Jurnal Mina Laut Indonesia
Vol. 02 No. 06 Jun 2013
(69 – 80)
ISSN : 2303-3959
Kelimpahan Drupella Pada Perairan Terumbu Karang di Pulau Belan-Belan Besar Selat Tiworo Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara Abundance of Drupella in Corals Reef Area of Belan-Belan Besar Island, Tiworo Strait Riska*), Baru Sadarun**), La Ode Muh. Yasir Haya***) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Haluoleo Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232 e-mail: *
[email protected] , **
[email protected] , ***
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelimpahan Drupella pada perairan terumbu karang di Pulau Belan-Belan Besar Selat Tiworo Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret-September 2012. Penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan metode purposif sampling. Stasiun penelitian ditetapkan berdasarkan empat arah mata angin : Utara, Selatan, Timur, dan Barat. Pengambilan data karang menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) sedangkan pengambilan data Drupella dengan menggunakan metode Belt Transect. Parameter perairan yang diukur adalah suhu, salinitas, kecerahan dan kecepatan arus. Hasil pengukuran parameter fisika–kimia perairan di lokasi pengamatan masih menunjukan kisaran normal yang menunjang bagi kehidupan biota karang dan Drupella, suhu perairan berkisar antara 29300C, kecerahan perairan 12 m, kecepatan arus berkisar antara 0,05 ms -1-0,19 ms-1, dan salinitas berkisar antara 30-32 ppt. Persentase penutupan karang berkisar antara 27,20-57,70% dengan kriteria “Sedang–Baik”. Kelimpahan Drupella berkisar antara 0,74-1,55 ind/m2. Dari hasil pengukuran persentase penutupan karang dan kelimpahan Drupella tidak menunjukkan hubungan yang signifikan, karena Drupella hanya memakan polip karang. Hal ini memungkinkan karang untuk segera pulih kembali setelah serangan dari Drupella berhenti. Namun Drupella memiliki asosiasi yang kuat dengan terumbu karang sebagai organisme parasit. Kata Kunci: Terumbu karang, Drupella, Pulau Belan-Belan Besar, belt transek.
Abstract The aims of the study were to investigate the abundance of Drupella and coral reef condition of Belan-Belan Island in Tiworo Strait.The study was conducted in March-September 2012. Purposive sampling was used to determine the observed station. The station was also decided by considering four wind directions: north, south, east, and west. Line Intercept Transect (LIT) was applied to find out the coral cover, while Belt Transect was used to measure Drupella abundance. Water quality parameters were also measured including temperature, salinity, water clearence and water current. Results showed that water quality was in tolarebale range to support both the coral and Drupella live. Water temperature ranged from 29-30oC, water clearence was 12 m, velocity ranged from 0.05 ms-1–0.19 ms-1, and salinity ranged from 30-32 ppt. The coral cover ranged from 27.2057.70% and ranged from in ”fair-good” category. Drupella abundance ranged from 0.74-1.55 ind/m2. There was no significant correlation between the percentage of the coral cover and Drupella abundance since the organism is a coral pholyp feeder. Yet, the organism had a strong assosiaton with coral reef in the form of parasite. Key words: Coral reef, Drupella, Belan-Belan Besar Island, belt Transect.
Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.504 pulau (KKP, 2004) dan luas lautnya sekitar 3,1 juta km2. Wilayah lautan yang luas tersebut menjadikan Indonesia termasuk kedalam Negara yang memiliki kekayaan sumberdaya perairan yang tinggi dan sumberdaya hayati perairan yang sangat beranekaragam, salah satunya adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik, diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Suharsono, 1996). Drupella adalah salah satu jenis invertebrata yang bersifat parasit bagi terumbu karang. Dalam kondisi yang ekstrim, invertebrata tersebut merupakan masalah yang cukup serius bagi keberadaan ekosistem terumbu karang. Ledakan populasi invertebrata parasit tersebut merupakan salah satu bentuk dari kondisi yang ekstrim. Jika fenomena ledakan populasi terjadi dalam waktu yang cukup lama dan dalam area yang luas, ini 69
merupakan ancaman kerusakan ekosistem terumbu karang (Holborn et al., 1994 dalam Amstrong , 2009). Selat Tiworo merupakan salah satu Kawasan Konservasi Laut Daerah Selat Tiworo di Kabupaten Muna yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (2004) dengan luas 27.936 ha, yang terdiri dari daratan seluas 6.888 ha dan perairan laut seluas 27.936 ha. Cakupan daratan meliputi pulaupulau : Bangko, Katela, Belan-Belan Besar, Belan-Belan Kecil, Malampe, Latoa, Sanggalea, Masaloka, Maloang, Simuangin, Kajuangin dan Balu. Salah satu Kawasan Perairan Selat Tiworo yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi yaitu Pulau Belan-Belan Besar. Daerah ini cukup strategis dan memiliki sumberdaya kelautan yang potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan yang tidak memperhatikan aspek keramahan lingkungan masih menjadi ancaman di daerah tersebut, seperti bahan peledak dan bahan beracun. Pemangsaan terhadap terumbu karang juga merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan terumbu karang. Keanekaragaman jenis karang dan berbagai komponen penting yang terdapat pada perairan dangkal menyusun komunitas alami terumbu karang. Drupella merupakan salah satu jenis siput pemakan karang. Berdasarkan uraian di atas, maka dipandang perlu dilakukan suatu penelitian dengan judul Kelimpahan Drupella pada Perairan Terumbu Karang di Pulau BelanBelan Besar Selat Tiworo Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Metode Pengumpulan Data 1. Penentuan Stasiun Pengamatan Penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan metode purposif sampling dengan cara Times Swimming (snorkling) yaitu diawali dengan peneliti melakukan pengamatan singkat terhadap kondisi terumbu karang dan kelimpahan Drupella sejajar mengikuti garis pantai. Kelebihan dari metode ini adalah pengambilan datanya cepat, dan biaya yang dikeluarkan relatif murah,sedangkan kelemahan dari metode ini adalah pengambilan datanya subyektif, tidak menghitung jumlah koloni, dan data yang didapat berupa perkiraan. Penentuan stasiun pengamatan dan titik-titik pengambilan sampel dipilih berdasarkan aspek keterwakilan, sehingga dapat menggambarkan terumbu karang dan Drupella di lokasi pengambilan sampel. Stasiun ditetapkan berdasarkan empat arah mata angin : Utara, Selatan, Timur, dan Barat. Masing-masing stasiun dan titik dicatat posisinya dengan GPS (Global Positioning System). 2. Pengambilan Data Pengambilan data terumbu karang mengunakan metode LIT (Line Intercep Transect) dengan pengamatan karang dibatasi pada bentuk pertumbuhan (life form) dan menggunakan peralatan selam scuba. Untuk data organisme Drupella menggunakan metode sabuk (Belt Transek) yang mengikuti garis LIT, dimana metode LIT yang dipasang dikombinasikan dengan metode Belt Transek seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Metode LIT yang di kombinasikan dengan Metode Belt Transek. berikutnya. Pengamatan dilakukan dengan Pemasangan LIT dititik pengambilan melihat bentuk pertumbuhan karang yang sampel dilakukan sejajar dengan garis pantai dilewati oleh garis transek hingga ketelitian cm. mengikuti kontur dasar perairan sepanjang 10 Untuk pengambilan data Drupella m, dengan 4 kali pengambilan sampel. Transek digunakan Transek sabuk (belt transect) yang LIT dipasang sepanjang 100 m dimana dikombinasikan dengan pemasangan LIT. pengamatan dilakukan dari titik 0 hingga 10 m, Panjang transek yang digunakan mengikuti dilanjutkan dengan interval 20 m, kemudian transek karang yaitu 10 meter dengan lebar 2 pengukuran dilakukan kembali pada jarak 10 m meter (ditarik garis 1 m ke kanan dan 1 m ke Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
70
kiri), sehingga luas transek sabuk yang digunakan yaitu 20 m2. Pada setiap stasiun pengamatan dilakukan 4 kali pengambilan sampel. Dimana pengamatan dilakukan dari titik 0 hingga 10 m, dengan lebar 2 m, dilanjutkan dengan jeda 20 m, kemudian pengukuran dilakukan kembali pada jarak 10 m berikutnya. Pengukuran nilai-nilai parameter fisika dan kimia perairan dilakukan pada setiap stasiun pengamatan meliputi parameter fisika yakni kecerahan, suhu, kecepatan arus dan kedalaman perairan serta parameter kimia yang meliputi
salinitas. Pengukuran ini dilakukan bersamaan dengan pengamatan terumbu karang. Analisis Data Persentase penutupan terumbu karang dihitung dengan menggunakan rumus Persentase penutupan (cover) (English et al, 1994): %Cover =
Total Panjang tiap kategori 𝐿𝑖𝑓𝑒 𝑓𝑜𝑟𝑚 (cm) X 100% panjang transek garis (cm)
Kriteria penilaian ekosistem terumbu karang berdasarkan persen tutupan karang (Gomez dan Yap, 1988) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria tingkat persen tutupan karang. Persen Tutupan Terumbu Karang (%) 0 - 24,9 25 - 49,9 50 - 74,9 75 - 100
Data jumlah individu setiap jenis biota terumbu karang akan diolah menjadi data kelimpahan organisme. Kelimpahan menurut Brower dan Zar (1997) yaitu jumlah individu persatuan luas atau volume,dengan rumus sebagai berikut : ∑n N= A dimana : N : Kelimpahan individu (ind/m2) Σn: Jumlah individu yang diperoleh tiap stasiun A : Luas daerah pengamatan (m2) Keterkaitan antara organisme Drupella dengan persen cover tutupan karang di analisis menggunakan Analisis Komponen Utama (PCA) dengan bantuan Exelstat 2009 dengan menggunakan kriteria yang dijelaskan oleh Abdurahman dan Muhidin (2007) sebagai berikut : Jika R 0 - < 0, 20 : hubungan sangat lemah (tidak ada). Jika R ≥ 0,20 - < 0,40 : hubungan rendah.
Kriteria Penilaian Buruk Sedang Baik Sangat baik
Jika R ≥ 0,40 - < 0,70 ukup. Jika R ≥ 0,70 - < 0,90 tinggi. JIka R ≥ 0,90 - < 1,00 dan sangat tinggi.
: hubungan sedang / :
hubungan
kuat
/
: hubungan sangat kuat
Hasil 1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Secara administrasi Pulau Belan-Belan Besar merupakan pulau kecil yang masuk kedalam wilayah Desa Santiri Kecamatan Tiworo Tengah Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. 2. Parameter Kualitas Air Pengukuran faktor fisika-kimia perairan dilakukan pada setiap stasiun pengamatan, sebelum pengambilan data persentase tutupan karang hidup dan Drupella. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan pada setiap stasiun pengamatan Stasiun I II III IV
Suhu (0C) 30 29 30 30
Parameter Fisika-Kimia Perairan Kecerahan (m) Kec.Arus (ms-1) 12 0,06 12 0,19 12 0,12 12 0,05
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
Salinitas (ppt) 32 31 30 31
71
3. Persen Tutupan Karang Berdasarkan pengamatan kriteria secara keseluruhan nilai persentase penutupan
terumbu karang di Perairan Pulau Belan-Belan Besar disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Persen tutupan karang hidup (life coral), karang mati (dead coral), abiotik, dan lainnya
biotik
Stasiun Pengamatan I II III IV Life Coral (LC) 57,70 31,68 39,15 27,20 Dead Coral (DC) 10,60 32,60 37,08 41,68 Abiotik (A) 25,53 28,38 14,85 8,38 Biotik Lain (B) 6,18 7,35 8,93 22,75 Sulawesi Tenggara. Secara geografis Pulau Belan-Belan Besar terletak pada posisi 4041‟44”Bentuk Pertumbuhan
4041‟59” Lintang Selatan dan 122022‟49”-122023‟23” Bujur Timur yang memiliki batasKondisi perairan Pulau Belan-Belan flat) dan lereng terumbu (reef slop). Secara Besar merupakan perairan terbuka yang keseluruhan termasuk dalam kategori terumbu mempunyai topografi dasar perairan yang karang tepi (fringing reef). Pulau ini dijadikan landai, dengan hamparan pasir putih. Topografi sebagai areal budidaya rumput laut dan oleh yang landai umumnya dijumpai dengan sebagian masyarakat dijadikan sebagai tempat kedalaman 5 m dan selanjutnya adalah tubir penggalian pasir dan batu karang. (curam) dengan jarak 20-50 m dari garis pantai. Besarnya persentase penutupan Dengan demikian, terumbu karang yang ada di masing-masing bentuk pertumbuhan dapat di perairan tersebut berupa rataan terumbu (reef lihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persen tutupan bentuk pertumbuhan (life form) karang hidup di perairan Pulau Belan-Belan Besar Bentuk Pertumbuhan
St-I (%)
St-II (%)
St-III (%)
St-IV (%)
Acropora Acropora Branching (ACB)
15,07
9,80
3,70
4,70
Acropora Encrusting (ACE)
-
-
14,00
8,75
Acropora Digitate (ACD)
9,30
-
-
-
Acropora Submassive (ACS)
-
-
-
-
Acropora Tabulate (ACT)
16,70
22,80
10,80
9,00
Sub Total
29,30
18,75
9,83
7,80
Non Acropora Coral Branching (CB)
11,93
6,43
13,40
19,00
Coral Encrusting (CE)
13,70
6,05
10,10
2,00
Coral Foliose (CF)
8,97
-
8,10
4,90
Coral Heliopora (CHL)
-
-
-
-
Coral Massive (CM)
13,35
6,25
14,73
12,18
Coral Submassive (CS)
-
-
-
3,00
Coral Millepora (CME)
-
-
-
-
Coral Mushroom (CMR)
1,20
1,40
-
-
Sub total
35,73
12,93
29,33
19,40
Total Kriteria Tutupan
57,70
31,68 Sedang
39,15 Sedang
27,20 Sedang
Baik
Persen tutupan karang hidup pada setiap stasiun pengamatan bervariasi, dimana jenis life form yang ditemukan pada stasiun I berbeda
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
dengan yang ditemukan pada stasiun II, III, dan IV, seperti yang terlihat pada Gambar 2 berikut.
72
Persentase Tutupan Karang
25 20 15
ACB ACE ACD ACT CB CE CF CM
10 5 0 1
2
3
4
Kelimpahan Drupella
(ind/m2)
Gambar 2. Grafik persen tutupan karang hidup (life coral) setiap stasiun pengamatan. ACB : Acropora branching; ACE : Acropora encrusting, ACD : Acropora digitate, ACS : Acropora submassive, ACT : Acropora tabulate, CB : Coral branching, CE : Coral encrusting, CF : Coral foliose, CHL : Coral heliopora, CM : Coral massive, CS : Coral submassive, CME : Coral millepora, dan CMR : Coral mushroom. Drupella pada stasiun IV paling tinggi dan 4. Kelimpahan Drupella terendah pada stasiun I hal tersebut dapat dilihat Kelimpahan Drupella pada setiap pada Gambar 3 berikut. stasiun pengamatan berdasarkan nilai standar deviasinya bervariasi,dimana pada kelimpahan
2.00 1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 I
II
III
IV
Stasiun Pengamatan
Gambar 3. Kelimpahan Drupella setiap stasiun pengamatan (𝑥 ± SD) 5. Keterkaitan antara Kelimpahan Drupella dengan Kondisi Terumbu Karang Hubungan antara pertumbuhan karang dan kelimpahan Drupella saling mempengaruhi
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
dimana laju pertumbuhan terumbu karang lebih cepat dibandingkan dengan laju pemangsaan Drupella pada lokasi penelitian dapat di lihat pada Gambar 4.
73
60 50 40 30
Persen Cover
20
Kelimpahan
10 0 I
II
III
IV
Stasiun Pengamatan
Gambar 4. Hubungan persen cover karang dengan kelimpahan Drupella Berdasarkan grafik di atas dapat di lihat bahwa Drupella banyak di temukan pada persentase tutupan karang yang rendah, dan sedikit di temukan pada persentase tutupan karang yang tinggi, seperti yang terlihat pada stasiun IV, dimana persentase tutupan
karangnya rendah (27,20%) dan Drupella tinggi (1,55 ind/m2). Hubungan antara kelimpahan Drupella dan persen cover terumbu karang dengan menggunakan Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analysis (PCA) dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Analisis Komponen Utama (PCA) korelasi antara kelimpahan Drupella dengan persentase tutupan karang, dan faktor lingkungan Berdasarkan hasil analisis PCA diperoleh total informasi (eigenvalue) yang diberikan sebesar 89,85 % dengan komponen utama pertama (F1) sebesar 55,70 % dan komponen utama kedua (F2) sebesar 34,15 %. Variabel F1 terdiri atas kecepatan arus, salinitas, karang hidup dan biotik lainnya, sedangkan variabel F2 terdiri atas abiotik, karang mati, Drupella, dan parameter suhu.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
Pembahasan 1. Parameter Kualitas Air a. Suhu Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang. Hasil pengamatan suhu di lokasi penelitian berkisar antara 29-30oC. Nilai suhu ini adalah kisaran suhu umum di perairan, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sadarun, dkk., (2008) yang 74
menyatakan bahwa suhu paling optimal bagi pertumbuhan karang berkisar antara 23–30oC. Clark (1974) dalam Maulana (2004) menyatakan bahwa keberadaan suatu spesies dan keadaan seluruh kehidupan suatu komunitas cenderung bervariasi dengan berubahnya suhu, oleh karena itu suhu dapat menjadi faktor pembatas bagi beberapa fungsi biologis dari gastropoda. Kenaikan suhu 4-6oC dapat menimbulkan kehancuran suatu komunitas, selanjutnya apabila kenaikan suhu 32oC dapat menimbulkan kematian didaerah tropis. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 2) dapat dilihat bahwa kisaran suhu tiap stasiun hampir sama dan masih pada kisaran normal serta dapat ditoleransi oleh biota perairan. Kisaran suhu yang optimal untuk gastropoda adalah 26-32oC. Secara umum laju pertumbuhan organisme meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, tetapi dapat pula menekan bahkan menyebabkan kematian organisme apabila melewati suhu yang normal untuk kehidupannya. Rahmad (2004) menyatakan bahwa secara lansung atau tidak langsung perbedaan suhu di perairan akan menentukan pola penyebaran gastropoda. Suhu yang didapatkan pada lokasi penelitian tersebut masih mendukung untuk kehidupan terumbu karang dan biota laut seperti Gastropoda. Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara disekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga oleh faktor penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Perbedaan ini dapat di lihat pada stasiun II, dimana pengambilan data di lakukan pada pagi hari, yang mana intensitas cahaya yang diterima oleh badan perairan lebih sedikit sehingga suhu pada stasiun ini relatif lebih rendah dibandingkan stasiun lainnya yang mana pengambilan data di lakukan menjelang siang hari. Selain itu juga karena adanya naungan (penutupan) oleh tumbuhan mangrove yang ada di sekitar stasiun tersebut. b. Kecerahan Kecerahan perairan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup dan perkembangan dari karang. Tingkat kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh adanya penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolom air dan tingkat sedimentasi. Kecerahan perairan pada setiap stasiun penelitian cukup tinggi, dimana cahaya matahari yang masuk keperairan dapat menembus hingga beberapa meter kedalam perairan. Hal ini sesuai dengan Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
pernyataan Rahmad (2004) bahwa kondisi ini menunjukkan ketersediaan intensitas cahaya yang cukup besar sehingga proses fotosintesis yang dilakukan oleh zooxanthellae dapat berlangsung secara optimal yang secara lansung mendukung pertumbuhan karang dan organismenya. Cahaya juga mempengaruhi faktor kedalaman dan membatasi kehidupan hewan karang. Dimana, pengambilan data di lakukan pada kedalaman 10-15 m. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga hewan karang juga bisa hidup pada perairan yang cukup dalam (Supriharyono, 2000). Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa tingkat kecerahan perairan pada stasiun I, II, III dan IV cukup tinggi mencapa 12 m (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena waktu pengukuran yang dilakukan pada siang hari, dimana cahaya yang masuk ke perairan dapat menembus dengan sempurna hingga kedalaman 10 m. Berdasarkan hal tersebut berarti tingkat kecerahan di setiap stasiun pengamatan sangat mendukung untuk pertumbuhan karang. c. Kecepatan Arus Hasil pengukuran kecepatan arus di lokasi penelitian berkisar antara 0,05-0,19 ms-1 (Tabel 2). Pada masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan bahwa kecepatan arus pada setiap stasiun pengamatan bervariasi namun tidak memperlihatkan perbedaan yang besar, dimana pada Stasiun I kecepatan arus sebesar 0,06 ms-1, Stasiun II sebesar 0,19 ms-1, Stasiun III sebesar 0,12 ms-1 dan Stasiun IV sebesar 0,05 ms-1. Pada stasiun I dan IV kecepatan arusnya lebih lambat dibanding pada Stasiun II dan III. Hal ini disebabkan karena pada stasiun I dan IV masih ada pengaruh halangan Pulau Indo dan Pulau Kayu Angin, sedangkan stasiun II dan III arusnya cenderung lebih cepat karena berada di arah datangnya angin. Keberadaan arus dan gelombang di perairan sangat penting untuk kelangsungan hidup terumbu karang. Arus atau gelombang penting untuk transportasi zat hara, larva, bahan sedimen dan oksigen, serta dapat membersihkan polip karang dari kotoran yang menempel. Selanjutnya (Sadarun, dkk., 2008) menyatakan besarnya kecepatan arus akan mempengaruhi pertumbuhan biota karang.
75
d. Salinitas Salinitas merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Pengaruh salinitas terhadap kehidupan hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, sehingga salinitas akan berubah (Supriharyono, 2000). Rata-rata salinitas pada ke empat stasiun penelitian dapat di lihat pada Tabel 2. Hasil pengukuran salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 30–32 ppt. Hasil ini menunjukan bahwa salinitas perairan pada lokasi penelitian masih optimal bagi perkembangan dan pertumbuhan terumbu karang. Menurut Sadarun dkk, (2008) kisaran normal salinitas perairan laut untuk perkembangan dan pertumbuhan terumbu karang secara optimal adalah 30–33 ppt. Sesuai dengan pernyatan Kaligis (2008), kisaran salinitas tersebut termasuk dalam kisaran salinitas perairan laut 30-40 ppt. Hal ini menggambarkan bahwa salinitas pada perairan Pulau Belan-Belan Besar masih layak dalam mendukung kehidupan dan perkembangan gastropoda. Sadarun, dkk. (2008), menyatakan bahwa hewan karang hidup paling baik pada salinitas air laut yang normal yaitu 32-36 ppt, tetapi daya tahan setiap jenis hewan karang tidaklah sama. Bahkan pada salinitas dibawah minimum dan maksimum terkadang hewan karang masih dapat hidup. 2. Persen Tutupan Karang Kondisi terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan memiliki bentuk pertumbuhan (life form) yang berbeda. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh persentase rata-rata penutupan karang hidup, karang mati, abiotik, dan biotik lainnya yang berbeda-beda pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 3). Hasil pengukuran pada pengamatan stasiun I dan III menunjukkan bahwa komponen karang hidup (biotik) lebih mendominasi dibandingkan kategori abiotik dan biotik lainnya, sedangkan pada stasiun II dan IV lebih didominasi oleh karang mati. Hasil penelitian di Perairan Pulau Belan-Belan Besar pada stasiun I dan III diperoleh persentase rata-rata penutupan karang hidup (biotik) yang lebih tinggi dibandingkan pada stasiun II dan IV (Tabel 4). Hal ini dikarenakan pada stasiun I dan III kondisi
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
perairannya relatif terbuka sehingga arus dan gelombangnya lebih intensif memberikan suplai oksigen dan makanan bagi biota karang dan didukung pula oleh cahaya matahari yang cukup baik. Supriharyono (2000) mengatakan bahwa keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang juga tergantung pada kondisi fisikakimia lingkungannya. Stasiun II, dan IV di dominasi oleh karang mati yang terdiri atas Dead Coral (DC) dan karang mati yang ditumbuhi oleh alga (DCA). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa karang tersebut mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia dan pengaruh tekanan lingkungan (alami dan predator) (Morton and Blackmore, 2009), dimana hampir pada semua stasiun di dapatkan terumbu karang yang mulai tertutupi oleh alga. Munurut Sadarun dkk (2008) struktur komunitas biota karang yang menunjukkan perkembangan komunitas alga yang tumbuh dan menutupi karang mati menunjukkan adanya usaha pemulihan kondisi ekosistem terumbu karang secara alamiah. Dari hasil penelitian kondisi terumbu karang yang didasarkan pada bentuk pertumbuhan (life form) di dapatkan 10 bentuk pertumbuhan karang yang meliputi Jenis Acropora dan non-Acropora. Jenis Acropora diantaranya Acropora branching, Acropora encrusting, Acropora digitate, dan Acropora tabulate. Sedangkan dari jenis non-Acropora diantaranya Coral branching, Coral encrusting, Coral foliose, Coral massive, dan Coral mushroom, selain itu di temukan juga adanya Soft coral, Sponge, patahan karang, dan karang mati (Gambar 3). Persentase penutupan bentuk pertumbuhan (life form) karang di perairan Pulau Belan-Belan Besar di dominasi oleh bentuk pertumbuhan Coral massive, Coral branching, dan Acropora branching (Gambar 3), hal tersebut dikarenakan tipe terumbu karang yang ada di perairan Pulau Belan-Belan besar adalah tipe terumbu karang tepi, dan sebagaimana di ketahui bahwa ketiga jenis karang tersebut lebih banyak ditemukan didaerah tepi. English et.al., 1994 menyatakan bahwa bentuk karang bercabang (branching) dan bentuk padat (massive) banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka.
76
Gambar 6. Drupella yang ditemukan pada stasiun pengamatan Hasil pengukuran terumbu karang yang di lakukan di perairan Pulau Belan-Belan Besar dalam kondisi sedang hingga baik. Persentase penutupan karang hidup pada semua stasiun menurut Gomez dan Yap (1988) termasuk kedalam kategori sedang hingga baik. Persentase penutupan karang hidup pada stasiun I sebesar 57,70%, stasiun II 31,68%, stasiun III 39,15%, dan pada stasiun IV sebesar 27,20%. (Tabel 3). 3. Kelimpahan Drupella Drupella merupakan salah satu jenis siput laut yang hidup didaerah terumbu karang. Kemunculan hewan ini juga merupakan kontrol ekologi bagi karang yang pertumbuhannya cepat. Perairan Pulau Belan-Belan Besar merupakan salah satu perairan di Selat Tiworo yang tidak luput dari kemunculan Drupella dalam penelitian ini diperoleh hasil sebaran dan kelimpahan Drupella pada setiap stasiun seperti pada Gambar 4. Berdasarkan pengamatan parameter fisika dan kimia yang diperoleh pada tiap stasiun diketahui bahwa nilai suhu, salinitas, kecerahan dan arus (Tabel 2) memenuhi syarat dan mendukung pertumbuhan Drupella. Tetapi jumlah kelimpahan Drupella tiap stasiun berbeda-beda. Hal ini diduga karena ada perbedaan secara spasial tiap stasiun. Kepadatan tertinggi ditemukan pada stasiun IV sebesar 1,55 Ind/m2, dan terendah pada stasiun I sebesar 0,74 ind/m2 (Gambar 5). Padatnya populasi Drupella pada stasiun pengamatan IV selain karena faktor lingkungan misalnya suhu (300C), dan arus (0.05 ms-1). Dibandingkan dengan stasiun lain arus pada stasiun IV lebih lambat. Menurut Moyer et al. (1982) bahwa kisaran suhu yang optimal bagi Drupella adalah 28–300C. Ditambahkan oleh Schumacher, 1992, umumnya Drupella terdapat pada perairan dengan arus yang lambat. Selain faktor
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
lingkungan, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi keberadaan Drupella. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap ada tidaknya Drupella pada suatu daerah adalah ketersediaan makanan (Jimenez, dkk., 2012), dimana pada stasiun IV ini banyak di temukan jenis karang Acropora branching, Acropora encrusting, Acropora tabulate, Coral branching, Coral encrusting, Coral foliose, Coral massive, dan Coral submassive, dimana jenis-jenis karang tersebut merupakan jenis karang yang di sukai oleh Drupella untuk makan. Menurut Williams dan Ozawa (2006) Drupella cenderung mempunyai pola penyebaran mengelompok (Gambar 6), hal ini di sebabkan karena pergerakannya yang relatif pasif dan sifatnya yang sessile sehingga biota ini cepat mendapat pengaruh dari lingkungannya bila terjadi perubahan di lingkungan sekitarnya (tekanan ekologi) (Nancy, 2008). 4. Keterkaitan antara Kelimpahan Drupella dengan Kondisi Terumbu Karang Pada Gambar 4 dapat di lihat adanya hubungan antara persentase tutupan karang dan kelimpahan Drupella, dimana Drupella banyak ditemukan pada persentase tutupan karang yang rendah. Pada area dengan tutupan karang yang baik memiliki populasi Drupella yang rendah. Drupella hanya memakan polip karang, hal ini memungkinkan karang untuk segera pulih kembali setelah serangan dari Drupella berhenti (Claremont and Williams, 2011). Beberapa jenis karang, seperti karang bercabang sangat penting pada tahap awal pertumbuhan Drupella untuk melindungi diri dari pemangsa. Meskipun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan, namun Drupella memiliki asosiasi yang kuat dengan terumbu karang sebagai hewan yang berasosiasi dengan karang yang bersifat parasit (Barco, dkk., 77
2009). Parasitisme merupakan hubungan antara dua organisme, dimana organisme parasit secara metabolis tergantung pada organisme tempatnya berasosiasi. Parasit biasanya memiliki ukuran tubuh lebih kecil. Hubungan ini dapat bersifat permanen, atau bersifat sementara. Hubungan parasitisme merupakan keharusan karena bila tidak maka organisme parasit akan mati. Hubungan parasitisme menyangkut persoalan makan atau dalam rangka memenuhi kebutuhan nutrisi (Kaligis, 2008). Hasil analisis PCA menunjukkan informasi penting tentang keterkaitan antar variabel, yang terpusat pada 2 sumbu utama (F1 dan F2) dengan kontribusi masing-masing sumbu sebesar (F1 55,70%) dan (F2 34,15%) total sebesar 89,85% (Gambar 6). Variabel F1 terdiri atas variabel karang hidup (biotik), biotik lain, kecepatan arus dan salinitas. Sedangkan variabel F2 terdiri atas variabel abiotik, karang mati, Drupella, dan suhu. Berdasarkan kriteria nilai korelasi (R) yang di jelaskan oleh Abdurrahman dan Muhidin (2007) dapat dilihat bahwa Drupella dan karang hidup berkorelasi negatif yang sangat tinggi, korelasi antara Drupella dan variabel biotik lain dengan kecepatan arus berkorelasi negatif sedang, sedangkan korelasi negatif Drupella dan salinitas juga kuat. Sebaliknya Drupella berkorelasi positif terhadap variabel abiotik, karang mati dan suhu. Hal ini menandakan hubungan yang searah antara Drupella dengan variabel abiotik, karang mati dan suhu, dimana semakin besar nilai variabel abiotik, karang mati dan suhu maka maka populasi Drupella semakin banyak pula. Tingginya persentase tutupan karang hidup (biotik) di lokasi penelitian disebabkan karena populasi Drupella yang tidak terlalu tinggi, sehingga pemangsaan pada karang juga tidak terlalu tinggi. Menurut Abbot dan Dance (1986) jika populasi Drupella melebihi kemampuan karang untuk pulih kembali, maka yang terjadi adalah sebuah bencana kerusakan terumbu karang. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa tingkat pemangsaan Drupella masih jauh lebih lambat di bandingkan dengan laju pertumbuhan terumbu karang. Hal tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain Drupella tidak menyerang jaringan karang sehat, karena karang yang sehat memiliki sel penyengat, termasuk jenis organisme sesil yang bergerak lambat, sehingga perilaku makannya juga lambat, dan perilaku makannya dipengaruhi oleh suhu perairan, dimana menjelang musim Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
panas kelimpahan dan pola makan Drupella meningkat, lebih tinggi dibandingkan saat musim dingin (Morton, dkk., (2002)). Menurut Gabby (1999) Drupella tidak memangsa semua jenis karang, tetapi juga memilih mangsanya (umumnya koloni karang) karena berbagai alasan yang kompleks diantaranya: bentuk pertumbuhan koloni karang, kemudahan mereka untuk mengambil jaringan karang yang hidup, produksi lendir dari karang, nilai nutrisi jaringan karang juga kemampuan pertahanan nematosit (sel penyengat) dari karang itu sendiri, Drupella memakan karang genus Acropora, Mantipora, Seriatopora, serta Pocillopora, dan beberapa genus lainnya dan lebih banyak pada karang bercabang (Arby,2009). Claremont dan Williams (2008) menyatakan bahwa filum muricidae seperti Drupella merupakan family yang suka menempati dasar perairan yang keras. Serangan hewan Drupella ini dapat mengurangi persentase penutupan karang (Miller dan Dolman, 2008). Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dilihat bahwa populasi Drupella pada ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Belan-Belan dalam status alami, sehingga belum memberikan ancaman yang berarti terhadap ekosistem terumbu karang bahkan dapat menjaga keseimbangan ekologi di dalam ekosistem. Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut : Secara rata-rata kelimpahan Drupella pada setiap stasiun pengamatan bervariasi, kelimpahan pada stasiun I sebesar 0,74 Ind/m2, stasiun II sebesar 0,89 Ind/m2, stasiun III sebesar 0,86 Ind/m2, dan pada stasiun IV sebesar 1,55 ind/m2. Secara rata-rata kondisi terumbu karang di perairan Pulau Belan-Belan Besar pada stasiun I dalam kondisi baik dengan persen tutupan karang sebesar 57,70%, sedangkan pada stasiun II, III, dan IV dalam kondisi sedang dengan persen tutupan karang masing-masing 31,68%, 39,15%, dan 27,20%. Persantunan Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof.Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S atas bantuan dana Penelitian, Dekan FPIK Unhalu Prof. Dr. Ir. La Ode Muh. Aslan, M.Sc atas izin penelitian yang diberikan, dan Kepala Laboratorium FPIK Unhalu Ruslaini, S.Pi.,M.Pi atas penyediaan fasilitas laboratorium yang dipinjamankan. 78
Daftar Pustaka Abdurrahman, M., Muhidin, A.S. 2007. Analisis Korelasi, regresi, dan Jalur dalam Penelitian. CV. Pustaka Setia. Bandung. 280 hal. Abbott, R.T. and S.P. Dance 1986. Compendium of Seashells. American Malacologists, Melbourne, Florida.p 411. Amstrong, N. 2009. The Status of the Coral Predator Drupella cornus at Ningaloo Marine Park. Department of Environment and Conservation, The Government of Western Australia. p 18. Arbi Yanu Ucu, 2009. Drupella spp.(Siput Pemakan Karang Drupella) Jurnal Oseana, Vol. XXXIV : 19-24. Barco A, Claremont M, Reid DG, Houart R, Bouchet P, Williams ST, Cruaud C, Couloux A, Oliverio M. 2010. A molecular phylogenetic framework for the Muricidae, a diverse family of carnivorous gastropods. Mol Phylogenet Evol 56:1025–1039 Brower, J. E. and J. H. Zar, 1997. Field and Laboratory Method for General Ecology Wm. C. Brown Company Publisher. America.p 301. Claremont , M., D. G. Reid and S. T. Williams 2011. Evolution of corallivory in the gastropod genus Drupella. Coral Reefs (2011) 30:977–990 Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004, Surat Keputusan Ditjen KP3K No. SK. 64C/P3K/IX/2004 (Lampiran III), Pedoman Pengelolaan Terumbu Karang, Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, Ditjen., KP3K, Jakarta.105 hal. English, S., C. Wikinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resourch. Australian Institute Marine Science. Townsvile. Australia. Fontje, Kaligis, 2008. Parasitisme, Kanibalisme, dan Interaksi Positif terumbu karang dan Mollusca.Pacific Journal. 2:133136. Gabbi, G. 1999. Shells : Guide to the Jewels of the Sea. Periplus. Turin : p 168. Gomez, E. D. dan H. T. Yap, 1988. Monitoring Reef Conditions. In : Coral Reef Management Handbook UNESCO Regional Offlce for
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
Science and Technology for SouthEast Asia. Jakarta. p 271. Jimenez ,H., P.Dumas,D.Ponton,J.Ferraris 2012. Predicting Invertebrate Assemblage Composition from Harvesting Pressure and Environmental Characteristics on Tropical Reef Flats. Coral Reefs 31:89–100 Knowlton Nancy, 2008.Study Leptoconchus spesies (Coralliophylidae). Coral reefs. 18:18–21. Maulana Rahmad, 2004. Struktur Komunitas Gastropoda pada Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Batu Ampar Kalimantan Barat. Skripsi. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 71 Hal. Miller I, Dolman A, 2008. Relative role of disease and predators as drivers of decline in coral cover on the Great Barrier Reef. Proc 11th Int Coral Reef Symp 6:216-220. Morton B, Blackmore G, Kwok CT. 2002. Corallivory abd prey choice by Drupella rugosa (Gastropoda:Muricidae) in Hongkong. J Molluscan Stud 68:217-223. Morton B, Blackmore G. 2009. Seasonal variations in the density of and corallivory by Drupella rugosa and Cronia margariticola (Muricidae) from the coastal waters of HongKong: („plagues‟ or „aggregations‟) J Mar Biol Assoc U K 89: 147–159. Moyer, J.T.;W.K. Emerson and M. Ross 1982. Massive Destructian of Scleractinian Corals by the Muricid Gastropod, Drupella, in Japan and the Philippines. Nautilus 96: 69-82. Sadarun, B., dkk. 2008. Petunjuk Pelaksanaan Transplantasi Karang. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 36 hal. Schumacher 13, 1992 Impact of Some Corallivorous Snails on Stony Corals in the Red Sea. Proc. 7th Int. Coral Reef Syrnp., Guam, 1992. 2: 840-846 Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. 129 hal. Suharsono, 1996. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan 79
Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.116 hal. Williams ST, Ozawa T (2006) Molecular Phlogeny Suggests Polyphly of Both The Turban Shells (Family Turbinidae) and The Superfamily Trochoidea (Mollusca, Vetigastropoda). Mol Phylogenet Evol 39:33-55.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UNHALU
80