Andy Ahmad Zaelany, Nawawi Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia/ Andy Ahmad Zaelany, Nawawi – Jakarta: COREMAP, 2002 xiii, 89 hlm, 22 cm
Seri Penelitian COREMAP-LIPI No. 3/2002 ISSN 1412-7245
1. Terumbu Karang 2. Pengelolaan I. Judul II. COREMAP-LIPI
3. Degradasi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Studi Kasus: Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara
Desain isi : Suparman
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh COREMAP-LIPI.
Ringkasan Penduduk di Kelurahan Bahari yang terletak di Kecamatan Tomia Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara, mempunyai karakter pekerjaan yang pluri-activity. Kenelayanan, dalam arti mencari ikan, merupakan pekerjaan yang umum dilakukan oleh penduduk. Namun bukan merupakan pekerjaan utama sebagian besar penduduk. Umumnya mereka tidak hanya mempunyai satu mata pencaharian, tetapi bermacammacam, apalagi kalau dilihat dari unit rumah tangga. Wanita di kelurahan ini juga aktif bekerja mencari nafkah. Jenis-jenis pekerjaan tersebut misalnya sebagai pemetik cengkeh, pedagang antar pulau, membuka warung, berjualan di pasar, buruh bangunan dan lain-lain. Tidaklah mengherankan bila jumlah pendapatan mereka secara umum relatif cukup baik. Kesejahteraan penduduk yang baik ini terlihat dari pemilikan emas dan benda-benda elektronik Pola kenelayanan adalah subsisten, lebih untuk keperluan sendiri. Selain itu, preferensi mereka adalah memakan ‘‘ikan segar“. Mereka menangkap ikan untuk dimakan habis atau dijual segera. Bila terpaksa diawetkan seperti menjadi ikan asin atau ikan asap, maka harga ikan tersebut akan sangat rendah. Justru nelayan-nelayan dari luar, terutama dari daerah-daerah di Provinsi Sulawesi Selatan yang agresif memanen hasil laut. Armada mereka yang besar dan teknologi yang lebih canggih memungkinkan mereka memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk memanen hasil laut. Apalagi bila dibantu dengan penggunaan teknologi destruktif seperti bom dan obat bius (racun). Walaupun dikelilingi oleh laut, sesungguhnya penduduk di Kelurahan Bahari cenderung lebih sebagai pelaut dan pedagang, bukan nelayan. Rata-rata tingkat pendidikan cukup baik, sudah banyak yang menyelesaikan tingkat S-1, bahkan ada yang sedang kuliah S-2. Generasi muda yang berpendidikan tinggi lebih memilih untuk bekerja sebagai pelaut di kapal-kapal besar seperti Pelni, milik Pertamina dan lain-lain. Barangkali hal ini sangat dipengaruhi oleh sejarah pemukiman mereka. Dahulunya mereka berdiam di pedalaman pulau ini untuk menghindari bajak laut dan orang-orang Tobelo yang suka menculik mereka untuk dijadikan budak. Begitu juga ketika masa perang kemerdekaan, maka untuk menghindari serbuan kolonial Belanda dan Jepang mereka membuat benteng-benteng di daerah pedalaman. Mereka baru mulai bergerak mendekati pantai untuk bermukim setelah usai perang melawan DI/TII. Itulah sebabnya menjadi nelayan bukanlah preferensi pekerjaan mereka. Prinsip open access juga menjadi salah satu sikap penduduk di Kelurahan Bahari. Sebagai pedagang dan pelaut yang melayari kawasan laut di tempat-tempat lain, mereka beranggapan laut adalah milik bersama. Jadi siapapun bisa berlayar dan mencari ikan di wilayah Pulau Tomia. Prinsip ini membuat mereka membiarkan perahu nelayan dari luar daerah serta nelayan dari luar negeri untuk mencari ikan di perairan Pulau Tomia. Prinsip itu pula yang membuat mereka tidak berbuat apa-apa ketika ada nelayan lain yang mencari ikan dengan menggunakan teknologi destruktif seperti bom dan obat bius. Pengetahuan penduduk tentang sumberdaya laut masih terbatas. Namun mereka sudah menyadari akan arti penting keberadaan terumbu karang. Rusaknya terumbu karang di perairan ini telah membuat sebagian masyarakat prihatin. Salah satu buktinya adalah ketika masyarakat menggerebek rumah keluarga Si Waturumbu dan menuntut keluarga ini menghentikan pekerjaan sebagai pengumpul batu karang untuk
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
1
bahan bangunan. Batu karang yang dikumpulkan keluarga ini berasal dari terumbu karang di laut. Masalah utama perusakan terumbu karang di daerah ini adalah gencarnya ekskavasi terumbu karang dan penggunaan teknologi destruktif seperti bom dan bius yang terutama digunakan oleh nelayan dari luar daerah dan sebagian nelayan dari Kecamatan Tomia. Batu-batu karang merupakan bahan bangunan dan pondasi rumahrumah mereka. Jagawana yang seharusnya menjaga kelestarian laut ternyata kurang fasilitas dan ketrampilan yang memadai untuk melaksanakan tugasnya. Mereka sebenarnya mempunyai pengalaman untuk bertugas di hutan bukan di laut. Prinsip open access, rendahnya kemampuan Jagawana, penggunaan batu karang sebagai bahan bangunan dan penggunaan teknologi destruktif merupakan rangkaian dasar dari perusakan terumbu karang di daerah ini. Penyebab lain yang menjadi rusaknya terumbu karang adalah masalah sedimentasi, abrasi, pembuangan sampah, penggunaan dayung tokong dan jangkar. Sejauh ini pariwisata menyelam yang diselenggarakan oleh pihak Wakatobi Diver berdampak positif terhadap kelestarian SDL walaupun secara sosial telah terjadi beberapa kali konflik dengan penduduk lokal. Sekarang telah diupayakan programprogram pariwisata yang melibatkan masyarakat, misalnya dengan kunjungan turis ke desa-desa, disertai dengan pementasan tarian tradisional dan jamuan makanan setempat.
2
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang dan Permasalahannya Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu dari 10 propinsi terpilih yang menjadi sasaran program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program). Untuk pelaksanaan program ini maka terlebih dahulu dilakukan pencarian sumber data dasar (baseline data) dan analisa sosial (social assessment). Program COREMAP dilangsungkan sebagai reaksi dari fenomena rusaknya coral reef (terumbu karang) di pelbagai wilayah di Indonesia, sebagaimana yang diperoleh dari hasil penelitian P3O LIPI, adapun perinciannya seperti yang tertera pada tabel di bawah ini. Tabel 1.1. Kerusakan Terumbu Karang Kondisi
Indonesia Barat
Indonesia Tengah
Indonesia Timur
Sangat Baik
1,55 %
9,30%
11,34%
Baik
14,73%
29,07%
29,89%
Rusak
25,58%
40,70%
22,04%
Sumber : Hasil riset P3O – LIPI, 1994 Sebenarnya kerusakan terumbu karang tidak hanya kasus Indonesia saja, tetapi terjadi juga di seluruh tempat di dunia. Fungsinya yang luar biasa penting bagi manusia menjadikan terumbu karang sebagai isu sentral. Seperti diantaranya adalah tempat pemijahan telur dan tumbuhnya ikan, sebagai suatu ekosistem yang penuh dengan keragaman sumber hayati, melindungi pantai dari gempuran ombak dan yang masih kurang diketahui oleh masyarakat umum adalah fungsinya sebagaimana hutan di daratan adalah memproduksi oksigen dan mereduksi CO2 sehingga berperan dalam masalah pemanasan global (lihat : John R.Ware et al, 1991; C.J.Crossland et al, 1991). Kerusakan terumbu karang tersebut berdampak langsung kepada kehidupan manusia, yaitu dengan berkurangnya jumlah ikan tangkapan ataupun binatang laut lainnya. Tentu saja ini akan mengurangi penghasilan nelayan dan mengurangi jumlah devisa yang diterima pemerintah. Kegiatan COREMAP pada dasarnya mengacu pada prinsip partisipasi aktif masyarakat (pengelolaan berbasis masyarakat). Adapun sistem pengelolaan yang diharapkan akan tercapai di masa depan adalah sistem terpadu yang perumusan dan perencanaannya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat. Untuk keperluan tersebut, terutama dalam merancang program dan jenis intervensi yang cocok untuk masyarakat diperlukan berbagai data berkaitan dengan potensi sumber daya laut; kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang, seperti teknologi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
3
yang dipakai dalam pemanfaatan (eksploitasi) sumberdaya laut dan stakeholder yang terkait dengan eksploitasi tersebut. Selain itu, diperlukan pula data yang berkaitan dengan adanya permasalahan-permasalahan yang muncul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya laut, aspirasi masyarakat dan kendala-kendala yang dihadapi. Situs Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu kawasan terumbu karang yang sangat luas dan potensial sebagai tempat pariwisata, kawasan riset, dan daerah sumber ikan. Sebagian besar karangnya yang berbentuk barrier reef (karang penghalang) hanya bisa ditandingi keluasannya oleh The Great Barrier Reef di Australia. Keindahannya tidak kalah menarik dengan yang ada di Australia, bahkan keistimewaan bentuk-bentuk karangnya yang indah dan gua-gua di dalam laut tidak dipunyai oleh Australia. Keistimewaan tersebut telah menarik banyak turis yang datang ke wilayah Wakatobi hanya khusus untuk menyelam, seperti yang terjadi pada resort wisata Wakatobi Diver di daerah Kecamatan Tomia. Namun sayangnya potensi dan keindahan dasar laut yang luar biasa ini mengalami gangguan yang mengarah kehancuran, yaitu penggunaan teknologiteknologi alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (environmental unfriendly technology) seperti bius (racun), bom dan bubu; juga ekskavasi karang untuk bahan bangunan, sampah dan limbah domestik, dan bahan bakar perahu serta jangkar. Yang banyak menjadi sorotan adalah penggunaan teknologi alat tangkap yang merusak lingkungan, seperti bius serta bom, dan penggalian karang untuk bahan bangunan. Di sini terlihat bahwa faktor utama penyebab kerusakan terumbu karang adalah manusia (anthropogenic). Sering masyarakat lokal terutama nelayan setempat sebagai pihak yang dikambinghitamkan. Dalam penyusunan sumber data dasar (baseline data) kali ini di Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, ingin mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Kajian ini termasuk juga memperhatikan faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kerusakan lingkungan. 1.2. Tujuan Tujuan Penelitian ini adalah menghimpun dan menganalisa data-data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat yang diperlukan untuk perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program COREMAP yang diharapkan kelak berupa pengelolaan lingkungan (khususnya coral reef) yang berbasiskan masyarakat. Data dasar tersebut dimaksudkan untuk memberikan perspektif sosial dan sosial agenda agar program COREMAP dapat berjalan secara baik untuk kelestarian terumbu karang dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Dasar pemikirannya ialah banyak program pembangunan gagal karena kurangnya pemahaman terhadap kondisi dan situasi yang melingkupi suatu masyarakat, khususnya sendi-sendi yang mendasari sikap dan tindakan mereka, dan terlebih lagi program pembangunan yang ada umumnya top-down approach. Selain itu, keinginan agar program ini menghasilkan suatu kondisi terumbu karang yang berkelanjutan, maka jika rehabilitas maupun pengelolaan selanjutnya harus terus menerus ditangani oleh pihak pemerintah, akan sangat mahal biaya yang harus keluar dan pemerintahpun akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu akan sangat baik
4
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
dan mempermudah pemerintah apabila pengelolaan lingkungan, khususnya terumbu karang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya sendiri. 1.2.1. Tujuan khusus Ada beberapa tujuan khusus dari penelitian ini (1) Menggambarkan kondisi sumber daya laut khususnya terumbu karang dan ekosistemnya di wilayah Kelurahan Bahari, termasuk di dalamnya potensi, pola pemanfaatan, teknologi yang dipakai, permodalan, pemasaran serta pengetahuan dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya; (2) Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisa kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut yang mengancam kelestarian terumbu karang maupun yang berpotensi untuk mengelola. Disamping itu juga mengantisipasi potensi konflik kepentingan antar sesama stakeholders sebagai akibat adanya usaha konservasi dan pengelolaan terumbu karang; (3) Mendeskripsikan kondisi sumberdaya manusia Kelurahan Bahari dan memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat antara lain dari keberadaan aset rumah tangga, kondisi perumahan, pendapatan dan pengeluaran, tabungan, dan hutang ; (4) memberikan masukan-masukan kepada para pengambil kebijakan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP; (5) Memberikan masukan-masukan untuk menyusun indikator-indikator yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk membandingkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah intervensi program COREMAP. 1.3. Metodologi 1.3.1. Pemilihan Lokasi Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, yang merupakan bagian dari Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dipilihnya daerah tersebut karena berdasarkan data statistik kabupaten (Bappeda) masyarakat di daerah ini sebagian besar matapencaharian dominannya adalah nelayan. Ternyata data statistik ini tidak tepat. Karena masyarakat di daerah sana memang betul hampir semuanya bisa melakukan kerja nelayan, tapi kerja nelayan umumnya hanyalah kerja sambilan saja, bukan pekerjaaan utama. Sebagian besar melakukan kerja nelayan lebih untuk subsistensi, dalam arti sebagian besar hasil tangkapan ikan habis untuk dimakan. Sedangkan pekerjaan utama yang diminati oleh masyarakat adalah pedagang. Pada awalnya riset ini akan dialihkan ke Desa Lamanggau yang penduduknya dominan bermatapencaharian sebagai nelayan, akan tetapi ada informasi bahwa di Desa tersebut sudah pernah ada program COREMAP. Oleh sebab itu Kelurahan Bahari tetap dipilih dengan alasan utama, bisa juga untuk melihat bagaimana respon mereka terhadap kondisi lingkungannya yang dirusak oleh nelayan-nelayan dari luar, selain juga melihat aktivitas mereka berkaitan dengan kondisi sumberdaya laut, misalnya dalam mencari ikan maupun mengumpulkan hasil laut lainnya (contoh : kima, akar bahar, ubur-ubur, kerang-kerangan dan lain-lain). Sebagai tambahan, bahwa pada umumnya masyarakat di Wakatobi tidaklah berorientasi pada pekerjaan nelayan, tetapi lebih sebagai pelaut atau pedagang. Kurangnya keinginan untuk bekerja sebagai nelayan banyak disebabkan karena kesulitan pemasaran (tidak adanya cold storage), harga ikan yang rendah serta
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
5
preferensi penduduk untuk makan ikan segar. Oleh sebab itu mereka lebih suka mencari pekerjaan sebagai pedagang atau petik cengkeh yang jauh lebih mendatangkan hasil. 1.3.2. Waktu Penelitian ini dilakukan di tiga tempat, yaitu di tingkat kabupaten yang dilakukan pada tgl 21 September dan tgl 2 Oktober 2001. Di tingkat kabupaten dilakukan kunjungan ke beberapa instansi, yaitu Bappeda, Dinas Pariwisata, Dinas Perikanan, Taman Nasional, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton. Sementara dari tgl 22 September s/d tgl 1 Oktober 2001 dilakukan riset di tingkat Kecamatan Tomia dan Kelurahan Bahari dalam waktu bersamaaan. Di tingkat Kecamatan di sini adalah mencari data statistik, informasi serta opini dari kalangan Muspika, Jagawana, PLKB, ke resort wisata Wakatobi milik Lorenz dan juga kunjungan ke Desa-Desa lain seperti ke Waha dan Desa Lamanggau. Sedangkan penelitian di tingkat Desa, berupa survei dan data kualitatif dari berbagai pihak yang diperlukan untuk tujuan riset ini. 1.3.3. Metode Metode yang dipakai adalah gabungan dari metode survei dan indepth interview yang mengejar data-data kualitatif yang diperlukan. Metode survei menggunakan kuesioner terstruktur yang ditanyakan kepada 100 orang responden yang dipilih secara random dari jumlah keluarga di Kelurahan Bahari. Para interviewer diambilkan dari 5 orang yang berasal dari desa tersebut, yang terdiri dari 1 orang lulusan SMA, 1 orang masih mahasiswa dan 3 orang adalah sarjana. Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Tomia. Adapun indepth interview dilakukan dengan tujuan mencari data, informasi dan opini dari pihak-pihak yang dianggap tekait dengan keperluan penelitian ini. Untuk hal ini dilakukan oleh kedua peneliti dari LIPI dan dibantu oleh seorang peneliti lokal yang berasal dari daerah setempat dan tergabung dalam LSM Lakamali di Bau-bau. Peneliti lokal disini berperan sebagai penghubung dengan pihak-pihak tertentu di Kelurahan Bahari dan Kecamatan Tomia. Peran lain yang penting adalah penguasaan bahasa daerah karena peneliti sangat membantu dalam wawancara dengan berbagai pihak yang umumnya pada awal pembicaraan lebih suka menggunakan bahasa daerah serta sering menyisipkan kata-kata dalam bahasa daerah di tengah-tengah percakapan. Dalam menerapkan indepth interview, diusahakan sebanyak mungkin responden sebagai cross -chek informasi, misalnya setelah menemui aparat Kecamatan, informasi yang diterima ditanyakan kembali dengan kelompok-kelompok yang terkait dalam masyarakat. Selain itu, digunakan Focus Grup Interview, yang digunakan secara tidak sengaja pada saat pertemuan antara tim Taman Nasional Wakatobi dengan berbagai pihak yang terkait, seperti nelayan, aparatur desa, tokoh masyarakat, jagawana, aparatur tingkat kecamatan dan juga dari pihak Wakatobi Diver. Tujuan pertemuan tersebut adalah membahas masalah rencana perubahan zonasi yang akan segera diberlakukan dan dianggap oleh beberapa pihak terutama nelayan akan menyusahkan mereka. Beberapa pertanyaan kami ajukan pada saat sebelum acara dan juga di selasela acara, serta setelah acara tersebut berakhir kepada beberapa pihak terkait; selain itu, kami juga mencatat debat antara pihak Taman Nasional dengan kelompok-kelompok di dalam masyarakat serta pihak Wakatobi Diver.
