Laila Nagib, Sri Sunarti Purwaningsih Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia/ Laila Nagib, Sri Sunarti Purwaningsih. – Jakarta: COREMAP, 2002 xix, 117 hlm, 22 cm
Seri Penelitian COREMAP-LIPI No. 2/2002 ISSN 1412-7245
1. Terumbu Karang 2. Pengelolaan I. Judul II. COREMAP-LIPI
3. Degradasi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Studi Kasus: Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara
Desain isi : Sutarno
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh COREMAP-LIPI.
R ing kasan Laporan ini merupakan hasil studi ‘Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang‘ yang dilakukan di Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Survei ke lokasi dilakukan oleh tim peneliti PPK-LIPI pada tahun 2001, terhadap 100 rumah tangga nelayan, yang merupakan sebagian besar rumah tangga yang waktu itu sedang ada penghuninya di lokasi penelitian. Di samping survei, dilakukan juga wawancara mendalam dan diskusi terbatas terhadap beberapa tokoh masyarakat, stakeholders terkait dan keluarga nelayan yang dapat dijadikan nara sumber sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan penelitian terutama mengkaji kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut (SDL), khususnya terumbu karang. Ringkasan hasil penelitian ini menekankan pada temuan pokok yaitu: kondisi umum penduduk, sarana dan prasarana serta pemanfaatannya, isu-isu pokok berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM), dan pemanfaatan SDL berkaitan dengan degradasi lingkungan dan pelestarian terumbu karang. Ringkasan akan diakhiri dengan rekomendasi pokok bagi pelestarian terumbu karang.
KONDISI UMUM Penduduk •
Jumlah penduduk Desa Sama Bahari sekitar 1.084 orang (sekitar 267 KK), terdiri dari 549 orang laki-laki dan 535 perempuan. Sebagian besar penduduk berusia muda yaitu di bawah 25 tahun dan persentase terbesar pada usia balita (0-5 tahun).
•
Penduduk Desa Sama Bahari sebagian besar terdiri dari suku Bajo yang secara resmi menganut agama Islam. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari kepercayaan terhadap Dewa Penunggu Laut masih kuat.
•
Secara umum tingkat pendidikan penduduk masih rendah (sebagian besar tidak tamat SD atau tidak sekolah). Pada saat ini terdapat 9 orang tamat SLTP dan hanya ada dua orang yang sedang melanjutkan ke tingkat SLTA, di daratan Kaledupa.
•
Pola-pola penyakit yang umum dijumpai pada masyarakat adalah muntaber, sakit kepala dan sakit kuning. Penyakit yang diakibatkan oleh aktivitas pemanfaatan SDL seperti gangguan pendengaran atau penglihatan bagi para nelayan tidak banyak dijumpai, yang ada adalah batuk yang kemudian muntah darah. Untuk mengatasi penyakit, umumnya penduduk pergi ke dukun yang ada di desa, kecuali bila sakit karena terluka mereka pergi ke puskesmas di Kaledupa. Makanan pokok masyarakat adalah nasi atau kaswami (dari ubi kayu) dengan lauk terutama ikan baik dibakar, digoreng atau dimakan mentah/segar.
•
Masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari semula tinggal di Desa Sampela Lama dan pindah ke lokasi sekarang yang mendekati daratan Kaledupa sejak tahun 1967 (setelah ditumpasnya gerombolan DI/TII Kahar Muzakar). Pada umumnya jangkauan mobilitas penduduk setempat hanya sekitar Kaledupa. Namun sekitar 30
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
1
KK sedang merantau ke Malaysia, Tanjung Pinang dan Riau untuk bekerja sebagai nelayan. Sarana, Prasarana dan Aksesibilitas •
Lokasi Desa Sama Bahari di perairan dangkal Laut Banda terletak sekitar 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Kaledupa. Lokasi ini dapat dicapai dengan sampan sekitar 30 menit dari pantai Kaledupa (sekitar 15 menit dengan perahu motor). Luas wilayah Desa Sama Bahari sekitar 60 kilometer persegi, dengan lebar 200 meter dan panjang 300 meter, terdiri dari 2 dusun (Pagana dan Sampela).
•
Sebagian besar rumah tangga sampel memiliki sarana produksi berupa perahu tanpa motor dan hanya sekitar 40 persen memiliki perahu motor yang umumnya berkekuatan sekitar 5 PK. Alat tangkap yang umum digunakan penduduk adalah: jaring, pancing, bubu, sarana pertanian untuk budidaya rumput laut, kacamata tradisional, panah, tombak serta budidaya rumpon.
•
Di Kecamatan Kaledupa tidak ada pasar permanen, aktivitas jual beli barang kebutuhan sehari-hari kebanyakan dilakukan di lokasi penjualan ikan di tepi pantai Kaledupa. Sarana ekonomi yang terdapat di desa, terbatas pada adanya beberapa warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Lembaga keuangan seperti koperasi atau KUD hanya terdapat di daratan Kaledupa. Sedangkan untuk keperluan hutang-piutang dilakukan oleh perorangan di desa atau di daratan Kaledupa, dengan bunga yang relatif tinggi.
•
Sarana pendidikan yang terdapat di lokasi hanya sebuah sekolah dasar yang didirikan pada tahun 1998 dan hanya mampu menampung sekitar 50 murid dengan 6 orang guru yang umumnya tinggal di daratan Kaledupa. Sedangkan sekolah lanjutan hanya ada di daratan Kaledupa. Secara umum fasilitas sekolah yang ada kurang dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Sarana ibadah terdapat sebuah mesjid yang baru selesai dibangun.
•
Organisasi masyarakat yang ada hanya sebuah LSM (Yayasan Bajo Mathilla) yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Dalam kegiatannya banyak bekerja sama dengan Operation Wallacea yang mengelola resort Hoga.
•
Sarana penerangan listrik belum ada di Desa Sama Bahari. Kebutuhan penerangan rumah tangga dipenuhi dengan lampu minyak tanah. Sarana dan prasarana informasi dan komunikasi sangat terbatas. Sumber informasi seperti televisi dan radio hanya dimiliki oleh beberapa rumah tangga (dengan menggunakan accu).
•
Sarana transportasi di dalam pemukiman dilakukan dengan perahu sampan atau berjalan kaki melalui jembatan papan yang kecil dan sederhana. Jembatan papan yang dibangun oleh Pemda yang direncanakan untuk sepanjang desa, baru selesai sebagian. Selebihnya hanya jembatan penghubung antar rumah yang dibangun secara sederhana dengan bahan seadanya secara swakelola. Hubungan dengan daratan dilakukan pada waktu air pasang, siang hari di sekitar pemukiman biasanya air surut.
2 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
•
Sarana air bersih hanya terdapat di daratan Kaledupa dan untuk memperolehnya harus menggunakan sampan sekitar 1 jam pergi pulang. Pengambilan air di Kaledupa umumnya dilakukan oleh perempuan, sambil melakukan kegiatan mencuci pakaian dan mandi di lokasi sumber air.
•
Fasilitas kesehatan modern yang ada di Desa Sama Bahari sangat terbatas. Puskesmas hanya ada di ibukota kecamatan (di Ambeua). Di Desa Sama Bahari hanya ada pos pelayanan terpadu (posyandu) yang diadakan sebulan sekali dengan mendatangkan dokter dari Puskesmas Kaledupa. Masyarakat terbiasa pergi ke dukun untuk mengobati penyakit yang dideritanya, sehingga fasilitas kesehatan yang ada kurang dimanfaatkan penduduk.
•
Potensi SDL cukup melimpah, beberapa SDL yang menonjol adalah terumbu karang, hutan bakau, berbagai jenis ikan (karang dan non-karang) dan biota laut lainnya. Sementara resort Hoga dan sekitarnya berpotensi sebagai obyek penelitian bidang kelautan dan wisata bahari karena merupakan salah satu tempat penyelaman terbaik di dunia. Di samping itu, Desa Sama Bahari yang hampir semua penduduknya adalah suku Bajo, merupakan tujuan penelitian tentang kehidupan masyarakat Bajo. Misalnya, berbagai upacara adat yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL dan konservasi lingkungan seperti 'tuba dikatutuang' dapat dijadikan potensi wisata budaya yang dapat menarik wisatawan.
ISU POKOK Isu SDM •
Keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan termasuk staf pengajar baik jumlah maupun aktivitas mengajarnya. Motivasi belajar yang rendah juga berpengaruh terhadap tingkat kehadirannya di sekolah, baik karena ikut melaut ataupun kegiatan keluarga lainnya. Motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak juga cenderung masih rendah, yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan yang memungkinkan anak muda mudah mencari uang melalui kegiatan sebagai nelayan. Kebutuhan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang berkaitan dengan peningkatan ketrampilan di bidang kelautan (seperti sekolah kejuruan atau kursus), meskipun penting, sampai sekarang sulit dipenuhi. Berbagai faktor seperti geografis, terbatasan dana Pemda setempat serta efisiensi di bidang pendidikan menjadi kendala selama ini.
•
Hampir semua aktivitas masyarakat Sama Bahari yang terdiri dari suku Bajo berkaitan dengan kehidupan di laut. Mata pencaharian utama penduduk adalah sebagai nelayan, karena terbatasnya alternatif kegiatan lainnya. Pada umumnya, sebagai nelayan tradisional berskala kecil dan menggunakan teknologi atau alat tangkap yang sangat sederhana. Dalam perkembangannya, nelayan yang dibantu pedagang pengumpul mulai meningkatkan eksploitasinya guna merespon permintaan pasar yang tinggi terhadap beberapa jenis SDL dengan harga yang relatif tinggi seperti lobster dan beberapa ikan karang (antara lain ikan napoleon, kerapu dan sunu).
•
Keadaan ekonomi masyarakat sangat tergantung pada pengelolaan dan pemanfaatan SDL, yang dipengaruhi oleh perubahan musim, lokasi penangkapan
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
3
dan peralatan tangkap yang digunakan. Meskipun pada umumnya nelayan dapat memperoleh hasil (ikan karang dan non karang) dengan relatif mudah, namun nelayan banyak memiliki kendala dalam pengembangannya, antara lain: pemilikan armada dan alat tangkap, pemasaran yang sempit dan pesaing dari luar yang lebih canggih peralatannya. Akibatnya banyak nelayan yang hidup secara subsisten, yaitu hanya cukup untuk menutup kebutuhan dasar sehari-hari. Bagi sebagian kecil nelayan yang memiliki armada dan alat tangkap yang lebih memadai, kehidupan ekonominya lebih baik. Adanya ketimpangan ekonomi di antara kelompok masyarakat, dapat mendorong nelayan miskin untuk mengeksploitasi lebih banyak SDL, bersama koordinator yang mengajaknya, walaupun dengan cara yang tidak aman dan potensial merusak terumbu karang. •
Keberadaan resort Hoga yang dikelola oleh Operation Wallacea dalam kegiataannya banyak memberikan manfaat pada masyarakat Kaledupa, termasuk masyarakat Sama Bahari. Misalnya, adanya penyewaan penginapan milik orang Kaledupa di resort Hoga baik untuk operator maupun untuk wisatawan. Pengelolaan resort juga meningkatkan konsumsi ikan, yang diperoleh dari nelayan Sama Bahari. Namun keberadaan Operation Wallacea secara formal dianggap mengabaikan hubungan kerja sama dengan Pemda, karena selama ini hanya untuk kepentingan pemerintah pusat. Kerja sama secara formal antara Operation Wallacea dengan pemerintah daerah, utamanya kecamatan belum dirasakan manfaatnya. Demikian pula kerja sama antara resort Hoga dengan LSM setempat (Yayasan Bajo Mathilla) berupa penyewaan armada untuk transportasi wisata bahari dan penyediaan penginapan untuk wisatawan di Desa Sama Bahari, dianggap belum banyak melibatkan masyarakat setempat secara langsung.
•
Pilihan masyarakat Bajo untuk hidup di atas perairan laut di Desa Sama Bahari, menyebabkan fasilitas untuk membangun perumahan dan sanitasi lingkungan terbatas. Untuk membangun perumahan yang lebih kokoh dibutuhkan fondasi karang yang mudah diperoleh di sekitarnya, namun berpotensi merusak lingkungan. Laut di sekitar pemukiman juga merupakan area pembuangan semua limbah rumah tangga selama ini. Semakin padat perumahan dengan fondasi karang, semakin tidak leluasa pembuangan limbah, terutama di musim kemarau atau air surut. Hal ini berpengaruh terhadap kesehatan terutama pada anak-anak, sehingga sering terjadi muntaber pada musim kemarau. Hal ini diperparah dengan sulitnya mencari air bersih dan kebiasaan minum air mentah pada penduduk, yang memungkinkan hidup seadanya tanpa alternatif yang memadai. Penduduk juga terpaksa mengeksploitasi hutan bakau di sekitarnya untuk memenuhi keperluan bahan bakar, karena alternatif lain sulit diperoleh.
Isu yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDL •
Kehidupan nelayan Bajo di Desa Sama Bahari umumnya masih tradisional, baik dalam cara penangkapan maupun pemanfaatan hasilnya. Pola pengelolaan SDL yang dianut nelayan pada umumnya masih ‘petik dan jual’, sehingga nilai tambahnya rendah, dan dalam pemasaran cenderung mempunyai posisi tawar yang rendah. Akibatnya pendapatan yang diperoleh nelayan tidak seimbang dengan hasil produksi yang potensial dapat diperoleh, karena terbatasnya peralatan produksi yang dimiliki (harus dijual habis, karena tidak memiliki alat pengawet). Komersialisasi hasil produksi yang sudah dilakukan oleh sebagian kecil nelayan, terbentur pada 4 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
keterbatasan SDM terutama dalam berkomunikasi serta dalam memperluas jaringan pemasaran. Akibatnya koordinator lokal hanya dapat berhubungan dengan pedagang pengumpul dari luar, sehingga proporsi keuntungan yang diperoleh nelayan Bajo jauh lebih kecil dibandingkan harga akhir di pasar (domestik maupun ekspor). Sistem pemasaran dengan ‘jemput bola’ di lokasi penangkapan ikan, cenderung lebih merugikan nelayan, karena posisi tawar nelayan yang rendah dibandingkan pedagang penampung/bos yang lebih berpengalaman dan lebih menguasai jaringan pasar selanjutnya. Demikian pula kebutuhan memperoleh hasil lebih banyak sering dimanfaatkan oleh pedagang pengumpul dengan menyediakan bahan atau alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti potas dan bom. •
Kelemahan SDM dalam memperkirakan secara akurat hasil produksi SDL dan tidak adanya lembaga pemasaran ikan yang permanen, juga menyulitkan perkiraan hasil produksi secara makro baik oleh desa maupun kecamatan. Kelemahan ini menyulitkan upaya pengembangan hasil produksi dan perluasan pemasaran yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan tanpa merusak lingkungan karang di sekitarnya. Dengan pendidikan dan wawasan yang cukup luas akan membuka alam pikiran mereka bahwa melaut bukanlah merupakan satu-satunya mata pencaharian yang dapat dilakukan.
•
Keberadaan stakeholders yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL bermacammacam seperti nelayan, pedagang pengumpul, petugas keamanan laut, aparat pemerintah, dan pihak swasta seperti pengusaha/pedagang, yayasan atau LSM. Adapun kegiatan masing-masing stakeholders dapat berpotensi mendukung maupun mengancam kelestarian terumbu karang. Sebagai contoh penetapan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi dengan aturan-aturan untuk melindungi kawasan terumbu karang merupakan salah satu usaha untuk melestarikannya. Namun sebaliknya, kegiatan pedagang pengumpul yang menawarkan harga tinggi untuk ikan karang hidup, serta penyediaan bahan-bahan peledak maupun bahan beracun untuk memperoleh SDL karang, sangat berpotensi mengancam kelestarian terumbu karang. Hal ini akan diperparah oleh lemahnya penegakan hukum bagi pelanggar seperti kasus pengeboman ikan dan pemakaian sianida yang sering terlepas dari jerat hukum.
Isu yang berkaitan dengan degradasi lingkungan •
Sebagian terumbu karang di sekitar Pulau Kaledupa (bagian laut yang dangkal) dalam keadaan rusak karena adanya kegiatan yang berlebihan dari masyarakat dalam memanfaatkan hasil SDL. Demikian pula kegiatan pengambilan batu karang untuk keperluan fondasi atau bangunan rumah, berpotensi untuk merusak terumbu karang. Meskipun menurut pengakuan masyarakat merupakan karang yang sudah mati, namun penambangan yang dilakukan terus menerus, berpotensi menimbulkan erosi pantai. Perusakan terumbu karang juga diperparah oleh penggunaan alat tangkap yang merusak seperti pemakaian bahan peledak (bom), bahan beracun (potassium cyanide) serta alat lain seperti linggis. Kerusakan lingkungan lainnya, juga terjadi dengan penebangan hutan bakau yang dilakukan oleh penduduk setempat guna memenuhi kebutuhan kayu bakar. Kerusakan ini nampaknya juga disebabkan oleh adanya anggapan penduduk bahwa proporsi pengambilan karang dan penebangan kayu bakau masih relatif kecil dibandingkan dengan ketersediaan SDL di kawasan tersebut.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
5
•
Kerusakan terumbu karang di wilayah sekitar Kaledupa terutama dilakukan oleh nelayan dari luar, yang umumnya memiliki armada dan peralatan tangkap yang lebih lengkap. Mereka diduga banyak menggunakan bom maupun sianida dengan bantuan kompressor. Meskipun penggunaan alat dan bahan tersebut dilarang, namun penegakan hukum sangat lemah dan dirasakan masyarakat cenderung tidak adil. Banyak pengebom ikan, pemakai sianida maupun nelayan dengan armada seperti trawl (pukat harimau) dalam kapasitas besar yang umumnya berasal dari luar, dalam kenyataan mudah lolos dari jeratan hukum, baik karena kecanggihan peralatan maupun ketidakberdayaan aparat keamanan laut. Sementara nelayan tradisional Bajo sering menjadi sasaran penangkapan, akibat melakukan kesalahan yang kadang-kadang disebabkan terbatasnya informasi tentang peraturan dan sanksinya yang diterima sebelumnya.
•
Adanya anggapan masyarakat setempat bahwa laut adalah pemberian Tuhan yang harus dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Mereka juga beranggapan bahwa penangkapan SDL di laut dapat secara bebas dilakukan sesuai dengan kebutuhan hidupnya, selama mereka melakukan upacara untuk memperoleh ijin dari Dewa Penunggu Laut. Dengan pola pikir demikian, adanya aturan-aturan formal yang membatasi kegiatan mereka di laut, seperti masalah zonasi atau pengkaplingan laut serta larangan-larangan menggunakan alat tangkap tertentu, sulit diterima dan diikuti kebanyakan masyarakat di Sama Bahari, yang menganggap laut sebagai dunianya. Meskipun saat ini pengambilan SDL oleh masyarakat Bajo masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun dalam perkembangan-nya dapat meningkat sejalan dengan permintaan pasar. Dengan anggapan tersebut mereka akan terpacu untuk memperoleh SDL sebanyak mungkin dengan mengabaikan peraturan yang berkaitan dengan zona larangan dan penggunaan peralatan serta bahan penangkapan ikan/SDL lainnya.
Isu yang berkaitan dengan konservasi lingkungan •
Adanya kesepakatan yang dibuat oleh nelayan Sama Bahari dengan Operation Wallacea yang difasilitasi oleh LSM serta tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk menetapkan daerah konservasi tertentu di perairan selatan Pulau Hoga, sebagai kawasan yang dilindungi dari penangkapan ikan oleh nelayan. Kesepakatan ini disertai pemberian kompensasi dari Operation Wallacea berupa imbalan dana tahunan untuk keperluan pembangunan desa dan masyarakat Sama Bahari. Kesepakatan ini merupakan kegiatan yang berpotensi mendukung kelestarian terumbu karang. Di samping itu, adanya aturan-aturan untuk melindungi kawasan terumbu karang merupakan salah satu usaha untuk melestarikannya.
•
Kegiatan Yayasan Bajo Mathilla di Desa Sama Bahari pada umumnya banyak berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat setempat. Kegiatan seperti menjadi sponsor untuk budidaya rumpon, mengadakan latihan untuk ketrampilan budidaya rumput laut, sangat positif untuk pemberdayaan masyarakat dan mencari alternatif penghasilan. Hal positif lainnya adalah adanya kunjungan wisatawan ke Desa Sama Bahari yang dikoordinir yayasan, kadang-kadang melibatkan orang Bajo untuk mendampingi wisatawan dalam bersampan mengelilingi kawasan sekitar pemukiman. Pengelolaan budidaya rumpon milik yayasan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menangkap ikan di sekitarnya. Hal ini secara tidak langsung dapat mengurangi pengambilan ikan karang yang apabila berlebihan dapat 6 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
berpotensi merusak karang. Dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan, yayasan juga merintis model rumah tancap dengan penggunaan semen cor untuk tiang fondasi rumah, dengan menyediakan semen dan harga yang relatif murah. •
Namun dalam perkembangan selanjutnya, muncul anggapan bahwa yayasan cenderung memonopoli semua kegiatan kerjasama dengan Operation Wallacea di resort Hoga. Hal ini karena pelayanan kepada wisatawan asing yang datang ke Desa Sama Bahari seperti penyewaan alat transportasi dan penyediaan penginapan, kini hanya boleh dilakukan oleh yayasan saja, dengan alasan yayasan memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap untuk keamanan dan kenyamanan turis. Beberapa fasilitas yang dimiliki yayasan antara lain rumah (merangkap kantor), toilet, lampu penerangan dan meja belajar serta peralatan komunikasi (pager). Namun demikian beberapa tokoh masyarakat setempat beranggapan kegiatan yayasan yang didukung kepala desa merupakan bentuk monopoli yang hanya menguntungkan yayasan dengan memanfaatkan keberadaan wisatawan di Desa Sama Bahari. Faktor lain yang dianggap negatif adalah keterlibatan aparat desa sebagai pengurus yayasan, yang sangat potensial untuk terjadinya benturan kepentingan.
•
Ketidak seimbangan antara jumlah aparat penjaga keamanan laut dengan areal taman nasional dalam mengatasi pelanggaran peraturan oleh nelayan. Selama ini untuk mengelola TNKW (sekitar 1.390.000 hektar) dengan SDL yang melimpah, hanya dijaga oleh beberapa orang saja. Potensi ini banyak menarik nelayan dari luar daerah dengan peralatan tangkap yang lebih lengkap dan seringkali merusak lingkungan. Keterbatasan jumlah petugas dan fasilitas keamanan serta pengalaman yang minim di bidang kelautan, menyebabkan penjagaan TNKW menjadi kewalahan. Mereka tertinggal bila dibandingkan dengan para nelayan yang umumnya lebih berpengalaman di laut. Akibatnya pelanggaran terus berlangsung karena umumnya nelayan pelanggar mudah lolos dari kejaran petugas. Bahkan banyaknya kasus pencurian yang terjadi di kawasan tersebut (termasuk speedboat patroli milik TNWK resort Kaledupa) semakin menunjukkan keterbatasan aparat keamanan dalam mengamankan lingkungan TNKW. Untuk membuat jera para pelanggar peraturan, penjaga keamanan harus dilengkapi dengan peralatan atau sarana kerja yang memadai, serta kesungguhan dalam menegakkan peraturan, tanpa pandang bulu.
REKOMENDASI POKOK Perlu penciptaan kesempatan kerja alternatif •
Perlu mengurangi tingginya ketergantungan masyarakat terhadap SDL, yaitu dengan menciptakan lapangan pekerjaan alternatif di luar pekerjaan sebagai nelayan. Keberadaan resort Hoga dengan berbagai kegiatannya banyak menarik wisatawan mancanegara terutama untuk tujuan penelitian kelautan. Memperbanyak kunjungan ke Desa Sama Bahari dapat membuka peluang bagi masyarakat setempat untuk menambah penghasilan dengan berbagai kegiatan ekonomi seperti menyediakan jasa pengayuh sampan bagi wisatawan yang ingin berkeliling desa, membuat atau berjualan souvenir, menjual makanan atau minuman khas Sama Bahari.
•
Untuk mengantisipasi peluang kerja dalam pengembangan wisata bahari dan wisata budaya, perlu pemberdayaan terhadap masyarakat Bajo dalam berbagai bidang seperti akomodasi, transportasi dan makanan siap saji, souvenir dengan melibatkan
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
7
LSM, tokoh masyarakat setempat maupun Operation Wallacea di resort Hoga. Pemberdayaan masyarakat setempat diperlukan agar tidak hanya menjadi penonton wisatawan, tetapi juga dapat mengambil keuntungan ekonomi secara langsung. •
Perlu meningkatkan pelatihan-pelatihan untuk usaha budidaya SDL yang ramah lingkungan, seperti sistem rumpon dan budidaya rumput laut serta pengolahan ikan paska panen. Adanya upaya untuk menambah penghasilan di luar pekerjaan utama sebagai nelayan, diharapkan masyarakat tidak lagi memanfaatkan SDL secara berlebihan. Sementara itu, pengolahan ikan maupun pengasapan dan pengeringan ikan merupakan alternatif mata pencaharian yang juga dapat dikembangkan terutama untuk perempuan. Apalagi pemasaran untuk ikan kering juga cukup potensial baik pasar domestik maupun untuk ekspor.
Perlu pengenalan teknologi alternatif •
Upaya yayasan setempat untuk mengenalkan fondasi rumah dengan tiang cor semen perlu didukung semua pihak terkait, sehingga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat untuk menggunakan batu karang sebagai fondasi rumah atau tanggul jembatan. Dukungan yang diperlukan antara lain mensosialisasikan dan membantu pengadaan bahan semen dan mengusahakan pembayarannya dengan siatem kredit dengan melibatkan yayasan dan atau pengusaha terkait. Diharapkan dengan beralihnya masyarakat dari rumah yang menggunakan karang ke model rumah dengan fondasi semen, kerusakan karang lebih lanjut dapat dicegah.
•
Perlu alternatif lain dalam penggunaan bahan bakar misalnya pemakaian kompor minyak tanah atau tungku batu bara. Untuk itu diperlukan kemudahan pengadaan kompor atau peralatan lain yang dibutuhkan, dengan melibatkan yayasan atau koperasi terkait. Keadaan ini dimungkinkan, karena beberapa keluarga sudah menggunakan kompor minyak tanah, dan umumnya mereka mampu membeli terutama dengan sistem kredit. Dalam hal ini pemerintah daerah setempat dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk pengadaannya sesuai kesepakatan dengan masyarakat. Alternatif ini dapat mengurangi pemakaian kayu bakau sebagai bahan bakar, sekaligus sebagai upaya mengembalikan dan melestarikan hutan bakau. Dengan pemakaian kompor minyak tanah atau tungku batu bara juga dapat mengurangi beban kerja perempuan Bajo mengambil kayu ke hutan bakau.
Perlu sosialisasi peraturan dan penegakan hukum •
Perlu peningkatan kemauan politik dari pemerintah setempat dalam membuat kebijaksanaan, program-program maupun peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan SDL. Peningkatan kesadaran dan keterlibatan staf yang bertugas dalam pengelolaan terumbu karang. Hal ini diperlukan agar petugas yang bersangkutan tidak hanya sekedar mencari atau menindak pelaku pelanggaran tetapi juga mempunyai kesadaran dan kepedulian yang besar terhadap usaha pelestarian terumbu karang.
•
Perlunya penambahan personal maupun sarana kerja untuk meningkatkan sistem keamanan TNKW. Di samping itu, melibatkan masyarakat dalam pengamanan SDL akan lebih berhasil daripada hanya menjadikan mereka obyek yang selalu harus 8 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
diawasi. Mengingat nelayan setempat merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari laut sehingga mengetahui seluk beluk kelautan, maka sebaiknya mereka dilibatkan sebagai petugas keamanan untuk wilayah TNKW sehingga mereka akan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keamanan lautnya. Dengan demikian, usaha mengamankan aset negara itu akan terjaga dan kerusakan terumbu karang dapat dihindari. Selama ini nelayan setempat hanya menjadi 'polisi' untuk nelayan dari luar sebatas pada 'rebutan wilayah penangkapan', bukan untuk keperluan melestarikan terumbu karang. Dengan melibatkan nelayan setempat sebagai tenaga pengawas laut di wilayahnya, tim patroli akan lebih kuat, sehingga lebih mudah melakukan tindakan yang diperlukan terhadap nelayan yang melakukan pelanggaran. Untuk itu nelayan yang akan dilibatkan perlu mendapat pelatihan atau dibekali pengetahuan mengenai aturan-aturan formal serta sanksinya. •
Perlu penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan nelayan tanpa pandang bulu, terutama pelanggaran yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Pemberian sanksi juga harus diterapkan pada stakeholders lain yang menyediakan bahan peledak atau racun untuk penangkapan ikan. Di samping itu, penyuluhan mengenai perlunya terumbu karang serta dialog dengan masyarakat setempat mengenai permasalahan ini akan dapat membantu mencegah kerusakan terumbu karang lebih lanjut.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
9
Bab I Pend ah ulu an Terumbu karang yang dikelola secara baik merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kerusakan terumbu karang yang makin parah di Indonesia, mendorong pemerintah untuk meluncurkan program nasional yang dikenal dengan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program ). Program ini bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang yang rusak. Keberhasilan program COREMAP sangat ditentukan oleh kesadaran dan aktivitas yang melibatkan masyarakat di sekitar lokasi terumbu karang. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang data dasar yang berkaitan dengan aspek sosial terumbu karang di lokasi sekitar terumbu karang, sehingga dalam pelaksanaan program benarbenar berbasis masyarakat. Diharapkan pemahaman ini dapat menyatukan persepsi sehingga perencanaan dan pelaksanaan program di lapangan dapat disesuaikan dengan tujuan dan ketentuan dalam program COREMAP. 1.1.
Latar Belakang
Indonesia memiliki kawasan terumbu karang terluas di dunia, yang tersebar mulai dari Aceh sampai Papua (Irian Jaya). Indonesia juga dikenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh daerah Indo-Pasific. Di seluruh perairan Indonesia terdapat sekitar 354 jenis batu karang, yang kondisinya kini cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagian besar terumbu karang (sekitar 70 persen) dalam keadaan rusak (dengan berbagai tingkat kerusakan). Selebihnya, yaitu sekitar 23 persen dalam keadaan cukup baik dan hanya sekitar 6 persen, dengan kriteria masih sangat baik (dikutip dari Nagib, ed., 1999). Sebagian besar (sekitar 60 persen) penduduk Indonesia tinggal di daerah pesisir, yang berarti menggantungkan hidup terutama dari pengelolaan sumber daya laut (SDL), termasuk terumbu karang. Kerusakan terumbu karang yang berkelanjutan akan berdampak terhadap terganggunya ekosistem SDL dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia, terutama penduduk yang tinggal di sekitarnya, baik sebagai nelayan maupun pekerjaan lain yang terkait. Kerusakan terumbu karang juga berpengaruh terhadap ekonomi nasional, karena Indonesia sebagai negara maritim, mempunyai potensi SDL yang besar, sehingga apabila dikelola secara efektif, dapat berperan penting dalam pemasukan devisa negara. Salah satu lokasi yang banyak mengalami kerusakan terumbu karang adalah Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara, antara lain di kawasan karang Kapotan. Sedangkan di kawasan karang Kaledupa, sebagian terumbu karang terutama di perairan yang dalam masih tergolong baik. Kerusakan terumbu karang, selain karena faktor alam, juga disebabkan oleh perilaku manusia yang kurang bersahabat terhadap lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan penelitian, penyebab kerusakan terumbu karang antara lain karena adanya eksploitasi berlebihan terhadap SDL, khususnya penangkapan ikan
11 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
yang menggunakan bahan peledak atau bahan kimia, serta pengambilan bunga karang untuk fondasi rumah atau souvenir dan sedimentasi (Kunzman dan Effendi, 1994). Cara penangkapan ikan dengan pemakaian potas untuk membius ikan, sudah dilakukan di perairan Kepulauan Wakatobi sejak tahun 1994, yang diperkenalkan oleh penangkap dan pedagang ikan dari luar (Widjanarko, 2000). Ketergantungan masyarakat pesisir pada pengelolaan SDL, diperkirak an semakin meningkat, baik karena pertambahan penduduk maupun perkembangan teknologi penangkapan. Berbagai upaya pencegahan kerusakan terumbu karang telah dilakukan pemerintah daerah, antara lain dengan menempatkan petugas keamanan laut dan jagawana (Departemen Kehutanan) untuk menjaga pelestarian lingkungan melalui konservasi Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. Namun dalam kenyataan sehari-hari, pelanggaran masih terus berlangsung baik oleh masyarakat sekitar maupun dari luar, yang melakukan eksploitasi SDL di wilayah tersebut. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut diperlukan berbagai langkah konkrit yang melibatkan berbagai stakeholders di wilayah tersebut dan sekitarnya. Program COREMAP merupakan program nasional yang bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan dan merehabilitasi terumbu karang, sehingga dapat mencegah terjadinya kerusakan terumbu karang lebih lanjut. Sasaran utama program tersebut adalah untuk melindungi dan merehabilitasi terumbu karang agar SDL tersebut dapat dilestarikan. Salah satu komponen utama kegiatan COREMAP adalah pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau community based management (CBM), yang menekankan pada partisipasi aktif masyarakat, terutama masyarakat yang terkait dengan pengelolaan SDL di wilayah tersebut. PBM merupakan sistem pengelolaan sumber daya terumbu karang terpadu yang perumusan dan perencanaannya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah (bottom up approach), berdasarkan aspirasi masyarakat dan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat. Dalam hal ini peran masyarakat lokal (baik laki-laki maupun perempuan) untuk menjaga kelestarian terumbu karang sangat diperlukan, yaitu dengan memanfaatkan pengetahuan, kebiasaan dan kearifan lokal yang sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat. Program ini akan lebih berhasil apabila masyarakat telah mengenal pranata sosial yang mengatur pengelolaan SDL, tanpa harus merusaknya. Modal dasar yang dimiliki masyarakat harus dimanfaatkan sebagai wahana untuk lebih menyadarkan masyarakat tentang arti penting pelestarian terumbu karang bagi kehidupan mereka secara berkelanjutan. Dalam rangka menunjang kegiatan program COREMAP, terutama dalam merancang program dan jenis intervensi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, diperlukan berbagai data yang berkaitan dengan potensi SDL; kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal; dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang, seperti teknologi yang digunakan dalam pengelolaan SDL dan stakeholders yang terkait dengan pengelolaan SDL. Juga diperlukan data tentang isu dan permasalahan sehubungan dengan pengelolaan SDL, kendala-kendala yang dihadapi dan aspirasi masyarakat dalam memecahkan permasalahan. Studi ini dilakukan di dua propinsi yaitu Sulawesi Tenggara dan Papua (Irian Jaya). Untuk kawasan Sulawesi Tenggara, telah ditentukan Kepulauan Wakatobi sebagai lokasi untuk intervensi program COREMAP Tahap II. Untuk itu diperlukan studi di beberapa lokasi yaitu Kecamatan Wangi-Wangi di Pulau Wangi-Wangi, Kecamatan Kaledupa di Pulau Kaledupa, Kecamatan Tomia di Pulau Tomia. Untuk keperluan survei
12 Studi Kasus : Desa Soma Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
di masing-masing kecamatan dipilih paling sedikit satu lokasi (desa), yang mayoritas penduduknya terkait dengan pengelolaan SDL. Khusus untuk Kecamatan Kaledupa, dipilih dua lokasi yaitu Desa Sama Bahari dan Desa Kasuari masing-masing di lokasi perairan dan di pantai daratan Kaledupa. 1.2.
TUJUAN
Secara umum studi ini bertujuan mengkaji data dasar tentang kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut (SDL), khususnya terumbu karang. Hasil studi ini dimaksudkan sebagai masukan bagi para pengambil keputusan untuk digunakan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Tersedianya data dasar juga dimaksudkan agar dapat memberikan perspektif dan agenda sosial sehingga program COREMAP dapat dilaksanakan dengan baik untuk kelestarian terumbu karang dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Secara khusus studi ini bertujuan: 1. Menggambarkan kondisi SDL, khususnya terumbu karang beserta ekosistemnya di wilayah sekitar Desa Sama Bahari dengan menekankan pada pemanfaatan dan pengelolaannya. 2. Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisa kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL yang berpotensi mendukung maupun mengancam kelestarian terumbu karang. Di samping itu juga mengantisipasi potensi konflik kepentingan antar stakeholders sehubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDL khususnya terumbu karang. 3. Mendiskripsikan kondisi sumber daya manusia (SDM) di Desa Sama Bahari serta memotret tingkat kesejahteran masyarakat dengan melihat pemilikan aset rumah tangga, kondisi perumahan, pendapatan dan pengeluaran serta hutang dan tabungan. 4. Memberikan masukan-masukan kepada para pengambil keputusan di daerah yang bersangkutan untuk merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. 5. Memberikan masukan untuk menyusun indikator-indikator yang dapat dijadikan tolok ukur dalam membandingkan kondisi sosial- ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah intervensi program. 1.3. METODOLOGI Pemilihan lokasi Untuk keperluan studi data dasar aspek sosial terumbu karang di Kecamatan Kaledupa dipilih dua desa pantai yang mayoritas penduduknya terlibat kegiatan pengelolaan SDL, yaitu Desa Sama Bahari dan Desa Kasuari. Meskipun kedua desa berada di sekitar pantai Kaledupa, terdapat perbedaan yang cukup tajam antara kedua desa, baik secara geografis maupun aktivitas ekonomi penduduknya. Lokasi Desa Sama
13 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bahari berada di atas perairan laut dangkal di bagian utara Pulau Kaledupa arah timur laut, dan merupakan desa nelayan Suku Bajo, karena hampir semua penduduk bekerja sebagai nelayan. Sementara Desa Kasuari terletak di pantai sebelah barat daya Pulau Kaledupa, dan mayoritas penduduknya adalah masyarakat asli daratan Kaledupa, yang kegiatan utama penduduknya sebagai petani kebun, termasuk budidaya rumput laut. Untuk studi ini diperlukan data primer dan sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti dinas statistik Pemda, dinas kehutanan, dinas perikanan dan kelautan. Data primer diperoleh melalui kombinasi dua pendekatan yaitu kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dengan survei terhadap penduduk (rumah tangga) di desa terpilih, dengan menggunakan kuesioner berstruktur. Sebagai sampel dipilih 100 responden yaitu kepala rumah tangga dan individu dari 100 kepala keluarga (KK) di kedua kampung yaitu Pagana dan Sampela. Meskipun jumlah penduduk Desa Sama Bahari tercatat sebanyak 267 KK, namun berdasarkan kenyataan di lapangan jumlah yang berada di lokasi jauh lebih kecil (sekitar 150 KK). Bahkan dalam pelaksanaannya, tidak semua responden berhasil diwawancarai, karena banyak keluarga yang tidak di tempat antara lain sedang merantau, sakit, atau menolak, sehingga responden pengganti diambil dari kelebihan KK yang belum terpilih. Akibatnya 100 responden yang berhasil diwawancarai, mencakup hampir semua keluarga di dua kampung atau hampir merupakan sensus. Pengumpulan data Untuk pengumpulan data kuantitatif, peneliti dibantu oleh 5 orang pewawancara yang dipilih dari masyarakat setempat (Suku Bajo), yang umumnya berpendidikan SMU (2 orang masih sekolah SMU). Sebelum pelaksanaan survei, para pewawancara mendapatkan pelatihan selama 1 hari dari peneliti. Kemudian dilakukan uji coba wawancara terhadap 1-2 orang penduduk, sehingga mereka benar-benar memahami daftar pertanyaan, termasuk cara bertanya dalam bahasa setempat (Bahasa Bajo). Semua kuesioner yang sudah terisi dikoreksi oleh peneliti dalam hal kelengkapan data, akurasi dan konsistensi jawabannya. Seorang pewawancara terpaksa dihentikan karena mengalami kesulitan dalam wawancara dan diragukan akurasinya. Pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif dilakukan oleh dua orang peneliti PPK-LIPI melalui wawancara mendalam (in-depth interview), observasi, diskusi kelompok terfokus (focus group discussion), diskusi kelompok dan metode PRA (Participatory Rapid Appraisal). Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa informan kunci yang terkait dengan subyek penelitian, seperti tokoh masyarakat (aparat desa, guru, dukun, koordinator/punggawa), keluarga nelayan, non-nelayan, warung dan pengurus yayasan/LSM. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan stakeholders terkait di tingkat kecamatan seperti aparat kecamatan, staf jagawana, dokter Puskesmas, koperasi serta pengelola resort Hugo. Sedangkan di tingkat kabupaten, wawancara dilakukan terhadap staf Bappeda, Taman Nasional Wakatobi dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Untuk memperoleh konfirmasi permasalahan pemilihan dan pengembangan narasumber dilakukan dengan cara ‘bola salju’ (snowballing). Untuk memudahkan komunikasi dengan narasumber, bagi narasumber yang kurang lancar/tidak dapat berbahasa Indonesia, peneliti juga didampingi oleh penterjemah dari masyarakat lokal (kepala desa dan pimpinan LSM), Wawancara mendalam juga dibantu
14 Studi Kasus : Desa Soma Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
dengan alat rekaman (tape recorder) untuk mendapat gambaran yang utuh dari suatu subyek penelitian (misal kepercayaan yang berkaitan dengan laut). Untuk lebih memahami permasalahan dan melakukan konfirmasi data, dilakukan juga pengamatan terhadap obyek tertentu di lapangan, seperti pemakaian batukarang untuk fondasi rumah, kegiatan sehari-hari masyarakat (perspektif jender), ketaatan pada aturan dan lingkungan di sekitar pemukiman dan desa. Pengamatan dilakukan di sekitar pemukiman (dengan sampan), di sekitar desa (dengan perahu bermotor), di pasar ikan, koperasi, puskesmas dan di daratan Kaledupa lainnya. Pendekatan PRA dilakukan untuk memahami permasalahan yang berkaitan dengan kegiatan nelayan di laut serta alternatif penyelesaian permasalahan sesuai dengan potensi yang dimiliki dan keinginan masyarakat. Metode PRA dilakukan bersamaan dengan diskusi terfokus (FGD) dengan peserta nelayan laki-laki sebanyak 8 orang. Untuk metode PRA dilaksanakan dengan bantuan peta lokasi dan beberapa spidol berwarna, untuk memudahkan peserta dalam memahami subyek yang didiskusikan. Dengan metode ini setiap peserta diberi kesempatan untuk aktif dalam mengemukakan pendapat dan keinginannya sesuai dengan pengalaman sehari-hari berkaitan dengan kegiatannya di laut. Dalam diskusi terfokus tersebut, penekanan diskusi terutama yang berkaitan dengan potensi laut, kerusakan terumbu karang dan alternatif pemecahan masalah. Kemudahan dan kesulitan Penelitian ini dilakukan pada sekelompok masyarakat yang relatif homogen baik suku, lokasi pemukiman dan aktivitasnya. Hal ini memudahkan dan mempercepat pelaksanaan penelitian, karena tempat tinggalnya berdekatan dan saling mengenal satu dengan lainnya, sehingga konfirmasi permasalahan mudah dilakukan. Namun demikian penelitian ini juga menghadapi beberapa kelemahan antara lain: •
Kondisi lokasi yang kurang ditunjang sarana dan prasarana transport yang memadai, menyebabkan perjalanan menuju lokasi penelitian memerlukan waktu yang panjang dan melelahkan. Waktu perjalanan yang lama dengan tingkat kesulitan yang tinggi, memerlukan pengetahuan awal yang memadai, sehingga penelitian dapat dilakukan lebih efektif dengan hasil yang lebih optimal.
