PENGELOLAAN SUMBERDAYA SU TERUMBU KARANG ANG DALAM KAWAS ASAN PENGEMBANGAN WISATA BAHARII KKLD SELAT DAMPIER KABU UPATEN RAJA AMPAT
SYU ULTJE M. LATUKOLAN
SEKO OLAH PASCASARJANA INSTIT ITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRACT SYULTJE M. LATUKOLAN. Resource Management of Coral Reefs in the Zone Development of Marine Tourism MPAs Dampier Strait Raja Ampat Regency. Supervised by FREDINAN YULIANDA and ACHMAD FAHRUDIN. The area of Gam island, Mansuar and Kri of island in the north MPAs of Dampier Strait Raja Ampat regency has potential of coral reef resources for development of marine tourism. The focus management of coral reef to economic rise with management non extractive. The objectives of this research was (a) to analyze the suitability and carrying capacity of coral reef ecosystem for tourism development and (b) to analyze partsipation of stakeholder in management of coral reef resources. The coral reef ecosystem can be used to study its suitability for marine tourism objects of diving. Collected data were life form of coral reef, coral fish, current speed, water transparency and coral reef depth. The formula used to determine tourism suitability is suitability matrix of diving, and Scenic Beauty Estimation (SBE) to judge the quality of landscape. Line intercept transect method showed that islands of Gam, Mansuar and Kri area had a condition of coral reef in the category of “good” with the average coral coverage is 63.75%. However, public participation in the management of coral reefs for the development of marine tourism to has not been done its full potential according to the analysis of community participation.
Keywords: Coral reef, carrying capacity, marine participation.
tourism,
community
RINGKASAN SYULTJE M. LATUKOLAN, Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Dalam Kawasan Pengembangan Wisata Bahari KKLD Selat Dampier Kabupaten Raja Ampat. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ACHMAD FACHRUDIN. Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat menonjol di Kepulauan Raja Ampat. Pengelolaannya difokuskan pada peningkatan ekonomi masyarakat dan pendapatan daerah lewat pemanfaatan non ekstraktif yaitu pariwisata. Pengembangan ekowisata bahari Raja Ampat meliputi pemanfaatan terumbu karang dalam kawasan Daerah Perlindungan Laut dibeberapa gugus pulau yaitu Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri yang berada di sebelah utara KKLD Selat Dampier. Pengembangan kawasan di gugus tiga pulau ini akan terus meningkat dengan ditetapkannya P. Mansuar sebagai basis pengembangan wisata bahari Raja Ampat. Arus kunjungan wisatawan ke lokasi ini akan cenderung meningkat dan kawasan DPL yang ada di lokasi ini akan dipromosikan sebagai lokasi tujuan wisata bahari. Tujuan penelitian ini adalah (a) Menganalisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang bagi pengembangan wisata bahari, (b) Menganalisis peran stakeholder dalam pengelolaan wisata bahari. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan ekosistem terumbu karang untuk wisata selam, maka dibutuhkan data-data menyangkut kondisi ekologis dan kualitas perairan. Kondisi ekologis yang menjadi pembatas untuk wisata selam meliputi kondisi tutupan komunitas karang (% cover), jenis life-form, lebar hamparan terumbu karang, keragaman jenis-jenis ikan karang. Kondisi kualitas perairan yang menjadi pembatas yaitu kecepatan arus, kedalaman perairan dan kecerahan perairan. Penentuan kesesuaian kawasan dilakukan dengan menggunakan Analisis Matriks Kesesuaian Kawasan kategori selam yang mempertimbangkan 6 (enam) parameter antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifeform karang, jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman terumbu karang dan lebar hamparan datar karang dengan menggunakan 4 (empat) klasifikasi penilaian. Berdasarkan parameter tersebut diatas didapat nilai Indeks Kesesuaian Wisata (IKW). Hasil IKW selanjutnya dikelompokan dalam 3 kategori yaitu S1 (Sangat sesuai, dengan IKW 83-100 %), S2 (Sesuai, dengan IKW 50-<83 %) dan N (Tidak sesuai, dengan IKW < 50%). Hasil analisis kesesuaian wisata kategori selam (diving) menunjukkan bahwa DPL Indip (IKW = 94.44), DPL Imburnos (IKW = 85.19) dan DPL Warasmus (IKW = 94.44) adalah lokasi yang sangat sesuai (S1) untuk wisata diving. Sementara kawasan yang cukup sesuai (S2) untuk lokasi diving adalah DPL Ikwan iba (IKW = 77.78), DPL Yendesner (IKW = 74.07), DPL Tanadi (IKW = 79.63), DPL Mansaswar (IKW = 79.63) dan DPL Kormansiwin (IKW = 74.07) Analisis daya dukung kawasan menunjukkan bahwa jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung adalah 450 org/hari (DPL Indip Indip), 273 org/hari (DPL Imburnos), 418 org/hari (DPL Warasmus), 7 861 org/hari (DPL
Ikwan Iba), 570 org/hari (DPL Yendersner), 109 org/hari (DPL Tanadi),32 org/hari (DPL Mansawar) dan 248 org/hari (DPL Kormansiwin. Walaupun demikian partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan delapan kawasan DPL untuk pengembangan wisata bahari kategori selam sebagaimana peruntukkannya belum dilakukan secara maksimal karena keterbatasan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia.
Kata kunci : Terumbu karang, daya dukung kawasan, wisata bahari, partisipasi masyarakat
PENGELOLAAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG DALAM KAWASAN PENGEMBANGAN WISATA BAHARI KKLD SELAT DAMPIER KABUPATEN RAJA AMPAT
SYULTJE M. LATUKOLAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc
Judul Tesis
: Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Dalam Kawasan Pengembangan Wisata Bahari KKLD Selat Dampier Kabupaten Raja Ampat.
Nama
: Syultje M. Latukolan.
Nomor Pokok
: C252090061.
Program studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : ………….2012
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus : ….………..2012
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat kasih karunia-Nya, sehingga tesis ini dengan judul “Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Dalam Kawasan Pengembangan Wisata Bahari KKLD Selat Dampier Kabupaten Raja Ampat” dapat diselesaikan. Keberhasilan ini tidak luput dari dukungan berbagai pihak kepada penulis sejak proses perkuliahan hingga sampai pada penyelesaian tesis, maka pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan terima kasih dan rasa hormat yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang dalam segala kesibukannya masih meluangkan waktu dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan dan masukan pada penulis sejak proses awal hingga akhir penyusunan tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Bapak Dr. Ir. Mukhlis Kamal, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis. 4. Seluruh Dosen pengajar dan Staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB. 5. Ditjen DIKTI Kementerian Pendidikan Nasional beserta seluruh jajarannya atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) tahun 2009 yang diberikan kepada penulis. 6. Direktur PMO COREMAP II Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan beserta seluruh jajarannya atas beasiswa yang diberikan kepada penulis. 7. Pimpinan Yayasan Satyabhakti Widya beserta seluruh jajaran atas bantuan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 8. Rektor Universitas Kristen Papua (UKiP) Sorong yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB. 9. Keluarga tercinta atas doa dan dukungannya sehingga penulis sampai pada tahap penulisan tesis ini. Kepada kedua orang tuaku tersayang papi John Latukolan dan mami Elizabeth Sahalessy (Alm), kakanda John W. Latukolan sekeluarga, adinda Fonny Latukolan/Pocerattu sekeluarga, adinda Febby Latukolan/Tukiman sekeluarga dan adinda Teddy Latukolan sekeluarga. 10. Bapak Manuel Urbinas (Kadis DKP Kab. Raja Ampat) dan Bapak Jafri Tuarea (DKP Kab. Raja Ampat), Ibu M. Kasmidi (COREMAP II Kab. Raja Ampat), Bapak Nico Ramandey (Dinkebudpar Kab. Raja Ampat, Bapak Max Ammer (PT. Papua Diving), Bapak Yesaya Mayor, Bapak Hans Sauyai, Sdr. Aris Suryaman dan Sdr. Rusdiando (BPS Kab. Raja Ampat), Sdr. Steward (BAPPEDA Kab. Raja Ampat). 11. Rekan-rekan seangkatan SPL XVI 2009 atas motivasi, dukungan dan bantuan yang diberikan.
12. Rekan senior Sdr Yar Johan S.Pi, M.Si, SPL angkatan XV 2008 atas dukungan motivasi dan bantuannya. Semoga sukses dalam menyelesaikan studi program doktornya. 13. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dari awal sampai pada tahap akhir studi penulis. 14. Perjalanan dalam menempuh studi sampai pada penulisan tesis ini tak luput dari dukungan doa suami dan anak-anakku tercinta. Spesial tesis ini penulis persembahkan buat suamiku yang tercinta Agustinus P. Sawias, dan ke empat anakku tercinta Giovanni Chriselda Sawias, Juan Carlos Rivaldo Sawias, Elzanora Belinda Sawias dan Joy de Angelo Sawias. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan dari semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terimah kasih.
Bogor, Agustus 2012 Syultje Marie Latukolan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Amahai, Maluku Tengah pada tanggal 28 Januari 1970 sebagai anak kedua dari lima bersaudara dari ayah John Latukolan dan ibu Elizabeth Sahalessy (alm). Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Inpres No. 1 Sorong tahun 1982. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SMP Negeri 1 Sorong dan lulus pada tahun 1985. Selanjutnya penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 1 Sorong dan lulus pada tahun 1988. Pendidikan Sarjana ditempuh tahun 1988 di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2005 penulis bekerja sebagai Dosen di Universitas Kristen Papua (UKiP) Sorong dan selanjutnya ditempatkan sebagai staf pengajar di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Fakultas Pertanian UKiP Sorong. Tahun 2009 penulis mendapatkan beasiswa BPPS dari DIKTI serta izin dari Rektor UKiP Sorong untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………….
xv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………....
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………..
xviii
1.
PENDAHULUAN …………………………………………………… 1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 1.2 Perumusan Masalah …………………………………………. 1.3 Kerangka Pemikiran ……………………………………...... 1.4 Tujuan Penelitian …………………………………………….. 1.5 Manfaat Penelitian ……………………………………………
1 1 2 3 5 6
2.
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang …………………………………. 2.2 Ekowisata ……………………………………………………. 2.3 Ekowisata Sebagai Konsep Pengembangan Wisata Bahari …… 2.4 Pengelolaan Ekowisata Bahari ………………………………. 2.5 Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung Kawasan untuk Ekowisata Bahari ……………………………………………. .. 2.6 Aspek Sosial Wisata ………………………………………….
7 7 10 11 13
METODE PENELITIAN ………………………………………… 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………….…… 3.2 Pengumpulan Data ……………………………………………. 3.2.1. Data Nilai Objek Wisata Bahari ……………………….. 3.2.2. Data Sosial …………………..………………………… 3.3 Analisis Data …………………………………………………. 3.3.1. Analisis Kesesuaian Kawasan untuk Wisata Bahari Kategori Selam ……………………………………….… 3.3.2. Analisis Daya Dukung Kawasan untuk Wisata Bahari Kategori Selam …………………………………………. 3.3.3. Analisis Nilai Visual Objek Wisata Bahari ……………. 3.3.4. Analisis Keterlibatan Stakeholder ……………………… 3.4.5. Analisis Persepsi Stakeholder ………………………….
21 21 21 24 25 25
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………………. 4.1 Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Raja Ampat…. .. 4.1.1. Kondisi Topografi, Iklim dan Bathimetri ……………… 4.1.2. Kondisi Oceanografi ………………………………........ 4.1.3. Potensi Karang Kepulauan Raja Ampat ……………….. 4.1.4. Budaya Pemanfaatan Sumberdaya Laut ……………….. 4.2 Distrik Meosmansar ………………………………………...... 4.2.1. Letak Geografis …………………………………………
33 33 34 35 37 38 39 39
3.
4.
14 18
25 26 28 29 31
5.
6.
4.2.2. Penduduk dan Lapangan pekerjaan ……………………. 4.2.3. Sarana dan Prasarana Pendidikan …………..………….. 4.2.4. Iklim …………………………………………………….
39 39 41
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….. 5.1 Sumberdaya Karang dan Ikan Karang…… ………………....... 5.1.1. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Indip, Kampung Arborek. ......................................................... 5.1.2. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Imburnos, Kampung Sauwandarek ……......................... 5.1.3. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Warasmus, Kampung Yenbuba ……………………...... 5.1.4. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Ikwan Iba, Kampung Yenbekwan …………………................. 5.1.5. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Yendesner, Kampung Kurkapa ……………….......…… 5.1.6. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Tanadi, Kampung Kapisawar …………………….................... 5.1.7. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Mansaswar, Kampung Sawinggrai ………………........ 5.1.8. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Kormansiwin, Kampung Yenwaupnor ……………....... 5.2 Karakteristik Sosial Stakeholder dalam Pengelolaan Terumbu Karang …………………………………………....…………… 5.2.1. Keterlibatan Stakeholder ……………………………… 5.2.1.1. Masyarakat Lokal ……………………………………. 5.2.1.2. COREMAP II Kab. Raja Ampat …………………….. 5.2.1.3. DKP Kab. Raja Ampat ………………………………. 5.2.1.4. PT. Papua Diving ……………………………………. 5.2.2. Persepsi Stakeholder tentang Terumbu Karang dan PT. Papua Diving Pengelola Wisata Bahari …………… 5.3 Sistem Pengelolaan Terumbu Karang ………………………… 5.4 Potensi Terumbu Karang bagi Pengembangan Wisata Bahari 5.4.1. Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang……………......... 5.4.2. Kondisi Ikan Karang…………………………………….. 5.4.3. Kualitas Visual Objek Wisata Bahari (SBE)………......... 5.4.4. Kesesuaian Kawasan Terumbu Karang untuk Wisata Bahari Kategori Selam………………………………….. 5.4.5. Daya Dukung Kawasan Terumbu Karang untuk Wisata Bahari Kategori Selam. ……………………….... 5.5 Strategi Pegelolaan Sumberdaya Terumbu Karang untuk Pengembangan Wisata Bahari. ………………………………... 5.5.1. Mengatasi Kerusakan Terumbu Karang. ……………….. 5.5.2. Mengoptimalkan Pengelolaan Wisata Bahari …………...
43 43
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………... 6.1. Simpulan ………………………………………..……….... 6.2 Saran ……………………………………………………..
47 49 52 55 58 60 63 65 68 68 70 72 73 75 77 81 84 86 88 90 92 94 96 97 99 103 103 103
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….
105
LAMPIRAN ……………………………………………………………...
113
DAFTAR TABEL Halaman
1.
Posisi geografis 8 stasium penelitian ………………………………..
21
2.
Jenis dan sumber data ……………………………………………........
24
3.
Data lain yang dikumpulkan untuk Analisis Keterlibatan Stakeholder…………………………………………………………….
25
4.
Matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam ..................................
26
5.
Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) ...............
27
6.
Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam ..............
27
7.
Jumlah distrik di Kabupaten Raja Ampat tahun 2010 ...........................
34
8.
Jumlah sekolah, guru dan murid di Distrik Meosmansar ………….......
40
9.
Penyebaran karang di lokasi penelitian ……………………………….
45
10.
Kelimpahan ikan karang yang dominan di lokasi penelitian .................
46
11.
Empat belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Indip Kampung Arborek .................................................. 48
12.
Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Indip Kampung Arborek. ........................................................................
49
Dua puluh jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Imburnos Kampung Sauwandarek...................................
51
Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Imburnos Kampung Sauwandarek..........................................................
52
Dua puluh satu jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Warasmus Kampung Yenbuba .......................................
54
Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Warasmus Kampung Yenbuba ………………………………………..
55
Empat belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Ikwan Iba Kampung Yenbekwan. .................................
56
Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Ikwan iba Kampung Yenbekwan.. .........................................................
57
Lima belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Jendesner Kampung Kurkapa ........................................
59
Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Jendesner Kampung Kurkapa. ..............................................................
60
13. 14. 15.
16.
17. 18.
19.
20.
21. 22. 23. 24.
Empat belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Tanadi Kampung Kapisawar .........................................
61
Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Tanadi Kampung Kapisawar. ..............................................................
62
Dua puluh tiga jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di DPL Mansaswar Kampung Sawinggrai. ...........................................
65
Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Mansaswar Kampung Sawinggrai.........................................................
66
25.
Enam belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaupnor. ..........................
26.
Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing suku di lokasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaupnor...................................................
68
27.
Nama dan letak homestay di Distrik Meosmansar …………………....
72
28.
Kondisi lingkungan di lokasi penelitian. ……………………………..
85
29.
Potensi sumberdaya terumbu karang untuk wisata bahari …………...
88
30
Jumlah suku, spesies dan kelimpahan ikan di lokasi penelitian ...........
89
31.
Nilai visual objek wisata bahari (SBE) di lokasi penelitian …............
91
32.
Pengelompokan nilai SBE berdasarkan kategori tinggi, sedang dan rendah. ……………………………………………………………
92
33
Kesesuaian wisata bahari kategori selam...............................................
93
33.
Daya dukung kawasan untuk wisata bahari kategori selam. …………
95
68
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pikir penelitian ………………………………………............
6
2.
Peta 8 kawasan DPL di Distrik Meosmansar yang menjadi stasiun Penelitian. …….………………………………………………………...
22
3.
Letak 8 kawasan DPL Distrik Meosmansar dalam peta Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat Dampir……………..
23
4.
Proses penentuan persepsi ……………………………………………..
31
5.
Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Indip Kampung Arborek .....................................
48
Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Imburnos Kampung Sauwandarek....................
50
Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Warasmus Kampung Yenbuba............................
53
Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Ikwan Iba Kampung Yenbekwan ........................
56
Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Jendesner Kampung Kurkapa. ............................
58
Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Tanadi Kampung Kapisawar. ............................
61
Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Mansaswar Kampung Sawinggrai. ....................
63
Histogram, menunjukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaupnor ...............
66
Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan DPL sebagai kawasan wisata bahari …………………………………………………………...
69
14.
Kunjungan wisatawan ke PT. Papua Diving di Pulau Kri ……..............
78
15.
Persepsi stakeholder terhadap PT. Papua Diving …………………........
79
16.
Komposisi ikan karang di 8 stasiun penelitian ……………………….. .
90
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Jumlah suku dan jenis karang di lokasi penelitian …………………..
115
2.
Jumlah suku dan jenis ikan karang di lokasi penelitian ……………..
117
3.
Parameter Indeks Kesesuaian Wisata. Bahari ……………………….
121
4.
Hasil analisis matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam .........
122
5.
Perhitungan Daya Dukung Kawasan wisata bahari kategori selam ...
123
6.
Kuisioner Scenic Beauty Estimation (SBE) ..........................................
124
7.
Tabulasi data hasil pemberian skor pada masing-masing photo untuk Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) ……………………………
130
Hasil Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) terhadap 24 Photo sebagai objek wisata bahari selam ……………………………...……
131
Kuisioner Analisis Keterlibatan Stakeholder …………………………
134
8.
9.
10. Gambar homestay dan tempat wisata di Distrik Meosmansar ….....
136
11. Fasilitas dan biaya inap di homestay yang tersebar di Distrik Meosmansar …………………………………………………………..
138
12. Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang untuk pengembangan wisata bahari ………………………………………..
139
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang. Kepulauan Raja Ampat terletak di dekat jantung pusat segitiga karang dunia (Coral Triangle) sebuah kawasan yang mencakupi bagian utara Australia, Philipina, Indonesia, dan Papua Nugini yang memiliki keanekaragaman karang tertinggi di dunia (Veron 2000). Berdasarkan hasil penelitian tercatat 537 jenis karang keras terdapat di perairan Kabupaten Raja Ampat (CI, TNC-WWf), 9 diantaranya adalah jenis baru dan 13 jenis endemik. Jumlah ini merupakan 75 persen dari karang dunia. Berdasarkan indeks kondisi karang, 60 persen terumbu karang di Raja Ampat dalam kondisi baik dan sangat baik sehingga telah diusulkan sebagai Lokasi Warisan Dunia (World Herritage Site) oleh Pemerintah Indonesia. Walaupun demikian, disebagian wilayah telah terjadi pengrusakan terumbu karang yang disebabkan oleh penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potassium (Pemda Kab. Raja Ampat 2006). Tercatat juga bahwa di Raja Ampat telah ditemukan 828 (Cl) dan 899 (TNC-WWF) jenis ikan karang sehingga Raja Ampat diketahui mempunyai 1 104 jenis ikan yang terdiri dari 91 family (McKenna et al. 2002 dan TNC-WWF 2002). Diperkirakan jenis ikan karang tersebut dapat mencapai 1 346 jenis, berdasarkan kesinambungan genetik di wilayah Kepala Burung, sehingga menjadikan kawasan ini sebagai kawasan dengan kekayaan jenis ikan karang tertinggi di dunia (COREMAP II-DKP Kab. Raja Ampat 2007). Mengingat 80 persen wilayah Raja Ampat didominasi oleh laut dengan kekayaan biodiversity laut yang tinggi maka oleh Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, visi pembangunan kabupaten ini ditujukan pada ’Terwujudnya Kabupaten Raja Ampat sebagai Kabupaten Bahari yang didukung oleh sumber daya kelautan dan perikanan serta pariwisata menuju masyarakat Raja Ampat yang madani’. Dalam hal ini, pariwisata telah dijadikan tulang punggung perekonomian oleh pemerintah Kabupaten Raja Ampat. Beberapa kawasan di bagian utara KKLD Selat Dampir yaitu Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri yang memiliki potensi sumberdaya terumbu karang akan terus dikembangkan sebagaimana tujuan utama pengelolaan KKLD Selat Dampir yaitu sebagai Kawasan Wisata
Bahari Raja Ampat (BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010). Berbagai upaya untuk pengembangan wisata bahari Raja Ampat telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Raja Ampat melalui dinas terkait dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Pengelolaan kawasan dan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dilakukan dengan memanfatkan kawasan-kawasan yang terlebih dahulu telah ditetapkan sebagai kawasan DPL. Pengelolaan kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau Marine Sanctuary yang dilakukan bukan saja bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan, dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya, tetapi kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan pemanfaatan, kecuali kegiatan penelitian, pendidikan, dan wisata bahari kategori selam terbatas (Tampi 2008). Mengingat tujuan pengelolaan kawasan diarahkan untuk pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan maka dibutuhkan kesadaran, kerjasama, koordinasi dan integrasi dari para pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan semakin memburuknya kondisi terumbu karang akibat aktifitas anthropogenik yang tidak mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono 2007). Dengan demikian untuk mencapai tujuan utama pengelolaan kawasan yang diarahkan untuk pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan sekaligus untuk mendukung tercapainya tujuan pengelolaan KKLD Selat Dampir sebagai kawasan wisata bahari Raja Ampat maka faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan sumberdaya tersebut harus dipertimbangkan. Demikian halnya dengan peran aktif masyarakat dan setiap pemangku kepentingan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Kabupaten Raja Ampat menjadi perhatian dunia ketika hasil survei ekologi 2002 menunjukkan bahwa kekayaan dan keindahan alam bawah lautnya adalah yang terbaik didunia (McKenna et al. 2002 dan Pemda Kab. Raja Ampat et al. 2005). Sehingga tidak mengherankan jika banyak wisatawan yang datang berkunjung ke kabupaten ini untuk menikmati keindahan bawah lautnya dengan melakukan diving. Hal ini nampak dengan adanya arus kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke Raja Ampat yang meningkat cukup signifikan
dalam kurun waktu satu tahun seperti tercatat pada tahun 2010, yaitu 10 000 orang/thn meningkat menjadi 15 000 orang/thn di tahun 2011 dengan jumlah rata-rata wisatawan asing 6 000 orang/thn sisanya 9 000 orang/thn wisatawan nusantara (Dinkebudpar 2010). Kondisi ini merupakan peluang besar dalam pengembangan wisata bahari Raja Ampat tetapi juga dapat merupakan ancaman bagi sumberdaya yang ada jika pengelolaan tidak dilakukan secara bijaksana. Disisi lain adanya kerentanan masyarakat terhadap pengaruh pengelolaan sumberdaya alam yang menjanjikan nilai ekonomi lebih tinggi walaupun sesaat (COREMAP II - DKP Kab. Raja Ampat 2007). Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak yang terkait dalam pengelolaan tersebut. Mengingat kelemahan yang ditemukan dalam pengelolaan terumbu karang di Raja Ampat, adalah belum tersedianya informasi yang detail dan akurat yang memperhitungkan daya dukung kawasan terumbu karang yang optimal dan berkelanjutan dengan melakukan pendekatan secara komprehensif dari berbagai aspek yang berpengaruh penting terhadap pengelolaan terumbu karang. Demikian pula keterbatasan sumberdaya manusia yang profesional untuk mengelola kawasan-kawasan konservasi laut merupakan kelemahan lainnya. (COREMAP IIDKP Kab. Raja Ampat 2007). Pemberdayaan masyarakat sebagai stakeholder yang berperan langsung dalam pengelolaan kawasan DPL sebagai bagian dari kawasan pengembangan wisata bahari penting untuk mendapat perhatian. Mengingat terumbu karang sangat peka dan rentan terhadap perubahan eksternal dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memulihkan kondisi tersebut ke kondisi awal. 1.3. Kerangka Pemikiran Jenis kegiatan wisata yang diprioritaskan pengembangannya di Kabupaten Raja Ampat adalah pengembangan pariwisata kelautan. Berdasarkan survei dan kajian yang pernah dilakukan, pengembangan pariwisata kelautan merupakan kegiatan yang paling selaras dengan kondisi alam Kabupaten Raja Ampat. Oleh karena ini pengembangannya perlu diutamakan (BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010). Berdasarkan kekayaan terumbu karang dan keanekaragaman hayati lautnya
teridentifikasi 4 (empat) kawasan yang berpotensi besar untuk pengembangan kegiatan wisata bahari, yaitu (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata 2003 in BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010): • • • •
Kawasan Pulau Wayag hingga gugusan Pulau Kawe di bagian utara Waigeo; Kawasan Pulau Gam – Pulau Kri, Mansuar dan Pulau Wai; Kawasan Pulau Ketimkerio – Pulau Wagmab dan Pulau Walib dibagian selatan Misool; Kawasan gugusan Pulau Kofiau dibagian timur Kabupaten Raja Ampat.
Di kawasan ini dapat dikembangkan kegiatan wisata seperti menyelam (Diving), Sea kayaking, Snorkeling, dan Lifeboard, disamping kegiatan wisata riset ekologi seperti penelitian keanekaragaman hayati. Pulau Gam, Pulau Kri dan Pulau Mansuar merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat Dampir (Perbup No. 5 tahun 2009 in Sekda Kab. Raja Ampat 2009) dengan tujuan utama pengelolaannya sebagai Kawasan Wisata Bahari sebagaimana yang telah ditetapkan oleh DKP Raja Ampat (DKP Kab. Raja Ampat 2009). Dalam kawasan tiga pulau ini telah ditetapkan beberapa kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang diantaranya ada delapan DPL (COREMAP II-DKP Kab. Raja Ampat 2009) yang oleh masyarakat diperuntukkan sebagai kawasan wisata baharí (diving) terbatas sebagaimana termuat dalam Peraturan Kampung tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di tiap kampung. Dalam arahan penataan ruang, kawasan yang berada di tiga pulau ini juga telah ditetapkan sebagai zona semi intensif yakni kawasan yang dirancang untuk menerima kunjungan wisatawan dalam skala lebih kecil dengan aktivitas wisata yang terbatas dan bersifat spesifik, seperti pengamatan satwa liar, jelajah hutan, diving, snorkeling, dan kayaking, dengan menyediakan ruang yang cukup seperti resort, maksimum bertingkat dua, dengan jumlah kamar terbatas maupun pengembangan homestay. Disamping itu, kawasan ini juga direkomendasikan sebagai kawasan proteksi multiguna (multipurpose protected area) dengan arahan pengembangan pariwisata berkelanjutan dan perikanan sebagai basis utama kegiatan ekonomi (Kemenbudpar 2003 in BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010). Bila dikaitkan dengan kondisi yang ada saat ini, simpul utama kegiatan
wisata terdapat di Pulau Mansuar dan Pulau Kri. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi wisatawan asing yang berkunjung dan menetap di kawasan tersebut. Selain telah ada fasilitas akomodasi yang serasi dengan lingkungan alamnya, posisi pulau ini juga strategis untuk dijadikan salah satu basis awal paket wisata di Kabupaten Raja Ampat (BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010). Berkaitan dengan pengembangan wisata bahari di Raja Ampat, diitemukan beberapa peluang yang mendukung pengembangan ekowisata bahari di Kabupaten Raja Ampat (COREMAP II - DKP Kab. Raja Ampat 2007), yakni: 1.
Kawasan terumbu karang telah lama dikenal di dunia internasional
2.
Jumlah wisatawan mancanegara yang berwisata bahari cenderung meningkat
3.
Arah pengembangan wisata dunia yang berorientasi pada pelestarian lingkungan
4.
Adanya daya dukung industri pariwisata bahari
5.
Hadirnya lembaga-lembaga non pemerintah dan mancanegara yang serius untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan terumbu karang. Menjadikan KKLD Selat Dampir sebagai Kawasan Wisata Bahari Raja
Ampat dibutuhkan kesadaran dan peran aktif masyarakat, serta kerjasama, koordinasi dan integrasi para pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kawasan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya benturan-benturan kepentingan yang tidak relevan dengan tujuan pengelolaan kawasan sehingga fungsi ekologi sumberdaya terumbu karang sebagai aset pembangunan daerah tetap terjaga dan lestari. Untuk menggambarkan kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. 1.4. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan terumbu karang 8 (delapan) kawasan DPL Distrik Meosmansar untuk wisata bahari kategori selam. 2. Menganalisis peran stakeholder dalam pengelolaan kawasan DPL untuk pengembangan wisata bahari.
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Mencegah dan meminimalisasi kerusakan pada terumbu karang akibat kegiatan penyelaman yang tidak terkontrol dalam kawasan DPL lewat pengaturan jumlah kunjungan dan aktifitas diving. 2. Meningkatkan peran aktif masyarakat, kerjasama, koordinasi dan integrasi diantara para pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan.
Potensi Sumberdaya Terumbu Karang Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Terumbu Karang untuk Pengembangan Wisata Bahari Raja Ampat
Pengelolaan Kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Untuk Wisata Bahari Kategori Selam
Potensi Ekologis
Analisis: • Kesesuaian Kawasan (Diving) • Daya Dukung Kawasan (Diving) • Scenic Beauty Estimation (SBE)
Potensi Sosial
Analisis • Keterlibatan Stakeholder • Persepsi Stakeholder
Strategi Pengembangan Ekowisata Bahari Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Terumbu Karang. Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas dan dapat berkembang dengan baik di perairan tropis. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan terutama oleh hewan karang (corals) disamping alga berkapur dan hewan-hewan lain (Nybakken 1992). Hewan karang termasuk filum Scnedaria, Kelas Anthozoa, ordo Madrepopraria Ascleractinia. Aristoteles mengklasifikasikan hewan karang ini sebagai hewan-tumbuhan (animal-plant). Tetapi pada tahun 1723 hewan karang diklasifikasikan sebagai binatang dan masuk dalam kelompok besar Coelenterata (hewan berongga) seperti ubur dan anemon laut (Dahuri 2003). Disamping biota tersebut banyak organisme lain seperti ikan, kerang, lobster, penyu yang juga hidup berasosiasi di ekosistem terumbu karang (Dawes 1984). Secara ekologis ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan temperatur, kekeruhan, salinitas. Distribusi terumbu karang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Beda kondisi parameter perairan seperti temperatur, salinitas, aksi gelombang, maka spesies dan keragaman terumbu karang juga akan berbeda (Veron 1986). Dalam hal ini gradient suhu dan salinitas merupakan faktor pembatas utama penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang (Jones dan Endean 1973). Menurut Dahuri (2003) bahwa distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung pada beberapa parameter fisika, yaitu: 1. Kecerahan. Cahaya matahari berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan akan berpengaruh pada kurangnya kemampuan karang dalam menghasilkan CaCO3. Kebanyakan terumbu dapat berkembang dengan baik pada kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (kompensasi) yaitu
kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15-20 persen dari intensitas cahaya di lapisan permukaan air. 2. Temperatur. Pada umumnya terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 25°C - 29°C, namun suhu diluar kisaran tersebut dapat ditolerir oleh jenis tertentu dari jenis karang hermatifik untuk bertumbuh dengan baik. Karang hermatifik dapat bertahan pada suhu dibawah 20°C selama beberapa waktu dan dapat mentolerir suhu sampai 36°C. Sedangkan menurut Nybakken (1992) terumbu karang tumbuh secara optimal pada suhu 23°C - 25°C, dan dapat mentolerir suhu sampai kira-kira 36°C - 40°C, tetapi tidak dapat bertahan pada suhu minimum tahunan dibawah 18°C. 3. Salinitas. Umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar wilayah pesisir pada salinitas 30‰ - 35‰ sedangkan menurut Nybakken (1992) karang hanya dapat hidup pada salinitas normal air laut, yaitu pada kisaran 32‰ 35‰. Namun demikian ada juga terumbu karang yang mampu berkembang dikawasan perairan dengan salinitas 42‰ seperti di wilayah Timur Tengah. 4. Sirkulasi Arus dan Sedimentasi. Arus diperlukan dalam pertumbuhan karang dalam menyuplai makanan selain mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan endapanendapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi. Arus dan sirkulasi air berperan dalam proses sedimentasi. Sedimentasi yang berasal dari partikel lumpur padat yang dibawah oleh aliran permukaan (surface run off) akibat erosi dapat menutupi permukaan terumbu karang, sehingga berdampak negatif terhadap hewan karang dan terhadap biota yang hidup berasosiasi dengan habitat tersebut karena proses fotosintesis oleh zooxanthellae akan terganggu. Berdasarkan hubungannya dengan daratan, Dahuri (2003) mengemukakan bahwa karang di Indonesia diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu:
1. Terumbu tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Contohnya di utara dan barat Papua, di Mentawai, Pangandaran dan Parangtritis di Pantai Selatan P. Jawa, di Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Timur. 2. Atol (Atoll) adalah terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan ditengahnya terdapat goba (danau) dengan kedalaman mencapai 45 m. Contohnya Atol Takabonerate di Sulawesi Selatan. 3. Terumbu penghalang (barrier reff) serupa dengan karang tepi tetapi memiliki jarak yang cukup jauh dari garis pantai dan umumnya dipisahkan oleh perairan yang dalam. Contohnya di Kep. Togean, Sulawesi Tengah, beberapa tempat di Kalimantan Timur dan di Selat Makasar. Menurut Bengen (2001) terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan ombak yang cukup dengan kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang yang tumbuh di daerah pasang surut sangat berperan dalam mengurangi energi arus dan ombak yang datang ke pantai sehingga mencegah terjadinya erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir. Selain itu terumbu karang berperan utama sebagai habitat, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) serta sebagai tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup diterumbu karang (TERANGI 2005). Terumbu karang memiliki fungsi biologi dan fisik yang sangat penting dalam zona pesisir tropis; terumbu karang memproteksi garis batas pesisir sebuah pulau dan benua dari ombak samudera; terumbu karang juga memberikan kesempatan bagi perkembangan basin bersedimen dangkal dan mangrove yang terkait serta komunitas lamun. Sebagai hasil dari produktivitasnya yang tinggi, terumbu karang telah menjadi basis dari penghidupan, keamanan dan budaya masyarakat pesisir serta komunitas laut pada laut tropis. Selain itu terumbu karang juga merupakan area fokus utama untuk olahraga selam yang berkontribusi pada perkembangan industri pariwisata (Craik et al. 1990). Sedangkan manfaat terumbu karang bagi masyarakat adalah: 1. Terumbu karang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan kapur bahan konstruksi bangunan, sebagai sumber makanan, sebagai penambatan jangkar perahu, sebagai hiasan, sebagai pembersih alat dapur, sebagai bahan
dempul, sebagai bahan obat-obatan (anti biotik, anti kanker, anti bakteri), dan secara tidak langsung menyumbangkan peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. 2.