6
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
1.3.4. Hambatan Hambatan yang paling terasa adalah adanya kecenderungan penduduk untuk menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Tomia, sehingga mengurangi kelancaran wawancara. Selain itu adanya kecurigaan penduduk berkaitan dengan pertanyaan seperti pemilikan, tabungan, matapencaharian, dan apalagi tentang bom, obat bius serta kerusakan terumbu karang. Hal ini bisa dipecahkan dengan kehadiran peneliti lokal maupun para interviewer yang sudah dikenal baik oleh penduduk setempat, sehingga mudah memberi penjelasan dan pengertian tentang pentingnya riset ini dilakukan. Hambatan bagi para interviewer yang menjalankan survei adalah banyaknya responden yang sudah pergi dan akan pergi ke Taliabo (Maluku Utara), untuk bekerja memetik cengkeh (pata cengkeh), masih berdagang di Papua atau di Jawa, ataupun eksodan (orang Buton yang tinggal di Maluku tetapi balik kembali ke Buton karena kerusuhan di Maluku) yang terpilih sebagai responden ternyata telah pindah ke tempat pemukiman baru. Oleh sebab itu, kadang-kadang tertunda pelaksanaan wawancara. Selain itu, faktor orang yang disegani ternyata lebih penting dibandingkan gelar sarjana. Bapak Samuddin salah seorang interviewer kami yang merupakan seorang tokoh masyarakat ternyata dapat menyelesaikan tugas interviewernya dengan mudah dan cepat dan responden selalu menyempatkan diri untuk menemui beliau betapapun sibuknya. Sementara hal seperti ini agak sulit bagi interviewer lainnya. Bagi kami para peneliti dari LIPI dan 1 orang peneliti lokal, hambatan lain yang dirasakan adalah masih banyaknya penduduk yang sedang maupun akan pergi ke Taliabo untuk petik cengkeh maupun masih banyaknya penduduk yang belum pulang dari berdagang, sehingga kami tidak bisa mewawancarai responden-responden penting yang dianggap bisa memberikan informasi yang diperlukan sebagai pembanding dari informasi-informasi yang telah kami terima. 1.3.5. Analisis Data Analisa data bersifat deskripsi dari informasi yang diperoleh melalui survei dan ditambah hasil indepth interview dan observasi. Oleh karena tujuan riset kali ini adalah memaparkan data-data dasar tentang daerah penelitian untuk keperluan COREMAP, maka analisa yang dilakukan hanyalah untuk penjelasan data-data dasar yang telah dihimpun. Analisa terutama dilakukan terhadap data-data sosial ekonomi maupun budaya masyarakat dan kondisi sumberdaya laut khususnya terumbu karang. 1.4. Organisasi Penulisan Penulisan laporan ini dikerjakan oleh 2 orang peneliti Puslit Kependudukan LIPI yang melakukan penelitian di Kelurahan Bahari. Adapun isi laporan disusun sebagai berikut. Bab I berupa Pendahuluan yang memuat latar belakang, tujuan, metodologi, analisa data dan organisasi penulisan. Sebagai catatan, pada sub-bab tujuan dibuat perincian yang detail tentang tujuan-tujuan khusus dari penelitian ini. Pada bab II merupakan deskripsi kondisi Kelurahan Bahari dengan melihat pula konteks yang lebih luas seperti kecamatan dan kabupaten. Di dalam bab III memuat pengelolaan sumberdaya laut dikaitkan dengan pengetahuan penduduk setempat tentang isu tersebut sampai dengan stakeholder yang terlibat. Bab IV berisi tentang produksi dan pemasaran hasil sumberdaya laut dengan fokus 3 SDL yang terpenting. Selanjutnya mengenai pendapatan dan kesejahteraan masyarakat ditulis dalam bab V. Degradasi DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
7
SDL dan faktor-faktor yang berpengaruh dibahas dalam Bab VI. Terakhir bab VII merupakan diskusi dan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
8
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab II Gambaran Umum Daerah Penelitian 2.1. Keadaan Geografis Kecamatan Tomia merupakan salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Daerah Tingkat II Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Ibu kota kecamatan berada di Kelurahan Waha yang merupakan salah satu daerah pesisir di sebelah Timur Pulau Tomia. Secara astronomis Kecamatan Tomia terletak pada garis lintang yang terbentang pada kawasan 124°10` - 125° Bujur Timur dan pada 6°15`- 6°26` Lintang Selatan. Luas wilayah Kecamatan Tomia keseluruhan 115 km2 dengan batas wilayah di sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda, di sebelah Barat dengan Laut Flores, di sebelah Utara dengan Laut Banda dan di sebelah Selatan dengan Laut Flores. Wilayah Kecamatan Tomia terdiri dari satu buah pulau yaitu Pulau Tomia serta dikelilingi oleh empat buah pulau kecil. Topografi daratan terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan daerah perbukitan. Bentuk Pulau Tomia hampir menyerupai elips dengan topografi berupa puncak berbukit di bagian tengah yang memanjang dari arah Barat ke Timur. Di Pulau Tomia terdapat beberapa puncak bukit dengan dua buah bukit tertinggi yaitu Bukit Tomia (± 251 mdpl) dan Bukit Lagole (± 271 mdpl). Kedua bukit tersebut terletak dalam satu garis dengan arah dari Barat menuju Tenggara. Secara administratif wilayah Kecamatan Tomia dapat dikelompokkan dalam dua wilayah yaitu : 1) Daratan Pulau Tomia meliputi 5 kelurahan dan 10 desa. 2) Pulaupulau kecil yang mengelilingi Pulau Tomia beserta 1 desa yang terletak pada Pulau Runduma. Pulau Runduma yang terletak di sebelah Utara Pulau Tomia terkenal dengan daerah tempat bertelurnya penyu laut. Berdasarkan jenis penggunaannya, luas tanah yang digunakan di Kecamatan Tomia terbagai dalam tiga bagian yaitu pemukiman penduduk, tegalan/kebun, dan perkebunan luas. Untuk bangunan penduduk luas keseluruhan mencapai 1.421 Ha. Sebagian besar penduduk bertempat tinggal mengelilingi daerah pantai di wilayah dataran rendah. Sedangkan luas tegalan/kebun mencapai 1.099 Ha dan luas perkebunan mencapai 450 Ha. Jenis tanah di Kecamatan Tomia umumnya adalah tanah berbatu karang dan kapur. Kondisi ini tentu saja mempengaruhi tingkat kesuburan tanah yang ada di Pulau Tomia. Oleh sebab itu jenis tanaman yang dapat dikembangkan umumnya jenis tanaman yang bersifat musiman atau tahunan. Sebagai gambaran, kebun singkong yang banyak ditanam oleh penduduk hanya dapat dipanen satu kali dalam setahun, itu pun dengan jumlah umbi yang tidak begitu banyak. Pada dataran rendah di Pulau Tomia umumnya didominasi jenis tanaman tahunan seperti kelapa, mete, dan mangga. Sedangkan pada dataran tinggi didominasi oleh jenis tanaman rumput, umbi-umbian dan ilalang. Berdasarkan pengamatan jenis batuan dan kondisi tanah, diperkirakan dahulunya Pulau Tomia merupakan wilayah laut yang mengalami proses penyurutan. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai jenis bebatuan yang sebagian besar merupakan jenis batuan karang keras dan cadas. Jenis batuan keras tersebut umumnya digunakan penduduk sebagai salah satu bahan campuran pembuatan pondasi rumah atau pengerasan jalan desa.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
9
Kondisi pantai di sekitar Pulau Tomia umumnya adalah landai dengan dominasi pasir putih dan berlumpur. Akibat penambangan berbagai macam terumbu karang dan pasir yang telah dilakukan penduduk, abrasi laut mulai terjadi di beberapa daerah pesisir pantai Pulau Tomia. Pada beberapa daerah, seperti di Kelurahan Waha, Waitii, dan Bahari, wilayah pantai telah dimanfaatkan sebagai tempat dermaga/pelabuhan tradisional dengan fungsi utama sebagai tempat merapatnya berbagai jenis perahu/kapal penduduk dan kapal niaga. Kelurahan Bahari sebagai studi kasus dalam penelitian ini merupakan salah satu desa yang terbentuk dari hasil pemekaran wilayah administratif Kecamatan Tomia tahun 1997 dari 8 desa/kelurahan menjadi 16 desa/kelurahan. Berdasarkan status administratif kecamatan, Kelurahan Bahari termasuk 1 dari 5 kelurahan di Kecamatan Tomia. Status tersebut berkaitan dengan ciri Kelurahan Bahari sebagai sebuah desa “kota” dicirikan dengan mata pencaharian penduduk yang sebagian besar sebagai pedagang dan kondisi perumahan yang permanen serta fasilitas sarana dan prasarana yang cukup memadai. Kebalikannya adalah daerah yang disebut ”desa” apabila sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan dan atau petani yang usahanya lebih bersifat subsisten. Sebelum tahun 1997 seluruh wilayah Kelurahan Bahari merupakan bagian dari wilayah Desa Tonggano yang terkenal dengan sebutan Desa Usuku. Luas wilayah Kelurahan Bahari secara keseluruhan mencapai 4.00 Km 2 atau 3,47 persen luas dari keseluruhan Kecamatan Tomia. Luas wilayah menurut jenis penggunaan tanah di Kelurahan Bahari adalah 26 Ha merupakan pemukiman penduduk dan pekarangan, 35 Ha daerah tegalan/kebun dan seluas 52 Ha merupakan daerah perkebunan. Pembagian wilayah Kelurahan Bahari terbagi menjadi dua wilayah yang ditandai dengan batas jalan desa yaitu wilayah Bahari Timur dan Bahari Barat. Setiap wilayah tersebut dipimpin oleh seorang kepala lingkungan. Jarak dari Kelurahan Bahari ke ibu kota kecamatan di Kelurahan Waha ± 10 km, dapat ditempuh melalui jalan darat dengan waktu tempuh menggunakan kendaraan bermotor ± 30 menit. Posisi Kelurahan Bahari merupakan desa pesisir yang terletak di pinggir pantai sebelah selatan Pulau Tomia dengan batas-batas wilayah : sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tonggano Barat dan Desa Tonggano Timur, di sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Desa Tonggano Timur, di sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Desa Waitii dan di sebelah Selatan merupakan wilayah pantai dan laut. Keadaan pantai di sekitar Kelurahan Bahari berbentuk landai dan curam. Di sekitar pesisir pantai yang membatasi perumahan penduduk dengan daerah pantai dapat ditemukan penimbunan jenis batuan karang keras yang digunakan penduduk sebagai penangkal dari hembusan ombak ketika air pasang. Dalam keadaan air surut (mete) panjang pantai dapat bertambah mencapai ± 200 meter. Kondisi ini banyak dimanfaatkan penduduk Kelurahan Bahari dan sekitarnya untuk mencari biota laut seperti Bulu Babi (tehe) sebagai alternatif konsumsi lauk pauk selain ikan laut. 2.2. Kondisi Sumberdaya Alam Potensi sumber daya alam di Kecamatan Tomia didominasi oleh potensi sumber daya kelautan. Hampir sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya dari pengelolaan dan pemanfaatan hasil sumber daya laut. Sumber daya laut yang tersedia merupakan potensi besar dan memiliki nilai ekonomi tinggi bagi pengembangan ekonomi di Kecamatan Tomia. Hasil sumber daya laut yang sangat berpotensi tersebut 10
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
diantaranya berbagai jenis ikan laut dan karang, pengembangan penangkaran budi daya ikan laut dan rumput laut yang memiliki pangsa pasar lokal maupun tujuan ekspor. Selain potensi dari hasil sumberdaya laut, Kecamatan Tomia juga memiliki potensi wisata bahari yang cukup potensial. Salah satu daerah wisata utama di KecamatanTomia adalah wisata bahari yang terdapat di Pulau Lentea yang termasuk wilayah Desa Lamanggau. Penduduk Pulau Tomia memberi nama wisata bahari tersebut dengan sebutan “ Wisata Lorenz” sesuai dengan nama pengelola kawasan wisata tersebut. Wisata bahari Lorenz atau resminya bernama Wakatobi Diver Resort yang terdapat di Kecamatan Tomia merupakan wisata bahari bertaraf internasional. Di kawasan wisata tersebut terdapat 6 cottage yang dapat menampung jumlah wisatawan sebanyak 20 orang. Wisatawan yang datang di pulau wisata tersebut mayoritas adalah wisatawan asing yang berasal dari Amerika, Eropa, dan Asia. Daya tarik wisata yang terdapat di kawasan tersebut diantaranya adalah ekosistem terumbu karang yang terdapat pada 35 daerah penyelaman, wisata gua alam dasar laut dan wisata pantai dengan kondisi pasir putih. Seorang penyelam ternama tingkat internasional yang pernah melakukan penyelaman disekitar ekosistem terumbu karang yang ada di kepulauan Tomia, bernama Jacquest dari Perancis dengan ekspedisinya bernama Zookantheclae III pada tahun 1994 mengungkapkan bahwa terumbu karang yang terdapat di kawasan wisata laut Pulau Tomia merupakan terumbu karang terindah dan terbaik di dunia yang pernah dilihatnya. Ditinjau dari aspek ekonomi, keberadaan pulau wisata Lorenz ternyata membawa dampak manfaat ekonomi cukup besar bagi penduduk Pulau Tomia. Dampak ekonomi tersebut adalah penyerapan tenaga kerja bagi penduduk di sekitar pulau wisata. Saat ini terdapat sekitar 30 pekerja di kawasan tersebut yang sebagian besar merupakan penduduk asal Desa Lamanggau. Disamping membuka kesempatan kerja, tercipta juga pola kerja sama antar penduduk dengan pengelola pulau wisata dalam bentuk pemasokan berbagai kerajinan rakyat seperti kain tenun Tomia, kerajinan tukang besi seperti pisau dan parang, serta pertunjukan tarian daerah setempat sebagai salah satu bagian dari objek wisata. Untuk pementasan berbagai tarian daerah (misalnya tari perjuangan) sebagai salah satu keragaman objek wisata di Kecamatan Tomia, dalam waktu tertentu wisatawan yang berasal dari wisata Lorenz juga diprogramkan untuk datang langsung ke desa-desa yang terdapat di Pulau Tomia mulai tahun 2001 ini. Namun dengan terjadinya tragedi WTC 11 September 2001, banyak turis internasional terutama yang berasal dari USA membatalkan rencana kedatangan mereka ke Pulau Tomia. Sampai akhir penelitian ini berlangsung peneliti tidak berhasil melakukan wawancara dengan Lorenz (pemilik resort) dikarenakan beliau sedang melakukan promosi/ pendekatan kepada wisatawan yang berada di Bali, Jakarta dan Singapura untuk meyakinkan bahwa keadaan di Pulau Tomia sangat kondusif sebagai daerah tujuan pariwisata. Untuk Kelurahan Bahari, pengembangan potensi sumberdaya alam hanya tergantung dari potensi sumberdaya laut. Seperti diketahui, wilayah Kelurahan Bahari merupakan daerah pesisir yang didominasi oleh pemukiman padat penduduk, sehingga laut merupakan potensi satu-satunya yang dapat dikembangkan.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
11
Salah satu sumber daya laut yang pernah dikembangkan oleh penduduk Kelurahan Bahari dan sampai saat ini sebenarnya merupakan potensi SDL yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi adalah budi daya rumput laut. Berdasarkan pengakuan tokoh masyarakat setempat, sekitar pertengahan tahun 90-an, ketika budidaya rumput laut menjadi salah satu alternatif usaha yang menguntungakan, banyak penduduk Kelurahan Bahari secara beramai-ramai menekuni usaha tersebut. Namun karena dihadapkan pada permasalahan kesulitan proses penjualan atau pemasaran, akhirnya potensi budi daya rumput laut tersebut hingga saat ini banyak ditinggalkan penduduk. Dibidang perikanan terutama jenis-jenis ikan hias dan ikan karang merupakan potensi perikanan laut yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Saat ini pemanfaatan jenis jenis ikan tersebut belum optimal, umumnya hanya untuk pemenuhan konsumsi penduduk sekitar. Selain itu keragaman ekosistem terumbu karang di sekitar perairan laut Kelurahan Bahari juga merupakan potensi wisata yang cukup potensial untuk dikembangkan. 2.3. Kependudukan Sebelum penjelasan tentang situasi kependudukan di Kelurahan Bahari dalam sub bab berikut, perlu dijelaskan bahwa penulis mendapatkan kesulitan/kendala dalam proses pengumpulan data-data statistik selama penelitian ini dilakukan. Hal ini dikarenakan : 1) Kelurahan Bahari merupakan wilayah baru (sejak akhir 1997) hasil pemekaran dari satu desa besar, sehingga penyiapan data kependudukan yang ada masih dalam tahap penyempurnaan 2) Saat penelitian ini dilakukan, Kelurahan Bahari merupakan salah satu daerah yang menjadi tempat pengungsian “eksodan” penduduk yang berasal dari Maluku, Ambon dan Ternate (mengungsi karena perang lokal di Maluku), sehingga keberadaan pengungsi tersebut diperkirakan akan membiaskan gambaran penduduk Kelurahan Bahari yang sebenarnya. Data kependudukan yang diperoleh sebagian besar berasal dari terbitan Biro Pusat Statistik Kecamatan Tomia tahun 2000, itu pun dalam penyajian data yang diterbitkan dinilai masih banyak terdapat kekurangan, seperti penjabaran yang kurang detail dan keterbatasan data yang ditampilkan. Sumber data lain yang digunakan dan dianggap relevan untuk menggambarkan situasi kependudukan Kelurahan Bahari berasal dari data hasil Survei Sosial Ekonomi terhadap 100 rumah tangga di Kelurahan Bahari (Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang,COREMAP – LIPI, 2001) serta data dari hasil registrasi bidan desa. 2.3.1. Jumlah dan Komposisi Umur Penduduk Berdasarkan data Biro Pusat Statistik-Kecamatan Tomia dalam Angka, jumlah penduduk Kelurahan Bahari pada tahun 2000 mencapai 884 jiwa, terdiri dari laki-laki 460 orang dan perempuan 424 orang atau dengan rasio 98/100. Jumlah tersebut tercakup dalam 201 jumlah keluarga/rumah tangga dengan rata-rata mencapai 4 jiwa/keluarga. Mayoritas agama yang dianut adalah beragama Islam dengan suku bangsa asli Suku Buton dan bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari adalah Bahasa Tomia. Dilihat berdasarkan komposisi umur, penduduk Kelurahan Bahari didominasi oleh penduduk berusia produktif. Kondisi ini dapat digambarkan dari data hasil survei
12
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
sosial ekonomi yang telah dilakukan (tabel 2.1), bahwa sebagian besar penduduk berada pada usia kerja (produktif) 15- 54 tahun (45 persen). Sedangkan proporsi penduduk yang termasuk usia tidak berkerja yaitu usia 0-14 tahun sebesar 35 persen dan diatas 54 tahun sebesar 20 persen. Tabel 2.1. Komposisi Umur Penduduk Kelurahan Bahari (n=100 rumah tangga) Kategori umur 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-keatas Total
Jenis Kelamin Laki-laki 19 33 38 27 23 15 22 15 10 9 15 6 3 5 240
Perempuan 16 12 22 28 23 21 19 14 13 13 12 4 4 6 223
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2001 2.3.2. Jenis Pekerjaan Penduduk Kelurahan Bahari merupakan ciri penduduk dengan variasi mata pencaharian yang cukup beragam (multiple employment/pluri activity). Artinya dalam aktivitas keseharian, disamping pekerjaan utama terdapat juga kegiatan lain yang dilakukan, dimana jumlah pendapatan yang dihasilkan cukup besar, bahkan pada jenis pekerjaan tertentu pendapatan yang diperoleh melebihi jumlah pendapatan pekerjaan utama. Beragamnya jenis pekerjaan penduduk Kelurahan Bahari dapat dilihat dari penggunaan waktu yang dilakukan penduduk. Profesi seorang guru misalnya, setelah menyelesaikan pekerjaan di sekolah waktu luang biasanya dimanfaatkan untuk berdagang atau mencari ikan di laut, atau seorang buruh tani pada waktu tertentu berprofesi sebagai pemetik cengkeh dalam waktu lain sebagai buruh bangunan, tukang kayu atau nelayan keluarga. Hal lain, walaupun letak Kelurahan Bahari berada persis di pesisir laut, namun jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan tidak terlalu besar. Umumnya penduduk Kelurahan Bahari yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan adalah nelayan tradisional (nelayan keluarga). Jika dilihat secara lebih khusus, mayoritas jenis pekerjaan masyarakat Kelurahan Bahari adalah sebagai pedagang. Tabel 2.1 memperlihatkan komposisi jenis pekerjaan yang dilakukan oleh penduduk Kelurahan Bahari dalam satu bulan terakhir. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebesar 55.4 persen penduduk yang menjadi responden dalam survey berprofesi sebagai pedagang. Mereka terbagi menjadi perdagangan di pasar tradisional (seperti pedagang kios sandang, toko kelontong, warung makan,
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
13
hingga penjual kebutuhan sehari-hari seperti pedagang bumbu masak, makanan kecil dan hasil kebun/tani) dan pedagang antar pulau (kapal layar). Jenis pekerjaan lain yang dijumpai pada penduduk Kelurahan Bahari adalah PNS/karyawan sebesar 19,1 persen, nelayan 13,4 persen (punggawa, keluarga, ABK), petani 2,5 persen dan pekerjaan lainnya dengan proporsi 5,8 persen. Selain berbagai jenis pekerjaan yang telah tercatat dalam survei tersebut, sebenarnya terdapat juga penduduk yang bekerja sebagai pelaut. Seperti yang diungkapkan dari hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat bahwa banyak juga penduduk Kelurahan Bahari yang bekerja sebagai pelaut di kapal-kapal tenker Pertamina atau kapal penumpang milik PELNI. Mereka terdiri dari sebagai pekerja anak buah kapal (ABK) hingga posisi yang cukup strategis di kedua perusahaan tersebut. Tabel 2.2. Pekerjaan Utama Sebulan Terakhir Penduduk Kelurahan Bahari (n= 100 rumah tangga) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Pekerjaan Frekuensi Presentase Nelayan Punggawa 1 0.6 Nelayan Keluarga (tanpa 5 3.2 ABK) 15 9.6 Anak Buah Kapal 87 55.4 Pedagang 4 2.5 Petani 30 19.1 PNS/TNI/Polisi/Karyawan 6 3.8 Tukang Kayu 9 5.8 Lainnya (penjahit,buruh,sopir,dll) Total 157 100,0 Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2001 2.3.3. Kualitas Sumberdaya Manusia 2.3.3.1. Tingkat Pendidikan Pulau Tomia termasuk daerah terpencil dengan aksesibilitas yang cukup sulit. Walaupun demikian fasilitas pendidikan, kesadaran dan motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak mereka sangat tinggi. Penduduk berpandangan bahwa status pendidikan merupakan status sosial yang menjadikan seseorang dapat dihormati dalam lingkungan masyarakat. Di Kecamatan Tomia sudah banyak terdapat penduduk yang berstatus pendidikan lulus sarjana, bahkan terdapat juga penduduk dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan setingkat Pascasarjana (S2). Hasil wawancara dengan Bapak Camat Tomia menyebutkan bahwa di Kecamatan Tomia saat ini terdapat 300 penduduk yang berpendidikan sarjana dan 8 orang telah menamatkan pendidikan setingkat S2. Anak muda di Kelurahan Bahari khususnya maupun di kecamatan Tomia secara umum, selepas SMA melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi di Bau-bau (seperti Universitas Ikhsanudin, IAIN dan IKIP Muhammadiyah), Kendari (seperti pada Universitas Haluoleo, IKIP Negeri Kendari dll), Sulawesi Selatan (Universitas Hasanuddin), bahkan ke luar Pulau Sulawesi (khususnya ke Pulau Jawa). 14
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Motivasi penduduk yang cukup tinggi untuk menyekolahkan anak mereka juga di dukung oleh kemudahan akses terhadap sarana prasarana pendidikan. Penyebaran sarana pendidikan yang ada di Kecamatan Tomia terlihat merata di setiap desa/kelurahan, sehingga berbagai sarana pendidikan yang ada dapat terjangkau oleh seluruh penduduk. Berdasarkan hasil survey (tabel 2.3), dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk Kelurahan Bahari umumnya pernah menamatkan jenjang pendidikan dengan berbagai tingkatan. Hanya sekitar 2.5persen yang belum/tidak tamat sekolah SD. Dominasi terbesar terlihat pada penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA ke atas (28.4 persen.). Tabel 2.3. Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Penduduk Kelurahan Bahari (n = 100 rumah tangga) No
Tingkat Pendidikan
1 2 3 4 5
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 4 6 62 43 54 44 28 49 68 47
Persentase
Belum/tidak tamat 2.5 SD Sekolah 25.9 SD tidak tamat 24.2 SD tamat 19.0 SLTP tamat 28.4 SLTA+ 216 189 100.0 Total Sumber : Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP – LIPI, 2001 2.3.3.2. Kesehatan Dibidang kesehatan, tingkat kesadaran penduduk Kelurahan Bahari terhadap pentingnya menjaga kesehatan terlihat cukup tinggi. Menurut pengakuan seorang bidan desa setempat, kesadaran akan hidup bersih dan sehat sudah dipahami penduduk. Saat ini di Kelurahan Bahari terdapat satu Polindes yang dikelola oleh sorang bidan. Polindes tersebut melayani berbagai macam pelayanan kesehatan seperti pengobatan penyakit, pemasangan alat KB, dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Jenis penyakit yang sering diderita penduduk Kelurahan Bahari umumnya dapat dipantau melalui perubahan musim. Pada musim hujan penyakit yang sering diderita penduduk adalah batuk, demam dan malaria. Sedangkan pada musim panas adalah diare, muntaber, batuk dan penyakit mata. Untuk pola makan penduduk, sajian menu yang menjadi santapan pada saat makan umumnya kurang bervariasi. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan berbagai macam kebutuhan pangan, sebagian besar penduduk Kelurahan Bahari menggantungkan pasokan bahan baku tersebut dari luar desa atau pulau terutama dari kota Bau-bau. Pola makan utama sebagian besar penduduk Kelurahan Bahari adalah nasi dan ikan laut. Disamping nasi sebagai bahan makanan pokok penduduk, masih banyak juga penduduk yang mengkonsumsi “Kasoami” sebagai bahan makanan pokok. Kasoami merupakan bahan makanan pengganti beras yang terbuat dari singkong/ubi kayu kering yang telah diparut dan dikukus.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
15
2.3.3.3. Mobilitas Penduduk Tingkat mobilitas penduduk Kelurahan Bahari cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan penduduk dan kemudahan sarana transportasi laut yang menghubungkan Kelurahan Bahari dengan kota-kota lain di luar Pulau Tomia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sebagian besar penduduk Kelurahan Bahari umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang. Untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut para pedagang Kelurahan Bahari mendapatkan barang dagangannya berasal dari luar Tomia terutama dari ibu kota kabupaten di kota Baubau. Untuk penduduk yang tergolong pedagang antar pulau, jalur ekspedisi perdagangan yang dilakukan bahkan tersebar hingga ke berbagai daerah di Indonesia. Tujuan utama perdagangan antar pulau yang dilakukan adalah Pulau Jawa (Jakarta dan Surabaya) dan Irian Jaya. Sedangkan daerah perdagangan lainnya adalah Pulau Kalimantan, Maluku-Ternate dan Batam. Jumlah penduduk Bahari yang bekerja atau sekolah di luar Pulau Tomia juga cukup besar, terutama mereka yang termasuk angkatan kerja muda atau rumah tangga baru dan penduduk usia sekolah (mahasiswa). Kota-kota yang menjadi tujuan utama sebagai tempat bekerja atau sekolah adalah kota Bau-Bau, Ujung Pandang, Kendari, hingga Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Menurut pengakuan tokoh masyarakat setempat, walaupun penduduk asal Kelurahan Bahari yang bekerja di luar Pulau Tomia cukup besar bahkan telah menetap lama di luar Pulau Tomia, namun kepedulian terhadap pembangunan tanah kelahiran mereka cukup tinggi. Contoh kongkrit dari kepedulian penduduk tersebut diantaranya adalah berdirinya sebuah masjid hasil pendanaan putra-putra asli penduduk setempat dari keluarga H.Abdul Haris yang telah sukses bekerja di kapal tanker milik Pertamina dengan membangun sebuah masjid di lingkungan Kelurahan Bahari Timur dengan nama Masjid Abdul Haris. Bentuk kepedulian lain adalah peran serta dalam pendanaan pembangunan sarana dan prasarana desa seperti pem bangunan dermaga, pasar, sekolah dan lainnya. 2.3.3.4. Sejarah Penduduk Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai tokoh masyarakat di Kelurahan Bahari, terdapat berbagai versi tentang sejarah asal usul penduduk Pulau Tomia. Pendapat pertama mengungkapkan bahwa nenek moyang awal penduduk Pulau Tomia adalah mereka yang berasal dari Pulau Rote- Flores yang bersembunyi di Pulau Tomia untuk mencari perlindungan dan daerah baru. Namun karena mereka terdesak atau kalah berperang dengan kelompok penduduk kedua yang datang, akhirnya penduduk asli yang berasal dari Flores tersebut tersingkir dari Pulau Tomia. Pendapat kedua mengungkapkan bahwa penduduk asli Tomia berasal dari bagian keturunan bangsawan Buton. Istilah “Tomia” dalam arti bahasa setempat adalah “ada orang disana”. Menurut cerita tokoh masyarakat setempat, Pulau Tomia terbentuk dari dasar laut yang mengalami penyusutan. Dalam cerita tersebut dikisahkan, dahulu ada seorang sakti yang bernama Batara yang mempunyai anak berusia balita. Anaknya tidak bisa tidur karena terganggu dengan suara ombak, Batara yang sakti tersebut kemudian memerintahkan ombak tersebut menyingkir dari dekat rumahnya hingga jauh dan tidak terdengar suara ombak. Jika diamati, cerita tersebut ada rasionalisasinya karena di bagian dataran perbukitan yang ada di Pulau Tomia dengan mudah dapat kita
16
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
jumpai berbagai fosil kima raksasa dan karang yang diperkirakan bahkan ribuan tahun.