•
Keadaan masyarakat di lokasi khusus (terpisah dari masyarakat lainnya) dan relatif masih tertutup, berpendidikan terbatas dan umumnya hanya berbahasa lokal, menyulitkan komunikasi dalam pengumpulan data, sehingga dengan penterjemah yang terbatas, dikuatirkan terjadi bias makna dari maksud penelitian.
•
Terbatasnya data sekunder di lapangan (desa dan kecamatan), menyulitkan analisa yang lebih komprehensif dengan data terkini, terutama dalam menjelaskan kecenderungan yang berkaitan dengan data kuantitatif dari pengelolaan dan pemanfaatan SDL.
•
Beberapa pertanyaan dalam kuesioner dianggap sangat sensitif bagi responden, atau memerlukan ‘probing’ lebih lanjut, antara lain pemakaian bahan-bahan yang dilarang untuk pengelolaan SDL serta kegunaan terumbu karang. Akibatnya
15 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
setelah dilakukan pendalaman maupun pengamatan di lapangan, jawaban responden yang kurang menunjukkan fakta yang sebenarnya.
banyak
Analisa data Analisa data menekankan pada analisa deskripsi (descriptive analysis ) yang menggabungkan data kuantitaif dan kualitatif. Data dari hasil survei dianalisa dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Sedangkan data kualitatif yang dikumpulkan melalui berbagai cara, dianalisa dengan teknik analisa isi (content analysis). Informasi yang diperoleh dari berbagai narasumber ini digunakan untuk menjelaskan isu pokok penelitian, sehingga diperoleh gambaran yang utuh serta dilengkapi dengan nuansa dari temuan pokok penelitian. Organisasi penulisan Penulisan laporan ini terdiri dari 7 bab. Setelah bab pendahuluan, bab berikutnya (Bab II) menjelaskan profil desa yang meliputi keadaan geografis, kondisi SDA, kependudukan, fasilitas dan aksesibilitas serta kelembagaan. Bab III menganilisis pengelolaan SDL yang menekankan pada stakeholders terkait, pengetahuan dan sikap masyarakat, wilayah dan teknologi pengolahan, serta pekerjaan dan hubungan kerja dalam pengelolaan SDL. Pengelolaan SDL dari aspek ekonomi dikaji pada kedua bab berikutnya (Bab IV dan V) yang menekankan pada ‘Hasil produksi dan pemasaran’ (Bab IV) serta ‘Pendapatan dan kesejahteraan masyarakat’ (Bab V). Selanjutnya (Bab VI) menekankan pada analisa kerusakan SDL dan faktor yang berpengaruh (internal dan eksternal). Laporan penelitian diakhiri dengan bab penutup (Bab VII) yang merupakan kesimpulan dan rekomendasi dengan menekankan pada tem uan pokok penelitian dan beberapa saran dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pelestarian terumbu karang.
16 Studi Kasus : Desa Soma Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab II Gam baran U mum Lokasi 2.1. Letak Geografis Kepulauan Wakatobi termasuk wilayah Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara. Kepulauan Wakatobi yang juga dikenal sebagai kepulauan tukang besi, merupakan gugusan pulau-pulau karang yang terletak antara Laut Banda dan Laut Flores, di sebelah tenggara Pulau Buton. Secara geografis, Kabupaten Buton terletak di bagian selatan garis khatuliswa yang memanjang dari utara ke selatan di antara 5° 12' LS - 6° 10' LS dan derajat lintang selatan dan membentang dari barat ke timur di antara 123° 20' dan 124° 39' bujur timur. Kepulauan Wakatobi diresmikan sebagai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW) pada tanggal 30 juli 1996. TNKW merupakan salah satu area konservasi di Indonesia yang bertujuan untuk menjaga sumber daya biologi dan ekosistemnya, dalam mencapai fungsinya sebagai pelindung sistem kehidupan penyangga, preservasi dari keanekaragaman flora dan fauna, penggunaan sumber daya alam dan ekosistem, untuk keperluan riset, kemajuan ilmu pengetahuan, pendidikan, orientasi budaya, wisata alam serta rekreasi (leaflet Taman Nasional Wakatobi). TNKW termasuk dalam wilayah daerah iklim tipe c. Rata-rata curah hujan berkisar antara 1.500-2.000 mm per tahun, dengan temperatur udara antara 19-24 C serta kelembaban udara rata-rata 80%. Sedangkan suhu TNKW berkisar antara 27 C 28 C. Bulan-bulan kering jatuh pada bulan Juli hingga November. Kawasan Kepulauan Wakatobi terletak pada daerah laut tropis basah yang dipengaruhi angin barat dan angin timur. Musim angin barat terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Februari, sedang angin timur terjadi pada bulan Juli sampai dengan bulan September. Saat itu arus kencang dan ombak besar serta gelombang sering mencapai ketinggian 2-3 m. (TNKW, 2001: 6). TNKW dapat dicapai dengan menempuh jalan darat dan laut. Dari Kendari (ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara) ke Bau-bau (ibukota Kabupaten Buton) ditempuh dengan speedboat (sekitar 5 jam) atau dengan kapal kayu (sekitar 12 jam). Dari Kota Bau-bau ke Dermaga Lasalimu dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat selama sekitar 1,5 jam, dan dilanjutkan ke Pelabuhan Wanci dengan kapal kayu sekitar 2,5 jam. Perjalanan dari Wanci ke Pulau Kaledupa dengan kapal memakan waktu sekitar 2 jam. Perjalanan paling aman ke TNKW, apabila dilakukan pada sekitar bulan Oktober– Desember yang merupakan musim tenang di perairan Laut Banda. Sebaliknya, perjalanan di luar musim itu sangat penuh resiko karena ombak yang sangat keras. Secara administrasi pemerintahan, kepulauan Wakatobi terdiri dari empat kecamatan yaitu Kecamatan Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Dilihat dari luas arealnya, Kecamatan Wangi-wangi merupakan kecamatan terbesar (sekitar 54 %), sedangkan wilayah paling kecil adalah Kecamatan Kaledupa, yaitu sekitar 13 % dari luas wilayah gugusan Kepulauan Wakatobi (Tabel 2.1).
17 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Tabel 2.1 Luas Wilayah Kepulauan Wakatobi Menurut Kecamatan Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara Kecamatan Wangi-wangi Kaledupa Tomia Binongko
Luas (Km2)
Persentase
448,00 104,00 115,00 156,00
54,40 12,60 13,90 19,10
Jumlah 823,00 Sumber: Kabupaten Buton dalam Angka, Tahun 1995.
100,00
Lokasi Kecamatan Kaledupa berbatasan dengan laut Banda di sebelah utara; dengan Kecamatan Tomia di sebelah timur; dengan laut Flores di sebelah selatan; dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wangi-wangi. Wilayah di sekitar Kecamatan Kaledupa merupakan kawasan pantai yang dikelilingi oleh terumbu karang. Di Pulau Kaledupa terdapat terumbu karang yang termasuk dalam kategori terumbu karang penghalang (barrier reefs). Sedangkan karang Kaledupa di bagian utara terletak pada kedalaman sekitar 23 meter, merupakan tempat beristirahatnya ikan pari. Dilihat dari topografinya, wilayah kecamatan mempunyai bentuk lapangan berbukit, bergelombang dan berombak. Lapangan yang bentuknya landai hanya terdapat di sekitar pantai dan tidak begitu luas. Sebagian besar kawasan bagian tengah pulau berbukit terjal, dengan tingkat kelerengan lebih dari 30% (Unit TNKW, 2001: 5). Jalan darat di Kecamatan Kaledupa, terutama yang berada di Desa Ambeua banyak berkelok-kelok dan cukup menanjak. Kecamatan Kaledupa terdiri dari 3 kelurahan (yaitu: Laulua, Horuo dan Ambeua) dan 13 desa (yaitu: Sama Bahari, Tampara, Sombano, Darawa, Lentea, Kasuari, Tanomeha, Ollo, Buranga, Balasuna, Sandi, Langge dan Lagiwae). Sebagai pusat pemerintahan kecamatan adalah Kelurahan Ambeua. Jumlah penduduk di seluruh Kecamatan Kaledupa sekitar 14.936 jiwa, kebanyakan terdiri dari suku Buton, Bajo, dan Bugis. Jumlah penduduk suku Bajo di Kecamatan Kaledupa sekitar 3000 jiwa, pada umumnya tinggal di Desa Tanumea, Horuo dan Sama Bahari. Bahkan di Desa Sama Bahari hampir semua penduduknya adalah suku Bajo. Desa Sama Bahari merupakan salah satu desa di Kecamatan Kaledupa yang terletak di perairan dangkal laut Banda. Semula Desa Sama Bahari menjadi bagian dari Desa Laulua, dan sejak tahun 1997 terpisah menjadi desa tersendiri dengan luas wilayah sekitar 60 Km 2 (lebar 200 meter dan panjang 300 meter). Secara geografis, lokasi Desa Sama Bahari berbatasan dengan Des a Laulua di sebelah barat dan Pulau Hoga di sebelah timur. Jarak Desa Sama Bahari ke pusat pemerintahan Kecamatan Kaledupa (Kelurahan Ambeua) sekitar 2 km. Karena letak Desa Sama Bahari di tengah laut, maka untuk menuju desa ini hanya dapat ditempuh dengan sampan (sekitar 30 menit) atau dengan perahu motor (sekitar 15 menit). Desa Sama Bahari terdiri dari dua dusun yaitu Dusun Sampela di bagian selatan dan Dusun Pagana di bagian utara. Kedua dusun berbeda keadaannya baik secara fisik (perumahan) maupun kualitas penduduknya. Dusun Sampela tampak lebih baik keadaannya dilihat dari pemukiman yang lebih permanen dan lebih teratur. Demikian pula banyak penduduk dusun ini yang 18 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
lebih berpendidikan. Sedangkan di Dusun Pagana, masih banyak ditemukan perumahan tancap yang sederhana dan kurang teratur. Namun demikian dari hasil survei rumah tangga, rata-rata penghasilan penduduk di Dusun Pagana lebih tinggi dari Dusun Sampela. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya beberapa penduduk (termasuk sebagian besar koordinator) yang keadaan ekonominya relatif baik dan umumnya memiliki perumahan yang permanen dan cukup luas. Di Dusun Pagana juga terdapat tempat persinggahan (semacam dermaga) kapal ikan yang datang dari luar Desa Sama Bahari. Dermaga ini juga dimanfaatkan untuk tempat naik turunnya penumpang perahu motor baik dari Kaledupa maupun dari Wanci. Hal ini memberi kemudahan bagi penduduk di Desa Sama Bahari untuk pergi keluar atau sebaliknya penduduk luar untuk datang ke Desa Sama Bahari. 2.2. Kondisi Sumber Daya Alam Seluruh wilayah Desa Sama Bahari merupakan permukiman penduduk yang dikelilingi oleh laut dangkal. Ruang atau lahan di antara permukiman penduduk adalah perairan laut dangkal, yang terkadang mengalami surut air di siang hari. Diantara perumahan penduduk terdapat beberapa petak lahan yang sudah ditutup batu karang dan biasa disebut tembok . Lahan yang merupakan fondasi dari timbunan karang ini biasa digunakan oleh penduduk setempat sebagai fondasi rumah atau sebagai lahan untuk melakukan kegiatan olah raga. Sebagian perumahan penduduk yang menggunakan fondasi rumah dari timbunan batu karang, dapat memanfaatkan kolong rumah untuk berbagai keperluan seperti dapur, tempat bersantai, menyimpan kayu bakar dan memelihara ayam. Demikian pula beberapa kolong rumah penduduk juga dimanfaatkan untuk tempat usaha seperti berdagang, membuat sampan/perahu, membuat atap dari rumbia dan membuat jala. Desa Sama Bahari memiliki sumber daya laut yang potensial untuk dikembangkan baik untuk bidang perikanan maupun pariwisata. Namun demikian desa yang terletak di tengah laut ini tidak memiliki potensi sumber air bersih dan tempat pembuangan limbah sehingga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan penduduk maupun wisawatan yang berkunjung. Keadaan potensi sumber daya laut, air bersih maupun potensi pariwisata di Desa Sama Bahari sebagai berikut: 2.2.1. Potensi Sumber Daya Laut Desa Sama Bahari dan sekitarnya kaya akan sumber daya laut yang merupakan sumber utama penghidupan bagi masyarakat. Beberapa potensi sumber daya laut yang terdapat di sekitar desa adalah terumbu karang, hutan mangrove, dan berbagai jenis ikan serta biota laut lainnya. Terumbu karang Area terumbu karang yang luas terdapat di sekitar Kecamatan Kaledupa, beraneka ragam jenis dan warnanya, sehingga dikenal keindahannya. Demikian pula terumbu karang di sekitar Desa Sama Bahari, merupakan panorama yang indah di dalam laut. Apabila berkeliling dengan sampan atau perahu motor, dari kejauhan akan tampak gugusan terumbu karang di permukaan laut yang dangkal. Bila air surut di sore hari, gugusan batu karang akan tampak nyata di sekitar pemukiman penduduk,
19 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
sehingga menjadi tempat bermain anak-anak atau tempat mencari kerang atau biota laut lain di sekitar terumbu karang Hutan Bakau/Mangrove Hutan bakau banyak tumbuh di bagian barat dan timur pantai Kaledupa. Hutan bakau yang terletak di bagian barat daratan Kaledupa, berlokasi hanya sekitar 2-5 km di bagian barat-selatan Desa Sama Bahari. Hutan bakau di lokasi ini banyak yang sudah rusak akibat penggunaan pohon-pohon bakau oleh penduduk Desa Sama Bahari untuk bahan bangunan atau kayu bakar. Karena kerusakan hutan bakau tersebut, pada saat ini lokasi pencarian kayu bakau makin jauh dari pemukiman penduduk. Ikan Beberapa jenis ikan yang banyak dijumpai di sekitar Desa Sama Bahari adalah jenis ikan cakalang, tuna, ekor kuning, baronang, dan beberapa jenis ikan lainnya. Ikan karang seperti sunu, kerapu dan napoleon serta lobster dapat ditemukan di sekitar karang Kaledupa (sekitar 3 jam perjalanan dengan perahu motor dari Desa Sama Bahari). Bila air pasang, ribuan ikan-ikan kecil dengan jelas dapat dilihat di kolongkolong perumahan orang Bajo atau di lorong-lorong jalan sepanjang pemukiman penduduk. Teripang dan sumber daya laut lain Beberapa jenis teripang yang terdapat di sekitar Desa Sama Bahari antara lain teripang hitam, teripang putih, bintik-bintik, nenas, gama dan teripang biasa. Teripang ini dikumpulkan kemudian dikeringkan sebelum dijual kepada pedagang pengumpul setempat. Sumber daya laut lain yang banyak terdapat di sekitar Desa Sama Bahari adalah gurita, beberapa jenis kerang-kerangan (mollusca) seperti belah batu atau mata tujuh, tiram dan bulu babi. Bulu babi merupakan sejenis biota laut yang bentuknya bulat sebesar telur angsa, kulitnya berbulu seperti buah rambutan, dan isi dalamnya biasa dikonsumsi penduduk setempat dalam keadaan segar. 2.2.2. Potensi air bersih Desa Sama Bahari yang terletak di perairan laut tidak mempunyai sumber air tawar, sehingga air bersih merupakan masalah yang cukup serius bagi penduduk desa ini. Padahal sumber air merupakan potensi penting untuk memenuhi kebutuhan air tawar baik bagi kehidupan penduduk setempat maupun wisatawan yang berkunjung ke desa tersebut. Keberadaan sumber air juga penting untuk mendukung perkembangan ekonomi seperti kepariwisataan atau usaha lainnya. Selama ini kebutuhan air bersih bagi penduduk Desa Sama Bahari, harus diambil dari sumber mata air yang lokasinya di daratan Kaledupa, yaitu sekitar 1 jam (pulang-pergi) dengan menggunakan sampan atau sekitar 30 menit dengan perahu motor. Alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan air tawar dengan menampung air hujan pada musim hujan. Ketergantungan masyarakat Sama Bahari terhadap sumber air di daratan Kaledupa cukup besar baik untuk keperluan minum, masak, mandi maupun mencuci baju. Sementara untuk keperluan lain seperti mencuci piring dan mandi sering 20 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
menggunakan air laut. Untuk mencuci baju mereka menggunakan air tawar yang biasanya dilakukan bersamaan dengan pengambilan air di lokasi mata air di daratan Kaledupa. Menurut penduduk setempat baju yang dicuci dengan air laut akan cepat sekali menjadi lembab dan cepat robek, karena kandungan garamnya yang cukup tinggi. Demikian pula dengan kondisi air tawar dari mata air di daratan Kaledupa, mempunyai kandungan kapur yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari karang yang menebal di peralatan rumah tangga yang dipergunakan untuk memasak air tersebut. Namun demikian, meskipun setiap hari mengkonsumsi air yang mempunyai kandungan kapur cukup tinggi, kasus gangguan fungsi ginjal untuk penduduk setempat jarang ditemukan. Hal ini juga dibenarkan oleh dokter Puskesmas di Kecamatan Kaledupa. Perempuan berperan penting dalam kegiatan mengambil air tawar di daratan Kaledupa. Biasanya kegiatan ini dilakukan pada pagi hari sewaktu air masih pasang, sehingga memudahkan mereka mendayung dan membawa jerigen-jerigen plastik yang penuh dengan air. Setiap sampan dapat diisi 5-10 jerigen plastik yang berisi 20 liter air per jerigen. Bersamaan dengan mengambil air, biasanya mereka juga melakukan kegiatan lain seperti mencuci baju dan mandi di lokasi tersebut, dan segera kembali sebelum air laut surut. Bagi ibu-ibu yang tidak dapat mengambil air sendiri ke lokasi dapat menyuruh orang lain mengambilkan dengan imbalan uang sebesar Rp. 500 per jerigen. Kebanyakan penduduk (terutama anak-anak dan laki-laki dewasa) mandi di laut, meskipun ada yang kemudian membilasnya dengan air tawar. Sebagian besar penduduk setempat mempunyai kepercayaan bahwa mandi air laut menjauhkan mereka dari segala macam penyakit. Mereka percaya bahwa bila ada orang sakit flu misalnya, akan cepat sembuh bila mereka mandi dengan air laut. Di samping itu, masyarakat setempat juga percaya bahwa dengan mandi air laut tanpa dibilas air tawar akan menjauhkan mereka dari segala macam penyakit dan memperpanjang umur. Hal ini terlihat pada kebiasaan masyarakat untuk mengurangi demam pada anak-anak dengan merendamnya di air laut. Kulit sebagian besar orang Bajo yang kelihatan hitam gelap barangkali berkaitan dengan kebiasaan mereka mandi di laut dan tersengat matahari secara langsung. 2.2.3. Wisata laut Desa Sama Bahari mempunyai potensi yang besar dalam hal wisata laut. Panorama alam yang indah mengundang banyak wisatawan terutama wisatawan asing yang berkunjung ke Hoga untuk singgah di Desa Sama Bahari. Resort Hoga terletak dalam kawasan Kepulauan Wakatobi sebagai base penelitian biologi dan kelautan. Salah satu alasan dipilihnya Kepulauan Wakatobi sebagai lokasi penelitian karena wilayah ini merupakan salah satu tempat penyelaman terbaik di dunia. Hal ini diungkapkan oleh Jacques Costeau, salah seorang ahli biologi kelautan yang tersohor (Coles, 2000: 3). Sesuai dengan fungsinya sebagai resort untuk penelitian, banyak wisatawan yang datang ke Pulau Hoga, terutama mahasiswa-mahasiswa dari Inggris yang mengadakan penelitian di Kepulauan Wakatobi. Dikenalnya resort Hoga oleh peneliti dari Inggris mungkin berkaitan dengan pengelolaan resort Hoga oleh Operation Wallacea yang berkantor pusat di Inggris. Menurut informasi dari beberapa staf Operation Wallacea di resort Hoga, setiap tahun sekitar 300 mahasiswa datang ke Hoga untuk penelitian yang berkaitan dengan masalah lingkungan kelautan. Biasanya para peneliti dari mancanegara tinggal dengan menyewa cottage di resort Hugo (milik orang Kaledupa), dengan uang sewa Rp. 25,000 per orang per hari. Untuk keperluan makan
21 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
minum para tamu di resort Hoga dikelola oleh staf Operation Wallacea dibantu oleh beberapa tenaga setempat, terutama dari daratan Kaledupa. Operation Wallacea juga menyediakan instruktur untuk peneliti yang ingin belajar menyelam. Desa Sama Bahari yang lokasinya relatif dekat dengan resort Hoga, dapat mengambil berbagai manfaat dari kegiatan tamu di resort Hoga, bahkan seringkali menjadi sasaran penelitian yang berkaitan dengan masyarakat lokal. Hal ini menyebabkan Desa Sama Bahari juga sering dikunjungi wisatawan atau peneliti asing yang berkunjung ke Hoga, bahkan diantara mereka juga menginap beberapa hari di pemukiman suku Bajo. Jaringan pariwisata resort Hoga dan Desa Sama Bahari telah dirintis oleh seorang warga Australia yang menikah dengan gadis Suku Bajo di Desa Sama Bahari. Semula warga Australia tersebut seorang mahasiswa yang mengadakan penelitian tentang masyarakat Bajo di Sama Bahari melalui sebuah yayasan di Kendari. Kerjasama ini kemudian dilanjutkan melalui yayasan setempat ‘Bajo Mathilla’ yang didirikan seorang warga Australia tersebut bersama masyarakat setempat, termasuk kepala desa sekarang. Melalui yayasan inilah kerja sama berlanjut antara lain dengan menyewakan kapal pesiar milik yayasan pada resort Hoga dan ikut aktif memperjuangkan kompensasi untuk desa bagi kesepakatan konservasi ikan di sekitar resort. Bagi wisatawan yang ingin tinggal beberapa hari di Desa Sama Bahari, yayasan juga menyediakan tempat penginapan untuk beberapa orang di kantornya. Para wisatawan yang berkunjung ke Desa Sama Bahari biasanya juga memanfatkan jasa yang ditawarkan oleh pemuda dan anak-anak Bajo untuk berdayung mengelilingi lautan di sekitar pemukiman dan mengelilingi Desa Sama Bahari, dengan imbalan sekitar Rp. 5000 per wisatawan. Demikian pula untuk keperluan penelitian, para wisatawan tersebut sering kali memanfaatkan para nelayan Bajo untuk membawa satu atau dua ekor ikan dengan imbalan uang untuk nelayan tersebut. Wisata dengan sampan nampaknya sangat menarik dan berpotensi untuk dikembangkan bagi penduduk Desa Sama Bahari. Berdayung di sekitar perumahan penduduk dapat menjadi daya penarik wisatawan untuk mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat Bajo. Untuk mengembangkannya diperlukan fasilitas -fasilitas yang dapat melancarkan jalannya sampan atau perahu mengelilingi pemukiman secara aman dan nyaman. Kenyamanan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut dapat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan penduduk setempat, seperti penyewaan perahu, penjualan makanan asli masyarakat Bajo (kaswami dan ikan bakar) serta souvenir. 2.2.4. Wisata Alam Desa Sama Bahari yang merupakan bagian dari kawasan Kepulauan Wakatobi mempunyai potensi objek wisata alam, seperti menyelam dan snorkeling. Pemandangan alam bawah laut yang sangat indah menyajikan obyek beragam seperti terumbu karang, ikan, penyu dan sumber hayati lain. Keindahan alam di wilayah ini juga dipengaruhi pemandangan bentang alam berupa karang atol terutama pada saat menjelang matahari terbit di pagi hari (sun rise) dan saat matahari akan terbenam (sun set). Cahaya matahari pagi yang kuning keemasan menerpa lautan, bersamaan dengan mulainya kegiatan orang Bajo mendayung sampan untuk mencari air atau kembalinya nelayan dari mencari ikan, menambah keindahan pemandangan alam Desa Sama Bahari. Sambil menikmati keindahan alam sekitar desa, para wisatawan juga dapat berkeliling menggunakan sampan untuk memancing ikan demersal atau ikan 22 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
permukaan. Mereka juga dapat melakukan kegiatan lainnya seperti pengamatan terhadap hamparan karang, mengamati kegiatan masyarakat setempat seperti memancing, berenang atau menyaksikan kesibukan perempuan Bajo mengayuh sampan yang penuh bermuatan jerigen air atau kayu bakau. Pengunjung dapat juga menikmati keindahan alam dengan mengamati dari kejauhan hutan bakau di sekitar Desa Sama Bahari. Dari kejauhan permukiman penduduk di Desa Sama Bahari seperti benda terapung-apung di tengah lautan. Lautan yang kebiru-biruan dipadu dengan warna hijau dari hutan bakau, merupakan potensi obyek wisata alam yang merupakan nilai tambah bagi Desa Sama Bahari. 2.2.5. Wisata Budaya Desa Sama Bahari dengan kehidupan khas masyarakat Bajo merupakan potensi wisata budaya yang bermanfaat untuk dikembangkan. Potensi ini bila dikelola dengan serius dapat menjadi daya tarik wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Mata pencaharian maupun cara mereka memanfaatkan sumber daya alam sangat berbeda dengan masyarakat di daratan Kaledupa yang lebih mengutamakan kehidupan sebagai petani. Keunikan masyarakat Bajo terletak pada kebiasaan tinggal di laut (sebagai manusia perahu) dan sulit untuk tinggal di darat dalam waktu lama. Demikian juga kebiasaan mereka untuk tidak lepas dari laut, terbawa dalam penataan rumah tempat tinggal sekarang, misalnya rumah dibangun dengan ruang terbuka, tanpa banyak pembatas ruang, sehingga angin laut dapat bebas masuk sepanjang waktu baik siang maupun malam. Mereka juga lebih senang tidur dalam ruangan tanpa pembatas, daripada harus di kamar dengan dinding-dinding penyekat. Bahkan diantara pintu dan dinding rumah orang Bajo juga terdapat banyak ventilasi udara, sehingga angin laut dapat bebas masuk ke dalam rumah. Ciri khas perkampungan dan pemukiman masyarakat Bajo di atas laut, dapat merupakan suatu obyek wisata budaya yang menarik para wisatawan. Sebagai manusia perahu, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bajo tidak dapat lepas dari laut. Gaya hidup masyarakat Bajo yang sangat akrab dengan air laut, dapat berpotensi untuk menarik wisatawan menikmati budaya masyarakat Bajo. Para wisatawan dapat menyaksikan keberanian anak-anak Bajo yang biasa berlarian menyusuri jembatan penghubung yang sempit, rapuh dan bergoyang-goyang di sepanjang pemukiman. Demikian juga keberanian dan keceriaan anak-anak Bajo untuk berenang dan bersampan di laut tanpa mengenal rasa takut, merupakan obyek wisata yang langka dan menarik. Di samping itu, berbagai upacara adat yang berkaitan dengan penghormatan pada dewa laut merupakan potensi wisata budaya yang menarik wisatawan. Salah satu pesta adat yang pernah dilaksanakan oleh masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari adalah pada saat peresmian kesepakatan dengan Operation Wallacea yang terkenal dengan sebutan 'Tuba Dikatutuang' (yang dalam bahasa Bajo tuba berarti tempat hidup ikan; dikatutuang berarti tempat yang dijaga, dipelihara, dilindungi). Pesta adat tersebut menandai diberlakukannya kesepakatan bahwa perairan selatan Pulau Hoga dijadikan sebagai kawasan konservasi ikan sehingga tertutup bagi nelayan untuk menangkap ikan di lokasi tersebut. Upacara–upacara adat yang banyak berkaitan dengan kepercayaan pada dewa laut, merupakan potensi budaya yang laku 'dijual' kepada para wisatawan.
23 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
2.3. Kependudukan Bagian ini menyajikan gambaran penduduk Desa Sama Bahari yang meliputi beberapa aspek seperti jumlah dan komposisi penduduk, kualitas penduduk terutama dilihat dari tingkat pendidikan, kesehatan serta mobilitas penduduk. Data dan informasi penduduk diperoleh dari catatan kantor desa atau wawancara dengan kepala desa. Dari survei yang dilakukan terhadap responden terpilih di Desa Sama Bahari, juga diperoleh gambaran tentang sebagian besar penduduk Desa Sama Bahari. 2.3.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk Jumlah penduduk di Kepulauan Wakatobi sekitar 75.487 jiwa terdiri dari 36.277 jiwa laki-laki dan 39.210 perempuan (Kabupaten Buton, 1999). Dengan luas wilayah kepulauan sekitar 82.300 Ha, maka kepadatan penduduk di Kepulauan Wakatobi sekitar 105 jiwa/km 2. Berdasarkan catatan penduduk desa/kelurahan tahun 2001, jumlah penduduk di Kecamatan Kaledupa pada tahun 2001 sekitar 14.936 jiwa (mencakup 3.765 KK), terdiri dari 6.885 laki-laki dan 8.051 perempuan. Adapun perincian jumlah penduduk Kaledupa menurut desa dan jenis kelamin dapat dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan data dari kantor kecamatan, jumlah penduduk Desa Sama Bahari pada tahun 2000 sekitar 1.084 jiwa (atau 267 KK), yang terdiri dari 549 laki-laki dan 535 perempuan. Namun berdasarkan informasi dari kepala desa setempat, jumlah penduduk Desa Sama Bahari sekitar 1.145 jiwa (248 KK), yaitu 520 laki-laki dan 625 perempuan. Perbedaan jumlah penduduk ini mungkin disebabkan perbedaan waktu, karena pada saat penelitian dilakukan, beberapa warga desa baru kembali dari perantauan dan sekitar 30 orang penduduk desa setempat masih bekerja di perantauan terutama di Tanjung Pinang dan Malaysia. Banyak diantara penduduk yang pernah merantau ke luar daerah atau ke luar negeri untuk bekerja terutama sebagai nelayan ABK (Anak Buah Kapal). Penghasilan dari pekerjaan di perantauan biasanya digunakan untuk mengumpulkan modal sehingga dapat membeli mesin atau peralatan menangkap ikan. Seperti di daerah lain, mayoritas kepala keluarga di Sama Bahari adalah laki-laki. Kepala keluarga perempuan hanya sekitar 10 persen, umumnya janda yang ditinggal mati suami atau ditinggal suami merantau ke luar daerah. Sebagai kepala keluarga, beban pekerjaan perempuan di Desa Sama Bahari makin berat, karena selain pekerjaan rutin yang biasa dilakukan perempuan, mereka juga harus melakukan aktivitas lainnya sendirian. Namun demikian kehidupan masyarakat Bajo cukup akrab dan saling tolong menolong, sehingga kepala keluarga perempuan biasa menerima bantuan berupa ikan hasil tangkapan nelayan setempat. Dilihat dari komposisi umurnya, sebagian besar penduduk berusia muda yaitu di bawah 25 tahun. Hasil survei menunjukkan bahwa proporsi terbesar (sekitar 46%) penduduk berusia muda yaitu 0-5 tahun, sedangkan proporsi terkecil adalah penduduk berusia 55 tahun ke atas (lihat Tabel 2.2). Namun dem ikian, data tentang umur pada masyarakat Bajo banyak kelemahannya, karena selain tidak biasa dengan budaya catat mencatat, masyarakat Bajo juga masih menggunakan kalender tradisional berdasarkan bintang. Pada umumnya jawaban pertanyaan tentang umur seseorang hanya berdasarkan perkiraan saja dibantu pewawancara dengan melakukan probing dalam menggali informasi ini. Hal ini dilakukan dengan menghubungkan kejadian-kejadian tertentu untuk membantu responden mengingat-ingat umurnya atau umur anggota keluarganya. 24 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Tabel 2.2 Komposisi Umur Responden Rumah Tangga di Desa Sama Bahari Kelompok Umur Jumlah Persentase (Tahun) 0- 5 117 45,8 6 – 14 130 24,1 15 – 24 111 20,6 25 – 34 85 15,1 35 – 44 61 11,3 45 – 54 22 4,1 55 + 14 2,6 Sumber: Survei Data Dasar, Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001. Desa Sama Bahari dikenal juga sebagai Desa Bajo, karena penduduknya relatif homogen dari suku Bajo, meskipun beberapa penduduk adalah suku Bajo dari Muna. Berdasarkan data dari survei terhadap sekitar 100 rumah tangga di Desa Sama Bahari, lebih dari 80 persen merupakan penduduk asli Bajo (Sampela), sekitar 17 persen merupakan suku Bajo dari darat dan hanya 1 persen berasal dari Makassar. Mereka biasa menyebut sesama orang Bajo dengan sebutan ‘Sama’ artinya sama-sama orang Bajo, dan terhadap orang yang bukan suku Bajo dengan sebutan B ‘ agai’. Menurut anggapan masyarakat setempat, orang Bajo itu bersama-sama sementara orang luar itu berbagai-bagai. Bila seorang Bajo menikah dengan orang luar Bajo maka orang tersebut disebut Bajo Bagai. Dengan sebutan ini, masyarakat Bajo mudah mengenal seseorang sebagai bagian dari komunitas tertentu. Untuk komunikasi antar penduduk di Desa Sama Bahari umumnya menggunakan bahasa Bajo, sementara untuk berkomunikasi dengan orang di luar Bajo, seperti di pasar, mereka menggunakan bahasa Kaledupa. Tampaknya orang Bajo lebih dapat memahami bahasa Kaledupa, dibandingkan orang Kaledupa memahami bahasa Bajo. Hal ini disebabkan intensitas pergaulan lebih banyak dilakukan oleh orang Bajo dengan orang luar daripada sebaliknya. Misalnya, orang Bajo lebih sering pergi ke Kaledupa untuk berbagai keperluan seperti mengambil air, berjualan ikan ke pasar, atau memanfaatkan fasilitas umum lainnya seperti Koperasi dan Puskesmas yang berlokasi di ibukota kecamatan. Sebaliknya, jarang sekali penduduk daratan Kaledupa mengunjungi orang Bajo di Desa Sama Bahari, kecuali beberapa pedagang keliling yang biasa menjajakan dagangannya di perkampungan Sama Bahari. Setiap pagi dapat disaksikan pedagang keliling terutama perempuan bersampan menjajakan dagangannya ke perkampungan Sama Bahari, terutama makanan atau kebutuhan pokok sehari-hari lainnya. Masyarakat Kaledupa cenderung menganggap orang Bajo sebagai ’orang bodoh' sementara masyarakat Bajo menganggap orang Kaledupa sebagai ’orang darat' yang suka meremehkan orang Bajo. Menurut seorang nara sumber (tokoh di Kecamatan Kaledupa), apabila terjadi perselisihan antara orang Bajo dan orang darat, orang Bajo lebih sabar dan lebih jernih melihat permasalahan, sementara orang darat lebih emosional. Orang Bajo lebih banyak mengalah, sehingga apabila terjadi kekerasan fisik terhadap orang Bajo, mereka jarang membalasnya. Itulah sebabnyanya konflik serius diantara kedua komunitas jarang terjadi.
25 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Interaksi pergaulan antara dua komunitas di Kaledupa, lebih banyak dilakukan oleh perempuan, karena kegiatan seperti menjual ikan, berbelanja banyak dilakukan oleh perempuan. Sedangkan kaum laki-laki Bajo lebih sering berkomunikasi dengan sesama nelayan, baik dengan nelayan Bajo yang berasal dari daerah lain atau nelayan lainnya. Interaksi sosial antar komunitas ini menyebabkan terjadinya alih pengetahuan antar kelompok. Misalnya, beberapa informan nelayan menyatakan pengetahuan tentang penggunaan potasium sianida (potas) atau bom untuk menangkap ikan, diperoleh karena pergaulan dengan nelayan Bugis. Beberapa nelayan menyatakan mereka belajar merakit bom sejak zaman Jepang, yaitu sejak ditemukannya martil bekas yang pernah dipakai oleh tentara Jepang. Segi kehidupan keagamaan masyarakat Bajo juga cukup menarik. Meskipun secara formal masyarakat Bajo mengaku beragama Islam, namun tidak banyak penduduk yang menjalankan syariat agama Islam seperti sholat lima waktu dan berpuasa. Dalam kehidupan sehari-hari pengaruh kepercayaan animisme masih cukup kuat. Hal ini dapat dilihat dengan berbagai upacara yang dilakukannya seperti acara buang sesaji ke laut sebelum nelayan pergi melaut. Kepercayaan penduduk terhadap dewa laut atau biasa disebut Mbok Ma Di Lauk, cukup kuat. Mereka beranggapan bahwa kehidupan mereka sangat tergantung pada laut, sehingga mereka harus tunduk kepada penguasa atau dewa laut. Para nelayan dari Desa Sama Bahari biasanya mengadakan sesaji kepada dewa laut sebelum mereka mencari ikan, terutama apabila mereka harus pergi jauh ke tengah lautan. Upacara sesaji dengan menyediakan sirih pinang biasanya dilakukan dengan bantuan seorang dukun. Menurut kepercayan masyarakat setempat, sebelum seorang nelayan menebarkan jala penangkap ikan, mereka harus membuang sirih yang sudah diberi mantra oleh dukun. Apabila sirih tersebut berputar-putar dan mengumpul dalam satu tempat, dianggap sebagai pertanda bahwa hasil tangkapan akan cukup besar. Sebaliknya apabila sirih tersebut memencar, mereka percaya hasil tangkapan ikan akan sedikit. Kepercayaan mereka kepada dewa laut selain untuk memperoleh lebih banyak tangkapan ikan, juga untuk menghindari bahaya yang mungkin timbul selama mereka berada di laut. Selama di laut mereka juga pantang untuk mengeluarkan kata-kata kotor atau mengumpat. Mereka percaya sesuatu yang buruk akan terjadi, apabila mereka melanggar pantangan tersebut. 2.3.2. Kualitas SDM Tingkat pendidikan Secara umum pendidikan penduduk Desa Sama Bahari dapat dikatakan rendah, terlihat dari besarnya proporsi mereka yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD), tidak tamat SD dan sama sekali tidak pernah sekolah. Tidak ada data tertulis dari kantor desa yang dapat memberikan gambaran secara nyata jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan. Namun demikian, hasil survei rumah tangga dapat memberikan gambaran mengenai tingkat pendidikan penduduk Desa Sama Bahari pada umumnya (lihat Tabel 2.3).
