara ekonomi nilai manfaat dari ekosistem terumbu karang. Kegunaan penelitian, yaitu : Dari penelitian ini di harapkan diperoleh data dan informasi mengenai nilai estimasi
dari manfaat ekonomi suatu ekosistem terumbu karang sehingga kesalahan dalam mengestimasi nilai ekosistem terumbu karang menjadi undervalue atau overvalue tidak terjadi.
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang
(Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup
didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme–organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral ) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993). Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993). Berdasarkan kepada kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang
ahermatipik. Karang
hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang Hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya simbiosis
mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu
sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat
fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 o C (Nybakken, 1982). Menurut Veron (1995) terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCo3)
yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga
berkapur (Calcareous algae) dan organisme -organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCo3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka
karang batu
(Scleractina ) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef-building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya memp unyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal- usul, morfologi dan fisiologi. Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar
spesies karang
melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Selanjutnya Sumich (1992 ) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut: Ca (HCO3)
CaCO3 + H2CO3
H2O + CO2
Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%.
Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa
pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal. Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang
melalui peningkatan sedimen dan terjadinya
penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang. Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 o C. Pertumbuha n maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 o C sampai 29 o C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984). Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu : a.Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef ) b.Terumbu karang penghalang (Barrier reef) c.Terumbu karang cincin (atoll) Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut : 1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas
atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat. 2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil. 3) Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. Moberg and Folke (1999) dalam Cesar
(2000) menyatakan bahwa fungsi
ekosistem terumbu karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai penyumbang
barang maupun
jasa. Untuk barang merupakan yang terkait
dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan yaitu ikan, rumput laut dan tambang seperti pasir, karang. Sedangkan untuk jasa dari ekosistem terumbu karang dibedakan : 1.Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai. 2.Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan. 3.Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen. 4.Jasa informasi sebagai pencatatan iklim. 5.Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan Terumbu karang me nyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi hidup dikawasan pesisir. Selain itu
bersama dengan
menyediakan makanan dan merupakan tempat yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
masyarakat yang
ekosistem pesisir lainnya
berpijah bagi berbagai jenis biota laut
Menurut Munro dan William dalam Dahuri (1996) dari perairan yang terdapat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap kilometer perseginya terkandung ikan sebanyak 15 ton.
Sementara itu Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa
tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah karang. Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km
2
dan
mempunyai kaenekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Namun dibalik potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya alam didaerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung sering merusak terumbu karang. Menurut Suprihayono (2000) beberapa aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu : 1) Perikanan terumbu karang Masalah perikanan merupakan bagian dari ekosistem bahkan keanekaragaman karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan. Semakin beragam jenis terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis ikan yang hidup di ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak bisa diabaikan pada pengelolaan ekosistem terumbu karang. Dengan meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan stock ikan di ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa pulih kembali. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang. 2) Aktivitas Pariwisata Bahari Untuk menjaga kelestarian potensi sumberdaya hayati daerah-daerah wisata bahari, maka di Indonesia telah dibentuk suatu kerja sama pengembangan kepariwisataan (Tourism Development Coorporation) yang modalnya berasal dari dari para investor
lokal, pemerintah lokal dan regional dan masyarakat Badan kerjasama pariwisata dapat dijumpai di Nusa Dua Bali dan Manado. Adapun tugas badan ini diantaranya adalah •
Menjaga daya tarik masyarakat terhadap pengembangan pariwisata .
•
Membantu pengusaha menempati kebijaksanaan– pemerintah
•
Pengadaaan dana pinjaman untuk pembangunan infra struktur.
•
Pemanfaatan taman laut untuk tujuan wisata pada umumnya diperoleh melalui agen-agen pariwisata dan scuba diving .Namun kedua agen atau arganisasi tersebut lebih mementingkan profit daripada harapan konservasi yaitu pelestarian sumberdaya alam laut. Sebagai akibatnya aktivitas mereka sering menimbulkan hal- hal yang tidak diinginakan
atau bertentangan dengan nilai estetika
atau
carrying capacity lingkungan laut. 3) Aktivitas Pembangunan Daratan Aktivitas pembangunan di daratan sangat menentukan baik buruknya kesehatan terumbu karang. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di daerah pantai akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang. Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan, intensifikasi pertanian, bersama-saa dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang jelek umumnya akan meningkatkan kekeruhan dan sedimentasi di daerah terumbu karang. 4) Aktivitas Pembangunan di Laut Aktivitas pembangunan di laut, seperti pembangunan darmaga pelabuhan, pengeboran minyak, penambangan karang, pengambilan
pasir dan pengambilan
karang dan kerang untuk cinderamata secara langsung maupun tidak langsung akan memebahayakan kehidup an terumbu karang. Konstruksi pier dan pengerukan alur pelayanan menaikkan kekeruhan demikian juga dengan eksploitasi dan produksi minyak lepas pantai, selain itu tumpahan minyak tanker juga membahayakan terumbu karang seperti yang terjadi di jalur lintasan international.
Ancaman terhadap terumbu karang fenomena alam
dan berbagai tindakan destruktif
masyarakat mengancam
kesehatan maupun keberadaan terumbu karang. Ancaman terhadap terumbu karang dibagi
menjadi dua kategori yaitu ancaman bencana alam dan ancaman yang
ditimbulkan oleh manusia. Ancaman yang ditimbulkan oleh alam termasuk kerusakan akibat badai, perubahan suhu. Sedangkan ancaman yag disebabkan oleh aktivitas manusia adalah : 1. Praktek penangkapan dengan racun, dengan peledak, muroami . 2. Sedimentasi , polusi dan sampah 3. Pertambangan 4. Praktek tourism yang tidak berkelanjutan. Cesar (2000) melaporkan terjadi
praktek penangkapan besar–besaran dengan
bahan peledak dan cianida di Indonesia. Penyebabnya adalah demand yang tinggi terhadap ikan karang terutama jenis kerapu ( groupers) maupun ikan Napoleon wrasse. Dengan nilai pasar yang tinggi berkisar US$ 60-180 per kilo telah menyebabkan perburuan ikan karang dihampir seluruh perairan Indonesia. Untuk menjaga profit yang menggiurkan ini mau tidak mau supply tetap banyak dan biaya ektraksi harus murah, sehingga masyarakat beramai-ramai memanen ikan menggunakan bahan peledak dan sianida. Umumnya penyebab sedimentasi karena penebangan hutan atau aktivitas masyarakat kota, sehingga simbiose algae dan karang menjadi terhalang dari penangkapan cahaya matahari. Sedimentasi yang lebih parah terjadi apabila penutupan lahan seperti reklamasi daerah
estuaria dan pantai. Sedangkan polusi yang terjadi
disebabkan oleh bahan kimia pertanian dan limbah industri yang dibuang keperairan. Menurut penelitian Cesar (2000) biaya polusi dan sampah kota selama 1 tahun di Indonesia adalah 987 milyar USD. Sedangkan keuntungan dari tourisme adalah 101 milyar USD,dari perikanan 221 milyar USD, dan kesehatan (farmasi ) sebesar 4,8 mlyar USD Sehingga total manfaat yang didapatkan dari ekosistem terumbu karang adalah 327 milyar USD, atau sepertiga dari total biaya sebesar 987 milyar USD. Praktek penambangan karang sejak lama terjadi, umumnya untuk membangun fondasi rumah penduduk atau kantor pemerintah di pulau terpencil dan untuk campuran
semen. Penambangan karang tidak hanya menghancurkan karang tetapi juga mengakibatkan penebangan hutan untuk pembakaran karang. Penambangan karang juga berdampak terhadap jasa ekologis seperti pelindung garis pantai .
Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Dari ancaman – ancaman terhadap terumbu karang saat ini hal yang sangat mendesak yang perlu dilakukan adalah tindakan penilaian ekonomi terhadap berbagai macam fungsi terumbu karang baik sebagai pensuplai barang dan jasa. Penilaian bisa dianalogkan dari nilai perikanan atau nilai sebagai pelindung pantai yang mempunyai nilai pasar. Dimana nilai bisa diturunkan berdasarkan pada permintaan (demand), penawaran (supply), harga (price) dan biaya (Cost) (Spurgeon, 1992). Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrument yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (Total Economic Valuation/TEV). Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat tiada nilai pasar (non market value). Menurut Fauzi ( 2005) valuasi ekonomi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan baik atas nilai pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi ( economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri. Dijelaskan juga oleh Fauzi (2005) bahwa terdapat tiga ciri yang dimiliki oleh sumberdaya yaitu:
1. Tidak dapat pulih kembali, tidak dapat diperbaharuinya apabila sudah mengalami kepunahan. Jika sebagai asset tidak dapat dilestarikan,maka kecenderungannya akan musnah. 2. Adanya ketidakpastian, misalnya terumbu karang rusak atau hilang. Akan ada biaya potensial yang harus dikeluarkan
apabila sumberdaya alam tersebut mengalami
kepunahan. 3. Sifatnya yang unik, jika sumberdaya mulai langka, maka nilai ekonominya akan lebih besar karena didorong pertimbangan untuk melestarikannya. Penilaian ekonomi sumberdaya
merupakan suatu bentuk penilaian yang
komprehensif. Dalam hal ini tidak saja nila i pasar (market value) dari barang tetapi juga nilai jasa (nilai ekologis) yang dihasilkan oleh sumberdaya alam yang sering tidak terkuantifikasi kedalam perhitungan menyeluruh sumberdaya alam Menurut Constanza and Folke (1977) diacu dalam Adrianto (2006) tujuan valuasi ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi. Selanjutnya Constanza (2001) dalam Adrianto (2006) menyatakan untuk tercapainya ke tiga tujuan diatas, perlu adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan . Tabel 1.Valuasi ekosistem berdasarkan efisiensi, keadilan, dan keberlanjutan. Tujuan /
Kelompok
Dasar
Tngkat
Tingkat
Metode
dasar nilai
responden
preferrensi
diskusi
input ilmiah
spesifik
Efisinsi
Homo
Preferrensi
Rendah
Rendah
Willingness
(E-Value)
economicus
individu
Keadilan
Homo
Preferensi
(F-Value )
communicus
Komunitas
Keberlanjut
Homo
Preferensi
an (S-Value)
Naturalis
Keseluruh
to pay Tinggi
Medium
Veil
of
ignorance Medium
Tinggi
modelling
an Sistem
Sumber ; Constanza and Folke (1997) dalam Adrianto (2006). Dari Tabel 1 diatas dapat dijelaskan bahwa untuk nilai keadilan
(F-value)
berbasis kepada nilai–nilai komunitas dan bukan kepada nilai-nilai individu. Nilai ekosistem pada konteks (F- value ) ini ditentukan berdasarkan tujuan umum
yang
dihasilkan dari sebuah konsensus atau kesepakatan antara anggota komunitas (homo comunicus). Menurut Rawls (1971) dalam Adrianto (2006) metode valuasi yang tepat untuk tujuan ini adalah veil of ignorance) dimana responden memberikan penilaian dengan tanpa memandang status dirinya dalam komunitas. Sedangkan untuk tujuan keberlanjutan (S-Value) yang bertujuan mempertahankan tingkat keberlanjutan dari suatu ekosistem, lebih menitik beratkan kepada fungsi ekosistem sebagai penopang kehidupan manusia. Dalam konteks ini manusia berperan sebagai homo naturalis menempatkan diri sebagai bagian dari system
yang
secara keseluruhan (sistem alam dan
sistem manusia). Modeling adalah salah satu metodologi yang dapat digunakan dalam konteks S- value (Vionov, 1999, Constanza et al,.1993 dalam Adrianto, 2006). Sementara itu, menurut Krutila (1967) dalam Fauzi (2005) untuk mengukur nilai sumberdaya dilakukan berdasarkan konsep nilai total (total value) yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use values. Konsep use value pada dasarnya mendefinisikan suatu nilai dari konsumsi aktual maupun konsumsi potensial dari suatu sumberdaya. Barton (1994) membagi konsep use value kedalam nilai langsung (direct use value) dan nilai tidak langsung (indirect use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang dan jasa serta nilai pilihan (option value).Sementara nilai non use value meliputi nilai keberadaan existence values dan nilai warisan (bequest values) jika nilai- nilai tersebut dijumlahkan akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic values). Nilai guna langsung meliputi seluruh manfaat dari sumberdaya diperkirakan langsung dari
yang dapat
konsumsi dan produksi dimana harga ditentukan oleh
mekanisme pasar. nilai guna ini dibayar oleh orang secara
langsung mengunakan
sumberdaya dan mendapatkan manfaat darinya. Nilai guna tidak langsung terdiri dari manfaat - manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan kontribusi
kepada masyarakat dan
ekosistem. Sebagai contoh terumbu karang terus menerus memberikan perlindungan kepada pantai, serta peranannya dalam mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan terkait dengan fungsinya sebagai spawning ground, nursery ground dan feeding ground.
Nilai pilihan (Option value) meliputi manfaat-manfaat sumberdaya alam yang disimpan atau dipertahankan untuk tidak dieksplorasi sekarang demi kepentingan yang akan datang. Contohnya spesies, habitat dan biodiversity. Nilai Keberadaan (existance values) adalah nilai yang diberikan masyarakat kepada sumberdaya tertentu atas manfaat spiritual, estetika, dan kultural. Nilai guna ini tidak berkaitan dengan penggunaan oleh manusia baik untuk sekarang maupun masa dating, semata- mata sebagai bentuk kepedulian atas keberadaan sumberdaya sebagai obyek. Contohnya nilai yang diberikan atas keberadaan karang penghalang di Taman Nasio nal Laut Takabonerate. Orang umumnya tidak akan memberikan nilai terhadap karang penghalang ini untuk melihatnya, meskipun mengetahui keberadaannya melalui TV, Koran atau Foto. Nilai warisan (bequest value) adalah nilai yang diberikan masyarakat yang hidup saat ini untuk sumberdaya alam tertentu agar tetap utuh untuk diberikan kepada generasi selanjutnya.Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan masa datang, atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya.
Tabel 2. Nilai Ekonomi Total Ekosistem Terumbu Karang Nilai Ekonomi Total Nilai Guna( use value) langsung
Tidak
Nilai non guna (non use value)
Nilai pilihan
langsung
Nilai
quasi
piihan
keberadaan
Nilai guna
keberlanjutan
Nilai
dikonsum-
fungsional
langsung& ti-
hilang/tersedia
langsung &
keberadaan
dak langsung
nya sumberdaya
tak
sumberdaya
langsung
tertentu
langsung
dimasa
baru
warisan
Manfaat
secara
Informasi
Nilai
Produk
si
guna
Nilai
akan
datang
sumberdaya
Makanan
Pengendali
sumberdaya
biodiversitas,
Konservasi
Konservasi
biomass,
banjir
gen
sumberdaya
habitat,
habita&sp,
rekreasi
pelindung
perlindungan
gen
upaya
integrasi nilai
badai,
biodiversitas
perlindungan
preventif
social&
perikanan,
proses evolusi
sp,
pada perub.
kultural.
Penelitian,
keragaman
evolusi,
yang tidak
sikluscarbon
ekosistem
keragaman
dapat
proses
siklusnutrisi,
ekosistem.
diperbaharui
pendidikan,s tudiarkeolgi
Metode Valuasi Ekonomi Metode untuk menilai sumberdaya secara ekonomi umumnya dapat dibagi kedalam dua kategori
yaitu valuasi yang menggunakan fungsi permintaan dan yang tidak
menggunakan fungsi permintaan. Metode yang tercakup kedalam kedua pendekatan ini dapat dilihat pada gambar 1. dibawah ini. PREFERENCES Revealed Preferences (Surrogate Market, Indirect Approach)
State Preferences Direct Approach
Dose response Function
Market value
Hedonic market
Travel Cost Methode
Avertive Behaviour
Contingent Valuation
Choice Experiment
Wage Risk Property Open/close ended
USE VALUES
Bidding game
Payment Card
NON USE VALUES+USE VALUES
Gambar 1. metode valuasi ekonomi (sumber: Garrot and Willis, 1999)
Pendekatan ya ng tidak mengunakan fungsi demand (non market demand approach) secara luas digunakan dalam menilai biaya dampak lingkungan dalam hal ini untuk menentukan respon kebijakan yang akan diterapkan .