Menyediakan lapangan kerja melalui perikanan dan pariwisata, keindahan terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kebutuhan melalui kegiatan pariwisata seperti diving dan snorkeling serta kegiatan fotografi bawah air atau pengumpulan kerang-kerangan untuk cinderamata.
2.2. Ekowisata. Menurut Ceballos dan Lascurian (1991) in Yulianda (2007), ekowisata adalah pariwisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti dan menikmati pemandangan yang indah, tumbuh-tumbuhan serta binatang liar maupun kebudayaan yang dapat ditemukan disana. Sementara Bruce et al. (2002) berpendapat, ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Ekowisata adalah wisata yang berbasis pada memperbolehkan orang untuk menikmati lingkungan alam dalam arah yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Ditambahkan pula oleh Nurfatriani dan Evida (2003) bahwa ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat dan tepat dan berdaya guna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Ekowisata sendiri untuk pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh oganisasi The Ecotourisme Society, sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat (Linberg dan Hawkins 1993 in Yulianda 2007). Buckley (1996) menyatakan bahwa ada empat bentuk perjalanan yang berlabelkan ekowisata dan umumnya dilakukan, yaitu: (1) Wisata berbasis alamiah (nature based tourism), (2) Kawasan konservasi sebagai pendukung objek wisata (conservation supporting tourisme), (3) Wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism) dan (4) Wisata yang berkelanjutan (sustainable tourisme).
Rumusan ekowisata yang disepakati dalam lokakarya nasional ekowisata pada bulan Juli 1996 di Bali yang melahirkan forum Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI), yaitu kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam serta peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar daerah tujuan ekowisata. (Sudarto 1999). Secara konseptual ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Setiawati 2000). Menurut Fandeli (2000), sumberdaya ekowisata terdiri dari sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Wisata alam (nature tourism), merupakan aktifitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya. 2. Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai objek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan. 3. Ekowisata (ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. Dalam teori dan prakteknya ekowisata tumbuh dari kritik terhadap pariwisata masal, yang dipandang merusak landasan sumberdaya yaitu lingkungan dan kebudayaan. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru antara lain adalah pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggung jawab, pariwisata yang berbasis komunitas dan ekowisata (Aoyoma 2000). Alasan umum penggunaan konsep ini adalah karena dapat menggambarkan pariwisata yang
termasuk: bukan pariwisata berskala besar atau massal, mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan dan mempererat hubungan antar bangsa. 2.3. Ekowisata Sebagai Konsep Pengembangan Wisata Bahari Ekowisata
bahari merupakan ekowisata yang memanfaatkan karakter
sumberdaya pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut, dengan tujuan: (1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung system kehidupan, (2) Melindungi keanekaragaman hayati, (3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, dan (4) Memberikan kontribusi kepada masyarakat. Menurut Yulianda (2007), konsep untuk mengembangkan ekowisata meliputi delapan hal utama yang meliputi: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat, 2. Pendidikan konservasi dan lingkungan: mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi, 3. Pendapatan langsung untuk kawasan: restribusi atau pajak konservasi dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan, 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan: merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan, 5. Penghasilan bagi masyarakat: masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga mendorong untuk menjaga kelestarian kawasan, 6. Menjaga keharmonisan dengan alam dengan cara kegiatan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam, 7. Daya
dukung
sebagai
batas
pemanfaatan:
daya
tampung
dan
pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan, 8. Kontribusi bagi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat). Pengembangan suatu kawasan untuk tujuan ekowisata, hendaknya memperhatikan dua aspek utama, yaitu: (1) Aspek Destinasi: tidak melakukan eskploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, psikologis wisatawan atau dengan kata lain bukan menjual destinasi melainkan filosofi dan (2) Aspek Market, yakni konsep produk driven, meskipun market dipertimbangkan namun macam, sifat, perilaku objek dan daya tarik wisata alam-budaya diusahakan untuk kelestarian dan keberlanjutan (Fandeli 2000). 2.4. Pengelolaan Ekowisata Bahari. Pengelolaan ekowisata bahari merupakan
suatu
konsep pengelolaan
yang memprioritaskan kelestarian sumberdaya alam dan budaya masyarakat lewat pemanfaatan yang berkelanjutan dengan tetap mempertahankan nilai sumberdaya dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya alam, tetapi hanya menggunakan jasa dan budaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan fisik, pengetahuan dan psikologis pengunjung. Dengan demikian ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual filosofi (Yulianda 2007). Pengelolaan ekowisata yang berwawasan lingkungan akan memberikan jaminan terhadap kelestarian sumberdaya dan keindahan lingkungan, terutama yang berkaitan dengan ekosistem utama serta jenis-jenis biota yang ada di dalamnya. Menurut Gunn (1994), pengelolaan ekowisata dapat mencapai kondisi optimal dan berkelanjutan, jika pola pengelolaannya dapat memenuhi empat aspek, yaitu: 1. Mempertahankan kelestarian dan keindahan lingkungan (alam). 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan tersebut. 3. Menjamin kepuasan penduduk. 4. Meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat disekitar kawasan dan zona pengembangannya. Menurut Nurfatriani dan Evida (2003) dalam pengelolaan ekowisata dipergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan dengan menitikberatkan pada pelestarian dibandingkan pemanfaatan, serta harus sinergi dan berpihak kepada masyarakat. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat lokal akan membantu menjaga keutuhan kawasan ekowisata dan mempertahankan budaya lokal
masyarakat serta membuka peluang untuk memposisikan masyarakat sebagai bagian dari pengelola bersama dengan stakeholder yang lain. Berbeda dengan industry tourism umumnya ecotourism memerlukan sentuhan manajemen spesifik agar dapat mencapai tujuan sustainability dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Fokus manajemen ecotourism adalah bagaimana memelihara dan melindungi sumberdaya yang tidak tergantikan (irreplaceable) agar dapat dimanfaatkan untuk generasi sekarang dan untuk generasi mendatang. Konflik kepentingan akan mudah timbul antara aspek ekonomi dan ekologi terhadap suatu sumberdaya. Oleh karena itu, manajemen ecotourism mementingkan proses pendidikan terkait dengan upaya-upaya konservasi lingkungan (Nugroho 2004). Ceballos dan Lascuarin (1997) in Dirawan (2003) menyatakan bahwa ekowisata sebagai suatu bagian .logis dari pembangunan yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan berbagai disiplin dan perencanaan yang hati-hati (baik secara fisik maupun pengelolaannya). Selanjutnya
disebutkan
bahwa,
sebaiknya,
perkembangan
wisata
rnenerapkan konsep ekowisata. Hal ini disebabkan karena ekowisata dapat dikatakan bukan hanya sebagai salah satu corak kegiatan pariwisata khusus, melainkan suatu konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan (Sekartjakrarini 2003). Dalam konteks ini, yang membedakan ekowisata dengan pariwisata pada umumnya adalah aktivitas ekowisata memberikan pembelajaran yang dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sumberdaya alam dan lingkungannya. Sebagai industri, ekowisata merupakan model pembangunan wilayah yang menempatkan pariwisata sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal (Sekartjakrarini 2003). Tujuan pengembangan ekowisata di kawasan konservasi adalah untuk mewujudkan misi konservasi. Dalam pengembangan ekowisata tujuan ini dicapai diantaranya dengan memasukan program-program konservasi dalam produk wisata pengelolaannya. Dimana kegiatan interpretasi lingkungan dalam ekowisata
merupakan media yang efektif untuk mengkampanyekan program-program konservasi baik kepada pengunjung maupun masyarakat lokal. 2.5. Kesesuaian Kawasan dan Daya Dukung Kawasan untuk Ekowisata Bahari. Kesesuaian ekologi untuk ekowisata bahari adalah suatu kriteria penilaian untuk sumberdaya dan lingkungan yang disyaratkan atau dibutuhkan bagi pengembangan ekowisata bahari. Pengembangan ekowisata yang berbasis pada ketersedian potensi sumberdaya hayati suatu kawasan sangat ditentukan oleh kesuaian secara ekologis. Wisata bahari seperti diving dan snorkeling sangat didukung oleh kesesuaian ekosistem terumbu karang yang sehat dan berada dalam kondisi yang bagus, yang akan menjadi objek dan daya tarik yang diincar oleh wisatawan (Salm 1986). Daya dukung didefinisikan oleh Bengen dan Retraubun (2006) sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya atau kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung didalamnya dan memperhitungkan faktor lingkungan serta faktor lainnya yang berperan di alam. Sedangkan daya dukung wisata merupakan tingkat pengunjung yang memanfaatkan suatu kawasan wisata dengan perolehan tingkat kepuasan yang optimal dengan dampak yang minimal terhadap sumberdaya. Konsep ini memiliki dua konsep utama yang membatasi perilaku pengunjung yang berkaitan dengan daya dukung, yaitu (1) kondisi lingkungan dan (2) kondisi sosial budaya masyarakat (Mc Neely 1994). Mc Neely (1994) menambahkan juga bahwa daya dukung ekowisata tergolong spesifik dan lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan (biofisik dan sosial) terhadap kegiatan pariwisata dan pengembangannya. Daya dukung ekowisata juga diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh sarana prasarana objek wisata alam. Jika daya tampung sarana dan prasarana tersebut dilampaui, maka akan terjadi degradasi sumberdaya, kepuasan pengunjung tidak terpenuhi dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya (Ceballos - Lascurain 1991; Simon et al. 2004).
Ekosistem terumbu karang sebagai media wisata mempunyai kapasitas tertentu dalam melangsungkan fungsinya secara berkelanjutan. Berkaitan dengan pemanfaatan non-ekstraktif, dalam hal ini pariwisata, maka upaya pelestarian alam pada ekosistem terumbu karang yang ada hanya akan menampakkan hasil yang diharapkan bila pengembangan pariwisata yang dilakukan terkontrol dengan baik, sementara perencanaan penggunaan kawasan terformulasikan dengan baik dan benar, serta upaya pemantauan dan pengendalian atas kemungkinan dampak negatif yang timbul dengan selalu melakukan upaya penegakan hukum secara terarah dan konsisten (Wiharyanto 2007). Ada enam faktor yang menentukan kapasitas daya dukung terumbu karang, yaitu: (1) Ukuran dan Bentuk Karang (2) Komposisi dan komunitas karang, Kedalaman, Arus dan Kecerahan perairan (4) Tingkat pengalaman snorkeler dan diver (5) Aksesbilitas dan (6) Atraksi (Lim 1998). Konsep daya dukung digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan kapasitas ekosistem terumbu karang sehingga dapat meminimalisasi bahkan mengurangi kerusakan akibat aktifitas kegiatan pariwisata (Salm 1986) yang ditandai dengan penurunan persentase life hard coral cover atau meningkatnya kerusakan karang akibat kegiatan penyelaman (Schleyer dan Tomalin 2000). Kerusakan terumbu karang akan menjadi minimal jika pengelolaan kawasan sesuai pemanfaatannya berada di bawah konsep daya dukung, sebaliknya apabila pemanfaatannya diatas daya dukung maka akan sangat meningkatkan kerusakan terumbu karang (Hawkins dan Roberts 1997). Beberapa penelitian tentang daya dukung pengunjung dan dampak penyelam terhadap terumbu karang yang fokus pada SCUBA divers di Laut Merah (Mesir), Laut Karibia dan Great Barrier Reef (Australia) (Davis dan Tisdell 1995; Hawkins dan Robert 1997; Jameson et aI. 1999). Dari hasi penelitian ini didapatkan bahwa daya dukung (carrying capacity) untuk wisata bahari di kawasan terumbu karang tergantung tidak hanya pada jumlah penyelam, tetapi juga tipe penyelaman, latihan, pendidikan mereka, tipe dari bentuk pertumbuhan karang dan struktur komunitas karang. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa karang dapat dirusak oleh kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas penyelam amatir, dan pada berberapa kasus pembangunan
infrastruktur yang berasosiasi dengan wisata bahari dapat menyebabkan kerusakan pada lokasi penyelaman itu sendiri. Pengembangan wisata bahari dan penerapan batas pelestarian (melalui kapasitas daya dukung atau toleransi batas perubahan) sangat tergantung pada situasi kondisi lingkungan perairan. Dampak yang berpengaruh pada kualitas lingkungan laut juga akan berdampak pada wisata bahari baik yang berdiri sendiri, maupun yang tidak berhubungan langsung dengan pariwisata, tapi memiliki efek yang mengganggu (Davis dan Tisdell 1996). Selanjutnya ditambahkan oleh de Vantier dan Turak (2004) bahwa dari perspektif estetis
(sosial/kenyamanan)
mengendalikan
jumlah
penyelam
dilakukan
dengan mengatur jumlah rata-rata penyelam sehingga penyelam memperoleh kenyamanan ketika menyelam. Berbagai aktifitas wisata bahari seperti diving dan snorkeling yang tidak terkontrol, dapat menimbulkan kerusakan terhadap karang baik dari peralatan seperti tabung (diving), fin dan kamera underwater. Aktifitas gerakan penyelam seperti kayuhan fin dapat menyebabkan pengadukan sedimen didekat karang (Zakai dan Chadwick 2002). Begitu juga beberapa interaksi dan kontak yang kompleks dari
kegiatan penyelam terhadap terumbu karang seperti tipe
penyelaman, kondisi alam lokasi (hamparan karang, arus, tipe komunitas karang dan kharakteristik lainnya) yang beragam antara lokasi, pengalaman/ tingkah laku penyelam, tingkat kerusakan karang, konsentrasi penumpukan penyelam, pemisahan aktifitas selam, akses ke lokasi selam, berjalan di karang pada snorkeling, tambatan atau jangkar kapal dan ukuran dari lokasi selam, yang kesemuanya dapat mempengaruhi daya dukung, dan sangat penting diperhatikan dalam menetapkan jumlah penyelam per lokasi (Barker dan Roberts 2003). Beberapa penelitian tentang daya dukung (carryng capacity) terumbu karang dan dampak yang diakibatkan oleh penyelam terhadap terumbu karang telah dilakukan di Laut Merah (Mesir), Laut Karibia dan di Great Barrier Reef Australia (Davis dan Tisdell 1995; Hawkins dan Robert 1997; dan Jameson et al. 1999). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa daya dukung untuk wisata bahari, tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah penyelam, tapi tergantung juga pada tipe penyelam, latihan dan pendidikan mereka, tipe pertumbuhan karang, dan struktur
komunitas karang. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa kerusakan karang dapat diakibatkan oleh kerusakan lingkungan, penyelam amatir dan beberapa kasus pembangunan infrastruktur yang berasosiasi dengan wisata bahari. Daya dukung kawasan Daerah Perlindungan Laut untuk kegiatan wisata diving dan snorkeling dapat diestimasi dengan menggunakan angka yang direkomendasikan Hawkins dan Robert (1997) yaitu 5 000 – 6 000 penyelam perlokasi pertahun, bergantung pada jumlah lokasi penyelaman yang dapat digunakan. Sebaliknya Dixon et al. (1993) memberi batasan yaitu 4 000 – 6 000 penyelam perlokasi pertahun, hal ini disebabkan karena penyelaman sebelumnya telah memberi dampak kerusakan pada struktur komunitas karang di Banaire (Laut Karibia). 2.6. Aspek Sosial Wisata Menurut Bater et al. (2001), pembangunan pariwisata berkelanjutan hanya dapat terlaksana dengan sistem penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas. Hingga saat ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai solusi pembangunan terbaik, termasuk pembangunan pariwisata. Pembangunan
pariwisata
yang berkelanjutan dapat dikenali melalui
prinsip-prinsipnya yang dielaborasi, yaitu: 1. Partisipasi. Masyarakat setempat harus mengawasi atau mengontrol pembangunan pariwisata dengan ikut terlibat dalam menentukan visi pariwisata, mengidentifikasi sumber-sumber daya
yang akan dipelihara dan
ditingkatkan, serta mengembangkan tujuan-tujuan dan strategi-strategi untuk pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata. Masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mengimplementasikan strategi-strategi yang telah disusun sebelumnya. 2. Keikutsertaan Para Pelaku/Stakeholder Involvement.
Para pelaku yang ikut serta dalam pembangunan pariwisata meliputi kelompok dan institusi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok sukarelawan, pemerintah daerah, asosiasi wisata, asosiasi bisnis dan pihakpihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima dampak dari kegiatan pariwisata. 3. Kepemilikan Lokal. Pembangunan pariwisata harus menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk masyarakat setempat. Fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel, restoran, dsb. seharusnya dapat dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Pendidikan dan pelatihan bagi penduduk setempat serta kemudahan akses untuk para pelaku bisnis/wirausahawan setempat dibutuhkan dalam mewujudkan kepemilikan lokal. Lebih lanjut, keterkaitan (linkages) antara pelaku-pelaku bisnis dengan masyarakat lokal harus diupayakan dalam menunjang kepemilikan lokal tersebut. 4. Penggunaan Sumberdaya yang Berkelanjutan. Pembangunan pariwisata harus dapat menggunakan sumberdaya yang berkelanjutan yang artinya kegiatan-kegiatannya harus menghindari penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (irreversible) secara berlebihan. Perlu dukungan keterkaitan lokal dalam tahap perencanaan,
pembangunan dan pelaksanaan sehingga
pembagian
keuntungan yang adil dapat diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pariwisata harus menjamin bahwa sumberdaya alam dan buatan dapat dipelihara dan diperbaiki dengan menggunakan kriteria-kriteria dan standar-standar internasional. 5. Mewadahi Tujuan-tujuan Masyarakat. Tujuan-tujuan masyarakat hendaknya dapat diwadahi dalam kegiatan pariwisata agar kondisi yang harmonis antara pengunjung atau wisatawan, tempat dan masyarakat setempat dapat terwujud. Misalnya, kerja sama dalam wisata budaya atau cultural tourism partnership dapat dilakukan mulai dari tahap perencanaan, manajemen, sampai pada pemasaran. 6. Daya Dukung. Daya dukung atau kapasitas lahan yang harus dipertimbangkan meliputi
daya dukung fisik, alami, sosial dan budaya. Pembangunan dan pengembangan harus sesuai dan serasi dengan batas-batas lokal dan lingkungan. Rencana dan pengoperasiannya seharusnya dievaluasi secara reguler
sehingga
dapat
ditentukan
penyesuaian/perbaikan
yang
dibutuhkan. Skala dan tipe fasilitas wisata harus mencerminkan batas penggunaan yang dapat ditoleransi (limits of acceptable use). 7. Monitoring dan Evaluasi. Kegiatan monitoring dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Pedoman atau alat-alat bantu yang dikembangkan tersebut harus meliputi skala nasional, regional dan lokal. 8. Akuntabilitas. Perencanaan pariwisata harus memberi perhatian yang besar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan kesehatan masyarakat
lokal
yang
tercermin
dalam
kebijakan-kebijakan
pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam seperti tanah, air, dan udara
harus menjamin akuntabilitas serta memastikan
bahwa sumber-sumber yang ada tidak dieksploitasi secara berlebihan. 9. Pelatihan. Pembangunan
pariwisata
program - program pengetahuan
berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan
pendidikan
masyarakat
dan
dan
pelatihan untuk membekali
meningkatkan
keterampilan
bisnis,
vocational dan profesional. Pelatihan sebaiknya meliputi topik tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta topik-topik lain yang relevan. 10. Promosi. Pembangunan pariwisata berkelanjutan juga meliputi promosi penggunaan lahan dan kegiatan yang memperkuat karakter landscap, sense of place, dan identitas masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan dan penggunaan lahan tersebut seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas yang memberikan kepuasan bagi pengunjung.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di bagian utara KKLD Selat Dampir yang terdiri dari Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri pada bulan Maret sampai Mei 2011. Lokasi pengamatan dilakukan pada 8 (delapan) kawasan DPL sebagai stasiun penelitian. Secara administratif kawasan DPL tersebut masuk ke dalam Distrik Meosmansar, yang meliputi kampung Arborek, Sauwandarek, Yenbuba, Yenbekwan, Kurkapa, Kapisawar, Sawinggrai dan Yenwaupnor. Posisi geografis 8 stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan peta stasiun penelitian dan letaknya dalam KKLD Selat Dampier pada Gambar 2 dan Gambar 3. Tabel 1. Posisi geografis 8 stasium penelitian. Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama DPL/ Kampung
Luas DPL (Ha)
Luas Terumbu Karang (Ha)
34
13.38
Indip (Arborek) Imburnos (Sawandarek)
35.8
Warasmus (Yenbuba)
33.6
Ikwan Iba (Yenbekwan) Yendersner (Kurkapa)
Posisi geografis Latitude ( X )
11.01 12.75
Longitude ( Y )
0⁰54’8190
130⁰49’6840
0⁰54’8370
130⁰49’5360
0⁰59’4933
130⁰60’1783
0⁰58’8150
130⁰60’6333
0⁰56’5100
130⁰66’4117
0⁰56’5767
130⁰66’9633
289
223.33
0⁰57’8167
130⁰56’8917
31.4
19.78
0⁰57’5460
130⁰59’3590
Tanadi (Kapisawar)
66.7
4.25
0⁰51’9600
130⁰55’7560
0⁰51’4480
130⁰55’7390
Mansaswar (Sawnggrai)
17.7
Kormansiwin (Yenwaupnor)
13.7
1.09 10.50
0⁰55’4330
130⁰56’7620
0⁰55’4590
130⁰56’9710
0⁰52’6517
130⁰61’2283
0⁰52’5783
130⁰61’7883
Sumber: COREMAP II – CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
3.2. Pengumpulan Data. Metode yang dipakai dalam penelitian ini yaitu metode penelitian survey dengan beberapa tahapan. Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui pengamatan dan wawancara yang secara garis besar meliputi kondisi ekosistem terumbu karang dan sosial budaya masyarakat.
Gambar 2. Peta 8 kawasan DPL di Distrik Meosmansar yang menjadi stasiun penelitian.
Gambar 3. Letak 8 kawasan DPL Distrik Meosmansar dalam peta Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Selat Dampir.
1
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari penelusuran terhadap laporan hasil penelitian atau kegiatan dilokasi yang sama dan data dari instansi terkait. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan seperti laporan hasil survey dan publikasi lainnya serta peta-peta yang tersedia. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis dan sumber data. No 1
2
Komponen Biofisik
Sosial
Jenis Data 1.1.Biologi • Tutupan karang • Kelimpahan dan keanekaragaman ikan karang • Biota lain yang berasosiasi dengan karang 1.2. Fisika • Kedalaman perairan • Kecerahan perairan • Kecepatan arus • Suhu 1.3. Kimia • Salinitas • Suhu • Pengaruh tiap stakehoder • Kepentingan tiap stakehoder • Partisipasi stakeholder • Persepsi tentang terumbu karang • Persepsi masyarakat tentang pengelolaan terumbu karang
Sumber Data
COREMAP II, DKP Kab. Raja Ampat, CI, WWf dan TNC
In situ
3.2.1. Data Nilai Objek Wisata Bahari. Pengumpulan data untuk menentukan nilai keindahan objek wisata bahari diperoleh dengan menggunakan teknik pengisian kuisioner Scenic Beauty Estimation (SBE) oleh 50 responden. Dalam hal ini, teknik penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Responden akan memberi penilaian terhadap 24 foto, yang mewakili 8 stasiun penelitian. Setiap stasiun penelitian diwakili oleh 3 buah foto berupa hamparan karang dan jenis-jenis ikan karang. Responden akan menilai setiap foto dengan memberikan skor 1-10, dimana skor 1 menunjukkan nilai yang paling tidak disukai sebaliknya skor 10 merupakan nilai yang paling disukai. Kuisioner Scenic Beauty Estimation (SBE)
dapat dilihat pada Lampiran 6. 3.2.2. Data Sosial. Pengumpulan data untuk menentukan tingkat keterlibatan masyarakat dan stakeholder lainnya dalam pengelolaan kawasan DPL dilakukan dengan menggunakan teknik pengisian kuisioner dan wawancara terhadap 55 responden yang teridentifikasi terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pengelolaan terumbu karang yang berada dalam lokasi pengembangan wisata bahari. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan tentang terumbu karang kaitannya dengan pengelolaan yang telah dilakukan serta kondisi lokasi penelitian sebagai kawasan pengembangan ekowisata bahari. Kuisioner Analisis Keterlibatan Masyarakat dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabe1 3. Data lain yang dikumpulkan untuk Analisis Keterlibatan Stakeholder. No
Data yang dikumpulkan
1
Pengetahuan tentang manfaat dan fungsi terumbu karang
2
Peraturan yang mengatur pengelolaan terumbu karang
3
Partisipasi dan persepsi masyarakat tentang pengelolaan kawasan terumbu karang
Pengambilan sampel (respoden) dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah individu, masyarakat, aparat pemerintah daerah dan perusahaan pariwisata yang memiliki pengaruh dan kepentingan dalam pengambilan kebijakan untuk pengembangan ekowisata bahari di daerah setempat. Data lain yang dihimpun untuk melengkapi analisis keterlibatan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 3. 3.3. Analisis Data 3.3.1. Analisis Kesesuaian Kawasan untuk Wisata Bahari Kategori Selam Kesesuaian lahan wisata bahari kategori selam (diving) mempertimbangkan enam parameter yaitu kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis lifefrom, jenis ikan karang, kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang dengan empat klasifikasi penilaian seperti tersaji dalam Tabel 4 (hasil modifikasi dari Yulianda 2007).
Tabel 4. Matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam. No 1 2
3 4 5
6
Parameter Bobot Kecerahan perairan (%) Tutupan Komunitas Karang (%) Jenis lifeform Karang Jenis Ikan Karang Kecepatan Arus (cm/det) Kedalaman Terumbu Karang (m)
Kategori Kategori Skor Skor S2 S1
Kategori S3
Skor
Kategori N
Skor
5
>80
3
50-80
2
20-<50
1
<20
0
5
>75
3
>50-75
2
25-50
1
<25
0
3
>12
3
<7-12
2
4-7
1
<4
0
3
>100
3
50-100
2
20-<50
1
<20
0
1
0-15
3
>15-30
2
>30-50
1
>50
0
1
6-15
3
>15-20 3-<6
2
1
>30 <3
0
>20-30
Sumber: Yulianda 2007.
Selanjutnya untuk menghitung kesesuaian kawasan untuk wisata bahari kategori selam, menggunakan rumus:
N IKW N
Keterangan:
x 100 %
IKW
= Indeks Kesesuaian Wisata
Ni
= Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor)
Nmax = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata (=54) Ketentuan kelas kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori selam (modifikasi Yulianda 2007), adalah: S1 = sangat sesuai dengan nilai IKW 83 – 100 % S2 = cukup sesuai dengan nilai IKW 50 – < 83 % N = tidak sesuai dengan nilai IKW < 50 % 3.3.2. Analisis Daya Dukung Kawasan untuk Wisata Bahari Kategori Selam. Analisis daya dukung kawasan digunakan untuk memprediksi kemampuan suatu kawasan yang akan dikembangkan menjadi kawasan wisata untuk jenis
kegiatan tertentu dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas, sehingga perlu adanya penentuan daya dukung kawasan. DDK sendiri adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Perhitungan daya dukung kawasan untuk pengembangan wisata bahari kategori selam, menggunakan rumus menurut Yulianda (2007), yaitu:
Keterangan: Lt
= Daya dukung kawasan
K
= Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
Lp
= Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan
Lt
= Unit area untuk kategori tertentu
Wt
= Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari
Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan. Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan, dengan mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir aktivitas pengunjung sehingga keaslian alam terjaga. Potensi ekologis pengunjung dengan luas area kegiatan dan prediksi waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis kegiatan
∑ Pengunjung (org)
Selam
2
Unit Area (Lt)
Keterangan
2000 m2
Setiap 2 orang dalam 200 m x 10 m
Sumber: Yulianda 2007.
Tabel 6. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam. Jenis kegiatan Selam
Waktu yang dibutuhkan Wp-Jam) 2
Total Waktu 1 hari Wt-(Jam) 8
Sumber: Yulianda 2007.
3.3.3. Analisis Nilai Visual Objek Wisata Bahari Analisis spasial dilakukan dalam bentuk penilaian visual objek wisata bahari suatu kawasan dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata. Penentukan nilai visual objek wisata bahari dapat dilakukan dengan menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (Daniel dan Bostes 1976). Tahapan penentuan nilai SBE meliputi: 1. Penentuan hamparan titik pengamatan dan pengambilan foto. Titik pengamatan yaitu stasiun pengamatan yang memiliki nilai kesesuaian wisata diving kategori S1 (sangat sesuai) dan S2 (cukup sesuai). Pengambilan foto dilakukan pada masing-masing jenis terumbu karang dalam berbagai sudut pengamatan, serta biota-biota yang khas dari setiap stasiun. 2. Seleksi foto. Foto-foto yang kan diperlihatkan pada responden merupakan hasil seleksi dari keseluruhan foto yang diambil. Seleksi dilakukan dengan memilih foto yang dianggap dapat mewakili keanekaragaman ekosistem terumbu karang yang dilihat dari tiap stasiun. Untuk mengurangi bias akibat pengaruh cahaya perairan, maka khusus untuk foto dilakukan editing dengan menggunakan software ACDSee, sehingga diharapkan foto yang dipresentasikan memiliki kualitas gambar yang sama dengan aslinya. 3. Penilaian oleh responden. Responden yang dipilih adalah wisatawan asing atau lokal, pelaku wisata selam atau penyelam yang memiliki sertifikat selam minimal A1. Jumlah responden yang dipilih sebayak 50 orang, penilaian oleh responden dalam bentuk penilaian melalui kuisioner dengan memperlihatkan foto yang telah dipilih. Dari setiap foto yang ditampilkan, responden akan menilai setiap foto yang ditampilkan dengan memberikan skor 1-10, dimana skor 1 menunjukan nilai yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan nilai yang paling disukai. 4.
Perhitungan nilai SBE. Bock dan Jones (1968) in Khakim (2009) mengemukakan bahwa perhitungan nilai visual dengan metode SBE diawali dengan tabulasi data,
perhitungan frekuensi setiap skor (f), perhitungan frekuensi kumulatif (cf) dan cumulative probabilities (cp). Selanjutnya dengan menggunakan tabel z, ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Khusus untuk nilai cp = 1.00 atau cp = (z = ± ∞) digunakan rumus perhitungan cp = 1 – 1 / (2n) atau cp = 1/(2n). Rata-rata nilai z yang diperoleh untuk setiap foto kemudian dimasukan dalam rumus SBE sebagai berikut : SBEx = (Zx - Zo) x 100 Keterangan : SBEx
= Nilai penduga pada nilai keindahan pemandangan landskap
melalui foto ke-x Zx
= Nilai rata-rata z untuk lanskap ke-x
Zo
= Nilai rata-rata suatu lanskap tertentu sebagai standar
Selanjutnya nilai SBE dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu nilai SBE tertinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana (simplified rating) menurut Hadi (2001) in Khakim (2009) dengan rumus : I
Nilai tertinggi ' Nilai terendah Jumlah kelas
3.3.4. Analisis Keterlibatan Stakeholder. Brown et al. (2001) mengatakan bahwa Analisis Keterlibatan Stakeholder adalah
suatu
system
yang
digunakan
untuk
mengumpulkan
informasi
mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Proses penentuan keterlibatan Stakeholder. dilakukan dengan cara: 1. Mengindentifikasi sendiri berdasarkan pengalaman (berkenaan dengan perencanaan kebijakan) dan berdasarkan catatan statistik serta laporan penelitian. Hasilnya berupa daftar panjang individu dan kelompok yang terkait dalam pengelolaan terumbu karang.
2. Indentifikasi stakeholder menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik snow ball dimana setiap stakeholder mengindentifikasi stakeholder lainnya. Berdiskusi dengan stakeholder yang teridentifikasi pertama kali dapat mengungkapkan pandangan mereka tentang stakeholder penting lainnya yang berkaitan dengannya. Metode ini dapat membantu pengertian yang lebih mendalam terhadap kepentingan dan keterkaitan stakeholder sebagai stakeholder penentu (pengambil kebijakan dan lembaga legislatif), stakeholder penunjang (LSM, Perguruan Tinggi, Pengusaha dan Lembaga donor swasta), stakeholder kunci (nelayan, dan lainnya dimana sumber ekonominya sangat tergantung pada terumbu karang). Berdasarkan indentifikasi stakeholder tersebut dilakukan analisis pengaruh (influence) dan kepentingan (importance) masing-masing stakeholder dalam kaitan dengan kebijaksanaan pengelolaan terumbu karang. Pengaruh merujuk pada kekuatan yang dimiliki stakeholder sedangkan kepentingan merujuk pada peran stakeholder didalam pencapaian output dan tujuan serta menjadi fokus pertimbangan terhadap keputusan yang akan dibuat. Untuk menganalisis keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang ditiap stasiun maka responden yang dipilih adalah 55 orang, yang terdiri dari masyarakat lokal (pengelola kampung wisata) 20 orang (36.4 persen), tokoh masyarakat 5 orang (9.1 persen), Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) 5 orang (9.1 persen), Pemerintah Desa 5 orang (9.1 persen), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dinkebudpar) 5 orang (9.1 persen), COREMAP II, 5 orang (9.1 persen), LPSTK 5 orang (9.1 persen), dan PT. Papua Diving 5 orang (9.1 persen). Responden terdiri dari 10 orang (18.2 persen) perempuan dan 45 orang (81.8 persen) laki-laki yang berusia antara 30 - 45 tahun. Sedangkan untuk mengetahui pemahaman dan keterlibatan dari masingmasing stakeholder terhadap pengelolaan terumbu karang, digunakan tiga variabel yaitu: Pengetahuan tentang manfaat dan fungsi terumbu karang, peraturan yang mengatur pengelolaan terumbu karang dan partisipasi stakeholder dalam pengelolaan kawasan terumbu karang. Daftar kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 9.