berumur ratusan
Sedangkan pendapat kedua mengungkapkan bahwa Pulau Tomia dahulunya adalah salah satu bagian dari kepulauan di bawah pengaruh raja Buton yang menurut penduduk setempat disebut Kerajaan Wolio. Kata “Wolio” dalam bahasa penduduk setempat berarti “menebas”. Kata tersebut mengandung makna bahwa dahulu wilayah Buton merupakan hutan belantara, kemudian pohon-pohonnya di tebas untuk dijadikan sebagai pemukiman penduduk. Menurut sejarah Buton (dikutip dari Buku Panduan perubahan zonasi Taman Nasional Wakatobi yang menyitir pendapat Abdul Mulku Zahari dalam Darul Butuni, 1980) masyarakat Buton merupakan perpaduan dari berbagai suku asli pendatang diantaranya suku Melayu (dari kerajaan Johor bernama Sipanjonga), Cina (dari kerajaan Tiongkok bernama Dungkung Cangia) dan dari Jawa (dari kerajaan Majapahit Si Batara). Menurut sejarah, Raja Buton yang pertama bernama Ratu Wakaka yang bersuamikan Si Batara dari kerajaan Majapahit. Raja Buton yang pertama kali memeluk agama Islam adalah Raja Murhum (Raja Buton ke–VII) yang kemudian memiliki gelar Sultan Buton I. Hingga saat ini keturunan bangsawan Buton tetap diakui masyarakat namun popularitasnya sebatas keturunan bangsawan saja. Raja Buton saat ini adalah Haji Drs.La Ode Manarfa yang merupakan Sultan ke-38 Kerajaan Buton. Lokasi desa yang sampai sekarang menjadi situs sejarah asal usul Pulau Tomia terletak di Desa Kahiangan. Desa tersebut merupakan daerah yang terletak di atas perbukitan Pulau Tomia. Di Desa Kahiangan dapat ditelusuri situs sejarah “makam keramat” salah satu keluarga nenek moyang penduduk Pulau Tomia yang meninggal pada tahun 1684 serta bukti peninggalan sejarah berupa benteng pertahanan Tomia ketika zaman peperangan melawan Portugis. Salah satu desa yang menjadi tempat kehidupan baru penduduk asli dan menjadi cikal bakal penduduk Kelurahan Bahari sekarang adalah Desa Usuku. Kata “Usuku” berasal dari kata nama buah yang banyak ditemukan di daerah tersebut. Penduduk asli Kelurahan Bahari sebagian besar adalah suku bangsa Buton. Keterikatan ini dapat dilihat dari kesamaan pakaian adat dan seni budaya serta bahasa yang digunakan penduduk. 2.4. Sarana, Prasarana dan Aksesibilitas. 2.4.1. Pasar Dibandingkan dengan desa/kelurahan lain di KecamatanTomia, perkembangan Kelurahan Bahari terlihat lebih maju. Untuk sarana dan prasarana yang bersifat pengembangan ekonomi penduduk, di Kelurahan Bahari terdapat fasilitas pasar rakyat yang terdiri dari bangunan toko, kios, serta pedagang eceran. Kegiatan pasar berlangsung berdasarkan hari pasar, yaitu hari Selasa, Kamis dan Minggu. Pemanfaatan keberadaan pasar selain dari penduduk Kelurahan Bahari juga penduduk desa-desa sekitarnya seperti Desa Tonggano, Waitii, Patipelong, hingga penduduk yang berada jauh dari Kelurahan Bahari yaitu Desa Kahiangan. Barang dagangan yang diperjualbelikan pada pasar tersebut beraneka ragam, dari kebutuhan pangan, sandang hingga papan penduduk. Sebagian besar barang-barang tersebut di datangkan dari luar Pulau Tomia, terutama dari kota Bau-bau yang merupakan ibu kota Kabupaten Buton.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
17
2.4.2. Pelabuhan/dermaga Di Kelurahan Bahari terdapat pelabuhan/dermaga kapal tradisional swadaya masyarakat yang melayani berbagai macam keperluan transportasi laut penduduk Kelurahan Bahari dan sekitarnya. Saat ini terdapat tiga kapal muatan penumpang yang digunakan penduduk Kelurahan Bahari dan sekitarnya sebagai alat transportasi laut ke pelabuhan Bau-bau atau untuk melanjutkan ke daerah lain. Tiga kapal tersebut bernama KM Sumber Alam I, KM Sumber Alam II, dan KM Jaya Makmur. Jadwal keberangkatan kapal tersebut berlangsung dua hari sekali secara bergilir. Waktu tempuh dari Kelurahan Bahari ke Kota Bau-Bau dengan ketiga kapal tersebut menghabiskan waktu 1 hari. Selain di dermaga Kelurahan Bahari, penduduk yang ingin menuju Kota Bau-bau juga dapat menggunakan kapal penumpang yang ada di dermaga Kelurahan Waha, karena biasanya jadwal keberangkatan kapal tersebut disesuaikan dengan keberangkatan kapal yang ada di Kelurahan Bahari. Artinya, jika dalam satu hari tidak ada jadwal keberangkatan kapal dari dermaga Kelurahan Bahari, penduduk dapat memanfaatkan jadwal keberangkatn kapal di dermaga Kelurahan Waha. Kondisi tersebut juga berlaku sebaliknya. Umumnya kapal penumpang yang berangkat dari dermaga Kelurahan Bahari sekitar pukul 08:00 pagi (disesuaikan dengan kondisi air di pantai), sedangkan dari Desa Waha sekitar pukul 12:00 siang. Disamping kapal penumpang, di dermaga tersebut juga bersandar berbagai macam perahu kayu milik penduduk sekitar. Seperti Kapal perahu layar antar pulau dan berbagai jenis perahu tradisonal untuk alat pengangkutan antar desa atau penangkap ikan seperti perahu kayu tanpa mesin (lepa-lepa) dan perahu kayu bermotor (kole-kole / johnson). 2.4.3. Bidang Pendidikan Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya kepedulian penduduk dalam hal pendidikan adalah karena kemudahan akses sarana dan prasarana pendi dikan yang tersedia. Saat ini di Kecamatan Tomia terdapat 21 bangunan SD, 4 bangunan SLTP, 1 Madrasah Tsanawiyah dan 1 bangunan SLTA yang tersebar di berbagai desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Tomia. Selain memanfaatkan sarana prasarana pendidikan yang terdapat di kecamatan, untuk memperoleh fasilitas pendidikan yang lebih baik dan jenjang yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi/ Universitas) banyak dijumpai penduduk Kelurahan Bahari atau Pulau Tomia, menyekolahkan anaknya di luar Pulau Tomia seperti di Kota Bau-bau, Kendari, Ujung Pandang, bahkan hingga di Pulau Jawa seperti kota Jakarta dan Yogyakarta. Umumnya pelajar atau mahasiswa tersebut adalah mereka yang berasal dari tingkat ekonomi keluarga yang cukup mapan. Data lengkap yang menggambarkan jumlah sarana dan prasarana bidang pendidikan yang ada di Kecamatan Tomia dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut :
18
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Tabel 2.4. Jumlah Bangunan Sekolah, Guru dan Murid di Kecamatan Tomia No
Kriteria Sekolah
Bangunan
Guru
1 2 3 4
TK 1 SD 21 SLTP 4 SMU 1 Total 27 Sumber : Tomia Dalam Angka, BPS, 2000
Murid
2 171 86 19 278
129 2.676 1.044 573 4412
2.4.4. Bidang Kesehatan Sarana dan prasarana dibidang kesehatan yang terdapat di Kelurahan Bahari atau Kecamatan Tomia sudah cukup memadai. Di setiap desa umumnya terdapat satu Polindes yang dikelola oleh seorang bidan atau tenaga pembantu kesehatan. Fungsi Polindes di setiap desa adalah sebagai tempat berbagai pelayanan kesehatan masyarakat baik pengobatan berbagai penyakit, penyuluhan, pemasangan alat kontrasepsi KB, imunisasi posyandu dan sebagainya. Selain Polindes, pada beberapa desa tertentu terdapat juga beberapa Puskesmas dan tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat. Data lengkap yang menggambarkan jumlah sarana dan prasarana bidang kesehatan yang ada di Kecamatan Tomia dapat dilihat pada tabel 2.5 berikut: Tabel 2.5. Sarana dan Prasarana Kesehatan di Kecamatan Tomia No Failitas 1 Puskesmas 2 Puskesmas Pembantu 3 Pos Obat 4 Posyandu 5 Dokter 6 Bidan 7 Perawat 8 Dukun Bersalin Sumber : Kecamatan Tomia dalam Angka, BPS, 2000
Jumlah 2 5 17 41 3 13 8 50
2.4.5. Kebutuhan Rumah Tangga Untuk sarana dan prasarana kebutuhan rumah tangga, saat ini penduduk Kelurahan Bahari telah memanfaatkan saluran air bersih melalui pemasangan pipa saluran air bersih yang bersumber dari distribusi PAM Usuku yang diambil dari mata air gua karang yang terdapat di Pulau Tomia. Penduduk Kelurahan Bahari juga sudah menggunakan energi listrik yang berasal dari sumber tenaga listrik diesel yang berpusat di desa Tonggano Barat. Namun pemanfaatan energi listrik tersebut masih belum dapat dilakukan sepanjang hari karena keterbatasan kemampuan sumber pembangkit listrik yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan energi listrik penduduk secara maksimal. Pemanfaatan energi listrik dilakukan secara bergiliran dengan desa-desa sekitar. Dalam satu hari biasanya listrik
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
19
dapat dimanfaatkan mulai pukul 10 malam hingga pukul 5 pagi, dan hari berikutnya pemanfaatan listrik dimulai pada pukul 5 sore hingga 11 malam. Keadaan tersebut terjadi secara bergiliran sesuai kesepakatan yang telah disetujui dalam lingkungan antar desa. 2.5. Kelembagaan Pedesaan Kelurahan Bahari merupakan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Kecamatan Tomia. Berbagai kegiatan ekonomi yang melibatkan masyarakat Tomia umumnya berpusat di Kelurahan Bahari. Salah satu faktor pendukung berpusatnya kegiatan ekonomi di Kelurahan Bahari bagi penduduk Pulau Tomia karena keberadaan pelabuhan/dermaga dan pasar tradisional. Namun upaya pendukung dalam pengembangan ekonomi masyarakat melalui berbagai lembaga ekonomi di Kelurahan Bahari atau Kecamatan Tomia terlihat sangat minim sekali. Hasil observasi lapangan, menjelaskan bahwa keberadaan lembaga ekonomi keuangan seperti bank/BPR sudah sepantasnya harus ada untuk melayani pendudukdi Kelurahan Bahari atau Kecamatan Tomia, mengingat jangkauan transaksi ekonomi keuangan penduduk umumnya telah meluas hingga di luar Kecamatan Tomia. Bahkan sebenarnya penggunaan fasilitas perbankan sudah familiar dikalangan penduduk Kecamatan Tomia, namun mas ih menggunakan pelayanan anak cabang Bank BRI yang ada di kota Bau-bau, ibu kota Kabupaten Buton. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Camat setempat bahwa keberadaan sebuah Bank seperti BRI sebenarnya sangat dibutuhkan di Kecamatan Tomia. Survey tentang kelayakan pendirian sebuah Bank sebenarnya pernah dilakukan sekitar dua tahun yang lalu namun realisasinya hingga saat ini belum terlihat. Di Kelurahan Bahari juga terdapat sebuah koperasi yang didirikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Lakamali. Begitu pula di tingkat kecamatan terdapat beberapa koperasi baik didirikan oleh swadaya masyarakat ataupun LSM. Kegiatan utama koperasi tersebut adalah peminjaman kredit permodalan untuk pengembangan usaha penduduk. Namun menurut pengakuan pengurus koperasi atau Camat setempat, berbagai kegiatan/program yang telah direncanakan saat ini tidak bisa terlaksana. Kendala utama yang menghambat kegiatan koperasi tersebut adalah karena kemampuan modal yang tidak mencukupi. Disamping itu, untuk pemenuhan kebutuhan peminjaman permodalan, penduduk Kelurahan Bahari umumnya lebih tertarik pada lembaga perkreditan tradisional seperti peminjaman pada saudagar pemilik kapal atau pada beberapa penduduk yang tergolong berpendapatan tinggi di desa yang berperan sebagai pelepas uang (money lender). Di bidang kelembagaan sosial-budaya, kegiatan yang dilakukan biasanya tergantung dari acara atau kegiatan rutin yang melibatkan penduduk. Kegiatan tersebut misalnya musyawarah tingkat lingkungan,/kelurahan, pengajian, arisan para ibu dan gotong royong dalam acara pesta pernikahan. Kegiatan-kegiatan tersebut biasanya mengikutsertakan peran kepala lingkungan dan kepala kelurahan setempat. Forumforum kegiatan tersebut biasanya dimanfaatkan penduduk untuk melakukan pembahasan atau tukar pandang tentang berbagai permasalahan yang dihadapi desa. Pada kasus tertentu, peran tokoh masyarakat (sesepuh) masih tetap diakui, terutama sebagai media penengah jika terdapat kasus konflik yang melibatkan kepentingan antar individu penduduk.
20
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut Kelurahan Bahari yang berbentuk memanjang di tepi sebelah tenggara Pulau Tomia sebenarnya sudah menyiratkan keadaan masyarakatnya yang bersentuhan langsung dengan kehidupan laut. Hanya saja sebagaimana yang sudah disinggung selintas pada bab I dan bab II, mereka dulunya bertempat tinggal jauh ke tengah pulau. Pola pemukiman yang jauh dari laut tersebut untuk menghindari serangan bajak laut, ancaman dari orang-orang Tobelo dari Piliphina, dan pada masa perang kemerdekaan adalah menghindari serangan dari tentara kolonial Belanda maupun Jepang, dan terakhir dari gangguan DI/TII. Hal ini menyebabkan ‘‘agak kurang kedekatan“ mereka dengan laut. Oleh sebab perjalanan historis semacam itu kebudayaannya maupun jenis pekerjaan tidak terorientasi sepenuhnya ke laut. Namun tipikal masyarakat pesisir yang dicirikan dengan mobilitas dan kecekatan mencari untung dalam berusaha menyebabkan masyarakat di Kelurahan Bahari ini cenderung multiple employment /pluri-activity dalam matapencahariannya, termasuk salah satu bidang pekerjaannya adalah mengambil hasil laut. Konsep multiple employment ini biasanya digunakan untuk menjelaskan fenomena di daerah pertanian, tetapi untuk keperluan laporan ini, konsep tersebut bisa dimanfaatkan untuk menjelaskan kondisi masyarakat di kelurahan Bahari. Konsep tersebut merujuk pada suatu kombinasi antara pekerjaan kenelayanan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat non-kenelayanan di dalam suatu rumah tangga (Badiel, 1991:17). Menurut Fuller dan Brun (1990:149) multiple employment atau pluri-activity bisa dijabarkan sebagai berbagai kegiatan dalam suatu rumah tangga nelayan yang mendukung penambahan penghasilan dari usaha kenelayanan. Aktivitas-aktivitas tersebut meliputi : 1) Pekerjaan yang masih pada bidang kenelayanan, misalnya sebagai anak buah perahu orang lain; 2) Kegiatan-kegiatan yang masih terkait dengan hasil kenelayanan seperti pemindangan ikan, pembuatan ikan asin dan ikan asap dan lainlain; 3) Kegiatan-kegiatan lain yang non-kenelayanan tetapi masih terkait dengan kenelayanan misalnya mengantar turis dengan perahunya, warung makanan, toko kelontong; 4) Kegiatan-kegiatan yang sama sekali di luar kegiatan kenelayanan seperti buruh bangunan, guru dan lain-lain. Oleh karena perjalanan historis yang telah diceritakan di atas yang menyebabkan budaya mereka cenderung bukan budaya maritim, penduduk setempat tidak begitu kaya pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan laut, hanya menggunakan teknologi yang sederhana dan terbatas aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan laut. Apalagi menjadi prinsip umum di kalangan masyarakat di propinsi ini bahwa laut bersifat open access. Laut tidak dimiliki oleh mereka, semua orang memiliki kawasan laut, semua perahu boleh melintasi laut di wilayah Kelurahan Bahari. Sebagaimana mereka juga merasa punya hak untuk menjalankan perahu-perahu mereka melintasi kawasan-kawasan laut di daerah lain, seperti pelayaran mereka ke Batam, Tanjung Pinang, ke Irian (Papua), ke Nusa Tenggara Timur bahkan sampai ke Singapura dan Malaysia.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
21
Transek 1 : Kelurahan Bahari dan Aktivitas Warganya.
Aktivitas
Laut
Jenis kegiatan
Kenelayanan
Pantai
Pemukiman
Bukit
Pengumpulan
Perdagangan
Pertanian
Teknologi
Jaring, pancing, perahu, linggis
Bascom, pancing, linggis
Gerobak, baskom, warung, toko.
Pacul, linggis
Produksi
Ikan laut, batu karang, akar bahar, uburubur, kima, dan lainnya
Bulubabi, landa, kerang-kerangan, batu karang, dan lainnya
Pakaian, bahan makanan, kelontong, hasil laut.
Ubi kayu, mete, pepaya, pisang, bayam, kacangkacangan.
Laki-laki dewasa
Sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Sebagian besar perempuan dan sedikit laki-laki
Laki-laki dan perempuan
Perusakan karang
Perusakan karang dan abrasi
Limbah domestik di buang ke laut
Erosi masih relatif kecil
Aktor
Problem Lingkungan
Sumber : Hasil Pengamatan di lapangan 3.1. Pengetahuan dan Sikap Penduduk terhadap Pengelolaan SDL Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas bahwa pola hidup dan matapencaharian mereka tidak berorientasi ke laut. Namun betapapun lingkungan mereka adalah pesisir (coastal zone), yang menumbuhkan bermacam-macam pengetahuan dan sikap terhadap lingkungan laut sebagai respon mereka. Pengetahuan mereka terhadap sumberdaya laut diwujudkan dalam penamaan terhadap berbagai jenis ikan, jenis karang, jenis binatang laut lainnya dan lain-lain. Umumnya ada nama daerah dalam bahasa Wolio atau bahasa Tomia untuk SDL yang diketahui oleh penduduk lokal, namun sekarang ini sudah lebih dikenal nama-nama dalam bahasa Indonesianya. Nama terumbu karang dalam bahasa Tomia yang paling populer adalah watu rumbu. Selain itu terumbu karang juga dikenal dengan nama lain : watu cucuru, sangga, patoga, watu rangki, limpapa, kula, watu kaladi. Penamaan tersebut merujuk pada bagian-bagian tertentu dari ekosistem terumbu karang. Namun pemakaian istilah watu rumbu mencakup semua bagian dari terumbu karang, atau terutama karang yang dikenal mereka sebagai bahan bangunan. Pengetahuan tentang kenelayanan atau mencari ikan umumnya dipahami oleh kebanyakan laki-laki di kelurahan ini. Mereka mengetahui persis kapan musim mencari
22
Studi Kas us : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
ikan, kapan saat angin kencang dan tidak bisa mencari ikan, jenis-jenis ikan apa yang mahal harganya, dimana area jenis ikan tertentu, dan lain-lain (untuk lebih detilnya lihat bab IV). Karena umumnya mereka juga mencari ikan di waktu-waktu senggang, seperti bila bekerja sebagai guru maka di musim liburan sekolah mereka aktif mencari ikan. Penduduk Kelurahan Bahari juga memiliki pengetahuan tentang perilaku ikanikan yang menjadi buruan mereka. Misalnya dimana daerah tempat tinggal yang disukai, tergolong jenis ikan demersal atau pelagis, apa umpan kesukaannya, bagaimana cara menangkapnya, dan seterusnya. Mereka mengetahui juga jenis-jenis binatang non-ikan yang komersial seperti ubur-ubur, kima, bulu babi, penyu, kerang-kerangan, serta tanaman laut yang bisa dikomersialkan seperti akar bahar dan rumput laut. Selain itu ada dalam pengetahuan mereka tentang wilayah-wilayah yang dianggap berbahaya karena ada ‘‘keramat“, seperti misalnya di sebelah Timur Pulau Tomia ini ada akar bahar raksasa yang pucuknya sampai keluar di permukaan air laut dan ditunggui oleh seekor belut raksasa, adanya gurita raksasa di dekat resort wisata Lorenz yang saat sekarang ini sudah tidak pernah kelihatan lagi. Adapun pandangan penduduk tentang potensi SDL, khususnya terumbu karang, sebagian besar penduduk mengeluhkan bahwa kondisinya sudah sangat rusak sebagaimana yang terlihat pada tabel di bawah ini. Mereka menyebutkan bahwa nelayan-nelayan dari luar sering sekali menggunakan bom dan bius sebagai alat tangkap ikan. Penduduk lokal tidak bisa berbuat apa-apa karena prinsip open access yang dianut oleh mereka yang menyatakan bahwa laut adalah milik semua orang, sebagaimana yang terekspresikan dalam ucapan seorang responden : …Jangankan mereka orang-orang Sulawesi Selatan, kapal asing pun bisa mondar mandir lewat laut depan sini. Laut tidak ada yang punya.