26 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Tabel 2.3 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Pendidikan yang ditamatkan Belum/tidak tamat sekolah SD SD tidak tamat SD Tamat SLTP tamat SLTA +
Frekuensi
Persentase
163 224 25 7 4
38,5 53,0 5,9 1,7 0,9
Jumlah 423 100,0 Sumber: Survei Data Dasar, Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001. Menurut informasi dari penduduk setempat, jumlah penduduk yang tamat SD di Desa Sama Bahari pada tahun 1983 hanya enam orang, dan tahun 2000 meningkat sekitar 5 persen. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk dapat dilihat dari jumlah responden yang tidak tamat sekolah. Sementara jumlah penduduk yang dapat melanjutkan sekolah ke tingkat sekolah lanjutan pertama sangat terbatas. Pada tahun 1998, ada sekitar 9 orang yang berhasil menamatkan SLTP, terutama tamatan tsanawiyah. Mereka jarang sekali melanjutkan ke sekolah umum, dengan alasan di sekolah agama mereka dapat menambah pengetahuan keagamaan. Hal ini cukup menarik, karena banyak penduduk belum sepenuhnya menjalankan ajaran agama Islam. Pada saat ini hanya terdapat dua orang yang sedang melanjutkan di tingkat SLTA umum di Kaledupa. Salah seorang siswa SMU tersebut (kelas II) mencapai peringkat kedua di sekolahnya. Rendahnya pendidikan masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain minimnya fasilitas pendidikan. Di Desa Sama Bahari hanya terdapat satu sekolah dasar yang pembangunannya dibantu oleh orang-orang Yayasan Bajo Mathilla pada tahun 1998. Gedung sekolah dengan dinding dan lantai papan ini hanya mempunyai 2 ruang kelas, dan perlengkapan yang kurang memadai. Jumlah guru SD (termasuk kepala sekolah) hanya enam orang, dan hanya satu orang yang tinggal di lokasi (Orang Bajo dari Mola). Sebelum ada SD di pemukiman Bajo, mereka harus bersekolah di SD yang ada di daratan Kaledupa. Bagi keluarga yang memiliki sampan, mereka pergi sekolah dengan mendayung sampan atau berenang sekitar 30 menit, bagi yang tidak memilikinya. Faktor lainnya adalah kurang dimanfaatkannya fasilitas pendidikan formal yang ada di lokasi atau di daratan Kaledupa oleh penduduk setempat. Meskipun jumlah siswa yang bersekolah di SD meningkat, namun belum mencapai kapasitas optimal. Dengan tingkat putus sekolah juga tinggi, berarti sekolah dasar yang ada hanya dinikmati oleh sejumlah kecil anak usia sekolah. Menurut salah seorang informan (guru SD), tingginya putus sekolah selain karena masih rendahnya kesadaran orang tua, juga disebabkan oleh kurangnya dedikasi guru terhadap pekerjaannya. Ketidak seriusan guru dalam mengajar, baik karena banyak absen atau pulang sebelum waktunya, berpengaruh terhadap disiplin siswa untuk sekolah, Beberapa siswa cenderung menjadi malas sekolah, karena beberapa guru juga enggan mengajar. Tempat tinggal guru yang umumnya berada di luar lokasi juga mempengaruhi dedikasi guru untuk disiplin mengajar.
27 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Rendahnya tingkat pendidikan juga dipengaruhi oleh masih dimanfaatkannya banyak anak–anak dalam pekerjaan nelayan sejak usia muda (sekitar 7 tahun). Selain orang tuanya terbantu dengan tambahan tenaga, anak-anak juga senang dapat bersantai di laut ini. Hal ini mendorong anak-anak untuk mengutamakan pergi ke laut daripada harus sekolah. Beberapa anak yang diwawancarai menyatakan mereka tidak melanjutkan sekolah karena malas. Mereka yang sudah tidak sekolah lagi, anak laki-laki biasanya ikut orang tua melaut dan anak perempuan membantu mengambil air atau kayu bakar. Dengan adanya sekolah tingkat SD di lokasi, cenderung ada perubahan sikap orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Wawancara dengan beberapa informan yang mempunyai anak usia sekolah menunjukkan bahwa banyak orang tua yang berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya, dengan memberi kebebasan pada anak untuk melanjutkan pendidikan sesuai dengan kemampuan. Namun demikian dalam kenyataan sehari-hari, banyak siswa yang cenderung meninggalkan kelas sebelum waktunya, atau bahkan tidak masuk sekolah. Kebanyakan penduduk juga tidak memiliki ketrampilan dalam pengolahan hasil produksi yang dapat menambah penghasilan. Jumlah penduduk yang pernah mengikuti pelatihan ketrampilan untuk memanfaatkan sumber daya lokal, sangat terbatas. Beberapa penduduk pernah dilatih oleh yayasan Bajo Mathilla dalam budidaya rumput laut dan sebagian dari mereka berhasil mengusahakan rumput laut sampai sekarang, termasuk sekretaris desa. Menurut informan di yayasan tersebut, pelatihan ketrampilan yang sangat dibutuhkan pemuda di lokasi adalah mengoperasikan atau memperbaiki mesin penangkap ikan. Hal ini disebabkan makin banyak penduduk yang memiliki body mesin, sementara apabila terjadi kerusakan mesin, mereka tidak dapat memperbaikinya. Yayasan merencanakan untuk membuka bengkel kapal motor di lokasi dengan tenaga pengelola adalah pemuda setempat. Dilihat dari mata pencaharian penduduk, hampir 90 persen bekerja sebagai nelayan, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap hasil laut sangat tinggi. Pada umumnya mereka tidak memiliki mata pencaharian lain sebagai usaha sampingan. Sebagai nelayan tradisional, mereka umumnya mengelola sumber daya laut dalam skala kecil dan menggunakan alat tangkap yang sangat sederhana. Teknologi penangkapan yang mereka miliki sangat sederhana, baik armada maupun alat tangkapnya. Kebanyakan armada tangkapnya berupa perahu tidak bermotor, atau kapal motor dengan kapasitas yang sangat kecil (sekitar 5 PK). Kebanyakan penduduk memperoleh penghasilan yang pas -pasan alias hanya cukup untuk hidup sehari-hari. Sebagian kecil masyarakat Sama Bahari mempunyai pekerjaan sampingan di bidang pertanian, dengan menyewa tanah milik penduduk di Desa Langge. Mereka melakukan pekerjaan pertanian apabila mereka tidak melaut. Kegiatan pertanian yang biasa dilakukan adalah berkebun kelapa, ubi maupun pisang, dengan mengerjakan sendiri atau dibantu anggota keluarganya. Kesehatan Disamping pendidikan, kesehatan merupakan faktor penting dalam melihat kualitas penduduk. Menurut informasi dari beberapa tokoh masyarakat, pada umumnya penduduk tampak sehat dan jarang sakit. Hanya pada musim kemarau, yaitu pada waktu air surut, beberapa penduduk terutama anak-anak mudah terserang penyakit, terutama muntaber. Pola-pola penyakit yang biasa dialami masyarakat adalah muntaber, sakit kepala dan sakit kuning. Sebagai nelayan, mereka sangat mengandalkan kekuatan fisik untuk mendayung, menyelam dan berenang. Penyakit muntaber yang 28 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
sering diderita oleh penduduk barangkali berkaitan dengan kebiasaan penduduk untuk minum air tanpa direbus dan buang kotoran ke laut. Bila air pasang, kotoran akan hanyut bersama derasnya arus air laut, sedangkan ketika air surut, air bercampur kotoran berserakan di sekitar pemukiman, sehingga kotor dan berbau. Di samping itu, ada jenis penyakit yang sering diderita oleh penduduk yaitu perut lembek. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jenis penyakit ini hanya dapat disembuhkan dengan pertolongan dukun. Masyarakat Bajo menganggap segala penyakit yang menimpa penduduk terkait dengan penunggu (dewa laut), sehingga harus disembuhkan dengan bantuan dukun. Penyakit pernapasan atau penyakit mata yang pada umumnya diderita oleh para nelayan tidak dijumpai pada nelayan di Desa Sama Bahari. Demikian pula penyakit akibat aktivitas pemanfaatan sumber daya laut, seperti gangguan pendengaran atau penglihatan bagi para nelayan tidak banyak dijumpai. Beberapa kasus penyakit yang diderita nelayan dalam menjalankan aktivitasnya di laut adalah batuk-batuk yang diikuti dengan muntah darah. Namun mereka menganggap penyakit tersebut sebagai kutukan dari dewa laut, akibat melanggar pantangan-pantangan seperti mengumpat atau minum minuman keras pada saat mereka melaut. Sementara dilaporkan terdapat 2 kasus penyakit atau cidera akibat pemakaian bom yang terjadi sekitar tiga tahun yang lalu. Akibat bom yang meledak saat akan dilempar, seorang nelayan harus kehilangan tangannya. Pada umumnya masyarakat setempat mengkonsumsi ikan hasil tangkapan untuk lauk sehari-hari. Ikan tersebut biasanya dibakar untuk dimakan dengan kaswami (seperti juadah yang dibuat dari singkong) sebagai makanan pokok masyarakat setempat. Sebagian penduduk juga biasa mengkonsumsi ikan mentah, seperti ikan katamba (ikan putih). Ikan tersebut dikonsumsi dengan dicacah dan dilumuri air jeruk limau, atau mengkonsumsi ikan segar pada saat mereka di laut. Menurut kepercayaan di kalangan masyarakat nelayan mengkonsumsi ikan segar dapat menambah vitalitas tubuh serta meningkatkan keperkasaan laki-laki dalam hal aktivitas seksual. Masyarakat Bajo juga mengkonsumsi ikan karang, dan biota laut lain yang biasa dikenal dengan 'bulu babi', yang berbentuk bulat dan berbulu banyak. Biasanya mereka mengkonsumsi ‘bulu babi’ dalam keadaan segar yaitu dengan cara membelah dan mengambil isinya yang berwarna kuning seperti agar-agar. Jenis biota ini dapat diambil dengan mudah oleh anak-anak di antara batu karang di sekitar pemukiman. Fasilitas kesehatan modern hampir tidak ada di Desa Sama Bahari. Puskesmas hanya terdapat di ibukota kecamatan yaitu di Desa Ambeua. Menurut keterangan dari dokter Puskesmas setempat, jarang sekali masyarakat Bajo memanfaatkan fasilitas kesehatan tersebut. Masyarakat Bajo cenderung datang ke Puskesmas kalau penyakitnya sudah betul-betul parah, dan tidak dapat disembuhkan dukun. Kegagalan dokter dalam menyembuhkan penyakit, menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap tenaga kesehatan modern makin menurun. Di Desa Sama Bahari hanya ada pos pelayanan terpadu (posyandu) yang kegiatannya diadakan sebulan sekali, dan biasanya dokter Puskesmas hadir. Kecenderungan penduduk untuk memanfaatkan pelayanan dokter masih rendah, sehingga kegiatan posyandu biasanya hanya diikuti oleh beberapa anak saja. Namun sejak ada program PMT (pemberian makanan tambahan) dan berkat keaktifan pengurusnya, peserta kegiatan posyandu meningkat dan diikuti sekitar 25 anak. Bantuan dokter atau tenaga medis lainnya diperlukan apabila penyakit mereka tidak
29 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
dapat disembuhkan oleh dukun, atau mendapat luka akibat terkena benda tajam atau kecelakaan lainnya. Mobilitas penduduk Menurut sejarahnya orang Bajo yang kini menetap di Desa Sama Bahari, semula hanya tinggal di perahu layar atau yang dikenal dengan sope. Pada awal tahun 1950an orang Bajo yang sering berlayar di sekitar Pulau Kaledupa mulai menetap di Desa Horuo, tepatnya di Dusun Mantigola. Pada waktu melaut, mereka biasa kumpul dan istirahat di sekitar lokasi Desa Sampela Lama. Lokasi Desa Sampela relatif dekat dengan pasar (yaitu Desa Laulua), sehingga makin banyak orang Bajo dari Mantigola yang singgah dan membuat rumah tancap di Desa Sampela. Adanya aktivitas gerombolan DI/TII Kahar Muzakar telah menimbulkan kekacauan, sehingga banyak warga desa yang menderita kelaparan dan terkena wabah penyakit. Pada saat itu banyak orang Bajo yang tinggal di Mantigola pergi mengungsi ke tempat lain yang dianggap lebih aman, antara lain ke Mola di Kecamatan Wangi-wangi. Setelah keadaan dinyatakan aman, sebagian orang Bajo kembali lagi ke Sampela Lama, sebagian lainnya menetap di tempat pengungsian atau tinggal di dekat Desa Haruo yaitu di Mantigola. Oleh karena Desa Sampela dianggap pernah menjadi tempat persembunyian gerombolan DI/TII, maka masyarakat Bajo di Sampela dicurigai ikut melindungi gerombolan, sehingga selalu diawasi oleh pemerintah Kecamatan Kaledupa. Menurut penuturan seorang informan, warga Desa Sampela melindungi gerombolan DI/TII dari kejaran aparat, karena diancam untuk dibunuh. Setelah gerombolan DI/TII ditumpas, warga Desa Sampela dapat hidup lebih tenang bersama keluarga, sehingga jumlah masyarakat Bajo makin banyak, termasuk pendatang Bajo dari Muna. Hal ini menyebabkan rumah tancap di perairan yang dangkal makin bertambah, sehingga jarak antara permukiman Bajo dengan daratan Kaledupa makin dekat. 2.4. Sarana, Prasarana dan Aksesibilitas Sarana produksi dan ekonomi yang terdapat di Desa Sama Bahari adalah perahu motor (body mesin) yang lebih dikenal dengan motor TS. Hasil survei rumah tangga menunjukkan sekitar 40 persen memiliki perahu motor yang umumnya kekuatan sekitar 5 PK. Sedangkan armada penangkap ikan yang merupakan kapal motor berkekuatan 20 PK, hanya dimiliki oleh dua warga di Desa Sama Bahari. Selebihnya merupakan responden yang hanya memiliki perahu tanpa motor. Jenis armada penangkapan berpengaruh terhadap lokasi yang dapat dicapai nelayan. Dengan perahu motor biasa, nelayan dapat pergi ke karang sekitar 4-6 hari, karena dibatasi oleh persediaan bahan bakar. Sedangkan dengan armada yang lebih besar, nelayan dapat lebih lama bertahan dan lebih jauh melaut, sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih banyak. Nelayan yang tidak memiliki perahu motor, masih dapat menangkap ikan di sekitar lokasi, atau menjadi ABK dari nelayan yang memiliki perahu motor. Beberapa alat tangkap yang terdapat di Desa Sama Bahari adalah bagan/rumpon, jaring, pancing, bubu, sarana budidaya rumput laut, kacamata tradisional, panah dan tombak. Kacamata tradisional yang dibuat dari bahan kayu, dipergunakan untuk membantu menyelam terutama untuk mencari lobster. Alat tangkap yang paling banyak dipergunakan adalah pancing. Alat tangkap ini, selain relatif murah 30 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
harganya, juga dianggap cukup efektif untuk menangkap ikan, karena alat penangkap ini mempunyai banyak mata pancing. Meskipun hasil ikan dari Desa Sama Bahari cukup banyak dan dibutuhkan konsumen terutama dari daratan Kaledupa, namun sampai sekarang kecamatan belum memiliki fasilitas pasar tempat pelelangan ikan (TPI). Penjualan ikan dilakukan di pantai Kaledupa (Desa Laulua), lokasi yang kemudian menjadi pasar kaget, tempat melakukan aktivitas jual dan beli ikan dan kadang-kadang juga sayur mayur sederhana. Untuk mencapai tempat tersebut mereka harus menggunakan perahu dengan jarak tempuh sekitar 15 menit untuk perahu motor dan sekitar 25 menit untuk perahu tanpa motor. Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Sama Bahari hanya sebuah sekolah dasar. Bangunan sekolah yang agak permanen tersebut didirikan pada tahun 1998 atas kerja sama desa dengan yayasan ‘Sama’ dari Kendari. Sebelumnya bangunan kelas terbuat dari bambu dengan atap rumbia. Sekolah ini dapat menyerap sekitar 50 siswa, dan adanya sekolah ini telah memotivasi anak-anak untuk sekolah. Sarana dan prasarana informasi dan komunikasi di Desa Sama Bahari seperti televisi maupun radio sangat terbatas, dan masih menggunakan baterai/accu. Televisi hitam putih ini hanya dimiliki oleh beberapa orang termasuk kepala desa, dengan gambar yang tidak jelas. Masyarakat setempat memanfaatkan televisi tersebut sebagai sarana hiburan dan informasi. Semula sumber listrik direncanakan berasal dari tenaga surya, tetapi karena kurang berhasil, pengadaan fasilitas listrik dari PLN menjadi tertunda. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan siaran radio, khususnya untuk hiburan mendengarkan lagu-lagu. Sumber informasi lainnya seperti surat kabar sulit diperoleh di desa ini, karena lokasi desa yang relatif terisolasi dan masyarakatnya juga masih tertinggal. Komunikasi antar warga di pemukiman Bajo dilakukan dengan perahu sampan (bila air pasang) atau dengan menyusuri jembatan papan atau bambu yang dibangun oleh desa sepanjang perkampungan. Sedangkan komunikasi dari rumah ke rumah melalui jembatan kecil dan sederhana yang dibangun swadaya dari bahan seadanya (bambu, papan atau batang pohon kelapa tanpa pegangan). Titian yang bermacammacam dan sempit ini cukup riskan untuk dilalui, terutama bagi anak-anak dan orang tua. Namun demikian, masyarakat setempat dapat melaluinya tanpa kuatir jatuh ke laut 2.5. Kelembagaan Ekonomi, Sosial Budaya Desa Sama Bahari belum memiliki lembaga ekonomi seperti koperasi atau lembaga keuangan. Untuk keperluan peminjaman uang biasanya warga dapat memperoleh pinjaman dari perorangan atau lembaga perkreditan yang dikelola oleh perorangan. Apabila mengalami kesulitan keuangan, biasanya warga dapat dengan mudah memperoleh pinjaman dari tetangga atau teman dengan bunga tinggi. Pada tahun 1997, pernah ada koperasi nelayan yang mempunyai sekitar 40 anggota. Kegiatan koperasi terutama untuk simpan pinjam dan menyediakan fasilitas kredit barang terutama yang berkaitan dengan pengadaan alat tangkap. Iuran wajib untuk menjadi anggota sebanyak Rp. 20.000 sementara iuran pokoknya per bulan hanya Rp. 6.000. Koperasi tersebut tidak dapat bertahan lama, karena kebanyakan anggota tidak mau mengembalikan atau mengangsur pinjamannya. Menurut informasi dari beberapa nara sumber, hal ini disebabkan masyarakat Bajo tidak terbiasa den gan aturan, sehingga sulit menabung atau membayar kredit. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan
31 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
sehari-hari beberapa warga membeli atau mengutang barang ke koperasi yang berada di daratan Kaledupa. Organisasi sosial yang terdapat di Desa Sama Bahari adalah kelompok Karang Taruna, namun kegiatannya hanya sebatas pada kegiatan olah raga. Anggota dari masing-masing kelompok lebih berdasarkan pada minat dan ketrampilan dan keanggotaannya bersifat suka rela. Kegiatan olah raga yang diadakan oleh kelompok pemuda ini biasanya dilakukan pada sore hari atau pada saat mereka tidak melaut. Sementara itu, bila ada peringatan hari besar nasional mereka akan giat berlatih dan seringkali mereka mengadakan perlombaan-perlombaan olah raga dalam wilayah desa maupun ke desa yang lain. Organisasi sosial yang lain adalah kelompok pengajian yang jumlah anggotanya masih sangat terbatas. Di Desa Sama Bahari tidak terdapat kelompok-kelompok nelayan, meskipun hampir semua warga sebagai nelayan. Menurut keterangan beberapa informan, pernah terbentuk sekitar 10 kelompok nelayan dengan seorang koordinator untuk masingmasing kelompok. Namun saat ini semua kelompok nelayan sudah tidak berfungsi lagi. Meskipun dalam melakukan pekerjaannya, kadang-kadang secara berkelompok, namun bukan merupakan kelompok nelayan yang terorganisir. Kebanyakan nelayan mempunyai alat tangkap sendiri, sehingga mereka melakukan kegiatannya secara perorangan. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdapat di Desa Sama Bahari adalah Yayasan Bajo Mathilla yang dalam bahasa Bajo berarti 'pemberian cumacuma'. Yayasan ini didirikan oleh pengurus dari yayasan ‘Sama’ yang berada di Kendari. Yayasan ini telah berhasil mengantarkan salah satu pengurusnya (orang Bajo dari Muna) untuk menjadi kepala desa Sama Bahari sejak 3 tahun yang lalu. Menurut informasi dari kepala desa, meskipun sekarang dia bukan pengurus yayasan lagi, tetapi masih sering berfungsi sebagai penasehat Yayasan Bajo Mathilla yang berlokasi di desanya. Yayasan ini dimotori oleh seorang warga negara Australia yang menikah dengan gadis setempat. Kegiatan Yayasan Bajo Mathilla difokuskan pada pemberdayaan masyarakat. Kegiatan yang pernah dilakukan yayasan antara lain menyediakan sekitar 20 unit rumpon yang dikelola dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dengan sistem bagi hasil. Rumpon tersebut sudah rusak karena terkena ombak. Di samping itu, yayasan juga mengenalkan model rumah tancap tanpa menggunakan batu karang, tapi dengan cor semen. Dengan menyediakan pengadaan semen, diharapkan penduduk setempat tidak mengambil karang untuk membuat pondasi rumah. Sampai saat penelitian ini berlangsung hanya beberapa warga (termasuk kepala desa) yang memanfaatkanya, karena sebagian rumah penduduk sudah terlanjur menggunakan karang sebagai pondasi rumah. Yayasan juga mempunyai perahu motor kapasitas 5 PK, yang kadang-kadang dimanfaatkan oleh wisatawan yang berkunjung ke Desa Sama Bahari. Sebagai imbalan tiap penumpang membayar sekitar Rp. 5000. Yayasan juga memiliki kapal pesiar untuk sekitar 20 orang yang setiap tahun disewakan kepada Operation Wallacea untuk mengantar wisatawan berkeliling Kepulauan Wakatobi, dengan imbalan Rp. 25 juta per bulan. Yayasan juga bekerjasama dengan Operation Wallacea untuk menyediakan akomodasi bagi para mahaiswa yang berkunjung ke Desa Sama Bahari. Pendapatan yang diterima oleh yayasan, digunakan untuk membiayai kelangsungan yayasan dan aktivitasnya. Dalam perkembangannya, keberadaan yayasan dengan segala aktivitasnya tidak sepenuhnya dianggap menguntungkan masyarakat Desa Sama Bahari. Masyarakat 32 Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
beranggapan bahwa yayasan cenderung monopoli kegiatan dalam melayani wisatawan asing yang berkunjung ke Desa Sama Bahari. Di samping itu, yayasan lebih mengarahkan penginapan wisatawan di kantor yayasan daripada ke rumah-rumah penduduk. Menurut pihak yayasan, hal ini dimaksudkan agar para wisatawan dapat merasa nyaman, karena dapat berdiskusi dalam satu tempat yang disediakan yayasan. Yayasan juga memiliki beberapa fasilitas yang dibutuhkan seperti perlengkapan tidur, toilet, lampu penerangan serta meja belajar. Faktor lain adalah keterlibatan aparat desa dalam kegiatan yayasan, sehingga memungkinkan munculnya benturan kepentingan. Di satu sisi, sebagai pengurus yayasan akan turut berusaha memperoleh dana seoptimal mungkin bagi kelangsungan yayasan. Di sisi lain, sebagai aparat dia harus memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan warganya. Dalam beberapa hal, kepala desa dianggap sulit bertindak netral, karena dia masih menerima bantuan dana dari yayasan secara periodik.
33 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
B ab III Pengelolaan Sumb erdaya Laut 3.1. Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Sejak dulu masyarakat Bajo sulit dipisahkan dengan laut, bahkan masih ada yang dikenal sebagai manusia perahu. Mereka biasa hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari ikan. Sebagai nelayan, perahu merupakan perlengkapan utama hidup mereka sehari-hari. Boleh dikatakan kehidupan mereka tampak telah menyatu dengan laut. Bahkan seorang anak Bajo yang baru lahir, terutama anak laki-laki akan segera dikenalkan dengan air laut, agar kelak dapat hidup menyatu dengan dunia laut. Mereka merasa sulit hidup di darat, karena terbiasa hidup di alam terbuka sehingga bebas memandang alam sekitar. Sesuai dengan mata pencahariannya sebagai nelayan, masyarakat Bajo sangat mengenal dunianya. Mereka mempunyai kearifan lokal yang cukup tinggi mengenai SDL yang ada di lingkungannya, baik mengenai jenis-jenis SDL maupun cara memanfaatkan dan melestarikannya. Mereka beranggapan bahwa SDL sebagai sumber kehidupan masyarakat, apabila sampai habis, maka akan hilang pula kehidupan masyarakatnya. Oleh sebab itu mereka berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan laut. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan mengadakan sesaji kepada sang penjaga laut, sebagai permohonan izin untuk memanfaatkan sumber daya laut yang tersedia di sekitar desanya. Sebagai pelaut, masyarakat Bajo mengenal dengan baik habitat lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat Bajo sangat tergantung kepada hutan bakau dan terumbu karang yang menyediakan hampir semua keperluan hidup sehari-hari (Brown, 1994: 18). Orang Bajo mengetahui bahwa hutan bakau sebagai pelindung untuk mencegah erosi. Demikian pula mereka percaya bahwa hutan bakau merupakan penghalang antara laut dan daratan atau sebagai pencegah pelumpuran dasar laut. Terumbu karang yang diyakini sebagai tempat perlindungan bagi ikan karang dan berbagai biota laut lainnya, harus dipelihara dengan baik. Terumbu karang dapat tumbuh dengan baik, apabila air tidak terlalu keruh. Mereka yakin apabila terumbu karang makin rusak, berarti ikan karang akan punah, sehingga tidak ada lagi ikan karang bagi generasi penerus. Meskipun masyarakat menganggap penting kelestarian hutan bakau dan karang, namun kedua sumber daya laut tersebut terus menerus dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari. Penduduk Desa Sama Bahari tetap melakukan penebangan hutan bakau di sekitar pemukimannya, untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Ketergantungan penduduk setempat terhadap kayu bakau cukup tinggi, karena terbatasnya bahan bakar minyak tanah dan harganya yang relatif mahal. Meskipun penduduk mengambil kayu bakau pada umumnya untuk keperluan sendiri, beberapa orang juga mengambilnya untuk keperluan sendiri dan untuk dijual. Biasanya mereka menjual pada tetangga yang tidak dapat mengambil sendiri, dan juga kepada penduduk desa lainnya di daratan Kaledupa, dengan harga sekitar Rp. 150,- per keping (panjang sekitar 75 cm dan diameter sekitar 4 cm). Akibat penebangan kayu bakau yang berlangsung terus menerus oleh penduduk setempat, hutan bakau kelihatan makin
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
35
gundul. Hal ini memungkinkan terjadinya abrasi pantai, karena tanpa penghalang hutan bakau, laut semakin bebas masuk mengikis daratan. Sebagai penghuni laut, orang Bajo di Desa Sama Bahari mengenal berbagai istilah lokal untuk terumbu karang serta mengetahui kegunaannya. Beberapa nama yang biasa digunakan untuk menyebut batu karang antara lain Batu Tabih, Batu Iga Buku, Batu Garas, Sapa, Batu dan Batu Kulape. Hasil survei mengenai pengetahuan responden terhadap terumbu karang menunjukkan bahwa sebagian besar responden (63 persen) mengetahui kegunaan terumbu karang sebagai tempat hidup ikan, bertelur dan mencari makan. Sedangkan proporsi responden yang mengetahui kegunaan terumbu karang untuk melestarikan keanekaragaman hayati, relatif kecil (19 persen). Sebagian besar responden juga mengetahui kegunaan terumbu karang sebagai bahan baku makanan, obat-obatan, kapur maupun pondasi rumah. Namun menurut pengakuan beberapa informan, batu karang yang digunakan untuk fondasi rumah merupakan batu karang yang sudah mati, pengambilannya dalam jumlah yang relatif kecil dan tidak dilakukan secara berulang-ulang. Pengambilan karang demikian dianggap tidak merusak kelestarian lingkungan, karena proporsi yang diambil tidak sebanding dengan ketersediaan gugusan karang mati di sekitar desa mereka. Pemanfaatan karang oleh penduduk Desa Sama Bahari terutama untuk membangun fondasi rumah makin meningkat, sehingga sangat potensial untuk merusak ekosistem terumbu karang di sekitarnya. Hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan, diperoleh keterangan bahwa pada umumnya penduduk mengambil batu karang hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri yaitu pada saat akan membangun rumah. Untuk fondasi (tembok) sebuah rumah biasanya diperlukan penimbunan batu karang setinggi kurang lebih 2 meter. Untuk membangun tiang fondasi karang sebuah rumah dengan ukuran 10 x 8, diperlukan volume batu karang sekitar 160 m 3 atau sekitar 40 sampan. Beberapa rumah dibangun dengan tiang fondasi karang dengan membiarkan ruang di antaranya tetap kosong, sehingga air laut bebas mengalir di bagian bawah rumah tersebut. Sedangkan sebagian lainnya membangun rumah diatas fondasi (tembok) batu karang secara penuh (seperti lahan beton), sehingga diperlukan lebih banyak volume batu karang. Bahkan beberapa penduduk membangun fondasi karang sebagai investasi, karena merupakan lahan yang siap dibangun, dan dapat dijual belikan pada penduduk yang membutuhkan. Pemanfaatan batu karang untuk pembuatan fondasi rumah nampaknya akan semakin berlanjut seiring dengan makin banyaknya penduduk yang membangun rumah. Di samping itu, meningkatnya nilai ekonomis rumah yang dibangun dengan fondasi karang, akan lebih mendorong penduduk setem pat untuk meningkatkan penambangan karang. Kegiatan ini bila tidak terkendali dapat mengakibatkan terjadinya erosi. Meningkatnya pembangunan rumah dengan menggunakan fondasi karang dipicu oleh meningkatnya keinginan penduduk untuk membangun rumah seperti 'orang darat' (tanpa rumah tancap), atau masyarakat Bajo lain di luar Desa Sama Bahari (misal di Wanci). Pengetahuan lainnya yang ditanyakan kepada responden adalah dampak dari kerusakan terumbu karang. Sebagian besar responden (94 persen) menyatakan kerusakan terumbu karang mengakibatkan menurunnya jumlah ikan di lokasi tersebut, namun tidak berdampak pada nilai ekonomi hasil yang diperoleh. Meskipun demikian mereka juga menyadari bahwa kerusakan terumbu karang dapat merugikan keturunan mereka, karena berkurangnya populasi ikan di daerah tersebut dapat berdampak buruk terhadap kehidupan ekonomi mereka. Beberapa informan menyatakan kerusakan terumbu karang telah menyebabkan lokasi penangkapan ikan semakin jauh, sehingga
36
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
diperlukan modal lebih banyak untuk memperoleh sarana dan prasarana menangkap ikan yang lebih memadai. 3.2. Kebiasaan, Kepercayaan dan Aturan Tradisional Dalam pengelolaan SDL masyarakat Bajo di Sama Bahari sangat dipengaruhi oleh kepercayaan tentang dewa penunggu laut. Hal ini dapat dilihat dari perhitunganperhitungan yang dilakukan serta upacara sesajian yang dipersiapkan. Para nelayan biasanya pergi melaut dengan memperhitungkan keras tidaknya ombak berdasarkan perhitungan-perhitungan hari baik atau hari banyak ikan. Perhitungan hari baik untuk melaut ini telah dilakukan secara turun temurun oleh hampir semua masyarakat Bajo di manapun mereka berada. Brown (1994) menyatakan bahwa para nelayan Bajo berkeyakinan apabila bintang utara berada di atas bintang selatan, cuaca akan baik dan laut akan tenang. Sementara apabila bintang di bagian barat langit, mereka juga mengetahui bahwa angin akan datang dari arah barat. Pada umumnya mereka pergi melaut pada dini hari sekitar pukul empat dengan waktu yang ditandai oleh terbitnya bintang timur. Upacara sesaji ke laut juga dilakukan oleh masyarakat Bajo di Sama Bahari, terutama untuk memohon ijin kepada dewa penguasa laut (mbok ma' di lauk), agar mereka mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah serta terhindar dari mala-petaka di laut. Rangkaian sesajian ini biasanya dilakukan apabila mereka akan pergi jauh ke laut lepas atau pergi mencari ikan di karang. Rangkaian upacara sesajian biasanya dilakukan dengan dibantu oleh seorang tokoh masyarakat, sebagai dukun. Keperluan sesajian dipersiapkan oleh para nelayan dan dibawa ke dukun tersebut untuk diberi mantra. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk rangkaian sesajian adalah pinang, sirih, tembakau dan kapur. Pembuangan sesaji oleh nelayan dilakukan sebelum kegiatan penangkapan ikan. Bahan-bahan sesaji yang sudah diberi mantra oleh dukun setempat, kemudian dilemparkan ke laut di wilayah yang menjadi lokasi penangkapan nelayan tersebut. Menurut keyakinan mereka apabila sirih-pinang memencar dan makin menjauh dari perahu, maka mereka tidak akan memperoleh hasil yang banyak. Hal ini tidak berbeda dengan temuan Brown (1994), yang menyatakan bahwa apabila sesaji tersebut mengepung ke arah perahu, maka berarti roh (dewa laut) telah mengijinkan mereka untuk menangkap ikan di lokasi tersebut. Pada umumnya masyarakat Bajo mempercayai bahwa apabila mereka menangkap ikan pada bulan gelap, hasil yang diperoleh akan banyak. Oleh karena itu biasanya mereka melaut apabila bulan gelap, dengan menggunakan lampu petromak sebagai penerangan dan cahayanya dapat menarik ikan untuk mendekat, sehingga mudah ditangkap. Penggunaan lampu petromaks tersebut dianggap tidak efisien apabila digunakan pada bulan terang karena sinar bulan akan mengalahkan penerangan petromak sehingga ikan tidak mau mendekat. Dengan demikian para nelayan jarang pergi melaut pada bulan terang, karena dipercaya hasil yang akan diperoleh relatif sedikit.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
37
3.3. Sistem Pengelolaan Sumber Daya Laut 3.3.1. Organisasi pengelolaan Pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat di Desa Sama Bahari dilakukan oleh nelayan secara individual, karena belum ada organisasi yang secara khusus didirikan untuk pengelolaan sumber daya laut tersebut. Meskipun kadang-kadang dalam memanfaatkan sumber daya laut dilakukan oleh nelayan secara berkelompok, namun bukan merupakan kelompok nelayan yang terorganisir ataupun terikat oleh peraturan tertentu. Seorang informan (staf dari lembaga swadaya masyarakat setempat) menyatakan bahwa pada dasarnya orang Bajo lebih senang melakukan aktivitasnya secara perseorangan. Kalaupun harus melakukan kegiatannya bersama nelayan lainnya, hanya terbatas pada 'bekerja bersama' bukan merupakan kelompok kerja yang terorganisir. Demikian pula hampir tidak ada keterikatan seseorang dalam kelompok tertentu dalam memanfaatkan SDL. Apabila seorang nelayan ikut melaut pada nelayan pemilik perahu motor, maka keterikatan sebagai anggota kelompok biasanya bersifat sementara selama kerja sama dilakukan. Ikatan antara pemilik perahu dengan anggota kelompok, tidak sebagai punggawa dan anak buah kapal (ABK), yang sifatnya lebih permanen. Namun biasanya apabila kedua belah pihak cocok dalam kerja sama tersebut, maka pemilik perahu motor (biasanya juga merangkap sebagai koordinator) akan selalu mengajak anggota kelompoknya. Hasil tangkapan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan tidak ada keterikatan antar nelayan 'pengikut' untuk selalu menjual bagiannya kepada koordinator (pemilik motor), kecuali ada kesepakatan harga antara kedua belah pihak. 3.3.2. Wilayah pengelolaan Sebagai masyarakat yang secara turun temurun biasa bebas hidup di laut, orang Bajo merasa dirinya sebagai bagian dari alam. Mereka lebih menikmati hidup di laut terbuka, tanpa dinding pembatas daripada hidup di darat yang penuh dengan sekatsekat bangunan. Mereka juga menghendaki dapat bebas mencari ikan dan biota laut, di lokasi manapun sepanjang mereka mampu melakukannya. Demikian pula sebaliknya bagi nelayan dari luar desa, dapat bebas melakukan penangkapan ikan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut pemahaman lokal, wilayah pengelolaan SDL sebetulnya tidak perlu dibatasi dengan batasan-batasan tertentu. Adanya zonasi wilayah pengelolaan SDL, sebetulnya sulit diterima oleh masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari. Ungkapan mereka bahwa ‘’laut kok dikapling-kapling'’, merupakan protes terhadap pemerintah dalam menetapkan zonasi laut. Seperti pengakuan beberapa informan, masyarakat Bajo merasa aneh apabila ada pembatasan untuk pergi melaut, karena sesuai dengan anggapan orang Bajo, seharusnya mereka dapat bebas untuk berpindah ke lokasi penangkapan ikan yang diinginkan. Meskipun mereka tidak menyetujui adanya pembatasan atau zonasi pengelolaan sumber daya laut, namun masyarakat Bajo merasa tidak pernah mengeksploitasi laut secara berlebihan. Dalam konsep masyarakat Bajo khususnya di Sama Bahari, wilayah laut merupakan anugerah Tuhan kepada manusia yang harus dimanfaatkan, sepanjang tidak merugikan orang lain. Dengan demikian kepemilikan wilayah laut oleh suatu desa, suku maupun kelompok tidak dikenal. Namun demikian, penduduk yang tinggal di sekitar laut tersebut mempunyai hak untuk mengusahakannya. Mereka beranggapan 38
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
bahwa meskipun tidak ada batasan untuk wilayah penangkapan ikan maupun biota laut lainnya, namun mereka harus 'tahu diri' untuk tidak melakukan penangkapan secara berlebihan. Beberapa informan menyatakan sulit menjelaskan arti kata ‘berlebihan’, namun dalam kegiatan menangkap ikan mereka dibatasi oleh naluri sehingga akan berhenti menangkap ikan, apabila nalurinya mengatakan sudah cukup untuk hari itu. Dengan demikian masing-masing nelayan dianggap mengetahui batasannya baik lokasi maupun waktu yang digunakan untuk mencari ikan. Sebagai masyarakat yang hidupnya sangat tergantung dengan laut, mereka sangat percaya apabila pemanfaatan SDL dilakukan secara berlebihan, mereka akan memperoleh sanksi dari dewa penunggu laut. Masyarakat Bajo mempunyai kearifan lokal yang cukup tinggi dalam memelihara kelestarian laut. Mereka merasa perlu menjaga ketersedian SDL, agar kelak dapat juga dimanfaatkan oleh anak cucunya. Namun demikian kemampuan mereka menjaga kelestarian SDL terutama terumbu karang, terbatas pada aktivitas masyarakat internal. Sedangkan apabila kegiatan yang berlebihan dilakukan oleh orang luar, mereka tidak berdaya untuk mencegahnya. Beberapa informan menyatakan, mereka tidak berhasil menjaga wilayah lautnya, karena banyak nelayan dari luar yang menggunakan peralatan lebih canggih dan potensial dapat mempercepat kerusakan terumbu karang. Meskipun masyarakat beranggapan bahwa laut dapat dimanfaatkan oleh semua orang, namun pada kenyataannya mereka cenderung menganggap wilayah yang berada di sekitar desanya, menjadi 'milik' dari warga desa yang bersangkutan. Sampai saat ini mereka belum dapat sepenuhnya menerima diberlakukannya zonasi baik yang berkaitan dengan zonasi inti maupun zonasi pemanfaatan. Mereka sulit menerima ketentuan lokasi zonasi pemanfaatan yang relatif jauh dari tempat tinggal mereka, karena sangat membatasi kebebasan mereka mencari ikan di laut. Namun dalam perkembangannya, mereka cenderung dapat menerima peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan SDL. Melalui proses yang panjang, mereka terpaksa harus mentaati peraturan yang ada, yaitu tentang wilayah pengelolaan SDL yang diizinkan dan yang dilarang. Apalagi diberlakukannya aturanaturan tersebut disertai penjagaan yang ketat oleh para jagawana, sehingga mereka makin mengenal wilayah laut yang menjadi larangan bagi nelayan untuk menangkap ikan atau biota laut lainnya. Kekuatiran untuk ditangkap dan dipenjarakan apabila mereka melakukan pelanggaran aturan, menyebabkan para nelayan Bajo takut terhadap jagawana yang bertugas menjaga kelestarian laut, baik di sekitar permukiman maupun lokasi penangkapan ikan. Mereka terpaksa tunduk pada aturan karena pada umumnya orang Bajo merasa malu apabila sampai ditangkap petugas karena melakukan pelanggaran terhadap peraturan. 3.3.3. Legalitas dan Konflik Pada dasarnya larangan yang berkaitan dengan penangkapan ikan adalah penggunaan bom dan bahan beracun seperti sianida. Penggunaan bom untuk menangkap ikan dilarang karena dapat mematikan ikan yang kecil-kecil serta dapat menghancurkan terumbu karang dan biota laut lain di sekitarnya. Demikian juga dengan penggunaan sianida (potas) untuk menangkap ikan, juga dapat mematikan terumbu karang di sekitarnya. Larangan penggunaan bahan-bahan tersebut dalam penangkapan ikan tertuang dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tentang pengelolaan sumber daya laut. Menurut beberapa informan, informasi mengenai larangan pemakaian bom maupun bahan beracun sudah disosialisasikan kepada masyarakat nelayan melalui berbagai pertemuan yang dihadiri warga desa.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
