DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Kedai Gadang, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah
DATA DASAR ASPEK SOSIAL
TERUMBU KARANG INDONESIA Desa Kedai Gadang, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah
Oleh : Sri Sunarti Purwaningsih Gutomo Bayu Aji
COREMAP – LIPI PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (PPK-LIPI) 2005
RINGKASAN
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Hasil studi ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Studi ini dilakukan di Desa Kedai Gadang, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Desa Kedai Gadang terletak sekitar 2 km dari ibukota Kecamatan Barus yang dihubungkan dengan jalan darat beraspal cukup bagus. Selain kendaraan pribadi, transportasi yang sering digunakan adalah becak motor dan ojek sepeda motor. Sedangkan jarak antara Desa Kedai Gadang dengan pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Tengah yang berada di Pandan adalah sekitar 78 km. Perjalanan ke ibukota kabupaten dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama kurang lebih 2 jam. Transportasi umum dari dan ke ibukota kabupaten juga tersedia, yaitu dengan bus mini yang beroperasi setiap hari dua kali. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan melakukan survai terhadap 100 rumah tangga terpilih di lokasi penelitian. Pengumpulan data survai dibantu oleh tenaga lokal sebanyak lima orang yang berpendidikan SLTA ke atas. Data yang dikumpulkan adalah data rumah tangga dan data individu. Data rumah tangga mencakup kondisi rumah tangga seperti karakteristik demografi dan ekonomi rumah tangga. Sementara data individu adalah data mengenai pengetahuan dan sikap responden terhadap ekosistem terumbu karang. Sementara itu, pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif adalah dengan melakukan wawancara mendalam terhadap berbagai informan kunci seperti tokoh masyarakat, perangkat desa, nelayan, pedagang keliling, taoke, ibu-ibu, pengusaha es balok, guru, pemilik warung, dan pimpinan serta staf puskesmas. Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) dilakukan terhadap kelompok-kelompok nelayan yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang setara. Sedangkan kajian bersama (jisam) dilakukan terhadap beberapa orang di Dinas Perikanan dan Kelautan, dan Bappeda Kabupaten Tapanuli Tengah. Wawancara mendalam, jisam dan FGD dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk lebih memahami permasalahan, juga dilakukan observasi lapangan Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
iii
terutama di sekitar pemukiman, sekitar desa, pasar ikan, puskesmas dan desa-desa terdekat. Pada tahun 2005 Desa Kedai Gadang berpenduduk sebanyak 1516 jiwa yang terdiri dari 770 laki-laki dan 746 perempuan. Jumlah penduduk sebanyak itu terhimpun ke dalam 284 kepala keluarga (KK). Dengan demikian, satu keluarga terdiri dari sekitar 5 jiwa. Persentase terbesar dari penduduk Desa Kedai Gadang adalah mereka yang berumur 20 tahun ke bawah (56 persen), 16 persen di antaranya adalah usia bawah lima tahun (balita). Penduduk Desa Kedai Gadang adalah homogen karena hampir semuanya adalah Suku Batak. Adapun bahasa seharihari yang digunakan oleh mereka adalah perpaduan antara bahasa pesisir dan Bahasa Batak. Meskipun hampir semua penduduk adalah bersuku Batak namun ada dua agama dengan jumlah pengikut yang hampir berimbang, yaitu agama Islam dengan penganut 740 jiwa dan agama Kristen dengan penganut sebanyak 776 jiwa. Pemukiman antara mereka yang beragam Islam mengelompok tersendiri agak terpisah dengan penduduk yang beragama Kristen. Meskipun mereka berbeda agama namun dalam aktivitas sehari-hari mereka membaur menjadi satu, terutama dalam hal pekerjaan tidak ada perbedaan antara mereka. Mata pencaharian penduduk Desa Kedai Gadang sebagian besar adalah sebagai nelayan (78 persen) dan petani (21 persen) serta pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 1 persen. Mereka yang bekerja sebagai nelayan pada umumnya adalah nelayan buruh yang biasa disebut dengan anak buah kapal (ABK). Jumlah nelayan pemilik kapal (taoke) sebanyak 4 orang. Pekerjaan sebagai nelayan sudah merupakan pekerjaan turun temurun. Selain itu, tidak adanya alternatif pekerjaan lain mendorong mereka tetap bekerja sebagai nelayan meskipun dengan penghasilan yang tidak menentu. Jumlah produksi ikan di Desa Kedai Gadang sekitar 8 ton per bulan. Produksi ikan yang dihasilkan sebagian besar ikan segar. Ikan tersebut dijual ke Sibolga dan Medan dan sebagian dijual ke pedagang keliling (pengalong-along). Jenis ikan yang banyak dihasilkan adalah ikan asoaso dan ikan kembung. Sementara jenis produksi yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi adalah udang gostan. Udang ini pada umumnya dijual langung ke Sibolga atau ke Medan. Rata-rata tingkat pendapatan penduduk adalah sekitar Rp. 500.000 per bulan. Sekilas jumlah ini kelihatan besar namun jika dibandingkan dengan kebutuhan riil sehari-hari pendapatan tersebut jauh dari cukup. Selain itu, karena range pendapatan yang cukup tinggi antara Rp. 30.000 – Rp. 4.000.000 maka pendapatan yang rendah terdorong naik. Sementara bila dilihat dari jumlah pengeluaran rumah tangga setiap bulan adalah sebesar Rp. 741.646 dengan porsi terbesar adalah untuk pemenuhan bahan makanan (Rp.435.310). Sedangkan untuk iv
pengeluaran bukan pangan rata-rata setiap rumah tangga menghabiskan sekitar Rp. 306.336. Data ini menunjukkan bahwa pengeluaran rata-rata setiap rumah tangga lebih besar dari pada pendapatan yang diperolehnya. Hasil dari survai 100 rumah tangga juga menujukkan bahwa hampir 90 persen rumah tangga pernah mengalami kesulitan keuangan dengan persentase terbesar (62 persen) adalah untuk penyediaan bahan makanan. Untuk mengatasi kekurangan tersebut, sebagian besar adalah pinjam ke warung, tetangga ataupun ke saudara (44 persen). Sekitar 21 persen rumah tangga mengatakan bahwa pada saat mengalami keseulitan keuangan, mereka meminjam kepada taoke/bos. Selain pendapatan, pemilikan aset rumah tangga merupakan salah satu indikasi dari tingkat kesejahteraan masyarakat. Seperti halnya dalam hal pendapatan, aset yang dimiliki oleh rumah tangga baik yang berupa sarana produksi, perumahan maupun barang-barang elektronik dan barang berharga lainnya relatif terbatas. Kapal-kapal ikan hanya dimiliki oleh empat orang taoke. Tidak ada seorangpun nelayan di Desa Kedai Gadang yang memiliki armada tangkap, bahkan sebuah kapal kecil sekalipun. Hampir semua nelayan adalah ABK yang bekerja dengan armada maupun alat tangkap milik taoke. Demikian halnya dengan kondisi perumahan, dari 286 rumah yang ada di Desa Kedai Gadang, sebagian besar (160) rumah penduduk adalah rumah sederhana dan bahkan 40 rumah termasuk dalam kategori rumah darurat. Gambaran di atas menujukkan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Desa Kedai Gadang relatif rendah. Hal ini juga diperkuat dengan rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Sekitar 40 persen hanya tamat sekolah dasar dan fenomena drop out (DO) dari sekolah (SD) masih cukup tinggi. Hampir setiap tahun, selalu ada anak yang keluar dari sekolah dengan alasan membantu orang tua mencari nafkah sebagai pencuci kapal ikan. Ketersediaan dan aksesibilitas fasilitas pendidikan nampaknya belum mampu menarik perhatian orang tua untuk mendorong anak-anaknya agar tetap bertahan di bangku sekolah sampai mereka menamatkan pendidikannya. Kemudahan memperoleh uang dengan bekerja sebagai nelayan cenderung lebih menarik anakanak untuk meninggalkan bangku sekolah. Sementara itu, ketrampilan yang dimiliki oleh penduduk cukup terbatas. Hanya ada beberapa penduduk yang dapat membuat kapal kayu. Ketrampilan tersebut diperoleh secara turun temurun. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk dibarengi terbatasnya alternatif pekerjaan di luar kenelayanan menyebabkan ketergantungan mereka terhadap pengeloaan sumber daya laut cukup tinggi. Dengan menggunakan alat tangkap yang relatif sederhana mereka memanfaatkan kekayaan yang ada di laut untuk menghidupi diri dan keluarganya. Kehidupan menjadi semakin sulit manakala kondisi sumber Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
v
daya laut, khususnya terumbu karang mulai menurun. Padahal peralatan yang mereka gunakan untuk menangkap ikan cukup sederhana dan tidak termasuk yang berpotensi merusak terumbu karang. Selain itu, tidak ada penduduk yang mengambil karang untuk keperluan pondasi bangunan misalnya. Menurut penuturan masyarakat Desa Kedai Gadang, untuk membuat pondasi bangunan rumah lebih baik memakai batu yang relatif lebih murah dan mudah didapat karena pemukiman mereka terletak di dekat perbukitan daripada harus bersusah payah mengambil karang dari laut. Selain itu, mereka menganggap jika mengambil karang berarti menutup rejeki mereka sendiri karena sebagai nelayan hidupnya sangat tergantung kepada terumbu karang. Menurut penuturan beberapa nelayan Desa Kedai Gadang, penurunan kondisi terumbu karang terjadi setelah tahun 1970an. Sebelumnya, kondisi terumbu karang di sekitar perairan Barus tergolong masih bagus. Ingatan para nelayan tersebut tentang lokasi-lokasi terumbu karang dan kondisinya masih cukup kuat. Mereka juga mengatakan bahwa di tahun 1970an, karang raja uda yang terletak sekitar 4 km dari pemukiman penduduk, kondisinya paling bagus dan dapat dilihat dari permukaan. Nelayan bersama-sama dengan keluarga nya kadang-kadang berpiknik ke pulau kecil di lokasi karang raja uda tersebut untuk menikmati keindahannya. Sekarang, karang tersebut sudah rusak dan di perairan Barus mulai banyak ditemukan karang-karang mati. Beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap kerusakan terumbu karang adalah merebaknya pukat harimau, merebaknya bom ikan dan rusaknya tanggul yang dibuat pada jaman Pemerintahan Belanda. Penggunaan pukat harimau oleh nelayan luar muncul sekitar tahun 1976 dan terus merebak hingga tahun-tahun berikutnya. Larangan pemerintah tentang penggunaan pukat harimau hanya meredakan beberapa tahun saja karena sekitar tahun 1986 pukat harimau mulai beroperasi kembali. Pada tahun 1998 justru ada pukat yang lebih besar yaitu pukat ikan dari Thailand. Masyarakat menjadi semakin tidak berdaya dan hanya menjadi penonton saja melihat nelayan-nelayan luar mengeruk sumber daya laut yang ada di perairan sekitar Barus. Sementara itu, pemakaian bom merajalela pada tahun 1990an. Menurut penuturan masyarakat setempat pengeboman dilakukan oleh nelayan Sibolga terutama untuk menangkap ikan-ikan karang. Hal ini berakibat pada rusaknya ekosistem terumbu karang. Rusaknya tanggul yang dibuat pada jaman Pemerintahan Belanda juga berpengaruh terhadap degradasi sumber daya laut. Tanggul yang dibangun dengan maksud untuk membentengi pantai Barus dari dahsyatnya gelombang laut tersebut rusak karena bagian dasarnya terkena pukat harimau. Batu-batu karst yang yang ditumpuk membentuk benteng tersebut lama kelamaan bergeser dan berserakan di dasar laut. Akibatnya gelombang air laut yang menuju pantai tidak dapat vi
terbendung. Menurut penuturan masyarakat Kedai Kadang, air laut semakin naik ke daratan dan jarak pemukiman mereka dengan bibir pantai menjadi semakin dekat. Keberadaan pukat harimau dan pukat ikan yang besar dan kuat telah menuai protes dari para nelayan Desa Kedai Gadang. Hal ini dikarenakan pukat-pukat tersebut dianggap telah merusak sumber daya laut yang ada dan mengakibatkan menurunnya pendapatan mereka sebagai nelayan. Bersama dengan kelompok-kelompok nelayan tradisional lain di Kabupaten Tapanuli Tengah, para nelayan Desa Kedai Gadang pernah mengadukan permasalahan ini kepada pemerintah daerah setempat namun tidak ada tanggapan. Akhirnya kekesalan mereka diwujudkan dengan adanya unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan pada tahun 2001 dan salah satu yang dilakukan oleh pengunjuk rasa adalah membakar sebuah pukat harimau.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
vii
viii
KATA PENGANTAR
Buku Laporan Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang di Desa Kedai Gadang, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah ini merupakan salah satu hasil penelitian dari Pusat Penelitian Kependudukan (PPKLIPI) bekerja sama dengan COREMAP-LIPI. Penelitian dilakukan di 10 lokasi COREMAP di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Kepulauan Riau. Buku laporan ini berisi data dasar dan kajian tentang kondisi demografi dan sosial-ekonomi penduduk yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya di Desa Kedai Gadang. Hasil kajian ini merupakan bahan yang dapat dipakai oleh para perencana dan pengelola dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Di samping itu, data dasar ini juga dapat digunakan oleh stakeholders (users) sebagai bahan pembelajaran dalam pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan laporan melibatkan berbagai pihak. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada narasumber, informan dan semua responden yang telah menyediakan waktu untuk diwawancarai dan memberikan informasi yang sangat bermanfaat dalam studi ini. Penghargaan kami berikan kepada pimpinan dan aparat Desa Kedai Gadang serta para pewawancara yang telah memberikan informasi dan membantu kelancaran kegiatan penelitian. Selain itu, terima kasih juga ditujukan kepada rekan-rekan dari bagian kerjasama dan keuangan yang telah memperlancar kegiatan penelitian serta dari bagian komputer yang telah membantu dalam pengolahan data dan lay-out buku ini. Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini.
Jakarta, September, 2005 Kepala PPK-LIPI,
Dr.Ir. Aswatini, MA Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
ix
x
DAFTAR ISI
RINGKASAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR BAGAN DAFTAR LAMPIRAN I.
iii ix xi xiii xv xvii
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan dan Sasaran Penelitian 1.3. Metode Penelitian 1.3.1. Lokasi Penelitian 1.3.2. Pengumpulan Data 1.3.3. Analisa Data 1.4. Organisasi Penulisan
1 1 3 4 4 5 6 6
II. PROFIL DESA KEDAI GADANG 2.1. Kedaan Geografis 2.2. Kondisi SDA 2.3. Kondisi Kependudukan 2.4. Sarana dan Prasarana 2.5. Kelembagaan Sosial-Ekonomi
9 9 11 15 20 25
III. POTRET PENDUDUK DESA KEDAI GADANG 3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk 3.2. Kualitas SDM 3.2.1. Pendidikan dan Ketrampilan 3.2.2. Kesehatan 3.2.3. Pekerjaan 3.3. Kesejahteraan 3.3.1. Pendapatan 3.3.2. Pengeluaran pangan dan non- pangan 3.3.3. Strategi dalam pengelolaan keuangan 3.3.4. Pemilikan Asset Rumah Tangga 3.4. Kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan
27 27 28 28 30 31 33 33 37 39 42 46
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
xi
IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT 4.1. Pengetahuan, Kesadaran dan Kepedulian terhadap penyelamatan TK 4.1.1. Pengetahuan dan sikap tentang terumbu karang 4.1.2. Pengetahuan dan Teknologi dan sikap tentang Alat Tangkap 4.2. Wilayah Pengelolaan 4.2.1. Teknologi Penangkapan 4.2.2. Unjam 4.3. Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan 4.4. Hubungan antara stakeholders
53 55 57 58 59 60
V. PRODUKSI DAN PEMANFAATAN SDL 5.1.. Hasil Produksi 5.1.1. Ikan aso-aso 5.1.2. Ikan gostan 5.1.3. Ikan kembung 5.2. Pengolahan Hasil Produksi 5.3. Pemasaran Hasil
63 63 65 66 68 69 71
VI. DEGRADASI SDL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH 6.1. Kerusakan SDL 6.1.1. Pergeseran Garis Pantai 6.1.2. Kerusakan Terumbu Karang 6.1.3. Penurunan Jumlah Tangkapan Ikan 6.2. Faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan SDL 6.2.1. Faktor Internal 6.2.2. Faktor Eksternal 6.2.3. Faktor Struktural 6.3. Konflik kepentingan antar stakeholders
75 75 76 78 79 80 80 81 82 83
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan 7.2. Rekomendasi
87 87 90
DAFTAR PUSTAKA
93
xii
51 51 51
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Penduduk Desa Kedai Gadang Menurut Kelompok Umur, Tahun 2005
17
Tabel 3.1. Komposisi Anggota Rumah Tangga Responden Desa Kedai Gadang Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2005
28
Tabel 3.2. Komposisi Anggota Rumah Tangga Responden Desa Kedai Gadang Berdasarkan Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan Tahun 2005
29
Tabel 3.3. Komposisi ART Responden Menurut Jenis Pekerjaan Utama
32
Tabel 3.4
Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Pekerjaan
35
Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Pengeluaran
38
Tabel 4.1
Wilayah Tangkap Nelayan Desa Kedai Gadang
56
Tabel 4.2
Jenis Alat Tangkap Nelayan Desa Kedai Gadang
57
Tabel 6.1
Lokasi dan Nama-nama Terumbu Karang
78
Tabel 6.2
Pemilik Pukat Harimau dan Pukat Ikan di Sibolga
82
Tabel 3.5
Tabel 6.3 Daftar korban unjuk rasa Nelayan Sibolga Tahun 2000
84
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
xiii
xiv
DAFTAR BAGAN DAN PETA Peta 2.1.
Desa Kedai Gadang
10
Peta 2.2.
Sketsa Kondisi Ekositem Desa Kedai Gadang
13
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
xv
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Jumlah Penduduk Kecamatan Barus Menurut Jenis Kelamin
95
Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pendapatan dalam Periode satu bulan terakhir, Desa Kedai Gadang, 2005
96
Lampiran 3.1. Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pengeluran untuk Makanan dalam Periode satu bulan terakhir, Desa Kedai Gadang, 2005
97
Lampiran 3.2. Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pengeluran bukan Makanan dalam Periode satu bulan terakhir, Desa Kedai Gadang, 2005
98
Lampiran 2.
Lampiran 4. Lampiran 5
Jumlah Rumah Tangga Penduduk dan Keluarga Prasejahtera Kecamatan Barus, 2003 Harga Ikan menurut Jenis Ikan di Tingkat Pedagang Pengumpul di Desa Kedai Gadang
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
99 100
xvii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya laut. Salah satu sumber daya laut yang dimiliki oleh Indonesia adalah terumbu karang di mana kawasannya merupakan salah satu yang terluas di dunia. Luas terumbu karang di Indonesia mencapai sekitar 75.000 km2 atau sekitar 15 persen luas terumbu karang dunia. Indonesia merupakan pusat biodiversity terumbu karang di dunia yang memiliki 70 genera dan 450 jenis spesies karang. Ekosistem terumbu karang yang sangat luas ini kaya akan keanekaragaman hayati, seperti 20.000 jenis moluska, 2000 jenis krustasea, 6 jenis kura-kura laut, 30 jenis mamalia laut, dan lebih dari 8500 jenis ikan (AMSAT, 2002: 7-8). Kenakekaragaman yang dimiliki oleh Indonesia tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan biodiversity laut yang unik. Keberadaan terumbu karang memiliki arti yang sangat penting bagi ekosistem laut. Hal ini dikarenakan terumbu karang merupakan tempat pemijahan, perawatan dan pembesaran serta tempat mencari makan bagi berbagai fauna laut. Terumbu karang juga dimanfaatkan untuk bahan obat-obatan, bahan baku berbagai jenis industri, perlindungan pantai, tempat hidup binatang dan tumbuhan laut, serta sebagai daerah wisata bahari. Selain itu, ekosistem terumbu karang mempunyai nilai yang sangat berharga terutama bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang mengantungkan hidupnya pada pengelolaan sumber daya laut, terutama terumbu karang. Terumbu karang merupakan sebuah ekosistem yang menghasilkan berbagai biota yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi. Sumber daya laut ini menyokong masyarakat pesisir, perikanan berskala kecil maupun industri perikanan. Pada tahun 1997, jumlah produksi dari kegiatankegiatan ekonomi kelautan dan pesisir di indonesia diperkirakan mencapai 25-30 persen dari produk domestik bruto (PDRB). Selain itu, sektor ini juga memberikan kesempatan kerja kepada sekitar 20 juta orang (AMSAT, 2002: 7). Sayangnya, sumber daya laut di Indonesia belum dikelola secara berkelanjutan. Bahkan sebagian besar terumbu karang dikawatirkan sudah dalam keadaan rusak. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada pertengahan tahun 1990an, terungkap bahwa sekitar 70 Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
1
persen terumbu karang di Indonesia dalam kondisi buruk, bahkan sekitar 40 dalam kondisi sangat buruk. Hanya enam persen terumbu karang yang dapat digolongkan dalam kondisi sangat bagus, dan 23 persen dalam kategori baik (Suharsono, 2000 dikutip oleh Hidayati, 2002: 1). Hancurnya terumbu karang di Indonesia dikarenakan oleh adanya aktivitas-aktivitas manusia antara lain seperti penambangan karang, sedimentasi, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan antara lain seperti bom, racun (potassium cyanide), dan bubu. Selain itu, kegiatan-kegiatan seperti pengambilan karang hidup untuk souvenir, karang untuk bahan bangunan, sebagai jangkar perahu maupun sebagai pembatas pantai juga memperparah rusaknya terumbu karang di Indonesia. Rusaknya terumbu karang dan berbagai permasalahan yang timbul di daerah pesisir sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat pesisir terutama nelayan-nelayan berskala kecil. Ketergantungan mereka terhadap terumbu karang cukup tinggi, dengan rusaknya terumbu karang akan menurunkan hasil tangkapan mereka. Padahal nelayan cenderung berpenghasilan tidak menentu, selain itu pada umumnya mereka hidup dengan keterbatasan infrastruktur sosial seperti air bersih, sanitas, elayanan kesehatan, transportasi dan sebagainya. Sebagai upaya untuk mengatasi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan terumbu karang, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan suatu program yang dikenal dengan Coral Reef Rehabilitation and Management Program, atau dikenal dengan sebutan COREMAP. COREMAP dirancang dan dimulai pada tahun 1998 sebagai strategi selama 15 tahun untuk sarana mengembangkan pengelolaan terumbu karang yang lebih efektif berdasarkan pada konservasi dan kegiatankegiatan yang berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. COREMAP dilakukan ke dalam tiga fase. Fase pertama adalah pengenalan (initiation) yang berakhir pada tahun 2002, fase II adalah percepatan (acceleration) (AMSAT, 2002). Ada lima komponen yang menjadi fokus dari COREMAP, yaitu: (1) Pengelolaan berbasis masyarakat, (2) Penyadaran masyarakat, (3) Pengawasan dan penegakan hukum melalui kebijaksanaan terkoordinasi, (4) Pengembangan sumber daya manusia, (5) Penelitian, monitoring dan evaluasi (Daliyo dan Suko Bandiyono, 2002: 2). Pada saat ini Proyek COREMAP sudah memasuki Fase II yang mulai digulirkan pada tahun anggaran 2004. Tujuannya adalah terkelolanya daerah-daerah terumbu karang prioritas secara efektif dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Untuk itu, informasi yang lengkap akan memberikan acuan bagi perencana dan pengambil keputusan dalam pengembangan kegiatankegiatan di lokasi COREMAP II. Oleh karena itu diperlukan survai data dasar dan kajian sosial agar dapat menyajikan informasi tentang kondisi 2
nyata yang ada pada masyarakat sehingga perencanaan yang dibuat akan sesuai dengan potensi, permasalahan dan aspirasi masyarakat. Dengan demikian sasaran dan tujuan COREMAP II akan dapat tercapai secara efektif dan efisien. 1.2. Tujuan dan sasaran penelitian Secara umum studi ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengambil keputusan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Adapun tujuan khusus dari studi ini adalah untuk: ¾
Mendiskripsikan kondisi geografis dan sosial ekonomi Desa Kedai Gadang untuk memberikan gambaran umum tentang potensi sumber daya alam, sarana dan prasarana serta kelembagaan sosial dan budaya yang dapat mendukung dan /atau menghambat pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan.
¾
Mendiskripsikan kondisi sumber daya manusia dan memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat antara lain dari pendidikan, pendapatan, pengeluaran, keberadaan aset rumah tangga, kondisi perumahan, tabungan dan hutang. Selain itu, studi ini juga mengidentifikasi kegiatan-kegiatan mata pencaharian alternatif yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang sesuai dengan kondisi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada.
¾
Menggambarkan kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya termasuk di dalamnya potensi, pola pemanfaatan, teknologi yang dipakai, permodalan, pemasaran serta pengetahuan dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaanya.
¾
Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisa kegiatankegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut yang mengancam kelestarian terumbu karang maupun yang berpotensi untuk mengelola. Di samping itu, studi ini juga mengidentifikasi potensi konflik antar stakeholders yang dapat berpengaruh negatif terhadap pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan.
Sasaran penelitian adalah tersedianya data dasar tentang aspek sosial terumbu karang yang dapat digunakan oleh para perencana, pengelola dan pelaksana untuk merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Selain itu, tersedianya data tentang aspek sosial Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
3
terumbu karang dapat digunakan oleh stakeholders (users) sebagai bahan pembelajaran dalam pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang secara berkelanjutan.
1.3. Metode Penelitian 1.3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Kedai Gadang, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi sudah ditentukan di Jakarta. Adapun pertimbangan dari pemilihan lokasi antara lain adalah sebagai berikut:
4
¾
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang termasuk dalam 10 provinsi lokasi COREMAP. Provinsi Sumatera Utara memiliki terumbu karang seluas kurang lebih 65.000 hektar, dan 98 persen dari luasan terumbu karang tersebut terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Nias dan Tapanuli Tengah.
¾
Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki luasan terumbu karang sekitar 4000 hektar atau 6,1 persen dari keseluruhan terumbu karang di Provinsi Sumatera Utara. Ada sekitar 28 desa pantai yang berada di Kabupaten Tapanuli Tengah.
¾
Kecamatan Barus merupakan bagian dari daerah in situ COREMAP di Kabupaten Tapanuli Tengah selain Kecamatan Badiri. Kecamatan Barus – Manduamas (saat ini Manduamas menjadi kecamatan tersendiri) memiliki terumbu karang seluas 914 hektar (lihat AMSAT, 2002).
¾
Pemilihan Desa Kedai Gadang adalah dengan pertimbangan bahwa desa ini memiliki lebih dari 100 kepala keluarga dan sebagian besar penduduknya sangat tergantung pada sumber daya laut. Sebelumnya, desa yang akan diplih sebagai lokasi penelitian adalah Desa Kinali, namun karena Desa Kinali sudah dimekarkan menjadi dua desa (salah satu wilayahnya masuk ke Kecamatan Andam Dewi), rumah tangga yang ada di Desa Kinali kurang dari 100 sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan survai di desa tersebut.
1.3.2. Pengumpulan data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti Bappeda, Kantor Statistik, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tapanuli Tengah, Kantor Kecamatan Barus dan Dinas Pendidikan Kecamatan Barus. Data primer diperoleh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survai terhadap 100 rumah tangga terpilih dengan menggunakan kuesioner berstruktur. Desa Kedai Gadang memiliki 284 rumah tangga, oleh karena itu pemilihan rumah tangga dilakukan secara acak beraturan dengan mendatangi rumah tangga yang tinggal di setiap dua interval rumah. Responden untuk pertanyaan rumah tangga adalah atau anggota rumah tangga yang dapat mewakili kepala keluarga. Sementara untuk pertanyaan individu, responden dipilih secara acak dari angota rumah tangga dewasa (berumur lebih dari 15 tahun ke atas) dan berada di tempat pada saat wawancara serta mampu menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan. Untuk pengumpulan data kuantitatif, peneliti dibantu oleh 5 orang pewawancara yang dipilih dari masyarakat setempat. Mereka umumnya berpendidikan SLTA ke atas (dua di antaranya pernah kuliah sampai semester 5 di perguruan tinggi). Data primer dikumpulkan melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan berbagai teknik yaitu wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) dan observasi (pengamatan). ¾
Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) terhadap beberapa informan kunci yang dipilih secara purposive. Informan kunci yang berhasil diwawancarai di tingkat Kabupaten Tapanuli Tengah adalah dari Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan; di tingkat Kecamatan Barus adalah Camat dan Aparat Kecamatan Barus, PLKB, Dokter dan Petugas Puskesmas Kecamatan Barus, serta Pengusaha Es. Sedangkan wawancara mendalam di Desa Kedai Gadang dilakukan pada informan kunci termasuk kepala desa, sekretaris desa, tokoh masyarakat, kepala SD, tokoh pemuda, pengurus PKK, taoke, tekong (koordinator anak buah kapal/ABK), ABK, nelayan jaring, pemilik warung, penjual ikan keliling (pengalong-along) dan petugas gudang ikan. Untuk pemilihan informan diperoleh dengan cara snowballing artinya, informan diperoleh berdasarkan informasi dari informan sebelumnya untuk memperkaya informasi yang terkumpul.
¾
FGD dilakukan dengan sekelompok nelayan pukak payang dan nelayan jaring unyil di Desa Kedai Gadang. Setiap kelompok
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
5
terdiri dari 6 orang yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang setara. ¾
Observasi (pengamatan lapangan) dilakukan untuk lebih memahami secara komprehensif keadaan desa maupun permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Pengamatan dilakukan di sekitar pemukiman, sekitar desa, di pasar Batu Gerigis serta tangkahan ikan baik di Sibolga maupun di Medan.
1.3.3. Analisa Data Analisa data dilakukan dengan penekanan pada analisa deskriptif yang menggabungkan data kuantatif dan kualitatif. Data kuantitatif yang diperoleh dari hasil survai dianalisa dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Sedangkan, data kualitatif dianalisa dengan teknik analisa isi (content analysis). Data kualitatif ini digunakan untuk memperkaya pemahaman tentang isu-isu pokok penelitian. Dengan demikian akan diperoleh gambaran yang utuh mengenai masyarakat nelayan Desa Kedai Gadang, baik mengenai kondisi sosial ekonomi dan budayanya, pengelolaan sumber daya laut serta isu-isu yang muncul berkenaan dengan pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang.
