DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI KABUPATEN RAJA AMPAT TAHUN 2015
Augustina Situmorang Yuly Astuti Puguh Prasetyoputra
COREMAP-CTI CRITC – LIPI Pusat Penelitian Oseanografi 2015 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM TERKAIT DI KABUPATEN RAJA AMPAT TAHUN 2015
Augustina Situmorang Yuly Astuti Puguh Prasetyoputra
CRITC – LIPI 2015
2
KATA PENGANTAR Dalam upaya pengelolaan sumber daya laut, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan suatu program yang dikenal dengan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). COREMAP adalah program nasional untuk upaya rehabilitasi, konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Program COREMAP tersebut dirancang dalam 3 (tiga) fase: Fase I mulai tahun 1998-2004 merupakan fase Inisiasi; Fase II adalah fase Akselerisasi yang programnya dimulai pada tahun 2005 sampai dengan 2011; dan Fase ke III adalah fase Penguatan Kelembagaan yang pelaksanaaannya dirancang mulai tahun 2014 sampai dengan tahun 2019. COREMAP fase III disejalankan dengan program nasional dan regional tentang pengelolaan terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan Coral Triangle Initiative (CTI), sehingga COREMAP Fase III selanjutnya disebut dengan COREMAP - CTI. Tujuan COREMAP-CTI adalah melakukan pengelolaan sumber daya terumbu karang dan ekosistem terkait secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. Lokasi program COREMAP- CTI di 7 kabupaten wilayah Indonesia bagian timur dan 7 kabupaten/kota di wilayah Indonesia bagian barat. Pemahaman aspek sosial ekonomi masyarakat sangat diperlukan untuk merancang, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi suatu program pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Oleh karena itu, sebelum COREMAP - CTI dilaksanakan, dilakukan riset sosial ekonomi untuk mengumpulkan data dasar (baseline data) di lokasi program dan kontrol. Data dasar sosial ekonomi ini diperlukan sebagai dasar dan masukan-masukan dalam merancang program dan merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum adanya intervensi dari program yang akan dilakukan.
iii
Buku laporan ini berisi data dasar dan kajian tentang kondisi sosialekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang dan ekosistem terkait di Kabupaten Raja Ampat. Data dasar tentang aspek sosial-ekonomi penduduk ini merupakan bahan yang dapat dipakai oleh para perencana, pengelola dan pelaksana dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP - CTI. Di samping itu, data dasar ini juga dapat digunakan oleh stakeholders (users) sebagai bahan pembelajaran dalam pemanfaatan terumbu karang dan ekosistem terkait. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Ucapan terimaksih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada para informan: masyarakat nelayan, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat dan kelompok perempuan di Kampung Wamega, Kampung Kapatlap, Kampung Yenanas dan Kampung Amdui. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggitingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur dari Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat, UPTD BLUD Raja Ampat, dan BPS Raja Ampat serta konsultan COREMAP II Raja Ampat yang telah membantu memberikan data dan informasi.
Jakarta, Desember 2015
Drs Susetiono, MSc Ketua NPIU COREMAP- CTI LIPI
iv
RINGKASAN Penelitian Aspek Dasar Sosial Ekonomi terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat bertujuan untuk mengumpulkan data kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kepeduliannya terhadap kelestarian terumbu karang, padang lamun dan mangrove, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2015 di kawasan Pulau Batanta dan Pulau Salawati. Secara keseluruhan ada empat kampung yang dipilih sebagai lokasi penelitian yaitu Kampung Wamega, Kapatlap, Yenanas, dan Amdui. Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dikumpulkan melalui survei terhadap 200 rumah tangga di seluruh lokasi penelitian. Berhubung jumlah rumah tangga di masingmasing desa penelitian relatif kecil, survei dilakukan terhadap seluruh rumah tangga (sensus) yang pada waktu pengumpulan data berada di tempat. Rumah tangga yang di wawancarai berjumlah 40 di Desa Wamega, 53 Desa Kapatlap, 50 Desa Yenanas, dan 57 Desa Amdui. Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara terbuka dengan stakeholders terkait, diskusi kelompok terfokus (FGD) serta observasi di lapangan. Kabupaten Raja Ampat dikenal dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Secara keseluruhan, kondisi SDL dan SDP di Kabupaten Raja Ampat masih tergolong baik. Meskipun demikian, di beberapa wilayah degradasi sumber daya ini mulai dirasakan. Masyarakat di lokasi penelitian mengatakan bahwa hasil tangkap mereka mulai berkurang karena maraknya penggunaan alat tangkap yang merusak pada masa lalu seperti yang diungkapkan nelayan di Kapatlap. Penggunaan bahan beracun untuk menangkap ikan juga masih ditemukan di Desa Amdui dan Desa Wamega. v
Dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat, sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian hanya tamat SD kebawah, bahkan masih banyak yang tidak tamat SD. Rendahnya kualitas SDM membuat masyarakat kurang dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang ada disekeliling mereka. Pemanfataan sumber daya laut di lokasi penelitian, khususnya ikan, masih bersifat subsisten. Secara keseluruhan, sebagian besar sumber pendapatan utama kepala rumah tangga di keempat desa penelitian berasal dari perikanan tangkap. Namun, sumber pendapatan terbesar di kedua desa yang terletak di Kepulauan Batanta (Yenanas dan Amdui) adalah sektor pertanian. Bagi sebagian besar masyarakat di wilayah ini, kegiatan menangkap ikan hanya untuk dijadikan lauk. Sumber pendapatan dari sektor jasa, khususnya guru, petugas kesehatan dan aparat desa cukup banyak di Desa Yenanas. Hal ini karena sebagai ibukota Distrik Batanta Selatan, di wilayah ini terdapat Puskesmas, Kantor distrik dan SMA. Nelayan di lokasi penelitian masih menggunakan alat tangkap tradisional dan perahu dayung serta perahu bermotor dengan kapasitas mesin yang kecil seperti 5,5 PK, sehingga tidak mengherankan apabila hasil tangkapan mereka masih sangat terbatas. Hal ini merupakan salah satu faktor dibalik relatif kecilnya penghasilan rata-rata rumah tangga di keempat desa yaitu sekitar 3 juta rupiah perbulan, dengan. pendapatan perkapita sebesar Rp642.656,00. Secara keseluruhan pengeluaran rata-rata rumah tangga di lokasi penelitian adalah Rp2,4 juta setiap bulannya. Sebagian besar pengeluaran tersebut digunakan untuk pengeluaran pangan. Sedangkan rerata pengeluaran per kapita rumah tangga di keempat desa lokasi penelitian adalah Rp516,911,00. Pengeluaran rumah tangga yang juga cukup tinggi adalah untuk rokok. Selain SDL dan SDP Kabupaten Raja Ampat juga memiliki sumber daya darat yang tidak kalah penting. Beberapa tanaman yang memiliki
vi
kontribusi penting dalam kehidupan penduduk setempat antara lain jagung, sagu, ubi kayu, kelapa, coklat, serta pinang. Sektor lain yang juga cukup menonjol adalah industri rumah tangga dimana membuat kapur sirih dan membuat papan merupakan jenis yang banyak dilakukan dan berkontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan penduduk. Secara keseluruhan pemahaman masyarakat terkait upaya pelestarian SDL dan SDP khususnya ekosistem terumbu karang, padang lamun dan hutan bakau cukup baik. Meskipun hanya sedikit masyarakat yang mengetahui definisi ilmiah dari ekosistem sumber daya laut tersebut, sebagian besar dari responden paham tentang fungsi dan manfaat terumbu karang, padang lamun dan hutan bakau. Berakhirnya program COREMAP II pada tahun 2011 berdampak pada menurunnya partisipasi masyarakat untuk secara aktif menjaga kelestarian SDL dan SDP disekitarnya. COREMAP dianggap sebagai program yang sangat bagus dan dinantikan oleh masyarakat. Namun, mengingat kualitas SDM masyarakat di perdesaan Kabupaten Raja Ampat yang terbatas, pendampingan yang intensif masih diperlukan.
vii
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................III RINGKASAN ........................................................................... V DAFTAR ISI............................................................................ IX DAFTAR TABEL ................................................................ XIII DAFTAR GAMBAR .......................................................... XVII BAB I 1.1 1.2 1.3 1.3.1 1.3.2 1.3.3 1.3.4 1.3.5 1.3.6 1.4
BAB II 2.1 2.2 2.2.1 2.2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.6.1 2.6.2
PENDAHULUAN .................................................... 1 Latar Belakang.................................................................... 1 Tujuan................................................................................. 4 Metodologi ......................................................................... 5 Sumber data ........................................................................ 5 Lokasi Penelitian ................................................................ 5 Pengumpulan data .............................................................. 6 Data Kuanitatif ................................................................... 6 Data Kualitatif .................................................................. 11 Data Sekunder .................................................................. 12 Pembabakan Penulisan ..................................................... 13
PROFIL LOKASI PENELITIAN ........................ 15 Keadaan Geografis ........................................................... 15 Keadaan Sumber Daya Alam ........................................... 19 Sumber Daya Laut (SDL)................................................. 19 Sumber Daya Darat (SDD) ............................................... 29 Sarana dan Prasarana Sosial-Ekonomi ............................. 33 Kelembagaan Sosial-Ekonomi ......................................... 45 Program Pemberdayaan Masyarakat ................................ 47 Pengelolaan Sumber Daya Laut ....................................... 49 Kebijakan.......................................................................... 49 Pemanfaatan ..................................................................... 51 ix
2.6.3 Wilayah Tangkap.............................................................. 52 2.6.4 Teknologi.......................................................................... 53 2.6.5 Permasalahan .................................................................... 54
BAB III POTRET PENDUDUK ......................................... 57 3.1
Jumlah dan Komposisi Penduduk .................................... 57 3.1.1 Jumlah dan Karakteristik Penduduk Serta Pertumbuhannya di Tingkat Kabupaten ........................... 57 3.1.2 Gambaran Umum Jumlah dan Komposisi Penduduk di Tingkat Desa .................................................................... 61 3.1.3 Jumlah dan Komposisi Penduduk (Hasil Survei) ............. 64 3.2 Kualitas Sumber Daya Manusia ....................................... 66 3.2.1 Pendidikan dan Keterampilan........................................... 66 3.2.2 Pekerjaan .......................................................................... 71 3.3 Kesejahteraan ................................................................... 80 3.3.1 Pemilikan dan Penguasaan Aset Produksi dan NonProduksi ........................................................................... 80 3.3.2 Kondisi Permukiman dan Sanitasi Lingkungan ............... 84
BAB IV PENGETAHUAN DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT TERHADAP UPAYA PERLINDUNGAN DAN PENYELAMATAN MANGROVE, PADANG LAMUN, DAN TERUMBU KARANG .......................................... 89 4.1
Pengetahuan Masyarakat Tentang Keberadaan dan Kegunaan Mangrove, Padang Lamun, dan Terumbu Karang .............................................................................. 90 4.1.1 Pengetahuan Masyarakat Tentang Pengertian Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove ........................... 91 4.1.2 Pengetahuan Masyarakat Tentang Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove ........... 93 4.2 Persepsi Masyarakat Tentang Kondisi dan Faktor Yang Menyebabkan Kerusakan Mangrove, Padang Lamun, dan Terumbu Karang ........................................ 107
x
4.3
Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat dalam Upaya Perlindungan dan Penyelamatan Mangrove, Padang Lamun, dan Terumbu Karang ........................................ 116
BAB V 5.1 5.1.1 5.1.2 5.2 5.2.1 5.2.2 5.3
PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PENDUDUK ......................................................... 121 Pendapatan di Tingkat Kabupaten .................................. 121 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) .................... 121 Pendapatan Sektor Pertanian/Perikanan ......................... 123 Pendapatan di Lokasi Survei .......................................... 123 Pendapatan per Bulan Menurut Lapangan Pekerjaan ..... 124 Pendapatan Rumah Tangga Nelayan .............................. 129 Pengeluaran Rumah Tangga ........................................... 138
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT ...................................... 143 6.1
Faktor Internal ................................................................ 143 6.1.1 Sumber Pendapatan ........................................................ 143 6.1.2 Teknologi Alat Tangkap/Produksi dan Wilayah Tangkap.......................................................................... 145 6.1.3 Biaya Produksi ............................................................... 146 6.1.4 Kualitas SDM ................................................................. 148 6.2 Faktor Eksternal.............................................................. 149 6.2.1 Pemasaran: Harga dan Pemasaran .................................. 149 6.2.2 Permintaan Terhadap Hasil Tangkap/Produksi .............. 151 6.2.3 Musim/Iklim ................................................................... 152 6.2.4 Degradasi Sumber Daya Pesisir dan Laut ...................... 152 6.3 Faktor Struktural............................................................. 155 6.3.1 Program Wilayah Pesisir dan Laut ................................. 155 6.3.2 Program Pembangunan Lainnya..................................... 158
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........... 161 7.1
Simpulan ......................................................................... 161
xi
7.2
Rekomendasi .................................................................. 167
DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 169 LAMPIRAN........................................................................... 175
xii
DAFTAR TABEL Tabel 2.2.1 Data Hasil Produksi Perikanan Kabupaten Raja Ampat 2010-2013 ....................................................... 28 Tabel 2.3.1 Jumlah Kapal di Perairan Kabupaten Raja Ampat Periode 2010-2013 ...................................................... 37 Tabel 2.3.2 Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2014 .... 39 Tabel 3.1.1 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Berdasarkan Distrik di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2013 .................................................... 58 Tabel 3.1.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Distrik di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2013.......... 59 Tabel 3.1.3 Luas Wilayah, Jumlah, dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Salawati Utara dan Batanta Selatan Tahun 2013 ................................................................. 62 Tabel 3.1.4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Seks di Kecamatan Salawati Utara dan Batanta Selatan Tahun 2013 .................................................... 63 Tabel 3.1.5 Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase)........................ 65 Tabel 3.2.1 Jumlah Sarana Sekolah, Guru, Murid, Rasio Murid/Guru, Rasio Guru/Sekolah dan Murid/Sekolah, Kabupaten Raja Ampat, 2013 ........... 66 Tabel 3.2.2 Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas Menurut Status Pendidikan 2008-2013, Kabupaten Raja Ampat ......................................................................... 68 Tabel 3.2.3 Distribusi Penduduk Berumur 7 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) ........................................................ 70
xiii
Tabel 3.2.4 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, 2015 (Persentase) ................ 72 Tabel 3.2.5 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) ........................................................ 73 Tabel 3.2.6 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) ........................................................ 75 Tabel 3.2.7 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) ................................ 77 Tabel 3.2.8 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) ................................ 79 Tabel 3.3.1 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Kepemilikan Alat/Sarana Produksi di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 ........ 82 Tabel 3.3.2 Statistik Kepemilikan Barang-Barang Berharga Rumah Tangga Terpilih di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 .......................... 84 Tabel 4.1.1 Persentase Responden Yang Mengetahui Fungsi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 ............................................. 95 Tabel 4.1.2 Persentase Responden Yang Mengetahui Fungsi Padang Lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, 2015 ....................................................... 97 Tabel 4.1.3 Persentase Responden Yang Mengetahui Fungsi Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, 2015................................................................ 99
xiv
Tabel 4.1.4 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Terumbu Karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase)...................... 102 Tabel 4.1.5 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Padang Lamun, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase)...................... 104 Tabel 4.1.6 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Mangrove, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat,....................................................................... 106 Tabel 5.1.1 Nilai dan Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Raja Ampat Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Tanpa Migas), 2012 ............................................................. 122 Tabel 5.2.1 Statistik Pendapatan Rumah Tangga di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Rupiah) .................................................................... 126 Tabel 5.2.2 Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pendapatan Rumah Tangga per Bulan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) ... 127 Tabel 5.2.3 Distribusi Rumah Tangga Menurut Sumber Pendapatan Kepala Rumah Tangga di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) ............................................................... 128 Tabel 5.2.4 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Nelayan dari Perikanan Tangkap dan Budidaya di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Rupiah) .................................................................... 131 Tabel 5.2.5 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari Perikanan Tangkap dan Budidaya di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) ... 132 Tabel 5.2.6 Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Besar Pendapatan Per Musim dari Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) ...................................................... 137
xv
Tabel 5.3.1 Statistik Pengeluaran Rumah Tangga di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Rupiah) .................................................................... 139 Tabel 5.3.2 Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga per Bulan Menurut Penggunaan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Rupiah) ........................................................... 142
xvi
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1.1 Peta Kabupaten Raja Ampat ........................................ 16 Gambar 2.2.1 Terumbu Karang di Perairan ....................................... 21 Gambar 2.2.2 Hutan Mangrove di Desa Wamega .............................. 26 Gambar 2.2.3 Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Raja Ampat Periode 2012-2014 .......................................... 30 Gambar 2.3.1 Dermaga Kayu di Desa Amdui .................................... 36 Gambar 2.3.2 Kondisi Jalan Beton di Desa Kapatlap ........................ 38 Gambar 2.3.3 Bangunan Pasar di Amdui yang Tidak Dimanfaatkan Seperti Pasar ........................................ 41 Gambar 2.3.4 Puskesmas Distrik Batanta Selatan yang Kurang Dimanfaatkan .............................................................. 42 Gambar 2.3.5 Sumur Umum di Desa Wamega, Kecamatan Salawati Utara ............................................................. 44 Gambar 2.4.1 Hasil Kerajinan Tangan Kelompok Ibu-ibu PKK Desa Wamega ............................................................. 47 Gambar 2.6.1 Alat Tangkap Sero di Desa Wamega ........................... 54 Gambar 3.1.1 Piramida Penduduk Kabupaten Raja Ampat, 2013 ..... 61 Gambar 3.2.1 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah....... 67 Gambar 3.2.2 Hasil Industri Kayu Papan ........................................... 74 Gambar 3.2.3 Hasil Kelapa di Desa Amdui ....................................... 78 Gambar 3.3.1 Perahu di Beberapa Desa ............................................. 81 Gambar 3.3.2 Jalan di Beberapa Desa ................................................ 85 Gambar 3.3.3 Tempat Pembuangan Tinja Langsung ke Laut ............ 85 Gambar 3.3.4 Kamar Mandi dengan Jamban dan Sumur di Salah Satu Desa .................................................................... 86 Gambar 4.1.1 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Pengertian Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 (N=200) .................................................. 92
xvii
Gambar 4.1.2 Persentase Responden yang Mengetahui Fungsi Terumbu Karang di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 (N=200).............................................................. 94 Gambar 4.1.3 Persentase Responden yang Mengetahui Fungsi Padang Lamun di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 (N=200).............................................................. 97 Gambar 4.1.4 Persentase Responden Yang Mengetahui Fungsi Mangrove di Kabupaten Raja Ampat, 2015 (N=200)....................................................................... 99 Gambar 4.1.5 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Terumbu Karang di Kabupaten Raja Ampat, 2015 (N=200)..................................................................... 101 Gambar 4.1.6 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Padang Lamun, di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200)............................................................ 103 Gambar 4.1.7 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Mangrove, di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200)..................................................................... 105 Gambar 4.2.1 Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisi Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200)..................................................................... 107 Gambar 4.2.2 Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N= 200)................................... 110 Gambar 4.2.3 Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Kerusakan Padang Lamun di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200).................................... 112 Gambar 4.2.4 Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Kerusakan Mangrove di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) ................................................ 114 Gambar 4.2.5 Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Pelaku Perusakan Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove, ............................................. 115
xviii
Gambar 4.3.1 Persentase Responden Yang Terlibat Dalam Upaya Perlindungan/Pelestarian Terumbu Karang, Padang Lamun, Mangrove, dan Wilayah Pesisir di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) ......... 116 Gambar 4.3.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/PelestarianTerumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) ................................................ 117 Gambar 4.3.3 Persentase Responden Menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/PelestarianWilayah Pesisir di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 ........................ 118 Gambar 5.2.1 Lahan untuk Menyimpan Kayu untuk Memproduksi Bagan di Wamega.............................. 125 Gambar 5.2.2 Hasil Tangkapan Laut Berupa Cumi dan Ikan........... 130 Gambar 5.2.3 Nelayan yang Menggunakan Sero di Desa Wamega . 131 Gambar 5.2.4 Statistik Pendapatan Rata-Rata Rumah Tangga Nelayan dari Perikanan Tangkap Menurut Musim di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Rupiah) ................................................ 134 Gambar 6.1.1 Alat Tangkap Sero ..................................................... 146 Gambar 6.1.2 Alat tangkap bagan/kelong ........................................ 146 Gambar 6.3.1 Papan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan ................................. 159
xix
xx
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu wilayah kepulauan di Indonesia bagian timur yang memiliki sumber daya pesisir (SDP) dan sumber daya laut (SDL) yang sangat kaya. Sekitar 69,2 persen spesies karang dunia berada di wilayah ini, dimana ditemukan 553 jenis karang dan dua diantaranya merupakan jenis endemik Raja Ampat. Selain itu ditemukan juga setidaknya 41 jenis dari 90 genus karang lunak Alcyonacean dari 14 Famili. Tingginya keanekaragaman hayati di wilayah ini membuat Raja Ampat dikatakan sebagai “jantung segitiga karang dunia.” Selain karang, di wilayah ini juga ditemukan 699 jenis moluska, 5 jenis penyu, dan setidaknya 1.505 jenis ikan karang dan rumah bagi 15 jenis mamalia laut (Unit Pelaksana Teknis Dinas Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan (UPTD DKP) Kabupaten Raja Ampat, 2012). Keanekaragaman SDL di Raja Ampat antara lain disebabkan oleh tingginya keragaman habitat perairan seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove di perairan dangkal. Ketiga ekosistem tersebut mempunyai fungsi ekologi yang penting untuk perlindungan dan keseimbangan lingkungan. Selain itu, ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove juga memiliki manfaat ekonomi yang sangat potensial bagi kehidupan masyarakat. Ketiga ekosistem ini saling terkait secara ekologis, baik dalam nutrisi terlarut, sifat fisik air, partikel organik, maupun migrasi satwa, dan dampak terhadap kegiatan manusia. Apabila salah satu ekosistem tersebut terganggu, maka ekosistem yang lain juga ikut terganggu. Secara umum kondisi terumbu karang, lamun dan mangrove di Kabupaten Raja Ampat masih dalam kondisi baik. Namun, sebagian wilayah sudah mulai menunjukkan kerusakan. Disamping faktor
1
alami, seperti badai dan tsunami, kerusakan disebabkan oleh faktor anthropogenik. Kerusakan terumbu karang, menurut berbagai referensi, berkaitan erat dengan kegiatan perikanan yang merusak (penggunaan alat yang tidak ramah lingkungan, misalnya bius dan bom), penambangan batu karang dan pasir, dan tangkap lebih, dan faktor lingkungan, seperti sedimentasi dan polusi air laut. Hal ini berkaitan erat dengan faktor ekonomi dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya. Selain itu, kerusakan terjadi karena faktor non-ekonomi, seperti kurangnya pengetahuan dan kepedulian akan pentingnya pelestarian ekosistem pesisir dan laut. Sebagaimana umumnya masyarakat di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil, tingkat pendidikan dan kesejahteraan sebagian besar masyarakat yang tinggal di Raja Ampat masih relatif rendah. Kekayaan alam perairan Kabupaten Raja Ampat belum sepenuhnya dapat dinikmati masyarakat yang tinggal di wilayah ini. Hasil kajian Kemenko Perekonomian terhadap penduduk miskin ditahun 2013, menunjukkan bahwa 32, 14 persen penduduk miskin tinggal di pesisir (Kompas, Selasa, 10/2/2015). Hasil riset sosial ekonomi di sebagian lokasi COREMAP fase I dan fase II juga menunjukkan lebih dari separuh penduduk di pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kondisi miskin (Harsono, 2012; Hidayati: 2014). Rendahnya tingkat pendidikan dan terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki membuat nelayan di Raja Ampat kurang dapat bersaing dengan nelayan luar yang menggunakan tehnologi maju dan memiliki modal kuat. Masyarakat di wilayah ini umumnya adalah nelayan tradisional dengan armada dan alat tangkap sederhana sehingga sangat rentan terhadap musim dan cuaca. Dalam upaya pengelolaan sumber daya laut, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan suatu program yang dikenal dengan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). COREMAP adalah program nasional untuk upaya rehabilitasi, konservasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Program 2
COREMAP tersebut dirancang dalam 3 (tiga) fase: Fase I mulai tahun 1998-2004 merupakan fase Inisiasi; Fase II adalah fase Akselerisasi yang programnya dimulai pada tahun 2005 sampai dengan 2011; dan Fase ke III adalah fase Penguatan Kelembagaan yang pelaksanaaannya dirancang mulai tahun 2014 sampai dengan tahun 2019. COREMAP fase III disejalankan dengan program nasional dan regional tentang pengelolaan terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan Coral Triangle Initiative (CTI), sehingga COREMAP Fase III selanjutnya disebut dengan COREMAP - CTI. Pemahaman aspek sosial ekonomi masyarakat sangat diperlukan untuk merancang, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi suatu program pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Oleh karena itu penelitian aspek sosial ekonomi masyarakat Coremap dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu penelitian untuk pengumpulan data dasar (baseline data), penelitian untuk memonitor perkembangan program dan yang terakhir adalah penelitian untuk mengevaluasi capaian program. Pengumpulan data dasar (T0) dilakukan sebelum kegiatan dimulai karena data ini diperlukan untuk memberi informasi mengenai kondisi awal suatu wilayah sehingga dapat dirancang program yang sesuai dengan wilayah tersebut. Monitoring kondisi sosial ekonomi dilakukan ketika program sedang berjalan, biasanya pertengahan program. Monitoring (Benefit Monitoring Evaluation, disingkat BME) bertujuan untuk memantau pelaksanaan program, terutama proses perkembangan, termasuk tahapan-tahapan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh program tersebut, terutama yang berkaitan dengan indikator keberhasilan program. Monitoring ini tidak hanya untuk mengetahui proses pelaksanaan, tetapi juga memahami permasalahan yang timbul dan solusi untuk pemecahan masalah. Hasil monitoring merupakan data (T1) kondisi sosek yang dapat menggambarkan apakah program telah berjalan sesuai dengan rencana atau belum. Hasil T1 juga dapat 3
mengindikasikan kecenderungan akan keberhasilan program di lokasi program. Karena itu, hasil monitoring juga harus memberikan masukan-masukan untuk memperbaiki pelaksanaan program sesuai dengan rencana dan tujuan. Pada akhir program dilakukan riset evaluasi kondisi sosial ekonomi masyarakat (T2 atau Tn). Tujuan utama adalah untuk mengetahui hasil pelaksanaan dan dampak program terhadap kesejahteraan masyarakat. Evaluasi sosial ekonomi terfokus pada parameter/indikator keberhasilan program dari aspek sosial ekonomi, yaitu peningkatan kesejahteraan dan kepedulian masyarakat akan pemanfataan terumbu karang dan ekosistem terkait secara berkelanjutan yang menjadi tujuan dari program tersebut. Kajian ini merupakan hasil penelitian data dasar (T0) Aspek Sosial Ekonomi terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat.
1.2
Tujuan
Penelitian Aspek Dasar (baseline study) Sosial Ekonomi terumbu karang secara umum bertujuan untuk mengumpulkan data kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kepeduliannya terhadap kelestarian terumbu karang, padang lamun dan mangrove, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya di Wilayah Kabupaten Raja Ampat. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: Memberikan gambaran tentang lokasi COREMAP di Kabupaten Raja Ampat yang meliputi: kondisi geografi, sarana dan prasarana, potensi dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut dangkal, terutama ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Menggambarkan kondisi sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan penduduk di lokasi COREMAP. Mendeskripsikan tingkat pendapatan dan pengeluaran masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya 4
Mendeskripsikan kepedulian masyarakat terhadap terumbu karang, padang lamun dan mangrove.
1.3 1.3.1
Metodologi Sumber data
Informasi yang digunakan dalam studi ini berasal dari dua sumber, yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa data statistik dan dokumen yang dikumpulkan dari berbagai instansi terkait, antara lain Biro Pusat Statistik, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Dinas Kesehatan dan Bappeda Kabupaten Raja Ampat. Sedangkan data primer dikumpulkan dengan menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dikumpulkan melalui survei dan data kualitatif diperoleh melalui berbagai tehnik pengumpulan data kualitatif seperti wawancara terbuka (open-ended interviews), focus group discussion/ FGD (diskusi kelompok terfokus), dan observasi
1.3.2
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Kabupaten Raja Ampat terletak di kawasan Pulau Batanta dan Kawasan Pulau Salawati. Kedua kawasan ini dipilih sesuai dengan rekomendasi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Raja Ampat. Semua desa/kampung di kedua kawasan ini merupakan lokasi COREMAP-CTI, namun karena keterbatasan waktu dan dana, maka di masing-masing kawasan dipilih 2 desa/kampung yang digunakan untuk mewakili kawasan tersebut. Dengan demikian, secara keseluruhan ada 4 kampung yang dipilih sebagai lokasi penelitian. Pemilihan desa/kampung dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu kampung yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian dari sumber daya laut. Berdasarkan kriteria tersebut dan berdiskusi dengan berbagai pihak, antara lain pengurus COREMAP-CTI DKP, UPTD-BLUD, Pengurus COREMAP Raja Ampat fase sebelumnya (Fase II) dan Biro Pusat 5
Statistik Raja Ampat, dipilih Kampung Wamega dan Kaptlap, Kecamatan Salawati Utara untuk mewakili kawasan Pulau Salawati dan Kampung Yenanas dan Amdui, Kecamatan Batanta Selatan untuk mewakili Kawasan Pulau Batanta.
1.3.3
Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan selama 14 hari pada bulan Mei 2015. Data primer yang dikumpulkan berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif diperlukan untuk melihat besaran dan pola kegiatan masyarakat terkait terumbu karang, padang lamun dan mangrove di lokasi penelitian. Sedangkan data kualitatif dimaksudkan untuk melihat dinamika yang terjadi dalam masyarakat terkait kegiatan mereka dalam pemanfaatan ketiga sumber daya laut tersebut. Selain itu, data kualitatif juga dapat digunakan untuk menjelaskan lebih dalam besaran dan pola kegiatan masyarakat yang diperoleh dari hasil survei. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan melakukan survei di empat kampung lokasi penelitian. Untuk data kualitatif, selain di ke-empat kampung tersebut, pengumpulan data juga dilakukan di Kota Waisai, yang merupakan ibukota Kabupaten Raja Ampat.
1.3.4
Data Kuanitatif
Responden Sebagaimana halnya pengumpulan data dasar aspek sosial terumbu karang di wilayah Indonesia lainnya, pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan melakukan survei pada 200 rumah tangga di lokasi Coremap di Kabupaten Raja Ampat. Dengan demikian di masingmasing lokasi/kampung dipilih sekitar 50 rumah tangga1 untuk 1
Definisi rumah tangga dalam penelitian ini mengacu pada definisi yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) yaitu seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan rumah, dan biasanya
6
dijadikan responden. Pemilihan rumah tangga padamulanya akan dilakukan dengan metode acak sederhana (simple random sampling), namun setelah sampai di lokasi penelitian, diperoleh informasi bahwa rumah tangga di beberapa kampung yang terpilih tidak mencapai jumlah 50. Oleh karena itu diputuskan untuk melakukan pendataan di semua rumah tangga (sensus) yang ada di masing-masing desa. Pada waktu survei dilakukan, hampir seluruh rumah tangga bersedia diwawancarai bahkan tidak sedikit yang sudah menunggu untuk didata. Hal ini dimungkinkan karena sebelum dilakukan pendataan, peneliti sudah terlebih dahulu mengunjungi kepala desa dan aparatnya untuk menyampaikan maksud dan tujuan diadakannya survei. Dengan demikian aparat desa dapat menginformasikannya kepada masyarakat sebelum kegiatan berlangsung. Meskipun demikian ada juga beberapa rumah tangga yang tidak dapat didata karena sedang berpergian untuk waktu yang cukup lama atau menolak untuk diwawancarai. Rumah tangga yang menolak diwawancarai ada 2 rumah tangga, masing masing 1 rumah tangga Desa Yenanas dan Kapatlap. Keduanya adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya adalah wanita lanjut usia dan tinggal dengan cucunya yang berusia di bawah 15 tahun. Pemilihan responden individu menggunakan metode purpusive simple random sampling, yaitu memilih salah satu anggota rumah tangga yang berusia 15 tahun atau lebih yang berada di tempat pada waktu pendataan dengan cara diundi. Pewawancara Pengumpulan data kuantitatif dilakukan oleh pewawancara (interviewers) yang diseleksi dari warga di lokasi kajian. Kriteria
makan bersama dari satu dapur. Rumahtangga dipimpin oleh kepala rumahtangga (KRT) yaitu seseorang yang dianggap/ditunjuk untuk bertanggungjawab atas kebutuhan sehari-harirumahtangga tersebut. Satu rumah tangga dapat terdiri dari satu individu namun dapat juga terdiri dari beberapa kepala keluarga (KK).
7
pemilihan pewawancara antara lain: punya pengalaman melakukan pendataan penduduk/kesehatan/posyandu/kondisi ekonomi di desa, berpendidikan yang relatif cukup tinggi (SMA ke atas) agar dapat lebih memahami cara pengisian data (kuesioner). Selain itu pewawancara juga harus dapat berbahasa Indonesia dan bahasa daerah (bahasa setempat) dengan baik. Hal ini sangat dibutuhkan karena pewawancara harus dapat menterjemahkan pertanyaan yang disusun dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baku, ke dalam bahasa lokal yang lebih mudah dimengerti oleh responden. Kriteria lain yang juga tidak kalah penting adalah kemampuan berkomunikasi dan mengenal lokasi penelitian dengan baik. Selain itu, pewawancara juga harus dapat diterima oleh semua warga. Secara keseluruhan ada 15 orang pewawancara yang dilatih untuk melakukan survei di 4 desa di Kabupaten Raja Ampat. Sebanyak 7 orang berasal dari institusi yang terkait dengan penyelamatan sumber daya laut yaitu 3 orang pengurus COREMAP DKP Kabupaten RajaAmpat dan 4 orang staf BLUD UPTD KKP yang bertugas di wilayah Salawati dan Batanta. Selain itu pewawancara juga direkrut dari masyarakat di desa yang disurvei sebanyak 8 orang (2 orang dari Wamega, 2 orang dari Kaptlap, 2 dari Yenanas dan 2 orang Amdui), umumnya mereka adalah motivator COREMAP di desa masingmasing. Pewawancara yang dipilih tersebut mendapat sosialisasi dan pelatihan pengumpulan data kuantitatif. Tujuan sosialisasi ini untuk memberikan pemahaman tentang maksud dan tujuan penelitian monitoring dan pemahaman tentang materi/data yang dikumpulkan, cara pengumpulan data dan cara penghitungannya. Sosialisasi dilakukan oleh Peneliti dari Tim Sosek LIPI. Secara keseluruhan, sosialisasi pengumpulan data kuantitatif di Kabupaten Raja Ampat dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu di Kota Waisai, Desa Kapatlap dan Desa Yenanas. Pewawancara yang berasal dari KKP dan BLUD dilatih di Kota Waisai, Ibukota kabupaten Raja Ampat, sedangkan pewawancara yang berasal dari Pulau Salawati 8
(Wamega dan Kapatlap) dilatih di Desa Kapatlap dan yang berasal dari Pulau Batanta (Yenanas dan Amdui) dilatih di Yenanas. Hal ini dilakukan untuk mengefisienkan waktu, sehingga pada waktu pelatihan untuk pewawancara yang berasal dari desa dilakukan, pewawancara yang dilatih di Waisai sudah dapat melakukan wawancara. Selain itu, pemisahan waktu pelatihan dilakukan untuk menghindari perbedaan daya tangkap yang tinggi antar pewawancara karena latar belakang pendidikan. Pewawancara yang dilatih di Waisai semuanya berpendidikan tamat Strata-1 (S1) atau sarjana, sementara yang berasal dari desa umunya berpendidikan tamat SLTA atau yang sederajat, bahkan ada juga yang berpendidikan tamat SLTP. Selama pengumpulan data berlangsung, peneliti tetap melakukan bimbingan dan supervisi terhadap pewawancara, sehingga bila ada informasi yang dianggap kurang lengkap atau diragukan keakuratannya dapat dikoreksi dilapangan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara tatap muka dengan responden yang dipilih. Pewawancara melakukan wawancara sesuai dengan daftar pertanyaan yang sudah disusun terlebih dahulu dan menuliskan jawaban responden di tempat yang tersedia. Kuesioner/Daftar Pertanyaan Kuesioner terdiri dari dua bagian, yaitu kuesioner rumah tangga dan individu. Kuesioner rumah tangga adalah pertanyaan yang ditujukan untuk mengumpulkan informasi mengenai kondisi rumah tangga responden. Oleh karena itu pertanyaan pada bagian ini dapat dijawab oleh salah satu atau lebih anggota rumah tangga yang mengetahui kondisi rumah tangga tersebut. Sedangkan pertanyaan individu adalah pertanyaan yang terkait dengan pemahaman atau pengalaman salah satu anggota rumah tangga yang terkait dengan kegiatan COREMAP atau pelestarian sumber daya laut di wilayah masing-masing. Oleh karena itu seluruh pertanyaan individu hanya boleh dijawab oleh anggota rumah tangga terpilih.
