DATA DASAR (BASELINE) SOSIAL-EKONOMI TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI LOKASI COREMAP-CTI KABUPATEN NIAS UTARA
Oleh: Ali Yansyah Abdurrahim Triyono
Coral Reef Rehabilitation and Management Program COREMAP-CTI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat(COREMAP PenelitianCTI Oseanografi – LIPI) Lembaga IlmuJakarta, Pengetahuan Indonesia 2015
ii
DATA DASAR (BASELINE) SOSIAL-EKONOMI TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI LOKASI COREMAP-CTI KABUPATEN NIAS UTARA
Oleh: Ali Yansyah Abdurrahim Triyono
Coral Reef Rehabilitation and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (COREMAP CTI – LIPI) Jakarta, 2015
ii
iiii
KATA PENGANTAR Dalam upaya pengelolaan sumberdaya laut, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan suatu program yang dikenal dengan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). COREMAP adalah program nasional untuk upaya rehabilitasi, konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Program COREMAP tersebut dirancang dalam 3 (tiga) fase: Fase I mulai tahun 1998-2004 merupakan fase Inisiasi; Fase II adalah faseAkselerisasi yang programnya dimulai pada tahun 2005 sampai dengan 2011; dan Fase ke III adalah fase Penguatan Kelembagaan yang pelaksanaaannya dirancang mulai tahun 2014 sampai dengan tahun 2019. COREMAP fase III disejalankan dengan program nasional dan regional tentang pengelolaan terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan Coral Triangle Initiative (CTI), sehingga COREMAP Fase III selanjutnya disebut dengan COREMAP-CTI. Tujuan COREMAP-CTI adalah melakukan pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan ekosistem terkait secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Lokasi program COREMAP- CTI di 7 kabupaten wilayah Indonesia bagian timur dan 7 kabupaten/kota di wilayah Indonesia bagian barat. Pemahaman aspek sosial ekonomi masyarakat sangat diperlukan untuk merancang,melaksanakan, memantau dan mengevaluasi suatu program pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Oleh karena itu, sebelum COREMAP- CTI dilaksanakan, dilakukan riset sosial ekonomi untuk mengumpulkan data dasar (baseline data) di lokasi program dan kontrol. Data dasar sosial ekonomi ini diperlukan sebagai dasar dan masukan-masukan dalam merancang program dan merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum adanya intervensi dari program yang akan dilakukan.
iii iii
Buku laporan ini berisi data dasar dan kajian tentang kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang dan ekosistem terkait Di Kabupaten Nias Utara. Data dasar tentang aspek sosialekonomi penduduk ini merupakan bahan yang dapat dipakai oleh para perencana, pengelola dan pelaksana dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP - CTI. Di samping itu, data dasar ini juga dapat digunakan oleh stakeholders (users)sebagai bahan pembelajaran dalam pemanfaatan terumbu karang dan ekosistem terkait. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Kepada para informan: masyarakat nelayan, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat dan kelompok perempuan Desa Seriwau, Desa Teluk Bengkuang, Desa Balefadorotuho dan Kelurahan Pasar Lahewa Kabupaten Nias Utara kami ucapkan terimakasih atas segala bantuannya. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur dari Pemerintah Daerah Kabupaten Nias Utara,Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nias Utara serta narasumber dari unsur pemerintah Kecamatan Sawo dan Kecamatan Lahewa di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi.
Jakarta, Desember 2015
Drs Susetiono, MSc Ketua NPIU COREMAP- CTI LIPI
iv iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………….............iii DAFTAR ISI………………………………………………………................v DAFTAR TABEL…………………………………………………................ix DAFTAR GRAFIK/DIAGRAM…………………………………...............xv GAMBAR FOTO………………………………………………….............xvii
BAB I.
PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Latar Belakang…………………………………………….... 1 Tujuan Penelitian…………………………………….............4 Metodologi…………………………………………...............5 Pembabakan Penulisan……………………………….....9
BAB II. PROFIL LOKASI PENELITIAN 2.1. Keadaan Geografis………………………………….............11 2.1.1. Gambaran secara umum kondisi geografis Kabupaten Nias Utara……………………………...................................12 2.1.2. Gambaran kondisi geografis kawasan……………………………………………..............14 2.1.3. Gambaran kondisi geografis per desa………..............17 2.2. Keadaan Sumber Daya Alam…………………….................19 2.2.1.Sumber Daya Laut (SDL)…………………….............20 2.2.2. Sumber Daya Darat………………………...............26 2.3. Sarana dan Prasarana Sosial-Ekonomi……………...............36 2.4. Kelembagaan Sosial-Ekonomi……………………...............45 2.5. Program Pemberdayaan Masyarakat………………..............46
vv
2.6. PengelolaanSumberDayaLaut……………………...46
BAB III. POTRET PENDUDUK 3.1. Jumlah dan Komposisi……………………………...............51 3.1.1. Gambaran umum jumlah dan karakteristik penduduk serta pertumbuhannya di tingkat Kabupaten Nias Utara….. ………………...........................................51 3.1.2. Gambaran umum jumlah dan komposisi penduduk di tingkatdesa …………………...................................53 3.1.3. Jumlah dan komposisi penduduk ………….............55 3.2. Kualitas Sumber Daya Manusia…………………….............58 3.2.1. Pendidikan dan Keterampilan……………...............58 3.2.2. Pekerjaan (Utama dan Tambahan)………................61 3.3. Kesejahteraan ………………………………………...............73 3.3.1. Pemilikan dan penguasaan Aset Produksi dan Non Produksi………………………………………......................73 BAB IV. PENGETAHUAN DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT TERHADAP UPAYA PERLINDUNGAN DAN PENYELAMATAN MANGROVE, PADANG LAMUN DAN TERUMBU KARANG 4.1. Pengetahuan masyarakat tentang keberadaan dan kegunaan Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang……………………………………………................80 4.2.
Persepsi Masyarakat Tentang Kondisi dan Faktor Yang Menyebabkan Kerusakan Mangrove, PadangLamun dan Terumbu Karang……………………………………................93
4.3.
Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat dalam Upaya Perlindungan dan Penyelamatan Mangrove, Padang Lamun dan
vi vi
Terumbu Karang……………………………………………................106 BAB V. PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PENDUDUK 5.1. Pendapatan di Tingkat Kabupaten………………….............113 5.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)………………………………...............113 5.1.2. Pendapatan Sektor Pertanian/ Perikanan ……………………………...............114 5.2. Pendapatan di Lokasi Survei………………………...............115 5.2.1. Pendapatan Per Tahun/Bulan Menurut Lapangan Pekerjaan ……………….................................115 5.2.2. Pendapatan Nelayan………………….............123 5.3. Pengeluaran………………………………………….............127 BAB VI. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT 6.1 Faktor Internal ………………………………...............133 6.1.1.Sumber pendapatan…………………….................134 6.1.2. Teknologi Alat Tangkap/Produksi dan Wilayah Tangkap …………………..............................................134 6.1.3. Biaya Produksi…………………………..............136 6.1.4. Kualitas SDM…………………………................136 6.2. Faktor Eksternal……………………………................137 6.2.1. Pemasaran: harga dan pemasaran Permintaan terhadap hasil tangkap/produksi……………………..................137 6.2.2. Musim/iklim……………………………..............139 6.2.3. Degradasi Sumber Daya Pesisir dan Laut……………………………………................140 6.3. Faktor Struktural Program Wilayah Pesisir dan Laut ................141
vii vii
BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan………………………………………................143 7.2. Rekomendasi………………………………………...............146
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………................148 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………...................149 LAMPIRAN………………………………………………………..............150 INDEKS/ARTI……………………………………………………..............151
viii viii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1.1. Banyaknya Pulau-pulau Kecil menurut Kecamatan di Kabupaten Nias, 2013…………………………………….............15 Tabel 2.1.2. Jumlah Desa dan Nama Desa Menurut Kecamatan di Kabupaten Nias Utara, 2013……………………………...............16 Tabel 2.2.1. Jumlah Produksi Perikanan Laut Menurut Komoditi Tahun 2012-2013……………………………………….................22 Tabel 2.2.2. Perkembangan Jumlah Produksi Ikan Tahun 2010 - 2013 ………………………………………..............22 Tabel 2.2.3.Jumlah Produksi Ikan Menurut Kecamatan Tahun 2013..............23 Tabel 2.2.4. Perkembangan Jumlah Nelayan Menurut Kecamatan Tahun 2010 – 2013………………………………………..............24 Tabel 2.2.5. Luas Panen, Produksi dan Rata-Rata Produksi Padi Sawah Menurut Kecamatan Tahun 2013……….…………..........................27 Tabel 2.2.6. Produksi Padi dan Palawija di Kabupaten Nias Utara 2010-2013…………………………………………………................29 Tabel 2.2.7. Perkembangan Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Tahun 2009 – 2013……………………………………………….................30 Tabel 2.2.8. Perkembangan Produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten Nias Utara Tahun 2009 – 2013…………………...............................31 Tabel 2.2.9. Banyaknya Rumah Tangga yang Mengusahakan Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan Tahun 2013………………………………………………………….............32 Tabel 2.2.10. Luas Hutan di Kabupaten Nias Utara Menurut Jenis dan Kecamatan Tahun 2013……………………………………...............33 Tabel 2.2.11. Populasi Ternak Besar dan Kecil Menurut Kecamatan Tahun 2013…………………………………………………..............34 Tabel 2.2.12. Jumlah Produksi Perikanan Darat Menurut Cara Budidaya Tahun 2012-2013………………………………................................38 Tabel 2.3.1. Jumlah Perahu/Kapal Menurut Kecamatan dan Jenis Kapal di Kabupaten Nias Utara Tahun 2012………………………………………………………….............38
ix ix
Tabel 2.3.2.
Sarana Pendidikan Di Kabupaten Nias Utara tahun ajaran 2013/2014……………………………...................................40 Tabel 2.3.3. Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kabupaten Nias Utara…..............41 Tabel 2.3.4 Perkembangan Banyaknya Pelanggan, Produksi dan Nilai Produksi Air Minum pada PDAM Tirta Umbu Lahewa………......42 Tabel 3.1.1. Jumlah, Jenis Kelamin, dan Distribusi Penduduk Per di Kabupaten Nias Utara Kecamatan 2015………………………………………………………….............52 Tabel 3.1.2. Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Nias Utara 2013……………………...53 Tabel 3.1.3. Jumlah Penduduk Per Desa di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara 2013………………………………………………...54 Tabel 3.1.4. Jumlah Penduduk Per Desa di Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara 2013………………………………................55 Tabel 3.1.5. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias UtaraTahun 2015……………….......…57 Tabel 3.2.1. Statistik Pendidikan Kecamatan Sawo Tahun Ajaran 2012-2013…………………………………………………................58 Tabel 3.2.2. Statistik Pendidikan Kecamatan Lahewa Tahun Ajaran 2012- 2013………………………………………………................59 Tabel 3.2.3. Distribusi Penduduk Berumur 7 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………................62 Tabel 3.2.4. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 ……………………………………………….................64 Tabel 3.2.5. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015……………………...65 Tabel 3.2.6. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015……………................................67
xx
Tabel 3.2.7. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas yang bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian,Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015……..,............70 Tabel 3.2.8. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015……………..71 Tabel 3.3.1. Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Kepemilikan Alat/Sarana Produksi di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015…………………………………………...............76 Tabel 3.3.2.Statistik Kepemilikan Barang-Barang Berharga Rumah Tangga Terpilih di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015…………………………………………………..............77 Tabel 4.1.1. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Fungsi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, 2015……………………………………..……........................84 Tabel 4.1.2. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Fungsi Padang Lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, 2015…………………………………………………..............85 Tabel 4.1.3.Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Mangrove, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………………………………………….............87 Tabel 4.1.4. Persentase Responden Menurut Pengetahuan manfaat Tentang Terumbu Karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015…………………………………….......................89 Tabel
Tabel
4.1.5. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Manfaat Padang Lamun, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015…………………………………………...............90 4.1.6. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Manfaat mangrove , di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015…………………………………………...............92
xi xi
Tabel
4.2.1. Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisiterumbu karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015……………….………………………..............94 Tabel 4.2.2. Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisi Padang Lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………………………….....................................96 Tabel 4.2.3. Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisi Tahun Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara., 2015………………………………………….....................................97 Tabel.4.2.4. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Tentang Penyebab Kerusakan Terumbu Karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………….................99 Tabel 4.2.5. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Tentang Penyebab Kerusakan padang lamun, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015…………..................................101 Tabel 4.2.6. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Tentang Penyebab Kerusakan mangrove, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………..............102 Tabel 4.2.7. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Terhadap Pelaku Perusakan Terumbu Karang Di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………...…………................104 Tabel 4.2.8. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Terhadap Pelaku Perusakan padang lamun Di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015……………………............................105 Tabel 4.2.9. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Terhadap Pelaku Perusakan mangrove Di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara., Tahun 2015…………………………………........................106 Tabel 4.3.1. Distribusi Responden menurut Keterlibatan dalam upaya perlindungan/pelestarian Terumbu Karang, Padang Lamun, Mangrove dan Wilayah Pesisir di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………...............................104
xii xii
Tabel
4.3.2. Distribusi Responden menurut Jenis Kegiatan perlindungan/pelestarian Terumbu Karang di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara , Tahun 2015………….................................105 Tabel 4.3.3. Distribusi Responden menurut Jenis Kegiatan perlindungan/pelestarian Padang lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………..............107 Tabel 4.3.4. Distribusi Responden menurut Jenis Kegiatan perlindungan/pelestarian Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………..............108 Tabel 4.3.5. Distribusi Responden Menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/Pelestarian Wilayah Pantai (Pesisir) Di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015…………...............111 Tabel 5.1.1. PDRB Kabupaten Nias Utara Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha 2010-2015……………….……..............113 Tabel 5.1.2. PDRB Kabupaten Nias Utara Atas Dasar Harga Berlaku Sektor Pertanian 2010-2015………………………………..............114 Tabel 5.2.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………….…………….............117 Tabel 5.2.2 Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan di Lokasi Penelitan, Kabupaten Nias Utara,Tahun 2015…………………………...………......................119 Tabel 5.2.3 Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sumber Pendapatan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………………………………………...............122 Tabel 5.2.4 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Nelayan dari Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 ………………………………………......................................123 Tabel 5.2.5 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………………………………………...............124 Tabel 5.2.6 Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Besar Pendapatan Per Musim Dari Perikanan Tangkap, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, 2015…………………................................126
xiii xiii
Tabel 5.3.1. Statistik Pengeluaran Rumah Tangga di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015…………..................................127 Tabel 5.3.2 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Menurut Penggunaan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………………………………...........................129 Tabel 5.3.3. Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pengeluaran Rumah Tangga Per Bulan di Lokasi Penelitan, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………………….........................130
xiv xiv
DAFTAR GRAFIK Gambar 2.1.3. Grafik Produksi Padi Sawah Di Kabupaten Nias Utara 2013………………………………………………………….............26 Gambar 2.3.1. Grafik Luas Permukaan Jalan Kabupaten di Nias Utara Tahun 2013………………………………………………….............36 Gambar 3.1.1. Grafik Distribusi Penduduk di Lokasi Penelitian Menurut Kelompok Umur (Persentase)…………............................56 Gambar 3.2.1. Grafik Distribusi Penduduk Berumur 7 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015……………..............59 Gambar 3.2.2. GrafikDistribusi Penduduk Berumur 7 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Per Desa di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015..................60 Gambar 3.2.3. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015…………………………………….................................61 Gambar 3.2.4. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015……………................................64 Gambar 3.2.5. Grafik Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas yang bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………………………………………….............69 Gambar 4.1.1. Distribusi Responden menurut Pengetahuan Tentang Pengertian Terumbu Karang, Padang Lamun dan Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara Tahun 2015……..............80 Gambar 4.1.2 Grafik Persentase Responden Menurut Pengetahuan Terumbu Karang, padang lamun dan Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, 2015…………………….............82 Gambar 5.2.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015................116
xv xv
Gambar 5.2.2. Grafik Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan di Lokasi Penelitan, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 ……………………......................................................118 Gambar 5.2.3. Grafik Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sumber Pendapatan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015………………………………………….............120 Gambar 5.3.1. Grafik Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Menurut Penggunaan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015……………………………………….......................................128
xvi xvi
DAFTAR GAMBAR FOTO Gambar
1.1.1. Peta lokasi-lokasi COREMAP-CTI di Seluruh Indonesia……………………………………………………...............3
Gambar 1.3.1 Foto Pelatihan Pedoman Pengisian Kuesioner Kepada Enumerator/Pewawancara Di Desa Seriwau Dan Teluk Bengkuang………………………………………………….................7 Gambar 2.1.1. Peta Administrasi Kabupaten Nias Utara………………………………………………………................13 Gambar 2.1.2. Foto Potensi Perkebunan Kelapa Di Desa Seriwau…..............17 Gambar 2.3.2. Foto Pertanian Palawija Tanaman Cabai Di Desa Teluk Bengkuang…………………………………………………...............45 Gambar 2.6.1. Peta Wilayah tangkap nelayan Teluk Bengkuang dan Seriwau hasil FGD…………………..……………………................48 Gambar 2.6.2. Peta wilayah tangkap nelayan Lahewa dari hasil FGD………………………………………………………….............49 Gambar 4.1.3. Foto Kondisi Pesisir Di Desa Seriwau Yang Sebagian Masih Ditumbuhi Mangrove…………………………………...........88 Gambar 4.1.4. Foto FGD Dengan Nelayan Di Kecamatan Lahewa……………………………………………………................93 Gambar 4.2.1. Foto Pantai Turuleto di Balefadorotuho……………...............97 Gambar 6.1.1. Foto: Nelayan Tradisional di Seriwau……………................135 Gambar 6.2.1 Foto: Kondisi Perairan Laut di Seriwau dan Teluk Bengkuang……………………...…………………………..............140
xvii xvii
xviii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang The Coral Reef Rehabilitian and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI) yang dilaksanakan dan didanai oleh Asian Development Bank (ADB) untuk Kawasan Indonesia Barat dan World Bank (WB) untuk Kawasan Indonesia Timur, merupakan program lanjutan dari program COREMAP-II. COREMAP-CTI secara umum bertujan untuk memperkuan kapasitas lembaga dalam konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait (padang lamun dan mangrove) serta sumber dayanya. Program ini juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat pesisir untuk mengelola terumbu karang dan ekosistem terkait secara berkelanjutan, dan melalui upaya-upaya tersebut, juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Pendekatan COREMAP-CTI dilakukan melaui sistem dukungan dari lembaga pemerintah ke desa-desa pesisir untuk mempromosikan manajemen dan kontrol atas sumber daya pesisir secara desentralisasi (KKP, 2013). Untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan, program COREMAP-CTI dirancang untuk memiliki empat komponen utama yang lengkap dengan sub-komponennya, yaitu: 1. Penguatan kelembagaan untuk pengelolaan terumbu karang. a. Penguatan dan ekspansi pendekatan COREMAP. b. Pemantauan ekologi dan sosial-ekonomi melalui CRITIC. c. Penguatan pengawasan ekosistem pesisir. d. Pengembangan SDM. 2. Pengembangan pengelolaan sumber daya berbasis ekosistem. a. Dukungan untuk pengaturan tata ruang kelautan. b. Penerapan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu. c. Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut dan Spesies Terancam. 11
d. Perintisan komunitas berdasarkan pendekatan yang tepat. e. Pengelolaan perikanan berkelanjutan. 3. Penguatan ekonomi berkelanjutan berbasis kelautan. a. Pembangunan infrastruktur dasar untuk ekoinvestasi. b. Pembangunan model usaha berbasis kelautan Kelompok Produksi Berkelanjutan (KPB). 4. Pengelolaan proyek, koordinasi, dan pembelajaran. Keluaran dari COREMAP-CTI antara lain: 1. Pengelolan yang efektif dari 10 Kawasan Konservasi Laut Nasional dan 13 Kawasan Konservasi Laut Kabupaten dan pengelolaan perikanan berkelanjutan pada terumbu karang dan ekosistem terkait. 2. Penguatan kelembagaan di 8 provinsi, 14 kabupaten/kota, 6 Unit Pelaksana Lokal KKP, serta Pusat Pelatihan dan Informasi Terumbu Karang Lokal dan Nasional (CRITIC). 3. Dihasilkannya 100 unit kegiatan ekonomi berbasis konservasi. 4. Status pengamanan untuk enam spesies punah dan terancam punah. Hasil yang diharapkan dari COREMAP-CTI adalah pengelolaan berkelanjutan sumber daya terumbu karang dan keanekaragaman hayati untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir di lokasi proyek, termasuk: 1. Bertahannya dan/atau peningkatan tutupan karang pada tingkat optimal di lokasi proyek (dibandingkan dengan survei proyek awal dasar di lokasi proyek). 2. Peningkatan pendapatan rumah tangga penerima manfaat inti proyek 10-15 persen pada akhir proyek (dibandingkan dengan baseline awal tahun 2014). 3. Efektivitas DPL meningkat setidaknya satu tingkat dalam status mereka berdasarkan efektivitas DPL dan sistem Pemerintah 2
2
Indonesia (misalnya, dari kuning ke hijau, berdasarkan survei awal proyek tahun 2014). 4. Peningkatan pendapatan penerima di lokasi proyek (dibandingkan dengan survei baseline awal proyek). 5. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan terumbu karang menjadi rata-rata 85 persen di lokasi proyek. Kabupaten Nias Utara merupakan lokasi COREMAP-CTI yang sebelumnya pernah mendapatkan manfaat dari COREMAP-II. Nias Utara dan lokasi-lokasi COREMAP-CTI dapat dilihat pada Gambar 1.1.1. Gambar 1.1.1. Peta lokasi-lokasi COREMAP-CTI di Seluruh Indonesia
Kabupaten Nias Utara termasuk salah satu di Kawasan barat Indonesia. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan serta mengoptimalkan hasil dari COREMAP-CTI, LIPI melakukan kegiatan penelitian aspek sosial33
ekonomi terumbu karang dan ekosistem terkait (padang lamun dan mangrove). Penelitian dilakukan sedikitnya empat kali selama periode COREMAP-CTI, yaitu: Riset data dasar/baseline (T0) Monitoring dan evaluasi 1 (T1) Monitoring dan evaluasi 2 (T2) Monitorung dan evaluasi ... (T..) Evaluasi akhir (Tn) Kabupaten Nias Utara yang semula masih bergabung dalam Kabupaten Nias merupakan salah satu wilayah program COREMAP (Widayatun, dkk, 2007). Program COREMAP merupakan program untuk tercapainya pelestarian terumbu karang dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Kemudian pada tahun 2015 sampai 2019 kabupaten Nias Utara mendapatkan program COREMAP III atau COREMAP-CTI (Coral Triangle Initiative).Tujuan pengembangan Program COREMAP-CTI untuk pengelolaan sumber daya terumbu karang, ekosistem terkait dan biodiversitas secara berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.Dalam kaitannya dengan program tersebut pada tahun 2015 maka di Kabupaten Nias Utara telah diadakan penelitian untuk mengumpulkan data dasar (TO) tentang sosial ekonomi masyarakatnya. 1.2. Tujuan Tujuan umum dari penelitian aspek sosial-ekonomi ini adalah 1. Memahami kondisi sosial-ekonomi masyarakat, permasalahan dan kebutuhan masyarakat, serta potensi dan alternatif solusi terkait dengan pengelolaan terumbu karang dan ekosistem terkait. 2. Memantau pelaksanaan dan dampak program penyelamatan terumbu karang terhadap kesejahteraan masyarakat.
4
4
Sementara itu, tujuan khusus dari penelitian data dasar (baseline) T0 ini adalah 1. Memberikan gambaran umum tentang lokasi penelitian yang meliputi kondisi geografis, sarana dan prasarana, potensi dan pemanfaatan terumbu karang dan ekosistem terkait. 2. Menggambarkan kondisi sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraannya. 3. Mendeskripsikan tingkat pendapatan dan pengeluaran masyarakat serta faktor-faktor yang berpengaruh. 4. Mendeskripsikan pengetahuan, persepsi dan kepedulian masyarakat terhadap terumbu karang dan ekosistem terkait.
1.3. Metodologi Pendekatan kuantitatif Penelitian ini menggunakan survei terhadap 200 rumah tangga dan 200 orang individu, yaitu 100 rumah tangga dan 100 individu. Khusus di Desa Seriwau dan Teluk Bengkuang diadakan sensus karena jumlah penduduk di kedua desa tersebut cukup kecil. Di Desa Seriwau jumlah rumah tangga yaitu 43, dan untuk survei individu juga berjumlah 43 responden. Di Desa Teluk Bengkuang jumlah 29 rumah tangga, dan jumlah survei individu juga 29 responden. Kemudian untuk kedua lokasi di Kecamatan Pasar Lahewa diadakan sampel terhadap rumah tangga. Hal ini karena jumlah rumah tangga di Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Balefadorotuho cukup besar. Masing-masing lokasi di Kecamatan Lahewa dipilih yaitu 64 rumah tangga dan 64 individu. Pemilihan rumah tangga sampel dipilih secara systematic random sampling.Responden adalah kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga berumur 15 tahun ke atas yang mengetahui kondisi rumah tangga mereka. Pemilihan responden individu dilakukan secara random terhadap kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga berusia 15 tahun ke atas di rumah tangga sampel.
55
Pendekatan kualitatif Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan FGD (Focus Group Discussion) dan wawancara terbuka.FGD dilakukan terhadap tokohtokoh masyarakat, kelompok nelayan dan kelompok perempuan.Wawancara terbuka dilakukan terhadap para tokoh masyarakat, nelayan, pengumpul ikan, pedagang dan lain-lain yang terkait. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif tersebutdigunakan untuk mengumpulkan data primer. Di samping itu, juga dikumpulkan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari Kantor BPS, Dinas Perikanan Kota, Kantor Camat dan Kantor Kelurahan.
1.3.1 Pemilihan Lokasi Lokasi yang diteliti pada kesempatan ini merupakan wilayah COREMAP, yaitu Kabupaten Nias Utara. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Seriwau dan Teluk Bengkuang Kecamatan Sawo serta Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Balefadorotuho Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara. Dipilihnya Desa Seriwaudan Teluk Bengkuang karena kedua desa yang terletak di Kecamatan Sawo tersebut merupakan daerah baru COREMAP. Selain itu pertimbangan kedua desa tersebut merupakan desa pesisir. Kemudian di Kecamatan Pasar Lahewa dipilih Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Balefadorotuho karena daerah tersebut merupakan daerah COREMAP pada fase sebelumnya. Adanya dua kawasan penelitian yang berbeda dari sisi intervensi COREMAP maka diharapkan dapat diketahui perbedaan daerah baru dan lama COREMAP baik dari sisi kualitas sumber daya manusia, kesadaran penduduk terhadap ekosistem serta pemahaman penduduk akan keberadaan ekosistem.
6
6
1.3.2. Pengumpulan data Instrumen Untuk pengumpulan data kuantitatif ada dua macam instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu daftar pertanyaan (kuesioner) rumah tangga dan daftar pertanyaan (kuesioner) individu. Masingmasing kuesioner tersebut dilengkapi dengan pedoman cara pengisiannya. Kuesioner Rumah Tangga terdiri dari 7 bagian, yaitu : Pengenalan tempat; Keterangan rumah tangga; Keterangan pencacahan; Keterangan anggota rumah tangga; Pendapatan rumah tangga; Pengeluaran rumah tangga dan Pemilikan aset rumah tangga. Sedangkan Kuesioner Individu terdiri dari 4 bagian, yaitu : Keterangan responden; Kondisi, fungsi dan pemanfaatan terumbu karang, padang lamun dan mangrove; Keterlibatan dalam upaya perlindungan/ pelestarian terumbu karang, padang lamun, mangrove dan wilayah pesisir.Instrumen untuk pengumpulan data kualitatif menggunakan bahan pedoman untuk FGD dan pedoman untuk wawancara terbuka.
Gambar 1.3.1 Foto Pelatihan Pedoman Pengisian Kuesioner Kepada Enumerator/Pewawancara di Desa Seriwau dan Teluk Bengkuang Sumber : dokumentasi pribadi, 2005
77
Untuk pengumpulan data kuantitatif (survei) dibantu oleh para tenaga setempat, dan sebagian kecil dibantu oleh honorer Dinas Kelautan dan Perikanan Nias Utara sebagai pewawancara. Sebelum mereka melakukan wawancara ke rumah tangga sampel, mereka diberikan pelatihan cara wawancara dan cara pengisian daftar pertanyaan. Waktu wawancara dilakukan selama kurang lebih satu minggu (3 – 11 Juni 2015). Pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif melalui survei ini bertujuan untuk:
Mendapat informasi yang bersifat kuantitatif terhadap isu spesifik terkait pengelolaan terumbu karang dan ekosistem terkait.
Mendapat data yang secara statistik dapat mewakili kelompok masyarakat.
Mengetahui distribusi data tertentu, misal pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, pengetahuan, persepsi, dan lain-lain, dalam dan antar kelompok masyarakat.
Dapat membandingkan data antar kelompok (misalnya pendapatan rumah tangga yang dapat dan tidak dapat dana program) dan antar waktu (sebelum program dimulai, pertengahan, dan setelag program berakhir).
Sementara itu, untuk pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan tiga cara, yaitu wawancara terbuka dan mendalam, diskusi kelompok terfokus (FGD), serta observasi langsung dan partisipatif. Wawancara dilakukan terhadap narasumber kunci secara purposive dan snowballing. Meskipun telah dibekali panduan, dalam pelaksanaanya, wawancara dilakukan dengan beberapa pengembangan. FGD dilakukan di setiap desa terhadap kelompok nelayan, pengurus LPSTK, dan pemerintahan desa (laki-laki) dan kelompok perempuan/wanita, baik istri nelayan, guru, dan pemilik usaha rumah tangga. Observasi dilakukan langsung sendirian oleh peneliti maupun melibatkan partisipasi masyarakat desa. Observasi dilakukan di antaranya dengan: 8 8
Mengamati lingkungan/ekosistem di lokasi penelitian
Mengamati aktivitas masyarakat di lokasi penelitian.
Melengkapi (check recheck) informasi hasil wawancara, FGD, atau pewawancara data kuantitatif (kuesioner).
Pengumpulan data dengan pendekatan kualitiatif ini bertujuan untuk:
Mendapat informasi yang lebih mendalam/rinci tentang isu yang spesifik.
Menjelaskan latar belakang, proses, dan hubungan sebab akibat.
Memberikan kesempatan pertukaran pewawancara dengan narasumber/informan.
Mengetahui bahasa istilah lokal yang berkaitan dengan potensi dan permasalahan lokal.
informasi
antara
1.3.3. Analisis Data Analisis data primer yang bersumber dari survei didasarkan hasil pengolahan data yang umumnya mendasarkan pada distribusi frekuensi dan tabulasi silang. Sesuai dengan tujuan penelitian dalam menganalisis cukup melakukan deskripsi. Bahkan dalam melihat hubungan data tabulasi silang pun tidak diadakan uji statistik. Dari tabel yang dimuat hanya dilihat pola hubungan dua variabel. Adapun dari data kualitatif dan observasi dapat dianalisis tentang dinamika kehidupan sesuai dengan isu yang diteliti. Dengan demikian data kuantitatif di balik data survei dapat dijelaskan melalui analisis data dan informasi kualitatif.
99
1.4.4. Pembabakan Penulisan Tulisan ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, metodologi penelitian yang digunakan dan pembabakan penulisan. Bab kedua memberikan gambaran profil lokasi penelitian. Profil ini meliputi kondisi geografis, kondisi sumber daya alam, sarana dan prasarana sosial ekonomi, kelembagaan sosial ekonomi, program pemberdayaan masyarakat, dan pengelolaan sumber daya laut. Bab ketiga mendeskripsikan potret penduduk yang terdiri dari jumlah dan komposisi penduduk, kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan penduduk. Bab keempat mengemukakan tentang pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap upaya perlindungan dan penyelamatan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Bab kelima menyajikan tentang pendapatan dan pengeluaran rumah tangga penduduk. Bab keenam membahas tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan dan pengelolaan sumber daya laut, meliputi faktor internal, eksternal dan struktural. Kemudian yang terakhir akan ditutup dengan kesimpulan dari seluruh tulisan dari buku ini dan dari kesimpulan-kesimpulan tersebut dapat diangkat beberapa rekomendasi.