1.4. Organisasi Penulisan Penulisan hasil penelitian mengenai “Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang” dibagi ke dalam tujuh bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian dan metode penelitian. Bab dua memuat tentang profil Desa Kedai Gadang yang mencakup uraian tentang kondisi geografis, potensi SDA, kependudukan, sarana dan prasarana serta kelembagaan yang mendukung dan/atau menghambat penegelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Bab tiga, mendeskripsikan tentang potret penduduk Desa Kedai Gadang, khususnya dari rumah tangga yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Dalam bab ini diuraikan mengenai Jumlah dan komposisi penduduk, kualitas SDM, serta tingkat kesejahteraan penduduk. Bab selanjutnya lebih menekankan pada analisa tentang pengelolaan SDL terutama yang berkaitan, pengetahuan, kesadaran dan kepedulian terhadap penyelamatan terumbu karang, wilayah dan teknologi pengelolaan, stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan serta hubungan antar stakeholders. Setelah dipaparkan mengenai penelolaan SDL, bab selanjutnya membahas tentang produksi dan pemanfaatan SDL terutama menekankan pada aspek produksi, 6
pengolahan dan pemasaran hasil. Bab VI mengemukakan tentang degradasi SDL, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap degradasi tersebut dan konflik kepentingan antar stakeholders. Laporan penelitian diakhiri dengan bab penutup (Bab VII) yang merupakan kesimpulan dan rekomendasi dengan menekankan pada temuan pokok penelitian dan beberapa saran yang dapat dijadikan masukan dalam perencanaa, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan COREMAP.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
7
8
BAB II. PROFIL DESA KEDAI GADANG
2.1. Keadaan Geografis Desa Kedai Gadang terletak di wilayah Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Secara geografis Desa Kedai Gadang terletak pada koordinat 20º 10' Lintang Utara (LU) dan 98º 41' Bujur Timur (BT). Jarak dari ibu kota kecamatan Barus yang berlokasi di wilayah Kelurahan Padang Masiang sekitar 2 km. Sedangkan jarak dari ibu kota kabupaten Tapanuli Tengah yang beribu kota di Pandan sekitar 78 km. Batas desa di sebelah Utara adalah wilayah Desa Bukit Patupangan Kecamatan Barus, di sebelah Barat Desa Sigambo-Gambo Kecamatan Barus, di sebelah Timur Desa Sibintang Kecamatan Sosor Gadong, dan si sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah laut Samudera Indonesia. Di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Desa Kedai Gadang ini terletak di ujung sebelah Utara, sebelum berbatasan dengan wilayah kecamatan Andam Dewi dan sekitar empat jam perjalanan darat menuju perbatasan wilayah Kabupaten Singkil, Provinsi Nangggroe Aceh Darussalam (NAD). Luas Desa Kedai Gadang setelah pemekaran adalah 2,32 km². Luas desa ini sudah berkurang dari luas sebelumnya karena pemekaran wilayah Kecamatan Barus menjadi tiga kecamatan. Pemekaran wilayah Kecamatan Barus dengan wilayah kecamatan Sosor Gadong dilakukan pada tahun 2003. Sebagian wilayah Desa Kedai Gadang terutama yang terletak di sebelah Timur dimekarkan menjadi Desa Sibintang yang kemudian masuk ke dalam wilayah Kecamatan Sosor Gadong. Pemekaran kecamatan ini merupakan bagian dari pemekaran secara keseluruhan dimana wilayah Kecamatan Barus di mekarkan menjadi tiga kecamatan yakni Kecamatan Barus yang tetap beribukota di wilayah Desa Batu Gerigis, Kecamatan Sosor Gadong dan Kecamatan Andam Dewi. Sementara itu pemekaran wilayah Kecamatan yang lain di Kabupaten Tapanuli Tengah seperti pemekaran wilayah kecamatan Manduamas ke Kecamatan Sirandorung telah dilakukan pada tahun sebelumnya yakni tahun 2002. Wilayah Kecamatan Barus sekarang setelah dimekarkan berada pada titik koordinat geografis 23º 20' - 34º 55' Lintang Utara - 76º 36' Bujur Timur. Luas wilayahnya sekarang adalah 84,8 km², berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara di sebelah Utara, dengan Kecamatan Andam Dewi di sebelah Barat, dengan Kecamatan Sosor Gadong di sebelah Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
9
Timur, dan dengan wilayah perairan laut Samudera Indonesia di sebelah Selatan. Secara umum, letak wilayah Kecamatan Barus termasuk diantaranya Desa Kedai Gadang strategis di pesisir pantai Barat Sumatera. Letak strategis Desa Kedai Gadang terutama karena wilayah desa ini dilintasi oleh jalan alternatif yang rencananya akan dikembangkan menjadi jalur lintas Barat Sumatera, yang membentang dari pesisir Barat Sumatera Barat, Sumatera Utara sampai Nanggroe Aceh Darussalam. Sedangkan topografi atau bentangan alam Desa Kedai Gadang sebagian merupakan daerah yang memiliki tingkat kemiringan sedang dan sebagian yang lainnya memiliki topografi yang datar. Topografi alam dengan tingkat kemiringan sedang ini terletak di bagian Utara wilayah desa itu yakni di wilayah sepanjang perbatasan dengan Desa Bukit Patupangan. Tingkat kemiringan sedang ini karena letak bagian Utara desa ini berada di lereng kaki bukit barisan yang memanjang dari wilayah NAD sampai Sumatera Barat. Sedangkan topografi dengan kecenderungan datar berada di bagian tengah hingga ke Selatan berbatasan dengan pantai. Pada areal ini terutama di wilayah bagian tengah desa dimanfaatkan oleh penduduk untuk areal persawahan dan permukiman. Sedangkan di sepanjang garis pantai banyak dimanfaatkan penduduk sebagai areal permukiman.
Peta 2.1. Desa Kedai Gadang
10
Secara umum, kondisi tanah di Desa Kedai Gadang relatif subur. Hal ini antara lain diperlihatkan oleh berbagai jenis tanaman yang tumbuh di wilayah desa itu dan keberadaan areal persawahan yang menopang kebutuhan pangan penduduk desa. Sawah di desa ini ditanami padi sebanyak dua kali selama satu tahun. Sistem pengairan sawah memanfaatkan aliran air sungai dari bukit-bukit di sepanjang Bukit Barisan yang mengalir ke pantai. Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, Desa Kedai Gadang juga dipengaruhi oleh dua musim yakni musim kemarau dan penghujan. Musim kemarau berlangsung selama setengah tahun pada sekitar bulan Maret sampai Agustus, sedangkan musim penghujan dimulai bulan September sampai Februari. Namun demikian perubahan musim yang terjadi belakangan ini menyebabkan jadwal pergantian musim tidak menentu, seperti misalnya hujan datang pada bulan-bulan kemarau atau sebaliknya. Sebagai desa yang terletak di daerah pesisir, Desa Kedai Gadang memiliki garis pantai yang lurus memanjang. Pada beberapa tempat di pantai ini terdapat muara yang berfungsi mengalirkan air dari daratan ke lautan. Kondisi pantai umumnya landai, dengan pantai berpasir yang indah. Pantai yang landai ini terletak berhadapan dengan pulau kecil yang ada di tengah lautan. Sedangkan di beberapa tempat di ujung desa kondisi pantainya agak curam.
2.2. Kondisi Sumber Daya Alam Kondisi sumber daya alam di desa ini cukup bervariasi yang antara lain terlihat pada keragaman ekosistem yang ada di dalam satu wilayah desa itu. Secara umum, karakteristik ekosistem di wilayah desa ini dapat dikelompokkan menjadi empat jenis ekosistem yakni ekosistem dataran tinggi yang terletak di lereng kaki Bukit Barisan dan merupakan daerah yang berbukit-bukit, ekosistem pertanian lahan basah yang dicirikan dengan areal persawahan dengan jenis tanaman padi beririgasi tradisional, ekosistem rawa yang dicirikan dengan habitat pohon nipah, dan ekosistem pantai yang dicirikan dengan tanah berpasir dan muara sungai. Dengan kondisi karakteristik ekosistem seperti itu, Desa Kedai Gadang tidak dapat dikatakan seluruhnya merupakan daerah pesisir. Terutama pada bagian atas di wilayah desa itu yang merupakan daerah perbukitan, karakteristik daerah pesisir sudah jauh berkurang. Kondisi ini misalnya dicirikan dengan adanya berbagai jenis tanaman perkebunan rakyat seperti kelapa sawit, coklat dan tanaman perkebunan tradisional lainnya. Jenis tanaman ini setidaknya sering ditemukan di daerah dataran tinggi yang berkarakteristik ekosistem pegunungan atau lahan kering. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
11
Demikian pula dengan aktivitas penduduk di bagian atas itu, umumnya mereka tidak bermatapencaharian sebagai nelayan. Kebanyakan dari mereka merupakan petani lahan kering dan perkebunan rakyat seperti kelapa sawit dan coklat. Sedangkan di bawah daerah perbukitan merupakan daerah yang landai yang dikarakteristikkan dengan bentangan sawah yang beririgasi tradisional. Ekosistem yang dominan di daerah ini adalah ekosistem pertanian lahan basah jenis padi sawah. Luas areal persawahan di desa ini cukup besar, bahkan dapat dikatakan sebagian besar wilayah desa dimanfaatkan sebagai areal persawahan. Dari data jenis penggunaan lahan di desa itu terlihat komposisi penggunaan lahan sebagai berikut, tanah sawah (100 ha), tanah kering (80 ha), bangunan dan pekarangan (8,5 ha), dan lainnya (43,5 ha). Sawah yang berada diantara ekosistem dataran tinggi dan rawa serta pantai itu terlihat cukup dominan. Sebagian penduduk di desa itu bahkan ada yang sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada sawah. Walaupun jarak permukiman mereka dari pantai tidak terlalu jauh dan sangat memungkinkan bagi penduduk itu untuk mencari mata pencaharian di laut seperti sebagai nelayan atau pedagang ikan namun hal itu tidak dilakukannya. Penduduk yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem sawah ini terutama yang berada di kampung-kampung kecil yang terbentuk seperti pulau-pulau kecil di antara areal persawahan yang luas itu. Batas antara areal persawahan dengan daerah rawa yang selalu digenangi air tidaklah terlalu jelas karena selalu digenangi air. Beberapa diantaranya juga dimanfaatkan penduduk sebagai tempat memelihara ikan mirip seperti kolam ikan. Selain itu, tanah-tanah rawa yang berbatasan langsung dengan areal persawahaan juga banyak yang dimanfaatkan penduduk untuk tanaman padi kecuali daerah rawa yang dalam tidak digunakan sama sekali oleh penduduk. Secara umum, daerah rawa ini tampak seperti daerah penyeimbang antara air yang mengalir dari perbukitan dan air laut yang masuk ke darat karena pasang naik. Disamping itu, kondisi rawa yang selalu digenangi air menunjukkan interaksi yang tinggi antara ekosistem darat dengan laut. Daerah yang selalu tergenang air ini berfungsi untuk mengatur kapasitas air yang masuk dan keluar. Air masuk ke daerah rawa berasal dari dua sumber yakni air dari daratan dan air pasang naik dari air laut. Apabila kedua sumber air itu masuk secara bersamaan maka akan mengakibatkan banjir pada permukiman penduduk. Sementara itu, kondisi pantai yang mudah tertutup pasir seringkali menjebak air laut yang masuk ke darat menjadi tidak bisa keluar lagi sehingga untuk mengurangi banjir, penduduk biasanya harus membuka muara yang tertimbun pasir itu.
12
Diantara rawa dan pantai itulah sebagian besar permukiman penduduk Desa Kedai Gadang tinggal. Areal permukinan ini dipilih antara lain dengan mempertimbangkan akses jalan “lintas Barat Sumatera” yang berada di sepanjang tepian pantai itu. Ruang yang tersisa antara rawa dan pantai ini tidaklah terlalu luas atau sekitar 100 meter sampai dengan 200 meter. Walaupun sempit namun sebagian besar penduduk desa memilih tinggal di areal ini. Sebagian penduduk yang tidak mendapatkan bagian lokasi untuk rumah bahkan membangun rumahnya persis di pantai. Sempitnya lahan yang bisa digunakan untuk areal permukiman penduduk ini ditandai dengan banyaknya rumah-rumah penduduk yang didirikan di pantai dan di atas rawa-rawa. Rumah-rumah penduduk ini sangat riskan terhadap perubahan alam seperti banjir, angin kencang, serta kemungkinan tertimbun pasir. Sedangkan rumah-rumah penduduk yang berada di atas rawa-rawa hampir selalu digenangi air. Pada saatsaat tertentu ketika air laut pasang naik bahkan rumah-rumah ini terkena banjir sehingga kelihatan seperti rumah-rumah diatas air. Sementara itu rumah-rumah penduduk yang berada di pantai biasanya berhadapan dengan angin kencang sehingga bisa tertimbun pasir pantai.
Peta 2.2. Sketsa Kondisi Ekosistem Desa Kedai Gadang
Dengan kondisi ekosistem seperti ini dimana tanah padat hanya tersedia dengan sangat terbatas diantara sawah, rawa dan pantai maka sumber Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
13
air bersih menjadi persoalan utama penduduk sehari-hari. Tidak semua rumah terutama yang berada di atas rawa-rawa dan di sepanjang pantai memiliki sumber air bersih. Sumber-sumber air bersih hanya tersedia di antara ekosistem itu diantara tanah-tanah relatif padat. Di daerah ini, air menjadi barang langka dan sangat berharga. Ketinggian Desa Kedai Gadang dari permukaan laut adalah sekitar 2 meter. Beberapa penduduk untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya menggunakan air yang berasal dari sumur dengan kedalaman sekitar 4 meter. Sebagian kecil penduduk menggunakan sarana air bersih dari PDAM. Sedangkan sumber daya alam yang ada di pantai hingga ke laut tidak terlalu menonjol. Pasir pantai, batu karang, tumbuhan dan binatang laut hampir tidak ada yang memanfaatkan. Penduduk lebih berorientasi ke laut lepas memanfaatkan sumber-sumber daya alam yang berada di samudera Indonesia seperti berbagai jenis ikan dan udang. Disamping itu, hal ini mungkin juga disebabkan karena tidak berkembangnya tradisi budidaya di kalangan masyarakatnya terutama jenis-jenis budidaya di daerah pantai di kalangan nelayan tradisional ini. Kendatipun demikian, di daerah pantai yang terletak di ujung Desa Kedai Gadang ini, sebagian areal pantai mulai dikenal penduduk sekitarnya sebagai lokasi wisata pantai. Wilayah pantai ini dikenal sebagai pantai Indah Kedai Tiga karena terletak di Dusun Kedai Tiga, Desa Kedai Gadang. Fasilitas wisata yang ada masih sangat terbatas karena belum dikelola dengan baik. Para pengunjung memanfaatkan kondisi alam pantai yang banyak ditumbuhi pohon kelapa dan rerumputan. Obyek wisata ini masih mengandalkan panorama alam dimana di pantai itu banyak ditumbuhi pohon kelapa, pasir pantai, air laut dan panorama pulau-pulau kecil di tengah lautan. Selain itu, beberapa perahu cadik (layar) milik nelayan dari Desa Bukit Batupangan yang ditambat di sekitar pantai itu juga menambah bagusnya pemandangan pantai Indah Kedai Tiga. Pengunjung yang datang ke pantai ini umumnya berasal dari sekitar Desa Kedai Gadang dan dari desa-desa lain di sekitar wilayah kecamatan Barus. Para pengunjung biasanya ramai pada sore hari di akhir pekan, menikmati pemandangan laut sembari membakar ikan dan lamang atau makanan terbuat dari ketan dengan santan kelapa. Lamang ini biasanya dibuat oleh penduduk setempat dan sengaja dijual kepada para pengunjung di akhir pekan. Beberapa orang dari desa itu juga sudah mulai berjualan makanan dan minuman di pantai itu.
14
2.3. Kondisi Kependudukan Menurut penuturan salah seorang nara sumber di Desa Kedai Gadang, asal-usul penduduk Desa Kedai Gadang sekarang sebagian besar merupakan penduduk pendatang dari daerah tengah Sumatera Utara. Generasi pertama yang melakukan migrasi ke daerah pantai ini telah berlangsung sejak lama, sejak jaman Belanda. Sedangkan generasi sekarang adalah generasi yang kesekian kalinya. Orang tua kepala Desa Kedai Gadang sekarang (almarhum) misalnya, diyakini bukan generasi pendatang yang pertama. Generasi sebelumnyalah yang diyakini oleh orang-orang sekarang sebagai orang-orang pertama yang melakukan migrasi ke daerah itu. Penduduk Desa Kedai Gadang hampir semuanya adalah dari suku Batak, utamanya dari Toba Samosir. Menurut seorang informan kunci, sebagian besar penduduk Desa Kedai Gadang adalah masih ada ikatan kekerabatan. Mereka pada umumnya berasal dari Kabupaten Toba Samosir yang merupakan petani lahan kering. Masyarakat Batak yang tinggal di desa ini sudah tiga generasi. Meskipun kakek nenek moyang mereka adalah petani namun perkenalan mereka dengan nelayan baik yang dari Padang maupun Aceh (Singkil) yang mendorong mereka untuk mencari nafkah sebagai nelayan. Para nelayan ini bertempat tinggal di pinggir jalan di tepi pantai, sementara mereka yang tinggal di perbukitan tetap meneruskan pekerjaan sebagai petani baik petani sawah maupun petani kebun. Selain dalam hal kenelayanan, bahasa Batak yang berpadu dengan bahasa pesisir (bahasa Minang) menimbulkan suatu warna tersendiri dalam percakapan sehari-hari. Pada tahun 2004 kini, jumlah penduduk di wilayah Kecamatan Barus mencapai 19.604 jiwa, terdiri dari 9.685 laki-laki dan 9.919 perempuan. Pada masa sekarang pertambahan jumlah penduduk umumnya berasal dari hubungan perkawinan dan angka kelahiran. Arus migrasi seperti yang terjadi pada generasi pertama dahulu sudah semakin sedikit. Hal ini antara lain terlihat pada angka jumlah penduduk yang masuk ataupun keluar desa. Kecenderungan yang terjadi justru lebih banyak penduduk yang keluar. Mereka umumnya kalangan muda yang keluar desanya karena alasan mencari tingkat pendidikan yang tinggi ataupun mencari pekerjaan di kota-kota lain. Pada saat penelitian ini berlangsung sekretaris desa membuatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk 7 orang remaja perempuan yang akan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan di Sibolga. Jumlah kepala keluarga (KK) di wilayah kecamatan Barus pada tahun 2004 adalah sebanyak 4.118 kk. Dengan luas wilayah 84,83 km² sementara jumlah penduduknya 19.604 jiwa, kepadatan penduduk adalah sebesar 231,10 jiwa/km2. Sedangkan pada tahun sebelumnya Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
15
yakni tahun 2003 jumlah penduduk di wilayah Kecamatan Barus mencapai 19.405 orang (kemungkinan jumlah ini sebelum wilayah kecamatan Barus dimekarkan). Dari jumlah tersebut, penduduk lakilakinya mencapai 9.585 orang dan penduduk perempuannya adalah 9.820 orang. Sementara itu jumlah rumah tangganya mencapai 4.135 rumah tangga dengan rata-rata anggota rumah tangganya sekitar 5 orang. Sebagaimana kecenderungan di daerah lain di Indonesia, jumlah penduduk dewasa di wilayah kecamatan Barus juga cenderung membesar yakni mencapai 12.503 orang, sedangkan jumlah anakanaknya mencapai 6.902 orang. Menurut data yang diperoleh dari kantor Kecamatan Barus, jumlah penduduk Kedai Gadang pada tahun 2003 sekitar 1.511 orang yang terdiri dari 284 kepala keluarga. Dengan wilayah seluas 2,32 km² dan penduduk berjumlah 1.511 maka kepadatan jumlah penduduk adalah 652 jiwa per km². Menurut data yang ada di Kecamatan Barus (Kecamatan Barus Dalam Angka 2003), Desa Kedai Gadang berpenduduk lebih padat dibandingkan dengan rata-rata kepadatan penduduk desa-desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Barus (rincian penduduk Kecamatan Barus menurut jenis kelamin per desa dapat dilihat pada lampiran 1). Di Desa Kedai Gadang tidak ada data kependudukan (monografi lengkap) yang dapat diacu sebagai sumber informasi tentang penduduk desa setempat. Satu-satunya data terbaru yang dapat dipakai untuk mengetahui jumlah penduduk adalah selembar informasi tentang jumlah penduduk berdasarkan umur dan keterangan singkat mengenai jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga (KK) dan jumlah penduduk pemeluk agama. Menurut kepala desa setempat, data tersebut merupakan informasi terbaru mengenai jumlah penduduk Desa Kedai Gadang yang relatif baru dan dikumpulkan pada bulan Mei 2005 untuk keperluan pendataan keluarga yang harus disampaikan pada Rapat Kerja Pemerintahan di Kecamatan Barus pada tanggal 25 Mei 2005. Menurut Kepala Desa Kedai Gadang, jumlah penduduk Desa Kedai Gadang pada bulan Mei 2005 terdiri dari 284 Kepala Keluarga (KK) yang meliputi kurang lebih 1.516 jiwa. Rata-rata tiap keluarga terdiri dari sekitar 5 jiwa. Bila dirinci berdasarkan jenis kelamin, penduduk Kedai Gadang terdiri dari laki-laki sebanyak 51 persen dan perempuan sebanyak 49 persen. Di Desa Kedai Gadang, laki-laki berperan sebagai pencari nafkah. Dibandingkan dengan data penduduk sebelumnya terlihat bahwa dalam kurun waktu 3 tahun tidak ada perubahan jumlah penduduk yang cukup signifikan. Selembar kertas dari Kepala Desa Kedai Gadang tentang data penduduk setempat hanya memberikan informasi lengkap mengenai jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur. Tidak ada keterangan secara rinci berapa jumlah penduduk lakilaki dan perempuan berdasarkan kelompok umur. Secara terinci jumlah 16
dan komposisi penduduk Desa Kedai Gadang yang tersebar di tiga dusun adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Penduduk Desa Kedai Gadang berdasarkan kelompok umur tahun 2005 Kelompok umur Jumlah (tahun) 0-4 238 5-9 225 10-14 220 15-19 161 20-24 113 25-29 102 30-34 70 35-39 91 40-44 102 45-49 49 50-54 41 55-59 29 60-64 32 65 keatas 43 Jumlah 1516 Sumber : Kepala Desa Kedai Gadang, 2005.
Persentase 15,7 14,8 14,5 10,6 7,5 6,7 4,6 6,0 6,7 3,2 2,7 1,9 2,1 2,8 100
Tabel 2.1 di atas menunjukkan bahwa struktur penduduk Desa Kedai Gadang dapat digolongkan sebagai penduduk berusia muda karena sebagian besar penduduknya berumur di bawah 25 tahun. Dari observasi lapangan juga terlihat kelompok umur muda lebih banyak daripada penduduk yang termasuk dalam kategori penduduk lanjut usia (lansia atau di atas 55 tahun). Anak-anak usia di bawah lima tahun (balita) mempunyai persentase terbesar (18 persen) dari keseluruhan penduduk. Penduduk Desa Kedai Gadang terdiri dari dua pemeluk agama Islam dan Kristen yang persentasenya hampir seimbang, masing-masing sebanyak 740 jiwa (49 persen) dan 51 persen. Meskipun ada dua agama yang penganutnya berjumlah hampir seimbang, namun mereka hidup rukun. Para pemeluk agama Islam cenderung hidup mengumpul di Dusun Tengah, sementara mereka yang menganut agama Kristen menetap di Dusun Kedai Tiga dan Dusun Tobasan. Menurut seorang informan kunci di Desa Kedai Tiga, pengelompokkan ini semata-mata berdasarkan kebiasaan hidup dari para pemeluk tadi. Misalnya, penganut agama Kristen mempunyai kebiasaan memelihara ternak babi dan membiarkan ternak tersebut berkeliaraan di sekitar rumah-rumah penduduk. Dalam hal bekerja khususnya yang bekerja sebagai nelayan, Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
17
mereka tetap bekerja bersama-sama dalam suatu kelompok. Tidak atau belum pernah terjadi pengelompokan kerja yang anggota-anggotanya dikhususkan untuk penganut agama tertentu. Meskipun pada dasarnya penduduk Kedai Gadang menganut agama Islam dan Kristen, namun para nelayan dari Desa Kedai Gadang masih melakukan beberapa ritual adat. Salah satunya mengadakan kenduri dengan menyembelih seekor kerbau yang ditujukan kepada penguasa laut. Kenduri ini biasanya dilakukan sebelum mereka turun ke laut. Kebiasaan tersebut saat ini sudah jarang dilakukan, seiring dengan pengaruh kuatnya agama Islam yang masuk dan membuka pikiran penduduk. Selain itu, kata seorang informan yang merupakan tokoh masyarakat, kebiasaan potong kerbau sebelum melaut diangap terlalu berat apalagi untuk situasi saat ini di mana penghasilan nelayan menurun cukup drastis.
Pendidikan Tidak ada data tertulis dari kantor desa yang dapat memberikan gambaran secara nyata jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan. Namun demikian, dari keterangan sekretaris desa setempat tercatat bahwa pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh hampir separuh (43 persen) penduduk Kedai Gadang adalah sekolah dasar (SD). Persentase tertinggi kedua adalah penduduk yang menamatkan SLTP (27 persen). Mereka yang termasuk dalam kelompok belum sekolah dan tidak sekolah sebanyak 18 persen. Sisanya adalah penduduk yang tamat SLTA (12 persen). Suatu jumlah yang cukup tinggi mengingat kecenderungan umum bahwa di desa pesisir persentase penduduk yang menamatkan SMA cukup rendah (lihat Imron, 2000: 23). Wawancara mendalam dengan seorang nelayan menunjukkan bahwa ada beberapa orang penduduk Desa Kedai Gadang yang sempat kuliah di Medan, namun kembali ke desa sebelum tamat pendidikannya. Salah satu dari orang tersebut adalah Pak Ds seorang nelayan jaring kepiting yang meninggalkan kuliahnya (tahun ketiga) di sebuah perguruan tinggi di Medan. Masih banyaknya penduduk yang berpendidikan hanya tamat SD menurut seorang guru di Desa Kedai Gadang adalah karena para nelayan relatif mudah mendapatkan uang dengan bekerja di bidang kenelayanan. Yang memprihatinkan adalah adanya sejumlah murid SD yang keluar (drop out) hanya karena tergiur untuk mendapatkan uang dengan mudah sebagai pencuci kapal nelayan atau membantu membawa ikan ke tempat taoke. Selain itu, pada masa-masa banyak ikan terdapat peningkatan jumlah murid yang tidak masuk sekolah. Pada umumnya mereka tidak masuk sekolah karena membantu orang tua mengankut hasil tangkapan atau sekedar menjadi buruh upahan sebagai 18
pencuci kapal ikan. Setiap tahun selalu ada murid yang putus sekolah di setiap kelas. Pada awal tahun pelajaran banyak murid yang terdaftar I setiap kelas cukup banyak (sekitar 50 murid per kelas), namun setengah tahun berjalan kemudian banyak anak yang absen dan putus sekolah terima di kelas 3, 4 dan 5. Data yang ada di SD Kedai Gadang menunjukkan bahwa pada tahun 2004, dari 255 murid yang terdaftar di SDN Kedai Gadang, terdapat 19 murid (7 persen) yang putus sekolah (tersebar di seluruh kelas dengan persentase paling banyak di kelas 3, sebanyak 38 persen/7 anak). Dari 19 murid yang putus sekolah, sebagian besar (63 persen) adalah anak laki-laki. Menurut salah seorang guru di SD tersebut, alasan anak perempuan yang putus sekolah (di kelas paling tinggi) biasanya karena akan dinikahkan oleh orang tuanya. Menurut informasi dari kepala SD setempat, pihak sekolah sudah berusaha untuk membujuk anak-anak agar tetap sekolah namun murid yang putus sekolah tetap saja ada di setiap kelas. Himbauan kepada orang tua murid juga sudah dilaksanakan dengan cara mengunjungi rumah orang tua murid yang bersangkutan, namun nampaknya usaha tersebut belum dapat membuahkan hasil dalam menahan anak-anak untuk tetap melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Anak-anak nampaknya lebih tertarik untuk ber harakat (kerja) dari pada sekolah. Mendapatkan imbalan Rp. 4.000 – Rp. 5.000 per orang pada masamasa banyak ikan merupakan daya tarik tersendiri bagi anak-anak untuk meninggalkan bangku sekolah. Beberapa anak yang cenderung jadi malas ke sekolah karena orang tuanya membiarkan anak-anaknya mencari uang dengan jalan mencuci kapal nelayan untuk memperoleh imbalan sebesar Rp. 5.000. Gedung sekolah dasar yang ada sebetulnya cukup baik dan relatif lengkap prasarananya. Guru yang ada juga cukup memadai, PNS sebanyak 8 orang dan guru Bantu sebanyak 4 orang. Seperti yang disinggung pada bab sebelumnya, fasilitas pendidikan di Desa Kedai Gadang cukup memadai. Untuk sekolah di jenjang sekolah dasar, di Desa Kedai Gadang tersedia dua buah SD. Sementara untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka harus pergi ke sekolah yang terletak di Pasar Batu Gerigis (ibukota Kecamatan Barus) yang berjarak kurang lebih 2 km dari Kedai Gadang. Sementara itu, ketrampilan yang dimiliki oleh pendudukpun cukup minim. Hampir tidak ada penduduk yang pernah mengikuti suatu pendidikan/latihan ketrampilan yang pernah dilakukan terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya lokal baik darat maupun laut.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
19
Pekerjaan Dilihat dari mata pencaharian penduduk, menurut informasi dari kepala desa setempat sekitar 78 persen (670 jiwa) bekerja sebagai nelayan, baik sebagai buruh nelayan yang biasa disebut anak buah kapal (ABK), tekong (pengemudi kapal nelayan), maupun nelayan pemilik kapal. Pekerjaan sebagai nelayan dilakukan oleh laki-laki, tidak ada seorang perempuanpun di Desa Kedai Gadang yang bekerja di bidang kenelayanan, termasuk berdagang ikanpun juga dilakukan oleh laki-laki. Sebagai nelayan, ketergantungan masyarakat terhadap hasil laut sangat tinggi karena tidak memiliki mata pencaharian lain sebagai usaha sampingan. Mereka adalah nelayan tradisional yang mengelola sumberdaya laut dalam skala kecil dan menggunakan alat tangkap yang sangat sederhana. Teknologi penangkapan yang mereka miliki relatif sederhana, mereka bekerja secara berkelompok dengan memakai kapal motor yang berkapasitas kecil (sekitar 5 - 24 PK/ 3 – 10 GT). Sebagian besar pendapatan nelayan ABK adalah untuk hidup sehari-hari. Sementara itu jumlah nelayan pemilik kapal di Desa Kedai Gadang sebanyak 4 orang mereka ini adalah taoke yang mempekerjakan banyak nelayan dari desa setempat. Sebanyak 180 jiwa (21 persen) anggota rumah tangga responden di Desa Kedai Gadang mempunyai pekerjaan sebagai petani. Kegiatan pertanian yang mereka lakukan adalah menanam padi dan sebagian dari mereka berkebun kelapa sawit dan cokelat. Perempuan di Desa Kedai Gadang mempunyai andil yang cukup besar di bidang pertanian. Di keluarga nelayan, perempuan berperan besar dalam mengerjakan lahan pertaniannya. Jenis pekerjaan utama lain yang dilakukan oleh anggota rumah tangga adalah sebaga sebagai pegawai negeri sipil (PNS), yaitu sekitar 0,6 persen. 2.4. Sarana dan Prasarana Di wilayah kecamatan Barus terdapat 23 SD yang terdiri dari 19 SD negeri dan 4 SD swasta. Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama di wilayah kecamatan Barus ada 5 SMP umum, dan untuk sekolah lanjutan tingkat atas ada 3 buah yang terdiri dari 1 SMU negeri dan 2 SMU swasta. Sedangkan jumlah murid SD di wilayah kecamatan ini mencapai 2.359 orang, murid SLTP 963 orang, dan murid SMU 929 orang. Terlihat bahwa angka jumlah murid dari SD, SLTP dan SMU semakin menurun. Hal ini antara lain menunjukkan bahwa tidak semua anak SD di wilayah kecamatan itu melanjutkan sekolah lanjutan di wilayah kecamatan Barus. Desa Kedai Gadang memiliki dua buah Sekolah Dasar (SDNegeri dan Madrasah). Sarana yang dimiliki SD Negeri Kedai Gadang cukup memadai, terdiri dari 7 lokal kelas. Adapun jumlah siswa yang tercatat pada tahun 2005 sebanyak 252 orang, 162 dari Desa Kedai Gadang dan selebihnya dari Desa Sigambo-gambo.