Pendekatan kurva permintaan (demand curve approach). 1.Metode Dampak Produksi (Effect on Production = EoP) Teknik pendekatan ini
mengacu juga
sebagai perubahan dalam produksi yaitu
memandang perubahan pada output (produksi) sebagai basis dalam menilai ekosistem terumbu karang. Umumnya teknik ini diterapkan pada perikanan dan turisme untuk menduga perbedaan produksi output sebelum dan sesudah dampak dari suatu aktivitas maupun intervensi pengelolaa. Metode ini menghitung dari sisi kerugian (apa yang hilang) akibat suatu tindakan. Misalnya suatu kawasan dijadik an konservasi. Pendekatan ini menjadi dasar bagi pembayaran kompensasi bagi property yang semestinya dibeli oleh pemerintah untuk tujuan sepert membangun jalan tol, bandara, instalasi militer dan lain- lain. juga biaya kompensasi bagi petani yang merelakan tanahnya untuk tujuan pembangunan yang ramah lingkungan misalnya cagar alam,hutan lindung dan lain- lain. Kasus yang mudah adalah pemutihan karang yang terjadi sehingga dalam waktu singkat mengurangi jumlah wisatawan diving pada terumbu karang, dampaknya
tentu saja menurunkan pendapatan sehingga
perubahan pada manfaat bersih dapat diukur dan dapat digunakan sebagai proksi kerugian pada nilai turisme. Demikian juga halnya dengan perikanan karang misalnya dengan aktivitaas yang merusak seperti pemboman, pembiusan ,muroami maka perubahan hasil output yaitu ikan karang dapat digunakan sebagai proksi dari nilai ekosistem terumbu karang yang hilang. 2.Metode Respon Dosis (Dose Respon Methode) Metode ini menilai pengaruh perubahan kandungan zat kimia atau polutan tertentu terhadap kegiatan ekonomi atau utilitas konsumen.Misalnya tingkat pencemaran perairan karena limbah dibuang kelaut sehingga mempengaruhi kesehatan ikan. Penurunan tingkat produksi dapat dihitung baik dengan menggunakan harga pasar yang berlaku maupun harga bayangan (shadow price). Perhitungan menjadi lebih kompleks jika dampak dari pencemaran tersebut menpengaruhi kesehatan manusia.
Perhitungan dampak ekonominya
memerlukan estimasi yang menyangkut nilai
kehidupan manusia seperti pengurangan resiko sakit, meninggal , kemauan membayar untuk menghindari resiko sakit atau mati akibat pencemaran tersebut.Ada kaitan yang erat antara metode EOP dan DR . 3.Metode Pengeluaran Preventif (Preventive Expenditure Methode) Pada metode ini nilai sumberdaya dihitung dari apa yang disiapkan oleh orang atau sekelompok orang untuk pencegahan (preventif) yang menyebabkan kerusakan sumberdaya. 4.Metode Avertive Behaviour (AB) Penghitungan nilai eksternalitas , dilakukan dengan menghitung berapa biaya yang disiapkan seseorang untuk menghindari dampak negatif dari kerusakan sumberdaya . misalnya pindah kedaerah yang kualitas lingkungannya lebih baik, sehingga akan ada biaya pindah .Jika kepindahan menyangkut tempat kerja , maka biaya transportasi ke tempat kerja yang baru juga merupakan biaya ekternalitas. 5.Metode Biaya Pengganti (Replacement Cost Methode) Metode ini didasarkan kepada biaya ganti rugi asset produktif yang rusak., karena penurunan kualitas sumberdaya atau kesalahan pengelolaan.Biaya ini diperlukan sebagai estimasi minimum dari nilai peralatan yang dapat mereduksi limbah atau perbaikan cara pengelolaan praktis sehingga dapat mencegah kerusakan .Nilai minimum ini akan dibandingkan dengan biaya peralatan yang baru. Contoh yang relevan adalah konversi hutan bakau menjadi bangunan. Kenyataan menunjukkan perubahan tersebut tidak hanya menyangkut keseimbangan rantai makanan biotabiota yang hidup dalam ekosistem tersebut, akan tetapi juga menyangkut aspek lain,misalnya pengurangan luas hutan berdampak pada pengurangan unsur hara dan penurunan nilai populasi udang tangkap sebagai akibat : • Hilangnya tempat bertelur (spaning ground) • Rusaknya daerah asuhan (nursery ground) • Penurunan produktivitas primer diperairan. Setelah dihitung jumlah kerugian, serta kerugian karena unsur hara yang berkurang akibat berkurangnya luas hutan bakau dalam bentuk
nilai uang, maka hasil
perhitungan merupakan jumlah biaya pengganti yang harus dikeluarkan jika kebijakan pengelolaan hutan bakau tersebut dilaksanakan.
Pendekatan Non Kurva Permintaan (Non Demand Curve Approach) 1.Contingent valuati on methode (CVM) merupakan metoda valuasi sumberdaya alam dengan cara menanyakan kepada konsumen tentang nilai manfaat sumberdaya alam yang mereka rasakan.Teknik CVM ini dilakukan dengan survey melalui wawancara langsung dengan responden yang memanfaatkan sumberdaya alam.Cara ini diharapkan dapat menentukan preferensi responden terhadap barang sumberdaya alam dengan mengemukakan kesanggupan
untuk membayar (Wilingness to pay)
yang dinyatakan dalam bentuk nilai uang. Guna memperoleh hasil yang maksimal dan tepat sasaran , maka dalam penggunaan metode ini diperlukan desain kuesioner yang umumnya digunakan yakni metode pertanyaan langsung, (direct question methode), metode pena waran bertingkat (bidding game methode), metode kartu pembayaran (payment card methode) dan metode setuju atau tidak setuju (take it or leave it methode). 1. Metode pertanyaan langsung Metode ini digunakan dengan cara memberikan pertanyaan langsung berapa harga yang sanggup dibayar oleh responden untuk dapat memanfaatkan atau mengkonsumsi sumberdaya yang ditawarkan. 2. Metode Penawaran Bertingkat Metode ini merupakan penyempurnaan dari pertanyaan langsung. Caranya adalah bahwa semua harga tertentu
telah ditetapkan oleh pewawancara kemudian
ditanyakan kepada responden
apakah harga tersebut layak. Jika responden
menjawab ya dengan harga yang ditawarkan , maka harga dinaikkan terus hingga responden menjawab tidak. Angka terakhir yang dicapai tersebut merupakan nilai WTP yang tertinggi. Hal yang sebaliknya bisa saja terjadi yaitu jika responden menjawab tidak untuk harga pertama yang ditawarkan. Jika demikian yang terjadi maka harga diturunkan terus hingga responden menjawab ya. Angka terakhir dianggap sebaga i nilai WTP terendah. Harga WTP ini dianggap harga/nilai sumberdaya yang ditawarkan.
sebagai
3. Metode Kartu Pembayaran Metode ini digunakan dengan bantuan sebuah kartu berisi daftar harga yang dimulai
dari nol (0)
sampai pada suatu harga tertentu yang relative tinggi.
kemudian kepada responden ditanyakan harga maksimum
sanggup untuk
membayar suatu produk SDA . 4. Metode Setuju Atau Tidak Setuju Dari sisi responden metode ini sangat mudah karena responden ditawari sebuah harga , kemudian ditanya setuju atau tidak dengan harga tersebut. Metode CVM dengan survey WTP merupakan metode yang sering digunakan, metode ini memiliki beberapa kekurangan akibat bias yang ditimbulkannya. Ada lima sumber bias yang timbul pada metode ini yaitu: Kesalahan strategi (strategic Bias) Kesalahan in akibat kesalahan strategi dalam mengungkapkan informasi akibatnya tidak tepat persepsi respoden terhadap pertanyaan yang diajukan Kesalahan titik awal (Starting Point Bias) Kesalahan ini disebabkan oleh kesulitan penentuan berapa harga awal yang ditawarkan dengan menggunakan metode penawaran bertingkat. Kesalahan hipotesis (Hypotetic Bias) Terdapat dua sumber munculnya keslahan hipotesis ini. Pertama diakibatkan karena responden tidak merasakan secara benar karakteristik sumberdaya yang diuraikan oleh pewawancara. Kedua karena responden memberikan respon yang tidak serius terhadap pertanyaan yang diajukan dan hanya menjawab seadanya. Kesalahan Sampling (Sampling bias ) Kesalahan ini muncul karena ketidak jelasan dalam mendefinisikan populasi. Tidak ada kesesuian antara populasi yang menjadi sasaran dengan sampel yamg diambil. Sumber kesalahan lainnya adalah pengambilan sampel yang tidak dilakukan secara acak (random) atau jumlah sampel yang tidak representative. Kesalahan Spesifikasi Komoditas (comodity specification Bias) Kesalahan ini terjadi karena responden
tidak mengerti spesifikasi
sumberdaya yang ditawarkan. Bias ini dapat diatasi dengan dua cara, yaitu :
barang
•
Menguraikan dengan kalimat yang sederhana, efektif dan mudah.
•
Melakukan visualisasi dengan menggunakan alat bantu, seperti foto, lukisan atau audio visual.
2. Pendekatan Biaya Perjalanan (Travel Cost Methode). Pendekatan biaya perjalanan
(Travel Cost Methode) merupakan metode valuasi
dengan cara mengestimasi kurva permintaan barang –barang
rekreasi terutama
rekreasi luar (outdoor recreation). Asumsinya semakin jauh seseorang yang datang memanfaatkan
fasilitas rekreasi, maka
tempat
tinggal
para pemakai
diharapkan lebih banyak meminta kare na harga tersirat berupa biaya perjalanan lebih rendah dibandingkan dengan yang tinggal jauh dari tempat tersebut. Dengan demikian mereka yang bertempat tinggal lebih dekat dan biaya perjalanannya lebih rendah akan memiliki surplus konsumen yang lebih besar. Tahap pertama yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi dan membagi tempat rekreasi dan kawasan yang mengelilinginya. Dibagi zona konsentrik
dengan
ketentuan semakin jauh dengan tempat rekreasi semakin tinggi biaya perjalanannya. Kemudian dilakukan survey terhadap para pemakai ditempat rekreasi
untuk
menentukan zona asal , tingkat kunjungan , biaya perjalanan dan berbagai karakteristik biaya ekonomi. Data yang diperoleh digunakan
untuk meregresi
tingkat kunjungan dengan biaya perjalanan dan berbagai variabel ekonomi lainnya. Hasil regresi merupakan fungsi permintaan produk rekreasi terhadap biaya perjalanan. Bentuk persamaan regresinya adalah; Qi= f (TC, X1, X2,……Xn), Dimana Qi adalah tingkat kunjungan dari zona 1 per 1000 penduduk zo na I , TC merupakan biaya perjalanan dan Xi hingga Xn adalah variable social ekonomi , termasuk penghasilan dan variable lain yang sesuai. Dengan dasar pemikiran diatas
maka pendekatan biaya perjalanan (Travel Cost
Methode) dapat diterapkan untuk menyusun kurva permintaan masyarakat terhadap rekreasi untuk suatu produk sumberdaya tertentu. Penerapan metode biaya perjalanan (Travel Cost methode) didasarkan pada asumsiasumsi sebagai berikut (Davis dan johnson, 1987).
•
Para konsumen memberikan respon yang sama terhadap perubahan harga tiket dan jumlah biaya perjalanan yang harus di keluarkan .
•
Utilitas perjalanan bukan faktor yang mempengaruhi permintaan rekreasi.
•
Tempat-tempat rekreasi
sejenis mempunyai kualitas
yang sama dalam
memberikan kepuasan kepada pengunjung . •
Pengunjung dengan tujuan rekreasi yang banyak diketahui sebelumnya .
•
Tempat rekreasi belum mencapai kapasitas maksimum sehingga tidak ada pengunjung yang ditolak. Pengunjung dari zona yang berbeda dianggap mempunyai selera , preferens i, dan income yang relative sama.
3. Pendekatan Nilai Properti ( Property value Methode). Teknik penilaian lingkungan berdasarkan perbedaan harga sewa lahan atau harga sewa rumah. Dengan asumsi perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kualitas lingkungan maka selisih harga keduanya merupakan harga kualitas lingkungan itu sendiri. Disebut Pendekatan hedonic (hedonic approach) . Metode ini berdasarkan kesanggupan membayar (WTP) lahan atau komoditas lingkungan sebagai cara untuk menduga secara tidak langsung bentuk kurva permintaannya sehingga nilai perubahan sumberdaya dapat ditentukan. Kesanggupan seseorang untuk membayar lahan, rumah atau property lainnya tergantung karakteristik barang tersebut. Artinya perubahan karakteristik akan mengubah WTP seseorang sehingga kurva permintaannya juga berubah. Salah satu karakteristik lahan dan perumahan adalah kondisi lingkungan lahan atau rumah berada, digambarkan oleh perbedaan harga atau sewanya. Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar. Pertama konsumen mengakui dengan baik tentang karakteristik properti yang ditawarkan dan memiliki kebebasan untuk
memilih
alternatif
yang
lain
tanpa
ada
kekuatan
lain
yang
mempengaruhi.Kedua, konsumen harus merasakan kepuasan maksimum atas property
yang dibelinya dengan kemampuan keuangan yang dimiliki (transaksi
terjadi pada kondisi equilibrium).Atas dasar kedua asumsi tersebut maka harga rumah atau tanah atau property lain yang merupakan
fungsi dari bangunan itu sendiri
Structural (S) lingkungan sekitar Neighborhood (N) dan kualitas lingkungan (Q ).Variable structural adalah bentuk , ukuran dan luas lahan dan lain- lain.Variabel lingkungan sekitar adalah akses kekota, pusat pendidikan , keamanan , ketetanggaan
dsb. Sedangkan variable kualitas lingkungan adalah kualitas udara, kebisingan suhu dsb. Dalam bentuk matematik fungsi tersebut sebagai berikut.; P = f( Si, Ni, Qi)……………………………………………………(1) fungsi tersebut diturunkan terhadap Q maka diperoleh : dP / dQ dP/dQ adalah WTP marginal untuk tiap kenaikan satu unit kualitas sumberdaya. Persamaan atau fungsi diatas mengandung pengetian bahwa harga setiap penambahan satu unit karakteristik yang diperdangangkan seperti keindahan, kebisingan suhu, bau dan sebagainya.Bila persamaan (1) diatas tidak berbentuk linear , maka harga setiap penambahan satu unit karakteristik sumberdaya yang diperdagangkan , misalnya keindahan, kebisingan , suhu, bau dan sebagainya. 4. Metode Biaya Pengobatan (Cost Of Illness) Digunakan untuk memperkirakan
biaya morbiditas akibat perubahan yang
menyebabkan orang menderita sakit. Total biaya dihitung baik secara maupun tidak langsung. Biaya langsung, yaitu mengukur
lansung
biaya yang harus
disediakan untuk perlakukan penderita lain meliputi: •
Perawatan pada rumah sakit
•
Perawatan selama penyembuhan
•
Pelayanan kesehatan yang lain.
•
Obat-obatan. Biaya tidak langsung mengukur nilai
kehilangan produktivitas
menderita sakit. Biaya tidak langsung
akibat seeorang
diukur melalui penggandaan upah oleh
kehilangan waktu karena tidak bekerja. Taksiran biaya tidak termasuk rasa sakit yang diderita dan biaya penderitaannya sendiri. Umumnya dampak polusi udara terhadap morbiditas.
digunakan untuk menilai
KERANGKA PENDEKATAN STUDI
Sumberdaya alam yang berperan sangat penting bagi kehidupan ternyata dalam pemanfaatannya sering menggunakan cara – cara yang
kurang bijaksana. Hal ini
tercermin dari sikap dan perilaku dalam mengekstraksi dengan menggunakan pola pemanfaatan tidak ramah lingkungan. Akibat perilaku destruktif tersebut tidak dapat dihindari terjadi degradasi sumberdaya alam yang tak terkendali. Salah satu sumberdaya alam yang berada dalam kondisi ini adalah ekosistem terumbu karang. Saat ini terjadi perubahan pada pola pemanfaatan ekosistem terumbu karang. Umumnya perubahan pola pemanfaaatan bukan kearah yang lebih baik tetapi pada pola pemanfaatan yang destruktif dengan tidak berdasarkan kepada keberlanjutan ekosistem tersebut seperti penangkapan berlebih, pengunaan bom, pe nggunaan obat bius, pemasangan perangkap dan penambangan karang. Faktor dominan penyebab perubahan perilaku ini adalah masih rendahnya pemahaman masyarakat umum terhadap nilai manfaat sumberdaya tersebut. Kebanyakan masyarakat mengira suatu sumberdaya bernilai jika bisa laku dipasar, jika tidak ada nilai pasarnya maka bukanlah barang berharga. Demikian pula untuk ekosistem terumbu karang umumnya yang dinilai adaalah semata-mata keberadaan ikan karang sedangkan ekosistem terumbu karang sebagai pensuplai daur kehidupan ikan karang bisa diabaikan. Pemahaman yang keliru ini sangat merugikan karena nilai manfaat sumberdaya yang sebenarnya besar menjadi kecil (under value). Ketidakmampuan penilaian ini akhirnya menjadi pendorong kerusakan sumberdaya laut tersebut. Kerusakan ini menyebabkan terumbu karang sebagai
tempat berkembang biak
fungsi ekologi
biota laut yang berasosiasi
dengannya, penahan arus gelombang laut, penahan abrasi pantai dan lain- lain menjadi terganggu sehingga berakibat kepada perubaha n produktivitas
ekosistem ini yang
akhirnya bermuara pada perubahan nilai manfaat ekosistem tersebut. Dalam mengestimasi nilai manfaat ekosistem terumbu karang salah satu cara bisa melalui pendekatan produktifitas (Effect on Production Approach) dari ekosistem yang bernilai ekonomi (market base). Menurut Grigalunas dan Congar (1995) pendekatan melalui produktivitas ini akan sangat berguna apabila produk final dari suatu ekosistem
terumbu karang (ikan karang )mudah didapat dan relatif mudah dinilai dan aliran barang atau jasa dari ekosistem tersebut relatif mudah tersedia. Estimasi penilaian berdasarkan kepada penjumlahan satuan uang yang berasal dari manfaat (benefit) dan biaya (cost ) yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut. Analisis manfaat dan biaya yang dibangun berdasarkan Pendekatan Cost Benefit Analysis (CBA), Net Present value (NPV). Perhitungan dengan satuan moneter ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana pentingnya nilai dari suatu sumberdaya meskipun nilai uang belum tentu menjadi mutlak. Dalam arti lain nilai moneter merupakan ukuran kepuasan untuk suatu tindakan (estimasi). Hal ini cukup beralasan untuk menghindari nilai suatu sumberdaya menjadi overvalue atau undervalue. Dari analisis ekonomi tersebut maka nilai ekosistem terumbu karang dapat diestimasi dengan tidak mengabaikan keberadaan terumbu karang dimana luasan terumbu karang dianggap sebagai input dari ekosistem terumbu karang sebagai tempat pemijahan , tempat pengasuhan dan tempat mencari makan biota luat yang berasosiasi dengannya. Penelitian ini membatasi estimasi hanya pada manfaat langsung dari produktivitas ekosistem terumbu karang yaitu ikan karang. Sedangkan nilai manfaat tidak langsung diantaranya
sebagai jasa ekologis (ecological services) seperti
kemampuan menyerap karbon, penahan gelombang, penahan abrasi pantai tidak diestimasi marketable).
karena proses konsumsinya bukan
melalui mekanisme pasar (non
NATURAL RESOURCE
CORAL REEF ECOSYSTEM
BOMBING, POISONING, MINING, etc
DESTRUCTIVE ECONOMIC ACTIVITY
House Hold CHANGE OF RESOURCE PRODUCTIVITY
EOP
CBA, NPV, BENEFIT LOSS
CHANGE OF ECONOMIC VALUE (ECONOMIC LOSS)
NILAI MANFAAT EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG
Keterangan :
PEMANFAATAN SUMBERDAYA BERKELANJUTAN
= Garis Koordinasi = Ruang Lingkup Metode Analisis
Gambar 2. Alur Kerangka Pendekatan Studi
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Pulau Ternate, Provinsi Maluku Utara pada bulan September 2005 sampai Desember 2005.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Tujuan studi kasus untuk memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, tipe pendekatan dan penelaahannya terhadap satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal 2001). Dalam hal ini metode studi kasus digunakan untuk mengkaji lebih dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Dengan penggunaan teknik survey dalam pengambilan responden, akan memungkinkan model yang digunakan dapat diadoposi untuk penelitian di daerah lainnya. Penelitian di lakukan pada aktivitas ekonomi yang berbasis sumberdaya alam yaitu usaha penangkapan ikan Satuan kasusnya adalah areal ekosistem terumbu karang yang secara administratif terletak di Kotamadya Ternate. Penentuan lokasi yang menjadi satuan kasus tersebut dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan jalur distribusi terumbu karang di Indonesia Bagian Timur dan merupakan jalur keanekaragaman terumbu karang tertinggi di dunia yang melintasi jalur Minahasa, Sangihe Talaut sampai ke Filipina. Berdasarkan pengamatan serta data statistik Pulau Ternate usaha penangk apan ikan merupakan aktivitas ekonomi berbasis sumberdaya alam yang cukup dominan.
Metode Pengambilan Sampel Sampel yang diambil adalah yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan produksi ekosistem terumbu karang yaitu nelayan pancing ikan dasar di Ternate. Metode pengambilan sampel/responden yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu metode
pengambilan sampel tidak secara acak melainkan berdasarkan pertimbangan tertentu atau sengaja. Metode ini dipergunakan untuk menilai manfaat langsung. Pertimbangannya adalah bahwa sampel/responden tersebut bersifat spesifik, sehingga penentuannya harus dilakukan secara sengaja (purposive). Jumlah responden yang menjadi sampel sebanyak 67 orang atau 9% dari populasi responden sebanyak 729 rumah tangga. Berdasarkan tujuan penelitian dan metode penelitian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber data, yaitu : (1)
Data primer, yaitu data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, dengan metode wawancara yang mendalam (depth interview ) kepada responden berdasarkan daftar pertanyaan (questionnaire) yang telah disusun sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian.
(2)
Data sekunder, yaitu data penunjang yang dikumpulkan dari pemerintah daerah, Dinas Perikanan dan Kelautan Kotamadya Ternate , Kantor BPS dan lembaga lembaga yang berhubungan dengan materi penelitian, maupun yang berasal dari publikasi dan hasil penelitian yang pernah dilakukan. Data yang dikumpulkan berupa data masalah penduduk, produksi perikanan dan pemasarannya, sarana prasarana yang ada, kebijakan pemerintah, kegiatan ekonomi di lokasi penelitian.
Variabel dan Cara Pengukuran Variabel yang diukur pada penelitian ini adalah luasan kawasan terumbu karang di Pulau ternate dengan interrpretasi citra satelit LAPAN. Luasan terumbu karang yang berfungsi sebagai nursery ground (area pengasuhan ) feeding ground (area sumbe makanan ), spawning ground (area berpijah) maka luasan terumbu karang menjadi input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan. Metode yang digunakan berdasarkan kepada pendekatan hasil produksi
( Effect on Production Approach, EoP) yaitu dengan
mengalikan hasil produksi dan harga maka nilai manfaat langsung (benefit) dari terumbu karang dapat diestimasi. Teknik EoP yang digunakan adalah Present Value generate Per Hectare Model – Income Approach. Teknik ini dilakukan dengan mengkapitalisasi atau mendiskon aliran bersih dari manfaat terumbu karang (produksi ekologis / biologis) yang diambil sebagai indikator nilai sekarang (present value) habitat terumbu karang. Dengan membagi total
present value dari produksi terumbu karang dengan luas terumbu karang, akan diperoleh nilai sekarang per hektar dari sumberdaya terumbu karang. Pendekatan metoda ini dengan memasukkan atau
mengabaikan biaya produksi yang dikeluarkan baik yang
berasal dari tenaga kerja atau biaya faktor produksi lainnya (Barton, 1994).
Analisis Data Dengan menggunakan pendekatan EoP diatas maka estimasi nilai manfaat langsung dapat dijabarkan dengan formula sebagai berikut: 1)
Present Value generated per Hectare Model - income approach
//// ∑
/ L ///////////////////////// t =0 (1 + r ) T
PV per Hectare Model =
Bt
t
Bt = manfaat produksi perikanan dari sumberdaya terumbu karang T = Jumlah tahun Proyeksi Nilai r = Real discount rate L = Luas kawasan terumbu karang. Residual rent didefinisikan sebagai perbedaan antara biaya faktor produksi dan nilai panen dari sumberdaya terumbu karang. Residual Rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem alam atau faktor pendapatan (income factor) terhadap nilai ekonomi total. 2)
Present Value Residual Rent per Hectare Model income approach PV Residual Rent per hectare Model =
T Bt − Ct /L ∑ t t =0 (1 + r )
dimana: Bt = manfaat bersih produksi perikanan dari sumberdaya terumbu karang Ct = biaya produksi perikanan T = Jumlah tahun proyeksi nilai r = Real discount rate L = Luas kawasan terumbu karang
3)
Dalam mengukur nilai per hektar kawasan terumbu karang, nilai didekati dari produksi ikan karang yang merupakan produk dominan dari kawasan terumbu
karang. Kemudian diduga hubungan antara jumlah produksi ikan karang (Ct) dengan jumlah upaya tangkap (Et) dan luasan kawasan terumbu karang (Lt) dengan formula sebagai berikut :
Ct = β0 + β1 ln( Li , t −1 ) Et + β2 ln( Li ,t −1) Et2 + β3Ci , t −1 dengan
menggunakan teknik regresi, formula
ini memberikan model
penggunaan parametric (Lyn et al (1981) diacu dalam Adrianto, 2004). Dari estimasi parameter tersebut, dapat diperoleh hasil estimasi tangkapan ikan karang pertahun yang apabila dikalikan dengan harga persatuan volume ikan karang (Pt), maka diperoleh nilai total hasil tangkapan ikan karang. Dengan menggunakan pendekatan ini maka nilai produktivitas
per hektar kawasan
terumbu karang dapat diestimasi dengan membagi nilai total hasil tangkapan ikan karang dengan luas kawasan terumbu karang. 4)
Demikian juga untuk mengestimasi
nilai kehilangan manfaat akibat rusaknya
ekosistem terumbu karang. Dengan memandang
fungsi
kawasan terumbu
karang sebagai nursery ground, feeding ground, spawning ground maka luasan terumbu karang menjadi input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan karang. Jika ada gangguan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada kawasan terumbu karang maka secara langsung akan mempengaruhi aliran nilai manfaat dari kawasan terumbu karang tersebut. Hubungan in dapat dirumuskan secara umum sebagai berikut : X=(F(L,E))=X0 + ß1 L + ß2E + ß3 E2 Dengan menggunakan formula: P x q x E x ß1 x ? L Dimana: P = Harga ikan Per Unit volume(kg) q = Koefisien daya tangkap E = Daya tangkap (trip) ß1 = Koefisien perubahan kawasan terumbu karang ? L= Perubahan kawasan terumbu karang. Sumber: Grigalunas and Congar,(1995) . Maka kehilangan manfaat langsung dapat diestimasi secara moneter.
akibat berkurang/hilangnya suatu kawasan
5)
Analisis Sensitivitas Net Present Value (NPV) Analisis sensitivitas adalah analisis lanjutan dalam penelitian ini yang ditujukan untuk melihat seberapa besar pengaruh endogen maupun eksogen terhadap perubahan nilai Net Present Value. Asumsi yang dibangun didasarkan kepada keadaan luasan tutupan terumbu karang yang
mengal penurunan setiap tahun.
Penurunan luasan tutupan terumbu karang ini berpengaruh kepada hasil produksi ikan karang yang merupakan variabel endogen dalam penentuan nilai Net Present value. Analisis yang dipaka i adalah penurunan kenaikan produksi sebesar 25%. Diasumsikan bahwa pengaruh luasan terumbu karang terhadap produksi ikan karang sebesar 25 %. Hal ini didasarkan bahwa penurunan atau kenaikan produksi tidak hanya disebabkan oleh faktor terumbu karang saja tetapi juga bisa disebabkan oleh fakor- faktor lain seperti perubahan cuaca, perubahan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Analisis sesitivitas kedua yang digunakan adalah dari faktor eksogen yaitu harga BBM sebagai ongkos angkut. Analisis sensitivitas untuk mengetahui berapa besar pengaruh kenaikan BBM terhadap harga dari ikan karang sehingga secara langsung akan mempengaruhi NPV dari ekosistem terumbu karang. Perubahan nilai NPV yang diakibatkan adanya perubahan nilai biaya transportasi .Asumsi yang dibangun dalam analisis sensitivitas ini adalah dilatarbelakangi kondisi pada saat penelitian berlangsung. Isu pada saat ini adalah terjadinya kenaikan harga BBM yang otomatis mengakibatkan
adanya kenaikan biaya
transportasi sekitar 50 %. Harga BBM dianggap sebagai variabel eksogen yang mempengaruhi nilai biaya transportasi sebagai faktor endogen dalam perhitungan Net Present Value.
6)
Analisis Keterkaitan Ikan Karang Dengan karang hidup Adanya keterkaitan ikan karang
dengan karang hidup
dianalisa dengan
menggunakan analisis regresi dengan menyusun fungsi keterkaitan ikan karang dengan karang hidup.
Model regresi
memungkinkan
kita untuk mengkaji
hubungan antara variabel tak bebas (dependent variable) dan
variabel bebas
(independent Variable) (greene, 1990). Pendugaan koefisien dilakukan dengan menggunakan teknik Ordinary Least Square (OLS) agar menghasilkan penduga Parameter yang bersifat BLUE (Best Linier Unbias Estimator) jika asumsiasumsinya terpenuhi. Asumsi /sifat tersebut adalah : 1. Jumlah error sama dengan nol. 2. regresi bergerak dalam nilai rata-rata 3. Tidak ada korelasi antara sisaan /error dan peubah penjelas (explanatory variabel) 4. Beberapa hal yang mendasar menjadi pertimbangan dalam menentukan model regresi adalah : 5. Tingkat signifikan model 6. Penelitian ini menetapkan tingkatan signifikan model yang akan dihasilkan adalah 95 % atau tingkat kesalahan (error) sebesar 5 %. Dasar keputusan ini adalah melihat populasi yang relatif homogen , luasan wilayah studi yang relatif sempit yaitu satu pulau kecil dan terfokus pada 5 desa pantai untuk usaha penangkapan ikan . 7. Koefisien determinan (R2 atau R-square) 8. Koefisien determinan R2 digunakan untuk mengukur kesesuaian (goodness of fit ) dalam Model (Greene,1990). Koefisien determinan (R2 ) menunjukkan seberapa besar variabel – variabel bebas dalam model dapat menjelaskan variabel tergantung. semakin tinggi angka R2 berarti model yang dihasilkan cenderung lebih baik dan untuk penelitian sosial ekonomi angka R2 yang digunakan adalah lebih besar dari 0,50 agar model yang dihasilkan dapat dikatakan menggambarkan kondisi yang sebenarnya. 9. Tingkat Signifikan variabel 10. setiap variabel yang masuk kedalam model regresi harus memiliki tingkat signifikan yang lebih kecil dari tingkat signifikan yang ditentukan. Kendalakendala yang dihadapi dalam penelitian sosial ekonomimemungkinkan tingkat signifikan variabel bersifat fleksibel. Analisis regresi pad penelitian ini menetapkan
tingkat signifikan variabel 30 % karena fenomena
pengamatan dalam penelitian mendukung model yang dibentuk. Semakin
kecil tingkat signifikan variabel, maka semakin signifikan variabel tersebut dalam mempengaruhi model. Sebaliknya bila tingkat signifikan variabel lebih dari 30 % maka variabel tersebut tidak signifik an dalam mempengaruhi model sehinga tidak layak dimasukkan. 11. Multikolinearitas adalah tingkat korelasi yang cukup tinggi terjadi pada dua variabel, yang berarti bahwa salah satu dari variabel tersebut sudah cukup untuk menjelaskan regresi. Dalam menyusun model regresi diharapkan mutikolinearitas sekecil mungkin. 12. tanda positif atau negatif dari variabel bebas 13. Tanda positif atau negatif (+/-) dari variabel bebas menunjukkan fenomena yang terjadi. Tanda positif berarti bahwa variabel bebas (independent variabel )berpengaruh searah terhadap variabel tergantung (dependent variabel ) sebaliknnya tanda negatif berarti bahwa variabel bebas berpengaruh terbalik terhadap variabel tergantung . 14. Model Keterkaitan terumbu karang dengan ikan karang 15. Variabel – variabel ya ng diuji dalam regresi adalah persentase tutupan terumbu karang hidup (Hard coral) di masing –masing stasiun sebagai ß Sedangkan varibel dependen yang digunakan dalam model ini adalah total ikan karang per spesies di semua stasiun (Y). Fungsi keterkaitan ikan karang dapat dituliskan sebagai berikut : 16. Y= f (ß) 17. Model umum regresi linier sederhana dari fungsi hubungan terumbu karang dengan ikan karang adalah : Y= a + ß 18. Pendugaan koefisisen a ,ß dilakukan dengan teknik kuadratik terkecil (the ordinary least square). 19. Dengan meregresikan data persentase tutupan karang hidup dan jumlah taksa ikan karang maka hasilnya dapat memberikan petunjuk adanya interaksi antara ikan karang dengan karang.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis Pulau Ternate merupakan wilayah kepulauan yang terletak di pesisir Barat Pulau Halmahera dan merupakan bagian dari wilayah Provinsi Maluku Utara. Luas wilayah Pulau Ternate adalah 5.681,30 km2 , dengan wilayah perairan lautnya sekitar 5.457,55 km2 dari keseluruhan wilayah yang ada, luas daratannya 133,74 km2 . Wilayah pulaupulau kecil di Kepulauan Ternate terletak pada koordinat 1260 20' -1280 05 ' Bujur Barat serta 00 50' - 20 10' Lintang Utara berbatasan dengan: §
Sebelah Utara dengan Samudra Pasifik
§
Sebelah Selatan dengan Laut Maluku
§
Sebelah Timur dengan Laut Halmahera
§
Sebelah Barat dengan Laut Maluku
Pulau – pulau kecil di wilayah Kepulauan Ternate terletak dalam lingkup yang bergerak melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaut, dan Minahasa yang dilingkupi le ngkung Sulawesi dan Pulau Sangihe yang berwatak Vulkanis.