3.4.5. Analisis Persepsi Stakeholder. Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan proses integral dalam diri individu. Persepsi mencakup penafsiran objek, tanda, dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan terhadap stimulus yang diterima yang
akhirnya
mempengaruhi
perilaku
dan
pembentukan
sikap setiap
individu/komunitas atau masyarakat. (Walgito 2003 in Yuditrinurcahyo 2005). Faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi adalah faktor internal: perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, motivasi dan kerangka acuan sedangkan faktor eksternal adalah: stimulus itu sendiri dan keadaan lingkungan dimana persepsi itu berlangsung. Kejelasan stimulus akan banyak berpengaruh dalam persepsi. Bila stimulus itu berwujud benda-benda bukan manusia, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu yang mengadakan persepsi karena benda-benda yang dipersepsi tersebut tidak ada usaha untuk mempengaruhi persepsi. Sebagai proses kognitif, proses persepsi dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam Gambar 4.
Perilaku responden tentang ekosistem terumbu karang dan pengelolaannya
Proses pemaknaan fenomena (kelompok/ bidang kajian)
Gambar 4. Proses penentuan persepsi.
Hasil analisis persepsi responden tentang terumbu karang Hasil analisis persepsi responden tentang PT. Papua Diving
Kesimpulan dan rekomendasi
4. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Raja Ampat. Raja Ampat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat yang masih relatif baru yang dibentuk berdasarkan UU No. 26 tahun 2002. Kabupaten Raja Ampat secara resmi berdiri pada tanggal 12 April 2003 dan secara otonom terpisah dari Kabupaten Sorong. Ibukota Kabupaten Raja Ampat terletak dikota Waisai yang berjarak 36 mil laut (67 km) dari Sorong dan untuk mencapainya hanya dengan menggunakan transportasi laut. Sebagai gambaran, dalam kondisi cuaca bagus dengan menggunakan speedboat berkecapatan 30 knot maka rata rata jarak sejauh ini dapat dicapai dalam tempo 1.5 jam. Raja Ampat dikenal juga sebagai kabupaten bahari karena ± 80 persen dari luas wilayahnya yaitu 8 034 440 km2, didominasi oleh laut (BPS Kab. Raja Ampat 2009). Kabupaten Raja Ampat terletak pada posisi 2o25´LU - 4o25´LS & 130o - 132o55´BT dan secara administratif memiliki batas wilayah (BAPPEDA 2010), sebagai berikut : • Sebelah Utara
: dibatasi oleh Republik Federal Palau, Samudera Pasifik
• Sebelah Selatan : dibatasi oleh Laut Seram • Sebelah Barat
: dibatasi oleh Laut Seram, Kabupaten Halmahera Tengah Provinsi Maluku Utara
• Sebelah Timur
: dibatasi oleh Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan Laut Seram.
Pada awal perkembangan, Kabupaten Raja Ampat memiliki 7 distrik (UU RI No. 26 Tahun 2002). Sejalan dengan perkembangan kabupaten ini, maka hingga tahun 2010 telah terjadi beberapa kali pemekaran distrik dan kampung, sehingga sampai saat ini Kabupaten Raja Ampat memiliki 24 distrik seperti tertera pada Tabel 7. Jumlah penduduk Kabupaten Raja Ampat berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010 adalah 42 471 jiwa, terdiri atas 22 669 laki-laki dan 19 802 perempuan dengan laju pertumbuhan sebesar 5.66 persen per tahun. Penyebaran penduduk masih bertumpu di Distrik Waigeo Selatan yaitu sebesar
20.50 persen per tahun kemudian diikuti oleh Distrik Salawati Utara sebesar 11.36 persen Distrik Misol Selatan sebesar 7.11 persen dan distrik lainnya dibawah 7 persen (BPS Kab. Raja Ampat 2010). Tabel 7. Jumlah distrik di Kabupaten Raja Ampat tahun 2010. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Distrik Waigeo Selatan Kota Waisai Waigeo Timur Waigeo Barat Waigeo Barat Kepulauan Waigeo Utara Supnin Warwarbom Teluk Mayalibit Tiplol Mayalibit Meos Mansar Kepulauan Ayau Ayau Misool Misool Selatan Misool Barat Misool Timur Kepulauan Sembilan Kofiau Salawati Utara Salawati Tengah Batanta Selatan
23
Batanta Utara
24
Salawati Barat
Ibukota Distrik Saonek Waisai Urbanisopen Waisilip Manyaifun Kabare Rauki Warwanai Warsamdim Go Yenbekwan Dorehkar Abidon Waigama Dabatan Lilinta Foley Weijam Barat Mikiran Samate Kalobo Yenanas Yensawai Timur Wayom
Keterangan Pemekaran dari Distrik Waigeo Selatan
Pemekaran dari Distrik Waigeo Utara
Pemekaran dari Distrik Teluk Mayalibit
Pemekaran dari Distrik Kepulauan Ayau
Pemekaran dari Distrik Salawati Utara Pemekaran dari Distrik Batanta Selatan Pemekaran dari Distrik Batanta Selatan
Sumber: • Perda No. 3 Th. 2006 tentang Pemekaran dan Perubahan Nama serta Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Distrik di Lingkungan Pemerintah Kab. Raja Ampat • Perda No. 7 Th. 2008 tentang Pembentukan Distrik dan Kampung di Kab. Raja Ampat • Perda No. 2 Th. 2010 tentang Pembentukan Distrik, Kelurahan, dan Kampung di Kabupaten Raja Ampat
4.1.1. Kondisi Topografi, Iklim dan Bathimetri. Wilayah Raja Ampat terdiri dari gugusan 610 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 753 km. Memiliki 4 pulau utama yang bergununggunung yaitu Batanta, Salawati, Misol dan Waigeo dan sisanya adalah ratusan pulau kecil yang tersusun oleh batuan kars. Dari keseluruhan pulau hanya sekitar 35 pulau yang berpenghuni sedangkan sisanya tidak berpenghuni dan sebagian besar belum memiliki nama.
Wilayah Kabupaten Raja Ampat memiliki topografi yang beragam. Pada umumnya topografi didominasi oleh wilayah perbukitan dengan ketinggian mencapai 100-300 m di atas permukaan laut yang masih ditutupi oleh hutan alami. Bagian utara Kabupaten Raja Ampat yaitu Pulau Waigeo dan sebagian Pulau Batanta didominasi oleh pegunungan, sedangkan pada bagian tengah terutama Pulau Salawati memiliki daerah datar yang cukup luas. Pada bagian selatan, yaitu Pulau Misool sebagian besar merupakan pegunungan, namun pada bagian tengah terdapat daerah datar. Selain itu terdapat ratusan pulau-pulau kecil yang hanya terdiri atas batu karang, seperti pada Distrik Ayau (Dinkebudpar Kab. Raja Ampat 2009). Kondisi iklim di wilayah Kabupaten Raja Ampat menurut Oldeman memiliki tipe A, dengan iklim tropis yang lembab dan panas. Suhu udara terendah sebesar 23.5°C dan suhu udara tertinggi sebesar 31.2°C dengan suhu rata-rata 27.4°C. Curah hujan di wilayah ini sebesar 2.00 mm/tahun, dengan variasi antara musim kemarau dan musim penghujan tidak begitu jelas seperti daerah Papua pada umumnya. Wilayah Raja Ampat dipengaruhi oleh angin muson; antara bulan Mei - November bertiup angin Pasat Tenggara dan antara bulan Desember - April bertiup angin Barat Laut. Karakteristik bathimetri perairan laut di kepulauan Raja Ampat sangat bervariasi hinggga kedalaman 3 220 m dari permukaan laut. Perairan laut di wilayah pesisir kepulauan Raja Ampat, terutama di kawasan teluk sekitar Pulau Waigeo memiliki kedalaman antara 3 hingga 55 m, sedangkan di daerah tanjung bertebing memiliki kedalaman hingga mencapai 118 m. Kedalaman laut lepas, terutama antara pulau-pulau Waigeo, Kofiau dan Misool memiliki kedalaman lebih dari 200 m, sedangkan antara Pulau Misool dan Salawati serta pulau-pulau sekitar memiliki kedalaman kurang dari 200 m (Pemda Kab. Raja Ampat 2006). 4.1.2. Kondisi Oceanografi Penyebaran suhu permukaan di Perairan Raja Ampat sangat dipengaruhi oleh Samudera Pasifik di bagian utara dan Laut Banda di bagian selatan. Perairan Raja Ampat yang terletak di wilayah tropis (10º00’ LU - 20º15’ LS) memiliki suhu permukaan yang relatif hangat dengan variasi tahunan yang cukup kecil. Laporan hasil pengamatan Conservation International (CI) pada bulan Maret
2006, mencatat bahwa suhu permukaan di perairan Raja Ampat berkisar antara 28.5ºC – 31.8ºC dengan rata-rata 29.8ºC. Pada perairan tertutup (Teluk Mayalibit) suhu permukaan mencapai 31.8ºC. Tingginya suhu permukaan di Teluk Mayalibit diperkirakan karena pergantian massa air sangat lamban (Pemda Kab. Raja Ampat 2006). Salinitas di lapisan permukaan perairan Raja Ampat berkisar antara 30‰ - 35‰, pada kedalaman 10 meter berkisar antara 32‰ - 35‰ dan di perairan tertutup (Teluk Mayalibit) berkisar antara 27.5‰ - 33.8‰. Rendahnya kadar salinitas di Teluk Mayalibit ini disebabkan oleh pengaruh massa air tawar dari darat yang mengalir melalui beberapa sungai yang masih aktif di teluk tersebut. Kecerahan di perairan Raja Ampat berkisar antara 4 - 23 m dengan rata-ata kecerahan 12.91 m. Kecerahan minimum berada di Teluk Mayalibit yang hanya mencapai 4 - 5 m karena memiliki kekeruhan yang cukup tinggi akibat banyaknya bahan tersuspensi. Sedangkan untuk kegiatan pengamatan kecerahan air laut baik dilakukan pada pagi dan siang hari kecuali mendung karena intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi hasil pengukuran kecerahan air dan akan memberikan hasil yang berbeda (Alaerts dan Santika (1984) in Pemda kab. Raja Ampat (2006)). Apabila mengacu pada baku mutu air laut menurut KEPMEN KLH. No. 02/1988, secara umum kecerahan Perairan Raja Ampat rata-rata 12.91 meter dan masih tergolong baik. Baik untuk taman laut/konservasi maupun untuk biota laut/budidaya. Menurut KEPMEN tersebut kecerahan air laut yang diperbolehkan untuk taman laut/konservasi ≤ 10 meter dan yang diinginkan ≤ 30 meter, sedangkan untuk biota laut/budidaya kecerahan air laut yang diperbolehkan ≥3 meter dan yang diinginkan >5 meter (Wibisono 2005) Pola arus yang terbentuk di Raja Ampat lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Samudera Pasifik Barat (Western Pacific Ocean) yang bergerak dari arah timur menuju barat laut (North West) dan sejajar dengan daratan Papua bagian utara. Ketika arus ini tiba di Laut Halmahera atau bagian utara Kepulauan Raja Ampat arus tersebut sebagian bergerak ke selatan dan sebagian berbalik menuju Samudera Pasifik. Diduga sebagian arus ini memasuki perairan Kepulauan Raja Ampat (Anonim 2005).
Untuk wilayah teluk dan pulau-pulau kecil yang berdekatan pola arus lebih dipengaruhi oleh pasang surut. Kecepatan rata-rata arus di perairan Raja Ampat adalah 0.11 m/det pada saat air laut duduk surut atau duduk pasang, sedangkan arus diperkirakan kencang pada saat duduk tengah pasang atau duduk tengah surut. Daerah-daerah yang diperkirakan mempunyai arus pasang surut yang deras antara lain Selat Mansuar, Selat Kabui, dan Selat Sagawin (Pemda Kab. Raja Ampat 2006). 4.1.3. Potensi Karang Kepulauan Raja Ampat. Hamparan karang Raja Ampat Provinsi Papua Barat, Indonesia dikenal menyokong beberapa fauna karang terkaya di dunia (McKenna et al. 2002; Erdman dan Pet 2002). Berdasarkan hasil penelitian Marine RAP dan REA yang dilakukan CI, TNC dan WWF tahun 2001 dan 2002, tercatat sebanyak 537 species karang batu, mewakili 76 genus dan 19 famili. Dari jumlah spesies ini terdapat 295 species yang tergolong dalam 67 genus dan 15 famili, merupakan karang keras (scleractinia). Bahkan Kondisi keanekaragaman ini diinventarisasi sampai pada kedalaman 34 meter di lebih dari 100 lokasi survei. Turak dan Souhoka in Pemda Kab. Raja Ampat et al. (2005) mencatat bahwa keanekaragaman hayati terumbu karang Raja Ampat tinggi jika dibandingkan dengan beberapa daerah lain di kawasan tersebut dan Lautan India bagian barat. Tercatat total 488 spesies karang scleractinian berhasil diidentifikasi di Raja Ampat dan merupakan skor tertinggi jika dibandingkan dengan Sulawesi Utara yaitu 445, Teluk PNG yaitu 393 dan Nort GBR Australia yaitu 318 (Turak 2000), Kep. Banda yaitu 301 (Turak et al. 2002), Teluk Kimbe Timur, PNG yaitu 351 (Turak dan Aitsi (dalam persiapan) dan Barat Laut Madagaskar yaitu 318 (Turak 2001). Veron (2002) juga mencatat bahwa sebanyak 565 spesies karang scleractinian yang mungkin ada di Raja Ampat. Kondisi ini akan membuat Kepulauan Raja Ampat sebagai salah satu dari daerah-daerah terkaya untuk spesies karang di dunia untuk daerah-daerah dengan ukuran yang sama. Fenner (2002) mencatat sebanyak 294 spesies karang scleractinia di 45 lokasi, dengan sepuluh lokasi memiliki hampir 100 spesies atau lebih per lokasi. Angka-angka per lokasi ini bahkan telah menempatkan Raja
Ampat sebagai salah satu daerah yang termasuk dalam daerah-daerah terkaya akan keanekaragaman karang di kawasan tersebut. Studi-studi yang dilakukan menempatkan Raja Ampat berada di tengah di ‘jantung dari jantung-jantung’ (Rod Salm) dengan keanekaragaman karang yang tinggi. Posisi geografisnya menempatkannya di sebuah areal yang dipengaruhi oleh aliran lintas (‘throughflow’) Indonesia, suatu aliran selatan (southerly flow) yang membawa air-air ke laut-laut Halmahera dan Seram (Erdman dan Pet 2002). Dengan posisi ini berarti daerah ini bermandikan air-air yang berasal dari Pasifik ekuatorial sebelah barat dan menyediakan bahan sumber untuk hamparan karang ke arah barat di Indonesia, di Laut Maluku. 4.1.4. Budaya Pemanfaatan Sumberdaya Laut. Secara tradisional dan turun temurun masyarakat Raja Ampat telah mengenal dan menerapkan ‘konservasi’ (kearifan lokal) dalam pemanfaatan sumberdaya laut. Bertahun-tahun yang silam kearifan lokal ini diaksanakan dalam bentuk ‘sasi’ sebagai model pengelolaan sumberdaya laut. Dalam hal ini tetua adat menetapkan penutupan kawasan laut terhadap pengambilan biota tertentu dalam jangka waktu tertentu. Namun seiring dengan berlalunya waktu secara perlahan-lahan kearifan tersebut mulai melemah. Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengangkat kembali budaya ini oleh sejumlah pihak, misalnya untuk memenuhi kebutuhan sarana peribadatan maka lembaga keagamaan mengajak masyarakat menerapkan sasi untuk beberapa jenis hasil laut seperti teripang, bia lola, lobster dan sebagainya dan para penggiat konservasi dengan melakukan pendekatan budaya. Pendekatan dilakukan melalui program rehabilitasi dan pengelolaan kawasan terumbu karang, dimana masyarakat diajak untuk mencari dan menelaah permasalahan keseharian mereka dalam pemanfaatan sumberdaya lautnya, mengajak mereka membuat perencanaan sederhana ditingkat kampung, untuk kemudian bagaimana pelaksanaan dari rencana yang telah dibuat. Seiring dengan itu perencanaan yang bottom up tadi diangkat ketingkat atas dengan harapan para pengambil kebijakan menjadikannya sebagai referensi pemecahan masalahmasalah ditingkat masyarakat.
4.2. Distrik Meosmansar. 4.2.1. Letak Geografis. Distrik Meosmansar memiliki 9 (sembilan) kelurahan yang tersebar di Pulau Gam, Pulau Arborek dan Pulau Mansuar kecuali Pulau Kri, dengan ibukota kecamatan berada di Yenbekwan Pulau Masuar. Jarak masing-masing kelurahan dengan ibukota kecamatan adalah Arborek (5 km), Kapisawar (7 km), Sawinggrai (1.1 km), Yenwaupnor (3.5 km), Yenbuba (4 km), Kabuy (7 km), Kurkapa (1.5 km) dan Sauandarek (1.1 km) yang hanya dapat ditempuh dengan menggunakan kapal laut. Secara rinci batas-batas wilayah Distrik Meosmansar adalah: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Waigeo Selatan b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Waigeo Selatan c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Selat Sagawin d. Seberah Barat berbatasan dengan Kecamatan Waigeo Barat 4.2.2. Penduduk dan Lapangan Pekerjaan. Jumlah penduduk di Kecamatan Meosmansar tercatat sejumlah 1 612 jiwa. Dengan luas wilayah 169 697 Km², maka kepadatan penduduk di daerah ini sebesar 79 orang/Km² sedangkan kepadatan penduduk per kelurahan bervariasi. Tercatat pula bahwa jumlah kelahiran lebih tinggi dibandingkan jumlah kematian yang berarti terjadi peningkatan jumlah penduduk secara alamiah. Sedangkan jumlah penduduk menurut lapangan pekerjaan tercatat bahwa sebanyak 529 orang bekerja di bidang pertanian sedangkan l1 083 orang dibidang lainnya (BPS Raja Ampat 2009). 4.2.3. Sarana dan Prasarana Pendidikan. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka pendidikan memegang peranan penting yang tidak dapat dilepaskan dari proses kehidupan masyarakat. Kaitannya dengan hal tersebut, fasilitas pendidikan tertinggi yang ada saat ini baru mencapai tingkat SLTP dan hanya ada satu SLTP di Kecamatan ini. Ada dua kelurahan yang belum memiliki Sekolah Dasar (SD), yaitu Kelurahan Kurkapa dan Sawinggrai. Kondisi tersebut diatas dapat dilihat pada Tabel 8. Hal menarik yang umumnya ditemukan dalam sistem pendidikan formal di
Raja Ampat dari tingkat SD sampai SMA adalah pemberian materi pelajaran dalam mata pelajaran muatan lokal yang bertujuan untuk pelestarian lingkungan perairan. Sebagai contoh materi pelajaran dalam buku ‘Pesisir dan laut Kita’ yang diberikan kepada murid-murid SD. Selain untuk keperluan mata pelajaran muatan lokal buku ini juga dapat digunakan sebagai bahan pengayaan diberbagai mata pelajaran yang telah ada atau dijadikan sebuah program ekstrakurikuler. Tabel 8. Jumlah sekolah, guru dan murid di Distrik Meosmansar. Tingkat Sekolah Guru (Unit) (Orang) Pendidikan TK SD SLTP Jumlah
4 7 1 12
10 28 11 49
Murid (Orang) 40 491 56 587
Sumber : BPS Raja Ampat 2009 Upaya tersebut diatas didukung juga oleh kehadiran lembaga Conservation International (CI) Indonesia dan The Nature Conservation (TNC), bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Raja Ampat dalam melakukan pelayanan informasi kepada masyarakat berupa kegiatan pengenalan ekosistem Raja Ampat. Hal ini dilakukan sebagai upaya menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan masyarakat Raja Ampat terutama bagi anak-anak usia sekolah yang merupakan generasi penerus pembangunan kabupaten kepulauan ini terhadap sumberdaya alam yang ada. Pelayanan dilakukan dengan melakukan pelayaran dari pulau ke pulau dengan menggunakan KM. Kalabia. ‘Kalabia’ diambil dari nama ikan hiu berwarna coklat orange yang berjalan menggunakan sirip ketika mencari makan di karang. Jenis ini merupakan endemik Raja Ampat dengan nama ilmiah Hemiscyllium freycineti. KM Kalabia mulai beroperasi pada tanggal 30 Agustus 2008, memiliki panjang 37 meter dengan kapasitas penumpang 18 orang dan 6 awak kapal. Memiliki berbagai fasilitas ajar seperti perpustakaan, modul-modul konservasi, perangkat audio visual, ruang pertemuan dan sebagainya. Dengan tema ‘Berlayar sambil Belajar’ KM Kalabia dengan enam tenaga pendidik akan mengelilingi 88 desa di wilayah Raja Ampat. Dengan materi yang didesain khusus dan menyenangkan seputar kehidupan kelautan. Generasi
muda diharapkan memiliki pengalaman menarik sehingga sadar betul akan fungsi menjaga dan melestarikan lingkungan, serta mampu membedakan dan memanfaatkan teknologi tanpa harus merusak lingkungan dan tataran alam selama ini (COREMAP II - Kab. Raja Ampat 2009). . 4.2.4. Iklim. Iklim di Distrik Meosmansar menunjukkan bahwa curah hujan bulanan sepanjang tahun sangat bervariasi. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Agustus yang mencapai ketinggian 614 mm, diikuti pada bulan Juli dan bulan Mei yang masing-masing mencapai 597.2 mm dan 430.2 mm. Sementara itu curah hujan terendah terjadi pada bulan Januari yang hanya mencapai 139.8 mm dengan rata-rata curah hujan 306.0 mm (BPS Raja Ampat 2009).
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang. Terumbu karang merupakan ekosistem yang menonjol di Raja Ampat. Ada empat tipe terumbu karang yang ditemui di Kabupaten ini, yaitu: terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef), taka dan gosong (patch reef), dan karang cincin (atoll). Tipe terumbu karang tepi (fringing reef) dan gosong (patch reef) terbentang di paparan dangkal di hampir semua pulau. Namun, terumbu karang yang terbesar hanya terdapat di beberapa perairan pulau yang meliputi Distrik Waigeo Barat, Waigeo Selatan (Meosmansar), Ayau, Samate, dan Misool Timur Selatan sedangkan terumbu karang atol (atoll) dijumpai di Kepulauan Ayau dan Kepulauan Asia. Tipe terumbu karang tepi (fringing reef) yang mengelilingi baik pulau induk maupun pulau-pulau besar, memiliki dua tipe yaitu terumbu karang tepi dengan kemiringan yang landai dan terumbu karang tepi dengan kemiringan yang curam. Di beberapa tempat, terumbu didominasi oleh jenis karang tertentu, sebaliknya di daerah lainnya jenisnya cukup menyebar merata, mulai dari daerah rataan terumbu sampai daerah tubir. Terumbu karang di perairan Raja Ampat di dominasi oleh spesies yang cukup bervariasi di tiap lokasi, tetapi pada lokasi-lokasi tertentu ada jenis spesies tertentu yang sangat mendominasi. Hasil survei Marine RAP yang dilakukan Conservation International (CI) tahun 2001 memberikan gambaran bahwa genus Acropora dijumpai mendominansi hampir seluruh perairan Raja Ampat dengan jumlah jenis sebanyak 68 jenis, diikuti oleh genus Montipora (30 Jenis), Porites (13 jenis), Fungia (11 jenis), Pavona (11 jenis), Leptoseris (8 jenis), Psammocora (7 jenis), Astreopora dan Platigyra masing-masing sebanyak 6 jenis (Pemda Kab. Raja Ampat 2006). Sementara penelitian 2006 memberikan gambaran yang bervariasi tentang penyebaran koloni terumbu pada tiap lokasi dengan menggunakan metode renang bebas. Dijumpai Acroporidae (14 jenis) dengan jenis terbanyak Acropora palifera, Pocilloporidae (6 jenis) dengan jenis terbanyak Pocilopora verrucosa, Poritidae (6 jenis) dengan jenis terbanyak Porites lutea, Agarichidae (1 jenis)
dengan jenis terbanyak Pavona deccusata, Fungidae (2 jenis) dengan jenis terbanyak Fungia repanda. Oculinidae (1 jenis) dengan jenis terbanyak Glastrea astreata, Pectinidae (3 jenis) dengan jenis terbanyak Pectinia lactuca, Mussidae (2 jenis) dengan terbanyak Symphyllia sp. Selanjutnya Merulinidae (2 jenis) dengan jenis terbanyak Merulina ampliata, Favidae (7 jenis) dengan jenis terbanyak Echinophola lammelosa dan Helioporidae (1 jenis) dengan jenis terbanyak Helophora coerulea (Konsorsium Atlas Raja Ampat 2006 in Pemda Kab. Raja Ampat 2006). Spesies ikan utama yang hidup di perairan Raja Ampat merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang. Sepuluh famili ikan karang yang dominan di perairan Raja Ampat adalah Gobiidae, Pomacentridae, Labridae, Apogonidae, Serranidae, Chaetodontidae, Acanthuridae, Blenniidae, Lutjanidae, dan Scaridae. Daerah yang mempunyai keanekaragaman ikan karang tinggi adalah Selat Dampier yang terletak di utara Pulau Batanta dan selatan Pulau Waigeo-Gam, perairan di sebelah barat Pulau Waigeo, yaitu Teluk Aljui, Pulau Wayag dan Pulau Sayang, perairan Kofiau, perairan Misool Timur Selatan dan Waigeo Timur. Daerah-daerah tersebut memiliki jenis ikan lebih dari 200 spesies, dan merupakan angka yang tinggi dalam keanekaragaman jenis ikan di suatu lokasi. Sementara Kofiau dan Kri, adalah dua lokasi di Raja Ampat yang memiliki jumlah ikan tertinggi yaitu dijumpai 284 dan 283 jenis ikan dalam satu kali penyelaman (McKenna et al. 2002; TNC-WWF2003 in Pemda Kab. Raja Ampat 2006). Kondisi karang di KKLD Selat Dampier berdasarkan data monitoring kondisi karang tahun 2009 di 14 lokasi DPL oleh COREMAP II Kab. Raja Ampat dijumpai 28.6 persen karang masuk dalam kategori “sedang” (31-44 persen), 50 persen karang masuk dalam kategori “baik” (52-73 persen) dan 21.4 persen karang masuk dalam kategori “sangat baik” (75-80 persen). Sementara jenis ikan karang yang di jumpai adalah 178 jenis ikan karang yang termasuk dalam 24 famili (COREMAP-CRITC 2009). Delapan dari 14 DPL yang tersebar dalam KKLD Selat Dampier berada di kawasan Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri, Distrik Meosmansar.
Komunitas karang yang ditemui di delapan DPL tersebut pada kedalaman 6–7 meter sebanyak 76 jenis dari 15 famili. Karang tersebut didominasi oleh Acroporidae (37 jenis), diikuti oleh Poritidae (7 jenis), Faviidae (7 jenis) dan Fungiidae (6 jenis). Famili Pocilloporidae (4 jenis), Agariccidae (2 jenis) dan Pectiniidae dan Eupphyllidae, Oculinidae, Mussidae, Helioporidae, Merulinidae, Alcyonidae, Alcyoniinae dan Xeniidae masing-masing 1 jenis dengan rata-rata persentase tutupan karang adalah 63.75 persen. Penyebaran karang di delapan DPL disajikan dalam Tabel 9 dan karang berdasarkan jenis dan famili di delapan DPL dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 9. Penyebaran karang di lokasi penelitian. No.
Famili
Jumlah jenis yang ditemukan
1
Acroporidae
37
Acroporayongei
2
Pectiniidae
1
Mycedium elephantotus
Euphyllidae
1
Euphyllia glabrescens
4
Agariccidae
2
Pachyseris speciosa
5
Poritidae
7
Porites lutea
6 7
Oculinidae Mussidae
1 1
Galaxea fascicularis Lobophyllia hemprichii Goniastrea australiensis, Goniopora sp, Favia speciosa, Platygyra daedalea. Echinopora horida, Favia stelligera. Echinopora lamellose
3
8
Faviidae
7
Jenis yang sering ditemukan di tiap lokasi
11
Fungidae
6
Fungiaconcinna
12
Pocilloporidae
4
Seriatopora hystrix
13
Helioporidae
1
Heliopora coerulea
14
Merulinidae
1
Merulina ampliata
15
Alcyonidae
1
Sinularia sp.
16
Alcyoniinae
1
Sarcophyton sp.
17
Xeniidae
1
Xenia sp.
Sumber: Hasil olahan data sekunder.
Penyebaran pada lokasi DPL Warasmus, DPL Imburnos, DPL Warasmus, DPL Yendesner. DPL Imburnos, DPL Warasmus DPL Mansaswar DPL Indip, DPL warasmus, DPL Tanadi DPL Indip, DPL Warasmus, DPL Yendesner, DPL Tanadi DPL Kormansiwin DPL Indip DPL Tanadi
DPL Tanadi DPL Imburnos DPL warasmus DPL Indip, DPL Imburnos, DPL Tanadi DPL Imburnos, DPL Warasmus DPL Yendesner DPL Tanadi DPL Mansaswar DPL Warasmus, DPL Yendesner DPL Tanadi DPL Imburnos, DPL Warasmus DPL Warasmus DPL Warasmus, DPL Mansaswar
Penyebaran famili Acroporidae memberikan gambaran bahwa penetrasi sinar matahari di perairan sangat baik sehingga memberikan kesempatan hidup dan berkembang bagi karang bercabang. Hadirnya koloni terumbu dari famili Poritidae mengindikasikan bahwa kawasan perairan ini memiliki arus dan gempuran ombak yang cukup kuat. Kehadiran koloni ini sebagai penahan ombak dan arus bagi koloni maupun komunitas berikutnya. Sementara kehadiran famili Agariccidae mengindikasikan bahwa struktur hidup dari koloni ini memiliki koralit dan dinding koloni yang berkembang baik pada lokasi tersebut. Penyebaran famili Fungidae mencirikan bahwa hidupnya yang soliter dan bebas serta melekat pada substrat tempat dia berada. Pada delapan lokasi penelitian dijumpai 131 jenis ikan karang yang termasuk dalam 21 famili dan 68 spesies. Kelompok ikan target atau ikan ekonomis penting didominasi oleh ikan kerapu (Lutjanus biguttatus famili Lutjanidae) di jumpai di DPL Tanadi (84 083 ind/ha), dan Pseudanthias hucthii di DPL Yendesner (32 000 ind/ha). Perbandingan ikan indikator, ikan target dan ikan mayor adalah 1:1:4, ini berarti bahwa untuk setiap 6 jenis ikan yang ditemukan komposisinya terdiri dari 1 individu ikan indikator, 1 individu ikan target dan 4 individu ikan major. Kelimpahan ikan karang berdasarkan famili dan jenis di delapan lokasi DPL dapat dilihat pada Tabel 10 sedangkan jumlah famili, spesies dan kelimpahan ikan di 8 lokasi DPL disajikan dalam Lampiran 2. Tabel 10. Kelimpahan ikan karang yang dominan di lokasi penelitian. No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Lokasi DPL Indip DPL Imburnos DPL Warasmus DPL Ikwan iba DPL Yendesner DPL Tanadi DPL Mansaswar DPL Kormansiwin
Kelimpahan ikan tertinggi Famili Jenis Arborek Caesionidae Caesio teres Sauwandarek Pomacentridae Chromis amboinensis Yenbuba Pomacentridae Pomacentrus moluccensis Yenbekwan Pomacentridae Pterocaesio tile Kurkapa Caesionidae Caesio caerulaurea Kapisawar Lutjanidae Lutjanus biguttatus Sawinggrai Caesionidae Caesio caerulaurea Yenwaupnor Pomacentridae Chrysiptera cyanea
Kampung
Sumber: Hasil olahan data sekunder.
Terumbu karang di DPL Distrik Meosmansar merupakan tipe terumbu karang yang menempel pada pulau (fringing reef) ataupun pada bentukan
gosong (patch reef) dengan topografi bentangan terumbu umumnya merupakan slope dengan kemiringan yang cukup curam hingga mencapai 60º, dimana sampai kedalaman 25 m karang masih ditemukan tumbuh dengan baik. Tujuan pengelolaan DPL adalah perlindungan dan pelestarian terumbu karang serta pemanfaatan lainnya seperti penelitian, pendidikan dan wisata bahari. Bentuk DPL yang berada pada gosong (patch reef) atau yang berada di laut cenderung memiliki bentuk area segiempat, hal ini dimaksudkan agar mudah didalam pengelolaannya. Sementara bentuk DPL yang menempel pulau (fringing reef), bentuk areanya cenderung tidak beraturan karena batas DPL ditarik mulai dari ujung tubir terumbu hingga ke garis pantai, mengikuti bentuk garis pantai dan tubir terumbu. DPL yang memiliki tipe fringing reef dijumpai di DPL Imburnos, DPL Warasmus dan DPL Yenwaupnor. Sedangkan tipe patch reef dijumpai di DPL Indip, DPL Ikwan iba, DPL Yendesner, DPL Tanadi, DPL Mansaswar. 5.1.1. Sumberdaya Karang dan Ikan Karang di DPL Indip, Kampung Arborek. DPL Indip terletak di sebelah barat P. Arborek, mempunyai luas sekitar 34 Ha dengan luasan terumbu karang (patch reef) yaitu 13.38 Ha. Zona rataan terumbu tidak terlalu luas dan didominasi oleh karang batu dari jenis Acropora Formosa (timur DPL), Acropora spp dan Porites lutea (barat DPL). Memiliki kemiringan dasar perairan mencapai 60º dengan substrat dasar berupa karang mati dan pasir dimana karang lunak dari marga Sinularia sp dan karang batu jenis Acropora Formosa dijumpai. Ditemukan 24 jenis karang dari 5 famili dimana pertumbuhan karang batu tumbuh dengan baik sampai 20 m. Kecepatan arus ratarata 13 cm/det dan kecerahan perairan 10–15 m. Kondisi karang masuk dalam katagori “baik” (60 persen) dengan persentase tutupan hard coral (60 persen) terdiri dari karang AC (Acropora) sebesar 42 persen dan NA (Non Acropora) sebesar 18 persen. Persentase SC (Soft coral) adalah 21 persen, dead coral (5 persen) terdiri dari DCA (Dead coral algae) 5 persen, sementara OT (other) adalah 3 persen. Sedangkan katagori abiotik adalah 11 persen terdiri dari R (Rubble) 3 persen dan SA (Sand) 8 persen. Persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Indip Kampung Arborek disajikan dalam Gambar 5.
Persentase terumbu kaang
50%
42%
40% 30% 18%
21% 1%
20% 8%
5%
10%
3%
3%
OT
R
0% AC
NA
SC
DC
DCA
FS SP Bentik
RK
SA
SI
Gambar 5. Histogram, men enunjukan persentase tutupan karang, biota ben bentik lainnya di lokasi lok DPL Indip Kampung Arborek. (Sum mber: COREMAP-CRIT ITC Kab. Raja Ampat 2009)
Dijumpai 66 jenis ikan ika karang yang termasuk dalam 15 famili deng engan kelimpahan sebanyak 25 200 individu/ha. Caesio teres dan Pomacent 2 ntrus moluccensis merupakan jeni nis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertin tinggi
(2 600 individu/ha), kemu mudian diikuti oleh Pseudanthias huchtii (2 2200 individu/ha) dan Caesio curing (1 800 individu/ha). Empat belas jenis ikan cur ik karang yang memiliki kelimp pahan tertinggi disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Empat belas jenis is ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi ggi di lokasi DPL Indip Kampung K Arborek. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Spesies Caesio teres Pomacentrus moluccensis Pseudanthias huchtii Caesio cuning Amblyglyphidodon curacao ao Pterocaesio tile Chromis amboinensis Thalassoma lunare Cirrhilabrus cyanopleura Amblyglyphidodon leucoga gaster Chromis ternatensis Chrysiptera cyanea Neoglyphidodon melas Pomacanthus coelestis
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 2 600 2 600 2 200 1 800 1 200 1 000 1 000 680 600 600 600 600 600 600
Kategori ori Target Major Target Major Major Major Major Target Target Major Major Major Major Major
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja aja Ampat 2009.