39
Dalam praktek, keberadaan aturan yang melarang penggunaan bahan peledak maupun bahan beracun untuk menangkap ikan dan sumber daya laut lainnya, tampaknya tidak menjadi jaminan untuk ditaati nelayan sepenuhnya. Penggunaan bom dan racun untuk menangkap ikan dan lobster masih terus berlangsung, terutama oleh pengusaha atau nelayan dari luar desa yang umumnya mempunyai armada besar. Berdasarkan wawancara mendalam beberapa informan juga menyatakan beberapa nelayan Bajo di Sama Bahari juga masih menggunakan bahan terlarang tersebut. Pemakaian sianida terutama untuk menangkap lobster, sehingga diperoleh jumlah lobster lebih banyak daripada penangkapan dengan cara tradisional seperti menggunakan tombak atau jaring. Hasil tangkapan lobster yang biasanya lemas atau pingsan akibat racunpun mudah diatasi dengan memasukkan lobster dalam air bersih yang mengalir. Keterbatasan petugas keamanan laut (jagawana) baik dalam jumlah, kualitas personalia maupun peralatan yang mendukung, berpengaruh terhadap pelanggaran aturan yang dilakukan oleh para nelayan. Para nelayan terutama yang berasal dari luar Kaledupa, biasanya memiliki armada yang lebih besar dan/atau lebih cepat daripada speedboat yang dipakai untuk patroli, sehingga para jagawana menjadi kewalahan dalam mengatasi pelanggaran yang terjadi. Mereka dengan mudah dapat meloloskan diri dari kejaran petugas, sehingga pelanggaran tetap berlangsung. Para nelayan juga lebih mengenal tempat dan lingkungannya dibandingkan dengan para jagawana yang umumnya bukan dari daerah tersebut. Dengan demikian meskipun petugas mengetahui praktek pelanggaran dalam pengelolaan sumber daya laut, namun mereka mengalami kesulitan dalam menangkap pelakunya. Bahkan dalam suatu operasi yang pernah dilakukan oleh jagawana, para nelayan yang membawa bom berani mengancam petugas untuk melemparkan bom ke kapal patroli, apabila mereka sampai ditangkap. Pelanggaran aturan yang banyak dilakukan nelayan, terutama nelayan dari luar adalah menggunakan bahan-bahan terlarang seperti bom dan sianida dalam menangkap ikan. Praktek pelanggaran ini sering menimbulkan sikap ganda bagi nelayan setempat. Di satu sisi nelayan setempat merasa dirugikan dengan praktek pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan dari luar. Namun di sisi lain, nelayan luar yang umumnya menggunakan armada dan peralatan yang lebih canggih serta memakai bahan-bahan terlarang tersebut, dapat memperoleh hasil tangkapan yang jauh lebih banyak dibandingkan hasil yang diperoleh nelayan setempat. Hal ini sering menimbulkan rasa iri bagi nelayan setempat, tetapi mereka tidak berdaya untuk melarangnya. Terhadap nelayan luar yang memakai kompressor untuk penangkapan lobster, nelayan Sama Bahari berani melarang dengan mengancam akan memotong kabel kompressor, sehingga pemakaian kompressor jarang dilakukan. Meskipun larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kelestarian sumber daya laut, namun bagi nelayan Bajo di Sama Bahari pemakaian kompressor lebih merupakan persaingan bisnis antar nelayan. Dengan menggunakan kompressor nelayan dapat menyelam lebih dalam dan lebih lama, sehingga perolehan ikan akan lebih banyak daripada dengan penyelam alamiah yang banyak dilakukan oleh nelayan setempat. Ancaman nelayan setempat untuk memutus kabel kompressor nampaknya cukup efektif, karena apabila dilakukan sungguh-sungguh dapat berakibat fatal bagi nelayan tersebut yaitu tenggelam. 3.3.4. Pelanggaran dan Sanksi Beberapa pelanggaran yang masih dilakukan para nelayan antara lain penggunaan bom dan sianida, pengambilan batu karang serta satwa laut lain yang 40
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
dilindungi seperti penyu. Namun beberapa informan menyatakan, pelanggaran yang sering terjadi terutama penggunaan bom dan sianida banyak dilakukan oleh nelayan dari luar atau dilakukan nelayan setempat dengan bantuan pengusaha dari luar. Kebanyakan nelayan setempat masih bertahan dengan cara tradisional dalam menangkap ikan seperti menggunakan pancing, jaring, tombak maupun panah. Nelayan Sama Bahari pada umumnya takut untuk menggunakan bom karena mudah ditangkap apabila ketahuan petugas, dan takut di dipenjara. Di samping itu, banyak nelayan yang takut terhadap akibat pemakaian bom yang dapat menewaskan atau menimbulkan cidera badan. Seorang informan menceritakan kasus yang terjadi sekitar lima tahun lalu, yang menewaskan seorang nelayan setempat akibat bom yang meledak sebelum digunakan. Mereka juga sering mendengar nelayan yang cidera akibat bom seperti kasus nelayan dari Mola (Kecamatan Wangi-wangi) yang tangannya hancur terkena pecahan bom. Kejadian ini menghantui nelayan setempat sehingga penggunaan bom dalam penangkapan ikan jarang digunakan. Bagi nelayan yang tertangkap tangan karena melanggar peraturan, sanksi yang dikenakan bervariasi, tergantung petugas yang jaga. Pelanggaran seperti pemakaian bom, biasanya diberi sanksi dengan penahanan nelayan secara langsung di kantor polisi, meskipun jarang dilanjutkan ke proses pengadilan. Namun menurut penuturan beberapa informan, pelanggaran seperti mengambil ikan atau biota laut yang dilindungi, biasanya nelayan hanya diminta petugas untuk melepas kembali satwa tersebut ke laut. Selama ini belum pernah ada sanksi yang dibuat oleh desa setempat, bagi nelayan yang melanggar aturan-aturan. Meskipun demikian, nelayan yang melanggar peraturan dan tertangkap oleh petugas keamanan laut, akan merasa malu apabila kejadian tersebut diketahui oleh teman atau tetangganya. 3.3.5. Aturan Formal Aturan formal mengenai pengelolaan lingkungan hidup tertuang pada Peraturan Daerah (Perda) No. 3 tahun 1988, yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara, Perda tersebut terutama mengatur mengenai pelestarian kawasan pantai, termasuk perlindungan ekosistem terumbu karang. Peraturan lain yang berkaitan dengan pelestarian terumbu karang berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara No. 357 Tahun 1993. Dalam surat keputusan tersebut terutama mencakup larangan pengambilan, pengusahaan dan perusakan terumbu karang di sepanjang perairan pantai Sulawesi Tenggara. (Imron, 1999: 77). Sebagai bagian dari wilayah Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), maka aturan formal tentang pengelolaan sumber daya laut di Desa Sama Bahari juga merupakan aturan atau kebijakan yang berlaku untuk semua wilayah TNKW. Sedangkan peraturan formal khusus untuk tingkat desa belum ada. Namun demikian Desa Sama Bahari mempunyai kesepakatan dengan pengelola resort Hoga (Operation Wallacea) mengenai larangan penangkapan ikan pada zona konservasi yang telah ditentukan. Kesepakatan tersebut (dikenal dengan tuba di katutuang) merupakan aturan informal yang cukup mengikat masyarakat setempat, karena upacara peresmiannya dilakukan dengan tata cara adat setempat, yang melibatkan para tokoh masyarakat baik formal dan informal. Dengan kesepakatan yang dibuat pada tahun 2000 ini, desa memperoleh dana kompensasi tahunan dari Operation Wallacea yang digunakan untuk pembangunan desa.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
41
3.4. Teknologi Penangkapan Pemakaian teknologi untuk pengelolaan SDL di Desa Sama Bahari cukup beragam baik untuk jenis armada maupun alat penangkapannya. Jenis armada yang digunakan nelayan adalah perahu tidak bermotor dan perahu bermotor (bodi) yang umumnya berkekuatan 5 PK (perahu TS). Perahu motor ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan di lokasi yang relatif jauh, seperti ikan karang. Sedangkan perahu tidak bermotor atau sampan banyak digunakan untuk menangkap ikan di sekitar pemukiman penduduk. Sampan yang dapat dimuati oleh 1-3 orang, juga biasa digunakan masyarakat sebagai alat transportasi untuk berbagai keperluan seperti mengambil air ke daratan Kaledupa, menjual ikan ke pasar, serta mengambil kayu bakau di hutan bakau. Sedangkan alat tangkap yang biasa dipergunakan oleh nelayan Sama Bahari cukup beragam antara lain pancing, jaring, tombak, panah, bubu dan bagan, tali dan rumpon. Secara rinci alat tangkap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Jaring Alat tangkap jaring biasa dipergunakan oleh 1 sampai 2 orang nelayan. Adapun penggunaannya dengan cara membentangkan di laut sehingga ikan dapat terperangkap dalam jaring tersebut. Setelah nelayan menunggu untuk sementara waktu yaitu sampai banyak ikan masuk ke jaring, barulah jaring yang telah terisi ikan diangkat ke kapal. Jaring yang biasa dipakai nelayan beragam, baik dilihat dari jenis bahan yang dipakai, jumlah dan ukuran mata jaring. Penggunaan tiap jenis jaring tergantung pada kegunaannya yang biasanya disesuaikan dengan ukuran target tangkapannya. Besar kecilnya lubang jaring akan sangat menentukan jenis ikan yang akan ditangkap. Misalnya jaring yang digunakan untuk menangkap ikan tuna berbeda dengan jaring yang digunakan untuk menangkap ikan ekor kuning. Menurut keterangan seorang informan, terdapat dua macam jaring yang biasa digunakan oleh nelayan setempat yaitu jaring ambai dan jaring biasa. Jaring ambai dibuat dengan menggunakan tali yang relatif kecil dan panjangnya mencapai sekitar 1000 depa. Adapun jenis jaring bundrei merupakan jaring yang dapat dipakai untuk menangkap berbagai jenis ikan. Menurut keterangan seorang pemiliknya harga jaring tersebut relatif mahal yaitu sekitar Rp. 3 juta. Pancing Alat ini biasa digunakan nelayan terutama untuk menangkap ikan karang seperti ikan sunu dan ikan kerapu. Nelayan biasa menggunakan pancing dengan beberapa mata pancing, sehingga sekali menarik pancing dapat diperoleh beberapa hasil tangkapan sekaligus. Untuk menangkap ikan dengan alat pancing diperlukan umpan yang biasanya terdiri dari ikan kecil-kecil atau kerang-kerangan kecil yang mudah diperoleh di sekitar perumahan nelayan. Tombak Tombak merupakan alat penangkap ikan tradisional yang dibuat dari besi tajam, dan biasa digunakan oleh nelayan perorangan. Pada umumnya tombak digunakan nelayan untuk menangkap ikan di batu karang. Karena ikan sering bersembunyi di sela42
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
sela batu karang, sehingga penggunaan alat tangkap tombak dianggap cocok dibandingkan alat tangkap lainnya. Penggunaan tombak juga dapat mengurangi resiko hancurnya batu karang yang menjadi tempat persembunyian ikan karang. Bubu Bubu merupakan suatu perangkap ikan yang terbuat dari anyaman bambu, dan biasa digunakan untuk menjerat ikan di sekitar karang. Untuk menahan bubu agar tetap di tempatnya, biasanya diberi alat pemberat dari besi atau batu karang yang dipasang di sekitar karang. Apabila ikan sudah banyak terperangkap di bubu, ikan dipindah ke kapal dan bubu dipasang lagi di lokasi lainnya. Pemasangan bubu dalam jangka waktu lama cukup potensial untuk merusak terumbu karang. Tali Tali atau tambang merupakan alat utama yang digunakan nelayan atau keluarganya untuk budidaya rumput laut. Cara menggunakannya dengan mengikatkan rumput laut yang akan dibudidayakan pada tali yang telah direntangkan memanjang. Kedua ujung tali tersebut diikatkan pada sebuah tiang kayu yang ditancapkan di dasar laut. Selama proses budidaya tersebut, pemilik sering mengontrol dan mengganti tali yang putus. Rumpon Rumpon merupakan alat untuk budidaya ikan yang dipasang di perairan laut. Dengan memasang rumpon, ikan akan berkumpul di sekitarnya sehingga penangkapan ikan lebih efisien. Oleh karena itu, dengan alat rumpon, hasil ikan relatif banyak dan lokasi tidak terlalu jauh, maka dapat mengalihkan nelayan dari penangkapan ikan karang yang tidak terkendali. Teknologi penangkapan dengan menggunakan alat-alat tersebut dianggap aman untuk menangkap ikan atau biota laut lainnya. Menurut keterangan beberapa informan, alat penangkapan dengan rumpon merupakan teknologi yang dianjurkan karena dianggap tidak menimbulkan kerusakan. Hal ini disebabkan sistem penangkapan ikan dengan rumpon lebih terkendali sehingga dapat mencegah penangkapan yang berlebihan (over fishing). Pengetahuan masyarakat setempat tentang penggunaan alat tangkap meliputi yang boleh dan yang dilarang. Pada umumnya nelayan mengetahui bahwa peralatan seperti pukat harimau dilarang, karena alat ini menyebabkan terangkutnya semua ikan termasuk ikan yang kecil-kecil. Hal ini disebabkan alat pukat harimau menggunakan semacam serok atau pengeruk yang dapat menangkap semua ikan di lokasi tersebut. Nelayan umumnya juga mengetahui bahwa penggunaan bom dan sianida untuk menangkap ikan dilarang, karena dapat membunuh ikan-ikan kecil maupun biota laut di sekitarnya. Demikian juga bila bahan–bahan tersebut digunakan untuk menangkap ikan karang, maka dapat menghancurkan atau mematikan karang yang terkena bom atau sianida. Beberapa informan beranggapan bahwa pemakaian sianida lebih merusak karang karena larutan sianida akan terbawa arus air sehingga kerusakan karang meluas. Demikian pula pemakaian sianida menyebabkan kerusakan yang ditimbulkan membutuhkan waktu cukup lama (sekitar 10 tahun) untuk memulihkannya.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
43
Hasil survei rumah tangga menunjukkan bahwa kebanyakan responden (94 persen) mengetahui penggunaan bom sebagai alat tangkap ikan dapat merusak terumbu karang. Demikian pula sekitar 78 persen responden meyakini pemakaian sianida sebagai alat penangkap ikan juga dapat merusak karang. Sebaliknya, hampir semua responden (99 persen) menyatakan bahwa bagan dan bubu tidak dianggap sebagai alat perusak karang. Pengetahuan responden tentang larangan pengambilan kara ng juga cukup tinggi, karena sebagian besar responden (sekitar 92 persen) menyatakan bahwa mereka mengetahui adanya larangan tersebut. Demikian juga dalam proporsi yang hampir sama mengetahui adanya sanksi yang dikenakan bagi pelanggarnya. Mengenai pendapat responden tentang larangan pengambilan karang, sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap larangan tersebut. Meskipun hasil survei tentang pengetahuan dan sikap masyarakat Desa Sama Bahari menunjukkan kecenderungan yang positif untuk kelestarian terumbu karang, namun dalam pelaksanaannya, masih terdapat nelayan yang menggunakan bom untuk menangkap ikan. Hasil survei menunjukkan bahwa beberapa responden mengetahui adanya nelayan yang menggunakan bom untuk menangkap ikan. Demikian juga terhadap pertanyaan penggunaan bom oleh responden sendiri, sekitar 16 persen mengaku pernah menggunakannya dalam 6 bulan terakhir. Berdasarkan keterangan dari pewawancara dan hasil wawancara mendalam dengan beberapa tokoh, kecilnya persentase responden yang pernah menggunakan bom cenderung menunjukkan data yang underreported'. Beberapa pewawancara menyatakan mengetahui beberapa responden yang menjawab tidak pernah menggunakan bom, padahal sebenarnya juga menggunakan. Pertanyaan semacam ini dianggap sensitif oleh responden, sehingga responden cenderung untuk tidak menyatakan hal sebenarnya. Hal ini dipengaruhi oleh rasa kuatir akan mendapat sanksi seperti dipenjara, apabila mengaku melakukan pengeboman. Terhadap larangan penggunaan sianida maupun sanksinya, juga diketahui oleh hampir semua responden. Sedangkan mengenai pengetahuan responden terhadap nelayan yang mempraktekkannya, sekitar 50 persen responden mengetahui bahwa terdapat nelayan yang menggunakan sianida untuk menanggap ikan. Namun demikian hanya sekitar 10 persen responden yang mengaku pernah menggunakan sianida untuk menangkap ikan dalam enam bulan terakhir. Tidak tertutup kemungkinan adanya rasa kuatir responden apabila harus mengaku seperti pada praktek pengeboman, karena umumnya mereka mengetahui bahwa penggunaan bom dan sianida untuk menangkap ikan dilarang. Dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan (tokoh masyarakat), diketahui penduduk di Sama Bahari sudah mengenal bom untuk menangkap ikan sejak zaman Jepang. Hal ini dapat dilihat dari bekas bom dan ranjau yang banyak ditemukan di daerah tersebut. Pada perkembangannya banyak nelayan yang merakit bom sendiri untuk menangkap ikan, karena ingin memperoleh hasil ikan yang banyak dalam waktu cepat. Sedangkan penggunaan sianida untuk menangkap ikan baru dilakukan nelayan di Sama Bahari sekitar 3-4 tahun terakhir. Penggunaan sianida ini dipicu oleh adanya 'bos' atau juragan yang memberi modal serta bahan sianida kepada para koordinator untuk mencari ikan karang dan lobster yang masih hidup. Harga ikan karang hidup relatif mahal karena biasanya dijual ke pasar luar negeri, sehingga harganya disesuaikan dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar. Sebetulnya penggunaan 44
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
sianida untuk menangkap ikan relatif mudah, dan tidak perlu mengeluarkan biaya karena bahan disediakan 'bos'. Nelayan tradisional yang semula hanya memakai pancing untuk menangkap ikan, menjadi tergoda untuk ikut menggunakan sianida, karena hasilnya lebih menguntungkan. Permintaan yang tinggi terhadap ikan karang hidup dan keuntungan yang menggiurkan, telah mendorong para nelayan untuk dapat menangkap ikan karang hidup sebanyak-banyaknya. Harga ikan karang hidup biasanya lebih tinggi dari ikan yang dikeringkan. Sebagai contoh ikan sunu hidup dengan berat sekitar 2 kg, dihargai sekitar Rp. 20.000, sementara ikan sunu yang sudah dikeringkan hanya Rp. 6.000 per kilogram. Teknologi penangkapan lainnya yang juga merusak terumbu karang adalah penggunaan linggis untuk mengambil kerang belah batu. Pemakaian linggis dapat merusak terumbu karang, karena nelayan harus membalik dan mencungkil karang untuk mendapatkan kerang tersebut. Akibatnya dapat mematikan karang-karang hidup dan biota laut yang biasanya banyak menempel di balik karang tersebut. Beberapa kelompok sumber daya laut yang telah dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat Sama Bahari adalah beberapa jenis ikan karang, jenis-jenis ikan laut, beragam terumbu karang dan beberapa SDL lainnya. Adapun beberapa jenis yang banyak diperoleh nelayan Sama Bahari untuk masing-masing kelompok sumber daya laut tersebut adalah: Jenis ikan karang (1) (2) (3) (4) (5)
Sunu Kerapu Katamba Baronang Kakaktua
Jenis ikan laut (1) (2) (3) (4) (5)
Cakalang Tuna Ekor kuning Tembang Awu-awu
Jenis karang (1) (2) (3) (4) (5)
Batu iga buku Batu garas Batu kulape Batu sapa Batu tatabih
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
45
Jenis SDL lain (1) Lobster (2) Teripang (3) Gurita (4) Kima (5) Kerang-kerangan atau tiram Sedangkan lima jenis SDL yang terdapat di Sama Bahari dan dianggap mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah: (1) (2) (3) (4) (5)
Lobster Ikan napoleon Ikan sunu Ikan kerapu Penyu
Beberapa jenis SDL yang juga mempunyai nilai ekonomi tinggi setelah melalui proses pengeringan antara lain: sirip ikan hiu, teripang dan kerang mata tujuh. Bila dilihat dari perkembangan volume produksi dari masing-masing jenis SDL terutama dalam kurun waktu selama 5 tahun belakangan ini cenderung menurun. Namun apabila dilihat dari kecenderungan permintaan di pasaran, justru menunjukkan peningkatan, terutama untuk jenis lobster dan ikan karang hidup seperti napoleon dan sunu. Permintaan yang tinggi terutama karena lobster maupun ikan karang adalah komoditas ekspor. Oleh karena permintaan untuk jenis SDL tersebut lebih tinggi daripada persediaannya, maka para nelayan mendapat berbagai penawaran dari para taoke, untuk menangkap SDL yang bernilai ekonomi tinggi tersebut. Menurut pengakuan seorang informan, nelayan menerima berbagai penawaran dari pedagang pengumpul atau para taoke, seperti modal dan bahan-bahan untuk penangkapan ikan yang sangat efektif, namun potensial merusak terumbu karang, misalnya bahan peledak atau sianida. Biasanya para taoke memberi modal dan sianida pada pedagang pengumpul, sehingga dapat membujuk para nelayan untuk menangkap ikan atau jenis SDL lainnya sesuai permintaan pasar. Adanya penawaran berupa imbalan yang tinggi serta tersedianya bahan untuk penangkapan yang efektif, cenderung mendorong para nelayan untuk memenuhi permintaan para taoke atau bos tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa saat ini masyarakat Bajo sudah mengenal potassium sianida untuk menangkap lobster maupun ikan karang. Suatu teknologi penangkapan yang sebelumnya sangat jauh dari angan-angannya, tetapi kini dipraktekkan banyak nelayan karena secara ekonomis sangat menguntungkan nelayan. 3.5. Stakeholders Yang Terlibat Stakeholders yang terlibat langsung dalam pengelolaan SDL adalah para nelayan, kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat, LSM, serta para pedagang pengumpul. Pengelolaan SDL juga melibatkan stakeholders yang tidak langsung dan lebih formal seperti aparat pemerintah di tingkat kecamatan, aparat keamanan, tenaga PPL, para jagawana Taman Nasional Wakatobi unit Kaledupa maupun Operation Wallacea di resort Hoga, serta pedagang besar hasil SDL. Sedangkan untuk daerah tingkat II stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan SDL adalah Bappeda TK II, Taman Nasional Wakatobi, LSM, Dinas Perikanan TK I serta Kanwil Perhubungan. 46
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Kegiatan dari masing-masing stakeholders yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL beragam baik yang berpotensi mendukung maupun mengancam kelestarian terumbu karang. Kegiatan para nelayan dalam memanfaatkan SDL dengan menggunakan bom atau sianida serta penggunaan alat tangkap seperti linggis dan bubu dianggap potensial mengancam kelestarian terumbu karang. Pada saat ini kebanyakan nelayan Sama Bahari masih banyak menggunakan alat-alat tradisional (seperti pancing dan tombak), sehingga dianggap belum menjadi ancaman bagi kelestarian terumbu karang. Namun demikian, adanya pengaruh dari nelayan luar maupun bujukan dari para pedagang pengumpul yang memfasilitasi bahan-bahan perusak serta meningkatnya permintaan SDL, dapat mendorong nelayan untuk lebih mengeksploitasi SDL. Praktekpraktek ini berpotensi untuk merusak terumbu karang di sekitarnya. Sebaliknya, adanya kesepakatan antara masyarakat Desa Sama Bahari dengan Operation Wallacea untuk menjadikan suatu kawasan sebagai tempat konservasi tertutup bagi aktivitas penangkapan ikan sangat mendukung bagi pelestarian SDL di sekitarnya. Kesepakatan dibuat melalui upacara adat yang difasilitasi oleh LSM setempat serta mendapat dukungan dari aparat desa serta tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh adat. Upaya untuk pelestarian SDL ini akan dilaksanakan dalam jangka panjang, sehingga dapat meningkatkan populasi ikan di sekitar wilayah yang dilindungi. Usahausaha kesepakatan demikian yang melibatkan berbagai pihak terkait, dapat menjadi contoh bagi kegiatan stakeholder lain sehingga berpotensi melestarikan terumbu karang. Kegiatan ini apabila diikuti dengan pelaksanaan aturan serta tindakan penegakkan hukum yang tegas bagi pelaku pelanggaran, dapat menghindari terjadinya kerusakan terumbu karang. Peran serta semua stakeholder sangat menentukan apakah kegiatan mereka akan berpotensi mendukung atau justeru mengancam kelestarian terumbu karang. 3.6. Hubungan Kerja Dalam Pengelolaan SDL Dalam pengelolaan SDL yang dilakukan berkelompok, hubungan kerja antar pihak terkait cenderung masih merupakan hubungan primordial, meskipun secara sepintas tidak nampak adanya hubungan vertikal sebagai atasan dan bawahan. Nelayan yang ikut dalam pekerjaan secara berkelompok biasanya karena mereka tidak memiliki armada atau alat penangkapan yang memadai, sehingga bergabung dengan nelayan yang memilikinya. Sebagai pemilik armada maupun alat penangkapan, mereka umumnya mengaku tidak memiliki anggota kelompok yang tetap, sehingga setiap orang bebas untuk ikut atau mengajak orang lain tanpa persyaratan yang sangat mengikat. Hubungan kerja antara pemilik dan nelayan pengikut dalam masyarakat di Sama Bahari tidak sama dengan hubungan yang biasa terjadi antara punggawa dan anak buah kapal (ABK) yang biasa dikenal dengan hubungan patroon-client. Dalam hubungan kerja antara koordinator dan nelayan pengikut di Sama Bahari, mereka cenderung menganggap status mereka sama, meskipun dalam pembagian hasil tangkapan berbeda antara pemilik dan nelayan pengikut. Perbedaan dalam bagi hasil dianggap wajar, karena pemilik kapal selain menyediakan armada tangkap juga menyediakan bekal untuk keperluan selama di laut. Dalam kenyataannya, beberapa pemilik perahu yang merangkap sebagai koordinator juga masih menyediakan kebutuhan sehari-hari nelayan maupun keluarganya, sehingga nelayan tersebut akan terikat selama hasil tangkapannya belum dapat melunasi hutang-hutangnya. Akibatnya, tanpa disadari ada keterikatan yang kuat antara pemilik perahu dengan nelayan pengikut, yang kadang
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
47
dapat berlangsung secara berkelanjutan seperti hubungan antara penggawa dan ABKnya. Meskipun hubungan kerja antara pemilik armada dan nelayan pengikut dikatakan tidak saling mengikat, namun pada kenyataannya pemilik armada atau koordinator merupakan kelompok yang dominan dalam mengelola SDL. Dalam memperhitungkan pembagian hasil tangkapan, para pemilik berhak mendapatkan bagian terbesar, baik karena pemilikan sarana produksi maupun karena keikut sertaannya dalam kegiatan melaut. Sementara proporsi yang menjadi bagian nelayan pengikut relatif kecil, tergantung pada jumlah anggota dalam kelompok tersebut. Pembagian hasil akan makin menguntungkan para pemilik sarana produksi, terutama apabila pemilik juga melibatkan anggota keluarganya dalam aktivitas pengelolaan. Namun menurut pengakuan informan (pemilik armada dan koordinator), dalam pelaksanaan pembagian hasil mereka cukup fleksibel dengan menyesuaikan pada hasil yang diperoleh. Apabila hasil yang diperoleh relatif kecil, mereka juga dapat menyerahkan sebagian hasilnya untuk para nelayan pengikut yang membantunya.
48
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bab IV Produksi d an P em asar an Sumb erdaya Laut Masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari, yang menggantungkan hidupnya terutama dari kegiatan di laut, sangat berkepentingan dalam kegiatan mengelola dan memanfaatkan SDL di sekitarnya. Untuk memahami keadaan ekonomi masyarakat Sama Bahari, maka perlu dikaji hasil yang diperoleh dari berbagai kegiatan ekonomi yang menjadi sumber perekonomian rumah tangganya. Bab ini akan mengkaji tentang kegiatan ekonomi penduduk yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDL dengan menekankan pada hasil produksi, pemanfaatan dan pemasaran hasil produksi. 4.1. Hasil Produksi Keadaan terumbu karang di wilayah Kaledupa masih cukup bagus, terutama di laut yang dalam, namun agak rusak di lokasi yang lebih dangkal. Keadaan yang demikian menyebabkan wilayah ini masih memiliki potensi SDL yang besar, terutama berbagai jenis ikan (ikan karang dan ikan non-karang) dan berbagai SDL lainnya seperti seperti kerang, teripang, penyu serta terumbu karang. Jenis ikan non-karang yang banyak ditemukan di sekitar Pulau Kaledupa adalah ikan tuna, cakalang, ekor kuning, dan baronang. Sedangkan hasil produksi ikan karang yang banyak ditemukan di sekitar Kaledupa antara lain ikan kerapu, ikan sunu, ikan kakatua, lobster, napoleon, kima dan ketamba. Biota laut lain seperti bulu babi, moluska dan berbagai jenis kerang juga mudah diperoleh di karang perairan dangkal di sekitar pemukiman. Banyak jenis SDL yang berperan penting dalam kehidupan masyarakat Bajo di Sama Bahari, baik dilihat dari banyaknya hasil, pentingnya SDL maupun harga penjualan. Dari berbagai jenis SDL yang ada di sekitar wilayah Kaledupa terdapat beberapa yang menonjol antara lain ikan tuna/cakalang, lobster dan ikan karang. Ikan tuna, meskipun harganya relatif murah yaitu sekitar Rp. 4.500/kg, namun merupakan ikan yang paling diburu karena relatif mudah diperoleh dan permintaannya tinggi. Sedangkan lobster dan ikan karang merupakan SDL yang potensinya tinggi dan harganya relatif mahal. Khusus untuk ikan karang seperti sunu dan kerapu, meskipun jumlah yang dihasilkan sulit diperkirakan, namun hasil produksinya laku dijual, baik hidup maupun yang sudah dikeringkan. Jenis ikan karang seperti ikan napoleon, kima dan penyu, meskipun harganya relatif mahal dan potensinya besar, merupakan jenis biota laut yang dilindungi, sehingga harus dicegah pengambilannya. Dari uraian tersebut, ketiga jenis SDL yaitu ikan tuna/cakalang, lobster dan ikan karang berperan penting bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat dan sekitarnya, termasuk masyarakat daerah lain yang mempunyai jaringan dalam pengelolaan dan pemasarannya. Peran penting ketiga SDL utama ini secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan upaya melestarikan terumbu karang yang ada di wilayah tersebut. Nelayan Bajo sangat ahli dalam hal mendeteksi lokasi-lokasi yang banyak ikannya, jenis dan waktu pengambilannya. Bagi orang Bajo, terutama laki-laki pergi
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
49
melaut kapan saja dan tidak mengenal musim. Mereka hanya membedakan kapan harus pergi jauh ke tengah laut (yaitu musim angin timur) dan kapan hanya di sekitar lokasi pemukiman (musim angin barat dan waktu angin kencang). Mereka pergi ke karang atau ke laut lepas terutama pada musim teduh (peralihan dari angin timur ke angin barat sekitar sebulan). Sedangkan beberapa perempuan Bajo yang biasa melaut, umumnya orang tua (janda) yang hanya mencari ikan di sekitar lokasi, atau mengikuti suami ke tengah laut untuk membantu menyediakan konsumsi para nelayan. Beberapa wanita yang lebih muda, ada yang pandai menyelam untuk mencari ikan karang atau teripang. Untuk mengetahui hasil produksi SDL dan perkembangannya di Desa Sama Bahari sangat sulit, karena hampir tidak ada dokumen tertulis yang dimiliki Desa Sama Bahari, baik monografi desa atau catatan-catatan biasa. Demikian pu la nelayan Bajo tidak terbiasa dengan merinci jenis ikan atau jumlah yang diperoleh setiap kali melaut. Setiap ke laut, jenis ikan yang diperoleh bervariasi dan langsung dijual tanpa menghitung atau menimbangnya. Apabila memperoleh ikan karang yang relatif mahal harganya, dijual kepada koordinator atau pengumpul, sehingga sulit untuk menghitung hasil yang diperoleh dalam waktu tertentu. Apabila perolehan dalam jumlah besar, transaksi dilakukan langsung di atas bodi motor tanpa mngetahui jumlah ikan yang diperoleh secara kuantitatif (cukup dihitung per kontainer yang tersedia). Dengan demikian sulit mengetahui jumlah produksi ikan yang diperoleh nelayan, selama tidak ada standar ukuran yang baku, serta tidak ada lembaga/koperasi (semacam TPI) yang menampung atau menjadi perantara nelayan dengan pihak pembeli (penampung/bos). Data dari pihak pembeli juga sulit diperoleh, karena bos/penampung ikan dari Sama Bahari umumnya berasal dari luar Kecamatan (seperti Mola/Wanci, Bau-bau atau Kendari). Sedangkan koordinator (penampung) lokal, umumnya hanya menampung jenis ikan tertentu, seperti lobster atau ikan karang (seperti kerapu, sunu dan napoleon). Jumlah hasil produksi ketiga jenis SDL tersebut sangat tergantung pada musim, juga tergantung pada ‘keniatan’ dan pola kerja masing-masing nelayan. Situasi keuangan rumah tangga dan kepercayaan masing-masing nelayan pada situasi laut, juga berpengaruh pada pola kerja nelayan. Menurut seorang narasumber (tokoh masyarakat), ungkapan seperti ‘rejeki sudah diatur oleh penunggu laut’ menunjukkan mereka menerima apa yang sudah menjadi bagiannya sehari-hari. Yang membatasi hasil produksi sehari-hari adalah perasaan cukup, keamanan dan jumlah yang sudah diperoleh. Hal ini diartikan dalam mencari rejeki di laut mereka ‘tidak boleh serakah dan memaksakan diri’. Kepercayaan demikian menyebabkan kebanyakan nelayan tidak pernah mempunyai target hasil yang ingin dicapai, sehingga sulit memperkirakan jumlah hasil ikan yang diperoleh para nelayan untuk ketiga jenis ikan dalam waktu tertentu. Perkiraan jumlah ketiga jenis ikan yang diperoleh, hanya berasal dari nelayan yang merangkap sebagai koordinator atau pengumpul jenis ikan tertentu seperti lobster dan ikan karang tertentu. Dalam uraian selanjutnya perkiraan hasil produksi, armada dan alat tangkap, biaya yang di keluarkan dan pembagian hasil produksi ditekankan untuk ketiga hasil SDL utama tersebut. Ikan Tuna/Cakalang Ikan tuna/cakalang merupakan ikan yang menjadi andalan nelayan karena dapat dihasilkan sepanjang tahun (tidak kenal musim) dan dalam jumlah yang relatif besar. Ikan tuna dapat diperoleh setiap hari, baik di laut dangkal sekitar lokasi pemukiman, maupun di laut yang lebih dalam. Sejenis dengan ikan tuna yaitu ikan cakalang, lokasinya lebih dalam yaitu sekitar 3 mil dari desa. Meskipun demikian hasil ikan tuna dan cakalang yang paling banyak diperoleh selama musim angin timur (sekitar
50
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
3 bulan). Hasil ikan tuna yang diperoleh nelayan bervariasi, tergantung pada armada dan alat tangkap yang digunakan dan lokasi penangkapannya. Armada tangkap yang umumnya dimiliki masyarakat Bajo yaitu perahu sampan dan bodi motor (ukuran 5 PK). Kedua armada tersebut biasa digunakan untuk menangkap ikan tuna. Sedangkan ikan cakalang, yang lokasinya agak ke tengah laut, hanya dapat menggunakan bodi motor. Untuk menangkap ikan tuna/cakalang, alat tangkap yang banyak digunakan adalah jaring dan pancing. Apabila penangkapan ikan tuna/cakalang dilakukan oleh 2-3 orang dalam satu armada tangkap (biasanya dengan bodi motor), maka digunakan alat tangkap jaring. Sedangkan apabila penangkapan ikan tuna/cakalang dilakukan sendirian, dengan sampan atau bodi motor, maka biasanya digunakan alat tangkap pancing. Dengan menggunakan sampan dan pancing, nelayan dapat pergi melaut setiap hari untuk memperoleh ikan tuna. Namun dengan perlengkapan tersebut, cakupan lokasi terbatas hanya di sekitar pemukiman (sekitar radius 1 mil), karena hanya mengandalkan tenaga nelayan untuk mendayung dan memancing. Demikian pula hasil yang diperoleh juga sangat terbatas, baik jenis maupun jumlahnya, biasanya sekedar untuk menutup kebutuhan sehari-hari (termasuk konsumsi), yaitu sekitar Rp. 10.00020.000. Namun demikian, ibu-ibu (terutama janda/hidup sendiri) juga dapat menggunakan peralatan sederhana tersebut (sampan dan pancing), untuk mencari ikan tuna/ikan lainnya di sekitar lokasi pemukiman. Biasanya hasil yang diperoleh terbatas, hanya cukup untuk memenuhi keperluan sendiri (dikonsumsi) dan kalau ada kelebihan, baru dijual. Sedangkan nelayan yang menggunakan bodi motor, meskipun dengan alat pancing dapat memperoleh hasil yang lebih banyak, sehingga rata-rata hasil yang diperoleh setiap melaut, cukup untuk hidup sekeluarga, yaitu sekitar Rp. 20.000-50.000, atau sekitar 6-15 ekor ikan tuna sedang (rata-rata ½ kg dengan harga sekitar Rp. 3.000). Namun harga ikan tuna/cakalang pun bervariasi tergantung besar dan musimnya, karena pada musim angin kencang, harga ikan tuna/cakalang juga relatif mahal. Apabila dijual di resort Hugo, harga ikan tuna per kg sekitar Rp. 7000,-. Hasil ikan tuna/cakalang cenderung lebih banyak diperoleh, apabila nelayan menggunakan bodi motor dan alat tangkap jaring. Semakin besar kekuatan (PK) motornya makin cepat jalannya bodi dan makin lama dapat bertahan di laut. Dengan demikian makin besar bodi motornya, hasil tangkapan diharapkan lebih banyak dan makin kecil resiko kerusakan ikan. Seorang narasumber (tokoh masyarakat dan ahli membuat perahu), dari pengalamannya yang luas menyatakan: Perahu motor sangat menolong nelayan untuk mendapatkan hasil lebih banyak, perbandingannya adalah 1 jam bodi motor sama dengan 3 jam perahu biasa. Hasil suvei lapangan menunjukkan sekitar 40 persen responden yang memiliki bodi motor, umumnya merupakan bodi motor dengan kekuatan relatif kecil (5 PK). Sedangkan di Desa Sama Bahari, hanya ada 2 orang nelayan (merangkap koordinator), yang memiliki bodi motor besar (20 PK) dengan variasi alat tangkap (termasuk jaring dengan berbagai ukuran). Perbedaan hasil yang diperoleh dengan variasi alat tangkap cukup besar. Pada umumnya nelayan Bajo menangkap ikan tuna dengan bodi, perahu biasa dan jaring, dengan melibatkan beberapa orang (2-3 orang), baik anggota keluarga atau nelayan lain. Waktu yang diperlukan untuk menangkap ikan tuna biasanya sejak jam 3 pagi sampai jam 1 siang. Nelayan lain yang dilibatkan adalah nelayan yang tidak
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
51
memiliki alat tangkap, dan hubungan kerja dengan koordinator merupakan hubungan saling tergantung. Koordinator memberikan fasilitas pada nelayan yang menjadi anggota kelompoknya, antara lain dapat menggunakan armada dan peralatan untuk setiap waktu dapat melaut, asalkan hasil ikan yang diperolehnya dijual pada koordinator/ pemilik bodi. Ikatan tersebut seringkali merugikan nelayan yang menjadi anggotanya, karena harga umumnya ditentukan koordinator/pemilik bodi yang juga pengumpul ikan. Contoh perkiraan hasil produksi menurut alat tangkap dan besarnya biaya sebagai berikut: 1. Alat tangkap dengan bodi motor biasa (5-10 PK) dan alat tangkap jaring, dengan jumlah nelayan anggota kelompok sekitar 5-8 orang: • •
Jumlah ikan tuna/cakalang yang diperoleh 1 bodi penuh, diperkirakan sekitar 1 ton. Biaya yang dikeluarkan selama ke laut (solar, makanan dan rokok) sekitar Rp. 300.000 .
2. Alat tangkap dengan bodi motor kecil (5 PK) dan jaring, dengan jumlah nelayan sekitar 2-3 orang: • •
Hasil ikan tuna/ cakalang sekitar Biaya untuk solar dan makanan
60-100 kg. Rp. 100.000,-
Untuk pengeluaran biaya selama operasi biasanya dibayar dahulu oleh koordinator, dan dipotong dari hasil perolehan, sebelum dibagi pada anggota kelompok. Sedangkan pembagian hasil diantara anggota kelompok ditentukan berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Namun secara umum, biasanya pemilik bodi dan alat tangkap memperoleh satu bagian, sebagai anggota (apabila ikut melaut) dapat satu bagian, sedangkan setiap anggota kelompok lainnya (termasuk keluarga yang ikut) memperoleh bagian yang sama. Bila jumlah nelayan dalam satu armada 3 orang (salah satu juga pemilik bodi), pemilik bodi mendapat 2 bagian, anggota lainnya medapat satu bagian. Apabila pemilik juga membawa alat tangkat maka biasanya tambahan satu bagian. Sistem penangkapan ikan tuna lainnya adalah dengan budidaya rumpon, yaitu alat yang dikonstruksi menyerupai pepohonan di perairan yang berfungsi sebagai tempat berlindung, mencari makanan dan berkumpulnya ikan (Guntoro, 2000: 21). Hasil ikan tuna dengan sistim ini meningkat, karena berkumpulnya ikan di sekitar lokasi rumpon (di dalam dan di sekitar pemasangan rumpon). Di Sama Bahari terdapat beberapa warga dan pengusaha dari luar yang memasang rumpon di laut sekitar pemukiman Desa Sama Bahari. Biasanya warga yang memiliki dan mengelola rumpon adalah orang tua atau warga yang sibuk seperti kepala desa. Sebuah yayasan di Sama Bahari pernah memiliki rumpon yang dikelola warga setempat, dan berkembang dari dua menjadi 20 buah. Namun karena gangguan alam (seperti angin kencang), semua rumpon rusak atau musnah terseret ombak. Menurut seorang nara sumber (yang juga pemilik rumpon), pengelolaan rumpon membutuhkan kesabaran dan ketelitian, juga perlu biaya yang relatif besar. Perkiraan biaya dan hasil pengelolaan rumpon yang dialaminya sebagai berikut: • •
Modal yang dibutuhkan untuk pengelolaan sebuah rumpon sekitar Rp. 1 juta. Dalam sebulan sekitar 10-15 kali datang ke lokasi rumpon untuk merawat dan mengambil hasil ikan, terutama ikan tuna.
52
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
• •
•
Dari kunjungan tersebut hanya 5 kali yang menghasilkan ikan tuna/ cakalang cukup banyak. Jumlah ikan yang diperoleh setiap pengambilan ke rumpon, sulit diperkirakan oleh pemilik (sudah agak tua), namun hasil penjualan setiap pengambilan ikan tuna diperkirakan sekitar Rp. 100.000 (atau sekitar Rp. 600.000 dalam sebulan pengambilan). Apabila diperkirakan setiap ekor tuna dijual dengan harga Rp. 3000,-. Maka diperkirakan hasil ikan tuna/cakalang dari satu rumpon dalam sebulan sekitar 200 ekor.
Meskipun hasil ikan dari budidaya rumpon cukup menguntungkan, namun banyak nelayan Bajo tidak mampu menyediakan modalnya. Demikian pula nelayan yang lebih muda, cenderung memilih untuk menyelam dan menangkap lobster, yang dianggapnya lebih cepat memperoleh hasil dan lebih menguntungkan. Budidaya rumpon juga dianggap beresiko, terutama sering terganggu oleh angin kencang yang dapat memusnahkan rumpon atau memutuskan tali-talinya. Namun dari sisi lain, budidaya rumpon banyak dimanfaatkan oleh nelayan setempat, karena di sekitar pemasangan rumpon, banyak ikan tuna/cakalang yang berkumpul, sehingga dapat mengurangi kepergian nelayan ke karang. Lobster Potensi lobster di wilayah ini cukup besar, namun hasil yang dapat diperoleh tergantung pada perubahan musim. Jenis lobster dapat diperoleh sepanjang musim angin timur, khususnya pada bulan gelap, namun hasil produksi yang paling banyak dapat diperoleh pada musim teduh yaitu peralihan musim angin timur dan angin barat (bulan Oktober). Meskipun permintaan lobster tinggi dan harganya mahal, namun cara penangkapannya sulit, yaitu dengan menyelam ke laut dalam secara alami, sehingga hasil produksinya terbatas. Untuk menangkap lobster, nelayan harus menyelam di laut dalam, sehingga. diperlukan armada tangkap seperti bodi motor. Untuk perlengkapan menyelam dan menangkap lobster, nelayan Bajo juga biasa menggunakan kacamata selam dan tombak sebagai alat tangkap tradisional. Dalam memenuhi permintaan koordinator/bos lobster, sebagian nelayan tergoda untuk menggunakan bahan terlarang seperti potas (obat bius). Dengan obat bius, ikan menjadi lebih mudah ditangkap, dan mudah dihidupkan kembali dengan aliran air deras, sehingga diperoleh hasil lebih banyak dan tetap dapat memenuhi permintaan pasar. Menurut narasumber yang juga berpengalaman menangkap lobster, dengan cara alami (menyelam dan tombak), penangkapan lobster biasanya dilakukan malam hari dan keadaan bulan gelap. Sedangkan penggunaan obat bius umumnya dilakukan pada siang hari. Hasil lobster akan lebih banyak lagi, apabila nelayan dapat menggunakan compressor (selang oksigen), sebagai alat bantu untuk dapat menyelam lebih lama. Menurutnya nelayan Bajo tidak ada yang memiliki dan menggunakan compressor untuk menangkap lobster. Namun demikian beberapa nelayan dari luar desa ada yang mencoba menggunakan compressor, meskipun ditentang (dengan ancaman) oleh nelayan setempat. Hasil lobster yang diperoleh nelayan Bajo di lokasi pada umumnya kalah bersaing dengan nelayan dari Mola atau Sulawesi Selatan, yang umumnya memiliki peralatan lebih lengkap dan canggih, serta lebih berani dalam menggunakan bahan terlarang seperti potas dan bom.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
53
Beberapa nelayan muda lebih memilih sebagai spesialis penangkap lobster, karena dianggap dapat memperoleh keuntungan lebih cepat dan kadang-kadang lebih banyak dari jenis ikan lainnya. Adanya 4 koordinator lobster yang merangkap sebagai pedagang pengumpul lobster di Desa Sama Bahari, menunjukkan bahwa bisnis lobster cukup menguntungkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan Bajo. Hal ini didukung oleh harga lobster yang relatif mahal, dan permintaan dari luar yang cukup tinggi. Adapun perkiraan hasil lobster di Sama Bahari, diperoleh dari seorang narasumber yang cukup sukses sebagai koordinator lobster dan juga pemilik sebuah bodi motor dan jaring. Jumlah nelayan yang menjadi anggota kelompok 3 orang (termasuk seorang papika -asisten koordinator). Berdasarkan pengalamannya selama ini hasil lobster yang diperoleh/dikumpulkan sebagai berikut: • •
Diperkirakan dalam sebulan seorang koordinator lobster mampu mengumpulkan sekitar 400 kg. Apabila diperkirakan 4 koordinator di lokasi dapat mengumpulkan jumlah yang sama, maka jumlah lobster yang dihasilkan dalam sebulan sekitar 1600 kg.
Sedangkan seorang nelayan spesialis penyelam lobster menyatakan dalam sekali melaut dia pernah memperoleh lobster sekitar 5 ekor (atau 5 kg). Selama sebulan untuk 10 kali menyelam, dia berhasil memperoleh hasil lobster sekitar 20 kg (sekitar Rp. 1 juta). Pada umumnya hasil perolehan lobster dari para penyelam dipasarkan melalui 4 koordinator tersebut. Adapun pembagian hasil antara pemilik dan anggota kelompok tidak berbeda dengan untuk ikan tuna, yaitu berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Biasanya pemilik bodi dan jaring mendapat 1 bagian. Apabila pemilik ikut ke laut, maka pemilik memperoleh 2 bagian. Selebihnya dibagi rata pada anggota kelompok. Hasil perolehan lobster yang dibagi adalah perolehan setelah biaya selama operasi dikeluarkan. Menurut narasumber tersebut, dalam kenyataan pembagian ini dilakukan secara fleksibel dengan melihat hasil perolehannya. Apabila hasil relatif sedikit, pemilik bodi biasanya mengalah dan memberikan sebagian hasil yang diperoleh kepada asisten dan para anggota kelompoknya. Bagi koordinator, yang penting semua hasil yang diperoleh dapat ditampung oleh koordinator tersebut. Besarnya penghasilan masing-masing anggota kelompok, tergantung pada hasil perolehan lobster. Berdasarkan pengalaman selama ini, setiap anggota kelompok dapat memperoleh penghasilan dari lobster sekitar Rp. 100.000-200.000 (atau sekitar 2-4 ekor lobster), setiap kali melaut. Dalam kenyataan sehari-hari, hubungan antara koordinator lobster dan anggota kelompoknya seperti hubungan antara penggawa dan ABK. Koordinator harus selalu menjaga hubungan baik dengan para nelayan yang menjadi anggota kelompoknya, agar hasil perolehan tidak dijual ke koordinator lainnya. Koordinator juga memperhatikan kebutuhan para nelayan anggota kelompoknya, misalnya memberi kredit untuk kebutuhan sehari-hari (isteri koordinator membuka warung di rumahnya). Koordinator juga memberikan izin pada anggota kelompoknya untuk menggunakan armada dan peralatan tangkap apabila sewaktu-waktu mau pergi menangkap ikan ke laut. Ikan Karang Ikan karang hanya dapat diperoleh di lokasi terumbu karang, terutama di lokasi perairan dalam. Menurut masyarakat setempat, di lokasi ini kondisi terumbu karang
54
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
masih lebih bagus daripada di laut yang relatif dangkal. Kerusakan tersebut dipengaruhi oleh praktek penangkapan ikan yang cenderung merusak seperti pemakaian bom atau potas (obat bius). Ikan karang terutama ikan hidup, umumnya berharga lebih mahal daripada ikan non-karang, karena permintaan dari luar yang relatif tinggi, sementara hasil produksinya terbatas. Keadaan ini potensial bagi nelayan untuk over fishing, sehingga merupakan ancaman bagi pelestarian terumbu karang di sekitarnya. Tidak semua nelayan Bajo di Sama Bahari dapat memperoleh ikan karang hidup dengan mudah, karena pada umumnya mereka memiliki alat tangkap yang terbatas dan dapat digunakan secara aman dan produktif. Meskipun ikan napoleon dapat diperoleh setiap hari di sekitar karang dan merupakan jenis ikan termahal, namun penangkapannya semakin sulit karena termasuk salah satu jenis ikan yang dilindungi (seperti halnya penyu dan kima). Meskipun nelayan Bajo terkenal ahli dalam menangkap ikan karang, namun sejak dulu mereka hanya pergi ke karang pada musim angin timur, khususnya di musim teduh yaitu sewaktu ombak relatif tenang. Pada musim angin barat, mereka hanya pergi ke laut di sekitar pemukiman, untuk menangkap berbagai jenis ikan lainnya (termasuk ikan baronang). Untuk pergi ke karang pada musim angin barat memerlukan peralatan yang lebih lengkap, agar tetap aman dan dapat memperoleh hasil yang lebih memadai. Menurut seorang informan yang biasa menangkap ikan ke karang: Orang Bajo hanya ke karang kalau musim teduh, sedang orang luar ke karang sepanjang tahun, karena memiliki armada dan peralatan yang lebih lengkap. Demikian pula dengan peralatan yang lengkap mereka dapat lebih lama tinggal di lokasi penangkapan. Sedangkan dengan bodi motor sederhana dan peralatan yang terbatas, waktu ke karang relatif singkat (yaitu sekitar 3 hari). Untuk memperoleh hasil tangkapan ikan karang hidup, pada umumnya nelayan menggunakan peralatan tangkap seperti panah atau tombak, karena peralatan lain seperti pancing atau jaring sulit digunakan di karang. Namun seperti pada kasus penangkapan lobster, agar memperoleh hasil lebih banyak, banyak nelayan sering tergoda untuk menggunakan obat bius (potas) atau bom. Dengan menggunakan obat bius, ikan karang mudah dihidupkan kembali yaitu menempatkan kembali dalam keramba yang disiram dengan air deras. Menurut seorang narasumber (tokoh masyarakat), nelayan Bajo di Sama Bahari baru beberapa tahun terakhir mengenal potas, umumnya karena bahan potas sering disediakan oleh bos/pengumpul, agar dapat memperoleh hasil lebih cepat dan lebih banyak. Sedangkan dengan penggunaan bom, beberapa ikan karang yang mati dapat memancing ikan karang lainnya untuk berkumpul di sekitar lokasi terkena bom tersebut. Dalam kenyataannya, dengan memakai bahanbahan terlarang tersebut, resiko memperoleh ikan karang yang mati cukup tinggi (sekitar 50 persen). Meskipun armada dan peralatan tangkap berpengaruh terhadap perolehan ikan karang, namun nelayan di Sama Bahari yang memiliki bodi motor masih terbatas (sekitar 60 orang), dan sebagian besar adalah bodi motor dengan kekuatan 5 PK. Nelayan yang memiliki armada tangkap besar (di atas 10 PK) dan peralatan lengkap hanya 3 nelayan merangkap sebagai koordinator. Sedangkan nelayan lainnya yang tidak memiliki bodi motor, biasanya hanya menjadi nelayan pengikut atau anggota kelompok dari nelayan pemilik yang berjumlah sekitar 20 orang di Desa Sama Bahari. Status dalam kelompok ini akan berpengaruh terhadap besarnya bagian dari hasil yang
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
55
diperolehnya. Sebagai anggota kelompok, hasil yang diperoleh jauh lebih kecil dibandingkan bagian pemilik armada. Apabila selain memiliki armada juga menyediakan alat tangkap, bagian yang diperoleh akan lebih besar. Demikian juga makin banyak jumlah anggota keluarga ikut dalam penangkapan, bagian yang diperoleh makin banyak. Pemakaian jenis armada dan alat tangkap, juga berpengaruh terhadap jumlah nelayan ‘ABK’ dalam satu kelompok koordinator, jenis ikan dan jumlah hasil tangkapannya. Armada demikian juga lebih mampu bersaing dengan nelayan dari luar yang umumnya lebih lengkap peralatannya. Seorang nara sumber yang menjadi anggota kelompok (sebagai pemilik bodi adalah menantunya), menjelaskan bahwa bodi motor yang berkekuatan besar (di atas 10 PK) dan dilengkapi dengan peralatan tangkap yang canggih, hanya dipakai koordinatornya untuk mencari ikan karang di laut dalam, karena dapat menampung ikan dalam jumlah besar, untuk waktu sekitar 10 hari- 1 bulan di laut lepas (sampai ke Pulau Tomea). Sedangkan bodi motor lainnya (sampai 10 PK), digunakan untuk mencari ikan non-karang, biasanya untuk waktu yang lebih singkat (sekitar 3 hari). Jumlah ‘ABK’ yang tetap untuk kelompoknya hanya 5 orang, namun biasanya beberapa anggota keluarga (termasuk anak-anak, kakek dan neneknya), diikut sertakan dalam kegiatan penangkapan ikan karang (anggota kelompok sekitar 8-10 orang). Makin banyak anggota keluarga ikut dalam penangkapan ikan, maka bagian ikan yang diperoleh keluarganya makin besar. Berdasarkan pengalamannya, dengan menggunakan armada besar selama 10 hari di karang, jumlah perolehan ikan karang dapat mencapai sekitar 200 kg. Hasil ikan karang akan lebih banyak apabila dilakukan pada musim ikan (angin timur), khususnya pada musim teduh (sekitar ½ - sebulan). Sedangkan pada musim barat, ikan karang hanya dapat diperoleh di laut dalam, sehingga memerlukan armada yang lebih baik. Apabila dipakai armada biasa, pada musim angin timur, hasil ikan karang yang diperoleh untuk waktu yang sama sekitar 60 ekor atau sekitar 70-an kg. Pada musim teduh (musim ikan karang), semua jenis ikan karang mudah diperoleh. Khusus bulan Desember, jenis ikan karang yang banyak diperoleh adalah ikan sunu, sedangkan ikan napoleon dapat diperoleh setiap hari di sekitar karang. Biaya yang dikeluarkan untuk setiap operasi ke laut tidak berbeda dengan biaya untuk penangkapan ikan lainnya. Besarnya biaya ditentukan oleh lamanya waktu ke laut dan jenis bodi motor yang dipakai. Narasumber memperkirakan dengan bodi biasa selama 3 hari dikeluarkan solar sekitar 100 liter, sedangkan dengan bodi besar pengeluaran solar biasanya lebih hemat. Sedangkan biaya lainnya adalah untuk beras, gula, garam dan rokok, yang besarnya ditentukan oleh lamanya operasi. Semua biaya dikeluarkan oleh koordinator/’punggawa’, dan kemudian diperhitungkan dari hasil yang diperoleh. Rata-rata biaya pengeluaran ke karang sekitar Rp 100.000,- per hari. Adapun untuk pembagian hasilnya, tidak banyak berbeda dengan pada jenis SDL lainnya. Seorang narasumber menjelaskan, apabila digunakan bodi motor biasa (sampai 10 PK), pemilik bodi memperoleh 1 bagian, dan menjadi 2 bagian apabila menggunakan alat tangkap jaring. Sedangkan masing-masing ‘ABK’ memperoleh hasil satu bagian. Sedangkan dengan motor besar (di atas 10 PK), pemilik motor memperoleh 3 bagian, dan mendapat tambahan 1 bagian apabila armada juga dilengkapi sampan untuk tempat jaring. Untuk pemilikan alat tangkap jaring, bagian yang diperoleh pemilik dihitung berdasarkan jumlah potongan jaring. Hal ini berarti apabila jaring terdiri dari 10 potong (Ambai), maka pemilik jaring mendapat 10 bagian. Untuk kasus penangkapan ikan karang sampai ke Tomea yang melibatkan 8 nelayan, pemilik armada dan alat tangkap memperoleh 3 bagian, dan 7 anggota kelompok
56
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
lainnya memperoleh masing-masing 1 bagian (termasuk nenek yang bertugas menyediakan konsumsi, serta anak-anak pemilik). 4.2. Pemanfaatan Hasil Produksi Seperti dikemukakan sebelumnya, masyarakat Bajo di Sama Bahari menggantungkan hidup sepenuhnya dari hasil kerja utamanya sebagai nelayan. Hal ini berarti hasil produksi ikan dan SDL lainnya yang diperoleh setiap hari adalah sumber hidup warga Sama Bahari, baik yang dimanfaatkan untuk menu utama konsumsi seharihari (terutama ikan segar), langsung dijual ke konsumen/melalui penampung atau di olah (dikeringkan) baru dikonsumsi atau dipasarkan untuk penutup kebutuhan lainnya. Bagi masyarakat Bajo, laut merupakan sumber hidupnya yang sewaktu-waktu dapat diambil hasilnya untuk menutup kebutuhan hidup dengan keluarganya. Ada perbedaan antara nelayan kecil (umumnya hanya memiliki sampan dan pancing) dan nelayan yang memiliki peralatan lebih lengkap. Bagi nelayan kecil, hasil yang diperolehnya sebagian besar hanya dapat untuk memenuhi kebutuhan subsisten yaitu mengikuti konsep ‘petik dan makan’ atau sebagian kecil untuk ‘petik dan jual’. Dalam hal ini apabila ada kelebihan hasil ikan yang dapat dijual, biasanya untuk menutup kebutuhan dasar (beras, gula , garam dan rokok). Nelayan tersebut dapat menambah hasilnya, apabila ikut dalam kelompok koordinator yang memiliki bodi motor, sehingga dapat memperoleh bagian dalam setiap pengambilan ikan karang atau lobster. Hasil ikan karang hidup yang diperoleh umumnya mengikuti konsep ‘petik dan jual’, dan jarang yang di konsumsi sendiri, kecuali ikan mati. Bagi kelompok nelayan yang lebih berhasil, biasanya memiliki bodi motor dan peralatan yang lebih lengkap, sebagian besar hasil yang diperolehnya untuk keperluan pasar (komersialisasi). Hanya sebagian kecil hasil yang dimanfaatkan untuk konsumsi keluarga, termasuk ikan karang atau lobster yang ditangkap mati. Apabila hasil ikan yang mati cukup besar (terutama yang menggunakan bom atau potas mempunyai resiko mati sekitar 50 persen), maka pemasaran ikan karang terutama sunu dan kerapu, juga mengikuti konsep ‘petik, olah dan jual’. Namun demikian, nelayan yang memanfaatkan hasil perolehannya untuk diolah sangat terbatas, umumnya hanya para koordinator yang merangkap sebagai pedagang pengumpul. Untuk kelompok nelayan demikian, hasil pemasaran ikan yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk menambah modal, seperti membeli armada dan alat tangkap yang lebih lengkap, membangun rumah serta untuk membeli emas perhiasan. Masyarakat Bajo biasa mengkonsumsi semua jenis ikan segar, seperti ikan tuna, cakalang, ekor kuning, katamba, kakak tua, baronang atau sejenisnya. Beberapa jenis ikan seperti ikan katamba, kakak tua dan baronang bahkan biasa dikonsumsi oleh nelayan di laut dalam keadaan segar, atau dicacah dengan dibubuhi cuka, karena dipercaya dapat meningkatkan kekuatan fisik atau menyembuhkan penyakit. Sedangkan beberapa jenis ikan karang yang biasa dikonsumsi antara lain ikan sunu, kerapu, dan lobster, namun umumnya ikan yang sudah mati. Seorang narasumber (keluarga nelayan) menyatakan mereka baru mengkonsumsi ikan tuna, apabila tidak memperoleh ikan jenis lainnya. Ikan sunu atau kerapu yang sudah dikeringkan dan dibakar, biasa dikonsumsi bersama makanan pokok ‘kaswami’. Makanan yang dibuat dari tepung ubi kayu ini dan siap saji, dapat dibeli pada beberapa warga di lokasi dengan harga Rp 1000,- per biji (untuk 2-3 orang). Berbagai ikan segar yang dikonsumsi biasanya diolah secara sederhana oleh para isteri yaitu digoreng atau dibakar di bawah kolong
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
57
rumahnya. Keluarga Bajo jarang mengkonsumsi ikan dengan dibumbui macam-macam atau dimakan dengan sayur, karena sayur sulit diperoleh di Kaledupa. Hampir semua jenis ikan non-karang dan ikan karang yang diperoleh masyarakat, dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ikan segar masyarakat di Kecamatan Kaledupa dan pulau di sekitarnya (seperti Wanci). Biasanya jumlah ikan yang ditangkap sehari-hari diusahakan untuk dijual habis, sebagai ikan segar pada masyarakat konsumen, kalau perlu dengan harga sangat murah. Semua ikan segar yang dijual di pantai/di pasar terbuka Kaledupa Selatan dan di resort Hugo, berasal dari hasil nelayan di Sama Bahari. Sedangkan ikan karang hidup seperti ikan sunu, kerapu dan napoleon serta SDL lain (seperti lobster, kima, dan penyu), pada umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang lebih luas, karena permintaan tinggi dan harganya relatif mahal. Para nelayan di Sama Bahari jarang sekali memanfaatkan hasil ikan yang diperoleh untuk sengaja diolah, seperti membuat ikan asap atau membuat ikan asin, agar harga ikan tidak jatuh pada musim ikan. Pengolahan ikan hanya dilakukan oleh beberapa warga, terutama untuk jenis ikan karang mati seperti ikan sunu dan kerapu. Seorang narasumber (pedagang pengumpul dan pengolah berbagai SDL) menyatakan bahwa kebanyakan nelayan Bajo di Sama Bahari mempunyai pola hidup ‘mementingkan hari ini, bukan untuk hari esok’. Hal ini berpengaruh terhadap cara hidup yang tidak mau susah, karena setiap hari dapat menangkap dan menjual ikan dengan cepat, walaupun dengan harga yang sangat murah. Pemerintah daerah pernah mencoba meningkatkan kemampuan olah nelayan melalui KUBA (kelompok usaha bersama agribisnis), tapi tidak berhasil, karena nelayan merasa dibodohi atau pengelola koperasi kurang ahli dalam pemberdayaan masyarakat. Di Sama Bahari kegiatan pengolahan SDL, seperti budidaya rumput laut hanya dilakukan oleh beberapa keluarga (sekitar 10 keluarga), umumnya dikerjakan oleh wanita dan anak-anak. Latihan untuk budidaya ini pernah dilakukan oleh staf yayasan ‘Bajo Matilla’, sambil berpiknik selama 5 hari. Seorang narasumber yang mengusahakan budidaya rumput laut di Sama Bahari (menikah dengan nelayan Bajo), memperoleh ilmu budidaya rumput laut dari keluarganya di daratan Kaledupa. Banyak warga Kaledupa yang mengusahakan rumput laut sebagai mata pencaharian utamanya. Sedangkan pengelolaan teripang kering dan sirip ikan hiu, hanya dilakukan oleh seorang pedagang pengumpul yang berasal dari Mola, meskipun potensi teripang dan ikan hiu cukup besar, dan harga hasil pengolahan cukup mahal di pasaran (regional atau nasional). Sedangkan para nelayan hanya memasok kerang dan sirip ikan hiu dalam keadaan segar, dengan harga yang relatif murah. Kepandaian untuk mengolah teripang dan sirip ikan hiu ini diperoleh dari pembeli (suku Tionghoa). Sebagai contoh dia mengumpulkan kerang segar dengan menangkap sendiri (dilakukan oleh isteri yang pandai menyelam) dan membeli dari nelayan seharga Rp. 500 per biji kerang. Hasil teripang kering di Jawa sekitar Rp. 200.000/per kg, apabila kulitnya dibuang (sampai putih) harganya mencapai Rp. 300.000/kg. Sedangkan sirip ikan hiu yang dikeringkan, harganya mencapai Rp. 10-15 juta per kg. 4.3. Pemasaran Hasil Seperti disebutkan di muka, Kecamatan Kaledupa mempunyai potensi tinggi dalam menghasilkan berbagai SDL, terutama ikan non-karang dan ikan karang. Demikian pula permintaan dari luar terhadap berbagai hasil produksi SDL dari Sama Bahari, masih cukup tinggi. Apabila produksi dan pemasarannya dikelola dengan baik,
58
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
dapat menjadi sumber utama penghasilan daerah bersangkutan. Namun demikian nelayan Sama Bahari menghadapi permasalahan dalam pemasaran hasil, terutama dalam hal penentuan harga, lokasi pemasaran yang sempit serta posisi nelayan yang lemah dalam mata rantai pemasaran hasil. Selama ini harga hasil produksi ditentukan oleh pasar, dalam arti apabila suplai ikan banyak (musim ikan), harga ikan akan menjadi sangat murah. Demikian pula hasil produksi dijual secara perorangan, sehingga terjadi persaingan harga yang tidak sehat. Tidak adanya pasar yang permanen di Kecamatan Kaledupa, dan ketergantungan pada pasar di Wanci menyebabkan pemasaran hasil SDL dari Sama Bahari sangat terbatas, baik jenis dan pelakunya. Keadaan nelayan Bajo yang umumnya masih lemah, menyebabkan posisi nelayan Bajo dalam mata rantai pemasaran sangat terbatas. Nelayan Bajo di Sama Bahari hanya sebagai pemasok bagi koordinator lokal, sementara mata rantai pemasaran selanjutnya ditentukan oleh para pelaku bisnis perikanan yang cukup luas cakupannya. Sistim pemasaran lainnya adalah dengan ‘jemput bola’ yaitu pedagang pengumpul (umumnya dari luar) datang ke lokasi tangkapan di tengah laut untuk mengadakan transaksi dengan nelayan perorangan atau koordinator nelayan. Sistim ini di satu sisi dapat mempercepat transaksi penjualan dan nelayan cepat memperoleh uang kas, namun di sisi lain banyak merugikan nelayan yang umumnya dalam posisi tawar yang rendah dibandingkan konsumen pendatang. Lokasi dan mata rantai pemasaran Lokasi pemasaran SDL dari Sama Bahari bervariasi menurut jenis, jumlah dan pembelinya. Pemasaran ikan non-karang seperti tuna, cakalang, ikor kuning dan baronang dalam jumlah kecil, biasanya dipasarkan langsung oleh nelayan perorangan pada konsumen di pantai/pasar terbuka di daratan Kaledupa. Rantai pemasarannya sederhana dan pendek yaitu: NELAYAN KECIL ⇒
KONSUMEN LOKAL (DI KALEDUPA)
Pada musim angin timur, resort Hugo selalu ramai dihuni tamu-tamu peneliti asing yang mengadakan studi di sekitar Kaledupa. Selama waktu itu, suplai ikan (terutama ikan tuna) diperoleh langsung dari nelayan perorangan di Sama Bahari, ratarata sebulan mencapai sekitar 200 kg (ditimbang di lokasi resort Hugo) dengan harga Rp. 7000/kg. Sedangkan pemasaran ikan non-karang dalam jumlah besar, khususnya ikan tuna biasanya melalui koordinator setempat atau langsung pada pedagang pengumpul/bos yang datang ke lokasi penangkapan. Penjualan ikan tuna di lokasi penangkapan, biasanya dihitung dengan ukuran kantong/kontainer atau timbangan yang disediakan oleh pembeli atau bahkan dijual borongan (misalnya 1 kapal penuh). Selanjutnya bos/ pedagang pengumpul memasarkan pada bos besar lainnya di Mola/Wanci. Untuk ikan tuna dalam jumlah besar, mata rantai pemasaran lebih panjang yaitu: NELAYAN BESAR/ KOORDINATOR LOKAL
⇒
PEDAGANG PENGUM PUL/BOS DI LOKASI
⇒
BOS/PEDAGANG PENGUMPUL DI WANCI
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
59
Pemasaran beberapa jenis ikan karang seperti ikan sunu dan kerapu serta lobster, pada umumnya dilakukan melalui koordinator setempat ke pedagang pengumpul /bos di Mola/Wanci yang kemudian dipasarkan lebih luas ke beberapa daerah seperti Bau-bau, Kendari dan Bali. Beberapa jenis SDL seperti kima dan penyu dipasarkan sampai ke Bali atau Jawa. Beberapa jenis SDL dipasarkan setelah diolah, seperti teripang, kerang dan sirip ikan hiu, melalui pedagang pengumpul lokal ke bos di Mola/Wanci. Dari Mola perdagangan beberapa jenis SDL kering tersebut diteruskan ke lokasi pemasaran yang lebih luas seperti Jawa dan Bali. Penjualan ikan karang hasil olahan terutama ikan kerapu dan sunu, masih sangat terbatas dari Sama Bahari, namun mudah diperoleh dari nelayan Bajo yang berasal dari Dusun Montegola di Pulau Haruo. Mata rantai pemasaran ikan karang/SDL lainnya, menjadi lebih panjang karena umumnya melalui koordinator/ pedagang pengumpul di tingkat lokal. Dalam skema dapat digambarkan sebagai berikut: NELAYAN PERORANGAN ⇒ KORDINATOR/PEDAGANG PENGUMPUL LOKAL ⇒ PEDAGANG PENGUMPUL/BOS DI WANCI ⇒ BOS DI DAERAH LAIN Penentuan Harga Hasil ikan yang diperoleh dari Sama Bahari umumnya dihitung menurut satuan dan penentuan harga didasarkan jumlah satuan atau dalam satu unit satuan (seperti ikatan, kantong plastik atau container). Sedangkan penentuan harga dari SDL yang dihasilkan Desa Sama Bahari sangat bervariasi tergantung jenis, besar/beratnya ikan serta musim. Seekor ikan tuna yang sedang besarnya (sekitar ½ kg), dalam musim ikan (angin timur) dihargai Rp. 3000 per ekor. Sedangkan hasil ikan seperti ekor kuning biasa dipasarkan dalam bentuk ikatan (isi 4-6 ekor) dengan harga sekitar Rp. 3000. Harga jual ikan baronang lebih mahal dari ikan ekor kuning yaitu sekitar Rp. 4000 per ikat (3-4 ekor), dan sebagai ikan musiman, harga ikan baronang akan lebih mahal pada musim angin timur. Demikian pula harga ikan tuna akan lebih mahal pada musim angin kencang (musim angin barat). Pada umumnya pemasaran ikan karang yang cepat dan sangat menguntungkan adalah ikan karang hidup. Sedangkan ikan olahan, meskipun laku dijual, namun pembelinya kurang dan harganya jauh lebih rendah dibandingkan harga ikan karang hidup. Keuntungannya ikan olahan tersebut dapat dipasarkan lebih lama, sampai ada pembelinya. Namun beberapa SDL seperti teripang dan sirip ikan hiu biasanya dipasarkan setelah diolah dan dikeringkan, dengan harga yang relatif tinggi. Beberapa jenis ikan karang hidup yang relatif mahal harganya adalah ikan napoleon (sekitar Rp. 100.000/kg), lobster (sekitar Rp. 50.000/kg), ikan sunu (sekitar Rp. 20.000/kg) dan ikan kerapu (3-4 kg) sekitar Rp. 15.000. Harga-harga tersebut merupakan harga di tingkat koordinator lokal, yang kenyataannya jauh lebih rendah dibandingkan harga di tingkat pedagang pengumpul/bos di Mola atau bos-bos di daerah lainnya. Pemasaran ikan karang hidup yang sangat menguntungkan di pasar regional/nasional, di tingkat nelayan perseorangan masih lemah. Ikan karang yang diperoleh nelayan perorangan, biasanya dijual satuan pada pedagang pengumpul di lokasi, dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasar. Penentuan harga biasanya oleh pedagang pengumpul dengan mempertimbangkan besar/kecilnya ikan. Sebagai contoh berdasarkan pengamatan di lapangan, seorang anak laki-laki (anak nelayan) yang membawa seekor ikan napoleon (selitar 2 ons) ke koordinator di lokasi, hanya dihargai Rp. 10.000,- padahal harga per kg napoleon dari kordinator ke bos di
60
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Mola dapat mencapai Rp. 100.000 per kg. Hampir semua ikan karang hidup dan lobster dijual melalui koordinator/pedagang pengumpul lokal ke ‘bos’ di Mola/Wanci. Seorang pedagang pengumpul di lokasi yang juga sebagai koordinator, memiliki semacam keramba di rumahnya untuk budidaya ikan karang atau lobster yang diperolehnya, sampai terkumpul jumlah dan berat yang memadai untuk dipasarkan di Mola. Perbedaan harga antara ikan karang hidup dan hasil olahan cukup besar, menandakan bahwa pemasaran ikan karang hidup cukup potensial. Sebagai gambaran ikan sunu hidup yang biasa dipasarkan dengan harga Rp. 20.000 per kg, sementara untuk hasil olahan per kg hanya sekitar Rp. 6000, dan ikan kerapu kering dijual dengan harga sedikit lebih murah dari ikan sunu. SDL lainnya yang relatif mahal adalah teripang kering (Rp. 200.000-300.000 per kg), penyu (Rp. 150.000 per ekor), kima (di atas Rp. 100.000/kg) dan sirip ikan hiu kering yang berharga di atas Rp. 10 juta per kg. Harga ikan karang olahan yang jauh lebih rendah dari ikan hidup, menjadi kurang menarik bagi nelayan Bajo, yang pada dasarnya kurang tertarik dengan kegiatan agribisnis. Meskipun beberapa SDL olahan mempunyai prospek yang menguntungkan, namun nelayan Bajo pada umumnya kurang tertarik dengan pekerjaan olahan tersebut. Hal ini terutama disebabkan mereka tidak terbiasa dengan keahlian mengolah SDL. Pemasaran hasil olahan juga masih terbatas, karena banyak peminatnya berada di luar wilayah (Sulawesi Tenggara). Selama ini hasil ikan yang diperoleh, baru diolah apabila dalam proses penangkapan ikan karang banyak ikan yang mati (biasanya akibat penggunaan alat tangkap yang mematikan seperti potas dan bom). Apabila prospek pemasaran ikan karang olahan juga meningkat, dikuatirkan akan banyak nelayan yang tergiur untuk lebih mengeksploitir ikan karang, sehingga meningkatkan ancaman kerusakan karang. Namun sebaliknya juga dimungkinkan yaitu dengan menambah usaha pengolahan ikan, nilai tambah yang diperoleh nelayan meningkat, sehingga mengurangi jumlah ikan karang yang ditangkap.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
61
