Daliyo, Suko Bandiyono Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia/ Daliyo, Suko Bandiyono. – Jakarta: COREMAP, 2002 xv, 60 hlm, 22 cm
Seri Penelitian COREMAP-LIPI No. 6/2002 ISSN 1412-7245
1. Terumbu Karang 2. Pengelolaan I. Judul II. COREMAP-LIPI
3. Degradasi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Studi Kasus: Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua
Desain isi : Sutarno
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh COREMAP-LIPI.
Ringkasan
I. Pendahuluan 1.1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian adalah : (1). Menggambarkan kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya di wilayah Kampung Boni, termasuk di dalamnya potensi, pola pemanfaatan, teknologi yang dipakai, permodalan, pemasaran, serta pengetahuan dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya ; (2). Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisis kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut (SDL) yang mengancam baik kelestarian terumbu karang maupun yang berpotensi untuk mengelola. Di samping itu, juga mengantisipasi potensi konflik kepentingan antar sesama stakeholders sebagai akibat adanya usaha konservasi dan pengelolaan terumbu karang; (3). Mendeskripsikan kondisi sumber daya manusia (SDM) Kampung Boni dan memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat antara lain dari keberadaan aset rumah tangga, kondisi perumahan, pendapatan dan pengeluaran, tabungan dan utang; (4). Memberikan masukan-masukan untuk para pengambil keputusan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP; (5). Memberikan masukan untuk menyusun indikator-indikator yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk membandingkan kondisi sosial - ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah intervensi program COREMAP. 1.2. Metodologi penelitian Pemilihan lokasi - Penelitian dilakukan di Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong. Boni merupakan salah satu dari 4 kampung penelitian di Waigeo Utara. Pemilihan Boni sebagai lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan keberadaan masyarakat lokal di kampung tersebut dan sebagian besar penduduknya telah memanfaatkan terumbu karang. Pengumpulan Data - Data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada informasi hasil sensus rumah tangga, hasil wawancara terfokus, hasil observasi, wawancara mendalam dan data sekunder. Berdasarkan metode penelitian tersebut dapat diperoleh data baik yang sifatnya kuantitatif maupun yang sifatnya kualitatif. Analisis Data - Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif dari data primer baik hasil sensus maupun hasil wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, data sekunder dan hasil observasi yang relevan dengan tujuan penelitian. Dalam analisis hasil sensus telah digunakan data rumah tangga dan data perorangan. Data ini karena sudah terstruktur maka tidak dapat menangkap nuansa di balik angka-angka kuantitatif. Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus telah melengkapi data hasil sensus, karena mereka dapat menyatakan pendapatnya dan menggambarkan informasi
1 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
atas dasar pengetahuannya. Selain itu, data dan informasi dari lembaga pemerintah dan swadaya masyarakat telah memperkaya pemahaman dalam tahap analisis. II. Profil Lokasi Penelitian 2.1. Keadaan geografis Lokasi penelitian berada di Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong. Kampung tersebut terletak di Pulau Boni, walaupun masyarakatnya juga menguasai daerah terdekat berupa lahan perladangan dan perkebunan kelapa di daratan Pulau Waigeo. Pulau Boni merupakan salah satu dari 610 pulau di Kabupaten Sorong. Secara astronomis, lokasi Pulau Boni berada di utara Pulau Waigeo, tepatnya terletak 0° - 0°3′ lintang selatan dan 131°3′ – 131°6′ bujur timur. Adapun Pulau Waigeo merupakan salah satu dari 4 pulau besar di Kepulauan Raja Ampat. Pulau besar lainnya adalah Batanta, Salawati dan Misol. Pulau Boni itu sendiri berada pada Teluk Kapias dan dengan daratan Pulau Wageo dibatasi oleh Selat Boni yang lebarnya sekitar 2 km. 2.2. Kondisi sumber daya al am Kehidupan masyarakat Boni berasal dari laut dan daratan. SDL yang potensial di daerah tersebut adalah tersedianya berbagai spesies biota laut dalam jumlah banyak yang hidupnya berkaitan erat dengan terumbu karang dan mangrove. Kondisi terumbu karang dan hutan mangrove di daerah tersebut masih bagus dan cenderung mengalami pertumbuhan. 2.3. Kependudukan Jumlah kepala keluarga sebanyak 80 KK atau 380 orang. Tingkat pertambahan penduduk tiap tahun pada kurun waktu 1967-2001 sebesar 6,67 persen. Pertambahan penduduk yang sangat tinggi tersebut terutama terjadi karena pertambahan alami. Penduduk Boni adalah etnis Biak dan berkomunikasi dengan bahasa Biak dan terdiri dari marga Wanma, Mayor, Bimara, Mambraku Maker, Ubinaru dan Urbinas. Penduduk Boni mayoritas berpendidikan rendah, 87,7 persen berpendidikan SD ke bawah. Hanya satu orang pernah kuliah di Manado, meskipun tidak tamat. Sebagian besar penduduk mengaku sebagai petani. Mata pencarian utama berkebun dan sebagai nelayan. 2.4. Sarana-prasarana dan aksesibilitasnya Kondisi laut yang kurang bersahabat karena ombak yang besar tersebut telah mengurangi akses untuk mencapai Kota Sorong, bahkan kota Distrik di Kabare yang hanya berjarak 6 Km. Dalam kondisi laut yang tenang misalnya bulan Mei atau September, nelayan yang punya kapal motor 15 PK, dapat pergi ke Sorong yang jaraknya 90 Km dengan waktu tempuh 6 -7 jam. Di Kampung Boni hanya ada dua nelayan yang memiliki perahu mesin motor Yamaha berukuran 15 PK. Penduduk Kampung Boni yang akan pergi ke Kota Sorong juga dapat naik Kapal Perintis KM. Pesat II yang berlabuh di dermaga Kabare. Untuk dapat mencapai kota 2
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Distrik di Kabare tersebut, nelayan asal Boni terpaksa harus jalan kaki lewat jalan setapak melewati bukit di Warkori atau mendayung sampan selama 3 jam dengan membawa barang dagangannya. Ongkos naik kapal perintis dari Kabare ke Sorong 9 ribu rupiah, dengan waktu tempuh 1 hari 2 malam. Pada saat penelitian ini, jumlah perahu menurut jenisnya adalah: perahu bermotor tempel (body motor) 2 buah, perahu dayung (kule-kule) 60 buah dan perahu cadik 19 buah. Dengan fasilitas penduduk Kampung Boni yang sangat terbatas tersebut, maka telah membatasi mobilitas mereka baik untuk pergi ke luar kampung maupun kemampuan dalam menangkap ikan. Di bidang kesehatan, ada pembangunan Posyandu, Postu, dan MCK. Bangunan Posyandu telah dibuat tahun 2000, dengan menempatkan seorang bidan desa. Bidan desa hanya bertugas beberapa bulan, lalu pergi meninggalkan kampung. Meskipun tidak ada bidan lagi, namun tetap ada penimbangan balita yang dilaksanakan oleh kader Posyandu, dibantu 2 dukun bayi yang pernah dilatih, dan dihadiri oleh mantri kesehatan. Keberadaan Postu tersebut telah sangat menolong pengobatan warga setempat yang membuuhkan. Di bidang keagamaan, penduduk Kampung Boni seluruhnya beragama Kristen Protestan dan telah memiliki gereja yang cukup baik. 2.5. Kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya Kelembagaan yang ada adalah lembaga formal yang dibentuk pemerintah (Pemerintah Kampung, Puskesmas Pembantu, LKMD, BPD/ LMD), lembaga formal yang dibentuk masyarakat (Yayasan Gereja Kristen Indonesia, Persekutuan Angkatan Muda Gereja Injili Indonesia) dan lembaga non formal yang dibentuk masyarakat lokal (lembaga adat, warung). III. Pengelolaan Sumber Daya Laut 3.1.
Pengetahuan dan sikap masyarakat
(1).
Istilah karang - Istilah terumbu karang belum banyak dikenal. Mereka memiliki istilah setempat yang biasa mereka sebut “ros” dan ada sebagian penduduk menyebut “rosen.” Menurut mereka ros adalah karang beserta biota laut yang ada di dalamnya dan nama karangnya sendiri dengan kata “rep”, mungkin berasal dari kata reef.
(2).
Pengetahuan jenis karang - Pengetahuan tentang jenis-jenis karang yang ada di sekitar mereka masih kurang. Mereka hanya dapat membedakan antara karang hidup dan karang mati. Karang hidup adalah karang yang masih tumbuh terus, sedangkan karang mati adalah karang yang sudah mengeras tidak tumbuh lagi. Mereka menyebut warna karang berwarna-warni, ada yang merah, biru, hijau dan kuning. Bentuk-bentuk karang hidup adalah bentuk bulat-bulat berlubang, dalam bentuk akar, dalam bentuk cabang-cabang pohon dan bentuk bunga.
(3).
Pengetahuan manfaat terumbu karang Tempat hidup, tempat bertelur dan tempat mencari makan ikan - Pengetahuan tentang manfaat terumbu karang pada umumnya para nelayan mengetahui sebagai tempat hidup, tempat bertelur dan tempat mencari makan ikan. Mereka 3 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
mengetahuinya sejak mereka sering mencari ikan di daerah terumbu karang (20 tahun terakhir). Pengetahuan tersebut mereka diketahui secara alamiah Bahan bangunan - Para nelayan juga telah memanfaatkan karang untuk bahan bangunan sebagai pondasi rumahnya (8,8 persen) dan untuk pembuatan kapur sirih yang biasa dikonsumsi. Sebagian besar (68,8 persen) penduduk mengetahui kegunaan untuk bahan baku. Sebagian informan mengaku batu karang yang mereka gunakan untuk adalah karang yang sudah mati. Pelestarian keanekaragaman hayati - Mereka nampaknya belum mengetahui tentang kegunaan terumbu karang untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Dari 80 responden hanya 10 persen yang telah mengetahui. Perlindungan pantai - Sebagian pantai sebelah utara Pulau Boni telah mengalami kerusakan oleh abrasi air laut yang mengakibatkan beberapa pohon kelapa di sepanjang pantai tersebut tumbang. Dengan adanya peristiwa abrasi pantai tersebut secara nyata penduduk melihat sendiri bahwa kerusakan pantai tersebut karena gempuran ombak laut. Sekitar 40 persen penduduk mengetahui bahwa terumbu karang dapat melindungi pantai. Tempat wisata laut - Beberapa tahun terakhir Boni pernah dikunjungi 10 orang turis dari luar negeri, yaitu dari Australia dan Amerika. Mereka mengadakan penyelaman dan bermain selancar. Kunjungan tersebut membuka wawasan pengetahuan penduduk bahwa terumbu karang dapat menjadi obyek pariwisata. Hal tersebut terefleksi dari sekitar 40 persen penduduk yang mengungkapkan bahwa terumbu karang yang baik akan dapat menjadi obyek pariwisata. (4).
Pengetahuan tentang larangan dan sanksi - Sebagian besar penduduk mengaku punya pengetahuan tentang larangan dan sanksi serta alat tangkap yang merusak terumbu karang, seperti penggunaan bom dan racun. Dari berbagai sumber tidak pernah menggunakan bom dan racun kimia unorganik. Namun di antara para nelayan tersebut ada yang pernah menggunakan racun dari akar bore. Mereka juga tidak punya dan belum pernah menggunakan alat tangkap pukat harimau (trawl), namun sebagian besar di antara mereka mengetahui ada nelayan dari lain kampung yang pernah menggunakan alat tersebut (97,5 persen). Mereka umumnya setuju mengenai larangan dan sanksi penggunaan alat tangkap dan bahan yang merusak terumbu karang dan mempercepat habisnya SDL.
(5).
Pengetahuan alat tangkap jaring - Sebagian nelayan (60 persen) selama ini telah memanfaatkan jaring dari plastik untuk menangkap ikan. Para nelayan mengetahui bahwa jaringnya juga dapat merusak sebagian kecil terumbu karang yang masih hidup.
(6).
Pengetahuan alat tangkap bagan dan bubu - Pengetahuan penduduk tentang penggunaan bagan dan bubu masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan dua jenis alat tersebut belum pernah diperkenalkan dan digunakan oleh para nelayan Kampung Boni.
(7).
Pengetahuan pengelolaan SDL - Pengelolaan SDL dalam arti merencanakan, memanfaatkan, melindungi dan melakukan kontrol terhadap SDL selama ini masih terbatas pada lola (amos) dan udang (kaduror). Pengelolaan sumber daya
4
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
tersebut tertuang dalam konsep yang disebut sasi. Sasi di kampung ini merupakan hasil kesepakatan dari seluruh warga nelayan/ penduduk dengan fihak gereja untuk melindungi suatu sumber daya untuk kepentingan tertentu. Sumber daya yang disasi di kampung ini hanya lola dan udang untuk hasil laut dan kelapa untuk hasil darat. Isi dari sasi adalah agar hasil lola dan udang tidak cepat habis, panen hanya boleh dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu pada bulan-bulan teduh bulan April dan bulan September. 3.2. Wilayah pengelolaan Untuk melestarikan SDL agar tidak cepat punah, masyarakat nelayan Pulau Boni telah mengenal sistem pengelolaan wilayah laut atau yang dapat disebut kearifan lokal. 1. Wilayah terumbu karang sekitar Boni hanya diperuntukan bagi nelayan Boni, nelayan dari luar tidak diperkenankan mengambil hasil laut. Bagi nelayan luar yang ingin menangkap ikan di lokasi tersebut diharuskan minta izin kepada Kepala Kampung (Mananir) Boni. Bila mereka diizinkan, mereka harus membayar sejumlah uang tertentu, yang jumlahnya sesuai dengan hasil kesepakatan antara nelayan dengan kepala kampung. Uang tersebut dimasukkan ke kas kampung untuk kegiatan pemerintahan kampung. Namun apabila ada pelanggaran atau pencurian, di mana ada nelayan dari luar yang melanggar batas wilayah atau menangkap ikan di perairan Pulau Boni tersebut, mereka akan mendapat teguran dari kampung. 2. Kemudian kearifan lokal lainnya adalah melalui sistem sasi dalam pengelolaan lola dan udang. Sistem sasi ini di masa mendatang dapat dikembangkan untuk pengelolaan jenis SDL yang lain. 3.3. Teknologi pengelolaan (1).
Teknologi penangkapan sumber daya laut - Teknologi yang mereka gunakan untuk menangkap SDL pada umumnya masih sederhana. Untuk pergi melaut mereka menggunakan perahu kayu baik yang bercadik maupun tanpa cadik dengan ukuran kecil kurang lebih 3 x 0,5 meter. Perahu kayu tersebut mereka kenal sejak sebelum pindah ke Pulau Boni, yaitu sejak tahun 60an. Sebab pada waktu itu apabila mereka akan bepergian ke lain pulau juga sudah menggunakan perahu kayu/ sampan. Keterbatasan penggunaan teknologi transportasi yang masih sederhana tersebut telah menggambarkan kapasitas kemampuan penangkapan SDL yang terbatas. Sejak 3 tahun terakhir baru ada 2 perahu kayu bermotor dengan mesin Yamaha 15 PK yang dimiliki penduduk Kampung Boni. Sayang dua perahu bermotor tersebut tidak digunakan untuk bisnis, namun hanya digunakan untuk kepentingan pribadi apabila ada urusan atau belanja ke Kota Sorong atau ke pulau lain. Alat tangkap yang digunakan para nelayan juga masih sederhana, yaitu hanya pancing, jaring plastik, senapan molo (tombak) dan kacamata molo. Alat pancing dan jaring plastik sudah dikenal lama oleh nelayan Pulau Boni, sejak mereka mendiami pulau ini pada akhir tahun 60-an. Mereka mengenal dari para nelayan di pulau lain, sebab pada awalnya mereka bukan keturunan nelayan. Sedangkan senapan molo dan kacamata molo mereka kenal dalam 10 tahun terakhir, juga 5 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
dari nelayan dari pulau lain. Senapan molo harus pesan atau membeli ke Kota Sorong, namun untuk kacamata molo dapat membuat sendiri, karena bentuknya sangat sederhana dan bahannya hanya dari kayu dan kaca. Beberapa nelayan telah mengenal dan pernah memanfaatkan akar bore untuk menangkap ikan napoleon dan udang di sela-sela terumbu karang. Teknologi penggunaan racun akar bore tersebut, menurut informasi dari beberapa nelayan yang menangkap ikan dengan akar bore mengatakan bahwa penggunaan akar bore tidak merusak terumbu karang. Teknologi keramba tahun 1998 juga pernah ada dan pernah dipasang di perairan sekitar Kampung Boni milik pengusaha dari PT Cinta Bahari asal Kota Sorong. Namun usaha ini sekarang sudah berhenti dan belum ditiru dan diikuti nelayan Pulau Boni. (2).
Teknologi pengolahan hasil sumber daya laut Teknologi pengolahan ikan karang - Teknologi pengolahan yang ada adalah pengolahan ikan menjadi ikan asin atau ikan garam. Dengan teknologi ini ikan-ikan yang telah dibersihkan dengan air tawar kemudian direndam dengan air garam semalam. Kemudian ikan siap dijemur di sinar matahari selama 3 hari dalam sangkar plastik putih. Dengan menggunakan sangkar plastik ukuran 1 x 2 meter, lalat dan debu tidak dapat masuk dan bila hujan ikan-ikan tidak perlu dipindahkan. Dengan cara ini akan menghasilkan ikan asin yang lebih baik tidak rusak. Teknologi pengolahan tripang - Teknologi pengolahan hasil tripang dilakukan cukup sederhana. Tripang basah dibelah, dibersihkan dan dikeluarkan kotoran yang ada di dalam perutnya. Setelah dibersihkan lalu tripang langsung direbus. Setelah direbus kemudian diasap sampai kering atau dijemur di sinar matahari. Biasanya penjemuran berlangsung sampai 4 hari, dalam kondisi kering betul. Kemudian siap dijual dalam bentuk tripang kering. Tripang basah seberat 5 kg, apabila telah diolah menjadi tripang kering tinggal 1 kg. Teknologi pengolahan lola - Teknologi pengolahan lola juga sangat sederhana. Dari panen lola kemudian daging lola dikeluarkan dari cangkangnya. Cangkang selanjutnya direndam dalam pasir selama 2 minggu untuk mengeluarkan lendirnya. Setelah 2 minggu cangkang siap dijual ke Kota Sorong. Cangkangnya ini yang pada saat penelitian berlangsung laku Rp 20 000/kg di Kota Sorong. Sedangkan dagingnya yang tidak laku dijual, dikonsumsi oleh para nelayan untuk lauk.
3.4. Stakeholder yang terlibat Stakeholder adalah pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan terumbu karang. Dalam konteks pengembangan dan pengelolaan terumbu karang setempat tiap stakeholder mempunyai kepentingan yang berbeda, termasuk yang menimbulkan masalah. Karena stakeholder mempunyai kaitan yang luas mulai dari tingkat lokal sampai tingkat internasional, dalam penelitian ini hanya meliput identifikasi stakeholder pada tingkat lokal. Stakeholder yang berkepentingan di daerah Waigeo Utara dan khususnya di Kampung Boni dapat dibedakan menjadi : (1). Masyarakat nelayan dan lembaga lokal; (2). Masyarakat pedagang; (3). Pemerintah Daerah.
6
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
3.5. Hubungan kerja Hubungan kerja dalam kegiatan mencari SDL di masyarakat nelayan Kampung Boni, dapat dibedakan menjadi empat, yaitu : (1). Bekerja keluarga tanpa upah; (2). Bekerja bersama dengan sampan tanpa motor; (3). Bekerja bersama dengan bodi mesin; dan (4). Bekerja gotong-royong.
IV.
Produksi dan Pemasaran Sumber Daya Laut
4.1. Hasil produksi Kegiatan melaut bagi penduduk pulau tersebut belum merupakan mata pencaharian yang utama. Kehidupan mereka tidak sangat tergantung pada SDL. Kegiatan utama yang dibawa secara turun-temurun sejak di daerah asal atau sebelum pindah ke Pulau Boni adalah berkebun. Mereka menanam dan mengolah sagu (bariam), kelapa (serair) dan ubi-ubian, seperti ubi kayu (batawe), ubi jalar (batatas) dan keladi (japang). Karena kegiatan melaut belum merupakan kegiatan utama, maka jenis alat transpor dan tangkap yang digunakan masih sederhana, seperti pancing (awir), jala (jaring) dan tombak selam (senapan molo). Oleh karena itu, jumlah hasil tangkapannya juga relatif masih sangat rendah. Tiga hasil SDL yang utama bagi para nelayan Kampung Boni adalah : (1). Ikan karang; (2). Tripang; dan (3). Lola. 4.2. Pemanfaatan hasil produksi Sebelum masuknya teknologi baru cara pengawetan ikan dengan penggaraman/pengasinan dan pengeringan dalam 2 tahun terakhir, semua hasil tangkapan masih untuk konsumsi rumah tangga sendiri. Namun selama dua tahun terakhir ini ini beberapa rumah tangga telah mulai menjual setelah diolah melalui penggaraman dan pengeringan. Sebagian besar rumah tangga hasil tangkapan ikan masih untuk konsumsi sendiri. Tripang biasanya diolah terlebih dahulu yaitu dengan cara dibelah dan dibersihkan kotorannya/isi perutnya. Kemudian direbus dan dijemur/diasar sampai kering. Semua hasil pengolahan tripang tersebut dijual dan tidak ada yang dikonsumsi sendiri. Khusus untuk lola, dagingnya dapat dikonsumsi oleh para nelayan, karena tidak laku dijual. Sedangkan cangkangnya diolah, dikeluarkan lendirnya, dikeringkan dan siap dijual. 4.3. Pemasaran Rantai pemasaran hasil SDL di Kampung Boni masih sangat sederhana yaitu belum melalui penampungan atau melalui pedagang perantara yang masuk ke lokasi. Selama ini penjualan 3 hasil SDL utama, yaitu ikan asin (dari ikan karang), tripang dan
7 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
lola serta udang langsung dilakukan sendiri oleh para nelayan ke pedagang atau pelanggan di Kota Sorong. V.
Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat
5.1. Pendapatan dan pengeluaran Pendapatan rumah tangga para nelayan umumnya berasal dari dua sumber, yaitu dari hasil kebun dan hasil laut. Pendapatan dari hasil kebun berupa penjualan hasil kopra, sagu dan umbi-umbian. Sedangkan pendapatan dari hasil laut, berupa penjualan ikan garam dan tripang. Pendapatan rata-rata per bulan rumah tangga nelayan Pulau Boni cukup baik, rata-rata hampir sekitar Rp. 400.000,-. Kontribusi hasil laut terhadap pendapatan diperkirakan masih di bawah 20 persen. Perkembangan pendapatan sekarang (saat penelitian) dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu. Dari berbagai informan mengatakan bahwa dilihat dari jumlah angka rupiahnya telah terjadi peningkatan. Namun apabila dilihat dari nilai belinya belum menunjukkan peningkatan. Rata-rata pengeluaran rumah tangga nelayan Pulau Boni lebih rendah daripada pendapatan. Hal ini disebabkan penghidupan rumah tangga nelayan Boni masih sederhana, tidak banyak kebutuhan hidup yang harus dibeli, apalagi pengeluaran untuk kebutuhan sekunder dan tersier. 5.2. Strategi dalam pengelolaan keuangan Tradisi rumah tangga nelayan, pendapatan rumah tangga merupakan hasil kerjasama antara suami-istri dan anak yang telah dewasa, di sini rumah tangga sebagai unit produksi. Oleh karena itu, pendapatan rumah tangga merupakan akumulasi pendapatan kepala rumah tangga, isteri, anak dan anggota rumah tangga yang lain. Tradisi rumah tangga nelayan Pulau Boni pemegang keuangan rumah tangga adalah isteri. Meskipun hasil melaut dan hasil kebun didapat dan dipasarkan oleh suami, namun penyimpanan dan pengelolaan keuangan dalam rumah tangga diserahkan kepada isteri. Kelebihan pendapatan di samping disimpan dalam bentuk uang, juga disimpan dalam bentuk ternak ayam dan piring-piring keramik. Untuk pembelian barang-barang yang mahal harganya dan dianggap penting biasanya dibicarakan lebih dahulu dengan suami. Pada saat suami sedang memasarkan hasil kebun (kopra) dan hasil laut (ikan garam/tripang) ke Kota Sorong, biasanya sambil belanja kebutuhan barang konsumsi rumah tangga. Jenis barang apa saja yang harus dibeli biasanya telah ada pembicaraan dengan isteri. 5.3. Pemilikan dan penguasaan aset (1).