Kondisi Fisik Pulau Ternate a) Geomorfologi Pulau Ternate sebagian besar daerahnya bergunung dan berbukit terdiri dari pulau vulkanis dan pulau karang dengan kondisi jenis tanah regosol dan rensina. Jenis tanah regosol yaitu tanah yang khas berada daerah vulkanis. DiPulau Ternate terdapat dua gunung vulkanis yaitu Gunung Gamalama tinggi 1.715 m dan gunung Tuanane tinggi 950 m yang berada di Pulau Moti. b) Ketinggian Lahan Tingkat ketinggian lahan dari permukaan laut di wilayah Pulau Ternate cukup bervariasi yang dapat diklasifikasikan menjasi 3 kategori. Kategori rendah (0-500 m) yang diperuntukkan untuk pemukiman, pertanian, perikanan, perdagangan, dan pusat pemerintahan; katego ri sedang (500-700 m) diperuntukkan untuk hutan konservasi, dan usaha kehutanan; kategori tinggi
( > 700 m) diperuntukkan untuk hutan lindung.
c) Klimatologi Pulau Ternate adalah daerah kepulauan dengan ciri iklim tropis. Curah hujan bulanan tertinggi terjad i pada bulan Mei yaitu 263 ,4 mm dan terendah pada bulan Agustus 77,8 mm. Nilai rata-rata curah hujan bulanan adalah 184,68 mm dan rata-rata curah hujan tahunan sekitar 2.322,70 mm. Jumlah hari hujan rata-rata 202 hari dan nilai rata-rata hujan tertinggi pada bulan Januari dan November yaitu 20 hari hujan dan terendah bulan Agustus sebanyak 12 hari hujan. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan angin di wilayah Pulau Ternate berkisar antara 2,9 -5,2 Knots dengan kecepatan terbesar bulanan berkisar antara 16-28 knots. Arah angin terbanyak dari barat laut yang terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April. Sedangkan pada bulan Mei dan Juni angin terbanyak bertiup dari Barat Daya serta pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober angin terbanyak bertiup dari arah Tenggara (pancaroba), pada bulan November dan Desember angin kembali bertiup dari arah Barat Laut. Nilai rataan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan–bulan yang curah hujannya tinggi, meskipun variasi tiap bulannya tidak tinggi. Kelembaban tertinggi pada Januari dan April yaitu sebesar 86 % dan terendah pada bulan Agustus yaitu 78 % (Badan Meterorologi dan Geofisika Kota Ternate, 2004) .
Kondisi Sosial Ekonomi a). Administrasi Pulau Ternate Secara yuridis, status Pulau Ternate ditingkatkan dari kota Administratif menjadi Kotamadya atau Kota Ternate berdasarkan UU no 11 tahun 1999. Wilayah kepulauan ini banyak memiliki desa / kelurahan yang memiliki
pantai,
sebanyak 70 %nya merupakan desa /kelurahan yang memiliki pantai. Pulau Ternate mempunyai 60 kelurahan.terdiri dari 4 kecamatan. Seperti yang dirinci pada tabel 3. bahkan satu kecamatan merupakan pulau tersendiri.
Tabel 3. Rincian Wilayah Pulau Ternate No
Kecamatan
Ibukota
Jumlah
Desa Jumlah
Desa Jumlah
Kecamatan Pantai
Bukan Pantai
Pulau Kecil 6
1.
Pulau Ternate
Jambula
17
1
2.
Ternate Selatan
Kalumata
9
10
3.
Ternate Utara
Dufa-Dufa
10
7
4.
Moti
Moti Kota
6
-
1
42
18
7
Jumlah
Sumber : BPS Kota Ternate (2004) dan DPK (2005).
b). Aksesibilitas Dari Jakarta trans it di Makassar atau Manado.Berganti pesawat ke Pulau Ternate. Bila mengunakan kapal laut dari Makassar atau Bitung ditempuh selama 1 hari. Dari Kota Ternate ke pulau pulau kecil lainnya dapat menggunakan kapal motor tempel atau speed boat .Jarak perjalanan dari Pulau Ternate ke pulau kecil dapat dilihat pada table 4. dibawah ini.
Table 4.Luas Jarak Dan Waktu Tempuh Ke Pulau Pulau Kecil di Kota Ternate. No
Pulau
Kecamatan
Luas(Km2 )
Jarak*(mil laut)
Waktu Tempuh
1.
Pulau Hiri
Pulau Ternate
12.4
1,5
0,5
2.
Pulau Moti
Moti
24.6
11
3
3.
Pulau Mayau
Pulau Ternate
78.4
90
11
4.
Puilau Tifure
Pulau Ternate
22.1
106
12
5.
Pulau Maka
Pulau Ternate
0.5
1,6
0,6
6.
Pulau Mano
Pulau Ternate
0.5
1,6
0,6
7.
Pulau Gurida
Pulau Ternate
0.5
106,1
12
Sumber Pemerintah Kota Ternate, 2003.Keterangan * dari Kota Ternate
c). Kependudukan Jumlah Penduduk Pulau Ternate berdasarkan hasil pengolahan survey sosial ekonomi Nasional (SUSENAS)tahun 2003 sebanyak 148.946 jiwa atau sekitar 17,39 %
dari jumlah penduduk propinsi Maluku Utara. Jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki- laki sehingga rasio jenis kelamin laki- laki dan perempuan 98,98 atau dengan kata lain bahwa jika disuatu wilayah Pulau Ternate terdapat sejumlah 100 orang perempuan maka jumlah laki- laki diwilayah tersebut hanya 99 orang. Ditingkat provinsi, jumlah perempuan lebih sedikit daripada jumlah laki- laki.hal ini terlihat dari besarnya rasio jenis kelamin laki- laki dan perempuan di Provinsi Maluku Utara sebesar 102,34. Jumlah rumah tangga di Pulau Ternate mencapai 30.800 KK.sehingga rata-rata besaran keluarga per KK di Kota Ternate berkisar sekitar 4-5 orang. Kota Ternate yang memiliki luas 133,74 km 2 dengan jumlah penduduk 148.946 jiwa mempunyai kepadatan penduduk sekitar 605 jiwa/km
2
Tingkat partisipasi angkatan kerja Ternate berdasarkan hasil SUSENAS 2003 sekitar 45,16 %merupakan ukuran dari 100 penduduk usia 10 tahun ke atas ,45 orang diantaranya angkatan kerja (BPS Provinsi Maluku Utara , 2004). Di kota Ternate rasio murid guru untuk jenjang pendidikan dasar (SD) SLTP,SLTA dan SMK masing –masing sebanyak 16 murid per seorang guru SD , 21 murid perseorang guru SLTP, sebanyak 27 murid per seorang guru SLTA , dan sebanyak 18 murid per seorang guru SMK. Tabel 5.3 menunjukkan jumlah sekolah , guru, murid, dan rasio guru dan murid di Pulau Ternate.
Tabel 5. Sarana Pendidikan Dasar dan Menengah di Kota Ternate tahun 2004. No
Jenis Sekolah
Sekolah
Murid
Guru
Rasio Murid Guru
1
SD
103
1.095
1.095
16
2
SLTP
29
476
476
21
3
SLTA
14
321
321
22
4
SMK
7
175
175
18
d). Perekonomian Sektor - sektor ekonomi unggulan di Pulau
Ternate membentuk struktur
perekonomian daerah Kota Ternate, yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan memberikan kontribusi sekitar 30,94 % diikuti oleh sektor jasa pengangkutan dan
komunikasi serta sektor- sektor jasa. Nilai ketiga sektor tersebut terhadap pembentukan PDRB melebihi 50 % dari total pembentukan PDRB Kota Ternate . Sektor pertanian dan perikanan hanya merupakan unggulan ke 4 terhadap kontribusi PDRB Kota Ternate. Melihat potensi yang cukup besar terutama di sub sektor perikanan yang memiliki potensi perikanan tangkap yang besar yang berada dilautan disekitar pulau- pulau kecil Kota Ternate . Laju pertumbuhan ekonomi Kota Ternate tahun 2004 jika dibandingkan dengan dengan tahun 2000 terjadi kenaikan dari – 0,93 % menjadi 2,83 %. Laju pertumbuhan ekonomi sebesar 2,83 %. Kenaikan ini didukung oleh seluruh sektor yang tumbuh secara posistif kecuali sekor bangunan yang mengalami penurunan cukup drastis. Sektor yang mengalami kenaikan terbesar dalam laju pertumbuhan PDRB kota Ternate tahun 2004 adalah sektor pengangkutan .
Tabel 6.Perkembangan Indeks Harga Konsumen Berdasarkan Kelompok Kota Ternate Tahun 2000-2004 (Harga April1988-1990= 100).
Komoditi Di
Th
2000
2001
2002
2003
2004
BM
237,40
257,31
315,52
315,41
111,94
MJ
378,07
413,22
444,25
377,34
112,94
PM
200,92
218,37
239,57
254,79
112,03
SD
199,67
215,70
221,26
225,20
10,71
KS
198,01
206,80
220,75
225,74
108,71
PD
198,01
206,80
220,75
225,74
108,71
TK
187,83
196,68
196,89
199,25
288,49
UM
222,78
252,25
279,37
288,49
111,36
Sumber : Maluku Utara dalam Angka 2004 Keterangan : Th
= Tahun
SD = Sandang
BM
= Bahan Makanan
KS
MJ
= Makanan Jadi rokok,minuman tembakau PD
= Pendidikan
PM
= Perumahan
UM
TK
=
Transportasi dan Komunikasi
= Kesehatan
= Umum
f). Potensi Perikanan PulauTernate Dari sisi geografis wilayah pulau – pulau kecil di Ternate sangat strategis karena merupakan daerah migrasi/ruaya berbagai jenis ikan pelagis besar (tuna dan cakalang) yang merupakan komoditas andalan perikanan. Karena itu potensi dibidang perikanan dan kelautan diwilayah ini cukup besar. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari dinas perikanan dan kelautan tahun 2004, potensi lestari ikan di perairan Ternate sebesar 23.919,25 ton per tahun dari standing stock yang dimilki sebesar 47.838,25 ton yang terdiri dari ikan pelagis besar seperti tuna cakalang, tongkol,cucut, tenggiri, dan ikan pelagis kecil seperti ikan layang dan tembang. Ikan demersal seperti kakap merah, skuda, kakap sejati, ekor kuning serta berbagai jenis ikan kerapu. Tingkat pemanfaatan potensi perikanan baru mencapai 29,80 % dari potensi lestarinya. Potensi lain yang dimiliki oleh Pulau Ternate yaitu sebagian pulau-pulaunya dapat dijadikan sebagai tempat untuk kegiatan marikultur, diantaranya hatchery, budidaya rumput laut, keramba (pembenihan dan pembesaran). Selama ini masyarakat cenderung lebih banyak
pada kegiatan
penangkapan, baik ikan pelagis, ikan demersal, sehinga cukup sulit merubah kepada perilaku pembudidayaan. Dipesisir pantai kota Ternate banyak terdapat bibit bandeng nener dan benur yang dapat digunakan sebagai bibit alami budidaya tambak. Luas perairan potensial untuk budidaya laut mencapai 30 ha. Pulau Ternate dilihat dari aspek pemasaran sangat strategis karena merupakan pusat pasar dan ekspor dari propinsi Maluku Utara yang telah memiliki sarana dan prasarana
pendukung antara lain: pelabuhan Ahmad Yani, Pelabuhan Perikanan
Nusantara Bastiong, dan pusat pendaratan ikan
Dufa-Dufa. Dibukanya Bandara
Baabulah juga menunjang aksesibilitas komoditas perikanan maupun produk lain dari sentra produksi ke pasaran interinsuler maupun eksport. Jumlah nelayan di kota Ternate
terdiri dari nelayan tetap sebesar 91 % dan
nelayan sambilan sebesar 9 %. Kegiatan nelayan di Kota Ternate ada dua jenis yaitu kegiatan perikanan rakyat dan kegiatan perikanan industri. Kegiatan perikanan rakyat lebih mendominasi kegiatan perikanan di Kota Ternate, karena teknologi yang digunakan masih sangat sederhana. Di Kota Ternate Jumlah rumah tangga (RTP) sebanyak 2.017 KK dan kelompok nelayan
sebanyak 124 .
Tabel 7. Komposisi Sebaran RTP di Pulau Ternate No
Kecamatan
Jml Pdd
Jumlah RTP
(Jiwa)
Jumlah kelompok nelayan
1
Ternate Utara
60.285
434
28
2
Ternate Selatan
66.535
324
21
3
Pulau ternate
17.590
865
50
4
Pulau Moti
4.536
394
25
5
Jumlah
148.946
2.017
124
Sumber : (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2004).
g). Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Daerah Aktivitas penangkapan nelayan dkawasan pesisir Kota Ternate umumnya dekat dengan pantai (<4 mil), kegiatan masih bersifat tradisional. Produksi hasil perikanan Kota Ternate disajikan pada tabel 8.
Tabel 8.Produksi hasil perikanan (dalam ton) di Kota Ternate tahun 1996-2004 Tahun
Jumlah produksi (Ton)
Perkembagan (%)
1996
5.713,0
1997
6.824,7
16,29
1998
6.917,1
1,34
1999
5.865,3
-18,11
2000
6.456,35
9,32
2001
6.510,58
0,80
2002
6.562.81
0,80
2003
6.615,04
0,79
2004
9.084,43
27,18
Sumber: BPS,Kota Ternate dalam Angka, 2001,Statistik Perikanan Tangkap Maluku Utara 2004.
Tabel 9 Jumlah Alat Tangkap Berdasarkan Jenis di Pulau Ternate No Alat tangkap
Jumlah Alat (Unit)
Jumlah trip (Kali)
1
Pukat pantai
18
4.104
2
Purse seine
18
2.592
3
Jaring insang hanyut
18
1.944
4
Jaring insang tetap
16
0
5
Bagan perahu
0
0
6
Rawai Tuna
14
1.680
7
Rawai hanyut
2
384
8
Huhate
29
4.524
9
Pancing tonda
18
1.512
10
Jaring Insang Lingkar
16
3.072
11
Rawai tetap
2
168
12
Bagan tancap
1
252
13
Sero
1
168
14
Bubu
10
600
15
Muro ami
1
84
16
Jaring klitik
2
120
17
Lain- lain
39
1.452
Jumlah
205
22.656
Sumber : Statistik Perikanan tangkap Maluku Utara 2004
Tabel. 10 Perkembangan produksi perikanan Kota Ternate dari tahun 2002-2004 No
Kecamatan
2002(Ton)
2003(Ton)
2004(Ton)
1
Ternate Utara
3.135,67
4.204,62
4.225,39
2
Ternate Selatan
945,55
1.267,5
1.274,15
3
Pulau ternate
2.497,35
3.347,33
3.365,24
4
Moti
879,93
1.178,97
1.185,72
Total
7.457,00
9.998,50
10.048,50
Sumber : (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2004).
Sedangkan perkembangan armada penangkapan ikan di Pulau Ternate dari tahun 2002-2004 dirinci pada tabel 10 dibawah ini. Kegiatan perikanan di Pulau Ternate, ditunjukkan dengan alat tangkap yang digunakan rata-rata masih bersifat tradisional. Sistem penangkapan modern belum banyak diterapkan
Tabel. 11 Perkembangan armada tangkap nelayan selama 3 tahun di Kota Ternate Jenis armada
2002
2003
2004
Rata-rata kenaikan
Kapal motor
22
21
19
-
Motor tempel
260
275
344
12,76
Perahu tanpa Motor
755
787
762
-
Total
1.037
1.083
1.144
Sumber : (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate, 2004).