10
10
BAB II.
PROFIL LOKASI PENELITIAN
Wilayah Indonesia yang begitu luas bagai untaian di zamrud khalulistiwa. Ribuan pulau bagai permadani yang menghiasi nusantara mulai dari ujung Sumatera hingga Papua. Salah satu pulau yang menghiasi nusantara tersebut adalah Pulau Nias. Pulau Nias terletak di pantai barat Sumatera dan langsung berbatasan dengan Samudera Indonesia. Berbicara Pulau Nias kenangan kita akan dibawa kepada mata uang seribu rupiah, dimana dalam mata uang tersebut menggambarkan lompat batu Pulau Nias. Kemudian bagaimana dilihat dari sisi historis? Pulau Nias merupakan salah satu wilayah kekuasaan Belanda. Setelah kemerdekaan masuk wilayah Propinsi Sumatera Utara hingga saat ini. Sejarah selanjutnya di warnai riak-riak politik kecil menghiasi perjalanan pulau ini, salah satunya adalah adanya pemekaran daerah sebagai salah satu dampak otonomi daerah, pasca orde baru yang menjamur di berbagai daerah. Sebelum orde baru Pulau Nias hanya terdiri dari 1 kabupaten yaitu Kabupaten Nias. Orde reformasi membuat wilayah ini memasuki era baru, pemekaran merupakan salah satu jawaban dari aspirasi masyarakat. Saat ini Pulau Nias telah mekar menjadi beberapa kabupaten seperti Kabupaten Nias Selatan, Nias Barat, Kota Gunung Sitoli dan Nias Utara. Kabupaten Nias Utara yang lebih disingkat (KANIRA) mekar dari NiasInduk berdasarkanUndang-Undang Nomor 45 Tahun 2008. Mekarnya Nias Utaramenjadi peluang pemerintah daerah setempat beserta masyarakat untuk mengelola sendiri ekonomi maupun administrasi demi kemakmuran. Kemudian berdasarkan UndangUndang No. 45 Tahun 2008 tersebut wilayah Kabupaten Nias Utara terdiri dari 11 kecamatan. Adapun kecamatan tersebut adalah Lotu, Alasa, Sawo, Tuhemberua, Namohalu Esiwa, Alasa Talu Muzoi, Tugala Oyo, Afulu, Lahewadan Lahewa Timur (BPS Nias, 2014). 11 11
Kemudian luas wilayah dan administrasi Kabupaten Nias Utara berdasarkan data BPS adalah sebagai berikut : o o o o o o o o o o o
Kecamatan Lotu dengan luas wilayah 110,11 Km2 Kecamatan Sawo dengan luas wilayah 90,49 Km2 Kecamatan Tuhemberua dengan luas wilayah 55,96 Km2 Kecamatan Sitolu Ori dengan luas wilayah 78,81 Km2 Kecamatan Namohalu Esiwa dengan luas wilayah 150,78 Km2 Kecamatan Alasa Talu Muzoi dengan luas wilayah 94,04 Km2 Kecamatan Alasa dengan luas wilayah 204,41 Km2 Kecamatan Tugala Oyo dengan luas wilayah 134,43 Km2 Kecamatan Afulu dengan luas wilayah 149,78 Km2 Kecamatan Lahewa dengan luas wilayah 228,70 Km2 Kecamatan Lahewa Timur dengan luas wilayah 204,12 Km2
2.1. Keadaan Geografis 2.1.1.Gambaran Umum Kabupaten Nias Utara Kabupaten Nias Utara beribukota di Lotu. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Nias Utara adalah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Samudera Indonesia, Sebelah selatan berbatasan dengan dengan Kecamatan Hiliduho dan Kecamatan Botomuzoidi Kabupaten Nias serta Kecamatan Mandrehe Utara, Kecamatan Mandrehe, dan Kecamatan Moro’odi Kabupaten Nias Barat Sebelah Timur dengan Samudera Indonesia serta Kecamatan Gunung Sitoli Utara dan Kecamatan Gunung Sitoli Alo’oa di Kota Gunung Sitoli Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia
Kemudian jika dilihat dari luas wilayah, Kabupaten Nias Utara merupakan salah satu kabupaten terluas di Propinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah mencapai 1.501,53 Km2. Kemudian secara 12 12
administrasi Kabupaten Nias Utara ini yang terdiri atas 11 kecamatan dan 113Desa/Kelurahan (112 desa dan 1kelurahan) (BPS Kanbupaten Nias, 2014). Secara geografis Kabupaten Nias Utara memanjang di Pulau Nias dari timur hingga barat di bagian utara Pulau Nias. Selain itu juga terdiri dari pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil itu terletak di Kecamatan Lahewa dan Sawo. Adanya pulau-pulau kecil ini sangat berguna untuk nelayan. Kegunaan tersebut adalah sebagai pulau singgah bagi nelayan. Dengan demikian meskipun musim badai nelayan juga tetap melaut, jika terjadi badai pulau tersebut sebagai tempat berlindung.
Gambar 2.1.1. Peta Administrasi Kabupaten Nias Utara Sumber : DKP Kabupaten Nias Utara (2014)
Kondisi topografi sebagian besar merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian bervariasi. Kemudian ketinggian perbukitan bervariasi antara 0-478 meter diatas permukaan laut (BPS Kabupaten Nias, 2014 :3). Adanya variasi ketinggian tersebut maka bentuk daratan Kabupaten Nias Utara bergelombang dan terdapat beberapa lembah yang dilalui sungai kecil yang mengalir ke Samudera Indonesia.
13 13
Kemudian bagaimana kondisi pulau-pulau kecil yang terdapat di utara daratan Kabupaten Nias Utara? Kondisi geografis di pulau-pulau yang berada di perairan utara daratan Nias Utara sebagian besar merupakan dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 5 meter diatas permukaan laut. Dari hasil pengamatan dari daratan Lahewa terlihat beberapa pulau-pulau kecil. Kemudian bentuk topografi daratan pulau-pulau pada umumnya hanyalah sebuah bukit dan tekstur pulau berupa pasir atau yang terkenal dengan Pulau Gosong (DKP Nias Utara, 2014 :16).Topografi perairan Nias Utara agak landai, sekitar 25-50 meter dari pantai tetapi langsung Kabupaten Nias Utara merupakan salah satu untaian di Pulau Nias. Di kabupaten Nias ini memiliki terdiri dari dua wilayah yaitu daratan Nias dan pulau-pulau. Pulau-pulau tersebut terdapat di utara pulau dan barat Pulau Nias. Dilihat dari untaian kepulauan Indonesia Kabupaten Nias Utara termasuk kawasan terluar dari kepulauan Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya penjagaan lintas batas. Kekuatan armada laut yang ada di pulau tersebut belum seutuhnya mampu menjaga keamanan laut seperti illegal fishing. 2.1.2. Gambaran Kawasan Kemudian kondisi ekonomi dan transportasi terpusat di kawasan Lahewa. Kawasan Lahewa sebagai merupakan kawasan yang ramai, kawasan ini terletak di teluk dan disini terdapat kapal-kapal yang mampu menjangkau daerah luar kawasan Nias Utara. Kemudian secara administrasi Lotu sebagai ibukota kabupaten yang terletak di tengah-tengah wilayah Kabupaten Nias Utara. Berdasarkan kondisi geografis, Nias Utara terdiri dari kawasan pantai, kawasan pegunungan, dan dataran rendah. Dilihat dari aktivitas kawasan pantai merupakan kawasan yang paling hidup ekonomi. Lotu sebagai kota kabupaten Nias Utara pun kalah dibandingkan dengan Lahewa. Lotu sebagai ibukota kabupaten masih berbenah sebagai kawasan kota kabupaten. Kemudian adanya perbedaan kawasan tersebut tentunya berdampak terhadap kawasan pertanian, perkebunan. 14
14
Tabel 2.1.1. Banyaknya Pulau-pulau Kecil menurut Kecamatan di Kabupaten Nias, 2013 No
Kecamatan
Banyaknya Pulau
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tugala Oyo Alasa Alasa Talumuzoi Namohalu Esiwa Sitolu Ori Tuhemberua Sawo Lotu Lahewa Timur
0 0 0 0 0 0 1 0 4
10 11
Afulu Lahewa
1 9
Nama Pulau
P. Sarang Baung P. Sanau P. Alifa P. Kao P. Ene P. Wunga P. Lafau P. Makora P. Taliwa’a P. Gito P. Uma P. Mao P. Lahewa P. Baohi P. Mose
Status Huni Dihuni Dihuni Dihuni Dihuni Dihuni Dihuni
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Kawasan persebaran pulau berada di utara daratan Kabupaten Nias Utara. Lahewa merupakan kecamatan yang memiliki pulau terbanyak dengan 9 pulau. Hal inilah menjadikan keuntungan tersendiri bagi nelayan setempat. Dapat dikatakan adanya pulau-pulau tersebut sebagai benteng alam dari adanya badai laut. Selanjutnya ditinjau secara administrasi Kabupaten Nias Utara persebaran wilayah desa terdiri dari 113 desa yang tersebar di 11 kecamatan. Kecamatan Lahewa adalah kecamatan yang memiliki jumlah desa terbanyak dengan jumlah 21 desa. Di Kecamatan Lahewa ini secara administrasi bukan hanya desa, ada juga yang telah 15 15
berstatus kelurahan seperti Kelurahan Pasar Lahewa. Kelurahan ini merupakan pusat ekonomi di Lahewa bahkan di Kabupaten Nias Utara. Hal ini didukung dengan adanya pelabuhan kecil yang ada di Teluk Lahewa. Di Lahewa ini juga sebagai pangkalan angkatan laut. Tabel 2.1.2. Jumlah Desa dan Nama Desa Menurut Kecamatan di Kabupaten Nias Utara, 2013 Kecamatan Tugala Oyo Alasa
Alasa Talumuzoi Namohalu Esiwa Sitolu Ori Tuhemberua
Jumlah Desa 8 14
6 11 6 8
Sawo
10
Lotu
13
Lahewa timur
7
Afulu
9
Lahewa
21
Nama Desa Botonaai, Fabaliwa Oyo, Gunung Tua, Harefa, Humene Sihene Asi, Ononazara, Siwawo,Teolo. Anaoma, Banua Sibohou I, Banua Sibohou II,Bitaya, Dahana Alasa, Dahana Tugala Oyo,Fulolo, Hiligawoni, Hilisebua Siwalubanua,Lahembowo, Loloanaa, Ombolata, Ononamolo, Alasa, Ononamolo Tumula. Banua Sibohou III, Harefanaese, Hilimbowo, Kare, Hilinaa, Laehuwa, Mazingo. Banua Sibohou, Berua, Dahana Hiligodu,Esiwa, Hilibanua, Lasara, Namohalu, Orahili,Sisarahili, Sisobahili, Tuhenakhe I. Botombawo, Fulolo Saloo, Hilimbosi, Hilisaloo,Tetehosi Maziaya, Umbu Balodano. Alooa, Banua Gea, Botolakha, Fino, Laaya,Ladara, Silima Banua, Siofa Banua. Hiliduruwa, Lasara sawo, Ombolata Sawo,Onozitoli Sawo, Sanawuyu, Sawo, Seriwau,Sifahandro, Sisarahili Teluksiabang, TelukBengkuang. Hilidundra, Lawira Satua, Fadoro Fulolo, LawiraI, Hiligodu, Lombuzaua, Maziaya, Baho,Lolofaoso, Lawira II, Dahadano, Lolomboli,Hiligeo Afia. Laowowaga, Lukhulase, Meafu, Muzoi, Tefao,Tetehosi Sorowi, Tugala Lauru. Afulu, Faekhunaa, Harewakhe, Lauru Fadoro,Lauru I Afulu, Lauru Lahewa, Ombolata Afulu,Sifaoroasi, Sisobahili. Afia, Balefadoro Tuho, Fadoro Hilimbawa, Fadoro Hilimbowo, Fadoro Sitolu Hili,Hiligawolo, Hiligoduhoya, Hilihati, Hilinaa,Hilizukhu, Holi, Iraono Lase, Lasara, Marafala,Moawo, Ombolata, Onozalukhu, PasarLahewa, Sifaoroasi, Siheneasi, Sitolubanua.
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
16
16
Kondisi geografi desa Kabupaten Nias Utaratersebar di hamparan Pulau Utara Nias. Daerah pegunungan menghiasi daerah tengah Kabupaten Nias Utara. Kemudian daerah pertanian menghiasi kawasan utara yang lebih dekat dengan kawasan pantai seperti di Kecamatan Sawo ditemukan kawasan pertanian khususnya di Desa Sifahandro. Kemudian kawasan pantai lebih didominasi dengan jenis mata pencaharian campuran yaitu nelayan dan perkebunan khususnya perkebunan kelapa.
Gambar 2.1.2. Foto Potensi Perkebunan Kelapa Di Desa Seriwau Sumber : Dokumentasi Pibadi, 2015
2.1.3. Gambaran Desa Lokasi Penelitian Dalam penelitian COREMAP tahun 2015 di Kabupaten Nias Utaradiambil 2 kecamatan sebagai sampel penelitian yaitu Kecamatan Sawo dan Lahewa. Kecamatan Sawo terdiri dari 10 desa, dengan luas wilayah mencapai 90,49km² (BPS Kabupaten Nias, 2014).Kemudian dari kesepuluh desa di Kecamatan Sawo tersebut diambil 2 desa yaitu Desa Seriwau dan Teluk Bengkuang. Dipilihnya dua desa ini karena mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Di samping itu lokasi kedua tersebut langsung berhadapan dengan laut. Secara geografis jarak Kecamatan Sawo dengan ibukota kabupaten di Lotuberjarak 22 km. lokasi penelitan di Desa Seriwau dan Teluk 17 17
Bengkuang merupakan desa pesisir. Ketika memasuki kedua tersebut disambut dengan hamparan perkebunan kelapa. Perkebunan kelapa ini juga menjadi sumber pendapatan masyarakat desa di samping sektor kelautan. Kemudian luas wilayah Desa Teluk Bengkuang adalah 1,85km² atau 2,04 persen dari luas total Kecamatan Sawo. Kemudian luas Desa Seriwau adalah 4,15km² atau 4,9 persen dari total luas wilayah Kecamatan Sawo 90,49 km². Kemudian jarak Desa Teluk Bengkuang dari kota kecamatan adalah 3,5 km, untuk jarak Desa Seriwau ke kecamatan adalah 3,0 km (BPS Kabupaten Nias, 2014). Kemudian lokasi penelitian di Kecamatan Lahewa merupakan kecamatan paling maju di Kabupaten Nias Utara. Kecamatan ini dapat ditempuh dari Kota Lotu ibukota kabupaten kurang lebih 40 menit perjalanan kendaraan dan kurang lebih 1,5 lebih jam dari Kota Gunung Sitoli. Kecamatan Lahewa mempunyai desa sebanyak 20 desa dan 1 kelurahan. Luas wilayah Kecamatan Lahewa adalah 228,70 km² dan berjarak 22 km dari Kabupaten Nias Utara ke Kecamatan Lahewa (BPS:2014:1). Di Kecamatan Lahewa, penelitian COREMAP 2015 ini mengambil di dua lokasi yaitu Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Balefadorotuho. Kelurahan Pasar Lahewa terletak di merupakan salah satu kantong nelayan di Nias Utara. Lokasi lain yaitu Desa Balefadorotuho juga merupakan desa pesisir, dan beberapa diantaranya memiliki nafkah ganda yaitu nelayan dan perkebunan. 2.1.4. Kondisi Iklim Kabupaten Nias Utara terletak di utara garis khalutistiwa. Letak ini berakibat kepada curah hujan yang tinggi. Berdasarkan data BPS, tahun 2013 jumlah curah hujan mencapai 2951,3mm setahun atau rata-rata 246 mm per bulan banyaknya hari hujan mencapai 262 hari setahun. Kondisi curah hujan yang tinggi akan memberikan dampak secara geologi. Lebih lanjut curah hujan yang tinggi akan 18
18
mempengaruhi struktur tanah. Bahkan struktur tanah yang tidak kuat akan mengakibatkan adanya bencana longsor ataupun patahan. Adanya patahan ini juga berakibat kepada adanya pergerakan tanah. Di samping itu letak Kabupaten Nias Utara yang berada di lengkung patahan berakibat terjadinya gempa bumi. Disisi lain curah hujan yang tinggi diakibatkan oleh letak Kabupaten Nias Utara yang dikelilingi oleh Samudera Indonesia. 2.2. Keadaann SumberDaya Alam Hamparan kondisi geografis yang berbukit bukit dan dataran rendah dimanfaatkan oleh penduduk untuk melakukan aktivitas perekonomian. Aktivitas perekonomian tersebut berupa cocok tanam baik di pertanian maupun di perkebunan. Perkebunan karet merupakan perkebunan terbesar di Kabupaten Nias Utara. Bisa dikatakan bahwa karet merupakan urat nadi perekonomian masyarakat Nias Utara. Ketika harga karet jatuh maka akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Saat penelitian ini dilakukan pada bulan Juni, kondisi harga karet di Nias Utara jatuh menyentuh harga Rp.10.000/kg. Hal ini mengakibatkan kondisi perekonomian turun. Disisi lain dari hasil diskusi dengan informan, adanya kondisi karet yang jatuh ini sebagian kecil telah mendorong migrasi penduduk keluar daerah. Tujuan utama migrasi penduduk Nias Utara adalah wilayah Riau dan Sumatera Utara. Adanya wilayah tujuan migrasi tersebut juga berkaitan dengan jaringan penduduk Nias Utara yang sudah dahulu bemigrasi ke Riau. Di Riau mereka bekerja juga tidak jauh dari sektor perkebunan. Selain sumber daya darat berupa perkebunan maupun pertanian, serta kehutanan. Kabupaten Nias Utara juga dikaruniai potensi perikanan laut. Sumber daya laut ini merupakan mata pencaharian utama penduduk di kawasan pesisir. Sumber daya laut, selain berpotensi menghasilkan produk perikanan seperti ikan, cumi, juga berpotensi sebagai tempat wisata. Ada beberapa tempat di Kabupaten Nias Utara yang memiliki potensi 19 19
dikembangkan sebagai arena wisata seperti pantai merah, pantai pasir berbisik dan pantai di Teluk Bengkuang. Adapun keadaan sumber daya alam Kabupaten Nias Utara dari sisi kelautan, dan daratan akan diuraikan dalam tulisan di bawah ini 2.2.1. Sumber Daya Laut Kondisi ekosistem laut, akan mempengaruhi keberadaan habitat ikan, cumi maupun habitat laut yang lain. Ekosistem laut diantaranya meliputi terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Keberadaan ketiga ekosistem tersebut jika dalam kondisi baik akan sangat bermanfaat dan berkontribusi dari sisi ekonomis. Kemudian bagaimana kondisi ekosistem di terumbu karang, padang lamun dan mangrove di Nias Utara? Kondisi terumbu karang dipengaruhi juga oleh kondisi aktivitas tektonik. Adanya gempa bumi tahun 2004 merubah kondisi terumbu karang. Kemudian hasil pencadangan KKPD Tahun 2007 atau sekitar 3 tahun setelah gempa dan tsunami, terjadi perubahan habitat laut dangkal diikuti dengan suksesi ekosistem sehingga terbentuk polah habitat baru dengan dinamika populasinya. Habitat terumbu karang dan padang lamun berada dalam perairan yang lebih dangkal dan beradaptasi untuk pulih kembali (DKP Nias Utara, 2014:32). Untuk melihat kembali bagaimana perkembangan kondisi terumbu karang maka diadakan pemetaan pada tahun 2014. Hasil pemetaan Tahun 2014, sebaran habitat terumbu karang terkosentrasi di sepanjang pesisir Lahewa dan pulau-pulau kecil dan sedikit terdapat di pesisir Sawonamun dengan kondisi yang kurang baik (DKP Nias Utara, 2014:33). Hal ini menjadi warning bagi semua stakesholder untuk melakukan langkah-langkah pelestarian terumbu karang. Kemudian untuk ekosistem padang lamun dan mangrove tersebar dan lebih terkosenterasi di pesisir Sawo terutama Teluk Bengkuang serta pesisir Lahewa dan Lahewa Timur, sedangkan kedua habitat tersebut tidak ditemukan di pulau-pulau kecil (DKP Nias Utara, 2014:33). 20
20
Kabupaten Nias Utara merupakan daerah kepulauan dengan 15 pulau di utara perairan Kabupaten Nias Utara. Adanya sebaran pulau-pulau tersebut mengindikasikan bahwa sektor perikanan merupakan salah satu sektor penting di Kabupaten Nias Utara. Namun demikian luas perairan di Kabupaten Nias Utara belum mampu seutuhnya dimanfaatkan oleh nelayan setempat. Hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan di Nias Utara merupakan nelayan tradisional (BPS Kabupaten Nias, 2014:186). Nelayan tradisional yang bekerja bersifat harian. Di samping itu sebagian kecil nelayan merupakan nelayan modern dengan lama tangkapan bersifat mingguan dengan wilayah penangkapan yang luas mencapai pulau-pulau di Aceh dan Sibolga bahkan hingga sampai ke ke perbatasan India. Namun demikian nelayan yang mampu mencapai perairan yang jauh masih sedikit dibandingkan dengan nelayan harian. Laut yang demikian luas menyimpan sumber daya laut yang kaya. Di perairan Nias Utarajenis ikan yang ditemukan antara lain ikan Kakap Putih, Gurapu, Tuna, Lobster, Udang danberbagai jenis ikan lainnya yangmemenuhi kriteria ekspor. Namun sayang potensi perikanan tersebut belum mampu dimaksimalkan. Data BPS mencatat selama tahun 2013 produksi ikanterbanyak adalah berasal dari perairanlaut sebesar 11.037 ton sedangkan perairan darat 129.42 ton (BPS Kabupaten Nias, 2014:186). Kemudian jenis–jenis lain dan jumlah produksi serta harga jual disajikan dalam Tabel 2.2.1.
21 21
Tabel 2.2.1. Jumlah Produksi Perikanan Laut Menurut Komoditi Tahun 2012-2013 Uraian Komoditi
Manyung Cendro Ikan Sebelah Ekor Kuning/Pisang-Pisang Lolosi Biru Selar Kuwe Laying Sunglir Tetengkek
Produksi (ton)
2012 Harga Jual Nelayan (Rp/ton)
169,7 112,1 86,2 127,4 48,6 143,8 239,9 115,5 127,2 51,6
2013 Produksi Harga Jual (ton) Nelayan (Rp/ton)
3.733.847 2.017.116 1.551.874 2.547.680 1.068.505 2.588.911 3.598.332 2.079.025 2.288.795 774.527
174,00 105,60 60,50 122,10 30,50 117,80 443,80 118,10 120,10 53,40
3.479.151 1.899.943 1.089.472 3.053.540 702.512 2.590.799 11.981.871 2.362.000 2.402.568 854.010
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Berbagai jenis ikan produksi Kabupaten Nias Utara menjadi peluang untuk menjadi komoditas ekspor. Jenis ikan tuna, bawal merah, manyung, tongkol merupakan komoditas ekspor. Berbagai jenis ikan tersebut memiliki jenis alat tangkap tersendiri, selain itu jarak tangkapan juga berbeda-beda. Kemudian perkembangan hasil tangkapan ikan di Kabupaten Nias Utara dalam kurun waktu 20102013 mengalami perkembangan yang cukup tinggi, dengan persentase lebih dari 80 persen dari 5.686 ton menjadi 11.497,20 ton. Tabel 2.2.2. Perkembangan Jumlah Produksi Ikan Tahun 2010 - 2013 (Ton) Tahun
Produksi (Ton) Ikan Laut
Jumlah
2010
5.686
5.776
2011 2012 2013
8.960 10.452 11.497,20
9.089 10.580 11.622
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
22
22
Meningkatnya produksi perikanan laut seyogyanya diikuti dengan perluasan pangsa pasar. Adanya perluasan pangsa pasar maka diharapkan harga ikan tidak jatuh saat musim ikan tiba. Di samping adanya perluasan pangsa pasar maka diharapkan akan mampu menyerap hasil perikanan Nias Utara. Produksi ikan yang melimpah memberikan berkah bagai nelayan. Kemudian jika dilihat persebaran produksi ikan di Kabupaten Nias Utara terpusat di Kecamatan Lahewa. Kecamatan Lahewa merupakan penyumbang produksi terbesar dengan jumlah produksi pada tahun 2013 mencapai 2.529 ton. Tabel 2.2.3. Jumlah Produksi Ikan Menurut Kecamatan Tahun 2013(Ton) Kecamatan Ikan Laut
Produksi (Ton) Jumlah
Tugala Oyo
102
102
Alasa
128
150
Alasa Talumuzoi
0
0
Namohalu Esiwa
0
30
Sitolu Ori
230
230
Tuhemberua
2.414
2.416
Sawo
2.069
2.113
Lotu
1.265
1.272
Lahewa Timur
1.150
1.150
Afulu
1.610
1.611
Lahewa
2.529
2.552
Jumlah
11.037
11.166
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Lahewa sebagai pusat perikanan di Nias Utara didukung oleh bentang alam berupa adanya teluk yang cocok untuk sandaran kapal. Di samping itu fasilitas pelabuhan di Lahewa merupakan terbesar di Nias Utara. Adanya fasilitas tersebut maka menunjang nelayan di Lahewa untuk meningkatkan produksi ikan. Di samping itu keuntungan adanya sebaran pulau yang mencapai 15 buah di sekitar perairan Lahewa juga mempengaruhi keberadaan nelayan di Lahewa. Nelayan 23 23
tidak begitu terpengaruh dengan adanya gelombang besar. Karena adanya pulau-pulau kecil diperairan Lahewa sebagai benteng alam bagi nelayan setempat. Jumlah produksi ikan di Lahewa juga didukung dengan adanya pasar Lahewa yang begitu ramai. Oleh karena itu produksi ikan Lahewa langsung dapat diserap oleh konsumen. Disisi lain perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Nias Utara bersifat fluktuatif. Fluktuatifnya jumlah nelayan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, selain juga dipengaruhi oleh program pemerintah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa meningkatnya jumlah nelayan tidak seutuhnya menunjukkan kemampuan nelayan dalam berproduksi. Tabel 2.2.4. Perkembangan Jumlah Nelayan Menurut Kecamatan Tahun 2010 – 2013 Kecamatan 2010 Tugala Oyo Alasa Alasa Talumuzoi Namohalu Esiwa Sitolu Ori Tuhemberua Sawo Lotu Lahewa Timur Afulu Lahewa Jumlah
0 0 0 0 0 672 477 52 82 113 277 1.673
Tahun 2011 2012 0 0 0 0 0 454 363 145 109 199 545 1.815
0 0 0 0 0 840 561 61 96 133 326 2.017
2013 28 30 0 0 35 524 510 143 178 593 235 2.276
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Data BPS menunjukkan perkembangan jumlah nelayan di Kabupaten Nias Utara mengalami perkembangan meskipun hanya sedikit. Tahun 2010 jumlah nelayan adalah 1.673 orang dan Tahun 2013 berjumlah 2.276 orang. Tahun 2013 jumlah produksi perikanan berpusat di Lahewa, namun untuk jumlah nelayan Kecamatan Afulu merupakan 24
24
kecamatan yang memiliki jumlah nelayan terbanyak dengan jumlah nelayan 593 orang. Kemudian ada 2 kecamatan yang sama sekali tidak ada penduduk yang bekerja sebagai nelayan yaitu di Kecamatan Alasa Talumuzoi dan Namohalu Esiwa. Tidak adanya nelayan di kedua kecamatan dipengaruhi oleh kondisi geografis di kedua wilayah yang tidak memiliki perairan laut.
Jika melihat data dalam tabel 2.2.4, perkembangan persebaran jumlah nelayan cukup fluktuatif. Meskipun ada secara umum mengalami sedikit kenaikan. Keadaan ini diduga karena berkaitan dengan program pemerintah. Ketika program pemerintah tertuju kepada nelayan maka, sebagian penduduk akan beralih profesi menjadi nelayan agar mendapatkan program tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jika di beberapa tempat seorang nelayan memiliki nafkah ganda berupa nelayan dan pekebun. Hal ini ditemukan di lokasi penelitian yaitu di Desa Balefadorotuho dan Teluk Bengkuang. Desa Teluk Bengkuang dan Seriwau di Kecamatan Sawo merupakan salah satu desa yang memiliki potensi sumber daya laut yang cukup besar. Namun demikian potensi perikanan laut seperti cumi, ikan tuna, teripang belum mampu dimaksimalkan produksinya. Selain memiliki potensi laut, di lokasi penelitian juga memiliki potensi wisata yang dapat di kembangkan. Di Kecamatan Lahewa ada beberapa pantai yang menjadi lokasi wisata yaitu Pantai Turegaloko dan Pantai Tureloto berada di Desa Balefadoro Tuho. Pantai Tureloto memiliki batu karang yang bentuknya seperti otak (BPS Kabupaten Nias, 2014). Di lokasi penelitian lainnya potensi ikan cukup besar. Di Kecamatan Lahewa merupakan pusat perikanan laut di Nias Utara. Di bagian tulisan lain telah dijelaskan mengenai potensi Kecamatan Lahewa sebagai pusat maritim di Nias Utara.
25 25
2.2.2.
Sumber Daya Darat
Kabupaten Nias Utara memiliki potensi darat di berbagai sektor antara lain pertanian, perkebunan dan kehutanan. Berbagai sektor tersebut mendukung perekonomian penduduk Nias Utara. Diperlukan berbagai kebijakan untuk mendukung dalam pengembangan potensi tersebut. kebijakan tersebut dapat berupa kebijakan subsidi, pelatihan maupun kebijakan dalam pemasaran. Dengan demikian harga yang dihasilkan tidak jatuh. Selanjutnya gambaran mengenai berbagai potensi sumber daya darat akan diuraikan dalam rangkaian tulisan di bawah ini. Pertanian Pertanian sebagai salah satu sektor yang cukup penting. Adapun beberapa komoditas yang cukup berpotensi yaitu padi sawah, padi ladang, dan palawija. Usaha pertanian padi sawah tersebar di seluruh kecamatan. Kecamatan Alasa merupakan daerah sentral pertanian padi. Pada tahun 2013, produksi padi sawah di Kecamatan Alasa adalah 5.875 ton (BPS, 2014:188). Padi merupakan makanan pokok penduduk Nias Utara. Oleh karena itu keberadaan pertanian padi sawah cukup membantu mendukung keberadaan pangan di Nias Utara.
Gambar 2.1.3. Grafik Produksi Padi Sawah Di Kabupaten Nias Utara 2013 Sumber: BPS Kabupaten Nias(2014)
26
26
Kecamatan Lahewa memiliki jumlah produksi padi terendah di Kabupaten Nias Utara, dengan jumlah produksi pada tahun 2013 mencapai 316 ton. Hal ini berkaitan dengan orientasi sebagian penduduk di Lahewa yang bekerja di laut maupun di sektor perdagangan. Dengan demikian berpengaruh dengan keberadaan Kecamatan Lahewa sebagai penghasil produksi padi terkecil di Nikara. Selain itu juga disebabkan oleh luas lahan di Kecamatan Lahewa tahun 2013 hanya 109 hektar. Luas lahan ini merupakan yang terkecil di bandingkan kecamatan lainnya di Kabupaten Nias Utara. Tabel 2.2.5. Luas Panen, Produksi dan Rata-Rata Produksi Padi Sawah Menurut Kecamatan Tahun 2013 Kecamatan Tugala Oyo Alasa Alasa Talumuzoi Namohalu Esiwa Sitolu Ori Tuhemberua Sawo Lotu LahewaTimur Afulu Lahewa Jumlah
Padi Rata-Rata Produksi
Luas
Produksi
805 2.234 232 1.178 789 538 482 986 257 645 109 8.255
2.099 5.875 557 2.978 2.246 1.376 1.923 3.057 662 1.970 316 23.059
2,61 2,63 2,40 2,53 2,85 2,56 3,99 3,10 2,58 3,05 2,90 2,79
Sumber : BPS Kabupaten Nias (2014)
Kemudian luas lahan panen padi di Kecamatan Alasa merupakan yang terbesar, dengan jumlah luas 2.234 hektar. Namun demikian jika dilihat dari tingkat produktivitas Kecamatan Sawo memiliki tingkat produktivitas paling tinggi yaitu 3,99 ton/hektar. Hal tersebut karena pertanian di Sawo didukung dengan irigasi yang cukup baik. Ketika peneliti berada di lokasi, terlihat bahwa masa panen baru saja telah selesai. Dimana hamparan areal persawahn yang cukup luas, 27 27
dikelilingi oleh irigasi. Ketika peneliti, melakukan wawancara dengan salah satu petani, mengatakan bahwa dalam pertanian padi ini, ada intervensi dari pihak gereja. Intervensi tersebut berupa kebijakan penanaman serentak. Adanya gerakan panen serentak maka, diharapkan akan minimalisir adanya hama. Selain itu juga akan berguna dalam distribusi pengarian.
Keberadaan usaha pertanian padi sawah ini jika dikembangkan maka akan mengurangi kekurangan stok beras selama ini, yang masih di datangkan dari daratan Sumatera. Keberadaan sektor pertanian padi sawah jauh berbeda dengan padi ladang. Data BPS tahun 2013 mencatat usaha pertanian padi ladang di Nias Utarahanya di lakukan di Kecamatan LahewaTimur dengan luas area mencapai 57 hektar dan tingkat produksi mencapai 191 ton dengan tingkat produktivitas per hektar mencapai 3,35 ton. Rendahnya usaha sektor pertanian padi ladang juga dipengaruhi oleh topografi setempat. Selain itu dipengaruhi, penduduk lebih mengusahakan perkebunan di wilayah ladang. Hal ini berkaitan dengan jumlah hasil panen dan masa tunggu panen yang cukup mempengaruhi penduduk untuk menanam padi ladang tersebut. Selain komoditas padi sawah dan padi ladang Nias Utara juga menghasilkan komoditas lain yaitu jagung. Komoditas jagung ini ditanam menyebar ke seluruh 11 kecamatan yang berada di Nias Utara. Luas lahan jagung di Nias Utara tahun 2013 adalah 392 hektar, dengan jumlah produksi mencapai 2.328 ton (BPS Kabupaten Nias, 2014:93). Adanya lahan yang cukup di Nias Utara juga digunakan penduduk untuk menanam kedelai. Komoditas ini menyebar ke seluruh kecamatan di Nias Utara. Tahun 2013 produksi kedelai sebesar 596 ton (BPS Kabupaten Nias, 2014:95).
28
28
Tabel 2.2.6. Produksi Padi dan Palawija di Kabupaten Nias Utara 2010-2013 Komoditas 2010 Padi Sawah Padi Ladang Jagung Ketela Pohon Kacang Tanah Kacang Hijau Talas Sagu
Produksi (Ton) 2011
2012
2013
18.816
18.465
20.071
23.059
12
13
20
191
144 193 147 67
486 423 186,7 29,5
2.328 495 254 57
2328 569 286 83
1 1
2 2
3 3
4 1
Sumber : BPS Kabupaten Nias (2014)
Jika melihat data tabel 2.2.6, produksi padi dalam kurun waktu 20102013 mengalami kenaikan. Kemudian bagaimana dengan komoditas lainnya. Jika melihat data diatas jumlah produksi komoditas lainnya tidak begitu menggembirakan. Bahkan dapat dikatakan hanya ada 4 komoditas yang berperan dalam ketahanan pangan di Kabupaten Nias Utara yaitu padi sawah, kacang tanah, jagung dan padi ladang. Hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah daerah untuk mampu menyediakan pangan dan menjadi daerah swasembada. Tanpa harsu tergantung dengan wilayah lainnya. Perkebunan Perkebunan merupakan salah satu urat nadi perekonomian Kabupaten Nias Utara. Hal tersebut dilihat dari luas areal lahan karet yang mencapai lebih dari 50 persen dari total luas lahan perkebunan yang mencapai 60.290 hektar. Keberadaan karet sangat mempengaruhi kondisi perekonomian penduduk. Ketika harga karet jatuh maka perekonomian secara umum juga jatuh.
29 29
Saat penelitian ini dilakukan harga karet sedang jatuh. Keluhan dari penduduk yang mengatakan harga karet hanya berkisar 10.000 rupiah per/kg sangat memukul perekonomian. Apalagi sebagai pekebun, tidak memiliki pekerjaan sampingan lainnya. Hal ini karena dipengaruhi oleh harga karet international. Selain itu juga adanya persaingan dengan karet sintetis semakin menasbihkan karet alam semkain terancam. Kemudian disisi lain perkembangan luas areal perkebunan karet dari kurun waktu 2009-2013, mencapai hasil yang menggembirakan. Luas areal mencapai lebih dari 100 persen dari 17.394 hektar menjadi 35.927. Luas areal karet ini menjadi potensi yang cukup menjanjikan bagi perekonomian Nias Utara. Tabel 2.2.7. Perkembangan Luas Tanaman Perkebunan Rakyat Tahun 2009 – 2013 (Ha) Jenis Tanaman 2009 Karet Kelapa Kopi Cengkeh Pala Nilam Kapulaga Kakao Pinang Jumlah
17.394 15.097 281 341 0 31 0 3.224 107 36.475
Luas Lahan (Ha) 2010 2011 2012 19.133 16.606 309 375,10 0 34,10 0 3.568 117,70 40.143
19.333 16.606 300 375,1 15 19,1 12 3.561 117,7 40.339
35.712 18.597 290 40 0,5 32,5 5 6.200 121 60.998
2013 35.927 18.597 109 40 0,6 29,0 3 5.472 112 60.290
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Perkebunan karet bisa dikatakan menjadi primadona bagi penduduk di Nias Utara. Oleh karena itu intervensi pemerintah dalam meningkatkan harga komoditas karet sangat diperlukan. Apalagi produksi karet Nias dalam kurun waktu 2009-2013 mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari 1,1 ton menjadi 30,56 ton pada tahun 2013. Adanya kenaikan produksi ini seyogyanya menjadi pemacu bagi berbagai stakesholder untuk meningkatkan harga karet. 30 30
Selain karet, komoditas perkebunan lain yang cukup menonjol di Kabupaten Nias Utara adalah kelapa. Perkebunan kelapa dapat menggerakan sektor perekonomian, mulai dari hulu hingga hilir. Di perkebunan kelapa berbagai jenis pekerjaan mampu tercipta. Mulai dari pekerja yang memilihara kebun, pemetik, pembuat kopra, pengangkut kopra dan pedagang. Adanya rantai jenis pekerjaan dalam kelapa menjadikan kelapa menjadi primadona bagi sebagian penduduk Nias Utara. Namun demikian masalah utama adalah pemasaran. Pemasaran hinggan saat ini hanya sampai di Gunung Sitoli. Produksi kelapa Nias Utara belum mampu menembus pasar luar pulau bahkan pasar eksport. Padahal potensi kopra Nias Utara cukup banyak. Hal ini dapat dilihat dari data BPS dari kurun waktu 2009-2013 terdapat kenaikan yang cukup significant dari 1,2 ton menjadi 49,08 ton. Tabel 2.2.8. Perkembangan Produksi Perkebunan Rakyat di Kabupaten Nias Utara Tahun 2009 - 2013 (Ton) Jenis Tanaman Karet Kelapa Kopi Cengkeh Pala Nilam Kapulaga Kakao Pinang
2009 1,1 1,2 0,3 0,5 0 0,2 0 0,9 0,4
Produksi (Ton) 2010 2011 2012 1,3 1,2 0,4 1,0 0 0,4 0 1,9 0,6
21,29 10,1 0,4 0,8 0,5 0,4 0,5 17,89 0,7
27,24 42,86 0,16 0,11 0 0,30 1,0 6,18 0,11
2013 30,56 49,08 0,20 0,20 0,10 1,00 0 11,00 0,60
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Kemudian bagaimana dengan gambaran rumah tangga yang terserap dari sektor perkebunan dan persebaran di Kabupaten Nias? Persebaran komoditas perkebunan menyebar ke seluruh kecamatan terutama perkebunan karet. Karet menjadi komoditas yang banyak diusahakan oleh rumah tangga dengan angka mencapai 9.890 rumah tangga. 31 31
Untuk perkebunan karet Kecamatan Tuhemberua menempati posisi pertama yang memiliki rumah tangga terbanyak yang bekerja di perkebunan dengan angka mencapai 1.550 rumah tangga.Dengan demikian terlihat betapa adanya ketergantungan penduduk Nias terhadap perkebunan karet. Kemudian komoditas kelapa menempati posisi kedua yang banyak diusahakan oleh rumah tangga dengan jumlah mencapai 8.919 rumah tangga. Tabel 2.2.9. Banyaknya Rumah Tangga yang Mengusahakan Tanaman Perkebunan Rakyat Menurut Kecamatan Tahun 2013
Pala
Nilam
Kapulaga
0 210 0 0 0 110 0 0 0 0 63 383
0 30 0 75 0 140 0 95 0 100 64 504
0 0 0 0 0 7 18 0 4 0 6 35
12 22 0 0 0 0 0 7 8 0 0 49
0 0 5 9 0 7 0 0 7 0 5 33
114 124 80 510 250 320 1100 850 223 140 610 4.321
770 231 45 140 210 99 154 150 126 112 3271 4.657
Jumlah
Cengkeh
25 220 128 622 224 2.000 2.650 700 130 165 2.055 8.919
Pinang
Kopi
500 600 500 1.490 450 1.550 750 1.600 675 1.296 479 9.890
Kakao
Kelapa
Tugala Oyo Alasa Alasa Talumuzoi Namohalu Esiwa Sitolu Ori Tuhemberua Sawo Lotu LahewaTimur Afulu Lahewa Jumlah
Banyaknya Rumah Tangga
Karet
Kecamatan
770 1.437 758 2.846 1.134 4.233 4.672 3.402 1.173 1.813 6.553 28.791
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Komoditas kelapa juga menyebar ke seluruh kecamatan diNias Utara. Kecamatan Sawo merupakan kecamatan yang paling banyak rumah tangganya mengusahakan kelapa dengan jumlah total mencapai 2.650 rumah tangga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelapa juga menjadi denyut nafas perekonomian Kabupaten Nias Utara. Selain kedua komoditas karet dan kelapa kabupaten Nias Utara juga menyimpan potensi perkebunan yang lain seperti pinang dan kakao. 32
32
Kehutanan Sumber daya darat lainnya yang menjadi andalan Nias Utara adalah hutan. Jenis hutan yang ada di Nias Utaraterbagi dalam 4 jenis yaitu hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan konversi. Data BPS tahun 2013 Hutan lindung memiliki areal terluas di Kabupaten Nias Utaradengan luas mencapai 26.342,00 hektar. Luas areal hutan lindung lebih dari 50 persend ari total luas hutan di kabupaten Nias Utara yang mencapai 47.782,70 hektar. Adapun persebaran luas areal hutan dan jenisnya perkecamatan akan disajikan dalam tabel dibawah ini. Tabel 2.2.10. Luas Hutan di Kabupaten Nias Utara Menurut Jenis dan Kecamatan Tahun 2013 Kecamatan Hutan Lindung
Jenis Hutan (Ha) Hutan Hutan Hutan Produksi Produksi Konversi Terbatas
Jumlah
Tugala Oyo Alasa Alasa Talumuzoi Namohalu Esiwa Sitolu Ori Tuhemberua Sawo Lotu LahewaTimur
2.915,44 1.856,37 6.375,41 6.206,74 203,15 0 0 0 44,74
0 0 0 0 1.709,84 110,16 651,77 2.288,20 0
1.818,64 4.220,46 383,14 3.178,76 992,83 0 0 1.183,76 724,00
0 706,28 214,05 55,15 0 0 0 0 625,50
4.734,08 6.783,11 6.972,60 9.440,65 2.905,82 110,16 651,77 3.471,96 1.394,24
Afulu
6.689,44
0
0
2.578,16
9.267,60
Lahewa
2.050,71
0
0
0
2.050,71
Jumlah
26.342,00
4.759,97
12.501,59
4.179,14
47.782,70
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Dari tabel persebaran areal hutan diatas dapat terlihat bahwa Kecamatan Afulu memiliki hutan lindung terluas di Nias Utara. 33 33
Adanya hutan lindung ini jika dijaga kan mampu memberikan manfaat yang besar bagi penduduk setempat. Manfaat hutan lindung antara lain sebagai tempat hidup habitat bagi satwa maupun tumbuhan langka. Di samping itu sebagai penyedia cadangan sumber mata air. Kemudian hutan produksi terbatas tersebar di 7 kecamatan. Adanya berbagai jenis hutan di Kabupaten Nias Utara sebagai sumber daya darat yang harus dilestarikan. Peternakan Selain sumberdaya darat perkebunan, pertanian dan kehutanan. Kabupaten Nias Utarajuga ditopang oleh peternakan. Peternakan babi merupakan peternakan yang paling banyak diusahakan oleh penduduk Nias Utara. Tabel 2.2.11. Populasi Ternak Besar dan Kecil Menurut Kecamatan Tahun 2013 (Ekor) Kecamatan Tugala Oyo Alasa Alasa Talumuzoi Namohalu Esiwa Sitolu Ori Tuhemberua Sawo Lotu LahewaTimur Afulu Lahewa Jumlah
Ternak Besar Sapi Kerbau 0 0 0 0 0 0 91 0 12 23 14 140
0 0 0 0 0 0 0 0 30 0 8 38
Babi
Ternak Kecil Kambing
1.024 3.223 917 2.708 4.295 6.960 738 5.671 979 2.478 460 29.453
0 0 0 0 0 235 190 0 87 74 129 715
Jumlah 1.024 3.223 917 2.708 4.295 7.195 1.019 5.671 1.108 2.575 611 30.346
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Peternakan babi tersebar di seluruh kecamatan di Nias Utara. Kemudian untuk peternakan yang lain seperti sapi, kerbau tidak begitu banyak dipelihara oleh penduduk Nias Utara. 34
34
Perikanan Darat Selain menimpan sumber daya perikanan laut, Nias Utara juga menyimpan sumber daya perikanan darat. Perikanan darat diusahakan penduduk ataupun ditangkap secara langsung di perairan yang ada di Kabupaten Nias Utara. Persebaran jumlah produksi dari jenis pengusahaan di sajikan dalam tabel dibawah ini. Tabel 2.2.12. Jumlah Produksi Perikanan Darat Menurut Cara Budidaya Tahun 2012-2013 Komoditas
Perairan Umum Budidaya Laut Budidaya Air Payau Budidaya Kolam Budidaya Sawah Budidaya Kolam Air Deras Budidaya Keramba JaringApung Jumlah
Produksi (Ton)
2012 Harga Jual Nelayan(Rp/Ton)
Produksi(Ton)
2013 Harga Jual Nelayan(Rp/Ton)
1,38
24.840.000
0
0
5,04
40.320.000
0
0
0
0
0
0
128,04
2.304.648.000
125
3.125.000
0
0
0
0
0
0
0
0
6,79
118.950.000
10
800.000
141,25
2.488.758.000
135
3.925.000
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
35 35
2.3. Sarana dan Prasarana Sosial-Ekonomi 'SaranaTransportasi Sarana transportasi akan mempengaruhi distribusi logistik. Lancarnya transportasi akan mempengaruhi murahnya harga hingga tangan konsumen. Selain itu adanya transportasi yang lancar juga akan mempengaruhi aktivitas dan konektivitas antar wilayah. Sarana transportasi di Kabupaten Nias Utara tersedia angkutan bus umum dengan jumlah 50 unit yang tersebar di seluruh di kecamatan (BPS Kabupaten Nias, 2014:283). Kemudian untuk sarana transportasi laut tersedia pelabuhan di Kecamatan Lahewa. Pelabuhan Lahewa merupakan pelabuhan terbesar di Kabupaten Nias Utara. Untuk transportasi darat kondisi jalan di Kabupaten Nias Utara sebagian besar sudah diaspal. Sebagian jalan yang diaspal merupakan peninggalan badan rekontruksi BRR Aceh Nias. Selain jalan aspal, ada sebagian jalan yang disemen, jalan kericil serta jalan tanah. Adapun sebaran komposisi luas permukaan jalan di Kabupaten Nias Utara akan disajikan dalam diagram dibawah ini.
Gambar 2.3.1. Grafik Luas Permukaan Jalan Kabupaten di Nias Utara Tahun 2013
36
36
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Jalan darat memiliki fungsi vital bagi konektivitas di Nias Utara. Jalan ini menghubungkan dari Sawo, Lotu hingga Lahewa. Kondisi jalan merupakan salah satu pertanda kemajuan di suatu wilayah. Sebagian jalan yang diaspal tersebut telah rusak oleh karena itu diperlukan perhatian dari pemerintah daerah setempat. Sarana Perikanan Sarana perikanan sangat berfungsi untuk meningkatkan produksi tangkapan. Kemudian bagaimana dengan kondisi keberadaan alat tangkap terutama kapal. Berdasarkan data BPS Kabupaten Nias Tahun 2014, persebaran jumlah kapal perkecamatan hanya terpusat di 6 kecamatan yaitu Sawo, Lotu, Afulu, LahewaTimur, Tuhemberua dan Lahewa. Lahewa merupakan nelayan yang lebih maju dibandingkan dengan daerah kecamatan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari persebaran jumlah kapal/perahu. Di Kecamatan Lahewa memiliki jumlah armada kapal terbanyak di Kabupaten Nias Utara. Keberadaan kapal ini ditemui di pelabuhan Lahewa, yang merupakan pelabuhan tersibuk di Nias Utara. Kemudian bagaimana persebaran kapal di Kabupaten Nias Utara tersaji dalam tabel 2.3.1. Dalam 2.3.1 terlihat adanya 3 jenis kapal motor yang terekam oleh BPS. Ketiga jenis kapal tersebut adalah perahu motor, motor tempel dan kapal motor. Lahewa memiliki jumlah armada terbanyak dengan jumlah 428 buah dengan rincian 275 kapal motor, 140 motor tempel, dan kapal motor. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Lahewa merupakan kecamatan yang memiliki kekuatan di sektor perikanan. Perbedaan alat tangkap dan armada juga menunjukkan dimana kelas nelayan tersebut berada di kelas sosial. Semakin varian alat tangkap dan jumlah armada yang besar menjadikan nelayan berada di posisi kelas sosial yang cukup tinggi. Potret di Nias Utara tergambar bahwa Kecamatan Lahewa merupakan kecamatan yang memiliki armada 37 37
yang cukup besar dibadingkan dengan nelayan di kecamatan lainnya. Selain itu keberadaan armada tersebut juga mempengaruhi nelayan dalam bertransaksi dengan pihak perbankan. Tabel 2.3.1. Jumlah Perahu/Kapal Menurut Kecamatan dan Jenis Kapal di Kabupaten Nias Utara Tahun 2012 Kecamatan
Jenis Kapal Perahu Motor
Perahu Motor Tempel < 5 GT
KapalMotor 5-10 GT
Jumlah
Tugala Oyo Alasa
4 5
1 2
0 0
5 7
Alasa Talumuzoi
0
0
0
0
Namohalu Esiwa
0
0
0
0
Sitolu Ori
5
2
0
7
Tuhemberua
214
110
12
336
Sawo
141
71
11
223
Lotu
58
29
2
89
Lahewa Timur
124
60
6
190
Afulu
273
140
13
426
275
140
13
428
1.099
555
57
1.711
Lahewa Kabupaten Nias Utara
Sumber : BPS Kabupaten Nias (2014)
Sarana Ekonomi Dalam bagian tulisan sebelumnya, sudah diutarakan bahwa Nias Utara memiliki potensi yang begitu besar baik dari sektor perikanan maupun dari pertanian, perkebunan. Untuk menyerap potensi tersebut maka diperlukan pemasaran. Kemudian sistem pemasaran juga dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya setempat. Sistem perdagangan yangterdapat di kecamatan disebut Harimbale yaitu dimana suatu kegiatan transaksi jual beli oleh masyarakat yangbiasanya dilakukan 38
38
sekali dalam satuminggu (BPS Kabupaten Nias, 2014:267). Tempat bertemunya pembeli dan penjual disebut dengan pasar. Di Kabupaten Nias Utara terdapat 16 pasar desa atau tradisional yang tersebar si seluruh kecamatan, dengan jumlah pasar pekan sebanyak 47 unit yang tersebar di seluruh kecamatan di Nias Utara (BPS Kabupaten Nias, 2014:267). Adanya pasar yang tersebar di seluruh kecamatan memudahkan penduduk untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Selain itu juga sebagai sumber aktivitas perekonomian. Kemudian untuk menunjang perekonomian, maka keberadaan perbankan juga sangat berperan dalam pertumbuhan perekonomian. Di Kabupaten Nias Utara terdapat institusi bank diantaranya beroperasi di Lahewa yaitu Bank Rakyat Indonesia. Koperasi sebagai soko guru perekonomian juga diperlukan kehadirannya. Peran koperasi di Nias Utara cukup dalam menggerakkan roda perekonomian. Hal ini terlihat dari data BPS tahun 2013, di Kabupaten Nias Utara terdapat 74 unit koperasi (BPS Kabupaten Nias, 2014:267). Sarana Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kapasitas seseorang dalam meraih kesempatan dan peluang kerja maupun berwiraswasta. Selain itu tingkat pendidikan di suatu wilayah juga mengindikatorkan tingkat kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan. Disisi lain juga menjadi salah satu indikator kesejahteraan penduduk di suatu wilayah (BPS Kabupaten Nias, 2014:83). Untuk meningkatkan mutu pendidikan maka diperlukan berbagai upaya. Salah satu upaya diantaranya adalah ketersediaan fasilitas pendidikan. Ketersediaan fasilitas merupakan pendukung kemajuan pendidikan di suatu wilayah. Oleh karena itu diharapkan pemerintah pusat maupun daerah memberikan fasilitas sarana pendidikan yang baik. Selain itu jumlah sarana pendidikan diharapkan cukup dengan jumlah anak didik di suatu wilayah. Kemudian bagaimana kondisi 39 39
fasilitas maupun sarana pendidikan Kabupaten Nias Utara? Ketersediaan fasilitas pendidikan di Kabupaten Nias Utara masih jauh dari harapan. Di Kabupaten Nias Utara fasilitas pendidikan hanya sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas. Kemudian untuk melanjutkan studi yang lebih tinggi, penduduk di Kabupaten Nias Utara harus melanjutkan studi di Kota Gunung Sitoli. Tabel 2.3.2. Sarana Pendidikan Di Kabupaten Nias Utara tahun ajaran 2013/2014 Tingkat Pendidikan
Jumlah Fasilitas (Unit)
Sekolah Taman Kanak-kanak (TK)
Jumlah Murid (Orang)
Jumlah Guru
14
491
40
Sekolah Dasar Sekolah Menengah Atas
164 48
26.359 10.854
2.168 797
Sekolah Menengah Atas dan sederajat
28
5.598
550
Sumber : BPS Kabupaten Nias ( 2014)
Sarana Kesehatan Kesehatan merupakan kebutuhan utama penduduk. Oleh karena itu kesehatan juga menjadi program pemerintah. Geliat sarana kesehatan di Kabupaten Nias Utara masih belum sesuai yang diharapkan. Untuk setingkat kabupaten, tidak ada satupun rumah sakit baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Sarana kesehatan yang ada baru sebatas puskesmas. Hingga saat ini penduduk Nias Utara jika pihak berobat puskesmas sudah tidak mampu menangani maka dirujuk rumah sakit di Kota Gunung Sitoli. Geliat otonomi daerah yang sudah berjalan hingga tahun ke 7 ternyata ini belum mampu memberikan fasilitas kesehatan kepada penduduknya. Pembangunan yang berlangsung saat ini hanya baru sebatas pembangunan fisik untuk kantor-kantor yaitu kantor 40 40
pemerintahan dan DPRD. Namun sayang untuk fasilitas kesehatan masih jauh dari harapan. Tabel 2.3.3. Jumlah Fasilitas Kesehatan Di Kabupaten Nias Utara No
Nama Fasilitas Kesehatan
Jumlah (Unit)
1
Puskesmas perawatan
4
2
Puskesmas non perawatan
7
3
Puskesmas pembantu
4
Klinik bersalin
3
5
Balai pengobatan swasta
2
6
Toko obat
3
38
Sumber : BPS kabupaten Nias ( 2014)
Kondisi fasilitas kesehatan di Kabupaten Nias Utara, mencerminkan bahwa keperpihakan pihak pemerintah akan hak kesehatan bagi penduduknya masih dari panggang jauh dari api. Padahal di level nasional sektor kesehatan merupakan salah satu sektor utama kebijakan program pemerintah. Bahkan hak kesehatan ini juga dilindungi oleh undang-undang dengan adanya undang-undang mengenai jaminan sosial. Sektor kesehatan sebagai leading sektor mendapatkan kucuran dana yang tidak sedikit, dengan adanya fasilitas negara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun sayang adanya program tingkat nasional ini belum didukung sepenuhnya dengan adanya fasilitas kesehatan yang memadai. Jika ini dibiarkan maka akan mengancam program yang telah dijalankan pemerintah di tingkat pusat. Selain itu juga akan menjadi beban bagi rumah sakit di Kota Gunung Sitoli dengan adanya rujukan dari berbagai wilayah termasuk di Kabupaten Nias Utara. Selain adanya fasilitas kesehatan yang kurang memadai maka program kesehatan lain seperti kampanye pengurangan angka kematian bayi, kematian ibu dan angka harapan hidup penduduk akan terancam. 41 41
Melihat permasalahan demikian, maka penyuluhan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Program yang telah dilakukan diantara adalah penyuluhan kesehatan, program imunisasi dan suntikan bagi ibu hamil. Lebih lanjut hingga saat tahun 2014 Kabupaten Nias Utara telah memiliki bidan desa sebanyak 140 orang (BPS Kabupaten Nias, 2014:85). Adanya bidan desa ini diharapkan mampu mengurangi resiko kematian ibu melahirkan. Jumlah dokter dan perawat memang perlu ditingkatkan, karena hingga tahun 2014 masih tercata 133 orang dan 14 orang yang tersebar di 10 kecamatan (BPS Kabupaten Nias, 2014:85). Jika melihat data tersebut masih kekurangan tenaga kesehatan yang cukup banyak. Bahkan ada salah satu kecamatan yaitu Kecamatan Tugala Oyo tidak memiliki dokter umum. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Kabupaten Nias Utara. Untuk mengatasi hal ini maka perlu adanya perekrutan tenaga kesehatan dengan fasilitasnya. Karena untuk menempatkan dokter di daerah yang masih jauh di jangkau dan pelosok sulit. Sarana Air Bersih dan MCK Kebutuhan air bersih merupakan kebutuhan utama penduduk untuk melaukan aktivitas sehari-hari. Kebutuhan air bersih di Kabupaten Nias Utara di supply oleh perusahan daerah yaitu PDAM Tirta Umbu Lahewa. Tabel 2.3.4 Perkembangan Banyaknya Pelanggan, Produksi dan Nilai Produksi Air Minum pada PDAM Tirta Umbu Lahewa Tahun
Perusahaan Air Bersih
2010
PDAM Tirta Umbu Lahewa PDAM Tirta Umbu Lahewa PDAM Tirta Umbu Lahewa
2011 2012
Banyaknya Pelanggan
Produksi (m³)
Nilai
693
141.022
122.416.900
739
138.978
121.728.382
758
156.846
167.165.370
Sumber : BPS Kabupaten Nias (2014)
42
42
Persebaran pelanggan baru hanya disekitar Lahewa, belum mampu menjangkau wilayah lain di Kabupaten Nias Utara.Perkembangan jumlah pelanggan PDAM Tirta Umbu menunjukkan belum secara besar menjangkau penduduk di Lahewa dan sekitarnya. Pasar pelanggan PDAM masih berkisar di Lahewa khususnya di Kelurahan Pasar Lahewa. Kemudian bagaimana dengan penduduk lainnya yang tidak menjadi pelanggan PDAM? Penduduk mengusahakan air bersih sendiri dengan jalan membuat sumur. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh penduduk di Teluk Bengkuang yang memanfaatkan air sumur sebagai sumber air bersih mereka. Air yang dihasilkan juga jernih dan tidak berasa asin. Padahal secara geografis sangat dekat dengan laut. Sarana Penerangan dan Informasi Kondisi sarana penerangan merupakan salah satu indikator kemajuan suatu wilayah. Di Nias Utara penerangan listrik di suplly dari kantor PLN jaga diLahewa dan Tuhemberua. Kemudian untuk pengolahan data penjualan energi listrik maupun nilai penjualan masih dilakukan oleh PLN Rayon Gunungsitoli (BPS Kabupaten Nias, 2014:245). Listrik-listrik sudah masuk ke pedesaan di kawasan Nias Utara. Dengan demikian mampu meningkatkan jumlah pelanggan yang teraliri listrik. Kemudian Tahun 2013 jumlah pelanggan listrik di Nias Utara tercatat sebanyak 10.010 yang terdiri dari rumah tangga, komersil, industri, umum, sosial dan layanan khusus (BPS Kabupaten Nias, 2014:245). Kebutuhan listrik diprediksi akan naik setiap tahunnya. Hal ini karena semakin meningkatknya kebutuhan penduduk. Di samping itu meningkatkan pemakaian juga diakibatkan oleh meningkatkan jumlah industri yang memakai listrik. Oleh karena itu diperlukan sumber-sumber lain yang mampu menghasilkan listrik. Sehingga kebutuhan listrik akan terpenuhi, dan akan menimalisir adanya pemadaman listrik.
43 43
Sarana dan Prasarana di Desa Lokasi Penelitian Di Kecamatan Sawo terdapat 11 sekolah dasar yang tersebar di 9 desa. Khusus di Teluk Bengkuang tidak ada sekolah dasar (Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) terdapat 11 sekolah yangtersebar di 9 desa di Kecamatan Sawo. Desa Teluk Bengkuang tidak memiliki Sekolah Dasar (BPS Kabupaten Nias, 2014:13). Kemudian berdasarkan data BPS, untuk jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) terdapat 3 sekolah, baik negeri maupun swasta yang terletak di Desa Sanawuyu,Onozitoli Sawo, dan Lasara Sawo. Untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) hanya terdapat 1 sekolah, yang terletak di Desa Lasara Sawo. Kemudian sarana pendidikan di Kecamatan Lahewa, di Balefadorotuho hanya terdapat 2 bangunan sekolah dasar negeri. Kemudian di Kelurahan Pasar Lahewa lebih banyak memiliki sarana pendidikan. Sarana pendidikan yangada di Kelurahan Pasar Lahewa diantaranya 2 Sekolah Dasar Negeri, 5 Sekolah Dasar Swasta, tingkat SMP negeri jumlah 1 bangunan, bangunan SMP swasta 3 buah. Selanjutnya tingkat SMA ada 1 bangunan, yaitu SMA swasta (BPS Kabupaten Nias, 2014:18). Sarana Kesehatan Sarana kesehatan di Kecamatan Sawo pada tahun 2013 berjumlah 24 buah. Kemudian untuk sarana yang tersedia di lokasi penelitian di Teluk Bengkuang adalah 2 yaitu posyandu dan polindes. Sedangkan di Seriwau hanya 1 yaitu posyandu (BPS Kabupaten Nias, 2014:17). Kemudian sarana kesehtan khususnya di lokasi penelitian di Kecamatan Lahewa yaitu di Kelurahan Pasar Lahewa dan Balefadorotuho adalah sebagai berikut: di Kelurahan Pasar Lahewa jumlah puskesmas 1 buah, dokter praktek 1, dan posyandu 1 buah. Kemudian di Desa Balefadorotuho, jumlah sarana kesehatan ada 2 yaitu pustu dan posyandu (BPS Kabupaten Nias, 2013:23). 44
44
Pertanian Luas panen padi di Kecamatan Sawo adalah 472 hektar dengan jumlah produksi mencapai 1.596 kwintal padi. Sedangkan di Desa Teluk Bengkuangdan Seriwau tidak ada data panen. Di kedua desa ini yang dominan adalah perkebunan kelapa (BPS Kabupaten Nias, 2014:21). Kemudian komoditas lain berupa holtikultura berupa tanaman padi diusahakan oleh penduduk di Teluk Bengkuang.
Gambar 2.3.2. Foto Pertanian Palawija Tanaman Cabai Di Desa Teluk Bengkuang Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015
Deskripsi potensi lainnya di Kecamatan Sawo adalah tanaman keras menurut jenis dan desa/kelurahan tahun 2013, 546 hektar. Untuk di Teluk Bengkuang memiliki potensi kelapa 10 hektar dan di Seriwau 7 hektar. Untuk tanaman keras lainnya seperti karet dan kopi tidak terdapat di Teluk Bengkuang (2014: 23). 2.4. Kelembagaan Sosial-Ekonomi Kelembagaan sosial ekonomi yang ada antara lain koperasi dan arisan. Kelembagaan sosial ekonomi ini sebagai sarana bagi penduduk untuk mencari tambahan modal. Kemudian untuk kelembagaan sosial seperti perkumpulan baik yang dibentuk oleh masyarakat sendiri ataupun 45 45
yang dibentuk oleh pembentukan LPSTK.
pemerintah.
kelembagaan
sosial
seperti
2.5. Program Pemberdayaan Masyarakat Program pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan adalah COREMAP fase dua. Program tersebut telah berlangsung lama. Untuk saat ini program tersebut kembali digalakkan setelah beberapa tahun lamanya sempat berhenti. Selain itu program-program lain berupa PNPM Mandiri. 2.6. Pengelolaan Sumber Daya Laut Laut merupakan harta karun yang harus dijaga kelestariannya. Kekayaan laut sangat penting peranannya dalam menopang kehidupan perekonomian sekaligus pertahanan. Ekosistem laut sebagai kekayaan luat jika dipelihara akan memberikan dampak ekonomi. Melihat betapa pentingnya fungsi laut tersebut maka Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara poros maritim dunia. Poros maritim dunia dalam arti luas termasuk perlindungan terhadap ekosistem laut. Oleh karena itu praktek-praktek merusak ekosistem laut seperti peledakan, pembiusan merupakan salah satu tantangan bagi pemerintah untuk mengatasinya. Di samping itu illegal fishing juga menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaan sumber daya laut. Kemudian bagaimana di tataran lokal, Kabupaten Nisa Utara? Kajian DKP Nias Utara dengan Oseanografi LIPI tahun 2014 menunjukkan bahwa kegiatan perikanan menggunakan peralatan/bahan ilegal dapat berlangsung terus karena kurangnya pengawasan di perairan laut dan kurangnya atau tidak konsistennya penegakan hukum (DKP Nias Utara, 2014:112).
46
46
Kebijakan Perlu adanya kebijakan dari pemerintah daerah dan pusat untuk bersinergi dalam pembangunan kelautan. Adanya pandangan yang sama maka program yang diharapkan akan memacau kemajuan di sektor perikanan. kemudian dalam pelaksanaan program perlu adanya partisipasi aktif dari masyarakat sehingga program yang dilaksanakan akan membawa kesejahteraan dan sesuai dengan kebutuhan dan tingkat pengetahuan penduduk.
Pemanfaatan Potensi perikanan di Nias Utara masih cukup besar. Namun belum mampu digali semuanya. Hal ini disebabkan oleh dua sisi yaitu dari sisi alat tangkap dan budaya maritim orang Nias Utara. Alat tangkap yang tersebar di Nias Utara masih belum sepenuhnya menggali potensi perikanan yang ada. Dari sisi armada tangkap terlihat masih belum banyak yang menggunakan perahu besar sebagai sarananya. Sebagian besar masih menggunakan perahu motor. Kemudian disisi lain, dapat dikatakan dalam sejarah orang yang beraktivitas di perkebunan. Dalam penelitian ini belum ditemukan data dan informasi yang menguatkan bahwa orang Nias Utara adalah bangsa pelaut. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya budaya sedekah laut. Kemudian kedua tidak adanya teknologi pembuatan kapal. Hal yang lain, dari hasil wawancara dengan salah satu tokoh desa, terungkap bahwa sebagian masyarakat menginginkan anaknya tidak bekerja di sektor perikanan karena mereka memandang sektor perikanan tidak menjanjikan. Kemudian fakta yang lain menguatkan bahwa perikanan justru menjadi mata pencaharian tambahan. Hal ini karena adanya harga karet yang turun, disamping itu melimpahnya bantuan pemerintah di sektor perikanan semakin menguatkan mereka untuk terjun di kenelayanan. Padahal pekerjaan utama mereka adalah sebagai pekebun. 47 47
Wilayah Tangkap Wilayah tangkap Di Teluk Bengkuang nelayan memiliki teknologi yang kurang lengkap sehingga berkontribusi terhadap pendapatan cukup rendah.
Gambar 2.6.1. Peta Wilayah tangkap nelayan Teluk Bengkuang dan Seriwau hasil FGD Sumber : dokumentasi pribadi, 2015
Mayoritas wilayah tangkap nelayan di Seriwau dan teluk bengkuang masih di wilayah perairan sawo termasuk pulau sarang baung di dalamnya. Rendahnya jangkaun wilayah tangkap berkaitan dengan teknologi yang dimiliki oleh nelayan di kedua lokasi. Wilayah tangkap yang relatif dekat ini berpengaruh terhadap hasil tangkapan dan biaya produksi yang di keluarkan. Kemudian potret wilayah tangkap nelayan di kecamatan lahewa khususnya di Desa Balefadorotuho dan Kelurahan Pasar Lahewa lebih jauh.
48
48
Gambar 2.6.2. Peta wilayah tangkap nelayan Lahewa dari hasil FGD Sumber : dokumentasi pribadi, 2015. Wilayah tangkap nelayan di Kelurahan Pasar Lahewa sebagian besar masih berada di wilayah perairan Lahewa. Dimana di perairan ini terdapat gosong dan pulau-pulai kecil. Kemudian sebagian kecil wilayah tangkap nelayan Lahewa hingga di perairan pulau banyak di Aceh. Jenis ikan yang ditangkap diantaranya kerapu, tongkol dan kembung. Jauh wilayah tangkap nelayan di kecamatan lahewa dibandingkan dengan di sawo karena alat tangkap dan armada yang dimiliki lebih lengkap.
Teknologi Teknologi yang digunakan oleh nelayan saat ini sebagian besar masih tradisional. Di bagian tulisan lainnya telah disebutkan bahwa alat tangkap mayoritas penduduk telah menggunakan perahu motor. Kemudian alat tangkap yang digunakan oleh penduduk antara lain pancing, jaring. Sebagian besar nelayan masih menjadi nelyan tradisional. Potret ini terlihat dimana dalam sisi status pekerjaan mata pencaharian perikanan tangkap masih diusahakan dalam skala kecil dan tidak dibantu oleh pekerja dalam jumlah yang besar. Kemudian 49 49
disisi lain masih ditemukan sebagain nelayan yang menggunakan alat tangkap bukan ramah lingkungan seperti penggunaan tuba. Permasalahan Adanya program yang tidak melibatkan masyarakat dalam penentuan lembaga dan personilnya akan berpengaruh terhadap kelanjutan program. Temuan di Desa Teluk Bengkuang dan Seriwau, satu desa digabung menjadi satu LPSTK. Adanya satu LPSTK yang membawahi dua desa maka kedepannya diduga akan memunculkan benih-benih konflik kepentingan. Fenomena ini sudah terlihat, ketika fgd diadakan, dari tokoh masyarakat di kedua desa menginginkan setiap desa memiliki LPSTK. Hal ini berkaitan dengan otonomi pengelolaan serta berkaitan dengan management program. Oleh karena itu perlu adanya solusi yang konkret dalam mengatasi permasalahan ini.
50
50
BAB III POTRET PENDUDUK
3.1. Jumlah dan Komposisi 3.1.1. Gambaran Umum Jumlah dan Karakteristik Penduduk Serta Pertumbuhannya di Kabupaten Nias Utara Jumlah penduduk Kabupaten Nias Utara tahun 2013 sebanyak 129.053 jiwa dengan jumlah rumah tangga 26.910. Jumlah ini mengalami peningkatan relatif sedikit dari 128.533 jiwa dan 26.737 rumah tangga pada 2012 serta 128.434 jiwa dan 26.528 rumah tangga pada 2011 (BPS Kabupaten Nias, 2014). Data ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan pendudukk di Kabupaten Nias Utara sangat rendah. Untuk kurun waktu 2011-2012, laju pertumbuhan penduduk hanya sebesar 0,08 persen dan 2012-2013 hanya 0,4 persen. Penduduk tersebar di 11 kecamatan dengan persentase yang cukup beragam. Kecamatan Lahewa yang menjadi salah satu wilayah program COREMAP-CTI merupakan kecamatan dengan penduduk terbanyak, yaitu 20.638 jiwa atau 16,2 persen dari seluruh penduduk Kabupaten Nias. Sedangkan, Kecamatan Sawo yang juga menjadi wilayah pogram COREMAP CTI berpenduduk lebih sedikit, yaitu 9.741 jiwa atau 7,5 persen dari seluruh penduduk Kabupaten Nias Utara. Untuk rasio jenis kelamin, baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan, jumlahnya mendekati angka 100. Artinya, jumlah penduduk perempuan sedikit lebih besar daripada jumlah penduduk laki-laki (lihat Tabel 3.1.1).
51 51
Tabel 3.1.1. Jumlah, Jenis Kelamin, dan Distribusi Penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Nias Utara 2015 Kecamatan
Tugala Oyo Alasa Alasa Talumuzoi Namohalu Esiwa Sitolu Ori Tuhemberua Sawo Lotu Lahewa Timur Afulu Lahewa Kabupaten Nias Utara
Laki-laki
Perempuan
Total
Rasio Jenis Kelamin
Persentase Per Kecamatan
3.063 9.474 3.283
3.118 8.734 3.304
6.181 19.208 6.587
98,24 97,33 99,36
4,8 14,9 5,1
6.070
6.261
12.331
96,95
9,6
5.782 5.197 4.800 5.599 4.971
5.789 5.328 4.941 5.698 5.032
11.571 10.525 9.741 11.297 10.003
99,88 97,54 97,15 98,26 98,79
9,0 8,2 7,5 8,8 7,8
5.241 10.385 63.865
5.400 10.385 65.188
10.641 20.968 129.053
97,06 98,13 97,97
8,2 16,2 100
Sumber: BPS Kabupaten Nias Utara (2014)
Dilihat dari distribusi kelompok umur terlihat penduduk dengan kelompok umur anak-anak dan penduduk usia kerja merupakan kelompok yang terbanyak (lihat Tabel 3.1.2.). Hal ini menjadi penanda perlunya pemerintah membangun sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan yang baik dalam jumlah yang tepat. Ketidakmampuan pemerintah memfasilitasi hal ini akan berpotensi menyebabkan kualitas sumber daya manusia tidak akan mengalami peningkatan dan ledakan pengangguran.
52
52
Tabel 3.1.2. Banyaknya Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Nias Utara 2013 Kelompok 0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 – 69 70 – 74 75+ Kab. Nias Utara
Laki-laki 9.305 9.370 8.205 6.686 5.384 4.609 4.188 3.485 2.707 2.620 2.189 1.862 1.534 828 472 421 63.865
Perempuan 8.644 8.706 7.592 6.459 5.980 5.068 4.646 3.661 3.228 2.877 2.582 2.087 1.620 921 580 537 65.188
Total 17.949 18.076 15.797 13.145 11.364 9.677 8.834 7.146 5.935 5.497 4.771 3.949 3.154 1.749 1.052 958 129.053
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
3.1.2.
Gambaran Umum Jumlah dan Komposisi Penduduk di Lokasi Penelitian
Seperti yang dipaparkan di atas, penduduk Kecamatan Sawo 2013 berjumlah 9.741 atau hanya 7,5 persen dari seluruh penduduk Kabupaten Nias Utara. Jumlah ini tersebar di 10 desa. Desa Lasara Sawo merupakan desa dengan jumlah penduduk terbanyak, yaitu 1.892 jiwa. Sementara, itu Desa Seriwau dan Desa Teluk Bengkuang yang menjadi lokasi penelitian kajian ini merupakan dua desa pesisir yang paling sedikit penduduknya. Seriwau hanya berjumlah 156 jiwa dan Teluk Bengkuang 94 jiwa (lihat Tabel 3.1.3). Selain itu, Seriwau juga menjadi desa dengan kepadatan penduduk yang paling rendah, yaitu hanya 37,59 jiwa/km2 (BPS Kabupaten Nias, 2014). 53 53
Di Desa Seriwau dan Desa Teluk Bengkuang, hasil survei (khusus untuk kedua desa ini, sebetulnya dilakukan sensus—lihat Bab 1 bagian metode) menunjukkan jumlah penduduk 2014 sedikit mengalami kenaikan. Jumlah penduduk Desa Seriwau menjadi 160 jiwa dengan komposisi laki-laki 81 jiwa dan perempuan 79 jiwa dan Desa Teluk Bengkuang menjadi 105 jiwa dengan komposisi laki-laki 47 jiwa dan perempuan 58 jiwa. Tabel 3.1.3. Jumlah Penduduk Per Desa di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara 2013 Desa
Jumlah Penduduk
Ombolata Sawo Sanawuyu Onozitoli Sawo
1.174 887 1.247
Hilidurawa Teluk Bengkuang Seriwau
1.765 94 156
Desa Sawo Lasara Sawo Sisarahili Teluk Siabang Sifahandro Kec. Sawo
Jumlah Penduduk 709 1.892 700 1.117 9.741
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Meskipun sama-sama berada di pesisir, jumlah penduduk Kecamatan Lahewa 2013 hampir tiga kali lebih banyak dari jumlah penduduk di Kecamatan Sawo, yaitu 20.968 jiwa. Seperti yang dipaparkan di atas, jumlah ini adalah yang terbesar di seluruh Kabupaten Nias. Penduduk tersebar di 21 desa (lihat Tabel 3.1.4). Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Balefadorotuho yang menjadi lokasi kajian ini merupakan dua desa dengan penduduk banyak. Bahkan, untuk Kelurahan Pasar Lahewa yang jumlah penduduknya 34 kali jumlah penduduk Desa Teluk Bengkuang di Kecamatan Sawo menjadi desa yang terbanyak penduduknya di Kabupaten Nias. Hal ini disebabkan dari sejak dulu, Kelurahan Pasar Lahewa merupakan pusat pertumbuhan ekonomi untuk wilayah Nias Utara (sejak zaman pemerintahan kolonial 54
54
Belanda). Kelurahan Pasar Lahewa juga menjadi satu-satunya pemerintahan kelurahan yang ada di Kabupaten Nias Utara. Tabel 3.1.4. Jumlah Penduduk Per Desa di Kecamatan Lahewa, Kabupaten Nias Utara 2013 Desa
Jumlah Penduduk
Iraonolase Holi Sifaroasi Hilizukhu Onozalukhu Hilinaa Hiligoduhoya Sitolunbanua Hilihati Fadorositoluhii
1.554 1.116 786 299 578 498 588 884 1.019 934
Marafala
1.078
Desa Hiligawolo Balefadorotuho Ombolata Pasar Lahewa Afia Moawo Lasara Siheneasi Fadoro Hilimbowo Fadoro Hilihambawa Kec. Lahewa
Jumlah Penduduk 845 1.083 1.631 3.200 866 454 674 1.251 789 841 20.968
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
3.1.3.
Jumlah dan Komposisi Penduduk di Lokasi Penelitian
Hasil survei, seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.1.1, menunjukkan hampir setengah penduduk keempat desa yang menjadi lokasi kajian adalah kelompok umur 20-64 tahun. Kelompok ini merupakan kelompok umur produktif. Kelompok umur ini juga biasanya kelompok umur yang sudah membangun rumah tangganya sendiri. Kondisi ini menyebabkan penduduk pada kelompok umur ini membutuhkan kesempatan bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, dari mulai kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Untuk melihat distribusi di tingkat desa dapat dilihat pada Tabel 3.1.5.
55 55
Gambar 3.1.1. Grafik Distribusi Penduduk di Lokasi Penelitian Menurut Kelompok Umur (Persentase) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015
56
56
16,0 18,5 9,9 2,5 48,1 4,9 100 81
0–4 5–9 10 – 14 15 – 19 20 – 64 65+ N N
15,2 12,7 12,7 8,9 46,8 3,8 100 79
15,6 15,6 11,3 5,6 47,5 4,4 100 160
Seriwau P L+P 12,8 12,8 10,6 8,5 53,2 2,1 100 47
10,3 12,1 12,1 8,6 51,7 5,2 100 58
11,4 12,4 11,4 8,6 52,4 3,8 100 105
Teluk Bengkuang L P L+P 10,2 15,7 15,1 16,9 42,2 0 100 166
9,3 15,3 15,6 13,5 46,4 0 100 334
Pasar Lahewa P L+P
8,3 14,9 16,1 10,1 50,6 0 100 168
L 10,4 19,6 17,2 8,0 44,8 0 100 163
15,3 13,9 10,2 7,3 51,8 1,5 100 137
12,7 17,0 14,0 7,7 48,0 0,7 100 300
Balefadorotuho L P L+P
Tabel 3.1.5. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias UtaraTahun 2015 (Persentase)
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015
L
Kelompok Umur
57
10,9 17,0 14,8 7,8 48,4 1,1 100 459
L
12,7 14,1 12,7 11,4 47,3 1,8 100 440
57
11,8 15,6 13,8 9,6 47,8 1,4 100 899
Total P L+P
3.2. Kualitas Sumber Daya Manusia 3.2.1. Pendidikan dan Keterampilan BPS Kabupaten Nias Utara (2014) menyebutkan rasio guru-murid SD, SMP, dan SMA/SMK di Kecamatan Sawo dan Lahewa telah memenuhi standard nasional pendidikan. Seperti yang terlihat pada Tabel 3.2.1., di Kecamatan Sawo setiap satu 1 SD mendidik 13 murid SD, 1 guru SMP mendidik 13 murid SMP, dan 1 guru SMA/SMK mendidik 8 murid SMA/SMK. Sementara itu, di Kecamatan Lahewa, 1 guru SD mendidik 11 murid SD, 1 guru SMP mendidik 16 murid SMP, dan 1 guru SMA/SMK mendidik 19 murid SMA/SMK. Tabel 3.2.1. Statistik Pendidikan Kecamatan Sawo Tahun Ajaran 2012-2013 Elemen
SD
SMP
SMA/SMK
Jumlah sekolah Jumlah murid Jumlah guru Rasio guru-murid Rasio murid-sekolah
11 1974 157 13 179
3 507 39 13 169
1 209 26 8 209
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Selain itu, rasio murid-sekolah SD, SMP, dan SMA/SMK juga sudah cukup baik. Tersedianya sarana dan prasarana sekolah, baik negeri dan swasta, mendukung tercapainya hal ini. Setelah terjadinya bencana gempa-tsunami dan pemekaran wilayah banyak sekolah dibangun di kedua kecamatan ini, baik oleh pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah, seperti LSM, yayasan, dan lainlain.
58
58
Tabel 3.2.2. Statistik Pendidikan Kecamatan Lahewa Tahun Ajaran 2012-2013 Elemen
SD
SMP
SMA/SMK
Jumlah sekolah Jumlah murid Jumlah guru Rasio guru-murid Rasio murid-sekolah
28 3.345 292 11 119
6 1.477 91 16 246
3 1.618 86 19 539
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Peningkatan jumlah sekolah dan juga guru menjadi peluang bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia di lokasi penelitian yang masih sangat rendah. Gambar 3.2.1. menunjukkan hampir setengah penduduk keempat desa yang berumur 7 tahun ke atas tidak sekolah dan tidak tamat SD. Untuk yang sekolah, hanya seperempatnya saja yang tamat SD dan sisanya tersebar pada tamat SMP (14,4 persen), tamat SD (10,2 persen). Bahkan, untuk yang tamat pendidikan tinggi D1 ke atas jumlahnya kurang dari 1 persen.
Gambar 3.2.1. Grafik Distribusi Penduduk Berumur 7 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) 59 59
Dari keempat desa, Seriwau merupakan desa yang tingkat partisipasi pendidikannya paling rendah. Gambar 3.2.2. menunjukkan lebih dari dua pertiga penduduk Seriwau berumur 7 tahun ke atas tidak sekolah dan tamat SD. Ketiga desa lainnya pun sebetulnya sama-sama mempunyai kualitas pendidikan yang rendah. Setengah penduduk Teluk Bengkuang dan Balefadorotuho sama-sama tidak sekolah dan tidak tamat SD. Hanya Pasar Lahewa saja yang jumlah penduduk tidak sekolah dan tidak tamat SD di bawah setengahnya (36,50 persen).
Gambar 3.2.2. Grafik Distribusi Penduduk Berumur 7 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Per Desa di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Kondisi ini tentunya perlu perhatian khusus. Rendahnya tingkat pendidikan formal menyebabkan kesempatan bekerja mereka menjadi terbatas. Lapangan pekerjaan, terutama sektor formal, yang membutuhkan ijazah pendidikan tentunya tidak dapat diakses oleh 60 60
mereka. Mereka akhirnya hanya bisa menjalankan aktivitas nafkah sesuai dengan kapasitas mereka. Jenis-jenis pekerjaan yang ekstraktif akhirnya menjadi yang paling banyak dipilih. Ketergantungan mereka terhadap alam menjadi sangat tinggi. 3.2.2.
Pekerjaan Utama dan Tambahan
Gambar 3.2.1. dan Tabel 3.2.4. menunjukkan sebagian besar penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja adalah laki-laki. Meskipun ada sedikit yang bekerja, perempuan di keempat desa lebih banyak tinggal di rumah dan mengurus rumah tangganya. Dari keempat desa, persentase penduduk laki-laki yang bekerja di Seriwau lebih besar daripada desa lainnya (67,9 persen) dan persentasi penduduk perempuan yang bekerja lebih banyak di Teluk Bengkuang (35,6 persen). Sementara itu, untuk presentasi perempuan yang mengurus rumah tangga ada di Balefadorotuho (64,9 persen). Selain bekerja dan mengurus rumah tangga, sebagian dari mereka bersekolah. Penduduk Pasar Lahewa memiliki presentasi penduduk yang menjalankan sekolah sebagai aktivitas utamanya.
Gambar 3.2.3. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) 61 61
L
Teluk Bengkuang L P L+P
Pasar Lahewa L P L+P
27,2 12,8 12,0 1,3 100 382
26,5 11,8 12,2 0,4 100 245
L 46,6
48,9
Balefadorotuho L P L+P
Tidak sekolah dan 65,6 70,5 68 48,6 50,1 50,0 39,6 33,3 36,5 44,5 54,7 tidak tamat SD Tamat SD 15,6 13,1 14,4 18,9 20,4 19,8 31,9 38,4 35,1 29,9 22,2 Tamat SMP 10,9 11,5 11,2 13,5 12,2 12,8 16,7 20,3 18,4 9,5 14,8 Tamat SMA 3,1 4,9 4,2 18,9 14,3 16,3 10,4 8,0 9,2 16,1 7,4 Tamat D1 ke atas 4,7 0 2,4 0 2,0 1,2 1,4 0 0,8 0 0,9 N 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 N 64 61 125 37 48 86 144 138 282 137 108 Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015
Seriwau P L+P
Tabel 3.2.3. Distribusi Penduduk Berumur 7 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase)
Tingkat Pendidikan
62 26,8 16,1 8,2 0,3 100 356
48,7
62
27,0 14,4 10,2 0,9 100 738
47,6
Total P L+P
63
67,9 24,5 1,9 5,7 53
20,0 21,8 47,3 10,9 55
43,5 23,1 25,0 8,3 108
Seriwau L P L+P 74,3 25,7 0,0 0,0 35
35,6 26,7 33,3 4,4 45
52,5 26,3 18,8 2,5 80
Teluk Bengkuang L P L+P 55,0 33,3 0,8 10,9 129
2,5 34,4 47,5 15,6 122
29,5 33,9 23,5 13,1 251
Pasar Lahewa L P L+P 59,6 35,1 1,8 3,5 114
1,0 26,8 64,9 7,2 97
32,7 31,7 1,2 6,3 211
Balefadorotuho L P L+P L
60,7 31,7 1,2 6,3 331
9,7 28,8 50,8 10,7 319
63
35,7 30,3 25,5 8,5 650
Total P L+P
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Bekerja Sekolah Mengurus RT Lainnya N
Kegiatan Utama
Tabel 3.2.4. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase)
Pekerjaan Utama Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, sektor pertanian, termasuk sub-sektor perikanan menyumbang kontribusi terbesar bagi PDRB Kabupaten Nias. Hal ini menandakan banyaknya penduduk yang bekerja di sektor dan sub-sektor ini. Uraian Bab 2 mengenai kekayaan sumber daya perikanan dan kelautan Kabupaten Nias Utara, termasuk keempat desa pesisir yang menjadi lokasi penelitian, menarik penduduk keempat desa untuk memanfaatkannya dan menjadikannya sebagai aktivitas nafkah/pekerjaan utamanya. Hal ini ditambah dengan tingkat partisipasi pendidikan yang sangat rendah sehingga tidak banyak pilihan pekerjaan yang bisa dilakukan.
Gambar 3.2.4. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015(Persentase)
64
64
Gambar 3.2.4. dan Tabel 3.2.5. menunjukkan hampir tiga perempat penduduk secara total di lokasi penelitian mempunyai pekerjaan utama di perikanan tangkap sebagai nelayan. Dilihat per desa, penduduk Seriwau, Pasar Lahewa, dan Balefadorotuho lebih dari setengahnya menjadikan perikanan tangkap sebagai pekerjaan utama. Bahkan, di Balefadorotuho, hampir semua penduduknya. Hanya Teluk Bengkuang saja yang persentasenya kurang dari setengahnya, yaitu hanya 39,5 persen saja. Namun demikian, perikanan tangkap tetap saja menjadi pekerjaan utama penduduk Teluk Bengkuang. Tabel 3.2.5. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015(Persentase) Lapangan Pekerjaan Utama
Seriwau
Teluk Bengkua ng
Pasar Lahewa
Balefadorotuh o
Tota l
Pertanian Perikanan Tangkap Perikanan budidaya Pertambangan/Penggalian Industri rumah tangga Listrik, Gas, dan Air Konstruksi Perdagangan Perikanan Perdagangan Nonperikanan Transportasi Laut Transportasi Darat Lembaga Keuangan dan Usaha Persewaan Jasa Kemasyarakatan Lainnya N
28,6 55,1 0,0 0,0 4,1 0,0 2,0 0 4,0
37,2 39,5 0,0 0,0 9,3 0,0 4,7 0,0 2,3
2,6 83,1 0,0 0,0 6,5 0,0 0,0 1,3 5,3
0,0 92,8 0,0 0,0 1,4 0,0 1,4 0,0 1,4
13,4 72,3 0,0 0,0 5,0 0,0 1,7 0,4 3,4
0,0 0,0 0,0
0,0 0,0 2,3
1,3 0,0 0,0
0 2,9 0,0
0,4 0,8 0,4
2,0 4,1 49
2,3 2,3 43
0,0 0,0 77
0,0 0,0 69
0,8 1,3 238
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
65 65
Setelah perikanan tangkap, pertanian yang dalam hal ini tanaman kebun, tanaman pangan, dan peternakan menjadi lapangan pekerjaan utama yang banyak dipilih penduduk Seriwau dan Teluk Bengkuang. Sekali lagi, adanya lahan yang tersedia dan tidak adanya kesempatan untuk bekerja di sektor/sub-sektor lainnya akibat rendahnya tingkat pendidikan menjadikan pertanian dipilih menjadi yang kedua terbanyak sebagai pekerjaan utama. Tanaman kelapa adalah komoditas perkebunan yang paling banyak dipilih mengingat wilayah kedua desa adalah pesisir. Namun demikian, di Teluk Bengkuang, beberapa penduduk sudah mulai menanam tanaman pangan dan hortikultura, seperti jagung, cabe rawit, cabe merah, sawi, dan semangka. Beberapa penduduk juga ada yang beternak kambing bagi yang muslim dan babi bagi yang nasrani. Untuk perikanan budidaya, tidak ada satu pun, padahal kondisi ekologi perairan laut dan juga pesisir keempat desa cocok untuk dilakukan kegiatan budidaya. Penduduk desa mengatakan sebetulnya kegiatan budidaya pernah dilakukan di semua desa, apalagi Pasar Lahewa dan Balefadorotuho yang pernah menjadi lokasi COREMAP II. Namun, biaya yang cukup mahal, proses yang merepotkan, pengelolaan yang tidak baik karena berbasis kelompok, tidak adanya pengetahuan teknis dan budaya, kendala pemasaran, dan alasan lainnya menyebabkan kegiatan perikanan budidya tidak dilanjutkan. Kegiatan perikanan budidaya hanya dilakukan selama program berlangsung, bahkan sebagian sudah gagal sejak awal dilaksanakannya program. Untuk industri rumah tangga, persentasenya masih sangat kecil, yaitu 5 persen saja untuk total lokasi penelitian. Meskipun persentasenya kecil, di setiap desa, ada penduduk yang menjadikannya sebagai pekerjaan utama, yaitu antara 1,4 – 9,3 persen untuk tiap desa. Kegiatan yang dilakukan semuanya berkaitan dengan industri makanan rumah tangga. Di Seriwau dan Pasar Lahewa ada yang membuat kue-kue. Di Teluk Bengkuang ada yang membuat kerupuk. Di Balefadorotuho ada yang membuat ikan asap. 66
66
Untuk perdagangan, persentasenya juga sangat kecil. Perdagangan non-perikanan ada di semua desa, namun untuk perdagangan perikanan hanya ada di Pasar Lahewa. Lokasinya yang dengan dengan tempat pelelangan ikan (TPI) menjadi peluang bagi sebagian kecil penduduk Pasar Lahewa untuk menjadikannya pekerjaaan utama. Untuk pekerjaan lainnya, nampaknya tidak merata di semua desa ada. Data dan informasi lebih lengkap mengenai lapangan pekerjaan utama penduduk keempat desa dapat dilihat pada Tabel 3.2.5. Tabel 3.2.6. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015(Persentase) Status Pekerjaan Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh dibayar Buruh/karyawan/pegawai Bekerja bebas pertanian Bekerja bebas non pertanian Pekerja tidak dibayar N
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Total
78,4 3,9
79,1 0,0
87,5 0,0
92,8 1,4
80,7 8,0
2,0
2,3
12,5
0,0
0,8
5,9 5,9 0,0 3,9 51
11,6 0,0 2,3 4,7 43
0,0 0,0 0,0 0,0 75
1,4 0,0 2,9 1,4 69
5,0 1,3 1,3 2,9 238
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Dilihat dari status pekerjaan utamanya, Tabel 3.2.6. menunjukkan sebagian besar pekerjaan utama dilakukan sebagai usaha yang dilakukan sendiri (tidak dibantu buruh dan juga tidak menjadi buruh). Di Seriwau persentasenya mencapai 78,4 persen, di Teluk Bengkuang 79,1 persen, di Pasar Lahewa 87,5 persen, dan di Balefadorotuho 92,8 persen. Hanya sebagian kecil saja yang dibantu buruh tidak dibayar (keluarga) dan buruh dibayar. Yang bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai tetap pun jumlahnya sangat sedikit. Artinya, sebagian besar penduduk keempat desa tidak mempunyai pendapatan 67 67
tetap. Mereka hanya akan mendapatkan pendapatan ketika mereka berusaha dan bekerja pada saat itu. Pekerjaan Tambahan Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan keberlanjutan penghidupannya, selain menjalankan strategi nafkah/pekerjaan utamanya, sebanyak 50 penduduk di lokasi penelitian juga menjalankan strategi nafkah ganda/pekerjaan tambahan. Gambar 3.2.3. dan Tabel 3.2.6. menunjukkan pertanian yang mencakup perkebunan, tanaman pangan, dan peternakan menjadi pekerjaan tambahan yang paling banyak dilakukan, yaitu sebanyak 46 persen. Kegiatan bertani dan berkebun biasanya dilakukan oleh para nelayan ketika tidak melaut karena gelombang tinggi. Mereka memanfaatkan pekarangan dan lahan-lahan yang ada di sekitar desa. Tanaman yang paling banyak ditanam adalah kelapa. Kelapa diambil hasilnya tiga bulan sekali. Ada yang dijual langsung dalam bentuk kelapa utuh segar (kelapa tua dan kelapa muda), ada juga yang dijuala dalam bentuk kopra. Biasanya kelapa tua yang dijual utuh-segar adalah yang ukurannya besar dan sedang, sedangkan yang ukurannya kecil diolah dulu menjadi kopra sebelum dijual. Kelapa ukuran kecil harganya murah sehingga perlu diolah menjadi kopra untuk mendapatkan nilai tambah. Beternak juga menjadi pekerjaan tambahan yang banyak dilakukan. Ternak-ternak mereka dipelihara di kandang dekat rumahnya. Pakan yang digunakan juga diperoleh dari sekitar rumahnya, seperti rerumputan untuk kambing dan daun ubi jalar untuk babi. Untuk kambing dan ayam biasanya mereka lepas di siang hari di sekitar rumah untuk mengurangi aktivitas menyediakan pakan. Selain dijual menjelang lebaran haji, kambing dijual kepada orang yang mau nikahan. Di Nias Utara, memberikan kepala kambing kepada kepala desa dan tokoh masyarakat menjadi kewajiban keluarga mempelai 68
68
muslim. Ini menjadi peluang jaminan tersedianya pasar bagi kambing sepanjang tahun. Selain itu, beternak juga melibatkan peran serta anggota rumag tangga perempuan, baik istri maupun anak nelayan, tanpa meninggalkan rumah. Ketika kepala dan anggota rumah tangga laki-laki menangkap ikan, anggota rumah tangga perempuan lah yang memelihara dan memberi pakan ternak-ternak tersebut.