9
Informasi yang ditanyakan dalam kuesioner rumah tangga meliputi karakteristik demografi anggota rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Karakteristik demografi anggota rumah tangga terdiri dari jumlah anggota rumah tangga, umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Sementara informasi terkait kondisi ekonomi rumah tangga meliputi pendapatan, pengeluaran, dan kepemilikan aset rumah tangga seperti alat produksi perikanan dan perumahan. Pendapatan rumah tangga dalam penelitian ini adalah pendapatan semua anggota rumah tangga yang bekerja di perikanan dan non perikanan.Pendapatan dari kegiatan perikanan dibagi menjadi dua yaitu perikanan tangkap dan budidaya. Pendapatan dari kegiatan perikanan tangkap ini dikelompokkan lagi menurut musim sesuai dengan kondisi setempat, yaitu musim gelombang tenang (puncak), musim pancaroba (sedang) dan musim gelombang kuat (paceklik). Sementara itu, pendapatan dari non-perikanan diantaranya meliputi pendapatan dari lapangan pekerjaan pertanian/perkebunan, jasa, bangunan dan industri rumah tangga. Untuk pengeluaran hanya dikelompokkan kedalam dua bagian yaitu pengeluaran pangan dan non pangan. Kuesioner individu digunakan untuk mengumpulkan informasi terkait dengan pengetahuan, persepsi dan kepeduliaan masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang, padang lamun dan manggrove. Pertanyaan individu dikelompokkan kedalam empat bagian, bagian pertama terkait informasi mengenai responden yang disesuaikan dengan keterangan anggota rumah tangga pada kuesioner rumah tangga. Sedangkan bagian kedua, ketiga dan keempat terkait informasi mengenai ekosistem terumbu karang, padang lamun dan manggrove. Informasi yang digali meliputi pengetahuan mengenai fungsi dan pemanfaatan, pengetahuan mengenai keberadaan dan kondisi ketiga ekosistem tersebut dan keterlibatan dalam perlindungan atau pelestarian terumbu karang, padang lamun, mangrove dan wilayah pesisir di wilayah masing-masing responden. Sesuai dengan 10
tujuannya, responden yang menjawab pertanyaan ini adalah salah satu anggota rumah tangga yang pada waktu wawancara berada ditempat dan berumur 15 tahun ke atas. Pemilihan responden individu dilakukan secara acak sederhana.
1.3.5
Data Kualitatif
Pengumpulan data kualitatif dilakukan secara langsung oleh peneliti dengan menggunakan berbagai tehnik pengumpulan data kualitatif, seperti wawancara terbuka, diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) dan observasi/pengamatan. Wawancara terbuka Wawancara terbuka dilakukan terhadap berbagai informan yang dianggap dapat memberikan informasi terkait pengelolaan sumberdaya laut dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di wilayah COREMAP. Dengan wawancara terbuka peneliti dapat menggali informasi-informasi yang diperlukan untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui survei. Di Kabupaten Raja Ampat, wawancara dilakukan dengan berbagai informan di Kota Waisai maupun di desa yang menjadi lokasi penelitian. Di Kota Waisai wawancara dilakukan terhadap pimpinan dan staf di Dinas Kelautan Perikanan (DKP), Kantor Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana Teknis Daerah (BLUD UPTD) Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Dinas Kesehatan, Pimpinan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa dan BAPEDA. Sedangkan di tingkat desa, wawancara terbuka dilakukan terhadap kepala desa atau sekertaris desa, petugas kesehatan, guru, pengumpul, nelayan, pengurus PKK dan penduduk yang dituakan di desa tersebut. Diskusi Kelompok Terfokus Selain wawancara terbuka, data kualitatif juga dikumpulkan melalui diskusi kelompok terfokus.FGD dilakukan untuk mendapatkan
11
informasi terkait pemahaman, pendapat dan sikap kelompok mengenai topik yang ingin didalami. Agar pendapat kelompok tidak terlalu banyak variasianya, anggota dalam FGD dipilih dari masyarakat yang memiliki latar belakang yang hampir sama. Setiap kelompok terdiri dari 6-10 orang peserta. Jumlah peserta FGD sengaja dibatasi agar semua peserta mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pendapat. FGD dilakukan sebanyak 6 kali (4 kali FGD pra-survei, 1 kali FGD kelompok ibu-ibu dan 1 kali FGD kelompok nelayan). FGD pra-survey dilakukan di setiap desa untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai hal yang ditanyakan di dalam survei, antara lain nama lokal sumber daya laut, pembagian musim, satuan berat lokal dan lain-lain. Selain itu FGD juga dilakukan dengan kelompok nelayan dan kelompok ibu-ibu. FGD dengan kelompok nelayan difokuskan pada diskusi tentang kegiatan kenelayanan seperti wilayah tangkap, pola tangkap dan strategi yang dilakukan nelayan pada waktu musim paceklik. Dalam FGD dengan kelompok ibu-ibu diskusi difokuskan pada kegiatan sehari-hari kaum ibu, pendapat mereka terhadap potensi desa yang dapat ditingkat dengan melibatkan kaum perempuan. Observasi Observasi atau pengamatan dilakukan untuk melihat kegiatan seharihari masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut. Selain itu pengamatan juga dilakukan untuk melihat kondisi sarana dan prasarana desa dan bagaimana pemanfaatannya oleh masyarakat. Pengamatan juga dilakukan dengan mendokumentasikan kegiatan masyarakat maupun sarana prasarana yang ada di lokasi penelitian.
1.3.6
Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain yang terkait dengan topik penelitian. Dalam penelitian ini data sekunder yang dikumpulkan adalah data dan dokumen dari berbagai instansi
12
terkait, seperti Badan Pusat Statistik, kantor Statistik Kabupaten dan kecamatan, Data Monografi Desa, Dinas Perikanan dan Kelautan, serta Bappeda tingkat kabupaten/kota.
1.4
Pembabakan Penulisan
Tulisan ini dibagi dalam tujuh bagian. Bagian pertama yang merupakan bab pengantar hasil kajian berisikan latar belakang, tujuan dan metodologi pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini. Pada bagian kedua di gambarkan profil lokasi penelitian yang mencakup keadaan geografis, sumber daya alam (laut dan darat), saranadan prasarana sosial-ekonomi yang dimiliki. Selain itu, pada bagian ini juga dipaparkan keberadaan kelembagaan sosial-ekonomi dan program pemberdayaan masyarakat serta pengelolaan sumber daya laut dan sumber daya pesisir. Gambaran mengenai penduduk di lokasi penelitian dibahas pada bagian ketiga dari tulisan ini. Potret penduduk seperti jumlah dan komposisi, kualitas sumber daya manusia termasuk pendidikan dan pekerjaan serta tingkat kesejahteraan penduduk dipaparkan pada bagian ini. Kepemilikan dan penguasaan aset, baik aset produksi maupun aset non produksi digunakan sebagai salah satu proksi untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan penduduk. Pada bagian keempat dari tulisan ini difokuskan pada diskusi terkait pengetahuan dan kepedulian masyarakat di lokasi penelitian, terhadap upaya perlindungan dan penyelamatan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Bagian ini diawali dengan paparan mengenai pengetahuan mengenai ekosistem pesisir dan laut, kemudian dilanjukan diskusi terkait persepsi masyarakat tentang kondisi dan faktor yang menyebabkan kerusakan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Bab ini ditutup dengan paparan mengenai partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam upaya perlindungan dan penyelamatan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.
13
Salah satu tujuan Coremap adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan peningkatan pendapatan. Oleh karena itu pada bagian ke lima dari tulisan ini kajian difokuskna pada pendapatan dan pengeluaran penduduk di lokasi kajian. Pendapatan di lokasi penelitian dikaitkan dengan pendapatan di tingkat kabupaten, sehingga dapat dilihat bagaimana kondisi masyarakat di lokasi penelitian dibandingkan dengan masyarakat secara umum di Kabupaten Raja Ampat. Sedangkan paparan terkait pengeluaran dikhususkan pada pengeluaran masyarakat di lokasi penelitian. Pengeluaran dalam kajian ini dikelompokkan pada pengeluaran pangan dan non pangan. Diskusi terkait faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan dan pengelolaan sumber daya laut disajikan pada bagian keenam daritulisan ini. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan dalam 3 bagian, yaitu faktor internal, eksternal dan struktural. Faktor internal adalah hal-hal yang terkait dengan kondisi masyarakat secara langsung termasuk sumber pendapatan, teknologi alat tangkap atau produksi dan wilayah tangkap,biaya produksi dan kualitas SDM. Sedangkan faktor eksternal adalah hal-hal yang berkaitan dengan harga dan pemasaran, permintaan terhadap hasil tangkap/produksi, musim/iklim dan degradasi sumber daya pesisir dan laut. Faktor struktural terkait pada kebijakan yang terkait dengan program pesisir dan laut, serta program-program pembangunan lain di Kabupaten Raja Ampat yang berdampak pada masyarakat di lokasi penelitian. Bagian ke tujuh tulisan ini merupakan bagian penutup yang berisikan simpulan dan rekomendasi. Pada bagian ini beberapa temuan penting juga di paparkan secara singkat.
14
BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN Kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi COREMAP sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan serta sarana prasarana yang tersedia disekitarnya. Untuk memberikan gambaran mengenai hal tersebut, pada bagian ini menjelaskan profil lokasi penelitian yang mencakup keadaan geografis serta sumber daya alam (sumber daya laut dan sumber daya darat) yang dimiliki. Selain itu, ketersediaan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, keberadaan kelembagaan sosialekonomi, program pemberdayaan masyarakat serta pengelolaan sumber daya laut juga dipaparkan pada bagian ini. Informasi yang digunakan diperoleh dari data sekunder dan berbagai hasil kajian sebelumnya. Hasil wawancara, diskusi kelompok terfokus, dan pengamatan langsung di lokasi kajian juga digunakan untuk memperkaya analisis.
2.1
Keadaan Geografis
Kabupaten Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat yang berbentuk kepulauan (archipelagic regency). Secara geografis, kabupaten ini terletak di bawah garis khatulistiwa antara 0◦45” Lintang Utara hingga 2◦15” Lintang Selatan dan 129◦15” hingga 132◦00” Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografis, Kabupaten Raja Ampat berbatasan dengan Republik Federal Palau dan Samudera Pasifik di sebelah utara (Gambar 2.1.1). Sementara itu, Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Seram Utara, Provinsi Maluku di sebelah selatan. Kota Sorong dan Kabupaten Sorong adalah batas di bagian timur dan Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara sebagai batas sebelah barat dari Kabupaten Raja Ampat (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015). Kabupaten yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 ini, terbagi menjadi 24 kecamatan dan 121 desa/kampung 15
dengan luas wilayah sebesar 71.605,69 km2. Bila dilihat dari luas wilayah berdasarkan kecamatan, Distrik Waigeo Barat adalah kecamatan terluas (13,21 persen), sedangkan Distrik Tiplol Mayalibit merupakan wilayah terkecil (0,42 persen) di Kabupaten Raja Ampat. Dari keseluruhan wilayah yang dimiliki, sekitar 91 persen wilayah kabupaten ini merupakan lautan dan sisanya adalah daratan. Kabupaten yang beribukota di Waisai ini, menjadi tempat tinggal bagi 44.568 penduduk (data selengkapnya lihat Bab III) (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015). Penduduk tersebar di 34 pulau dan sebagian besar menghuni di empat pulau utama, yaitu Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool (UPTD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012).
Gambar 2.1.1 Peta Kabupaten Raja Ampat Sumber: BPS Kabupaten Raja Ampat, 2014.
Kabupaten Raja Ampat beriklim tropis yang lembab dan panas. Suhu udara terendah di wilayah ini sebesar 23,5 derajat Celcius (bulan Agustus) dan suhu udara tertinggi sekitar 32 derajat Celcius (bulan 16
Januari), sedangkan untuk kelembaban udara rata-rata tercatat 90 persen. Untuk curah hujan, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, curah hujan tahun lalu mencapai 3.349 milimeter (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2014). Variasi perubahan musim kemarau dan musim penghujan di Kabupaten Raja Ampat tidak begitu jelas seperti daerah Papua pada umumnya. Selain itu, iklim di wilayah Raja Ampat juga dipengaruhi oleh bertiupnya angin muson, antara bulan Mei-November bertiup angin pasat Tenggara dan antara Desember-April bertiup angin Barat Laut. Sementara, arus permukaan di wilayah perairan Raja Ampat tergolong relatif kuat terutama di bagian celah atau selat antara dua pulau. Hal ini disebabkan oleh letak Kabupaten Raja Ampat yang berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, 2006). Penelitian COREMAP-CTI (Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative) Kabupaten Raja Ampat dilakukan di kawasan Pulau Batanta dan Pulau Salawati . Desa Yenanas dan Amdui di Kecamatan Batanta Selatan (kawasan Pulau Batanta) serta Desa Wamega dan Kapatlap di Kecamatan Salawati Utara (kawasan Pulau Salawati) dipilih sebagai lokasi kajian mengenai aspek dasar sosial ekonomi terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat. Desa Yenanas dan Amdui adalah dua desa yang secara administratif menjadi bagian dari Kecamatan Batanta Selatan . Kecamatan ini terletak di Pulau Batanta (terdapat di bagian selatan wilayah Kabupaten Raja Ampat dan berbatasan dengan Selat Sagawin). Yenanas adalah satu dari empat desa di Kecamatan Batanta Selatan dan merupakan ibukota kecamatan. Luas wilayah administratif Yenanas sebesar 94,3 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 417 jiwa (BPS Kecamatan Batanta Selatan, 2014). Letak Kampung Yenanas berbatasan dengan Pulau Ayemi di sebelah timur, di sebelah 17
barat berbatasan dengan Kampung Wailebet. Sementara, Selat Sagawin adalah batas wilayah sebelah selatan dan Kampung Arefi adalah batas wilayah di sebelah utara (DKP Kabupaten Raja Ampat, 2010). Keadaan tanah di Desa Yenanas terdiri dari 40 persen daratan, 10 persen perbukitan, dan 50 persen pegunungan. Desa Amdui memiliki luas wilayah sebesar 72,88 km2 dan penduduk sebanyak 588 jiwa (BPS Kecamatan Batanta Selatan, 2014). Secara geografis Amdui terletak pada 00◦796’72” Lintang Selatan dan 130◦898’99” Bujur Timur. Kampung Amdui berbatasan dengan Selat Sagawin dan Pulau Salawati di sebelah selatan, bagian utara berbatasan dengan Kampung Waiweser, Yensawai, dan Arefi. Sementara, di sebelah timur berbatasan dengan Selat Dampier dan Pulau Senapan, sedangkan di bagian barat berbatasan dengan Distrik Yenanas (DKP Kabupaten Raja Ampat, 2010). Seperti halnya Kabupaten Raja Ampat, baik Amdui maupun Yenanas memiliki iklim tropis yang lembab dan panas. Suhu udara terendah di kedua desa ini 24 derajat Celcius (bulan Oktober) dan suhu tertinggi 31,8 derajat Celcius pada bulan Januari (BPS Kecamatan Batanta Selatan, 2014). Sementara, dua lokasi kajian lainnya di Kabupaten Raja Ampat adalah Desa Wamega dan Kapatlap yang menjadi bagian dari Kecamatan Salawati Utara. Luas keseluruhan kecamatan ini mencapai 240,95 km2 dan dihuni oleh 2.062 penduduk yang tersebar di 6 desa. Hampir sama dengan Kecamatan Batanta Selatan, suhu terendah di kecamatan ini sebesar 24,7 derajat Celcius, sedangkan suhu tertinggi adalah 32 derajat Celcius. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April dan terendah pada bulan Oktober. Bila dilihat berdasarkan letaknya, Kampung Wamega berbatasan dengan Kampung Sakabu dan Kalobo di sebelah selatan. Sementara, di sebelah utara berbatasan dengan kampung Yefman, di sebelah barat berbatasan dengan Kampung Samate (ibukota kecamatan), dan di sebelah timur berbatasan dengan Pulau Kasim. Penduduk di Kampung Wamega umumnya pendatang dan berasal dari suku Bugis, Bajo, 18
Makassar. Sementara itu, Kampung Kapatlap terletak di bagian utara Pulau Salawati. Kampung ini terdapat pada ketinggian 2-2,5 meter dari permukaan air dan memiliki panjang pemukiman sekitar 1,5 km serta lebar 0,5 km. Kapatlat berbatasan dengan Kampung Amdui di sebelah utara dan Kampung Samate di sebelah selatan. Kampung Solol adalah batas di sebelah barat Kapatlap, sedangkan Kampung Yefman menjadi batas sebelah timur. Perairan sekitar Kampung Kapatlap merupakan salah satu daerah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) (DKP Kabupaten Raja Ampat, 2010). Topografi wilayah Pulau Batanta dan Pulau Salawati merupakan kawasan perbukitan rendah hingga tinggi yang terbentuk dari batuan sedimen dan gunung api. Kemiringan lereng kedua pulau tersebut sekitar 8-30 persen dengan permukaan yang bergelombang. Sementara, tanah berupa pasir kerikil berwarna coklat kekuningan mendominasi susunan tanah Pulau Batanta dan Pulau Salawati (Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, 2006).
2.2
Keadaan Sumber Daya Alam
Letak geografis turut memengaruhi potensi sumber daya alam suatu wilayah. Sebagian besar wilayah Kabupaten Raja Ampat yang terdiri dari perairan dan pulau-pulau mengakibatkan bentuk dan tipe habitat pesisirnya memiliki karakteristik yang khas, unik, dan beragam. Ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem mangrove merupakan jenis ekosistem yang ditemukan di wilayah pesisir daerah tropis, seperti halnya di Kabupaten Raja Ampat. Selain itu, kabupaten ini juga memiliki sumber daya darat yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Sumber daya alam yang dikelola secara optimal dan berkelanjutan tidak hanya bermanfaat untuk pertumbuhan ekonomi tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
19
2.2.1
Sumber Daya Laut (SDL)
Perairan Kabupaten Raja Ampat merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berbatasan dengan dua sistem samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Letak geografis tersebut turut memengaruhi jenis ekosistem yang tumbuh dengan baik di kawasan perairan kabupaten ini. Uraian mengenai berbagai sumber daya laut (SDL) di Kabupaten Raja Ampat, meliputi ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Selain itu, ikan juga menjadi salah satu potensi besar yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang terbentuk akibat adanya aktivitas biologi dari biota laut (termasuk alga dan hewan karang lainnya) penghasil sedimen kalsium karbonat (Hukom dan Palasula, 2012; Musaki, A.A., 2008). Kabupaten Raja Ampat yang berbentuk kepulauan memiliki keanekaragaman spesies ekosistem terumbu karang terkaya dan merupakan jantung segitiga terumbu karang (Coral Triangle) dunia.2 Kabupaten ini memiliki empat jenis ekosistem terumbu karang, yaitu terumbu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barier reef), gosong karang (patch reef), dan karang cincin (patch reef). Ekosistem terumbu karang di perairan kabupaten ini terbentang di paparan dangkal pada hampir semua wilayah (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012).
2
Kepulauan Raja Ampat yang menjadi bagian wilayah administratif dari Kabupaten Raja Ampat, memiliki 553 spesies karang keras pembentuk terumbu dengan jenis yang beranekaragam. Berbagai spesies terumbu karang tersebut mewakili 69,21 persen karang dunia (Wallace, dkk, 2011; Veron, dkk, 2009).
20
Gambar 2.2.1 Terumbu Karang di Perairan Sumber: Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, tanpa tahun.
Secara alami, terumbu karang merupakan habitat bagi banyak spesies laut untuk melakukan pemijahan, peneluran, pembesaran anak, makan dan mencari makan (feeding dan foraging), terutama bagi sejumlah spesies yang memiliki nilai ekonomis penting. Banyaknya spesies makhluk hidup laut yang dapat ditemukan di terumbu karang menjadikan ekosistem ini sebagai gudang keanekaragaman hayati laut (Dirhamsyah, 2007). Selain itu, struktur masif dan kokoh dari terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan hutan mangrove) dari terjangan arus kuat serta pemecah gelombang besar secara alami. Terumbu karang yang sehat tidak hanya menghasilkan ikan yang berlimpah, tetapi pada akhirnya juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012). Keragaman karang yang terdapat di perairan Raja Ampat terdiri dari karang keras dan karang lunak (Gambar 2.2.1). Kawasan ini memiliki 553 spesies karang pembentuk terumbu yang masuk dalam klasifikasi taksonomi tingkat famili sebanyak 103. Raja Ampat juga memiliki keragaman soft coral (karang lunak) sangat tinggi. Berdasarkan hasil 21
kajian Rapid Ecological Assessment antara TNC (The Nature Conservancy), WWF (The World Wide Fund for Nature), dan Pemerintah Daerah Raja Ampat, di kawasan peairan Raja Ampat ditemukan setidaknya 17 famili dan 47 genus dari 90 genus Alcyonacean yang ada di seluruh dunia. Dengan kata lain, sebanyak 52,5 persen soft coral dunia terdapat di Kepulauan Raja Ampat (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012). Keanekaragaman hayati tertinggi di Kabupaten Raja Ampat ditemukan pada terumbu karang tipe Fringing Reefs dengan jumlah spesies sebanyak 86 spesies, diikuti oleh Platform Reefs (80 spesies), dan Sheltered Reefs (67 spesies) (McKenna, dkk., 2002; Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat). Hasil monitoring daerah perlindungan laut (DPL) Kabupaten Raja Ampat tahun 2014 menyebutkan bahwa persentase rata-rata tutupan karang keras hidup sebanyak 63,61 persen, terdiri dari karang AC (Acropora) 42,93 persen dan NA (Non-Acropora) 20,38 persen. Sementara, ditemukan karang mati sebanyak 18,65 persen yang terdiri dari DCA (Dead Coral with Algae) dan DC (Death Coral) masingmasing sebanyak 11,35 persen dan 7,29 persen. Selama pengamatan juga ditemukan karang lunak (8,05 persen), algae (0,68 persen), kategori abiotik yang terdiri dari pasir (7,22 persen), patahan karang (3,91 persen), dan batuan (0,98 persen). Secara keseluruhan, dari persentase rata-rata tutupan karang keras hidup yang mencapai 56,17 persen, maka kondisi karang di Kabupaten Raja Ampat masuk dalam kategori “BAIK.” Selain itu, data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan juga menyebutkan bahwa berdasarkan indeks kondisi karang, 60 persen karang di Kepulauan Raja Ampat dalam kondisi baik dan sangat baik (http://www.kkji.kp3k.kkp.go.id/ index.php/basisdata-kawasan-konser asi/details/1/64). Pulau Batanta dan Pulau Salawati menjadi bagian dari kawasan konservasi Selat Dampier (Wilayah II Taman Pulau-Pulau Kecil 22
Daerah Raja Ampat).3 Pulau-pulau yang ada di selat ini (termasuk Batanta dan Salawati) memiliki terumbu karang tepi yang luas serta patch reef yang tumbuh sejajar dengan aliran arus barat laut utama. Terumbu karng di wilayah Dampier menjadi tempat memijah ikan pemakan plankton besar, seperti ikan Ekor Kuning dan ikan Kembung. Lokasi Selat Dampier yang dipenuhi dengan terumbu karang tepi juga disukai oleh Pari Manta untuk berburu makanan. Plankton yang melimpah di kawasan konservasi ini menjadi tujuan bermigrasi berbagai ikan jenis Cetacean (paus dan lumba-lumba) (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012). Monitoring kondisi terumbu karang yang dilakukan di Desa Yenanas pada tahun 2012 menyebutkan bahwa ekosistem terumbu karang di Yenanas terdapat di bagian barat kampung, tepatnya di Hall Yat, dengan kondisi tutupan karang hidup sebanyak 40 hingga 70 persen (DKP Kabupaten Raja Ampat, 2010). Ekosistem Padang Lamun Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar yang hidup terbenam dan menjalar dalam substrat pasir atau lumpur. Lamun mengolonisasi suatu daerah melalui perkembangbiakan secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal dan jernih (dengan sirkulasi air yang baik) pada kedalaman 2-12 meter. Padang lamun yang terdapat di 3
Selat Dampier yang terletak di Wilayah II TPPKD Raja Ampat memiliki luas sebesar 336.346 hektar. Kawasan konservasi ini meliputi Selat Dampier (antara bagian selatan Pulau Waigeo dan sebelah utara Pulau Batanta), Selat Segawin (antara Pulau Batanta dan Pulau Salawati), dan sejumlah pulau dan daerah terumbu karang di bagian timur Pulau Salawati. Kecamatan yang masuk ke dalam wilayah konservasi Selat Dampier, meliputi Kecamatan Waigeo Barat Kepulauan, Waigeo Selatan, Meosmansar, Batanta Utara, Batanta Selatan, Salawati Barat, Salawati Utara, dan Salawati Tengah (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012).
23
Kabupaten Raja Ampat umumnya homogen dan berdasarkan ciri-ciri umum lokasi, tutupan, dapat digolongkan sebagai padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang (Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, 2006). Sementara, yang dimaksud dengan ekosistem lamun adalah suatu sistem ekologi padang lamun dimana didalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik, tumbuhan, dan hewan. Beberapa fungsi penting padang lamun di perairan dangkal, yaitu: a) sumber utama produktivitas primer; b) sumber makanan penting bagi organisme dalam bentuk detritus; c) menstabilkan dasar pantai yang lunak; d) tempat berlindung berbagai organisme; e) tempat pertumbuhan bagi beberapa spesies, seperti udang dan ikan; f) sebagai peredam arus sehingga perairan sekitarnya menjadi tenang; g) sebagai pelindung dari panas matahari bagi organisme yang hidup di air (Widiastuti, A., 2011; Dirhamsyah, 2007). Padang lamun hampir tersebar di seluruh perairan Kepulauan Raja Ampat. Wilayah perairan Papua Barat teridentifikasi memiliki sedikitnya 7 marga dan 13 spesies lamun. Jenis lamun yang tumbuh, antara lain jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, dan Syringodium isoetifolium. Padang lamun yang tumbuh dengan subur dapat ditemukan di Pulau Batanta bagian utara dan Salawati bagian timur. Kondisi padang lamun di wilayah perairan ini, secara umum tergolong sangat baik (84,78 persen) dengan persentase kerusakan hanya sebesar 15,22 persen (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012). Padang lamun di perairan Pulau Batanta dan Salawati adalah habitat dari Dugong (Dugong dugon) dan ikan Baronang (Siganus sp.), serta menjadi daerah pembesaran bagi larva-larva ikan jenis lainnya. Selain itu, ekosistem padang lamun dan habitat dasar lainnya merupakan lokasi makan utama bagi ikan Pari Gitar (Famili Rhinidae) dan ikan Pari Wedge. Nelayan di kedua kawasan konservasi Selat Dampier juga 24
menyebutkan bahwa mereka sesekali melihat Hiu Gergaji di padang lamun yang terletak di bagian timur Salawati dan barat laut Batanta (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012). Selain itu, lamun di sepanjang pantai Kampung Kapatlap merupakan salah satu daerah pemijahan ikan Samandar. Ekosistem Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut pantai berlumpur. Pada umumnya hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik di daerah intertidal berlumpur, berlempung atau berpasir. Habitat mangrove biasanya tergenang air secara berkala dan frekuensi genangan akan menentukan komposisi vegetasi mangrove. Pasokan air tawar yang cukup, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, serta salinitas payau hingga asin merupakan faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan mangrove (Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, 2006). Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting, yaitu a) sebagai peredam gelombang, angin, dan badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, serta perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan; b) Sebagai penghasil detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok4; serta c) sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan
4
Detritus dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus. Selain itu, detritus diuraikan oleh bakteria menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan.
25
(ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang berada di perairan pantai maupun laut lepas (Widiastuti, A., 2011).
Gambar 2.2.2 Hutan Mangrove di Desa Wamega Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.
Terdapat 25 jenis mangrove dan 27 jenis tumbuhan asosiasi mangrove di perairan Kabupaten Raja Ampat dengan kerapatan pohon mangrove mencapai 2.350 batang/hektar. Kawasan ini menjadi habitat yang cocok bagi asosiasi mangrove yang berasal dari famili Rhizophoraceae dan famili Sonneratiaceae. Bila dilihat kondisinya, ekosistem mangrove di kabupaten ini masih baik (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012). Pulau Batanta dan Pulau Salawati merupakan dua kawasan yang memiliki luas sebaran mangrove yang cukup besar di Kabupaten Raja Ampat. Sebaran mangrove di Pulau Salawati mencapai 4.258 hektar5, sementara sebaran mangrove di Pulau Batanta mencapai 785 hektar. Di kawasan Pulau Batanta terdapat delapan jenis mangrove, dengan jenis yang 5
Pulau Salawati adalah kawasan hutan mangrove terbesar di Kabupaten Raja Ampat, setelah Pulau Misool (8.093 hektar) dan Pulau Waigeo (6.843 hektar). Sebaran hutan mangrove di Pulau Batanta dan Kofiau, masing-masing 785 hektar dan 279 hektar (Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, 2006).
26
dominan adalah B. gymnorrhiza, R. Apiculata, R. stylosa, R. mucronata, A. floridum, serta S. hydrophyllacea. Kerapatan pohon mangrove di Batanta mencapai 868 batang/hektar. Sementara, Pulau Salawati memiliki 12 jenis mangrove dengan dominasi sebagai berikut, B. gymnorrhiza, R. stylosa, S. alba, C. tagal, X. granatum, R. mucronata, dan A. marina (Gambar 2.2.2). Kerapatan mangrove di pulau ini rata-rata 967 batang/hektar (Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, 2006). Pada ekosistem mangrove di Raja Ampat ditemukan biota yang memiliki nilai ekonomis penting (kelompok krustacea dan moluska), di antaranya udang (Panaeid), kepiting bakau (Scylla serata), dan rajungan (Portunidae). Sementara, biota yang umum ditemukan di ekosistem ini adakah ikan blodok (Periopthalmus sp.), belanak (Mugil dusumieri), bandeng (Chanos chanos), kepiting bakau (Scylla serata), dan kerang (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012). Ikan Keanekaragaman ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yang dimiliki Kabupaten Raja Ampat mempengaruhi berbagai jenis ikan dan moluska yang hidup di kawasan perairan tersebut. Sebanyak 88,53 persen (1.505 spesies) spesies ikan karang di kawasan semenanjung kepala burung papua ditemukan di perairan kabupaten ini. Beberapa jenis ikan endemik yang hanya ditemukan di perairan Kabupaten Raja Ampat, antara lain Hemiscyllium freycineti, Diancistrus niger, Kalyptatherina helodes, Apogon leptofasciatus, Apogonichthyoides erdmann, Siphamia sp (UPTD TPPKD DKP Kabupaten Raja Ampat, 2012). Perairan Kabupaten Raja Ampat juga menjadi tempat hidup udang (60 spesies), hewan lunak atau moluska (699 spesies), penyu (lima jenis), serta mamalia laut, yang terdiri dari paus (13 jenis) dan lumba-lumba (1 jenis) serta duyung (satu jenis) (Kahn, 2007; McKenna, dkk, 2002, UPTD TPPKD DKP Kabupaten
27
Raja Ampat, 2012). Dengan tingkat keragaman hayati yang tinggi, Kabupaten Raja Ampat dijuluki sebagai jantung segitiga karang dunia. Sumber daya ikan yang melimpah menjadi motor penggerak utama bagi perekonomian Kabupaten Raja Ampat. Komoditas unggulan perikanan tangkap di kabupaten ini, antara lain ikan tuna, cakalang, tenggiri, kerapu, napoleon, kakap merah, teripang, udang, dan lobster. Daerah konservasi Selat Dampier (meliputi Pulau Batanta dan Salawati), menjadi pusat dari beberapa jenis ikan yang paling intensif dibanding daerah lainnya di Kabupaten Raja Ampat. Kawasan konservasi ini merupakan penghasil tenggiri dan kerapu. Kawasan perairan di sekitar Pulau Batanta adalah habitat ikan kerapu dan napoleon. Sementara, teripang dan ikan tenggiri dapat ditangkap dengan mudah di seluruh perairan Kabupaten Raja Ampat, termasuk di perairan Pulau Salawati (http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisData-kawasan-konservasi/details/1/128). Data publikasi terbaru mengenai pemanfaatan sumber daya ikan di Kabupaten Raja Ampat sulit diperoleh. Sementara, data produksi perikanan di Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Tabel 2.2.1. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat tahun 2005 menyebutkan bahwa pemanfataan sumber daya ikan baru mencapai 38.000 ton per tahun dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (472.000 ton/tahun) (Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, 2006). Sementara itu, volume produksi hasil perikanan budidaya pada tahun 2014 mencapai 4.352,48 ton. Angka ini menurun tajam bila dibandingkan dengan volume produksi tahun sebelumnya (2013) yang mencapai 2.225.352,8 ton (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015).
28
Tabel 2.2.1 Data Hasil Produksi Perikanan Kabupaten Raja Ampat 2010-2013 Jenis Ikan Ikan Kerapu Ikan Napoleon Lobster Ikan Teri Ikan Campuran Ikan Tuna Ikan Tenggiri Ikan Lema Ikan Dasar (Ikan Merah) Cumi Kering Teripang Jumlah
2010 33.800 1.140 1.045 63.520 18.000 6.950 -
Tahun (dalam kilogram) 2011 2012 44.900 40.500 1.590 1.645 2.193 330 99.669 50.487 57.560 90.827 25.511 17.298 9.160 1.000 122.300
Jan-Nov 2013 45.100 1.860 200 17.055 215.407 39.347 14.960 121.000
-
600
-
-
140 124.595
900 225.710
340.760
120 455.049
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Raja Ampat, 2014.
2.2.2
Sumber Daya Darat (SDD)
Meskipun sebagian besar penduduk di Kabupaten Raja Ampat bergantung terhadap sektor perikanan sebagai mata pencahariannya, namun sumber daya darat yang dimiliki kabupaten tersebut juga memiliki kontribusi penting dalam kehidupan penduduk setempat. Pertanian Beberapa jenis tanaman pangan yang diusahakan oleh penduduk di Kabupaten Raja Ampat, antara lain padi (sawah dan ladang), jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Selama periode 2012-2014 sebagian besar tanaman pangan di Kabupaten Raja Ampat mengalami penurunan produksi di banding tahun sebelumnya (lihat Gambar 2.2.3). Produksi padi (sawah dan ladang) mengalami penurunan dari 709 ton (2013) menjadi 528 ton (2014). Penurunan luas panen menjadi salah satu penyebab turunnya produksi padi di Kabupaten Raja Ampat. Demikian juga halnya dengan penurunan luas panen ubi kayu dan ubi jalar yang turut mempengaruhi produksi kedua jenis tanaman pangan tersebut. Sementara, penurunan luas panen (dari 283 hektar menjadi 233 hektar) tanaman jagung tidak mempengaruhi produksi tanaman 29
pangan tersebut. Pada tahun 2014 produksi tanaman jagung meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, dari 484 ton menjadi 948 ton.
5000
4.473
4500 4000 3500 3000
2.542
2500 2000 1500 1000
497
709
948 529
1.113
940.5
1.102
1.156
472 484
500 0 Padi
Jagung 2012
Ubi Kayu 2013
Ubi Jalar
2014
Gambar 2.2.3 Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten Raja Ampat Periode 2012-2014 Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Raja Ampat Dalam Angka, 2014.
Berbagai jenis sayuran juga tumbuh dengan baik di kabupaten ini, antara lain kangkung, sawi, terung, kacang panjang, tomat, ketimun, dan lain-lain. Dari berbagai sayuran diatas, tomat memiliki nilai produksi paling tinggi, sedangkan ketimun paling sedikit produksinya. Sementara itu, buah pisang adalah salah satu jenis buah-buahan yang paling banyak ditanam oleh sebagian besar penduduk di Kabupaten Raja Ampat. Di dua kecamatan, Batanta Selatan dan Salawati Utara, sektor pertanian juga menjadi sektor utama selain perikanan. Tanaman pangan dan holtikultura yang banyak ditanam oleh penduduk adalah jagung, ubi kayu, keladi, dan ubi jalar. Demikian juga halnya di desa
30
kajian, dimana ubi kayu sangat mudah ditemukan di hampir setiap lahan perkebunan penduduk setempat. Jenis tanaman pangan ini tidak hanya dijual untuk menambah pendapatan rumah tangga, tetapi juga sebagai makanan pokok pengganti nasi. Sama halnya seperti jenis sayuran dan buah yang banyak ditanam oleh penduduk di Kabupaten Raja Ampat pada umumnya, kangkung, tomat, sawi serta pisang sangat mudah ditemukan di Yenanas, Amdui, Wamega, maupun Kapatlap. Sayur-sayuran tersebut biasa dijual dengan harga Rp5.000,00 per ikat atau per tumpuk untuk tomat, sedangkan pisang di jual seharga Rp10.000,00 - Rp20.000,00 tiap sisir. Perkebunan Kelapa menjadi komoditi tanaman perkebunan di Kabupaten Raja Ampat. Pada tahun 2014, luas area dari kelapa mencapai 10.947 hektar dengan hasil produksi mencapai 9.147 ton. Tanaman kakao atau coklat juga memiliki produksi tertinggi kedua setelah kelapa. Nilai produksinya mencapai 733 ton dengan luas area 1.107 hektar. Tanaman perkebunan lain yang diusahakan oleh penduduk di Raja Ampat, antara lain sagu, jambu mete, kopi, pinang, serta pala. Pada saat pengumpulan data di Desa Kapatlap, seorang warga menyebutkan bahwa kelapa di jual dalam bentuk buah seharga Rp1.000,00-Rp1.500,00 per buah. Dari tiap pohon paling tidak dapat diperoleh 100-150 buah kelapa, dengan masa panen 3-4 kali per tahun. Kelapa disukai oleh penduduk sebagai tanaman perkebunan karena tidak membutuhkan perawatan khusus. Untuk mendapatkan keutungan yang lebih besar, penduduk di Kapatlap dan Yenanas biasanya mengolah kelapa menjadi kopra. Pengolahan kelapa menjadi kopra biasanya dilakukan di rumah dengan pembagian tugas antara suami dan isteri. Laki-laki biasanya tidak hanya bertugas memetik kelapa tetapi juga membuat api untuk mengasapi daging kelapa, sementara perempuan bertugas mengeringkan daging kelapa hingga menjadi kopra. Sementara itu, penjualan kopra menjadi tugas laki-
31
laki. Kopra biasanya laku terjual seharga Rp4.500,00-Rp6.000,00 per kilogram. Sarana transportasi yang terbatas menyebabkan kopra yang sudah jadi tidak langsung dijual tetapi dikumpulkan hingga jumlah tertentu. Kopra biasanya dijual ke Kota Sorong, dengan biaya transportasi mencapai Rp50.000,00-Rp100.000,00 untuk satu kali perjalanan. Desa Yenanas, Amdui, dan Kapatlap juga pernah mendapatkan bantuan berupa bibit coklat dan pohon jati dari dinas pertanian setempat. Kedua jenis tanaman tersebut dapat tumbuh dengan subur apabila dirawat dengan baik dan mendatangkan keutungan yang tidak sedikit. Misalnya, dari satu buah pohon coklat bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp1.200.000,00 per tahun. Biasanya petani coklat tidak harus membawa hasil panen ke Kota Sorong untuk dijual, tetapi pengumpul coklat yang akan datang untuk membeli hasil panen dari para petani. Pinang juga salah satu jenis tanaman perkebunan yang menghasilkan banyak keuntungan bagi penduduk di Yenanas. Adanya kebiasaan memakan pinang bagi orang Papua Barat, menjadi alasan pinang selalu mendatangkan keuntungan bagi para petani. Baik pinang basah maupun pinang kering mendatangkan keuntungan yang cukup besar bagi para petani. Harga pinang basah biasanya sekitar Rp25.000,00Rp30.000,00, sedangkan harga pinang kering dua kali lipat lebih mahal, yaitu bisa mencapai Rp60.000,00-Rp120.000,00 per kilogram. Kebiasaan memakan pinang bagi penduduk setempat, juga menggerakkan beberapa penduduk untuk membuat kapur (sebagai padanan makan sirih-pinang). Kapur dibuat dari cangkang kerang yang dibakar. Kerjasama suami dan isteri juga terlihat jelas dalam pembuatan kapur. Cangkang kerang biasanya akan dikumpulkan oleh perempuan dari pesisir pantai, kemudian dicuci bersih dan dikeringkan. Sementara, tugas membakar cangkang kerang hingga menjadi bubuk akan dilakukan oleh para laki-laki. Pembuatan kapur dengan memanfaatkan bahan baku di sekitar pantai dan tanpa 32
membeli tentunya menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. Satu bungkus kapur dijual seharga Rp3.000,00 per bungkus. Berdasarkan pengakuan dari pembuat kapur di Desa Yenanas, sekali produksi biasanya menghasilkan kapur sebanyak 50-100 bungkus. Hutan perbukitan yang terdapat di Pulau Batanta dan Pulau Salawati dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai sumber mata pencaharian mereka. Di dalam kawasan hutan tersebut ditemukan beberapa pohon yang memiliki nilai jual tinggi, seperti pohon kayu besi (Intsia), pohon jati, dan pohon cendana. Hampir di setiap desa penelitian ditemukan penduduk yang menebang pohon di dalam hutan dan kemudian mengolahnya menjadi kayu untuk di jual ke penduduk sekitar atau dikirim ke daerah lain. Sementara itu, hutan sagu juga banyak tersebar di lokasi penelitian. Sagu memiliki nilai subsiten sebagai sumber pati bahan makanan yang diperoleh dari batangnya. Sumber karbohidrat ini merupakan makanan pokok bagi masyarakat Papua yang tinggal di daerah pesisir.
2.3
Sarana dan Prasarana Sosial-Ekonomi
Pembangunan sarana dan prasarana merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan faktor pendukung daya saing wilayah. Ketersediaan dan aksesibilitas berbagai sarana dan prasarana sosialekonomi di Kabupaten Raja Ampat berikut ini, dapat memberikan gambaran pemenuhan kebutuhan dasar penduduk di lokasi kajian. Sarana Transportasi Kabupaten Raja Ampat terdiri dari pulau-pulau dengan wilayah laut yang lebih luas dari wilayah daratan, sehingga sarana transportasi laut lebih menonjol bila dibandingkan dengan transportasi darat. Namun demikian, alat transportasi ini masih sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun frekuensi operasionalnya. Di tiap kampung hampir semua rumah tangga memiliki perahu dayung dan sebagian kecil mempunyai fasilitas motor tempel atau katinting. Tidak hanya untuk 33
menangkap ikan, tetapi perahu tersebut juga digunakan untuk mengangkut penumpang. Ibukota Kabupaten Raja Ampat, Waisai, berjarak 36 mil laut (67 km) dari Sorong. Kapal feri menjadi moda transportasi utama masyarakat untuk menuju ibukota kabupaten. Kapal feri cepat biasanya beroperasi setiap hari dengan waktu keberangkatan pukul 14.00 WIT dari Pelabuhan Rakyat, Sorong. Biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp140.000,00 hingga Rp220.000,00 untuk satu kali perjalanan (Sorong-Waisai atau sebaliknya) dan memakan waktu sekitar dua jam bila kondisi cuaca sedang baik. Sementara, dengan feri lambat dibutuhkan waktu tempuh sekitar empat jam untuk mencapai jarak yang sama. Speedboat menjadi pilihan lain untuk menuju ibukota kabupaten, dengan waktu tempuh yang lebih cepat (1,5 jam). Namun, tentunya penumpang harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal. Keterbatasan transportasi umum antara lain ditemukan di Kecamatan Batanta Selatan. Tidak tersedianya transportasi rutin menyebabkan masyarakat harus menggunakan perahu motor untuk menuju Sorong atau Waisai. Desa Yenanas maupun Desa Amdui memiliki jarak lebih dekat ke Sorong dibandingkan ke ibukota kabupaten. Untuk menuju Sorong dibutuhkan waktu sekitar 2 sampai 2,5 jam, sedangkan ke Waisai dibutuhkan waktu sekitar empat jam dengan menggunakan motor 40 PK. Harga bensin juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi penduduk setempat untuk menuju Sorong atau Waisai. Dengan perahu motor 40 PK dibutuhkan bensin sebanyak 50 sampai 60 liter untuk pulang pergi dengan harga bensin Rp13.500,00-Rp15.000,00 per liter. Sebagai alternatif untuk menekan biaya transportasi, biasanya penduduk di Yenanas maupun Amdui menumpang perahu motor (bila ingin menjual hasil tangkapan, hasil kebun, atau keperluan lain) yang ingin menuju Sorong atau Waisai dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp50.000,00-Rp100.000,00 sekali jalan. Sementara itu, untuk menuju jarak yang dekat dan melakukan kegiatan sehari-hari, penduduk di
34
kedua desa tersebut biasa menggunakan perahu katinting ukuran 10 PK. Penduduk di Kecamatan Salawati Utara jauh lebih dimudahkan dengan adanya trasnsportasi rutin menuju Sorong. Penduduk Wamega dan Kapatlap harus menuju ke pelabuhan Samate (ibukota distrik) untuk menggunakan sarana “taksi laut.” Alat transportasi reguler tersebut berangkat ke Sorong setiap hari Rabu dan Sabtu antara pukul 07.00-07.30 WIT dan kembali ke Samate sekitar pukul 14.00-15.00 WIT. Biaya yang harus dikeluarkan penumpang sebesar Rp50.000,00 untuk menuju Sorong. Dengan adanya transportasi regular dari Samate, tidak mengherankan apabila kegiatan perekonomian penduduk di Wamega dan Kapatlat lebih bergantung ke Sorong daripada ke ibukota kabupaten. Sementara, bila menggunakan perahu motor ukuran 40 PK, untuk menuju Sorong dari Wamega maupun Kapatlap dapat ditempuh selama 1-1,5 jam dengan bensin sekitar 20 liter. Kabupaten Raja Ampat memiliki empat buah pelabuhan laut yang tersebar di Saonek (Distrik Waigeo Selatan), Kabare (Distrik Waigeo Utara), Salafen (Distrik Misool), dan Sakabu (Distrik Samate) (http://regional.coremap.or.id/raja_ampat/profil_kabupaten/ekonomi_ bisnis/perhubungan_laut/). Sementara, sebagian besar pelabuhan yang ada di kabupaten hanya merupakan dermaga sederhana yang terbuat dari kayu (Gambar 2.3.1). Seperti halnya di Desa Kapatlap, kondisi tangga dermaga sudah sangat memprihatinkan. Anak tangga tidak lagi kokoh dan sangat membahayakan keselamatan penumpang terutama bila hari sudah mulai gelap. Sementara, dari empat lokasi penelitian, kondisi dermaga yang masih dalam keadaan baik dibandingkan dermaga di desa lainnya, ditemukan di Desa Yenanas.
35
Gambar 2.3.1 Dermaga Kayu di Desa Amdui Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.
Sebagai kabupaten dengan kondisi geografis yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan, jalan darat bukan merupakan sarana transportasi utama bagi penduduk di Kabupaten Raja Ampat. Panjang jalan kabupaten sepanjang 243,75 km dan belum semua distrik memiliki jalan kabupaten. Jika dilihat kualitasnya, kondisi jalan di Kabupaten Raja Ampat masih kurang memadai. Hingga tahun 2014, hanya sekitar 13,42 persen jalan berpermukaan aspal dan umumnya jalan tersebut ada di ibukota kabupaten. Di empat lokasi penelitian sarana jalan darat secara keseluruhan terbuat dari beton dan dalam kondisi sedang hingga baik seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.2 (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015).
36
Gambar 2.3.2 Kondisi Jalan Beton di Desa Kapatlap Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.
Sarana Perikanan Berdasarkan data tahun 2013 yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Raja Ampat, jumlah kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan kabupaten keseluruhan mencapai 160 buah. Sementara, kapal pengumpul ikan di perairan Kabupaten Raja Ampat sebanyak 36 buah. Baik kapal penangkap maupun kapal pengumpul ikan mengalami peningkatan jumlah yang signifikian dibanding dengan tahun sebelumnya. Tabel 2.2. menjelaskan banyaknya kapal yang digunakan untuk menangkap ikan di perairan kabupaten selama periode 2010-2013.
37
Tabel 2.3.1 Jumlah Kapal di Perairan Kabupaten Raja Ampat Periode 2010-2013 Tahun Kapal Penangkap Ikan Kapal Pengumpul Ikan 2010 56 Buah 12 Buah 2011 44 Buah 25 Buah 2012 112 Buah 25 Buah 2013 160 buah 36 buah Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Raja Ampat, 2014.
Sementara, bila melihat sarana perikanan yang digunakan oleh penduduk di lokasi penelitian, nelayan umumnya menggunakan perahu motor tempel dengan ukuran mesin 5,5-15 PK. Di empat desa tersebut juga ditemukan nelayan yang masih menggunakan jukung atau perahu papan tanpa motor untuk menangkap ikan. Areal penangkapan ikan dan sumberdaya perairan lainnya di Kabupaten Raja Ampat adalah di pesisir dan daerah teluk. Nelayan lokal pada umumnya melakukan kegiatan penangkapan hanya di perairan sekitar tempat tinggal mereka. Sarana Ekonomi Kondisi perdagangan di suatu wilayah tidak dapat terlepas dari peran pasar sebagai sarana ekonomi. Di tempat inilah terjadi arus perputaran uang dan barang, serta transaksi barang dan jasa antara penjual dan pembeli. Sejauh ini Kabupaten Raja Ampat memiliki satu buah pasar (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015). Desa Amdui dan Yenanas mendapat bantuan bangunan pasar dari Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua Barat. Namun, ternyata sarana ekonomi tersebut terbengkalai akibat kesamaan barang yang dimiliki oleh penduduk setempat. Sebagai contohnya, sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani. Ikan dan hasil pertanian yang mereka miliki tidak jauh berbeda satu sama lain. Akibatnya, hasil tangkapan dan tanaman hasil panen tidak laku untuk diperjualbelikan. Biasanya, ikan dan sayur-mayur dijual dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah. Jarak Kapatlap yang tidak terlalu jauh dari Sorong juga 38
menjadi salah satu alasan tidak berjalannya aktivitas pasar. Saat ini, bangunan pasar tersebut hanya digunakan sebagai tempat berkumpul warga bila ada acara desa atau bahkan hanya digunakan oleh anakanak sebagai tempat bermain (Gambar 2.3.3).
Gambar 2.3.3 Bangunan Pasar di Amdui yang Tidak Dimanfaatkan Seperti Pasar Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Perdagangan skala kecil juga terjadi di toko, kios, maupun warung. Berdasarkan data BPS Kecamatan Salawati Utara (2014) aktivitas perdagangan hanya terjadi di kios atau warung, dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Di Wamega terdapat enam warung, sementara di Kapatlap terdapat 15 buah warung. Biasanya para pedagang membeli dagangan mereka dari Sorong. Sedangkan, di Kecamatan Batanta Selatan, terdapat lima warung kelontong di Yenanas dan empat warung di Amdui (BPS Kecamatan Batanta Selatan, 2014).
39
Sarana Pendidikan Pendidikan memiliki peran penting dalam menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas sebagai penentu keberhasilan program pembangunan suatu wilayah. Salah satu faktor penentu capaian pendidikan di suatu wilayah adalah ketersediaan fasilitas penunjang pendidikan. Ketersediaan bangunan sekolah, guru, dan murid disajikan dalam Tabel 2.3.2 berikut. Tabel 2.3.2 Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2014 Tingkat Pendidikan Taman Kanak-kanak SD SMP SMA SMK Jumlah
Sekolah 14 107 31 14 3 169
Guru 72 345 245 94 58 814
Murid 501 9.678 2.819 1.299 324 14.621
Sumber: BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015.
Desa Amdui memiliki SD dan SMP masing-masing satu buah. Para siswa biasanya melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi ke Yenanas atau Sorong. Sementara, Desa Yenanas memiliki jenjang SD, SMP, dan SMA. Temuan yang menarik pada saat dilakukan kajian di desa ini, terdapat bangunan SD yang disertai asrama dengan fasilitas yang sangat memadai, namun tidak lagi digunakan. Bangunan kokoh dan berlantaikan keramik tersebut, menurut masyarakat desa, dilengkapi dengan kamar tidur beserta kasur spring bed, kamar mandi serta dapur. Namun sayangnya, bangunan sekolah-asrama hanya digunakan sekitar satu tahun. Hal ini dikarenakan anak-anak yang belajar dan tinggal di sekolah tersebut tidak betah dan ingin pulang ke rumah orang tua masing-masing. Murid sekolah di SD yang dilengkapi dengan fasilitas asrama adalah anak-anak yang berasal dari berbagai wilayah di Kabupaten Raja Ampat. Sebagai ibukota distrik, Yenanas memiliki sarana dan prasarana ekonomi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan desa lainnya di 40
Kecamatan Batanta Selatan. Berbagai sarana dan prasarana distrik, seperti kantor distrik, sekolah, dan puskesmas ditempatkan di bagian ujung desa. Menurut informasi yang diperoleh dari aparat Desa Yenanas, sebenarnya akan dibangun dermaga khusus untuk menuju wilayah perkantoran distrik, namun belum terlaksana. Pada waktu penelitian dilakukan, lokasi ini dapat dicapai dengan berjalan kaki cukup jauh dan harus melewati area pemakaman. Akses yang terbatas dan aparat pemerintahan yang tidak tinggal di Yenanas menyebabkan berbagai fasilitas tersebut terbengkalai dan dalam keadaan rusak meskipun belum pernah dimanfaatkan. Jumlah sekolah di Distrik Salawati Utara sebanyak 11 unit. Di antaranya TK memiliki tiga unit, SD memiliki empat unit, SLTP sebanyak dua unit dan SMU/SMK sebanyak dua unit. Desa Wamega memiliki fasilitas TK dan SD, sementara Desa Kapatlap hanya ada satu buah SD. Sementara, jenjang pendidikan SMP dan SMA dapat ditempuh di ibukota distrik, Samate. Sekolah di Wamega masih memiliki kendala keterbatasan ruang belajar. Selain itu, bangunan sekolah juga dalam kondisi tidak begitu baik (BPS Kecamatan Salawati Utara, 2014). Sarana Kesehatan Hingga 2014 hanya terdapat satu buah rumah sakit di Kabupaten Raja Ampat, yang terletak di ibukota kabupaten, Waisai. Sementara, untuk fasilitas kesehatan lain seperti puskesmas dan puskesmas pembantu ada di hampir semua kecamatan di wilayah Raja Ampat. Dari total 24 distrik, jumlah puskesmas mencapai 19 unit. Idealnya setiap kecamatan memiliki satu buah puskesmas. Namun, ternyata kondisi ini belum dapat terpenuhi. Demikian juga dengan fasilitas puskesmas pembantu yang jumlahnya belum setara dengan jumlah kelurahan atau desa. Dari 121 kelurahan/desa di Kabupaten Raja Ampat, jumlah puskesmas pembantu baru mencapai 50 unit (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015).
41
Jumlah puskesmas keliling di Kabupaten Raja Ampat sebanyak 11 unit. Menurut jenis kendaraan yang digunakan untuk berkeliling, terdapat tiga macam kendaraan, yaitu dengan menggunakan perahu, mobil, dan motor. Distrik Salawati Utara adalah kecamatan yang memiliki puskesmas keliling sebanyak dua buah. Sementara, setiap desa memiliki pelayanan posyandu secara rutin (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015). Tenaga kesehatan juga memegang peranan penting dalam hal pelayanan kesehatan di suatu wilayah. Jumlah dokter pada tahun 2014 sebanyak 27 orang, dimana hanya terdapat empat dokter spesialis, sedangkan yang lainnya adalah dokter umum. Secara teori, rasio beban kerja seorang dokter di Kabupaten Raja Ampat harus melayani sekitar 1.678 penduduk (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015).
Gambar 2.3.4 Puskesmas Distrik Batanta Selatan yang Kurang Dimanfaatkan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.
Untuk penduduk di Desa Wamega dan Kapatlap, biasanya mereka akan berobat ke Samate apabila harus menjalani rawat inap. Apabila menginginkan fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, penduduk lebih memilih untuk berobat ke Sorong karena jarak tempuh yang lebih 42
dekat dibandingkan ke ibukota kabupaten serta fasilitas kesehatan yang lebih lengkap. Fasilitas kesehatan ibukota Distrik Batanta Selatan terdapat di Desa Yenanas. Seperti halnya bangunan perkantoran dan sarana pendidikan, meskipun memiliki bangunan yang sangat memadai, fasilitas kesehatan ini tidak dipergunakan secara optimal oleh masyarakat setempat (lihat Gambar 2.3.4). Salah satu penyebabnya adalah lokasinya yang cukup jauh dari pemukiman, sementara tidak ada transportasi yang dapat digunakan untuk membawa orang yang sakit. Menurut salah seorang petugas kesehatan, puskesmas ini juga belum dilengkapi dengan fasilitas air bersih yang memadai. Selain itu, dokter yang ditugaskan di puskesmas ini juga belum pernah berada di tempat. Seorang narasumber mengatakan, dokter puskesmas saat ini sudah diangkat sekitar satu tahun lalu, namun hanya datang pada waktu pelantikan, selebihnya berada di Kota Sorong. Sarana Air Bersih dan MCK Akses terhadap air bersih merupakan salah satu kebutuhan mendasar untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk di suatu wilayah. Lebih dari separuh rumah tangga (59,39 persen) di Kabupaten Raja Ampat menggunakan sumber air minum dari sumur. Dari persentase tersebut, 51,07 persen diantaranya bersumber dari sumur yang terlindungi. Sebanyak 16,61 persen penduduk menggunakan air isi ulang (Waisai) dan 9,71 persen penduduk memanfaatkan mata air sebagai sumber air minum. Sementara, masih ada sebagian masyarakat mengambil air sungai (10,49 persen) dan air hujan (3,8 persen) untuk dijadikan air minum (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015). Dilihat dari persentase rumah tangga menurut fasilitas tempat buang air besar, sebanyak 38,04 persen yang memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri. Sebagian rumah tangga memanfaatkan fasilitas tempat buang air besar umum (35,33 persen), tempat buang air besar
43
bersama (17,22 persen), bahkan di Kabupaten Raja Ampat masih ada 9,41 persen rumah tangga yang tidak memiliki tempat buang air besar. Penduduk di Wamega biasanya harus membeli air untuk digunakan sebagai air minum, sementara untuk mandi cuci dan kakus bisa memanfaatkan air payau yang diambil dari sumur timba di sekitar tempat tinggal mereka (lihat Gambar 2.3.5). Rumah penduduk di desa ini umumnya terbuat dari papan, demikian juga dengan fasilitas tempat buang air besar yang biasanya terdapat di luar rumah dan dikenal dengan sebutan “WC gantung.” Penduduk di Desa Amdui juga memanfaatkan fasilitas buang air besar seperti ini.
Gambar 2.3.5 Sumur Umum di Desa Wamega, Kecamatan Salawati Utara Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.
Sementara, di Desa Kapatlap juga ditemukan sumur umum untuk mencuci maupun sebagai sumber air minum. Namun, kondisi sumur untuk mencuci jauh dari kategori bersih dan sehat (terdapat banyak sampah plastik di dalam sumur). Hanya sebagian penduduk yang memiliki tempat buang air besar di dalam rumah mereka. Bila dilihat secara bangunan, sebagian besar rumah di Kapatlap adalah semi permanen, artinya separuh terbuat dari tembok dan sisanya dari papan. Hal yang sama juga ditemukan di Desa Amdui, dimana hampir 44
seluruh rumah di desa tersebut merupakan bangunan semi permanen. Selain menggunakan “WC gantung”, masyarakat setempat biasanya menggunakan fasilitas toilet umum (bantuan program PNPM) untuk buang air besar. Namun, kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan fasilitas tersebut masih sangat rendah. Hal seperti ini juga terjadi di desa Wamega. Perumahan di Desa Yenanas jauh lebih baik bila dibandingkan dengan di desa penelitian lainnya. Bangunan rumah sudah permanen, tetapi belum semuanya memiliki fasilitas buang air besar di dalamnya. Masyarakat biasanya mengambil air untuk keperluan sehari-hari dari sumur umum. Tersedia beberapa toilet umum di Yenanas, namun fasilitas ini belum dipergunakan secara optimal oleh masyarakat. Sarana Penerangan dan Informasi Dilihat dari sisi penerangan yang digunakan oleh penduduk, dapat diketahui bahwa masih banyak penduduk Kabupaten Raja Ampat yang belum merasakan penerangan listrik, baik itu listrik dari PLN ataupun dari Pembangkit Listrik Tenaga Disel (PLTD) Waisai yang merupakan sumber listrik di Kabupaten Raja Ampat. Sampai pada tahun 2013 hanya 71,09 persen penduduk yang menggunakan penerangan listrik, dimana sebagian besar merupakan listrik non PLN (28,91 persen). Di lokasi penelitian, sarana penerangan berasal dari genset (baik genset kampung maupun genset milik pribadi), dibutuhkan 10 liter bensin untuk menyalakan genset dari pukul 6 sore hingga 10 malam. Untuk meringankan biaya pembelian bahan bakar untuk genset, di sebagian desa seperti Yenanas biasanya masyarakat setempat mengumpulkan iuran sebesar Rp30.000,00-Rp50.000,00 per bulan. Sarana komunikasi di Desa Wamega dan Kapatlap masih sangat minim. Meskipun sebagian besar penduduk sudah memiliki telepon seluler. Namun penggunaannya masih sangat terbatas karena jaringan
45
sinyal yang seringkali tidak stabil. Sementara, jaringan sinyal di Desa Yenanas sudah lebih stabil bila dibandingkan lokasi penelitian lainnya, dengan adanya tower Telkomsel di desa tersebut.
2.4
Kelembagaan Sosial-Ekonomi
Seperti di berbagai daerah lainnya di Indonesia, COREMAP di Kabupaten Raja Ampat mempunyai banyak kegiatan, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung, dengan pelestarian terumbu karang serta pengelolaan sumber daya laut pada umumnya. Salah satu kegiatan COREMAP, lembaga keuangan mikro (LKM), bertujuan untuk menunjang upaya pelaksanaan dan pengembangan mata pencaharian masyarakat melalui pemberian dana bergulir kepada kelompok masyarakat. Namun, semenjak COREMAP tahap II berhenti di tahun 2011, salah satu bentuk kelembagaan sosial ekonomi di Kabupaten Raja Ampat tidak dilanjutkan meskipun mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Saat ini bentuk kelembagaan sosial ekonomi di Raja Ampat antara lain koperasi unit desa, seperti yang terdapat di Desa Yenanas. Namun demikian, lembaga keuangan ini belum terarah dengan baik (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2015). KUD masih memerlukan pembinaan dan pendampingan yang intensif serta berkesinambungan, agar penduduk lokal dapat tumbuh dan berkembang sebagai pelaku ekonomi yang mandiri. Informasi keberadaan kelompok nelayan juga diperoleh di Desa Kapatlap. Pada Februari 2015, kelompok nelayan mendapatkan bantuan benih ikan air tawar (ikan Mujair) sebanyak kurang lebih 50 ekor beserta pakan, dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. Namun, kurangnya pelatihan mengenai perawatan ikan air tawar menyebabkan benih ini tidak dapat tumbuh dengan baik dan kelompok nelayan belum mendapatkan keuntungan dari program ini. Bantuan dari Dinas Pertanian Kabupaten Raja Ampat juga diterima oleh petani di Yenanas dan Amdui. Program pemberian bibit pohon 46
jati dan coklat diberikan langsung kepada petani yang memiliki kelompok. Untuk kelompok perempuan, kelembagaan sosial ekonomi berbentuk PKK. Jenis kegiatan PKK yang menghimpun kelompok ibu-ibu cukup beragam, antara lain membuat minyak kelapa, mengolah hasil tangkapan ikan, memanfaatkan lahan pekarangan, dan membuat kerajinan tangan. Kegiatan PKK di Desa Wamega berjalan dengan baik, pertemuan rutin masih dilakukan hingga saat ini. Kelompok ibuibu di Wamega seringkali mendapatkan undangan untuk memamerkan hasil kerajinan tangan bila ada acara besar di tingkat kabupaten (seperti ulang tahun kabupaten atau Sail Raja Ampat). Namun, keterbatasan bahan baku dan kreatifitas seringkali menyebabkan produk kelompok ini kalah bersaing dengan PKK dari kabupaten (Gambar 2.4.1). Kelompok PKK Desa Wamega mengharapkan adanya pelatihan rutin dari Dinas Usaha Kecil Menengah Kabupaten Raja Ampat untuk mengembangkan produk kerajinan tangan yang terbuat dari limbah plastik. Kelompok PKK di Yenanas, mengembangkan kegiatannya pada pelayanan posyandu rutin yang dapat dimanfaatkan untuk penduduk setempat.
Gambar 2.4.1 Hasil Kerajinan Tangan Kelompok Ibu-ibu PKK Desa Wamega
47
Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.
2.5
Program Pemberdayaan Masyarakat
Berbagai program konservasi di Kabupaten Raja Ampat dilakukan dengan berfokus pada pemberdayaan masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya kelautan. Identifikasi wilayah laut beserta keanekaragaman hayati yang dimiliki perairan Kabupaten Raja Ampat sudah dilakukan sekitar tahun 1990. Hingga akhirnya program konservasi dikembangkan melalui penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Penetapan KKLD ini kemudian berkembang menjadi Kawasan Konservasi Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat yang dibagi menjadi lima kawasan konservasi, yaitu Wilayah I Ayau, Wilayah II Teluk Mayalibit, Wilayah III Selat Dampier, Wilayah IV Misool, dan Wilayah V Kofiau. TPPKD mengintegrasikan praktik-praktik tradisional penangkapan ikan, seperti sasi menjadi daerah zonasi dan manajemen wilayah TPPKD. Selain itu, program konservasi ini juga mengembangkan struktur manajemen kolaboratif (co-management) yang memungkinkan masyarakat untuk terlibat langsung secara aktif dalam pengelolaan setiap wilayah TPPKD mereka, termasuk di dalamnya kegiatan patroli bersama di kawasan perairan. Pembentukan TPPKD merupakan kerjasama antara Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat dengan didukung oleh Conservation International (CI) dan The Nature Conservancy (TNC) (The Nature Conservancy, 2011). Bentuk lain dari pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya laut juga diimplementasikan melalui Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II atau yang dikenal dengan COREMAP II. Program ini berupaya untuk melindungi dan melestarikan sumber daya ekosistem terumbu karang dan asosiasinya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Berbagai bentuk pemberdayaan masyarakat 48
COREMAP, antara lain dilakukan melalui peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pelestarian terumbu karang, pembentukan lembaga pengelola sumberdaya terumbu karang (LPSTK), pemberian bantuan pendanaan skala mikro (seed fund), pelatihan dan pendampingan usaha ekonomi produktif (UEP), pelaksanaan sistem pengawasan berbasis masyarakat (Pokmaswas), pembentukan kawasan konservasi perairan (KKP) dan daerah perlindungan laut (DPL) berbasis masyarakat disertai dengan penyusunan Peraturan Desa DPL (Widayatun, dkk, 2008; Widayatun, dkk, 2007). Meskipun sebagian kegiatan yang disebutkan di atas sudah berhenti dengan berakhirnya COREMAP, beberapa program masih berjalan dengan baik seperti DPL yang masih terus dipertahankan serta sosialisasi dan peningkatan pengetahuan di kalangan anak sekolah mengenai pentingnya pelestarian terumbu karang. Hal tersebut tentunya masih berjalan dengan baik di empat lokasi penelitian.
2.6
Pengelolaan Sumber Daya Laut
Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Kabupaten Raja Ampat selama ini dinilai oleh banyak kalangan masih bersifat eksploratif dan belum memerhatikan kelestarian lingkungan serta keberlanjutan sumber daya tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan pengelolaan yang sesuai sehingga ekosistem pesisir dan laut yang terkandung di perairan Raja Ampat tetap terlindungi dan dapat dimanfaatkan secara optimal. Pengelolaan sumber daya laut di suatu wilayah dapat diukur melalui kebijakan yang diterapkan, pemanfaatan sumber daya laut, pengaturan wilayah tangkap, serta penggunaan teknologi ramah lingkungan.
2.6.1
Kebijakan
Kebijakan di tingkat nasional dan pemerintah Kabupaten Raja Ampat mengatur pengelolaan sumber daya laut yang terkandung di kawasan
49
perairan (Rumetna, dkk, 2011). Peraturan tersebut adalah sebagai berikut: Kebijakan di Tingkat Nasional 1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Republik Indonesia No.45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 4. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan; 5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Kebijakan di Tingkat Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat 1. Peraturan Bupati Raja Ampat No.66 Tahun 2007 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat; 2. Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat No.27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat; 3. Peraturan Bupati Raja Ampat No.5 Tahun 2009 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat; 4. Peraturan Bupati Raja Ampat No.16 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kelautan dan Perikanan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Perikanan tangkap di Kabupaten Raja Ampat selama ini dikelola oleh masyarakat secara tradisional sehingga hasil yang diperoleh pun hanya 50
cukup untuk dikonsumsi sendiri dan dijual dalam jumlah kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk mengembangkan sektor perikanan, maka kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat adalah: a. Membangun infrastruktur dasar perikanan antara lain adalah: Membangun Pelabuhan perikanan Membangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Menyediakan fasilitas listrik yang mencukupi kebutuhan masyarakat Kabupaten Raja Ampat Membangun pabrik es Membangun gudang beku (cool storage) Membangun kapal-kapal operasi penangkapan ikan Membangun rumpon-rumpon perikanan Motorisasi unit penangkapan bagi para nelayan b. Pengembangan modal usaha ekonomi produktif bagi para nelayan; c. Pengembangan peralatan tangkap para nelayan; d. Membentuk kelembagaan lokal bagi para nelayan. Pengelolaan sumber daya laut di Desa Yenanas diatur melalui peraturan kampung (Perkam) mengenai zona larang ambil (no take zone) serta Perkam pemanfaatan dan pengelolaan zona larang ambil. Perkam tersebut juga disusun di Amdui, Wamega, dan Kapatlap sebagai bagian dari Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) berbasis masyarakat. RPTK adalah rencana pengelolaan secara kolaboratif antara masyarakat, pemerintah kampung, tokoh masyarakat, tokoh adat dan agama, serta pihak terkait lainnya untuk mengelola sumber daya laut secara maksimal dan bertanggungjawab. Penduduk di Kabupten Raja Ampat juga mengenal kebijakan informal yang disebut dengan sasi. Kelembagaan sasi bersifat non formal dan dibangun atas dasar pengetahuan serta faktor budaya. Sasi bertujuan untuk mengatur penggunaan, pengelolaan, dan perlindungan terhadap 51
sumber daya penting serta bernilai ekonomi tinggi, sehingga sumber daya alam ini dapat dinikmati secara berkelanjutan. Sasi membatasi waktu panen sumber daya laut dalam jangka waktu tertentu. Spesies yang menjadi target sasi, seperti teripang, lobster, dan lola. Dua jenis sasi yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat, yaitu sasi adat dan sasi gereja. Sasi biasanya berlangsung selama satu sampai tiga bulan pada musim angin kuat dan dilakukan sekali atau dua kali dalam setahun. Sasi juga diberlakukan oleh penduduk di lokasi penelitian. Di Wamega, sasi teripang diberlakukan selama satu bulan penuh dalam jangka waktu satu tahun.
2.6.2
Pemanfaatan
Meskipun penduduk di Kabupaten Raja Ampat mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan, potensi perikanan yang begitu besar masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Bila melihat kondisi di lapangan, pemanfataan sumber daya laut, khususnya ikan, masih bersifat subsisten. Industri pengolahan juga belum banyak diterapkan untuk meningkatkan harga jual hasil tangkapan. Keterbatasan sarana dan prasarana (listrik, es, serta cool storage) sebagai salah satu penyebab hasil tangkapan harus dijual secara langsung. Pengolahan produk perikanan skala kecil, seperti pembuatan kerupuk ikan atau abon ikan juga belum ditemukan di lokasi kajian. Ikan tuna dan cakalang merupakan jenis tangkapan yang memiliki nilai jual tinggi dibandingkan dengan ikan karang. Namun demikian, jenis ikan tersebut belum mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga di lokasi penelitian.
2.6.3
Wilayah Tangkap
Wilayah tangkap (fishing ground) di Kabupaten Raja Ampat adalah di pesisir dan daerah teluk. Untuk menuju ke tempat penangkapan ikan biasanya diperlukan waktu satu hingga dua jam perjalanan bila menggunakan perahu dengan mesin motor tempel atau katinting. 52
Waktu yang dihabiskan untuk menangkap ikan bagi para nelayan berbeda-beda, tergantung hasil tangkapan yang diperoleh, bila di ratarata mereka menghabiskan waktu sekitar 4 sampai 12 jam. Demikian juga dengan nelayan di desa lokasi penelitian. Pada saat musim gelombang tenang tidak jarang nelayan mencari ikan setiap hari, tetapi di saat musim gelombang kuat biasanya nelayan di Kabupaten Raja Ampat akan beralih ke pekerjaan perkebunan. Sebagian besar nelayan di Wamega adalan nelayan sero, perangkap yang biasanya terdiri dari susunan pagar-pagar untuk menggiring ikan masuk ke perangkap. Nelayan sero biasanya menangkap ikan setiap hari dan tidak terpengaruh meskipun sedang terjadi gelombang kuat. Sero banyak ditemukan di dekat dermaga tepat di depan Pulau Waril (arah utara Wamega). Nelayan di Wamega umumnya memiliki lebih dari satu sero, pengambilan hasil tangkapan dilakukan paling tidak dua kali dalam sehari, pagi dan sore. Sementara, nelayan di Kapatlap biasanya menggunakan dayung untuk mencari ikan. Wilayah tangkap mereka berada di sepanjang pesisir atau tepat di seberang pemukiman penduduk. Sementara nelayan yang menggunakan mesin katinting memiliki wilayah tangkap lebih jauh. Lokasi di dekat Pulau Senapan (bagian barat Kapatlap) adalah tempat yang disukai nelayan mesin motor untuk menangkap ikan, demikian juga dengan lokasi di dekat Pulau Bam (sebelah timur Kapatlap). Sementara, DPL di Kapatlat terletak di daerah rep Sarun. Wilayah tangkap Desa Yenanas terletak di sebalah barat dermaga. Kawasan memancing desa ini dikelilingi hutan mangrove dan dekat dengan lokasi sasi teripang. Pada saat gelombang kuat, biasanya nelayan di Yenanas tetap bisa memancing karena hole (lokasi memancing) merupakan daerah teluk yang tertutup. Karang di bagian barat dermaga juga masih dalam kondisi sehat. Sementara, nelayan Amdui biasanya mengunakan dayung untuk mencari ikan. Wilayah tangkapan mereka hanya di sepanjang pantai, sedangkan untuk nelayan yang menggunakan katinting biasanya mereka akan pergi ke 53
arah sebelah barat desa untuk menangkap ikan. Daerah sekitar Tanjung Makwoy menjadi fishing ground bagi nelayan Amdui.
2.6.4
Teknologi
Nelayan di lokasi penelitian masih menggunakan alat tangkap tradisional, sehingga tidak mengherankan apabila hasil tangkapan mereka masih sangat terbatas. Seperti dijelaskan sebelumnya, alat tangkap sebagian besar nelayan di Wamega adalah sero (Gambar 2.6.1). Alat tangkap tradisional lain yang digunakan untuk menangkap ikan adalah pancing rawai, pancing ulur, dan jaring insang. Alat tangkap tersebut tidak hanya digunakan oleh nelayan di Wamega, tetapi juga nelayan di Yenanas, Amdui, dan Kapatlap. Sementara itu, perahu dayung (jukung) dan perahu motor tempel dengan mesin 5,5-15 PK adalah armada tangkap yang paling sering digunakan. Beberapa nelayan menggunakan kapal motor dengan mesin Johnson berkekuatan 5-10 GT, biasa digunakan untuk menjangkau daerah tangkapan tuna atau cakalang.
Gambar 2.6.1 Alat Tangkap Sero di Desa Wamega Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015.
54
2.6.5
Permasalahan
Pengelolaan sumber daya laut di Kabupaten Raja Ampat masih menghadapi beberapa permasalahan yang umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Meskipun kawasan perairan Raja Ampat memiliki sediaan ikan karang dan invertebrata yang kondisinya jauh lebih sehat bila dibandingkan dengan di tempat lain, data menunjukkan adanya eksploitasi terhadap sediaan laut tersebut. Jenis ikan yang mengalami penurunan, antara lain kerapu, napoleon, hiu, lobster dan lain sebagainya (Ainsworth, dkk, 2008). Berkurangnya jumlah tangkapan ikan akibat penangkapan berlebih sudah mulai dirasakan oleh nelayan di Kapatlap. Mereka menyebutkan bahwa hasil tangkapan yang semakin berkurang dan wilayah tangkap yang makin jauh, khususnya untuk ikan Samandar, Lolosi, Lema, dan Oci. Penggunaan bom untuk menangkap ikan juga menyebabkan rusaknya terumbu karang di kawasan perairan Raja Ampat. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari aparat kampung Yenanas, sebagian terumbu karang di desa ini mengalami kerusakan akibat praktik penangkapan ikan dengan menggunakan bom. Teknik penangkapan ikan lainnya yang merusak dan perlu menjadi perhatian adalah penggunaan potassium sianida, yang biasanya digunakan untuk menangkap lobster. Penggunaan potassium sianida hingga saat ini masih ditemukan di Desa Amdui. Potassium sianida tidak hanya menyebabkan efek keracuna pada ikan atau lobster tetapi juga dapat menyebabkan kerang menjadi berwarna putih dan akhirnya mati. Sampah plastik yang berasal dari darat dapat mengancam kelestarian sumber daya laut di perairan Kabupaten Raja Ampat. Selain alasan kebersihan, sampah plastik juga dapat menyebabkan pencemaran air yang membahayakan keselamatan biota laut. Contoh lainnya, sampah plastik yang dibuang ke laut dapat menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air, akibatnya lamun tidak dapat melakukan fotosintesis. Kurangnya oksigen di perairan dapat menyebabkan penurunan fungsi dari ekosistem laut serta ketersediaan nutrisi untuk 55
ikan menjadi terbatas. Kondisi seperti ini masih banyak ditemukan di Wamega. Kesadaran yang rendah dari penduduk setempat untuk menjaga kebersihan lingkungan perlu mendapatkan perhatian khusus.