Jumlah famili ikan karang tertinggi yang ditemukan yaitu famili fam Pomacentridae (9 720 indi dividu/ha) diikuti oleh famili Caesionidae (5 4400 individu/ha) dan famili Lab abridae (2 760 individu/ha). Sedangkan famili ikan ik karang yang memiliki nilaii terendah te (80 individu/ha) adalah famili Diodontid tidae,
Lutjanidae dan Siganidae. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Indip Kampung Arborek disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Indip Kampung Arborek. No. 1 2 3 4 5 6 7
Famili Pomacentridae Caesionidae Labridae Serranidae Lutjanunidae Diodontidae, Siganidae
Kelimpahan Jmlh ind/ha) 9 720 5 400 2 760 1 200 80 80 80
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting terdiri dari jenis Pseudanthias huchtii (famili Serranidae) sebesar 2 200 individu/ha, diikuti oleh Thalassoma lunare (famili Labridae) sebesar 680 individu/ha dan Cirrhilabru cyanopleure (famili Labridae) sebesar 600 individu/ha, sedangkan jenis ikan indikator diwakili oleh Chaetodon kleinii sebesar 200 individu/ha, Heniochus varius (160 indidvidu/ha) dan Chaetodon trifasciatus (120 individu/ha), ketiga jenis tersebut masuk dalam famili Chaetodontidae. Jumlah jenis ikan dan jumlah individu ikan indikator yang ditemukan menggambarkan bahwa lokasi ini memiliki rataan terumbu yang relatif baik. Kelimpahan kelompok ikan major, ikan indikator dan ikan target dan terturut-turut adalah 14 680 individu/ha, 6 200 individu/ha dan 4 320 individu/ha. Kehadiran ikan karang cukup bervariasi, dengan dominan tertinggi selalu ditemukan pada kelompok ikan major, diikuti oleh ikan indikator dan ikan target. Perbandingan ikan target, ikan indikator dan ikan major adalah 1 ikan indikator berbanding 1 ikan target dan 3 ikan major, ini berarti bahwa untuk setiap 5 jenis ikan yang ditemukan kemungkinan komposisinya terdiri dari 1 individu ikan target, 1 individu ikan indikator dan 5 individu ikan major.
5.1.2. Sumberdaya karang dan Ikan Karang di DPL Imburnos, Kampung Sauwandarek. DPL Imburnos terletak di bagian selatan P. Mansuar, memiliki luas 35.8 ha dengan luasan terumbu karang (patch reef) adalah 11.01 Ha. Sebelah selatan DPL adalah pantai berpasir sedangkan di sebelah utara DPL berupa tebing
dengan panjang daerah rataan an terumbu kurang lebih 100 m dari garis pantai. Je Jenis karang batu yang dijumpa pai pada daerah rataan terumbu yaitu Acropo opora
subglabra, Acropora cyther erea, Acropora hyacinthus dan Porites spp. P Pada kemiringan dasar perairan 40º 40 (selatan DPL) didominasi oleh karang batu jenis je
Pectinia lactuca dan Seriatop tophora caliendrum dan 50º (Utara DPL) didomin inasi oleh Acropora yongei, Stylop ophora pistillata dan Porites cylindrica. Pertumbuh buhan karang batu dijumpai sampa pai pada kedalaman 25 m di utara DPL dan 30 m
di selatan DPL. Ditemui juga jug pertumbuhan karang lunak terutama dari maarga Sinularia sp dan Sarcophyto yton sp. Substrat dasar perairan secara umum ter terdiri dari karang mati dan pasir. Di lokasi ini dijumpai 27 jenis karang dari 8 famili. Kondisi karang masuk k dalam d katagori “baik” (57 persen) dengan persent ntase tutupan hard coral adalah 57 persen terdiri dari karang AC (Acropora) sebesar sar 13 persen dan NA (Non Acropo pora) sebesar 44 persen, sementara SC (Soft Cor oral) adalah 3 persen dan OT (other oth ) adalah 2 persen. Untuk persentase dead co coral adalah 6 persen terdiri dari DCA DC (Dead coral algae) 6 persen sedangkan katag tagori abiotik adalah 32 persen terdiri erd dari R (Rubble) 26 persen, RK (Rock) 5 per ersen dan SA (Sand) 1 persen. Pers ersentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi lok
Persentase terumbu karang
DPL Imburnos Kampung Saw awandarek disajikan dalam Gambar 6.
44% 4%
0.5 0.4
26%
0.3 0.2
13%
0.1
6%
3%
5%
2%
1%
0 2
AC
NA
SC
DC
DCA
FS
SP
OT
R
RK
SA
Bentik
Gambar 6. Histogram, men enunjukan persentase tutupan karang, biota ben bentik lainnya di lokas asi DPL Imburnos Kampung Sauwandarek. (Sum mber: COREMAP-CRIT ITC Kab. Raja Ampat 2009).
Dijumpai 68 jenis ika kan karang yang termasuk dalam 15 famili deng engan kelimpahan sebanyak 45 680 80 individu/ha. Chromis amboinensis merupakan jenis je ikan karang yang memiliki ki kelimpahan tertinggi sebanyak 6 200 individu/ du/ha,
kemudian diikuti oleh Pom omacentrus moluccensis (4 400 individu/ha) dan
Caesio curing (4 200 individu/ha). Dua puluh jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13. Dua puluh jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Imburnos Kampung Sauwandarek. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Spesies Chromis amboinensis Pomacentrus moluccensis Caesio cuning Pseudanthias huchtii Pterocaesio tile Caesio teres Abudefduf vaigiensis Chromis ternatensis Chrysiptera cyanea Pomacentrus coelestis Pomacentrus spp Chrysiptera hemycyanea Neoglyphidodon nigroris Scarus ghobban Chromis viridis Amblyglyphidodon curacao Heniochus varius Lutjanus biguttatus Scarus ghobban Abudefduf sexfasciatus
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 6 200 4 400 4 200 4 000 3 800 2 800 2 000 1 200 1 200 1 000 1 000 800 800 720 640 600 560 560 560 400
Kategori Major Major Target Target Target Target Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major Indikator Target Major Major
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Jumlah famili ikan karang tertinggi yang ditemukan adalah famili Pomacentridae yaitu sebesar 21 440 individu/ha kemudian diikutioleh famili Caesionidae (10 800 individu/ha) dan famili Serranidae (4 520 individu/ha). Sedangkan famili ikan karang yang memiliki nilai terendah adalah famili Mulidae (160 individu/ha). Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Imburnos Kampung Sawandarek disajikan dalam Tabel 14. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting terdiri dari jenis Pseudanthias huchtii (famili Serranidae) sebesar 4 000 individu/ha, diikuti oleh Lutjanus biguttatus (famili Lutjanidae) sebesar 560 individu/ha dan Zebrasoma scopas (famili Acanthuridae) sebesar 320 individu/ha, sedangkan jenis ikan indikator diwakili oleh Heniochus varius sebesar 560 individu/ha dan kemudian diikuti oleh Chaetodon kleinii (320 indidvidu/ha) dan Chaetodon baronessa dan Chaetodon melannotus (160 individu/ha), keempat jenis tersebut masuk dalam famili Chaetodontidae. Kelimpahan kelompok ikan major, ikan indikator dan ikan target terturutturut adalah 29 560 individu/ha, 11 280 individu/ha dan 4 840 individu/ha.
Kehadiran ikan karang cukup bervariasi, dengan dominan tertinggi selalu ditemukan pada kelompok ikan major, diikuti oleh ikan indikator dan ikan target. Jumlah jenis ikan dan jumlah individu ikan indikator yang ditemukan menggambarkan bahwa lokasi ini memiliki rataan terumbu yang relatif baik. Tabel 14. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Imburnos Kampung Sauwandarek. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Famili
Pomacentridae Caesionidae Serranidae Labridae Chaetodontidae Scaridae Acanthuridae Lutjanidae Pomacentridae Nempteridae Siganidae Apogonidae Carangidae Balistidae Mullidae
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 21 440 10 800 4 520 1 400 1 360 1 360 1 200 800 680 480 480 440 360 200 160
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Perbandingan ikan target, ikan indikator dan ikan major adalah 1 ikan target berbanding 2 ikan indikator dan 6 ikan major, ini berarti bahwa untuk setiap 9 jenis ikan yang ditemukan di lokasi pengamatan kemungkinan komposisinya terdiri dari 1 individu ikan target, 2 individu ikan indikator dan 5 individu ikan major.
5.1.3. Sumberdaya karang dan Ikan Karang di DPL Warasmus, Kampung Yenbuba. DPL Warasnus terletak di sebelah barat P. Kri, memiliki luas 33.6 Ha dengan luasan terumbu karang (fringing reef) adalah 12.75 Ha. Panjang daerah rataan terumbu kurang lebih 50 m dari garis pantai kearah laut terbuka, dimana pada bagian atasnya dijumpai karang batu dari jenis Acropora hyacinthus, Acropora palifera, Porites lutea, Acropora brueggemanni dan beberapa jenis Porites spp. Kemiringan dasar perairan mencapai 45º, dan dijumpai karang batu dari jenis Acropora yongei, A. microphthalma, A. brueggemanni, Porites cylindrica dan Montipora foliosa. Pertumbuhan karang batu dijumpai sampai
pada kedalaman 25 m dengan subst bstrat dasar perairan berupa karang mati dan pasir serta beberapa jenis karang lunak ak marga Xenia spp. Di lokasi ini dijumpai 24
jenis karang dari 8 famili. Sementar tara kecerahan perairan antara 15–16 m. Kondisi karang masuk dalam m katagori “baik” (75 persen) dengan persentase tutupan hard coral adalah 75 perse rsen terdiri dari karang AC (Acropora) 41 persen dan NA (Non Acropora) sebesar 34 persen. Untuk persentase dead coral adalah 18 persen terdiri dari DCA (Dead coral c with algae) 18 persen, sedangkan katagori abiotik adalah 0 persen. Persentase se tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi
Persentase terumbu karang
DPL Warasmus Kampung Yenbuba ba disajikan dalam Gambar 7.
50%
41%
40%
34%
30% 18%
20% 7%
10% 0% AC
NA
SC
DC
DCA FS Bentik
SP
OT
R
RK
SA
SI
Gambar 7. Histogram, menunjuk jukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL DP Warasmus Kampung Yenbuba. (Sumber: COREMAP-CRITC Kab ab. Raja Ampat 2009)
Dijumpai 67 jenis ikan kar arang yang termasuk dalam 21 famili dengan kelimpahan sebanyak 35 720 indiv dividu/ha. Chromis ternatensis merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelim impahan tertinggi sebanyak 5 600 individu/ha,
kemudian diikuti oleh Apogon seale alei (4 000 individu/ha) dan Pseudanthias huchtii (3 000 individu/ha). Dua puluh sat atu jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi disajikankan dalam Tabel el 15. Jumlah famili ikan karang ang tertinggi yang ditemukan adalah famili Pomacentridae yaitu sebesar 21 440 40 individu/ha dan kemudian diikuti oleh famili Caesionidae (10 800 individu/ha) a) dan famili Serranidae (4 520 individu/ha). Sedangkan famili ikan karang yang ng memiliki nilai terendah adalah famili Mulidae (160 individu/ha). Kelimpahan ikan ik karang untuk masing-masing famili pada lokasi DPL Warasmus Kampung Yenbuba Y disajikan dalam Tabel 16.
Tabel 15. Dua puluh satu jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Warasmus Kampung Yenbuba. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Spesies Chromis ternatensis Apogon sealei Pseudanthias huchtii Pomacentrus moluccensis Pterocaesio tile Caesio teres Amblyglyphidodon curacao Chrysiptera cyanea Chrysiptera hemycyanea Neoglyphidodon melas Cheilodipterus quinquelineatus Caesio xanthonota Abudefduf sexfasciatus Apogon aureus Amblyglyphidodon leucogaster Siganus vulpinus Caesio cuning Abudefduf bengalensis Abudefduf vaigiensis Pomacentrus spp Pseudanthias tuka
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 5 600 4 000 3 000 2 800 2 000 1 600 1 400 800 800 640 600 600 600 480 480 480 400 400 400 400 360
Kategori Major Major Target Major Target Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang ditemukan yaitu jenis Pseudanthias huchtii (famili Serranidae) sebesar 3 000 individu/ha, diikuti oleh Siganus vulpinus (famili Siganidae) sebesar 480 individu/ha dan Pseudanthias tuka (famili Serranidae) sebesar 360 individu/ha, sedangkan jenis ikan Indikator diwakili oleh Chaetodon baronessa, Chaetodon kleinii, Heniochus varius sebesar 240 individu/ha, ketiga jenis tersebut masuk dalam famili Chaetodontidae. Kelimpahan kelompok ikan major, ikan target dan ikan indikator dan terturut-turut adalah 19 840 individu/ha, 8 960 individu/ha dan 6 920 individu/ha. Kehadiran ikan karang cukup bervariasi, dengan dominan tertinggi selalu ditemukan pada kelompok ikan major, diikuti oleh ikan target dan ikan indikator. Jumlah jenis ikan dan jumlah individu ikan indikator yang ditemukan menggambarkan bahwa lokasi ini memiliki rataan terumbu yang relatif baik. Perbandingan ikan indikator, ikan target dan ikan major adalah 1 ikan indikator berbanding 1 ikan target dan 3 ikan major, ini berarti bahwa untuk setiap 5 jenis ikan yang ditemukan di lokasi pengamatan kemungkinan komposisinya terdiri dari 1 individu ikanindikator, 1 individu ikan target dan 3 individu ikan major.
Tabel 16. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Warasmus Kampung Yenbuba. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Famili Pomacentridae Apogonidae Caesionidae Serranidae Labridae Chaetodontidae Nempteridae Scaridae Siganidae Lutjanidae Holocentridae Pomacentridae Zanclidae Balistidae Carangidae Mullidae Acanthuridae Haemullidae Lethridae
Kelimpahan 15 440 5 080 4 600 3 440 1 320 960 800 800 800 720 320 320 320 240 160 160 80 80 80
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
5.1.4. Sumberdaya karang dan Ikan Karang di DPL Ikwan Iba, Kampung Yenbekwan. DPL Ikwan iba terletak di sebelah utara Mansuar, mempunyai luas sekitar 289 Ha dengan luasan terumbu karang (patch reef) adalah 223.33 Ha. Panjang daerah rataan terumbunya kurang lebih 150 m dan didominasi jenis karang Montipora digitata dan Goniastrea spp. Kemiringan dasar perairan (slope) sekitar 45° dan didominasi karang Acropora brueggemann dimana pertumbuhan karang batu sampai pada kedalaman 25 m dengan substrat dasar perairan berupa karang mati dan pasir. Disamping itu pada daerah slope ditemukan juga beberapa jenis sponge. Di lokasi ini dijumpai 4 jenis karang dari 3 famili dengan kecerahan perairan mencapai 10 m. Kondisi karang masuk dalam katagori “sangat baik” (76 persen) dengan persentase tutupan hard coral adalah 76 persen, terdiri dari karang AC (Acropora) sebesar 40 persen dan NA (Non Acropora) sebesar 36 persen. Sementara SC (soft coral) adalah 2 persen dan OT (other) adalah 10 persen. Untuk persentase dead coral sebesar 12 persen terdiri dari DCA (Dead coral algae) 12 persen, sedangkan katagori abiotik adalah 0 persen. Persentase tutupan karang, biota
bentik lainnya di lokasi DPL PL Ikwan Iba Kampung Yenbekwan disajikan dallam
Gambar 8.
40%
Persentase terumbu karang
40%
36%
30% 20%
12%
10%
10%
2%
0% AC
NA
SC
DC
DCA
FS SP Bentik
OT
R
RK
SA
SI
Gambar 8. Histogram, menu nunjukan persentase tutupan karang, biota ben entik lainnya di lokasi asi DPL Ikwan Iba Kampung Yenbekwan. (Sum mber: COREMAP-CRITC TC Kab. Raja Ampat 2009.
Dijumpai 47 jenis ika kan karang yang termasuk dalam 16 famili deng engan kelimpahan sebanyak 32 960 96 individu/ha. Pterocaesio tile merupakan je jenis ikan karang yang memiliki ki kelimpahan tertinggi sebanyak 4 800 individu/ du/ha,
kemudian diikuti oleh Chromi omis ternatensis dan Pomacentrus moluccensis (44 0000 individu/ha). Empat belas jenis jen ikan karang yang memiliki kelimpahan tertin tinggi ditampilkan dalam Tabel 17. Tabel 17. Empat belas jenis is ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi ggi di lokasi DPL Ikwan n Iba I Kampung Yenbekwan. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Spesies Pterocaesio tile Chromis ternatensis Pomacentrus moluccensis Caesio cuning Caesio teres Abudefduf vaigiensis Pseudanthias huchtii Chrysiptera cyanea Neoglyphidodon nigroris Lutjanus decussatus Pentapodus caninus Parupeneus barberinus Pentapodus trivittatus Scolopsis margaritifer
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 4 800 4 000 4 000 2 400 2 400 2 000 1 600 800 800 640 640 480 480 480
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja aja Ampat 2009.
Kategori Target Major Target Target Target Major Major Major Major Target Target Target Target Target
Jumlah famili ikan tertinggi yang ditemukan yaitu famili Pomacentridae yaitu sebesar 12 240 individu/ha, diikuti oleh famili Caesionidae (9 600 individu/ha) dan famili Serranidae (20 80 individu/ha). Sedangkan famili yang memiliki nilai terendah adalah famili Carangidae, Scaridae, Scorpaenidae (160 individu/ha). Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di DPL Ikwan Iba Kampung Yenbekwan disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Ikwan iba Kampung Yenbekwan. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Famili Pomacentridae Caesionidae Serranidae Nempteridae Labridae Chaetodontidae Pomacentridae Achanthuridae Lutjanidae Mullidae Apogonidae Siganidae Zanclidae Carangidae Scaridae Scorpaenidae
Kelimpahan Jmlh ind/ha) 12 240 9 600 2 080 1 920 1 440 960 960 720 640 640 640 320 320 160 160 160
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang ditemukan adalah jenis Pseudanthias huchtii (famili Serranidae) sebesar 1 600 individu/ha, diikuti oleh Lutjanus decussatus (famili Lutjanidae) dan Pentapodus caninus (famili Nemipteridae) sebesar 640 individu/ha, sedangkan jenis ikan indikator diwakili oleh Chaetodon kleini, Heniochus varius sebesar 320 individu/ha dan Chaetodon baronessa,Chaetodon lunula (160 individu/ha), keempat jenis tersebut masuk dalam famili Chaetodontidae. Kelimpahan kelompok ikan major, ikan indikator dan ikan target dan terturut-turut adalah 20 320 individu/ha, 6 640 individu/ha dan 6 000 individu/ha. Kehadiran ikan karang cukup bervariasi, dengan dominan tertinggi selalu ditemukan pada kelompok ikan major, diikuti oleh ikan target dan ikan indikator. Jumlah jenis ikan dan jumlah individu ikan indikator yang ditemukan menggambarkan bahwa lokasi ini memiliki rataan terumbu yang relatif baik.
Perbandingan ikan targe rget, ikan indikator dan ikan major adalah 1 ikan tar target berbanding 1 ikan indikatorr dan 3 ikan major, ini berarti bahwa untuk setia tiap 5
jenis ikan yang ditemukan n di lokasi pengamatan kemungkinan komposisin isinya terdiri dari 1 individu ikan an target, 1 individu ikan indikator dan 3 indiv ividu
ikan major.
5.1.5. Sumberdaya karang ng dan Ikan Karang di DPL Yendesner, Kampu pung Kurkapa. DPL Yendesner mempu punyai luas sekitar 31.4 ha dan terletak di daerah patch pa reef di bagian utara P.Mansu suar dengan luasan terumbu karang adalah 12.755 Ha. H Rataan terumbu didominasi si oleh jenis karang Acropora spp dan Seriatopo opora hystrix. Kemiringan dasar perairan pe sekitar 60° dan didominasi oleh jenis kara arang Seriatophora hystrix. Substra tratnya didominasi karang mati dan berpasir dim imana karang batu dapat ditemuii sampai s kedalaman 15 m. Ada pertumbuhan kara arang lunak terutama dari margaa Sinularia sp dan Sarcophyton sp. Di lokasi ini di
Persentase terumbu karang
jumpai 8 jenis karang dari 4 famil i. f
40%
38%
34% 28%
30% 20% 10% 0% AC
NA
SC
DC
DCA
FS
SP
OT
R
RK
SA
SI
Bentik
Gambar 9. Histogram, menu nunjukan persentase tutupan karang, biota ben entik lainnya di lokas asi DPL Yendesner Kampung Kurkapa. (Sumb mber: COREMAP-CRITC TC Kab. Raja Ampat 2009).
Kondisi karang masuk uk dalam katagori “sangat baik” (72 persen) deng engan persentase tutupan hard coral ral adalah 72 persen terdiri dari karang AC (Acropo pora) sebesar 40 persen dan NA (Non N Acropora) sebesar 36 persen. Untuk persent ntase dead coral 0 persen sedangka kan katagori abiotik adalah 28 persen yang terdiri ri d dari R (Rubble) 28 persen. Persen sentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lok lokasi DPL Yendesner Kampung Kurkapa Ku dapat dilihat pada Gambar 9.
Dijumpai 41 jenis ikan karang yang termasuk dalam 10 famili dengan kelimpahan sebanyak 101 360 individu/ha. Caesio caerulaurea merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi sebanyak 40 000 individu/ha, diikuti oleh Pseudanthias huchtii (32 000 individu/ha) dan Pterocaesio tile (4 000 individu/ha). Lima belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi disajikan dalam Tabel 19. Tabel 19. Lima belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Yendesner Kampung Kurkapa. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Spesies Caesio caerulaurea Pseudanthias huchtii Pterocaesio tile Caesio cuning Abudefduf vaigiensis Cirrhilabrus cyanopleura Abudefduf sexfasciatus Chromis ternatensis Pomacentrus coelestis Chromis amboinensis Ctenochaetus binotatus Acanthurus lineatus Ctenochaetus binotatus Amblyglyphidodon curacao Neoglyphidodon melas
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 40 000 32 000 4 000 4 000 3 760 2 400 2 400 1 600 1 600 1 280 1 200 800 800 800 800
Kategori Target Target Target Target Major Target Major Major Major Major Target Target Target Major Major
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009
Jumlah famili ikan karang tertinggi yang ditemukan yaitu famili Caesionidae sebesar 44 000 individu/ha, diikuti oleh famili Serranidae (9 600 individu/ha) dan famili Pomacentridae (32 000 individu/ha). Sedangkan famili ikan karang yang memiliki nilai terendah adalah famili Zanclidae (80 individu/ha). Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Yendesner Kampung Kurkapa disajikan dalam Tabel 20. Kelimpahan kelompok ikan
major, ikan
indikator dan
ikan
target
terturut-turut adalah 64 080 individu/ha, 34 720 individu/ha dan 2 500 individu/ha. Kehadiran ikan karang cukup bervariasi, dengan dominan tertinggi selalu ditemukan pada kelompok ikan major, diikuti oleh ikan target dan ikan indikator. Jumlah jenis ikan dan jumlah individu ikan indikator yang ditemukan menggambarkan bahwa lokasi ini memiliki rataan terumbu yang relatif baik. Perbandingan ikan target, ikan indikator dan ikan major adalah 1 ikan
target berbanding 14 ikan indikator dan 25 ikan major, ini berarti bahwa untuk setiap 40 jenis ikan yang ditemukan di lokasi pengamatan kemungkinan komposisinya terdiri dari 1 individu ikan target, 14 individu ikan indikator dan 25 individu ikan major. Tabel 20. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Yendesner Kampung Kurkapa. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Famili
Caesionidae Serranidae Pomacentridae Labridae Achanthuridae Pomacanthidae Chaetodontidae Holocentridae Mullidae Zanclidae
Kelimpahan Jmlh ind/ha) 44 000 32 000 16 960 3 520 3 200 720 480 240 160 80
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
5.1.6. Sumberdaya karang dan Ikan Karang di DPL Tanadi, Kampung Kapisawar. DPL Tanadi memiliki luas sekitar 66.7 Ha, terletak dibagian selatan P. Gam. dan memiliki luasan terumbu karang (patch reef) adalah 4.25 Ha. Daerah rataan terumbu di dominasi oleh jenis karang Acropora spp, Goniopora spp, Seriatopora hystrix, Porites spp, dan Montipora spp. Kemiringan dasar perairan bervariasi antara 45°-60° dan di dominasi jenis karang Porites spp., Acropora spp., dan Montipora spp. Karang hidup dapat ditemui sampai kedalaman 20 meter dengan substrat dasar perairan berupa karang mati dan pasir dengan kecerahan perairan yaitu 10 m. Di lokasi ini dijumpai 19 jenis karang dari 8 famili. Kondisi karang masuk dalam katagori “sedang” (44 persen) dengan persentase tutupan hard coral adalah 44 persen terdiri dari karang AC (Acropora) sesar 12 persen dan NA (Non Acropora) sebesar 32 persen dan OT (other) adalah 8 persen. Untuk persentase dead coral adalah 8 persen yang terdiri dari DCA (Dead coral with algae) 8 persen sedangkan katagori abiotik adalah 28 persen yang terdiri dari R (Rubble) 10 persen dan RK (Rock) 18 persen. Persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL Tanadi Kampung Kapisawar disajikan dalam Gambar 10.
Persentase terumbu karang
40%
32%
30% 20% 20%
12%
10%
8%
10%
18%
0% AC
NA
SC
DC
DCA
FS
SP
OT
R
RK
SA
SI
Bentik
Gambar 10. Histogram, menunjuk jukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL DP Tanadi Kampung Kapisawar. (Sumber: COREMAP-CRITC Kab ab. Raja Ampat 2009).
Ditemukan sebanyak 66 jeni nis ikan karang yang termasuk dalam 14 famili dengan kelimpahan sebanyak 200 240 2 individu/ha. Lutjanus biguttatus merupakan jenis ikan karang yang memilikii k kelimpahan tertinggi dengan sebanyak 80 000
individu/ha, diikuti oleh Pterocae aesio tile (32 000 individu/ha) dan Abudefduf sexfasciatus (24 000 individu/ha). Empat belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi disajikan dalam lam Tabel 21. Tabel 21. Empat belas jenis ikan nk karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Tanadi Kam mpung Kapisawar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Spesies Lutjanus biguttatus Pterocaesio tile Abudefduf sexfasciatus Abudefduf vaigiensis Caesio caerulaurea Pomacentrus moluccensis Pomacentrus spp Chaetodontoplus mesoleucus us Chromis retrofasiata Chrysiptera rollandi Ctenochaetus striatus Chaetodon baronessa Thalassoma lunare Chrysiptera cyanea
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 80 000 56 000 24 000 20 000 4 000 2 400 2 400 1 200 640 560 480 480 480 480
Kategori Target Target Major Major Major Major Major Major Major Major Major indikator Target Major
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat pat 2009.
Jumlah famili ikan karang g tertinggi ditemukan pada famili Lutjanidae yaitu sebesar 80 320 individu/h /ha diikuti oleh famili Caesionidae (60 000 individu/ha) dan famili Pomacentr ntridae (52 000 individu/ha). Sedangkan famili famili Balistidae, Holocentridae (160 yang memiliki nilai terendah adalah ad
individu/ha). Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili pada lokasi DPL Tanadi Kampung Kapisawar disajikan dalam Tabel 22. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang ditemukan di lokasi DPL Tanadi
Kampung Kapisawar, adalah jenis Lutjanus biguttatus (famili
Lutjanidae) sebesar 80 000 individu/ha, diikuti oleh Ctenochaetus striatus (famili Acanthuridae), Thalassoma lunare (famili Labridae) sebesar 480 individu/ha. Sedangkan jenis ikan indikator diwakili oleh Chaetodon baronessa, sebesar 480 individu/ha dan Chaetodon kleini, Chaetodon octofasciatus (320 individu/ha), ketiga jenis tersebut masuk dalam famili Chaetodontidae. Tabel 22. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Tanadi Kampung Kapisawar. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Famili Lutjanidae Caesionidae Pomacentridae Pomacanthidae Labridae Chaetodontidae Nempteridae Achanthuridae Mullidae Scaridae Serranidae Zanclidae Balistidae Holocentridae
kelimpahan (jmlh ind/ha) 80 320 60 000 52 000 1 840 1 520 1 360 1 040 800 320 240 240 240 160 160
Sumber: COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Kelimpahan kelompok ikan major, ikan target dan ikan indikator terturutturut adalah 109 440 individu/ha, 84 080 individu/ha dan 6 720 individu/ha. Kehadiran ikan karang cukup bervariasi, dengan dominan tertinggi selalu ditemukan pada kelompok ikan major, diikuti oleh ikan target dan ikan indikator. Jumlah jenis ikan dan jumlah individu ikan indikator yang ditemukan menggambarkan bahwa lokasi ini memiliki rataan terumbu yang relatif baik. Perbandingan ikan target, ikan indikator dan ikan major adalah 1 ikan indikator berbanding 13 ikan target dan 16 ikan major, ini berarti bahwa untuk setiap 30 jenis ikan yang ditemukan di lokasi pengamatan kemungkinan komposisinya terdiri dari 1 individu ikan indikator, 13 individu ikan target dan 16 individu ikan major.
5.1.7. Sumberdaya karang dan IIkan Karang di DPL Mansaswar, Kampung Sawinggrai. DPL Mansawar terletak di sebelah selatan P. Gam, mempunyai luas sekitar s 17.7 Ha dengan luasan terumbu karang (patch reef) adalah 1.09 Ha. Rataan terumbu di sebelah timur DPL L di dominasi oleh karang batu Acropora
brueggemanni dan Euphyllia glab abrescens sedangkan di barat DPL didominasi oleh Acropora spp, Galaxea spp da dan Seriatopora spp. Kemiringan dasar perairan sekitar 60° yang didominasi jenis karang Euphyllia glabrescens dengan substrat berupa karang mati dan pasir. Pert ertumbuhan karang batu sampai pada kedalaman 15 m. Di lokasi ini dijumpai 10 jeni enis karang dari 4 famili. Kondisi karang masuk dalam m kategori “baik” (73 persen) dengan persentase
tutupan hard coral adalah 73 persen sen terdiri dari karang AC (Acropora) sebesar 25 persen dan NA (Non Acropora) sebesar seb 48 persen. Persentase dead coral adalah sebesar 19 persen, yang terdiri da dari DCA (Dead coral with Algae) 19 persen, sedangkan katagori abiotik adalah 8 persen yang terdiri dari R (Rubble) 8 persen. Persentase tutupan karang, biota ta bentik lainnya di lokasi DPL Mansaswar Kampung Sawinggrai dapat dilihat at pada Gambar 11.
Persentase terumbu karang
48% 50% 40% 30%
25% 19%
20% 8% 10% 0% AC
NA
SC
DC
DCA
FS
SP
OT
R
RK
SA
SI
Bentik
Gambar 11. Histogram, menunjuk jukan persentase tutupan karang, biota bentik lainnya di lokasi DPL PL Mansaswar Kampung Sawinggrai. (Sumber: COREMAP-CRITC Kab ab. Raja Ampat 2009).
Ditemukan 63 jenis ikan karang ka yang termasuk dalam 15 famili dengan kelimpahan sebanyak 27 600 indi dividu/ha. Caesio caerulaurea merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimp pahan tertinggi yaitu 7 000 individu/ha, diikuti oleh Caesio teres (3 000 individu/h /ha) dan Caesio cuning (2 000 individu/ha). Dua
puluh tiga jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi disajikan dalam Tabel 23. Tabel 23. Dua puluh tiga jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di DPL Mansaswar Kampung Sawinggrai. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Spesies Caesio caerulaurea Caesio teres Caesio cuning Pterocaesio tile Chromis ternatensis Amblyglyphidodon curacao Pomacentrus moluccensis Pomacentrus spp Chaetodontoplus mesoleucus Zanclus cornutus Amblyglyphidodon spp Abudefduf sexfasciatus Dascyllus reticulatus Neoglyphidodon melas Neoglyphidodon nigroris Chaetodon kleinii Siganus puellus Scarus bleekeri Scarus dimidiatus Chaetodon trifasciatus Scarus dimidiatus Scolopsis margaritifer Abudefduf vaigiensis
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 7 000 3 000 2 000 2 000 1 200 1000 1000 1000 640 640 600 400 400 400 400 360 320 240 240 200 200 200 200
Kategori Target Target Target Target Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major Major Indikator Target Major Major Indikator Target Target Major
COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Jumlah famili ikan karang tertinggi yang ditemukan yaitu famili Caesionidae sebesar 14 000 individu/ha kemudian diikuti oleh famili Pomacanthidae (8 120 individu/ha) dan famili Chaetodontida (1 000 individu/ha). Sedangkan jumlah famili ikan karang yang memiliki nilai terendah adalah famili Aulostomidae dan Holocentridae (40 individu/ha). Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Mansaswar Kampung Sawinggrai disajikan dalam Tabel 24. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang ditemukan adalah jenis Siganus puellus (famili Siganidae) sebesar 32 000 individu/ha, diikuti oleh Lutjanus decussatus (famili Lutjanidae) dan Scolopsis margaritifer (famili Nemipteridae) sebesar 200 individu/ha, sedangkan jenis ikan indikator diwakili oleh Chaetodon kleini, sebesar 360 individu/ha, diikuti oleh Chaetodon trifasciatus (200 individu/ha), dan Heniochus varius (160 individu/ha), ketiga jenis tersebut masuk dalam famili Chaetodontidae.
Kelimpahan kelompok ikan major, ikan target dan ikan indikator terturutturut adalah 20 920 individu/ha, 3 560 individu/ha dan 3 120 individu/ha. Kehadiran ikan karang cukup bervariasi, dengan dominan tertinggi selalu ditemukan pada kelompok ikan major, diikuti oleh ikan target dan ikan indikator. Jumlah jenis ikan dan jumlah individu ikan indikator yang ditemukan menggambarkan bahwa lokasi ini memiliki rataan terumbu yang relatif baik. Tabel 24. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Mansaswar Kampung Sawinggrai. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Famili Caesionidae Pomacanthidae Chaetodontidae Labridae Scaridae Zanclidae Siganidae Nempteridae Achanthuridae Serranidae Mullidae Lutjanidae Carangidae Aulostomidae Holocentridae
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 14 000 8 120 1 000 680 640 640 560 440 400 360 320 200 160 40 40
COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Perbandingan ikan target, ikan indikator dan ikan major adalah 1 ikan indikator berbanding 1 ikan target dan 7 ikan major, ini berarti bahwa untuk setiap 7 jenis ikan yang ditemukan di lokasi pengamatan kemungkinan komposisinya terdiri dari 1 individu ikan indikator, 1 individu ikan target dan 7 individu ikan major.