Kegiatan perikanan tangkap di perairan Kota Ternate masih sangat sederhana . Akan tetapi di kota Ternate juga sudah ada kegiatan perikanan berkala industri, kendati masih bersifat semi modern, yaitu dengan menggunakan motor tempel dan kapal motor dengan alat tangkap longline dan purse seine. Alat tangkap dan armada berskala industri dapat menjangkau fishing ground yang lebih jauh dan bahkan sampai ke perairan Samudra Pasifik. Daerah penangkapan (fishing ground) nelayan di Kepulaun Ternate umumnya menggunakan perahu
tanpa motor berskala 1-3 mil disekitar rumpon jika fasilitas
tersebut tersedia dengan penangkapan satu hari (one daya trip ). Penangkapan skala sedang dengan mengunakan motor tempel dan kapal motor dapat menjangkau daerah penangkaapn (fishing ground) yang lebih jauh, namun masih dalam wilayah perairan Maluku Utara (Batang Dua, Halmahera, Kayao, dan sekitarnya) dengan waktu melaut dua minggu sampai satu bulan. Daerah penangkapan untuk ikan pelagis besar (tuna ,cakalang) di perairan Kota Ternate meliputi perairan pulau Hiri, pulau Moti, dan Pulau Batang Dua /Laut Maluku. Daerah penangkapan ikan pelagis kecil dan demersal adalah pesisir Pulau Ternate,
Pulau Hiri, Pulau Moti, dan Pulau Tifure Batang Dua. Musim penangkapan dilakukan sepanjang tahun dan musim puncak pada bulan Januari,April serta Sepetember –Oktober. Sarana dan prasarana perikanan perikanan. Sarana dan prasarana
merupakan
faktor penunjang
kegiatan
di Kota Ternate salah satunya adalah pelabuhan
Bastiong yang disajikan pada tabel 12. Tabel 12. Sarana dan Prasarana Pelabuhan Bastiong Ternate A
B
Pokok
Unit
§
Dermaga
§
ColdStorage
1 unit
§
Pabrik Es
50 m2
§
Bengkel
50 m2
Sarana penunjang
Beton 560 m2
Unit
§
TPI
500 m2
§
Balai Pertemuan
100 m2
§
Dock/Slipway
C 20 T dan B 5 T
§
Instalasi Listrik
200 m2
§
Gudang
125 m2
§
PPI
1paket
§
Pelabuhan Ekspor
1paket
§
Pelabuhan Nusantara
1paket
§
Pelabuhan Udara
1paket
Sumber dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate , 2004
h) Karakteristik Responden Masyarakat yang diteliti adalah masyarakat yang berada di Kota Ternate dan sekitarnya, terutama yang terkait langsung dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang. Populasi responden sebanyak 148.946 jiwa termasuk populasi rumah tangga nelayan (RTP) sebanyak 2.017.Jumlah tersebut tersebar di 4 kecamatan Pulau Ternate. Responden yang diambil sebagai sampel sebanyak 67 rumah tangga dengan profesi sebagai nelayan .
i) Umur responden Umur responden bervariasi antara 17 - 65 tahun. diketahui bahwa responden dengan usia 35 - 44 tahun lebih banyak yaitu 20 orang atau sebesar 29,85 %. Jumlah responden paling sedikit dengan usia 65-74 tahun sebanyak 1 orang dengan persentase 1,49 %. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 13. Tabel 13. K lasifikasi Umur Responden No
Umur (tahun)
Jumlah (orang)
Presentase(%)
1
15-24
6
8,95
2
25-34
16
26,22
3
35-44
20
29,85
4
45-54
18
26,86
5
55-64
6
8,95
6
65-74
1
1,49
Total
67
100,00
Sumber : Hasil olahan data primer , 2005
2)Jenis kelamin responden Responden yang diwawancarai seluruhnya berjenis kelamin laki- laki . 3) Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden sangat rendah. Dari 67 responden yang diwawancarai 31,34% tidak pernah menempuh pendidikan formal. Sebanyak 50,74 % menempuh pendidikan sekolah dasar, beberapa responden saja yang menempuh pendidikan menengah dan satu mencapai pendidikan menengah atas. Tabel 14. Klasifikasi tingkat pendidikan responden No
Tingkat pendidikan
Jumlah orang
Persentase
1
Tidak pernah sekolah
21
31,34
2
SD
34
50,74
3
SLTP
9
13,43
4
SMU
2
2,98
5
Pendidikan tinggi
0
0
Total
67
100,00
4) Jumlah tanggungan Keluarga responden Jumlah tanggungan keluarga responden
merupakan jumlah anggota keluarga
yang masih ditangung oleh responden. Dari hasil survey sebagian besar responden mempunyai tanggungan yang bervariasi antara 1 sampai 7 orang.
Tabel 15. Klasifikasi responden menurut jumlah tangungan keluarga No
Tanggungan keluarga
Jumlah(orang)
(Prosentase)
1
<3
19
28,35
2
3
12
17,91
3
4
12
17,91
4
5
14
14,43
5
6
8
11,94
6
>6
2
2,98
Jumlah
67
100,00
Sumber : Hasil olahan data primer, 2005
5 ) Asal dan Lama Domisili Responden Berdasarkan hasil survey, maka asal responden seluruhnya berasal dari Pulau Ternate. Persentase terbesar berasal dari
desa Kastela dengan persentase 31,34 %
sedangkan persentase responden terkecil berasal dari desa Sasa dan Gamalama sebesar 10,44 %.
Tabel 16. asal responden No
Asal Responden
Jumlah(orang)
Persentase
1
Jambula
24
35,82
2
Sasa
7
10,44
3
Gamalama
7
10,44
4
Sulamadaha
8
11,94
5
Kastela
21
31,34
Total
67
100,00
Berdasarkan hasil survey terlihat bahwa responden dengan lama domisili 25-50 tahun merupakan kelompok responden yang paling banyak dengan persentase 64,17 %. Lama domisili dibawah 25 tahun merupakan kelompok responden paling sedikit yaitu sebesar 8,95 %
Tabel 17 Lama domisili responden No
Lama domisili
Jumlah (orang)
Persentase
1
<25
6
8,95
2
25-50
48
64,17
3
>50
13
19,4
Total
67
100,00
Sebagaian besar responden memiliki armada tangkap sendiri.hanya 2 orang responden yang kepemilikan armadanya merupakan sewa.
Tabel 18. Status Kepemilikan Armada Tangkap Kepemilikan armada
Jumlah orang
persentase
Milik sendiri
65
97,01
sewa
2
2,99
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendekatan Data Cross Section Nilai Ekonomi Aktual (Net Benefit Income Approach) Ekosistem terumbu karang
mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas
perhitungan manfaat dan biaya pemanfaatan. Berdasarkan tipologi nilai ekonomi total ekosistem ini mempunyai nilai manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung yang dapat dinilai dari keberadaan ekosistem terumbu karang adalah perikanan karang. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 % dari jumlah tangkapan perikanan dunia. Sedangkan manfaat tidak langsung diantaranya sebagai jasa ekologis (ecological services) seperti kemampuan menyerap karbon, penahan gelombang. Penelitian ini membatasi estimasi hanya pada manfaat langsung yang berdasarkan kepada produktivitas ekosistem terumbu karang yang mempunya nilai pasar (market base) yaitu ikan karang. Berdasarkan hasil survey pemanfaatan ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate hanya memanfaatkan ikan karang. Ekstraksi terhadap terumbu karang langsung tidak terjadi seperti pengambilan karang baik untuk bahan bangunan maupun untuk aquariun laut. Industri ikan hias di Ternate tidak berkembang seperti di daerah lainnya padahal keanekaragaman ikan hiasnya cukup tinggi. Umumnya nelayan Ternate hanya mengambil ikan konsumsi yang laku di pasar lokal. Selama masa survey tidak ditemukan nelayan yang menggunakan bahan peledak dan bius. Menurut Keterangan nelayan di Pulau
Ternate hanya sewaktu-waktu melakukan penangkapan ikan dengan bahan
peledak jika telah dirasakan bahwa hasil tangkapan menurun. Selain itu Kebiasaaan melakukan peledakan juga tidak oleh semua nelayan. Kebanyakan oleh nelayan pendatang dari daerah Sangir Talaut dan Buton yang tidak berdomisili di Ternate. Mereka datang menangkap ikan kemudian melakukan peledakan dan pergi. Bahkan pernah nelayan Filipina memasuki perairan Ternate dan melakukan peledakan . Rata-rata nelayan Pulau Ternate menangkap ikan karang menggunakan pancing (hand line). Dalam satu trip penangkapan biasanya hanya satu orang nelayan. Penangkapan dilakukan sepanjang musim dan bersifat one day fishing. Banyaknya trip
yang dilakukan oleh nelayan di Pulau Ternate dalam satu bulan sekitar 10- 20 hari. Rata-rata perolehan ikan karang dalam satu trip sekitar 2-4 ekor/jenis. Tabel dibawah merupakan identifikasi perolehan ikan karang konsumsi yang
dominan
di perairan
terumbu karang Pulau Ternate.
Tabel 19. Rincian Estimasi Penerimaan Ikan Karang Nelayan Pancing di Pulau Ternate No
Jenis Ikan
Perolehan/trip (ekor)
Jml trip/tahun
Total Tangkapan/tahun (ekor)
1
Ekor kuning
4,49
174,18
782,41
2
Kuwe
2,60
174,18
452,34
3
Bambangan
2,48
174,18
431,44
4
Kakap
3,45
174,18
600,92
5
Lencam
2,12
174,18
369,26
6
Baronang
2,.46
174,18
428,83
7
Bijinangka
2,39
174,18
415,94
8
Kerapu
1,71
174,18
297,85
Total
21,7
3.778, 99
Sumber : Data primer diolah (2005)
Proporsi hasil tangkapan ikan karang dalam satu trip dapat dilihat pada Gambar 3. Rata-rata tangkapan ikan karang per trip (ekor) Ekor kuning , 4.49
Bijinangka, 2.39 , Baronang, 2.46
Kuwe, 2.6 kerapu, 1.71 Bambangan, 2.48
Kakap, 3.45 Lencam, 2.12
Gambar 3. Proporsi Rata-Rata Tangkapan Ikan Karang Per Trip Nelayan Pancing Di Pulau Ternate Dengan rata- rata tangkapan setahun sebanyak 3.778, 99 ekor dimana rata-rata beratkan karang per ekor adalah 0.5 – 1.5 kg, maka estimasi pertahun ikan karang nelayan di Pulau Ternate
rata-rata tangkapan
sekitar 3,778 ton atau kurang lebih 4
ton. Dengan luas terumbu karang 1,11 ha maka produksi pertahun ikan karang adalah
0.04 ton per km2 per tahun. Jika dibandingkan dengan rata-rata tangkapan ikan karang nelayan di Filipina yang bisa mencapai 15,6 ton/km2/tahun walau bervariasi mulai dari 3 ton/km2/tahun sampai dengan 37 ton/m2 /tahun (White dan Cruz-Trinidad, 1998) hasil tangkapan nelayan Ternate sangat rendah. Sesuai dengan penjelasan McAllister ( 1998 ) bahwa perkiraan produksi perikanan tergantung pada kondisi terumbu karang, kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu me nghasilkan sekitar 18 ton/km2 /tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu menghasilkan 13 ton/km2 /tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2 /tahun, dibawah 8 ton /km2 /tahun merupakan produksi pada kondisi buruk. Dengan harga jual ikan karang yang cukup beragam mulai dari Rp 10.000 sampai dengan Rp 25.000 maka pendapatan bersih nelayan dalam satu trip rata-rata Rp 165.603,00
Tabel 20. Rincian estimasi Manfaat Bersih Nelayan Pancing Di Pulau Ternate. Klasifikasi
Rupiah (Rp)
Penerimaan
46.506.417,91
Biaya
17.691.164,78
Pendapatan
28.844.902,39
Dengan estimasi dari pendapatan bersih nelayan maka nilai ekosistem terumbu karang sebagai faktor input bagi produktivitas tangkapan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat dapat dikuantifikasi secara moneter. Berdasarkan data survey jumlah nelayan pancing ikan dasar di Pulau Ternate sebanyak 729 orang. Tabel 21. Nilai Estimasi Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate Klasifikasi
Unit
Jumlah
Pendapatan bersih
Rupiah
28.844.902,39
Jumlah Nelayan
Orang
729
Luas
Hektar
1,11
Nilai Aktual
Rupiah
21.027.933.840,00
Nilai Aktual Per Hektar
Rupiah
19.012.598.409,49
Nilai Ekonomi Aktual Ekosistem Terumbu Karang Pulau Ternate
NilaiEkonomi(Ha)
21500000000 21000000000 20500000000 20000000000 19500000000 19000000000 18500000000 18000000000 Luas (Ha)
1
1.11
Gambar 4. Nilai Ekonomi Aktual Ekosistem terumbu Karang di Pulau Terna te Total manfaat bersih diperoleh per nelayan pancing ikan dasar di
Pulau Ternate
sebesar Rp 28.844.902,39. Dengan demikian nilai ekonomi aktual ekosistem terumbu karang sebesar Rp 21.027.933.840,00 atau Rp 19.012.598.409,49 ha .
Nilai Manfaat Sekarang A.Present Value Benefit Generate Per Hektare Model- Income Approach Dengan mendiscount aliran bersih dari manfaat terumbu karang yang diambil sebagai indikator nilai sekarang (present value) kemudian membagi total present value dari produksi terumbu karang dengan luasan terumbu karang, maka dapat diperoleh nilai perhektar terumbu karang. Hasil disarikan pada Tabel.22 .
Tabel 22. Nilai Estimasi Manfaat Sekarang (Present Value Benefit) Ekosistem Terumbu Karang Pulau Ternate Klasifikasi
unit
Jumlah
Luas terumbu karang
Hektar
1,11
Present Value benefit
Rupiah
384,542,778.79
Present Value benefit Per Hektar
Rupiah
347,687,865.09
Tabel 22. diatas menunjukkan bahwa
nilai manfaat sekarang dari terumbu karang di
Pulau Ternate sebesar Rp 384,542,778.79 atau sebesar 347,687,865.09 per hektar. Nilai Manfaat Ekonomi Sekarang (Present Value Residual Rent Generate Per Hektare Model -Income Approach) Residual rent merupakan
perbedaan antara biaya faktor produksi dan nilai
ektraksi dari sumbe rdaya. Dimana residual rent dapat dilihat sebagai kontribusi sistem
alam atau pendapatan bersih terhadap nilai ekonomi total. Hasil yang diperoleh dapat disarikan pada Tabel. 23 dibawah. Tabel 23. Nilai Estimasi Present Value Residual rent dari Ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate Klasifikasi
unit
Jumlah
Luasan terumbu karang
Hektar
1,11
Present Value residual rent
Rupiah
239,081,334.38
Present Value residual rent Per Hektar
Rupiah
216,167,571.77
Dari tabel diatas Present Value Residual Rent diperoleh sebesar Rp 239,081,334.38. Dengan luasan terumbu karang 1,11 Ha atau
present value residual rent per hektar
sebesar Rp 216,167,571.77 Gambar 5. Perbandingan antara PV Benefit dan PV Residual Rent Terumbu Karang di
PV Benefit dan PV Residual Rent
Pulau Ternate 400000000.00 350000000.00 300000000.00 250000000.00 200000000.00 150000000.00 100000000.00 50000000.00 0.00
PV Benefit
PV Benefit
PV Residual Rent
1
PV Residual Rent
1.11
Luas Terumbu Karang (Ha)
Present value residual rent per hektar lebih rendah dari present value benefit karena present value residual rent merupakan pendekatan dengan menghitung biaya yang dikeluarkan baik dari faktor produksi maupu biaya dari faktor tenaga kerja.
Analisis Sensitivitas Net Present Value (NPV) Dalam menghitung net present value dari suatu investasi perlu dikaji hal – hal yang akan terjadi jika analisis net present value mengalami kesalahan atau perubahan pada satu atau beberapa faktor sehingga mempengaruhi dalam perhitungan biaya atau manfaat. Dalam menghitung nilai ekosistem terumbu karang (Net Present Value) juga diperlukan analisis sensitivitas karena ada hal mendasar yang mempengaruhi nilai NPV
yaitu luasan tutupan terumbu karang (live coral coverage). Luas terumbu karang ini akan mempengaruhi hasil produksi perikanan karang karena fungsi ekosistem terumbu karang sebagai tempat mencari makan , tempat pengasuhan , tempat berpijah sebagian besar ikan karang sehingga jika habitat ikan karang ini dalam kondisi baik maka output yang dihasilkan juga dalam kualitas yang baik. Pemanfaatan ekosistem terumbu karang oleh nelayan di Pulau Ternate selama ini dengan cara–cara yang destruktif sehingga luasan tutupan terumbu karang mengalami degradasi. Dari olah data citra satelit lansat ETM 7 tahun 2004 maka berhasil dianalisa bahwa ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate mengalami degradasi dalam waktu 10 tahun seluas 1,793 ha atau sebesar 61,84 % .dari total luasan yang terhitung. Secara langsung penyusutan luasan ini akan berakibat pada penurunan nilai estimasi dari fungsi dan manfaat ekosistem ini. Indikator yang mudah untuk dilihat adalah berkurangnya keuntunganekonomis dan keuntungan ekologis dari ekosistem terumbu karang tersebut. Dengan melihat pola pemanfaaatan yang destruktif selama 10 tahun maka luasan terumbu karang di Pulau Ternate diasumsikan akan terus mengalami penurunan. Analisis sensitivitas
terhadap
perubahan
luasan
terumbu
karang
dilakukan
dengan
mengasumsikan produksi akan berkurang jika luasa n terumbu karang juga berkurang demikian juga sebaliknya. Analisis sensitivitas net present value dengan asumsi perubahan produksi berkurang
sebesar 25 % jika masyarakat Pulau Ternate tetap
melakukan aktivitas pemanfaatan ekosistem terumbu karang
dengan pola yang sama
dengan saat sekarang (tahun 2005).