Bab V Pendapatan dan Kesejahteraan Masyarakat Potensi SDL yang besar di sekitar Pulau Kaledupa dan kegiatan ekonomi masyarakat Sama Bahari yang dominan sebagai nelayan, memungkinkan pengembangan ekonomi yang berbasis kelautan, khususnya dalam pengelolaan SDL yang banyak diminati masyarakat baik lokal maupun regional. Dari pemanfaatan hasil pengelolaan SDL, diharapkan masyarakat dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidupnya. Bagian ini terutama mengkaji tentang pendapatan yang diperoleh masyarakat serta tingkat kesejahteraannya, dengan menekankan pada tingkat pendapatan dan pengeluaran, pemilikan dan penguasaan aset, strategi dalam pengelolaan keuangan serta kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Perkiraan secara kuantitatif dalam kajian ini didasarkan pada hasil olahan data survei terhadap sekitar 100 rumah tangga di lapangan, sedangkan untuk mengetahui kualitas hidup mereka, analisis lebih banyak mengandalkan pada data kualitatif serta pengamatan selama penelitian di lapangan. 5.1. Pendapatan dan Pengeluaran Seperti dikemukakan sebelumnya, nelayan Bajo di Desa Sama Bahari pada umumnya bekerja secara tradisional, baik peralatan maupun waktu kerjanya. Keadaan ini dipengaruhi juga oleh faktor musim, yang menyebabkan penghasilan dari perolehan SDL juga tidak menentu, sesuai dengan musim dan kegiatan mereka ke laut. Hal ini menyebabkan nelayan pada umumnya sulit memperkirakan hasil yang diperoleh keluarga dalam waktu tertentu, baik karena faktor kelemahan SDM, maupun sifat pekerjaannya yang tidak menentu. Dalam survei yang dilakukan terhadap 101 rumah tangga, jumlah pendapatan dan pengeluaran keluarga dalam sebulan terakhir, diperkirakan oleh responden melalui pertanyaan: ‘Jumlah pendapatan semua anggota rumah tangga yang bekerja dalam satu bulan terakhir’. Perkiraan dari hasil survei ini mengandung berbagai kelemahan, terutama berkaitan dengan akurasinya, baik karena faktor personal pewawancara maupun ingatan responden, serta teknik pertanyaannya. Untuk memperoleh perkiraan pendapatan keluarga, memerlukan perincian penghasilan masing-masing anggota keluarga yang bekerja (termasuk isteri dan anak-anak), yang jumlahnya selama sebulan memerlukan ingatan yang kuat dari anggota keluarga yang berkaitan. Sementara dalam memperoleh jawaban survei, mengandalkan pada perkiraan responden yang diwawancara saja. Perkiraan penghasilan nelayan umumnya merupakan perkiraan kasar yaitu perkalian dari penghasilan rata-rata sekali melaut, padahal penghasilan tersebut sangat bervariasi dalam sebulan. Bahkan sebagian nelayan yang berpandangan sempit, apabila hasil yang diperoleh banyak, mereka malas ke laut sampai simpanan uangnya habis dibelanjakan. Namun demikian sebagai bahan perbandingan dalam memberikan gambaran tentang keadaan ekonomi masyarakat, perkiraan ini masih cukup relevan. Berdasarkan hasil tabulasi silang menurut pengelompokan pendapatan responden dan lokasi (Tabel 5.1), lebih dari separuh responden (sekitar 62 persen), berpenghasilan di bawah Rp. 400.000 per bulan, dan hanya sekitar 12 persen yang berpenghasilan di atas Rp. 800.000. Pada tabel lengkap (lihat Lampiran I), sekitar 10 persen berpenghasilan
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
63
relatif tinggi (di atas Rp. 1 juta). Dilihat dari pendapatan masing-masing kampung, ratarata pendapatan responden di Pagana lebih tinggi dari Sampela. Hal ini dapat dilihat dari proporsi yang berpendapatan di atas Rp. 800.000 di Pagana mencapai sekitar 21 persen, sementara di Sampela hanya sekitar 4 persen. Sebaliknya proporsi penduduk yang berpendapatan relatif rendah (kurang dari Rp. 400.000), di Sampela jauh lebih tinggi dari di Pagana (sekitar 74 persen dan 52 persen). Keadaan ini agak berbeda dari penampilan fisik kedua kampung, di mana umumnya keadaan perumahan di Sampela lebih baik dari di Pagana. Kemungkinan dipengaruhi oleh pengambilan sampel, karena perbedaan sosial ekonomi antar warga lebih mencolok terlihat di Pagana daripada di Sampela. Meskipun banyak nelayan masih menggunakan perahu sampan yang berpenghasilan terbatas, namun melihat pemilikan perahu motor yang mencapai sekitar 40 persen, maka diduga perkiraan pendapatan di atas kurang mencerminkan keadaan pendapatan penduduk yang sebenarnya, terutama di musim angin timur yang umumnya dianggap musim ikan (under reporting). Hal ini disebabkan beberapa kenyataan seperti banyak keluarga yang sedang merantau ke Malaysia (sekitar 30 persen), tidak termasuk dalam survei, sedangkan umumnya mereka mempunyai penghasilan relatif lebih besar (suami isteri bekerja) dibandingkan rata-rata nelayan di lokasi. Faktor lain ingatan responden yang terbatas tentang jumlah penghasilan masing-masing anggota keluarga yang bekerja selama sebulan, karena budaya catat mencatat kurang dikenal (kebanyakan tidak berpendidikan). Seorang narasumber di lokasi (yang sukses sebagai pedagang pengumpul), menggambarkan kehidupan ekonomi nelayan Bajo, yang umumnya ‘‘sangat mudah memperoleh uang tunai dan habis untuk hidup hari ini’’. Seorang narasumber lainnya memperkirakan rata-rata penghasilan nelayan Bajo yang hanya memiliki sampan biasa, dapat mencapai Rp. 10.000-20.000 per hari. Namun demikian pada umumnya penghasilan nelayan akan lebih besar, apabila musim ikan karang (musim teduh), sekitar bulan Oktober. Namun secara umum para nelayan sepakat, bahwa keadaan ekonomi mereka dulu lebih baik dari sekarang. Seorang informan menggambarkan keadaan mereka dulu ‘‘lebih sejahtera karena dengan upaya kecil bisa menabung emas, sekarang bekerja keras tapi tidak ada tabungan’’. Tabel 5.1 Pendapatan Keluarga Menurut Kelompok Pendapatan Responden dan Lokasi, Sebulan Terakhir (Persen) Kelompok Pendapatan
Lokasi Sampela
Pagana
Total
Kurang 400.000 400.000- 799.000 800.000/lebih Jumlah
73,5 51,9 62,4 22,4 26,9 24,8 4,1 21,2 12,0 100,0 100,0 100,0 (N = 49) (N = 52) (N = 101) Sumber: Diolah dari data primair, Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Selain perkiraan pendapatan, survei juga menanyakan jumlah pengeluaran rumah tangga responden dalam sebulan terakhir, yang diperinci untuk pengeluaran pangan maupun non-pangan. Pengeluaran pangan meliputi pengeluaran untuk berbagai jenis bahan yang dikonsumsi keluarga responden sehari-hari, seperti bahan pokok pangan (beras/ubi), sayuran, lauk-pauk, buah-buahan, minuman dan lain-lain. Sedang
64
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
pengeluaran non-pangan meliputi semua pengeluaran rumah tangga selain untuk pangan, antara lain solar, minyak tanah, pakaian, pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain. Seperti pada data pendapatan, perkiraan pengeluaran rumah tangga responden selama waktu tertentu, juga mengandung banyak kelemahan akurasi, baik karena teknik pertanyaannya maupun kelemahan SDM (responden dan pewawancara). Hasil tabulasi data pengeluaran rumah tangga dalam sebulan terakhir menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden (sekitar 53 persen) mempunyai pengeluaran di bawah Rp. 400.000 perbulan, dan hanya sekitar 7 persen yang mempunyai pengeluaran rata-rata di atas Rp. 1 juta,- dalam sebulan terakhir. Untuk keperluan pangan dalam periode yang sama, proporsi terbesar (sekitar 35 persen) adalah responden dengan pengeluaran antara Rp.100.000-199.000, dan hanya 8 persen responden yang mempunyai pengeluaran pangan di atas Rp. 400.000. Sedangkan untuk keperluan non-pangan, proporsi tertinggi (sekitar 41 persen) adalah responden dengan pengeluaran rata-rata kurang dari Rp. 100.000, dan hanya 9 persen responden yang mempunyai pengeluaran non-pangan di atas Rp. 300.000 (Lampiran 2). Tabel 5.2 menunjukkan rata-rata pengeluaran pangan dan non-pangan menurut kelompok pendapatannya. Secara keseluruhan dalam sebulan terakhir, rata-rata pengeluaran total (Rp. 422.851), hampir sama dengan rata-rata pendapatannya (Rp. 439.950). Hal ini berarti pada umumnya responden hampir menghabiskan pendapatannya untuk keperluan pangan dan non-pangan dengan rata-rata Rp. 243.198 (pangan) dan Rp. 179.653 (nonpangan). Tabel 5.2 Persentase Responden Menurut Kelompok Pengeluaran dan Rata-rata Pengeluaran Dalam Sebulan Terakhir Kelompok Pendapatan (Rp) Kurang 400.000 400.000- 799.000 800.000/lebih
Rata-rata Pengeluaran (Rp) Pangan 225.050 242.393 328.692
Total
N
Non Pangan 126.808 235.696 302.846
351.858 478.089 631.538
60 28 13
Rata-rata Rp. 243.198 179.653 422.851 101 439.950 Sumber: Diolah dari data primair Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001. Dilihat lebih rinci pada masing-masing kelompok pendapatan, pada kelompok pendapatan terendah (kurang Rp. 400.000), sebagian besar pengeluaran digunakan untuk keperluan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden (60 persen) menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi pangan. Pada kelompok pendapatan yang lebih tinggi, proporsi untuk pangan menurun, dan sebaliknya proporsi untuk nonpangan meningkat. Demikian pula pada kelompok pendapatan lebih tinggi, rata-rata pengeluaran lebih rendah dari pendapatannya. Hal ini berarti mereka umumnya dapat menabung apabila rata-rata pendapatan Rp. 400.000 atau lebih (sekitar 40 persen). Berdasarkan pengamatan di lapangan, masyarakat Bajo umumnya mempunyai kebiasaan mengkonsumsi pangan secara sederhana dan kurang bervariasi. Untuk makanan pokok nasi atau kaswami (makanan pokok dari ubi kayu) dengan lauk pauk ikan segar/ikan kering digoreng atau dibakar. Mereka jarang mengkonsumsi lauk-pauk lainnya
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
65
seperti sayur-mayur atau buah, karena memang sulit diperoleh di daratan Kaledupa dan relatif mahal harganya. Namun konsumsi pangan lainnya seperti rokok, mie, minuman (gula, kopi dan minuman kaleng) atau kue-kue/jajan anak cukup bervariasi dan relatif besar. Hasil wawancara mendalam dengan pemilik kios/warung di lokasi (asal Kaledupa), barang-barang yang paling a l ku di lokasi adalah beras, makanan anak-anak, minyak tanah dan solar. Banyak orang Bajo di Sama Bahari yang menjadi anggota Koperasi ‘Panglea Jaya’, agar dapat belanja dengan sistem kredit, biasanya dengan harga lebih tinggi (sekitar 10-15 persen). Sedangkan apabila belanja di warung lain dikenakan bunga 2 persen per bulan, dan biasanya pembayaran agak longgar dan pemilik warung datang menagih ke lokasi. Pengeluaran untuk non-pangan ini mungkin kurang mencerminkan jumlah pengeluaran sebenarnya, karena kesulitan mengingat barang yang telah dibeli oleh anggota keluarganya. Demikian pula kebiasaan ibu-ibu membeli barang secara kredit, memungkinkan pengeluaran tidak dihitung sepenuhnya, atau hanya sejumlah cicilan hutang pada bulan tersebut. Pengeluaran rumah tangga untuk keperluan lain seperti pendidikan relatif kecil, karena pada umumnya anak-anak hanya bersekolah di SD Sama Bahari dengan biaya SPP yang relatif murah (Rp. 12.000 per tahun). Sedangkan untuk kesehatan, hampir tidak ada pengeluaran yang berarti, karena mereka hanya ke Puskesmas bila anak sakit parah serta dukun di lokasi tidak dapat menyembuhkan. Sebagai contoh, meskipun kegiatan Posyandu diadakan sebulan sekali di lokasi, tanpa biaya, namun jumlah ibu-ibu yang memanfaatkannya relatif sedikit. Mereka juga jarang ke Puskesmas, meskipun masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari mempunyai kartu gratis. Pada umumnya masyarakat merasa sehat, meskipun mempunyai kebiasaan minum air tanpa direbus, kecuali pada musim kemarau, karena banyak anak balita terserang muntaber. Mungkin hal ini berkaitan dengan perilaku masyarakat dalam kaitan dengan kebersihan lingkungan (air laut surut di musim kemarau). Seorang tokoh masyarakat (guru SD) menjelaskan, anak-anak Bajo yang sakit panas, jarang dibawa ke Puskesmas, cukup dengan dimandikan air laut. Pengeluaran keluarga untuk keperluan non-pangan relatif besar, sewaktu perlu mengganti perahu, membangun rumah dengan fondasi karang, membeli perhiasan emas serta mengadakan perhelatan atau selamatan. Berdasarkan data pendapatan dan pengeluaran di atas, mayoritas responden mempunyai rata-rata pengeluaran yang hampir sama dengan pendapatannya. Namun demikian proporsi tertinggi adalah responden dengan rata-rata pengeluaran yang lebih tinggi dari rata-rata pendapatannya. Kecenderungan masyarakat yang senang membeli barang dengan berhutang, mungkin juga mempengaruhi jumlah rata-rata pengeluaran yang lebih tinggi dari rata-rata pendapatan. Sedangkan responden yang berpendapatan relatif tinggi, biasanya menyisihkan pendapatan untuk membeli perhiasan emas. Tabungan inilah yang sewaktu-waktu dapat dijual untuk menutup pengeluaran kebutuhan yang lebih besar seperti perlengkapan produksi (bodi motor dan alat tangkap). 5.2. Pemilikan dan Penguasaan Aset Kesejahteraan masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari juga dapat dilihat dari pemilikan dan penguasaan aset, baik untuk produksi (seperti armada dan alat tangkap), transportasi maupun barang berharga lainnya sebagai penunjang produksi. Sampan atau bodi motor, merupakan armada tangkap yang biasa dimiliki atau dikuasai nelayan di Desa Sama Bahari, dengan berbagai variasi jenis dan kekuatannya. Demikian pula pemilikan alat tangkap cukup bervariasi baik jenis tradisional seperti pancing, panah, tombak,
66
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
bundrei (alat penangkap lobster tradisional), ambe (jaring tradisional) dan kacamata selam, maupun yang lebih modern seperti jaring dan rumpon. Pemilikan aset lainnya yang relatif berarti secara ekonomi adalah rumah permanen (dengan fondasi), perhiasan emas dan barang elektronik (seperti radio, tape recorder dan TV). Armada tangkap Berdasarkan hasil survei terhadap pemilikan aset produksi, sebagian besar rumah tangga (69 pesen) memiliki perahu tanpa motor (sampan), namun hanya sekitar 41 persen yang memiliki perahu motor (bodi motor). Bagi masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari, aset tersebut sangat penting artinya sebagai sumber hidup keluarga, baik sebagai alat produksi maupun transportasi. Berdasarkan wawancara mendalam dan pengamatan di lapangan, hampir setiap rumah tangga memiliki sampan walaupun dalam ukuran kecil, minimal untuk transportasi pribadi. Dengan alat tersebut, mereka lebih mudah memenuhi keperluan rumah tangga seperti mengambil air besih ke pantai, kayu bakar di hutan bakau dan ke pasar di darat Kaledupa. Rumah tangga yang tidak memiliki sampan, akan bergantung pada tetangga atau saudaranya dengan meminjam atau ikut numpang. Karena sampan yang sederhana dapat diperoleh dengan harga Rp.100.000-200.000, maka relatif mudah bagi nelayan untuk memiliki atau menguasainya. Jenis armada seperti bodi motor, lebih jarang dimiliki penduduk karena harganya lebih mahal. Jenis armada dan kekuatannya juga bervariasi, tergantung pada keberhasilan mereka sebagai nelayan atau koordinator. Dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat di Desa Sama Bahari, menunjukkan bahwa jumlah pemilik bodi motor secara rinci sebagai berikut: • • •
Bodi motor dengan berat 3 ton/lebih 3 orang. Bodi motor dengan berat 1-3 ton 2 orang Bodi motor dengan berat kurang dari 1 ton 58 orang
Seorang warga yang berasal dari Mola dan sukses di Desa Sama Bahari, baru saja memiliki armada yang besar (20 PK) dengan alat tangkap yang lebih lengkap, sehingga dapat berlayar lebih cepat dan lebih lama di laut lepas, sampai ke Teluk Bone. Harga bodi maupun mesinnya juga bervariasi, makin besar dan kuat mesinnya, makin mahal harganya. Mengingat harganya yang relatif mahal, pada umumnya bodi motor yang dimiliki nelayan merupakan barang bekas pakai yang umumnya diperoleh dari Wanci. Pemilikan bodi motor sangat penting artinya bagi nelayan, karena dapat menghasilkan ikan lebih banyak dan lebih cepat (termasuk ke karang). Apabila nelayan tidak memiliki, biasanya dapat bergabung dengan koordinator sebagai anggota kelompok dengan memperoleh bagi hasil tertentu (lihat Bab IV). Nelayan yang tidak memiliki juga dapat menguasai bodi nelayan lain atau milik yayasan, dengan sistem bagi hasil. Hasil survei menunjukkan terdapat sekitar 80 persen yang menguasai bodi motor, baik milik koordinator, yayasan atau nelayan lain. Pada umumnya nelayan yang bergabung dengan koordinator adalah nelayan yang tidak memiliki bodi motor, sehingga cenderung merupakan anggota tetap kelompok bersangkutan. Budidaya rumpon Rumpon (rompong), merupakan budidaya ikan skala kecil-menengah yang mulai banyak dikembangkan di kawasan perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. Usaha rumpon dapat mengalihkan penangkapan ikan yang merusak lingkungan ke sistem
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
67
penangkapan yang terkendali, sehingga populasi ikan dapat dijaga keberadaannya (Guntoro, 2000). Usaha budidaya inipun sudah mulai dikembangkan di Desa Sama Bahari, baik oleh nelayan lokal, yayasan maupun pengusaha dari luar. Pada saat ini jumlah rumpon di Sama Bahari relatif sedikit (sekitar 10 orang), dan sebagian besar milik warga dari luar desa. Sebelumnya jumlah rumpon cukup banyak, baik yang dimiliki oleh Yayasan ‘Bajo Mathilla’ (berkembang sampai 25 buah), nelayan lokal maupun nelayan luar (pengusaha Bugis). Akibat angin kencang banyak rumpon yang rusak atau musnah terkena ombak, sehingga kini jumlah rumpon menurun tajam. Dari hasil survei pada 101 rumah tangga, hanya terdapat 2 responden yang memilikinya, yaitu kepala desa dan tokoh masyarakat yang sudah berusia lanjut. Sedangkan pemilikan oleh orang luar desa, umumnya dikelola oleh masyarakat setempat, sehingga data survei menunjukkan terdapat sekitar 6 orang responden yang menguasai atau mengelola rumpon di Sama Bahari. Selain karena biaya budidaya rumpon mahal (sekitar Rp. 1 juta), nelayan yang masih muda kurang tertarik, karena memerlukan waktu lama dan perawatan yang baik. Sementara alternatif SDL lain cukup banyak dan lebih menguntungkan (seperti menangkap lobster). Seperti yang dikemukakan oleh Guntoro dalam Buletin Napoleon (2000), pemilikan rumpon di Sama Bahari sangat bermanfaat baik bagi pemilik maupun nelayan lain, karena ikan mudah diperoleh di sekitar rumpon. Hal ini berarti pula rumpon dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan banyak nelayan yang terlibat, terutama nelayan kecil yang tidak memiliki fasilitas cukup. Demikian juga rumpon dapat mengurangi kegiatan nelayan ke karang, yang potensial mengganggu kelestariannya. Alat tangkap Dari hasil survei, beberapa jenis alat tangkap yang banyak dimiliki dan dikuasai penduduk adalah pancing (sekitar 73 persen), jaring (sekitar 35 persen), panah (sekitar 43 persen), tombak (sekitar 37 persen) dan kacamata selam (tradisional) yaitu sekitar 61 persen. Pemilikan jaring juga cukup bervariasi dari yang sederhana sampai jaring besar yang terdiri dari beberapa potong mata jaring. Sedangkan nelayan yang tidak memiliki alat tangkap tersebut biasanya dapat meminjam nelayan lain dengan membagi hasil tangkapan dengan pemilik. Dari hasil survei beberapa nelayan yang tidak memiliki jaring juga memakai atau menguasai jaring milik nelayan lain, sehingga proporsi penguasaan jaring mencapai sekitar 42 persen, atau 7 persen lebih tinggi dari responden yang memiliki dan sekaligus menguasai. Pemilikan dan penguasaan armada dan alat tangkap berpengaruh terhadap hasil tangkapan dan pembagian hasil antar anggota kelompok (lihat Bab IV). Pada umumnya nelayan memiliki armada tangkap yang juga berfungsi sebagai alat transport pribadi untuk berbagai keperluan (di laut maupun ke darat). Sedangkan pemilikan armada untuk alat transportasi/pesiar yang bersifat komersial hanya satu buah, milik yayasan Bajo Mathilla. Armada pesiar ini biasa disewa oleh Wallacea untuk keperluan mengantar tamu Resort Hugo selama kegiatan penelitian (Agustus–Oktober), dengan sewa bulanan sebesar Rp. 25 juta. Meskipun demikian bodi motor yang dimiliki nelayan lain juga dapat dipinjam dengan mengganti biaya solar atau dengan bagi hasil menurut kesepakatan (selama di lapangan peneliti juga memanfaatkan bodi motor milik penduduk lokal, dengan mengganti biaya transport).
68
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Rumah/lahan fondasi Pemilikan asset lain yang cukup berharga adalah rumah atau lahan dengan fondasi karang. Kini makin banyak nelayan yang memilikinya terutama untuk fondasi rumah dan beberapa nelayan untuk fondasi lahan kosong. Harga lahan yang sudah difondasi karang bisa mencapai Rp. 2,5 sampai 4 juta per petak. Untuk membangun fondasi karang orang harus mengambil karang ke tengah laut atau membayar orang dengan harga Rp. 25.000 per m 3 (sekitar satu sampan penuh). Menurut seorang narasumber, pemakaian karang untuk fondasi banyak dilakukan sebelum ada larangan, dan pemakaian karang pada waktu sekarang terbatas pada karang mati (yaitu yang tertanam di dasar laut dan bukan di karang hidup yang menjadi tempat ikan). Dari hasil survei, sebagian besar responden menempati rumah milik sendiri (sekitar 90 persen). Sedangkan berdasarkan catatan pewawancara, dari 101 responden terdapat sekitar 57 persen yang memiliki rumah dengan fondasi karang. Sejalan dengan makin banyak penduduk yang merantau ke luar daerah (seperti ke Riau, Tanjung Pinang dan Tarakan), jumlah rumah permanen atau lahan dengan fondasi karang di Desa Sama Bahari makin meningkat setiap tahun. Seorang warga yang suaminya sedang merantau ke Malaysia, menjelaskan bahwa rumah yang dimiliki di lokasi (belum ada fondasi karang), sebagai hasil kerja sewaktu mereka merantau ke Tarakan, yaitu suami sebagai buruh nelayan dan isteri bekerja sebagai buruh pengupas udang di pabrik. Pemilikan rumah dengan fondasi karang ini juga menjadi salah satu indikasi peningkatan kesejahteraan penduduk. Berdasarkan pengamatan di lapangan beberapa petak lahan yang telah difondasi, pemiliknya sedang merantau ke Malaysia. Keadaan ini juga mengindikasikan bahwa nelayan di Desa Sama Bahari makin mantap untuk menetap di lokasi tersebut, mengikuti jejak suku Bajo lainnya di Mola Utara. Trend demikian apabila berlanjut, berarti akan meningkatkan perusakan karang di sekitar pemukiman, yang berarti juga potensial bagi kerusakan pantai lebih lanjut (seperti abrasi atau tanah longsor). Responden yang memiliki rumah umumnya juga menguasai (menempati sendiri) rumahnya. Sedangkan warga yang tidak memiliki tetapi menempati yang berarti menguasainya (sekitar 10 persen), umumnya hanya menumpang rumah orang tua atau keluarga, atau hanya menempati sementara selama pemilik tidak berada di lokasi (merantau). Penguasaan yang sifatnya komersial (disewakan) relatif sedikit antara lain yang dilakukan oleh Yayasan Bajo Mathilla, yaitu dengan menyewakan sebagian rumah/ruangan kepada peneliti asing/turis (kerjasama dengan Wallacea) selama melakukan kegiatannya di Sama Bahari. Menurut seorang informan (tokoh masyarakat), sebelumnya para turis sering menyewa rumah/kamar serta bodi motor milik penduduk, namun kini hampir tidak ada, terutama setelah ‘dimonopoli’ oleh yayasan yang memiliki fasilitas rumah dan bodi motor yang lebih memadai. Wawancara mendalam dengan pimpinan yayasan, koordinasi yang dilakukan yayasan dalam masalah penyewaan armada dan rumah, semata-mata untuk menjaga keamanan dan kenyamanan tamu (kerjasama dengan Wallacea), sambil memberdayakan masyarakat setempat untuk perkembangan sebagai daerah wisata bahari. Pemilikan emas Pemilikan aset lain yang cukup berharga adalah perhiasan emas, yang biasa dibeli oleh kaum ibu-ibu, pada waktu memperoleh hasil yang besar. Dari hasil survei di lokasi, sekitar dua dari tiga responden mengaku memiliki perhiasan emas, dengan
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
69
mengabaikan berat atau banyaknya perhiasan emas yang dimiliki. Jumlah emas yang dimiliki bervariasi tergantung pada keberhasilannya sebagai nelayan dan strategi pengelolaan keuangannya. Pemilikan emas selain untuk perhiasan isteri, juga berfungsi sebagai tabungan, sekaligus sebagai cadangan untuk mengatasi kesulitan hidup, baik dengan jalan menggadaikan atau menjualnya. Sedangkan penguasaan emas oleh orang lain, apabila barang tersebut sedang digadaikan, akan hilang apabila melampaui batas waktu pembayaran. Berdasarkan data survei, hampir semua pemilik emas juga menguasainya, dalam arti apabila data tersebut benar, semua emas yang dimiliki responden tidak sedang digadaikan atau dipinjamkan kepada orang lain. Barang elektronik Meskipun Desa Sama Bahari belum ada listrik dari PLN (direncanakan akhir tahun 2001), namun lebih dari sepertiga responden (sekitar 37 persen) telah memiliki barang elektonik, seperti radio, tape recorder dan beberapa warga telah memiliki TV. Energi listrik yang digunakan adalah baterai atau aki, sementara untuk penerangan rumah banyak yang menggunakan minyak tanah (lampu teplok atau petromax) yang sekaligus sebagai alat penerangan waktu pergi ke laut malam hari. 5.3. Strategi Dalam Pengelolaan Keuangan Strategi pengelolaan uang dalam rumah tangga sangat penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan keluarga yang bersangkutan, terutama untuk masyarakat nelayan tradisional seperti di Sama Bahari. Penghasilan nelayan yang tidak menentu dan relatif mudah memperolehnya, memerlukan pengelolaan keuangan yang baik, agar dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga yang bersangkutan. Terdapat perbedaan keadaan sosial ekonomi antar kelompok masyarakat Sama Bahari. Sebagian besar tampak masih hidup secara tradisional dan sederhana, baik dilihat dari asset yang dimiliki, penghasilan yang diperolehnya maupun wawasan berpikirnya. Namun sebagian kecil lainnya tampak lebih sejahtera, berwaw asan luas dan mementingkan pendidikan anak-anaknya. Bagian ini ingin mengkaji strategi keluarga nelayan di Desa Sama Bahari dalam mengelola keuangan rumah tangganya, terutama tentang kebiasaan dalam pengelolaan uang, pengelola keuangan yang dominan serta strategi rumah tangga dalam menghadapi kelebihan/kekurangan keuangan. Seperti diterangkan di muka, pada umumnya masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari mengatur pendapatan dan pengeluarannya secara sederhana dan cenderung boros. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan yang umumnya rendah dan pengalaman yang terbatas serta kurang bergaul dengan masyarakat luar di sekitarnya. Perbedaan wawasan yang dimiliki masyarakat berpengaruh terhadap kehidupan mereka, termasuk dalam strategi pengelolaan keuangan rumah tangga. Sebagian kecil nelayan yang agak maju wawasannya, lebih berpikir untuk jangka panjang sehingga penghasilan yang besar dapat memotivasi mereka untuk bekerja lebih produktif, antara lain dengan menabung untuk pengembangan modal. Sedangkan bagi yang tidak berpendidikan dan berwawasan sempit, apabila memperoleh penghasilan relatif banyak, justru mendorong mereka untuk hidup lebih konsumtif. Seorang narasumber (tokoh masyarakat) dalam sebuah wawancara mendalam menyatakan: ‘bagi yang sempit pandangan, kalau dapat banyak uang malas ke laut, kalau tabungan sudah habis baru kembali ke laut’.
70
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Keadaan ini juga tampak dari hasil survei, yaitu sekitar separuh responden mengaku memiliki tabungan, dan sebagian besar (90 persen) berupa tabungan uang. Sedangkan dalam bentuk barang berharga (perhiasan emas) relatif sedikit (sekitar 10 persen), meskipun data tentang pemilikan emas relatif tinggi (lihat 5.2). Kemungkinan emas yang dimiliki berupa perhiasan emas kecil yang dipakai sehari-hari, sehingga tidak dianggap sebagai barang simpanan/tabungan. Meskipun pendapatan nelayan pada musim ikan karang cukup besar dan biasanya tidak dihabiskan (ada simpanan), namun hanya untuk persediaan pada musim berikutnya. Komentar seorang informan tentang pengelolaan uang pada keluarga nelayan ‘‘pada umumnya nelayan mudah memperoleh uang, namun tidak pandai mengelola, selalu habis’. Menurut pengakuan beberapa nelayan, pada saat ini sulit memiliki tabungan, kecuali mereka merantau ke luar. Banyak nelayan yang dapat membangun fondasi rumahnya atau membeli bodi motor dari hasil merantau ke luar negeri. Seorang narasumber yang berwawasan luas (asal Mola) menggambarkan kebiasaan masyarakat nelayan dalam pengelolaan uang: Masyarakat di sini umumnya untuk sehari-hari saja, pemborosan luar biasa untuk barang apa saja yang ditawarkan, kalau besok tidak ada uang, dijual dengan harga murah; emas yang dibeli, akan dijual murah kepada siapa saja yang mau, kalau lagi butuh uang. Dalam berbelanja ibu-ibu mempunyai kebiasaan membeli dengan kredit baik ke koperasi, ke warung atau ke pedagang keliling. Hal ini menyebabkan pengeluaran seharihari menjadi tidak terkontrol, baik jumlah maupun harganya. Akibatnya hutang makin membengkak, terutama apabila tidak disiplin membayar cicilan. Apabila sudah waktunya untuk membayar/ melunasi hutang-hutangnya, mereka akan menjual apa saja yang dimiliki meskipun dengan harga yang murah. Kebiasaan untuk berbelanja dengan hutang, menyebabkan mereka sulit menyisihkan uang untuk tabungan. Konsep koperasi seperti menabung dulu (simpanan wajib dan pokok), tidak disukai oleh masyarakat. Mereka lebih memerlukan pedagang/pengusaha yang mau memberi kredit lebih dulu, dan membayar kembali secara mencicil tanpa peduli harganya. Dalam membayar hutang mereka kurang disiplin, sehingga diperlukan usaha keras penjual untuk aktif menagihnya. Pengalaman pengelolaan koperasi oleh Yayasan ‘Bajo Mathilla’ akhirnya gagal, karena nelayan yang beranggapan mempunyai tabungan di koperasi, sulit ditagih untuk membayar hutanghutangnya. Kebiasaan yang dilakukan nelayan laki-laki sepulang dari laut, atau sewaktu tidak melaut, adalah berkumpul bersama teman-temannya di kolong bawah rumah (tanpa fondasi) untuk main kartu domino. Beberapa narasumber menyatakan kebiasaan ini sering disertai dengan permainann judi, meskipun biasanya sembunyi dari isterinya. ‘Mereka sulit menyimpan uang, karena kebiasaan main judi’. Hal ini juga dinyatakan oleh salah seorang pewawancara di lokasi yang mengetahui beberapa warga mempunyai hobi berjudi: ‘mereka main kartu domino dengan menggunakan batu yang kemudian dinilai dengan uang, sekali pasang antara Rp. 2000- 5000’. Kebiasaan buruk lainnya adalah mengkonsumsi minuman keras, terutama di kalangan anak-anak muda di lokasi. Namun seorang nelayan tua (mengaku berusia 90 tahun) dan masih aktif melaut (dengan menantu/ koordinator) menyatakan dia biasa minum bir sejak muda, sehingga hasil merantau ke Malaysia pada tahun 1988, habis untuk minum-minum. Kebiasaan buruk yang menjadi penyakit sosial tersebut, dapat
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
71
mempengaruhi pengelolaan uang sehingga keluarga sulit menabung, bahkan harus berhutang sana-sini untuk menutup kekurangannya. Pada masyarakat tradisional Bajo, perempuan (istri/ibu) berperan penting dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, karena merekalah yang berperan dalam memasarkan hasil dan mengatur pemanfaatannya. Kaum laki-laki hanya mencari ikan ke laut, selanjutnya pemasaran hasil dan pemanfaatannya dilakukan oleh kaum perempuan. Menurut beberapa informan (laki-laki atau perempuan), laki-laki yang ikut mengurus keuangan rumah tangga dianggap tidak baik karena ‘akan diomong orang dan dianggap jelek’. Kaum laki-laki baru berperan dalam pemasaran hasil, apabila dalam jumlah besar, karena harus ke Mola atau di lokasi penangkapan di laut. Namun demikian pada sebagian warga yang berwawasan luas, pengelolaan keuangan rumah tangga biasa dilakukan secara bersama (suami isteri). Pada umumnya hasil penjualan ikan, dibelanjakan langsung oleh kaum ibu untuk membeli keperluan sehari-hari di Kaledupa. Seorang narasumber (tokoh masyarakat) mengungkapkan kebiasaan ibu-ibu dalam berbelanja: ‘kebiasaan ibu-ibu di sini sehabis menjual ikan di pasar, uangnya langsung dibelanjakan habis’. Melihat peran sentral ibu dalam pengelolaan uang, maka mempunyai tabungan atau hutang, sering menjadi alasan para suami menyalahkan isterinya. Seorang narasumber lain (keluarga nelayan) dalam sebuah wawancara mendalam tentang peran ibu dalam pengelolaan keuangan rumah tangga menyatakan: ’punya tabungan atau tidak tergantung para ibu. Kalau ibu boros, tidak punya tabungan, ibu-ibu suka beli apa saja, kalau ditegur marah’. Pola pengelolaan uang seperti dikemukakan di atas, berpengaruh terhadap strategi keluarga dalam mengatasi kelebihan dan kekurangan uang dalam rumah tangganya. Pada musim ikan (angin timur), adanya kecenderungan nelayan mudah memperoleh uang kas, terutama pada musim ikan karang (angin teduh), maka pada umumnya nelayan berpikir jangka pendek, cenderung boros dan bersifat konsumtif. Apabila hasil perolehan cukup besar, sebagian akan disisihkan sebagai tabungan sementara, yang mudah dipakai sewaktu dibutuhkan. Pada umumnya nelayan Bajo menganggap musim teduh adalah musim menabung, karena hanya pada masa inilah, mereka dapat memperoleh ikan karang dalam jumlah relatif banyak. Hal ini tampak dari hasil survei, dimana sebagian responden mempunyai tabungan, dan menyimpannya terutama dalam bentuk uang kas. Sementara yang mengaku menabung dalam bentuk emas hanya 5 responden. Sedangkan masa-masa sulit bagi nelayan dirasakan pada musim angin barat sekitar bulan April - Juli, khususnya pada waktu angin kencang, karena jumlah dan jenis ikan yang diperoleh nelayan berkurang drastis. Pada umumnya nelayan hanya melaut di sekitar lokasi pemukiman, dan hanya memperoleh ikan dalam jumlah terbatas. Keadaan ini sejalan dengan hasil survei yang menunjukkan mayoritas responden (sekitar 62 persen) pernah merasakan kesulitan, kemungkinan besar adalah kelompok nelayan yang tidak memiliki penghasilan besar (tradisional) atau kurang baik dalam pengelolaan keuangannya. Sebagian lainnya mengaku tidak pernah menghadapi kesulitan, mungkin termasuk kelompok nelayan yang berhasil serta mengantisipasi keadaan yang sudah biasa dijalaninya. Salah satu pertanyaan survei untuk responden yang pernah mengalami kesulitan, adalah upaya yang dilakukan responden dalam mengatasi kesulitan tersebut. Hasil pengolahan data menunjukkan upaya yang terutama dilakukan responden adalah dengan pinjam uang pada keluarga (sekitar 38 persen) atau pihak lain (seperti koperasi atau perseorangan) (sekitar 18 persen), menggadaikan barang (sekitar 9 persen) serta menjual simpanan yang hanya 5 persen. Beberapa responden menyatakan kalau menghadapi kesulitan keuangan, segera pergi ke laut mencari ikan (sekitar 7 persen).
72
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Pada umumnya dalam pinjam meminjam uang tunai baik kepada saudara atau orang lain, mereka harus membayar bunga sesuai kesepakatan. Menurut informasi dari narasumber, seorang rentenir biasa meminjamkan uangnya dengan bunga 10 persen per bulan. Biasanya apabila pinjam pada keluarga, maka pembayaran bunga biasanya lebih kecil dari pada pinjam pada pelepas uang yang siap setiap waktu (rentenir). Hasil survei menunjukkan hanya sekitar 7 persen responden yang pinjam uang tanpa membayar bunga (tabel tidak disertakan). Kebiasaan mengatasi kesulitan dengan hutang ini menunjukkan bahwa kelompok nelayan tersebut tidak biasa mengatur keuangannya untuk mengantisipasi masa-masa sulit, sesuai dengan siklus musim ikan. Mengatasi kesulitan dengan hutang yang umumnya berbunga tinggi, berarti pengeluaran mereka lebih boros, sehingga bagi nelayan kecil, makin tidak seimbang dengan pendapatannya. Apabila kebutuhan untuk membayar hutang sudah mendesak, maka barang simpanan yang relatif berharga dengan mudah digadaikan atau dijual murah untuk menutup kebutuhan uang tunai. Banyak kasus barang yang digadaikan hilang karena mengabaikan pembayaran kembali. Mengatasi kesulitan dengan strategi demikian, dikuatirkan dapat lebih mendorong mereka untuk mengeksploitasi SDL secara berlebihan (overfishing), baik jenis maupun jumlahnya, termasuk jenis yang dilindungi ataupun menggunakan bahan yang merusak lingkungan (seperti bom dan potas). Permasalahan utama dalam menghadapi kelompok nelayan dengan strategi demikian, adalah meningkatkan kesadaran menabung melalui suatu kelembagaan semacam koperasi yang disesuaikan dengan kebutuhan nelayan (koperasi konsumsi atau produksi). Koperasi tersebut akan berhasil apabila modal awal tidak ditarik dari anggota, dan pengadaan barang sesuai dengan kebutuhan anggota (barang konsumsi atau produksi). Untuk pengadaan barang produksi seperti keperluan alat tangkap atau armada) pembayaran dilakukan dengan sistem bagi hasil, sampai nelayan dapat melunasinya. Untuk itu dibutuhkan sponsor yang berjiwa bisnis sekaligus sosial, dan dalam pelaksanaannya melibatkan tokoh masyarakat desa yang mempunyai kepedulian tinggi pada masyarakat (baik aparat maupun lainnya). 5.4. Kondisi Perumahan dan Sanitasi Lingkungan Desa Sama Bahari berada di antara daratan Kaledupa dan Pulau Hugo (Hugo Resort), atau sekitar 10 menit dengan perahu motor dari daratan Kaledupa. Menurut sejarahnya perkampungan Bajo di Desa Sama Bahari terjadi sejak awal tahun 1960 an, sesudah gerombolan DI TII pimpinan Kahar Muzakar ditumpas habis oleh tentara RI. Sebelumnya mereka masih tinggal di atas perahu dan berkelompok di sekitar Sampela Lama (agak ke tengah laut dekat hutan bakau). Kondisi Perumahan Desa Sama Bahari terbagi dalam dua kampung yaitu Pagana di sebelah utara dan Sampela di sebelah selatan, kini memiliki lebih dari 200 perumahan di seluruh desa. Sebagian besar perumahan di Desa Sama Bahari berupa rumah tancap sederhana dari bambu atau kayu, berukuran kecil-sedang, berlantai papan dan masih banyak yang beratap rumbia. Jenis perumahan demikian mudah rapuh dalam air laut, sehingga memerlukan penggantian setiap 3-4 tahun sekali. Menurut pengamatan di lapangan jenis rumah demikian lebih banyak terdapat di Kampung Pagana. Namun beberapa rumah milik nelayan yang sukses dan koordinator merupakan rumah permanen yang kokoh dan luas. Sedangkan di Kampung Sampela perbedaan fisik perumahan tidak terlalu menyolok
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
73
dan banyak yang sudah dalam bentuk permanen dengan fondasi batu karang, beratap seng, dan berlantai papan. Rumah tancap yang menggunakan fondasi ini selain lebih kokoh, juga kolong rumahnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan keluarga (seperti usaha sampingan, bersantai, main domino dan menyimpan kayu bakar). Rumah kepala desa yang terletak di Sampela, agak berbeda dengan rumah di sekitarnya, karena meskipun besar, nyaman dan kokoh, tetapi tidak menggunakan fondasi karang. Rumah kepala desa merupakan rumah contoh yang sedang dirintis yayasan setempat, yaitu rumah tancap yang di cor dengan semen, sehingga seperti rumah tancap lainnya, arus air laut tetap bebas di bawah rumah. Rumah permanen model ini selain nyaman dan sejuk, dapat menghindarkan penduduk untuk mengambil karang secara berkelanjutan. Satusatunya bangunan fisik yang beralaskan ubin keramik adalah bangunan mesjid yang baru diselesaikan dengan bantuan dana dari uang kompensasi Wallacea ke desa. Prioritas bantuan untuk mesjid merupakan hasil musyawarah tokoh-tokoh masyarakat, meskipun selama ini lebih merupakan kebanggaan desa daripada pemanfaatannya sebagai sarana ibadah masyarakat. Rumah permanen pertama di Desa Sama Bahari didirikan seorang warga generasi awal Sama Bahari pada awal tahun 1980an, yang kini sudah berusia lanjut. Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi penduduk, jumlah rumah permanen makin banyak, yaitu sekitar 89 buah. Sedangkan rumah tancap (semi permanen) berjumlah lebih dari 100 buah. Meningkatnya jumlah rumah permanen yang dibangun menandakan bahwa Suku Bajo di Desa Sama Bahari telah berniat menetap, seperti masyarakat Bajo lainnya di berbagai daerah. Namun di sisi lain, berlanjutnya pembangunan rumah dengan fondasi karang berdampak terhadap kerusakan lingkungan lebih lanjut. Menurut seorang narasumber (tokoh dan generasi awal), menetapnya Suku Bajo di Desa Sama Bahari merupakan kompromi masyarakat dengan Pemda, yaitu tetap berada di laut tetapi lebih mendekat ke darat daripada sebelumnya. Komentarnya tentang pilihan tinggal di laut: ‘kita orang laut harus tinggal di laut, mereka orang darat harus tinggal di darat’. Kondisi lingkungan Pemukiman masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari berkembang secara bertahap sejalan dengan perkembangan penduduk dan sosial ekonomi. Tidak ada penataan khusus untuk perumahan, sehingga jembatan/titian yang menghubungkan antar rumah tidak teratur, baik bentuk maupun jenis bahannya. Banyak jembatan yang kurang memadai, sangat rapuh dan tidak aman, terutama untuk anak-anak dan orang tua. Titian yang agak besar dan nyaman adalah jembatan kayu (lebar sekitar 1 m) yang dibangun Pemda, yang direncanakan sepanjang perkampungan Sama Bahari, namun kini baru selesai sebagian. Sampai saat penelitian, perairan di sekitar perumahan warga dapat bebas dilalui sampan. Hal ini menandakan bahwa jarak antar rumah di pemukiman umumnya masih memadai, sehingga arus air laut di sekitar pemukiman masih bebas bergerak ke laut lepas. Meskipun semua penduduk membuang limbah rumah tangga ke laut, namun pada waktu air pasang hampir semua kotoran terbawa arus air laut. Namun di beberapa lokasi pemukiman yang relatif padat dan fondasi rumahnya berdempetan, onggokan sampah dan kotoran lain banyak tertahan di sekitar perumahan. Keadaan ini menyebabkan lingkungan tampak kotor dan bau tidak sedap terasa menyengat pada waktu air surut. Keadaan sanitasi demikian, pada musim kemarau berdampak pada kesehatan, yaitu banyak kasus muntaber terutama pada anak-anak, yang diperparah oleh kebiasaan
74
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
penduduk minum air tanpa direbus. Menurut informasi dari seorang nara sumber (tokoh masyarakat, guru SD), pada musim terjadinya muntaber tersebut, kematian anak relatif tinggi. Fasilitas dan akses untuk hidup di laut sangat terbatas, sehingga tidak ada pilihan lain bagi masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari selain membuang semua limbah rumah tangga ke laut. Permasalahan ini akan meningkat sejalan dengan makin padatnya pemukiman serta meningkatnya jumlah penduduk. Fasilitas dan akses yang diperlukan masyarakat Sama Bahari, seperti air bersih, penerangan, sumber energi dan petugas kebersihan, tidak tersedia di lokasi pemukiman. Untuk memenuhi kebutuhan pokok ini, banyak dibebankan pada perempuan Bajo. Untuk memperoleh air bersih, wanita Bajo harus mendayung sampan dan mengangkutnya dari darat Kaledupa. Demikian pula untuk memperoleh bahan bakar, perempuan Bajo harus mendayung dan mengambil lebih jauh ke hutan bakau yang penuh resiko nyamuk dan keamanan. Kebutuhan penerangan dipenuhi dari lampu minyak, sedangkan tugas-tugas kebersihan perumahan dan lingkungan sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan Bajo. Untuk menyediakan fasilitas dan akses bagi masyarakat yang hidup di laut ini memerlukan biaya dan tenaga yang besar. Di samping itu perlu usaha keras untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang sudah terbiasa hidup menyatu dengan laut dan tidak tersedia alternatif lainnya. Perkembangan perumahan dan lingkungan pemukiman yang tidak terkontrol, akan berdampak pada pembangunan rumah permanen yang makin padat serta sanitasi yang makin buruk. Apabila penataan pemukiman tidak diantisipasi sejak sekarang, maka upaya penataan kembali perumahan penduduk, menjadi sulit dilakukan, karena berkaitan dengan masalah hak pemilikan dan biaya. Pembangunan rumah dengan fondasi koral yang terus berlanjut, juga menjadi ancaman serius untuk penataan kembali dan kerusakan lingkungan. Keadaan serupa dialami oleh masyarakat Bajo di Mola Utara, yang telah berhasil membangun pemukiman dengan jalan ‘mereklamasi laut dengan batu karang’ tanpa mempedulikan sanitasi lingkungan.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
75
Bab VI Degrad asi SDL d an Faktor-Fakto r Yang Berp en garu h Terumbu karang yang terdapat di kawasan Kepulauan Wakatobi, khususnya di sekitar Pulau Kaledupa merupakan suatu ekosistem yang masih mantap, baik dalam hal produktivitas maupun keadaan panorama yang dipancarkannya di dalam laut. Karang di kawasan ini juga dianggap masih sangat baik kondisinya, terutama pada kedalaman antara 6-30 m. (Unit TNKW, 2000: 10). Keindahan karang di sekitar Pulau Kaledupa ini juga merupakan salah satu faktor yang menjadi daya penarik bagi para wisatawan terutama dari manca negara untuk keperluan penelitian ekosistem laut. Keberadaan Operation Wallacea di resort Hoga sangat penting dalam hal menyediakan berbagai fasilitas untuk wisatawan seperti akomodasi, pelatihan dan jasa lainnya untuk keperluan penelitian ilmiah. Di samping itu para wisatawan juga dapat menikmati ekosistem terumbu karang dan panorama pantai, serta melakukan berbagai aktivitas seperti diving, snorkling, sun bathing, voli pantai dan fotografi dengan bantuan para instruktur di resort Hugo yang telah berpengalaman di bidangnya. 6.1. Kondisi SDL Menurut informasi dari Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNWK) kondisi karang di TNKW masih relatif baik, terutama sebagai tempat berkembang-biaknya ikan. Hal ini dibuktikan dengan beragam dan berlimpahnya jenis-jenis ikan dalam ukuran besar (unit TNKW 2000: 12). Indikasi lainnya adalah ikan lumba-lumba masih mudah ditemukan di sekitar perairan Pulau Kaledupa, sehingga membuktikan bahwa karang di kawasan TNKW masih mempunyai habitat yang baik untuk tumbuh dan berkembang biak. Kondisi SDL juga dapat dilihat dari keberadaan berbagai jenis molusca yang hanya hidup di wilayah terumbu karang. Kondisi beragam jenis SDL tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya, karena dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat maupun nelayan dari luar Kepulauan Wakatobi. Namun demikian, berdasarkan pengamatan dari Operation Wallacea, telah terjadi kerusakan karang di beberapa tempat di wilayah TNKW, sehingga populasi ikan dan biota laut lainnya makin menurun (Coles, 2000). Hasil survei dan wawancara mendalam dengan para informan setempat juga mendukung hasil pengamatan dari Operation Wallacea tersebut. Beberapa informan menyatakan kondisi SDL di kawasan Kepulauan Wakatobi, termasuk di sekitar Pulau Kaledupa pada saat ini telah mengalami penurunan (degradasi) dibandingkan keadaan sekitar lima tahun yang lalu. Misalnya, kondisi terumbu karang yang semula merupakan panorama indah yang berwarna-warni dan cukup bersinar, sekarang banyak karang tidak lagi memancarkan sinar yang berwarna-warni dan bahkan banyak karang yang kelihatan kusam. Informasi dari beberapa nelayan menyatakan bahwa dahulu nelayan lebih mudah menikmati keindahan terumbu karang sambil menyelam mencari lobster atau biota laut yang hidup di karang dan sekitarnya. Pemandangan yang indah di sekitar terumbu karang dapat menyejukkan hati para nelayan, yang harus berjuang keras dalam memperoleh
77 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
hasil tangkapan. Kondisi terumbu karang tersebut sekarang menurun, ada yang hancur, berkurang atau mati, sehingga keindahannya saat ini telah berkurang. Hasil survei terhadap sekitar 100 rumah tangga, juga menunjukkan sekitar 83 persen menyatakan kondisi SDL, khususnya terumbu karang pada sekitar lima tahun yang lalu, lebih baik dibandingkan keadaan saat ini. Meskipun demikian, sekitar 7 persen responden mengatakan sebaliknya, yaitu kondisi terumbu karang 5 tahun lalu lebih buruk dibandingkan kondisi saat ini. Demikian pula hanya sekitar 9 persen yang mengatakan tidak ada perbedaan kondisi terumbu karang baik dahulu maupun sekarang. Kondisi dermikian diperkuat oleh pernyataan beberapa informan, yang merasa dahulu mereka lebih dapat menikmati pemandangan karang yang berwarna-warni, walaupun baru menyelam pada kedalaman beberapa meter saja. Menurut mereka pemandangan yang indah dari kondisi terumbu karang pada waktu itu, serupa dengan gambar karang yang berwarna-warni, dalam buku yang diperlihatkan peneliti pada para informan. Berbagai jenis ikan dan biota lain nampak berkeliaran di sekitar terumbu karang, sehingga menambah keindahan panorama di wilayah sekitar karang. Hal lainnya yang dapat dirasakan penduduk pada waktu itu, adalah kemudahan memperoleh ikan atau kerangkerangan, bahkan di sekitar permukiman. Tampaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi karang pada saat ini, berbeda dari keadaan beberapa waktu sebelumnya. Meskipun kerusakan karang Kaledupa tidak separah kerusakan karang Kapotan, secara umum para nelayan sepakat bahwa kondisi karang pada saat ini berbeda dengan kedaan beberapa waktu yang lalu. Menurut pengakuan beberapa informan, kondisi batu karang di sekitar permukiman saat ini masih baik, meskipun tidak sebaik keadaan beberapa tahun yang lalu. Hasil survei menunjukkan data beragam dalam menilai kondisi karang saat ini. Sekitar sepertiga responden (34 persen) menyatakan kondisi terumbu karanng saat ini relatif baik, sementara proporsi responden yang mengatakan kondisinya kurang baik, hampir sama (sekitar 32 persen). Sedangkan proporsi responden yang berpendapat kondisi karang saat ini sudah rusak, lebih rendah yaitu sekitar 26 persen. Berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa informan, karang yang masih baik terletak di perairan laut yang cukup dalam, Dengan demikian, untuk dapat menikmati keindahan karang yang berwarna-warni pada saat ini, mereka harus melakukan penyelaman lebih dalam yaitu sekitar 15 meter. Sedangkan kondisi karang yang mengalami banyak kerusakan terletak di perairan laut yang lebih dangkal dari permukaan. Hal ini ditandai dengan warna batu karang yang sangat kusam serta menurunnya jumlah populasi ikan dan biota laut di sekitarnya. Menurut pengakuan para informan, kondisi terumbu karang menentukan banyak tidaknya populasi ikan karena karang merupakan tempat ikan bertelur. Hasil tangkapan mereka saat ini jauh berkurang bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh beberapa tahun yang lalu. Menurut keterangan beberapa informan, menurunnya jumlah ikan di sekitar terumbu karang, disebabkan meningkatnya nelayan yang menggunakan alat atau bahan yang dapat merusak terumbu karang. Hal ini akibat dari keserakahan para nelayan serta para taoke yang memfasilitasi praktek tersebut. Makin rusaknya kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Kaledupa, terjadi sejak sekitar 5 tahun terakhir, meskipun para nelayan sudah lama mengenal penggunaan bom untuk menangkap ikan. Sejak nelayan mengenal penggunaan sianida untuk menangkap ikan dan SDL lain, kerusakan karang makin meningkat, terutama dari segi keindahan panorama karang.
78
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Kerusakan terumbu karang terutama disebabkan oleh penggunaan bom, bahan beracun (sianida) serta penggunaan linggis untuk menangkap ikan atau biota laut lainnya. Meskipun masyarakat setempat selalu mengklaim bahwa pengebom ikan maupun pemakai sianida adalah nelayan dari luar, namun dalam praktek tidak sedikit nelayan setempat yang mengikuti jejak nelayan dari luar atau membantu para taoke, karena mengharapkan hasil yang diperoleh lebih banyak. Di samping itu, mereka juga beranggapan penggunaan cara tersebut untuk menangkap SDL tidak dilarang selama memperoleh izin dari dewa laut. Menurunnya kualitas terumbu karang di wilayah Kaledupa, juga berpotensi untuk menjadi makin rusak karena meningkatnya penambangan karang terutama karang penghalang yang dilakukan oleh penduduk setempat. Meningkatnya penambangan karang di wilayah ini akibat maraknya pembangunan rumah dengan menggunakan fondasi dari batu karang, atau meningkatnya permintaan karang sebagai bahan bangunan rumah. Jika dahulu penduduk setempat menambang karang hanya untuk keperluan sendiri, saat ini mereka juga menerima pesanan dari orang lain yang membutuhkan banyak batu karang untuk membuat fondasi rumah. Meskipun menurut pengakuan warga setempat, karang yang digunakan untuk fondasi rumah merupakan karang mati, namun apabila pengambilan karang dalam jumlah besar dan terus menerus akan mengganggu kelestarian terumbu karang. Penambangan karang yang tidak terkendali, secara potensial dapat menimbulkan kerusakan karang di kemudian hari, sehingga dapat menimbulkan abrasi pantai. Karang penghalang harus dijaga kelestariannya, karena berfungsi untuk melindungi pulau/daratan Kaledupa dari gempuran gelombang terutama pada musim barat (unit TNKW, 2000). Kegiatan penangkapan ikan secara berlebihan oleh para nelayan, biasanya dengan menggunakan bahan peledak dan racun, diduga juga merupakan salah satu penyebab menurunnya kualitas karang di sekitar Kaledupa. Hal ini secara potensial menimbulkan kerusakan terumbu karang, baik kuantitas maupun kualitas. Praktek ini juga dapat menurunkan kualitas ekosistem penyelaman di sekitar karang Kaledupa, terutama di sekitar Desa Sama Bahari, yang merupakan salah satu daerah penelitian kelautan. Pemanfaatan SDL secara berlebihan di sekitar resort Hugo, akan mengganggu kegiatan penelitian kelautan yang banyak dilakukan peneliti mancanegara. Padahal keberadaan resort Hoga dengan segala aktivitasnya dapat meningkatkan kehidupan masyarakat setempat, antara lain potensial dapat menyediakan banyak kesempatan kerja bagi penduduk di sekitarnya. Degradasi SDL lainnya di wilayah Kaledupa adalah berkurangnya jumlah ikan pada saat ini dibandingkan keadaan beberapa tahun sebelumnya. Sebagai ilustrasi beberapa informan menyatakan, dahulu untuk setiap melaut mereka dapat memperoleh hasil tangkapan dalam jumlah relatif banyak, untuk waktu yang relatif singkat. Demikian juga berbagai jenis ikan dapat diperoleh di wilayah tangkap yang relatif dekat dengan tempat tinggalnya. Sebaliknya kondisi saat ini, untuk memperoleh ikan yang sama, nelayan harus pergi melaut ke wilayah tangkap yang semakin jauh, sehingga membutuhkan sarana produksi yang lebih memadai dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Dengan sarana yang banyak dimiliki nelayan sekarang, hasil yang diperoleh lebih sedikit dibandingkan perolehan sebelumnya. Berkurangnya populasi ikan di sekitar wilayah Kaledupa, tidak terlepas dari praktek penangkapan ikan yang tidak terkendali dan bersifat destruktif. Keadaan yang sama juga terjadi di sekitar Desa Sama Bahari. Berkurangnya populasi kerang-kerangan di sekitar pemukiman masyarakat Bajo, merupakan salah satu bukti terjadinya degradasi SDL. Seorang informan menceritakan keadaan sekitar lima 79 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
tahun yang lalu, dimana berbagai jenis kerang-kerangan sangat mudah ditemukan di sekitar pemukiman, terutama pada saat air laut surut. Saat ini meskipun kegiatan mencari kerang-kerangan masih sering dilakukan penduduk setempat, terutama oleh kaum perempuan (ibu-ibu dan anak-anak), di wilayah perairan dangkal, namun hasil yang diperoleh relatif tidak memadai. Salah satu bentuk penurunan (degradasi) mangrove adalah makin maraknya penebangan kayu bakau yang dilakukan oleh penduduk setempat. Padahal hutan bakau berfungsi sebagai pelindung agar air laut tidak makin mengikis daratan. Apabila penebangan kayu bakau tidak dikendalikan, maka masuknya air laut ke dalam daratan, berpotensi terjadinya abrasi pantai di daratan Kaledupa. Meskipun derajat kerusakan hutan bakau di wilayah Kaledupa belum menunjukkan kerusakan yang cukup berarti, namun penebangan kayu bakau yang dilakukan secara terus menerus, merupakan potensi terjadinya kerusakan lebih lanjut wilayah hutan bakau dan SDL lain di sekitarnya. Hasil observasi terhadap hutan bakau di sekitar wilayah Kaledupa, menunjukkan bahwa kerusakan hutan bakau tersebut belum terlalu parah. Namun aki bat pengambilan ranting dan pohon-pohon bakau yang dilakukan masyarakat setempat, kerimbunan daunnya mulai berkurang. Kondisi SDL di wilayah Kaledupa pada saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari masyarakat setempat, baik keberadaan aturan/kesepakatan yang berlaku maupun perilaku masyarakat setempat yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDL. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar baik langsung maupun tidak langsung, positif maupun negatif berpengaruh terhadap kondisi SDL. Bagian ini akan menguraikan beberapa faktor internal dan eksternal yang berkaitan dengan kondisi SDL saat ini. 6.2. Faktor Internal Seperti diuraikan di muka, terjadinya degradasi SDL di wilayah Kaledupa dipengaruhi oleh perilaku masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kegiatan masyarakat setempat seperti penebangan pohon bakau di hutan mangrove, penambangan batu karang, serta penggunaan bahan beracun dan peledak dalam penangkapan ikan, merupakan beberapa faktor internal yang berpengaruh terhadap kerusakan SDL di wilayah tersebut. Penebangan mangrove (hutan bakau) Hutan bakau di wilayah Kaledupa nampaknya cenderung makin gundul, akibat banyak pohon bakau yang ditebang untuk diambil kayunya. Kebutuhan kayu bakar pada masyarakat Bajo, dipenuhi dengan menebang pohon bakau yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya. Pengambilan kayu bakau yang semula hanya dimanfaatkan untuk keperluan sendiri, kini terdapat beberapa penduduk yang juga mengambil kayu bakau untuk dijual pada tetangga atau penduduk dari desa lain. Permintaan kayu bakau meningkat terutama pada musim teduh atau peralihan dari musim barat ke musim timur, karena banyak nelayan membutuhkan untuk bekal mencari ikan ke karang. Selama nelayan pergi ke karang untuk waktu sekitar 3 hari, mereka membutuhkan sekitar 20 batang kayu, baik untuk keperluan memasak selama dalam perjalanan maupun di lokasi penangkapan ikan. Menurut keterangan dari beberapa informan, jenis kayu bakau yang 80
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
biasanya diambil adalah kayu bakau yang masih muda. Padahal hasil observasi di lokasi hutan bakau menunjukkan berkurangnya kerimbunan hutan bakau, yang menandakan telah terjadi penebangan hutan bakau, termasuk pohon yang sudah tua. Pengambilan kayu bakau biasanya dilakukan oleh kaum perempuan Bajo, ratarata sekali dalam 2-3 hari. Biasanya dilakukan secara berombongan, karena mereka merasa takut apabila harus pergi sendirian ke hutan bakau. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, hutan bakau tersebut dihuni oleh hantu, sehingga menakutkan kalau harus berada di hutan sendirian. Mereka biasanya berangkat sore hari sekitar jam 3.00 dan pulang sebelum air meti (surut), sehingga tidak menyulitkan perjalanan sampannya. Perjalanan dilakukan secara beriringan dengan sampan yang dikayuh oleh ibu-ibu, dengan muatan ranting kayu bakau yang memenuhi sampan masing-masing. Penambangan batu karang Penambangan batu karang dilakukan penduduk setempat terutama untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Namun adanya permintaan dari tetangga atau masyarakat lainnya, penambangan karang juga dilakukan untuk dijual. Pembeli batu karang tersebut biasanya hanya kelompok kecil yang tidak berkesempatan untuk mengambil batu karang sendiri. Pengambilan karang terutama untuk membuat fondasi rumah, tanggul rumah maupun tanggul perahu. Menurut keterangan informan, pengambilan karang biasanya dilakukan hanya sekali pada waktu membangun rumah, dan jenis karang yang diambil merupakan karang mati. Pengambilan karang ini berpotensi untuk merusak karang, terutama karena penduduk lokal beranggapan bahwa proporsi karang yang diambil masih relatif kecil dibandingkan dengan luasnya hamparan karang di sekitar Kaledupa. Apabila kegiatan penambangan karang berlangsung terus menerus dan berlebihan, dapat mengganggu kelestarian terumbu karang di wilayah tersebut. Perusakan karang juga terjadi akibat perilaku nelayan yang harus mencongkel batu karang untuk memperoleh kerang-kerangan seperti kerang belah batu atau kerang mata tujuh. Letak kerang-kerang tersebut biasanya menempel di balik batu-batu karang, sehingga untuk pengambilannya diperlukan linggis untuk mencongkel atau membalikkan karang. Alat yang cukup tajam ini sangat mudah untuk memecahkan karang, sehingga berakibat pada rusaknya karang di sekitarnya. Demikian juga pemakaian bubu untuk menangkap ikan karang, dalam jangka waktu lama dapat merusak terumbu karang di lokasi penangkapan. Penggunaan bahan beracun Bahan beracun seperti potassium sianida seringkali digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan karang yang biasanya bersembunyi dalam bongkahan karang. Bahan beracun sianida yang dilarutkan dalam air, digunakan untuk melumpuhkan ikan. Zat yang sangat beracun ini dapat mengganggu sistem pernafasan ikan, sehingga selain menyebabkan ikan karang yang besar pingsan, juga dapat membunuh ikan-ikan kecil dan berbagai jenis hewan tak bertulang belakang (invertebrata) yang berada di sekitarnya (Widjanarko, 2000). Apabila sianida digunakan untuk menangkap ikan karang, maka algae yang menempel di karang akan terlepas. Padahal terumbu karang dilapisi dengan jaringan hewan yang sangat tipis yang mengundang berjuta-juta sel tunggal algae. Dengan penggunaan sianida akan mengakibatkan karang berubah menjadi putih dan jaringan karang mati dalam beberapa hari (Widjanarko, 2000: 16). 81 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Salah satu faktor yang turut mempengaruhi degradasi SDL di wilayah Sama Bahari adalah anggapan penduduk setempat bahwa mereka dapat memanfaatkan laut dengan bebas sepanjang diizinkan oleh dewa laut. Seperti telah diuraikan di muka, kepercayaan masyarakat Bajo terhadap penguasa laut, menyebabkan mereka selalu membuat sesaji sebagai sarana untuk memperoleh izin dari penguasa laut. Wawancara mendalam dengan salah seorang informan (tetua adat) di Sama Bahari, diperoleh keterangan bahwa sepanjang penguasa laut mengizinkan mereka ke laut, maka mereka bebas melakukan penangkapan ikan meskipun dengan menggunakan bahan peledak. Kepercayaan ini tentunya sangat potensial untuk menimbulkan kerusakan pada terumbu karang, karena nelayan dapat dengan bebas menggunakan teknologi penangkapan, dengan tujuan memperbanyak hasil tangkapan. Hal ini dapat mengancam kelestarian terumbu karang, karena dalam melakukan aktivitasnya kurang mempertimbangkan akibat yang terjadi yaitu kerusakan terumbu karang. Namun demikian, kearifan lokal yang dimiliki nelayan Sama Bahari dapat mencegah mereka untuk memanfaatkan SDL tanpa batas, karena adanya kepedulian yang tinggi terhadap kelangsungan hidup mereka di laut yang menjadi tempatnya bekerja. Sampai sekarang Desa Sama Bahari belum memiliki aturan-aturan yang secara langsung berkaitan dengan upaya pelestarian SDL. Namun demikian terdapat beberapa nilai ataupun perilaku penduduk setempat yang potensial mendukung pelestarian SDL. Misalnya, masyarakat Bajo percaya apabila mereka terlalu serakah dalam menangkap ikan, maka penunggu laut akan marah dan mempengaruhi perolehan hasil di laut. Di samping itu, mereka juga berkeyakinan bahwa dalam memanfaatkan SDL tidak boleh iri terhadap perolehan nelayan lainnya karena kepercayaan mereka bahwa 'rejeki sudah diatur oleh yang di atas’. Nilai-nilai positif tersebut dapat merupakan kendali bagi nelayan untuk tidak mengeksploitasi SDL secara berlebihan, sehingga secara tidak langsung kelestarian SDL lebih terjaga. Faktor positif lainnya adalah kearifan penduduk untuk selalu menjaga laut karena kehidupan mereka yang menyatu dengan laut. Anggapan semacam ini dapat memperlambat degradasi SDL di wilayah Sama Bahari. Aktivitas mereka di laut menjadi lebih terkendali, tidak gegabah, meskipun menurut mereka dewa laut telah 'mengizinkan' pemanfaatan SDL sesuai kebutuhan mereka. Namun mereka tetap mempertimbangkan bahwa apabila dalam aktivitasnya mereka menguras isi laut tanpa batas, berarti mereka mengabaikan kepentingan anak-cucunya di masa yang akan datang. Kearifan semacam ini sudah tertanam pada diri nelayan Bajo di Sama Bahari jauh sebelumnya. Menurut keterangan beberapa informan, nelayan Bajo akan selalu pindah ke lokasi tangkapan yang lain, sebelum SDL di lokasi tersebut benar-benar terkuras. Mereka berkeyakinan apabila terlalu lama berada di suatu lokasi tangkapan, maka ikan-ikan kecil akan ikut tertangkap dan mengganggu aktivitas ikan yang sedang bertelur. Oleh karenanya dalam melakukan aktivitasnya mereka menggunakan sistem rotasi', yaitu mereka akan kembali ke lokasi penangkapan sebelumnya, setelah ditinggalkan untuk periode waktu tertentu, dengan harapan populasi ikan sudah pulih kembali. Masyarakat Bajo mempunyai naluri yang tinggi tentang keberadaan ikan di laut. Dengan memandang laut atau gelombang dari kejauhan, mereka dapat memperkirakan lokasi yang banyak ikannya. Seorang nelayan yang sedang diwawancarai tiba-tiba menunjuk lokasi laut yang mengindikasikan banyak ikannya. Dari rumahnya ya ng dapat memandang ke laut lepas, informan tersebut dapat melihat banyak ikan berloncatan ke permukaan laut, sehingga secara spontan dia bangkit dan mengatakan 'tuh ada ikan’. Ketajaman Informan tersebut dalam melihat lokasi yang banyak ikannya, hanya dari 82
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
loncatan ikan ke permukaan, menyebabkan mereka dapat mengatur lokasi dan waktu penangkapan seefisien mungkin. Faktor internal lain yang berpengaruh positif dalam menjaga kelestarian SDL adalah kecenderungan penduduk untuk patuh terhadap aturan-aturan pem erintah. Perasaan malu masih kental pada masyarakat Bajo, terutama apabila tertangkap jagawana karena melanggar peraturan, apalagi apabila sampai ditahan di penjara. Kepatuhan nelayan pada peraturan, mungkin dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu yang traum atis dimana masyarakat Bajo dianggap telah melindungi kelompok pemberontak DI/TII. Setelah pemberontakan DI/TII ditumpas, masyarakat Bajo selalu diawasi aparat, karena dianggap sebagai 'pemberontak'. Pengalaman tersebut menyebabkan masyarakat Bajo di Sama Bahari menjadi takut dicap sebagai 'pembangkang atau pemberontak'’ sehingga memilih untuk tunduk pada peraturan. Biasanya apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan Bajo, lebih disebabkan oleh ketidak tahuan mereka akan larangan-larangan tersebut daripada kesengajaan untuk melanggar peraturan. Hal ini diperkuat oleh keterangan beberapa informan, yang menyatakan banyak peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan SDL tidak disosialisasikan kepada nelayan Bajo, dan baru diketahui setelah ditangkap karena terjadi pelanggaran. Di samping itu, beberapa nelayan Bajo melakukan pelanggaran karena rasa 'cemburu' terhadap nelayan luar yang sering melanggar peraturan, namun tidak pernah ditangkap. Pelanggaran yang sering dilakukan nelayan luar terutama menggunakan bahan peledak atau sianida untuk menangkap ikan. Faktor internal lain yang mendukung pelestarian SDL adalah adanya kesepakatan yang dibuat antara penduduk Sama Bahari dengan Operation Wallacea sebagai pengelola resort Hoga mengenai penetapan zona konservasi. Kesepakatan tersebut dibuat pada bulan September 2000, dengan mengadakan pesta adat yang disebut ‘tuba dikatutuang’, untuk menetapkan perairan selatan resort Hoga sebagai zona konservasi yang tertutup bagi aktivitas menangkap ikan oleh nelayan. Kesepakatan yang melibatkan tokoh-tokoh adat ini merupakan kegiatan konservasi yang berbasis masyarakat. Salah satu kesepakatan tersebut adalah penduduk Sama Bahari tidak boleh memanfaatkan SDL di wilayah yang telah ditentukan, karena areal tersebut dimanfaatkan untuk tempat perlindungan dan pembiakan ikan (fish nursery ground). Sebagai imbalan pada masyarakat, Operation Wallacea melalui pengelola resort Hoga memberi kompensasi sebesar Rp. 24 juta kepada Desa Sama Bahari yang dibayarkan dalam 3 term. Penggunaan uang tersebut diserahkan kepada desa, untuk kepentingan masyarakat, seperti pembuatan jembatan dan pembangunan masjid. Menurut kepala desa setempat penggunaan uang kompensasi tersebut berdasarkan rapat desa yang dihadiri oleh tokoh masyarakat setempat. Dari wawancara mendalam dengan beberapa informan diperoleh keterangan bahwa mereka sepakat untuk mematuhi kesepakatan tersebut, meskipun uang kompensasi tidak diperpanjang. Hal ini karena keyakinan mereka akan manfaat konservasi tersebut, yaitu dengan adanya perlindungan terhadap telur ikan di areal tertentu, maka populasi ikan akan berlimpah di sekitar tempat konservasi. Kondisi ini pada waktunya akan memudahkan para nelayan untuk menangkap ikan di sekitar lokasi konservasi. Pemanfaatan SDL yang dilakukan oleh masyarakat Sama Bahari pada dasarnya masih relatif kecil. Hal ini terlihat dari penjualan hasil tangkapan mereka yang biasanya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Para nelayan tradisional Bajo juga membatasi penangkapan mereka hanya sebatas cukup untuk makan pada hari itu. Hal ini dipengaruhi oleh terbatasnya fasilitas untuk pemasaran ikan, seperti Tempat Pelelangan Ikan (TPI) atau pasar permanen di Kecamatan Kaledupa. Keadaan ini membatasi nelayan 83 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Desa Bahari untuk tidak mengeksploitasi laut secara berlebihan, kecuali sebagian kecil nelayan yang memiliki sarana memadai untuk menangkap lebih banyak ikan dan mempunyai jaringan penjualan sampai ke Wanci. Namun demikian perjalanan ke Wanci dengan fasilitas yang terbatas (perahu berkapasitas 5 PK) tidak memungkinkan para nelayan Sama Bahari untuk mencari ikan dalam jumlah yang besar. Hal inilah yang mendorong masyarakat Bajo untuk tetap menjaga kelestarian lautnya. Mereka beranggapan meskipun hasilnya sedikit namun tetap dapat dinikmati setiap hari. Seorang informan menyatakan pada umumnya masyarakat Bajo di Sama Bahari belum mempunyai jiwa bisnis yang kuat, sehingga mereka cenderung menangkap ikan dalam jumlah yang relatif kecil, sekedar untuk menutup kebutuhan sehari-hari. 6.3. Faktor Eksternal Degradasi sumber daya laut juga dipengaruhi faktor eskternal seperti permintaan SDL, peraturan pemerintah pusat, peraturan pemerintah daerah, dan kegiatan stakeholders terkait lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh langsung maupun tidak dalam mencegah dan mendukung terjadinya degradasi SDL. Permintaan yang cukup tinggi terhadap beberapa jenis ikan karang serta SDL lain seperti lobster dan kerang-kerangan (kerang belah batu atau mata tujuh), merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi degradasi SDL. Adanya permintaan yang tinggi terhadap SDL yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dapat mendorong nelayan untuk mencari ikan sebanyak-banyaknya, dengan menggunakan teknologi penangkapan yang mungkin belum pernah dipergunakan sebelumnya. Hal ini dapat merubah nelayan tradisional yang subsisten, menjadi nelayan yang menggunakan bahan peledak, bahan beracun ataupun alat-alat yang dapat merusak terumbu karang, guna memperoleh hasil tangkapan semaksimal mungkin. Apabila pengaruh dari u l ar tersebut berlangsung terus, dapat menyebabkan karang Kaledupa semakin rusak atau hancur. Dalam jangka panjang kerusakan terumbu karang dapat berpengaruh terhadap menurunnya sumber penghasilan masyarakat, serta ancaman bahaya erosi yang dapat menghancurkan desanya. Faktor eksternal lainnya adalah konflik yang terjadi antara penduduk setempat dengan nelayan dari luar. Menurut pengakuan beberapa informan, pada dasarnya nelayan setempat selalu berusaha menjaga kelestarian laut dan isinya karena menurut mereka laut adalah sumber penghidupannya. Mereka beranggapan kerusakan terumbu karang dapat mempengaruhi kehidupan anak cucunya kelak, sehingga pada dasarnya mereka menghindari bahan-bahan yang dapat merusak terumbu karang. Namun demikian, banyak nelayan dari daerah lain yang menangkap ikan dan SDL lain di kawasan TNKW. Mereka menggunakan bom dan beroperasi pada musim ombak besar sehingga sulit dikejar petugas (Kompas, 2001). Para jagawana tidak berdaya menghadapi kejahatan tersebut, karena keterbatasan sarana dan peralatan yang dimiliki. Hal ini diperparah dengan tidak adanya penegakan hukum yang tegas sebagai tindak lanjut bagi pelaku pemboman ikan. Praktek pengeboman ikan sangat potensial merusak kelestarian terumbu karang di wilayah TNKW, khususnya karang Kaledupa. Padahal kawasan ini merupakan komoditas pariwisata andalan yang sudah dikelola menjadi resort. Untuk melindungi kawasan ini dari penghancuran karang, diperlukan kerjasama yang melibatkan berbagai pihak. Pihak nelayan tidak berani melanggar peraturan, apabila mereka menggetahui dan memahami peraturan serta adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan tersebut. 84
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Pihak petugas akan berwibawa apabila dapat menegakkan hukum dengan menerapkan sanksi tanpa pandang bulu bagi si pelanggar. Sedangkan pihak lain yang harus terlibat adalah para pedagang pengumpul atau konsumen untuk tidak mendorong nelayan melakukan pelanggaran peraturan. Selain faktor-faktor yang berkaitan dengan perusakan terumbu karang, terdapat beberapa faktor yang mendukung pelestarian terumbu karang di wilayah Sama Bahari dan sekitarnya antara lain keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 'Yayasan Bajo Mathilla'. Banyak kegiatan LSM ini berkaitan dengan pelestarian terumbu karang antara lain mengadakan penyuluhan dan pemberian contoh model rumah tancap dengan tiang yang menggunakan fondasi semen. Kegiatan LSM lainnya adalah memfasilitasi penangkapan ikan dengan menggunakan budidaya rumpon, dengan bagi hasil bagi nelayan setempat. Yayasan ini juga telah memfasilitasi kesepakatan antara Operation Wallacea dengan pihak Desa Sama Bahari dalam menentukan daerah konservasi ikan (lihat di muka). Faktor eksternal lain yang dapat mendukung upaya pelestarian terumbu karang di wilayah Sama Bahari dan TNWK pada umumnya, adalah peraturan yang diharapkan dapat mengantisipasi pelestarian SDL. Adapun peratutan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut: Kebijaksanaan Pengelolaan Taman Nasional Sesuai dengan surat keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam NO:198/Kep/DJ-VI/1997 tanggal 31 Desember 1997 tentang penunjukan zonasi TNKW, wilayah TNKW dibagi dalam 5 zonasi (Unit TNKW, 2001: 21) 1. Zona inti seluas 683.500 ha. Zona inti mutlak dilindungi, di dalam zona ini tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Kegiatan yang diperbolehkan hanya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian. 2. Zona pelindung seluas 160.500 ha. Zona pelindung adalah zona dimana dapat dilakukan kegiatan sebagaimana kegiatan pada zona inti dan kegiatan wisata alam yang terbatas. 3. Zona pemanfaatan seluas 70.500 ha Zona pemanfaan adalah zona di mana dapat dilakukan kegiatan sebagaimana pada zona inti dan pelindung. Zona ini diperuntukkan bagi pusat pembangunan sarana/prasarana dalam rangka pengembangan kepariwisataan alam dan rekreasi atau penggunaan lain yang menunjang fungsi konservasi alam hayati dan ekosistemnya. 4. Zona pemanfaatan tradisional seluas 300.500 ha. Zona pemanfaatan tradisional adalah zona yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan terbatas secara tradisional untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat sekitarnya, yang biasanya menggantungkan hidupnya pada hasil hutan non kayu. 5. Zona rehabilitasi seluas 175.000 ha. Zona rehabilitasi adalah zona di mana dapat dilakukan kegiatan penelitian dan pengembangan serta pemulihan jenis tumbuhan (pohon kehidupan) dari satwa jenis asli. 6. Kegiatan yang akan dilaksanakan pada TNKW. Harus mendapatkan izin Menteri kehutanan cq. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sesuai dengan peraturan perlindungan yang berlaku. 85 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Kebijaksanaan yang berkaitan dengan pengelolaan taman nasional dengan adanya aturan-aturan tersebut ditujukan sebagai acuan bagi proses pengembangan dan pengelolaan taman nasional. Hal ini didasarkan pada fungsi taman nasional sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya untuk tujuan-tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, dan wisata alam. Pembangunan taman nasional merupakan bagian dari pembangunan wilayah yang dikelola secara khusus, untuk menjamin manfaat bagi masyarakat setempat (Unit TNKW, 2001: 21). Di samping itu, UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya merupakan faktor yang mendukung kelestarian SDL. Dalam undangundang ini ditegaskan bahwa TNKW ditetapkan dalam rangka menjamin keberadaan/perwakilan, kemurnian/keaslian, keindahan, keaneka ragaman dan kekhasan tipe ekosistem dan gejala alam Kepulauan Tukang Besi. Dalam undang-undang tersebut kawasan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah daerah Sulawesi Tenggara adalah Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 1988 tentang pemeliharaan lingkungan hidup. Di dalamnya berisi usaha pelestarian kawasan pantai, termasuk perlindungan ekosistem terumbu karang. Di samping itu, pemerintah daerah setempat juga mengeluarkan surat keputusan (SK No. 357 Tahun 1993) mengenai larangan pengambilan, pengusahaan dan perusakan batu karang di sepanjang perairan pantai Sulawesi Tenggara (Imron, 1999: 18). Meskipun masyarakat Desa Sama Bahari tidak dapat menjelaskan secara rinci mengenai aturan-aturan formal tersebut, namun pada umumnya masyarakat mengetahui bahwa terdapat beberapa aturan dari pemerintah yang berkaitan dengan pengambilan karang, penggunaan bahan peledak serta pemakaian bahan beracun untuk pemanfaatan SDL. Keberadaan Resort Hoga Salah satu faktor eksternal yang turut berpengaruh dalam pengelolaan SDL adalah peranan Operation Wallacea di wilayah Kepulauan Wakatobi. Operation Wallacea di Sulawesi merupakan sebuah proyek yang bekerjasama dengan Badan Pengembangan Wallacea (Wallacea Development Institute) untuk membantu mempelajari fauna-fauna, kera di hutan-hutan Sulawesi. Dalam kegiatannya di Sulawesi mereka menyertakan para ahli biologi serta para mahasiswa terutama dari Eropa. Badan Pengembangan Wallacea bekerjasama dengan Ecosurvey Ltd. dari Inggris untuk mengadakan survei tentang terumbu karang di Kepulauan Wakatobi. Konsep awal dari Operation Wallacea adalah bergerak dalam bidang penelitian mengenai lingkungan dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Untuk menopang kegiatannya di wilayah Kaledupa, Operation Wallacea mengelola resort Hoga, yang terletak sekitar 2 mil dari perkampungan Bajo di Sama Bahari. Resort ini dilengkapi dengan beberapa akomodasi yang disewa oleh Operation Wallacea dari masyarakat Kaledupa. Akomodasi ini merupakan fasilitas yang disediakan bagi mahasiswa asing terutama dari beberapa universitas di Inggris dan Amerika yang mengadakan penelitian mengenai berbagai aspek seperti biologi, geografi, pembangunan masyarakat dan lingkungan. 86
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Sesuai dengan letaknya yang strategis di Kepulauan Wakatobi yang terkenal dengan wisata lautnya, para mahasiswa yang tinggal di resort Hoga juga mempelajari laut dengan segala keindahan dan hewan yang ada di dalamnya. Para mahasis wa peneliti asing umumnya tertarik untuk mempelajari berbagai spesies yang terdapat di kawasan Taman Nasional Wakatobi, khususnya di sekitar resort Hoga. Daya tarik lainnya adalah para peneliti juga dapat menikmati keindahan hutan dan lokasi, serta aktivitas lain seperti menyelam, sunbathing, dan fotografi. Keberadaan resort Hoga sangat bermanfaat baik bagi mahasiswa-mahasiswa peneliti dari mancanegara, maupun bagi penduduk lokal di sekitarnya. Bagi mahasiswamahasiswa asing tersebut, keberadaan resort Hoga membuka kesempatan untuk memperluas pengetahuan tentang kelautan dengan mengadakan penelitian mengenai lingkungan. Mereka juga dapat mengenal penduduk lokal dengan mengunjungi dan tinggal beberapa hari bersama masyarakat Sama Bahari. Sementara manfaat bagi penduduk lokal di sekitar resort, adalah menambah lapangan kerja bagi penduduk di sekitarnya, meningkatkan penjualan ikan untuk konsumsi tamu resort, serta membuka wawasan masyarakat untuk lebih mengenal dunia luar, mengenalkan produk lokal khususnya dalam kaitan pengembangan pariwisata bahari. Setiap musim kunjungan turis dari manca negara, resort Hoga membutuhkan sekitar 200 kilogram ikan per bulan dari para nelayan di Desa Sama Bahari. Demikian juga kunjungan para wisatawan ke desa, merupakan tam bahan penghasilan penduduk seperti menjadi pemandu dan menyewakan perahu. Salah satu kegiatan Operation Wallacea sebagai pengelola resort Hoga bagi mahasiswa peneliti adalah berkunjung ke Desa Sama Bahari untuk mengenal kehidupan masyarakat Bajo beserta adat istiadat masyarakat setempat. Paket kunjungan tersebut dilakukan bekerjasama dengan LSM setempat untuk waktu sekitar satu minggu, sehingga mereka dapat tinggal bersama masyarakat Bajo. Para mahasiswa peneliti yang umumnya sadar lingkungan ini, kadang-kadang juga melakukan kegiatan perlindungan satwa seperti membeli penyu dari masyarakat setempat, kemudian dilepas ke laut dengan disaksikan masyarakat setempat. Dalam kenyataan sehari-hari, meskipun penyu merupakan satwa yang dilindungi, namun masih ada beberapa nelayan yang menangkap penyu untuk dijual dengan harga sekitar Rp. 150.000 per ekor. Dari kasus pelepasan kembali penyu ke laut oleh mahasiswa asing, diharapkan mereka memperoleh pelajaran bahwa hewan tersebut memang benar-benar harus dilindungi dan tidak boleh ditangkap. Dengan memperbanyak contoh nyata semacam ini, diharapkan ada perubahan perilaku penduduk dalam rangka melestarikan sumber daya laut. Penduduk yang melihat tetangganya menangkap penyu, akan mengingatkan untuk segera mengembalikan satwa tersebut ke laut, karena satwa tersebut dilindungi undang-undang. Salah satu upaya yang dilakukan Operation Wallacea dalam rangka melestarikan SDL adalah dengan membentuk suatu tim manajemen untuk membuat sistem rumpon bagi para nelayan terutama dari Sama Bahari. Pada saat penelitian Operation Wallacea di resort Hoga memiliki 6 unit budidaya rumpon. Alasan diadakannya budidaya rumpon terutama untuk mencegah para nelayan menangkap ikan secara berlebihan ke karang (overfishing). Di samping itu, banyak manfaat yang dapat diambil oleh nelayan dengan budidaya rumpon yaitu sebagai alat penangkapan ikan yang aman dan relatif murah.
87 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
Bab VII Kesimpulan d an R ekom en dasi 7.1. Kesimpulan Dalam laporan penelitian ini telah disajikan data dasar tentang kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Bajo di Desa Sama Bahari berkaitan dengan kegiatannya dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDL. Berdasarkan pemahaman terhadap data dasar tersebut, dapat diidentifikasi permasalahan dan isu pokok yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan khususnya terumbu karang. Hasil studi ini dimaksudkan juga sebagai masukan bagi para pengambil keputusan, berupa beberapa rekomendasi yang dapat menjadi bahan untuk merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP di wilayah tersebut. Rekomendasi lainnya adalah masukan tentang beberapa indikator yang diperlukan untuk mengevaluasi perubahan yang terjadi setelah dilakukan intervensi program sehubungan dengan pelestarian terumbu karang. Sebagai benang merah dari hasil studi ini, beberapa permasalahan pokok dan isu yang menonjol adalah: Kondisi SDL •
Kondisi SDL khususnya terumbu karang di kawasan Kepulauan Wakatobi khususnya Pulau Kaledupa masih relatif baik terutama pada kedalaman 6-30 meter, meskipun di beberapa tempat terutama di bagian yang tidak begitu dalam, sudah rusak. Kerusakan terumbu karang itu ditandai oleh permukaan karang yang kelihatan kusam dan berkurangnya populasi ikan di kawasan tersebut. Padahal, potensi SDL di wilayah ini cukup banyak dan bervariasi baik ikan non karang, ikan karang, jenis moluska dan kerang. Jenis ikan non karang yang banyak ditemukan di wilayah ini terutama ikan tuna, cakalang, ekor kuning, dan baronang. Sedangkan hasil produksi ikan karang yang banyak ditemukan di sekitar Kaledupa antara lain ikan kerapu, ikan sunu, ikan kakatua, lobster, napoleon, kima dan katamba. Biota laut lain seperti bulu babi, moluska dan berbagai jenis kerang juga mudah diperoleh di kawasan perairan dangkal seperti di sekitar pemukiman Desa Sama Bahari.
•
Beberapa bagian terumbu karang di sekitar kawasan Desa Sama Bahari, telah banyak yang rusak antara lain karena adanya kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan hasil SDL secara berlebihan. Pengambilan batu karang untuk keperluan fondasi maupun bahan bangunan rumah, merupakan suatu kegiatan yang berpotensi untuk merusak terumbu karang. Meskipun menurut pengakuan masyarakat mereka mengambil karang yang sudah mati, namun bila penambangan ini dilakukan terus menerus, terutama untuk karang penghalang, maka dapat menimbulkan erosi pantai. Perusakan terumbu karang juga terjadi karena penggunaan alat tangkap yang merusak seperti pemakaian bahan peledak (bom), bahan beracun (potassium) serta penggunaan alat yang tajam seperti linggis untuk mencari kerang dan biota laut lain yang berada di celah karang. Di samping pengambilan karang, penebangan hutan bakau yang dilakukan oleh
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
89
penduduk setempat sangat berpotens i untuk merusak terumbu karang. Kerusakan ini nampaknya juga disebabkan oleh adanya anggapan penduduk bahwa proporsi pengambilan karang dan penebangan kayu bakau masih relatif kecil dibandingkan dengan ketersediaan kedua SDL tersebut. •
Kehidupan nelayan Bajo di Sama Bahari umumnya masih tradisional, baik dalam cara penangkapan maupun pemanfaatan hasilnya. Pola pengelolaan SDL yang dianut nelayan pada umumnya masih ‘petik dan jual’, sehingga mempunyai nilai tambah yang rendah, dan dalam pemasaran cenderung mempunyai posisi tawar yang rendah. Akibatnya pendapatan yang diperoleh nelayan tidak seimbang dengan hasil produksi yang potensial dapat diperoleh, karena terbatasnya peralatan produksi yang dimiliki (harus dijual habis, karena tidak memiliki alat pengawet).
•
Komersialisasi hasil produksi yang sudah dilakukan oleh sebagian kecil nelayan, terbentur pada keterbatasan SDM terutama dalam berkomunikasi serta dalam memperluas jaringan pemasaran. Akibatnya koordinator lokal hanya dapat berhubungan dengan pedagang pengumpul dari luar, sehingga proporsi keuntungan yang diperoleh nelayan Bajo jauh lebih kecil dibandingkan harga akhir di pasar (domestik maupun ekspor). Sistem pemasaran dengan ‘jemput bola’ di lokasi penangkapan ikan, cenderung lebih merugikan nelayan, karena posisi tawar nelayan yang rendah dibandingkan pedagang penampung /bos yang lebih berpengalaman dan lebih menguasai jaringan pasar selanjutnya. Demikian pula kebutuhan memperoleh hasil lebih banyak sering dimanfaatkan oleh pedagang pengumpul untuk menyediakan bahan atau alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti potas dan bom.
Stakeholders dan pemanfaatan SDL • Stakeholders yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL adalah para nelayan, pedagang pengumpul, petugas keamanan laut, aparat pemerintah maupun pihak swasta. Adapun kegiatan masing-masing stakeholders dapat berpotensi mendukung maupun mengancam kelestarian terumbu karang. Sebagai contoh adanya kesepakatan nelayan Sama Bahari dengan Operation Wallacea yang difasilitasi oleh LSM serta tokoh-tokoh masyarakat setempat. Kesepakatan tersebut telah menetapkan adanya daerah konservasi ikan di perairan selatan Pulau Hoga, sehingga merupakan kawasan yang tertutup bagi nelayan untuk penangkapan ikan. Hal ini merupakan kegiatan yang berpotensi mendukung kelestarian SDL di kawasan tersebut Di samping itu, adanya aturan-aturan untuk melindungi kawasan terumbu karang merupakan salah satu usaha untuk melestarikannya. Namun sebaliknya, kegiatan pedagang pengumpul yang menawarkan harga tinggi untuk ikan karang hidup, serta penyediaan bahan-bahan peledak maupun bahan beracun untuk memperoleh SDL karang, sangat berpotensi mengancam kelestarian terumbu karang. Hal ini akan diperparah oleh lemahnya penegakan hukum bagi pelanggar seperti kasus pengeboman ikan dan pemakaian sianida yang sering terlepas dari jerat hukum. • Keberadaan resort Hoga yang dikelola oleh Operation Wallacea dalam kegiatannya banyak memberikan manfaat bagi masyarakat Kaledupa, termasuk masyarakat Sama Bahari. Misalnya, penyewaan penginapan milik orang Kaledupa di resort Hoga, menjadi konsumen ikan dari nelayan Sama Bahari. Di samping itu, Operation Wallacea memberi kompensasi uang untuk pembangunan Desa Sama
90
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
Bahari sebagai imbalan kesepakatan memelihara daerah konservasi di sekitar resort Hoga. Namun demikian, kerja sama secara formal antara Operation Wallacea dengan pemerintah daerah kurang terjalin dengan baik (kerja sama langsung dengan pemerintah pusat). Demikian pula kerja sama antara resort Hoga dengan yayasan lokal, berupa penyewaan kapal untuk transportasi wisata bahari dan penyediaan penginapan untuk wisatawan di Sama Bahari, dianggap belum banyak melibatkan masyarakat setempat secara langsung. • Keberadaan Yayasan ‘Bajo Mathilla’ yang merupakan satu-satunya yayasan/LSM di Desa Sama Bahari, banyak berpengaruh positif bagi kehidupan masyarakat setempat, maupun pelestarian SDL. Kegiatan yayasan yang berkaitan dengan pemanfaatan SDL antara lain: mengadakan latihan untuk budidaya rumpon maupun rumput laut, melibatkan masyarakat dalam kegiatan wisatawan asing di Sama Bahari (berkeliling dengan sampan di sekitar pemukiman). Kegiatan tersebut sangat positif bagi pemberdayaan masyarakat, karena memberikan peluang untuk menambah penghasilan rumah tangga. Usaha budidaya rumpon yang pernah dilakukan oleh yayasan, pengelolaannya diserahkan pada nelayan setempat, sehingga masyarakat dapat mengambil manfaat dengan menangkap ikan di sekitarnya. Dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan, yayasan merintis model rumah tancap dengan penggunaan semen cor untuk membuat tiang fondasi rumah. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak terus menerus menambang karang untuk memenuhi kebutuhan membuat fondasi rumah, sehingga kerusakan karang tidak berlanjut. • Dalam perkembangan yayasan, banyak kegiatan yayasan yang cenderung dianggap membatasi partisipasi masyarakat, terutama dalam kegiatan kerja sama dengan Operation Wallacea di resort Hoga. Yayasan dianggap memonopoli kegiatan wisatawan asing yang datang ke Sama Bahari, misalnya dengan penyewaan akomodasi, perahu yang dimiliki yayasan atau harus dibawah koordinasi yayasan. Menurut pihak yayasan, hal ini dimaksudkan untuk memberi kenyamanan tinggal dan untuk menjaga keamanan wisatawan. Demikian pula yayasan memiliki fasilitas yang dapat mendukung kegiatan wisatawan seperti toilet, lampu penerangan, meja belajar serta peralatan komunikasi (pager). Namun demikian beberapa tokoh masyarakat setempat beranggapan kegiatan yayasan yang didukung kepala desa merupakan bentuk monopoli yang hanya menguntungkan yayasan dengan memanfaatkan keberadaan wisatawan di Desa Sama Bahari. Faktor lain yang dianggap negatif adalah keterlibatan aparat desa sebagai staf pengurus yayasan, yang sangat potensial untuk terjadinya benturan kepentingan. Di satu sisi, sebagai pengurus yayasan akan berusaha seoptimal mungkin untuk memperoleh dana bagi kelangsungan yayasan, sementara sebagai aparat dia harus memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Apabila terjadi pertentangan antara kepentingan yayasan dan warga Sama Bahari, aparat tersebut akan menghadapi kesulitan dalam bertindak netral karena kompensasi yang diterima kepala desa untuk keterlibatannya. • Pemanfaatan SDL oleh nelayan luar yang cenderung berlebihan, dianggap masyarakat setempat sebagai penyebab kerusakan terumbu karang di sekitar wilayah Kaledupa. Nelayan dari luar, yang umumnya memiliki armada dan peralatan tangkap yang lebih lengkap, diduga telah menggunakan bom maupun sianida dengan bantuan kompressor terutama untuk dapat menangkap ikan karang sebanyak-banyaknya. Meskipun penangkapan ikan dengan cara-cara tersebut dilarang, namun selama ini penegakan hukumnya lemah dan sanksi yang
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
91
diberikan kepada para pelanggar aturan sering tidak adil. Para nelayan yang menggunakan bom, sianida maupun trawl (pukat harimau) mudah lolos dari kejaran petugas, karena memiliki armada yang lebih cepat. Sebaliknya nelayan tradisional Bajo mudah menjadi sasaran penangkapan, meskipun sebetulnya banyak yang melanggar aturan karena keterbatasan informasi yang diterima, sehingga isi peraturan dan sanksinya kurang dipahami. • Berlangsungnya pelanggaran dalam pengelolaan SDL oleh nelayan juga disebabkan antara lain adanya ketimpangan jumlah aparat penjaga keamanan dibandingkan dengan luas areal taman nasional yang dijaganya (sekitar 1.390.000 hektar). Jumlah petugas yang menjaga keamanan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi sangat terbatas, demikian juga kualitas SDM dan kelengkapan sarana yang digunakannya. Potensi SDL yang melimpah merupakan daya tarik bagi nelayan dari luar daerah untuk memanfaatkannya seoptimal mungkin, dengan menggunakan peralatan dan cara-cara yang seringkali merusak lingkungan. Dengan jumlah petugas dan fasilitas keamanan yang sangat terbatas, petugas TNKW menjadi kewalahan dalam menjaga keamanan areal seluas itu. Di samping itu kebanyakan petugas masih jauh tertinggal pengalamannya di bidang kelautan dibandingkan dengan para nelayan yang umumnya sebagai pelaut handal. Akibatnya para nelayan yang melakukan pelanggaran, mudah lolos dari kejaran petugas, karena mempunyai armada yang lebih cepat. Petugas keam anan juga kurang berdaya dalam menghadapi berbagai kasus pencurian yang banyak terjadi di kawasan tersebut, termasuk pencurian speedboat milik patroli jaga di resort Kaledupa. Operasi patroli di laut sering tidak berdaya menghadapi ancaman dari kelompok nelayan yang tertangkap basah menggunakan bom, seperti melempar bom ke kapal patroli jaga. Tindakan ini menunjukkan bahwa untuk membuat jera para pelanggar peraturan, penjaga keamanan harus dilengkapi dengan peralatan atau sarana kerja yang lebih memadai. Kondisi SDM •
Masyarakat Bajo di Sama Bahari masih hidup secara tradisional di atas perairan laut. Pendidikan sekolah masih sangat rendah, pada umumnya tidak sekolah atau tidak lulus SD. Bagi generasi muda, meskipun partisipasi sekolah sudah meningkat, namun umumnya hanya sampai tingkat SD. Jumlah penduduk yang melanjutkan ke tingkat sekolah menengah, relatif sedikit, hanya ada beberapa orang yang masih melanjutkan ke SLTP atau SLTA. Fasilitas pendidikan yang dimiliki Desa Sama Bahari hanya sebuah SD Negeri (didirikan tahun 1998), yang memiliki tenaga guru sebanyak 6 orang dan sekitar 50 murid. Kebanyakan guru tidak selalu penuh melakukan aktivitas mengajar, karena hampir semua tinggal di daratan Kaledupa. Tingkat absensi murid dan tingkat putus sekolah relatif tinggi, terutama karena rendahnya motivasi orang tua dan murid untuk sekolah. Hal ini disebabkan antara lain dilibatkannya anak-anak dalam pekerjaan mencari ikan ke laut, terutama pada musim ikan.
•
Kebutuhan masyarakat untuk pendidikan kejuruan yang berkaitan dengan ketrampilan di bidang kelautan masih sulit dipenuhi, karena faktor geografis dan keterbatasan dana. Rendahnya pendidikan masyarakat juga berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi seperti menghitung hasil produksi SDL dan memperluas jaringan pemasaran. Kelemahan SDM ini menyulitkan upaya pengembangan hasil produksi dan perluasan pemasaran, sehingga posisi tawar
92
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
mereka dalam jaringan pemasaran rendah dan porsi keuntungan yang diperoleh kecil. Dengan peningkatan pendidikan dan wawasan, dapat membuka alam pikiran mereka untuk dapat memilih alternatif pekerjaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa merusak lingkungan. •
Mayoritas masyarakat Sama Bahari adalah Suku Bajo yang semua aktivitasnya sangat bergantung pada kehidupan di laut. Pekerjaan utama penduduk di Sama Bahari adalah sebagai nelayan, karena alternatif mata pencaharian lain masih relatif kecil. Pada umumnya, mereka adalah nelayan tradisional yang mengelola SDL dalam skala kecil dan menggunakan teknologi atau alat tangkap yang sangat sederhana. Sebagian besar penduduk masih menggunakan perahu tanpa motor. Sebagian lainnya sudah menggunakan perahu motor (bodi) yang umumnya berkekuatan kecil (sekitar 5 PK). Dalam perkembangannya, untuk merespon permintaan pasar yang tinggi serta harga beberapa SDL yang menggiurkan, mereka mulai meningkatkan eksploitasinya terutama untuk menangkap ikan karang maupun lobster. Hal ini terutama dipicu oleh tindakan para pedagang pengumpul atau taoke yang juga menyediakan alat dan bahan untuk memperoleh SDL semaksimal mungkin namun cenderung merusak karang. Perubahan yang terjadi pada masyarakat nelayan di Sama Bahari adalah makin maraknya penggunaan alat tangkap seperti bom dan sianida pada beberapa nelayan karena mengikuti jejak para nelayan dari luar. Dahulu para nelayan hanya menggunakan alat tangkap seperti jaring, pancing, tombak dan panah. Apabila pelanggaran ini dibiarkan berlangsung terus, maka kerusakan terumbu karang akan semakin parah.
•
Keadaan ekonomi masyarakat sangat tergantung dari hasil pekerjaannya sebagai nelayan, yaitu pengelolaan dan pemanfaatan SDL, yang dipengaruhi oleh perubahan musim, lokasi penangkapan dan peralatan tangkap yang digunakan. Meskipun pada umumnya nelayan mudah memperoleh hasil tangkapan SDL (ikan karang dan non karang), namun banyak keterbatasan nelayan seperti pemilikan armada dan alat tangkap, pemasaran yang sempit dan pesaing dari luar yang lebih canggih peralatannya. Akibatnya banyak nelayan yang hidup secara subsisten, yaitu hanya cukup untuk menutup kebutuhan dasar sehari-hari. Bagi sebagian kecil nelayan yang memiliki armada motor, kehidupan ekonominya lebih baik, dilihat dari penghasilan dan bangunan fisik rumah. Adanya ketimpangan ekonomi diantara kelompok masyarakat, dapat mendorong nelayan miskin untuk mengeksploitasi lebih banyak SDL. Caranya antara lain dengan menjadi anggota kelompok dari koordinator yang mengajaknya, dan mengikuti ‘bos’ dalam menggunakan alat tangkap, meskipun potensial dapat merusak terumbu karang (memakai potas atau bom).
•
Masyarakat setempat beranggapan bahwa laut adalah pemberian Tuhan yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Mereka juga beranggapan dapat melakukan penangkapan SDL dengan bebas sesuai dengan kebutuhannya, sepanjang meminta ijin dari dewa penunggu laut. Dengan pola pikir yang sederhana tersebut, mereka sulit menerima peraturan-peraturan yang berkaitan dengan zonasi (dianggap sebagai pengkaplingan laut), serta laranganlarangan yang berkaitan dengan peralatan tangkap yang digunakan. Pada saat ini kebanyakan masyarakat Bajo masih sangat peduli dengan kelangsungan SDL, sehingga hanya mengambil hasil laut sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun dalam perkembangannya pengaruh dari luar memungkinkan para nelayan meningkatkan kegiatannya, dengan peralatan tangkap atau bahan
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
93
yang menguntungkan nelayan. Pemahaman nilai budaya yang sederhana dari nelayan dapat berbenturan dengan peraturan yang telah ditetapkan yaitu larangan untuk menggunakan bahan peledak dan bahan beracun untuk menangkap ikan. •
Potensi SDL yang besar dan kemudahan untuk memperoleh uang kas telah memanjakan kehidupan nelayan Bajo, sehingga masyarakat nelayan cenderung mengikuti pola hidup konsumtif, dan bersifat jangka pendek. Hal ini menyebabkan nelayan cenderung mudah menjual barang simpanan dengan harga murah atau berhutang dengan bunga yang relatif tinggi, untuk menutup kebutuhannya. Keadaan demikian menyebabkan konsep koperasi yang mewajibkan nelayan menabung dulu, sulit berkembang. Sebaliknya mereka lebih menyukai sistem kredit, meskipun harus membayar lebih mahal, karena beranggapan mudah memperoleh uang kas dari hasil laut yang diperoleh.
Perumahan dan Sanitasi Lingkungan •
Pilihan untuk hidup di atas perairan laut bagi masyarakat Sama Bahari, menyebabkan fasilitas untuk membangun perumahan dan sanitasi lingkungan terbatas. Perumahan yang lebih kokoh, pada umumnya dibangun di atas fondasi karang, sehingga mereka tidak perlu mengganti tiang rumah setiap 3-4 tahun sekali. Demikian pula pembuangan semua limbah rumah tangga, adalah laut di sekitarnya. Semakin padat perumahan dengan fondasi karang, semakin tidak leluasa membuang limbah, terutama di musim kemarau atau ketika air surut. Hal ini berpengaruh terhadap kesehatan terutama pada anak-anak, sehingga sering terjadi muntaber pada musim kemarau. Hal ini diperparah dengan sulitnya mencari air bersih dan kebiasaan minum air mentah pada penduduk, yang memungkinkan hidup seadanya tanpa alternatif yang memadai. Penduduk juga terpaksa mengeksploitasi hutan bakau di sekitarnya untuk memenuhi keperluan bahan bakar, karena alternatif lain sulit diperoleh.
7.2. Rekomendasi Untuk mengatasi permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan SDL di Sama Bahari beberapa langkah berikut dapat direkomendasikan pada instansi terkait atau stakeholders lainnya. Aspek sosial ekonomi 1. Untuk mengurangi tingginya ketergantungan masyarakat terhadap SDL, perlu menciptakan lapangan pekerjaan alternatif di luar pekerjaan sebagai nelayan. Keberadaan resort Hoga dengan berbagai kegiatannya banyak menarik wisatawan mancanegara terutama untuk tujuan penelitian kelautan. Sebagai bagian dari kegiatannya, sering juga mengunjungi Desa Sama Bahari yang lokasinya berhadapan dengan resort. Hal ini membuka peluang bagi masyarakat setempat untuk menambah penghasilan dengan berbagai kegiatan ekonomi seperti menyediakan jasa pengayuh sampan bagi wisatawan yang ingin berkeliling desa, membuat atau berjualan souvenir, menjual makanan atau minuman khas Sama Bahari. Oleh karena itu, perlu pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan wisata bahari dalam bidang seperti akomodasi, transportasi dan makanan siap saji, souvenir dengan melibatkan LSM, tokoh masyarakat setempat
94
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
maupun Operation Wallacea di resort Hoga. Hal ini untuk mengantisipasi kunjungan wisatawan maupun peneliti yang ingin menginap di Desa Sama Bahari. Masyarakat perlu mempersiapkan diri agar dapat memenuhi kebutuhan wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Sejalan dengan pengembangan wisata bahari, pemberdayaan masyarakat setempat diperlukan agar tidak hanya menjadi penonton wisatawan, tetapi juga dapat mengambil keuntungan ekonomi secara langsung. Alternatif lain adalah perlunya diperkenalkan alat-alat penangkapan ataupun pelatihan-pelatihan untuk usaha budidaya SDL yang ramah lingkungan. Adanya upaya untuk menambah penghasilan di luar pekerjaan utama sebagai nelayan, diharapkan masyarakat tidak lagi memanfaatkan laut secara berlebihan. 2. Untuk mengalihkan nelayan dari kegiatan yang merusak hutan bakau, masyarakat perlu alternatif lain dalam penggunaan bahan bakar misalnya pemakaian kompor minyak tanah atau tungku batu bara. Untuk itu diperlukan kemudahan pengadaan kompor atau peralatan lain yang dibutuhkan, dengan melibatkan yayasan atau koperasi terkait. Keadaan ini dimungkinkan, karena beberapa keluarga sudah menggunakan kompor minyak tanah, dan umumnya mereka mampu membeli terutama dengan sistem kredit. Dalam hal ini pemerintah daerah setempat dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk pengadaannya sesuai kesepakatan dengan masyarakat. Alternatif ini dapat mengurangi pemakaian kayu bakau sebagai bahan bakar, sekaligus sebagai upaya mengembalikan dan melestarikan hutan bakau. Dengan pemakaian kompor minyak tanah atau tungku batu bara juga dapat mengurangi beban kerja perempuan Bajo mengambil kayu ke hutan bakau. 3. Upaya yayasan setempat untuk mengenalkan fondasi rumah dengan tiang cor semen perlu didukung semua pihak terkait, sehingga dapat mengurangi ketergantungan masyarakat untuk menggunakan batu karang atau kayu bakau sebagai fondasi rumah atau tanggul jembatan. Di samping itu, yayasan dapat mengusahakan pelatihan ketrampilan bengkel mesin perahu seperti yang pernah direncanakan. Sementara itu, pengolahan ikan maupun pengasapan dan pengeringan ikan merupakan alternatif mata pencaharian yang juga dapat dikembangkan terutama untuk perempuan. Apalagi pemasaran untuk ikan kering juga cukup potensial baik pasar domestik maupun untuk ekspor. 4. Ketimpangan penghasilan nelayan akibat perbedaan pemilikan alat produksi, dapat diatasi dengan memberi kemudahan penyediaan alat poduksi dengan sistem yang disepakati bersama. Namun demikian peluang kemudahan tersebut di satu sisi dapat meningkatkan hasil produksi, sedangkan di sisi lain dapat dimanfaatkan oleh nelayan untuk ekplorasi SDL secara berlebihan, dengan memakai bahan yang dapat merusak terumbu karang. Untuk itu perlu disosialisasikan peraturan daerah dan sanksinya atau kesepakatan lokal yang dapat mengontrol penggunaan alat tangkap yang aman untuk pelestarian lingkungan. 5. Untuk meningkatkan nilai tambah hasil produksi, nelayan Bajo tidak dapat mengandalkan pola ‘petik jual’ saja, tetapi perlu diberdayakan untuk meningkatkan ketrampilan dalam pasca panen, sehingga dapat mengembangkan pola pemanfaatan hasil dengan ‘petik-olah-jual’. Ketrampilan yang sederhana seperti pengasapan ikan, pengawetan ikan atau siap konsumsi, perlu dikembangkan di Desa Sama Bahari, terutama dalam pengembangan potensi wilayah sebagai daerah wisata bahari di Kepulauan Wakatobi.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
95
6. Untuk mengatasi kecenderungan hidup yang konsumtif, perlu adanya semacam lembaga keuangan/lembaga kredit masyarakat atau mengaktifkan kembali koperasi nelayan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk untuk memperoleh barang konsumsi maupun produksi, secara mudah dan cepat. Kelemahan dalam sistem pembayaran dapat dilakukan sesuai kesepakatan (misalnya dengan bagi hasil), dengan melibatkan tokoh atau yayasan setempat yang dipercaya masyarakat. 7. Untuk meningkatkan posisi tawar nelayan dalam pemasaran hasil, perlu memperluas jaringan pasar dan pemberdayaan nelayan dalam pemasaran antara lain dengan jalan: •
• •
Pengembangan pasar ikan permanen atau semacam tempat pelelangan ikan (TPI) yang dilengkapi dengan sistem penyimpanan ikan, sehingga nelayan mendapat informasi cukup tentang harga dan dapat lebih bersaing secara sehat. Mengurangi sistem pemasaran dengan ‘jemput bola’ yang merugikan nelayan baik dalam penentuan harga maupun cara-cara penangkapan yang potensial memicu perusakan terumbu karang. Pendataan yang lebih akurat tentang kebutuhan konsumen pada jenis SDL tertentu untuk waktu tertentu, sehingga hasil produksi dapat disesuaikan dengan permintaan. Hal ini dapat menghindarkan praktek overfishing yang dapat merugikan nelayan (harga turun) atau merusak lingkungan.
8. Perlu mendorong investor untuk mengembangkan agro- industri/ agro-bisnis di bidang perikanan di wilayah Kaledupa, sehingga hasil produksi SDL dari nelayan dapat menjadi pemasok pada industri hilir. Hal ini sekaligus dapat mengurangi pengangguran dan meningkatkan keamanan, akibat terbatasnya kesempatan kerja di daratan Kaledupa. Aspek sosial budaya 1. Dalam mengatasi kelemahan SDM, perlu ada keseriusan Pemda/instansi terkait bekerja sama dengan lembaga masyarakat dalam meningkatkan kualitas SDM antara lain dengan:
96
•
Pemberdayaan masyarakat melalui berbagai media (sekolah formal, kursus, latihan) serta memperluas jaringan komunikasi dan informasi melalui media elektronik seperti radio dan TV.
•
Meningkatkan pendidikan formal bagi generasi muda sesuai dengan kebutuhan masyarakat pelaut, sehingga dapat memperluas pilihan mereka tanpa mencabut akar budaya sebagai masyarakat pelaut. Peningkatan pendidikan formal juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat baik waktu, lokasi sekolah, guru yang lebih serius dan muatan lokal yang diperlukan (berkaitan dengan kelautan).
•
Alternatif lainnya dengan pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi agar dapat melanjutkan sekolah sesuai dengan minat dan bidang yang dibutuhkan untuk perkembangan wilayah seperti sekolah kejuruan (seperti teknologi perkapalan, biologi laut, agroindustri/agrobisnis terkait, guru dan keamanan laut).
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
•
Mempercepat pengadaan listrik masuk desa di Sama Bahari, sehingga meningkatkan kenyamanan belajar siswa serta memungkinkan penggunaan media elektronik untuk berbagai informasi yang diperlukan. Keterbukaan informasi akan meningkatkan kesadaran mereka dalam memilih alternatif tempat tinggal dengan lingkungan yang lebih terbuka dan lebih nyaman.
2. Permasalahan yang berkaitan dengan kelemahan SDM dalam pengelolaan SDL yang berkelanjutan dapat diatasi dengan sosialisasi yang efektif dan intensif mengenai cara pelestarian SDL, khususnya terumbu karang. Misalnya, dengan memberikan penjelasan dengan bahasa yang dimengerti penduduk (Bahasa Bajo), bahwa meskipun karang yang diambil itu karang mati, namun pengambilan karang yang berlebihan akan membahayakan kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Akibat yang mungkin terjadi seperti erosi pantai Kaledupa atau banjir akibat penebangan hutan bakau. Pada dasarnya, masyarakat Sama Bahari adalah masyarakat yang sederhana pola pikirnya, kalau penjelasan yang diberikan dapat diterima oleh akal sehat mereka, mereka cenderung akan mentaati semua peraturan yang ada. Hal ini telah terbukti dengan adanya kesepakatan yang dibuat masyarakat Sama Bahari dengan Operation Wallacea, berkaitan dengan kawasan konservasi untuk tempat berkembang biaknya ikan. Kompensasi yang diberikan hanya bersifat sementara, karena akhirnya masyarakat menyadari manfaat yang diberikan dari kesepakatan tersebut yaitu ikan makin melimpah di sekitar tempat konservasi. Dalam hal ini, nampaknya peran pimpinan adat atau dukun sangat diperlukan dalam menyampaikan informasi atau sosialisasi peraturan maupun kesepakatan-kesepakatan yang melibatkan masyarakat. Hal ini mengingat kecenderungan masyarakat yang sangat percaya dukun yang dianggap sebagai perantara hubungan masyarakat dengan dewa penunggu laut. 3. Dalam mengatasi permasalahan dan isu perumahan dan sanitasi lingkungan, upaya yang mungkin dilakukan oleh Pemda adalah membantu menyediakan alternatif lain yang dibutuhkan masyarakat untuk hidup lebih sehat dan nyaman antara lain: •
Perlunya penataan lingkungan dengan membangun perumahan yang lebih teratur dan lebih sehat. Pembangunan rumah permanen perlu diatur dengan tetap menyisakan ruang cukup dan terbuka di sekitar rumah, sehingga pembuangan limbah rumah tangga tidak tertahan di lokasi pemukiman, terutama pada waktu air surut.
•
Mensosialisasikan dan membantu pengadaan bahan untuk rumah tancap yang permanen tanpa menggunakan batu karang, dengan melibatkan yayasan yang telah merintis model rumah permanen yang sehat, tanpa merusak karang lebih lanjut (rumah kepala desa).
•
Memanfaatkan bantuan kompensasi desa dari Walecia untuk pengembangan SDM seperti sarana dan prasarana sekolah, olah raga, kebersihan lingkungan dan tempat ibadah.
•
Untuk mengurangi kerusakan hutan bakau di sekitar pemukiman, perlu tersedia alternatif pemakaian bahan bakar seperti minyak tanah atau batubara. Untuk mensosialisasikan pemakaian bahan bakar alternatif, perlu kemudahan penyediaan alat rumah tangga terkait seperti kompor atau tungku. Untuk pemerintah desa dapat bekerja sama untuk memudahkan pengadaannya dengan sistem kredit yang tidak memberatkan masyarakat.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
97
Dengan tersedianya alternatif tersebut berarti telah mengurangi beban berat perempuan Bajo, sekaligus menyelamatkan kelestarian hutan bakau. 4. Untuk mengurangi pembuangan limbah rumah tangga ke laut, perlu melengkapi armada kebersihan lingkungan yang dapat mengangkut sampah dari rumah tangga masyarakat Sama Bahari (dengan perahu motor keliling). Kebijakan, Peraturan dan Penegakan Hukum 1. Peningkatan kemauan politik dari pemerintah setempat dalam membuat kebijaksanaan, program-program maupun peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan SDL. Peningkatan kesadaran dan keterlibatan staf yang bertugas dalam pengelolaan terumbu karang. Hal ini diperlukan agar petugas yang bersangkutan tidak hanya sekedar mencari atau menindak pelaku pelanggaran tetapi juga mempunyai kesadaran dan kepedulian yang besar terhadap usaha pelestarian terumbu karang. 2. Perlunya penambahan personal maupun sarana kerja untuk meningkatkan sistem keamanan TNKW. Di samping itu, melibatkan masyarakat dalam pengamanan SDL akan lebih berhasil daripada hanya menjadikan mereka obyek yang selalu harus diawasi. Mengingat nelayan setempat merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari laut sehingga mengetahui seluk beluk kelautan, maka sebaiknya mereka dilibatkan sebagai petugas keamanan untuk wilayah TNKW sehingga mereka akan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keamanan lautnya. Dengan demikian, usaha mengamankan aset negara itu akan terjaga dan kerusakan terumbu karang dapat dihindari. Selama ini nelayan setempat hanya menjadi 'polisi' untuk nelayan dari luar sebatas pada 'rebutan wilayah penangkapan'. Artinya, mereka menghalau nelayan luar yang dianggap telah menjadi pesaingnya bukan untuk keperluan melestarikan terumbu karang. Hal ini terutama dilakukan terhadap nelayan luar yang menggunakan alat kompressor untuk menangkap lobster. Dengan melibatkan nelayan setempat sebagai tenaga pengawas laut di wilayahnya, tim patroli akan lebih kuat, sehingga lebih mudah melakukan tindakan yang diperlukan terhadap nelayan yang melakukan pelanggaran. Untuk itu nelayan yang akan dilibatkan perlu mendapat pelatihan atau dibekali pengetahuan mengenai aturan-aturan formal serta sanksinya. 3. Perlu penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan nelayan tanpa pandang bulu, terutama pelanggaran yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Pemberian sanksi juga harus diterapkan pada stakeholder lain yang menyediakan bahan peledak atau racun untuk penangkapan ikan. Di samping itu, penyuluhan mengenai perlunya terumbu karang serta dialog dengan masyarakat setempat mengenai permasalahan ini akan dapat membantu mencegah kerusakan terumbu karang lebih lanjut. 4. Untuk melihat perubahan yang terjadi setelah dilaksanakan intervensi program COREMAP, beberapa indikator yang dapat digunakan untuk keperluan monitoring dan evaluasi program adalah: •
98
Kondisi SDL khususnya terumbu karang dapat dilihat dari pemakaian karang untuk fondasi rumah; tingkat kerusakan terumbu karang; populasi ikan karang (secara kualitatif); jumlah budidaya rumpon yang dimanfaatkan penduduk; serta alternatif pekerjaan di luar nelayan.
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara
•
Kondisi SDM dapat dilihat antara lain dari: tingkat partisipasi sekolah, tingkat pendidikan yang ditamatkan, partisipasi dalam kursus ketrampilan/pelatihan, banyaknya kasus penyakit, jumlah pengunjung posyandu dan puskesmas.
•
Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat antara lain dari: pemilikan perahu motor; pemilikan alat tangkap; rumah permanen; jenis dan jumlah ikan yang banyak ditangkap.
•
Perilaku penduduk yang berkaitan dengan pelestarian terumbu karang dapat dilihat antara lain dari: frekuensi kepergian ke karang dalam satu tahun (penduduk lokal dan luar); pemakaian alat/bahan perusak karang dari penduduk (lokal dan luar), banyaknya budidaya rumpon, banyaknya rumah tangga yang memakai kompor atau lainnya (selain kayu bakar), dan banyaknya rumah/lahan dengan fondasi karang.
DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
99
Daftar P ustaka Brown, Chaterine S.J. 1994 Bajau. Penerbit Yayasan Sejati. Coles, Tim 2001 Coles, Tim 2000
Proposal for the Continued Development of Ecotourism in Buton Island and the Wakatobi Marine National Park. 'Tahun 2000 Pengunjung Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi Lebih Banyak Lagi', Buletin Napoleon , Edisi Kedua Th. 2000, pp.3-6'.
Guntoro, Dodit Ari 2000 Rumpon (Rompong), Buletin Napoleon, Edisi Kedua Th. 2000, pp.2123'. Imron, Masyhuri (ed.) 1999 Potensi dan Kendala Dalam Pengelolaan Terumbu Karang: Pedoman untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis Masyarakat (Desa Lemobajo, Kecamatan Lasolo, Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara). Jakarta, Kerjasama antara COREMAP dengan PPT-LIPI. Kompas 2001
'Air masalah Utama Penduduk Binongko, Sulawesi Tenggara", Kompas, 24 November.
Nagib, Laila (ed.) 1999 Potensi dan Kendala Dalam Pengelolaan Terumbu Karang: Pedoman untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis Masyarakat: (Desa Sungai Pisang, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kotamadya Padang, Propinsi Sumatera Barat). Jakarta, Kerjasama antara COREMAP dengan PPT-LIPI. Unit Taman Nasional Kepulauan Wakatobi 2001 Materi Pembahasan Tingkat kecamatan dalam rangka Peninjauan/Pengkajian Perubahan Zonasi Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. Widjanarko, C. Hendro 2000 "Dampak Pemakaian Racun/Bius Terhadap Kelestarian Terumbu Karang’, Buletin Napoleon, Edisi Kedua Th. 2000, PP. 16-18.
101 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
L ampiran
LAM PIR AN 1 Jumlah Penduduk Kecamatan Kaledupa Menurut Jenis Kelamin Desa Ambeua Laulua Ollo Buranga Balasuna Sandi Langge Lentea Tampara Harou Sombano Sama Bahari Tanomeha Barawa Kasuwari Lagiwae Rajan
Jumlah KK 316 190 319 313 271 279 259 147 210 273 128 267 327 211 252 289 254
Penduduk Laki-laki
Penduduk Perempuan
Jumlah
Jumlah Nelayan
494 371 517 483 440 529 372 219 343 603 275 549 549 191 462 437 224
566 418 571 511 474 594 487 251 406 586 274 535 646 203 534 499 255
1058 789 1091 994 914 1123 859 470 749 1189 549 1084 1195 392 996 936 479
52 79 83 106 78 119 97 65 83 208 68 267 109 100 51 49 -
Jumlah 4305 7058 Sumber: Kantor Kecamatan Kaledupa.
7809
14867
1596
103 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA
LAM PIR AN 2 Persentase Responden Menurut Kelompok Pendapatan Keluarga Sebulan Terakhir Kelompok Pendapatan (Rp)
Persen
Kurang 200.000 200.000- 399.000 400.000- 599.000 600.000-799.000 800.000- 999.000 1 juta/ lebih
N
15,8 43,6 15,8 11,9 3,0 10.0
16 44 16 12 3 10
Jumlah 100,0 101 Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
LAMPIRAN 3 Persentase Responden Menurut Kelompok Pengeluaran Keluarga Sebulan Terakhir Kelompok Pengeluaran (Rp) Kurang 100.000 100.000- 199.000 200.000- 299.000 300.000- 399.000 400.000- 499.000 500.000 – 699.000 700.000- 999.000 1 juta/lebih Jumlah
Jenis Pengeluaran Pangan Non Pangan
3,0 12,9 16,8 19,8 20,8 12,9 7,0 6,9 100,0 (N= 101) Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001
104
16,8 34,7 24,8 15,8 5,0 3,0 100,0
Jumlah Pengeluaran
40,6 27,7 22,8 2,0 1,0 5,0 1,0 100,0
Studi Kasus : Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara