Deny Hidayati, Laksmi Rachmawati Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia/ Deny Hidayati, Laksmi Rachmawati. – Jakarta: COREMAP, 2002 xix, 109 hlm, 22 cm
Seri Penelitian COREMAP-LIPI No. 1/2002 ISSN 1412-7245
1. Terumbu Karang 2. Pengelolaan I. Judul II. COREMAP-LIPI
3. Degradasi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Studi Kasus: Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi tenggara
Desain isi : Puji Hartana
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh COREMAP-LIPI.
Ringkasan Studi ini bertujuan untuk mengumpulkan data dasar kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Hasil studi diharapkan menjadi bahan masukan untuk perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program COREMAP dan bahan untuk menyusun indikator yang dapat dipakai sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi keberhasilan COREMAP, khususnya dari perspektif sosial. Studi ini dilakukan di Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Letak Desa Mola Utara cukup strategis, hanya 3,5 kilometer dari ibukota kecamatan yang dapat ditempuh melalui transportasi darat maupun laut. Desa ini berada di Pulau Wangi-Wangi, yaitu pulau di Kepulauan Wakatobi yang letaknya paling dekat dengan Bau-Bau, ibukota Kabupaten Buton. Perjalanan ke Bau-Bau cukup lancar dapat dilakukan setiap hari dengan lama perjalanan 5-6 jam, menggunakan kapal laut yang kemudian dilanjutkan dengan transportasi darat. Desa Mola Utara mempunyai luas 1 – 2,3 km 2, mulanya merupakan desa di atas laut tetapi karena kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh masyarakat, sekarang telah menjadi desa yang menyatu dengan daratan Pulau-Wangi-Wangi. Desa Mola Utara mempunyai akses ekonomi, transportasi dan informasi yang cukup lengkap. Sarana ekonomi yang utama adalah pelabuhan (perdagangan, penampungan ikan dan penumpang), pasar Sentral, bank dan KUD. Ketersediaan sarana ini sangat membantu penduduk dalam memasarkan hasil laut yang mereka tangkap dan mensuplai kebutuhan hidup sehari-hari. Akses transportasi terdiri dari transportasi darat, seperti ojek dan mobil angkutan umum khususnya di daratan Pulau Wangi-Wangi; dan transportasi laut berupa kapal yang mengangkut penumpang, baik antar pulau di kawasan maupun luar wilayah Wakatobi. Sedangkan akses informasi yang ada berupa warung telekomunikasi (wartel), SSB dan beberapa telepon pribadi yang memungkinkan penduduk untuk melakukan komunikasi ke luar desa. Akses ini sangat mendukung penyebaran informasi dan kegiatan bisnis, terutama perikanan dan perdagangan, di desa ini. Desa Mola Utara mempunyai penduduk yang jumlahnya cukup besar, yaitu 2.320 jiwa atau 429 Kepala Keluarga (KK) dengan proporsi penduduk perempuan dan laki-laki yang cukup berimbang. Sebagian besar penduduk Mola Utara berasal dari suku Bajo yang dikenal sebagai ‘suku laut’. Ketergantungan penduduk terhadap sumber daya laut (SDL), khususnya terumbu karang, cukup tinggi, diindikasikan dari kehidupan ekonomi yang sebagian besar bekerja di sektor perikanan, yaitu sebagai nelayan. Sebagai ‘suku laut’ kehidupan sosial budaya orang Bajo juga selalu berkaitan dengan kegiatan di laut. Kebanyakan penduduk Desa Mola Utara sangat mobile, walaupun mereka menjadikan desa ini sebagai kampung halaman. Sebagai ‘suku laut’ sebagian penduduk telah mengarungi hampir semua pulau-pulau besar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Di samping wilayah Indonesia, sebagian kecil juga telah melakukan perjalanan sampai ke luar negeri terutama ke Singapura, Malaysia dan Australia. Di tingkat nasional, tujuan utama mereka adalah untuk menangkap ikan dan biota laut lainnya. Sedangkan di tingkat internasional, tujuan mereka berbeda antar negara, yaitu melakukan kegiatan 1 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
perdagangan untuk negara Singapura dan Malaysia, dan perikanan (sirip hiu) untuk Australia. Studi ini mengidentifikasi isu-isu penting yang berkaitan dengan pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang, di Desa Mola Utara. Isu pertama berkaitan dengan potensi, pemanfaatan dan degradasi terumbu karang. Desa Mola Utara mempunyai potensi SDL yang sangat besar dengan keanekaragaman jenis ikan (lebih dari 30 jenis ikan karang, pelagis dan ikan laut dalam) dan biota laut, seperti berbagai jenis teripang dan siput. Desa ini dulunya sangat kaya akan terumbu karang, tetapi karena kegiatan yang tidak ramah lingkungan sebagian terumbu karang sudah mengalami degradasi. Karena itu kondisi terumbu karang sekarang masuk dalam kategori medium. Potensi SDL di wilayah Mola Utara telah dimanfaatkan penduduk terutama melalui kegiatan perikanan tangkap. Perikanan tangkap merupakan usaha pemanfaatan SDL yang utama dengan ikan karang (kerapu dan sunu) dan ikan tuna dan cakalang sebagai hasil yang dominan di desa ini. Umumnya nelayan menjual hasil tangkapan dalam keadaan segar. Khusus untuk ikan karang (kerapu, sunu) biasanya dijual dalam keadaan hidup kepada koordinator di lokasi penangkapan. Ikan lain seperti tuna, cakalang dan tongkol di jual pada pedagang pengumpul di kapal-kapal ikan yang ada di desa atau sekitar desa, sedangkan hasil ikan dan biota lain biasanya di pasarkan di pasar Sentral atau pedagang pengumpul. Produksi ikan di Desa Mola Utara cukup besar. Walaupun tidak ada informasi mengenai produksi ikan, khususnya ikan karang dan tuna, data produksi dapat diestimasi berdasarkan hasil wawancara mendalam. Produksi ikan karang (kerapu dan sunu) berkisar 3 – 6 ton per sekali melaut atau 90 – 180 ton per musim atau per tahun. Sedangkan produksi ikan tuna dan cakalang sebanyak 3 – 4 ton per hari. Kegiatan penangkapan ikan tuna dan cakalang biasanya dilakukan sepanjang tahun. Di samping perikanan tangkap, jenis pemanfaatan SDL yang lain adalah budidaya, pengolahan hasil tangkap dan pembuatan souvenir hasil laut masih sangat terbatas. Kegiatan budidaya di Desa Mola Utara berupa budidaya rumput laut. Kegiatan ini belum berkembang, baru dilakukan oleh beberapa penduduk saja. Produksi rumput laut juga belum menunjukkan hasil yang menggembirakan karena belum dikelola dengan baik mengingat keterbatasan ketrampilan dan dana penduduk yang melakukan usaha tersebut. Pengolahan hasil tangkap juga masih sangat terbatas, umumnya berupa pengeringan dan pengasinan dengan menggunakan teknologi yang juga masih sangat sederhana. Sedangkan pembuatan kerajinan untuk souvenir hanya dilakukan oleh beberapa orang saja. Pengolahan dilakukan dengan membusukkan dan membuang isi berbagai jenis siput. Untuk mendapatkan hasil yang banyak, sebagian nelayan menangkap ikan dengan menggunakan bahan/alat yang tidak ramah lingkungan. Akibatnya, terumbu karang di sekitar Desa Mola Utara, terutama di karang Kapota mengalami kerusakan yang cukup berat. Kerusakan terumbu karang terutama dikarenakan kegiatan pengeboman, pembiusan, pengambilan batu karang dan pasir, perikanan, khususnya jangkar kapal, sampah dan sedimentasi. Pengeboman telah dilakukan sejak lama, yaitu sejak jaman penjajahan Jepang, ketika tentara Jepang mengenalkan penggunaan bom untuk menangkap ikan dalam jumlah yang besar, khususnya untuk memenuhi konsumsi tentara Jepang. Kegiatan pengeboman masih dilakukan sampai sekarang walaupun jumlah dan intensitasnya sudah sangat berkurang. Pembiusan (potassium) mulai dikenal di Desa Mola Utara pada pertengahan tahun 1980-an dan mulai intensif pada tahun 1990-an. Umumnya kegiatan ini dilakukan 2
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
oleh nelayan dari luar pulau seperti Tomia, Kendari dan Sulsel. Hanya beberapa penduduk lokal yang pernah melakukan pembiusan, mengikuti nelayan dari luar. Menurut nelayan Mola Utara, kegiatan pembiusan lebih berbahaya daripada pengeboman, karena dampak yang diakibatkannya jauh lebih luas di seluruh aliran air laut yang terkontaminasi obat bius tersebut. Sedangkan kegiatan pengambilan batu (karang) dan pasir dilakukan sejak penduduk Desa Mola Utara mulai membangun rumah permanen tahun 1970-an. Sebagian penduduk, terutama ibu-ibu yang menjadi kepala keluarga, mengambil batu karang dan pasir di sekitar Pulau Kapota, yaitu di Usunu dan Otouwe. Kegiatan ini dilakukan sepanjang tahun dengan memanfaatkan waktu pasang surut air laut. Usaha ini relatif mudah dilakukan dengan peralatan yang sederhana, tetapi dengan hasil yang cukup besar. Hasil produksi relatif stabil, yaitu satu sampan (sekitar 1m3 untuk sampan besar atau 0.5 m 3 untuk sampan kecil) per sekali melaut. Mulanya kegiatan pengambilan batu dan pasir hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi sekarang dengan semakin banyaknya permintaan maka kegiatan ini sudah dilakukan secara komersil. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan yang merusak terumbu karang berkaitan dengan latar belakang ekonomi dan sosial penduduk serta faktor eksternal. Latar belakang ekonomi erat hubungannya dengan isu kemiskinan yang menjadi steriotip masyarakat pulau dan pesisir. Di Desa Mola Utara terdapat kesenjangan antara yang kaya (‘bos’) dan yang miskin (nelayan). Keadaan ini dapat dilihat dari perbedaan pendapatan yang sangat tajam antara kedua kelompok tersebut, yaitu antara kurang dari Rp 200.000 dan lebih dari Rp 2.000.000 per bulan. Perbedaan ini ditimbulkan dari adanya sistem patron – client dalam penangkapan ikan, khususnya ikan karang, yaitu antara ‘bos’ ikan dan ‘nelayan bos’. Nelayan sangat ditekan oleh ‘bos’ ikan, terutama dalam penetapan harga ikan yang sangat rendah, yaitu sekitar lima puluh kali lebih rendah dari harga ikan yang dijual ‘bos’ kepada pedagang pengumpul atau eksportir. Latar belakang ekonomi ini berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan dan ketrampilan penduduk. Umumnya penduduk Desa Mola Utara berpendidikan rendah, digambarkan dari 94 persen responden berpendidikan SD ke bawah. Rendahnya tingkat pendidikan ini terutama pada generasi tua, sedangkan generasi muda mempunyai pendidikan yang lebih baik. Meningkatnya tingkat pendidikan generasi muda berkorelasi positif dengan tingginya motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak dan motivasi anak untuk melanjutkan sekolah. Pada waktu penelitian dilakukan terdapat sekitar 10 anggota masyarakat yang sudah mendapat gelar sarjana, terutama sarjana agama. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengelolaan dan degradasi SDL, khususnya terumbu karang, dapat dikelompokkan ke dalam tiga faktor, yaitu: (1) kebijakan, program dan peraturan pemerintah daerah yang mendukung pengelolaan terumbu karang. Walaupun Mola Utara terletak di kawasan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), kegiatan perusakan masih terus berlangsung, terutama dikarenakan belum efektifnya pengelolaan TNKW sebagai akibat kurangnya sosialisasi dan partisipasi masyarakat serta terbatasnya jumlah dan sarana yang dimiliki TNKW. Respon Pemda Buton terhadap pengelolaan SDL juga masih sangat terbatas, diindikasikan dari belum adanya perda yang mengatur pengelolaan, termasuk larangan penggunaan bahan/alat yang merusak, dan masih minimnya penegakan hukum terhadap pelaku perusakan dan (2) konflik kepentingan antara stakeholders dalam pengelolaan, termasuk antar sektor, antara pemda dan nelayan serta antara pengusaha dan nelayan di wilayah perairan Wakatobi. 3 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi lautan, Indonesia sangat kaya akan Sumber Daya Laut (SDL) dan dikenal sebagai salah satu pusat terumbu karang dunia. Kekayaan sumber daya ini menyebar diseluruh wilayah, mulai dari wilayah bagian barat sampai dengan bagian timur Indonesia. Luas terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar 75.000 km2 atau seperdelapan (sekitar 15 persen) luas terumbu karang dunia. Ekosistem terumbu karang yang sangat luas ini sangat kaya akan keaneka ragaman hayati, seperti: moluska sebanyak 2500 jenis, ikan sebanyak 2334 jenis, krustasea sebanyak 1512 jenis, spona sekitar 850 jenis, ekinodermata sekitar 745 jenis, reptilia laut sebanyak 38 jenis dan mammalia laut sebanyak 30 jenis (Nontji, 2001). Terumbu karang merupakan aset yang sangat ‘berharga’ bagi Indonesia, baik untuk sektor-sektor produktif seperti perikanan dan pariwisata maupun untuk perlindungan dan pelestarian sumber daya alam. Aset ini sangat penting bagi Indonesia, terutama dalam kondisi dimana tekanan terhadap sumber daya alam daratan sangat besar dan intensif. Karena itu kegiatan produktif mulai dialihkan ke sumber daya pesisir dan laut yang selama ini masih terabaikan. Baru pada akhir-akhir ini pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang cukup tinggi pada pengembangan sumber daya laut, diindikasikan dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan. Pemerintah juga menetapkan UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang didalamnya juga mengatur kewenangan pengelolaan SDL di daerah. Dengan demikian pengelolaan SDL, termasuk terumbu karang, tidak hanya menjadi perhatian dan kewenangan pemerintah pusat saja tetapi juga menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah. Sekarang kekayaan terumbu karang Indonesia sedang dalam ancaman yang serius. Kerusakan terumbu karang telah menjadi isu yang sangat krusial dalam pengelolaan SDL Indonesia. Berapa besar tingkat kerusakan terumbu karang masih dalam penelitian, tetapi berdasarkan data dari hasil studi Puslit Oceanologi LIPI pertengahan tahun 1990-an terungkap bahwa sebagian besar (71 persen) terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi buruk, bahkan sekitar 40 persen dalam keadaan yang sangat buruk. Hanya enam persen terumbu karang yang kondisinya masih sangat baik dan 23 persen dalam keadaan baik (Suharsono, 2000). Tingkat kerusakan terumbu karang bervariasi antar wilayah Indonesia. Kerusakan terparah dialami di wilayah Indonesia bagian barat, dimana lebih dari 80 persen terumbu karang dalam keadaan rusak. Sedangkan tingkat kerusakan yang terendah berada di wilayah Indonesia bagian timur, sekitar 41 persen terumbu karangnya masih dalam keadaan baik, terutama di wilayah terpencil yang belum banyak tersentuh kegiatan ekonomi dan di wilayah konservasi (Suharsono, 2000). Perbedaan tingkat kerusakan terutama dikarenakan ketidak seimbangan dalam pembangunan antara Indonesia barat dan timur. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan pembangunan yang cepat (sebelum Indonesia mengalami krisis ekonomi) di bagian
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
5
barat Indonesia menyebabkan tekanan terhadap sumber daya alam tidak hanya berlaku di daratan tetapi juga di lautan, terutama terumbu karang (Hidayati, 2000:49). Kerusakan terumbu karang disebabkan banyak faktor yang dapat dikelompokan kedalam dua bagian, yaitu: faktor alami dan antropogenik (ulah manusia). Kerusakan yang berkaitan dengan faktor alami berada diluar kekuasaan manusia, misalnya karena bencana alam seperti gempa bumi, badai dan ombak yang sangat besar, perubahan iklim dan berbagai jenis penyakit. Sedangkan kerusakan yang berkaitan dengan prilaku manusia yang tidak ramah lingkungan dikarenakan berbagai sebab, misalnya penggunaan bahan dan alat yang merusak seperti bom, bius, pukat harimau dan bubu; pengambilan karang dan pasir dan penangkapan ikan dan biota laut secara berlebihan (over fishing). Disamping kegiatan yang langsung merusak, ulah manusia di daratan secara tidak langsung juga dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang, antara lain: kegiatan penebangan hutan yang menyebabkan erosi tanah dan penambangan pasir yang menimbulkan sedimentasi atau pencemaran yang ditimbulkan oleh sampah dan limbah baik padat maupun cair/kimia atau kegiatan pariwisata seperti turis yang menginjak-nginjak karang dan mengambil bunga karang sebagai souvenir dalam jumlah besar. Mengapa kerusakan terumbu karang menjadi isu yang penting? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dipahami fungsi terumbu karang, baik dari aspek ekologi maupun ekonomi. Dari aspek ekologi, terumbu karang (dapat dianalogikan sebagai hutan di daratan) berfungsi sebagai ‘rumah’ ikan bertelur dan berkembang biak, tempat hidupnya berbagai biota laut, pusat siklus biokima dan pelindung pantai dari ombak dan badai. Kalau rumah ikan dan biota laut rusak maka dapat diasumsikan akan terjadi penurunan jumlah dan keanekaragaman ikan dan biota laut secara drastis atau bahkan mungkin akan terjadi kelangkaan seperti yang sudah terjadi di beberapa wilayah. Kegiatan pengeboman, misalnya, dapat mematikan semua kehidupan ikan dan biota laut serta menghancurkan sebagian besar karang di sekitar lokasi pengeboman. Sedangkan pembiusan disamping menghancurkan karang juga menyebabkan pemutihan (bleaching) dan membunuh larva yang hidup dan berkembang di karang yang dialiri racun tersebut. Dampak lain yang juga cukup mencolok adalah rusaknya kehidupan di pantai akibat bencana badai dan abrasi. Dari aspek ekonomi kerusakan terumbu karang mempunyai dampak signifikan, tidak saja dari nilai produksi perikanan tetapi juga dampak tidak langsung (ikutan) dari kerusakan tersebut. Hasil perhitungan World Bank tahun 1996 menunjukkan biaya kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh pengeboman sangat tinggi, sekitar 50 kali lebih tinggi dari keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut. Sedangkan untuk penambangan karang, walaupun secara ekonomi menguntungkan bagi penambang karang, tetapi biaya kerusakan terumbu karang yang disebabkan kegiatan ini sangat mahal, yaitu sebesar US$ 121.000 per km2 karang dan kerugian yang harus ditanggung masyarakat antara lain: penurunan hasil tangkap sebesar US$ 93.600; penurunan nilai pariwisata sebesar US$ 2.900-481,900 dan nilai perlindungan pantai sebesar US$ 12.000-260.000 (Caesar, 1996:Table1). Kerusakan terumbu karang di Indonesia sudah mencapai titik yang kritis dan karena itu harus segera diatasi. Pemerintah Indones ia memberikan perhatian terhadap masalah ini, yaitu dengan direalisasikannya suatu program nasional yang dikenal dengan Coral Reef Rehabilitation and Management Program , disingkat COREMAP. Tujuan utama dari program COREMAP adalah melakukan pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dan pulau. COREMAP 6
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
merupakan suatu program terpadu yang melibatkan semua stakeholders1 yang instrumental, termasuk masyarakat pesisir dan pulau, sektor yang terlibat dalam pengelolaan terumbu karang, pengusaha, akademisi dan LSM. COREMAP diresmikan pada tahun 1998 dan dilaksanakan di 10 Propinsi yang tersebar di: Propinsi Sumut, Riau, Sumbar, Sulut, Sultra, Sulsel, NTB, NTT, Maluku dan Irian (Papua). COREMAP menggunakan pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat (PBM). Belajar dari pengalaman sebelumnya dimana proyek-proyek pemerintah banyak yang gagal karena kurangnya partisipasi masyarakat, maka mulai dari awal perencanaan, COREMAP telah melibatkan masyarakat dan stakeholders yang instrumental. Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam pengelolaan sumber daya laut, terutama mengingat pantai Indonesia yang sangat panjang dengan laut yang luas, padahal jumlah petugas dan sarana yang dimiliki masih sangat terbatas. Karena itu, keberhasilan COREMAP sangat tergantung pada partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga, mengelola dan melindungi sumber daya lautnya. Untuk mendukung PBM, maka COREMAP dilengkapi oleh empat komponen, yaitu: (1) komponen komunikasi masyarakat yang berkonsentrasi membantu PBM dalam menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya pengelolaan terumbu karang, (2) komponen pengawasan dan penegakan hukum melalui kebijakan yang terkoordinasi, (3) komponen pengelolaan berbasis masyarakat yang menjadi core dalam program COREMAP dan (4) pusat penelitian dan informasi. Keempat komponen ini saling melengkapi satu dengan lainnya, sehingga secara sinergi dapat meningkatkan efektifitas kegiatan PMB. Pemahaman calon lokasi COREMAP sangat penting sebelum kegiatan COREMAP dilaksanakan, baik yang berkaitan dengan keadaan sumber daya alam maupun kondisi sumber daya manusia. Pemahaman ini sangat diperlukan dalam membuat design awal sebelum pelaksanaan kegiatan COREMAP. Untuk itu diperlukan survei data dasar dan kajian sosial agar perencanaan awal dapat sesuai dengan potensi, permasalahan dan aspirasi masyarakat. Perencanaan secara detail akan dilakukan secara partisipatif melibatkan semua stakeholders yang instrumental dilapangan. 1.2. Tujuan dan Luaran Tujuan Penelitian based-line COREMAP ini bertujuan untuk mengumpulkan data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Tujuan studi secara spesifik meliputi:
•
Memotret Desa Mola Utara untuk memberikan gambaran umum tentang keadaan geografi, potensi sumber daya alam, keadaan kependudukan, sarana dan prasarana serta kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang dapat mendukung dan/atau menghambat pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan
1
Stakeholders adalah mereka (instansi, perusahaan dan kelompok masyarakat) yang terkena dampak positif dan negatif dari kerusakan terumbu karang, termasuk mereka yang mengeksploitasi dan yang berusaha untuk melindungi, mengelola dan menjaga kelestarian terumbu karang.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
7
•
Menggambarkan kondisi sumber daya laut, khususnya ekosistem terumbu karang di wilayah Desa Mola Utara, termasuk potensi, pola pemanfaatan dan teknologi yang dipakai serta prilaku masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaannya
•
Mendiskripsikan kondisi sumber daya manusia Desa Mola Utara dan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan dari pendapatan dan pengeluaran, kepemilikan dan penguasaan aset rumah tangga dan kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan
•
Mengidentifikasi stakeholders dan bentuk keterlibatannya dalam pengelolaan sumber daya laut baik yang berpotensi mengelola maupun yang mengancam kelestarian terumbu karang. Studi ini juga mengidentifikasi potensi konflik antar stakeholder yang dapat berpengaruh negatif terhadap pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan
Luaran
•
Memberikan masukan pada para perencana, pengelola dan pelaksana dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP
•
Memberikan masukan dalam menyusun indikator yang dapat dipakai sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi keberhasilan COREMAP.
1.3. Metodologi 1.3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Propins i Sulawesi Tenggara (Sultra). Pemilihan propinsi dan kabupaten dilakukan di Jakarta, sedangkan pemilihan Desa Mola Utara dilakukan di Kabupaten Buton bersama-sama dengan Bappeda TK II dan wakil LSM di kabupaten tersebut. Lokasi dipilih secara purposive dengan pertimbangan, sebagai berikut:
•
Propinsi Sultra merupakan salah satu propinsi yang termasuk dalam 10 propinsi lokasi COREMAP.
•
Kabupaten Buton merupakan kabupaten dimana kawasan karang Wakatobi (WangiWangi, Kaledupa, Tomiang dan Binongko) berada. Kawas an ini sangat kaya akan keanekaragaman, keindahan dan keunikan terumbu karang serta merupakan kawasan konservasi taman nasional. Kekayaan tersebut tengah mengalami degradasi karena prilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Untuk mencapai pengelolaan yang berkelanjutan maka pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang menjadi sangat penting di kawasan Wakatobi.
•
Kecamatan Wangi-Wangi merupakan salah satu kecamatan yang terletak diwilayah perairan Wakatobi. Terumbu karang di wilayah perairan kecamatan ini (dengan karang Kapotanya) telah mengalami kerusakan yang cukup serius, terutama berkaitan erat dengan penggunaan alat dan bahan yang merusak (seperti bom dan bius) dan pengambilan batu karang dan pasir.
•
Desa Mola Utara dipilih sebagai lokasi penelitian ini dengan pertimbangan: (1) desa yang masyarakatnya, baik kehidupan ekonomi maupun sosial budayanya, sangat tergantung pada sumber daya laut, terutama terumbu karang, (2) sebagian 8
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
masyarakat di desa ini terlibat dalam kegiatan yang merusak terumbu karang, (3) sebagai salah satu pusat perdagangan hasil perikanan, baik di pasar ikan (pasar Sentral) maupun tempat berlabuhnya kapal-kapal pembeli ikan dan biota laut lainnya. 1.3.2. Pengumpulan Data Studi ini akan menggunakan kombinasi beberapa cara yang dapat dibagi kedalam dua pendekatan, yaitu: Survei Survei data dasar aspek sosial terumbu karang dilakukan untuk mengumpulkan data kuantitiatif yang berkaitan dengan (a) keadaan rumah tangga, terutama yang berkaitan dengan keterangan anggota rumah tangga, pendapatan dan pengeluaran, dan pemilikan dan penguasaan asset rumah tangga, dan (b) pengetahuan dan sikap individu mengenai terumbu karang. Survei dilakukan pada 100 keluarga dari 500 kepala keluarga (KK) yang ada di Desa Mola Utara. Pemilihan responden dilakukan secara acak beraturan dari blok sensus (Sensus penduduk 2000) di desa ini. Responden untuk pertanyaan rumah tangga adalah kepala keluarga, tetapi jika KK berhalangan maka diganti oleh anggota rumah tangga yang dapat mewakili KK. Sedangkan untuk pertanyaan individu, responden dipilih secara acak dari anggota rumah tangga dewasa berumur 15 tahun ke atas dan ada ditempat pada saat wawancara. Pendekatan Kualitatif
•
Pendekatan kualitatif berupa wawancara mendalam dengan informan-informan kunci dari masing-masing stakeholder yang instrumental di tingkat Kabupaten Buton, seperti Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan dan Taman Nasional Wakatobi dan LSM; di tingkat Kecamatan Wangi-Wangi, seperti Camat dan aparat kecamatan, Angkatan Laut, Jagawana, Sahbandar dan pengusaha perikanan. Sedangkan wawancara mendalam di Desa Mola Utara dilakukan pada informan kunci termasuk tokoh formal, seperti kepala desa dan aparat desa, kepala kampung, bidan desa, jagawana dan guru; tokoh informal seperti tokoh agama, tokoh pemuda dan karang taruna, pengurus PKK dan Kelompok Nelayan dan Koperasi Mola Indah; pengusaha perikanan seperti bos dan pedagang pengumpul ikan; koordinator dan anak buah kapal (ABK), nelayan bos, nelayan pengebom, nelayan jaring, pengambil karang, pengambil pasir, petani rumput laut dan pemilik warung.
•
Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussions) dengan nelayan di Desa Mola Utara dan LSM di Bau-Bau
•
Observasi lapangan: ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai keadaan desa dan masyarakat Mola Utara, utamanya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
9
1.3.3. Analisa Data Analisa data disesuaikan dengan tujuan studi dan metode pengumpulan data, yaitu:
•
Diskripsi data kuantitatif yang didukung oleh dan dikombinasikan dengan hasil penelitian kualitatif
•
Analisa situasi dengan pendekatan kontekstual yang menerangkan kejadian di lapangan. Analisa ini penting untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai: -
Keadaan sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan masyarakat,
-
Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang, dan bagaimana bentuk keterlibatan mereka serta konflik kepentingan antar stakeholder,
-
Kondisi pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang, termasuk potensi dan permasalahan yang dapat menjawab isu-isu kunci seperti kegiatan apa yang dilakukan dalam pengelolaan, mengapa kegiatan itu dilakukan dan bagaimana cara pengelolaan dan perkembangannya serta dampak pengelolaan terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian SDL, khususnya terumbu karang.
1.4. Organisasi Penulisan Laporan ini terdiri dari 7 bagian. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang mengapa studi ini diperlukan, tujuan dilakukannya studi dan metodologi yang digunakan. Bagian berikutnya menggambarkan profil Desa Mola Utara, termasuk potensi dan kendala baik yang berkaitan dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia maupun dengan sarana dan prasarana serta kelembagaan yang dapat mendukung dan/atau menghambat kegiatan pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang. Pemaparan pada bagian selanjutnya lebih terkonsentrasi pada pengelolaan SDL, terutama terumbu karang, dimulai dari pengetahuan penduduk tentang terumbu karang, cara pengelolaan dan teknologi yang digunakan, wilayah pengelolaan, stakeholder yang terlibat dan hubungan antar stakeholder. Setelah mengetahui pengelolaan SDL oleh masyarakat Desa Mola Utara, maka pada bagian berikutnya dijelaskan produksi yang diperoleh dari hasil laut dan rantai pemasaran hasil produksi mereka. Kemudian baru diketahui pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang akan diterangkan pada bagian ke lima. Sedangkan bagian ke enam mengemukakan dampak pengelolaan terhadap SDL, khususnya terumbu karang dan faktor-faktor yang berpengaruh. Bagian akhir merupakan kesimpulan dari hasil studi dan rekomendasi yang dapat dijadikan masukan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan COREMAP.
10
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab II Profil Desa Mola Utara 2.1. Keadaan Geografis Kepulauan Wakatobi terletak di sebelah timur Pulau Buton. Nama kepulauan Wakatobi merupakan kepanjangan dari nama pulau-pulau yang ada di kawasan tersebut yaitu pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Secara administratif, kepulauan Wakatobi terdiri dari empat kecamatan yang diberi nama sesuai dengan nama pulau-pulau tersebut yaitu Kecamatan Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko, peta Kepulauan Wakatobi dapat dilihat di lampiran (gambar 2.1.). Wilayah perairan Wakatobi telah ditetapkan menjadi Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) berdasarkan SK Menteri kehutanan no. 185/Kpts-II/1997. Secara geografis wilayah taman nasional terletak pada 5°12' LS - 6°10' LS dan 123°20' BT 123°39' LS. Wilayah perairan TNKW memiliki banyak gugusan karang yang tersebar di seluruh perairan diantaranya adalah karang Kapota, karang Kaledupa, karang Binongko, karang Koramahu, karang Koko. Wilayah ini sangat kaya dengan hasil laut seperi ikan karang, ikan pelagis dan jenis ikan atau biota laut lain. Desa Mola Utara yang terpilih sebagai lokasi penelitian Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia 2001, terletak di Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton. Desa ini memiliki 2 buah dusun yaitu Dusun Segar dan Dusun Teratai (peta Desa Mola Utara dapat dilihat di lampiran gambar 2.2.). Secara administratif, Desa Mola Utara berbatasan di sebelah Utara dan Timur dengan Desa Mandati, sebelah Selatan dengan Desa Mola Selatan dan sebelah Barat dengan laut. Jarak dari Desa Mola Utara ke ibukota kecamatan Wangi-Wangi sekitar 3,5 km dan dapat ditempuh dengan ojek atau kendaraan umum (mobil). Untuk menuju kota Bau-Bau, ibukota kabupaten Buton dapat ditempuh sekitar 5,5 jam. Perjalanan ke BauBau harus menempuh perjalanan laut dan darat yang cukup lancar dan tersedia setiap hari. Akan tetapi, perjalanan pulang pergi antara Bau-bau ke Wanci tidak bisa dilakukan dalam satu hari karena kapal penumpang dari pelabuhan Wanci ke pelabuhan Lasalimu (tempat pelabuhan kapal) di Bau-Bau atau sebaliknya hanya ada pada pagi hari. Perjalanan laut dari pelabuhan Wanci ke Lasalimu berjarak sekitar 12 mil ditempuh dalam waktu 3 jam menggunakan kapal penumpang. Kemudian, perjalanan dari Lasalimu ke kota Bau-Bau membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam. Perjalanan menuju Kendari, ibukota Propinsi Sultra, bisa dilanjutkan dari Bau-Bau dengan menggunakan kapal super jet selama 4-5 jam atau kapal reguler lain dengan waktu tempuh yang lebih lama daripada super jet. Selain itu, pelabuhan Bau-Bau juga merupakan pelabuhan singgah kapal seperti dari Makasar ke Maluku dan Irian atau jalur sebaliknya. Desa Mola Utara merupakan wilayah dengan topografi yang datar, sejajar dengan permukaan laut. Hal ini dikarenakan daratan yang ada di Desa Mola Utara merupakan hasil reklamasi yang berasal dari timbunan batu karang yang secara sengaja dibuat oleh penduduk. Reklamasi laut ini mulai dilakukan sejak tahun 1970-an. Kegiatan reklamasi dimulai dengan menumpuk batu karang dibawah rumah panggung penduduk. Rumah yang dekat dengan darat dibentuk dari timbunan batu karang setinggi 2,5-3 meter. Penimbunan laut ini juga dilakukan untuk fasilitas umum seperti jalan desa
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
11
dan masjid. Reklamasi laut yang dilakukan oleh penduduk Desa Mola Utara rawan terhadap bahaya banjir saat air pasang. Oleh karenanya timbunan untuk wilayah yang berhadapan dengan laut, bisa mencapai 3-4 meter. Proses reklamasi laut Desa Mola Utara yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun, menyebabkan desa ini sudah tidak memiliki kawasan pantai. Reklamasi pantai ini telah menutup laut sampai 50 meter dengan panjang pantai 200 meter. Desa Mola Utara mengenal dua musim yaitu musim angin barat dan musim angin timur. Musim angin barat biasa terjadi pada bulan Oktober sampai bulan April dan identik dengan musim penangkapan ikan karang. Musim angin timur biasa terjadi sekitar bulan Mei sampai bulan September. Pada musim angin timur, nelayan banyak menangkap ikan tuna, cakalang atau tongkol. 2.2. Kondisi SDA Belum ada data yang tepat untuk menjelaskan berapa luas Desa Mola Utara. Menurut kecamatan dalam angka, luas Desa Mola Utara adalah 2,30 km 2 atau kurang dari satu persen (0,51 persen) dari luas Kecamatan Wanci. Tetapi menurut kepala Desa Mola Utara, daratan yang terbentuk dari reklamasi laut hanya seluas satu hektar (10.000 m 2). Lahan seluas ini telah dipenuhi dengan permukiman penduduk. Desa Mola Utara tidak memiliki potensi sumber daya alam darat karena pada dasarnya tidak memiliki lahan. Tanah buatan yang terbentuk dari batuan karang tidak bisa ditanami karena mengandung kapur yang cukup tinggi. Hanya terdapat 3 pohon besar yang terletak di sepanjang jalan utama. Selebihnya hanya tanaman dalam pot yang ditanam oleh penduduk. Penduduk Desa Mola Utara sangat tergantung pada desa-desa sekitar1 untuk memenuhi kebutuhan akan sayur mayur dan buah-buahan. Wilayah perairan Desa Mola Utara dekat dengan kawasan karang yang membentang dari karang Kapota sampai karang Binongko. Kawasan karang ini merupakan daerah yang kaya dengan sumber daya laut. Menurut sejarah suku Bajo, nenek moyang mereka memiliki sebagian wilayah karang tersebut yaitu dari karang Kapota sampai karang Kaledupa yang dipergunakan sebagai tempat mencari ikan. Sampai saat ini, kawasan karang tersebut masih menjadi tujuan utama untuk mencari ikan dan biota laut baik bagi nelayan di kawasan Wakatobi maupun nelayan dari luar Wakatobi seperti dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah atau Sulawesi Tenggara. Kekayaan alam dan keindahan terumbu karang di sepanjang karang Kapota sampai Binongko cukup terkenal sebagai daerah wisata bahari. Menurut informasi dari Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, pengembangan wisata bahari di kawasan Wakatobi baru terfokus di empat tempat yaitu resort Wangi-Wangi (Pulau WangiWangi), resort Kaledupa (Pulau Hoga), resort Tomia (Pulau Tolondono) dan resort Binongko (Pulau Binongko). Pengembangan pariwisata khusus di Desa Mola Utara belum ada, walaupun terdapat dua lokasi yang cukup potensial untuk dikembangkan yaitu Otouwe dan Usunu yang terletak di Pulau Kapota. Otouwe dapat dijangkau dari Mola Utara dengan sampan dayung selama 10 menit. Sedangkan, untuk pergi ke Usunu memerlukan waktu 1-2 jam dengan memakai sampan dayung. Kondisi terumbu karang di kawasan karang Kapota saat ini telah mengalami kerusakan. Kerusakan karang ini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia (anthropogenic) daripada kerusakan karena faktor alamiah. Kerusakan yang disebabkan 1
. Desa-desa sekitar Desa Mola Utara selain Desa Mola Selatan seringkali disebut sebagai ‘daratan’.