Tabel 24. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Berkurang 25 % Menggunakan Pola Pemanfaatan Destruktif No Uraian Saat ini Analisis Sensitivitas 1
Net Present value per Hektar
347,687,865.09
262.577.304,98
2
Present value Residual rent 216,167,571.77
306.491.214,31
per Hektar
Net present value
per hektar mengalami penururna n sebesar
Rp 85,110,560.11
demikian juga dengan NPV Residual Rent mengalami penurunan sebesar
RP
86,418,056.76
Tabel 25. Nilai Estimasi Analisis Sensitivitas NPV Dengan Asumsi Produksi Bertambah 25 % Menggunakan Pola Pemanfaatan dengan Pengaturan No Uraian Nilai (Rp ) 1
Net Present value per Hektar
445.911.143,80
2
Present value Residual rent per Hektar
129.749.515,01
Demikian pula bila digunakan pola pemanfaatan ekosistem terumbu karang dengan pengaturan sehingga luas tutupan terumbu karang menjadi bertambah. Karena luasan terumbu karang bertambah maka diasumsikan terjadi peningkatan hasil produksi perikanan karang sebesar 25%. Pola pemanfaatan ekosistem terumbu karang dengan ramah lingkungan merupakan tindakan yang harus dilaksanakan oleh stakeholders di Pulau Ternate. Hal ini penting ditekankan karena sumberdaya yang dikelola bersifat open acces sehingga kemungkinan perilaku dalam pemanfaatan serta keputusan pengalokasian sumberdaya merupakan status kepemilikan (property right). Oleh sebab itu perlu adanya suatu peraturan atau regulasi yang mengikat setiap pemanfaat dengan syarat bahwa tidak ada biaya transaksi yang terjadi
untuk mentaati peraturan tersebut. Jika dalam
pelaksanaannya terjadi biaya transaksi maka net present value dari ekosistem terumbu karang akan terus menurun.
Tabel. 26. Rincian tindakan dan penanganan yang harus dilakukan oleh seluruh stakeholders yang memanfaatkan ekosistem terumbu karang Tindakan Tidak menggunakan Bahan Peledak
Penanganan Perlu membuat peraturan lokal yang melarang penggunaan bahan peledak dalam menangkap ikan.Walaupun peraturan tersebut sudah ada di tingkat nasional
Tidak menggunakan trawl
Membuat peraturan melarang penggunaan alat tangkap ikan dengan trawl di sekitar terumbu karang.
Tidak meletakkan Bubu pada area Membuat peraturan mengatur penggunaan dan terumbu karang
peletakan diarea terumbuk karang.
Jangkar
Membuat
peraturan
melarang
perahu
membuang jangkar di area terumbu karang Tidak menggunakan jaring dasar di Membuat peraturan yangmelarang pelemparan area terumbu karang
jaring dasar di area terumbu karang
Penambangan batu karang
Membuat peraturan melarang pengambilan batu karang dijadikan bahan bangunan.
Berjalan diatas karang
Melarang berjalan/menginjakkan kaki di atas terumbu karang
Tidak Sandar kapal motor di perairan Memberikan tanda-tanda diwila yah terumbu dangkal
karang yang dangkal agar para pengemudi perahu dapat melihat wilayah mana yang tidak dapat dilalui karena ditumbuhi karang
Alat pendorong perahu (Kayu, Bambu
Membuat jalur masuk perahu pada wilayah
dan lain-lain)
terumbu karang, sehingga penggunaan kayu mendorong perahu tidak dipergunakan lagi.
Tidak mengambil sebagai cindera Membuat peraturan mata
terumbu karang
melarang pengambilan
dijadikan hiasan,menghapus
kuota untuk ekspor terumbu karang hias.
Dari analisis sensitivitas yang dilakukan berdasarkan faktor endogen maka perbandingan net present value dapat diuraikan pada gamabar 6. dibawah. Gambar 6. Grafik Analisis Sensitivitas Estimasi Net Present Value (NPV) Ekosistem Terumbu Karang Di Pulau Ternate
500,000,000.00 400,000,000.00 300,000,000.00
NPV
200,000,000.00
Residual Rent
100,000,000.00 0.00 Saat ini
Dengan Tanpa Pengaturan Pengaturan
Selain berdasarkan faktor endogen, maka analisis sensitivitas berdasarkan faktor eksogen juga perlu dilakukan. Pada saat penelitian ini dilaksanakan terjadi kenaikan biaya angkut produksi dari desa nelayan ke pusat kota Ternate. Kenaikan biaya angkut sebesar 50 %.
Tabel 27. Perbandingan Net Present Value Dengan Perubahan Biaya Angkut No
Uraian
Nilai (Rp )
1
NPV per hektare sebelum kenaikan biaya angkut
347.687.865,09
2
Present value residual rent per Hektare sebelum kenaikan
216.167.571,77
biaya angkut 3
NPV per hektare sesudah kenaikan biaya angkut
344.306.988,73
4
Present value residual rent per Hektare sesudah kenaikan
160.617.390,65
biaya angkut
Dari tabel perbandingan nilai estimasi Net Present Value diatas maka dengan kenaikan biaya angkut tersebut, terjadi penurunan pendapatan nelayan sebesar 55.550.181,1 per hektar.
Rp
Keterkaitan Ikan Karang Dengan Karang Hidup Dalam menganalisis nilai ekonomi manfaat dari ekosistem terumbu karang perlu dilakukan analisis keterkaitan antara produksi perikanan karang dengan karang hidup sebagai habitatnya. Sebagai indikasi yaitu kondisi karang hidup mencakup diantaranya adalah luasan, dan kesehatan karang. Kesehatan karang dapat diindikasikan dengan tutupan hidup (living coverage) karang batu. Dari laporan team Bakosurtanal yang melakukan survey identifikasi sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Ternate pada bulan Juni 2005 hasilnya adalah luasan terumbu karang hanya tinggal 1,13 Ha, dimana
dibeberapa lokasi stasiun penga matan terjadi
kerusakan terutama karang batu. Hal demikian terjadi baik dibagian selatan maupun utara Pulau Ternate. Tutupan karang batu di stasiun Kastela (bagian Selatan Pulau Ternate) dalam kondisi rusak dengan persentase tutupan karang batu hidup sebesar 21,00 %. Demikian juga dengan kondisi karang batu yang berada di bagian Utara Pulau Ternate. Berdasarkan dari laporan penelitian Hirto (2005) bahwa kondisi karang batu di Perairan Gamalama ditemukan dalam keadaan rusak dengan persentase tutupan sebesar 23 %. Dari kelima stasiun yang diamati 3 stasiun kondisi karangnya dalam keadaan rusak yaitu di stasiun Kastela , Salero dan Gamalama. Hanya di stasiun Sulamadaha dan Takome yang kondisi karangnya dalam keadaan baik dan sangat baik.. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh posisi stasiun pengamatan. Dimana stasiun Takome berada jauh dari area pemukiman penduduk sedangkan stasiun Sulamadaha yang berada di
desa
Sulamadaha yang merupakan area wisata di Kepulauan Ternate. Sedangkan pada ketiga lokasi stasiun yang kondisi karang batunya dalam keadaan rusak
merupakan area
terbuka. Selain itu pada ketiga area terumbu karang yang rusak juga ditemukan pecahan – pecahan botol yang digunakan nelayan setempat sebagai wadah bom rakitan untuk menangkap ikan karang. Dari kelima stasiun penelitian diatas maka kondisi rata-rata karang batu di Kepulauan Ternate dalam keadaan rusak, dengan persentase rata-rata tutupan karang batu hidup sebesar 33,7 %. Adanya kerusakan terumbu karang berdasarkan hasil survey disebabkan oleh praktek penangkapan ikan secara destruktif dengan bahan peledak dan bius,
alat
transportasi seperti pelemparan jangkar, kegiatan pariwisata laut, pemasangan perangkap bubu. Kerusakan terumbu karang juga tidak terhindar dari gangguan yang bersifat biologis seperti pemutihan ( bleaching). Pemutihan ini bisa disebabkan oleh pemangsaan bintang laut (Acanthaster plancii) dan bleacing sebagai akibat peningkatan suhu air laut yang ekstrim .
Tabel 28. Rekapitulasi Persentase Sebaran Tutupan Karang Di Pulau Ternate Jenis Karang
Stasiun Pengamatan
Nama
sulamadaha
Takome
Kastela
Salero
Gamalama
Hard coral
60.36
90.30
21
28
23.2
Soft Coral
3.70
5
5.7
5
37.2
Other fauna
4.5
0
0
0
0.4
Abiotic
13.5
3.5
18.10
15
39.2
Sumber : Data Bakosurtanal dan Hirto ,(2005), PKSPL Unkhair (2006)
Luasan tutupan karang batu diterima sebagai petunjuk yang berarti bagi kondisi karang. Gomez dan Yap (1984) menjelaskan tingginya tutupan karang batu merupakan petunjuk dari karang yang sehat selain diikuti oleh kondisi keragaman jenis karang batu. Pada kelima
stasiun tersebut koloni karang batu
umumnya didominasi oleh
pertumbuhan karang bercabang (Branching Corals) dari marga Goniopora dan Porites dan karang daun Folious Corals dari marga Montipora. Dari hasil penelitian juga ditemukan secara umum 3-4 marga dengan 24 jenis karang batu. Jumlah ini cukup rendah jika dibandingkan dengan area karang yang
dijumpai di wilayah Timur
Indonesia, khususnya di Pulau Watubela Maluku, dimana marga karang batu dijumpai sekitar 44 - 50 (Edrus, 2004). Sedangkan Kondisi karang batu di pulau – pulau kecil yang berada disekitar pulau Ternate dalam kadaan baik. Di stasiun Pulau Hiri kondisi
karang batu hidup
dalam keadaan sangat baik dengan persentase tutupan sebesar 82,60 % sedangkan di Pulau Maitara kondisi karang batu hidup juga dalam kondisi baik dengan persentase tutupan sebesar 77,40 % .
Tabel. 29 Rekapitulasi Keanekaragaman Dan Kelimpahan Masyarakat Di Pulau Ternate
Ikan Karang Konsumsi
Jenis ikan
St.Sula
karang
madaha
St.Takome
St.Kastela
St.Sale ro St.Gamalama ?
Baronang
450
831
0
10
0
1291
Kerapu
1037
350
50
0
0
1437
Lencam
16
0
2
0
1
19
Kakak tua
0
37
0
4
0
41
Bambangan
19
100
1
0
196
316
Kue
2
0
0
2
2
6
ekor kuning
65
6
160
0
0
231
Bijinangka
20
14
48
7
1
90
Sumber:Data Bakosurtanal (2005),Hirto (2005).
Kondisi tutupan karang batu
hidup di Pulau Ternate ini berkorelasi dengan
kelimpahan dan keanekaragaman pada ikan karang konsumsi. Dimana pada kondisi tutupan karang hidupnya baik, maka kelimpahan ikan karang konsumsi juga tinggi. Hal ini dapat dilhat pada stasiun Sulamadaha dengan kondisi karang baik maka kelimpahan ikan karangnya juga tinggi.
Gambar 7. Kurva Interaksi Antara Persentase Tutupan Karang Hidup Dengan Kelimpahan Ikan Karang Konsumsi
Kelimpahan
Interaksi antara persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan karang konsumsi di Pulau Ternate 2000 1500 1000 500 0 90.00%
60%
28.00%
23%
Persentase tutupan karang hidup
21%
Demikian juga dengan
keanekaragaman ikan karang konsumsi di masing –
masing stasiun. Dari 8 jenis ikan karang yang umum dikonsumsi oleh masyarakat ratarata hanya mencakup 5 jenis. Hanya satu stasiun yang keanekaragamannya cukup baik yaitu stasiun Sulamadaha dengan mencakup 7 jenis ikan karang konsumsi.
Gambar 8. Interakasi Antara Persentase Tutupan Karang Hidup Dengan Keanekaragaman Ikan Karang Konsumsi Di Pulau Ternate
Keanekaragaman
Interaksi antara persentase tutupan karang hidup dengan keanekaragaman ikan karang konsumsi di Pulau Ternate 8 6 4 2 0 1
2
3
4
5
Persentase tutupan karang hidup
Robertson dan Gaines (1986) dalam Westmacott et al.(2000) menjelaskan bahwa interaksi antara ikan karang dengan habitatnya yaitu karang hidup dapat terjadi dalam 3 bentuk. Pertama, hubungan yang terjadi secara langsung dengan karang hidup sebagai tempat perlindungan terutama ikan- ikan yang berukuran kecil. Kedua, hubungan yang menyangkut interaksi makan memakan antara ikan karang dan biota sesil yang berasosiasi dengannya. Ketiga, hubungan yang melibatkan keseluruhan struktur ekosistem dan pola makan pemakan plankton dan karnifor yang berasosiasi dengan karang. Hubungan diatas secara tidak langsung menjelaskan manfaat terumbu karang sebagai feeding ground ikan karang. Fungsi ini akan berjalan bila kesehatan terumbu dalam kondisi terjaga. Menurut Pet-Soede (2000) ada beberapa faktor yang
memberikan sumbangan
terhadap komposisi komunitas ikan di ekosistem karang yang kesemuanya berhubungan dengan struktur fisik dan kompleksitas karang tersebut. Pertama, pada karang sehat keragaman dan kuantitas makanan adalah tinggi dan ini berdampak positif langsung pada keragaman dan kelimpahan ikan. Berbeda halnya jika kondisi karang tidak sehat dimana karang mati akan cepat ditumbuhi oleh alga secara berlebihan. Kemudian alga dimakan oleh herbivora seperti ikan kakatua (parrotfish, Scarus spp.), dan populasi jenis-jenis ini
dapat meningkat. Pemakanan dalam jumlah besar oleh jenis-jenis ini terkadang merusak struktur karang yang
menyebabkan erosi kerangka karang. Tetapi mereka juga
membatasi pertumbuhan alga. Meningkatnya populasi ikan yang kurang bernilai komersial ini merupakan kerugian ekonomis bagi nelayan ikan karang. Kedua, karang menyediakan lingkungan yang tepat untuk kegiatan reproduksi dan penempatan larva ikan dan ini akan turut menentukan struktur komunitas ikan dewasa nantinya (Medley et al., 1983; Eckert, 1987; Lewis,1987diacu dalam Westmacott et al., (2000) Menurut Eggleston, (1995) dalam Westmacott et al. (2000) kondisi karang yang terstruktur kompleks dan sehat akan memaksimalkan jumlah keragaman dan kuantitas ruangan guna kesuksesan reproduksi. Akhirnya, karang menyediakan naungan dan perlindungan dari para predator, khususnya bagi ikan berjenis kecil dan ini mempengaruhi pola kelangsungan hidup dan kelimpahannya saat dewasa. Secara garis besar kondisi karang sehat berdampak positif bagi ketiga faktor tersebut (makanan, reproduksi dan naungan) dan imbalannya adalah peningkatan keragaman dan kelimpahan ikan. Gambar 9. Mata Rantai Karang Sehat dengan Keanekagaman Dan Kelimpahan Ikan Ketersediaaan pangan
Kesehatan Karang
lingkungan yang tepat untuk reproduksi &peletakan larva
Keragaman&kuantitas ikan
Melindungi dari pemangsa
Sumber: (Westmacott et al. 2000) Untuk Melihat adanya hubungan fungsional antara variabel –variabel diatas dimana karang hidup sebagai variabel bebas atau prediktor sedangkan ikan karang konsumsi sebagai variabel tak bebas atau sebagai respon maka dengan meregresikan data persentase tutupan karang batu dan jumlah taksa ikan karang, hasilnya dapat memberikan petunjuk adanya interaksi antara karang hidup dengan ikan karang konsumsi. Jenis ikan yang diregresikan adalah jenis ikan karang konsumsi yang biasa ditangkap oleh nelayan. Rumus Regresi :
Y= a + ßX
Y = Jumlah individu ikan karang konsumsi a = Intercep ß= Konstanta
X = persentase tutupan karang hidup (hard coral) (%) Untuk melihat keeratan hubungan ikan karang dengan substratnya yaitu karang hidup maka total ikan karang konsumsi diregresikan dengan tutupan karang batu. Tabel 30. Hasil Regresi Antara Ikan Karang Konsumsi Dengan Karang Hidup Peubah tak bebas (Y)
Peubah bebas (X)
Intercep(a) Paramaeter(ß) R-square(%)
Ikan Karang Konsumsi Karang Hidup
Nilai R- square merupakan indikasi
- 225
18,7
52,7
terdapat atau tidaknya interaksi antara dua
peubah. Dengan hasil regresi tersebut dapat dijelaskan bahwa secara keseluruhan terdapat keterkaitan antara ikan karang konsumsi dengan kondisi karang hidup. Tanda posistif dari variabel bebas sebesar 18,7 berarti bahwa variabel bebas (independent variable) berpengaruh searah terhadap variabel tergantung (dependent variable) artinya jika kondisi tutupan karang batunya dalam keadaan baik
maka kelimpahan dan
keragaman ikan karang konsumsi juga tinggi. Hal ini terjadi pada stasiun Sulamadaha, dengan kondisi karang batu yang baik maka keanekaragaman dan kelimpahan produksi ikan karang cukup tinggi dibandingkan dengan ketiga stasiun yang kondisi terumbu karangnya dalam kategori rusak. Hasil regresi masing–masing spesies ikan konsumsi tidak semuanya menunjukkan adanya hubungan keeratan. Hanya ikan baronang dan ikan kakaktua saja yang menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tutupan karang hidup dengan kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang konsumsi. Tabel 31.Hasil Regresi Masing –Masing Ikan Karang Konsumsi Dengan Tutupan Karang Hidup Dimasing –Masing Stasiun Pengamatan Peubah tak bebas
Peubah Bebas
Intercep
Parameter
R-square
Baronang
Karang hidup
-330
12,0
84,7
Kerapu
karang hidup
-83
7,57
23,9
Ekor kuning
karang hidup
98,9
-1,06
19,6
Bijinangka
karang hidup
25,0
-0,171
6,3
Ikan merah
karang hidup
75,2
-0,22
0,6
Lencam
karang hidup
2,30
0,031
1,6
Ikan kuwe
karang hidup
11,23
-0,0088
5,2
Kakatua
karang hidup
-14,8
0,535
83,98
Demikian juga dengan tanda dari variabel bebas bahwa untuk ikan baronang dan ikan kakatua menunjukkan arah yang positif yang berarti bahwa variabel bebas yaitu karang hidup berpengaruh searah terhadap variabel tergantung (ikan karang)
Pendekatan Data Time series Pendugaan nilai manfaat langsung terumbu karang
didekati
dengan data time
series. Dari data statistik perikanan karang Pulau Ter nate selama kurun waktu 10 tahun terjadi fluktuasi yang signifikan. Banyak hal yang menjadi penyebabterjadinya fluktuasi ini diantara adalah perubahan status wilayah dari Kabupaten Maluku Utara menjadi Provinsi Maluku Utara sehingga dalam melakukan pencatatan data menjadi kurang terorganisir. Kemudian adanya dampak dari kerusuhan sosial mengakibatkan pada tahun 1999-2001 banyak nelayan yang meninggalkan (eksodus) Pulau Ternate. Produksi baru kembali mengalami kenaikan setelah tahun 2002 dengan tambaha n nelayan eksodus dari Pulau Halmahera dan sekitarnya. Pergantian tenaga kerja yang cukup tinggi dalam wilayah perikanan ini berimbas pada turun naiknya hasil produksi. Disamping jumlah nelayan yang berkurang, penyebab turunnya produksi juga dipengaruhi oleh makin memburuknya kualitas terumbu karang. Fungsi terumbu karang merupakan input bagi perikanan karang, jika terjadi gangguan pada aliran manfaat ekosistem ini, secara langsung akan berakibat pada penurunan output dari ekosistem ini. Produksi perikanan karang Pulau Ternate selama 10 tahun mengalami penurunan yang signifikan.