20
Di desa-desa sebagaimana halnya Desa Kedai Gadang bahkan masih banyak anak-anak yang tidak mau bersekolah SD, tidak kuat melanjutkan sekolah SD, atau juga tidak tamat SD. Sementara itu, kondisi sarana dan prasana kesehatan di wilayah kecamatan Barus juga masih terbatas. Untuk jumlah klinik keluarga misalnya, dalam tiga kecamatan yakni kecamatan Barus, Sosor Gadong dan Andam Dewi hanya tersedia satu buah klinik keluarga. Padahal jumlah program KB di tiga kecamatan ini adalah 5.768 orang. Sementara itu untuk jumlah puskesmas ada satu buah di kecamatan Barus, dengan jumlah dokter umum 1 orang, dokter gigi 1 orang, bidan 9 orang dan perawat 9 orang. Untuk Puskesmas pembantu ada 8 buah dan Posyandu 31 buah. Sebagaimana desa-desa lain di wilayah Kecamatan Barus, Desa Kedai Gadang juga digambarkan mempunyai sarana dan prasarana yang relatif terbatas. Jenis sarana dan prasarana itu terutama menyangkut sarana dan prasana umum seperti bangunan sekolah, fasilitas kesehatan dan sanitasi lingkungan, sarana ibadah, serta sarana dan prasarana pemerintahan desa umumnya masih terbatas. Gambaran desa-desa di pesisir Barat Sumatera terutama di wilayah Kecamatan Barus dan lebih khusus lagi di Desa Kedai Gadang ini jauh berbeda dengan gambaran desa-desa di Jawa yang selama masa pembangunan lebih intensif mendapatkan perhatian dari pemerintah baik menyangkut tata pemerintahannya maupun sarana dan prasarananya. Gambaran desa-desa di Jawa pada umumnya jauh lebih terbangun, sedangkan Desa Kedai Gadang belum terbangun secara baik. Dari informasi yang tersedia secara sangat terbatas bisa digambarkan sarana kesehatan di desa itu yakni, terdapat dua Posyandu. Sarana kesehatan untuk fasilitas umum ini sejauh ini masih bertempat di rumah penduduk dengan kondisi yang kurang layak. Walaupun terdapat satu orang bidan desa namun bidan ini bertempat tinggal di luar desa. Untuk membantu proses melahirkan penduduk masih menggunakan bantuan dukun bayi. Sedangkan sarana ibadah untuk pemeluk agama Islam terdapat satu buah masjid dan satu buah mushola. Untuk pemeluk agama Kristen terdapat gereja di ujung desa. Desa ini walaupun berada di pesisir namun secara kultural dikarakteristikkan dengan ragam budaya terutama yang direpresentasikan oleh adat Batak dan tradisi pesisir yang dekat dengan agama Islam. Demikian pula bahasa yang digunakan oleh penduduk desa, di daerah pesisir mereka menggunakan bahasa “pesisir” yang lebih dekat dengan bahasa Melayu, namun di pedalaman mereka menggunakan bahasa Batak.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
21
Secara fisik, perbedaan antara daerah pesisir dengan pedalaman cukup menyolok. Daerah pesisir di desa ini menggambarkan daerah yang lebih terbangun sedangkan daerah pedalaman menggambarkan daerah yang kurang terbangun. Sarana jalan misalnya, di daerah pesisir memiliki sarana jalan yang lebih baik. Walaupun sudah sedikit rusak namun jalan ini merupakan jalan aspal di desa itu. Jalan ini merupakan jalan alternatif lintas Barat Sumatera. Sedangkan di pedalaman, kondisi jalannya belum beraspal. Jalan-jalan di pedalaman desa ini lebih kecil dan berbatu sehingga sulit dilalui kendaraan. Demikian pula dengan kondisi rumah-rumah penduduk di daerah pesisir sudah banyak yang menggunakan bangunan tembok dan semen. Sedangkan kondisi rumah-rumah di pedalaman pada umumnya masih terbuat dari kayu atau rumah panggung yang sangat sederhana. Kondisi rumah-rumah ini juga tidak didukung dengan kondisi sanitasi yang baik. Binatang ternak seperti babi dan ayam terlihat menyatu dengan rumahrumah penduduk. Di Desa Kedai Gadang tidak terdapat pasar, namun hampir setiap hari terjadi transaksi antara pengumpul ikan dengan para pengalong-along (penjual ikan eceran). Ikan-ikan yang dibeli pengalong-along ini dijual satuan atau satu ikat kepada penduduk sekitar desa. Beberapa pengalong-along bahkan mencapai konsumen di luar Kecamatan Barus, seperti di wilayah kecamatan Andam Dewi yang sebagian besar merupakan daerah pegunungan. Pasar hanya terdapat di kota kecamatan Barus yakni di wilayah desa Batu Gerigis. Pasar ini hanya buka pada hari tertentu (Rabu dan Sabtu), pagi hingga sore hari. Barang-barang dagangan lebih banyak berupa makanan kebutuhan sehari-hari serta pakaian. Pasar ini bukan merupakan pasar ikan tetapi pasar umum. Sedangkan ikan dijual tidak melalui pasar umum ini melainkan melalui taoke ke pedagang pengumpul di Sibolga dan Medan. Untuk mengangkut hasil tangkapan ikan dari taoke ke pedagang pengumpul di Sibolga dan Medan, para taoke biasanya sudah menyiapkan armada angkutan ikan. Ikan-ikan yang sudah disimpan di dalam peti es dan diawetkan dikirim ke Sibolga atau Medan. Pilihan pengiriman tergantung dari harga ikan di kedua kota itu, misalnya apabila harga ikan lebih baik di Sibolga maka taoke akan mengirimkan ikannya ke Sibolga. Para taoke ini sudah mempunyai langganan pedagang pengumpul sehingga tawar-menawar harga bisa dilakukan melalui saluran telepon. Sarana komunikasi yang ada di desa ini adalah hand phone. Secara keseluruhan, Desa Kedai Gadang belum terhubungkan dengan jaringan Telkom sehingga penduduk terutama para taoke memanfaatkan hand phone untuk berkomunikasi dengan pedagang-pedagang di luar desa 22
khususnya di Sibolga dan Medan. Dengan adanya jaringan hand phone ini, transaksi dengan pedagang pengumpul biasanya hanya dilakukan melalui telepon saja dan apabila harga sudah disepakati barang akan segera dikirim. Sebelum ada fasilitas hand phone, untuk keperluan mengecek harga ikan, taoke menyuruh salah seorang pegawainya untuk pergi mengecek langsung ke Sibolga atau menelpon ke Medan dari Sibolga. Sarana dan prasarana informasi yang tersedia di Desa Kedai Gadang meliputi Televisi, sebagian dengan antena parabola, dan radio dengan jumlah yang cukup terbatas. Masyarakat setempat cenderung memanfaatkan televisi sebagai sarana hiburan dan informasi. Sementara itu, sumber informasi dari media cetak seperti surat kabar juga masih cukup terbatas. Sarana transportasi yang ada cukup memadai. Di Desa Kedai Gadang terdapat 9 kendaraan roda empat, 20 unit sepeda motor dan 25 buah sepeda. Selain alat transportasi pribadi yang berupa mobil, sepeda motor dan sepeda, ada alat transportasi umum yaitu becak motor yang lalu lalang setiap saat. Ongkos becak motor untuk jarak sekitar 2 meter adalah Rp. 1500.
2.4.1. Dermaga dan Muara Sungai Permukiman penduduk terletak mengelompok dan memanjang di sepanjang jalan di tepi pantai. Hal ini mungkin juga dilakukan karena pilihan kedekatan dengan laut, dimana sebagian besar mata pencaharian penduduk pantai ini adalah nelayan tradisional. Dekatnya lokasi permukiman mereka dengan laut juga memudahkan mereka untuk menjaga keamanan alat-alat tangkap seperti perahu, mesin diesel, dan berbagai jenis jaring ikan. Walaupun mata pencaharaian sebagian besar penduduk adalah nelayan namun di desa ini tidak tersedia dermaga untuk bersandarnya perahuperahu nelayan. Pada masa lalu, Dinas Kelautan dan Perikanan setempat pernah membuat dermaga di desa ini. Dermaga tersebut terbuat dari kayu, namun karena kurang kokoh dan terus-menerus diterjang ombak, dermaga itupun rusak dan sekarang sudah tidak berbekas lagi. Dengan rusaknya dermaga itu, para nelayan kembali memanfaatkan muara sungai yang masuk ke laut. Kapal-kapal nelayan disandarkan pada muara-muara sungai yang cukup besar. Jumlah muara sungai yang cukup besar yang biasa digunakan nelayan untuk bersandar perahu-perahu mereka hanya dua sehingga dalam satu muara terlihat perahu-perahu nelayan yang berjubel. Sebagian perahu yang berukuran Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
23
besar memilih bersandar di pelabuhan Sibolga karena tidak memungkin masuk ke muara sungai itu. Penggunaan muara sungai sebagai tempat berlabuh perahu-perahu nelayan ini terkadang tidak menguntungkan. Kondisinya tergantung dari air pasang naik. Jika air pasang surut maka perahu-perahu nelayan yang ada di dalam muara tidak bisa keluar karena dangkal. Demikian pula dengan perahu-perahu nelayan yang akan masuk tidak bisa karena dangkal. Beberapa perahu nelayan terpaksa disandarkan di pantai lepas sehingga mereka harus menunggu perahu itu agar tidak terbawa arus laut. Kondisi muara yang sangat tergantung pasang naik dan turun ini sangat tidak menguntungkan bagi sebagian nelayan karena mereka harus menunggu pasang naik dulu sebelum berangkat ke laut. Sementara untuk menunggu biasanya dilakukan sampai bulan terang sehingga dari segi produktivitas mereka kehilangan waktu berhari-hari untuk pergi ke laut. Kondisi ini akan sangat merugi apabila pada waktu-waktu yang hilang itu merupakan “musim ikan” dimana tangkapan ikan nelayannelayan yang lain cukup banyak. Bagi sebagian nelayan yang tidak sabar, mereka akan menarik perahu mereka sampai pantai. Tetapi untuk melakukan itu perlu banyak orang, sehingga mereka harus menggalang bantuan sebanyak-banyaknya. Hal ini jarang dilakukan nelayan karena untuk menggalang bantuan itu setidaknya diperlukan imbalan sepantasnya. Kalangan nelayan biasanya lebih memilih menunggu air pasang naik. Di saat air pasang naik dan air di muara sungai cukup besar, mereka segera mencangkuli pasir pantai secara bergotong-royong untuk membuat jalan air ke laut. Upaya ini tergantung dari jarak pasir pantai yang harus mereka cangkul, jika cukup panjang maka mereka juga butuh waktu yang lama. Setelah air di muara sungai mengalir maka perahu-perahu nelayan bisa keluar ke laut. Umur muara ini tidaklah terlalu panjang. Pada angin-angin kencang, muara segera tertutup lagi oleh tumpukan pasir sehingga air kembali tersumbat. Para nelayanpun kembali harus menunggu saat yang tepat untuk membuka muara, dan jika itu terus-menerus dilakukan maka kerugian nelayan sebenarnya cukup besar. Kepala desa sebenarnya sudah menggagas dibuatnya suatu dermaga yang permanen dengan bangunan beton agar kokoh dan kuat dari terjangan ombak, namun realisasi belum berjalan karena terkendala masalah dana.
24
2.5. Kelembagaan Sosial-Ekonomi Jenis kelembagaan sosial-ekonomi yang ada di Desa Kedai Gadang adalah Majelis Taklim, Wiridan, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Naposo (remaja) HKBP, Sarikat Tolong Menolong (STM) dan Kelompok Laut Jingga. Kelembagaan seperti Wiridan/Yasinan dan HKBP adalah kelembagaan yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan meskipun dalam acara tersebut dilakukan pula arisan yang dimaksukan untuk sebagai daya tarik agar para anggota tetap rajin menghadiri acara pertemuan-pertemuan rutin. Kegiatan Wiridan misalnya, diadakan setiap hari Senin malam, dengan jumlah peserta sekitar 120 orang. Setiap anggota diwajibkan membayar Rp. 3000 per tahun. Sedangkan untuk setiap kali datang para angota diminta uang sebanyak Rp. 500 sebagai pengganti door prize. Door prize tersebut biasanya berupa alat-alat makan seperti piring, sendok dan gelas. Adanya penarikan door prize nampaknya cukup efektif untuk menarik para anggota hadir di kegiatan wiridan. Sedangkan STM adalah lembaga sosial (diikuti oleh sekitar 140 KK) yang dibentuk oleh masyarakat untuk tujuan sosial yaitu memberikan sumbangan sekedarnya apabila ada anggota atau angota masyarakat lain di Desa Kedai Gadang ditimpa kemalangan. Sementara kelompok laut jingga adalah organisasi perkumpulan anak-anak muda (semacam karang taruna) terutama nelayan Kedai Gadang yang aktivitasnya lebih banyak kepada kegiatan olah raga. Meskipun sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, namun tidak ada kelompok-kelompok yang merupakan organisasi sosial nelayan. Dalam bekerja mereka kadang-kadang secara berkelompok namun sebatas dalam kerja bersama bukan merupakan kelompok nelayan yang terorganisir. Menurut salah seorang informan dahulu memang ada perkumpulan semacam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) namun sekarang tidak berfungsi lagi. Di Desa Kedai Gadang belum ada lembaga keuangan formal maupun non-formal. Oleh karena hampir semua nelayan adalah ABK maka ketergantungan mereka terhadap taoke cukup tinggi apabila mereka mengalami kesulitan keuangan. Di desa ini tidak ada jasa perbankan ataupun koperasi simpan pinjam. Menurut seorang informan, dahulu pernah ada lembaga keuangan seperti koperasi simpan pinjam namun sekarang tidak ada lagi karena ada kredit macet di antara para anggota. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari beberapa warga membeli atau mengutang barang ke warung-warung ada di desa tersebut. Di Desa Kedai Gadang ada satu dua orang yang bekerja sebagai tukang kredit yang biasa memberi pinjaman kepada nelayan dengan bunga yang lumayan tinggi. Misalnya seseorang meminjam Rp. 100,000 maka orang tersebut hanya diberi Rp. 95,000 (Rp. 5000 sebagai biaya administrasi). Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
25
Uang pinjaman Rp. 95,000 harus dicicil 40 kali dengan besar angsuran Rp. 3000 setiap hari. Dengan demikian bunga yang harus dibayar oleh si peminjam mencapai 20 persen untuk pinjaman dalam jangka waktu kurang lebih 40 hari. Ketiadaan lembaga keuangan seperti koperasi simpan pinjam menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap taoke maupun rentenir cukup tinggi. Sebetulnya di Kecamatan Barus ada lembaga perbankan (BRI) yang dapat memberi pinjaman, namun lembaga tersebut nampaknya belum banyak dimanfaatkan oleh para nelayan tradisioanal di Desa Kedai Gadang. Lembaga-lembaga yang potensial untuk program COREMAP yang sudah ada di Desa Kedai Gadang adalah kelompok-kelompok masyarakat (pokmas) yang dibentuk sekitar awal tahun 2004. Pada saat penelitian berlangsung, pokmas tersebut belum banyak beraktivitas, masih dalam taraf membuat rencana-rencana kegiatan dalam bentuk usulan-usulan program dalam tiga jenis proposal yakni proposal peternakan ayam, proposal pengadaan perahu angkut, dan proposal simpan-pinjam. Ketiga jenis usulan program ini belum bisa dilaksanakan karena masih menunggu respon dari COREMAP melalui instansi di daerah yang terkait.
26
BAB III POTRET PENDUDUK DESA KEDAI GADANG
Bagian ini akan menguraikan tentang kondisi sosial ekonomi penduduk Desa Kedai Gadang khususnya 100 rumah tangga yang menjadi responden dalam penelitian ini. Beberapa aspek yang akan diuraikan dalam bab ini meliputi jumlah dan komposisi penduduk, kualitas penduduk terutama dilihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan serta mata pencaharian penduduk. Adapun aspek kesejahteraan penduduk akan diuraikan terutama mengenai pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, strategi dalam pengelolaan keuangan, pengelolaan asset rumah tangga serta kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Tiap aspek yang akan dibahas akan dilihat kaitannya dengan aspek pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Dengan adanya gambaran yang lengkap tentang penduduk dan tingkat kesejahteraannya diharapkan kajian yang menyangkut hubungan sosial antara penduduk dan pemanfaatan sumber daya laut dapat diletakkan dalam suatu konteks yang lebih menyatu. 3.1 Jumlah dan komposisi Penduduk Jumlah rumah tangga yang menjadi responden dalam penelitian ini sebanyak 100. Dari jumlah 100 rumah tangga tersebut terdapat 611 penduduk yang berarti setiap rumah tangga terdiri dari sekitar 6 jiwa. Dilihat dari jenis kelaminnya, jumlah penduduk dari rumah tangga responden terdiri dari 314 (51 persen) laki-laki dan 297 (49 persen) perempuan. Dengan demikian sex ratio penduduk Desa Kedai Gadang yang merupakan rumah tangga responden adalah 105. Sementara bila jumlah penduduk tersebut dikelompokkan berdasarkan kelompok umur, terlihat bahwa persentase terbesar adalah penduduk yang berumur di bawah 19 tahun (60 persen). Sedangkan penduduk yang termasuk dalam kelompok umur di atas 65 tahun kurang dari 1 persen. yang berumur tua. Dengan demikian maka struktur penduduk yang dari rumah tangga responden adalah penduduk muda. Dari observasi lapangan juga terlihat kelompok umur muda lebih banyak daripada penduduk yang termasuk dalam kategori penduduk lanjut usia (lansia atau di atas 55 tahun). Anak-anak usia bawah lima tahun (balita) sebanyak 16 persen dari keseluruhan penduduk. Adapun rasio ketergantungan adalah 99 yang berarti setiap 100 penduduk yang
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
27
berumur produktif harus menanggung 99 orang penduduk yang berumur tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun). Secara terinci jumlah dan komposisi penduduk rumah tangga responden Desa Kedai Gadang yang tersebar di tiga dusun adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Komposisi Anggota Rumah Tangga Responden Desa Kedai Gadang berdasarkan kelompok umur Kelompok umur Laki-laki Perempuan Jumlah (tahun) 0-4 56 43 99 5-9 48 56 104 10-14 44 54 98 15-19 38 27 65 20-24 22 24 46 25-29 18 22 40 30-34 21 14 35 35-39 14 17 31 40-44 21 14 35 45-49 9 12 21 50-54 10 8 18 55-59 7 3 10 60-64 6 1 6 65 keatas 1 2 3 Jumlah 314 297 611 Sumber : Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2005 3.2 Kualitas SDM 3.2.1 Pendidikan dan Ketrampilan Hasil survai pada 100 rumah tangga responden menunjukan bahwa tingkat pendidikan penduduk relatif rendah. Dari jumlah penduduk yang berusia 6 tahun ke atas, sebanyak 40 persen belum/tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Sedangkan penduduk yang tamat SD sebanyak 36 persen, Sementara persentase penduduk yang menamatkan SLTA hampir 6 persen. Tingginya persentase penduduk yang masuk dalam kategori belum/tidak tamat SD barangkali karena proporsi penduduk yang berusia sekolah ini adalah cukup besar, sehingga mereka ini memang masih duduk di bangku sekolah.
28
Tingkat pendidikan perempuan nampaknya lebih tinggi daripada tingkat pendidikan laki-laki. Hal ini terlihat dari lebih besarnya persentase penduduk perempuan yang berpendidikan SLTP ke atas dibandingkan dengan penduduk laki-laki untuk tingkatan pendidikan yang sama. Salah satu alasannya barangkali karena laki-laki cenderung untuk cepat bekerja (melaut) dibandingkan dengan perempuan. Hal ini juga diperkuat dari informasi yang diperoleh dari salah seorang kepala SD di Desa Kedai Gadang bahwa persentase laki-laki yang drop out (DO) lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Hasil observasi menunjukkan bahwa banyak anak-anak perempaun yang masih duduk dibangku sekolah SLTP/SLTA dibandingkan dengan penduduk laki-laki di kelompok umur yang sama. Selain itu, observasi juga menunjukkan bahwa terlihat cukup banyak anak-anak laki-laki usia sekolah yang sudah ikut aktif melaut. Adapun perincian jumlah ART berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut: Tabel 3.2 Komposisi ART Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi Yang Ditamatkan Pendidikan yang Laki-laki Perempuan Jumlah ditamatkan Belum/tidak 12 17 29 sekolah SD tidak tamat 90 97 187 SD Tamat 94 75 169 SLTP tamat 27 28 55 SLTA + 11 16 27 Total 234 233 467 Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2005. Kemudahan mencari uang dengan bekerja sebagai nelayan nampaknya berpengaruh terhadap pandangan mereka terhadap pendidikan. Jika tujuan dari pendidikan pada akhirnya nanti adalah untuk mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, sementara sekarang tanpa pendidikan tinggi mereka sudah mendapatkan uang. Meskipun demikian, mereka mengharapkan bahwa anak-anaknya nanti akan tetap bersekolah dan berpendidikan tinggi Harapan tersebut nampaknya membutuhkan perjuangan yang cukup keras untuk mewujudkannya mengingat masih adanya beberapa anak yang DO dari sekolah karena tergiur untuk mendapatkan uang yang lebih cepat dengan bekerja bai sebagai pencuci kapal ikan maupun sebagai pembawa hasil tangkapan (ikan) ke gudang. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
29
Sementara itu, ketrampilan yang dimiliki oleh pendudukpun cukup minim. Beberapa penduduk memiliki ketrampilan membuat kapal yang diperoleh secara turun temurun dari keluarganya. Hampir tidak ada penduduk yang pernah mengikuti suatu pendidikan/latihan ketrampilan yang pernah dilakukan terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya lokal baik darat maupun laut. Saat penelitian berlangsung baru dibentuk beberapa kelompok masyarakat (Pokmas) COREMAP. Mereka ini nantinya akan diberi pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut. 3.2.2 Kesehatan Kondisi kesehatan penduduk yang menjadi responden pada penelitian ini pada umumnya cukup baik. Penyakit yang diderita oleh penduduk Desa Kedai Gadang adalah penyakit yang tidak terlalu serius dan masih dapat ditanggulangi oleh Puskesmas Kecamatan Barus atau mantra praktek swasta di Desa Kedai Gadang. Menurut informasi yang diperoleh dari petugas Puskesmas Kecamatan Barus, jenis penyakit yang biasanya diderita oleh penduduk desa pantai salah satunya adalah sakit perut (maag). Hal ini diperkirakan karena kebiasaan masyarakat nelayan yang menunda waktu makan, kemungkinan karena kesibukan mereka mencari ikan di laut. Informasi yang didapatkan dari seorang nelayan menyatakan bahwa para nelayan (pukak payang salam misalnya), biasa sarapan pagi jam 3 dini hari sebelum berangkat melaut. Jam makan siang mereka kadang-kadang-kadang agak telat karena mereka sibuk menebar/mengakat jaring sehingga tidak memungkinkan untuk istirahat makan dahulu, meskipun mereka membawa perbekalan dari rumah (sebungkus nasi kalau mereka pulang hari atau bahan makanan kalau mereka harus pergi berhari-hari). Selain keluhan sakit perut, jenis penyakit yang umum dijumpai pada masyarakat adalah sakit pernapasan. Hal ini kemungkinan karena kebiasaan merokok yang sangat kuat di antara para nelayan. Seorang nelayan mengatakan bahwa dalam satu hari dia dapat menghabiskan lebih dari satu bungkus rokok, apalagi kalau pas melaut jumlahnya lebih banyak. Observasi di lapangan juga menunjukkan bahwa kebiasaan merokok tidak saja dilakukan oleh para laki-laki dewasa tetapi juga remaja-remaja muda kelihatan akrab dengan rokok. Selain kuatnya kebiasaan merokok, kebiasaan melaut dengan bertelanjang dada, terlebih di waktu malam hari atau siang hari pada saat angin kencang diduga cukup berpengaruh terhadap adanya keluhan sakit pernapasan pada sementara nelayan. Selain itu, banyaknya pasir yang beterbangan pada saat angin kencang kemungkinan juga menjadi salah satu penyebab.
30
Sakit kulit juga merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak diderita oleh para nelayan. Selain gatal-gatal, panu merupakan jenis penyakit kulit yang dengan mudah dapat dilihat. Observasi di lapangan menunjukkan bahwa kulit berpanu pada semenatar nelayan merupakan pandangan yang cukup menonjol. Hal ini dikarenakan kebiasaan para nelayan yang bertelanjang dada sehingga memudahkan orang lain untuk melihat bahwa yang bersangkutan sedang menderita penyakit kulit di punggungnya. Penyakit lain yang merupakan seperti sakit mata yang biasanya merupakan penyakit yang banyak dikeluhkan oleh para nelayan tidak banyak dijumpai. Hanya ada satu orang yang menderita penyakit mata (matanya hampir buta sebelah) pada saat orang bersangkutan masih aktif sebagai nelayan. Sementara sakit telinga (pekak) yang timbul sebagai akibat dari pekerjaannya sebagai nelayan (pengebom) juga tidak terdengar. Demikian juga sakit yang menyebabkan kerusakan anggota tubuh/cacat karena ledakan bom ikan tidak ditemukan di antara penduduk Desa Kedai Gadang. Hal ini kemungkinan dikarenakan nelayan Desa Kedai Gadang adalah nelayan tradisional dengan alat tangkap jarring dan tidak mengunakan bom untuk menangkap ikan. Bila ada keluhan sakit biasanya masyarakat mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan modern seperti puskesmas atau matri/bidan praktek. Pusat pelayanan kesehatan yang ada adalah Puskesmas yang ada di ibukota kecamatan (di Barus). Di Desa Kedai gadang juga ada seorang bidan desa selain menolong persalinan penduduk setempat juga melayani pengobatan umum untuk penyakit-penyakit ringan.
3.2.3 Pekerjaan Dilihat dari kegiatan yang dilakukan oleh penduduk usia 6 ke atas, sebanyak 38 persen adalah sekolah. Sedangkan penduduk yang bekerja sekitar 34 persen dan yang menganggur adalah 12 persen. Hanya 3 persen yang menyatakan bahwa mereka sedang mencari pekerjaan. Sementara yang mengatakan bahwa kegiatan mereka adalah mengurus rumah tangga tercatat sebanyak 14 persen. Dari jumlah mereka yang bekerja (159 orang/ 120 orang laki-laki dan 39 orang perempuan), sebagian besar (59 persen) bekerja sebagai nelayan. Sedangkan mereka yang bekerja sebagai petani sebanyak 23 persen. Jenis pekerjaan yang juga dilakukan oleh penduduk adalah pedagang (18 persen). Apabila dilihat dari lapangan pekerjaan yang dilakukan, terlihat bahwa sebagian besar (59 persen) di perikanan laut. Sementara mereka yang bekerja sebagai petani pada umumnya adalah petani pada pertanian pangan. Adapun mereka yang bekerja sebagai pedagang sebagian besar adalah dalam bidang perdagangan warungan dan Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
31
perdagangan ikan. Jika dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, kegiatan kenelayanan merupakan pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki, tidak ada seorang perempuanpun yang bekerja sebagai nelayan. Hampir semua perempuan yang tercatat sebagai pekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai petani (33 orang) dan sebagian kecil (6 orang) bekerja sebagai pedagang. Dilihat dari status pekerjaan, sebagian besar (60 persen) ART sampel adalah sebagai buruh. Para nelayan bekerja pada orang lain (sebagai anak buah kapal/ABK) atau bekerja dengan sesama kelompok nelayan yang menggunakan alat maupun armada tangkap milik seorang taoke. Demikian halnya dengan petani, sebagian besar adalah petani penggarap (bagi hasil). Persentase kedua terbesar adalah mereka yang bekerja dengan berusaha sendiri, sebanyak (34 persen). Termasuk dalam kelompok ini sebagian besar para pedagang. Tabel 2.3 menunjukkan jenis pekerjaan utama ART sampel. Tabel 3.3 Komposisi ART Responden Menurut Jenis Pekerjaan Utama Jenis pekerjaan utama Frekuensi Persentase Nelayan 89 56,6 Petani 36 22,6 Pedagang 25 15,7 Tenaga jasa 2 1,3 Tenaga kasar 2 1,3 Lainnya:transportasi 5 3,1 Total 159 100 Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2005. Nelayan Desa Kedai Gadang tidak memiliki banyak diversifikasi pekerjaan. Mereka pada umumnya adalah nelayan yang mencari ikan di laut sepanjang tahun di wilayah tangkap dan jenis ikan yangPada saat musim tenang (tidak banyak badai) wilayah tangkap mereka adalah di perairan yang cukup jauh, apabila musim badai mereka cenderung mencari ikan di tepi pantai. Bila badai di laut sangat besar, mereka biasanya tidak pergi melaut. Sebagian kecil dari nelayan ini apabila tidak sedang melaut, mereka mengerjakan pekerjaan tambahan yaitu sebagai petani. Selain mempunyai pekerjaan utama, ada beberapa para anggota rumah tangga (ART) sampel juga mempunyai pekerjaan tambahan (27 orang). Adapun jenis pekerjaan tambahan yang banyak dilakukan oleh ART sampel adalah sebagai tenaga jasa di bidang transportasi (48 persen) yaitu sebagai tukang ojek ataupun pengemudi becak motor. Selain itu, 32
pekerjaan tambahan yang juga banyak dilakukan oleh ART adalah sebagai petani (33 persen). Mereka ini pada umumnya adalah petani penggarap yang mengerjakan sawah milih orang lain dengan sistem bagi hasil. Sementara itu, ada sebagian kecil dari ART yang mempunyai pekerjaan tambahan sebagai pedagang dan staf desa.