12
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
oleh manusia diidentifikasi karena penangkapan ikan yang menggunakan bahan/alat yang merusak seperti bom dan potas. 2.3. Kependudukan Bagian ini akan menguraikan bagaimana potensi sumber daya manusia (SDM) di Desa Mola Utara baik dalam jumlah dan komposisi penduduk serta kualitas SDM yang terlihat dari tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk. Selain itu mobilitas penduduk Desa Mola Utara akan dijelaskan pada bagian akhir. 2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk Menurut monografi desa tahun 1999/2000 jumlah penduduk Desa Mola Utara sebanyak 2.320 jiwa dan terdiri dari 429 KK. Sedangkan perincian penduduk menurut jenis kelamin terdiri dari 1.189 (51 persen) perempuan dan 1.131 (49 persen) laki-laki. Tabel 2.1. memperlihatkan komposisi penduduk Desa Mola Utara menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Desa Mola Utara merupakan desa yang paling padat di Kecamatan WangiWangi. Tingkat kepadatan penduduk Desa Mola Utara adalah 1.007/ km 2. Dari kondisi di lapangan terlihat, rumah penduduk dibangun saling berdempetan karena terbatasnya lahan hasil reklamasi. Selain itu, tidak jarang satu rumah didiami oleh 2-3 keluarga. dari hasil survei terlihat bahwa dalam satu rumah bisa ditinggali sampai 14 orang. Persentase terbanyak jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah adalah 4 orang (16,8 persen), yang diikuti dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 7 orang (12,9 persen). Tabel 2.1 Komposisi Penduduk Desa Mola Utara Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 1999/2000 Kelompok umur
Laki-laki
Perempuan
0-12 bulan 12 115 13 bulan-4 tahun 105 120 5-6 135 135 7-12 140 138 13-15 130 130 16-18 220 230 19-25 140 201 26-35 95 104 36-45 76 80 46-50 25 32 51-60 3 4 61-75 75 keatas Jumlah 1131 1189 Sumber : Monografi Desa Mola Utara tahun 1999/2000
Jumlah 27 225 270 278 260 450 391 199 156 57 7 2320
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
13
Menurut data Kecamatan Dalam Angka tahun 1999, laju pertumbuhan penduduk Desa Mola Utara tahun 1990-1999 adalah sebesar 1,92 persen. Tingkat pertumbuhan ini lebih rendah dari tingkat pertumbuhan penduduk Kecamatan Wangi-Wangi yang tercatat sebesar 2,82 persen. Tabel 2.2. memperlihatkan perkembangan jumlah penduduk Desa Mola Utara sejak tahun 1994-1999. Tabel 2.2 Laju Pertumbuhan Penduduk Desa Mola Utara 1990 – 1999 Tahun Jumlah penduduk 1990 1.951 (sampai 31 okt 1990) 1994 1.963 1995 1.974 1996 2.278 1997 2.281 1998 2.305 1999 2.315 (sampai 31 desember 1999) Sumber : Kecamatan Wangi-Wangi Dalam Angka 1999. Mayoritas penduduk Mola Utara bekerja sebagai nelayan. Keadaan ini terlihat jelas dari hasil survei data dasar aspek sosial terumbu karang menyebutkan bahwa sekitar 73 persen penduduk bekerja sebagai nelayan baik sebagai nelayan punggawa, nelayan keluarga, nelayan penyewa atau sebagai anak buah kapal (ABK). Untuk lebih jelasnya, tabel 2.3 memperlihatkan hasil survei tersebut. Tabel 2.3 Pekerjaan Utama Responden di Desa Mola Utara Sebulan Terakhir, 2001 Pekerjaan utama sebulan terakhir Persentase (%) Nelayan Punggawa 5,6 Nelayan keluarga 63,4 Nelayan penyewa kapal/bagi hasil 2,8 Anak buah kapal (ABK) 1,4 Pedagang 17,0 Lainnya 9,8 Total 100 Sumber : Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Nelayan Mola Utara memiliki diversifikasi pekerjaan yang relatif banyak. Hampir sepanjang tahun mereka bisa mencari ikan di laut dengan mencari jenis ikan yang berbeda. Pada saat musim ikan hidup, kebanyakan mencari ikan hidup, apabila musim melaut ikan hidup selesai mereka akan mencari ikan tuna atau pergi mencari ikan hiu di Pepela, NTT. Nelayan yang ada di Mola Utara dibedakan berdasarkan alat tangkap dan jenis ikan yang ditangkap. Berdasarkan alat tangkap nelayan dibagi menjadi nelayan pancing, jaring dan nelayan yang memakai bahan yang merusak seperti bom dan potas. Nelayan pancing biasa menangkap ikan hidup dan ikan tuna. Sedangkan nelayan jaring menangkap ikan dasar seperti ketamba dan moma.
14
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Kebanyakan penduduk Bajo menganggap keluarga ul as masih memiliki peran yang besar dalam kehidupan mereka. Hal ini diantaranya disebabkan masih banyak keluarga inti yang tinggal bersama dengan keluarga luas. Dalam kehidupan suku Bajo tidak pernah mengenal adanya ketentuan kapan mereka harus meninggalkan keluarga luas. Pertimbangan utama untuk berpisah dari keluarga luas adalah kemampuan ekonomi untuk membangun rumah sendiri. Terkadang keputusan untuk pindah diputuskan oleh keluarga luas, termasuk juga membantu apabila ada kesulitan keuangan untuk pembangunan rumah. Biasanya keluarga-keluarga ini membangun rumah di sekitar rumah keluarga luasnya. Kepala keluarga (KK) terutama tetap dipegang oleh laki-laki. Biasanya yang menjadi KK perempuan hanya kaum wanita yang menjadi janda. Akan tetapi, karena beberapa pekerjaan melaut membutuhkan waktu berbulan-bulan, sebagian kaum perempuan menjadi kepala keluarga untuk sementara waktu. Menurut seorang informan, sekurangnya terdapat 50 persen jumlah KK perempuan di Mola Utara pada saat penelitian. Biasanya mereka adalah kaum wanita yang ditinggal suaminya selama 3-4 bulan untuk mencari ikan hiu di Pepela (NTT) atau mencari ikan/lobster/penyu di kawasan Maluku dan Papua. Selain itu ada juga laki-laki yang merantau ke Malysia sebagai TKI. Mereka meninggalkan keluarganya selama 2-3 tahun. Sebagian KK perempuan mengambil alih kegiatan mencari nafkah yang biasa dilakukan oleh para suami di sekitar desa. Hal ini terjadi karena terkadang para suami tidak mengirimkan hasil kerja mereka secara rutin. Untuk menjaga keberlangsungan hidup, para KK perempuan bekerja mencari batu atau pasir sebagai tumpuan nafkah sehari-hari. Pekerjaan ini dipilih karena memerlukan waktu kerja yang sedikit dan memberikan penghasilan yang lumayan. Hampir semua (99 persen) penduduk Mola Utara adalah suku Bajo yang berasal dari Mantigola. Suku lain yang mendiami Desa Mola Utara adalah suku Jawa, Bugis dan Buton. Suku lain yang tinggal di Desa Mola Utara lebih berdasarkan karena perkawinan. Suku Bajo masih memegang adat istiadatnya Bajo yang diwarisi secara turun temurun. Penduduk Desa Mola Utara 100 persen menganut agama Islam. Menurut informan kunci agama Islam sudah dianut oleh suku Bajo sejak berkembangnya ajaran agama Islam dari Malaka sebelum bangsa Portugis datang. Banyak kebudayaan Arab yang juga diserap oleh suku Bajo seperti dengan penggunaan mata uang real sebagai mas kawin. Untuk upacara perkawinan selain memakai hukum Islam, biasa juga dirayakan dengan memakai adat Bajo. Kegiatan lain yang berlandaskan hukum Islam adalah upacara kematian. Selama ini tidak pernah terjadi masalah yang disebabkan karena agama. 2.3.2. Kualitas Sumber Daya Manusia Pendidikan dan ketrampilan Tingkat pendidikan penduduk Desa Mola Utara relatif rendah, ini terlihat dari data monografi Desa Mola Utara yang menunjukkan jumlah penduduk yang mempunyai pendidikan SD sederajat sebanyak 955 orang. Informasi serupa terlihat dari hasil survei menunjukkan bahwa 49 orang (48,5 persen) belum/tidak sekolah. Sedangkan yang pernah bersekolah SD tapi tidak tamat sebesar 29,7 persen dan yang tamat SD 15,8 persen. Sementara itu yang berpendidikan SLTP tamat dan lebih tinggi dari SLTA hanya 6 persen (tabel 2.4).
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
15
Tabel 2.4 Komposisi Penduduk Desa Mola Utara Menurut Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan SD sederajat 425 530 SLTP 50 75 SLTA 35 55 Akademi 1 2 Universitas/PT 3 5 Sumber : Monografi Desa Mola Utara tahun 1999/2000
Jumlah 955 125 90 3 8
Rendahnya tingkat pendidikan penduduk juga terlihat dari tingkat buta aksara dan latin yang cukup besar. Tabel berikut memperlihatkan data jumlah buta aksara dan latin yang tercatat dalam Monografi Desa Mola Utara tahun 1999/2000 (tabel 2.5). Selain itu, tingkat drop out di Desa Mola Utara cukup tinggi yaitu 15 persen dari anak usia sekolah 7-12 tahun (Kecamatan Wangi-wangi, 1999). Dari jumlah anak 447 orang, yang masih bersekolah berjumlah 338 orang dan yang tidak sekolah 64 orang. Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Desa Mola Utara yang Buta Aksara dan Latin Laki-laki Perempuan 7-12 tahun 40 65 13-15 tahun 35 30 16-20 tahun 24 40 21-25 tahun 25 36 > 25 tahun 258 302 Jumlah 382 473 Sumber : Monografi Desa Mola Utara tahun 1999/2000
Jumlah 105 65 64 61 560 855
Beberapa hal yang mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya tingkat DO masyarakat Desa Mola Utara antara lain:
•
Alasan untuk membantu keluarga. Kebanyakan anak usia sekolah yang drop out akan segera melaut untuk membantu ekonomi keluarga. Alasan ini biasanya diajukan oleh anak laki-laki. Sementara itu anak perempuan mengajukan alasan bahwa dia harus menjaga adik-adiknya.
•
Motivasi pendidikan orang tua dan anak rendah. Motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak sangat rendah. Hanya sedikit dari orang tua yang mendukung anaknya untuk tetap melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Motivasi orang tua akan pendidikan yang rendah dapat diketahui dari tidak pedulinya orang tua akan pendidikan anak mereka. Seringkali anak membolos, orang tua tidak tahu karena terlalu sibuk bekerja. Disamping itu, motivasi anak untuk terus belajar juga sangat rendah. Mereka lebih suka bekerja membantu orang tua menjadi nelayan karena bisa menghasilkan uang. Rendahnya motivasi anak juga dikarenakan anak tidak memiliki seragam atau sepatu, atau mereka malu karena belum membayar sekolah atau karena usia yang sudah dianggap ‘tua’.
Fasilitas pendidikan yang tersedia di Desa Mola Utara hanya setingkat sekolah dasar. Di Desa Mola Utara terdapat 2 SD negeri dan 1 Madrasah Ibtidaiyah (MIS) milik LKMD. Madrasah Ibtidaiyah (MIS) dahulu dimiliki oleh yayasan Qaryatul Bahri, akan 16
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
tetapi karena perkembangannya tersendat maka diambil alih oleh LKMD. Fasilitas pendidikan di MIS sangat memprihatinkan. Dengan jumlah siswa 327, hanya terdapat 4 buah ruang kelas dan jumlah guru yang mengajar hanya 3 orang. Guru harus mengajar kelas 1-6 secara bergantian di ruang kelas yang sangat terbatas. Biaya pendidikan yang ditetapkan untuk siswa MIS adalah uang BP3 sebesar Rp 1.000 per bulan. Uang ini dikelola oleh BP3 untuk pengadaan baju seragam atau sepatu bagi murid yang tidak mampu. Dengan uang BP3 sebesar Rp 1. 000, masih banyak siswa yang tidak mampu membayar. Disamping pendidikan formal, penduduk Desa Mola Utara juga meningkatkan pengetahuan mereka melalui pendidikan non formal seperti kursus bahasa Inggris, pembinaan keagamaan dan kader kepemimpinan yang diadakan oleh pemuda masjid. Kegiatan ini merupakan inisiatif dari beberapa pengurus pemuda masjid yang dengan antusias diikuti oleh pemuda Desa Mola Utara. Terdapat sekitar 20-30 orang pemuda yang ikut aktif dalam kegiatan ini. Akan tetapi kegiatan ini hanya sempat berjalan selama beberapa bulan saja dan kemudian terhenti. Kondisi ini disebabkan tidak adanya sponsor yang memberikan dukungan material sehingga pengurus kegiatan ini juga harus menanggung biaya operasional. Hal ini dirasakan memberatkan pengurus. Oleh karena itu kemudian kegiatan ini terhenti dan pengurusnya berkonsentrasi mencari ikan untuk kepentingan pribadi. Selama ini usaha untuk meningkatkan ketrampilan lebih pada usaha informal yang bisa dipakai untuk menularkan hal positif atau negatif. Untuk hal yang positif terlihat dari antusiasme nelayan untuk belajar mengenai pembuatan rumpon yang bisa dipakai untuk meningkatkan pendapatan mereka. Akan tetapi, karena pembuatan rumpon membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka kegiatan ini pun terhenti. Sementara itu untuk hal yang negatif terlihat dari pemakain bom dan potas yang secara tidak langsung ditularkan, seperti pembuatan bom dari orang tua pada anaknya dan pemakaian potas dari nelayan luar Wakatobi pada nelayan Mola Utara. Kesehatan Kondisi kesehatan penduduk Mola Utara relatif baik, ini terlihat dari tidak adanya penyakit berat yang diderita penduduk. Penyakit umum di desa ini adalah demam, flu dan diare. Demam dan flu biasanya terjadi pada saat pergantian musim angin. Sedangkan diare terutama terjadi pada saat musim buah sekitar bulan OktoberNopember. Diare lebih banyak diderita anak-anak karena konsumsi buah yang tidak higienis. Kematian ibu melahirkan sudah tidak pernah terjadi di Mola Utara. Prasarana kesehatan di Desa Mola Utara sangat terbatas, ada satu Bidan desa, sedangkan Pustu hanya terdapat di Desa Lia. Biasanya masyarakat datang ke bidan desa untuk kasus -kasus yang lebih bersifat pertolongan pertama dan pengobatan ringan. Untuk kasus melahirkan, penduduk Mola Utara akan memanggil dukun bersalin yang sudah terlatih, kemudian baru memanggil bidan desa. Posyandu dilaksanakan setiap sebulan sekali hanya untuk imunisasi bagi balita. Untuk penyakit-penyakit gawat biasanya penduduk Mola Utara pergi ke Puskesmas atau ke Rumah sakit yang ada di Desa Mandati yang hanya berjarak sekitar 1 kilometer. Puskesmas relatif dekat bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Sedangkan untuk menjangkau rumah sakit di Mandati penduduk Mola Utara harus naik ojek atau mobil angkutan umum. Menurut bidan desa, rata-rata kelahiran dan kematian bayi per tahun cukup tinggi. Angka kelahiran rata-rata 5 kelahiran dalam sebulan. Tingginya angka kelahiran
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
17
dikarenakan menurut bidan desa, banyak pasangan usia subur yang tidak ber-KB terutama setelah masa krisis. Hal ini karena harga obat untuk suntik KB dan implant yang biasa dipakai penduduk menjadi sangat mahal sampai 5 kali lipat dari harga sebelum krisis. Angka kematian bayi relatif tinggi yaitu 6 kematian dalam satu tahun. Tingginya angka kematian bayi ini kemungkinan besar disebabkan terlambatnya penanganan dari bidan dalam proses melahirkan. Biasanya proses melahirkan ditangani terlebih dahulu oleh dukun bersalin baru oleh bidan. Penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan nelayan di laut, misalnya mata merah karena terkena percikan air laut biasa terjadi pada nelayan ikan tuna karena harus melihat pada jarak jangkauan yang cukup jauh. Untuk penyembuhan penyakit mata merah ini, nelayan lebih suka pergi ke bidan desa. Penyakit lain yang berhubungan dengan aktivitas menyelam seperti tuli jarang terjadi di Mola Utara. Beberapa tahun yang lalu pernah terjadi nelayan yang cedera tangan (buntung kedua tangan) sebagai akibat memakai bom dalam menangkap ikan. Untuk berobat, masyarakat Mola Utara bisa memanfaatkan JPS kesehatan. Biasanya masyarakat berobat ke bidan dan mengambil obat di puskesmas. Program JPS ini diberikan kepada 205 keluarga. Mulai tahun 1999, kartu sehat dimiliki sekitar 170 penduduk. Akan tetapi selama ini kartu kesehatan tidak pernah dimanfaatkan. Hampir setiap hari penduduk Desa Mola Utara makan ikan. Menurut mereka, apabila sehari tidak makan ikan berarti mereka belum makan. Ikan yang dikonsumsi biasanya diambil dari ikan sisa hasil penjualan atau sisa umpan. Ikan sisa umpan yang dikonsumsi bukanlah ikan yang busuk tapi ikan segar yang dipakai sebagai umpan untuk mencari ikan tuna. Biasanya ikan yang dipakai sebagai umpan adalah ikan layang atau tembang. Ikan umpan ini dibeli di rumpon dalam keadaan hidup, sehingga setelah selesai melaut, ikan umpan masih segar karena belum sampai 12 jam. Bila sampai tidak ada sisa umpan biasanya nelayan mengambil ikan hasil tangkapan mereka, tapi apabila hasilnya berupa ikan besar-tuna, mereka jual terlebih dahulu kemudian mereka membeli ikan dari pasar. Bila ada ikan busuk biasanya sudah tidak dikonsumsi lagi tapi dibuang ke laut. Produksi ikan hidup tidak untuk konsumsi, biasanya langsung dijual ke “bos”. Fasilitas yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan seperti MCK (pejambanan) dimiliki oleh hampir setiap rumah tangga. Tetapi kebanyakan bukan dalam bentuk yang permanen, bentuk MCK yang dibangun biasanya berupa bilik bambu dengan jamban cemplung. Septic tank dibangun dibawah bilik ini dengan pembatas batu karang. Hanya beberapa MCK permanen dibangun di bangunan-bangunan yang telah permanen. Di Desa Mola Utara tidak tersedia fasilitas pembuangan sampah. Selama ini, penduduk langsung membuang sampah kelaut. Akan tetapi pasang surut air laut membawa sampah masuk ke dalam parit-parit yang ada di sekitar jalan desa. Hal ini membuat banyak sampah yang teronggok di parit yang ada di sekeliling desa dan mengotori pemandangan. 2.3.3. Mobilitas Penduduk Desa Mola Utara (dahulu bernama Mola) mulai didiami oleh suku Bajo mulai tahun 1958. Nama Mola sendiri berasal dari ‘kumolo’ yang berarti terperosok. Saat itu, ada seorang penduduk asli Wanci yang terperosok dalam kubangan dan berteriak kumolo. Karena tidak mengetahui artinya, orang Bajo menangkap sebagai kumola. Dari kata inilah kemudian suku Bajo menamai desa tempat mereka mendarat sebagai Desa Mola.
18
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Suku Bajo yang datang ke Mola adalah suku Bajo yang tinggal di Mantigola, Kaledupa. Mereka memiliki penghidupan yang relatif baik dan telah menetap di rumahrumah panggung. Akan tetapi pada waktu terjadi pemberontakan DI /TII di Sulawesi, beberapa orang suku Bajo terlibat dengan kelompok DI/TII. Hal ini tidak disukai dan disalah artikan oleh orang darat Kaledupa yang menganggap semua suku Bajo ikut bergabung dengan gerombolan tersebut. Kecurigaan orang Kaledupa berlanjut menjadi teror terhadap orang Bajo. Menurut cerita, apabila ada orang Bajo yang sedang sholat di atas sampan segera ditangkap oleh orang Kaledupa. Lama-kelamaan suku Bajo merasa tidak aman tinggal di Mantigola, sehingga memaksa mereka untuk mencari tempat pemukiman baru. Sebanyak, 300 KK memutuskan untuk pindah ke Desa Sampela (sekarang bernama Desa Sama Bahari) yang masih terletak di Pulau Kaledupa. Mereka hanya transit selama tiga bulan, kemudian mereka memutuskan pindah ke Pulau WangiWangi. Keputusan untuk pindah ke Wangi-Wangi dibuat setelah mendapat informasi yang mengatakan pulau Wangi-Wangi aman bagi suku Bajo. Pilihan untuk menetap di pesisir selatan pulau Wangi-Wangi lebih didasarkan pada lokasi yang paling dekat dijangkau dari Desa Sampela. Pada saat itu di D esa Mandati telah tinggal penduduk asli Mandati dan suku Bajo dalam jumlah kecil. Penduduk Mandati lebih banyak tinggal di daerah perbukitan yang ada di desa tersebut. Sedangkan suku Bajo menetap di kawasan pesisir Mandati. Mereka masih tinggal di sope-sope (perahu layar yang berfungsi sebagai tempat tinggal). Pada waktu orang Bajo datang, Desa Mola masih berdiri diatas laut, belum ada daratan seperti sekarang. Pada awalnya, mereka mendarat di pesisir Desa Mandati yang masih kosong. Untuk sementara Bajo Ma ntigola yang datang tinggal di lambo (rakit yang berfungsi sebagai tempat tinggal). Setelah beberapa bulan menetap di Mola, mereka mulai mendirikan rumah-rumah panggung seperti rumah panggung yang mereka tinggalkan di Mantigola. Pada awal tahun 1970-an, beberapa penduduk Mola juga pindah ke Pepela (NTT) sedikit demi sedikit untuk mencari ikan hiu. Biasanya dimulai dengan kepala keluarga, kemudian setelah mempunyai uang dari pendapatan mencari ikan hiu maka 24 bulan kemudian keluarganya menyusul. Sebagian penduduk Desa Mola Utara sangat mobile. Peta mobilitas orang Bajo dari Desa Mola Utara bisa di lihat pada lampiran (gambar 2.3). Pada tahun 1977 sebagian kecil warga Bajo di Mola pindah ke Tomia karena mencari kualitas kehidupan yang lebih baik. Menurut mereka penghidupan di Tomia jauh lebih santai daripada tinggal di Mola. Selain pindah ke Tomia, pada awal tahun 1980-an, sebagian masyarakat juga ada yang pindah ke Kobaina untuk bekerja menangkap ikan dengan lampara (sejenis pukat harimau). Selain itu, sejak tahun 1985, beberapa orang merantau ke Malaysia dan menjadi TKI disana. Akan tetapi, perantau ke Malaysia biasa pulang ke Mola setiap setiap 2-3 tahun sekali. Setelah tahun 1977, kebanyakan migran keluar desa bersifat sementara dengan alasan utama untuk mencari ikan. Biasanya nelayan pergi melaut selama 2-4 bulan. Mereka pergi ke Pepela, NTT untuk mencari ikan hiu yang lokasinya sampai perairan Australia. Disamping mencari ikan, banyak nelayan yang mencari penyu sampai ke wilayah Maluku dan Papua. Alasan lain meningkatnya jumlah migran sementara adalah untuk berdagang baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Migrasi keluar untuk berdagang telah terjadi sejak tahun 1962. Mereka telah berdagang ke pulau Jawa dengan membawa kopra yang diambil dari Maluku. Jumlah penduduk yang bermigrasi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
19
sementara ini makin berkembang dengan pesat sejak tahun 1980. Pada dekade 1980an banyak penduduk Mola yang berdagang sampai ke Singapura atau Malaysia. Selain migran keluar, sebagian kecil penduduk bermigrasi masuk ke Desa Mola Utara. Umumnya mereka berasal dari Sulawesi Selatan, Buton dan Jawa. Kebanyakan mereka masuk karena alasan perkawinan. 2.4. Sarana, Prasarana dan Aksesibilitas Pulau Wangi-Wangi merupakan pulau yang paling dekat dijangkau dari Pulau Buton dan bisa dikategorikan sebagai kecamatan yang mempunyai akses perdagangan dan produksi perikanan yang paling besar dibanding tiga pulau lainnya di kepulauan Wakatobi. Di pulau ini terdapat pelabuhan yang terletak di kota Wanci yang merupakan pelabuhan cukup besar. Pelabuhan ini melayani bongkar muat barang perdagangan baik dari desa-desa di Wangi-Wangi, dari pulau lain dan bahkan disinyalir beberapa barang selundupan dari Singapura dan Malaysia banyak masuk lewat pelabuhan ini. Nelayan Mola Utara memiliki armada yang bervariasi seperti perahu untuk armada besar sampai sampan kolaka untuk armada kecil. Terdapat 9 buah armada laut dengan kapasitas yang cukup besar yang disebut sebagai perahu karena memiliki tiang layar. Biasanya, perahu memiliki bobot diatas 10 ton dengan kapasitas mesin sekitar 70100 PK. Perahu ini hanya dimiliki oleh “bos” yang ada di Mola Utara, karena harganya yang tidak terjangkau oleh nelayan biasa. Nelayan biasa memakai bodi TS untuk mencari ikan. Bodi TS adalah sampan bermotor dengan bobot 1-2 ton dan kapasitas mesin 12-20 PK. Menurut nelayan, dengan pemakaian bodi TS, wilayah jangkauan mereka untuk mencari ikan menjadi semakin luas dan jauh. Prasarana kenelayanan lain dengan persentase paling besar adalah sampan (sampan kolaka/ kole-kole). Menurut data monografi desa, hampir 86 persen nelayan memiliki sampan kolaka. Penduduk Mola Utara mempergunakan sampan jenis ini tidak hanya untuk mencari ikan atau batu karang akan tetapi juga dipergunakan untuk alat transportasi. Biasanya, mereka membeli bodi dari Lasalimu seharga Rp 500.000. Bodi yang dibeli ini masih sangat sederhana. Kemudian sesampainya di Desa Mola Utara, sampan ini diperlebar untuk meningkatkan kapasitas. Biasanya, nelayan menambah biaya perbaikan sekitar Rp 200.000-300.000 dan perbaikan bodi dilakukan oleh penduduk setempat yang bekerja sebagai tukang perahu. Kebanyakan nelayan Mola Utara memakai alat tangkap tradisional dalam mencari ikan. Alat tangkap yang biasa dipakai adalah pancing, jaring, panah dan tombak. Berdasar survei data dasar terumbu karang tahun 2001, kepemilikan pancing mencapai 69,3 persen yang dipergunakan untuk menangkap ikan karang/hidup atau ikan tuna-cakalang. Pancing relatif banyak tersedia dan mudah didapat di Mola Utara. Beberapa “bos” lokal ikan hidup bahkan menyediakan khusus peralatan pancing bagi nelayan anggota kelompoknya. Selain itu, pancing juga banyak dijual di pasar Sentral yang letaknya hanya sekitar 100 meter dari Desa Mola Utara. Harga pancing tergantung dari besarnya mata kail dan tasi yang dipergunakan. Harga tasi berbagai ukuran berkisar antara Rp. 4.000- 10.000 per gulung. Sedangkan harga mata kail sekitar Rp 10.000 per kotak untuk segala macam ukuran. Biasanya nelayan bisa mempergunakan pancing ini untuk beberapa kali melaut sehingga tidak terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli alat tangkap. Lain halnya dengan jaring yang membutuhkan 2-3 orang dalam operasi penangkapan ikan. Hal ini membuat tingkat kepemilikan jaring lebih kecil, hanya 20
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
sebesar 13,9 persen. Jaring yang biasa dipakai oleh nelayan Mola Utara adalah jaring tasik yang dipakai untuk menangkap ikan laut dalam seperti ikan baronang, ketamba, layang, lolangku dan cumi. Pada saat melaut, pemilik jaring pergi melaut dengan 2 orang ABK yang direkrut secara bergantian. Biasanya yang direkrut menjadi ABK adalah nelayan-nelayan yang tinggal di sekitar rumah pemilik jaring. Selama ini di Desa Mola Utara tidak terdapat tempat pendaratan ikan seperti TPI. Tempat pendaratan ikan adalah kapal-kapal penampung tuna dan pasar Sentral. Kapal-kapal penampung ikan tuna merapat di Desa Mola Utara menunggu nelayan untuk menjual hasil tangkapannya. Selain itu, tempat pendaratan ikan juga dilakukan di pasar Sentral sebagai tempat jual beli ikan bagi masyarakat umum yang buka setiap hari dari pagi sampai sore. Pasar ini terletak di Desa Mandati yang berjarak 100 meter dari Desa Mola Utara. Hal ini mempermudah para istri nelayan untuk segera menjual hasil tangkapan suami mereka. Selain pasar Sentral, penjualan hasil laut juga bisa dilakukan di pasar Wanci, tetapi lokasi pasar Wanci yang relatif jauh, membuat para istri nelayan lebih memilih memasarkan hasil tangkapan di pasar Sentral. Selain itu, para pelele darat dari pasar Wanci telah ‘menjemput bola’ dengan membeli ikan di pasar Sentral. Disamping sarana produksi perikanan, masyarakat Desa Mola Utara memiliki akses terhadap prasarana ekonomi lain seperti bank yang terdapat di Desa Wanci dan satu KUD di Desa Mandati. Baik BPD maupun KUD sama-sama melayani kegiatan simpan pinjam dan pembayaran listrik bagi masyarakat. Kedua fasilitas keuangan formal ini bisa diakses dengan mudah oleh penduduk Mola Utara karena letaknya yang tidak terlalu jauh. Selain akses kelembagaan keuangan formal, lembaga keuangan informal juga berkembang karena kemudahan akses yang ditawarkan. Penduduk Mola Utara mempunyai pilihan untuk memakai jasa pegadaian tidak resmi, peminjaman dengan bunga atau pinjam dari “bos” atau koordinator. Fasilitas ini terbuka untuk masyarakat asalkan mereka memenuhi aturan tertentu. Transportasi yang tersedia terdiri dari transportasi darat dan transportasi laut. Transportasi darat dipenuhi oleh ojek dan mobil angkutan umum. Sebagai contoh biaya ojek dari Desa Mola Utara menuju kantor kecamatan sebesar Rp 1.000. Transportasi laut di desa atau antar desa di kecamatan Wangi-Wangi biasanya memakai sampan kolaka (kole-kole). Sedangkan transportasi laut ke pulau lain seperti Pulau Kaledupa terdapat juga di Mola Utara. Banyak penduduk Mola Utara yang memiliki peralatan elektronik seperti TV, radio, radio tape, kulkas atau VCD. Kebanyakan barang-barang elektronik yang masuk ke Mola Utara adalah barang-barang bekas yang datang dari Malaysia. Sebelum dijual ke masyarakat di cek di tukang reparasi dahulu. Biasanya mutu barang yang masuk realtif masih bagus. Kepemilikan barang elektronik membantu masyarakat Mola Utara untuk mengakses informasi seperti dengan televisi, radio. Akan tetapi masyarakat lebih memakai fasilitas tersebut untuk kepentingan hiburan daripada informasi. Fasilitas komunikasi yang tersedia di Mola Utara adalah adanya jaringan telepon dan SSB. Terdapat satu wartel di Desa Mola Utara. Fasilitas telpon pribadi dimiliki beberapa orang seperti para “bos”, akan tetapi terkadang memerlukan waktu untuk membuat sambungan keluar. Jaringan SSB hanya dimiliki oleh kepala desa. Fasilitas listrik dan air minum telah bisa dinikmati oleh penduduk Desa Mola Utara. PLN mulai masuk ke Desa Mola Utara sejak tahun1987. Hampir seluruh penduduk telah berlangganan listrik. Selama ini rekening listrik dibayar di KUD Huni
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
21
Jaya di dekat pasar Sentral. Terdapat dua perusahaan air minum yang ada di Desa Mola Utara. PAM yang dikelola pemerintah mulai masuk sejak tahun 1989, sedangkan awal tahun 2000 terdapat PAM yang dikelola yayasan Bina Insani. Dengan adanya dua PAM ini, bisa dikatakan seluruh masyarakat Mola Utara memiliki akses untuk memakai fasilitas air bersih ini. 2.5. Kelembagaan Ekonomi, Sosial, Budaya dan Politik di Desa Secara umum terdapat kelembagaan formal dan non formal yang berperan di masyarakat. Selama ini kelembagaan formal yang berlaku selain pemerintahan desa adalah dibentuknya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mulai tahun 2001. Selama ini, kegiatan yang dilakukan oleh BPD adalah mensosialisasikan kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Akan tetapi menurut pengurus BPD, kegiatan yang dilakukan oleh BPD banyak mengalami kesulitan karena ketidak-acuhan masyarakat bahkan juga pengurus. Penunjukan menjadi anggota BPD memberi pekerjaan tambahan yang dianggap sebagai beban karena tidak adanya kompensasi yang sepadan. Sementara ini, BPD telah bekerja dengan membuat kebijakan retribusi untuk kepemilikan armada tangkap yang belum dijalankan oleh pemerintah desa. Selain kelembagaan formal, juga terdapat kelembagaan pemuda berupa kelompok pemuda masjid yang berperan sekaligus sebagai karang taruna. Akan tetapi saat ini tidak ada kegiatan sama sekali, bahkan dianggap sudah mati. Hal ini lebih disebabkan karena tidak adanya dukungan dari tokoh masyarakat pada aktivitas yang dilakukan oleh para pemuda. Kondisi ini membuat para pemuda kemudian sibuk melaut. Kelembagaan informal yang terlihat sangat dominan di Mola Utara adalah kelembagaan nelayan ikan hidup. Selama ini nelayan berkelompok berdasarkan “bos” masing-masing. Di Desa Mola Utara terdapat 5 orang “bos”, yang masing-masing memiliki sekitar 5-10 kelompok nelayan. Hubungan antara “bos”, koordinator dan nelayan bersifat eksploitatif, akan tetapi karena ketergantungan yang besar antara nelayan dengan koordinator dan “bos” membuat hubungan kerjasama ini tetap berjalan. Disamping kelompok nelayan informal, terdapat satu kelompok nelayan yang telah diformalkan menjadi sebuah koperasi nelayan bernama Koperasi ‘Mola Indah’. Koperasi dibentuk untuk menampung anggota kelompok nelayan seorang “bos” di Mola Utara (H. Sabariyah). Kegiatan utama dari koperasi ini adalah memberikan simpan pinjam baik untuk kebutuhan melaut dan pribadi. Pinjaman untuk kepentingan melaut diberikan koperasi untuk kelompok yang akan melaut, biasanya pengembalian pinjaman dilakukan setelah kembali dari melaut dengan sistem bagi hasil. Sedangkan pinjaman untuk pribadi dihitung dengan memakai bunga satu persen setiap bulannya. Walaupun secara formal berbentuk koperasi, akan tetapi kegiatan koperasi ini tidak berbeda dengan kegiatan yang dilakukan “bos” pada nelayannya. Hal ini disebabkan pemegang peran terbesar dalam koperasi tetap “bos” tersebut. Selain kelembagaan ekonomi, partai politik yang dominan di Mola Utara adalah Golkar. Selama ini, penduduk Mola Utara tetap konsisten untuk memilih Golkar yang merupakan partai pemerintah pada jaman Orde Baru. Kefanatikan terhadap partai pemerintah disebabkan karena trauma yang pernah dialami masyarakat Mola Utara pada tahun 1958 ketika masyarakat Bajo dianggap sebagai anggota gerombolan DI/TII. Trauma politik ini membuat penduduk Mola Utara memihak pada pemerintah. Pada peristiwa G 30 S/PKI tidak ada penduduk Mola Utara yang terlibat.