Tabel 3.1. Kondisi Terumbu Karang (n=100) Kondisi Terumbu Karang
Saat sekarang (%)
Baik
31
Kurang baik
28
Rusak
17
Tidak tahu
24
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001. Menurut pendapat penduduk setempat kondisi waturumbu (batu karang) sudah sangat rusak. Namun mereka menyebutkan bahwa perusakan terumbu karang 5 tahun yang lalu relatif lebih gencar dibandingkan saat sekarang ini. Penduduk berpendapat bahwa setelah diterapkannya sistem zonasi di wilayah perairan Wakatobi, maka ada kecenderungan kondisi terumbu karang relatif lebih terpelihara dibandingkan 5 tahun yang lalu, yang dilukiskan oleh mereka sebagai periode merajalelanya penggunaan bom dan bius tanpa ada yang bisa mengontrol. Perusakan terhadap terumbu karang memang terus berlangsung dan kondisi terumbu karang semakin rusak, namun setelah ditetapkannya Taman Nasional Wakatobi dan dipromosikannya pemeliharaan laut, terutama terumbu karang, maka penggunaan bom dan bius relatif berkurang, alias masih dilakukan tapi secara sembunyi-sembunyi. Begitu juga dengan ekskavasi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
23
terumbu karang saat sekarang sudah tidak segencar dulu lagi, karena pemukiman sudah padat di kawasan sepanjang pantai Pulau Tomia. Pembuatan rumah atau bangunan lebih banyak dilakukan di pedalaman pulau ini dengan menggunakan batubatu karang yang ada di daratan. Selain itu, pelarangan dari pihak aparat kelurahan dan kecamatan cukup efektif untuk mengurangan ekskavasi terumbu karang besar-besaran sebagaimana di masa lalu. Tabel 3.2. Kondisi Terumbu Karang dibandingkan 5 tahun yll (n=100) Kondisi Terumbu Karang
Dibandingkan 5 tahun yll (%)
Lebih baik
48
Sama saja
6
Lebih Buruk
25
Tidak Tahu
21
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Pengetahuan mereka tentang fungsi terumbu karang masih terbatas, sebagaimana yang terlihat pada tabel di bawah ini (dari hasil survei). Mereka melihat fungsi terumbu karang terutama sebagai bahan bangunan (sumber bahan baku) dan tempat bertelur dan tumbuh kembangnya ikan. Tabel 3.3. Pengetahuan tentang Fungsi Terumbu Karang (n = 100) Kegunaan
Menjawab Ya
Menjawab Tidak
Total
Tempat ikan hidup, bertelur,cari makan
53
47
100
Melestarikan keanekaragaman hayati
4
96
100
Melindungi dari ombak
7
93
100
Sumber bahan baku
60
40
100
Nilai ekonomi/industri
9
91
100
Obyek pariwisata
4
96
100
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Pengetahuan mereka terhadap teknologi-teknologi yang berbahaya buat lingkungan juga sangat terbatas, mereka hanya menyebutkan 5 jenis teknologi yang merusak lingkungan laut, yaitu : bom, racun, bagan, jaring, dan bubu. Umumnya mereka mencontohkan teknologi yang tidak ramah lingkungan sesuai dengan yang ada di sekitar Tomia, yaitu bom dan racun (potassium cyanide, endrin). Bubu yang umumnya dilakukan dengan menggunakan karang sebagai penindihnya tidak banyak yang menggolongkannya sebagai perusak lingkungan. Alasan yang banyak dikemukakan karena hanya menggunakan batu karang yang berserakan, bukan menghancurkan karang yang ada. Hanya ada 1 orang responden yang menganggap bagan sebagai teknologi perusak, karena kabarnya kadang-kadang dalam operasionalnya nelayan
24
Studi Kas us : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
pengguna bagan ini menggunakan alat peledak dalam mengumpulkan ikan. Yang ada di perairan Tomia ini umumnya adalah bagan apung. Sejauh hasil observasi dan wawancara tidak ditemukan bagan tancap di wilayah perairan Pulau Tomia ini. Tabel 3.4. Teknologi yang merusak Terumbu Karang (n=100) Jenis Teknologi
Menjawab Ya
Bom
Menjawab Tidak
Total
98
2
100
Bagan
1
99
100
Racun
84
16
100
Bubu
8
92
100
Jaring
6
94
100
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Disebutkan oleh penduduk bahwa penggunaan bom marak sekitar 10 tahunan yang lalu, jadi sampai sekitar tahun 1992-an, setelah itu berkurang dan beralih ke bius sampai sekarang. Namun sebenarnya teknologi bom ikan sudah semenjak lama dikenal atau diketahui oleh masyarakat, yaitu sudah semenjak jaman penjajahan Jepang (sekitar tahun 1940-an). Pancing, jaring dan bubu merupakan teknologi tangkap tradisional semenjak lama yang terus dipergunakan sampai kini. Sebagian besar responden sebagaimana tertera pada tabel 3.4. mengungkapkan bahwa bom sungguh merusak karang, namun dalam indepth interview ada beberapa informan yang mengatakan bahwa dampak dari bius seringkali lebih berbahaya dibandingkan bom, karena tidak hanya pada karang yang disemprot oleh obat bius tersebut, tetapi pada karang-karang yang dilalui oleh racun yang mengalir terus juga ikut mati, yang ditunjukkan dengan warna karang menjadi putih pucat. 3.2. Wilayah Pengelolaan SDL Ground fishing di nelayan-nelayan Kelurahan Bahari terutama berada di perairan Pulau Lentea, yang juga didatangi oleh para nelayan dari desa-desa lain karena banyaknya jumlah ikan di sana. Secara umum diterapkan prinsip open access yang menyebabkan semua orang boleh mencari ikan di sana. Setelah ditetapkannya perairan Wakatobi sebagai Taman Nasional, para nelayan merasa dibatasi wilayah penangkapan ikannya, yang dikarenakan dua hal. Pertama, ketidakjelasan batas-batas zona yang dilarang. Kedua, pihak nelayan sendiri tidak memahami tentang zonasi yang dibuat oleh pihak Taman Nasional Wakatobi. Problem ini sering menyebabkan benturan antara petugas TN dengan penduduk lokal. Pelanggaran terhadap zonasi jadi sering terjadi karena ketidaktahuan zonasi dan juga karena semenjak dulu adalah daerah tangkap ikan mereka. Ada 4 zona, yaitu zona inti, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona rehabilitasi. Namun kemudian ditambahkan zona pemanfaatan tradisional agar ada ruang untuk wilayah tangkap bagi penduduk setempat. Zona ini pun tidak begitu jelas batas-batasnya sehingga nelayan lokal mengusulkan kepada TN pada saat rapat tingkat kecamatan akhir bulan September 2001 agar dibuat batas yang jelas (rambu-rambu).
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
25
Pada rapat tingkat Kecamatan Tomia akhir bulan September yang dihadiri oleh berbagai pihak, dibahas tentang perluasan zona pemanfaatan tradisional yang memungkinkan nelayan bergerak lebih leluasa dalam mencari ikan. Hanya saja tampak banyak kesulitan dalam pembahasannya karena dari pihak Taman Nasional adalah petugas yang baru beberapa bulan di Wakatobi sehingga belum memahami wilayah, sementara dari pihak nelayan mengalami kesulitan untuk menunjukkan batas-batas yang mereka inginkan dalam peta yang disiapkan oleh pihak Taman Nasional. Pihak Taman Nasional sendiri berjanji akan mengadakan tinjauan ke lapangan bersama masyarakat lokal dan aparat lokal untuk memperoleh kesepakatan batas-batas zona pemanfaatan tradisional. Sementara ini zonasi pemanfaatan tradisional yang diusulkan oleh pihak Taman Nasional dianggap oleh nelayan bukanlah merupakan daerah yang banyak ikannya. Masyarakat masih berharap agar zonasi baru yang sedang dalam proses pembuatan ini akan menguntungkan mereka. 3.3. Teknologi Pe ngelolaan Cukup banyak jenis teknologi tangkap yang digunakan oleh nelayan di perairan Tomia, seperti bom, bius, pancing, bubu, bagan apung, rumpon. Tapi penduduk Kelurahan Bahari umumnya hanya menggunakan jaring, pancing, bubu. Ada juga yang menurut penduduk, nelayan di kelurahan ini yang secara diam-diam menggunakan bius. Dahulu ada yang menggunakan bom sebagai teknologi tangkap. Semenjak beberapa tahun terakhir ini boleh dikatakan tidak ada lagi. Nelayan di Kelurahan Bahari bisa dibedakan dalam 2 kategori, yakni nelayan permanen dan nelayan temporer. Nelayan permanen adalah nelayan yang tiap hari pergi mencari ikan. Alat tangkapnya berupa jaring dan pancing. Mereka berangkat 2 kali dalam sehari, yakni pagi-pagi berangkat pukul 07.00 dan pulang pukul 11.00. Sorenya berangkat lagi pukul 15.00 dan pulang pukul 18.00. Biasa hanya membawa bekal kasoami (makanan pokok mereka yang berasal dari ketela pohon), ikan bakar dan sambal sebagai lauknya. Bahan bakar seperti solar dan bensin dia bawa untuk keperluan mesin perahunya. Jenis perahu yang dibawa adalah jenis menengah yang biasa dikenal sebagai `perahu`. Sedangkan nelayan temporer biasa menggunakan perahu menengah (kole-kole) atau perahu kecil (lepa-lepa). Sebagai catatan, di kelurahan ini dikenal 3 jenis perahu, yaitu kapal, perahu besar yang biasa digunakan untuk transportasi atau untuk berdagang, perahu menengah yang umumnya digunakan oleh para nelayan permanen (kole-kole), dan perahu kecil (lepa-lepa). Apabila dilihat dari teknologinya, nelayan dari luar seperti dari Sinjai dengan bagan apung, juga nelayan-nelayan dari Buton dan nelayan-nelayan dari wilayah lain di provinsi Sulawesi Selatan ataupun dari provinsi Sulawesi Tenggara yang menggunakan bius dan bom, maka biaya yang dikeluarkan oleh nelayan dari kelurahan Bahari sangatlah rendah. 3.4. Stakeholder yang terlibat Ada beberapa pihak yang bisa dimasukkan sebagai stakeholder penting yang perlu diperhatikan, yakni : nelayan permanen, nelayan temporer, nelayan dari desa tetangga, penampung, nelayan dari provinsi Sulawesi Selatan, resort wisata Lorenz, jagawana. Untuk nelayan permanen dan nelayan temporer sudah dijelaskan pada alineaalinea sebelumnya. Peran mereka dalam perusakan lingkungan sangat kurang karena teknologi yang mereka pakai umumnya tidak merusak lingkungan. Penampung adalah capitalist yang memiliki modal besar dan umumnya kepanjangan tangan dari perusahaan-perusahaan exportir ikan. Umumnya mereka
26
Studi Kas us : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
memiliki rumah-rumah di laut sebagai tempat untuk transaksi dengan para nelayan dan kemudian menaruh ikan kerapu sununya untuk sementara di dalam fish cage (karamba) yang terletak di dekat rumah-rumah tersebut. Yang diincar adalah ikan-ikan yang sangat komersial seperti kerapu-sunu dan napoleon wrasse. Untuk ikan kerapu sunu biasanya dipersyaratkan agar tertangkap dalam keadaan hidup-hidup. Sedangkan napoleon wrasse sekarang bolehlah dikatakan sudah sulit didapatkan di perairan ini. Walaupun sempat juga peneliti menemukan anak ikan napoleon wrasse di dalam tangkapan nelayan yang menggunakan jaring. Yang banyak disorot oleh penduduk berkaitan dengan kerusakan terumbu karang adalah aktivitas nelayan-nelayan dari Provinsi Sulawesi Selatan yang menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan, seperti bius (potassium cyanide), bom, bubu. Ada juga yang menggunakan bagan apung yang masih dalam perdebatan apakah tidak merusak lingkungan, hanya saja konon mereka juga menggunakan alat peledak untuk mengumpulkan ikan. Hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut. Aktivitas mereka yang sangat agresif yang cenderung tangkap lebih (overfishing) dan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan banyak dikeluhkan oleh penduduk lokal. Tidak ada seorangpun yang berani menegur mereka, karena adanya prinsip laut milik semua orang (open access). Hanya bertambah lama makin disadari akan parahnya kerusakan lingkungan, yang tentu saja akan mempengaruhi masa depan mereka. Selain itu, pengetahuan mereka yang cukup baik tentang sumberdaya laut sebagaimana yang terlihat dari jawaban mereka terhadap pertanyaan kuesioner tentang pengetahuan sumberdaya laut, telah mendorong kesadaran mereka akan kerusakan lingkungan laut yang kemudian disampaikan lewat aparat pemerintahan atau melalui pertemuan di tingkat kelurahan maupun kecamatan. Nelayan dari desa tetangga, terutama dari desa Lamanggau yang banyak dihuni oleh orang Bajau, banyak menggunakan teknologi yang destruktif seperti bom dan bius. Sudah disoroti oleh banyak pihak, tetapi tidak mudah untuk ditangkap karena sulit memperoleh bukti dari lapangan. Mereka selalu bisa melenyapkan atau menyembunyikan barang bukti, seperti bahan obat bius atau bahan bom, karena umumnya mereka baru merakit bahan bom ataupun bius setelah berada di laut dan akan memakainya. Adapun resort wisata milik Lorenz selama ini masih dilihat sebagai memelihara kelestarian alam. Hal ini diakui oleh berbagai pihak dari tingkat kecamatan sampai tingkat kelurahan dan juga oleh penduduk lokal. Sikap yang menjaga kelestarian lingkungan muncul karena menjadi prasyarat dari wisata laut yang menjadi obyek. Terumbu karang yang atraktif, ikan-ikan yang jinak dan gua-gua dasar laut yang indah merupakan obyek pariwisata yang dipromosikan oleh pihak Lorenz. Oleh sebab itu mereka berkepentingan akan kelestarian sumberdaya laut. Jagawana Laut atau biasa dikenal sebagai polisi laut bertugas mengamankan sumberdaya laut yang berada di wilayah Taman Nasional Wakatobi. Problemnya mereka kurang terlatih untuk tugas itu. Pendidikan yang mereka peroleh adalah kehutanan, sehingga ketika bertugas sebagai Jagawana Laut mereka mengalami kebingungan. Banyak dari mereka baru belajar berenang dan menyelam setelah bertugas. Kebetulan ada program dari Yayasan Wallacea untuk melatih mereka berenang dan menyelam. Bisa dibayangkan betapa beratnya ketika mereka harus menjalankan tugasnya. Problem lainnya adalah minimnya fasilitas. Hanya ada satu speedboat untuk tim yang terdiri dari 14 orang. Sialnya speedboat tersebut dicuri orang. Sehingga mereka saat sekarang ini hanya patroli di darat saja. Selain itu mereka tidak dilengkapi dengan alat ataupun senjata, hanya seragam hijaunya saja. Itulah sebabnya mereka tidak bisa berbuat banyak terhadap pelanggaran-pelanggaran yang ada.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
27
3.5. Hubungan Kerja dalam Pengelolaan SDL Pola rekruitmen umumnya adalah mencari anak buah kapal dari kalangan keluarganya, seperti anak laki-lakinya dan jika tidak ada akan diambil dari tetangga terdekat. Kalau anak buah buah kapal adalah anaknya sendiri biasanya tidak ada pembayaran yang jelas untuknya (unpaid workers). Hal ini berlaku untuk nelayan permanen maupun nelayan temporer. Pada nelayan temporer umumnya melakukan kerja nelayan sendirian; ada sebagian dari mereka pergi mencari ikan dengan dibantu 1 – 2 orang lainnya. Mereka mencari ikan sebagian besar untuk keperluan subsistensi, untuk dikonsumsi. Baru kalau ada sisa dijual. Pada nelayan temporer ini hasil ikan dibawa ke rumah, disisihkan dulu untuk keperluan rumah, kalau dianggap ada sisa barulah isteri dan anak perempuan yang sudah besar menjual dengan menggunakan baskom yang dijunjung di kepala. Sedangkan pada nelayan permanen umumnya melakukan usaha kenelayanan tidak sendirian, mereka dibantu sekitar 2 sampai dengan 5 orang anak buah perahu dan dengan jam kerja yang jauh lebih panjang. Mereka mencari ikan dengan harapan sebagian besar terjual dan sisanya baru untuk keperluan makan anggota rumah tangga. Apabila telah selesai mencari ikan seringkali mereka membawa kapalnya ke dermaga dan menjualnya dengan dibantu oleh anak buah kapal. Sering juga mereka merapat langsung ke dekat rumah, dan orang-orang yang butuh ikan atau pedagang-pedagang ikan sudah menanti untuk membelinya. Bila terdapat sisa cukup banyak, anak gadis dan isterinya akan menjual keliling desa dengan menggunakan baskom yang dijinjing di kepala. Kadang-kadang anak buah kapal juga ikut menjual dengan menggunakan gerobak dorong.