3.3 Kesejahteraan Sebagai desa yang terletak di pinggir pantai, tidak semua penduduk Desa Kedai Gadang bekerja sebagai nelayan. Mereka yang tinggal di perbukitan memilih untuk bekerja sebagai petani lahan kering dan berkebun. Sementara penduduk yang menghuni wilayah pinggir pantai bekerja sebagai nelayan. Dengan adanya variasi pekerjaan seperti ini memungkinkan adanya perbedaaan pendapatan rumah tangga dan pada akhirnya pada tingkat kesejahteraan mereka. Bagi penduduk yang bekerja sebagai nelayan, dari pemanfaatan hasil pengelolaan SDL, diharapkan masyarakat dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidupnya. Bagian ini terutama mengkaji tentang pendapatan yang diperoleh masyarakat serta tingkat kesejahteraannya, dengan menekankan pada tingkat pendapatan dan pengeluaran, pemilikan aset, strategi dalam pengelolaan keuangan serta kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Perkiraan secara kuantitatif dalam kajian ini didasarkan pada hasil olahan data survai terhadap 100 rumah tangga di lapangan, sedangkan untuk mengetahui kualitas hidup mereka, analisis lebih banyak mengandalkan pada data kualitatif serta pengamatan selama penelitian di lapangan.
3.3.1. Pendapatan Seperti dikemukakan sebelumnya, nelayan di Desa Kedai Gadang pada umumnya bekerja secara tradisional, baik peralatan maupun waktu kerjanya. Keadaan ini dipengaruhi juga oleh faktor musim, yang menyebabkan penghasilan dari perolehan SDL juga tidak menentu, sesuai dengan musim dan kegiatan mereka ke laut. Hal ini menyebabkan nelayan pada umumnya sulit memperkirakan hasil yang diperoleh keluarga dalam waktu tertentu, baik karena faktor kelemahan SDM, maupun sifat pekerjaannya yang tidak menentu. Dalam survai yang dilakukan terhadap 100 rumah tangga, jumlah pendapatan dan pengeluaran keluarga dalam sebulan terakhir, diperkirakan oleh responden melalui pertanyaan: ‘Jumlah pendapatan semua anggota rumah tangga yang bekerja dalam satu bulan terakhir’. Informasi yang cukup akurat tentang pendapatan rumah tangga bukanlah pekerjaan yang mudah diperoleh. Ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap perolehan data yang cukup akurat, antara lain Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
33
faktor personal pewawancara maupun ingatan responden, serta teknik pertanyaannya. Perkiraan pendapatan rumah tangga dalam penelitian ini meliputi semua pendapatan dari pekerjaan utama dan tambahan yang diperoleh dari semua anggota rumah tangga yang bekerja (termasuk isteri dan anak-anak), dalam satu bulan terakhir. Hal ini tentunya memerlukan ingatan yang kuat dari anggota rumah tangga yang berkaitan. Perkiraan penghasilan bagi nelayan umumnya merupakan perkiraan kasar yaitu perkalian dari penghasilan rata-rata sekali melaut, meskipun penghasilan tersebut sangat bervariasi dalam sebulan. Meskipun ada beberapa kelemahan namun perkiraan pendapatan ini paling tidak dapat memberikan gambaran tentang keadaan ekonomi masyarakat. Hasil survai terhadap 100 rumah tangga di Desa Kedai Gadang memperlihatkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga dalam sebulan terakhir adalah Rp. 465.043. Kondisi riil barangkali lebih memprihatinkan karena variasi pendapatan rumah tangga yang cukup tinggi. Pendapatan rumah tangga terendah sebesar Rp. 30.000, sedangkan pendapatan tertinggi mencapai Rp. 3.783.333 per bulan. Kesenjangan pendapatan ini terjadi karena adanya perbedaan status antara nelayan ABK dan taoke (pemilik kapal), atau juga karena perbedaan hasil tangkapan. Selain itu, barangkali perbedaan tersebut karena jenis pekerjaan yang ada karena sebagian dari responden bekerja di luar bidang kenelayanan. Sementara bila dilihat dari pendapatan per kapita, rata-rata pendapatan rumah tangga per kapita adalah Rp. 85.934 per bulan. Hal ini berarti bahwa penduduk Desa Kedai Gadang termasuk dalam kategori penduduk miskin karena menurut BPS (2003), garis kemiskinan untuk Provinsi Sumatera Utara per kapita per bulan pada tahun 2003 adalah Rp. 95.926 untuk daerah pedesaan dan Rp. 141.171 untuk daerah perkotaan. Data dari Kecamatan Barus juga menunjukkan bahwa berdasarkan pada kriteria keluarga sejahtera dari BKKBN, jumlah keluarga prasejahtera di terbanyak adalah di Desa Kedai Gadang (sebanyak 45 keluarga), lihat lampiran 4. Hasil survai memperlihatkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga yang tertinggi adalah dari sektor jasa (lihat Tabel 3.4). Sementara itu, pendapatan rumah tangga dari perikanan laut relatif lebih besar jika dibandingkan dengan pendapatan dari pertanian. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti tingkat kesejahteraan nelayan lebih baik karena variasi pendapatan dari perikanan laut yang cukup besar, yaitu antara Rp. 30.000 – Rp. 3.783.333. Rumah tangga yang mempunyai pendapatan sekitar Rp. 4 juta sebulan ini adalah mereka yang bekerja sebagai taoke (pedagang pengumpul ikan) yang mempunyai beberapa kapal motor dan puluhan ABK. Kesenjangan pendapatan ini membuat
34
pendapatan rata-rata nelayan menjadi tinggi karena pendapatan yang tinggi mendongkrak pendapatan rumah tangga yang rendah. Tabel 3. 4 Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan
Rata-rata pendapatan (Rp.) 449.058 325.555 602.911
Minimum
Maksimum
Perikanan laut 30.000 3.783.333 Pertanian 100.000 550.000 Jasa, guru, staf 130.000 1.400.00 desa Industri 484.166 460.000 508.333 pengolahan KRT tidak bekerja 382.500 130.000 600.000 Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2005. Bagi ART yang bekerja sebagai nelayan, maka untuk memudahkan dalam menjaring informasi yang berkaitan dengan pendapatan adalah dengan menanyakan rata-rata lama melaut dan jumlah produksi sekali melaut. Diharapkan dengan pertanyaan-pertanyan seperti tersebut dapat menjaring data mengenai pendapatan yang cukup akurat. Sebagai nelayan ABK, informasi mengenai produksi sekali melaut cukup susah untuk dijelaskan karena mereka biasanya pergi secara berkelompok. Ada kecenderungan bahwa yang dilaporkan adalah produksi mereka selama melaut, padahal seharusnya jumlah perolehan sekali melaut adalah jumlah yang benar-benar ia terima (sebagai bagian dari hasil produksi). Meskipun demikian, data yang ada paling tidak dapat memberikan gambaran umum masyarakat terkait dengan pendapatan dan kesejahteraannya. Berdasarkan hasil survai dari 100 rumah tangga, diketahui bahwa pada saat musim banyak ikan (bulan Juli – September) rata-rata lama melaut bagi nelayan adalah 4 hari, seperti yang dilaporkan oleh 37 persen responden. Mereka ini biasanya adalah nelayan jaring salam yang wilayah tangkapnya di pulau-pulau kecil sekitar empat jam waktu tempuh dari pantai. Sementara itu, mereka yang melaut setiap hari sebanyak 27 persen. Mereka ini adalah nelayan pukak payang yang biasa berangkat jam 3 dini hari dan pulang pada jam 4 sore. Nelayan yang melaut sekitar 15 hari adalah 8,5 persen. Termasuk dalam kelompok yang melaut sekitar dua minggu ini adalah nelayan jaring kepiting dengan target tangkapan adalah kepiting dan udang gostan. Wilayah tangkap mereka Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
35
cukup jauh yaitu di sekitar Pulau Mursala. Adapun rata-rata jumlah produksi mempunyai range yang cukup tinggi yaitu 10 – 500 kg. Barangkali tingginya jumlah produksi ini karena mereka menghitung semua perolehan tanpa memberikan berapa yang betul-betul mereka terima. Rata-rata pendapatan responden dalam sekali melaut adalah cukup bervariatif, berkisar antara Rp. 15.000 sampai Rp. 1.050.000. Lagi-lagi hal ini kemungkinan besar mereka memberikan jumlah keseluruhan. Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa hasil produksi nelayan menurun tajam karena adanya badai yang menyebabkan rendahnya hasil tangkapan. Berdasarkan hasil survai tercatat bahwa hampir separuh responden (sekitar 44 persen), berpenghasilan di bawah Rp100.000 sekali melaut. Sekitar 50 persen berpenghasilan antara Rp. 100.000 – Rp. 500.000. Dilihat dari pendapatan perbulan masing-masing nelayan, rata-rata pendapatan responden per bulan di Kedai Gadang adalah cukup rendah ( sekitar 38 persen berpenghasilan di bawah Rp. 500,000 setiap bulannya). Sementara mereka yang berpenghasilan antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 1.000.000 adalah 50 persen. Sekitar 7 persen responden melaporkan bahwa penghasilan mereka sebulan mencapai Rp. 1.000.000 lebih. Bila pendapatan yang dicatat tersebut di atas benar-benar pendapatan satu orang, berarti nelayan Desa Kedai Gadang cukup sejahtera mengingat penghasilan yang relative tinggi. Namun bila pendapatan yang dilaporkan adalah penghasilan bersama dalam satu kelompok, yang berarti harus dibagi beberapa orang, nampak sekali bahwa pendapatan nelayan Desa Kedai Gadang sangat rendah. Bila hal ini benar, tentunya berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraan mereka karena rendahnya daya beli. Meskipun banyak nelayan menggunakan perahu motor yang berkapasitas relative tinggi (sampai 10 GT), namun mengingat perahu motor tersebut bukan miliknya, diduga perkiraan pendapatan di atas kurang mencerminkan keadaan pendapatan penduduk yang sebenarnya, terutama di musim angin timur yang umumnya dianggap musim susah ikan. Faktor ingatan responden yang terbatas tentang jumlah penghasilan masing-masing anggota keluarga yang bekerja selama sebulan. Seorang narasumber yang pernah menjadi taoke mengatakan bahwa rata-rata penghasilan nelayan yang bekerja sebagai ABK, biasanya dapat mencapai Rp10.000-20.000 per hari. Namun demikian uang sejumlah itu saat ini sulit untuk diperoleh karena selain maraknya pukat harimau juga karena adanya bencana tsunami yang membawa pengaruh pada menurunnya hasil tangkapan. "Kejayaan" para nelayan adalah ketika tahun 1998- 2000 di mana harga ikan melambung tinggi, Seorang informan menggambarkan keadaan mereka dulu ‘memperoleh uang sebanyak Rp. 50.000 saja gampang sekali karena dengan upaya 36
kecil bisa memperoleh hasil banyak, sekarang bisa bawa lauk pulang saja sudah lumayan’. Sementara itu, bagi responden yang bekerja sebagai petani, dalam sekali panen mereka rata-rata mendapatkan Rp. 100.000 sampai dengan Rp. 1.050.000. Persentase terbesar (89 persen) adalah mereka yang mendapatkan hasil I bawah Rp. 500.000 sekali panen. Hanya 11 persen responden yang mendapatkan hasil antara Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 sekali panen. Suatu jumlah yang relatif kecil mengingat masa panen padi adalah sekitar 6 bulan. Apabila penghasilan para petani ini dirata-rata, sebanyak 50 persen responden berpenghasilan di bawah Rp. 500.000 dan 50 persen berpenghasilan di atas Rp. 500.000 per bulan. Apabila pendapatan rumah tangga tidak dibedakan antara rumah tangga yang pendapatannya berasal dari kegiatan kenelayanan ataupun dari hasil pertanian maka terlihat bahwa sebagian besar (68 persen) rumah tangga responden mempunyai penghasilan di bawah Rp. 500 ribu. Sebanyak 28 persen rumah tangga berpenghasilan antara Rp. 500 – Rp. 999 ribu. Sedangkan yang mempunyai pendapatan diatas satu juta hanya 4 persen (3 persen antara Rp 1 – Rp. 1,5 juta dan hanya 1 persen mempunyai pendapatan sekitar Rp. 4 juta). Hasil survei pendapatan rumah tangga lengkap dapat dilihat pada lampiran 2.
3.3.2 Pengeluaran Selain perkiraan pendapatan, survai juga menanyakan jumlah pengeluaran rumah tangga responden dalam sebulan terakhir, yang diperinci untuk pengeluaran pangan maupun non-pangan. Pengeluaran pangan meliputi pengeluaran untuk makanan pokok, lauk-pauk, minyak goreng dan bumbu, serta gula, teh, kopi dan jajan makanan. Sedang pengeluaran non-pangan meliputi semua pengeluaran rumah tangga selain untuk pangan, antara lain untuk kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, keperluan sosial, listrik, air, telpon dan rokok, tembakau serta transportasi. Seperti pada data pendapatan, perkiraan pengeluaran rumah tangga responden selama waktu tertentu, juga mengandung banyak kelemahan akurasi, baik karena teknik pertanyaannya maupun kelemahan SDM (responden dan pewawancara). Data mengenai pengeluaran rumah tangga diperoleh dari hasil wawancara terhadap 100 rumah tangga. Dari hasil survai tercatat bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga dalam satu bulan terakhir di Desa Kedai Gadang sebesar Rp. 741.646. Bila dibedakan antara pengeluaran pangan dan non pangan, rata-rata setiap rumah tangga mengeluarkan sebanyak Rp. 435,310 untuk membeli keperluan pangan dan Rp. 306,336 untuk keperluan non pangan (lihat Tabel 3.5).
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
37
Tabel 3. 5 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Pengeluaran Jenis pengeluaran
Rata-rata pengeluaran (Rp.) 435.310 306.336
Minimum
Maksimum
Pengeluaran pangan 82.000 1.500.000 Pengeluaran non 48.000 965.000 pangan Pengeluaran rumah 741.646 259.000 1.900.000 tangga per bulan Pengeluaran rumah 135.384 39.571 368.000 tangga per kapita per bulan Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Ekonomi Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2005. Apabila pengeluaran rumah tangga dalam sebulan terakhir dikelompokan, maka terlihat bahwa pengeluaran pangan di bawah Rp. 500,000 dikemukakan oleh 77 persen responden. Sekitar 13 persen responden mempunyai pengeluaran di atas Rp 500.000 perbulan. Sedangkan untuk keperluan non-pangan, mayoritas responden (sekitar 91 persen) adalah responden dengan pengeluaran rata-rata di bawah Rp. 500.000, dan hanya 9 persen responden yang mempunyai pengeluaran non-pangan di atas Rp. 500.000 (hasil survei lengkap mengenai total pengeluaran rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 3.1). Berdasarkan pengamatan di lapangan, masyarakat umumnya mempunyai kebiasaan mengkonsumsi pangan secara sederhana dan kurang bervariasi. Untuk makanan pokok nasi dengan lauk pauk ikan segar/ikan kering digoreng atau dibakar. Mereka jarang mengkonsumsi lauk-pauk lainnya seperti sayur-mayur atau buah, hal ini karena terbatasnya sayuran dan buah-buahan di desa. Sayur dan buah dapat dibeli di Pasar Batu Gerigis, ibukota Kecamatan Barus hanya pada harihari pasar yaitu Rabu dan Sabtu. Namun konsumsi pangan lainnya seperti rokok, super mie, minuman (gula dan kopi) atau jajan anak cukup bervariasi dan relatif besar. Hasil wawancara mendalam dengan pemilik kios/warung di lokasi, barang-barang yang paling laku di lokasi adalah beras, makanan anak-anak, minyak tanah dan rokok. Pengeluaran rumah tangga untuk keperluan lain seperti pendidikan relatif kecil, karena pada umumnya anak-anak hanya bersekolah di SD Kedai Gadang dengan biaya SPP yang relatif murah. Sedangkan untuk kesehatan, hampir tidak ada pengeluaran yang berarti, karena mereka 38
hanya ke Puskesmas bila anak sakit. Bila tidak berobat ke puskesmas, biasanya penduduk setempat mendatangi dokter praktek swasta dengan biaya sekitar Rp. 20,000 sudah termasuk obat. Pengeluaran keluarga untuk keperluan non-pangan relatif besar, yaitu untuk mengadakan perhelatan atau selamatan. Atau untuk keperluan menyumbang. Kuatnya kekerabatan di antara masyarakat Batak menyebabkan mereka selalu berusaha datang pada setiap undangan yang ditujukan padanya. Akan merupakan suatu yang dianggap memalukan kalau sampai mereka tidak memberikan sumbangan, apalagi yang menyumbang pernah memberikan sumbangan pada yang diundang tersebut.
3.3.3. Strategi Dalam Pengelolaan Keuangan Dalam menentukan tingkat kesejahteraan keluaga, strategi pengelolaan uang dalam rumah tangga yang bersangkutan terutama untuk masyarakat nelayan tradisional seperti di Kedai Gadang, menjadi faktor yang cukup penting. Penghasilan nelayan yang tidak menentu dan relatif sulit memperolehnya terutama di musim-musim angin badai, memerlukan pengelolaan keuangan yang baik, agar dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga yang bersangkutan. Terdapat perbedaan keadaan sosial ekonomi antar kelompok masyarakat Kedai Gadang. Sebagian besar tampak masih hidup secara tradisional dan sederhana, baik dilihat dari asset yang dimiliki, penghasilan yang diperolehnya maupun wawasan berpikirnya. Namun sebagian kecil lainnya tampak lebih sejahtera, seperti halnya para taoke ikan. Strategi keluarga nelayan di Kedai Gadang dalam mengelola keuangan rumah tangganya akan diuraikan dalam bagian ini. Adapun bahasan yang akan disampaikan terutama tentang kebiasaan dalam pengelolaan uang, pengelola keuangan yang dominan serta strategi rumah tangga dalam menghadapi kelebihan /kekurangan keuangan. Besarnya selisih antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, tidak membuat kehidupan rumah tangga, khususnya nelayan Desa Kedai Gadang semakin sulit. Sebagai akibat dari adanya bencana gempa dan tsunami yang menimpa Aceh pada bulan Desember 2004 dan datangnya musim badai menyebabkan kehidupan sebagian besar responden menjadi cukup sulit. Penghasilan yang mereka peroleh dari melaut tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari apalagi untuk menabung. Keadaan ini juga tampak dari hasil survai, yaitu dari sebanyak 100 responden, hanya 9 persen yang mempunyai tabungan dengan perincian, tabungan uang 5 persen, dan tabungan perhiasan dan ternak masing-masing 2 persen. Dari yang memiliki tabungan berupa uang jumlahnya berkisar antara Rp. 200,000, Rp. 700,000 dan Rp. 5,000,000. Menurut pengakuan beberapa nelayan, pada saat ini sulit memiliki Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
39
tabungan, kecuali kalau hasil tangkapan banyak dan harga ikan cukup tinggi. Dalam berbelanja memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari beberapa orang membeli dengan kredit ke warung. Kebiasaan untuk berbelanja dengan hutang, menyebabkan mereka sulit menyisihkan uang untuk tabungan. Konsep koperasi seperti menabung dulu (simpanan wajib dan pokok), tidak disukai oleh masyarakat. Yang diperlukan adalah pedagang/pengusaha yang mau memberi kredit lebih dulu, dan membayar kembali secara mencicil tanpa peduli harganya. Dalam membayar hutang mereka kurang disiplin, sehingga diperlukan usaha keras penjual untuk aktif menagihnya. Pengalaman pengelolaan koperasi oleh tidak berhasil, karena nelayan yang beranggapan mempunyai tabungan di koperasi, sulit ditagih untuk membayar hutanghutangnya. Sebagian besar masyarakat nelayan Desa Kedai Gadang adalah perokok. Seorang nelayan mengatakan bahwa dalam satu hari dia dapat menghabiskan lebih dari satu bungkus rokok, apalagi kalau pas melaut jumlahnya lebih banyak lagi. Meskipun harga rokok per bungkus hanya sekitar Rp. 5000 namun dengan terbatasnya penghasilan seperti saat ini dapat mempengaruhi pengelolaan uang sehingga keluarga sulit menabung, bahkan harus berhutang sana-sini untuk menutup kekurangannya. Pola pengelolaan uang seperti dikemukakan di atas, berpengaruh terhadap strategi keluarga dalam mengatasi kelebihan dan kekurangan uang dalam rumah tangganya. Pada musim ikan, ada kecenderungan nelayan mudah memperoleh uang tunai. Apabila hasil perolehan cukup besar, sebagian akan disisihkan sebagai tabungan sementara, yang mudah dipakai sewaktu dibutuhkan, misalnya untuk membeli emas atau ternak. Sedangkan masa-masa sulit bagi nelayan dirasakan pada musim peralihan dari angin timur ke angin barat atau sebaliknya. Menurut para responden, sebetulnya baik musim angin barat maupun angin timur sama-sama banyak ikan, hanya pada saat musim angin timur disertai badai sehingga ikan sulit didapat. Meskipun demikian, para nelayan masih mendapatkan ikan-ikan tepi. Waktu angin kencang banyak nelayan yang tidak melaut. Kalaupun harus melaut, pada umumnya mereka hanya melaut di pantai di sekitar lokasi pemukiman. Ikan yang mereka peoleh dalam jumlah terbatas. Keadaan ini sejalan dengan hasil survai yang menunjukkan mayoritas responden (sekitar 85 persen) pernah merasakan kesulitan, kemungkinan besar adalah kelompok nelayan yang tidak memiliki penghasilan besar (tradisional) atau kurang baik dalam pengelolaan keuangannya. Sebagian lainnya mengaku tidak pernah menghadapi kesulitan, mungkin termasuk kelompok nelayan yang berhasil serta mengantisipasi keadaan yang sudah biasa dijalaninya. Salah satu pertanyaan survai untuk responden yang pernah 40
mengalami kesulitan, adalah jenis kesulitan keuangan yang pernah dirasakan. Lebih dari 50 persen responden menjawab bahwa jenis kesulitan keuangan yang pernah rasakan adalah dalam penyediaan bahan makanan, untuk biaya pendidikan dan lainnya (antara lain untuk keperluan sosial). Seperti pada masyarakat pada umumnya, masyarakat Batak di Desa Kedai Gadang cenderung mempunyai ikatan kekerabatan yang cukup kuat. Hal ini ditunjukkan dengan seringnya undangan hajatan baik sunatan maupun perkawinan. Menurut kebiasaan masyarakat setempat, pada saat menghadiri undangan perhelatan tersebut mereka akan memberikan sumbangan kepada yang mempunyai hajat. Sumbangan tersebut berupa uang (bagi penyumbang laki-laki) dan beberapa liter beras (bagi penyumbang perempuan). Besarnya sumbangan yang diberikan kepada warga yang sedang mempunyai hajat akan dicatat agar nantinya pihak yang disumbang mengembalikan sumbangan tersebut dalam jumlah yang sama kepada penyumbang. Bagi masyarakat setempat akan merasa malu bila tidak dapat mengembalikan sumbangan yang pernah diterimanya. Kebiasaan 'menuntut balik' ini yang menjadikan setiap warga selalu berusaha untuk mengahdiri setiap undangan yang diberikan. Adanya sumbangan yang harus diberikan secara terpisah bagi suami isteri dalam suatu rumah tangga menyebabkan tingginya pengeluaran non-pangan bagi keluarga yang bersangkutan. Padahal, dalam satu minggu kemungkinan ada lebih dari tiga undangan. Seperti yang terjadi pada saat penelitian ini berlangsung, kepala desa menghadiri undangan sebanyak lima kali hanya dalam satu minggu. Apabila sekali menyumbang adalah Rp. 20.000 dan beras lima liter (Rp. 15.000) berarti setiap kali ada undangan dibutuhkan dana sebesar kurang lebih Rp. 45.000. Jumlah ini tentunya cukup tinggi mengingat rendahnya penghasilan nelayan Desa Kedai Gadang pada musim timur ini. Upaya yang dilakukan responden dalam mengatasi kesulitan keuangan cenderung seragam. Hasil survai menunjukkan upaya yang dilakukan responden dalam menghadapi kesulitan adalah dengan pinjam uang pada taoke, seperti yang dikemukakan oleh 28 persen responden. Persentase terbesar kedua adalah dengan meminjam ke warung/tetangga/saudara atau pinjam ke bank, masing-masing dilaporkan oleh 21 persen responden. Sementara sekitar 19 persen terpaksa minta bantuan kepada keluarga/saudara atau tetangga dengan cuma-cuma ketika mereka sedang menghadapi kesulitan keuangan. Menjual simpanan dilakukan oleh sekitar 12 persen responden. Simpanan tersebut biasanya berupa emas ataupun ternak. Kebiasaan mengatasi kesulitan dengan hutang ini menunjukkan bahwa kelompok nelayan tersebut tidak biasa mengatur keuangannya untuk mengantisipasi masa-masa sulit, sesuai dengan siklus musim ikan. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
41
Mengingat sebagian besar nelayan adalah nelayan ABK maka orang pertama yang menjadi tujuan ketika ada kesulitan keuangan adalah taoke. Taoke menjadi tumpuan bagi para nelayan ABK sebetulnya tidak saja pada saat nelayan tersebut kesulitan keuangan, tetapi juga pada saat nelayan yang bersangkutan akan mengadakan hajatan dan sebagainya. Menurut salah seorang nelayan, taoke tempat ia bekerja pernah memberikan 20 kilogram daging kerbau dan sejumlah uang pada saat nelayan tersebut mengkhitankan anaknya. Hubungan antara taoke dengan ABK-nya selain hubungan kerja yang cukup ‘mengikat’, hubungan kekerabatan antara sesame Batak nampaknya cukup memberikan alasan mengapa para nelayan ‘selalu lari’ pada taoke saat mereka sedang membutuhkan pertolongan. Kuatnya hubungan kekerabatan sesama masyarakat Batak tercermin tidak saja antara ABK dengan taoke, tetapi juga antara ABK dengan pemilik warung atau tetangga dekatnya. Pada saat mereka sedang kesulitan keuangan, meminjam atau minta secara cuma-cuma pada saudaranya. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibu S, seorang pedagang, bahwa sebagian besar penduduk Kedai Gadang itu ada pertalian saudara, jadi kalau ada yang kesulitan apalagi kalau untuk sekedar keperluan makan, mereka tidak keberatan untuk menolongnya (memberi makan).
3.3.4. Pemilikan Aset Rumah Tangga Pemilikan aset rumah tangga di Desa Kedai Gadang merupakan salah satu indikator dari tingkat kesejahteraan masyarakat setempat. Aset yang dimiliki oleh rumah tangga tersebut meliputi aset untuk produksi (seperti armada dan alat tangkap), transportasi maupun barang berharga lainnya sebagai penunjang produksi. Seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, hampir semua nelayan terutama yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah nelayan yang bekerja pada orang lain (anak buah kapal) dengan sistem bagi hasil. Pada umumnya alat dan armada tangkap yang digunakan untuk mencari ikan adalah milik para taoke. Adapun jumlah alat dan armada tangkap yang ada di Desa Kedai Gadang adalah sebagai berikut: Alat tangkap Alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan Desa Kedai Gadang adalah berupa jaring gadang sepanjang 400 yard yang dapat digunakan di kedalaman 12 meter sebanyak 40 unit. Jaring lainnya adalah jaring salam yang panjangnya sekitar 800 yard digunakan untuk menjaring ikan di kedalaman 3 meter sebanyak 40 unit. Selain itu alat tangkap lain yang dimiliki oleh penduduk Desa Kedai gadang adalah pukak payang sebanyak 20 meter. Pukak payang ini digunakan untuk penangkapan 42
dengan jarak penangkapan sampai 50 - 60 meter. Pada saat penelitian berlangsung, seorang taoke di Desa Kedai Gadang sedang mempekerjakan sekitar 15 orang untuk membuat sebuah jaring cincin. Alat-alat tangkap tersebut adalah milik dari 6 orang taoke di Desa Kedai Gadang. Sementara itu, dari hasil survai rumah tangga diperoleh data bahwa rumah tangga yang memiliki alat tangkap hanya 1 orang. Hal ini dikarenakan hanya ada satu orang taoke yang terjaring sebagai responden dalam penelitian ini sehingga frekuensi alat tangkap dimiliki oleh responden hanya kecil sekali. Alat tangkap yang ada berupa speedboat dan jaring yang berjumlah 15 unit. Nilai speedboat adalah sekitar Rp. 14.000.000. Sementara nilai dari jaring sangat bervariasi tergantung dari jenis dan banyaknya mata jaring. Adapun nilai dari jaring-jaring tersebut adalah berkisar antara Rp. 30.000 sampai Rp. 10.000.000. Jaring yang bernilai Rp. 30.000 hanya satu buah, lainnya berharga lebih dari Rp. 2.000.000 dengan jumlah terbanyak berharga sekitar Rp. 3.000.000. Pemilikan dan penguasaan alat tangkap ini cenderung berpengaruh terhadap hasil tangkapan dan pembagian hasil antar anggota kelompok.