22
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab III Pengelolaan Sumberdaya Laut Sesuai dengan steriotipnya sebagai ‘suku laut’, suku Bajo mempunyai kehidupan dan pekerjaan yang tidak terpisahkan dengan laut. Kebiasaan ini sudah berlaku turun temurun sampai sekarang. Sejak kecil, anak-anak sudah dikenalkan dengan kehidupan laut dan pekerjaan sebagai nelayan. Mulanya mereka, terutama anak laki-laki, diajak melaut untuk membantu orang tua menangkap ikan dan biota laut lainnya. Kemudian mereka mulai bekerja ikut orang tua atau nelayan lain dan selanjutnya sebagian mulai menjadi nelayan yang mandiri. Bab pengelolaan SDL ini memberikan pemahaman secara komprehensif pengelolaan SDL yang dilakukan nelayan suku Bajo. Pemahaman ini dimulai dengan mengetahui pengetahuan masyarakat suku Bajo tentang SDL dan bagaimana mereka mengelola sumber daya alam tersebut. Kemudian analisa dikembangkan pada wilayah pengelolaan untuk mengetahui dimana mereka biasa melaut serta teknologi seperti alat dan armada tangkap yang mereka gunakan serta alasan mengapa mereka menggunakan teknologi tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai kapan dan dimana wilayah pengelolaan SDL, maka analisa ini akan dilihat dari perspektif sejarah. Setelah itu, bagian ini akan memaparkan siapa stakeholer yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan SDL disamping nelayan suku Bajo, apa dan bagaimana hubungan kerja antar stakeholder lainnya dan/atau dalam satu kelompok stakeholder. 3.1. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap Pengelolaan SDL Sebagai ‘suku laut’, nelayan suku Bajo, yang merupakan mayoritas penduduk Desa Mola Utara, mempunyai pengetahuan luas mengenai SDL dan wilayah laut serta keahlian di bidang perikanan tangkap. Pengetahuan dan keahlian ini dipelajari dari ‘oral history’ berupa cerita dari mulut ke mulut dan dari praktek yang langsung mereka lakukan. Dengan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki, suku Bajo dapat mempertahankan kehidupan mereka sebagai nelayan dan mengelola SDL secara bijaksana tanpa melakukan perusakan yang berarti. Sejalan dengan bertambahnya waktu, pengetahuan dan keahlian suku Bajo juga terus berkembang mengikuti perkembangan penduduk, kebutuhan dan teknologi. Karena itu, sebagian pengetahuan dan keahlian yang didapatkan dari generasi sebelumnya sudah tidak dipakai lagi sebab sudah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Akibatnya, sebagain besar nelayan suku Bajo di Desa Mola Utara mulai melupakan pengetahuan dan keahlian yang dulu dimiliki orang-orang tua. Sayangnya pengetahuan dan keahlian suku Bajo ini belum didokumentasikan secara tertulis, padahal pengetahuan dan keahlian tersebut sangat berguna dalam pengelolaan SDL secara berkelanjutan. Dalam studi ini pengetahuan masyarakat suku Bajo diperoleh dari data kuantitatif dan data kualitatif yang dikumpulkan dari wawancara mendalam. Pengetahuan dari survei lebih terfokus pada pengetahuan responden tentang manfaat terumbu karang baik manfaat ekonomi maupun manfaat ekologi. Walaupun data ini diperoleh dari wawancara dengan kuesioner, tetapi pertanyaan dilakukan secara terbuka, sehingga
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
23
responden menjawab sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki dan ingatan sesaat pada waktu mereka ditanya. Jawaban responden ini kemudian oleh peneliti dimasukkan kedalam daftar manfaat yang telah disediakan. Sedangkan pengetahuan yang dikumpulkan dengan pendekatan kualitatif memberikan pemahaman yang lebih luas dari berbagai aspek pengetahuan masyarakat suku Bajo tentang pengelolaan SDL, termasuk terumbu karang, ikan dan biota laut lainnya, dan bagaimana mereka mengaplikasikan pengetahuan dalam kegiatan mereka sehari-hari. 3.1.1. Pengetahuan Tentang Terumbu Karang Nelayan suku Bajo menamakan terumbu karang dalam banyak nama lokal. Terumbu karang dibedakan menurut ukuran seperti ukuran besar disebut garas dan terumbu karang yang kecil dinamakan gegaras (anak terumbu karang). Studi ini mengungkapkan bahwa masyarakat suku Bajo mengetahui banyak jenis terumbu karang, lebih dari 20 jenis jenis, antara lain: lalamai (karang lunak), lalamai (anemone), lalamai (porites), kantapa (podobacia), bubuli (trachyphyllia), batu kikiran (goneastrea), batu kikiran (symphylla), rupai (dendronephthya), babadoh (lambis), bolleh (cyupraea), garas (stylophora), samai (kea), batu kulape (pavona), timpuroh kokok (fungia), batu (euphyllia), batu kulapuk (hellopora), gotal (millepora), siboh (seriatopora), samo halus (echinopora). Manfaat Terumbu Karang Hasil survei pengetahuan suku Bajo tentang manfaat terumbu karang mengungkapkan bahwa semua responden mengetahui manfaat terumbu karang baik manfaat ekologi maupun manfaat ekonomi (Tabel 3.1.). Untuk manfaat ekologi, sebagian besar responden menyatakan bahwa terumbu karang merupakan ‘rumah’ ikan yaitu tempat ikan bertelur dan berkembang biak. Jika tempat ikan tersebut dirusak (dengan bom, bius atau kegiatan lainnya) maka jumlah dan jenis ikan akan berkurang secara tajam karena sudah tidak mempunyai tempat bertelur dan berkembang lagi. Sebab itu, terumbu karang sangat penting bagi ikan, terutama ikan-ikan dan biota yang hidup di karang. Disamping sebagai tempat bertelur ikan, sebagian responden juga mengatakan bahwa terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat berlindung ikan. Tempat berlindung ini sangat diperlukan ikan-ikan dan biota laut yang hidup di karang dari berbagai ancaman, seperti ikan dan biota laut lain yang lebih besar atau nelayan yang menangkap ikan hidup. Sayangnya, tidak ada responden yang menghubungkan tempat berlindung ikan ini dengan fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai dari ombak dan badai. Namun demikian tidak berarti mereka tidak mengetahui fungsi tersebut, tetapi lebih dikarenakan kelemahan dari survei yang tidak melakukan ‘probing’ terhadap pertanyaan manfaat ekologi ini. Keadaan ini dapat diketahui dari hasil pertanyaan kualitatif yang mengungkapkan bahwa sebetulnya nelayan suku Bajo mengetahui bahwa terumbu karang dapat menahan atau mengurangi ombak besar dan badai di pantai.
24
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Tabel 3.1 Pengetahuan Responden Tentang Manfaat Terumbu Karang No.
Manfaat Terumbu Karang
Persentase Responden yang Mengetahui (%)
Manfaat Ekologi 1. Tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan 2. Melestarikan keanekaragaman hayati 3. Melindungi pantai dari ombak dan badai Manfaat Ekonomi
94 74 0
1.
Sumber berbagai bahan baku: makanan, obat33 obatan, kapur, fondasi rumah 2. Nilai ekonomi, perdagangan dan industri 15 3. Objek wisata 4 Sumber : Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Sedangkan untuk manfaat ekonomi, sebagian besar responden menyatakan bahwa terumbu karang dapat digunakan sebagai bahan utama untuk menguruk (mereklamasi atau menimbun laut untuk fondasi (tembok) rumah. Semua rumah permanen di Desa Mola Utara di bangun di atas laut yang telah di timbun dengan batu karang yang diambil dari laut. Umumnya nelayan mengambil sendiri batu (karang) untuk tembok, tetapi sebagian anggota masyarakat, terutama mereka yang tergolong mampu seperti bos-bos, membeli batu tersebut dari anggota masyarakat di desa Mola Utara. Disamping untuk tembok , terumbu karang dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan untuk kapur sirih. Sebagian kecil responden mengungkapkan bahwa terumbu karang bermanfaat sebagai bahan kapur sirih. Biasanya nelayan menggunakan kapur sirih untuk keperluan sendiri, bukan untuk komersil. Walaupun Wakatobi dipromosikan oleh pemda sebagai daerah wisata bahari, hanya beberapa responden yang mengemukakan bahwa terumbu karang di wilayahnya bermanfaat bagi kegiatan pariwisata. Ada beberapa alasan yang dapat menjawab mengapa sebagian besar responden tidak menjawab manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata, antara lain: sosialisasi pariwisata belum begitu intensif sehingga ‘gaungnya’ belum diketahui masyarakat. Alasan lain adalah mereka kurang peduli akan kegiatan wisata karena belum mengetahui dan memahami manfaat pariwisata bahari bagi kehidupan mereka. Akibatnya, walaupun responden mengetahui ada tempat wisata di Hoga (Kaledupa) dan di Tomia, mereka tidak begitu tertarik dengan kegiatan wisata, apalagi untuk ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. 3.1.2. Pengetahuan Tentang Jenis Ikan Disamping manfaat terumbu karang, nelayan suku Bajo mempunyai pengetahuan yang luas mengenai jenis ikan dan biota laut lainnya. Nelayan suku Bajo juga mengungkapkan bahwa disekitar karang Kapota, Kaledupa dan Tomia sangat kaya akan jenis-jenis ikan. Mereka mengidentifikasi lebih dari 30 jenis ikan, antara lain: bansa (ikan putih seperti baronang), lamuduk (seperti bansa tetapi lebih besar), dodoh iga, lausu (ketamba mulut besar), a haang (ikan merah besar), dapak (ikan merah kecil), babakan (ikan merah lebih kecil), ilak (seperti ekor kuning tetapi warnanya coklat),
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
25
bunak (seperti bunak tetapi lebih besar), ampalek (ikan yang tidak bersisik dengan kulit yang keras), kongkeh (ikan berduri), sumpak (sejenis ketambak), baronang, balubak (ikan dengan dada agak tebal), timbungan (ikan yang berjanggut), pilangeng (ikan bertanduk), oras (ikan bertanduk), dan tampai (ikan bertanduk). Disamping itu, masyarakat Desa Mola Utara juga menghubungkan bintang, angin dan musim sebagai petunjuk dalam pengelolaan SDL, seperti:
•
Beberapa bintang memberikan indikasi terjadinya perubahan angin. Misalnya, jika bintang terletak di sebelah timur dan meluncur dengan cepat merupakan pertanda akan terjadi angin kencang.
•
Bulan juga memberikan indikasi hasil produksi perikanan, misalnya jika bulan miring ke selatan maka pertanda hasil ikan akan banyak dan sebaliknya, kalau bulan miring ke utara atau daratan maka hasil laut akan berkurang dan hasil daratan, seperti pertanian akan lebih banyak.
3.1.3. Peraturan Dalam Penangkapan Ikan Dalam menangkap ikan dan hasil laut lainnya, nelayan suku Bajo mempunyai berbagai aturan, mulai dari kapan waktu penangkapan ikan di karang, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama penangkapan ikan berlangsung, upacara-upacara yang dilakukan agar mendapatkan keselamatan dan mendapat hasil produksi yang banyak. Ula-ula Bukak: Waktu Penangkapan Ikan di Karang Walaupun masyarakat suku Bajo boleh menangkap ikan sepanjang tahun, tetapi ada waktu-waktu tertentu dimana mereka boleh atau tidak boleh menangkap ikan yang hidup di karang (khususnya Karang Kapota). Waktu penangkapan ikan di karang ditandai oleh dikibarkannya bendera ‘Ulu-ulu Bukak’ yang dibawa oleh parika (pemimpin armada tangkap). Waktu pengibaran bendera ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama dalam musyawarah suku Bajo yang dipimpin dan/atau diketahui oleh penggawa (pemimpin kampung). Dengan berkibarnya ‘ula-ula bukak’ maka semua nelayan suku Bajo diperbolehkan menangkap ikan di Karang Kapota. Waktu penangkapan selama enam bulan dalam setahun, biasanya pada bulan September atau Oktober sampai dengan bulan April, yaitu pada musim timur. Setelah ‘diolah’ selama enam bulan, karang kemudian ditutup, artinya semua nelayan dilarang menangkap ikan di karang tersebut, khususnya ikan-ikan batu (karang) seperti ikan kerapu dan sunu serta biota laut yang hidup dikarang termasuk penyu. Setelah itu nelayan suku Bajo biasanya menangkap ikan dan biota laut lain yang tidak hidup di karang. Waktu pembukaan dan penutupan karang Kapota dalam kegiatan perikanan ini utamanya bertujuan untuk memberikan kesempatan pada ikan-ikan karang bertelur dan berkembang biak. Hal ini dilakukan berdasarkan pengetahuan masyarakat bahwa karang merupakan tempat bertelur ikan-ikan batu (karang). Dengan demikian, karang Kapota dapat dianalogkan dengan kawasan ‘sanctuary’ bagi suku Bajo. Peraturan yang ditaati oleh nelayan suku Bajo ini secara langsung maupun tidak langsung ‘mengatur’ keseimbangan antara jumlah ikan yang ditangkap dengan pertambahan dan/atau perkembangan ikan-ikan karang. Kebiasaan masyarakat suku Bajo ini mencerminkan kearifan suku Bajo dalam pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan.
26
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Dulunya, aturan waktu membuka dan menutup wilayah tangkap di karang Kapota, karang Kaledupa dan karang Tomia, ditaati oleh nelayan suku Bajo karena aturan ini disepakati bersama masyarakat kampung dalam rapat adat yang dipimpin oleh ‘penggawa’. Tetapi, jika ada nelayan yang menangkap ikan di wilayah karang sebelum dikibarkannya ‘ula-ula Bukak’ maka nelayan yang bersangkutan mendapatkan sanksi. Sanksi yang berlaku berbeda-beda menurut daerah atau kampung, misalnya pelanggaran penangkapan ikan di karang Kaledupa mendapat sanksi pemotongan sebelah daun telinga bagi nelayan yang melanggar. Sedangkan di karang Tomia, sanksinya berupa pencungkilan sebelah mata. Beratnya sanksi yang mengakibatkan cacat tubuh ini cukup efektif menahan nelayan untuk tidak melanggar aturan adat yang berlaku. Sayangnya pada waktu penelitian, aturan penutupan dan pembukaan kawasan karang Kapota, Kaledupa dan Tomia sudah punah, tidak ditaati lagi dan sanksi yang dulunya berlaku efektif sekarang juga sudah tidak berlaku lagi. Lunturnya kebiasaan ini dimulai sejak nelayan suku Bajo pindah ke kampung ini (Desa Mola Utara) setelah ‘terusir’ dari Mantigola karena beberapa dari nelayan terlibat dalam kegiatan gerombolan DI/TII. Suku Bajo Mantigola yang ‘terusir’ ini akhirnya di’terima’ di kampung yang kemudian menjadi Desa Mola Utara dan sejak itu kebiasaan di Mantigola seperti pengibaran bendera tidak dilakukan lagi. Hal ini juga berarti tidak berlakunya aturan pembukaan dan penutupan karang dari kegiatan penangkapan ikan-ikan karang.
Pantangan di Laut Selama melakukan penangkapan ikan di karang, nelayan suku Bajo harus berhati-hati dalam bertindak, ada beberapa kegiatan perikanan yang tidak dapat dilakukan, seperti: •
Nelayan tidak boleh main gendang atau membunyikan tape atau radio karena pemali dan akan membuat mbok Buburah akan marah. Kemarahan mbok Buburah akan mengakibatkan angkara murka berupa gelombang besar dan badai.
•
Nelayan tidak diperkenankan menyentuh jangkar yang telah ‘terdampar’ dan tertanam di karang Kapota karena akan menyebabkan malapetaka berupa angin kencang
•
Nelayan tidak boleh membuang secara langsung lombok, asam, bumbu ikan, sisa nasi dan sisa makanan ke laut. Jika mau membersihkan sisa-sisa bahan makanan tersebut, sebaiknya kotoran ini ditumpahkan dahulu ke lantai kapal atau perahu, baru kemudian disiram air. Pembuangan bahan dan sisa makanan diyakini sebagai tanda membuang rezeki di laut.
•
Nelayan tidak boleh mengambil air dari laut dengan periuk. Mereka harus menggunakan gayung
•
Nelayan tidak diperbolehkan menangkap tripang raksasa dan gurita empat kaki, karena jika biota laut ini lengket di perahu maka perahu akan tenggelam.
Tidak seperti aturan waktu penangkapan ikan dikarang, pantangan-pantangan ini masih terus ditaati oleh nelayan suku Bajo. Mereka ‘takut’ akan penjaga laut terutama mbok Buburah akan murka dan marah sehingga akan berakibat negatif terhadap keselamatan dan hasil tangkapan ikan mereka.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
27
Kegiatan-kegiatan Seremonial Dalam Pengelolaan/penangkapan Ikan dan Hasil SDL Lainnya Sebelum turun kelaut, nelayan suku Bajo biasanya melakukan ‘upacara’ berupa pemberian sesajian kepada penjaga laut. Sesajian berupa sirih, rokok, pinang, kapur dan beras diberikan sebagai upaya nelayan untuk ‘melapor’ pada penjaga laut yang diyakini nelayan suku Bajo terdiri dari empat penjaga dengan tugas dan kekuatan yang berbeda, yaitu: (1) mbok Tambirah yang menjaga kekuatan air, (2) mbok Janggok yang memberikan rezeki dari laut, (3) mbok Dugah’ yang menjaga keselamatan di laut, dan (4) mbok Buburah’ yang memberikan sanksi angkara murka seperti adanya badai dan gelombang air laut. Upacara pemberian sesaji atau dikenal dengan istilah ‘membuang sangal (pinang, sirih) dipimpin oleh s‘ andona’ atau sandro atau parika1. Sebelum sesajian di’buang’ ke laut, sandona memberikan mantra terlebih dahulu pada sesajian tersebut. Lokasi pembuangan ditentukan oleh sandona. Jika daun sirih (yang dilipat bersilah dengan bagian kanan lipatan berada di atas, dikenal dengan lupik sebah) terbalik, keadaan ini merupakan pertanda bahwa nelayan yang bersangkutan akan mendapatkan hasil yang biasa-biasa saja, tetapi jika sirih menghadap ke atas, merupakan pertanda baik, nelayan akan mendapatkan hasil yang banyak. Setelah melepas pinang dan/atau sirih, maka nelayan harus mentaati beberapa pantangan selama 3 hari 3 malam, seperti lombok, timba air langsung dengan periuk (lihat pantangan-pantangan dalam penangkapan ikan). Seterusnya nelayan tidak perlu membuang sesajian lagi jika penangkapan ikan mereka pindah ke tempat yang lain. Tetapi jika diketahui tempat tersebut tidak mempunyai banyak ikan, nelayan dapat pindah ke lokasi yang banyak ikannya dan untuk itu hrus dilakukan pembuangan sesajian lagi. 3.2. Wilayah Pengelolaan SDL Suku Bajo di Desa Mola Utara, sesuai julukannya sebagai ‘suku laut’, melakukan penangkapan ikan dan biota laut lainnya dalam wilayah yang sangat luas, tidak hanya mencakup wilayah desa, tetapi juga melampaui batas kecamatan, kabupaten, propinsi dan wilayah NKRI, melampaui batas negara masuk ke wilayah laut internasional. Wilayah penangkapan ikan dan biota laut bergantung pada beberapa hal, seperti jenis dan musim ikan. 3.2.1. Wilayah Karang Wakatobi (Kapota, Kaledupa, Tomia dan Binongko) Sebagian besar nelayan Desa Mola Utara beroperasi di wilayah karang, termasuk karang Kapota, Kaledupa, Tomia dan Binongko untuk menangkap ikan dan biota laut dan di wilayah tertentu mereka juga mengambil karang dan pasir. Wilayah pengelolaan berdasarkan pemetaan masyarakat dapat dilihat pada lampiran gambar 3.1 dan 3.2. Jenis ikan yang ditangkap di karang adalah ikan-ikan batu (karang) seperti kerapu, sunu napoleon, baronang dan bubara, dan ikan lainnya seperti tuna, cakalang, ketambak, tembang, ekor kuning, ikan laying, papalo dan sabalanak. Waktu tangkap bervariasi antar jenis-jenis ikan, misalnya ikan-ikan batu ditangkap pada musim timur 1
Sandona atau sandro atau parika mempunyai pengetahuan SDL dan melaut yang tinggi. Sandona atau sandro atau parika mempunyai tugas menentukan dimana membuang pinang dan/atau sirih. Dari putaran pinang atau letak lipatan daun sirih, parika mengetahui apakah daerah tersebut banyak ikannya atau tidak.
28
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
(bulan Oktober sampai April) dan alat yang digunakan terutama pancing dan lainnya berupa potas (bius), jaring tasi dan bom. Sedangkan ikan-ikan jenis lain seperti bubara, tembang, baronang, samandar dan ikan layang ditangkap pada musim barat. Alat tangkap yang biasa digunakan untuk menangkap ikan-ikan tersebut adalah pancing, jaring Tasi dan bom. Disamping itu, ada juga ikan-ikan yang tidak mempunyai musim dan dapat ditangkap sepanjang tahun, misalnya tuna, cakalang, ikan panjang atau papalo dan sabalanak. Disamping ikan, nelayan juga mengambil biota laut lain di wilayah karang Wakatobi, utamanya biota yang mempunyai nilai ekonomi, baik untuk dikonsumsi (makan) maupun untuk hiasan atau cendera mata. Biota laut yang dikonsumsi antara lain adalah berbagai jenis udang, kepiting, cumi-cumi, gurita dan teripang. Sedangkan biota yang biasa diambil untuk hiasan adalah berbagai jenis siput, japing, lola dan trompek atau triton. Sedangkan pengambilan batu karang dan pasir, saat penelitian, terkonsentrasi disekitar pulau Usunu dan sebagian kecil Pulau Hoga. Sebelumnya, pengambilan batu terdapat di seputar Pulau Kapota, tetapi karena adanya pelarangan dan semakin terbatasnya batu karang di tempat tersebut, sekarang wilayah pengambilan batu karang semakin sempit. Berbeda dengan batu karang, wilayah pengambilan pasir lebih luas, yaitu di sekeliling Pulau Kapota. 3.2.2. Wilayah Perairan Laut Nasional di Luar Propinsi Sultra Sesuai dengan sebutannya sebagai suku laut, nelayan suku Bajo di Desa Mola Utara tidak hanya beroperasi di wilayah laut Propinsi Sultra, tetapi juga berlayar ke berbagai pelosok tanah air termasuk ke Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya (Papua). Di KTI (Kawasan Timur Indonesia), nelayan suku Bajo dulunya mencari penyu sebagai komoditas utama, disamping mencari lobster dan ikan (kerapu, tuna dan tongkol). Mereka mencari penyu sampai di wilayah laut Maluku dan Papua, hasil tangkapan penyu tersebut dipasarkan di Pulau Bali yang merupakan konsumen terbesar penyu di Indonesia. Pada waktu penelitian dilakukan, intensitas kegiatan penangkapan penyu telah mengalami penurunan secara drastis karena larangan pemerintah menangkap penyu dan adanya pengawasan yang cukup ketat di perairan Pulau Bali. Hanya beberapa nelayan yang masih melakukan kegiatan ini secara sembunyisembunyi dan untuk itu mereka ber’kolaborasi’ dengan beberapa aparat sehingga tetap dapat mengantarkan hasil tangkapan pada langganan mereka di Bali. Dengan dilarangnya penangkapan penyu, maka konsentrasi nelayan Bajo sekarang adalah menangkap lobster dan ikan. Luasnya wilayah tangkap nelayan suku Bajo mulai ‘terusik’ terutama karena adanya kerusuhan di berbagai daerah. Sebagai contoh kerusuhan di Ambon dan Maluku Utara memberikan pengaruh yang cukup besar bagi nelayan Bajo. Mereka sudah tidak dapat secara leluasa menangkap ikan di perairan tersebut atau mendarat di pulau sebagai akibat terjadinya kerusuhan. Demikian juga dengan kerusuhan di Papua juga membuat nelayan prihatin karena kerusuhan menghambat kegiatan perikanan mereka. Kalaupun nelayan melaut di wilayah-wilayah ini, mereka harus ekstra hati-hati jika ingin tetap selamat.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
29
3.2.3. Wilayah Perairan Laut Internasional Wilayah tangkap nelayan suku Bajo di Desa Mola Utara sangat luas dan jauh melampaui batas negara sampai di perairan laut Australia (lihat lampiran gambar 2.3). Kegiatan melaut sampai negeri Kanguru ini sudah dilakukan sejak akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an dan masih berlangsung sampai sekrang. Tujuan utama adalah menangkap ikan hiu untuk diambil siripnya yang berharga sangat tinggi. Untuk mencapai Australia, nelayan Bajo transit di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Papela. Biasanya nelayan suku Bajo berangkat ke Papela pada bulan Juni dan baru kembali ke desa ini pada bulan Oktober. Sebagian nelayan Bajo yang melaut ke Australia ditangkap aparat keamanan laut Australia karena tidak mempunyai izin. Tetapi ada kasus dimana aparat dari pemerintah Australia, menurut informan kunci, yang bertindak ‘curang’ karena mereka dengan sengaja ‘memancing’ nelayan suku Bajo untuk memasuki wilayah Australia, padahal sebelumnya mereka masih diwilayah perairan Indonesia. Setelah nelayan masuk wilayah perairan negara ini mereka kemudian di tangkap. ‘Kelakuan’ aparat pemerintah Australia ini dilaporkan kepada yang berwenang karena ada nelayan Bajo yang mempunyai alat deteksi untuk mengukur posisi kapal mereka, sehingga data ini dapat dijadikan bukti kuat oleh nelayan Bajo. Akibatnya, mereka bisa bebas dan aparat tersebut mendapat sanksi dari pemerintah Australia. 3.3. Teknologi Pengelolaan SDL Kegiatan nelayan suku Bajo di Desa Mola Utara dalam penangkapan ikan dan biota laut menggunakan teknologi dengan berbagai armada dan alat tangkap, mulai dari yang masih sangat sederhana sampai armada yang cukup modern dengan peralatan yang beragam. Teknologi penangkapan bervariasi antar nelayan dan pengusaha perikanan dan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan waktu dan teknologi. Mulanya nenek moyang suku Bajo Desa Mola Utara tinggal di Sope (rumah di atas rakit di laut), mereka menggunakan kapal yang masih sangat sederhana, dikenal dengan nama kole-kole (perahu dayung) dan alat tangkap tradisional berupa panah, sarubah (panah yang bercabang lima) dan ambai berupa serok besar berupa jaring (3-5 inchi) dengan tali yang cukup panjang sekitar 500 meter. Armada dan alat tangkap yang sederhana ini mencerminkan tingkat teknologi yang dipakai masih rendah, mereka masih menggunakan bahan-bahan dan peralatan yang alamiah yang dibuat berdasarkan pengetahuan dan kebiasaan tradisional suku Bajo saat itu. Keadaan ini juga berimplikasi pada produksi yang dihasilkan nelayan masih terbatas, demikian juga dengan dampak penggunaan peralatan tradisional tersebut pada ekosistem terumbu karang, termasuk ikan dan biota-biota lautnya juga masih sangat minim. Dengan demikian, nenek moyang suku Bajo dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian ekosistem terumbu karang, khususnya dan SDL pada umumnya. Kearifan nelayan suku Bajo sayangnya mulai ‘tekontaminasi’ sejak zaman penjajahan Jepang (tahun 1942-1945) karena nelayan mulai dikenalkan oleh tentara Jepang dengan bahan peledak ‘bom’ untuk menangkap ikan. Nelayan diperintahkan untuk memenuhi kebutuhan ikan tentara Jepang, tetapi nelayan tidak mampu memenuhi karena banyaknya konsumsi ikan tentara. Untuk mendapatkan banyak ikan dalam waktu pendek, nelayan di’ajari’ tentara Jepang bagaimana membuat dan menggunakan bom.