Gambar 10. Rekapitulasi Produksi Perikanan Karang Pulau Ternate tahun 1995-2004.
Produksi (TON)
Perikanan Karang PulauTernate
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
Tahun
2001
2002
2003
2004
Tabel 32. Perbandingan Produktivitas Terumbu Karang dengan Luasan Terumbu karang dari tahun 1995-2004 No
Uraian
1.
Produksi ikan karang (ton)
2
Luasan Terumbu Karang (hektar)
1995
2004
885.78
682.64
2,89
1,11
Sumber : Data sekunder diolah, 2005
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa produksi perikanan tahun 1995 sebanyak 885.78 ton, dengan luasan terumbu karang 2.89 Ha. Kemudian pada tahun 2004 produksi
perikanan mengalami penurunan menjadi 682.64 ton sedangkan kondisi luasan terumbu karang berkurang menjadi 1.12 Ha. Produksi ikan karang sebesar 203,14 ton .Selain dipengaruhi oleh luasan terumbu karang produksi juga dipengaruhi oleh effort (usaha) dari nelayan. Tingginya pergantian tenaga kerja dalam wilayah perikanan turut mempengaruhi penurunan produksi selain adanya masalah sosial dimasyarakat pada tahun 1999-2002 . Dengan menggunakan data luasan terumbu karang ,data produksi time series, data trip nelayan pancing selama 10 tahun maka produksi perikanan karang Pulau Ternate tahun 2005 dapat diestimasi berdasarkan model pendugaan hubungan antara jumlah produksi ikan karang (Ct) dengan jumlah upaya tangkap (effort) dan luasan terumbu karang (Lt) dengan model parametrik dibawah ini. C2005 = ß0 + ß1Ln (Li, t--1 )Et + ß2 Ln (Li, t —1 ) Et 2 ++ ß3 C i,t-1 Dari hasil regresi parametri diatas, maka diperoleh estimasi hasil tangkapan ikan karang Pulau Ternate tahun 2005 sebesar 544,592 Ton. Produksi
dugaan tahun 2005 ini
menurun jika dibandingkan dengan produksi tahun 2004 sebesar 682,64 Ton ( Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara, 2005). Nilai Kehilangan Manfaat Langs ung Terumbu Karang ( Benefit Lost ) Kawasan terumbu karang yang
berfungsi sebagai daerah pemijahan, daerah
pengasuhan dan daerah mencari makan bagi ikan karang dan biota laut lainnya yang berasosiasi dengannya, maka luasan terumbu karang menjadi input bagi produktivitas
hasil tangkapan ikan karang sehingga jika terjadi perubahan. kawasan terumbu karang akan mempengaruhi aliran nilai manfaat dari kawasan terumbu karang tersebut. Perubahan nilai ekosistem terumbu karang yang terkait dengan jumlah hasil tangkapan ikan karang dapat dikuantifikasi dengan uang. Dari Analisis citra satelit ETM LAPAN untuk tahun 1995 dan 2004 maka selama 10 tahun terjadi degradasi luasan terumbu karang di Pulau Ternate seluas 1,793 Ha, yang berarti juga kehilangan manfaat langsung dari kawasan terumbu karang . Tabel 33. Proporsi luasan terumbu karang tahun 1995 dan 2004. Tahun
Uraian
? Luas (1995-
1995 (Ha)
2004 (Ha)
2004)(Ha)
2,899
1,11
1,793
Luas tutupan terumbu karang
(%) 61,84
Luasan (Ha)
Gambar 11. Estimasi Degradasi Luasan Terumbu Karang Pulau Ternate Dari tahun 1995-2004 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Tahun
Ekosistem terumbu karang dalam konteksnya sebagai fungsi dari harga ikan karang dan perubahan luasan terumbu karang sehingga
dengan mengumpulkan data
harga (P), jumlah upaya tangkap (E) dan perubahan luasan terumbu karang (?L) ,dapat diduga nilai kehilangan manfaat langsung selama 10 tahun dari ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate.
Tabel 34. Kehilangan Nilai Manfaat Terumbu Karang Dari Tahun 1995-2004. No
Uraian (Ha dan Rp)
Tahun 1995
Tahun 2004
2,899
1,11
31.026.072.000,00
25. 928..931.600,00
1
Luasan terumbu karang
2
Nilai manfaat terumbu karang
3
Nilai manfaat Hilang
0
5.097.140.400,00
4
Nilai Manfaat Hilang per hektar
0
2.842.800.000,00
Ekonomi
NilaiManfaat
Gam 35000000000 30000000000 25000000000 20000000000 15000000000 10000000000 5000000000 0
bar 12. Perba 1995
Tahun
2004
nding an
nilai manfaat ekonomi antara tahun 1995 da n 2004
Kehilangan kawasan terumbu karang seluas 1,793 ha selama 10 tahun telah menyebabkan kehilangan aliran manfaat langsung ekosistem terumbu karang sebesar Rp 5.097.140.400,00 yang berarti juga kehilangan pendapatan (lost income) bagi nelayan pancing Pulau Ternate sebesar Rp 2.842.800.000,00 perhektar terumbu karang.. Cesar
(1996) memperkirakan bahwa Terumbu karang yang rusak akibat
penangkapan dengan racun dan bahan peledak atau kegiatan pengambilan destruktif sehingga kondisi rusak/hancur sebesar 50% hanya akan menghasilkan 6.000 US Dollar/km2 /tahun, sedangkan area terumbu karang dengan kondisi rusak sebesar
75%
rusak hanya menghasilkan sekitar 2.000 US Dollar /km2 /tahun. Jika dianalogkan dengan kondisi terumbu karang di Ternate maka kerusakan sebesar 33,7 % berdampak pada kerugian ekonomis yang setara dengan 2.000 US Dollar /km2 /tahun. Menilik kerugian ekonomi yang begitu besar akibat pemanfaatan yang tidak memperhatikan daya dukung dan kelestariannya maka upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang di Ternate khususnya dan di Indonesia pada saat ini adalah suatu hal yang sangat mendesak untuk dilaksanakan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Berdasarkan pemanfaatan ikan karang konsumsi dengan menggunakan data cross section maka nilai ekonomi aktual ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate adalah sebesar Rp 21.027.933.840,00 sedangkan nilai manfaat sekarang dari ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate sebesar Rp 384.542.778,79 dan nilai ekonomi sekarang ekosistem terumbu karang di Pulau Ternate adalah sebesar Rp 239.081.334,38. 2. Berdasarkan pemanfaatan ikan karang konsumsi dengan menggunakan data time series maka nilai manfaat yang hilang dari
ekosistem terumbu karang seluas
1.793 Ha selama 10 tahun di Pulau Ternate adalah sebesar Rp 5.097.140.400,00 . 3. Kondisi rata-rata tutupan karang batu hidup (Hard Coral )Pulau Ternate sebesar 37, 7% yang dikategorikan dalam kondisi rusak. 4. Terdapat korelasi antara kondisi tutupan karang hidup dengan keanekaragaman dan kelimpahan ikan karang konsumsi terutama pada ikan baronang dan ikan kakaktua. Saran Apresiasi yang rendah di masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang pentingnya
harus ditingkatkan
ekosistem
tersebut
dengan memberikan pemahaman akan
melalui
penyuluhan,
pelatihan
dan
usaha
pemberdayaan lembaga/komunitas lokal. Selain itu pemerintah dengan kebijakan yang telah diturunkan harus memberikan mempertahankan sistem alami
perhatian yang optimal
dan kualitas
dalam usaha
lingkungan kawasan pesisir khusus
ekosistem terumbu karang. Berkurangnya luasan terumbu karang sebesar
61,84 %
dalam 10 tahun
merupakan indikasi dilakukannya praktek - praktek yang destruktif sehingga perlu tindakan untuk memperbaiki kondisi terumbu karang di Pulau Ternate saat ini diantaranya dengan membuat zona dilarang memancing di area terumbu karang tertentu. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap zonasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep Dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir Dan Laut. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bakosurtanal. 2005. Inventarisasi Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Di Maluku Utara..Bogor. Bakosurtanal. Barton, D.N 1994. Economic Factor And Valuation Of Tropical Coastal Resources. SMR-Report 14/94. Norway.Center for Studies of Environmental and Resources .University of Bersen. Burke L, Selig E, Spalding M.
2002.
Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia
Tenggara. USA: Wold Resource Institute. Cesar, H. 2000. Collected Essay on the Economics of Coral Reefs. Cordio Departemen Biology and Environmental Science,Kalma r University. Sweden. COREMAP. 2001. Kebijakan Nasional Pengelolaan Terumbu Karang Di Indonesia (Buku II). Jakarta: Coral Reef Rehabilitation and Management Program Hopley.D and Suharsono.2000 eds., The Status of Coral Reefs in Eastern Indonesia Townsville, Australia: Global Coral Reef Monitoring Network. Dahuri.R, Rais.J, Ginting.S.P, Sitepu.M.J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. PT Pradnya Paramita.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. 2005. Informasi Data Statistik Bidang Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku Utara. Ternate. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi maluku Utara Edrus,I.N. 2004. A Study on Coral Reef and Coral Fish in Watubela Island,East Seram,Mollucas. Indonesian Fisheries Research Journal Vol.10 N0.1.2004 Faisal, S. 2001. Format- format Penelitian Sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta. PT Gramedia.
Garces,L.R. 1992. Coral reef Management in Thailand .Naga.The ICLARM QuartelyJuly.1992. Gomez,E.D and H.T.Yap. 1984. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef Management Handbook .R.A Kenshington and B.E.T Hudson (Eds).Unesco Publisher. Jakarta. Greene,W.H. 1990. Economic Analysis.New York. MacMillan Publishing Company. Hirto, S.A. 2005. Biodiversitas Karang Lunak (Soft Coral) Di Perairan Gamalama Kota Ternate Utara (Skripsi).Ternate.Universitas Khairun.Fakultas Perikanan Dan Kelautan Hutabarat,L.,Evans, S.M.1984. Pengantar Oceanografi.UI Press. Jakarta L. Pet-Soede, H. Cesar, dan J. Pet. 1996. “Blasting Away: The Economics of Blast Fishing on Indonesian Coral Reefs,” in H. Cesar, ed., Collected Essays on theEconomics of Coral Reefs, H. Cesar, “Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs,”Working Paper Series ‘Work in Progress Washington, DC: World Bank . McAllister, D.E. 1998. Environmental, Economic and Social Costs of Coral Reef Destructionin the Philippines. Galaxea Vol. 7, pp. 161-178. Nunes et al. Economic Valuation of Biodiversity : sense or non sense. Ecological Economics 39 : 203 – 222. Nybakken JW. 1986. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M, Koebiono, DG Bengen, Penterjemah. Jakarta : PT Gramedia. Terjemahan dari : Biology and Ecological Approach. McCook LJ. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs: scientific issue and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral reef (18): 357-367 PKSPL Universitas Khairun Ternate. 2001. Pengembangan kawasan Pesisir Kotamadya Ternate:Laporan Penelitian. Ternate. PKSPL Unkhair Ternate. Sorokin YI. 1993. Coral reef ecology. New York: Springer-Verlag.
Sumich JL. 1992. An introduction to the biology of marine life. Ed ke-5. Dubuque: WmC Brown.
Westmacott.S, Teleki.K, Wells.S , West.J. 2000. Pengelolaan Terumbu Karang Yang Telah Memutih Dan Rusak Kritis. IUCN Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Diterjemahkan oleh Jan Henning Steffen. Spurgeon,J.1992.The Economic Valuation of Coral Reefs.Marine Polution Bulletin vol 24 (11) 529-536. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta. Gramedia. White A.T and A. Cruz-Trinidad, 1988 The Values of Philippine Coastal Resources: Why Protection and Management Are Critical: Coastal Resource Management Project..Cebu City, Philippines. Veron JEN. 1995. Coral in space and time. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Veron JEN, Minchin PR. 1992. Correlation Between Sea Surface Temperature, Circulation Patterns And The Distribution Of Hermatypic Corals Of Japan. Continental Self Res. (12): 835-857. Wallace D. 1998. Coral reefs and their management. www.cep.unep.org. [13 Maret 2003].