8
Perahu dan alat tangkap SDL - Sebagian besar rumah tangga memiliki dan menguasai perahu tanpa motor (way), yaitu perahu sampan tanpa cadik, sampan dengan cadik tanpa motor yang biasanya digunakan untuk mencari ikan/hasil laut dan sebagai alat transportasi ke lain pulau atau lain kampung. Sedangkan alat tangkap sumber daya laut yang paling banyak dimiliki dan dikuasai adalah pancing (awir). Jala/ jaring sebagai alat penangkap ikan hanya dikuasai bersama oleh sekitar 25 persen rumah tangga.
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Pemilikan alat yang lain adalah tombak selam (senapan molo), yaitu tombak yang digunakan untuk menangkap/ menombak ikan sambil menyelam. Alat ini dimiliki dan dikuasai oleh sekitar 30 persen rumah tangga. Kemudian ada alat berupa kacamata selam (kaca molo), yang biasa digunakan untuk menyelam mencari ikan dan udang di dasar laut. Alat ini cukup sederhana dan biasanya dapat dibuat sendiri. (2).
Rumah, pekarangan dan kebun - Pemilikan dan penguasaan aset yang lain adalah rumah, pekarangan dan kebun. Rumah dimiliki dan dikuasai hampir oleh semua rumah tangga. Untuk lahan (kintel) pekarangan dan kebun di Boni sebetulnya masih merupakan tanah hak ulayat, sehingga sebetulnya belum ada pemilikan. Mereka hanya bisa menguasai atau menggarap. Hampir semua rumah tangga menguasai lahan pekarangan dan kebun.
(3).
Ternak - Satu-satunya jenis ternak di Boni adalah ayam. Hampir dua pertiga rumah tangga di Boni memiliki ternak ayam kampung. Sedangkan binatang piaraan lainnya yang paling banyak adalah anjing. Anjing dimiliki hampir oleh semua rumah tangga.
(4).
Barang sebagai simpanan - Aset yang merupakan simpanan dan kebanggaan rumah tangga penduduk di Boni adalah keramik yang berupa piring gantung, piring antik dan guci. Aset ini dimiliki oleh tiga perempat rumah tangga Mereka memiliki keramik karena terkait dengan keperluan adat perkawinan.
(5).
Pemilikan aset lainnya - Pemilikan aset lainnya adalah jenis alat elektronik. Di Boni yang ada hanya radio, yang dimiliki oleh 24 persen rumah tangga.
5.4. Kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan (1).
Kondisi perumahan - Hampir seluruh rumah tangga memiliki rumah tinggal sendiri. Sebagian rumah tersebut pondasinya permanen, sayangnya bahan utama yang digunakan dari batu karang. Meskipun bahan tersebut diambil dari karang yang sudah mati.
(2).
Sanitasi lingkungan – Ada kebiasaan buang air besar di pantai. Oleh karena itu, meskipun telah dibangunkan MCK tidak pernah digunakan.
VI. Degradasi Sumber daya Laut Degradasi SDL dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, faktor-faktor tersebut adalah : Faktor internal : (1). Pemanfaatan karang mati untuk pondasi rumah penduduk (17 rumah dan ada 4 calon rumah) dan penggunaan karang mati telah berlangsung sekitar 10 tahun terakhir yang jumlahnya sekitar 60 meter kubik; (2). Penggunaan akar bore untuk menangkap ikan napoleon dan lobster, dapat memabokan atau mematikan ikan; (3). Kebiasaan penduduk mencari gurita, keong, ikan-ikan kecil dengan menginjak-ijak karang dan padang lamun, membuang kotoran dan sampah ikut menimbulkan 9 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
degradasi lingkungan; (4). Penggunaan kayu mangrove untuk bahan bangunan menurunkan populasi tanaman mangrove; dan (5). Sasi hanya digunakan untuk lola dan udang, belum untuk SDL yang lain. Faktor Eksternal – (1). Sering ada perahu motor para pedagang luar merapat ke pulau atau membuang jangkar dari besi yang berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang dan lamun, meskipun tidak besar; (2). Pembuatan dermaga yang merusak dan memanfaatkan hutan mangrove; (3). Belum ada kontrol bagi nelayan luar yang mendapatkan izin penangkapan ikan kepala kampung di sekitar Boni (4) dan faktor alam adanya sedimentasi yang menutup wilayah karang dari Pulau Waigeo. VII. Kesimpulan dan Rekomendasi Masyarakat Boni hampir seluruhnya adalah etnis Biak. Mereka hidup di lokasi yang relatif terisolir, jauh dari pusat pertumbuhan dan sedikit mempunyai akses transportasi laut. Hal ini telah menjadi kendala utama dalam merealisasikan harapan dalam memperoleh akses sosial - ekonomi di luar daerah. Demikian pula keberadaan fasilitas sosial di kampung ini juga masih terbatas, sehingga tidak banyak pilihan yang dapat diperoleh. Untuk menopang kehidupan, mereka telah memanfaatkan SDA sebatas kemampuannya. Mereka berkebun tanaman semusim dan tanaman keras di samping memanfaatkan SDL. Pemanfaatan sebagian besar SDL hanya untuk konsumsi rumah tangga. Ini berarti daerah tersebut belum mengalami pemanfaatan SDL yang berlebihan (over fishing). Kualitas terumbu karang masih baik, namun telah ada gejala degradasi. Penyebabnya tidak hanya faktor internal dan eksternal, tetapi juga faktor alam. Selain itu, pihak gereja telah memanfaatkan SDL berupa penangkapan udang dan lola untuk membiayai rencana pembuatan gereja baru. Pihak gereja telah membuat sasi terhadap udang dan lola. Kelembagaan gereja sebenarnya telah menerapkan prinsip-prinsip managemen pengelolaan, yaitu dari tahap perencanaan sampai dengan evaluasi. Keterbatasan kemampuan dalam pemanfaatan SDL terkait erat dengan kemiskinan struktural masyarakat. Mereka telah terjebak dalam kemiskinan ilmu pengetahuan dan teknologi selain mereka miskin ekonomi. Dua aspek tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam mengatasi persoalan yang selanjutnya dapat diterjemahkan ke dalam indikator dan program-program intervensi. Untuk mengatasi persoalan tersebut program intervensi yang diusulkan adalah : 1. Pengembangan peran serta masyarakat - Pemanfaatkan sumber daya lokal (laut dan darat) secara optimal untuk menciptakan lapangan kerja. Adapun SDM dan sumber daya ekonomi masih rendah. Perlu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat memanfaatkan SDA yang ada dengan memberi kesadaran perlunya pelestarian. Pemanfaatan SDA dari hunting and fishing menuju home industry akan terjadi nilai tambah yang lebih besar dan sekaligus menmbah alternatif pekerjaan di luar pertanian. Program seperti pembuatan abon ikan, pembuatan kerupuk ikan, dan pembuatan terasi. Adapun pengolahan hasil pekarangan dan kebun antara lain pembuatan keripik sukun, pembuatan sagu cetak dan pembuatan sapu dari sabut kelapa.
10
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
2. Perubahan teknologi penangkapan - Perubahan teknologi penangkapan yang mengarah pada peningkatan produktivitas dan peningkatan kelestarian terumbu karang perlu diperkenalkan, seperti motorisasi perahu, agar mampu menangkap ikan jauh dari ekosistem terumbu karang (laut lepas). Hal ini hanya mungkin dilakukan untuk rentang waktu panjang, setelah para nelayan cukup berdaya baik dalam ekonomi maupun ipteknya. 3. Produk yang berorientasi pasar - Produk hasil olahan yang berkualitas diarahkan untuk dapat dijual ke luar, misalnya ke Kota Sorong. Sejalan dengan itu, perlu mencari tempat pemasaran atau mencari mitra usaha. 4. Pembimbingan - Program pembimbingan dari luar (instansi pemerintah/swasta) yang mempunyai perhatian besar dalam pengembangan masyarakat (community development) dengan menempatkan tenaga berdedikasi tinggi dan punya pengalaman dalam pengembangan masyarakat pesisir terpencil, diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan. 5. Mitra lembaga setempat - Program-program intervensi perlu bermitra dengan lembaga lokal yang menjadi panutan. Untuk membangun masyarakat Boni nampaknya kelembagaan gereja merupakan pilihan tepat untuk bermitra. 6. Pembentukan kelompok nelayan - Untuk mempercepat proses perubahan pada pemberdayaan ekonomi para nelayan perlu bekerja dalam kelompok. Ide pembentukan kelompok-kelompok nelayan (misal tiap 10 keluarga nelayan), adalah meningkatkan produktivitas dan efisiensi lewat kelembagaan. Agar para nelayan dapat belajar bersama dan sekaligus memecahkan masalah mereka secara bersama-sama pula. Sebagai contoh, pembelian motor tempel dapat dibeli dan dikelola oleh kelompok; pengolahan dan pemasaran dapat dilakukan oleh kelompok. Pembentukan dan bagaimana aturan pengelolaan kelompok tersebut dapat dilakukan oleh mereka secara musyawarah. 7. Kemandirian dana pembangunan kampung - Pengalaman pengelolaan SDL lewat konsep sasi dapat dilanjutkan untuk menghimpun dana pembangunan kampung. Sebagai contoh penggunaan dana kampung yang terhimpun dapat dibelikan motor tempel. Dengan adanya keberadaan perahu motor milik kampung maka dapat dimanfaatkan untuk kegiatan mencari ikan dan untuk transportasi ke Kota Sorong.
11 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu dari tiga ekosistem penting di daerah pesisir dan sekaligus suatu sistem ekologi laut yang mempunyai sifat kompleks. Terumbu karang yang oleh orang Biak di Waigeo Utara dinamai ‘ros’, mempunyai peran penting dalam proses biologi dan fisika laut yang berkaitan erat dengan kelestarian sumberdaya hayati dan kelestarian pesisir. Dalam ekosistem terumbu karang diperkirakan lebih dari 1 juta spesies mendiami ekosistem tersebut dan telah diidentifikasikan lebih dari 93 ribu spesies yang hidup. Ini berarti bahwa dalam ekosistem terumbu karang mempunyai kekayaan plasma nutfah yang sangat besar. Dilihat dari kepentingan kehidupan manusia, terumbu karang merupakan sumber bahan makanan dan sekaligus sumber obat-obatan yang sangat dibutuhkan oleh manusia masa kini dan masa mendatang. Setiap hari penduduk Indonesia telah memanfaatkan sumberdaya laut dari ekosistem terumbu karang, antara lain : ikan, kepiting, kerang dan udang tidak sekedar untuk konsumsi rumah tangga namun telah memanfaatkan pula untuk bahan komoditi perdagangan sampai tingkat pasar internasional. Karena pemanfaatan terumbu karang tidak hanya terbatas oleh permintaan pasar dalam negeri, maka upaya pelestariannya telah melibatkan masyarakat internasional. Keberadaan terumbu karang yang sangat indah dan unik telah dimanfaatkan juga sebagai obyek pariwisata laut dan obyek penelitian oleh para ilmuwan. Puluhan juta orang Indonesia telah bergantung hidupnya dari terumbu karang, terutama masyarakat sekitar terumbu karang, termasuk masyarakat di daerah penelitian. Meskipun terumbu karang mempunyai fungsi dan nilai yang sangat bermakna, namun dalam dasawarsa terakhir terumbu karang di Indonesia telah mengalami kerusakan yang sangat hebat. Hasil penelitian LIPI menunjukkan bahwa terumbu karang yang termasuk kategori sangat baik hanya tinggal sekitar 6 persen saja, 24 persen dalam kondisi baik dan sisanya berada dalam kondisi kurang baik sampai buruk. Ini berarti bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Salah satu penyebab utama kerusakan terumbu karang karena ulah manusia yang tidak cerdas, seperti penggunaan bahan peledak dan racun untuk menangkap biota laut seperti lobster dan lola. Karena aktivitas manusia telah menyebabkan kerusakan terumbu karang, maka pengelolaannya harus menitikberatkan pada peranserta masyarakat luas agar ada kepedulian, sehingga berbuat pelestarian selain pemanfaatan secara berkelanjutan. Meskipun di Indonesia kondisi umum terumbu karang dalam kondisi kritis, namun untuk Kepulauan Raja Ampat kondisinya masih bagus, seperti diungkapkan oleh seorang ahli ikan karang Gerry Allen “Unbelievable, luar biasa. Baru kali ini saya berhasil menghitung 283 jenis ikan karang dalam satu kali penyelaman selama 80 menit.” Oleh karena itu, para ahli keanekaragaman hayati laut sepakat bahwa kondisi terumbu karang di kawasan Raja Ampat adalah kawasan laut terbaik di Indonesia (KOMPAS. 23 November 2001).
13 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Untuk menyelamatkan dan memanfaatkan sumberdaya laut secara lestari guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau “Coral Reef Rehabilitation and Management Project” (COREMAP). Menyadari bahwa masyarakat sekitar terumbu karang sangat berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya laut dan sekaligus menerima akibat dari kondisi terumbu karang, maka COREMAP memberi perhatian kepada masyarakat tersebut, atas dasar lima komponen, yaitu : (1). Pengelolaan berbasis masyarakat; (2). Penyadaran masyarakat; (3). Pengawasan dan penegakan hukum melalui kebijaksanaan terkoordinasi; (4). Pengembangan sumberdaya manusia; dan (5). Penelitian, monitoring dan evaluasi. Pengelolaan berbasis masyarakat (PBM), merupakan salah satu komponen kunci yang menentukan keberhasilan proyek. Pengelolaan berbasis masyarakat pada dasarnya adalah sistem pengelolaan sumberdaya terumbu karang secara terpadu, yaitu : perumusan dan perencanaannya dengan pendekatan yang datang dari masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Dalam sistem tersebut, perencanaan, penataan, pemanfaatan dan pengawasan ekosistem terumbu karang mendasarkan prinsip keseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatan. Untuk itu, sistem ini juga mengikuti hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu kawasan yang memperoleh perhatian dalam kegiatan COREMAP adalah wilayah laut di Waigeo Utara. COREMAP tanggap terhadap wilayah ini di samping karena mempunyai ekosistem terumbu karang yang masih baik, tetapi juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan lokal , masyarakat pengusaha, nelayan dari luar daerah dan turis mancanegara. Pada saat ini wilayah tersebut sedang dalam proses perubahan di mana Kepulauan Raja Ampat akan menjadi kabupaten baru, lepas dari Kabupaten Sorong. Manakala rencana ini terjadi, besar kemungkinan pemerintah daerah akan memanfaatkan lebih banyak berbagai sumberdaya alam, termasuk sumberdaya laut di Waigeo Utara, untuk tujuan ekonomi. Menyadari kondisi terumbu karang saat ini dan kondisi masa mendatang, keberadaan COREMAP di daerah Waigeo Utara, termasuk P. Boni, terasa sangat penting. Penelitian yang dilakukan di Kampung Boni ini tentunya merupakan bagian integral dari pengelolaan terumbu karang dan ekosistem terkait, karena pengelolaan memerlukan informasi ilmiah yang relevan. Hasil penelitian ini tentunya merupakan masukan dalam merancang program dan penentuan jenis intervensi yang relevan dengan kondisi sosio - ekonomi dan sosio - budaya masyarakat Boni dalam konteks terumbu karang. 1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian Tujuan umum penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia adalah mencari data dasar sosial-ekonomi masyarakat dalam rangka menunjang program COREMAP, khususnya dalam melaksanakan komponen pengelolaan berbasis masyarakat dan penyadaran masyarakat. Dengan adanya data dasar tersebut akan memberi masukan untuk menyusun agenda sosial dan perspektif sosial dalam program perencanaan, program implementasi dan program pemantauan. Muara program COREMAP adalah untuk kesejahteraan masyarakat sejalan dengan kelestarian terumbu karang.
14
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1. Menggambarkan kondisi sumberdaya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya di wilayah Kampung Boni, termasuk di dalamnya potensi, pola pemanfaatan, teknologi yang dipakai, permodalan, pemasaran, serta pengetahuan dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya. 2. Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisis kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut yang mengancam baik kelestarian terumbu karang maupun yang berpotensi untuk mengelola. Di samping itu, juga mengantisipasi potensi konflik kepentingan antar sesama stakeholders sebagai akibat adanya usaha konservasi dan pengelolaan terumbu karang. 3. Mendeskripsikan kondisi sumberdaya manusia Kampung Boni dan memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat antara lain dari keberadaan aset rumah tangga, kondisi perumahan, pendapatan dan pengeluaran, tabungan dan utang. 4. Memberikan masukan-masukan untuk para pengambil keputusan merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP.
dalam
5. Memberikan masukan untuk menyusun indikator-indikator yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk membandingkan kondisi sosial - ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah intervensi program COREMAP. 1.3. Metodologi Penelitian 1.3.1. Pemilihan Lokasi Penelitian lapang dilaksanakan oleh 2 orang peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada minggu ketiga dan minggu keempat bulan September 2001. Selama pengumpulan data lapang sedang berlangsung, peneliti dibantu oleh 2 orang asisten lokal dan 4 orang pewawancara. Penelitian lapang dilakukan di Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong. Kampung tersebut merupakan salah satu dari 4 kampung penelitian di Waigeo Utara. Pemilihan kampung tersebut sebagai lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan keberadaan masyarakat lokal yang telah memanfaatkan terumbu karang. 1.3.2. Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini terutama didasarkan pada penggunaan informasi hasil sensus rumah tangga, data hasil wawancara terfokus, hasil observasi, wawancara mendalam dan penggunaan data sekunder. Berdasarkan metode penelitian tersebut dapat diperoleh data baik yang sifatnya kuantitatif maupun yang sifatnya kualitatif. Dalam sensus penduduk dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner yang telah dibuat oleh para peneliti. Responden rumah tangga dalam penelitian ini adalah semua kepala keluarga di Kampung Boni atau yang mewakilinya yang jumlahnya 80 orang. Responden tersebut telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang keterangan rumah tangga yang meliputi informasi tentang demografi, ekonomi, pemilikan dan penguasaan aset.
15 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Di samping itu dipilih pula responden perorangan secara acak yaitu satu dari anggota rumah tangga dewasa yang berumur 15 tahun ke atas. Responden perorangan terpilih telah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya perorangan yaitu pengetahuan dan sikap mengenai terumbu karang. Pengumpulan data sensus sepenuhnya dilakukan oleh 3 orang guru SD setempat dan 1 orang staf kampung. Pewawancara tersebut sebelum bertugas lebih dahulu telah dilatih guna mengetahui berbagai konsep yang ada dalam kuesioner. Selanjutnya pewawancara tersebut mengumpulkan data dengan mendatangi tiap rumah tangga. Wawancara umumnya dilakukan pada sore dan malam hari, menunggu setelah warga setempat pulang dari laut atau pulang dari kebun. Hasil pengisian kuesioner tersebut kemudian diperiksa oleh peneliti. Sebelum penelitian ini dilakukan terlebih dahulu warga masyarakat setempat telah dikumpulkan di balai kampung untuk diberi penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian ini yang selanjutnya diikuti tanyajawab seputar terumbu karang. Hal ini dilakukan untuk menghindari rasa curiga masyarakat setempat atas kedatangan peneliti yang tidak diketahui sebelumnya. Dengan adanya pertemuan silaturahmi tersebut telah timbul keakraban peneliti dengan warga masyarakat setempat. Kegiatan wawancara mendalam juga dilakukan oleh peneliti guna menangkap informasi kualitatif dan informasi umum. Informasi kualitatif ini sangat penting guna menambah nuansa yang tidak tertangkap dalam kuesioner yang sifatnya terstruktur. Diskusi kelompok terfokus telah diikuti untuk kelompok nelayan dan kelompok elit kampung. Selain itu, metode ‘Participatory Rural Appraisal (PRA)’ telah digunakan guna mencari informasi berdasarkan pemikiran mereka tentang sumberdaya yang ada di daerah penelitian dan peta wilayah pengelolaan sumberdaya laut. Observasi lapang juga dilakukan baik di daratan maupun perairan sekitar Pulau Boni. Dengan mengadakan observasi dapat diketahui secara lebih nyata tentang lingkungan alam dan lingkungan sosial di daerah penelitian. Selain itu juga melakukan wawancara dengan Kepala Distrik, sekaligus observasi beberapa kampung pantai di daratan P.Waigeo. 1.3.3. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif atas dasar penggunaan data primer baik hasil sensus maupun hasil wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, data sekunder dan hasil observasi yang relevan dengan tujuan penelitian. Dalam analisis hasil sensus telah digunakan data responden rumah tangga dan data responden perorangan. Data ini karena sudah terstruktur maka tidak dapat menangkap nuansa di balik angka-angka kuantitatif. Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus telah melengkapi data hasil sensus, karena mereka dapat menyatakan pendapatnya dan menggambarkan informasi atas dasar pengetahuannya. Selain itu, data dan informasi dari lembaga pemerintah dan swadaya masyarakat telah memperkaya pemahaman dalam tahap analisis. 1.4. Organisasi Penulisan Tulisan hasil penelitian ini dibuat dengan mengikuti daftar isi yang sebelumnya telah dibuat oleh tim peneliti dengan merujuk pada tujuan penelitian yang sebelumnya ditulis pada rancangan penelitian. 16
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Laporan ini disusun menjadi 7 bab yang dimulai dari pendahuluan dan diakhiri dengan diskusi. Uraian tentang pendahuluan pada dasarnya menjelaskan tentang latar belakang penelitian, tujuan penelitian dan metodologi yang telah dipakai. Bagaimana peran COREMAP dalam konteks terumbu karang telah ditulis pada bagian latar belakang. Setelah menjelaskan justifikasi mengapa perlunya melakukan penelitian, uraian dilanjutkan dengan menjelaskan gambaran umum daerah penelitian yang diberi label profil lokasi penelitian. Uraian pada bab ini telah memberi gambaran beberapa aspek penting yang selanjutnya dapat menjelaskan tentang isu terumbu karang. Di dalam uraian tersebut telah dijelaskan pula sumberdaya daratan yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat Boni. Pada bab ketiga uraian lebih terfokus pada bagaimana masyarakat Boni mengelola sumberdaya laut. Pengelolaan tentunya didasarkan atas pengetahuan yang mereka miliki dan penguasaan teknologi. Kemampuan tersebut akan berpengaruh pada wilayah pengelolaan. Pengelolaan sumberdaya laut juga telah melibatkan stakeholders. Hal ini telah dijelaskan lebih dalam pada uraian ini. Hasil dari pengelolaan sumberdaya laut telah menghasilkan produksi. Kemudian produksi tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebagian kecil produksi juga telah dipasarkan ke Kota Sorong. Uraian tentang hal ini telah ditulis pada bab keempat. Dampak dari pengelolaan sumberdaya laut akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari variabel pendapatan, pengeluaran, pemilikan dan penguasaan aset di samping berpengaruh pada kondisi permukiman mereka. Bab ke lima telah menjelaskan tentang hal ini. Kegiatan masyarakat yang terkait erat dengan lingkungan ekosistemnya tidak dapat dihindarkan adanya degradasi kualitas sumberdaya laut. Bab keenam selain menjelaskan hal ini juga mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh. Akhir dari tulisan ini adalah diskusi, kesimpulan dan rekomendasi. Uraian diskusi telah mencoba merangkum pokok-pokok pemikiran sehingga dapat disimpulkan dan sekaligus menetapkan rekomendasi untuk suksesnya intervensi.
17 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab II Profil Lokasi Penelitian Tujuan dari uraian tentang profil lokasi adalah untuk menggambarkan kondisi objektif tentang daerah penelitian. Dengan mengetahui profil lokasi maka informasi yang melatarbelakangi tujuan penelitian ini dapat diketahui, sehingga dapat menjelaskan tentang aspek sosial terumbu karang. Profil lokasi mencakup keadaan geografis, kondisi sumberdaya alam, kependudukan, sarana-prasarana, aksesibilitas dan kelembagaan yang ada. 2.1. Keadaan Geografis Lokasi penelitian berada di Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong. Kampung tersebut terletak di P.Boni, walaupun masyarakatnya juga menguasai daerah terdekat berupa perladangan dan perkebunan kelapa di daratan P.Waigeo. Pulau Boni merupakan salah satu dari 610 pulau di Kabupaten Sorong. Secara astronomis, lokasi P.Boni berada di utara P.Waigeo, tepatnya terletak 0° - 0°3′ lintang selatan dan 131°3′ – 131°6′ bujur timur. Adapun P.Waigeo merupakan salah satu dari 4 pulau besar di Kepulauan Raja Ampat. Pulau besar lainnya adalah Batanta, Salawati dan Misol. Pulau Boni itu sendiri berada pada Teluk Kapias dan dengan daratan P.Wageo dibatasi oleh Selat Boni yang lebarnya sekitar 2 km. Di sebelah timur P.Boni terdapat pulau yang ukurannya lebih kecil yang tidak ada penduduknya. Pulau tersebut oleh penduduk setempat diberi nama Pulau Bombedar. Pulau Boni mempunyai topografi yang datar, meskipun ada bukit kecil dengan ketinggian lima meter. Di bagian selatan pulau tersebut terdapat rawa yang sedang terjadi proses pengendapan lumpur sehingga ditumbuhi tanaman mangrove (mangimangi). Batuan induk yang membentuk P.Boni merupakan material karang yang telah menjadi pasir yang berwarna putih. Karena struktur tanah pasir bersifat remah maka peka terhadap abrasi laut. Kondisi air tanah yang dipakai untuk kebutuhan rumah tangga penduduk adalah cukup baik, yaitu jernih, tawar dan tidak berbau. Air permukaan yang jernih tersebut karena telah tersaring oleh material pasir. Kedalaman sumur sekitar 1,5 -2 meter dari permukaan tanah. Sumur-sumur penduduk yang jumlahnya 41 dan berada di daerah permukiman ternyata sepanjang tahun tidak pernah mengalami kekeringan, meskipun pada musim kemarau. Air sumur tersebut telah dimanfaatkan penduduk untuk sumber air minum, mandi dan mencuci.
15 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
U
PETA DISTRIK WAIGEO UTARA KABUPATEN SORONG
B
T S
Kep. Asia
La ut an
Kep. Ayau
P. Dorekhar
Pa sif ik
ni Re P. um ut R P.
P. Meosbekwan P. Boni
Kabare P. Waigeo
P. Boni
Lokasi Penelitian P. Bombedar
Luas daratan P.Boni diperkirakan hanya sekitar 250 hektar, di mana sepersepuluhnya untuk areal permukiman dan sisanya merupakan semak belukar (roweko), hutan mangrove (mangi-mangi) dan tanah kebun (yawe). Status tanah di daerah tersebut adalah milik bersama, yang disebutnya sebagai tanah adat. Sampai saat ini belum ada pajak bumi dan bangunan atas penguasaan tanah dan aset bangunan. Di seputar P.Boni terdapat karang baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Meskipun demikian terumbu karang yang masih hidup tingkat pertumbuhannya tidak merata. Nampaknya terumbu karang di bagian utara tumbuh lebih pesat daripada di bagian lain. Di bagian utara P. Boni, kurang lebih 2 km dari pesisir, terdapat terumbu karang (ros) yang melengkung, dengan lebar kurang-lebih 20 m. Karang (rep) yang sedikit muncul pada saat air surut (meti), kurang lebih panjangnya 3 km. Dengan adanya terumbu karang tersebut maka P.Boni terhindar dari gempuran ombak yang datang dari arah utara, karena ombak telah pecah setelah membentur karang tersebut. Pada saat air surut (pagi hari), antara terumbu karang yang melengkung tersebut dengan pantai P.Boni merupakan dataran pasir yang berair dangkal dan terdapat karang-karang yang telah mati. Laut dangkal (isior) tersebut ditumbuhi lamun (andoi). Pada saat air surut pagi hari, anak-anak dan ibu-ibu sering mencari ikan gurita (kait) dan ikan kecil yang terjebak masuk di dataran tersebut. Pada saat itu tidak ada baik sampan maupun kapal motor yang dapat merapat ke pantai. Pada pukul 10 pagi hari air laut mulai pasang kembali. Pada saat musim barat, gelombang laut masih dapat mencapai pantai bagian barat pulau, karena masih ada “pintu” sejauh 2 km, yaitu laut antara pantai Semenanjung Warkori dengan ujung terumbu karang hidup (rosiwye) bagian paling barat. Gelombang besar tidak hanya terjadi pada angin barat (wam mires) pada bulan November-Februari, tetapi juga pada angin timur (wam murem ) bulan Juni-Agustus. 16
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Pada saat angin barat yang bertiup kencang disertai hujan, nelayan hanya dapat mencari ikan di bagian timur pulau. Di daerah tersebut curah hujan tahunan tergolong tinggi yaitu di atas 2500 m.m dan temperatur harian juga tinggi. Udara yang panas, terutama siang hari, antara lain disebabkan daerah tersebut berada pada jalur ekuator. 2.2. Kondisi Sumberdaya Alam Masyarakat P. Boni mempunyai 2 sumber kehidupan, yaitu berasal dari laut dan daratan. Sumberdaya laut yang potensial di daerah tersebut adalah tersedianya berbagai spesies biota laut dalam jumlah yang banyak yang hidupnya berkaitan erat dengan terumbu karang dan mangrove. Berdasarkan observasi peneliti dan hasil pendapat masyarakat setempat, kondisi terumbu karang dan hutan mangrove di daerah tersebut masih bagus dan cenderung mengalami pertumbuhan. Hal ini terlihat bahwa celah selebar 10 meter pada karang hidup (rosiwye) yang biasanya untuk jalan keluar nelayan pergi memancing, menurut pengakuan masyarakat setempat cenderung makin menyempit dan makin dangkal. Keberadaan hutan mangrove di P. Boni ada kecenderungan makin meluas, sejalan dengan proses sedimentasi pada bagian barat daya dan selatan pulau tersebut. Sedimentasi tersebut diperkirakan berasal dari material abrasi laut Kampung Warkori karena gempuran ombak angin timur. Karena itu kampung tersebut saat ini sudah tidak berpenghuni. Hutan mangrove tersebut merupakan tempat tinggal puluhan kelelawar besar /kalong (panike), ular dan menjadi tempat bertelurnya udang dan ikan. Dalam penelitian ini telah mencatat sebagian jenis biota laut yang dikenal oleh masyarakat setempat, antara lain yaitu: - ikan napoleon( in mamen) - ikan kutila ( in sroen) - ikan hila ( in duar ) - ikan bubara ( in bemun ) - ikan kakak tua ( in berumek ) - ikan semandar ( in sarek ) - ikan kerapu ( in daf ) - ikan kakap (in isnure) - ikan pari ( in bau ) - ikan hiu ( in romun/gurango) - ikan tenggiri - penyu - gurita (kait ) - lola (kaduror) - udang (amos ) - tripang (pimam) Kondisi sumberdaya alam daratan, berupa ketersediaan lahan adat yang masih luas, namun umumnya sudah banyak dikelola oleh penduduk, yaitu untuk kebun kelapa, kebun sagu dan ladang. Lahan (kintel) yang digarap masyarakat Boni di P.Waigeo dari pantai keselatan sampai pada kaki Bukit Kapias. Di Bukit Kapias tersebut juga tersimpan deposit nikel. Deposit nikel tersebut pernah dieksplorasi oleh perusahaan asing selama 15 tahun. Deposit nikel juga terdapat di P.Gag. Luas tanah kebun kelapa tiap rumah tangga berkisar 1-3 hektar. Kebun kelapa dan kebun sagu yang sebagian besar ditanam di P.Waigeo, bagi masyarakat 17 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
merupakan investasi jangka panjang yang dapat diturunkan kepada anak-cucu. Baik hasil kelapa (serair) yang umumnya dibuat kopra dan minyak goreng maupun hasil sagu, di samping untuk konsumsi keluarga, sisanya dijual atau barter dengan barang keramik dan piring kepada pedagang asal Kepulaua n Ayau. Dari satu pokok sagu (ai bariam) yang ditebang dapat menghasilkan tepung sagu untuk konsumsi satu rumahtangga selama setahun. Produksi kopra dan sagu yang dikelola masyarakat Boni selama satu tahun masing-masing diperkirakan 11 ton dan 25 ton. Masyarakat Boni umumnya juga membuka lahan untuk usaha tanaman semusim. Luas ladang tiap rumahtangga kurang-lebih 2 hektar. Jenis tanaman yang ada antara lain umbi-umbian seperti ubi jalar (batatas ), keladi (japang) dan ubi kayu (batawe/kasbi), sayuran seperti kacang panjang, kangkung dan bayam. Mereka juga menanam pohon sere, lombok (rica) dan tomat. Hasil ladang tersebut umumnya untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga. Masalah yang sering mengganggu kegiatan ladang adalah adanya hama babi hutan. Untuk menjaga serangan babi, tiap lahan (kintel) ladang dibuat pagar keliling. Di ladang tersebut mereka juga menanam pohon pinang (ropone). Masyarakat Boni, baik laki-laki maupun perempuan yang dewasa umumnya biasa mengunyah sirih dicampur pinang dan kapur. Kapur ters ebut dibuat sendiri dengan membakar cangkang biota laut yang telah mati. Menurut mereka dengan mengunyah sirih tersebut, di samping dapat memperkuat gigi juga menghilangkan rasa amis sesudah makan ikan laut. Lahan pekarangan di P.Boni juga banyak ditanam pohon kelapa di samping tanaman sukun (wamu). Pohon sukun yang banyak ditanam tersebut berbuah sekali tiap tahun. Panen sukun dilakukan pada bulan Oktober-November. Hasil sukun belum dimanfaatkan untuk produk olahan, tetapi sekedar habis untuk konsumsi keluarga. Berbagai jenis pohon anggrek lokal juga dapat ditemukan di daerah tersebut. Pohon angrek yang ada secara alamiah tumbuh menempel pada pokok pohon. Beberapa keluarga telah memelihara pohon anggrek tersebut di pekarangan. Daerah Boni baik yang di pulau maupun di daratan Waigeo, mempunyai berbagai spesies satwa, antara kain: - Berbagai jenis burung seperti Mambruk, Nuri Merah, Nuri Hijau, Nuri Bodoh, Kakaktua Raja, Kumkum, Kakaktua Putih dan Maleo - Ayam hutan - Kura-kura - Babi - Soa-soa - Panike. 2.3. Kependudukan Penduduk Boni umumnya menyatakan dirinya sebagai orang Biak, meskipun mereka lahir dan dibesarkan di Waigeo Utara. Mereka tetap mempertahankan bahasa Biak untuk berkomunikasi di antara mereka. Dalam berkomunikasi dengan etnis lain, seperti orang Amberworen, mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Orang Amberworen sendiri menyatakan sebagai orang asli di Waigeo Utara. Mereka adalah “orang gunung” yang mempunyai bahasa dan tatacara adat yang berbeda dengan kelompok etnis Biak di Waigeo Utara, meskipun permukimannya berdekatan. Orang Amberworen tersebut menganggap orang Biak di Waigeo Utara adalah pendatang,
18
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
meskipun mereka dilahirkan di daerah tersebut. Hal ini dapat menjadi bibit persoalan dimasa depan terutama dalam memperebutkan sumberdaya alam di daratan P.Waigeo. Menurut hasil studi Nomensen St. Nambraku (1996), keberadaan etnis Biak di daerah penelitian masuk kelompok Wardo dan Usba, yang merupakan gelombang ketiga. Gelombang ini masuk ke Kepulauan Raja Ampat melalui ujung timur Pulau Waigeo, kemudian sebagian besar bergerak ke arah utara. Mereka yang datang tersebut terdiri dari marga Wanma, Mayor, Dimara, Mambraku Maker, Ubinaru, dan Urbinas. Mereka melakukan expansi sampai Kepulauan Raja Ampat antara lain mempunyai pandangan hidup : “favis iafa sinan inngo besya sbabores we sub bondi in sa indo sna snonsnon ro kabasasi do.” Menurut cerita orang tertua di kampung tersebut yang asalnya dari P. Biak mengatakan bahwa rombongan migrasi terjadi pada awal abad 20, setelah menelusuri pantai utara kepala burung, dan selanjutnya menuju Waigeo Utara. Pada tahun 1967, penduduk Kampung Warkori telah dipecah untuk direlokasikan menjadi tiga kampung yaitu Boni, Asokwari dan Warwanai. Mereka pindah ke P. Boni secara bertahap. Proses migrasi tersebut dimulai dengan pindahnya 8 kepala keluarga atau 42 orang, yang terdiri atas empat marga (keret) yaitu Sangadi, Obinaro, Urubinas dan Soruan. Pada saat mereka pindah ke P. Boni, mereka menemukan pohon-pohon kelapa yang telah ditanam oleh orang-orang asal Kepulauan Ayau. Pada saat itu pulau yang tidak berpenghuni tersebut masih banyak pohon kayu besi yang tumbuh secara alami. Satu di antara warga yang pindah tersebut adalah seorang penginjil agama Kristen, yang sekaligus sebagai guru. Ia berpendapat bahwa untuk menyebarkan agama Kristen harus dimulai dengan pendidikan formal. Begitu mereka masuk ke P. Boni (tahun 1967) terus membuat Sekolah Dasar, dan keberadaannya masih berjalan hingga saat ini. Setelah adanya 8 keluarga yang menjadi pionir kepindahan, selanjutnya telah diikuti proses kepindahan keluarga-keluarga lain secara bertahap ke P. Boni. Proses kepindahan ini tampak dari angka pertumbuhan penduduk di P. Boni yang sangat tinggi. Pada saat dilakukan sensus penduduk dari penelitian ini menunjukkan jumlah kepala keluarga sebanyak 80 atau 380 orang. Berdasarkan data tersebut dapat dihitung besarnya tingkat pertambahan penduduk tiap tahun pada kurun waktu 1967-2001 sebesar 6,67 %. Pertambahan penduduk yang sangat tinggi tersebut terutama terjadi karena pertambahan alami dan migrasi netto positif. Pandangan penduduk masyarakat Boni masih pro-natalis, artinya mereka belum ada upaya untuk membatasi jumlah anak. Menurut mereka mempunyai banyak anak tidak menjadi masalah, karena masih tersedia lahan yang luas di daratan P.Waigeo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa angka fertilitas penduduk di daerah tersebut masih sangat tinggi. Hal ini terlihat dari angka rasio ibu-anak (CWR) yang tinggi yaitu sebesar 75,9. Pengukuran tidak langsung ini adalah membandingkan penduduk umur 0-4 tahun terhadap perempuan umur 15-49 tahun, kali 100. Sebagai perbandingan angka rasio ibu-anak (CWR) di Indonesia tahun 1995 sebesar 39,5 dengan angka pertambahan penduduk 1,67 % tiap tahun pada kurun waktu 1980-1995. Tingginya angka kelahiran pada masyarakat Boni juga tergambar dari struktur penduduk menurut kelompok umur yang memperlihatkan piramida yang lebar pada bagian umur muda, dan makin mengecil pada bagian umur tua.
19 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Tabel 2.1 Struktur Umur Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kampung Boni, 2001 Jenis Kelamin Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
0– 4 5– 9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 + Jumlah N
13,3 15,4 8,0 9,6 13,8 5,3 7,4 6,9 3,7 5,9 3,2 2,7 2,1 2,7 100,0 188
19,8 13,0 13,5 10,4 10,4 7,8 4,2 1,6 5,7 3,1 4,7 1,0 2,1 2,6 100,0 192
Sumber: Sensus Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang. PPK-LIPI. Pertambahan penduduk di P. Boni dipastikan sangat ditentukan oleh faktor alami yaitu selisih kelahiran dengan kematian. Di antara penduduk yang meninggalkan kampung tersebut terutama mereka yang melanjutkan sekolah, kawin dan pindah ke kampung lain serta mereka yang bekerja terutama di Kota Sorong. Data hasil sensus yang dilaksanakan pada saat penelitian menunjukkan ras io jenis kelamin sebesar 97,9. Ini berarti bahwa tiap 100 perempuan di Kampung Boni terdapat 97,9 orang laki-laki. Mobilitas penduduk Boni umumnya hanya terbatas dalam kegiatan harian di sekitar pulau baik untuk mengerjakan ladang atau kebun kelapa maupun pergi mencari ikan di laut. Mereka jarang yang bepergian ke luar kampung, kecuali harus menghadiri undangan di kampung lain dan sebagian kecil yang belanja atau menjual hasil laut dan kebun ke Kota Sorong. Rendahnya mobilitas mereka karena rendahnya akses transportasi dan karena kendala alam yang menempatkan Boni sebagai tempat yang terisolir. Penduduk Boni seperti daerah perdesaan lain di Papua memiliki tingkat pendidikan formal rendah. Dari hasil sensus yang dilaksanakan dalam penelitian ini menunjukkan mereka yang mempunyai pendidikan tertinggi yang ditamatkan sebagian besar ( 87,7 %) adalah Sekolah Dasar ke bawah. Mereka yang berpendidikan Sekolah Lanjutan Pertama atau lebih hanya 12,3 %. Mereka yang pernah menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas hanya ada 12 orang. Satu di antara mereka pernah kuliah di Manado dan dapat berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Untuk menekan besarnya warga yang buta huruf, pada tahun 1997 pernah diadakan kegiatan pemberantasan buta huruf. Kegiatan tersebut tidak berhasil karena rendahnya motivasi mereka untuk balajar. Rendahnya tingkat pendidikan formal menggambarkan pula rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Hal ini tergambar dari penggunaan alat tangkap ikan yang hanya menggunakan pancing, jaring dan tombak. Meskipun 20
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
demikian mereka juga telah memiliki ketrampilan, antara lain membuat ikan asin (garam), ketrampilan mengolah sagu, ketrampilan membuat kopra dan minyak kelapa, ketrampilan membuat batako dan ketrampilan membuat rumah. Dalam sensus ditanyakan tentang kegiatan utama seluruh anggota keluarga yang berumur 6 tahun atau lebih. Berdasarkan jawaban atas pertanyaan tersebut menunjukkan 60,8 % atau 183 orang yang bekerja. Di Kampung Boni ternyata tidak ada satu orang pun yang cari kerja. Hal ini dapat dimaklumi karena daerah tersebut adalah daerah perdesaan yang terisolir sehingga tidak ada alternatif lain untuk pekerjaan di luar pertanian. Untuk mendukung kehidupan keluarga setiap anggota keluarga yang telah mampu bekerja harus terlibat dalam pekerjaan, kecuali mereka yang masih sekolah (29,6 %) atau harus mengurus rumah tangga (7,6 %) Dari 183 orang yang bekerja tersebut separonya (50,8 %) menyatakan bekerja dalam sebulan terakhir sebagai petani. Mereka yang bekerja sebagai petani tersebut adalah mengerjakan tanah kebun baik yang ditanami tanaman semusim maupun tanaman keras seperti kelapa dan sagu. Dilihat dari konservasi terumbu karang hal ini sangat positif, yaitu mereka mempunyai alternatif pekerjaan di luar nelayan. Di samping itu, ada pula yang memiliki pekerjaan di luar pertanian, yaitu sebagai staf pengajar (guru) SD 3 orang, seorang penjaga sekolah dan seorang mantri kesehatan. Di Kampung Boni yang memiliki pekerjaan utama sebagai tukang kayu hanya seorang dan pedagang (warung) 2 orang. Meskipun demikian, baik mereka yang punya pekerjaan utama sebagai petani, sebagai pegawai sekolah, sebagai pedagang maupun sebagai tukang kayu, semuanya mempunyai kegiatan melaut sebagai pekerjaan sampingan. 2.4. Sarana-prasarana dan Aksesibilitasnya Kondisi laut yang kurang bersahabat karena ombak yang besar tersebut telah mengurangi akses untuk mencapai Kota Sorong, bahkan kota Distrik di Kabare yang hanya berjarak 6 Km. Dalam kondisi laut yang tenang misalnya bulan Mei atau September, nelayan yang punya kapal motor 15 PK, dapat pergi ke Sorong yang jaraknya 90 Km dengan waktu tempuh 6 -7 jam. Di Kampung Boni hanya ada dua nelayan yang memiliki perahu mesin motor Yamaha berukuran 15 PK. Kapal kayu motor tersebut dapat mengangkut 9 orang dan barang dagangan sekedarnya. Bila pemilik kapal motor tersebut pergi ke Sorong, umumnya tetangganya ikut dengan membayar 30 ribu rupiah tiap orang, untuk sekali jalan. Cara lain untuk dapat pergi ke Kota Sorong adalah naik Kapal Perintis KM. Pesat II yang berlabuh di dermaga Kabare. Untuk dapat mencapai kota Distrik di Kabare tersebut, nelayan asal Boni terpaksa harus jalan kaki lewat jalan setapak melewati bukit di Warkori atau mendayung sampan selama 3 jam dengan membawa barang dagangannya. Ongkos naik kapal perintis dari Kabare ke Sorong 9 ribu rupiah, dengan waktu tempuh 1 hari 2 malam. Kapal tersebut harus menyinggahi pelabuhan Sannek di Waigeo Selatan. Penumpang kapal perintis tersebut sangat padat dan penuh dengan barang dagangan. Kapal perintis tersebut hanya singgah di Kabare tiap dua minggu sekali. Jalur pelayaran kapal perintis tersebut adalah Sorong, Sannek, Kabare, Gebe, Seben, Popo,Weda, Mafa, Besui Baban, Saheta, Gita Tidore, Ternate dan Bitung pulang-pergi. Dengan adanya kapal tersebut penduduk Waigeo punya akses untuk pergi ke Maluku Utara, bahkan ke Sulawesi Utara. Jalur pelayaran perintis tersebut sudah ada sejak tahun 1982. Alternatif lain untuk dapat pergi ke Sorong adalah naik kapal penumpang cepat Batanta Express dengan ongkos 90 ribu rupiah per orang dari
21 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Kabare. Kapal jenis speed boat ini khusus untuk penumpang orang. Bagi nelayan fasilitas kapal ini dianggap tidak layak, selain mahal juga tidak dapat mengangkut barang dagangan. Kadangkala ada kapal motor nelayan asal Kepulauan Ayau mampir ke Kampung Boni untuk tujuan dagang. Bila kapal motor tersebut masih longgar mereka dengan senang hati mau membawa penumpang baik untuk tujuan ke Sorong atau ke Ayau. Dilihat dari jumlah kendaraan air di Kampung Boni adalah sangat terbatas baik jumlah maupun kemampuannya. Pada saat penelitian ini dilakukan jumlah perahu menurut jenisnya adalah: Perahu bermotor tempel (bodi motor)
2 buah
Perahu dayung (kule-kule)
60 buah
Perahu cadik
19 buah
Dengan kemampuan penduduk Kampung Boni yang sangat terbatas tersebut, maka telah membatasi mobilitas mereka baik untuk pergi ke luar kampung maupun kemampuan dalam menangkap ikan. Mereka hanya mampu menangkap ikan tidak jauh dari Pulau Boni. Bagi pemilik perahu bermotor dapat mencari ikan sedikit jauh yaitu di luar terumbu karang, terutama untuk menangkap ikan tenggiri. Upaya untuk meningkatkan mobilitas mereka telah diperhatikan oleh pemerintah daerah, yaitu dengan pembuatan jalan kampung selebar 3 meter dengan panjang 2,5 kilometer. Jalan kampung yang dibiayai 26 juta rupiah tersebut mengarah ke dermaga kayu yang sedang dibuat, walaupun belum selesai. Proyek pembuatan dermaga kayu yang terletak di selatan Pulau Boni (dekat hutan mangrove), sepanjang 40 meter tersebut akan dilanjutkan penyelesaiannya. Proyek pembuatan jalan kampung telah dilaksanakan secara gotong royong yang dikerjakan warga kampung untuk 2 kelompok. Uang pekerjaan tersebut telah dinikmati warga dengan memberikan beras 20 kg, gula 5 kg. dan terigu 5 kg.untuk setiap kepala keluarga. Jalan kampung yang dibiayai proyek PDMDKE tahun 2000 tersebut melanjutkan jalan kampung yang sudah ada yang lebarnya 8 meter, dengan panjang 600 meter. Prasarana dan sarana di bidang kesehatan, yaitu : pembuatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Puskesmas Pembantu (Postu), dan pembuatan tempat Mandi, Cuci, Kakus (MCK). Bangunan Posyandu telah dibuat tahun 2000, dengan menempatkan seorang bidan desa. Bidan desa hanya bertugas beberapa bulan, lalu pergi meninggalkan kampung. Meskipun di kampung tersebut tidak ada lagi bidan namun setiap tanggal satu selalu diadakan penimbangan balita yang dilaksanakan oleh seorang kader Posyandu, dibantu 2 dukun bayi yang pernah dilatih, dan dibantu oleh mantri kesehatan. Postu tersebut didirikan pada bulan Februari tahun 2001 dengan menempati bangunan nonpermanen, sekaligus rumah tinggal keluarga petugas mantri kesehatan. Keberadaan Postu tersebut telah sangat menolong pengobatan warga setempat yang umumnya menderita malaria, ISPA, luka, dan sakit kulit. Warga yang berobat di Postu meskipun tidak diwajibkan membayar, namun umumnya pasien memberi uang 2 ribu rupiah untuk suntik dan 1 ribu rupiah untuk obat-obat tablet. Proyek MCK yang dibangun ada 2, tetapi telah rusak satu. Satu-satunya MCK yang ada masih dimanfaatkan warga sekitarnya. Untuk kebutuhan kakus warga Kampung Boni tidak menganggap sesuatu yang mendesak karena mereka telah biasa memanfaatkan pantai sebagai tempat membuang segala kotoran. Di Kampung Boni ada kebiasaan kalau 22
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
buang air besar di sebelah barat pulau untuk orang laki dan sebelah timur untuk orang perempuan. Kotoran yang dibuang tersebut jumlahnya tidak banyak sehingga hanyut dibawa air laut pada saat pasang-surut. Penduduk Kampung Boni seluruhnya beragama Kristen Protestan, yang telah memiliki gereja cukup baik. Gereja tersebut didirikan pada tahun 1983. Mereka pada saat ini sedang merencanakan pembuatan gereja baru sebagai pengganti gereja yang sudah ada. Dana yang terkumpul baru mencapai sedikit di atas 80 juta rupiah dan direncanakan dapat terkumpul di atas 500 juta rupiah. Dana tersebut sepenuhnya berasal dari warga setempat. 2.5. Kelembagan Sosial, Ekonomi dan Budaya Kelembagaan yang dimaksud dalam tulisaan ini adalah kumpulan orang-orang yang terikat aturan yang telah ditentukan atau aturan yang disepakati bersama untuk mencapai tujuan bersama pula. Kelembagaan yang ada di Kampung Boni dapat dibedakan menjadi : 1. Lembaga formal yang dibentuk oleh pemerintah. 2. Lembaga formal yang dibentuk oleh masyarakat. 3. Lembaga non-formal yang dibentuk masyarakat lokal Pada saat penelitian ini dilakukan di Kampung Boni terdapat lembaga yang ada dalam struktur pemerintah daerah yang masih berfungsi, yaitu Pemerintahan Kampung dan Puskesmas Pembantu (Postu). Seperti di kampung-kampung yang lain pemerintah kampung dipimpin oleh kepala kampung dengan dibantu sekretaris dan dua orang untuk urusan pembangunan dan pemerintahan. Lembaga ini kendati mempunyai kantor kampung yang menyatu dengan balai kampung, namun perangkat kampung tidak secara rutin memanfaatkannya. Hal ini terjadi karena urusan kampung relatif sedikit, di samping kegiatan pelayanan warga dapat dilaksanakan di rumahnya setiap saat. Perlengkapan alat tulis kantor yang seharusnya dapat menunjang urusan sehari-hari masih sangat terbatas, seperti mesin ketik, kertas, penggaris dan stepler. Demikian pula masih ada keterbatasan pemilikan peralatan meja, lemari dan kursi. Untuk meningkatkan kemampuan staf, mereka pernah mengikuti kursus administrasi kampung yang dilaksanakan pada bulan Februari 2000, di Kantor Distrik. Oleh karena kondisi lembaga ini serba terbatas maka tidak mengherankan bila ketersediaan data kampung juga sangat terbatas. Puskesmas Pembantu yang ada hanya ditangani oleh seorang mantri kesehatan. Untuk melayani masyarakat pelayanan diberikan setiap saat, walaupun secara formal ada jam buka untuk 5 hari kerja. Bangunan Postu tersebut masih sederhana, yaitu berlantai pasir, beratap daun kelapa dan berdinding pelepah sagu. Ketersediaan obat-obatan kendati masih terbatas baik jumlah maupun jenisnya, namun telah dapat mengatasi penyakit ringan. Lembaga formal lain yang dibentuk dari atas yaitu Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang sekarang dinamai Badan Perwakilan Desa (BPD). Lembaga tersebut mempunyai pengurus lengkap, namun dalam kenyataan lembaga tersebut tidak berfungsi. Di Kampung Boni, di samping ada lembaga bentukan pemerintah, masyarakat juga membuat lembaga formal yaitu Yayasan Gereja Kristen Indonesia. Lembaga ini,
23 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
disamping mempunyai kegiatan keagamaan, juga mempunyai kegiatan pendidikan, yaitu Sekolah Dasar-YPK Eden Warkori. Keberadaan lembaga ini sangat strategis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yaitu menjadi penggerak pembangunan. Setiap hari minggu ada kegiatan kebaktian di gereja, dan pada hari yang lain ada kebaktian di rumah penduduk dalam rangka pembinaan mental masyarakat Boni yang seluruhnya beragama Kristen Protestan. Termasuk dalam kegiatan pembinaan mental adalah memberi nasehat manakala terjadi masalah rumahtangga dalam masyarakat. Lembaga tersebut juga melakukan sasi dalam pengelolaan udang, lola, dan pohon kelapa sebagian milik penduduk. Masyarakat juga membentuk lembaga kepemudaan yang diberi nama Persekutuan Angkatan Muda Gereja Kristen Injil Indonesia Cabang Boni (PAM-GKI). Kegiatan kepemudaan tersebut masih seputar kerohanian. Mereka telah memprakarsai untuk mendirikan gereja baru guna menggantikan gereja yang ada, walaupun kondisi fisiknya masih terawat dengan baik. Kalau gereja yang ada dibangun oleh angkatan tua, maka rencana gereja baru yang lebih megah merupakan upaya kelompok muda. Lembaga ini juga bergerak aktif mempersiapkan upacara keagamaan, seperti : Pesta dan Kebaktian Natal dan Paskah yang selalu dilaksanakan setiap tahun. Lembaga ekonomi yang ada masih terbatas keberadaannya, yaitu berupa tiga warung kecil milik perorangan. Warung tersebut berfungsi melayani kebutuhan seharihari masyarakat ala kadarnya. Warung tersebut dijalankan oleh anggota keluarga tanpa upah. Sayang ketersediaan barang dagangan dalam warung yang biasa dibeli dari Kota Sorong tersebut tidak selalu terjaga. Hal ini karena lemahnya permodalan mereka, di samping ada kendala sarana transportasi laut yang tidak menentu. Di samping lembaga tersebut di atas, di daerah tersebut ada lembaga adat. Lembaga ini pada dasarnya dibentuk untuk melaksanakan fungsi adat misalnya dalam upacara perkawinan dan upacara kematian. Mereka juga melakukan pesta adat yang didasarkan atas keretnya, yang dilakukan setahun sekali. Karena mereka terbiasa dengan kebersamaaan dalam kegiatan agama dan kegiatan adat, maka sifat gotongroyong masyarakat masih tinggi. Sebagai contoh, ketika Kampung Asokwari sedang mempersiapkan upacara peresmian gereja baru pada akhir bulan Oktober 2001 yang lalu, sebagian besar warga Boni berbondong-bondong membantu. Bahkan mereka berperan sebagai bagian dari tuan rumah. Mereka membantu tidak saja berupa tenaga kerja, tetapi juga membantu material (termasuk bahan makanan) untuk keperluan pesta. Mereka mengorbankan kegiatan ekonominya sehari – hari, yaitu berkebun dan melaut.
24
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Bab III Pengelolaan Sumberdaya Laut Masyarakat setempat yang secara intensif telah berinteraksi dengan ekosistem terumbu karang telah menjadi kelompok target dalam penelitian ini. Mereka telah merencanakan dan memanfaatkan, di samping telah mengendalikan dan mengawasi keberadaan terumbu karang. Uraian berikut ini akan menjelaskan bagaimana mereka telah melakukan kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya laut. 1.1. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat (1). Istilah karang Sebelum penelitian ini dilakukan istilah terumbu karang belum banyak dikenal oleh masyarakat Kampung Boni. Meskipun demikian, mereka memiliki istilah setempat yang biasa mereka gunakan yaitu dengan sebutan “ros” dan ada sebagian responden yang menyebut “rosen.” Menurut mereka ros adalah karang beserta biota laut yang ada didalamnya. Mereka menyebut nama karangnya sendiri dengan kata “rep”, mungkin berasal dari kata reef. (2). Pengetahuan jenis karang Pengetahuan tentang jenis-jenis karang yang ada di sekitar mereka bagi masyarakat nelayan Kampung Boni masih kurang. Mereka hanya dapat membedakan antara karang hidup dan karang mati. Karang hidup bagi mereka adalah karang yang masih tumbuh terus, sedangkan karang mati adalah karang yang sudah mengeras tidak tumbuh lagi. Mengenai jenis-jenis karang yang masih hidup, umumnya para nelayan yang diwawancarai tidak dapat memberikan istilah spesifik atau lokal. Mereka hanya menyebutkan warna karang berwarna-warni, ada yang merah, biru, hijau dan kuning. Sedangkan bentuk karang hidup yang ada di sekitar Pulau Boni para informan menyebutkan bentuknya. Bentuk-bentuk tersebut adalah bentuk bulat-bulat berlubang, dalam bentuk akar, dalam bentuk cabang-cabang pohon dan bentuk bunga. (3). Pengetahuan manfaat terumbu karang Tempat hidup, tempat bertelur dan tempat mencari makan ikan Pengetahuan tentang manfaat terumbu karang pada umumnya para nelayan mengetahui sebagai tempat hidup, tempat bertelur dan tempat mencari makan ikan. Sejak kapan mereka mengetahui tentang manfaat terumbu karang tersebut. Sejak mereka sering mencari ikan di daerah terumbu karang, yaitu sejak 20 tahun terakhir. Namun selama ini mereka hanya mencari ikan di daerah terumbu karang di sekitar kampungnya sendiri. Pengetahuan tersebut mereka diketahui secara alamiah. Selama ini belum ada pengetahuan dari luar yang diperoleh dari media masa dan media lain. Hanya sekali mendapatkan kunjungan dari Dinas Perikanan Kabupaten Sorong yang memberikan penyuluhan tentang terumbu karang.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
25
Oleh karena hasil tangkapan ikan laut di daerah tersebut sebagian besar hanya untuk konsumsi rumah tangga dan masih sedikit rumah tangga yang telah menjual dalam bentuk olahan, seperti ikan asin, maka hanya sebagian kecil nelayan yang mengetahui bahwa kegunaan terumbu karang juga sebagai sumber ekonomi rumah tangga dan merupakan komoditi untuk perdagangan (8,8 %). Mereka menganggap bahwa hasil tangkapan ikan di terumbu karang belum dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Seperti pengakuan WS yang mengatakan : ‘…………… hasil tangkapan ikan bagi keluarga kami hanya untuk lauk sendiri saja, apabila sedang membutuhkan lauk. Selama ini saya tidak pernah menjual ikan, apabila ada hasil tangkapan berlebih hanya diberikan ke tetangga sekitar saja. Kami mencari ikan di laut tidak setiap hari, hanya apabila ingin lauk ikan. Bila keluarga kami butuh uang ya … jual hasil kebun, antara lain kopra, sagu atau ubi kepada pedagang dari Ayau yang masuk ke kampung’. Bahan bangunan Para nelayan juga telah memanfaatkan karang untuk bahan bangunan sebagai pondasi rumahnya (8,8 %) dan untuk pembuatan kapur sirih yang biasa dikonsumsi. Oleh karena itu, sebagian besar (68,8%) responden mengetahui kegunaan untuk bahan baku. Namun menurut pengakuan dari para informan bahwa batu karang yang mereka gunakan untuk pondasi rumah adalah karang yang sudah mati. Mereka tidak sadar bahwa makin meningkatnya jumlah penduduk, makin meningkat kebutuhan rumah tinggal dan makin meningkat kebutuhan bahan pondasi dan akan makin merusak terumbu karang. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara mendalam bahwa selama 10 tahun terakhir ini makin banyak rumah tinggal yang menggunakan pondasi batu karang. Pengakuan salah seorang informan SR yang mengatakan : ‘………. saya ikut-ikutan membuat pondasi rumah dari batu karang, tetangga yang lain juga demikian. Meskipun di atas pondasi tersebut sudah 3 tahun lebih belum dibangun rumah menunggu biaya. Saya menggunakan batu karang sebab di kampung ini atau di sekitar kampung tidak ada batu kali yang dapat digunakan untuk membuat pondasi rumah. Toh ini diambil dari batu karang yang sudah mati’. Pelestarian keanekaragaman hayati Mereka nampaknya belum mengetahui tentang kegunaan terumbu karang untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Dari 80 responden hanya 10 % yang telah mengetahui. Mereka juga mengalami kesulitan memahami pertanyaan yang diajukan pewawancara tentang hal ini. Perlindungan pantai Sebagian pantai sebelah utara Pulau Boni telah mengalami kerusakan, ada sekitar 300 m panjangnya yang telah rusak diakibatkan oleh abrasi air laut. Pantai tersebut telah terkikis dan mengakibatkan beberapa pohon kelapa di sepanjang pantai tersebut tumbang. Dengan adanya peristiwa abrasi pantai tersebut secara nyata penduduk melihat sendiri bahwa kerusakan pantai tersebut karena gempuran ombak laut. Oleh 26 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
karena itu, mereka yang memiliki pengetahuan bahwa kegunaan terumbu karang juga dapat melindungi pantai cukup banyak (42,5 %). Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh seorang tokoh pemuda di Kampung Boni bahwa memang terumbu karang harus terus dilestarikan agar tidak terus terjadi abrasi pantai. Mereka mengatakan : ‘Abrasi di pantai sebagai akibat gempuran ombak dari angin barat yang cukup kuat. Ombak tersebut masuk ke pantai Boni melalui celah atau jalur jalan kapal/ sampan nelayan Kampung Boni untuk merapat ke pantai, yaitu dari arah barat laut. Karenanya yang terkena gempuran ombak juga pantai utara sebelah barat. Abrasi pantai ini nampak nyata ya …… kurang lebih 15 tahun terakhir’. Tempat wisata laut Daerah Boni tersebut dalam beberapa tahun terakhir (tahun 1999 dan 2000) juga pernah didatangi 10 orang turis dari luar negeri, yaitu dari Australia dan Amerika. Mereka mengadakan penyelaman dan bermain selancar. Kunjungan para turis tersebut yang kemungkinan membuka wawasan pengetahuan penduduk Boni bahwa terumbu karang dapat menjadi obyek pariwisata. Hal tersebut terefleksi dari sekitar 40% responden yang mengungkapkan bahwa terumbu karang yang baik akan dapat menjadi obyek pariwisata. Menurut salah seorang tokoh pemuda yang kebetulan pernah menjadi pemandu para turis tersebut, bahwa dengan datangnya para turis menguntungkan penduduk Boni. Pertama, para turis tersebut membutuhkan local guide untuk memandu lokasi-lokasi mana yang dapat diselami dan terumbu karangnya masih bagus dan lokasi mana yang ombaknya cukup bagus untuk bermain selancar. Kedua, para turis tersebut juga membutuhkan makanan dan minuman. Penduduk dapat menyediakan dan menjual hasil kebunnya, yaitu buah-buahan (pisang dan nanas), tebu dan air kelapa muda. Pemuda yang memandu turis tersebut merasa sangat senang dengan kehadiran para turis tersebut, sebab kecuali mendapat uang, yaitu per hari mereka dibayar Rp 30 000,juga mendapat kenang-kenangan alat selancar. Meskipun alat selancar tersebut telah rusak, namun dengan bangga informan tersebut menyimpannya sebagai bukti bahwa pernah ada turis pernah masuk wilayah Boni dan dia yang memandunya. Dia mengatakan demikian : ‘ ……………… meskipun alat selancar ini sudah rusak, tapi saya senang menyimpannya. Ini sebagai bukti pernah ada turis yang datang dan menikmati keadaan alam laut di wilayah ini. Sampai saat ini saya satu-satunya pemuda sini yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Apabila disini bisa dikembangkan menjadi daerah pariwisata laut, peluang bagi saya untuk menjadi pemandu. Juga banyak uang bisa masuk dan beredar di kampung ini, sebab para turis tersebut pasti membutuhkan dan membeli buah-buahan, kelapa muda dan bahan makanan lain yang ada di kampung ini. Dan akan menghidupkan ekonomi di kampung ini, makanya saya sangat mengharapkan pelestarian terumbu karang untuk pariwisata’. Menurut pengetahuan para informan (tokoh pemuda, nelayan dan pamong kampung) terumbu karang di daerahnya kondisinya masih baik, bahkan lebih baik dibandingkan lima tahun yang lalu. Pengakuan para informan tersebut ternyata sesuai
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
27
dengan pengakuan para turis yang pernah mengadakan penyelaman, bahwa kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Boni masih termasuk cukup baik. (4). Pengetahuan tentang larangan dan sanksi Dalam beberapa tahun lalu penduduk Boni pernah mendapatkan kunjungan para pejabat TRIPIDA (Tiga Pimpinan Daerah) Distrik Waigeo Utara, yaitu Camat, Koramil dan Kapolsek. Dalam kunjungan tersebut juga diikuti aparat Dinas Perikanan Kabupaten Sorong. Dalam kunjungan tersebut selain memberikan pembinaan yang sifatnya umum, juga yang berkaitan dengan pelestarian sumberdaya laut. Menurut pengakuan informan, aparat dari Dinas Perikanan menyampaikan tentang adanya larangan dan sanksi bagi penduduk yang mengambil karang untuk bahan bangunan, penggunaan bom, penggunaan pukat harimau dan penggunaan racun untuk menangkap ikan. Karena dapat merusak terumbu karang yang masih hidup dan mempercepat habisnya sumberdaya laut. Hasil dari kunjungan tersebut nampaknya berdampak positif terhadap pengetahuan penduduk adanya larangan dan sanksi yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut. Sebagian besar responden yang diwawancarai mengaku punya pengetahuan tentang larangan dan sanksi serta alat tangkap yang merusak terumbu karang, seperti penggunaan bom dan racun. Dalam praktek, menurut informasi dari berbagai sumber (aparat kampung, tokoh masyarakat dan para nelayan sendiri) para nelayan Kampung Boni tidak pernah menggunakan bom dan racun kimia unorganik. Namun di antara para nelayan tersebut ada yang pernah menggunakan racun dari akar bore. Mereka juga tidak punya dan belum pernah menggunakan alat tangkap pukat harimau (trawl), namun sebagian besar di antara mereka mengetahui ada nelayan dari lain kampung yang pernah menggunakan alat tersebut (97,5 %). Suatu hal yang menggembirakan berdasarkan jawaban dari wawancara responden, mereka umumnya setuju mengenai larangan tersebut di atas. Hasil dari diskusi kelompok terfokus dengan para nelayan, juga terungkap bahwa umumnya mereka menyetujui adanya larangan dan sanksi penggunaan alat tangkap dan bahan yang merusak terumbu karang dan mempercepat habisnya sumberdaya laut. (5). Pengetahuan alat tangkap jaring Nelayan di Kampung Boni selama ini telah memanfaatkan jaring dari plastik untuk menangkap ikan, meskipun baru sebagian yang menggunakan. Para nelayan sadar bahwa pada saat menangkap ikan seringkali jaringnya menyangkut di karang hidup dan mata jaringnya ada yang putus, sehingga dapat merusak sebagian kecil terumbu karang yang masih hidup. Hal ini terungkap dari pengakuan sebagian reponden (60%) bahwa mereka memiliki pengetahuan bahwa jaring juga dapat merusak terumbu karang. (6). Pengetahuan alat tangkap bagan dan bubu Pengetahuan penduduk tentang penggunaan bagan dan bubu masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan dua jenis alat tersebut belum pernah diperkenalkan dan digunakan oleh para nelayan Kampung Boni. Belum diperkenalkannya dan digunakannya dua jenis alat tersebut, disebabkan belum adanya informasi yang masuk tentang pengetahuan alat tangkap tersebut. Di samping itu, kemungkinan terkait dengan tujuan penangkapan sumberdaya laut yang masih terbatas hanya untuk lauk sendiri.
28 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Sehingga para nelayan tidak perlu berambisi mendapatkan hasil tangkapan sebanyakbanyaknya. Apabila hasil tangkapan berlebih tidak ada yang mau membeli, sedangkan mereka yang menguasai teknologi pengasinan masih terbatas. (7). Pengetahuan pengelolaan SDL Pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya laut telah dikenal oleh para nelayan Kampung Boni. Namun pengelolaan sumberdaya laut dalam arti merencanakan, memanfaatkan, melindungi dan melakukan kontrol terhadap sumberdaya laut selama ini masih terbatas pada lola (amos) dan udang (kaduror). Pengelolaan sumberdaya tersebut tertuang dalam konsep yang disebut sasi. Sasi di kampung ini merupakan hasil kesepakatan dari seluruh warga nelayan/ penduduk dengan fihak gereja untuk melindungi suatu sumberdaya untuk kepentingan tertentu. Sumberdaya yang disasi di kampung ini hanya lola dan udang untuk hasil laut dan kelapa untuk hasil darat. Isi dari sasi adalah agar hasil lola dan udang tidak cepat habis, panen hanya boleh dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu pada bulan-bulan teduh bulan April dan bulan September. Pada waktu panen lola dan udang juga disortir hanya boleh diambil yang sudah di atas ukuran tertentu dan jenisnya tertentu pula. Selama diperkenalkan adanya sasi, yaitu selama 6 tahun terakhir ini hasil penjualan lola dan udang belum dinikmati oleh para nelayan Kampung Boni. Selama ini hasil penjualan lola dan udang sepenuhnya masih disumbangkan untuk gereja. Dari hasil kesepakatan warga kampung hasil penjualan lola dan udang yang disasi untuk biaya membangun gereja yang baru. Sehubungan gereja yang ada sudah mengalami berbagai kerusakan dan modelnya sudah tidak memadai. Pembangunan gereja baru ini merupakan ide para generasi muda, sebab gereja yang ada merupakan hasil usaha generasi tua. Generasi muda Kampung Boni menginginkan untuk mewariskan bangunan gereja yang lebih modern kepada generasi berikutnya. Diperkirakan biaya pembangunan gereja baru akan memakan ratus an juta rupiah, selama ini baru terkumpul biaya Rp 80 juta. Sehingga masih beberapa tahun lagi hasil penjualan lola dan udang disumbangkan kepada gereja. Namun dalam pemanenan dan penjualan dilakukan bersama-sama. Dalam pelaksanaan sasi ini semua warga berkewajiban ikut mengawasi kemungkinan pelanggaran sasi baik oleh warga setempat maupun oleh warga dari luar kampung. 3.2. Wilayah Pengelolaan Masyarakat di Kampung Boni belum punya peta yang menggambarkan wilayah pengelolaan sumberdaya laut. Menurut mereka batas wilayah tangkapan adalah sejauh perahu di laut sudah tidak kelihatan dari pantai. Karena alat tangkap termasuk perahunya masih sederhana, maka wilayah tangkapan tidak terlalu jauh dari P. Boni hanya sekitar terumbu karang. Hasil tangkapan mereka selama ini juga belum maksimal. Nelayan daerah penelitian umumnya mengetahui betul wilayah daerah tangkapannya dan juga jenis-jenis sumberdaya laut yang dapat ditangkap di masingmasing wilayah (lihat sketsa/peta hasil PRA). Wilayah pengelolaan dari dulu sampai sekarang belum menunjukkan perkembangan yang menonjol. Hanya pada awal kedatangan mereka dari Kampung Warkori (wilayah pulau besar) ke Pulau Boni pada awal tahun 70-an, mereka masih mencari ikan di sekitar pantai. Kemudian berkembang melebar sampai sekitar terumbu karang. Kurangnya berkembang wilayah pengelolaan tersebut disebabkan oleh tujuan penangkapan ikan bagi sebagian besar penduduk
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
29
Kampung Boni yang masih untuk konsumsi sendiri, sehingga perahu maupun alat tangkapnya pun masih sangat sederhana. Jangkauan wilayah pengelolaan masih dari pantai sampai sekitar terumbu karang yang tidak memerlukan perahu mesin. Wilayah terumbu karang di daerah ini sebagian besar membentang di sebelah utara dan timur Pulau Boni. Oleh karena itu, potensi sumberdaya laut yang terbanyak terletak di sebelah utara dan timur Pulau Boni. Lokasi wilayah tangkapan yang sebagian besar di sebelah utara dan timur tersebut yang menyebabkan kegiatan melaut sangat dipengaruhi oleh musim angin barat (wam mires) dan angin timur/utara (wam murem/brure). Angin barat terjadi pada sekitar bulan Oktober sampai Januari, yang ditandai dengan cuaca banyak hujan dan terjadi ombak besar. Angin timur/utara terjadi pada sekitar bulan Februari sampai April, yang ditandai dengan hujan, ombak besar dan gelombang laut yang besar. Pada bulan-bulan musim angin barat dan timur tersebut biasanya para nelayan tidak melaut di sekitar terumbu karang di bagian utara dan barat pulau, apabila terpaksa harus mencari ikan untuk konsumsi lauk hanya dilakukan di sekitar pulau terutama di sebelah timur atau sebelah selatan pulau. Pada umumnya pada bulan-bulan tersebut nelayan lebih banyak melakukan kegiatan di kebun. Kemudian pada musim angin selatan (wam brave) yang terjadi pada sekitar bulan Juni sampai Agustus, yang ditandai dengan cuaca panas dan gelombang besar, para nelayan juga masih berani melaut, hanya tidak berani jauh ke tengah laut, termasuk nelayan yang punya perahu motor. Kemudian apabila dibedakan antara musim ombak dan musim teduh, jumlah hasil tangkapan ikan masing-masing musim tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang menonjol. Jadi perbedaan musim nampaknya kurang berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan, karena hasil tangkapan pada umumnya masih hanya digunakan untuk konsumsi sendiri sebagai lauk. PETA/SKET WILAYAH TERUMBU KARANG PULAU BONI Tenggiri
U Tenggiri rapu ng , ke Kara leon mbu apo g, n Teru n a , ud la o L
Angin Barat Oktober-Januari (hujan, ombak besar)
Telaga laut kecil Tripang, napoleon, kerapu
Tripang Gurita
B
T S
Angin Timur Februari-April (hujan, ombak besar, gelombang besar)
tripang, lola, n a p o l e o n , udang, kerapu n a p o l e o nk ,e d a l a m a n k e r a p u 7-15 m
Telaga laut dalam Terumbu karang
P. BONI
Tanjung Morabai jalan desa
P. BOMBEDAR
Warkori
Angin Selatan Juni-Agustus (panas, gelombang besar)
lola, napoleon kerapu, udang
kebun Asokwari
Teluk Kapias Warwanai Daratan P. Waigio
Kabare
Sumber : Disalin dari hasil Pra 22-9-2001
Deposit nikel
uh n ng rita n ted olea kara g, gu Lauta iri ng, nappu mbu tripan gg da ra Ten lola, u ke Teru
an ukim pem
u baka
PULAU BONI PENAMPANG MELINTANG
Untuk melestarikan SDL agar tidak cepat punah, masyarakat nelayan Pulau Boni telah mengenal sistem pengelolaan wilayah laut atau yang dapat disebut kearifan lokal.
30 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
1. Di wilayah terumbu karang di sekitar pulau ini hanya diperbolehkan bagi nelayan Kampung Boni saja untuk menangkap hasil laut. Sedangkan nelayan dari luar tidak diperkenankan mengambil hasil laut. Apabila ada nelayan dari luar yang ingin menangkap ikan di lokasi tersebut diharuskan minta izin kepada Kepala Kampung (Mananir) Boni. Bila mereka diizinkan, mereka harus membayar sejumlah uang tertentu, yang jumlahnya sesuai dengan hasil kesepakatan antara nelayan dengan kepala kampung. Uang tersebut dimasukkan ke kas kampung untuk kegiatan pemerintahan kampung. Namun apabila ada pelanggaran atau pencurian, di mana ada nelayan dari luar yang melanggar batas wilayah atau menangkap ikan di perairan Pulau Boni tersebut, mereka akan mendapat teguran dari kampung. Kepala Kampung Boni akan mengirim surat teguran ke kepala kampung asal nelayan yang melanggar/mencuri ikan tersebut. Kemudian kepala kampung asal nelayan akan menegur langsung ke nelayan tersebut dan mereka merasa malu. Meskipun ada aturan seperti itu namun kejadian konflik dengan nelayan kampung tetangga belum pernah terjadi, antara lain karena warga antar kampung tetangga adalah kerabat dekat yang tadinya hidup bersama di Kampung Warkori. 2. Kemudian kearifan lokal lainnya adalah melalui sistem sasi dalam pengelolaan lola dan udang, seperti telah diuangkapkan dalam sub bab sebelumnya. Sistem sasi ini dapat di masa mendatang dapat dikembangkan untuk pengelolaan jenis SDL yang lain. Pengetahuan tentang wilayah pengelolaan dapat tercermin pada saat peneliti melakukan pengumpulan data dengan teknik PRA kepada 5 orang nelayan. Para peserta diminta bersama-sama menggambarkan wilayah terumbu karang yang ada dan sekaligus menggambarkan penampang melintang serta jenis sumberdaya laut yang ada di masing-masing lokasi. Gambar tersebut dibuat oleh seorang nelayan yang sudah pernah menjadi mahasiswa, kemudian peserta yang lain memberi komentar atas gambar tersebut. Gambar yang mereka buat kemudian disalin ulang oleh peneliti. Berdasarkan Peta 2 di bawah ini nampak sebaran jenis-jenis ikan, tripang, lola dan udang di daerah tersebut. Se baran terumbu karang juga dapat terlihat. Daerah ini juga ada cekungan yang mereka sebut dengan telaga laut. Sedangkan ikan tenggiri hidupnya di luar terumbu karang yang umumnya hanya ditangkap oleh nelayan yang punya perahu motor karena letaknya relatif jauh dan untuk ke luar wilayah terumbu karang harus menembus ombak. Udang, kerapu, ikan napoleon, teripang dan lola habitatnya berada di wilayah terumbu karang. 3.3. Teknologi Pengelolaan Teknologi yang dimaksudkan adalah alat yang dipakai untuk mengelola sumberdaya laut. Teknologi pengelolaan tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama adalah alat yang biasa digunakan pada saat menangkap sumberdaya laut. Kedua adalah teknologi dalam memproses hasil tangkapan sumberdaya laut. (1). Teknologi penangkapan sumberdaya laut Teknologi yang mereka gunakan untuk menangkap sumberdaya laut pada umumnya masih sederhana. Untuk pergi melaut mereka menggunakan perahu kayu baik yang bercadik maupun tanpa cadik dengan ukuran kecil kurang lebih 3 x 0,5 meter. Di antara perahu bercadik ada yang dipasangi layar sederhana. Layar yang mereka gunakan dibuat sendiri dengan memanfaatkan plastik rafia bekas kantong-kantong
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
31
pupuk. Perahu kayu tersebut mereka kenal sejak sebelum pindah ke Pulau Boni, yaitu sejak tahun 60an. Sebab pada waktu itu apabila mereka akan bepergian ke lain pulau juga sudah menggunakan perahu kayu/sampan. Keterbatasan penggunaan teknologi transportasi yang masih sederhana tersebut telah menggambarkan kapasitas kemampuan penangkapan sumberdaya laut yang terbatas. Sejak 3 tahun terakhir baru ada 2 perahu kayu bermotor dengan mesin Yamaha 15 PK yang dimiliki penduduk Kampung Boni. Sebuah miliki seorang Kepala Sekolah Dasar dan sebuah lagi milik salah seorang nelayan yang penghidupannya cukup baik di kampung ini. Keberadaan 2 perahu kayu bermotor ini juga punya keterbatasan, antara lain ketersediaan bahan bakar minyak campur yang tidak selalu tersedia di lokasi maupun di kota Distrik. Di daerah tersebut belum tersedia depot bahan bakar minyak. Bahan bakar minyak yang selalu tersedia hanya dapat dibeli di Kota Sorong. Sayang dua perahu bermotor tersebut tidak digunakan untuk bisnis, namun hanya digunakan untuk kepentingan pribadi apabila ada urusan atau belanja ke Kota Sorong atau ke pulau lain. Perahu tersebut juga belum digunakan untuk mencari ikan khusus ke laut lepas agar mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak. Hanya kadang-kadang apabila pemilik ingin iseng-iseng mencari ikan di luar terumbu karang, mereka gunakan untuk menangkap ikan. Alat tangkap yang digunakan para nelayan juga masih sederhana, yaitu hanya pancing, jaring plastik, senapan molo (tombak) dan kacamata molo. Alat pancing dan jaring plastik sudah dikenal lama oleh nelayan Pulau Boni, sejak mereka mendiami pulau ini pada akhir tahun 60an. Mereka mengenal dari para nelayan di pulau lain, sebab pada awalnya mereka bukan keturunan nelayan. Sedangkan senapan molo dan kacamata molo mereka kenal dalam 10 tahun terakhir, juga dari nelayan dari pulau lain. Senapan molo harus pesan atau membeli ke Kota Sorong, namun untuk kacamata molo dapat membuat sendiri, karena bentuknya sangat sederhana dan bahannya hanya dari kayu dan kaca. Oleh karena keterbatasan teknologi yang digunakan tersebut, maka jumlah hasil tangkapan rata-rata juga tidak banyak, hanya sekitar 5-10 kilogram tiap sekali menangkap. Seperti telah diungkap dalam sub bab sebelumnya bahwa mereka belum banyak mengenal bubu, bom, sianida dan pukat harimau. Namun beberapa nelayan telah mengenal dan pernah memanfaatkan akar bore untuk menangkap ikan napoleon dan udang di sela-sela terumbu karang. Teknologi penggunaan racun akar bore tersebut, menurut informasi dari beberapa nelayan yang menangkap ikan dengan akar bore mengatakan bahwa penggunaan akar bore tidak merusak terumbu karang. Namun racun akar bore dapat membuat ikan menjadi mabuk, baik ikan besar maupun ikan kecil. Bagi ikan-ikan kecil yang mabuk dan mungkin bisa sampai mati, ini yang menjadi masalah. Teknologi keramba tahun 1998 juga pernah ada dan pernah dipasang di perairan sekitar Kampung Boni milik pengusaha dari PT Cinta Bahari asal Kota Sorong. Alat keramba tersebut terbuat dari tali plastik/nilon ukuran 4 x 4 meter. Hasil tangkapan ikan napoleon dan kerapu disimpan di keramba sebelum dibawa oleh pemiliknya. Ikan tersebut dijual dan dikirim dalam keadaan hidup ke Hongkong. Namun usaha ini sekarang sudah berhenti dan belum ditiru dan diikuti nelayan Pulau Boni. Dengan memperhatikan keterbatasan kapasitas alat tangkap nelayan di Kampung Boni tersebut, maka memungkinkan terumbu karang masih dinilai masyarakat setempat berada dalam kondisi baik dan malah berkembang, terutama yang mengarah
32 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
ke utara. Sebab alat-alat tangkap yang digunakan belum banyak sampai merusak terhadap kelestarian terumbu karang. (2). Teknologi pengolahan hasil sumberdaya laut Teknologi pengolahan ikan karang Teknologi pengolahan hasil sumberdaya laut di Kampung Boni masih sangat terbatas. Teknologi pengolahan yang telah ada antara lain pengolahan ikan menjadi ikan asin atau ikan garam. Pengolahan ikan basah untuk dibuat ikan asin (ikan garam) kering dengan teknologi yang benar baru dikenal dalam dua tahun terakhir (tahun 1999 dan 2000). Teknologi tersebut diperkenalkan oleh 2 orang warga Kampung Boni yang telah ikut dalam program pelatihan pembuatan ikan asin/ ikan garam yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian Kabupaten Sorong pada tahun 1999. Dari mereka kemudian pengetahuan teknologi pengasinan ikan tersebut dialihkan atau ditransfer kepada beberapa tetangganya. Dengan teknologi lama yang mereka lakukan, mula-mula ikan dicuci dengan air laut, lalu dibelah dan dicuci dengan air tawar. Setelah bersih lantas diberi garam secukupnya, terus dipres satu hari. Setelah itu ikan-ikan tersebut dijemur di atas seng. Manakala tidak ada hujan selama 3 hari ikan sudah kering. Pada saat penjemuran ikan-ikan tadi menjadi tempat bertelor lalat. Telor lalat menetas menjadi ulat dan akan merusak hasil olahan ikan, sehingga kualitas ikan asin kurang baik. Terutama apabila penggaraman tidak sempurna dan ikan tidak kering betul. Dengan teknologi baru ikan-ikan yang telah dibersihkan dengan air tawar kemudian direndam dengan air garam semalam. Kemudian ikan siap dijemur di sinar matahari selama 3 hari dalam sangkar plastik putih. Dengan menggunakan sangkar plastik ukuran 1 x 2 meter, lalat dan debu tidak dapat masuk dan bila hujan ikan-ikan tidak perlu dipindahkan. Dengan cara ini akan menghasilkan ikan asin yang lebih baik tidak rusak. Teknologi pengolahan tripang Teknologi pengolahan hasil tripang dilakukan cukup sederhana. Tripang basah dibelah, dibersihkan dan dikeluarkan kotoran yang ada di dalam perutnya. Setelah dibersihkan lalu tripang langsung direbus. Setelah direbus kemudian diasap sampai kering atau dijemur di sinar matahari. Biasanya penjemuran berlangsung sampai 4 hari, dalam kondisi kering betul. Kemudian siap dijual dalam bentuk tripang kering. Tripang basah seberat 5 kg, apabila telah diolah menjadi tripang kering tinggal 1 kg. Teknologi pengolahan lola Teknologi pengolahan lola juga sangat sederhana. Dari panen lola kemudian daging lola dikeluarkan dari cangkangnya. Cangkang selanjutnya direndam dalam pasir selama 2 minggu untuk mengeluarkan lendirnya. Setelah 2 minggu cangkang siap dijual ke Kota Sorong. Cangkangnya ini yang pada saat penelitian berlangsung laku Rp 20 000/kg di Kota Sorong. Sedangkan dagingnya yang tidak laku dijual, dikonsumsi oleh para nelayan untuk lauk. Teknologi lain pengolahan ikan untuk industri rumah tangga seperti kerupuk ikan, abon ikan dan terasi belum dikenal oleh mereka. Pelatihan yang terkait dengan alih
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
33
teknologi tepat guna dan managemen sederhana nampaknya bisa menjadi alternatif intervensi untuk memberdayakan masyarakat nelayan. Tabel 3.1 Jenis SDL, Teknologi, Stakeholder dan Hubungan Kerja Jenis SDL
1. Ikan Karang
2. Tripang
3. Lola
4. Udang
Teknologi digunakan Transpor Alat tangkap & Pengolahan - Perahu Alat tangkap: sampan/way 1. Pancing (mayoritas 2. Jala nelayan) 3. Tombak - Perahu mesin/body Pengolahan: mesin Penggaraman & (hanya 2 pengeringan orang nelayan) Perahu Alat tangkap: sampan Kacamatan molo
Perahu sampan
Perahu sampan
Pengolahan: Direbus dan dikeringkan Alat tangkap: Kacamata molo Pengolahan: Dipisahkan dagingnya dan dibersihkan cangkangnya Alat tangkap: Kacamata molo Pengolahan: Dimasukkan kantong plastik berisi air laut & pasir, agar tetap hidup
Stakeholders
Hubungan Kerja
Nelayan dan anggota keluarga (istri/anak)
Pekerja keluarga tanpa upah/tanpa bagi hasil
Nelayan dan anggota keluarga (istri/anak)
Pekerja keluarga tanpa upah/bagi hasil
Seluruh nelayan dan Yayasan Gereja Kristen Indonesia
Seluruh hasil lola dijual untuk yayasan gereja
Seluruh nelayan dan Yayasan Gereja Kristen Indonesia
Seluruh hasil udang dijual untuk yayasan gereja
Sumber : Data kualitatif penelitian aspek sosial terumbu karang. PPK-LIPI 3.4. Stakeholder yang Terlibat Stakeholder adalah pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan terumbu karang. Dalam konteks pengembangan dan pengelolaan terumbu karang setempat tiap stakeholder mempunyai kepentingan yang berbeda, termasuk yang menimbulkan masalah. Karena stakeholder mempunyai kaitan yang luas mulai dari tingkat lokal sampai tingkat internasional, dalam penelitian ini hanya meliput identifikasi stakeholder pada tingkat lokal.
34 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Stakeholder yang berkepentingan di daerah Waigeo Utara dan khususnya di Kampung Boni dapat dibedakan menjadi : •
Masyarakat nelayan
•
Masyarakat pedagang
•
Pemerintah daerah
(1). Masyarakat nelayan Masyarakat nelayan termasuk keluarganya mempunyai kepentingan paling utama karena secara langsung telah mengelola sumberdaya terumbu karang. Dalam kegiatan sehari-hari mereka telah menangkap berbagai spesies ikan dan menyelam mencari tripang. Spesies ikan dimanfaatkan untuk konsumsi dan sebagian diproses menjadi ikan asin untuk dijual. Sedangkan hasil tripang dapat dijual untuk mendapatkan uang tunai setelah diolah dan dikeringkan. Dengan mengkonsumsi ikan laut setiap hari berarti telah dapat menjaga kebutuhan protein dan mineral yang tentunya sangat bermanfaat untuk kesehatan penduduk. Sumberdaya laut telah menjadi bagian dari sistem kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, mereka sangat berkepentingan dengan keberadaan sumberdaya tersebut secara lestari. Lembaga Yayasan Gereja Kristen Indonesia Cabang Boni juga berkepentingan terhadap sumberdaya laut, karena telah dijadikan sumber dana yayasan dan sumber utama pengumpulan dana untuk rencana pembuatan gereja baru. Demikian pula lembaga pemerintahan kampung dan lembaga kesehatan setempat juga sangat berkepentingan untuk terhadap sumberdaya terumbu karang yaitu untuk meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. (2). Masyarakat pedagang Pedagang di Kota Sorong yang menampung produksi ikan asin, udang hidup, cangkang lola dan olahan teripang, secara tidak langsung juga berkepentingan terhadap kelestarian terumbu karang. Dalam jangka panjang rusaknya terumbu karang berarti pula pengurangan suplai hasil laut. Pengusaha eksportir ikan hidup yang ada di Kota Sorong telah menangkap ikan di daerah terumbu karang untuk memenuhi target. Ikanikan yang diekspor terutama jenis napoleon (maming) dan kerapu (in daf). Ikan jenis ini hidupnya berada pada ikosistem terumbu karang. Pengusaha eksportir tersebut juga sangat berkepentingan adanya kelestarian terumbu karang. Udang hidup dipasok ke Kota Sorong untuk mem enuhi kebutuhan udang di restoran-restoran Sea Food di kota tersebut, (3). Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong bertanggung jawab atas pembangunan termasuk sangat berkepentingan terhadap pembangunan di daerah Waigeo Utara. Salah satu sumberdaya alam potensial di Waigeo Utara bersumber dari hasil laut, termasuk daerah Boni. Kekayaan sumberdaya laut telah menjadi obyek yang ditawarkan kepada investor dari luar daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah telah melakukan sosialisasi tentang peraturan daerah tentang larangan dan sanksi tentang penggunaan bom, racun, pukat harimau dan penggalian karang laut. TNI-AL telah terlibat pula
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
35
dengan pengawasan perairan, termasuk menangkap pencurian ikan oleh nelayan asing dan penggunaan bahan-bahan terlarang dalam penangkapan ikan. 3.5. Hubungan Kerja Hubungan kerja dalam kegiatan mencari sumberdaya laut di masyarakat nelayan Kampung Boni, dapat dibedakan menjadi empat, yaitu : (1). Bekerja keluarga tanpa upah; (2). Bekerja bersama dengan sampan tanpa motor; (3). Bekerja bersama dengan bodi mesin; dan (4). Bekerja gotong-royong. (1). Bekerja keluarga tanpa upah Di Kampung Boni kegiatan pengelolaan sumberdaya laut tidak dikenal adanya majikan/taoke dan buruh/ABK. Umumnya pengelolaan sumberdaya laut dilakukan oleh nelayan dan anggota keluarga sendiri, sehingga hubungan kerja terbatas hanya antara kepala keluarga dan anggota keluarga. Karena yang ikut melaut adalah anggota keluarganya sendiri, misalnya ayah dengan anak-anaknya, maka hubungan mereka sebatas sebagai tenaga kerja tanpa upah (pekerja keluarga tanpa upah). Oleh karena itu, apabila perahu dan alat tangkapnya milik keluarga sendiri tidak perlu ada aturan pembagian hasil tangkapan. Cara ini dilakukan oleh sebagian besar keluarga nelayan di kampung ini. (2). Bekerja bersama dengan perahu tanpa motor Apabila ada nelayan pemilik sampan mencari ikan, kemudian ikut 2 sampai 3 orang tetangganya ikut melaut. Hasil tangkapan biasanya dibagi rata kepada seluruh nelayan yang ikut. Dalam hal ini tanpa ada sewa sampan, sebab menurut mereka toh mereka bekerja bersama-sama, mendayung sampan bergantian dan menangkap ikan bersama-sama. (3). Bekerja bersama dengan body mesin Dalam penggunaan perahu motor/ body motor/ body mesin, pembagian hasilnya berbeda dengan cara sebelumnya. Di sini pemilik perahu mendapatkan sekitar 60% 70% untuk sewa body mesin dan biaya bahan bakar. Sisanya 30% - 40% dibagi rata kepada seluruh nelayan yang ikut. Namun untuk kasus di Kampung Boni penggunaan perahu motor ini sangat jarang, sebab di kampung ini hanya ada 2 perahu motor atau 2 keluarga yang memilikinya. Di samping itu, jarang sekali pemilik mengizinkan perahunya untuk dipakai orang lain. Pemilik mau menggunakan kapal motornya bersama orang lain, apabila kebetulan dia ingin juga mencari ikan untuk lauk. Memang kapal motor mereka sengaja tidak digunakan untuk bisnis mencari ikan. Nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan jaring umumnya dilakukan oleh 3 atau 4 orang. Apabila orang yang terlibat menjaring tersebut adalah tetangganya, hasil tangkapan kemudian dibagi rata untuk mereka yang terlibat. Dalam hal ini tidak perlu ada sewa jaring, apabila jaring harus pinjam atau kadang pemiliknya juga ikut melaut, namun tidak dibedakan antara pemilik jaring dengan yang tidak memiliki jaring. Tetangga yang bersama melaut tersebut tidak selalu sama-sama orang yang satu keret.
36 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
(4). Bekerja gotong-royong Pada saat memanen lola dan udang semua warga yang dewasa yang mampu ikut terlibat. Baik laki-laki maupun perempuan menyelam sampai kedalaman 6 meter untuk menangkap udang dan lola di dasar laut. Dalam melakukan kegiatan penangkapan tersebut mereka tidak mendapat upah dan tidak mendapat bagian hasil. Pembersihan lola juga dilakukan secara gotong royong. Cangkang lola dan udang hidup seluruhnya diberikan kepada yayasan gereja untuk selanjutnya dijual ke Kota Sorong. Biaya untuk memasarkan lola dan udang tersebut seluruhnya ditanggung oleh yayasan gereja.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
37
Bab IV Produksi dan Pemasaran Sumberdaya Laut 4.1. Hasil Produksi Meskipun hampir semua penduduk di Pulau Boni dapat disebut sebagai nelayan, namun kegiatan melaut bagi penduduk pulau tersebut belum merupakan mata pencaharian yang utama. Kehidupan mereka tidak sangat tergantung pada Sumberdaya Laut (SDL). Kegiatan utama yang dibawa secara turun-temurun sejak di daerah asal atau sebelum pindah ke Pulau Bone adalah berkebun. Mereka menanam dan mengolah sagu (bariam), kelapa (serair) dan ubi-ubian, seperti ubi kayu (batawe), ubi jalar (batatas) dan keladi (japang). Karena kegiatan melaut belum merupakan kegiatan utama, maka jenis alat transpor dan tangkap yang digunakan masih sederhana, seperti pancing (awir), jala (jaring) dan tombak selam (senapan molo). Oleh karena itu, jumlah hasil tangkapannya juga relatif masih sangat rendah. Tiga hasil sumberdaya laut yang utama bagi para nelayan Kampung Boni adalah: (1). Ikan karang; (2). Tripang; dan (3). Lola. (1). Ikan karang Ikan karang adalah jenis sumberdaya laut yang paling sering dan paling banyak ditangkap dan dikonsumsi oleh para nelayan di pulau ini. Jenis ikan yang sering ditangkap meliputi ikan kerapu, ikan kakap, ikan kumis, ikan merah, ikan kutila, ikan hile, ikan bubara, ikan semandar dan ikan kakak tua biru. Menurut pengakuan seorang nelayan CR mengatakan bahwa: ‘ …………. biasanya orang sini menangkap ikan karang sedapatnya, tidak khusus mencari jenis ikan tertentu. Biasanya melaut hanya sekitar 2 jam dapat ikan untuk lauk terus pulang. Kadang seperti saya pagi sebentar melaut jam 5.00 – 7.00 dan kemudian ke kebun dan sore melaut lagi jam 16.00 – 18.00. Jadi tidak seharian cari ikan, toh hanya untuk lauk sendiri. Jenis ikan apa saja bisa untuk lauk’. Dalam seminggu meskipun pada musim teduh tiap keluarga nelayan rata-rata hanya melaut 2 kali. Hasil tangkapan ikan mereka hanya sekitar 5 sampai 10 kg sekali melaut, kecuali kalau menggunakan perahu motor hasil tangkapan ada yang sampai 40 kg per hari. Dengan kemampuan tangkapan seperti itu diperkirakan jumlah produksi per tahun seluruh nelayan di Pulau Boni baru mencapai sekitar 7,2 ton. (2). Tripang Tripang – ada 9 jenis tripang yang ada di sekitar Pulau Boni dan dikenal oleh nelayan, yaitu tripang kawasa, tripang benang polos, tripang benang bintik, tripang susu, tripang kongkong, tripang malam , tripang nanas, tripang balok dan tripang gosok . Namun jenis-jenis tripang tersebut yang terbanyak dan sering ditangkap para nelayan adalah tripang gosok. Jenis tripang ini harganya cukup baik. Penangkapan sumberdaya 39 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
laut tripang ini hanya dilakukan oleh sebagian nelayan, sebab penangkapannya memerlukan ketrampilan khusus, yaitu harus mampu menyelam dalam kedalaman beberapa meter dalam waktu yang cukup lama. Tripang-tripang tersebut biasanya ada di dasar laut. Oleh karena itu, resiko yang dialami para penyelam di Kampung Boni biasanya mereka sering terkena penyakit rematik dan kram kaki, karena pengaruh suhu yang sangat dingin di dasar laut. Juga para penyelam tersebut sering terkena sakit telinga (tuli) dan sakit mata (memerah). Penyelaman mereka lakukan secara tradisional, tanpa memakai pakaian dan perlengkapan selam. Mereka hanya menggunakan kacamata selam (kaca molo). Rata-rata per keluarga sekali mencari tripang mendapat sampai 5 kg dalam keadaan basah atau hanya sekitar 1 kg dalam keadaan kering. Setahun dapat memanen tripang 4 kali, jadi rata-rata setahun per keluarga hanya 20 kg basah atau 4 kg tripang kering. Dalam satu tahun diperkirakan hasil tangkapan dalam satu kampung hanya sekitar 1,92 ton kering. (3). Lola Lola sebagai hasil sumberdaya laut utama ketiga, selama 6 tahun terakhir tidak dinikmati oleh para nelayan Kampung Boni. Sumberdaya laut yang disasi ini, meskipun dipanen ramai-ramai dua kali setahun hasilnya sepenuhnya disumbangkan kepada panitya pembangunan gereja. Hasil tangkapan lola per tahun mencapai sekitar 0,5 ton atau dalam harga pasar akhir tahun 2001 sekitar Rp 10 juta. Tabel 4.1 Perkiraan Produksi Sumberdaya Laut dan Sumberdaya Darat di Kampung Boni No.
Jenis Sumber Daya
Perkiraan Produksi (per tahun)
Sumber Daya Laut: 1. Ikan Karang (kakap, kerapu, kumis, merah dll) 2. Tripang 3. Lola (yang dijual cangkangnya, daging dimakan) 4. Udang Sumber Daya Darat: 1. Kopra 2. Sagu
7,2 ton 1,92 ton 0,5 ton 0,5 ton 11 ton 25 ton
Sumber: Perhitungan data wawancara terfokus, PPK – LIPI 4.2. Pemanfaatan Hasil Produksi Sebelum masuknya teknologi baru cara pengawetan ikan dengan penggaraman/ pengasinan dan pengeringan dalam 2 tahun terakhir, semua hasil tangkapan masih untuk konsumsi rumah tangga sendiri. Namun selama dua tahun terakhir ini ini beberapa rumah tangga telah mulai menjual setelah diolah melalui penggaraman dan pengeringan. Menurut beberapa informan yang telah mampu mengolah ikan dengan benar hampir semua jenis ikan yang ditangkap dapat digarami (diasin) dan dikeringkan. Dari adanya pemanfaatan teknologi tersebut harganya cukup baik, lebih awet, tidak harus segera dipasarkan dan dapat menunggu harganya cukup baik. Namun sampai saat ini baru sekitar 9 rumah tangga yang telah melakukan pengawetan ikan dengan penggaraman dan pengeringan dengan teknologi baru. Dengan demikian di sebagian besar rumah tangga hasil tangkapan ikan masih untuk konsumsi sendiri. Kasus seorang 40
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
nelayan/ pekebun WM memiliki lahan kebun 2 hektar, memiliki perahu bermotor/ body mesin mengungkapkan : ‘Bagi keluarga kami kegiatan usaha atau bekerja waktu yang terbanyak digunakan untuk berkebun, untuk menghasilkan makanan pokok dan dapat dijual untuk mendapatkan uang tunai. Kegiatan melaut hanya menyita waktu lebih pendek, kadang dilakukan pagi hari atau sore hari, hanya sekedar mendapatkan lauk. Bagi keluarga kami yang paling utama adalah berkebun, belum ada niat untuk menangkap ikan lebih banyak, meskipun memiliki body mesin, sebab tidak ada pembeli yang datang ke lokasi’. Selain itu, sebagian besar nelayan sering mencari tripang. Tripang yang diperoleh biasanya tripang gosok. Rata-rata tiap kali mencari mendapatkan sekitar 4 - 5 buah tripang. Jenis sumberdaya laut ini biasanya diolah terlebih dahulu yaitu dengan cara dibelah dan dibersihkan kotorannya/isi perutnya. Kemudian direbus dan dijemur/diasar sampai kering. Semua hasil pengolahan tripang tersebut dijual dan tidak ada yang dikonsumsi sendiri. Selama 6 tahun terakhir hasil tangkapan lola dan udang telah dimanfaatkan oleh yayasan gereja, meskipun yang ikut memanen dan mengolah seluruh nelayan. Khusus untuk lola, dagingnya dapat dikonsumsi oleh para nelayan, karena tidak laku dijual. Sedangkan cangkangnya diolah, dikeluarkan lendirnya, dikeringkan dan siap dijual. Tabel 4.2 Pemanfaatan Hasil Produksi Sumberdaya Laut di Kampung Boni No.
Jenis SDL
1.
Ikan Karang (kutila hile, bubara, karapu kakaktua biru, merah, semandar, kumis dll) – dilakukan 80 keluarga nelayan
2.
Tripang (tripang gosok) – dilakukan sebagian nelayan
SDL Dikonsumsi Sebagian besar dikonsumsi sendiri, sebagian besar keluarga belum mengetahui cara pengasinan . Hanya 9 keluarga telah menguasai teknologi pengasinan Tidak ada
SDL Dijual
SDL Diolah
Belum banyak keluarga mengetahui cara membuat ikan asin. Tak ada lauk lain kecuali ikan
Masih sekitar 2030% yang dijual ke Sorong dalam bentuk ikan asin
Untuk mendapatk an uang tunai
Diolah dengan cara diasinkan dan dikeringkan di sinar matahari/dias ap
- Agar awet tidak cepat rusak. - Tidak harus dijual segera, dapat menunggu ada alat transpor dan harga lebih baik
Laku dijual dengan harga mahal dan tidak tahu gunanya
Semua laku dijual
Laku dijual, untuk mendapat uang tunai
Dibelah, dibersihkan dan dikeluarkan kotorannya. Direbus dijemur/diasap digosok agar mengkilat. Siap dijual
- Agar awet, tidak rusak - Harga lebih baik - Tidak ada pembeli tripang basah
41 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
No. 3.
Jenis SDL Lola – dilakukan semua nelayan saat buka sasi lola
SDL Dikonsumsi Dagingnya Dagingnya dikonsumsi tak laku keluarga dijual nelayan
SDL Dijual Semua Disumbang cangkang kan ke lola dijual pembangun ke an gereja pedagang (sudah 6 di kota tahun) Sorong oleh Yayasan Gereja
4.
Udang – dilakukan semua nelayan dalam buka sasi udang
Tak ada yang dikonsumsi
Semua dijual
Semua dijual, hasil penjualan disumbangk an untuk pembangun an gereja
Untuk biaya pembangun an gereja
SDL Diolah Daging lola Cangkang laku dikeluarkan. dijual kualitas Cangkang hasil baik. Sudah dikubur di 12 kali panen pasir 2 lola (setahun 2 minggu untuk kali April dan dikeluarkan Oktober) lendir atau terkumpul uang dicuci air Rp. 60 juta, garam. disumbangkan Dijemur. untuk Kering pembangunan dimasukkan gereja. Tiap kali karung siap 0,5 ton dijual Udang masih Agar udang hidup tetap hidup dan dimasukkan laku dijual kantong sampai Kota plastik diisi air Sorong laut dan pasir
Sumber: Hasil wawancara terfokus, PPK - LIPI Selama 5 tahun terakhir ini atau selama krisis ekonomi ada peningkatan harga ikan garam yang cukup baik (lihat lampiran Tabel Harga). Khusus untuk ikan pari (in bau) yang tidak digaram dan dikeringkan, karena harganya terlalu murah. Selama ini jenis ikan ini hanya untuk konsumsi saja. 4.3. Pemasaran Rantai pemasaran hasil sumberdaya laut di Kampung Boni masih sangat sederhana yaitu belum melalui penampungan atau melalui pedagang perantara yang masuk ke lokasi. Selama ini penjualan 3 hasil sumberdaya laut utama, yaitu ikan asin (dari ikan karang), tripang dan lola serta udang langsung dilakukan sendiri oleh para nelayan ke Kota Sorong. Dalam pemasaran ikan asin tersebut mereka biasanya menumpang perahu motor milik orang lain. Dalam hal ini mereka hanya membayar ongkos untuk ikut membantu meringankan biaya transport yaitu 30 ribu rupiah untuk sekali jalan. Sedangkan barang yang dibawa tidak dipungut biaya. Untuk pemasaran ikan karang dalam bentuk ikan asin tersebut mereka menjual langsung ke pedagang di pasar atau ke langganan tetap di toko di Kota Sorong. Penentuan harga dalam menjual ikan asin tersebut di atas semuanya sudah ditentukan oleh pedagang dengan mengikuti tabel harga yang sudah tersedia. Jadi di sini para nelayan sebagai pihak penjual tidak dapat ikut menentukan harga penjualan. Di sini para nelayan sebagai pihak yang dirugikan, sebab dengan harga berapa saja pasti akan dijual tidak mungkin akan dibawa pulang kembali. Kemungkinan lain hanya dijual ke pedagang lain yang berani membeli dengan harga yang lebih tinggi. Rantai pemasaran tripang juga hampir sama dengan ikan asin, para nelayan menjual kepada para langganan di Kota Sorong. Penjualan tripang ke Kota Sorong ini sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir, sebelumnya sering ada pedagang pengumpul tripang yang masuk ke Kampung Boni. Namun sekarang tidak ada lagi 42
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
pedagang tripang yang masuk ke kampung ini. Mengapa tidak ada lagi pedagang tripang yang masuk, tidak ada informasi yang dapat menjelaskan. Kemungkinan tidak efisien dibandingkan dengan biaya transpornya, mengingat jumlah hasil tripang dari kampung ini belum banyak. Penentuan harga tripang sangat ditentukan oleh pembeli dengan menggunakan daftar yang sudah dibuat, sehingga nelayan sebagai penjual tidak dapat berbuat apa-apa dalam menentukan harga. Menurut informan nelayan mereka harus bersaing dengan para nelayan dari pulau-pulau lain. Dalam pemasaran tripang ini para nelayan juga sebagai pihak yang dirugikan. Pemasaran cangkang lola juga kepada para pelanggan di Kota Sorong. Penjualan dilakukan oleh para nelayan yang juga panitya pembangunan gereja. Kegiatan pemasaran lola untuk sumbangan gereja ini sudah berlangsung selama 6 tahun, jadi sejak tahun 1996. Penentuan harga cangkang lola juga sudah ditetapkan oleh pembeli/ langganan, sehingga penjual cenderung mengikuti kemauan pembeli. Untuk penjualan cangkang lola terakhir kali (akhir tahun 2001) harganya 20 ribu rupiah tiap satu kilogram. Untuk pemasaran udang, juga dijual langsung ke palanggan yaitu rumah makan di Kota Sorong. Udang dijual dalam keadaan masih hidup, pada setiap habis panen/buka sasi. Pelaku pemasaran adalah nelayan – panitya pembangunan gereja. Pola pembayaran, mengikuti harga pasar dan lebih ditentukan oleh pembeli/pelanggan. Rata-rata penjualan tiap kali panen sekitar 0,5 kuintal. Pada penjualan terakhir dengan harga Rp. 100.000,-/kg mencapai Rp. 5 juta. Alat transpor yang digunakan adalah menumpang perahu mesin milik tetangga bila pergi ke Sorong dengan membayar Rp 60 ribu/PP atau harus melewati kota Distrik di Kabare dengan naik Kapal Perintis, tiap 2 minggu sekali. Dengan Kapal Perintis hanya membayar Rp 18 ribu/PP, namun harus ditempuh dalam waktu 2 malam satu hari sekali jalan dan harus menginap 3 – 4 hari di Kota Sorong. Kadang kala juga menumpang perahu pedagang asal Kepulauan Ayau bila kebetulan singgah ke Boni untuk tujuan ke Sorong. Khusus penjualan hasil cangkang lola dari Kampung Boni setiap kali menjual rata-rata sekitar sebanyak 0,25 ton. Tabel 4.3 Pemasaran Hasil Sumberdaya Laut di Kampung Boni No 1.
Jenis SDL Ikan garam/asin
Mekanisme pemasaran Langsung ke pedagang pasar di Kota Sorong. Langsung ke pelanggan tetap di Kota Sorong
Pelaku Nelayan sendiri
2.
Tripang
Langsung ke pedagang/langganan di Kota Sorong
Nelayan sendiri, setiap habis panen
3.
Loka – yang dijual cangkangnya, daging dimakan nelayan Udang
Dijual langsung seluruh hasil ke pelanggan di kota Sorong. Setelah dibersihkan dan dikeringkan 4. Dijual langsung semua hasil ke pelanggan di kota Sorong, dalam keadaan masih hidup, setiap buka sasi Sumber : Hasil wawancara mendalam, PPK – LIPI
Nelayan – Panitya Pembangunan Gereja, selama ini nelayan belum bisa memanen dan menjual hasil lola, masih menjadi hak gereja Nelayan – Panitya Pembangunan Gereja
Pola pembayaran Harga lebih ditentukan oleh pembeli (dipasar/langganan) dengan mengikuti harga pasar dan tabel yang sudah disediakan pembeli Tidak ada tawar menawar, mengikuti harga pasar dan sudah disediakan tabel harga oleh pembeli Tidak ada tawar menawar, mengikuti harga pasar dan sudah ada daftar harga yang disesiakan pembeli Tidak ada tawar menawar, mengikuti harga pasar, biasanya dijual ke restoran Sea Food.
43 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab V Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat 5.1. Pendapatan dan Pengeluaran Pendapatan rumah tangga para nelayan di Pu;au Boni pada umumnya berasal dari dua sumber, yaitu dari hasil kebun dan hasil laut. Pendapatan dari hasil kebun berupa penjualan h asil kopra, sagu dan umbi-umbian. Sedangkan pendapatan dari hasil laut, berupa penjualan ikan garam dan tripang. Pendapatan dari kebun tidak terlalu tergantung pada musim. Sedangkan dari hasil laut jumlah dan jenisnya dapat dipengaruhi oleh musim. Pada mus im angin barat, musim angin timur dan musim angin selatan jumlah hasil melaut dapat lebih rendah. Namun perlu diingat bahwa pendapatan penduduk/ nelayan di Kampung Boni tidak tergantung sekali pada hasil sumberdaya laut. Hasil tangkapan ikan bagi sebagian besar rumah tangga di kampung ini masih dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri sebagai lauk, bukan untuk menambah pendapatan keluarga. Sehingga rata-rata jumlah tangkapan sumberdaya laut yang berupa ikan hampir tidak ada perbedaan di semua musim. Sebab meskipun ada angin barat yang besar masih bisa mencari ikan di sebelah timur dan selatan pulau. Oleh karena itu, pendapatan rumah tangga penduduk Pulau Boni lebih banyak tergantung ke usaha tani kebun yang dapat menghasilkan sepanjang tahun. Pendapatan rata-rata per bulan rumah tangga nelayan Pulau Boni cukup baik, rata-rata hampir sekitar Rp. 400.000,-. Sekitar 40 persen dari rumah tangga nelayan memang hanya mempunyai pendapatan di bawah Rp. 200.00,-. Hampir sekitar 30 persen berpendapatan antara Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000. Kurang dari sepertiga jumlah rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas Rp. 300.000,-. Pendapatan yang berupa uang tunai tersebut dominan masih berasal dari hasil kebun, seperti menjual kelapa, kopra, sagu dan ubi-ubian. Sedangkan kontribusi pendapatan dari hasil laut masih kecil yang berupa uang tunai. Menurut beberapa informan kontribusi hasil laut terhadap pendapatan masih di bawah 20%. Perkembangan pendapatan sekarang (saat penelitian) dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu. Dari berbagai informan mengatakan bahwa dilihat dari jumlah angka rupiahnya telah terjadi peningkatan. Namun apabila dilihat dari nilai belinya belum menunjukkan peningkatan. Ada informan MR yang mengatakan : ‘……..dulu 5 tahun yang lalu semasa awal krisis ekonomi ikan banyak, harga murah, tapi bagusnya banyak pembeli/ pedagang yang masuk ke lokasi membeli ikan basah. Sedangkan sekarang banyak ikang, harga tinggi, tapi tidak dapat menjual ikang dan harus dijual sendiri ke Kota Sorong dalam wujud ikan garam/ ikang asin. Dengan resiko biaya transpor yang tinggi’. Dengan memperhatikan bahwa sebagian besar rumah tangga nelayan hanya berpendapatan di bawah Rp 300 000,- per bulan tersebut, apabila diasumsikan rata-rata 45 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
jumlah anggota rumah tangga sebanyak 5 orang, maka secara kasar apabila diperhitungkan menurut klasifikasi kemiskinan berarti sebagian besar rumah tangga di Pulau Boni termasuk miskin. Dengan standar beras, rata-rata pendapatan per kapita masih di bawah 20 kg per bulan. Baik dari hasil wawancara mendalam maupun dari hasil sensus menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga nelayan P. Boni lebih rendah daripada pendapatan. Dari rata-rata pendapatan rumah tangga yang hampir Rp. 400.000,- per bulan, ternyata rata-rata pengeluaran rumah tangga per bulan hanya sekitar Rp. 200.000,-. Apabila data tersebut benar dapat disimpulkan bahwa rumah tangga nelayan Kampung Boni masih dapat memiliki simpanan, karena ada kelebihan uang pendapatan. Hal ini disebabkan penghidupan rumah tangga nelayan Boni masih sederhana, tidak banyak kebutuhan hidup yang harus dibeli, apalagi pengeluaran untuk kebutuhan sekunder dan tersier. Perputaran uang di kampung ini cukup rendah, dari seluruh kampung hanya ada dua warung kecil yang hanya menyediakan beberapa jenis kebutuhan rum ah tangga dan dalam omset yang kecil. Kemudian apabila dibedakan antara pengeluaran pangan dan pengeluaran nonpangan, menunjukkan bahwa pengeluaran pangan masih cukup dominan. Pengeluaran untuk konsumsi pangan lebih dua kali lipat dibandingkan pengeluaran untuk nonpangan. Pengeluaran untuk pangan rata-rata per bulan mencapai Rp. 136.062. Pengeluaran pangan yang cukup rendah ini disebabkan karena kebutuhan makanan pokok, yaitu sagu dan ubi-ubian pada umumnya diambil dari kebun sendiri. Kebutuhan pangan yang harus beli antara lain gula, teh, bumbu masak, mie dan kadang kala mengkonsumsi beras. Sedangkan pengeluaran untuk non-pangan rata-rata hanya sekitar Rp. 63.787. Pengeluaran non-pangan antara lain berupa minyak tanah, batu baterai, rokok, pakaian dan perabotan rumah tangga. Dalam belanja kebutuhan pangan dan non-pangan tersebut di antara para nelayan langsung ke Kota Sorong. Mereka belanja barang ke Kota Sorong biasanya sambil menjual hasil ikan asin atau kopra. Seperti pengakuan seorang nelayan CL yang setiap 3 bulan sekali pergi ke Kota Sorong untuk menjual ikan asin atau kopra. Dia mengemukakan sebagai berikut : ‘…………. memang setiap 3 bulan sekali saya sering pergi ke Kota Sorong untuk menjual hasil pengolahan ikang asin atau kopra bila telah terkumpul. Biasanya saya ikut body mesin milik tetangga atau milik orang pulau bila kebetulan masuk kampung. Biasanya saya membayar Rp 60 ribu/PP. Pulangnya biasa belanja barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti gula, kopi, rokok, mie, kadang pakaiang dll. Kadang ada tetangga yang titip untuk dibelikan barang kebutuhan rumah tangga juga. Sebab harga barang di Kota lebih murah dan lebih baru serta tidak perlu tambah ongkos angkut atau kadang di warung tidak tersedia barang tersebut’. Untuk mendapatkan keramik dan barang pecah belah biasanya para keluarga nelayan jarang yang membeli memakai uang tunai. Kebanyakan keramik mereka peroleh melalui barter dengan pedagang dari Kepulauan Ayau dengan hasil panen ubi, sagu dan sayur-sayuran.
46 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Tabel 5.1 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga di Kampung Boni No. 1.
2. 3.
Keterangan Pendapatan Rumah Tangga per Bulan: Kurang dari Rp. 200.000,Rp. 200.000 – Rp. 299.999 Rp. 300.000 – Rp. 399.999 Rp. 400.000 – Rp. 599.999 Rp. 600.000 ke atas Jumlah Rata-rata Pendapatan RT per Bulan Rata-rata Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Sebulan Terakhir Pengeluaran Non-Pangan Rumah Tangga Sebulan Terakhir
Frekuensi
Persen/Jumlah Uang
32 24 5 6 13 80 80 80
40,4 29,1 6,5 7,8 16,8 100,0 Rp. 394.186 Rp. 136.062
80
Rp. 63.787,50
Sumber: Sensus Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK - LIPI 5.2. Strategi Dalam Pengelolaan Keuangan Dalam tradisi rumah tangga nelayan Pulau Boni, pendapatan rumah tangga merupakan hasil kerjasama antara suami-istri dan anak yang telah dewasa, di sini rumah tangga sebagai unit produksi. Oleh karena itu, pendapatan rumah tangga merupakan akumulasi pendapatan kepala rumah tangga, isteri, anak dan anggota rumah tangga yang lain. Dari hasil wawancara mendalam juga terungkap bahwa tradisi rumah tangga nelayan Pulau Boni pemegang keuangan rumah tangga adalah isteri. Meskipun hasil melaut dan hasil kebun didapat dan dipasarkan oleh suami, namun penyimpanan dan pengelolaan keuangan dalam rumah tangga diserahkan kepada isteri. Seperti diungkapkan oleh seorang nelayan ADS dan isterinya, sebagai berikut : ‘………… bagi masyarakat kami pemegang keuangan dalam rumah tangga biasanya diserahkan kepada isteri, meskipun yang mencari pendapatan utama suami dan penjualan hasil juga suami. Kalau saya, saya serahkan begitu saja. Apabila saya butuh uang untuk membeli rokok, ya…… minta isteri. Sebab isteri yang lebih banyak mengeluarkan uang untuk kebutuhan rumah tangga, laki-laki kan jarang menggunakan uang’. Uang simpanan biasanya cukup diletakkan dalam koper pakaian. Mereka belum biasa menyimpan uang di bank karena fasilitas perbankan terdekat hanya ada di Kota Sorong. Kelebihan pendapatan di samping disimpan dalam bentuk uang, juga disimpan dalam bentuk ternak ayam dan piring-piring keramik. Untuk pembelian barang-barang yang mahal harganya dan dianggap penting biasanya dibicarakan lebih dahulu dengan suami. Pada saat suami sedang memasarkan hasil kebun (kopra) dan hasil laut (ikan garam/tripang) ke Kota Sorong, biasanya sambil belanja kebutuhan barang konsumsi rumah tangga. Jenis barang apa saja yang harus dibeli biasanya telah ada pembicaraan dengan isteri. Bagaimana strategi rumah tangga apabila mendapatkan kesulitan dalam keuangan? Hasil sensus menunjukkan bahwa 62,5% rumah tangga pernah mengalami kesulitan keuangan dalam 6 bulan terakhir. Nampaknya meskipun pendapatan rumah 47 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
tangga lebih tinggi daripada pengeluaran rumah tangga dan sudah punya simpanan dalam bentuk uang, sebagian rumah tangga mengaku pernah mengalami kesulitan keuangan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan keuangan sebagian rumah tangga (36%) cukup mengambil uang simpanan sendiri. Namun ada kasus yang mengherankan ada sebagian yang lain (38%) yang perlu minta bantuan keluarga. Meskipun demikian ada pula yang terpaksa pinjam dengan bunga. Pinjam uang dengan bunga telah difasilitasi oleh kelompok perkumpulan warga di masing-masing rukun tetangga. Mereka terpaksa meminjam disebabkan memang selama 6 bulan terakhir dalam rumah tangga tersebut ada pengeluaran yang cukup tinggi yang tidak dapat diatasi dengan simpanannya sendiri. Pengeluaran-pengeluaran besar seperti untuk acara-acara pesta yang memerlukan biaya yang besar. Dalam masyarakat Kampung Boni ada 4 macam tradisi pesta yang mengeluarkan biaya tidak sedikit dan masih dilestarikan sampai saat ini, yaitu : 1.
Pesta Wor adalah pesta untuk mengingat jasa orang tua, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Kegiatan pesta ini dilakukan di masingmasing keret. Dalam acara ini penyelenggara pesta wajib memberikan/ membagi keramik, piring tempat makan atau gelang kepada pihak keluarga ibu. Barang tersebut dibagikan kepada semua anggota keluarga dari yang paling muda sampai yang tertua. Dalam acara tersebut pihak penyelenggara biasanya pasang tendatenda untuk makan dan minum bersama. Biaya pesta ditanggung oleh rumah tangga penyelenggara pesta.
2.
Pesta Kawin adalah pemberkatan perkawinan ramai-ramai/ bersama-sama di gereja dengan mengundang pendeta dari luar kampung. Setelah acara pemberkatan di gereja diikuti dengan acara makan-makan dan minum. Biaya ditanggung keluarga yang diberkati.
3.
Pesta tutup dan buka sasi lola dan udang adalah acara penutupan dan pembukaan sasi lola dan udang. Dalam setahun dilakukan 4 kali, dua kali acara penutupan sasi dan 2 kali pembukaan sasi. Dalam acara ini juga diadakan acara doa-doa dan makan bersama, sedangkan biaya ditanggung masyarakat.
4.
Pesta/selamatan membuka lahan adalah selamatan yang diselenggarakan sebelum membuka lahan di kebun. Dalam acara ini dibacakan mantra-mantra untuk minta perlindungan atau mengusir roh halus. Kemudian diadakan acara makan-makan bersama. Biaya selamatan ditanggung rumah tangga yang akan membuka lahan.
Alasan lain mengapa para nelayan Pulau Boni meskipun rata-rata punya simpanan, tapi masih memerlukan pinjaman uang dari orang lain. Pendapatan yang diterima rumah tangga dalam bentuk uang tunai dari hasil penjualan hasil baik kebun maupun laut tidak selalu diterima tiap bulan. Banyak di antara rumah tangga nelayan yang pendapatan tersebut diterima tiap 2 sampai 3 bulan sekali, sebab baru 2 – 3 bulan sekali rumah tangga menjual hasil kebun. Sehingga untuk sementara menunggu 2 sampai 3 bulan penjualan hasil, apabila ada kebutuhan mendadak dalam jumlah besar sementara simpanan uang telah habis, mereka terpaksa harus pinjam uang kepada saudara atau orang lain. Hal tersebut yang menyebabkan ketika diwawancarai dalam survai banyak yang mengaku selama 6 bulan terakhir pernah mengalami kesulitan keuangan dan terpaksa harus meminjam.
48 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
5.3. Pemilikan dan Penguasaan Aset Pemilikan dan penguasaan aset dalam rumah tangga nelayan di Pulau Boni masih sangat terbatas. Pemilikan dan penguasaan aset rumah tangga dibedakan menjadi : (1). Perahu dan alat tangkap SDL; (2). Rumah, pekarangan dan kebun; (3). Ternak; (4). Barang sebagai simpanan; dan (5). Pemilikan aset lainnya. (1). Perahu dan alat tangkap SDL Sebagian besar (80 persen) rumah tangga memiliki dan menguasai perahu tanpa motor (way), yaitu perahu sampan tanpa cadik, sampan dengan cadik tanpa motor yang biasanya digunakan untuk mencari ikan/hasil laut dan sebagai alat transportasi ke lain pulau Waigeo atau lain kampung. Sedangkan alat tangkap sumberdaya laut yang paling banyak dimiliki dan dikuasai adalah pancing (awir), yaitu 94 persen rumah tangga di Kampung Boni. Jala/jaring sebagai alat penangkap ikan hanya dikuasai bersama oleh sekitar 25 persen rumah tangga. Alat jaring yang ada adalah milik seorang pengusaha yang tinggal di Sorong. Alat jaring tersebut juga bisa dipinjam oleh rumah tangga yang lain bila memerlukan dan tanpa sewa. Pemilikan alat yang lain adalah tombak selam (senapan molo), yaitu tombak yang digunakan untuk menangkap/menombak ikan sambil menyelam. Alat ini dimiliki dan dikuasai oleh sekitar 30 persen rumah tangga. Kemudian ada alat berupa kacamata selam (kaca molo), yang biasa digunakan untuk menyelam mencari ikan dan udang di dasar laut. Alat ini cukup sederhana dan biasanya dapat dibuat sendiri. Bahannya berupa kaca, kayu dan tali karet. Alat kaca molo tersebut dapat digunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Di Kampung Boni orang perempuan juga pandai menyelam dan ikut mencari hasil laut. Alat yang lain adalah lampu petromaks yaitu untuk menarik ikan pada malam hari, namun hanya dimiliki sekitar 16 rumah tangga. Dalam kegelapan malam ikan akan mendekati lampu. (2). Rumah, pekarangan dan kebun Pemilikan dan penguasaan aset yang lain adalah rumah, pekarangan dan kebun. Rumah dimiliki dan dikuasai hampir oleh semua rumah tangga. Untuk lahan (kintel) pekarangan dan kebun di P. Boni sebetulnya masih merupakan tanah hak ulayat, sehingga sebetulnya belum ada pemilikan. Mereka hanya bisa menguasai atau menggarap. Dalam adat yang masih berlaku di Kampung Boni lahan untuk pekarangan dan rumah dapat dibuat dan dibangun di mana saja, tanpa harus ada izin formal dan di atas tanah tersebut belum ditanam tanaman keras, seperti kelapa, sukun dsb. Misalnya di lahan-lahan semak warga dapat langsung membuat pekarangan dan membangun rumah dan cukup memberi tahu dan izin kepada aparat kampung secara lisan. Kemudahan untuk mendapatkan lahan tersebut yang mengakibatkan warga sangat mudah membangun rumah. Dari 80 rumah tangga hampir semuanya menguasai lahan pekarangan dan kebun. Khusus untuk lahan kebun yang dikuasai penduduk Kampung Boni tidak hanya berlokasi di pulai ini, tapi banyak yang menguasai di pulau besar, yaitu di Pulau Waigeo. Untuk mendapatkan lahan kebun juga mudah sebagai tanah hak ulayat. Lahan kebun yang akan dikuasai dapat diperoleh dengan membuka lahan dan langsung ditanami tanaman keras dan berhak untuk menggarap. Apabila sudah ditanami tanaman keras orang lain sudah tidak dapat mengambil alih atau menguasai.
49 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
(3). Ternak Di kampung tersebut tidak ada ternak babi, sapi dan bebek. Satu-satunya jenis ternak adalah ayam. Hampir dua pertiga rumah tangga di Boni memiliki ternak ayam kampung. Sedangkan binatang piaraan lainnya yang paling banyak adalah anjing. Anjing dimiliki hampir oleh semua rumah tangga, (4). Barang sebagai simpanan Aset yang merupakan simpanan dan kebanggaan rumah tangga penduduk di P. Boni adalah keramik yang berupa piring gantung, piring antik dan guci. Aset ini dimiliki oleh tiga perempat rumah tangga Mereka memiliki keramik karena terkait dengan keperluan adat perkawinan. Keramik sebagai alat/ simbol pembeli calon isteri baik pada saat melamar seorang perempuan maupun sebagai mahar/ mas kawin pada saat acara pernikahan. Keramik tersebut biasanya sebagian dibagikan kepada keluarga sekeret oleh pihak keluarga pengantin perempuan. Dalam adat suku Biak di Kampung Boni jumlah piring lamaran sangat tergantung kepada status orang tua dan kecantikan gadis yang akan dipinang serta permintaan dari pihak keluarga gadis. Makin tinggi status, kecantikan biasanya makin banyak piring lamaran yang diminta. Oleh karena itu, para jejaka di kampung ini belum berani melamar dan kawin apabila belum memiliki piring gantung, piring antik/ kuno atau guci dalam jumlah tertentu. Oleh karenanya kebanyakan rumah tangga Kampung Boni yang memiliki anak laki-laki biasanya selalu menabung atau mengumpulkan barang-barang tersebut jauh-jauh sebelum anaknya dewasa. (5). Pemilikan aset lainnya Sedangkan pemilikan aset lainnya adalah jenis alat elektronik. Di Boni yang ada hanya radio, yang dimiliki hanya oleh 24 persen rumah tangga. Televisi belum ada, sebab di kampung ini belum ada listrik umum. Listrik diesel yang ada hanya milik gereja yang hanya dihidupkan pada saat tertentu saja, seperti saat perayaan Natal, Paskah dan perayaan lainnya. Tabel 5.2 Pemilikan dan Penguasaan Aset Rumah Tangga Nelayan No. 1.
2. 3. 4.
Keterangan Alat Tangkap SDL : 1. Perahu tanpa motor/way 2. Perahu mesin/body mesin 3. Jaring/jala 4. Pancing/awir 5. Tombak selam/ senapan moto 6. Kacamata selam/kaca molo 7. Sumpit & jerat 8. Lampu petromaks Pemilikan Lahan : 1. Pakarangan 2. Kebun Rumah Pemilikan Barang : 1. Alat Elektronik 2. Piring gantung, piring dulu, guci
Frekuensi (Jumlah RT)
Persen
64 2 20 75 24 52 12 13
80 2,5 25 93,8 30 65 15 16,3
63 66 77
78,8 82,5 96,3
19 60
23,8 75,0
Sumber: Sensus Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK - LIPI
50 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
1.4. Kondisi Perumahan dan Sanitasi Lingkungan (1). Kondisi perumahan Hampir seluruh rumah tangga penduduk di Pulau Boni memiliki rumah tinggal sendiri. Hanya ada beberapa rumah tangga yang masih menumpang orang tua atau mertua. Dari sejumlah rumah di Kampung Boni tersebut, sebagian besar masih merupakan rumah yang dapat diklasifikasikan rumah darurat. Rumah darurat di sini adalah rumah lantai tanah, dinding pelepah sagu dan atap daun sagu atau daun kelapa. Hanya 13 rumah yang dapat diklasifikasikan semi permanen, yaitu lantai masih tanah, dinding tembok/batako dan atapnya masih daun sagu. Ada 4 rumah yang sudah masuk klasifikasi permanen, yaitu lantai plesteran, dinding tembok dan atap seng. Sebagian rumah tersebut pondasinya permanen, hanya sayangnya bahan utama yang digunakan adalah berasal dari batu karang. Meskipun bahan tersebut diambil dari karang yang sudah mati, namun bila penggunaan karang untuk pondasi terus meningkat akan ikut mempercepat proses abrasi pantai. Pada saat ini tingkat abrasi pantai memang belum begitu parah. Pola pemukiman telah ditata dengan rapi, perumahan dibangun membujur dan menghadap jalan utama yang lebarnya 8 m. Jarak antara rumah satu dengan lainnya dibuat kurang lebih sama. Pada umumnya rumah utama dipisahkan dengan dapur, sehingga rumah mereka tidak nampak kumuh. (2). Sanitasi lingkungan Sekilas lingkungan permukiman di Kampung Boni cukup bersih dan rapi, tidak nampak adanya penumpukan sampah di sekitar rumah. Untuk sumber air bersih, setiap dua rumah tangga tersedia satu sumur timba yang kedalamannya hanya sekitar 2 m. Keuntungannya, meskipun P. Boni merupakan pulau kecil dengan ketinggian di atas permukaan laut hanya sekitar 1 - 2 m, namun semua sumur yang dibangun di pulau ini airnya tawar dan dapat diminum. Sekitar 3 tahun yang lalu kampung ini mendapat bantuan bangunan MCK (Mandi – Cuci – Kakus) dari Dinas Pekerjaan Umum sebanyak dua lokasi, namun saat ini tinggal satu lokasi yang masih dapat dimanfaatkan. Satu lokasi lagi telah rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi serta bangunannya telah ambruk. Belum ada niat dari pihak masyarakat untuk membangun kembali. Masyarakat Kampung Boni masih mempunyai kebiasaan buang air besar di pantai. Oleh karena itu, meskipun telah dibangunkan MCK tidak pernah digunakan. Lokasi tempat buang air besar memang terpisah antara orang laki-laki dan orang perempuan. Kaum perempuan biasanya menggunakan pantai sebelah utara, sedangkan kaum laki-laki menggunakan pantai sebelah barat. Mereka merasa malu buang air besar bercampur dalam satu lokasi antara laki-laki dan perempuan. Menurut penuturan mantri kesehatan yang bertugas di Kampung Boni, memang masih sulit menyadarkan penduduk untuk buang air besar di kakus dan masih sulit membina dan menyadarkan penduduk untuk membuat kakus untuk masing-masing rumah tangga. Mereka sudah terbiasa menggunakan pantai untuk buang air besar, praktis, karena langsung bisa cebok. Menurut pendapat warga setempat, kotoran yang dibuang ke laut langsung dapat dimakan oleh ikan, sehingga merasa tidak mengganggu lingkungan. Pengamatan peneliti, ketika menelusuri pantai memang terasa kurang nyaman, di sana-sini di sepanjang pantai berserakan kotoran manusia dan anjing serta
51 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
bau kotoran yang cukup menyengat. Bagi penduduk Boni pemandangan dan bau tersebut dianggap hal yang biasa.
52 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Bab VI Degradasi Sumber Daya Laut 6.1. Kondisi Sumberdaya Laut Gambaran umum tentang kondisi sumberdaya laut telah dijelaskan pada bab dua yang memperlihatkan bahwa kualitasnya relatif masih baik. Hal tersebut juga didukung oleh pendapat hampir semua responden yang diwawancarai dalam sensus (lihat Tabel 6.1). Para nelayan bahkan telah banyak mengetahui berbagai larangan dan sanksi penggunaan bom, pengambilan karang, penggunaan sianida/ racun dan penggunaan pukat. Sejalan dengan pengetahuan tersebut, mereka juga setuju adanya larangan/ peraturan pemerintah (lihat Tabel 6.2). Hal ini tidak berarti bahwa di daerah lingkungan P. Boni tidak ada indikasi adanya proses degradasi. Menurut hasil observasi peneliti dan dari hasil wawancara dengan para nelayan ternyata telah terjadi proses degradasi pada ekosistem terumbu karang, pada ekosistem pesisir-pantai dan ekosistem padang lamun. Terumbu karang yang sebarannya ada di seputar P. Boni memperlihatkan pertumbuhan yang berbeda, tergantung lingkungan yang mem pengaruhinya. Terumbu karang yang tumbuh secara baik adalah yang ada di bagian utara dan timur laut P.Boni pada jarak kurang lebih 2 kilometer. Lebar terumbu karang (reef top) ini kurang lebih 20 meter memanjang ke arah timur laut. Adapun terumbu karang yang pertumbuhannya lambat, bahkan ada yang telah mati, letaknya kurang dari satu kilometer dari pantai P.Boni terutama di bagian selatan dan bagian barat P. Boni. Diperkirakan luas areal terumbu karang yang mengalami gangguan adalah sekitar 5 % wilayah terumbu karang. Kondisi air laut di tempat terumbu karang yang mengalami degradasi tersebut relatif keruh dan tenang. Hal ini terjadi karena adanya proses sedimentasi dari material asal daratan P. Waigeo yang terbawa oleh run off dan endapan akibat abrasi pantai baik di daratan P. Waigeo maupun di P. Boni. Akibat illegal logging di P. Waigeo hutan menjadi rusak dan telah terjadi proses erosi, kemudian dibawa oleh run off ke arah pantai utara pulau tersebut. Syarat pertumbuhan terumbu karang di bagian ini nampaknya tidak kondusif, dan sebaliknya untuk pertumbuhan ekosistem mangrove di daerah pantai P. Boni bagian selatan. Kondisi ini sangat berbeda dibandingkan di daerah terumbu karang di bagian utara dan timur laut P. Boni yang jauh dari pantai, airnya jernih dan selalu ada ombak sehingga ada aliran air laut. Daerah tersebut berhadapan langsung dengan laut lepas, yaitu Lautan Pasifik, sehingga selalu ada ombak. Terumbu karang tersebut karena letaknya agak jauh dari permukiman dengan kedalaman laut sekitar 6 meter, relatif tidak terganggu oleh penduduk. Sebagian kecil pantai P. Boni di bagian utara dan barat daya telah menunjukkan adanya proses degradasi. Beberapa pohon kelapa dalam(lokal) yang tumbuh di pantai telah roboh dan ada pohon kelapa yang mulai menggantung karena akarnya mulai kelihatan akibat adanya abrasi. Pantai yang terkena abrasi tersebut kurang lebih sepanjang 300 meter dan lebar sekitar 7 meter. Menurut perkiraan informan abrasi tersebut sudah berlangsung lebih nyata semenjak 15 tahun terakhir. Abrasi pantai 53 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
terjadi akibat gempuran arus dan ombak pada saat musim barat dan musim timur. Sementara itu karang mati yang letaknya dekat dengan pulau tersebut sebagian telah diambili oleh warga setempat untuk pondasi rumah. Hutan mangrove yang tumbuh secara alami pada pesisir bagian selatan dan barat daya P. Boni selain telah mengalami perluasan ke arah laut, namun juga telah mengalami kerusakan di bagian daratan. Pohon mangrove yang ditebang umumnya sudah berukuran cukup besar. Hutan mangrove tersebut langsung berhadapan dengan kebun milik masyarakat Boni. Penebangan tersebut sebatas untuk keperluan bahan kayu rumah, untuk pagar pekarangan, untuk cadik perahu dan untuk keperluan yang menunjang pembuatan dermaga. Hal ini terjadi semenjak mereka bermukim di P. Boni tahun 1967. Pohon mangrove tersebut meskipun ada yang ditebang namun telah terjadi proses keseimbangan dengan munculnya tanaman baru ke arah laut yang mengalami pasang surut dan berlumpur. Tanaman lamun tumbuh pada laut dangkal di sekeliling P. Boni. Kondisi padang lamun tersebut telah mengalami degradasi. Menurut informasi masyarakat, tanaman tersebut pernah tumbuh subur, sebarannya luas dan rapat. Namun pada saat penelitian ini dilaksanakan padang lamun tersebut kondisinya sudah kurang baik, tanaman tumbuh kerdil dan menyebar di sana-sini. Kerusakan tanaman ini lokasinya kurang lebih sama dengan lokasi terumbu karang yang telah mengalami degradasi. Kemungkinan ada kaitan antara padang lamun dengan produktivitas terumbu karang. Tabel 6.1 Pendapat Responden tentang Kondisi Terumbu Karang Di sekitar Pulau Boni saat ini dibandingkan 5 tahun yang lalu Pendapat responden tentang terumbu karang Baik Kurang baik Rusak Tidak tahu Jumlah N Lebih baik Sama saja Lebih buruk Tidak tahu Jumlah N
Kondisi saat ini 100,0 0,0 0,0 0,0 100,0 80 -
Kondisi saat ini dibandingkan 5 tahun yang lalu 85,0 11,2 0,0 3,8 100,0 80
Sumber : Sensus Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI
54 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Tabel 6.2 Pengetahuan responden dan setuju/ tidaknya tentang larangan/ Peraturan pemerintah serta sanksi yang berkaitan dengan Perusakan terumbu karang dan biota laut di dalamnya. Jenis kegiatan
1. 2. 3. 4.
Penggunaan bom Pengambilan karang Penggunaan sianida/racun Penggunaan pukat
Mengetahui adanya larangan/ peraturan pemerintah (%) 97,6 95,0 87,5 81,3
Setuju adanya larangan/ peraturan pemerintah (%) 95,0 95,0 87,5 98,5
Mengetahui adanya sanksi (%)
91,3 87,5 80,0 86,2
Sumber : Sensus Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK - LIPI 6.2. Faktor Internal Kehidupan sehari-hari masyarakat P. Boni berada pada ekosistem lingkungan terumbu karang, pesisir-pantai dan mangrove. Hal ini berarti bahwa mereka merupakan bagian dari ekosistem tersebut. Masyarakat Boni hidupnya masih tergantung dari sumberdaya lingkungan tersebut. Dampak ikutan yang bersifat merusak akibat hubungan timbal balik tidak dapat dihindari. Degradasi sumberdaya laut akibat tingkah laku masyarakat Boni didefinisikan sebagai faktor internal. Tingkah laku masyarakat Boni yang menyebabkan degradasi adalah : 1. Masyarakat setempat telah memanfaatkan karang mati di laut sekitar Pulau Boni untuk pondasi rumah-rumah permanen dan semi permanen. Pada saat ini ada 17 rumah permanen dan semi permanen dan ada 4 pondasi yang telah dibuat walaupun belum membangun rumah. Pondasi rumah-rumah tersebut semuanya telah menggunakan karang mati. Diperkirakan penggunaan karang mati untuk pondasi berlangsung sepuluh tahun terakhir yang jumlahnya sekitar 60 meter kubik. 2. Beberapa orang penduduk pernah menangkap ikan napoleon dan lobster dengan menggunakan akar bore. Ini merupakan pemanfaatan pengetahuan lokal tentang penggunaan tanaman untuk menangkap ikan yang meluas diketahui oleh para nelayan. Praktek penggunaan akar bore untuk menangkap ikan sudah lama dilakukan, walaupun penggunaan lebih intensif pada saat panen sasi dan pada saat masih ada usaha karamba oleh pengusaha eksportir ikan dari Sorong. Lokasi penangkapan berada pada celah-celah terumbu karang. Mengenai penggunaan akar bore tersebut masih ada perbedaan persepsi antara pemerintah daerah dan masyarakat nelayan. Menurut aturan pemerintah penggunaan akar bore termasuk dalam pengertian penggunaan racun yang telah dilarang. Meskipun ada larangan, sampai saat ini tidak pernah ada sanksi untuk para pelaku. Sedangkan menurut persepsi masyarakat penggunaan akar bore dianggap tidak merusak terumbu karang karena ikannya tidak mati hanya pingsan. Meskipun demikian penggunakan akar bore untuk menangkap ikan kerapu dapat menimbulkan kematian. Menurut nelayan, di tempat di mana penangkapan ikan dengan akar bore dilakukan hari ini,
55 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
esok harinya sudah kembali ada ikan lagi. Tumbuhan karang sekitar penangkapan juga tidak mati. Apakah P2O-LIPI sudah melakukan penelitian tentang akar bore? 3. Daerah pesisir yang ada laut dangkal dan mengalami pasang surut, setiap hari diinjak-injak para nelayan yang mencari ikan gurita, keong dan ikan kecil, tempat bermain anak-anak kecil, tempat berlabuh perahu waktu surut dan tempat membuang kotoran serta sampah rumah tangga. Tingkah laku masyarakat tersebut telah menimbulkan degradasi lingkungan padang lamun dan terumbu karang. Meski demikian, daerah cekungan pada laut dangkal tersebut secara sporadis masih terdapat terumbu karang hidup. 4. Masyarakat setempat telah memanfaatkan kayu mangrove untuk bahan material rumah tangga, antara lain untuk tiang, untuk pagar, untuk cadik perahu dan untuk tiang layar. Menurut masyarakat setempat kualitas kayu mangrove adalah baik sebab cukup keras dan tahan lama. Untuk mendapatkan kayu mangrove tidak sulit karena dekat dari permukiman dan belum ada larangan penebangan kayunya. Di samping hal-hal tersebut di atas, faktor pengelolaan SDL juga perlu mendapatkan perhatian. Selama ini pengelolaan SDL melalui sasi masih terbatas pada biota laut lola dan udang/lobster. Untuk hasil laut tripang dan jenis ikan tertentu belum pernah diadakan sasi. Untuk tempo ke depan, apabila pemanfaatan hasil laut meningkat, tanpa ada pengelolaan lewat sasi, dikawatirkan penangkapan SDL tersebut dapat tidak terkontrol dan hasil SDL akan cepat habis. 6.3. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah aktivitas stakeholder yang datang dari luar yang dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya alam di Kampung Boni. Faktor eksternal yang memberi kontribusi kerusakan sumberdaya laut adalah: 1. Kadang kala ada perahu motor dari pedagang asal Kepulauan Ayau yang datang ke Kampung Boni untuk membeli kopra dan melakukan barter. Pada saat perahu motor tersebut berlabuh di pesisir telah membuang jangkar yang terbuat dari besi. Kegiatan tersebut diperkirakan mempengaruhi ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun walaupun hanya kecil. 2. Di lokasi hutan mangrove pada saat ini sedang dalam proses pembuatan dermaga dan jalan tembus dari permukiman menuju lokasi tersebut. Dalam proses pembuatan tersebut telah memanfaatkan sebagian kecil kayu mangrove di sekitarnya. Hal lain yang perlu diantisipasi adalah terbukanya izin nelayan dari luar (dengan kapal motor) untuk menangkap ikan di sekitar P. Boni, meskipun wajib membayar uang untuk kampung, juga dapat berpotensi untuk perusakan terumbu karang. Dengan kondisi seperti saat ini pihak kampung tidak mampu untuk mengontrol kegiatan mereka, seperti penggunaan/ membuang jangkar sembarang dan penggunaan alat tangkap (jala) yang dapat menangkap sembarang ikan termasuk ikan-ikan kecil, bahkan penggunaan bahan kimia. Degradasi karena faktor-faktor tersebut di atas tentunya merupakan konflik antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan konservasi sumberdaya laut, walaupun masih dalam skala terbatas. Nampaknya masyarakat Boni itu sendiri tidak menyadari terjadinya degradasi lingkungan dan dianggap belum menjadi masalah yang serius buat mereka. 56 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Di samping faktor internal dan faktor eksternal yang diidentifikasi telah memberi kontribusi terjadinya degradasi ekosistem, faktor alam juga telah ikut merusak. Telah diterangkan sebelumnya bahwa kerusakan ekosistem terumbu karang dan ekosistem lamun di selatan dan barat daya P. Boni karena terjadi proses sedimentasi dan aliran air tawar dari daratan P. Waigeo.
57 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab VII Diskusi, Kesimpulan dan Rekomendasi Masyarakat Boni yang hidup di pulau kecil hampir seluruhnya adalah etnis Biak. Meskipun sebagian besar mereka lahir di daerah Waigeo Utara, namun masih mempertahankan budaya asalnya. Pada saat ini mereka hidup di lokasi yang terisolir, jauh dari pusat pertumbuhan dan sedikit mempunyai akses transportasi laut. Hal ini telah menjadi kendala utama dalam merealisasikan harapan dalam memperoleh akses sosial - ekonomi di luar daerah. Demikian pula keberadaan fasilitas sosial di Kampung Boni juga masih terbatas, sehingga tidak banyak pilihan yang dapat diperoleh. Kondisi tersebut telah menempatkan masyarakat Boni dalam kehidupan yang sederhana, selaras dengan kualitas manusia yang masih hidup pada kondisi subsisten. Meskipun secara lahiriah mereka hidup dalam kemiskinan, namun secara batiniah adalah kaya, karena mereka telah menjadi umat yang setia kepada ajaran Yesus Kristus. Untuk menopang kehidupan, mereka telah memanfaatkan sumberdaya alam sebatas kemampuannya. Mereka berkebun tanaman semusim dan tanaman keras di samping memanfaatkan sumberdaya laut. Pemanfaatan sumberdaya laut sebagian besar hanya untuk konsumsi rumah tangga. Sumberdaya laut yang telah dimanfaatkan keluarga nelayan sebagai bahan komoditi, terbatas yang telah diolah menjadi ikan asin oleh 9 keluarga dalam 2 tahun terakhir. Ini berarti daerah tersebut belum mengalami pemanfaatan sumberdaya laut yang berlebihan (over fishing). Oleh karena itu, kualitas terumbu karang masih baik meskipun telah ada degradasi yang sifatnya terbatas, dan penyebabnya tidak hanya faktor internal dan faktor eksternal, tetapi juga faktor alam. Selain itu, pihak gereja telah memanfaatkan sumberdaya laut berupa penangkapan udang dan lola untuk membiayai rencana pembuatan gereja baru. Pihak gereja telah membuat sasi terhadap udang dan lola. Kelembagaan gereja sebenarnya telah menerapkan prinsip-prinsip managemen pengelolaan, melalui dari tahap perencanaan sampai dengan evaluasi. Keterbatasan kemampuan dalam pemanfaatan sumberdaya laut terkait erat dengan kemiskinan struktural masyarakat. Mereka telah terjebak dalam kemiskinan ilmu pengetahuan dan teknologi selain mereka miskin ekonomi. Dua aspek tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam mengatasi persoalan yang selanjutnya dapat diterjemahkan ke dalam indikator dan program-program intervensi. Dalam mengatasi persoalan tersebut di atas harus ada pola pikir bahwa setiap program intervensi harus bermuara pada upaya untuk memberdayakan masyarakat agar hidupnya dapat lebih sejahtera. Prinsip-prinsip untuk memberdayakan masyarakat nelayan yaitu : 1. Pengembangan peran serta masyarakat. Masyarakat Boni agar dapat memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja. Salah satu sumberdaya potensial di daerah tersebut adalah kekayaan laut dan darat. Adapun sumberdaya manusia dan sumberdaya ekonomi berada pada kondisi yang lemah. Untuk itu perlu sekali upaya peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang 59 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
ada dengan memberi kesadaran perlunya pelestarian. Manakala mereka dapat memanfaatkan sumberdaya alam dari tataran hunting and fishing menuju home industry maka akan terjadi nilai tambah yang lebih besar dan sekaligus akan muncul alternatif pekerjaan di luar pertanian. Program yang dapat dimasukkan untuk pengolahan hasil laut antara lain jenis-jenis teknologi tepat guna seperti pembuatan abon ikan, pembuatan kerupuk ikan, dan pembuatan terasi. Adapun pengolahan hasil pekarangan dan kebun antara lain pembuatan keripik sukun, pembuatan sagu cetak dan pembuatan sapu dari sabut kelapa. 2. Perubahan teknologi penangkapan. Perubahan teknologi penangkapan yang mengarah pada peningkatan produktivitas dan peningkatan kelestarian terumbu karang perlu diperkenalkan. Teknologi yang disarankan di sini adalah motorisasi perahu, agar mereka dapat menangkap ikan jauh dari ekosistem terumbu karang (laut lepas). Hal ini hanya mungkin dilakukan untuk rentang waktu panjang, setelah para nelayan cukup berdaya baik dalam ekonomi maupun ipteknya. 3. Produk yang berorientasi pasar. Produk hasil olahan diarahkan untuk dapat dijual ke luar, misalnya ke Kota Sorong. Untuk dapat dijual ke luar pulau tentunya perlu yang berkualitas sehingga mampu bersaing. Sejalan dengan itu, perlu mencari tempat pemasaran atau mencari mitra usaha. 4. Pembimbingan. Untuk mewujudkan butir 1,2 dan 3 tersebut di atas dirasa perlu ada program pembimbingan yang datang dari luar yang mempunyai perhatian besar dalam pengembangan masyarakat (community development). Dengan menempatkan tenaga berdedikasi tinggi dan punya pengalaman dalam pengembangan masyarakat pesisir terpencil, diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan. 5. Mitra lembaga setempat. Program -program intervensi supaya dapat diterima dan masyarakat mau berperan serta manakala bermitra dengan lembaga lokal yang menjadi panutan. Untuk membangun masyarakat Boni nampaknya kelembagaan gereja merupakan pilihan tepat untuk bermitra. 6. Pembentukan kelompok nelayan. Untuk mempercepat proses perubahan yang mengarah pada pemberdayaan ekonomi, dapat dilakukan manakala para nelayan bekerja dalam kelompok. Ide pembentukan kelompok-kelompok nelayan (mis. tiap 10 keluarga nelayan ), adalah meningkatkan produktivitas dan efisiensi lewat kelembagaan. Di dalam kelembagaan tersebut para nelayan dapat belajar bersama dan sekaligus memecahkan masalah mereka secara bersama-sama pula. Sebagai contoh, pembelian motor tempel dapat dibeli dan dikelola oleh kelompok; pengolahan dan pemasaran dapat dilakukan oleh kelompok. Pembentukan dan bagaimana aturan pengelolaan kelompok tersebut dapat dilakukan oleh mereka secara musyawarah. 7. Kemandirian dana pembangunan kampung. Pengalaman pengelolaan sumberdaya laut lewat konsep sasi ternyata mampu menghimpun dana cukup besar. Apabila rencana pembuatan gereja baru telah terealisir, apakah tidak mungkin konsep sasi tersebut dilanjutkan untuk menghimpun dana pembangunan kampung. Sebagai contoh penggunaan dana kampung yang terhimpun dapat dibelikan motor tempel. Dengan adanya keberadaan perahu motor milik kampung maka dapat dimanfaatkan untuk kegiatan mencari ikan dan untuk transportasi ke Kota Sorong.
60 Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Daftar Kepustakaan Abdullah Ahmad; Tri Wahyono; dan Hermanus Layu 1989 Laporan Survei Penilaian Potensi Sumberdaya Alam Laut dalam Rangka Penetapan Kawasan Konservasi Laut di Kepulauan Ajoe, Irian Jaya. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Direktorat Pelestarian Alam. Farid M. dan Suryadi S. 2001 Laporan Umum Hasil Penelitian Marine Rai di Kepulauan Raja Ampat, Sorong, Irian Jaya. Jayapura : Conservation International Indonesia Program Irian Jaya. Kompas, 23 Nopember 2001 Nambrahu, Nomensen ST 1996 ‘Permukiman Migran Biak di Kepulauan Raja Ampat Kabupaten Sorong’. Makalah disampaikan pada Musyawarah Kerja Nasional Sejarah XIII. Ujung Pandang : Universitas Hasannudin 9 – 12 Juli 1996. WWF Indonesia, Bioregional Sahul – Irian Jaya 2000 Kajian Ekonomi Makro di Kabupaten Sorong, Manokwari, Nabire, Jayawijaya, Mimika danMerauke.
61 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBUK KARANG INDONESIA
Lampiran Lampiran Tabel 1 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Sebulan Terakhir, Kampung Boni, 2001 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11.
Kategori Pendapatan (ribuan)
%
< Rp. 200 Rp. 200 – Rp. 399 Rp. 400 – Rp. 599 Rp. 600 – Rp. 799 Rp. 800 – Rp. 999 Rp. 1.000 – Rp. 1.199 Rp. 1.200 – Rp. 1.399 Rp. 1.400 – Rp. 1.599 Rp. 1.600 – Rp. 1.799 Rp. 1.800 – Rp. 1.999 Rp. 2.000 + Jumlah N
40,0 36,3 7,5 5,0 3,8 1,3 3,8 2,5 100,0 80
Sumber : Sensus Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI. Lampiran Tabel 2 Distribusi Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga Sebulan Terakhir Kampung Boni, 2001
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kategori Pengeluraran (ribuan) < Rp. 100 Rp. 100 – Rp. 199 Rp. 200 – Rp. 299 Rp. 300 – Rp. 399 Rp. 400 – Rp. 499 Rp. 500 – Rp. 599 Rp. 600 – Rp. 699 Rp. 700 – Rp. 799 Rp. 800 – Rp. 899 Rp. 900 – Rp. 999 Rp. 1.000 + Jumlah N
Pangan % 43,8 32,5 13,8 5,0 3,8 1,3 100,0 80
Non Pangan % 85,0 7,5 5,0 2,5 100,0 80
Sumber : Sensus Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI.
63 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Lampiran Tabel 3 Distribusi Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga Sebulan Terakhir, Kampung Boni, 2001 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kategori Pengeluaran (ribuan) < Rp. 100 Rp. 100 – Rp. 199 Rp. 200 – Rp. 299 Rp. 300 – Rp. 399 Rp. 400 – Rp. 499 Rp. 500 – Rp. 599 Rp. 600 – Rp. 699 Rp. 700 – Rp. 799 Rp. 800 – Rp. 899 Rp. 900 – Rp. 999 Rp. 1.000 + Jumlah N
% 16,3 53,8 12,5 6,3 3,8 5,0 1,3 1,3 100,0 80
Sumber: Sensus Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI Lampiran Tabel 4 Daftar Harga Beberapa Jenis Sumberdaya Laut di Jenis SDL & SDD 1. Tripang Kawasa 2. Tripang Benang Polos 3. Tripang Benang Bintik 4. Tripang Susu 5. Tripang Kongkong 6. Tripang Malam 7. Tripang Nanas 8. Tripang Balok 9. Tripang Gosok 10. Lola 11. Udang Batu 12. Udang Bambu 13. Udang Hias 14. Napoleon 15. Tenggiri 16. Kerapu 17. Kutila 18. Hile 19. Bubara 20. Kakaktua Biru 21. Semandar 22. Kakap 23. Kumis 24. Merah 25. Sirip Hiau Sebagai bandingan Beras Gula Terigu Minyak tanah
Kampung Boni
Harga 5 Tahun yang Lalu (1997) (dalam Rupiah/ Kg) 8.000 10.000 12.000 55.000 55.000 17.000 9.000 12.000 70.000 9.000 4.000 8.000 70.000 45.000 7.000-9.000 7.000 3.500 1.500 3.500 3.500 3.500 3.500 3.500 3.500 40.000
Harga Sekarang (September 2001) (dalam Rupiah/ Kg) 25.000 35.000 40.000 120.000 120.000 120.000 85.000 27.500 100.000 20.000 100.000 120.000 300.000 120.000 10.000-18.000 45.000 7.500 3.500 7.500 7.500 7.500 7.500 7.500 7.500 700.000
1.200 1.200 2.500 350/liter
3.000 5.000 6.000 800/liter
Sumber : Hasil wawancara mendalam, PPK-LIPI 64
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua
Lampiran Tabel 5 Istilah Lokal Istilah umum
Istilah lokal (Biak-Boni)
Terumbu karang Karang Karang hidup Karang mati Ikan Napoleon Kutila Hila Bubara Kakaktua biru Semandar Kerapu Kakap Kumis Merah Pari besar Tripang Lola Udang Hiu Penyu kembang Gurita Laut Ombak Gelombang Pantai Pasir Pasir putih Padang lamun Laut dalam Laut dangkal Meti/air surut Angin ribut Angin mati Angin barat Angin timur Angin selatan Angin utara Teluk Selat
Ros Rep Rosiwye Rosimar Ine Mamen In Sroen In duar In bemun In berumek In sarek In daf In isnare In sure In swaker In bau Pimam Keduror Amos Romun/gurango Penyu kerang Kait Swan Resen Manu/bak Yen yabow Karyen Yen bepyor Andoi Idok Isior Deri Wame sonafa Wame kimar Wam mires Wam murem Wam brave Wam brure Dore/brui Suawe
Tanjung Ladang/kebun
Rares Yawe
Pekarangan
Kintel
Semak
Roweko
Jalan
Nyan
Tanah tinggi Abrasi laut
Bon Imkok karyen
Mangrove/bakau Perahu sampan
Mangi-mangi/kore Way
Perahu mesin/motor
Body mesin
65 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Istilah umum
Istilah lokal (Biak-Boni)
Long boot Speed boot
Kole-kole Slup
Jala/net Kail
Jaring Awir
Tali kail Tombak selam
Nelon Senapan molo
Kacamata selam Tombak dipermukaan
Fanin Kalawai/mandora
Memancing
Sarwer
Pasang jala Rumpon
Kosan jala Rumpong
Rumah berlabuh Pohon
Rumbepyar Ai
Sukun Kelapa
Wamu Serair
Pinang
Ropone
Ubi kayu
Batawe/kasbi
Ubi jalar
Batatas/ransio
Keladi
Japang
Sagu Beras
Bariam Fas
Ayam Piring keramik
Man Robena
Piring kuno
Robena dulu
Sumber : Hasil wawancara mendalam, PPK-LIPI
66
Studi Kasus : Kampung Boni, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua