ANALISIS STATUS TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI DESA TELUK BUTON KABUPATEN NATUNA1 (Analysis of Coral Reef Condition Status for the Development of Marine Tourism in Teluk Buton Village, Natuna Regency) Hadi Suryanto2, Fredinan Yulianda3, dan Yusli Wardiatno3 ABSTRAK Desa Teluk Buton merupakan pulau yang terdapat di wilayah Kabupaten Natuna, yang terletak Kota Ranai sebagai ibu kota Kabupaten Natuna. Desa Teluk Buton juga terdapat pulau-pulau kecil yang mempunyai potensi wisata bahari yang menarik seperti perairan yang jernih, terumbu karang, dan ikan karang. Permasalahan yang melatarbelakangi dalam penelitian ini adalah belum adanya pengelolaan terumbu karang untuk pengembangan wisata bahari dengan tujuan penzonasian peruntukan kawasan wisata bahari snorkeling dan selam. Metode yang digunakan yaitu Line Intercept Transect (LIT) untuk analisis terumbu karang, Underwater Visual Cencus (UVC) analisis ikan karang, Reef Check Benthic Fauna (RCBF), analisis Fauna Bentik, Indeks Kesesuaian Wisata (IKW), analisis Scenic Beauty Estimation (SBE), dan analisis Daya Dukung Kawasan (DDK). Untuk kategori IKW snorkeling dan selam, 8 stasiun masuk dalam kategori S2 (sesuai) wisata snorkeling dan selam, sedangkan 1 stasiun masuk dalam kategori S2 (sesuai) untuk selam, dan 1 stasiun masuk kategori N (tidak sesuai) untuk dijadikan kawasan wisata bahari (snorkeling dan selam). Hasil analisis Daya Dukung Kawasan menunjukan bahwa kesesuaian kawasan satu spot untuk dua kegiatan wisata (snorkeling dan selam) mempunyai nilai DDK yang beragam, sehingga tidak bisa menetapkan nilai tertinggi dan terendah berdasarkan stasiun, dan dapat diintepretasikan bahwa semakin besar suatu kawasan, maka semakin tinggi pula nilai daya dukungnya. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil suatu kawasan maka semakin rendah pula nilai daya dukung yang dimiliki. Kata kunci : daya dukung, kesesuaian, komunitas karang, Teluk Buton
ABSTRACT Teluk Buton Village is the island that located in Natuna District area and lies at Ranai City as a capital of Natuna District. In Teluk Buton Village, there are also the small islands which have marine tourism potency attractively like clear waters, coral reefs, and reef fishes. The underlying problem in this study is the absence of the coral reefs management for marine tourism development, with the purposes of zoning designation of snorkeling and diving marine tourism areas. The method that used are Line Intercept Taransect (LIT) for coral reef analysis, Underwater Visual Census (UVC) for reef fish analysis, Reef Check Benthos (RCB) for Bentic Fauna analysis, analysis of Tourism Suitability Index, Analysis of Scenic Beauty Estimation (SBE) and analysis of Area Carrying Capacity. For the tourism suitability index, categories of snorkeling and diving in eight sites include of S2 category (suitable) of snorkeling and diving tourism, while in one site ”suitable” for diving, and then one site include of N category (unsuitable) to serve as marine tourism area (snorkeling and diving). The result from analysis of area carrying capacity suggest that suitability of one spot area for two tourism activity (snorkeling and diving) has a varied value of area carrying capacity, therefore, could not determine the highest and lowest values based on the site, and can be interpreted that the larger an area, the higher value of carrying capacity, otherwise, the smaller an area, the lower value of carrying capacity. Key words: carrying capacity, compatibility, coral community, Teluk Buton Village
punyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis ekosistem terumbu karang merupakan tempat berbagai organisme yang berasosiasi dengannya untuk berlindung, mencari makan, dan berkembang biak.
PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mem1 2
3
Diterima 09 Oktober 2009 / Disetujui 12 Desember 2009. Kepala Bidang Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Natuna. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Selain itu, keberadaan ekosistem terumbu karang dapat melindungi pantai dari gelombang 137
138
Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2009, Jilid 16, Nomor 2: 137-143
dan abrasi. Sedangkan secara ekonomi, ekosistem terumbu karang yang indah merupakan obyek wisata bahari yang menarik. Data hasil pengamatan kesehatan karang (reef health) oleh tim CRITC (coral reef information and training center) Pusat (LIPI) dengan Tim CRITC daerah bahwa ada perbedaan persentase tutupan karang (LC) di Desa Teluk Buton dari tahun 2004 sampai 2007. Persentase tutupan karang hidup (LC) meningkat dari 40.45% pada tahun 2004 menjadi 46.04% pada tahun 2007. Potensi wisata bahari tersebut dapat dijual kepada wisatawan untuk dinikmati keindahannya. Para wisatawan tidak semata-mata menikmati pertunjukan tari-tarian dan acara kebudayaan penduduk setempat, tetapi keindahan alam yang mempesona mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Hal ini dapat menarik minat mereka untuk tinggal lebih lama dan lebih banyak membelanjakan uangnya. Jika kondisi dapat terwujud, maka kegiatan wisata bahari di suatu suatu lokasi tertentu dapat meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Untuk mendukung konsep perencanaan tersebut, dilakukan penelitian tentang lokasi potensial yang dapat dikembangkan sebagai lokasi wisata bahari dan jenis wisata apa yang cocok di stasiun penelitian (snorkeling dan selam). Secara ideal harus ada kemampuan material dan kemampuan bisnis profesional untuk menyediakan wisata yang berkualitas dengan tipe yang spesifik misalnya wisata laut, penjelajahan sungai, menyelam, lintas alam, atau peternakan dengan suatu izin untuk beroperasi di suatu wilayah tertentu (Wastern 1995). Untuk memperbaiki suatu kawasan wisata yang dilindungi dari pengunjung wisata, maka zonasi harus dilakukan, baik untuk melindungi sumberdaya dan untuk memberikan keragaman pengalaman-pengalaman yang tersedia bagi pengunjung. Dengan cara yang sama, pemantauan harus melihat kepada dampak (positif dan negatif), baik terhadap lingkungan biofisik dan terhadap pengalaman pengunjung. (Driver at al. 1987). METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di perairan Desa Teluk Buton Kecamatan Bunguran Utara Kabupaten Natuna. Pengambilan data penelitian berlangsung dari bulan April. Jenis dan Sumber Data Sumber data primer yang diambil, yaitu komunitas karang yang terdiri dari tutupan karang hidup, jenis ikan karang, data fauna bentik, dan visual foto hamparan karang. Data tersebut diperoleh baik secara langsung (data primer) maupun tidak langsung (data sekunder). Data primer dikumpulkan melalui estimasi visual, pengamatan/observasi, pengisian kuisioner, serta wawancara mendalam (indeep interview) secara langsung di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari penelusuran pustaka, jurnal/laporan penelitian. Analisis Data Pengamatan Komunitas Karang Pengamatan terumbu karang dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) menurut English et al. (1997). Penyelam meletakkan pita berukuran sepanjang 70 m sejajar garis pantai atau tegak lurus garis pantai pada minimal kedalaman 4 m dan disesuaikan dengan kondisi perairan di lapangan. Posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. Kemudian LIT ditentukan pada garis transek dengan roll meter sepanjang 0-70 m. Semua biota dan substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian hingga ke cm. Tutupan Karang Batu Analisis persentase total tutupan karang hidup berdasarkan metode Line Intersect Transect (LIT) yang diperoleh selanjutnya dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988). Pengamatan ikan karang Metode yang dilakukan terhadap pengamatan ikan karang adalah secara visual dikombinasikan dengan metode Underwater Visual Census (UVC). Selama melakukan pengamatan peneliti mencatat keberadaan tiga kelompok jenis ikan, yaitu kelompok ikan target, ikan indikator, dan ikan mayor sepanjang garis transek 70 m, dan selanjutnya menghitung kelimpahannya.
Suryanto H, Yulianda F, dan Wardiatno Y. Analisis Status Terumbu Karang untuk Pengembangan Wisata ...
Pengamatan fauna bentik Metode Reef Check Fauna (RCB) dilakukan untuk menghitung jumlah fauna yang berasosiasi dengan karang di lokasi penelitian dan dihitung kelimpahan sepanjang garis transek (Manuputty et al. 2006). Perhitungan analisis ekologis persentase tutupan karang, kelimpahan ikan karang, dan kelimpahan fauna di karang dilakukan dengan menggunakan Ms.Excel 2007. Analisis matriks kesesuaian untuk snorkeling Kesesuaian wisata bahari kategori wisata snorkeling mempertimbangkan tujuh parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata snorkeling antara lain kecerahan perairan, tutupan karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang, dan lebar hamparan datar karang (Yulianda 2007). Analisis matriks kesesuaian untuk selam Menurut Yulianda (2007), kesesuaian wisata bahari dalam kategori wisata selam mempertimbangkan enam parameter dengan tiga klasifikasi penilaian. Parameter kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang (karang keras, karang lunak, dan biota lain), jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang. Analisis nilai visual foto hamparan karang Metode Scenic Beauty Estimation (SBE) untuk menentukan nilai visual pengembangan wisata bahari. Tahapan yang dilakukan dalam menentukan nilai SBE ini diawali dengan penentuan titik pengamatan, pengambilan foto, seleksi foto, penilaian oleh responden. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai visual dengan menggunakan tabulasi data, perhitungan frekuensi setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf), dan cumulative probabilities (cp) (Khakim 2009). Analisis nilai daya dukung kawasan Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan ekowisata alam dengan menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). Daya dukung kawasan (DDK) adalah jumlah maksimum pengunjung
139
yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Selajutnya dihitung potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt), prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata (Yulianda 2007). HASIL DAN PEMBAHASAN Terumbu Karang Persentase tutupan karang batu yang diperoleh terumbu karang di lokasi Teluk Buton dikategorikan dalam kondisi baik. Untuk menjaga kondisi terumbu karang agar tetap tumbuh tanpa adanya gangguan yang menyebabkan kerusakan maka perlu meminimalkan aktivitas manusia. Pengukuran kondisi terumbu karang (persentase tutupan karang) pengamatan dilakukan di 10 stasiun Desa Teluk Buton. Adapun hasil pengamatan terhadap penutupan karang di lokasi selama penelitian adalah sebagai berikut: Tabel 1. Persentase pertumbuhan karang hidup di stasiun penelitian Tutupan karang Non Stasiun Acropora Kategori hidup Acropora (%) J.01 79.49 57.35 22.14 SB J.02 43.38 32.54 10.83 S J.03 68.92 63.26 5.67 B J.04 79.79 61.77 18.02 SB J.05 64.49 47.87 16.62 B J.06 56.67 32.40 24.27 B J.07 40.07 18.15 21.92 S J.08 69.95 62.83 7.12 B J.09 60.41 38.21 22.20 B J.10 68.37 37.67 30.70 B Keterangan : SB (sangat baik), B (baik), S (sedang)
Ikan Karang Pengamatan ikan karang yang dilakukan di 10 stasiun dapat dilihat pada Tabel 2, yaitu jumlah ind/ha dan jumlah spesies yang ditemukan di setiap stasiun penelitian. Dapat dijelaskan pada Tabel 2 bahwa stasiun J.01 dengan jumlah ikan karang paling banyak yaitu 5 867 ekor, kemudian diikuti stasiun J.10 sebanyak 1 147 ekor. Untuk jumlah ikan yang paling sedikit dijumpai berada pada stasiun J.02 sebanyak 142 ekor, sedangkan total keselu-
140
Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2009, Jilid 16, Nomor 2: 137-143
ruhan jumlah ikan yang ditemukan untuk 10 stasiun berjumlah 10 040 ekor. Tabel 2. Jumlah dan spesies ikan karang di stasiun penelitian Stasiun J.01 J.02 J.03 J.04 J.05 J.06 J.07 J.08 J.09 J.10 Jumlah
Jumlah ikan 5 867 142 391 419 675 411 278 368 342 1 147 10 040
Jumlah Species 37 18 33 35 36 21 26 30 31 30
Tabel 4. Kelimpahan fauna bentik di stasiun penelitian (ind/ha) No 1 2 3 4 5 6 7
Semua jumlah tersebut sudah termasuk ikan target antara lain: Caesio cuning, Cheilinus undulatus; ikan indikator antara lain: Chaetodon octofasciatus, Chaetodon lunula; dan ikan mayor antara lain: Apogon compressus, Scarus ghoban. Jumlah ikan karang berdasarkan kategori dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah ikan per kategori di stasiun penelitian Kelimpahan Kategori Individu Ikan target 104 Ikan indikator 18 Ikan mayor 882
yang bernilai ekonomis, maka semua 7 jenis fauna bentik yang ditemukan ikut dilaporkan. Kelimpahan fauna bentik (ind/ha) berada pada Tabel 4.
ind/ha 2 971 526 25 186
Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan kelimpahan tertinggi ketiga kategori ikan karang, yaitu ikan mayor dimana kelimpahannya mencapai 25 186 ind/ha, sedangkan ikan target berada pada urutan kedua kelimpahannya mencapai 2 971 ind/ha. Ikan indikator sebagai ikan karang yang menjadi indikator kesehatan/pertumbuhan karang nilainya paling sedikit ditemukan, yaitu 526 ind/ha. Fauna Bentik Secara umum kepadatan fauna bentik di daerah terumbu karang relatif kecil, sehingga sekalipun menggunakan transek garis 140 m masih juga terlihat sejumlah fauna yang tidak tercakup di dalamnya. Salah satu tujuan penelitian ini adalah menginventarisasi fauna bentik di daerah terumbu karang khususnya fauna
Kelimpahan Fauna Bentik Individu Udang karang (Penaeus) 0.8 Karang jamur (Fungia) 54 Bulu babi (Diadema ) 2 Keong (Drupella) 2 Kima (Large Tridacna) 1 Kima (Smal Tridacna) 1 Teripang (Small Holothurian) 0.5
Ind/ha 571 3 907 157 164 71 71 36
Hasil Reef Check Benthic Fauna tersebut, selama pengamatan tak ditemukan satu pun Acanthaster planci yang merupakan hewan pemakan polip karang. Sepanjang transek fauna bentik yang ditemukan di sekitar wilayah karang hanya udang karang (Penaeus), karang jamur (Fungia), bulu babi (Diedema), kima besar (large Tridacna), kima kecil (small Tridacna), dan teripang (small Holothurian). Visual Foto Hamparan Karang Persentase tingkat kesukaan responden untuk obyek gambar yang hasilnya disajikan pada Tabel 5, menunjukkan berdasarkan nilai SBE kemudian ditabulasikan dalam persen bahwa terumbu karang memiliki nilai paling tinggi dengan rata-rata sebesar 82.00, sedangkan ikan karang dengan rata-rata 80.44% dan benthic fauna dengan rata-rata 46.69%. Berdasarkan gambar yang disajikan kepada responden, terumbu karang memiliki jumlah obyek yang banyak disukai dibandingkan dengan obyek lainnya. Dapat disimpulkan bahwa responden lebih memilih obyek terumbu karang karena bentuk hamparan terumbu yang luas serta memiliki jenis yang beragam dan didukung oleh warna warni terumbu. Persentase kesukaan objek dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase tingkat kesukaan pada objek Objek Gambar 1 Karang 2 Karang
No.
Nilai Objek Nilai Objek SBE Gambar SBE Gambar 113.56 Ikan karang 116.33 Bentik fauna 110.44 Ikan karang 98.33 Bentik fauna
Nilai SBE 56.00 -125.67
Suryanto H, Yulianda F, dan Wardiatno Y. Analisis Status Terumbu Karang untuk Pengembangan Wisata ...
Objek Gambar 3 Karang 4 Karang
Nilai Objek SBE Gambar 121.44 Ikan karang 100.78 Ikan karang
5 Karang 6 Karang 7 Karang 8 9 10 Jumlah Rata-rata
128.44 Ikan karang 109.67 Bentik fauna 88.56 146.00 Ikan karang 114.33 Bentik fauna 96.67 -146.67 Ikan karang 100.22 Bentik fauna 107.56 Bentik fauna 72.78 Bentik fauna 29.00 Bentik fauna 87.89 574.00 Jumlah 563.11 Jumlah 466.89 82.00 Rata-rata 80.44 Rata-rata 46.69
No.
Nilai Objek Nilai SBE Gambar SBE -102.78 Bentik fauna 54.11 127.00 Bentik fauna 0.00
141
kesesuaian wisata, yang sesuai untuk dijadikan dua aktivitas wisata bahari. Zonasi kesesuaian wisata snorkeling dan selam berada pada Gambar 1.
Zonasi Kesesuaian Wisata Snorkeling dan Selam Hasil analisis kedua IKW (snorkeling dan selam) maka dapat dilihat pada dan Tabel 6 dan Gambar 1.
Gambar 1.
Tabel 6. Analisis kesesuaian wisata bahari di stasiun penelitian
Daya Dukung
Analisis Kesesuaian Wisata IKW IKW Stasiun SnorIKW Keterangan Selam keling J.01 64.91 72.22 S2 Snorkeling dan Selam J.02 36.84 42.59 N Tidak sesuai J.03 49.12 55.56 S2 Snorkeling dan Selam J.04 78.95 77.78 S2 Snorkeling dan Selam J.05 71.93 72.22 S2 Snorkeling dan Selam J.06 70.18 72.22 S2 Snorkeling dan Selam J.07 43.86 53.70 S2 Selam J.08 73.68 74.07 S2 Snorkeling dan Selam J.09 66.67 75.93 S2 Snorkeling dan Selam J.10 77.19 7778 S2 Snorkeling dan Selam
Berdasarkan Tabel 6 dan Gambar 1 diketahui bahwa zona kesesuaian wisata snorkeling dan selam 8 stasiun, masuk dalam kategori “sesuai”, yaitu stasiun J.01, J.03, J.04, J.05, J.06, J.08, J.09, dan J.10. Sementara stasiun J.07 masuk kategori “sesuai” hanya untuk selam, sedangkan stasiun J.02 masuk kategori “tidak sesuai” baik untuk snorkeling maupun selam. Stasiun yang tidak sesuai disebabkan dari hasil analisis melalui masing-masing indeks IKW, ternyata menunjukkan pembobotan akhir di bawah 50% standar IKW. Stasiun yang “sesuai” dari analisis IKW setelah ditabulasi berdasarkan kedua kategori wisata maka sesuai untuk dimanfaatkan sebagai kegiatan snorkeling dan selam, karena stasiun tersebut mempunyai nilai parameter indeks
Zonasi kesesuaian wisata snorkeling dan selam
Perhitungan daya dukung wisata bahari berdasarkan kesesuaian wisata snorkeling dan selam (S1 dan S2) dengan mempertimbangkan potensi ekologis dan penilaian pengunjung, luas area kegiatan, dan prediksi waktu yang dibutuhkan setiap kegiatan wisata. Dengan kata lain, semakin luas area kesesuaian (S1 dan S2) maka nilai daya dukung akan semakin tinggi. Dari Tabel 7 dapat dijelaskan bahwa semakin luas area kesesuaian maka semakin tinggi nilai daya dukungnya. Kesesuaian kawasan satu spot untuk dua kegiatan wisata (snorkeling dan selam) mempunyai nilai DDK yang beragam, sehingga tidak bisa menetapkan nilai tertinggi dan terendah berdasarkan stasiun, dan dapat disimpulkan bahwa semakin besar suatu kawasan, maka semakin tinggi pula nilai daya dukungnya. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil suatu kawasan maka semakin rendah pula nilai daya dukung yang dimiliki. Untuk melihat daya dukung kawasan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Tabel 7. Analisis daya dukung wisata snorkeling dan selam di stasiun penelitian Lokasi Penelitian Keterangan DDK Snorkeling (org)
J.01 188
J.03 J.04 J.05 J.06 J.07 J.08 J.09 J.10 10 9
77
60
95
59
139
32
142
Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Desember 2009, Jilid 16, Nomor 2: 137-143
Lokasi Penelitian Keterangan Luas Kesesuaian Wisata Snorkeling (m2) DDK Selam (orang) Luas Kesesuaian Wisata Selam (m2)
J.01
J.03 J.04 J.05 J.06 J.07 J.08 J.09 J.10
disi terumbu karang di lokasi penelitian masih dalam kondisi baik. 2. Dari 10 stasiun observasi di lapangan dan
47110
27 34 0
19 23 22 15 120 710 0
276
26 2
28 6
69 090
65 41 0
14 760
34 740
8 090
575 194
294
89
71 143 48 45 75 210 90 090 760 400 0
73 460
301
360
22 256
berdasarkan analisis kesesuaian kawasan wisata bahari, 8 stasiun “sesuai” untuk wisata snorkeling dan selam dan 1 stasiun “sesuai” untuk wisata selam, sedangkan 1 stasiun “tidak” sesuai untuk wisata snorkeling dan selam. Berdasarkan analisis per spot lokasi penelitian, dapat diintepretasikan bahwa Desa Teluk Buton secara umum dengan analisis IKW berdasarkan spot “sesuai” dijadikan kawasan wisata bahari (snorkeling dan selam). Saran Dari potensi komunitas karang yang ada di perairan, ada beberapa saran dapat dikemukakan diantaranya:
Gambar 2.
Peta daya dukung kawasan wisata snorkeling dan selam
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan berikut: 1. Kondisi terumbu karang di 10 stasiun lokasi
penelitian status terumbu karangnya masuk kategori sedang sampai sangat baik. Hasil pengamatan di lokasi penelitian bahwa dari segi ekologi terumbu karang di Desa Teluk Buton secara umum dalam kondisi “baik”. Terdapat hanya dua lokasi terumbu karangnya dalam kategori “sedang”, yaitu J.02 dan J.07. Dan dua lokasi lainnya J.01 dan J.04 terumbu karangnya dalam kategori “sangat baik”. Kondisi ikan karang yang melimpah baik ikan target, ikan indikator, ikan mayor dan ikan-ikan lainnya, cukup banyak ditemukan di lokasi penelitian. Ikan mayor kelimpahannya lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan kategori ikan karang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kon-
1. Wisata snorkeling dan selam masih dapat dikembangkan bila dilihat rataan terumbu karang yang luas, dan memungkinkan untuk dibuat spot-spot baru untuk kegiatan yang sama, mengingat lokasi tersebut belum dapat terjangkau saat peneltian dalam waktu yang sama. 2. Pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan, harus ada kerja sama antar stakeholder atau institusi terkait, untuk mensinergikan antara program daerah dengan hasilhasil penelitian yang mengarah kepariwisatawan khususnya wisata bahari. 3. Perlu adanya promosi potensi wisata oleh Pemerintah Daerah pada umumnya dan instansi terkait pada khususnya untuk merespon pelaku wisata agar berminat menginvestasikan usaha, guna pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan (sustainable) dengan mengandalkan potensi sumberdaya pesisir dan laut. 4. Memfasilitasi dan meningkatkan pengawasan oleh Pemerintah Daerah di wilayah pesisir dan laut untuk kelestarian ekologi terumbu karang dengan melibatkan masyakat setempat. 5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk pe-
Suryanto H, Yulianda F, dan Wardiatno Y. Analisis Status Terumbu Karang untuk Pengembangan Wisata ...
ngembangan wisata bahari dalam pengelolaan secara terpadu sehingga potensi wisata bahari yang ada di Desa Teluk Buton menjadi obyek andalan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna. DAFTAR PUSTAKA CRITC-COREMAP-LIPI. 2007. Studi Baseline Ekologi Kabupaten Natuna. CRITC LIPI. Jakarta. Driver BL, Brown PJ, Stankey GH, Gregoire TG. 1987. “The ROS Planing System: Evolution, Basic Concepts, and Research Needed.” in Leisure Sciences. 9(3):201–212. English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources, 2nd edition. Asean-australia Marine Science Project. Australian Institut of Marine Scienc, Townsville. Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring Reef Condition In Kenchington R.A. and B.E.T. Hudson [eds]
143
Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Khakim N. 2009. Kajian Tipologi Fisik Pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta untuk Mendukung Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Manuputty AEW, Giyanto, Winardi, Susanti S R, Djuwariah. 2006. Monitoring Kesehatan Karang (Reef Health Monitoring). P2O-LIPI: Jakarta. Western D. 1995. Memberi Batasan Tentang Ekoturisme. In Kreg Lindberg and D. E. Hawkins. “Ekoturisme : Petunjuk untuk Perencanaan dan Pengelolan. 7-10. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Bogor.