Armada tangkap Dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa taoke di Desa Kedai Gadang, jumlah alat tangkap yang ada di desa tersebut adalah sebanyak 10 kapal diesel dengan ukuran diatas 24 PK (10 GT) dan 43 kapal speedboat dengan ukuran 15 PK (4-5 GT). Kapal-lapal tersebut adalah milik 4 orang taoke besar yang ada di Desa Kedai Gadang. Mereka ini satu sama lain ada hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Berdasarkan hasil survai terhadap pemilikan aset produksi, hampir semua rumah tangga (99 pesen) tidak memiliki armada tangkap baik perahu motor maupun perahu tanpa motor (sampan). Pemilikan aset produksi yang berupa armada tangkap adalah 4 buah perahu motor yang yang nilainya masing-masing adalah Rp. 2,500,000, Rp. 2.500.000, Rp. 7.000.000 dan Rp.60,000,000. Harga bodi maupun mesinnya juga bervariasi, makin besar dan kuat mesinnya, makin mahal harganya. Mahalnya harga perahu motor ini yang menyebabkan nelayan Kedai Gadang jarang memilikinya. Ketidakmampuan dalam memiliki alat dan armada tangkap ini barangkali yang menyebabkan mereka menjadi nelayan ABK. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang responden bahwa dengan menjadi ABK mereka tidak perlu lagi memikirkan pembelian peralatan, armada maupun bekal untuk melaut. Sebagai ABK keperluan tersebut sudah dicukupi oleh taokenya.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
43
Pemilikan perahu motor sebetulnya sangat penting artinya bagi nelayan, karena dapat menghasilkan ikan lebih banyak dan lebih cepat (termasuk ke wilayah penangkapan yang lebih jauh). Apabila nelayan tidak memiliki, mereka biasanya hanya bergabung dengan beberapa nelayan yang lain untuk menggunakan perahu motor milik seorang taoke dengan memperoleh bagi hasil tertentu. Pada umumnya nelayan yang bergabung dengan koordinator adalah nelayan yang tidak memiliki perahu motor dan cenderung merupakan anggota tetap kelompok bersangkutan. Pemilikan aset lainnya yang relatif berarti secara ekonomi adalah rumah permanen (dengan fondasi) atau lahan pertanian, perhiasan emas dan barang elektronik (seperti radio, tape recorder dan TV).
Rumah/lahan Pemilikan aset lain yang cukup berharga adalah rumah baik yang permanen dengan fondasi batu ataupun yang berupa rumah panggung. Rumah-rumah permanen dengan fondasi dan dinding dari bata-bata jumlahnya sangat terbatas (hanya 6 rumah). Kebnayakan rumah permanen tersebut adalah milik para taoke di Desa kedai Gadang. Dari observasi di lapangan terlihat bahwa sebagian besar rumah yang ditinggali penduduk Desa Kedai Gadang adalah rumah yang berdinding papan, berlantai papan dan beratap seng. Sebagian di antaranya adalah rumah dengan atap rumbia. Sementara data yang diperoleh dari hasil survai menunjukkan bahwa dari 100 responden, sebagian besar 91 persen yang menempati rumah dan pekarangan baik yang merupakan milik sendiri maupun rumah sewaan. Dari jumlah tersebut, 57 persen di antaranya adalah rumah milik pribadi. Harga rumah-rumah tersebut cukup bervariasi, mulai dari yang termurah Rp. 300,000 sampai yang paling tinggi apabila dijual laku sekitar Rp. 50,000,000. Pemilikan rumah dengan fondasi batu gunung ini juga menjadi salah satu indikasi peningkatan kesejahteraan penduduk. Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa nelayan di Kedai Gadang makin mantap untuk menetap di lokasi tersebut. Pondasi yang digunakan dalam pembuatan rumah pada umumnya adalah batu gunung. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jarang sekali penduduk yang menggunakan batu karang sebagai fondasi rumah. Trend demikian apabila berlanjut, berarti akan mencegah perusakan karang di sekitar pemukiman, yang berarti potensial dalam mencegah kerusakan pantai seperti abrasi atau tanah longsor. Pada umumnya responden menempati rumah miliknya sendiri. Sedangkan warga yang tidak memiliki tetapi menempati rumah ada sekitar 10 persen, umumnya mereka menumpang rumah orang tua atau 44
keluarga, atau hanya menempati sementara selama pemilik tidak berada di lokasi (merantau). Selain rumah yang merupakan aset rumah tangga, lahan pertanian juga merupakan salah satu aset rumah tangga yang bernilai ekonomis tinggi. Dari 100 responden, hanya sekitar 29 persen rumah tangga responden yang menggarap lahan pertanian baik yang merupakan milik sendiri maupun milik orang lain. Luas lahan tersebut cukup bervariasi mulai dari 0,1 hektar sampai dengan 1,0 hektar dengan persentase terbanyak adalah yang menggarap lahan pertanian seluas 1,0 hektar (58 persen). Apabila lahan yang digarap tersebut diuangkan, terdapat jumlah yang bervariasi tergantung dari luas maupun potensi dari lahan itu sendiri. Untuk lahan seluas 0,1 hektar apabila dijual dapat laku Rp, 300.000, namun ada juga satu lahan pertanian yang berharga Rp. 6.000.000. Hal ini dikarenakan pada saat penelitian ini berlangsung lahan tersebut dalam kondisi siap panen dan hasil produksinya diperkirakan akan bagus sekali. Dilihat dari status kepemilikan lahan pertanian, dari 29 rumah tangga yang mengerjakan lahan pertanian hanya 4 rumah tangga yang mengerjakan lahan pertanian milik sendiri. Selebihnya adalah mengerjakan milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Selain lahan pertanian, ada beberapa lahan perkebunan yang digarap oleh responden (sekitar 9 persen) meskipun hanya 2 persen yang merupakan perkebunan milik sendiri. Nilai dari lahan pertanian tersebut juga bervariasi tergantung dari luas, jenis tanaman dan lokasi dari lahan perkebunan tersebut. Nilai lahan perkebunan yang dikemukakan oleh responden adalah antara Rp. 100.000 sampai Rp. 15.000.000. Ternak juga merupakan aset rumah tangga yang cukup banyak dimiliki oleh responden. Sebanyak 20 persen dari responden memiliki ternak dengan jumlah ternak dari seekor hingga 20 ekor (hanya 1 persen). Harga dari ternak-ternak yang dimiliki oleh responden juga bervariasi tergantung dari jenis dan usia ternak tersebut. Adapun jenis ternak yang dimiliki oleh responden adalah ayam dan babi. Apabila diuangkan atau dijual ternak ternak tersebut berharga dari Rp. 150.000 sampai Rp. 25.500.000. Sarana transportasi Pemilikan sarana transportasi juga merupakan aset rumah tangga. Data dari hasil survai memperlihatkan bahwa dai 100 rumah tangga, hanya 23 persen yang memiliki sarana transportasi. Sarana tersebut berupa 2 buah perahu motor, 11 buah sepeda motor dan 10 buah sepeda. Apabila diuangkan, sarana transportasi tersebut bernilai antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 15.000.000. Adapun persentase secara rinci adalah sebanyak 39 persen bernilai kurang dari Rp. 300.000, 26 persen bernilai antara Rp. 1.500.000 – Rp. 5.000.000 dan sekitar 39
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
45
persen rumah tangga yang memiliki sarana transportasi bernilai antara Rp. 6.000.000 – Rp. 15.000.000. Pemilikan Emas Pemilikan aset lain yang cukup berharga adalah perhiasan emas, yang biasa dibeli oleh kaum ibu-ibu, pada waktu memperoleh hasil yang besar. Dari hasil survai di lokasi, hanya sekitar 15 persen responden yang mengaku memiliki perhiasan emas, dengan mengabaikan berat atau banyaknya perhiasan emas yang dimiliki. Seperti halnya yang terdapat di Padang, Sumatera Barat, satu emas berarti seberat 2,5 gram. Jumlah emas yang dimiliki bervariasi tergantung pada keberhasilannya sebagai nelayan dan strategi pengelolaan keuangannya. Pemilikan emas selain untuk perhiasan isteri, juga berfungsi sebagai tabungan, sekaligus sebagai cadangan untuk mengatasi kesulitan hidup, baik dengan jalan menggadaikan atau menjualnya. Apabila diuangkan, emas yang dimiliki oleh responden bervariasi dari seharga Rp. 300.000 sampai Rp. 3.500.000. Barang elektronik Meskipun Desa Kedai Gadang sudah ada listrik dari PLN, namun belum semua rumah tangga memiliki barang elektonik, seperti radio, tape recorder dan TV. Hanya beberapa warga yang telah memiliki TV beserta antena parabola. Energi listrik yang ada digunakan untuk penerangan rumah. Dari 100 responden, hanya 23 persen yang memiliki barangbarang elektronik seperti TV (13 persen), TV dan parabola (5 persen), radio (3 persen) dan TV dan kulkas (2 persen). Dengan adanya parabola memungkinkan penduduk setempat untuk memperoleh informasi yang lebih dari dunia luar. Namun demikian, keberadaan TV nampaknya lebih banyak digunakan untuk mendapatkan acara-acara hiburan. Beberapa warung di Desa Kedai Gadang memiliki TV dan beberapa di antaranya dilengkapi dengan antena parabola. Penggunaan antena parabola sebetulnya lebih banyak digunakan untuk menangkan siaran dari TV swasta. Apabila diuangkan maka barang-barang elektronik yang dimiliki oleh responden tersebut bernilai antara Rp. 100.000 hingga Rp. 4.000.000 dengan persentase terbanyak adalah seharga Rp. 2.000.000 (8 persen) kemudian Rp. 2.500.000 dan Rp. 3.000.000 masing-masing sebanyak 3 persen.
3.4. Kondisi Perumahan dan Sanitasi Lingkungan Kondisi Perumahan Desa Kedai Gadang terbagi dalam tiga dusun, yaitu dusun Kedai Tiga, kedai Tengah dan Dusun Tobasan. Dengan luas desa sekitar 230 hektar, 46
terdiri dari 110 hektar perumahan/pekarangan dan sekitar 120 hektar adalah areal persawahan. Areal perumahan seluas 110 hektar terdapat 300 bangunan rumah, di mana sebanyak 286 rumah untuk tempat tinggal dan sisanya adalah bangunan sekolah, kantor desa, masjid dan sebagainya. Adapun klafikasi rumah didasarkan bahan yang digunakan dalam pembangunan rumah tersebut. Dari 300 bangunan rumah yang ada, 6 rumah dikategorikan sebagai rumah permanen (bahannya beton semua), semi permanen 80 buah, rumah biasa sebanyak 160 buah dan sisanya disebut rumah darurat (dinding papan, lantai papan, atap rumbia). Jenis perumahan demikian mudah rapuh sehingga memerlukan penggantian setiap 3-4 tahun sekali. Menurut pengamatan di lapangan jenis rumah demikian lebih banyak terdapat di Dusun Tobasan. Namun beberapa rumah milik taoke atau nelayan yang sukses merupakan rumah permanen yang kokoh dan luas. Sedangkan di Kedai Tiga, perbedaan fisik perumahan tidak terlalu menyolok dan banyak yang sudah dalam bentuk permanen dengan fondasi batu gunung, beratap seng, dan berlantai papan. Rumah kepala desa yang terletak di Kedai Tiga meskipun besar dan kokoh, tetapi tidak dikategorikan sebagai rumah permanen karena berdinding dan berlantai papan. Rumah tersebut merupakan rumah warisan dari orang tuanya yang didirikan sekitar tahun 1950an.
Kondisi lingkungan Pemukiman masyarakat di Desa Kedai Gadang berkembang secara bertahap sejalan dengan perkembangan penduduk dan sosial ekonomi. Meskipun banyak perumahan penduduk yang terletak di pinggir jalan, namun masih banyak dijumpai rumah-rumah yang dibangun dekat sekali dengan bibir pantai. Selain sudah menjadi kebiasaan turun temurun masyarakat yang pada umumnya menggantungkan hidup sebagai nelayan, bermukim di pinggir pantai karena alasan kemudahan dalam beraktivitas sehari-hari terutama dalam mencarai nafkah. Bentuk rumah adalah rumah panggung dengan menggunaan bahan bangunan dari kayu atau papan. Rumah-rumah tersebut didirikan di pinggir pantai dan sebagian di atas rawa-rawa yang hampir selalu digenangi air. Sebagian besar rumah yang dibangun tidak dilengkapi dengan kamar mandi dan WC di dalam rumah. Kamar mandi dan WC berada di luar rumah berada di luar rumah dengan kondisi yang relatif sederhana, yaitu dari gedhek (anyaman bambu) dan tidak beratap. Beberapa lokasi pemukiman yang relatif padat rumahnya berdempetan, onggokan sampah dan kotoran lain banyak tertahan di sekitar perumahan. Selain itu, dengan pola pemukiman di pinggir pantai yang berada pada kawasan pasang surut secara langsung dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan limbah. Beberapa rumah yang tidak Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
47
mempunyai saluran pembuangan limbah rumah tangga sehingga airnya menggenang di bawah rumah. Keadaan ini menyebabkan lingkungan tampak kotor dan bau tidak sedap terasa menyengat pada waktu air surut. Keadaan sanitasi demikian, pada musim kemarau berdampak pada kesehatan, yaitu potensial untuk berkembangnya nyamuk yang dapat menularkan penyalit malaria. Fasilitas dan akses yang diperlukan masyarakat Desa Kedai Gadang, seperti air bersih, penerangan, sumber energi dan petugas kebersihan, tidak tersedia di lokasi pemukiman. Untuk memenuhi kebutuhan pokok ini, banyak dibebankan pada perempuan. Untuk memperoleh air bersih, perempuan harus menimba di beberapa sumur penduduk atau minta kepada tetangga yang kebetulan mempunyai akses terhadap air bersih karena berlangganan melalui PDAM seperti kepala desa setempat. Di Desa Kedai Gadang, hanya ada 4 rumah tangga yang berlangganan air bersih melalui PDAM. Data hasil survai juga menunjukkan bahwa hampir semua rumah tangga responden menggunakan sumur sebagai sumber air bersih. Kulaitas lingkungan yang baik merupakan salah satu faktor yang berpean dalam peningkatan derajat kesehatan penduduk. Pembuangan tinja dalam bentuk penggunaan jamban keluarga dan penjagaan kebersihan dengan penyaluran air limbah mempunyai peranan yang cukup besar terhadap kualitas lingkungan. Pada kenyataannya, jamban atau WC dengan septitank yang merupakan tempat pembuangan air besar sangat jarang dimiliki oleh penduduk. Dari hasil survai tercatat hanya 4 persen rumah tangga responden yang mempunyai fasilitas seperti tersebut. Untuk pembuangan air besar, sebagian besar penduduk (sekitar 58 persen) menggunakan sungai/pantai. Sebanyak 31 persen membuang air besar di tanah lapang/kebun. Selain minimnya sarana pembuangan air besar, tempat pembuangan sampah rumah tangga juga terbatas. Dari 100 rumah tangga responden, hampir separuh (41 persen) responden membiarkan sampah rumah tangganya menumpuk di halaman. Sekitar 15 persen rumah tangga responden bahkan membuang sampah rumah tangga ke sungai/laut. Kebiasaan membuang sampah ke sungai/laut tentunya akan menimbulkan penyumbatan pada sungai sehingga air tidak dapat mengalir dengan lancar. Akibatnya air selalu menggenangi rumah-rumah penduduk. Keterbatasan akses terhadap air bersih pembuangan limbah memberikan kesan lingkungan perumahan yang kumuh. Selain ketiadaan jamban keluarga yang menyebabkan penduduk membuang air besar di sembarang tempat, air kotor yang menggenang, kekumuhan permukiman penduduk disebabkan oleh berkeliarannya ternak babi milik sementara penduduk. Di satu dusun (Dusun Kedai Tiga) yang mayoritas 48
penduduknya beragama Protestan, terlihat babi berkeliaran di antara rumah-rumah penduduk. Kondisi lingkungan semacam ini jelas sangat mengganggu kesehatan penduduk setempat. Kebutuhan penerangan dipenuhi dari PLN, sedangkan tugas-tugas kebersihan perumahan dan lingkungan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan. Untuk menyediakan fasilitas dan akses bagi masyarakat yang hidup di pinggir laut ini memerlukan biaya dan tenaga yang besar. Di samping itu perlu usaha keras untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang sudah terbiasa hidup menyatu dengan laut dan tidak tersedia alternatif lainnya. Perkembangan perumahan dan lingkungan pemukiman yang tidak terkontrol, akan berdampak pada pembangunan rumah permanen yang makin padat serta sanitasi yang makin buruk. Apabila penataan pemukiman tidak diantisipasi sejak sekarang, maka upaya penataan kembali perumahan penduduk, menjadi sulit dilakukan, karena berkaitan dengan masalah hak pemilikan dan biaya.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
49
50
BAB IV. PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT
4.1. Pengetahuan, kesadaran dan penyelamatan terumbu karang
kepedulian
terhadap
Kondisi pantai Desa Kedai Gadang yang berpasir dan relatif jauh dengan pulau-pulau kecil dibandingkan wilayah desa-desa yang lain seperti yang ada di wilayah Kecamatan Sosor Gadong misalnya, mempengaruhi pengetahuan mereka tentang terumbuh karang. Terumbu karang pernah dijumpai penduduk di laut lepas di bebeapa wilayah tangkapan ikan di Samudera Indonesia. Namun kondisi itu mereka temukan sebelum tahun 1970-an sebelum kondisi terumbu karangg banyaak yang mengalami kerusakan. Sekarang, mereka lebih banyak menemukan karang-karang mati termasuk di sekitar pulau kecil terdekatanya yakni Pulau Pane. Oleh karena sudah sejak lama terumbu karang ini tidak dimanafaatkan penduduk karena rusak maka pengetahuan mereka tentang terumbu karang pada waktu survei merupakan pengetahuan yang didasarkan atas ingatan pada masa lampau.
4.1.1. Pengetahuan dan sikap tentang terumbu karang Salah satu pertanyaan dasar pada survai itu adalah, apakah menurut mereka terumbu karang itu merupakan makhluk hidup, dan hampir semua responden (85 persen) menjawab Ya. Sisanya menjawab tidak dan tidak tahu. Bagi responden yang menjawab Ya, umumnya mereka menytatakan bahwa terumbu karang itu merupakan jenis tumbuhtumbuhan. Hal ini mereka sebut kemungkinan didasarkan pada bentuk fisik terumbu karang yang tidak menyerupai binatang sama sekali. Ia lebih dekat pada gambaran tentang tumbuh-tumbuhan laut. Sementara itu terdapat sekitar 21 persen responden yang menyatakan bahwa terumbu karang itu termasuk jenis binatang. Di kalangan penduduk Desa Kedai Gadang tidak dikenal istilah lokal untuk nama terumbu karang. Mereka menyebut dengan bahasa yang sama dengan bahasa nasional yakni terumbu karang. Walaupun pengetahuan mereka tentang nama dan jenis terumbu karang itu berbeda, namun pengetahuan mereka tentang fungsi atau manfaat terumbu karang itu hampir sama yakni sebagai tempat ikan-ikan dilaut itu hidup atau rumah ikan. Disamping itu, mereka juga mengatakan bahwa terumbu karang itu juga merupakan tempat bertelur ikan-ikan di laut serta tempat untuk mencari makan. Pengetahuan mereka ini Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
51
didasarkan atas pengalaman mereka selama menjadi nelayan. Mereka menuturkan bahwa pada masa dahulu jika ditemukan banyak terumbu karang maka di daerah sekitarnya terdapat banyak ikan. Disamping itu, terumbu karang menurut mereka juga melindungi keanekaragaman jenis ikan. Nama-nama ikan yang dahulu pernah mereka jumpai seperti bawal putih misalnya, kini sudah tidak pernah dijumpai lagi di wilayah tangkapan nelayan Desa Kedai Gadang. Keberadaan terumbu karang menurut mereka juga bisa melindungi wilayah pantai dari ombak besar dan badai. Hal ini setidaknya masih dilakukan oleh nelayan Desa Kedai Gadang saat mereka beristirahat selama waktu menangkap ikan. Tempat-tempat mereka beristirahat biasanya ada di pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni yang antara lain juga masih terdapat terumbu karang yang walaupun sudah banyak yang mati. Mereka biasanya berisitirahat di pulau-pulau kecil itu pada malam hari kemudian menjelang pagi mereka kembali pergi ke laut untuk menangkap ikan. Selain untuk tempat beristirahat, pulau-pulau kecil di sekitarnya juga melindungi mereka dari ombak dan angin kencang. Kendatipun demikian, menurut sebagian besar responden terumbu karang bukan merupakan sumber bahan baku untuk keperluan sendiri. Tetapi sebaliknya, terdapat sekitar 60 persen responden yang menyatakan bahwa terumbu karang merupakan sumber pendapatan masyarakat. Hal ini mungkin dikaitkan dengan fungsi atau manfaat terumbu karang diatas yakni berhubungan dengan rumah ikan. Selain itu, sebagia terumbu karang yang sudah rusak itu juga tidak menciptakan tujuan wisata seperti yang ditunjukkan oleh sekitar 60 persen responden. Sementara itu di daerah-daerah lain, terumbu karang bahkan sudah menjadi obyek tujuan wisata bahari yang paling utama. Hal ini juga terkait dengan kondisi terumbu karang yang ada di sekitar perairan Desa Kedai Gadang. Sekitar 69 persen responden menyatakan bahwa kondisi terumbu karang di sekitar desanya telah rusak. Hal ini juga dinyatakan oleh para nelayan lain yang bukan responden survai, yang mana mereka sudah tidak menemukan lagi terumbu karang di sekitar desanya sebagaimana yang mereka lihat pada sebelum tahun 1970-an. Dengan kondisi seperti ini dan pengetahuan mereka tentang terumbu karang sebagai rumah ikan itu maka menurut mereka kondisi terumbu karang yang telah rusak itu perlu diperbaiki. Hampir seluruh responden (90 persen) menyatakan bahwa kondisi terumbu karang itu perlu diperbaiki. Disamping pengetahuan itu, sebagian nelayan Desa Kedai Gadang sekarang (87 persen) juga tidak setuju jika karang-karang yang masih hidup itu diambil oleh masyarakat. Begitu pula dengan karang mati, sebagian besar dari mereka (82 persen) juga tidak setuju kalau karang 52
mati diambil oleh masyarakat. Pendapat ini kemungkinan besar terkait dengan pengetahun mereka tentang fungsi atau manfaat terumbu karang bagi rumah ikan itu yang cukup kuat. Disamping itu, menurut para responden (81 persen) memang ada peraturan yang menyatakan larangan pengambuilan terumbu karang baik yang sudah mati ataupun yang masih hidup. Walaupun di desa tidak ditemukan peraturan itu tetapi peraturan itu ada di kantor kecamatan. Hal ini juga dinyatakan oleh seorang staf kantor kecamatan Barus bahwa pada masa lalu pernah dilakukan penangkapan-penangkapan terhadap nelayan yang mengambil terumbu karang. Dengan adanya peraturan larangan itu, sebagian besar responden (79 persen) menyatakan setuju dengan ditegakkannya larangan mengenai pengambilan terumbu karang itu. Mereka diantara yang setuju itu juga mengetahui sangsi ataupun hukuman bagi yang melanggar. Berbagai pengetahuan responden tentang terumbu karang diatas semakin diperkuat bahwa dalam satu tahun terakhir tidak ada responden yang mengambil terumbu karang dari laut. Pernyataan ini disampaikan untuk kondisi terumbu karang yang masih hidup ataupun terumbu karang yang sudah mati. Mereka juga tidak mengetahui manfaat terumbu karang yang sudah mati itu. Di beberapa tempat di perkampungan nelayan, biasanya karang-karang yang sudah mati digunakan oleh penduduk sebagai bahan dasar fondasi rumah. Namun rumah-rumah penduduk di Desa Kedai Gadang menggunakan bahan dasar fondasi yang berasal dari batu gunung. Hal ini dipilih karena di sungai-sungai yang kering di daerah perbukitan tersedia cukup banyak batu gunung atau batu kali yang kualitasnya lebih baghus daripada terum bu karang mati. Sedangkan rumah-rumah yang terbuat dari papan sama sekali tidak menggunakan bahan dasar batu ataupun terumbu karang sebagai bahan dasar fondasi rumahnya.
4.1.2. Pengetahuan dan sikap tentang alat tangkap Pengetahuan responden tentang alat-alat tangkap yang merusak terumbu karang sangat terkait dengan pengalaman mereka selama menangkap ikan di laut baik pengalaman langsung maupun pengetahuan yang diperoleh dari pengamatan terhadap nelayan lain. Penggunaan bom ikan misalnya, menurut mereka sangat merusak. Seluruh responden menyatakan bahwa penggunaan bom ikan telah merusak terumbu karang. Beberapa responden yang saat diwawancarai juga pernah melihat langsung penggunaaan bom ikan di laut, dimana banyak ikan kecil-kecil yang mati karena penggunaan bom itu. Disamping itu, bom ikan juga akan merusak terumbu karang yang masih hidup.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
53
Sementara itu beberapa alat tangkap tradisional diyakini oleh kalangan nelayan Desa Kedai Gadang tidak akan merusak kondisi terumbu karang. Beberapa alat tangkap tradisional itu antara lain, jaring apung (92 persen), bagan tancap (92 persen), bagan apung (94 persen), bubu atau perangkap ikan (82 persen), dan pancing (99 persen), panah (81 persen) diyakini tidak akan merusak terumbu karang. Sebaliknya penggunaan alat tangkap dengan menggunakan racun atau sianida dapat merusak terumbu karang (93 persen). Demikian pula dengan trawl atau pukat harimau, sebagian besar responden (95 persen) menyatakan merusak terumbu karang. Pengetahuan responden mengenai larangan penggunaan bom ikan juga dinyatakan oleh sekitar 87 persen responden survai. Mereka (87 persen) umumnya setuju terhadap adanya larangan penggunaan bom ikan itu. Demikian pula dengan sangsi (78 persen) bagi yang melanggar larangan tersebut. Sedangkan dalam kurun waktu satu tahun terakhir, diantara nelayan yang masih melihat penggunaan bom ikan ada 6 persen. Hal ini berarti walaupun ada larangan penggunaan bom ikan itu namun masih ada satu dua orang nelayan yang tetap menggunakannya. Sementara itu sebagian besar responden (69 persen) menyatakan tidak tahu apakah dalam kurun waktu tersebut masih ada yaang menggunakan bom ikan atau tidak. Biasanya hal ini cukup sensitif di kalangan komunitas sehingga diantara mereka bisa juga saling menutupi atau takut jika mengatakan orang lain menggunakan bom ikan itu. Untuk mereka sendiri, selama setahun terakhir tidak pernah menggunakan bom ikan (96 persen). Tetapi masih ada 1 orang responden yang menyatakan bahwa dalam satu tahun terakhir masih menggunakan bom ikan. Demikian pula dengan penggunaan sianida, dimana 74 persen responden menyatakan pernah menggunakan racun ini untuk menangkap ikan. Diantara responden itu banyak yang setuju (70persen) jika larangan menggunakan sianida itu diberlakukan, seperti misalnya dikenai sangsi terhadap orang yang melanggar aturan. Untuk penggunaan pukat harimau, 86 persen responden menyatakan tahhu tentang adanya larangannya. Mereka (84 persen) juga setuju larangan tersebut. Alasan ini disampaikan terutama karena pukat harimau telah memasuki wilayah tangkap nelayan tradisional ini sehingga berpengaruh terhadap jumlah tangkapan nelayan itu. Mulainya pukat harimau masuk ke wilayah tangkap nelayan tradisionaal ini suda terjadi sejak tahun 1980-an sehingga banyak diantara kalangan nelayan tradisional yang mengeluhkan keberadaannya. Namun demikian, masih ada (13 persen) diantara responden nelayan ini yang masih melihat keberadaan pukat harimau di wilayah tangkap nelayan tradisional ini. Disamping larangan dari pemerintah, di kalangan responden juga dikenal adanya larangan adat mengenai penggunaan pukat harimau. 54
Sekitar 67 persen responden menyatakan bahwa ada peraturan adat tentang pengelolaan sumberdaya laut yang berlaku di daerahnya itu. Diantara mereka (80 persen) yang menggantungkan pada peraturaan pemerintah juga masih memerlukan peraturan adat untuk pengelolaan sumber daya laut ini. Kondisi diperlukannya peraturan hukum baik yang berasal dari peraturan pemerintah maupun pengelolaan yang berbasis adat ini kurang didukung dengan pengetahuan mereka tentang program COREMAP di daerahnya. Hal ini mungkin karena program COREMAP belum berjalan sepenuhnya dimana sekitar 61 persen responden tidak mengetahui apakah program COREMAP didaerahnya sudah berjalan atau belum sehingga banyak diantara mereka yang tidak terlibat (87 persen). Bagi responden yang pernah mendengar tentang program COREMAP, mereka juga tidak tahu maksud dan tujuan program itu. Hanya sekitar 20 persen responden yang menyatakan tahu mengenai program COREMAP itu yakni untuk melindungi terumbu karang dan disi lain juga berfungsi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
4.2. Wilayah Pengelolaan Wilayah perairan laut Barus tidak termasuk ke dalam suatu pengelolaan khusus seperti taman nasional laut atau jenis konservsi lainnya. Wilayah perairan ini merupakan wilayah laut lepas yang dikelola secara tradisional oleh nelayan setempat, termasuk nelayan-nelayan dari Desa Kedai Gadang. Secara tradisional tidak terdapat batas wilayah tangkapan ikan ataupun batas pengelolaan sumber daya laut di Desa Kedai Gadang. Demikian pula dengan nelayan-nelayan dari desa lainnya, mereka tidak memiliki batas wilayah tangkapan ikan tertentu. Wilayah perairan laut bersifat open acces, siapapun secara tradisional boleh memanfaatkan sumber daya laut yang ada di perairan itu. Terkecuali pemanfaatan sumber daya laut untuk kepentingan usaha atau bisnis tertentu tentunya harus dengan ijin khusus dari pemerintah terkait. Namun sepanjang pemanfaatan dilakukan secara tradisional seperti menangkap ikan maka tidak terdapat batas-batas wilayah tertentu. Batas wilayah pengelolaan ataupun tangkapan ikaan tergantung dari kemampuan masing-masing armadanya. Nelayan dari Desa Kedai Gadang misalnya dapat menangkap ikan di tempat-tempat lain yang jauh dari desa itu. Wilayah tangkapan mereka bisa menjangkau wilayah perairan di dekat Sumatera Barat dan Nagggroe Aceh Darussalam. Wilayah itupun juga sudah dimanfaatkan oleh nelayan tradisional lain dari daerah-daerah yang lainnya. Namun hal itu tidak dianggap sebagai suatu persoalan yang menimbulkan konflik diantara mereka. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
55
Batas wilayah tangkapan ikan ditentukan dari kemampuan armadanya melaut. Sebagai contoh terdapat perbedaan jarak jangkau armadaarmada yang berbeda dengan alat tangkap yang berbeda. Jaring salam misalnya, wilayah tangkapnya berada di sekitar unjam yang ditanam sekitar empat jam waktu tempuh dari pantai. Sedangkan jaring kepiting misalnya, mereka membutuhkan waktu hampir satu hari untuk menuju wilayah tangkap. Tabel 4.1 Wilayah Tangkap Nelayan Desa Kedai Gadang No
Nama alat tangkap
Wilayah tangkap
1
Jaring payang
Di laut lepas Samudera Indonesia
2
Jaring salam
Di pulau-pulau kecil sekitar empat jam waktu tempuh dari pantai
3
Jaring kepiting
Sekitar Pulau Mursala
4
Pukat pinggir/tepi
Tepi pantai sekitar 1 km dari garis pantai
5
Cincin mini
Di sekitar pulau-pulau kecil
6
Jaring unyil
Tepi pantai hingga Pulau Karang
Sumber: Data primer Dengan demikian tidak terdapat klaim khusus bahwa wilayah tangkap tertentu merupakan hak kelompok nelayan tertentu. Dalam satu wilayah tangkap bisa di klaim atau dinyatakan sebagai wilayah tangkap beberapa kelompok nelayan dari berbagai daerah. Mereka tergantung dengan alat tangkap. Pada suatu wilayah tangkap yang sama misalnya, terdapat dua alat tangkap yang berbeda dari dua kelompok nelayan yang berasal dari daerah yang berbeda, maka hal itu tergantung dari alat tangkap mereka. Ada kelompok nelayan yang mendapatkan jumlah tangkapan banyak tetapi ada yang sedikit. Di Desa Kedai Gadang tidak terdapat dermaga sehingga kaitan mereka dengan nelayan pendatang sangat kecil. Mereka hanya berjumpa kalangan nelayan lain dari daerah lain diluar desanya yakni di laut lepas atau di pulau-pulau kecil tempat persinggahan selama menangkap ikan di laut lepas. Diantara mereka juga tidak terdapat klaim bahhwa wilayah tangkap tertentu merupakan kalim mereka sejak dahulu. Diantara mereka mempunyai akses dan kesempatan yang sama untuk menangkap ikan di wilayah tangkapan yang sama pula.