56
BAB III POTRET PENDUDUK Penduduk yang tinggal di wilayah pesisir adalah pemangku kepentingan utama karena pada dasarnya merekalah yang secara langsung dan terus-menerus mengelola sumber daya laut di sekitar tempat tinggalnya. Oleh karena itu peran masyarakat sangat besar dalam upaya pelestarian sumber daya pesisir dan sumber daya laut. Bab ini mendeskripsikan profil sosio-demografi penduduk di Kabupaten Raja Ampat, khususnya Distrik Salawati Utara dan Distrik Batanta Selatan yang merupakan lokasi penelitian ini. Bab ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama berupa paparan terkait jumlah dan komposisi penduduk. Sedangkan pada bagian kedua menggambarkan kualitas sumber daya manusia. Bagian ketiga yang merupakan penutup pada bagian ini menggambarkan kesejahteraan penduduk. Informasi pada bagian ini diperoleh dari survei rumah tangga dan data sekunder yang dipublikasi oleh BPS.
3.1 3.1.1
Jumlah dan Komposisi Penduduk Jumlah dan Karakteristik Penduduk Pertumbuhannya di Tingkat Kabupaten
Serta
Tabel 3.1.1 menunjukkan jumlah penduduk, luas wilayah, dan kepadatan penduduk Kabupaten Raja Ampat berdasarkan distrik pada tahun 2013. Jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2013 adalah sebanyak 44.568 jiwa. Dapat dilihat bahwa dengan luas daratan yang mencapai 6.085,5 km2, kabupaten ini memiliki kepadatan penduduk yang cukup rendah, yaitu 7 jiwa per km2. Angka ini sedikit meningkat dari data tahun 2004 dimana kepadatan penduduk sebesar 5 jiwa per km2. Namun, dari segi variasi dan rentang, kepadatan penduduk kabupaten ini cukup bervariasi dan memiliki rentang yang cukup besar (antara 2 sampai dengan 116). 57
Kota Waisai merupakan distrik dengan jumlah penduduk terbesar yaitu sebanyak 8.998 jiwa. Namun dengan luas wilayah 98 km2, distrik ini bukanlah distrik dengan kepadatan penduduk tertinggi. Sedangkan Teluk Mayalibit merupakan distrik dengan jumlah penduduk terkecil yaitu sebesar 823 jiwa. Dalam hal kepadatan penduduk, Distrik Kepulauan Sembilan menempati urutan teratas dengan 116 jiwa per km2 dan Distrik Teluk Mayalibit menempati urutan terbawah dengan hampir 2 jiwa per km2. Tabel 3.1.1 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Berdasarkan Distrik di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2013
No. Kecamatan/Distrik
Jumlah Penduduk
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Misool Selatan Misool Barat Misool Kofiau Misool Timur Kepulauan Sembilan Salawati Utara Salawati Tengah Salawati Barat Batanta Selatan Batanta Utara Waigeo Selatan Kota Waisai Teluk Mayalibit Tiplol Mayalibit Meosmansar Waigeo Barat Waigeo Barat
Kepadatan (jiwa/Km2)
3.359 1.433 1.956 2.377 2.674 1.608
Luas Daratan (Km2) 73,37 271,11 994,55 165,98 445,62 13,85
2.062 1.841 865 1.261 874 1.700 8.998 823 905 1.532 1.425 2.109
31,01 460,76 404,42 151,92 234,02 193,26 98,09 500,56 161,38 176,16 614,63 83,14
66,5 4,0 2,1 8,3 3,7 8,8 91,7 1,6 5,6 8,7 2,3 25,4
58
45,8 5,3 2,0 14,3 6,0 116,1
No. Kecamatan/Distrik
19. 20. 21. 22. 23. 24.
Kepulauan Waigeo Utara Warwabomi Supnin Kepulauan Ayau Ayau Waigeo Timur Jumlah
Jumlah Penduduk
Luas Daratan (Km2)
Kepadatan (jiwa/Km2)
1.428 877 1.012 956 1.189 1.304 44.568
120,39 239,31 189,00 10,18 4,77 447,02 6.085,50
11,9 3,7 5,4 93,9 249,3 2,9 7,3
Sumber: Kabupaten Raja Ampat dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2014).
Tabel 3.1.2 menunjukkan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan distrik di Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2013. Jumlah penduduk di kabupaten ini terdiri dari 23.663 laki-laki dan 20.905 perempuan. Dapat dilihat bahwa di seluruh distrik, jumlah penduduk laki-laki melebihi jumlah penduduk perempuan yang ditunjukkan oleh nilai rasio seks yang melebihi 100. Tabel 3.1.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Distrik di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2013 No.
Kecamatan/Distrik
Jenis Kelamin Laki-laki (L)
1.
Misool Selatan
2.
Misool Barat
3.
Misool
4.
Total
Rasio Seks (L/P)
Perempuan (P)
1.755
1.604
3.359
109,4
745
688
1.433
108,3
1.035
921
1.956
112,4
Kofiau
1.247
1.130
2.377
110,4
5.
Misool Timur
1.465
1.209
2.674
121,2
6.
Kepulauan Sembilan
808
800
1.608
101,0
7.
Salawati Utara
1.070
992
2.062
107,9
59
No.
Kecamatan/Distrik
Jenis Kelamin Laki-laki (L)
Perempuan (P)
Total
Rasio Seks (L/P)
8.
Salawati Tengah
983
858
1.841
114,6
9.
Salawati Barat
457
408
865
112,0
10.
Batanta Selatan
668
593
1.261
112,7
11.
Batanta Utara
468
406
874
115,3
12.
Waigeo Selatan
879
821
1.700
107,1
13.
Kota Waisai
5.006
3.992
8.998
125,4
14.
Teluk Mayalibit
428
395
823
108,4
15.
Tiplol Mayalibit
474
431
905
110,0
16.
Meosmansar
786
746
1.532
105,4
17.
Waigeo Barat
770
655
1.425
117,6
18.
1.099
1.010
2.109
108,8
19.
Waigeo Barat Kepulauan Waigeo Utara
754
674
1.428
111,9
20.
Warwabomi
462
415
877
111,3
21.
Supnin
531
481
1.012
110,4
22.
Kepulauan Ayau
485
471
956
103,0
23.
Ayau
611
578
1.189
105,7
24.
Waigeo Timur
677 23.663
627 20.905
1.304 44.568
108,0 113,2
Jumlah
Sumber: Kabupaten Raja Ampat dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2014).
Gambar 3.1.1 menunjukkan struktur umur penduduk Kabupaten Raja Ampat dalam bentuk piramida penduduk pada tahun 2013. Berdasarkan struktur umur tersebut, penduduk di kabupaten ini dapat digolongkan ke dalam struktur penduduk usia muda. Hal ini dapat dilihat dari tingginya proporsi penduduk usia muda, khususnya mereka yang berusia 0-14 tahun (sebesar 12,8 persen untuk laki-laki dan sebesar 12,1 persen untuk perempuan). Sedangkan penduduk yang 60
berusia tua (kelompok umur 50 tahun ke atas) relatif lebih kecil. Tidak ada perbedaan struktur yang berarti antara penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan dan proporsi laki-laki lebih besar dari proporsi perempuan di semua kelompok umur. Penduduk Kabupaten Raja Ampat terus mengalami peningkatan selama empat tahun terakhir. Pada tahun 2010, penduduk kabupaten ini berjumlah 42.508 jiwa dan meningkat menjadi 43.435 jiwa pada tahun 2011, 45.079 jiwa pada tahun 2012, dan menjadi 44.568 jiwa pada tahun 2013 (BPS, 2014).
Kelompok Umur
70-74 60-64 50-54
Perempuan
Laki-laki
40-44 30-34 20-24 10-14 0-4 Jumlah Penduduk
Gambar 3.1.1 Piramida Penduduk Kabupaten Raja Ampat, 2013 Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Raja Ampat (2014)
3.1.2
Gambaran Umum Jumlah dan Komposisi Penduduk di Tingkat Desa
Tabel 3.1.3 menunjukkan luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk per desa di Kecamatan Salawati Utara dan Batanta Selatan pada Tahun 2013. Jumlah penduduk di Desa Wamega adalah sebanyak 172 jiwa dan di Desa Kapatlap adalah sebanyak 348 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk di Desa Yenanas adalah sebanyak 417 jiwa dan di Desa Amdui adalah sebanyak 588 jiwa.
61
Tabel 3.1.3 Luas Wilayah, Jumlah, dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Salawati Utara dan Batanta Selatan Tahun 2013
Kecamatan
Desa
Luas (Km2)
Jumlah Penduduk
Salawati Utara
Samate
50,33
500
Kepadatan Penduduk (jiwa/Km2) 10
Waidim Yefman Barat Yefman Timur Wamega* Kapatlap* Total
15,25 25,12
48 583
3 23
22,24
352
16
19,91 54,34 187,19
172 348 2.003
9 6 11
Wailebet
50,78
257
5
Waiman Yenanas* Amdui* Total
47,15 94,30 72,88 265,11
129 417 588 1.391
2 4 8 5
Batanta Selatan
Keterangan: *Lokasi penelitian Sumber: Kecamatan Salawati Utara dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2014); Kecamatan Batanta Selatan dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2014).
Dari segi luas wilayah, Desa Yenanas merupakan desa terpilih yang paling luas, sedangkan Desa Wamega merupakan desa terpilih dengan paling kecil luas wilayahnya. Kemudian dari segi kepadatan penduduk, secara umum keempat desa terpilih tidak jauh berbeda dengan kepadatan penduduk tingkat kabupaten. Desa Wamega merupakan desa terpilih dengan kepadatan penduduk tertinggi, sedangkan Desa Yenanas merupakan desa terpilih dengan kepadatan penduduk terrendah. 62
Tabel 3.1.4 menunjukkan jumlah penduduk menurut jenis kelamin serta rasio seks di Kecamatan Salawati Utara dan Batanta Selatan pada tahun 2013. Secara umum, jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan di desa-desa di kedua kecamatan tersebut, kecuali di Desa Wamega dan Desa Samate, jumlah penduduk perempuan sedikit melebihi jumlah penduduk lakilaki. Tabel 3.1.4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Rasio Seks di Kecamatan Salawati Utara dan Batanta Selatan Tahun 2013
Kecamatan
Desa
Salawati Utara
Samate Waidim Yefman Barat Yefman Timur Wamega* Kapatlap* Total
Batanta Selatan Wailebet Waiman Yenanas* Amdui* Total
Jumlah Penduduk LakiPerempuan laki 278 282 29 19 309 274 182 170 82 90 191 157 1071 992
Rasio Seks
135 78 218 316 747
110 152 109 116 115
122 51 199 272 644
98 152 112 107 91 121 121
Keterangan: * Lokasi penelitian Sumber: Kecamatan Salawati Utara dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2014); Kecamatan Batanta Selatan dalam Angka 2014 (BPS Kabupaten Raja Ampat, 2014).
3.1.3
Jumlah dan Komposisi Penduduk (Hasil Survei)
Jumlah penduduk yang datanya terkumpul di keempat desa penelitian adalah sebanyak 541 laki-laki dan 498 perempuan. Komposisi 63
penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin dari hasil survei di keempat desa ditunjukkan oleh Tabel 3.1.5. Tabel tersebut menunjukkan masih tingginya proporsi penduduk usia muda (0-14 tahun) yaitu sebesar sekitar 40 persen. Sedangkan proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) cukup tinggi juga yaitu sebesar 57 persen. Hal ini berarti penduduk di daerah survei memiliki beban ketergantungan yang masih tinggi sebesar 75 persen walaupun proporsi usia lanjut tidak sampai tiga persen. Dengan kata lain, setiap 100 orang usia produktif penuh harus menanggung sekitar 75 orang yang belum/kurang produktif selain menanggung mereka sendiri. Namun, pada rumah tangga nelayan, biasanya anggota rumah tangga berusia di bawah 15 tahun sudah diajak melaut untuk membantu menangkap ikan. Selain itu, karena kegiatan kenelayanan memiliki tuntutan fisik yang cukup berat, maka biasanya yang berusia di atas 60 tahun sudah tidak melaut lagi. Kemudian pada tingkat desa, desa Kapatlap memiliki proporsi usia produktif tertinggi (63.3 persen), sedangkan desa Amdui memiliki proporsi usia produktif terrendah (45.2 persen). Dari segi jenis kelamin, dua desa (Wamega dan Kapatlap) memiliki proporsi laki-laki usia produktif penuh lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan proporsi perempuan usia produktif penuh, sedangkan dua desa lainnya sebaliknya (Yenanas dan Amdui).
64
0-4 5-9 10 – 14 15 - 19 20 - 64 65+ Total N
Kelompok Umur
65
Wamega Kapatlap Yenanas Amdui Total L P L+P L P L+P L P L+P L P L+P L P 11.7 11.2 11.4 7.5 4.4 6.0 9.6 8.3 9.0 14.6 16.9 15.7 10.9 10.6 13.6 14.3 13.9 11.9 13.2 12.5 8.2 15.9 11.9 17.1 20.8 18.9 12.8 16.5 10.7 10.2 10.4 15.7 14.9 15.3 17.8 12.9 15.5 17.7 15.6 16.7 15.9 13.7 9.7 7.1 8.5 10.4 6.1 8.5 14.4 14.4 14.4 7.6 5.8 6.7 10.5 8.4 51.5 56.1 53.7 52.2 57.9 54.8 47.9 46.2 47.1 38.6 38.3 38.5 47.0 48.4 2.9 1.0 2.0 2.2 3.5 2.8 2.1 2.3 2.2 4.4 2.6 3.5 3.0 2.4 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 103 98 201 134 114 248 146 132 278 158 154 312 541 498 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
L+P 10.8 14.5 14.8 9.5 47.6 2.7 100.0 1039
Tabel 3.1.5 Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase)
3.2 3.2.1
Kualitas Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Keterampilan
Pendidikan adalah salah satu indikator utama dalam melihat kualitas sumber daya manusia dan berpengaruh terhadap kemajuan suatu wilayah. Pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan suatu program intervensi. Untuk itu, diperlukan informasi dasar (baseline) mengenai kondisi penduduk Kabupaten Raja Ampat, terutama di lokasi-lokasi penelitian. Beberapa aspek penting dalam sektor pendidikan adalah keberadaan infrastruktur berupa sekolah dan sumber daya manusia berupa tenaga pendidik. Tabel 3.2.1 menunjukkan jumlah sarana sekolah, guru, murid, rasio murid/guru, rasio guru/sekolah dan murid/sekolah di Kabupaten Raja Ampat. Data ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari publikasi BPS. Dapat dilihat bahwa di Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2013 jumlah Sekolah Dasar (SD) tercatat sebanyak 108 buah, sementara jumlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 30 buah, jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 15 buah, dan hanya ada dua Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Tabel 3.2.1 Jumlah Sarana Sekolah, Guru, Murid, Rasio Murid/Guru, Rasio Guru/Sekolah dan Murid/Sekolah, Kabupaten Raja Ampat, 2013 Tingkat Pendidikan TK SD SMP SMA / MA SMK
Sekolah 17 108 30 15 2
Guru 98 323 211 121 51
Murid 571 10386 2328 1363 269
Rasio Murid/ Guru 6 32 11 11 5
Rasio Guru/ Sekolah 6 3 7 8 26
Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Raja Ampat (2014)
66
Rasio Murid/ Sekolah 34 96 78 91 135
Jika dilihat dari sisi rasio murid/sekolah, maka cukup memadai. Namun, keberadaan bangunan sekolah tidak merata. Di Kecamatan Batanta Selatan, pada tahun 2013, terdapat masing-masing satu SD, SMP, dan SMA yang terletak di ibu kota kecamatan (Desa Yenanas), tetapi kecamatan ini belum memiliki satupun TK. Kemudian ada juga satu SD di Desa Amdui. Kemudian, di Kecamatan Salawati Utara, pada tahun 2013, terdapat satu SD di Desa Kapatlap, serta satu TK dan satu SD di Desa Wamega. Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah 100 7.00
6.90
7.00
7.00
7.00
7.26
7.35
7.43
7.53
7.64
95
8 7
%
89.93 89.93
6 5 4
86.00 86.30
Tahun
94.86 93.62 94.13 94.34 92.69 92.77
90 85
9
3 2
80
1 75
0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Angka Melek Huruf
Rata-rata Lama Sekolah
Gambar 3.2.1 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah Sumber: Diolah dari BPS Kabupaten Raja Ampat (2014)
Luaran pendidikan juga penting untuk dikaji antara lain Angka Melek Huruf dan Rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Raja Ampat dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 yang ditunjukkan oleh Gambar 3.2.1. Data ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari publikasi BPS. Untuk Angka Melek Huruf, terjadi peningkatan yang signifikan dari 86 persen pada tahun 2004 menjadi 94.9 persen pada tahun 2013. Namun beda halnya dengan rata-rata lama sekolah penduduk kabupaten tersebut yang tidak mengalami peningkatan yang berarti selama sepuluh tahun terakhir dari tujuh 7 tahun pada tahun 67
2004 menjadi 7.6 tahun pada tahun 2013. Hal ini sesuai dengan data status pendidikan penduduk Kabupaten Raja Ampat berusia 10 tahun ke atas dari tahun 2008 sampai dengan 2013 yang ditunjukkan oleh Tabel 3.2.2 yang merupakan data sekunder yang diperoleh dari publikasi BPS. Dapat dilihat bahwa persentase penduduk dengan status pendidikan SMA lebih rendah daripada penduduk dengan status pendidikan SMP. Kemudian proporsi penduduk dengan status penduduk yang tidak bersekolah lagi cenderung stagnan di kisaran 70 persen. Tabel 3.2.2 Persentase Penduduk 10 Tahun ke Atas Menurut Status Pendidikan 2008-2013, Kabupaten Raja Ampat
Tahun
Tidak/ Belum Pernah Sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Tidak Bersekolah Lagi
2008
1,82
15,24
2,51
3,58
0,36
76,48
2009
8,56
20,74
3,94
6,91
0,14
59,70
2010
5,27
25,90
4,67
2,71
0,90
60,54
2011
4,49
13,72
5,55
3,55
0,45
72,24
2012
2,48
11,90
6,27
3,96
1,75
73,65
2013
1,34
11,44
11,15
5,54
0,44
70,08
Sumber: BPS Kabupaten Raja Ampat (2014)
Pendidikan Terakhir Penduduk Lokasi Penelitian Penelitian ini mengumpulkan informasi mengenai capaian pendidikan anggota rumah tangga. Penduduk yang dikumpulkan datanya adalah penduduk yang sedang di tempat. Jadi, anggota rumah tangga yang sedang sekolah atau bekerja di luar pulau secara metode penelitian yang dipakai tidak didata. Tabel 3.2.3 menunjukkan distribusi penduduk berusia tujuh tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahawa mayoritas penduduk di keempat desa daerah 68
penelitian tidak pernah sekolah atau hanya menamatkan jenjang sekolah dasar (36.8 persen). Kemudian di urutan kedua ialah tamatan SD sebesar 31 persen. Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. DesaYenanas itu Ibukota Distrik sehingga memiliki berbagai fasilitas seperti SD, SMP, SMA, dan puskesmas, tidak seperti ketiga desa penelitian lainnya. Proporsi penduduk memiliki tingkat pendidikan D1 ke atas dimana mereka merupakan tenaga pengajar atau tenaga kesehatan yang merupakan pendatang dari daerah lain. Kemudian, proporsi penduduk dengan pendidikan terakhir SMA di Desa Yenanas relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di ketiga desa lainnya. Lengkapnya fasilitas di Desa Yenanas dapat menjelaskan hal ini. Di ketiga desa penelitian lainnya, pada umumnya orang tua akan mengirim anaknya untuk menuntut ilmu di SMP atau SMA di Kota Sorong yang berada di pulau lain. Hal ini akan menyebabkan tidak terdatanya anak-anak tersebut dalam penelitian ini. Pada tingkat desa, hal yang cukup menonjol adalah proporsi penduduk yang tidak pernah sekolah dan tamatan SD di Desa Kapatlap (50.9 persen) yang secara signifikan lebih besar daripada di ketiga desa lainnya. Kemudian disparitas gender dalam capaian pendidikan tertinggi cukup terlihat pada tingkat lulusan SMP dimana didominasi oleh penduduk laki-laki di keempat desa, terutama desa Wamega. Salah satu alasan dibalik hal ini adalah kebanyakan wanita yang memiliki pendidikan tinggi biasanya bermigrasi ke daerah untuk mencari pekerjaan dikarenakan kurangnya peluang kerja yang sesuai dengan pendidikan mereka di lokasi penelitian.
69
10,5
9,3
24,6 11,9 14,2
20,8 9,4
53,8
12,1
23,8 11,2
50,9
20,2
31,8 19,4
22,5
L
22,8
24,6 15,8
35,1
21,9
29,1 18,1
26,6
Yenanas P L+P
14,4
35,6 16,1
39,0
L
8,8
35,4 11,5
39,8
Amdui P
11,9
36,3 14,2
36,3
L+P
31,4 16,9
36,5
L
28,9 11,7
42,3
Total P
70
2,4 99 418
8,2
37,0 16,0
52,5
Kapatlap P L+P
Tamat D1 ke atas 0,0 4,7 2,5 1,7 1,9 1,9 6,2 1,8 4,2 0,8 1,8 1,3 2,4 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 106 97 100 102 N 84 85 162 118 106 214 129 114 237 118 113 226 449 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
11,9
Tamat SMA sederajat
36,5 9,4
34,0
L
13,9
34,5 21,4
Tamat SD Tamat SMP
41,2
Wamega P L+P
14,3
32,1
L
Tidak sekolah dan tidak tamat SD
Tingkat Pendidikan
2,5 100 839
14,5
31,2 14,9
36,8
L+P
Tabel 3.2.3 Distribusi Penduduk Berumur 7 Tahun ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase)
3.2.2
Pekerjaan
Tabel 3.2.4 menunjukkan distribusi penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut kegiatan utama mereka dari hasil survey dimana terdapat 730 orang penduduk. Jumlah ini merupakan jumlah anggota rumah tangga yang menetap di kediamannya selama masa penelitian. Sedangkan untuk penduduk yang bekerja tetapi menetap di wilayah lain dan mengirim pendapatannya ke rumah tangga tidak dimasukkan ke dalam hasil penelitian. Namun, hasil pendapatannya mereka yang dikirim tetap akan dimasukkan ke dalam pendapatan lainnya. Secara keseluruhan, kegiatan utama penduduk mayoritas bekerja, diikuti oleh bersekolah, mengurus rumah tangga, dan kegiatan lainnya. Yang dimaksud dengan kegiatan lainnya adalah anggota rumah tangga sudah tidak bersekolah lagi namun juga tidak bekerja. Ada pula yang tidak bekerja karena sudah tua. Dari segi jenis kelamin, kegiatan bekerja masih didominasi oleh penduduk laki-laki di keempat desa wilayah penelitian. Kemudian kebanyakan wanita yang bekerja adalah istri atau anak yang membantu kepala rumah tangga (ayah). Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, wanita dengan pendidikan yang relative tinggi cenderung mencari pekerjaan di luar lokasi penelitian karena jenis pekerjaan di daerah ini cenderung merupakan pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja terampil bukan terdidik. Begitu pula dengan kegiatan bersekolah dimana proporsi penduduk yang bersekolah selalu lebih tinggi pada penduduk laki-laki dibandingkan dengan penduduk perempuan. Lain halnya dengan kegiatan mengurus utama mengurus rumah tangga hanya dilakukan oleh perempuan. .
71
L 68,4 26,3 0,0 5,3 100 76
Wamega P 31,8 15,2 39,4 13,6 100 66 L+P 51,4 21,1 18,3 9,2 100 142
L 67,3 27,9 0,0 4,8 100 104
Kapatlap P 40,7 19,8 34,9 4,7 100 86 L+P 55,3 24,2 15,8 4,7 100 190
L 55,9 36,0 0,0 8,1 100 111
Yenanas P 37,9 32,6 21,1 8,4 100 95 L+P 47,6 34,5 9,7 8,3 100 206
L 55,9 32,4 0,0 11,8 100 102
Amdui P 32,2 28,9 32,2 6,7 100 90
L+P 44,8 30,7 15,1 9,4 100 192
L 61,3 31,0 0,0 7,6 100 393
72
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Bekerja Sekolah Mengurus Ruta Lainnya Total N
Kegiatan Utama
Total P 35,9 24,9 31,2 8,0 100 337
L+P 49,6 28,2 14,4 7,8 100 730
Tabel 3.2.4 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, 2015 (Persentase)
Lapangan Pekerjaan Utama Setelah ditanyakan kegiatan utama, para responden juga ditanyai mengenai lapangan pekerjaan utama mereka. Tabel 3.2.5 menunjukkan distribusi penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama mereka. Dalam hal ini terdapat 364 orang penduduk. Tabel 3.2.5 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) Lapangan Pekerjaan Utama Wamega Kapatlap Yenanas Amdui Total Pertanian (pangan, perkebunan 15,1 11,2 30,6 37,2 23,4 dan peternakan, kehutanan) Perikanan tangkap dan 50,7 61,7 13,2 25,6 37,9 perikanan budidaya Industri (pengolahan dan rumah 8,2 11,2 27,6 18,6 16,8 tangga) Konstruksi 1,4 2,8 3,1 0,0 1,9 Perdagangan (perikanan dan 5,5 5,6 1,0 8,1 5,0 non perikanan) Transportasi darat, sungai dan 6,9 0,9 0,0 0,0 1,7 laut Jasa 12,3 6,5 22,4 7,0 12,1 Lainnya: Listrik, air, gas; 0,0 0,0 2,0 3,5 1,4 keuangan Total 100 100 100 100 100 N 73 107 98 86 364 Catatan: Pertambangan dan penggalian tidak dimunculkan karena nilainya kosong di keempat desa. Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Secara keseluruhan, mayoritas penduduk berusia 10 tahun atau lebih pekerjaan utamanya termasuk ke dalam sektor perikanan tangkap dan perikanan budidaya (37.9 persen). Kemudian diikuti oleh sektor pertanian, industri (pengolahan dan rumah tangga), dan sektor jasa. 73
Proporsi lapangan kerja perikanan tangkap dan budidaya tertinggi di desa Kapatlap (61.7 persen) dan terrendah di Desa Yenanas (25.6 persen). Hanya sedikit penduduk yang memiliki pekerjaan utama di sektor konstruksi. Biasanya penduduk di lokasi penelitian yang bekerja di sektor ini bekerja sebagai tukang atau kuli bangunan dan tukang pengumpul batu. Walaupun demikian, pada tingkat desa, lapangan pekerjaan tidak selalu didominasi oleh sektor tersebut. Sebagai contoh, di Desa Yenanas dan Desa Amdui, proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian lebih besar daripada yang bekerja di sektor perikanan (tangkap dan budidaya). Proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian paling besar di Desa Amdui, sedangkan paling kecil di desa Kapatlap. Hasil-hasil kegiatan pertanian di lokasi penelitian antara lain pinang, sirih, kelapa, mangga, nangka, dan durian.
Gambar 3.2.2 Hasil Industri Kayu Papan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Untuk sektor industri, proporsi terbesar di Desa Yenanas, sedangkan proporsi terkecil di Wamega. Sektor industri lokasi penelitian adalah industri rumah tangga yang biasanya memproduksi kue basah, nasi kuning, kayu potong/papan, dan kapur untuk dikonsumsi dengan sirih. Kemudian untuk sektor jasa, Desa Yenanas juga merupakan yang terbesar, sedangkan Desa Kapatlap merupakan yang paling rendah. 74
Status Pekerjaan Utama Selain lapangan pekerjaan, responden juga ditanyai juga status pekerjaannya. Tabel 3.2.6 menunjukkan distribusi penduduk di daerah penelitian berusia 10 tahun ke atas yang bekerja menurut status pekerjaan utama mereka. Secara keseluruhan, lebih dari separuh penduduk berusaha sendiri, seperlima merupakan buruh/karyawan/pegawai, dan lebih dari sepersepuluh merupakan pekerja tidak dibayar. Yang dimaksud dengan pekerja yang tidak dibayar adalah anggota rumah tangga yang membantu kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga lainnya sehingga tidak dibayar karena pendapatan dari kegiatan ekonomi tersebut akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, bukan kebutuhan individu saja. Tabel 3.2.6 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) Status Pekerjaan Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh dibayar Buruh/karyawan/ pegawai Bekerja bebas pertanian Bekerja bebas non pertanian Pekerja tidak dibayar Total N
Wamega 56,2
Kapatlap 43,9
Yenanas 43,9
Amdui 74,4
Total 53,6
2,7
16,8
12,2
3,5
9,6
8,2
0,0
0,0
0,0
1,7
27,4
14,0
28,6
17,4
21,4
0,0
0,0
2,0
0,0
0,6
2,7
0,0
0,0
0,0
0,6
2,7
25,2
13,3
4,7
12,6
100 73
100 107
100 98
100 86
100 364
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
75
Di tingkat desa, proporsi tertinggi penduduk yang status pekerjaan utamanya berusaha sendiri ada di Desa Amdui, sedangkan yang terkecil ada di Desa Yenanas. Untuk penduduk yang status pekerjaan utamanya adalah buruh/karyawan/pegawai tertinggi di Desa Yenanas, sedangkan yang terrendah ada di Desa Kapatlap. Sedangkan untuk status pekerjaan utama pekerja tidak dibayar, proporsi penduduk tertinggi ada di Desa Kapatlap dan yang terrendah ada di Desa Wamega. Lapangan Pekerjaan Tambahan Utama Selain pekerjaan utama, para responden juga ditanyai satu pekerjaan tambahan utama untuk dapat menangkap berbagai sumber penghasilan rumah tangga. Tabel 3.2.7 menunjukkan distribusi penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan tambahan utama mereka. Secara keseluruhan, mayoritas penduduk memiliki tambahan kerja utama di sektor pertanian yang mencakup pertanian pangan, perkebunan, peternakan, dan kehutanan. Kemudian di urutan kedua dan ketiga adalah sektor perikanan (tangkap dan budidaya) dan sektor industri (pengolahan dan rumah tangga). Sedangkan tidak ada penduduk yang memiliki pekerjaan tambahan utama di sektor transportasi darat, sungai dan laut.
76
Tabel 3.2.7 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) Lapangan Pekerjaan Wamega Kapatlap Yenanas Amdui Total Tambahan Utama Pertanian (pangan, perkebunan 40,9 75,0 29,6 36,4 46,0 dan peternakan, kehutanan) Perikanan tangkap dan 18,2 0,0 40,9 27,3 22,6 perikanan budidaya Pertambangan dan Penggalian 0,0 5,6 0,0 0,0 1,6 Industri (pengolahan dan rumah 22,7 8,3 11,4 22,7 14,5 tangga) Konstruksi 4,6 5,6 4,6 4,6 4,8 Perdagangan (perikanan dan 0,0 2,8 4,6 4,6 3,2 non perikanan) Jasa 13,6 2,8 4,6 4,6 5,7 Lainnya: Listrik, air, gas; 0,0 0,0 4,6 0,0 1,6 keuangan Total 100 100 100 100 100 N 73 107 98 86 364 Catatan: Transportasi darat, sungai dan laut tidak dimunculkan karena nilainya kosong di keempat desa. Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Sektor pekerjaan tambahan utama sangat terkait dengan sektor pekerjaan utama. Pola yang sangat jelas adalah jika di suatu desa didominasi oleh pekerjaan utama di sektor perikanan, maka pekerjaan tambahan utama akan didominasi oleh sektor pertanian. Hal ini terdapat pada Desa Wamega, Kapatlap dan Amdui. Begitu juga sebaliknya, hal ini terjadi di Desa Yenanas.
77
Gambar 3.2.3 Hasil Kelapa di Desa Amdui Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Status Pekerjaan Tambahan Utama Selanjutnya ada informasi mengenai status pekerjaan tambahan utama penduduk di daerah penelitian. Tabel 3.2.8 menunjukkan distribusi penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja menurut status pekerjaan tambahan utama mereka. Secara keseluruhan, mayoritas (hampir dua pertiga) pekerjaan tambahan utama penduduk di daerah penelitian berstatus sebagai berusaha sendiri. Kemudian diikuti oleh status pekerja tidak dibayar dan status buruh/karyawan/pegawai. Sedangkan yang terrendah adalah berstatus bekerja bebas pertanian dan berusaha dibantu buruh dibayar.
78
Tabel 3.2.8 Distribusi Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Tambahan Utama di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) Status Pekerjaan Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tidak dibayar Buruh/karyawan/p egawai Bekerja bebas pertanian Bekerja bebas non pertanian Pekerja tidak dibayar Total N
Wamega
Kapatlap
Yenanas
Amdui
Total
50,0
47,2
81,4
72,7
64,2
4,6
13,9
2,3
0,0
5,7
27,3
2,8
7,0
13,6
10,6
9,1
0,0
0,0
0,0
1,6
4,6
5,6
0,0
0,0
2,4
4,6
30,6
9,3
13,6
15,5
100 100 100 100 100 22 36 43 22 123 Catatan: ‘Berusaha dibantu buruh dibayar’ tidak dimunculkan karena nilainya kosong di keempat desa. Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Di tingkat desa, proporsi penduduk dengan status pekerjaan tambahan utama berusaha sendiri terbesar di Desa Yenanas, sedangkan terkecil di Desa Kapatlap. Kemudian untuk status pekerjaan tambahan utama pekerja tidak dibayar, proporsi tertinggi ada di Desa Kapatlap, sedangkan proporsi tertinggi di Desa Wamega. Terakhir untuk status pekerjaan tambahan utama buruh/karyawan/pegawai, proporsi tertinggi dimiliki oleh Desa Wamega, sedangkan proporsi terendah dimiliki Desa Kapatlap.
79
3.3 3.3.1
Kesejahteraan Pemilikan dan Penguasaan Aset Produksi dan NonProduksi
Salah satu indikator kesejahteraan penduduk yang dikumpulkan adalah kepemilikan dan penguasaan aset produksi dan non-produksi. Kepemilikan aset produksi dapat mengindikasikan bahwa rumah tangga memiliki suatu usaha yang menghasilkan dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sedangkan aset nonproduksi merupakan manifestasi dari peningkatan kesejahteraan mereka selama hidup mereka. Tabel 3.3.1 menunjukkan distribusi rumah tangga terpilih menurut kepemilikan alat atau sarana produksi. Dapat dilihat bahwa, secara keseluruhan, tidak sampai separuh rumah tangga memiliki perahu tanpa motor. Kemudian sekitar separuh dari rumah tangga memiliki perahu dengan motor tempel atau motor dalam, namun tidak ada rumah tangga yang memiliki kapal motor. Dari segi alat tangkap ikan, sebagian besar rumah tangga memiliki pancing, sedangkan yang memiliki karamba hanya 1.5 persen. Sekitar 8 persen rumah tangga memiliki bagan atau jaring. Yang menarik adalah dua dari lima rumah tangga memiliki lahan perkebunan.
80
Gambar 3.3.1 Perahu di Beberapa Desa Sumber: Dokumentas peneliti, 2015
Di tingkat desa, kepemilikan perahu tanpa motor cukup bervariasi dengan proporsi rumah tangga yang memilikinya tertinggi di Desa Kapatlap, sedangkan terrendah di Desa Wamega. Sebaliknya untuk perahu dengan motor proporsi rumah tangga tertinggi yang memilikinya adalah di Desa Wamega, sedangkan terrendah di Desa Kapatlap. Untuk alat tangkap ikan berupa pancing, tertinggi di Desa Kapatlap, sedangkan terrendah di Desa Wamega. Namun untuk alat tangkap ikan berupa bagan tertinggi di Desa Wamega. Terakhir, untuk kepemilikan lahan perkebunan, Desa Amdui merupakan yang tertinggi, sedangkan Desa Wamega merupakan yang terrendah.
81
67,5
3 5,0 42 42,5 8 12,5 34 30,0 0 0,0 6 5,0 0,69 20,0 9 17,5 40
29
Wamega Jml % 10 30,0 34,0
1 1,9 0 0,0 36 20,8 101 81,1 2 3,8 0 0,0 16,86 37,7 16 13,2 53
21
Kapatlap Jml % 34 66,0 36,0
0 0,0 0 0,0 0 0,0 72 50,0 0 0,0 0 0,0 6,54 46,0 61 24,0 50
25
Yenanas Jml % 25 58,0 66,7
0 0,0 0 0,0 1 1,8 84 56,1 0 0,0 0 0,0 13,83 56,1 40 14,0 57
41
Amdui Jml % 17 36,8
50,5 4 1,5 42 8,5 45 8,5 291 56,0 22 1,0 6 1,0 38 41,5 126 17,0 200
116
Total Jml % 86 48,5
82
Catatan: ‘Kapal motor’, ‘bubu’, dan ‘muro ami/pukat cincin/kantong/udang’ tidak dimunculkan karena nilainya kosong di keempat desa. Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Perahu tanpa motor Perahu dengan motor (tempel dan motor dalam) Karamba Bagan (kelong, sero, tancap, apung) Jaring insang (gill net) Pancing rawai, ulur, tonda Tambak Alat transportasi komersil Lahan (pangan dan/perkebunan) Lainnya N
Alat/Sarana
Tabel 3.3.1 Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Kepemilikan Alat/Sarana Produksi di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015
Kepemilikan Barang Berharga di Tingkat Rumah Tangga Selain informasi tentang penguasaan alat produksi, informasi mengenai aset yang dimiliki oleh rumah tangga juga dikumpulkan. Aset tersebut dapat digunakan sebagai suatu perlindungan finansial ketika rumah tangga sedang mengalami kesulitan ekonomi. Salah satu caranya adalah dengan menjual aset tersebut. Tabel 3.3.2 menunjukkan statistik kepemilikan barang-barang berharga rumah tangga terpilih. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan, hanya sedikit rumah tangga yang tidak memiliki rumah sendiri. Dalam hal ini mereka tidak menyewa atau mengkontrak, tetapi masih menumpang di rumah orang tua atau saudara. Hal ini karena rata-rata masih keluarga muda sehingga belum waktunya punya rumah sendiri. Kemudian, kepemilikan barang elektronik seperi TV dan VCD player juga tidak sampai separuh dari rumah tangga. Salah satu alasan dibalik kurangnya kepemilikan barang elektronik adalah kurangnya akses ke listrik PLN sehingga penduduk di keempat lokasi penelitian mengandalkan generator berbahan bakar minyak (bensin atau solar) sebagai sumber energy listrik. Selain itu, kepemilikan parabola cukup banyak, karena tanpa parabola, warga tidak dapat menerima sinyal siaran televisi dengan baik. Tidak ada rumah tangga yang mempunyai kendaraan roda empat, kendaraan yang dimiliki berupa kendaraan roda dua. Selanjutnya, kepemilikan hewan ternak (sapi, kambing, dan unggas) di keempat desa penelitian sangat rendah dan cenderung terkonsentrasi pada beberapa rumah tangga. Untuk sapi dan kambing, biasanya pemilik menempatkan hewan ternak ke pulau lain jauh dari permukiman. Namun, ada juga pemilik kambing yang membiarkan kambingnya berkeliaran mencari makan di wilayah permukiman. Hal ini mengakibatkan kambing memakan tanaman sayur milik warga.
83
Tabel 3.3.2 Statistik Kepemilikan Barang-Barang Berharga Rumah Tangga Terpilih di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Barang berharga Rumah TV VCD player Parabola Perhiasan (gram) Kendaraan bermotor Roda dua dan/atau tiga Ternak Sapi Kambing Babi Ternak lainnya: ayam, bebek Lainnya: HP, kipas angin N Desa
Wamega Jml % 39 97,5 29 70,0 11 30,0 24 60,0 126 45,0 3
7,5
Kapatlap Yenanas Jml % Jml % 52 96,2 51 98,0 13 24,5 27 52,0 12 22,6 22 42,0 5 9,4 18 36,0 29 7,6 32 10,0
Amdui Total Jml % Jml % 54 94,7 196 96,5 30 52,6 99 48,5 20 35,1 63 32,5 14 24,6 61 30,5 9 3,5 181 14,5
0
0,0 3
4,0
0
0,0
6
2,5
17 12,5 0 40 10,0 0 0 0,0 0
0,0 0 0,0 0 0,0 0
0,0 0,0 0,0
0 0 1
0,0 0,0 1,8
17 40 1
2,5 2,0 0,5
76 25,0 39 9,4 29 6,0 109 10,5 253 12,0 54 80,0 60 60,4 82 82,0 42 57,9 238 69,0 40
53
50
57
200
Catatan: Jumlah merupakan jumlah seluruh barang berharga di tingkat desa. Sedangkan % merupakan proporsi rumah tangga yang memiliki paling sedikit 1 barang berharga. Emas dalam satuan gram. ‘Kendaraan bermotor roda empat’ dan ‘ternak kerbau’ tidak dimunculkan karena nilainya kosong di keempat desa. Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
3.3.2
Kondisi Permukiman dan Sanitasi Lingkungan
Bagian ini memaparkan kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan yang mencakup kondisi fisik rumah, sumber air bersih, fasilitas sanitasi, sumber energi untuk penerangan, dan bahan bakar untuk memasak.
84
Gambar 3.3.2 Jalan di Beberapa Desa Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Kondisi permukiman di keempat desa wilayah penelitian sudah cukup baik dengan jalan setapak terbuat dari semen. Pada umumnya rumah penduduk memiliki dinding yang terbuat dari kayu, terutama untuk yang tinggal di atas perairan laut dangkal seperti di Desa Wamega. Untuk lantai, masih banyak penduduk yang rumahnya hanya beralaskan tanah.
Gambar 3.3.3 Tempat Pembuangan Tinja Langsung ke Laut Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Secara umum sumber air bersih penduduk di keempat desa wilayah penelitian adalah sumur timba. Di Desa Wamega, sumber air utama
85
adalah sumur timba yang letaknya di daratan. Para penduduk yang tinggal di atas permukaan laut dangkal pada umumnya mengambil air dengan menggunakan jerigen-jerigen, membawanya ke rumah masing-masing dan menyimpannya di ember-ember yang lebih besar untuk dipakai mandi, cuci dan kakus MCK. Karena keberadaan rumah mereka di atas permukaan laut, maka untuk buang air besar mereka lakukan langsung di atas laut. Di Desa Kapatlap, kebanyakan sumur dangkal sehingga ketika air surut, airnya cenderung keruh dan berpasir. Di rumah kepala desa sudah ada kamar mandi dengan WC jongkok. Ada beberapa rumah tangga yang sudah lebih mampu secara ekonomi sehingga memiliki pompa air listrik seperti di Desa Yenanas. Keempat desa sebetulnya pernah mendapatkan bantuan dari PNPM Mandiri untuk fasilitas kamar mandi dengan WC jongkok serta sumur timba. Namun fasilitas-fasilitas tersebut kurang optimal pemanfaatannya. Untuk di Desa Amdui, para penduduk juga mengalami kesulitan yang sama berupa sumur yang dangkal. Desa ini pernah mendapatkan bantuan pipa-pipa air namun penggunaannya tidak juga tidak optimal.
Gambar 3.3.4 Kamar Mandi dengan Jamban dan Sumur di Salah Satu Desa Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
86
Pada umumnya, penduduk di Desa Wamega, Kapatlap, Yenanas, dan Amdui mengandalkan sumber listrik berupa generator listrik berbahan bakar bensin atau solar untuk penerangan ketika malam. Dulu biasanya para warga iuran untuk membeli bahan bakar bersama agar dapat menyalakan generator listrik untuk memberi penerangan saat malam hari sebelum tengah malam. Hal ini merupakan suatu bentuk gotong royong. Namun sekarang banyak warga yang tidak mau iuran. Hal ini jadi menyulitkan warga yang lain yang mau untuk beriur. Di Desa Amdui, banyak rumah yang mendapatkan bantuan panel tenaga surya untuk menjadi salah satu sumber energi alternatif. Namun, sekarang banyak yang sudah rusak dan warga kesulitan untuk membetulkannya karena tidak ada bantuan dari baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Begitu halnya dengan generator listrik. Desa Amdui sebenarnya memiliki dua buah generator bantuan dari pusat. Namun, salah satunya rusak dan tidak bisa dibetulkan kecuali dibawa ke Jakarta. Tentunya penduduk tidak bisa menanggung biaya transportasinya. Secara umum, penduduk di keempat desa wilayah penelitian menggunakan kayu bakar atau minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tentunya dapat berakibat buruk dalam jangka panjang bagi kesehatan pernafasan penduduk terutama bagi ibu yang memasak dan anaknya.
87
88
BAB IV PENGETAHUAN DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT TERHADAP UPAYA PERLINDUNGAN DAN PENYELAMATAN TERUMBU KARANG, PADANG LAMUN, DAN MANGROVE Pengetahuan dan kepedulian masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir terhadap kondisi dan upaya pelestarian SDL dan SDP sangat penting dalam mencapai tujuan COREMAP. Oleh karena itu, pada bagian ini difokuskan pada diskusi terkait pengetahuan dan kepedulian masyarakat di lokasi penelitian, terhadap upaya perlindungan dan penyelamatan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Bagian ini diawali dengan paparan mengenai pengetahuan, kemudian dilanjutkan diskusi terkait persepsi masyarakat tentang kondisi dan faktor yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Pada bagian terakhir paparan difokuskan pada partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam upaya perlindungan dan penyelamatan ketiga ekosistem pesisir dan laut tersebut. Informasi utama untuk kajian di bagian ini adalah hasil analisa survei individu yang dipilih secara acak dari anggota rumah tangga yang berusia 15 tahun atau lebih. Selain melalui survei individu, informasi mengenai pengetahuan, persepsi, dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove juga dikumpulkan melalui diskusi kelompok terfokus serta observasi di lapangan.
89
4.1
Pengetahuan Masyarakat Tentang Keberadaan dan Kegunaan Mangrove, Padang Lamun, dan Terumbu Karang
Tidak dapat dipungkiri bahwa Kabupaten Raja Ampat memiliki keanekagaraman hayati laut yang melimpah. Keberadaan berbagai ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove merupakan faktor yang memengaruhi kekayaan serta keunikan spesies yang terdapat di kawasan perairan kabupaten ini. Ketiga ekosistem tersebut memiliki fungsi dan manfaat, baik secara ekologis maupun ekonomis (lihat Bab II). Penting untuk melihat pengetahuan (termasuk fungsi dan manfaat) masyarakat mengenai keberadaan terumbu karang, padang lamun, dan mangrove di sekitar mereka yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya ekosistem terumbu karang dan asosiasinya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
4.1.1
Pengetahuan Masyarakat Tentang Pengertian Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove
Pengukuran pengetahuan responden mengenai pengertian terumbu karang, padang lamun, dan mangrove di lokasi kajian dibagi menjadi tiga kategori, yakni ”mengetahui”, ”kurang mengetahui”, dan ”tidak mengetahui.” Hasil survei individu menunjukkan sebagian besar responden kurang mengetahui definisi yang tepat dari terumbu karang, padang lamun, maupun mangrove. Mayoritas responden yang menjawab survei individu adalah laki-laki dan bekerja sebagai nelayan. Menariknya, meskipun pekerjaan responden memiliki keterkaitan yang erat dengan ketiga ekosistem tersebut, pengetahuan mereka mengenai definisi yang tepat dari terumbu karang, padang lamun, dan mangrove masih sangat rendah. Untuk melihat pengetahuan responden mengenai pengertian terumbu karang, pertanyaan diajukan dengan menggunakan bahasa lokal agar lebih familiar. Terumbu karang di desa lokasi kajian dikenal dengan 90
sebutan karang. Responden dianggap ”mengetahui” apabila mereka hanya memilih jawaban terumbu karang sebagai kumpulan hewan karang yang membentuk rumah kapur. Sebaliknya responden dikatakan ”tidak mengetahui” ketika mereka mengatakan bahwa karang bukan kumpulan hewan karang yang membentuk rumah kapur, tetapi mereka justru mengatakan benar pada pilihan jawaban salah dari terumbu karang, yaitu sebagai kumpulan tumbuhan yang beraneka warna di laut dan kumpulan batu karang di laut. Artinya, responden tidak tahu mana jawaban yang benar dan mana jawaban yang salah. Namun demikian, sebagian besar responden masuk dalam kategori ”kurang mengetahui.” Responden kelompok ini mengatakan benar pada definisi yang tepat dari terumbu karang, namun tidak tahu mana definisi yang salah. Sebagai contoh, mereka menganggap benar bahwa terumbu karang sebagai kumpulan hewan karang yang membentuk rumah kapur dan juga kumpulan tumbuhan yang beraneka warna di laut. Atau, mereka mendefinisikan terumbu karang sebagai kumpulan hewan karang yang membentuk rumah kapur dan kumpulan batu karang di laut. Gambar 4.1.1 menunjukkan bahwa lebih dari tiga per empat (75,5 persen) dari keseluruhan responden (200 orang) kurang mengetahui definisi terumbu karang dan hanya 2,5 persen yang mengetahui secara benar. Sementara yang responden yang masuk dalam katergori tidak mengetahui sebanyak 22 persen. Mengingat sebagian besar responden adalah nelayan, ada kemungkinan mereka mengetahui bentuk dari terumbu karang, tetapi tidak mengetahui definisi ilmiah dari ekosistem sumber daya laut tersebut.
91
120.0 100.0 22,0
11,0
17,0
80.0 Tidak Mengetahui 60.0 40.0
Kurang Mengetahui 75,5
88,5
82,5
Mengetahui
20.0 0.0
2,5
0,5
0,5
Terumbu Karang
Padang Lamun
Mangrove
Gambar 4.1.1 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Tentang Pengertian Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Secara keseluruhan tidak ada perbedaan yang mencolok antara responden di semua lokasi penelitian (Desa Wamega, Kapatlap, Yenanas dan Amdui). Distribusi persentase pengetahuan responden mengenai terumbu karang di lokasi penelitian lihat Lampiran 1. Padang lamun biasa dikenal dengan sebutan lamun atau andoi oleh penduduk di Kabupaten Raja Ampat. Ekosistem ini terletak di antara ekosistem mangrove dan terumbu karang (Widiastuti, A., 2011). Responden dikatakan ”mengetahui” apabila mereka hanya memilih jawaban lamun adalah tumbuhan di laut yang mempunyai akar, batang, dan daun. Sementara, responden dikatakan ”tidak mengetahui” apabila mereka mengatakan lamun bukan tumbuhan laut yang mempunyai akar, batang, dan daun, tetapi mengatakan benar pada dua pilihan definisi yang salah, yaitu lamun sebagai tumbuhan yang punya akar dan tumbuhan yang hidup di pantai. Responden yang masuk dalam kategori ”kurang mengetahui” ketika mereka
92
mengetahui definisi yang benar, tetapi mereka tidak tahu mana definisi yang salah. Tidak jauh berbeda dengan pemahaman responden terkait terumbu karang, hampir semua (88,5 persen) responden kurang dapat menyebutkan dengan benar definisi padang lamun (Gambar 4.1.1). Kajian sebelumnya mengatakan bahwa hingga penghujung tahun 2000, sumber daya lamun nyaris terabaikan dari upaya pengelolaan wilayah pesisir (Widiastuti, A., 2011). Hal ini mungkin salah satu penyebab lebih rendahnya pemahaman masyarakat mengenai ekosistem padang lamun dibandingkan dengan ekosistem terumbu karang. Distribusi persentase pengetahuan responden mengenai padang lamun di lokasi kajian disajikan dalam Lampiran 2. Gambar 4.1 juga menggambarkan pengetahuan responden mengenai mangrove di Kabupaten Raja Ampat. Pengetahuan penduduk mengenai mangi-mangi (mangrove) juga sangat terbatas. Dari total 200 responden hanya 0,5 persen yang ”mengetahui” bahwa mangrove adalah kawasan hutan payau yang dipengaruhi oleh air tawar dan air laut. Sementara, sebanyak 17 persen responden ”tidak mengetahui” mangrove. Mereka mengatakan mangrove bukan kawasan hutan payau yang dipengaruhi air tawar dan air laut, tetapi memilih dua jawaban yang salah, yaitu kawasan hutan payau yang dipengaruhi oleh air laut saja dan kawasan hutan pinus. Sebanyak 82,5 persen responden ”kurang mengetahui” mengenai mangrove. Artinya, mereka mengetahui definisi yang benar, namun tidak tahu mana definisi yang salah. Distribusi persentase pengetahuan responden mengenai mangi-mangi di lokasi kajian disajikan pada Lampiran 3.
4.1.2
Pengetahuan Masyarakat Tentang Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove
Pengukuran pengetahuan masyarakat tentang ekosistem pesisir dan laut tidak hanya dilihat dari kemampuan mereka dalam menyebutkan 93
definisi yang tepat, tetapi juga pemahaman mereka mengenai fungsi terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Pemahaman yang baik mengenai fungsi terumbu karang, padang lamun, dan mangrove diperlukan untuk mengoptimalkan berbagai manfaat dan keuntungan yang dimiliki ekosistem tersebut. Melindungi daerah pesisir dari ancaman tsunami
67 74
Melindungi daerah pesisir dari erosi/abrasi
63,8
Melindungi daerah pesisir dari bencana banjir Melindungi daerah pesisir dari ombak, angin, badai dan topan/siklon
79
Melindungi daerah pesisir dari intrusi air laut (merembesnya/masuknya air laut ke daratan)
79,5
Melindungi keanekaragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati)
89
Tempat ikan/biota hidup, bertelur, memijah dan mencari makan
94 0
20
40
60
80
100
Gambar 4.1.2 Persentase Responden yang Mengetahui Fungsi Terumbu Karang di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Gambar 4.1.2 menunjukkan pengetahuan masyarakat tentang fungsi terumbu karang cukup baik. Lebih dari 60 persen responden mengatakan setuju untuk semua pilihan jawaban yang disediakan. Demikian juga halnya, apabila melihat proporsi pengetahuan masyarakat mengenai fungsi terumbu karang di setiap lokasi penelitian yang merata. Empat desa yang menjadi lokasi penelitian di Kabupaten Raja Ampat terlibat dalam kegiatan COREMAP Tahap II yang didanai dari Bank Dunia (World Bank). Tidak mengherankan apabila penduduk setempat sudah cukup familiar dengan fungsi dari 94
terumbu karang. Meskipun, saat ini program COREMAP sudah berhenti, namun pengetahuan yang mereka dapat dari sosialisasi masih membekas hingga saat ini. Hasil survei juga menunjukkan bahwa hampir semua (94 persen) responden mengatakan bahwa ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat ikan atau biota hidup, bertelur, memijah, dan mencari makan. Sementara, responden yang menyebutkan bahwa terumbu karang berfungsi untuk melindungi keanekaragaman ikan atau biota laut (keanekaragaman hayati) sebanyak 89 persen. Sementara, untuk pilihan jawaban lainnya memiliki kecenderungan yang hampir sama. Sebanyak 67 persen dari 200 responden mengatakan bahwa terumbu karang berfungsi untuk melindungi daerah pesisir dari ancaman tsunami. Bila dilihat persentasenya, penduduk di Desa Wamega yang setuju dengan fungsi tersebut proporsinya lebih rendah (52,5 persen) dibandingkan dengan tiga desa lainnya (lihat Tabel 4.1.1). Tabel 4.1.1 Persentase Responden Yang Mengetahui Fungsi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 Fungsi Terumbu Karang Tempat ikan/biota hidup, bertelur, memijah dan mencari makan Melindungi keanekaragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati) Melindungi daerah pesisir dari intrusi air laut (merembesnya/masuknya air laut ke daratan) Melindungi daerah pesisir dari ombak, angin, badai dan topan/siklon Melindungi daerah pesisir dari bencana banjir Melindungi daerah pesisir
Yenanas
Amdui
Wamega
Kapatlap
Total
94
94,7
97,5
90,6
94
90
86
87,5
92,5
89
88
73,7
72,5
83
79,5
86
78,9
65
83
79
68
70,2
57,5
57,7
63,8
76
78,9
60
77,4
74
95
Fungsi Terumbu Karang Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total dari erosi/abrasi Melindungi daerah pesisir 74 66,7 52,5 71,7 67 dari ancaman tsunami N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, masyarakat di lokasi penelitian masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai definisi yang tepat dari padang lamun. Hal ini turut memengaruhi pemahaman mereka mengenai fungsi dari ekosistem padang lamun. Beberapa kajian menyebutkan bahwa ekosistem lamun memiliki fungsi yang hampir sama dengan keberadaan rumput di darat. Ekosistem ini sangat berperan penting dalam proses fotosistesis dan produksi karbon. Padang lamun tidak hanya menjadi habitat dari berbagai biota laut, tetapi juga berperan dalam menjaga kesehatan ekosistem terumbu karang. Keberadaan padang lamun berfungsi untuk menyaring sedimen, seperti pasir, lumpur, ataupun sampah, dari daratan yang bergerak ke laut.
96
Melindungi daerah pesisir dari ancaman tsunami
49,5 57
Melindungi daerah pesisir dari erosi/abrasi
46,2
Melindungi daerah pesisir dari bencana banjir Melindungi daerah pesisir dari ombak, angin, badai dan topan/siklon
58
Melindungi daerah pesisir dari intrusi air laut (merembesnya/masuknya air laut ke daratan)
60
Melindungi keanekaragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati)
75,5
Tempat ikan/biota hidup, bertelur, memijah dan mencari makan
77,5 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Gambar 4.1.3 Persentase Responden yang Mengetahui Fungsi Padang Lamun di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Gambar 4.1.3 menunjukkan sebanyak 77,5 persen responden memahami fungsi padang lamun sebagai spawning, nursery, dan feeding ground. Selain itu, sebanyak 75,5 persen responden mengatakan fungsi padang lamun untuk melindungi keanekaragaman ikan atau biota laut (keanekaragaman hayati). Namun, kurang dari separuh responden yang menyatakan bahwa ekosistem lamun dapat melindungi daerah pesisir dari bencana banjir (46,2 persen) dan ancaman tsunami (49,5 persen). Responden dengan pengetahuan terbatas mengenai fungsi padang lamun umumnya terdapat di Desa Wamega dan Desa Kapatlap, Kecamatan Salawati Utara (lihat Tabel 4.1.2). Tabel 4.1.2 Persentase Responden Yang Mengetahui Fungsi Padang Lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, 2015
97
Fungsi Padang Lamun
Yenanas
Amdui
Wamega
Kapatlap
Total
Tempat ikan/biota hidup, bertelur, memijah dan mencari makan
78
77,2
72,5
81,1
77,5
Melindungi keanekaragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati)
78
73,7
75
75,5
75,5
Melindungi daerah pesisir dari intrusi air laut (merembesnya/masuknya air laut ke daratan)
66
56,1
62,5
56,6
60
Melindungi daerah pesisir dari ombak, angin, badai dan topan/siklon
56
64,9
60
50,9
58
Melindungi daerah pesisir dari bencana banjir
46
47,4
47,5
44,2
46,2
Melindungi daerah pesisir dari erosi/abrasi
56
64,9
52,5
52,8
57
Melindungi daerah pesisir dari ancaman tsunami
56
52,6
40
47,2
49,5
N
50
57
40
53
200
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Berbeda dengan ekosistem padang lamun yang dibahas sebelumnya, pengetahuan responden di Kabupaten Raja Ampat mengenai fungsi ekosistem mangrove sedikit lebih baik. Sekitar 70 persen dari 200 responden yang diwawancarai memahami fungsi ekosistem mangrove secara keseluruhan.
98
Melindungi daerah pesisir dari ancaman tsunami
69.5 75.4
Melindungi daerah pesisir dari erosi/abrasi
65.8
Melindungi daerah pesisir dari bencana banjir Melindungi daerah pesisir dari ombak, angin, badai dan topan/siklon
77
Melindungi daerah pesisir dari intrusi air laut (merembesnya/masuknya air laut ke daratan)
70
Melindungi keanekaragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati)
76
Tempat ikan/biota hidup, bertelur, memijah dan mencari makan
74 60
62
64
66
68
70
72
74
76
78
Gambar 4.1.4 Persentase Responden Yang Mengetahui Fungsi Mangrove di Kabupaten Raja Ampat, 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Gambar 4.1.4 menunjukkan sebanyak 77 persen diantaranya menyebutkan fungsi mangrove sebagai pelindung daerah pesisir dari ombak, angin, badai, dan topan atau siklon. Responden yang memiliki pengetahuan tersebut, terdapat di Desa Yenanas (82 persen) dan Desa Wamega (80 persen) seperti yang diuraikan pada Tabel 4.3. Lebih dari separuh (65,8 persen) responden juga mengatakan bahwa ekosistem mangrove berfungsi sebagai pelindung daerah pesisir dari erosi atau abrasi. Responden di Desa Yenanas (74 persen) telah mengetahui fungsi tersebut, sementara hanya 59,6 persen responden di Desa Amdui yang memberikan jawaban sama (Tabel 4.1.3).
Tabel 4.1.3 Persentase Responden Yang Mengetahui Fungsi Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, 2015 Fungsi Mangrove
Yenanas
Amdui
99
Wamega
Kapatlap
Total
Tempat ikan/biota hidup, bertelur, memijah dan 76 77,2 62,5 77,4 74 mencari makan Melindungi keanekaragaman ikan/biota 78 75,4 70 79,2 76 laut (keanekaragaman hayati) Melindungi daerah pesisir dari intrusi air laut 76 63,2 67,5 73,6 70 (merembesnya/masuknya air laut ke daratan) Melindungi daerah pesisir dari ombak, angin, badai 82 75,4 80 71,7 77 dan topan/siklon Melindungi daerah pesisir 74 59,6 65 65,4 65,8 dari bencana banjir Melindungi daerah pesisir 76 82,1 62,5 77,4 75,4 dari erosi/abrasi Melindungi daerah pesisir 78 66,7 65 67,9 69,5 dari ancaman tsunami N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Pertanyaan selanjutnya dalam survei individu bertujuan untuk melihat pengetahuan masyarakat mengenai manfaat dari ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Pilihan jawaban menggambarkan manfaat yang dimiliki dari ketiga ekosistem tersebut, yang dikelompokkan menjadi manfaat secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Hasil survei pada Gambar 4.1.5 menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian mengetahui manfaat sosial dari terumbu karang, yaitu sebagai tempat penelitian atau pendidikan (91 persen) serta sebagai tempat wisata (85,5 persen). Sementara, pengetahuan masyarakat dilihat dari manfaat ekologi yang dimiliki terumbu karang sebagai sumber protein (dikonsumsi) dari ikan atau biota di ekosistem tersebut, yaitu sebesar 78 persen. Dalam pertanyaan yang diajukan, tiga jawaban menjelaskan manfaat terumbu karang secara ekonomi. Pilihan tersebut, yaitu sumber bahan baku untuk keperluan industri atau pertambangan, sumber bahan baku
100
untuk keperluan sendiri (obat, pondasi rumah, kayu bakar, hiasan, dan lain-lain), serta sumber pendapatan. Dari ketiga pilihan tersebut ternyata pengetahuan sebagian besar (70 persen) masyarakat di Kabupaten Raja Ampat mengenai manfaat ekonomi dari terumbu karang adalah sebagai sumber pendapatan.
91
Tempat penelitian/pendidikan
85,5
Tempat wisata
Sumber bahan baku untuk keperluan industri/pertambangan
43
Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (misal: obat, pondasi rumah, kayubakar, hiasan, dll)
68
70
Sumber pendapatan
Sumber protein (dikonsumsi) dari ikan/biota di ekosistem tersebut
78 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100
Gambar 4.1.5 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Terumbu Karang di Kabupaten Raja Ampat, 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Bila dilihat berdasarkan lokasi penelitian seperti disajikan dalam Tabel 4.1.4, pengetahuan responden di Desa Yenanas mengenai manfaat sosial dari terumbu karang paling baik bila dibandingkan dengan responden di desa lainnya. Pengetahuan yang baik mengenai manfaat sosial terumbu karang, khususnya untuk tempat wisata, di antara masyarakat Desa Yenanas sesuai dengan hasil wawancara dengan penduduk setempat yang menyebutkan bahwa perairan di sekitar Kecamatan Batanta Selatan memang dikenal sebagai daerah penyelaman karena terumbu karang yang indah dan memiliki kekhasan tersendiri. Selain itu, wilayah perairan ini juga menjadi 101
tujuan para penyelam karena keberadaan manta (ikan pari) yang berukuran sangat besar dan melimpah. Sementara, pengetahuan responden di Desa Wamega paling rendah (67,5 persen) bila dibandingkan dengan responden di desa lainnya dalam hal menyebutkan manfaat ekologi terumbu karang. Demikian juga dengan dengan pengetahuan mengenai manfaat ekonomi dari terumbu karang. Responden di Desa Wamega memiliki pengetahuan yang lebih buruk dibandingkan dengan responden dari tiga desa lainnya. Bahkan, dari 40 orang responden di Desa Wamega, kurang dari separuhnya (47,5 persen) yang menyebutkan terumbu karang memiliki manfaat ekonomi sebagai sumber pendapatan. Tabel 4.1.4 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Terumbu Karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) Manfaat Terumbu Karang
Yenanas
Amdui
Wamega
Kapatlap
Total
Sumber protein (dikonsumsi) dari 82 84,2 67,5 75,5 78 ikan/biota di ekosistem tersebut Sumber pendapatan 72 78,9 47,5 75,5 70 Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (misal: 76 73,7 52,5 66 68 obat, pondasi rumah, kayubakar, hiasan, dll) Sumber bahan baku untuk keperluan 48 52,6 25 41,5 43 industri/pertambangan Tempat wisata 92 80,7 85 84,9 85,5 Tempat 96 86 92,5 90,6 91 penelitian/pendidikan N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Hasil survei individu juga menunjukkan masyarakat di Kabupaten Raja Ampat lebih mengetahui manfaat sosial dari padang lamun dibandingkan dengan manfaat ekologi dan ekonomisnya. Gambar 102
4.1.6 menggambarkan sebanyak 88,5 persen dari 200 responden mengatakan ekosistem padang lamun sebagai tempat penelitian atau pendidikan, sedangkan 78 persen responden menyebutkan padang lamun sebagai tempat wisata. Sementara itu, sebanyak 66 responden mengetahui padang lamun memiliki manfaat secara ekologi, yaitu sebagai sumber protein (dikonsumsi) dari ikan atau biota di ekosistem tersebut.
Tempat penelitian/pendidikan
88,5
Tempat wisata
78
Sumber bahan baku untuk keperluan industri/pertambangan
28,5
Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (misal: obat, pondasi rumah, kayubakar, hiasan, dll)
34
Sumber pendapatan
44,2
Sumber protein (dikonsumsi) dari ikan/biota di ekosistem tersebut
66 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100
Gambar 4.1.6 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Padang Lamun, di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Namun demikian, pengetahuan masyarakat mengenai manfaat ekonomi dari ekosistem padang lamun jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kedua ekosistem lainnya, terumbu karang dan mangrove. Kurang dari separuh (44,2 persen) responden yang mengatakan padang lamun sebagai sumber pendapatan. Sementara hanya sekitar 30 persen responden yang mengatakan padang lamun bermanfaat sebagai sumber bahan baku untuk keperluan industri atau
103
pertambangan dan sebagai sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (obat, pondasi rumah, kayu bakar, hiasan, dan lain-lain). Bila dilihat berdasarkan lokasi penelitian, sama seperti halnya pengetahuan mengenai terumbu karang, responden di Desa Yenanas memiliki pengetahuan paling baik mengenai manfaat sosial dari ekosistem padang lamun (Tabel 4.1.5). Demikian juga halnya dengan pengetahuan mengenai manfaat ekonomi dari padang lamun. Tabel 4.1.5 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Padang Lamun, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) Manfaat Padang Lamun Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Sumber protein (dikonsumsi) dari ikan/biota 70 73,7 47,5 67,9 66 di ekosistem tersebut Sumber pendapatan 40 59,6 27,5 44,2 44,2 Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (misal: 34 47,4 27,5 24,5 34 obat, pondasi rumah, kayubakar, hiasan, dll) Sumber bahan baku untuk keperluan 26 42,1 22,5 20,8 28,5 industri/pertambangan Tempat wisata 88 78,9 65 77,4 78 Tempat 94 86 82,5 90,6 88,5 penelitian/pendidikan N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Responden Desa Wamega yang memiliki pengetahuan mengenai manfaat ekologi dari ekosistem padang lamun hanya sebanyak 47,5 persen. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan persentase di desa lainnya. Responden di Desa Wamega juga memiliki tingkat pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan dengan responden di desa lainnya, terkait dengan pemahaman mengenai manfaat ekonomi dari padang lamun. Hanya sekitar satu per lima dari keseluruhan
104
responden di desa ini yang mengetahui fungsi ekonomi dari padang lamun. Gambar 4.1.7 menunjukkan pengetahuan masyarakat mengenai manfaat secara ekologi, ekonomi, dan sosial dari mangrove. Pengetahuan responden mengenai manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove jauh lebih baik bila dibandingkan dengan pengetahuan mereka terhadap manfaat sosial dari padang lamun.
89,5
Tempat penelitian/pendidikan
84,5
Tempat wisata Sumber bahan baku untuk keperluan industri/pertambangan
41
Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (misal: obat, pondasi rumah, kayubakar,…
70 64,3
Sumber pendapatan Sumber protein (dikonsumsi) dari ikan/biota di ekosistem tersebut
67 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100
Gambar 4.1.7 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Mangrove, di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Namun demikian, proporsi tertinggi pengetahuan mengenai manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove terletak pada sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (obat, pondasi rumah, kayu bakar, hiasan, dan lain-lain). Sementara sebanyak 67 persen dari 200 responden memahami manfaat mangrove secara ekologi, yaitu sebagai sumber protein (dikonsumsi) dari ikan atau biota di ekosistem tersebut. Bila dilihat berdasarkan lokasi penelitian, responden di Desa Yenanas memiliki pengetahuan mengenai manfaat sosial dari ekosistem mangrove (lihat Tabel 4.1.6). Bahkan, seluruh responden di desa 105
tersebut mengatakan bahwa mangrove bermanfaat untuk dipergunakan sebagai tempat penelitian atau pendidikan. Tabel 4.1.6 Persentase Responden Yang Mengetahui Manfaat Mangrove, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Manfaat Mangrove Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Sumber protein (dikonsumsi) dari 66 77,2 52,5 67,9 67 ikan/biota di ekosistem tersebut Sumber pendapatan 62 80,7 45 63,5 64,3 Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri (misal: 78 78,9 52,5 66 70 obat, pondasi rumah, kayubakar, hiasan, dll) Sumber bahan baku untuk keperluan 46 52,6 22,5 37,7 41 industri/pertambangan Tempat wisata 96 82,5 75 83 84,5 Tempat 100 82,5 85 90,6 89,5 penelitian/pendidikan N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Tingginya proporsi pengetahuan mengenai manfaat mangrove sebagai sumber bahan baku untuk keperluan sendiri cukup mengkhawatirkan. Seperti ditemukan di desa penelitian, masyarakat memanfaatkan kayu mangrove sebagai kayu bakar. Pada awalnya mereka mengatakan bahwa kayu bakar yang dipergunakan untuk memasak diambil dari hutan. Namun, ketika digali informasi lebih dalam ternyata kayu yang mereka maksud adalah kayu mangrove. Kondisi seperti ini ditemukan di Desa Amdui pada saat dilakukan wawancara dengan penduduk setempat.
106
4.2
Persepsi Masyarakat Tentang Kondisi dan Faktor Yang Menyebabkan Kerusakan Mangrove, Padang Lamun, dan Terumbu Karang
Persentase
Kesadaran masyarakat akan kondisi ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove merupakan faktor penting dalam upaya perlindungan dan pelestarian ketiga sumber daya laut tersebut. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk menjaga ekosistem pesisir dan laut yang ada di sekitar mereka turut memengaruhi upaya intervensi serta konservasi ekosistem yang berkelanjutan. Berbagai manfaat yang dimiliki ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove tentunya tidak dapat dioptimalkan jika kondisi ekosistem tersebut dalam kondisi kurang baik atau rusak. Survei individu mengumpulkan informasi mengenai pendapat responden terkait kondisi ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove dalam 12 bulan terakhir. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Terumbu Karang
Padang Lamun
Mangrove
Baik
73.5
79
80.5
Kurang Baik
10.5
7
6.5
Rusak
3.5
2.5
2
Tidak Tahu
12.5
11.5
11
Gambar 4.2.1 Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisi Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
107
Masyarakat di desa lokasi penelitian tidak hanya memiliki pengetahuan yang baik mengenai manfaat dari ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Tetapi mereka juga mampu menjelaskan kondisi ketiga ekosistem tersebut seperti terlihat dalam Gambar 4.2.1. Lebih dari 70 persen dari 200 responden yang ditanya menyebutkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove dalam keadaan baik. Adanya Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Raja Ampat Nomor 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat nampaknya cukup mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove di lokasi tersebut. Meskipun tidak berbeda jauh, namun persentase kondisi mangrove lebih baik bila dibandingkan dengan kedua ekosistem lain. Hal ini bisa jadi dikarenakan adanya Perda Kabupaten Raja Ampat Nomor 8 Tahun 2012 mengenai Perlindungan Hutan Mangrove dan Hutan Pantai. Dalam pasal 11 dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa kegiatan perusakan mangrove diancam dengan pidana kurungan paling lama selama enam bulan atau denda paling banyak Rp50 juta. Sementara itu, responden manyatakan bahwa kondisi ekosistem yang kurang baik (10,5 persen) dan rusak (3,5 persen) paling parah dialami oleh terumbu karang bila dibandingkan dengan ekosistem padang lamun dan mangrove. Bila dilihat berdasarkan lokasi kajian, terumbu karang (22,5 persen), padang lamun (17,5 persen), dan mangrove (15 persen) di Desa Wamega berada dalam kondisi yang kurang baik. Pernyataan yang diungkapkan oleh salah seorang nelayan yang dapat mendeskripsikan kondisi ketiga ekosistem tersebut adalah sebagai berikut: “Kalau dibandingkan dengan lima tahun yang lalu sekarang kami ini nelayan harus mengeluarkan biaya minyak (bensin) lebih besar. Sekarang ikan tidak ada di pinggir-pinggir, cari ikan harus lebih jauh. Ini banyak 108
orang mengambil karang untuk batu, bikin pondasi. Dapat ikan besar juga tidak semudah dulu, Bu... sekarang dapat 2-3 ikat kalau tidak pakai sero.” Sementara itu, berdasarkan informasi dari responden kondisi terumbu karang (6 persen) dan mangrove (4 persen) yang rusak banyak ditemukan di Desa Yenanas. Untuk padang lamun, ekosistem di Desa Kapatlap kondisinya lebih buruk (3,8 persen) bila dibandingkan dengan ekosistem padang lamun di desa lain. Persentase responden menurut pendapat tentang kondisi terumbu karang, padang lamun, dan mangrove di lokasi kajian dapat di lihat pada Lampiran 4. Penyebab kerusakan ekosistem pesisir dan laut tidak hanya disebabkan oleh aktivitas manusia di darat maupun di laut, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor alam. Pertanyaan penyebab kerusakan hanya ditanyakan kepada responden yang menjawab kondisi ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove dalam keadaan kurang baik atau rusak dalam 12 bulan terakhir. Bila melihat hasil survei individu (N=200) Gambar 4.2.2 menggambarkan persentase responden yang mengetahui penyebab kerusakan terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat. Sebanyak 28 dari 200 responden menyebutkan, beberapa aktivitas manusia yang mempengaruhi kondisi karang di kabupaten tersebut, antara lain penangkapan ikan atau biota dengan menggunakan alat/bahan yang merusak (bom, bius, pukat harimau, dan lain-lain) (8,5 persen), pencemaran (sampah rumah tangga atau pasar, limbah minyak, logam berat, dan lain-lain dari kapal, industri atau pertanian) (8 persen), penangkapan ikan atau biota secara berlebihan (6,5 persen). Selain itu, responden juga mengatakan bahwa faktor alam seperti perubahan iklim atau cuaca (6 persen) turut mempengaruhi kerusakan terhadap terumbu karang di Kabupaten Raja Ampat.
109
Faktor alam (misal: tsunami, gempa, badai, perubahan iklim/cuaca, banjir, dll)
6
Kegiatan pariwisata yang merusak (misal: menginjak karang, mengambil karang hidup, membuang jangkar di karang).
4
Penambangan pasir/batu/batu karang untuk pembangunan di wilayah pantai/pesisir
5 4
Pembuatan tambak/keramba secara berlebihan Pencemaran (sampah rumah tangga/pasar, limbah minyak, logam berat dll dari kapal/industri/ pertanian) Penangkapan ikan/biota menggunakan alat/bahan yang merusak (misal: bom, bius, pukat harimau, dll)
8 8,5 6,5
Penangkapan ikan/biota secara berlebihan
0,5
Penebangan hutan mangrove secara berlebihan 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 4.2.2 Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Kerusakan Terumbu Karang di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N= 200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Temuan di lapangan menggambarkan kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh penangkapan hasil laut dengan alat atau bahan yang merusak cukup banyak terjadi di Desa Kapatlap (9,4 persen) dan Desa Amdui (8,8 persen) (lihat Lampiran 5). Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui diskusi kelompok terfokus, penduduk di desa ini masih menggunakan peralatan yang tidak ramah lingkungan, seperti potassium, linggis, jaring harimau, dan bom, pada saat menangkap hasil laut yang bernilai jual tinggi (teripang, napoleon, lobster). Penduduk setempat belum memiliki kesadaran yang baik, penangkapan ikan melalui cara ini akan mempegaruhi hasil tangkapan yang akhirnya menyebabkan pendapatan rumah tangga menurun. Seperti yang disampaikan oleh seorang nelayan di Desa Kapatlap, 110
beberapa jenis ikan (Samandar, Lalosi, Lema, dan Oci) sudah semakin berkurang. Sementara, hasil survei juga menunjukkan bahwa rusaknya terumbu karang akibat pencemaran sampah rumah tangga banyak terjadi di Desa Wamega (15 persen) (lihat Lampiran 5). Berdasarkan hasil observasi di lapangan berbagai jenis sampah rumah tangga dengan mudah ditemukan di desa tersebut. Bukan hanya merusak terumbu karang, kebersihan lingkungan masih menjadi isu tersendiri di Desa Wamega. Hal ini bisa jadi disebabkan karena sebagian besar penduduk Wamega adalah pendatang. Dengan demikian, penduduk merasa kebersihan lingkungan tidak menjadi tanggungjawab mereka. Sebanyak 19 dari 200 responden menjawab kondisi padang lamun dalam keadaan kurang baik dan rusak, diperoleh informasi bahwa pencemaran (4 persen), penangkapan ikan secara berlebihan (4 persen), dan penangkapan ikan menggunakan alat atau bahan yang merusak (3,5 persen) menjadi penyebab rusaknya padang lamun yang ada di sekitar mereka (Gambar 4.10). Lamun (seagrass) membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk melakukan proses fotosintesis. Pembuangan sampah ke laut menjadi salah satu penyebab terhalangnya cahaya matahari masuk ke perairan, sehingga proses fotosintesis ekosistem pesisir tersebut menjadi terganggu. Sesuai dengan hasil observasi di lapangan, pencemaran sampah (10 persen) menyebabkan kerusakan lamun di Wamega paling tinggi dibandingkan dengan di desa lainnya (Lampiran 6).
111
Faktor alam (misal: tsunami, gempa, badai, perubahan iklim/cuaca, banjir, dll)
3
Kegiatan pariwisata yang merusak (misal: menginjak karang, mengambil karang hidup, membuang jangkar di karang).
3,5
Penambangan pasir/batu/batu karang untuk pembangunan di wilayah pantai/pesisir
2
Pembuatan tambak/keramba secara berlebihan
1,5
Pencemaran (sampah rumah tangga/pasar, limbah minyak, logam berat dll dari kapal/industri/ pertanian)
4
Penangkapan ikan/biota menggunakan alat/bahan yang merusak (misal: bom, bius, pukat harimau, dll)
3,5
4
Penangkapan ikan/biota secara berlebihan 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Gambar 4.2.3 Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Kerusakan Padang Lamun di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Kerusakan padang lamun akibat penangkapan ikan berlebih ditemukan di Desa Kapatlap (7,5 persen). Perairan di sekitar dermaga kayu Kapatlap merupakan salah satu tempat tumbuh ekosistem lamun. Letak dermaga yang agak jauh dari desa pesisir menyebabkan kapal atau perahu nelayan harus berlabuh di kawasan lamun. Banyaknya alat transportasi yang keluar masuk untuk menangkap ikan atau tujuan lainnya menyebabkan lamun tercabut dari akarnya. Kondisi lamun yang tidak sehat dapat terlihat dari warnanya yang tidak lagi hijau, tetapi berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Selain itu, sebagai ekosistem di perairan dangkal, ekosistem lamun menjadi tempat hidup berbagai jenis ikan. Penangkapan ikan atau biota laut secara
112
berlebihan, khususnya menggunakan pancing, jaring insang, atau sero, seringkali tidak menghiraukan akan keberadaan padang lamun. Penangkapan ikan dengan menggunakan bius ataupun potassium juga masih ditemukan di Desa Wamega (5 persen). Penggunaan bius atau potassium dilakukan oleh nelayan untuk memperoleh ikan hidup. Cara ini dapat menyebabkan kepunahan ikan karang jenis tertentu serta menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem perairan, seperti terumbu karang dan padang lamun. Racun potassium akan mengakibatkan terumbu karang berubah warna menjadi putih dan lama kelamaan karang menjadi mati. Demikian juga halnya dengan lamun yang mati akibat terkena racun tersebut. Sebanyak 17 responden dari total keseluruhan 200 responden yang diwawancarai menjawab bahwa mangrove di lokasi penelitian dalam kondisi kurang baik dan rusak. Seperti halnya dua ekosistem lainnya, yaitu terumbu karang dan padang lamun, kerusakan mangrove antara lain disebabkan oleh pencemaran (4 persen). Selain itu, kerusakan mangrove juga disebabkan karena adanya aktivitas penebangan hutan mangrove secara berlebihan (4 persen). Responden (2,5 persen) juga menyebabkan faktor alam turut berkontribusi terhadap kerusakan ekosistem ini (Gambar 4.2.4). Hutan mangrove memberikan fungsi ekologis dan menjadi salah satu produsen utama perikanan. Jenis ekosistem ini memproduski berbagai nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut. Faktor alam, seperti adanya perubahan suhu dan salinitas air laut adalah salah satu faktor penyebab kerusakan mangrove. Kerusakan tersebut diperparah oleh pengaruh aktivitas manusia, seperti pencemaran minyak dan sampah yang tentunya juga mempengaruhi kesehatan dari ekosistem mangrove tersebut. Temuan di lapangan lagi-lagi menunjukkan bahwa kerusakan mangrove akibat pencemaran (12,5 persen) paling banyak ditemukan di Desa Wamega (Lampiran 7). Pencemaran akibat sampah menjadi isu penting terkait dengan kondisi dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove secara berkelanjutan. 113
Sementara itu, berdasarkan hasil survei, penebangan hutan mangrove secara berlebihan banyak ditemukan di Desa Kapatlap (9,4 persen) dan Yenanas (6 persen). Seperti kutipan wawancara bersama aparat kampung di Yenanas sebagai berikut. “Kampung Yenanas ini ada potensi wisatanya, khususnya wisata hutan mangrove, orang kami biasa menyebutnya bakau atau mangi-mangi. Di sebelah barat kampung mangi-mangi hampir menutupi sebagian wilayah pantai. Tetapi Ibu...ada ancaman untuk mangi-mangi ini, seperti penebangan liar oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Walaupun ada Perda tapi masih ada itu, kami orang ini tidak bisa tutup mata...”
Faktor alam (misal: tsunami, gempa, badai, perubahan iklim/cuaca, banjir, dll)
2.5
Kegiatan pariwisata yang merusak (misal: menginjak karang, mengambil karang hidup, membuang jangkar di karang). Penambangan pasir/batu/batu karang untuk pembangunan di wilayah pantai/pesisir
1.5 2
Pembuatan tambak/keramba secara berlebihan
1.5
Pencemaran (sampah rumah tangga/pasar, limbah minyak, logam berat dll dari kapal/industri/ pertanian) Penangkapan ikan/biota menggunakan alat/bahan yang merusak (misal: bom, bius, pukat harimau, dll)
4 2.5 2.5
Penangkapan ikan/biota secara berlebihan Penebangan hutan mangrove secara berlebihan
4 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Gambar 4.2.4 Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Kerusakan Mangrove di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
114
Bagi responden yang mampu menyebutkan penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove pertanyaan akan dilanjutkan untuk mengumpulkan informasi mengenai pelaku perusakan. Proporsi pelaku perusakan untuk masing-masing ekosistem disajikan dalam Gambar 4.2.5. 8 7
Persentase
6 5 4 3 2 1 0
Terumbu Karang
Padang Lamun
Mangrove
2.5
6.5
2.5
7
3.5
3.5
Pelaku dari luar kabupaten, dalam satu provinsi
7.5
3
3
Pelaku dari luar provinsi
0.5
0.5
0.5
Pelaku dari luar negeri (internasional)
1.5
0.5
1
Pelaku dari desa/kelurahan ini Pelaku dari luar desa/kelurahan, dalam kabupaten
Gambar 4.2.5 Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Pelaku Perusakan Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove, di Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Pelaku perusakan terumbu karang menurut responden (N=200) sebagian besar dilakukan oleh pelaku dari luar desa (7 persen) dan dari luar kabupaten (7,5 persen). Sementara, perusakan padang lamun sebegian besar dilakukan oleh penduduk setempat (6,5 persen), sedangkan pelaku perusakan mangrove biasanya berasal dari luar desa
115
(3,5 persen). Distribusi pelaku perusakan di tiap desa penelitian disajikan dalam Lampiran 8.
4.3
Partisipasi dan Keterlibatan Masyarakat dalam Upaya Perlindungan dan Penyelamatan Mangrove, Padang Lamun, dan Terumbu Karang
COREMAP adalah salah satu program unggulan di sektor perikanan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Program yang dilaksanakan sejak tahun 2006 ini mendapat bantuan pendanaan dari Bank Dunia dan bertujuan untuk menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang serta ekosistem terkait lainnya secara berkelanjutan. Melalui program COREMAP diharapkan agar sumber daya laut dapat di rehabilitasi, di proteksi, dan di kelola dengan baik, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan di daerah pesisir dan pulaupulau kecil. Pengelolaan berbasis masyarakat digunakan sebagai pendekatan dalam melaksanakan COREMAP.
Wilayah Pesisir
36
Mangrove
29
Padang Lamun
28
Terumbu Karang
34.5 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Gambar 4.3.1 Persentase Responden Yang Terlibat Dalam Upaya Perlindungan/Pelestarian Terumbu Karang, Padang Lamun, Mangrove, dan Wilayah Pesisir di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
116
Empat desa yang menjadi lokasi kajian pada tahun 2015 termasuk dalam sasaran COREMAP khususnya dalam upaya pengendalian atau pelestarian ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan wilayah pesisir (Gambar 4.3.1). Pertanyaan lain yang diajukan dalam survei individu bertujuan untuk melihat keterlibatan masyarakat selama 12 bulan terakhir dalam upaya perlindungan ekosistem sumber daya laut dan pesisir. Namun demikian, hasil survei secara keseluruhan menunjukkan keterlibatan masyarakat masih sangat rendah. Bila dilihat berdasarkan lokasi kajian, penduduk di Desa Wamega (17,5 persen) memiliki keterlibatan paling rendah, khususnya dalam upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan COREMAP. Sementara, keterlibatan masyarakat dalam pelestarian ekosistem pesisir dan laut di tiga desa lainnya memiliki proporsi yang hampir sama (lihat Lampiran 9). 30
Persentase
25 20 15 10 5 0
Terumbu Karang
Padang Lamun
Mangrove
24.5
21.5
24.5
Penanaman pohon mangrove/transplansi karang
18
0
16.5
Pengawasan hutan mangrove/laut secara mandiri
11
9.5
12.5
Patroli hutan mangrove/laut secara kelompok/pokmaswas
8.5
8
10
Pembentukan kawasan konservasi hutan/laut/daerah perlindungan laut (DPL)
16.5
11
12.5
Kegiatan sosialiasi/penyuluhan
Gambar 4.3.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/PelestarianTerumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (N=200) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
117
Sosialisasi mengenai pentingnya upaya perlindungan terhadap terumbu karang, padang lamun, dan mangrove menjadi agenda utama sejak dilaksanakannya COREMAP tahap II di Kabupaten Raja Ampat. Seperti terlihat pada Gambar 4.3.2, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan sosialisasi memiliki proporsi paling tinggi bila dibandingkan dengan kegiatan lain dalam melakukan upaya perlindungan atau pelestarian ketiga ekosistem. Selain itu, pengelola tingkat kabupaten juga membentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang terdiri dari beberapa daerah perlindungan laut (DPL) di seluruh kampung yang menjadi sasaran program COREMAP. Tentunya hal ini dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Distribusi keterlibatan masyarakat menurut jenis kegiatan pelestarian terumbu karang, padang lamun, dan mangrove disajikan dalam Lampiran 10. Pembentukan kawasan konservasi hutan/laut/daerah perlindungan laut (DPL)
12.5
Patroli hutan mangrove/laut secara kelompok/pokmaswas
9
Pengawasan hutan mangrove/laut secara mandiri
10 26.5
Kegiatan sosialiasi/penyuluhan
31.5
Kerjabakti di wilayah pesisir 0
5
10
15
20
25
30
35
Gambar 4.3.3 Persentase Responden Menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/PelestarianWilayah Pesisir di Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Keterlibatan masyarakat dalam upaya pelestarian wilayah pesisir (36 persen) lebih tinggi bila dibandingkan dengan upaya pelestarian ekosistem sumber daya laut. Kerja bakti wilayah pesisir menjadi salah satu kegiatan wajib bagi setiap penduduk di desa penelitian (Gambar 118
4.3.3). Bila dilihat berdasarkan kecamatan, penduduk di Kecamatan Batanta Selatan lebih terlibat aktif dalam kegiatan bersih-bersih lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Kerja bakti di kecamatan tersebut biasanya dilakukan setiap hari Minggu setelah mereka selesai melakukan kegiatan keagamaan di gereja, dan masyarakat biasa menyebut kegiatan ini sebagai “Minggu Bersih.” Hal yang sama juga dilakukan oleh penduduk di Kampung Kapatlap. Sementara, di Desa Wamega kegiatan bersih-bersih kampung biasa dilakukan pada hari Jumat (Lampiran 11). Keterlibatan masyarakat yang rendah dalam upaya perlindungan ekosistem perairan dan wilayah pesisir perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pengetahuan masyarakat yang terbatas mengenai fungsi dan manfaat yang dimiliki oleh ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yang ada di sekitar mereka. Peran aktif dan kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga keanekaragaman hayati yang terdapat di kawasan perairan Raja Ampat. Dengan demikian, tujuan program COREMAP untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dapat tercapai.
119
120
BAB V PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PENDUDUK Salah satu tujuan COREMAP adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir yang dilihat dari peningkatan pendapatan penduduk di lokasi COREMAP. Oleh karena itu pada bagian ini kajian difokuskan pada pendapatan dan pengeluaran penduduk di lokasi penelitian. Pendapatan di lokasi penelitian dikaitkan dengan pendapatan di tingkat kabupaten, sehingga dapat dilihat bagaimana kondisi masyarakat di lokasi penelitian dibandingkan dengan masyarakat secara umum di Kabupaten Raja Ampat. Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat adalah pendapatan yang secara regional menggunakan produk domestik regional bruto (PDRB) sebagai salah satu indikatornya. Data PDRB diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat (BPS, 2015). Diskusi pada bagian ini dibagi dalam 3 bagian. Pertama adalah pendapatan di tingkat kabupaten dimana PDRB akan dijadikan sebagai indikatornya. Masih dalam bagian yang sama, peranan pendapatan di sektor pertanian dan perikanan dibahas secara lebih khusus. Kemudian pada bagian kedua dideskripsikan pendapatan rumah tangga berdasarkan lapangan pekerjaan di lokasi penelitian. Selanjutnya pada bagian ketiga, paparan difokuskan pada pengeluaran rumah tangga, baik makanan maupun non-makanan. Bagian terakhir dibahas nilai tukar nelayan. Informasi utama yang digunakan dalam bagian ini adalah hasil survei dan wawancara terbuka dan FGD dengan masyarakat di lokasi penelitian. Sedangkan data untuk tingkat kabupaten diperoleh dari analisa data sekunder yang dipublikasikan oleh BPS.
121
5.1
Pendapatan di Tingkat Kabupaten
5.1.1
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Dalam tulisan ini, PDRB digunakan untuk melihat perekonomian Kabupaten Raja Ampat secara makro. Tabel 5.1.1 menunjukkan nilai dan distribusi persentase PRDB Kabupaten Raja Ampat menurut lapangan usaha, tanpa minyak dan gas, pada tahun 2012 (atas dasar harga berlaku). Dapat dilihat bahwa nilai PDRB kabupaten ini pada tahun 2012 mencapai Rp 1,169 triliun. Dari segi pertumbuhan (atas dasar harga konstan), PRBD Kabupaten Raja Ampat telah meningkat sebesar 6.7 persen di tahun 2012 dari tahun 2011. Akan tetapi dari tahun 2010 ke tahun 2011, kabupaten ini mengalami perlambatan ekonomi sebesar 0.9 persen. Tabel 5.1.1 Nilai dan Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Raja Ampat Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Tanpa Migas), 2012 Lapangan Usaha A
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertanian, Peternakan, Perburuan dan Jasa 1 Pertanian a. Tanaman Pangan
Persen 42,38
53.649,8
4,59
10.249,8
0,88
b.
Tanaman Hortikultura
10.424,4
0,89
c.
Tanaman Perkebunan
25.278,6
2,16
d.
Peternakan
5.763,0
0,49
e.
Jasa Pertanian dan Perburuan
2 Kehutanan dan Penebangan Kayu 3 Perikanan B
Pertambangan dan Penggalian
C
Industri Pengolahan
D
Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang
E
PDRB (Juta Rupiah) 495.570,2
122
1.934,0
0,17
84.568,9
7,23
357.351,5
30,56
146.255,5
12,51
14.050,4
1,20
140,8
0,01
258,6
0,02
Lapangan Usaha F
PDRB (Juta Rupiah) 120.688,8
Persen
J
Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi
K
Jasa Keuangan dan Informasi
8.441,9
L
Real Estat
9.247,1
0,79
M
Jasa Perusahaan
376,1
0,03
N
Administrasi Pemerintahan
264.081,2
22,58
O
Jasa Pendidikan
18.273,1
1,56
P
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
4.902,3
0,42
Q
Jasa Lainnya
2.726,0
0,23
1.169.349,5
100.00
G H I
Jumlah
10,32
62.418,3
5,34
9.140,8
0,78
8.839,3
0,76
3.939,1
0,34 0,72
Keterangan: Nilai tahun 2013 dan 2014 tidak dimasukkan karena masih angka sementara dan angka sangat sementara. Sumber: BPS (2015).
5.1.2
Pendapatan Sektor Pertanian/Perikanan
Program COREMAP didasarkan pada kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang. Maka, pendapatan pada sektor pertanian, khususnya sub-sektor perikanan relevan untuk dibahas. PDRB Kabupaten Raja Ampat yang bersumberkan dari sektor pertanian adalah sebesar Rp. 495,6 miliar. Dari nilai tersebut, sub-sektor perikanan menyumbang sebesar Rp. 357 miliar atau setara 72,1 persen. Walaupun mengalami sedikit penurunan dari 73,5 persen dari tahun 2011 (BPS, 2015), nilai ini masih sangat besar. Kemudian jika dibandingkan dengan PDRB keseluruhan (tanpa minyak dan gas), peranan sektor perikanan berperan masih cukup besar yaitu 30,6 persen.
123
5.2
Pendapatan di Lokasi Survei
Salah satu indikator keberhasilan program COREMAP adalah meningkatnya pendapatan secara riil dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya. Sumber pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang adalah pendapatan dari kegiatan kenelayanan (perikanan tangkap dan budidaya), perdagangan hasil laut, dan kerajinan rumah tangga.
5.2.1
Pendapatan per Bulan Menurut Lapangan Pekerjaan
Statistik Pendapatan Tabel 5.2.1 menunjukkan statistik pendapatan rumah tangga di lokasi penelitian yang terdiri dari pendapatan rata-rata, per kapita, median (nilai tengah), maksimum, dan minimum. Secara umum, rata-rata rumah tangga di keempat desa wilayah penelitian memperoleh pendapatan sebesar Rp. 3 juta. Dapat dilihat juga bahwa pendapatan rumah tangga tidak menyebar secara normal. Namun, sebaran pendapatan tidak terlalu merata dilihat dari nilai minimum dan maksimum yang jauh berbeda. Nilai maksimum pendapatan rumah tangga per bulan mencapai Rp. 17 juta, dimana rumah tangga ini berada di Desa Wamega. Rumah tangga ini memiliki usaha memproduksi bagan, dan anggota rumah tangga lainnya menjadi nelayan bagan, mengelola penjualan bahan bakar minyak, dan menjadi PNS, sehingga total pendapatan pada tingkat rumah tangga menjadi cukup besar. Hal ini juga merupakan salah satu faktor Desa Wamega memiliki rerata pendapatan rumah tangga tertinggi (Rp. 3,8 juta) di antara keempat desa lokasi penelitian. Sedangkan rata-rata pendapatan per bulan paling rendah adalah di Desa Yenanas tidak sampai Rp. 200 ribu dimana dalam rumah tangga tersebut hanya kepala rumah tangganya yang bekerja sebagai nelayan
124
pancing dan istri serta anaknya yang masih kecil tidak dapat membantu menambah pendapatan rumah tangga.
Gambar 5.2.1 Lahan untuk Menyimpan Kayu untuk Memproduksi Bagan di Wamega Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Pendapatan per Kapita Pendapatan per kapita adalah pendapatan pada tingkat individu (anggota rumah tangga) yang diperoleh dengan cara membagi total pendapatan pada tingkat rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga yang bersangkutan. Jumlah anggota rumah tangga mencakup kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga baik yang bekerja maupun yang belum/tidak bekerja. Tabel di bawah menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan per kapita di keempat desa lokasi penelitian adalah sebsar Rp. 642.656 ribu dan cukup bervariasi antar desa. Jika dibandingkan dengan garis kemiskinan Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2010 sebesar Rp. 217.426, pendapatan per kapita di tiap desa masih lebih tinggi. Namun, jika dibandingkan antar desa, maka perbedaan yang tertinggi dengan yang terkecil sangat besar yaitu sebesar 64 persen. Pendapatan per kapita tertinggi terdapat di Desa Wamega, sedangkan yang terkecil terdapat di Desa Yenanas.
125
Tabel 5.2.1 Statistik Pendapatan Rumah Tangga di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Rupiah) Pendapatan per bulan Per kapita
Wamega
Kapatlap
Yenanas
Amdui
Total
824.504
642.035
501.842
639.142
642.656
Rerata Rumah Tangga
3.827.212
2.933.689
2.497.457
3.154.365
3.066.228
Median
2.045.833
2.282.000
1.875.625
2.236.700
2.150.417
228.000
209.000
198.333
375.417
198.333
17.566.667
10.324.167
11.061.667
10.662.500
17.566.667
40
53
50
57
200
Minimum Maksimum N
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Median Pendapatan Rumah Tangga Median merupakan nilai tengah dan dapat dijadikan indikator sebaran pendapatan rumah tangga. Nilai median dapat menjelaskan bahwa hampir separuh (50 persen) rumah tangga memiliki pendapatan yang lebih kecil dari nilai tersebut, begitu pula hampir separuh rumah tangga lainnya memiliki pendapatan yang lebih besar dari nilai tersebut. Nilai median dapat dibandingkan dengan nilai rerata untuk melihat seberapa besar pengaruh nilai ekstrim (baik maksimum maupun minimum) pada nilai rata-rata. Tabel 5.2.1 menunjukkan bahwa di keempat desa lokasi penelitian, nilai median selalu lebih kecil daripada nilai rerata dengan perbedaan yang cukup mencolok mulai dari 33 persen hingga 87 persen. Hal ini menandakan bahwa nilai ekstrim maksimum dari tiap desa memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap rerata pendapatan per bulan. Perbedaan ini terbesar di Desa Wamega dan paling rendah di Desa Yenanas. Hal ini seiring dengan nilai pendapatan maksimum yang terbesar adalah di Desa Wamega.
126
Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pendapatan Perlu juga untuk melihat distribusi pendapatan dengan menggunakan kelompok pendapatan. Tabel 5.2.2 menunjukkan distribusi rumah tangga menurut besar pendapatan rumah tangga per bulan di lokasi penelitian dengan rentang Rp. 500 ribu. Tabel 5.2.2 Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pendapatan Rumah Tangga per Bulan di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) Kelompok Pendapatan Wamega Kapatlap Yenanas Amdui Total (Ribu Rupiah) Kurang dari 500 5,0 11,3 8,0 5,3 7,5 500 – 999 10,0 11,3 10,0 12,3 11,0 1.000 – 1.499 20,0 11,3 20,0 7,0 14,0 1.500 – 1.999 12,5 11,3 14,0 17,5 14,0 2.000 – 2.499 5,0 9,4 12,0 10,5 9,5 2.500 – 2.999 7,5 3,8 8,0 5,3 6,0 3.000 – 3.499 2,5 5,7 8,0 10,5 7,0 3.500 – 3.999 7,5 7,5 4,0 3,5 5,5 4.000 – 4.499 7,5 5,7 2,0 5,3 5,0 4.500 – 4.999 0,0 0,0 2,0 1,8 1,0 5.000 ke atas 22,5 22,6 12,0 21,1 19,5 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 N 40 53 50 57 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Secara keseluruhan, lebih dari separuh rumah tangga (56 persen), memiliki pendapatan lebih rendah dari Rp. 2,5 juta. Proporsi tersebut berbeda-beda antar keempat desa lokasi penelitian dengan yang terbesar di Desa Yenanas (64 persen) dan paling rendah di Desa Wamega (52,5 persen). Hal lain yang menarik adalah satu dari lima rumah tangga di wilayah penelitian memiliki pendapatan melebihi Rp. 5 juta. Rumah tangga dalam kelompok ini pada umumnya adalah yang anggota rumah tangganya menangkap ikan dengan menggunakan Sero, ada juga yang memproduksi bagan, dan berjualan bahan bakar minyak. Kemudian 127
pada tingkat desa, sebaran tidak terlalu jauh berbeda kecuali pada Desa Yenanas yang hanya 12 persen. Hal ini menunjukkan ketertinggalan Desa Yenanas dari segi pendapatan rumah tangga. Sumber Pendapatan Kepala Rumah Tangga Tabel 5.2.3 menunjukkan distribusi rumah tangga menurut sumber pendapatan kepala rumah tangga di lokasi penelitian. Jumlahnya tidak mencapai 200 rumah tangga karena ada empat kepala rumah tangga yang tidak bekerja atau hanya menerima pendapatan dari anggota lain dari rumah tangga dengan rincian sebagai berikut: satu rumah tangga di Desa Wamega, satu rumah tangga di Desa Kapatlap, dan dua rumah tangga di Desa Amdui. Tabel 5.2.3 Distribusi Rumah Tangga Menurut Sumber Pendapatan Kepala Rumah Tangga di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) Sumber Pendapatan Perikanan Tangkap Buruh, Upah Tetap dll Pertanian Perdagangan Industri RT Lainnya Total N
Wamega 66,7 15,4 12,8 0,0 5,1 0,0 100,0 39
Kapatlap 73,1 7,7 9,6 0,0 9,6 0,0 100,0 52
Yenanas 22,0 22,0 26,0 2,0 28,0 0,0 100,0 50
Amdui 40,0 1,8 25,5 5,5 25,5 1,8 100,0 55
Total 49,5 11,2 18,9 2,0 17,9 0,5 100,0 196
Keterangan: Buruh, upah tetap, dan lain-lain mencakup sektor konstruksi; jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan; dan sektor transportasi sungai dan laut. Lainnya mencakup sektor pertambangan dan penggalian sektor jasa, sektor konstruksi, sektor listrik, gas, dan air bersih, dan sektor keuangan. Catatan: Hanya dua rumah tangga yang punya usaha budidaya ikan, namun baru satu yang sudah menghasilkan. Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Secara keseluruhan, hampir 50 persen kepala rumah tangga memiliki sumber pendapatan dari perikanan tangkap dan budidaya. Kemudian,
128
diikuti oleh sektor pertanian (18.9 persen) dan industri rumah tangga (17.9 persen). Lalu yang paling sedikit adalah di sektor perdagangan sebesar 2 persen. Pada tingkat desa, proporsi kepala rumah tangga yang bekerja di sektor perikanan cukup bervariasi antar desa dimana yang tertinggi ada di Desa Kapatlap dan paling rendah di Desa Yenanas.
5.2.2
Pendapatan Rumah Tangga Nelayan
Rumah tangga nelayan adalah rumah tangga yang pendapatannya bersumber dari semua anggota rumah tangga yang bekerja sebagai nelayan, baik nelayan tangkap maupun budidaya, yang dilakukan baik untuk pekerjaan utama, maupun pekerjaan tambahan utama. Rata-Rata Pendapatan per Bulan Tabel 5.2.4 menunjukkan statistik pendapatan rumah tangga nelayan dari perikanan tangkap dan budidaya di keempat desa lokasi penelitian pada seluruh musim tangkap. Dapat dilihat bahwa secara keseluruhan, hasil tangkapan pada seluruh musim tangkap rata-rata hampir mencapai Rp. 2 juta dengan rata-rata pendapatan tertinggi di Desa Amdui dan terrendah di Desa Yenanas dimana hanya terdapat 11 rumah tangga nelayan. Perbedaan antara rata-rata pendapatan nelayan di Desa Yenanas dengan rata-rata keempat desa cukup besar yaitu hampir mencapai satu banding lima. Median Pendapatan Tabel 5.2.4 menginformasikan bahwa dengan melihat nilai median pendapatan yang selalu lebih rendah dari nilai rata-ratanya (hampir setengahnya secara rata-rata keempat desa), maka pengaruh nilai ekstim tinggi cukup besar. Pada tingkat desa, sama halnya dengan rata-rata pendapatan, nilai median pendapatan juga bervariasi, namun median tertinggi terdapat di Desa Kapatlap sedangkan median terrendah juga terdapat di Desa Yenanas.
129
Gambar 5.2.2 Hasil Tangkapan Laut Berupa Cumi dan Ikan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Minimum Pendapatan Dari Tabel 5.2.4 didapat juga nilai minimum pendapatan nelayan per bulan. Secara keseluruhan, rata-rata nilai minimum terkecil sebesar Rp. 11.500 di Desa Yenanas dimana dalam rumah tangga tersebut, menjadi nelayan hanya merupakan pekerjaan tambahan utama dan hasilnya hanya untuk konsumsi sendiri. Selain itu, rumah tangga tersebut hanya melaut pada musim tenang saja. Sama halnya dengan minimum di Desa Wamega (Rp. 25,000), kegiatan menangkap ikan laut hanya menjadi pekerjaan tambahan utama yang dilakukan hanya selama musim gelombang teduh. Sedangkan nilai minimum yang terbesar ada di Desa Amdui. Maksimum Pendapatan Nilai maksimum yang ditunjukkan oleh Tabel 5.2.4 juga mengindikasi variasi antar desa yang cukup mencolok dengan nilai maksimum terbesar ada di Desa Wamega, sedangkan yang terkecil kembali ada di Desa Yenanas. Di Desa Wamga, pendapatan menjadi besar karena banyak yang memakai alat tangkap Sero (lihat Gambar 5.2.3) bisa melaut setiap hari, dan bisa tidak terlalu banyak berkurang pada saat musim gelombang pancaroba dan musim gelombang kuat. 130
Gambar 5.2.3 Nelayan yang Menggunakan Sero di Desa Wamega Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Namun, nilai pendapatan ini belum mencerminkan nilai sebenarnya karena belum memperhitungkan biaya dari pemakaian Sero. Pertama adalah biaya pembelian Sero itu sendiri yang satu buahnya bisa mencapai Rp. 5 juta. Kemudian ada biaya perawatan sebesar Rp. 500750 juta setiap bulannya untuk mengganti jaring dan kayu yang rusak. Tabel 5.2.4 Statistik Pendapatan Rumah Tangga Nelayan dari Perikanan Tangkap dan Budidaya di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Rupiah) Pendapatan per bulan
Wamega
Kapatlap
Rata-rata
2.502.736
2.237.563
432.874
2.563.341
1.968.348
Median
1.274.000
1.498.375
194.667
1.434.583
1.053.333
Minimum Maksimum
Yenanas
Amdui
Total
25.000
88.750
11.500
112.000
11.500
12.405.000
7.832.500
2.092.500
10.446.500
12.405.000
N (nelayan) 32 40 29 28 129 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
131
Distribusi Pendapatan Nelayan dari Perikanan Pendapatan rumah tangga nelayan didapat dengan menghitung seluruh pendapatan anggota rumah tangga dari kegiatan di sektor perikanan tangkap dan budidaya. Tabel 5.2.5 menunjukkan distribusi pendapatan rumah tangga dari perikanan tangkap dan budidaya di lokasi penelitian. Pendapatan rumah tangga dibagi menjadi 11 kelompok pendapatan dengan interval sebesar Rp. 500.000. Tabel 5.2.5 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari Perikanan Tangkap dan Budidaya di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase) Kelompok Pendapatan (Ribu Rupiah) Kurang dari 500 500 – 999 1.000 – 1.499 1.500 – 1.999 2.000 – 2.499 2.500 – 2.999 3.000 – 3.499 3.500 – 3.999 4.000 – 4.499 4.500 – 4.999 5.000 ke atas Total N
Wamega
Kapatlap
Yenanas
Amdui
21,9 15,6 18,8 6,3 6,3 6,3 0,0 6,3 3,1 0,0 15,6 100,0 32
25,0 10,0 15,0 10,0 7,5 2,5 2,5 5,0 7,5 0,0 15,0 100,0 40
72,4 6,9 13,8 3,4 3,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0 29
17,9 10,7 25,0 10,7 10,7 0,0 3,6 3,6 0,0 0,0 17,9 100,0 28
Total 32,8 10,9 18,0 7,8 7,0 2,3 1,6 3,9 3,1 0,0 12,5 100,0 129
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga nelayan (61,7 persen) memiliki pendapatan di bawah Rp. 1,5 juta dimana kelmpok pendapatan terbawah (kurang dari Rp. 500 ribu) hampir mencapai sepertiga dari seluruh rumah tangga nelayan. Namun pada tingkat desa nilai tersebut sangat bervariasi dengan yang terrendah 50 persen di Desa Kapatlap dan tertinggi 93.1 persen di Desa Yenanas. 132
Lebih parahnya lagi Desa Yenanas memiliki proporsi tertinggi rumah tangga nelayan yang berpendapatan di bawah Rp. 500 ribu yaitu sebesar 72.4 persen. Kemudian proporsi rumah tangga nelayan yang berada di kelompok pendapatan teratas (di atas Rp. 5 juta) juga sangat bervariasi dengan rata-rata satu dari delapan rumah tangga memiliki pendapatan bersumberkan kegiatan kenelayanan melebih Rp. 5 juta per bulan. Proporsi tertinggi terdapat di Desa Amdui sedangkan di Desa Yenanas tidak ada sama sekali rumah tangga di kelompok teratas ini. Pendapatan Nelayan Menurut Musim Pendapatan nelayan sangat dipengaruhi musim gelombang dimana hal ini akan memengaruhi seberapa sering nelayan bisa melaut dan jenis ikan yang bisa ditangkap. Selama setahun, musim gelombang dibagi menjadi tiga yaitu musim gelombang tenang/teduh, pancaroba, dan kuat. Lama bulan dalam musim akan dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan per musim. Hasil FGD di keempat desa menginformasikan bahwa di Desa Wamega musim gelombang tenang terjadi selama 5 bulan (bulan Februari, Maret, April, Mei, dan Juni), pancaroba terjadi 5 bulan (bulan September, Oktober, November, Desember, dan Januari), dan musim gelombang kuat selama 2 bulan (bulan Juli dan Agustus). Sedangkan di Desa Kapatlap musim gelombang tenang terjadi selama 3 bulan (bulan Juli, Agustus, dan September), pancaroba selama 6 bulan (bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, dan Juni), dan musim gelombang kuat selama 3 bulan (bulan Oktober, November, dan Desember). Sementara di Desa Yenanas musim gelombang tenang selama 3 bulan (bulan September, Oktober, dan November), musim gelombang pancaroba selama 5 bulan (bulan Februari, Maret, April, Mei, dan Juni), dan gelombang kuat selama 4 bulan (bulan Desember, Januari, Juli, dan Agustus). Lalu yang terakhir di Desa Amdui musim gelombang tenang selama 5 bulan (bulan Februari, Maret, April, Mei, 133
dan Juni), musim gelombang pancaroba selama 2 bulan (bulan Juli dan Agustus), dan musim gelombang kuat selama 5 bulan (bulan September, Oktober, November, Desember, dan Januari). Gambar 5.2.4 menunjukkan statistik pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan dari perikanan tangkap menurut musim di keempat desa lokasi penelitian. Dalam perhitungannya, rumah tangga yang tidak melaut pada musim tertentu tetap dimasukan dimasukan dalam jumlah rumah tangga. 578,957
Total
2,082,723 3,577,625 68,625
Desa
Amdui
2,208,750 5,199,893 129,464 427,893 910,893
Yenanas
799,425
Kapatlap
2,519,200 4,487,050 1,143,219
Wamega
2,874,828 3,354,750 0
1,000,000
2,000,000
Musim
3,000,000
Musim
4,000,000
5,000,000
6,000,000
Musim
Gambar 5.2.4 Statistik Pendapatan Rata-Rata Rumah Tangga Nelayan dari Perikanan Tangkap Menurut Musim di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Rupiah) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Maka, informasi pada gambar di atas didasarkan pada perhitungan total rumah tangga yang memiliki satu atau lebih anggota rumah tangga yang bekerja sebagai nelayan (32 rumah tangga di Desa
134
Wamega, 40 rumah tangga di Desa Kapatlap, 29 rumah tangga di Desa Yenanas, dan 28 rumah tangga di Desa Amdui). Gambar tersebut menunjukkan bahwa secara umum di masing-masing desa, pendapatan nelayan di musim gelombang teduh merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan pendapatan nelayan selama musim gelombang pancaroba. Sedangkan pendapatan nelayan di musim gelombang kuat merupakan yang paling rendah di antara ketiganya. Secara rasio pendapatan antar musim, pendapatan nelayan Kabupaten Raja Ampat pada musim gelombang tenang adalah 1,7 kali lebih besar dari rata-rata pendapatan nelayan pada musim pancaroba dan 6,2 kali lebih besar dari pendapatan musim gelombang kuat. Rata-rata pendapatan nelayan musim pancaroba besarnya 3,6 kali lebih besar dari rata-rata pendapatan pada musim gelombang kuat. Gambaran ini mengindikasikan bahwa rata-rata pendapatan pada musim gelombang kuat sangat rendah. Hal ini dikarenakan sebagian nelayan tidak dapat melaut pada musim ini. Di Desa Wamega, rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan selama musim gelombang tenang adalah 20 persen lebih besar dibandingkan dengan pendapatan selama musim pancaroba dan 2,9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan selama musim gelombang kuat. Kemudian di Desa Kapatlap, rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan selama musim gelombang tenang adalah 80 persen lebih besar dibandingkan dengan pendapatan selama musim pancaroba dan 5,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan selama musim gelombang kuat. Lalu di Desa Yenanas, rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan selama musim gelombang tenang adalah 2,1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan selama musim pancaroba dan tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan selama musim gelombang kuat. Yang terakhir di Desa Amdui, rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan selama musim gelombang tenang adalah 2,4 kali lebih tinggi
135
dibandingkan dengan pendapatan selama musim pancaroba dan 75,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan selama musim gelombang kuat. Perbedaan pendapatan nelayan antar musim di desa ini sangat mencolok jika dibandingkan dengan perbedaan di ketiga desa lainnya. Di desa ini, pada musim gelombang kuat, banyak yang beralih mata pencahariannya ke menebang kayu atau bertani. Distribusi Rumah Tangga Menurut Besar Pendapatan dan Musim Tabel 5.2.6 menunjukkan distribusi rumah tangga nelayan menurut besar pendapatan per musim dari perikanan tangkap di lokasi penelitian. Secara umum, jumlah tangkapan nelayan paling tinggi di musim gelombang tenang. Namun, pada musim gelombang pancaroba, jumlah tangkapan akan menurun karena dua hal. Pertama, tangkapan ikan per melaut akan menurun. Kedua, karena frekuensi melaut akan berkurang. Jika harga ikan tidak banyak berubah, maka pendapatan nelayan di musim gelombang pancaroba dan gelombang kuat akan lebih rendah daripada pendapat nelayan di musim gelombang tenang. Tabel di bawah menunjukkan hal tersebut. Tabel 5.2.6 menginformasikan bahwa dari segi pendapatan bulanan dari kegiatan kenelayanan, rumah tangga nelayan mengelompok di kelompok pendapatan terbawah (di bawah Rp. 500 ribu) dimana selama musim gelombang tenang sebesar 24 persen, selama musim gelombang pancaroba naik menjadi sebesar 34,9 persen, dan selama musim gelombang kuat meningkat drastis menjadi 81,4 persen.