5.1.8. Sumberdaya karang dan Ikan Karang di DPL Kormansiwin, Kampung Yenwaupnor. DPL Kormansiwin memiliki luasan sekitar 13.7 Ha dan terletak di bagian selatan P. Gam dan memiliki luasan terumbu (fringing reef) karang adalah 10.50 Ha. Rataan terumbunya berkisar antara 100 m (timur DPL) dan di bagian barat 150 m (barat DPL) didominasi oleh Acropora valenciennesi, Porites lutea, Thalasia hemprichii, Enhalus acoroides, Porites lutea, dan Goniastrea sp. Kemiringan dasar perairan 45o dan di domiasi oleh Acropora brueggemanni,
Porites cylindrical, Acropora ra brueggemanni, Acropora hyacinthus, dan Acropo opora
cytherea. Pertumbuhan karan rang batu mencapai kedalaman 20 m dengan subs bstrat dasar perairan berupa karang ng mati dan pasir. Disamping itu juga dijumpai adan danya
pertumbuhan algae terutama ma dari marga Halimeda sp. dan karang lunak ddari jenis Xenia sp. Dilokasi ini ditemui 4 jenis karang dari 4 famili. Kecerah rahan perairan yaitu antara 10 – 15 5 m. m Kondisi karang di lok okasi ini masuk dalam kategori “baik” (53 pers ersen)
dengan persentase tutupan hard ha coral adalah 53 persen terdiri dari karangg AC (Acropora) sebesar 18 persen sen dan NA (Non Acropora) sebesar 35 persen. Un Untuk persentase dead coral adalah ah 5 persen terdiri dari DCA (Dead coral with alg lgae) sebesar 5 persen, sedangkan an katagori abiotik adalah 36 persen yang terdirii dari d R (Rubble) 24 persen, RK (Rock R ) 1 persen dan SA (Sand) 11 persen. Sement entara untuk OT (other) dan SP (sponge ) masing-masing 3 persen. Persentase tutup sp tupan karang, biota bentik lainnyaa di d lokasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaup upnor
disajikan dalam Gambar 12.
Persentase trumbu karang
40%
35%
30% 20%
24% 18% 11%
10%
5%
3%
3%
SP
OT
1%
0% AC
NA
SC
DC
DCA
FS
R
RK
SA
SI
Bentik
Gambar 12. Histogram, meenunjukan persentase tutupan karang, biota ben entik lainnya di loka okasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaupn pnor. (Sumber: COREM EMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009).
Ditemukan 68 jenis ikan ik karang yang termasuk dalam 17 famili deng engan kelimpahan sebanyak 27 840 84 individu/ha. Jenis Chrysiptera cyanea memi miliki kelimpahan tertinggi yaitu 2 200 individu/ha, diikuti Apogon aureus (2 0000 individu/ha) dan Chromis ternatensis (1 600 individu/ha). Enam belas jeniss ikan ter ik karang yang memiliki kelimp pahan tertinggi ditampilkan dalam Tabel 25.
Tabel 25.Enam belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi di lokasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaupnor. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Spesies Chrysiptera cyanea Apogon aureus Chromis ternatensis Pseudanthias huchtii Caesio teres Abudefduf vaigiensis Pomacentrus coelestis Pomacentrus moluccensis Chellodipterus quinquelineatus Apogon sealei Pterocaesio tile Pomacentrus spp Pseudanthias huchtii Lutjanus desussatus Abudefduf sexfasciatus Scolopsis margaritifer COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 2 200 2 000 1 600 1 600 1 400 1 400 1 320 1 200 1 160 800 800 800 800 640 600 520
Kategori Major Major Major Target Major Major Major Major Major Major Major Major Target Target Major Target
Jumlah famili ikan karang tertinggi yang ditemukan adalah famili Pomacentridae sebesar 10 840 individu/ha diikuti oleh famili Apogonidae (4 360 individu/ha) dan famili Serranidae (3 160 individu/ha). Sedangkan famili ikan karang yang memiliki nilai terendah adalah famili Mullidae (40 individu/ha). Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing famili di lokasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaupnor disajikan dalam Tabel 26. Tabel 26. Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing familydi lokasi DPL Kormansiwin Kampung Yenwaupnor. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Famili Pomacentridae Apogonidae Serranidae Labridae Caesionidae Scaridae Chaetodontidae Lutjanidae Nempteridae Achanthuridae Holocentridae Siganidae Balistidae Carangidae Haemulidae Zanclidae
17 Mullidae COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Kelimpahan (jmlh ind/ha) 10 840 4 360 3 160 2 360 2 200 1 040 960 960 800 440 160 160 120 80 80 80 40
Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang ditemukan adalah jenis Pseudanthias huchtii (famili Serranidae) sebesar 1 600 individu/ha, diikuti oleh Pseudanthias tuka (famili Serranidae) sebesar 800 individu/ha dan Lutjanus decussatus (famili Lutjanidae) sebesar 640 individu/ha, sedangkan jenis ikan indikator diwakili oleh Chaetodon kleinii sebesar 240 individu/ha dan Chaetodon baronessa, Heniochus varius (160 individu/ha), ketiga jenis tersebut masuk dalam famili Chaetodontidae. Kelimpahan kelompok ikan major, ikan target dan ikan indikator dan terturut-turut adalah 15 600 individu/ha, 6 480 individu/ha dan 5 760 individu/ha. Kehadiran ikan karang cukup bervariasi, dengan dominan tertinggi selalu ditemukan pada kelompok ikan major, diikuti oleh ikan target dan ikan indikator. Jumlah jenis ikan dan jumlah individu ikan indikator yang ditemukan menggambarkan bahwa lokasi ini memiliki rataan terumbu yang relatif baik. Perbandingan ikan indikator, ikan target dan ikan major adalah 1 ikan indikator berbanding 1 ikan target dan 3 ikan major, ini berarti bahwa untuk setiap 5 jenis ikan yang ditemukan di lokasi pengamatan kemungkinan komposisinya terdiri dari 1 individu ikanindikator, 1 individu ikan target dan 3 individu ikan major. 5.2. Karakteristik Sosial Stakeholder dalam Pengelolaan Terumbu Karang. 5.2.1. Keterlibatan Stakeholder. Masyarakat lokal merupakan stakeholder kunci dalam pengelolaan terumbu karang di desa pesisir. Pemanfaatan terumbu karang oleh masyarakat sebagai fishing ground sudah sejak lama dilakukan untuk melangsungkan kehidupannya. Sifat ketergantungan ini membuat masyarakat terikat dengan pemanfaatan ekosistem ini. Kehadiran DPL di kampung memberi solusi lain pemanfaatan terumbu karang berdasarkan norma-norma konservasi dan memungkinkan dilakukannya
beberapa
pemanfaatan
lain
yang
terkontrol
dan
lestari.
Pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan terumbu karang merupakan alternatif pemanfaatan terumbu karang di DPL karena bersifat non ekstraktif. Kondisi
tersebut
diatas
berpengaruh kepada tingginya keterlibatan
masyarakat lokal (83 persen) dibandingkan dengan stakeholder lainnya, karena
masyarakat lokal bertanggung jawab dalam menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPL serta menentukan kelompok pengelola DPL. Sementara kegiatan COREMAP II yang lebih banyak bersentuhan dalam pembinaan dan pemberdayaan masyarakat lokal dalam upaya perlindungan dan pelestarian terumbu karang yang lestari lewat pembentukan dan pemanfaatan DPL di kampung-kampung menempatkan lembaga ini memiliki keterlibatan 75 persen sama dengan DKP. Dalam hal ini, pelaksanaan program COREMAP II di Raja Ampat merupakan bagian dari pelaksanaan tugas DKP dalam upaya perlindungan sumberdaya pesisir dan lautan Raja Ampat. Dimana upaya ini juga menawarkan berbagai kemungkinan pengembangannya lewat pemanfaatan non ekstraktif dalam DPL bagi peningkatan kesejahteran masyarakat yang berkelanjutan. Pemerintah Desa adalah pelaksana tugas pemerintah di tingkat desa. memiliki keterlibatan (73 persen). Pemerintah Desa berperan penting dalam terlaksananya program-program di tingkat desa. Tanpa keterlibatannya akan mempengaruhi keberhasilan program yang akan dijalankan. Sedangkan LPSTK (70 persen), terlihat dalam menyusun dan menjalankan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK), merangkum semua usulan kegiatan dari Pokmas (Kelompok masyarakat) dan unsur Pemerintah Desa, mengelola anggaran Pokmas dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Pokmas. Pokmas adalah suatu organisasi atau kelompok masyarakat kelurahan yang dibentuk oleh
Persentase (%)
masyarakat dalam satu kelurahan. 100 80 60 40 20 0
Keterlibatan
PT. Papua Diving
Dinkebu dpar
DKP
Pem. Des
Tokoh Masy
70
0
75
73
0
COREM AP
LPSTK
Masy. Lokal
75
70
83
Gambar 13. Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan DPL sebagai kawasan wisata bahari. PT. Papua Diving adalah perusahaan pariwisata yang berinvestasi di Raja Ampat, memiliki keterlibatan 70 persen. Keterlibatannya nampak dalam upaya-
upaya perlindungan dan pelestarian terumbu karang dan pemanfaatannya untuk wisata bahari. Hal ini terlihat dari aturan-aturan yang dibuat tentang pemanfaatan sumberdaya terumbu karang untuk wisata bahari diving yang bersifat mengikat setiap wisatawan yang berkunjung dan melakukan diving di kawasan konservasi. Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan DPL sebagai kawasan wisata bahari disajikan dalam Gambar 13. Beberapa kegiatan yang sementara, sedang dan akan dilaksanakan oleh para stakeholder berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian serta upaya pengembangan terumbu karang untuk wisata bahari, meliputi: 5.2.1.1. Masyarakat lokal. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan DPL, adalah terlibat dalam membuat peraturan (Peraturan Kampung) yang mengatur pemanfaatan terumbu karang dalam DPL. Terlibat dalam monitoring dan evaluasi DPL, terlibat dalam pengawasan DPL, melakukan sosialisasi DPL, mendukung pengelolaan DPL, mengikuti pelatihan mengenai DPL dan terumbu karang serta terlibat dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tentang terumbu karang. Pemanfaatan terumbu karang di DPL sebagai lokasi diving dilakukan selain untuk peningkatan ekonomi masyarakat lokal sekaligus untuk pembiayaan pemeliharaan kawasan. Wisatawan yang berkunjung dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan di tiap “Kampung Wisata” misalnya penginapan, penyewaan alat untuk snorkeling, speed boat dan jasa guide. Dalam hal ini kelompok pengelola “Kampung Wisata” terlebih dahulu akan menjalani pelatihan yaitu kursus bahasa Inggris, pelatihan manajemen pariwisata, pengelolaan homestay, pelatihan tenaga guide, snorker dan membuat promosi wisata lewat penawaran paket-paket wisata sesuai dengan ketersediaan jasa lingkungan di setiap kampung. Kegiatan ini dilakukan untuk membekali pengetahuan masyarakat dan meningkatkan keterampilan bisnis, vocational dan professional dalam pengelolaan pariwisata berkelanjutan (Bater 2001). Pembangunan kampung wisata oleh Dinkebudpar Kab. Raja Ampat dilakukan di 5 kampung, yaitu Yenwaupnor, Arborek, Yenbuba, Sawinggrai dan Sauwandarek. Pembangunan fisik homestay dengan 2 kamar sudah dilakukan di
kampung Arborek, Sawandarek dan Yenwaupnor dan dikelola oleh kelompok pengelola, sementara 4 homestay lainnya dibangun dan dikelola oleh masyarakat lokal (pribadi), umumnya terdiri dari 4 kamar berukuran besar. Lokasi homestay berada di daratan pulau dan di daerah pantai berdekatan dengan jembatan tempat tambatan speedboat. Beberapa aturan dibuat untuk mencegah dampak wisata terhadap kerusakan karang, yakni larangan untuk tidak memancing, menyentuh karang dan membuang sampah ke laut dalam bentuk apapun.Nama dan letak homestay di Distrik Meosmansar dapat dilihat pada Tabel 27 dan Gambar homestay di Distrik Meosmansar pada Lampiran 10. Berdasarkan hasil survey dan wawancara yang dilakukan, jumlah kunjungan wisatawan di tiap homestay dapat mencapai jumlah 100 wisatawan/ tahun kecuali homestay Inbefort dengan jumlah rata-rata kunjungan 200 wisatawan/tahun.Rata-rata waktu tinggal yang dihabiskan setiap wisatawan ditiap homestay bervariasi yaitu 1 sampai 3 hari bahkan sampai 7 hari. Sedangkan biaya menginap plus makan yang dikenakan kepada wisatawan adalah Rp.500 000,- orang/malam. Keuntungan yang diperoleh sebagian digunakan untuk biaya perawatan dan pengembangan “Kampung Wisata”. Tabel 27. Nama dan letak homestay di Distrik Meosmansar. No Homestay Status kepemilikan 1 Mangkorkodon Dedy Mayor 2 Inbefort Yesaya Mayor 3 Yayasan Kobe Oser Ibu Maria R. Wanma 4 Yenwaupnor masy.lokal 5 Arborek masy.lokal 6 Ransiwor Beny Sauyai 7 Sawandarek masy.lokal Sumber: Dinkebudpar Kab. Raja Ampat 2010.
Lokasi Yenbuba Sawinggrai Yenwaupnor Yenwaupnor Arborek Yenbuba Sawandarek
Jumlah ini telah mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan biaya yang ditetapkan oleh Dinkebudpar pada tahun 2009 yaitu Rp. 350 000,orang/malam plus biaya makan. Jumlah pemasukan yang didapat dari hasil pemakaian homestay dan lain-lain oleh wisatawan akan dikelola oleh masyarakat untuk pengembangan usaha tersebut. Walaupun dampak pariwisata tak dapat langsung terlihat, karena bersifat ikutan namun sedikit demi sedikit masyarakat
mulai menyadari bahwa pariwisata adalah potensi terkuat Raja Ampat. Fasilitas dan biaya inap di homestay yang tersebar di Distrik Meosmansar dapat dilihat pada Lampiran 11. 5.2.1.2. COREMAP II Kab. Raja Ampat. Keterlibatan COREMAP II dalam fase akselerasinya di Raja Ampat memiliki tujuan utama yaitu (1) Peningkatan kesadaran masyarakat (2) Peningkatan pedapatan masyarakat dan (3) Peningkatan kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan terumbu karang. Hal ini nampak dari terlaksananya system pengelolaan terumbu karang yang praktis, operasional dan melembaga dengan capaian kesuksesan (COREMAP II Kab. Raja Ampat 2010) antara lain: a) Terbentuknya
Dewan
Pemberdayaan
Masyarakat
Pesisir
Coastal
Community Empowerment Board (CCEB) sebagai wadah yang dapat mendukung pelaksanaan program dan berfungsi memberikan dukungan koordinasi program antar instansi, pelayanan dan proses administrasi di kabupaten. b) Terbentuknya LPSTK di 39 kampung, peningkatan kapasitas LPSTK dalam tugas dan tanggung jawab lembaga yaitu monitoring terumbu karang dan lain-lain, kemampuan dalam menyusun RPTK (Rencana Pengelolaan Terumbu Karang) yang dapat digunakan sebagai dokumen perencanaan kampung. c) Terbentuknya Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) dibeberapa kampung untuk melakukan pengawasan, peningkatan kapasitas kelompok dalam monitoring terumbu karang, dan jalannya fungsi pengawasan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. d) Terbentuknya Kelompok Masyarakat (Pokmas) di 39 kampung yang berperan aktif dalam memberikan gagasan untuk penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) di kampung. e) Terbentuknya Peraturan Kampung (Perkam) tentang Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat dan adanya perubahan perilaku berkaitan dengan kepatuhan terhadap aturan tertulis yang disepakati bersama.
f)
Terbentuk Perda No. 27 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) sebagai hasil inisiasi COREMAP II bersama dengan TNC
(The Nature of Conservation) dan CI (Conservation Indonesia). g) Terbentuknya Raperda Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Raja Ampat yang saat ini sedang dalam proses pembahasan di DPRD Kab. Raja Ampat. h) Adanya 21 dokumen RPTK tentang pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan sumberdaya lainnya yang ada di kampung, adanya inisiasi kebijakan tingkat
kabupaten
yang
menaungi
upaya
pengelolaan
sumberdaya terumbu karang termasuk didalamnya pengakuan terhadap dokumen RPTK. i)
Terbentuknya 23 DPL di 21 kampung. Ada peningkatan tutupan karang pada kawasan yang telah rusak sebelumnya karena praktek penggunaan potassium, bom dan kegiatan destruktif lainnya, peningkatan potensi laut lainnya seperti ikan, kepiting, teripang, lobster, dan lain-lain. Peningkatan pendapatan masyarakat sebagai hasil dari pemanfaatan berkelanjutan di kawasan DPL, timbul kesadaran masyarakat untuk menyerahkan lokasilokasi tertentu dikampung yang diperuntukkan sebagai DPL.
j)
Terbentuknya KKLD Selat Dampir yang mengalami perluasan dari 46 240 hektar menjadi 303 200 hektar sebagai hasil kerja sama dengan CI, diberlakukan kebijakan formal pada KKLD Selat Dampir melalui Peraturan Daerah Kab. Raja Ampat No. 27 tahun 2008 dan Peraturan Bupati Raja Ampat No. 05 tahun 2009, adanya proses pembentukan zonasi KKLD Selat Dampir, adanya draft Rencana Pengelolaan KKLD Selat Dampir, adanya kepatuhan dan terbangunnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan tentang KKLD Selat Dampir dan pemanfaatan KKLD Selat Dampir sesuai dengan prinsip dan aturan main tentang konservasi.
5.2.1.3. DKP Kab. Raja Ampat. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Raja Ampat memiliki tanggung jawab untuk Menyusun Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKLD Selat Dampir sebagai Kawasan Wisata Bahari Raja Ampat. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara
kolaboratif dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat, LSM, pemangku kepentingan lainnya dengan membentuk Sekretariat Bersama sebagai wadah koordinatif. Sedangkan pengendalian dan pengawasan, dilakukan oleh dinas dengan instansi dan lembaga terkait dengan pemangku kepentingan lainnya. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, penetapan fungsi kawasan KKLD di Raja Ampat oleh Pemda. Kab. Raja Ampat (Peraturan Bupati Kab. Raja Ampat No. 05 Tahun 2009), meliputi tiga zona, yaitu: (1) zona inti/ utama (2) zona pemanfaatan perikanan berkelanjutan dan (3) zona pemanfaatan lainnya. Terjemahan dari zonasi tersebut meliputi: (1) zona inti, (2) zona perikanan berkelanjutan; terbagi menjadi zona ketahanan pangan dan zona perikanan berkelanjutan. (3) zona pemanfaatan; menjadi zona pemanfaatan tradisional, zona alur dan pembangunan prasarana fisik (4) zona lainnya. Kaitannya dengan ini setiap DPL yang ada dalam KKLD memiliki fungsi kawasan sebagai zona inti. Makna filosofi dari tiap zona mencirikan kekhasan/keunikan Raja Ampat sebagai Kabupaten Bahari. Makna filosofi dari ‘Zona ketahanan pangan’ adalah Raja Ampat mengandalkan sumberdaya laut sebagai sumber bahan pangan (kegiatan ekowisata bahari) bagi kehidupan rakyatnya yang dapat dikelola untuk meningkatkan PAD Raja Ampat. Sedangkan makna filosofi dari ‘zona pemanfaatan tradisional’ adalah zona yang hanya dimanfaatkan oleh masarakat lokal. Hal ini bertujuan untuk menepis anggapan masyarakat bahwa: (1) Konservasi identik dengan ‘larangan’ (2) Konservasi hanya menguntungkan ‘orang luar’ (3) Konservasi tidak mempunyai manfaat ekonomi bagi masyarakat dan (4) Pemanfaatan sumberdaya laut di Raja Ampat adalah orang lain yang memiliki modal kuat. Hingga kini rencana pengelolaan KKLD sementara di bahas di DPR Kab. Raja Ampat. Pengelolaan terumbu karang, baik sebagai daerah wisata bahari maupun konservasi harus di fasilitasi oleh pemerintah jika dirasakan bermanfaat dan persepsi para pemangku kepentingan terkait harus lebih baik. Kendala utama yang biasanya di hadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi biasanya dalam hal pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi (Hough 1988). Pengelolaan KKLD Selat Dampir akan dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Raja Ampat, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) Propinsi Papua Barat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pungutan perikanan, pungutan jasa konservasi,serta sumbersumber pendanaan lain yang tidak bertentangan peraturan perundangan yang berlaku. Beberapa penilaian terhadap keberhasilan kawasan konservasi laut apabila pengelolaannya dilakukan bersama-sama dengan melibatkan masyarakat setempat (Brechin 1991; Borrini-Feyerabend 1993; Pollnac et al. 2001), dimana keberhasilan yang dicapai akan lebih baik jika masyarakat memiliki partisipasi yang tinggi dalam pengelolaan suatu kawasan (Newmark et al. 1992) dan hasil dari pengelolaan itu, dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (Mehta dan Heinen 2001). Dengan ikut dalam pengelolaan kawasan konservasi, dirasakan manfaatnya dirasakan terutama oleh pengguna sebagai pemanfaat dari sumberdaya tersebut (Jacobson dan Morynowski 1997).
5.2.1.4. PT. Papua Diving. Peraturan yang dibuat PT. Papua Diving menyangkut hal teknis yang berhubungan dengan pemanfaatan terumbu karang sebagai lokasi diving oleh para wisatawan, yaitu: a) Melarang membuang sampah ke laut saat berada di speedboad. b) Penyelam dapat menggunakan ‘reef hook’ dengan mempertimbangkan keadaan terumbu karang agar tidak rusak. Reef Hook yaitu besi sepanjang 1 m yang digunakan saat arus kuat dengan cara ditancapkan ke pasir atau batu sebagai penahan agar tubuh tidak terseret arus. c) Penyelam dilarang menyentuh atau mengambil apapun dari laut dan jangan meninggalkan sampah dalam bentuk apa pun di laut (‘Take only pictures and leave nothing but bubbles’, atau ‘Silahkan mengambil gambar sebanyak mungkin dan jangan meninggalkan apapun selain gelembung’.) d) Melarang penggunaan sarung tangan waktu menyelam, karena ada kecenderungan penyelam untuk menyentuh terumbu karang dan makhluk hidup laut lain disekitarnya apabila menggunakan sarung tangan.
e) Melarang pemancingan ikan di area sekitar resort maupun di area-area penyelaman karena dapat mengganggu dan merusak terumbu karang maupun biota laut lainnya. f)
Melarang untuk tidak berdiri/ menginjak terumbu karang.
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi wisatawan ketika akan melakukan penyelaman terutama di lokasi terumbu karang adalah: a) Certified: setiap penyelam harus terlebih dahulu menunjukkan kartu sertifikasi yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah terdaftar sebagai penyelam oleh badan internasional khusus penyelam (PADI). Jika tidak membawa kartu, dapat juga menunjukkan fotokopi kartu tersebut, atau mendapatkan pernyataan secara online (via internet) dari badan terkait. b) Qualified: pengunjung/penyelam yang ingin dipandu telah memiliki keterampilan yang memadai dalam menyelam. Hal ini akan dibuktikan dengan sertifikasi yang telah dipaparkan pada poin 1 di atas. c) Mengisi dan Menandatangani Waiver & Registration Form: pengunjung/ penyelam maupun bukan, harus mengisi formulir pendaftaran untuk kepentingan pendataan dan database resort dan untuk pelaporan ke pihak pemerintah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Imigrasi, dls). Bagi tamu yang akan melakukan kegiatan selam, harus mengisi formulir lainnya (waiver) atau surat pernyataan pembebasan tuntutan yang isinya menjelaskan bahwa jika terjadi sesuatu pada yang bersangkutan yang bukan merupakan kesalahan pihak Papua Diving (misalnya sakit, kecelakaan, kehilangan, dan bahkan kematian), maka pihak Papua Diving tidak dapat dituntut dalam bentuk apapun. d) Telah diberi Briefing: pemberian briefing atau pengarahan singkat mengenai hal-hal penting yang harus diketahui pengunjung tentang seluk beluk resort, masyarakat, kegiatan menyelam maupun kebijakan-kebijakan perusahaan selama berada di resort. Briefing diberikan juga oleh pemandu kepada tamu yang akan menyelam mengenai lokasi selam yang akan mereka kunjungi, keadaan lautnya, ikan maupun terumbu karang dan terutama tentang peraturan keselamatan menyelam.
e) Mengikuti Peraturan Menyelam: Durasi menyelam maksimal adalah 60 menit dan kedalaman maksimum 30 meter (100 kaki) f)
Penyelam wajib naik ke permukaan (setelah berhenti 3 menit pada setiap 5 meter/15 kaki) dengan isi tangki udara minimum 5 bar a tau 700 psi. Tamu harap memberitahu pemandu selam jika tangki udara sudah setengah ketika masih dalam sesi menyelam. PT. Papua Diving juga melakukan penagihan Marine Park Entry Fee, yaitu
pembayaran wajib bagi wisatawan asing maupun domestik, baik penyelam maupun bukan penyelam yang memasuki wilayah konservasi Kab.Raja Ampat. Pembayaran dilakukan atas nama badan Conservation International (CI) dan harus dibayar tunai oleh tamu begitu tiba di resort, yaitu sebesar Rp.500 000 bagi wisatawan asing dan Rp.250 000 bagi wisatawan domestik dan dana tersebut selanjutnya akan disetorkan ke Tim Pengelola Dana Pengembangan Raja Ampat. Bukti pembayaran ditandai dengan kepemilikan PIN marine tagoleh pengunjung.
5.2.2. Persepsi Stakeholder tentang Terumbu Karang dan PT. Papua Diving Pengelola Wisata Bahari. PT. Papua diving adalah salah satu dari tujuh perusahaan asing yang terlibat dalam pengelolaan wisata bahari. Perusahaan ini memulai usahanya sejak tahun 1994 di Raja Ampat dengan menjadikan Pulau Kri sebagai tempat usahanya dan hingga kini telah mengelola 63 lokasi selam yang sebagian besar terpusat di perairan pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri termasuk beberapa lokasi yang berada didalam/sekitar DPL. Fasilitas dan pelayanan yang disediakan perusahaan ini sudah berstandar internasional. Sehingga wisatawan yang datang ke Raja Ampat hanya ingin ke PT. Papua diving (Pemda Kab.Raja Ampat 2006). Pengelolaan ekowisata bahari oleh PT. Papua Diving akan dijadikan contoh untuk Pengelolaan Ekowisata Bahari di Biak (BP KAPET Biak 2005). Volume kunjungan wisatawan ke PT. Papua Diving cukup baik dan selalu meningkat sejak pertama beroperasi terutama wisatawan asing yang mempunyai hobbi melakukan diving dan snorkeling karena ditunjang oleh keindahan dasar laut dan tidak jauh dari pulau sehingga mudah untuk dijangkau. Kunjungan
wisatawan ke PT. Papua Diving melonjak pada bulan November yaitu sebesar 77 persen dengan memilih Resort Kri sebagai tempat penginapan karena biayanya lebih murah yaitu 75 euro atau Rp 900 000/malam dibandingkan dengan Resort Sorido yaitu 225 euro atau Rp 2.7 juta/malam. Kondisi ini berlangsung setiap tahunnya karena di bulan tersebut sebagian besar wisatawan asing memanfaatkan waktu libur mereka untuk berkunjung ke Raja Ampat. Kunjungan
Jumlah wisatawan (org/thn)
wisatawan ke PT. Papua Diving (Pulau Kri) disajikan dalam Gambar 14. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Trend 2007 - 2010 Sorido 2010 Kri 2010
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sept
Okt
Nov
Dec
Bulan
Gambar 14. Kunjungan wisatawan ke PT. Papua Diving di Pulau Kri. (Sumber: PT. Papua Diving 2012).
Hasil survey dan wawancara yang dilakukan terhadap 55 responden menunjukkan bahwa responden yang terdiri dari masyarakat dan stakeholder lain rata-rata memiliki pengetahuan yang baik (98 persen) tentang fungsi/manfaat terumbu karang dan faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang misalnya destruktif fishing dan dampak aktifitas wisata bahari yang tidak terkontrol. Begitu juga aturan-aturan yang melarang pengrusakan terumbu karang tersebut sebagaimana yang termuat dalam Perkam (Peraturan Kampung) dan diberlakukan dalam mengontrol pengelolaan DPL Berkaitan dengan penilaian masyarakat dan tentang kegiatan wisata bahari yang sementara ini dikelola oleh PT. Papua Diving, 98 persen stakeholder mengakui keseriusan dan kepedulian perusahaan ini dalam upaya pelestarian sumberdaya terumbu karang Raja Ampat. Hadirnya Papua Diving, membuat masyarakat juga mengetahui bahwa terumbu karang memiliki nilai ekonomis dari kegiatan wisata bahari.
Kehadiran PT. Papua Diving di Raja Ampat dinilai masyarakat telah membawa keuntungan lain, yaitu: (1) Penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat sekitar (85 persen) dari tenaga kerja yang dimiliki adalah masyarakat lokal sekitar Pulau Kri, (2) Adanya pemeliharaan pulau dan pantai serta sumberdaya alam yang ada (3) Pemasukan bagi PAD (4) Peyerapan iptek yaitu ada training untuk tenaga kerja sesuai bidang keahlian (5) Pekerjaan bagi instruktur dari perusahaan yang terkenal dalam bidang kemaritiman. Hal ini sesuai dengan pendapat Bater (2001) bahwa pembangunan pariwisata yang berkelanjutan harus menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk masyarakat setempat. Masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga mendorong mereka untuk menjaga kelestarian kawasan (Yulianda 2007). Menyangkut partisipasi masyarakat dalam mendukung kelanjutan usaha PT. Papua Diving di Raja Ampat, hasil survey dan wawancara menunjukkan bahwa masyarakat lokal (pemilik hak ulayat Pulau Kri) tidak menyetujui keberadaan PT. Papua Diving. Perusahaan ini dianggap telah melakukan kesalahan sejak awal dalam hal penandatangan kontrak untuk hak guna usaha di Pulau Kri karena tanpa sepengetahuan pemilik hak ulayat (Marga Sauyai, kampung Yenbuba), tetapi dilakukan dengan sebagian komunitas masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat pemilik hak ulayat Pulau Kri. Sehingga hak-hak yang muncul akibat kontrak tersebut tidak diterima dan dirasakan oleh masyarakat pemilik hak ulayat tersebut. Persepsi stakeholder terhadap PT. Papua Diving dapat dilihat pada Gambar 15. 120 100 80 60 40 20 0
Ya Tidak
PT. Papua Diving
Dinkebu dpar
DKP
Pemdes
Tokoh Masy
COREMA P II
LPSTK
Masy. Lokal
100
80
100
60
40
100
20
35
0
20
0
40
60
0
80
65
Gambar 15. Persepsi stakeholder terhadap PT. Papua Diving.
Hak ulayat atau hak kepemilikan umumnya ditemui di Raja Ampat, dan sudah sejak lama dipraktekkan oleh masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan baik yang ada di daratan pulau maupun di perairan laut yang lokasinya dekat ataupun jauh dari kampung tempat bermukimnya masyarakat. Hak-hak atas status kepemilikan yang mengatur pemanfaatan sumberdaya di Raja Ampat secara umum memiliki beberapa karaketristik (Sumule dan Donnelly 2002 in Pemda Kab. Raja Ampat et al. 2005), yaitu: a) Kepemilikan atas sumberdaya lebih bersifat komunal dibandingkan perorangan; b) Hak-hak akses yang diberikan kepada pihak-pihak ke-tiga sifatnya bersyarat dan tidak permanen; c) Pemberian hak-hak
akses
atas sumberdaya memerlukan consensus
masyarakat tetapi keputusan akhir berada di tangan kepala adat marga yang bersangkutan; d) Konsep “hak untuk memanfaatkan tetapi tidak untuk memiliki” menjadi lebih popular di kalangan orang-orang asli Raja Ampat. Hal ini mungkin merupakan jawaban atas populasi yang bertambah dan aktivitas komersial yang mengancam status quo yang bisa bertahan lama; e) Komunitas-komunitas
Raja
Ampat
menyadari
dan
menghormati
kepemilikan tradisional atas sumberdaya alam dan hak akses yang berhubungan dengan sumberdaya-sumberdaya terkait; serta f) Komunitas-komunitas Raja Ampat mengharapkan prinsip timbal-balik dipraktekkan ketika sumberdayanya dieksploitasi. Pada skala kecil, hal ini bisa saja mencakup pengaturan dimana para nelayan yang transit berbagi tangkapan subsisten. Pada skala komersil, hal ini termasuk meminta bagian keuntungan lewat pengadaan layanan-layanan sosial dan infrastruktur. Hak pengelolaan lahan dengan status ‘hak guna usaha’ akan diberikan kepada pihak pengelola berdasarkan kesepakatan yang dibuat dan disahkan oleh kedua belah pihak dalam bentuk penandatangan surat kesepakatan. Kesepakatan tersebut berisikan antara lain besarnya biaya kontrak pemanfaatan lahan, limit
waktu penggunaan lahan, manfaat lain yang diperoleh masyarakat (keterlibatan dalam kegiatan pengelolaan), dan lain-lain. Permasalahan
tersebut
diatas
merupakan
dilema
yang
sementara
berlangsung hingga kini dan diharapkan penyelesaiannya harus dilakukan sedini mungkin karena telah melibatkan elemen-elemen penting dalam proses pengelolaan kawasan yang sementara berlangsung. Walau sampai saat ini belum ditemukan hal-hal yang mengindikasikan tindakan negatif yang dilakukan masyarakat (pemilik hak ulayat) terhadap perusahaan tersebut karena peran kepala kampung dan beberapa tokoh masyarakat lainnya yang berupaya menciptakan kondisi yang kondusif. 5.3. Sistem Pengelolaan Terumbu Karang. Sistem pengelolaan terumbu karang dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut di Distrik Meosmansar merupakan bagian dari strategi pengembangan kawasan konservasi laut yang diinisiasi oleh COREMAP II di Kabupaten Raja Ampat, melalui pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat. Walaupun DPL yang dibentuk berbasiskan masyarakat, tetapi pembentukan dan pengelolaannya dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah setempat dan para pihak (stakeholder) yang ada di desa. Pengelolaan terumbu karang dalam DPL dilakukan oleh Kelompok Pengelola yaitu kelompok masyarakat yang dipilih dari perwakilan anggota kelompok konservasi dan pengawas berdasarkan surat keputusan Kepala Kampung dan diketahui oleh Badan Musyawarah Kampung. Koordinasi dibangun dengan lembaga-lembaga dan stakeholder lainnya sesuai fungsi masing-masing seperti LPSTK (Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang) yang bertugas mengkoordinir program pengelolaan terumbu karang di kawasan DPL, Kelompok Masyarakat (Pokmas) berperan aktif dalam pelaksanaan pengelolaan terumbu karang dikawasan DPL, Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) bertugas melakukan pengawasan terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan di kampung dan mempunyai jaringan kerjasama pengawasan dengan aparat penegak hukum (Petugas Penyidik Negeri Sipil DKP Raja Ampat, Polair dan TNI-AL) dan/atau dengan Pokmaswas lainnya serta para stakeholder dalam menjamin kelestarian sumberdaya terumbu karang untuk pemanfaatan yang berkelanjutan.