56
4.2.1. Teknologi Penangkapan Selama 40 tahun terakhir, teknologi penangkapan ikan di kalangan nelayan Desa Kedai Gadang tidak mengalami perkembangan yang berarti. Satu-satunya tonggak bersejarah dalam bidang teknologi penangkapan ikan adalah motorisasi yang sudah berlangsung sejak tahun 1976. Namun setelah itu, perkembangan teknologi penangkapan ikan tidak lagi mengalami kemajuan yang berarti. Pada masa sebelum motorisasi, para nelayan Desa Kedai Gadang masih mengandalkan perahu dayung dan perahu cadik. Jangkauan perahu-perahu ini hanya sekitar 2 km sampai dengan 3 km dari garis pantai. Demikian pula jaring yang mereka gunakan masih relatif kecil dari sekarang seperti jaring lingkar atau jaring apung, pukat payang, dan pukat tepi. Untuk jaring lingkar dan pukat tepi kini sudah jarang digunakan nelayan Desa Kedai Gadang. Setelah motorisasi tahun 1976, para nelayan mulai memasang motor berkapasitas 33 PK (10 GT) di perahunya. Perahu yang dahulu lebih kecil seperti perahu dayung dan perahu cadik diganti dengan ukuran yang lebih besar, sekitar panjang 5 meter. Demikian pula dengan jaringnya. Sejak motorisasi dan perubahan perahu yang lebih besar para nelayan menggunakan jaring salam, pukat payang dan sebagian jaring benam. Dengan perkembangan alat tangkap ini, jarak jangkauan atau wilayah tangkapan nelayan Desa Kedai Gadang juga semakin jauh. Dengan kapasitas mesin motor 33 PK, mereka bisa menempuh perjalanan hingga 20 km dari garis pantai. Perkembangan ini sangat berarti karena memungkinkan para nelayan ini memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak. Disamping itu, dengan perahu motor, mereka mulai bersaing dengan nelayan-nelayan daerah lainnya yang menuju ke wilayah tangkap yang sama. Tabel 4.2 Jenis Alat Tangkap Nelayan Desa Kedai Gadang No
Nama alat tangkap
Jumlah
Peruntukan
1 2 3 4 5 6
Jaring payang Jaring salam Jaring kepiting Pukat pinggir/tepi Cincin mini Jaring unyil
40 buah 86 unit 20 unit 1 unit 30 unit
Ikan Gembung Ikan Aso-aso Udang Gustan Ikan teri Ikan teri, dll. Ikan aso-aso kecil
Sumber: Data primer
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
57
Perkembangan alat tangkap tidak selalu diikuti dengan perkembangan tingkat kesejahteraan nelayan. Sekalipun hasil tangkapan mereka juga semakin banyak. Hal ini antara lain disebabkan oleh karena motorisasi disisi lain telah menciptakan persaingan di dalam komunitas nelayan desa itu sendiri. Perubahan perahu dayung dan perahu cadik ke perahu yang lebih besar dengan mesin motor tentu tidak dilakukan oleh semua orang. Hanya beberapa orang saja yang mampu membeli perahu motor sehingga para nelayan perahu dayung dan perahu cadik menjatuhkan pilihannya bekerja kepada pemilik perahu motor. Alsannya sangat jelas, antara lain karena hasil tangkapan perahu motor jauh lebih banyak dibanding perahu dayung dan perahu cadik. Dengan demikian telah tercipta sebuah hubungan kerja antara pemilik perahu motor dengan nelayan buruh. Selama berpuluh-puluh tahun terakhir hubungan kerja ini tampaknya juga kurang memberikan tingkat kesejahteraan yang berarti bagi para nelayan buruh. Bahkan, kalangan nelayan buruh semakin tergantung kepada pemilik perahu motor atau yang disebut sebagai taoke. Gejala inilah yang kemudian diindikasikan sebagai proletarisasi di kalangan nelayan. Terciptanya hubungan kerja baru sebagai dampak dari motorisasi tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan namun justru sebaliknya semakin papa. Dari tabel diatas, walaupun kepemilikan alat tangkap berjumlah puluhan namun kepemilikan itu hanya di beberapa orang (taoke) saja. Di Desa Kedai Gadang hanya ada empat orang taoke besar yakni Ucok Samosir, Bakri Samosir, Eteng Samosir, dan Irwan Tanjung. Keempat orang taoke inilah yang pada dasarnya menguasai alat tangkap ikan di Desa Kedai Gadang. Sedangkan nelayan yang lainnya bekerja kepada empat orang taoke itu.
4.2.2. Unjam Satu-satunya klaim yang terkait dengan batas-batas wilayah tangkap adalah di lokasi unjam atau semacam rumpon yang terdiri dari sekitar 30 lembar daun pinang yang diikat secara vertikal dan di ujung atas talinya diberi pelampung sedangkan unjung tali paling bawah diberi batu pemberat. Rumpon ini diciptakan untuk menarik ikan sehingga banyak ikan berkumpul di sekitar unjam. Khusus mengenai nelayan jaring payang yang menggunakan unjam, wilayah tangkapannya sudah ditentukan oleh lokasi-lokasi unjam-nya. Kelompok nelayan tertentu menanam banyak unjam di laut dan merekalah yang berhak mencari ikan di sekitar unjam-unjam itu. Apabila terjadi pelanggaran maka hasil tangkapannya harus dibagi kepada pemilik unjamnya. Sebaliknya jika suatu kelompok nelayan tidak mendapatkan hasil tangkapan, biasanya kelompok nelayan lain memberikan unjam-nya dengan pembagian hasil.
58
Gambar Unjam. Pelampung Permukaan laut
Daun pinang Ikan
Batu Dasar laut Di Desa Kedai Gadang terdapat beberapa kelompok nelayan yang memasang unjam di laut lepas. Oleh karena kelompok nelayan ini dibentuk berdasarkan hubungannya dengan taoke (juragan pedagang ikan) maka para nelayan menyebut unjam-unjam itu milik para taoketaoke yang ada di desa itu. Masing-masing taoke bisa memasang unjam lebih dari satu hingga mencapai puluhan unjam dipasang di laut lepas di beberapa lokasi. Mereka tahu persis dimana lokasi-lokasi unjamnya dipasang dan tahu juga unjam-unjam yang lian itu milik siapa, sehingga kemungkinan terjadi salah tangkap di suatu lokasi unjam tertentu sangat kecil.
4.3. Stakeholders yang Terlibat dalam Pengelolaan Di dalam pengelolaan tradisional tidak banyak stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan suatu Sumber Daya Laut. Pengelolaan tradisional yang dimaksudkan juga bukan suatu pengelolaan komunal dimana suatu komunitas biasanya mempunyai hak-hak tertentu terhadap Sumber Daya Laut tertentu untuk mengatur, menjaga atau merawat, dan memanen sumber-sumber itu. Pengelolaan tradisional yang dimaksudkan disini lebih merupakan penangkapan ikan secara kelompok maupun individual oleh nelayan setempat dengan menggunakan alat-alat tangkap tradisional. Di dalam pengelolaan tradisional seperti ini tidak ada perlakuan khusus terhadap Sumber Daya Laut kecuali misalnya secara umum diatur di berbagai tempat larangan penggunaan bom ikan dan pukat harimau serta pukat ikan. Di dalam konteks yang lebih umum seperti ini, Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
59
stakeholders yang terlibat akan jauh lebih luas. Disamping nelayan tradisional setempat dan kelompok-kelompok nelayan lain dari daerah yang lain juga terdapat pihak-pihak yang lain seperti Angkatan Laut, polisi air, dan pemerintah serta pemerintah daerah yang terkait seperti departemen atau dinas kelautan setempat. Stakeholders ini diantaranya cukup terkait dengan pemanfaatan tradisional karena tidak terdapatnya batas wilayah tangkap diantara kelompok nelayan. Kalangan nelayan dari Desa Kedai Gadang mempunyai wilayah tangkap jauh melampaui wilayah sekitar desanya, bahkan diantaranya ada yang harus ditempuh dalam waktu satu hari. Sementara itu disisi lain pemerintah melalui aparatnya mempunyai kewenangan untuk mengatur pengelolaan laut ini secara umum. Di dalam desa, stakeholders yang terlibat juga cukup beragam. Selain kelompok nelayan juga terdapat pedagang ikan yang terdiri dari pedagang eceran atau biasa disebut sebagai pengalong-along dan pedagang penampung yang merupakan pedagang besar di Sibolga dan Medan. Selain pedagang tentunya masih ada konsumen baik itu konsumen di dalam Desa Kedai Gadang sendiri maupun konsumen luar desa, luar kecamatan, luar kabupaten, atau bahkan luar negara seperti Singapore yang biasa “memesan” jenis udang gustan. Di dalam kelompok nelayan sendiri terdapat berbagai kelompok kecil yang merepresentasikan kepentingan yang berbeda-beda. Biasanya kelompok-kelompok kecil ini ditunjukkan dengan jenis alat tangkap yang digunakan, misalnya nelayan jaring payang, nelayan jaring salam, nelayan jaring kepiting, nelayan jaring unyil, dan sebagainya. Berbagai kelompok nelayan jaring payang misalnya, di desa ini terbagi menjadi empat kelompok berdasarkan taoke-nya, yakni Pak US, Pak BS, Pak ES, dan Pak IT.
4.4. Hubungan antar Stakeholder Tidak adanya pengelolaan secara khusus di wilayah laut lepas maupun di sekitar Desa Kedai Gadang membuat hubungan antar stakeholder menjadi kurang terbangun dengan baik. Masing-masing stakeholder hanya melakukan tugas-tugasnya secara umum tanpa ada suatu bentuk kerjasama yang lebih lanjut diantara mereka. Pihak kepolisian misalnya, hanya menangkap kasus-kasus pengeboman ikan yang mereka lihat tetapi tidak ada kerjasama khusus dengan kelompok nelayan tertentu atau organisasi yang mewadahi kepentingan bersama. Demikian dengan kelompok nelayan tradisional, karena kerjasama khusus dalam hubungan antar stakeholder ini mereka melihat kasus-kasus pengeboman ikan di wilayah mereka tidak melaporkan ke aparat kepolisian terdekat. 60
tidak ada maka jika laut lepas Walaupun
mereka berharap ditegakkannya peraturan untuk melindungi pengelolaan sumber daya laut itu. Demikin pula dengan beroperasinya pukat harimau di wilayah perairan ini, jika para nelayan tradisional mengetahhui keberadaannya mereka tidak bisa melaporkan ke pihak berwajib karena tidak adanya kerjasama khusus mengenai hal itu.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
61
62
BAB V PRODUKSI DAN PEMANFAATAN SDL
Lokasi Desa Kedai Gadang yang berdekatan dengan pantai, memungkinkan sebagian besar masyarakat desa tersebut untuk menggantungkan hidupnya terutama dari kegiatan di laut. Dengan demikian, masyarakat setempat sangat berkepentingan dalam kegiatan mengelola dan memanfatkan Sumber Daya Laut di sekitarnya. Oleh karena itu, untuk memahami keadaan ekonomi masyarakat Kedai Gadang, maka perlu diuraikan tentang produksi SDL yang ada dan bagaimana masyarakat setempat memanfaatkan SDL tersebut. Nelayan Desa Kedai Gadang termasuk nelayan tradisional, dengan alat dan armada tangkap yang relatif sederhana. Bab ini akan menguraikan tentang kegiatan ekonomi penduduk yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDL dengan menekankan pada hasil produksi, pemanfaatan dan pemasaran hasil produksi.
5.1. Hasil Produksi Lokasi Desa Kedai Gadang berada di pinggir pantai di Laut Hindia. Jarak desa ke bibir pantai relatif dekat, hanya sekitar 200 meter. Menurut masyarakat setempat, keadaan pantai di dekat permukiman mereka merupakan perairan yang cukup tenang Keadaan yang demikian menyebabkan wilayah ini masih memiliki potensi SDL yang besar, terutama berbagai jenis ikan. Jenis ikan yang ditangkap oleh para nelayan juga dipengaruhi oleh adanya musim. Pada saat musim barat, maka produksi ikan yang paling banyak adalah gambalo, kembung dan aso-aso. Sementara pada saat musim timur jenis ikan yang banyak adalah ikan tepi (kecil-kecil) seperti aso-aso kecil, teri dan udang cepe (kecil). Pada musim peralihan, ikan agak sulit didapatkan. Jenis ikan yang banyak ditemukan di sekitar perairan ini adalah ikan kembung, aso-aso, balato, baledang, kaling-kaling, kapas-kapas, pari dan gulamo. Hasil produksi yang diperoleh nelayan Desa Kedai Gadang sangat dipengaruhi oleh alat dan armada tangkap yang relatif sederhana. Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, jaring yang banyak digunakan oleh para nelayan adalah jaring aso-aso yang digunakan untuk menjaring ikan aso-aso di lokasi yang telah diberi unjam atau rabo. Selain itu, jumlah produksi ikan juga dipengaruhi oleh adanya musim yaitu musim barat, musim timur maupun pada musim Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
63
peralihan. Pada akhir-akhir ini jumlah hasil produksi ikan di Desa Kedai Gadang menurun drastis. Penurunan hasil produksi dimulai pada tahun 2004. Menurut informasi dari beberapa responden, selain karena musim badai, adanya bencana alam seperti tsunami yang terjadi di Aceh beberapa waktu yang lalu ditengarai turut berpengaruh terhadap jumlah tangkapan. Sebagai gambaran, seorang informan menyebutkan bahwa pada tahun 2003, tidak kurang dari 5 truk tiap hari ikan dari Desa Kedai Gadang dikirimkan ke Sibolga atau ke Medan. Banyak jenis SDL yang berperan penting dalam kehidupan masyarakat Desa di Kedai Gadang, baik dilihat dari banyaknya hasil, pentingnya SDL maupun harga penjualan. Dari berbagai jenis SDL yang ada di sekitar wilayah Barus terdapat beberapa yang menonjol antara lain ikan aso-aso, kembung dan udang gostan. Ikan kembung, meskipun harganya relatif mahal yaitu sekitar Rp7000/kg, namun merupakan ikan yang paling diburu karena relatif mudah diperoleh dan permintaannya tinggi. Sedangkan udang gostan dan kepiting merupakan SDL yang potensinya tinggi dan harganya relatif mahal. Khusus untuk udang gostan, meskipun jumlah yang dihasilkan sulit diperkirakan, namun hasil produksinya laku dijual, baik hidup maupun yang sudah mati. Dari uraian tersebut, ketiga jenis SDL yaitu ikan aso-aso, kembung dan udang gostan berperan penting bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat dan sekitarnya, termasuk masyarakat daerah lain yang mempunyai jaringan dalam pengelolaan dan pemasarannya. Nelayan Desa Kedai Gadang merupakan nelayan yang mencari ikan hanya di sekitar perairan Barus saja. Hanya sebagian kecil dari nelayan setempat yang wilayah tangkapnya sampai ke luar wilayah (ke Pulau Mansalar). Nelayan yang ini adalah yang mempunyai armada kapal motor dengan kapasitas 24 PK dan dengan alat tangkat yang berupa jaring kepiting. Adapun target tangkapan adalah udang gostan ataupun kepiting. Para nelayan jaring kepiting ini biasanya pergi melaut selama kurang lebih 15 hari dengan perbekalan yang cukup banyak. Bagi nelayan Kedai Gadang, hanya laki-laki yang pergi laut. Sedangkan perempuan Batak hampir tidak ada yang bekerja atau membantu bekerja mencari ikan di laut. Biasanya mereka hanya membantu menyediakan konsumsi para nelayan. Beberapa perempuan terutama yang tinggal di Dusun Tengah dan Dusun Tobasan membantu perekonomian rumah tangga melalui pekerjaan di bidang pertanian. Para perempuan tersebut bercocok tanam dengan menanam padi di sawahnya baik di sawah yang menjadi miliknya maupun milik orang lain. Untuk mengetahui hasil produksi SDL dan perkembangannya di Desa Kedai Gadang sangat sulit, karena hampir tidak ada dokumen tertulis yang dimiliki Desa Kedai Gadang, baik monografi desa atau catatan– catatan biasa. Dengan demikian cukup sulit memperkirakan sebetulnya 64
berapa banyak produksi ikan di Desa Kedai Gadang. Data mengenai jumlah produksi ikan diperoleh melalui pencatatan jumlah ikan yang dikirim ke penampung baik yang ada di Sibolga maupun Medan dari sebuah gudang milik salah seorang taoke di Desa Kedai Gadang. Dalam uraian selanjutnya perkiraan hasil produksi, armada dan alat tangkap, biaya yang dikeluarkan dan pembagian hasil produksi ditekankan untuk ketiga hasil SDL utama tersebut.
5.1.1. Ikan aso-aso Ikan aso-aso merupakan ikan yang menjadi andalan nelayan karena dapat dihasilkan sepanjang tahun (tidak kenal musim) dan dalam jumlah yang relatif besar. Ikan aso-aso dapat diperoleh setiap hari, baik di laut dangkal sekitar lokasi pemukiman, maupun di laut yang lebih dalam. Sejenis dengan ikan aso-aso yaitu ikan kembung, lokasinya lebih dalam yaitu sekitar 3 mil dari desa. Meskipun demikian hasil ikan aso-aso dan kembung yang paling banyak diperoleh selama musim angin timur (sekitar 3 bulan). Hasil ikan aso-aso yang diperoleh nelayan bervariasi, tergantung pada armada dan alat tangkap yang digunakan dan lokasi penangkapannya. Alat tangkap yang umumnya digunakan oleh nelayan Kedai Gadang adalah jaring salam. Jaring ini dioperasikan oleh sekitar 11 orang, dengan lokasi penangkapan di wilayah yang sudah ditanami unjam/rabo. Menurut informasi dari seorang taoke, dalam satu bulan paling tidak dapat diperoleh sekitar 1500 kg ikan aso-aso. Pada tahuntahun sebelumnya jumlah tangkapan jauh lebih banyak. Menurut beberapa responden, penurunan hasil produksi atau tangkapan juga disebablan oleh adanya pengeboman ikan yang diduga dilakukan oleh nelayan dari Sibolga selain adanya pukat harimau (trawl). Armada tangkap yang umumnya digunakan oleh nelayan Kedai Gadang adalah kapal motor (ukuran 5 PK). Untuk menangkap ikan aso-aso, alat tangkap yang banyak digunakan adalah jaring salam atau dengan pukak payang. Apabila penangkapan ikan aso-aso dilakukan oleh 2-3 orang dalam satu armada tangkap (biasanya dengan bodi motor), maka digunakan alat tangkap jaring. Demikian pula hasil yang diperoleh juga sangat terbatas, baik jenis maupun jumlahnya, biasanya sekedar untuk menutup kebutuhan sehari-hari (termasuk konsumsi), yaitu sekitar Rp10.000-Rp. 20.000. Pada umumnya nelayan Kedai Gadang menangkap ikan aso-aso dengan perahu perahu motor dan jaring salam, dengan melibatkan beberapa orang (5 orang), baik anggauta keluarga atau nelayan lain. Waktu yang diperlukan untuk menangkap ikan aso-aso biasanya sejak jam 2 dini hari sampai jam 4 siang. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
65
Contoh perkiraan hasil produksi menurut alat tangkap dan besarnya biaya sebagai berikut:
Armada perahu motor dengan kapasitas mesin sebesar 15 PK (4-5 GT) dan alat tangkap jaring salam, dengan jumlah nelayan anggauta kelompok sekitar 5-8 orang :
Jumlah ikan aso-aso yang diperoleh diperkirakan sekitar 200 300 kg
Biaya yang dikeluarkan selama ke laut (solar, es, makanan dan rokok) sekitar Rp. 600.000 .
Untuk pengeluaran biaya selama operasi biasanya dibayar dahulu oleh taoke dan dipotong dari hasil perolehan, sebelum dibagi pada anggota kelompok. Sedangkan pembagian hasil diantara anggota kelompok ditentukan berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Namun secara umum, biasanya pemilik armada dan alat tangkap memperoleh 2,5 bagian, sedangkan setiap anggota kelompok lainnya (termasuk keluarga yang ikut) memperoleh bagian yang sama. Bila jumlah nelayan dalam satu armada 11 orang, pemilik bodi mendapat 2 bagian, anggauta lainnya medapat satu bagian. Sistim penangkapan ikan aso-aso adalah dengan menggunakan pukak payang yang ditebar di tempat yang sudah ditanami unjam. Hasil ikan aso-aso dengan sistim ini relatif banyak, karena berkumpulnya ikan di sekitar lokasi unjam yang menggunakan dengan daun pinang. Biasanya warga yang memasang unjam adalah sekelompok nelayan. Namun karena adanya kapal pukat harimau yang melewati daerah unjam ini berakibat pada menunurnnya hasil tangkapan karena banyak ikan yang terjaring oleh kapal trawl tadi.
5.1.2. Udang gostan Potensi udang gostan di wilayah ini cukup sedikit, namun hasil yang dapat diperoleh tergantung pada perubahan musim. Jenis udang gostan dapat diperoleh sepanjang musim angin timur, khususnya pada bulan gelap, namun hasil produksi yang paling banyak dapat diperoleh pada musim teduh yaitu peralihan musim angin timur dan angin barat (bulan Oktober). Meskipun permintaan udang gostan tinggi dan harganya mahal, namun cara penangkapannya sulit, yaitu dengan menyelam ke laut dalam secara alami, sehingga hasil produksinya terbatas. Untuk menangkap udang gostan, nelayan harus melaut sampai puluhan mil dari Desa Kedai Gadang. Untuk perlengkapan menangkap udang gostan, nelayan Kedai Gadang menggunakan jaring kepiting 66
dengan armada kapal diesel. Menurut narasumber yang juga berpengalaman menangkap udang gostan, penangkapan udang gostan biasanya dilakukan malam hari dan keadaan bulan gelap. Beberapa nelayan muda lebih memilih sebagai spesialis penangkap udang gostan karena dianggap dapat memperoleh keuntungan lebih cepat dan kadang-kadang lebih banyak dari jenis ikan lainnya. Adanya 4 taoke yang merangkap sebagai pedagang pengumpul udang gostan di Desa Kedai Gadang, menunjukkan bahwa udang gostan cukup menguntungkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan Kedai Gadang. Hal ini didukung oleh harga udang gostan yang relatif mahal, dan permintaan dari luar yang cukup tinggi. Adapun perkiraan hasil udang gostan di Desa Kedai Gadang, diperoleh dari seorang narasumber yang cukup sukses sebagai tekong (nakhoda) atau koordinator yang memimpin anggota-anggotanya dalam kelompok. Jumlah nelayan yang menjadi anggauta kelompok 11 orang. Berdasarkan pengalamannya sebagai nelayan jaring kepiting, dalam sekali melaut dapat memperloleh puluhan kg udang gostan.
Diperkirakan dalam sebulan seorang tekong jaring kepiting mampu mengumpulkan udang gostan sekitar 500 kg.
Apabila diperkirakan ada 2 tekong jaring kepiting di lokasi dapat mengumpulkan jumlah yang sama, maka jumlah udang gostan yang dihasilkan dalam sebulan sekitar 1000 kg.
Adapun pembagian hasil antara pemilik dan anggauta kelompok tidak berbeda dengan untuk ikan aso-aso, yaitu berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Biasanya pemilik kapal diesel dan jaring mendapat 2,5 bagian karena pemilik tersebut juga menanggung perbekalan yang diperlukan untuk melaut. Selebihnya dibagi rata pada anggauta kelompok. Hasil perolehan udang gostan yang dibagi adalah perolehan setelah biaya selama operasi dikeluarkan. Menurut narasumber tersebut, dalam kenyataan pembagian ini dilakukan secara fleksibel dengan melihat hasil perolehannya. Apabila hasil relatif sedikit, pemilik kapal biasanya mengalah dan memberikan sebagian hasil yang diperoleh kepada asisten dan para anggauta kelompoknya. Bagi tekong, yang penting semua hasil yang diperoleh dapat ditampung oleh taoke tersebut. Besarnya penghasilan masing-masing anggauta kelompok, tergantung pada hasil perolehan udang gostan. Berdasarkan pengalaman selama ini, setiap anggauta kelompok dapat memperoleh penghasilan dari udang gostan sekitar Rp100.000, setiap kali melaut. Biaya yang dikeluarkan oleh taoke untuk memberangkat ABKnya guna mencari udang gostan dan kepiting cukup tinggi. Untuk keperluan Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
67
melaut selama 15 hari, paling tidak dibutuhkan uang sebanyak Rp. 2.000.000. Seorang tekong (nakoda) kapal yang akan mencari udang gostan di Pulau Pini (lama perjalanan 3 hari dengan kecepatan speedboat 8 mil per jam) menyebutkan bahwa perbekalan yang diperlukan adalah sebagai berikut: Es balok 25 batang Minyak / bensin 2 drum Gula 5 kg Kopi 4 bungkus Rokok 2 pak/orang Beras sebanyak 1 sak (30 kg) Indomi 1 karton Cabe 3 kg Tomat 5 kg Sayur 5 kg Minyak goreng 3 kg Bumbu-bumbu Selain perbekalan tersebut, pada umumnya sebelum berangkat melaut para nelayan ini meminjam uang kepada taoke sebanyak Rp. 100.000 sebagai bekal selama melaut. 5.1.3. Ikan Kembung Ikan kembung dapat diperoleh di lokasi yang relatif dekat dengan Desa Kedai Gadang. Ikan kembung umumnya berharga relatif mahal karena permintaan dari luar yang relatif tinggi, sementara hasil produksinya terbatas. Pada saat musim timur apabila tidak ada angin kencang atau badai maka diperkirakan akan diperoleh ikan kembung sebanyak Rp. 1.500 per kapal sekali melaut. Pada musim angin timur sebelumnya banyak ikan kembung namun karena angin yang cukup kencang dan kadang-kadang disertai dengan badai maka ikan-ikan tersebut sulit diperoleh. Pada musim angin barat, mereka hanya pergi ke laut di sekitar pemukiman, untuk menangkap berbagai jenis ikan lainnya (ikan teri). Pemakaian jenis armada dan alat tangkap, juga berpengaruh terhadap jumlah nelayan ‘ABK’ dalam satu kelompok tekong, jenis ikan dan jumlah hasil tangkapannya. Armada demikian juga lebih mampu bersaing dengan nelayan dari luar yang umumnya lebih lengkap peralatannya. Seorang narasumber yang menjadi tekong (kapten) kelompok menjelaskan bahwa kapal motor yang berkekuatan besar (di atas 5 GT) dan dilengkapi dengan peralatan tangkap yang lengkap , hanya dipakai untuk mencari ikan di luar wilayah, karena dapat menampung ikan dalam jumlah besar, untuk waktu sekitar 10 hari- 1 bulan di laut lepas (sampai ke Pulau Mursala maupun Pulau Birahan di Singkil, Provinsi NAD). Sedangkan perahu motor speedboat (sampai 68
dengan 5 GT), digunakan untuk mencari ikan dalam waktu yang lebih singkat (sekitar 3 hari). Jumlah ‘ABK’ yang tetap untuk kelompoknya hanya 5 orang, namun biasanya beberapa anggauta keluarga Berdasarkan pengalaman seorang tekong, dengan menggunakan armada besar selama 14 hari di laut, jumlah perolehan kepiting mencapai sekitar 200 kg. Biaya yang dikeluarkan untuk setiap operasi ke laut tidak berbeda dengan biaya untuk penangkapan ikan lainnya. Besarnya biaya ditentukan oleh lamanya waktu ke laut dan jenis perahu motor yang dipakai. Narasumber memperkirakan dengan perahu biasa selama 3 hari dikeluarkan solar sekitar 100 liter, sedangkan dengan perahu besar pengeluaran solar biasanya lebih hemat. Sedangkan biaya lainnya adalah untuk beras, gula, garam dan rokok, yang besarnya ditentukan oleh lamanya operasi. Semua biaya dikeluarkan oleh taoke, dan kemudian diperhitungkan dari hasil yang diperoleh. Rata-rata biaya pengeluaran sekali melaut adalah Rp. 600.000,- per hari. Adapun perincian biaya tersebut adalah sebagai berikut: minyak/solar sebesar Rp. 300,000, makan ABK sebesar Rp. 100,000 dan Es balok sebanyak Rp. 100,000. Adapun untuk pembagian hasilnya, tidak banyak berbeda dengan pada jenis SDL lainnya. Seorang narasumber menjelaskan, apabila digunakan bodi motor biasa ( sampai 10 PK), pemilik bodi memperoleh 1 bagian, dan menjadi 2 bagian apabila menggunakan alat tangkap jaring. Sedangkan masing-masing ‘ABK’ memperoleh hasil satu bagian. Sedangkan dengan motor besar (di atas 10 PK), pemilik motor memperoleh 3 bagian, dan mendapat tambahan 1 bagian apabila armada juga dilengkapi sampan untuk tempat jaring.