30
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Pelajaran ini diperaktekan nelayan suku Bajo, tetapi pada tahun 1970-an kegiatan pengeboman mulai berkurang karena banyak nelayan suku Bajo yang berlayar ke Australia mencari sirip ikan hiu. Namun demikian sampai penelitian ini dilakukan penggunaan bom oleh nelayan suku Bajo di desa ini masih terus berlangsung, tetapi jumlah pengebom berkurang drastis tinggal beberapa nelayan saja (lokasi pengeboman di wilayah Wakatobi dapat dilihat pada lampiran gambar 3.3). Perkembangan teknologi selanjutnya terjadi pada pertengahan 1960-an ketika nelayan mulai dikenalkan dengan pancing dan jaring bermata besar untuk menangkap ikan hiu. Untuk penangkapan ikan hiu, armada yang digunakan berbeda dengan armada sebelumnya (kole-kole). Kapal yang digunakan mempunyai kapasitas yang lebih besar dan dengan kemampuan yang juga lebih besar, mengingat wilayah tangkap tidak lagi di Mola melainkan sudah melampau batas propinsi. Disamping mulai penangkapan ikan hiu, tahun ini juga merupakan momentum bagi suku Bajo karena masyarakat suku Bajo mulai mengambil batu karang untuk konsumsi mereka sendiri. Pada akhir tahun 1960-an, nelayan suku Bajo mulai mengenal sampan Kalongko (sampan berlayar yang dirancang khusus pada satu ujungnya di buat kotak yang diberi lubang sehingga air laut dapat keluar masuk di kotak tersebut. Kotak ini berfungsi sebagai ‘kerambah’ yang merupakan tempat menyimpan ikan hidup. Dengan mulai dikenalnya ‘kerambah’ berarti nelayan mulai memahami pentingnya ‘nilai’ ikan hidup. Manfaat ‘kerambah’ dalam sampan adalah nelayan dapat mengambil ikan lebih banyak dari sebelumnya dan dapat menampung ikan hidup dalam waktu yang juga lebih lama. Awal tahun 1970-an juga merupakan momen yang penting bagi nelayan suku Bajo karena ada dua even penting bagi mereka. Kegiatan pertama adalah mulai berkembangnya era usaha penangkapan ikan hidup. Sebetulnya upaya penangkapan ikan hidup sudah dimulai sejak akhir tahun 1960-an (diindikasikan dengan adanya sampan kalongko). Kegiatan kedua adalah mulai dibangunnya rumah batu oleh masyarakat suku Bajo yang sebelumnya hidup di sope dan/atau rumah kayu di atas laut. Dengan dibangunnya rumah batu ini, berarti kebutuhan akan batu (karang) semakin banyak karena untuk membuat fondasi rumah permanen dibutuhkan banyak batu (karang) yang ditimbun di laut (reklamasi). Batu-batu tersebut tentu saja diambil dari laut, baik batu karang yang masih hidup maupun yang sudah mati. Alat tangkap berkembang terus, pada periode 1980-an terdapat tiga perkembangan penting, yaitu pada awal, pertengahan dan akhir tahun 1980-an. Perkembangan yang terjadi meliputi tempat penangkapan dan bahan yang digunakan dalam menangkap ikan serta mesin kapal yang merubah kapasitas dan kemampuan armada tangkap. Pada awal tahun 1980-an nelayan suku Bajo mulai mengetahui ‘rumpon’, yaitu tempat yang terbuat dari kayu dan ditanam di laut, berfungsi sebagai tempat berkumpulnya ikan. Dengan mengenal rumpon, nelayan semakin familiar dengan jaring Tasi (yang dikenalkan pada pertengahan 1960-an) untuk menjaring ikan yang sudah berkumpul di rumpon. Perkembangan selanjutnya terjadi pada pertengahan tahun 1980-an berupa penggunaan potassium sebagai bahan untuk pembiusan ikan, khususnya ikan-ikan batu (karang) dan pada akhir tahun 1990-an mulai berkembang usaha penggunaan bius untuk menangkap lobster. Penggunaan potas atau bius dikenalkan nelayan luar yang menangkap ikan di karang sekitar Desa Mola Utara dan wilayah Wakatobi. Penggunaan potas terus berlangsung sampai sekarang, utamanya dilakukan oleh nelayan yang bekerja pada pengusaha-pengusaha ikan dan nelayan lokal yang berasal dari luar desa yang biasanya mendapatkan bahan tersebut dari pengusaha-pengusaha tangkap
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
31
maupun pedagang ikan yang beroperasi di wilayah laut Wakatobi (lokasi penggunaan bius dapat dilihat pada lampiran gambar 3.3). Sedangkan pada akhir tahun 1980-an, nelayan suku Bajo mulai mengenal mesin TS (buatan Hongkong) dan body (badan kapal). Dengan mesin TS, laju kapal jauh lebih cepat jika di bandingkan dengan sampan Kalongko, sehingga wilayah tangkap nelayan menjadi lebih luas dan waktu tempuhnya juga lebih pendek. Mesin TS menjadi salah satu teknologi yang populer dan diinginkan oleh nelayan di Desa Mola Utara. Sebagian kecil nelayan Mola Utara mempunyai mesin TS, kebanyakan dari mereka membeli mesin tersebut dari hasil pinjaman dengan ‘bos’ ikan hidup dimana mereka bekerja. Biasanya nelayan menggunakan mesin TS untuk menangkap ikan tuna (dengan memakai alat tangkap pancing) diluar musim ikan hidup. Pada awal tahun 1990-an merupakan periode ‘komersialisasi’ perikanan di wilayah laut Wakatobi termasuk Desa Mola Utara dan Kecamatan Wangi-Wangi. Pada saat ini mulai dilakukan kegiatan perikanan, khususnya perdagangan hasil-hasil laut, terutama ikan-ikan hidup oleh empat perusahaan ikan hidup. Keempat perusahaan ini idealnya memberikan manfaat besar bagi nelayan suku Bajo, karena mereka dapat memasarkan ikan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Kalau sebelumnya produksi ikan terbatas karena terbatasnya pemasaran ikan, maka kehadiran perusahaanperusahaan ikan hidup tersebut dapat memudahkan nelayan, tidak hanya untuk pemasaran tetapi juga mengurangi resiko kematian ikan karena mereka dapat segera menjual hasil tangkapan. Disamping menangkap ikan, sebagian nelayan suku Bajo juga mencari biota laut lain, khususnya penyu, yang banyak diminati konsumen, terutama dari Bali. Upaya penangka pan penyu dimulai sejak pertengahan tahun 1990-an pada wilayah tangkap yang sangat luas sampai perairan laut Maluku dan Papua. Untuk itu, diperlukan armada tangkap dengan kapasitas yang lebih besar (7 ton dengan mesin berkekuatan sekitar 240PK). Sedangkan alat tangkap yang digunakan adalah jaring Tasi dan panah. Biasanya, nelayan yang terlibat dalam satu armada tangkap jumlahnya cukup banyak, mereka mencari penyu menggunakan kapal yang dimiliki oleh ‘bos’ dengan sistem bagi hasil. Pada akhir tahun 1990-a n berkembang usaha penangkapan ikan tuna yaitu dengan datangnya tiga perusahaan yang membeli dan menampung ikan tuna di sekitar Desa Mola Utara. Ikan tuna yang di jual ke perusahaan-perusahaan ini biasanya ditangkap dengan alat yang ramah lingkungan seperti pancing dan sebagian kecil (terutama ikan dasar) dengan jaring Tasi. Perusahaan tersebut menempatkan kapalkapal penampung mereka di wilayah laut sekitar desa, sehingga memudahkan nelayan untuk menjualnya. Keberadaan pengusaha-pengusaha ini sangat membantu nelayan dalam meningkatkan volume produksi. Bahkan ada satu perusahaan yang sudah mempunyai teknologi pembekuan (freezer) ikan di kapal penampung. Banyaknya pengusaha yang beroperasi di wilayah ini juga menguntungkan bagi nelayan karena pengusaha tersebut tidak dapat memonopoli harga, dengan demikian nelayan akan menjual kepada pengusaha yang harga ikannya lebih tinggi. Hal ini dapat dilakukan nelayan karena mereka tidak terikat dengan pengusaha-pengusaha tersebut. Teknologi Paska Tangkap Berbeda dengan teknologi penangkapan ikan yang bervariasi dan berkembang dari waktu ke waktu, teknologi yang digunakan untuk penanganan paska penangkapan
32
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
ikan dan biota laut belum berkembang dengan baik. Pengolahan paska tangkap nelayan Desa Mola Utara sangat terbatas pada teknologi yang masih sangat sederhana, seperti pembuatan ikan asin, pengeringan ikan dan biota laut (misalnya teripang) dan pengolahan siput. Pengeringan ikan dan pembuatan ikan asin biasanya dilakukan di lokasi penangkapan ikan seperti di karang Kapota menggunakan teknologi yang masih sangat sederhana. Hasil tangkapan ikan di belah dan bersihkan isi perutnya, kemudian ada ikan yang langsung dikeringkan secara alami (sinar matahari) di tempat-tempat penjemuran di karang dan ada juga ikan-ikan yang dibuat ikan asin dengan cara menggarami ikan sebelum dikeringkan. Cara ini mudah dilakukan dan biayanya murah. Ikan kering atau ikan asin mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan segar. Walaupun teknologi yang digunakan masih sederhana, pengolahan teripang lebih rumit dan membutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan pembuatan ikan asin. Mula-mula teripang dibuang isi perutnya dan dibersihkan (dicuci), kemudian diberi garam dan didiamkan selama 2-3 hari. Setelah itu teripang tersebut direbus dengan waktu yang disesuaikan dengan jenis teripang (1/2 – 2 jam). Teripang masak ini diasap selama 1-2 hari, baru kemudian di jemur sampai kering. Waktu pengeringan tergantung pada panas matahari. Pengambilan Batu (karang) dan Pasir Pengambilan batu (karang) mulai dilakukan secara besar-besaran sejak masyarakat suku Bajo mulai membangun rumah batu (permanen) di Desa Mola Utara. Kebutuhan akan batu ini terus bertambah karena tidak hanya memenuhi kebutuhan penduduk desa tetapi juga permintaan batu dari luar desa seperti di desa tetangga Mandati dan kota Wanci. Pengambilan batu karang dilakukan umumnya oleh ibu-ibu menggunakan sampan dayung dengan alat seperti: linggis dan bajih. Linggis berfungsi sebagai alat untuk mengetahui apakah terdapat batu (karang) yang tertanam di bawah pasir (disekitar pulau Kapota, Lia dan Usunu) dan menggali batu karang. Untuk menggali batu karang. Batu ini kemudian di pecah-pecah menjadi bongkahan yang lebih kecil dengan menggunakan linggis pendek atau bajih. Batu-batu ini kemudian dimasukkan ke sampan dan di bawa kepada pembeli yang biasanya sudah memesan terlebih dahulu. Pengambilan pasir menggunakan alat yang sangat sederhana berupa serok yang dibuat dari belahan jerigen. Pada waktu air meti (surut), nelayan mengambil pasir yang ada di sekitar Pulau Kapota dan Usunu dan memasukkannya kedalam sampan. Pasir ini kemudian di bawa ketempat pembeli yang biasanya sudah memesan sebelumnya, baik pembeli di desa maupun dari luar desa. Pengambilan pasir merupakan usaha pengelolaan SDL yang sangat mudah dan sederhana. 3.4. Stakeholder yang Terlibat Dalam Pengelolaan SDL Potensi SDL di Desa Mola Utara, Kecamatan Wanci telah memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat desa dan luar desa ini. Banyak pihak atau stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDL, tidak hanya masyarakat disekitar Desa Mola Utara tetapi juga nelayan dari berbagai daerah di luar desa, kecamatan, kabupaten maupun propinsi serta pengusaha-pengusaha perikanan
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
33
baik di tingkat regional, nasional maupun internasional. Secara rinci stakeholders dapat di kelompokkan sebagai berikut (tabel 3.2.): Tabel 3.2 Macam Stakeholders dan Bentuk Keterlibatan Mereka Dalam Pengelolaan SDL di Perairan Desa Mola Utara dan Kawasan Wakatobi, 2001 Lokasi Desa Mola Utara
Stakeholders • • • • • • • • •
Kecamatan WangiWangi Dan wilayah laut Wakatobi
Kabupaten Bau-Bau
• • • • • • • •
Propinsi Sultra
•
• • • Tingkat Indonesia
Nasional
•
• • • • Tingkat Internasional
• • •
34
Bentuk Keterlibatan
Nelayan Pengebom Koordinator Bos ikan Pengambil batu karang Pengambil pasir Pengusaha ikan tuna Jagawana (& petugas preventif) Aparat desa
•
Pemerintah: kecamatan, A.L, jagawana dan sahbandar Pengusaha ikan hidup Konsumen batu karang dan pasir Palele ikan Konsumen ikan Pengusaha perikanan Pemda & sektor relevan (perikanan, kehutanan, pariwisata, A.L LSM
• • • • •
Pemda & sektor relevan (Perikanan, Kehutanan, Pariwisata, Perdagangan dan Industri, Bappedalda, Pengadilan, Polisi, A.L Universitas: Unhalu LSM Media massa: Koran dan media elektronik radio Sektor relevan (DKP, A.L, Kehutanan, Pariwisata, Perdagangan dan Industri, Lingkungan, Bappedal LIPI, Wallacea dan lembaga penelitian lain COREMAP LSM Media massa: Koran, TV, radio, majalah Pengusaha perikanan: pedagang, pabrik dan restoran Lembaga donor: WB, ADB, AusAID Lembaga penelitian Wallacea
•
• • • • • • • •
• • •
• • •
• • • • •
Menangkap ikan dan biota laut dengan pancing dan jaring Menangkap ikan dengan bom Mengkoordinir nelayan dlm penangkapan ikan hidup Pedagang pengumpul Mengambil batu karang Mengambil pasir Membeli ikan nelayan Bertugas pada taman nasional Membimbing nelayan dan mensosialisasikan aturan Mengontrol pengelolaan SDL Membeli ikan hidup dari nelayan Membeli batu & pasir Membeli ikan dan menjualnya ke konsumen Membeli ikan untuk konsumsi makanan
Membeli dan/atau mengolah hasil laut Menyiapkan dan mensosialisasikan aturan serta memfasilitasi kegiatan perikanan serta mengontrol pengelolaan SDL Sosialisasi aturan dan melakukan pembimbingan pada nelayan Menyiapkan dan mensosialisasikan aturan serta memfasilitasi kegiatan perikanan serta mengontrol pengelolaan SDL Penelitian ttg terumbu karang & SDL Sosialisasi aturan dan bimbingan masyarakat Menyebarluaskan informasi pengelolaan SDL
Menyiapkan dan mensosialisaikan aturan yang relevan Penelitian Terumbu karang: ekologi, sosial Pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang Sosialisasi aturan, mitra pemerintah dan melakukan bimbingan masyarakat pesisir Mensosialisasikan pengelolaan SDL: aturan, pelaksanaan, pelanggaran dan penegakan hukum
•
Membeli dan mengolah hasil laut
•
Memberikan bantuan keuangan dan teknis dalam pengelolaan SDL Penelitian, wisata dan pemberdayaan masyarakat
•
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
3.5. Hubungan Kerja Dalam Pengelolaan SDL Stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan SDL di Desa Mola Utara berkaitan satu dengan lainnya yang dapat dilihat sebagai hubungan kerja. Banyaknya stakeholders dan macam kegiatan pengelolaan SDL mengindikasikan kompleksitas dan intensitas hubungan, baik antar stakeholder maupun dalam satu kelompok stakeholder. Pada dasarnya hubungan kerja dapat dikelompokkan kedalam lima bagian, yaitu: nelayan – koordinator - bos, nelayan pemilik – nelayan bagi hasil, koordinator – bos, bos – pengusaha ikan (Bau-Bau, luar dan asing) dan aparat sektor relevan. 3.5.1. Nelayan – Koordinator – Bos Hubungan nelayan – koordinator – bos ini sangat dominan pada penangkapan ikan batu (karang) atau ikan hidup terutama kerapu dan sunu. Hubungan antara ke tiga stakeholder tersebut mengindikasikan adanya hubungan antara patron (bos) dan client (nelayan), sedangkan koordinator merupakan kaki tangan bos dalam menjalankan kegiatannya. Nelayan mempunyai hubungan langsung dengan koordinator. Semua kegiatan dikoordinasikan oleh koordinator pada kelompok nelayan, baik yang berkaitan dengan penangkapan dan pemasaran ikan maupun berkaitan dengan pembiayaan kegiatan operasional dan pembagian pendapatan hasil tangkap. Koordinator mengatur semua kebutuhan selama melaut (10 – 14 hari), termasuk peralatan (pancing dan tasi), pangan (beras, gula, kopi, minyak, rokok, dll), pencatatan hasil nelayan, administrasi dan keuangan. Sedangkan nelayan bertugas mencari ikan batu dengan menggunakan alat pancing. Mekanisme kerja dalam kelompok nelayan sebetulnya hanya dalam koordinasi penagkapan, sedangkan pada waktu menangkap ikan nelayan bekerja sendiri-sendiri. Setelah kapal berlabuh di karang, nelayan menyebar mencari tempat sendiri-sendiri. Ikan hasil tangkapan masing-masing nelayan kemudian ‘dijual’, ditimbang dan dicatat oleh koordinator, tetapi uang penjualan ikan tidak langsung dibayar di laut. Pembayaran dilakukan di desa setelah koordinator melaporkan semua catatan hasil tangkap pada koordinator. Walaupun kelihatannya hubungan kerja ini merupakan hubungan kerja normatif, tetapi dalam realisasinya nelayan sangat dirugikan, terutama karena ‘harga’ ikan yang ditentukan koordinator sangat rendah, jika dibandingkan harga ikan pada tingkat koordinator – bos dan bos – pengusaha ikan (keterangan mendetail dapat dilihat pada bab 4 bagian 4.4). Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak karena sudah terikat dengan hutang piutang yang dilakukan sebelum berangkat melaut. Biasanya nelayan telah meminjam uang pada bos melalui koordinator untuk keperluan hidup keluarga selama dtinggal melaut. Hutang tersebut akan dibayar dengan cara memotong pendapatan nelayan dari hasil tangkapan ikan. Umumnya nelayan tidak membayar lunas hutangnya, walaupun sebagian nelayan mau melakukannya tetapi ‘ditolak’ oleh bos (melalui koordinator) dengan berbagai alasan. Hal ini merupakan strategi bos, agar nelayan selalu terikat padanya sehingga mereka tidak lari pada bos yang lain. Strategi lain yang dilakukan bos untuk mengikat nelayan adalah memberikan pinjaman pada nelayan untuk keperluan pribadi seperti untuk membeli mesin TS atau membangun/memperbaiki rumah. Untuk keperluan pribadi ini biasanya hubungan tidak melalui koordinator melainkan hubungan langsung antara nelayan dan bos.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
35
Dengan demikian terdapat dua bentuk hubungan antara nelayan dan bos, yaitu langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung dilakukan untuk kegiatan yang bersifat pribadi, misalnya meminjam uang untuk memperbaiki rumah. Sedangkan hubungan tidak langsung dilakukan untuk hubungan kerja dalam penangkapan ikan, melalui perantara koordinator. 3.5.2. Hubungan Koordinator – Bos Bentuk hubungan kerja antara koordinator – bos dapat digambarkan dalam dua bagian, yaitu hubungan kerja dan hubungan ‘dagang’. Bentuk yang pertama berupa hubungan antara atasan dan bawahan yang lebih menggambarkan hubungan antara bos dengan orang kepercayaan yang merupakan kaki tangannya dalam melakukan usaha ikan. Bos berfungsi sebagai ‘investor’ yang memberikan modal untuk biaya operasional kepada koordinator dan mempercayakan pengaturan kerja dalam operasi penangkapan ikan. Semua pengaturan dan pelaksanaan kegiatan melaut dilakukan oleh koordinator dan koordinator harus bertanggung jawab kepada bos, termasuk juga kerugian materil yang merupakan dampak negatif dari kegiatan tersebut. Misalnya, kerugian karena hasil tangkap yang sedikit, padahal koordinator mengeluarkan uang untuk biaya makan selama melaut. Bentuk hubungan yang kedua mengindikasikan adanya hubungan dagang antara koordinator dan bos. Hubungan ini dapat dilihat dari sistem kerja dimana koordinator ‘menjual’ ikan yang telah dibeli dari nelayan kepada bos. Cara yang digunakan berbeda dengan pembelian pada nelayan, pen jualan dengan bos dilakukan dengan penimbangan atau harga per kg, sedangkan dengan nelayan pembelian dilakukan berdasarkan harga per ekor. Penentuan harga dilakukan oleh bos dengan pertimbangan harga jual bos kepada pengusaha ikan. Tetapi, informasi harga di tingkat pengusaha ikan hidup sangat tertutup, sehingga koordinator tidak dapat mengetahuinya. Dengan demikian, koordinator sebetulnya juga ‘ditekan’ oleh bos dan karenanya koordinator ‘menekan’ nelayan. Untuk memperbaiki harga pasar baik di tingkat koordinator maupun nelayan, ada koordinator dan/atau nelayan yang berusaha mencari informasi mengenai harga-harga ikan hidup di tingkat pengusaha ikan. Informasi ini kemudian dikemukakan pada bos, tetapi usaha ini tidak berhasil. Bahkan sebaliknya, upaya tersebut menimbulkan permasalahan baru diantara mereka (keterangan mendetail dapat dilihat pada bab 4 bagian 4.4). 3.5.3. Hubungan Bos – Pengusaha Ikan Hubungan bos dengan pengusaha ikan hidup (di Bau-Bau, Kendari, Bali dan Hongkong) lebih terfokus pada hubungan dagang antara supplier dan buyer. Dengan demikian keuntungan menjadi interes utama mereka, karena itu ada kesan bahwa kedua pihak mempunyai kesepakatan untuk ‘merahasiakan’ informasi yang berkaitan dengan harga dan tempat/lokasi pemasaran ikan. Dalam operasi, terdapat dua cara dalam proses jual-beli ikan. Pertama, bos di Desa Mola Utara menjual ikan langsung dilokasi penangkapan baik kepada pembeli domestik maupun internasional. Misalnya, kapal ikan dari Hongkong atau Kendari datang ke karang mengambil ikan hidup yang sudah dimasukkan dalam kerambah di laut. Dengan demikian bos-bos ikan tidak mengeluarkan biaya ekstra, seperti oksigen,
36
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
untuk pemeliharaan ikan agar tetap hidup. Kedua, bos mengantarkan ikan ke pengusaha langganan mereka, biasanya ini dilakukan pada tingkatan perdagangan domestik terutama pengusaha di Bau-Bau dan khusus untuk bos ibu Bariah ikan hidup dikirim ke Bali, tetapi ikan hidup tersebut tidak hanya ditangkap di wilayah karang Wakatobi melainkan juga di wilayah lainnya di luar Propinsi Sultra. Keadaan ini menguntungkan bagi bos dan pengusaha ikan, tetapi sangat merugikan bagi nelayan yang bersusah payah menangkap ikan dengan resiko yang sangat tinggi. Untuk kedepan mekanisme pasar terutup seperti yang diterapkan di Desa Mola Utara selama ini sudah tidak dapat diterapkan lagi dan harus dirubah dengan mekanisme pasar yang terbuka sehingga nelayan juga mendapatkan porsi keuntungan yang berimbang dengan para pedagang dan pengusaha ikan. 3.5.4. Hubungan Nelayan Pemilik – Nelayan Bagi Hasil Bentuk hubungan kerja yang juga banyak terdapat di Desa Mola Utara adalah hubungan antara nelayan pemilik (mesin TS dan jaring Tasi) dengan nelayan yang tidak mempunyai alat tersebut. Ada dua bentuk hubungan kerja, yaitu pertama, nelayan pemilik menyewakan mesin TS dan bodinya atau jaring kepada nelayan dengan sistim sewa bagi hasil yang sudah berlaku umum di desa ini. Misalnya, sistim pembagian dihitung berdasarkan: mesin TS dihitung satu bagian, bodi dihitung satu bagian dan nelayan dihitung satu bagian. Hasil tangkapan dikurangi biaya operasional dan pendapatan ini dibagi tiga bagian, masing-masing satu bagian. Bentuk yang kedua, pemilik alat, misalnya jaring, ikut dalam penangkapan ikan bersama-sama dengan nelayan yang tidak memiliki jaring. Pendapatan mereka dibagi tiga dengan perincian sebagai berikut: jaring mendapat satu bagian, nelayan masingmasing satu bagian. Berarti nelayan pemilik mendapatkan dua bagian (satu bagian hasil kerjanya sebagai nelayan dan satu bagian lagi merupakan bagian dari jaring miliknya). 3.5.5. Hubungan Sektor Relevan Dalam Pengelolaan SDL Instansi pemerintah yang berkaitan erat dengan pengelolaan SDL di Desa Mola Utara dan Kecamatan Wangi-Wangi adalah: desa, kecamatan (termasuk perikanan), kehutanan (Pengelola Taman Nasional – Jagawana), Angkatan Laut (A.L) dan Perhubungan (sahbandar). Masing-masing instansi mempunyai fungsi, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing. Misalnya, kehutanan PHKA berkonsentrasi pada pengelolaan Taman Nasional Wakatobi, A.L bertugas mengatur keamanan laut dan perhubungan mengatur lalu lintas kapal dan pengelolaan pelabuhan. Berbeda dengan sektor-sektor, desa dan kecamatan merupakan kepanjangan tangan pemerintah daerah dan pusat di tingkat desa dan kecamatan. Baik desa maupun kecamatan menangani semua kegiatan pemda dan pemerintah pusat serta mengayomi masyarakatnya. Dalam pengelolaan SDL instansi-instansi pemerintah ini harus melakukan koordinasi dan kerja sama agar dapat di capai pengelolaan yang terpadu dan komprehensif. Koordinasi dan kerja sama antar instansi dan kecamatan sudah dilakukan, walaupun belum optimal. Koordinasi dan kegiatan bersama direalisasikan melalui operasi bersama dalam pengawasan laut. Sayangnya, operasi ini belum dilakukan secara reguler karena terbatasnya sarana dan dana. Padahal, keinginan dan partisipasi unsur-unsur yang terlibat sangat tinggi untuk melakukan pengawasan secara
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
37
teratur. Hal ini terutama dikarenakan tingkat kesadaran akan perusakan SDL, terutama karena kegiatan pengeboman dan pembiusan, dari unsur-unsur yang terlibat sudah tinggi dan kepedulian mereka untuk melindungi SDL juga relatif baik. Keadaan ini dapat dilihat dari beberapa operasi yang dilakukan dengan menangkap pembius dan pengebom atau pengedar bahan peledak (pupuk nitrogen). Upaya yang dilakukan di tingkat kecamatan, sayangnya kurang direspon oleh instansi-instansi terlibat di tingkat kabupaten. Sebagai contoh, proses hukum dari mereka yang terjaring operasi belum berjalan baik, sebagian besar ‘terdakwa’ bebas setelah di proses di Bau-Bau. Hanya beberapa kasus saja yang ditangani dan diproses di pengadilan. Kenyataan ini membuat aparat di tingkat kecamatan dan desa prihatin dan kecewa, hasil kerja mereka belum sepenuhnya ditindak lanjuti. Kondisi seperti ini dapat membuat aparat di bawah menjadi frustasi, karena di satu pihak mereka mengetahui perusakan SDL terus berlangsung, tetapi apa yang mereka lakukan kurang direspon di tingkat atas, sedangkan kemampuan mereka untuk melakukan pengawasan secara teratur juga masih sangat terbatas.
38
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab IV Produksi dan Pemasaran SDL 4.1. Produksi SDL di Desa Mola Utara Desa Mola Utara yang terletak di dekat kawasan perairan karang Wakatobi merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya laut. Sumber daya laut yang dihasilkan diantaranya adalah ikan karang atau ikan hidup (kerapu, sunu, napoleon), ikan pelagis (tuna dan cakalang), ikan laut dalam (seperti : baronang, ekor kuning), gurita, lobster, penyu, rumput laut dan macam-macam biota laut (seperti : siput, teripang, batu karang) dan pasir. Data dari monografi Desa Mola Utara hanya menyebutkan sebagian hasil tangkapan nelayan seperti terlihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil Tangkapan Nelayan Desa Mola Utara Jenis SDL 1 Tongkol 2 Kembung 3 Tembang 4 Ikan kecil 5 Ikan besar 6 Kerang sejenisnya 7 Rumput laut 8 Cumi-cumi 9 Teripang Sumber : Monografi Desa Mola Utara tahun 1999/2000.
Kuantitas (ton/tahun) 500 5 50 50 40 0,5 10 0,5 10
Produksi ikan karang yang dihasilkan oleh nelayan Desa Mola Utara tidak tercatat dalam monografi desa. Hal ini menyebabkan hasil produksi ikan karang hanya bisa diestimasi berdasar hasil wawancara mendalam. Hasil produksi ikan karang dari nelayan Mola Utara cukup besar, diperkirakan sekitar 90 – 180 ton per tahun atau 0,5 1 ton per hari selama musim ikan1. Hasil produksi yang diperoleh nelayan akan lebih tinggi jika memperhitungkan resiko kematian ikan karang yang cukup besar antara 5080 persen. Ikan karang yang dominan adalah ikan kerapu (kiyapu) dan sunu (sunu) yang banyak ditangkap di sekitar kawasan Karang Kapota sampai Karang Binongko. Selain ikan karang, ikan pelagis seperti ikan tuna, cakalang, tongkol dan layang juga banyak ditangkap oleh nelayan Desa Mola Utara. Jenis ikan pelagis yang paling banyak ditangkap adalah ikan tuna dan cakalang. Hasil produksi dari kedua jenis ikan ini diperkirakan mencapai sekitar 3-4 ton per hari. Gurita biasanya merupakan hasil 1
Hasil produksi yang diperkirakan sebesar 1 ton per hari selama musim ikan karang diperoleh dari hasil estimasi. Terdapat 5 orang ‘bos’ di Desa Mola Utara. Sebagai contoh, kasus seorang ‘bos’ biasa memiliki sekitar 6 kelompok nelayan yang masing-masing beranggotakan 15-20 nelayan. Masing-masing kelompok nelayan dalam satu kali melaut menangkap 0,5 – 1 ton ikan. Biasanya mereka melaut satu kali dalam satu bulan berarti dalam satu musim ikan karang (Oktober-April) kelompok tersebut bisa melaut 6-7 kali. Dengan demikian, dalam satu musim satu kelompok menghasilkan sekitar 18 – 36 ton. Secara keseluruhan produksi ikan hidup di Desa Mola Utara sebanyak 90 – 180 ton per tahun.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
39
tambahan dari nelayan yang menangkap ikan tuna atau cakalang. Biasanya, mereka secara kebetulan mendapat gurita saat mencari ikan pelagis di sekitar kawasan karang Kapota dan Laut Banda. Oleh karena itu jumlah produksi gurita yang dihasilkan oleh nelayan Desa Mola Utara tidak menentu. Beberapa jenis ikan laut dalam juga banyak ditangkap oleh nelayan Desa Mola Utara, seperti ikan baronang (birah/beulawis) dan ikan ekor kuning (kakambute). Penangkapan ikan laut dalam biasanya memakai jaring sinar. Produksi jenis ikan ini tidak terlalu banyak karena kuantitas ikan yang memang terbatas dan tergantung musim. Biasanya ikan jenis ini ada sepanjang tahun, terutama pada bulan Oktober dan Nopember. Dalam satu kali melaut, jumlah ikan yang berhasil ditangkap bervariasi sekitar 20-30 tusuk 2 pada musim ikan, dan 10 tusuk bila tidak musim ikan tersebut. Nelayan Mola Utara juga banyak menangkap biota laut seperti siput bibir merah (tabuli merah), kepala kambing (tabuli putih), triton (trumpeh), mata tujuh dan macammacam teripang. Selain terdapat nelayan yang khusus mencari biota laut, terkadang biota laut juga didapat secara kebetulan saat mencari jenis ikan lain seperti ikan karang atau ikan tuna. Penangkapan biota laut sangat tergantung pada musim. Sumber daya laut lain yang dihasilkan oleh nelayan Desa Mola Utara adalah rumput laut. Penanaman rumput laut baru dilakukan sekitar 7-8 bulan. Kegiatan ini belum populer, diindikasikan oleh hanya 5-6 keluarga saja yang telah menanam rumput laut di desa ini. Setiap petani rumput laut memiliki sekitar 30 tali dengan panjang masing-masing sekitar 40 depa. Secara umum, rumput laut dipanen setiap 40-45 hari sekali. Menurut petani rumput laut pada saat panen bisa dihasilkan 10 kg yang didapat dari 3 buah tali, rata-rata setiap penanam mampu menghasilkan sekitar 100 kg rumput laut. Disamping itu, penduduk Desa Mola Utara juga mengambil pasir laut dan batu karang. Pengambilan batu karang dan pasir laut tidak hanya dipakai untuk memenuhi permintaan penduduk Desa Mola Utara, akan tetapi juga dipakai untuk memenuhi permintaan masyarakat dari desa-desa lain di Pulau Wangi-Wangi. Selama ini pengambilan batu karang relatif lebih banyak dibandingkan dengan penambangan pasir. Hal ini dikarenakan permintaan batu karang hanya bisa dipasok oleh produksi batu karang dari Mola Utara, sedangkan permintaan pasir juga dipenuhi dari desa-desa di wilayah pegunungan di Kecamatan Wangi-Wangi. Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa, tiga sumber daya laut yang dominan di Desa Mola Utara adalah ikan karang yang sering disebut ikan hidup (kerapu dan sunu), ikan pelagis (tuna dan cakalang) dan pengambilan batu karang. Ikan hidup dipilih karena ikan ini merupakan jenis ikan mahal yang permintaannya tinggi, karena itu umumnya nelayan berkonsentrasi menangkap ikan karang pada musim ikan tersebut. Pemilihan ikan pelagis, seperti tuna dan cakalang, didasarkan pada kuantitas produksi dan kontinuitas keberadaannya sepanjang tahun. Sementara itu, penambangan batu karang dipilih karena batu karang memiliki nilai ekonomis sebagai bahan untuk ‘menembok’ bangunan, mudah dilakukan dan merupakan kegiatan yang banyak dilakukan, terutama oleh ibu-ibu untuk menafkahi keluarga mereka. Batu karang merupakan SDL yang penting karena memberikan kesinambungan bagi pendapatan keluarga.
2
Satu tusuk ikan biasanya memiliki berat sekitar 4-5 kilogram berisi 5-6 ekor ikan besar atau 10 ekor ikan kecil.
40
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
4.2. Produksi Tiga Jenis Sumber Daya Laut yang Dominan 4.2.1. Ikan Karang ( Kerapu dan Sunu) Ikan karang atau biasa disebut masyarakat ikan hidup memiliki nilai ekonomis yang tinggi, terutama apabila dijual dalam keadaan hidup. Musim ikan karang terjadi setiap bulan Oktober sampai bulan April. Dalam satu musim ikan karang terdapat tiga periode yaitu musim ikan sunu, masa transisi dan musim ikan kerapu. Musim sunu berlangsung antara bulan Oktober sampai bulan Januari. Periode transisi terjadi pada bulan Januari ketika produksi ikan bercampur antara sunu dan kerapu. Kemudian, masa ikan kerapu berlanjut dari bulan Januari sampai April. Dalam musim ikan karang, biasanya nelayan melaut sebulan satu kali. Setiap kali melaut, biasanya memerlukan waktu 10-14 hari. Masa melaut dilakukan pada masa bulan purnama atau ‘bulan terang’ yang dimulai pada setiap tanggal 10 dalam sistem penanggalan bulan. Lokasi penangkapan ikan karang terbentang dari karang Kapota sampai karang Binongko. Pembagian lokasi penangkapan ikan antar nelayan dilakukan secara alami, yaitu siapa cepat dia dapat, yang datang terlebih dahulu bisa memilih lokasi yang diinginkan. Sedangkan nelayan yang datang kemudian dapat bergabung tetapi harus memakai teknologi sejenis. Tidak jarang 3-4 minggu sebelum musim ikan karang dimulai, beberapa nelayan telah berada di lokasi penangkapan untuk menandai wilayah tangkapan. Kawasan karang Wakatobi yang terletak pada perairan terbuka membuka peluang bagi nelayan baik dari dalam dan luar kawasan Wakatobi untuk menangkap ikan karang. Nelayan dari luar kawasan Wakatobi biasa datang dari Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Teknologi yang dipakai untuk penangkapan ikan karang berbeda antara kedua kelompok nelayan ini. Nelayan dari kawasan Wakatobi biasa menangkap ikan dengan alat tradisional yaitu pancing, sedangkan nelayan dari luar Wakatobi identik dengan nelayan pemakai potas. Nelayan Mola Utara lebih memilih pancing karena alat tangkap tradisional ini aman dan tidak merusak terumbu karang. Selain itu pertimbangan ekonomi juga mendasari pemilihan pancing karena pemakaian pancing akan mengurangi resiko kematian ikan karang yang cukup besar bila nelayan memakai potas. Selain itu, dengan memakai pancing jumlah ikan karang yang diambil sesuai dengan kebutuhan sehingga populasi ikan karang tetap terjaga. Selama ini, di Desa Mola Utara terdapat beberapa aktor yang berperan dalam penangkapan ikan karang. Mereka adalah ‘bos’, koordinator dan nelayan. ‘Bos’ merupakan pemodal yang berperan besar dalam penangkapan dan pemasaran ikan karang. Biasanya ‘bos’ memiliki beberapa kelompok nelayan dimana setiap kelompok beranggotakan sekitar 15-20 nelayan. Koordinator adalah orang kepercayaan ‘bos’ yang menjadi penghubung antara nelayan dengan ‘bos’. Selain itu koordinator adalah orang yang bertanggungjawab pada setiap kali melaut. Biasanya ‘bos’ berunding dengan koordinator untuk menentukan waktu melaut, lokasi, jumlah personil, biaya operasional dan perlengkapan yang harus dibawa. ‘Bos’ akan memberikan modal sekali melaut kepada koordinator untuk dikelola. Modal yang diberikan terdiri dari uang untuk menutup biaya operasional dan uang yang akan diberikan pada nelayan sebagai pinjaman. Total modal yang diberikan oleh ‘bos’ sangat bervariasi tergantung pada lokasi yang akan dituju, semakin jauh lokasi, modal yang dibawa juga semakin besar. Sebagai contoh, untuk melaut di sekitar kawasan karang Kapota dan karang Kaledupa, setiap koordinator membawa modal sekitar Rp 7.000.000.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
41
Sedangkan, apabila melaut sampai Karang Binongko, koordinator biasa membawa modal sekitar Rp 10.000.000. Variasi besarnya modal terutama ditentukan oleh komponen dari biaya operasional yaitu biaya bahan bakar dan biaya lain-lain. Dalam praktek, biaya operasional yang harus dikeluarkan adalah biaya bahan bakar, biaya ransum, gaji pegawai. Yang dimaksud biaya lain-lain adalah pungutan yang wajib dibayar kepada aparat pemerintah di sekitar wilayah karang tertentu sebagai biaya ijin lokasi. Di kawasan Kaledupa ditetapkan sebesar Rp 200.000 – Rp 400.000, sedangkan di kawasan Binongko diwajibkan membayar Rp 1.000.000. Biaya operasional yang tidak ditanggung oleh ‘bos’ adalah biaya untuk alat tangkap dan uang rokok untuk masingmasing nelayan. Dari hasil wawancara mendalam dapat dikemukakan perincian biaya yang harus dikeluarkan sekali melaut pada tabel 4.2. Pinjaman yang diberikan pada nelayan besarnya bervariasi antara Rp 200.000 300.000 per nelayan setiap kali melaut. Pinjaman ini dipakai untuk membiayai kebutuhan rumah tangga selama ditinggal melaut. Biasanya koordinator yang mengatur pemberian pinjaman ini sampai hutang tersebut dilunasi. Nelayan wajib membayar pinjaman lewat koordinator dengan memotong hasil tangkapan nelayan. Tabel 4.2 Biaya Penangkapan Ikan Karang Per Sekali Melaut di Karang Kaledupa dan Binongko Rincian Biaya Pinjaman untuk nelayan Biaya lain-lain
@ 200.000 –300.000 (15-20 orang nelayan)
Gaji pegawai Biaya ransum dan bahan bakar TOTAL
@ 250.000 (3 orang)
Tujuan Karang Kaledupa 6.000.000
Tujuan Karang Binongko 6.000.000
200.000 -400.000 750.000 500.000 7.450.0007.650.000
1.000.000 750.000 2.000.000 – 2.500.000 9.750.000-10.250.000
Sumber : Hasil wawancara mendalam dengan narasumber di Desa Mola Utara, 2001 Hasil yang didapat setiap melaut cukup sulit di hitung karena adanya informasi yang berbeda pada tingkat ‘bos’ dan koordinator. Selain itu tingkat resiko kematian ikan yang cukup besar, 50-80 persen, menimbulkan kesulitan untuk memprediksi jumlah hasil produksi ikan karang. Tabel 4.3 memperlihatkan simulasi perhitungan hasil produksi berdasarkan informasi dari ‘bos’ dan koordinator. Perbedaan hasil produksi lebih disebabkan oleh resiko kematian ikan karang yang harus ditanggung oleh koordinator. Hasil produksi sebesar ½ - 1 ton merupakan hasil bersih yang diterima oleh ‘bos’. Hasil produksi dari informasi koordinator cenderung lebih riil daripada informasi ‘bos’.
42
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Tabel 4.3 Simulasi Perhitungan Hasil Produksi Ikan Karang Per Musim di Desa Mola Utara Informasi dari ‘‘bos’’
Informasi dari koordinator
Jumlah ‘bos’ di Desa Mola Utara Jumlah kelompok yang dimiliki setiap ‘bos’ Jumlah nelayan per kelompok Lama melaut Jumlah melaut dalam satu musim Hasil per sekali melaut untuk setiap kelompok Hasil per sekali melaut untuk 6 kelompok (satu orang ‘bos’) Hasil per musim untuk setiap ‘bos’
5 orang ‘bos’
5 orang ‘bos’
6 kelompok
6 kelompok
15-20 nelayan
15- 20 nelayan
10 – 14 hari 6 –7 kali/musim
10 – 14 hari 6 – 7 kali/musim
0,5 – 1 ton per kelompok per sekali melaut 3-6 ton
7 – 10 ekor setiap nelayan per hari
18- 36 ton
Produksi ikan karang Desa Mola Utara per musim (per tahun)
90 – 180 ton
37.800 – 117.600 ekor berat per ekor = 1-2 kg maka perhitungan kasar hasil per musim = 74 – 235 ton 370 – 1175 ton
6.300-16.800 ekor
Sumber : Hasil wawancara mendalam dengan narasumber di Desa Mola Utara, 2001 4.2.2. Ikan Pelagis (Tuna dan Cakalang) Penangkapan ikan tuna tidak terlalu tergantung musim karena hampir selalu ada sepanjang tahun. Tetapi, pada musim angin timur lebih banyak ditangkap ikan tuna ukuran besar (berat diatas 20 kg), sedangkan baby tuna (ukuran lebih kecil, kurang dari 19 kg) banyak ditangkap pada musim barat. Sementara itu, penangkapan ikan cakalang berbeda dengan ikan tuna karena terkonsentrasi pada musim yaitu bulan Agustus Nopember dan bulan Januari-April. Wilayah penangkapan ikan tuna dan cakalang terfokus di perairan laut dalam yaitu di sekitar Laut Banda dan Laut Flores. Lokasi penangkapan yang relatif jauh ini mempengaruhi armada yang dipergunakan dan waktu melaut. Nelayan biasa memakai bodi dengan mesin TS berkekuatan 12- 20 PK dan kapal berbobot sampai 1 ton. Untuk menangkap ikan tuna, biasanya nelayan mempergunakan pancing dan tombak ikan. Saat melaut nelayan membawa beberapa ukuran mata pancing sekaligus (dari ukuran nomor 3 sampai nomor 6). Hal ini untuk mengantisipasi apabila mereka tidak mendapatkan ikan tuna dan baby tuna, mereka masih bisa menangkap ikan cakalang atau tongkol. Setiap melaut, biaya yang harus dikeluarkan meliputi biaya bahan bakar, ransum, rokok dan pembelian umpan. Tabel 4.4 memperlihatkan biaya yang harus dikeluarkan oleh satu armada penangkapan ikan tuna dan cakalang yang terdiri dari 2 orang nelayan, bodi berbobot 1 ton dan mesin TS berkekuatan 20 PK.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
43
Tabel 4.4 Biaya Operasional Satu Armada Nelayan Ikan Tuna dan Cakalang Per Sekali Melaut Biaya
Jumlah
Bahan bakar , solar 40 liter @ Rp. 1.500 60.000 Ransum, kasuami 2 buah @ Rp. 1.000 2.000 Rokok, 1 bungkus 5.500 Umpan, 5 ekor ikan tembang @ Rp. 1.000 5.000 Biaya Total 72.500 Sumber : Hasil wawancara mendalam dengan narasumber di Desa Mola Utara Hasil yang didapat satu armada stidak menentu, biasanya nelayan lebih banyak menangkap ikan cakalang dari pada ikan tuna. Dalam sekali melaut, rata-rata hasil yang didapat sekitar 10-30 ekor ikan cakalang, dengan berat masing-masing 3-5 kilogram. Sedangkan hasil tuna tidak dapat diprediksi karena dianggap lebih merupakan faktor ‘kemujuran’. Secara umum, kuantitas tuna dan cakalang yang dihasilkan Mola Utara cukup banyak sekitar 3-4 ton per hari. Menurut para nelayan, produksi tuna dan sejenisnya semakin menurun jika dibandingkan kondisi 5 tahun yang lalu. Hal ini disebabkan karena jumlah penangkap yang semakin banyak dan jumlah ikan yang memang menurun sehingga lokasi penangkapan menjadi bertambah jauh. Oleh karena itu, untuk menjangkau lokasi penangkapan ikan jenis ini dibutuhkan pemakaian bodi TS. Menurut mereka lokasi ikan yang dekat biasanya berada di rumpon-rumpon yang dimiliki perorangan, sehingga mereka tidak memiliki akses untuk menangkap di lokasi rumpon. 4.2.3. Batu Karang Jumlah penambang batu karang dan pasir dari Dusun Teratai Desa Mola Utara sekitar 23 orang. Jumlah ini relatif hampir sama, untuk Dusun Segar. Oleh karena itu di Desa Mola Utara paling tidak terdapat ± 50 orang penambang batu dan pasir. Produksi batu karang dan pasir laut relatif stabil dan tetap. Dalam sekali melaut (selama 3-4 jam), mereka bisa menghasilkan satu sampan, tergantung pada besar sampan yang dimiliki. Kegiatan pengambilan batu karang bisa dilakukan sepanjang tahun dan merupakan kegiatan yang penting bagi kesinambungan pendapatan masyarakat Mola Utara. Kegiatan ini banyak dilakukan oleh perempuan yang menjadi Kepala Keluarga (KK) baik KK tetap maupun temporer. Kepala keluarga perempuan yang berstatus janda kebanyakan menjadikan aktivitas ini sebagai pekerjaan utama. Sedangkan, KK perempuan temporer memilih pekerjaan ini sebagai survival strategy karena suami yang pergi melaut selama beberapa bulan. Pekerjaan ini dianggap pekerjaan satusatunya yang bisa dikerjakan perempuan untuk memenuhi nafkah dan memberikan penghasilan yang tetap. Pengambil batu karang biasa bekerja secara perorangan. Akan tetapi pada saat pergi melaut terkadang mereka berangkat bersama-sama untuk kemudian berpencar di lokasi pengambilan batu karang. Lokasi pengambilan karang dilakukan di kawasan metimeti3 Pulau Kapota, yaitu sekitar Usunu dan Otouwe. Lokasi pengambilan yang berada di kawasan pasang surut membuat nelayan memanfaatkan air pasang dan surut dalam 3
wilayah pasang surut.