28
Studi Kas us : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab IV Produksi dan Pemasaran Sumber Daya Laut
4.1. Hasil Produksi Dalam lima tahun terakhir jumlah produksi perikanan laut yang dihasilkan nelayan Kelurahan Bahari cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data Biro Pusat statistik, produksi perikanan laut Kelurahan Bahari pada tahun 2000 mencapai 98.544 kg. Dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan Tomia, tingkat produksi perikanan laut Kelurahan Bahari terbilang cukup rendah. Hal tersebut dikarenakan semakin sedikitnya jumlah nelayan yang secara rutin melalukan penangkapan ikan dilain hal jenis alat tangkap yang digunakan nelayan Kelurahan Bahari sangat tradisional yaitu umumnya berupa pancing senar dan hanya sebagin kecil yang menggunakan jaring (jaring tasi). Gambaran lebih jelas tentang produksi ikan laut di Kecamatan Tomia dapat dilihat dalam tabel 4.1 berikut ini : Tabel 4.1. Produksi Ikan Laut Menurut Alat Tangkap dan Desa/Kelurahan di Kecamatan Tomia Tahun 2000 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Desa/Kelurahan Waitii Tonggano Barat Tonggano Timur Timu Wawotimu Kahianga Waha Runduma Onemay Patua Watii Barat Lamanggau Patipelong Bahari Dete Kulati Jumlah
Bubu (kg) 25.200 18.720 22.464 37.440 46.080 8.580 22.464 18.720 37.632 11.880 21.840 20.592 1.580 1.540 294.732
Pancing (kg) 62.400 53.568 1.560 22.464 98.280 115.200 89.544 74.256 65.520 112.320 17.280 16.800 18.480 17.160 764.832
Jaring (kg) 864.000 109.200 65.520 31.680 69.120 109.200 342.720 20.160 100.800 133.920 86.400 176.400 61.152 26.400 18.720 2.215.392
Sumber : Kecamtan Tomia dalam Angka 2000, BPS Jenis ikan yang banyak ditangkap nelayan Kelurahan Bahari adalah jenis ikan laut dan ikan karang, seperti jenis ikan cakalang, tenggiri, berbagai jenis kerapu, tongkol, baronang, ekor kuning, bawal, kakap dan beberapa ikan kecil/halus lainnya. Selain berbagai jenis ikan tersebut, sumber daya laut yang ditangkap dan dikonsumsi nelayan
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
29
atau penduduk Kelurahan Bahari diantaranya kima, bulu babi (tehe), teripang, cumi-cumi, udang dan rumput laut. Tabel 4.2 berikut ini dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang berbagai jenis ikan laut atau biota laut lainnya yang banyak ditangkap atau dimanfaatkan oleh nelayan atau penduduk Kelurahan Bahari : Tabel 4.2. Jenis Tangkapan Ikan laut dan Biota laut lainnya dari Nelayan Kelurahan Bahari No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jenis Ikan Iaut/Karang Kerapu Kerapu sunu Kerapu Tiger Napoleon (tongie) Mobi Tenggiri Cakalang Baronang Tongkol Kakap Tuna Ekor Kunig Pari Bawal Udang Halus-halus Berbgai jenis ikan hias
Biota laut lainnya Kima Bulu babi (tehe) Duri babi (nehe) Lola Japing Teripang Kerang Kepiting Cumi-cumi Kuda laut
Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan dan penduduk Kelurahan Bahari Dari berbagai sumber daya laut yang dihasilkan di Kelurahan Bahari tersebut, salah satu sumber daya laut yang memiliki peluang ekonomi cukup besar adalah budidaya rumput laut dan penangkaran benih ikan Baronang. Seperti dijelaskan sebelumnya budidaya rumput laut pernah menjadi primadona usaha ekonomi sebagian besar penduduk Kelurahan Bahari pada tahun 1990-an. Namun hingga saat ini aktivitas tersebut jarang dikembangkan agi dikarenakan berbagai kendala seperti tidak stabilnya harga jual dan kesulitan pemasaran pasca panen. Sementara itu, berdasarkan informasi yang disampaikan oleh salah seorang penyuluh dinas perikanan Kecamatan Tomia, menyebutkan bahwa perairan laut disekitar Kepulauan Tomia sangat sesuai untuk usaha budidaya benih ikan baronang. Disamping keadaan air laut serta ekosistem yang sesuai, didukung pula dengan tersedianya benih ikan baronang yang melimpah sepanjang musim di sekitar perairan Kepulauan Tomia. Namun karena untuk budidaya penangkaran benih ikan baronang tersebut membutuhkan dana yang cukup besar, saat ini penduduk berharap adanya pihak pemodal luar yang bersedia bekerjasama mengembangkan usaha tersebut, terutama kerjasama dalam hal permodalan. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan beberapa nelayan dan penduduk Kelurahan Bahari. Terdapat 3 sumber daya laut yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi dan merupakan hasil produksi perikanan laut yang cukup dominan di Kelurahan Bahari. Tiga jenis sumber daya laut tersebut adalah ikan cakalang, kerapu sunu, dan baronang. 4.1.1. Ikan Cakalang
30
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Jenis ikan cakalang merupakan salah satu jenis ikan permukaan yang banyak ditangkap oleh nelayan Kelurahan Bahari. Jenis ikan ini banyak tersebar di wilayah sekitar laut Banda sebelah Utara Pulau Tomia hingga berbatasan dengan Kepulauan Runduma. Umumnya jenis ikan cakalang tersedia sepanjang tahun di sekitar kepulauan Tomia. Berdasarkan identifikasi nelayan setempat, musim terbanyak untuk memancing ikan cakalang adalah waktu musim Timur yaitu antara bulan Juli -September. Sedangkan musim sulit untuk menangkap ikan cakalang adalah ketika musim pancaroba yaitu antar bulan Januari-Februari dan bulan Oktober - November. Pada kedua musim pancaroba tersebut angin bertiup sangat kencang dan gelombang laut sangat tinggi, sehingga nelayan akan mendapatkan kesulitan untuk menangkap jenis ikan permukaan tersebut. Untuk menangkap jenis ikan cakalang, nelayan Kelurahan Bahari menggunakan armada tangkap berupa satu jenis perahu tempel motor berlayar atau penduduk setempat menyebutnya dengan “ Perahu koli-koli atau Johnson” dan alat tangkap berupa 4-5 gulung pancing senar ukuran no.400-500 serta umpan tradisional yang terbuat dari bulu ayam. Dalam sekali melaut rata-rata ikan cakalang yang dapat ditangkap sekitar 3040 ekor dengan harga per ekor berkisar antara Rp 10.000,00 - Rp 15.000,00. Dari hasil tersebut, biaya operasional yang dikeluarkan dalam sekali melaut menangkap ikan cakalang terdiri biaya bahan bakar -bensin 10 liter @ Rp 2000,-. 10 mata kail @ Rp 500,- dan ransum yang terdiri dari sebungkus kasoami dan rokok seharga Rp 5.000,(lihat matrix1). Hasil wawancara dengan salah satu nelayan bernama Bapak Ismail di Kelurahan Bahari ketika baru pulang dari melaut selepas senja dapat memberikan ilustrasi kegiatan penangkapan ikan cakalang , seperti berikut ini: P : Dalam sekali melaut berapa banyak ikan yang di dapat Pak Ismail? N : Wah tidak tentu..kadang banyak kadang pula tidak dapat. Tapi kalau sekarang lumayan banyak. Saya dapat sekitar 30 ekoran. P : Kalau dijual harganya berapa ini PakIsmail? N :Kalau yang kecil sekitar Rp 7.500, yang sedang sekitar Rp 10.000,dan kalau yang lumayan besar bisa sampai Rp 15.000-an. P : Bisa ceritakan bagaimana Pak Ismail menagkap ikan cakalang ini Pak? N : Saya pancing di sekitar karang dekat Pulau Runduma sana..tadi bersama nelayan Lamanggau malah dia dapat lebih banyak dari Saya. Kalau mancing ikan cakalang harus cepat jangan sampai ketinggalan soalnya ikan ini kan cepat larinya. Biasanya saya menandakan ada banyak ikan cakalang kalau lihat ada ikan lumbalumba yang lagi lompat keatas air..disekitar itu berarti ada ikan cakalang..dan itu harus saya kejar degan perahu Saya. Makanya kalau mancing ikan cakalang harus punya perahu yang bisa gerak cepat. P :Umpannya apa Pak Ismail? terus mancingnya pakai apa? terus kalo sekali melaut apa saja bekal yang Bapak Ismail bawa? N : Umpannya cuma pake bulu ayam ini de…saya pake senar ukuran 400-an, kail ukuran sedang ini. Tadi saya lupa bawa sarung tangan sampai tangan saya ini tergores kraena senarnya lumayan tajem
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
31
4.1.2. Ikan Kerapu Sunu. Ikan kerapu sunu adalah salah satu jenis ikan karang yang terdapat di sekitar kawasan terumbu karang di perairan laut Pulau Tomia. Jenis ikan ini banyak dijumpai di sekitar karang yang terdapat di sekitar Pulau Lentea, Karang Tomia-Kaledupa, dan sekitar Karang Runduma. Ikan kerapu sunu merupakan salah satu jenis ikan bernilai ekonomi tinggi dengan pangsa pasar tujuan ekspor. Musim ikan kerapu sunu menurut identifikasi nelayan Kelurahan Bahari banyak ditemui ketika musim ikan tersebut bertelur, yaitu pada musim Barat antara bulan Desember -April. Pada selang bulan tersebut, umumnya nelayan Kelurahan Bahari mengkonsentrasikan kegiatan penangkapannya pada jenis ikan tersebut, dengan harapan mendapatkan hasil nilai jual yang tinggi. Namun tidak tertutup pula untuk menangkap jenis ikan lainnya yang juga mempunyai nilai ekonomi, walaupun tidak setinggi harga yang diperoleh pada ikan kerapu sunu. Menurut pengakuan nelayan Kelurahan Bahari, penangkapan jenis ikan kerapu sunu memerlukan keahlian khusus dan hanya nelayan yang sudah berpengalaman yang banyak berhasil menangkap ikan tersebut. Hal ini dikarenakan jenis ikan tersebut merupakan jenis ikan karang yang sering bersembunyi di dalam karang tertentu yang berlubang, dan penangkapannya memerlukan tekhnik khusus agar ikan tersebut tetap hidup (dikaitakan dengan nilai jual yang tinggi jika dijual dalam keadaan hidup). Untuk menangkap ikan kerapu sunu, nelayan Kelurahan Bahari umumnya menggunakan alat tangkap berupa pancing senar mata kail ukuran kecil-sedang. Umpan yang digunakan adalah jenis ikan halus yang banyak hidup di karang dekat Pulau Tomia. Nelayan Tomia menyebut ikan halus tersebut dengan sebutan ‘Ikan Mombodi”. Sebelum melaut, ikan tersebut dibuat rangkain yang menyerupai umpan dengan panjang rangkaian maksimal sekitar 3 cm. Dalam sekali melaut, umumnya nelayan Kelurahan Bahari bisa mendapatkan 10-15 ekor jenis kerapu sunu hitam hidup dengan berat ratarata 1/2 kg ekor. Di tingkat pembeli lokal, harga kerapu sunu hidup berkisar antara Rp 20.000,- hingga Rp 30.000,- per kilonya. Sedangkan ditingkat pengumpul dengan pembeli utama harganya diperkirakan berkalilipat dari harga yang diterima nelayan. Selain dengan alat pancing, penangkapan ikan kerapu sunu oleh nelayan Kelurahan Bahari dilakukan dengan penyelaman tradisional menggunakan alat sederhana yang berisi bius/potas dengan kadar ringan. Bius atau potas tersebut biasanya disemprotkan menggunkan alat semprot buatan nelayan setempat (seperti memakai botol bekas air mineral atau bekas alat semprot pembersih) ke lubang karang yang diperkirakan tempat bersembunyinya ikan kerapu sunu. Berdasarkan pengakuan nelayan setempat, penggunaan bius untuk penangkapan ikan kerapu sunu oleh nelayan Kelurahan Bahari sudah jarang dilakukan. Umumnya mereka yang menggunakan semprot bius tersebut adalah penduduk di luar Tomia, seperti nelayan dari Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa. 4.1.3. Ikan Baronang. Ikan baronang merupakan salah satu ikan “favorit” penduduk Kelurahan Bahari. Dalam setiap hari pasar akan banyak dijumpai penjualan jenis ikan baronang dari nelayan kepada penduduk Kelurahan Bahari dan sekitarnya. Jenis ikan baronang banyak tersebar di sekitar perairan laut Pulau Tomia dan tersedia sepanjang tahun. Penangkapan jenis ikan ini umumnya menggunakan alat 32
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
tangkap berupa jaring tasi ukuran 1,5-6 inchi perahu motor (johnson). Dalam sekali proses penangkapan ikan baronang, umumnya memerlukan 3-4 orang tenaga nelayan. Masing –masing nelayan tersebut mempunyai tugas masing-masing seperti ada yang menentukan penebaran jaring, menarik jaring, dan menjaga kemudi perahu. Sambil menunggu ikan masuk perangkap jaring, nelayan juga melakukan kegiatan penangkapan ikan lainnya biasanya dengan menggunakan alat tangkap pancing. Harga ikan baronang variatif tergantung besar kecilnya ikan tersebut. Penjualan ikan baronang di pasar tradisional Kelurahan Bahari umumnya dengan cara pembelian per ember besar atau per ikatan. Harga satu ember ikan baronang antara Rp 10.000-Rp 15.000,- sedangkan per ikatan sekitar Rp 1000,- hingga Rp 2000,-. 4.2. Pemanfaatan Hasil Produksi. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung di lapangan, konsumsi ikan oleh penduduk Kelurahan Bahari termasuk cukup tinggi. Dalam pola/menu makan setiap hari, konsumsi ikan bagi sebagain besar rumah tangga di Kelurahan Bahari merupakan sesuatu keharusan yang perlu dipenuhi. Seperti pengakuan seorang kepala rumah tangga salah satu penduduk di Kelurahan Bahari ketika peneliti sedang makan bersama di meja makan rumah bapak tersebut: …….wah kalau makan tanpa ikan terasa hambar, makan jadi kurang nikmat, soalnya bagi orang sini ikan sudah seperti makanan pokok yang harus ada di setiap kita makan. Coba saja besok lihat setiap kali nelayan habis melaut dan datang ke pasar sini pasti ibu-ibu sini sudah banyak yang berebut untuk membeli…… kadang kalau persediaan ikan dirasakan agak berkurang biasanya mereka membelinya melebihi kebutuhan … hanya untuk persediaan……….
Selain dari nelayan setempat, konsumsi ikan oleh penduduk Kelurahan Bahari juga sebagian besar diperoleh dari nelayan luar seperti dari Desa Lamanggau, Waitii, Waha dan nelayan dari Pulau Binongko. Proses pembelian hasil tangkapan nelayannelayan tersebut umumnya dilakukan di pasar tradisonal yang ada di Kelurahan Bahari. Kondisi ini terjadi ketika penelitian ini sedang dilaksanakan, dimana berdasarkan pengamatan hampir sebagian besar nelayan yang menjual ikan hasil tangkapan pada saat hari pasar di Kelurahan Bahari berasal dari nelayan Desa Lamanggau dan Pulau Binongko. Salah satu sebab dikarenakan saat penelitian ini dilakukan adalah musim panen cengkeh di kota Talibo, sehingga banyak penduduk Kelurahan Bahari terutama yang berprofesi sebagai nelayan mencari keuntungan yang lebih besar dengan beralih menjadi buruh cengkeh tersebut. Pemanfaatan hasil penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Kelurahan Bahari secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu dikonsumsi sendiri, dijual, dan diolah. Pemanfaatan tersebut umumnya disesuaikan dengan kondisi saat paska penangkapan seperti jumlah ikan yang diperoleh, kondisi permintaan pasar dan kondisi fisik ikan. Dalam kondisi tertentu, ikan yang dihasilkan oleh seorang nelayan Kelurahan Bahari hanya dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan ikan rumah tangga nelayan. Pekerjaan menangkap ikan pada nelayan seperti ini hanya bersifat sambilan dan dilakukan dalam waktu tertentu saja (temporer). Jumlah ikan yang ditangkap nelayan ini
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
33
juga disesuaikan dengan jumlah kebutuhan ikan yang akan dikonsumsi pada waktu menangkap ikan tersebut. Umumnya nelayan Kelurahan Bahari menangkap ikan untuk dijual di pasar sebagai sumber pendapatan mereka. Pada jenis ikan tertentu, seperti ikan kerapu sunu tidak dijual di pasar tradisional yang ada di desa, melainkan dijual melalui pedagang pengumpul pemilik keramba di tengah laut. Hal tersebut dikarenakan ikan kerapu sunu merupakan jenis ikan bernilai jual tinggi dengan pangsa pasar hanya dijual untuk kebutuhan ekspor atau dikonsumsi pada restoran besar. Sedangkan untuk jenis ikan tenggiri dan tuna, nelayan Kelurahan Bahari telah mempunyai pangsa pasar yang jelas yaitu tempat wisata "Lorenz " yang ada di Pulau Lentea-Desa Lamanggau. Selain nelayan Kelurahan Bahari, tempat wisata tersebut juga menerima penjualan jenis ikan tenggiri dan tuna dari berbagai desa yang ada di Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Ikan bagi sebagian penduduk atau nelayan Kelurahan Bahari disamping sebagai barang ekonomi yang memiliki nilai jual dan pemenuhan kebutuhan gizi, juga mempunyai nilai sos ial dalam kehidupan masyarakat. Dalam acara tertentu seperti pesta pernikahan, rumah tangga di sekitar rumah yang mengadakan pesta akan membantu dengan memberikan hadiah ikan segar untuk dimanfaatkan dalam pesta pernikahan tersebut. Ikan juga berfungsi sebagai media ucapan terima kasih antar nelayan karena sebelumnya terjadi proses peminjaman perahu (lepa) atau jaring. Seorang nelayan yang tidak mempunyai perahu jika ada kepentingan tertentu seperti berbelanja atau mencari ikan dapat meminjam dengan tetangga yang mempunyai perahu tersebut. Umumnya mereka masih dalam satu ikatan keluarga. Setelah menggunakan perahu tersebut, biasanya ucapan terima kasih yang disampaikan disertai dengan pemberian beberapa ekor/ikat ikan yang ditangkapnya. Pada kondisi tertentu jumlah ikan yang dijual nelayan Kelurahan Bahari di pasar tradisional setempat sering tidak terjual habis. Kondisi tersebut biasanya berkaitan dengan jumlah penawaran ikan yang dijual di pasar. Semakin banyak jumlah ikan yang ditawarkan, kemungkinan jumlah ikan yang tidak terjual juga semakin besar. Faktor tersebut juga mempengaruhi harga jual ikan, semakin banyak ikan yang dijual biasanya harga ikan akan mengalami penurunan, begitupun sebaliknya. Sebenarnya sisa ikan tersebut masih bisa dijual jika kondisi fisiknya masih segar. Namun karena di Kelurahan Bahari belum terdapat teknologi pendinginan ikan (cold storage), maka kesegaran ikan yang dijual tidak mampu bertahan lama, minimal hanya satu hari saja. Pemanfaatan sisa ikan yang tidak terjual tersebut biasanya diolah menjadi ikan asin atau ikan asap. Namun harga jual kembali jenis ikan yang diolah tersebut tentunya lebih rendah. Selain dijual banyak juga yang didistribusikan ke tetangga dengan bentuk sebagai pemberian cuma-cuma. 4.3. Pemasaran Hasil Produksi Berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan beberapa nelayan, proses pemasaran ikan hasil penangkapan nelayan Kelurahan Bahari terlihat tidak terlalu melibatkan jalur pemasaran yang panjang. Setelah mendapatkan hasil dalam satu kali proses penangkapan, hasil tangkapan tersebut langsung dipasarkan pada saat nelayan selesai pulang melaut. Biasanya ikan langsung dijual di sekitar dermaga yang berada di Kelurahan Bahari. Hal tersebut berhubungan dengan kondisi
34
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
kesegaran ikan yang akan djual. Umumnya penduduk Kelurahan Bahari lebih menyukai jenis ikan segar untuk konsumsi lauk pauk sehari-hari mereka. Untuk jenis ikan tertentu seperti kerapu sunu, tenggiri atau tuna, pangsa pemasaran tidak pada pasar tradisional yang ada di kelurah Bahari. Seperti dijelaskan sebelumnya jenis ikan tersebut sudah mempunyai pasar/pembeli tersendiri, yaitu pedagang pengumpul yang mempunyai keramba dilaut untuk jenis ikan kerapu sunu dan wisata Lorenz untuk jenis ikan tenggiri dan tuna. Khusus untuk ikan tenggiri dan tuna jika di tempat wisata Lorenz sudah tidak bisa menampung ikan hasil tangkapan nelayan, biasanya nelayan menjualnya keliling desa di sekitar Pulau Tomia dengan menggunakan gerobak dorong. Fenomena tersebut dijumpai peneliti ketika sedang berjalan Kelurahan Waha, bertemu dengan salah satu nelayan yang sedang menjual ikan tenggiri hasil tangkapannya. Menurut pengakuan nelayan tersebut awalnya ikan tenggiri hasil tangkapannya tersebut akan dijual di wisata Lorenz, namun karena persediaan ikan di tempat wisata tersebut masih banyak nelayan tersebut menjualnya kepada penduduk di Kelurahan Waha. Satu ekor ikan tenggiri ukuran besar dijual dengan harga Rp 60.000,-. Berkaitan dengan proses penjualan, jumlah ikan yang dijual di pasar umumnya berdasarkan hitungan ikatan per tali atau per ember besar. Harga yang berlaku ditentukan berdasarkan situasi banyaknya ikan pada saat penjualan dilakukan. Dalam hal ini berarti hukum ekonomi berlaku. Pada kasus dimana jumlah ikan sulit didapatkan maka harga ikan yang ditawarkan akan mengalami kenaikan, begitu pula jika ikan yang dijual melimpah maka secara otomatis harganya akan mengalami penurunan. Informasi kedatangan nelayan setelah melaut umumnya sangat cepat diketahui oleh penduduk, sehingga kadang dalam waktu tertentu ketika seorang nelayan pulang melaut, sudah banyak ibu rumah tangga yang menunggu untuk membeli ikan hasil tangkapan nelayan. Fenomena tersebut ditemukan peneliti ketika berkunjung ke salah satu rumah nelayan penangkap ikan cakalang di Kelurahan Bahari menjelang senja. Menurut pengakuan nelayan tersebut ia tidak terlalu sulit mencari pembeli karena ketika sampai di rumah sudah ada pembeli yang datang untuk membeli ikan hasil tangkapannya. Jika ikan tidak habis terjual di rumah, maka peran anggota keluarga seperti istri dan anak akan membantu menjual ikan hasil tangkapan tersebut di pasar atau berkeliling desa dengan menggunakan tampah yang diletakkan diatas kepala. Untuk lebih mempermudah penjelasan proses produksi, pemanfaatan hingga pemasaran hasil penangkapan ikan oleh nelayan di Kelurahan Bahari, gambaran tersebut dapat dilihat dalam dua matrik berikut ini :
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
35
Tabel 4.3 Pengolahan dan Jalur Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan oleh Nelayan Kelurahan BahariKecamatan Tomia Dijual pada perusahaan Wisaata Lorenz
Dijual di pasar tradisional/keliling
Ikan Tenggiri/tuna
Pasar Domestik & Ekspor
Dijual Pada Pedagang Pengumpul/ Pemilik Keramba
Ikan Kerapu sunu
Hasil Penangk apan
Ikan Barona ng, krueh,d
Dijual per Ikat/embe r di Pasar
Diolah menjadi Ikan Asin atau Asap
sa Didistribusikan ke tetangga
Ikan Cakalang
Dijual dirumah atau pembeli datang ke rumah nelayan atau di jual keliling oleh istri/anggotan kelaurga
Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan Kelurahan Bahari-Kecamatan Tomia Tabel 4.4. Produksi, Pemanfaatan dan Pemasaran 3 Sumber Daya Laut yang Dominan di Kelurahan Bahari Kecamatan Tomia No 1
2
3 SDL Dominan Ikan Cakalang
Ikan Kerapu sunu
Musim Penangkapa n Musim angin Timur yaitu antara bulan JuliSeptember.
Musim bertelur ikan kerapu sunu yaitu antara Bulan Desember hingga April.
Lokasi Penangkapa n Perairan laut di sebelah Utara Pulau Tomia (Laut Banda) hingga perbatasan dengan pulau Runduma
• • •
Karang pulau lentea Karang TomiaKaledupa Karang Rundum a
Alat Tangkap •
• •
•
• • • •
3
Ikan Baronang
Sepanjang musim
Perairan laut di sekitar Pualu Tomia Kaledupa
•
•
Biaya Operasional
Hasil produksi
Perahu motor berlayar (Johnson) Pancing senar dan kail Umpan bulu ayan
•
Perahu motor berlayar (Jphnson) Pancing senar dan Kail Umpan ikan halus Potas semprot Alat selam tradisional
•
Perahu motor berlayar (Johnson) Jaring tasi ukuran 1,5-6 inchi
•
•
30-40 ekor/ hari/ nelayan Harga per ekor bervariatif antara Rp 10.000Rp 15.000,-
• • •
Bensin 10lt @ Rp 2.000,10 mata kail @ Rp 5.00,Ransum +Rokok RP 5.000,-
•
•
• •
•
10-15 ekor /hari/nelayan Berat per ekor rata-rata ½ - 1 kg Harga per kilo ditingkat nelayan Rp 20.000 – Rp 30.000,-
• Bensin 5 liter @ Rp 2.000,• 25 Mata kail @ Rp 2.00,• 1 butir potas
•
Tergantung besar jala dan kapal yang digunkan Dijual per ember besar sekitar Rp 10.000 – Rp 15.000,- dan per ikatan kecil seharga Rp 1000,hingga Rp 2000, -
•
•
• •
Bensin 10 lt @ Rp 2.000,Biaya tanaga kerja (ABK). Ransum +Rokok RP 5.000,-
Sumber : Hasil wawancara dengan nelayan Kelurahan Bahari -Kecamatan Tomia
36
Pemasaran
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Pembeli (penduduk) datang ke rumah nelayan yang baru saja tiba dari melaut Dijual keliling desa oleh istri atau anak mereka. Dijual dalam keadaan hidup kepada pedagang pengumpul yang mempunyai karamba utk selanjutny a dijual kepada penampung besar untuk tujuan domestik dan ekspor Dijual langsung di pasar dalam bentuk ikatan atau per ember
Bab V Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat Seperti telah dijelaskan pada bagian Bab II dalam tulisan ini, bahwa penduduk Kelurahan Bahari merupakan contoh masyarakat desa pesisir pantai yang memiliki heterogenitas dalam hal mata pencaharian. Berbagai jenis pekerjaan penduduk dapat ditemukan di Kelurahan Bahari seperti pedagang pasar (kios pakaian, kios barang kelontong, warung makan, penjual hasil kebun, dan lainnya), pedagang antar pulau, PNS, nelayan, anak buah kapal, pelaut/pelayar, buruh tani, tukang kayu dan lainnya. Pada rumah tangga tertentu, jenis pekerjaan yang dilakukan biasanya disesuaikan dengan kondisi waktu. Misalnya penduduk yang berprofesi sebagai guru, setelah selesai dari waktu mengajar di sekolah , pekerjaan lain yang dilakukan adalah berdagang atau mencari ikan di laut. Begitu pula dengan buruh tani pemetik cengkeh, ketika waktu panen cengkih selesai biasanya mereka melakukan pekerjaan lain seperti berdagang, mencari ikan atau sebagai tukang kayu/pekerja bangunan. Bahasan dalam bagian Bab V berikut ini sangat berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan penduduk Kelurahan Bahari yang secara garis besar menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum. Gambaran tentang tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut akan dilihat melalui tingkat pendapatan dan pengeluaran penduduk dalam satu bulan, strategi penduduk dalam pengelolaan keuangannya seperti tabungan dan peminjaman, berbagai kepemilikan dan penguasaan asset, serta kondisi perumahan dan sanitasi penduduk Kelurahan Bahari. 5.1. Pendapatan dan Pengeluaran 5.1.2. Pendapatan Rumah Tangga Per Bulan Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dalam suatu masyarakat adalah tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka kemungkinan terpenuhi berbagai kebutuhan hidup akan semakin baik. Dilihat dari tingkat pendapatan per bulan, pendapatan rumah tangga penduduk Kelurahan Bahari memperlihatkan tingkatan yang bervariasi. Berdasarkan hasil data survey terlihat bahwa jumlah pendapatan terendah dalam suatu rumah tangga di Kelurahan Bahari dalam sebulan mencapai Rp 150.000,-. Sedangkan pendapatan rumah tangga tertinggi mencapai Rp 6.960.000,-/per bulan. Perbedaan yang mencolok tingkat pendapatan tersebut dapat menggambarkan kesenjangan ekonomi yang terjadi diantara penduduk Kelurahan Bahari. Berdasarkan jenis pekerjaan, penduduk yang memiliki pendapatan menengah ke atas (di atas Rp 1 juta perbulan) umumnya adalah mereka yang bekerja sebagai saudagar pemilik kapal, pedagang besar (pemilik kios), pegawai pemerintah, dan nelayan punggawa. Mereka tergolong penduduk dengan status ekonomi yang memadai, terutama bagi saudagar pemilik kapal dagang yang dipandang sebagai orang-orang kaya (golongan atas). Gambaran tersebut dapat dilihat dari besar dan kemapanan berbagai aset berharga maupun kondisi perumahan yang mereka miliki. Sedangkan penduduk yang termasuk berpenghasilan rendah - menengah umumnya adalah mereka
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
37
yang bermata pencaharian sebagai nelayan keluarga, buruh tani, ABK dan pedagang kecil di pasar (pedagang eceran tanpa kios). Secara lebih rinci tingkat pendapatan penduduk Kelurahan Bahari dalam satu bulan terakhir dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 5.1. Jumlah Pendapatan Rumah Tangga per bulan Kelurahan Bahari (n = 100) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kategori Pendapatan <200.000 200.000 - 399.000 400.000 - 599.000 600.000 - 799.000 800.000 - 999.000 1.000.000 - 1.199.000 1.200.000 - 1.399.000 1.400.000 - 1.599.000 1.600.000 - 1.799.000 1.800.000 - 1.999.000 2.000.000 - ke atas Total
Persentase 1.0 13.0 21.0 12.0 7.0 13.0 10.0 9.0 3.0 2.0 9.0 100.0
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa proporsi terbesar (21 persen) pendapatan rumah tangga Kelurahan Bahari berada di range Rp 400.000,- hingga Rp 600.000,-. Rumah tangga yang termasuk dalam kisaran tingkat pendapatan tersebut diantaranya adalah pedagang kecil tradisional, para nelayan keluarga dan ABK perahu layar.Fenomena yang menarik adalah terdapatnya rumah tangga yang berpendapatan di bawah Rp 400.000,-, mereka termasuk dalam golongan penduduk dengan pendapatan rendah/miskin. Rumah tangga yang termasuk dalam kategori ini biasanya adalah rumah tangga dengan kepala keluarga seorang janda. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka berupaya menjual berbagai barang dagangan maupun hasil kebun yang diusahakan sendiri. Dari tabel 5.1. di atas dapat pula dijelaskan bahwa, sekitar 46 persen rumah tangga Kelurahan Bahari berpenghasilan diatas Rp 1 juta rupiah per bulan. Dari jumlah tersebut sebesar 9 persen rumah tangga berpenghasilan diatas Rp 2 juta per bulan. Jumlah tersebut untuk ukuran penduduk pedesaan merupakan tingkat pendapatan yang cukup tinggi. Rumah tangga yang termasuk kategori berpenghasilan cukup tinggi tersebut diantaranya adalah saudagar pemilik kapal layar-bermesin. Seorang pemilik kapal biasanya memiliki 1-2 jenis kapal layar bermesin motor yang disewakan kepada pedagang antar pulau. Keuntungan yang diperoleh berasal dari bagi hasil yang telah disepakati ketika terjadi transaksi penyewaan kapal. Umumnya setiap pemilik kapal memperoleh 13 persen dari keseluruhan modal yang diusahakan oleh penyewa. Semakin besar modal yang diusahakan semakin besar pula biaya sewa yang diperoleh saudagar pemilik perahu tersebut.
38
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
5.1.3. Pengeluaran rumah tangga per bulan Pengeluaran rumah tangga penduduk Kelurahan Bahari umumnya terbagi menjadi dua yaitu pengeluaran pangan dan non pangan. Pengeluaran pangan secara umum berkaitan dengan pemenuhan berbagai kebutuhan primer rumah tangga penduduk yaitu pembelian kebutuhan makanan pokok seperti beras, kasoami, ikan-lauk pauk, sayur mayur, kopi, gula hingga minyak goreng. Sedangkan pengeluaran non pangan yang dikeluarkan rumah tangga Kelurahan Bahari selama sebulan diantaranya biaya pendidikan anak, pembelian kebutuhan perumahan, pembelian sandang (pakaian), pengobatan kesehatan, dan perbaikan berbagai aset yang dimiliki. Jika dilihat dari rata-rata pengeluaran perbulan, data dari baseline survey memperlihatkan bahwa dengan jumlah pendapatan rata-rata per bulan setiap rumah tangga sebesar Rp 1 juta rupiah, pengeluaran rata-rata perbulan yang dikeluarkan sebesar Rp 600.000. Dari jumlah tersebut tentunya terdapat sisa pendapatan yang diperoleh penduduk. Umumnya sisa pendapatan yang diperoleh digunakan sebagai modal usaha penduduk atau ditabung sebagai investasi rumah tangga. 5.1.3.1. Pengeluaran Pangan Dari tabel 5.2 berikut ini dapat dilihat bahwa jumlah pengeluaran kebutuhan pangan yang dikeluarkan setiap rumah tangga di Kelurahan Bahari dalam sebulan cukup bervariasi. Secara garis besar jumlah pengeluaran pangan rumah tangga di Kelurahan Bahari berkisar Rp 200.000 - Rp 300.000,- per bulan. Komposisi ini mencakup 35 persen rumah tangga. Sedangkan komposisi rumah tangga dengan tingkat pengeluaran untuk pangan diatas Rp 500.000,- hanya mencakup 5 persen jumlah rumah tangga. Kelompok rumah tangga dalam kategori ini umumnya adalah rumah tangga dengan tingkat pendapatan yang cukup tinggi dan jumlah tanggungan keluarga yang cukup besar. Semakin besar jumlah anggota rumah tangga dalam suatu rumah tangga kemungkinan jumlah pengeluaran pangan rumah tangga tersebut juga semakin besar. Tabel 5.2. Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pangan/bulan Kelurahan Bahari (n = 100) No 1 2 3 4 5 6 7
Kategori Pengeluaran < 100.000 100.000 - 199.000 200.000 - 299.000 300.000 - 399.000 400.000 - 499.000 500.000 - 599.000 600.000 keatas Total
Presentase 10.0 22.0 35.0 16.0 12.0 2.0 3.0 100.0
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Dari hasil wawancara dan observasi lapangan, umumnya pengeluaran setiap rumah tangga untuk kebutuhan pangan paling utama adalah pengeluaran untuk beras, lauk pauk dan bumbu dapur. Beras yang merupakan bahan makanan pokok sebagian
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
39
besar penduduk Kelurahan Bahari, bahan bakunya masih harus didatangkan dari luar Kecamatan Tomia. Kondisi ini tentunya berpengaruh terhadap tingginya harga beras yang diterima penduduk. Selain beras, kebutuhan pangan yang harus didatangkan dari luar Kecamatan Tomia diantaranya adalah sayur mayur, berbagai jenis bumbu masak, minyak goreng, minyak tanah, buah-buahan, hingga kebutuhan komplementer lainnya seperti kopi, garam, gula dan rokok. Ketergantungan cukup besar terhadap ketersediaan sumber pangan yang berasal dari luar Pulau Tomia menyebabkan tingkat pengeluaran per bulan untuk kebutuhan pangan penduduk Kelurahan Bahari tergolong cukup tinggi. 5.1.3.2. Pengeluaran Non-pangan Rata-rata pengeluaran per bulan untuk pemenuhan kebutuhan non pangan setiap rumah tangga di Kelurahan Bahari mencapai Rp 300.000,- per bulan. Jumlah rata-rata pengeluaran tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan pengeluaran ratarata rumah tangga untuk kebutuhan pangan (Rp 250.000,- per bulan). Pengeluaran terbesar umumnya untuk pemenuhan kebutuhan pendidikan anak. Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, kepedulian penduduk Bahari terhadap tingkat pendiddikan anak mereka cukup tinggi . Bagi sebagian besar penduduk, kebutuhan pendidikan anak adalah hal utama yang harus mereka penuhi. Bahkan bagi penduduk dengan tingkat pendapatan rendah usaha untuk mempertahankan agar anak mereka tetap sekolah dilakukan dengan berbagai cara. Seperti ikut berperannya seorang istri dalam mencari nafkah (istri yang bekerja), menjual aset berharga, hingga dengan cara meminjam uang kepada pelepas uang di desa walaupun dengan jumlah bunga cukup besar (4 persen -5 persen per bulannya). Tabel 5.3. Pengeluaran Rumah Tangga untuk non-Pangan/bulan Kelurahan Bahari(n = 100) No 1
Kategori Pengeluaran < 100.000
Presentase 24.0
2
100.000 - 199.000
18.0
3
200.000 - 299.000
16.0
4
300.000 - 399.000
10.0
5
400.000 - 499.000
8.0
6
500.000 - 599.000
5.0
7
600.000 - 699.000
3.0
8
700.000 - 799.000
7.0
9
800.000 - 899.000
2.0
10
900.000 - 999.000
3.0
11
1.000.000 ke atas
4.0
Total
100.0
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001
40
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa 24 persen rumah tangga di Kelurahan Bahari umumnya mengeluarkan pendapatan untuk kebutuhan pangan kurang dari Rp 100.000,- per bulan. Kelompok rumah tangga yang termasuk dalam komposisi ini umumnya adalah rumah tangga dengan kemampuan ekonomi yang terbatas. Kebutuhan non pangan yang dikeluarkan biasanya hanya untuk pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak yang umumnya masih sekolah di tingkat dasar. Dari tabel tersebut, menarik untuk dilihat adalah tingginya proporsi jumlah rumah tangga dengan tingkat pengeluaran non pangan diatas rata-rata pengeluaran non pangan rumah tangga secara keseluruhan.(diatas Rp 300.000,-). Jumlah tersebut mencapai 32 persen dari keseluruhan rumah tangga yang menjadi responden dalam penelitian ini. Sebagian besar pengeluaran non pangan tersebut umumnya selain untuk biaya pendidikan anak (sekolah atau kuliah) adalah untuk perbaikan kondisi rumah, pengeluaran kesehatan-pengobatan, pembelian kebutuhan sandang (pakaian), belanja untuk kebutuhan perdagangan , perawatan dan bahan bakar kendaraan bermotor dan biaya non pangan lainnya. 5.2. Strategi dalam Pengelolaan Keuangan Sebagai sebuah komunitas masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang serta tingkat pendapatan per bulan yang cukup tinggi bagi skala ekonomi penduduk pedesaan, penduduk Kelurahan Bahari telah terbiasa dengan berbagai pengelolaan keuangan yang mereka miliki. Bagaimana jenis strategi dan pengelolaan keuangan penduduk merupakan suatu hal yang menarik untuk diketahui. 5.2.1. Kebiasaan Menabung. Dari hasil wawancara dan analisis data survey dengan beberapa rumah tangga dapat dijelaskan bahwa penduduk Kelurahan Bahari sebagian besar (80 persen) mempunyai tabungan/investasi sebagai sisa hasil pendapatan dikurangi berbagai jenis pengeluaran per bulan. Tabungan bagi sebagian besar penduduk merupakan cadangan keuangan atau modal usaha yang sewaktu-waktu dapat digunakan. Penduduk dengan jenis pekerjaan sebagai pedagang merupakan salah satu golongan penduduk yang familiar dengan kegiatan menabung. Bagi pedagang besar/kios, keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualannya biasanya tidak langsung digunakan untuk usaha modal berikutnya. Hal tersebut karena waktu berbelanja untuk pemenuhan pasokan kebutuhan barang dagangan umumnya dilakukan dalam kurun waktu tertentu, biasanya 3-6 bulan sekali. Pasokan bahan baku yang dilakukan biasanya berasal dari ibu kota kabupaten, ibukota provinsi bahkan pada jenis pedagang tertentu seperti pedagang sepatu, pakaian dan tas, pasakon bahan baku banyak didatangkan dari pasar tradisional yang berada di Jakarta (Pasar Cipulir dan Pasar Tanah Abang). Begitu pula dengan pedagang antar pulau, setelah melakukan ekspedisi perdagangan selama kurun waktu minimal 3 bulan, biasanya mereka membawa uang dalam jumlah tertentu. Besarnya jumlah uang yang dibawa pulang ke desa tergantung dari jenis barang yang diperjualbelikan dan keuntungan yang diperolehnya. Sambil menunggu kegiatan dagang berikutnya, keuntungan yang diperoleh biasanya dikelola dengan strategi ditabung atau dibelikan barang berharga sebagai investasi yang
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
41
sewaktu-waktu dapat diuangkan. Namun tidak semua pedagang antar pulau yang ditemui di Kelurahan Bahari memperoleh keuntungan besar dalam sekali waktu perdagangan. Ada juga dijumpai keuntungan yang diperolehnya habis hanya untuk membayar tagihan hutang akibat kewajiban pembayaran penggunaan pinjaman modal dagang pada pemilik modal di desa. 5.2.2. Bentuk Tabungan Bentuk tabungan yang sering dilakukan oleh penduduk Kelurahan Bahari umumnya adalah dalam bentuk pembelian emas/perhiasan dan tabungan uang, baik disimpan secara pribadi maupun dalam bentuk simpanan uang di Bank. Data pada tabel 5.4 berikut memperlihatkan bahwa dari 80 persen penduduk Kelurahan Bahari yang mempunyai tabungan 53,1 persen bentuk tabungan yang dilakukan adalah pembelian emas perhiasan. Sedangkan proporsi penduduk yang mempunyai tabungan dalam bentuk uang sebesar 46.9 persen. Tabel 5.4. Bentuk Tabungan Rumah Tangga Kelurahan Bahari (n = 100) No
Jenis Tabungan
Frequency
Persentase
1
Emas/perhiasan
43
53.1
2
Simpanan Uang
37
46.9
80
100.0
(bank/pribadi) Total
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Bagi penduduk Kelurahan Bahari, emas/perhiasan selain sebagai barang ekonomi yang memiliki nilai ekonomi tinggi (sebagai fungsi investasi dan jaminan dalam proses peminjaman) juga menunjukkan status sosial -ekonomi seseorang. Semakin banyak jumlah emas yang dimiliki, status sosial ekonomi orang tersebut semakin tinggi. Umumnya kepemilikan emas dalam setiap rumah tangga dikelola oleh pihak wanita/istri. Hal ini dapat dilihat dari fenomena para wanita/istri di Kelurahan Bahari yang banyak memakai perhiasan emas baik pada kegiatan keseharian atau pada saat acara pesta penikahan, sebagai simbol prestisius kekayaan atau kemampuan ekonomi mereka. Bagi seorang istri yang ditinggal suami pergi berdagang di luar Pulau Tomia selama berbulan-bulan, akan merasa bahagia jika sang suami pulang membawa emas. Emas yang dibawa dari hasil perdagangan tersebut juga menandakan suatu simbol bahwa sang suami sungguh-sungguh bekerja dan sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang bagi keluarga yang ditinggalkan. Sedangkan kebiasaan menabung dengan menyimpan sejumlah uang, merupakan bentuk lain strategi pengelolaan keuangan dengan maksud sebagai cadangan jika sewaktu-waktu membutuhkan sejumlah uang. Jenis tabungan dengan menyimpan sejumlah uang biasanya dilakukan oleh mereka yang termasuk berpendapatan menengah ke atas, karena kesempatan untuk menyisihkan pendapatan yang diperoleh cukup besar. Penduduk biasanya memanfaatkan jasa perbankan (BRI)
42
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
yang berada di ibu kota kabupaten (kota Bau-Bau) sebagai tempat menabung uang. Bagi seorang pedagang, selain sebagai tempat penyimpanan uang, keberadaan sebuah bank berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar transaksi perdagangan yang mereka lakukan. Di masa mendatang untuk meningkatkan motivasi dan gairah penduduk untuk menabung sangat diharapkan berdirinya salah satu kantor cabang bank pembantu di Kecamatan Tomia. Seperti telah disinggung pada bab sebelumnya, keberadaan sebuah kantor cabang bank dipastikan akan dapat meningkatkan tingkat ekonomi penduduk di Pulau Tomia secara keseluruhan. 5.2.3. Strategi Mengatasi Kesulitan Keuangan Tidak semua penduduk Kelurahan Bahari berpendapatan tinggi, sebagian dari mereka tentunya ada yang berpendapatan rendah/ tergolong miskin. Golongan penduduk yang berpenghasilan rendah tersebut umumnya sering mengalami kesulitan keuangan. Namun tidak menutup kemungkinan mereka yang termasuk berpendapatan menengah juga pernah mengalami kesulitan keuangan. Data tabel 5.3 memperlihatkan sekitar 46 persen dari 100 rumah tangga yang terdapat di Kelurahan Bahari dalam enam bulan terakhir pernah mengalami kesulitan keuangan. Sisanya sekitar 54 persen menyatakan tidak pernah mengalami kesulitan keuangan dalam enam bulan terakhir. Diduga rumah tangga yang termasuk dalam komposisi ini adalah rumah tangga dengan kemampuan ekonomi yang cukup mapan. Tabel 5.5. Rumah Tangga Kelurahan Bahari yang Pernah Mengalami Kesulitan Keuangan Dalam Enam Bulan terakhir (n = 100) No
Kriteria
Persentase
1
Pernah
46.0
2
Tidak Pernah
54.0
Total
100.0
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Untuk mengatasi kesulitan keuangan yang dialami rumah tangga di Kelurahan Bahari, strategi yang dilakukan bermacam-macam, tergantung kondisi yang dihadapi setiap rumah tangga. Upaya yang sering dilakukan untuk mengatasi kesulitan keuangan dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini :
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
43
Tabel 5.6. Upaya yang dilakukan Rumah Tangga Kelurahan Bahari dalam Mengatasi Kesulitan Keuangan (n = 100) No
Jenis Tabungan
Frequency
Persentase
1
Mengambil/menjual simpanan
1
2.1
2
Menggadaikan barang
9
19.1
3
Minta bantuan keluarga
10
21.3
4
Pinjam tanpa bayar bunga
3
6.4
5
Pinjam ke bank/koperasi
3
6.4
6
Pinjam ke perorangan dengan membayar bunga
21
44.7
47
100.0
Total
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa upaya yang sering dilakukan sebagian besar rumah tangga di Kelurahan Bahari jika mengalami kesulitan keuangan adalah pinjam ke perorangan dengan membayar bunga (44,7 persen). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa rumah tangga terungkap bahwa meraka yang sering menggunakan jasa pemilik uang (pelepas uang) adalah rumah tangga yang sangat didesak oleh kesulitan keuangan. Kebutuhan tersebut misalnya biaya pengobatan anggota rumah tangga, modal usaha, dan biaya pendidikan anak. Umumnya tingkat bunga yang ditetapkan berkisar antara 4-5 persen per bulannya dengan persyaratan tambahan memberikan barang jaminan berupa perhiasan emas atau sebuah sepeda motor. Upaya lain yang sering dilakukan rumah tangga di Kelurahan Bahari jika mengalami kesulitan keuangan adalah minta bantuan keluarga (21.3 persen), menggadaikan barang berharga kepada pemilik uang (19.3 persen), dan menjual simpanan atau pinjam ke koperasi yang ada di desa dengan proporsi sekitar 3 persen. Seperti telah disinggung pada bab sebelumnya, saat ini di Lingkungan Timur Kelurahan Bahari terdapat satu lembaga koperasi yang merupakan binaan suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada awalnya koperasi tersebut bergerak dalam bidang penyediaan perkreditan bagi pengembangan usaha penduduk Kelurahan Bahari, namun karena dihadapkan kendala keterbatasan kemampuan permodalan, operasional kegiatan dan fungsi koperasi tersebut hingga saat ini tidak berjalan maksimal. 5.3. Pemilikan dan Penguasaan Asset Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan, hal yang cukup menarik untuk dikaji dalam sub bagian ini adalah kaitan pemilikan dan penguasaan aset alat produksi perikanan dengan jenis pekerjaan penduduk Kelurahan Bahari. Seperti diketahui sebagian besar penduduk Kelurahan Bahari bermata pencaharian sebagai pedagang, namun mereka juga memiliki serta menguasai berbagai jenis alat produksi perikanan laut. Kaitan ini tentunya dapat memberikan gambaran secara tidak langsung
44
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
bahwa penduduk Kelurahan Bahari sebenarnya tidak bisa dipisahkan terhadap keberadaan potensi sumber daya laut yang tersedia di sekitar Pulau Tomia. 5.3.1. Alat produksi perikanan laut Komposisi jumlah penduduk yang bekerja sebagai nelayan di Kelurahan Bahari dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya umumnya terlihat rendah. Pekerjaan menangkap ikan di laut merupakan pekerjaan sambilan yang dilakukan penduduk sebagai tambahan penghasilan dari pekerjaan utama. Dilihat dari statusnya, nelayan di Kelurahan Bahari dapat dibagi dua yaitu nelayan keluarga dan nelayan punggawa tingkat desa. Pemilikan dan penguasaan aset rumah tangga di Kelurahan Bahari yang berkaitan dengan alat produksi perikanan laut terlihat sangat bervariasi, tergantung kondisi ekonomi setiap rumah tangga . Tabel 5.6 berikut ini dapat menjelaskan komposisi kepemilikan dan penguasaan alat produksi perikanan laut di Kelurahan Bahari: Tabel 5.7. Pemilikan dan Penguasaan Aset Rumah Tangga di Kelurahan Bahari : Jumlah Alat Produksi Perikanan Laut (n = 100) No
Jenis Alat Produksi
Pemilikan
Penguasaan
1
Perahu motor
18
14
2
Perahu tanpa motor
16
30
3
Alat penangkap ikan : a. Bagan
1
1
b. Jaring
14
15
c. Pancing
43
43
d. Bubu
4
5
e. Panah
2
2
33
33
4
Lainnya : kaca mata selam tradisional
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 5.3.1.1. Perahu motor dan tanpa motor Berdasarkan data pada tabel 2.5 dapat dijelaskan bahwa rumah tangga yang memiliki perahu motor berjumlah 18 rumah tangga, sedangkan mereka yang menguasai berjumlah 14 rumah tangga. Jenis perahu motor yang dimiliki maupun yang dikuasai oleh sejumlah rumah tangga tersebut umumnya jenis perahu motor tempel 1 mesin/perahu johnson/koli-koli. Selain sebagai alat transportasi, jenis perahu tersebut biasanya digunakan nelayan /penduduk untuk mengangkut pasir, kayu dan mencari ikan di sekitar perairan laut Pulau Tomia.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
45
Jenis Perahu motor lainnya yang dimiliki rumah tangga di Kelurahan Bahari adalah jenis perahu layar motor dengan kapasitas angkutan dari 10 - 100 ton. Jenis perahu tersebut digunakan penduduk Kelurahan Bahari sebagai alat angkut dan transportasi ekspedisi perdagangan antar pulau di seluruh Indonesia. Salah seorang penduduk di Kelurahan Bahari juga ada yang memiliki 1 dari 3 perahu motor penumpang yang melayani pelayaran dari kota Bau-Bau -Tomia- PP. Jenis perahu penumpang tersebut cukup besar karena dapat menampung sekitar 50 orang dan berbagai jenis barang dagangan penduduk. Jenis perahu yang banyak dimiliki oleh rumah tangga di Kelurahan Bahari adalah jenis perahu tanpa motor/sampan/lepa. Dari data tabel 5.5 dapat dilihat bahwa jumlah perahu tanpa motor yang dimiliki oleh rumah tangga di Kelurahan Bahari berjumlah 16 buah, sedangkan yang dikuasai berjumlah 30 buah. Jenis perahu tanpa motor ini biasanya digunakan penduduk sebagai alat transportasi ke desa tetangga atau alat angkut barang kebutuhan dasar yang dibeli di pasar sekitar Kelurahan Bahari. 5.3.1.2. Alat Penangkap Ikan Alat penangkap ikan yang banyak dimiliki dan dikuasai rumah tangga di Kelurahan Bahari terdiri dari alat pancing, kacamata selam tradisional dan beberapa jenis jaring/jala. Berdasarkan data tabel 5.5 dapat dilihat bahwa proporsi rumah tangga yang memiliki dan menguasai alat pancing berjumlah sekitar 40 rumah tangga, 33 rumah tangga memiliki dan menguasai kaca mata selam tradisional dan sekitar 14 rumah tangga memilki jaring/jala. Penggunaan alat penangkapan disesuaikan dengan ketersediaan waktu dan minat seseorang untuk mencari ikan di laut (insidential). Bahkan pada rumah tangga tertentu ditemukan pemilikan dan penguasaan alat penangkap ikan berupa jaring/jalan hanya bersifat aset simpanan yang berasal dari warisan orang tua terdahulu- yang pemanfaatannya hanya di simpan di loteng rumah. Selain tiga jenis alat penangkap ikan yang telah disebutkan di atas, rumah tangga di Kelurahan Bahari juga memiliki alat penangkap ikan sejenis panah, bagan dan bubu. Namun, saat ini penggunaan alat penangkapan ikan tersebut oleh nelayan maupun penduduk Kelurahan Bahari sangat jarang sekali digunakan. Hal tersebut disebabkan karena untuk menggunakan alat penangkap ikan tersebut membutuhkan kelengkapan alat pendukung lainnya dan keterampilan/keahlian tertentu. 5.3.2. Sarana atau Aset Produksi di Darat Diantara berbagai sarana dan aset produksi darat yang dimiliki atau dikuasai rumah tangga di Kelurahan Bahari, jumlah terbanyak adalah pemanfaatan lahan pertanian(40 persen) Pemanfaatan lahan pertanian oleh rumah tangga di Kelurahan Bahari dilakukan di luar wilayah Kelurahan Bahari. Hal tersebut karena di Kelurahan Bahari tidak terdapat lahan sisa untuk pengembangan pertanian. Hampir 90 persen luas tanah di Kelurahan Bahari digunakan untuk pemukiman penduduk dan sisanya merupakan lahan pekarangan rumah, tanah kosong, jalan dan pasar. Pemanfaatan lahan pertanian oleh penduduk Bahari umumnya dilakukan di daerah dataran tinggi antara Desa Tonggano dengan Desa Kahiangan atau lahan pertanian yang terdapat di Pulau Sawa sebelah selatan Pulau Tomia.
46
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Tabel 5.8. Pemilikan dan Penguasaan Aset Rumah Tangga di Kelurahan Bahari : umlah Sarana dan Aset Produksi di Darat (n = 100) No
Kategori Sarana dan Asset
1
Alat transport
2
Lahan :
3
Pemilikan
Penguasaan
6
7
a. Pekarangan
13
9
b. Pertanian
39
39
Ternak
18
19
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Dari tabel 5.5 dapat dijelaskan bahwa selain pemanfaatan lahan pertanian, rumah tangga di Kelurahan Bahari juga banyak yang memilki dan menguasai hewanhewan ternak (18 persen). Jenis hewan ternak yang banyak dipelihara adalah ayam dan bebek. Tujuan utama pemeliharaan hewan ternak tersebut adalah hanya untuk pemenuhan konsumsi daging anggota rumah tangga. Untuk jumlah rumah tangga yang memiliki dan menguasai alat transportasi darat berjumlah 6-7 rumah tangga. Alat transportasi yang dimiliki atau dikuasai tersebut adalah sejenis angkot dan truk pengangkut. Umumnya alat transportasi tersebut digunakan untuk melayani transportasi darat penduduk dan pengangkutan berbagai jenis barang -barang kebutuhan penduduk di sekitar Pulau Tomia. 5.3.3. Sarana dan Aset Lainnya Sarana dan aset produksi lain yang dimiliki dan dikuasai oleh rumah tangga di Kelurahan Bahari diantaranya kepemilikan perumahan, kendaraan bermotor pribadi, berbagai macam barang elektronik, barang berharga-emas, dan beberapa barang bernilai tinggi seperti piring dan guci peninggalan zaman VOC. Tabel 5.6 berikut ini memberikan gambaran jumlah rumah tangga di Kelurahan Bahari yang mempunyai sarana dan aset produksi tersebut :
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
47
Tabel 5.9. Pemilikan dan Penguasaan Aset Rumah Tangga di Kelurahan Bahari : Jumlah Sarana dan Aset Lainnya (n = 100) No
Kategori Sarana dan Asset
Pemilikan
Penguasaan
1
Rumah
77
92
2
Kendaraan bermotor pribadi
32
30
84
89
90
89
4
4
Barang elektronik 3
Emas Barang bernilai lainnya
Sumber : Survey Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP - LIPI, 2001 Dari tabel diatas dapat digambarkan proporsi kepemilikan dan penguasaan berbagai jenis sarana atau aset lain yang terdapat di Kelurahan Bahari. Berkaitan dengan kepemilikan rumah, sebagian besar rumah tangga tinggal menetap dalam satu kepemilikan rumah. Pada rumah tangga tertentu terdapat beberapa rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah. Umumnya mereka adalah keluarga baru yang masih ikut tinggal dengan orang tua dalam satu rumah, sebelum pindah ke rumah baru yang bisa mereka bangun atau miliki sendiri. Berkaitan dengan kepemilikan dan penguasaan aset, hal menarik yang dijumpai di Kelurahan Bahari adalah kepemilikan barang elektronik dan emas berharga. Hampir sebagian besar (89 persen) rumah tangga di Kelurahan Bahari memiliki dan menguasai berbagai jenis barang elektronik seperti TV, radio tape, VCD, dan lainnya. Bahkan pada beberapa rumah tanga tertentu terdapat pula pemancar TV yang menggunakan antena parabola. Disamping itu, sekitar 90 persen rumah tangga di Kelurahan Bahari memiliki dan menguasai berbagai jenis perhiasan emas. Seperti telah disinggung sebelumnya, bagi sebagian besar rumah tangga di Kelurahan Bahari, emas selain sebagai aset berharga juga menunjukkan status ekonomi seseorang. Semakin banyak emas yang dimiliki (umumnya dikenakan oleh istri sebagai perhiasan) status sosial ekonomi orang tersebut akan diakui lebih baik diantara kelompok penduduk. 5.4. Kondisi Perumahan dan Sanitasi Lingkungan 5.4.1. Kondisi Perumahan Memasuki Kelurahan Bahari pemandangan pertama yang terlihat adalah situasi kehidupan masyarakat desa pesisir-pantai dengan kondisi bangunan perumahan padat dan semi permanen. Dengan kemampuan ekonomi penduduk rata-rata cukup baik, kondisi perumahan penduduk Kelurahan Bahari cukup mapan dibandingkan dengan perumahan penduduk di desa lain yang ada di Kecamatan Tomia. Bahan fisik perumahan penduduk sebagian besar terbuat dari tembok permanen dan hanya beberapa rumah yang terbuat dari kayu papan atau tripleks. Sedangkan bagian atap dan lantai rumah umumnya terbuat dari seng/asbes dan ubin tegel.
48
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Berdasarkan proporsinya dari 196 buah bangunan rumah yang dihuni oleh 201 rumah tangga di Kelurahan Bahari, 170 bangunan fisik rumah terbuat dari tembok, 8 rumah terbuat dari semi tembok dan hanya sekitar 18 rumah terbuat dari kayu atau triplek. Dari tipe atap, sebagian besar (179 buah) rumah penduduk terbuat dari bahan seng/asbes, 10 rumah terbuat dari genteng dan hanya 7 rumah penduduk yang atapnya terbuat dari bahan lainnnya (atap daun). Sedangkan untuk tipe lantai, rumah penduduk Kelurahan Bahari umumnya terbuat dari berbagai jenis ubin tegel (151 rumah), dan hanya sebagian kecil yang terbuat dari semen plester dan tanah. (lihat tabel 5.7). Tabel 5.10. Kondisi Fisik Perumahan Penduduk No
Kategori
Jumlah
Kondisi Bangunan 1
2
a. Tembok
170
b. Semi tembok
8
c. Papan/triplek
18
Tipe Atap a. Seng/asbes
179
b. Genteng
10
c. Pelepah daun 3
7
Tipe Lantai a. Ubin tegel
151
b. Semen plester
35
c.
10
Tanah
Sumber : Kecamatan Tomia dalam Angka - BPS,2001 Bagi sebagian besar penduduk, selain sebagai tempat tinggal rumah juga mempunyai nilai sosial dalam lingkungan masyarakat. Umumnya penduduk yang mempunyai kemampuan ekonomi diatas rata-rata penduduk, memiliki bangunan fisik rumah yang lebih mapan. Bahkan pada beberapa rumah tangga tertentu dijumpai bentuk rumah yang terdiri dari dua lantai. Yang menarik, letak rumah membelakangi laut, sebagaimana yang banyak ditemui di berbagai daerah lain di Indonesia. Posisi seperti ini menyebabkan mereka cenderung kalau membuang sampah ke laut. 5.4.2. Sanitasi Lingkungan Tingkat kesadaran terhadap sanitasi lingkungan pada penduduk Kelurahan Bahari dalam hal tertentu sudah cukup baik. Kondisi tersebut dapat dilihat dari pandangan dan kebiasaaan penduduk sehari-hari dalam pengelolaan lingkungan tempat
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
49
tinggal setempat. Sanitasi lingkungan di Kelurahan Bahari terutama berkaitan dengan penggunaan air bersih, kakus/wc, dan pembuangan sampah. Sejak masuknya saluran pipa air bersih di Kelurahan Bahari pada sekitar awal tahun 1999, saat ini sebagian besar rumah tangga di Kelurahan Bahari telah memanfaatkan saluran air tersebut sebagai sumber air untuk keperluan sehari-hari. Sumber Air tersebut berasal dari air gua yang terdapat di perbatasan wilayah antara desa Tonggano dengan Desa Kahiangan. Sebelum masuknya pipa saluran air tersebut, untuk mendapatkan air bersih banyak penduduk yang menggunakan sumur kerek atau sumur galian dengan kedalaman tertentu sebagai sumber pemenuhan kebutuhan air. Berkaitan dengan penggunaan jamban/kakus untuk pembuangan limbah manusia, sebagian besar rumah tangga di Kelurahan Bahari sudah memiliki jamban keluarga. Umumnya jamban/kakus tersebut terletak menyatu dengan penggunaan kamar mandi dan tempat cuci penduduk dalam satu rumah. Bahkan bagi penduduk dengan bentuk fisik rumah yang cukup mapan, bentuk dan kebersihan jambannya terlihat cukup memadai. Hal menarik yang perlu diperhatikan terhadap sanitasi lingkungan penduduk Kelurahan Bahari adalah kebiasaan membuang sampah rumah tangga oleh penduduk. Berdasarkan hasil pengamatan, sebagian besar sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga banyak yang langsung di buang ke pantai/laut. Kebiasaan ini terutama banyak dilakukan oleh penduduk yang tinggal di sepanjang tepi pantai Kelurahan Bahari. Berdasarkan hasil observasi lapangan terlihat pada bagian pantai tertentu yang tidak terjangkau oleh air pasang, ditemukan kumpulan berbagai jenis sampah rumah tangga yang sebagai besar berasal dari pembuangan sampah penduduk Kelurahan Bahari dan desa lainnya. Kondisi dan kebiasaan tersebut tentu saja akan berdampak buruk terhadap kondisi kebersihan pantai dan laut di sekitar Kelurahan Bahari serta tingkat kesehatan penduduk.
50
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab VI Degradasi SDL dan Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
6.1. Kondisi SDL Ekosistem terumbu karang (coral reef) merupakan jenis sumberdaya hayati yang unik untuk Kepulauan Wakatobi. Kepulauan ini memiliki sekitar 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling total mencapai 600 km serta telah diidentifikasi 125 jenis karang keras dan lunak pada Operation Wallacea 1995-1996, masih banyak jenisjenis karang yang belum teridentifikasi. Terumbu karang yang mengelilingi Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko dan beberapa pulau lainnya adalah contoh tipe karang tepi (freenging reefs/shore reefs). Karang Kapola dan Karang Kaledupa yang ke arah tenggara berdekatan dengan karang Tokobau termasuk karang tipe penghalang yang dikenal sebagai „the Wakatobi barrier reef“, yang sesuai namanya berfungsi melindungi pulau / daratan Kaledupa dan Tomia dari gempuran gelombang terutama pada musim angin barat. Karang koromoha dan Karang Koka (Koko) termasuk corak cincin (atol). Sebagai catatan, penduduk Tomia lebih suka menyebut karang Kaledupa sebagai karang Tomia, karena letak dan keberadaannya lebih dekat sebagian besar ke Pulau Tomia. Karang adalah merupakan organisme yang utama di terumbu karang, namun sebenarnyalah terumbu karang merupakan tempat hidup berbagai biota laut, seperti alga koralin merah (contohnya lithothamnion), kima (tridacna hippopus), spon (sponges), lunikala (Tunicates), lili laut (Crinnoidea), christmas tree (Worm), kipas laut (sea fans), pecut laut (sea whip) dan bryozon merupakan bagian dari keanekaragaman di dalam ekosistem terumbu karang yang menambah indahnya panorama di bawah permukaan air laut. Lamun (sea grass) yang cukup banyak tumbuh di seputar Pulau Hoha, Karang Kapota, Karang Kaledupa, Karang Tokobau mempunyai andil yang cukup besar dalam menjaga kelangsungan hidup ekosistem terumbu karang, antara lain membantu mengurangi kekeruhan air akibat partikel-partikel yang diangkut oleh arus atau gelombang air laut. Kekuatan akar rumput laut juga mencengkeram substrat pasir di tempat tumbuhnya lamun, sehingga akan mengurangi mobilitas pasir serta partikel-partikel lain (disitir dari Taman Nasional Wakatobi, 2001) Jenis-jenis biota laut yang dijumpai di terumbu karang di perairan Pulau Tomia antara lain adalah barakuda (barracudas), ikan putih (jacks), mackerals rainbow runners, napoleon/langkoe (napoleon wrasses), ikan pari (eagle, manta dan stingrays), bumpheaded parrotfishes, kima raksasa, kima pasir (clams), lumba-lumba (spinner dolphin), pilot whale, pogo (red toothed trigger fishes), hiu (white tips reef shark) dan crocodile fish (lihat Taman Nasional Wakatobi, 2001). Masih banyak jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap oleh nelayan, seperti ikan cakalang, ikan tuna, tenggiri, ikan ekor kuning, ikan baronang, ikan-ikan halus, loebster, bulu babi dan lain-lain. Dari sebegitu banyak jenis ikan dan sumber daya laut lainnya, baru sedikit yang dimanfaatkan oleh penduduk sebagai konsumsi sehari-hari. Ironis sekali, justru nelayan-nelayan dari luar yang banyak menangkap dan menjual ke luar daerah. Pengetahuan penduduk yang masih terbatas tentang jenis-jenis biota laut dan kesulitan pemasaran menjadi penyebabnya.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
51
Tentang seberapa banyak keberadaan biota laut, sayang sekali tidak ada data yang riil, tetapi para nelayan setempat sering mengeluhkan bahwa semakin sulit memperoleh ikan-ikan jenis tertentu. Keluhan lain yang juga sering muncul adalah bahwa ukuran ikan juga semakin kecil, terutama pada jenis ikan cakalang. 6.2. Kerusakan SDL Namun keindahan ekosistem terumbu karang yang merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya, telah mengalami kerusakan terutama di daerah-daerah yang mempunyai tofografi landai (reef slope) seperti di sekitar Pulau Wangi-wangi. Karang-karang di pantai barat Pulau Binongko, Karang Ndaa, Karang Runduma (lihat : lampiran tentang zonasi di TN Wakatobi) terhindar dari keganasan bom hasil karya rakitan para nelayan yang menggunakan bahan dasar berupa pupuk urea. Gugusan karang tersebut terhindar dari kerusakan karena bentuk tofografi yang curam (sleep slope), tegak (wall), dinding menggantung (overhang) dan goa (cave) (lihat juga Taman Nasional Wakatobi, 2001). Jenis-jenis karang di sekitar perairan Pulau Tomia yang sebagian besar bertofografi curam, yang tentunya termasuk perairan kelurahan Bahari, sekarang ini sangat terancam oleh penggunaan obat bius (racun). Operasional penggunaannya dengan memakai botol yang diisi oleh butiran obat bius potassium cyanide dan disemprotkan ke arah terumbu karang telah menyebabkan matinya terumbu karang, tidak saja yang langsung kena semprot tetapi juga terumbu karang-terumbu karang yang dilalui oleh obat bius yang mengalir bersama air laut. Sampai dengan 1992-an marak sekali penggunaan bom sebagai teknologi tangkapnya yang memberikan kontribusi besar pada perusakan terumbu karang. Setelah agak reda penggunaan bom, berganti penggunaan bius (potassium cyanide, endrin) sampai sekarang. Setelah ditetapkannya keberadaan Taman Nasional Wakatobi penggunaan teknologi perusak mulai menyusut dan dilakukan diam-diam. Oleh sebab itu penduduk umumnya menyebutkan bahwa ancaman perusakan terumbu karang saat sekarang ini relatif lebih baik dibandingkan 5 – 10 tahun yang lalu. Ancaman lain adalah ekskavasi terumbu karang sebagai bahan bangunan yang terutama diambil pada daerah terumbu karang yang agak landai. Terutama karangkarang yang berada tidak jauh dari pantai. Sebenarnya hal ini agak bisa dikurangi apabila penduduk lebih suka mengambil batu-batu karang yang berada di daratan. Namun dalam kenyataannya mereka lebih memilih terumbu karang yang ada di laut dengan alasan kualitas lebih bagus, selain itu juga lebih dekat letaknya dari perkampungan dibandingkan harus menggali karang-karang yang berada di atas bukit. Penyebab kerusakan terumbu karang lainnya adalah jangkar, dayung tokong, abrasi, sedimentasi dan polusi dari bahan bakar kapal atau perahu serta limbah rumah tangga. Hal ini sebenarnya sudah dikeluhkan oleh banyak pihak. Misalnya dari pihak pengelola pariwisata Wakatobi Diver sudah memulai mencoba menggunakan moor bay di dermaga Waitii dan rencananya akan dikembangkan ke dermaga-dermaga lain, agar nelayan tidah harus menurunkan jangkar yang bisa menyebabkan rusaknya karang. Limbah rumah tangga juga diprediksikan kelak akan menimbulkan problem besar bagi terumbu karang, karena di Kelurahan Bahari dan sekitarnya tidak terdapat tempat pembuangan sampah. Jadi, semua sampah baik organik maupun non organik dibuang begitu saja ke laut. Indikasi lainnya adalah sudah sulit ditemukannya teripang, ikan Napoleon Wrasse dan ikan Kerapu Sunu. Di masa lalu ketiga jenis hasil laut itu berlimpah, dan sangat mudah bagi penduduk lokal untuk memperolehnya. Kini ketiga hasil laut yang sangat mahal harganya ini boleh dikatakan sudah susah dijumpai. Indikasi lain adalah 52
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
jika air surut maka sekitar 200 meter dari garis pantai terlihat dasar pantai pasir putih yang bersih tidak ada lagi batu karangnya. 6.3. Pengaruh Internal Perusakan terumbu karang di Kelurahan Bahari terutama faktor penggunaan terumbu karang sebagai bahan bangunan (lihat : foto). Saat sekarang ini dinding rumah juga umumnya dari batako yang salah satu bahannya adalah batu karang. Pondasi rumah juga rata-rata dibuat dari batu karang. Semenjak bertahun-tahun yang lalu penduduk sudah menjual belikan batu-batu karang yang mereka ambil dari laut. Harga per m3 batu karang pada saat penelitian ini berlangsung Rp 50.000,-. Dasar laut sekitar 200 meter dari garis pantai terlihat bersih karena batu karangnya sudah dieksploitasi oleh masyarakat semenjak lama. Pada tepi pantai juga dibuat dinding penghalang ombak yang terdiri dari batu-batu karang yang tersusun rapi. Pondasi rumah penduduk juga dibuat tinggi-tinggi terdiri dari batu karang. Bahkan beberapa rumah dibuat dari reklamasi pantai yang ditimbuni oleh batu karang yang disusun cukup tinggi sebagai pondasi rumah. Batu karang ini bisa diperoleh dari terumbu karang di laut atau dari batu-batu karang yang terserak di daratan di pulau ini. Berdasarkan kondisi fisiknya, diperkirakan dahulunya Pulau Tomia ini sebagian besar berada di bawah air laut atau merupakan dasar laut (lihat bab II tentang penjelasan fisik dan mitologis keberadaan Pulau Tomia; juga lihat Taman Nasional Wakatobi, 2001). Sebuah kasus yang menarik adalah pasangan ayah ibu dari Waturumbu yang rajin menggali batu karang dari laut. Bahkan berdasarkan tutur kata seorang anggota keluarganya, sampai seminggu sebelum melahirkan anak pertamanya, sang ibu masih menyelam dan mengambil batu-baru karang. Dari hasil penjualan batu karang ini mereka bisa memiliki harta cukup banyak terlihat dari perhiasan yang dikenakan oleh sang ibu (lihat : foto) dan pasangan suami isteri ini bisa pula naik haji. Anak pertama mereka dinamai : Waturumbu yang berarti terumbu karang dalam kata bahasa daerah sebagai kenang-kenangan atas kekayaan mereka yang diperoleh dari hasil menjual batu karang.. 6.4.
Pengaruh Eksternal
Faktor external yang dominan dari kerusakan terumbu karang di wilayah perairan Kelurahan Bahari khususnya, maupun kecamatan Tomia secara umum berupa aktivitas-aktivitas nelayan-nelayan dari luar propinsi ini, khususnya dari wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, seperti dari Sinjai, Makassar, Selayar dan sebagainya; dan para penampung ikan hidup seperti kerapu-sunu. Mereka itu merupakan kepanjangan tangan dari perusahaan-perusahaan ikan. Nelayan-nelayan tersebut menggunakan bagan apung, bom dan bius sebagai teknologinya. Mereka lebih maju dalam hal teknologi maupun pengetahuan kenelayanan serta pemilikan modal yang lebih besar. Nelayan-nelayan lokal di kelurahan Bahari umumnya hanya menggunakan jaring dan pancing. Nelayan dari desa-desa lain di Kecamatan Tomia banyak juga yang menggunakan bubu dan alat bius yang bahannya banyak diperoleh dari penampung. Seperti yang dijumpai peneliti di Waha di rumah-rumah penduduk banyak dijumpai bubu yang dibuat dari bambu. Untuk mengetahui apakah ikan hasil tangkapan itu hasil pancing atau bius, Fred, petugas di Wakatobi Diver menyebutkan dengan melihat apakah mulut dari ikan tangkapan tersebut cacat atau tidak. Jika cacat mulut ikan tersebut, berarti ikan itu ditangkap dengan pancing, sebaliknya jika tidak cacat berarti menggunakan bius. Nelayan-nelayan itu menyerahkan hasil tangkapan ikannya kepada pihak penampung
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
53
ikan. Seringkali juga nelayan-nelayan itu dibantu oleh pihak penampung ikan dalam hal permodalan, obat bius, bekal ataupun motor. Sehingga pada kebalikannya mereka harus menjual hasil tangkapan kepada pihak yang telah menolong mereka. Penjualan ikan cara ini dengan harga yang telah ditetapkan oleh pihak penampung,yang tentu saja harganya lebih rendah. Para penampung ikan hidup, yaitu ikan kerapu-sunu, memiliki keramba yang berada di tengah laut dan digunakan untuk menampung ikanikan yang disetorkan oleh para nelayan. 6.5.
Konflik Kepentingan
Dari uraian tentang situasi ancaman terhadap terumbu karang dan pengaruhpengaruh internal-eksternal di atas terlihat adanya conflict of interest dari beberapa stakeholder. Konflik yang paling jelas adalah antara penduduk lokal dengan nelayan luar. Penduduk lokal yang tidak berdaya menghadapi nelayan luar yang mempunyai teknologi penangkapan yang lebih unggul dan di antaranya adalah teknologi yang destruktif. Nelayan luar mampu menangkap ikan dalam jumlah banyak baik di waktu musim ikan maupun paceklik ikan dan menjualnya ke berbagai daerah. Sementara penduduk lokal sebaliknya. Ketidaksukaan mereka terhadap nelayan dari luar diekspresikan dengan menyebutkan bahwa nelayan tersebut umumnya menggunakan teknologi destruktif yang merusak terumbu karang, sementara hanya sedikit nelayan lokal saja yang menggunakan teknologi destruktif itu, tetapi selama ini merekalah yang lebih sering dituduh sebagai pelakunya. Namun penduduk kelurahan Bahari tidak bisa menghalangi mereka menggunakan mencari ikan di wilayahnya yang mungkin sebagian nelayar luar itu menggunakan teknologi destruktif. Masalahnya karena mereka berprinsip bahwa laut adalah „milik bersama“, setiap orang boleh berlayar dan mencari ikan di wilayah laut Kelurahan Bahari. Upaya untuk mengadukan nelayan pengguna alat destruktif ini kepada pihak keamanan maupun Jagawana memperoleh kesulitan, disebabkan karena ketidakmampuan para aparat tersebut untuk melakukan pengejaran maupun penyidikan, selain itu adanya dugaan bahwa aparat keamanan maupun Jagawana „bersekutu“ dengan nelayan tersebut oleh karena telah diberi uang suap. Dugaan ini dikemukakan dengan jelas oleh beberapa orang wakil nelayan maupun masyarakat pada pertemuan tingkat Kecamatan Tomia dengan Pak Camat, pihak Taman Nasional, Jagawana, Aparat Keamanan maupun wakil-wakil masyarakat. Konflik lain yang patut diselesaikan adalah antara pihak Taman Nasional dengan nelayan-nelayan lokal (tradisional). Sebelum ditetapkannya Taman Nasional Wakatobi nelayan-nelayan tradisional bisa mencari ikan di manapun di Propinsi Sulawesi Tenggara ini. Namun setelah ditetapkannya TN Wakatobi maka daerahdaerah penangkapan ikan tradisional sebagian menjadi daerah terlarang. Tidaklah mengherankan apabila banyak terjadi protes secara langsung kepada pihak taman Nasional maupun kepada Pemerintah Daerah (kabupaten sampai kecamatan) maupun tidak langsung dengan cara tetap mencari ikan di kawasan Taman Nasional. Bersamaan dengan saat penelitian ini berlangsung pihak Taman Nasional berusaha untuk mengakomodasi protes-protes tersebut dengan membicarakan perubahan zonasi Taman Nasional Wakatobi pada rapat-rapat di tingkat kecamatan, terutama dengan memperbesar zonasi pemanfaatan tradisional untuk penangkapan ikan. Problem utamanya adalah wilayah-wilayah yang diusulkan bukanlah merupakan tempat-tempat banyak ikan untuk ditangkap. Sampai penelitian ini selesai, masalah perubahan zonasi masih belum mencapai kesepakatan bersama masyarakat. Konflik lain yang sudah diupayakan jalan keluarnya adalah antara penduduk lokal dengan pihak pengelola wisata „Lorenz“. Beberapa kali terjadi kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Misalnya tentang batas laut yang dibuat oleh Lorenz yang semula tidak boleh dilintasi oleh perahu transportasi (kapal) maupun perahu nelayan. 54
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Tujuan dibuat batas laut itu oleh para penyelenggara wisata ini untuk keselamatan para turis yang sedang menyelam. Setelah diprotes oleh masyarakat, dibuatlah persetujuan perahu nelayan boleh lewat di daerah yang ada batas laut tersebut dengan syarat mesin dimatikan dan hanya menggunakan dayung biasa, tidak boleh menggunakan dayung tokong (menghindari kerusakan terumbu karang). Selain itu, pihak penyelenggara wisata Lorenz juga mengubah program wisatanya mulai tahun 2001 ini, yakni selain wisata menyelam, para turis dibawa ke sebuah desa di Kecamatan Tomia untuk menikmati acara-acara budaya seperti pertunjukan tari tradisional dan mencicipi makan khas setempat. Rencananya tahun 2001 ini para wisatawan akan dibawa ke Desa Lamanggau. Pihak pemerintah (khususnya Dinas Pariwisata) selama ini hanya memungut pajak dari penyelenggara wisata Lorenz, sementara bagaimana dampaknya terhadap lingkungan lebih diserahkan kepada pihak Taman Nasional. Kebijaksanaan pemerintah ini telah menyebabkan pengkavlingan tanah untuk keperluan wisata ini secara sepihak juga pengkavlingan batas laut sepihak pula karena tiadanya pengawasan dari pemerintah. Namun setelah protes keras dari pihak Desa Lamanggau, maka diselenggarakan pertemuan antara pihak penyelenggara wisata dengan wakil masyarakat desa itu yang menghasilkan beberapa kesepakatan termasuk kesepakatan ganti rugi dan perubahan batas laut. Problema lain yang muncul adalah dikeluarkannya ijin dari pemerintah untuk pembuatan fasilitas lapangan terbang untuk pesawat terbang milik Lorenz, yang banyak menggunakan batu karang. Di satu sisi penyelenggaraan wisata ini melakukan upaya-upaya konsevasi terutama terhadap keindahan terumbu karang dan gua-gua bawah lautnya, namun di sisi lain pembangunan lapangan terbang juga banyak menggunakan karang. Kebijakan publik pemerintah yang juga merusak banyak terumbu karang adalah pembuatan pelabuhan dan pengerukannya di Kelurahan Bahari ini dengan mendinamit dan menggali terumbu karang, sehingga bisa terbentuk pelabuhan yang cukup dalam untuk tempat bersandar kapal dan perahu nelayan. Pembuatan pelabuhan ini menimbulkan ekses berikutnya yaitu abrasi pantai.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
55
Bab VII Kesimpulan dan Rekomendasi 7.1. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengetahuan penduduk tentang sumberdaya laut, khususnya terumbu karang, cukup baik. Dalam arti keberadaan sumberdaya tersebut, variasi jenisnya, kondisinya, dan manfaatnya. Hanya mungkin perlu ditingkatkan tentang fungsifungsi terumbu karang yang lain, tidak sebatas hanya sebagai bahan bangunan dan tempat hidupnya ikan. Sehingga mereka makin menyadari betapa sentralnya fungsi terumbu karang itu bagi keberlanjutan SDL dan tentunya bagi kesejahteraan manusia. 2. Tingkat kesejahteraan penduduk cukup baik dengan melakukan matapencaharian “multiple employment / pluri-activity”, selain bekerja sebagai nelayan dalam arti mencari ikan atau mengumpulkan hasil laut lainnya, mereka juga mencari / melakukan pekerjaan lain yang banyak mendatangkan hasil (uang). Tingkat kesejahteraan ini berpengaruh pula pada tingkat pendidikan yang berhasil dicapai oleh penduduk kelurahan ini, yaitu sudah banyaknya lulusan S-1. Pekerjaan nelayan di daerah ini mengalami kesulitan untuk pengembangan karena problem pemasaran. Tidak adanya “cold storage” dan preferensi untuk makan ikan segar, menyebabkan mereka hanya mencari ikan secukupnya. Bila ikan tidak terjual hari itu, besok harganya sudah jatuh. Penduduk biasanya berusaha mengawetkan ikan yang belum laku dengan menjadikan sebagai ikan asap, harganya akan murah sekali. Penduduk umumnya juga enggan makan ikan asap kecuali di masa-masa paceklik ikan. 3. Kondisi SDL cenderung sudah tangkap lebih (overfishing) dalam eksploitasi yang dilakukan oleh nelayan-nelayan dari luar daerah dan kondisi terumbu karang banyak yang sudah rusak akibat bom, bius dan terutama diekskavasi untuk bahan bangunan. Dasar-dasar laut yang dangkal kelihatan bersih karena batu karangnya sudah dieksploitasi. Problem utamanya sampai sekarang belum diperoleh bahan pengganti karang tersebut sebagai bahan bangunan. 4. Dengan ditetapkannya Taman Nasional Wakatobi mempersempit ground fishing dari para nelayan tradisional. Ketidakjelasan batas-batas zonasi dari Taman Nasional telah menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan tradisional dan juga nelayan-nelayan luar. Selain itu, wilayah–wilayah laut yang menurut pengetahuan mereka banyak ikannya termasuk dalam wilayah yang terlarang untuk kegiatan penangkapan ikan (wilayah inti). 5. Prinsip open access membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap nelayan luar yang menggunakan teknologi yang destruktif. Re-interpretasi terhadap prinsip ini dengan sikap menjaga kawasan laut di daerahnya akan sangat bermanfaat untuk perlindungan sumberdaya laut. 6. Limbah domestik berupa sampah rumah tangga yang dibuang ke laut akan sangat besar potensi merusak terumbu karang di masa depan. Penduduk tidak mempunyai
57 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
tempat sampah dan kebiasaan mereka adalah membuang sampah termasuk plastik dan barang-barang lain yang sulit di daur ulang (sampah anorganik). 7. Pola konservasi yang diterapkan oleh pihak Lorenz yang dilakukan untuk tujuan wisata, namun kurang memperhatikan aspirasi masyarakat telah beberapa kali menimbulkan konflik, seperti misalnya penentuan batas wilayah larangan laut yang boleh dilintasi oleh kapal nelayan secara sepihak. 8. Kebijakan pemerintah daerah yang mengijinkan pembuatan lapangan terbang untuk wisata Lorenz dan pembuatan pelabuhan di Kelurahan Bahari dan Desa Waha telah menyebabkan banyak kerusakan terumbu karang. 7.2. Rekomendasi 1. Sesungguhnya pengetahuan penduduk Kelurahan Bahari tentang sumber daya laut sudah agak baik terlihat dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh responden pada saat survei dilakukan. Kesadaran akan pentingnya kelestarian terumbu karang sebenarnya juga sudah muncul terbukti dari hasil interview yang dilakukan oleh peneliti maupun dari jawaban-jawaban terhadap kuesioner. Selain itu, adanya kasus rumah dari orang tuanya Waturumbu (tahun 1999) disatroni penduduk karena terlampau mengeksploitasi batu karang, rumahnya sampai dilempari batu dan kemudian bersama aparat desa serta kecamatan mendatangi rumahnya. Adapun yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan mereka tentang fungsi-fungsi terumbu karang yang tidak hanya terbatas sebagai bahan bangunan dan tempat tumbuh kembangnya ikan. Hal ini bisa dilakukan melalui penyuluhanpenyuluhan, juga melalui sekolah-sekolah. 2. Sampai sekarang penduduk masih terus mengeksploitasi karang untuk keperluan bangunan, karena belum adanya sumber lain sebagai pengganti bahan bangunan tersebut. Sebenarnya banyak batu-batu karang di daratan yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti terumbu karang untuk bahan bangunan, hanya saja dengan alasan kualitas dan kedekatan dari kampung penduduk lebih memilih mengekskavasi karang. Mungkin perlu peraturan dengan pengawasan yang lebih ketat terutama dari tingkat kecamatan. Barangkali perlu dicarikan solusi oleh pemerintah untuk masalah ini, atau model rumah dan bangunan yang dirubah, misalnya model lama yang rumah panggung dengan banyak menggunakan bahan bambu atau kayu. Hanya saja solusi perubahan rumah ini paling sulit dilaksanakan. Atau pengambilan batu karang di bukit dipermudah dengan mendatangkan bantuan beberapa truk. 3. Pengetahuan maupun kesadaran penduduk tentang lingkungan ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk ikut mengawasi perusakan terumbu karang yang banyak dilakukan oleh nelayan luar dengan me-reinterpretasi prinsip open access dan common property. Laut di depan desa mereka adalah menjadi tanggung jawab mereka untuk ikut mengawasi, walaupun tidak berarti mereka boleh melarang orang lain melintasi wilayah laut tersebut. Pengawasan pemerintah terhadap nelayan-nelayan dari luar dan aktivitas para “pengumpul ikan” sebaiknya dilakukan lebih baik. Bantuan pengawasan dari masyarakat lokal akan sangat mempermudah upaya konservasi laut. 4. Sebenarnya menarik kalau bisa mendayagunakan “kesepakatan adat” dalam menggerakkan penduduk untuk mengkonservasi sumberdaya laut. Dalam banyak kasus, bila kesepakatan adat dilakukan maka penduduk setempat pada umumnya sangat mematuhi keputusan yang dihasilkan dalam kesepakatan adat. Institusi ini terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang ditunjuk oleh masyarakat untuk 58
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
menyelesaikan suatu hal. Misalnya bila terjadi perselisihan dalam masyarakat, maka biasa diwujudkan institusi ini untuk mempermudah dan mempercepat penyelesaiannya. 5. Peran Jagawana sangat minim, malah sering menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Para Jagawana ini boleh dikatakan berasal dari luar daerah dan tidak mengenal situasi di kecamatan Tomia. Akan lebih baik apabila beberapa orang berasal dari penduduk setempat. Sehingga mereka dikenal penduduk dan dalam menyampaikan misinya lebih mudah dibandingkan para Jagawana sekarang ini yang tidak dikenal penduduk. Alternatif lain mungkin semacam pembentukan “kader laut” yang anggotanya dari dan diangkat oleh masyarakat. Namun dalam operasionalnya dibantu oleh pemerintah dan dibina oleh pemerintah pula. Mereka mungkin akan lebih efektif dalam melakukan tugas pengawasan dan pengamanan sumberdaya laut. Saat sekarang sebenarnya sudah terbentuk “kader konservasi” untuk tingkat kabupaten dengan cabang-cabangnya sampai tingkat kecamatan. Sayangnya kader konservasi ini juga bersifat pengangkatan dan bukan pemilihan, sehingga kurang dikenal oleh masyarakat. Sampai penelitian ini berlangsung, belum terlihat gebrakannya karena kurangnya biaya, sulitnya koordinasi dengan cabang-cabang di tingkat kecamatan dan tidak adanya fasilitas. Mungkin institusi kader konservasi ini bisa dimodifikasi, sehingga menjadi kader laut yang baik yang akan bisa membantu Jagawana dalam pelaksanaan tugasnya. Untuk Jagawana perlu diperbaiki sistem rekruitmennya dan dipersenjatai pula agar bisa melaksanakan tugasnya secara langsung tanpa harus selalu menunggu bantuan dari pihak kepolisian. 6. Masyarakat di Kelurahan Bahari dan desa-desa lain di Pulau Tomia ini sebagai communities regulated sebaiknya dikembangkan kesadaran memelihara sumberdaya laut, tidak hanya melalui upaya paksa atau penegakan hukum (law enforcement), tapi juga melalui “promosi penaatan” (compliance promotion) seperti pemberian penghargaan apabila mereka mampu memperbaiki lingkungannya, atau berhasil menghalau nelayan-nelayan yang akan merusak terumbu karang dan lainlain. Barangkali perlu dicarikan bentuk-bentuk promosi yang efektif untuk menggugah kesadaran penduduk dalam melindungi sumberdaya alam lautnya. Selama ini penghargaan dari pemerintah untuk lingkungan lebih banyak diberikan kepada perusahaaan atau pemerintah lokal (misalnya : penghargaan Adipura), seharusnya lebih banyak lagi yang diberikan untuk masyarakat lokal. Insentif yang diberikan tidak harus berupa uang, tetapi bisa juga berupa fasilitas, seperti pengadaan bank, bantuan truk ataupun penyaluran kredit khusus untuk mereka. Sebagai catatan penting, penduduk di Kelurahan Bahari khususnya sangat berkarakter masyarakat pesisir yang mempunyai mobilitas yang tinggi dan bangga akan prestige atau gengsi yang tinggi, hal tersebut diantaranya ditunjukkan dengan penggunaan perhiasan yang berlebihan dan penghargaan terhadap mereka yang sudah mencapai pendidikan yang tinggi. Kalau selama ini “penegakan hukum atau upaya paksa” menjadi titik berat upaya perbaikan lingkungan, maka sudah saatnyalah sekarang ini mengembangkan pula sisi “promosi penaatan” khususnya untuk masyarakat lokal. 7. Perlu dilakukan evaluasi untuk kegiatan-kegiatan wisata Lorenz, khususnya melakukan kontrol terhadap obyek wisata gua-gua bawah laut. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat perlu mendukung upaya-upaya konservasi yang dilakukan oleh pihak penyelenggara wisata ini, diantaranya dengan menghindari penggunaan dayung tokong dan pembuatan moor bay sebagai pengganti jangkar yaitu dengan menambatkan perahu atau kapal langsung ke dermaga tanpa jangkar.
59 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
8. Perubahan zonasi dari Taman Nasional sebaiknya dengan mempertimbangkan agar zona pemanfaatan tradisional diperluas pada wilayah-wilayah yang banyak ikannya. Kalau tidak, maka akan terjadi banyak pelanggaran sebagaimana yang terjadi saat sekarang. Tentu saja dengan memberikan persyaratan tidak boleh menggunakan alat tangkap destruktif
60
Studi Kasus : Kelurahan Bahari, Kecamatan Tomia, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Daftar Pustaka Badiel, B. 1991. Merfachbeschaeftigung in Haushalten mit Landbewirtschaftung. Versuch einer entwicklungsbezogenen Typologie. Sozialoekonomische Schriften zur Ruralen Entwicklung Vol.86. Alano Verlag. Aachen.Germany. Biro Pusat Statistik, 2001. Kecamatan Tomia Dalam Angka. Croosland, C.J. et al. 1991. Role of Coral Reefs in Global Ocean Production. In Coral Reef, Journal of the International Society for Reef Studies. Fuller,A.M. dan Brun, A. 1990. Socio-economic Aspects of Pluriactivity in western Europe. Proceedings of the Freyung-Grafenau Colloquium, 1988. Arkleton Research in association with Institut fuer Laendliche Strukturforschung an der Johann Wolfgang Goethe-Universitaet Frankfurt am Main and Forschungsgessellschaft fuer Agrarpolitik und Agrarsoziologie e.V. Enstone. Oxford. UK Unit Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. 2001. Materi Pembahasan tingkat Kecamatan Dalam Rangka Peninjauan / Pengkajian Perubahan Zonasi Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (Draft 0). Tidak dipublikasikan. Bau-Bau, Kabupaten Buton. Ware, John R. et al. 1991. Coral Reefs : Sources or Sinks of Atmospheric CO2 ? In Coral Reefs, Journal of the the International Society for Reef Studies.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
61
Lampiran I PETA LOKASI PENELITIAN : KELURAHAN BAHARI
Kel. Bahari
Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Kelurahan Bahari
77
Lampiran II DAERAH PENANGKAPAN IKAN KARANG DAN TUNA NELAYAN KEL. BAHARI
Lampiran III : PETA LOKASI PENGEBOMAN DAN PEMBIUSAN DI PERAIRAN TOMIA MENURUT PEMETAAN NELAYAN SETEMPAT
Lokasi Pengeboam Lokasi Pembiusan
Lampiran IV : STRATEGI PENDAPATAN PENDUDUK KEL. BAHARI (DECISION TREES)
Ikan Karaang Ikan Permukaan
Jual ke Pedagang Jual ke Pasar Tradisional
Ikan Baronang Rumput Laut
Jual ke Pedagang
Duri Babi (tehe)
Jual ke Pasar Tradisional
Menangkap Ikan Kerja Nelayan
Pembudi dayaan Pengumpulan Biota Laut Mencari Biota Laut
Strategy Pendapatan
Kima dan Kerang Pedagang Pasar (sandang,panga
Pedagang
Pegawai/Karyawan Kerja Bukan Nelayan
Petik Cengkih Buruh Bangunan Petani
Jual ke Pasar Tradisional Pasar Tradisional
Pedagang Pulau (Bhn
Irian dan Jawa
Guru,PNS,Polisi
Tomia
Buruh Tani
Talibo,Halmaher a
Tukang Kayu
Tomia
Berkebun
Tomia
Lampiran V :
Foto 1 : Situasi Kelurahan Bahari dari sisi pantai
Foto 2 : Situs sejarah leluhur Kelurahan Bahari di Desa Kahiangan
Foto 3 : jenis kapal yang digunakan pedagang antar pulau
Foto 4 : Salah seorang pedagang pakaian di pasar tradisional Kelurahan Bahari
Foto 5: Kegiatan jual beli ikan hasil tangkapan di Pelabuhan Kelurahan Bahari
Foto 6: Patok Bendera sebagai tanda daerah larangan penangkapan ikan di wisata Lorenz
Foto 7 : Pemukiman penduduk yang dibatasi karang di tepi pantai
Foto 8: Seorang ibu yang pernah menekuni pekerjaan sebagai penambang karang
Foto 9 : Pemanfaatan karang untuk galangan kapal
Foto 10 : “Sea Star” salah satu biota laut perusak karang
Foto 11 : Bagan apung tradisional milik nelayan asal Sinjai
Foto 12 : Wisata Bahari “ Wakatobi Dive Resort” di Kecamatan Tomia
Foto 13 : Menu makan rumah tangga di Kelurahan Bahari.
Foto 14 : Berita Keberangkatan kapal di Pelabuhan Waha