5.2. Pengolahan Hasil Produksi Seperti dikemukakan sebelumnya, sebagian besar masyarakat Batak di Desa Kedai Gadang menggantungkan hidup sepenuhnya dari hasil kerja utamanya sebagai nelayan. Hal ini berarti hasil produksi ikan dan SDL lainnya yang diperoleh setiap hari adalah sumber hidup warga Kedai Gadang, baik yang dimanfaatkan untuk menu utama konsumsi sehari-hari (terutama ikan segar), langsung dijual ke konsumen/melalui taoke. Bagi nelayan Desa Kedai Gadang, laut merupakan sumber hidupnya yang sewaktu-waktu dapat diambil hasilnya untuk menutup kebutuhan hidup dengan keluarganya. Hampir semua nelayan merupakan nelayan ABK yang bekerja secara berkelompok dan cenderung sangat tergantung pada pemilik kapal (taoke) sehingga pemasaran maupun pengolahan merupakan tanggung jawab taoke. Para nelayan biasanya hanya menunggu dan Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
69
menerima saja apa yang menjadi bagiannya. Penentuan hargapun ada di tangan taoke. Para nelayan nampaknya juga 'tidak mau tahu' masalah harga, yang penting dia mendapat uang tunai untuk dapat membeli kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya. Masyarakat Batak biasa mengkonsumsi semua jenis ikan segar, seperti ikan aso-aso, aso-aso, ekor kuning, baronang atau sejenisnya. Beberapa jenis ikan yang biasa dikonsumsi antara lain ikan aso-aso, kembung, kerapu, balato dan kerapu, namun umumnya ikan yang sudah mati. Seorang keluarga nelayan menyatakan bahwa mereka biasa mengkonsumsi ikan aso-aso, karena ikan tersebut mudah didapat dan nelayan biasanya mendapatkan dalam jumlah yang banyak sehingga kalaupun mereka harus harus minta kepada taokepun 'tidak akan ada artinya'. Berbagai ikan segar yang dikonsumsi biasanya diolah secara sederhana oleh para isteri yaitu digoreng atau dibakar di samping rumahnya. Keluarga nelayan Kedai Gadang umumnya adalah suku Batak biasa mengkonsumsi ikan dengan dibumbui macammacam atau dimasak gulai atau dimakan dengan sayur, karena sayur relatif mudah diperoleh di Barus. Hampir semua jenis ikan yang diperoleh masyarakat, cenderung dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ikan segar masyarakat di luar Kecamatan Barus. Hal ini dikarenakan ikan tersebut ditampung oleh taoke untuk mencapai jumlah tertentu dan selanjutnya dikirim ke luar daerah (Sibolga atau Medan). Kebutuhan ikan segar untuk masyarakat Kecamatan Barus cenderung dipenuhi oleh nelayan dari desa lain (seperti Pasar Terandam atau Desa Kinali), atau dari pengalong-along yang membeli ikan hasil tangkapan nelayan si gambogambo yang merupakan nelayan tradisional dengan armada perahu cadik dan jaring unyil. Biasanya jumlah ikan yang ditangkap sehari-hari diusahakan untuk dijual habis, sebagai ikan segar pada masyarakat konsumen, kalau perlu dengan harga sangat murah. Para nelayan di Desa Kedai Gadang jarang sekali memanfaatkan hasil ikan yang diperoleh untuk sengaja diolah, seperti membuat ikan asap atau membuat ikan asin, agar harga ikan tidak jatuh pada musim ikan. Padahal, harga ikan asin cukup baik. Ikan asin gulamo kalau dijual laku Rp. 9000, sedangkan harga ikan gulamo hanya sekitar Rp. 3000. Setiap 2,5 kg ikan gulamo segar bila diasinkan akan menjadi 1 kg ikan asin. Dengan demikian, menjual ikan asin sebetulnya cukup memberikan keuntungan bagi nelayan. Pengolahan ikan hanya dilakukan oleh taoke sebagai 'tabungan'. Ikan yang diolah adalah ikan gulamo yang diasinkan dengan jalan digarami kemudian dijemur. Seorang narasumber (bekas taoke dan masih saudara dekat dengan taoke-taoke di Desa Kedai Gadang) menyatakan bahwa taoke di Kedai Gadang ‘mengasinkan ikan sebagai 70
tabungan kalau stok ikan di pasaran menipis maka ikan asin tersebut baru dilepas ke pasaran untuk menjaga agar harga tetap tinggi. Kalau musim banyak ikan mana mau orang makan ikan asin’. Hal ini nampaknya merupakan strategi penjualan yang cukup efektif sehingga taoke tersebut masih mendapatkan keuntungan yang banyak. Kegiatan pengolahan hasil produksi dari ikan segar menjadi ikan kering lebih banyak dilakukan oleh nelayan dari desa tetangga (Desa Pasar Terandam dan Kinali). Nelayan di kedua desa tersebut biasanya mengeringkan sebagian hasil tangkapannya (terutama ikan teri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kecamatan Barus).
5.3. Pemasaran Hasil Seperti disebutkan di muka, Kecamatan Barus mempunyai potensi tinggi dalam menghasilkan berbagai SDL, terutama ikan aso-aso, kembung dan udang gostan. Demikian pula permintaan dari luar terhadap berbagai hasil produksi SDL dari Kedai Gadang, masih cukup tinggi. Apabila produksi dan pemasarannya dikelola dengan baik, dapat menjadi sumber utama penghasilan daerah bersangkutan. Oleh karena sebagian besar nelayan Desa Kedai Gadang adalah nelayan ABK, maka mereka cenderung tidak banyak menghadapi permasalahan dalam pemasaran hasil, terutama dalam hal penentuan harga serta lokasi pemasaran karena semuanya akan dilakukan oleh taoke. Selama ini harga hasil produksi ditentukan oleh pasar, dalam arti apabila suplai ikan banyak (musim ikan), harga ikan akan menjadi sangat murah. Sebagai nelayan ABK, mereka tidak mempunyai peran yang berarti dalam hal pemasaran hasil produksi. Pemasaran akan diatur oleh para taoke. Para taoke inilah yang mencarikan calon pembeli. Biasanya, kalau produksi melimpah maka hasil akan dipasarkan ke Sibolga dan ke Medan. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa hasil tangkapan dijual kepada pedagang keliling (pengalong-along). Meskipun tidak ada pasar ikan yang permanen di Kecamatan Barus, hal ini cenderung tidak merugikan nelayan karena tidak ada ketergantungan pada pasar di Barus yang menyebabkan pemasaran hasil SDL dari Kedai Gadang sangat terbatas, baik jenis dan pelakunya. Hasil tangkapan biasanya ditampung di tempat taoke untuk dimasukkan ke ddalam fiber sesuai dengan jenis ikan yang akan dikirimkan kepada taoke yang lebih besar. Lokasi dan mata rantai pemasaran Lokasi pemasaran SDL dari Kedai Gadang bervariasi menurut jenis, jumlah dan pembelinya. Pemasaran ikan aso-aso, kembung, ekor Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
71
kuning dan baronang dalam jumlah kecil, biasanya dipasarkan langsung oleh kelompok nelayan pada konsumen di pantai/pasar terbuka di daratan Barus. Rantai pemasarannya sederhana dan pendek yaitu : NELAYAN ⇒ PENGALONG-ALONG > KONSUMEN LOKAL (DI KEDAI GADANG DAN BARUS) Pada musim angin timur, di mana hasil tangkapan tidak terlalu banyak maka ikan-ikan tersebut dijual di lokasi pendaratan kapal yang tidak jauh dari rumah taoke pemilik kapal tersebut. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa biasanya pada sore hari saat perahu-perahu nelayan akan berlabuh, maka di dekat tempat tersebut (ada sebuah bangunan kecil sebagai gudang sementara) berkumpul para pengalong-along yang bersiap-siap untuk membeli sebagian hasil tangkapan nelayan. Selain pengalong-along nampak pula masyarakat umum yang akan membeli ikan untuk konsumsi. Ada juga beberapa 'becak motor' yang menanti siap untuk membawa ikan-ikan tersebut ke gudang masing-masing taoke. Bila perahu nelayan sudah berlabuh dan kira-kira hasil tangkapan hanya sedikit maka transaksi penjualan hasil produksi berlangsung di tempat tersebut. Jika ternyata hasil tangkapan cukup banyak atau nelayan memperoleh ikan atau udang yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, meskipun hanya sedikit jumlahnya, hasil tangkapan tersebut langsung dibawa ke gudang milik taoke dari nelayan yang bersangkutan. Selain itu, hasil tangkapan ada juga yang langsung dibawa ke gudang milik taoke dengan mengabaikan jumlah maupun jenis tangkapan yang diperoleh nelayan. Dalam hal ini apabila pengalong-along akan membeli ikan atau hasil tangkapan lainnya maka transaksi dapat dilakukan di gudang taoke. Seperti yang terlihat di gudang Pak ES, pada waktu itu ABK-nya hanya membawa pulang hasil tangkapan sekitar kurang dari 50 kg ikan dari berbagai jenis (antara lain, tengiri, aso-aso, kembung). Semua hasil tangkapan tersebut langsung dijual ke pengalong-along seharga Rp. 200,000 , dengan alasan 'tanggung untuk disimpan karena beberapa hari ini hasil tangkapan tidak memadai sementara hari berikutnya ABKnya tidak melaut'. Ada kebiasan di antara nelayan Kedai Gadang, apabila dalam 2-3 hari berturut-turut hasil tangkapan yang diperoleh jauh dari memadai, maka mereka akan istirahat sementara untuk tidak melaut. Pembeli ikan tersebut adalah pengalong-along yang bersepeda yang berkeliling di sekitar Kedai Gadang atau paling jauh di sekitar Kecamatan Barus. Penjualan ikan aso-aso di lokasi penangkapan, biasanya dihitung dengan cara borongan. Ikan-ikan tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan jenisnya dan dibuat ikat-ikatan dengan jumlah perikatnya juga tergantung dari jenis ikannya. Ikan kembung 72
misalnya, setiap satu ikat terdapat 4-5 ekor ikan (tergantung besar kecilnya) dan setiap ikat ikan kembung dijual seharga Rp. 5000. Selanjutnya dengan mengendarai sepeda dayung pengalong-along tersebut memasarkan pada konsumen lokal. Untuk pemasaran hasil tangkapan dalam jumlah besar, mata rantai pemasaran lebih panjang yaitu: NELAYAN ⇒ PEDAGANG PENGUMPUL/TAOKE DI LOKASI ⇒ BOS/TAOKE DI SIBOLGA ATAU MEDAN Pemasaran beberapa jenis ikan seperti ikan kembung, tengiri dan kerapu serta udang gostan, pada umumnya ditampung dulu di tempat taoke/bos untuk kemudian dipasarkan ke luar daerah seperti Sibolga dan Medan. Beberapa jenis SDL dipasarkan setelah diolah, perdagangan beberapa jenis SDL kering tersebut diteruskan ke lokasi pemasaran yang lebih luas seperti Medan. Penjualan ikan hasil olahan terutama ikan kembung, masih sangat terbatas dari Kedai Gadang, namun mudah diperoleh dari nelayan setempat. Mata rantai pemasaran ikan /SDL lainnya, menjadi lebih panjang karena umumnya melalui taoke pengumpul di tingkat lokal.
Penentuan Harga Hasil ikan yang diperoleh dari Kedai Gadang umumnya dihitung menurut satuan dan penentuan harga didasarkan jumlah satuan atau dalam satu unit satuan (seperti ikatan, kiloan atau fiber yang dapat memuat sekitar 100 kg ikan). Sedangkan penentuan harga dari SDL yang dihasilkan Desa Kedai Gadang sangat bervariasi tergantung jenis , besar/beratnya ikan serta musim. Seekor ikan aso-aso yang sedang besarnya (satu kilo kira-kira ada 10 ekor), dalam musim angin timur dihargai Rp3000 per kg. Sedangkan hasil ikan seperti ekor kuning biasa dipasarkan dalam bentuk ikatan (isi 4-6 ekor) dengan harga sekitar Rp3000. Harga jual ikan baronang lebih mahal dari ikan ekor kuning yaitu sekitar Rp4000 per ikat (3-4 ekor), dan sebagai ikan musiman, harga ikan baronang akan lebih mahal pada musim angin timur. Demikian pula harga ikan aso-aso akan lebih mahal pada musim angin kencang. Harga ikan biasanya cenderung fluktuatif terutama tergantung dari banyak tidaknya ikan dan juga jenis ikan. Pada saat penelitian ini berlangsung, harga ikan relatif mahal karena hasil tangkapan hanya sedikit. Secara rinci harga ikan di tingkat pedagang pengumpul di Desa Kedai Gadang adalah seperti terlihat di lampiran 5. Harga ikan di tingkat pengumpul yang lebih besar seperti di Sibolga dan Medan lebih tinggi. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
73
Pada umumnya pemasaran hasil yang cepat dan sangat menguntungkan adalah udang gostan hidup. Sedangkan ikan kembung olahan, meskipun laku dijual, namun pembelinya kurang dan harganya jauh lebih rendah dibandingkan harga ikan hidup. Keuntungannya ikan olahan tersebut dapat dipasarkan lebih lama, sampai ada pembelinya. Namun demikian, harga ikan kemung yang sudah dikeringkan hanya sekitar Rp. 9000 per kilogram. Harga hasil tangkapan yang mempunyai nilai tinggi adalah udang gostan, per kilogram dapat mencapai Rp 50.000. Harga-harga tersebut merupakan harga di tingkat taoke lokal, yang kenyataannya jauh lebih rendah dibandingkan harga di tingkat taoke/bos di Sibolga atau di Medan. Pemasaran uadang gostan, kepiting maupun ikan kerapu hidup yang sangat menguntungkan di pasar regional/nasional, di tingkat nelayan perseorangan masih lemah. Udang yang diperoleh nelayan biasanya dijual satuan pada pedagang pengumpul di lokasi, dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasar. Penentuan harga biasanya oleh pedagang pengumpul dengan mempertimbangkan besar/kecilnya ikan atau udang tersebut. Sebagai contoh berdasarkan pengamatan di lapangan, seorang anak laki-laki (anak nelayan) yang membawa seekor udang gostan (sekitar 2 ons) ke taoke di lokasi, hanya dihargai Rp10.000. padahal harga per kg udang gostan taoke ke bos di Sibolga dapat mencapai Rp100.000 per kg.
74
BAB VI. DEGRADASI SDL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH
6.1. Kerusakan SDL Sebagaimana dijelaskan pada sebelumnya bahwa kondisi terumbu karang di sekitar wilayah Desa Kedai Gadang ataupun di wilayah tangkapan nelayan desa itu sudah rusak. Hal ini antara lain karena beroperasinya pukat harimau dan pemakaian bom ikan pada masa lalu, dan bahkan hingga sekarang. Kondisi ini setidaknya turut mempengaruhi hasil tangkapan nelayan sehingga para nelayan desa Kedai Gadang semakin jauh mencari ikan. Pada masa lalu mereka hanya menangkap ikan di sekitar desanya tetapi kini mereka harus mencapai jarak tertentu di tengah lautan untuk mendapatkan ikan yang banyak. Di Desa Kedai Gadang tidak terdapat data mengenai kondisi terumbu karang di sekitarnya. Data bisa dicari melalui berbagai wawancara mendalam kepada para nelayan yang memang sudah puluhan tahun berpengalaman mencari ikan di laut sekitar desa itu. Data yang sebenarnya cukup diharapkan dari Tim Ekologi COREMAP tentang kondisi terumbu karang di wilayah kecamatan Barus yakni di Desa Kedai Gadang dan Kinali juga tidak tersedia. Lokasi ini merupakan satusatunya daerah yang tidak tersedia data ekologinya dari survai yang dilakukan oleh tim Ekologi COREMAP. Hal ini disebabkan karena pada saat terakhir akan melakukan survai di perairan Barus ini kapal riset yang digunakan oleh Tim Ekologi mengalami kerusakan sehingga survai di wilayah ini dibatalkan. Selain terumbu karang, kerusakan sumber daya laut juga terlihat di wilayah pesisir pantai. Kondisi ini juga menyebabkan kerusakan ekosistem pantai secara keseluruhan dan sedikit banyak juga berpengaruh pada ekosistem daratnya terutama yang berhubungan langsung dengan daerah pesisir, seperti ekosistem nipah yang terpengaruh pasang naik dan pasang surut air laut. Kerusakan ekosistem pantai ini pada akhirnya juga berpengaruh pada permukiman Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
75
penduduk dimana permukiman penduduk yang dahulu dekat dengan pantai semakin bergeser ke darat karena air laut yang semakin masuk ke darat.
6.1.1. Pergeseran Garis Pantai Selama 25 tahun terkahir, garis pantai di Desa Kedai Gadang telah mengalami kemunduruan. Pada tahun 1980, garis pantai Desa Kedai Gadang terletak kira-kira 400 meter menjorok ke laut dari lokasi permukiman penduduk sekarang. Sebelum permukiman penduduk, garis pantai dicirikan dengan banyaknya pohon kelapa di sepanjang garis pantai. Pohon-pohon kelapa ini menempati areal sepanjang kurang lebih 250 meter dari tepi air laut ke batas sungai. Oleh karena cukup luas dan banyaknya pohon kelapa di lokasi ini, penduduk setempat menyebutnya “kebun kelapa”. Di belakang kebun kelapa, sebelum permukiman penduduk, terdapat sungai yang mengalir menuju muara. Kondisi sungai pada masa itu masih bagus. Lebar sungai mencapai 30 meter dengan kedalaman antara dua meter. Sungai ini berfungsi sebagai tempat bersandar perahu-perahu nelayan. Letaknya yang dibelakang “kebun kelapa” sehingga melindungi perahu-perahu nelayan itu dari angin laut dan ombak. Sistem sungai yang menghubungkan daerah pedalaman di Desa Kedai Gadang dengan daerah pesisir di desa ini juga masih berfungsi dengan baik. Penduduk setempat bisa menuju ke pedalaman menyusuri sungai ini dengan menggunakan perahu. Praktis, sungai ini berfungsi sebagai lalu lintas transportasi penduduk desa dari satu tempat ke tempat lain yang cukup jauh. Fungsi utama dari sungai ini adalah sebagai “dermaga” alam bagi hampir semua perahu nelayan saat itu. Air yang mengalir ke muara juga masih besar sehingga muara jarang tertutup pasir. Perahu-perahu nelayan bisa leluasa keluar-masuk sungai melalui muara itu. Dibandingkan dengan kondisi muara sekarang, muara pada saat itu jauh lebih lebar dan dalam sehingga perahu-perahu nelayan tidak dikhawatirkan dengan tertutupnya muara oleh pasir laut. “Kebun kelapa” di tepian pantai itu rupanya telah dimanfaatkan penduduk untuk fungsi ritual. Hampir semua jenis ritual pada saat itu baik yang berhubungan dengan laut maupun kehidupan penduduk secara keseluruhan dilangsungkan di “kebun kelapa” ini. Kenduri laut adalah ritual yang ditujukan untuk menyampaikan rasa syukur para nelayan karena hasil tangkapan ikannya cukup melimpah. Ritual ini ditujukan sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kepada “Raja Laut”. Kenduri laut ini dilaksanakan setahun sekali dengan diikuti oleh seluruh nelayan desa. 76
Disamping kenduri laut, ritual yang dilaksanakan di “kebun kelapa” ini antara lain adalah upacara Mamogang. Upacara ini menandakan dibukanya bulan puasa bagi pemeluk agama Islam. Rangkaian acara pada upacara ini adalah memotong kerbau dan diperjual-belikan kepada penduduk setempat. Penduduk seperti merayakan pesta daging kerbau dan menikmati santapan daging itu sebelum atau menjelang memasuki kewajiban puasa. Disamping Mamogang, pada penutupan hari puasa, menjelang hari raya Idul Fitri, penduduk juga melakukan upacara di “kebun kelapa” ini. Upacara ini dinamakan Malape yang menandakan ditutupnya puasa. “Kebun kelapa”, sebuah areal yang tidak terlalu luas di tepi pantai telah berfungsi baik secara ekologi yakni melindungi dermaga dan permukiman penduduk dari angin dan ombak maupun secara sosial yakni berfungsi sebagai areana ritual penduduk. Dalam kehidupan penduduk setempat, lokasi “kebun kelapa” ini menjadi sedemikian pentingnya karena menjaga keseimbangan baik secara ekologis maupun sosial. Tahun demi tahun selama 25 tahun terakhir, areal “kebun kelapa” itu sedikit demi sedikit mulai menghilang. Pada tahun 1996, areal “kebun kelapa” sepanjang kurang lebih 250 meter ini praktis sudah hilang tertutup air laut. Air laut semakin measuk ke daratan dan menutupi “kebun kelapa” itu. Pohon-pohon kelapapun mulai tumbang diterjang ombak hingga habis. Kondisi yang sama juga dialami sungai seluas 30 meter itu. Sungai yang selama masa itu berfungsi sebagai dermaga alami bagi perahu-perahu nelayan setempat telah menyatu dengan laut. Tidak terlihat lagi sungai yang menghubungkan antara lokasi di desa itu dan tidak ada lagi sistem transportasi sungai yang dilakukan penduduk dengan menggunakan perahu-perahu ke daerah pedalaman. Muarapun semakin pendek dan dangkal. Kini garis pantai hanya sekitar 150 meter dari permukiman penduduk. Sedangkan air yang mengalir dari daratan telah menembus pasir laut dan membentuk sungai secara alamiah. Kondisi sungai sekarang dengan masa lalu jauh berbeda. Sungai yang ada sekarang sangat dangkal sehingga pada kondisi air laut pasang surut hampir tidak bisa dilalui perahu-perahu nelayan. Sungai sekarang ini juga tidak berfungsi sebagai dermaga alami lagi. Sungai hanya berfungsi mengalirkan air dari daratan ke lautan. Perahu-perahu nelayan sekarang lebih banyak disandarkan di daerah muara. Namun kondisi muara sekaranga jauh lebih sempit dan dangkal. Pada kondisi air laut pasang surut, perahu-perahu nelayan yang ada di dalam muara tidak bisa keluar ke laut. Demikian sebaliknya perahuperahu nelayan yang berada di alut tidak bisa masuk muara. Akibatnya Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
77
banyak perahu nelayan yang disandarkan di tepian pantai sehingga mereka harus terus-menerus menunggu dari terjangan ombak. Hilangnya “kebun kelapa” juga berarti hilangnya pelindung permukiman penduduk dari terpaan angin laut. Rumah-rumah penduduk kini semaikin terbuka dari laut dan mendapatkan terpaan langsung dari angin laut. Disamping itu, ekosistem lain seperti bakau dan nipah yang berada di sungai-sungai waktu itu di sekitar pantai kini juga telah hilang. Bakau yang juga berfungsi sebagai pelindung alami terutama dari terpaan ombak kini sudah tidak ada lagi.
6.1.2. Kerusakan Terumbu karang Ingatan penduduk desa terhadap lokasi-lokasi terumbu karang dan kondisinya masih sangat kuat. Melalui wawancara dengan dibantu pembuatan sketsa lokasi-lokasi terumbu karang penduduk bisa mengingat dimana dan bagaimana kondisi terumbu karang sebelum tahun 1970-an. Nama-nama, lokasi, dan kondisi terumbu karang sebelum tahun 1970-an bisa diilustrasikan pada tabel berikut ini. Tabel 6.1 Lokasi dan nama-nama Terumbu Karang No
Lokasi/Nama
Jarak dari pantai
Kondisi Sebelum Tahun 1970
1
Pulau Karang
1 km
Bagus
2
Pulau Pane
7 km
Bagus
3
Pulau Ilik
100 km
Bagus
4
Pulau Mursala
45 km
Bagus
5
Karang Raja Uda
4 km
Paling bagus
6
Karang Silindi
3,5 km
Bagus
7
Karang Bayang
6 km
Bagus
8
Karang Boya
8 km
Bagus
9
Karang Sigabuo
8 km
Bagus
10
Karang Baruo
7 km
Bagus
11
Karang Aro
22 km
Bagus
Sumber: Data primer, 2005. Setelah tahun 1970, kondisi terumbu karang secara pelahan mulai menurun. Puncaknya pada tahun 1980-an para nelayan dari Desa Kedai Gadang ini sudah mulai banyak menemukan karang mati. Terutama di 78
lokasi-lokasi yang disebutkan diatas, kondisinya sudah tidak sebagus sebelum tahun 1970.
6.1.3. Penurunan Jumlah Tangkapan Ikan Tahun 1976 tampaknya menjadi pertanda penting bagi kehidupan nelayan Desa Kedai Gadang. Pada tahun itu mulai dikenal perahu dengan mesin motor sehingga pada tahun itu juga dikenal sebagai tahun-tahun motorisasi. Perahu mesin pertama yang menggunakan motor di desa ini menggunakan motor berkapasitas 33 pk. Motor itu merupakan bantuan dari pemerintah. Sebelum menggunakan motor, nelayan-nelayan di Desa Kedai Gadang mengandalkan perahu dayung. Sebelum tahun 1965, para nelayan bahkan masih banyak yaang menggunakan perahu cadik. Dengan dayung ataupun layar kecil yang dikembangkan, jangkaun para nelayan untuk mencari ikan hanya di sekitar pantai. Motorisasi pada tahun 1976 menandai diberlakukannya teknologi penangkapan ikan yang lebih maju. Dengan perahu motor, bukan hanya jarak jangkau tangkapan ikan semakin jauh dan tentu saja hasil tangkapannya jauh lebih banyak, tetapi dengan motorisasi juga tingkat persaingan antar nelayan dalam menangkap ikan juga semakin tinggi. Hal ini antara lain ditandai dengan munculnya kepemilikan individual terhadap motor dan munculnya nelayan buruh yang bekerja pada pemilik perahu motor. Pada sekitar tahun 1970 juga, beberapa alat tangkap yang sebelumnya digunakan para nelayan dengan menggunakan perahu cadik sudah mulai ditinggalkan. Alat tangkap seperti jaring lingkar atau jaring apung dan pukat tepi sudah jarang digunakan oleh para nelayan. Alat tangkap yang digunakan nelayan setelah tahun 1976 antara lain jaring benam, pukat payang, dan jaring salam. Dengan mesin motor 33 pk, para nelayan bisa menempuh perjalanan laut sejauh 20 km dari tepi pantai. Jumlah tangkapan ikan seperti gembung dan aso-aso pun semakin meningkat. Pada tahun 1976, para nelayan mulai melihat pukat harimau di perairan laut Barus yang menurut penuturan para nelayan desa ini berasal dari Belawan, Medan. Mereka adalah para pengusaha Tionghoa dari Belawan dan Asahan. Antara tahun 1976 sampai dengan 1980, pukat harimau merebak di peraitan laut Barus ini. Para pengusaha pukat harimau bukan hanya berasal dari Belawan, namun juga dari Sibolga. Kondisi ini setidaknya turut memicu kebijakan pemerintah mengenai pelarangan pukat harimau melalui Keppres nomor 39 tahun 1980. Disamping tentunya menyebabkan persaiangan yang tidak sehat dan Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
79
merugikan nelayan tradisional, pukat harimau juga diduga merusak ekosistem laut khususnya terumbu karang. Pada tahun-tahun setelah tahun 1980, para nelayan sudah mulai banyak yang melihat karang mati. Disamping itu, jumlah tangkapan mereka juga mulai menurun. Motorisasi berikutnya terjadi pada tahun 1983 melalui Dinas Perikanan setempat pemerintah memperkenalkan mesin motor 9,9 PK. Dalam hal ini pemerintah memberikan fasilitas kredit motor itu kepada nelayan tradisional. Sejak saat itu pula muncul perahu-perahu kecil bermotor kecil di perairan Barus ini. Teknologi penangkapan ikan, walaupun tidak ada hubungan langsung, tetapi setidaknya telah memudahkan para nelayan menggunakan bom ikan. Dengan jarak jangkau yang semakin jauh, mereka bisa dengan leluasa menggunakan bom ikan. Sebagaimana dituturkan oleh nelayan setempat, bom ikan ini mulai muncuyl di perairan laut Barus sekitar tahun 1980-an. Enam tahun setelah Keppres nomor 39 tahun 1980 itu, yakni tahun 1986 pukat harimau muncul lagi di perairan laut Barus. Kondisi ini terus berlangsung hingga tahun 1998 dimana perkembangan pukat harimau juga mengalami peningkatan. Setelah tahun 1990, pukat harimau telah berkembang semakin besar. Demikian pula dengan bom ikan. Menurut penuturan nelayan setempat, pada tahun 1990 adalah tahun-tahun paling ramai bom ikan.
6.2. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kerusakan SDL 6.2.1. Faktor Internal Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, kondisi kerusakan terumbu karang di sekitar perairan laut Desa Kedai Gadang bukan disebabkan oleh alat-alat tangkap nelayan tradisional. Alat-alat tangkap nelayan tradisional seperti berbagai jenis jaring dan pancing memiliki tingkat pengrusakan yang kecil atau hampir tidak merusak sama sekali. Selain itu, alat-alat tangkap seperti bubu dan unjam juga tidak mempunyai sifat merusak terumbu karang. Secara umum, faktor internal tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap kerusakan sumber daya laut. Selain terumbu karang, kerusakan ekosistem pantai lebih dikarenakan oleh faktor alam seperti ombak dan angin. Kerusakan ekosistem pantai karena faktor alam ini juga merusak seluruh isi ekosistem yang ada di pantai, seperti ekosistem bakau, pohon-pohon kelapa, dan sebagainya.
80
6.2.2. Faktor Eksternal 6.2.2.1. Rusaknya “Tanggul Belanda” Sekitar tahun 1970-an, penduduk Desa Kedai Gadang masih melihat adanya tanggul yang dibuat oleh pemerintah belanda di laut. Tanggul itu dibuat oleh pemerintah Belanda dengan maksud membentengi pantai Barus atau dikenal juga sebagai tanggul pantai Barus. Dengan tanggul atau benteng itu bisa mengurangi kekuatan gelombang air laut hingga 60persen sehingga kekuatan ombak yang menuju pantai hanya tersisa sekitar 40persen saja. Tanggul itu terbuat dari batu karst yang ditumpuk di dasar laut sekitar 2,5 km dari garis pantai saat itu. Batu-batu karst itu disusun menyerupai benteng dan dengan tingkat kemiringan tertentu selebar 50 meter. Menurut penuturan penduduk setempat, tanggaul ini dibuat oleh pemerintah Belanda melalui “kerja paksa”. Walaupun demikian, teknis pembuatan tanggul ini telah memperlambat kerusakan ekosistem pantai selama bertahun-tahun. Pada tahun 1976 ketika nelayan mulai melihat pukat harimau di perairan laut Barus, keberadaan tanggul itu sedikit demi sedikit mulai rusak. Kerusakan tanggul ini disebabkan oleh pukat harimau, dimana pukat yang ditarik dengan rantai besi menggeser dasar laut termasuk tanggul itu. Batu-batu karst yang ditumpuk menjadi berserakan dan tidak membentuk benteng lagi melainkan rata dengan dasar laut. Dengan kondisi seperti ini, gelombang air laut yang menuju pantai tidak lagi terbendung. Kekuatan gelombang mencapai 100persen menghantam pantai secara langsung. Rusaknya “tanggul belanda” inilah yang menyebakan “kebun kelapa” di tepian pantai waktu itu menjadi hilang. Setelah rusaknya tanggul itu, “kebun kelapa” mendapatkan hantaman langsung dari ombak laut. Namun pada saat itu juga mulai dirasakan penduduk air laut semakin naik ke daratan sehingga “kebun kelapa” itu terendam air laut.
6.2.2.2. Merebaknya Pukat Harimau Sebagaimana disebutkan diatas, pukat harimau telah muncul di peraiaran laut Barus sejak tahun 1976 dan terus merebak hingga tahuntahun berikutnya. Walaupun pada taahun 1980, pemerintah telah mengeluarkan Keppres nomor 39 tahun 1980 tentang pelarangan pukat harimau, namun enam tahun kemudian yakni sekitar tahun 1986 pukat harimau terlihat lagi di periaraian laut Barus. Munculnya pukat harimau setelah tahun 1986 berlangsung hingga 1998 atau hampir 12 tahun. Pada waktu itu, pukatnya semakin bertambah besar. Hingga pada tahun 2000, muncul pukat ikan dari Thailand. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
81
Beberapa tahun kemudian pukat ikan ini juga muncul di Sibolga. Dibandingkan pukat harimau, pukat ikan jauh lebih besar dan kuat. Para nelayan tidak berdaya walaupun sudah ada larangan dari pemerintah. Menurut penuruturan nelayan setempat, beroperasinya pukat harimau dan pukat ikan ini karena “bekerjasama” dengan Angkatan Laut. Para pemilik pukat ini dicurigai membayar “uang sogokan” kepada jajaran Angkatan Laut. Sebagaimana diketahui nelayan, kapal-kapal pukat harimau dan pukat ikan membayar kepada penjaga dari Angkatan Laut pada saat keluar masuk pelabuhan. Tabel 6.2 Pemilik Pukat Harimau dan Pukat Ikan di Sibolga No
Nama pemilik
Status
1
NH
Pengusaha pribumi
2
Ppn
Pengusaha pribumi
3
JP
Pejabat daerah
4
JLT
(Almarhum)
5
UP
Pengusaha
6
Pengusaha-pengusaha dari Belawan
Pengusaha Tionghoa
Sumber: Data primer
6.2.2.3. Merebaknya Bom Ikan Bom ikan mulai diketahui oleh nelayan Desa Kedai Gadang pada tahun 1980-an. Masa yang paling ramai bom ikan adalah tahun-tahun 1990-an. Selama masa itu, bom ikan banyak digunakan nelayan di daerah-daerah karang. Sebagaimana lokasi-lokasi terumbu karang yang disebutkan diatas, dengan tujuan adalah ikan karang. Akibat langsung dari penggunaan bom ikan itu adalah rusaknya ekosistem terumbu karang. Nama-nama dan lokasi terumbu karang yang dikenal penduduk sebelum tahhun 1970 dalam keadaan bagus itu kini sudah dalam keadaan mati. Disamping itu, bom ikan juga berpengaruh pada jumlah ikan karena bom ikan telah membunuh semua jenis ikan yang ada disekitarnya, termasuk anakan ikan.
6.2.3. Faktor Struktural Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan sumber daya alam adalah lemahnya penegakan hukum terhadap larangan 82
beroperasinya pukat harimau. Peraturan mengenai larangan penggunaan pukat harimau di Indonesia diatur melalui Keppres nomor 29 tahun 1980. Sebenarnya, sejak dikeluarkannya Keppres itu, pukat harimau telah menghilang dari perairan laut Barus. Namun beberapa tahun kemudian pukat-pukat harimau itu muncul lagi di perairan laut Barus. Beberapa kalangan menduga munculnya pukat harimau di perairan laut Barus itu karena adanya kerjasama secara terselubung dengan pihakpihak aparat keamanan dan pemerintah daerah setempat. Kecurigaan ini sangat beralasan karena penjaga perairan laut itu adalah antara lain polisi air, TNI Angkatan Laut, serta pihak-pihaak pengelola pelabuhan. Munculnya pukat harimau diperkirakan terkait dengan kerjasama terselubung diantara mereka. Lemahnya penegakan hukum ini menjadi faktor struktural yang paling penting karena hukum yang telah ditetapkan sejak lama itu menjadi tidak berfungsi karena pelanggaran-pelanggaran. Hal ini antara lain juga disebabkan kaarena tidak adanya kontrol terhadap para pelaku dan penegak hukum. Melalui organisasi-organisasi nelayan yang terbentuk selama masa reformasi, fungsi kontrol dan pengawasan terhadap perilaku para penegak hukum ini sudah mulai terbangun lagi.
6.3. Konflik Kepentingan antar Stakeholder Di wilayah Desa Kedai Gadang belum pernah terjadi konflik yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut. Hal ini antara lain karena sebagian besar penduduknya adalah nelayan tradisional. Sedangkan dengan kalangan petani, secara ekonomi bisa saling melengkapi. Diantara kelompok-kelompok nelayan sendiri walaupun berbeda taoke namun konflik kepentingan tidak terjadi. Hal ini karena diantara taoke tidak memiliki kepentingan yang saling berseberangan. Taoke-taoke itu sama-sama mengelola usaha perikanan bersama dengan kelompok-kelompok nelayan. Peta konflik yang paling besar adalah antara nelayan tradisional dengan pengusaha pukat harimau dan pukat ikan. Konflik diantara mereka sebenarnya sudah dimulai sejak lama, terutama sejak munculnya pukat harimau di tahun 1976 itu. Sejak saat itu berbagai protes dan keluhan di kalangan nelayan tradisional mulai merebak. Sampai dengan tahun 2000, kira-kira 36 tahun sejak munculnya pukat harimau itu, protes dan keluhan para nelayan tradisional itu hanya terpendam. Para nelayan tradisional sadar bahwa mereka berhadapan dengan “kekuatan besar” antara pengusaha pukat harimau dengan pihak-pihak di Angkatan Laut. Disamping itu, para nelayan tradisional Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
83
juga tidak mempunyai kekuatan organisasi untuk melawan para pengusaha pukat harimau. Sejak masa reformasi, berbagai organisasi nelayan bermunculan di daerah Sibolga. Hampir setiap jenis alat tangkap membentuk organisasi nelayan tersendiri, seperti misalnya kelompok nelayan bagan, kelompok nelayan jaring payang, kelompok nelayan tolongg menolong dan sebagainya. Sebuah forum organisasi antara nelayan juga terbentuk dengan nama Forum Komunikasi Nelayan Sibolga. Dengan munculnya berbagai organisasi nelayan ini posisi tawar mereka semakin kuat. Melalui organisasi-organisasi mereka, para nelayan bisa menyampaikan protes baik secara lisan maupun tertulis. Disamping itu, dengan terbentuknya organisasi ini juga telah berfungsi sebagai ajang komunikasi diantara mereka dan membangun jaringan sosial. Puncak dari kekesalan para nelayan tradisional terhadap pukat harimau dan pukat ikan ini ditunjukkan dengan “unjuk rasa” besar-besaran di Sibolga. Para nelayan tradisional tergabung dari berbagai lokasi dan organisasi sehingga sempat membuat kacau kota Sibolga. Menurut penuturan nelayan Desa Kedai Gadang yang turut berunjuk rasa, jumlah mereka mencapai ribuan dan hampir menguasai kota Sibolga. Jalanjalan ditutup dan ada sebuah kapal yang dibakar massa. Massa dari Desa Kedai Gadang mencapai dua truk dengan spanduk yang bertuliskan hujatan terhadap pemerintah daerah dan pengusaha pukat harimau. Secara keseluruhan “unjuk rasa” besar-besaran dikoordinasikan oleh Forum Komunikasi Nelayan Sibolga, Tapanuli Tengah yang dimotori oleh Pak DP. Tabel 6.3 Daftar Korban “Unjuk Rasa” Nelayan Sibolga Tahun 2001 Jenis Korban
Jumlah
Keadaan
Pemilik
Kapal ikan
pukat
4 buah
Dibakar, dilempari bom molotov
3 buah milik pengusaha Tionghoa dari Belawan dan satu buah milik pribumi
Kapal ikan
bom
1 buah
Disandera, masuk sidang
?
Sumber: Data primer Alasan yang paling mendasar dari “unjuk rasa” ini adalah karena pemerintah dianggap membiarkan para pengusaha pukat harimau dan pukat ikan tetap beroperasi di wilayah perairan laut Sibolga. Sedangkan wilayah perairan ini juga merupakan wilayah tangkap para nelayan tradisional. Dengan tetap beroperasinya pukat harimau dan pukat ikan maka hasil tangkapan para nelayan tradisional ini merosot. 84
Peta Konflik nelayan tradisional dengan pengusaha pukat harimau Angkutan Laut Pemilik pukat harimau
Polisi air
DPRD Pemda Pihak Pelabuhan
Polres
Jaksa
Nelayan tradisional
Menurut salah seorang nelayan Desa Kedai Gadang, dibiarkannya kapal-kapal pukat harimau dan pukat ikan ini karena mereka membayar kepada berbagai pihak antara lain Angkatan Laut, polisi air, pihak pelabuhan, polres dan polsek setempat, para penegak hukum seperti jaksa, bupati, dan bahkan para anggota DPRD setempat. Menurut penuturan warga, setiap kapal yang keluar masuk pelabuhan dipungut bayaran Rp15.000,- oleh petugas jaga dari Angkatan Laut. Kondisi ini menggambarkan konflik besar antara dua kekuatan yang saling mendukung yakni kekuatan pengusaha yang membayar pemerintah setempat dan kekuatan nelayan tradisional yaang mendapatkan dukungan melalui organisasi-organisasi nelayan yang ada serta jumlah massa yang besar. Dua kekuatan besar ini telah berhadaphadapan di tahun 2001 dengan suatu “unjuk rasa” nelayan tradisional. Setelah terjadi unjuk rasa besar-besaran oleh kalangan nelayan itu diadakan dialog antar stakeholder seperti dari berbagai organisasi nelayan tradisional dan pemerintah daerah serta TNI Angkatan Laut setempat. Untuk menghambat pukat harimau, TNI Angkatan Laut mengjukan suatu program yakni dengan cara menanam ranjau di dasar laut sehhingga pukat harimau tidak akan lagi bisa beroperasi. Namun program itu ditentang oleh kalangan nelayan karena dicurigai hanya akan menjadi proyek bagi kalangan TNI Angkatan Laut sehingga program itupun batal dilaksanakan. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
85
Para nelayan tradisional tetap menuntut penanganan yang lebih baik dari TNI Angkatan Laut. Karena dalam pemikiran para nelayan ini, pangkal persoalan ijin Pukat Harimau itu di instansi ini. Apabila TNI Angkatan Laut bersedia secara terbuka, apalagi bersama-sama dengan nelayan, untuk memberantas pukat harimau maka menurut pemikiran para nelayan ini hal itu akan berhasil. Disamping itu, penanaman ranjau di dasar laut tidak aakan efektif karena dasar laut yang berlumpur sehingga ranjau-ranjau itu mudah tercabut oleh pukat-pukat harimau yang menggunakan rantai besi.
86
BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1 Kesimpulan Laporan ini telah menyajikan gambaran yang komprehensif tentang pengelolaan sumber daya laut (SDL), khususnya terumbu karang yang dilakukan oleh penduduk Desa Kedai Gadang, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanulani Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Dengan adanya data dasar ini, dapat terindentifikasi permasalahan dan isu pokok yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan khususnya terumbu karang. Beberapa isu yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, penduduk Desa Kedai Gadang sebagian besar bekerja sebagai nelayan dengan status sebagai buruh (anak buah kapal) pada taoke-taoke setempat. Hampir seluruh nelayan yang ada di Desa Kedai Gadang memberikan hasil tangkapannya kepada taoke tempat mereka bekerja untuk kemudian mereka mendapatkan bagian sesuai dengan porsinya. Sejalan dengan perkembangan teknologi penangkapan, taoke selalu menjadi pihak yang diuntungkan dalam pembagian hasil. Taoke mendapatkan bagian untuk kapal, jaring dan sebagainya). Sebagai nelayan anak buah kapal, kehidupan mereka sangat tergantung kepada pemilik kapal (taoke). Semakin tinggi ketergantungan mereka kepada taoke, semakin lemah posisi tawar mereka. Para nelayan tidak dapat ikut menentukan harga untuk tangkapan mereka. Meskipun nelayan cenderung menjadi pihak yang tidak diuntungkan, namun para nelayan tetap terikat pada taoke karena mereka merupakan tempat untuk mendapatkan jaminan kehidupan apabila mereka tidak mendapatkan kepastian penghasilan ketika mereka mencari nafkah di laut. Secara umum hasil tangkapan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan semakin banyaknya alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat yang berpotensi merusak terumbu karang seperti pukat-pukat harimau, pukat Thailand dan bom yang beroperasi di perairan Barus. Selain itu penurunan hasil diduga karena adanya perubahan lingkungan terutama terganggunya ekosistem karena pengaruh tsunami yang melanda wilayah Nangroe Aceh Darusalam akhir tahun 2004 yang lalu. Tidak jarang terjadi sekelompok nelayan pulang hanya membawa beberapa puluh kilogram ikan saja. Nilai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
87
penjualan hasil tangkapan mereka bahkan tidak cukup untuk menutup ongkos produksi, Akibatnya, mereka tidak dapat membawa pulang hasil meskipun sudah pergi berjam-jam atau bahkan beberapa hari di laut. Masih terbatasnya armada tangkap yang mereka gunakan tidak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan dari desa atau daerah lain yang juga beroperasi di tempat yang sama. Bahkan di tempat unjam yang mereka harapkan dapat memberikan hasil yang cukuppun juga kadang-kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Ikan-ikan yang berada di sekitar unjam diduga tertangkap oleh nelayan lain yang menggunakan armada maupun teknologi penangkapan yang lebih baik. Terbatasnya alternatif mata pencaharian di luar kenelayanan juga mempengaruhi pendapatan penduduk. Di saat-saat tidak banyak aktivitas di laut mereka tidak melakukan pekerjaan lain yang dapat menambah penghasilan mereka. Padahal, pengeluaran mereka tetap rutin ada meskipun pendapatan menurun tetapi jumlah pengeluaran tetap saja besar. Hal ini tentunya berakibat pada kesejahteraan mereka. Tidak jarang terjadi, akibat besarnya pengeluaran daripada penghasilan ini mereka harus menjual simpanan kalau mereka punya, atau meminjam uang ke saudara, tetangga ataupun ke taoke. Wilayah perairan Barus tidak dikelola secara khusus. Masyarakat setempat maupun sekitar wilayah tersebut memanfaatkan sumber daya laut yang ada secara bebas tidak ada perlakuan khusus kecuali dengan menggunakan bom ikan dan pukat harimau. Para nelayan tersebut melakukan penangkapan ikan secara individual maupun berkelompok dengan menggunakan alat-alat tangkap tradisional. Sejauh ini belum nampak adanya konflik yang muncul karena pengelolaan sumber daya laut di perairan Barus tersebut. Nelayan setempat secara bebas dapat memanfaatkan tanpa harus menghadapi klaim khusus bahwa suatu wilayah hanya dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Teknologi penangkapan yang digunakan oleh nelayan Desa Kedai Gadang belum mengalami perkembangan pesat sejak adanya motorisasi yang diperkenalkan pada tahun 1976. Kalaupun ada kapalkapal ikan dengan kapasitas mesin lebih dari 24 PK itu juga hanya dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat yaitu para taoke yang berjumlah empat orang di Desa Kedai Gadang. Dengan demikian, peningkatan teknologi tidak secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan bagi para nelayan. Walaupun dengan armada tangkap yang mempunyai kapasitas mesin sebesar itu memungkinkan mereka untuk melaut ke wilayah yang lebih jauh, namun pendapatan yang mereka terima tidak banyak mengalami perubahan. Hasil tangkapan para nelayan cenderung menurun terutama pada saat musim angin badai. Penurunan hasil ini diduga karena populasi ikan yang sudah menurun. Beberapa penyebab antara lain disebabkan 88
semakin semaraknya penggunaan pukat harimau dan pukat Thailand. Selain itu, adanya bencana tsunami pada akhir tahun 2004 diduga juga menyebabkan turunnya hasil tangkapan para nelayan. Pendapatan para nelayan yang tidak menentu berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan mereka. Secara umum kesejahteraan penduduk Desa Kedai Gadang masih cukup memprihatinkan. Hal ini tercermin baik dari aspek pendidikan maupun pendapatannya. Masih tingginya persentase penduduk yang hanya menamatkan sekolah dasar merupakan salah satu potret dari kualitas SDM di desa tersebut. Keinginan untuk mencari uang dengan mudah nampaknyajuga menjadi pendorong bagi para pemuda untuk meinggalkan bangku sekolah. Sementara jika dilihat dari pendapatan rumah tangga, hampir 70 persen penduduk mempunyai penghasilan di bawah Rp. 500,000 per bulan. Pendapatan sebesar ini masih jauh dari cukup bila dibandingkan dengan harga kebutuhan sehari-hari yang terus melambung. Selain itu, kentalnya kekerabatan di antara penduduk yang tercermin dari seringnya mereka melakukan aktivitas sosial (menyumbang), memerlukan dana yang cukup tinggi. Dengan penghasilan yang pas-pasan mereka harus menyisihkan uangnya untuk keperluan sosial tersebut. Rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk Desa Kedai Gadang juga tercermin dari terbatasnya aset rumah tangga yang meliputi sarana produksi dan non produksi serta kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Hampir semua nelayan di desa ini tidak memiliki sarana produksi yang digunakan dalam memnafaatkan sumber daya laut. Oleh karena mereka itu adalah nelayan anak buah kapal, sarana yang mereka gunakan adalah milik para taoke. Sementara kepemiliki aset rumah tangga non produksi seperti barang-barang elektronik juga relatif sedikit. Demikian halnya dengan kondisi perumahan, masih ada sekitar 40 rumah (14 persen) dari 286 rumah penduduk yang termasuk dalam kategori rumah darurat (rumah sangat sederhana dengan dinding papan dan atap rumbia). Sanitasi lingkungan juga cukup memprihatinkan karena akses penduduk terhadap air bersih juga masih cukup terbatas, demikian pula akses terhadap jamban keluarga juga masih rendah. Sumber daya laut tempat para nelayan menggantungkan hidupnya sudah mulai menurun. Berkurangnya sumber daya laut berarti menurunkan pendapatan mereka dan pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraannya. Saat ini, kondisi sumber daya laut di dekat Desa Kedai Gadang sudah mulai menurun. Salah satu indikasinya adalah bergesernya garis pantai. Air laut semakin masuk ke daratan. Saat ini garis pantai hanya sekitar 150 meter dari permukiman penduduk. Angin laut dengan bebas langsung menerpa rumah-rumah penduduk karena ‘kebun kelapa’ yang dahulunya menjadi pelindung sudah hilang diterjang ombak. Demikian halnya dengan bakau dan nipah yang berada di sungai-sungai sekitar pantai mulai menghilang. Terumbu karang yang Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
89
menurut penduduk pada tahun 1970an kondisnya masih bagus sudah banyak ditemukan rusak. Kerusakan sumber daya laut terutama berasal dari faktor eksternal, faktor internal relatif tidak berpengaruh karena alat tangkap yang digunakan oleh penduduk adalah alat tradisional. Kerusakan ekosistem pantai lebih dikarenakan adanya terjangan ombak yang cukup kuat. Sementara faktor eksternal yang berotensi merusak sumber daya laut adalah karena merebak pukat harimau, pukat ikan dari Thailand dan penggunaan bom ikan yang merajalela di tahun 1990an. Merebaknya pukat harimau juga menyebabkan rusaknya tanggul yang dibuat jaman Pemerintahan Hindia Belanda. Tanggul tersebut dibuat dengan maksud untuk membentengi pantai Barus dari keuatan gelombang air laut. Pukat harimau diduga telah menyebabkan rusaknya tanggul dan hilangnya perlindungan ombak. Isu lain yang muncul dalam penelitian ini adalah munculnya konflik kepentingan antara nelayan tradisional dengan pengusaha pukat harimau dan pukat ikan. Pukat yang beroperasi sejak tahun 1976 itu sebetulnya sudah banyak dikeluhkan oleh kalangan nelayan tradisional. Selama lebih dari 30 tahun masyarakat nelayan tradisional memendam kekesalan mereka terhadap keberadaan pukat hariamu dengan semua akibatnya. Puncak kekesalan para nelayan tradisional terhadap pukat harimau dan pukat ikan adalah ‘unjuk rasa’ besar-besaran dari gabungan berbagai organisasi nelayan yang terjadi pada tahun 2001 di Kota Sibolga. Menurut salah seorang informan di Desa Kedai Gadang yang ikut dalam kegiatan tersebut, sebuah kapal (pukat harimau) dibakar massa. Penegakan hukum yang lemah terhadap pelanggar aturan. Penggunaan pukat harimau jelas tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku dan juga merugikan nelayan Kedai Gadang, namun pemakai pukat harimau selalu terlepas dari jeratan hukum.
7.2 Rekomendasi Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang muncul berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatn SDL khususnya terumbu karang di Desa Kedai Gadang, dapat diambil beberapa alternatif pemecahan sebagai berikut: ¾
90
Perlu adanya mata pencaharian alternatif yang masih berhubungan dengan bidang kenelayanan. Usaha budidaya misalnya, akan dapat membantu kehidupan penduduk Desa Kedai Gadang. Hal ini tidak saja membantu perekonomian penduduk karena mereka mempunyai pekerjaan tambahan yang dapat dilakukan di luar kegiatan melaut. Selain itu, dengan
adanya budidaya akan mengurangi eksploitasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang secara berlebihan. Salah satu alternatif yang dapat diambil adalah mengembangkan wisata pantai Kedai Gadang. Selama ini pantai ini sudah terlihat didatangi oleh beberapa pengunjung terutama pada hari-hari libur. Jika pantai tersebut dikelola dengan baik akan membuka kesempatan kerja bagi penduduk setempat misalnya dengan berjualan ikan bakar atau makanan-makanan tradisional yang khas Desa Kedai Gadang. ¾
Mengingat banyaknya pohon nipah yang tumbuh di Desa Kedai Gadang, dapat dipikirkan adanya budidaya kepiting bakau. Hal ini dapat dikelola oleh sekelompok masyarakat sebagai pioneer. Budidaya ini tidak terlalu sulit karena tidak jauh dari bidang yang mereka geluti sehari-hari (kenelayanan). Selain itu, ketersediaan bibit kepiting serta adanya permintaan pasar cukup memungkinkan untuk adanya kegiatan budidaya ini. Selain akan menambah pendapatan rumah tangga, budidaya ini akan mengurangi eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Dengan demikian akan ada dua manfaat sekaligus, dalam satu sisi meningkatkan penghasilan penduduk dan di sisi lain adalah menjaga kelestarian sumber daya laut. Perempuan juga dapat dilibatkan dalam kegiatan ini.
¾
Penggunaan pukat harimau oleh nelayan luar Desa Kedai Gadang perlu diawasi karena dampak dari penggunaan pukat harimau tersebut sudah dirasakan oleh para nelayan Desa Kedai Gadang. Pada umumnya para nelayan Desa Kedai Gadang mengetahui kalau penggunaan pukat harimau tidak diperbolehkan dan mereka mengetahui kalau ada nelayan luar yang menggunakannya. Meskipun demikian, nelayan Desa Kedai Gadang nampaknya belum cukup berani untuk mengambil sikap. Oleh karena itu perlu perlu kerjasama yang baik antara pangkalan AL (Lanal) pemerintah kabupaten dan masyarakat (nelayan) dalam mengatasi pelanggaran-pelanggaran tersebut. Para nelayan agar lebih diberdayakan agar mereka mampu menghalau nelayan pengguna pukat harimau yang beroperasi di wilayah mereka.
¾
Dalam pengelolaan sumber daya laut, perlu adanya penegakan hukum di semua lini. Sangsi yang tegas tidak hanya dikenakan kepada penguna armada yang merusak tetapi juga terhadap oknum-oknum yang ikut bermain di dalamnya. Hal ini tentunya bukan merupakan hal yang mudah namun dengan adanya kemauan dan kepedulian dari selurah lapisan masyarakat tentunya permasalahan ini akan dapat diatasi. Dengan adanya
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
91
aturan dan sangsi yang tegas terhadap berbaai pelanggaran tentunya pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan bukan hanya merupakan slogan belaka.
92
DAFTAR PUSTAKA
AMSAT, Ltd, 2002. Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP). ADB Phase II, Project Design Report. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Tengah dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, 2003 Profil Kecamatan Barus. Barus: Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Tengah dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah. Daliyo dan Suko Bandiyono, 2002 Data dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Studi Kasus Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua. Hidayati, Deni dan Laksmi Rachmawati, 2002 Data dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Studi Kasus Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Imron, Masyuhuri, 200 Peran Tengkulak dalam Pemasaram Hasil Laut di Taka Bonerate dalam Penduduk dan Pembangunan Buletin Pengkajian Masalah Kependudukan dan Pembangunan, Agustus September 2000, hal21-37. Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga, 2004. Profile Desa Kinali, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
93
Nagib, Laila dan Sri Sunarti Purwaningsih, 2002 Data dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Studi Kasus Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara.
94
LAMPIRAN 1. Jumlah Penduduk Kecamatan Barus Menurut Jenis Kelamin Desa
Jumlah KK
Pendudu k laki-laki
Penduduk perempuan
Jumlah
Luas (km)
Kpdtan
Patupangan
320
816
835
1651
1,92
859,90
Kedai Gadang
284
747
764
1511
2,32
651,50
penddk
Sigambo-gambo
203
474
487
961
1,05
914,89
Padang Masiang
407
893
913
1806
0,77
2345,40
Kampung Solok
199
506
620
1026
0,31
3308,08
Pasar Batu Geligis
321
752
772
1524
0,50
3047,68
Pasar Terandam
455
1170
1199
2369
0,92
2575,17
Kinali
64
162
165
327
0,95
344,65
Ujung Batu
174
456
469
925
4,51
205,01
Kampong Mudik
175
407
419
826
1,32
625,57
Gabungan Hasang
274
594
609
1203
3,3
364,42
Pananggahan
148
294
302
596
2,13
279,88
Purba Tua
213
451
461
912
34,86
26,17
Huta Ginjang
191
449
461
910
23,24
39,16
Aek Dakka
285
617
631
1248
3,42
364,88
Sihorbo
173
351
354
721
1,23
585,96
Parik Sinomba
85
176
178
354
0,14
2529,93
Sawah Lamo
147
364
370
734
1,94
378,41
Jumlah
4118
9685
9919
19604
84,83
231,10
Sumber: Kantor Kecamatan Barus, 2003.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
95
LAMPIRAN 2
Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pendapatan dalam Periode satu bulan terakhir, Desa Kedai Gadang, 2005 Kelompok Pengeluaran (Rp.)
Frekeunsi
Persentase
< 100.000
2
2,0
100.000 – 199.999
8
8,0
200.000 – 299.999
20
20,0
300.000 – 399.999
16
16,0
400.000 – 499.999
22
22,0
500.000 – 599.999
11
11,0
600.000 – 699.999
10
10,0
700.000 – 799.999
3
3,0
800.000 – 899.999
4
4,0
900.000 – 999.999
0
0,0
> 1 juta
4
4,0
100
100,0
Total
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAPLIPI, 2005
96
LAMPIRAN 3.1
Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pengeluaran Untuk Makanan dalam Periode satu bulan terakhir, Desa Kedai Gadang, 2005 Kelompok Pengeluaran (Rp.)
Frekeunsi
Persentase
< 100.000
1
1,0
100.000 – 199.999
4
4,0
200.000 – 299.999
19
19,0
300.000 – 399.999
22
22,0
400.000 – 499.999
30
30,0
500.000 – 599.999
11
11,0
600.000 – 699.999
2
2,0
700.000 – 799.999
5
5,0
800.000 – 899.999
3
3,0
900.000 – 999.999
1
1,0
> 1 juta
2
2,0
100
100,0
Total
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAPLIPI, 2005
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
97
LAMPIRAN 3.2
Rumah Tangga Berdasarkan Kelompok Pengeluaran Bukan Makanan dalam Periode satu bulan terakhir, Desa Kedai Gadang, 2005 Kelompok Pengeluaran (Rp.) < 100.000
Frekuensi
Persentase
7
7,0
100.000 – 199.999
15
15,0
200.000 – 299.999
34
34,0
300.000 – 399.999
21
21,0
400.000 – 499.999
12
12,0
500.000 – 599.999
6
6,0
600.000 – 699.999
2
2,0
700.000 – 799.999
1
1,0
800.000 – 899.999
1
1,0
900.000 – 999.999
1
1,0
> 1 juta
0
0,0
100
100,0
Total
Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAPLIPI, 2005
98
LAMPIRAN 4. Jumlah Rumah Tangga, Penduduk dan Keluarga Prasejahtera, Kecamatan Barus, 2003 Desa
Jumlah KK
Penduduk laki-laki
Penduduk perempuan
Keluarga Pra sejahtera
Patupangan
318
781
819
37
Kedai Gadang
282
715
750
45
Sigambo-gambo
201
454
477
26
Padang Masiang
403
855
815
25
Kampung Solok
197
485
509
25
Pasar Batu Geligis
319
721
756
18
Pasar Terandam
451
1121
1176
35
Kinali
64
155
162
20
Ujung Batu
172
437
459
24
Kampong Mudik
173
390
410
23
Gabungan Hasang
272
569
596
15
Pananggahan
146
282
296
13
Purba Tua
211
431
453
15
Huta Ginjang
190
430
452
15
Aek Dakka
283
589
617
23
Sihorbo
171
342
357
8
Parik Sinomba
85
168
175
12
Sawah Lamo
145
348
363
15
Jumlah
4083
9273
9722
394
Sumber: Kantor Kecamatan Barus, 2003.
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Desa Kedai Gadang
99
LAMPIRAN 5
Harga Ikan menurut Jenis Ikan di Tingkat Pengumpul Ikan di Desa Kedai Gadang, 2005 Jenis ikan
Harga (Rp.)
Ogak
7.500
Balato
7.000
Garik
5.500
Ikan sebelah
8.000
Baledang
3.000
Buncilak
6.000
Kaling-kaling
5.500
Pari halus
4.500
Parang
3.000
Kapas
8.000
Gagole
12.000
Ramas
4.500
Sumber: Data primer
100