44
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
perjalanan pulang pergi. Apabila meti pagi, mereka berangkat jam 3 atau 4 pagi dengan memanfaatkan air surut dan pulang jam 8 pagi saat air pasang. Sedangkan apabila meti siang, biasanya nelayan berangkat sekitar jam 6 pagi dan pulang jam 12 siang. Perjalanan menuju lokasi pengambilan batu membutuhkan waktu sekitar satu jam dengan sampan dayung. Letak batu karang yang diambil umumnya berada 10 cm di bawah pasir. Karena itu pengambil batu karang membutuhkan bantuan alat linggis dan baji. Menurut anggapan mereka, batu yang diambil adalah batu karang mati. Pendapat yang beredar di masyarakat, batu karang yang dipakai sebagai bahan bangunan ini bukan merupakan terumbu karang. Lebih lanjut menurut mereka terumbu karang sebagai tempat hidup ikan hanya ada di laut dalam yang apabila diambil akan menimbulkan gatal-gatal di kulit dan bau yang tidak sedap. Oleh sebab itu, pengambil batu karang merasa tidak merusak ekosistem terumbu karang. Untuk sekali melaut, biaya yang harus dikeluarkan relatif minim yaitu hanya untuk pembelian ransum (kasuami) sebesar Rp 1.000. Selain itu, tidak ada biaya yang harus dikeluarkan oleh penambang seperti untuk bahan bakar karena pemakaian sampan dayung. Biaya ini sangat kecil bila dibandingkan dengan usaha pencarian ikan yang membutuhkan biaya pembelian bahan bakar yang relatif besar. Minimnya biaya yang dikeluarkan juga merupakan faktor penarik untuk mencari batu karang, selain jam kerja dalam sehari yang cukup pendek (3-4 jam). Biaya lain yang harus dikeluarkan oleh pencari batu karang adalah biaya untuk pembelian peralatan seperti linggis, baji dan palu. Akan tetapi peralatan ini cukup awet karena bisa dipergunakan selama 3 tahun. Linggis dan baji biasa dibeli di Bali atau Bau-Bau. Harga linggis dengan panjang dua meter sebesar Rp 125.000, sedangkan yang berukuran 0,5 meter (baji4) seharga Rp 50.000. Sedangkan harga palu sebesar Rp 50.000. Hasil produksi pengambilan batu karang relatif tetap yaitu satu sampan untuk setiap pencari batu karang. Hasil produksi tersebut biasanya terbagi dalam bentuk sampan besar dan sampan kecil. Satu sampan besar batu berkapasitas sekitar satu m3 atau sama dengan dua sampan kecil. 4.3. Pemanfaatan Hasil Produksi Pemanfaatan hasil produksi SDL di Mola Utara dapat dikelompokkan kedalam 3 bagian yaitu untuk dijual, diolah atau dikonsumsi. Kebanyakan hasil produksi sumber daya laut dijual dalam keadaan segar seperti ikan karang, ikan dasar (ketamba, moma, ekor kuning) dan ikan tuna-cakalang. Selain dijual, beberapa sumber daya laut harus diolah terlebih dahulu seperti teripang atau siput laut. Pengolahan ikan seperti pembuatan ikan asin juga dilakukan di Desa Mola Utara. Untuk konsumsi sehari-hari, biasanya diambil dari ikan hasil tangkapan nelayan yang tidak memenuhi standar perusahaan penampung atau ikan sisa umpan yang masih segar. Penanganan Paska Panen Penanganan paska panen dilakukan terutama untuk memenuhi permintaan pedagang pengumpul dan pembeli. Selain itu, penanganan paska panen dilakukan juga untuk meningkatkan nilai tambah dari produk tersebut. 4
. Linggis pendek
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
45
Ikan Karang. Perlakuan yang khusus dibutuhkan untuk menghindari kematian ikan karang yang telah ditangkap. Baik nelayan maupun koordinator melakukan penanganan khusus dalam menjaga ikan tersebut. Pada tingkat nelayan, sampan yang dipergunakan untuk mencari ikan didesain khusus dengan membuat lubang-lubang kecil pada badan sampan. Lubang-lubang ini mengalirkan air laut sehingga ikan tetap hidup. Sedangkan pada tingkat koordinator telah disediakan karamba untuk menampung ikan hasil tangkapan yang berlokasi di karang. Selain itu proses pengumpulan dibuat secepat mungkin, sehingga resiko kematian bisa dikurangi. Pengumpulan hasil tangkapan dilakukan lewat dua cara yaitu nelayan membawa langsung ke keramba di karang atau ikan diambil di lokasi oleh tenaga pengumpul yang digaji koordinator. Ikan tuna dan cakalang. Penanganan paska tangkap dilakukan oleh kapal penampung yang sandar di perairan Wanci. Masing-masing perusahaan melakukan penanganan yang berbeda. Kapal PT Triko (PT Triko Fisherindo) hanya berfungsi sebagai cold storage yaitu membersihkan dan memberi es. Ikan yang sudah dieskan tersebut kemudian dibawa ke Pasar Wajo di Bau-Bau. Menurut informasi dari koordinator PT Triko, di Pasar Wajo terdapat pabrik pengolahan ikan berupa pengalengan dan pembuatan fillet ikan. Sedangkan, perusahaan lain yaitu PT SMS (PT Samudera Mandiri Selatan) telah melengkapi kapalnya untuk pengolahan ikan yang lebih kompleks. Pertama, ikan dibersihkan isi perut dan dicuci bersih. Kemudian dibekukan dalam bentuk gelondongan dan dibawa ke Jakarta. Proses pengolahan dilanjutkan di pabrik yang ada di Jakarta yaitu untuk pengalengan dan fillet ikan. Ikan-ikan dasar. Ikan dasar seperti ketamba atau moma, selain dijual di pasar lokal, ikan tersebut juga diolah menjadi ikan asin. Pembuatan ikan asin dilakukan di karang oleh istri nelayan yang juga ikut melaut selama dua minggu. Selain membuat ikan asin dari hasil tangkapan suami, mereka juga membeli ikan kerapu dan ikan sunu yang telah mati dari kelompok nelayan sebagai tambahan bahan baku pembuatan ikan asin. Proses pengeringan berlangsung selama 2-3 hari, karena panas yang terik di lokasi karang dapat mempercepat proses pengeringan. Pembuatan ikan asin dilakukan dengan cara tradisional, dengan pemberian garam dan penjemuran. Rumput laut. Selama ini, rumput laut hanya dikeringkan di sekitar rumah karena belum adanya tempat khusus untuk menjemur. Pengeringan rumput laut ini harus dilakukan karena rumput laut basah tidak laku di jual. Pengumpul rumput laut di pasar Jabal Rahman hanya menerima penjualan rumput laut kering. Proses pengeringan rumput laut membutuhkan waktu paling lama satu minggu. Biota laut. Pengolahan yang dilakukan sebelum dijual untuk siput laut relatif sederhana yaitu membuang isu perut dengan cara pembusukan. Untuk pengolahan teripang, proses pengolahan relatif lebih rumit karena membutuhkan proses penggaraman, pengasapan dan pengeringan. Biasanya teripang diberi garam terlebih dahulu supaya teripang menebal dan tidak lembek. Setelah itu teripang direbus selama ½ jam dan kemudian diasap selama 1-2 hari. Setelah itu teripang harus dijemur sampai kering baru siap untuk dijual. Biaya yang dibutuhkan untuk proses pengolahan teripang ini relatif murah yang terdiri dari biaya bahan bakar yang memakai minyak tanah sebanyak 5 liter (Rp. 5.000). Selain itu garam yang digunakan tidak terlalu banyak, karena satu karung garam seharga Rp. 35.000 bisa dipergunakan untuk jangka waktu 13 bulan. Proses pengolahan mata tujuh tidak serumit pengolahan teripang. Biasanya mata tujuh akan direndam dalam garam selama satu malam. kemudian dibersihkan dan direndam lagi selama 2-3 hari. Setelah itu baru direbus dan langsung dijemur tanpa proses pengasapan.
46
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
4.4. Pemasaran 3 SDL yang Dominan 4.4.1. Pemasaran Ikan Karang Mengingat resiko kematian ikan karang yang tinggi, maka terdapat dua pasar yang berbeda yaitu ikan karang yang hidup dan yang mati. Untuk ikan kerapu dan sunu yang hidup dan segar, pemasarannya lebih terkonsentrasi untuk memenuhi permintaan ekspor dari Hong Kong, Taiwan, Cina dan Korea. Sedangkan ikan karang yang telah mati dijual di pasaran lokal. Rantai pemasaran yang berlaku untuk ikan karang hidup cukup panjang. Tahap pertama ikan kerapu dan sunu dari nelayan ditampung oleh koordinator. Setelah itu, oleh koordinator diteruskan pada ‘bos’ yang berfungsi sebagai pedagang perantara antara tingkat lokal dengan pedagang pengumpul di Bau-Bau atau dengan perusahaan eksportir. Seluruh transaksi dari tingkat nelayan sampai ke pedagang pengumpul dan/atau perusahaan eksportir lebih sering dilakukan di keramba milik ‘bos’ yang ada di karang (lokasi penangkapan). Pengumpulan ikan dilakukan oleh kapal-kapal penampung yang mendatangi lokasi penangkapan. Dari kapal-kapal ini sebagian diekspor langsung dan sebagian lagi dibawa ke Bau-Bau atau Tanjung Pinang. Untuk ikan karang yang mati, biasanya dijual di pasar Sentral untuk konsumsi masyarakat Mola utara dan sekitarnya. Akan tetapi karena waktu melaut ikan karang sekitar 10-14 hari, maka terkadang ikan karang yang telah mati dijual pada pembuat ikan asin di karang. Biasanya setelah ikan asin telah kering, maka hasilnya akan dipasarkan di pasar Sentral untuk konsumsi masyarakat. Bagan 4.1. Rantai Pemasaran Ikan Kerapu dan Sunu yang Hidup dan Segar
Nelayan
Koordinator
‘bos’
Pedagang pengumpul
Perusahaan eksportir
Bagan 4.2. Rantai Pemasaran Ikan Kerapu dan Sunu yang Telah Mati
Nelayan
Koordinator
pasar Sentral
Diasin
pasar Sentral
Sumber : Hasil wawancara mendalam dengan narasumber di Desa Mola Utara Harga pembelian ikan karang yang masih hidup dari nelayan selama ini ditetapkan oleh ‘bos’ dan koordinator. Penetapan harga biasa dilakukan dengan memakai harga patokan yang telah ditetapkan oleh perusahaan penampung. Akan tetapi, harga beli yang sampai ke nelayan biasanya sangat rendah karena anggapan bahwa nelayan tidak menanggung biaya melaut dan resiko kematian ikan karang yang tinggi. Sebagai perbandingan untuk musim ikan karang tahun 2000, harga beli dari nelayan untuk ikan kerapu adalah Rp. 10.000/ekor, sedangkan harga sunu adalah sebesar Rp 5.000/ekor. Harga ini sedikit mengalami peningkatan untuk musim tahun 2001, harga kerapu sebesar Rp 17.000/ekor dan sunu adalah Rp 15.000/ekor. Selain penetapan harga yang rendah, nelayan juga menerima penetapan standar penghitungan hasil yang berbeda dengan koordinator. Nelayan menjual ikan hasil tangkapannya dalam hitungan ekor, sedangkan koordinator menjual kepada ‘bos’
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
47
dalam hitungan kilogram. Standar ini makin memperbesar perbedaan harga yang diterima oleh nelayan dan koordinator. Sebagai contoh, untuk musim tahun 2000, dengan harga beli ikan sunu dari nelayan Rp 5.000/ekor dijual oleh koordinator kepada ‘bos’ dengan harga Rp 25.000/kg. Sedangkan harga beli ikan kerapu dari nelayan adalah Rp 10.000/ekor dan dijual oleh koordinator ke ‘bos’ dengan harga Rp. 45.000. Biasanya satu ekor ikan kerapu/sunu memiliki berat 1-2 kilogram. Untuk penjualan dari ‘bos’ kepada perusahaan penampung, harga ditetapkan sebagai hasil negosiasi antara ‘bos’ dan perusahaan penampung. Harga ikan sunu di tingkat perusahaan penampung bisa mencapai US$ 33 per ekor. Kemudian di pasaran Hong Kong dijual seharga HK$ 350 (± Rp 400.000) per ekor (IMA, 2000). Perbedaan harga yang sangat besar dengan harga yang diterima oleh nelayan ini memperlihatkan bahwa distribusi keuntungan terbesar didapat oleh tingkat ‘bos’ dan perusahaan pengumpul atau eksportir. Dari keterangan diatas, terlihat bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar antara harga yang yang diterima oleh nelayan, koordinator dan ‘bos’. Dengan harga yang diterima oleh nelayan sebesar Rp 5.000/ekor untuk ikan sunu, akan dijual koordinator Rp 25.000/kg yang berarti Rp 50.000/ekor. Koordinator menjual ikan sunu pada ‘bos’ sebesar sepuluh kali lipat dari harga beli dari nelayan. Kemudian ‘bos’ akan mendapat keuntungan paling tidak enam kali lipat dibanding harga beli dari koordinator karena ‘bos’ menjual ikan sunu seharga US$ 33 per ekor. Kondisi ini memperlihatkan bahwa dengan fluktuasi kurs dollar berkisar antara Rp 9.000- 10.000, harga ikan sunu yang diterima oleh nelayan ternyata kurang dari US $1, yang berarti ‘bos’ mendapat keuntungan lebih dari limapuluh kali lipat dari harga yang diterima nelayan. Selama ini, nelayan tidak memiliki akses untuk mengetahui informasi harga pada tingkat yang lebih tinggi atau informasi pasar lain. Informasi ini bersifat tertutup dan hanya diketahui oleh masing-masing tingkat pemasaran. Hal ini terjadi karena adanya hubungan kerja yang tidak seimbang yang tercipta karena ketergantungan nelayan yang besar pada ‘bos’. Selain itu, ‘bos’ juga menutupi dan memiliki ‘kesepakatan’ dengan perusahaan penampung sehingga informasi harga untuk tingkat yang lebih tinggi tidak sampai bocor ke nelayan. Kasus Nelayan yang Pernah Mencari Informasi Harga Nelayan pernah mencoba untuk mendapatkan informasi harga penjualan ‘bos’ pada perusahaan pengumpul/eksportir. Akan tetapi informasi yang diinginkan tidak bisa diperoleh karena perus ahaan pengumpul/eksportir menutup informasi tersebut. Hal ini disebabkan karena ‘bos’ dan perusahaan memiliki perjanjian yang kuat. Upaya ini malahan menjadi boomerang bagi nelayan, karena usaha untuk memperbaiki penghasilannya diketahui oleh ‘bos’. ‘Bos’ kemudian mengeluarkan ancaman yang sangat sulit dipenuhi oleh nelayan tersebut, yaitu nelayan harus membayar lunas 5 kali lipat pinjamannya secara tunai. Hal ini tentu saja memberatkan nelayan yang hidupnya sangat tergantung pada ‘bos’. Kejadian ini membuat nelayan-nelayan yang terikat pada ‘bos’ tidak berani lagi berusaha untuk mencari tahu berapa harga jual ikan dari ‘bos’ dan makin memperkokoh kedudukan ‘bos’ di Desa Mola Utara
Sumber : Hasil wawancara mendalam dengan narasumber di Desa Mola Utara
48
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
4.4.2. Pemasaran Tuna Untuk memenuhi permintaan ekspor dan domestik, hasil ikan tuna dan cakalang ditampung di kapal-kapal perusahaan penampung. Terdapat tiga perusahaan yang beroperasi yaitu PT Samudera Mandiri Selatan (SMS), PT KCP dan PT Triko Fisherindo. Lokasi tambat kapal penampung PT. SMS dan PT. KCP berada di dekat pelabuhan Wanci. Akan tetapi sejak bulan Juli 2001, terdapat satu perusahaan baru yaitu PT Triko yang menambatkan kapal di Desa Mola Utara, sehingga kebanyakan hasil tangkapan nelayan Desa Mola Utara dijual ke PT Triko.
Bagan 4.3. Rantai Pemasaran Ikan Tuna untuk Pasaran Domestik dan Internasional Nelayan
Kapal penampung
Pengolahan di pabrik Pasar Wajo (PT Triko) Pengolahan di pabrik Jakarta (PT SMS)
Bagan 4.4. Rantai Pemasaran Ikan Tuna untuk Pasaran Lokal a.
Nelayan
Konsumen
b.
Nelayan
Pelele
Konsumen
Sumber : Hasil wawancara mendalam dengan narasumber di Desa Mola Utara Penetapan harga ikan tuna dan cakalang dilakukan oleh perusahaan penampung. Selama ini tidak terlihat fluktuasi harga yang mencolok karena ikan jenis ini ada sepanjang tahun dan perusahaan penampung membutuhkan pasokan yang tetap. Koordinator PT Triko menentukan harga sesuai dengan ketentuan dari kantor perusahaan di Pasar Wajo. Lain halnya dengan penetapan harga di PT SMS, menurut koordinatornya penetapan harga dibuat lebih tinggi dari standar harga patokan ikan yang ditetapkan oleh Dinas Perikanan Tingkat II Buton (lihat table 4.5). Walaupun harga ditetapkan oleh perusahaan penampung, tetapi nelayan memiliki keleluasaan untuk menjual ke perusahaan penampung lain. Hal ini bisa terjadi karena nelayan tidak mempunyai keterikatan dengan satu perusahaan seperti dalam kasus ikan karang. Harga yang ditawarkan oleh tiap perusahaan cukup bersaing satu sama lain, sehingga nelayan dapat memilih perusahaan dengan harga yang paling tinggi.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
49
Tabel 4.5 Perbandingan Harga Beli Ikan Tuna antara PT SMS dan PT Triko Perusahaan PT SMS
PT Triko
Jenis dan kualitas ikan Tuna (20 kg keatas) Baby tuna (0-18 kg) Cakalang (semua ukuran) Tuna : * mutu A + mutu B # mutu C Baby Tuna : kelas A kelas B kelas C Cakalang : kelas A kelas B kelas C
Harga per kilogram 5000-7000 3000 2800 4500 4000 3000 2200 2000 1500 2000 1500 1000
Sumber : Hasil wawancara mendalam dengan narasumber di Desa Mola Utara, 2001 Keterangan : * kondisi ikan bagus dan dipakai untuk memenuhi kebutuhan ekspor + luka dibawah kepala sedikit # luka di badan Apabila hasil tangkapan mereka tidak memenuhi standar perusahaan penampung, ikan hasil tangkapan dijual ke pasar Sentral untuk memenuhi konsumsi masyarakat. Di pasar Sentral, tuna bisa langsung dibeli oleh konsumen atau dibeli oleh pelele darat yang kemudian menjual ikan ini di pasar Wanci. Selisih harga antara pembelian di pasar Sentral dan pasar Wanci berkisar antara Rp. 2.000-2.500 per ekor. Tabel 4.6 Perbedaan Harga Ikan Tuna dan Cakalang di Pasar Sentral, 1997-2001 Tuna (per kg)
Cakalang (per kg) Rp. 2.000
Sebelum krisis (sebelum tahun Rp. 3.500 1997) Saat krisis (tahun 1997-1998) Rp. 7.000 Rp. 3.500 Setelah krisis (2001) Rp. 4.000 Rp. 1.500 Sumber : Hasil wawancara mendalam dengan narasumber di Desa Mola Utara, 2001 Keputusan nelayan untuk menjual hasil tangkapan pada satu perusahaan penampung berdasarkan pada terbukanya informasi harga pada nelayan. Selain itu, nelayan juga mengetahui standar kualitas dan ukuran yang disyaratkan oleh masingmasing perusahaan pengumpul. Selisih harga per kilogram antara perusahaan pengumpul, memberikan perbedaan pendapatan total yang besar bagi nelayan. Sistem penetapan harga yang berbeda antar perusahaan merupakan salah satu cara bersaing dengan perusahaan pengumpul lain. Perusahaan penampung membutuhkan pasokan yang tetap untuk pabrik pengolahan ikan yang dimiliki. Selain itu
50
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
lokasi tambat kapal di Desa Mola Ut ara memberikan kemudahan bagi nelayan untuk menjual. Selain itu, untuk menjaga agar pasokan ikan tetap stabil, PT SMS membuatkan rumpon di sekitar Desa Mola Selatan agar nelayan bisa mengambil dengan cara yang lebih mudah dan menjual hasil tangkapan pada PT SMS. Metode ini dijalankan selain untuk menjaga pasokan ikan juga untuk menciptakan ketergantungan nelayan rumpon pada perusahaan. 4.4.3. Pemasaran Batu Karang Tidak ada sistem pemasaran yang khusus karena para pencari batu karang bekerja berdasarkan pesanan. Apabila tidak ada pesanan mereka tetap pergi melaut karena hasil batu karang akan dipakai untuk keperluan sendiri. Sistem pemasaran batu karang langsung mempertemukan antara penjual dan pembeli sehingga rantai pemasaran sangat pendek. Sebagai perbandingan tabel 4.7. memperlihatkan perbedaan harga jual batu karang tahun 1997 dan saat ini. Tabel 4.7 Perbandingan Harga Batu Karang Tahun 1997 dan 2001 Harga tahun 1997
Harga saat ini
Sampan besar
5.000
10.000
Sampan kecil
10.000
20.000 – 25.000
Sumber : Hasil wawancara mendalam dengan narasumber di Desa Mola Utara, 2001 Selama ini tidak ada persaingan antar pengambil batu karang, bahkan tidak jarang mereka saling bekerja sama dalam mengambil batu karang apabila ada batu karang yang terlampau besar. Selain itu, mereka juga saling bantu dalam mencari pesanan. Apabila seorang penambang batu karang mendapat pesanan tetapi tidak mampu memenuhinya maka pesanan ini diberikan pada pencari batu karang lain.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
51
Bab V Kesejahteraan Rumah Tangga 5.1. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pendapatan dan pengeluaran keluarga dibutuhkan sebagai salah satu indikator untuk memperlihatkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang diteliti. Selama ini, masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan mempunyai stereotipe miskin karena penghasilan yang rendah. Selain itu, karena pendapatan yang berfluktuasi tidak menentu biasanya nelayan akan segera membelanjakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semakin tinggi tingkat pendapatan dianggap mencerminkan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi karena akan memberikan keleluasaan rumah tangga untuk konsumsi atau investasi. 5.1.1. Pendapatan Rumah Tangga dan Sistem Bagi Hasil Survei data dasar terumbu karang tahun 2001 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga dalam satu bulan terakhir di Desa Mola Utara sebesar Rp. 757.811. Rata-rata pendapatan ini relatif tinggi, akan tetapi tidak berarti tingkat kesejahteraan penduduk Mola Utara juga tinggi. Hal ini disebabkan variasi pendapatan rumah tangga Desa Mola Utara cukup besar yaitu antara Rp 80.000 – Rp. 4.000.000. Variasi tingkat pendapatan yang besar memperlihatkan kesenjangan pendapatan yang terjadi di Mola Utara terutama disebabkan perbedaan status pekerjaan, seperti ‘bos’, koordinator dan nelayan atau karena perbedaan jenis SDL yang ditangkap. Kesenjangan tingkat pendapatan ini membuat pendapatan rata-rata rumah tangga Desa Mola Utara menjadi tinggi karena pendapatan rumah tangga yang rendah terdorong naik dengan adanya pendapatan yang lebih tinggi. Persentase rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas dan di bawah pendapatan rata-rata tidak mencolok, 45 persen yang berada di atas dan 55 berada di bawah pendapatan rata-rata. Rumah tangga yang memiliki penghasilan lebih dari satu juta terdapat hanya sebesar 15,9 persen. Jumlah ini relatif kecil, yang berarti sebagian besar rumah tangga (84,1 persen) memiliki penghasilan dibawah satu juta. Sedangkan yang memiliki pendapatan sangat rendah, kurang dari Rp. 200.000 sebulan, hanya terdapat sebanyak 2 persen. Rangkuman hasil survei pendapatan rumah tangga dapat dilihat pada tabel 5.1 (hasil survei lengkap bisa dilihat pada lampiran 7).
53 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Tabel 5.1 Persentase Pendapatan Rumah Tangga di Desa Mola Utara Dalam Satu Bulan Terakhir Kelompok pendapatan < 200 ribu 200-399 ribu 400-599 ribu 600-799 ribu 800-999 ribu > 1 juta
Frekuensi Prosentase 2 2,0 14 13,9 16 15,8 23 22,8 30 29,7 16 15,9 101 100 % Sumber : Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Penghasilan nelayan ikan tuna Pada satu bulan terakhir (Agustus 2001), nelayan lebih berkonsentrasi untuk menangkap ikan tuna-cakalang karena musim ikan karang belum mulai. Pendapatan nelayan ikan tuna-cakalang bervariasi cukup besar, karena hasil yang tidak menentu. Menurut mereka, variasi pendapatan yang diperoleh lebih berdasarkan faktor ‘kemujuran/rejeki’. Nelayan mengartikan ‘kemujuran’ apabila mereka berhasil menangkap ikan tuna, mengingat berat dan harga tuna yang lebih tinggi dibanding cakalang. Akan tetapi, sebagian besar nelayan hanya bisa menangkap cakalang yang memberikan pendapatan yang rendah. Sebagai contoh, rata-rata seorang nelayan dalam sekali melaut hanya memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp 15.000. Variasi pendapatan antar nelayan juga disebabkan karena perbedaan kekuatan mesin TS yang dipakai. Mesin TS yang biasa dipakai di Desa Mola Utara sangat beragam, antara 12- 22 PK. Semakin besar kapasitas mesin, wilayah tangkap yang bisa dijangkau akan semakin jauh. Sehingga nelayan memiliki keleluasaan untuk mendapat hasil yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan yang memiliki kapasitas mesin terbatas. Tidak semua nelayan di Mola Utara memiliki bodi TS. Hal ini membuat, terkadang ada nelayan yang terpaksa menyewa bodi TS. Nelayan meminjam bodi TS dari pemilik yang tidak memanfaatkan mesinnya karena pergi melaut selama beberapa bulan. Sistem bagi hasil yang berlaku adalah sistem bagi hasil yang memberi satu bagian untuk setiap nelayan ikut melaut, sedangkan bodi TS mendapatkan 1,5 bagian. Selain itu, terdapat nelayan yang pergi melaut dengan pemilik bodi TS yang masih memiliki ikatan keluarga. Pendapatan nelayan yang ikut dalam satu armada ini biasanya sama. Hal ini dikarenakan sistem bagi hasil yang berlaku adalah sistem sama rata. Variasi pendapatan yang cukup besar tidak hanya terjadi antar nelayan, tetapi juga terjadi antara nelayan dengan koordinator perusahaan pengumpul ikan tuna. Perusahaan pengumpul yang menambatkan kapal di Desa Mola Utara merekrut penduduk lokal sebagai koordinator yang mengawasi transaksi jual beli antara nelayan dan perusahaan. Koordinator tidak mendapatkan gaji bulanan, tetapi menerima bonus (fee) yang dihitung sebesar Rp. 100 dari tiap kilogram ikan tuna yang disetorkan. Bila dibandingkan dengan pendapatan yang diterima 5 tahun yang lalu saat krisis moneter sedang berlangsung, nelayan merasa secara nominal pendapatan mereka naik hampir dua kali lipat. Kenaikan pendapatan ini terutama disebabkan karena perubahan 54
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
harga ikan tuna dari Rp. 3.500/kg menjadi Rp 7.000/kg. Akan tetapi, perubahan pendapatan nominal ini tidak diiringi dengan perubahan pendapatan riil karena pengaruh inflasi yang meningkatkan harga barang-barang kebutuhan pokok. Penghasilan nelayan ikan karang Dibandingkan dengan pendapatan nelayan tuna, pendapatan nelayan ikan karang tidak terlalu bervariasi. Variasi pendapatan yang besar terjadi antara nelayan, koordinator dan ‘bos’. Dengan penetapan harga oleh koordinator, tahun lalu nelayan bisa mendapat Rp 400.000- 500.000 per sekali melaut. Pendapatan tersebut kemudian langsung dipotong untuk melunasi pinjaman yang berkisar antara Rp.200.000-300.000. Pendapatan nelayan ikan karang selain lebih tinggi dari pendapatan nelayan ikan tuna dan cakalang, juga lebih kontinyu pada saat musim ikan karang. Apabila musim ikan karang telah selesai, nelayan biasa mencari alternatif pekerjaan lain seperti mencari ikan tuna-cakalang atau pergi ke NTT untuk mencari sirip ikan hiu. Pendapatan yang didapat nelayan ikan karang lebih besar daripada nelayan tuna, tetapi menurut nelayan ikan karang pendapatan yang mereka peroleh masih tidak memadai. Kondisi ini berdasar pada jam kerja yang harus mereka jalani yaitu hampir 20 jam setiap hari. Jam kerja yang panjang ini harus dijalani selama melaut, 10-14 hari. Pendapatan yang diterima koordinator ikan karang sangat berbeda dengan pendapatan yang diterima oleh nelayan. Hal ini terjadi karena harga jual yang lebih tinggi dan standar penjualan yang memakai standar berat, per kilogram. Sebagai contoh harga jual nelayan untuk ikan kerapu sebesar 10.000/ekor. Koordinator bisa menjual pada ‘bos’ dengan harga Rp 45.000/kilogram, biasanya setiap ekor memiliki berat 1-2 kilogram. Koordinator juga menerima bonus dari ‘bos’, yang besarnya ditentukan sesuai dengan kondisi ikan hasil tangkapan. Menurut seorang informan, besarnya bonus bervariasi antara Rp 500- 2.000 per ekor. Pendapatan yang diterima oleh ‘bos’ jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan koordinator. Menurut pengakuan seorang ‘bos’, keuntungan yang didapat dari selisih harga berkisar antara Rp 10.000 per ekor baik untuk ikan kerapu maupun sunu. Akan tetapi, menurut sumber informasi lain harga jual ‘bos’ ke perusahaan eksportir adalah sekitar US$ 33 per ekor 1, yang berarti lebih dari lima puluh kali lipat dari harga jual nelayan (perhitungan dapat dilihat pada bab 4). Dibandingkan dengan pendapatan yang diterima 5 tahun yang lalu, secara nominal terjadi kenaikan pendapatan walaupun dalam jumlah yang sangat kecil. Kenaikan pendapatan ini dikarenakan adanya kenaikan harga ikan karang walaupun secara kuantitas nelayan merasa terdapat penurunan jumlah ikan yang bisa ditangkap. Oleh karena itu, nelayan menganggap tidak ada perbaikan taraf hidup yang terlihat dari kenaikan pendapatan riil. Penghasilan penambang batu karang Penambang batu karang biasanya mempunyai pendapatan yang relatif tetap karena kapasitas batu yang bisa diangkut dalam sekali melaut tidak berubah tergantung besarnya sampan. Sebagai contoh, untuk penambang batu karang yang mengambil 1
. Informasi dari Kepala Desa Mola Utara Selatan yang menyebutkan harga jual ‘bos’ ke perusahaan penampung sebesar US$ 33.
55 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
batu dengan sampan besar akan memperoleh pendapatan sebesar Rp 20.000-25.000 per hari dan Rp 10.000 untuk sampan kecil. Apabila dalam mencari batu memakai dua orang tenaga, maka hasil langsung dibagi dua tanpa menghitung siapa pemilik sampan. Harga akan lebih tinggi menjadi Rp 30.000 untuk sampan besar dan Rp 15.000 untuk sampan kecil, apabila hasil diantarkan ke pemesan di desa lain seperti Desa Mandati dan Wanci. Dalam seminggu, pencari batu bisa melaut sebanyak 3-4 kali, berarti pendapatan per bulan sebesar Rp 400.000 untuk penambang batu. Akan tetapi mengingat waktu yang dipergunakan hanya sekitar 2-4 jam per hari, pendapatan ini cukup tinggi. Disamping itu, pada siang hari, kaum ibu pencari batu bisa menambah penghasilan dengan bekerja menganyam atap dari daun kelapa (daun seloka) yang dijual seharga Rp 10.000 untuk setiap 25 lembar. Biasanya untuk membuat 25 lembar atap kelapa diperlukan waktu selama 2,5 jam. 5.1.2. Pengeluaran Rumah Tangga Dua komponen utama yang dipergunakan untuk melihat pengeluaran rumah tangga penduduk Mola Utara adalah pengeluaran pangan dan pengeluaran nonpangan. Pengeluaran pangan adalah pengeluaran rutin selama sebulan untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga seperti untuk pembelian beras, kasuami, ikan, sayur, minyak goreng, gula dan teh. Sedangkan pengeluaran non-pangan diantaranya adalah pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, pembayaran listrik dan PAM, pembelian pakaian, perbaikan rumah atau alat produksi. Pengeluaran rumah tangga di Desa Mola Utara selama ini dianggap tetap dan tidak berdasarkan musim. Hal ini disebabkan sebagian besar pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini terlihat dari besarnya pengeluaran rata-rata untuk pangan yang lebih besar dari pada non-pangan. Pengeluaran rata-rata rumah tangga di Desa Mola Utara dalam satu bulan terakhir sebesar Rp 749.997 dengan perincian pengeluaran pangan sebesar Rp. 451.077 dan pengeluaran non-pangan sebesar Rp. 297.890. Apabila dilihat dari jumlah nominal, total pengeluaran rumah tangga cukup besar. Pengeluaran pangan masih mengambil porsi yang lebih besar dari pengeluaran nonpangan. Hal ini berarti, kemampuan rumah tangga Mola Utara masih dalam taraf pemenuhan kebutuhan primer saja dan belum berkembang untuk pemenuhan kebutuhan sekunder. Apabila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata (Rp 757.811), rumah tangga di Mola Utara hanya menyisakan sekitar Rp 6.000 sebagai selisih dengan rata-rata pengeluaran (Rp 749.997), sehingga hampir tidak ada sisa pendapatan yang bisa ditabung. Rangkuman hasil survei untuk pengeluaran rumah tangga bisa dilihat pada tabel 5.2 (sedangkan hasil survei lengkap bisa dilihat pada lampiran 8).
