AKUNTABILITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG DI SELAT LEMBEH, KOTA BITUNG
TASLIM ARIFIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul:
Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung merupakan gagasan dan karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2008
Taslim Arifin C26102005.1
RINGKASAN TASLIM ARIFIN. Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA, DIETRIECH G. BENGEN, VICTOR P.H. NIKIJULUW, dan UNGGUL AKTANI Kawasan Selat Lembeh, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup beragam diantaranya adalah terumbu karang (coral reef). Potensi tersebut mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Selat Lembeh, sehingga perlu dikelola secara optimal tanpa menimbulkan kerusakan. Kebijakan yang menjamin keberlanjutan pengelolaan terumbu karang terasa sulit tanpa memperhatikan faktor akuntabilitas melalui kajian secara multidimensi. Pada dasarnya permasalahan utama pembangunan pada kawasan terumbu karang adalah pengelolaannya belum optimal sehingga mengakibatkan terjadinya konflik pemanfaatan. Tujuan utama penelitian ini adalah menelaah akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengkajian terhadap halhal sebagai berikut: (1) Kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan serta peruntukan kawasan terumbu karang yang dapat dikembangkan di Selat Lembeh, (2) Dimensi dan atribut yang dapat mencerminkan akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, dan (3) Sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh. Untuk mengkaji permasalahan akibat beragamnya kegiatan masyarakat pesisir yang memiliki potensi terumbu karang cukup tinggi, maka dilakukan pendekatan secara terpadu berbasis ekosistem, dan multidimensi. Beberapa alat (tools) analisis yang digunakan, adalah Analisis Komponen Utama (PCA), Analisis Faktorial Koresponden (CA), ArcView 3.2, Rap-Insus-COREMAG dan Stella Ver 8.0. Hasil penggunaan analisis tersebut diharapkan dapat memberikan telaah secara komprehensif tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh, Kota Bitung. Kondisi terumbu karang di Selat Lembeh tergolong buruk sampai dengan baik sekali. Terumbu karang tidak ditemukan di lokasi Aertembaga, dimana pada lokasi tersebut terdapat aktifitas pelabuhan, baik pelabuhan perikanan, pelabuhan domestik dan pelabuhan container, serta merupakan daerah padat industri. Komunitas karang di Papusungan dan Manembo-Nembo mengalami degradasi kearah kepunahan. Persentase penutupan karang hidup yang termasuk kategori baik sekali hanya dapat dijumpai di Kareko yang letaknya di sebelah utara Selat Lembeh. Penyebab degradasi karang di Selat Lembeh diduga disebabkan karena menurunnya kondisi perairan setempat akibat aktivitas industri, aktivitas pelabuhan dan aktivitas manusia. Hasil Analisis matriks korelasi data karakteristik lingkungan perairan di kawasan Selat Lembeh memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama dari tiga sumbu adalah tinggi, yaitu 73,144%. Stasiun Tandurusa dan Papusungan dicirikan oleh parameter pH, kekeruhan, BOD5, dan nitrat yang tinggi, hal tersebut diduga
bahwa pada lokasi tersebut telah terjadi masukan zat-zat/bahan-bahan yang dapat menurunkan kualitas perairan. Stasiun Pasir Panjang, Paudean, Tanjung Merah, Batulubang, Makawidey, Kareko, dan Mawali dicirikan oleh parameter substrat, salinitas, ammonia, dan kecepatan arus yang tinggi. Berdasarkan hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) memperihatkan informasi utama sebaran dari kategori benthic lifeforms pada setiap lokasi pengamatan, bahwa penyebaran lifeforms terpusat pada 3 sumbu faktor utama (F1, F2 dan F3) yang masingmasing sumbu mampu menjelaskan sebesar 38,99 %, 28,86 % dan 15,14 % dari ragam total. Berdasarkan hasil analisis peruntukan kawasan terumbu karang sebagai kawasan konservasi, diperoleh hasil bahwa lokasi Aertembaga, Manembo-Nembo, Mawali, Papusungan, dan Batulubang termasuk kategori tidak sesuai dengan skor rata-rata berkisar 16,5. Lokasi Tandurusa termasuk sesuai bersyarat dengan skor 54. Lokasi Lirang, Nusu dan Paudena termasuk kategori sesuai dengan skor rata-rata antara 70-76. Lokasi Kasawari, Makawidey, Tanjung Merah, Kareko, Binuang, Pintu Kota, Batuwoka, dan Pasir Panjang termasuk kategori sangat sesuai dengan skor rata-rata 88 - 100. Untuk pengembangan pariwisata bahari diperoleh lokasi yang tidak sesuai yaitu Aertembaga, Manembo-nembo, Papusungan dan Batulubang dengan skor rata-rata 235. Lokasi kategori sesuai yaitu Kasawari, Makawidey, Tandurusa, Lirang, Nusu, Kareko, Binuang, Pintu Kota, Batuwoka, dan Mawali dengan skor rata-rata 560. Lokasi kategori sangat sesuai yaitu Tanjung Merah, Paudean dan Pasir Panjang. Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG yang bersifat multidimensi, yaitu gabungan semua atribut dari empat dimensi yang dianalisis menghasilkan nilai indeks akuntabilitas sebesar 57,07 pada skala akuntabilitas 0 – 100. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan analisis terhadap 45 atribut dengan 4 dimensi, pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh termasuk kategori cukup akuntabel, dengan nilai indeks akuntabilitas > 50. Untuk mengetahui dimensi mana yang memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-Insus-COREMAG pada setiap dimensi. Nilai indeks akuntabilitas untuk dimensi ekologi adalah sebesar 70,67 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 47,04 untuk lokasi pesisir Bitung. Hal ini menunjukkan bahwa indeks akuntabilitas dimensi ekologi Pulau Lembeh cukup akuntabel, sedangkan pesisir Bitung termasuk kategori kurang akuntabel. Berdasarkan analisis leverage menunjukkan bahwa atribut ”kondisi perairan, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan, persentase penutupan karang, spesies endemik, dan sedimentasi” memiliki tingkat sensitivitas yang relatif lebih tinggi, sedangkan atribut ”keanekaragaman ikan karang” memiliki tingkat sensitivitas yang relatif lebih rendah dari atribut lainnya. Nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi sebesar 43,22 untuk Pulau Lembeh dan 33,22 untuk lokasi pesisir Bitung. Nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi lebih kecil daripada nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi dan termasuk kedalam kategori ”kurang akuntabel”. Rendahnya nilai indeks dimensi teknologi ini disebabkan karena masih adanya penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Berdasarkan hasil analisis leverage terdapat empat atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi yaitu, jenis alat tangkap dengan nilai 3,25, selektivitas alat tangkap dengan nilai 2,88, dan tipe kapal dengan nilai 2,72.
Nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi sebesar 61,64 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 40,89 untuk lokasi Pesisir Bitung. Berdasarkan hasil analisis leverage, terdapat 5 (lima) atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi yaitu waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang, ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah, memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, zonasi peruntukan lahan, dan potensi konflik. Nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan sebesar 47,95 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 16,20 untuk lokasi pesisir Bitung. Nilai indeks tersebut termasuk kategori kurang untuk Pulau Lembeh dan buruk untuk Pesisir Bitung. Atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan yaitu tokoh panutan dengan nilai 5,82, pemegang kepentingan utama dengan nilai 4,30, koperasi dengan nilai 3,08 dan tradisi/budaya dengan nilai 2,89. Berdasarkan skenario kondisi saat ini, diperoleh bahwa sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang akan mengalami penurunan pada 5 tahun ke depan. Meskipun nilai indeks ekologi memperlihatkan nilai yang cukup akuntabel namun tidak dibarengi oleh peningkatan dimensi lainnya, hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Apabila kondisi tersebut diperbaiki maka akan meningkatkan sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang sampai 20 tahun ke depan. Kata kunci: Akuntabilitas, Keberlanjutan, Pengelolaan terumbu karang
ABSTRACT TASLIM ARIFIN. Accountability and Sustainability Study of Coral Reef Management in Lembeh Strait, Bitung. Supervisors : DEDI SOEDHARMA, DIETRIECH G. BENGEN, VICTOR P.H. NIKIJULUW and UNGGUL AKTANI Lembeh Strait, under the administration of Bitung city, North Sulawesi Province has a rich variety of marine & coastal resources including coral reefs. Sustainable management of these natural richness is required since the resources play important role to populations living around Lembeh strait which are dependant on marine resources for their livelihoods. Development in coral reef area faces management problem leading to conflict of use. An attempt to include accountability factor using multidimensional approach is needed to implement sustainable policy for coral reefs more effectively. The main objective of this study is to examine the accountability and sustainability of coral reef management in Lembeh strait. An integrated approach based on ecosystem and multi-dimension factors were applied to investigate anthropogenic activities in the coral reef area. Methods of analysis used in this study, were Principle Component Analysis (PCA), Correspondent Analysis (CA), ArcView 3.2, Rap-Insus-COREMAG and Stella Ver 8.0. The excellent condition of coral reef in Lembeh Strait was observed in Kareko and Posokan (Acropora Non-Acropora), whereas poor condition was found in Papusungan, Manembo-nembo and Aertembaga. Results of PCA and CA analysis showed that coral reefs located nearby the port and industrial area were relatively poor as indicated by environmental quality parameter values. Result of zoning analysis showed that Lembeh Strait is suitable for both marine protected and marine tourism areas. Examination on accountability factor resulted in positive contribution of institutional dimension to sustainability index of coral reef management. Attributes revealed to give impact on accountability factor were prominent figure in the society, main interest holder in the society, joint venture institution and tradition / culture. According to assessment of three dimensions (ecology, technology and socio-economic), ecological dimension showed the highest sustainability index, whereas technology dimension showed the lowest value. The integration of marine protected area and marine tourism area can be further developed as coral reef management policy in Lembeh strait. Based on Rap-Insus-COREMAG analysis some sensitive attributes must be considered to support coral reef management policy, i.e. waters condition, endemic species, fishing gears & their selectivity, vessel type, duration of coral reef resources use, dependency level on fisheries aspect as livelihood & historical, cultural and art aspect of local society on marine resources. It is also concluded that a special institution is required to coordinate marine and coastal resources management activities in Lembeh Strait among stakeholders. Keywords: Accountability, Sustainability, Coral reef management
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan sebuah masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
AKUNTABILITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG DI SELAT LEMBEH, KOTA BITUNG
TASLIM ARIFIN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Suharsono Dr. Ir. Sugiarta Wirasantosa, M.Sc.
Judul Disertasi
: Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung
Nama
: Taslim Arifin
N R P.
: C261020051
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota
Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. Anggota
Dr. Unggul Aktani Anggota
Diketahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.
Tanggal Ujian : 12 Februari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segalah karuniaNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini berjudul ” Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung. Disertasi ini memuat empat kajian pokok, yaitu (1) kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan, (2) pemanfaatan dan peruntukan kawasan terumbu karang, (3) akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, dan (4) sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang tinggi kepada, yang terhormat Bapak/Ibu: 1. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA., Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA., Dr. Ir. Victor P.H. Nikijuluw, M.Sc. dan Dr. Unggul Aktani yang telah memberi bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. dan Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., sebagai ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi beserta staf pengajar atas bekal ilmu dan bimbingan yang telah diberikan dan staf sekretariat SPL atas bantuannya selama masa studi penulis di PS SPL-IPB. 3. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. dan Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. selaku penguji pada ujian tertutup serta Prof. Dr. Suharsono dan Dr. Ir. Sugiarta Wirasantosa, M.Sc. selaku penguji pada ujian terbuka, yang telah memperkaya isi disertasi ini. 4. Dr. Ir. Augy Syahailatua, M.Sc. (Peneliti P2O-LIPI), Drs. Mudjiono, MS (Kepala UPT Loka Konservasi Biota Laut LIPI-Bitung), Drs. Jacobus Jusuf Wenno, M.Sc. (Field Program & Operational Manager Mitra Pesisir Sulawesi Utara), Asep Sukmara, S.Pi. (staf GIS Mitra Pesisir Sulawesi Utara) atas diskusi dan bantuan datanya. 5. Nurdin Rahman, SH, selaku Rektor UNISMUH Palu yang telah memberi tugas belajar pada penulis untuk melanjutkan studi S-3 di IPB. 6. Prof. Dr. Ir. Indroyono Soesilo, M.Sc., selaku Kepala BRKP dan Dr. Ir. Sugiarta Wirasantosa, M.Sc., selaku Kepala Pusris Wilnon-BRKP yang telah memberi izin belajar S-3 di IPB.
7. Kepala Pusat Pendidikan BPSDM-KP atas bantuan dana SPP 1 semester dan Program Mitra Bahari (PMB) COREMAP II DKP atas bantuan dana penulisan disertasi. 8. Direktur Akademi Perikanan Bitung (APB) atas bantuan fasilitas, Daniel H. Ndahawali, M.Si; Ir. Palehel Mulalinda, MP dan Drs. Jantje Gahung, M.Si (staf pengajar APB) yang telah membantu dalam kegiatan survei lapangan maupun diskusi yang menarik. 9. Ir. Muh. Hatta, M.Si, Subhan A. Alhidayat, M.Si, Samsul B. Agus, M.Si (Cacul), Ir. Hasrat AS dan Ir. Anthon A. Djari, MS serta kepada seluruh peneliti dan staf Pusris Wilnon, khususnya Kelti “Daya Dukung Lingkungan Laut” atas bantuan dan kerjasamanya serta diskusi yang menarik. 10. Teman-teman angkatan VII PS - SPL untuk Program Doktor, yaitu: Adnan, Apendi, Hasan, Tamtomo, Indra, dan Desniarti, mereka telah menjadi sahabat penulis yang baik selama menjalani masa-masa studi di IPB. 11. Kepada adik-adikku, Muhammad Rusli Arifin, A.Md; Gunawan Arifin, SH, MH; dan Ervina Arifin yang telah memberikan perhatian dan doa demi kesuksesan penulis dalam meraih cita-cita. 12. Kepada isriku tercinta, Irma Shita Arlyza, M.Si. yang telah memberikan cinta dan kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan doa demi kesuksesan penulis dalam meraih cita-cita. 13. Kepada Pamanda Drs. Fihrin, M.Si dan Tante Ny. Hj. Niswa; Abba M. Arifin (Alm) dan Ibunda Araleng serta Ayah Dinul Chir Em Nur, BA. dan Mama Tioliana, BA (Alm) atas restu dan doanya sehingga penulis dapat menimba ilmu dan menyelesaikan studi Doktor di IPB. Begitu besarnya bantuan mereka kepada penulis, semoga Allah SWT meridhoi segala kebaikan Bapak/Ibu/Saudara dan kelak akan menjadi amal sholeh dengan pahala berlipat ganda. Amin Ya Robbul Alamin. Bogor, Februari 2008 Wassalam,
Taslim Arifin
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tuju-Tuju Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 5 Maret 1970 dari Abba M. Arifin (Alm) dan Ibu Araleng. Merupakan putra 1 (pertama) dari 4 (empat) bersaudara. Pada tahun 1999 penulis diterima pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2001, pada bulan Agustus 2002 diterima di Program S-3 (Doktor) Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Penulis pernah bekerja sebagai asisten dosen Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palu dan dosen Akademi Perikanan Bitung. Sejak Tanggal 1 Juni 2006 penulis mutasi ke Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP). Saat ini penulis bergabung di Kelompok Penelitian ”Daya Dukung Lingkungan Laut”. Selama mengikuti program S-3 (Doktor), penulis aktif dan terlibat dalam kegiatan penelitian bidang kelautan dan perikanan, baik di pusat maupun di daerah (BAPPEDA Tingkat I dan Tingkat II). Beberapa artikel telah diterbitkan yang merupakan bagian dari disertasi ini adalah (1) Analisis Distribusi Spasial Parameter Fisika-Kimia Perairan Selat Lembeh, Jurnal Kelautan Nasional (Akreditasi B), Vol.2,No.1 April 2007; Pusat Riset Teknologi Kelautan-BRKP (ISSN 1907797X), (2) Indeks Keberlanjutan Ekologi-Teknologi Ekosistem Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung, Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (Akreditasi B), Vol.33,No.2, Agustus 2007; Pusat Penelitian Oseanografi (P2O-LIPI) (ISSN 0125-9830), dan (3) Analisis Daya Dukung Sosial-Ekonomi Pengelolaan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Bitung, dipresentasikan pada Musyawarah Nasional Terumbu Karang di Jakarta Tanggal 10 - 11 September 2007 dan terbit pada Prosiding Nasional COREMAP II Departemen Kelautan dan Perikanan.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ………………………………………………... DAFTAR GAMBAR …………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………..
Halaman iii v vii
I.
PENDAHULUAN ………………………………………………... 1.1. Latar Belakang ………………………………………….......... 1.2. Perumusan Masalah ………………………………………….. 1.3. Tujuan Penelitian ………………………….............................. 1.4. Kerangka Pendekatan Penelitian ……………………………..
1 1 4 6 6
II.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2.1. Karakteristik Lingkungan Perairan Terumbu Karang............... 2.1.1. Cahaya …………………………………………………. 2.1.2. Suhu …………………………………………………… 2.1.3. Salinitas ………………………………………………... 2.1.4. Sedimen ……………………………………………….. 2.2. Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ...................... 2.3.Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang ............. 2.3.1. Dimensi Kelembagaan ..................................................... 2.3.2. Dimensi Ekologi ………………………......................... 2.3.3. Dimensi Teknologi ……………………………….......... 2.3.4. Dimensi Sosial Ekonomi ................................................. 2.4. Multidimensional Scaling ......................................................... 2.5. Nilai Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang ............................... 2.6. Konservasi dan Pariwisata Bahari ............................................
9 9 9 10 11 11 14 16 17 21 22 23 24 26 27
III.
METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 3.2. Batasan Lokasi Studi ................................................................ 3.3. Jenis dan Sumber Data.............................................................. 3.4. Metode Analisis Data ............................................................... 3.4.1. Kondisi Terumbu Karang ............................................... 3.4.2. Analisis karakteristik lingkungan perairan ..................... 3.4.3. Analisis Peruntukan Kawasan Terumbu Karang ............ 3.4.3.1. Potensi kawasan konservasi terumbu karang ............... 3.4.3.2. Potensi Pengembangan Pariwisata Bahari ................... 3.4.4. Analisis akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang ................................................ 3.4.4.1. Analisis akuntabilitas .................................................. 3.4.4.2. Analisis sistem keberlanjutan .....................................
31 31 31 31 33 33 34 34 35 37
i
41 41 48
IV.
V.
VI.
VII.
KONDISI TERUMBU KARANG DAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN ......................................................... 4.1. Kondisi Terumbu Karang ……………………………………. 4.2. Karakteristik Lingkungan Perairan ........................................... 4.3. Keterkaitan Karakteristik Lingkungan Perairan dengan Penutupan Karang ..................................................................... PEMANFAATAN DAN PERUNTUKAN KAWASAN TERUMBU KARANG ................................................................... 5.1. Analisis Pemanfaatan Perairan Selat Lembeh .......................... 5.2. Analisis Peruntukan Kawasan Terumbu Karang ...................... 5.2.1. Potensi kawasan konservasi terumbu karang ........................ 5.2.2. Potensi pengembangan pariwisata bahari .............................. AKUNTABILITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG ..................................... 6.1. Kondisi dan skor masing-masing atribut pada setiap dimensi . 6.1.1. Dimensi Ekologi …………………………………………… 6.1.2. Dimensi Teknologi ………………………………………… 6.1.3. Dimensi Sosial Ekonomi ....................................................... 6.1.4. Dimensi Kelembagaan ........................................................... 6.2. Akuntabilitas Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang ............ 6.3. Telaah Sistem Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang
49 49 53 61 67 67 69 69 74 82 82 86 93 96 104 107 127
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 7.1. Kesimpulan ............................................................................... 7.2. Saran .........................................................................................
141 141 142
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... LAMPIRAN ....................................................................................
143 159
ii
DAFTAR TABEL No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Halaman Perkiraan dampak sedimentasi terhadap komunitas karang …...... Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian .............. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi terumbu karang ............................................................................................ Matriks kesesuaian lahan untuk pengembangan pariwisata bahari ........................................................................................................ Sistem penilaian potensi kawasan untuk pengembangan pariwisata bahari ........................................................................... Dimensi dan atribut penilaian akuntabilitas pengelolaan terumbu karang ............................................................................................ Dimensi dan atribut penilaian keberlanjutan pengelolaan terumbu karang .............................................................................. Kategori status keberlanjutan terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus-COREMAG ................................ Matrik korelasi parameter karakteristik lingkungan perairan Selat Lembeh ................................................................................. Akar ciri dan persentase konstribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi ................................................................... Akar Ciri dan Kontribusi Inersi Total pada 3 Sumbu Utama Faktorial ………………………………………………………… Kesesuaian lahan untuk pembentukan kawasan konservasi terumbu karang, Selat Lembeh ...................................................... Kelas kesesuaian parameter untuk pengembangan pariwisata bahari pada masing-masing lokasi di Selat Lembeh ..................... Pemberian skor pada masing-masing parameter untuk pengembangan pariwisata bahari .................................................. Faktor penunjang/kekhasan dan faktor pembatas pengembangan pariwisata bahari di Selat Lembeh ................................................ Kondisi nilai skor setiap atribut akunntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh ............... Stakeholder pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh Jumlah ikan yang didaratkan di PP-Bitung ……………………... Rasio siswa terhadap Guru SD dan Guru SLTP ........................... Objek Wisata di Selat Lembeh ...................................................... Nilai ekonomi non-ekstraktif Selat Lembeh ................................. Indikator ekonomi ekstraktif per vessel per tahun (Rp juta) ......... Nilai indeks akuntabilitas dan keberlanjutan Pulau Lembeh dan pesisir Bitung pada setiap dimensi ................................................ Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG untuk beberapa parameter statistik .......................................................................................... Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai Insus-COREMAG dan masing-masing dimensi pada selang kepercayaan 95% ………… Keadaan atribut penyusun indeks akuntabilitas untuk skenario 1 . Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 1
iii
12 33 37 40 40 41 42 47 54 58 62 74 87 78 80 84 87 96 101 105 107 108 124 126 129 130 131
28. 29. 30. 31. 32. 33.
Keadaan atribut penyusun indeks akuntabilitas untuk skenario 2 . Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 2 Keadaan atribut penyusun indeks akuntabilitas untuk skenario 3 . Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 3 Keadaan atribut penyusun indeks akuntabilitas untuk skenario 4 . Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 4
iv
134 135 136 138 139 139
DAFTAR GAMBAR No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12.
13.
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Halaman Alur pikir penelitian Akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Selat Lembeh, Kota Bitung .... Rancangan pengelolaan terumbu karang ................................... Prinsip spill over dari Konservasi ............................................. Peta lokasi penelitian ................................................................. Ilustrasi akuntabilitas dan keberlanjutan dari setiap dimensi .... Proses analisis Rap-Insus-COREMAG dengan pendekatan MDS ………………………………………………………….. Jumlah genera karang batu di Selat Lembeh ............................. Dominasi jumlah koloni karang batu di Selat Lembeh ............. Persentase tutupan dari kategori benthic lifeforms di Selat Lembeh ……………………………………………………….. Persentasi tutupan karang hidup di Selat Lembeh .................... Grafik analisis komponen utama parameter fisika-kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F2): A : Lingkaran korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan …………... Grafik analisis komponen utama parameter kondisi perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen uatama kedua (F3): A : Lingkaran korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan ………………………. Analisis Faktorial Koresponden lokasi dengan kategori benthic lifeforms pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) ……………………………………………………….. Analisis Faktorial Koresponden lokasi dengan kategori benthic lifeforms pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3) ……………………………………………………….. Peta Sebaran Ekosistem Pesisir dan Lokasi Penyelaman di Selat Lembeh …………………………………………………. Peta Rencana Tata Ruang pelabuhan Kota Bitung .................... Peta zona kawasan konservasi terumbu karang Selat Lembeh, Kota Bitung ............................................................................... Peta zona pengembangan pariwisata bahari Selat Lembeh, Kota Bitung ............................................................................... Jenis dan perkembangan alat tangkap ....................................... Frekuensi tipe kapal yang berkunjung di PP-Bitung (Januari s/d Mei 2005) ........................................................................... Persentase pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bitung .......... Perkembangan jumlah wisatawan mancanegara dan nusantara yang berkunjung di Kota Bitung ……………………………... Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Selat Lembeh .........................................................................
v
8 16 30 32 46 48 51 51 52 52 59
60
63
63 67 69 73 79 98 98 100 105 109
24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan .......... Peran masing-masing atribut aspek akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS ................................................................. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi ....................................... Peran masing-masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS .......................................... Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan indeks akuntabilitas dan keberlanjutan dimensi teknologi ................... Peran masing-masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS .......................................... Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan indeks keberlanjutan dimensi sosial ekonomi ...................................... Peran Masing-Masing Atribut dimensi sosial ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS ....................... Diagram Layang (kite diagram) akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lambeh, Kota Bitung ................................................................ Ordinasi analisis Monte Carlo yang menunjukkan posisi median dan selang kepercayaan 95% terhadap median ……… Diagram konseptual perumusan skenario pengelolaan kawasan terumbu karang ........................................................... Hasil simulasi pada skenario kondisi saat ini ............................ Hasil simulasi skenario upaya yang bisa dilakukan .................. Simulasi skenario kondisi baik .................................................. Simulasi skenario pada kondisi buruk .......................................
vi
110 111 113 113 115 115 119 120 125 127 129 133 134 138 140
DAFTAR LAMPIRAN
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10.
11.
12. 13. 14. 15.
16.
17.
18. 19.
Halaman Persentase Karang batu dan biota lain yang berasosiasi dengan terumbu karang di Selat Lembeh Peta sebaran jumlah genera karang batu di Pulau Lembeh Peta sebaran jumlah genera karang batu di pesisir Bitung Peta persentase tutupan kategori benthic lifeforms di Pulau Lembeh Peta persentase tutupan kategori benthic lifeforms di pesisir Bitung Peta sebaran persentase tutupan karang di Pulau Lembeh Peta sebaran persentase tutupan karang di pesisir Bitung Karakteristik lingkungan perairan Selat Lembeh Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) dari Modalitas fisika-kimia perairan pada 3 Sumbu Utama pada Analisis PCA Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) Lokasi Pengamatan pada 3 Sumbu Utama pada Analisis PCA Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) Lokasi Pengamatan pada 3 Sumbu Utama pada Analisis CA Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) dari Modalitas Kategori Benthic Lifeforms pada 3 Sumbu Utama pada Analisis CA Hasil Skoring setiap atribut pengelolaan terumbu karang Peta Daerah Aliran Sungai Kawasan Selat Lembeh Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan pesisir Bitung dari dimensi kelembagaan ………. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung dari dimensi ekologi …………….. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung dari dimensi teknologi .................. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan pesisir Bitung dari dimensi sosial-ekonomi ......... Persamaan (kondisi baseline) untuk simulasi skenario pengelolaan kawasan terumbu karang .......................................
vii
152 153 154 155 156 157 158 159 160
160
161
161 162 167 168
168
169
169 170
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup beragam diantaranya terumbu karang (coral reef), ikan hias, padang lamun, dan mangrove. Menurut Soekarno (2001), peranan dan fungsi terumbu karang bagi pembangunan daerah adalah (1) sebagai sumber makanan, (2) sebagai sumber perikanan, (3) sebagai objek wisata bahari, (4) sebagai sumber obat-obatan, (5) sebagai sumber keanekaragaman hayati, (6) sebagai bahan makanan, (7) sebagai pelindung pantai dari kerusakan, dan (8) sebagai laboratorium alam untuk penelitian. Selat Lembeh juga memiliki pulau-pulau kecil baik berpenghuni maupun tidak berpenghuni yang di dalamnya terdapat aktivitas penangkapan ikan dan pariwisata bahari. Makatipu (2003) dalam Kelompok Kerja Terpadu (KTT) Kota Bitung (2005), menyatakan bahwa Selat Lembeh memiliki keunikan yaitu merupakan tempat migrasi ikan-ikan pelagis kecil dan besar seperti tongkol (cakalang), layang (malalugis), tuna, dan ikan kembung. Bahkan mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus sering muncul di perairan ini. Potensi tersebut mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Selat Lembeh, Kota Bitung, sehingga perlu dikelola secara optimal tanpa menimbulkan kerusakan. Berdasarkan data penduduk dari Badan Pusat Statistik Kota Bitung (2005), Jumlah penduduk Kota Bitung pada tahun 2005 tercatat sekitar 149.644 jiwa. Selat Lembeh yang dilingkupi oleh dua kecamatan pesisir, merupakan wilayah yang memiliki jumlah penduduk cukup padat. Kedua Kecamatan tersebut masing-masing memiliki jumlah penduduk sebanyak ±16.000 penduduk dengan kepadatan 325 penduduk/km2 di Kecamatan Bitung Selatan, serta 47.564 penduduk di Kecamatan Bitung Timur. Kecamatan Bitung Timur memiliki jumlah penduduk kedua terbesar (meliputi 34% dari jumlah penduduk setelah Kecamatan Bitung Tengah). Rata-rata orang per rumah tangga di kawasan tersebut adalah empat orang per rumah tangga dengan proporsi usia rata-rata terbanyak adalah usia antara 20 – 50 tahun. Kenaikan jumlah penduduk tersebut tentunya akan
2
memberikan pengaruh terhadap kebutuhan hidup mereka, seperti pangan yang bersumber dari wilayah pesisir dan laut, maupun meningkatnya tekanan perairan akibat aktifitas industri. Meningkatnya aktivitas industri di sekitar Selat Lembeh akan berdampak terhadap kuantitas limbah, baik limbah padat maupun berupa cairan. BPS (2005) melaporkan bahwa, jumlah perusahaan industri di Kota Bitung sekitar 2.432 unit usaha. Menurut KTT Kota Bitung (2005), industri di kota Bitung didominasi oleh industri perikanan, industri galangan kapal, industri minyak kelapa, industri transportasi laut, makanan, baja, dan industri menengah dan kecil, dimana limbah dari aktivitas industri tersebut mengalir ke Selat Lembeh. Menurut Done (1997) dan Hughes et al. (1999), pembuangan limbah industri dan rumah tangga meningkatkan kandungan nutrien dan racun di lingkungan terumbu karang. Pembuangan limbah yang tidak diolah langsung ke laut menambah nutrien dan pertumbuhan alga yang berlebihan. Limbah kaya nutrisi dari pembuangan atau sumber lain amat mengganggu karena dapat meningkatkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga mendominasi terumbu hingga pada akhirnya melenyapkan karang. Lebih lanjut Brown (1997), menyatakan bahwa terumbu yang pernah dihadapkan pada gangguan manusia yang berlanjut seringkali menunjukkan kemampuan yang rendah untuk pulih. Menurut GESAMP (1976) dalam Supriharyono (2000), limbah domestik mempunyai sifat utama yaitu: (1) mengandung bakteri, parasit, dan kemungkinan virus, dalam jumlah banyak, yang sering terkontaminasi dalam kerang (shellfish) dan area pariwisata bahari, (2) mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi, sehingga BOD (Biological Oxygen Demand) biasanya tinggi, (3) kandungan unsur hara nutrien terutama komponen fosfor dan nitrogen tinggi, sehingga sering menyebabkan terjadinya eutrofikasi, dan (4) mengandung bahanbahan terapung, berupa bahan-bahan organik dan anorganik dipermukaan air atau berada dalam bentuk suspensi. Menurut API (1985) dalam Supriharyono (2002), polusi laut dapat mengganggu simbiose karang-alga dan keanekaragaman flora dan fauna, pemulihan kerusakan karang dari pengaruh minyak membutuhkan 5 10 tahun atau 20 - 50 tahun untuk kembali seperti semula.
3
Terumbu karang yang terdapat di Selat Lembeh terus mendapat tekanan yang sangat besar, baik aktivitas di perairan maupun dari kegiatan di darat yang berasal dari pesisir Bitung. Perubahan yang terjadi adalah (1) degradasi terumbu karang, (2) penurunan kualitas perairan, dan (3) migrasi spesies ke ekosistem yang lebih sehat ke luar selat. Hal ini diduga akibat limbah sistem perkotaan dan transportasi laut, meningkatnya aktivitas industri serta pemukiman di wilayah Kota Bitung, dan penggunaan teknologi penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya nilai akuntabilitas yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan kepedulian dan kemampuan dalam mengelola kawasan terumbu karang secara berkelanjutan. Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh suatu kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumberdaya manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Munasinghe, 2002). Lebih lanjut Munasinghe (2002), menyatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada empat faktor, yaitu terpadunya konsep ‘equity’ lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan, aspek ekonomi, aspek lingkungan, aspek sosial budaya. Dahuri (2003), menyatakan ada tiga prasyarat yang
dapat
menjamin
tercapainya
pembangunan
berkelanjutan
yaitu
keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi, dan pemanfaatan berkelanjutan. Kawasan
terumbu
karang
selama
ini
dipandang
hanya
dengan
menitikberatkan pada fungsi ekologinya semata, padahal di dalam kawasan terumbu karang juga memiliki nilai ekonomi dan sosial yang sangat potensial. Ketimpangan pandangan tersebut selain karena kurangnya informasi mengenai pentingnya kawasan terumbu karang, juga dilatarbelakangi oleh minimnya informasi secara multidimensi mengenai manfaat dan pengelolaan kawasan terumbu karang. Penggunaan atribut secara multidimensi untuk kajian
4
akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Indonesia belum banyak dilakukan. Oleh karena itu dalam disertasi ini dilakukan telaah tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. 1.2. Perumusan Masalah Selat Lembeh memiliki beberapa pulau sangat kecil baik berpenghuni maupun tidak berpenghuni yang didalamnya terdapat aktivitas penangkapan ikan dan pariwisata bahari. Pratasik et al. (2003), melaporkan bahwa di Selat Lembeh terdapat sekitar 45 genera karang batu. Hasil penelitian Souhoka (2000), melaporkan bahwa persentase tutupan terumbu karang di Selat Lembeh tergolong dalam kondisi baik yaitu berkisar 50% -100%, lebih lanjut dilaporkan bahwa potensi terumbu karang Selat Lembeh adalah: (1) karang batu; 81 jenis, (2) moluska; 306 jenis, (3) crustacea (anomura); 25 jenis, (4) macroalgae; 51 jenis, dan (5) ikan; 427 jenis, sedangkan Hukom (2000), melaporkan bahwa terdapat sekitar 205 jenis ikan karang yang termasuk dalam 31 famili. Beberapa kegiatan yang telah berkembang di Selat Lembeh adalah aktivitas penangkapan ikan, budidaya laut, pariwisata bahari dan aktivitas industri pelabuhan. Mengingat adanya berbagai aktivitas ekonomi yang memanfaatkan potensi sumberdaya laut Selat Lembeh, maka diperlukan suatu pengelolaan secara terpadu agar keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam dapat terjaga dan taraf hidup masyarakat semakin meningkat. Berbagai permasalahan yang ada, seperti permasalahan lingkungan fisika-kimia perairan yang disebabkan berbagai bentuk pencemaran, permasalahan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat yang berimplikasi kepada aktivitas yang bersifat mengganggu kelestarian sumberdaya terumbu karang. Permasalahan-permasalahan tersebut harus dipecahkan secara terpadu yang berbasis ekosistem dan menyertakan masyarakat sebagai subyek pembangunan sehingga nantinya akan dihasilkan pembangunan ekonomi yang berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya laut Selat Lembeh, maka secara konseptual pengelolaan kawasan terumbu karang harus didasarkan pada elemen-elemen yang mendukungnya. Faktor-faktor tersebut meliputi ekologi, teknologi, dan sosial ekonomi. Interaksi faktor-faktor tersebut
5
jika dikelola secara optimal diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya alam serta dapat mencegah kerusakan lingkungan oleh masyarakat sekitar. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan terumbu karang harus disusun dalam bentuk pembagian zona yang paling sesuai antara komoditi dan kondisi perairan sehingga dapat terjaga keberlanjutannya. Aspek akuntabilitas juga salah satu pertimbangan dalam keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Sebagai bentuk pertanggung jawaban (akuntabilitas) masyarakat terhadap lingkungannya, saat ini masyarakat Pulau Lembeh khususnya telah membuat aturan bahwa penangkapan ikan karang hanya bisa dilakukan dengan memancing dan dilarang menggunakan bom ikan atau bius. Mereka menganggap jika terumbu karang hancur oleh bom dan bius ikan maka tidak ada lagi tempat bagi nelayan Pulau Lembeh mencari ikan. Mengkaji akuntabilitas dalam sistem pengelolaan kawasan terumbu karang dianalisis dari perspektif dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan yang sangat bermanfaat bagi upaya memperkuat pengembangan sistem pengelolaan kawasan terumbu karang. Hal ini diyakini bahwa sistem pengelolaan tersebut mampu mewujudkan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang yakni suatu usaha yang mengedepankan konservasi dan perlindungan sehingga kebijakan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang dapat terlaksana dengan baik. Pada gilirannya sistem pengelolaan kawasan terumbu karang akan mendukung upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social well being), terutama bagi komunitas nelayan yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kebijakan yang menjamin akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang terasa sulit tanpa memperhatikan faktor multidimensi. Pada dasarnya permasalahan utama pengelolaan kawasan terumbu karang adalah pengelolaannya yang belum optimal. Pemanfaatan lahan di daerah pesisir terus meningkat dan mendesak sampai pada lahan yang seharusnya sebagai daerah konservasi. Hal ini disebabkan karena lemahnya keterpaduan antar sektor yang terlibat di wilayah pesisir. Selain itu, adanya konflik kepentingan dan lemahnya informasi secara multidimensi sebagai landasan pengelolaan, juga menjadi penyebab utama dalam mencapai tujuan akhir keterpaduan pengelolaan kawasan terumbu karang. Lembaga pemerintah dan swasta masih belum optimal
6
memberdayakan masyarakat yang mendiami atau yang hidupnya berdekatan dengan area terumbu karang. Akibatnya terjadi pengelolaan kawasan terumbu karang yang belum terintegrasi. Berbagai metode
untuk mengukur akuntabilitas dan keberlanjutan
pengelolaan kawasan terumbu karang yang tersedia, sifatnya masih parsial misalnya menggunakan valuasi ekonomi yang terdiri dari pemanfaatan ekstratif dan non ekstraktif (Baker dan Koeoniam, 1986), dan manajemen (Sanchirico et al., 2002), dan sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian analisis terhadap satu atau dua variabel saja untuk melihat status keberlanjutan belum memadai, mengingat proses pengelolaan melibatkan banyak variabel (multidimensi). Kondisi setiap dimensi yang terkait erat dengan proses pengelolaan kawasan terumbu karang perlu dikaji dan dianalisis sehingga hasil penilaian dapat bersifat komprehensif. Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan dalam pengelolaan kawasan
terumbu karang adalah belum adanya kajian secara komprehensif
berbasis ekosistem dan multidimensi tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah menelaah akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengkajian terhadap hal-hal sebagai berikut: 1. Kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan serta peruntukan kawasan terumbu karang yang dapat dikembangkan di Selat Lembeh. 2. Dimensi dan atribut yang dapat mencerminkan akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang. 3. Sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh. 1.4. Kerangka Pendekatan Penelitian Kawasan pesisir memiliki aktivitas yang sangat kompleks dan permasalahan secara multidimensi. Selama ini pendekatan analisis dalam menangani masalah yang terjadi di kawasan pesisir cenderung dilakukan secara
7
parsial dan sektoral. Oleh karena itu pendekatan secara multidimensi dalam satu analisis yang utuh sangat diperlukan. Penelitian ini diharapkan menjawab tantangan dan kebutuhan tersebut melalui pendekatan secara komprehensif yang mengkombinasikan berbagai penelitian kualitatif dan kuantitatif. Kerangka pemikiran studi ini didekati dari pemikiran bahwa kawasan terumbu karang merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Untuk itu diperlukan analisis terdahulu dalam melihat pemanfaatan berbagai kepentingan tersebut. Keseluruhan pendekatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Untuk mengkaji permasalahan akibat beragamnya kegiatan masyarakat pesisir yang memiliki potensi terumbu karang cukup tinggi, maka dilakukan pendekatan secara terpadu berbasis ekosistem, dan multidimensi. Beberapa alat (tools) analisis yang digunakan, adalah Analisis Komponen Utama (PCA), Analisis Faktorial Koresponden (CA), ArcView 3.2, Rap-Insus-COREMAG dan Stella Ver 8.0. Hasil penggunaan analisis tersebut diharapkan dapat memberikan telaah secara komprehensif tentang akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh, Kota Bitung.
8
Potensi Kawasan Terumbu Karang Permintaan
Manfaat Ekonomi
Pelabuhan & Industri
Sistem Biologi-Ekologi
Manfaat Ekologi
Pariwisata Bahari
Manfaat Sosial-Budaya
Perikanan
Assessment Penangkapan secara Destruktif
Ekologi Teknologi Sosial Ekonomi Kelembagaan
Limbah Perkotaan, Industri dan Pelabuhan
Konflik Pemanfaatan
Akuntabilitas Keberlanjutan Ekosistem dan Multidimensi
Pendekatan
Analisis Kondisi & Karakteristik Lingkungan Terumbu Karang Analisis Pemanfaatan dan Peruntukan Kawasan Terumbu Karang Analisis Akuntabilitas Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang Simulasi Sistem Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu
Kondisi & Karakteristik Lingkungan Terumbu Karang Arahan Peruntukan Kawasan Terumbu Karang Indeks Akuntabilitas Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang Skenario Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang Pengelolaan Berkelanjutan Kawasan Terumbu Karang Gambar 1. Alur pikir penelitian akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh, Kota Bitung
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Karakteristik Lingkungan Perairan Terumbu Karang 2.1.1. Cahaya Hewan-hewan
karang
membangun
terumbu
karang
dengan
cara
memanfaatkan energi cahaya matahari yang menjadi kunci eksistensi pandangan teori terumbu karang yang modern dan juga bisa jadi untuk semua terumbu karang dalam skala waktu geologi. Cahaya secara ekologi merupakan pembatas dibandingkan semua parameter fisika lingkungan lainnya, oleh sebab itu cahaya dapat menyebabkan adanya pembatasan secara fisik terhadap biogeografi karang secara horizontal. Kepentingan cahaya dari kajian biogeografi dan evolusi adalah terkait dengan evolusi dan proses simbiosis karang dengan zooxanthellae yang berperan dalam pembangunan terumbu karang yang melampaui waktu evolusi itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut dan dalam peranan cahaya bagi karang, hal ini sinergis dengan faktor sedimentasi yang pengaruhnya dapat menyebabkan rendahnya diversitas karang (Veron (1995). Mengingat binatang karang (hermatypic atau reef-building corals) hidupnya bersimbiose dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesa, maka pengaruh cahaya (illumination) adalah penting sekali. Menurut Kanwisher dan Wainwright (1997) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas cahaya antara 200-700 fluks (umumnya terletak antara 300-500 fluks). Intensitas cahaya secara umum di permukaan laut 2500-5000 fluks. Mengingat kebutuhan tersebut maka binatang karang (reef corals) umumnya tersebar di daerah tropis. Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap pertumbuhan karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam.
10
2.1.2. Suhu Terumbu karang pada umunya terbatas pada suhu perairan antara 18-360C, nilai optimal antara 26-280C. Hal ini selanjutnya akan diekspresikan dalam pola distribusi dan keragaman terumbu karang secara latitudinal (Hubbard, 1990). Sensitivitas terumbu karang terhadap suhu dibuktikan dengan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan suhu akibat pemanasan global yang melanda perairan Indonesia pada tahun 1998, yaitu terjadinya pemutihan karang yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%.
Suharsono (1999) telah mencatat bahwa
selama peristiwa pemutihan karang tersebut, suhu rata-rata permukaan air sekitar gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu adalah 2-30C di atas suhu normal. Menurut Kinsman (2004) bahwa dia mendapatkan Acropora pada perairan dengan kisaran suhu musiman 16 - 400C dan kisaran suhu harian paling rendah 100C di pantai Trucial. Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap binatang karang, lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami. Menurut Neudecker (2001) perubahan suhu secara mendadak sekitar suhu 4 60C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya. Suhu 180C yang terus menerus dalam periode waktu tertentu diidentifikasi sebagai suhu minimum air laut yang secara fungsional terumbu karang masih dapat hidup secara normal. Fenomena telah dicatat dan diuji berulang kali pada terumbu karang di wilayah Jepang oleh Veron dan Minchin (1992) dan dibuktikan kebenarannya. Suhu rendah sering tercatat di lingkungan terumbu karang, tapi dalam sebagian kasus hanya ditemukan adanya kematian parsial (dimana sebagian koloni karang mati) atau meliputi terumbu karang yang secara geologis merupakan hasil peninggalan masa lampau atau secara primer terdiri dari runtuhan yang tidak terkonsolidasi. Yajima et al. (1986) dalam Veron (1995), menyatakan bahwa sangat sedikit zooxanthellae karang diketahui dapat mentolerir suhu di bawah 110C pada kondisi alamiah. Karang Oulastrea crispata di Semenanjung Noto Laut Jepang dapat mentolerir suhu pada kira-kira 00C dan zooxanthellae terlihat tetap hidup di dalam jaringannya. Lebih lanjut Vaughan dan Wells (1943) dalam Veron (1995), menyatakan bahwa karang Siderastrea radians diketahui tercatat hidup dan toleran
11
pada suhu 4,50C. Catatan lain dari kelangsungan hidup akibat suhu rendah hampir sama, yaitu Solenastrea hyades di utara Carolina (Macintyre dan Pilkey, 1969 dalam Veron (1995) ditemui pada suhu 10,60C, Acropora sp., Porites spp. dan Platygyra daedalea di Teluk Persia dan Teluk Arab pada suhu 110C (Coles dan Fadlallah, 1991 dalam Veron (1995), dan Montipora spp. di Pulau Yaeyama pada suhu kurang dari 130C (Nomura, 1986 dalam Veron (1995). 2.1.3. Salinitas Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 350/00, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-360/00 (Kinsman, 2004). Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai 17,5-52,50/00 (Vaughan, 1999; Wells, 1994). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan di atas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai Bandengan, Jepara Jawa Tengah salinitas nol permil (00/00) untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan air sungai (Supriharyono, 2000) dan di laguna Turneffe atoll, British Honduras yang salinitasnya mencapai 700/00 (Smith, 1993). Daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Contoh Kinsman (1994) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada salinitas 400/00 hanya beberapa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan dengan salinitas sampai 480/00. 2.1.4. Sedimen Sedimentasi
merupakan
masalah
yang
umum
di
daerah
tropis,
pengembangan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan, aktivitas pertanian, dapat membebaskan sedimen (terrigenoua sediments) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Akvitas pertanian, pembukaan lahan dan pengolahan tanah di daratan lainnya biasanya membebaskan sedimen melalui larian permukaan (run-off). Sedimen yang dibebaskan oleh aktivitas-aktivitas ini cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 1.640 mg/cm/hari, seperti yang tercatat di sebelah
12
timur Florida, Amerika Serikat (Reed, 1981 dalam Supriharyono, 2000). Disamping jenis sedimen tersebut, ada pula sedimen lain, yang dikenal dengan carbonate sedimen, yaitu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang, baik secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosi biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut, seperti bulu babi, ikan, bintang laut, dan sebagainya. Lebih lanjut dampak tingkat sedimentasi terhadap komunitas binatang karang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkiraan dampak sedimentasi terhadap komunitas karang (Pastorok dan Bilyard, 1985 Laju sedimentasi mg/cm2/hari
1 - 10
10 - 50
> 50
Tingkatan dampak Kecil – sedang a. Mengurangi kelimpahan b. Kemungkinan penurunan dalam peremajaan c. Kemungkinan penurunan jumlah spesies Sedang – bahaya a. Pengurangan kelimpahan secara besar-besaran b. Penurunan peremajaan c. Pengurangan jumlah spesies d. Kemungkinan invasi spesies Bahaya – katastropik a. Kelimpahan berkurang secara drastis b. Komunitas rusak berat c. Kebanyakan spesies musnah d. Banyak koloni mati e. Peremajaan hampir tidak terjadi f. Regenerasi lambat atau terhenti g. Invasi spesies-spesies baru
Pengaruh sedimen terhadap pertumbuhan binatang karang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan binatang karang, yaitu apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polyp (mulut) karang. Pengaruh tidak langsung adalah melalui penetrasi cahaya dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard, 1985; Supriharyono, 2000). Lebih lanjut dilaporkan oleh Pastorok dan Bilyard (1985) bahwa beberapa jenis karang, seperti Montastrea cavemosa, Siderastrea radians, S. Siderea, dan Diphria strigosa, cenderung paling tahan terhadap kekeruhan, demikian pula terumbu karang di Teluk Fouha Cfan Ylig, Guam, ada korelasi antara sedimentasi dengan keanekaragaman dan tutupan
13
karang hidup. Didaerah yang sedimentasinya per hari mencapai < 10 mg/cm2 mempunyai jenis karang > 120 spesies. Sedangkan
pada daerah yang tingkat
sedimentasinya per hari > 200 mg/ cm2, jenis karangnya kurang dari empat spesies. Pengaruh sedimentasi terhadap kehidupan karang yang diakibatkan oleh aktivitas pengerukan telah banyak dilaporkan oleh para peneliti. Chansang et al (2001) melaporkan kematian karang di Ko Phuket, Thailand, akibat karang menerima sedimen yang cukup tinggi dari perusahaan pengerukan dan pemisahan timah. Lebih lanjut dikatakan di perairan sebelah utara Teluk Bang Tao (pantai barat Ko Phuket), tutupan karang hidup di dekat pantai (reef flat), yang menampung banyak sedimen persentasenya sangat rendah, yaitu 3 – 6%, dibandingkan dengan di daerah tubir (reef edge), 27 - 34% atau di daerah tubir (reef slope), 26 -34%. Demikian pula Brown (1987), yang melakukan penelitian di semenanjung Laem Pan Wah, Ko Phuket, memperoleh keanekaragaman karang yang umumnya rendah di daerah intertidal, dengan tutupan karang hidup sekitar 13 – 48%. Jenis karang yang dominan di daerah tersebut adalah Porites, Montipora, Acropora, dan Platygyra. Supriharyono (2000) juga melaporkan bahwa di perairan karang Bandengan Jepara Jawa Tengah, yang menerima sedimentasi yang tinggi dari aktivitas pertanian dan aktivitas lainnya di daerah atas terutama pada musim penghujan, perharinya mencapai sekitar 135 mg/cm2. Tutupan karang diperairan tersebut tercatat relatif rendah di daerah reef flat, yaitu sekitar 21 – 37% dan relatif tinggi di daerah dekat reef edge, yang letaknya relatif jauh dari garis pantai (150 – 250 m), yaitu 50 – 80%. Demikian pula dengan jenis-jenis bisa tahan di kedua zona tersebut juga berbeda, yaitu hanya 1 – 5 spesies di reef flat dan lebih dari 20 spesies di daerah reef edge. Jenis-jenis karang yang dominan adalah Porites lutea, Montipora digitata, Acropora aspera, Acropora pulchra, dan Platygyra spp. Pada umumnya karang yang hidup di daerah yang keruh atau sedimentasinya tinggi menampakkan tanda-tanda stress, seperti hilangnya warna, tertutup oleh silt, polyp yang baru mati atau lendir yang berlebihan. Pengaruh sedimentasi terhadap terumbu karang telah disimpulkan oleh Loya dan Rinkevich (2000) yaitu: (1) menghambat pertumbuhan karang, (2) menghambat planula karang untuk menempelkan diri dan berkembang pada substrat, (3) menghambat persen fotosintesis zooxanhella, (4) menyebabkan kematian karang apabila menutupi permukaan karang, dan (5) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen.
14
2.2. Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan pengelolaan ekosistem pesisir karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 di mana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam – untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen, 2003). Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti
bahwa
suatu
kegiatan
pembangunan
harus
dapat
membuahkan
pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan semberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis
mengandung
arti,
bahwa
kegiatan
dimaksud
harus
dapat
mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan
hendaknya
pembangunan,
mobilitas
dapat sosial,
menciptakan kohesi
sosial,
pemerataan partisipasi
hasil-hasil masyarakat,
pemberdayaan masyarakat (demokrasisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan (Cicin-Sain dan Knecht, 1998). Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam skala tertentu setiap pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan laut itu sendiri. Perubahan-perubahan tersebut tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan laut, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan
15
ekosistem wilayah pesisir (Dahuri et al., 1996). Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan berkelanjutan, perlu diperhatikan prinsip-prinsip ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan (Bengen, 2001). Aplikasi pengelolaan berkelanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Untuk mencapai tujuan ini harus berdasarkan karakteristik dan dinamika alamiah wilayah pesisir, termasuk keterkaitan ekologis dari kawasan pesisir, baik yang bersifat biogeofisik kimiawi maupun sosial-ekonomi-budaya dan politik (Dahuri et al., 1996). Untuk mencegah semakin rusaknya terumbu karang, maka diperlukan pengelolaan terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia agar pemanfaatan terumbu karang dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Salah satu konsep pengelolaan terumbu karang adalah menetapkan Kawasan Konservasi Laut. Agardy, (1997); Barr et al, (1997), menyatakan bahwa KKL memiliki peran utama sebagai berikut: a. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; Kawasan konservasi dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trofik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem. b. Meningkatkan hasil perikanan; Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan tempat mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika. Perlindungan terhadap tempat-tempat khusus bagi kepentingan rekreasi dan pariwisata (seperti pengaturan dermaga perahu/kapal, tempat membuang jangkar dan jalur pelayaran) akan membantu mengamankan kekayaan dan keragaman daerah rekreasi dan pariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir. d. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat
16
terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati laut. e. Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir; Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat pesisir dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Selanjutnya Westmacott et al, (2000), berpendapat bahwa Kawasan Konservasi Laut memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan teumbu karang dengan cara: • Melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak yang dapat menjadi sumber larva dan sebagai alat untuk membantu pemulihan, • Melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali, • Memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya. Berikut adalah rancangan pengelolaan terumbu karang.
INTI
Tahap 1
INTI
INTI
Tahap 2
Tahap 3
Gambar 2. Rancangan pengelolaan terumbu karang (Bengen, 2000)
2.3. Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang Nikijuluw (2002a), menyatakan bahwa terdapat enam variabel atau himpunan variabel kontekstual yang memberi pengaruh pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan adalah
17
a. Dimensi biofisik/ekologi sumberdaya serta teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut, b. Dimensi ekonomi terutama komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang tersedia serta komoditas barang dan jasa yang digunakan dalam proses pemanfaatan sumberdaya, c. Dimensi kelembagaan dan organisasi yang hidup dan berkembang di tengahtengah masyarakat yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, serta organisasi yang visi dan misinya tidak berkaitan sama sekali dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, namun hadir di tengah masyarakat. Atribut pemegang kepentingan, yaitu nelayan serta kelompok masyarakat lainnya yang menempatkan sumberdaya sebagai panggung atau area (stake) yang bersangkutan dengan mengekspresikan eksistensinya. Kelembagaan dan organisasi eksternal yang terdapat di luar masyarakat atau di luar area pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, serta f. Atribut eksogen yaitu kekuatan eksternal yang terjadi di luar sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, tetapi pada kenyataannya sangat berpengaruh atau berdampak pada sumberdaya pesisir dan laut. 2.3.1. Dimensi Kelembagaan Pemegang kepentingan utama dalam pengelolaan terumbu karang adalah nelayan dan masyarakat lainnya yang memiliki kepentingan atau perhatian terhadap pemanfaatan sumberdaya tersebut. Dimensi ini adalah variabel sosial ekonomi yang melekat atau dimiliki nelayan dan masyarakat selaku pemegang kepentingan. Variabel tersebut adalah Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal, pemegang kepentingan utama, tingkat kepatuhan masyarakat, pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian, tokoh panutan, penyuluhan hukum lingkungan, koperasi, tradisi/budaya, dan forum konservasi. Keseluruhan variabel tersebut dapat menjadi insentif atau disinsentif masyarakat untuk bekerjasama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Variabel-variabel tersebut menentukan perilaku masyarakat secara individu atau kelompok. Asumsi yang selalu dipegang para peneliti dan manajer sumberdaya pesisir dan laut (pemerintah) adalah masyarakat bersifat rasional dan memiliki kepentingan tertentu dalam memanfaatkan sumberdaya. Oleh karena itu,
18
masyarakat akan beradaptasi dengan situasi yang sejalan dengan kepentingan mereka. Dengan kata lain, jika suatu tatanan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dapat memenuhi kepentingan masyarakat, secara rasional masyarakat akan menerima tatanan tersebut. Ostrom (1994), mengemukakan bahwa ada dua atribut kunci yang merupakan faktor pendorong masyarakat untuk bekerjasama, yaitu: a. Jika masyarakat memiliki derajat homogenitas yang tinggi dalam bentuk hubungan kekerabatan, etnis, agama, kepentingan, kepercayaan, budaya, serta strategi pengembangan mata pencaharian, b. Jika ada ketergantungan masyarakat yang cukup tinggi atas sumberdaya pesisir dan laut serta kesempatan yang kurang bagi masyarakat untuk menggeluti mata pencaharian lain. Lebih lanjut Ostrom (1994), menyatakan bahwa jika ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan laut tinggi, sedangkan ketersediaan sumberdaya tersebut terbatas atau tidak pasti jumlahnya, masyarakat cenderung bekerjasama atau melakukan aksi kolektif untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan. Nikijuluw (2002a), menyatakan bahwa tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan adalah: 1. Keterwakilan (representation) yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. 2. Kecocokan (relevance) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi. 3. Penegakan hukum (enforceability) adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakkan. Pollnac et al. (2003) dalam penelitiannya yang dilakukan di dua lokasi terpisah, yakni di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, sehubungan dengan Coastal Resources Management (CRM) dan Segara Anakan Conservation and Development Project, dan di Taman Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara sehubungan
dengan
Natural
Resource
Management
Project
(NRMP-1)
menemukan bahwa peran serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam
19
perencanaan dan pelaksanaan proyek, baik secara individu maupun secara bersama-sama,
berperan
sangat
penting
sebagai
faktor
utama
penentu
keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Peranserta tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal. Para pemangku kepentingan bersedia untuk berperanserta karena mereka melihat (a) manfaat yang diharapkan akan diperolehnya (perceived benefits), (b) kemungkinan pemerataan manfaat di antara para pemangku kepentingan, dan (c) keberlanjutan manfaat setelah proyek selesai. Oleh karena para pemangku kepentingan berperanserta dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Dengan demikian mereka merasa memiliki proyek tersebut. Dengan proses seperti itu, bisa dipastikan bahwa proyek yang dihasilkan dan disepakati lebih sesuai dengan keinginan anggota masyarakat. Juga, peran serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir tampak telah berdampak pada peningkatan pemberdayaan masyarakat. Christie et al. (2003) juga mensinyalir bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis) akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa peranserta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, baik secara individu atau secara bersama-sama, cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta seperti ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian pengelolaan sumberdaya pesisir dengan kondisi lokal tampak telah
20
berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat sendiri setelah proyek selesai. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah ini sebenarnya dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir. Keluaran-keluaran dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan ini tampak sejalan dengan yang dianggap sebagai 6 (enam) parameter berkelanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh Bengen (2003) sebagai berikut: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; (3) didukung oleh ketersediaan sumberdaya manusia dan kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stakeholder; (5) memiliki rencana dan program yang jelas; (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh (7), yaitu dukungan informasi ilmiah. Sievanen (2003) dalam studinya mengenai komunitas berpindah dan implikasi keberlanjutan memberi catatan khusus, yaitu bahwa wisata bahari sebagai mekanisme pengenalan modal internasional dan kekuasaan negara justru sering berakibat buruk, yaitu marginalisasi pengguna sumberdaya pesisir yang telah ada. Lebih lanjut dia berargumentasi bahwa wisata bahari secara inheren memperbesar kemungkinan termaginalisasinya para pengguana sumberdaya pesisir yang telah ada. Oleh karena itu, dia merekomendasikan dua hal. Pertama, perlunya mendefinisikan secara lebih tegas “komunitas” yang hendak dijadikan sasaran untuk diberdayakan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir, karena sering dijumpai ketidak-jelasan mengenai siapa yang akan diuntungkan oleh suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir. Kedua, kemitraan antara sektor publik dan sektor dunia usaha yang saat ini sedang digiatkan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan lingkungan hidup hendaknya mencakup komunitas yang hidupnya tergantung pada sumberdaya pesisir dan lautan (coastal and marine-dependent communities), karena sering justru mereka yang termaginalkan.
21
2.3.2. Dimensi Ekologi Atribut ini adalah pembatas atau kendala bagi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut termasuk terumbu karang. Sifat-sifat properti bersama sumberdaya alam seperti ekskludibilitas, substraktabilitas, dan individibilitas adalah kendala sekaligus tantangan untuk melakukan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Atribut ekologi dari sumberdaya juga menentukan skala pemanfaatan terumbu karang. Tentu saja, semakin besar area dan jumlah potensi terumbu karang yang tersedia, semakin besar skala pemanfaatan yang dapat dilaksanakan. Atribut ekologi juga menentukan cara para pengguna sumberdaya, dapat saling berinteraksi dan melakukan aksi individu atau aksi kolektif. Potensi sumberdaya serta nilai finansial yang dapat diraih dari sumberdaya terumbu karang tersebut menentukan pola interaksi antar nelayan. Pola interaksi yang dimaksud dapat dilihat dari tersedia atau tidak tersedianya hak-hak pemanfaatan terumbu karang, yaitu hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak ekslusif, dan hak mengalihkan. Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Status atau kondisi pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Tingkat eksploitasi atau tekanan eksploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Aziz et al., 1998). Tingkat eksploitasi yang melebihi MSY (maximum sustainable yield) atau
terjadinya
penangkapan
berlebih
(overfishing)
akan
membahayakan
keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Gulland (1983); overfishing diberdakan menjadi dua yaitu growth overfishing yang ditandai dengan menurunnya ukuran ikan yang tertangkap, dan recruitment overfishing yang ditandai oleh makin menurunnya CPUE (catch per unit of effort). Keanekaragaman spesies telah lama digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies itu sendiri penting karena fungsinya bertindak didalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al., 2003). Keanekaragaman
22
spesies secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al., 2002). Jumlah spesies dan komposisi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr, 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt, 2001). Kawasan pesisir dan laut terdiri dari berbagai ekosistem dan habitat baik yang ada di darat maupun di laut (Suwandi et al., 2001). Kondisi kerusakan atau pencemaran disetiap ekosistem pesisir dapat digunakan sebagai atribut/dimensi ekologis (Dahuri, 2002). Selain itu upaya untuk mencegah pencemaran dan pemanfaatan yang berlebihan juga dapat digunakan sebagai dimensi ekologis, misalnya adanya zonasi pemanfaatan. Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir (Clark, 1996). Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan kemudahan pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya dan lingkungan. Konflik antar pengguna dapat mengurangi keberlanjutan pembangunan (Holthus, 1999). 2.3.2. Dimensi Teknologi Aspek teknologi yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan potensi terumbu karang yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur serta di tentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi antar pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjasama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya, penggunaan teknologi tertentu dapat juga menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara mereka bukan saja pada saat pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga pada saat perencanaan, perumusan cara-cara pemanfaatan, dan pengelolaan. Oakerson (1992), mengajukan tiga alasan pentingnya melakukan kajian hubungan
antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut. Alasan tersebut adalah sebagai berikut: a. Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan-benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang
23
timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktorfaktor pembatas sumberdaya. Faktor-faktor pembatas yang utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola. b. Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu seseorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna. Dengan demikian, ada saling ketergantungan di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka. Batas-batas spasial sumberdaya terumbu karang menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Berdasarkan batas geografis suatu sumberdaya dapat ditentukan batas-batas fisik lainnya, terutama yang berkaitan dengan teknologi pemanfaatan sumberdaya. Dimensi teknologi diperlukan secara khusus di daerah dimana pemanfaatan langsung terhadap terumbu karang merupakan bagian yang dominan. Di kawasan pesisir umumnya mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pemanfaatan sumberdaya laut, seperti perikanan, karena itu dimensi teknologi sebaiknya dipertimbangkan secara khusus (Susilo, 2003). Dimensi teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimumkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang. 2.3.3. Dimensi Sosial Ekonomi Dimensi sosial ekonomi yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan) terhadap tatanan
24
tersebut. Dimensi sosial ekonomi juga menggambarkan kejadian-kejadian yang berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi. Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based activity). Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan terumbu karang patut pula memperhatikan dimensi sosial ekonomi yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut.
2.4. Multidimensional Scaling Tujuan pendekatan multidimensional scaling yang akan digunakan disini adalah untuk melihat keragaan (performance) pengelolaan terumbu karang di tinjau dari dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Analisis multidimensional scaling digunakan untuk mempresentasikan similaritas/ disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young et al, 1987). Sickle, (1997) menyatakan bahwa multidimensional scaling dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Multidimensional scaling adalah metode ordinasi dengan basis jarak antar obyek/point dalam dua dimensi atau tiga dimensi.
Alder et al, (2001) menyatakan bahwa teknik ordinasi dengan
mengkonvigurasikan jarak antar titik dalam t-dimensi yang mengacu pada jarak Euclidean antar titik. Dalil Pythagoras dapat digunakan untuk menghitung jarak euclidean antara dua titik. Dalam ruang dua dimensi jarak euclidean dirumuskan sebagai berikut : d=
x1 − x2 + y1 − y2 2
2
………………………………………………..(1)
Sedangkan dalam n-dimensi jarak euclidean dirumuskan sebagai berikut : d=
x1 − x2 + y1 − y2 + z1 − z2 + ...) ………………………….……(2) 2
2
2
25
Dalam evaluasi kondisi sumberdaya pesisir, masing-masing kategori yang terdiri dari beberapa atribut di skor. Skor secara umum di rangking antara 0 sampai 5.
Hasil skor dimasukan ke dalam tabel matrik dengan I baris yang
mempresentasikan
pengelolaan
terumbu
karang
dan
J
kolom
yang
mempresentasikan skor atribut. Data didalam matrik tersebut adalah data interval yang menunjukan skoring baik dan buruk.
Skor data tersebut kemudian
dinormalkan untuk meminimalkan stress (Davison dan Skay, 1991). Analisis
multidimensional
scaling
merupakan
salah
satu
metode
multivariate yang dapat menangani data yang non-metrik. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space). Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa plotting titik obyek (posisi) di sepanjang sumbu-sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre, 1983). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. Pendekatan multidimensional telah banyak digunakan untuk analisis ekologis, seperti yang dilakukan oleh Alder et al (2001) untuk mengevaluasi kondisi perikanan tangkap dengan berbagai tipe variabel yang berbasis jarak. Pendekatan ini juga telah dikembangkan untuk analisis lingkungan dimana salah satu metode yang digunakan adalah metode multidimensional scaling (Nikjkamp et al., 1980) dalam Susilo (2003). Legendre dan Legendre (1983) menyatakan bahwa semua metode ordinasi di dalam ruang yang diperkecil disebut secara umum sebagai metode analisis faktor mengingat semuanya didasarkan pada ekstraksi eigenvector atau vektor ciri dari matriks
asosiasi.
Metode
ordinasi
dalam
ruang
yang
diperkecil
selain
multidimensional scaling antara lain adalah Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis), analisis Koordinat Utama (Principal Coordinate Analysis), dan Analisis Korespondensi (Correspondence Analysis).
26
2.5. Nilai Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang
Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem pesisir mempunyai nilai guna yang sangat signifikan, baik ditinjau dari aspek ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan laut kurang lebih 10-15% dari total produksi. Hasil penelitian Husni (2001) tentang nilai ekonomi terumbu karang untuk perikanan di kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Barat-NTB adalah sekitar 611.34 kg/ha/tahun dengan nilai Rp. 48.731.275/ha/tahun, sedangkan nilai ekonomi untuk pariwisata bahari sekitar Rp. 69117180.36. Hasil penelitian yang serupa dilakukan oleh Wawo (2000) di Pulau Nusa Laut Maluku menghasilkan nilai ekonomi total terumbu karang adalah Rp 4.265.174/ha/tahun dan White dan Trinidad (1998) di Phlipina sebesar US $ 319-1,300 (Rp 3.658.930-14.911.000,/ha/tahun, serta penelitian Dahuri (1999) di kawasan Barelang dan Bintan Rp 1.614.637.864,-/ha/tahun. Fringing reef juga merupakan pelindung pantai yang sangat penting dari terpaan gelombang, sehingga stabilitas pantai bisa tetap terjaga. Hiew dan Lim (1998) dalam Kusumastanto (2000), menyatakan bahwa nilai manfaat terumbu karang per hektar per tahun sebagai pencegah erosi adalah sebesar US$ 34.871,75 atau dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp. 9.500 maka nilai fungsi tidak langsung
terumbu
karang
sebagai
pencegah
erosi
adalah
sebesar
Rp.
331.281.625/ha/tahun. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem pesisir yang sangat penting dari berbagai segi (Garces, 1992). Sementara itu Ruitenbeek (2001), menyatakan bahwa nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai penyedia biodiversity adalah sebesar US$ 15/ha/tahun atau sekitar Rp. 142.500. Terumbu karang juga berperan dalam proses transport nutrien baik organik maupun anorganik diantara dua ekosistem pesisir tersebut (Clark, 1996). Fungsi fisik terumbu karang lainnya menururt Baker dan Kaeoniam (1986) adalah sebagai filter air untuk menjaga kualitas air kawasan pantai. Selain sebagai peredam gelombang , perlindungan alamiah terhadap daratan yang berhadapan dengannya,
27
meminimalkan abrasi, serta penghasil pasir putih bagi kawasan pantai yang berhadapan. Pemanfaatan terumbu karang dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu a) pemanfaatan ekstratif meliputi kegunaan konsumtif, seperti penangkapan biota laut yang dijadikan konsumsi pangan maupun kegunaan ornamental, seperti penangkapan ikan hias, kerang dan sebagainya, dan b) pemanfaatan non ekstraktif meliputi pendayagunaan ekosistem terumbu untuk tujuan pariwisata, penelitian, pendidikan, dan sebagainya (Baker dan Koeoniam, 1986). Nilai ekonomi pemanfaatan ekstratif dan non ekstraktif pada terumbu karang di Selat Lembeh dilaporkan oleh Parwinia (2006), yaitu nilai ekonomi ekstratif di kawasan Selat Lembeh dengan indikator total revenue dari perikanan berkisar antara Rp. 27 juta per vessel per tahun (Kelurahan Aertembaga) sampai Rp. 238 juta per vessel per tahun (Kelurahan Makawidey). Nilai ekonomi non-ekstraktif merupakan nilai wisata dan ekosistem, meliputi kegiatan diving, transportasi dan taxi air. Kegiatan diving memberikan manfaat ekonomi tertinggi sekitar Rp. 300 juta per tahun, taxi air Rp. 90 juta per tahun dan nilai ekonomi dari sewa kapal sebesar Rp. 25 juta per tahun. 2.6. Konservasi dan Pariwisata Bahari
Konservasi dan pariwisata bahari merupakan kegiatan yang saling menunjang, sehingga dari segi ruang dan waktu dapat dipadukan. Pariwisata bahari memerlukan keaslian dan keindahan flora dan fauna yang sebagian berasal dari kawasan konservasi, sebaliknya kawasan konservasi terlindungi apabila masuk dalam kawasan pariwisata. Menurut Halim (1998), pengelolaan kawasan konservasi laut
diperlukan zona tertentu untuk menunjang mata pencaharian masyarakat
pesisir, maupun kegiatan lainnya sesuai dengan azas kelestarian. Selanjutnya pengelolaan tersebut disadari tiga aspek konservasi : (1) perlindungan ekosistem penyangga kehidupan (2) pengawetan plasma nutfah, dan (3) pelestarian pemanfaatan. Kawasan Konservasi Laut telah menunjukkan manfaat yang berarti berupa peningkatan biomas. Hasil studi Halpern (2003), menunjukkan bahwa secara ratarata, kawasan konservasi telah meningkatkan kelimpahan (abundance) sebesar dua kali lipat, sementara biomas ikan dan keaneka ragaman hayati meningkat tiga kali
28
lipat. Peningkatan kelimpahan dan biomass ini mengakibatkan pula peningkatan terhadap produksi perikanan (jumlah tangkap dan rasio tangkap per unit upaya atau CPUE).
Beberapa
studi
menunjukan
bahwa
kawasan
konservasi
telah
meningkatkan rasio CPUE dalam kisaran 30% sampai 60% dari kondisi sebelum kawasan konservasi. Sementara itu dari sisi riil effort (misalnya jumlah trip), studi seperti di Apo Island. Philippine dan George Bank di Amerika Serikat, telah menunjukan penurunan yang berarti. Terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi daerah dari penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besarnya ukuran, dan biomasa dari jenis organisme yang dieksploitasi. Wilayah penyimpanan dan perlindungan laut sering dikatakan hanya berlaku untuk lingkungan terumbu karang. kenyataannya, metode ini sudah berhasil diterapkan pada berbagai habitat di dalam lingkungan dari kondisi tropis maupun sub-tropis. Penyimpanan dan perlindungan laut adalah suatu alat yang bersifat global (Roberts dan Hawkins 2000).. Hasil studi yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah tanggal 5 Juli 2002 menyatakan bahwa, perancangan kawasan laut “larang ambil” menjadi penting untuk menjamin hasil perikanan dalam jangka panjang karena penutupan tersebut mampu untuk melestarikan variasi genetis, dilihat dari parameter ukuran ikan dan tingkat pertumbuhan, ini disebabkan karena pada situasi dieksploitasi, nelayan secara selektif memilih ikan yang berukuran besar dan tidak memilih yang berukuran kecil dan tidak produktif (MPA News, 2002). Dampak dari konservasi ini sangat jelas bagi pengelola, yaitu: (1) Kawasan Konservasi Laut menyediakan alasan ekonomi bagi perlindungan secara tegas terhadap tempat yang diketahui dan potensial sebagai tempat-tempat pemijahan, (2) Taman Nasional Komodo (TNK) misalnya, tempat-tempat pemijahan tersebut secara nyata mempunyai nilai ekonomi yang setara dengan nilai rekreasi dari fungsi taman nasional secara keseluruhan, dan (3) usaha-usaha perlindungan menyeluruh yang konsisten dengan melindungi daerah penangkapan ikan-ikan dasar, di mana sebagian besar rumah tangga tergantung pada wilayah di luar lokasi TNK (Ruitenbeek, 2001). Keuntungan yang nyata telah dibuktikan di beberapa tempat dimana terumbu karang sudah dilindungi dengan baik, termasuk pada beberapa lokasi sebagai berikut: Netherlands Antilles (Taman Nasional Laut Bonaire), dimana
29
pariwisata selam meningkat; the Seychelles (Taman Nasional Laut Ste. Anne), dimana taman nasional digunakan baik oleh turis maupun penduduk setempat untuk berenang, berlayar, snorkeling, selam, dan perjalanan perahu beralas kaca; Fiji (Tai Island), dimana hasil tangkapan nelayan kecil meningkat, kegiatan pariwisata berkembang pesat, dan pemegang hak penangkapan tradisional (eksklusif) dilibatkan dalam pengelolaan resort dan penyewaan perahu; Cozumel Island (Mexican Caribbean) dimana terjadi peningkatan jumlah wisatawan lokal dan manca negara yang datang untuk menyaksikan melimpahnya ikan-ikan karang; dan Kenya (Taman Nasional dan Cagar Alam Malindi/Watamu), dimana pariwisata menghasilkan pendapatan melalui tiket masuk, biaya pemandu dan biaya kemping, penyewaan perahu dan peralatannya, serta hotel. Pada sisi lain, juga terjadi keuntungan tidak langsung dengan adanya permintaan terhadap lapangan pekerjaan di hotel-hotel, sebagai pemandu dan pengemudi perahu (McNeely et al., 1994). Penurunan hasil tangkapan perikanan secara global dilaporkan oleh FAO (2002) , dimana sebesar 47% stok mengalami eksploitasi penuh, 15-18% stok telah mengalami over-eksploitasi, dan 9% stok telah terdeplesi. Gomez (1999) menyatakan bahwa di Asia tenggara, seluruh perairan pesisir sampai 15 km dari darat telah mengalami overfishing. Untuk wilayah Indonesia, studi dari Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di perairan Pantai Utara Jawa telah terdepresiasi sebesar 20 milyar rupiah per tahun. Untuk terumbu karang, terutama untuk kawasan Indonesia menunjukkan bahwa proporsi yang terdegradasi meningkat dari 10%-50% (Hopley dan Suharsono, 2000). Walaupun terumbu karang di wilayah Indonesia Timur masih dalam kondisi lebih baik daripada di Indonesia Bagian Barat, namun kondisinya menurun dalam laju yang cukup tinggi. Berdasarkan studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hanya 10% terumbu karang di wilayah timur Indonesia dalam kondisi sangat baik (excellent) tutupan lebih dari 50% terumbu karang hidup), sisanya 31,8% diklasifikasikan dalam kondisi buruk (hanya terdiri dari 25% tutupan terumbu karang hidup), (Hopley dan Suharsono, 2000). Prinsip dari konservasi adalah spill over effect (Gambar 3) atau dampak limpahan dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber
30
pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Konservasi memiliki banyak manfaat yang signifikan yang akan membantu pengelolaan sumberdaya kelautan dalam jangka panjang. Li (2000) merinci manfaat kawasan konservasi laut sebagai berikut: manfaat biogeografi, keaneka ragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemic dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan-ikan juvenil (juvenile by catch), dan peningkatan produktifitas perairan (productivity enchancement).
Gambar 3. Prinsip spill over dari konservasi (White,2000; Fauzi, 2005)
Gambar 4. Peta lokasi penelitian 32
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Selat Lembeh Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara yang secara geografis berada pada posisi 0030’ – 000’ LU dan 12100’ – 12700’ BT. Lokasi penelitian dibatasi pada 17 kelurahan di Selat Lembeh, yang terbagi atas 2 kawasan yaitu Pulau Lembeh dan pesisir Bitung. Kawasan Pulau Lembeh meliputi 11 kelurahan, yaitu Kelurahan Lirang, Nusu, Kareko, Binuang, Pintu Kota, Batuwoka, Mawali, Papusungan, Batulubang, Paudean dan Pasir Panjang sedangkan kawasan pesisir Bitung meliputi 6 kelurahan, yaitu Kelurahan Kasawari, Makawidey, Tandurusa, Aertembaga, Manembo-nembo dan Tanjung Merah (Gambar 4). Pengambilan data primer dilakukan di dua kawasan yaitu Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung. Penelitian ini dilaksanakan sejak April 2005 sampai dengan bulan Mei 2006. 3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapangan, wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap stakeholders di Selat Lembeh dalam pemanfaatan terumbu karang. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur dari laporan-laporan dan dokumen-dokumen yang berasal dari berbagai instansi yang terkait dengan topik penelitian. Secara rinci jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
32
Peta Lokasi Penelitian Gambar 4
33
Tabel 2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian No. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Data Data primer Suhu, salinitas, pH, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, dan substrat DO, BOD5, COD, Ammonia, Fosfat dan Nitrat Kondisi terumbu karang Analisis multidimensi Data sekunder Kondisi perairan Kondisi terumbu karang Kondisi ikan karang Kondisi kependudukan, sosial ekonomi dan budaya Produksi perikanan karang
Sumber Data Insitu Laboratorium LIT (insitu) Responden (stakeholders) LIPI dan Mitra Pesisir LIPI dan Mitra Pesisir LIPI dan Mitra Pesisir BPS Kota Bitung, Bappeda Kota Bitung dan Mitra pesisir Dinas perikanan dan kelautan
3.3. Metode Analisis Data 3.3.1. Kondisi Terumbu Karang Pengukuran kondisi terumbu karang dilakukan terhadap karang hidup dan karang mati sesuai dengan kategori life form. Pengamatan terumbu karang menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) / garis menyinggung. Untuk penggunaan metode transek garis menyinggung, roll meter yang digunakan sepanjang 50 m dibentangkan sejajar garis pantai untuk kedalaman yang telah ditentukan. Hanya koloni karang keras dan tipe substrat lain serta biota yang menyinggung roll meter yang akan dimasukan sebagai data. Data yang di ambil adalah bentuk pertumbuhan (life form) tipe substrat dasar, genus karang dan tipe substrat di daerah yang diamati. Data hasil yang diambil dari metode ini adalah persen penutupan karang keras (% coverage of hard coral) dan tipe substrat dasar lainnya serta jenis dan jumlah genus karang keras (hard coral) yang ditemukan, menggunakan kategori menurut Gomes dan Yap (1998).
34
3.3.2. Analisis Karakteristik Lingkungan Perairan 1. Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) Untuk menggambarkan bagaimana karakteristik lingkungan perairan di masing-masing lokasi digunakan pendekatan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA). PCA merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk merepresentasikan analisis dalam bentuk grafik hasil informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data tersebut terdiri dari lokasi pengamatan sebagai individu (baris) dan karakteristik lingkungan perairan sebagai variabel (kolom). Data parameter tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama karena itu perlu untuk dinormalisasi melalui pemusatan dan pereduksian. Untuk menentukan hubungan antara kedua parameter digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik. Korelasi linear antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya
adalah
ragam
dari
kedua
parameter
tersebut
yang
telah
dinormalisasikan (Legendre dan Legendre, 1998). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan XLSTAT Ver. 7.1. 2. Analisis Faktor Koresponden (Correspondence Analysis) Analisis hubungan antara karakteristik lingkungan perairan dengan persentase penutupan karang dilakukan dengan Analisis Faktor Koresponden (Correspondence Analysis) (Legendre dan legendre, 1983, dan Bengen 2000. 3.3.3. Analisis Peruntukan Kawasan Terumbu Karang Analisis peruntukan kawasan terumbu karang pada penelitian ini terdiri dari (1) potensi kawasan konservasi terumbu karang, dan (2) potensi pengembangan pariwisata bahari, Arifin, et al. (2002); Yulianda (2007). Penentuan peruntukan kawasan terumbu karang tersebut didasarkan melalui pendekatan analisis keruangan dengan Sistem Informasi Geografis, menggunakan software Arc View Ver. 3.2.
35
3.3.3.1. Potensi Kawasan Konservasi Terumbu Karang Parameter
yang
digunakan
dipilih
berdasarkan
faktor
pembatas
pertumbuhan karang. Adapun dasar penggunaan parameter tersebut adalah: 1. Persentase penutupan karang Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang sangat produktif di perairan tropis. Beberapa hal yang menyebabkan tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang adalah keberadaan dinoflagelata alga (zooxanthellae) yang hidup bersimbiose di polyp (binatang) karang. Salah satu indikator kesehatan suatu perairan adalah keberadaan terumbu karang dengan tingkat persentase penutupan karang relatif tinggi. Kategori untuk mengukur persentase penutupan karang yang sering digunakan adalah mengacu pada : 024,9% maka tergolong sebagai kondisi buruk, 25-49,9% adalah sedang; 5074,9% baik; dan 75-100% adalah baik sekali (Gomes dan Yap, 1998). 2. Suhu Terumbu karang pada umunya terbatas pada suhu perairan antara 18-360C, nilai optimal antara 26-280C (Hubbard, 1990). Suharsono (1999) telah mencatat bahwa selama peristiwa pemutihan karang, suhu rata-rata permukaan air sekitar gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu adalah 2-30C di atas suhu normal. 3. Salinitas Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 350/00, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-360/00 (Kinsman, 2004). Daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Kinsman (1994) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada salinitas 400/00 hanya beberapa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan dengan salinitas sampai 480/00. 4. Kecerahan dan kedalaman Berkaitan dengan pengaruh kecerahan terhadap pertumbuhan karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang
36
cukup dalam. Hasil penelitian Suharsono dan Yosephine (1994), menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara persentase tutupan karang hidup dengan kecerahan air di 27 pulau di Kepulauan Seribu. Semakin rendah transparasi air semakin kecil pula persentase tutupan karang hidup. 5. Kecepatan arus Pergerakan arus mempengaruhi struktur komunitas dan distribuís jenis karang pada suatu daerah (Jokiel dan Morrissey, 1993; McGehee, 1997). Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di daerah yang terbuka, presentase tutupan karangnya relatif rendah. Arus yang kuat berkorelasi dengan meningkatnya perpindahan pecahan-pecahan karang yang mengganggu terjadinya proses pemulihan. 6. Substrat perairan Secara biogeografi, susbstrat merupakan hal penting dalam membatasi diversitas
spesies
karang
disamping
parameter
lingkungan
lainnya.
Ketersediaan substrat Sangat berperan penting dalam pembangunan terumbu karang. Sebagian besar pola geografi di lautan India ditentukan oleh kedalaman laut disebelah selatannya dan kekeruhan air yang berasal dari daratan benua Asia di sébelah utaranya. Hal yang sama diperlihatkan oleh adanya penipisan diversitas karang di wilayah pasifik timur yang secara primer merupakan pengaruh dari substrat. Hasil penelitian Fox (2004) melaporkan bahwa substrat alami dari batu (rock) menghasilkan kelimpahan rekrut karang yang signifikan setelah beberapa bulan penempatan.
Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi terumbu karang disajikan pada tabel berikut.
37
Tabel 3. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi terumbu karang No.
Parameter
Kriteria
Skor
1.
Penutupan karang (0/0)(2)
> 75 50 – 74,9 25 – 49,9 ≤ 24,9
4 3 2 1
26 – 29 23 – < 26 20 – < 23 < 20 dan >29
4 3 2 1
31 – 35 28 – < 31 > 35 < 28
4 3 2 1
80 – 100 60 - < 80 40 – < 60 < 40
4 3 2 1
10 – 15 5 – < 10 1–< 5 < 1 dan > 15
4 3 2 1
0 – 0,17 0,17 – 0,34 0,34 – 0,51 > 0,51
4 3 2 1
Pasir kasar/berbatu Pasir halus Pasir & sedimen Sedimen
4 3 2 1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
0
Suhu ( C)
0
(1)
Salinitas ( /00)
(1)
(1)
Kecerahan (%)
(1)
Kedalaman (m)
Kecepatan arus (m/det)(1)
(3)
Substrat perairan
Kelas Kesesuaian
Bobot
Nilai
10
40 30 20 10
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
2
8 6 4 2
Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tdk Sesuai
Sumber: 1) Nybakken 1988, 2) Gomez dan Yap 1988, 3) Sukarno et al., 1981
Berdasarkan sistem penilaian diatas, maka kawasan yang ada termasuk ke dalam kategori-kategori tersebut bila berada pada kisaran nilai: S1 (Sangat sesuai)
= 77 - 88
; S3 (Sesuai bersyarat)
= 33 – < 55
S2 (Sesuai)
= 55 – < 77
; N (Tidak sesuai)
= < 25
3.3.3.2. Potensi Pengembangan Pariwisata Bahari Adapun syarat-syarat yang diperlukan untuk kegiatan pariwisata bahari, khususnya diving antara lain: (1) persentase penutupan karang (2) kecerahan perairan, (3) kecepatan arus, (4) kedalaman terumbu karang, (5) jenis life form, dan (6) jenis ikan karang. Adapun dasar penetapan parameter tersebut adalah sebagai berikut:
38
1. Kecerahan perairan Perairan yang cerah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata diving, dimana semakin cerah suatu perairan keindahan taman laut yang dapat dinikmati wisatawan juga semakin tinggi. Daerah dengan nilai kecerahan 80 – 100% adalah merupakan lokasi yang paling sesuai untuk wisata diving. Kawasan terumbu karang dengan kecerahan 20 – 50% masih dianggap layak untuk kegiatan wisata diving. Kawasan terumbu karang dengan nilai kecerahan yang kurang dari 20% dianggap tidak sesuai. 2. Kecepatan arus Kecepatan arus berkaitan dengan keamanan para wisatawan dalam melakukan aktivitasnya. Dengan demikian kecepatan arus yang relatif lemah merupakan syarat ideal untuk wisata diving. Arus yang kuat dapat membayakan keselamatan penyelam, kecepatan arus yang terbaik untuk keperluan diving adalah 0 – 0,17 (Arifin et al., 2001). 3. Kedalaman terumbu karang Kedalaman perairan menentukan pertumbuhan karang. Supriharyono (2000), menyatakan
bahwa
pengaruh
kedalaman
berhubungan
dengan
faktor
lingkungan, seperti cahaya, pergerakan air, dan bahkan di beberapa tempat lainnya dengan suhu dan salinitas. Secara umum kedalaman yang masih layak untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 10 – 15 meter. 4. Persentase penutupan karang, Jenis life form dan Jenis ikan karang Potensi karang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata bahari, khususnya wisata selam terdiri karang keras, karang lunak, dan biota lain yang berasosiasi dengan karang. Komunitas-komunitas ini mempunyai nilai daya tarik wisatawan karena memiliki variasi morfologi dan warna yang menarik. Parameter karang yang digunakan untuk kesesuaian wisata selam adalah persentase penutupan karang dan jenis life form. Tingginya persentase penutupan karang dan semakin banyak jenis life form serta ikan karang, merupakan faktor penentu suatu kawasan terumbu karang sebagai lokasi wisata diving.
39
Berdasarkan parameter tersebut disusun matriks kesesuaian. Kelas-kelas kesesuaian pada matriks tersebut menggambarkan tingkat kecocokan dari suatu bidang untuk penggunaan tertentu. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi kedalam empat kelas, yang didefinisikan sebagai berikut: Kelas S1: Sangat sesuai (highly suitable) Daerah ini tidak mempunyai pembatas (penghambat) yang serius untuk menetapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas (penghambat) yang tidak berarti atau berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan/tingkatan perlakuan yang diberikan. Kelas S2: Sesuai (Moderately suitable) Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) yang agak serius untuk mempertahankan
tingkat
perlakuan
yang
harus
ditetapkan.
Pembatas
(penghambat) ini akan meningkatkan masukan/tingkatan perlakuan yang diperlukan.
Kelas S3: Sesuai Bersyarat (Marginally suitable) Daerah ini mempunyai pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus ditetapkan. Pembatas (penghambat) ini akan lebih meningkatkan masukan/tingkatan perlakuan yang diperlukan. Kelas N: Tidak Sesuai (Not suitable) Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) permanen, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. Selanjutnya adalah menyusun matriks kesesuaian untuk peruntukan wisata bahari (diving) berdasarkan kondisi terumbu karang.
40
Tabel 4. Matriks kesesuaian lahan untuk pengembangan pariwisata bahari
No
Parameter
S1 (Sangat sesuai)
S2 ( sesuai)
S3 (Sesuai marginal)
N (Tidak sesuai)
1
Penutupan karang (%)
75 - 100
50 – 74,9
25 – 49,9
0,0 – 24,9
2
Kecerahan (m)
> 80%
50 – 80%
20 – <50%
< 20%
3
Kec. arus (m/det.)
0 – 0,17
>0,17 – 0,34
0,34 – 0,51
> 0,51
4
Kedalaman terumbu karang (m)
>10 - 15
>5 – < 10
>15 - 20
> 20 <5
5
Jenis life form
> 12
> 7 - 12
4-7
<4
6
Jenis ikan karang
> 100
50 - 100
20 - < 50
< 20
Sumber: Arifin et al., 2002; Modifikasi Yulianda, 2007
Tabel 5. Sistem penilaian potensi kawasan untuk pengembangan pariwisata bahari No
Parameter
Bobot
S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
1
Penutupan karang (%)
15
75 - 100
20
50 – 74,9
15
25 – 49,9
10
0,0 – 24,9
5
2
Kecerahan (m)
5
> 80%
8
50 – 80%
5
20 – <50%
2
< 20%
1
3
Kecepatan arus (m/det.)
10
0 – 0,17
15
0,17–0,34
10
0,34 – 0,51
5
> 0,51
1
4
Kedalaman (m)
5
>10 - 15
10
5 - < 10
7
>15 – 20
4
5
Jenis life form
10
> 12
15
< 7 - 12
10
4-7
5
<4
1
6
Jenis ikan karang
10
> 100
15
50 - 100
10
20 - < 50
5
< 20
1
TOTAL
S1 =
S2 =
S3 =
> 20 <5
N=
Sumber: Arifin et al., 2001; Modifikasi Yulianda, 2007 Berdasarkan sistem penilaian diatas, maka kawasan yang ada termasuk ke dalam kategori tersebut bila berada pada kisaran : S1 (Sangat sesuai)
= 713 – 840
; S3 (Sesuai bersyarat) = 245 – < 458
S2 (Sesuai)
= 458 – < 713 ; N (Tidak sesuai)
= < 245
1
41
3.3.4. Analisis Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang 3.3.4.1. Analisis akuntabilitas Penilaian akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang berdasarkan atas hasil analisis pada dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Nilai indeks pada setiap dimensi tersebut mencerminkan akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di daerah studi, dengan menggunakan reference dari bad (buruk) sampai good (baik) dalam selang 0 – 100. Selang indeks tersebut yaitu selang ≤ 24,9 dalam status buruk, selang 25 – 49,9 dalam status kurang, selang 50 – 74,9 dalam status cukup, dan selang > 75 dalam status baik (modifikasi Kruskal dalam Jhonson dan Wichern, 1992). Tabel 6 menyajikan atribut-atribut dan skor yang digunakan untuk menilai akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh. Atribut-atribut tersebut diperoleh berdasarkan pengamatan lapangan, studi literatur dan para peneliti terdahulu serta sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan secara berkelanjutan. Tabel 6. Dimensi dan atribut penilaian akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang No.
Atribut
1
Persentase penutupan karang
2
Keanekaragaman ikan karang
Atribut dan Dimensi Ekologi Skor Baik Buruk
Keterangan
0; 1; 2; 3; 4
4
0
0-10% (0); 11-30% (1); 31-50% (2); 51-75% (3); 76-100% : Modifikasi dari (Gomez dan Yap, 1988)
0; 1; 2
2
0
Kecil (0), sedang (1), Tinggi (2)
3
Kecepatan arus
0; 1; 2; 3
0
3
0-0,17 m/det (0); 0,17-0,34 m/det (1); 0,34-0,51 m/det (2); > 0,51 m/det (3) (Nybakken, 1988)
4
Substrat perairan
0; 1; 2; 3
0
3
Pasir kasar (0); Pasir halus (1); pasir & sedimen (2) sedimen (3) (Sukarno et al., 1981)
3
23-250C (0); 19-220C (1); 26350C (2); < 190C dan > 350C (3) (Nybakken, 1988)
3
32-350/00 (0); 28-310/00 (1); > 36 (2) 0/00; < 270/00 (3) (Nybakken, 1988)
5
6
Suhu
Salinitas
0; 1; 2; 3
0; 1; 2; 3
0
0
42
7
Kecerahan
0; 1; 2; 3
0
3
15-20 (0); 10-15 (1); 5-10 (2); < 5 (3) (Nybakken, 1988)
8
Kedalaman
0; 1; 2; 3
0
3
20-30 m (0); 10-19,9 m(1); 19,9 m (2); < 1 m (3) (Nybakken, 1988)
9
Memiliki spesies endemik
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1),
10
Sedimentasi
0; 1; 2
2
0
Tinggi (0), sedang (1), rendah (2)
11
Jumlah sungai
0; 1; 2
2
0
5 - 8 DAS (0); 2 - 5 DAS (1); 0 - 2 DAS(2)
12
Kondisi perairan
0; 1
1
0
> Baku mutu (0); < Baku mutu (1) (KEPMEN KLH No. 51 Tahun 2004).
13
Tingkat eksploitasi ikan karang
0; 1; 2; 3
0
3
Kurang (0); Tinggi (1); Lebih tangkap (2); collapsed (3) ( FAO dan Rapfish)
No.
Atribut
Atribut dan Dimensi Teknologi Skor Baik Buruk
Keterangan
1
Jenis alat tangkap
0; 1; 2
0
2
Mayoritas pasif (0); seimbang (1); mayoritas aktif (2): (Rapfish)
2
Selektivitas alat tangkap
0; 1; 2
2
0
Kurang selektif (0); agak selektif (1); sangat selektif (2)
3
Ketersediaan alur pelayaran
0; 1
1
0
Tidak ada (0) ; Ada (1)
4
Tipe kapal
0; 1; 2
0
2
1-5 GT (0); 5-10 GT (1); > 10 (2)
5
Teknologi penanganan pasca panen
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); sedikit (1); cukup lengkap (2): (Rapfish)
No.
Atribut
1
Jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan
2
Tingkat pendidikan
3
Pengetahuan lingkungan
4
Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya
5
Memiliki nilai estetika
Atribut dan Dimensi Sosial Ekonomi Skor Baik Buruk 0; 1; 2
0
2
Keterangan Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Nikijuluw, 2002)
0; 1; 2; 3
3
0
Tidak tamat SD (0); tamat SDSMP (1); tamat SMA (2); S0-S1 (3)
0; 1; 2
2
0
Sangat minim (0); cukup (1); banyak (2)
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1),
0; 1; 2
0
2
Tinggi (0), sedang (1), rendah (2)
43
6
Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah
0; 1; 2
2
0
Sangat tergantung (0); sedikit (1); tidak tergantung (2) (Nikijuluw, 2002)
7
Ketergantungan pada pariwisata bahari sebagai sumber nafkah
0; 1; 2
2
0
Sangat tergantung (0); sedikit (1); tidak tergantung (2)
8
Waktu yg digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang
0; 1; 2; 3
0
3
Hobi (0); paruh waktu (1); musiman (2); penuh waktu (3): (Rapfish)
9
Memiliki ekosistem untuk pend. & penelit
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
10
Pemandu wisata
0; 1
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
11
Tempat sewa scuba
0; 1
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
12
Wisatawan lokal
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2);
13
Wisatawan mancanegara
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2)
14
Jumlah objek wisata
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2)
15
Lama tinggal wisatawan
0; 1
1
0
Singkat (0); Lama (1)
4
Sangat menguntungkan (0); menguntungkan (1); break even (2); rugi (3); sangat merugikan (4): (Rapfish)
16
Keuntungan (profit)
0; 1; 2; 3; 4
0
17
Transfer keuntungan
0; 1; 2
0
2
Lokal (0); seimbang antara orang lokal dengan orang luar (1); keuntungan lebih banyak ke orang luar daerah (2): (Rapfish)
18
Zonasi peruntukan lahan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); ada tapi dilanggar (1); ada dan ditaati (2) (Nikijuluw, 2002)
No.
Atribut
Atribut dan Dimensi Kelembagaan Skor Baik Buruk
Keterangan
1
Ketersediaan peraturan pengelolaan SDY secara formal
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
2
Pemegang kepentingan utama
0; 1; 2
0
2
Nelayan (0); pemerintah (1); swasta (2) (Nikijuluw, 2002)
3
Tingkat kepatuhan masyarakat
0; 1; 2
2
0
Tidak patuh (0); sedang (1) Patuh (2) (Nikijuluw, 2002)
4
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0) kadang-kadang (1) Ada (2) (Nikijuluw, 2002)
44
5
Tokoh panutan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Nikijuluw, 2002)
6
Penyuluhan hukum lingkungan
0; 1; 2
2
0
Tidak pernah (0); jarang (1); sering (2) (Nikijuluw, 2002)
7
Koperasi
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
8
Tradisi/budaya
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
9
Forum Konservasi
0; 1
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
Analisis akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang dilakukan dengan
pendekatan
Rap-Insus-COREMAG
(Rapid
Appraisal
Index
of
Sustainability for Coral Reef Management). Pada prinsipnya pendekatan RapInsus-COREMAG adalah penerapan Rapfish. Ada beberapa tahapan yang dilakukan dengan pendekatan ini, yaitu seperti pada Gambar 5.
Penentuan Atribut
Penilaian Atribut
Ekologi Teknologi Sosial Ekonomi Kelembagaan Analisis Ordinasi Berbasis MDS
Penyusunan Indeks Akuntabilitas Gambar 5. Tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG Untuk setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisi akuntabilitas dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapangan dan analisis data sekunder. Rentang skor berkisar 0 – 4, tergantung pada keadaan masing-masing atribut, yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi paling menguntungkan.
45
Selanjutnya nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensi untuk menentukan posisi akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik ’baik (good) dan titik ”buruk (bad). Untuk memudahkan visualisasi digunakan analisis ordinasi. Proses ordinasi Rap-Insus-COREMAG menggunakan software Rapfish (Kavanagh, 2001). Proses algoritma Rap-Insus-COREMAG juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma Rapfish. Dalam implementasinya, Rapfish menggunakan teknik yang disebut Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis Multi Dimensional Scaling digunakan untuk mempresentasikan similaritas/disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young, 2001-URL). Sickle, 1997 menyatakan bahwa MDS dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Objek atau titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain. Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titiktitik yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005). Alder et al, 2001 menyatakan bahwa teknik ordinasi dengan mengkonfigurasikan jarak antar titik dalam t-dimensi yang mengacu pada jarak Euclidean antar titik.
Dalam ruang dua dimensi jarak
Euclidean dirumuskan sebagai berikut : d=
2
x1 − x2 + y1 − y2
2
………………………………………………(1)
Sedangkan dalam n-dimensi jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut : d=
2
2
2
x1 − x2 + y1 − y2 + z1 − z2 + ...) …………………………….(2)
Dalam menilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, masing-masing kategori yang terdiri dari beberapa attribut di skor. Skor secara umum di rangking antara 0 sampai 4. Hasil skor dimasukkan ke dalam tabel matrik dengan I baris yang mempresentasikan kategri pengelolaan kawasan terumbu karang dan J kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data dalam matrik adalah data interval yang menunjukkan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress
46
(Davison dan Skay, 1991). Salah satu pendekatan untuk menormalkan data adalah dengan nilai Z (Alder et al 2001) :
Z = ( x − µ ) / σ ………………………………………………...(3) Kruskal dalam Jhonson dan Wichern, 1992 mengajukan sebuah ukuran luas secara geometri yang mempresentasikan kecocokan . Ukuran tersebut diistilahkan dengan stres. Stres didefinisikan sebagai :
(
⎧ ∑∑ d ( q ) − d ( q ) ik ik ⎪ Stres (q ) = ⎨ i < k (q) 2 ⎪ ∑∑ d ik ⎩ i
[ ]
) ⎫⎪ 2
1/ 2
……………………………………...(4)
⎬ ⎪ ⎭
Software Rapfish merupakan pengembangan MDS yang terdapat dalam software SPSS, untuk proses rotasi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu software. Melalui MDS ini, posisi titik akuntabilitas tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrim ”buruk” yang diberi nilai skor 0% dan titik ekstrim yang ”baik” diberi nilai skor 100%. Posisi status akuntabilitas yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim tersebut. Nilai ini merupakan indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh saat ini. Jika analisis dimensi ini telah dilakukan maka analisis perbandingan akuntabilitas antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram), seperti pada Gambar 6 berikut: Ekologi 6 4 2 Kelembagaan
0
Teknologi
Sosial Ekonomi
Ilustrasi Diagram Layang
Gambar 6. Ilustrasi akuntabilitas dari setiap dimensi
47
Skala indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang mempunyai selang 0% – 100%. Jika sistem yang dikaji mempunyai indeks > 50% maka sistem tersebut dikategorikan akuntabel, dan sebaliknya jika nilainya < 50%, maka sistem tersebut dikategorikan belum akuntabel. Dalam studi ini disusun empat kategori status akuntabilitas berdasarkan skala dasar (0 - 100) seperti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7.
Kategori status akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus-COREMAG (modifikasi Kruskal dalam Jhonson dan Wichern, 1992) Stress/Indeks
Kategori
≤ 24, 9
Buruk
25 – 49,9
Kurang
50 – 74,9
Cukup
> 75
Baik
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut mana yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap Insus-COREMAG di lokasi studi. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu-x atau skala accountability. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut didalam pembentukan nilai Insus-COREMAG pada skala akuntabilitas, atau semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan kawasan terumbu karang. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses untuk menduga nilai ordinasi pengelolaan kawasan terumbu karang digunakan analisis Monte
Carlo.
Secara
lengkap,
tahapan
analisis
Rap-Insus-COREMAG
menggunakan metode MDS dengan aplikasi Rapfish disajikan pada Gambar 7.
48
Mulai
Review Attribut
Identifikasi & Definisi
(termasuk variasi kategori dan konfirmasi kriteria skoring)
(berdasarkan kriteria yang konsisten)
Skoring (membangun referent point untuk baik dan buruk terhadap masing-masing indikator kinerja)
Multi Dimensional Scaling Ordination Simulasi Monte Carlo
Leverage Analysis
(untuk mengetahui ketidakpastian analisis)
(untuk mengetahui anomali dari atribut yang dianalisis)
Penilaian Akuntabilitas
Gambar 7. Proses analisis Rap-Insus-COREMAG dengan pendekatan MDS 3.3.4.2. Analisis Sistem Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang
Analisis sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai sensitivitas setiap atribut dan nilai koefisien dari setiap dimensi, yakni dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan. Konsep dasar sistem ini mengacu pada efek berantai (Cyclic effect) dimana dengan terjadinya perubahan nilai indeks akuntabilitas, maka akan mempengaruhi sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Perumusan skenario dikembangkan dengan menggunakan perangkat lunak Stella versi 8.0.
IV. KONDISI TERUMBU KARANG DAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN 4.1. Kondisi Terumbu Karang Secara umum hasil yang diperoleh dari 17 lokasi yang diamati memperlihatkan hasil yang berbeda. Persentase penutupan karang batu yang terdiri dari hard coral (Acropora) dan hard coral (non-Acropora) merupakan acuan dalam menentukan kondisi terumbu karang. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka terumbu karang di lokasi studi dengan persentase penutupan karang batu yang terdiri dari bentuk hidup hard coral (Acropora) dan hard coral (non-Acropora) adalah sebagai berikut: Lirang 41.77% termasuk kategori sedang; Nusu 49.98% kategori sedang; Kareko kategori 87.83% kategori baik sekali; Binuang 32.39% kategori sedang; Pintu Kota 44.15% kategori sedang; Batuwoka 44.65% kategori sedang; Mawali 11.50% tergolong sebagai kondisi buruk; Papusungan 11.34% tergolong sebagai kondisi buruk; Batulubang 8.57% kategori buruk; Paudean 43.20% kategori sedang; Pasir panjang 32.01% kategori sedang; Kasawari 29.32% kategori sedang; Makawidey 49.56% kategori sedang; Tandurusa 27.71% kategori sedang; Aertembaga 0% tergolong sebagai kondisi buruk; Manembo-Nembo 12.06% kategori buruk; dan Tanjung Merah 43.2% kategori sedang. Pembagian kategori tersebut mengacu pada : 0-24,9% maka tergolong sebagai kondisi buruk, 25-49,9% adalah sedang; 50-74,9% baik; dan 75-100% adalah baik sekali (Gomes dan Yap, 1998). Terumbu karang tidak ditemukan di lokasi Aertembaga, dimana pada lokasi tersebut terdapat aktifitas pelabuhan, baik pelabuhan perikanan, pelabuhan domestik dan pelabuhan container, serta merupakan daerah padat industri. Komunitas karang di Papusungan dan Manembo-Nembo mengalami degradasi kearah kepunahan. Pada saat sekarang komunitas karang di kedua lokasi tersebut sudah tidak dapat dikatakan sebagai terumbu karang lagi karena rendahnya presentasi tutupan karang hidup dan jarangnya pertumbuhan karang. Persentase penutupan karang hidup yang termasuk kategori baik sekali hanya dapat dijumpai di Kareko yang letaknya di sebelah utara Selat Lembeh. Degradasi karang terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di daerah Pesisir Bitung dan daerah Pulau Lembeh yang berdekatan dengan zona pelabuhan dan
50
industri. Terumbu karang di wilayah Pesisir Bitung menunjukkan semakin rendah persentase tutupan, menurunnya jumlah koloni dan diameter rata-rata koloni serta berkurangnya jumlah jenis karang. Pada wilayah tersebut banyak ditemukan koloni dengan ukuran yang kecil (<10 cm). Hal ini mungkin dapat dikatakan sebagai komunitas karang muda yang sedang mengalami regenerasi, akan tetapi jika dibandingkan dengan lokasi yang lebih ke utara Selat Lembeh ternyata jumlah koloni dengan ukuran kecil masih lebih mudah. Regenerasi dan suksesi berjalan sangat lambat karena jumlah koloni dengan ukuran yang lebih besar sangat sedikit yang berarti banyak terjadinya kematian pada ukuran yang lebih besar. Bak dan Luckhurst (2000) mengamati komunitas karang di Curacao menemukan kematian karang banyak terjadi pada karang yang berukuran lebih besar dari 30 cm dan penyebabnya lebih banyak karena faktor alami. Penyebab degradasi karang di Selat Lembeh diduga disebabkan karena menurunnya kondisi perairan setempat akibat aktivitas industri, aktivitas pelabuhan dan aktivitas manusia. Penurunan kecerahan air oleh adanya sedimentasi terutama pada saat musim hujan. BPS Kota Bitung (2005), melaporkan bahwa DAS yang bermuara di Selat Lembeh yaitu Girian, Sagerat, Tanjung Merah, Tewaan, dan Rinondoran. Penurunan tingkat kecerahan juga membawa akibat penurunan kedalaman maksimal dimana karang masih dapat hidup dan menurunnya kecepatan tumbuh karang (Scoffin, 1996). Penelitian tentang kondisi terumbu karang di selat Lembeh ditemukan 47 genera karang batu. Berdasarkan lokasi pengamatan, Kareko memperlihatkan jumlah genera terbanyak yaitu 41 genera dan terendah di lokasi Aertembaga (Gambar 8). Penelitian serupa juga dilaporkan oleh Pratasik et al. (2003), menemukan sekitar 43 genera karang batu di Selat Lembeh.
51
50
Jumlah Genera
40 30 20 10
Tj.Merah
Manembo
Tandurusa
Aertembaga
Lokasi
Makawidey
Kasawari
Ps. panjang
Paudean
Batulubang
Papusungan
Mawali
Batuwoka
Pintu Kota
Binuang
Kareko
Nusu
-10
Lirang
0
Gambar 8. Jumlah genera karang batu di Selat Lembeh Pratasik et al., (2003), melaporkan bahwa genus Montipora mendominasi jumlah koloni sebanyak 116 koloni, diikuti oleh Acropora 97 koloni, Porites 72 koloni, Fungia 46 koloni dan Pectinia sebanyak 42 koloni (Gambar 9). Hasil ini menunjukan bahwa perairan Selat Lembeh mempunyai karakteristik perairan yang relatif tidak terlalu jernih dengan visibility rata-rata berkisar antara 10-15 m. Genus Montipora dan Porites dikenal sebagai genera yang lebih eksis pada perairan yang relatif keruh dengan daya adaptasi yang tinggi untuk daerah-daerah bervisibility rendah seperti daerah rataan terumbu yang merupakan daerah terumbu yang dominan di perairan Selat Lembeh, sedangkan Fungia merupakan genus karang batu yang lebih memilih substrat pasir sebagai habitat utamanya.
150 100 50
Pe ctin ia
Genera
Fu ng ia
Po rite s
-50
Ac rop ora
0 Mo nti po ra
Jumlah Koloni
200
Gambar 9. Dominasi jumlah koloni karang batu di Selat Lembeh
52
Non-Acropora
Dead-Coral
Algae
Other Fauna
Abiotic
120 100 80 60 40
Tj.Merah
Aertembaga
Tandurusa
Makawidey
Kasawari
Ps. panjang
Paudean
Batulubang
Papusungan
Mawali
Batuwoka
Pintu Kota
Binuang
Kareko
Nusu
0
Manembo
20 Lirang
% Penutupan Karang
Acropora
Lokasi
Gambar 10. Persentase tutupan dari kategori benthic lifeforms di Selat Lembeh Gambar 10 di atas memperlihatkan hasil analisis dari Line Intercept Transect (LIT) untuk kategori benthic lifeform dari karang batu, Acropora dan non-Acropora, dead coral, algae, other fauna, dan abiotik di lokasi studi. Nilainilai dari kategori tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan kategori penilaian Yap dan Gomez (1984), penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di selat Lembeh umumnya
cukup baik dengan rata-rata
persentase tutupan karang hidup berkisar 35,28%. Persentase tutupan karang tertinggi diperoleh di lokasi Kareko sebesar 87,83%, dan terendah ditemukan di lokasi Aertembaga dengan presentase tutupan 0,00% (Gambar 11).
100.00 80.00 60.00 40.00 20.00
Lokasi
Gambar 11. Persentasi tutupan karang hidup di Selat Lembeh
Tj.Merah
Manembo
Aertembaga
Tandurusa
Makawidey
Kasawari
Ps.Panjang
Paudean
Batulubang
Papusungan
Mawali
Batuwoka
Pintu Kota
Binuang
Kareko
-20.00
Nusu
0.00 Lirang
% Penutupan Karang
120.00
53
Pada Lampiran 2 dan 3 dapat dilihat peta sebaran persentase tutupan karang di pesisir Bitung dan peta sebaran persentase tutupan karang di Pulau Lembeh. 4.2. Karakteristik Lingkungan Perairan Karakteristik lingkungan perairan berperan penting bagi seluruh organisme perairan untuk menunjang proses kehidupannya. Dalam studi ini pengamatan karakteristik lingkungan perairan dilakukan dengan tujuan untuk menentukan present status kondisi perairan Selat Lembeh. Terdapat 17 stasiun pengamatan yang ditentukan dengan alat bantu GPS (Global Positioning System). Hasil pengamatan karakteristik lingkungan perairan dapat dilihat pada Lampiran 4. Untuk mengkaji karakteristik lingkungan perairan dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) (Legendre dan Legendre, 1983; Ludwig dan Reynolds, 1988); (Bengen, 2000). Lebih lanjut Bengen (2000), menyatakan bahwa PCA dapat digunakan untuk memperoleh hubungan antara parameter biofisik sekaligus mendeterminasi pengelompokan stasiun berdasarkan parameter biofisik. Adapun matrik korelasi parameter kondisi perairan Selat Lembeh disajikan pada Tabel 8 berikut. Hasil Analisis matriks korelasi data karakteristik lingkungan perairan di kawasan Selat Lembeh memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama dari tiga sumbu adalah tinggi, yaitu 73,144% (Tabel 9). Dengan demikian berarti ketiga komponen utama sudah dapat menjelaskan sekitar 73,144% dari seluruh informasi yang terkandung dalam parameter. Gambar 12 dan 13 menjelaskan bahwa stasiun Tandurusa dan Papusungan dicirikan oleh parameter pH, kekeruhan, BOD5, dan nitrat yang tinggi. Keasaman (pH) suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup penting dalam memantau kualitas perairan. Pada umumnya pH air laut nilainya relatif stabil, dengan kisaran antara 7,5 – 8,4. Perubahan nilainya sangat berpengaruh terhadap proses kimia maupun biologis dari jasad hidup yang berada dalam perairan tersebut (Pescod, 1978) dalam (Susana, 2005). Hasil pengamatan pH di perairan Selat Lembeh menunjukkan variasi yang normal untuk perairan pantai (Lampiran 4). Batas toleransi organisme akuatik terhadap nilai pH bervariasi, tergantung pada suhu air laut, konsentrasi oksigen terlarut serta adanya anion dan kation. (Pescod, 1978)
54
dalam (Susana, 2005), memberikan batasan nilai pH yang ideal bagi kehidupan biota laut yaitu berkisar antara 6,5 – 8,5. Alaert & Santika (1987), menyatakan bahwa kekeruhan perairan berasal dari partikel-partikel run-off, aliran sungai, buangan industri dan rumah tangga. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produsen. Hasil pengukuran kekeruhan diperairan Selat Lembeh berkisar antara 0,12 – 1,51 ntu (Lampiran 4). Stasiun Tandurusa dan Papusungan dicirikan oleh parameter kekeruhan, hal tersebut diduga bahwa pada lokasi tersebut telah terjadi masukan zat-zat/bahan-bahan yang dapat menurunkan kualitas perairan. Namun demikian kadar kekeruhan tersebut masih di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh Kepmen KLH/51/2004 yakni 5 ntu. Menurut Monoarfa (2002), BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan untuk mendegrdasi bahan organik secara biokimia, juga dapat diartikan sebagai ukuran bahan yang dapat dioksidasi melalui proses biokimia. Oleh karena itu, tujuan pemeriksaan BOD adalah untuk menentukan pencemaran air akibat limbah domestik atau limbah industri. Kandungan BOD5 memperlihatkan nilai yang cukup bervariasi selama pengamatan, nilainya berkisar antara 1,10 – 3,80 mg/l (Lampiran 4). Lokasi/stasiun Tandurusa memiliki kandungan BOD5 sebesar 2,52 mg/l dan Papusungan 3,80 mg/l. Menurut Effendi (2000), Nitrogen di dalam perairan dapat berupa nitrogen anorganik maupun organik. Nirogen organik terdiri dari bentuk ammonia (NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3) serta molekulmolekul nitrogen (N2) berupa gas. Sementara itu nitrogen organik adalah berupa protein, asam amino dan urea. Di dalam perairan, bentuk-bentuk tersebut akan selalu mengalami perubahan bentuk atau dikenal dengan siklus nitrogen. Nitrat merupakan komponen nitrogen yang sangat penting bagi proses-proses biologis di laut antara lain dalam fotosintesis organisme autotrof. Kandungan nitrat diperairan dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kesuburan perairan. Menurut Wetzel (1975), perairan dikatakan dalam kondisi oligotrofik bila kandungan nitratnya antara 0 – 1 mg/l, mesotrofik antara 1 – 5 mg/l, dan eutrofik berkisar antara 5 – 50 mg/l. Hasil pengukuran terhadap kandungan nitrat di lokasi penelitian memperlihatkan nilai yang cukup bervariasi antar stasiun, yaitu berkisar antara
55
0,011 – 0,078 mg/l. Stasiun Tandurusa memiliki nilai 0,078 mg/l dan Papusungan dengan nilai 0,042 mg/l. Stasiun Pasir Panjang, Paudean, Tanjung Merah, Batulubang, Makawidey, Kareko, dan Mawali dicirikan oleh parameter substrat, salinitas, ammonia, dan kecepatan arus yang tinggi. Menurut Brower dan Zar (1997), tekstur substrat terdiri atas campuran pasir, lumpur dan liat. Tidak ada substrat yang terdiri atas satu fraksi saja. Menurut Blott dan Pye (2001), berdasarkan diameter butirannya, maka sedimen dibagi atas beberapa kelas yaitu batuan besar (boulder), kerikil (gravel), pasir (sand), lumpur (silt) dan liat (clay). Hasil pengamatan substrat di lokasi penelitian bervariasi, yaitu Pasir berlumpur; karang berpasir dan pasir. Lebih lanjut Blott dan Pye (2001), menyatakan bahwa perbedaan dalam komposisi sedimen dan distribusi butirannya disebabkan oleh perbedaan energi gelombang dan arus yang terjadi antar lokasi penelitian, selain sumber sedimennya. Hasil pengamatan substrat di Selat Lembeh menunjukkan bahwa stasiun bagian utara dan selatan memiliki substrat lebih kasar dibandingkan dengan stasiun di bagian tengah Selat Lembeh, hal ini disebabkan oleh lebih besarnya energi gelombang dan kecepatan arus-nya. Hasil pengukuran salinitas di lokasi tersebut adalah masing-masing berkisar 32,6 0/00, 32,6 0/00, 32,5 0/00, 32,6 0/00, 32,4 0/00, 32,4 0/00, 32,6 0/00, 32,4 0/00, dan 32,5 0/00. Menurut Hutabarat dan Evans (1986), salinitas akan turun secara tajam akibat oleh besarnya curah hujan. Lebih lanjut Nontji (2003), salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 0/00 – 37 0/00. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32-34 0/00 (Romimohtarto dan Juwana, 1999), sedangkan untuk laut terbuka umumnya salinitas berkisar antara 33-37 0/00 dengan rata-rata 35 0/00. Salinitas ini juga masih baik untuk kehidupan organisme laut, khususnya ikan. Ammonia (NH3-N) merupakan senyawa nitrogen yang pada kadar tinggi bersifat racun terhadap organisme perairan. Sumber ammonia pada air permukaan adalah air seni dan tinja, dan juga hasil oksidasi senyawa organik secara mikrobiologis, yang berasal dari air alam atau limbah industri dan domestik. Kadar ammonia yang tinggi dapat menimbulkan pencemaran dan membahayakan kehidupan biota laut. Hasil pengukuran kadar ammonia di stasiun Pasir Panjang, Paudean, Tanjung Merah, Batulubang, Makawidey, Kareko, dan Mawali, masing-masing 0,042 mg/l, 0,025 mg/l, 0,062 mg/l, 0,041 mg/l, 0,054
56
mg/l, 0,045 mg/l, 0,052 mg/l, 0,032 mg/l,, dan 0,047 mg/l. Kadar ini lebih rendah dari Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan oleh KMNLH (2004) untuk biota laut yakni sebesar 0,3 mg/l. Stasiun Kasawari, Lirang, Binuang, Nusu, Pintu Kota, dan Batuwoka dicirikan oleh parameter suhu, kecerahan, dan kedalaman yang tinggi, sedangkan lokasi Aertembaga dan Manembo-Nembo dicirikan oleh parameter COD dan fosfat yang tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa lokasi studi yang menerima limpahan air dari aliran sungai dan menerima limbah dari aktifitas industri dan pelabuhan sangat mempengaruhi parameter karakteristik lingkungan perairan. BPS Kota Bitung (2005), melaporkan bahwa terdapat 5 (lima) buah sungai utama yang bermuara ke Selat Lembeh, yaitu Sungai Girian, Sagerat, Tanjung Merah, Tewaan dan Rinondoran. Sungai-sungai ini mengalir sepanjang tahun, anak sungai yang berada disekitarnya bersifat sungai tadah hujan. Pengukuran kondisi perairan Selat Lembeh yang dilakukan oleh Manengkey et al., (2005), menyimpulkan bahwa kondisi perairan wilayah Bitung Timur
lebih banyak mendapat tekanan dari aktifitas industri dan aktifitas
pelabuhan sehingga menyebabkan beberapa parameter seperti DO, TDS dan TSS cukup tinggi, namun demikian kondisi tersebut masih di bawah baku mutu. Pada dasarnya baku mutu air laut sesuai dengan peruntukannya, yakni: kategori air laut untuk wisata mandi, renang dan selam, untuk budidaya laut, untuk konservasi, untuk bahan baku industri, dan untuk keperluan umum. Hasil pengukuran suhu diperairan Selat Lembeh berkisar antara 27,50C 28,40C (Lampiran 4). Stasiun Kasawari memiliki suhu perairan sekitar 28,40C , Lirang 28.10C, Binuang 28.40C, Nusu 27.90C, Pintu Kota 27.90C, dan Batuwoka dengan nilai suhu peraoran sekitar 28.30C. Menurut Ilahude dan Liasaputra (1980), suhu dipermukaan laut yang normal berkisar antara 25,6-32,30C dan antara 20-300C (Nybakken, 1988. Menurut Mulyanto (1992) suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-320C. Sebaran rata-rata salinitas permukaan untuk semua lokasi/stasiun pengamatan secara umum tidak menunjukkan perubahan yang besar. Sebaran salinitas berkisar antara 32,0-32,6 0
/00 (Lampiran 4). Cahaya dapat berubah dengan lintang dari variasi musiman
terhadap panjang hari dan efek kisaran sudut jatuhnya cahaya terhadap karang dan
57
simbionnya sebagaimanan ketergantungannya terhadap kedalaman perairan (Campbell dan Aarup, 1989). Pengaruh keberadaan cahaya terhadap distribusi karang pada berbagai kedalaman dan lintang kemungkinan mempunyai perbedaan yang kecil pada kecerahan perairan, suhu, pertumbuhan musiman mikroalga, kebutuhan cahaya zooxanthellae dan mekanisme foto adaptasi. Di wilayah yang berbeda letak lintangnya, misalnya di Izu Jepang (350 LU) dan Pulau Lord Howe (31,50 LS) serta Kepulauan Houtman Abrolhos (28,50 LS), karang secara reguler ditemukan pada perairan jernih sampai kedalaman 30 m dan kadang juga ditemukan di kedalaman 40 m dimana suatu substrat horizontal yang sesuai tersedia. Hasil pengukuran rara-rata kedalaman di lokasi penelitian berkisar antara 10 – 15 meter.
Tabel 9. Akar ciri dan persentase konstribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi F1 Akar Ciri
F2
F3
6.442
2.097
1.701
% variance
46.018
14.977
12.150
Cumulative %
46.018
60.994
73.144
58
Variables (axes F1 and F2: 60.99 %) 1 A rus
0.5 Sal.
Keruh
A mmo nia B OD5
pH Substrat
0
Nitrat
DO Suhu COD -0.5
Kecerahan Kedalaman
Fo sfat
-1 -1
-0.5
0
0.5
1
- - a xis F 1 ( 4 6 .0 2 %) - - >
Observations (axis F1 and F2: 60.99 %) 8
6
4 P asir panjang 2
Tj.M erah B atulubang Kareko M akawidey M awali
P audean
0
Kasawari
P apusungan
B inuang
Lirang
-2
Tandurusa
Nusu
A ertembaga
P intu Ko ta M anembo
B atuwo ka
-4
-6
-8 -8
Gambar 12.
-6
-4
-2 0 2 - - a xis F 1 ( 4 6 .0 2 %) - - >
4
6
8
Grafik analisis komponen utama parameter fisika-kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F2): A : Lingkaran korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan
59
Variables (axes F1 and F3: 58.17 %) 1
pH
Sal. 0.5 Kedalaman
B OD5
Kecerahan 0
Keruh COD Fo sfat Nitrat
DO A mmo nia Substrat A rus Suhu
-0.5
-1 -1
-0.5
0
0.5
1
- - a xis F 1 ( 4 6 .0 2 %) - - >
Observations (axis F1 and F3: 58.17 %) 8
6
4 P intu Ko ta
B atuwo ka 2
Lirang P audean Nusu
0
B atulubang
M awali P asir panjang
Tj.M erah Kareko M akawidey
-2
Kasawari
P apusungan
M anembo A ertembaga Tandurusa
B inuang -4
-6
-8 -8
Gambar 13.
-6
-4
-2 0 2 - - a xis F 1 ( 4 6 .0 2 %) - - >
4
6
8
Grafik analisis komponen utama parameter kondisi perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen uatama kedua (F3): A : Lingkaran korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan
60
4.3. Keterkaitan Karakteristik Lingkungan Perairan dengan Penutupan Karang Terumbu karang sangat sensitif terhadap bahan pencemar yang dihasilkan dari kegiatan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Perairan Selat Lembeh menampung berbagai bahan pencemar
limbah kota Bitung. Limbah
tersebut berupa buangan industri, aktifitas pelabuhan, buangan rumah tangga, dan sedimentasi, bahan pencemar ini dibawa ke perairan Selat Lembeh. Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar menunjukkan adanya pengaruh buruk bahan pencemar terhadap komunitas karang, seperti pengaruh minyak bumi terhadap karang (Loya dan Rinkevich, 2000, Peter et al., 2001), limbah rumah tangga (Dollar, 2001) pengaruh limbah panas (Jokiel dan Coles, 2000, Suharsono dan Brown, 1990), pengaruh sedimentasi (Chansang et al., 2001, Dollar dan Grigg, 2001, Yamazato, 1996, pengaruh logam berat (Harland, 1989) dalam Suharsono 1994. Distribusi persentase tutupan dari kategori benthic lifeforms karang batu, Acropora, non-Acropora, dead coral, algae, other fauna, dan abiotik pada setiap stasiun dan keterkaitannya dengan karakteristik lingkungan perairan dikaji dengan menggunakan Analisis Faktor Koresponden (Correspondence Analysis/CA). Kategori benthic lifeforms yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan Acropora, non-Acropora, dead coral, algae, other fauna, dan abiotik merupakan baris dalam matriks data yang digunakan dalan AFK. Sedangkan kolom dalam matriks data adalah stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) memperihatkan informasi utama sebaran dari kategori benthic lifeforms pada setiap lokasi pengamatan, bahwa penyebaran lifeforms terpusat pada 3 sumbu faktor utama (F1, F2 dan F3) yang masing-masing sumbu mampu menjelaskan sebesar 38,99 %, 28,86 % dan 15,14 % dari ragam total (Tabel 10).
61
Tabel 10. Akar ciri dan kontribusi inersi total pada 3 sumbu utama faktorial F1 Akar Ciri
F2
F3
0.344
0.254
0.134
Kontribusi Inersi Total
38.997
28.864
15.143
Cumulative %
38.997
67.861
83.004
Dengan menggunakan Analisis Faktor Koresponden (CA), maka Sumbu Utama Faktorial yang dikaji untuk mendapatkan informasi adalah 3 (tiga) sumbu faktor utama.
Hal ini ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa dengan
mengambil 3 (tiga) sumbu faktor tersebut (F1, F2 dan F3), maka sudah dapat merepresentasikan 83,00% dari variabel total atau sebaran kategori benthic lifeforms pada setiap stasiun pengamatan. Hasil analisis yang telah dilakukan mampu mengelompokkan titik-titik pengamatan beberapa kelompok besar asosiasi atau yang mempunyai keterkaitan antara kategori benthic lifeforms dengan stasiun. Hasil analisis pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) dapat memisahkan 3 (tiga) kelompok asosiasi atau dicirikan oleh kategori benthic lifeforms dengan stasiun pengamatan.
Kelompok I dicirikan oleh alga, non-
Acropora dan dead coral yang tinggi dan berasosiasi dengan stasiun Binuang, Kasawari, dan Makawidey yang memiliki parameter kedalaman, kecerahan, suhu, kecepatan arus yang tinggi. Kelompok II terdiri dari lokasi Papusungan, Manembo-Nembo, Tandurusa dan Aertembaga yang dicirikan oleh abiotik yang tinggi. Sedangkan kelompok III adalah Acropora dan other fauna yang berasosiasi dengan lokasi Pintu Kota, Batuwoka, Nusu, Lirang, Mawali, Batulubang, Paudean, Pasir Panjang, Kareko dan Tanjung Merah yang memiliki parameter substrat, ammonia dan salinitas yang tinggi (Gambar 14).
62
Symmetric Plot (axes F1 and F2: 67.86 %)
2
M awali
1.5
B atulubang 1 Other Fauna B inuang
A lgae 0.5
B atuwo ka
Lirang P intu Ko ta Kasawari
P apusungan M o tto No n-A cro po ra M anembo Tj.M erah P audean Tandurusa M akawidey Dead-Co ral Do rbo laang A bio tic Nusu A cro po ra P ancuran P s. panjang P o so kan A ertembaga Kareko
0
-0.5
-1
-1.5
-2 -2
-1.5
-1
-0.5 0 0.5 - - a xis F 1 ( 3 9 .0 0 %) - - >
1
1.5
2
Gambar 14. Analisis Faktorial Koresponden lokasi dengan kategori benthic lifeforms pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2). Hasil asosiasi tersebut menujukkan bahwa kategori benthic lifeforms pada kelompok yang sama mempunyai kemiripan dan dapat digunakan sebagai pencirian stasiun.
Dengan demikian asosiasi dari ketiga kelompok ini,
menujukkan hubungan keeratan antara lifeforms dengan karakteristik lingkungan perairan. Hasil asosiasi pada masing-masing lokasi ini menunjukkan keeratan hubungan antara lifeforms pada beberapa stasiun. Symmetric Plot (axes F1 and F3: 54.14 %) 2
1.5
1 B atuwo ka A lgae Kareko P intu Ko ta B inuang Kasawari P audean P apusungan A ertembaga A cro po ra P o so kan Tj.M erah No n-A cro po ra A bio tic M anembo P s. panjang Nusu Lirang M o tto Tandurusa B atulubang M awali M akawideyOther Fauna P ancuran Do rbo laang Dead-Co ral
0.5
0
-0.5
-1
-1.5
-2 -2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
- - a xis F 1 ( 3 9 .0 0 %) - - >
Gambar 15. Analisis Faktorial Koresponden lokasi dengan kategori benthic lifeforms pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3)
63
Hasi Analisis pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3) dapat memisahkan 2 (dua) kelompok asosiasi atau dicirikan oleh kategori benthic lifeforms dengan stasiun pengamatan.
Kelompok I terdiri dari Abiotik yang
berasosiasi dengan lokasi Papusungan, Aertembaga, Manembo-Nembo dan Tandurusa yang memiliki parameter pH, BOD5, Kecerahan, COD, fosfat dan nitrat yang tinggi. Hasil studi ini memperkuat hasil penelitian Suharsono dan Yosephine (1994), menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara persentase tutupan karang hidup dengan kecerahan air di 27 pulau di Kepulauan Seribu. Semakin rendah transparasi air semakin kecil pula persentase tutupan karang hidup. Terlihat ada korelasi negatif antara pertumbuhan karang Porites lutea dan kecerahan air (r2=0,2;P<0,02). Scoffin (1996), menyatakan bahwa semakin tinggi kekeruhan air semakin lambat pertumbuhan karang. Lebih lanjut, Anderson et al. (2004), menyatakan bahwa peran nutrient N, P, C, Fe yang berasal dari bahan organik dan anorganik dari perairan laut akan berperan penting dalam pengkayaan nutrien laut dan berpengaruh nyata terhadap keberadaan bakteri laut (Atlas, 1993). Masuknya sedimentasi dan nutrien yang dibawa oleh aliran sungai juga menyebabkan terjadinya pengayaan nutrien di Selat Lembeh. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan meningkatnya kadar fosfat dan nitrat di Selat Lembeh, khususnya di kawasan Pesisir Bitung. Akibat adanya pengayaan nutrien menyebabkan terjadinya ledakan populasi algae. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan diperkirakan mempunyai efek yang cukup nyata bagi kehidupan terutama dalam menentukan struktur dan komposisi organisme penyusunnya. Salah satu penyebabnya adalah bahwa hewan karang memerlukan perairan yang sangat bersih pada habitat yang dihuninya, salah satu aspek paling krusial dari kualitas air tersebut adalah konsentrasi nutrien dalam perairan. Nutrien adalah elemen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan semua mahluk hidup dan bila mereka tidak tersedia dengan cukup, maka organisme tidak akan mampu untuk tumbuh dengan baik. Di perairan pesisir, dua nutrien utama yaitu nitrogen dan fosfor hadir dengan konsentrasi rendah sehingga mereka akan menghalangi pertumbuhan yang penuh (full growth). Terumbu karang adalah ekosistem yang memerlukan nutrien lingkungan dengan konsentrasi rendah, seperti di lautan tropis, dimana tumbuhan dan
64
organisme autotrof lainnya seringkali memanfaatkan nitrogen dan fosfor yang tersedia. Kondisi nutrien yang kaya di perairan (perairan eutrofik) akan membahayakan karang dan bahkan mampu membunuh terumbu karang, salah satunya adalah akibat kompetisi antara karang dengan alga yang sudah sangat luas terjadi di sejumlah terumbu karang dengan melibatkan sejumlah interaksi. Pergantian secara luas komunitas karang yang didominasi oleh makroalga sering mengindikasikan adanya gangguan eksternal, tidak hanya akibat kompetisi overgrowth, namun juga sampai pada penghambatan kompetitif rekruitmen karang dengan konsekuensi terhalangnya pemulihan terumbu karang. berdasarkan uraian tersebut diduga pemulihan terumbu karang melalui rekruitmen karang di Pesisir Bitung khususnya lokasi/stasiun dekat industri dan pelabuhan akan terhalang akibat tingginya kandungan nutrien di perairan dibandingkan dengan Pulau Lembeh. Kelompok II terdiri Acropora, non-Acropora, dead coral, algae, dan other fauna yang berasosiasi dengan lokasi Binuang, Kasawari, Makawidey, Pintu Kota, Batuwoka, Nusu, Lirang, Mawali, Batulubang, Pancuran, Pasir Panjang, Kareko, dan Tanjung Merah yang memiliki parameter Suhu, Substrat, Ammonia, Kecepatan arus, kekeruhan, kedalaman dan salinitas yang tinggi. Hasil studi ini mendukung pendapat Suharsono dan Yosephine (1994), bahwa terdapat korelasi positif antara kedalaman maksimum karang hidup dengan kecerahan air (r2 = 0,49; P < 0,0004). Kedalaman maksimum karang yang hidup di pulau yang dekat dengan Jakarta lebih dangkal jika dibandingkan dengan pulau-pulau yang lebih jauh dari Jakarta. Degradasi komunitas karang di Selat Lembeh berhubungan erat dengan penurunan kualitas perairan. Penurunan kualitas perairan ini sebagai dampak negatif aktivitas pertanian di Pulau Lembeh dan aktivitas industri di Pesisir Bitung. Pertambahan penduduk yang sangat pesat dan cepatnya perkembangan industri-industri kecil sampai berskala besar membutuhkan pembukaan lahan baru untuk pemukiman dan industri. Semua ini membawa dampak penambahan bahan buangan dari daerah pembukaan lahan baru, bahan pencemaran dari berbagai industri, pertanian dan buangan rumah tangga yang akhirnya masuk ke perairan Selat Lembeh.
65
Hasil asosiasi tersebut menujukkan bahwa kategori benthic lifeforms pada kelompok yang sama mempunyai kemiripan dan dapat digunakan sebagai penciri dari masing-masing stasiun (Gambar 15). Dengan demikian asosiasi dari ke-dua kelompok ini, menunjukkan keeratan hubungan antara kategori benthic lifeforms dengan karakteristik lingkungan perairan pada setiap stasiun. Hasil asosiasi pada masing-masing stasiun menunjukkan keeratan hubungan antara kategori benthic lifeforms pada beberapa stasiun. D’Elia dan Webb (1977) dalam Mann (1992), menyatakan bahwa koloni Pocillopora elegans aktif mengambil senyawa nitrat dalam air laut pada siang hari maupun malam hari. Demikian pula dengan ammonia, jumlah pengambilan ammonia dua kali lebih besar dari jumlah pengambilan nitrat. Hal tersebut membuktikan bahwa nitrogen yang diambil oleh Pocillopora, 2/3 bagian diperoleh dari ammonium dan 1/3 sisanya dari nitrat, dimana proses ini dilakukan oleh zooxanthellae. Selain nitrat dan ammonium langsung diambil dari air laut sebagian sumber nitrogen, ketersediaan zooplankton dan detritus juga merupakan sumber nitrogen bagi karang dalam jumlah yang kecil, karena sebagian besar nutrient bagi karang diperoleh dari hasil fotosintesis zooxanthellae.
Tabel 8. Matrik korelasi parameter karakteristik lingkungan perairan Selat Lembeh
Parameter Suhu Salinitas pH DO BOD5 Keruh COD Ammonia Fosfat Suhu 1 0.051 -0.385 -0.403 -0.275 0.517 -0.647 -0.634 0.483 Salinitas 0.051 1 0.322 0.264 -0.253 0.158 -0.433 -0.584 -0.545 pH -0.385 0.322 1 -0.130 0.235 0.191 0.039 -0.064 0.004 DO 0.264 -0.130 1 -0.357 0.517 -0.622 -0.657 -0.449 0.489 BOD5 -0.253 0.235 1 -0.647 -0.622 0.913 0.591 -0.493 0.487 Keruh 0.191 1 -0.634 -0.433 -0.657 0.913 0.585 -0.438 0.478 COD -0.403 0.039 1 -0.584 -0.449 0.591 0.585 -0.622 0.831 Ammonia 0.158 -0.064 1 -0.427 0.483 0.489 -0.493 -0.438 -0.622 Fosfat -0.275 0.004 -0.357 -0.427 1 -0.545 0.487 0.478 0.831 Nitrat -0.395 0.099 -0.341 -0.524 -0.440 0.588 0.666 0.765 0.488 Kecerahan 0.148 -0.125 0.329 -0.330 0.578 0.549 -0.727 -0.771 -0.438 Kedalaman 0.170 0.127 0.029 0.155 -0.267 0.136 -0.097 -0.525 -0.567 Arus 0.211 0.305 -0.211 0.247 -0.153 -0.126 -0.564 0.524 -0.495 Substrat 0.072 -0.121 0.588 0.489 -0.714 -0.473 -0.612 0.616 -0.442 In bold, significant values (except diagonal) at the level of significance alpha=0.050 (two-tailed test)
Nitrat -0.395 -0.524 0.099 -0.440 0.588 0.666 0.765 -0.341 0.488 1 -0.561 -0.469 -0.162 -0.480
Kecerahan 0.578 0.148 -0.125 0.549 -0.727 -0.771 -0.438 0.329 -0.330 -0.561 1 0.721 -0.093 0.462
Kedalaman 0.170 0.127 0.029 0.155 -0.525 -0.567 -0.267 0.136 -0.097 -0.469 0.721 1 -0.307 0.148
Arus 0.211 0.305 -0.211 0.247 -0.153 -0.126 -0.564 0.524 -0.495 -0.162 -0.093 -0.307 1 0.259
Substrat 0.588 0.072 -0.121 0.489 -0.714 -0.473 -0.612 0.616 -0.442 -0.480 0.462 0.148 0.259 1
54
Gambar 16. Peta sebaran ekosistem pesisir dan lokasi penyelaman di Selat Lembeh (Mitra Pesisir Sulut, 2005) 68
Gambar 17. Peta kesesuaian kawasan konservasi terumbu karang Selat Lembeh, Kota Bitung 72
Gambar 18. Peta kesesuaian pengembangan pariwisata bahari Selat Lembeh, Kota Bitung 73
V. PEMANFAATAN DAN PERUNTUKAN KAWASAN TERUMBU KARANG Pengelolaan kawasan terumbu karang merupakan kebutuhan yang mendesak dalam setiap pembangunan wilayah pesisir dan laut di Indonesia, tidak terkecuali di Selat Lembeh. Pengelolaan
pada hakikatnya adalah mengatur
perilaku para pengguna sumberdaya alam, dalam studi ini sumberdaya alam yang dimaksud adalah kawasan terumbu karang, sebagai contoh perwujudannya adalah analisis pemanfaatan dan arahan peruntukan kawasan terumbu karang. 5.1. Analisis Pemanfaatan Perairan Selat Lembeh Selat Lembeh merupakan salah satu wilayah yang memiliki nilai cukup strategis dalam pembangunan ekonomi Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara, dimana didalamnya terdapat ekosistem pesisir, yaitu terumbu karang, padang lamun dan mangrove (Gambar 16). Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa Selat Lembeh memiliki berbagai pemanfaatan (multiple use) baik nilai ekologis (konservasi) maupun ekonomi. Dalam pemanfaatan sebagai fungsi ekologis, diantaranya adalah : fungsi biodiversity, fungsi tempat pemijahan ikan (spawning ground) dan fungsi cagar alam (kawasan Tangkoko). Sedangkan untuk fungsi ekonomi diidentifikasi berbagai kegiatan yang dilakukan, diantaranya adalah fungsi pariwisata bahari, fungsi daerah penangkapan ikan, fungsi transportasi/pelabuhan/galangan kapal, dan fungsi kawasan industri. Untuk pemanfaatan ekonomi sebagai fungsi transportasi/pelabuhan/ galangan kapal, di Selat Lembah terdapat pelabuhan transportasi utama yang menghubungkan beberapa pulau kecil di kawasan Sulawesi Utara dengan mainland-nya. Pelabuhan ini juga berfungsi untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan bagi kawasan pulau-pulau kecil lainnya di Sulawesi Utara. Kegiatan ini cukup memberikan sumbangan bagi perkembangan ekonomi regional daerah. Selat Lembeh diketahui menyimpan potensi perikanan yang cukup tinggi. Profesi nelayan di kawasan ini dilakukan oleh 20% dari total penduduknya. Alat tangkap yang populer digunakan adalah soma pajeko. Menurut DPK Kota Bitung (2005), jumlah unit alat tangkap ikan di Kota Bitung adalah 3.138 unit. Dari jumlah alat tangkap tersebut, nilai CPUE (catch per unit effort) tertinggi dicapai oleh jenis
68
penangkapan dengan soma pajeko (purse seine). Selain menangkap ikan konsumsi, nelayan di daerah ini juga banyak menangkap ikan hias langka yang seharusnya dilindungi yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Kontribusi ekonomi wilayah juga disumbangkan dari pemanfaatan kawasan industri yang berlokasi di sepanjang pesisir Selat Lembeh. Industri di kawasan ini antara lain adalah galangan kapal, perusahan pengolahan perikanan, dll. Sementara itu kegiatan pariwisata di wilayah ini berkembang dengan cukup baik, dan juga memberikan kontribusi bagi pendapatan pemerintah daerah dan juga masyarakat sekitarnya. Di kawasan ini terdapat sekitar 38 lokasi tujuan wisata (Gambar 16). Sebagai fungsi konservasi, Selat Lembeh yang merupakan tempat pembuangan berbagai hasil produk dari pesisir Bitung yang padat, juga membawa massa air dari laut Maluku dan Sulawesi, dikenal memiliki tingkat kesuburan yang tinggi, yang dapat mendukung kehidupan berbagai organisme di dalamnya. Hal ini membuat Selat Lembeh dikenal sebagai salah satu kawasan yang memiliki tingkat biodiversity yang tinggi (Tackett dan Tackett, 1996 dalam Pratasik et al, 2001). 5.2. Analisis Peruntukan Kawasan Terumbu Karang Analisis tersebut diarahkan pada peruntukan kawasan terumbu karang, meliputi potensi kawasan konservasi terumbu karang, dan potensi pengembangan pariwisata bahari (Gambar 17 dan Gambar 18). 5.2.1. Potensi Kawasan Konservasi Terumbu Karang Penentuan kawasan konservasi terumbu karang didasarkan pada analisis kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan. Indikator karakteristik lingkungan perairan yang dianalisis adalah persyaratan optimum pertumbuhan karang, hal ini akan memberikan gambaran bahwa lokasi tersebut potensial untuk dijadikan kawasan konservasi terumbu karang. Pembentukan kawasan konservasi terumbu karang adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya terumbu karang. Tujuan kawasan konservasi terumbu karang adalah (1) memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup, bertelur, dan memijah biotabiota laut, dan (2) memelihara fungsi ekonomis kawasan pesisir bagi masyarakat Selat Lembeh dan sekitarnya, sehingga terjadi keberlanjutan dan produksi perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan, baik dari produksi
69
perikanan maupun dari sektor pariwisata bahari. Pengembangan kawasan konservasi terumbu karang yang akan ditetapkan pada analisis ini adalah sebagai kawasan inti, dimana zona tersebut dimaksudkan untuk melindungi sumberdaya terumbu karang yang kemudian akan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Westmacott et al. (2000), kawasan konservasi terumbu karang memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang, dengan cara: (a) melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan dapat menjadi sumber larva serta sebagai alat untuk membantu pemulihan, (b) melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali, dan (c) memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya. Input-input yang dianalisis untuk penentuan kawasan konservasi terumbu karang dalam penelitian ini adalah berdasarkan faktor-faktor pembatas pertumbuhan karang, yaitu suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus, substrat perairan, dan persentase penutupan karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa lokasi Tandurusa, Aertembaga, Manembo-Nembo, Mawali, Papusungan, dan Batulubang termasuk kategori tidak sesuai dengan skor rata-rata berkisar 16,5. (Tabel 11). Hasil perhitungan pada Tabel 12 berikut, diketahui bahwa lokasi Tandurusa termasuk kategori sesuai bersyarat dengan skor 54, sedangkan Lirang, Nusu, dan Paudean termasuk kategori sesuai dengan skor rata-rata berkisar 72, untuk lokasi Kasawari, Makawidey, Tanjung Merah, Kareko, Binuang, Pintu Kota, Batuwoka, dan Pasir Panjang masing-masing memperoleh skor secara rata-rata berkisar 88 sehingga lokasi tersebut termasuk kategori sangat sesuai. Terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi kawasan dari penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besarnya ukuran, dan biomasa dari jenis organisme yang dieksploitasi. Kawasan penyimpanan dan perlindungan laut sering dikatakan hanya berlaku untuk lingkungan terumbu karang, kenyataannya metode ini sudah berhasil diterapkan pada berbagai habitat dalam lingkungan kondisi tropis maupun sub-tropis. Penyimpanan dan perlindungan laut adalah suatu alat yang bersifat global (Roberts C.M. & J. P. Hawkins 2000).
70
Hasil penelitian Parwinia di Selat Lembeh Tahun 2006, menemukan bahwa pada kondisi tidak ditetapkan Kawasan Konservasi Laut (KKL), nilai produksi optimal sebesar 21.85 ribu ton, effort optimal 2809.29 trip dan rente optimalnya sebesar Rp. 74.28 milyar ternyata lebih rendah dibandingkan pada kondisi sebagai KKL dengan berbagai luasan. Hal tersebut sejalan dengan laporan White (1996) yang menyatakan bahwa potensi keuntungan bersih per tahun per km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik di Asia Tenggara, yaitu perikanan secara letari (konsumsi lokal) kisaran produksi 10 – 30 ton dengan potensi keuntungan bersih per tahun sekitar US$ 12.000 - US$ 36.000 , ekspor ikan hidup kisaran produksi 0.5 – 1 ton dengan potensi keuntungan bersih per tahun sekitar US$ 2.500 - US$ 5.000. Hal serupa juga dilaporkan oleh (Alcala, 1988; White, 1989; Alcala dan Russ, 1990; serta Roberts, 1995) yang menyatakan bahwa pembangunan KKL dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti pada produktivitas perikanan di wilayah sekitarnya (non KKL). Sebagai contoh Alcala (1988) menganalisis pada tiga pulau di Philipina, diperoleh bahwa produksi perikanan bervariasi dari 10.94 – 24 metrik ton (mt)/km2/tahun pada tahun-tahun dimana belum dibangun KKL. Pada salah satu pulau, yaitu Sumilon, menurut White (1989), bahwa hasil produksi sebesar 14-24 mt/ km2/tahun pada saat sebelum KKL dibangun. Setelah dibangun KKL, hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/ km2/tahun. Produksi KKL kembali menurun menjadi 20 mt/ km2/tahun ketika pengelolaan KKL terganggu atau mengalami masalah. Lebih lanjut White (1989), menyatakan bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan-ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang yang bergerak di dalam dan diluar KKL. Lebih lanjut berdasarkan hasil penelitian Hutomo dan Suharti (1998), dilaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun. Berdasarkan hal tersebut, bahwa ternyata KKL dapat meningkatkan produksi hasil tangkapan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan nelayan sekitar ekosistem terumbu karang. Bila diasumsikan jumlah tersebut konstan per tahun dengan harga ratarata ikan di daerah studi sebesar Rp.5.000/kg, maka dapat diperoleh manfaat terumbu karang bagi perikanan sebesar Rp. 125.000.000/ha/tahun.
71
Tabel 11. Kesesuaian lahan untuk pembentukan kawasan konservasi terumbu karang, Selat Lembeh Lokasi
Parameter Dalam Arus 12 0.15 12 0.17
Kasawari Makawidey
Suhu 28.4 28.1
Sal. 32.3 32.4
Cerah 10 10
Tandurusa
27.8
32.2
6
10
Aertembaga Manembo Tj.Merah Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan Batulubang Paudean Pasir panjang
27.9 27.8 28.2 28.1 27.9 28.4 28.4 27.9 28.3 27.9 27.5 28.0 28.1 28.2
32.0 32.1 32.5 32.4 32.2 32.4 32.0 32.4 32.4 32.5 32.4 32.6 32.6 32.6
8 8 10 11 12 10 11 10 12 10 7 9 10 9
11 12 12 14 13 12 14 15 14 13 11 13 12 11
Skor
Subst 8 8
Pkr 0.76 0.75
0.17
8
0.50
54
0.13 0.13 0.17 0.15 0.15 0.17 0.17 0.14 0.13 0.15 0.16 0.16 0.17 0.16
4 4 8 8 8 8 8 6 8 4 4 4 6 8
0.00 0.30 0.75 0.75 0.76 1.0 0.76 0.75 0.85 0.51 0.50 0.50 0.50 0.76
16,5 16,5 88 70 70 88 88 86 100 16,5 16,5 16,5 76 88
88 88
Arahan Zonasi Sangat sesuai Sangat sesuai Sesuai bersyarat Tidak sesuai Tidak sesuai Sangat sesuai Sesuai Sesuai Sangat sesuai Sangat sesuai Sangat sesuai Sangat sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai
Keterangan: Sal
: Salinitas
Subst : Substrat
Cerah : Kecerahan Pkr
Dalam : Kedalaman
: Penutupan karang
Keuntungan yang nyata telah dibuktikan di beberapa tempat dimana terumbu karang sudah dilindungi dengan baik, termasuk pada beberapa lokasi sebagai berikut: Netherlands Antilles (Taman Nasional Laut Bonaire), dimana pariwisata selam meningkat; the Seychelles (Taman Nasional Laut Ste. Anne), dimana taman nasional digunakan baik oleh turis maupun penduduk setempat untuk berenang, berlayar, snorkeling, selam, dan perjalanan perahu beralas kaca; Fiji (Tai Island), dimana hasil tangkapan nelayan kecil meningkat, kegiatan pariwisata berkembang pesat, dan pemegang hak penangkapan tradisional (eksklusif) dilibatkan dalam pengelolaan resort dan penyewaan perahu; Cozumel Island (Mexican Caribbean) dimana terjadi peningkatan jumlah wisatawan lokal dan manca negara yang datang untuk menyaksikan melimpahnya ikan-ikan karang; dan Kenya (Taman Nasional dan Cagar Alam Malindi/Watamu), dimana pariwisata menghasilkan pendapatan melalui tiket masuk, biaya pemandu dan
72
biaya kemping, penyewaan perahu dan peralatannya, serta hotel. Pada sisi lain, juga terjadi keuntungan tidak langsung dengan adanya permintaan terhadap lapangan pekerjaan di hotel-hotel, sebagai pemandu dan pengemudi perahu (McNeely et al., 1994). 5.2.2. Potensi Pengembangan Pariwisata Bahari Pariwisata bahari adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan disekitar pantai, seperti berenang, berselancar, berjemur, menyelam, berdayung, snorkling, berjalan-jalan atau berlari di sepanjang pantai, dan menikmati keindahan suasana pesisir (Dahuri, 1993). Pembobotan kesesuaian perairan untuk pariwisata bahari (diving dan snorkling) dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas yang terdiri dari kecerahan perairan, kecepatan arus, kedalaman perairan, dan penutupan karang hidup. Parameter pembatas ini diberi pembobotan dan skor. Untuk pemberian bobot pada semua parameter didasarkan pada tingkat kepentingan untuk kegiatan selam/diving. Parameter kecerahan perairan dan kecepatan arus memiliki bobot tertinggi karena faktor kecerahan dan kecepatan arus sangat menentukan bagi kegiatan wisata, maupun untuk ekologi terumbu karang, sedangkan penutupan karang hidup merupakan daya tarik wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut. Perairan yang jernih mengundang rasa ingin tahu untuk melihat keindahan bawah laut, dan kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Kedalaman dasar laut, menempati bobot yang lebih kecil daripada lainnya, karena parameter kedalaman dapat teratasi oleh parameter lainnya. Kedalaman dasar laut meskipun merupakan faktor pembatas kehidupan karang,
tetapi
pada
perairan
yang
jernih
dan
kondisi
lingkungannya
memungkinkan, terumbu karang dapat tumbuh sampai kedalaman 50 meter. Menurut Nybakken (1988), terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Kebanyakan terumbu karang di Indonesia tumbuh pada kedalaman 15 m. Berdasarkan pengamatan pada 17 lokasi di kawasan Selat Lembeh, diperoleh hasil seperti pada Tabel 12 berikut. Dengan memperhatikan kondisi dan penilaian untuk masing-masing parameter yang menentukan wisata selam/diving
73
serta hasil skoring dan pembobotan, dihasilkan pengelompokan kesesuaian lahan untuk pariwisata bahari sebagai berikut: a. Sangat Sesuai (S1) Wilayah yang termasuk kategori ini dicirikan dengan tidak adanya faktor pembatas yang menghambat perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil analisis, lokasi yang termasuk sangat sesuai adalah Tanjung Merah, Paudean dan pasir Panjang, dengan skor rata-rata sekitar 750. Seluruh parameter yang ada membuat wilayah ini sangat sesuai untuk pengembangan pariwisata bahari. Penilaian diberikan atas parameter-parameter yang mendukung seperti: kecerahan yang tinggi, penutupan karang hidup, dan arus yang tidak kuat. Parameter-parameter penilaian kelayakan pariwisata bahari yang ada, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pengaruh manusia, dan (2) tidak dipengaruhi oleh manusia. Parameter yang bisa dipengaruhi oleh manusia, meliputi kecerahan perairan, dan persentase penutupan karang, sedangkan yang tidak dapat/sulit dipengaruhi oleh manusia seperti kedalaman perairan dan kecepatan arus. b. Sesuai (S2) Wilayah yang termasuk dalam kategori ini mempunyai faktor pembatas yang agak serius untuk dijadikan kawasan pariwisata bahari khususnya kegiatan menyelam (diving). Hasil perhitungan pada Tabel 13, diketahui bahwa lokasi Kasawari, Makawidey, Tandurusa, Lirang, Nusu, Kareko, Binuang, Pintu Kota, Batuwoka, dan Mawali memperoleh rata-rata skor berkisar 560 sehingga semua lokasi tersebut termasuk kategori sesuai (S2). Parameter yang paling mendukung daerah ini sangat sesuai adalah terumbu karang yang indah yakni berkisar antara 30 – 100% (Tabel 12), serta kecepatan arus rata-rata berkisar 0,154 m/det. Parameter lainnya yang mendukung adalah kedalaman perairan, yaitu rata-rata berkisar 13,25 m. Hal ini sejalan dengan laporan Kepel (2004), bahwa kedalaman rata-rata perairan sekitar pantai Selat Lembeh adalah 15 – 20 m. Nilai-nilai tersebut berdasarkan matriks kesesuaian untuk kegiatan wisata selam termasuk sangat sesuai.
74
c. Sesuai Bersyarat (S3) Daerah yang termasuk dalam kategori sesuai bersyarat mempunyai pembatas serius untuk pengembangan wisata selam. Faktor pembatasnya antara lain penutupan karang dan kedalaman perairan tidak memenuhi kriteria untuk pariwisata bahari. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 13, diperoleh bahwa tidak ditemukan lokasi yang termasuk dalam kategori sesuai bersyarat (S3). d. Tidak Sesuai (N) Wilayah yang termasuk dalam kategori ini mempunyai pembatas permanen, semua parameter yang ada memiliki keterbatasan untuk dikembangkan menjadi kawasan pariwisata bahari (selam). Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 12, diperoleh bahwa lokasi Aertembaga, Manembo-Nembo, Papusungan dan batulubang termasuk kategori ”N”. Dari data yang ada dan pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya semua lokasi termasuk kategori sesuai dan sangat sesuai, artinya bahwa lokasi tersebut merupakan wilayah potensial untuk dikembangkan sebagai pariwisata bahari. Namun demikian untuk menjamin keberlanjutan kegiatan pariwisata bahari tersebut diperlukan proteksi terhadap terumbu karang dan membentuk suatu blok perlindungan. Tabel 12. Kelas kesesuaian parameter untuk pengembangan pariwisata bahari pada masing-masing lokasi di Selat Lembeh
No.
Lokasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Kasawari Makawidey Tandurusa Aertembaga Manembo Tj.Merah Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan Batulubang Paudean Psr.Panjang
Kecerahan (m) Kondisi Kelas 10 S2 10 S2 6 S3 8 S3 8 S3 10 S2 11 S2 12 S2 10 S2 11 S2 10 S2 12 S2 10 S2 7 S3 9 S3 10 S2 9 S3
Kec.arus (m/det.) Kondisi Kelas 0.15 S1 0.17 S1 0.17 S1 0.13 S1 0.13 S1 0.17 S1 0.15 S1 0.15 S1 0.17 S1 0.17 S1 0.14 S1 0.13 S1 0.15 S1 0.16 S1 0.16 S1 0.17 S1 0.16 S1
Kedalaman (m) Kondisi Kelas 12 S1 12 S1 10 S1 11 S1 12 S1 12 S1 14 S1 13 S1 12 S1 14 S1 15 S1 14 S1 13 S1 11 S1 13 S1 12 S1 11 S1
Penutupan karang (%) Kondisi Kelas 0.76 S2 0.75 S2 0.50 S2 0.00 N 0.30 N 0.75 S1 0.75 S2 0.76 S2 1.0 S2 0.76 S2 0.75 S2 0.85 S2 0.51 S2 0.50 N 0.50 N 0.50 S2 0.76 S1
75
Tabel 13. Pemberian skor pada masing-masing parameter untuk pengembangan pariwisata bahari No.
Lokasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Kasawari Makawidey Tandurusa Aertembaga Manembo Tj.Merah Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan Batulubang Paudean Ps.panjang
Kecerahan (m) Kelas S2 S2 S3 S3 S3 S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 S3 S3 S2 S3
Skor 12 12 8 8 8 12 12 12 12 12 12 12 12 8 8 12 8
Arus (m/det.) Kelas S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
Skor 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18
Kedalaman (m) Kelas S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1
Skor 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18
Penutupan karang (%) Kelas S1 S1 S2 S3 S3 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S2 S2 S2 S1
Skor 20 20 16 12 12 20 20 20 20 20 20 20 16 16 16 16 20
Total skor
Arahan Zonasi
560 560 560 235 235 750 560 560 560 560 560 560 560 235 235 750 750
Sesuai Sesuai Sesuai Tdk sesuai Tdk sesuai Sgt sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Tdk sesuai Tdk sesuai Sgt sesuai Sgt sesuai
Hasil analisis kesesuaian lahan untuk pengembangan pariwisata bahari dapat dilihat pada Gambar 17. Selain parameter tersebut di atas, beberapa faktor penunjang/kekhasan
dan
faktor
pembatas
yang
dapat
dijadikan
dasar
pengembangan pariwisata bahari di setiap lokasi adalah seperti tercantum pada Tabel 14 berikut:
76
Tabel 14. Faktor Penunjang/Kekhasan dan Faktor Pembatas Pengembangan Pariwisata Bahari di Selat Lembeh No.
Lokasi
1.
Kasawari
2.
Makawidey
3.
Tandurusa
4.
Aertembaga ManemboNembo Bawah
5.
6.
Tj.Merah
Faktor Penunjang/kekhasan • Lokasi penyelaman di Tanjung lampu dan sekitar pemukiman penduduk • Pemandangan laut yang sangat bagus • Banyak terdapat ikan cakalang, khususnya dibagian utara • Disepanjang pantai sering terlihat penyu • Berbatasan langsung dengan Cagar Alam Tangkoko • Terdapat anoa dan tarsius • Terdapat lokasi budidaya kerang mutiara • Terdapat penyu dan lumba-lumba • Lokasi penyelaman di depan dermaga dan depan tokambahu • Di hutan banyak terdapat kera dan tarsius • Memiliki pantai berpasir di Tokambahu
Faktor Pembatas
Air bersih
Transportasi darat
Berdekatan dengan galangan kapal dan • Lokasi penyelaman di P. Serena industri pengolahan • Terdapat Dive operator Penyelaman ikan, sehingga rentan (Kungkungan bay resort) terhadap pencemaran laut Lokasi Pelabuhan Terdapat lokasi pemancingan
Lokasi industri
• Wisatawan biasanya datang di Pantai RCTI, dan jalan-jalan sepanjang pantai, ada yang menyelam • Terdapat ikan karang dan ikan hias • Saat cuaca bagus, ikan paus, maming, lumba-lumba dan duyung Cuaca yang buruk pada saat angin selatan sering muncul • Penyu sering bertelur dipasir putih samping pantai RCTI (biasanya penyu sisir, dan penyu udang) • Terdapat tempat penangkaran penyu (di Pusat Penyelamatan Satwa) • Terdapat cottage (Tumbuna Cottage)
77
No.
7.
8.
Lokasi
Lirang
Nusu
9.
Kareko
10.
Binuang
11.
Pintu Kota
12.
Batuwoka
Faktor Penunjang/kekhasan • Terdapat Pulau Batu Kapal (terdapat lampu suar), • Pemandangan menarik saat memasuki wilayah Lirang terutama melalui laut nampak beberapa pulau kecil memiliki bentuk yang bermacam – macam, • Pulau Batu Kapal dan Napo skoci untuk lokasi selam • Lokasi diving di batu kapal • Ikan paus, duyung, hiu, penyu, dan lumba-lumba sering terlihat • Lokasi penyelaman terletak di P. Putus dan Tanjung Lobor serta pemandangan yang bagus di bukit Tanjung Keker • Terdapat penyu, hiu dan lumbalumba • Kesenian khas Sangihe Talaud (masamper dan tulude), • Kerajinan (cindera mata) • Terdapat mata air (air bajo, kareko batu, sumur) • Lokasi penyelaman di Pantai Parigi • Terdapat penyu, hiu dan lumbalumba • Lokasi penyelaman di Pulau burung dan batu laholo (angel window) • Terdapat ikan hiu, paus dan lumbalumba • Pada bulan purnama sering muncul penyu balak dan sisir • Lokasi penyelaman terdapat di Napo Rarandam • Terdapat buaya, tarsius dan maleo • Dalam mangrove terdapat ular, paniki, soa-soa, elang, bangau, udang raja dan kura-kura
Faktor Pembatas
• •
Air bersih Pada musim barat ombak cukup besar
Transportasi darat (dalam P.Lembeh) dan laut belum lancar
Saat angin utara (November-Januari) ombak agak besar
Saat bertiup angin utara dan selatan, ombak agak besar
Terbatasnya alat transportasi (perahu)
• Jika terjadi angin • Lokasi penyelaman di pantai Perigi, utara (AgustusPintu Kelada, dan Baturiri Oktober) terdapat banyak sampah • Terdapat Pulau sangat kecil yaitu P. Serena (lokasi penyelaman) • Pada musim hujan (Januari- Februari) • Terdapat mata air Gunung Woka sering terjadi banjir
78
No.
Lokasi
13.
Mawali
14.
Papusungan
15.
Batulubang
16.
Paudean
17.
Pasir panjang
Faktor Penunjang/kekhasan Terdapat ikan paus, penyu dan lumbalumba
Banyak ditemukan ikan hias
Terdapat keramba ikan hias
Faktor Pembatas Belum ada penginapan Berdekatan dengan galangan kapal dan pelabuhan, sehingga rentan terhadap pencemaran laut • Banyak sampah diperairan • Berhadapan dengan pelabuhan Bitung, sehingga rentan terhadap pencemaran perairan
• Lokasi penyelaman terletak di Di bagian Utara pemukiman dan Teluk Rusaknya prasarana Walenekoko transportasi darat • Terdapat cottege dan Dive center • Transportasi (darat maupun laut) belum memadai • Terdapat tarsius • Terdapat DPL • Pada musim barat • Pantai indah di waleneperet cuaca kurang baik sehingga menyulitkan transportasi laut
VI. AKUNTABILITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG Penilaian terhadap akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh dilakukan dengan menggunakan analisis Rapid Appraisal Index of Sustainability for Coral Reef Management (Rap-Insus-COREMAG). Analisis Rap-Insus-COREMAG akan menghasilkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, pada masing-masing dimensi yaitu ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan serta bersifat multidimensi. Nilai indeks yang dihasilkan merupakan gambaran akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang yang terjadi pada saat ini. Nilai tersebut ditentukan oleh nilai skoring dari masing-masing atribut pada setiap dimensi yang dikaji (Lampiran 9).
6.1. Kondisi skor masing-masing atribut pada setiap dimensi Nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh ditentukan berdasarkan skor untuk masing-masing atribut pada setiap dimensi sesuai dengan kondisi pengelolaan yang dilakukan pada saat ini dengan mengacu pada kriteria dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Nilai skor masing-masing atribut pada setiap indikator pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.
83
Tabel 15. Kondisi nilai skor setiap atribut akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh
Ekologi
Pulau Lembeh
Atribut
Dimensi dan Atribut Pesisir Bitung Baik Skor
Buruk
Keterangan
Persentase penutupan karang
31-50% (2)
11-30% (1)
4
0
0-10% (0); 11-30% (1); 31-50% (2); 51-75% (3); 76-100% (4) Modifikasi, Gomez dan Yap, (1988)
Keanekaragaman ikan karang
Sedang (1)
Sedang (1)
2
0
Kecil (0), Sedang (1), Tinggi (2)
3
0-0,17 m/det (0); 0,170,34 m/det (1); 0,340,51 m/det (2); > 0,51 m/det (3) (Nybakken, 1988)
3
Pasir kasar (0); Pasir halus (1); Pasir & sedimen (2)Sedimen(3) (Sukarno et al. 1981)
3
23-250C (0); 19-220C (1); 26-350C (2); < 190C dan > 350C (3) (Nybakken, 1988)
Kecepatan arus
0.15 m/det (0)
0.15 m/det (0)
Substrat perairan
Pasir halus (1)
Pasir & sedimen (2)
Suhu
28.09 (2)
28.09 (2)
0
0
0
32.42 (0)
32.42 (0)
0
3
32-350/00 (0); 28-310/00 (1); > 360/00 (2); < 270/00 (3) (Nybakken, 1988)
Kecerahan
10.07 m (1)
5-10 (2)
0
3
15-20 m (0); 10-15 m (1); 5-10 m (2); < 5 m (3) (Nybakken, 1988)
Kedalaman
12.87 m (1)
12.87 m (1)
0
3
20-30 m (0); 10-19,9 m (1); 1-9,9 m (2); < 1 m (3) (Nybakken, 1988)
Ada (0)
Tidak ada (1)
1
0
Tidak ada (0); Ada (1),
Sedimentasi
Rendah (2)
Sedang (1)
2
0
Tinggi (0), sedang (1), rendah (2)
Jumlah sungai
0 - 2 DAS (2)
> 8 DAS (0)
2
0
5 - 8 DAS (0); 2 - 5 DAS (1); 0 - 2 DAS(2)
< Baku mutu (1)
> Baku mutu (0)
1
0
> Baku mutu (0); < Baku mutu (1) (KEPMEN KLH No. 51 Tahun 2004).
Tinggi (1)
Tinggi (1)
0
3
Kurang (0); Tinggi (1); Lebih tangkap (2); collapsed (3) (Rapfish)
Salinitas
Memiliki spesies endemik
Kondisi perairan
Tingkat eksploitasi ikan karang
84
Teknologi
Pulau Lembeh
Atribut
Pesisir Bitung
Baik
Buruk
Keterangan
Skor
Jenis alat tangkap
Seimbang (1)
Seimbang (1)
0
2
Mayoritas seimbang mayoritas (Rapfish)
Selektivitas alat tangkap
Agak selektif (1)
Agak selektif (1)
2
0
Kurang selektif (0); agak selektif (1); sangat selektif (2)
Ketersediaan alur pelayaran
Tidak ada (0)
Tidak ada (0)
1
0
Tidak ada (0) ; Ada (1)
Tipe kapal
5-10 GT (1)
> 10 (2)
0
2
1-5 GT (0); 5-10 GT (1); > 10 (2)
Teknologi penanganan pasca panen
Sedikit (1)
Sedikit (1)
2
0
Tidak ada (0); sedikit (1); cukup lengkap (2): (Rapfish)
Pulau Lembeh
Pesisir Bitung
Baik
Buruk
Keterangan
0
2
Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Nikijuluw, 2002)
Sosial Ekonomi Atribut Jumlah lokasi potensi konflik
pasif aktif
(0); (1); (2):
Skor Sedikit (1)
Sedikit (1)
pemanfaatan Tidak tamat SD (0)
Tamat SDSMP (1)
3
0
Tdktamat SD (0); tamat SD-SMP (1); tamat SMA (2); S0-S1 (3)
Cukup (1)
Cukup (1)
2
0
Sangat minim (0); cukup (1); banyak (2)
Ada (1)
Tidak ada (0)
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
Memiliki nilai estetika
Tinggi (0)
Sedang (1)
0
2
Tinggi (0), sedang (1), rendah (2)
Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah
Sangat tergantung (0)
Sedikit (1)
2
0
Sangat tergantung (0); sedikit (1); tidak tergantung (2) (Nikijuluw, 2002)
Ketergantungan pada pariwisata bahari sebagai sumber nafkah
Sedikit (1)
Sedikit (1)
2
0
Sangat tergantung (0); sedikit (1); tidak tergantung (2)
Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang
Penuh waktu (3)
Musiman (2)
0
3
Hobi (0); paruh waktu (1); musiman (2); penuh waktu (3): (Rapfish)
Memiliki ekosistem untuk pendidikan dan penelitian
Ada (1)
Ada (1)
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
Pemandu wisata
Ada (1)
Tidak ada (0);
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
Tingkat pendidikan Pengetahuan lingkungan Memiliki nilai sejarah,seni& budaya
85
Ada (1)
Tidak ada (0);
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
Wisatawan lokal
Tidak ada (0)
Tidak ada (0)
2
0
Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2);
Wisatawan mancanegara
Banyak (2)
Sedikit (1)
2
0
Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2)
Jumlah objek wisata
Banyak (2)
Sedikit (1)
2
0
Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2)
Lama (1)
Singkat (0)
1
0
Singkat (0); Lama (1)
4
Sangat menguntungkan (0); menguntungkan (1); break even (2); rugi (3); sangat merugikan (4): (Rapfish)
2
Lokal (0); seimbang antara orang lokal dengan orang luar (1); keuntungan lebih banyak ke orang luar daerah (2): (Rapfish)
2
0
Tidak ada (0); ada tapi dilanggar (1); ada dan ditaati (2) (Nikijuluw, 2002)
Baik
Buruk
Keterangan
Tempat sewa scuba
Lama tinggal wisatawan
Keuntungan (profit)
Menguntung kan (1)
Menguntung kan (1)
Transfer keuntungan
Lokal (0)
Seimbang (1)
Zonasi peruntukan lahan
Tidak ada (0)
Tidak ada (0)
Kelembagaan
Pulau Lembeh
Pesisir Bitung
Atribut
0
0
Skor
Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal
Tidak ada (0)
Tidak ada (0)
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
Pemegang kepentingan utama
Pemerintah (1)
Pemerintah (1)
0
2
Nelayan (0); pemerintah (1); swasta (2) (Nikijuluw, 2002)
Tingkat kepatuhan masyarakat
Sedang (1)
Tidak patuh (2)
2
0
Tidak patuh (0); sedang (1) Patuh (2) (Nikijuluw, 2002)
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian
Kadangkadang (1)
Tidak ada (0)
2
0
Tidak ada (0) kadangkadang (1) Ada (2) (Nikijuluw, 2002)
Tokoh panutan
Sedikit (1)
Sedikit (1)
2
0
Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Nikijuluw, 2002)
Penyuluhan hukum lingkungan
Jarang (1)
Tidak pernah (0)
2
0
Tidak pernah (0); jarang (1); sering (2) (Nikijuluw, 2002)
86
Tidak ada (0)
Tidak ada (0)
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
Tradisi/budaya
Ada (1)
Tidak ada (0)
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
Forum Konservasi
Ada (1)
Tidak ada (0)
1
0
Tidak ada (0); Ada (1)
Koperasi
Berdasarkan Tabel 15 di atas, berikut dijelaskan kondisi masing-masing atribut sesuai dengan nilai skor pada setiap dimensi, yaitu: 6.1.1. Dimensi Ekologi 6.1.1.1. Kecepatan arus Secara umum tidak terlihat adanya perbedaan yang mencolok kecepatan arus antara stasiun pengamatan. Hasil pengukuran kecepatan arus permukaan berkisar antara 0,13 - 0,17 ms-1 (Lampiran 3). Nilai rerata kecepatan arus permukaan tertinggi terjadi di Kareko, Binuang, Motto, Tanjung Merah, Makawidey, Tandurusa dan Paudean yaitu 0,17 ms-1, sedangkan terendah diperoeleh di Batuwoka dan Manembo-Nembo yaitu 0,13 ms-1. Rompas (2004), menyatakan bahwa pola arus Selat Lembeh terbagi dua, yaitu arus yang bergerak ke arah selatan pada saat pasang dan bergerak ke arah utara pada saat surut, dengan kecepatan arus berkisar 0,1 – 0,5 ms-1. Selanjutnya Tairas, dkk. (2004), melaporkan bahwa pada saat perubahan umur kuartir akhir menuju bulan baru, pergerakan arus permukaan yang tercepat sebesar 0,613 knot kearah barat, sedangkan yang terkecil sekitar 0,024 knot kea rah timur. Kecepatan rata-rata pergerakan arus permukaan adalah sekitar 0,163 knot. LIPI (2003), melaporkan bahwa pola arus perairan Selat Lembeh sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh sistem selat dan pengaruh topografi, pola arus yang terjadi dibangkitkan oleh pasang surut. 6.1.1.2. Substrat perairan Tipe substrat yang keras diperlukan oleh planula untuk memulai penempelan. Tipe substrat yang ideal adalah substrat dengan permukaan yang keras seperti koloni karang yang telah mati, dan pecahan karang yang besar-besar dan batu (Reksodihardjo dan Lilley, 1999). Nilai substrat hasil pengukuran
87
seluruh stasiun pengamatan diperoleh nilai antara 4 (pasir berlumpur) – 8 (pasir berbatu), nilai substrat tertinggi pada stasiun Lirang, Nusu, Kareko, Binuang, Batuwoka, Posokan, Pancuran, Tanjung Merah, Kasawari, Makawidey, Tandurusa, Doorbolaang dan Pasir Panjang dan nilai kecerahan terendah diperoleh pada stasiun Papusungan, Manembo-Nembo, Mawali, Aertembaga dan Batulubang. 6.1.1.3. Suhu Suhu merupakan salah satu parameter yang sangat penting bagi biota perairan. Perubahan suhu yang drastis dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan. Hasil pengukuran suhu perairan Selat Lembeh berkisar 27,50C - 28,40C, suhu terendah diperoleh di lokasi Papusungan, sedangkan suhu tertinggi diperoleh di lokasi Kareko, Binuang, Posokan dan Kasawari (Lampiran 3). Suhu ini masih sesuai dengan suhu air laut permukaan yang normal. Menurut Ilahude dan Liasaputra (1980), suhu dipermukaan laut yang normal berkisar antara 25,632,30C dan antara 20-300C (Nybakken, 1988. Menurut Mulyanto (1992) suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-320C. Terumbu karang pada umumnya terbatas pada suhu perairan antara 18– 360C, dengan nilai suhu yang optimal antara 26-280C. Hal ini selanjutnya akan diekspresikan dalam pola distribusi dan keragaman terumbu karang secara latitudinal yang hanya terbatas antara sekitar 200 LU sampai 200 LS (Veron, 1995). Selain itu, suhu juga merupakan peubah yang berperan penting dalam mengendalikan sebaran horizontal dari terumbu karang. Distribusi terumbu karang dibatasi oleh distribusi karang, dimana hal ini secara umum menyangkut proses fisiologi khususnya dalam hal penangkapan pakan dan reproduksinya. Dengan demikian, suhu akan membatasi keduanya baik terumbu karang dan karang melalui proses-proses interaksi ekologi, dimana kebutuhan energi (cahaya dan hubungan simbiosis) dari terumbu karang secara progresif menjadi kurang kompetitif melawan dominasi organisme tertentu seperti makroalga dalam ekosistem (Veron, 1995; Szmant, 2002). Lebih lanjut Veron (1995) menyatakan bahwa temperatur 18oC yang terus menerus dalam periode waktu tertentu diidentifikasi sebagai temperatur minimum air laut yang secara fungsional terumbu masih dapat bertahan hidup
88
normal. Korelasi ini baru-baru diuji ulang dalam cahaya dalam rentang temperatur dan dicatat di Jepang oleh Veron dan Minchin (1992) dan ditemukan benar. Temperatur rendah sering tercatat di lingkungan terumbu karang, tapi dalam sebagian kasus hanya ditemukan adanya kematian parsial (dimana bagian koloni karang mati) atau meliputi terumbu karang yang secara geologis merupakan hasil peninggalan lampau atau secara primer terdiri dari runtuhan yang tidak terkonsulidasi. Fluktuasi temperatur dalam jangka pendek di terumbu karang Teluk Arab dan Parsia (Coles, 1988; Coles dan Fadlallah, 1991) diketahui sebagai suhu minimum secara global. Stress temperatur panas tidak seperti stress yang dialami oleh karang pada temperatur dingin, yakni bukan merupakan fenomena pembatasan dispersi karang dan juga tidak merupakan pengaruh batas-batas lintang. Secara prinsipil, pengaruh temperatur panas menyebabkan breakdown (kerusakan) simbiosis karang dengan zooxanthellae yang diekspresikan dalam bentuk keluarnya zooxanthellae dari jaringan sel karang atau yang lebih dikenal dengan istilah bleaching. Meskipun stress temperatur tinggi dapat terjadi di daerah terumbu karang lintang tinggi (seperti di Hawaii; Jokiel dan Coles, 2000; di Bermuda, Cook, 1990) itu cenderung terjadi dalam areal yang sempit di kawasan ekuator dimana secara umum berkaitan dengan saat surut atau surut yang tidak normal. Pada skala biogeografi, stress temperatur panas selalu berkorelasi dengan fluktuasi cuaca harian yang mana El Nino Southern Oscillation (ENSO) telah diketahui pengaruhnya yang sangat penting (Glynn, 1990; Guzman dan Cortes, 1992). 6.1.1.4. Salinitas Salinitas menggambarkan konsentrasi dari total ion yang terdapat dalam suatu perairan dengan ion-ion utama penyusunnya adalah natrium, kalium, magnesium, khlorida, sulfat dan bikarbonat (Millero dan Sohn, 1992). Hasil pengukuran salinitas di lokasi studi berkisar antara 32,0-32,6 0/00 (Lampiran 3). Salinitas terendah diperoleh di lokasi Binuang dan Aertembaga, sedangkan salinitas tertinggi diperoleh di lokasi Batulubang, Paudean, Doorbolaang dan Pasir Panjang. Salinitas ini sesuai dengan salinitas yang dijumpai diperairan laut umumnya, salinitas di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 30-35 0/00.
89
Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32-34 0/00 (Romimohtarto dan Juwana, 1999), sedangkan untuk laut terbuka umumnya salinitas berkisar antara 33-37 0/00 dengan rata-rata 35 0/00. Pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai 17,5-52,5% (Vaughan, 1999; Wells, 1994). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan di atas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai Bandengan, Jepara Jawa Tengah salinitas nol permil (00/00) untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan air sungai (Supriharyono, 2000) dan di laguna Turneffe atoll, British Honduras yang salinitasnya mencapai 700/00 (Smith, 1993). 6.1.1.5. Kecerahan Nilai kecerahan hasil pengukuran seluruh stasiun pengamatan diperoleh nilai antara 6 – 12 m, nilai kecerahan tertinggi pada stasiun Nusu dan Batuwoka dan nilai kecerahan terendah diperoleh pada stasiun Tandurusa (Lampiran 3). Menurut Kanwisher dan Wainwright (1997) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas cahaya antara 200-700 fluks (umumnya terletak antara 300-500 fluks). Intensitas cahaya secara umum di permukaan laut 2500-5000 fluks. Mengingat kebutuhan tersebut maka binatang karang (reef corals) umumnya tersebar di daerah tropis. Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap pertumbuhan karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bias sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam. Menurut Veron (1995), cahaya secara ekologi merupakan pembatas utama dari semua parameter fisika lingkungan, oleh sebab itu cahaya dapat menyebabkan pembatasan secara fisik terhadap biogeografi secara horizontal. Cahaya memegang peranan penting bagi pertumbuhan karang, karena ada zooxanthellae yang membutuhkannya untuk proses fotosintesa. Gladfelter (1995), menyatakan bahwa laju respirasi karang berbeda pada berbagai intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang tinggi dapat menghambat proses kalsifikasi, mengurangi
90
fiksasi karbon dan konsentrai pigmen fotosintetik pada zooxanthellae dan dapat mengakibatkan kematian karang (Coles dan Jokiel, 1998). Sinar matahari mengandung sinar tidak tampak atau ultra violet. Radiasi ultra violet berbahaya bagi semua bentuk kehidupan termasuk karang (Jokiel, 2000). Sinar ultra violet dengan derajat yang tinggi dapat mencapai permukaan laut karena adanya penipisan lapisan pelindung bumi (ozon) di dekat katulistiwa (Baker et al., 2000). Perairan yang jernih seperti di daerah terumbu karang sangat mudah bagi masuknya sinar ultra violet, dan mempengaruhi kehidupan sampai pada kedalaman 20 meter (Smith dan Baker, 1999) dalam Falkowski dan Dubinsky, 2001). Polip karang mempunyai kemiripan untuk menangkal sinar ultra violet dan melindungi zooxanthellae dari kerusakan akibat radiasi (Jokiel, 2000), dengan jalan menghasilkan substansi penyerap ultra violet yang mengandung pigmen yang dibentuk oleh lapisan ektodermal. Bila derajat ultra violet makin tinggi, konsentrasi substansi akan meningkat (Jokiel dan York, 2002). 6.1.1.6. Keberadaan spesies endemik Ditinjau dari aspek biologi, kondisi perairan Selat Lembeh merupakan perairan yang cukup subur, hal ini disebabkan masuknya massa air dari Laut Sulawesi ataupun Samudera Pasifik yang banyak membawa plankton ke perairan ini yang diikuti oleh migrasi ikan-ikan pelagis kecil dan besar seperti tongkol (cakalang) layang (malalugis), tuna, dan ikan kembung. Bahka ikan herbivora besar seperti ikan lumba-lumba dan paus sering muncul di perairan ini. Perairan Selat Lembeh juga memiliki keragaman biota yang tinggi, termasuk jenis-jenis yang unik dan langka. Berbagai macam ikan hias seperti regal angel fish, bicolor angel fish dan red clown fish, bahkan ikan hias capungan “Banggai cardinal fish” yang endemik di perairan kepulauan Banggai Sulawesi Tengah banyak ditemukan di Selat Lembeh (Makatipu, 2003) dalam KKT Kota Bitung (2004). Lebih lanjut Mitra Pesisir (2005) dan BPPLT Provinsi Sulawesi Utara (2006), melaporkan bahwa jenis biota laut unik di Selat Lembeh adalah Orange Frogfish, Pigmy Cuttlefish, Ornate Ghost, Golden Blenny, Moray Eel, Mandarin fish, Giant Frog Fish, Pipefish, Mantis Shrimp, Blue Ring Octopus, dan Wonderpus.
91
6.1.1.7. Sedimentasi Selain memiliki sumberdaya hayati laut, Pulau Lembeh juga terdapat aktivitas pertanian dan perkebunan, seperti kopi, kelapa dan sayur-sayuran. Akibat perkembangan aktivitas tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan tata guna lahan dan tidak tertutup kemungkinan terjadi pula praktek pertanian yang buruk yang akan berakibat terjadinya peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur hara ke daerah tangkapan air. Sedimen dalam kolom air dapat mempengaruhi pertumbuhan karang atau bahkan menyebabkan kematian karang. BPS Kota Bitung (2005), melaporkan bahwa terdapat 5 (lima) buah sungai utama yang bermuara ke Selat Lembeh, yaitu Sungai Girian, Sagerat, Tanjung Merah, Tewaan dan Rinondoran. Sungai-sungai ini mengalir sepanjang tahun, anak sungai yang berada disekitarnya bersifat sungai tadah hujan. Burke et al. (2002), menyatakan bahwa kandungan unsur hara yang tinggi dari aliran sungai dapat merangsang pertumbuhan alga yang beracun. Soedharma et al. (2002) melaporkan bahwa sepanjang pesisir pantai dari Madidir, Wangurer ke arah Girian Bawah (Pesisir Bitung) merupakan daerah rawan abrasi, hal tersebut disebabkan selain pantainya bertekstur lembek, pantai juga berhadapan dengan laut terbuka dengan terpaan gelombang laut Maluku cukup besar. Faktor non alami juga patut diperhitungkan yaitu kontinuitas lalulintas kapal berbobot besar yang melewati perairan ini menimbulkan gelonbang yang menghempas daratan. Diperkirakan setiap tahun daerah pesisir ini kehilangan 2-3 m, keadaan ini sudah berlangsung selam 10 tahun dan kelihatannya semakin agresif akhir-akhir ini. 6.1.1.8. Tingkat eksploitasi ikan karang Berdasarkan laporan Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara (2005), bahwa jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kota Bitung adalah 2.299 orang dan 2.524 buah perahu/kapal perikanan. Berdasarkan data tersebut maka tingkat eksploitasi sumberdaya ikan diduga telah mencapai kategori ”tinggi”. Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara yang dinyatakan bahwa nelayan semakin sulit menangkap ikan di dalam Selat Lembeh dan ikan yang tertangkap semakin kecil serta jenisnya pun berkurang. Oleh karena itu nelayan terpaksa menangkap ikan di luar Pulau Lembeh.
92
Pada kawasan Selat Lembeh Kota Bitung terdapat pelabuhan perikanan (PP-Bitung) yang setiap hari disinggahi kapal-kapal perikanan untuk menjual hasil tangkapannya, baik kapal kecil maupun kapal besar yang beroperasi disekitar perairan Bitung, Teluk Tomini, Laut Maluku dan zona ekonomi eksklusif. Jenisjenis ikan yang umumnya didaratkan di PP-Bitung adalah layang, tongkol, sardin, cakalang, tuna, dan ikan campuran (Tabel 16). Hal ini didukung oleh adanya industri pengolahan dengan fasilitas pelabuhan, pabrik es (cold storage) yang selalu siap menampung hasil tangkapan. Berdasarkan hasil wawancara dilapangan bahwa nelayan di Pulau Lembeh menjual hasil tangkapannya kepada pedagang pengumpul yang setiap saat mendatangi tempat mereka. Kegiatan operasional PP-Bitung mengacu pada SK Dirjen Perikanan Tangkap
No.
3528/DPT.0/OT.210.S4/7/04.
PP-Bitung
sebagai
prasarana
perikanan tangkap mempunyai tugas dan fungsi sesuai SK menteri Kelautan dan Perikanan N0. 261/MEN/2001, yaitu melaksanakan tugas mengakomodir aktivitas perikanan tangkap meliputi penangkapan, penanganan/pengolahan, distrubusi dan pemasaran hasil perikanan. Tabel 16. Jumlah ikan yang didaratkan di PP-Bitung Tahun
Bulan
Produksi (Ton)
2003
Juni s/d Desember
1102
2004
Januari s/d September
2002
Jenis Ikan Pelagis kecil: tongkol, layang, sardine, dan kembung Pelagis besar: Tuna, cakalang, hiu, tetuhuk, dan marlin. Ikan karang. Pelagis kecil: tongkol, layang, sardine, dan kembung Pelagis besar: Tuna, cakalang, hiu, tetuhuk, dan marlin. Ikan karang.
Sumber: PP-Bitung (2005) Kondisi perairan berdampak pada atribut tingkat eksploitasi sumberdaya ikan di Selat Lembeh. Berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan tangkap ikan konsumsi di Selat Lembeh diperoleh informasi bahwa pendapatan satu orang nelayan dapat memperoleh ikan dengan rata-rata 2 kg ikan karang dengan harga jual Rp. 4000,- s/d 6000,-/kg. Sementara itu hasil kajian tim Mitra Pesisitr Sulawesi Utara (2005), melaporkan bahwa harga rata-rata ikan per kg adalah
93
Binuang Rp. 4026, Makawide Rp. 4600, Paudean Rp. 4350, dan Aertembaga Rp. 5000. Hal serupa juga dilaporkan oleh DKP (2004), bahwa penerimaan nelayan rata-rata sekali beroperasi adalah Rp. 10.000 – Rp. 20.000, sementara rata-rata penerimaan per bulan adalah Rp.400.000,-. Pendapatan nelayan terbesar yaitu dari jenis usaha pengangkapan ikan dengan jenis soma pajeko yaitu Rp. 9,6 juta bagi jelayan pemilik dan yang terkecil pada usaha yaitu sebesar Rp. 0,16 Juta. Sementara untuk pendapatan buruh terbesar yaitu pada usaha funae yaitu sebesar 0,65 juta per bulan dan yang terkecil pada usaha soma goib dan soma dampar yaitu sebesar 0,05 juta per bulan. 6.1.2. Dimensi Teknologi 6.1.2.1. Jenis alat Tangkap Perkembangan teknologi di bidang penangkapan ikan karang pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas penangkapan untuk memenuhi permintaan konsumsi yang terus meningkat baik kebutuhan pasar lokal maupun eksport. Di sisi lain perbaikan dan pengembangan teknologi penangkapan ikan karang juga terjadi dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing sesama nelayan karena semakin terbatasnya sumberdaya ikan, khususnya ikan karang. Pergeseran teknologi kearah yang semaikn efektif ini pada akhirnya akan berdampak terhadap menurunnya ketersediaan sumberdaya ikan. Pergeseran teknologi ke arah yang semakin efektif ini seperti memperkecil ukuran mata jaring dan menambah kedalaman jaring. Persaingan dalam teknologi penangkapan biasanya ditandai dengan dioperasikannya alat penangkapan ikan yang semakin produktif namun tidak ramah lingkungan bahkan bersifat destruktif. Kondisi ini terjadi di wilayah studi dengan masih adanya penggunaan bahan peledak. Berdasarkan laporan Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Sulawesi Utara (2004), (Gambar 19), mayoritas alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan di Selat Lembeh adalah jaring, bagan, sero dan bubu. Selain jenis alat tersebut juga digunakan pancing dan panah (bahasa lokal jubi) dengan demikian mayoritas alat tangkap yang digunakan nelayan termasuk seimbang antara alat tangkap pasif dan aktif.
94
1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Unit
Jenis dan perkembangan alat tangkap 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Jaring I.H. Jaring I.T Bagan Sero Bubu
Gambar 19. Jenis dan perkembangan alat tangkap Pada Gambar 19 menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap pancing dan panah (jubi) yang digunakan oleh mayoritas nelayan Selat Lembeh belum terdaftar pada Laporan Statistik Perikanan Tangkap, namun demikian pada Gambar tersebut terlihat bahwa
alat tangkap jaring insang juga merupakan
mayoritas yang digunakan oleh nelayan.
6.1.2.2. Selektivitas alat tangkap Kegiatan perikanan tangkap di Selat Lembeh dengan alat tangkap jarring, jika titinjau dari ikan yang menjadi sasarannya dapat dikategorikan agak selektif. Alat tangkap jarring ini dapat menangkap beberapa jenis ikan yang bergerombol di sekitar rumpon namun dengan ukuran yang relative selektif, karena ukuran mata jarring (mesh size) yang tidak terlalu halus (rapat). Kegiatan perikanan dengan alat tangkap jaring mempunyai tujuan untuk menangkap udang lobster walaupun pada kenyataannya jenis-jenis ikan karang juga tersangkut pada jaring ini. Mata jaring alat tangkap ini relative besar sehingga hanya ikan-ikan ukuran tertentu yang dapat tertangkap dengan jaring udang ini, sedangkan ukuran udang lobster yang tertangkap bervariasi karena bentuk tubuh udang lobster. Dengan demikian secara umum ditinjau dari selektivitas penggunaan alat tangkap yang digunakan di Selat lembeh Kota Bitung masih tergolong selektif. Penggunaan alat tangkap bubu juga dipergunakan oleh sebagian nelayan di Selat Lembeh. Bubu yang terbuat dari bambu dipasang di tubir pada tempattempat yang diduga sebagai jalur lalu lintas ikan. Pada alat tangkap bubu
95
diikatkan seutas tali ke darat, kemudian bubu ditarik kedarat pada saat tertentu (23 hari setelah dipasang). Kemungkinan terjadinya kerusakan karang pada aktivitas ini adalah pada saat penarikan bubu ke darat. 6.1.2.3. Tipe kapal Tipe kapal yang digunakan nelayan cukup bervariasi, untuk nelayan skala menengah ke atas menggunakan kapal motor dan motor tempel, sedangkan nelayan skala kecil yang beroperasi di Selat Lembeh menggunakan perahu tanpa motor, namun ada juga yang sudah menggunakan motor tempel. Berdasarkan data dari PP-Bitung (2005), bahwa frekuensi tipe kapal perahu tanpa motor (PTM) yang berkunjung di PP-Bitung sampai dengan bulan Mei 2005 adalah 5906 unit, motor tempel (MT) sebanyak 1030 unit, dan kapal motor (KM) sebanyak 793 unit (Gambar 20). Tipe kapal yang berkunung di PP-Bitung Unit 1400 1200 1000 PTM
800
MT
600
KM
400 200 0 Jan.
Gambar 20.
Feb.
Mar.
Apr.
Mei
Frekuensi tipe kapal yang berkunjung di PP-Bitung (Januari s/d Mei 2005)
6.1.2.4. Teknologi penanganan pascapanen Untuk mempertahankan kesegaran ikan, nelayan hanya menggunakan es. Namun demikian khusus untuk ikan hias dan ikan kerapu, sebagian nelayan di Pulau Lembeh menjual dalam keadaan hidup sehingga diperlukan tabung-tabung oksigen. Ikan hasil tangkapan sebagian juga diolah dengan teknologi sederhana dengan cara pengasapan.
96
6.1.3. Dimensi Sosial Ekonomi 6.1.3.1. Tingkat pendidikan Berdasarkan data BPS Kota Bitung, jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 167.625 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 5,54% per tahun. Jika dihubungkan dengan luas wilayah Kota Bitung yaitu 304 km2, maka kepadatan penduduk mencapai 551 jiwa per km2 pada tahun 2004 (Gambar 21). Kecamatan yang terpadat memiliki 1.838 jiwa per km2 yaitu Kecamatan Bitung Tengah, Kecamatan Bitung Barat 1.104 jiwa per km2, dan Kecamatan Bitung Timur 900 jiwa per km2. Khusus untuk lokasi studi, yaitu Kecamatan Bitung Selatan masih relatif jarang penduduknya, yaitu pada tahun 2004 berkisar 16.683 jiwa, sedangkan Kecamatan Bitung Timur relatif lebih padat, yaitu berkisar 52.568 jiwa. Kepadatan jumlah penduduk dipengaruhi oleh adanya pelabuhan serta berbagai kegiatan industri. 9%
11% 28%
32%
20% Bitung Selatan
Bitung Tengah
Bitung Barat
Bitung Timur
Bitung Utara
Gambar 21. Persentase pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bitung Meski merupakan wilayah yang dari segi jarak relatif dekat dengan ibu kota Provinsi, Manado, sebagian besar (hampir 50%) penduduk yang bermukim di sekitar Selat Lembeh berpendidikan relatif rendah yakni tamat sekolah dasar. Pratasik et al (2000) menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa pendidikan di daerah ini relatif rendah adalah karena pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa pendidikan yang tinggi tidak diperlukan untuk pekerjaan seperti menjadi nelayan dan petani. Tingkat pendidikan pada dua kecamatan di lokasi studi terlihat dari indikator rasio siswa terhadap guru SD dan rasio siswa terhadap guru SLTP (Tabel 17). Secara rata-rata tingkat pendidikan masyarakat yang bermukim di sekitar Selat Lembeh adalah tamat SD-SMP.
97
Tabel 17. Rasio siswa terhadap Guru SD dan Guru SLTP Siswa SD SLTP Bitung Tengah 5.231 2.606 Bitung Barat 4.044 1.711 Bitung Selatan 2.189 822 Bitung Timur 6.664 1.261 Bitung Utara 1.990 625 Sumber : BPS Kota Bitung, 2005 Kecamatan
SD 169 123 109 190 95
Guru SLTP 121 86 34 61 48
Siswa/guru SD SLTP 30,95 21,54 32,88 19,90 20,08 24,18 35,07 20,67 20,95 13,02
6.1.3.2. Pengetahuan lingkungan Penduduk yang berdomisili di wilayah sekitar Selat Lembeh, Bitung bekerja sebagai nelayan, petani, buruh, wiraswasta dan PNS. Sebagian besar (lebih dari 40%.) penduduk bekerja sebagai nelayan. Pengetahuan lingkungan oleh masyarakat dapat dikatakan ”cukup”. Sampai saat ini kekhawatiran terhadap penurunan hasil tangkapan nelayan sudah mulai dirasakan. Oleh karena itu, beberapa
masyarakat
secara
sadar
telah
menginginkan
pentingnya
mempertahankan hasil tangkapan walaupun mayarakat masih belum dapat mengawali. Secara mandiri upaya keprihatinan terhadap kawasan telah dimulai dengan dibentuknya masyarakat preservasi Selat Lembeh (Lembeh Strait Preservation Society-LSPS), dan beberapa LSM setempat yang menginginkan adanya konservasi di Selat Lembeh. 6.1.3.3. Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya Atribut ini dinilai dengan mempertimbangkan keberadaan bangunan atau benda-benda sejarah lainnya dari berbagai sumber, terutama yang bersifat resmi. Dari hasil pengamatan lapangan diperoleh bahwa di Papusungan (Pulau Lembeh) terdapat (”ada”) bangunan sejarah, yakni monumen Trikora Mandala Sakti, monumen perjuangan bangsa Indonesia, sedangkan di Pesisir Bitung ”tidak ada” nilai sejarah. 6.1.3.4. Memiliki nilai estetika Penilaian nilai estetika atau keindahan alam bawah laut dilakukan dengan wawancara terhadap pengunjung kawasan wisata bahari. Juga wawancara dilakukan terhadap masyarakat sekitar tempat wisata dan pihak dari Dinas
98
Perikanan dan Kelautan Kota Bitung. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh bahwa Pulau Lembeh memiliki nilai estetika ”tinggi”, sedangkan Pesisir Bitung ”rendah”. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Soedharma et al. (2002), menunjukkan bahwa kawasan Selat Lembeh memiliki keindahan cukup baik, sehingga diperoleh skor untuk flora dan fauna masing-masing 2 (cukup indah). Selain itu, sebagi bukti tingginya nilai estetika khususnya keindahan bawah laut ditunjukkan dengan adanya beberapa Dive Sites di Selat Lembeh, yaitu 1. Batu Angus 2. Aw Shucks 3. Hairball 4. Hairball Too 5. TK1/TK2/TK3 6. Larry’s Crack 7. Slow Poke 8. Magic Crack 9. Magic Rock 10. Nudi Retreat 11. Makawide 12. Jahir 13. Air Prang 14. Nudi Falls
15. Police Pier 16. Pantai Kecil 17. Rina Wreck 18. Critter Hunt 19. Serena North 20. Serena West 21. Bimoli Wreck 22. Madidir 23. Goby A’Crab 24. Kapal Indah 25. Pulau Abadi 26. Wawali Wreek 27. Pintu Kota 28. Pintu Colanda
29. Pantai Parigi 30. Tnjng Tebal 31. Batu Sandar 32. Angel’Window 33. Batu Merah 34. Pulau Putus 35. California Dreaming 36. Kainah’s Treasure 37. Jiko Yansi 38. Batu Kapal
6.1.3.5. Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah Berdasarkan data dari BPS Kota Bitung, bahwa produksi perikanan laut tahun 2004 meningkat 13,29%, yakni dari 117.434,0 ton menjadi 133.046,6 ton. Nilai produksi perikanan laut pada tahun 2004 mengalami peningkatan sebesar 24,60%, yakni dari Rp. 550,321 (milyar) pada tahun 2003 menjadi Rp. 685,723 (milyar). Sementara itu berdasarkan hasil wawancara terhadap penduduk, diperoleh informasi bahwa pendapatan rata-rata dari usaha penangkapan ikan diatas 60% dari total pendapatan rumah tangganya. Berdasarkan keragaman mata pencaharian seperti telah diuraikan di atas, dimana masyarakat Pulau Lembeh sebagain besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, sebaliknya penduduk yang tinggal di Pesisir Bitung lebih sedikit yang bekerja sebagai nelayan.
99
6.1.3.6. Ketergantungan pada pariwisata bahari sebagai sumber nafkah Perkembangan pariwisata bahari hingga saat ini diakui telah memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat termasuk bagi pemerintah Kota Bitung. Hal ini terlihat dari data jumlah kunjungan wisatawan ke beberapa lokasi penyelaman di Selat Lembeh, yaitu setiap tahunnya berkisar 2000 orang penyelam. Data yang diperoleh dari Mitra Pesisir (2005), pada tahun 2004 wisatawan asing yang berkunjung ke Kota Bitung berjumlah 9.625 orang dan wisatawan lokal sebanyak 20.010 orang. Pariwisata bahari merupakan salah satu industri yang sedang dikembangkan di Selat Lembeh, industri ini memiliki tenaga lokal dan luar daerah. Karena jumlah resort yang relatif masih sedikit maka kebutuhan tenaga kerja juga rendah. 6.1.3.7. Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan ekosistem terumbu karang Pada umumnya nelayan yang ada di Pulau Lembeh masih bersifat tradisional, oleh sebab itu wilayah penangkapannya di sekitar Selat Lembeh. Jenis-jenis ikan karang yang ditangkap yaitu goropa (kerapu), bobara (kuwe). Jumlah masyarakat nelayan di Selat Lembeh sekitar 27,29% (PPPIK, 2005), dimanan nelayan menggunakan waktu secara “penuh” dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang, walaupun sebagian penduduk ada yang berprofesi sebagai petani, pegawai negeri maupun pegawai swasta. 6.1.3.8. Pemandu wisata Selat Lembeh juga banyak dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan nusantara maupun domestik. Dalam melakukan wisata, khususnya snorkling atau diving, wisatawan dipandu oleh pemandu wisata yang bertugas di setiap resort. Resort yang sering dikunjungi wisatawan yaitu Kungkungan Bay Resort dan Lembeh Resort. Wisatawan yang hendak mengamati kehidupan bawah air di ekosistem terumbu karang biasanya telah menggunakan peralatan selam yang memadai, dalam melakukan kegiatan tersebut khususnya untuk snorkling dan diving telah diberikan petunjuk atau aturan-aturan oleh pemandu wisata di setiap resort, sebagai contoh adalah larangan mengambil dan merusak karang serta menginjak karang. Wisata bahari di Selat Lembeh belum dilengkapi dengan
100
kapal/perahu kaca, dimana wisatawan dapat melihat kehidupan bawah air tanpa harus menyelam sehingga mengurangi potensi kerusakan terumbu karang. Perahu seperti ini salah satu teknologi wisata bahari yang ramah lingkungan. 6.1.3.9. Wisatawan Selat Lembeh merupakan daerah pariwisata bahari yang banyak dikunjungi oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara. Berdasarkan Gambar 4.6 tersebut diatas, bahwa rata-rata persentase penutupan karang di 19 lokasi termasuk kategori baik sampai dengan cukup baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi pariwisata bahari Selat Lembeh cukup potensial untuk dikembangkan. Beberapa obyek wisata yang terkenal seperti pantai Tanjung Merah, teluk Kungkungan dan taman Laut Batu Kapal. Tabel 18 berikut ini adalah kondisi beberapa objek wisata bahari yang ada di Selat Lembeh . Tabel 18. Objek Wisata di Selat Lembeh No 1. 2. 3.
Lokasi Bitung Selatan Bitung Timur Bitung Barat
Koordinat
Jenis Wisata Penginapan Kondisi LU BT Pantai Diving Baik Cottage Batu Pasir 1023’37.68” 125010’26.04 1 Baik Kapal Panjang Naemund Kung1029’31.2” 125014’17.6 1 Baik ung kungan Tanjung Kurang 1023’57.84” 12506’50.04 Merah
Akses Baik Baik Baik
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Bitung (2005), bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tahun 1995 mengalami peningkatan sampai dengan tahun 1998, namun pada lima tahun terakhir terjadi penurunan yakni pada tahun 2000 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sekitar 12864 orang sedangkan pada tahun 2004 menjadi 10920 orang. Jumlah kunjungan wisatawan nusantara sejak tahun 1995 mengalami penurunan (Gambar 22).
101
Kunjungan w isataw an m ancanegara dan nusantara 35000 30000 25000 20000 15000
Mcnegara Nusantara
10000 5000
Gambar 22.
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
0
Perkembangan jumlah wisatawan mancanegara dan nusantara yang berkunjung di Kota Bitung
Untuk kegiatan pariwisata bahari (diving) di lokasi Selat Lembeh biaya/ harga yang harus dibayar oleh wisatawan bila ingin melakukan aktivitas diving termasuk penginapan dan tarif diving adalah sebagai berikut : Lokasi : Lembeh Resort Kelurahan Pintu Kota (1 April 2005 – 31 Maret 2006) a.
Deluxe Cottage: Double occupancy : $99 pp; dan Single occupancy : $ 130 pp
b. Long Stay Bonus (untuk lebih dari 8 hari) : Double occupancy : $ 89 pp ; dan Single occupancy : $ 120 pp c. Penambahan tempat tidur dalam cottage $ 50 (max 2 tempat tidur/cottage, untuk cottage yang berkapasitas 2 ruangan) a. Tarif anak-anak : Di bawah 5 tahun : free ; 6 – 11 tahun : $ 40/hari (5 jam) ; dan > 12 tahun : $ 50/hari (5 jam) b. Sewa alat diving : 1 – 9 orang penyewa (@ $ 10/hari) ; dan > 8 orang penyewa (@ $ 8/hari). Wisatawan asing biasanya menetap selama 5 – 10 hari, dengan biaya keseluruhan berkisar antara $ 800 - $ 1.250/orang selama tinggal di sana, umumnya melakukan aktivitas diving. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan perikanan dan pariwisata bahari di Selat Lembeh termasuk menguntungkan, sedangkan transfer keuntungan pada usaha perikanan dapat digolongkan seimbang antara orang lokal dengan orang luar.
102
6.1.3.10. Keuntungan (profit) Pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Domestic
Product
(GDP)
Kota
Bitung
cenderung
meningkat,
dimana
pertumbuhannya seiring dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP). Nilai PDRB Kota Bitung Tahun 1997 adalah 285,70 Milyar, dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 433,25 Milyar. Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kota Bitung adalah 5,79% sementara itu pendapatan per kapita Kota Bitung adalah Rp 6.815.507, Kontribusi ekonomi agregat (KEA) Kota Bitung terhadap Propinsi Sulawesi Utara cukup memiliki peranan yang berarti, dimana rata-rata KEA adalah 10,32% setiap tahunya. Setiap sektor lapangan usaha memiliki keragaman laju pertumbuhan ekonomi yang berbeda. Khusus untuk sektor perikanan memiliki LPE dengan kategori sedang yaitu 7,99 - 14,99%. Berkaitan dengan kontribusi yang diberikan oleh pengguna Selat Lembeh terhadap PAD, sektor pariwisata memberikan konstribusi sebagai berikut : Monumen Trikora Mandala Sakti yang terletak di Kelurahan Papusungan, karcis tanda masuk : Dewasa Rp. 2.000/orang ; Anak-anak
: Rp.
1.000/orang ;
Kamar bilas/MCK : Rp. 1.000/orang ; Perahu motor : Rp. 3.000/orang (Mitra Pesisir Sulawesi Utara, 2005). Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa satu orang nelayan dapat memperoleh Rp. 4000,- s/d 6000,-/kg. Hal ini berarti secara rata-rata keuntungan nelayan Selat Lembeh selama sebulan dengan 25 hari kerja adalah Rp. 100.000 – 150.000. Sementara itu Mitra Pesisir Sulawesi Utara (2005), melaporkan bahwa rata-rata pendapatan, penduduk di wilayah sekitar Selat Lembeh sebagian besar (25%) berpendapatan sekitar Rp 460 000 sampai Rp 600 000 per bulan. Hanya sebagian kecil saja yang berpendapatan di atas Rp 1 juta. Selat Lembeh memiliki potensi pariwisata bahari yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain memiki pulau-pulau sangat kecil, Selat Lembeh memiliki pantai berpasir dan perairannya yang cukup jernih serta keberadaan terumbu karang yang masih baik.
Kondisi tersebut dapat
meningkatkan nilai ekosistem terumbu karang untuk dikembangkan sebagai pariwisata bahari. Penelitian tentang nilai ekonomi non-ekstraktif Selat Lembeh di laporkan oleh Fauzi dan Anna (2005), nilai ekonomi non-ekstraktif menyangkut
103
nilai ekonomi dari diving, sewa kapal, taxi air dan nilai non-existence. Tabel 19 berikut menyajikan nilai ekonomi non-ekstraktif Selat Lembeh. Tabel 19. Nilai ekonomi non-ekstraktif Selat Lembeh Penggunaan RataNilai Ekonomi PV at 8% Rata/bulan Rp/orang 750000 25 225.000.000 2.812.500.000 Diving Carter kapal Rp/kapal/hari 175000 12 25.200.000 315.000.000 Taxi air Rp/orang 3000 1500 54.000.000 675.000.000 Sumber: Fauzi dan Anna (2005) Aktivitas
Unit
RataRata
Sebagaimana terlihat pada Tabel 19 di atas, kegiatan penyeleman memberikan manfaat ekonomi (gross benefits) sekitar Rp 225 juta per tahun, sementara dari sewa kapal (charter boat) dan sea taxi masing-masing memberikan nilai ekonomi sebesar Rp 25 juta dan Rp 54 juta per tahun. Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2005), melaporkan tingkat keuntungan pengoperasian kapal perikanan di Selat Lembeh dengan menggunakan data alat tangkap yang beroperasi di sekitar selat. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut (Tabel 20). Tabel 20. Indikator ekonomi ekstraktif per vessel per tahun (dalam Rp juta) Indikator
Binuang Makawide Paudean Aertembaga Total S.L
Total 32.038 207.718 184.142 pendapatan Pendapatan 21.917 197.494 108.328 bersih Nilai tambah 20.682 171.694 86.578 Pendapatan 18.685 168.286 76.228 kapal Sumber: Fauzi dan Anna (2005)
Ratarata
NPV
24.012
447.910111.978 5598.876
20.700
348.438 87.110 4355.481
20.561
299.515 74.879 3743.943
8.141
271.340 67.835 3391.755
Dari Tabel 20 di atas terlihat bahwa nilai pendapatan bersih (net revenue) dari perikanan di Selat Lembeh berkisar antara Rp 24 juta per kapal (vessel) per tahun sampai dengan Rp 207 juta per vessel per tahun. Nilai tambah yang dihasilkan (resource rent) berkisar antara Rp 20 juta per vessel per tahun hingga Rp 171 juta per vessel per tahun. Dengan mengaggregasikan nilai tersebut untuk seluruh kawasan selat lembeh maka diperoleh nilai ekonomi dengan kisaran Rp271 juta per vessel per tahun untuk boat income hingga Rp 348 juta per vessel
104
per tahun untuk net revenue. Nilai Net Present Value merupakan nilai ekonomi total capitalized dengan discount rate sebesar 8% per tahun. Artinya investasi perikanan di Selat Lembeh selama ini masih profitable untuk jangka panjang. 6.1.3.11. Transfer keuntungan Transfer keuntungan di Pulau Lembeh pada usaha perikanan masih bersifat lokal, sedangkan untuk Pesisir Bitung bersifat seimbang antara orang lokal dengan orang luar karena selisih harga tidak terlalu berbeda jauh. Selisih nilai dari transfer keuntungan yang diperoleh dari petibo (pengumpul) dan nelayan atau orang lokal masih seimbang. Transfer keuntungan untuk usaha pariwisata bahari, keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh orang luar karena pengusaha pariwisata dan tenaga kerja terampil berasal dari luar Bitung. 6.1.3.12. Zonasi peruntukan lahan Zonasi peruntukan lahan perairan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah belum ada, namun demikian atas inisiatif Lembaga Swadaya Masyarakat bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat dengan aparat kelurahan membuat Daerah Perlindungan Laut yang berlokasi di Kelurahan Pasir Panjang Kecamatan Bitung Selatan, namun demikian karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat, DPL tersebut banyak yang melanggar. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, Pemda Kota Bitung tahun 2004 telah membuat ”Rencana Peraturan Daerah”, namun sampai saat ini belum disahkan menjadi Peraturan Daerah. 6.1.4. Dimensi Kelembagaan 6.1.4.1. Pemegang kepentingan utama Pelaku pemanfaatan sumberdaya di lokasi studi terdiri dari, untuk Pulau Lembeh dilakukan secara individu sedangkan di pesisir Bitung dilakukan oleh pengusaha. Seperti pada umumnya di sebagian besar daerah di Sulawesi Utara, pemegang kepentingan utama masih ditangani oleh pemerintah artinya setiap kebijakan penggunaan lahan di atur oleh pemerintah. Jadi dapat dikatakan bahwa pemegang kepentingan utama didominasi oleh pemerintah. Adapun stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang Selat Lembeh disajikan pada Tabel 21.
105
Tabel 21. Stakeholder pengelolaan terumbu karang Selat Lembeh No. 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Stakeholder Departemen Kelautan dan Perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Dinas pariwisata Bappeda Bappedal Pelindo-Perhubungan Laut Loka Konservasi Laut (LIPI-Bitung) Badan Pengelola Pesisir & Laut Terpadu Industri Program Mitra Bahari Yayasan Jaga Laut Pengusaha Resort Wisatawan Nelayan Peneliti
Golongan - Level Pemerintah - Pusat Pemerintah - Kota Pemerintah - Kota Pemerintah - Kota Pemerintah - Kota Pemerintah – Pusat Pemerintah – Pusat Pemerintah – Provinsi Dunia usaha – Provinsi/Pusat LSM - Provinsi LSM - Kota Dunia usaha - Kota Nusantara & Mancanegara Masyarakat Kelurahan Daerah, Pusat & Internasional
6.1.4.2. Tingkat kepatuhan masyarakat Tingkat kepatuhan masyarakat, partisipasi, dan komitmen sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Pelanggaran peraturan di wilayah pesisir dan laut biasanya didorong oleh persepsi adanya potensi keuntungan yang bisa didapatkan jika nelayan tersebut melanggar (Sutinen dan Kuperan, 1994). Model sifat kepatuhan sosial merupakan model ”basic compliance” atau ”basic deterrence” (Kuperan dan Sutinen, 1998) yang hanya mencakup faktor utilitas yang dipertimbangkan mempengaruhi kepatuhan nelayan terhadap peraturan. Model ini kemudian dikembangkan menjadi model ”extended compliance” yaitu model ”compliance” yang telah memperhitungkan variabel-variabel faktor moral dan faktor pengaruh sosial. Kuperan et al. (1997), menyatakan bahwa perilaku orang lain akan mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap peraturan. Oleh karena itu pengaruh dari daerah sekitar harus diperhitungkan. 6.1.4.3. Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian kadang-kadang dilakukan oleh aparat dalam bentuk patroli dan adanya larangan tidak menggunakan alat tangkap destruktif, serta masyarakat harus memperhatikan orang-orang yang masuk-keluar di wilayahnya. Maksudnya untuk menghindari terjadinya
pengeboman
ikan.
Program
tersebut
bertujuan
untuk
106
melindungi/menjaga keberadaan ekosistem terumbu karang dan merupakan salah satu wujud nyata kepedulian masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang. Penegakan aturan merupakan masalah nasional yang sampai saat ini belum mampu dilaksanakan. Kasus pengeboman karang masih sering terjadi khususnya disekitar Pulau Dua, namun jika ada laporan dari masyarakat kepada yang berwenang (Kepala Kelurahan dan aparatnya) tidak pernah ditanggapi. Informasi dilapangan diperoleh bahwa sulitnya menindak pelaku pengeboman tersebut karena dibekingi aparat kepolisian, namun hal ini masih sulit dibuktikan. Berkaitan dengan hal tersebut maka pemberian sangsi pun sulit dilakukan. 6.1.4.4. Tokoh panutan Informasi dari lapangan diketahui bahwa setiap kelurahan di Kecamatan Bitung Selatan (Pulau Lembeh) dan Pesisir Bitung memiliki tokoh panutan, namun jumlahnya masih relatif sedikit. Tokoh masyarakat tersebut berasal dari pemuka agama (Ustadz dan pendeta). 6.1.4.5. Penyuluhan hukum lingkungan Secara formal penyuluhan hukum lingkungan jarang dilakukan oleh intansi pemerintah terkait. Penyuluhan hukum informasl biasanya dilakukan pada saat pengajian dalam Majelis Taklim oleh umat Muslim dan perkumpulan ”kolom” oleh umat kristen. Pola pikir masyarakat terhadap konsep partisipasi dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang masih mengikuti mekanisme dari atas kebawah dan dari bawah keatas (bottom-up top down). Dari hasil wawancara diperoleh bahwa masyarakat sering hadir dalam diskusi di kelurahan, namun demikian tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan rendah. Kegiatan partisipasi umumnya digerakkan oleh tokoh masyarakat walaupun ada atas inisiatif sendiri. Keragaan tersebut menunjukkan perkembangan partisipasi dipengaruhi aparat dan tokoh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa belum optimalnya penerapan partisipasi sesuai dengan konsep co-manajemen. Usaha pengelolaan lingkungan pesisir yang lebih bersifat community based seperti program Rehabilitasi Mangrove yang pernah dilakukan dengan menggunakan pola kelompok masyarakat dalam kenyataannya dijalankan dalam mekanisme bottom-up dan top-
107
down planning. Kegiatan ini dikontrol dan dikendalikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung karena sifatnya sebagai proyek pemerintah. Sementara itu peranan wanita dapat dikatakan sedikit. Hal ini terlihat dari banyaknya waktu luang yang dimiliki oleh wanita nelayan belum dimanfaatkan untuk menambah penghasilan keluarga, waktu lebih banyak dihabiskan dirumah untuk mengurus rumah tangga, hal ini terlihat di Kecamatan Bitung Selatan. Dalam usaha dagang, kebanyakan wanita nelayan tidak berperan, namun demikian ada yang berperan sebagai pedagang sambilan baik berupa kegiatan menjual ikan hasil tangkapan suami, ataupun ikan olahan yang dibuatnya. Berdasarkan uraian sebelumnya, dimana partisipasi masyarakat digerakkan oleh tokoh dan aparat, maka dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku serta nilainilai pemegang kepentingan terhadap proses pengambilan keputusan dapat menerima. Berdasarkan temuan ini maka paradigma sikap dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut saat ini berkembang dalam format (a) kuatnya peran aparat dan tokoh masyarakat, (b) masyarakat masih menaruh kepercayaan pada mereka yang berpendidikan relatif tinggi yang tercermin pada pengaruh tokoh masyarakat yang memiliki pendidikan lebih dihargai. Keterlibatan masyarakat dalam kelompok bukan karena keinginan sendiri tetapi didorong oleh adanya faktor pemimpin formal yaitu Lurah. Hal ini seperti diungkap oleh Kepala Kelurahan, sebagai berikut: pada tahun 2005 ketika ada kegiatan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung, yang mengikuti kegiatan adalah kelompok nelayan. Kelompok nelayan tersebut dibentuk oleh Lurah dengan kriteria tidak memiliki pekerjaan tetap dan patuh. 6.2. Akuntabilitas Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang Akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh dilakukan dengan menggunakan analisis Rap-Insus-COREMAG. Analisis RapInsus-COREMAG akan menghasilkan indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang. Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG yang bersifat multidimensi, yaitu gabungan semua atribut dari empat dimensi yang dianalisis menghasilkan nilai indeks akuntabilitas sebesar 57,07 pada skala akuntabilitas 0 – 100. Hal ini
108
menunjukkan bahwa berdasarkan analisis terhadap 45 atribut dengan 4 dimensi, pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh termasuk kategori cukup akuntabel, dengan nilai indeks akuntabilitas > 50 (Gambar 23). 80
60
Up
Sumbu Y Setelah Rotasi
40
20 Bad
Good
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
-60
Down
-80 Sumbu X Setelah Rotasi Skala Akuntabilitas
Gambar 23. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh Berdasarkan Gambar 23 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa secara umum masih perlu dilakukan perbaikan pada berbagai dimensi pengelolaan kawasan terumbu karang, mencakup dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Untuk mengetahui dimensi pengelolaan mana yang memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-Insus-COREMAG pada setiap dimensi. 6.2.1. Dimensi Ekologi Berdasarkan Gambar 24 nilai indeks akuntabilitas untuk dimensi ekologi adalah sebesar 70,67 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 47,04 untuk lokasi pesisir Bitung. Hal ini menunjukkan bahwa indeks akuntabilitas dimensi ekologi Pulau Lembeh cukup akuntabel, sedangkan pesisir Bitung termasuk kategori kurang akuntabel.
109
Ordinasi Dimensi Ekologi 60 UP
Sumbu Y setelah rotasi
40
20
0
BAD 0
20
40
60
GOOD 100
80
120
-20
-40 DOWN -60 Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas
Gambar 24. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi Analisis Leverage Dimensi Ekologi
Tingkat Eksploitasi sumberdaya Ikan karang
2.699168795
Kondisi Perairan
2.939113622
Jumlah sungai
1.489037128
Sedimentasi
2.002774936
Spesies Endemik
2.156436877
Atribut
Kedalaman
1.825059521
kecerahan
1.527586857
Salinitas
1.346792958
Suhu
1.395100115
Substrat Perairan
1.36593863
Kecepatan Arus
1.092145732
Keanekaragaman Ikan Karang
1.036870019
Persentase Penutupan Karang
2.595585143 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Perubahan Root M ean Square (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 25.
Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS
Analisis leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan konstribusi terhadap nilai indeks dimensi ekologi. Berdasarkan Gambar 25 dari tiga belas (13) atribut yang dianalisis, menunjukkan bahwa atribut ”kondisi perairan, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan, persentase penutupan karang, spesies endemik, dan sedimentasi” memiliki tingkat sensitivitas yang
110
relatif lebih tinggi, sedangkan atribut ”keanekaragaman ikan karang” memiliki tingkat sensitivitas yang relatif lebih rendah dari ke dua belas (12) atribut lainnya. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama di wilayah pesisir yang sangat produktif, namun sangat rentan terhadap perubahan-perubahan atau pengaruh eksternal. Wilayah pesisir Selat Lembeh memiliki 5 (lima) buah sungai utama (DAS), yaitu Sungai Girian, Sagerat, Tanjung Merah, Tewaan dan Rinondoran (Lampiran 10), hal ini dapat menjadi sumber pembuangan limbah. Karena itu pengelolaan terumbu karang harus didasarkan atas pemahaman perspektif holistik dan berbasis ekologis. Clark (1996) mengelaborasi kaidah ekologis ini menjadi acuan bagi pengelolaan wilayah pesisir sebagai berikut: (1) integritas ekosistem: bahwa setiap ekosistem pesisir harus dikelola sejalan dengan keterkaitan bagian-bagian serta sebagai satu kesatuan yang utuh, (2) DAS: bahwa pengelolaan DAS sedapat mungkin mempertahankan pola alaminya, karena DAS adalah faktor kunci dalam pengelolaan air sebagai komponen utama keterkaitan elemen-elemen ekosistem, dan (3) penyangga DAS: perlu dibangun penyangga DAS berupa vegetasi sepanjang DAS tersebut sejalan dengan meningkatnya pembangunan. Tata guna lahan yang dicirikan oleh penutupan lahan menjadi hal yang sangat penting untuk mempertahankan fungsi hidrorologi DAS. Keberadaan DAS tersebut dapat mempengaruhi sifat fisika-kimia perairan, khususnya pola sebaran salinitas perairan Selat Lembeh Kota Bitung. Salinitas menggambarkan konsentrasi dari total ion yang terdapat dalam suatu perairan dengan ion-ion utama penyusunnya adalah natrium, kalium, magnesium, khlorida, sulfat dan bikarbonat (Millero dan Sohn, 1992). Salinitas akan bervariasi secara vertikal dan horizontal tergantung masukan air tawar, air hujan dan penguapan (evaporasi). Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme laut dan kelarutan gas-gas di dalam air laut. 6.2.2. Dimensi Teknologi Gambar 26 menunjukkan nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi sebesar 43,22 untuk Pulau Lembeh dan 33,22 untuk lokasi pesisir Bitung. Nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi lebih kecil daripada nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi dan termasuk kedalam kategori ”kurang berkelanjutan”. Rendahnya nilai indeks dimensi teknologi ini disebabkan karena
111
masih adanya penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Untuk meningkatkan status nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi ini perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut. Ordinasi Dimensi Teknologi 60 UP
Sumbu Y setelah rotasi
40
20
0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60 Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas
Gambar 26. Analisis Rap-Insus-COREMAG akuntabilitas dimensi teknologi
yang
menunjukkan
indeks
Analisis Le v e rage Dime nsi Te knologi
Teknologi Penanganan pasca panen
0.513031913
Atribut
Tipe Kapal
Ketersediaan alur pelayaran
Selektivitas Alat Tangkap
2.724338823
1.388423019
2.883794492
Jenis Alat Tangkap
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 Perubahan Root M ean Square (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 27.
3.250003081
3.5
Peran masing-masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS
Berdasarkan hasil analisis leverage (Gambar 27) terdapat empat atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi yaitu, jenis alat tangkap dengan nilai 3,25, selektivitas alat tangkap dengan nilai 2,88, dan tipe kapal dengan nilai 2,72.
112
Menurut Russ (1991), tekanan penangkapan ikan yang berkepanjangan akan memberikan dampak pada terumbu karang, sehingga ketersediaan stok ikan akan mengalami perubahan. Mengacu pada hasil analisis leverage, maka dibutuhkan kebijakan pengelolaan terumbu karang, seperti pembentukan daerah konservasi laut untuk peningkatan persentase penutupan karang yang pada akhirnya memberikan peluang stok ikan karang melakukan pemijahan (spawning) sebagai sumber utama peremajaan (recruitment). Marsaoli (2001), menyatakan bahwa hubungan model pertumbuhan ikan lencam dengan sediaan stok menunjukkan bahwa pada kondisi karang baik pertumbuhan maksimum lestari (MSY) per tahun mencapai 7.083,97 kg/km2, sedangkan pada kondisi karang rusak pertumbuhan maksimum lestari hanya mencapai 3.001,10 kg/km2. Pertumbuhan ikan lencam mengalami penurunan sebesar 58% dari kondisi karang baik ke kondisi karang rusak. Aktivitas pertumbuhan ikan akan mengalami penurunan, jika kebanyakan ikan yang tertangkap adalah kelompok ikan yang sedang dalam proses pertumbuhan. Peristiwa ini akan menyebabkan overfishing pertumbuhan (growth overfishing) (Charles, 2001). Overfishing pertumbuhan lebih cepat terjadi pada kondisi karang rusak dibanding kondisi karang baik, selanjutnya dengan acuan hasil ini maka dibutuhkan kebijakan ukuran minimum (minimum size) ikan karang di Selat Lembeh yang tertangkap untuk menghindari mortalitas ikan yang masih dalam proses pertumbuhan, sehingga tidak perlu terjadi overfishing pertumbuhan. Menurut Marsaoli (2001), jumlah upaya optimum untuk kondisi karang baik per tahun sebesar 168 trip/km2, sedangkan untuk kondisi karang rusak sebesar 123 trip/km2. Hasil maksimum lestari (CMSY) untuk kondisi karang baik per tahun sebesar 7.089,60 kg/km2 atau sekitar 58% lebih tinggi dari pada hasil maksimum lestari pada kondisi karang rusak yang berjumlah 2.992,59 trip/km2. Berdasarkan pada analisis leverage yang diperoleh maka dapat dikatakan bahwa kerusakan terumbu karang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi keberadaan ikan karang. Selain itu, kerusakan terumbu karang akan memberikan dampak eksternalitas stok apabila tidak ditetapkan upaya zonasi atau konservasi laut. Langkah yang diambil misalnya penutupan sebagian kawasan untuk berbagai aktivitas penangkapan termasuk intensitas penangkapan
113
merupakan salah satu alternatif yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya overfishing malthus (malthusian overfishing). Penetapan upaya pemanfaatan yang sama di antara kedua kondisi tersebut akan berakibat overfishing malthus pada kondisi karang rusak jika mengikuti rekomendasi upaya zonasi atau konservasi laut pada kondisi karang baik. Sebaliknya, akan terjadi underfishing jika mengikuti rekomendasi zonasi atau konservasi laut pada kondisi karang rusak. Menurut Russ (1991), overfishing malthus akan terjadi pada saat kondisi intensitas penangkapan ikan yang tinggi sedangkan hasil yang diperoleh semakin berkurang yang diikuti dengan rusaknya lingkungan. Solusi dalam pencegahan hal tersebut, dijelaskan oleh Pauly (1988) dengan mencoba memasukkan perikanan karang ke dalam suatu sistem pemanfaatan optimal dengan mempertimbangkan ekosistem terumbu karang dan wilayah sekitarnya. Selanjutnya menurut Munro (1984), penentuan hasil maksimum berkelanjutan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya tangkap lebih (overfishing). Hal ini lebih menarik lagi pada perairan terumbu karang karena adanya efek penangkapan berdampak dua arah, yaitu terhadap stok ikan dan terumbu karang. Studi Cesar (1997) menyatakan bahwa pengambilan batu karang memberikan keuntungan bersih sebesar $121.000 per km2 (dalam nilai netto saat ini), namun menimbulkan kerugian netto kepada masyarakat sebesar $ 93.600 dalam nilai perikanan, $ 12.000-260.000 dalam nilai proteksi wilayah pantai, $ 2.900 – 481.900 dalam nilai pariwisata, $ 67.000 dalam nilai kerusakan kawasan hutan dan kerugian yang tidak dapat dihitung karena kehilangan pangan dan keanekaragaman hayati. Teknologi yang digunakan masyarakat menentukan keberlanjutan dan pengelolaan terumbu karang. Contoh kasus dalam hal ini adalah masyarakat desa pulau-pulau kecil di Maluku menggunakan alat tangkap sederhana untuk menangkap ikan. Akibatnya sumberdaya ikan tetap terjaga dengan baik. Pendatang harus menggunakan alat tangkap ikan yang sama dengan yang digunakan penduduk lokal. Di Papua, jika penduduk suatu suku tertentu ingin menangkap ikan di perairan yang menjadi milik suku lain, teknologi yang digunakan harus sama. Sementara itu, kehadiran alat tangkap yang modern, terutama yang terbuat dari bahan-bahan pabrik serta dengan menggunakan kapal
114
bermotor cenderung mendesak nelayan kecil untuk meninggalkan dan keluar dari perairan yang secara tradisi dan turun temurun telah menjadi daerah tempat usahanya. Ditinjau dari kebutuhan aspek teknologi, kegiatan penangkapan ikan merupakan kegiatan yang memerlukan
investasi modal
yang cukup besar.
Nikijuluw (2001), menyatakan bahwa besarnya investasi
awal satu unit alat
tangkap termasuk kapal berkisar antara Rp. 9,23 juta (untuk kapal dan alat tangkap gillnet) sampai dengan Rp.243,10 juta (untuk kapal dan alat tangkap mini purse seine). dari jumlah tersebut tidak semua nelayan mampu memilikinya dan bagi nelayan yang telah memiliki alat tangkap, terkadang dihadapkan pada masalah modal untuk renovasi. Mengingat investasi pada kegiatan perikanan tangkap senantiasa dihadapkan pada masalah depresiasi modal dan alat tangkap di samping resiko lainnya. Nikijuluw (2001), melaporkan bahwa usaha penangkapan ikan dari beberapa alat tangkap yang diamati di Jawa Tengah menunjukkan bahwa sebagian dari alat tangkap masih menghasilkan tingkat rentabilitas dan pendapatan sosial yang cukup tinggi (misalnya gillnet), sementara alat tangkap yang lain seperti mini purse seine, trammel net, dan bagan, dihadapkan pada resiko yang kurang menguntungkan, artinya besarnya tingkat rentabilitas maupun pendapatan sosial yang diterima oleh pemilik kapal relatif kecil. Hal ini disamping oleh tingginya biaya operasional penangkapan juga kendala hasil tangkapan yang tidak menentu. Kondisi ini mencerminkan bahwa upaya penangkapan ikan memerlukan perhatian serius, sehingga pengembangan penangkapan ikan perlu dimbangi dengan upaya perbaikan ekosistem, seperti terumbu karang yang dapat berfungsi sebagai daerah spawning ground dan fishing ground atau diperlukan adanya diversifikasi alat tangkap yang ramah lingkungan dan atau pengembangan usaha alternatif diluar kegiatan penangkapan ikan seperti pengelolaan pariwisata bahari. 6.2.3. Dimensi Sosial Ekonomi Pada Gambar 28 menunjukkan nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi sebesar 61,64 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 40,89 untuk lokasi Pesisir Bitung. Nilai indeks tersebut berada di bawah nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi dan berada di atas dimensi teknologi dan termasuk kedalam kategori ”cukup” akuntabel untuk lokasi Pulau Lembeh dan kategori ”kurang” akuntabel
115
untuk lokasi Pesisir Bitung. Hal ini mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya terumbu karang di dua lokasi studi mengindikasikan dimensi sosial ekonomi ”kurang” akuntabel dibanding aspek ekologi dan lebih akuntabel dibanding dimensi teknologi. Namun manfaat ini masih bersifat jangka pendek karena pemanfaatan terumbu karang masih ada yang bersifat destruktif. Perbaikan atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi sosial ekonomi, khususnya di lokasi Pesisir Bitung perlu dilakukan agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat, sebaliknya nilai indeks untuk lokasi Pulau Lembeh perlu dipertahankan. Ordinasi Dimensi Sosial Ekonomi 60 UP
Sumbu Y setelah rotasi
40
20
0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60 Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas
Gambar 28. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi Berdasarkan hasil analisis leverage, terdapat 5 (lima) atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi (Gambar 29), yaitu Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang, ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah, memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, zonasi peruntukan lahan, dan potensi konflik.
116
Analisis Leverage Dimensi Sosial Ekonomi
Zonasi peruntukan lahan
2.617928892
Transfer keuntungan
1.506113152
Keuntungan (profit)
1.056591717
Lama tinggal w isataw an
1.17678618
Jumlah objek w isata
1.195029678
Wisataw an mancanegara
1.34710047
Wisataw an lokal
1.415892506
Atribut
Tempat sew a scuba
1.053562591
Pemandu w isata
1.162985838
Lokasi untuk pendidikan dan penelitian
1.402549063
Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang
3.762562246
Ketergantungan pada pariw isata bahari sebagai sumber nafkah
1.621660101
Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah
3.441954345
Memiliki nilai estetika
1.937655166
Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya
2.76708084
Pengetahuan lingkungan
1.521056677
Tingkat pendidikan
1.78198294
Jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan
2.638780556
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Perubahan Root Mean Square (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 29.
Peran Masing-Masing Atribut dimensi sosial ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS
Dari lima atribut yang sensitif, atribut waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang memberikan nilai indeks yang paling sensitif terhadap dimensi sosial ekonomi yaitu 3,76. Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), pengelolaan terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based activity). Berdasarkan permasalahan pengelolaan terumbu karang dengan mempertimbangkan peran dari dimensi sosial ekonomi, dapat dirumuskan sebuah alternatif solusi yang representatif untuk menunjang pengelolaan secara berkelanjutan. Solusi alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang lebih diarahkan untuk memperkuat dan mengembangkan kelembagaan serta partisipasi masyarakat lokal. Wells et al. (1992), menyatakan bahwa pengelolaan partisipatif didasarkan pada tiga bagian utama, yaitu: (1) pemangku kepentingan (stakeholder) diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen dan partisipasi mereka dan untuk menampung aspirasi dan pengalaman mereka dalam pengelolaan, (2) pembagian peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan berbeda-beda tergantung kondisi khusus dari tiap kawasan, (3) kerangka kerja
117
pengelolaan tidak hanya untuk tujuan ekologis, melainkan juga mencakup tujuan ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Satria et al. (2002), pada dimensi sosial ekonomi, terdapat langkah-langkah menuju pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, yaitu melalui tiga tingkatan, (1) Tingkat masyarakat; pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas pemasaran pada masyarakat nelayan agar tidak bergantung pada pedagang besar dan pedagang perantara. Dalam tingkatan ini, pemerintah juga diharapkan
dapat mengendalikan fluktuasi harga komoditas perikanan untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat nelayan. (2) Tingkatan kabupaten/kota; pemerintah diharapkan dapat memberikan akses dan jaringan pemasaran antara kalangan pengusaha besar dan masyarakat melalui sistem insentif dan disinsentif. Sejalan dengan itu, pemerintah daerah diharapkan lebih berorientasi pada pasar, (3) Tingkat antar kabupaten/kota; menjadikan hubungan pemasaran antara hulu dan hilir lebih baik dan mewujudkan mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap pasar gelap dan antar daerah. Sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, maka manfaat ekonomi dari potensi terumbu karang harus diarahkan untuk upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Tidak adil bila manfaat ekonomi dinikmati oleh orang luar, sedangkan penduduk setempat hanya menjadi penonton. Oleh karena itu manfaat terumbu karang harus diprioritaskan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Karena keterbatasan potensi terumbu karang dan modal serta peningkatan kebutuhan manusia yang selalu meningkat, maka penggunaan potensi tersebut harus efektif dan efisien. Menurut Marsaoli (2001), Besarnya keuntungan berkelanjutan pada saat hasil maksimum lestari (MEY) menunjukkan bahwa kondisi karang baik, keuntungan berkelanjutan dicapai pada saat upaya tangkap per tahun sekitar 133 trip/km2. Pada kondisi karang rusak, keuntungan berkelanjutan dicapai ketika upaya tangkap berada pada posisi 78 trip/km2. Nilai keuntungan berkelanjutan pada kondisi karang baik per tahun sebesar Rp. 22.044.750 dan pada kondisi karang rusak diperoleh nilai keuntungan berkelanjutan sebesar Rp. 5.978.700.
118
Menurut Russ (2001), overfishing ekonomi terjadi ketika upaya tangkap melebihi nilai maksimum ekonomi lestari (MEY). Beberapa hasil studi menunjukan bahwa daerah konservasi telah menunjukkan manfaat yang berarti berupa peningkatan biomas. Hasil studi Halpern (2003) misalnya menunjukkan bahwa secara rata-rata, daerah konservasi telah meningkatkan kelimpahan (abundance) sebesar dua kali lipat, sementara biomas ikan dan keanekaragaman hayati meningkat tiga kali lipat. Peningkatan kelimpahan dan biomass ini mengakibatkan pula peningkatan terhadap produksi perikanan (jumlah tangkap dan rasio tangkap per unit upaya atau CPUE). Beberapa studi menunjukan bahwa daerah konservasi telah meningkatkan rasio CPUE dalam kisaran 30% sampai 60% dari kondisi sebelum di konservasi. Sementara itu dari sisi riil effort (misalnya jumlah trip), beberapa studi seperti di Apo Island. Philippine dan George Bank di Amerika Serikat, telah menunjukan penurunan yang berarti. Dari sisi ekonomi, manfaat yang diperoleh dari daerah konservasi laut juga cukup signifikan. Hasil studi White dan Cruz-Trinidad (1998) dalam Fauzi dan Anna (2005), mengenai daerah konservasi laut di Apo Island menunjukan bahwa manfaat bersih (net benefit) yang bisa diperoleh dari MPA Apo Island hampir mencapai US$ 400 ribu. Manfaat ekonomi ini diperoleh dari penerimaan ekoturisme dan perikanan serta penjualan jasa bagi kepentingan wisata dan perikanan. Nilai ekonomi tentu saja sangat berarti dibanding dengan manfaat ekonomi sesaat dari penangkapan ikan baik yang konvensional maupun dengan teknik yang destruktif seperti bom dan cyanida. Selain manfaat biologi dan ekonomi, daerah konservasi juga memberikan manfaat sosial yang tidak bisa diabaikan. Beberapa hasil studi menunjukan bahwa penetapan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi dapat meningkatkan kepedulian (awarenes) masyarakat sekitar terhadap masalah lingkungan. MPA juga dapat dijadikan ajang untuk meningkatkan pendidikan lingkungan diantara masyarakat sekitar. Di Apo Island, Philippines, penerimaan yang diperoleh dari MPA
malah dapat dijadikan sebagai beasiswa bagi penduduk sekitar untuk
menempuh pendidikan formal tingkat lanjut. Interaksi dengan wisatawan dari berbagai negara juga telah membantu membuka cakrawala berfikir bagi penduduk
119
sekitar. Interaksi ini berfungsi juga sebagai ajang transfer teknologi dan informasi dari dunia luar ke penduduk sekitar. Selain itu, studi di kepulauan Pasifik menunjukan bahwa penetapan MPA
telah meningkatkan harmoni diantara
penduduk pulau dan mengurangi konflik pengguna sumberdaya yang selama ini cukup intens. Keberhasilan suatu MPA telah meningkatkan kebanggaan (pride) dan kepercayaan diri (confidence) masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya yang lestari. Usaha perikanan tangkap yang menjadi tumpuan sebagain besar kominitas nelayan yang menempati wilayah pesisir Selat Lembeh harus dikembangkan dari usaha yang sifatnya tradisional menjadi usaha yang lebih profesional. Hal tersebut tidak saja meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidup nelayan tetapi mampu memberikan konstribusi yang signifikan dalam pendapatan asli daerah. Sanim (2001), menyebutkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) nelayan merupakan komponen utama bagi daya saing nasional, maupun internasional suatu negara sehingga sangat penting dan strategis bagi pembangunan agribisnis di Indonesia yang dapat dilakukan dengan cara: 1) peningkatan kualitas SDM dilakukan untuk mencapai berbagai tujuan dengan berbagai dimensinya, 2) pada tingkat pemerintah daerah (local goverment) provinsi maupun kabupaten dan kecamatan untuk dapat melaksanakan desentralisasi, 3) dalam era globalisasi maka peningkatan kualitas SDM harus memenuhi tiga kriteria pendidikan yang berkelanjutan, yaitu: (a) multi skiling, (b) life long education, (c) learning by doing process. Jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan pada dimensi sosial-ekonomi menunjukkan pengaruh yang berarti (2,64), hal tersebut perlu mendapat perhatian khususnya pengaturan ruang (zonasi) pemanfaatan, karena konflik yang ada dapat berkembang dan berkepanjangan yang dapat mengakibatkan rusaknya terumbu karang. Kusnadi (2002), menyatakan bahwa konflik dapat berakibat langsung pada turunnya pendapatan sehingga para nelayan cenderung untuk memperluas wilayah penangkapan dan melakukan pelanggaran lain untuk mengkonpensasi penurunan pendapatan akibat konflik. Dalam situasi seperti ini dibutuhkan resolusi konflik yang efektif, yang diharapkan akan berdampak positif, yaitu resolusi yang mampu mempererat masyarakat yang pada akhirnya akan
120
menciptakan kesepakatan alokasi sumberdaya yang lebih adil (Budiono, 2005). Lebih lanjut Borrini-Feyerabend, et al. (2000), menyatakan bahwa pengelolaan konflik adalah proses non-kekerasan yang mempromosikan dialog dan negosiasi akan memberikan panduan penyelesaian konflik agar konstruktif ketimbang destruktif. Elemen-elemen utama dalam pendekatan pengelolaan konflik modern terdiri dari : (1) Aktor sosial yang peduli menyelesaikan pertikaian, (2) Wilayah kepentingan dan beberapa sumber konflik, seperti perbedaan nilai, keinginan dan kebutuhan dari berbagai pihak yang terlibat, (3) Forum untuk bernegosiasi dan peraturan dasar yang menyediakan kerangka kerja para pihak yang terlibat untuk bertemu dan berdiskusi, (4) Data yang dapat dipercaya tentang sumber konflik, (5) Opsi-opsi tindakan yang dihasilkan oleh pelaku yang terlibat dan didiskusikan di antara mereka, (6) Merumuskan dan menuliskan persetujuan dari salah satu pilihan yang disepakati, dan (7) Mengesahkan persetujuan dan melaksanakannya. 6.2.4. Dimensi Kelembagaan Gambar 30 menunjukkan nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan sebesar 47,95 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 16,20 untuk lokasi pesisir Bitung. Nilai indeks tersebut termasuk kategori kurang untuk Pulau Lembeh dan buruk untuk Pesisir Bitung. Ordinasi Dimensi Kelembagaan 60 UP
Sumbu Y setelah rotasi
40
20
0
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60 Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas
Gambar 30.
Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan
121
Berdasarkan Gambar 31 terdapat 4 (empat) atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan yaitu tokoh panutan dengan nilai 5,82, pemegang kepentingan utama dengan nilai 4,30, koperasi dengan nilai 3,08 dan tradisi/budaya dengan nilai 2,89. Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan
1.737035412
Forum Konservasi
2.894195331
Tradisi/budaya
3.084672654
Koperasi
1.938431424
Atribut
Penyuluhan hukum lingkungan
5.816321317
Tokoh panutan
1.907303566
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian
1.569012232
Tingkat kepatuhan masyarakat
4.30178497
Pemegang kepentingan utama
1.766875373
Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
Perubahan Root M ean Square (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 31.
Peran masing-masing atribut aspek akuntabilitas berdasarkan dimensi kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS
Berbagai lembaga, kelompok sosial dan individu yang memiliki secara langsung, berarti dan khusus kepentingannya di daerah terumbu karang dapat disebut sebagai kelompok kepentingan (stakeholders). Kepentingan tersebut dapat berupa pemilik mandat institusi, minat ekonomi, ketergantungan penghidupan, historis, kedekatan geografis serta variasi kapasitas dan kepedulian lainnya. Secara umum, kelompok kepentingan mempunyai karakteristik, selalu peduli terhadap kepentingannya dalam pengelolaan terumbu karang, walaupun mereka mungkin tidak peduli pada semua isu dan problem pengelolaan. Berkes et al. (2001), mengusulkan bahwa untuk menangani permasalahan eksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan, seperti penggunaan bom dan potasium yakni dengan mengelola masyarakat (management people). Lebih lanjut Berkes et al. (2001), menyatakan bahwa untuk mengontrol aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya diperlukan alokasi hal kepemilikan atas sumberdaya dan menentukan
122
bentuk aturan penggunaan sumberdaya. Kedua hal tersebut akan menentukan karakteristik pengelolaan. Kelompok kepentingan juga mempunyai kapasitas khusus (pengetahuan atau kemampuan) dan keunggulan komparatif, seperti mandat atau kedekatan wilayah serta berkeinginan untuk berinvestasi secara khusus (uang, tenaga, waktu atau otoritas politik). Borrini-Feyerabend (1997), menyatakan guna menjaga kepentingan efektifitas dan kesetaraan proses pengelolaan kolaboratif, maka dibutuhkan pembatasan dalam menentukan kelompok-kelompok kepentingan utama (primary stakeholder) dan sekunder yang akan diikutsertakan dalam proses pengelolaan kolaboratif berdasarkan sejumlah kriteria yang disepakati. Kemungkinan kriteria tersebut sebagaimana diajukan oleh BorriniFeyerabend (1997), di antaranya : (1) Hak-hak sumberdaya alam yang masih ada, (2) Kelangsungan hubungan, seperti penduduk versus pengunjung dan turis, (3) Pengetahuan dan kemampuan yang unik dalam mengelola sumberdaya alam, (4) Hubungan historis dan budaya dengan sumberdaya, (5) Kehilangan dan kerusakan yang ditimbulkan dalam pengelolaan, (6) Tingkat ekonomi dan kelenturan sosial terhadap sumberdaya, (7) Tingkat upaya dan minat dalam pengelolaan, (8) Kesetaraan akses terhadap sumberdaya dan distribusi manfaat, (9) Kompatibilitas keinginan dan kegiatan kelompok kepentingan terhadap kebijakan nasional, konservasi dan kebijakan pembangunan, dan (10) Dampak saat ini dan dampak potensial kegiatan-kegiatan berbasis sumberdaya alam yang dilakukan oleh kelompok kepentingan. Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan. Menurut Nikijuluw (2002), tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan adalah: (1) Keterwakilan (representation) yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, (2) Kecocokan (relevance) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi, dan (3) Penegakan hukum (enforceability) adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakkan. Menurut APO (2002) dalam Arsyad (2007), pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan harus terfokus kepada penggunaan sumberdaya jangka
123
panjang. Langkah awal dalam pengelolaan yang demikian adalah mengidentifikasi ekosistem dan pemangku kepentingan (stakeholder) karena melibatkan banyak sektor sehingga berdampak pada pemerataan antar generasi. Kebijakan seperti melarang penangkapan pada musim tertentu, pengurangan operasi penangkapan dan jumlah kapal yang beroperasi tidak akan diterima oleh nelayan. Hal ini disebabkan karena terjadinya pengangguran dan hilangnya pendapatan. Analisis Rap-Insus-COREMAG pada setiap dimensi memperlihatkan bahwa diantara dimensi yang dianalisis ternyata dimensi kelembagaan merupakan dimensi yang paling lemah akuntabilitasnya khususnya di pesisir Bitung. Nilai indeks akuntabilitas untuk masing-masing dimensi dapat dilihat pada Tabel 22 berikut. Tabel 22. Nilai indeks akuntabilitas Pulau Lembeh dan pesisir Bitung pada setiap dimensi
Dimensi Ekologi
Lokasi Pulau Lembeh Pesisir Bitung 70.67 47.04
Teknologi
43.22
33.22
Sosial ekonomi
61.65
40.89
Kelembagaan
47.95
16.20
Gambar 32 memperlihatkan bahwa nilai indeks akuntabilitas untuk setiap dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti semua nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai yang sama besar, akan tetapi dalam berbagai kondisi daerah tentu memiliki prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian. Pada prinsipnya indeks akuntabilitas pada setiap dimensi tersebut berada pada kategori ”kurang” akuntabel.
124
Ekologi 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Kelembagaan
Teknologi
Pulau Lembeh Pesisir Bitung
Sosek
Gambar 32.
Diagram Layang (kite diagram) akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lambeh, Kota Bitung
Beberapa parameter statistik yang diperoleh dari analisis Rap-InsusCOREMAG dengan menggunakan metode MDS berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di daerah studi. Tabel 23 menyajikan nilai stress dan R2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi maupun multidimensi. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi sebenarnya). Tabel 23. Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG untuk beberapa parameter statistik Nilai Sosial Multidimensi Ekologi Teknologi Kelembagaan Statistik Ekonomi Stress 0.19 0.14 0.18 0.13 0.14 R2
0.90
0.95
0.94
0.95
0.95
Jumlah Iterasi
2
2
2
2
2
Berdasarkan Tabel 23, setiap dimensi maupun multidimensi memiliki nilai stress yang lebih kecil dari ketetapan yang menyatakan bahwa nilai stress pada analisis dengan metode MDS cukup memadai jika diperoleh nilai 25% (Fisheries.com, 1999). Semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dihasilkan. Berbeda dengan nilai koefisien
125
determinasi (R2), kualitas hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian dari kedua parameter (nilai stress dan R2) menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Selat Lembeh relatif baik dalam menerangkan ke-empat dimensi pengelolaan yang dianalisis. Untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks multidimensi maupun masing-masing dimensi digunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis (EPA, 1997). Mekanisme untuk mendapatkan solusi tersebut mencakup perhitungan yang berulang-ulang. Olah karena itu analisis Monte Carlo akan lebih cepat jika menggunakan komputer (Bielajew, 2001). Nama Monte Carlo diambil dari nama kota Monte Carlo karena analsis Monte Carlo pada prinsipnya mirip dengan pertmainan rolet (roullette) di Monte Carlo. Rolet ini dapat dianggap sebagai suatu pembangkit angka acak yang sederhana. Analisis Monte Carlo dalam analisis Rap-Insus-COREMAG digunakan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut dari masing-masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang (missing data), dan nilai stress yang terlalu tinggi. Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG berupa indeks keberlanjutan mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi. Hasil analisis Monte Carlo dilakukan dengan beberapa kali pengulangan ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total maupun masing-masing dimensi. Ordinasi analisis Monte Carlo dapat dilihat pada Gambar 33. Pada Gambar 33 terlihat bahwa selang kepercayaan 95% terhadap indeks pengelolaan terumbu karang di Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung pada analisis Monte Carlo ini masing-masing adalah 69,47 dan 46,99.
126
60
40
Sumbu Y
20
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
-60 Sumbu X Insus-COREMAG
Gambar 33. Ordinasi analisis Monte Carlo yang menunjukkan posisi median dan selang kepercayaan 95% terhadap median Berdasarkan Tabel 24 berikut, terlihat bahwa nilai status indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang pada selang kepercayaan 95% diperoleh hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan antara hasil analisis MDS dengan analisis Monte Carlo. Perbedaan nilai indeks akuntabilitas antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: 1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil, 2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, 3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, 4) kesalahan pemasukan data dan data hilang dapat dihindari. Tabel 24. Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai Insus-COREMAG dan masingmasing dimensi pada selang kepercayaan 95%
Status Indeks Ekologi
Hasil MDS Pulau Pesisir Lembeh Bitung 70,67 47,04
Hasil Monte Carlo Pulau Pesisir Lembeh Bitung 70,21 46,99
Teknologi
43,22
33,22
43,17
34,83
Sosial Ekonomi
61,64
40,89
59,94
40,59
Kelembagaan
47,95
16,20
48,88
17,99
Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana disajikan pada Tabel
24,
menunjukkan
bahwa
analisis
Rap-Insus-COREMAG
dengan
127
menggunakan metode MDS untuk menentukan akuntabilitas sistem yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan sekaligus dapat disimpulkan bahwa metode analisis Rap-Insus-COREMAG yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dipergunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai secara cepat (rapid appraisal) akuntabilitas dari sistem pengelolaan kawasan terumbu karang. Pada Lampiran 11, 12, 13, dan 14 dapat dilihat nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh berdasarkan analisis Monte Carlo.
6.3. Telaah Sistem Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang Telaah dan rumusan sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai sensitivitas dan nilai koefisien dari setiap dimensi, yakni dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Konsep dasar perumusan sistem tersebut mengacu pada efek berantai (Cyclic effect) dimana dengan terjadinya perubahan nilai indeks akuntabilitas, maka akan mempengaruhi sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Perumusan sistem yang dibangun berdasarkan model simbolik (model matematika), dengan menggunakan persamaan seperti pada Lampiran 15. Perumusan sistem dikembangkan dengan menggunakan perangkat lunak Stella versi 8.0. Telaah dan perumusan sistem di bangun berdasarkan skenario dengan mengakomodir kemungkinan perubahan pada masa yang akan datang. Atribut yang digunakan dalam penyusunan perumusan skenario tersebut adalah atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang. Berdasarkan hasil analisis pada setiap dimensi akuntabilitas yang telah diuraikan di atas diperoleh atribut-atribut yang sensitif, yaitu (1) Dimensi ekologi); terdapat 5 atribut sensitif yang mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas yaitu kondisi perairan, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan, persentase penutupan karang, spesies endemik, dan sedimentasi. (2) Dimensi teknologi, terdapat 3 atribut sensitif yang mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas yaitu jenis alat tangkap, selektivitas alat tangkap, dan tipe kapal. (3) Dimensi sosial ekonomi, terdapat 5 atribut sensitif yang mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas yaitu
128
waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang, ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah, memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, zonasi peruntukan lahan dan potensi konflik. (4) Dimensi kelembagaan, terdapat 4 atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, yaitu tokoh panutan, pemegang kepentingan utama, koperasi, dan tradisi/budaya. Konseptual perumusan skenario sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang disajikan pada Gambar 34 berikut.
Sedimentasi
Kond Per B Kond Per
Pem Kep
Tokoh Panutan Input KLBG Koperasi
B J Sedimentasi
TESDI
Tradisi Budaya
B TESDI Input Ekologi
KELEMBAGAAN Peneg Hukum Spesies Endemik
Pers TK
KA
Peng Partisipatif EKOLOGI Out Put KLBG Rehabilitasi
Output Ekologi
Skenario
Waktu Tipe kapal
Pot Konflik
B T Kapal Zonasi
Jenis AT
? Selekt AT
Input Sosek
Input Teknologi Nilai SB
SOSEK
TEKNOLOGI
KTP Output Teknologi
Output Sosek
Gambar 34. Diagram konseptual perumusan skenario keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang Skenario
merupakan
suatu
alternatif
rancangan
kebijakan
yang
memungkinkan dapat dilakukan dalam kondisi nyata yang ada di lapangan. Skenario keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang dirancang berdasarkan pada hasil analisis dengan menggunakan Stella versi 8.0. Analisis ini dilakukan dengan tujuan untuk mempersiapkan tindakan strategis di masa depan dengan cara menentukan atribut-atribut kunci yang berperan penting terhadap
129
berbagai kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Sesuai dengan konsep dasar yang dikembangkan, maka dibuat beberapa skenario, yaitu: 1. Skenario berdasarkan nilai skor setiap atribut (kondisi aktual) 2. Skenario jika dilakukan upaya perbaikan pada setiap atribut 3. Skenario jika nilai atribut bernilai baik (kondisi ideal) 4. Skenario jika nilai atribut bernilai buruk Penyusunan Skenario Penyusunan skenario dikembangkan berdasarkan nilai sensitivitas setiap atribut dan nilai koefisien pada setiap dimensi. Asumsi yang digunakan adalah tidak ada perubahan nilai yang dapat menyebabkan pengaruh yang sangat besar terhadap nilai indeks akuntabilitas dan keberlanjutan. 1. Skenario berdasarkan kondisi aktual Tabel 25 menyajikan deskripsi keadaan
atribut yang sensitif
mempengaruhi sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang (skenario 1). Tabel 25. Keadaan atribut penyusun sistem keberlanjutan untuk skenario 1 Dimensi dan Atribut Ekologi Atribut Kondisi perairan Tingkat eksploitasi sumberdaya ikan Persentase penutupan karang Spesies endemik Sedimentasi Teknologi Atribut Jenis alat tangkap Selektivitas alat tangkap Tipe kapal Sosial Ekonomi Atribut Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya Zonasi peruntukan lahan Potensi konflik
Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 1 1 0 1 1 2 1 0 1 2 1 Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 1 1 1 1 1 1 2 Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 1 3 2 0 1 0 0 0 0 1 1
130
Kelembagaan Atribut Tokoh panutan Pemegang kepentingan utama Koperasi Tradisi/budaya
Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 1 1 1 1 1 0 0 1 0
Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa hanya atribut yang memiliki nilai sensitif tinggi yang perlu mendapat perhatian untuk tercapainya pengelolaan kawasan terumbu karang secara berkelanjutan. Tabel 26 menunjukkan nilai kondisi saat ini, adapun yang menjadi faktor adalah sebagai berikut: penurunan kualitas perairan seiring dengan peningkatan aktivitas industri dan bertambahnya jumlah penduduk, rendahnya persentase penutupan karang, penangkapan secara destruktif masih sering terjadi, masih tingginya ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah dan belum adanya penataan kawasan. Jika skenario ini terjadi, maka dalam kondisi yang demikian diprediksi keberlanjutan terumbu karang akan mengalami penurunan pada 5 tahun ke depan. Meskipun nilai indeks ekologi memperlihatkan nilai yang cukup akuntabel namun tidak dibarengi oleh peningkatan dimensi lainnya, hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang (Gambar 35). Nilai skor pada Tabel 26 skenario 1 akan memberikan implikasi terhadap dimensi: 1. Ekologi Skenario 1 akan berdampak positif maupun negatif terhadap sistem keberlanjutan. Masyarakat telah mengetahui fungsi dan manfaat terumbu karang, hal ini akan berdampak positif terhadap kelangsungan spesies endemik yang ada di Selat lembeh. Masih tingginya tingkat eksploitasi terumbu karang dan ikan akan berdampak pada menurunnya persentase penutupan karang dan menurunnya keanekaragaman ikan karang. Disisi lain meningkatnya aktivitas industri dan pertambahan jumlah penduduk akan berdampak negatif terhadap terumbu karang.
131
2. Teknologi Skenario 1 akan berdampak negatif terhadap sistem keberlanjutan. Masih adanya penggunaan alat tangkap ikan yang tidak selektif seperti penggunaan sianida dan bom, sehingga hal tersebut dapat mengancam keberadaan terumbu karang. 3. Sosial ekonomi Skenario 1 akan berdampak positif terhadap sistem keberlanjutan. Ketergantungan masyarakat pada perikanan sebagai sumber nafkah masih relatif tinggi, namun demikian dengan adanya potensi terumbu karang, nilai sejarah, seni dan budaya dapat dijadikan sumber mata pencaharian oleh masyarakat setempat yang dapat mengurangi ketergantungannya pada aktivitas penangkapan ikan karang. 4. Kelembagaan Skenario 1 akan berdampak negatif terhadap sistem keberlanjutan. Indikator tersebut adalah tokoh panutan mulai berkurang, pemegang kepentingan utama masih
didominasi
tradisi/budaya
oleh
atau
pemerintah,
masih
adanya
dan
menurunnya
pelaksanaan
pelanggaran-pelanggaran
terhadap
tradisi/budaya, hal tersebut akan menurunkan nilai akuntabilitas yang akan berdampak negatif terhadap keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. 1: EKOLOGI
2: TEKNOLOGI
Nilai Keberlanjutan
59 75 55 60
3: SOSEK
4: KELEMBAGAAN
2 2
2
4
2
4
4
4
1 57 55 45 45
3 1
55 35 35 30
3 0.00
5.00
1
10.00
3
1 15.00
3 20.00
Tahun Gambar 35. Hasil simulasi pada skenario kondisi saat ini
132
2. Skenario jika dilakukan upaya perbaikan Skenario 2 ini kondisinya lebih baik dari skenario 1 (kondisi aktual). Tabel 26 menunjukkan perubahan keadaan atribut penggerak sebagai berikut: Pada dimensi
kelembagaan,
pemegang
kepentingan
utama
dikendalikan
oleh
masyarakat nelayan, banyaknya tokoh panutan, sudah ada koperasi dan adanya kepatuhan terhadap tradisi/budaya dalam sistem pengelolaan kawasan terumbu karang. Pada dimensi ekologi, telah dilakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke perairan, penurunan tingkat eksploitasi sumberdaya ikan, perlindungan kawasan terumbu karang. Pada dimensi teknologi, penggunaan alat tangkap ikan yang selektif, dan beroperasinya kapal-kapal penangkapan ikan yang bertonase kecil. Pada dimensi sosial ekonomi, waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang dilakukan secara musiman, ketergantungan masyarakat pada perikanan relatif sedikit, adanya lokasi yang memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, adanya zonasi, dan telah ada upaya untuk menangani konflik. Bila dibandingkan dengan skenario kondisi saat ini, maka terjadi perubahan skor pada masing-masing atribut pengelolaan kawasan terumbu karang, seperti terlihat pada Tabel 26. Pemegang kepentingan utama telah dilakukan oleh nelayan, tradisi/budaya sudah mulai digali dan dioptimalkan pelaksanaannya, telah dilakukan upaya rehabilitasi habitat, dan penggunaan alat tangkap yang selektif. Jika skenario ini terjadi, maka dalam kondisi yang demikian diprediksi akan meningkatkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang pada 20 tahun ke depan (Gambar 36).
133
1: EKOLOGI
2: TEKNOLOGI
3: SOSEK
4: KELEMBAGAAN
60 95 56 80
Nilai Keberlanjutan
2
3
4
4
4
2
3
2
3
4
3
2
1 57 65 54 55
1 1 1
55 35 51 30 0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
Tahun Gambar 36. Hasil simulasi skenario upaya yang bisa dilakukan Tabel 26. Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 2 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Ekologi Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Kondisi perairan 1 0 Tingkat eksploitasi sumberdaya ikan 1 1 Persentase penutupan karang 2 1 Spesies endemik 0 1 Sedimentasi 2 1 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Teknologi Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Jenis alat tangkap 1 1 Selektivitas alat tangkap 1 1 Tipe kapal 1 2 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Sosial ekonomi Lembeh Bitung Waktu yang digunakan untuk 3 2 pemanfaatan terumbu karang Ketergantungan pada perikanan sebagai 1 1 sumber nafkah Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya 1 0 Zonasi peruntukan lahan 0 0 Potensi konflik 1 1
Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 2 1 1 0 0 3 3 0 1 2 1 Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 2 0 0 2 1 1 2 Pulau Lembeh
Pesisir Bitung
3
2
1
1
1 1 1
0 1 1
134
Kelembagaan Tokoh panutan Pemegang kepentingan utama Koperasi Tradisi/budaya
Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Lembeh Bitung 1 1 1 1 0 0 1 0
Pulau Lembeh 2 0 1 1
Pesisir Bitung 1 1 1 1
Perubahan nilai skor pada Tabel 26 pada skenario 2 akan berimplikasi terhadap sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang, sebagai berikut: 1. Ekologi Upaya perbaikan lingkungan dan perlindungan terhadap spesies endemik akan berdampak baik terhadap keberadaan terumbu karang. 2. Teknologi Penggunaan alat tangkap yang selektif akan dapat mencegah kerusakan terumbu karang. 3. Sosial ekonomi Pengelolaan kawasan terumbu karang secara berkelanjutan akan memberikan peluang kepada nelayan dan masyarakat sekitar untuk meningkatkan hasil tangkapannya dan adanya peluang kesempatan kerja. 4. Kelembagaan Penataan dan pengukuhan kelembagaan pengelolaan kawasan terumbu karang yang sudah dilakukan sesuai peruntukannya serta adanya peran aktif dari masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan terumbu karang. 3. Skenario jika nilai atribut bernilai baik (kondisi ideal) Jika nilai skor setiap atribut memiliki nilai baik, maka dalam kondisi yang demikian berarti pengelolaan kawasan terumbu karang sudah dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem yang dapat memberikan manfaat ekologi dan ekonomi sehingga perlu dilestarikan agar generasi yang akan datang juga dapat menikmatinya. Skenario 3 merupakan skenario ideal dan menjadi tujuan akhir dari pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh (Gambar 37). Keberlanjutan akan dapat dipertahankan sehingga sumberdaya terumbu karang dapat menjadi tumpuan harapan oleh masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya.
135
Tabel 27 menunjukkan bahwa apabila dibandingkan dengan kondisi aktual, maka terjadi perubahan skor pada masing-masing atribut pengelolaan kawasan terumbu karang. Perubahan nilai skor pada Tabel 28 skenario 3 akan memberikan implikasi terhadap indeks keberlanjutan, sebagai berikut: 1. Ekologi Skenario 3 akan berdampak positif terhadap sistem keberlanjutan dimana perlindungan terhadap kawasan terumbu karang sudah dilakukan. Telah dilakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke perairan, penataan dan pengukuhan kawasan sudah dilakukan dengan adanya zonasi serta sudah adanya pengembangan pariwisata bahari dan juga dapat mengendalikan kegiatan penangkapan secara destruktif, sehingga kelestarian terumbu karang dapat terjaga. 2. Teknologi Skenario 3 akan berdampak positif terhadap sistem keberlanjutan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan. 3. Sosial ekonomi Skenario 3 akan berdampak positif terhadap sistem keberlanjutan. Kegiatan penangkapan secara destruktif sudah dapat dikendalikan. Pengaturan zonasi untuk pendidikan dan penelitian serta pemeliharaan dan perlindungan terhadap situs-situs yang bernilai sejarah telah dilakukan. Pengelolaan kawasan terumbu karang sudah dapat dikembangkan menjadi wisata bahari, menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan tidak terfokus pada perikanan saja. Disisi lain, pengembangan wisata bahari akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar serta sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. 4. Kelembagaan Skenario 3 akan berdampak positif terhadap sistem keberlanjutan. Terjadinya peningkatan peran tokoh masyarakat lokal dalam penentuan kebijakan, adanya keterlibatan para nelayan sebagai stakeholders utama dalam pengelolaan kawasan terumbu karang. Peran tokoh panutan dan nelayan menunjukkan tindakan atau kebijakan yang diputuskan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan besar bagi pengelolaan kawasan terumbu karang.
136
Tabel 27. Keadaan atribut penyusun sistem keberlanjutan untuk skenario 3 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Ekologi Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Kondisi perairan 1 0 Tingkat eksploitasi sumberdaya ikan 1 1 Persentase penutupan karang 2 1 Spesies endemik 0 1 Sedimentasi 2 1 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Teknologi Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Jenis alat tangkap 1 1 Selektivitas alat tangkap 1 1 Tipe kapal 1 2 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Sosial ekonomi Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Waktu yang digunakan untuk 3 2 pemanfaatan terumbu karang Ketergantungan pada perikanan 1 1 sebagai sumber nafkah Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya 1 0 Zonasi peruntukan lahan 0 0 Potensi konflik 1 1 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Kelembagaan Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Tokoh panutan 1 1 Pemegang kepentingan utama 1 1 Koperasi 0 0 Tradisi/budaya 1 0
Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 3 1 1 0 0 4 4 0 0 2 2 Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 3 0 0 2 2 0 0 Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 3 0
0
2
2
1 2 0
1 2 0
Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 3 2 2 0 0 1 1 1 1
137
1: EKOLOGI
2: TEKNOLOGI
3: SOSEK
4: KELEMBAGAAN
Nilai Keberlanjutan
60 95 52 80 4
2
2
2
4
4
2 4
1 57 65 49 55
1 1 1
55 35 46 30
3
3 0.00
5.00
3 10.00
3 15.00
20.00
Tahun Gambar 37. Simulasi skenario kondisi baik (kondisi ideal) 4. Skenario jika nilai atribut bernilai buruk Skenario 4 ini kondisinya lebih buruk dari skenario lainnya. Tabel 28 menunjukkan perubahan keadaan atribut penggerak sebagai berikut: Pada dimensi kelembagaan, pemegang kepentingan utama dikendalikan oleh swasta, tidak ada tokoh panutan, tidak ada pendirian koperasi dan tidak adanya tradisi/budaya dalam sistem pengelolaan sumberdaya. Pada dimensi ekologi, terjadinya penurunan kualitas perairan, terjadi penangkapan secara destruktif sehingga mengancam keberadaan terumbu karang. Pada dimensi teknologi, peningkatan penggunaan alat tangkap ikan yang tidak selektif dan masih adanya penggunaan sianida dan bom. Pada dimensi sosial ekonomi, pemanfaatan terumbu karang dilakukan secara penuh waktu, tingginya ketergantungan masyarakat pada perikanan, tidak dikelolanya lokasi yang memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, tidak adanya zonasi dan terjadinya konflik dalam pemanfaatan terumbu karang.
138
Tabel 28. Keadaan atribut penyusun indeks keberlanjutan untuk skenario 4 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Ekologi Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Kondisi perairan 1 0 Tingkat eksploitasi sumberdaya ikan 1 1 Persentase penutupan karang 2 1 Memiliki spesies endemik 0 1 Sedimentasi 2 1 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Teknologi Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Jenis alat tangkap 1 1 Selektivitas alat tangkap 1 1 Tipe kapal 1 2 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Sosial ekonomi Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Waktu yang digunakan untuk 3 2 pemanfaatan terumbu karang Ketergantungan pada perikanan 1 1 sebagai sumber nafkah Memiliki nilai sejarah, seni dan 1 0 budaya Zonasi peruntukan lahan 0 0 Potensi konflik 1 1 Dimensi dan Atribut Pulau Pesisir Kelembagaan Lembeh Bitung Atribut Skor kondisi awal Tokoh panutan 1 1 Pemegang kepentingan utama 1 1 Koperasi 0 0 Tradisi/budaya 1 0
Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 4 0 0 3 3 0 0 1 1 0 0 Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 4 2 2 0 0 2 2 Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 4 3
3
0
0
0
0
0 2
0 2
Pulau Pesisir Lembeh Bitung Skor skenario 4 0 0 2 2 0 0 0 0
Jika skenario ini terjadi, maka dalam kondisi yang demikian diprediksi keberadaan terumbu karang akan mengalami degradasi (Gambar 38). Skenario ini merupakan skenario buruk dimana akuntabilitas memiliki nilai indeks yang buruk. Bila dibandingkan dengan kondisi saat ini, maka terjadi perubahan skor pada masing-masing atribut terhadap pengelolaan kawasan terumbu karang, seperti yang terlihat pada Tabel 28.
139
1: EKOLOGI
Nilai Keberlanjutan
60 65 60 33
2: TEKNOLOGI
3: SOSEK
4: KELEMBAGAAN
1
2
2
2
2
1 40 50 45 28 1 3
1 20 35 30 24
3 4 0.00
5.00
3
4
3
4
10.00
15.00
4 20.00
Tahun Gambar 38. Simulasi skenario pada kondisi buruk Perubahan nilai skor pada Tabel 28 akan berimplikasi terhadap sistem keberlanjutan, yaitu: 1. Ekologi Tidak adanya program dan pelaksanaan rehabilitasi terumbu karang dan tidak dilakukannya pengolahan limbah industri akan memicu terjadinya degradasi habitat terumbu karang. 2. Teknologi
Skenario 4 akan berdampak negatif terhadap sistem keberlanjutan. Tidak adanya pengaturan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan dan tidak dilakukannya pengaturan tipe kapal ikan yang beroperasi dalam Selat, menunjukkan bahwa dimensi teknologi masih terabaikan. 3. Sosial ekonomi Meningkatnya ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah dan waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang secara penuh menjadi pemicu menurunnya sistem keberlanjutan. 4. Kelembagaan Skenario 4 akan berdampak negatif terhadap sistem keberlanjutan. Jika pemegang kepentingan utama dikendalikan oleh swasta dan tidak adanya tokoh panutan dalam pemanfaatan sumberdaya akan memicu terjadinya pelanggaran hukum dan konflik sosial di masyarakat yang pada akhirnya akan menurunkan nilai keberlanjutan.
140
Secara keseluruhan atribut-atribut sensitif pada setiap dimensi ditampilkan pada Tabel 29. Kondisi skor setiap atribut tersebut menjadi dasar penyusunan program untuk meningkatkan sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh. Tabel 29. Kondisi skor atribut-atribut penting dan implikasi program aksi
No.
Atribut
1. 2.
Kondisi perairan Tingkat eksploitasi sumberdaya ikan Persentase penutupan karang Spesies endemik Sedimentasi Jenis alat tangkap Selektivitas alat tangkap Tipe kapal Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya Zonasi peruntukan lahan Potensi konflik Tokoh panutan Pemegang kepentingan utama Koperasi Tradisi/budaya
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
< Baku mutu
Implikasi Program Ditingkatkan
Tinggi
Diturunkan
11 – 50% Ada Sedang Seimbang Kurang selektif 5 - 10 GT
Dilindungi Dipertahankan Diturunkan Diperbaiki Diperbaiki Diturunkan
Penuh waktu
Dikurangi
Sangat tergantung
Dikurangi
Ada
Dipertahankan
Tidak ada Sedikit Sedikit Pemerintah Tidak ada Ada
Diperbaiki Diperbaiki Diperbaiki Diperbaiki Diperbaiki Dipertahankan
Skor saat ini
Berdasarkan analisis dan pembahasan tersebut di atas diperoleh informasi bahwa metode Rap-Insus-COREMAG (Rapid Appraisal-Indeks Sustainability of Coral Reef Management) merupakan metode terbaru dan terbukti cukup baik digunakan untuk menilai akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Indonesia.
Hal
lain
yang
dapat
diperoleh
adalah
akuntabilitas
mempengaruhi sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang.
dapat
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan Selat Lembeh sangat sesuai untuk pembentukan kawasan konservasi terumbu karang dan pengembangan pariwisata bahari. 2. Indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang (IAPKTK) di Pulau Lembeh lebih tinggi dibandingkan dengan IAPKTK di pesisir Bitung. 3. Berdasarkan penilaian terhadap 4 dimensi akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, yaitu dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, diperoleh bahwa dimensi kelembagaan dan teknologi merupakan dimensi yang paling rendah IAPKTK, baik di Pulau Lembeh maupun di pesisir Bitung. 4. Berdasarkan penilaian terhadap 45 atribut yang digunakan sebagai dasar untuk menelaah akuntabilitas setiap dimensi, diperoleh atribut-atribut yang paling sensitif yaitu, dimensi ekologi terdapat 5 (lima) atribut yang paling sensitif terhadap IAPKTK, yaitu kondisi perairan, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan, persentase penutupan karang, spesies endemik, dan sedimentasi. Dimensi teknologi terdapat 3 (tiga) atribut yang paling sensitif terhadap IAPKTK, yaitu jenis alat tangkap, selektivitas alat tangkap dan tipe kapal. Dimensi sosial ekonomi terdapat 5 (lima) atribut yang paling sensitif terhadap IAPKTK, yaitu waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang, ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah, memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, zonasi peruntukan lahan, dan potensi konflik. Dimensi kelembagaan terdapat 4 (empat) atribut yang paling sensitif terhadap IAPKTK, yaitu tokoh panutan, pemegang kepentingan utama, koperasi dan tradisi/budaya. 5. Indeks akuntabilitas terbukti dapat mempengaruhi perubahan pada sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang saat ini akan mengalami penurunan pada 5 tahun ke depan, karena itu diperlukan upaya perbaikan. Hasil
142
skenario menunjukkan bahwa, skenario 2 (jika dilakukan upaya perbaikan) merupakan skenario yang dapat dikembangkan dimana dengan kenaikan skor akuntabilitas dapat mempengaruhi keberlanjutan sampai 20 tahun ke depan.
7.2. Saran 1. Metode Rap-Insus-COREMAG perlu dikembangkan terutama untuk menentukan jenis atribut yang dapat digunakan sebagai atribut baku untuk menilai akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang. 2. Indeks akuntabilitas dari metode Rap-Insus-COREMAG perlu dibangun berdasarkan data yang bersifat temporal, sehingga dinamika antar dimensi dapat diketahui. 3. Analisis sistem keberlanjutan dapat dikembangkan pada berbagai komponen ekosistem dalam suatu kawasan pesisir yang terkait satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA Adrim dan Hutomo. 1989. Species Composition, Distribution and Abundance of Chaetodontidae Along Reef Transects in the Flores Sea. Netherlands Journal of Sea Research, 23(2): 85-93. Adrim M, Hutomo M, Suharti SR. 1991. Chaetodontid Fish Community Structure And its Relation to Reef Degradation at the Seribu Islands Reefs, Indonesia. Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Areas: 163-174. Agardy, T.S. 1997. Marine Protected Areas and Ocean Conservation. Academic Press, Inc., San Diego, California. Alcala, A.C. 1988. Effects of Marine Reserves on Coral Fish Abudances and Yields of Philippines Coral Reefs. AMBIO, Vol. 17, (3) : 194-199. Alcala, A.C., dan Russ. 1990. A Direct Test of the Effects of Protective Management of Abudance and Yield of Tropical Marine Resources. J. Cons. int. Explor.Mer., Vol. 46, pp. 40-47. Alder,J., T.J. Pitcher, D. Preikshot, K. Kaschner & B. Ferriss. 2001. How Good is Good?: A Rapid Appraisal Technique For Evaluation Of The Sustainability Status Of Fisheries Of The North Atlatic. Fisheries Centre. University Of British Columbia. Vancouver, Canada. Allen GR, Adrim M. 2003. Coral Reef Fishes of Indonesia. Zoological Studies 42 (1): 1-72. Allert, G. dan S.S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya. Alhidayat, S.A. 2002. Kajian Pengelolaan Perikanan Tangkap di Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. [Tesis], Program Pascasarjana,IPB.Bogor: 80p. Anderson, MR., Hale MS., Matthews PL., Bussey H., Rivken RB. 2004. Nutrien Regulation of Bacterial Growth in Constrasting Biogeochemical Provinces of the Western Atlantic and the Sub. Artic Pacific In ASLO/TOS Ocean Research 2004 Conference p7. Arifin, T., D.G. Bengen, dan J.I. Pariwono. 2002. Evaluasi Kesesuaian Kawasan Pesisir Teluk Palu untuk Pengembangannya Pariwisata Bahari. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol 4 (2). Hal 25 - 35.
144
Arsyad, A. 2007. Analisis Sistem Pengelolaan Perikanan Artisanal yang Berkelanjutan (Studi kasus di Kelurahan Pulau Abang Kecamatan Galang, Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau). [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Atlas, RM. 1993. Hanbook of Microbiological Media. CRC. Press.Inc. Aziz, K.A., M. Boer, J. Widodo, N. Naamin, M.H. Amarullah, B. Hasyim, A. Djamali, dan B. E. Priyono. 1998. Potensi Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut. Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bitung.2005. Bitung dalam Angka. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dengan BPS Kota Bitung. Bak, R.P.M. dan B.E. Luckhurst. 2000. Constancy and Change in Coral Reef Habitats Along Depth Gradients at Curacao. Oecologia (47): 145-155. Baker, L.P., Kaeoniam. 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. The Unesco MAP and COMAR Programmes. Jakarta. Barr, J., B. Henwood and K. Lewis. 1997. A Marine Protected Areas Strategy For the Pacific Coast of Canada. In Munro, N.W.P. and J.H.M. Willison (Eds). Linking Protected Areas with Working Landscapes Conserving Biodiverdity. Proceedings of the Third International Conference on Science and Management of Protected Areas. Halifax, Nova Scotia, 12-16 May 1997. Beatley, T., D.J. Brower, dan A.K. Schawab. 1994. An Introduction to Coastal Zone Management. Island Press, Washington, DC. Bell JD, Galzin R. 1985. Influence of Live Coral Cover on Coral Reef Fish Communities. Marine Ecology Progress Series (15): 265-274. Bengen, D.G., A. Tahir, dan B. Wiryawan. 2003. Program Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi, Lampung Selatan: Tinjauan Aspek Keberlanjutan, Akuntabilitas dan Replikabilitas. Proyek Pesisir PKSPL-IPB. Bengen, D.G., dan A. Rizal. 2003. Menjaga Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Laut Melalui Debt Nature Swap. Warta Pesisir dan Lautan No. 03/Th. IV. PKSPL-IPB. Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. PKSPLIPB. Berkes, F., Mahon R., Patrick P., McConney R, Pollnac, Pomeroy R. 2001. Managing Small-Scale Fisheries. Alternative Directions and Methods. Canada’s International Development Research Centre (IDRC).
145
Bielajew, A.F. 2001. Fundamental of the Monte Carlo Method for Neutral and Charged Particle Transport. Departement of Nuclear Engineering and Radiological Sciences. The University of Michigen, Ann Arbor. Blott, SJ. and Pye, K. 2001. Gradistat: a Grain Size Distrubution and Statistics Package for the Analysis of Unconsolidated Sediments. Earth Surf. Process. Landforms. (26): 1237-1248. Borrini-Feyerabend,G. 1997. Beyond Fences: Seeking Social Sustainability in Conservation. IUCN Gland Switzerland. Borrini-Feyerabend, G., Farvar, M. T., Nguinguiri, J. C. & Ndangang, V. A.2000. Co-management of Natural Resources: Organising, Negotiating and Learning-by-Doing. GTZ and IUCN, Kasparek Verlag, Heidelberg Germany. Bouchon-Navaro Y, Bouchon C, Harmelin-Vivien ML. 1995. Impact of Coral Degradation on a Chaetodontid fish Assemblage. Proceedings of the 5th International Coral Reef Congress, Tahiti (5): 427-432 [BPPLT] Badan Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu Provinsi Sulut. 2006. Pengelolaan Terpadu Selat Lembeh, Kota Bitung. Lokakarya Sosialisasi Konsep Pengelolaan Pesisir Terpadu Kota Bitung, Bitung, 15 November 2006. Budiono, A. (2005). Keefektifan Pengelolaan Konflik pada Perikanan Tangkap di Perairan Selatan Jawa Timur. [Disertasi] Program Pascasarjana IPB. Tidak Dipublikasikan. Burke, L., E. Seling, M. Spalding. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara. USA: WRI. Brower, JE., Zarr, JH. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Dubuque, Lowa. WMc. Brown Company Publisher. Brown, B.E. 1997. Integrated Coastal Management : South Asia. Departement of Marine Science and Coastal Management, University of Newcastle, Newcastle Upon Tyne, United Kingdom. Brown, B.E. 1987. Worldwide Death of Corals-Natural Cyclical Events or ManMade Pollution? Marine Pollution Bulletin (18): 9-13. Brown, B.E. dan L.S. Howard. 1985. Assessing the Effects of Stress on Reef Corals. Adv. Marine Biology. 22: 1-63. Casagandri, R. dan S. Rinaldi. 2002. A Theoretical Approach to Tourism Sustainability. IASA Report IR-02-051. Austria.
146
Cesar, H. 1997. Nilai Ekonomi Terumbu Karang Indonesia. Agriculture Operations Division CD III, East Asia and Pasific Region, Enviroment Departement, The World Bank. Chansang, H. Booyanate, P., dan M. Charuchinda. 2001. Effect of Sedimentation from Coastal Mining on Coral Reefs on the Northwestern Coast of Phuket Island, Thailand. Prociding 4th International Coral Reef Symp. 129-137. Charles, A. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science Ltd. Oxford. UK. 370 pp. Choat, J. H and D. R. Bellwood. 1991. Reef Fishes : Their History and Evolution. P : 34-66 in P. F. Sale (ed). The Ecology of the Fishes on Cral Reefs. Academic Press. California. Christie, P, D. Makapedua, dan L.T.X. Lalamentik. 2003. Bio-Physical Impacts and Links to Integtrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia. dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Special Edition, No. 1, hal. 8. Cicin-Sain, B dan Robert W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), p. 39. Clark, JR. 1996. Integrated Management of Coastal Zone. FAO Rome. Cook, C.B., 1990. Elevated Temperaturs and Bleaching on a High Latitude Coral Reef : the 1988 Bermuda Event. Coral Reefs (9 ) :45-9 Coles, S.L.1988. Limitation of Reef Coral Development in the Arabian Gulf : Temperatur or Algal Competition. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp., Australia. Coles, S.L. and Fadlallah Y.H. 1991. Reef Coral Survival dan Mortality at Low Temperatures in Arabian Gulf : a New Species-Specific Lower Temperature Limits. Coral Reefs 9 : 231-7. Dahuri, R., 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Dahuri, R. 2002. The application of carrying capacity concept for sustainable coastal resources development in Indonesia. Center for Coastal and Marine Resources Studies (CCMRS) Bogor Agriculture University. www.pesisir.or.id/journal_Carrying%20capacity.PDF. Dahuri, R. 2002. Trend Kerusakan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah Diskusi Pembangunan Lingkungan pada Pelita VI. Kerjasama BAPPENAS RI, Kantor Menneg LH RI dan Lembaga Penelitian IPB. Bogor.
147
Dahuri, R. 1999. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia. Jakarta, 22-23 Nopember 1999. Dahuri, R. 1993. Trend Kerusakan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah Diskusi Pembangunan Lingkungan pada PELITA VI. Bappenas RI, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI dan Lembaga Penelitian IPB. Bogor. Dahuri, R., S.P. Ginting, J. Rais, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dartnall, H.J dan M. Jones 1986. A Manual of Survey Methods of Living Resources in Coastal Areas. Asean-Australia Cooperative Program Marine Science Handbook. Townsville: Australian Institute of Marine Science, 176 pp. Davison, M.L. dan CL. Skay. 1991. Multidimensional Scaling and Factor Model Of test and Items Respons. Psychologycal Bulletin,1991 Vol. 110 No. 3. 551-556. American Psychological Association.Inc. De Santo, R.S. 1978. Concepts of Applied Ecology. Springer-Verlag. New York. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP. Jakarta Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara. 2004. Buku Tahunan Statistik Perikanan dan Kelautan Sulawesi Utara Tahun 2004. Manado. Ditjen PHPA. 1995. Pedoman Penetapan Kriteria Baku Kawasan Konservasi Laut. Departemen Kehutanan. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Penyusunan Tata Ruang Teluk Tomini dan Bitung. Direktorat Tata Ruang Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dollar, S.J. dan Grigg, R.W. 2001. Impact of Koalin Clay Spill on Coral Reefs in Hawai. Marine Biology (65): 269-276. Done, TJ. 1997. Decadal Changes in Reef Building Communities Implication for Reef Growth and Monitoring Programs. Edinger, E. dan R. Browne. 2000. Continental Seas of Western Indonesia. Dalam Sheppard, C. (editor): Seas at the Millenium, an Environmental Evaluation. Volume II. Regional Chapters: The Indian Ocean to the Pacific. Elsevier Science Ltd., Amsterdam. Pp.: 381-404 Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. MSP-IPB. Bogor.
148
EPA. 1997. Guiding Principles for Monte Carlo Analysis. EPA/630/R-97/001. Risk Assessment Forum, U.S. Environmental Protection Agency, Washington, D.C. Erdmann, M.V. 2001. Banggai Cardinalfish Invade Lembeh Strait. Coral Reefs (20): 252-253. FAO. 2001. Indicators for Sustainable Development of Marine Capture Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 08 Food and Agriculture Organization (FAO) Rome. Fabricius, K., G. De’ath. 2001. Environmental Factors Associated with the Spatial Distribution of Crustose Coralline Algae on the Great Barrier Reef. Coral Reefs (19): 303-309. Fauzi, A. dan S. Anna. 2005. Studi Valuasi Ekonomi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Mitra Pesisir Sulawesi Utara. Manado: 32 pp. Fauzi, A., and S. Anna., 2002. Penilaian Depresiasi Sumberdaya Perikanan Sebagai Bahan Pertimbangan Penentuan Kebijakan Pembangunan Perikanan. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol 4(2). Hal 36-49. Fisheries.com. 1999. Rapfish Project. http://fisheries.com/project/rapfish.htm. Fox, H.E. 2004. Coral Recruitment in Blasted and Unblasted Sites in Indonesia: Assessing Rehabilitation Potential. Marine Ecology. Prog. Ser. (269): 131139. Garces, L.R. 1992. Coral Reef Management in Thailand Naga. The ICLARM Quarterly. July 1992. Glynn, P.W. 1990. Global Ecological Consequences of the 1982-1983 El Nino Southern Oscillation. Elsevier Oceanography Series 52. Gomez, E.D. dan H. T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition. P:187-195 dalam R.A. Kenchington dan B.E.T. Hudson (eds.), Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Gulland, J.A. 1983. Fish Stock Assesment: A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons Inc., Chichester. Guzman, H.M. and J. Cortes, 1992. Coral Reef Community Structure at Cano Island, Pacific Costa Rica. Marine Ecology. 10 : 23-41. Halim, K.A. 2000. Kajian Peningkatan Status Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Tim Kajian Kabupaten Adminstrasi Kepulauan Seribu. Jakarta.
149
Halpern, B. 2003. The impact of Marine Reserve: do Reserve Work and Does Size Matter? Ecological Application. Hocutt,C.H. 2001. Fish as Indicators Biological Integrity. Fisheries,Vol.6(6):28-31. Holling, C.S., D.W. Schindler, B.W. Walker, dan J. Roughgarden. 2002. Biodiversity in the Functioning of Ecosystem: an Ecological Synthesis. Dalam Perrings, C., K.G. Maller, C. Folke, C.S. Holling, dan B.O. Jasson (editor): Biodiversity Loss, Economic and Ecological Issues. Cambridge University Press, Cambridge. Pp.: 44-83. Holthus, P. 1999. Sustainable Development of Oceans and Coasts: The Role of Private Sector. UN Natural Resources Forum Jounal, Vol. 23(2): 169-176 Hopley, D., Suharsono. 2000. The Status and Management of Coral Reef in Eastern Indonesia. Report Commisioned by the Australian Institue of Marine Science for the David and Lucile Packard Foundation, USA. March 2000. Hubbard, J.A.E.B. 1990. Sediment Rejection by Recent Scleractinian Corals: A key to Paleo-Environmental Recontruction. Geol. Rundsch, 61: 598-626. Hukom, FD. 2001. Kondisi Komuniktas Ikan Karang di Perairan Selat LembehBitung. Laporan Akhir Monitoring Kondisi Terumbu Karang dan Penelitian Biodiversitas di Bitung dan Pulau-Pulau Sekitarnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta. Hukom, F.D. dan R. Bawole. 1999. Correlation Between Coral Growth Forms and Butterfly Fishes (Chaetodontidae at Sale Strait, Irian Jaya, Indonesia. Science in New Guinea. 24 (3): 135 -143. Hughes T., Szmant AM, Steneck R., Carpenter R., Miller S. 1999. Algal Blooms on Coral Reef: What are the Causes? Journal Limnology Oceanography 44 (6), 1999: 1583-1586. Husni, S. 2001. Kajian Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang (Studi kasus di kawasan taman wisata alam laut Gili Indah Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat). [Tesis] Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hutomo, M. 1986. Coral Reef Fish Resources and Their Relation to Reef Condition : Some Case Studies in Indonesian Waters. Biotrop spec. publ (19): 67-78. Ilahude, A.G. dan S. Liasaputra. 1980. Teluk Jakarta : Sebaran Normal Hidrologi di Teluk Jakarta. LON-LIPI. Jakarta. Jokiel, P.L., and J.I. Morrissey. 1993. Water Motion on Coral Reefs. Marine Ecology Prog. Series 93 : 175 – 181.
150
Jokiel, P.L. dan Coles S.L. 2000. Respone of Hawaiian and Other Indo-Pacific Reef Corals to Elevated Temperature. Coral Reef 26-47. Jhonson, R.A., and D.W. Wichern. 1992. Applied Multivariate statistical Analysis. Prentice-Hall Inc. New jersey. Karr, J.R. 1981. Assessment of Biotic Integrity Using Fish Communities. Fisheries, Vol.6(6): 21-27. Kanwisher, J.W. dan S.A. Wainwright. 1997. Oxygen Balance in Some Reef Corals. Biology Bulletin Marine Biology Lab., Woods Hole, 133:378-390. Kavanagh, P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project. University Of British Columbia, Fisheries Centre. [KKT] Kelompok Kerja Terpadu Kota Bitung. 2005. Kondisi Kawasan Selat Lembeh. Draft Naskah Akademik Pengelolaan Terpadu Pesisir dan Laut Selat Lembeh, Kota Bitung. Mitra Pesisir Sulawesi Utara. Kinsman, D.J.J. 2004. Reef Coral Tolerance of High Temperatures and Salinities. Nature, 202: 1280-1282. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Himpunan Peraturan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta. Krebs, CJ. 1989. Ecological Methodology. New York. Harper Collins. Kuperan, W. 1997. Enforcement and Compliance with Fisheries Regulations In Malaysia, Indonesia, and the Philippines. Research Report. ICLARM, Manila. Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. LKiS, Yogyakarta, 190 p. Kusumastanto, T. 2000. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah pada Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Legendre, L. dan P. Legendre. 1983. Numerical Ecology. Develompments in Environmental Modeling, 3. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam. Li, Eric, A. 2000. Optimum Harvesting with Marine Reserves. North American Journal of Fisheries Management 20: 882-896. Loya, Y. dan B.Rinkevich. 2000. Effect of Oil Pollution on Coral Reef Communities. Marine Ecology Program Series (3): 167-180
151
Ludwig, J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. John Wiley and Sons, Inc. New York. 337+xviii pp. Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and its Measurement Croom. Ltd. London. 179 p. Manengkey, J., T. Arifin, D. Ndahawali, S. Tauladani dan H. Ondang. 2005. Studi Tentang Parameter Fisik-Kimia Perairan Kecamatan Bitung Timur Kota Bitung. Akademi Perikanan Bitung-Departemen Kelautan dan Perikanan. Mann, K.H. 1992. Ecology of coastal waters (Studies in Ecology: Volume 8), Blackwell Scientific Publication, Oxford, 322p. Matindas, B., 1997. Pembantaian Sadis Biota Laut Langka di Utara Selat Lembeh. Yayasan Pelestarian Selat Lembeh. 11 p. Marhayudi, 2006. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat. [Disertasi] Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Marsaoli, M.K. 2001. Model Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan di Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi kasus (Lethrinus lentjan, Lacepede 1802) sistem tradisional di kawasan karang kepulauan Guraici, Kabupaten Maluku Utara, Provinsi Utara). [Disertasi] Program Pascasarjana, IPB. Bogor: 167 pp.
Karang Lencam terumbu Maluku
McGehee, M.A. 1997. Correspondence Between Distribution of Coral Reef Organisms and Water Motion Measured by Metal Corrosion Rates. Prociding 8th International Coral Reef Symposium 2 : 1115 – 1120. McNeely J.A., Thorsell J.W., Ceballos-Lascuráin 1994. Guidelines: Development of national parks and protected areas for tourism. 2nd edition. Published by the Neudecker, S. 1981. Growth and Survival of Scleractinian Corals Exposed to Thermal Effluents at Guam. Prociding 4th International Coral Reef Symposium, Manila, 1: 173-180. Millero, F.J. dan Sohn. 1992. Chemical Oceanography. London. CRC Press. Monoarfa, M. 2002. Dampak Pembangunan Bagi Kualitas Air di Kawasan Pesisir Pantai Losari, Makassar. www. pascaunhas.net (Accessed, 12 Desember 2004). MPA News. 2002. MPA Perspective: MPAs Improve General Management, While Marine Reserves Ensure Conservation. Vol. 4, No. 1, p. 5. Mulyanto. 1992. Manajemen Perairan. LUW-UNIBRAW-FISH. Fisheries Project Unibraw. Malang.
152
Mumby, P.J. 2006. Connectivity of Reef Fish Between Mangrove and Coral Reefs: Algorithms for the Design of Marine Reserves at Seascape Scales. Biological Conservation, Elsevier 215-222. Munasinghe, M. 2002. Analysing the Nexus of Sustainable and Climate Change: an Overview. OECD. France. Munro, J.L. 1984. Yield from Coral Reef Fisheries. Fishbyte, 2 (3): 13-15. Neudecker, S. 2001. Growth and Survival of Scleractinian Coral Exposed to Thermal Effluents at Guam. Prociding 4th International Coral Reef Symposium. Manila (1): 173-180. Nikijuluw, V.P.H. 2001. Sumberdaya Laut dan Pantai untuk Penanggulangan Kemiskinan. Makalah Seminar Penanggulangan Kemiskinan Pedesaan Melalui Pelestarian Fungsi Sumberdaya Alam. SOCSEA, 14 Agustus 2001. Nikijuluw, V.P.H. 2002a. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. Nikijuluw, V.P.H. 2002b. Politik Ekonomi Perikanan “Bagaimana dan Kemana Bisnis Perikanan’?. Fery Agung Corporation (FERACO), Jakarta. 314 pp. Nikijuluw, V.P.H. 2001. Small-scale Fisheries Management in Indonesia. Paper at Rigional Consultation on Interactive Mechanism for Small-scale Fisheries Management. Bangkok, 26-29 Nopember 2001. Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta. Oakerson, R.J. 1992. Analyzing the Commons: A Framework, p 41-59 Dalam Bromley, D.W. 1992. Making the Commons Work. Theory, Practice, and Policy. Institut for Contemporary Studies (ICS) Press. San Fransisco, California. Ohman MC, Rajasuriya A, Svensson S. 1998. The use of Butterflyfishes (Chaetodontidae) as Bio-indicator of Habitat Structure and Human Disturbance. Ambio (27): 708-716 Ostrom, E. 1994. Self-organizing Resource Regimes: A Brief Report on a Decade of Policy Analysis. The Common Property Resource Digest (31): 14-19. Parwinia. 2007. Pemodelan Ko-Eksistensi Pariwisata dan Perikanan: Analisis Konvergensi-Divergensi (KODI) di Selat Lembeh Sulawesi Utara. [Disertasi], Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 164 pp.
153
Pacific Consultants International 2001. Study on Fisheries Development Policy Formulation. Volume I. White Paper. Report by Pacific Consultants International under Jakarta Fishing Port / Market Development Project (Phase IV: JBIC Loan No. IP-403). Pastorok, R.A. dan G.A. Bilyard. 1985. Effect of Sewage Pollution on Coral Reef Communities. Marine Ecology. Progress Series. Tetra Tech. Inc. Volume 48 (43): 272-178. Pauly, D. 1988. Some Defenitions of Overfishing Relevant to Coastal Area Manage. (1): 143-160. Pelabuhan Perikanan Bitung (PP-Bitung). 2005. Laporan Tahunan. Pelabuhan Perikanan Bitung. Pemerintah Daerah Kota Bitung. 2001. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bitung 2000-2010. Pemerintah Kota Bitung. PII – 3. [PPPIK] Pusat Pengkajian Penelitian Perikanan dan Ilmu Kelautan. 2005. Laporan Penelitian Kajian Identifikasi Kawasan Konservasi Selat Lembeh. Universitas Sam Ratulangi. Manado. Perrings, C., K-G. Maler, C. Folke, C.S. Holling, dan B-O. Jasson. 2003. Introduction: Framing the Problem of Biodiversity Loss. In Perrings, C., KG. Maler, C. Folke, C.S. Holling, dan B-O. Jasson (editor): Biodiversity Loss, Economic and Ecological Issues. Cambridge University Press, Cambridge. Pp 1-17. Peters, E.C., Mayer, P.A., Yevich, dan N.J. Blake. 2001. Bioaccumulation and Histopathological Effect of Oil on a Story Coral. Marine Pollution Bulletin (12): 333-339. Pet-Soede, L. 2000. The Effects of Coral Bleaching on Fisheries in the Indian Ocean. In S. Westmacott, H. Cesar dan L. Pet-Soede (eds) Socioeconomic Assessment of the Impacts of the 1998 Coral Reef Bleaching in the Indian Ocean. Resource Analysis and Institute for Environmental Science (IVM) Report to the World Bank. African Environmental Division for the CORDIO Programme. Pratasik, SB., H. Tioho, Dj. Emor dan L. Manoppo. 2003. Keanekaragaman Hayati Perairan Selat Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara, Indonesia. Makalah Pada Konperensi Nasional III, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Pollnac, R. 2003. Factors Influencing the Sustainability of Integrated Coastal Management Projects in Central Java and North Sulawesi, Indonesia. In Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Special Edition, No. 1,hal. 33.
154
Pollnac R., R. Pomeroy, dan L. Bunce. 2003. Factors Influencing the Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Central Java and North Sulawesi, Indonesia. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003. [PPPIK] Pusat Pengkajian Penelitian Perikanan dan Ilmu Kelautan. 2005. Kajian Identifikasi Kawasan Konservasi Selat Lembeh. Laporan Penelitian, Universitas Sam Ratulangi. Manado. Reese ES. 1981. Predation on corals by fishes of the family Chaetodontidae: Implication for conservation and management of coral reef ecosystems. Bulletin of Marine Science (31): 594-604. Reksodihardjo, G. dan Lilley. 1999. Buku Panduan Pendidikan Konservasi Terumbu Karang Indonesia. Edisi Pertama. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Jakarta. Roberts C.M. dan J.P. Hawkins. 2000. Fullyprotected Marine Reserves: A guide. WWF in Washington D.C. USA, University of York, York, UK. 131 p. Romimohtarto dan S. Juwana. 1999. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. Ruitenbeek H.J. 2001. An Economic Analysis of the Spawning Aggregation Function in Komodo National Park, Indonesia. SPC Live Reef Fish Bulletin 9 pp. Russ, G.R. 1991. Coral Reef Fisheries : Effects and Yield dalam The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Sale, P.F. Eds. Departement of Zoology University of New Hamshire Durham. Sanchirico, J.M., K.A. Cohran., and P.M. Emerson. 2002. Marine Protected Areas: Economic and Social Implication. Resource for the Future. Washington D.C. Salm, Rodney V., J.R. Clark and E. Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers. IUCN. Washington DC.xxi+371pp. Sangaji M.U. 2003. Zonasi Ekosistem Terumbu Karang di Teluk Kotania Pulau Seram Propinsi Maluku Berdasarkan Indeks Kepekaan Lingkungan (Suatu Kajian Cell Based Modelling Berbasis Citra Satelit dan GIS). [Tesis], Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sanim, B. 2001. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Lokal Sebagai Sumber Pendapatan Daerah dan Basis Pasar Internasional. Lokakarya Nasional. IPB. Bogor.
155
Sasanti, R., T. Peristiwady, Susetiono, M. Muchtar. Penelitian Biodiversitas Perairan Bitung. Laporan Akhir Monitoring Kondisi Terumbu Karang dan Penelitian Biodiversitas di Bitung dan Pulau-Pulau Sekitarnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta. Satria, A., A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza, dan Z. Imran. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta. 210 pp. Seaman, W. 2000. Artificial Reef Evaluation with Application to Natural Marine Habitats. New York, CRC Press, 246 p. Scoffin, T.P. 1996. Banding in Corak Skeletons from Pulau Seribu as Revealed by x Rays and UV Light Analyses. B.E. Brown (ed). Human Induced Damage to Coral Reefs: UNESCO Report in Marine Science (40): 56-79. Sievanen L. Shifting Communities and Sustainability Implications. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003. Sickle, J.V. 1997. Using Mean Similarity Dendrograms to Evaluate Classifications. Journal of Agricultural, Biological and Environmental Statistics. Dynamac International, Inc. Siswanto, E. 1992. Kadar, Nitrat, Fosfat, Oksogen Terlarut dan Struktur Komunitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta Bagian Barat. Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. 72pp. Smith, S.J. 1993. Risk Evaluation And Biological Reference Point For Fisheries Management: A Review. Dalam Kruse, G. Raggers, D.M. Marasco, R.J. Pautzke, C.Quinn, T.J. (Eds) Menagement Strategies For Exploited Fish Population. Alaska Sea Grant, Anchorage. Pp. 339-353. Soedharma, M.F. Raharjo, S.H. Nasution, Y. Ernawati, M. Wahyudi, Tripartono, M.S. Baskoro, M. Imron, S. Amanah, dan B.H. Iskandar. 2002. Inventarisasi dan Penilaian Potensi Calon Kawasan Konservasi Laut Baru di Propinsi Sulawesi Utara. Kerjasama Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen P2K-DKP dengan Lembaga Penelitian IPB. Soekarno. 2001. Comparative Studies on the Status of Indonesian Coral Reefs. Netherlands Journal of Sea Research 23: 215-222. Sorokin, YUI. 1993. Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. Jerman. Sorokin, YUI (1993). Coral Reef Ecology. Springer-Verlag. Germany. Soselisa, A. 2006. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua. [Disertasi], Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor 248 p.
156
Souhoka, J. 2001. Kondisi Terumbu Karang di Beberapa Lokasi Perairan Selat Lembeh Sulawesi Utara. Laporan Akhir Monitoring Kondisi Terumbu Karang dan Penelitian Biodiversitas di Bitung dan Pulau-Pulau Sekitarnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta: Pp. 1-9. Statistica 2001. Multidimensional Scaling. http://www.statsoft.com /textbook/ stmulsca.html. Suharsono. 1999. Bleaching Event Followed by Mass Mortality of Corals in 1998 in Indonesian Waters. Dalam: Romimohtarto, Editor. Proceeding thr Ninth Joint Seminar on Marine and Fisheries Sciences, Bali, 7-9 Desember 1998. Jakarta: JSPS dan LIPI. P. 179-187. Suharsono. 1998. Condition of Coral Reef Resources in Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan. 1(2):44-52. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Suharsono dan M.I. Yosephine. 1994. Perbandingan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Nyamuk Besar dan Pulau Onrust Tahun 1929, 1985 dan 1993 dan Hubungannya dengan Perubahan Perairan Teluk Jakarta. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Jakarta, 07 September 1994. Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta: 81-91. Suharsono, R.K. Pipe dan B.E. Brown. 1990. Cellular and Ultrastructure Changes in the Endoderm of the Temperature Sea Anemone Anemonia viridis as a Result of Increased Temperature. Marine Biology (116): 311-318. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan, Jakarta. 118 pp. Susana, T. 2005. Kualitas Zat Hara Perairan Teluk Lada, Banten. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta (37): 59-67. Susanto, H.A. 2001. Pulau Sebesi: Pengembangan Daerah Perlindungan Laut. Warta Pesisir dan Lautan, No. 01/III2001. Susilo, B.S. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [Disertasi]. Program Pascasarjana. Bogor: 233 pp. Sutarto dan Zarochman. 1997. Inventarisasi Boita pada terumbu Karang Buatan (studi kasus pengamatan di Jepara, Bali dan Lampung) dalam Prosiding Seminar Nasional Wilayah Pantai FPIK-Undip, Semarang p: 223-232. Suwandi, R., S.B. Susilo, A. Zulham, E.P. Prawiranegara, R.P. Yahya, G. Rakasiwi, dan T. Inderawan. 2001. Pemetaan Lokasi dan Kegiatan Prioritas Kelurahan Pulau Panggang. Kerjasama Dinas Perikanan Provinsi DKI Jakarta dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor.
157
Szmant, A.M. 2002. Nutrient Enrichment on Coral Reefs: is it Major Cause of Coral Reef Decline. Estuaries (25): 742-766. Sya,rani, L.1982. Karang Diterminasi: Genus . Univ. Diponegoro, Semarang. 84p. Tackett, L.P. dan D.N. Tackett, 1996. Evrything But Dragons In The King of Fire. Dalam Garuda. Pp. 15-17. Tairas, SL., S. Hamel, dan N. Tumanduk. 2004. Pengukuran Arus Permukaan dan Pasang Surut di Perairan Pantai Tandurusa, Bitung. Bulletin Matric, Akademi Perikanan Bitung. Tomboelu, N., D. G. Bengen, dan V P. H. Nikijuluw. 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang di Kawasan Bunaken dan Sekitarnya, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol. 3, No. 1, 2000, hal 51 – 67. Vaughan, T.W. 1999. Corals and the Formation of Coral Reefs. Special Paper Geology Society American (44): 1-33. Veron JEN. 1995. Coral in Space and Time. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Veron dan Minchin. 1992. Correlation Between Sea Surface Temperature, Circulation Patterns and the Distribution of Hermatypic Corals of Japan. Continental Self Res. (12): 835-857. Wawo, M. 2000. Penilaian Ekonomi Terumbu Karang: Studi Kasus di Desa Ameth Pulau Nusalaut Provinsi Maluku. [Tesis], Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wells, J.W. 1994. Recent Corals of the Marshal Island. Prof. Pap. US. Geol. Surv., (1): 385-486. Westmacott, S., K Teleki, S Wells and J. West. 2000. The World Conservation Union. www: http://www.iucn.org. Wetsel, R.G. 1975. Limnology. Pennsylvania. WB. Saunder Co. White, A.T dan A.C. Trinidad. 1998. The Values of Philippine Coastal Resources: Why Ptotection and Management are Critical. Coastal Resource Management Project, Cebu City, Philippines. World Bank. 1993. Noordwijk Guidelines for Integrated Coastal Zone Management. World Bank Environment Departement. Land, Water and Natural Hibitats Division, Washington, DC. USA. World Tourism Organization, the United Nations Environment Programme and the World Conservation Union. 53 p.
158
Yamazato. 1996. The Effect of Suspended Particles on Reef Building Corals. Prociding MAB-COMAR Regional Workshop on Coral Reef Ecosystem. Bogor. 86-91. Young, F.W. & Hamer, R.M. 1987. Multidimensional Scaling: History, Theory and Applications. Erlbaum, New York. http://forrest.psych.unc.edu/teaching/p230/ p230.html. [28 Juni 2001]. Yulianda, F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Makalah, Disampaikan pada Seminar Sains Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-IPB, Tanggal 21 Februari 2007, Bogor 11p.
LAMPIRAN
159
Lampiran 1.
Persentase Karang batu dan biota lain yang berasosiasi dengan terumbu karang di Selat Lembeh
No. Lokasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kasawari Makawidey Tandurusa Aertembaga Manembo Tj.Merah Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan Batulubang Paudean Ps. panjang
Acropora 19,10 3,56 3,75 0,00 6,52 14,57 8,05 40,25 60,41 2,60 16,74 27,91 2,00 2,14 3,00 13,57 15,77
NonAcropora 10,22 46,00 23,96 0,00 5,54 28,63 33,72 9,73 27,42 29,79 27,41 16,74 9,50 9,20 5,57 29,63 16,24
DeadCoral 22,30 35,32 11,50 0,00 17,52 10,64 10,85 30,12 5,40 0,18 12,04 0,04 0,46 6,46 8,47 10,64 20,06
Algae 37,11 0,95 6,06 0,00 14,89 12,97 9,73 5,91 3,28 40,64 30,60 40,60 18,46 21,48 22,76 12,97 4,93
Other Fauna 5,02 9,67 13,03 0,00 12,78 9,72 28,53 6,14 1,21 17,79 10,09 11,16 59,45 10,27 56,41 9,72 6,19
Abiotic 6,25 4,50 41,70 100,00 42,75 23,47 9,12 7,85 2,28 9,49 3,12 3,55 10,13 50,45 3,79 23,47 36,81
Lampiran 2. Peta sebaran persentase tutupan karang di pesisir Bitung
100%
`
160
Lampiran 3. Peta sebaran persentase tutupan karang di Pulau Lembeh
100 %
161
Lampiran 4. Karakteristik lingkungan perairan Selat Lembeh No.
Lokasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Kasawari Makawidey Tandurusa Aertembaga Manembo Tj.Merah Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan Batulubang Paudean Ps. Panjang
Suhu (0C) 28.4 28.1 27.8 27.9 27.8 28.2 28.1 27.9 28.4 28.4 27.9 28.3 27.9 27.5 28.0 28.1 28.2
Sal. (0/00) 32.3 32.4 32.2 32.0 32.1 32.5 32.4 32.2 32.4 32.0 32.4 32.4 32.5 32.4 32.6 32.6 32.6
pH
DO
7.50 7.65 8.00 8.00 7.80 7.95 8.00 8.00 8.00 7.65 8.00 8.00 7.95 8.00 8.00 7.95 8.00
7.15 7.22 7.50 7.95 8.25 8.42 8.25 8.50 8.55 7.95 7.52 7.25 7.22 7.85 8.25 7.90 7.95
BOD5 (mg-1) 1.42 1.22 2.52 3.80 1.80 1.20 1.25 1.20 1.22 1.10 1.25 1.25 2.22 3.80 2.25 1.55 1.22
Keruh (ntu) 0.25 0.22 1.25 1.51 0.50 0.22 0.32 0.12 0.22 0.23 0.22 0.22 0.40 1.51 0.22 0.10 0.20
COD Ammonia (mg-1) (mg-1) 12.24 0.027 13.56 0.054 14.25 0.047 82.87 0.010 77.91 0.005 15.22 0.062 16.25 0.042 14.12 0.041 17.52 0.045 18.52 0.070 17.85 0.022 18.56 0.025 19.21 0.047 35.25 0.015 15.45 0.041 12.65 0.025 12.83 0.042
Fosfat (mg-1) 0.002 0.003 0.002 0.010 0.007 0.001 0.002 0.002 0.002 0.004 0.005 0.002 0.002 0.004 0.002 0.001 0.002
Nitrat Cerah Dalam (mg-1) (m) (m) 0.010 10 12 0.025 10 12 0.052 6 10 0.078 8 11 0.073 8 12 0.045 10 12 0.011 11 14 0.020 12 13 0.054 10 12 0.025 11 14 0.012 10 15 0.022 12 14 0.041 10 13 0.042 7 11 0.022 9 13 0.012 10 12 0.011 9 11
Arus (ms-1) 0.15 0.17 0.17 0.13 0.13 0.17 0.15 0.15 0.17 0.17 0.14 0.13 0.15 0.16 0.16 0.17 0.16
Keterangan: Sal.
: Salinitas
Cerah : Kecerahan
Keruh : Kekeruhan
Arus
: Kecepatan arus
Dalam : Kedalaman
162
163
Lampiran 5. Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) dari Modalitas fisika-kimia perairan pada 3 Sumbu Utama pada Analisis PCA
No.
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Suhu Sal. pH BOD5 Keruh COD Ammonia Fosfat Nitrat Kecerahan Kedalaman Arus Substrat
Lampiran 6.
F1 1 0.478 0.207 0.033 0.787 0.779 0.710 0.442 0.463 0.596 0.564 0.215 0.136 0.531
2 7.426 3.220 0.514 12.217 12.086 11.020 6.857 7.189 9.256 8.753 3.342 2.108 8.241
F2 1 0.032 0.167 0.023 0.068 0.075 0.164 0.084 0.220 0.001 0.274 0.403 0.582 0.003
2 1.525 7.977 1.086 3.237 3.564 7.804 4.003 10.516 0.034 13.089 19.202 27.781 0.121
F3 1 0.208 0.415 0.472 0.007 0.008 0.030 0.078 0.038 0.089 0.007 0.157 0.077 0.089
2 12.248 24.380 27.755 0.405 0.497 1.744 4.561 2.243 5.254 0.423 9.241 4.555 5.230
Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) Lokasi Pengamatan pada 3 Sumbu Utama pada Analisis PCA
No.
Parameter
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan Batulubang Paudean Pasir panjang Kasawari Makawidey Tandurusa Aertembaga Manembo Tj.Merah
F1 1 0.545 0.302 0.243 0.218 0.000 0.076 0.016 0.751 0.012 0.191 0.316 0.183 0.300 0.296 0.897 0.665 0.316
F2 2 2.325 1.980 1.639 2.890 0.003 0.714 0.074 18.344 0.066 0.913 1.895 1.859 1.539 5.457 38.252 15.528 1.672
1 2 0.104 1.366 0.105 2.119 0.064 1.328 0.070 2.842 0.361 8.179 0.342 9.819 0.013 0.183 0.148 11.130 0.132 2.187 0.209 3.067 0.249 4.578 0.025 0.767 0.069 1.089 0.462 26.175 0.044 5.792 0.175 12.576 0.274 4.453
F3 1 2 0.124 1.997 0.008 0.209 0.116 2.965 0.444 22.300 0.401 11.220 0.127 4.485 0.216 3.661 0.045 4.129 0.440 9.014 0.181 3.280 0.008 0.177 0.280 10.735 0.331 6.430 0.043 2.979 0.019 3.109 0.022 1.945 0.032 0.640
164
Lampiran 7.
Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) Lokasi Pengamatan pada 3 Sumbu Utama pada Analisis CA
No.
Lokasi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan Batulubang Paudean Ps. panjang Kasawari Makawidey Tandurusa Aertembaga Manembo Tj.Merah
Sumbu I (F1) 1 2 0.076 0.38 0.368 3.71 0.384 8.70 0.008 0.10 0.368 2.10 0.185 2.28 0.004 0.09 0.872 8.58 0.004 0.09 0.028 0.04 0.363 1.33 0.180 1.59 0.134 1.97 0.751 4.00 0.890 47.49 0.803 4.48 0.026 0.03
Sumbu II (2) 1 2 0.325 2.18 0.399 5.44 0.272 8.34 0.506 8.48 0.121 0.93 0.133 2.21 0.795 24.17 0.003 0.05 0.818 22.98 0.056 0.11 0.587 2.92 0.020 0.24 0.041 0.82 0.031 0.23 0.094 6.76 0.012 0.09 0.082 0.14
Sumbu III (3) 1 2 0.128 1.63 0.027 0.71 0.087 5.08 0.338 10.79 0.339 4.98 0.635 20.13 0.083 4.83 0.089 2.26 0.099 5.32 0.132 0.50 0.039 0.37 0.230 5.23 0.238 8.97 0.022 0.30 0.006 0.86 0.004 0.06 0.163 0.53
Lampiran 8. Kualitas Representasi Kosinus Kuadrat (1) dan Kontribusi Relatif (2) dari Modalitas Kategori Benthic Lifeforms pada 3 Sumbu Utama pada Analisis CA
Acropora
Sumbu I (F1) 1 2 0.437 19.86
Sumbu II (2) 1 2 0.305 18.71
Sumbu III (3) 1 2 0.051 5.94
Non-Acropora
0.227
4.71
0.008
0.23
0.012
0.62
Dead-Coral
0.134
4.21
0.199
8.46
0.382
30.90
Algae
0.016
0.57
0.417
20.45
0.422
39.50
Other Fauna
0.000
0.00
0.720
44.70
0.190
22.54
Abiotic
0.923
70.66
0.072
7.45
0.003
0.50
Lokasi
0 0
1 2
2 2
0 0
1 2
1 1
0 1
2 1
2 0
1 0
1 1
1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
4 0 4 0 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
0 3 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 0
0 3 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 0 0
0 3 0 3 0 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 0 0 0
0 3 0 3 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 0 0 0 0
0 3 0 3 0 0 0 0 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 0 0 0 0 0
0 3 3 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2
2 0 0 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 3 3 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah sungai
Sedimentasi
Kedalaman
kecerahan
Salinitas
Suhu
Kecepatan Arus
Kondisi Perairan
1 1
Spesies Endemik
2 1
Substrat Perairan
Keanekaragaman Ikan Karang
PL PB
ECOLOGICAL
Persentase Penutupan Karang
Pulau Lembeh Pesisir Bitung Reference fisheries: GOOD BAD UP DOWN Anchor Fisheries:
Abbreviation
Attributes > Lokasi V
Tingkat Eksploitasi sumberdaya Ikan karang
Lampiran 9. Hasil skoring setiap atribut akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang
165
Ketersediaan alur pelayaran
Tipe kapal
Teknologi penanganan pasca panen
PL PB
1 1
1 1
0 0
1 2
1 1
1 2 3 4 1 2 3 4 5 6
0 2 0 2 0 0 0 2 2 2
2 0 2 0 2 2 0 0 0 2
1 0 1 0 1 0 0 0 1 1
0 2 2 0 0 2 2 2 0 0
2 0 0 2 0 0 0 2 2 2
TEKNOLOGI
Selektivitas alat tangkap
Pulau Lembeh Pesisir Bitung Reference fisheries: GOOD BAD UP DOWN Anchor Fisheries:
Abbreviation
Attributes > Lokasi V
Jenis alat tangkap
Lanjutan
166
Ketergantungan pada pariwisata bahari sebagai sumber nafkah
Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang
Lokasi untuk pendidikan dan penelitian
Pemandu wisata
Wisatawan lokal
Wisatawan mancanegara
Jumlah objek wisata
Keuntungan (profit)
Transfer keuntungan
Zonasi peruntukan lahan
1 1
0 0
0 1
0 1
1 1
3 2
0 0
1 0
1 0
0 0
2 1
2 1
1 0
1 1
0 1
0 0
1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
0 2 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2
3 0 3 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 0 0 0 0
2 0 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0
1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0
0 2 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2
2 0 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 3 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 4 4 0 0 0 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 0
0 2 2 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0
2 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2
Lama tinggal wisatawan
Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah
0 1
Tempat sewa scuba
Memiliki nilai estetika
Pulau Lembeh Pesisir Bitung Reference fisheries: GOOD BAD UP DOWN Anchor Fisheries:
Pengetahuan lingkungan Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya
Tingkat pendidikan
1 1
Attributes > Lokasi V
SOSIAL EKONOMI
PL PB
Abbreviation
Jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan
Lanjutan
167
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2
0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
0 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
168
Pulau Lembeh Pesisir Bitung Reference fisheries: GOOD BAD UP DOWN Anchor Fisheries:
Forum Konservasi
Tradisi/budaya
Koperasi
Penyuluhan hukum lingkungan
Tokoh panutan
Tingkat kepatuhan masyarakat Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian
Pemegang kepentingan utama
Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal
Attributes > Lokasi V
KELEMBAGAAN
Abbreviation
Lanjutan
PL PB
0 0
1 1
1 2
1 2
1 1
1 0
0 0
1 0
1 0
1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0
0 2 0 2 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 0
0 2 0 2 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 0 0
0 2 0 2 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0
2 0 2 0 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2
2 0 0 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2
1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1
1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1
1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1
169
Lampiran 10. Peta Daerah Aliran Sungai Kawasan Selat Lembeh (Mitra Pesisir Sulawesi Utara, 2005)
170
171
Lampiran 11. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung dari dimensi ekologi Ordinasi Monte Carlo (selang kepercayaan 95% terhadap median) 60
40
Sumbu Y
20
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
-60 Sumbu X Rap-Insus-COREMAG
Lampiran 12. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan Pesisir Bitung dari dimensi teknologi Ordinasi Monte Carlo (selang kepercayaan 95% terhadap median) 60
40
Sumbu Y
20
0 0
20
40
60
-20
-40
-60 Sumbu X Rap-Insus-COREMAG
80
100
120
172
Lampiran 13. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan pesisir Bitung dari dimensi sosial-ekonomi
Ordinasi Monte Carlo (selang kepercayaan 95% terhadap median) 60
40
Sumbu Y
20
0 0
20
40
60
80
100
120
-20
-40
-60 Sumbu X Rap-Insus-COREMAG
Lampiran 14. Analisis Monte Carlo yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang Pulau Lembeh dan pesisir Bitung dari dimensi kelembagaan Ordinasi Monte Carlo (selang kepercayaan 95% terhadap median) 60
40
Sumbu Y
20
0 0
20
40
60
-20
-40
-60 Sumbu X Rap-Insus-COREMAG
80
100
120
173
Lampiran 15. Persamaan (kondisi baseline) untuk simulasi skenario pengelolaan kawasan terumbu karang EKOLOGI(t) = EKOLOGI(t - dt) + (Input_Ekologi - Output_Ekologi) * dt INIT EKOLOGI = 58.86 Input_Ekologi = (83.22+(-8.19*B_Kond_Per)+(-7.65*B_TESDI)+(26.38*Spesies_Endemik)+(3.91*B_J_Sedimentasi)+(3.81*KA)+(1.49*Pers_TK))-EKOLOGI Output_Ekologi = IF(Rehabilitasi=1) THEN (RANDOM(0,0.1)) ELSE (EKOLOGI*0.05) KELEMBAGAAN(t) = KELEMBAGAAN(t - dt) + (Input_KLBG Out_Put_KLBG) * dt INIT KELEMBAGAAN = 32.08 Input_KLBG = (42.135+(-7.828*Pem_Kep)+(11.347*Peneg_Hukum)+(16.415*Tokoh_Panutan)+(12.544*Koperasi)+(8.195*Tr adisi_Budaya)+(-0.881*Peng_Partisipatif))-KELEMBAGAAN Out_Put_KLBG = 0.1*KELEMBAGAAN SOSEK(t) = SOSEK(t - dt) + (Input_Sosek - Output_Sosek) * dt INIT SOSEK = 51.27 Input_Sosek = ((37.83+(-4.10*Waktu)+(11.79*WisLok)+(16.83*Pot_Konflik)+(8.21*Zonasi)+(7.10*KTP)+(7.16*Nilai_SB))-KTP)SOSEK Output_Sosek = SOSEK*0.1 TEKNOLOGI(t) = TEKNOLOGI(t - dt) + (Input_Teknologi - Output_Teknologi) * dt INIT TEKNOLOGI = 38.22 Input_Teknologi = (63.40+(-0.34*Jenis_AT)+(12.88*Selekt_AT)+(26.20*B_T_Kapal))-TEKNOLOGI Output_Teknologi = TEKNOLOGI*0.1 B_J_Sedimentasi = IF (Sedimentasi=5 or Sedimentasi=6 or Sedimentasi=7 or Sedimentasi =8 ) THEN 0 ELSE IF(Sedimentasi=2 or Sedimentasi=3 or Sedimentasi=4 ) THEN 1 ELSE 2 B_Kond_Per = IF(Kond_Per=23 or Kond_Per=24 or Kond_Per=25 ) THEN 0 ELSE IF(Kond_Per=19 or Kond_Per=20 or Kond_Per=21 or Kond_Per =22) THEN 1 ELSE IF(Kond_Per=26 or Kond_Per=27 or Kond_Per=28 or Kond_Per=29 or Kond_Per=30 or Kond_Per=31 or Kond_Per=32 or Kond_Per=33 or Kond_Per=34 or Kond_Per=35 ) THEN 2 ELSE 3 B_TESDI = IF(TESDI=32 or TESDI=33 or TESDI=34 or TESDI =35 ) THEN 0 ELSE IF(TESDI=28 or TESDI=29 or TESDI=30 or TESDI =31) THEN 1 ELSE IF(TESDI>=36) THEN 2 ELSE 3 B_T_Kapal = IF (Tipe_kapal =1 or Tipe_kapal =1 or Tipe_kapal =1 or Tipe_kapal =4 or Tipe_kapal =5) THEN 0 ELSE IF(Tipe_kapal =6 or Tipe_kapal =7 or Tipe_kapal =8 or Tipe_kapal =9 or Tipe_kapal =10) THEN 1 ELSE 2 Jenis_AT = IF(Skenario=1) THEN 1 ELSE IF(Skenario=3) THEN 2 ELSE 0 KA = IF (Rehabilitasi =1) THEN 0 ELSE 1 Kond_Per = 0 OR 1
174
Koperasi = IF (Pem_Kep = 1) THEN 1 ELSE 0 KTP = IF(Skenario=1or Skenario=3) THEN 0 ELSE IF(Skenario=2) THEN 2 ELSE 1 Nilai_SB = 0 OR 1 Pem_Kep = IF(Skenario=1) THEN 1 ELSE IF(Skenario=3) THEN 2 ELSE 0 Peneg_Hukum = IF (Pem_Kep=1) THEN 1 ELSE 0 Peng_Partisipatif = IF(Pem_Kep =1 AND(Koperasi=1 AND(Tokoh_Panutan>0))) THEN 1 ELSE (RANDOM(0,0.25)) Pers_TK = MIN(0) AND MAX(100) Pot_Konflik = THEN 0 ELSE IF(Pot Konflik=2 or Pot Konflik =3 or Pot Konfliki=4 ) THEN 1 ELSE 2 Rehabilitasi = IF(KELEMBAGAAN>=50) THEN 1 ELSE 0 Sedimentasi = 1 Selekt_AT = IF(Skenario=1) THEN 1 ELSE IF(Skenario=3) THEN 0 ELSE 2 Skenario = 4 Spesies_Endemik = 0 OR 1 TESDI = MIN(32) AND MAX(32.6) Tipe_kapal = MIN(5) AND MAX(10) Tokoh_Panutan = IF(Skenario=1) THEN 1 ELSE IF(Skenario=3) THEN 0 ELSE (RANDOM(1,2)) Tradisi_Budaya = IF (Tokoh_Panutan = 0) THEN 0 ELSE 1 Waktu = IF(Skenario=1) THEN 2 ELSE IF(Skenario=2) THEN 0 ELSE IF(Skenario=3) THEN 3 ELSE 1 Zonasi = 0 OR 1