1°0 0'00"U
P.H ALMAH E RA
PET A EKO SISTEM TER U MBU KARA NG
01 1 0
094 mT
127°30'00"T
03 33
127°1 0'00" T
1°00 '0 0"U
SK ALA 1 : 50.000 Lembar LPI 2516 - 02
TERN ATE
58'
EDISI I - 2 005
01 05
U 56'
PET UNJU K L ET AK PET A
D IAG RAM LO KASI
1 °0 0 ' U
3° 00 ' U
02
P . GU RA MA NG OF AM A KA
T g. F au du F a ud u
y
L AUT H AL MAHERA
2516
01 0 0 T am aj ik o
M ad o
y
54'
y
2° 00 ' U
03 P. HAL M AHER A 1° 00 ' U
Tg . Kau cina Tg . Ma do
01
P. H IRI Sida ng oli
y
T o go lob e D or ar iisa
0° 00 '
0° 0 0' 1 26 °0 0 ' T
y
L AUT MALU KU
04 1 2 7 °3 0 ' T
12 6 °0 0 ' T
12 7 °3 0 ' T
1 2 9 °0 0 ' T
1 30 ° 3 0' T
y
Tg. Tafr aka
P. H ALMAH E RA B
Su lam a da ha
00
y
95 KET ERAN GA N
D. T olire Ke c il
Ta ra u
T ako me Br.
y
.K
y
T ub o
Br
ug u
PULAU TER NATE
T og alo
a r ar
Ake hu da
#
y
00
Sa ng aji
ik u
y y
y
Ta na o le
as tela Br .K
B r. F
Kota b ar u y
Ng ad e
y
#
y
Ja mula
Ga mb e si
Sa sa
Ç
Ç
Te r us an , Salu r an a ir 00
Î
46'
y
85 BAT AS ADMINIST RASI
Ka yu me ra h
Kalu mata
B en d un ga n D er m a ga
Ba ta s Ne ga r a
Tg. Ka yumer ah
y
S um b e r a ir
#
qý
y
y
A ra h al ira n
D
La p an g an te r b an g
y
y
y
Por am ad ia he
#
Ja lan se ta p ak
Î
To b oko Klap ap en de k M an gg ad ua Bo st io n g
b Ub o ub o
Ka st ela
Ja lan la in
y
ar a
u
sa B r . Sa
r. S
P en g ga ra m a n
y
y
y
y
T abBan a
E m pa n g
Ja lan se da n g di ba ng u n
Ka mp u ng Sta dion Ga ma lam a M uha jir in
Ta n ah ting gi
itu
R aw a Ja lan lo ka l
y
[ %
D . L aguna y
A ir te rju n
Ja lan ko le kt or
Se ke p
TE R N ATE
y
Te r um b u
S un g ai m usi m an
PER HUBU NG AN
Mak as sar T im ur
y
Soa
y
y
S un g ai
48'
Soa sio
y
y
y
Ti tik Ting gi
B at u ka ra ng
J er a m
H awa ng ido
M ar iku ru bu
KO TA T ERN AT E SE L ATA N
Tg. Am o
D an a u
ð
Sal er o
y
Buk uko no ra
To ra no
Dor op ed o
Am o
Gu nu n g
K
Ja lan a rte r i
y
y
R ua
B et ing ka r a ng
$
K
M oy a
y
r ubu
Af e
y
De sa / Ka m pu n g La inn ya
y
Ka st ur ia n
B r . M ar
L ad um a y
z
K
To bo leu
G. GA M A LA M A
Tg. T ad uma
90
y
P. TERNATE
y
Ib uko ta Kec am a ta n
Dufa-d ufa
Pa ce i
$
y
T af ur e
y
y
Bu ku ba nd er a
.T
#
T ab a m
y
KO TA T E RN AT E U TA RA
gu aip e rl a tu
50'
Tg. Tah am
ba u la
L ot oB r . T o
y
Sa ng o
Br
Ban ed ing a
Ib uko ta Kab u pa te n
"
T an n ade ne
G a ris p an ta i
Y # y
y
D . Tolire Be s ar
y
y
Ç
Kula ba
Ib uko ta Pro p ins i Ç
T a kom e
[ %
Ç
Tg. Pa si rp utih y
y
PERAIRAN
y
Bula y
AK O L S U RT A N A
Ç
To bo lolo
T g. T akome
PUSA T SU RVEI SU M BER DAYA ALA M L AUT, BAKO SUR TANA L JL . R AYA JAKA RTA - B O GO R KM . 4 6 C IBIN O NG ,BO G OR 1 6 91 1 TELP. / FAX. : ( 0 21 ) 87 5 94 8 1
52'
Tg. S us ahu madah a
T g. E ba
F itu
Co bo M ad oe T o hu a Tl. Cobo
OTg . Ta nua
M
L AT g.T obalo
P en a ha n om b a k / g el om b an g
y
Ba ta s Pro p in si
y
y y
Co b oleg u
T ob alo
y
y
Sa ke ta Ke ci
M af utu tu y
Ma jui
y
Ba ta s Ka bu p at en / Ko ta
Ga ra m ela T o mo da u Ga ng ga u
Te m pa t b er la bu h
Q
M e n ar a su ar
y
Ba ta s Ke ca m at an
y
Cob o Ga bu ng
Î
y
T Ake ba i
yy
A
Bo eh
y
N g.
G. MA ITAR A $
Ng us u le ng e
Sa l
y
o
Ng
M ar ar um
P. MA ITAR A y
T ob ah ar um a ju
D ola
y
Go lili Kala ed i y
Ja ya
y
la N g. L o
Ng iha la ka
y
Bu ab ua
Jaya m aya u y
y
y
12 ' 03
14'
00
16' 03
05
18'
20'
03 10
22' 03
Bo bo
127°10'00"T
TERN ATE Le m ba r L PI 25 1 6 - 02
0 Pro y ek si
y
20
Î
Ind on es iana
Kota T ido re Kepu lau an
y
26' 03
25
T om b og a
y y
So a s io
28'
00 03
0°4 0'00"U 73712 mU
3 : Tr an sv er se M e rc a to r
6KM
a . Ke cam at an Te rn a te Ut ar a b . Ke cam at an Te rn a te Se lat an c . K ec am a ta n Pu lau Te r na te 2 . K ot a Ti do re Ke p ula u an
30
Pet a ini d isu su n da r i : Pet a da sa r sk al a 1: 5 0.0 0 0 Ter na t e Pet a da sa r sk al a 1 : 1 00 .0 0 0 Dir e kto r at To po g ra fi TN I - A D In te rp re ta si cit ra la n ds at 7 ETM + p at h1 1 0 ro w 05 9 2 7 M ei 20 0 2 Bat as a dm i nis tr as i d ar i BP S M a lu ku U ta ra ,b uk an s eb a ga i re fe re n si
PR OPI NSI M AL UK U U TARA 1 . K ot a Te r na te
3 b
c
a
a . Ke cam at an Tid or e b . Ke cam at an Tid or e U ta ra c . K ec am a ta n Tid or e Se lat an
1
KETER ANG AN RIW AYAT / SUMBER DAT A
SKALA 1 : 50. 0 00 3
Tu gu wa ji
P. TIDORE TIDORE SELATAN 24 '
03
15
a
y
03 33 080 mT
0°40'00 "U
7372 5 mU
PE MB AGI AN D A ER A H AD M IN IS TR A SI
#
Ka mp u ng bar u
G ur ab un ga y
y
y
y
127°30'00" T
Lo do a ke y
Afa 3 Af a 2
y
G amtufkan ge
Ka m pu ng ba ru
y
Loka si P ene lit ian
y
Ha teja ti Go bo do e
y y
Afa 1
75
Kar ang H idu p; sa nga t b aik Kar ang H idu p; b ai k Kar ang H idu p; se dan g Kar ang H idu p; b uru k Pas ir Hal us Pas ir Kasa r no data
Do wo ra Gu ap aji
Sir on go y
42'
Ake m am
J er e
y
Kus um a you
00
obi N g. L
u
y
M ar eku
y
Lo lo bi
y
y
y
P. Fil ong a
Ku su bir ah i
F o ba ha ru
y
0
N g . S ubod o
TIDOR E
To ga m
e N g . Om Su m k us
80
y y y
y
00
Te lag a Ma tu fka ng e
TI DOR E UTARA
Ga m sun g
Te ru mb u karan g
y
y
Te lag a M ar eku
N g Siko
Ake sa hu
y
N g. a d a ki e P y
M A L U K U
44'
.F
Na s i T ela ga Ru m N g.
BK. PAD AN G A
Ru m
#
Pas ima yau
L A U T
Sur um a lau y
ai
L
Mir a
u in
S E
y
Rum Tu a y
b
O LAM
L AT SE
b L AUT MAL U KU
a 2
3 . K ab up a te n Ha lm ah e ra Ba r at a . Ke cam at an Ja ilo lo
Lampiran 2.Analisis Manfaat-Biaya per Tahun responden nelayan Pancing di Pulau Ternate
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Nama Responden Abdullah Sulaiman Soleman S.Poen Abuhari Samsudin Hasan Aba Yasim Taher Dahlan Rahim Djalal Salasa Soroto Safrudin Usman samsuddin Ibrahim Arfan Adam Usman Husein Hamidi Haji Daud Kamis Soroto Muslim Usman Pulu Sulaiman Soroto Jalal Kene Harun Bakar Muksin Puasa Gafur Sadek Nurdin Jabid Habibi Ishak Samad Boko BaCo Aswad Sidiq Sopyan Akhmad H.Abu bakar Nasir Tu Basir Hasan Sahid Malin Mahfud
Jumlah Trip 200 150 120 220 150 260 150 220 220 220 100 220 150 110 260 220 150 240 130 150 150 210 200 240 200 150 240 220 150 220 150 100 260 150 150 260 150 100
Analisis Manfaat-Biaya per Tahun responden nelayan Pancing di Pulau Ternate Total Penerimaan Total Biaya Keuntungan R/C PV Benefit 67.600.000,00 43.650.000,00 44.520.000,00 59.180.000,00 67.350.000,00 60.840.000,00 48.600.000,00 61.820.000,00 63.580.000,00 64.020.000,00 36.100.000,00 58.960.000,00 52.500.000,00 44.110.000,00 59.540.000,00 57.420.000,00 48.000.000,00 62.640.000,00 42.120.000,00 42.150.000,00 41.850.000,00 56.490.000,00 68.200.000,00 56.160.000,00 58.800.000,00 36.600.000,00 50.160.000,00 51.480.000,00 39.600.000,00 53.680.000,00 39.600.000,00 30.400.000,00 65.260.000,00 35.550.000,00 33.300.000,00 48.620.000,00 31.050.000,00 22.700.000,00
20.389.000,00 18.465.000,00 14.145.000,00 21.167.111,00 10.426.111,00 18.264.285,00 12.485.000,00 26.013.000,00 26.931.714,00 33.443.714,00 11.375.000,00 23.440.333,00 30.109.285,00 21.998.285,00 24.041.000,00 21.312.333,00 10.875.000,00 36.558.238,00 8.213.333,00 12.420.000,00 25.602.500,00 31.640.000,00 42.206.666,00 25.511.000,00 26.345.714,00 11.510.000,00 24.960.047,00 19.481.809,00 7.755.000,00 21.450.666,00 8.618.333,00 12.770.000,00 42.207.142,00 15.628.333,00 15.795.000,00 20.723.000,00 8.225.000,00 10.830.714,00
47.211.000,00 25.185.000,00 30.375.000,00 38.012.889,00 56.923.889,00 42.575.715,00 36.115.000,00 35.807.000,00 36.648.286,00 30.576.286,00 24.725.000,00 35.519.667,00 22.390.715,00 22.111.715,00 35.499.000,00 36.107.667,00 37.125.000,00 26.081.762,00 33.906.667,00 29.730.000,00 16.247.500,00 24.850.000,00 25.993.334,00 30.649.000,00 32.454.286,00 25.090.000,00 25.199.953,00 31.998.191,00 31.845.000,00 32.229.334,00 30.981.667,00 17.630.000,00 23.052.858,00 19.921.667,00 17.505.000,00 27.897.000,00 22.825.000,00 11.869.286,00
3,32 2,36 3,15 2,80 6,46 3,33 3,89 2,38 2,36 1,91 3,17 2,52 1,74 2,01 2,48 2,69 4,41 1,71 5,13 3,39 1,63 1,79 1,62 2,20 2,23 3,18 2,01 2,64 5,11 2,50 4,59 2,38 1,55 2,27 2,11 2,35 3,78 2,10
563.749.340,59 362.452.295,35 369.437.831,69 491.044.322,84 558.807.846,32 504.796.621,85 403.286.476,11 513.162.089,72 527.713.611,90 531.318.465,63 299.571.858,33 489.232.312,35 435.809.771,46 366.200.784,05 494.028.466,21 476.361.843,62 398.279.976,88 519.878.683,60 349.524.981,61 349.752.465,95 347.427.492,86 468.654.179,06 565.944.138,95 466.007.761,15 488.072.332,84 303.736.786,50 416.353.518,23 427.334.878,44 328.592.927,17 445.409.929,37 328.666.273,88 252.322.318,94 541.673.955,62 295.165.796,81 276.266.702,45 403.360.678,80 288.731.134,03 188.560.677,28
NPV 471.956.666,67 245.893.000,00 251.885.503,47 395.494.227,16 471.223.624,61 352.473.476,88 291.925.431,19 352.193.000,00 359.710.857,15 302.863.000,00 204.133.424,18 294.247.590,14 182.947.413,99 178.362.020,29 293.204.338,49 297.751.612,20 311.508.219,13 211.824.810,09 280.004.569,18 244.982.269,58 133.731.127,90 208.461.183,54 220.545.189,02 252.614.360,70 273.857.170,98 207.069.465,24 207.694.561,68 270.348.659,02 263.150.026,89 266.143.295,06 255.210.310,67 144.674.281,38 185.519.606,29 159.986.658,95 146.443.372,69 231.286.356,89 195.677.519,30 93.234.787,75
BCR 210,57 119,1 392,08 328,4 412,19 369,7 41,89 155,34 109,61 110,65 338,97 569,05 63,02 61,42 411,65 211,57 414,14 66,58 372,36 282,54 34,35 55,01 46,47 381,44 97,23 313,74 71,5 81,8 346,34 320,88 364,55 161,75 59,38 52,54 1786,89 2514,98 180,19 31,04
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
150 100 240 120 100 150 100 150 200 100 150 200 100 100 210 260 150 120 220 220 260 150 100 150 260 150 220 150 150
Basir Alim Muhammad Umar Said Muhammad Taha Sarifudin Jufri Abdullah Jamil Ibrahim Adnan Daud Sulaiman Abdurahman Marsad Yono Muhammad Yusuf Hamzah Halid Ismail Amran Sakuta Baharuddin Ibnu Samad Awaluddin Amir Abdurrahim Salmin Muhammad Samsuddin Abdullah Mustafa Sidik Hamid Husein Amin
Jumlah
11670
Rata-rata/trip Rata-rata/Responden Luas Terumbu Karang
174,1791045 1,106
Present Value per Hektar 347.687.865,09 Present Value Residual Rent 216.167.571,77
38.100.000,00 26.400.000,00 56.160.000,00 28.920.000,00 29.800.000,00 56.400.000,00 27.200.000,00 40.850.000,00 49.800.000,00 26.100.000,00 40.800.000,00 52.200.000,00 28.900.000,00 26.700.000,00 50.610.000,00 64.220.000,00 41.250.000,00 39.000.000,00 51.480.000,00 45.540.000,00 53.040.000,00 35.550.000,00 27.900.000,00 43.500.000,00 66.090.000,00 36.150.000,00 53.320.000,00 42.150.000,00 33.600.000,00
11.325.714,00 8.495.000,00 19.435.357,00 8.725.000,00 5.730.000,00 20.096.666,00 11.515.000,00 25.360.000,00 24.903.809,00 9.420.001,00 12.828.333,00 12.828.333,00 11.636.785,00 8.526.904,00 22.644.000,00 13.169.666,00 18.765.833,00 6.475.166,00 18.966.000,00 24.650.857,00 13.167.285,00 11.986.666,00 5.521.666,00 9.415.000,00 24.951.500,00 7.271.666,00 26.847.166,00 9.420.001,00 7.895.000,00
26.774.286,00 17.905.000,00 36.724.643,00 20.195.000,00 24.070.000,00 36.303.334,00 15.685.000,00 15.490.000,00 24.896.191,00 16.679.999,00 27.971.667,00 39.371.667,00 17.263.215,00 18.173.096,00 27.966.000,00 51.050.334,00 22.484.167,00 32.524.834,00 32.514.000,00 20.889.143,00 39.872.715,00 23.563.334,00 22.378.334,00 34.085.000,00 43.125.000,00 28.878.334,00 26.472.834,00 32.729.999,00 25.705.000,00
3,36 3,11 2,89 3,31 5,20 2,81 2,36 1,61 2,00 2,77 3,18 4,07 2,48 3,13 2,24 4,88 2,20 6,02 2,71 1,85 4,03 2,97 5,05 4,62 2,65 4,97 1,99 4,47 4,26
316.288.981,20 219.308.355,53 466.158.396,37 240.071.805,85 247.275.291,45 467.897.035,97 225.868.738,65 332.270.730,14 413.381.417,93 216.614.925,11 338.663.158,88 433.152.850,43 239.826.315,85 221.760.238,10 420.141.478,67 532.826.076,33 342.499.709,83 323.606.851,94 427.163.575,80 378.110.480,64 292.920.740,37 295.312.761,52 231.526.781,38 360.933.090,42 548.122.746,81 299.966.186,20 467.458.464,45 349.727.006,56 278.820.457,82
217.459.109,49 144.224.675,55 298.889.171,17 163.139.579,34 198.191.569,86 299.619.922,71 125.190.895,39 119.336.005,81 200.417.400,94 105.212.293,36 228.107.766,94 252.691.537,44 141.630.570,66 145.280.420,07 227.615.419,91 422.049.609,93 180.977.186,26 268.370.851,68 268.265.637,13 167.805.197,36 182.007.176,30 191.252.901,38 184.195.717,18 281.465.800,78 335.603.244,04 238.117.672,49 239.058.299,23 270.019.681,04 212.021.101,67
81,42 35,87 87,89 91,43 323,79 2881,96 48,89 64,14 66,41 122,77 102,56 492,62 156,81 46,20 124,30 519,49 70,37 332,73 437,91 56,09 200,13 84,15 227,28 395,21 116,17 293,53 83,18 440,77 413,49
3.115.930.000,00
1.185.308.040,00
1.932.608.460,00
204,44
25.764.366.178,64
16.018.449.403,46
20338,47
267.003,43
101.568,81
165.604,84
0,0175
2.207.743,46
1.372.617,77
1,7427995
46.506.417,91
17.691.164,78
28.844.902,39
3,0513
384.542.778,79
239.081.334,38
303,55925