136
Total N
Kurang dari 500 500 - 999 1.000 – 1.499 1.500 – 1.999 2.000 – 2.499 2.500 – 2.999 3.000 – 3.499 3.500 – 3.999 4.000 – 4.499 4.500 – 4.999 5.000 ke atas
Kelompok Pendapatan (ribu rupiah)
21,9 12,5 21,9 9,4 0,0 6,3 3,1 0,0 6,3 0,0 18,8 100,0
Gel Tenang
Gel Kuat
62,5 15,6 6,3 3,1 0,0 3,1 0,0 0,0 0,0 0,0 9,4 100,0
Gel Tenang 7,5 17,5 10,0 7,5 7,5 2,5 7,5 0,0 0,0 7,5 32,5 100,0 40
25,0 15,0 15,0 10,0 2,5 0,0 0,0 2,5 7,5 0,0 22,5 100,0
Pancaroba Gel Kuat 75,0 10,0 2,5 2,5 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5,0 5,0 100,0
Gel Tenang 55,2 17,2 6,9 3,4 3,4 10,3 0,0 0,0 3,4 0,0 0,0 100,0 29
72,4 13,8 3,4 3,4 6,9 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0
Gel Kuat 93,1 3,4 0,0 3,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0
Gel Tenang 17,9 0,0 3,6 17,9 7,1 7,1 7,1 7,1 7,1 0,0 25,0 100,0
Amdui
28
25,0 10,7 17,9 7,1 14,3 3,6 7,1 7,1 0,0 0,0 7,1 100,0
100,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100,0
Gel Kuat
24,0 10,1 10,1 9,3 6,2 6,2 5,4 3,1 3,1 3,1 19,4 100,0
137
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
32
Pancaroba
21,9 3,1 18,8 9,4 6,3 6,3 6,3 6,3 3,1 3,1 15,6 100,0
Pancaroba
Yenanas Pancaroba
Kapatlap
Total
129
34,9 13,2 14,7 7,8 5,4 2,3 2,3 2,3 3,9 0,0 13,2 100,0
Pancaroba
Wamega Gel Tenang
Tabel 5.2.6 Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Besar Pendapatan Per Musim dari Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Persentase)
81,4 7,8 2,3 2,3 0,0 0,8 0,0 0,0 0,0 1,6 3,9 100,0
Gel Kuat
Pola perbandingan antar musim yang sebaliknya terdapat pada kelompok pendapat teratas (lebih dari Rp. 5 juta per bulan), dimana selama musim gelombang tenang sebesar 19,4 persen, selama musim gelombang pancaroba menurun menjadi 13,2 persen, dan selama musim gelombang kuat menurun menjadi 3,9 persen. Selama musim gelombang tenang, proporsi terbesar rumah tangga pada kelompok pendapatan teratas di Desa Kapatlap (32,5 persen), sedangkan di Desa Yenanas tidak ada sama sekali. Lalu selama musim gelombang pancaroba, proporsi terbesar rumah tangga pada kelompok pendapatan teratas di Desa Kapatlap lagi (22,5 persen), sedangkan di Desa Yenanas tidak ada sama sekali. Kemudian selama musim gelombang kuat, proporsi terbesar rumah tangga pada kelompok pendapatan teratas di Desa Wamega (9,4 persen), sedangkan di Desa Yenanas tidak ada sama sekali.
5.3
Pengeluaran Rumah Tangga
Pengeluaran rumah tangga adalah semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh semua anggota rumah tangga dalam waktu tertentu. Pada studi ini jenis pengeluaran mengacu pada pengeluaran dari BPS, terdiri dari: a) Pengeluaran untuk kebutuhan makanan rumah tangga; b) Pengeluaran untuk kebutuhan bukan makanan. Pengeluaran untuk membeli makanan mencakup padi-padian, umbiumbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacan, buah, minyak, bahan minuman, bumbu-bumuan, dan makanan dan minuman siap saji. Data yang dikumpulkan adalah pengeluaran seminggu terakhir, dengan demikian data yang diperoleh dapat lebih akurat. Sedangkan, pengeluaran untuk kebutuhan bukan makanan mencakup perumahan dan fasilitas rumah, aneka barang dan jasa, pakaian/alas kasi dan tutup kepala, barang tahan lama, keperluan sosial dan keagamaan, dan pengeluaran lain-lain. Data yang dikumpulkan adalah data 138
pengeluaran sebulan terakhir dan setahun terakhir, tergantung pada jenis pengeluaran. Tabel 5.3.1 menunjukkan statistik pengeluaran rumah tangga berupa nilai rerata, median, minimum, maksimum, dan pendapatan per kapita pada tingkat rumah tangga di keempat desa lokasi penelitian. Tabel 5.3.1 Statistik Pengeluaran Rumah Tangga di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 (Rupiah) Pengeluran RT per bulan Rata-rata Median Minimum Maksimum Per Kapita N
Wamega
Kapatlap
Yenanas
Amdui
Total
2.664.068 2.315.446 671.845 6.732.143 576.976 40
2.078.000 1.701.857 335.869 8.036.940 482.063 53
2.467.170 2.200.387 374.964 6.721.964 494.278 50
2.572.709 2.193.869 800.774 8.767.857 527.017 57
2.433.498 2.083.792 335.869 8.767.857 516.911 200
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Rumah tangga di lokasi penelitian rata-rata menghabiskan Rp. 2,4 juta setiap bulannya untuk pengeluaran makanan dan pengeluaran nonmakanan dengan rumah tangga di Desa Wamega memiliki rerata pengeluaran tertinggi, sedangkan rumah tangga di Desa Kapatlap memiliki rerata pengeluaran paling rendah. Pola yang sama juga terdapat pada pengeluaran per kapita. Dari segi sebaran, pengeluaran rumah tangga di lokasi penelitian memiliki rentang yang cukup besar dari Rp. 335,869 di Desa Kapatlap hingga Rp. 8,7 juta di Desa Amdui. Namun, jika memperhitungkan jumlah anggota rumah tangga, rerata pengeluaran per kapita rumah tangga di keempat desa lokasi penelitian tidak terlalu berbeda, dengan rerata sebesar Rp. 516,911.
139
Pengeluaran Menurut Penggunaan Bagian ini menguraikan pengeluaran rumah tangga menurut jenis penggunaan yang dibagi menjadi lima kategori, yaitu (1) pengeluaran untuk pangan saja, (2) pendidikan, (3) kesehatan, (4) rokok, dan untuk keperluan sosial dan keagamaan. Tabel 5.3.2 menunjukkan rata-rata pengeluaran rumah tangga menurut penggunaannya di lokasi penelitian. Untuk pangan, rumah tangga di lokasi penelitian rata-rata mengeluarkan sekitar Rp. 1,6 juta setiap bulannya, dengan pengeluaran rata-rata tertinggi di Desa Wamega dan terkecil di Desa Kapatlap. Kemudian, untuk pendidikan, rumah tangga di lokasi penelitian mengeluarkan rata-rata sebesar Rp. 70 ribu per bulannya, dengan rumah tangga di Desa Wamega dengan rerata tertinggi, sedangkan rumah tangga di Desa Amdui dengan rerata terkecil. Lalu untuk kesehatan, rumah tangga rata-rata mengeluarkan hanya Rp. 40 ribu per bulannya, dengan rumah tangga di Desa Yenanas memiliki rerata tertinggi, sedangkan rumah tangga di Desa Kapatlap memiliki rerata terkecil. Pengeluaran untuk kesehatan relatif sangat rendah dibandingkan dengan jenis pengeluaran lainnya karena biaya pemeriksaan dan obat ditanggung oleh pemerintah, jadi mereka hanya mengeluarkan biaya bahan bakar minyak untuk transportasi. Kemudian, untuk membeli rokok, rumah tangga di lokasi penelitian mengeluarkan rata-rata lebih dari Rp. 400 ribu per bulannya, dengan rerata terbesar di Desa Amdui dan rerata terkecil di Desa Kapatlap. Pengeluaran ini bisa mencapai 60 kali lipat pengeluaran untuk pendidikan dan 20 kali lipat pengeluaran untuk kesehatan. Jenis pengeluaran yang terakhir dan dengan rerata terkecil adalah pengeluaran untuk keperluan sosial dan keagamaan. Rumah tangga di Desa Wamega memiliki rerata pengeluaran terbesar, sedangkan Desa Kapatlap memiliki rerata pengeluaran terkecil.
140
Wamega Rerata 1.718.906 143.198 21.686 481.244 49.975 N 40 16 13 31 20
Kapatlap Rerata 1.403.992 68.657 20.265 291.771 28.514 N 53 18 11 50 37
Yenanas Rerata 1.685.850 88.817 127.500 351.714 46.487 N 50 26 4 45 45
Amdui Rerata 1.688.045 32.086 66.042 577.063 14.391 N 57 36 4 54 55
Total Rerata N 1.618.394 200 72.826 96 39.969 32 424.976 180 31.452 157
141
Catatan: Nilai N bisa berbeda untuk setiap jenis penggunaan tergantung rumah tangga masing-masing. Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015
Pangan Saja Pendidikan Kesehatan Rokok Keperluan Sosial dan Keagamaan
Jenis Penggunaan
Tabel 5.3.2 Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga per Bulan Menurut Penggunaan di Lokasi Penelitian, Tahun 2015 (Rupiah)
142
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT Sumber daya laut memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pendapatan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan kepulauan. Kesalahan dalam pengelolaan sumber daya laut akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat yang tinggal disekitarnya. Fokus kajian pada bagian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pendapatan rumah tangga dan pengelolaan sumber daya laut di Kabupaten Raja Ampat. Faktor-faktor tersebut di kelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor struktural. Faktor internal adalah hal-hal yang terkait dengan kapasitas nelayan dan masyarakat di lokasi penelitian, seperti sumber pendapatan, teknologi alat tangkap/produksi dan wilayah tangkap, biaya produksi dan kualitas SDM. Faktor eksternal adalah faktor yang tidak terkait dengan kondisi nelayan namun dapat mempengaruhi pendapatan. Faktor eksternal meliputi pemasaran termasuk harga, permintaan terhadap hasil tangkap/produksi, kondisi musim/iklim degradasi sumber daya pesisir dan laut. Sedangkan faktor struktural adalah kebijakan, program atau aturan yang mengatur pengelolaan sumber daya laut. Informasi yang digunakan pada bagian ini diperoleh dari survei, wawancara terbuka dan FGD yang dilakukan pada waktu penelitian.
6.1 6.1.1
Faktor Internal Sumber Pendapatan
Sebagaimana umumnya masyarakat yang tinggal di daerah kepulauan, sumber pendapatan sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian
143
berasal dari sektor perikanan tangkap, khususnya di kedua desa yang berada di Pulau Salawati yaitu Desa Wamega dan Desa Kapatlap. Dikedua desa ini lebih dari dua pertiga (73 persen di Kapatlap dan 67 persen di Wamega) kepala rumah tangga memiliki sumber penghasilan utama dari perikanan tangkap. Namun, -meskipun pemilihan lokasi penelitian secara sengaja (purposive) dipilih wilayah yang sebagian besar penduduknya nelayan-, proporsi rumah tangga yang sumber pendapatan utama kepala keluarganya berasal dari perikanan tangkap di kedua desa yang berada di Pulau Batanta relatif kecil. Di Desa Yenanas hanya 22 persen kepala keluarga yang sumber pendapatannya dari sektor perikanan sedangkan di Desa Amdui hanya sekitar 40 persen. Bagi penduduk yang berada di Desa Yenanas dan Desa Amdui, melaut hanya dijadikan pekerjaan sampingan dan umumnya hanya untuk dimakan sendiri. Hal ini dimungkinkan karena dikedua wilayah ini memiliki daratan yang cukup luas sehingga sektor pertanian yang menjanjikan pendapatan yang menggiurkan menjadi pilihan sebagian penduduk. Komoditas pertanian yang banyak dimiliki penduduk adalah pinang, lemon dan coklat. Meskipun memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan, belum ada usaha penanaman pinang yang dilakukan penduduk. Pohon yang ada sekarang adalah pohon yang tumbuh sendiri dan tidak ada perawatan khusus. Hasil panen biasanya dijual di Kota Sorong atau Kota Waisai dengan menggunakan speed penduduk yang disewa secara khusus. Sektor lain yang juga cukup menonjol adalah industri rumah tangga. Industri rumah tangga yang banyak dilakukan dan berkontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan penduduk adalah membuat kapur sirih dan membuat papan. Kapur sirih biasanya dikerjakan oleh perempuan sedangkan membuat papan dilakukan oleh laki-laki. Industri membuat papan banyak dilakukan oleh masyarakat di Desa Amdui. Kayu yang digunakan biasanya diambil dari hutan yang terdapat disekitar desa. Menurut salah seorang informan di Desa Amdui, pada masa lalu di 144
sekitar wilayah desa ada perusahaan mempekerjakan penduduk desa.
kayu
yang
banyak
Melihat keragaman sumber pendapatan di wilayah penelitian, dapat dikatakan bahwa tekanan terhadap sumber daya laut dari masyarakat lokal tidak terlalu tinggi. Sebagian besar masyarakat mempunyai pendapatan tambahan, sehingga tidak tergantung pada satu sumber pendapatan. Meskipun demikian hampir semua sumber pendapatan, baik yang utama maupun yang tambahan, belum sepenuhnya dioptimalkan. Oleh karena itu pendapatan masyarakat secara umum masih relative kecil.
6.1.2
Teknologi Alat Tangkap/Produksi dan Wilayah Tangkap
Dilihat dari tehnologi alat tangkapnya, hampir semua rumah tangga nelayan di keempat lokasi penelitian adalah nelayan tradisional. Alat tangkap yang digunakan umumnya adalah pancing dan jaring. Selain itu, alat tangkap sero juga banyak ditemui di perairan di Desa Wamega. Sero merupakan alat tangkap tradisional yang cara kerjanya seperti perangkap ikan dan biasanya dioperasikan di perairan pantai. Pada musim angin teduh, beberapa nelayan di Desa Wamega juga menggunakan kelong untuk menangkap ikan bilis. Namun kelong hanya digunakan pada musim angin teduh, sedangkan pada musim angin kencang biasanya kelong tidak digunakan karena tidak dapat bertahan dari hempasan angin dan ombak.
145
Gambar 6.1.1 Alat Tangkap Sero Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Gambar 6.1.2 Alat tangkap bagan/kelong Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
6.1.3
Biaya Produksi
Biaya produksi yang dikaji dalam bagian ini difokuskan pada biaya produksi sumber pendapatan yang berasal dari sektor perikanan tangkap. Biaya produksi nelayan sangat dipengaruhi oleh armada dan alat tangkap. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, armada tangkap yang umumnya digunakan oleh nelayan 146
di Raja Ampat adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel berkekuatan 5-15 GT. Untuk nelayan yang menggunakan perahu motor, biaya produksi yang paling besar adalah untuk membeli BBM. Sebagaimana umumnya wilayah kepulaun di Indonesia Timur, harga BBM sangat tinggi. Untuk 1 liter BBM campur (premium+olie) seharga Rp. 15.000, sedangkan untuk sekali melaut rata-rata diperlukan 5 liter minyak. Biaya produksi nelayan dengan perahu dayung relatif kecil. Biaya sehari-hari yang digunakan untuk alat tangkap relatif kecil. Hal ini karena umumnya nelayan di lokasi penelitian menggunakan pancing biasa sebagai alat tangkap. Selain pancing, alat tangkap yang juga banyak digunakan adalah jaring. Harga jaring siap pakai yang banyak digunakan masyarakat bervariasi antara Rp. 1.500.000 – Rp. 3.000.000. Umumnya jaring dapat digunakan selama 1-3 tahun, tergantung perawatannya. Alat tangkap yang cukup mahal adalah serro dan kelong. Namun kedua alat tangkap ini hanya ditemukan di Desa Wamega. Harga sebuah serro berkisar antara Rp. 10.000.000-Rp.20.000.000. tergantung besarnya. Sedangkan harga untuk membuat kelong lebih mahal lagi antara Rp. 20.000.000 – Rp. 40.000.000. Namun kedua alat tangkap ini rata-rata dapat bertahan selama 10 tahun. Seorang nelayan serro mengatakan alat tangkap ini sangat ramah lingkungan karena pemasangannya tidak merusak karang dan tidak membunuh bibit ikan. Sedangkan alat tangkap yang menggunakan bagan atau kelong diperlukan jangkar/pemberat yang biasanya waktu pemasangannya dapat merusak karang. Khusus untuk nelayan pancing dan jarring biaya produksi yang dikeluarkan ditambah dengan es balok untuk menjaga ikan supaya tidak rusak selama melaut. Es yang diperlukan sekitar 1-2 balok dengan harga Rp. 1.500 per buah. Sedangkan nelayan serro dan kelong tidak memerlukan es karena alat tangkap ini mirip dengan
147
perangkap, sehingga pada waktu pengambilan, ikan masih tetap dalam keadaan hidup. Biaya lain yang pada dasarnya tidak berhubungan langsung dengan produksi namun memberikan kontribusi cukup besar terhadap biaya melaut adalah biaya untuk untuk membeli rokok. Hampir semua nelayan mengkonsumsi rokok selama melaut. Rata-rata konsumsi rokok seorang nelayan dalam sekali melaut adalah 1-2 bungkus rokok dengan harga berkisar Rp10.000-Rp. 18.000 per bungkus. Dengan demikian untuk membeli rokok saja, seorang nelayan mengeluarkan rata-rata Rp. 25.000. Hal ini cukup memprihatinkan mengingat harga rata-rata ikan hasil tangkap mereka adalah @ Rp. 5.000 per kilo dan jumlah rata-rata sekali melaut sekitar 10 kg. Ini berarti lebih dari separuh penghasilan bersih mereka dalam sekali melaut digunakan untuk membeli merokok.
6.1.4
Kualitas SDM
Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya (BAB 2 dan 3), kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Raja Ampat, termasuk di ke empat lokasi penelitian relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan, kesehatan dan pendapatan masyarakat. Dalam konteks pendidikan, lebih dari dua pertiga (68 persen) penduduk di lokasi penelitian hanya tamat SD kebawah, bahkan separuh dari angka tersebut tidak sekolah atau belum tamat SD. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh sarana-prasaran pendidikan yang kurang memadai, khususnya untuk tingkat SLTA ke atas. Diantara keempat lokasi penelitian, hanya Desa Yenanas yang memiliki fasilitas SLTA. Sebagai akibat penduduk yang berpendidikan SLTP dan ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi harus meninggalkan desanya untuk bersekolah. Sementara mereka yang telah tamat SLTA atau diploma enggan pulang ke desa, karena tidak ada pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan mereka.
148
Lapangan pekerjaan yang relatif terbatas membuat penduduk dengan pendidikan tinggi cenderung untuk mencari pekerjaan di luar desa. Sumber daya manusia yang relatif rendah tersebut, berakibat kepada sulitnya pelaksanaan suatu program bila tidak ada pendampingan. Ketidakpahaman masyarakat terhadap pengelolaan keuangan juga berdampak pada ketidak percayaan masyarakat terhadap pengelola keuangan program yang berbasis masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang narasumber ketika menjadi konsultan keuangan dalam COREMAP II, dia sering harus menyelesaikan konflik diantara masyarakat yang dipicu oleh ketidapahaman mereka terhadap sistem simpan pinjam. Kondisi ini diperburuk karena orang yang ditunjukkan sebagai pengelola keuangan juga tidak dapat memberi penjelasan ke anggotanya, karena kurang paham. Terkait dengan rendahnya kualitas SDM di lokasi COREMAP Raja Ampat, pendampingan yang dilakukan secara intensif masih sangat diperlukan masyarakat. Hal ini juga diungkapkan oleh hampir semua masyarakat yang diwawancarai baik melalui wawancara terbuka maupun melalui FGD. Hampir semua narasumber mengatakan bahwa COREMAP masih sangat diperlukan di wilayah mereka, namun diharapkan disertai pendampingan seperti COREMAP yang lalu. Salah seorang motivator desa mengatakan umumnya masyarakat desa kurang mau mendengar informasi yang disampaikan oleh orang yang sama-sama berasal dari desa mereka.
6.2 6.2.1
Faktor Eksternal Pemasaran: Harga dan Pemasaran
Hasil tangkap nelayan P.Batanta dan P. Salawati bisa dipasarkan ke pengumpul yang ada di desa mereka, tapi bisa juga di jual langsung ke pasar yang ada di Sorong. Letak P.Batanta dan P. Salawati yang dekat ke Kota Sorong, membuat nelayan mempunyai alternatif pasar.
149
Perbedaan harga ikan di Kota Sorong dengan harga pengumpul cukup signifikan, khususnya pada waktu musim angin kuat. Berbeda dengan harga di Sorong, harga jual hasil tangkap nelayan ke pengumpul tidak berbeda antara musim angin kuat dan musim angin teduh. Harga jual “ikan karang” (gutila,bubara, kerapu, samadar, ikan merah dll.) kepada pengumpul di desa berkisar antara Rp. 10.000-Rp. 15.000 per ikat. Satu ikat biasanya sekitar 1,5 kg. Dari wawancara dengan pengumpul, ikan tersebut dijual seharga Rp. 15.000-Rp.25.000 per kg kepada pedagang besar di Kota Sorong. Seorang nelayan di Desa Wamega memberi contoh 1 ekor ikan baronang seharga Rp. 15.000-Rp. Rp. 17.000 di kampung, kalau di jual langsung ke Sorong seharga Rp. 30.000-Rp. 35.000. Dari hasil observasi di pasar Boswesen di Kota Sorong harga ikan berkisar antara Rp. 25.000-Rp. 40.000 per tumpuk (antara 1-1,5kg). Pada waktu pengamatan dilakukan termasuk musim pancaroba. Harga ini akan meningkat pada waktu angin kencang. Namun meskipun terdapat perbedaan harga yang cukup tinggi, antara di kampung dengan Kota Sorong, sebagian besar nelayan tetap menjual hasil tangkapnya ke pengumpul, meskipun sedang musim angin kuat. Hal ini karena umumnya mereka sudah terikat kepada pengumpul karena sudah mempunyai hutang sebelumnya. Selain itu, belum adanya transportasi reguler dari keempat lokasi penelitian ke Sorong maupun ke Waisai membuat biaya pemasaran ke Sorong menjadi lebih mahal. Bila hendak membawa hasil tangkap ke Sorong, nelayan harus menyewa speed dengan harga yang cukup mahal, sehingga tidak seimbang dengan harga jual hasil tangkap mereka. Sebagai contoh, dari Desa Kapatlap ke Sorong dengan menggunakan speed bermesin sebesar 40 PK, diperlukan sekitar 25-30 lt. BBM. Dengan harga Rp. 15.000 per liter, diperlukan setidaknya Rp. 375.000. Hasil tangkap yang biasanya langsung dijual ke Kota Sorong adalah hasil tangkap yang mempunyai harga jual yang tinggi, seperti ikan 150
bilis atau ikan teri dan teripang yang dijual dalam keadaan kering. Harga 1 kg ikan teripang kering super (10 ekor/kg) sekitar Rp. 1.100.000,- sedangkan teripang biasa (25 ekor/kg) sekitar Rp. 800.000 per kg. Namun ikan teripang tidak dapat ditangkap setiap saat, khususnya di Desa Wamega. Menurut seorang narasumber yang juga sebagai tetua adat di Wamega, diberlakukan sassi teripang yang setiap 2 tahun sekali baru dibuka. Pada waktu sasi teripang dibuka biasanya dalam 3 malam pertama dapat dihasilkan sekitar Rp. 4.000.000Rp.8.000.000 perhari, setelah itu teripang akan mulai berkurang karena banyaknya masyrakat yang berusaha mengumpulkan teripang sebanyak mungkin. Teripang biasanya dipungut pada waktu air surut yang biasanya malam hari. Pada waktu itu masyarakat akan berbondong-bondong kelaut dengan membawa lampu untuk memungut teripang. Keadaan ini biasanya berlangsung sekitar 1 bulan. Setelah itu sasi ditutup kembali dan baru dibuka 2 tahun kemudian. Sasi teripang diberlakukan untuk 3 desa lainnya.
6.2.2
Permintaan Terhadap Hasil Tangkap/Produksi
Mengingat letaknya yang dekat dengan Kota Sorong, permintaan hasil tangkap nelayan di Pulau Batanta dan Salawati sangat tinggi. Ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap tingginya permintaan tersebut, antara lain perkembangan wilayah pariwisata di kabupaten Raja Ampat yang berdampak pada meningkatnya wisata kuliner khususnya hasil laut. Selain itu, perkembangan wilayah wisata juga berdampak pada berkurangnya jumlah nelayan di wilayah ini karena beralih pekerjaan ke sektor jasa khususnya sebagai guide atau bekerja di travel agen atau penginapan yang berkembang pesat di wilayah Raja Ampat dan Kota Sorong. Tingginya permintaan akan hasil laut di Kabupaten Raja Ampatmembuat pasokan hasil laut di wilayah ini tidak lagi mencukupi. Dari wawancara dengan beberapa narasumber di Dinas Kelautan dan Perikanan di Raja Ampat diperoleh informasi bahwa
151
bila ada kegiatan kabupaten yang relatif besar, mereka terpaksa memesan ikan ke Kota Sorong, karena pasokan yang ada di Waisai tidak mencukupi. Hal ini cukup ironis mengingat Kabupaten Raja Ampat adalah wilayah kabupaten kepulauan yang sangat kaya akan hasil laut. Kurangnya hasil laut yang dijual di Kota Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat, disebabkan oleh beberapa hal, antara lain pemasaran hasil laut dari pulau-pulau yang jauh dari Waisai seperti P. Batanta dan P. Salawati umumnya langsung di pasarkan di Kota Sorong, selain karena lebih dekat, harganya juga lebih tinggi. Selain itu, hasil tangkap nelayan yang ditampung oleh penampung besar dengan menggunakan kapal-kapal besar juga biasanya langsung dibawa ke Kota Sorong, tanpa melalui Waisai.
6.2.3
Musim/Iklim
Kondisi iklim atau musim sangat berpengaruh terhadap sumber pendapatan masyarakat, khususnya nelayan. Armada tangkap yang sederhana, membuat wilayah tangkap nelayan menjadi terbatas. Pada waktu musim angin kuat banyak nelayan yang terpaksa tidak melaut. Hal ini utamanya nelayan yang mempunyai penghasilan tambahan lain dan nelayan yang melaut hanya sebagai pekerjaan tambahan. Bagi nelayan dengan alat serro, perubahan musim/iklim kurang berpengaruh terhadap hasil tangkap mereka. Hal ini karena umumnya serro ditempatkan di perairan dangkal dekat dengan pemukiman. Oleh karena itu meskipun pada musim angin kuat, nelayan masih dapat mengambil hasil tangkap setiap hari. Kondisi ini berbeda dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap bagan atau kelong. Umumnya alat tangkap ini di letakkan agak jauh dari pemukiman, oleh karenanya rentan terhadap hempasan ombak dan angin. Alat tangkap kelong biasanya tidak dioperasikan pada musim angin kuat.
152
6.2.4
Degradasi Sumber Daya Pesisir dan Laut
Degradasi sumber daya pesisir dan laut secara langsung berdampak pada jumlah hasil tangkap nelayan yang kemudian berakibat pada berkurangnya pendapatan. Pada masalalu wilayah Pulau Salawati dan Pulau Batanta sering menjadi lokasi pemboman dan beroperasinya pukat trawl untuk menangkapikan. Dampak penggunaan bom untuk menangkap ikan masih dirasakan oleh masyarakat. Dari FGD dengan masyarakat di kampung Yenanas, diperoleh informasi bahwa sebagian terumbu karang di desa mereka telah mengalami kerusakan akibat praktik penangkapan ikan dengan menggunakan bom. Kegiatan menangkap ikan dengan alat tangkap yang merusak seperti bom dan trawl menurut penduduk dilakukan oleh nelayan dari luar desa, bahkan dari luar kabupaten dan luar propinsi. Hal ini dapat dimaklumi mengingat bahwa nelayan di keempat desa penelitian semuanya adalah nelayan tradisional dengan armada dan alat tangkap sederhana. Bahkan masih banyak diantara mereka yang masih menggunakan perahu dayung untuk menangkap ikan. Namun pada beberapa tahun belakangan ini, meskipun masih ada penggunaan alat tangkap yang merusak tersebut sudah berkurang. Hal ini antara lain disebabkan karena semakin seringnya dilakukan patroli laut dan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan laut disekitar mereka. Alat tangkap merusak lain yang pada masa lalu banyak digunakan masyrakat adalah potassium sianida, yang biasanya digunakan untuk menangkap lobster atau ikan hidup lain seperti ikan Napoleon. Menurut beberapa informan, penggunaan potassium hingga saat ini masih ditemukan di Desa Amdui dan Wamega. Berbeda dengan bom dan trawl, penggunaan obat bius ikan dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari desa. Informasi yang sama juga diperoleh dari FGD dengan nelayan di lokasi penelitian. Beberapa peserta FGD mengatakan masih ada masyarakat di kampung mereka yang pada masa sekarang ini masih menggunakan peralatan yang tidak ramah 153
lingkungan, seperti potassium dan linggis. Alat tangkap yang merusak ini digunakan khususnya untuk menangkap hasil laut yang bernilai jual tinggi seperti teripang, napoleon, dan lobster. Potassium tidak hanya menyebabkan efek keracunan pada ikan atau lobster tetapi juga dapat menyebabkan karang menjadi berwarna putih dan akhirnya mati. Selain penggunan alat tangkap yang merusak, kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) juga dirasakan oleh nelayan di lokasi penelitian. Nelayan di Kapatlap mengatakan karena penangkapan yang berlebihan, beberapa jenis ikan seperti ikan Samandar, Lolosi, Lema, dan Oci yang biasanya mudah didapat di perairan sekitar kampung, sekarang untuk memperoleh ikan tersebut harus melaut lebih jauh. Kegiatan lain yang juga menyebabkan degradasi SDL dan SDP di lokasi penelitian adalah sampah plastic. Sampah plastik dapat menyebabkan pencemaran di air yang membahayakan keselamatan biota laut. Sampah-sampah plastic ini dapat menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air, akibatnya lamun tidak dapat melakukan fotosintesis. Kurangnya oksigen di perairan dapat menyebabkan penurunan fungsi dari ekosistem laut serta ketersediaan nutrisi untuk ikan menjadi terbatas. Penggunaan plastik untuk alat pembungkus semakin meningkat ditengah-tengah masyarakat di lokasi penelitian. Sementara kebiasaan membuang sampah kelaut masih belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Hal ini juga diungkapkan oleh penggerak PKK di Desa Wamega, meskipun telah dihimbau berkalikali untuk tidak membuang sampah kelaut dan membakar sampah di darat, kesadaran masyarakat masih rendah. Kesadaran yang rendah dari penduduk setempat untuk menjaga kebersihan lingkungan perlu mendapatkan perhatian khusus. Kegiatan masyarakat dilokasi penelitian yang juga perlu mendapat perhatian adalah penebangan hutan mangrove untuk dijadikan kayu bakar atau tiang pancang untuk membuat sero. Hutan mangrove 154
memberikan fungsi ekologis dan menjadi salah satu produsen utama perikanan. Jenis ekosistem ini memproduksi berbagai nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut. Dari wawancara dengan beberapa masyarakat diperoleh informasi bahwa sebagian masyarakat menebang mangrove untuk keperluan memasak sehari-hari dan untuk membuat kapur sirih. Kapur sirih yang terbuat dari kulit kerang memerlukan proses pembakaran yang cukup lama. Menurut beberapa masyarakat di Desa Wamega, penebangan pohon bakau yang dilakukan masyarakat tidak merusak lingkungan. Hal ini karena pohon yang mereka tebang adalah pohon yang berada ditengah, sehingga tidak merusak fungsi bakau sebagai penahan ombak. Selain itu masyarakat beranggapan bahwa jumlah pohon yang mereka tebang tidak banyak dan pohonnya akan tumbuh lagi. Namun mengingat pendapatan yang diperoleh dari menjual kapur sirih cukup besar, tidak tertutup kemungkinan semakin banyak penduduk yang menjadikan kegiatan ini sebagai mata pencaharian utama. Dengan demikian penebangan bakau oleh masyarakat akan semakin intensif. Penebangan bakau secara berlebihan juga dikeluhkan oleh aparat desa di Yenanas. Hutan bakau yang masuk wilayah Desa Yenanas banyak ditemui di sebelah barat kampung yang sangat berpotensi untuk dijadikan lokasi wisata. Namun akhir-akhir ini mulai banyak penebangan liar dengan jumlah yang cukup banyak. Di Desa Yenanas dan Desa Amdui yang lokasi berdekatan banyak masyarakat yang mempunyai mata pencaharian sebagai pembuat kapur sirih. Meskipun sudah ada peraturan yang melarang penebangan bakau, tampaknya larangan ini belum banyak dipatuhi. Belum pernah ada sanksi hukum yang diberikan kepada orang-orang yang menebang bakau. Berakhirnya program COREMAP II pada tahun 2011 yang lalu, berdampak pada pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Raja Ampat, termasuk di ke empat lokasi penelitian. Hal ini disampaikan oleh hamper semua masyarakat yang diwawancarai, baik melalui FGD maupun masyarakat yang di wawancara melalui wawancara terbuka. 155
6.3 6.3.1
Faktor Struktural Program Wilayah Pesisir dan Laut
Secara nasional, pengeloaan sumberdaya pesisir dan laut di tugaskan kepada Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), sedangkan ditingkat kabupaten/kota, tugas ini di pegang oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Untuk menjaga dan melestarikan SDL di Kabupaten Raja Ampat, melalui Peraturan Daerah N0 27 tahun 2008, wilayah ini dijadikan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K). Peraturan ini kemudian dijabarkan dengan Peraturan Bupati Raja Ampat No. 5 Tahun 2009 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Selain DKP, instansi yang secara langsung bertugas untuk menjaga pelestarian SDL dan SDP di Kabupaten Raja Ampat, adalah UPTDBLUD (Unit Pelaksana Teknis Daerah-Badan Layanan Umum Daerah) yang berada di bawah koordinasi DKP. UPTD BLUD Kabupaten Raja Ampat dibentuk pada tahun 2015, namun sebetulnya sudah digagas mulai dari lima tahun sebelumnya. Secara struktur BLUD berada dibawah koordinasi DKP, namun BLUD tidak menggunakan dana yang berasal dari APBD. Dana operasional BLUD sekarang ini berasal dari wisatawan dan masyarakat melalui entrance fee. Pada waktu penelitian, entrance fee untuk pendatang yang masuk wilayah Raja Ampat adalah Rp. 1.000.000 untuk warga negara asing dan Rp. 500.000, untuk warga Negara Indonesia. Menurut pimpinan BLUD Raja Ampat, sebanyak 30 persen dari entrance fee tersebut dijadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Sampai saat ini, hasil dari entrance fee masih dipakai untuk operasional (patroli dan monitoring). Namun pada akhir tahun, direncanakan akan disisihkan dana untuk masyarakat. Target tahun ini sebesar 1,5 miliar. Untuk tahun-tahun kedepannya diperkirakan akan terus meningkat.
156
Dana tersebut ditujukan untuk pemberdayaan masyarakat. Masyarakat yang ingin menggunakan dana tersebut nantinya dapat mengajukan proposal. Pada waktu penelitian petunjuk pelaksana pengajuan proposal masih dalam dalam proses penyelesaian, diharapkan sudah selesai dalam tahun ini. Salah satu cara untuk mencapai target penerimaan dari entrance fee adalah melakukan patroli untuk memeriksa wisatawan apakah sudah membayar entrance fee. Pembayaran entrance fee dapat dilakukan di pintu masuk Raja Ampat dekat dermaga ferry. Sampai dengan bulan April pengunjung Raja Ampat sudah mencapai sekitar 5.000 orang. Mekanisme entrance fee dirasa sangat membantu untuk pelestarian lingkungan kawasan Raja Ampat. Dengan mekanisme ini penggunaan dana lebih fleksibel jika dibanding dengan penggunaan dana APBD. Penggunaan dana hibah diaudit oleh lembaga donor sedangkan dana entrance fee di audit oleh badan pengawas dan keuangan daerah. Program BLUD adalah patroli, pengawasan dan penjangkauan. BLUD bekerja berdasarkan empat peraturan bupati: (1) tata kelola BLUD; (2) jasa pemeliharaan lingkungan; (3) mengenai remunerasi staf; dan (4) mengenai penerimaan dana hibah. BLUD diperbolehkan menerima hibah dari donor seperti Bank Dunia. Dalam pelaksanaan tugasnya, BLUD juga dibantu oleh LSM yang bergerak dibidang pelestarian lingkungan seperti CI (Conservation International) dan Starling Resources. Saat ini BLUD telah menerima hibah dari Walton Family untuk program pengawasan. Untuk itu setiap bulan ada monitoring di lima kawasan konservasi daerah yaitu: Misol, Kofiaubo, Selat Dampir, Teluk Mayalibit, dan Ayau. Pulau Salawati dan Pulau Batanta yang menjadi lokasi penelitian termasuk kawasan konservasi Selat Dampir. Sekarang ini staf UPTD BLUD Raja Ampat berjumlah 106 orang. Sebagian besar pegawai yang bekerja di BLUD adalah mereka yang dulu bekerja di CI (Care International), oleh karena mereka sudah
157
mempunyai kapabilitas yang cukup memadai untuk melakukan tugasnya. Sejak mulai digagas lima tahun yang lalu, BLUD dengan bekerjasama dengan berbagai LSM yang ada di Raja Ampat telah melakukan berbagai kegiatan. Antara lain sosialisasi, asistensi untuk mendirikan home stay dan pembuatan kerajinan tangan. Selain itu ada juga pemberian penghargaan pada masyarakat yang dianggap sukses melakukan pelestarian lingkungan di wilayahnya. Di tingkat desa, pengelolaan sumber daya laut di diatur melalui peraturan kampung (Perkam) terkait zona larang ambil (no take zone) dan Perkam pemanfaatan dan pengelolaan zona larang ambil. Perkam tersebut juga disusun di semua wilayah COREMAP II termasuk Desa Waamega, Kapatlap, Yenanas dan Amdui. Perkam pengelolaan terumbu karang adalah bagian dari rencana pengelolaan terumbu karang (RPTK) berbasis masyarakat yang di inisiasi oleh COREMAP. RPTK adalah rencana pengelolaan secara kolaboratif antara masyarakat, pemerintah kampung, tokoh masyarakat, tokoh adat dan agama, serta pihak terkait lainnya untuk mengelola sumber daya laut secara maksimal dan bertanggung jawab. Namun dengan berakhirnya program COREMAP II, perkam ini tidak lagi dilaksanakan dengan baik. Salah satu alasannya adalah tidak adanya dana operasional yang termasuk alat transportasi untuk melakukan pengawasan.
6.3.2
Program Pembangunan Lainnya
Program lain yang juga berpengaruh pada pendapatan dan pengelolaan sumber daya laut di Kabupaten Raja Ampat adalah, program pemberdayaan masyarakat perdesaan. Sebagai wilayah kepulauan, hampir semua desa di Kabupaten Raja Ampat berada di wilayah pesisir dan kepulauan. Oleh karena itu program-program pemberdayaan masyarakat desa di wilayah ini akan berdampak secara langsung kepada perubahan pendapatan nelayan dan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pengelolaan suber daya laut. 158
Program pembangunan yang masuk ke semua lokasi penelitian adalah PNPM mandiri (Gambar 6.3.1). Program ini digunakan untuk membangun sarana dan prasarana fisik di desa seperti sanitasi, pengerasan jalan dan pembangunan PAUD.
Gambar 6.3.1 Papan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Program lain yang juga pernah diterima oleh masyarakat adalah pembagian bibit coklat dan pohon jati untuk masyarakat di Desa Yenanas, Amdui, dan Kapatlap. Dilihat dari kondisi alamnya, kedua jenis tanaman tersebut dapat tumbuh dengan subur diwilayah ini. Bila di rawat dengan baik dari satu buah pohon coklat bisa menghasilkan pendapatan sekitar Rp1.200.000,00 setiap tahunnya. Biasanya petani coklat tidak harus membawa hasil panennya ke Kota Sorong untuk dijual, tetapi pengumpul coklat yang datang untuk membeli hasil panen dari para petani. Meskipun menjanjikan keuntungan yang tidak sedikut, umumnya tanaman perkebunan di lokasi penelitian tidak dirawat dengan baik. Hampir semua penduduk yang mempunyai lahan perkebunan mengatakan mereka jarang merawat tanamannya, mereka
159
hanya datang untuk memanen hasil, mereka mengatakan “pohonnya tumbuh sendiri saja.” Program pembangunan lain yang diterima penduduk di Desa Amdui dan Yenanas adalah bangunan pasar. Bantuan ini merupakan program dari Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua Barat. Namun sejak dibangun sekitar satu tahun yang lalu pasar tersebut belum pernah difungsikan. Ketika hal ini ditanyakan kepada penduduk desa, mereka mengatakan sebenarnya mereka tidak memerlukan bangunan pasar. Salah seorang penduduk di desa Amdui mengatan “apa yang akan di jual di desa ini?, apa yang kami punya juga dipunyai oleh orang lain” . Ketika bantuan ini ditanyakan kepada aparat desa, mereka mengatakan tidak diajak berdiskusi ketika akan memberikan program tersebut. Desa hanya diminta untuk menyediakan lahan. Pada waktu penelitian, bangunan pasar di Desa Amdui hanya digunakan untuk tempat kumpul-kumpul, sedangkan di Desa Yenanas digunakan sebagai tempat bahan-bahan bangunan yang sedang berlangsung. Lokasinya yang dekat dengan dermaga sebetulnya sangat strategis untuk bertansaksi, namun sayangnya tidak fungsikan sesuai dengan peruntukannya.
160
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1
Simpulan
Kabupaten Raja Ampat dikenal dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Berbagai sumber daya laut (SDL) di Kabupaten Raja Ampat, meliputi ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove tersebar di luas di wilayah ini. Kawasan Pulau Batanta dan Pulau Salawati yang merupakan lokasi penelitian base line data COREMAP CTI di Kabupaten Raja Ampat memiliki luas sebaran mangrove dan padang lamun yang cukup luas. Keanekaragaman ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yang dimiliki Kabupaten Raja Ampat mempengaruhi berbagai jenis ikan dan moluska yang hidup di kawasan perairan wilayah ini. Daerah konservasi Selat Dampier, termasuk Pulau Batanta dan Salawati, dikenal sebagai pusat penghasil tenggiri dan kerapu. Secara keseluruhan, kondisi SDL dan SDP di Kabupaten Raja Ampat masih tergolong baik. Hasil monitoring daerah perlindungan laut (DPL) Kabupaten Raja Ampat tahun 2014 menyebutkan bahwa persentase rata-rata tutupan karang keras hidup sebanyak 63,61 persen, terdiri dari karang AC (Acropora) 42,93 persen dan NA (NonAcropora) 20,38 persen. Proporsi rata-rata tutupan karang keras hidup yang mencapai 56,17 persen, menjadikan kondisi karang di Kabupaten Raja Ampat masuk dalam kategori “BAIK.” Sementara itu, kondisi padang lamun di wilayah perairan kabupaten ini, secara umum tergolong sangat baik (84,78 persen). Selain COREMAP, berbagai program konservasi di Kabupaten Raja Ampat dilakukan dengan berfokus pada pemberdayaan masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya kelautan. Antara lain pembentukan kawasan konservasi Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah
161
(TPPKD) Raja Ampat yang dibagi menjadi lima wilayah dan pembentukan UPTD-BLUD. Meskipun secara keseluruhan SDL dan SDP di Kabupaten Raja Ampat masih tergolong baik, dibeberapa wilayah degradasi sumber daya ini mulai dirasakan. Masyarakat di lokasi penelitian mengatakan bahwa hasil tangkap mereka mulai berkurang karena maraknya penggunaan alat tangkap yang merusak pada masa lalu. Berkurangnya jumlah tangkapan ikan akibat penangkapan berlebih diungkapkan oleh nelayan di Kapatlap. Mereka menyebutkan bahwa hasil tangkapan yang semakin berkurang dan wilayah tangkap yang makin jauh, khususnya untuk ikan Samandar, Lolosi, Lema, dan Oci. Penggunaan bahan beracun untuk menangkap ikan juga masih ditemukan. Penggunaan potassium hingga saat ini masih ditemukan di Desa Amdui dan Desa Wamega. Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut di Kabupaten Raja Ampat selama ini dinilai oleh banyak kalangan masih bersifat eksploratif dan belum memperhatikan kelestarian lingkungan serta keberlanjutan sumber daya tersebut. Berbagai kebijakan di tingkat nasional dan di tingkat pemerintah Kabupaten Raja Ampat mengatur pengelolaan sumber daya laut yang terkandung di kawasan perairan ini. Dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat, kekayaan alam Kabupaten Raja Ampat belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di wilayah ini. Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian hanya tamat SD kebawah, bahkan masih banyak yang tidak tamat SD. Rendahnya kualitas SDM membuat masyarakat kurang dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang ada disekeliling mereka. Pemanfataan sumber daya laut di lokasi penelitian, khususnya ikan, masih bersifat subsisten. Secara keseluruhan, sebagian besar sumber pendapatan utama kepala rumah tangga di ke empat desa penelitian berasal dari perikanan tangkap. Namun bila dilihat per desa, sumber
162
pendapatan terbesar di kedua desa yang terletak di Kepulauan Batanta (Yenanas dan Amdui) adalah sektor pertanian. Bagi sebagian besar masyarakat di wilayah ini, kegiatan menangkap ikan hanya untuk dijadikan lauk. Sumber pendapatan dari sektor jasa, khususnya guru, petugas kesehatan dan aparat desa cukup banyak di Desa Yenanas. Hal ini karena sebagai ibukota Distrik Batanta Selatan, di wilayah ini terdapat Puskesmas, Kantor distrik dan SMA. Dilihat dari alat tangkap yang digunakan, nelayan di lokasi penelitian masih menggunakan alat tangkap tradisional, sehingga tidak mengherankan apabila hasil tangkapan mereka masih sangat terbatas. Sebagian besar nelayan di Kapatlap, Yenanas, dan Amdui menggunakan pancing rawai, pancing ulur, dan jaring. Khusus di Wamega, selain kedua alat tangkap tersebut, beberapa nelayan juga menggunakan bagan dan sero sebagai alat tangkap. Bagan khusus digunakan untuk menangkap ikan billis (ikan teri), namun pada waktu musim angin kuat, alat tangkap ini tidak digunakan. Armada tangkap yang digunakan umumnya adalah perahu dayung dan perahu bermotor dengan kapasitas mesin sekitar 5,5 PK. Oleh karena itu wilayah tangkap nelayan biasanya tidak jauh dari desa masing-masing. Sebagaimana umumnya masyarakat pesisir di Indonesia, penghasilan rata-rata rumah tangga di keempat desa penelitian relatif kecil yaitu sekitar 3 juta rupiah perbulan. Sedangkan pendapatan perkapita sebesar Rp. 642.656. Meskipun jumlah ini jauh diatas garis kemiskinan kabupaten pada tahun 2010 sebesar Rp. 217.426 masyarakat di lokasi penelitian belum dapat dikatakan sejahtera. Dilihat dari jumlah pendapatan, masyarakat di Desa Wamega relatif lebih sejahtera dibanding dengan tiga lokasi penelitian lainnya. Ratarata pendapatan rumah tangga di Wamega jauh diatas rata-rata penduduk di keempat lokasi penelitian, yaitu Rp. 3,8 juta. Hal ini antara lain dipengaruhi alat tangkap yang sebagian besar digunakan oleh nelayan di desa ini yaitu sero dan bagan/kelong. Kedua alat tangkap ini tidak ditemui di ketiga lokasi penelitian lainnya. 163
Hal yang cukup menarik ditemui dalam pola pendapatan rumah tangga nelayan yang berasal dari perikanan tangkap. Berbeda dengan pendapatan rumah tangga secara keseluruhan, pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan yang berasal dari perikanan tangkap di Desa Amdui sedikit lebih tinggi (Rp. 2.563.341) dibanding dengan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan di Desa Wamega (Rp. 2.502.736). Secara keseluruhan pengeluaran rata-rata rumah tangga di lokasi penelitian adalah Rp. 2,4 juta setiap bulannya. Sebagian besar pengeluaran tersebut digunakan untuk pengeluaran pangan. Sedangkan rerata pengeluaran per kapita rumah tangga di keempat desa lokasi penelitian adalah Rp. 516,911. Secara keseluruhan, Desa Wamega merupakan desa dengan rerata pengeluaran per bulan tertinggi. Kemudian berdasarkan jenis penggunaan (lima kategori), proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan merupakan yang tertinggi. Harga bahan pangan di daerah kepulauan relatif lebih mahal dibanding harga di wilayah daratan. Meskipun semua masyarakat mendapat bantuan beras miskin, namun jumlahnya tidak mencukupi, karena sebetulnya tidak semua penduduk masuk dalam data penerima bantuan. Namun untuk menghindari konflik, diambil kesepakatan semua rumah tangga mendapat jatah dengan membagi beras yang dialokasikan ke daerah tersebut. Pengeluaran rumah tangga yang juga cukup tinggi adalah untuk rokok. Hal ini cukup memprihatinkan, mengingat harga rokok di lokasi penelitian cukup tinggi. Hampir semua laki-laki dewasa di lokasi penelitian adalah perokok. Sedangkan proporsi yang terkecil adalah pengeluaran untuk keperluan sosial dan keagamaan. Selain SDL dan SDP Kabupaten Raja Ampat juga memiliki sumber daya darat yang tidak kalah penting. Beberapa tanaman pangan memiliki kontribusi penting dalam kehidupan penduduk setempat,
164
antara lain jagung, sagu dan ubi kayu. Sedangkan tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasilan masyarakat setempat adalah kelapa, coklat, serta pinang. Di dalam kawasan hutan Kabupaten Raja Ampat ditemukan beberapa pohon yang memiliki nilai jual tinggi, seperti pohon kayu besi (Intsia), pohon jati, dan pohon cendana. Namun karena kondisi geografis dan topografi wilayahnya membuat sumber daya tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Komoditas pertanian yang banyak dimiliki penduduk di lokasi penelitian adalah pinang, lemon dan coklat. Meskipun memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan, belum ada usaha penanaman pinang yang dilakukan penduduk. Pohon yang ada sekarang adalah pohon yang tumbuh sendiri dan tidak ada perawatan khusus. Sektor lain yang juga cukup menonjol adalah industri rumah tangga. Industri rumah tangga yang banyak dilakukan dan berkontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan penduduk adalah membuat kapur sirih dan membuat papan. Kapur sirih biasanya dikerjakan oleh perempuan sedangkan membuat papan dilakukan oleh laki-laki. Industri membuat papan banyak dilakukan oleh masyarakat di Desa Amdui. Sektor perdagangan masih belum diminati penduduk. Hal ini bisa dilihat dari belum difungsikannya fasilitas pasar yang sudah tersedia di Desa Amdui dan Desa Yenanas. Homogenitas hasil produksi masyarakat di kampung, menjadi alasan tidak berfungsinya pasar di desa tersebut. Perdagangan skala kecil sejauh ini hanya berlangsung di kios atau warung kelontong yang terdapat semua desa lokasi penelitian. Komoditas yang diperdagangkan umumnya adalah makanan kecil, kopi, teh, gula, mie instan, air mineral dan rokok. Pengetahuan dan kepedulian masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir terhadap kondisi dan upaya pelestarian SDL dan SDP sangat penting untuk mencapai tujuan COREMAP. Secara keseluruhan pemahaman masyarakat terkait upaya pelestarian SDL dan SDP khususnya ekosistem terumbu karang, padang lamun dan hutan bakau 165
cukup baik. Hal ini dapat dipahami mengingat wilayah ini telah menjadi lokasi COREMAP tahap I dan II. Meskipun hanya 2,5 persen yang mengetahui secara benar definisi dari terumbu karang, 0,5 persen yang mengetahui definis padang lamun dan mangrove tidak bisa disimpulkan bahwa masyarakat tidak mengetahui ketiga ekosistem tersebut. Mengingat sebagian besar responden adalah nelayan, ada kemungkinan mereka mengetahui bentuk dari terumbu karang, padang lamun maupun mangrove, namun mereka tidak mengetahui definisi ilmiah dari ekosistem sumber daya laut tersebut. Sebaliknya, pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan manfaat dari terumbu karang, padang lamun, dan mangrove cukup baik. Hasil survei juga menunjukkan bahwa hampir semua (94 persen; N=200) responden mengatakan bahwa ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat ikan atau biota hidup, bertelur, memijah, dan mencari makan. Sebanyak 77,5 persen responden (N=200) memahami fungsi padang lamun sebagai spawning, nursery, dan feeding ground. Sementara, sebanyak 77 persen responden (N=200) di lokasi penelitian menyebutkan fungsi mangrove sebagai pelindung daerah pesisir dari ombak, angin, badai, dan topan atau siklon. Pertanyaan selanjutnya dalam survei individu bertujuan untuk melihat pengetahuan masyarakat mengenai manfaat dari ekosistem pesisir dan laut. Responden pada umumnya mengetahui manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi dari terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Secara keseluruhan, penduduk di Pulau Batanta (Desa Yenanas dan Desa Amdui) memiliki pengetahuan mengenai fungsi dan manfaat ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove yang lebih baik bila dibandingkan dengan penduduk di Pulau Salawati (Desa Wamega dan Kapatlap). Masyarakat di desa lokasi penelitian tidak hanya memiliki pengetahuan yang baik mengenai manfaat dari ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Tetapi mereka juga mampu menjelaskan kondisi ketiga ekosistem tersebut. Secara keseluruhan, 166
masyarakat menyebutkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove dalam keadaan baik. Responden menyatakan bahwa kondisi ekosistem yang kurang baik (10,5 persen) dan rusak (3,5 persen) paling parah dialami oleh terumbu karang bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya.
7.2
Rekomendasi
Dari hasil penelitian ini beberapa isu direkomendasikan untuk dapat mengoptimal COREMAP- CTI di Kabupaten Raja Ampat. 1. Pendampingan secara intensif. Keberadaan COREMAP masih sangat diperlukan di lokasi penelitian. Namun mengingat rendahnya kualitas SDM di desa, dibutuhkan pendampingan yang dilakukan secara intensif. 2. Peningkatan koordinasi dengan aparat pemerintah desa. Belajar dari pengalaman COREMAP II, perlu peningkatan koordinasi dengan aparat desa, khususnya dalam pengelolaan sarana dan prasarana desa yang dibangun oleh COREMAP. 3. Revitalisasi Pokmaswas (Kelompok Pengawasan Masyarakat). Secara umum, pemahaman masyarakat terkait pentingnya pelestarian SDL dan SDP di wilayah mereka cukup tinggi, namun belum berpartisipasi secara aktif untuk menjaga wilayahnya. Untuk itu Pokmaswas yang berada di lokasi COREMAP perlu revitalisasi. 4. Penegasan kesepakatan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Setelah berakhirnya COREMAP II, keberadaan DPL yang telah disepakati, sudah tidak lagi ditaati oleh masyarakat. Selain karena sebagian besar tandanya sudah hilang, tidak ada sanksi bagi mereka yang melanggar kesepakatan tersebut. 5. Evaluasi ulang lokasi COREMAP-CTI. Terkait tujuan COREMAP yang antara lain adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang matapencaharian utama berasal dari 167
perikanan tangkap, pemilihan lokasi COREMAP CTI di Raja Ampat perlu dievaluasi. Dari informasi yang diperoleh, penduduk di beberapa lokasi COREMAP di Pulau Salawati dan Pulau Batanta telah beralih matapencaharian dari perikanan tangkap ke sektor lain. Kondisi ini tentu saja akan berpengaruh terhadap aspek sosial ekonomi COREMAP.
168
DAFTAR PUSTAKA Ainsworth, C.H., Pitcher, T.J., Rotinsulu, C. (2008). Evidence of Fishery Depletions and Shifting Cognitive Baselines in Eastern Indonesia. Biological Consrvation. Vol. 141 pp 848-859. BPS Kabupaten Raja Ampat. (2014). Jumlah Penduduk Menurut Distrik, 2010 2013. Retrieved from: http://rajaampatkab.bps.go.id/website/tabelExcelIndo/Indo_12 _13789756.xls BPS Kabupaten Raja Ampat. (2014). Kabupaten Raja Ampat dalam Angka 2014. Kota Waisai: Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat Retrieved from http://rajaampatkab.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Kabupate n-Raja-Ampat-Dalam-Angka-2014.pdf. BPS Kabupaten Raja Ampat. (2014). Kecamatan Batanta Selatan Dalam Angka 2014. Kota Waisai: Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. BPS Kabupaten Raja Ampat. (2014). Kecamatan Salawati Utara Dalam Angka 2014. Kota Waisai: Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. BPS Kabupaten Raja Ampat. (2014). Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Raja Ampat Menurut Lapangan Usaha 2013. Kota Waisai: Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. BPS Kabupaten Raja Ampat. (2014). Statistik Daerah Kabupaten Raja Ampat 2014. Kota Waisai: Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat.
169
BPS Kabupaten Raja Ampat. (2014). Statistik Daerah Kecamatan Salawati Utara 2014. Kota Waisai: BPS Kabupaten Raja Ampat. BPS Kabupaten Raja Ampat. (2014). Statistik Daerah Kecamatan Salawati Utara. Kota Waisai: Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. BPS Kabupaten Raja Ampat. (2015). Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Raja Ampat Menurut Lapangan Usaha 2010-2014. Kota Waisai: Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat. BPS Kabupaten Raja Ampat. (2015). Raja Ampat Dalam Angka 2015. Kota Waisai: BPS Kabupaten Raja Ampat. BPS Kabupaten Raja Ampat. (2015). Statistik Daerah Kabupaten Raja Ampat 2015. Kota Waisai: BPS Kabupaten Raja Ampat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. (2010). Rencana Pengelolaan Terumbu Karang dan Pembangunan Kampung. Kampung Amdui Distrik Batanta Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Kota Waisai: DKP Kabupaten Raja Ampat dan COREMAP II Kabupaten Raja Ampat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. (2010). Rencana Pengelolaan Terumbu Karang dan Pembangunan Kampung. Kampung Kapatlap Distrik Salawati Utara, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Waisai: DKP Kabupaten Raja Ampat dan COREMAP II Kabupaten Raja Ampat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. (2010). Rencana Pengelolaan Terumbu Karang dan Pembangunan Kampung. Kampung Wamega Distrik Salawati Utara, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Waisai: DKP
170
Kabupaten Raja Ampat dan COREMAP II Kabupaten Raja Ampat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. (2010). Rencana Pengelolaan Terumbu Karang dan Pembangunan Kampung. Kampung Yenanas Distrik Batanta Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Waisai: DKP Kabupaten Raja Ampat dan COREMAP II Kabupaten Raja Ampat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat. 2014. Laporan Rekapitulasi Jumlah Produksi Ikan Kabupaten Raja Ampat 2010-2013. Dirhamsyah. 2007. An Economic Valuation of Seagrass Ecosystems In East Bintan, Riau Archipelago, Indonesia. Journal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Vol. 33 hal. 257-270. Hidayati, D. (2002). Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Studi Kasus Desa Mola Utara Kecamatan WangiWangi, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Jakarta: COREMAP-LIPI. Hidayati, D., Widayatun, Harfina, D., Situmorang, A., Fitranita, dan Pujihartana. (2014). Panduan Riset dan Monitoring Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait. Jakarta: COREMAP-CTI Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. http://regional.coremap.or.id/raja_ampat/profil_kabupaten/ekonomi_b isnis/perhubungan_laut/ diakses tanggal 25 November 2015. Coral Reef Rehabilitation and Management Program Raja Ampat. http://www.kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-konser asi/details/1/64 diakses tanggal 23 November 2015. Data Kawasan Konservasi. Konservasi Jenis Ikan dan Keluatan.
171
Hukom, F.D. dan Pelasula, D. (2012). Laporan Akhir Baseline Studi Kondisi Terumbu Karang, Lamun, dan Mangrove di Perairan Pantai Utara Sebelah Timur (Lautem s.d Com) Timor Leste. Jakarta: Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Project. Kahn, B. 2007. Marine Mammals of The Raja Ampat Islands: Visual and Acoustic Cetacean Survey and Training Program. Apex Environmental, Bali. McKenna, S.A., Allen, G.R., dan Suryadi, S. 2002. A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. RAP Bulletin of Biological Assessment 22. Washington DC: Conservation International. Muzaki, A.A. (2008). Analisis Spasial Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Sebagai Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut Dengan Metode Cell Based Modelling di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat. (2006). Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat Provinsi Irian Jaya Barat. Manokwari: Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat. Rumetna, L., Amin, M.I., Rotinsulu, C., Mongdong, M. (2011). Pembentukan Struktur Tata Kelola (Lembaga Pengelola) yang Representatif Untuk Pengelolaan Jejaring Kawasan Konservasi Laut Daerah Raja Ampat yang Efektif. Indonesia: The Nature Concervancy. Unit Pelaksana Teknis Dinas Taman Pulau-Pulau Kecil Daerah Dinas Kelautan dan Perikanan (UPTD TPPKD DKP) Kabupaten Raja Ampat. (2012). Rencana Pengelolaan Taman Pulau-Pulau
172
Kecil Daerah Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat. Data dan Analisis. Papua Barat: Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Veron, J.E.N., DeVantier, L.M., Turak, E., Green, A.L., Kininmonth, S., Stafford-Smith, M., dan Peterson, N. (2009). Delineating The Coral Triangle. Galaxea. Vol. 11 pp. 91-100. Wallace, C.C., Turak, E., dan DeVantier, L. (2011). Novel Characters in A Conservative Coral Genus: Three New Species of Astreopora (Scleractinia: Acroporidae) From West Papua. Journal of Natural History. Vol. 45 (31-32) pp 1905-1924. Widayatun, Situmorang, A., dan Antariksa, IGP. (2007). Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II Kasus Kabupaten Raja Ampat. Jakarta: COREMAP-LIPI. Widayatun, Situmorang, A., dan Antariksa, IGP. (2008). Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II Kabupaten Raja Ampat: Hasil BME. Jakarta: COREMAP-LIPI. Widiastuti, A. 2011. Kajian Nilai Ekonomi Produk dan Jasa Ekosistem Lamun Sebagai Pertimbangan Dalam Pengelolaannya (Studi Kasus Konservasi Padang Lamun di Pesisir Timur Pulau Bintan). Depok: Universitas Indonesia.
173
174
LAMPIRAN Lampiran 1. Distribusi Persentase Pengetahuan Responden Mengenai Terumbu Karang di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 Pengetahuan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Terumbu Karang Mengerti 2 1,8 5 1,9 2,5 Kurang mengerti 72 78,9 67,5 81,1 75,5 Tidak mengerti 26 19,3 27,5 17 22 N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Lampiran 2. Distribusi Persentase Pengetahuan Responden Mengenai Padang Lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 Pengetahuan Padang Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Lamun Mengetahui 2,5 0,5 Kurang mengetahui 84 98,2 80 88,7 88,5 Tidak mengetahui 16 1,8 17,5 11,3 11 N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
175
Lampiran 3. Distribusi Persentase Pengetahuan Responden Mengenai Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat Tahun 2015 Pengetahuan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Mangrove Mengetahui 2,5 0,5 Kurang mengetahui 84 86 67,5 88,7 82,5 Tidak mengetahui 16 14 30 11,3 17 N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Lampiran 4. Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisi Terumbu Karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Kondisi Terumbu Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Karang Baik 88 77,2 55 69,8 73,5 Kurang Baik 2 7 22,5 13,2 10,5 Rusak 6 3,5 3,8 3,5 Tidak Tahu 4 12,3 22,5 13,2 12,5 N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
176
Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisi Padang Lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Kondisi Padang Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Lamun Baik 94 82,5 65 71,7 79 Kurang Baik 1,8 17,5 11,3 7 Rusak 2 3,5 3,8 2,5 Tidak Tahu 4 12,3 17,5 13,2 11,5 N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Persentase Responden Menurut Pendapat Tentang Kondisi Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Kondisi Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Mangrove Baik 88 87,7 67,5 75,5 80,5 Kurang Baik 4 1,8 15 7,5 6,5 Rusak 4 3,8 2 Tidak Tahu 4 10,5 17,5 13,2 11 N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Lampiran 5. Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Kerusakan Terumbu Karang, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Penyebab Kerusakan Terumbu Karang Penebangan hutan mangrove secara berlebihan Penangkapan ikan/biota secara berlebihan Penangkapan ikan/biota menggunakan alat/bahan yang merusak (misal: bom, bius, pukat
Yenanas
Amdui
Wamega
Kapatlap
Total
-
1,8
-
-
0,5
6
5,3
2,5
11,3
6,5
8
8,8
7,5
9,4
8,5
177
Penyebab Kerusakan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Terumbu Karang harimau, dll) Pencemaran (sampah rumah tangga/pasar, limbah minyak, 6 7 15 5,7 8 logam berat dll dari kapal/industri/ pertanian) Pembuatan tambak/keramba 4 3,5 2,5 5,7 4 secara berlebihan Penambangan pasir/batu/batukarang 6 5,3 2,5 5,7 5 untuk pembangunan di wilayah pantai/pesisir Kegiatan pariwisata yang merusak (misal: menginjak karang, 6 3,5 2,5 3,8 4 mengambil karang hidup, membuang jangkar di karang). Faktor alam (misal: tsunami, gempa, 6 5,3 5 7,5 6 badai, perubahan iklim/cuaca, banjir, dll) N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
178
Lampiran 6. Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Kerusakan Padang Lamun, di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Penyebab Kerusakan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Padang Lamun Penangkapan ikan/biota 2 1,8 5 7,5 4 secara berlebihan Penangkapan ikan/biota menggunakan alat/bahan 2 3,5 5 3,8 3,5 yang merusak (misal: bom, bius, pukat harimau, dll) Pencemaran (sampah rumah tangga/pasar, limbah 2 1,8 10 3,8 4 minyak, logam berat dll dari kapal/industri/ pertanian) Pembuatan tambak/keramba 2 1,8 1,9 1,5 secara berlebihan Penambangan pasir/batu/batukarang untuk 2 1,8 2,5 1,9 2 pembangunan di wilayah pantai/pesisir Kegiatan pariwisata yang merusak (misal: menginjak 2 1,8 2,5 7,5 3,5 karang, mengambil karang hidup, membuang jangkar di karang). Faktor alam (misal: tsunami, gempa, badai, 2 3,5 2,5 3,8 3 perubahan iklim/cuaca, banjir, dll) N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
179
Lampiran 7. Persentase Responden Yang Mengetahui Penyebab Kerusakan Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Penyebab Kerusakan Mangrove Penebangan hutan mangrove secara berlebihan Penangkapan ikan/biota secara berlebihan Penangkapan ikan/biota menggunakan alat/bahan yang merusak (misal: bom, bius, pukat harimau, dll) Pencemaran (sampah rumah tangga/pasar, limbah minyak, logam berat dll dari kapal/industri/ pertanian) Pembuatan tambak/keramba secara berlebihan Penambangan pasir/batu/batukarang untuk pembangunan di wilayah pantai/pesisir Kegiatan pariwisata yang merusak (misal: menginjak karang, mengambil karang hidup, membuang jangkar di karang). Faktor alam (misal: tsunami, gempa, badai, perubahan iklim/cuaca, banjir, dll) N
Yenanas
Amdui
Wamega
Kapatlap
Total
6
-
-
9,4
4
4
-
-
5,7
2,5
4
-
2,5
3,8
2,5
4
-
12,5
1,9
4
4
-
-
1,9
1,5
4
-
-
3,8
2
4
-
-
1,9
1,5
4
-
2,5
3,8
2,5
50
57
40
53
200
180
Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Lampiran 8. Distribusi Responden Menurut Pendapat Tentang Pelaku Perusakan Terumbu Karang Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Pelaku Perusakan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Pelaku dari 2 3,5 3,8 2,5 desa/kelurahan ini Pelaku dari luar desa/kelurahan, 4 3,5 7,5 13,2 7 dalam kabupaten Pelaku dari luar kabupaten, dalam 6 3,5 10 11,3 7,5 satu provinsi Pelaku dari luar 1,9 0,5 provinsi Pelaku dari luar negeri 4 2,5 1,5 (internasional) N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Distribusi Responden Menurut Pendapat Tentang Pelaku Perusakan Padang Lamun Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Pelaku Perusakan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Pelaku dari 2 3,5 12,5 9,4 6,5 desa/kelurahan Pelaku dari luar desa/kelurahan, 2 1,8 5 5,7 3,5 dalam kabupaten Pelaku dari luar kabupaten, dalam 2 1,8 5 3,8 3 satu provinsi Pelaku dari luar 1,9 0,5 provinsi Pelaku dari luar negeri 2 0,5 (internasional) N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
181
Distribusi Responden Menurut Pendapat Tentang Pelaku Perusakan Mangrove Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Pelaku Perusakan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Pelaku dari 6 3,8 2,5 desa/kelurahan Pelaku dari luar desa/kelurahan, 2 2,5 9,4 3,5 dalam kabupaten Pelaku dari luar kabupaten, dalam 4 2,5 5,7 3 satu provinsi Pelaku dari luar 1,9 0,5 provinsi Pelaku dari luar negeri 4 1 (internasional) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Lampiran 9. Persentase Responden Yang Terlibat Dalam Upaya Perlindungan/Pelestarian Terumbu Karang, Padang Lamun, Mangrove, dan Wilayah Pesisir di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Keterlibatan dalam Pelestarian Terumbu Karang, Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Padang Lamun dan Mangrove Terumbu Karang 40 31,6 17,5 45,3 34,5 Padang Lamun 32 28,1 17,5 32,1 28 Mangrove 32 28,1 17,5 35,8 29 Wilayah Pesisir 46 42,1 17,5 34 36 N 50 57 40 53 200 Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
182
Lampiran 10. Distribusi Responden menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/Pelestarian Terumbu Karang di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Jenis Kegiatan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Kegiatan 30 24,6 12,5 28,3 24,5 sosialiasi/penyuluhan Penanaman pohon mangrove/transplansi 18 26,3 5 18,9 18 karang Pengawasan hutan mangrove/laut secara 12 12,3 2,5 15,1 11 mandiri Patroli hutan mangrove/laut secara 2 8,8 2,5 18,9 8,5 kelompok/pokmaswas Pembentukan kawasan konservasi 10 14 10 30,2 16,5 hutan/laut/daerah perlindungan laut (DPL) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
Distribusi Responden Menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/Pelestarian Padang Lamun di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Jenis Kegiatan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Kegiatan 26 22,8 12,5 22,6 21,5 sosialiasi/penyuluhan Pengawasan hutan mangrove/laut secara 12 8,8 2,5 13,2 9,5 mandiri Patroli hutan mangrove/laut secara 2 8,8 2,5 17 8 kelompok/pokmaswas Pembentukan kawasan konservasi 6 10,5 10 17 11 hutan/laut/daerh perlindungan laut (DPL) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
183
Distribusi Responden Menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/Pelestarian Mangrove di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Jenis Kegiatan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Kegiatan 28 24,6 15 28,3 24,5 sosialiasi/penyuluhan Penanaman pohon mangrove/transplansi 20 21,1 5 17 16,5 karang Pengawasan hutan mangrove/laut secara 10 12,3 2,5 22,6 12,5 mandiri Patroli hutan mangrove/laut secara 2 8,8 2,5 24,5 10 kelompok/pokmaswas Pembentukan kawasan konservasi 8 12,3 7,5 20,8 12,5 hutan/laut/daerah perlindungan laug (DPL) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
184
Lampiran 11. Distribusi Responden Menurut Jenis Kegiatan Perlindungan/Pelestarian Wilayah Pesisir di Lokasi Penelitian, Kabupaten Raja Ampat, Tahun 2015 Jenis Kegiatan Yenanas Amdui Wamega Kapatlap Total Kerjabakti di wilayah 42 40,4 15 24,5 31,5 pesisir Kegiatan 30 26,3 15 32,1 26,5 sosialiasi/penyuluhan Pengawasan hutan mangrove/laut secara 8 12,3 17 10 mandiri Patroli hutan mangrove/laut secara 2 8,8 22,6 9 kelompok/pokmaswas Pembentukan kawasan konservasi 8 15,8 5 18,9 12,5 hutan/laut/daerh perlindungan laut (DPL) Sumber: Data Primer, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait Indonesia, 2015.
185