Jurnal Mina Laut Indonesia
Vol. 01 No. 01 Jan 2013
(12 – 22)
ISSN : 2303-3959
Kelimpahan Drupella dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Mandike Selat Tiworo Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara Abundance of Drupella and Coral Reef Condition Inhabiting the Island of Mandike in Tiworo Strait Muna Regency, Southeast Sulawesi Lalang*), Baru Sadarun**), La Ode Muh. Yasir Haya***) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232 e-mail: *
[email protected] , **
[email protected] , ***
[email protected]
Abstrak
Terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks dengan keanekaragaman yang tinggi. Biota yang hidup di terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan biota dari berbagai tingkat tropik, dimana masing-masing komponen di dalam kumunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu sama lain. Penelitian ini di laksanakan pada bulan Maret 2012. Lokasi Penelitian bertempat di Perairan Pulau Mandike Selat Tiworo Kabupaten Muna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan Drupella dan kondisi terumbu karang di perairan pulau tersebut, yang dilakukan dengan melihat jumlah organisme Drupella dan persentase penutupan karang. Penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan menggunakan GPS dan metode manta tow. Lokasi penelitian di perairan Pulau Mandike di bagi menjadi 4 stasiun pengamatan berdasarkan kondisi persentase tutupan karang. Pengambilan data Drupella dilakukan dengan menggunakan metode belt transect, dan pengambilan data karang menggunakan metode LIT. Parameter fisika-kimia perairan yang terukur selama penelitian masih mendukung untuk kehidupan organisme di dalamnya, khususnya terumbu karang. Suhu Perairan berkisar antara 29-300C, kecerahan 13 m, kecepatan arus 0,03-0,11 ms-1, dan salinitas berkisar antara 30-32‰. Kondisi terumbu karang di perairan pulau Mandike dalam kondisi baik hingga sangat baik yang berkisar antara 66,58-81,78%. Hasil analisis kelimpahan Drupella di perairan Pulau Mandike yaitu stasiun I 1,19 ind/m2, stasiun II 0,68 ind/m2, stasiun III 1,08 ind/m2, dan stasiun IV 1,14 ind/m2. Berdasarkan hasil analisis Principal Component Analysis (PCA) persentase penutupan karang hidup dan kelimpahan Drupella berkorelasi negatif (R=-0,86). Drupella jarang ditemukan berada pada jaringan karang yang masih hidup, dan cenderung menjauhi area yang belum dimakan agar terhindar dari kontak langsung dengan sel penyengat pada karang atau nematocyst. Kelimpahan Drupella pada Pulau ini masih dalam kategori normal. Kata Kunci : Terumbu karang, Drupella, Pulau Mandike, Belt transect.
Abstrack Coral reef is recognized for its complex ecosystem. It has a very high diversity to sustain the marine life. There is a wide range of organisms from distinct trophic levels found in the coral creates close and strong bounds to each other. The study was done in March-September 2012 located in the Mandike island to find out the abundance of Drupella and coral cever. Site selection was conducted by manta tow method. The site was divided into 4 stations based on percentage of coral cover. Belt transect was selected to measure Drupella sample, while Line Intercept Transect (LIT) was used to obtain coral data. Results showed that water quality parameters were in tolerable range to sustain the coral’s life. Temperature ranged from 29-30oC, water clearance was 100%, current velocity ranged from 0.03-0.11 ms-1, and salinity ranged from 30-32 ppt. The coral’s condition was in good and excellent category ranged from 66.58-81.78%. There was a slight different in the number of Drupella found in each station. Station I was 1.19 ind/m2, station II was 0.68 ind/m2, stations III was 1.08 ind/m2, and station IV 1.14 ind/m2. Based on Principle Component Analysis (PCA), there was a negative correlation between coral cover and abundance of Drupella (R = -0.86). The low number of Drupella to propably direct contact with nematocyst in coral. It might provide the reason why the Drupella was rare in life tissue of coral. However, Drupella abundance remained in normal level. Key Words : Coral reef, Drupella, Mandike island, Belt transect.
Pendahuluan Indonesia terletak dalam kawasan segitiga karang dunia (Coral Triangle), dimana Indonesia memiliki megadiversitas karang terbesar didunia dengan 80 genera dan sekitar Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
750 jenis (Sadarun (2006)). Konsentrasi distribusi karang pada umumnya di wilayah timur Indonesia mulai dari pantai barat Kalimantan, seluruh bagian Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara dan Papua. 12
Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak dalam area segitiga karang dunia (coral triagle) berdasarkan data TNC-WWF- jaringan Kerja Reef Check Indonesia, (2005). Selanjutnya menurut DKP Sultra (2008) menyatakan bahwa sekitar 396 jenis karang batu (13 famili) penyusun terumbu karang. Jumlah jenis karang ini tidak jauh berbeda keragaman jenisnya dibandingkan dengan jumlah spesies karang di kawasan Raja Ampat, Papua sebanyak 456 jenis karang batu namun masih tergolong tertinggi kedua di Indonesia (Mc Clanahan et al., 1994). Kondisi kekayaan hayati karang yang besar ini, semakin mengalami degradasi hingga menyebabkan kerusakan terumbu karang di Sultra mencapai 80% (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sultra, 2008). Ancaman itu antara lain disebabkan oleh beberapa faktor seperti penangkapan ikan dengan cara yang merusak dengan menggunakan bom dan sianida, penambangan batu karang, sedimentasi, dan faktor biologi di antaranya bintang laut berduri, serta predasi oleh hewan gastropoda (Drupella ). Drupella merupakan salah satu jenis siput laut yang hidup di daerah terumbu karang. Siput ini termasuk dalam filum Moluska, kelas Gastropoda, sub kelas Prosobranchia dan famili Muricidae. Prosobranchia dicirikan dengan cangkang tunggal yang berada pada bagian eksternal tubuh. Siput ini hidup secara berkelompok dan menempel pada karang untuk
mengkonsumsi polip karang serta meninggalkan bekas makan yang berwarna keputih-putihan yang disebut skars. Drupella merupakan jenis keong pemakan karang yang cukup penting untuk diketahui keberadaannya di terumbu karang. Keberadaannya di terumbu karang adalah sebagai pemangsa karang (Arbi, 2009). Perairan Selat Tiworo merupakan salah satu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang terletak di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara Perairan Selat Tiworo memiiki keanekaragaman hayati yang tinggi, dari hasil identifikasi yang dilakukan oleh LIPI kerjasama dengan Kementerian Perikanan ditemukan sekitar 507 spesies terumbu karang (Sadarun dkk., 2009). Perairan Pulau Mandike termasuk dalam area KKLD yang ditetapkan oleh Menteri kelautan dan Perikanan Tahun 2004, memiliki keanekaragaman terumbu karang yang tinggi yang dapat dijadikan sebagai tempat wisata, di salah satu sisi terjadi kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan manusia yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan potassium, sianida, dan pemangsaan dari siput laut (Drupella). Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian ini untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kelimpahan Drupella dan kondisi terumbu karang yang ada di perairan pulau Mandike Selat Tiworo.
Pulau Mandike
U
Gambar 1. Sketsa Lokasi Titik Stasiun Penelitian Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
13
Metode Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret-September 2012. Lokasi penelitian bertempat di perairan Pulau Mandike, Selat Tiworo, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penentuan Stasiun Pengamatan Penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan metode manta tow yaitu seorang penyelam atau peneliti melakukan pengamatan singkat terhadap kondisi terumbu karang dan kelimpahan Drupella dengan arah sejajar mengikuti garis pantai dengan cara ditarik menggunakan kapal bermotor dengan kecepataa 3 knot selama 2 (dua) menit. Pengamatan dilakukan pada 4 (empat) stasiun berdasarkan arah mata angin dengan pembagian pengamatan sebagai berikut: 1. Stasiun I dibagian utara (E 122024’33,2” ; S 04039’29,6”) 2. Stasiun II di bagian timur (E 122024’29,9” ; S 04039’55,5”) 3. Stasiun III di bagian selatan (E 122024’19,4” ; S 04039’59,6”) 4. Stasiun IV di bagian barat (E 122024’07,4” ; S 04039’56,4”). Pengumpulan Data
Pengambilan data Drupella di lakukan dengan menggunakan metode belt transect. Transek dipasang sejajar garis pantai dengan panjang berukuran 100 m
dengan lebar 1 (satu) meter disebelah kiri dan 1 (satu) meter disebelah kanan, di pasang pada 4 stasiun berdasarkan arah mata angin. Pengambilan data dilakukan dengan 4 (empat) kali pengambilan sampel, dimana sampel pertama di mulai dari 0–10 m, 10–30 m tidak dilakukan pengamatan dengan interval sepanjang 20 m, sampel ke 2 (dua) 30–40 m, 40–60 meter tidak dilakukan pengamatan. Sampel ke 3 (tiga), 60–70 m, 70-90 meter tidak dilakukan pengamatan. Sampel ke 4 (empat) 90-100m. Pemasangan transek melibatkan 3 orang penyelam, dua orang berada di bawah untuk memasang transek dan satu orang lainnya mengarahkan agar transek dapat terpasang sempurna pada daerah terumbu karang yang ditutupi oleh Drupella . Pemasangan Belt Transeck dilakukan di daerah reef flat pada kedalaman berkisar antara 3-10 meter. Pengamatan terumbu karang pada suatu ekosistem, dilakukan dengan menggunakan Metode LIT (Line Intercep transect) (English et al., 1994). Persentase penutupan karang diukur pada 4 (empat) stasiun pengamatan di bagi berdasarkan arah mata angin, dengan panjang transek 100 m, di bagi dalam 4 (empat) kali pengambilan sampel, dimana 0–10 m adalah sampel 1 (satu), 10–30 m interval, 30–40 m sampel ke 2 (dua), 40–60 m interval, dan 60–70 m sampel ke 3 (tiga), 70-90 m interval, 90-100 sampel ke 4 (empat). Penyelam mengikuti transek dan mencatat transisi karang yang menyinggung transek dalam centimeter dan mencatat kode bentuk pertumbuhan hidupnya (life form).
Gambar 2. Metode Belt Transek yang di kombinasikan dengan LIT Keterkaitan antara Drupella dengan Analisis Data persen tutupan karang di analisis menggunakan 1. Kelimpahan Drupella Analisis Komponen Utama (PCA) dengan Menurut Gomez dan Yap (1988) menggunakan kriteria yang di jelaskan oleh kelimpahan Drupella dihitung dengan Abdurahman dan Muhidin (2007): persamaan: Jika korelasi (R) 0 - < 0, 20: hubungan lemah � Jika korelasi (R) ≥ 0,20 - < 0,40: hubungan �= � rendah. Dimana: Jika korelasi (R) ≥ 0,40 - < 0,70: hubungan N = kelimpahan sedang / cukup. n = jumlah individu di tiap stasiun Jika korelasi (R) ≥ 0,70 - < 0,90: hubungan kuat A = luas daerah pengamatan / tinggi. JIka korelasi (R) ≥ 0,90 - < 1,00: hubungan sangat kuat / sangat tinggi. Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
14
2. Persentase Tutupan Karang Hidup (Life form) Persentase penutupan biota terumbu karang digunakan untuk menghitung penutupan biota yang dapat ditentukan sebagai berikut (English et al, 1994): % Cover =
Total Panjang tiap kategori Life form (cm) � 100 % panjang transek garis (cm)
Kriteria penilaian ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase (Gomez dan Yap, 1988) dapat dilihat pada Tabel 1.
penutupan karang
Tabel 1. Kisaran Tingkat Persentase Penutupan Karang Persen Tutupan (%) 0 - 24,9 25 - 49,9 50 - 74,9 75 - 100
Kisaran Buruk Sedang Baik Sangat baik
Hasil 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Mandike dikelilingi oleh hamparan pasir dan rataan terumbu karang sehingga daerah ini memiliki potensi perikanan yang cukup menjanjikan baik perikanan budidaya maupun perikanan tangkap. Pulau Mandike secara administrasi masuk dalam wilayah Desa Tiga Kecamatan Tiworo Kepulauan Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis terletak pada 04039’29”-04039’59” Lintang Selatan dan 122024’33”-122024’19” Bujur Timur dengan
batas-batas sebagai berikut : - Sebelah utara berbatasan dengan Pulau Kayu angin. - Sebelah timur berbatasan dengan Pulau Masaringan. - Sebelah selatan berbatasan dengan Pulau Belan-Belan Kecil. - Sebelah barat berbatasan dengan Pulau Latoa. 2. Parameter Kualitas Perairan
Pengukuran parameter kualitas air di lakukan pada setiap stasiun pengamatan. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air dapat di lihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan Stasiun I II III IV
Suhu (0C) 30 29 30 29
Parameter Fisika-Kimia Perairan Kecerahan (m) Kec.Arus (ms-1) 13 0,07 13 0,11 13 0,03 13 0,07
Salinitas (ppt) 31 32 30 30
3. Persen Tutupan Karang Hasil pengukuran kondisi terumbu karang diperairan Pulau Mandike dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Persen Tutupan Karang Hidup, Karang Mati, Abiotik, dan Biotik Lainnya Stasiun
Persentase Penutupan Karang (%) Karang Hidup
Karang Mati
Biotik Lain
Abiotik
1
61,83
8,7
1,31
28,16
2
66,58
2,95
3,92
30,35
3
61,73
3,60
8,2
26,45
4
64,09
11,99
8,52
15,39
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
15
Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh persentase penutupan karang hidup, karang mati, abiotik, dan biotik lainnya yang berbeda-beda pada setiap stasiun pengamatan. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Persen Pengamatan (%)
80 70 60 50
Karang Hidup
40 Karang Mati
30 20
Biotik Lain
10
Abiotik
0 1
2
3
4
Stasiun
Gambar 3. Persentase penutupan karang hidup, karang mati, abiotik, dan biotik lainnya pada setiap stasiun 3. Bentuk Pertumbuhan Karang Berdasarkan penelitian diperoleh hasil pengukuran bentuk pertumbuhan masing-masing stasiun yang berbeda-beda, seperti pada Gambar 4.
karang hidup
45
Bentuk Pertumbuhan
40 35
ACT
30
CB
25
CE
20
CF
15
CM
10
CS
5
CMR
0 1
2
3
4
Stasiun
Gambar 4. Grafik persen tutupan karang hidup berdasarkan bentuk Pertumbuhan. 4. Kelimpahan Drupella Berdasarkan penelitian diperoleh hasil kelimpahan Drupella yang berbeda-beda tiap stasiun, seperti pada Gambar 5. Drupella (ind/m2)
1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
Stasiun 3
4
Gambar 5. Kelimpahan Drupella pada Setiap Stasiun Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
16
5. Keterkaitan Drupella dengan Terumbu Karang Hubungan antara persen tutupan karang dengan kelimpahan Drupella dianalisis menggunakan analisis komponen utama atau Principal Component analysis (PCA). Hasil analisis dengan PCA menggunakan bantuan software ExcelStat 2010 (Gambar 6). Variables (axes F1 and F2: 95,24 %) 1 SUHU 0.75 0.5
F2 (31,24 %)
ABIOTIK 0.25
DRUPELLA SALINITAS
0
KECERAHAN
-0.25
KECEPATAN ARUS
-0.5 BIOTIK LAIN -0.75
KARANG HIDUP
KARANG MATI
-1 -1
-0.75
-0.5
-0.25
0
0.25
0.5
0.75
1
F1 (63,99 %)
Gambar 6. Grafik analisis komponen utama (PCA) korelasi antara kelimpahan Drupella dengan persentase tutupan karang di Perairan Pulau Mandike. Pembahasan 1. Parameter Kualitas Air Kondisi ekosistem terumbu karang sangat dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia yang berada di perairan. Parameter yang diamati meliputi suhu, salinitas kecepatan arus dan kecerahan. a. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor pembatas bagi keberlangsungan terumbu karang dimana suhu di butuhkan untuk menunjang kehidupan terumbu karang. Sadarun (2006) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi, dan perombakan bentuk luar dari karang. Hasil pengukuran pada masing-masing stasiun pengamatan berkisar antara 29–300C. Kisaran suhu tersebut masih mendukung untuk kehidupan terumbu karang. Menurut Nontji (1987), bahwa kondisi tersebut merupakan merupakan kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan (life form), karena terumbu karang dapat hidup dengan baik pada kisaran suhu antara 25-300C. Sedangkan Drupella dapat hidup dan berkembang biak pada kisaran suhu 28–310C. Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa kisaran suhu tertinggi yaitu pada stasiun Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
I dan III, hal tersebut di karenakan pengamatan suhu dilakukan pada siang hari dimana intensitas cahaya matahari mencapai titik maksimum. b. Kecerahan Kecerahan perairan berhubungan dengan berapa besar penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan, karena cahaya matahari dapat membantu karang untuk dapat tumbuh dengan baik. Kecerahan di lokasi penelitian sangat tinggi dimana penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan dapat menembus sampai ke dasar perairan. Hal ini menyebabkan karang mengalami pertumbuhan dengan baik. Berdasarkan hasil pengukuran kecerahan yang dilakukan pada setiap stasiun pengamatan adalah 13 m (Tabel 2). Hal ini didukung dengan penetrasi cahaya yang masuk kedalam perairan sampai pada dasar perairan. Sinar matahari dibutuhkan oleh Zooxanthellae untuk berfotosintesis dimana hewan karang mendapat nutrisi dari hasil fotosintesis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ikawati (2001) bahwa kondisi tersebut menunjukkan intensitas cahaya yang tinggi yang mendukung proses fotosintesis zooxanthellae yang secara langsung akan 17
mempengaruhi pertumbuhan karang (life form) dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) serta pembentukan terumbu karang akan selalu optimal. c. Salinitas Salinitas merupakan faktor pembatas kehidupan karang. Pengaruh salinitas terhadap kehidupan hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut atau pengaruh alam, seperti badai, hujan, sehingga salinitas akan berubah (Supriharyono, 2000). Salinitas dapat mempengaruhi keanekaragaman dan bentuk pertumbuhan karang. Berdasarkan hasil pengukuran sanilitas pada empat stasiun dengan handrefraktometer, menunjukkan bahwa kisaran salinitas sekitar 30-32 ppt (Tabel 2), dimana kisaran tersebut masih mendukung pertumbuhan hewan karang karena berada dalam kisaran optimum untuk kehidupan hewan karang. Drupella dapat hidup dan berkembangbiak dengan kisaran salinitas 30-32 ppt. d. Kecepatan Arus Arus di perairan disebabkan oleh pergerakan dari massa air, pergerakan massa air yang tenang akan membawa nutrien-nutrien makanan yang di butuhkan bagi karang. Kecepatan arus pada masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan adanya perbedaan, dimana stasiun I arus sebesar 0,07 ms-1, stasiun II sebesar 0,11 ms-1, stasiun III sebesar 0,03 ms1 , dan stasiun IV sebesar 0,07 ms-1 (Tabel 2). Keberadaan arus dan gelombang di perairan sangat penting untuk kelangsungan hidup terumbu karang. Arus diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton, di samping itu juga membersihkan diri dari endapan-endapan dan untuk mensuplai oksigen dari laut bebas. 2. Persen Tutupan Karang Terumbu karang yang ada di Perairan Pulau Mandike merupakan tipe terumbu karang tepi (fringing reef) tumbuh mengelilingi pantai. Terumbu karang tumbuh pada daerah-daerah yang landai dan datar sampai pada lereng (tubir) kearah yang lebih dalam. Terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan memiliki bentuk pertumbuhan (life form) karang yang berbeda. Stasiun I terletak di sebelah Utara Pulau Mandike dengan tipe lereng terumbu (tubir), life form karang yang umum di temukan pada stasiun ini adalah Acropora (Acropora Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
branching, Acropora digitate, dan Acropora tabulate), Non Acropora (Coral branching, Coral foliose, Coral massive, Coral submassive, dan Coral mushroom), Biotik lain (Soft coral, Sponge, Others), dan Abiotik (Sand dan Rubble), dengan persentase penutupan karang hidup mencapai 61,83%, biotik lain 1,31%, abiotik 28,16%, sedangkan untuk karang mati pada stasiun I 8,70%. Stasiun II terletak di sebelah Timur Pulau Mandike, daerah ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk budidaya rumput laut sehingga terumbu karang yang ada pada daerah ini terhindar dari penangkapan yang tidak ramah lingkungan sehingga kondisi terumbu karang pada daerah ini cukup terjaga. Life form karang yang ditemukan pada stasiun ini adalah Acropora (Acropora branching, dan Acropora tabulate), Non Acropora (Coral encrusting, Coral foliose, Coral massive, Coral submassive, dan Coral mushroom), Biotik lain (Soft Coral, Sponge, Others), dan Abiotik (Sand dan Rubble), dengan persentase penutupan karang hidup mencapai 66,58%, karang mati yang terdiri atas Dead Coral dan Dead Coral with Algae 2,95%, biotik lain 3,29%, abiotik 30,35%. Stasiun III terletak di sebelah Selatan Pulau Mandike Life form karang yang ditemukan pada stasiun ini adalah Acropora (Acropora branching, dan Acropora tabulate), Non Acropora (Coral branching, Coral encrusting, Coral foliose, Coral massive, Coral submassive, dan Coral mushroom), Biotik lain (Soft Coral, Sponge, Others), Abiotik (Sand, dan Rubble), dan karang mati (Death coral with alga) dengan persentase penutupan karang hidup mencapai 61,73%, karang mati 3,60%, biotik lain 8,20%, dan abiotik 26,45%. Stasiun IV terletak di sebelah Barat Pulau Mandike, life form karang yang ditemukan pada stasiun ini adalah Acropora (Acropora branching, dan Acropora tabulate), Non Acropora (Coral branching, Coral encrusting, Coral foliose, Coral massive, Coral submassive, dan Coral mushroom), karang mati (Dead coral, dan Dead coral with alga), Biotik lain (Soft Coral, Sponge, Others), dan Abiotik (Sand, dan Rubble), dengan persentase penutupan karang hidup mencapai 64,09%, karang mati 11,99%, biotik lain 8,52% dan abiotik 15,39%.
18
3. Kelimpahan Drupella Drupella adalah salah satu jenis siput laut yang memakan polip karang. Pemangsaan dalam jumlah yang besar akan mengakibatkan kerusakan terumbu karang, siput ini menempel pada karang untuk memakan polip karang dan meninggalkan bekas berwarna putih yang disebut skars (Modica dan holford, 2010). Pulau Mandike memiliki keanekaragaman terumbu karang yang tinggi, sehingga mendukung keberadaan Drupella untuk hidup dan memakan polip karang yang ada di pulau ini. Kelimpahan Drupella pada setiap stasiun pengamatan sangat beragam, stasiun I sebesar 1,19 ind/m2, stasiun II sebesar 0,68 ind/m2, stasiun III 1,08 ind/m2, dan stasiun IV 1,14 ind/m2 (Gambar 6). Kelimpahan tertinggi Drupella terdapat pada stasiun I, ini terlihat dari beberapa bagian terumbu karang yang mengalami kerusakan akibat pemangsaan Drupella . Pada stasiun ini juga di dominasi oleh jenis karang massive dan jenis karang tabulate. Umumnya Drupella banyak ditemukan pada karang tersebut. Kelimpahan terendah Drupella pada stasiun II, kondisi terumbu karang pada stasiun ini masih sangat baik, sehingga mengakibatkan Drupella cenderung untuk menghindari kontak langsung dengan sel penyengat atau nematocist yang ada pada karang tersebut, hal ini sesuai dengan pernyataan (Cumming, 1997) bahwa Drupella jarang ditemukan berada pada jaringan karang yang masih hidup, dan cenderung menjauhi area yang belum dimakan agar terhindar dari kontak langsung dengan sel penyengat pada karang atau nematocyst (William dan Ozawa, 2006). Kelimpahan Drupella pada stasiun III sebesar 1,08 ind/m2, kelimpahan Drupella pada stasiun ini lebih tinggi di bandingkan pada stasiun II, dimana pada stasiun ini Drupella lebih banyak ditemukan pada jenis karang
Acropora tabulate dan sedikit pada karang massive. Kelimpahan Drupella pada stasiun IV sebesar 1,14 ind/m kelimpahan Drupella pada stasiun ini lebih tinggi dibanding pada stasiun III. Menurut Cumming, 2009 Drupella pada stasiun ini yang umumnya ditemukan pada karang masive dan pada karang yang ditumbuhi oleh alga. Berdasarkan nilai standar deviasinya, kelimpahan Drupella pada stasiun I berkisar 1,19±0,24%, stasiun II 0,68±0,27%, stasiun III 1,08±0,13%, dan stasiun IV 1,14±0,09%. 4. Keterkaitan Drupella dan Terumbu Karang Terumbu karang memiliki peranan yang besar untuk keseimbangan di perairan, apabila terumbu karang mengalami gangguan maka akan mengakibatkan menurunnya keseimbangan di suatu perairan. Hal ini akan berdampak pada menurunnya keragaman biota perairan khususnya ikan, dikarenakan terumbu karang sebagai tempat hidup, mencari makan, berkembang biak, bagi ikan dan biota lainnya (Morton, dkk., 2002). Drupella merupakan siput pemakan polip karang sehingga membutuhkan terumbu karang untuk tetap bertahan hidup, terumbu karang sebagai tempat mencari makan bagi organisme Drupella sehingga terjadi hubungan parasitisme, dimana Drupella mendapatkan keuntungan karena mendapatkan makanan dan terumbu karang mengalami kerugian atau kerusakan akibat dari pemangsaannya, menurut Barco dkk. (2010), apabila terjadi dalam waktu yang lama dan populasi yang banyak dikhawatirkan akan merusak terumbu karang dengan cakupan area yang lebih luas. Drupella tumbuh dan berkembang di daerah tertumbu karang agar terlindungi dari serangan predator dan pada saat yang sama menjadi pemangsa polip karang (Morton dan Blackmore, 2009).
Gambar 7. Drupella yang sedang memangsa polip karang. Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
19
Kelimpahan tertinggi Drupella terdapat pada stasiun I sebesar 1,19 ind/m2 dan kelimpahan terendah terdapat pada stasiun II sebesar 0,68 ind/m2. Kondisi terumbu karang pada daerah ini dalam kategori baik sampai pada kategori sangat baik dengan persentase tutupan karang hidup berkisar antara 67,1081,78%. Melihat kondisi terumbu karang yang masih baik dan kelimpahan Drupella yang belum menunjukkan adanya kerusakan terumbu karang dalam jumlah yang luas, hal ini masih dalam kategori normal dan dapat ditoleransi oleh terumbu karang sehingga dapat dikatakan sebagai kontroling lingkungan yang sifatnya alami. Drupella memakan polip karang sudah merupakan tugas alami mereka untuk tetap bertahan hidup namun menurut Claremont dan Williams (2011) apabila terjadi pemangsaan secara luas dan merusak terumbu karang dalam cakupan area luas sehingga mengakibatkan keseimbangan di suatu perairan terganggu. Pulau Mandike merupakan salah satu pulau yang berpenghuni cukup padat, olehnya itu di temukan limbah hasil buangan rumah tangga yang masuk ke dalam perairan. Limbah rumah tangga akan memberikan kontribusi yang baik bagi kesuburan perairan berupa ketersediaan bahan organik atau nutrient (Hawkes, 1979). Nutrien dibutuhkan oleh larva Drupella (veliger) sebagai bahan makanan untuk hidup dan berkembang biak. Masuknya limbah rumah tangga dalam jumlah yang besar di daerah terumbu karang dapat mengakibatkan penurunan kondisi atau kesehatan karang dimana limbah tersebut dapat menutupi bagian terumbu karang khususnya polip karang sehingga mengganggu proses pertumbuhan dan fotosintesis zooxanthellae pada terumbu karang. Dengan menurunnya kesehatan terumbu karang, maka aktivitas pemangsaan oleh Drupella akan semakin meningkat pula, menurut Jimenez dkk. (2012), akibatnya pada daerah tersebut populasi Drupella juga bertambah banyak, sehingga berpengaruh terhadap kondisi terumbu karang pada Pulau tersebut. Kehadiran Drupella di perairan sebagai organisme parasit yang memangsa polip karang tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan makanan (Miller dan Dolman, 2008) pada perairan tersebut, tetapi juga di pengaruhi oleh aktivitas manusia di daratan seperti buangan limbah rumah tangga kedalam perairan sehingga mempengaruhi faktor fisik dan kimia di peraian (Poulin, 2010). Hasil analisis PCA memperlihatkan bahwa informasi penting terhadap sumbu terpusat pada 2 sumbu utama (F1 dan F2) Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
dengan kontribusi masing-masing sumbu sebesar (F1 63,99%) dan (F2 31,24%) total sebesar 95,24% (Gambar 6). Pada sumbu F1 dicirikan oleh variabel abiotik, salinitas, kecepatan arus dan karang hidup sedangkan F2 dicirikan oleh variabel karang mati, Drupella , biotik lain, dan suhu. Gambar 6. memperlihatkan korelasi masing-masing persen cover terumbu karang dengan Drupella, dimana Drupella berkorelasi negatif terhadap variabel karang hidup (R=0,86), abiotik (R=-0,85), salinitas (R=-0,77) dan kecepatan arus (R=-0,71). Rendahnya kelimpahan Drupella tersebut di duga karena Drupella cenderung untuk menghindari kontak langsung dengan sel penyengat atau nematocist yang ada pada karang hidup tersebut, hal ini sesuai dengan pernyataan (Cumming, 1997) bahwa Drupella jarang ditemukan berada pada jaringan karang yang masih hidup, dan cenderung menjauhi area yang belum dimakan agar terhindar dari kontak langsung dengan sel penyengat pada karang atau nematikos. Kelimpahan Drupella berkorelasi positif dengan karang mati dan biotik lainnya (R=0,43 dan R=0,39). Hal ini berarti Drupella banyak ditemukan pada kawasan karang mati dan biotik. Berdasarkan Gambar 13. dapat dilihat bahwa tingkat pemangsaan Drupella masih jauh lebih lambat di bandingkan dengan persentase karang, sehingga dari penelitian ini dapat di lihat bahwa pemangsaan Drupella masih dalam kategori normal (Kaligis, 2008), dan dapat ditoleransi oleh terumbu karang sehingga dapat dikatakan sebagai kontroling lingkungan yang sifatnya alami (Lorentz, 2009). Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah di lakukan dapat di tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : Secara rata-rata persentase terumbu karang pada setiap stasiun dalam criteria baik, dengan persen tutupan karang hidup pada stasiun I sebesar 61,83%, stasiun II sebesar 66,58%, stasiun III sebesar 61,73%, dan stasiun IV sebesar 64,09 %. Secara rata-rata kelimpahan Drupella pada setiap stasiun pengamatan bervariasi, kelimpahan pada stasiun I sebesar 1,19 Ind/m2, stasiun II sebesar 0,68 Ind/m2, stasiun III sebesar 1,08 Ind/m2, dan pada stasiun IV sebesar 1,14 ind/m2. Faktor– faktor lingkungan yang mempengaruhi persentase penutupan karang hidup dan kelimpahan Drupella antara lain salinitas, kecepatan arus, dan suhu. 20
Persantunan Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof.Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S atas bantuan dana Penelitian, Dekan FPIK Unhalu Prof. Dr. Ir. La Ode Muh. Aslan, M.Sc atas izin penelitian yang diberikan, dan Kepala Laboratorium FPIK Unhalu Ruslaini, S.Pi.,M.Pi atas penyediaan fasilitas laboratorium uang di pinjamankan. Daftar Pustaka Abdurahman, M., Muhidin, A. S. 2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. CV Pustaka Setia. Bandung. 280 hlm. Arbi Yanu Ucu, 2009. Drupella (Siput Pemakan Karang Drupella) Jurnal Oseana, 3:19-24. Barco A, Claremont M, Reid DG, Houart R, Bouchet P, Williams ST, Cruaud C, Couloux A, Oliverio M. 2010. A molecular phylogenetic framework for the Muricidae, a diverse family of carnivorous gastropods. Mol Phylogenet Evol 56:1025–1039 Cumming, R.L. 1997. High Densities of Coral Feeding Gastropods Thresthen Hongkong’s Coral Communities?. Newsletter of the Department of Ecology and Biodiversity. Hongkong University : 4-5. Cumming RL (2009b) Population outbreaks and large aggregations of Drupella on the Great Barrier Reef. Research Publication No. 96. Great Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville, QLD, Australia, p 26. Claremont , M., D. G. Reid and S. T. Williams 2011. Evolution of corallivory in the gastropod genus Drupella. Coral Reefs (2011) 30:977– 990 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008. Survei Potensi Terumbu Karang di Sulawesi Tenggara. Kendari. 105 Hal English, S., C. Wikinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resourch. Australian Institute Marine Science. Townsvile. Australia. Fontje, Kaligis, 2008. Parasitisme, Kanibalisme, dan Interaksi Positif terumbu karang dan Mollusca.Pacific Journal. 2:133136. Gomez, E. D. dan H. T. Yap, 1988. Monitoring Reef Conditions. In : Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
Kenchington, R.A and B. E. T. Hudson (eds). Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta. h. 187-196. Hawkes, H. A. 1979. Biological Indicators of Water Quality. A Wiley Interscience Publication. New York. Ikawati, Y., P.S. Hanggarawati, H. Parlan, H. Handini, B. Siswodiharjo, 2001. Terumbu Karang di Indonesia. MAPITEK bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Jakarta.198hal. Jimenez , H., P. Dumas, D. Ponton , J. Ferraris 2012. Predicting invertebrate assemblage composition from harvesting pressure and environmental characteristics on tropical reef flats. Coral Reefs 31:89– 100. Lorenz F, Fehse D. 2009. The living Ovulidae: a manual of the families of cowries: Ovulidae, Pediculariidae and Eocypraeidae. ConchBooks, Hackenheim, Germany, p 651. Miller I, Dolman A. 2008. Relative role of disease and predators asdrivers of decline in coral cover on the Great Barrier Reef. Proc 11th Int Coral Reef Symp 6:216–220 Modica M-V, Holford M. 2010. The Neogastropoda: evolutionary innovations of predatory marine with remarkable in pharmacological potential. In: Pontarotti P (ed) Evolutionary biology: concepts, molecular and morphological evolution. Springer-Verlag, Berlin, pp 249–270. Morton B, Blackmore G. 2009. Seasonal variations in the density of and corallivory by Drupella rugosa and species Cronia margariticola (Caenogastropoda: Muricidae) from the coastal waters of HongKong: (‘plagues’ or ‘aggregations’)? J Mar Biol Assoc U K 89: 147–159. Morton B, Blackmore G, Kwok CT. 2002. Corallivory abd prey choice by Drupella rugosa (Gastropoda: Muricidae) in Hongkong. J Molluscan Stud 68:217-223. McClanahan, T.R. and J.C. Mutera 1994. Coral and Sea Urchin Assemblage Structure and Interrelationships in Kenyan Reef 21
Lagoons. Hydrobiologia 286 : 109124. Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.300hal. Poulin Robert, 2010. When Parasites Become Prey : Ecological and Epidemiological Significance of Eating Parasites. Review. Department Of Zoologi, University of Otago, PO Box 56, Dunedin 9054, New Zealand.p31. Sadarun. 1999. Transplantasi Karang batu (Stony coral) Di Kepulauan Seribu Teluk Jakarta. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.148hal. Sadarun. 2006. Pedoman Pelaksanaan Transplantasi Karang. Direktorat Konservasi dan taman nasional laut dan Direktorat Jendral KP3K. DKP. Jakarta. 36 hal. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta .129 hal. Williams ST, Ozawa T (2006) Molecular Phlogeny Suggests Polyphly of Both The Turban Shells (Family Turbinidae) and The Superfamily Trochoidea (Mollusca,Vetigastropoda) Mol Phylogenet Evol 39:33-55.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
22