Gambar 3.2.5. Grafik Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas yang bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015(Persentase) Pekerjaan menangkap ikan (nelayan) ternyata tidak hanya dijadikan sebagai pekerjaan utama. Beberapa penduduk yang pekerjaan utamanya bukan nelayan justru menjadikan perikanan tangkap ini sebagai pekerjaan sampingan. Di Seriwau jumlahnya mencapai 30,8 persen, Teluk Bengkuang 14,3 persen, dan Balefadorotuho 10,5 persen. Mereka menangkap ikan ketika aktivitas pada pekerjaan utamanya tidak terlalu sibuk atau sudah selesai. Menurut hasil diskusi di semua desa, beberapa tahun belakangan ini penduduk yang 69 69
menangkap ikan semakin bertambah dan bukan hanya penduduk yang tinggal di pesisir. Tabel 3.2.7. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun Ke Atas yang bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015(Persentase) Lapangan Pekerjaan Tambahan Utama
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Total
Pertanian Perikanan tangkap Perikanan budidaya Pertambangan/penggalia n Industri rumah tangga Listrik, gas, dan air Konstruksi Perdagangan perikanan Perdagangan non perikanan Transportasi laut Transportasi darat Lembaga keuangan dan usaha persewaan Jasa kemasyarakatan Lainnya N
30,8 30,8 0,0 0,0
50,0 14,3 0,0 0,0
25,0 0,0 0,0 0,0
57,9 10,5 0,0 5,3
46,0 16,0 0,0 2,0
0,0 0,0 0,0 0,0 15,4
21,4 0,0 0,0 0,0 0,0
0,0 0,0 0,0 50,0 0,0
0,0 0,0 5,3 5,3 0,0
6,0 0,0 2,0 6,0 4,0
0,0 0,0 0,0
0,0 0,0 0,0
0,0 0,0 0,0
0,0 15,8 0,0
0,0 6,0 0,0
7,7 15,4 13
0,0 14,3 14
0,0 25,0 4
0,0 0,0 19
2,0 10,0 50
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Orang-orang yang tinggal di “atas” (sebutan orang pesisir bagi orang non-pesisir) banyak yang turun melaut. Turunnya harga karet yang menjadi komoditas utama desa-desa “atas”, turunnya kualitas dan kuantitas hasil panen tanaman lainnya, dan alih fungsi lahan pertanian mendorong mereka untuk mencari pekerjaan tambahan dengan melaut. Celakanya, banyak dari mereka menggunakan racun tuba untuk memudahkan proses penangkapan ikannya. Selain membuat ikan-ikan sempoyongan, pingsan, dan mati, racun tuba juga 70
70
menyebabkan ekosistem terumbu karang dan padang lamun ikut rusak dan mati. Racun tuba merupakan racun tradisional yang dibuat dari jenis tumbuhan tertentu yang merambat. Beberapa tumbuhan yang digunakan untuk membuat racun tuba ini tumbuh subur di wilayahwilayah “atas”. Pengakuan warga keempat desa, dulu penduduk pesisir juga banyak yang menggunakannya, namun kekuatan racunnya tidak sekuat racun tuba dari “atas”. Namun, sejak ada penyuluhan COREMAP II dan sosialisasi lainnya, mereka sudah tidak menggunakan lagi. Tabel 3.2.8. Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015(Persentase) Status Pekerjaan Tambahan Utama Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh dibayar Buruh/karyawan/pegawa i Bekerja bebas pertanian Bekerja bebas non pertanian Pekerja tidak dibayar N
Seriwa u
Teluk Bengkuan g
Pasar Lahew a
Balefadorotuh o
Tota l
75,0 0,0
61,5 0,0
100,0 0,0
68,4 5,3
70,8 2,1
8,3
7,7
0,0
0,0
4,2
8,3
23,1
0,0
5,3
10,4
0,0 0,0
7,7 0,0
0,0 0,0
0,0 21,1
2,1 8,3
8,3 12
0,0 13
0,0 4
0,0 19
2,1 48
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Selain bertani (termasuk beternak) dan menangkap ikan, beberapa penduduk juga ada yang menjalankan kegiatan pengambilan pasir dan batu, industri rumah tangga, perdagangan perikanan, perdagangan non-perikanan, transportasi darat, jasa kemasyarakatan, dan lainnya. Namun, jumlahnya hanya sedikit. Selain itu, pekerjaan tambahan ini 71 71
sebagian besar dilakukan sendiri. Artinya, mereka tidak akan mendapatkan pendapatan ketika mereka tidak melakukan kegiatan pekerjaan tambahan ini (lihat Tabel 3.2.7). Selain itu, apabila dianalisis secara keseluruhan, penduduk yang mempunyai pekerjaan tambahan atau strategi nafkah ganda jumlahnya hanya sedikit, yaitu kurang dari seperempatnya. Sebagian besar dari mereka tidak punya pekerjaan tambahan. Ketika musim gelombang kuat datang, sebagian besar nelayan hanya diam di rumah dan kedai tanpa bisa melakukan pekerjaan tambahan. Padahal, berbagai pengeluaran terus berjalan dan berbagai kebutuhan hidup harus terus dipenuhi. Akhirnya, utang mereka di warung, tetangga, dan tengkulak makin bertambah. Kejadian seperti ini (tidak melaut dan berutang) adalah kejadian biasa yang selalu terjadi setiap tahunnya. Yang berbeda adalah dulu kondisi tidak melaut karena gelombang tinggi mereka syukuri saja sebagai proses agar laut dan daerah tangkapan ikannya istirahat, tidak diambil terus ikannya. Dulu, dalam kondisi seperti ini, ikan-ikan berkembang dan bertambah banyak. Mereka menjadikan hal ini sebagai tabungan dan ketika musim tenang mereka mengambil/memanen tabunganya dan membayar semua utang-utang mereka serta membeli berbagai kebutuhan yang tidak bisa dibeli di musim gelombang tinggi. Namun, saat ini dan sejak beberapa tahun ke belakang, kondisinya memprihatinkan. Nelayan sudah tidak punya “tabungan ikan” lagi. Ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan ekosistem lainnya tempat ikan memijah, mengasuh, dan mencari makan sudah rusak. Mereka kesulitan menangkap ikan di semua musim. Wilayah tangkap semakin bertambah jauh dan memerlukan biaya operasional yang tinggi, sementara pengeluaran dan kebutuhan mereka terus bertambah. Utang tidak lagi mampu dilunasi.
72
72
3.3. Kesejahteraan 3.3.1. Pemilikan dan Penguasaan Aset Produksi dan Non Produksi Dalam kerangka livelihood(penghidupan), aset produksi dan nonproduksi yang dimiliki rumah tangga menjadi modal/sumber daya fisik yang bisa digunakan rumah tangga untuk dikombinasikan dengan modal/sumberdaya livelihood lainnya, yaitu modal sosial, modal alam, dan modal insani, menjadi strategi nafkah/pekerjaan. Semakin banyak dan beragam aset-aset yang dimiliki dan dikuasai, semakin banyak pilihan pekerjaan yang bisa dilakukan dan semakn banyak hasil yang bisa diperoleh. Semakin tinggi teknologi yang dimilik dan dikuasai juga semakin meningkatkan kemampuan mereka menjalankan pekerjaannya dan mendapatkan hasilnya. Pada Tabel 3.3.1 terlihat sebagian besar rumah tangga nelayan hanya memiliki alat/sarana produksi yang masih sederhana. Perahu dengan motor tempel (biasanya 5 PK) dan pancing menjadi alat/sarana tangkap yang paling banyak dimiliki. Kapal motor hanya dimiliki oleh 3 rumah tangga (6,8 persen) di Seriwau dan 3 rumah tangga di Pasar lahewa (4,7 persen). Sementara itu, alat/sarana lainnya jumlahnya terbatas. Kondisi ini menandakan kemampuan mereka menangkap ikan masih sangat terbatas. Wilayah tangkapnya terbatas dan ikan yang dapat ditangkap pun terbatas. Padahal, di perairan Nias Utara banyak nelayan luar Nias yang menangkap ikan dengan menggunakan alat/sarana yang lebih canggih. Dengan kondisi ini sudah dipastikan mereka akan kalah bersaing. Kemudian, pada Tabel 3.3.2. dapat dilihat kepemilikan barang-barang berharga oleh rumah tangga di lokasi penelitian. Selain bisa digunakan sebagai modal fisik, seperti yang telah disampaikan di atas, kepemilikan barang-barang berharga juga menjadi indikator kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga yang punya rumah bisa dinilai lebih sejahtera daripada rumah tangga yang tidak punya. 73 73
Rumah tangga yang punya motor bisa dinilai lebih sejahtera daripada yang tidak punya. Pada tabel tersebut terlihat tidak semua rumah tangga di keempat desa mempunyai rumah sendiri. Di Seriwau, hampir sepertiga penduduk belum punya rumah sendiri. Jumlah ini paling besar dibandingkan dengan ketiga desa lainnya. Hal ini bisa dimaklumi. Mereka yang sekarang tinggal di wilayah pesisir Seriwau (Dusun II) saat ini sebagian besar adalah pindahan dari Pulau Sarangbaung (Dusun I) pasca terjadinya gempa dan tsunami 2006. Sebelum gempa, sebagian besar penduduk Seriwau tinggal di Pulau Sarangbaung. Kantor desa, SD, dan sarana umum lainnya ada di sana untuk menunjang kebutuhan penduduk Seriwau yang tinggal di Sarangbaung. Namun, kejadian gempa dan tsunami merusakkan pemukiman, kantor desa, dan sarana umum lainnya yang ada di pulau. Mereka pun terpaksa pindah ke Dusun II yang berada ada di pesisir Seriwau dengan menempati rumah-rumah orang lain atau membangun rumah di tanah orang lain. Untuk alat-alat elektronik, seperti televisi, VCD player, dan parabola, Seriwau dipastikan juga menjadi desa yang paling sedikit persentase kepemilikannya. Belum adanya aliran listrik PLN yang masuk ke Seriwau menjadi alasan terkuat rendahnya persentase kepemilikan alat-alat elektronik. Mereka hanya bisa mengandalkan listrik dari generator set (genset) yang dinyalakan dengan bahan bakar minyak (solar/bensin). Harganya yang mahal dan biaya operasionalnya yang tinggi membuat genset hanya dapat dimiliki oleh rumah tangga tertentu yang mampu atau dimiliki dan dioperasikan secara kolektif. Selain itu, kepemilikan barang-barang ini bisa juga dijadikan tabungan dan pekerjaan tambahan, terutama untuk hewan-hewan ternak, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Secara umum, sepertiga rumah tangga di keempat desa ini mempunyai hewan ternak dengan rincian Balefadorotuho sebagai desa yang memiliki rumah tangga pemilik ternak terbanyak dan Pasar Lahewa yang paling 74
74
sedikit. Ketersediaan lahan untuk kandang dan ketersediaan pakan menjadi faktor penentu. Meskipun tidak bisa terdata dengan baik, ayam menjadi hewan ternak yang paling banyak dimiliki. Khusus untuk kambing dan babi, kepemilikan dua hewan ternak ini identik dengan agama yang dianut. Bagi rumah tangga muslim, seperti di Seriwau dan Teluk Bengkuang yang semuanya beragama islam sudah dipastikan tidak ada babi. Begitu pun dengan Balefadorotuho yang sebagian besar adalah nasrani, babi menjadi pilihan utama kepemilikan hewan ternak.
75 75
76 9 22 3 0 1 0 1 1 0 2 6 44
Jumlah Unit 20,5 50,0 6,8 0,0 2,3 0,0 2,3 29,5 0,0 4,5 13,6
% RT
Seriwau
8 9 0 0 0 0 2 11 0 0 3 28
28,6 32,1 0,0 0,0 0,0 0,0 7,1 39,3 0,0 0,0 10,7
Teluk Bengkuang Jumlah % Unit RT 15 57 3 0 0 0 20 59 0 1 0 64
Jumlah Unit 23,4 89,1 4,7 0,0 0,0 0,0 31,3 92,2 0,0 1,6 0,0
% RT
Pasar Lahewa
14 47 0 0 0 0 9 21 0 0 8 64
21,9 73,4 0,0 0,0 0,0 0,0 14,1 32,8 0,0 0,0 12,5
Balefadorotuho Jumlah % Unit RT
46 135 6 0 1 0 32 104 0 3 17 200
Jumlah Unit
Total
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015
Perahu tanpa motor Perahu dengan motor Kapal motor Bagan Karamba Muroami/pukat cincin Jaring insang (gill net) Pancing rawai, ulur, tonda Tambak Alat transportasi komersil Lahan pertanian N
Alat/Sarana
Tabel 3.3.1. Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Kepemilikan Alat/Sarana Produksi di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015
76
23,0 67,5 3,0 0,0 0,5 0,0 16,0 52,0 0,0 1,5 8,5
% RT
77
28
27 13 8 12 12 19 1 14 0 0 2 0 11 13
96,4 46,4 28,6 42,9 42,9 67,9 3,6 50,0 0,0 0,0 7,1 0,0 39,3 46,4
Teluk Bengkuang Jumlah % Unit RT
64
61 49 23 45 1 28 0 2 0 0 0 0 2 17
95,3 76,6 35,9 70,3 1,6 43,8 0,0 3,1 0,0 0,0 0,0 0,0 3,1 26,6
Pasar Lahewa Jumlah % Unit RT
64
61 33 19 33 2 46 0 44 1 0 4 26 30 37
95,3 51,6 29,7 51,6 3,1 71,9 0 68,8 1,6 0,0 6,3 40,6 46,9 57,8
Balefa-dorotuho Jumlah % Unit RT
200
180 111 61 105 20 113 1 68 1 1 7 26 51 85
77
90,0 55,5 30,5 42,5 10,0 56,5 0,5 34,0 0,5 0,5 3,5 13,0 25,5 42,5
Total Jumlah % Unit RT
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015
44
31 16 11 15 5 20 0 8 0 1 1 0 8 18
Rumah TV VCD player Parabola Perhiasan Kend. roda dua Kend. roda empat Ternak Sapi Kerbau Kambing Babi Ayam/bebek Lainnya (HP, kipas angin) N Desa
70,5 36,4 25,0 34,1 11,4 45,5 0,0 18,2 0,0 2,3 2,3 0,0 18,2 40,9
Seriwau Jumlah % Unit RT
Alat/Sarana
Tabel 3.3.2. Statistik Kepemilikan Barang-Barang Berharga Rumah Tangga Terpilih di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015
78
78
BAB IV Pengetahuan dan Kepedulian Masyarakat terhadap Terumbu Karang, Padang lamun dan Mangrove
Akumulasi pengetahuan akan menentukan pola pikir dan perilaku suatu individu maupun komunitas. Selain pengetahuan, budaya juga menentukan perspektif dan kepedulian masyarakat terhadapsuatu masalah. Di wilayah pesisir sikap dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya eksosistem juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti desakan ekonomi. Kemudian faktor internal ekosistem pesisir akan berpengaruh terhadap keberadaan sumber daya laut. COREMAP pada fase 1 dan 2, sebagai pengejawantahan dalam pelestarian ekosistem laut terutama terumbu karang. Untuk tahun ini COREMAP berfokus ke tiga ekosistem yaitu terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan sangat membantu dalam program pelestarian ekosistem laut. Tantangan dalam pelestarian adalah sifat dan sikap keserakahan untuk meraih hasil yang tinggi dengan melupakan dampak yang ditimbulkan dalam melakukan eksploitasi hasil sumber daya laut. Tantangan pelestarian sumber daya laut tersebar di seluruh wilayah laut di Indonesia tidak terkecuali di Kabupaten Nias Utara. Nias Utara merupakan salah satu kawasan yang langsung berbatasan dengan samudera Indonesia. Selain itu jika dilihat dari geo politik dan keamanan peranan Nias Utara sebagai salah satu garda terdepan dalam pertahanan maritim Indonesia. Kemudian bagaimana khususnya masyarakat mengenai pengetahuan dan kepedulian terhadap kelestarian ekosistem sumber daya laut yang meliputi terumbu karang, padang lamun dan mangrove serta apa saja kegiatan terhadap pelestarian wilayah pesisir? Jawaban tersebut akan dipaparkan dalam analisis di bawah ini. 79 79
4.1.
Pengetahuan Masyarakat Tentang Keberadaan dan Kegunaan Mangrove, Padang Lamun dan Terumbu Karang
Dari hasil survei terlihat terhadap 200 responden di Kabupaten Nias Utara bahwa yang mengetahui dan memahami terumbu karang hanya 15 persen. Data ini sangat mencengangkan, karena responden merupakan nelayan namun ternyata pengetahuan dan pemahaman akan pengertian terumbu karang sangat sedikit. Mayoritas responden menjawab kurang mengetahui mengenai pengertian terumbu karang. Terumbu karang adalah kumpulan hewan yang membentuk rumah kapur. Jika pengertian ini mampu disosialisasikan dengan baik maka tingkat kerusakan diharapkan akan minimal. Selama ini yang ditemukan di tingkat nelayan menyatakan bahwa terumbu karang adalah batu dan tumbuhan. Kesalahan pengertian ini inilah yang berdampak terhadap tingkat kerusakan terumbu karang. Perlu adanya slogan terumbu karang merupakan hewan yang harus dilindungi keberadaannya.
Gambar 4.1.1. Distribusi Responden menurut Pengetahuan Tentang Pengertian Terumbu Karang, Padang Lamun dan Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara Tahun 2015(Persentase)
Kemudian potret pengetahuan penduduk sampel di Kabupaten Nias Utara mayoritas tidak mengetahui pengertian padang lamun. Ketika 80
80
hal ini ditanyakan ke nelayan, mayoritas nelayan bingung apa yang dimaksud padang lamun. Tidak adanya pengetahuan dan pengertian padang lamun meruapakan warning juga bagi stakeholder terkait untuk meningkatkan sosialisasi dengan massif. Hal inilah yang menjadikan program COREMAP sebagai salah satu jalan keluar agar program sosialisasi ini mampu berjalan. Potret gambaran mangrove yang mengetahui pengertiannya sebesar 8,5 persen dari total responden sebanyak 200 individu. Secara keseluruhan pengetahuan responden di Kabupaten Nias Utara dari hasil survei ini sangat merisaukan. Karena mayoritas sebagai nelayan tidak mengetaui secara mendalam keberadaan ketiga ekosistem tersebut. Tingkat Pengetahuan dan pemahaman tinggi, akan membantu program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Kemudian gambaran pengetahuan penduduk di setiap lokasi penelitian di Kabupaten Nias Utara di Kecamatan Sawo yang meliputi Teluk Bengkuang dan Seriwau serta Kecamatan Lahewa yaitu Kelurahan Pasar Lahewa dan Balefadorotuho bahwa pengetahuan penduduk sangat bervariatif. Dari ke empat wilayah survei, Kelurahan Pasar Lahewa memiliki pengetahuan yang lebih tinggi khususnya ekosistem terumbu karang dengan nilai mencapai 31,3 persen. Tingginya angka pengetahuan terhadap terumbu karang di Kelurahan Pasar Lahewa dibandingkan dengan ketiga desa lokasi survei lainnya karena ada beberapa hal. Pertama karena Kelurahan Pasar Lahewa pernah mendapatkan intervensi program COREMAP. Intervensi program COREMAP diantaranya adalah penyebarluasan informasi mengenai terumbu karang. Deskripsi hasil survei menunjukkan adanya perbedaan yang sangat tajam antara Kelurahan Pasar Lahewa dengan ketiga lokasi lainnya. Kedua adanya kegiatan edukasi kepada masyarakat yang pada akhirnya masyarakat mengetahui seluk beluk terumbu karang. Ketiga adalah akses informasi. Informasi mengenai keberadaan dan fungsi 81 81
terumbu karang lebih mudah didapatkan oleh nelayan Lahewa dibandingkan dengan ketiga lokasi survei lainnya. Penduduk sampel di lokasi penelitian lebih mengetahui ekosistem terumbu karang karena terumbu karang lebih familiar di masyarakat. Di samping itu program kampanye gencar terhadap penyelamatan terumbu karang dibandingkan dengan kedua ekosistem lainnya juga andil terhadap pengetahuan penduduk.
Gambar 4.1.2 Grafik Persentase Responden Menurut Pengetahuan Terumbu Karang, padang lamun dan Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, 2015
Pengetahuan penduduk terhadap terumbu karang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua eksosistem yang lain yaitu padang lamun dan mangrove. Untuk ekosistem padang lamun di ke-empat lokasi survei, tidak ada yang mengetahui mengenai padang lamun. Kemudian pengetahuan penduduk yang mengetahui terumbu karang terdapat di Kelurahan Pasar Lahewa mencapai 31,3 persen dengan jumlah sampel mencapai 64 individu. Pengetahuan penduduk dan pemahaman terumbu karang terendah terdapat di Desa Teluk Bengkuang.Kemudian pengetahuan penduduk yang tidak mengetahui terhadap padang lamun, tertinggi ditemukan di Desa Teluk Bengkuang dengan persentase mencapai 79,3. Rendahnya 82
82
pengetahuan Desa Teluk Bengkuang terhadap padang lamun disebabkan oleh tidak masifnya informasi mengenai seluk beluk padang lamun.Hal ini juga yang terjadi terhadap pengetahuan ekosistem terumbu karang. Di samping itu penduduk di Teluk Bengkuang meskipun berada di wilayah pesisir tidak begitu menyatu dengan laut. Data dari indept interview menyebutkan, bahwa sejarahnya pada waktu dulu mata pencaharian utama adalah nelayan. Namun karena hasil dari sektor nelayan tidak mencukupi maka beralih ke pekerjaan utama sebagai pekebun. Hal ini dapat dilihat dari varian jenis pekerjaan penduduk yang sebagian berorientasi di darat yaitu di perkebunan. Selain itu Desa Teluk Bengkuang tidak masuk dalam program COREMAP sebelumnya sehingga penduduk tidak begitu mengenal padang lamun. Kemudian, untuk pengetahuan penduduk terhadap eksositem mangrove sangat bervariasi. Penduduk di Balefadorotuho memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap mangrove lebih tinggi di banding dengan kedua desa lainnya. Mangrove ditemukan di lokasi survei Desa Balefadorotuho, Teluk Bengkuang, Seriwau. Kemudian di Kelurahan Pasar Lahewa keberadaan mangrove tidak sebanyak di ketiga desa lokasi survei lainnya. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa pemahaman penduduk di Kelurahan Pasar Lahewa terhadap mangrove lebih rendah. Deskripsi pengetahuan penduduk terhadap ekosistem terumbu karang sangat bervariasi. Kemudian jika di kaitkan dengan pengetahuan mengenai fungsi keberadaan terumbu karang Kelurahan Pasar Lahewa menempati urutan pertama berdasarkan persentase hasil survei. Tingginya varian pengetahuan penduduk terhadap fungsi ekosistem disebabkan karena intensifnya program COREMAP di wilayah setempat. Tingginya pengetahuan fungsi terumbu karang di Kelurahan Pasar Lahewa menunjukkan transfer ilmu pengetahun telah berlangsung dan terinternalisasi di seluruh lapisan penduduk.Hal tersebut berbeda dengan di Desa Balefadorotuho padahal desa ini juga menjadi lokasi COREMAP pada fase sebelumnya. Tujuan 83 83
COREMAP, semakin terinternalisasi pengetahuan penduduk terhadap terumbu karang maka diharapkan kesadaran penduduk untuk menjaga keberadaannya semakin meningkat. Semakin baiknya kondisi terumbu karang maka akan meningkatnya populasi ikan baik dari sisi jumlah maupun bervariasinya jenis ikan. Tabel 4.1.1. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Fungsi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, 2015(Persentase) Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
67,4%
41,4%
100,0%
79,7%
Melindungi keanekaragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati) Melindungi daerah pesisir dari intrusi air laut (merembesnya/masuknya air laut ke daratan) Melindungi daerah pesisir dari ombak, angin, badai dan topan/siklon Melindungi daerah pesisir dari bencana banjir
58,1%
41,4%
68,8%
70,3%
19,0%
10,3%
95,3%
23,4%
23,3%
10,3%
93,8%
15,6
20,9%
6,9%
93,8%
14,1
Melindungi daerah pesisir dari erosi/abrasi Melindungi daerah pesisir dari ancaman tsunami
23,3%
10,3
93,8%
21,9%
23,3%
20,7%
93,8%
21,9%
43
29
64
64
Fungsi Terumbu Karang Tempat ikan/biota hidup, bertelur, memijah dan mencari makan
N
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Pengetahuan penduduk terhadap fungsi terumbu karang di Kelurahan Pasar Lahewa ditunjang dengan akses informasi lebih mudah 84
84
dibandingkan dengan ketiga desa lainnya. Selain itu intervensi program dari COREMAP lebih dahulu ada dibandingkan dengan keduadesa lainnya. Selain itu dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk di Kelurahan Pasar Lahewa lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga lokasi survei lainnya. Tingginya pendidikan akan berpengaruh dalam penerimaaan suatu program dari pemerintah. Semakin tinggi pendidikan maka pemahaman dan pengetahuan penduduk terhadap suatu program akan tinggi pula. Tabel 4.1.2. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Fungsi Padang Lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, 2015 (Persentase) Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Tempat ikan/biota hidup, bertelur, memijah dan mencari makan Melindungi keanekaragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati) Melindungi daerah pesisir dari intrusi air laut (merembesnya/masuknya air laut ke daratan) Melindungi daerah pesisir dari ombak, angin, badai dan topan/siklon Melindungi daerah pesisir dari bencana banjir
37,2
17,2
95,3
23,8
41,9
24,1
64,1
30,2
35,7
17,2
51,6
12,7
34,9
10,3
20,3
7,9
18,6
10,3
15,6
3,2
Melindungi daerah pesisir dari erosi/abrasi Melindungi daerah pesisir dari ancaman tsunami
23,3
10,3
15,6
11,1
37,2
10,3
15,6
9,5
43
29
64
64
Fungsi Padang Lamun
N
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015. 85 85
Pengetahuan penduduk terhadap padang lamun tidak merata. Di Desa Balefadurotu pengetahuan penduduk terhadap fungsi padang lamun lebih rendah dibanding desa yang lain. Hal ini disebabkan oleh beberapa sebab yaitu pertama Desa Balefadorotuho dilihat dari segregasi penduduk yang bekerja sebagai nelayan merupakan campuran atau nafkah ganda. Bahkan sebagian nelayan merupakan pekebun yang ada di wilayah jauh dari pesisir. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pengetahuan penduduk di Balefadorotuho lebih rendah dibandingkan dengan lokasi survei lainnya. Padahal Desa Balefadorotuhomerupakan desa COREMAP. Hal ini mengindikasikan bahwa program COREMAP sebelumnya tidak tersebar luas di kalangan penduduk. Kemudian pengetahuan penduduk tentang fungsi mangrove, penduduk di Kelurahan Pasar Lahewa lebih tinggi di bandingkan dengan ketiga desa lokasi survei lainnya. Pengetahuan penduduk terhadap fungsi mangrove sebagai daerah pelindung wilayah pesisir cukup rendah terlihat di Desa Teluk Bengkuang. Keberadaan mengrove justru oleh sebagian penduduk dijadikan sebagai kayu bakar. Namun secara keseluruhan keberadaan mangrove masih terpelihara. Keberadaan mangrove sangat berguna sebagai pelindung bagi daerah pesisir dari abrasi. Keberadaan mangrove di Teluk Bengkuang dan Seriwau masih terjaga.
86
86
Tabel 4.1.3. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Mangrove, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Fungsi mangrove
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Tempat ikan/biota hidup, bertelur, memijah dan mencari makan
20,9
24,1
96,9
49,2
Melindungi keanekaragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati) Melindungi daerah pesisir dari intrusi air laut (merembesnya/masuknya air laut ke daratan) Melindungi daerah pesisir dari ombak, angin, badai dan topan/siklon
25,6
27,6
98,4
46,0
69,8
31,0
100
55,6
69,8
41,4
100
63,9
Melindungi daerah pesisir dari bencana banjir Melindungi daerah pesisir dari erosi/abrasi Melindungi daerah pesisir dari ancaman tsunami
69,8
37,9
100
39,7
69,8
41,4
100
46,0
69,8
31,0
100
44,4
43
29
64
64
N
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
87 87
Gambar 4.1.3. Foto Kondisi Pesisir Di Desa Seriwau Yang Sebagian Masih Ditumbuhi Mangrove Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015
Kemudian bagaimana pengetahuan penduduk terhadap manfaat keberadaan terumbu karang? Dari hasil survei di keempat lokasi terlihat bahwa Kelurahan Pasar Lahewa memiliki tingkat pengetahuan manfaat yang cukup tinggi di bandingkan dengan wilayah lainnya. Pengetahuan terhadap manfaat terumbu karang penduduk di Kelurahan Pasar Lahewa khususnya sebagai sumber protein memiliki proposorsi persentase paling tinggi dengan jumlah mencapai 92,2 persen. Manfaat terumbu karang sebagai sumber protein karena sebagai sumber makanan yang bergizi, menjadikan keberadaan terumbu karang perlu untuk dilestarikan. Pengetahuan akan manfaat terumbu karang di kalangan penduduk akan semakin menjadikan program pelestarian terumbu karang akan semakin mudah. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk pengetahuan penduduknya rendah terhadap pengetahuan manfaat terumbu karang.
88
88
Tabel 4.1.4. Persentase Responden Menurut Pengetahuan manfaat Tentang Terumbu Karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Manfaat Terumbu Karang
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Sumber protein (dikonsumsi) dari ikan/biota di ekosistem tersebut Sumber pendapatan
62,8
41,4
92,2
51,6
62,8
34,5
78,1
20,3
Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (misal: obat, pondasi rumah, kayubakar, hiasan, dll) Sumber bahan baku untuk keperluan industri/pertambangan Tempat wisata
32,6
10,3
29,7
12,5
14,0
6,9
20,7
14,1
46,5
34,5
82,8
54,7
Tempat penelitian/pendidikan
69,8
34,5
84,4
54,7
43
29
64
64
N
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Kemudian pengetahuan penduduk terhadap manfaat padang lamun di lokasi penelitian sangat bervariatif. Pengetahuan penduduk di Balefadorotuho memiliki rata-rata yang rendah dibandingkan dengan lokasi survei lainnya. Ketika hal ini ditanyakan kepada penduduk setempat karena tidak mengetahui keberadaan padang lamun. Oleh karena itu penduduk setempat tidak mengetahui secara sempurna manfaat keberadaan padang lamun. Hal ini cukup berbeda dengan pengetahuan penduduk di Kelurahan Pasar Lahewa. Penduduk dikelurahan Pasar Lahewa memiliki rata-rata pengetahuan manfaat padang lamun lebih tinggi dibandingkan lokasi survei lainnya. Di samping didukung dengan adanya program COREMAP sudah masuk di wilayah ini pada tahun sebelumnya. Juga didukung oleh pengetahuan masyarakat setempat terhadap keberadaan padang lamun. 89 89
Tabel 4.1.5. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Manfaat Padang Lamun, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
48,8
34,5
60,9
19,0
Sumber pendapatan
30,2
17,2
54,7
11,1
Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (misal: obat, pondasi rumah, kayubakar, hiasan, dll) Sumber bahan baku untuk keperluan industri/pertambangan
18,6
13,8
17,2
6,3
23,3
6,9
15,6
9,5
Tempat wisata
25,6
13,8
17,2
9,5
Tempat penelitian/pendidikan
65,1
34,5
81,3
36,5
43
29
64
64
Manfaat Terumbu padang lamun Sumber protein (dikonsumsi) dari ikan/biota di ekosistem tersebut
N
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Namun demikian keberadaan padang lamun maupun terumbu karang memiliki tantangan terhadap kelestariannya. Keberadaan ekosistem terancam karena adanya tekanan ekonomi maupun tekanan sosial khususnya adanya pendatang dari luar pulau yang mulai merusak ekosistem padang lamun maupun terumbu karang. Hasil FGD dengan nelayan di Lahewa menyatakan Padang lamun dan terumbu karang di perairan Kecamatan Lahewa mulai mengalami tekanan kerusakan ketika nelayan dari luar Nias, terutama dari Sibolga, datang di akhir tahun 1970-an dengan menggunakan bom dan pukat harimau. Adanya tekanan kerusakan dari luar maka memicu 90
90
pemahaman penduduk untuk berlomba-lomba meraih pendaptan yang tinggi dengan membom ekosistem padang lamun maupun terumbu karang. Oleh karena itu wajar jika sebagian penduduk khususnya di Balefadorotuho tidak mengetahui keberadaan padang lamun. Hal tersebut bisa terjadi karena sedikitnya ekosistem padang lamun ditemukan diperairan setempat. Kemudian dilihat dari rangkaian sejarahnya, pada periode 1980-an, jumlahnya semakin meningkat, bahkan penggunaan bom mulai ditiru oleh nelayan lokal. Di akhir 1990-an sampai dengan 2005, penggunaan bom semakin meningkat, baik oleh nelayan luar maupun nelayan lokal. Adanya tekanan terhadap ekosistem tersebut maka mengakibatkan keberadaan padang lamun menjadi terancam. Padahal manfaat padang lamun sangat besar dari sisi manfaat sebagai sumber pendapatan, protein bahkan sebagai pelindung dari intrusi air laut. Kondisi pengetahuan penduduk terhadap ekosistem mangrove cukup berbeda dengan mangrove. Di ke empat lokasi survei rata-rata penduduk di Kelurahan Pasar Lahewa memiliki tingkat pengetahuanmanfaat yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga lokasi survei lainnya. Keberadaan mangrove sebagai sumber pendapatan maupun protein belum seutuhnya di penduduk di Teluk Bengkuang mengetahuinya. Penduduk mengetahui mangrove sebagai pelindung dari abrasi dan sebagai bahan baku keperluan sendiri seperti bahan bakar kayu. Dari hasil FGD dengan nelayan di Lahewa, menyebutkan bahwa mangrove atau bakau lebih banyak dirusak oleh masyarakat lokal dengan alasan kebutuhan kayu bakar dan alih fungsi lahan menjadi lahan pertanian, tambatan perahu, rumah, dan kebutuhan pembangunan lainnya. Rusaknya ekosistem mangrove disebabkan oleh tidak tahunya fungsi dan manfaat mangrove khususnya sebelum tahun 2005. Pengetahuan penduduk akan pentingnya manfaat mangrove terbuka pemikirannya setelah ketika terjangan tsunami lebih sedikit pada 2005 lalu. Daerah-daerah pesisir yang bakaunya 91 91
masih baik menjadi daerah yang terdampak lebih sedikit. Bakaubakau yang ada melindungi daerah mereka dari terjangan tsunami. Adanya stunami tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi penduduk setempat akan pentingnya mangrove. Tabel 4.1.6. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Manfaat mangrove , di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Manfaat mangrove
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Sumber protein (dikonsumsi) dari ikan/biota di ekosistem tersebut Sumber pendapatan
14,0
20,7
62,5
35,9
60,5
27,6
93,8
14,1
Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (misal: obat, pondasi rumah, kayubakar, hiasan, dll) Sumber bahan baku untuk keperluan industri/pertambangan Tempat wisata
62,8
34,5
98,4
26,6
34,9
10,3
53,1
14,1
67,4
37,9
29,7
15,6
Tempat penelitian/pendidikan
65,1
37,9
62,5
23,4
43
29
64
64
N
Balefadorotuho
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Namun pengetahuan manfaat mangrove sebagai tempat wisata dan penelitian masih perlu ditingkatkan. Di Teluk Bengkuang sudah ada embrio wisata yang di dalamnya memanfaatkan keberadaan mangrove dan padang lamun. Di samping itu juga memanfaatkan keberadaan terumbu karang yang sebagian masih dalam kondisi cukup baik. Jika hal ini dapat dikembangkan maka akan mendatangkan devisa. Selain itu akan menghidupkan sektor ekonomi penduduk setenpat. Oleh karena itu diperlukan berbagai intervensi dari pemerintah untuk 92
92
bersama-sam menjaga kelestarian ekosistem tersebut. Salah satunya demgan sosialisasi mengenai manfaat multi fungsi dari keberadaan eksosistem mangrove, padang lamun maupun terumbu karang.
Gambar 4.1.4. Foto FGD Dengan Nelayan Di Kecamatan Lahewa Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015
4.2.Persepsi Masyarakat Tentang Kondisi Dan Faktor Yang Menyebabkan Kerusakan Terumbu Karang, Padang Lamun Dan Mangrove Kemudian bagaimana kondisi saat ini terumbu karang dilokasi penelitian? Dari hasil survei menyatakan bahwa kondisi terumbu karang kurang baik terdapat di Desa Seriwau, kelurahan Lahewa dan Balefadorotuho. Di lain pihak di Desa Teluk Bengkuang justru 51,7 persen menyatakan tidak mengetahui kondisi terumbu karang di wilayah mereka. Hal ini mencerminkan bahwa pengetahuan penduduk akan kondisi terumbu karang rendah. Rendahnya pengetahuan manfaat terumbu karang disebabkan bahwa penduduk di Teluk Bengkuang lebih berorientasi ke darat yaitu perkebunan maupun pertanian. Dengan demikian tidak mengetahui persis kondisi terumbu karang terutama kepada penduduk perempuan maupun anak-anak 93 93
diatas 15 tahun. Bidang kenelayanan bagi sebagian penduduk di Teluk Bengkuang merupakan pekerjaan sampingan dan bukan menjadi pekerjaan utama. Oleh karena itu sangat di mengerti jika Desa Teluk Bengkuang mayoritas penduduknya tidak mengetahui kondisi terumbu karang di wilayah mereka. Tabel 4.2.1. Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisiterumbu karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Kondisi Terumbu Karang
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
BalefaDorotuho
Baik
30,2
24,1
9,4
34,4
Kurang Baik
48,8
13,8
4,7
3,4
15,6
4,7
Rusak Tidak Tahu
71,9
42,2
16,3
51,7
3,1
18,8
Tidak Berlaku
0,0
2,0
0
0
N
43
29
64
64
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Hasil survei mengenai pendapat responden rumah tangga di Teluk Bengkuang terhadap kondisi terumbu karang di Teluk Bengkuang dengan di Kelurahan Pasar Lahewa sangat jauh berbeda. Mayoritas responden di Kelurahan Pasar Lahewa menyebutkan bahwa kondisi terumbu karang di wilayah mereka kurang baik dengan persentase mencapai 71,9. Dari hasil FGDnelayan di Kecamatan Lahewa menyatakan ada beberapa fase sejarah rusaknya terumbu karang di wilayah mereka. Pada periode 1980-an, jumlahnya semakin meningkat, bahkan penggunaan bom mulai ditiru oleh nelayan lokal. Di akhir 1990-an sampai dengan 2005, penggunaan bom semakin meningkat, baik oleh nelayan luar maupun nelayan lokal. Bisa dikatakan ada persaingan dalam memanfaatkan sumber daya 94
94
perikanan di Nias Utara. Lebih lanjut dari hasil FGD nelayan di Kecamatan Lahewa menyatakan bahwa : Nelayan dari Sibolga yang datang ke perairan Lahewa biasanya menggunakan kapal besar dengan ukuran di atas 30 GT dengan mesin fuso 1-2 unit. Bahkan, kapal yang menggunakan pukat harimau dipastikan menggunakan 2 unit ketika menarik pukat harimaunya. Pukat harimau dijatuhkan sampai dasar laut dan ketika ditarik akan menarik dan merusak semua terumbu karang dan semua biota laut, termasuk ikan-ikan di yang masih kecilLahewa dan padang lamun. diBegitu pun dengan Meskipun Kecamatan khususnya Kelurahan Lahewa penggunaan bom, bom akan mematikan semua biota laut yang terkena sebagai lokasi program COREMAP namun belum seutuhnya mampu ledakan bom dan sekitarnya, temasuk terumbu karang dan padang lamun. Meskipun pemilik kapal adalah orang Sibolga, sebagian besar ABK (bahkan nahkodanya) adalah nelayan dari Nias. Nelayan dari Nias ini menjadi penunjuk lokasi-lokasi yang banyak ikannya.
menyelamatkan terumbu karang. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi berbagai stakesholder untuk menggalang kesadaran penduduk akan pentingnya kondisi terumbu karang. Di samping itu ketegasan dari aparat negara sangat diperlukan. Karena jika ada pembiaran terhadap perusakan terumbu karang maka akan memicu kepada pihak lainnya untuk berlomba-lomba untuk merusak terumbu karang tanpa mengindahkan dampak yang ditimbulkan. Kondisi terumbukarang tidak jauh berbeda dengan kondisi padang lamun. Lokasi terparah adalah di Kelurahan Pasar Lahewa. Dari hasil survei menyatakan bahwa di Kelurahan Pasar Lahewa lebih dari 70 persen responden menyatakan bahwa kondisi padang lamun adalah kurang baik. Kondisi pengetahuan kondisi ini juga didukung oleh kebiasaan atau mata pencaharian penduduk setempat yang bergantung kepada hasil laut, dibandingkan dengan ketiga lokasi survei lainnya. Di lokasi survei lainnnya dapat dijumpai banyak yang memiliki nafkah ganda seperti nelayan dan perkebunan. Dengan demikian pengetahuan maupun kesadaran terhdap kondisi padang lamun cukup jauh berbeda dibandingkan dengan nelayan di Lahewa. Selain itu eksploitasi sumber daya laut juga lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga lokasi survei lainnya. Hal ini dapat dilihat dari alat tangkap maupun dari kondisi pelabuhan di lokasi penelitian. 95 95
Tabel 4.2.2. Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisi Padang Lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Kondisi Padang Lamun
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Baik
51,2
31,0
9,4
0,0
Kurang Baik
18,6
10,3
70,3
3,1
9,3
0,0
12,5
7,8
20,9
51,7
6,3
85,9
0,0
6,9
1,6
3,1
43
29
64
64
Rusak Tidak Tahu Tidak Berlaku N
Balefadorotuho
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Pengetahuan penduduk terhadap terumbu karang, padang lamun juga berbanding lurus dengan mangrove. Pengetahuan kondisi terhadap mengrove, di Desa Teluk Bengkuang yang menyatakan tidak tahu kondisi mangrove cukup tinggi yaitu 55,2 persen. Hal ini jauh berbeda dengan di Kelurahan Pasar Lahewa hanya 3,1 persen yang menyatakan tidak tahu. Persoalan fokus mata pencaharian menjadi jawabannya. Aktivitas nelayan sebagai mata pencaharian kedua. Dan di desa ini banyak ditemukan nafkah ganda yaitu pekebun dan nelayan. Oleh karena itu wajar jika pengetahun penduduk terhadap kondisi mangrove sangat jauh berbeda dengan di Kelurahan Pasar Lahewa yang lebih berorientasi ke laut.
96
96
Gambar 4.2.1. Foto Pantai Turuleto di Balefadorotuho Sumber : dokumentasi pribadi, 2015 Kemudian kerusakan kondisi mangrove disebabkan oleh dua hal yaitu oleh ulah manusia dan alam. Gempa dan tsunami juga andil sebagai penyebab kerusakan yang sangat besar bagi ekosistem bakau. Selain itu, gempa yang menyebabkan naiknya dasar laut ke permukaan berakibat rusaknya mangrove secara luas di wilayah Lahewa. Tabel 4.2.3. Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisi Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Kondisi Mangrove
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Baik
27,9
24,1
10,9
0,0
Kurang Baik Rusak
18,6
10,3
59,4
28,1
7,0
0,0
26,6
29,7
Tidak Tahu Tidak Berlaku N
44,2
55,2
3,1
42,2
2,3
10,3
0,0
0,0
43
29
64
64
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
97 97
Dampak lebih lanjut bencana alam gempa telah menyebabkan naiknya dasar laut juga merusak ekosistem terumbu karang dan padang lamun secara meluas. Terumbu karang dan padang lamun ikut terangkat sehingga mengalami kematian. Di pantai Turutelo, Desa Balefadorotuho, misalnya dapat dilihat sisa-sisa terumbu karang yang terangkat. Bencana gempa dan tsunami bagi sebagian penduduk di wilayah pesisir memberikan arti betapa pentingnya menjaga kondisi mangrove. Mangrove memiliki multi fungsi selain sebagai penghadang laju tsunami, abrasi juga sebagai sarang bertelunya ikan. Kemudian setelah mengetahui kondisi ketiga ekosistem tersebut , apa yang menyebabkan kerusakannya? Jawaban tersebut akan dipaparkan dalam bagian tulisan dibawa ini berdasarkan hasil survei maupun FGD. Dari beberapa item pertanyaan yang dimunculkan bahwa pemboman dan pembiusan merupakan jawaban paling tinggi yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Hal ini seperti yang telah dijelaskan dalam bagian tulisan diatas bahwa pemboman telah berlangsung cukup lama. Peristiwa tersebut disebabkan adanya tuntutan kebutuhan dan keserakahan untuk memperoleh hasil yang lebih tinggi.
98
98
Tabel.4.2.4. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Tentang Penyebab Kerusakan Terumbu Karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Penebangan hutan mangrove secara berlebihan
100,0
100,0
100,0
100,0
Penangkapan ikan/biota secara berlebihan Penangkapan ikan/biota menggunakan alat/bahan yang merusak (misal: bom, bius, pukat harimau, dll)
30,2
3,4
48,4
12,5
48,8
6,9
84,4
25,0
Pencemaran (sampah rumah tangga/pasar, limbah minyak, logam berat dll dari kapal/industri/ pertanian) Pembuatan tambak/keramba secara berlebihan Penambangan pasir/batu/batu karang untuk pembangunan di wilayah pantai/pesisir Kegiatan pariwisata yang merusak (misal: menginjak karang, mengambil karang hidup, membuang jangkar di karang). Faktor alam (misal: tsunami, gempa, badai, perubahan iklim/cuaca, banjir, dll) N
27,9
3,4
78,1
18,6
4,7
3,4
15,6
6,3
37,2
6,9
46,9
17,2
37,2
3,4
45,3
21,9
32,6
6,9
84,4
21,9
43
29
64
64
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan oleh adanya gempa bumi. Dari hasil FGD dengan nelayan di Kecamatan Lahewa khususnya Pasar Lahewa dan Balefadorotuho menyebutkan nelayan di perairan Lahewa mulai merasakan berkurangnya hasil tangkapan ikan 99 99
ketika penggunaan pukat harimau dan bom mulai masuk di perairan Lahewa. Menurut nelayan setempat kerusakan karena diawali ulah nelayan dari Sibolga yang menangkap ikan dengan menggunakan pukat harimau. Bahkan, sejak tahun 1990-an hasil tangkapan ikan mengalami penurunan setengahnya dan terus menurun menjadi sepertiganya sejak awal tahun 2000-an. Selain jumlah tangkapan menurun, nelayan juga mengeluhkan semakin jauhnya daerah penangkapan. Hal ini berdampak pada bertambahnya waktu dan biaya operasional. Pendapatan bersih (keuntungan) yang diperoleh pun menjadi berkurang drastis. Kondisi yang terjadi dengan ekosistem terumbu karang juga terjadi di padang lamun. Pembiaran perusakan yang dilakukan oleh nelayan menambah rusaknya ekosistem perairan Nias Utara. Hal ini karena tidak berfungsinya secara optimal dari berbagai pihak dalam melakukan fungsi pengawasan. Selanjutnya penyebab kerusakan mangrove responden menyatakan bahwa faktor alam merupakan penyebab utama kerusakan. Hal ini juga diakibatkan oleh adanya bencana gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004. Bencana tersebut masih terakumulasi dalam ingatan penduduk sehingga sebagian menyatakan bahwa bencana merupakan penyebab utama kerusakan mangrove. Meskipun sebagian kecil yang lain menyatakan bahwa kerusakan juga disebabkan oleh pencemaran sampah.
100
100
Tabel 4.2.5. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Tentang Penyebab Kerusakan padang lamun, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Penangkapan ikan/biota secara berlebihan
14,0
6,9
45,3
0,0
Penangkapan ikan/biota menggunakan alat/bahan yang merusak (misal: bom, bius, pukat harimau, dll)
20,9
10,3
46,9
0,0
Pencemaran (sampah rumah tangga/pasar, limbah minyak, logam berat dll dari kapal/industri/ pertanian)
11,6
6,9
75,0
1,6
Pembuatan tambak/keramba secara berlebihan
4,7
3,4
12,5
1,6
Penambangan pasir/batu/batu karang untuk pembangunan di wilayah pantai/pesisir
4,7
10,3
12,5
0,0
Kegiatan pariwisata yang merusak (misal: menginjak karang, mengambil karang hidup, membuang jangkar di karang). Faktor alam (misal: tsunami, gempa, badai, perubahan iklim/cuaca, banjir, dll)
9,3
3,4
42,2
3,1
14,0
6,9
79,7
0,0
N 43 29 64 Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
64
101 101
Tabel 4.2.6. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Tentang Penyebab Kerusakan mangrove, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Penyebab Kerusakan Terumbu Karang
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
14,0
3,4
35,9
25,0
Penangkapan ikan/biota secara berlebihan
9,3
3,4
17,2
7,8
Penangkapan ikan/biota menggunakan alat/bahan yang merusak (misal: bom, bius, pukat harimau, dll)
20,9
3,4
17,2
17,2
Pencemaran (sampah rumah tangga/pasar, limbah minyak, logam berat dll dari kapal/industri/ pertanian)
18,6
3,4
48,4
14,1
Pembuatan tambak/keramba secara berlebihan
4,7
3,4
15,6
14,1
Penambangan pasir/batu/batu karang untuk pembangunan di wilayah pantai/pesisir
4,7
6,9
15,6
18,8
16,3
3,4
45,3
17,2
23,3
6,9
82,8
26,6
43
29
64
64
Penebangan hutan mangrove secara berlebihan
Kegiatan pariwisata yang merusak (misal: menginjak karang, mengambil karang hidup, membuang jangkar di karang). Faktor alam (misal: tsunami, gempa, badai, perubahan iklim/cuaca, banjir, dll) N
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
102
102
Rusaknya ketiga ekosistem tersebut akan menyebabkan hasil tangkapan berkurang. Indikasi berkurangnya hasil tangkapan tersebut kira-kira sejak tahun 2005. Dari hasil FGD menyebutkan bahwa nelayan luar yang datang dan nelayan lokal pengguna bahan destruktif berkurang drastis. Dugaan penyebab: 1. Ikan berkurang akibat kerusakan ekosistem tempat hidup ikan: TK, PD, dan M rusak akibat pengeboman dan pembiusan 2. Ikan berkurang akibat kerusakan ekosistem tempat hidup ikan: TK, PD, dan M rusak akibat gempa & tsunami COREMAP mulai masuk Kebiasaan nelayan lokal maupun dari luar untuk tidak melakukan pemboman hanya berlangsung beberapa saat khususnya saat program COREMAPberlangsung. Pada tahun 2014 nelayan dari luar mulai datang untuk melakukan pemboman. Hal tersebut diduga karena ekosistem terumbu karang, padang lamun maupun mangrove sebagai tempat hidup ikan mulai bagus lagi ikan mulai banyak lagi dan COREMAP II sudah selesai. Seyogyanya meskipun program telah selesai, keberlangsungan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh COREMAP dapat tetap dijalankan oleh pemerintah setempat dengan bantuan penduduk setempat. Ketergantungan akan program maka akan menjadikan penduduk tidak memiliki inisiatif untuk melakukan pelestarian ekosistem. Padahal terjaganya ekosistem akan berdampak langsung terhadap kondisi sosial ekonomi setempat. Kemudian pelaku perusakan pemboman, mayoritas penduduk di tiga wilayah survei yaitu Desa Seriwau, Kelurahan Pasar Lahewa danBalefadorotuhomenyatakan berasal dari luar kabupaten dalam satu propinsi. Dari hasil FGD terhadap nelayan di lokasi survei menyatakan nelayan dari Sibolga adalah pelaku utama kerusakan. Kemudian aktivitas penangkapan yang tidak ramah lingkungan dilakukan oleh penduduk di perbukitan yang pada saat ini sebagian beralih menjadi nelayan, dan dalam penangkapan sering menangkap ikan dengan "racun tuba". 103 103
Kontribusi lain kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan oleh jumlah penduduk desa atas yang menangkap ikan di perairan kedua desa, jumlahnya semakin meningkat. Hal ini diakibatkan tekanan demografi, gagal panen, rendahnya upah/harga karet dan hasil pertanian/perkebunan lainnya serta tarikan banyaknya program bantuan bagi nelayan yang menggiurkan.
Tabel 4.2.7. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Terhadap Pelaku Perusakan Terumbu Karang Di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 Persentase Pelaku Perusak
Pelaku dari desa/kelurahan ini Pelaku dari luar desa/kelurahan dalam kabupaten Pelaku dari luar kabupaten dalam satu propinsi Pelaku dari luar propinsi
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
0,0
0,0
1,6
15,6
37,2
10,3
81,3
10,9
41,9
0,0
51,6
29,7
25,6
0,0
46,9
23,4
Pelaku dari luar negeri (internasional)
4,7
0,0
46,9
3,1
N
43
29
64
64
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Kemudian hasil survei pelaku kerusakan terumbu karang jauh berbeda dengan terumbu karang. Pelaku dari dari desa setempat tidak ada sama sekali. Sebagian besar menyatakan bahwa paku berasal dari luar 104
104
kabupaten dan propinsi yang sama. Pelaku perusakan merupakan nelayan Sibolga dengan menggunakan bom maupun bius. Tabel 4.2.8. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Terhadap Pelaku Perusakan padang lamun Di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 Pelaku Perusak
Seriwau
Pelaku dari desa/kelurahan ini Pelaku dari luar desa/kelurahan dalam kabupaten Pelaku dari luar kabupaten dalam satu propinsi
0,0
Teluk Bengkuang 0,0
Pasar Lahewa 0,0
Balefadorotuho 0,0
16,3
6,9
50,0
0,0
16,3
0,0
42,2
1,6
Pelaku dari luar propinsi
7,0
0,0
14,1
0,0
Pelaku dari luar negeri (internasional)
2,3
0,0
14,1
0,0
N 43 29 64 64 Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Kemudian deskripsi pelaku perusakan terumbu karang, padang lamun berbeda kharateristiknya dengan mangrove. Dari hasil survei menunjukkan bahwa pelaku perusakan adalah dari luar daerah dalam satu kabupaten. Perusakan ini biasanya digunakan untuk kayu bakar memasak. Selain itu penduduk di luar lokasi survei bukan merupakan desa pesisir yang diduga tidak mengetahui manfaat dan fungsi dari mengrove tersebut.
105 105
Tabel 4.2.9. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Terhadap Pelaku Perusakan mangrove Di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara., Tahun 2015 Pelaku Perusak
Pelaku dari desa/kelurahan ini Pelaku dari luar desa/kelurahan dalam kabupaten Pelaku dari luar kabupaten dalam satu propinsi Pelaku dari luar propinsi Pelaku dari luar negeri (internasional) N
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
0,0
0,0
1,6
20,3
18,6
6,9
53,1
15,6
18,6
0,0
4,7
25,0
14,0
0,0
4,7
17,2
11,6
0,0
4,7
1,6
43
29
64
64
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
4.3. Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat Dalam Upaya Perlindungan dan Penyelamatan Terumbu Karang, Padanga Lmun Dan Mangrove Melihat data ternyata persepsi penduduk di lokasi penelitian menyatakan bahwa ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove ternyata kurang baik. Oleh karena itu diperlukan berbagai intervensi kebijakan. Intervensi kebijakan tersebut berbasis data hasil penelitian. Dengan demikian diharapkan program yang dijalankan akan mampu menjawab kebutuhan dan kegiatan yang diperlukan penduduk. Di samping itu menimalisir salah sasaran kegiatan. Kemudian bagaimana keterlibatan penduduk sendiri hingga saat ini dalam proses pelestarian ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove? 106
106
Tabel 4.3.1. Distribusi Responden menurut Keterlibatan dalam upaya perlindungan/pelestarian Terumbu Karang, Padang Lamun, Mangrove dan Wilayah Pesisir di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Keterlibatan dalam Pelestarian Terumbu Karang, Padang Lamun dan Mangrove
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Terumbu Karang
32,6
3,4
0,0
10,9
Padang Lamun
25,6
3,4
0,0
0,0
Mangrove
23,3
3,4
0,0
9,4
Wilayah Pesisir
30,2
3,4
0,0
6,3
43
29
64
64
N
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Dari hasil survei secara mengejutkan justru di lokasi yang sebelumnya sebagai lokasi COREMAP justru keterlibatan penduduk dalam pelestarian tidak jalan. Di Kelurahan Pasar Lahewa sebagai daerah yang dulu menjadi lokasi COREMAP ternyata setelah program COREMAP fase dua selesai tidak jalan kegiatan yang jalan. Hal ini mengindikasikan bahwa yang dahulu dilaksanakan oleh COREMAP belum mampu terinternalisasi dalam masyarakat. Seolah-olah kegiatan jalan jika ada dana dari luar kabupaten. Jika hal ini tetap terpelihara maka permasalahan pelestarian di kabupaten Nias Utara jalan ditempat.
Kemudian distribusi penduduk yang mengikuti kegiatan perlindungan/pelestarian terumbu karang hanya tersebar di dua lokasi yaitu di Desa Seriwau dan Balefadorotuho. Kondisi hasil survei ini cukup mencengangkan karena Kelurahan Pasar Lahewa merupakan 107 107
lokasi COREMAP. Hal ini berbeda cukup jauh dengan Seriwau. Di Seriwaukegiatan keterlibatan penduduk cukup merata terhdap program-program kegiatan. Di Desa Balefadorotuho sebagai daerahCOREMAPlebih cukup berhasil dibandingkan dengan Kelurahan Pasar Lahewa. Tabel 4.3.2. Distribusi Responden menurut Jenis Kegiatan perlindungan/pelestarian Terumbu Karang di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara , Tahun 2015 (Persentase) Jenis Kegiatan
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Kegiatan sosialiasi/penyuluhan
32,6
0,0
0,0
7,8
Penanaman pohon mangrove/transplansi karang
23,3
0,0
0,0
4,7
Pengawasan hutan mangrove/laut secara mandiri
20,9
0,0
0,0
3,1
Patroli hutan mangrove/laut secara kelompok/pokmaswas
2,3
0,0
0,0
3,1
14,0
0,0
0,0
4,7
43
29
64
64
Pembentukan kawasan konservasi hutan/laut/daerh perlindungan laug (DPL) N
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Hasil survei tersebut menujukkan bahwa adanya kegiatan COREMAP belum tentu menunjukkan keterlibatan penduduk dalam pelestarian lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang bukan COREMAP. Desa Seriwau merupakan lokasi baru COREMAP. Adanya partisipasi penduduk dalam perlindungan memberikan embrio harapan akan keterlibatan penduduk dalam program-program selanjutnya. Hasil survei di lokasi penelitian terhadap terumbu karang sangat berbeda 108
108
jauh dengan padang lamun. Keterlibatan penduduk dalam pelestarian padang lamun hanya di temukan di wilayah Desa Seriwau. Sedangkan desa lainnya tidak ada kegiatan pelestarian ekosistem. Tidak adanya keterlibatan di ketiga desa karena bisa disebabkan oleh tidak tahunya lokasi padang lamun. Di samping itu bisa juga karena adanya keenganan penduduk terhadap pelestarian ekosistem padang lamun. Tabel 4.3.3. Distribusi Responden menurut Jenis Kegiatan perlindungan/pelestarian Padang lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Jenis Kegiatan Kerjabakti di wilayah pesisir Kegiatan sosialiasi/penyuluhan
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
0,0
0,0
0,0
0,0
27,9
0,0
0,0
0,0
Penanaman pohon mangrove/transplansi karang
0,0
0,0
0,0
0,0
Pengawasan hutan mangrove/laut secara mandiri
20,9
0,0
0,0
0,0
Patroli hutan mangrove/laut 2,3 0,0 0,0 secara kelompok/pokmaswas Pembentukan kawasan 7,0 0,0 0,0 konservasi hutan/laut/daerh perlindungan laug (DPL) N 43 29 64 Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
0,0 0,0
64
Distribusi kegiatan pelstarian mangrove hanya terlihat di dua desa yaitu Seriwau dan Balefadorotuho. Kegiatan yang ada di antaranya sosialisasi dan penaman transplansi karang. Program transplansi karang juga dilakukan oleh organisasi non pemerintah yaitu Forkom. Selain itu juga dilakukan kegiatan sosialisasi terhadap penduduk khususnya di wilayah Seriwau. Disisi lain desa COREMAP Pasar 109 109
Lahewa yang seharusnya mampu menjadi contoh dalam program kegiatan pelestarian mangrove. Namun demikian hal ini tidak terjadi juga disebabkan oleh tidak banyaknya mangrove yang ada di Kelurahan Pasar Lahewa dibandingkan dengan Desa Seriwau ataupun Teluk Bengkuang. Tabel 4.3.4. Distribusi Responden menurut Jenis Kegiatan perlindungan/pelestarian Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Jenis Kegiatan
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Kerjabakti di wilayah pesisir
0
0
0
0
Kegiatan sosialiasi/penyuluhan Penanaman pohon mangrove/transplansi karang
25,6
0,0
0,0
6,3
20,9
0,0
0,0
7,8
Pengawasan hutan mangrove/laut secara mandiri
20,9
0,0
0,0
6,3
Patroli hutan mangrove/laut secara kelompok/pokmaswas Pembentukan kawasan konservasi hutan/laut/daerh perlindungan laug (DPL) N
2,3
0,0
0,0
9,4
7,0
0,0
0,0
6,3
43
29
64
64
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Keterlibatan penduduk dalam pelestarian ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove merupakan hal yang mutlak. Karena keterlibatan penduduk merupakan salah satu wujud rasa memiliki terhadap ekosistem. Namun demikian rasa memiliki ini kadang juga dipengaruhi oleh nelayan luar. Ketika pemerintah tidak tegas dalam menghalau atau menegakkan aturan terhadap perusak eskosistem 110
110
maka akan menimbulkan perusakan-perusakan lainnya. Sehingga dapat dikatakan kegiatan merusak kadang kala juga mampu memprovokasi masyarakat lainnya untuk andil dalam perusakan ekosistem. Tabel 4.3.5. Distribusi Responden Menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/Pelestarian Wilayah Pantai (Pesisir) Di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Jenis Kegiatan
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Kerjabakti di wilayah pesisir
18,6
0,0
0,0
3,1
Kegiatan sosialiasi/penyuluhan Penanaman pohon mangrove/transplansi karang
30,2
0,0
0,0
4,7
0,0
0,0
0,0
0,0
Pengawasan hutan mangrove/laut secara mandiri Patroli hutan mangrove/laut secara kelompok/pokmaswas Pembentukan kawasan konservasi hutan/laut/daerh perlindungan laug (DPL) N
20,9
0,0
0,0
1,6
2,3
0,0
0,0
3,1
9,3
0,0
0,0
4,7
43
29
64
64
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015. Deskripsi gambaran pelestarian terumbu karang, padang lamun dan mangrove lebih baik dibandingkan keterlibatan penduduk dalam kegiatan pelestarian pesisir pantai. Bahkan dari hasil survei hanya dua desa yang memliki kegiatan pelestarian pesisir yaitu di Desa Balefadorotuho dan Desa Seriwau. Keterlibatan penduduk di Seriwautergambar dari hasil FGD dilakukan, dimana penduduk 111 111
khususnya perempauan ada kegiatan kerja bakti di pesisir atau pantai. Kebiasaan ini dilakukan untuk semakin melestarikan wilayah pesisir.
112
112
BAB V PENDAPATAN DAN PENGELURAN PENDUDUK 5.1. Pendapatan di Tingkat Kabupaten Nias Utara 5.1.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Nias Utara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang memberikan petunjuk sejauh mana perkembangan dan struktur ekonomi suatu daerah dalam suatu kurun waktu. Pada tahun 2013, PDRB Kabupaten Nias Utara atas dasar harga berlaku sebesar Rp 1.618.417,12 juta; meningkat dari tahun 2012 yang sebesar Rp 1.428.390,95 juta. Begitu pun dengan PDRB atas dasar harga konstan Rp 588.254,16 juta; meningkat dari tahun 2012 yang sebesar Rp 553.636,78 juta (BPS Kabupaten Nias, 2013). Tabel 5.1.1. PDRB Kabupaten Nias Utara Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha 2010-2015 (Juta Rupiah) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Persuahaan Jasa-jasa PDRB
2010
2011
2012
2013
792.548,02 41.856,77 9.234,79 2.737,67 47.111,16 90.538,33
907.113,65 47.829,51 10.223,38 3.223,79 55.255,45 98.466,93
995.992,97 52.676,53 11.123,71 3.579,61 60.915,74 106.015,27
1.129.731,82 59,364.81 12.207,69 4.004,73 67.955,80 121.287,74
30.924,96 61.639,62
34.063,36 70.018,53
36.224,15 84.754,82
41.067,60 94.717,55
58.757,19 1.136.166,50
67.091,33 1.293.285,92
77.108,15 1.428.390,95
88.149,37 1.618.487,12
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
113 113
5.1.2.
Pendapatan Sektor Pertanian/Perikanan
Sektor pertanian yang terdiri dari sub-sektor tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor yang paling banyak memberikan kontribusi, yaitu sebesar Rp 1.129.731,82 juta (lihat Tabel 5.1.1). Hal ini menandakan bahwa ketergantungan penduduk Kabupaten Nias Utara terhadap alam sangat tinggi. Kelestarian dan keberlanjutan alam menjadi penentu keberlanjutan penghidupan penduduk Nias Utara. Pemanfaatan dan pengeloaan berkelanjutan menjadi keniscayaan yang harus dilakukan. Tabel 5.1.2. PDRB Kabupaten Nias Utara Atas Dasar Harga Berlaku Sektor Pertanian 2010-2015 (Juta Rupiah) Sub-Sektor Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan PDRB Pertanian
2010
2011
2012
2013
134.147,88
154.054,86
169.666,63
195.116,28
481.317,13
549.942,93
603.244,93
680.969,43
69.538,65 26.491,14 82.053,23 735.548,02
79.967,67 29.530,98 93.617,21 907.113,65
87.884,74 32.042,68 103.154,30 995.992,97
99.261,68 35.403,96 118.980,47 1.129.731,82
Sumber: BPS Kabupaten Nias (2014)
Pada Tabel 5.1.2. terlihat sub-sektor perikanan menjadi penyumbang PDRB ketiga terbesar untuk PDRB sektor pertanian setelah sub-sektor tanaman perkebunan, tanaman pangan, dan peternakan. Jumlahnya juga mengalami peningkatan yang cukup baik dari tahun ke tahun. Hal ini bisa menjadi indikator terjadinya peningkatan pemanfaatan sumber daya perikanan oleh penduduk dan peningkatan peran pemerintah (pusat dan daerah) terhadap pembangunan sub-sektor perikanan (dan kelautan) di Kabupaten Nias Utara.
114
114
Pembangunan sub-sektor perikanan dan kelautan di Nias Utara yang dilakukan di antaranya melalui berbagai program pemberian bantuan alat tangkap dan sarana produksi, seperti kapal motor, perahu, motor tempel, jaring, dan pancing; pemberian modal produksi dan usaha produkif; dan berbagai pelatihan, selain meningkatkan kapasitas nelayan yang sudah ada, juga menjadi daya tarik bagi penduduk lain yang sebelumnya bukan nelayan. Selain itu, turunnya harga karet dan komoditas perkebunan/pertanian, kerusakan lingkungan dan lahan, dan alih fungsi lahan perkebunan/pertanian menjadi daya dorong yang mendorong mereka untuk bekerja/berusaha di sub-sektor perikanan. Hal ini tentunya perlu diperhatikan dengan baik karena selain berorientasi pada hasil tangkapan, peningkatan pendapatan rumah tangga, dan peningkatan PDRB sub-sektor perikanan; pemanfaatan dan pembangunan sub-sektor perikanan juga tentunya harus berkelanjutan. Artinya, penduduk dan juga pemerintah harus senantiasa menjaga kelestarian sumber daya yang mendukung subsektor ini, termasuk ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, ekosistem mangrove, dan ekosistem-ekosistem lainnya, agar tangkapan dan pendapatan yang diperoleh dari sub-sektor perikanan ini berkelanjutan. 5.2. Pendapatan di Lokasi Survei 5.2.1. Pendapatan Per Tahun/Bulan Menurut sumber pendapatan Pendapatan rumah tangga adalah salah satu outcome yang dihasilkan dari strategi nafkah (kegiatan bekerja dan usaha) yang dilakukan kepala dan anggota rumah tangga, baik dari pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan, baik berupa uang maupun maupun barang. Pada Gambar 5.2.1 dan Tabel 5.2.1 disajikan statistik pendapatan rumah tangga per bulan di lokasi penelitian, yang terdiri dari pendapatan per kapita, pendapatan rata-rata rumah tangga, pendapatan median, pendapatan minimum, dan pendapatan maksimum. Pendapatan yang 115 115
disajikan adalah pendapatan bersih yang diterima setelah dikurangi biaya operasional/biaya produksi.
Gambar 5.2.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015(Rupiah) Secara umum, pendapatan rata-rata rumah tangga di lokasi penelitian Rp 1.438.867 dengan pendapatan rata-rata terbesar diperoleh Teluk Bengkuang Rp 2.227.063 dan terkecil diperoleh Seriwau Rp 1.235.379. Sementara itu, Pasar Lahewa dan Balefadorotuho, jumlahnya tidak terlalu berbeda, yaitu masing-masing Rp 1.332.430 dan Rp 1.340.367. Salah satu faktor yang menyebabkan pendapatan rata-rata di Teluk Bengkuang cukup besar dan lebih besar adalah adanya satu rumah tangga yang mempunyai pendapatan bulanan yang sangat besar; yang mencapai Rp 15.173.333. Rumah tangga tersebut adalah rumah tangga kepala desa. Pendapatan pertanian dari berbagai hasil tanaman yang ditanam di lahan kebun yang cukup luas dan pendapatannya sebagai kepala desa serta pendapatan istrinya yang bekerja sebagai bidan PNS yang bekerja di puskesmas dan juga membuka praktik di rumahnya memberi kontribusi bagi besarnya pendapatan bulanan rumah tangganya. Namun demikian, berdasarkan 116
116
pengamatan dan juga diskusi dengan penduduk Teluk Bengkuang, pendapatan rumah tangga Kades Teluk Bengkuang banyak yang didistribusikan ke rumah tangga yang lain dan membantu keberlanjutan penghidupan masyarakat Desa Teluk Bengkuang. Ikatan sosial yang cukup kuat yang terbangun di Teluk Bengkuang sangat memungkinkan mekanisme ini berjalan. Pak kepala desa merupakan keturunan dari tetua (pendiri) desa yang pertama kali datang ke wilayah Teluk Bengkuang dan mendirikan desa. Tabel 5.2.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Rupiah) Pendapatan per Bulan
Seriwau
Teluk Bengkuang
Pasar Lahewa
Balefadorotuho
Per kapita Rata-rata Rumah Tangga Median Minimum Maksimum N
465.531 1.235.379 1.192.833 108.000 3.190.000 44
Total
650.657 2.227.063
280.735 1.332.430
334.948 1.340.367
390.528 1.438.867
912.542 295.833 15.173.333 28
1.094.167 305.333 3.748.000 64
1.199.333 294.333 3.529.000 64
1.121.167 108.000 15.173.333 200
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Untuk Seriwau, rendahnya pendapatan rata-rata rumah tangga disebabkan salah satunya adalah tidak adanya aliran listrik PLN di desa ini. Hal ini membatasi aktivitas nafkah yang bisa dilakukan, baik di siang hari maupun di malam hari. Pekerjaan dan usaha yang membutuhkan listrik, seperti pembuatan es batu, pengawetan ikan hasil tangkapan di freezer, dan industri rumah tangga yang membutuhkan listrik tidak bisa beroperasi di desa ini. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk Seriwau dan paling rendah dibandingkan dengan tiga desa lainnya, seperti yang telah dijelaskan pada Bab III, juga membatasi kapasitas dan kesempatan kerja yang bisa dilakukan. Tidak adanya listrik bisa jadi sangat kuat menjadi penyebab utama motivasi penduduk untuk belajar dan sekolah menjadi sangat rendah. 117 117
Pada Tabel 5.2.1 juga terlihat bahwa pendapatan minimum dan maksimum rumah tangga di Seriwau menjadi yang terendah dibanding ke desa lainnya. Untuk pendapatan per kapita, Pasar Lahewa menempati posisi yang paling rendah. Selain disebabkan jumlah penduduk dan jumlah anggota rumah tangga yang lebih banyak dengan ketiga desa lainnya, penduduk usia produktif-remaja di Pasar Lahewa lebih banyak yang masih bersekolah. Tersedianya sarana pendidikan yang lebih lengkap dan lingkungan sosial yang sudah lebih memandang pentingnya pendidikan tinggi menjadi faktor penarik mereka untuk bersekolah. Selain itu, sangat terbatasnya sumber daya lahan pertanian, tidak seperti di ketiga desa lainnya, mendorong mereka untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersekolah; bukan bekerja.
Gambar 5.2.2. Grafik Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan di Lokasi Penelitan, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase)
Dilihat dari distribusi rumah tangga menurut besar pendapatan rumah tangga, secara umum pendapatan rata-rata rumah tangga lebih banyak terdistribusi di kelompok pendapatan kurang dari Rp 500.00 sampai dengan Rp 1.999.000 (lihat Gamber 5.2.2 dan Tabel 5.2.2). Apabila diakumulasikan, jumlahnya mencapai 81,5 persen. Hal ini 118
118
mencerminkan kondisi tingkat pendapatan yang mengkhawatirkan. Sedikit saja tekanan dan shock akan membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Ikatan sosial yang bisa mendistribusikan kesejahteraan seperti di Teluk Bengkuang tidak ada di desa lainnya. Kondisi alam, sejarah pembentukan desa, dan tekanan modernisasi yang berbeda-beda di setiap desa memberikan pengaruh yang berbeda dalam pembentukan ikatan sosial di setiap desa. Tabel 5.2.2 Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan di Lokasi Penelitan, Kabupaten Nias Utara,Tahun 2015 (Persentase) Kelompok Seriwau Teluk Pasar BalefaTotal Pendapatan Bengkuang Lahewa dorotuho (Ribu Rupiah) < 500 500 – 999 1.000 – 1.499 1.500 – 1.999 2.000 – 2.499 2.500 – 2.999 3.000 – 3.499 3.500 – 3.999 4.000 – 4.499 4.500 – 4.999 ≥ 5.000 N
25,0 13,6 27,3 15,9 13,6 0,0 4,5 0,0 0,0 0,0 0,0 44
17,9 39,3 10,7 10,7 7,1 0,0 3,6 0,0 0,0 0,0 10,7 28
25,0 18,8 20,3 12,5 12,5 4,7 3,1 3,1 0,0 0,0 0,0 64
9,4 29,7 28,1 20,3 3,1 1,6 6,3 1,6 0,0 0,0 0,0 64
19,0 24,0 23,0 15,5 9,0 2,0 4,5 1,5 0,0 0,0 1,5 200
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Ragam sumber pendapatan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pendapatan rumah tangga diperoleh dari berbagai pekerjaan utama dan sampingan yang dijalankan kepala dan anggota rumah tangga yang bekerja. Seperti yang telah disampaikan pada Bab III, perikanan tangkap menjadi pekerjaan utama dan sampingan yang banyak dilakukan di lokasi 119 119
penelitian. Pada Gambar 5.2.3 dan Tabel 5.2.3 tersaji jumlah pendapatan rumah tangga dari perikanan tangkap, secara umum di lokasi penelitan, sebesar Rp 1.136.479. Dari keempat desa, Seriwau merupakan desa yang mempunyai pendapatan dari perikanan tangkap terbesar, disusul Pasar Lahewa dan Balefadorotuho. Sementara itu, Teluk Bengkuang menjadi desa yang pendapatan dari perikanan tangkapnya terkecil.
Gambar 5.2.3. Grafik Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sumber Pendapatan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Rupiah/bulan)
Kecilnya Teluk Bengkuang dalam pendapatan perikanan tangkapnya disebabkan persentase penduduk/rumah tangga yang menjadikan perikanan tangkap sebagai pekerjaan utamanya lebih sedikit. Penduduk/rumah tangga Teluk Bengkuang lebih banyak yang menjadikan kegiatan pertanian (termasuk berkebun dan beternak) sebagai pekerjaan utamanya. Hal ini berimplikasi pada pendapatan pertanian yang lebih besar dari pendapatan perikanan tangkap. Kemudian, besarnya pendapatan dari buruh/upah tetap di Teluk Bengkuang lebih banyak disumbang oleh pendapatan istri kepala desa yang bekerja sebagai PNS bidan di puskesmas. 120
120
Dari semua pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan, perikanan budidaya merupakan satu-satunya yang tidak menyumbang pendapatan bagi rumah tangga di keempat desa. Padahal, berdasarkan pengamatan di lapangan, keempat desa mempunyai potensi ekologi/alam yang cukuk baik. Hasil penelitian menemukan bahwa kegagalan upaya budidaya perikanan yang dilakukan pada COREMAP II dan juga program pemerintah lainnya sebagian besar bukan disebabkan oleh kondisi ekologi/alam yang tidak mendukung, namun lebih banyak disebabkan masalah pengelolaan dan pemasaran. Pertanian, meskipun jumlah rupiahnya beragam, menjadi sumber pendapatan rumah tangga di keempat desa. Hal ini sesuai dengan kondisi sumber daya alam, terutama lahan yang ada di setiap desa. Begitu pun dengan pendapatan dari perdagangan, ada di setiap desa dengan jumlah pendapatan yang beragam. Satu hal yang perlu lagi diperhatikan adalah rendahnya sumber pendapatan dari industri rumah tangga. Padahal, lewat industri rumah tangga-lah, setiap rumah tangga bisa melakukan peningkatan nilai tambah komoditas hasil perikanan dan pertanian yang pada akhirnya bisa meningkatkan pendapatan dan keberlanjutan rumah tangga.
121 121
Perikanan Tangkap Perikanan Budidaya Buruh, Upah Tetap dll Pertanian Perdagangan Industri RT Lainnya N (200)
30 0 5 16 3 4 43 101
1.302.189
0
880.000
329.021 266.667 150.000 98.295
1.448.588 400.000 261.667 400.000
1.647.667
0
975.546
18 1 4 2 53
10
0
18
262.500 245.000 238.333 79.167
650.000
0
1.234.565
2 4 5 4 84
5
0
64
159.028 1.400.000 550.000 135.757
835.556
0
1.005.979
15 2 1 60 151
9
0
64
671.556 498.000 242.024 123.750
1.091.264
0
1.136.479
51 10 14 109 389
29
0
176
Tabel 5.2.3 Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Menurut Sumber Pendapatan diLokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015(Rupiah/bulan) Sumber Seriwau Teluk Pasar Lahewa Balefadorotuho Total Pendapatan Bengkuang Rp N Rp N Rp N Rp N Rp N
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015
122
122
5.2.2.Pendapatan Nelayan Khusus untuk pendapatan rumah tangga nelayan dari perikanan tangkap dapat dilihat lebih detail pada Tabel 5.2.4. Pada tabel ini terlihat bahwa pendapatan minimum dan maksimum terkecil ada di Seriwau, bukannya di Teluk Bengkuang yang pendapatan rata-ratanya terkecil. Sekali lagi keterbatasan aset alat/sarana tangkap dan juga sumber daya manusianya menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap hal ini. Tabel 5.2.4 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Nelayan dari Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Rupiah/bulan) Pendapatan Seriwau Teluk Pasar BalefaTotal Per Bulan Bengkuang Lahewa dorotuho Rata-rata Median Minimum Maksimum N (nelayan)
1.302.189 1.228.167 108.000 2.984.167 30
975.546 575.000 198.333 3.213.667 18
1.234.565 1.000.000 305.333 3.131.667 64
1.005.979 852.500 125.000 3.394.000 64
1.136.479 993.333 108.000 3.394.000 176
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Untuk distribusi pendapatan rumah tangga dari perikanan tangkap, kondisinya lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan distribusi pendapatan rumah tangga semua sumber pendapatan/pekerjaan. Sebanyak tiga perempat rumah tangga nelayan hanya mampu mendapatkan pendapatan rata-rata bulanan sebesar kurang dari Rp 500.000 – 1.499.000. Bahkan, jika dirinci lebih detail, terlihat seperempatnya hanya berpendapatan kurang dari Rp 500.000, seperempatnya lagi Rp 500.000 – 999.000, dan seperempat lagi Rp 1.500.000 – 1.499.000. Selebihnya terdistribusi sangat kecil pada kelompok pendapatan Rp 1.500.000 – 1.999.000 sebanyak 11,9 persen; Rp 2.000.000 – 2.499.000 sebanyak 8,5 persen; Rp 2.500.000 – 2.999.000 sebanyak 2,8 persen; dan Rp 3.000.000 – 3.499.000 123 123
sebanyak 3,4 persen. Hal ini menandakan tingkat pendapatan rumah tanggga nelayan secara umum masih sangat rendah. Tabel 5.2.5 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015. (Persentase) Kelompok Seriwau Teluk Pasar BalefaTotal Pendapatan Bengkuang Lahewa dorotuho (Ribu Rupiah) < 500 500 – 999 1.000 – 1.499 1.500 – 1.999 2.000 – 2.499 2.500 – 2.999 3.000 – 3.499 3.500 – 3.999 4.000 – 4.499 4.500 – 4.999 ≥ 5.000 N
13,3 23,3 23,3 20,0 13,3 6,7 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,00 30
33,3 27,8 16,7 11,1 5,6 0,0 5,6 0,0 0,0 0,0 0,0 100,00 18
25,0 23,4 20,3 12,5 12,5 3,1 3,1 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 64
26,6 28,1 28,1 7,8 3,1 1,6 4,7 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 64
24,4 25,6 23,3 11,9 8,5 2,8 3,4 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 176
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, selain disebabkan alat/sarana tangkap dan kapasitas yang rendah, juga disebabkan oleh karakteristik perikanan tangkap yang penuh ketidakpastian dan sangat tergantung pada musim. Di Nias Utara, kondisi musim dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu musim gelombang tenang, musim pancaroba, dan musim gelombang kuat yang masing-masing musim terjadi selama empat bulan. Setiap musim sangat berpengaruh pada kesempatan/frekuensi melaut, wilayah tangkap, jenis ikan yang ditangkap, dan hasil tangkapan. Pada musim gelombang tenang, frekuensi melaut lebih banyak, wilayah tangkap normal, dan hasil tangkapan lebih banyak. Sementara itu, 124 124
pada musim pancaroba, frekuensi melaut semakin berkurang, wilayah tangkap tidak pasti dan semakin menjauh dari wilayah tangkap normal, dan akhirnya hasil tangkapnya pun semakin menurun. Pada musim gelombang tinggi, kesempatan/frekuensi melaut semakin terbatas, bahkan pada puncak musim gelombang tinggi seluruh nelayan tidak lagi bisa melaut. Seandainya pun bisa menangkap ikan, mereka melakukannya di pinggir-pinggir pantai saja. Konsekuensi dari kondisi masing-masing musim terhadap jumlah pendapatan terlihat pada Tabel 5.2.6. Semakin tenang gelombang, semakin besar pendapatan mereka dari perikanan tangkap.
125 125
Gel Tenang
10,0 23,3 10,0 20,0 6,7 20,0 6,7 0,0 0,0 0,0 3,3 100,0 30
Pancaroba
16,7 23,3 13,3 30,0 10,0 3,3 0,0 0,0 0,0 3,3 0,0 100,0 30
Gel Kuat 23,3 46,7 13,3 13,3 0,0 0,0 0,0 3,3 0,0 0,0 0,0 100,0 30
Gel Tenang 5,6 33,3 38,9 5,6 0,0 0,0 5,6 5,6 0,0 0,0 5,6 100,0 18
Pancaroba 61,1 11,1 5,6 11,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 11,1 100,0 18
Gel Kuat 100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 18
Gel Tenang 9,4 32,8 15,6 20,3 6,3 9,4 4,7 0,0 1,6 0,0 0,0 100,0 64
Pancaroba 23,4 20,3 21,9 15,6 7,8 7,8 3,1 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 64
34,4 21,9 15,6 12,5 10,9 0,0 4,7 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 64
Gel Kuat
Balefadorotuho
10,9 20,3 23,4 15,6 10,9 6,3 3,1 4,7 0,0 1,6 3,1 100,0 64
Gel Tenang
Pasar Lahewa
29,7 32,8 23,4 4,7 1,6 6,3 0,0 1,6 0,0 0,0 0,0 100,0 64
Pancaroba
Teluk Bengkuang
68,8 23,4 4,7 1,6 0,0 0,0 0,0 1,6 0,0 0,0 0,0 100,0 64
9,7 26,7 19,9 17,0 7,4 9,1 4,5 2,3 0,6 0,6 2,3 100,0 176
Total
29,7 32,8 23,4 4,7 1,6 6,3 0,0 1,6 0,0 0,0 0,0 100,0 176
Pancaroba
Seriwau Gel Kuat
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015
N
< 500 500 – 999 1.000 – 1.499 1.500 – 1.999 2.000 – 2.499 2.500 – 2.999 3.000 – 3.499 3.500 – 3.999 4.000 – 4.499 4.500 – 4.999 ≥ 5.000
Kelompok Pendapatan (Ribu Rupiah) Gel Tenang
Tabel 5.2.6. Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Besar Pendapatan Per Musim Dari Perikanan Tangkap, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, 2015.
126
51,7 24,4 9,7 7,4 4,0 0,0 1,7 1,1 0,0 0,0 0,0 100,0 176
Gel Kuat
126
5.3.
Pengeluaran Rumah Tangga
Selain menganalisis pendapatan rumah tangga nelayan, penting juga untuk menganalisis pengeluaran rumah tangganya. Analisis pengeluaran yang dilakukan bisa digunakan untuk mengetahui penggunaan pendapatan yang telah diperolehnya dan juga untuk mengetahui selisih dari pendapatan dan pengeluaran. Dengan mengetahui penggunaan pendapatan dapat diperoleh informasi mengenai kebutuhan apa saja yang berhasil dipenuhi atau mencoba untuk dipenuhi. Sementara itu, dengan mengetahui selisih dari pendapatan dan pengeluaran dapat diperoleh seberapa besar mereka bisa menabung atau seberapa besar mereka berutang. Pada akhirnya, dengan mengetahui selisih dari pendapatan dan pengeluaran dapat diketahui apakah tingkat penghidupan mereka berada pada strategi bertahan hidup, strategi konsolidasi, dan strategi akumulasi. Tabel 5.3.1. Statistik Pengeluaran Rumah Tangga di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Rupiah) Pengeluaran Seriwau Teluk Pasar BalefaTotal per Bulan Bengkuang Lahewa dorotuho Rata-rata Median Minimum Maksimum Per Kapita N
1.548.157 1.422.400 546.024 4.242.738 550.233 44
1.511.174 1.427.464 886.833 3.293.101 446.126 28
1.394.406 1.316.812 773.982 4.338.107 311.492 64
1.647.442 1.550.030 802.238 3.211.905 402.938 64
1.525.550 1.454.798 546.024 4.388.107 412.126 200
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Pada Tabel 5.3.1 terlihat pengeluaran rumah tangga bulanan di Balefadorotuho (Rp 1.647.442) lebih besar dari ketiga desa lainnya, sedangkan di Pasar Lahewa (Rp 1.394.406) lebih rendah. Sama dengan pendapatan, terjadi kesenjangan antara pengeluaran minimum dengan pengeluaran maksimum. Pengeluaran minimum terkecil ada di Seriwau Rp 546.024 dan pengeluaran maksimum terbesar ada di Pasar 127
127
Lahewa Rp 4.338.107. Namun demikian, untuk pendapatan per kapita bulanan tertinggi dikeluarkan oleh Seriwau dengan nilai Rp 550.233.
Gambar 5.3.1. Grafik Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Menurut Penggunaan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase)
Secara umum, sebagian besar pengeluaran rumah tangga dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan (92 persen) dengan Balefadorotuho sebagai desa yang tertinggi mengeluarkannya. Setelah pangan, pengeluaran terbesar adalah penggunaan untuk rokok dengan jumlah lebih besar 5 kali dari pengeluaran untuk kesehatan, 4 kali dari pengeluaran untuk pendidikan, dan 11 kali dari pengeluaran untuk sosial dan keagamaan. Distribusi penggunaan yang hampir semuanya untuk kebutuhan pangan menandakan hampir semua rumah tangga di lokasi penelitian masih memenuhi kebutuhan paling dasar dan belum banyak memikirkan untuk investasi pada kebutuhan lainnya, seperti pendidikan (lihat Gambar 5.3.1 dan Tabel 5.3.2). Yang perlu diperhatikan adalah penggunaan untuk rokok ternyata jauh lebih besar beberapa kalinya dari penggunaan untuk kesehatan, pendidikan, serta sosial keagamaan. Pengeluaran pendidikan terbesar dikeluarkan oleh rumah tangga di Pasar Lahewa. Hal ini memang 128
128
sangat terkait dengan tingkat pendidikan dan partispasi pendidikan penduduk Pasar Lahewa yang lebih tinggi dari ketiga desa lainnya. Tabel 5.3.2 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Menurut Penggunaan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Rupiah) Jenis Seriwau Teluk Pasar BalefaTotal Penggunaan Bengkuang Lahewa dorotuho Pangan Pendidikan Kesehatan Rokok Sosial dan keagamaan N
1.220.114 6.608 12.252 60.244 4.956
1.188.827 5.086 4.016 53.878 6.033
1.010.250 19.527 20.246 67.098 6.809
1.276.373 16.484 16.471 75.636 7.233
1.166.580 13.690 15.008 66.471 6.248
44
28
64
64
200
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Kemudian, dilihat dari distribusi rumah tangga menurut besar pengeluaran, secara umum rumah tangga dengan pengeluaran Rp 1.000.000 – 1.499.000 menjadi kelompok terbesar dengan persentase mencapai 43,5 persen. Namun, apabila dirinci per desa terdapat sedikit perbedaan. Berbeda dengan ketiga desa lainnya, kelompok pengeluaran Rp 1.500.000 – 1.999.000 menjadi yang terbesar (50,0 persen) di Pasar Lahewa (Tabel 5.3.3). Terakhir, setelah dianalisis selisih antara pendapatan dan pengeluaran rata-rata rumah tangga bulanan ditemukan bahwa secara umum rumah tangga di lokasi penelitian mengalami minus/defisit Rp -86.683 per bulan. Seriwau merupakan desa yang tertinggi minus/defisitnya, yaitu Rp -312.778 disusul oleh Balefadorotuho Rp -307.075 dan Pasar Lahewa Rp -61.976. Satu-satunya desa yang surplus adalah Teluk Bengkuang dengan selisih Rp 715.889. Namun, meskipun surplus cukup besar, ini tidak mencerminkan kondisi rumah tangga secara umum. Adanya satu rumah tangga yang mempunyai pendapatan Rp 129
129
15.173.333 menjadi faktor yang sangat berkontribusi terhadap surplus yang terjadi. Tabel 5.3.3. Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pengeluaran Rumah Tangga Per Bulan di Lokasi Penelitan, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015.(Persentase) Kelompok Seriwau Teluk Pasar BalefaTotal Pengeluaran Bengkuang Lahewa dorotuho (Ribu Rupiah) < 500 500 – 999 1.000 – 1.499 1.500 – 1.999 2.000 – 2.499 2.500 – 2.999 3.000 – 3.499 3.500 – 3.999 4.000 – 4.499 4.500 – 4.999 ≥ 5.000 N
0 18,2 40,9 18,2 15,9 2,3 2,3 0 2,3 0 0 100 44
0 10,7 53,6 21,4 10,7 0,0 3,6 0 0 0 0 100 28
0 15,6 50,0 28,1 4,7 0,0 0,0 0 1,6 0 0 100 64
0 3,1 34,4 50,0 4,7 6,3 1,6 0 0 0 0 100 64
0 11,5 43,5 32,0 8,0 2,5 1,5 0 1,0 0 0 100 200
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Apabila pendapatan rumah tangga ini tidak diperhitungkan, rumah tangga di Teluk Bengkuang juga akan mengalami kondisi minus/defisit seperti ketiga desa lainnya. Untuk memenuhi kekurangan/minus/defisit tersebut, mereka banyak mengandalkan berbagai program dan bantuan dari pemerintah, seperti program raskin; program keluarga harapan (PKH); bantuan operasional pendidikan siswa miskin; bantuan dana desa (PNPM/ADD) yang digunakan untuk membangun sarana dan prasarana desa yang melibatkan partisipasi mereka, baik sebagai perencana maupun 130
130
pekerja yang mendapat upah kerja; dan berbagai sosialisasi/pelatihan yang biasanya diakhiri dengan pemberian uang saku/transport bagi mereka yang mengikutinya. Sayangnya, dalam survei, sebagian besar rumah tangga terpilih tidak mau menyampaikan pendapatan pendapatan tambahan dari berbagai program dan bantuan pemerintah ini. Kondisi ini tentunya sangat mengkhawatirkan. Apabila, pendapatan maksimum satu rumah tangga di Teluk Bengkuang diabaikan, sudah dipastikan semua rumah tangga di lokasi penelitian minus/defisit. Ini artinya semua rumah tangga di lokasi penelitian hanya mampu melakukan strategi bertahan hidup (survival) saja. Mereka tidak mampu melakukan strategi akumulasi. Sekali lagi, dalam perspektif penghidupan berkelanjutan, rumah tangga di lokasi penelitian memiliki tingkat kerentanan penghidupan yang sangat tinggi.
131
131
132
132
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT 6.1. Faktor Internal 6.1.1. Sumber Pendapatan Secara umum, sebanyak tiga perempat penduduk di lokasi penelitian yang terpilih menjadi responden menjadikan perikanan tangkap sebagai pekerjaan utamanya dan sebanyak seperenam penduduk menjadikannya sebagai pekerjaan tambahan. Lokasi tempat tinggal yang berada di pesisir menjadikan mereka melakukan adaptasi penghidupan (livelihood adaptation) dengan menjadi nelayan tangkap. Dengan pilihan ini, pendapatan rumah tangga mereka sebagian besar bersumber dari kegiatan perikanan tangkap ini. Pada Tabel 5.2.3 di Bab V terlihat jumlah pendapatan dari perikanan tangkap lebih besar dari sumber-sumber pendapatan lainnya. Setelah perikanan tangkap, pekerjaan utama dan sampingan berikutnya yang paling banyak dilakukan oleh penduduk di lokasi penelitian adalah pertanian yang sebagian besar meliputi tanaman kebun, tanaman pangan, dan peternakan. Tersedianya lahan yang cukup luas di sekitar rumah mereka menjadikan mereka juga melakukan adaptasi livelihood sebagai petani. Bagi penduduk/rumah tangga yang memilih perikanan tangkap sebagai pekerjaan utamanya, kegiatan bertani dilakukan ketika mereka tidak bisa melaut akibat gelombang tinggi. Selain itu, kegiatan bertani juga banyak dilakukan oleh perempuan (istri dan anaknya) ketika kepala rumah tangga nelayan pergi melaut. 133
133
Meskipun secara umum kondisi di lokasi penelitian seperti yang disampaikan di atas, namun apabila dirinci lebih detail per desa, terlihat ada beberapa perbedaan-perbedaan. Di Teluk Bengkuang, misalnya, penduduk yang menjadikan perikanan tangkap sebagai pekerjaan utamanya jumlahnya lebih sedikit daripada ketiga desa lainnya. Di desa ini, proporsi antara yang memilih perikanan tangkap hampir sama dengan yang memilih pertanian. Sementara itu, di Pasar Lahewa dan Balefadorotuho, hampir semuanya memilih perikanan tangkap sebagai pekerjaan utamanya. Di kedua desa terakhir ini, pertanian lebih banyak dipilih sebagai pekerjaan tambahan dan jumlahnya pun tidak terlalu banyak. Di Pasar Lahewa hanya seperempatnya saja dan di Balefadorotuho hanya setengahnya. Ketersediaan lahan yang dimiliki dan/atau bisa diakses menjadi faktor penentu bisa tidaknya mereka menjalankan kegiatan pertanian. Di Teluk Bengkuang dan disusul oleh Seriwau, lahan-lahan pertanian (pekarangan dan kebun) masih terbentang luas, jumlah penduduk sedikit, dan kepadatan penduduk masih rendah. Sementara itu, di Pasar Lahewa karena berada di wilayah pasar (pusat perekonomian Kabupaten Nias Utara) dan pusat pemerintah Kecamatan Lahewa ketersediaan lahan pertanian sangat jarang. Begitu pun di Balefadorotuho, meskipun tidak sepadat di Pasar Lahewa, lokasinya yang berbatasan langsung dan sebagai hinterland Pasar Lahewa sudah terkena imbas pembangunan dan peningkatan jumlah/kepadatan penduduk. 6.1.2. Teknologi Alat Tangkap/Produksi dan Wilayah Tangkap Pilihan penduduk/rumah tangga di lokasi penelitian menjadikan perikanan tangkap sebagai pekerjaan utama, sayangnya, belum didukung oleh teknologi alat tangkap yang memadai. Pada Sub-Bab 3.3.1 telah disampaikan bahwa sebagian besar rumah tangga nelayan hanya memiliki alat tangkap/sarana produksi yang masih sederhana. Sebagian besar hanya memiliki perahu dengan motor tempel saja 134
134
dengan alat tangkapnya berupa pancing. Kapal motor hanya dimiliki oleh hanya dimiliki 3 rumah tangga (6,8 persen) di Seriwau dan 3 rumah tangga di Pasar Lahewa (4,7 persen). Dengan alat tangkap yang masih terbatas ini tentunya wilayah tangkapnya pun sangat terbatas dan ikan yang dapat ditangkap pun juga terbatas. Di sisi lain, nelayannelayan dari luar Nias banyak yang datang ke perairan sekitar desa (termasuk wilayah tangkap mereka) untuk menangkap ikan dengan armada dan peralatan yang lebih canggih.
Gambar 6.1.1. Foto: Nelayan Tradisional di Seriwau Sumber : Dokumentasi Pribadi
Akhirnya, ikan dan kekayaan sumber daya laut lainnya lebih banyak diambil oleh nelayan-nelayan luar tersebut. Bahkan, pada diskusi dan wawancara para nelayan mengeluhkan cara penangkapann ikan yang dilakukan nelayan-nelayan luar. Selain menggunakan alat-alat yang lebih canggih, nelayan-nelayan luar juga menggunakan bom dan potassium. Akibatnya, sejak 1990-an dan terutama sejak 2000-an, hasil tangkap mereka menurun drastis akibatnya pendapatan pun menurun. Kondisi ini pula yang sebetulnya membuat penduduk/rumah tangga di Teluk Bengkuang yang dulunya sebagian besar adalah 135
135
nelayan banyak yang memilih menjadi petani sebagai pekerjaan utamanya. 6.1.3. Biaya Produksi Terkait dengan semakin sulitnya menangkap ikan dan sudah tidak ada lagi wilayah tangkap yang pasti, tentunya biaya produksi, terutama BBM, pun meningkat. Selain itu, biaya produksi juga mengalami peningkatan ketika melaut pada musim gelombang pancaroba dan gelombang tinggi. Apalagi menurut mereka, belakangan ini kondisi cuaca dan gelombang di perairan semakin tidak menentu. Jika dikaitkan dengan penelitian-penelitian IPCC, BMKG, LIPI, dan lembaga lainnya, ketidakpastian ini sangat terkait dengan perubahan iklim yang diakibatkan pemanasan global. Biasanya, untuk menghadapi persoalan ini, terutama pada saat gelombang tinggi para nelayan hanya menangkap ikan di pinggir-pinggir pantai saja. Peningkatan biaya produksi dan berkurangnya hasil tangkapan ini tentunya mengurangi pendapatan mereka. Biaya lainnya yang memiliki kontribusi cukup besar dalam biaya produksi melaut adalah pembelian rokok. Untuk biaya produksi lainnya, seperti upah awak kapal, jumlahnya tidak terlalu signifikan. Sebagian besar dari mereka melakukan penangkapan ikan sendiri; dan seandainya pun dibantu, lebih banyak dibantu oleh anak (anggota rumah tangga) yang tidak dibayar. Mereka pun sangat jarang yang bekerja sebagai nelayan buruh (ABK) yang bekerja di kapal/perahu orang lain. 6.1.4. Kualitas Sumber Daya Manusia Kualitas sumber daya manusia, dalam hal ini tingkat partisipasi pendidikan formal, sangat menentukan kapasitas dan kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan dan pendapatan. Rendahnya tingkat pendidikan formal penduduk di lokasi penelitan, seperti yang telah 136
136
dibahas pada Bagian 3.2, menyebabkan pilihan mereka terhadap pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal yang membutuhkan ijazah pendidikan formal menjadi sangat terbatas. Mereka hanya bisa memilih jenis-jenis pekerjaan yang ekstraktif, seperti perikanan tangkap, dan budidaya yang sangat sederhana, seperti yang banyak dilakukan di pertanian dan peternakan. Dari sisi besarnya jumlah pendapatan dan stabilitas pendapatan, seperti yang telah dibahas di Bab 5, pekerjaaan-pekerjaan yang bersifat ekstraktif dan budidaya sederhana sangat tergantung dengan kondisi alam yang semakin tidak menentu dan akhirnya berpengaruh terhadap jumlah dan stabilitas pendapatan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia juga sangat berpengaruh pada kapasitas inovasi dan kreatifitas. Fakta sosial di lokasi penelitian menunjukkan sebagian besar penduduk/rumah tangga nelayan yang tidak memiliki akses terhadap lahan pertanian lebih banyak berdiam diri (tidak melakukan aktivitas pekerjaan tambahan) ketika musim gelombang tinggi datang. Padahal, selama mereka tidak bekerja, mereka dan keluarganya masih memerlukan pendapatan yang bisa memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Rendahnya kualitas sumber daya manusia juga sangat mempengaruhi kapasitas dan percaya diri penduduk dalam menjalin kerjasama dan menangkap peluang dari orang lain, termasuk program bantuan pemerintah. Banyak tawaran kerjasama dan bantuan yang mensyaratkan kapasitas dan tingkap pendidikan tertentu bagi calon penerimanya 6.2. Faktor Eksternal 6.2.1. Pemasaran dan Permintaan Hasil Tangkap/Produksi Dalam kondisi normal, sebetulnya pemasaran hasil tangkapan ikan tidak menemukan masalah berarti. Hasil tangkapan nelayan di lokasi penelitian dengan mudah dijual setiap hari kepada pengepul yang 137
137
datang ke dermaga setiap desa. Nelayan Pasar Lahewa dan Balefadorotuho bisa juga menjual hasil tangkapannya setiap hari ke tempat pelelangan ikan (TPI) yang ada di dekat Pelabuhan Lahewa. Nelayan Seriwau dan Teluk Bengkuang juga bisa menjual ikan langsung di pasar (atau di Nias Utara lebih dikenal dengan “pekan”) setiap hari Kamis. Harga jualnya pun relatif bagus dan masih menguntungkan. Namun, pada saat-saat tertentu, terutama pada musim gelombang tenang, seringkali hasil tangkapan nelayan di lokasi penelitian berlimpah ruah. Para pengepul sudah tidak lagi sanggup membeli hasil tangkapan ikan, meskipun dengan harga yang jauh lebih rendah dari biasanya. Penjualan di TPI Lahewa pun begitu dan kalau pun diterima, harganya sangat murah. Pemasaran ikan Nias Utara memang hanya terbatas di Pulau Nias saja. Selain jarak yang jauh dan biaya transportasi yang mahal untuk mengirim ke kota-kota besar di Pulau Sumatera, pasokan ikan ke kota-kota tersebut sudah banyak dipasok oleh nelayan-nelayan yang ada di Pulau Sumatera itu sendiri. Teknologi pengawetan, baik yang sederhana maupun yang canggih, belum banyak dilakukan. Pengawetan dengan cara diberi es pun terkendala dengan aliran listrik PLN yang sering mengalami pemadaman setiap harinya. Bahkan, di Seriwau aliran listrik PLN belum ada. Padahal, desa ini hanya berada 0-1 km dari pusat Kecamatan Sawo. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan terjadi pada pemasaran hasil pertanian dan perikanan budidaya yang pernah dilakukan di lokasi penelitian. Keberhasilan menanam dan memanen semangka di Teluk Bengkuang, misalnya, tidak didukung oleh pemasaran yang memadai. Hasil panen yang berlimpah tidak dapat ditampung oleh para pedagang yang ada di Pulau Nias. Akibatnya, harga jual semangka menjadi jatuh dan sangat murah. Bahkan, setelah dihitung-hitung tidak menutupi biaya produksi. Begitu pun dengan budidaya ikan lele yang 138
138
pernah dilakukan di Pasar Lahewa, Balefadorotuho, dan juga desadesa tetangga Seriwau dan Teluk Bengkuang. Keberhasilan budidaya dan hasil yang berlimpah tidak didukung oleh pasar yang ada di Pulau Nias. Akibatnya, harga jual ikan lele menjadi sangat murah dan tidak menutupi biaya produksi. Nasib yang tidak jauh berbeda, namun sediakit lebih baik adalah pemasaran kelapa. Pasokan kelapa yang berlimpah ruah setiap saat, sedangkan pasarnya yang terbatas hanya di Pulau Nias menyebabkan harga jual kelapa masih rendah sehingga keuntungannya pun sangat rendah. Harga jual kelapa sedikit meningkat ketika bulan Ramadhan tiba. Peningkatan kebutuhan kelapa tua dan kelapa muda menyebabkan peningkatan harga. Dari uraian-uraian di atas, pemasaran menjadi poin paling penting dari seluruh rangkaian kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pertanian. Apabila dikaitkan dengan program-program COREMAP yang pernah dilaksanakan atau akan dilaksanakan, aspek pemasaran menjadi hal yang harus dipikirkan, direncanakan, dan disiapkan sebelum program dijalankan, terutama program-program budidaya yang menjadi program mata pencaharian alternatif. 6.2.2. Musim/Iklim Seperti yang telah banyak dibahas sebelumnya, musim dan kondisi alam lainnya sangat berpengaruh terhadap kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan nelayan di lokasi penelitian. Ketika musim pancaroba dan gelombang tinggi datang, frekuensi mereka melaut menjadi sangat berkurang. Bahkan, pada musim gelombang tinggi datang mereka lebih sering tidak melaut. Dalam satu bulan, paling hanya 2-4 kali saja. Berkurangnya frekuensi melaut tentunya sangat berpengaruh pada hasil tangkapan dan pendapatan. Semakin sedikit frekuensi melaut, 139
139
semakin sedikit pula pendapatan yang bisa diperoleh. Apalagi, ketika mereka melaut pada musim gelombang tinggi, mereka tidak bisa lagi menangkap ikan di wilayah tangkap yang biasanya. Hasilnya pun jauh menurun. Padahal, biaya produksi melaut meningkat. Kondisi ini tentuya mengurangi pendapatan bersih sekali menangkap. 6.2.3. Degradasi Sumber Daya Pesisir dan Laut Tingginya pilihan menjadikan perikanan tangkap menjadi pekerjaan utama dan sampingan tentunya berpengaruh juga pada interaksi mereka terhadap laut. Mereka akan berusaha menangkap ikan sebanyak-banyak agar mendapatkan pendapatan setinggi-tingginya. Pengetahuan mereka yang rendah terhadap keberadaan, karakteristik, dan manfaat ekosistem-ekosistem yang ada di perairan dan juga pesisir, seperti ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove, menyebabkan kelestarian ekosistem-ekosistem ini tidak bisa dijaga dengan baik, seperti yang disampaikan pada Bab IV.
Gambar 6.2.1 Foto: Kondisi Perairan Laut di Seriwau dan Teluk Bengkuang Sumber : dokumentasi pribadi, 2005
140
140
Meskipun sebagian besar nelayan di lokasi penelitian saat ini mengalami peningkatan kesadaran yang salah satunya diakibatkan public awareness pada saat COREMAP II, mereka mengatakan ekosistem dan sumber daya laut sebagian besar masih rusak dan masih dirusak oleh nelayan-nelayan dari luar desa mereka. Mereka masih sering melihat melayan dari Sibolga dan juga nelayan dari Aceh melakukan pengeboman di perairan sekitar desa mereka. Selain itu, belakangan ini mereka juga sering menemukan penduduk-penduduk dari “atas” (berasal dari desa-desa non pesisir) yang menangkap ikan menggunakan racun tuba. Racun tuba ini dampaknya hampir sama dengan potassium. Kerusakan sumber daya laut ini menyebabkan hasil tangkapan mengalami penurunan drastis dibandingkan periode sebelum tahun 1990-an. Hasil diskusi dan wawancara menemukan bahwa dulu ikan dengan mudah bisa ditangkap, bahkan di pinggir pantai sekalipun. Namun sekarang, pergi ke arah laut yang lebih jauh pun sangat sulit menangkap ikan. Dulu, ketika musim gelombang tinggi datang, mereka tidak khawatir meskipun tidak melaut. Mereka menganggap musim gelombang tinggi adalah saatnya menabung. Mereka akan mengambil tabungannya ketika mereka sudah bisa melaut lagi. 6.3. Faktor Struktural (Program Wilayah Pesisir dan Laut serta Program Pembangunan Lainnya) Sama dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Nias Utara, selain mendapatkan bantuan dan program pemerintah, seperti program raskin, program keluarga harapan (PKH), dan bantuan operasional pendidikan siswa miskin, keempat desa juga mendapatkan bantuan dana PNPM yang digunakan untuk membangun sarana dan prasarana desa secara partisipatif dan sesuai dengan kebutuhan desa.
141
141
Selain itu, karena keempat desa berada di wilayah pesisir, DKP Kabupaten Nias Utara juga memberikan bantuan dan program berupa pemberian perahu/kapal motor dan alat tangkap ikan, pelatihan pengolahan hasil tangkap, pelatihan budidaya ikan air tawar, pembangunan pabrik es, dan pembagian beras nelayan bagi keluarga nelayan miskin. Pemberian tidak diberikan secara merata, namun secara proporsional dan purposive sesuai dengan karakteristik penduduk, ekologi, dan kebutuhan. Dalam survei rumah tangga, hanya program raskin dan program beras nelayan saja yang berhasil diperoleh informasinya dan berpengaruh langsung kepada pendapatan rumah tangga. Namun demikian, program lainnya secara tidak langsung ikut mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Partisipasi dalam pelaksanaan PNPM dan pelatihanpelatihan, misalnya, bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga, meskipun tidak rutin. Bantuan kapal motor dan alat tangkap, misalnya, dapat meningkatan hasil tangkapan dan pendapatan rumah tangga nelayan. Sayangnya, dalam survei tidak bisa dibedakan mana armada dan alat tangkap yang diperoleh dari bantuan dan mana yang beli sendiri.
142
142
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Keempat lokasi penelitian, yaitu Desa Seriwau dan Desa Teluk Bengkuang yang berada di Kecamatan Sawo serta Kelurahan Pasar Lahewa dan Desa Balefadorotuho merupakan desa pesisir yang ada di Kabupaten Nias Utara. Sebagai desa pesisir, keempat desa ini mempunyai sumber daya pesisir dan laut yang kaya. Ekosistem terumbu karang dan padang lamun terhampar luas di perairan keempat desa ini. Ekosistem mangrove dan ekosistem pesisir lainnya terbentang di beberapa titik sepanjang pantai keempat desa ini. Di dalam ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove tersebut hidup berbagai ikan, biota laut, dan sumber daya lainnya. Kekayaan sumber daya inilah yang dijadikan sumber penghidupan utama penduduk/rumah tangga keempat desa sejak dulu sampai sekarang. Untuk bertahan hidup dan mempertahankan penghidupannya, sebagian besar penduduk/rumah tangga menjalankan strategi penghidupan dengan cara menangkap ikan (menjadi nelayan). Mereka sangat tergantung pada hasil tangkapan ikan dan biota laut lainnya Sayangnya, ketiga ekosistem yang menjadi tempat hidup, memijah, membersarkan anak, dan mencari makan ikan dan biota laut lainnya, saat ini kondisinya sebagian besar rusak dan kurang baik. Kurangnya pengetahuan terhadap karaktersitik dan manfaat ketiga ekosistem membuat sebagian penduduk/rumah tangga di keempat desa tidak berusaha dengan baik untuk menjaganya. Meskipun COREMAP II pernah melakukan berbagai program, termasuk public awareness, di 143
143
Pasar Lahewa dan Balefadorotuho serta di tetangga-tetangga desa Seriwau dan Teluk Bengkuang, seperti Desa Sawo, Siheneasi, Sisarahili, dan Lasara Sawo, belum cukup kuat memberikan pemahaman secara menyeluruh kepada seluruh pihak, terutama pihakpihak di luar penduduk/rumah tangga yang tinggal di keempat desa. Seandainya pun penduduk/rumah tangga di keempat desa sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang kuat dan baik terhadap ketiga ekosistem ini tidak serta membuat pengrusakan terhadap ketiga ekosistem dapat dihentikan. Status laut sebagai perairan terbuka (open access) membuat siapa saja boleh mengakses dan mendapat manfaat dari perairan laut, termasuk perairan yang ada di keempat desa. Masih maraknya penggunaan bom, potasium, dan cara destructive lainnya yang justru banyak digunakan oleh nelayan luar, terutama dari Sibolga dan Aceh membuat kerusakan ekosistem terumbu karang dan padang lamun tetap rusak dan malah semakin rusak. Selain itu, belakangan ini pengrusakan ketiga ekosistem marak dilakukan oleh orang-orang dari “atas” (bukan penduduk asli desa pesisir). Tekanan perubahan ekologi di “atas” akibat alih fungsi lahan membuat mereka kehilangan pekerjaan dan harus mencari penghidupan baru di pesisir dengan cara membuka lahan baru di atas lahan-lahan mangrove dan juga menangkap ikan dengan cara cepat, yaitu racun tuba yang merusak terumbu karang dan padang lamun. Sempat terputusnya kegiatan COREMAP cukup lama dari Fase II ke COREMAP-CTI ini menjadi salah satu penyebab tidak jalannya berbagai kelembagaan dan aturan perlindungan laut yang pernah disusun dan dijalankan LPSTK untuk menyadarkan masyarakat dan mengawasi laut. Tidak adanya dukungan yang kuat dari berbagai stakeholders, baik pemerintah daerah dan penegak hukum (TNI, POLRI, dan kejaksaan) dalam pengawasan dan penegakkan hukum membuat pengrusakan terus berjalan.
144
144
Padahal, kalau kembali pada uraian awal, penghidupan penduduk/rumah tangga keempat desa sangat tergantung pada ketiga ekosistem. Kerusakan ketiga ekosistem telah terbukti mengganggu stabilitas penghidupan penduduk/rumah tangga di keempat desa. Hasil tangkapan ikan semakin menurun yang menyebabkan pendapatan mereka semakin menurun. Keterbatasan kualitas sumber daya manusia dan aset produksi, membuat tidak semuanya mampu memiliki pekerjaan tambahan (strategi nafkah ganda). Beberapa penduduk/rumah tangga yang mempunyai lahan atau yang mempunyai akses terhadap lahan memang bisa menjadi petani, meskipun hasil pendapatannya tidak terlalu besar. Rendahnya kualitas sumber daya manusia juga mengakibatkan kesempatan kerja, percaya diri, dan kreatifitas penduduk/rumah tangga di keempat desa terbatas. Sebagian besar penduduk/rumah tangga nelayan yang tidak punya lahan/akses terhadap lahan tidak bisa melakukan pekerjaan lain, apalagi bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang besar dan rutin. Padahal, seperti yang telah diketahui bersama, penduduk/rumah tangga nelayan tidak bisa melaut setiap hari sepanjang tahun. Dinamika cuaca membuat mereka hanya bisa melaut dengan tenang setiap hari di musim gelombang tenang. Ketika musim pancaroba datang, apalagi musim gelombang kuat datang, sudah dipastikan mereka tidak bisa melaut. Pengalaman program COREMAP II, inisiasi pemberian pekerjaan tambahan, melalui program mata pencaharian alternatif (MPA) dalam sebetulnya bisa memberikan pengalaman, ide, dan peningkatan kapasitas bagi penduduk/rumah tangga nelayan. Bahkan, dalam jangka pendek dan sementara bisa meningkatkan pendapatan mereka. Namun, kurangnya persiapan, pendampingan, dan pengawasan membuat program MPA tidak bisa berkelanjutan, bahkan beberapa sudah gagal sejak awal. Sistem program yang berbasis kelompok 145
145
tanpa penguatan kelompok terlebih dahulu menjadi faktor utama lainnya. Belum kuatnya kelompok, termasuk kapasitas kelompok dan anggota kelompok, saling kepercayaan yang belum terbangun, dan pembagian peran yang jelas, membuat semua program tidak berjalan, bahkan sejak awal program digulirkan sudah banyak yang bertengkar. Jenis MPA yang cenderung dipaksakan tanpa penguatan kapasitas sumber daya manusia dan tanpa melihat kesesuaian ekologi juga menjadi awal kegagalan program ini. Aspek pemasaran juga seringkali dilupakan dan tidak dipersiapkan dengan baik. Seringkali program budidaya bisa panen, namun tidak bisa panen. Terakhir, yang sering kali menjadi masalah adalah perencanaan, implementasi, pendampingan, dan pengawasan yang masih sangat sektoral. Dinas Kelautan dan Perikanan tingkat kabupaten, misalnya, hanya membatasi MPA dalam bentuk budidaya ikan, baik ikan laut maupun ikan air tawar, padahal berdasarkan karakteristik sosia-budaya dan juga kondisi ekologi, yang cocok dan dibutuhkan adalah ternak kambing bagi penduduk/rumah tangga muslim dan ternak babi bagi penduduk/rumah tangga nasrani. Akhirnya, program gagal dan tidak berkelanjutan. 7.2. Rekomendasi Dari kesimpulan di atas, peneliti merekomendasikan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia di lokasi penelitian, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan informal yang intensif, meluas, dan kontinyu. Materi yang diberikan dalam pelatihan harus holistik, mulai dari membuka pandangan/wawasan sampai ke hal-hal yang praktis dan detail. Pelatihan harus lebih banyak dilakukan di lapangan dan langsung praktek, seperti model sekolah lapang. 2. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap karakteristik dan manfaat terumbu karang, padang lamun, dan mangrove secara 146
146
3.
4.
5.
6.
intensif, meluas, kontinyu, holistik. Sama dengan pelatihan pada nomor 1, peningkatan pengetahuan dan pemahaman ini juga harus lebih banyak dilakukan di lapangan dan langsung praktek, seperti model sekolah lapang. Proses ini juga harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumber daya yang ada dalam ketiga ekosistem tersebut, termasuk nelayan luar, penduduk “atas”, pemerintah daerah, TNI, POLRI, dan kejaksaan. Penguatan kelembagaan dan koordinasi dalam menjaga, mengawasi, dan menindak setiap kegiatan yang merusak ketiga ekosistem tersebut, termasuk pengawasan internal di semua lembaga dan aparat penegak hukum untuk menghilangkan oknumoknum yang justri menjadi pelindung para pelaku pengrusakan. Program MPA (atau apapun namanya) sangat penting dilakukan. Namun, harus dilakukan dengan perencanaan dan persiapan yang matang. Program MPA harus berbasiskan karakteristk sosialbudaya, kebutuhan penduduk/rumah tangga, dan kesesuaian ekologi. Peningkatan kapasitas penduduk/rumah tangga sebagai penerima manfaat serta pendamping dan pelaksana program harus dilakukan sebelum pelaksanaan program dimulai. Pendamping harus tinggal menetap di desa selama program dilaksanakan. Pendamping juga harus menjadi penghubung antara masyarakat, LPSTK, dan pemerintah. Jaminan pemasaran juga menjadi hal yang sangat penting yang tidak boleh dilupakan dan harus disiapkan sebelum pelaksanaan program. LPSTK harus diperkuat, baik kapasitas pengruusnya, koordinasinya, maupun kemampuan operasional, apalagi LPSTK Seriwau-Teluk Bengkuang yang membawahi dua desa sekaligus. Terakhir, transparansi anggaran dan pengawasan yang ketat dari semua program COREMAP-CTI menjadi sangat penting dilakukan agar semua rangkaian kegiatan dapat partisipatif dan memberikan manfaat bagi kelestarian ekosistem dan sebesarbesarnya kemakmuran masyarakat.
147
147
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Allah SWT atas izin, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga laporan hasil penelitian dapat terwujud. Penghargaan dan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Oseanologi LIPI (P2O – LIPI) yang telah membiayai kegiatan penelitian ini. Ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat Kependudukan – LIPI (P2K – LIPI) yang memberi kesempatan para peneliti dalam Baseline Riset Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Kabupaten Nias Utara. Penghargaan yang setinggi-tingginya juga kami ucapkan kepada Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nias Utara, Kantor BPS Kabupaten Nias yang telah memberikan data yang terkait dengan tema penelitian ini. Juga kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kades Seriwau, Bapak Kades Teluk Bengkuang, Bapak Kades Balefadorotuho dan Bapak Lurah Kelurahan Pasar Lahewa yang telah mengizinkan peneliti untuk mengadakan survei di wilayahnya. Akhirnya kami juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Seriwau, Teluk Bengkuang, Balefadorotuho dan Kelurahan Pasar Lahewa baik dan memberikan berbagai informasi yang terkait dengan penelitian ini. Kepada para tokoh masyarakat (Ketua RT Ketua RW), para tokoh nelayan, para ibu-ibu pedagang kami ucapkan terima kasih atas bantuan informasi yang diberikan. Kepada para tenaga administrasi dan tenaga computer PPK-LIPI kami ucapkan terima kasih telah membantu para peneliti dalam pengolahan data sampai terwujudnya buku laporan ini. Semoga amal baik semua pihak yang membantu peneliti mendapatkan balasan dari Allah SWT dan buku laporan ini dapat dimanfaatkan untuk membantu para pengambil kebijakan. Amin.
148
148
DAFTAR PUSTAKA BPS Kabupaten Nias. 2014. Statistik Daerah Kecamatan Sawo 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias . 2014. Statistik Daerah Kecamatan Lahewa 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias . 2014. Nias Utara Dalam Angka 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Nias Utara. 2014. Laporan Final Review Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Di Kabupaten Nias Utara. Lotu: DKP Nias Utara Widayatun, dkk. 2007. KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Kawasan Lahewa dan Sawo, Kabupaten Nias HASIL BME. LIPI http://www.COREMAP.or.id/downloads/1_BUKU_LAPORAN_NIA SUTARA.pdf
149
149
Lampiran Tabel 1 Distribusi Responden menurut Jenis Kegiatan perlindungan/pelestarian Terumbu Karang, Padang Lamun, Mangrove dan Wilayah Pesisir di Lokasi Penelitian, Kabupaten Nias Utara, Tahun 2015 (Persentase) Jenis kegiatan
Kerja bakti pembersihan lingkungan di wilayah pantai Kegiatan sosialiasi/penyuluhan Penanaman pohon mangrove/transplansi karang Pengawasan hutan mangrove/laut secara mandiri Patroli hutan mangrove/laut secara kelompok/pokmaswas Pembentukan kawasan konservasi hutan/laut/daerh perlindungan laug (DPL)
Terumbu Karang Ya Tidak
Padang Lamun Ya Tidak
Mangrove Ya
Tidak
Wilayah Pesisir Ya Tidak
9,5
90,5
6,0
94,0
7,5
92,5
8,0
92,0
6,5
93,5
0,0
100,0
7,0
93,0
0,0
100,0
5,5
94,5
4,5
95,5
6,5
93,5
5,0
95,0
1,5
98,5
0,5
99,5
3,5
96,5
1,5
98,5
4,5
97,5
1,5
98,5
3,5
96,5
3,5
96,5
Sumber : Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
150
150
DAFTAR SINGKATAN/ ARTI /INDEKS Purse seine
=
pukat cincin
Trawl
=
patrol/ pukat hela/ pukat harimau
Seine nets
=
pukat tarik
DKP
=
Dinas Kelautan dan Perikanan
GT
=
Gross Ton
CTI
=
Coral Triangle Initiative (Wilayah Segi Tiga TK Dunia)
TO
=
Baseline Study (Tahun Awal)
FGD
=
Focus Group Discussion
151
151