Pengelolaan DPL Distrik Meosmansar sudah dimulai sejak tahun 2008 sejak diberlakukannya Peraturan Kampung (Perkam). Peraturan Kampung adalah aturan hukum yang ditetapkan oleh masyarakat dengan persetujuan Badan Musyawarah Kampung dan Kepala Kampung. Perkam berfungsi untuk mengatur dan mengontrol penatakelolaan DPL Berbasis Masyarakat.Termasuk didalamnya pemberian sanksi kepada siapapun yang melanggar peraturan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dan ekosistem terkait. Perkam mengatur jenis-jenis kegiatan yang diperbolehkan dan pelarangan terhadap jenis kegiatan yang bersifat destruktif yang berakibat pada degradasi terumbu karang dalam kawasan DPL. Jenis kegiatan yang dapat dilakukan dalam DPL, yaitu (1) Kegiatan Penelitian Ilmiah (2) Kegiatan Pendidikan (3) Kegiatan wisata bahari/ penyelaman terbatas dan (4) Kegiatan monitoring atau pengawasan dari kelompok pengelola. Sementara jenis kegiatan yang dilarang untuk dilakukan dalam kawasan DPL yakni pemboman ikan, pembiusan, penambangan karang dan pasir, pembuangan limbah rumah tangga, industri dan kapal, pembangunan sarana wisata permanen, reklamasi pantai, membuang jangkar, penebaran jala, pukat dan sejenisnya, memancing segala jenis ikan, menangkap ikan dengan menggunakan alat panah atau kalawai (tombak), pengambilan kerang-kerangan dan jenis biota lainnya hidup atau mati, menggunakan perahu lampu (balobe), membuang sampah, melakukan budidaya laut, berjalan diatas terumbu karang, pengambilan biota yang dilarang oleh undang-undang dan melintasi atau menyeberang dengan menggunakan segala jenis angkutan laut, kecuali yang telah mendapat persetujuan bersama antara kelompok pengelola DPL dan Pemerintah Kampung, untuk keadaan luar biasa seperti gelombang pasang, musim selatan dan keadaan lain diluar kemampuan manusia melakukan rekayasa. Dalam hal ini masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan, dan aspirasinya serta membuat keputusan
demi
kesejahteraannya
(Nikijuluw
2002)
lewat
pemanfaatan
sumberdaya secara berkelanjutan (Carter 1996) dan menjadi partner penting bersama pemerintah dan stakeholder lainnya dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan tersebut (Pomeroy dan Williams 1994). Selain untuk meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan, menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut, DPL dapat
dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, memperkuat masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang, mendidik masyarakat dalam konservasi dan sebagai lokasi penelitian dan pendidikan (COREMAP II 2010). Delapan DPL yang berada dalam kawasan Pulau Gam, Pulau Mansuar dan Pulau Kri merupakan kawasan pengembangan wisata bahari. Beberapa lokasi yang berada dalam kawasan 3 pulau ini telah lama dimanfaatkan oleh PT. Papua Diving sebagai lokasi wisata bahari diving termasuk beberapa kawasan yang kini menjadi lokasi DPL yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat memanfaatkan kawasan DPL dengan potensi sumberdaya terumbu karang yang dimiliki untuk wisata bahari (penyelaman terbatas). Namun kekurangan yang didapati dalam pemanfaatan terumbu karang adalah belum mempertimbangkan daya dukung kawasan. Kaitannya dengan hal ini Yulianda 2010 berpendapat bahwa kawasan konservasi perairan laut dirancang secara khusus untuk memungkinkan beberapa pemanfaatan yang terkontrol dan lestari di dalam batas kawasan, misalnya pariwisata dan kegiatan ini bisa sesuai dengan semua hal, kecuali kawasan yang sensitive secara ekologi, jika dikelola secara teratur. Pengelolaan yang tidak mempertimbangakan daya dukung kawasan akan memungkinkan pemanfaatan sumberdaya tidak terkontrol dan akan berakibat terjadinya degradasi terumbu karang sebagaimana yang terjadi di Banaire Laut Karibia (Dixon et al. 1993). Sehingga penggunaan konsep daya dukung digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan kapasitas ekosistem terumbu karang sehingga dapat meminimalisasi bahkan mengurangi kerusakan akibat aktifitas tersebut (Salm 1986). Penggunaan konsep daya dukung dapat dilakukan untuk pemanfaatan terumbu karang di DPL lewat pembatasan jumlah pengunjung yang melakukan penyelaman. Kemungkinan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dapat terjadi dengan ditetapkannya Pulau Mansuar menjadi 2 dari 8 titik pusat pengembangan wisata bahari Raja Ampat (RTRW Kab. Raja Ampat tahun 20102030 in BAPPEDA Kab. Raja Ampat 2010). Sementara itu pengembangan DPL Distrik Meosmansar yang berada dalam kawasan pengembangan zona semi intensif yang dibatasi dengan jumlah pengunjung dalam skala kecil dan terbatas,
dalam penetapan fungsi kawasan KKLD Selat Dampir DPL akan berfungsi sebagai “zona inti”. Sampai sejauh ini pengelolaan terumbu karang dalam DPL berjalan baik mulai dari kegiatan monitoring, pengawasan dan evaluasi yang dilakukan secara berkala. Hasil monitoring COREMAP II- CRITC Kab. Raja Ampat 2009 dan laporan COREMAP II 2010 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan persen tutupan karang dan ikan karang kurang lebih 2 persen. Bahkan untuk beberapa kasus pelanggaran ilegal fishing telah diselesaikan secara hukum di tingkat desa sampai ke tingkat pengadilan. Walau pemanfaatan terumbu karang sebagai lokasi wisata bahari belum dilakukan secara maksimal karena keterbatasan alat, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, kegiatan promosi, dan lain-lain. Keberhasilan pengelolaan terumbu karang dalam DPL Distrik Meosmansar akan berkontribusi dalam menjawab tujuan-tujuan pembangunan daerah zona semi intensif dan KKLD Selat Dampir dalam memajukan ekowisata bahari Raja Ampat. Pengelolaan terumbu karang diperlukan untuk mencegah semakin memburuknya kondisi karang terutama yang diakibatkan oleh aktifitas anthropogenik. Proses pengontrolan tindakan manusia ini dilakukan agar pemanfaatan
sumberdaya
alam
dapat
dilakukan
secara
bijaksana
dan
mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono 2007).
5.4. Potensi Terumbu Karang bagi Pengembangan Wisata Bahari. Kondisi lingkungan perairan suatu lokasi merupakan salah satu syarat penting yang harus dipenuhi dalam pengelolaan wisata bahari. Berdasarkan nilai-nilai parameter lingkungan perairan yang dijumpai di delapan lokasi DPL, mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan perairan di delapan DPL umumnya merata tidak ada perbedaan yang mencolok karena berada dalam satu kawasan gugusan pulau. Kondisi lingkungan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Kondisi lingkungan di lokasi penelitian. No.
DPL
1 2
Indip Imburnos
Kecerahan Perairan (%) 100 100
Kecepatan Arus (cm/det) 13 12
Kedalaman Perairan (m) 6-7 6-7
Suhu (⁰C) 30.0 28.5
Salinitas (‰) 32 32
3
Warasmus
100
14
6-7
28.8
32
4
Ikwan iba
100
13
6-7
30.0
31
5
Yendesner
100
13
6-7
29.8
31
6 7
Tanadi Mansaswar
100 100
13 13
6-7 6-7
29.8 29.8
30 31
8
Kormansiwin
100
14
6-7
28.5
30
Sumber: Pemda Kab. Raja Ampat 2006 dan COREMAP-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
a. Kecerahan. Kecerahan suatu perairan biasanya dipengaruhi oleh adanya kandungan lumpur, partikel-partikel tanah dan fragmen-fragmen tumbuhan atau fitoplankton yang tersuspensi didalamnya. Penetrasi cahaya akan berkurang pada perairan yang keruh, sebaliknya perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya dapat menjangkau lapisan perairan terdalam dimana binatang karang masih dapat hidup dengan baik. Kondisi ini dibuktikan oleh hasil penelitian Suharsono dan Yosephine (1994), yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kecerahan air dengan persentase tutupan karang hidup. Perairan yang cerah selain dibutuhkan biota karang untuk melakukan fotosintesis juga merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata diving. Kondisi perairan yang cerah akan sangat membantu kemampuan visualisasi wisatawan terhadap objek wisata dan akan mempengaruhi tingkat kepuasan wisatawan. Semakin tinggi tingkat kecerahan perairan semakin tinggi pula keinginan wisatawan untuk menikmati keindahan alam bawah laut perairan tersebut. Lokasi yang memiliki nilai kecerahan 80–100 persen mengindikasikan bahwa lokasi tersebut sangat sesuai untuk diving. Dengan demikian maka delapan stasiun penelitian yang umumnya memiliki nilai kecerahan mencapai 100 persen merupakan lokasi yang sangat sesuai untuk wisata bahari diving. Bahkan pada lokasi-lokasi tertentu kecerahan ditemui sampai kedalaman 15 m, dimana dasar perairan masih nampak jelas terlihat sehingga merupakan lokasi penyelaman yang baik. b. Kecepatan Arus. Untuk biota karang arus sangat berperan didalam penyediaan nutrient, oksigen dan pembersihan permukaan terumbu karang dari sedimen serta mempengaruhi penyebaran larva. Sebaliknya untuk wisata diving kecepatan
arus merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan ketika akan melakukan penyelaman. Arus yang kuat akan berdampak terhadap kenyamanan dan keselamatan wisatawan selama diving. Lokasi
yang
memiliki
kecepatan
arus
0-15
cm/det,
mengindikasikan
bahwa lokasi tersebut memenuhi kategori sangat sesuai sebagai lokasi penyelaman. Hal yang sama dijumpai pada delapan stasiun penelitian karena memiliki kecepatan arus (12-14 cm/det) sehingga merupakan lokasi yang sangat sesuai sebagai lokasi diving. c. Suhu. Fluktuasi suhu perairan cenderung terbentuk karena perbedaan kedalaman perairan. Terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu perairan laut rata-rata tahunan antara 25ºC- 29ºC (Dahuri 2003) atau pada suhu 23ºC-25ºC dan dapat mentolerir suhu sampai kira-kira 36ºC-40ºC, tapi tidak dapat bertahan pada suhu minimum tahunan dibawah 18ºC (Nybakken 1992). Kisaran suhu yang di jumpai pada delapan stasiun penelitian adalah 28.5-30ºC. Hal ini mengindikasikan bahwa kisaran suhu tersebut masih tergolong normal bagi pertumbuhan dan perkembangan karang dan biota lainnya yang hidupnya bergantung pada terumbu karang. d. Salinitas Kadar salinitas suatu perairan dipengaruhi oleh debit air tawar yang bercampur ke laut. Air tawar ini bersumber dari daratan melalui aliran sungai maupun curah hujan yang tinggi. Organisme karang dapat hidup dengan baik pada salinitas 34‰-35‰ dan masih ditemukan pada perairan yang mempunyai kadar salinitas 27‰-40‰ (Thamrin 2006). Umumnya terumbu karang tumbuh dengan baik disekitar wilayah pesisir pada salinitas 30‰-35‰ (Dahuri 2003). Kisaran salinitas yang dijumpai pada delapan stasiun penelitian adalah 30‰-32‰, hal ini mengindikasikan bahwa lokasi tersebut memungkinkan karang hidup dan tumbuh dengan baik.
5.4.1. Kondisi Sumberdaya Terumbu Karang. Terumbu karang merupakan potensi utama dalam pengembangan wisata bahari. Nilai estetika keindahan laut banyak ditentukan oleh kehadiran dan
keindahan terumbu karang, termasuk didalamnya adalah keragaman jenis, tutupan karang serta keanekaragaman biota yang hidup berasosiasi didalamnya. Tinggi rendahnya nilai persentase tutupan komunitas karang hidup akan mempengaruhi tingkat pemanfaatan sumberdaya terumbu karang. Potensi sumberdaya terumbu karang di lokasi penelitian untuk wisata bahari disajikan dalam Tabel 29. Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase tutupan komunitas karang hidup/substrat dasar kategori biotik (hard coral, soft coral, sponges dan biota lainnya) bervariasi disetiap lokasi. Tutupan komunitas karang hidup tertinggi (88 persen) dijumpai di DPL Ikwan iba. Sedangkan tutupan komunitas karang hidup terendah (59 persen) dijumpai di DPL Kormansiwin. Tabel 29. Potensi sumberdaya terumbu karang untuk wisata bahari. NNo
DPL
Tutupan Komunitas Karang Hidup (%)
Komunitas Karang Hidup Acropora (%)
Non Soft Acropora Coral (%) (%)
Algae (%)
Sponge Other (%) (%)
∑ jenis life-form karang
1 2
Indip Imburnos
84 62
42 13
18 44
1 3
-
-
3 2
24
3
Warasmus
82
41
34
7
-
-
-
4
Ikwan iba
88
40
36
2
-
-
10
24 4
5
Yendesner
72
38
34
-
-
-
-
8
6
Tanadi
64
12
32
-
-
-
20
7 8
Mansaswar Kormansiwin
73 59
25 18
48 35
-
-
3
3
19 10 4
Rerata:
73
28.6
35.1
3.3
-
3
7.6
12.4
27
Sumber: Hasil olahan data sekunder.
Berdasarkan parameter tutupan komunitas karang maka tiga lokasi yang memiliki kategori sangat sesuai (>75 persen) untuk lokasi diving adalah DPL Ikwan iba (88 persen), DPL Indip (84 persen) dan DPL Warasmus (82 persen). Sedangkan lima lokasi yang memiliki kategori cukup sesuai (>50-75 persen) untuk lokasi diving adalah DPL Mansaswar (73 persen), DPL Yendesner (72 persen), DPL Tanadi (64 persen), DPL Imburnos (62 persen) dan DPL Kormansiwin (59 persen). Berdasarkan persentase tutupan terumbu karang (life cover), secara umum terumbu karang di delapan lokasi DPL didominasi oleh genus Acropora di 4 lokasi yaitu DPL Indip (42 persen), DPL Warasmus (41 persen), DPL Ikwan iba (40 persen) dan DPL Yendesner (38 persen). Sementara Non Acropora jenis
branching, encrusting, massive, mushroom dominan ditemukan di 4 lokasi lainnya yaitu DPL Mansaswar (48 persen), DPL Imburnos (44 persen), DPL Tanadi (32 persen), dan DPL Kormansiwin (35 persen). Persentase dari jumlah karang keras hidup (live hard coral cover) di sebuah lokasi, diketahui dapat mempengaruhi minat berekreasi ke suatu lokasi penyelaman (Pendleton 1994; Williams dan Polunin 2000). Banyaknya jenis life-form karang pada suatu lokasi terumbu karang mengindikasikan karakteristik lokasi tersebut. Jumlah jenis life-form karang tertinggi (27 jenis) dijumpai di DPL Imburnos sedangkan jumlah jenis life-form terendah (4 jenis) di jumpai di DPL Ikwan iba dan DPL Kormansiwin. Berdasarkan jumlah jenis life-form karang maka ada empat lokasi yang sangat sesuai (>12) untuk lokasi diving yaitu DPL Indip (24 jenis), DPL Imburnos (27 jenis), DPL Warasmus (24 jenis) dan DPL Tanadi (19 jenis). Selanjutnya dua lokasi yang cukup sesuai (<7-12) untuk lokasi diving yaitu DPL Yendesner (8 jenis) dan DPL Mansaswar ((10 jenis). Sedangkan dua lokasi yang kurang sesuai (4-7) untuk lokasi diving adalah, DPL Ikwan iba (4 jenis) dan DPL Kormansiwin (4 jenis). 5.4.2. Kondisi Ikan Karang. Ikan karang merupakan salah satu penghuni utama ekosistem terumbu karang. Jenis ikan karang adalah salah satu parameter penentu kesesuaian suatu lokasi sebagai lokasi wisata. Kondisi terumbu karang baik memungkinkan ikan karang ada dalam keadaan melimpah. Pengamatan ikan karang difokuskan pada 3 kelompok, yaitu ikan target (ikan ekonomis penting/ikan konsumsi), ikan major (ikan yang hidupnya bergerombol dan berukuran kecil) dan ikan indikator (menentukan kesehatan karang). Pada delapan lokasi penelitian dijumpai 134 jenis ikan karang yang termasuk dalam 21 famili dan 68 spesies. Kelimpahan ikan karang tertinggi (200 240 ind/ha) di jumpai di DPL Tanadi selanjutnya DPL Yendesner (101 360 ind/ha) Sedangkan kelimpahan ikan karang terendah dijumpai di DPL Indip (25 200 ind/ha). Jumlah famili, spesies dan kelimpahan ikan di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 30.
Jumlah spesies ikan karang relatif tinggi (63–68 spesies) dijumpai pada enam lokasi yaitu DPL Indip (66 spesies), DPL Imburnos (68 jenis), DPL Warasmus (67 jenis), DPL Tanadi (66 jenis), DPL Mansaswar (63 jenis) dan DPL Kormansiwin (68 jenis). Sedangkan jumlah spesies ikan karang yang relatif rendah (41-47 spesies) dijumpai di dua lokasi yaitu DPL Ikwan iba (47 jeis) dan DPL Yendesner (41 jenis). Berdasarkan parameter jumlah spesies ikan karang yang dijumpai di enam lokasi yang memiliki jumlah spesies ikan karang relatif tinggi (63–68 spesies), mengindikasikan bahwa lokasi ini cukup sesuai (50-100 jenis ikan) untuk lokasi diving sebaliknya dua lokasi lainnya yang memiliki jumlah spesies ikan karang yang relatif rendah (41-47 spesies) merupakan lokasi yang kurang sesuai (20-<50 jenis ikan) untuk lokasi diving. Tabel 30. Jumlah famili, spesies dan kelimpahan ikan di lokasi penelitian. No. 1 2 3 4 5 6 7 8
DPL Indip Imburnos Warasmus Ikwan iba Yendesner Tanadi Mansaswar Kormansiwin
Jumlah Famili 15 15 21 16 10 14 15 17
Jumlah Spesies 66 68 67 47 41 66 63 68
Kelimpahan ( ∑Ind/ha) 25 200 45 680 35 720 32 960 101 360 200 240 27 600 27 840
Sumber: Coremap-CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Jumlah ikan tertinggi didominasi oleh kelompok ikan mayor yang dijumpai di DPL Tanadi (109 437 ind/ha) dan DPL Yendesner (64 078 ind/ha) sedangkan jumlah ikan terendah dijumpai di DPL Indip (14 677 ind/ha). Kelompok ikan target didominasi oleh ikan ekor kuning (Pterocaesio tile famili Caesionidae) dan ikan kerapu (Lutjanus biguttatus famili Lutjanidae) dengan kelimpahan tertnggi dijumpai di DPL Tanadi (84 083 ind/ha) dan kelimpahan terendah di DPL Yendesner (2 562 ind/ha). Sedangkan kelompok ikan indikator seperti ikan kepe-kepe (famili Chaetodontidae) yang memiliki kelimpahan tertinggi di jumpai di DPL Yendesner (34 720 ind/ha) dan kelimpahan terendah di DPL Mansaswar (3 120 ind/ha). Komposisi ikan karang di delapan stasiun penelitian disajikan dalam Gambar 16.
Perbandingan ikan indikator, ikan target dan ikan major adalah 1 ikan indikator berbanding 1 ikan target dan 4 ikan major, ini berarti bahwa untuk setiap 6 jenis ikan yang ditemukan di lokasi pengamatan kemungkinan komposisinya terdiri dari 1 individu ikan indikator, 1 individu ikan target dan 4 individu ikan major. 109,437
Jumlah ind/ha
120,000 100,000
Ikan Mayor
84,083
80,000
Ikan Target
64,078
Ikan Indikator
60,000 34,720
40,000 20,000
14,677 2,562
3,120
0
Gambar 16. Komposisi ikan karang di lokasi penelitian. Keberadaan ikan di terumbu karang sangat tergantung pada kondisi terumbu karang itu sendiri. Beberapa kelompok ikan menunjukkan kecenderungan kelimpahan yang meningkat dalam jangka waktu panjang pada kondisi terumbu karang dengan persentase tutupan hidup karang yang tinggi. Sementara pada kondisi terumbu karang dengan tutupan yang rendahpun dijumpai peningkatan kelimpahan pada beberapa kelompok ikan. Hal ini masih belum dapat diterangkan dengan jelas karena masih terbatasnya penelitian tentang ini. Jumlah inidividu untuk setiap jenis ikan karang yang dijumpai pada lokasi penelitian disajikan dalam Lampiran 2. 5.4.3.Kualitas Visual Objek Wisata Bahari (SBE). Salah satu hal terpenting yang dimiliki oleh sumberdaya alam adalah keindahan/pemandangan indah. Namun keindahan pemandangan (“kecantikan scenic”) telah terbukti sebagai salah satu yang paling sulit diukur secara, objektif ilmiah dan hanya sebagian ditentukan oleh karakteristik lingkungan, dan tergantung pada sebagian besar penilaian manusia. Penilaian persepsi publik terhadap keindahan sumberdaya alam dapat dijadikan indikator estetika yang
diperlukan untuk perencanaan yang komprehensif, multiguna dari pengelolaan suatu kawasan (Daniel dan Boster 1976). Penilaian visual landscape (pemandangan)/objek wisata menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE) untuk menetapkan penilaian kualitas landscape (pemandangan)/objek dalam kaitannya dengan pengembangan wisata bahari. Metode SBE adalah metode yang fleksibel yang dapat digunakan dalam membantu desainer, perencana, dan pembuat keputusan (Daniel dan Boster 1976) bahkan dikenal efektif dan dapat dipercaya dalam menentukan nilai visual sumberdaya (Yu 1995 in Khakim 2009). Penggunaan metode ini telah digunakan untuk menilai secara visual lanskap wilayah pesisir untuk pengembangan kawasan wisata pesisir (coastal tourism), dengan menyesuaikan pada kondisi dan jenis lanskap yang ada di wilayah pesisir (Khakim 2009). Tabel 31. Nilai visual objek wisata bahari (SBE) di lokasi penelitian. No.
DPL
1
Indip
2
Imburnos
3
Warasmus
4
Ikwan iba
Nomor Photo 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nilai SBE 89.02 98.20 68.29 58.24 73.95 61.37 92.23 68.29 88.06 16.68 101.32 64.18
No.
DPL
5
Yendesner
6
Tanadi
7
Mansaswar
8
Kormansiwin
Nomor Photo 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nilai SBE 119.73 69.00 113.01 0 81.55 56.55 89.62 61.37 77.31 106.26 115.39 11.51
Sumber: Hasil olahan data sekunder.
Hasil penilaian kualitas visual lanskap oleh responden merupakan skor untuk masing-masing foto. Terdapat 24 foto, yang mewakili 8 lokasi penelitian. Setiap lokasi penelitian diwakili oleh 3 buah foto, berupa hamparan karang dan jenis-jenis ikan karang. Foto-foto tersebut dinilai oleh responden sebanyak 50 responden, dimana selama penelitian didapat 8 orang wisatawan asing (16 persen) dan 42 wisatawan lokal termasuk didalamnya adalah pelaku wisata, penyelam dan aparatur bidang kelautan dan perikanan serta pariwisata (84 persen). Dari 50 responden yang didapat, 25 orang bisa menyelam dan memiliki sertifikat menyelam (50 persen) dan 25 orang tidak bisa menyelam dan tidak memiliki
sertifikat menyelam (50 persen). Nilai visual objek wisata bahari (SBE) untuk masing-masing lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 31. Perhitungan nilai SBE untuk foto lanskap menunjukkan bahwa nilai tertinggi SBE yang diperoleh adalah 119.73 dan nilai terendah adalah 0. Dari sebaran nilai SBE untuk semua foto yang dinilai, kemudian diklasifikasi menjadi 3 yaitu nilai SBE tinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana (simplified rating) dengan rumus:
I
Nilai tertinggi ' nilai terendah Jumlah kelas
Sehingga kelas interval untuk foto yang diambil adalah: I
119.73 ' 0 3
Berdasarkan hasil pengklasifikasian dengan menggunakan jenjang sederhana tersebut didapatkan nilai sebaran dengan kategori tinggi, sedang dan rendah. Nilai SBE berdasarkan kategori disajikan dalam Tabel 32. Tabel 32. Pengelompokan nilai SBE berdasarkan kategori tinggi, sedang dan rendah. Sebaran nilai SBE Kategori 0.00 - 39.91 Rendah 39.92 - 79.83 Sedang 79.84 - 119.75 Tinggi Nilai SBE yang diperoleh akan menjadi petunjuk untuk melihat seberapa besar minat responden terhadap foto landscape ekosistem terumbu karang yang mereka lihat dan ini menjadi gambaran tentang seberapa besar minat wisatawan terhadapekosistem terumbu karang yang ada di lokasi tersebut. 5.4.4. Kesesuaian Kawasan Terumbu Karang untuk Wisata Bahari Kategori Selam. Pengembangan wisata bahari memerlukan kesesuaian sumberdaya dan lingkungan pesisir, sesuai dengan kriteria yang disyaratkandengan tujuan untuk mendapatkan kesesuaian karakteristik sumberdaya wisata. Kesesuaian karakteristik
sumberdaya
dan
lingkungan
untuk
pengembangan
wisata
mempertimbangkan aspek keindahan alam, keamanan, keterlindungan kawasan, keanekaragaman biota, keunikan sumberdaya/lingkungan dan aksesibilitas.
Kegiatan wisata yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukkannya. Pengembangan wisata bahari kategori selam mengandalkan sumberdaya laut dan bawah laut sebagai objek. Ada 6 parameter yang menentukan kesesuaian karakteristik sumberdaya untuk wisata bahari kategori selam (diving), yaitu kecerahan perairan, tutupan komunitas karang, jenis life-form karang, jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang (Yulianda et al. 2010). Umumnya lokasi penelitian memiliki tiga parameter lingkungan yaitu kecerarahan perairan, kedalaman perairan dan kecepatan arus yang dikategorikan sangat baik untuk melakukan diving. Sementara tiga parameter lainnya (tutupan komunitas karang, jenis life-form karang, jenis ikan karang) bervariasi. Hal ini akan berpengaruh kepada penentuan kesesuaian suatu lokasi wisata bahari. Parameter Indeks Kesesuaian Wisata Bahari dan hasil analisis matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam disajikan dalam Lampiran 3 dan Lampiran 4. Lokasi yang dikategorikan “sangat sesuai” untuk diving memiliki nilai IKW 83-100 persen sedangkan lokasi yang dikategorikan “cukup sesuai” (S2) memiliki nilai IKW 50-<83 persen. Berdasarkan nilai IKW yang diperoleh maka tiga lokasi penelitian yaitu DPL Indip (94.44 persen), DPL Imburnos (85.19 persen) dan DPL Warasmus (94.44 persen) dikategorikan sebagai lokasi yang “sangat sesuai” (IKW 83-100) untuk diving. Sedangkan lima lokasi lainnya memiliki kategori cukup sesuai (IKW 50-<83 persen) untuk diving, masing-masing dengan nilai IKW yaitu DPL Ikwan iba (77.78), DPL Yendesner (74.07), DPL Tanadi (79.63), DPL Mansaswar (79.63) dan DPL Kormansiwin (74.07). Kesesuaian wisata bahari kategori selam di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 33. Tabel 33. Kesesuaian wisata bahari kategori selam. No. DPL IKW (%) 1 Indip 94.44 85.19 2 Imburnos 3 Warasmus 94.44 4 Ikwan iba 77.78 5 Yendesner 74.07 6 Tanadi 79.63 7 Mansaswar 79.63 8 Kormansiwin 74.07 Sumber: Hasil olahan data sekunder.
Kategori S1 S1 S1 S2 S2 S2 S2 S2
Keterangan Sangat sesuai Sangat sesuai Sangat sesuai Cukup sesuai Cukup sesuai Cukup sesuai Cukup sesuai Cukup sesuai
Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai parameter yang diperoleh memenuhi kategori baik, yaitu persentase kecerahan (100 persen), life cover coral di DPL Indip (84 persen) dan DPL Warasmus (82 persen) dan DPL Imburnos (62 persen), jumlah jenis life-form berturut-turut DPL Imburnos (27 jenis), DPL Warasmus (24 jenis) dan DPL Indip (24 jenis) dan kecepatan arus yang rendah (13 cm/detik) di DPL Indip dan (14 cm/detik) di DPL Warasmus dan DPL Imburnos (12 cm/detik), pada kedalaman yang sangat baik (6-7 meter). Walaupun persentase tutupan komunitas karang hidup di DPL Imburnos hanya 62 persen namun tingginya jumlah jenis life-form (27 jenis) yang dimiliki menjadikan lokasi ini memiliki kategori sangat sesuai untuk wisata diving. Sebaliknya DPL Ikwan iba memiliki persentase tutupan komunitas karang tertinggi (88 persen) jika dibandingkan dengan tujuh stasiun lainnya tetapi lokasi ini hanya memiliki kategori ‘cukup sesuai’ (S2) untuk wisata bahari diving. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan jumlah jenis life-form karang di lokasi tersebut yang tergolong kecil/rendah (4 jenis life-form karang), sebagai salah satu parameter penentu karakteristik lokasi wisata diving. Semakin tinggi kesesuaian area (S1 dan S2) maka nilai daya dukung akan semakin tinggi. Kawasan yang memiliki tingkat kesesuaian berbeda maka pemanfaatannya akan berbeda pula dalam hal penerimaan jumlah wisatawan (Davis dan Tisdel 1996; Scheleyer dan Tomalin 2000; Zakai dan Chadwick 2002: de Vantier dan Turak 2004). 5.4.5. Daya Dukung Kawasan Terumbu Karang untuk WisataBahari Kategori Selam. Daya Dukung Kawasan (DDK) adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal, yaitu (1) kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, dan (2) keaslian sumberdaya alam (Yulianda 2010). . Potensi ekologis pengunjung dihitung berdasarkan area yang digunakan untuk beraktifitas dan alam masih mampu untuk mentolerir kehadiran pengunjung. Menurut peraturan selam internasional, potensi ekologis untuk
kegiatan wisata bahari kategori selam adalah 2 orang untuk 2 000 meter persegi areal terumbu karang. Daya jelajah seorang penyelam tergantung pada ketersediaan oksigen dalam tangki tabung yang rata-rata habis dalam waktu 1 jam penyelaman dan dapat melakukan pergerakan di bawah laut kurang lebih sepanjang 200 meter dengan jelajah samping selebar 10 meter. Dampak yang ditimbulkan oleh 2 orang penyelam pada kawasan 2000 meter persegi merupakan dampak maksimal yang dapat ditolerir oleh terumbu karang (Yulianda 2010). Dalam hal ini, luasan karang dalan tiap DPL diasumsikan sebagai lebar hamparan karang yang dapat dimanfaatkan sebagai lokasi diving. Luasan terumbu karang yang dapat dimanfaatkan untuk wisata bahari diving mempertimbangkan kondisi komunitas karang. Jika kondisi komunitas karang di suatu kawasan baik dengan tutupan 84 persen maka luas area selam di terumbu karang yang dimanfaatkan adalah 84 persen dari luas hamparan terumbu karang. Persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung kawasan. Daya dukung kawasan DPL untuk wisata bahari kategori selam dapat dilihat pada Tabel 33 dan perhitungan daya dukung kawasan disajikan dalam Lampiran 5. Tabel 33. Daya dukung kawasan untuk wisata bahari kategori selam. No. 1 2 3 4 5 6 7 8
DPL Indip Imburnos Warasmus Ikwan iba Yendersner Tanadi Mansawar Kormansiwin
Luas Terumbu Karang (m2) 133 800 110 100 127 500 2 233 300 197 800 42 500 10 900 105 000
Luas Terumbu Karang yang dapat dimanfaatkan (m2) 112 392 68 262 104 550 1 965 304 142 416 27 200 7 957 61 950
DDK (Total/hari) 450 273 418 7 861 570 109 32 248
Sumber: Hasil olahan data sekunder.
Pemanfaatan perairan kawasan terumbu karang di tiap lokasi sebagai kawasan wisata bahari hendaknya mengacu kepada daya dukung lokasi penyelaman, karena degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan penyelaman telah dinilai dalam hal penurunan persentase life hard coral cover atau meningkatnya kerusakan karang (Schleyer dan Tomalin 2000). Kerusakan terumbu karang akan menjadi minimal jika suatu kawasan dikelola
dengan pemanfaatan dibawah konsep daya dukung, dan sebaliknya apabila pemanfaatannya diatas daya dukung, akan sangat meningkatkan kerusakan terumbu karang (Hawkins dan Roberts 1993). Daya dukung ekowisata tergolong spesifik dan lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan (biofisik dan sosial) terhadap kegiatan pariwisata dan pengembangannya (Mc Neely 1994). Daya dukung ekowisata juga diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh sarana prasarana objek wisata jika terjadi kemerosotan sumberdaya, kepuasan pengunjung tidak terpenuhi dan akan memberi dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya (Ceballos - Lascurain 1991; Simon et al. 2004). Perhitungan daya dukung lebih sering diterapkan untuk batas kegiatan wisata (Clark 1996 in Yulianda et al.2010). Konsep daya dukung digunakan untuk mengurangi dampak kerusakan dari kegiatan selam di Great Barrier Reef Australia dengan menghasilkan nilai daya dukung 205 orang per hari di area yang luasnya 10.29 Ha (Harriot 2002). Sedangkan penggunaan waktu untuk aktifitas penyelaman diasumsikan bahwa lamanya penyelaman yaitu 300 hari pertahun pada lokasi tertentu setara dengan keberadaan 13 – 20 penyelam perlokasi selam perhari, dengan waktu penyelaman yang baik dalam sehari adalah 8 jam, maka penggunaan waktu terbaik untuk penyelam adalah 2 penyelam perlokasi perjam (Dixon et al. 1993 dan Hawkins et al. 1997).
5.5.
Strategi Pengelolaan Sumberdaya Pengembangan Wisata Bahari.
Terumbu
Karang
untuk
Pentingnya DPL sebagai penopang keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang, sebagai pendukung ekonomi lokal seringkali dinilai rendah, padahal besaran nilai ini berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dan stakeholder dalam alokasi sumberdaya yang efesien dan optimal serta berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya terumbu karang dalam kawasan konservasi dan kemungkinan proses pengembangannya sebagai kawasan wisata bahari, akan berjalan baik jika ada kerjasama antar para stakeholder. Terutama bagi para stakeholder yang berkepentingan dan berpengaruh baik
langsung maupun tidak langsung dalam proses pengelolaan. Tindakan pengontrolan perlu dilakukan terhadap jenis kegiatan yang memanfaatkan kawasan terumbu karang dan upaya pengembangannya yang harus selaras dengan kondisi kawasan. Penentuan keberhasilan atau kegagalan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat di suatu tempat tidak dengan otomatis dapat diterapkan di tempat lain. Kemungkinan kesamaan kondisi sumberdaya alam di dua daerah yang sama persis, namum kerena masyarakatnya berbeda maka pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat akan berbeda pula. Sehingga keberhasilan DPL-BM di suatu daerah tidak dapat langsung di terapkan di daerah lain, perbedaan kondisi ekologi, ekonomi dan sosial budaya di masing-masing daerah mempengaruhi strategi kebijakan yang akan diterapkan (Nikijuluw 2002). Strategi pengembangan wisata bahari untuk diving diarahkan berdasarkan potensi biofisik kawasan. Pariwisata bahari harus dikelola secara seimbang antara tujuan ekonomis dan ekologis dalam menjamin keberlanjutan kegiatan. Sebagai contoh strategi pengelolaan yang dilakukan di Great Barrier Reef Australia dalam mengurangi dampak kerusakan yakni dengan melakukan pembatasan musim, pengukuran ukuran grup wisatawan dengan izin dan kontrol pemandu, penzonasian kawasan serta pengaturan dan pembatasan perizinan pengelolaan (Harriot 2002).
5.5.1. Mengatasi Kerusakan Terumbu Karang. Ekosistem terumbu karang sebagai media wisata mempunyai kapasitas tertentu dalam melangsungkan fungsinya secara berkelanjutan. Berkaitan dengan pemanfaatan non-ekstraktif, dalam hal ini pariwisata, maka upaya pelestarian alam pada ekosistem terumbu karang yang ada hanya akan menampakkan hasil yang diharapkan bila pengembangan pariwisata yang dilakukan terkontrol dengan baik. Sementara perencanaan penggunaan kawasan terformulasikan dengan baik dan benar, serta upaya pemantauan dan pengendalian atas kemungkinan dampak negatif yang timbul dengan selalu melakukan upaya penegakan hukum secara terarah dan konsisten. Karena pada dasarnya unsur-unsur lingkungan hidup dapat dikembangkan sebagai objek wisata bila unsur-unsur lingkungan hidup tersebut
dapat persiapkan secara baik melalui kemampuan manusia dengan sentuhan teknologinya, serta dapat memenuhi kebutuhan wisatawan (Wiharyanto 2007) Dalam rangka pengembangan kawasan wisata bahari perlu diperhatikan kerentanan dari life-form pengisi substrat dasar kawasan yang akan dijadikan lokasi wisata selam, karena masing-masing life-form mempunyai daya tahan yang berbeda terhadap kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas diving. Karang bercabang (coral branching) paling sensitif terhadap dampak dari kegiatan diving yang tak terkontrol dibandingkan dengan karang massive, digitate, submasive ataupun karang lunak (Plathong et al. 2000; Schleyer dan Tomalin 2000; Walters dan Samways 2001; Zakai dan Chadwick-Furman 2002; Hasler dan Ott 2008). Karang lunak nampaknya kurang sensitif dibandingkan dengan jenis life-form lainnya (Rielg dan Rielg 1996; Plathong et al. 2000; Schleyer dan Tomalin 2000; Tratalos dan Austin 2001) dan karang encrusting cenderung paling tidak sensitif (Rielg dan Rielg 1996; Schleyer dan Tomalin 2000). DPL Indip, DPL Warasmus, DPL Ikwan iba dan DPL Yendesner memiliki persentase tutupan karang dari jenis Acropora lebih tinggi (38–42 persen) dari DPL Imburnos, DPL Tanadi, DPL Mansaswar dan DPL Kormansiwin yaitu 12–25 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi diving di DPL Indip, DPL Warasmus, DPL Ikwan iba dan DPL Yendesner memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap dampak kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan selam. Untuk itu pengelolaan wisata bahari di daerah ini sebaiknya dilakukan oleh penyelam atau wisatawan yang sudah memiliki pengalaman. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah dan meminimalisasi degradasi terumbu karang yang ditandai dengan penurunan persentase life hard coral cover atau meningkatnya kerusakan karang akibat kegiatan penyelaman (Schleyer dan Tomalin 2000). Ekosistem terumbu karang adalah suatu kawasan yang cukup rentan terhadap pengembangan kegiatan pariwisata (wisata bahari) yang tidak bertanggung jawab sehingga penggunaan konsep daya dukung digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan kapasitas ekosistem terumbu karang sehingga dapat meminimalisasi bahkan mengurangi kerusakan akibat aktifitas tersebut (Salm 1986). Kerusakan terumbu karang akan menjadi minimal jika pengelolaan kawasan sesuai pemanfaatannya berada di bawah konsep daya
dukung, sebaliknya apabila pemanfaatannya diatas daya dukung maka akan sangat meningkatkan kerusakan terumbu karang (Hawkins dan Roberts 1997). Jika terjadi degradasi sumberdaya maka kepuasan pengunjung tidak terpenuhi dan akan memberikan dampak merugikan terhadap masyarakat, ekonomi dan budaya (Ceballos - Lascurain 1991; Simon et al. 2004). Mengatasi
dampak kerusakan terumbu karang akibat wisata bahari
dapat dilakukan dengan membuat kebijakan sebagai berikut: luasan terumbu karang yang dapat dimanfaatkan di DPL Indip yaitu 112 392 m2 dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 450 orang/hari, luasan terumbu karang DPL Imburnos yang dapat dimanfaatkan 68 262 m2 dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 273 orang/hari, luasan terumbu karang DPL Warasmus yang dapat dimanfaatkan 104 550 m2 dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 418 orang/hari, luasan terumbu karang DPL Ikwan iba yang dapat dimanfaatkan 104 550 m2 dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 418 orang/hari, luasan terumbu karang DPL Yendesner yang dapat dimanfaatkan 142 416 m2 dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 570 orang/hari, luasan terumbu karang DPL Tanadi yang dapat dimanfaatkan 27 200 m2 dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 109 orang/hari, luasan terumbu karang DPL Mansawar yang dapat dimanfaatkan 7 957 m2 dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 32 orang/hari, dan luasan terumbu karang DPL Kormansiwin yang dapat dimanfaatkan 61 950 m2 dengan jumlah pengunjung tidak melebihi 61 950 orang/hari. Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan yang mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikatorindikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Mengingat Snorkelling dan diving merupakan kegiatan wisata yang hampir selalu menghasilkan beberapa kerusakan fisik karang karena penyelam berdiri di atas terumbu karang, fin yang menyentuh karang, berlutut, atau terjadi trampling karena berpegangan ataupun berbenturan dengan karang secara bersamaan (Roger et al. 1988; Allison 1996). 5.5.2. Mengoptimalkan Pengelolaan Wisata Bahari. Pengelolaan terumbu karang yang optimal untuk pengembangan wisata bahari harus memenuhi tiga unsur keberlanjutan yang implementasinya
mencakup tiga aspek yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya (Yulianda 2010). Berdasarkan tiga aspek tersebut diatas dibuat tiga kebijakan, yaitu: 1. Kebijakan Ekologi. Kebijakan ekologi ditekankan pada peningkatan pengelolaan DPL dalam menunjang pengembangan ekowisata bahari dengan melakukan pengontrolan sebagai upaya pencegahan kerusakan terhadap sumberdaya terumbu karang akibat kegiatan wisata. Beberapa strategi yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: a) Mereview penentuan pembagian zonasi kawasan kaitannya dengan pemanfaatan kawasan untuk wisata bahari. b) Meningkatkan serta memperkuat fungsi DPL untuk kepentingan pengembangan ekowisata. c) Melakukan monitoring dan evaluasi kondisi terumbu karang pada lokasi diving mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasanbatasan untuk mengukur dampak pariwisata terhadap terumbu karang. d) Memperkuat karakter landscap, sense of place, dan identitas masyarakat setempat lewat pengelolaan yang terkontrol. e) Kegiatan-kegiatan dan penggunaan lahan seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas yang memberikan kepuasan bagi pengunjung. f)
Mempertimbangkan daya dukung terumbu karang untuk wisata bahari lewat pengaturan jumlah kunjungan wisatawan yang melakukan kegiatan wisata bahari.
2. Kebijakan Ekonomi. Kebijakan ekonomi ditekankan pada keinginan untuk memberikan penyadaran bahwa nilai ekonomis DPL dapat diperoleh dari pengelolaan ekowisata berkelanjutan. Beberapa strategi yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: a) Memberikan
pengertian
kepada
masyarakat,
pengusaha
maupun
pemerintah daerah bahwa besarnya nilai ekonomi terumbu karang lewat kegiatan wisata bahari dapat menyokong perekonomian dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan stakeholder lainnya jika pengelolaan terkontrol dan lestari. b) Meningkatkan bimbingan teknis dan manajemen usaha dan permodalan serta meningkatkan peluang berusaha kepada masyarakat melalui program kemitraan antara pemerintah, swasta dan stakeholder lainnya. Strategi ini dimaksudkan agar masyarakat tidak menggantungkan hidupnya secara langsung pada ekosistem dan sumberdaya terumbu karang.
3. Kebijakan Sosial Budaya. Kebijakan pengelolaan DPL ditekankan pada upaya peningkatan peran serta stakeholder dan peningkatan penyadaran melalui jalur penegakkan hukum, sosial politik dan birokrasi berdasarkan peran masing-masing kelompok/lembaga yang mengacu pada beberapa tahapan: a) Membuat program pengembangan kawasan Distrik Meosmansar sebagai pusat pengembangan wisata bahari di Raja Ampat. b) Menjaga keharmonisan dengan alam dengan cara mengontrol kegiatan pengembangan fasilitas wisata berupa homestay, alat transportasi dan lainlain dan tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam. c) Kebutuhan bidang publikasi dan informasi meliputi: a) Promosi dan publikasi b) Penyusunan paket-paket wisata; c) Studi analisis pasar ekowisata; d) Penyuluhan sadar wisata kepada masyarakat. d) Kebutuhan bidang sumberdaya manusia meliputi: a) Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM bidang ekowisata; b) Pelatihan manajemen pariwisata terhadap masyarakat; c) Pengembangan pendidikan lingkungan hidup baik secara formal maupun informal; d) Pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan program ekowisata. e) Kebutuhan perencanaan pengelolaan ekowisata jangka panjang meliputi: a) Penyusunan rencana pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
berbasis
ekowisata;
dan
b)
Penyusunan
Rencana
Induk
Pengembangan ekowisata. f) Menjaga keharmonisan dan kerjasama antara pengunjung/ wisatawan dan masyarakat dengan melakukan kerja sama dalam wisata budaya atau
cultural tourism partnership yang dapat dilakukan mulai dari tahap perencanaan, manajemen, sampai pada pemasaran. Berdasarkan hasil kajian yang diperoleh dalam penelitian ini maka dihasilkan tiga kebijakan yang diharapkan dapat menjawab strategi pengelolaan terumbu karang secara umum di lokasi penelitian, sebagai upaya untuk pengembangan wisata bahari diving lewat pelaksanaan program kerja dan indikator kinerja yang sudah ditetapkan (Lampiran 12). Adapun tiga kebijakan yang dihasikan yaitu: (1) Optimalisasi pengelolaan terumbu karang (2) Perlindungan ekosistem terumbu karang dan (3) Kualitas hidup masyarakat pesisir. Untuk mencapai optimalisasi pengelolaan terumbu karang, tiga langkah strategi yang dapat dilakukan yaitu: penataan zonasi DPL, meningkatkan partisipasi dan akuntabilitas masyarakat, swasta dan pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang dan penguatan regulasi. Perlindungan ekosistem terumbu karang, dapat dilakukan melalui tiga langkah strategi yaitu: penguatan DPL, pengaturan kegiatan pemanfaatan di kawasan ekosistem terumbu karang, penegakan hukum secara terpadu dan penguatan system monitoring dan controlling berbasis masyarakat. Sementara kebijakan yang berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat, dapat dilakukan dengan tiga langkah strategi yaitu: pemantapan kesadaran masyarakat tentang pentingnya terumbu karang bagi kehidupan, Pemberdayaan masyarakat pesisir dan reposisi mata pencaharian masyarakat pesisir.
6. SIMPULAN SAN SARAN 6.1. Simpulan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan analisis data, serta pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Terumbu karang di delapan kawasan DPL Distrik Meosmansar dapat dikelola untuk pengembangan wisata bahari diving. DPL Indip, DPL Imburnos dan DPL Warasmus adalah kawasan yang ”sangat sesuai” untuk wisata diving. Sedangkan DPL Ikwan iba, DPL Yendesner, DPL Tanadi, DPL Mansaswar dan DPL Kormansiwin ”cukup sesuai” untuk wisata bahari diving. 2. Jumlah pengunjung maksimum yang dapat ditampung kawasan DPL untuk wisata bahari diving adalah DPL Indip (450 org/hari), DPL Imburnos (273 org/hari), DPL Warasmus (418 org/hari), DPL Ikwan Iba (7 861 org/hari), DPL Yendersner (570 org/hari), DPL Tanadi (109 org/hari), DPL Mansawar (32 org/hari) dan DPL Kormansiwin (248 org/hari). 3. Peran stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang kawasan DPL berjalan baik karena memiliki pengetahuan yang baik tentang terumbu karang dan kaitannya dengan pengembangan wisata bahari, namun peran aktif masyarakat sebagai “pelaku wisata” belum dilakukan secara maksimal karena terbatasnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang professional dalam pengelolaan wisata bahari. 6.2. Saran. 1.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan terumbu karang untuk wisata bahari diving dan atau snorkeling untuk kawasan-kawasan pengembangan wisata bahari lainnya.
2.
Daya dukung kawasan adalah dasar pengambilan keputusan dalam menetapkan jumlah wisatawan dan/atau kelompok manapun yang akan melakukan diving dan atau snorkeling yang memanfaatkan terumbu karang dalam kawasan konservasi.
3.
Pemerintah harus lebih berupaya meningkatkan peran aktif masyarakat sebagai pelaku wisata lewat peningkatan keterampilan bisnis, vocational dan professional dalam pengelolaan wisata bahari.
DAFTAR PUSTAKA
Allison W. 1996. Snorkeller damage to reef corals in the Maldive Islands. Coral Reefs 15: 215-218. [Anonim]. 2005. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Kepulauan Raja Ampat (Distrik Waigeo Barat dan Waigeo Selatan). Raja Ampat: Kerja Sama antara Coremap tahap II, Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Raja Ampat dan PT. Edecon Prima Mandiri. Aoyama G. 2000. Pengembangan Eko-tourism di Kawasan Konservasi di Indonesia. Jakarta: JlCA Expert/RAKATA. [BAPPEDA] Badan Penyelenggara Pembangunan Daerah Kab. Raja Ampat. 2010. Raja Ampat: Buku Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Raja Ampat 2010 - 2030. Barker NHL, Roberts CM. 2003. Scuba diver behavior and the management of diving impact on coral reefs. Biological conservation. 120: 481-489. Bater J et al. 2001. Planning for Local Level: Sustainable Tourism Development, Canadian Universities Consortium: Urban Environmental Management Project Training & Technology Transfer Program, Canadian International Development Agency (CIDA). Source: http://www.p2par.itb.ac.id Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Bengen DG, Retraubun ASW. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau - Pulau Kecil. Jakarta: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Borrini-Feyerabend. 1993. Making Partnership with Communities and Other Stakeholder. In : Guidelines for Marine Protected Areas, ed. G. Kelleher. Gland, Switzerland: IUCN. Pp. 29-36. BP KAPET Biak. 2005. Laporan Field Trip ke Pulau Kri Raja Ampat, Papua Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Raja Ampat. 2009. Kecamatan Meosmansar Dalam Angka. Raja Ampat: Katalog BPS : 1403.911403.9108030. [BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Raja Ampat. 2010. Raja Ampat: Hasil Sensus Penduduk 2010 Kabupaten Raja Ampat. Brechin SR,West PC, Harmon D, Kutay K. 1991. Resident peoples and protected areas: a framework for inquiry. In: PC West, SR Brechin, editorial. Resident
peoples and national parks: social dilemmas and strategies in international conservation. Tucson: University of Arizona Press. p. 5–30. Brown K, Tompkins E, Adger WN. 2001. Trade - Off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision Making. Uniersity of East Anglia Norwich: ODG DEA. Bruce D, Hoctor Z, Garrod B, Wilson J. 2002. Planning for Marine Ecotourism in The UE Atlantic Area. META - Project. Bristol: University of The Weat England. Buckley R. 1996. Sustainable Tourism: Technical issues and information needs. Annals of Tourism Research 23: 925-928. Carter JA. 1996. Introduction Couse on Integrated Coastal Zone Management (Training Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Univ. Sumatera Utara Medan dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Univ. Indonesia, Jakarta. Dalhousie University, Environmental Studies Centre Development in Indonesia Project. Ceballos - Lascuarin H. 1991. Tourism, Ecotourism and Protected Areas Park. Sustainable Tourism. 2: 31-3 [COREMAP] Coral Reef Rehabilition and Management Programe II - DKP Kab. Raja Ampat. 2007. Penyusunan Rencana Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Raja Ampat, Jakarta. [COREMAP] Coral Reef Rehabilition and Management Programe – CRITIC Kab. Raja Ampat. 2009. Monitoring Terumbu Karang Daerah perlindungan laut (DPL) Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. [COREMAP] Coral Reef Rehabilition and Management Programe II Kab. Raja Ampat. 2010. Terumbu Karang Sehat, Ikan Berlimpah, Masyarakat Sejahtera. Jurnal Dua Bulan. Edisi 1 Agustus. Craik W, R Kenchington, G Kelleher. 1990. Coral-reef Management. In: Coral Reefs. Dubinsky [editorial]. Ecosystems of the World 25, pp. 453 - 467. Elsevier. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum. Daniel TC, Bostes RS. 1976. Measuring Lanscape Esthetic: The Scenic Beauty Estimation Method. USDA Forest Service. Davis D, Tisdell C. 1995. Recreational SCUBA Diving and Carrying Capacity in Marine Protected Area. J Ocean and Coastal Management 26:19-40.
Dawes CJ. 1984. Marine Botany. John and Sons, Inc. New York, 628p. De Vantier L, Turak E. 2004. Managing Marine Tourism in Bunaken National Park and Adjacent Waters. North Sulawesi: Technical Report was prepared by the Natural Resources Management (NRM III) Program”s Protected Areas and Agriculture Team (PA & A). [Dinkebudpar] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Raja Ampat. 2009. Profil Ragam Wisata Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. [Dinkebudpar] Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Raja Ampat. 2010. Jumlah Kunjungan Wisatawan di Kabupaten Raja Ampat. Dirawan GD. 2003. Analisis Sosio-Ekonomi dalam Pengembangan Ekotourisme pada Kawasan Suakamarga Satwa Mampie Lampoko. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Dixon J, Scura L, Van Thof T. 1993. Meeting Ecological and Economic Goalsmarine Parks in The Caribbean. Ambio 22:117-125. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Raja Ampat. 2009. Profil Jejaring Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Erdmann MV, Pet J. 2002. A Rapid Marine Survey of the Northern Raja Ampat Islands. Henry Foundation/ The Nature Conservancy/ NRM/ EPIQ June 2002. Fandeli C. 2000. Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata. Dalam: Fandeli C dan Mukhlison [Editorial]. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. 3-12 Fenner D. 2002. Reef corals of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. Part 2. Comparison of individual survei sites. In: S.A. McKenna, G.R. Allen and S. Suryadi (eds.) A marine rapid assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. Washington, DC: Bulletin of the Rapid Assessment Program 22, Conservation International. Gunn CA. 1994. Tourism Basic, Concept, Cases, Third Edition. London: Taylor and Francis Ltd Harriott VJ. 2002. Marine Tourism impacst and their management on the Great Barrier Reef. Townsville: CRC Reef Research Center and Tehnical Report No 46. Hasler H, Ott JA. 2008. Diving down the reefs? Intensive diving tourism threatens the reef of the northern Red Sea. Marine pollution Bulletin 56: 1788-1794. Hawkins JP, Roberts CM. 1993. Effects of recreational diving on coral reefs. Trampling of reef flat communities. Applied Ecology 30: 25-30.
Hawkins JP, Robert CM. 1997. Estimating The Carryng Capacity of Coral Reefs for SCUBA Diving. Proceeding of The Eight International Coral Reef Symposium 2, 1923 - 1926. Hawkins J et al. 1999. Effects of recreational scuba diving on Caribbean coral and fish communities. Conservation Biology 13 : 888-897. Hough JL. 1988. Obstacles to Effective Management of Conflicts Between National Parks and Surrounding Human Communities in Developing Countries. Environmental Conservation 15: 129 – 136. Jacobson SK, Marynowski SB. 1997. Public Attitudes and Knowledge About Ecosystem Management on Department of Defense Land in Florida. Conservation Biology 11: 770-781. Jameson SC, Ammar MSA, Saadalla E, Mostafa HM, Riegl B. 1999. A Coral Damage Indeks and Its Application to Diving Sites in The Egyptian Red Sea. Coral Reefs 18:333 - 339. Jones OA, Endean R. 1973. Biology and Geology of Coral Reef. Vol. 1: Geology 1. Academic Press, New York. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Pedoman umum pemanfaatan kawasan konservasi perairan untuk pariwisata alam perairan. Jakarta. Penerbit: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. ISBN 978-60298450-3-7 Khakim N. 2009. Kajian Tipologi Fisik Pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta Untuk Mendukung Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lim LC. 1998. Carryng Capacity Assessment Pulau Payar Marine Park, Malaysia. Bay of Bengal Programme, Madras India 129p. McKenna SA, Allen GR, Suryadi S[editorial]. 2002. A Marine Rapid Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. RAP Bulletin on Biological Assessment 22. Washington DC: Conservation International. Mc Neely JA. 1994. An Introduction to Protected Area Economics and Policy (In Protected Area Economic And Policy, Munangsihe, M and JA. Mc Neelye eds. 1 - 11) The World Bank, Washington DC. Mehta JN, Heinen JT. 2001. Does Community - Based Conservation Shape Favorable Attitudes Among Locals. An Empirical Study From Nepal. Environmental Management 28: 165 – 177. Newmark WD, Leonard NL, Sariko HI, Gamassa DM. 1992. Conservation Attitudes of Local People Living Adjacent to Five Protectec Areas in Tanzania. Biologiocal Conservation 63: 177-183.
Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. PT. Pustaka Cidesindo. Nugroho I. 2004. Buku Ajar Ekotourism. Fakultas Pertanian. Malang: Universitas Widyagama. Nurfatriani F, Evida YS. 2003. Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat Lokal (Local Community Based Management Of Ecotoursm). Buletin Penelitian dan pengembangan Kehutanan (Forestry Research an Development Bulletin) No.1 Thn 2003. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. [Alih bahasa]: H.M Edman, Koesoebione, D Bengen, M Hutomo, S Sukardjo. Jakarta. Penerbit: PT. Gramedia. [Pemda] Pemerintah Daerah Kab. Raja Ampat, TNC, WWF, BKSDA. 2005. Report On A Rapid Ecological Assessment Of The Raja Ampat Islands, Papua, Eastern Indonesia Held October 30 – November 22, 2002 [Pemda] Pemerintah Daerah Kab. Raja Ampat. 2006. Atlas Sumberdaya Pesisir, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat. Plathong S, Inglis G, Huber M. 2000. Effects of self-guided snorkelling trails on corals in a tropical marine park. Conservation Biology 14: 1821 - 1833. Pollnac RB, Crawford Br, Gorospe MGL. 2001. Discovering Factors That Influence the Succes of Community based marine Protected Areas in The Visayas, Philippines. Ocean and Coastal Management 44: 683-710. Pomeroy RS, Williams MJ. 1994. Fisheries Co-Management and Small Scale Fisheries : a Policy Brief. Manila: ICLRAM. 15.P. Rielg B, Rielg A. 1996. Studies on coral community structure and damage as a basis for zoning marine reserves. Biological Conservation 77: 269-277. Rogers C, McLain L, Zullo E. 1988. Damage to coral reefs in Virgin Islands National Park and Biosphere Reserve from recreational activities. Pages 2:405- 410. Proceedings of the Sixth International Coral Reef Symposium. Salm RV. 1986. Coral Reef and Tourism carrying capacities: The Indian Oceans Experience. UNEP Industry and Environment Jan/Feb/Mar 9:11-14 Schleyer MH, Tomalin BJ. 2000. Damage On South African Coral Reefs And An Assesment Of Their Sustainable Diving Capacity Using A Fisheries Approach. Bulletin of Marine Science 67 : 1025-1042. Sekartjakrarini. 2003. Pengelolaan dan Pengembangan Eco-Tourism di Taman Nasional: Pengembangan Model Pengelolaan Taman Nasional Gunung
Halimun. [seminar dan lokakarya] 18-19 Februari 2003. Bogor. LIPI-JICABTNGH. [Sekda] Sekretaris daerah Kab. Raja Ampat [Bagian Hukum]. 2009. Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati tentang Kawasan Konservasi Laut dan Pengelolaan Kepariwisatawan Daerah kabupaten Raja Ampat. Setiawati I. 2000. Pengembangan Ekowisata Bahari. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan wilayah Pesisir terpadu Bogor, 21-26 Februari 2000. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB). Simon FJG, Narangajavana Y, Marques DP. 2004. Carrying Capacity in The Tourism Industry: A case Study of Hengisbury Head. Tourism Management 25: 275-283. Sudarto G. 1999. Ekowisata: Wahana Pelestarian Alam, Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yayasan Kalpataru Bahari. Suharsono, Yosefine MI. 1994. Perbandingan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Nyamuk Besar dan Pulau Onrust Tahun 1929, 1985 dan 1993 dan hubungannya dengan Perubahan Perairan Teluk Jakarta. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Jakarta, 7 September 1994. Puslitbang Oseanologi-LIPI Jakarta : 81 – 89. Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Jakarta. Tampi I. 2008. Laporan Kondisi DPL di Kabupaten Raja Ampat. COREMAP Kab. Raja Ampat: Marine Conservation Area and Fisheries Specialist (MCA/FS) [TERANGI] Terumbu Karang Indonesia. 2005. Buku Panduan Pelestarian Terumbu Karang. Selamatkanlah Terumbu Karang Indonesia. Terangi The Indonesian Coral Reef Foundation. Jakarta: TERANGI 113 hlm. Thamrin. 2006. Biologi Reproduksi dan Ekologi Karang. Minamandiri Pres. [TNC] The Nature Conservation, WWF. 2003. Report on a Rapid Ecological Assessment of the Raja Ampat Islands, Papua, Eastern Indonesia, held October 30 – November 22, 2002. Tratalos J, Austin T. 2001. Impacts of recreational SCUBA diving on coral communities of the Caribbean island of Grand Cayman. Biological Conservation 102: 67-75.
Turak E. 2001. Corals and Reef status in the far Northwest of Madagascar. In: Marine RAP survei of northwest Madagascar. Bulletin of the Rapid Assessment Program, Conservation International, Washington, DC. Turak E, Wakeford M, Done T. 2002. Banda Islands rapid ecological assessment, May 2002: Assessment of coral biodiversity and coral reef health. In: P.J. Mous (ed), Report on a rapidecological assessment of the Banda Islands, Maluku, Eastern Indonesia. 28th April – 5th May 2002. TNC and UNESCO publication, 150pp. Turak E. 2002. Assessment of coral biodiversity and coral reef health of the Snagihe-Talaud Islands, North Sulawesi, Indonesia, 2002. The Nature Conservancy report. Veron JEN. 1986. Corals in Space and Time. The Biogeography and Evolution of The Scleractinia. Cornell, Univ. Press. Veron JEN. 2002. Reef corals of the Raja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. Part 1. Overview of Scleractinia. In: S.A. McKenna, G.R. Allen and S. Suryadi (eds.) A marine rapid assessment of theRaja Ampat Islands, Papua Province, Indonesia. Bulletin of the Rapid Assessment Program 22, Conservation International, Washington, DC. Walters R, Samways M. 2001. Sustainable dive ecotourism on a South African coral reef. Biodiversity and Conservation 10: 2167-2179. Wibisono MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo). Jakarta. Wiharyanto. 2007. Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove di Kawasan Konservasi Pelabuhan Tengkayu II Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur (Tesis). Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB, Bogor. Yuditrinurcahyo M. 2005. Kajian Persepsi Masyarakat Terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota Kendal. Tesis UNDIP Semarang. Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi (Seminar Sains), Dept. MSP, FPIK, IPB. Yulianda F et al. 2010. Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Penerbit: Pusdiklat Kehutanan-Departemen Kehutanan RI. SECEM-Korea Internasional Cooperation Agency. Zakai D, Chadwick-Furman NE. 2002.Impacts of intensive recreational diving on reef corals at Eiliat, northern Red Sea. Biology Conservation 105: 179-187.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jumlah famili dan jenis karang di lokasi penelitian. FAMILI No.
Indip
Imburnos
Warasmus
Ikwan iba
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + -
+
DPL Yendesner
Tanadi
Mansaswar
Kormansiwin
+ -
+ + + + + -
+ + + + + + -
+ + -
+ -
I. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 25 30 31 32 33 34 35 36 37
SPESIES ACROPORIDAE Acroporaacuminata Acroporaclatharata Acroporacytherea Acroporadigitifera Acroporaflorida Acroporaformosa Acroporahyacinthus Acroporaloripes Acroporanobilis Acroporapalifera Acroporarobusta Acroporasecale Acroporavalenciennesi Acroporayongei Acroporadivaricata Acroporaechinata Acroporamicrophthalma Acroporasubglabra Acroporaaspera Acroporabrueggemanni Acroporapaniculata Acroporanasuta Acroporagranulosa Acroporaelseyi Montiporagrisea Montiporaaequituberculata Montiporafoliosa Montiporaincrisata Montiporaefflorence Montiporadanae Montipora sp. Montiporavenosa
II 38
PECTINIIDAE Mycediumelephantotus
-
+
+
-
-
-
-
-
III 39
EUPHYLLIDAE Euphylliaglabrescens
-
-
-
-
-
-
+
-
IV 40 41
AGARICCIDAE Pachyserisspeciosa Pavonavarians
+ -
+
+ -
+
-
+ -
-
-
V 44
OCULINIDAE Galaxeafascicularis
+
-
-
-
-
-
-
-
VI 45
MUSSIDAE Lobophylliahemprichii
-
-
-
-
-
+
-
-
VII 46
ALCYONIDAE Sinularia sp.
+
+
-
-
-
-
-
-
VIII
FAVIIDAE
-
47 48 49 50 51 52 53
Echinoporalamellosa Echinoporahorida Faviastelligera Faviaspeciosa Goniastreaaustraliensis Goniopora sp. Platygyradaedalea
-
+ + -
+ -
-
-
+ + + +
-
-
IX 54 55 56 57 58 59
FUNGIDAE Fungiaconcinna Fungiafungites Heliofungiaactiniformis Fungiaechinata Fungiarepanda Herpolithalimax
+ -
+ -
-
-
-
+ + + -
+ + + + +
-
X 60 61 62 63 64 65 66 67
PORITIDAE Porites cylindrical Poritescylindrica Porites lichen Poritesnigrescens Poritesrus Poriteslutea Poritesnigrescens Porites cylindrical
+ + -
+ + + + -
+ + + + -
-
+ -
+ -
-
+ -
XI 68
ALCYONIINAE Sarcophyton sp.
-
+
+
-
-
-
-
-
XII 69 70 71 72 73
POCILLOPORIDAE Seriatoporacaliendrum Seriatoporahystrix Stylophorapistillata Pocilloporadamicornis Pocilloporaverrucosa
-
+ + + -
+ + + -
+ -
+ -
+ + -
+ -
+
XIII 74
HELIOPORIDAE Helioporacoerulea
-
-
+
-
+
-
-
-
XIV 75
XENIIDAE Xenia sp.
-
-
+
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
+
_
-
XV MERULINIDAE 76 Merulinaampliata Sumber: Hasil olahan data sekunder.
Ket: + = ada di temukan jenis ikan karang - = tidak ada di temukan jenis ikan karang
Lampiran 2. Jumlah famili dan jenis ikan karang di lokasi penelitian. 1
2
3
4
5
6
7
8
I 1 2 3 4 5 6 7 8
FAMILI SPESIES ACANTHURIDAE Acanthurus auranticavus Acanthurus lineatus Acanthurus nigricans Acanthurus pyroferus Ctenochaetus binotatus Ctenochaetus striatus Naso lituratus Zebrasoma scopas
+ + + + + -
+ + + + + + +
+ -
+ -
+ + + + + + +
+ -
+ + -
+ + + +
Target Target Target Target Target Target Target Target
II 9 10 11 12 13 14 15 16
APOGONIDAE Apogon aureus Apogon cyanosoma Apogon multilineatus Apogon sealei Cheilodipterus lineatus Cheilodipterus quinquelineatus Sphaeramia nematoptera Sphaeramia orbicularis
-
+ + -
+ + + -
-
-
-
-
+ + + +
Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor
III 17
AULOSTOMIDAE Aulostomus chinensis
-
-
-
-
-
-
+
-
Mayor
IV 18 19 20 21 22
BALISTIDAE Balistapus undulatus Balistoides conspicillum Melichthys vidua Odonus niger Rhinecanthus verrucosus
+ -
+ -
+ +
+ + -
-
+ -
-
+ +
Mayor Mayor Mayor
V 23 24 25 26 27 28 29 30
CAESIONIDAE Caesio caerulaurea Caesio cuning Caesio teres Caesio xanthonota Pterocaesio pisang Pterocaesio spp. Pterocaesio tessellata Pterocaesio tile
+ +
+ + +
+ + + +
+ + +
+ +
+ +
+ + +
+ +
Target Target Target Target Target
VI 31 32
CARANGIDAE Caranx melampygus Caranx sexfasciatus
+
+ +
+
+
-
-
+
+
Target Target
VII 33 34 35 -36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 -46 47 48
CHAETODONTIDE Chaetodon baronessa Chaetodon bennetti Chaetodon citrinellus Chaetodon collare Chaetodon ephippium Chaetodon guentheri Chaetodon guttatissimus Chaetodon kleinii Chaetodon lunula Chaetodon melannotus Chaetodon meyeri Chaetodon octofasciatus Chaetodon ornatissimus Chaetodon rafflesii Chaetodon semeion Chaetodon speculum
+ + + + + + -
+ + + + +
+ + + + -
+ + + -
+ + -
+ -
+ + + + -
+ + + + + +
Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator
No.
DPL
+ + -
Kelompok
49 50 51 52 53 54 55 56 57
Chaetodon trifascialis Chaetodon trifasciatus Chaetodon ulietensis Chaetodon unimaculatus Chaetodon vagabundus Chelmon rostratus Heniochus acuminatus Heniochus monoceros Heniochus varius
+ + --
+
+ +
+
+ + -
+ + -
+ +
+ +
Indikator Indikator Indikator Indikator
DIODONTIDAE Diodon spp.
+
-
-
-
-
-
-
-
Mayor
IX 59
EPHIPPIDE Platax teira
-
-
-
-
-
-
-
-
-
X 60
HAEMULIDAE Plectorhinchus lineatus
-
-
+
-
-
-
-
+
Target
XI 61 62 63 64
HOLOCENTRIDAE Myripristis hexagonatus Myripristis kuntee Myripristis vittata Sargocentron caudimaculatum
+
-
+ +
-
+ +
+
+ -
+
Mayor Mayor
XII 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88
LABRIDAE Anampses meleagrides Bodianus axillaris Bodianus diana Bodianus mesothorax Cheilinus chlorourus Cheilinus fasciatus Cheilinus trilobatus Cheilinus undulatus Choerodon anchorago Cirrhilabrus cyanopleura Epibulus insidiator Gomphosus varius Halichoeres chloropterus Halichoeres hortulanus Halichoeres melanurus Halichoeres scapularis Hemigymnus fasciatus Hemigymnus melapterus Labroides dimidiatus Stethojulis strigiventer Thalassoma amblycephalum Thalassoma hardwicke Thalassoma jansenii Thalassoma lunare
+ + + + + + + + + +
+ + + + + + + +
+ + + + + + +
+ + + + + +
+ + + + + + + + -
+ + + + +
+ + + + + + +
+ + + + + + + + + + + +
Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target
XIII 89
LETHRINIDAE Monotaxis grandoculis
-
-
+
-
-
-
-
-
Target
XIV 90 91 92 93 94 95 96
LUTJANIDAE Lutjanus adetii Lutjanus biguttatus Lutjanus carponotatus Lutjanus decussatus Lutjanus fulviflammus Lutjanus fulvus Lutjanus gibbus
+ +
+ + +
+ + + -
+ -
-
+ + -
+ -
+ + +
Target Target Target Target Target
XV
MULLIDAE
VIII 58
97 98 99 100
Parupeneus barberinus Parupeneus bifasciatus Parupeneus multifasciatus Upeneus tragula
+ + + -
+ -
+ + -
+ + -
XVI 101 102 103 104 105 106
NEMIPTERIDAE Pentapodus caninus Pentapodus trivittatus Scolopsis bilineatus Scolopsis ciliatus Scolopsis lineatus Scolopsis margaritifer
+ -
+ + +
+ + + +
XVII 107
POMACANTHIDAE Centropyge bicolor
-
-
Centropyge multifasciatus Centropyge tibicen Centropyge vrolikii Chaetodontoplus mesoleucus Pomacanthus sp Pomacanthus navarchus Pomacanthus sexstriatus Pygoplites diacanthus
+ +
108 109 110 111 112 113 114 115 XVIII 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152
POMACENTRIDAE Abudefduf bengalensis Abudefduf septemfasciatus Abudefduf sexfasciatus Abudefduf sp Abudefduf vaigiensis Amblyglyphidodon curacao Amblyglyphidodon leucogaster Amblyglyphidodon aureus Amblyglyphidodon spp. Amphiprion clarkii Amphiprion polymnus Chromis amboinensis Chromis lineata Chromis retrofasciata Chromis ternatensis Chromis viridis Chromis xanthura Chrysiptera cyanea Chrysiptera hemicyanea Chrysiptera rollandi Chrysiptera talboti Dascyllus aruanus Dascyllus melanurus Dascyllus reticulatus Dascyllus spp. Dascyllus trimaculatus Dischistodus perspicillatus Neoglyphidodon melas Neoglyphidodon nigroris Neopomacentrus azysron Plectroglyphidodon lacrymatus Pomacentrus chrysurus Pomacentrus coelestis Pomacentrus lepidogenys Pomacentrus moluccensis Pomacentrus spp. Premnas biaculeatus
+ -
+ -
+ + +
+ -
Target Target Target -
+ + + +
-
+ + +
+ + +
+ + +
Target Target Target Target Target Target
-
-
-
-
-
-
-
+ + +
+ +
+ + + +
+ + + +
+ + + + +
+ + + +
-
Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor
-
-
+
-
-
-
-
-
+ + + + +
+ + + + + +
+ + + + -
+ -
+ + + +
+ + -
+ + + + + + -
+ + +
Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor
+ + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + + +
+ + + + + + -
+ + + + + + + -
+ + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + -
+ + + + + + + + + + -
Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor -
-
-
-
-
XIX 153 154 155 156 157 158 159
SCARIDAE Chlorurus sordidus Scarus bleekeri Scarus dimidiatus Scarus ghobban Scarus niger Scarus schlegeli Scarus sp
+ + +
+ + +
+ + + +
+
-
+ + -
+ + + +
+ + + + +
Mayor Mayor Mayor Mayor Mayor
XX 160
SCORPAENIDAE Pterois volitans
-
-
-
+
-
-
-
-
Mayor
XXI 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172
SERRANIDAE Anyperodon leucogrammicus Cephalopholis boenak Cephalopholis cyanostigma Cephalopholis miniata Cephalopholis urodeta Cromileptes altivelis Diploprion bifasciatum Epinephelus merra Pseudanthias huchtii Pseudanthias squamipinnis Pseudanthias tuka Variola louti
+ + + + -
+ + + + +
+ + + -
+ + + -
+ -
+ + -
+ + + + -
+ + + + + + + -
Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target Target
XXII 173 174 175 176
SIGANIDAE Siganus doliatus Siganus puellus Siganus virgatus Siganus vulpinus
+ +
+ +
+ + +
-
-
+ +
+
+
+ +
+
+
Target Target Target
XXIII 177
TETRAODONTIDAE Canthigaster solandri
-
-
-
-
-
-
-
--
-
ZANCLIDAE Zanclus cornutus
+
-
-
+
+
+
+
+
Mayor
XXIV 178
Sumber: COREMAP II – CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Ket: + = ada di temukan jenis ikan karang - = tidak ada di temukan jenis ikan karang
Pengelompokan ikan ke dalam 3 Kelompok. St. 1 2 3 4 5 6 7 8
DPL
Indip Imburnos Warasmus Ikwan iba Yendersner Tanadi Mansaswar Kormansiwin Jumlah
Ikan Mayor 14 677 29 556 19 835 20 316 64 078 109 437 20 916 15 598 294 440
Sumber: COREMAP II – CRITC Kab. Raja Ampat 2009.
Kelimpahan Ikan (jml/ind) Ikan Target 4 323 4 844 8 965 6 004 2 562 84 083 3 564 6 482 120 800
Ikan Indikator 6 200 11 280 6 640 6 640 34 720 6 720 3 120 5 760 81 080
Lampiran 3. Parameter Indeks Kesesuaian Wisata Bahari.
No
DPL
Kecerahan Perairan (%)
Tutupan komunitas karang hidup (%)
∑ Jenis lifeform karang
∑ Jenis Ikan karang
Kecepatan Arus (cm/det)
Kedalaman terumbu karang (m)
Lebar hamparan datar karang (Ha)
84 62
24 6
63 68
13 12
20 20
13.38 11.01
1 2
Indip Imburnos
100 100
3 4
Warasmus Ikwan iba
100 100
82 88
24 4
65 46
14 13
25 10
12.75 223.33
5 6
Yendesner Tanadi
100 100
72 64
8 19
40 44
13 13
15 20
19.78 4.25
7 8
Mansaswar Kormansiwin
100 100
73 59
10 4
62 68
13 14
20 20
1.09 10.50
Lampiran 4. Hasil analisis matriks kesesuaian wisata bahari kategori selam. DPL Indip No
Parameter
DPL Imburnos
DPL Warasmus
Bobot
DPL Ikwan iba
DPL Yendesner
DPL Tanadi
DPL Mansaswar
DPL Kormansiwin
Skor
N
Skor
N
Skor
N
Skor
N
Skor
N
Skor
N
Skor
N
Skor
N
1
Kercerahan Perairan
5
3
15
3
15
3
15
3
15
3
15
3
15
3
15
3
15
2
Tutupan Komunitas Karang (%)
5
3
15
2
10
3
15
3
15
2
10
2
10
2
10
2
10
3
∑ Jenis Life Form Karang
3
3
9
3
9
3
9
1
3
2
6
3
9
2
6
1
3
3
2
6
2
6
2
6
1
3
1
3
1
3
2
6
2
6
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
4
5
6
∑ Jenis Ikan Karang Kecepatan Arus (cm/det) Kedalaman Terumbu Karang (m) ∑ N
46
51
∑ N Max IKW Kategori
51
42
40
43
43
40
54
54
54
54
54
54
54
54
94.44
85.19
94.44
77.78
74.07
79.63
79.63
74.07
S1
S1
S1
S2
S2
S2
S2
S2
IKW 83 – 100 % =
S1
( sangat sesuai )
IKW 50 – < 83 % =
S2
( cukup sesuai )
IKW < 50 % =
S3
( tidak sesuai )
Lampiran 5. Perhitungan Daya Dukung Kawasan wisata bahari kategori selam. Tutupan Karang Hidup (%) 84
Lp (m2)
Lt
Wp (jam)
Wt (jam)
112 392
2 000
8
2
450
1
Indip
2
Luas terumbu karang (m2) 133 800
2
Imburnos
2
110 100
62
68 262
2 000
8
2
273
3
Warasmus
2
127 500
82
104 550
2 000
8
2
418
4
Ikwan iba
2
2 233 300
88
1 965 304
2 000
8
2
7 861
5
Yendersner
2
197 800
72
142 416
2 000
8
2
570
6
Tanadi
2
42 500
64
27 200
2 000
8
2
109
7
Mansawar
2
10 900
73
7 957
2 000
8
2
32
8
Kormansiwin
2
105 000
59
61 950
2 000
8
2
248
No.
DPL
K
Perhitungan: DDK untuk stasiun 1 (DPL Indip) = 2 x (Lp/Lt) x (Wp/Wt) = 2 x (112 392/2 000) x (8/4) = 450 (total/hari)
DDK (Total/hari)
Lampiran 6. Kuisioner Scenic ic Beauty Estimation (SBE). Kuisioner Penelitian PENGELOLAAN SUMBE ERDAYA TERUMBU KARANG DALAM KAWASAN PENGEMBANGA AN WISATA BAHARI KKLD SELAT DAMPIR KABUPATEN K RAJA AMPAT
----------------------------------------------------------------------------------------------------A. Pengantar Berikut ini disampaikan dafta ftar pertanyaan kepada Bapak/Ibu/Saudara/Saudari. Mo ohon bantuannya untuk membe eri keterangan dengan menjawab pertanyaan da alam kuisioner ini. Adapun kete terangan yang didapat akan sangat bermanfaat bagi b penyusunan tesis yang be berjudul “Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Kara arang Dalam Kawasan Pengemb bangan Wisata Bahari KKLD Selat Dampir Kabupa paten Raja Ampat. Atas kesediaan an dan bantuannya diucapkan terima kasih.
B. Identitas Responden 1. Nama : 2. Umur : 3. Pekerjaan : C. Petunjuk Pengisian 1. Berilah nilai pada kolom m yang di sediakan dengan menentukan skor 1, 2, 3, 4 4, 5, 6, 7, 8, 9, atau 10 untuk gamba bar yang ditampilkan. Nilai 10 berarti paling di sukai/in indah sedangkan nilai 1 paling tidak k di sukai/jelek. Mohon kesediaannya untuk diisi ses esuai dengan keadaan yang Bapak/Ib Ibu/Saudara/Saudari alami atau ketahui. Skor Responden (Nilai Ketertarika ikan No.
Gamba bar
1
Stasiun un 1
1
2
3 4
5
6 7
8
9
1 10
2
3
Stasiun 2
4
5
Stasiun 3
7
8
9
Stasiun 4
10
11
12
Stasiun 5
13
14
15
Stasiun 6
16
17
18
Stasiun 7
19
20
21
Stasiun 8
22
23
24
Lampiran 7. Tabulasi data hasil pemberian skor pada masing-masing photo untuk Analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) Skor
Nomor Photo
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jumlah Responden
1
0
0
0
0
1
7
12
22
6
2
50
2
0
0
0
0
0
10
26
10
4
0
50
3
0
0
0
0
2
11
20
14
3
0
50
4
0
0
0
0
4
10
19
16
1
0
50
5
0
0
0
0
2
9
20
14
5
0
50
6
0
0
0
0
3
10
24
11
2
0
50
7
0
0
0
0
1
7
11
20
10
1
50
8
0
0
0
0
2
11
20
14
3
0
50
9
0
0
0
0
2
9
11
12
14
2
50
10
0
0
0
0
2
8
12
15
12
1
50
11
0
0
0
0
1
7
10
16
14
2
50
12
0
0
0
0
5
10
19
11
5
0
50
13
0
0
0
0
0
10
16
20
4
0
50
14
0
0
0
0
4
6
19
18
3
0
50
15
0
0
0
0
0
5
25
10
10
0
50
16
0
0
1
2
10
16
16
5
0
0
50
17
0
0
0
0
1
7
22
14
6
0
50
18
0
0
0
1
3
14
19
11
2
0
50
19
0
0
0
0
0
10
15
13
11
1
50
20
0
0
0
0
3
10
24
11
2
0
50
21
0
0
0
0
1
10
22
11
5
1
50
22
0
0
0
0
0
7
11
13
16
3
50
23
0
0
0
0
0
2
14
17
13
4
50
24
0
0
0
5
7
12
14
10
2
0
50
Lampiran 8. Hasil analisis Scenic Beauty Estimation (SBE) terhadap 24 photo sebagai objek wisata bahari selam. Photo 1 Skor
f
1
Photo 3
Photo 2
cp 1.0000
Z
0
cf 50
Skor
f
cf
Z
50
cp 1.0000
2
0
50
1.0000
3
0
50
1.0000
4
0
50
5
1
6
7
Skor 1
f
1
0
cf 50
cp 1.0000
Z
0
4.26
2
4.26
3
0 0
50
1.0000
50
1.0000
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
4.26
3
0
50
1.0000
1.0000
4.26
4
0
50
4.26
1.0000
4.26
4
0
50
1.0000
50
1.0000
4.26
5
0
4.26
50
1.0000
4.26
5
2
50
1.0000
49
0.9800
2.05
6
10
4.26
50
1.0000
4.26
6
11
48
0.9600
1.75
7
12
42
0.8400
0.99
7
26
40
0.8000
0.84
7
20
37
0.7400
0.64
8
22
30
0.6000
0.25
8
10
14
0.2800
-0.58
8
14
17
0.3400
-0.41
9
6
8
0.1600
-0.99
9
4
4
0.0800
-1.41
9
3
3
0.0600
-1.55
10
2
2
0.0400
0.00
10
0 50
0
0.0000
0.00
10
0
0.0000
0.00
ΣZ =
20.18
0 50
ΣZ =
17.49
Z=
2.24
Z=
1.94
∑= SBE =
50
ΣZ =
19.35
Z=
2.15
∑= SBE =
89.02
SBE =
98.20
Photo 4 Skor
cp 1.0000
Z
1
cf 50
Skor
f
cf
Photo 6 Z
50
cp 1.0000
1
0
2
0
50
1.0000
3
0
50
1.0000
4.26
2
4.26
3
0
50
1.0000
0
50
1.0000
4
0
50
1.0000
4.26
4
0
50
5
4
50
1.0000
4.26
5
2
6
10
46
0.9200
1.41
6
7
19
36
0.7200
0.58
8
16
17
0.3400
-0.41
9
1
1
0.0200
-2.05
9
10
0
0
0.0000
0.00
10
SBE =
50
ΣZ =
16.58
Z=
1.84
Skor 1
f
cf 50
cp 1.0000
Z
0
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
4.26
3
0
50
1.0000
4.26
1.0000
4.26
4
0
50
1.0000
4.26
50
1.0000
4.26
5
3
50
1.0000
4.26
9
48
0.9600
1.75
6
10
47
0.9400
1.55
7
20
39
0.7800
0.77
7
24
37
0.7400
0.64
8
14
19
0.3800
-0.31
8
11
13
0.2600
-0.64
5
5
0.1000
-1.28
9
2
2
0.0400
-1.75
0
0
0.0000
0.00
10
0
0
0.0000
0.00
ΣZ =
18.00
∑=
50
ΣZ =
16.86
Z=
2.00
Z=
1.87
SBE =
58.24
50
∑=
SBE =
73.95
Photo 7 Skor
cp 1.0000
Z
1
cf 50
Skor
f
cf
1
0
2
0
50
1.0000
3
0
50
1.0000
4.26
2
4.26
3
4
0
50
1.0000
4.26
5
1
50
1.0000
6
7
49
7
11
8 9 ∑= SBE =
Photo 9 Z
50
cp 1.0000
0 0
50
1.0000
50
1.0000
4
0
50
4.26
5
2
0.9800
2.05
6
42
0.8400
0.99
20
31
0.6200
10
11
0.2200
1
1
50
92.23
61.37
Photo 8
f 0
10
68.29
Photo 5
f 0
∑=
∑=
Skor 1
f
cf 50
cp 1.0000
Z
0
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
4.26
3
0
50
1.0000
4.26
1.0000
4.26
4
0
50
1.0000
4.26
50
1.0000
4.26
5
2
50
1.0000
4.26
11
48
0.9600
1.75
6
9
48
0.9600
1.75
7
20
37
0.7400
0.64
7
11
39
0.7800
0.77
0.31
8
14
17
0.3400
-0.41
8
12
28
0.5600
0.15
-0.77
9
3
3
0.0600
-1.55
9
14
16
0.3200
-0.47
0.0200
0.00
10
0.0000
0.00
10
0.0400
0.00
ΣZ =
17.49
2 50
2
19.64
0 50
0
ΣZ =
ΣZ =
19.27
Z=
2.18
Z=
1.94
Z=
2.14
∑= SBE =
68.29
∑= SBE =
88.06
Photo 10 Skor 1
cf 50
cp 1.0000
2
0
50
1.0000
3
0
50
1.0000
4.26
4
0
50
1.0000
5
2
50
1.0000
6
8
48
7
12
8
15
9 10
Skor
f
cf
1
0
50
2
0 0
50
1.0000
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
3
50
1.0000
4.26
3
0
50
1.0000
4.26
4.26
4
0
50
1.0000
4.26
4
0
50
1.0000
4.26
4.26
5
50
1.0000
4.26
5
5
50
1.0000
4.26
0.9600
1.75
6
1 7
49
0.9800
4.26
6
10
45
0.9000
1.28
40
0.8000
0.84
7
10
42
0.8400
0.99
7
19
35
0.7000
0.52
28
0.5600
0.15
8
16
32
0.6400
0.36
8
11
16
0.3200
-0.47
12
13
0.2600
-0.64
9
14
16
0.3200
-0.47
9
5
5
0.1000
-1.28
1
1
0.0200
-2.05
10
2
2
0.0400
-1.75
10
0
0.0000
0.00
ΣZ =
12.84
∑=
50
ΣZ =
20.46
0 50
ΣZ =
17.12
Z=
1.43
Z=
2.27
Z=
1.90
50
∑=
Photo 12
Photo 11
f 0
Z
SBE =
SBE =
16.68
Skor
f
cf
cp
1
0
50
1.0000
cp 1.0000
Z
∑= SBE =
101.32
Photo 13
Skor 1
f
cf
0
50
Z
64.18
Photo 15
Photo 14 Z
cp 1.0000
Skor
f
cf
cp
1
0
50
1.0000
2
50
1.0000
Z
Skor
f
cf
cp
1
0
50
1.0000
Z
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
4.26
3
50
1.0000
4.26 4.26
2
0
50
1.0000
4.26
3
0
50
1.0000
4.26
3
0 0
50
1.0000
4
0
50
1.0000
4.26
4
0
50
1.0000
4.26
4
0
50
1.0000
5
0
50
1.0000
4.26
5
4
50
1.0000
4.26
5
0
50
1.0000
4.26
6
10
50
1.0000
4.26
6
6
46
0.9200
1.41
6
5
50
1.0000
4.26
7
16
40
0.8000
0.84
7
19
40
0.8000
0.84
7
25
45
0.9000
1.28
8
20
24
0.4800
-0.05
8
18
21
0.4200
-0.20
8
10
20
0.4000
-0.25
9
4
4
0.0800
0.00
9
3
3
0.0600
-1.55
9
10
10
0.2000
-0.84
10
0
0
0.0000
0.00
10
0
0.0000
0.00
10
0.0000
22.12
ΣZ =
17.55
0 50
0
ΣZ =
0 50
Z=
2.46
Z=
1.95
∑=
50
SBE =
11 9.7 3
∑=
SBE =
69.00
Photo 16
∑=
0
f
cf
cp
1
0
50
1.0000
2
0
50
1.0000
3
1
50
1.0000
4
2
49
5
10
6
Z
21.51
Z=
2.39
SBE =
113.01
Skor
f
cf
cp
1
0
50
1.0000
Photo 18
Photo 17
Skor
0.00
ΣZ =
Skor
f
cf
cp
Z
1
0
50
1.0000
Z
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
4.26
3
0
50
1.0000
4.26
3
0
50
1.0000
4.26
0.9800
2.05
4
0
50
1.0000
4.26
4
1
50
1.0000
4.26
47
0.9400
1.55
5
1
50
1.0000
4.26
5
3
49
0.9800
4.26
16
37
0.7400
0.64
6
7
49
0.9800
2.05
6
14
46
0.9200
1.41
7
16
21
0.4200
-0.20
7
22
42
0.8400
0.99
7
19
32
0.6400
0.36
8
5
5
0.1000
-1.28
8
14
20
0.4000
-0.25
8
11
13
0.2600
-0.64
9
0
0
0.0000
0.00
9
6
6
0.1200
-1.17
9
2
2
0.0400
-1.75
10
0
0
0.0000
0.00
10
0
0
0.0000
0.00
10
0
0
0.0000
0.00
∑=
50
ΣZ =
11.30
∑=
50
ΣZ =
16.43
Z=
1.26
Z=
1.83
SBE =
0
SBE =
81.55
ΣZ =
18.68
Z=
2.08
∑= SBE =
50
56.55
Photo 19 f
cf
cp
1
0
50
1.0000
2
0
50
1.0000
3
0
50
1.0000
4
0
50
1.0000
4.26
4
5
0
50
1.0000
4.26
5
6
10
50
1.0000
4.26
7
15
40
0.8000
8
13
25
9
11
10
1
∑=
50
SBE =
Photo 21
Photo 20
Skor
Z
Skor
f
cf
cp
Skor
f
1
0
50
1.0000
cf
cp
1
0
50
1.0000
4.26
2
1.0000
3
0 0
50
4.26
50
1.0000
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
4.26
3
0
50
1.0000
4.26
50
1.0000
4.26
4
0
50
1.0000
0 3
4.26
50
1.0000
4.26
5
1
50
1.0000
6
4.26
10
47
0.9400
1.55
6
10
49
0.9800
0.84
2.05
7
24
37
0.7400
0.64
7
22
39
0.7800
0.5000
0.77
0.00
8
11
13
0.2600
-0.64
8
11
17
0.3400
-0.41
12 1
0.2400
-0.71
9
2
2
0.0400
-1.75
9
5
6
0.1200
-1.17
0.0200
-2.05
10
0
0.0000
0.00
10
1
0.0200
0.00
ΣZ =
19.41
∑=
ΣZ =
16.86
∑=
ΣZ =
18.30
Z=
2.16
Z=
1.87
Z=
2.03
89.62
0 50
Z
SBE =
61.37
Skor
f
cf
cp
1
0
50
1.0000
0 0
50
1.0000
50
1.0000
Photo 22
SBE =
1 50
77.31
Photo 24
Photo 23
Skor
f
cf
cp
1
0
50
1.0000
Z
Z
Z
Skor
f
cf
cp
1
0
50
1.0000
Z
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
4.26
3
0
50
1.0000
4.26
4.26
4
4.26
2
0
50
1.0000
4.26
2
3
0
50
1.0000
4.26
3
4
0
50
1.0000
4.26
4
0
50
1.0000
5
50
1.0000
5
0
50
1.0000
4.26
5
0
50
1.0000
4.26
5
7
45
0.9000
1.28 0.71
6
7
50
1.0000
4.26
6
2
50
1.0000
4.26
6
12
38
0.7600
7
11
43
0.8600
1.08
7
14
48
0.9600
1.75
7
14
26
0.5200
0.05
8
13
32
0.6400
0.36
8
17
34
0.6800
0.47
8
10
12
0.2400
-0.71
9
16
19
0.3800
-0.31
9
13
17
0.3400
-0.41
9
2
2
0.0400
-1.75
10
3
3
0.0600
-1.55
10
4
4
0.0800
-1.41
10
0
0
0.0000
0.00
∑=
50
ΣZ =
20.90
∑=
50
ΣZ =
21.73
∑=
50
ΣZ =
12.38
Z=
2.32
Z=
2.41
Z=
1.38
SBE =
106.26
SBE =
115.39
SBE 11.51 =
Lampiran 9. Kuisioner Anali alisis Keterlibatan Stakeholder Kuisioner Penelitian PENGELOLAAN SUMBE ERDAYA TERUMBU KARANG DALAM KAWASAN PENGEMBANGA AN WISATA BAHARI KKLD SELAT DAMPIR KABUPATEN K RAJA AMPAT
----------------------------------------------------------------------------------------------------A. Pengantar Berikut ini disampaikan dafta ftar pertanyaan kepada Bapak/Ibu/Saudara/Saudari. Mo ohon bantuannya untuk membe eri keterangan dengan menjawab pertanyaan da alam kuisioner ini. Adapun kete terangan yang didapat akan sangat bermanfaat bagi b “Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Kara penyusunan tesis yang berjudul be arang Dalam Kawasan Pengemb bangan Wisata Bahari KKLD Selat Dampir Kabupa paten Raja Ampat. Atas kesediaan an dan bantuannya diucapkan terima kasih.
B. Identitas Responden 1. Nama : 2. Umur : 3. Pekerjaan : 4. Instansi : C. Daftar Pertanyaan 1. Isilah tabel dibawah ini dengan de menggunakan nilai skor (1 = rendah, 2 = sed dang dan ,3 = tinggi) pada a kolom 3 dan 4 sesuai penilaian anda terha adap stakeholder/Pemangku kepentingan ke lainnya yang memiliki pengaruh dan kepentingan dalam pengelo elolaan sumberdaya terumbu karang dalam Kawasan D DPL di Distrik Meosmansar
No
Stakeholder/Pem emangku kepentinga gan
1 1
2 PT. Papua Diving g
2
Dinkebubpar Raja aja Ampat
3
DKP Raja Ampat
4
Pemerintah Desa a
5
Tokoh masyaraka kat
6
COREMAP
7
LPSTK
8
Masyarakat lokal
Tingkat pengaruh
Tingkat kepentinga gan
3
4
2. Isilah tabel dibawah ini dengan de memberi tanda contreng (√) pada kolom yan yang tersedia dengan terlebih dulu du membaca pernyataan yang ada dalam daftar pertanyaan.
Lampiran 9. (Lanjutan). No
Fenomena
1 1.
2 Persepsi masyarakat tentang terumbu karang
2
Persepsi masyarakat tentang pengelolaan terumbu karang
Pertanyaan (Indikator) 3 • Mengetahui fungsi terumbu karang • Mengetahui manfaat terumbu karang untuk wisata diving • Mengetahui aturan yang melarang pengrusakan terumbu karang
• Mengetahui pengelolaan terumbu karang oleh PT. Papua Diving untuk wisata diving • Mengetahui lokasi diving (dive site) PT. Papua Diving • Menyetujui dan mendukung keberadaan PT. Papua Diving • Mendukung pengelolaan wisata diving oleh PT. Papua Diving
ya
tidak
4
5
Lampiran 10. Gambar homestay dan tempat wisata di Distrik Meosmansar.
Gambar 1. Homestay Mongkurkodon
Gambar 2. Fasilitas homestay Mangkurkodon
Gambar 3. Homestay Kobeoser
Gambar 4. Fasilitas homestay Kobeoser
Gambar 5. Homestay Inbefort
Gambar 6. Memberi makan ikan karang di Homestay Inbefort
Lampiran 10. (Lanjutan).
Gambar 7. Welcome to Bed Bird of Paradise, Sawinggrai
Gambar 8. Homestay di Arborek
Gambar 9. Homestay milik masyarakat Yenbuba
Gambar 10. Tempat makan di homestay Ransiwor
Gambar 11. Homestay milik masyakat Yenbuba di P. Kri
Gambar 12. Pembangunan homestay oleh masyarakat Yenbuba
Lampiran 11. Fasilitas dan biaya inap di homestay yang tersebar di Distrik Meosmansar. ∑ rata-rata kunjungan wisatawan (org/tahun) 100
Biaya inap+makan (org/malam)
Waktu inap (hari)
Rp.500.000,-
3,5,7
No
Homestay
Jumlah kamar
1
Mangkurkodon
4
Yenbuba
2
Inbefort
5
Sawinggrai
200
Rp.500.000,
3,5,7
3
2
Yenwaupnor
100
Rp.500.000,
3,5,7
4
Yayasan Kobe Oser Yenwaupnor
2
Yenwaupnor
100
Rp.500.000,
3,5,7
5
Arborek
2
Arborek
100
Rp.500.000,
3,5,7
6
Ransiwor
4
Yenbuba
100
Rp.500.000,
3,5,7
7
Sawandarek
2
Sawandarek
100
Rp.500.000,
3,5,7
Lokasi
Fasilitas yang di sediakan kan oleh Homestay Mangkurkodon Activity Room rate (incl. 3 meals) Large room w/ veranda (incl. 3 meals) Longboat rental Longboat rental (12 hours) Snorkeling gear rental (masker, snorkel, fin) Guide (not incl. long boat rental): ■ Snorkeling ■ Birdwatching (Bird of Paradise) ■ Waterfall ■ Manta ray ■ Cave ■ Picturesque scenery
Rate Rp 350,000/night/person Rp 450,000/night/person Rp 200,000/trip/person (1 trip max. 6 hrs) Rp 300,000/day/person Rp 100,000/day/person
Rp 200,000/person Rp 150,000/person Rp 150,000/person Rp 200,000/person Rp 200,000/person Rp 200,000/person
Lampiran 12. Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang untuk pengembangan wisata bahari. Kebijakan Optimalisasi pengelolaan terumbu karang
Strategi Penataan zonasi DPL
Program Kerja 1. Penyusunan program pemanfaatan dan pengembangan kawasan DPL sesuai peruntukannya 2. Keserasian jenis kegiatan berdasarkan zonasi. 1. Penyusunan system pengelolaan terumbu karang yang melibatkan semua pihak. 2. Fasilitasi pembinaan teknis dalam pengendalian dampak terhadap ekosistem terumbu karang
Indikator Kinerja 1. Tingkat konflik kepentingan pemanfaatan kawasan pesisir dan laut 2. Tingkat keserasian aktivitas di DPL 1. Jumlah pihak yang terlibat aktif dalam menjaga dan mengelola terumbu karang .
Penguatan regulasi berkenaan dengan pengelolaan terumbu karang
1. Penyusunan atau penyempurnaan peraturan tentang pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan 2. Sosialisasi peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan terumbu karang 3. Menyediakan bantuan hukum untuk mendukung masyarakat pesisir membuat dan mengesahkan peraturan tingkat desa (Perdes) berkenaan dengan pengelolaan terumbu karang oleh masyarakat
1. Tingkat kelengkapan regulasi daerah untuk pengelolaan kawasan terumbu karang
Penguatan Daerah Perlindungan Laut (DPL)
1. Identifikasi dan Inventarisasi ekosistem terumbu karang. 2. Penyusunan management plan DPL. 3. Pengembangan kawasan DPL. yang lestari dan berkelanjutan.
Pengaturan kegiatan pemanfaatan di kawasan ekosistem terumbu karang
1. Pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan konservasi dan wisata bahari 2. Penyusunan peraturan mengenai tata pemanfaatan sumberdaya untuk wisata bahari 1. Penetapan sanksi hukum dan sanksi sosial yang tegas bagi orang yang merusak ekosistem terumbu karang 2. Penyusunan system keamanan lingkungan berbasis masyarakat yang efektif di kawasan ekosistem terumbu karang 3. Bekerjasama dengan institusi hukum guna mengefektifkan dan mengefisienkan proses hukum
1. Tingkat kelengkapan data ekosistem dan kondisi terumbu karang 2. Tingkat luasan kawasan ekosistem terumbu karang yang berkondisi baik 3. Tingkat karakter landscap kawasan 1. Intensitas kegiatan wisata bahari yang merusak ekosistem terumbu karang
Meningkatkan partisipasi dan akuntabilitas masyarakat, swasta, dan pemerintah dalam pengelolaan terumbu karang
Perlindungan ekosistem terumbu karang
Penegakan hukum secara terpadu
Penguatan sistem monitoring, controlling, berbasis masyarakat
Kualitas hidup masyarakat pesisir
Pemantapan kesadaran masyarakat tentang pentingnya terumbu karang bagi kehidupan
1. Penyiapan perangkat dan tata laksana pengawasan 2. Pengadaan sarana dan prasarana pengawasan 3. Menjalin dan memelihara jaringan kerjasama dengan institusi pengawas lainnya. 1. Pengembangan sistem komunikasi dan informasi tentang pentingnya terumbu karang bagi kehidupan 2. Sosialisasi tentang manfaat ekonomi terumbu karang lewat kegiatan wisata bahari
1. Tingkat pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang berkondisi baik 2. Tingkat pelanggaran pemanfaatan ekosistem terumbu karang
1. Tingkat pelanggaran perusakan ekosistem terumbu karang 2. Tingkat pemanfaatan ruang 3. Tingkat kolaborasi para stakeholder dalam pengawasan kawasan 1.Tingkat partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan terumbu karang di wilayahnya 2. Tingkat kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan terumbu
Pemberdayaan masyarakat pesisir
Reposisi mata pencaharian masyarakat pesisir
3. Sosialisasi tentang dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang tidak terkontrol 4. Kerjasama dengan media massa untuk kebutuhan publikasi dan informasi.. 1. Bantuan permodalan untuk pengembangan usaha ekonomi masyarakat pesisir 2. Pelatihan aspek manajerial usaha ekonomi masyarakat pesisir sebagai pelaku wisata 3. Pengembangan sistem investasi dan peluang usaha yang sinergis dengan pengelolaan terumbu karang 4. Peningkatan ketrampilan masyarakat pesisir melalui pelatihan dan magang
karang yang bersifat non ekstraktif 3. Tingkat pemanfaatan sumberdaya terumbu karang 4. Tingkat promosi paket wisata 1. Tingkat pendapatan rumah tangga masyarakat pesisir 2. Pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir 3. Tingkat pengangguran masyarakat pesisir
1. Identifikasi mata pencaharian dan peluang usaha yang produktif dan sinergis dengan pengelolaan terumbu karang 2. Pengembangan kerjasama kemitraan dengan industri pariwisata 3. Pengembangan usaha alternatif untuk masyarakat pesisir
1. Tingkat keragaman usaha masyarakat pesisir 2. Tingkat kesejahteran masyarakat pesisir 2. Tingkat pendapatan rumah tangga masyarakat pesisir