56
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Tabel 5.2 Persentase Jenis Pengeluaran Rumah Tangga Desa Mola Utara Menurut Kelompok Pengeluaran Selama Sebulan Terakhir (N = 101) Kelompok Pangan Non-Pangan Total Pengeluaran < 100.000 1,0 49,5 1,0 100.000 – 199.999 5,9 25,7 1,0 200.000 – 299.000 20,8 8,9 4,0 300.000 – 399.000 15,8 5,0 8,9 400.000 – 499.000 13,9 2,0 13,9 500.000 – 599.000 18,8 2,0 1,0 600.000 – 699.000 13,9 1,0 12,9 700.000 – 799.000 5,0 1,0 12,9 800.000 – 899.000 4,0 0 8,9 900.000 – 999.000 1,0 1,0 9,9 > 1 juta 0 4,0 25,7 Total 100 % 100 % 100 % Sumber : Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP -LIPI, 2001 Pengeluaran pangan Hasil survei menunjukkan variasi pengeluaran pangan rumah tangga di Mola Utara sangat besar yaitu antara Rp 75.000 - Rp 1.036.000. Pengeluaran rata-rata untuk pangan sebesar Rp 451.077. Sebanyak 20,8 persen rumah tangga memiliki pengeluaran antara Rp 200.000-299.000, kelompok ini merupakan kelompok dengan persentase terbesar. Bagi keluarga nelayan, pengeluaran pangan meliputi pengeluaran untuk pembelian beras, kasuami dan pembelian ikan. Beras dan kasuami merupakan makanan pokok bagi rumah tangga di Mola Utara. Kasuami tidak hanya dipakai sebagai ransum saat melaut tetapi juga dikonsumsi untuk makan sehari-hari. Setiap bulan, satu keluarga dengan 4-6 orang anggota keluarga akan membutuhkan Rp 210.000 untuk pembelian makanan pokok berupa 50 kilogram beras dan 90 buah kasuami. Harga satu kilogram beras berkisar antara Rp 2.000- 3.000, sedangkan harga 1 buah kasuami adalah sebesar Rp 1.000. Pengeluaran pangan yang juga rutin adalah untuk membeli ikan. Kebanyakan rumah tangga tetap membeli ikan karena ikan hasil tangkapan umumnya langsung dijual. Biasanya ikan yang dikonsumsi adalah jenis ikan laut dalam seperti ketamba, ekor kuning, moma atau bulu babi (tetehe). Keluarga nelayan membeli ikan seharga Rp 4.000-10.000 per tusuk di pasar Sentral. Terkadang keluarga lebih memilih untuk membeli ikan dari pada membeli sayur. Pengeluaran rumah tangga untuk membeli ikan sekitar Rp 120.000 – 300.000 per bulan. Pengeluaran rutin untuk pangan lain adalah untuk pembelian gula, teh atau jajan. Satu keluarga nelayan bisa menghabiskan sekitar Rp 1.000 – 5.000 per hari untuk membeli kue-kue atau membeli gula dan teh. Dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu, pengeluaran pangan tidak banyak berubah dalam jumlah yang dikonsumsi, tetapi harga komoditas pangan mengalami peningkatan seiring dengan laju tingkat inflasi maka total pengeluaran meningkat cukup besar. Menurut responden nilai uang saat ini jauh lebih rendah dari lima tahun yang lalu. Sebagai perbandingan, mereka menyebutkan bahwa dengan uang Rp 100.000 pada 5 tahun yang lalu telah bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti 50 57 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
kilogram beras dan lauk pauk, akan tetapi uang sejumlah itu sekarang hanya bisa membeli beras kurang dari 50 kilogram 2. Pengeluaran non-pangan Hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran non-pangan rumah tangga di Desa Mola Utara adalah sebesar Rp. 297.890. Pengeluaran ini jumlahnya lebih rendah dari rata-rata pengeluaran pangan (Rp.451.077). Persentase terbesar sebanyak (49,5 persen) merupakan kelompok pengeluaran non pangan yang lebih kecil dari Rp 100.000. Persentase ini cukup besar dan mencerminkan rumah tangga yang memiliki penghasilan sangat minim hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan saja. Variasi pengeluaran non-pangan rumah tangga di Mola Utara sangat besar, terdapat 10 orang responden yang tidak mempunyai pengeluaran non-pangan, sedangkan terdapat satu orang responden yang mengeluarkan Rp 6 juta untuk keperluan pembangunan rumah. Untuk pengeluaran non-pangan, lebih banyak dipakai untuk pembayaran rekening air, rekening listrik dan pembelian pakaian RB (rombengan). Pakaian bekas dari Singapura atau Malaysia ini dijual murah sekitar Rp 2.500 per potong. Terkadang dalam satu bulan, pengeluaran rumah tangga untuk membeli pakaian RB sampai 2-3 kali. Sedangkan pengeluaran khusus untuk pendidikan tingkat dasar dan kesehatan tidak menjadi prioritas bagi rumah tangga di Desa Mola Utara. Masyarakat Mola Utara menganggap uang tidak bernilai saat ini. Walaupun secara nominal uang yang mereka terima meningkat tapi nilai uang yang turun membuat mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kebanyakan rumah tangga beranggapan kenaikan penerimaan uang secara nominal tidak terlalu berarti karena secara riil hanya bisa menjaga agar mereka tetap bisa membelanjakan uang untuk pangan. 5.2. Strategi Dalam Pengelolaan Keuangan Ketidakpastian dan fluktuasi pendapatan sangat mempengaruhi pola manajemen keuangan rumah tangga di Mola Utara. Kondisi ini membuat masyarakat sering terhimpit dalam pola manajemen keuangan ‘gali lubang tutup lubang’. Apabila kesulitan keuangan, mereka akan meminjam atau menggadaikan barang. Kemudian apabila mereka mendapat penghasilan dari melaut, hutang tersebut akan segera dibayar. Pola manajemen keuangan seperti ini diakui oleh masyarakat sebagai pola umum yang berlaku di hampir semua rumah tangga nelayan di desa ini. 5.2.1. Pengeluaran Lebih Besar Dari Penghasilan Hasil tabulasi data survei menunjukkan 71,3 persen (72 responden) pernah mengalami kesulitan keuangan. Strategi yang biasa dilakukan oleh penduduk apabila mengalami kesulitan keuangan adalah menggadaikan barang 48,6 persen (35 rumah tangga). Selain itu, minta bantuan keluarga merupakan alternatif yang dipilih oleh 12 responden (16,7 persen). Strategi lain yang dilakukan saat mengalami kesulitan keuangan adalah menjual simpanan 13,9 persen, pinjam ke perorangan dengan 2
Harga 50 kilogram beras saat ini Rp 120.000,-
58
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
membayar bunga 8,3 persen, pinjam ke bank atau koperasi 6,9 persen, pinjam tanpa bayar bunga 4,2 persen dan alternatif lainnya 1,4 persen. Alternatif untuk menggadaikan barang banyak dilakukan karena cara ini sangat mudah dan cepat. Pegadaian yang ada merupakan pegadaian tidak resmi/individual yang banyak terdapat di Desa Mandati. Sistem pegadaian ini membutuhkan jaminan berupa surat kepemilikan tanah atau emas. Kebanyakan rumah tangga di Mola Utara membawa emas sebagai barang jaminan karena tidak adanya sertifikat kepemilikan tanah. Menurut informasi penduduk, biasanya barang yang mereka bawa hanya dinilai separuh dari harga pasar. Sebagai contoh, jaminan emas yang berharga Rp 1.000.000 hanya dikompensasi dengan pinjaman sebesar Rp 500.000. Selain itu, rumah tangga yang meminjam harus membayar bunga sebesar 10 persen dalam jangka waktu tertentu. Praktek seperti ini sebenarnya sama dengan praktek rentenir. Akan tetapi cara ini lebih diminati karena kemudahan untuk mendapatkan uang pinjaman tanpa prosedur yang berbelit-belit. Dari hasil survei pada satu bulan terakhir sistem gadai barang lebih banyak dipilih karena musim pencarian ikan karang belum dimulai. Menurut informasi dari seorang nelay an, biasanya pada saat musim ikan karang berlangsung mereka tidak perlu pergi ke Mandati untuk mencari pinjaman uang dengan sistem gadai. Pada musim ikan karang ‘bos’ ikan akan memberi pinjaman pada nelayan sebagai cara untuk mengikat nelayan agar tetap bekerja pada bos tersebut. Alternatif kedua yang banyak dipilih rumah tangga di Mola Utara yaitu minta bantuan keluarga. Strategi ini dipilih mengingat tradisi suku Bajo yang masih memberi perhatian besar pada anggota keluarga. Biasanya keputusan untuk pembelian rumah atau sarana produki laut menjadi keputusan keluarga luas. Hal ini berkaitan juga dengan pembiayaan pembelian rumah atau sarana produksi laut, apabila terdapat kekurangan, keluarga besar akan ikut memberikan pinjaman. 5.2.2. Penghasilan Lebih Besar Dari Pengeluaran Apabila pendapatan lebih besar dari pengeluaran, kebanyakan rumah tangga di Desa Mola Utara tidak memprioritaskan untuk memiliki tabungan. Hal ini terlihat dari hasil tabulasi data yang menunjukkan bahwa hanya 44 rumah tangga (43,6 persen) yang memiliki tabungan. Sedangkan sebagian besar (56,4 persen) tidak memiliki tabungan. Kondisi ini lebih disebabkan prioritas rumah tangga di Mola Utara adalah untuk membayar hutang dari pada untuk menabung. Selain itu, persepsi masyarakat tentang tabungan cukup beragam. Sebagian dari masyarakat mengatakan tabungan adalah uang dalam jumlah yang cukup banyak yang bisa disimpan di rumah atau di bank. Persepsi ini terlihat dari hasil survei yang menunjukkan bahwa 25 rumah tangga (56,8 persen) memilih untuk memiliki tabungan dalam bentuk uang apabila memiliki kelebihan pendapatan. Bentuk lain yang dipilih oleh rumah tangga di Desa Mola Utara adalah emas yang sewaktu-waktu bisa dijual atau digadaikan. Menurut hasil survei bentuk tabungan berupa emas dipilih oleh 19 orang (43,2 persen). Di sisi lain, sebenarnya rumah tangga di desa ini percaya bahwa emas bukanlah salah satu bentuk tabungan tapi lebih memperlihatkan status ekonomi. Persepsi seperti ini juga berlaku untuk batu karang yang dibeli apabila mereka mendapat kelebihan uang. Walaupun batu karang bisa dijual untuk keperluan mendadak, tetapi sebagian rumah tangga di Mola Utara tidak menganggapnya sebagai tabungan. 59 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
5.3. Pemilikan dan Penguasaan Aset 5.3.1. Alat Produksi Perikanan Laut Secara umum, kepemilikan dan penguasaan aset yang dimiliki oleh rumah tangga di Mola Utara tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Dari hasil tabulasi data survei terlihat bahwa alat produksi perikanan laut yang banyak dimiliki oleh rumah tangga di desa ini adalah bodi TS, sampan, pancing, jaring, tombak dan kacamata selam. Perbedaan antara kepemilikan dan penguasaan dari alat produksi perikanan laut tersebut tidak terlihat mencolok. Hal ini disebabkan ketergantungan rumah tangga akan hasil laut yang besar membuat mereka selain memiliki juga mempergunakan sendiri alat produksi tersebut. Tidak banyak nelayan yang menyewa atau meminjam dari nelayan lain. Dari keseluruhan responden, 36,6 persen (37 rumah tangga) memiliki bodi TS, akan tetapi hanya 31,6 persen (32 rumah tangga) yang menguasai bodi TS tersebut. Perbedaan sekitar 5 persen (5 rumah tangga) kemungkinan disebabkan beberapa pemilik bodi TS menyewakannya, biasanya karena nelayan pemilik pergi melaut dalam waktu yang cukup lama. Pada saat nelayan Mola mencari ikan hiu di NTT, bodi TS yang dimiliki disewakan pada keluarga atau orang lain dengan sistem bagi hasil. 3 Kepemilikan bodi TS yang rendah disebabkan harga mesin TS yang relatif mahal, termasuk mesin bekas. Menurut seorang informan, harga mesin TS bekas buatan Cina dengan kapasitas 20 PK dibeli nelayan seharga Rp 4.500.000, sedangkan yang berkapasitas 12 PK dihargai Rp 2.000.000. Selain karena mahalnya harga, mesin TS bekas tersebut harus didatangkan dari Bau-Bau atau Makasar. Biasanya, pengadaan bodi TS yang dimiliki nelayan berasal dari pinjaman ‘bos’. Armada tangkap lain yang dimiliki oleh rumah tangga di Desa Mola Utara adalah perahu tanpa motor (sampan dayung/sampan kolaka/kole-kole). Pemilikan perahu sampan dayung cukup banyak di desa ini. Hasil survei memperlihatkan bahwa 68 rumah tangga (67,3 persen) memiliki sampan dayung, tetapi rumah tangga yang menguasai sampan dayung sebanyak 73 (72,3 persen). Tingkat penguasaan yang lebih besar dari kepemilikan mungkin terjadi karena pinjam meminjam sampan yang biasa dilakukan di Mola Utara. Alat tangkap yang biasa dimiliki oleh rumah tangga di Mola Utara adalah pancing dan jaring. Untuk kepemilikan pancing tercatat sebanyak 69,3 persen (70 rumah tangga). Biasanya nelayan yang memiliki alat pancing adalah nelayan ikan tuna dan ikan karang. Walaupun demikian, dari tingkat penguasaan terlihat lebih besar dari tingkat kepemilikan yaitu sebanyak 71,3 persen (72 rumah tangga). Alat tangkap lain yang dimiliki oleh rumah tangga di Mola Utara adalah jaring. Jaring dimiliki oleh 14 orang (13,9 persen). Dari jumlah yang tercatat, jaring dikuasai oleh 13 orang yang berarti ada satu jaring yang dipinjamkan pada nelayan lain. Kepemilikan jaring relatif lebih sedikit daripada pancing karena harga jaring yang lebih mahal dari harga pancing dan karena konsentrasi penangkapan ikan di Mola Utara adalah ikan tuna dan ikan karang yang mempergunakan pancing sebagai alat tangkap. Alat produksi perikanan lain yang dimiliki oleh rumah tangga di Mola Utara adalah tombak dan kacamata selam (mata-mata ikan). Tombak biasa dipakai oleh nelayan tuna untuk mematikan ikan tersebut. Sedangkan kacamata selam dipergunakan oleh nelayan ikan karang. Namun demikian tidak semua nelayan penangkap ikan tuna 3
Sistem yang biasa berlaku, nelayan yang melaut mendapat masing-masing satu bagian sedangkan bodi TS mendapat 1.5 bagian.
60
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
atau ikan karang memiliki kedua alat ini, terlihat dari hasil tabulasi data yang memperlihatkan hanya 21 responden (20,8 persen) yang memiliki tombak. Sedangkan, tercatat hanya 10 rumah tangga (9,9 persen) yang memiliki mata-mata ikan. Tingkat kepemilikan dan penguasaan dari kedua alat ini tidak terlalu jauh berbeda. Keramba adalah alat produksi lain yang dimiliki oleh rumah tangga di Mola Utara, namun demikian jumlahnya sangat sedikit mengingat hanya nelayan setingkat koordinator atau ‘bos’ yang memiliki keramba. Keramba berfungsi untuk menyimpan ikan karang hasil tangkapan nelayan, oleh karena itu biasanya keramba lebih banyak terletak di karang dari pada di Desa Mola Utara Utara. Jumlah pemilik dan penguasa keramba di Mola Utara sebanyak 3 orang. 5.3.2. Alat Produksi Darat Tidak banyak penduduk yang memiliki alat produksi darat seperti tanah pertanian atau ternak. Hanya terdapat 1 rumah tangga yang memiliki lahan pertanian dan pekarangan. Kondisi ini terjadi mengingat lahan di Desa Mola Utara sangat terbatas sebagai tanah buatan dari hasil reklamasi. Keterbatasan lahan ini juga membuat hanya terdapat 5 rumah tangga yang memelihara hewan ternak seperti ayam dan bebek. Alat produksi darat lainnya yang dimiliki oleh penduduk adalah peralatan tukang kayu dan pembuatan kapal serta peralatan servis elektronik. Hanya terdapat 3 rumah tangga yang memiliki alat produksi ini karena konsentrasi yang cukup besar pada kegiatan perikanan laut. 5.3.3. Aset Lain Selain alat produksi perikanan, aset lain yang dimiliki rumah tangga di Desa Mola Utara adalah rumah. Secara umum, tidak terdapat perbedaan antar kepemilikan dan penguasaan rumah. Hasil survei menunjukkan bahwa 99 orang memiliki rumah sendiri dan 100 orang mempunyai hak penguasaan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat satu orang yang berstatus sebagai penyewa. Kepemilikan rumah yang cukup tinggi diantaranya disebabkan tradisi Bajo yang menyebutkan bahwa keputusan untuk membeli rumah adalah keputusan keluarga besar yang juga membantu dalam usaha kepemilikan rumah. Status kepemilikan rumah di Mola Utara hanya berdasarkan pada SPPT pembayaran pajak bumi dan bangunan. Mereka tidak mengenal adanya sertifikat tanah baik yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan karena tanah yang ada di Mola Utara adalah tanah buatan hasil reklamasi laut. Dari kondisi fisik rumah yang dimiliki akan terlihat perbedaan yang mencolok antara nelayan setingkat ‘bos’ dan nelayan biasa. Rumah ‘bos’ adalah rumah permanen yang dibangun diatas lahan buatan yang diurug batu karang dan memiliki fasilitas yang baik. Lantai rumah biasanya terbuat dari keramik dan memakai atap genteng. Sedangkan kebanyakan nelayan memiliki rumah panggung yang terbuat dari kayu. Rumah ini biasanya bertiang pancang dari kayu bakau, dengan atap daun kelapa dan dinding bambu (gedek). Dari keseluruhan responden terdapat 36 rumah tangga (35,6 persen) yang memiliki kendaraan pribadi seperti sepedesa, sepeda motor dan beberapa orang yang memiliki mobil. Selain itu, sampan dayung dianggap sebagai salah satu kendaraan pribadi di desa ini. 61 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Barang elektronik merupakan aset yang banyak dimiliki oleh rumah tangga di Mola Utara. Sebanyak 44 rumah tangga (43,6 persen) memiliki barang elektronik, biasanya berupa televisi, radio tape, VCD player atau kulkas. Barang-barang elektronik merupakan barang bekas yang diimpor secara ilegal dari Malaysia atau Singapura. Selain barang elektronik, rumah tangga di Mola Utara juga banyak menyimpan emas. Menurut tabulasi data terdapat 85 rumah tangga (84,2 persen) yang memiliki emas dan hanya 16 rumah tangga yang tidak memiliki emas. Kepemilikan emas yang tinggi di Mola Utara berkaitan erat dengan fungsi emas sebagai tabungan yang mudah digadaikan pada saat yang diperlukan. Keputusan untuk membeli emas biasanya dilakukan oleh istri. Selain menyimpan emas, beberapa responden menyimpan dalam bentuk perhiasan lain yaitu mutiara. Walaupun harganya mahal, perhiasan ini tidak bisa dengan cepat digadaikan. Karena itu mutiara kurang popular, penduduk desa lebih suka menyimpan emas. 5.4. Kondisi Perumahan dan Sanitasi Lingkungan Sebagian besar rumah penduduk masih merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu, dengan memakai dinding bambu (jalajja’) dan atap daun kelapa (daun seloka). Rumah panggung ini harus selalu direnovasi hampir setiap tahun. Tiang pancang (Benteh) yang biasa terbuat dari kayu bakau harus diganti setiap tahun. Sedangkan atap kelapa dan dinding bambu harus diganti setiap dua tahun sekali. Mahalnya biaya renovasi yang harus dikeluarkan membuat sebagian penduduk mulai membangun rumah permanen. Rumah permanen biasanya dibangun pada lokasi rumah panggung dengan terlebih dahulu menimbun batu karang dibawahnya sehingga terbentuk daratan. Penduduk Bajo tidak mau pindah ke daratan karena menurut mereka pemukiman yang ideal untuk tempat tinggal adalah tetap diatas laut (madiata’ boe). Proses pembuatan tembok ini memerlukan biaya yang besar. Apabila dikalkulasi sebenarnya biaya yang mereka keluarkan untuk menembok laut sebesar tiga kali lipat dari harga lahan di darat. Sebagian besar masyarakat sudah memiliki fasilitas MCK walaupun dengan kondisi yang berbeda. Sebagai contoh rumah ‘bos’ memiliki MCK yang permanen yang berada dalam rumah masing-masing, sedangkan penduduk biasa memiliki jamban cemplung yang ada di belakang atau samping rumah mereka. Tempat penampungan kotoran umumnya dibuat pembatas dari batu karang, sehingga kotoran tidak tersebar kemana-mana. Sebagian rumah yang terletak dekat laut tidak memiliki MCK dan membuang kotoran di laut. Masyarakat Mola Utara biasa membuang sampah di laut. Akan tetapi, pada saat air pasang membawa sampah yang hanyut masuk ke dalam selokan-selokan yang ada di sekeliling desa. Selain itu, tidak semua sampah bisa hanyut kembali ke laut saat air surut. Hal ini membuat selokan yang ada lingkungan di Desa Mola Utara menjadi kotor. Akibatnya, di beberapa tempat terlihat onggokan sampah yang mengganggu pemandangan dan menebarkan bau yang kurang sedap. Kebutuhan air minum rumah tangga selama ini dipenuhi oleh perusahaan air minum yang dikelola oleh pemerintah dan Yayasan Bina Insani. PAM yang dikelola pemerintah mulai masuk ke Desa Mola Utara Utara sekitar tahun 1989. Pada saat itu, PAM ini merupakan sumber air minum satu-satunya yang ada di Desa Mola Utara. PAM pemerintah mengambil sumber mata air dari Wanci (wilayah darat). Kualitas air yang
62
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
dihasilkan relatif bagus, tidak terpengaruh pasang surut air laut. Akan tetapi, karena jangkauan pelayanan yang meliputi beberapa desa membuat pasokan air minum yang sampai ke Desa Mola Utara Utara seringkali tersendat. Pada awal tahun 2000, yayasan Bina Insani dengan bantuan dari pemerintah Kanada mendirikan proyek air bersih sebagai pelengkap dari PAM yang dikelola oleh pemerintah. Proyek air bersih ini kemudian dikenal sebagai PAM yayasan. Proyek air bersih ini mengambil sumber mata air dari Desa Numana. Debit air yang dihasilkan sumber mata air ini cukup besar sehingga pasokan air ke rumah-rumah tangga tidak pernah tersendat. Akan tetapi sumber mata air ini sensitif terhadap pasang surut laut. Bila laut pasang, air dari PAM ini merupakan air tawar dan sebaliknya bila air surut, air PAM yang dihasilkan terasa asin karena intrusi air laut di sumber air tersebut. Biaya pemakaian air untuk kedua PAM ini sama yaitu sebesar Rp 250/ m 3. Ratarata pemakaian air oleh masyarakat relatif sedikit sebesar 3-4 m3 per bulan. Hal ini disebabkan masyarakat hanya memakai air PAM untuk keperluan minum saja. Sedangkan untuk mandi dan mencuci, masyarakat tetap memakai air laut. Biasanya masyarakat hanya menggunakan air PAM untuk membilas badan mereka saja. Selama ini penduduk Mola Utara memanfaatkan PLN sebagai sumber penerangan yang sudah ada sejak tahun 1987. Sedangkan untuk keperluan memasak, penduduk memakai kayu bakar dan minyak tanah. Harga kayu bakar Rp 1.000 per ikat bisa dipakai untuk satu kali masak. Sedangkan konsumsi minyak tanah biasanya satu liter per hari. Harga minyak tanah di Mola Utara sebesar Rp 1.000 per liter.
63 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab VI Degradasi SDL dan Faktor-Faktor Yang Berpengaruh 6.1. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Desa Mola Utara yang terletak di Pulau Wangi-Wangi kaya akan sumber daya laut (SDL), tetapi kekayaan ini telah dieksploitasi secara berlebihan dan telah menimbulkan degradasi pada ekosistem terumbu karang. Kerusakan ekosistem ini berimplikasi negatif terhadap fungsi ekologi terumbu karang seperti: kuantitas ikan dan biota laut lainnya, keanekaragaman hayati SDL dan dampak lain seperti sedimentasi dan abrasi pantai; dan fungsi sosial ekonomi masyarakat termasuk hasil tangkapan, pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Hampir semua responden (98 persen) mengatakan terumbu karang di Desa Mola Utara atau karang Kapota telah mengalami degradasi dan sebagian besar bahkan mengungkapkan bahwa terumbu karang telah rusak. Saat ini, menurut sebagian besar (78 persen) responden, tingkat kerusakan lebih besar jika dibandingkan dengan kerusakan pada lima tahun yang lalu. Hal ini berkaitan erat dengan meningkatnya penggunaan bahan yang merusak, terutama bius. Tingginya kerusakan terumbu karang digambarkan responden dari dampak kerusakan terhadap fungsi ekologi terumbu karang yang merupakan tempat bertelur dan rumah ikan. Hasil survei mengungkapkan sebanyak 95 persen responden mengatakan bahwa kerusakan terumbu karang telah berakibat negatif terhadap jumlah dan jenis ikan dan biota yang hidup dan berkembang biak di terumbu karang. Mereka merasakan jumlah ikan semakin berkurang terutama di sekitar Desa Mola Utara dan karang Kapota. Karena itu, wilayah tangkap mereka, terutama ikan hidup (seperti kerapu dan sunu) semakin menjauhi desa, terutama untuk wilayah Wakatobi di karang Kaledupa, Tomia dan Binongko, sedangkan wilayah tangkap ikan hidup di luar kawasan Wakatobi sampai dengan wilayah Propinsi NTT dan Irian (Papua). Menurunnya jumlah dan jenis ikan mengindikasikan bahwa di sekitar Desa Mola Utara dan karang Kapota telah terjadi pengurangan keaneka ragaman hayati sumber daya laut di wilayah tersebut. Keadaan ini dikemukakan oleh sebagian besar (81 persen) responden. Berkurangnya diversitas sumber daya hayati laut berkaitan erat dengan rusaknya terumbu karang yang merupakan tempat bertelur dan rumah ikan, sehingga ikan-ikan dan biota laut yang hidup di karang berpindah ke tempat lain yang kondisi karangnya masih baik. Sebagai contoh, dulu ikan Napoleon dan lobster sangat banyak di karang Kapota, tetapi sekarang keduanya sudah merupakan SDL yang langka di wilayah karang tersebut. 6.2. Faktor Internal yang Berpengaruh Studi ini mengidentifikasi dua faktor internal yang berpengaruh signifikan terhadap degradasi SDL, khususnya terumbu karang di Desa Mola Utara. Pertama, faktor internal yang berkaitan langsung dengan kerusakan, yaitu: penggunaan alat dan 65 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
bahan yang merusak seperti bom dan potas serta pengambilan batu karang dan pasir. Kedua, faktor internal yang tidak langsung menyebabkan kerusakan ekosistem ini tetapi mempunyai implikasi penting terhadap prilaku yang tidak ramah lingkungan. Faktor tidak langsung ini termasuk pengetahuan, kesadaran dan prilaku instrumental stakeholders dan motivasi mereka dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang. 6.2.1. Faktor Internal yang Langsung Berpengaruh Pada Kerusakan Terumbu Karang 6.2.1.1. Penggunaan Alat dan Bahan yang Merusak Bom Penggunaan bom merupakan cara penangkapan ikan untuk mendapatkan hasil yang banyak dalam waktu yang cepat. Masyarakat Desa Mola Utara sudah familiar dengan penggunaan bom sejak lama, yaitu sejak zaman Jepang tahun 1942-1945. Kegiatan ini diperkenalkan oleh tentara Jepang pada nelayan suku Bajo dalam kegiatan Romusha (kerja paksa). Tujuan utama tentara tersebut adalah meningkatkan produksi ikan nelayan untuk memenuhi konsumsi ikan tentara Jepang. Sejak itu pengeboman menjadi kegiatan penangkapan ikan yang biasa dilakukan nelayan suku Bajo sampai sekarang, walaupun intensitas penggunaan sekarang sudah sangat berkurang. Masyarakat Desa Mola Utara mengetahui bahwa penggunaan bom dilarang pemerintah. Pelarangan ini dikemukakan oleh semua responden (100 persen), sebagian besar setuju dengan aturan pemerintah tersebut karena penggunaan bom berdampak pada kerusakan terumbu karang dan berkurangnya ikan yang hidup dan berkembang biak di terumbu. Hanya 3 persen dari responden yang menyatakan tidak setuju dengan pelarangan bom, mereka adalah nelayan atau anggota keluarga dari nelayan yang masih menggunakan bom dalam menangkap ikan. Walaupun pengeboman tidak diperbolehkan, tetapi kegiatan ini masih terus dilakukan oleh nelayan Desa Mola Utara dan nelayan dari luar desa. Lebih dari separuh responden (55 persen) menyatakan bahwa ada nelayan (dari dalam desa maupun luar desa) yang melakukan pengeboman dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Kebanyakan nelayan pengebom berasal dari luar seperti dari Sinjai (Sulsel) dan Kendari. Tetapi responden umumnya mengatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam kegiatan tersebut. Padahal sebagian dari responden ini, menurut informan kunci, melakukan pengeboman tetapi ketika ditanya mereka tidak mengakui perbuatannya, bahkan sebaliknya mereka berbohong dengan mengkambing hitamkan nelayan lain. Mereka tidak mau mengakui perbuatan ini karena mengetahui bahwa pengeboman dilarang pemerintah dan jika mengaku maka mereka akan mendapatkan sanksi. Hanya enam persen responden yang secara jujur mengakui bahwa mereka masih melakukan pengeboman. Nelayan pengebom ini umumnya berasal dari keluarga pengebom ikan. Beberapa nelayan pengebom yang diwawancarai secara mendalam mengatakan mereka masih mengebom karena kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun, mereka belajar cara membuat bom dan melakukan pengeboman dari orang tua. Mereka tahu kalau bom dilarang dan sebetulnya mereka berkeinginan untuk berhenti. Tetapi keinginan tersebut belum dapat dipenuhi karena belum adanya bantuan yang tidak mengikat (seperti bantuan dari bos-bos ikan hidup dengan nelayan pancing) untuk mengalihkan kegiatan pengeboman. Sedangkan mereka tidak mempunyai akses
66
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
untuk mendapatkan bantuan dari bos -bos ikan karena mereka tidak termasuk dalam kelompok nelayan pancing. Setiap kali melaut pengebom ikan biasanya membawa 5-6 botol bom dan dari sejumlah bom tersebut mereka mendapatkan ikan sekitar 10 tusuk. Dalam operasi pengeboman, pengebom (terdiri dari 3-5 nelayan) menggunakan mesin TS yang dibeli oleh seorang nelayan dengan pinjaman uang dari BR I. Sebetulnya kegiatan menangkap ikan dengan bom membutuhkan biaya yang relatif besar, harga setiap botol bom (termasuk pupuk, sumbu, korek dan botol) sebesar Rp 7.500. Pupuk yang dibeli di pelabuhan pada kapal yang datang dari Tawau. Botol ini dilempar pada jarak sekitar 10 meter dari bodi (sampan) dan akan meledak dalam waktu 1-3 menit, tergantung dari panjangnya sumbu. Biasanya mereka merakit bom di karang atau dirumah pada malam hari setelah anggota keluarga tidur. Kegiatan pengeboman dilakukan pada pagi hari dan baru kembali ke desa pada sore hari sekitar jam tiga. Pengeboman dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena takut dengan petugas patroli. Menurut informan kunci, pupuk yang merupakan bahan dasar pembuatan bom di’pasarkan’ di Wanci (ibukota Kecamatan Wangi-Wangi) yang dikenal sebagai ‘gudang pupuk’. Persediaan pupuk di kota ini cukup banyak sampai ratusan ton. Pupuk ini didatangkan secara illegal (selundupan) dari Tawau dan Singapura oleh pengusaha yang melakukan perdagangan di Pulau Wangi-Wangi. Bahan illegal ini kemudian dijual di pasar gelap secara sembunyi-sembunyi melalui orang-orang tertentu yang telah dikenal oleh para nelayan pengebom tidak hanya di Desa Mola Utara Kecamatan Wangi-Wangi tetapi juga dari Kecamatan Kaledupa, Tomia dan Kota Bau-Bau. Sebagian besar responden (62 persen) mengetahui bahwa ada sanksi untuk nelayan yang melakukan pengeboman dan pengedar pupuk bahan bom. Kegiatan penegakan hukum bagi pelanggar sudah diterapkan, tetapi belum optimal. Operasi yang dilakukan tim gabungan yang melibatkan polisi dan pejabat pemerintah daerah pernah berhasil menangkap pengusaha yang menyimpan sekitar 1000 kg pupuk. Hasil tangkapan berupa barang bukti di serahkan ke polsek di Bau-Bau (ibukota Kabupaten Buton). Disamping pengedar pupuk, pengebom juga pernah di tangkap dan diproses di Polsek Bau-Bau. Tetapi dalam pelaksanaan penegakan hukum banyak kasus yang tidak ditindak lanjuti, mereka tertangkap di laut dan diselesaikan ditempat kejadian, menurut beberapa informan kunci pelepasan tersebut biasanya melibatkan uang. Seorang petugas mengatakan bahwa petugas tidak bisa terlalu ketat dalam melaksanakan tugasnya, karena bahaya akan mengancam diri mereka mengingat ‘bos-bos’ ikan sudah mempunyai backing di level atas. Keadaan ini sering kali membuat petugas di lapangan kewalahan, mereka berusaha melakukan tugas dan menangkap pelaku pelanggaran tetapi pelanggar tersebut kemudian dilepaskan dalam proses penegakan hukum di BauBau. Pemerintah daerah, khususnya tingkat Kecamatan Wangi-Wangi, sudah mulai peduli dengan kegiatan pengeboman di kawasan Wakatobi. Keadaan ini diindikasikan misalnya oleh adanya pernyataan dan surat edaran camat Wangi-Wangi yang menyatakan ‘perang’ terhadap pengeboman; ‘barang siapa membawa pupuk (bahan bom) dan melakukan pengeboman akan ditangkap’. Maklumat ini sayangnya belum berlaku efektif, sehingga kegiatan pengeboman masih terus berlangsung. Hal ini berkaitan dengan tidak tegasnya pemberlakuan maklumat, karena pada masa awal pemberlakuan ini mereka yang tertangkap membawa bahan dan melakukan pengeboman tidak ditangkap tetapi hanya diberi nasihat berupa pembinaan saja. Jadi walaupun sekarang pak Camat mengatakan siapa yang tertangkap di proses hukum, 67 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
tetapi baru beberapa orang pelanggar saja yang sampai ke pengadilan di Bau-Bau, sedangkan kasus lainnya tidak diproses lebih lanjut. Masih terbatasnya tindakan pencegahan dan pengamanan dari aparat relevan di tingkat desa maupun kecamatan berkaitan erat dengan ketersediaan aparat dan fasilitas untuk melakukan operasi di laut. Angkatan laut, misalnya, hanya terdiri dari tiga staff termasuk komandan dengan fasilitas yang sangat minim, yaitu satu speed boat yang tidak ada mesinnya. Bagaimana mereka dapat melakukan patroli dengan kondisi seperti ini. Demikian juga dengan kecamatan belum memiliki armada kapal untuk keperluan patroli. Karena itu, patroli gabungan A.L, koramil, polsek, Jagawana dan aparat kecamatan tidak dapat dilakukan secara reguler karena biaya operasi sangat mahal. Untuk sekali patroli mereka harus menyewa kapal dan biaya operasional (biaya operasional saja sebesar Rp 500.000). Terbatasnya fasilitas dan teknologi yang digunakan dalam patroli berdampak pada kurang berhasilnya kegiatan operasi. Patroli tidak dapat mengejar pengebom dan pembius yang umumnya menggunakan speed boat dengan kecepatan yang jauh melebihi kecepatan kapal patroli. Bius (Potasium) Disamping dampak pengeboman, menurut sebagian besar responden (81 persen), kerusakan terumbu karang di karang Kapota disebabkan oleh penggunaan bius atau potasium. Kawasan terumbu karang yang rusak akibat pembiusan sudah cukup luas, karena kegiatan ini sudah dilakukan cukup lama, yaitu sejak pertengahan tahun 1980-an yang dikenalkan oleh nelayan dari luar (keterangan mendetail lihat bab 3 bagian 3.3.). Hampir semua responden (92 persen) mengetahui adanya larangan penggunaan bius. Informasi pelarangan bius diperoleh dari mulut ke mulut dan sebagian melihat operasi penangkapan nelayan yang menggunakan bius di laut. Mereka setuju dengan aturan pemerintah tersebut, karena dampak negatif penggunaan bius. Menurut informan kunci dampak pembiusan lebih besar jika dibandingkan dengan dampak pengeboman. Keadaan ini diindikasikan dari areal terumbu karang yang mengalami kerusakan jauh lebih luas karena terjadi di seluruh kawasan yang terkena aliran air yang terkontaminasi obat bius. Batu karang yang terkena bius menjadi putih dan lama kelamaan mati. Kematian terumbu karang ini berakibat pada berkurangnya jumlah dan keanekaragaman ikan dan biota laut lain yang hidup di karang. Walaupun masyarakat mengetahui dan menyetujui larangan penggunaan bius, kegiatan ini masih tetap dilakukan di kawasan Wakatobi, termasuk karang Kapota dan Kaledupa. Tetapi kegiatan ini tidak terlalu mencolok, diindikasikan dari sebagian besar (77 persen) responden mengatakan bahwa sudah tidak ada kegiatan pembiusan di Desa Mola Utara, baik yang dilakukan oleh nelayan Mola maupun nelayan dari luar. Pengakuan tidak adanya kegiatan pembiusan ini berlaku khusus bagi nelayan di Desa Mola Utara, tetapi tidak berlaku bagi nelayan luar desa ini. Menurut informan kunci kegiatan pembiusan ikan terpusat di Tomia. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh nelayan luar dari kapal-kapal ikan yang datang dari luar kawasan Wakatobi. Sedangkan nelayan lokal yang melakukan pembiusan biasanya bekerja sama dengan atau merupakan kepanjangan tangan dari pengusaha di kapalkapal ikan. Seperti pupuk bahan bom, bius (potas) dapat dibeli secara sembunyi-sembunyi di Wanci, tetapi pemasaran bius lebih terbuka dibandingkan dengan pupuk. Kegiatan 68
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
penangkapan ikan dengan bius memerlukan biaya yang mahal. Harga bius bervariasi antar musim, pada musim non-ikan hidup harga perkilogram potas sebesar Rp 80.000 sedangkan pada musim ikan hidup, harga naik menjadi Rp 125.000 per kg. Untuk sekali melaut biasanya memerlukan dua butir potas (potas dalam bentuk butiran sebesar kapur barus) yang dicampur dengan tiga botol aqua besar. Cairan yang berisi bius ini disemprotkan ke karang tempat ikan, biasanya sekali melaut mendapat sekitar 60 ekor ikan. Disamping biaya pembelian bius, pembius juga memerlukan kompressor (yang harganya sangat mahal) karena nelayan berada di bawah air selama kurang lebih tiga jam. Biasanya setiap kompressor digunakan oleh dua nelayan pembius dan setiap kapal terdiri dari enam nelayan. Nelayan merasakan dampak negatif dari penggunaan bius, tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk melarang kegiatan pembiusan, seperti yang dipunyai aparat pemerintah. Karena itu, mereka menciptakan cara sendiri yang secara tidak langsung melakukan pelarangan, yaitu dengan pergi ke lokasi tangkap di kawasan karang lebih awal dari para pembius. Pada waktu pembius ikan datang, kawasan tangkap tersebut sudah dipenuhi nelayan lokal dan mereka meminta pembius untuk mencari lokasi tangkap di daerah lain. Cara ini biasanya cukup ampuh untuk mengusir para pembius. Tetapi ada beberapa pembius yang tidak peduli dengan larangan nelayan, mereka masih melakukan kegiatan pembiusan. Hal ini membuat nelayan marah sehingga ada kasus dimana nelayan lokal menangkap dan ingin menghajar pembius, untung masih dapat dicegah. Sebagian besar responden (65 persen) mengetahui adanya sanksi bagi pembius, tetapi pelaksanaan sanksi belum optimal diterapkan di kawasan Wakatobi. Hal ini berkaitan erat dengan masih terbatasnya pengawasan di laut (lihat kasus pengeboman karena alasan yang dikemukakan sama dengan kasus pengeboman). Disamping itu, tidak mudah bagi petugas untuk menangkap basah pelaku pembiusan karena peralatan yang mereka gunakan lebih canggih dari petugas patroli. Menyadari keterbatasan ini, pihak kecamatan berencana akan membentuk tim pengawasan laut yang berbasis masyarakat. Agar tim pengawasan ini mempunyai kewenangan dan kekuatan dalam menjalankan tugasnya, maka tim tersebut akan dikukuhkan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah berperan sebagai fasilitator dan mendukung kerja tim yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat. 6.2.1.2. Pengambilan Karang Pengambilan karang mempunyai dampak langsung terhadap degradasi terumbu karang di Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi. Kegiatan ini mulai marak dilakukan sejak tahun 1970-an ketika masyarakat desa ini mulai membangun rumah permanen dengan melakukan reklamasi. Untuk menimbun laut dan membuat tembok (fondasi rumah) diperlukan batu karang dalam jumlah yang besar. Pada waktu penelitian ini dilakukan masyarakat sudah melakukan reklamasi sejauh 50 meter dari pantai dengan panjang sekitar 200 meter. Kebutuhan akan batu karang semakin besar karena tidak hanya memenuhi konsumsi masyarakat desa tetapi juga tempat lain seperti Desa Mendati dan Kota Wanci. Hampir semua responden (99 persen) mengetahui pengambilan batu karang dilarang pemerintah. Tetapi sebagian masyarakat masih melanggar ketentuan ini karena pengambilan batu karang merupakan usaha yang relatif mudah dan memberikan hasil yang cukup lumayan, terutama bagi ibu-ibu janda atau mereka yang ditinggal suami melaut dalam waktu yang cukup lama. Disamping itu, usaha pengambilan karang tidak 69 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
membutuhkan modal yang besar, karena alat yang digunakan sangat sederhana berupa linggis dan pemecah batu karang dan lokasi pengambilan juga tidak jauh dari desa, yaitu disekitar Pulau Kapota. Dalam enam bulan terakhir sebagian besar responden mengaku pernah mengambil karang. Batu karang tersebut kebanyakan (71 persen) di gunakan untuk keperluan sendiri, mereka mengumpulkan batu karang untuk membuat tembok (fondasi rumah). Sebagian responden (24 persen) mengambil batu karang untuk tujuan komersil yaitu di jual pada penduduk yang ada di Desa Mola Utara, Desa Mandati atau Kota Wanci. Responden lainnya mengungkapkan mereka mencari batu karang untuk keperluan sendiri dan untuk dijual. Kegiatan pengambilan karang dapat dilakukan setiap hari sepanjang tahun, tidak seperti ikan yang bermusim (keterangan mendetail dapat dilihat pada bab 4). Meskipun masih banyak anggota masyarakat Mola Utara yang terlibat dalam pengambilan karang, lebih dari 90 persen responden menyatakan setuju dengan pelarangan pengambilan karang. Persetujuan ini utamanya ditujukan untuk pengambilan ‘batu’ karang ‘merah’ yang masih hidup karena merusak terumbu karang. Sedangkan masyarakat Mola Utara yang mengambil karang, kebanyakan mengambil batu karang yang sudah mati. Jadi, menurut mereka, tidak merusak karang. Pemahaman masyarakat akan kerusakan ekologi yang disebabkan pengambilan karang masih sangat terbatas. Hal ini dapat digambarkan dari belum mengertinya mereka akan dampak negatif pengambilan karang terhadap abrasi pantai (karena karang yang menjadi pelindung pantai dari arus atau ombak) atau meningkatnya sedimentasi (karena penggalian batu karang). Sebagian besar (65 persen) responden menyatakan bahwa pemerintah menerapkan sanksi bagi pengambil karang. Pada tahun 1999 sebanyak 110 pengambil karang dari Desa Mola Utara ditangkap oleh petugas patroli. Batu yang telah dikumpulkan dibuang ke laut dan linggis diambil petugas sebagai bahan bukti tetapi kemudian dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Dari jumlah pengambil karang yang tertangkap ini hanya sebagian kecil yang berhenti, sedangkan sebagian terbesar (70 orang) masih beroperasi pada waktu penelitian di lakukan. Sebetulnya aparat desa dan petugas Jagawana mengetahui kegiatan pengambil karang di Desa Mola Utara tetapi mereka tidak mengambil tindakan. Mereka membiarkan pengambil karang melakukan kegiatannya karena petugas menganggap kegiatan tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap kerusakan karang di wilayah ini. Tetapi jika ada rencana patroli atau ada petugas dari kecamatan atau kabupaten yang datang mereka memberi informasi pada pengambil karang untuk tidak beroperasi, misalnya pada waktu pak Bupati Buton berkunjung ke Pulau Wangi-Wangi, pengambil karang tidak bekerja karena sudah diberitahu oleh petugas desa dan Jagawana. 6.2.1.3. Pengambilan Pasir Pengambilan pasir juga memberikan kontribusi terhadap degradasi sumber daya laut termasuk kerusakan ekosistem terumbu karang. Pengambilan pasir menyebabkan peningkatan sedimentasi yang dapat menutupi terumbu karang. Masyarakat Desa Mola Utara mengambil pasir di pantai Pulau Usunu yang tidak berpenghuni. Kegiatan pengambilan pasir sudah dilakukan sejak lama bersamaan dengan pengambilan batu karang yaitu ketika mulai maraknya pembangunan rumah permanen
70
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
di Desa Mola Utara. Seperti pengambilan batu karang, pengambilan pasir juga merupakan usaha yang menguntungkan, mudah dikerjakan, dapat dilakukan setiap hari, menggunakan peralatan yang sederhana dan memberikan keuntungan ekonomi. Lokasi pengambilan yang dekat hanya memerlukan waktu setengah jam dayung dari desa, demikian juga dengan jam kerja hanya sekitar dua jam, berangkat jam 6.00 pagi dan pulang jam 8.00 pagi. (keterangan detail mengenai produksi dapat dilihat pada bab 4). Berbeda dengan batu karang, pengambilan pasir tidak dilarang pemerintah, masyarakat juga tidak mengetahui kalau kegiatan ini berdampak pada sedimentasi dan kerusakan terumbu karang. Kegiatan ini perlu mendapat perhatian karena volume produksi pasir meningkat dari waktu ke waktu tanpa pengontrolan apakah sudah melebihi atau masih memenuhi daya dukung Pulau Usunu dalam penyediaan pasir bagi konsumsi masyrakat Desa Mola Utara. Pengawasan ini sangat penting, utamanya untuk mengetahui keseimbangan antara pemanfaatan sosial ekonomi pasir dengan pelestarian Pulau Usunu. 6.2.2. Faktor Internal yang Tidak Langsung Berpengaruh Terhadap Kerusakan Terumbu Karang Kerusakan terumbu karang berkaitan erat dengan pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem tersebut. Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pelestarian lingkungan dapat berpengaruh pada kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut ini. Sebagian masyarakat sebetulnya sudah mengetahui dan menyadari perlunya pengelolaan berkelanjutan, tetapi karena motifasinya, misalnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya atau karena kemiskinan yang mereka alami, pengetahuan dan kesadaran tersebut tidak mendukung prilaku mereka. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat Desa Mola Utara mengetahui fungsi ekologi terumbu karang. Hampir semua responden (94 persen) mengatakan terumbu karang merupakan tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan dan sebanyak 74 persen menyatakan terumbu karang berguna untuk melestarikan keanekaragaman hayati laut. Pengetahuan tersebut mereka peroleh dari cerita dari mulut ke mulut yang didukung pengamatan sehari-hari selama mereka melaut. Mengingat pentingya fungsi terumbu karang, masyarakat mengetahui dan menyadari pentinya menjaga kelestarian ekosistem ini. Sebelum zaman Jepang masyarakat mengelola terumbu karang secara bijaksana, tetapi setelah itu masyarakat melakukan eksploitasi secara berlebihan dengan menggunakan bom, bius, pengambilan karang dan pasir tanpa memperhatikan kesinambungannya. Keadaan semakin buruk dengan masuknya nelayan dan kapal-kapal ikan dari berbagai tempat, baik domestik maupun internasional. Mereka bersama-sama dengan masyarakat berkompetisi memperebutkan SDL di kawasan Wakatobi. Untuk memenangkan kompetisi, mereka sering kali melakukan kegiatan yang tidak ramah lingkungan. Sebagian masyarakat tidak menindak lanjuti pengetahuan dan kesadaran masyarakat dengan prilaku yang mendukung. Ketidak konsistenan antara ketiga variabel tersebut berkaitan erat dengan motif ekonomi, antara lain: pertama, masyarakat ingin mendapatkan hasil dalam jumlah yang relatif banyak secara cepat dan mudah, misalnya nelayan yang menggunakan bom, pengambil batu karang dan bos ikan yang memberikan fasilitas untuk menggunakan bius pada nelayan anggotanya. Kedua, nelayan Desa Mola Utara mendapat pengaruh dari luar seperti pengguna bius (jumlah 71 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
pembius di Desa Mola Utara masih terbatas). Walaupun mereka tidak menggunakan bius tetapi mereka terkena dampak negatif dari kegiatan tersebut. Sebagian masyarakat sangat peduli dengan pelestarian terumbu karang tetapi mereka tidak mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menjaga terumbu karang, terutama di wilayah tangkap mereka. Akibatnya, perusakan dan kerusakan terus berlangsung baik yang dilakukan nelayan dari dalam maupun luar desa dan kawasan Wakatobi. Mereka sangat berharap dilaksanakannya penegakan hukum bagi para perusak terumbu karang seperti pengebom dan pembius. Tetapi dilain pihak, mereka agak pesimis harapan mereka dapat diwujudkan karena banyaknya kasus pelanggaran yang diselesaikan di tempat tanpa melalui proses hukum. Walaupun motif ekonomi sangat penting dalam menentukan prilaku masyarakat nelayan, sebagian besar responden dalam survei tidak mengetahui kegunaan ekonomi terumbu karang seperti: dua per tiga responden tidak mengetahui kegunaan terumbu karang sebagai bahkan baku makanan, obat-obatan, kapur dan fondasi rumah. Keadaan ini bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mola Utara, seperti menggunakan batu karang sebagai bahan tembok atau fondasi rumah. Jawaban responden yang tidak konsisten ini berkaitan erat dengan metode pertanyaan survei yang dilakukan secara terbuka. Responden hanya menyebutkan kegunaan ekologi tetapi tidak menyebutkan manfaat ekonomi, sedangkan interviewer hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh responden tanpa melakukan probing. Ketidak konsistenan ini terjawab ketika dilakukan wawancara mendalam pada beberapa responden dan informan kunci yang menyatakan secara jelas manfaat ekonomi terumbu karang seperti untuk fondasi rumah, bahan bangunan, kapur sirih dan hiasan akuarium. 6.3. Faktor Eksternal yang Berpengaruh Faktor-faktor eks ternal yang berpengaruh dalam pengelolaan SDL di Desa Mola Utara dapat dikelompokkan dalam tiga hal penting, yaitu: yang berkaitan dengan aturan, kebijakan dan program pemerintah; konflik kepentingan antar stakeholder yang instumental dalam pengelolaan SDL; dan pemanfaatan SDL dalam kerangka Otoda. 6.3.1. Peraturan, Kebijakan dan Program Pemerintah yang Berkaitan Dengan Pengelolaan SDL Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Penetapan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) didasarkan pada UU no.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Menurut undang-undang tersebut, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi, yaitu: zona inti (sanctuary zone), zona pelindung (wilderness zone), zona rehabilitasi (rehabilitation zone), zona pemanfaatan (used zone) dan zona pemanfaatan tradisional. Sistem zonasi ini mengindikasikan adanya keterpaduan antara pemanfaatan ekonomi dan pelestarian sumber daya laut dan lingkungan dalam pengelolaan kawasan taman nasional. Pengelolaan taman nasional diatur oleh Departemen Kehutanan cq. Dirjen Pengelolaan Hutan Konservasi Alam (PHKA). Penetapan zonasi juga dilakukan di pusat berdasarkan pemikiran dan perkiraan staff di Jakarta tanpa memperhatikan kondisi lapangan dan tidak melibatkan masyarakat setempat. 72
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Pemetaan TNKW dengan pendekatan top-down ini tidak dapat diimplementasikan secara optimal. Zonasi yang dibuat tidak dapat diterapkan di lapangan karena kawasan tersebut sudah menjadi wilayah tangkap dan produksi mas yarakat setempat dan nelayan sekitarnya. Sebelum ditetapkannya kawasan TNKW, masyarakat sudah melakukan aktifitas sosial ekonomi dan kegiatan ini masih terus berlangsung sampai sekarang. Keadaan ini tentu saja berpengaruh terhadap pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan. Selama ini pengelolaan TNKW masih sangat minim. Belum efektifnya pelaksanaan taman nasional, menurut pihak pengelola TNKW, berkaitan erat dengan: (1) masih lemahnya penegakan hukum karena masih rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kawasan konservasi dan koordinasi antar aparat hukum yang berwenang, (2) keterbatasan sarana, prasarana dan dana pengamanan sehingga intensitas pemantauan kondisi dan keamanan kawasan taman nasional masih sangat rendah, (3) masih terbatasnya pemanfaatan kawasan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, (4) masih terbatasnya studi potensi sumber daya alam TNKW, dan (5) minimnya kemampuan taman nasional, baik ketrampilan teknis maupun manajemen taman nasional (Unit Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, 2001: 23-24). Menyadari permasalahan TNKW, pihak PHKA berencana membuat zonasi baru yang lebih riel dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Untuk itu di Kecamatan Wangi-Wangi telah diadakan rapat konsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat, LSM, aparat desa dan pemerintah daerah. Tetapi pada waktu rapat dilakukan, pihak taman nasional telah membuat rencana yang tercantum dalam Materi Pembahasan Tingkat Kecamatan dalam Rangka Peninjauan/pengkajian Perubahan Zonasi TNKW. Dalam dokumen rencana perubahan zonasi telah dicantumkan lokasi zona taman nasional, seperti: (1) zona inti di perairan Karang Ndaa, Karang Koko, Karang Cowo-Cowo (tuwutuwu), Karang Kentiolo, Karang Koromaha, sebagian perairan Karang Kaledupa, Karang Runduma dan perairan sekitar P.Moromaho; (2) zona pelindung di wilayah Karang Kapota, P.Anano dan perairan sekitar P Linlea; (3) zona rehabilitasi di Karang Kaledupa; (4) zona pemanfaatan tradisional di pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko, Runduma dan Moromaho (Unit Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, 2001:31-34). Walaupun pihak pengelola taman nasional mengatakan bahwa perubahan zonasi akan melibatkan masyarakat dengan pendekatan bottom -up, keinginan ini dilakukan setengah hati. Hal ini dapat diketahui dari telah dibuatnya rencana perubahan zonasi oleh pihak pengelola taman nasional. Dalam pendekatan bottom-up, perencanaan dilakukan di tingkat masyarakat dan ditindak lanjuti oleh pengelola taman nasional. Dengan telah dibuatnya rencana zonasi yang baru oleh pihak pengelola, ada kecendrungan pihak pengelola ingin menjustifikasi dan hanya meminta persetujuan masyarakat sekitar kawasan TNKW akan rencana yang telah dibuat. Larangan Penggunaan Bahan Peledak dan Beracun serta Penambangan Karang Perhatian Pemerintah Daerah Tingkat II Buton terhadap pengelolaan SDL secara berkelanjutan masih sangat terbatas. Gambaran ini diindikasikan dari rendahnya respon daerah terhadap perusakan SDL, seperti belum adanya paraturan daerah (perda) yang melarang penggunaan bahan peledak dan beracun serta penambangan karang. Karena itu, ketentuan pelarangan tersebut masih mengacu pada peraturan dari pemerintah pusat, seperti UU Perikanan No. 9 tahun 1985 pasal 6 ayat (1) tentang larangan
73 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
penggunaan bahan dan alat yang merusak sumber daya ikan dan pasal 7 ayat (1) tentang pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungan. Aturan yang melarang pengeboman, pembiusan dan penambangan karang tidak berjalan efektif, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut masih terus berlangsung. Mata rantai pemasaran bahan peledak dan beracun belum dapat dibasmi sehingga masih tetap beroperasi di Wanci. Akibatnya potas masih dijual bebas, sedangkan pupuk yang merupakan bahan bom dijual secara sembunyi-sembunyi. Penegakan hukum terhadap para pengedar bahan beracun dan peledak serta pembius , pengebom dan penambang karang masih sangat terbatas. Operasi gabungan untuk memantau ‘keamanan’ laut masih sangat terbatas, umumnya berkaitan dengan terbatasnya jumlah staff dan sarana serta minimnya biaya untuk kegiatan operasi. Disamping itu, kepedulian aparat hukum akan pentingnya pengelolaan SDL secara berkelanjutan masih kurang, digambarkan dari kurangnya respon aparat yang berwenang untuk melakukan proses hukum terhadap para pelaku pelanggaran yang dilaporkan masyarakat atau bahkan yang tertangkap dilapangan. Banyak kasus yang langsung diselesaikan di laut, sebagian petugas, menurut informan kunci, ikut bermain dalam penyelesaian kasus yang diduga melibatkan uang. Sebagai contoh, nelayan yang tertangkap membawa 100 ekor penyu untuk dijual ke Bali dapat lolos dari proses hukum setelah memberi oknum petugas uang ratusan ribu rupiah. Upaya untuk memproses perkara di tingkat kabupaten juga masih sangat terbatas, hanya beberapa kasus yang sampai ke tingkat pengadilan, sedangkan lainnnya selesai tanpa diketahui hasilnya oleh masyarakat luas. Sebagai contoh tenaga preventif taman nasional melaporkan kasus pembiusan kepada staff Angkatan Laut di Wanci. Kasus ini ditindak lanjuti dan pelaku berhasil ditangkap dan dibawa ke Bau-Bau untuk diproses hukum. Tetapi di Bau-Bau kasus ini ditutup dan pelaku pembiusan dilepas. Akibat lemahnya penegakan hukum, para pelaku tersebut tidak ‘jera’ dan sekarang sudah melakukan kegiatan pembiusan lagi di Wakatobi. Jika keadaan ini terus berlangsung maka akan membentuk opini yang tidak baik terhadap aparat yang berwenang. Pada waktu penelitian dilakukan, opini ini sudah mulai berkembang dengan pernyataan sebagian masyarakat yang mengatakan ‘petugas rakus uang’ atau ‘semua selesai dengan amplop’. Hal ini harus mendapat perhatian agar kepercayaan masyarakat terhadap aparat yang berwenang tetap dapat dipertahankan, baik dilapangan maupun di tingkat kabupaten. Untuk itu, upaya meningkatkan kepedulian aparat yang relevan terhadap pengelolaan terumbu karang, terutama aparat hukum, sangat diperlukan agar penegakan hukum dapat dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku. 6.3.2. Konflik Kepentingan yang Berkaitan Dengan Pengelolaan SDL Tingginya tingkat pemanfaatan sumber daya laut di kawasan Wakatobi oleh berbagai stakeholders tidak hanya menimbulkan persaingan antar stakeholder, tetapi juga seringkali terjadi konflik yang disebabkan kepentingan yang berbeda atau bahkan bertolak belakang. Konflik kepentingan dapat terjadi karena masing-masing stakeholder mempunyai sasaran dan prioritas yang berbeda antara satu dengan lainnya.
74
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Tumpang-Tindih Program dan Konflik Kepentingan Antar Sektor Dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Wakatobi terdapat beberapa kebijakan dan program yang tumpang tindih (over lapping) dan kadang-kadang menimbulkan konflik kepentingan antara sektor Kehutanan (PHKA taman nasional) dan Perikanan. Kehutanan melalui PHKA bertugas mengelola taman nasional dengan penekanan pada konservasi laut agar dapat dicapai pengelolaan taman yang berkelanjutan. Dengan ditetapkannya taman nasional maka ditentukan zonasi laut, termasuk zona inti, pelindung, pemanfaatan, pemanfaatan tradisional dan rehabilitasi. Penetapan zonasi ini secara langsung mempersempit wilayah perikanan tangkap. Padahal, peningkatan produksi perikanan merupakan kebijakan dan program kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton. Untuk mencapai peningkatan produksi Dinas Kelautan dan Perikanan tingkat propinsi, atas rekomendasi dinas tingkat kabupaten, terus berupaya meningkatkan produksi ikan. Upaya ini dibantu oleh Dinas Perhubungan yang memberi ijin pada kapalkapal perusahaan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah Wakatobi. Meningkatnya perusahaan ikan yang beroperasi di Wakatobi berimplikasi pada meningkatnya kompetisi antar perusahaan. Agar perusahaan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, seringkali perusahaan menggunakan alat/bahan tangkap yang tidak ramah lingkungan. Kegiatan tersebut tentu saja akan berdampak negatif terhadap pelestarian taman nasional. Seharusnya Dinas Kelautan dan Perikanan memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan perusahaan, tetapi belum jelas bagaimana pelaksanaannya di lapangan mengingat proses hukum terhadap pelanggar melibatkan sektor-sektor lain. Karena itu, koordinasi antar sektor terlibat dalam pengelolaan SDL menjadi sangat penting agar tercapai pengelolaan yang berkelanjutan. Pemerintah dan Nelayan Dalam pengelolaan SDL di kawasan Wakatobi sering terjadi konflik kepentingan antara pemerintah dan sektor relevan dengan masyarakat setempat, seperti penetapan kawasan taman nasional dan pengambilan karang. Di pihak pemerintah, khususnya PHKA penetapan kawasan taman nasional Wakatobi sangat penting karena kawasan ini berfungsi sebagai kawasan konservasi, kawasan lindung yang menjaga keanekaragaman hayati laut dan kawasan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan. Tetapi di pihak masyarakat, penetapan kawasan taman nasional menyebabkan semakin sempitnya wilayah tangkap nelayan. Karena itu nelayan merasa dirugikan dengan kebijakan penetapan taman nasional, karena PHKA menetapkan zonasi langsung dari pusat tanpa melibatkan masyarakat setempat. Masyarakat tidak menyetujui zona-zona yang ditetapkan karena kawasan tersebut sebelumnya merupakan wilayah tangkap nelayan. Akibatnya masyarakat, khususnya nelayan, tidak mengindahkan ketentuan yang ditetapkan taman nasional dan masih beroperasi seperti biasanya, kecuali jika ada petugas Jagawana yang mengadakan patroli. Keadaan ini tentu saja berpengaruh pada pelaksanaan dan keberhasilan pengelolaan taman nasional Wakatobi. Konflik kepentingan antara PHKA dan masyarakat timbul karena adanya perbedaan persepsi dalam pemanfaatan SDL di kawasan taman nasional. Sedangkan perbedaan persepsi berkaitan erat dengan sosialisasi taman nasional dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional. Menurut informan kunci sosialisasi taman nasional Wakatobi pada masyarakat sangat minim, sehingga masyarakat kurang memahami pentingnya taman nasional bagi kegiatan ekonomi dan kesejahteraan 75 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
masyarakat secara berkelanjutan. Akibatnya, sebagian masyarakat hanya melihat sisi negatif dari keberadaan taman nasional dengan membatasi wilayah tangkap nelayan dan/atau melarang pengambilan jenis-jenis ikan dan biota tertentu, khususnya yang dilindugi. Disamping kurangnya sosialisasi, masyarakat juga tidak dilibatkan dalam pengelolaan taman nasional, mulai dari proses pembentukan taman sampai pelaksanaan. Akibatnya, sense of belonging (rasa memiliki) dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap taman nasional Wakatobi sangat rendah. Perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat nelayan juga terjadi dalam pengambilan batu karang. Menurut aparat pemerintah (termasuk Jagawana dan aparat pemda) pengambilan batu (karang) merusak terumbu karang. Sebaliknya, masyarakat, khususnya pengambil batu karang, kegiatan pengambilan batu karang tidak merusak, karena batu karang yang diambil adalah batu karang yang sudah hanyut dan terdampar di bawah pasir. Mereka tidak mengambil batu karang hidup, walaupun menurut informan kunci sebagian pengambil karang melakukannya. Jagawana memberi tahu masyarakat tentang adanya larangan pengambilan terumbu karang, tetapi masyarakat protes karena sebelumnya tidak ada larangan bagi pengambil karang. Pengusaha/Perusahaan Perikanan dan Nelayan Walaupun perusahaan perikanan dan nelayan mempunyai tujuan yang sama dalam pemanfaatan SDL, tetapi motifasi mereka berbeda, sehingga seringkali menimbulkan konflik kepentingan. Perusahaan perikanan berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, karena itu dalam menjalankan operasinya seringkali melakukan kegiatan yang merusak lingkungan. Dengan modal yang dimiliki, perusahaan (seperti kapal-kapal ikan) biasanya memanfaatkan nelayan lokal untuk menangkap ikan dengan alat dan bahan yang merusak, seperti bius dan bom. Kelihatannya nelayan setempat yang merusak ekosistem terumbu karang, tetapi sebetulnya mereka hanya menjadi kepanjangan tangan dari pengusaha. Nelayan dan masyarakat menjadi kambing hitam (scapegoat) dari kegiatan yang merusak SDL. Padahal, keuntungan terbesar dari hasil produksi didapatkan oleh pengusaha, sedangkan nelayan mendapatkan hasil yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka seharihari. Disamping menjadikan nelayan atau masyarakat pulau sebagai scapegoat, pengusaha/perusahaan perikanan tangkap juga sering beroperasi di wilayah tangkap nelayan lokal. Hal ini sangat merugikan nelayan lokal yang armada tangkapnya (kapal maupun alat/bahan) jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan perusahaan perikanan tangkap. Dengan peralatan yang lebih lengkap, pengusaha bersama anak buah kapalnya, mempunyai akses yang lebih besar dalam ‘memperebutkan’ ikan dan biota laut lainnya di kawasan Wakatobi. Biasanya mereka menggunakan kapal atau speed boat berkekuatan tinggi dan dengan menggunakan kompressor, ABK menyelam dan menyemprotkan bius ke terumbu karang untuk menangkap ikan hidup secara cepat dan dalam jumlah yang besar. Sedangkan nelayan lokal yang hanya menggunakan sampan dengan alat tangkap pancing, tentu saja akan mendapatkan hasil yang jauh lebih rendah, walaupun mereka menghabiskan waktu yang jauh lebih lama dengan pengusaha ikan.
76
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
6.3.3. Pengelolaan SDL Dalam Rangka Otoda Dengan dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi, daerah mempunyai otoritas dan wewenang dalam mengembangkan sumber daya laut, untuk kabupaten Buton sejauh 4 mil dari garis pantai. Perhatian terhadap pengelolaan sumber daya laut juga meningkat dengan ditetapkannya Departemen Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan di Kabupaten Tingkat II. Tetapi kewenangan ini tidak berlaku bagi kawasan Wakatobi karena wilayah ini termasuk dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi. Sebagai taman nasional terdapat pengecualian dari ketentuan UU No.22 tahun 1999, otoritas dan kewenangan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (KTNW) masih berada di tangan pemerintah pusat cq. Departemen Kehutanan, Dirjen Pengelolaan Hutan Konservasi Alam (PHKA). Sebagai desa dan kecamatan yang terletak di KTNW, pengelolaan sumber daya laut di Desa Mola Utara dan Kecamatan Wangi-Wangi mengacu pada rencana pengelolaan KTNW yang didasarkan pada sistem zonasi yang disesuaikan dengan fungsi dan peruntukan taman nasional sebagai kawasan perlindungan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan SDL secara berkelanjutan. Sistem zonasi sulit untuk diimplem entasikan, karena zona-zona tersebut merupakan wilayah tangkap nelayan pulau yang dilakukan sejak lama. Peran desa maupun kecamatan dalam pengelolaan SDL masih sangat minim, karena perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan dilakukan dari PHKA yang diatur dan ditetapkan dari pusat Jakarta. Mereka hanya memberikan dukungan dalam pelaksanaan pengelolaan taman tersebut. Baik desa maupun kecamatan hanya berwenang untuk mengatur kehidupan penduduk di desa dan kecamatan yang terletak di Pulau Wangi-Wangi. Keadaan ini sangat menyulitkan aparat desa dan kecamatan karena kegiatan sehari-hari penduduk sangat tergantung pada laut yang bukan wewenang mereka. Kerena itu, otonomi pengelolaan sumber daya laut hanya berupa wacana yang tidak dapat diimplementasikan. Di Kecamatan Wangi-Wangi berkembang tiga wacana dalam pengelolaan SDL, yaitu: 1. Pentingnya peningkatan kewenangan daerah, khususnya kecamatan dalam pengelolaan SDL. Wacana ini muncul sebagai jawaban dari tidak adanya wewenang kecamatan dalam pengelolaan SDL, padahal kecamatan sangat dekat dengan objek yang dikelola. Aparat kecamatan mengetahui dan memahami benar potensi, permasalahan dan aspirasi masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian pulau dan SDL. Sebagai contoh kewenangan yang diinginkan kecamatan adalah pengelolaan pelabuhan yang selama ini dilakukan oleh pusat seharusnya diserahkan manajemennya pada kecamatan. 2. Pentingnya usaha meningkatkan produksi perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya dan pengolahan setelah paska tangkap. Peningkatan produksi ini sangat diperlukan terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) kecamatan maupun kabupaten. Selama ini semua retribusi yang berasal dari usaha perikanan disetorkan ke kabupaten. Kecamatan maupun desa tidak mendapatkan hasil retribusi tersebut secara langsung, tetapi akan mendapatkan kembali dana tersebut dalam bentuk lain yang dikucurkan dari tingkat kabupaten dengan proporsi yang sangat kecil.
77 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
3. Pentingnya peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung pengelolaan SDL, terutama armada kapal yang sangat diperlukan untuk kegiatan patroli. Kegiatan patroli perlu dilakukan secara reguler untuk mengontrol dan mengawasi kegiatan pemanfaatan SDL, khususnya pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bius dan bom serta pengambilan karang. Kegiatan ini sangat penting, utamanya dalam rangka menegakkan aturan pengelolaan SDL di kawasan taman nasional Wakatobi.
78
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi -Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab VII Kesimpulan dan Rekomendasi 7.1. Kesimpulan Penelitian Aspek Sosial Terumbu Karang ini memberikan gambaran yang komprehensif mengenai pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang, yang dilakukan oleh penduduk Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Pengelolaan terumbu karang didominasi oleh pemanfaatan ekonomi sumber daya laut secara berlebihan, sedangkan upaya pelestarian masih sangat minim. Karena itu, terumbu karang di perairan desa dan khususnya karang Kapota telah mengalami kerusakan yang cukup serius. Tingginya tingkat degradasi sumber daya laut ini diindikasikan dari kondisi karang Kapota yang memprihatinkan, berkurangnya volume dan keragaman ikan dan biota laut dan meningkatnya pemanfaatan batu karang sebagai bahan bangunan di Desa Mola Utara dan Kecamatan Wangi-Wangi. Kegiatan pengelolaan SDL berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat di Desa Mola Utara. Kehidupan penduduk desa sangat tergantung pada laut, hampir semua penduduk bekerja sebagai nelayan dan/atau usaha yang berkaitan dengan perikanan dan kelautan. Tetapi pendapatan yang diperoleh nelayan, khususnya nelayan yang tidak memiliki armada, sangat minim seringkali tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka sehari-hari. Untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi, sebagian kecil nelayan menangkap ikan dan biota laut lainnya dengan cara yang merusak seperti menggunakan bom, bius dan mengambil karang. Sedangkan nelayan yang memiliki body, mesin TS atau jaring, pendapatan mereka lebih baik, karena dalam penangkapan ikan, baik bodi, mesin TS maupun jaring mempunyai bagian yang diperhitungkan dalam pembagian pendapatan. Pendapatan yang terbesar diperoleh oleh ‘bos’ pemilik modal dan armada tangkap, tetapi jumlah bos sangat terbatas. Dari uraian dalam laporan ini dapat disimpulkan tujuh isu pokok yang erat kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan di Desa Mola Utara. Pertama, perusakan terumbu karang karena penggunaan bahan peledak dan beracun serta penambangan karang dan pasir telah memberikan dampak signifikan terhadap kerusakan terumbu karang, khususnya di karang Kapota. Kegiatan pengeboman sudah dilakukan sejak zaman Jepang dan masih terus berlangsung sampai sekarang, tetapi frekuensi dan intensitas pengeboman sudah sangat berkurang, demikian juga dengan jumlah pengebom di desa ini sudah sangat berkurang, tinggal beberapa nelayan. Pembiusan sudah masuk ke wilayah perairan Mola Utara sejak pertengahan tahun 1980-an oleh nelayan dari luar desa, terutama dari luar wilayah Wakatobi. Sedangkan nelayan Mola Utara mulai terlibat kegiatan pembiusan sekitar 3 tahun terakhir, mengikuti kebiasaan nelayan luar dan sebagian bahkan menjadi kepanjangan tangan pengusaha (kapal-kapal) ikan. Kegiatan penambangan karang biasanya dilakukan oleh masyarakat Mola Utara, kebanyakan oleh ibu-ibu. Kegiatan penambangan karang merupakan kegiatan alternatif yang sangat penting dan potensial untuk mendapatkan uang dengan cara yang lebih mudah dan cepat jika dibandingkan dengan penangkapan ikan. 79 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Kedua, penegakan hukum terhadap para pembius, pengebom dan penambang karang masih sangat terbatas, sedangkan kebanyakan kasus pelanggaran biasanya diselesaikan di lapangan. Lemahnya penegakan hukum disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) terbatasnya aparat yang terlibat dalam pengamanan SDL, baik dari jumlah maupun kualitas; dan terbatasnya jumlah sarana yang diperlukan dalam kegiatan pengamanan, (2) terbatasnya kegiatan patroli untuk memantau keamanan pengelolaan SDL karena terbatasnya sarana dan biaya operasi. Karena itu kegiatan patroli tidak dapat dilakukan secara rutin, dilakukan jika dibutuhkan saja dan/atau jika ada biaya operasi, (3) masih kurangnya kesadaran dan kepedulian aparat yang terlibat, baik di tingkat grassroot maupun di tingkat kabupaten akan pentingnya pengelolaan SDL secara berkelanjutan, dan (4) akibatnya banyak kasus yang tidak diproses sesuai prosedur dan selesai tanpa adanya proses hukum. Ketiga, dominasi ‘bos’ dalam penangkapan ikan hidup (karang) yang menimbulkan ketergantungan nelayan pada ‘bos’. Penangkapan ikan karang biasanya dilakukan nelayan secara berkelompok dibawah ‘komando’ koordinator yang merupakan kepanjangan tangan ‘bos’. Harga ikan di tingkat nelayan sangat ditekan dan ditentukan oleh koordinator, harga di tingkat koordinator ditentukan oleh ‘bos’ ikan, sedangkan harga di tingkat ‘bos’ ke pengusaha/kapal ikan baik nasional maupun internasional tidak diketahui oleh para nelayan dan koordinator, tetapi umumnya menggunakan kurs dolar. Di Desa Mola Utara, keuntungan terbesar diperoleh oleh ‘bos’ ikan, sedangkan nelayan yang dengan susah payah menangkap ikan mendapatkan bagian hasil yang terendah. Umumnya nelayan tidak dapat lepas dari ‘bos’ ikan karena mereka mempunyai hutang dan hutang budi pada ‘bos’. Sebelum melaut, biasanya mereka melalui koordinator meminjam uang, sebagian untuk keperluan operasi penangkapan dan sebagian lagi untuk keperluan hidup sehari-hari keluarga yang ditinggalkan. Hutang tersebut akan dicicil dari pendapatan selama melaut. Disamping itu, sebagian nelayan juga berhutang pada ‘bos’ untuk keperluan lain, seperti memperbaiki rumah atau membeli bodi dan mesin TS. Bagi nelayan, ‘bos’ merupakan ‘dewa penolong’ yang dapat membantu jika mereka butuhkan, walaupun sebagian juga menyadari kalau mereka sebetulnya ditekan (dengan rendahnya harga ikan) dan diikat dengan pemberian hutang. Keempat, penangkapan ikan bukan karang seperti tuna, cakalang dan layang disatu pihak sangat menguntungkan nelayan karena (1) dapat dilakukan sepanjang tahun, (2) tidak merusak karang karena lokasinya tidak (harus) dikarang dan ditangkap dengan pancing, dan (3) nelayan tidak terikat, mereka dapat menjual ikan secara bebas ke pasar atau kapal-kapal ikan yang ada disekitar desa dengan harga yang ditetapkan dengan mekanisme pasar. Tetapi dilain pihak, nelayan sangat tergantung pada penjualan ikan segar. Mereka belum memikirkan usaha yang ‘komersil dan professional’, misalnya untuk melakukan proses pengolahan ikan, seperti pembekuan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal ikan, sehingga memperpendek rantai pemasaran dan memperoleh nilai tambah dari hasil olahan ikan agar dapat meningkatkan penghasilan mereka. Masih terbatasnya proses pengolahan ikan dan biota laut lainnya berkaitan erat dengan kualitas SDM di Desa Mola Utara yang masih relatif rendah, tercermin dari tingkat pendidikan dan ketrampilan sebagian besar penduduk. Pengetahuan dan ketrampilan penduduk dalam pengelolaan dan pengolahan hasil tangkapan baik ikan maupun biota laut lainnya juga masih terbatas. Keadaan ini terutama sangat terasa pada musim ikan dimana terjadi over produksi tetapi proses pengolahan paska tangkap masih sangat minim (ikan asin dan pengeringan teripang), padahal pengolahan ini tidak hanya dapat mengawetkan ikan yang belum laku terjual tetapi juga dapat memberikan
80
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
nilai tambah. Kegiatan paska tangkap ini perlu diperhatikan, baik macam maupun teknologinya, terutama sebagai alternatif kegiatan kaum ibu yang tidak ikut ke karang atau melaut. Kelima, hilangnya kearifan lokal pengelolaan karang dengan mengatur waktu tangkap ikan hidup. Sebelum nelayan Bajo pindah ke Desa Mola Utara, mereka mempunyai adat kebiasaan dalam pengambilan ikan, antara lain: dikibarkannya bendera ‘ula-ula bukak ’ yang berarti dimulainya waktu menangkap ikan yang hidup di karang. Dengan dikibarkannya ‘ula-ula bukak’ semua nelayan Bajo diperbolehkan menangkap ikan di karang Kapota. Setelah diolah selama enam bulan, karang kemudian ditutup untuk memberikan kesempatan ikan-ikan karang dan biota laut lain untuk bertelur dan berkembang biak. Sayangnya kearifan ini sudah dihentikan, nelayan mengambil ikan karang tanpa aturan sepanjang tahun. Keenam, isu daya dukung lingkungan dan pelestarian sumber daya pesisir dan laut, terutama yang berkaitan dengan meningkatnya perkembangan penduduk desa dan kegiatan reklamasi pantai. Desa Mola Utara mempunyai jumlah penduduk yang cukup besar, tetapi memiliki wilayah yang sangat terbatas (desa ini mulanya terletak di atas laut). Karena itu, kegiatan reklamasi semakin luas (200 meter panjang pulau dan 50 meter lebar yang menjorok ke laut) untuk memenuhi kebutuhan meningkatnya jumlah rumah permanen. Keadaan ini perlu mendapat perhatian karena tingginya perkembangan penduduk desa yang berimplikasi terhadap peningkatan jumlah rumah dan kebutuhan sarana sosial ekonomi masyarakat. Ketujuh, pengelolaan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) masih sangat terbatas. Sistem zonasi yang dibuat di Jakarta tidak dapat diimplementasikan secara optimal, nelayan dan masyarakat masih melakukan kegiatan di wilayah tangkap dan produksi mereka selama ini. Belum optimalnya pengelolaan TNKW berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain: (1) kurangnya sosialisasi pada masyarakat sekitar dan stakeholders yang instrumental akan pentingnya TNKW, (2) perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan TNKW yang top-down tanpa melibatkan masyarakat setempat, akibatnya mereka tidak merasakan manfaat TNKW, apalagi rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap pengelolaan TNKW secara berkelanjutan, (3) masih terbatasnya pemantauan di laut oleh jagawana, seperti dikemukakan sebagian masyarakat bahwa ‘yang diawasi jagawana adalah laut, tetapi mereka selalu ada di kampung bukan di laut’. Keterbatasan patroli ini mungkin berkaitan dengan terbatasnya sarana dan biaya operasional. 7.2. Rekomendasi Belajar dari pengalaman kehidupan masyarakat Desa Mola Utara dan pengelolaan SDL di desa dan kawasan Wakatobi, maka studi ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan masukan dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dalam mencapai pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang, secara berkelanjutan, sebagai berkut: Aspek sosial ekonomi masyarakat Potensi perikanan tangkap Desa Mola Utara belum dimanfaatkan secara optimal, hasil produksi perikanan yang cukup besar umumnya dijual dalam bentuk segar. Sedangkan proses pengolahan paska tangkap masih sangat minim, padahal kegiatan 81 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
pengolahan dapat memberikan nilai tambah bagi nelayan, utamanya dalam upaya meningkatkan pendapatan. Diversifikasi pekerjaan, khususnya yang berkaitan dengan proses pengolahan hasil tangkap sangat memungkinkan untuk dilakukan di desa ini, terutama oleh ibu-ibu yang tidak melaut. Dari aspirasi yang berkembang terdapat dua bentuk pengolahan paska tangkap yang potensial dilakukan di Desa Mola Utara khususnya dan Kecamatan Wangi-Wangi pada umumnya, yaitu: (1) pengawetan hasil tangkap dan (2) pengolahan hasil tangkapan. Pertama, yang dimaksud dengan pengawetan hasil tangkapan adalah suatu proses pengolahan awal agar ikan (bukan ikan karang) yang dijual tetap segar (awet) dalam kurun waktu yang lebih lama, dengan demikian dapat dijual dengan harga yang relatif tinggi dan dipasarkan dalam kawasan yang lebih luas. Untuk melakukan pengawetan diperlukan teknologi dan sarana yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan desa dan kecamatan. Sebagai contoh, pembekuan ikan memerlukan es atau cold storage. Baik desa maupun kecamatan belum memproduksi es, sehingga harus didatangkan dari Kendari. Akibatnya harga es cukup mahal ditingkat desa, padahal untuk melakukan pembekuan ikan diperlukan es dalam jumlah besar. Walaupun ikan-ikan dapat dijual langsung pada kapal-kapal ikan yang berlabuh di Desa Mola Utara, tetapi harga persatuan lebih murah dibandingkan jika mereka langsung pasarkan, misalnya ke Bali. Keadaan akan lebih baik lagi jika nelayan Desa Mola Utara dapat membentuk kelompok yang dapat melakukan proses pembekuan seperti yang dilakukan kapal-kapal yang berlabuh di desa tersebut dan memasarkan langsung hasil tangkapan mereka kepada konsumen-konsumen besar tanpa melalui perantara seperti kapal-kapal ikan yang ada di desa tersebut. Dengan demikian, mereka dapat menikmati keuntungan terbesar dari hasil tangkap, tidak seperti yang terjadi selama ini dimana nelayan ditekan dengan harga ikan sangat ditentukan oleh pedagang pengumpul (walaupun didasarkan pada mekanisme pasar di tingkat pedagang pengumpul). Tetapi untuk dapat melakukan ini nelayan harus membentuk kelompok dan kelompok tersebut harus memiliki: (a) modal besar yang mungkin dapat diperoleh dari dana bantuan atau kredit seperti KUT untuk di pertanian, (b) pengetahuan teknologi pengolahan dan pengelolaan peralatan dan sarana pengolahan, dan (c) untuk itu pemberdayaan dan bimbingan terhadap kelompok nelayan sangat diperlukan agar mereka mampu melakukan kegiatan pengawetan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditentukan. Teknologi yang lebih sederhana yang dapat diterapkan nelayan dalam pengawetan ikan adalah menggunakan tempat pengawetan yang dikenal dengan cold storage. Penggunaan cold storage mungkin lebih feasible dan lebih cepat dapat diterapkan di Desa Mola Utara mengingat pengoperasiannya lebih sederhana dan biaya juga lebih murah jika dibandingkan dengan pembekuan ikan di kapal. Tetapi untuk dapat melakukan kegiatan ini nelayan juga memerlukan bantuan dana, walaupun tidak sebesar pembekuan di kapal dan bimbingan baik dari instansi yang relevan maupun LSM. Kedua, pengolahan paska tangkap dapat dibedakan kedalam dua kelompok, yaitu ikan segar dan ikan busuk. Pengolahan ikan segar sangat bervariasi, tetapi yang mungkin sesuai di Desa Mola Utara adalah pembuatan kerupuk, abon, pindang dan ikan asap. Sedangkan pengolahan ikan yang rusak atau busuk dapat dilakukan sebagai bahan pembuatan tepung ikan untuk makanan ternak. Dengan pengolahan ikan busuk berarti semua hasil tangkapan dapat dimanfaatkan dan dijadikan alternatif pekerjaan yang dapat memberikan sumbangan besar bagi kehidupan masyarakat desa. Agar masyarakat dapat terlibat dalam proses pengolahan, baik ikan segar maupun ikan 82
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
busuk, diperlukan teknologi sederhana dengan biaya yang relatif murah agar dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai kegiatan industri rumah tangga. Untuk itu peningkatan ketrampilan berupa penyuluhan dan bimbingan bagaimana membuat kerupuk, abon atau pindang sangat dibutuhkan masyarakat. Prospek pemasaran ikan hasil olahan sangat baik, terutama untuk dipasarkan diluar kecamatan Wangi-Wangi seperti ke Bali dan Indonesia bagian timur dan bagian barat. Akses untuk pemasaran cukup tersedia karena aktifitas masyarakat Desa Mola Utara yang sangat ‘mobile’. Mereka dapat melakukan pemasaran hasil olahan pada waktu mereka menjual hasil tangkapan mereka atau dipasarkan oleh pengusaha dari desa yang membawa hasil dagangan seperti RB (baju bekas rombengan) atau dagangan lainnya. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pengolahan ikan dan hasil tangkapan lainnya adalah pengelolaan limbah hasil olahan. Sebagai contoh, pengolahan ikan pindang akan menghasilkan limbah yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan pencemaran berupa bau yang tidak sedap dan pencemaran air. Padahal sistem sanitasi lingkungan, khususnya saluran limbah, di Desa Mola Utara masih alami dimana limbah rumah tangga langsung dibuang ke laut. Aspek Sosial Budaya Masyarakat Bajo di Desa Mola Utara merupakan masyarakat laut yang hidup dan kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya laut. Pada zaman nenek moyang, mereka mengelola SDL secara arif sesuai dengan kebiasaan tradisonal, seperti aturan tentang waktu panen ikan hidup di karang Kapota. Tetapi aturan ini sekarang sudah tidak dipakai lagi, mereka menangkap ikan sepanjang tahun, seringkali sebagian dari mereka dan nelayan dari luar menggunakan bom dan bius yang merusak terumbu karang. Padahal masyarakat Bajo paham betul terumbu karang merupakan rumah ikan dan tempat ikan bertelur, karenanya harus dijaga agar sumber daya hayati ini dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Berdasarkan aspirasi yang berkembang, studi ini berhasil mengindentifikasi beberapa kegiatan sosial budaya yang perlu dilakukan dalam mencapai pengelolaan SDL, terutama terumbu karang, secara berkelanjutan, yaitu:
•
Kearifan lokal nelayan Bajo yang mengatur kapan waktu panen ikan di karang (kapota) perlu dihidupkan kembali. Dengan dikibarkannya bendera ulu-ulu bukak merupakan tanda dimulainya waktu menangkap ki an hidup (ikan karang seperti kerapu, sunu dan napoleon). Tujuan dari penetapan waktu panen ini adalah memberikan waktu ikan untuk hidup dan berkembang biak. Jadi fungsi pengaturan waktu ini sama dengan sanctuary. Kebiasaan ini perlu digalakkan kembali dengan ‘kemasan’ dan mekanisme yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.
•
Pengetahuan lokal seperti kegunaan terumbu karang perlu disosialisasikan secara luas agar pengetahuan ini dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat yang lebih luas, terutama stakeholders yang instrumental.
•
Meningkatkan kepedulian dan keterlibatan masyarakat Bajo dalam pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang secara berkelanjutan. Untuk itu, upaya pemberdayaan masyarakat sangat perlu dilakukan, antara lain: (1) merubah prilaku sebagian anggota masyarakat yang merusak (pengebom, pembius dan penambang karang) menjadi prilaku yang positif memelihara dan menjaga kelestarian terumbu 83 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
karang, (2) untuk itu diperlukan alternatif peralatan/bahan dan kegiatan yang ramah lingkungan (lihat rekomendasi untuk aspek ekonomi), (3) memberikan kewenangan dan kemampuan masyarakat untuk berperan aktif dalam pengelolaan SDL, dikenal dengan istilah ‘Pengelolaan Berbasis Masyarakat’. Masyarakat yang mengelola, menjaga dan memelihara SDL disekitar perairan mereka, sedangkan aparat pemda dan sektor yang terkait berfungsi sebagai fasilitator yang mendukung masyarakat setempat. Bantuan dan bimbingan sangat diperlukan masyarakat Bajo agar mereka mampu melakukan pengelolaan SDL berbasis masyarakat.
•
Menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran dan kepedulian nelayan dan pengusaha ikan dari luar desa, terutama mereka yang beroperasi disekitar kawasan Wakatobi, akan pentingnya pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang secara berkelanjutan. Untuk itu kegiatan public awareness dan penegakan hukum sangat diperlukan.
Masyarakat nelayan Bajo sudah terbiasa hidup secara berkelompok, tetapi biasanya berdasarkan kekerabatan dan kelompok kerja dalam menangkap ikan dan biota laut. Kebiasaan berkelompok ini merupakan ‘modal’ awal yang baik, karena usaha dan kekompakan kelompok merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Pengelolaan tidak dapat dilakukan secara sendirisendiri harus melibatkan kelompok yang lebih besar dan kerja sama antar kelompok sehingga dapat menghasilkan kekuatan dan kemampuan yang lebih besar. Pada waktu penelitian dilakukan, kebanyakan kelompok nelayan adalah kelompok menangkap ikan hidup yang dikoordinir oleh koordinator dibawah ‘kekuasaan’ bos ikan. Kelompok ini hanya bekerja selama menangkap ikan hidup dan sistem kerja dalam kelompok sangat ditentukan oleh koordinator. Kegiatan kelompok nelayan seperti ini kurang menguntungkan untuk kegiatan bersama dalam pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang, karena dominasi koordinator, sedangkan peran dan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok sangat minim. Salah satu kelompok nelayan yang potensial untuk dikembangkan dalam pengelolaan terumbu karang adalah ‘Kelompok Nelayan Mola Indah’ yang dibentuk pada bulan Agustus tahun 1999. Walaupun sudah dua tahun, kelompok nelayan ini belum berkembang secara luas, karena nelayan umumnya belum mengetahui dan memahami manfaat dari kelompok ini. Sebagian besar masyarakat Desa Mola masih ‘melihat’ kelompok nelayan Mola Indah seperti kelompok nelayan ikan hidup lainnya, karena pelopor dari kelompok nelayan Mola Indah adalah seorang ibu yang dikenal dengan ‘bos’ ikan dan nelayan yang termasuk dalam anggota kelompok kebanyakan berasal dari nelayan bos. Sistem kerja dari kelompok nelayan ini merupakan modifikasi dari sistem kerja nelayan bos, dimana setiap anggota mempunyai ‘suara’ yang sama dalam rapat kelompok, seperti dalam menentukan kapan akan melaut, dimana dan sistem pembagian hasil. Tetapi kerjasama dalam kelompok ini hanya sampai pada penangkapan ikan, belum pada penjualan dan pemasaran hasil tangkapan, sehingga harga ikan masih ditetapkan oleh ibu ‘bos’. Dalam pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan kerjasama kelompok seharusnya juga dilakukan sampai pada proses paska tangkap dan pemasaran. Dengan demikian, setiap anggota mendapatkan keuntungan yang sesuai dengan porsi pekerjaan dan sahamnya dalam kegiatan kelompok tersebut. Disamping berusaha dibidang penangkapan ikan dan biota laut, kelompok nelayan Mola Indah juga membentuk koperasi. Koperasi ini didirikan berdasarkan 84
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
kepentingan bersama kelompok nelayan karena kesulitan mendapatkan modal untuk usaha menangkap ikan, sedangkan ibu (bos) yang menjadi pelopor koperasi memiliki uang dan merasa terpanggil untuk membantu nelayan. Mereka bersatu membentuk koperasi dibantu oleh beberapa sarjana, anggota masyarakat yang punya ilmu dibidang ekonomi. Kegiatan koperasi lebih terfokus pada penangkapan ikan dan penyediaan kebutuhan nelayan, terutama anggota koperasi. Dari hasil tangkap nelayan, koperasi mendapatkan bagian sebesar Rp 100 per kilogram. Untuk mengembangkan koperasi, mereka bekerja sama dengan koperasi di Desa Mola Selatan. Pada tahun 2001, anggota koperasi Mola Indah dan Mola Selatan mendapat penyuluhan dari Dinas Koperasi Kabupaten Buton. Diharapkan penyuluhan ini dapat membantu koperasi Mola Indah dalam mengelola dan mengembangkan usaha, terutama yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan SDL dan penyediaan kebutuhan hidup anggotanya. Kelompok dan koperasi nelayan Mola Indah merupakan ‘embrio’ yang potensial dalam kegiatan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Tetapi tujuan dan program kegiatan perlu ditambah dan dimodifikasi dari tujuan dan kegiatan semula, terutama yang berkaitan dengan pelestarian SDL dan terumbu karang. Kalau selama ini tujuan dan kegiatan lebih difokuskan pada pemanfaatan dan kegiatan ekonomi maka dalam pengelolaan yang berkelanjutan fokusnya harus disesuaikan, yaitu pentingnya keseimbangan antara pemanfaatan dan kegiatan ekonomi dengan kegiatan pelestarian sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Untuk itu kelompok dan koperasi nelayan ini perlu mendapat bantuan dan bimbingan agar kelompok yang anggotanya berasal dan dikelola dari masyarakat setempat mampu berperan aktif dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Disamping kelompok dan koperasi nelayan Mola Indah, kelompok karang Taruna di Desa Mola Utara juga merupakan kelompok yang potensial untuk pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Kelompok Karang Taruna merupakan kelompok anak muda yang umumnya mempunyai pendidikan lebih tinggi dari generasi sebelumnya. Mereka sebetulnya mempunyai pemikiran dan potensi yang besar, tetapi belum dikembangkan secara optimal karena terbentur dengan pemikiran-pemikiran dari sekelompok kecil orang tua di desa ini. Sebagian tokoh-tokoh karang taruna mempunyai kepedulian yang cukup tinggi akan pentingnya pengelolaan SDL disekitar desa dan kawasan wakatobi, beberapa diantaranya sudah mulai terlibat dalam kegiatan konservasi, yaitu sebagai tenaga preventif Jagawana di Desa Mola Utara. Kebijakan, Peraturan dan Penegakan Hukum Dari hasil penelitian dapat diungkapkan belum optimalnya pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang. Respon pemerintah daerah masih terbatas diindikasikan dari belum adanya kebijakan yang jelas pengelolaan SDL secara berkelanjutan dan peraturan daerah (perda) serta masih minimnya penegakan hukum dari pelanggaran di lapangan. Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton adalah daerah yang sangat kaya SDL, terutama terumbu karang, seharusnya kekayaan ini merupakan asset yang sangat potensial bagi daerah ini, tetapi asset ini belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk mengelola asset ini agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan maka diperlukan kebijakan, strategi dan program pengelolaan yang komprehensif dan terpadu. Kebijakan, strategi dan program pengelolaan harus mencerminkan potensi, kebutuhan dan aspirasi masyarakat, karena itu dalam pembuatannya harus melibatkan partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat, pengusaha, media, LSM dan akademisi. 85 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Political will pemerintah daerah (pemda) juga masih rendah, diindikasikan dari minimnya peraturan daerah yang mengatur pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang. Perda yang dikeluarkan dapat merupakan ketetapan daerah yang merupakan kebutuhan spesifik daerah, tetapi juga dapat merupakan respon dari pemda terhadap peraturan pemerintah pusat, seperti pelarangan penggunaan bom, bius dan penambangan karang serta penangkapan biota laut yang dilindungi kedalam peraturan daerah (perda). Perda-perda ini sangat dibutuhkan dalam pengelolaan SDL, terutama bagi stakeholders yang instrumental (seperti aparat dari sektor yang relevan, nelayan, perusahaan/pengusaha perikanan, penambang karang dan pasir dan pedagang). Aparat hukum dapat menjalankan tugasnya secara jelas jika terdapat perda dan aturan hukum yang jelas. Kebijakan, strategi, program dan peraturan-peraturan pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang, harus disosialisasikan secara luas sejak proses pembuatannya sampai dengan pelaksanaan dan pemantauannya di lapangan. Sosialisasi ini sangat penting agar semua stakeholders yang instrumental mengetahui dengan seksama dan dapat berperan aktif. Sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui perencanaan yang partisipatif, melalui media massa, konsultasi dengan instrumental stakeholders, diskusi atau penyuluhan/sarasehan mulai dari tingkat kabupaten sampai di tingkat grassroots. Penegakan hukum sangat krusial dalam pengelolaan SDL secara berkelanjutan. Banyak contoh dalam studi ini yang menggambarkan rendahnya penegakan hukum baik ditingkat grassroot maupun di tingkat kabupaten. Keadaan ini tidak dapat berlangsung terus karena itu penegakan hukum harus dijalankan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
•
Menindak tegas kasus-kasus pelanggaran sesuai dengan proses dan aturan hukum yang berlaku,
•
Memberikan sanksi pada aparat yang terlibat dalam ‘permainan’ secara langsung atau tidak langsung mendukung kegiatan pelanggaran, seperti pembiusan, pengambilan dan/atau perdagangan biota laut yang dilindungi,
•
Membuat atau melengkapi aturan dan perda yang diperlukan dalam pengelolaan SDL serta mereview dan merevisi aturan atau perda agar tidak terjadi tumpang tindih atau konflik antara aturan yang satu dengan lainnya,
•
Mensosialisasikan aturan dan perda yang berkaitan erat dengan pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang,
•
Meningkatkan kesadaran dan kepedulian (awareness) akan pentingnya pengelolaan SDL, khususnya terumbu karang pada semua staff dari sektor atau institusi yang terlibat dalam pengelolaan SDL pada setiap tingkatan administratif sampai desa (seperti, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda, Bappedalda, PHKA, Polisi dan Polisi Air, Kehakiman, Angkatan Laut, Dinas Pariwisata dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kehakiman, Kecamatan, Syahbandar dan Koramil serta aparat desa).
Daya Dukung Lingkungan Disamping masukan-masukan yang telah dikemukakan di atas, lessons learned yang juga perlu mendapat perhatian adalah pentingnya memperhatikan daya dukung lingkungan pulau, khususnya Desa Mola Utara. Daya dukung lingkungan ini terutama
86
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
berkaitan dengan tingginya perkembangan penduduk dan kepadatan rumah yang berimplikasi pada meningkatnya reklamasi pantai di desa ini. Penelitian dan kajian ilmiah sangat diperlukan untuk mengetahui apakah keadaan di Desa Mola Utara masih memenuhi daya dukung sumber daya pesisir dan laut; dan antisipasi yang perlu dilakukan, baik yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi maupun aspek ekologi, agar dapat dicapai pengelolaan yang berkelanjutan di desa tersebut. Pengelolaan TNKW Perubahan zonasi TNKW sedang dalam proses, tetapi hal penting dalam proses perubahan ini adalah keterlibatan aktif masyarakat dan stakeholders yang instrumental, sehingga akan dihasilkan zonasi yang sesuai dengan potensi, kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Proses perubahan zonasi yang partisipatif sangat krusial karena merupakan faktor kunci keberhasilan perencanaan dan pelaksanaan zonasi yang baru. Jika masyarakat merasa kurang dilibatkan dan aspirasinya kurang diperhatikan, maka zonasi yang baru akan mengalami nasib yang sama dengan zonasi yang ada sekarang, dimana masyarakat tidak merasa memiliki dan bertanggung jawab dalam pengelolaan TNKW. Materi rencana perubahan yang telah dibuat oleh pihak pengelola TNKW seharusnya bukan merupakan cara untuk melegitimasi rencana dan mengesahkan materi tersebut atas nama masyarakat, melainkan hanya sebagai ‘awal’ yang menjadi stimulator dalam proses perubahan zonasi yang partisipatif. Dalam zona pemanfaatan tradisional, misalnya, nelayan tradisional seharusnya yang mempunyai hak untuk menangkap ikan dan biota laut menggunakan peralatan yang sederhana seperti pancing. Dalam kenyataannya pembagian zonasi ini tidak berjalan karena tidak hanya nelayan tradisional yang beroperasi di zona ini tetapi juga nelayannelayan luar, termasuk nelayan Hongkong, dengan armada dan peralatan tangkap yang lebih modern dan seringkali tidak ramah lingkungan. Dalam kompetisi ini tentu saja nelayan tradisional tidak bisa bersaing dengan nelayan besar dan selalu menjadi kelompok yang dirugikan. Karena itu, pemberian hak, kewenangan dan tanggung jawab pada nelayan tradisional (lokal) menjadi sangat penting dalam pengelolaan SDL secara berkelanjutan, terutama dalam zona pemanfaatan tradisional.
87 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Daftar Pustaka Cesar, H. 1996. The Economic Value of Indonesian Coral Reefs. Washington DC: the World Bank, Agriculture Operations Division, Country Department III, East Asia and Pacific Region. Desa Mola Utara. 2000. Monografi Desa Mola Utara tahun 1999/2000. Mola Utara: Kantor Desa. Dahuri, R. 1995. Indonesia. In Hotta, K and Dutton, I.M. (Eds.,) Coastal Management in the Asia-Pasific Region: Issues and Approaches. Hidayati, D. 2000. Coastal Management in ASEAN Countries: the struggle to achieve sustainable coastal development. Tokyo: the United Nations University. ______ . Coral Reef Management in Indonesia: Policy Rationale. Penduduk & Pembangunan, X (1): 47-62. BPS Statistics of Wangi-Wangi Districts. 1999. Kecamatan Wangi-Wangi Dalam Angka 1999. Bau-bau: Kantor Statistik Tingkat II Kabupaten Buton. Suharsono. 1998. Public Awareness on Coral Reefs (the Degradation of Coral Reefs in Indonesia). Jakarta: the Indonesian Institute of Sciences, Centre for Oceanology. ______ . 1993. The Status of Coral Reef Resource Systems and Current Research Needs in Indonesia. Manila: International Center for Living Aquatic Resource Management (ICLARM), 30-32. Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. 2001. Rencana Kegiatan Peninjauan/Pengkajian Perubahan Zonasi TNKW 2001. Bau-bau: TNKW. World Bank. 1998. Project Appraisal Document for Coral Reef Rehabilitation and Management Project. Washington DC: Rural Development and Natural Resources Sector Unit, Indonesia Country Management Unit, East Asia and Pacific Region.
89 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Lampiran Lampiran 1. Gambar 2.1. Peta Kepulauan Wakatobi (Taman Nasional Kepulauan Wakatobi)
Desa Mola Utara
Laut
Banda
U Laut Flores
Sumber : Peta Dasar dari Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, 2001
91 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Lampiran 2.
Gambar 2.2. Peta Desa Mola Utara
Desa Mandati
S
Sumber : Peta Desa Kantor Desa Mola Utara, 2001
92 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Lampiran 3.
Gambar 2.3. Mobilitas Penduduk Desa Mola Utara
ke Malaysia
Samudera Pasifik
ke Singapura
Laut Timor Samudera Indonesia
Sumber : -
ke Australia
Peta Dasar Indonesia, 2001 Diskusi kelompok terfokus dengan nelayan di Desa Mola Utara, 2001 2001
93 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Lampiran 4. Gambar 3.1. Wilayah Tangkap Nelayan Desa Mola Utara di Perairan Karang Wakatobi, 2001
Laut Banda
Laut Flores
Sumber :
-
Peta Dasar dari Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, 2001 Diskusi kelompok terfokus dengan nelayan di Desa Mola Utara, 2001 Wilayah Tangkap Ikan Karang Wilayah Tangkap Ikan Tuna
94 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Lampiran 5. Gambar 3.2. Wilayah Pengambilan Batu Karang dan Pasir oleh Masyarakat Desa Mola Utara, 2001
Laut Banda
Laut Flores
Sumber : -
Peta Dasar dari Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, 2001 Diskusi kelompok terfokus dengan nelayan di Desa Mola Utara, 2001 Lokasi Penambangan Batu Karang dan Pasir
95 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Lampiran 6 Gambar 3.3. Peta Lokasi Penggunaan Bom dan Potas di Perairan Wakatobi, 2001
Laut Banda
Laut Flores
Sumber : -
Peta Dasar dari Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, 2001 Diskusi kelompok terfokus dengan nelayan di Desa Mola Utara, 2001 Lokasi Pembiusan Lokasi Pengeboman
96 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Lampiran 7 Tabel 1. Pendapatan Rumah Tangga di Desa Mola Utara Utara dalam Satu Bulan Terakhir Kelompok pendapatan
Frekuensi
Persentase
< 200 ribu
2
2,0
200.000-399.000
14
13,9
400.000-599.000
16
15,8
600.000-799.000
23
22,8
800.000-999.000
30
29,7
1.000.000-1.199.000
7
6,9
1.200.000-1.399.000
4
4,0
1.400.000-1.599.000
3
3,0
1.600.000-1.799.000
0
0
1.800.000-1.999.000
1
1,0
> 2.000.000
1
1,0
Total
101
100 %
Sumber :
Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
97 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Lampiran 8 Tabel 2. Jenis Pengeluaran Rumah Tangga di Desa Mola Utara Menurut Kelompok Pengeluaran Selama Sebulan Terakhir Kelompok Pengeluaran
Pangan
Non Pangan
Total
N
%
N
%
N
%
< 100.000
1
1,0
50
49,5
1
1,0
100.000 – 199.999
6
5,9
26
25,7
1
1,0
200.000 – 299.000
21
20,8
9
8,9
4
4,0
300.000 – 399.000
16
15,8
5
5,0
9
8,9
400.000 – 499.000
14
13,9
2
2,0
14
13,9
500.000 – 599.000
19
18,8
2
2,0
1
1,0
600.000 – 699.000
14
13,9
1
1,0
13
12,9
700.000 – 799.000
5
5,0
1
1,0
13
12,9
800.000 – 899.000
4
4,0
0
0
9
8,9
900.000 – 999.000
1
1,0
1
1,0
10
9,9
> 1 juta
0
0
4
4,0
26
25,7
Total
101
100%
101
100%
101
100%
Sumber :
Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP -LIPI, 2001
98 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Lampiran 9 Tabel 3. Pemilikan dan Penguasaan Aset oleh Rumah Tangga di Desa Mola Utara Selama Sebulan Terakhir , 2001 Pemilikan
A. Alat produksi perikanan laut 1. Perahu motor 2. perahu tanpa motor 3. Alat penangkap ikan a) Jaring b) Pancing c) Tombak d) Panah e) Kacamata ikan f) Keramba B. Alat produksi di darat 1. Alat tarnsport 2. Lahan a) Pekarangan b) Pertanian 3. Ternak Ayam/ Bebek C. Lainnya 1. Rumah 2. Kendaraan Pribadi 3. Barang Elektronik 4. Emas 5. Perhiasan mutiara dan guci Sumber : Survei Data Dasar Aspek
Penguasaan
N
%
N
%
37 68
36,6 67,3
32 73
31,7 72,3
14 70 21 1 10 3
13,9 69,3 20,8 1,0 9,9 3,0
13 72 18 1 9 3
12,9 71,3 17,8 1,0 8,9 3,0
12
11,9
12
11,9
1 1
1,0 1,0
1 1
1,0 1,0
5
5,0
4
4,0
99 36 44 85 3
98,0 35,6 43,6 84,2 3,0
100 36 44 85
99,8 35,6 43,6 84,2
Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
99 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA